13.11.2014 Views

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Pangan Pada Rumah Tangga

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Pangan Pada Rumah Tangga

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Pangan Pada Rumah Tangga

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Seminar Nasional<br />

DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN:<br />

Tantangan <strong>dan</strong> Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani<br />

Bogor, 19 Nopember 2008<br />

POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGAN<br />

PADA RUMAHTANGGA PETANI PADI<br />

oleh<br />

Tri Bastuti Purwantini <strong>dan</strong> Mewa Ariani<br />

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN<br />

DEPARTEMEN PERTANIAN<br />

2008


POLA PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGAN PADA<br />

RUMAHTANGGA PETANI PADI<br />

Tri Bastuti Purwantini 1 <strong>dan</strong> Mewa Ariani 2<br />

1 Pusat Analisis Sosial Ekonomi <strong>dan</strong> Kebijakan Pertanian, Bogor<br />

2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten<br />

ABSTRAK<br />

<strong>Pangan</strong> merupakan hak azasi manusia <strong>dan</strong> perbaikan pola konsumsi pangan sebagai sarana<br />

mewujudkan kualitas sumberdaya manusia. Tulisan ini mengkaji pola pengeluaran <strong>dan</strong><br />

konsumsi pangan rumahtangga petani padi. Data yang digunakan adalah PATANAS 2007<br />

dengan jumlah contoh sekitar 350 rumahtangga petani padi di 5 Propinsi (Jawa <strong>dan</strong> Luar Jawa).<br />

Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan tabel-tabel. Hasil analisis menunjukkan<br />

bahwa : 1) Tingkat kesejahteraan rumahtangga petani padi di Propinsi Jawa Barat <strong>dan</strong> Jawa<br />

Tengah lebih baik dibandingkan dengan di propinsi yang lainnya; 2) <strong>Pengeluaran</strong> pangan<br />

rumahtangga terbesar adalah pengeluaran makanan pokok, kemudian diikuti dengan<br />

pengeluaran tembakau/sirih <strong>dan</strong> pangan hewani; 3) Beras adalah pangan pokok petani padi <strong>dan</strong><br />

bersifat tunggal, yang bersumber dari hasil sendiri, berkisar 38 – 63 % di Jawa <strong>dan</strong> 53-94 % di<br />

Luar Jawa; 4) Tingkat konsumsi energi <strong>dan</strong> protein bervariasi antar desa atau wilayah, namun<br />

pada umumnya masih dibawah angka kecukupan. Sumbangan energi terbesar dari kelompok<br />

padi-padian (44 – 69 %). Implikasinya adalah masih diperlukan upaya perbaikan pola konsumsi<br />

pangan pada rumahtangga petani padi secara terus menerus <strong>dan</strong> terarah agar pola pangannya<br />

sesuai dengan kaidah gizi <strong>dan</strong> kesehatan. Upaya tersebut dilakukan melalui Komunikasi<br />

Informasi Edukasi (KIE) dengan memanfaatkan berbagai media seperti penyuluhan, leaflet,<br />

demonstrasi <strong>dan</strong> lain-lain.<br />

Kata kunci : pola pengeluaran, konsumsi pangan, petani padi<br />

PENDAHULUAN<br />

Ketahanan pangan yang dibangun di Indonesia, disamping sebagai prasyarat<br />

untuk memenuhi hak azasi pangan masyarakat juga merupakan pilar bagi eksistensi <strong>dan</strong><br />

kedaulatan suatu bangsa (Dewan Ketahanan <strong>Pangan</strong>, 2006). Pembangunan ketahanan<br />

pangan menuju kemandirian pangan diarahkan untuk menopang kekuatan ekonomi<br />

domestik sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup secara berkelanjutan bagi<br />

seluruh penduduk terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah <strong>dan</strong> keragaman<br />

yang cukup, aman <strong>dan</strong> terjangkau dari waktu ke waktu.<br />

Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah<br />

<strong>dan</strong> kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau <strong>dan</strong> aman dikonsumsi<br />

bagi setiap warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu (Saliem,<br />

dkk; 2002). <strong>Pangan</strong> sebagai sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin,<br />

1


mineral <strong>dan</strong> air) menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan <strong>dan</strong><br />

kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan.<br />

Masalah gizi tidak terlepas dari masalah makanan karena masalah gizi timbul<br />

sebagai akibat kekurangan atau kelebihan kandungan zat gizi dalam makanan. Salah<br />

satu masalah gizi yang sering dijumpai khususnya di pedesaan adalah kurang energi<br />

protein (KEP). Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis konsumsi pangan pada<br />

rumahtangga petani padi di Indonesia. Aspek yang dianalisis adalah struktur<br />

pengeluaran pangan <strong>dan</strong> non pangan, tingkat partisipasi <strong>dan</strong> pola pangan pokok serta<br />

konsumsi energi <strong>dan</strong> protein.<br />

MATERI DAN METODE<br />

Sumber Data yang digunakan untuk menganalisis pola konsumsi rumahtangga<br />

petani padi adalah data Panel Petani Nasional (PATANAS) tahun 2007 yang dilakukan<br />

oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi <strong>dan</strong> Kebijakan Pertanian. Data tersebut mencakup<br />

5 propinsi, yakni 2 propinsi luar Jawa (Sumatera Utara <strong>dan</strong> Sulawesi Selatan) <strong>dan</strong> 3<br />

propinsi Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah <strong>dan</strong> Jawa Timur) yang meliputi 14 desa<br />

contoh. Pengumpulan data rumahtangga dilakukan melalui survey rumahtangga yang<br />

melibatkan 25 rumahtangga contoh untuk setiap desa atau total responden 350<br />

rumahtangga. <strong>Rumah</strong>tangga yang terpilih adalah rumahtangga petani padi baik pemilik<br />

maupun penggarap<br />

Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dalam bentuk tabel-tabel berdasarkan<br />

daerah <strong>dan</strong> kelompok pangan. Untuk mengetahui posisi perkembangan konsumsi<br />

pangan rumah tangga petani padi dibandingkan antar daerah, maka dalam analisis ini<br />

juga dibandingkan data konsumsi pangan untuk tingkat propinsi masing-masing<br />

menurut data SUSENAS 2007<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

<strong>Pengeluaran</strong> <strong>Pangan</strong> Sebagai Indikator Kesejahteraan<br />

Secara garis besar kebutuhan rumahtangga dapat dikelompokkan ke dalam dua<br />

kategori besar, yaitu kebutuhan akan pangan <strong>dan</strong> bukan pangan. Dengan demikian, pada<br />

tingkat pendapatan tertentu, rumahtangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk<br />

memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan<br />

2


seseorang akan mencapai titik jenuh sementara kebutuhan bukan pangan, termasuk<br />

kualitas pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Dengan demikian, besaran<br />

pendapatan (yang diproksi dengan pengeluaran total) yang dibelanjakan untuk pangan<br />

dari suatu rumahtangga dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan<br />

rumahtangga tersebut. Atau dengan kata lain semakin tinggi pangsa pengeluaran<br />

pangan, berarti semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan. Sebaliknya,<br />

semakin kecil pangsa pengeluaran pangan maka rumahtangga tersebut semakin<br />

sejahtera.<br />

Tabel 1. Pangsa <strong>Pengeluaran</strong> <strong>Pangan</strong> <strong>Rumah</strong>tangga Perdesaan, 2007<br />

Propinsi<br />

<strong>Pengeluaran</strong> pangan<br />

<strong>Pengeluaran</strong> total<br />

(%)<br />

(Rp/kap/bulan)<br />

Jatim 59.61 257157<br />

Jateng 59.16 218042<br />

Jabar 60.80 281752<br />

Sumut 55.56 225439<br />

Sulsel 54.61 224046<br />

Sumber : SUSENAS, 2007<br />

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata kesejahteraan rumahtangga<br />

perdesaan di Jawa lebih rendah dibandingkan dengan di Luar Jawa. Pangsa pengeluaran<br />

pangan di luar Jawa sekitar 55 persen, se<strong>dan</strong>gkan di Jawa sekitar 59-61 persen.<br />

Beberapa kajian menggunakan data SUSENAS antar waktu menunjukkan bahwa rataan<br />

pengeluaran pangan di kota relatif lebih rendah dibandingkan di perdesaan. Hal ini<br />

mengindikasikan bahwa rata-rata penduduk kota lebih sejahtera dibanding di perdesaan.<br />

A<strong>dan</strong>ya kesenjangan pembangunan antara daerah perkotaan <strong>dan</strong> pedesaan yang<br />

berdampak pada tingkat kesejahteraannya. Daerah perdesaan mengalami keterbatasan<br />

pengembangan infrastruktur (fisik <strong>dan</strong> kelembagaan), disamping itu kebijakan<br />

pembangunan bias pada daerah perkotaan khususnya untuk sektor industri, perdagangan<br />

<strong>dan</strong> jasa (Sayogyo, 2002). Akibatnya, kota mengalami pertumbuhan yang lebih cepat<br />

se<strong>dan</strong>gkan daerah perdesaan relatif tertinggal.<br />

Ketertinggalan wilayah pedesaan juga disebabkan oleh masih rendahnya<br />

produktivitas <strong>dan</strong> kualitas petani <strong>dan</strong> pertanian, terbatasnya akses petani terhadap<br />

sumberdaya permodalan, serta rendahnya kualitas <strong>dan</strong> kuantitas infrastruktur pertanian<br />

<strong>dan</strong> perdesaan. <strong>Pada</strong> tahun 2006, jumlah penduduk miskin sebesar 39.1 juta orang, <strong>dan</strong><br />

sebagian besar (24.8 juta orang) berada di pedesaan dengan sumber matapencaharian<br />

utama di sektor pertanian terutama tanaman pangan.<br />

3


Berdasarkan Tabel 2, terlihat tidak ada pola yang jelas antara pengeluaran total<br />

dengan pangsa pengeluaran pangan, dalam arti kedua variabel tersebut tidak selalu<br />

berbanding lurus atau berbanding terbalik. Dalam arti semakin besar pengeluaran total<br />

tidak selalu diikuti dengan semakin rendahnya pangsa pengeluaran pangan. Hal ini<br />

berbeda dengan pola yang ada dalam data SUSENAS, yaitu semakin tinggi pengeluaran<br />

total rumahtangga, pangsa pengeluaran pangan akan semakin rendah.<br />

Hanya pada rumahtangga di Propinsi Jawa Barat yang mengikuti pola SUSENAS.<br />

Di Desa Simpar, pengeluaran total paling besar yaitu Rp.360 690/kapita/ bulan <strong>dan</strong><br />

pangsa pengeluaran pangannya juga paling kecil (49.4%) dibandingkan dengan desa<br />

lain Propinsi Jawa Barat. Kondisi ini diduga rumahtangga dalam menentukan jumlah<br />

<strong>dan</strong> jenis pangan yang dikonsumsi tidak selalu mengacu pada pendapatannya. Dalam<br />

arti, aspek pendapatan tidak selalu mempengaruhi dalam pola konsumsi pangan tetapi<br />

aspek lain seperti kebiasaan makan <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya pola hidup sederhana dalam rumahtangga.<br />

Temuan ini sangat menarik <strong>dan</strong> perlu dilakukan kajian lebih mendalam dalam<br />

kaitannya dengan aspek sosial budaya yang melekat pada masyarakat.<br />

Tabel 2. Pangsa <strong>Pengeluaran</strong> <strong>Pangan</strong> <strong>Rumah</strong>tangga Petani Padi di Pedesaan Jawa <strong>dan</strong><br />

Luar Jawa<br />

Propinsi/Desa<br />

<strong>Pengeluaran</strong><br />

<strong>Pangan</strong> (%)<br />

<strong>Pengeluaran</strong><br />

Total<br />

(Rp/kap/bulan)<br />

Jawa Barat - Tugu 49.7 332 460<br />

- Simpar 49.4 360 690<br />

- Sin<strong>dan</strong>gsari 58.2 220 560<br />

Jawa Tengah - Tambahmulyo 48.2 235 660<br />

- Demangan 44.5 275 940<br />

- Mojorejo 47.8 265 100<br />

- Pa<strong>dan</strong>gsari 53.0 167 970<br />

Jawa Timur - Padomasan 60.5 241 960<br />

- Sungegeneng 58.5 225 570<br />

- Kaligondo 48.3 210 700<br />

Sulsel - Carawali 55.2 282 610<br />

- Salu Jambu 48.6 203 990<br />

Sumut - Lidah Tanah 59.2 393 630<br />

- Kwala Gunung 57.3 234 540<br />

Dengan memperhatikan pangsa pengeluaran pangannya, terlihat tingkat kesejahteraan<br />

rumahtangga petani padi di Propinsi Jawa Barat <strong>dan</strong> Jawa Tengah lebih baik<br />

dibandingkan dengan di propinsi yang lainnya. Bahkan di Desa Demangan, Kabupaten<br />

Klaten, Jawa Tengah, tingkat kesejahteraan rumahtangga petani padi paling sejahtera<br />

4


dibandingkan dengan di desa lain dalam propinsi yang sama. Klaten termasuk salah satu<br />

sentra produksi besar di Jawa tengah, karena lahan yang diusahakan adalah irigasi<br />

teknis, yang dapat ditanami padi tiga kali dalam satu tahun.<br />

Tabel 3 menyajikan pangsa pengeluaran pangan menurut kelompoknya. Hasil<br />

analisis menunjukkan bahwa pengeluaran pangan rumahtangga terbesar digunakan<br />

untuk pengeluaran makanan pokok yang termasuk dalam kelompok padi-padian atau<br />

pangan sumber karbohidrat. Selain pangan pokok, pengeluaran pangan dominan adalah<br />

tembakau/sirih <strong>dan</strong> pangan hewani.<br />

Tampak bahwa pangsa pengeluaran pangan sumber karbohidrat berkisar antara<br />

22.4 persen (Jabar) sampai 44.5 persen (Jatim) untuk di Jawa, se<strong>dan</strong>gkan di Luar Jawa<br />

berkisar antara 17.2 persen (Sumut) sampai 44.9 persen (Sulsel). Dalam kelompok<br />

tembakau/sirih sebetulnya yang dominan adalah pengeluaran untuk pembelian rokok.<br />

Hampir semua Kepala Keluarga (KK) merokok setiap hari, bahkan sebagian besar<br />

mampu menghabiskan lebih dari satu bungkus rokok, walaupun harga rokok bervariasi<br />

<strong>dan</strong> relatif mahal Rp.4000-Rp.7000/bungkus. Kecenderungan ini tentu memprihatinkan<br />

ditinjau dari segi kesehatan, namun hasil wawancara dengan KK (petani) belum tentu<br />

semua rokok yang dibeli digunakan sendiri karena rokok juga sebagai media interkasi<br />

sosial dengan teman atau saudara.<br />

Masih rendahnya pengeluaran untuk makanan/minuman jadi menunjukkan<br />

bahwa pola pangan rumahtangga petani masih lebih sederhana dibandingkan dengan<br />

rumahtangga secara umum. Konsep mengutamakan makan makanan yang dimasak<br />

dirumah masih kuat, hal ini selain pola hidup yang sederhana juga sebagai akibat pola<br />

pekerjaan petani yang tidak terlalu komplek, sehingga masih memungkinkan mereka<br />

pulang untuk makan siang di rumah. Atau yang terlihat jelas, pola pekerjaan wanita tani<br />

juga tidak komplek seperti pola pekerja wanita terutama di perkotaan. Para ibu masih<br />

punya waktu untuk memasak di rumah untuk kebutuhan keluarganya <strong>dan</strong> masih punya<br />

waktu untuk mengantarkan makanan untuk suaminya di sawah. Di sisi lain tentu saja<br />

makanan/minuman jadi harganya lebih mahal dengan makanan yang dimasak sendiri,<br />

sehingga biasanya memilih untuk memasak sendiri daripada membeli.<br />

5


Tabel 3. Proporsi <strong>Pengeluaran</strong> <strong>Pangan</strong> Menurut Kelompoknya <strong>Pada</strong> <strong>Rumah</strong>tangga Petani Padi di Pedesaan Jawa <strong>dan</strong> Luar Jawa (%)<br />

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulsel Sumut<br />

Kelompok <strong>Pangan</strong><br />

Sin<strong>dan</strong>g Tambah Dema Mojo Pa<strong>dan</strong>g Pado Sunge Kali<br />

Salu Lidah Kwala<br />

Tugu Simpar<br />

Carawali<br />

sari mulyo ngan rejo sari masan geneng gondo<br />

Jambu Tanah Gunung<br />

Sumber Karbohidrat 23.5 22.4 33.3 27.8 23.0 26.0 32.1 25.4 26.0 44.5 19.4 44.9 17.6 30.2<br />

<strong>Pangan</strong> Hewani 13.6 21.5 8.2 17.4 13.7 18.4 10.0 10.6 23.6 13.7 19.2 17.3 28.7 17.3<br />

Kacang- kacangan 6.4 4.5 4.0 4.8 5.7 6.8 8.4 5.3 5.1 5.1 3.5 2.9 4.7 3.5<br />

Sayuran 11.1 9.8 8.2 8.0 13.4 8.8 9.6 8.2 8.3 7.8 13.0 8.7 12.1 8.6<br />

Buah-buahan 2.5 4.8 5.1 3.6 3.4 5.6 2.0 2.3 2.3 3.9 2.0 5.6 2.5 5.6<br />

Minyak + Lemak 3.6 4.1 4.0 5.6 5.8 4.8 4.5 6.0 3.7 8.0 4.2 2.8 3.7 4.3<br />

Bahan Minuman 5.4 5.6 5.7 6.1 7.7 9.1 6.4 6.8 6.5 5.1 6.6 6.7 9.7 6.7<br />

Makanan/minuman Jadi 9.2 6.1 4.7 7.1 7.0 1.5 7.4 2.0 13.2 2.9 6.1 3.1 5.5 6.8<br />

Tembakau + sirih 18.5 12.8 11.2 12.7 13.2 12.2 13.5 6.0 15.5 2.9 18.4 1.3 10.4 13.7<br />

Lainnya 6.3 8.6 5.9 7.9 6.9 6.5 6.3 27.6 5.9 6.1 7.2 5.2 5.0 4.3<br />

Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0<br />

6


Tingkat Partisipasi <strong>Konsumsi</strong> <strong>Pangan</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pola</strong> <strong>Pangan</strong> Pokok<br />

Tingkat partisipasi konsumsi pangan menunjukkan proporsi rumahtangga yang<br />

mengkonsumsi jenis pangan tertentu terhadap total populasi rumahtangga yang diamati.<br />

Jenis pangan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah pangan sumber karbohidrat<br />

yang sebagian besar merupakan pangan pokok, sumber protein, sumber lemak <strong>dan</strong><br />

sumber vitamin/mineral. Keragaan tingkat partisipasi konsumsi pangan tersebut dapat<br />

disimak pada Tabel 4.<br />

Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat partisipasi konsumsi beras di lokasi<br />

contoh hampir mencapai 100 persen. Tingkat partisipasi konsumsi beras sebagian besar<br />

mencapai 100 persen. Tingginya tingkat partisipasi konsumsi beras ini terkait dengan<br />

tingkat ketersediaannya. Karena rumahtangga contoh adalah rumahtangga yang mengusahakan<br />

tanaman padi <strong>dan</strong> menjadikan beras sebagai makanan pokok utama. Berkaitan<br />

dengan definisi tersebut, pangan pokok yang dimaksud umumnya berupa pangan<br />

sumber karbohidrat yang sekaligus merupakan pangan sumber energi.<br />

Sementara, jenis pangan sumber karbohidrat lain yang sebelumnya juga menjadi<br />

pangan pokok di berbagai propinsi tergeser oleh beras, yang ditunjukkan oleh<br />

partisipasi konsumsi pangan sumber karbohidrat lainnya seperti jagung <strong>dan</strong> ubikayu<br />

relatif kecil. Dari tingkat partisipasi konsumsi pangan sumber karbohidrat tersebut,<br />

menunjukkan bahwa beras memang sudah menjadi pola pangan pokok dominan <strong>dan</strong><br />

cenderung bersifat tunggal. Telah terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam pola<br />

pangan pokok, rumahtangga sudah jarang mengkonsumsi pangan lokal selain beras<br />

dalam pola pangan pokoknya.<br />

Dalam arti masyarakat telah meninggalkan pola pangan lokal seperti jagung,<br />

umbi-umbian <strong>dan</strong> sagu beralih ke pola pangan pokok nasional yaitu beras. Memang<br />

masih ditemukan pola pangan pokok selain beras seperti sagu di Desa Salu Jambu<br />

(Kabupaten Luwu) <strong>dan</strong> jagung di Desa Sungegeneng (Kabupaten Lamongan), namun<br />

kedua pangan ini hanya dikonsumsi dalam jumlah kecil <strong>dan</strong> lebih bersifat karena a<strong>dan</strong>ya<br />

ikatan emosional dengan pangan tersebut. Sehingga dari tiga kali frekuensi konsumi<br />

pangan pokok, minimal satu kali mengkonsumsi sagu atau jagung terutama pada siang<br />

hari. Sementara untuk pagi <strong>dan</strong> malam hari mengkonsumsi beras (Tabel 5). Khusus di<br />

Desa Sin<strong>dan</strong>gsari (Kabupaten Karawang), rumahtangga yang terbiasa mengkonsumsi<br />

beras di pagi hari atau sarapan pagi, umumnya berasal dari pembelian berupa nasi uduk.<br />

7


Tabel 4. Tingkat Partisipasi <strong>Konsumsi</strong> <strong>Pangan</strong> <strong>Pada</strong> <strong>Rumah</strong>tangga Petani Padi di Jawa <strong>dan</strong> Luar Jawa (%)<br />

Kelompok<br />

Bukan <strong>Pangan</strong> Tugu Simpar<br />

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulsel Sumut<br />

Sin<strong>dan</strong>g Tambah Demangan<br />

Mojo Pa<strong>dan</strong>g Pado Sungegen Kaligon Carawa Salu Lidah<br />

sari Mulyo<br />

rejo sari masan eng do li Jambu<br />

Tanah<br />

Kwala<br />

Gunung<br />

Sumber Karbohidrat<br />

Beras 96.0 100.0 100.0 100.0 72.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 96.0 100.0 100.0 100.0<br />

Jagung 4.0 12.0 0 4.0 12.0 12.0 5.9 38.0 16.0 8.0 40.0 8.0 8.0 4.0<br />

Ubikayu 26.0 4.0 0 4.0 36.0 24.0 5.9 4.0 8.0 28.0 4.0 28.0 28.0 20.0<br />

Ubijalar 12.0 4.0 0 0 4.0 4.0 0 0 0 4.0 8.0 8.0 4.0 0<br />

Mie Instan 36.0 56.0 26.0 56.0 84.0 52.0 58.8 56.0 44.0 24.0 48.0 12.0 32.0 40.0<br />

Gula Pasir 100.0 96.0 92.0 88.0 100.0 96.0 100.0 92.0 92.0 96.0 100.0 92.0 100.0 96.0<br />

Sumber Protein<br />

Daging Sapi 16.0 16.0 4.0 64.0 40.0 20.0 47.1 24.0 24.0 52.0 16.0 24.0 44.0 24.0<br />

Daging ayam 64.0 72.0 40.0 76.0 80.0 80.0 82.4 72.0 76.0 64.0 56.0 64.0 76.0 44.0<br />

Ikan 22.0 22.0 16.0 17.0 16.0 28.0 25.0 20.0 22.0 25.0 25.0 19.0 38.0 22.0<br />

Telur 28.0 32.0 29.3 26.7 28.0 32.0 27.4 24.0 28.0 29.3 26.7 24.0 28.0 32.0<br />

Susu 6.8 13.8 4.8 10.4 11.2 9.6 7.1 6.4 8.8 4.0 19.2 5.6 13.6 7.2<br />

Tahu 88.0 88.0 78.0 80.0 88.0 92.0 100.0 80.0 64.0 88.0 56.0 60.0 88.0 92.0<br />

Tempe 96.0 72.0 80.0 84.0 84.0 92.0 100.0 88.0 72.0 100.0 88.0 80.0 92.0 92.0<br />

Sumber Lemak<br />

M. goreng 100.0 100.0 88.0 100.0 96.0 96.0 100.0 96.0 96.0 96.0 96.0 96.0 100.0 96.0<br />

Sumber Vitamin & Mineral<br />

Bayam 56.0 36.0 36.0 80.0 64.0 60.0 76.5 36.0 64.0 72.0 66.0 60.0 72.0 52.0<br />

Kangkung 96.0 44.0 40.0 68.0 44.0 48.0 76.5 20.0 72.0 52.0 44.0 60.0 72.0 84.0<br />

D. singkong 36.0 32.0 4.0 40.0 44.0 48.0 29.4 32.0 12.0 68.0 20.0 40.0 68.0 64.0<br />

Pisang 20.0 18.8 5.3 12.0 14.7 26.7 19.6 12.0 16.0 17.3 17.3 16.0 17.3 20.0<br />

Jeruk 76.0 92.0 72.0 64.0 64.0 72.0 58.8 68.8 48.0 56.0 28.0 28.0 68.0 64.0<br />

8


<strong>Pola</strong> pangan pokok berupa beras tampaknya sulit diubah walaupun rumahtangga<br />

menghadapi musim paceklik. Petani tidak akan mengganti beras sebagai pangan pokok<br />

walaupun harga beras meningkat. Persepsi ini menunjukkan bahwa apabila pemerintah<br />

menaikkan harga beras dengan tujuan agar masyarakat menurunkan konsumsi beras<br />

atau melakukan diversifikasi konsumsi pangan pokok, maka tujuan tersebut tidak<br />

sepenuhnya berhasil. Kenaikan harga beras akan berdampak kecil terhadap penurunan<br />

konsumsi beras.<br />

Tabel 5.<strong>Pola</strong> <strong>Konsumsi</strong> <strong>Pangan</strong> Pokok <strong>Rumah</strong>tangga Petani Padi di Jawa <strong>dan</strong> Luar Jawa<br />

Wilayah<br />

Frekuensi konsumsi<br />

Jenis pangan pokok<br />

Normal Paceklik Normal Paceklik<br />

Jabar<br />

-Subang 3 3 Beras Beras<br />

-Karawang 2-3 2-3 Beras Beras<br />

-Indramayu 3 3 Beras Beras<br />

Jateng<br />

-Sragen 3 3 Beras Beras<br />

-Cilacap 3 3 Beras Beras<br />

-Pati 3 3 Beras Beras<br />

-Klaten 3 3 Beras Beras<br />

Jatim<br />

-Lamongan 3 3 Beras<br />

Beras<br />

Beras +Jagung<br />

Beras +Jagung<br />

-Jember 3 3 Beras Beras<br />

-Banyuwangi 3 3 Beras Beras<br />

Sulsel<br />

-Sidrap 3 3 Beras Beras<br />

Beras<br />

Beras+Sagu<br />

-Luwu 3 3 Beras<br />

Beras+Sagu<br />

Sumut<br />

- Deli Ser<strong>dan</strong>g 3 3 Beras Beras<br />

- Asahan 3 3 Beras Beras<br />

Sejak Orde Baru, beras menjadi komoditas strategis secara politis, sehingga<br />

peranan pemerintah terhadap perkembangan produksi <strong>dan</strong> konsumsi beras sangat<br />

intensif. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan<br />

perberasan, mulai dari industri hulu sampai industri hilir. Kebijakan tersebut dilakukan<br />

secara terus menerus, termasuk diantaranya kebijakan beras untuk orang miskin yang<br />

dikenal dengan ‘raskin’ yang diberlakukan untuk semua propinsi. Dampak dari kebijakan<br />

yang bias pada komoditas beras adalah terjadinya pergeseran pola konsumsi pangan<br />

pokok masyarakat.<br />

9


<strong>Pada</strong> masa kini peranan mi instan sangat dominan di setiap rumahtangga petani,<br />

hampir semua responden menyatakan mengkonsumsi mie instan hampir setiap hari,<br />

sehingga tingkat partisipasi konsumsi mi instant juga lebih tinggi daripada ubikayu <strong>dan</strong><br />

jagung. Kecenderungan yang demikian, lagi-lagi juga karena kuatnya peranan<br />

pemerintah di masa lalu yang memberi subsidi besar pada insdustri pengolahan tepung<br />

terigu <strong>dan</strong> fasilitas kemudahan lainnya sehingga masyarakat dari belum kenal mie instan<br />

sampai menyenangi makanan tersebut. Selain itu juga gencarnya media massa dalam<br />

mempromosikan makanan tersebut, sehingga mi instan digemari oleh semua kalangan<br />

<strong>dan</strong> semua golongan umur, tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak. Terdapat<br />

kecenderungan frekuensi anak-anak lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa.<br />

Tingkat partisipasi konsumsi gula pasir juga hampir 100 persen. Hal ini karena<br />

hampir semua masyarakat mengkonsumsi gula pasir terutama sebagai bahan minuman<br />

seperti untuk minum kopi, teh <strong>dan</strong> susu. Selain itu juga digunakan sebagai bahan baku<br />

pembuatan beranekaragam jenis kue, roti <strong>dan</strong> masakan jenis lainnya. Dari sisi ketahanan<br />

pangan, tingginya partisipasi konsumsi gula pasir kurang baik karena Indonesia<br />

merupakan net importer gula pasir, dengan rasio ketergantungan impor cukup tinggi,<br />

sekitar 42 persen.<br />

Tingkat partisipasi konsumsi tempe <strong>dan</strong> tahu lebih tinggi dibandingkan dengan<br />

pangan sumber protein hewani seperti daging atau ikan. Hal ini menunjukkan bahwa<br />

tempe <strong>dan</strong> tahu dikenal cukup luas oleh masyarakat Indonesia. Banyaknya rumahtangga<br />

mengkonsumsi tahu <strong>dan</strong> tempe adalah baik ditinjau dari segi kesehatan karena pangan<br />

ini merupakan sumber protein nabati <strong>dan</strong> termasuk makanan fungsional yang sangat<br />

berguna untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Tingginya partisipasi konsumsi tahu<br />

<strong>dan</strong> tempe tidak hanya terjadi di wilayah Jawa yang mempunyai trade mark menjadikan<br />

tahu <strong>dan</strong> tempe sebagai lauk-pauk utama <strong>dan</strong> selalu ada dalam hi<strong>dan</strong>gan sehari-hari,<br />

tetapi partisipasi konsumsi tahu <strong>dan</strong> tempe juga tinggi di wilayah Luar Jawa (Sulsel <strong>dan</strong><br />

Sumut) seperti pada Tabel 4. Di antara jenis pangan sumber protein hewani, tingkat<br />

partisipasi konsumsi daging ayam paling tinggi dibandingkan dengan jenis pangan<br />

hewani yang lainnya.<br />

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa makanan pokok rumahtangga petani<br />

padi adalah beras yang dikonsumsi setiap hari. Sementara untuk jenis pangan lain baik<br />

berupa lauk-pauk terkesan makan sea<strong>dan</strong>ya. Jenis <strong>dan</strong> jumlah lauk-pauk sangat terbatas.<br />

Untuk pangan hewani terutama pangan asal ternak yang sering dikonsumsi adalah<br />

daging ayam <strong>dan</strong> telur, se<strong>dan</strong>gkan yang jarang dikonsumsi adalah daging sapi. <strong>Pada</strong><br />

10


umumnya mereka mengkonsumsi daging sapi apabila ada hajatan atau pada waktu<br />

perayaan seperti Idul Fitri atau Idul Adha.<br />

Jenis ikan yang dikonsumsi memang banyak dipengaruhi oleh pola penyediaan<br />

ikan <strong>dan</strong> kebiasaan. Sebagai gambaran, petani di Kabupaten Sidrap <strong>dan</strong> Lamongan,<br />

yang wilayahnya dekat dengan laut banyak mengkonsumsi ikan laut atau ikan segar,<br />

se<strong>dan</strong>gkan di Kabupaten Subang atau Karawang terbiasa mengkonsumsi ikan asin atau<br />

ikan awetan (seperti pin<strong>dan</strong>g) sebagai lauk-pauk utama. Sementara itu, jenis sayur<br />

mayur yang dikonsumsi juga terbatas pada sayuran yang banyak ditanam di daerah<br />

dataran rendah seperti kangkung, bayam <strong>dan</strong> kacang panjang atau sayur asem terutama<br />

di wilayah Jawa Barat. Jarang sekali rumahtangga mengkonsumsi sayur sop-sop-an<br />

yang terdiri dari kubis, wortel, selederi <strong>dan</strong> lain-lain.<br />

Tingkat partisipasi konsumsi sayuran yang paling tinggi adalah bayam <strong>dan</strong><br />

kangkung, sementara untuk buah-buahan adalah jeruk (Tabel 4.). Jeruk banyak<br />

dikonsumsi oleh rumahtangga, karena memang jeruk banyak tersedia di pasaran dalam<br />

ukuran yang beragam <strong>dan</strong> harga yang beragam pula. <strong>Pada</strong> umumnya jeruk yang<br />

dikonsumsi adalah jeruk yang ukurannya kecil dengan harga sebesar Rp.2000-Rp.4000<br />

per kilogram. Jenis buah-buahan yang dikonsumsi tergantung dari apa yang dihasilkan<br />

oleh petani terutama dari lahan pekarangannya <strong>dan</strong> tentu saja bersifat musiman.<br />

Sebagai produsen padi, pada umumnya rumahtangga contoh mengkonsumsi<br />

beras berasal dari hasil sendiri, namun demikian proporsi jumlah beras yang berasal dari<br />

dari hasil sendiri bervariasi antar lokasi yakni berkisar 38 – 63 persen di Jawa, proporsi<br />

tersebut lebih rendah dibanding dil Luar Jawa yang mencapai 53-94 persen (Tabel 6 <strong>dan</strong><br />

7). Perbedaan tersebut antara lain karena di luar Jawa rataan pengusaan lahan sawah<br />

relatif lebih besar, selain itu pola panen tebasan yang banyak ditemukan di Jawa<br />

menyebabkan petani menerima hasil dalam bentuk uang, sehingga tidak ada gabah yang<br />

dibawa ke rumah.<br />

Sementara itu pada sebagian rumahtangga menyisihkan sebagian lahan untuk<br />

dipanen sendiri sebagai ca<strong>dan</strong>gan kebutuhan konsumsi sendiri, kasus di Desa Simpar,<br />

Kabupaten Subang dimana sebagian besar petani menanam jenis padi ketan, sehingga<br />

untuk kebutuhan konsumsi biasanya petani membeli gabah atau menukar sebagian hasil<br />

panen ketan tersebut dengan gabah (beras). Selain hasil sendiri rumahtangga memperoleh<br />

beras dari membeli baik melalui raskin atau di pasar, hanya sebagian kecil terutama<br />

di Jawa yang memperoleh dari pemberian atau lainnya, se<strong>dan</strong>gkan di Luar Jawa tidak<br />

ditemukan.<br />

11


Tabel 6. <strong>Pola</strong> Pengadaan <strong>Pangan</strong> Pokok (Beras) <strong>Rumah</strong>tangga Petani Padi di Jawa (%)<br />

Asal<br />

perolehan<br />

-Produksi<br />

sendiri<br />

-Membeli<br />

raskin<br />

-Membeli di<br />

pasar<br />

-Pemberian/<br />

Lainnya<br />

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur<br />

Tugu Simpar<br />

Sin<strong>dan</strong>g Tambah Dema Mojo Pa<strong>dan</strong>g Pado Sunge Kali<br />

sari Mulyo ngan rejo sari masan geneng gondo<br />

59.6 48.6 43.8 38.3 63.2 63.3 38.2 41.9 62.5 50.0<br />

28.6 28.6 31.3 27.7 15.8 3.3 20.6 9.7 17.5 2.8<br />

4.4 20.0 20.8 19.2 21.1 26.7 23.5 41.9 12.5 41.7<br />

0 2.7 4.2 14.9 0.0 6.7 17.7 6.5 7.5 5. 6<br />

Tabel 7. <strong>Pola</strong> Pengadaan <strong>Pangan</strong> Pokok (Beras) <strong>Rumah</strong>tangga Petani Padi di Luar Jawa (%)<br />

Sulawesi Selatan<br />

Sumatera Utara<br />

Asal perolehan Carawali Salujambu Lidah Tanah Kwala Gunung<br />

-Produksi sendiri 94.4 54.6 53.1 62.5<br />

-Membeli raskin 5.6 30.3 15.6 20.0<br />

-Membeli di pasar 0.0 15.1 31.3 17.5<br />

-Pemberian/ Lainnya 0.0 0.0 0.0 0.0<br />

12


Di Desa Carawali, Kabupaten Sidrap bahkan dominan berasal dari produksi<br />

sendiri, hal ini wajar karena rata-rata penguasaan lahan sawah relatif luas, hanya sekitar<br />

5.56 persen di luar produksi sendiri yakni berasal dari raskin, ini terbatas juga pada<br />

rumahtangga yang kurang mampu atau relatif miskin, se<strong>dan</strong>gkan di Salujambu, Luwu<br />

proporsi dari raskin cukup besar (30%), hal ini bukan berarti sebagian besar<br />

rumahtangga miskin, tetapi pendistribusian beras miskin (raskin) tidak terbatas pada<br />

rumahtangga miskin bahkan di beberapa lokasi pendistribusian raskin cenderung<br />

diratakan untuk semua warga.<br />

<strong>Konsumsi</strong> Energi <strong>dan</strong> Protein<br />

Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional <strong>Pangan</strong> <strong>dan</strong> Gizi (WKNPG) VIII, 2004,<br />

tingkat kecukupan konsumsi energi <strong>dan</strong> protein adalah 2200 Kalori/kapita/hari (AKE)<br />

<strong>dan</strong> 57 gram/kapita/hari (AKP). Mengacu pada standar anjuran tersebut <strong>dan</strong> data pada<br />

Tabel 8, terlihat tingkat konsumsi energi rumahtangga petani padi di Jawa 60 persen (6<br />

desa dari 10 desa) masih dibawah stadar kecukupan. Wilayah yang tingkat kecukupan<br />

energio kurang adalah: Cilacap, Pati, Lamongan, Karawang. Banyuwangi <strong>dan</strong><br />

Indramayu se<strong>dan</strong>gkan tingkat kecukupan energi berkisar 78 – 99 persen. Sementara di<br />

luar jawa kondisinya lebih baik, dimana 50 persen masih dibawah stadar yakni Desa<br />

Kwala Gunung (Kabupaten Asahan) <strong>dan</strong> Desa Carawali (Sidrap) masing-masing tingkat<br />

kecukupan energi 84 <strong>dan</strong> 99 persen.<br />

<strong>Pada</strong> umumnya pada rumahtangga petani padi, beras merupakan pangan pokok<br />

yang dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi maka sumbang yang menyumbang energi<br />

terbesar adalah berasal dari kelompok padi-padian yakni berkisar 44 – 69 persen.<br />

Sementara itu hasil rumusan Semiloka Penyusunan Kebijakan Perberasan (2000)<br />

menyebutkan bahwa beras menyumbang sekitar 60-65 persen dari total konsumsi<br />

energi, berarti sumbangan padi-padian terhadap konsumsi energi di lokasi contoh<br />

dibawah kisaran tersebut, kecuali yang ditemukan di Karawang (66 %) <strong>dan</strong> Luwu (69<br />

%).<br />

Berbeda dengan data Susenas yang menyatakan bahwa rata-rata tingkat konsumsi<br />

protein d perdesaan Indonesia sudah melebihi tingkat kecukupan yang dianjurkan,<br />

sementara ini hasil penelitian masih ditemukan rumahtangga petani padi dengan tingkat<br />

konsumsi protein dibawah angka kecukupan yang dianjurkan, yakni untuk di Jawa<br />

antara lain ditemukan di Cilacap (86 %), Karawang (96 %), Pati (99 %) <strong>dan</strong> Lamongan<br />

(88 %), se<strong>dan</strong>gkan di Luar Jawa ditemukan di Luwu (88 %) <strong>dan</strong> Asahan (83 %).<br />

Fenomena di atas menunjukkan ada kecenderungan bahwa bila tingkat konsumsi protein<br />

13


kurang diikuti juga dengan tingkat konsumsi energi kurang. Beberapa wilayah lainnya<br />

menunjukkan bahwa tingkat konsumsi protein sudah melebihi tingkat kecukupan yang<br />

dianjurkan, bahkan yang ditemukan di Ser<strong>dan</strong>g Pedagai lebih dari 200 persen.<br />

Fenomena lain bahwa tingkat konsumsi protein sudah melebihi yang dianjurkan,<br />

se<strong>dan</strong>gkan tingkat konsumsi energi masih kurang sebagai contoh yang ditemukan di<br />

Sidrap, Banyuwangi <strong>dan</strong> Indramayu. <strong>Pola</strong> konsumsi seperti tersebut tidak baik <strong>dan</strong><br />

mahal, karena apabila energi yang dikonsumsi belum sesuai dengan kebutuhan yang<br />

dianjurkan maka protein akan dibakar oleh tubuh untuk menutupi kekurangan energi.<br />

<strong>Pada</strong>hal harga per satuan energi yang berasal dari protein lebih mahal dibandingkan<br />

dengan energi yang berasal dari pangan sumber karbohidrat atau pangan pokok seperti<br />

beras, ubikayu <strong>dan</strong> lain-lain.<br />

Tabel 8. Tingkat <strong>Konsumsi</strong> Energi <strong>dan</strong> Protein<br />

Wilayah<br />

Energi<br />

(Kkal/kap/hr)<br />

Pangsa<br />

Energi Padipadian<br />

(%)<br />

Protein<br />

(gr/kap/hr)<br />

Pangsa<br />

Protein<br />

Hewani (%)<br />

Jabar<br />

-Subang 3594 47.50 98.22 37.87<br />

-Karawang 1968 66.53 54.69 31.93<br />

-Indramayu 2172 53.14 74.00 31.50<br />

Jateng<br />

-Sragen 2970 43.45 82.88 28.69<br />

-Cilacap 1711 58.99 49.13 23.96<br />

-Pati 1875 51.13 56.50 32.00<br />

-Klaten 2207 49.74 69.50 33.12<br />

Jatim<br />

-Lamongan 1957 52.39 50.03 25.94<br />

-Jember 2384 50.10 72.18 19.86<br />

-Banyuwangi 1975 57.99 72.18 19.86<br />

Sulsel<br />

-Sidrap 2178 45.81 75.31 41.00<br />

-Luwu 2443 69.14 50.36 21.74<br />

Sumut<br />

- Deli Ser<strong>dan</strong>g 3560 44.30 135.36 39.55<br />

- Asahan 1853 56.09 47.48 27.19<br />

14


KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN<br />

1. Berdasarkan pangsa pengeluaran pangan, tingkat kesejahteraan rumahtangga petani<br />

padi di Propinsi Jawa Barat <strong>dan</strong> Jawa Tengah lebih baik dibandingkan dengan di<br />

propinsi yang lainnya. <strong>Rumah</strong>tangga petani padi di Desa Demangan, Kabupaten<br />

Klaten, Jawa Tengah paling sejahtera.<br />

2. <strong>Pengeluaran</strong> pangan rumahtangga terbesar adalah pengeluaran makanan pokok,<br />

kemudian diikuti dengan pengeluaran tembakau/sirih <strong>dan</strong> pangan hewani. Masih<br />

rendahnya pengeluaran untuk makanan/minuman jadi menunjukkan bahwa pola<br />

pangan rumahtangga petani masih lebih sederhana dibandingkan dengan<br />

rumahtangga secara umum.<br />

3. Beras merupakan pangan pokok petani padi <strong>dan</strong> bersifat tunggal. Tingkat partisipasi<br />

konsumsi beras hampir mencapai 100 persen. Sementara untuk jagung <strong>dan</strong> ubikayu<br />

relatif kecil, bahkan lebih kecil dari tingkat partisipasi mie. <strong>Pola</strong> pangan pokok sagu<br />

di Kabupaten Luwu <strong>dan</strong> jagung di Kabupaten Lamongan masih ada, namun kedua<br />

pangan ini hanya dikonsumsi dalam jumlah kecil <strong>dan</strong> lebih bersifat karena a<strong>dan</strong>ya<br />

ikatan emosional.<br />

4. Karena sebagai produsen padi, sebagian besar beras yang dikonsumsi berasal dari<br />

hasil sendiri, pangsa beras yang dikonsumsi dari hasil sendiri lebih tinggi di luar<br />

Jawa daripada di Jawa Perbedaan tersebut karena di luar Jawa rataan pengusaan<br />

lahan sawah relatif lebih besar, <strong>dan</strong> pola panen tebasan yang banyak ditemukan di<br />

Jawa menyebabkan petani menerima hasil dalam bentuk uang, sehingga tidak ada<br />

gabah yang dibawa ke rumah.<br />

5. Tingkat konsumsi energi <strong>dan</strong> protein bervariasi antar desa atau wilayah, namun pada<br />

umumnya masih dibawah angka kecukupan. Tingkat konsumsi energi rumahtangga<br />

petani padi di Jawa lebih rendah daripada di Luar Jawa. Sumbangan energi terbesar<br />

dari kelompok padi-padian.<br />

6. Implikasinya adalah masih diperlukan upaya perbaikan pola konsumsi pangan pada<br />

rumahtangga petani padi secara terus menerus <strong>dan</strong> terarah agar pola pangannya<br />

sesuai dengan kaidah gizi <strong>dan</strong> kesehatan Upaya tersebut dilakukan melalui Komunikasi<br />

Informasi Edukasi (KIE) dengan memanfaatkan berbagai media seperti penyuluhan,<br />

leaflet, demonstrasi <strong>dan</strong> lain-lain.<br />

15


DAFTAR PUSTAKA<br />

Ariani, M. 2003. Dinamika <strong>Konsumsi</strong> Beras <strong>Rumah</strong>tangga <strong>dan</strong> Kaitannya dengan<br />

Diversifikasi <strong>Konsumsi</strong> <strong>Pangan</strong>. Dalam Ekonomi Padi <strong>dan</strong> Beras Indonesia.<br />

Penyunting : Kasryno, et al. Ba<strong>dan</strong> Penelitian <strong>dan</strong> pengembangan Pertanian.<br />

Departemen Pertanian.<br />

Dewan Ketahanan <strong>Pangan</strong>. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan <strong>Pangan</strong> 2006-2009.<br />

Jakarta.<br />

Martianto, D. <strong>dan</strong> M. Ariani. 2004. Analisis Perubahan <strong>Konsumsi</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pola</strong> <strong>Konsumsi</strong><br />

<strong>Pangan</strong> Masyarakat Dalam Dekade Terakhir. Dalam Widyakarya Nasional<br />

<strong>Pangan</strong> <strong>dan</strong> Gizi VIII ”Ketahanan <strong>Pangan</strong> <strong>dan</strong> Gizi di Era Otonomi Daerah <strong>dan</strong><br />

Globalisasi”. Jakarta, 17-19 Mei 2004.<br />

Pusat <strong>Konsumsi</strong> <strong>dan</strong> Keamanan <strong>Pangan</strong>. 2006. Direktori Pengembangan <strong>Konsumsi</strong><br />

<strong>Pangan</strong>. Ba<strong>dan</strong> Ketahanan <strong>Pangan</strong>. Departemen Pertanian. Jakarta.<br />

Saliem, H.P.,M. Ariani, Y. Marisa <strong>dan</strong> T.B.Purwantini. 2002. Analisis Kerawanan<br />

<strong>Pangan</strong> Wilayah Dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Laporan Hasil<br />

Penelitian. Pusat Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor<br />

Sayogyo. 2002. Pertanian <strong>dan</strong> kemiskinan. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Tahun I No.<br />

2 Jakarta.<br />

16

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!