6. PIDATO KETUA MAHKAMAH AGUNG - PT Bandung
6. PIDATO KETUA MAHKAMAH AGUNG - PT Bandung
6. PIDATO KETUA MAHKAMAH AGUNG - PT Bandung
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>PIDATO</strong> <strong>KETUA</strong> <strong>MAHKAMAH</strong> <strong>AGUNG</strong><br />
PADA PEMBUKAAN RAPAT KERJA NASIONAL<br />
<strong>KETUA</strong> <strong>MAHKAMAH</strong> <strong>AGUNG</strong> DENGAN<br />
PENGADILAN TINGKAT BANDING<br />
SE INDONESIA
<strong>KETUA</strong> <strong>MAHKAMAH</strong> <strong>AGUNG</strong><br />
REPUBLIK INDONESIA<br />
<strong>PIDATO</strong> <strong>KETUA</strong> <strong>MAHKAMAH</strong> <strong>AGUNG</strong><br />
PADA PEMBUKAAN RAPAT KERJA NASIONAL<br />
<strong>KETUA</strong> <strong>MAHKAMAH</strong> <strong>AGUNG</strong> DENGAN<br />
PENGADILAN TINGKAT BANDING<br />
SE INDONESIA<br />
Manado, 29 Oktober 2012<br />
Tema<br />
Pemantapan Sistem Kamar untuk Mewujudkan Kesatuan Hukum dan<br />
Meningkatkan Profesionalisme Hakim<br />
Bismillaahirrahmaanirrahiim<br />
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh, selamat pagi dan salam<br />
sejahtera untuk kita semua ..<br />
Yang Mulia,<br />
Ø Para Wakil Ketua Mahkamah Agung RI<br />
Ø Para Ketua Muda Mahkamah Agung RI<br />
Ø Para Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung RI<br />
Yang Terhormat,<br />
Ø Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Sulawesi Utara<br />
Ø Wakil Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Sulawesi Utara<br />
Ø Ketua DPRD Tingkat I Propinsi Sulawesi Utara<br />
Ø Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Tingkat I Propinsi Sulawesi Utara,<br />
Ø Kakanwil Kementerian Hukum dan HAM Propinsi Sulawesi Utara<br />
Ø Walikota Manado<br />
1
Ø Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Tingkat II Kotamadya Manado<br />
Ø Walikota Bitung<br />
Yang saya cintai para Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tingkat Banding, dari<br />
empat lingkungan peradilan berikut para Panitera / Sekretaris,<br />
Hadirin, peninjau, dan khalayak yang saya hormati,<br />
Tidak terasa bahwa Rakernas akbar peradilan tahun 2011 di Jakarta telah<br />
berlalu genap satu tahun, dan Rakernas kali ini adalah Rakernas ke-tiga sejak<br />
Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 diluncurkan di Rakernas<br />
Palembang. Saya rasa kita semua setuju, bahwa pada dasarnya waktu selalu<br />
berada didepan mereka yang tidak awas dan tidak waspada, serta sering<br />
membuang-buang waktu mereka dari kesempatan berbuat kebaikan, baik bagi<br />
diri mereka, organisasi, dan bangsa ini.<br />
Masih terngiang di kepala saya, Visi yang dicanangkan pada rakernas<br />
Palembang 2010, yaitu Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung<br />
melalui pelaksanaan empat Misi, yaitu (1) Menjaga kemandirian badan peradilan;<br />
(2) Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan; (3)<br />
Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan (4) Meningkatkan<br />
kredibilitas dan transparansi badan peradilan.<br />
Selain itu perlu saya ingatkan kembali akan nilai-nilai yang kita junjung dalam<br />
mewujudkan visi dan misi kita ini, yaitu (1) Kemandirian kekuasaan kehakiman;<br />
(2) Integritas dan Kejujuran; (3) Akuntabilitas; (4) Responsibilitas; (5)<br />
Keterbukaan; (6) Ketidak-berpihakan; dan (7) Perlakuan yang sama di hadapan<br />
hukum.<br />
Terdapat 7 (tujuh) area yang perlu kita fokuskan untuk mewujudkan visi dan misi<br />
pengadilan, yaitu (1) adanya Kepemimpinan (leadership) yang tinggi dan<br />
manajemen pengadilan yang responsif, (2) adanya; Kebijakan-kebijakan<br />
pengadilan yang beroritentasi pada pelayanan publik dan akses pada keadilan;<br />
(3) adanya Sumberdaya manusia yang berkualitas dan berintegritas serta sarana<br />
prasarana dan anggaran yang memadi; (4) adanya Penyelenggaraan<br />
persidangan yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel; (5) terpenuhinya<br />
kebutuhan dan tercapainya kepuasan pengguna pengadilan; (6) tersedianya<br />
2
pelayanan pengadilan yang terjangkau; serta (7) meningkatnya kepercayaan dan<br />
keyakinan masyarakat pada pengadilan.<br />
Adalah waktu yang tepat pula saya rasa, apabila kesempatan Rakernas ini kita<br />
juga melakukan refleksi ulang terhadap sejauh mana kita semua telah<br />
menggunakan waktu dan sumber daya kita selama ini dengan bijak demi<br />
perwujudan visi dan misi organisasi kita. Saya pikir ini kesempatan yang sangat<br />
baik untuk memikirkan ulang, tiga tahun telah berlalu, apakah kita puas dengan<br />
bagaimana cara kita menggunakan waktu dan semua daya upaya kita dalam<br />
mewujudkan visi dan misi badan peradilan?<br />
Saudara-saudara sekalian,<br />
Rakernas kali ini mengambil tajuk “Pemantapan Sistem Kamar untuk<br />
Mewujudkan Kesatuan Hukum dan Meningkatkan Profesionalisme Hakim”. Perlu<br />
dicatat, bahwa untuk mewujudkan visi Badan Peradilan Indonesia yang Agung<br />
yang didukung dengan kepecayaan publik yang tinggi diperlukan adanya<br />
pembenahan menyeluruh atas cara kerja sistem peradilan, atau lazimnya<br />
dikenal dengan istilah business process reengineering, sehingga cara kerja dan<br />
pelayanan peradilan kita bisa menjadi lebih optimal.<br />
Salah satu elemen penting dalam business process reengineering ini adalah<br />
sistem kamar yang efektif dan konsisten, yang akan menjamin kepastian hukum<br />
dan keadilan. Sistem kamar telah efektif dimulai sejak awal 2012. Sampai saat ini<br />
telah cukup banyak peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, diawali<br />
dengan SK KMA Nomor 142 tahun 2011 tentang Pedoman Implementasi Sistem<br />
Kamar disahkan pada September 2011, infrastruktur sistem kamar terus<br />
disempurnakan dengan antara lain, SK KMA 143 tahun 2011 tentang<br />
Penunjukan Ketua Kamar Dalam Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung<br />
Republik Indonesia, SK KMA Nomor 144 tahun 2011 tentang Penunjukan Hakim<br />
Agung Sebagai Anggota Kamar Perkara Dalam Sistem Kamar Pada Mahkamah<br />
Agung Republik Indonesia, SK KMA Nomor 164 tahun 2011 tantang Pemberian<br />
Nama Tim Pada Kamar-Kamar Perkara Pada Mahkamah Agung Republik<br />
Indonesia, dan terakhir SK KMA 142 sendiri disempurnakan melalui SK KMA<br />
Nomor 017 tahun 2012 tentang Perubahan Pertama SK KMA Nomor<br />
142/KMA/SK/IX/2011 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar Pada<br />
Mahkamah Agung. Kesemuanya menunjukkan sebagai komitmen Mahkamah<br />
3
Agung untuk terus mempersiapkan diri untuk melaksanakan sistem kamar<br />
dengan seoptimal mungkin dan berkelanjutan.<br />
Dalam melakukan business process re-engineering ini, Mahkamah Agung<br />
menetapkan 4 (empat) prioritas program di sektor teknis peradilan yang harus<br />
dituntaskan pada tahun 2014. Secara lengkap, prioritas pembaruan pada sektor<br />
teknis peradilan meliputi Pembatasan Perkara, Penyederhanaan Proses<br />
Berperkara, Penguatan Akses pada Keadilan dan Penerapan Sistem Kamar<br />
secara Konsisten.<br />
Sistem Kamar<br />
Saudara-saudara sekalian,<br />
Pelaksanaan sistem kamar pada prinsipnya bertujuan untuk mewujudkan<br />
keadilan melalui konsistensi putusan dengan meningkatkan profesionalisme<br />
hakim dalam memutus. Mahkamah Agung melakukan hal ini melalui<br />
pengelompokan hakim berdasarkan asal lingkungan peradilan, pengalaman,<br />
dan/atau latar belakang pendidikan formal, distribusi perkara yang lebih ketat<br />
kepada kamar yang relevan, proses pengambilan keputusan yang lebih kolektif<br />
serta proses yang lebih transparan dan akuntabel dalam hal ada ketidak<br />
sepakatan diantara hakim majelis.<br />
Dengan sistem ini maka perkara-perkara sejenis akan ditangani oleh kelompok<br />
hakim agung yang sama, dan dengan sendirinya diharapkan dapat menekan<br />
disparitas antar putusan dan mendorong percepatan proses pemeriksaan<br />
perkara itu sendiri, yang pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan publik<br />
dan citra badan peradilan.<br />
Kita harus memahami dimensi pentingnya memberikan kepastian hukum yang<br />
berkeadilan dalam proses peradilan. Ketidakpastian hukum membawa ongkos<br />
sosial yang sangat tinggi, baik bagi individu maupun bagi negara. Tidak adanya<br />
kepastian mengenai apa yang akan diputus pengadilan terhadap suatu masalah<br />
berpotensi untuk menjadikan proses peradilan menjadi sedemikian panjang,<br />
karena para pihak akan selalu terdorong untuk mencoba melakukan upaya<br />
hukum, ketimbang menerima dan mempercayai putusan pengadilan tingkat<br />
pertama maupun banding. Dalam banyak kesempatan diskusi, banyak pihak<br />
memandang bahwa Pengadilan pada tingkat kasasi/ Peninjauan Kembali adalah<br />
4
simbol pemenuhan hak asasi, dimana hal ini bergeser dari ide dasar<br />
pembentukan pengadilan kasasi itu sendiri, yaitu menyelesaikan sengketa<br />
mengenai pertanyaan hukum (judex juris-question of law), bukan pertanyaan<br />
mengenai fakta (judex facti- question of fact), sehingga dapat menjaga dan<br />
memelihara kesatuan hukum. Pemikiran seperti ini akan cenderung<br />
memperlambat penyelesaian perkara, yang artinya makin lama pula pencari<br />
keadilan memperoleh haknya, yang apabila tidak diwaspadai akan berpotensi<br />
menciptakan lahan subur bagi para pemburu rente yang hanya bertujuan<br />
memperoleh keuntungan pribadi dari panjangnya proses berperkara. Adagium<br />
‘justice delayed justice denied’ (penundaan keadilan adalah penolakan keadilan)<br />
benar-benar akan terjadi.<br />
Sistem kamar dilaksanakan melalui pembangunan dua hal, yaitu mekanisme<br />
koordinasi dan mekanisme pengelolaan pengetahuan yang keduanya bertujuan<br />
untuk mencapai kesatuan hukum. SK sistem kamar memperkenalkan<br />
mekanisme rapat pleno kamar. Rapat pleno kamar penting dalam menjamin<br />
konsistensi, karena disinilah forum pembentukan preseden terjadi.<br />
Perlu dicatat, bahwa mekanisme pleno ini pun tidak sepenuhnya baru, karena<br />
pada jaman awal periode Mahkamah Agung pada tahun 60an sampai awal 70an,<br />
para hakim agung-pun bersidang secara pleno, hal mana masih dimungkinkan,<br />
karena jumlah perkara yang sedikit, sehingga institusionalisasi rapat pleno kamar<br />
merupakan elemen yang sangat penting bagi kepastian hukum dan implementasi<br />
sistem kamar. Selain itu mekanisme pleno ini pun sudah di kenal di negaranegara<br />
lainnya yang menerapkan sistem kamar pada Mahkamah Agungnya.<br />
Rapat pleno kamar sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu Rapat Pleno Rutin dan<br />
Rapat Pleno Perkara. Rapat pleno Rutin wajib dihadiri oleh seluruh Hakim<br />
Agung, Panitera, Panitera Muda, Panitera Muda Tim, Panitera Pengganti dan<br />
Koordinator Sub Kamar di kamar tersebut. Sementara itu Rapat Pleno Perkara<br />
dilaksanakan pada kamar masing-masing untuk membahas perkara-perkara<br />
sebagai berikut:<br />
1. Peninjauan Kembali (PK) yang akan membatalkan putusan tingkat<br />
kasasi,<br />
2. Perkara yang pemeriksaannya dilakukan secara terpisah dan diperiksa<br />
oleh majelis hakim yang berbeda dan kemungkinan penjatuhan putusan<br />
yang berbeda,<br />
5
3. Dalam hal terdapat dua perkara atau lebih yang memiliki permasalahan<br />
hukum yang serupa yang ditangani oleh Majelis Hakim Agung yang<br />
berbeda dengan pendapat hukum yang berbeda atau saling<br />
bertentangan,<br />
4. Memerlukan penafsiran yang lebih luas atas suatu permasalahan hukum,<br />
5. Adanya perubahan terhadap jurisprudensi tetap,<br />
<strong>6.</strong> Ketua Majelis yang berbeda pendapat dengan dua orang anggotanya<br />
dalam perkara yang menarik perhatian masyarakat, atau<br />
7. Alasan lain yang dianggap penting.<br />
Mahkamah Agung memandang penting masalah kepastian hukum ini, namun di<br />
sisi lain juga memahami bahwa ada masalah kemandirian yang tidak bisa begitu<br />
saja dikesampingkan, sehingga sifat kepatuhan majelis terhadap hasil keputusan<br />
pleno adalah bersifat selektif, dalam aturan sistem kamar ini disebutkan bahwa<br />
‘Putusan Rapat Pleno Perkara sedapat-dapatnya ditaati oleh majelis hakim’.<br />
Tentunya jalan seperti dissenting opinion sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU<br />
Mahkamah Agung masih bisa ditempuh oleh salah seorang hakim yang tidak<br />
setuju terhadap hasil putusan Rapat Pleno Perkara, namun dalam hal<br />
keseluruhan majelis tidak setuju terhadap hasil Rapat Pleno Perkara, maka<br />
anggota majelis yang tidak setuju dengan putusan Rapat Pleno Perkara, dapat<br />
mengajukan pengunduran diri atas perkara tersebut dan terhadap perkara<br />
tersebut akan ditunjuk majelis hakim baru.<br />
Selain Rapat Pleno Kamar, maka sistem ini juga memungkinkan dilakukannya<br />
Rapat Pleno Antar Kamar, dalam hal terdapat perkara yang mengandung<br />
masalah hukum yang menjadi wilayah 2 (dua) kamar atau lebih sekaligus. Rapat<br />
Pleno Antar Kamar diusulkan oleh salah satu Ketua Kamar dan disampaikan<br />
kepada Ketua Mahkamah Agung; atau ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung<br />
untuk perkara permohonan grasi, permohonan fatwa, hak uji materil, dan<br />
sengketa kewenangan antar lingkungan peradilan. Rapat Pleno Antar Kamar<br />
dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung atau Wakil Ketua Mahkamah Agung<br />
Bidang Yudisial.<br />
Dalam konteks pengelolaan pengetahuan (knowledge management), bagi setiap<br />
perkara yang putusannya mengabulkan permohonan kasasi, maka Panitera<br />
Pengganti wajib menyusun risalah putusan dan memasukkannya dalam<br />
database elektronik. Risalah merupakan hal yang penting, karena hal ini<br />
6
merupakan elemen pendukung dari konsistensi, karena dari sinilah pengetahuan<br />
bisa disimpan, dikelola, dan dibagi ke para hakim dan siapapun yang<br />
memerlukan.<br />
Selama ini Mahkamah Agung memang telah melakukan capaian luar biasa<br />
dengan publikasi putusan, namun ternyata itu belum cukup. Dengan puluhan ribu<br />
putusan tersedia untuk diakses, timbul masalah lain, yaitu membedakan mana<br />
putusan yang lebih penting dibanding lainnya, sehingga perlu diketahui oleh<br />
hakim lain. Pada organisasi lama, kita memiliki Kepala Seksi Kaedah Hukum<br />
pada masing-masing Direktorat Perkara sebagai penanggung jawab pengelolaan<br />
pengetahuan ini, namun tupoksi ini tidak muncul di struktur baru, yang dalam hal<br />
ini perlu dipikirkan, siapa di kepaniteraan Mahkamah Agung bertanggung jawab<br />
hal ini akan dijalankan, dan bagaimana dukungan sumber dayanya.<br />
Saudara saudara sekalian,<br />
Bulan September lalu ada dua kebijakan penting yang saya tandatangani terkait<br />
dengan sistem kamar, yaitu SK KMA Nomor 106/KMA/SK/IX/2012 tentang<br />
Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan Rencana Aksi Implementasi Sistem<br />
Kamar Pada Mahkamah Agung RI. Pokja ini memiliki tiga mandat, sebagai<br />
berikut :<br />
1. Melaksanakan kajian secara komprehensif dalam rangka menyusun<br />
kebijakan yang diperlukan untuk penerapan Sistem Kamar; dan<br />
2. Menyusun rekomendasi rencana aksi implementasi sistem kamar di<br />
Mahkamah Agung sampai dengan tahun 2014;<br />
3. Melaksanakan kegiatan sesuai dengan rencana kerja yang sudah disepakati.<br />
Pembentukan pokja ini dimaksudkan agar pelaksanaan sistem kamar yang<br />
dicanangkan sejak awal, bisa sepenuhnya dipetakan pelaksanaannya, dan pada<br />
gilirannya dapat terlaksana dengan baik dan sesuai harapan kita semua.<br />
Kebijakan kedua adalah SEMA Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum<br />
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan<br />
Tugas Bagi Pengadilan. SEMA ini mengukuhkan bahwa hasil rapat pleno kamar,<br />
selain menjadi pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung, juga<br />
harus menjadi pedoman pelaksanaan tugas dalam proses penanganan perkara<br />
7
di pengadilan tingkat pertama dan banding sepanjang substansi rumusannya<br />
berkenaan dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan banding.<br />
Sehingga hal ini perlu dipahami oleh semua jajaran pimpinan dan segenap<br />
aparat peradilan, bahwa melalui sistem kamar, Mahkamah Agung mengharapkan<br />
agar apa yang dikerjakan oleh Kamar benar-benar dipahami sepenuhnya di<br />
lapangan dan benar-benar terefleksikan dalam proses peradilan tingkat pertama<br />
dan banding. Selanjutnya, dalam Rapat komisi-komisi pada Rakernas, juga akan<br />
disampaikan hasil-hasil dari rapat pleno yang telah dicapai.<br />
Akses pada Keadilan<br />
Saudara-saudara sekalian,<br />
Tahun ini Mahkamah Agung kembali telah cukup banyak membuat kebijakan<br />
fundamental yang bertujuan untuk membuka pintu lebih luas bagi akses<br />
masyarakat terhadap keadilan yang lebih cepat, sederhana dan berbiaya ringan.<br />
Pertama, Perma Nomor 2 Tahun 2012 mengenai Penyesuaian batasan tindak<br />
pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP meredefinisi ulang nilai kerugian<br />
sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP<br />
sehingga batasan kategori tindak pidana ringan disesuaikan dengan nilai<br />
ekonomis yang berlaku saat ini. Dengan Perma ini, pelaku tindak pidana yang<br />
melanggar pasal-pasal yang saya sebut tadi, dan nilai kerugiannya dibawah<br />
Rp.2,500,000 harus diproses melalui acara singkat, tidak perlu ditahan,<br />
melainkan secepat mungkin dilimpahkan ke pengadilan, dan Ketua Pengadilan<br />
akan menetapkan acara singkat, dimana perkara cukup disidang oleh hakim<br />
tunggal, dan diberi putusan segera. Perma ini tidak dimaksudkan untuk<br />
menghilangkan pemidanaan penjara bilamana terdakwa telah terbukti bersalah<br />
dan sesuai dengan rasa keadilan memang harus dikenakan hukuman sesuai<br />
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.<br />
Hal ini pastinya akan lebih memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, seraya<br />
menghindari kritikan masyarakat akibat proses persidangan yang sering dituding<br />
tidak proporsional, padahal hal ini semata-mata disebabkan oleh telah sudah<br />
tidak relevannya produk aturan hukum pidana di negeri ini, dan bukannya<br />
absennya hatinurani badan peradilan terhadap keadilan masyarakat.<br />
8
Saya mencatat bahwa di lapangan masih banyak kesulitan dalam<br />
implementasinya, khususnya mengingat aturan ini melibatkan instansi diluar<br />
Mahkamah Agung, yaitu kejaksaan, kepolisian, dan Kementrian Hukum dan<br />
HAM. Masih ada kebutuhan untuk mensinkronisasi pemahaman antar instansi<br />
tersebut untuk memastikan operasionalisasi Perma Nomor 02 Tahun 2012 ini.<br />
Perlu saya informasikan, bahwa tanggal 17 Oktober 2012 lalu, suatu nota<br />
kesepahaman antara keempat lembaga mengenai hal ini telah ditanda tangani di<br />
Mahkamah Agung, harapan saya adalah, kesepahaman ini bisa membantu<br />
membawa keadilan yang lebih baik bagi masyarakat melalui proses penanganan<br />
perkara tindak pidana ringan yang lebih operatif.<br />
Kedua, Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI nomor 06 Tahun 2012 tentang<br />
Pengesahan Akta Kelahiran yang Terlambat Satu Tahun. Surat edaran ini<br />
dikeluarkan setelah melalui konsultasi intensif dengan pemerintah, dan<br />
pemangku kepentingan lainnya. Pada awalnya ini merupakan upaya untuk<br />
mengoperasionalisasi perintah Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2006<br />
tentang Administrasi Kependudukan jo Pasal 65 ayat (1) Peraturan Presiden<br />
Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang<br />
menyatakan bahwa Pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu)<br />
tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri.<br />
Namun ternyata masalahnya tidak se-sederhana itu. Masih banyak penduduk<br />
yang belum memiliki Akta Kelahiran, Data Sensus Penduduk Badan Pusat<br />
Statistik Tahun 2005 menunjukkan, bahwa hanya 42,82 persen penduduk<br />
Indonesia yang memiliki akta kelahiran, dan tidak sedikit dari mereka ini<br />
merupakan bagian dari kelompok miskin-marginal, yang memiliki kesulitan dalam<br />
mengakses keadilan, padahal akta kelahiran adalah dokumen yang amat penting<br />
bagi warga negara. Karena selain merupakan hak dasar warga negara<br />
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, akta kelahiran<br />
merupakan syarat dasar bagi akses terhadap banyak pelayanan negara,<br />
misalnya untuk masuk sekolah, mengikuti Ujian Nasional, membuat paspor, dan<br />
lain sebagainya.<br />
9
Pada intinya SEMA ini Memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam<br />
mengajukan permohonan penetapan pengadilan tentang pencatatan kelahiran<br />
melalui proses peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, melalui<br />
beberapa kebijakan, yaitu<br />
• Pengajuan permohonan secara kolektif,<br />
Selain prosedur normal pengajuan permohonan ke Pengadilan, maka<br />
dimungkinkan bagi pemerintah daerah untuk mengkoordinasikan<br />
pengajuan permohonan tersebut.<br />
• Pemanggilan secara kolektif<br />
Dilakukan untuk menghapus/mengurangi komponen biaya perkara untuk<br />
pemanggilan pemohon, hal ini dilakukan dengan cara Juru sita<br />
menyerahkan relaas panggilan kepada Dinas Kependudukan dan<br />
Pencatatan Sipil untuk dikoordinasikan oleh Dinas.<br />
• Pelaksanaan sidang keliling bekerjasama dengan pemerintah daerah<br />
Dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat marginal<br />
dalam mengikuti sidang pemeriksaan permohonan dan bekerja sama<br />
dengan Pemerintah Daerah dan instansi lainnya yang terkait<br />
• Pembebasan biaya perkara<br />
Pemohon yang tidak mampu dapat mengajukan pembebasan biaya<br />
perkara yang pelaksanaannya merujuk pada SEMA No.10 Tahun 2010<br />
tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum<br />
• Upaya untuk memastikan proses penetapan dan pencatatan dalam<br />
satu hari<br />
Dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dengan<br />
penerapan proses yang cepat melalui pelaksanaan penetapan dan<br />
pencatatan pada hari yang sama<br />
Pengadilan Negeri bekerja sama dengan instansi lain yang berkaitan<br />
dengan pelaksanaan sidang dan pencatatan<br />
Sehingga diharapkan agar kerja pemerintah dalam menjamin hak-hak dasar<br />
warganya bisa lebih mudah terlaksana<br />
10
Saudara-saudara sekalian,<br />
Tidak lama setelah pengesahan SEMA ini, tanggal 19 September lalu Menteri<br />
Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 471-11/3647-SJ tentang<br />
Penetapan Pencatatan Kelahiran yang pada intinya menekankan komitmen<br />
pemerintah untuk memberikan dukungan terhadap operasionalisasi SEMA ini,<br />
melalui penyiapan data yang diperlukan, termasuk pendanaan yang dibutuhkan,<br />
sampai ke pelaporannya.<br />
Saya mendapat laporan, bahwa di beberapa pengadilan- ternyata dimungkinkan<br />
untuk dilakukan pelayanan satu atap berikut pelayanan hari yang sama (one<br />
stop-one day service) untuk pelayanan akta kelahiran yang terlambat ini, dalam<br />
artian pemohon cukup datang satu hari dan pulang sudah membawa akta<br />
kelahiran. Saya sangat mendukung terobosan dan inovasi ini, dan saya pikir<br />
tidak bertentangan dengan kebijakan SEMA 06 Tahun 2012, bahkan apabila<br />
memungkinkan, praktek terbaik seperti ini bisa cepat direplikasi. Karena hal ini<br />
akan sangat penting untuk terus menumbuhkan kepercayaan masyarakat<br />
terhadap peran badan peradilan.<br />
Saya instruksikan agar setiap Ketua Pengadilan Tinggi memastikan bahwa hal ini<br />
dilaksanakan di pengadilan tingkat pertama di bawah yurisdiksinya. Selanjutnya<br />
saya minta kepada Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum agar memberikan<br />
dukungan secara optimal serta memonitor dan melaporkan kepada saya<br />
pelaksanaan dan kendala-kendala dari pelaksanaan SEMA ini<br />
Saudara-saudara sekalian,<br />
Terkait dengan masalah akses terhadap keadilan, maka segenap badan<br />
peradilan hendaklah untuk benar-benar bisa memahami dan mempersiapkan diri<br />
menyambut keberlakuan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang<br />
Bantuan Hukum. Dengan Undang-undang tersebut, maka kewenangan untuk<br />
mengelola pendanaan bantuan hukum secara resmi beralih ke pemerintah<br />
melalui Kementrian Hukum dan HAM, hal mana akan efektif berlaku pada tahun<br />
2013 yang akan datang. Namun perlu dicatat, bahwa pengelolaan bantuan<br />
hukum hanyalah satu diantara beberapa aspek bantuan hukum yang diatur dan<br />
dikelola oleh pengadilan. Pasal 57 Undang-undang No. 48 tahun 2009 jo pasal<br />
68 C ayat (1) UU No. 49 tahun 2009 jo pasal 60 C ayat (1) UU No. 50 tahun 2009<br />
jo pasal 144 D UU No. 51 tahun 2009 menegaskan bahwa pada setiap<br />
11
pengadilan dibentuk Pos Bantuan Hukum untuk pencari keadilan yang tidak<br />
mampu dalam memperoleh bantuan hukum. Selain itu SEMA Nomor 10 Tahun<br />
2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Bantuan Hukum di Pengadilan juga<br />
mengatur bahwa selain pemberian bantuan hukum, maka dalam rangka<br />
pemberian bantuan hukum, pengadilan juga melaksanakan sidang keliling,<br />
pembebasan biaya perkara pada perkara pidana dan perkara perdata, dan zitting<br />
plaats.<br />
Masalahnya adalah, bagaimana memastikan, bahwa memasuki 2013, pelayanan<br />
bantuan hukum kepada masyarakat miskin pada pengadilan tetap harus bisa<br />
dilaksanakan. Bagaimana Pos Bantuan Hukum pada pengadilan negeri maupun<br />
pengadilan agama dan juga penyelenggaraan prodeo, sidang keliling, zitting<br />
plaats bisa tetap berjalan. Hal ini akan krusial, karena tahun 2013-lah transisi<br />
pengelolaan bantuan hukum ke pemerintah dari yang sebelumnya dikelola<br />
Mahkamah Agung akan berlaku efektif. Apa yang akan diatur dan bagaimana<br />
mekanisme transisinya akan sangat bergantung kepada Rancangan Peraturan<br />
Pemerintah tentang Bantuan Hukum yang merupakan peraturan delegasian dari<br />
UU Bantuan Hukum tersebut. Hal mana peradilan akan sangat memiliki<br />
kepentingan mengingat pada dasarnya bantuan hukum setidaknya memiliki tiga<br />
dimensi, pertama, bantuan hukum pada proses pra-peradilan (penyidikan dan<br />
penuntutan), kedua, bantuan hukum pada proses peradilan-yang mana relevan<br />
dengan proses yang berjalan pada peradilan itu sendiri, dan ketiga, fasilitasi<br />
perlindungan saksi dan korban.<br />
Apapun yang terjadi di tingkatan kebijakan, masyarakat hanya akan tahu bahwa<br />
pelayanan harus terus berjalan seperti biasa, apabila ada penurunan kualitas<br />
pelayanan, maka sudah dipastikan bahwa pengadilan-lah yang akan menerima<br />
dampak negatif dalam bentuk keluhan dan kritik masyarakat. Oleh karena itu kita<br />
harus memastikan bahwa segenap jajaran peradilan untuk siap memberikan<br />
pelayanan yang terbaik.<br />
Untuk itu saya instruksikan kepada para Direktur Jenderal Badan Peradilan untuk<br />
menyusun langkah konkrit berikut seluruh strategi yang diperlukan untuk<br />
memastikan tersalurkannya hak-hak masyarakat miskin secara optimal dengan<br />
mempertimbangkan ketersediaan anggaran dan hukum acara, dan Ketua<br />
Pengadilan tingkat banding, untuk memastikan bahwa agenda access to justice<br />
terlaksana di pengadilan dibawah pengawasannya.<br />
12
Di sisi Mahkamah Agung, saya telah membentuk suatu pokja yang dipimpin<br />
Ketua Muda Perdata untuk membantu pimpinan dalam menyusun kebijakan<br />
dalam hal ini, mengingat signifikannya masalah yang dihadapi, dan lingkup<br />
sektoral yang terkena dampak. Tim akan memulai semuanya dengan<br />
memetakan permasalahan, dan menyusun rekomendasi posisi Mahkamah<br />
Agung, supaya kita bisa melihat masalah dengan lebih obyektif dan terstruktur,<br />
dan saya minta, para Direktur Jenderal untuk terus memberikan dukungan<br />
kepada kelompok kerja ini.<br />
Saya pikir, untuk keperluan ini penting untuk memastikan bahwa kualitas<br />
pelayanan publik dalam bantuan hukum bisa setara untuk semua badan<br />
peradilan. Hal ini harus digaris bawahi, karena sebagai suatu institusi, meskipun<br />
peradilan terdiri dari empat lingkungan, namun idealnya, kemanapun publik<br />
datang, maka ia akan memperoleh pelayanan yang sama kualitasnya, sehingga<br />
disinilah pentingnya memiliki suatu Standar Pelayanan Publik, ini bukan tugas<br />
enteng, namun harus diikhtiarkan oleh setiap pimpinan di unit kerja untuk<br />
mencapai hal ini.<br />
Penyederhanaan Proses Berperkara<br />
Saudara-saudara sekalian,<br />
Sebagai bagian dari Business Process Reengineering, penyederhanaan proses<br />
berperkara telah bergulir secara gradual. Setidaknya di Mahkamah Agung, dalam<br />
waktu lima tahun terakhir kita sudah melihat banyak perubahan cara kerja,<br />
pengolahan informasi, pelaporan, keterbukaan dan akuntabilitas. Hal mana, saya<br />
akan terus dorong kepaniteraan Mahkamah Agung RI untuk melanjutkan proses<br />
tersebut, sambil menunggu suatu agenda Business Process Reengineering<br />
sistem penanganan perkara komprehensif pada Mahkamah Agung RI yang akan<br />
diusulkan oleh suatu tim kecil dibawah Kelompok Kerja Manajemen Perkara<br />
Mahkamah Agung RI yang terdiri dari beberapa asisten hakim pada kepaniteraan<br />
MARI.<br />
Tim ini telah secara komprehensif menjalani proses diskusi dan pembelajaran,<br />
bahkan sampai melihat bagaimana pengelolaan peradilan modern dilakukan di<br />
negara tetangga, dan pada akhir Desember ini akan memberikan laporan kepada<br />
pimpinan tentang pilihan langkah-langkah penyempurnaan yang mungkin<br />
13
dilakukan. Saya sendiri berharap agar ke depannya sistem penanganan perkara<br />
di Mahkamah Agung bisa dilakukan dengan suatu sistem berbasis teknologi,<br />
yang mampu membuat suatu sistem yang transparan, akuntabel dan yang paling<br />
penting, terukur, sampai ke elemen paling kecil, mengingat makin beratnya<br />
tantangan kerja ke depannya.<br />
Sementara itu, di pengadilan tingkat pertama dan banding, saya berharap agar<br />
proses yang sama, juga bisa digulirkan. Hal ini penting, karena pengadilan<br />
tingkat pertama dan banding adalah ujung tombak pelayanan kita. Kita perlu<br />
memastikan bahwa kita bisa memberikan pelayanan yang optimal. Upaya<br />
terintegrasi dan terstruktur perlu dilakukan untuk melakukan hal ini. Sistem kerja<br />
manajemen perkara kita merupakan sistem yang dibangun hampir 40 tahun yang<br />
lalu. Saya pikir kita tidak bisa untuk terus terjebak ke dalam sindrom uji-coba<br />
(piloting), sudah lebih dari lima tahun saya mendengar berbagai inisiatif uji coba<br />
disana-sini, lalu mau kemana kita? Kita harus maju, kita harus lakukan<br />
modernisasi cara kerja, meningkatkan profesionalisme aparat, akuntabilitas dan<br />
transparansi secara terstruktur dan sistematis, supaya apa yang diujicobakan<br />
bisa benar-benar menjadi sistem yang ajeg dan secara seragam dipakai sebagai<br />
bagian dari penyempurnaan sistem kerja.<br />
Tentunya ini tidak sederhana, karena kita memiliki 842 satuan kerja di seluruh<br />
Indonesia, dan untuk memastikan langkah bisa terwujud maka Direktur Jenderal<br />
Badan Peradilan adalah pejabat yang bertanggung jawab dalam hal ini.<br />
Segerakan untuk merampungkan konsep penyempurnaan ini. Tuangkan konsep<br />
perubahan sistem kerja yang kalau perlu, radikal- sepanjang untuk kebaikan dan<br />
penyempurnaan pelayanan publik, pastikan bahwa kita memiliki sistem tunggal<br />
yang seragam, untuk memudahkan replikasi ke depannya. Untuk itu saya<br />
harapkan agar Ketua Muda Pembinaan bisa mengkoordinasikan para direktur<br />
jenderal Badan peradilan untuk menjalin kemitraan strategis dengan pemangku<br />
kepentingan internal maupun eksternal untuk mendorong hal ini. Jangan ragu<br />
untuk menggandeng unit Teknologi Informasi pada Biro Hukum Humas Badan<br />
Urusan Administrasi, PusLitbang Kumdil, sampai Badan Pengawasan, selain<br />
juga donor, masyarakat sipil dan para ahli lain yang mampu dan mau<br />
mengkontribusikan pemikiran, pengalaman, dan sumber dayanya untuk<br />
menyempurnakan sistem kerja manajemen perkara di peradilan tingkat pertama<br />
dan banding.<br />
14
Pembatasan Perkara<br />
Saudara-saudara sekalian,<br />
Terkait dengan pembatasan perkara, kita semua mengetahui bahwa saat ini<br />
RUU Mahkamah Agung yang tengah dibahas di DPR memuat salah satunya<br />
pada pasal 56, beberapa parameter pembatasan perkara, yang bertujuan untuk<br />
memperketat batasan pada pasal 45 A UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah<br />
Agung. Tentunya ini perlu kita perjuangkan sesuai dengan kerangka fungsi<br />
utama Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan Kasasi. Mahkamah Agung<br />
harus secara intensif terlibat dalam proses legislasi ini, karena pembatasan<br />
perkara adalah hal yang penting bagi Mahkamah Agung, dalam waktu kurun 7<br />
tahun terakhir kita telah melihat peningkatan jumlah perkara masuk ke<br />
Mahkamah Agung telah melebihi 70%, ini merupakan masalah serius, oleh<br />
karenanya saya ingin agar agenda pembatasan perkara haruslah berwawasan<br />
makro, dan tidak sekedar pemikiran pragmatis belaka. Jangan sampai kita lalai<br />
untuk terlibat, karena kita akan terikat.<br />
Disamping itu, saya juga ingin terus mendorong kebijakan-kebijakan yang secara<br />
tidak langsung membatasi naiknya perkara. Antara lain melalui intensifikasi<br />
mediasi, penyempurnaan rezim class action dan pengembangan konsep small<br />
claim court. Saat ini Mahkamah Agung telah menyiapkan langkah-langkah untuk<br />
mengembangkan kedua hal tersebut. Suatu kelompok kerja telah saya bentuk<br />
dan telah ada kerjasama strategis dengan Federal Court dan Family Court of<br />
Australia untuk terus membicarakan peluang penyempurnaan rezim mediasi,<br />
class action, dan small claim court pada sistem hukum kita yang telah dituangkan<br />
dalam lampiran Nota Kesepahaman MA-Federal Court of Australia dan Family<br />
Court of Australia yang ditandatangani 3 Oktober 2012 lalu di Brisbane.<br />
Dengan tiga hal ini, saya berharap agar keadilan bisa lebih cepat diberikan<br />
kepada masyarakat pencari keadilan.<br />
Saudara-saudara sekalian<br />
Pengundangan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan<br />
Pidana Anak (SPPA), membawa era baru dalam rezim perlindungan anak-anak<br />
kita. Pada prinsipnya UU ini baru akan berlaku tanggal 30 Juli 2014, namun<br />
banyak hal-hal yang perlu kita siapkan sejak sedini mungkin.<br />
15
Meskipun pasal 100 UU tersebut memuat ketentuan yang cenderung<br />
bertentangan dengan kemandirian kehakiman, namun UU ini perlu dilihat<br />
sebagai upaya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik kepada anak-anak<br />
kita. Saya yakin bahwa hakim yang profesional, teliti, dan bertanggung jawab<br />
tidak akan pernah terkena ketentuan pasal tersebut. Tetapi alangkah baiknya<br />
apabila sanksi pidana dalam UU tersebut dipertimbangkan kembali untuk<br />
menunjukkan bahwa sistem hukum kita benar-benar menjunjung tinggi<br />
kekuasaan kehakiman yang merdeka.<br />
Oleh karena itu Mahkamah Agung juga bertanggung jawab untuk memastikan<br />
bahwa seluruh hakim-hakimnya mampu memahami, dan mengimplementasikan<br />
ketentuan dalam UU SPPA tersebut. Undang-undang memerintahkan bahwa<br />
pada tahun 2017 pengadilan harus sudah memiliki setidaknya satu orang hakim<br />
anak pada setiap pengadilan. Ini merupakan tantangan, artinya pelatihan teknis<br />
yang akan diberikan haruslah terstruktur dan sistematis, untuk menciptakan<br />
hakim-hakim yang memahami nilai universal hak anak, selain juga peraturan<br />
perundang-undangan itu sendiri.<br />
Selain itu perlu dicermati kebutuhan perubahan lain, yang membatasi bahwa<br />
pemberian salinan putusan pada pengadilan harus dilakukan paling lama 5 (lima)<br />
hari sejak putusan diucapkan (Pasal 62 UU SPPA) dan adanya kewajiban<br />
pembuatan register khusus anak oleh lembaga-lembaga yang menangani<br />
perkara anak. (Pasal 25 UU SPPA). Lagi-lagi kita membenahi sistem<br />
administrasi perkara kita.<br />
Kita harus bersiap, Undang-undang pada intinya mendorong agar setiap anak<br />
yang bermasalah dengan hukum diproses secara lebih cepat, dan dikenakan<br />
sanksi yang lebih manusiawi, sesuai dengan karakteristik anak. Undang-undang<br />
menggariskan, bahwa pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif<br />
dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari<br />
proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang<br />
berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam<br />
lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta<br />
semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan<br />
pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban.<br />
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang<br />
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah<br />
16
serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi<br />
lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari<br />
solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak<br />
berdasarkan pembalasan.<br />
Untuk ini semua, Badan Litbang Diklat Kumdil, Direktorat Jenderal badan<br />
Peradilan wajib bersikap responsif untuk menyiapkan ini semua secara<br />
profesional dan sebaik mungkin, untuk memastikan tidak ada masalah dalam<br />
implementasinya, begitu UU SPPA ini berlaku efektif 30 Juli 2014 yang akan<br />
datang.<br />
Saudara-saudara sekalian,<br />
Integritas merupakan modal utama badan peradilan yang harus terus kita<br />
pertahankan, dan junjung tinggi.<br />
Pada tanggal 27 September 2012 yang lalu Mahkamah Agung RI dan Komisi<br />
Yudisial telah menandatangani empat Peraturan Bersama terkait dengan kode<br />
perilaku hakim, yaitu peraturan bersama tentang Majelis Kehormatan Hakim,<br />
Pemeriksaan Bersama, Juklak Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dan<br />
Seleksi Pengangkatan Hakim.<br />
Dengan selesainya empat peraturan bersama ini, maka saya berharap agar<br />
mekanisme penegakan kode etik dan perilaku hakim akan lebih optimal, dan<br />
sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan. Sedapat mungkin<br />
dicapai sinergi dengan Komisi Yudisial dalam penanganan pengaduan Terhadap<br />
pelanggaran Kode Perilaku. Dengan adanya Peraturan Bersama Petunjuk<br />
Pelaksanaan Kode Etik dan Pedoman perilaku Hakim, maka sekarang sudah<br />
ada acuan yang disepakati bersama tentang sanksi atas setiap pelanggaran<br />
kode etik, dan juga yang terpenting adalah kesepakatan atas pelanggaranpelanggaran<br />
yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan yang mana yang<br />
tidak.<br />
Peraturan Bersama mengenai Majelis Kehormatan Hakim menegaskan<br />
mekanisme pemeriksaan oleh MKH , mulai dari pembentukan MKH, siapa saja<br />
yang dapat duduk dalam MKH sampai bagaimana putusan MKH dilaksanakan.<br />
17
Dalam hal seleksi hakim, peraturan bersama ini merupakan peraturan transisi<br />
sebelum ditentukannya proses seleksi hakim dengan status pejabat negara, oleh<br />
karena itu, masih perlu ditegaskan peranan Komisi Yudisial dalam penentuan<br />
calon hakim menjadi hakim. Untuk itu saya minta perhatian kepada Ketua Muda<br />
Pembinaan dan Ketua Muda Pengawasan agar segera melakukan koordinasi<br />
baik internal maupun dengan pihak KY agar tidak terjadi kesalahpahaman di<br />
kemudian hari.<br />
Meskipun secara infrastruktur integritas, saat ini kita sudah berhasil memenuhi<br />
sepenuhnya kebutuhan peraturan yang diperintahkan undang-undang, bukan<br />
berarti kerja kita telah selesai. Tantangan yang kita hadapi masih sangat besar.<br />
Kita masih harus memastikan bahwa tingkat pelanggaran kode etik/perilaku atau<br />
bahkan tindak pidana korupsi yang melibatkan hakim dan/atau aparat peradilan<br />
harus dapat ditekan 100%, tidak ada tempat bagi para pelanggar. Saya akan<br />
sangat terganggu apabila masih ada hakim dan aparat pengadilan melakukan<br />
tindakan-tindakan tidak terpuji, dan menjadi terlapor atau terperiksa sebagai<br />
akibat pelanggaran kode etik dan perilaku, apalagi jika sampai tindakan tersebut<br />
tertangkap oleh aparat pengawasan eksternal. Hal ini tidak karena sekedar<br />
pencitraan, namun harus disadari, bahwa pengadilan adalah lembaga yang<br />
bekerja berdasarkan kepercayaan.<br />
Oleh karenanya, integritas dan kepercayaan publik adalah modal utama<br />
lembaga kita, Telah saya tekankan berkali-kali, kepercayaan adalah suatu hal<br />
yang sangat sulit direbut, namun akan sangat mudah hilang dari tangan kita,<br />
padahal, tanpa kepercayaan apalah artinya lembaga peradilan ini. Terlalu<br />
banyak pengorbanan yang dipertaruhkan, sekedar melindungi segelintir orang<br />
yang tidak bertanggung jawab.<br />
Mau dikemanakan perjuangan kita untuk melaksanakan reformasi birokrasi? Lalu<br />
bagaimana dengan Agenda peningkatan kesejahteraan hakim? Seluruh reputasi<br />
badan peradilan dipertaruhkan disini. Kita bisa mundur 30 tahun apabila gagal<br />
mempertahankan yang satu ini. Saya pikir ini dimulai dari komitmen pimpinan.<br />
Pimpinan merupakan lokomotif dan agen perubahan bagi perubahan di<br />
lingkungannya, adalah tugas pimpinan untuk mendorong perubahan, dan ini<br />
semua berawal dari komitmen dan niat yang tulus.<br />
18
Atas alasan tersebut saya menandatangani Surat Edaran Ketua Mahkamah<br />
Agung RI nomor 3 Tahun 2012 tentang Penanda Tanganan Pakta Integritas,<br />
menyempurnakan aturan yang lama, sehingga kewajiban penandatanganan<br />
pakta integritas akan meliputi juga , pejabat eselon 1 dan 2 pada Mahkamah<br />
Agung serta yang dipersamakan, Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tingkat<br />
Banding, Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, Hakim Non Palu,<br />
Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat<br />
Pengadaan. Bagi para ketua pengadilan, pelaksanaan pendantanganan Pakta<br />
Integritas dilakukan pada saat penyumpahan, sementara bagi para pejabat KPA,<br />
PPK, dan Pejabat Pengadaan lain penandatanganan Pakta Integritas dilakukan<br />
pada saat tanggal penyerahan surat keputusan, dan bagi hakim non palu, pada<br />
saat yang bersangkutan menyelesaikan hukuman disiplinnya, dan merupakan<br />
syarat pengusulan yang bersangkutan oleh Ketua Pengadilan untuk diaktifkan<br />
kembali.<br />
Perlu saya ingatkan, bahwa penandatanganan pakta itu penting bagi Mahkamah<br />
Agung, dan harus diterima oleh Ketua Mahkamah Agung melalui Kepala Badan<br />
Pengawasan paling lambat satu bulan setelah penandatanganan dilakukan.<br />
Mereka yang lalai tentunya akan menerima konsekuensi dalam bentuk penilaian<br />
konduite yang buruk, karena informasi ini akan diintegrasikan dengan database<br />
kepegawaian.<br />
Saya tekankan sekali lagi, ketertiban aparat pengadilan adalah tanggung jawab<br />
pimpinan pengadilan, dan tanggung jawab khusus ada pada ketua pengadilan<br />
banding, sebagai kawal depan fungsi pengawasan Mahkamah Agung.<br />
Bertindaklah tegas, hapus kompromi, karena efek penjera harus disampaikan,<br />
jangan sampai pelaku baru terdorong untuk melakukan pelanggaran, karena<br />
ketidak tegasan pimpinan dalam menangani masalah-masalah ini.<br />
Saudara-saudara Sekalian,<br />
Tahun ini tidak melulu diisi hanya dengan tuntutan bagi kita untuk lebih<br />
akuntabel. Seimbang dengan tuntutan untuk memperbaharui komitmen atas<br />
integritas dan akuntabilitas hakim, maka mudah-mudahan dalam waktu dekat<br />
kita akan bisa memetik buah dari upaya kita dalam agenda meningkatkan<br />
kesejahteraan hakim.<br />
19
Pada September lalu, Mahkamah Agung bersama beberapa lembaga negara<br />
dan kementerian terkait telah merumuskan Rancangan Peraturan Pemerintah<br />
mengenai Gaji dan Fasilitas para hakim. Peraturan tersebut diperlukan karena<br />
selain gaji hakim belum mengalami kenaikan semenjak 2008, juga untuk<br />
memberikan payung hukum bagi penyediaan fasilitas bagi para hakim sebagai<br />
pejabat negara, seperti penyediaan fasilitas perumahan, transportasi, kesehatan,<br />
maupun pengamanan. Pada perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah<br />
tersebut, selain terdapat penyesuaian besaran gaji sehingga mencerminkan<br />
beban dan tanggung jawab para hakim, juga diusulkan penyesuaian yang<br />
bersifat variatif, yaitu adanya tambahan tunjangan kemahalan sesuai lokasi kerja<br />
tertentu.<br />
Selain itu juga diusulkan harmonisasi berbagai Peraturan Presiden mengenai<br />
Gaji dan Fasilitas Hakim Ad-hoc sebagai peraturan turunan dari masing-masing<br />
Undang-undang terkait. Saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah maupun<br />
Rancangan Peraturan Presiden tersebut telah melewati fase harmonisasi<br />
rancangan peraturan perundangan di Kementerian Hukum dan HAM, untuk<br />
kemudian diajukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara kepada<br />
Presiden.<br />
Saya berharap agar kebijakan ini bisa disahkan oleh presiden sebelum akhir<br />
tahun dan bisa berlaku efektif secepat mungkin. Konsekuensinya, penghasilan<br />
yang dibawa pulang bapak-bapak dan ibu-ibu hakim akan meningkat, meskipun<br />
kalkulasi persisnya masih menunggu tanda tangan dari presiden. Namun yang<br />
pasti adalah dengan keluarnya kebijakan ini, maka para hakim tidak lagi berhak<br />
untuk menerima tunjangan Remunerasi. Berbeda dengan Pegawai teknis non<br />
hakim dan pegawai non-teknis yang akan tetap berhak menerima remunerasi,<br />
dan juga telah diperjuangkan untuk mencapai 100%.<br />
Meskipun issue kesejahteraan telah ditangani melalui penyempurnaan kebijakan<br />
penggajian, namun tidak berarti komitmen Mahkamah Agung terhadap<br />
Reformasi Birokrasi akan menurun. Penyempurnaan kebijakan kesejahteraan<br />
hakim justru menimbulkan beban moral yang lebih besar bagi kita untuk<br />
mempercepat pembenahan organisasi, birokrasi, dan kultur kerja. Coba saudarasaudara<br />
lihat, betapa peradilan tidak bisa dikatakan beruntung? pada tahun<br />
2007, sudah menjadi pilot project reformasi birokrasi, dan diganjar 70%<br />
20
emunerasi, hanya dengan melakukan 5 program prioritas, dan belum selesai<br />
kita melaksanakan reformasi birokrasi gelombang kedua, maka sudah ada<br />
perbaikan kesejahteraan. Sungguh sesuatu karunia yang patut kita syukuri, dan<br />
insha allah akan segera terealisir.<br />
Saudara-saudara sekalian,<br />
Upaya lain untuk meningkatkan integritas adalah melalui perekaman audio<br />
visual. SEMA Nomor 4 Tahun 2012 tentang perekaman Audio Visual merupakan<br />
wajah lain dari upaya meningkatkan integritas badan peradilan. SEMA Nomor 4<br />
Tahun 2012 tentang Perekaman Sidang Pengadilan, yang mengharuskan bahwa<br />
setiap pengadilan tingkat petama untuk merekam audio dan video persidangan<br />
perkara untuk perkara tindak pidana korupsi dan/atau perkara yang menarik<br />
perhatian publik dan hasilnya harus disimpan, dikelola, diarsip, dan lebih jauh<br />
lagi, bisa dikirimkan ke Mahkamah Agung, sebagai bagian dari berkas upaya<br />
hukum.<br />
Perekaman audio visual merupakan bagian penting bagi integritas dan<br />
akuntabilitas lembaga kita, adanya rekaman memungkinkan kita melangkah lebih<br />
jauh kepada strategi besar pengembangan catatan persidangan, namun juga<br />
sebagai alat verifikasi yang sangat penting dalam proses pengawasan yang<br />
memungkinkan otoritas pengawasan bisa dengan mudah memverifikasi<br />
pengaduan pelanggaran perilaku. Sebagai suatu inisiatif baru, Saya<br />
menginginkan agar proses perekaman audio visual tersebut bisa mulai<br />
dilaksanakan secara bertahap mulai Desember 2012.<br />
Jajaran Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum perlu bekerja keras, bahwa<br />
dalam waktu yang ditentukan, sudah akan ada pencapaian yang konkrit. Oleh<br />
karenanya dituntut kreativitas dan berusaha terus menerus untuk mewujudkan<br />
mandat penting ini. Saya yakin, bahwa dengan perkembangan teknologi, insiatif<br />
perekaman audio visual ini bisa diwujudkan secara efektif dan efisien, dan akan<br />
menjadi landasan pengadilan modern masa depan, sistem ini akan<br />
memungkinkan dilakukannya monitoring jarak jauh terhadap situasi persidangan,<br />
lebih jauh lagi, sebagai solusi pengganti bagi kebutuhan transkrip persidangan<br />
yang seringkali menghambat efektivitas dan efisiensi persidangan, khususnya di<br />
pengadilan tingkat pertama.<br />
21
Saudara-saudara sekalian,<br />
Layar telah terkembang, tekad telah dibulatkan,<br />
Langkah pembaruan telah melenggang, mundur bukanlah pilihan.<br />
Banyak capaian, pengakuan, dan penghargaan langsung maupun tidak langsung<br />
yang telah diperoleh peradilan lima tahun belakangan ini, sebagai konsekuensi<br />
logis dari dimulainya proses pembaruan. Namun menurut saya, tantangan lebih<br />
berat sudah tiba didepan mata, yaitu bagaimana melanjutkan apa yang telah kita<br />
mulai untuk terus menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya dan<br />
pada akhirnya mencapai tujuan akhir pembaruan peradilan, yaitu mewujudkan<br />
Badan Peradilan Indonesia yang Agung.<br />
Mempertahankan-apalagi meningkatkan jelas lebih sulit daripada mencapainya,<br />
dan dalam konteks inilah kata-kata bijak hidup adalah suatu perjalanan tanpa<br />
henti sangatlah kontekstual bagi kita. Dua puluhan tahun yang lalu Andy Groove,<br />
pimpinan Intel Corporation, sudah mengemukakan, “only paranoids survives”<br />
intinya adalah, hanya orang selalu siap yang akan bertahan, saya pikir<br />
merupakan tantangan yang makin aktual bagi kita. Mahkamah Agung dan badan<br />
peradilan harus memegang prinsip- tiada hari tanpa inovasi dan tiada hari tanpa<br />
perubahan. Janganlah cepat puas atas apa yang anda hasilkan hari ini, namun<br />
tanyakan apa yang bisa lebih baik dilakukan esok hari. Saya ingin meminjam<br />
istilah bijak dalam bahasa Inggris yang menyatakan, the biggest room in the<br />
world-is room for improvement. Tiada kesempurnaan yang optimal, karena<br />
segala sesuatu selalu bisa lebih disempurnakan terus menerus melalui inovasi.<br />
Siapkan jawaban-jawaban terhadap tantangan minggu depan -sesegera<br />
mungkin, apabila mungkin siapkan hari ini juga, jangan tunda..., sudah waktunya<br />
kita terus menggali informasi secara mendalam dari berbagai sumber seperti<br />
statistik yang diperoleh dari pelaporan rutin, informasi pemerintah, perundangan,<br />
media, lingkungan dan seterusnya untuk menyiapkan anda dan organisasi<br />
dibawah pimpinan anda untuk selalu siap menghadapi tantangan esok hari.<br />
Saya melihat bahwa data dan informasi masih belum sepenuhnya dikelola dan<br />
ditata di peradilan. Padahal data dan informasi merupakan dasar dari<br />
pengambilan kebijakan, penganggaran, pelatihan, promosi-mutasi, evaluasi<br />
capaian-capaian sampai pengembangan. Mustahil suatu organisasi bisa<br />
berkembang tanpa data dan informasi, dan Mahkamah agung memerlukan betul<br />
semua data dan informasi dikumpulkan dan dipaparkan sesistematis mungkin<br />
untuk mengukur, sejauh mana kita berhasil menyelesaikan capaian-capaian<br />
22
dalam cetak biru, dimana posisi kita dalam memenuhi tuntutan parameter Court<br />
Excellence, sejauh mana presepsi masyarakat terhadap upaya-upaya perubahan<br />
yang terjadi di organisasi kita. Sungguh tidak bijak apabila kita membabi buta<br />
melakukan perubahan, tanpa melihat secara obyektif situasi disekeliling kita.<br />
Pada era globalisasi ini apapun yang kita lakukan akan diketahui oleh orang di<br />
seluruh dunia, awal bulan Oktober saya baru menghadiri rapat kerja dengan<br />
sahabat kita dari Federal Court of Australia dan Family Court of Australia, dimana<br />
disebut bahwa Mahkamah Agung telah berhasil mengelola informasi dan<br />
menyajikan laporan informasi perkara dengan kualitas sebagaimana layaknya<br />
pengadilan kelas dunia (world class). Hampir semua parameter pengadilan yang<br />
berkelas dunia dalam hal manajemen perkara telah berhasil ditampilkan oleh<br />
Mahkamah Agung, secara berkala dan terbuka pada setiap laporan tahunan.<br />
Suatu awal yang luar biasa menurut saya.<br />
Saudara-saudara sekalian,<br />
Kembali ke wacana tentang sistem kamar, Pada akhirnya, sistem kamar<br />
hanyalah merupakan alat yang bertujuan untuk mengantar Mahkamah Agung<br />
untuk mencapai tujuannya yaitu konsistensi hukum. Ia tidak akan bekerja apabila<br />
infrastruktur yang diatur dalam surat keputusan ini tidak berjalan.<br />
Hal ini menjadi beban kolektif pimpinan kamar untuk memastikan tercapainya<br />
tujuan tersebut. Dari kepastian masalah rekruitmen, pelaksanaan pleno, dan<br />
penghimpunan risalah dijalankan secara konsisten. Saya ingin agar semua<br />
pucuk pimpinan kamar memahami betul mekanisme kerja yang tersedia dalam<br />
sistem kamar, dan benar-benar menggunakannya untuk mewujudkan kepastian<br />
hukum.<br />
Saya mengharapkan tidak lagi terjadi pengabaian terhadap mekanisme pleno<br />
kamar yang beresiko menghasilkan putusan-putusan yang bisa memancing<br />
reaksi publik negatif, terutama dalam hal komposisi majelisnya masih belum<br />
sepenuhnya mencerminkan keanggotaan dalam kamar mengingat saat ini kita<br />
masih dalam proses transisi.<br />
Mahkamah Agung juga menyadari bahwa tujuan ini hanya dapat tercapai dengan<br />
dukungan dari para pemangku kepentingan yang terkait, antara lain Komisi<br />
Yudisial dan DPR. Mahkamah Agung berharap Komisi Yudisial dan DPR yang<br />
23
memegang peran kunci dalam rekrutmen hakim agung memahami pentingnya<br />
penerapan sistem kamar dan pada akhirnya dapat mengambil keputusan yang<br />
tepat bagi upaya pembaruan peradilan yang sedang bersama-sama<br />
dilaksanakan.<br />
Masih banyak Pekerjaan Rumah yang belum selesai, dan ini perlu diseriusi untuk<br />
memastikan bahwa tujuan mulia untuk menciptakan badan peradilan yang agung<br />
dapat benar-benar tercapai.<br />
Terima kasih atas perhatiannya, semoga Rapat Kerja Nasional ini dapat berjalan<br />
dengan baik dan membawa manfaat bagi semua pihak.<br />
Wabillahi taufik walhidayah<br />
Wassalamu alaikum Warahmatullahiwabarakaatuh<br />
Ketua Mahkamah Agung RI<br />
Ttd.<br />
Dr. H.M. Hatta Ali, SH., MH<br />
24