Prosiding Workshop Nasional Jakarta 24 Juli 2007 - ITTO
Prosiding Workshop Nasional Jakarta 24 Juli 2007 - ITTO
Prosiding Workshop Nasional Jakarta 24 Juli 2007 - ITTO
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
amin sehingga laju kepunahan jenis ini dapat dikurangi. Dalam makalah ini penulis<br />
mencoba mengemukakan prosedur dan proses pengusulan penetapan kuota tebang ramin<br />
berdasarkan informasi dan data ilmiah berkaitan dengan implementasi Appendix 11 CITES di<br />
Indonesia pada suatu unit pengelolaan hutan.<br />
BIOLOGI RAMIN<br />
Ramin adalah nama perdagangan yang diberikan pad a beberapa jenis pohon dari<br />
marga Gonystylus anggota suku Thymeleaceae. Catatan terakhir dari berbagai publikasi<br />
menyebutkan bahwa sedikitnya ada 30 jenis termasuk dcilam marga Gonystylus (Steenis<br />
1971, Soerianegara 1994). Dari ke 30 jenis tersebut hanya 10 jenis berupa pohon penghasil<br />
kayu yang mempunyai nama lokal ramin. Dari 10 jenis tersebut yang paling urn urn disebut<br />
ramin dalam dunia perdagangan adalah G. bancanus. Jenis yang dikenal sebagai penyusun<br />
utama komunitas hutan rawa gambut Kalimantan. Semenanjung Malaka dan Sumatera ini<br />
memiliki berbagai keunikan, disamping juga dikenal sebagai penghasil kayu yang bernilai<br />
tinggi. Dleh karena itu tidak mengherankan apabila pohon ramin menjadi target utama dalam<br />
kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu alam (IUPHHKA) rawa gambut.<br />
Ramin tergolong jenis pohon tumbuh lambat berukuran sedang-besar, berbatang<br />
lurus silidris, tinggi total bisa mencapai 40-50 m dengan diameter batang setinggi dada<br />
mencapai 120 cm. Kulit luarnya berwarna abu-abu hingga coklat kemerahan dengan bercakbercak<br />
putih, mengelupas tipis dan beralur dangkal. Kulit bagian dalamnya bervvarna putih<br />
kekuningan, bermiang yang menimbulkan rasa gatal-gatal. Kayu berwarna putih kekuningan<br />
bila baru ditebang dan berubah putih setelah kering. Tekstur dan serat kayu ramin sangat<br />
halus, mudah dikerjakan sehingga banyak dipakai untuk berbagai keperluan. Tingkat<br />
keawetan kayu ramin tergolong sangat rendah yakni kelas awet V diantaranya sangat<br />
mudah diserang bubuk kayu basah (blue stain). Dleh karena itu, dalam pemanfaatannya,<br />
kayu ramin harus melalui pengawetan terlebih dahulu.<br />
Musim berbunga ramin dilaporkan tidak tentu, umumnya berlangsung pada bulan<br />
Februari - Maret, tetapi juga bulan Mei dan Oktober, dan musim buah antara bulan Mei - Juni<br />
hingga Nopember (Airy Shaw, 1954). Alrasyid & Soerianegara (1978) melaporkan bahwa<br />
pohon ramin berbuah dalam bulan April - Mei. Buah ramin bulat memanjang - oval,<br />
berukuran 4 x 3,5 cm, memiliki tiga rongga. Setiap rongga berisi satu biji. Saat masak, buah<br />
akan pecah dan bagian dalamnya berwarna kemerah-merahan. Buah ramin yang masak,<br />
sangat disukai oleh satwa hutan terutama burung rangkong dan tupai. Dleh karena itu,<br />
pemencarannya ke tempat yang lebih jauh diduga atas bantuan burung. Biji ramin sukar<br />
ditangani karena cepat busuk, memiliki viabilitas rendah. Sifat demikian umum dimiliki oleh<br />
jenis-jenis pohon hutan tropis dan biasa dikenal sebagai biji rekalsitran. Dengan demikian,<br />
persentase perkecambahan biji ramin di alam relatif rendah.<br />
Kecambah dan semai ramin sangat membutuhkan naungan, yakni mencapai 90%<br />
dari sinar matahari langsung. Semai ramin yang mengalami penyinaran matahari langsung<br />
akan terhambat pertumbuhannya. Daun akan tampak pucat dan semai kelihatan merana<br />
Dalam kondisi hutan yang utuh, populasi anakan ramin bisa mencapai 4000 individu/ha<br />
(Alrasyid & Soerianegara 1978). Meskipun secara alami populasi anakan ramin di hutan<br />
yang belum terganggu cukup banyak, tetapi penanaman asal bibit cabutan sangat tidak<br />
dianjurkan mengingat tingkat kematian bibit asal cabutan lebih tinggi dibanding bibit asal<br />
stump dan penyemaian biji.<br />
16 - PROSIDING WORKSHOP NASIONAL