Position Paper RUU Intelejen Negara _Koalisi Masyarakat ... - Elsam
Position Paper RUU Intelejen Negara _Koalisi Masyarakat ... - Elsam
Position Paper RUU Intelejen Negara _Koalisi Masyarakat ... - Elsam
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
KERTAS POSISI<br />
KOALISI ADVOKASI UNTUK <strong>RUU</strong><br />
INTELIJEN NEGARA<br />
KOALISI ADVOKASI UNTUK <strong>RUU</strong><br />
INTELIJEN NEGARA<br />
(Imparsial, KontraS, IDSPS, <strong>Elsam</strong>, Ridep Institute,<br />
Lesperssi, Setara Institute, LBH <strong>Masyarakat</strong>, ICW,<br />
YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, Praxis, Infid,<br />
Yayasan SET, KRHN, Leip, Ikohi, Foker Papua,<br />
PSHK, MAPPi, MediaLink)<br />
1
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
Berubahnya sistem keamanan sebuah negara merupakan sesuatu hal yang niscaya terjadi.<br />
Sistem keamanan bukanlah sesuatu hal yang statis melainkan bersifat dinamis dimana<br />
perubahan sistem keamanan sangat dipengaruhi dari dinamika lingkungan strategis yang<br />
terus berkembang dan terus berubah.<br />
Derasnya arus gelombang demokratisasi, kecenderungan konflik dari inter-state menjadi<br />
intra-state, laju arus globalisasi yang tak terelakkan, kemajuan teknologi dan arus informasi<br />
yang begitu cepat, pengakuan universalitas HAM serta kompleksitas ancaman yang<br />
berkembang pascaperang dingin tentulah menjadi faktor-faktor yang secara langsung maupun<br />
tidak langsung memaksa banyak negara untuk kembali menata ulang sistem keamanannya.<br />
Melalui program reformasi sektor keamanan banyak negara telah melakukan penataan<br />
kembali lembaga-lembaga keamanannya dengan memperhatikan dinamika lingkungan<br />
strategis yang telah berubah. Tujuan utama dari proses reformasi sektor keamanan itu adalah<br />
menciptakan good governance di sektor keamanan dan menciptakan lingkungan yang aman<br />
dan tertib, sehingga dapat menopang tujuan negara untuk menyejahterakan dan<br />
memakmurkan masyarakat. Tidak hanya itu, sistem keamanan di masa kini tidak lagi sebatas<br />
menjadikan “negara” sebagai obyek yang harus dijaga tetapi juga harus menjaga dan<br />
melindungi rasa aman manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian keamanan<br />
harus ditempatkan sebagai barang publik (public goods) yang berhak dinikmati oleh setiap<br />
warga, baik individu, kelompok, maupun sebagai bangsa dengan menempatkan kewajiban<br />
negara untuk mengatur dan mengelolanya.<br />
Di Indonesia, berbagai perubahan dan capaian positif dalam reformasi sektor keamanan telah<br />
dihasilkan di masa reformasi. Perubahan-perubahan itu diantaranya meliputi perubahan di<br />
level regulasi dengan menetapkan beberapa aturan baru di bidang keamanan yakni UU No.<br />
3/2002 tentang Pertahanan <strong>Negara</strong>, UU No. 2/2002 tentang Polri dan UU No. 34/2004<br />
tentang TNI.<br />
Namun demikian, perubahan-perubahan itu belumlah cukup apalagi memadai di dalam<br />
membangun sistem keamanan nasional yang terintegrasi. Apalagi untuk aktor intelijen hingga<br />
kini belum ada aturan hukum setingkat undang-undang yang mengatur tugas dan fungsi<br />
intelijen di dalam sistem negara demokrasi. Atas dasar itulah usaha untuk melakukan<br />
reformasi intelijen melalui pembentukan undang-undang intelijen yang sesuai dengan tata<br />
sistem negara yang demokratik menjadi penting untuk diwujudkan.<br />
2
BAB II<br />
INTELIJEN DALAM NEGARA DEMOKRASI<br />
2.1 Hakikat Intelijen<br />
Terminologi mata-mata (spies) dan operasi rahasia telah ada dalam berbagai literatur sejak<br />
masa Yunani, namun keberadaan organisasi intelijen secara formal oleh negara baru muncul<br />
pada akhir abad-19. Kemunculan organisasi intelijen ini dipicu pertimbangan real-politics<br />
untuk mengantisipasi pergeseran perimbangan kekuasaan di Eropa. 1 Pergeseran tersebut<br />
diawali dengan melemahnya sistem Concert of Europe pada awal abad-19 yang ditandai<br />
dengan perang antara Austria dan Naples (1820-1821). Selanjutnya, perang ini diikuti dengan<br />
31 rangkaian perang antar negara yang dikenal sebagai Perang Dunia I (1914-1919).<br />
Perubahan sistem internasional ini diantisipasi oleh Jerman, Prancis, Inggris dan Amerika<br />
Serikat dengan membentuk organisasi khusus yang diberi tugas spesifik untuk<br />
mengumpulkan informasi mengenai dinamika kekuatan militer negara lain. 2<br />
Berdasarkan kondisi yang dihadapi negara-negara tersebut dalam pencariannya untuk<br />
mendapatkan keseimbangan kekuatan (balance of power), maka hakekat intelijen sangat<br />
dipengaruhi perspektif realis dalam hubungan internasional. Dengan demikian, intelijen<br />
negara selalu mengacu pada seluruh dinas serta anggota intelijen yang terlibat dalam kegiatan<br />
dan operasi untuk menjamin keamanan nasional. 3<br />
Secara harfiah kata ‘intelijen’ dapat diartikan sebagai ‘kecerdasan’. Sementara kata<br />
’intelijensi’ pada Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai daya membuat reaksi atau<br />
penyesuaian yang cepat dan tepat, baik secara fisik maupun mental, terhadap pengalamanpengalaman<br />
baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki siap untuk<br />
dipakai apabila dihadapkan pada fakta-fakta atau kondisi-kondisi baru; kecerdasan. 4 Apabila<br />
kita masukan kata ’intelijen’ ke dalam konteks militer, maka intelijen merupakan tindakan<br />
lanjut dari ’spionase’. Pada dasarnya, ’spionase’ mengacu kepada pengumpulan informasi<br />
secara rahasia, dimana sumber-sumber informasi berupaya mempertahankan dan<br />
melindunginya dari rongrongan pihak lain. Sementara ’intelijen’ mengacu pada proses<br />
mengevaluasi dan memproses informasi yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan. 5<br />
Lebih lanjut, Allen Dulles menyatakan bahwa intelijen berkaitan langsung dengan segala<br />
sesuatu yang harus diketahui sesegera mungkin untuk menunjang setiap inisiatif tindakan.<br />
Ladislas Farago menyatakan bahwa intelijen adalah suatu kegiatan yang terorganisasi untuk<br />
mengumpulkan informasi, dinilai sedikit demi sedikit dan dibentuk sampai terbentuknya<br />
pola-pola yang lebih jelas yang pada saatnya akan memberikan suatu gambaran yang lebih<br />
1 Lihat Andi W., Cornelis L., Makmur K., Intelijen:Velox et Exactus, Pacivis, Jakarta, 2006, hlm.35-36 dan juga<br />
lihat Allan Dulles, The Craft of Intelligence, Signet Book, New York, 1965, hlm 21-23<br />
2 Andi W., Cornelis L., Makmur K., op. cit, hlm.35-36 dan lihat juga Kalevi J. Holsti, Peace and War: Armed<br />
Conflict and International Order 1648-1989, CUP, Cambridge, 1991, hlm 138-169.<br />
3 Ibid. hlm.41.<br />
4<br />
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan<br />
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.335 dan juga lihat I. Kurnarto,<br />
Intelijen: Pengertian dan Pemahamannya, PT.Cipta Manunggal,1999<br />
5 I. Kurnarto, Intelijen: Pengertian dan Pemahamannya, PT.Cipta Manunggal,1999, hlm.25<br />
3
tajam atau komprehensif. 6 Selanjutnya, Department of Army in United States mendefinisikan<br />
intelijen sebagai suatu produk yang dihasilkan dari proses pengumpulan, pengolahan,<br />
integrasi, evaluasi, analisis, dan interpretasi informasi yang tersedia mengenai negara-negara<br />
asing, pihak-pihak yang mengancam atau berpotensi untuk memberikan ancaman potensial<br />
maupun aktual. Istilah ini juga mengacu pada produk dan organisasi yang terlibat di dalam<br />
kegiatan tersebut. 7<br />
Dalam konteks itu, setidaknya pengertian intelijen meliputi: 8<br />
1. Intelijen sebagai produk, merupakan hasil penilaian dan pengolahan dari fakta dan<br />
data serta keterangan/informasi yang diperlukan pimpinan sebagai bahan pengambilan<br />
keputusan.<br />
2. Intelijen sebagai organisasi, merupakan alat untuk mencapai tujuan dengan<br />
menggerakkan kegiatan sesuai dengan fungsi dan peranannya serta memberikan<br />
informasi sesuai dengan tuntutan otoritas yang berwenang dan bertanggungjawab.<br />
3. Intelijen sebagai kegiatan, merupakan upaya mengumpulkan, mengolah dan<br />
menggunakan bahan informasi melalui kegiatan intelijen.<br />
Seperti yang sudah dijelaskan, maka kata ’intelijen’ memiliki beberapa pengertian yang pada<br />
akhirnya mengacu pada suatu hasil pemikiran/perkiraan yang berbentuk informasi untuk<br />
digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan pada otoritas tertentu. Apabila perkiraan<br />
tersebut tepat, maka dapat dikatakan ’intelijen’ bekerja dengan baik. Lebih jauh lagi, hal ini<br />
hanya akan terjadi apabila ditangani oleh pihak-pihak yang memiliki intelijensia yang tinggi<br />
atau kecerdasan, seperti definisi dasar kata ’intelijen’ itu sendiri.<br />
Berdasarkan pengertian intelijen tersebut, maka fungsi utama intelijen adalah sebagai sistem<br />
peringatan dini (early warning system) terhadap pengambil kebijakan (otoritas) di dalam<br />
konteks keamanan nasional. 9 Sementara tugas intelijen adalah mengumpulkan informasi<br />
rahasia yang sifatnya terkini dan akurat, yang kemudian disampaikan kepada pembuat<br />
kebijakan (otoritas) sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dengan<br />
tujuan untuk menghindari pendadakan (strategic surprises) yang dapat mengganggu<br />
keamanan nasional. Dengan kata lain, intelijen hanya berfungsi pada tataran taktik untuk<br />
mengimplementasikan suatu strategi tanpa memiliki otoritas untuk menggantikan strategi<br />
tersebut. 10 Aktivitas intelijen yang utama adalah mengumpulkan dan mencari informasi,<br />
mengevaluasi informasi, mengintegrasikan, menganalisis, menyimpulkan, dan<br />
memperkirakan dinamika keamanan nasional dengan menggunakan metode yang ilmiah. 11<br />
2.2 Intelijen dalam <strong>Negara</strong> Demokrasi<br />
Keberadaan pelayanan keamanan pada negara demokratis pada dasarnya menimbulkan<br />
political paradox. Pada satu sisi, layanan keamanan didirikan untuk melindungi segenap<br />
warga negara dan tatanan negara. Atas dasar fungsi tersebut, maka mereka diberikan<br />
6 Ibid dan lihat juga H. Emon Rivai Arganata, Intelijen Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998,<br />
hlm.21-24<br />
7<br />
Headquarters Department of Army, United States: Inteliigence, dalam<br />
http://www.fas.org/irp/doddir/army/fm2-0.pdf<br />
8 I. Kurnanto, Op.Cit. hlm.48-49<br />
9 Andi Widjajanto, Artanti Wardhani, Hubungan Intelijen-<strong>Negara</strong> 1945-2004, Pacivis, Jakarta, 2008, hlm 1-2.<br />
10 Andi W., Cornelis L., Makmur K, Op.Cit, hlm. 42<br />
11 David L, Carter, Law Enforcement Intelligence: A Guide for State, Local, and Tribal Law Enforcement<br />
Agencies, (Michigan State University, 2004), dalam Ibid, hlm. 11.<br />
4
kewenangan dan kemampuan khusus untuk melaksanakan tugas utamanya. Namun di sisi<br />
lain, kewenangan dan kemampuan khusus yang diberikan tersebut memiliki potensi untuk<br />
mengancam keamanan warga negara, tatanan negara bahkan proses demokrasi suatu negara. 12<br />
Hal ini seiring dengan badan-badan intelijen yang memberikan sebuah tantangan khusus<br />
karena sifat, peran, fungsi, kewenangan dan karakteristiknya yang sangat kental dengan unsur<br />
kerahasiaan. Mengingat bahaya ini, maka tantangan bagi negara-negara demokrasi adalah<br />
membangun sebuah peraturan yang komprehensif mengenai pengawasan, perlindungan hak<br />
asasi manusia, pencegahan penyalahgunaan kewenangan intelijen dan memastikan bahwa<br />
intelijen bekerja di bawah peraturan dan sistem yang sah dan demokratis.<br />
Sebagai bagian dari sistem keamanan nasional yang berperan sebagai sistem peringatan dini<br />
dan pencegahan pendadakan strategis untuk melindungi keamanan nasional, intelijen yang<br />
profesional dan efektif di dalam negara demokrasi setidaknya memiliki ciri-ciri: 13<br />
a. Institusi sipil,<br />
b. Netral secara politik,<br />
c. Tidak otonom,<br />
d. Dibentuk berdasarkan undang-undang,<br />
e. Tunduk kepada hukum dan kendali demokratis,<br />
f. Memiliki anggaran yang sepenuhnya berasal dari negara,<br />
g. Bersifat akuntabel dan waspada.<br />
Sedangkan ciri-ciri intelijen yang tidak akan efektif mengejawantahkan hakekat dirinya<br />
adalah intelijen yang memiliki ciri-ciri: 14<br />
a. Institusi militeristik,<br />
b. Menjadi alat politik rezim,<br />
c. Bersifat otonom,<br />
d. Ekstra konstitusional,<br />
e. Kebal hukum,<br />
f. Tidak tunduk pada kendali demokratis,<br />
g. Dapat mencari sumber dana sendiri di luar anggaran negara,<br />
h. Tanpa pengawasan yang efektif.<br />
Dalam rangka untuk menghadapi ancaman terhadap keamanan nasional dan untuk<br />
menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan (abuse of power), maka<br />
intelijen pada sebuah negara demokratis harus tunduk kepada kode etik intelijen yang<br />
menegaskan prinsip-prinsip etis, antara lain: 15<br />
1. Kesetiaan pada negara dan konstitusi<br />
2. Kepatuhan pada hukum dan tunduk pada aturan main<br />
3. Menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi<br />
4. Penghormatan atas hak asasi manusia (HAM) khususnya pada non-derogable rights,<br />
5. Sumpah untuk menjaga kerahasiaan<br />
6. Integritas yang tinggi kepada publik dalam melaksanakan tugasnya secara efektif dan<br />
efisien<br />
12 Intelligence in a Constitutional Democracy: Final Report to the Minister for Intelligence Services MR Ronnie<br />
Kasrils MP- South Africa. Diakses dari http://www.mg.co.za/uploads/final-report-september-2008-615.pdf<br />
13 David L, Carter Op.Cit, hlm 13-14 dan juga lihat laporan penelitian Imparsial, Perebutan Kuasa intelijen,<br />
Imparsial, 2010.<br />
14 Ibid<br />
15 Andi W., Cornelis L. Makmur K, Op.Cit, hlm 99-102<br />
5
7. Memiliki objektivitas dan tidak bias dalam mengevaluasi informasi<br />
8. Memiliki komitmen untuk mempromosikan terbangunnya rasa saling percaya antara<br />
pengambil kebijakan dan intelijen<br />
9. Tidak melakukan tindakan represif dan tidak melaksanakan fungsi polisi ataupun<br />
tindakan pemeriksaan<br />
10. Netral secara politik; tidak mempengaruhi dan dipengaruhi oleh partai politik, aparat<br />
negara, individu, kelompok, media, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lembagalembaga<br />
perekonomian untuk tujuan di luar kewenangannya<br />
11. Tidak bekerja atas dasar sentimen ras, agama, ideologi kelompok atau karena<br />
keanggotaannya di dalam suatu organisasi<br />
12. Tidak menyalahgunakan kewenangannya dan menghindarkan penggunaan dana<br />
publik secara semena-mena<br />
Dengan kata lain, intelijen harus tunduk pada prinsip demokrasi dan HAM, yang<br />
dilaksanakan secara cepat dan akurat (velox et exactus) berdasarkan kewenangan yang telah<br />
diatur secara jelas dan tegas secara hukum, serta didasarkan pada mekanisme otorisasi di<br />
dalam pelaksanaannya. Lebih jauh lagi ke dalam tataran operasional, maka terdapat beberapa<br />
prinsip di dalam pengaturan intelijen yang harus mendasari kegiatan intelijen pada sebuah<br />
negara demokratis yang meliputi: 16<br />
Pertama, prinsip transparansi vs. kerahasiaan. Transparansi di dalam segala administrasi dan<br />
kegiatan suatu lembaga di negara demokrasi merupakan suatu hal yang sangat penting.<br />
Namun, dalam rangka keefektifan kegiatan intelijen maka akan ada beberapa bagian dan<br />
aktivitas yang sensitif yang harus dirahasiakan. Secara umum, terdapat beberapa bagian yang<br />
disepakati untuk dirahasiakan antara lain:<br />
1. Seluruh informasi yang terkait dengan tindakan operasional, sumber, metodologi,<br />
prosedur dan sarana<br />
2. Personel yang terkait (anggota) dan pengamanan terhadap pengetahuan dan informasi<br />
yang dimilikinya<br />
3. Sumber dan rincian informasi bagi intelijen yang diberikan oleh pemerintah ataupun<br />
sumber asing lainnya.<br />
Kedua, prinsip pemisahan intelijen domestik dan asing. Pemisahan ini didasarkan pada<br />
perbedaan misi dan payung hukum di antara keduanya. Intelijen domestik umumnya<br />
memiliki misi untuk memperoleh, menghubungkan dan mengevaluasi informasi yang<br />
berkaitan dengan keamanan internal suatu negara. Sementara intelijen asing pada umumnya<br />
berkaitan dengan keamanan eksternal untuk tujuan peringatan terhadap pengambil kebijakan.<br />
Payung hukum yang digunakan untuk intelijen domestik adalah peraturan perundangundangan<br />
yang dibuat oleh negara tersebut. Sementara untuk intelijen asing, mereka<br />
mengikuti peraturan perundangan yang dimiliki oleh negara dimana mereka ditempatkan,<br />
walaupun terdapat peraturan negara asal mereka khusus mengenai aturan main intelijen asing<br />
mengenai apa yang dapat dan tidak dapat mereka lakukan.<br />
Ketiga, prinsip pemisahan intelijen domestik dengan penegakan hukum. Secara fundamental<br />
tujuan penegakan hukum dan intelijen berbeda, penegakan hukum adalah melakukan<br />
eksekusi dan pembuktian ke dalam suatu kasus kriminal yang spesifik. Sementara intelijen<br />
bertujuan untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Selain itu, pada dasarnya<br />
16 Geneva Centre for Democratic Control of Armed Forces, Switzerland: Intelligence Services and Democracy.<br />
Diakses dari http://www.dcaf.ch/_docs/WP13.pdf<br />
6
intelijen tidak turut melakukan eksekusi terhadap suatu tindak kriminal, karena hal ini akan<br />
berdampak kepada melemahnya kapabilitas intelijen untuk mengumpulkan informasi lebih<br />
jauh, dimana hal ini merupakan tugas utama intelijen.<br />
Keempat, prinsip Civil or Military Lead? Hasil terbaik dari kinerja intelijen adalah yang<br />
berdasarkan perspektif dan analisis oleh sipil dan militer. Namun di dalam negara demokrasi<br />
pemegang kekuasaan secara politis pada bidang intelijen adalah tugas sipil.<br />
Selain prinsip-prinsip dari pengaturan kegiatan intelijen itu sendiri, intelijen juga terkait<br />
dengan lembaga-lembaga pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dalam mengawasi<br />
aktivitas intelijen, sebagai berikut: 17<br />
Eksekutif Legislatif Yudikatif<br />
- Pengawasan anggaran<br />
intelijen<br />
- Di beberapa negara,<br />
terdapat badan khusus<br />
yang melakukan<br />
pengawasan terhadap<br />
kegiatan intelijen<br />
apabila terdapat<br />
kejanggalan atau<br />
pelanggaran, yang<br />
disertai mekanisme<br />
yang demokratis<br />
dengan tetap<br />
menjamin prinsip<br />
kerahasiaan kegiatan<br />
intelijen itu sendiri. 18<br />
- Menetapkan persyaratan<br />
dan prioritas intelijen<br />
- Meninjau program<br />
intelijen, proposal<br />
anggaran dan alokasi<br />
- Melakukan pemeriksaan<br />
berkala atas produk<br />
intelijen<br />
- Mengevaluasi kualitas<br />
produk intelijen<br />
- Mengembangkan<br />
pedoman kebijakan untuk<br />
memastikan kualitas<br />
intelijen<br />
- Memenuhi perubahan<br />
kebutuhan intelijen<br />
- Membuat laporan tahunan<br />
- Membuat rekomendasi<br />
mengenai kendala dalam<br />
intelijen<br />
- Menerima dan mempertimbangkan<br />
laporan dari lembaga intelijen.<br />
- Memberikan laporan kepada pihak<br />
yang bertanggungjawab (Menteri,<br />
Presiden, Perdana Menteri, dll)<br />
mengenai tanggapan terhadap<br />
laporan intelijen dan apabila<br />
kegiatan intelijen menimbulkan<br />
pertanyaan legalitas<br />
- Menginformasikan terhadap pihak<br />
yang bertanggung jawab mengenai<br />
keputusan-keputusan hukum yang<br />
mempengaruhi operasional badan<br />
intelijen.<br />
- Membuat dan menyetujui<br />
prosedur 19 dalam pelaksanaan<br />
kegiatan intelijen untuk<br />
memastikan kepatuhan terhadap<br />
hukum, perlindungan hak-hak<br />
konstitusional dan privasi<br />
17 Ibid.<br />
18 Parlemen harus dapat dipercaya oleh intelijen dan masyarakat untuk melaksanakan pengawasan ini. Selain itu<br />
pihak oposisi yang berada di dalam parlemen juga harus dilibatkan di dalam badan/lembaga pengawasan<br />
intelijen yang berada di bawah parlemen.<br />
19 Prosedur ini juga harus memastikan bahwa prinsip penggunaan, penyebaran dan penyimpanan informasi yang<br />
diperoleh melalui kegiatan intelijen terbatas pada yang diperlukan untuk mencapai tujuan pemerintah.<br />
7
BAB III<br />
SEKILAS SEJARAH PENGATURAN INTELIJEN DI INDONESIA<br />
Keberadaan intelijen di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, bahkan sebelum<br />
kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, intelijen dilakukan secara sederhana oleh<br />
kekuatan perjuangan kemerdekaan yang pada umumnya memanfaatkan masyarakat umum<br />
untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Pada masa penjajahan Belanda, telah dibentuk<br />
Dinas Reserse Umum terpisah dari Dinas Polisi Umum. Tugas utama Dinas Reserse Umum<br />
bukan mengumpulkan informasi kriminal, tetapi memata-matai kegiatan politik organisasi<br />
pergerakan nasional. Dari sisi keorganisasian, cikal-bakal intelijen dibentuk pada masa<br />
pendudukan Jepang tahun 1943. Pada masa itu Jepang mendirikan versi lokal lembaga<br />
intelijen yang terkenal dengan sebutan Sekolah Intelijen Militer Nakano. Fungsi intelijen<br />
diemban oleh Kempetai dan Tokko-koto (Bagian Spesial). 20<br />
Awal memasuki masa kemerdekaan, keberadaan intelijen di Indonesia dibutuhkan untuk<br />
menghadapi ancaman penjajahan kembali dan mempertahankan kemerdekaan. Pada masa<br />
tersebut yang berperan besar adalah tokoh-tokoh intelijen yang pernah dididik Jepang di<br />
Kempetai dan Tokko-koto, antara lain Zulkifli Lubis dan R. Moch. Oemargatab.<br />
Dalam perkembangannya, intelijen sering mengalami perubahan baik dari sisi nama maupun<br />
kelembagaan. Namun dari awal kemerdekaan hingga saat ini, intelijen belum pernah<br />
memiliki legalitas perundang-undangan yang demokratis. Setiap lembaga intelijen memang<br />
dibentuk secara legal, namun dasar pembentukannya hanya berupa keputusan, surat<br />
penugasan, atau peraturan setingkat Peraturan Presiden. Dasar pembentukan itupun hanya<br />
berisi ketentuan tentang tugas pokok dan fungsi yang bersifat umum. Dengan demikian<br />
intelijen yang merupakan salah satu institusi yang menjalankan fungsi keamanan sebagai<br />
barang publik, belum pernah melibatkan publik dalam pembentukan dan pengaturannya.<br />
Institusi intelijen hingga saat ini belum memenuhi asas profesionalisme dan pengorganisasian<br />
kelembagaan yang demokratis. 21<br />
Di awal kemerdekaan bangsa Indonesia orientasi segenap kekuatan nasional adalah untuk<br />
mempertahankan kemerdekaan, baik dari upaya Belanda untuk kembali menjajah Indonesia<br />
maupun untuk mendapatkan pengakuan internasional. Upaya Belanda menjajah kembali<br />
dilakukan secara fisik dengan agresi militer yang dihadapi dengan perlawanan bersenjata.<br />
Dalam kondisi tersebut diperlukan adanya badan intelijen sehingga pada bulan September<br />
1945 dibentuk Badan Istimewa (BI) 22 atas inisiatif Zulkifli Lubis. Dengan kondisi serba<br />
terbatas serta ancaman penjajahan kembali, BI menjalankan fungsi baik sebagai intelijen<br />
nasional maupun intelijen tempur. Dalam pelaksanaan tugas intelijen, BI lebih merupakan<br />
intelijen militer karena memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di berbagai wilayah.<br />
20<br />
Muradi, Intelijen <strong>Negara</strong> dan Intelijen Keamanan: Perspektif Kepemimpinan Politik dan Efektifitas<br />
Organisasi, dalam Andi Widjajanto (ed), <strong>Negara</strong>, Intel, dan Ketakutan, (Jakarta: Pacivis UI, 2006), hlm. 70-71.<br />
21 Ibid, hlm. 68.<br />
22 Beberapa sumber menyebut dengan istilah Dewan Istimewa. Lihat John Helmi Mempi-Umar Abduh, Sejarah<br />
Dinas Intelijen Indonesia, http://swaramuslim.net/galery/more.php?id=A5783_0_18_0_M, (Diakses 1 Juni<br />
2010).<br />
8
Dalam keterbatasannya, BI telah dimanfaatkan oleh negara sebagai penyuplai informasi<br />
untuk mengambil keputusan, khususnya oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Namun karena<br />
ketiadaan legalitas organisasi dan koordinasi, BI dalam perkembangannya tidak dapat<br />
dikontrol oleh Presiden Soekarno, bahkan menjadi bagian dari konflik elit antara Soekarno<br />
dan Sjahrir. Kondisi intelijen sebagai bagian dari konflik elit kekuasaan ini menjadi warna<br />
dominan sepanjang Orde Lama. Konflik inilah yang menjadi dasar utama dalam perubahanperubahan<br />
institusi intelijen pada masa Orde Lama.<br />
Pada 7 Mei 1946 dibentuk Badan Rahasia <strong>Negara</strong> Indonesia (BRANI) tetap di bawah<br />
kepemimpinan Zulkifli Lubis yang diharapkan menjadi lembaga intelijen payung yang<br />
membawahi berbagai organisasi intelijen. Namun demikian, Zulkifli Lubis tetap<br />
menghendaki BRANI sebagai organisasi di bawah kontrol militer, apalagi untuk menghadapi<br />
agresi militer Belanda pasca-kekalahan Jepang. Pembentukan BRANI ternyata tidak<br />
menghilangkan konflik, justru memperkuat konflik antara Sjahrir yang mengutamakan<br />
diplomasi dengan kelompok militer. 23<br />
Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk lembaga intelijen baru yang murni sipil,<br />
yaitu Lembaga Pertahanan B. Militer yang masih menginginkan dominasi di dalam intelijen<br />
mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk membubarkan BRANI dan menggantinya<br />
dengan Bagian V yang menjadi koordinator operasi intelijen nasional. Soekarno memberikan<br />
persetujuan pembentukan Bagian V yang dilegalisasi dengan Keputusan Menteri Pertahanan<br />
No. A/126/1947 tanggal 30 April 1947 sekaligus menjadi dasar dari fusi berbagai institusi<br />
intelijen. Namun perubahan ini tetap tidak mampu mewujudkan organisasi intelijen yang<br />
profesional. Sebaliknya, organisasi intelijen tetap merupakan kepanjangan dari konflik para<br />
elit politik.<br />
Di lingkungan kepolisian, pada awal 1946 dibentuk kekuatan intelijen untuk mengatasi<br />
gangguan keamanan karena dinamika politik masyarakat saat itu, sehingga dibentuk satuan<br />
Pengawasan Aliran <strong>Masyarakat</strong> (PAM) yang dipimpin oleh R. Moch. Oemargatab. Tugas<br />
Pokok PAM adalah mengawasi semua aliran dan kegiatan atau tujuan seseorang maupun<br />
golongan di Indonesia atau yang datang dari luar yang dianggap dapat membahayakan<br />
negara, serta membantu kegiatan yang menyentausakan negara dan keamanan Indonesia, dan<br />
tugas riset analisis lainnya. 24<br />
Bersamaan dengan perubahan kedudukan Djawatan Kepolisian Nasional (DKN) pada 1949,<br />
terjadi pula perubahan fungsi PAM yang lebih spesifik. Berdasarkan Surat Kepala Kepolisian<br />
<strong>Negara</strong> No. Pol.68/Staf/PAM tanggal 22 September 1949, tugas pokok PAM adalah:<br />
1. Mengawasi aliran-aliran politik, pergerakan-pergerakan buruh, wanita, pemuda, dan<br />
lain-lain;<br />
2. Mengawasi aliran agama, ketahayulan, kepercayaan-kepercayaan lain dan lain<br />
sebagainya;<br />
3. Mengawasi pendapat umum dalam pers, radio dan masyarakat (pergaulan umum dari<br />
segala lapisan masyarakat/rakyat);<br />
4. Mengawasi kebudayaan, pertunjukan-pertunjukan bioskop dan kesusastraan;<br />
5. Mengawasi pergerakan sosial, yakni soal-soal kemasyarakatan yang timbul karena<br />
kurang sempurnanya susunan masyarakat, cara mengerjakan anak-anak dan<br />
perempuan, perdagangan anak, pelacuran, pemberantasan pemadatan, perdagangan<br />
23 Muradi, Op. Cit., hlm. 74.<br />
24 Kunarto, Intelijen Polri, (Jakarta: Cipta Manunggal, 2001), hlm. 7, dalam Ibid., hlm. 77.<br />
9
minuman keras, pemeliharaan orang-orang terlantar lainnya. Semuanya dilihat dari<br />
sisi politik polisionil teknis;<br />
6. Mengawasi keadaan ekonomi, soal-soal yang timbul karena kurang sempurnanya<br />
susunan ekonomi;<br />
7. Mengawasi bangsa asing, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa<br />
politik di luar negeri yang dapat mempengaruhi masyarakat/bangsa asing di<br />
Indonesia;<br />
8. Mengawasi gerak-gerik mata-mata musuh, dan pergerakan/tindakan ilegal yang<br />
menentang/membahayakan pemerintah.<br />
Dalam perkembangannya, Bagian PAM berubah menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan<br />
<strong>Negara</strong> (DPKN) berdasarkan Keputusan No.: Pol.4/2/28/UM tanggal 13 Maret 1951. Di<br />
samping tugas yang telah diemban sejak bernama PAM, DPKN juga mendapatkan tugas<br />
untuk:<br />
a. Melakukan penjagaan terhadap keselamatan Presiden dan Wakil Presiden serta<br />
pejabat tinggi negara; dan<br />
b. Melakukan penjagaan terhadap tamu negara dan perwakilan negara lain.<br />
Sementara itu, intelijen tempur menegaskan keberadaannya pada awal tahun 1952 dengan<br />
dibentuknya Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP) oleh Kepala Staf Angkatan<br />
Perang T.B. Simatupang. Namun demikian BISAP ternyata juga dilatarbelakangi oleh<br />
keinginan militer untuk ikut serta dalam menentukan kebijakan politik nasional.<br />
Keberadaan berbagai institusi intelijen yang tidak terkoordinasi dengan baik menyebabkan<br />
konflik antar elit semakin memuncak. Presiden Soekarno yang tetap tidak memiliki kontrol<br />
atas institusi intelijen mendorong upaya pembentukan lembaga intelijen baru yang mampu<br />
mengkoordinasikan lembaga intelijen yang lain. Dibentuklah Badan Koordinasi Intelijen<br />
(BKI) pada 5 Desember 1958. Namun dalam pelaksanaannya lembaga ini juga sulit<br />
melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen yang ada, terutama dengan lembaga intelijen<br />
militer yang saat itu memang sedang berkonflik dengan Soekarno.<br />
BKI dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1958. Fungsi utama BKI<br />
adalah mengolah, menyaring, dan mengadakan verifikasi atas semua keterangan-keterangan<br />
yang akan disampaikan kepada pemerintah. Tugas pokok BKI adalah sebagai berikut:<br />
1. Menyelenggarakan koordinasi antara badan-badan sipil dan militer yang mempunyai<br />
fungsi dan tugas intelijen;<br />
2. Mengumpulkan, mempelajari, membahas keterangan dan laporan-laporan dalam<br />
laporan intelijen;<br />
3. Menyampaikan kepada Dewan Menteri melalui Perdana Menteri hasil-hasil intelijen<br />
yang perlu guna keselamatan, kesejahteraan, dan keamanan negara.<br />
Pada saat kekuasaan Presiden Soekarno menguat pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dibentuk<br />
Badan Pusat Intelijen (BPI) pada 10 November 1959. BPI dipimpin oleh Soebandrio dan<br />
bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden. BPI menjadi lembaga yang diharapkan<br />
dapat mengkoordinasikan lembaga intelijen lain, serta dapat menjadi alat Soekarno untuk<br />
menandingi kekuatan TNI, khususnya Angkatan Darat.<br />
BPI dibentuk melalui PP Nomor 8 Tahun 1959 menggantikan BKI. Fungsi utama BPI<br />
ditentukan adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam negeri, pemeliharaan<br />
kelangsungan kewibawaan kekuasaan pemerintah, pemeliharaan rahasia negara, dan<br />
10
pengamanan keselamatan negara dari bahaya-bahaya yang mengancam dari luar. Sedangkan<br />
tugas BPI adalah sebagai berikut;<br />
1. Memberikan laporan kepada pimpinan dan menyelenggarakan koordinasi antara<br />
badan-badan sipil dan militer yang mempunyai tugas intelijen;<br />
2. Mengumpulkan, mempelajari, membahas, dan menilai keterangan-keterangan dan<br />
laporan dalam laporan intelijen;<br />
3. Menyampaikan kepada Perdana Menteri/Presiden/Panglima Tertinggi angkatan<br />
Perang, hasil-hasil intelijen yang perlu guna keselamatan, kesejahteraan, dan<br />
keamanan negara.<br />
BPI ternyata kemudian banyak terlibat dalam konflik antara Soekarno dengan TNI. BPI<br />
melakukan berbagai upaya penggalangan massa bekerjasama dengan kekuatan politik kiri,<br />
berhadapan dengan intelijen militer yang memanfaatkan jaringan CIA. Konflik ini ikut<br />
meruncingkan konflik hingga jatuhnya Soekarno pada tahun 1965. 25<br />
Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, intelijen kepolisian juga mengalami perubahan menjadi<br />
Korps Polisi Dinas Security berdasarkan Order Kepala Kepolisian <strong>Negara</strong> No. 37/4/1960<br />
tanggal 4 Juni 1960. Adapun tugas Korps Polisi Dinas Security adalah:<br />
1. Mengatur pelaksanaan security intelijen;<br />
2. Mengatur pelaksanaan pengumpulan, penyusunan, penilaian dan pengolahan bahanbahan<br />
informasi mengenai persoalan-persoalan dalam masyarakat untuk menentukan<br />
kebijaksanaan dalam rangka kepentingan keamanan nasional;<br />
3. Menyelesaikan masalah-masalah tentang persoalan-persoalan dalam masyarakat<br />
termasuk dalam poin 2 di atas, yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak Kepolisian<br />
Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat;<br />
4. Memberi pimpinan dalam penjagaan keselamatan orang-orang penting dan<br />
perwakilan kenegaraan dalam kerjasama dengan instansi-instansi yang bersangkutan,<br />
yang tidak dapat diselesaikan oleh Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih<br />
dari satu Kepolisian Komisariat.<br />
Pada tahun 1964, Korps Polisi Dinas Security berubah menjadi Direktorat Intelijen dan<br />
Security Departemen Angkatan Kepolisian. Berdasarkan Surat Keputusan No. Pol:<br />
11/SK/MK/1964 tanggal 14 Februari 1964 tugas Direktorat Intelijen dan Security adalah<br />
sebagai berikut:<br />
1. Tugas Umum: Menciptakan ketertiban dan ketentraman lahir dan batin untuk menuju<br />
masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, tata tentrem kerta raharja, serta<br />
mengamankan/menyelamatkan dan aktif merealisasikan amanat penderitaan rakyat,<br />
sesuai dengan kerangka tujuan revolusi nasional.<br />
2. Tugas Khusus: Menjalankan tugas yang bersifat preventif dan represif dengan cara<br />
positif dan aktif di bidang intelijen dan security.<br />
Terjadinya pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto tidak membawa perubahan yang<br />
berarti terhadap institusi intelijen yang ada. Perbedaan utama antara kedua periode tersebut<br />
adalah jika pada masa Soekarno institusi-institusi intelijen menjadi bagian dari konflik elit<br />
yang tidak dapat dikoordinasikan, pada masa Soeharto intelijen mutlak berada sepenuhnya di<br />
bawah Soeharto dan sangat dimanfaatkan untuk kepentingan Presiden Soeharto. Kekuasaan<br />
mutlak tersebut menjadikan Soeharto sebagai titik sentral lingkaran komunitas intelijen.<br />
Namun demikian, keberadaan intelijen tetap bersifat ekstra konstitusional dan ekstra yudisial,<br />
25 Ibid., hlm. 83.<br />
11
demikian pula kekuasaan yang dimiliki sehingga merupakan cermin dunia “hitam” intelijen<br />
di negara-negara otoriter.<br />
Di awal masa kekuasaannya, Soeharto segera menyatukan kekuatan bersenjata dengan<br />
memasukkan Polri sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)<br />
dengan maksud untuk mengukuhkan kontrolnya serta menjaga agar tidak dimanfaatkan oleh<br />
kelompok anti pemerintah. BPI sebagai lembaga koordinasi antar institusi intelijen pun<br />
dibubarkan dan diganti menjadi lembaga yang lebih berwatak militer, yaitu Komando<br />
Intelijen <strong>Negara</strong> (KIN).<br />
KIN dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1966, tanggal 22 Agustus 1966<br />
dipimpin oleh Brigjen. Yoga Sugomo sebagai kepala yang langsung bertanggung jawab<br />
kepadanya. KIN juga memiliki Operasi Khusus (Opsus) di bawah Letkol. Ali Moertopo<br />
dengan asisten Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani dan Aloysius Sugiyanto<br />
Tugas pokok KIN adalah melaksanakan segala kegiatan intelijen negara RI demi keselamatan<br />
dan keamanan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia. Sedang fungsi utamanya adalah<br />
mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan intelijen politik, ekonomi, sosial budaya,<br />
teknologi, militer keamanan dalam negeri dan luar negeri, menyelenggarakan riset dan<br />
analisis masalah dan pengalaman secara ilmiah, menyelenggarakan dokumentasi dan filing<br />
intelijen, dan menyelenggarakan koordinasi dan integrasi kegiatan dan operasi intelijen dari<br />
badan-badan intelijen departemen dan lembaga-lembaga serta melakukan fungsi-fungsi<br />
pengawasan.<br />
Pada tahun 1967 KIN berubah menjadi Badan Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong> (BAKIN),<br />
tepatnya pada 22 Mei 1967 Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 1967.<br />
Kepala BAKIN yang pertama adalah Soedirgo yang menjabat 1966-1968. Tugas pokok<br />
BAKIN adalah membantu presiden dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah negara<br />
dibidang intelijen, dan membantu presiden mengamankan pelaksanaan kebijaksanaan<br />
pemerintah negara. Sedang fungsi utamanya:<br />
1. Menyelenggarakan operasi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen<br />
dalam dan luar negeri;<br />
2. Menyelenggarakan koordinasi intelijen dan pembinaan teknis terhadap kegiatan dan<br />
operasi intelijen yang dilakukan oleh badan-badan intelijen di luar BAKIN;<br />
3. Pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas intelijen; dan<br />
merumuskan kebijakan intelijen.<br />
BAKIN menjadi lembaga koordinasi intelijen yang sangat hegemonik serta menjadi<br />
kepanjangan tangan penguasa untuk melakukan operasi-operasi ekstra konstitusional dan<br />
ekstra yudisial. Operasi tersebut dilakukan dengan menggunakan jaringan militer yang ada di<br />
daerah-daerah. 26<br />
Pada masa Mayjen. Sutopo Juwono, Bakin memiliki Deputi II di bawah Kolonel Nicklany<br />
Soedardjo, perwira Polisi Militer (POM) lulusan Fort Gordon, AS. Sebenarnya di awal 1965<br />
Nicklany menciptakan unit intel PM, yaitu Detasemen Pelaksana Intelijen (Den Pintel) POM.<br />
Secara resmi, Den Pintel POM menjadi Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel), tahun 1976<br />
menjadi Satuan Pelaksana (Satlak) Bakin dan di era 1980-an kelak menjadi Unit Pelaksana<br />
(UP) 01.<br />
26 Ibid., hlm. 89.<br />
12
Mulai tahun 1970 terjadi reorganisasi BAKIN dengan tambahan Deputi III pos Opsus di<br />
bawah Brigjen. Ali Moertopo. Sebagai inner circle Soeharto, Opsus dipandang paling<br />
prestisius di BAKIN, mulai dari urusan domestik Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian<br />
Barat dan kelahiran mesin politik Golongan Karya (Golkar) sampai masalah Indocina.<br />
Tahun 1983, sebagai Wakil Kepala BAKIN, L.B. Moerdani memperluas kegiatan intelijen<br />
dengan menegaskan keberadaan intelijen militer, yaitu Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat)<br />
yang kemudian berubah menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS). Selanjutnya Bakin tinggal<br />
menjadi sebuah direktorat kontra-subversi dari Orde Baru. BAIS memainkan peran sentral<br />
intelijen dengan jaringan lengkap dari Kodam hingga Koramil dan perwakilan di luar negeri.<br />
BAKIN dan BAIS memainkan peran utama komunitas intelijen dan meminggirkan intelijen<br />
Polri sepanjang Orde Baru. Polri dan Intelijen Polri menjadi subordinat terhadap institusi<br />
militer.<br />
Pada saat institusi sektor keamanan lain telah melakukan perubahan di era reformasi, institusi<br />
intelijen baru mengalami perubahan pada tahun 2000. BAKIN berubah menjadi Badan<br />
Intelijen <strong>Negara</strong> (BIN). BIN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun<br />
2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja<br />
Lembaga Pemerintah Non Departemen.<br />
Keppres Nomor 166 Tahun 2000 menyatakan bahwa BIN mempunyai tugas melaksanakan<br />
tugas pemerintahan di bidang intelijen. Dalam melaksanakan tugas tersebut, BIN<br />
menyelenggarakan fungsi:<br />
a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen;<br />
b. Penyampaian produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan<br />
kebijakan Pemerintah;<br />
c. Perencanaan dan pelaksanaan operasi intelijen di bidangnya;<br />
d. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BIN;<br />
e. Pelancaran dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang intelijen;<br />
f. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan<br />
umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan,<br />
persandian, perlengkapan, dan rumah tangga.<br />
Dalam menyelenggarakan fungsi dimaksud BIN mempunyai kewenangan:<br />
a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;<br />
b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro;<br />
c. Kewenangan lain yang melekat dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan<br />
peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu:<br />
1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang intelijen; dan<br />
2. Pengaturan Sistem Intelijen Nasional dan sistem pengamanan pimpinan<br />
nasional di bidang intelijen.<br />
Pada masa reformasi perubahan-perubahan organisasi BIN dilakukan berdasarkan instruksi<br />
atau keputusan Presiden. Perubahan antara lain dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden<br />
Nomor 5 Tahun 2002 dan diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004<br />
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja<br />
Lembaga Pemerintahan Non Departemen. Tugas utama BIN adalah untuk<br />
mengkoordinasikan komunitas intelijen lainnya. Namun perubahan nama ini hanya bersifat<br />
penegasan dari peran dan fungsi BAKIN.<br />
13
Selain itu juga terdapat pengaturan organisasi BIN yang lain. Keputusan Presiden Nomor 62<br />
Tahun 2003, menentukan bahwa BIN terdiri dari 7 Deputi dan Staf Ahli. Keputusan Presiden<br />
Nomor 9 Tahun 2004, BIN dimungkinkan membentuk pos wilayah dan kelompok kerja.<br />
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2002, BIN berwenang mengkoordinasikan kegiatan<br />
pelaksanaan intelijen instansi pemerintah. Penetapan Presiden Nomor 52 Tahun 2005, BIN<br />
terdiri dari 5 Deputi, Sekretaris Utama, Inspektorat Utama, dan 5 Staf Ahli. Kedudukan<br />
kepala BIN berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan BIN<br />
mengkoordinasikan kegiatan pelaksanaan intelijen instansi pemerintah.<br />
Persoalan mengenai payung hukum bagi pelaksanaan kegiatan intelijen ternyata dapat<br />
berdampak pada persoalan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Konflik komunal yang<br />
terjadi pada masa awal reformasi dan kegiatan terorisme yang terjadi di Indonesia merupakan<br />
tantangan yang harus dihadapi oleh BIN. Pada saat itu, BIN dihadapkan pada dua tantangan<br />
utama yaitu melakukan tugas intelijen dalam memberi informasi yang tepat pada aparat<br />
penegak hukum Indonesia tanpa mengabaikan kaidah-kaidah hak asasi manusia.<br />
Dengan kedudukan tersebut BIN mempunyai beberapa kewenangan:<br />
a) Mengumpulkan, menganalisa serta menyajikan informasi intelijen baik dalam maupun<br />
luar negeri;<br />
b) Menciptakan situasi dan kondisi yang aman bagi negara;<br />
c) Memberikan saran kepada Presiden berkaitan dengan aspek keamanan;<br />
d) Mengkoordinasi operasional intelijen seluruh instansi intelijen yang ada.<br />
Dalam menjalankan kewenangan itu, organisasi BIN dibagi dalam lima (5) sektor yang<br />
dipimpin oleh seorang deputi dengan rincian (Gambar 1):<br />
a. Deputi I membidangi luar negeri dan organisasi internasional<br />
b. Deputi II membidangi politik dalam negeri dalam bentuk pengumpulan data dan<br />
pengamanan<br />
c. Deputi III menangani dan memproduksi data-data yang dikumpulkan oleh Deputi I,<br />
II, dan IV<br />
d. Deputi IV membidangi pengamanan dan kontra intelijen<br />
e. Deputi V membidangi penggalangan dan propaganda<br />
Kepala BIN &<br />
waka BIN<br />
Sekretaris<br />
Utama<br />
Staf Ahli<br />
DEPUTI I DEPUTI II DEPUTI III<br />
DEPUTI IV<br />
DEPUTI V<br />
Gambar 1. Struktur Badan Intelijen <strong>Negara</strong> (BIN)<br />
14
Intelijen kepolisian juga mengalami perubahan di masa Reformasi dan bernama Badan<br />
Intelijen Keamanan Polri. Orientasi utama badan intelijen ini adalah pada intelijen keamanan.<br />
Ketentuan yang mengatur Intelkam Polri adalah Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 2002<br />
tentang Organisasi Tata Kerja Kepolisian <strong>Negara</strong> Republik Indonesia. Pasal 21 Keppres<br />
Nomor 70 Tahun 2002 menentukan:<br />
a. Badan Intelijen Keamanan Polri, disingkat Baintelkam adalah unsur pelaksana utama<br />
pusat bidang intelijen keamanan di bawah Polri.<br />
b. Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam bidang<br />
keamanan bagi kepentingan tugas operasional dan manajemen Polri maupun guna<br />
mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan<br />
Keamanan Dalam Negeri.<br />
Pada umumnya fungsi dan tugas Baintelkam sama seperti badan intelijen pada umumnya<br />
yaitu sebagai pengumpul informasi dalam usaha pencegahan dari ancaman terhadap<br />
kepentingan nasional yang ada dibawah Kapolri. Mengenai wilayah operasional dari<br />
Baintelkam, lembaga ini memiliki tugas untuk menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri<br />
(struktur Baintelkam lihat Gambar 2).<br />
Secara spesifik fungsi Baintelkam antara lain adalah; pertama, penyelenggaraan kegiatan<br />
operasional intelijen keamanan guna terselenggaranya deteksi dini (early protection) dan<br />
peringatan dini (early warning). Kedua, penyelenggaraan dan pembinaan fungsi pelayanan<br />
administrasi, persandian, dan intelijen teknologi termasuk pelaksanaannya dalam mendukung<br />
fungsi-fungsi operasional intelijen lainnya. Ketiga, penyelenggaraan dokumentasi dan<br />
penganalisaan terhadap perkembangan lingkungan strategis serta penyusunan produk intelijen<br />
baik untuk kepentingan pimpinan maupun untuk mendukung kegiatan operasional intelijen.<br />
Keempat, penyelenggaraan kegiatan intelijen terhadap masalah-masalah yang memiliki<br />
dampak politis dan strategis melalui satuan tugas khusus.<br />
Unsur Pimpinan<br />
KABAINTELKAM<br />
WAKA<br />
ROANALIS<br />
RORENMIN<br />
Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf<br />
BID YANMIN BID SANDI BID INTELTEK<br />
Unsur Pelaksana Staf Khusus/Teknis<br />
DIT<br />
SATGASUS<br />
Unsur Pelaksana Utama<br />
Gambar 2. Struktur Organisasi Baintelkam<br />
15
Lebih lanjut, lembaga intelijen yang dimiliki oleh militer Indonesia adalah BAIS.<br />
Terbentuknya BAIS tidak akan pernah terlepas dari peran L.B Moerdani yang pada tahun<br />
1980-an diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia oleh Soeharto.<br />
Ketika menjadi panglima ABRI, Moerdani mulai membangun BAIS yang memiliki jaringan<br />
internasional dengan penempatan atase pertahanan di berbagai negara. Dengan dukungan<br />
anggaran yang besar serta jaringan kerja di dalam dan luar negeri, BAIS menjadi lembaga<br />
intelijen yang menonjol dan mengungguli badan intelijen lainnya di Indonesia.<br />
Walaupun BAIS bukan merupakan satu-satunya organisasi intelijen di dalam organisasi TNI,<br />
namun BAIS adalah organisasi intelijen yang paling menonjol karena diberi tanggung jawab<br />
oleh Mabes (Markas Besar) TNI untuk untuk menjalankan fungsi intelijen di dalam tubuh<br />
militer. Pada tahun 1980, Pusinteltrat dan Satgas Inte Kopkamtib dilebur menjadi Badan<br />
Intelijen ABRI (BIA). Namun pada tahun 1986 keadaan BIA diubah menjadi BAIS untuk<br />
menjawab segala tantangan strategis di Indonesia.<br />
BAIS dalam mengumpulkan informasi serta melakukan tugas intelijen dapat dikatakan efektif<br />
secara operasional, antara lain karena didukung oleh ruang lingkup kerja dari BAIS yang<br />
cukup luas baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Dari luar negeri, pasokan informasi<br />
BAIS diperoleh dari atase pertahanan atau militer, yang penunjukkannya atas dasar dari<br />
BAIS. Dari lingkup domestik, informasi yang didapat BAIS berasal dari jalur struktur<br />
teritorial atau Komando Daerah Militer (Kodam). BAIS sebagai badan intelijen militer pada<br />
tingkat operasional bertanggung jawab langsung kepada Panglima TNI atau Mabes TNI.<br />
Struktur organisasi yang dimiliki BAIS pun memiliki perbedaan dengan dua lembaga<br />
intelijen yang disebutkan di atas (Gambar 3). BAIS membagi ruang kerja intelijen dalam 7<br />
direktorat yang dijabat oleh perwira tinggi bintang satu, yakni:<br />
Direktorat A : direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang<br />
lingkungan strategis dalam negeri<br />
Direktorat B: direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang<br />
lingkungan strategi luar negeri<br />
Direktorat C: direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang<br />
militer dan pertahanan<br />
Direktorat D: direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang<br />
pengamanan<br />
Direktorat E : direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang<br />
penggalangan<br />
Direktorat F : direkturnya Pati bintang satu bertanggungjawab di bidang administrasi<br />
dan personel<br />
Direktorat G: direkturnya Pati bintang satu bertanggungjawab menyajikan produkproduk<br />
intelijen kepada kepala BAIS dan Panglima TNI. 27<br />
Komandan Satuan Intelijen dijabat Pati bintang satu yang bertanggung jawab tentang<br />
perencanaan dan kegiatan intelijen<br />
\<br />
27 Angel Rabasa – John Haseman, The Military and Democracy in Indonesia – Challenges, Politics, and Power,<br />
RAND, Santa Monica, 2002, hlm.32. dan sumber-sumber lainnya.<br />
16
Kepala<br />
Wakil Kepala<br />
DIR A<br />
DIR B<br />
DIR C<br />
DIR D<br />
DIR E<br />
DIR F<br />
DIR G<br />
Dansat<br />
intel<br />
Dansat<br />
intel tek<br />
Dansat<br />
induk<br />
Kadis<br />
Sandi<br />
Kaset<br />
Gambar 3. Struktur Organisasi BAIS<br />
17
BAB IV<br />
EVALUASI KINERJA INTELIJEN DI INDONESIA<br />
4.1 Masa Orde Baru<br />
Ruwetnya akuntabilitas intelijen di Indonesia dapat dimulai dari praktik-praktik kebijakan<br />
intelijen di masa lampau. Meski secara organisasional, eksistensi BIN baru terbentuk pada<br />
medio 2000, namun cikal bakal dari kerja-kerja intelijen sudah tersisip pada organisasi<br />
kemiliteran (saat itu ABRI), khususnya melalui keberadaan Komando Operasi Pemulihan<br />
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).<br />
Meski badan negara ini (baca: Kopkamtib) memiliki Tugas, Pokok dan Fungsi (Tupoksi)<br />
pada politik keamanan domestik Indonesia, namun di bawah Kopkamtib telah banyak<br />
dilakukan serangkaian operasi-militer dan non-militer yang memiliki corak ke-intelijen-an.<br />
Pengembangan operasi-operasi intelijen dalam ranah militer juga banyak diterapkan pada<br />
operasi-operasi Satuan Gabungan Intelijen (SGI) di masa Orde Baru dan masa transisi<br />
Reformasi 1998. Biasanya kategori operasi SGI banyak diterapkan di wilayah-wilayah<br />
konflik, seperti pada masa DOM Aceh, Darurat Militer-Sipil Aceh, konflik Ambon, konflik<br />
Poso, konflik Papua dan masa Jajak Pendapat Timor Timur 1999.<br />
Lalu, mengapa praktik-praktik intelijen begitu identik dengan kegiatan militer Indonesia di<br />
masa Orde Baru dan diteruskan hingga kini? Perekrutan aparat intelijen dari unsur militer<br />
bukan sesuatu hal baru. Relasi ini bahkan dipercaya mampu memperkuat karakter intelijen<br />
militer Orde Baru, khususnya untuk menopang kekuasaan ekonomi, sosial, politik dan<br />
keamanan Indonesia saat itu.<br />
4.1.1 Kopkamtib<br />
Badan ini dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1965, pasca peristiwa September 1965.<br />
Kedaruratan dan kekacauan situasi politik Indonesia saat itu, menyebabkan negara<br />
mengambil respon cepat dengan membentuk badan yang memang semata ditujukan untuk<br />
menumpas PKI. Meski badan ini berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden<br />
serta hanya memiliki tugas pokok untuk mengawasi kegiatan eks-PKI, kelak, Kopkamtib<br />
berkembang menjadi badan yang memiliki kewenangan besar dan meluas. Badan ini diberi<br />
kewenangan untuk menangkal berbagai gerakan ekstrem, memberantas korupsi dan pungli,<br />
ikut membredel pers, menertibkan sertifikat tanah, sampai mengamankan calo di terminal<br />
bus. 28 Tupoksi Kopkamtib kemudian dirumuskan oleh Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun<br />
1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Kopkamtib.<br />
28 Secara umum, Kopkamtib memang memiliki fungsi sebagai berikut: (1) Mengkoordinasikan pelaksanaan<br />
kebijakan dalam menjaga keamanan, stabilitas dan ketertiban nasional, (2) Mencegah dan menghancurkan<br />
kegiatan subversif sisa-sisa G30S/PKI dan kelompok ekstrem lain yang mengancam keamanan dan ketertiban<br />
sosial serta yang membahayakan kesejahteraan dan integritas negara dan bangsa berdasarkan Pancasila dan<br />
UUD 1945, (3) Menghalangi pengaruh moral dan mental yang muncul dari G30S/PKI dan bentuk budaya lain<br />
yang menentang Pancasila secara moral, mental dan budaya, (4) Membina masyarakat ke arah partisipasi aktif<br />
dan bertanggung jawab dalam menjaga keamanan dan ketertiban.<br />
18
Kopkamtib adalah inti kekuasaan politik keamanan Orba. Kopkamtib membangun sistem<br />
koordinasi mulai dari Badan Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong> (BAKIN) sampai dengan badan<br />
intelijen di setiap matra ABRI. Dalam kondisi tertentu, Kopkamtib memiliki kewenangan<br />
untuk menggunakan para personel ABRI untuk melakukan tugas-tugas intelijen. 29 Namun,<br />
pada tahun 1988, Soeharto membubarkan badan ini, menggantikannya dengan Badan<br />
Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas). Sesungguhnya,<br />
Bakorstanas juga memiliki tujuan nyaris serupa dengan Kopkamtib. Bahkan, hampir seluruh<br />
staf Kopkamtib dan seluruh fungsi, peran serta tugas yang diperankan oleh Kopkamtib juga<br />
tetap dilanjutkan oleh Bakorstanas.<br />
Berikut ini adalah catatan keterlibatan peran intelijen negara, khususnya peran Kopkamtib<br />
pada serangkaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.<br />
• Kasus Penembakan Misterius (1983-1985)<br />
Penembakan misterius (Petrus) merebak pada medio 1983. Kebijakan ini digunakan<br />
pemerintah untuk “mengamankan” orang-orang yang dituduh telah meresahkan keamanan<br />
dan ketertiban umum. Terma “mengamankan” merujuk pada serangkaian tindakan<br />
mengeksekusi mati, dengan cara menembak di tempat. Sering kali mayatnya dibiarkan<br />
tergeletak di pinggir-pinggir jalan. Operasi ini terjadi nyaris di seluruh Indonesia. Biasanya<br />
mereka yang melawan langsung ditembak di tempat. Orang banyak menemukan mayat<br />
dengan luka tembak. Biasanya penemuan mayat ini terjadi pada pagi hari. Dari identifikasi<br />
korban, sebagian besar bertato.<br />
Praktik teror ini menyebar dan bertahan hingga tahun 1985. Bahkan secara terbuka,<br />
pemerintah membenarkan adanya rangkaian operasi yang berujung pada eksekusi tersebut.<br />
Istilah shock therapy digunakan sebagai pembenaran atas praktik kebijakan Petrus, dengan<br />
alasan, kebijakan ini mampu mengurangi angka tindak kriminalitas di tengah masyarakat.<br />
Meski kebijakan ini tidak mendapatkan prosedur pengawasan dan kontrol efektif dari badan<br />
legislatif dan yudisial. Perluasan kewenangan memang semata-mata dilakukan demi stabilitas<br />
politik rezim. Perluasan kewenangan ini secara siginifikan mengurangi proses penegakan<br />
hukum. Akibatnya, hadir operasi tertutup yang mengandalkan metode-metode represif.<br />
Peran Kopkamtib dalam kasus ini amatlah jelas. Panglima Kopkamtib yang saat itu dijabat<br />
Sudomo (1973-1983) mengawasi langsung jalannya Operasi Clurit. Mayjen Try Soetrisno<br />
ditunjuk sebagai Pelaksana Khusus (Laksus) Pangkopkamtib dan untuk membasmi tindak<br />
kejahatan, langsung diikuti oleh Pelaksana Khusus Daerah/Laksusda sebagai strata komando<br />
terbawah dari Pangkopkamtib di daerah-daerah untuk menggelar operasi serupa.<br />
Operasi ini dibentuk pada tanggal 19 Januari 1983. Sejatinya, operasi ini dilakukan selama<br />
sebulan, melibatkan unsur-unsur kepolisian, Laksusda dan masyarakat. Namun akhirnya<br />
ABRI juga ikut terlibat di dalam operasi tersebut. Selain bertujuan untuk memberantas tindak<br />
kriminal yang dianggap meresahkan masyarakat, operasi ini juga bertujuan untuk<br />
menciptakan rasa aman menjelang penyelenggaraan Sidang Umum MPR 1983. Mulanya<br />
operasi ini hanya diberlakukan di DKI Jakarta, namun operasi ini akhirnya dilakukan<br />
serentak di seluruh Indonesia di bawah pengawasan Kopkamtib. Terhadap para pelaku tindak<br />
kejahatan, Pangkopkamtib memberikan instruksi untuk dilakukan tindakan tembak di<br />
29 Biasanya kasus-kasus yang dikategorikan dapat menganggu stabilitas ekonomi dan politik dalam artian luas<br />
dan luar biasa, Kopkamtib mampu menggunakan kewenangan dan memerintahkan para personel ABRI terlibat<br />
dalam operasi intelijen.<br />
19
tempat. Instruksi tembak di tempat ini mendapat respon positif dari para petinggi jenderal<br />
pada jajaran Polri dan ABRI.<br />
PKI masih dijadikan ancaman laten atas stabilitas keamanan nasional. Ketakutan kepada<br />
paham komunisme ini dijadikan akar dari ketakutan terhadap tindak kriminalitas. Legitimasi<br />
keterlibatan PKI dalam peningkatan angka kriminalitas dijadikan alasan pembenar untuk<br />
dijalankannya Operasi Clurit. 30 Sebagai operasi yang direstui negara, Operasi Clurit<br />
digunakan untuk melumpuhkan: (1) Penjahat yang diklasifikasikan sebagai bagian dari<br />
kekuatan politik yang dilarang (PKI, DI/TII dan atau NII) dan memiliki potensi untuk<br />
melakukan tindak kriminal, (2) Para penjahat menggunakan metode kekerasan untuk<br />
melemahkan korbannya, (3) Tindakan para penjahat termasuk tindakan pelanggaran hukum<br />
sehingga harus dilumpuhkan.<br />
Petrus dapat dikategorikan sebagai operasi intelijen, karena operasi ini diselenggarakan<br />
secara instruktif dan fungsionil di bawah pengendalian Kopkamtib. Laksusda sebagai<br />
pelaksana operasi pemulihan keamanan dan ketertiban di daerah-daerah bertanggung jawab<br />
penuh kepada Kopkamtib. Meski operasi ini memang dibenarkan oleh pemerintah dan terjadi<br />
serempak di banyak wilayah di Indonesia, namun pelaksanaannya tetap bersifat tertutup.<br />
Hingga kini, para pelaku Petrus tidak pernah terungkap jati dirinya. Begitu pula, aparat<br />
kepolisian tidak pernah melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap kasus-kasus Petrus.<br />
Hingga kini, kita masih menunggu keluarnya hasil penyelidikan adhoc peristiwa Petrus oleh<br />
tim Komnas HAM. Penyelidikan sudah dilakukan sejak Juli 2008.<br />
• Peristiwa Tanjung Priok (1984)<br />
Laporan lengkap hasil penyelidikan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak<br />
Asasi Manusia (KP3T) Tanjung Priok resmi dikeluarkan pada tanggal 12 Juni 2000. Namun,<br />
laporan penyelidikan tersebut tidak berhasil menyeret pihak-pihak yang bertanggung jawab<br />
pada peristiwa Tanjung Priok, peristiwa yang menewaskan 24 orang dan melukai 55 orang<br />
pada tanggal 12 September 1984. Dalam kesimpulannya, KP3T menerangkan bahwa telah<br />
terjadi pelanggaran HAM yang berat, terutama tetapi tidak terbatas pada pembunuhan kilat,<br />
penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penghilangan orang secara<br />
paksa.<br />
Seluruh rangkaian di atas merupakan tanggung jawab pelaku di lapangan, penanggung jawab<br />
komando operasional dan pemegang komando. 31 Masih dalam laporan tersebut, latar<br />
belakang kejadian yang muncul sebelum peristiwa 12 September 1984 adalah adanya<br />
kebijakan politik nasional dengan dikeluarkannya TAP MPR Nomor 14 Tahun 1978 tentang<br />
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kebijakan ini kemudian mendapat<br />
respon dari sebagian umat Islam yang melihat adanya indikasi untuk mengkerdilkan Islam<br />
dan “mengagamakan” Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat,<br />
30 Pernyataan Pangdam VII/Diponogoro Mayjen TNI Ismail,”Meningkatnya kriminalitas dimungkinkan masih<br />
aktifnya golongan ekstrem generasi kedua atau ketiga dari bekas PKI atau DII-TII”. Lihat Sinar Harapan, 11<br />
Januari 1982; Mendagri Amir Mahmud,“Terjadinya berbagai tindakan kriminal dan kejahatan yang terjadi<br />
akhir-akhir ini serta gejala politik menjelang pemilu yang lalu, Karena eks PKI ikut bermain.” Lihat Merdeka,<br />
12 Agustus 1982; Ketua MPR/DPR Amir Mahmud,”Kalau ada kejahatan yang nekat, luar biasa dan sadis, itu<br />
menurut feeling saya merupakan usaha ingin come backnya PKI. “Lihat Sinar Harapan, 22 Juli 1983.<br />
31 Lihat Ringkasan Eksekutif Laporan Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di<br />
Tanjung Priok, 13 Oktober 2003.<br />
20
erbangsa dan bernegara. Ketegangan ini memperuncing hubungan antara sebagian umat<br />
Islam dengan aparat keamanan, khususnya dalam mempraktikkan kebijakan politik nasional<br />
dengan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.<br />
Masih dalam laporan tersebut, KP3T merekomendasikan 23 nama yang seharusnya menjadi<br />
terdakwa. Namun hanya 14 nama yang diajukan ke pengadilan HAM adhoc. Nama-nama<br />
tersebut rata-rata merupakan personel tingkat rendah pada saat peristiwa terjadi. Jaksa<br />
sengaja mengabaikan fakta keterlibatan para petinggi keamanan dan pengambil keputusan<br />
tertinggi. Penanggungjawab hanya dibebankan kepada Komandan Kodim, Letkol Inf. RA.<br />
Butar-Butar.<br />
Kemudian muncul pertanyaan, sejauh mana Kopkamtib terlibat dalam peristiwa Tanjung<br />
Priok 1984. Saat itu Kopkamtib dipimpin oleh Jenderal LB. Moerdani. Jabatan ini ia rangkap<br />
dengan posisi Pangab. Pada saat peristiwa terjadi Mayjen Try Soetrisno menjabat sebagai<br />
Panglima Kodam Jaya. Struktur tertinggi pengamanan berada pada Pangkopkamtib. Di<br />
bawahnya berturut-turut, Panglima Komando Wilayah Pertahanan II Pelaksana Khusus<br />
Daerah Jakarta Raya (dipegang langsung Panglima Kodam Jaya). Operasional lapangan<br />
langsung berada di bawah komando Komandan Distrik Militer Jakarta Utara.<br />
Kedatangan Jenderal LB. Moerdani dan Mayjen Try Soetrisno saat peristiwa terjadi juga<br />
tercantum pada laporan KP3T Komnas HAM. 32 Di dalam laporan diterangkan bahwa Mayjen<br />
Try Soetrisno, Jenderal LB Moerdani dan Letkol Inf RA Butar-Butar dan Walikota Jakarta<br />
Utara datang ke TKP menggunakan kendaraan jip yang dikendarai sendiri oleh Mayjen Try<br />
Soetrisno. Duduk di sebelah kirinya Jenderal LB. Moerdani, sementara di belakang duduk<br />
Dandim dan Walikota. Bahkan, Mayjen Try Soetrisno pada saat itu memberikan perintah<br />
untuk segera mengamankan PT Berikat Nusantara. Rombongan juga mengunjungi RS. Koja<br />
dan RSPAD Gatot Subroto, di mana banyak korban dilarikan di sana. 33<br />
Mayjen Try Soetrisno diiindikasikan mengetahui, membiarkan dan memerintahkan<br />
penguburan (secara diam-diam) para korban tewas, serta penangkapan terhadap aktivis<br />
masjid lainnya. Selain itu, korban luka dan tewas dikumpulkan di RSPAD Gatot Subroto dan<br />
setelah sehat kemudian mereka ditahan di Kodim, Balak Intel Laksusda Jaya, Markas<br />
Pomdam Jaya Guntur dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis tanpa ada surat perintah<br />
penangkapan dan penahanan. Tindakan ini dilakukan atas perintah Pangdam V Jaya, Mayjen<br />
Try Soetrisno.<br />
Keberadaan Kopkamtib dan Laksusda di sini dapat menggambarkan bagaimana organisasi<br />
negara terlibat secara langsung dalam pada proses penanganan peristiwa Tanjung Priok.<br />
Bahkan, dalam laporan terakhir Komnas HAM pasca KP3T Tanjung Priok dibentuk,<br />
disebutkan bahwa Komnas HAM merekomendasikan Panglima ABRI/Pangkopkamtib<br />
Jenderal LB. Moerdani dan Pandam V Jaya Mayjen Try Soetrisno sebagai pihak dianggap<br />
paling bertanggung jawab pada peristiwa Tanjung Priok 1984. Mengingat<br />
Pangab/Pangkopkamtib dan Pangdam V Jaya adalah dua dari sekian banyak nama yang<br />
menjustifikasi peristiwa itu kepada publik. Pembenaran atas peristiwa itupun dilakukan oleh<br />
Pangab/Pangkopkamtib Jenderal LB. Moerdani pada rapat dengar pendapat bersama DPR RI<br />
yang dilakukan pada tanggal 2 Oktober 1984. 34 Selain itu, aksi penangkapan dan penahanan<br />
32 Lihat Halaman 13 Laporan Lengkap Hasil Penyelidikan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran<br />
Hak Asasi Manusia di Tanjung priok (KP3T), Komnas HAM: 2000.<br />
33 Ibid.<br />
34 Lihat Dokumen Lampiran Hasil Penyelidikan Komisi Penyelidikan dan pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi<br />
Manusia di Tanjung Priok (KP3T), Komnas HAM: 2000.<br />
21
kepada sejumlah aktivis masjid pasca peristiwa Tanjung Priok di sejumlah daerah seperti di<br />
Garut, Tasikmalaya dan Ujung Pandang, juga dilakukan atas perintah<br />
Pangab/Pangkopkamtib. Penangkapan dan penahanan ini tentu saja terkait dengan aksi kritik<br />
sosial tajam yang dilontarkan kepada Orde Baru.<br />
Meski Pengadilan HAM Adhoc untuk kasus Tanjung Priok 1984 telah digelar pada 15<br />
September 2003 hingga Agustus 2004, namun pengadilan itu tidak bisa menyeret pihak-pihak<br />
yang semestinya bertanggung jawab pada rantai komando yang paling tinggi. Pengadilan itu<br />
juga tidak mampu membuktikan adanya keterkaitan Kopkamtib dan mekanisme pertanggung<br />
jawaban komando yang lebih tinggi.<br />
• Peristiwa Talangsari (1989)<br />
Meski Kopkamtib telah dibubarkan pada tahun 1988 digantikan dengan Bakorstanas, namun<br />
inter-relasi keterkaitan antara peristiwa Talangsari dengan kebijakan politik keamanan Orde<br />
Baru melalui Bakorstanas tetap memiliki relasi yang kuat. Peristiwa Talangsari merupakan<br />
serangan yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 terhadap penduduk sipil Jamaah Pondok<br />
Pesantren Warsidi di Desa Cihideung dilakukan oleh pelaku yang dapat diidentifikasi sebagai<br />
aparat militer. Serangan tersebut mengakibatkan sekurang-kurangnya 130 orang meninggal<br />
dunia. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa Talangsari adalah<br />
sebagai berikut: pembunuhan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,<br />
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, dan penyiksaan.<br />
Berangkat dari laporan resmi yang dikeluarkan oleh Tim Adhoc Penyelidikan Pelanggaran<br />
Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa Talangsari 1989 – Komnas HAM, ada kemiripan<br />
latar belakang peristiwa dengan kasus yang terjadi pada peristiwa Tanjung Priok 1984.<br />
Penerapan asas tunggal Pancasila melatarbelakangi ketidakpuasan sebagian umat Islam.<br />
Salah satu kelompok masyarakat adalah Jamaah Warsidi, Talangsari Lampung.<br />
Ketidakpuasan ini direspon dengan pendekatan sekuritisasi berlebihan dalam menangani<br />
kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki pandangan berseberangan dengan kebijakan<br />
politik nasional pemerintah Orde Baru. Serangan di lapangan dilakukan di bawah komando<br />
resor Militer Garuda Hitam 043 Lampung, yang saat itu dipimpin oleh Kolonel<br />
Hendropriyono.<br />
Pasca-peristiwa, ada upaya dari pihak ABRI untuk menutup-nutupi jumlah korban tewas. Hal<br />
ini setidaknya dilakukan melalui dua cara, penguburan mayat secara tertutup –dilakukan<br />
dengan tidak layak dan melakukan tindak intimidasi saksi-saksi peristiwa untuk tidak<br />
memberitahukan jumlah korban yang sebenarnya. 35<br />
Kembali merujuk laporan Komnas HAM, dugaan keterlibatan institusi keamanan dilihat dari<br />
kesiapan sarana dan prasarana serta tindakan aparat keamanan pada saat peristiwa terjadi. 36<br />
Institusi-institusi keamanan yang terlibat atau setidaknya mengetahui adalah Komando Rayon<br />
Militer Way Jepara, Koramil Jabung, Koramil Labuan Maringgai, Komando Distrik Militer<br />
Metro, Kodim 0411 Lampung Tengah, Kodim Painan Padang dan Komanda Resort Militer<br />
034 Garuda Hitam Lampung. Laksusda Jaya juga mengetahui operasi ini. Semua institusi di<br />
atas berada di bawah naungan Bakorstanas, yang nyaris memiliki kewenangan serupa dengan<br />
badan pendahulunya, Kopkamtib.<br />
35 Lihat Ringkasan Eksekutif Tim adhoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa<br />
Talangsari 1989, Komnas HAM 2008, hlm 14.<br />
36 Ibid. Hlm 20.<br />
22
• Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis Pro-Demokrasi (1997/1998)<br />
Kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997/1998 dapat<br />
dikategorikan sebagai operasi intelijen yang digelar dengan tujuan untuk mengamankan<br />
jalannya pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR pengukuhan Soeharto menjabat sebagai<br />
presiden kembali pada tahun 1998. Satu persatu aktivis pro-demokrasi hilang sejak medio<br />
1997. Beberapa aktivis yang diculik kemudian dibebaskan secara bergelombang. Mereka,<br />
sebanyak 9 orang tersebut kemudian memberikan kesaksian kepada publik atas peristiwa<br />
penculikan yang mereka alami.<br />
Akibat mendapatkan desakan publik nasional dan internasional, Pangab Jenderal Wiranto<br />
membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diketuai Jenderal Subagyo HS (saat itu<br />
menjabat KSAD). 37 Tidak lama dari pembentukan DKP, Letjen Prabowo Subianto, mantan<br />
Pangkostrad diberhentikan dari dinas kemiliteran. Jenderal Wiranto memutuskan untuk<br />
melakukan penyelidikan dan penyidikan internal yang dilakukan oleh Puspom ABRI.<br />
Penyelidikan itu membawa nama 11 anggota Kopassus yang diketahui bergabung dalam Tim<br />
Mawar terlibat dalam aksi penculikan 23 orang aktivis. Kesebelas orang ini diadili melalui<br />
mekanisme Peradilan Militer, Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II Jakarta.<br />
Namun pengadilan itu sarat dengan rekayasa kasus, mengingat pertanggungjawaban<br />
komando tidak melibatkan nama-nama petinggi ABRI yang saat itu seharusnya bertanggung<br />
jawab, seperti Letjen Prabowo Subianto dan Mayjen Muchdi Purwopranjono yang saat itu<br />
menjabat sebagai Danjen Kopassus.<br />
Hingga laporan ini dikeluarkan, nasib ke-13 orang hilang tersebut belum diketahui<br />
keberadaannya. Meski DPR RI telah mengeluarkan rekomendasi khusus pada akhir tahun<br />
2009, yang isinya antara lain, mendorong Pemerintah untuk segera membentuk pengadilan<br />
HAM adhoc kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997/1998,<br />
termasuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Setiap Orang dari Tindakan Penghilangan<br />
Paksa, namun hingga sekarang pemerintah masih belum menindaklanjutinya. 38<br />
4.1.2 Satuan Gabungan Intelijen (SGI)<br />
Satuan Gabungan Intelijen (SGI) biasanya diturunkan di wilayah-wilayah yang dikategorikan<br />
sebagai wilayah konflik, di mana operasi militer banyak diterapkan di sana. Kita bisa<br />
merujuk pada penanganan konflik Aceh (melalui DOM Aceh), konflik Papua (DOM Papua),<br />
konflik Ambon, konflik Poso dan masa referendum Timor Timur 1999. Meski satuan ini<br />
lintas dirancang untuk lintas institusi keamanan, namun satuan ini didominasi oleh TNI,<br />
khususnya Komando Pasukan Khusus (Kopassus).<br />
37 DKP terdiri dari wakil ketua Letjen Fachrul Razi (Kasum ABRI) dan Letjen Yusuf Kertanegara (Irjen<br />
Dephankam). Anggota terdiri dari Letjen Susilo Bambang Yudhoyono (Kassospol ABRI), Letjen Agum<br />
Gumelar (Gubernur Lemhanas), Letjen Djamari Chaniago (Pangkostrad) dan Laksdya Achmad Sutjipto (Danjen<br />
Akabri). Dibentuk pada tanggal 3 Agustus 1998.<br />
38 Meski Pemerintah RI melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa telah menandatangani Konvensi itu di<br />
New York pada tanggal 27 September 2010.<br />
23
• Timor Timur<br />
Dalam laporan resmi yang dikeluarkan oleh Komisi Penyelidikan PBB Khusus dan<br />
Independen untuk Timor Leste (Laporan OHCHR), diterangkan bahwa hadir peran penting<br />
(baik yang datang dari Kopassus maupun SGI) dalam menopang dan mengorganisasi<br />
kelompok-kelompok kekerasan milisi sipil. 39 Bahkan temuan OHCHR tersebut dipertegas<br />
dalam laporan resmi Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Timor Leste dan Indonesia.<br />
SGI tersebar di seluruh distrik Timor Timur. Meski secara resmi SGI berada di bawah<br />
otoritas Korem, satuan ini sesungguhnya dikendalikan secara langsung oleh perwira-perwira<br />
Kopassus di lapangan. Dalam laporan KKP, ditegaskan operasi intelijen yang dilakukan oleh<br />
Kopassus dan SGI amat berperan dalam menciptakan kecurigaan dan perpecahan di antara<br />
masyarakat Timor. Ini tentu saja dilakukan melalui operasi-operasi militer yang didominasi<br />
dengan pendekatan intelijen. 40<br />
• Nangroe Aceh Darussalam<br />
Operasi intelijen di Aceh mulai intensif dilakukan pada medio 1990-an. Soeharto<br />
memerintahkan untuk mengerahkan 6.000 pasukan tambahan, termasuk dua batalyon dari<br />
Kopassus dan unit-unit tentara lainnya, seperti Kujang Siliwangi, Kodam VII Brawijaya,<br />
Arhanud Medan, Linud Medan dan Brimob. 41 Daerah operasi yang mulai efektif sejak tahun<br />
1990, terbagi dalam 3 sektor, Sektor A (Pidie), Sektor B (Aceh Utara) dan Sektor C (Aceh<br />
Timur). Operasi ini memiliki 3 satuan tugas. Satuan tugas intelijen, satuan tugas marinir<br />
(mengamankan daerah pantai) dan satuan tugas taktis (mengisolasi posisi satuan gerakan<br />
pengacau keamanan Aceh Merdeka pada lokasi-lokasi strategis). Khusus Satuan Tugas Taktis<br />
dibentuk tim-tim yang lebih khusus, yakni tim Pase-1, tim Pase-2, tim Pase-3, tim Pase-4, tim<br />
Pase-5, tim Pase-6 dan seterusnya yang berasal dari unit Kopassus. 42<br />
Tim Pase ini merupakan satuan intelijen taktis di lapangan yang menjalankan operasi<br />
intelijen. Untuk tim Pase-4 (November 1994-November 1995), memiliki tugas pokok untuk<br />
mencari dan menghancurkan tokoh-tokoh dan anggota GAM, baik dalam kondisi hidup atau<br />
mati, serta merebut senjatanya, membongkar jaringan klandestin GAM di kampung dan di<br />
kota, serta membongkar jaringan sindikat ganja, yang disinyalir sebagai sumber dana GAM. 43<br />
Dalam laporan khusus, Nomor R/13/LAPSUS/I/1995, Komandan Tim Pase-4 Eko Margino,<br />
melaporkan Satgas Rencong-94 regu Pos Tdr-01/Geumpang dan Dansattis-A Tdr/Kota Bakti<br />
melakukan penumpasan terhadap GPK wilayah Pidie pimpinan Pawang Rasyid. Dari hasil<br />
penyergapan dilaporkan sebagai “keuntungan” tewasnya 6 orang anggota GAM, antara lain<br />
39 Laporan OHCHR dikeluarkan pada tanggal 17 Oktober 2006. Lihat Pemberitahuan Pers pada website<br />
OHCHR: http://ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=5657&LangID=E diakses pada<br />
tanggal 3 April. 2011. Catatan ini juga diambil dari Kebenaran yang belum berakhir: Kajian terhadap Laporan<br />
Komite Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste tentang Kejahatan yang Terjadi pada Tahun<br />
1999, ICTJ: 2009.<br />
40 Lihat Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste, 2008.<br />
41 Lihat KontraS, Aceh Damai dengan Keadilan, Jakarta: 2006, hlm: 28-29.<br />
42 Ibid, hlm 29.<br />
43 Pemerintah beranggapan bahwa Gerakan Aceh Merdeka terlibat dalam perdagangan ganja keluar Aceh. Tim<br />
Pase-4 didukung oleh 38 personil dengan komandannya adalah Kapten Inf. A Rahman Siregar dengan NRP<br />
30786. Tim Pase-4 ini diberikan mandat atau perintah oleh Brigjen TNI Subagyo Hadi Siswoyo pada 24<br />
November 1994. “Laporan Otto Syamsuddin Ishak, Sang Martir Teungku Bantaqiah, (Jakarta: Yappika, 2003),<br />
hlm 81.<br />
24
Cut Fauziah, Nasrul (anak Cut Fauziah berusia 5 tahun) dan anak berumur 3 tahun yang tidak<br />
diketahui namanya. Hasil laporan itu merekomendasikan 12 prajurit yang melakukan operasi<br />
untuk mendapatkan kenaikan Pangkat Luar Biasa. Berangkat dari laporan itu, kita bisa<br />
melihat bahwa TNI menjadikan kematian anggota keluarga GAM, baik perempuan maupun<br />
anak-anak adalah bagian dari prestasi operasi yang wajib dibanggakan. 44<br />
SGI juga melakukan praktik penculikan di Aceh pada saat kesepakatan demiliterisasi,<br />
maupun kesepakatan Perjanjian Penghentian Permusuhan dilakukan di tahun 2003. Aksi<br />
penculikan dua orang aktivis HAM Aceh, Mukhlis dan Zulfikar terjadi pada tanggal 25 Maret<br />
2003. Aksi ini dilakukan oleh aparat SGI Pos Bireun. Kedua aktivis tersebut bekerja menjadi<br />
pendamping masyarakat dari LSM Link for Community Development. Kedua aktivis ini<br />
diculik karena aktivitasnya melakukan pendampingan persiapan pengungsian warga Keude<br />
Dua, pasca beredarnya informasi rencana didirikannya Pos Brimob BKO di Keude Dua.<br />
Sebelum pengungsian dilakukan, kedua aktivis ini mengorganisir warga untuk melakukan<br />
aksi demonstrasi di depan Pendopo Bupati Bireun. Kedua aktivis tersebut diculik di lokasi<br />
aksi demonstrasi. Hingga kini nasib mereka belum diketahui keberadaannya.<br />
• Poso<br />
Pemerintah telah berkali-kali melakukan operasi intelijen pasca-meledaknya konflik Poso.<br />
Meski operasi ini tidak melibatkan SGI, operasi intelijen tetap dilakukan. 45 Menkopolhukam<br />
yang saat itu dijabat Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan untuk segera menggelar<br />
operasi intelijen pasca-deklarasi Malino (2001), di mana Desa Beteleme dan beberapa desa<br />
lainnya mendapatkan penyerangan brutal. Instruksi operasi intelijen juga dilakukan pascameledaknya<br />
bom Tentena. Terakhir, operasi intelijen digelar melalui Instruksi Presiden<br />
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Langkah-Langkah Komprehensif Penanganan Masalah Poso,<br />
yang menekankan upaya pengungkapan dan perusakan jaringan pelaku teror, termasuk<br />
pelaku kerusuhan. 46<br />
Namun, operasi intelijen itu tidak terlalu banyak memberikan dampak kepada pemulihan<br />
keamanan di Poso. Setiap menjelang masa operasi, angka kekerasan cenderung meningkat.<br />
Di lapangan, aparat TNI/Polri selalu membangun opini dengan menyatakan bahwa tidak akan<br />
ada rekonsiliasi tanpa kehadiran aparat. Artinya, kekerasan yang terjadi di Poso menjelang<br />
masa berakhirnya operasi hanya merupakan pembenaran untuk memperpanjang proyek<br />
operasi keamanan. 47 Kegagalan operasi intelijen ini terlihat dari maraknya kasus penembakan<br />
misterius (36 kasus) dan kasus pengeboman (32 kasus). Dalam beberapa kasus, aparat<br />
TNI/Polri menjadi pelaku tindak kekerasan, seperti kasus pemukulan, penembakan, pencurian<br />
penjarahan dan kasus kekerasan terhadap perempuan, penangkapan sewenang-wenang<br />
disertai penyiksaan dan stigmatisasi terorisme kepada warga.<br />
44 Op.Cit Hlm. 49-50.<br />
45 Operasi intelijen di Poso, didahului dengan operasi pemulihan keamanan yang dinamakan Operasi Sintuwu<br />
Maroso (2001). Operasi ini merupakan operasi pemulihan keamanan terpusat dan terpadu, di bawah<br />
Menkopolhukam. Selanjutnya operasi ini dikembangkan menjadi operasi kemandirian wilayah, diberi nama<br />
Operasi Sintuwu Maroso I, yang dikomandoi Kapolda Sulawesi Tengah.<br />
46 Lihat Haris Azhar dan Syamsul Alam Agus, Poso, Wilayah yang Dikonflikkan, Jakarta/Palu: 2005<br />
47 Lihat Laporan KontraS, Operasi Pemulihan Keamanan di Poso dan Kekerasan yang Terpelihara, Jakarta 2005.<br />
25
• Papua<br />
Operasi keamanan di Papua semakin meningkat pasca terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003<br />
tentang Percepatan dan Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah.<br />
Indikatornya terlihat dari diturunkannya aparat keamanan dalam bentuk bantuan operasi di<br />
sejumlah kabupaten, khususnya di Jayawijaya dan Manokwari. Termasuk juga pembukaan<br />
sejumlah Kodim dan Kodam di Jayawijaya. Pengiriman SGI disejumlah wilayah di Papua<br />
tidak sebanding dengan bentuk perlawanan bersenjata yang tidak signifikan dari OPM/TPN.<br />
Bahkan, beberapa operasi intelijen yang dilakukan di Papua sebelum tahun 1998, selama<br />
kurun waktu di bawah rezim Orde Baru, setidaknya 100 ribu lebih warga asli Papua terbunuh.<br />
Sasaran pembunuhan tidak saja pada orang-orang yang dianggap sebagai aktor OPM, namun<br />
juga terhadap warga Papua yang dianggap terlibat dan atau masuk dalam basis kekuatan<br />
OPM. 48 Praktik operasi intelijen paling nyata terlihat pada operasi pembebasan Tim<br />
Ekspedisi Lorentz 95 yang disandera selama 130 hari oleh OPM di desa Mapenduma. 49<br />
Operasi ini dilakukan oleh Kopassus, dipimpin Brigjen Prabowo Subianto. Dalam operasi itu,<br />
satu unit tim pemukul Kopassus memang berhasil membebaskan sembilan sandera. Namun<br />
operasi ini menewaskan delapan anggota OPM dalam pertempuran jarak dekat. Dua orang<br />
sandera dan lima anggota Kopassus tewas.<br />
4.2. Masa Reformasi<br />
4.3.<br />
4.2.1 Kegagalan Deteksi Dini dalam Penanggulangan Aksi Terorisme<br />
Peran intelijen di Indonesia masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan masih terjadinya<br />
peledakan bom di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton di Kuningan, Jakarta, pada 17 Juli 2009.<br />
Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa kemampuan intelijen untuk melakukan<br />
penanggulangan dan juga pengawasan kegiatan terorisme belum berjalan baik. Hal ini bisa<br />
terjadi karena koordinasi antara institusi intelijen juga tidak berjalan baik, bahkan disinyalir<br />
terdapat persaingan di antara mereka.<br />
Pasca terjadinya peledakan bom tersebut, intelijen kembali memperlihatkan kelemahannya<br />
dalam membuat laporan kepada Presiden. Hal ini ditunjukkan ketika Presiden mengadakan<br />
siaran pers menanggapi peristiwa peledakan dua hotel tersebut. Dalam siaran pers tersebut<br />
Presiden menyatakan bahwa peledakan bom tersebut terkait dengan hasil pemilu presiden<br />
yang belum lama berlangsung ketika itu dan pelakunya bisa saja masih terkait dengan kasus<br />
penculikan dan penghilangan paksa di masa lalu. 50<br />
Pernyataan tersebut secara tidak langsung merujuk pada salah satu kandidat calon wakil<br />
presiden yang ikut bersaing dalam Pilpres 2009, yaitu Prabowo Subianto yang menjadi<br />
pasangan calon presiden Megawati Soekarnoputri. Menanggapi pernyataan Presiden,<br />
Prabowo menyatakan bahwa tuduhan tersebut berlebihan dan tanpa pertimbangan matang<br />
48 Lihat Sampari, edisi 02 Februari 2006, Menapaki Jejak Pelanggaran HAM di Papua.<br />
49 Lihat Majalah Tempo, Membebaskan Sandera Cara Mapenduma, 12 Januari 2004. Dapat dilihat pada:<br />
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/01/12/NAS/mbm.20040112.NAS87780.id.html diakses pada<br />
tanggal 3 April 2011.<br />
50 Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat dari transkrip jumpa pers Presiden SBY di Istana <strong>Negara</strong>, 17 Juli 2009.<br />
26
serta terlampau buru-buru membuat kesimpulan. Padahal, proses penyelidikan terhadap<br />
peristiwa pemboman oleh aparat kemanan sedang berjalan. 51<br />
Dalam jumpa pers tersebut Presiden juga menyebutkan bahwa ada upaya untuk menjadikan<br />
Presiden sebagai sasaran teroris selanjutnya. Ketika menyebutkan hal ini, Presiden<br />
menunjukkan foto-foto yang memperlihatkan sekelompok orang yang memakai penutup<br />
muka sedang berlatih menembak dan sasaran tembakannya adalah foto Presiden. Menurut<br />
Permadi, anggota DPR dari PDI-P waktu itu, sebenarnya foto itu adalah foto lama yang tidak<br />
ada kaitannya dengan peristiwa peledakan bom di hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton. Fotofoto<br />
tersebut pernah ditunjukkan Kepala BIN AM Hendropriyono 4 tahun yang lalu ketika<br />
mengikuti rapat dengan Komisi I DPR. Foto tersebut merupakan gambar latihan perang<br />
dalam kasus Poso. 52<br />
Jika dicermati, di era kepemimpinan SBY-JK memang tidak terlalu banyak peristiwa<br />
peledakan bom, dibanding masa pemerintahan Abdurahman Wahid dan Megawati<br />
Soekarnoputri, di mana aksi teror dan peledakan bom meningkat tajam. Berbagai peristiwa<br />
teror melalui peledakan bom, mulai dari penggunaan bahan peledak yang berdaya kekuatan<br />
rendah (low explosive) sampai penggunaan bahan peledak dengan daya ledak tinggi (high<br />
explosive) telah mengakibatkan kurang lebih 298 korban tewas dan 572 korban luka (1998-<br />
September 2005). 53 Hasil catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan<br />
(KontraS) sejak 1998-2002, kurang lebih telah terjadi 128 peristiwa peledakan bom, di mana<br />
peristiwa peledakan bom paling tinggi terjadi pada 2000 dengan jumlah 32 kasus dan 2001<br />
dengan jumlah 81 kasus. 54<br />
Lebih lanjut, berdasarkan hasil catatan Imparsial, kurang lebih telah terjadi 21 kasus peristiwa<br />
peledakan bom pada 2003-2005 (2003, 6 kasus; 2004, 8 kasus; dan 2005, 7 kasus). Aksi-aksi<br />
teror tersebut berulangkali terjadi di beberapa daerah, baik di daerah konflik seperti Poso,<br />
Ambon ataupun di daerah yang tidak sedang mengalami konflik, seperti di Jakarta.<br />
Dari berbagai aksi teror yang terjadi, sebagian peristiwa peledakan bom dapat diketahui<br />
kelompok dan pelaku yang melakukan, namun sebagian besar lagi tidak diketahui. Untuk<br />
kelompok dan pelaku yang hingga kini belum diketahui dan belum terungkap kasusnya,<br />
paling banyak terlihat pada kasus peledakan bom pada 2000 dan 2001, yang jumlahnya<br />
mencapai 113 kasus. Dalam beberapa kasus khusus peristiwa peledakan bom yang terjadi di<br />
rumah ibadah pada Natal 2000, yang berbarengan dengan upaya pemeriksaan dan pengusutan<br />
terhadap Tommy Soeharto dan persidangan mantan Presiden Soeharto.<br />
Sementara dalam beberapa kasus besar yang menggunakan bahan peledak dengan daya ledak<br />
tinggi (high explosive) terlihat bahwa para pelaku peledakan bom adalah orang-orang yang<br />
memiliki kemampuan untuk mengakses, mengoperasikan dan menjalankan operasi teror<br />
secara profesional. Salah satu indikasinya terlihat dari penggunaan jenis bahan peledak,<br />
pemilihan lokasi, dan sasaran korban.<br />
51 http://politik.vivanews.com/news/read/76053, “Ledakan di JW Marriot dan Ritz Carlton: Prabowo Tidak<br />
Terima Pernyataan SBY”, 17 Juli 2009.<br />
52 www.detiknews.com/read/2009/07/21/161343/1168849/10/, “Foto ‘Penembakan’ SBY; Permadi: Itu Foto<br />
Latihan Perang Kasus Poso”, 21 Juli 2009.<br />
53 Dalam peristiwa bom Bali II, Sabtu, 1 Oktober 2005, setidaknya 30 orang tewas dan ratusan lainnya<br />
mengalami luka-luka pada 3 lokasi ledakan: Jimbaran, Kuta, dan Nusa Penida.<br />
54 Lihat riset KontraS, “Analisis Kasus Peledakan Bom di Bali: Mengapa Teror Terjadi?” dalam Al Araf, dkk<br />
(eds.), Terorisme: Defenisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2003), hlm 37.<br />
27
4.2.2 Kasus BAIS<br />
Gugatan ini bermula setelah adanya seminar yang digelar oleh Departemen Pertahanan pada<br />
29 Agustus 2006. Dalam seminar itu Kepala BAIS, Mayjen. TNI Syafril Armen, S.IP, S.H.,<br />
M.Sc, memaparkan dalam makalahnya bahwa ada beberapa kelompok radikal di Indonesia<br />
yang mengancam eksistensi Pancasila. BAIS membaginya dalam tiga kelompok besar:<br />
kelompok radikal kiri, kelompok radikal kanan, dan kelompok radikal lain-lain. Imparsial<br />
bersama KontraS dan Elsham Papua ditempatkan sebagai bagian dari kelompok radikal lainlain<br />
yang anti-Pancasila dan tidak puas serta kecewa dengan Pemerintah.<br />
Perkembangan selanjutnya, pada 4 Oktober 2006 Imparsial meminta BAIS mengoreksi<br />
pernyataannya. Permintaan itu ditanggapi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Markas<br />
Besar TNI Laksamana Muda Mohamad Sunarto melalui surat pembaca di Koran Tempo, 20<br />
November 2006, berjudul “Tanggapan untuk Imparsial”. Isi dari tanggapan itu adalah:<br />
a. Persepsi ancaman internal dan transnasional sebagaimana dimaksud dalam makalah<br />
yang dipaparkan dalam seminar di Departemen Pertahanan adalah hasil analisa dari<br />
analisis intelijen yang telah dianalisis dengan baik dengan fakta dan data yang akurat<br />
guna mendukung tugas pokok TNI dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan dan<br />
kesiapan TNI dalam rangka mengantisipasi situasi yang berubah dengan cepat,<br />
b. Lebih lanjut bahwa perhatian TNI terhadap ideologi Pancasila bukanlah berarti TNI<br />
telah masuk ke wilayah politik, melainkan terkait dengan kode etik terhadap negara,<br />
yaitu tentara adalah pembela ideologi negara,<br />
c. Dalam tanggapan yang sama, Kepala Puspen TNI menyatakan bahwa seminar yang<br />
dilaksanakan di Departemen Pertahanan pada 29 Agustus 2006 tersebut bersifat<br />
tertutup. Identitas pemapar tidak boleh dipublikasikan dan naskah tidak boleh<br />
diperbanyak kecuali seizin Departemen Pertahanan. Seminar tersebut, katanya, adalah<br />
forum ilmiah dalam suatu academic floor, di mana setiap panelisnya dapat<br />
mengeluarkan pendapat secara faktual dan ilmiah.<br />
Karena tanggapan tersebut tidak mengklarifikasi, bahkan malah menjustifikasi tulisan dalam<br />
makalah tersebut adalah berdasar dari analisis intelijen dari data dan fakta menurut BAIS<br />
adalah valid, akhirnya Imparsial pada 14 Februari 2007 mengajukan gugatan perbuatan<br />
melawan hukum terhadap BAIS, dengan pertimbangan bahwa BAIS telah melampaui batas<br />
kewenangan yang seharusnya sebagai intelijen pertahanan dan intelijen militer. Pernyataan<br />
yang menuding kelompok-kelompok kritis sebagai kelompok ancaman menunjukkan bahwa<br />
TNI, khususnya BAIS telah memasuki wilayah politik yang bukan kewenangannya.<br />
Setelah menjalani proses persidangan, akhirnya pada 12 Desember 2007, Majelis Hakim<br />
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan menolak gugatan yang diajukan Imparsial.<br />
Dalam putusannya Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh karena pernyataan dari BAIS<br />
tersebut disampaikan dalam forum seminar yang sifatnya tertutup maka pernyataannya<br />
tersebut merupakan kebebasan berekspresi akademik dan informasi yang disampaikan hanya<br />
berlaku di ruang tersebut saja. Majelis Hakim juga menyatakan bahwa apa yang telah<br />
dilakukan oleh BAIS tidak bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM, dan UU TNI.<br />
Keputusan Majelis Hakim tersebut terlihat aneh, karena apa yang dinyatakan oleh KaBAIS<br />
adalah dalam kapasitasnya bukan sebagai individu dari institusi yang seharusnya melakukan<br />
kegiatan intelijen yang mendukung pertahanan. Munculnya analisis atas kerja-kerja dari<br />
masyarakat sipil menunjukkan bahwa mental serta institusi militer Indonesia belum<br />
28
mengalami perubahan menuju tentara yang profesional, begitu pula dengan lembaga intelijen<br />
yang berada di dalamnya.<br />
4.2.3 Politisasi dan Tabiat Orde Baru dalam Menyikapi Pemilu<br />
Di tengah kegagalan Lembaga Intelijen <strong>Negara</strong> dalam melakukan deteksi dini terhadap aksiaksi<br />
terorisme dan di masa ramainya proses pertarungan politik kekuasaan melalui pemilu<br />
2004, BIN tiba-tiba membeberkan pernyataan yang menyatakan adanya indikasi 20<br />
organisasi non-pemerintah (NGO) lokal dan asing yang mengganggu stabilitas keamanan<br />
sepanjang pemilu Presiden 5 Juli 2004. Pernyataan seorang anggota DPR yang dilansir dalam<br />
dengar pendapat DPR secara langsung menyebut International Crisis Group (ICG) dan<br />
<strong>Elsam</strong> sebagai dua di antara LSM yang dimaksud. Identifikasi BIN terhadap ICG berakhir<br />
dengan pengusiran Sidney Jones, selaku Direktur ICG Indonesia. 55<br />
Sikap lembaga intelijen tersebut memperlihatkan bahwa kelompok-kelompok aktivis yang<br />
kritis terhadap negara masih diidentifikasikan sebagai kelompok yang mengancam keamanan<br />
nasional. Dalam konteks itu, intelijen masih memusuhi penggunaan hak dan kebebasan<br />
politik warga negara yang dilakukan secara demokratik dan bersandar pada hak-hak asasi<br />
manusia yang saat ini telah dijamin konstitusi.<br />
Di tengah era keterbukaan seperti saat ini, arus deras keterbukaan informasi merupakan hal<br />
yang tidak dapat dibendung. Informasi tentang perkembangan di Indonesia dapat diperoleh<br />
dari sumber manapun, sehingga ada atau tidaknya laporan yang dilakukan kelompok<br />
masyarakat sipil, dunia internasional tetap bisa menilai baik atau buruknya kinerja aparat<br />
negara. Oleh karenanya, tuduhan bahwa biasnya laporan-laporan yang dikeluarkan<br />
kelompok-kelompok masyarakat sipil sehingga mempengaruhi opini internasional tentang<br />
Indonesia adalah sangat tak berdasar, kalau tak bisa disebut naif.<br />
Sikap lembaga intelijen tersebut adalah cermin sikap lembaga intelijen pada rezim<br />
pemerintahan yang otoritarian –sebagaimana pernah dialami di masa Orde Baru. Bagi<br />
lembaga seperti ini, sikap dan ekspresi politik warga negara yang kritis terhadap negara<br />
dianggap sebagai bentuk ancaman terhadap stabilitas politik dan keamanan.<br />
Tabiat Orde Baru juga tidak hanya diperlihatkan oleh kelembagaan intelijen (BIN), tapi juga<br />
dilakukan oleh salah satu partai politik peserta pemilu 2004. Sebelum rilis BIN mengenai 20<br />
NGO lokal dan asing yang mengganggu stabilitas keamanan sepanjang pemilu Presiden 5 Juli<br />
2004, di hadapan publik muncul situasi dimana Ketua BIN, A.M Hendropriyono, didaftarkan<br />
menjadi salah satu juru kampanye Calon Presiden Megawati Soekarnoputri oleh PDIP ke<br />
KPU. 56 Kemunculan nama Hendropriyono ini sempat merebak di publik dan memicu protes<br />
dari berbagai pihak, khususnya kalangan politisi, 57 karena sebagai Kepala BIN jika ia<br />
berkampanye dianggap berbahaya dan berafiliasi dengan salah satu partai politik.<br />
55 Indopos, 8 Juni 2004.<br />
56 Kompas, “Kepala BIN Jadi Jurkam PDIP, Sebaiknya Mundur, 5 Maret 2004; Forum Keadilan, “Jurkam di<br />
Pentas Nasional”, edisi 14 Maret 2004, hlm 87<br />
57 Di antaranya disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR Effendy Choirie, yang berasal dari PKB yang<br />
menyatakan jika memang Hendropriyono menerima ajakan sebagai jurkam, sebaiknya dia mengundurkan diri<br />
dari jabatannya. Ini penting untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat, untuk menghindari penggunaan<br />
fasilitas dan rahasia negara dalam kampanye. Lihat Kompas, “Kepala BIN Jadi Jurkam PDIP, 5 Maret 2004.<br />
29
Gugatan terhadap Hendropriyono ini diawali ketika KPU melansir jajaran juru kampanye<br />
nasional partai-partai politik. Nama purnawirawan TNI AD ini terselip di antara sejumlah<br />
nama menteri yang juga kader PDIP. Bahkan menurut Ketua DPP PDIP, Roy B.B. Janis,<br />
Hendro berkelayakan sebagai juru kampanye: paham visi dan misi organisasi, sehat dan<br />
cakap berpidato. Bukan hanya sebagai kader, Hendro juga merupakan anggota Majelis<br />
Pertimbangan Partai (MPP). 58 Namun karena ramai dibicarakan, saat rapat internal partai<br />
pekan kedua Maret 2004, Megawati akhirnya meminta pengurus partai banteng menarik<br />
nama Hendropriyono dari juru kampanye PDIP yang telah disetor ke KPU. 59<br />
4.2.4 Sikap Tidak Kooperatif dalam Pengungkapan Kasus Kematian Munir<br />
TPF (Tim Pencari Fakta) kasus terbunuhnya Munir –yang dibentuk dengan Keputusan<br />
Presiden Nomor 111 Tahun 2004– dimandatkan untuk melakukan penyelidikan terhadap<br />
individu dan lembaga guna penuntasan kasus tersebut.<br />
Dalam upaya mengungkap kasus tersebut, TPF telah diberikan izin oleh Presiden SBY untuk<br />
memeriksa BIN karena adanya dugaan TPF yang mengindikasikan keterlibatan lembaga ini<br />
dalam kasus kematian Munir. Upaya TPF secara langsung mendapatkan respon dari BIN,<br />
yang menyatakan bahwa TPF perlu bukti indikasi kuat keterlibatan BIN.<br />
Sikap BIN tersebut sangat bertentangan dan bertolakbelakang dengan sikap BIN dalam<br />
penanggulangan aksi terorisme. Pada kasus pemberantasan tindak terorisme –dimana BIN<br />
menjadi koodinator seluruh kegiatan intelijen– BIN sangat kooperatif dengan melakukan<br />
sharing data kepada instansi lainnya. Akan tetapi dalam kasus Munir, BIN sangat tidak<br />
kooperatif dengan sikapnya yang menolak pemeriksaan sebelum TPF mengajukan indikasi<br />
keterlibatan lembaganya.<br />
Sebagai lembaga yang bertanggungjawab kepada Presiden, tidak ada alasan BIN untuk<br />
melontarkan masalah berkaitan dengan bukti-bukti. Izin yang diberikan kepada TPF oleh<br />
Presiden SBY harus ditafsirkan BIN sebagai perintah Presiden kepada BIN, untuk bertindak<br />
kooperatif. Sikap tidak kooperatif BIN tersebut dapat dipandang sebagai insubordinasi<br />
kepada Presiden.<br />
Apalagi dalam perkembangan terakhir pembunuhan terhadap Munir ditemukan bukti baru<br />
yang menunjukkan adanya dugaan keterlibatan pejabat BIN. Adanya kontak telepon antara<br />
Pollycarpus (salah satu tersangka dalam kasus pembunuhan Munir) dengan pejabat BIN<br />
melalui ruang Deputi V Bidang Penggalangan Opini dan Propaganda BIN, 60 menjadi satu<br />
bukti awal yang tidak bisa ditolak oleh BIN untuk bersikap tertutup dalam penyelesaian kasus<br />
Munir.<br />
58<br />
Soetardjo Soerjogoeritno, salah satu anggota Majelis Pertimbangan Partai PDI-P, juga menyatakan<br />
ketidaksetujuannya Hendropriyono menjadi jurkam PDIP. Ibid.<br />
59 Majalah Tempo, “Batal: Intel Merangkap Jurkam”, edisi 21 Maret 2004, hlm. 18-19; Baca juga Gatra, ”Intel<br />
di Panggung Kampanye”, hlm 18.<br />
60 Media Indonesia, 21 Mei 2005.<br />
30
4.2.5 Penyimpangan Fungsi Intelijen dalam Kasus Uang Palsu dan Cukai Palsu<br />
Dengan dalih untuk mengetahui pelaku pencetak dan peredaran uang palsu di Indonesia, BIN<br />
mencetak uang palsu dan cukai rokok palsu. Dalam perjalanannya, situasi tersebut bagai<br />
senjata makan tuan, posisi BIN selaku Ketua Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu<br />
dan Pengamanan-Pengawasan Pencetakan Dokumen Sekuriti (Instruksi Presiden Nomor 1<br />
Tahun 1971 jo Surat Keputusan Kepala BIN selaku Ketua Botasupal Nomor 046/2002)<br />
dimanfaatkan oleh beberapa pejabat dan agen intelijen negara (BIN) untuk mencetak dan<br />
mengedarkan uang palsu secara otonom. Proses pencetakan uang palsu dan cukai rokok palsu<br />
tersebut dilakukan di sebuah ruangan “terkunci” di kantor Botasupal, Jl. Madiun No. 34<br />
Menteng, Jakarta Pusat. 61<br />
Dalam kasus uang palsu dan cukai rokok palsu tersebut, terdapat tujuh orang aparat Badan<br />
Intelijen <strong>Negara</strong> (BIN) yang terlibat dalam kasus pemalsuan uang dan cukai rokok palsu pada<br />
awal 2005 ini. Mereka adalah Brigjen Pol (Purn) H Zyaeri (57), Kepala Staf Harian Badan<br />
Koordinasi Penanggulangan Uang Palsu (Botasupal) BIN. Ia ditangkap pada 13 Januari<br />
2005; Haryanto (31), Jaelani (38), Waronakus Saptoro (31), M Iskandar alias Muis (43).<br />
Keempatnya dari TNI dan PNS di Botasupal; Dadang Ruhiyat (46), Tatan Rustana alias Tedy<br />
(50). Kedua nama terakhir adalah anggota (agen) BIN dari sipil. 62<br />
Pemalsuan uang dan pita cukai itu bermula ketika Zyaeri dan Muhammad Iskandar menemui<br />
Dadang Ruhiyat yang saat di penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang pada<br />
pertengahan 2003, untuk membicarakan pembuatan uang palsu. 63 Zyaeri dan Iskandar<br />
membesuk terdakwa Dadang sebanyak dua kali. Sebelum pulang sehabis membesuk Dadang,<br />
terdakwa Zyaeri dan Iskandar memberi uang sebesar Rp 7,2 juta kepada Dadang secara<br />
bertahap. Uang itu diduga sebagai imbalan supaya Dadang membantu rencana pembuatan<br />
uang palsu.<br />
Menindaklanjuti pembicaraan tersebut, setelah keluar dari LP Cipinang (5 September 2003),<br />
Dadang lalu mendatangi kantor Zyaeri di Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu<br />
(Botasupal) BIN di Jl. Madiun, Jakarta Pusat, pada 7 September 2003. Saat itu Zyaeri<br />
memberi Dadang sebuah ruangan di kantornya untuk mencetak uang palsu.<br />
Sesaat setelah itu, Dadang lalu mengenalkan Tatan Rustana kepada Zyaeri. Zyaeri kemudian<br />
juga meminta Tatan membuat pita cukai palsu. Setelah mengadakan persiapan secukupnya,<br />
atas permintaan Zyaeri dan Muhammad Iskandar, Dadang mencetak uang palsu pecahan Rp<br />
100 ribu di kantor Zyaeri pada Mei 2004 sampai Oktober 2004. Pada saat yang hampir<br />
bersamaan, Tatan juga mencetak pita cukai palsu di Bandung.<br />
Terdakwa Zyaeri kemudian membeli sejumlah peralatan untuk proses pembuatan uang palsu.<br />
Dengan peralatan itu, para terdakwa mulai membuat uang palsu pecahan Rp 100 ribu.<br />
Caranya, antara lain pertama-tama menyablon huruf BI, burung garuda, dan tanda tangan<br />
pejabat BI. Pembuatan uang palsu tersebut diawasi oleh Zyaeri. Para terdakwa berhasil<br />
61 www.suarakarya-online.com/news.html?id=110653<br />
62 Media Indonesia, 15 Januari 2005.<br />
63 Dadang Ruhiyat dan Tatang pernah ditahan di LP Cipinang karena tindak kriminal. Dadang adalah ahli<br />
pembuat uang palsu dan Tatang ahli pembuat cukai palsu. Keduanya sengaja direkrut dan diperbantukan di<br />
Botasupal BIN oleh Zyaeri, dengan tujuan untuk mengetahui cara kerja para penjahat di bidang pemalsuan uang<br />
dan pita cukai. Media Indonesia, 14 Februari 2005.<br />
31
membuat uang palsu pecahan Rp100 ribu sebanyak 2.267 lembar antara Mei hingga Oktober<br />
2004.<br />
Aksi ini akhirnya diketahui sejumlah anggota Botasupal BIN pada Desember 2004. Saat<br />
penggerebekan, dari komplotan Zyaeri disita 2.267 lembar uang palsu pecahan Rp 100 ribu<br />
dan puluhan banderol pita cukai rokok. Selain itu, polisi juga menyita 40 lembar klise film<br />
untuk pembuatan uang palsu, tiga kaleng cat merah, tiga kaleng minyak pelicin merek<br />
Cyclon. Lainnya, dua kaleng pernis, lima liter minyak cat, obat afdruk, satu set unit komputer<br />
dan printer, satu set pengering uang palsu dan lima lembar cukai rokok. 64 Kasus uang palsu<br />
yang melibatkan agen BIN tersebut telah memasuki tahap persidangan di pengadilan negeri.<br />
Perkara pemalsuan uang dan cukai rokok yang melibatkan tujuh orang pejabat BIN tersebut<br />
untuk pertama kali disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 28 Juni 2005. 65<br />
Selanjutnya pada 25 Juli 2005 ketujuh terdakwa divonis majelis hakim di Pengadilan Negeri<br />
Jakarta Pusat dengan 4-5 tahun penjara. Lima orang di antaranya, mantan Kepala Staf Harian<br />
Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) BIN Brigadir Jenderal (Purn) HM<br />
Zyaeri, Haryanto, Jailani, Woro Narus Saptoro, dan Muhamad Iskandar divonis 4 tahun<br />
penjara, sementara dua lainnya, yakni Tatan Rustana dan Dadang Ruhiyat divonis 5 tahun<br />
penjara. 66 Mereka dijerat Pasal 250 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dan Pasal 55 huruf a UU<br />
Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.<br />
4.2.6 Meluasnya Kewenangan-Struktur BIN atas Nama Terorisme<br />
4.2.6.1 Penebalan Kewenangan BIN<br />
Terjadinya tragedi 11 September 2001 di New York boleh dikatakan menjadi babak baru bagi<br />
banyak negara khususnya Amerika Serikat untuk melakukan perang melawan terorisme.<br />
Respon atas persoalan ini melahirkan peta baru pertarungan politik global dan mengubah<br />
model dan watak kekuasaan baru di banyak negara.<br />
Berbagai langkah politik dilakukan untuk mengejar semua pelaku terorisme, bahkan juga<br />
memunculkan agenda menumbangkan rezim-rezim kekuasaan yang dianggap melindungi<br />
ataupun bekerjasama dengan pelaku terorisme. Langkah-langkah politik ini telah<br />
menempatkan pendekatan keamanan yang berlebihan sebagai pilihan dalam melakukan<br />
perang melawan terorisme dan mengorbankan HAM ke atas altar anti-terorisme –termasuk<br />
hak-hak yang digolongkan ke dalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh<br />
dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. 67<br />
Di beberapa negara (Australia, Kanada, Denmark, India, Nepal dan Amerika Serikat),<br />
undang-undang anti-terorisme yang digunakan sebagai salah satu instrumen dalam perang<br />
melawan terorisme, mensahkan penangkapan sewenang-wenang (arbitary detention),<br />
pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial, tindakan-tindakan berlebihan kepada warga<br />
64 Bahkan sesuai pengakuan salah seorang tersangka beberapa cukai rokok palsu sudah pernah dikirimkan ke<br />
Malang, Jawa Timur. Lihat Media Indonesia, 14 Februari 2005; dan Kompas, “Perkara Pemalsuan Uang Segera<br />
Disidangkan”, 5 Maret 2005.<br />
65 Kompas, “Uang Palsu: Jaksa Tuntut Tujuh Terdawa dengan Hukuman Penjara 6-8 Tahun”, 29 Juni 2005.<br />
66 Kompas, “Vonis Sidang: Mencetak Uang Palsu Divonis 4-5 Tahun”, 26 Juli 2005; dan Media Indonesia, 26<br />
Juli 2005.<br />
67 Todung Mulya Lubis, <strong>Masyarakat</strong> sipil dan Kebijakan <strong>Negara</strong> (Kasus Perppu/<strong>RUU</strong> Tindak Pidana<br />
terorisme), Kompas, 3 Februari 2003.<br />
32
negara asing dengan alasan keadaan yang genting dan tekanan terhadap fundamental<br />
freedoms, khususnya hak untuk bebas berkumpul dan menyatakan pendapat. 68<br />
Di Indonesia sendiri keadaannya tidak jauh berbeda. Pasca peledakan bom Bali 2002 yang<br />
diikuti dengan terbentuknya Perpu Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan<br />
Tindak Pidana Terorisme, lembaga intelijen non-judicial dilibatkan dalam proses penegakan<br />
hukum melalui dijadikannya laporan intelijen sebagai bukti permulaan dalam penanganan<br />
tindak pidana terorisme (lihat: Pasal 26 UU Nomor 15 Tahun 2003).<br />
Lebih lanjut, keinginan lembaga intelijen non-judicial untuk terlibat dalam proses penegakan<br />
hukum diakomodasi dalam <strong>RUU</strong> Intelijen. Kendati tidak diakui keberadaannya oleh BIN,<br />
draf tersebut memberikan kewenangan bagi BIN untuk menangkap selama 30 hari dan juga<br />
memberikan kewenangan untuk melakukan pengadaan senjata secara mandiri. 69<br />
Sebelumnya, perluasan kewenangan BIN juga dilegitimasi melalui beberapa kebijakan, yang<br />
di dalamnya menempatkan BIN selaku Koordinator Seluruh Unit Intelijen (Instruksi Presiden<br />
Nomor 5 Tahun 2002), hingga menjadi Ketua Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu<br />
dan Pengamanan-Pengawasan Pencetakan Dokumen Sekuriti –pita cukai, perangko, materai<br />
tempel, kertas bermaterai, sertifikat tanah, pasport, STTB dan Danem, ijazah perguruan<br />
tinggi, SKSHH, stiker pelunas PPN kaset, LD, VCD, SBI, fiskal, naskah ujian negara, buku<br />
uji kendaraan bermotor, surat/buku izin menangkap ikan, stiker visa, encoding, kartu telepon<br />
(termasuk pencetakan PIN), kartu peserta jamsostek, air line ticket OPTAT, sertifikat ekspor,<br />
paper seale barang ekspor– (Surat Keputusan Kepala BIN Nomor 046/2002 dan lampirannya<br />
tertanggal 18 Februari 2002 jo Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1971 tentang ditunjuknya<br />
Lembaga Intelijen <strong>Negara</strong> [dulu Kabakin] sebagai Koordinator Pemberantasan Uang Palsu di<br />
Indonesia).<br />
Niatan untuk melakukan restorasi intelijen tersebut sejalan dengan pemikiran pejabat intelijen<br />
negara Prof. Dr. Bijah Subijanto, M.SiE, yang diungkapkan dalam bukunya yang berjudul<br />
Restorasi Intelijen: Memperkuat Korporat Memperkuat Sistem Nasional. 70 Dalam Bab<br />
tentang “Reposisi dan Refungsionalisasi Intelijen”, terungkap bila BIN hendak menjadi<br />
entitas independen yang lepas dari pengawasan pemerintahan sipil dalam hal ini presiden. 71<br />
Di sisi lain, adanya keinginan BIN untuk memiliki kewenangan menangkap dan memiliki<br />
kantor di daerah didasarkan pada alasan bahwa FBI saja sebagai salah satu lembaga intelijen<br />
di Amerika Serikat juga memiliki kewenangan menangkap dan memiliki kantor di setiap<br />
negara bagian.<br />
68 Ibid.<br />
69 Pasal 20 ayat (1) jo Pasal 21 ayat (1) jo Pasal 23 ayat (1) Draft <strong>RUU</strong> Pokok-pokok Intelijen, 5 September<br />
2003.<br />
70 Saat buku itu ditulis Prof. Dr. Bijah menjabat sebagai Deputi Bidang Penyelidikan Dalam Negeri dan<br />
kemudian menjadi Deputi VII Bidang Teknologi.<br />
71 Prof. Dr. Bijah Subijanto, Restorasi Intelijen; Memperkuat Korporat Memperkuat Sistem Nasional, (Jakarta:<br />
Penerbit Jati Diri, 2003), hlm. 92. Dalam catatan kakinya, “Kekuasaan Badan Intelijen <strong>Negara</strong> yang hanya<br />
diatur dalam Keppres dan menjalankan pengawasan yang sepenuhnya oleh presiden berpotensi mengancam<br />
tingkat independensi intelijen.”<br />
33
4.2.6.2 Penguatan Struktur BIN Melalui Kominda<br />
Terbentuknya Kominda, yang beranjak dari keputusan Menteri Dalam Negeri tentu tidak<br />
lepas dari adanya keinginan BIN untuk memperluas dan memiliki kantor dari pusat sampai ke<br />
daerah. Sebelumnya, gagasan memperluas kantor sampai ke daerah ini didorong oleh BIN<br />
kepada Presiden Megawati Soekarnoputri agar menyetujui pembentukan Badan Koordinasi<br />
Intelijen Daerah (Bakorinda). Bahkan di beberapa daerah, seperti di Sulawesi Utara dan<br />
Gorontalo. Keinginan memperkuat lembaga intelijen negara dilakukan dengan merekrut<br />
Lurah dan perangkatnya menjadi aparat intelijen. 72<br />
Dalam kelanjutannya, keinginan membentuk kantor-kantor wilayah BIN disetujui oleh<br />
Presiden Megawati Soekarnoputri dan dalam rencananya akan segera dituangkan dalam<br />
Keppres. Namun karena banyak tentangan berbagai kalangan, keinginan untuk menerbitkan<br />
Keppres tersebut tidak terealisasi hingga akhir masa kepemimpinan Megawati. Tetapi yang<br />
muncul kemudian adalah suatu keputusan Mendagri untuk membentuk Komunitas Intelijen<br />
Daerah (Kominda) (lihat: Surat Mendagri No.X.300.08/SC tanggal 25 Febuari 2003). 73<br />
Kepentingan BIN terhadap kebutuhan adanya Kominda ditegaskan dan dijelaskan oleh<br />
seorang pejabat BIN yang mengatakan, konsep di BIN secara formal adalah membentuk<br />
Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) sebagai wadah untuk melakukan koordinasi antar<br />
aparat intelijen. 74<br />
Landasan hukum pembentukan komunitas tersebut didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor<br />
5 Tahun 2002 tentang penetapan BIN selaku koordinator kegiatan intelijen dan Surat<br />
Mendagri No.X.300.08/SC tanggal 25 Februari 2003, 75 tentang Pembentukan Panitia<br />
Penyelenggara Rapat Konsultasi Penguatan Sistem Jaringan Komunitas Intelijen Daerah.<br />
Kominda terdiri dari berbagai unsur intelijen, pejabat daerah serta staf dari Badan Kesatuan<br />
Bangsa dan Perlindungan <strong>Masyarakat</strong> Kabupaten/Kota.<br />
Di beberapa tempat peranan dan fungsi Kominda bermacam-macam. Bahkan dalam sebuah<br />
kasus, Kepala BIN Syamsir Siregar saat rapat dengan Komunitas Intelijen Daerah yang<br />
dihadiri Gubernur Sulawesi Tengah dan para Bupati serta Kejaksaan Tinggi Wilayah,<br />
meminta agar Departemen Dalam Negeri mencopot Bupati Morowali Sulawesi Tengah. 76<br />
72 Ihwal perekrutan Kepala Desa dan Lurah oleh BIN diungkapkan Brigjen (Pol) Wenny Warow, yang<br />
memimpin lembaga itu. Koran Tempo, 20 Desember 2003.<br />
73 www.dayakology.com/kr/ind/2004/108/daerah3.htm - 9k -<br />
74 Kompas, ”Teror Itu Terus Mengancam”, 10 Agustus 2003.<br />
75 www.dayakology.com/kr/ind/2004/108/daerah3.htm - 9k -<br />
76 Tempo Interaktif, ”Syt! Ada Calon Intel!”, 14 Juli 2005.<br />
34
BAB V<br />
REFORMASI INTELIJEN DAN TARIK ULUR PEMBENTUKAN UU INTELIJEN<br />
5.1 Mengapa Perlu Reformasi Intelijen?<br />
Proses perubahan politik di Indonesia pada 1998 yang ditandai dengan jatuhnya rezim Orde<br />
Baru, membawa konsekuensi dipilihnya sistem demokrasi sebagai satu sistem poltik di<br />
Indonesia. Meskipun perubahan politik sejak 1998 telah membuka ruang demokrasi, tetapi<br />
institusi, praktik dan kultur yang demokratis belum sepenuhnya terwujud. Kontrol publik<br />
terhadap kekuasaan negara masih belum terjamin keberlangsungannya. Dengan kata lain,<br />
meskipun hak-hak warga mulai diakui, kekuasaan eksesif dan hegemoni negara belum<br />
sepenuhnya terkikis.<br />
Atas dasar tujuan dibangunnya sistem kenegaraan yang demokratis, proses demokrasi yang<br />
sedang berjalan menuntut adanya perubahan di dalam lembaga-lembaga negara, termasuk di<br />
dalamnya badan-badan intelijen. Dengan berubahnya sistem politik negara, maka perubahan<br />
itu diharapkan akan memberikan dampak pada perubahan paradigma, peran, fungsi, kultur,<br />
dan struktur badan intelijen itu sendiri.<br />
Namun demikian, setelah sepuluh tahun reformasi berjalan, perubahan yang terjadi di dalam<br />
lembaga intelijen masih belum maksimal. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan/<br />
perubahan yang hanya mencakup perubahan nama, lambang, slogan dan dasar hukum<br />
pembentukan lembaga intelijen hanya bersandar pada Inpres dan Keppres. Padahal, salah satu<br />
cara untuk mencapai reformasi intelijen di Indonesia yaitu dengan merumuskan kaidahkaidah<br />
normatif intelijen yang tertuang di dalam undang-undang intelijen negara agar arah<br />
dan tujuannya dari intelijen tersebut tidak terus berganti seiring dengan pergantian otoritas<br />
politik.<br />
Ketiadaan aturan yang jelas dan tegas tentang intelijen dengan peran yang besar sangat<br />
berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bagaimana<br />
penyalahgunaan terjadi, baik intelijen telah disalahgunakan oleh penguasa maupun<br />
penyalahgunaan yang dilakukan oleh aparat intelijen sendiri. Bahkan, penyalahgunaan yang<br />
justru merugikan warga negara dan masyarakat tersebut tidak pernah dapat terungkap dan<br />
para pelakunya pun hingga kini belum dapat dimintai pertanggungjawaban.<br />
Pada masa pemerintahan Orde Baru, intelijen di masa itu kerap dikenal sebagai ’intelijen<br />
hitam’ yang secara eksplisit dijalankan untuk menghadapi ancaman terhadap penguasa politik<br />
saat itu dimana pada awalnya fokus dari kegiatan intelijen pada periode ini ditujukan untuk<br />
menghancurkan komunisme di Indonesia. Selanjutnya terdapat beberapa pelanggaran HAM<br />
yang terjadi pada masa periode ini yang menunjukkan bahwa intelijen digunakan oleh<br />
penguasa sebagai ’pelindung’ kekuasaannya, seperti operasi militer di Aceh, Timor-Timur,<br />
Papua, peristiwa Malari 1974, Tanjung Priok 1984, kasus Talangsari di Lampung, kasus<br />
Penembakan Misterius (Petrus) di era 1980-an, yang terakhir ditutup dengan kasus<br />
penghilangan aktivis sepanjang tahun 1997-1998. Pada periode ini dinas-dinas intelijen<br />
mengalami politisasi dan militerisasi sehingga secara efektif dapat melaksanakan intervensi<br />
politik yang secara sistematik masuk ke setiap lini lain: 77<br />
77 Andi W. dan Artanti W., Op.Cit., hlm 4-7<br />
35
Praktik penyimpangan intelijen itu ternyata tidak berhenti di masa Orde Baru. Dalam<br />
kelanjutannya, beberapa kasus penyimpangan intelijen terus terjadi di masa reformsi ini dan<br />
kasus penyimpangan intelijen yang paling mendapat perhatian publik adalah kasus<br />
pembunuhan aktivis HAM Munir dimana dalam pembunuhan itu diduga pejabat tinggi<br />
intelijen terlibat di dalamnya. Selain kasus itu, penyimpangan intelijen juga terjadi dalam<br />
kasus percetakan uang palsu dan cukai palsu. Dengan dalih untuk mengetahui pelaku<br />
pencetak dan peredaran uang palsu di Indonesia, BIN mencetak uang palsu dan cukai rokok.<br />
Di dalam prosesnya, Ketua Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu dan Pengamananpengawasan<br />
Pencetakan Dokumen Sekuriti dimanfaatkan oleh beberapa pejabat dan agen<br />
BIN untuk mencetak dan mengedarkan uang palsu secara otonom. Selanjutnya pada awal<br />
tahun 2005, terungkap terdapat tujuh orang aparat BIN yang terlibat di dalam kasus ini. 78<br />
Di sisi lain, kompleksitas ancaman yang berkembang tentunya telah memaksa lembaga<br />
intelijen untuk dapat bekerja secara lebih profesional. Pandangan publik yang menilai<br />
intelijen tidak cukup maksimal di dalam melakukan deteksi dini dalam menghadapi ancaman<br />
terhadap keamanan dan berakibat pada terjadinya tindakan kejahatan tentunya menjadi salah<br />
satu alasan penting di dalam melakukan reformasi intelijen.<br />
Di masa kini, ancaman terhadap keamanan nasional tidak hanya ancaman yang bersifat<br />
Tradisional tetapi juga meliputi ancaman yang bersifat non-tradisional. Bahkan di Indonesia<br />
maupun di kawasan Asia khususnya ASEAN, ancaman non-tradisional dianggap sebagai isu<br />
utama yang mengancam keamanan kawasan. Ancaman ini terdiri dari persoalan terorisme,<br />
penyelundupan senjata ringan, separatisme bersenjata, penjualan wanita dan anak-anak,<br />
kebakaran hutan, piracy, money laundering, drugs trafficking. Meski ancaman nontradisional<br />
menjadi isu utama di kawasan Asia namun ancaman tradisional masih juga<br />
potensial menimbulkan konflik di kawasan Asia secara umum antara lain border disputesisu-isu<br />
perbatasan seperti Indonesia-Malaysia tentang masalah Ambalat, Indonesia dan<br />
Filipina tentang masalah Kepulauan Miangas, masalah batas landas kontingen antara<br />
Malaysia dan Singapura dan Malaysia-Thailand; konflik di Korea Peninsula; konflik China-<br />
Taiwan; maupun konflik India-Pakistan tentang masalah Kasmir. 79<br />
Terkait dengan itu, lembaga intelijen yang ada di Indonesia diharapkan dapat bekerja secara<br />
lebih profesional untuk mencegah kompleksitas ancaman-ancaman itu. Namun demikian,<br />
penting untuk dihindari terjadinya sekuritisasi di dalam menilai ancaman yang ada dimana<br />
salah satu persoalan yang akan ditimbulkan adalah bias pendekatan militer di dalam<br />
menghadapi ancaman terhadap keamanan.<br />
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa reformasi intelijen menjadi sesuatu yang sangat<br />
dibutuhkan di Indonesia mengingat; pertama, reformasi intelijen merupakan bagian dari<br />
usaha untuk mengoreksi kesalahan sejarah kelam intelijen di masa lalu maupun mengoreksi<br />
serta memperbaiki praktik penyimpangan intelijen yang terjadi di masa kini. Kedua, untuk<br />
memperkuat landasan hukum yang mengatur tentang keseluruhan intelijen yang ada di<br />
Indonesia.Ketiga, untuk memperkuat sistem peringatan dini dan memperkuat sistem analisa<br />
informasi strategis, dimana intelijen memiliki peran utama di dalamnya. Keempat, sebagai<br />
78 Tim Imparsial, Evaluasi Kinerja BIN di masa transisi dan catatan untuk Reformasi, Imparsial, Jakarta, 2005,<br />
hlm 1, hlm 21-22<br />
79 Untuk lebih jelas melihat isu-isu dan ancaman di kawasan Asia lihat Connie Rahakundini Bakrie, Pertahanan<br />
<strong>Negara</strong> dan Postur TNI Ideal, (Jakarta: Obor, 2007), hlm 64<br />
36
agian penting dari proses reformasi sektor keamanan maka kelembagan intelijen harus<br />
menyesuaikan diri dengan tata nilai baru di dalam negara demokrasi yang menghormati hak<br />
HAM dan prinsip negara hukum. Adapun tujuan untuk melakukan reformasi intelijen itu<br />
adalah untuk mewujudkan terciptanya intelijen yang profesional dan efektif, yang patuh pada<br />
tata nilai demokrasi dalam kerangka mewujudkan keamanan nasional.<br />
5.2 Tarik Ulur Pembentukan <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong><br />
Di masa Orde Baru, intelijen negara sering digunakan sebagai ”alat” untuk membungkam<br />
gerakan-gerakan yang dapat mengancam keberlangsungan kekuasaan Soeharto. Berbagai<br />
peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa pada masa tersebut ditengarai<br />
dilakukan oleh aktor intelijen negara. 80 Hal tersebut kemudian menjadi salah satu pemicu<br />
terjadinya gerakan reformasi mahasiswa 1998 yang menuntut dilakukannya perubahan di<br />
segala bidang, tak terkecuali terhadap aktor-aktor keamanan negara.<br />
Reformasi terhadap aktor-aktor keamanan negara telah menghasilkan TNI dan Polri yang<br />
sudah terpisah secara struktural dari sebelumnya berada di bawah ABRI dan bekerja dalam<br />
kerangka peraturan perundang-undangannya masing-masing. Namun demikian, satu-satunya<br />
aktor keamanan negara yang nyaris belum tersentuh reformasi adalah intelijen. Padahal,<br />
penyalahgunaan fungsi intelijen pada masa lalu adalah fakta yang seharusnya menjadi<br />
pembelajaran untuk mereformasi institusi Intelijen.<br />
Penataan dan pembenahan institusi intelijen juga menjadi agenda penting untuk menjawab<br />
kebutuhan akan keamanan nasional yang kian mendesak, selain reformasi intelijen itu sendiri<br />
merupakan salah satu agenda besar reformasi sektor keamanan. Intelijen negara yang<br />
berfungsi sebagai pendukung penyelenggaraan fungsi keamanan nasional, tentunya harus<br />
mendapatkan legitimasi publik pada mandat, tugas, dan wewenang intelijen yang legal dan<br />
akuntabel.<br />
Selama ini aktivitas intelijen hanya diatur melalui keputusan-keputusan Presiden yang tidak<br />
memiliki legitimasi yang kuat. Cara mendapatkan legitimasi tersebut adalah dengan<br />
mendasarkan seluruh sistem operasi intelijen pada sebuah aturan hukum yang secara hierarkis<br />
dapat diawasi oleh wakil rakyat di parlemen. Tidak dilibatkannya DPR sebagai badan<br />
legislatif yang memiliki kewenangan untuk membuat regulasi politik membuat aktivitas<br />
intelijen cenderung menjadi tidak terawasi. 81 Maka dari itu, dibutuhkan sebuah undangundang<br />
yang mengatur secara tegas, jelas, dan komprehensif tentang tugas, fungsi, dan<br />
wewenang intelijen negara.<br />
5.2.1 Draf <strong>RUU</strong> Intelijen pada Masa DPR Periode 1999-2004<br />
Draf <strong>RUU</strong> tentang Intelijen <strong>Negara</strong> pertama kali muncul pada 2002, kemudian baru diajukan<br />
resmi ke DPR-RI September 2003. 82 Draf <strong>RUU</strong> tentang Intelijen <strong>Negara</strong> yang bertanggal 25<br />
Januari 2002 diajukan bersamaan dengan <strong>RUU</strong> Kebebasan Memperoleh Informasi Publik<br />
(KMIP) dan <strong>RUU</strong> Rahasia <strong>Negara</strong>. 83 Pengajuan tersebut memancing kritikan dari<br />
80 www.tempo.co.id/ang/min/03/21/nas10.htm, “Intelijen Terlibat Penculikan”, Edisi 21/03-25/Juli/1998.<br />
81 Buletin TELIK SANDI, Tajuk, “Saatnya mereformasi Intelijen”, volume I, No. 1 Juni 2006, hlm 3.<br />
82 Ibid., hlm 2.<br />
83 Kompas, “DPR Didesak Dahulukan <strong>RUU</strong> Kebebasan Informasi”, 20 Februari 2003.<br />
37
masyarakat, karena kedua <strong>RUU</strong> tersebut dinilai mempunyai perbedaan dan paradigma yang<br />
mendasar. <strong>RUU</strong> KMIP menjadi tolok ukur transisi demokrasi di Indonesia, sedangkan <strong>RUU</strong><br />
Intelijen <strong>Negara</strong> dan <strong>RUU</strong> Rahasia <strong>Negara</strong> yang diajukan pemerintah mempunyai paradigma<br />
tertutup dan cenderung membatasi kebebasan bahkan hak warga negara. Karena mendapat<br />
tentangan yang keras dari masyarakat, <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> dikembalikan DPR kepada<br />
pemerintah untuk diperbaiki.<br />
Dalam draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tahun 2002, diatur tentang kewenangan BIN untuk<br />
melakukan penangkapan dan penahanan terharap orang yang diduga dapat mengancam<br />
keamanan nasional. Pemberian kewenangan tersebut tentu lebih menempatkan BIN sebagai<br />
polisi rahasia dibandingkan tugas yang sebenarnya: pemasok informasi bagi pengambil<br />
kebijakan. Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya, BIN juga telah memperoleh<br />
perluasan kewenangan yang dilegitimasi melalui beberapa kebijakan, seperti yang<br />
memposisikan BIN selaku Koordinator Seluruh Unit Intelijen (Instruksi Presiden Nomor 5<br />
Tahun 2002). 84 Hingga menjadi Ketua Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu dan<br />
Pengamanan-pengawasan Dokumen Sekuriti. 85<br />
Terlalu luasnya kewenangan yang diberikan <strong>RUU</strong> tersebut terhadap BIN kembali mendapat<br />
kritikan yang keras dari masyarakat, tak terkecuali anggota DPR-RI. Alvin Lie dari Partai<br />
Amanat Nasional menilai draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> harus ditolak karena dapat memperkosa<br />
demokrasi dan membunuh HAM. Bahkan, kewenangan intelijen yang diberikan <strong>RUU</strong> ini<br />
terlalu luas karena siapapun bisa ditangkap, kapanpun dan dimanapun tanpa menghormati<br />
asas praduga tak bersalah dan tanpa boleh didampingi oleh pengacara serta keluarga selama<br />
masa penahanan maksimal 3 kali 30 hari. Bahkan menurutnya, sebisa mungkin draf <strong>RUU</strong><br />
tersebut harus ”dibunuh” sebelum lahir menjadi undang-undang. 86<br />
Masih terkait dengan kewenangan penangkapan, perbedaan pendapat tidak hanya terjadi<br />
sesama anggota parlemen ataupun masyarakat, tetapi juga di dalam institusi yang mewakili<br />
pemerintah di Parlemen. Kapolri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar pada saat itu mengatakan<br />
pandangan yang berbeda dengan Kepala BIN, bahwa kewenangan penangkapan hanya ada di<br />
tangan kepolisian, bukan pada BIN. 87 Sebelumnya, Kepala BIN AM Hendropriyono<br />
mengatakan bahwa pekerjaan intelijen itu ibarat mencari sarang tikus dan kemudian<br />
menangkapi tikus-tikus tersebut. Selanjutnya tugas kepolisian dan pengadilan lah yang<br />
membuktikan apakah pihak intelijen salah tangkap atau tidak. Hendropriyono menambahkan,<br />
prinsip tugas intelijen adalah preventif alias mencegah sebelum terjadi. Jadi <strong>RUU</strong> Intelijen<br />
tidak akan digunakan untuk menangkapi orang-orang yang tidak bersalah. 88<br />
84 Tim Imparsial, “Evaluasi Kinerja BIN di Masa Transisi dan Catatan Untuk Reformasi BIN”, (Jakarta:<br />
Imparsial, 2005).<br />
85 Keputusan Kepala BIN No. 046/2002 dan lampirannya tertanggal 18 Februari 2002 jo Insruksi Presiden<br />
Nomor 1 Tahun 1971 tentang ditunjuknya Lembaga Intelijen <strong>Negara</strong> (dulu Kabakin) sebagai Koordinator<br />
Pemberantasan Uang Palsu di Indonesia, serta dokumen securiti (pita cukai, perangko, materai tempel, kertas<br />
bermaterai, sertifikat tanah, paspor, STTB dan Danem, ijazah perguruan tinggi, SKSHH, stiker pelunas PPN<br />
kaset, LD, VCD, SBI, fiskal, naskah ujian negara, buku uji kendaraan bermotor, surat/ izin menangkap ikan,<br />
stiker visa, encoding, kartu telepon (termasuk pencetakan PIN), kartu peserta jamsostek, air line OPTAT,<br />
sertifikat ekspor, paper sale barang ekspor).<br />
86 Pelita, ”<strong>RUU</strong> Intelijen Beri Kewenangan BIN Luar Biasa”, 10 Maret 2004.<br />
87 www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=33645, ”LSM Khawatir BIN Jadi Polisi Rahasia”,<br />
16 Oktober 2004.<br />
88 Ibid.<br />
38
Akhirnya, <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tidak jadi disahkan oleh DPR periode 1999-2004. <strong>RUU</strong><br />
tersebut dikembalikan kepada pemerintah untuk diperbaiki, dengan catatan memasukkan<br />
HAM sebagai nilai-nilai yang harus diadopsi dalam <strong>RUU</strong> tersebut. Adalah sebuah keharusan<br />
untuk mengadopsi ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia dalam setiap peraturan<br />
perundang-undangan agar ada jaminan tertulis dalam upaya perlindungan terhadap nilai-nilai<br />
kemanusiaan.<br />
5.2.2 Draf <strong>RUU</strong> Intelijen pada Masa DPR Periode 2004-2009<br />
Perdebatan tentang <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> sejenak terhenti dengan pelaksanaan pemilu 2004.<br />
<strong>RUU</strong> ini baru kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) periode 2005-<br />
2009, dan menjadi salah satu <strong>RUU</strong> yang diprioritaskan untuk segera dibahas di DPR. 89<br />
Pembahasannya ditargetkan dapat dilakukan pada 2007, sehingga pada 2008 pemerintah<br />
diharapkan sudah mengesahkan <strong>RUU</strong> tersebut menjadi Undang-Undang.<br />
Pada 2006, pemerintah secara resmi kembali mengajukan draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> kepada<br />
DPR-RI. Draft <strong>RUU</strong> yang bertanggal 10 Maret 2006 tersebut terdiri dari 7 bab dan 48 pasal. 90<br />
Di dalam bab I draft <strong>RUU</strong> tentang Intelijen <strong>Negara</strong> mengatur tentang hakekat, asas, dan<br />
fungsi intelijen negara; bab II memaparkan tentang tugas, kewenangan, serta organisasi<br />
dinas-dinas Intelijen yang tergabung dalam komunitas intelijen negara. Dinas-dinas intelijen<br />
tersebut antara lain adalah BIN, BAIS, BIK POLRI, Intelijen Kejaksaan, dan dinas-dinas<br />
intelijen di departemen atau instansi pemerintahan lainnya; bab III mengatur tentang personel<br />
intelijen; dalam bab IV mengatur tentang sumber pembiayaan aktivitas intelijen; kemudian<br />
bab V menawarkan pembentukan Sub Komisi Intelijen <strong>Negara</strong> di DPR yang akan melakukan<br />
pengawasan terhadap aktivitas terhadap dinas-dinas intelijen; dan terakhir bab VII draf <strong>RUU</strong><br />
Intelijen <strong>Negara</strong> tersebut mengatur tentang ketentuan pidana, peralihan organisasi dan<br />
regulasi tentang intelijen negara. 91<br />
Penempatan dinas-dinas intelijen dalam sistem keamanan nasional telah diatur dalam draf<br />
<strong>RUU</strong> tentang intelijen negara tahun 2006. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 1 yang<br />
menyatakan bahwa ”intelijen negara adalah lembaga pemerintahan yang merupakan bagian<br />
integral dari sistem keamanan nasional”. Hal tersebut diharapkan dapat mencegah politisasi<br />
dan militerisasi intelijen. Intelijen harus dipisahkan dari kegitan politik praktis dan lepas dari<br />
pertarungan kekuasaan politik rezim. Intelijen harus menjadi institusi sipil yang tidak boleh<br />
dipandang dan dijalankan sebagaimana menjalankan organisasi militer.<br />
Upaya untuk mencegah politisasi intelijen juga tampak dari draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tahun<br />
2006 tersebut, yang diatur di Pasal 4 yang menyatakan bahwa ”personel intelijen bersifat<br />
non-partisasan, netral dalam kehidupan politik, dan tidak melibatkan diri pada kegiatan<br />
politik praktis”. Personel intelijen harus dituntut untuk bersifat obyektif, tidak menjadi alat<br />
kekuasaan suatu partai politik yang sedang berkuasa dalam pemerintahan.<br />
Namun, jika dianalisis lebih dalam draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tahun 2006 sebenarnya hanya<br />
menitikberatkan pada perumusan pengaturan tentang komunitas intelijen nasional dan belum<br />
menjabarkan keterkaitan antara dinas-dinas intelijen dengan dimensi keamanan nasional. Hal<br />
89 Buletin TELIK SANDI, Op. Cit.<br />
90 T. Hari Prihatono (ed.), Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, (Jakarta: Propatria Institute,<br />
2006), hlm 99.<br />
91 Ibid., hlm 99-100.<br />
39
itu terbukti dengan adanya tumpang-tindih fungsi dan kewenangan antara intelijen negara<br />
dengan kepolisian sebagai aparat penegak hukum di Indonesia yang diatur dalam draft <strong>RUU</strong><br />
tersebut.<br />
Selain itu, perumusan <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> harus berkaitan erat dengan <strong>RUU</strong> tentang<br />
Keamanan Nasional. Intelijen negara yang berfungsi sebagai bagian dari sistem keamanan<br />
nasional dalam aktivitasnya harus mendukung kinerja lembaga-lembaga yang selama ini<br />
bertanggungjawab terhadap keamanan nasional, tentunya melalui aliran informasi dan sistem<br />
koordinasi yang kuat.<br />
Satu lagi kelemahan yang terdapat dalam draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tahun 2006 ini, yaitu<br />
godaan untuk menjadikan intelijen sebagai aparat penegak hukum. Hal itu tampak dalam<br />
Pasal 12 yang menyatakan bahwa BIN memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan<br />
dalam rangka interogasi, penyadapan, pemeriksaan rekening, dan pembukaan surat setiap<br />
orang yang dianggap dapat membahayakan keselamatan warga negara.<br />
Draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> harus secara tegas memisahkan fungsi intelijen dari fungsi<br />
penegakan hukum. Fungsi penegakan hukum tetap harus dipegang oleh Kepolisian dan<br />
Kejaksaan dan tidak dapat dipindah-tangankan kepada aparat intelijen. Agar intelijen<br />
berfungsi secara efektif, yang harus dipertegas adalah mekanisme koordinasi antara aparat<br />
penegak hukum dan aparat intelijen, bukan melalui perluasan fungsi atau kewenangan<br />
intelijen yang merusak tatanan dan mekanisme penegakan hukum di Indonesia.<br />
Dalam pembahasannya di DPR, draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> usulan pemerintah tersebut<br />
banyak menuai kritik dari masyarakat sipil. Hingga akhirnya, kemudian muncul draf <strong>RUU</strong><br />
Intelijen <strong>Negara</strong> tandingan versi masyarakat sipil yang dimotori oleh Kelompok Kerja<br />
Indonesia untuk Reformasi Intelijen <strong>Negara</strong>. 92 Draf <strong>RUU</strong> tersebut terdiri dari 9 bab dan 54<br />
pasal, yang pada prinsipnya menawarkan suatu bentuk pengaturan baru terhadap Intelijen<br />
<strong>Negara</strong> secara efektif dan profesional dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi<br />
dan HAM.<br />
Namun, dalam pembahasan di DPR, <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> kembali mengalami kebuntuan,<br />
terutama soal kewenangan menangkap yang dimiliki intelijen yang nantinya dinilai akan<br />
sangat membahayakan masyarakat sipil. Ditambah lagi, intelijen memiliki masa penahanan<br />
yang terlalu lama terhadap orang yang diduga mengancam keamanan negara. Perkembangan<br />
selanjutnya, <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> dan beberapa <strong>RUU</strong> lainnya termasuk <strong>RUU</strong> Rahasia<br />
<strong>Negara</strong> tidak jadi disahkan oleh DPR periode 2004 2009.<br />
5.2.3 Draf <strong>RUU</strong> Intelijen pada Masa DPR Periode 2009-2014<br />
Usai pelaksanaan pemilu 2009, dan setelah terpilihnya anggota DPR-RI yang baru periode<br />
2009-2014, <strong>RUU</strong> Intelijen kembali menjadi salah satu <strong>RUU</strong> yang akan dibahas di parlemen.<br />
Terbukti, <strong>RUU</strong> Intelijen masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014.<br />
Kali ini draf <strong>RUU</strong> tersebut diajukan atas inisiatif DPR. Draft <strong>RUU</strong> tersebut diajukan<br />
bersamaan dengan draf <strong>RUU</strong> Rahasia <strong>Negara</strong>, dimana keduanya pernah sama-sama ditolak<br />
oleh wakil rakyat di DPR.<br />
92 Kelompok Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen <strong>Negara</strong> menyelesaikan draft <strong>RUU</strong> Intelijen tandingan<br />
pada 23 Agustus 2005 yang dimotori oleh Pacivis UI dan beranggotakan dari beberapa organisasi (ELSAM,<br />
IMPARSIAL, HRWG, ICW, ISAI, KontraS, Pro Patria, Ridep Institute, YLBHI, dan Pacivis UI).<br />
40
Rencananya, <strong>RUU</strong> tentang Intelijen <strong>Negara</strong> akan mulai dibahas secara tersendiri pada 2010. 93<br />
Sehingga pada akhir 2011, Indonesia diharapkan sudah mempunyai regulasi yang lebih<br />
komprehensif yang mengatur tentang intelijen negara. Namun, hingga tulisan ini dibuat DPR<br />
belum mengumumkan atau mempublikasikan secara resmi draf <strong>RUU</strong> Intelijen yang akan<br />
dibahas.<br />
Bahkan beberapa kalangan mencurigai bahwa tidak akan terjadi banyak perubahan terhadap<br />
draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> versi 2010 ini. Persoalannya disinyalir masih seputar perdebatan<br />
lama yang telah dibahas sebelumnya, khususnya mengenai kewenangan penangkapan yang<br />
dimiliki oleh intelijen. Hal ini pun kemudian kembali mengundang reaksi dan tanggapan dari<br />
masyarakat sipil. Makmur Keliat, dosen FISIP Universitas Indonesia, mengatakan lembaga<br />
intelijen bukanlah lembaga penegak hukum yang bisa menangkap orang. Peran lembaga<br />
intelijen hanya sebatas penyuplai informasi secara cepat dan akurat seuai dengan doktrin<br />
intelijen, velox et exactus. 94<br />
Senada dengan itu, anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan<br />
(PDI-P), Tubagus Hasanudin, mengatakan selama ini intelijen dicitrakan sebagai institusi<br />
bengis yang dapat menangkap dan menahan orang kapan saja, terutama bila orang itu dinilai<br />
dapat merugikan kepentingan penguasa. Hasanudin menambahkan, agar hal tersebut tidak<br />
terulang kembali, kewenangan dan peran intelijen harus dibatasi. Intelijen tidak boleh diberi<br />
kewenangan menangkap dan kinerja intelijen harus pula didasarkan pada prinsip-prinsip<br />
perlindungan terhadap masyarakat sipil serta penghormatan terhadap HAM. 95<br />
<strong>RUU</strong> Intelijen harus menempatkan intelijen pada fungsi yang sebenarnya, agar terhindar dari<br />
penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan penguasa. Intelijen negara haruslah dilihat<br />
sebagai pelengkap dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Untuk itu, draf <strong>RUU</strong><br />
Intelijen <strong>Negara</strong> harus mengatur secara rinci dan detail tentang fungsi, tugas, dan<br />
wewenangan intelijen. Regulasi yang mengatur secara detail tentang kewenangan operasional<br />
bagi setiap dinas intelijen merupakan tuntutan dasar negara demokratis. 96 Di tengah masa<br />
transisi demokrasi di Indonesia, adalah wajar bila pengaturan tentang intelijen menjadi<br />
barometer untuk mengukur kemajuan demokrasi di Indonesia.<br />
93 Republika Online, “DPR Harap <strong>RUU</strong> Intelijen Lolos Uji Publik”, 27 Mei 2010.<br />
94 Kompas, “Merancang Aturan Intelijen yang Profesional”, 28 April 2010.<br />
95 Ibid.<br />
96 T. Hari Prihatono (Ed.), Op. Cit., hlm. 98.<br />
41
BAB VI<br />
KRITIK <strong>RUU</strong> INTELIJEN NEGARA<br />
6.1 Kritik <strong>RUU</strong> Intelijen 2010-2011<br />
Intelijen negara diperlukan untuk mengatasi ancaman terhadap keamanan nasional, tidak saja<br />
ancaman yang ditujukan kepada eksistensi, keutuhan, dan kedaulatan negara, melainkan juga<br />
ancaman terhadap keamanan warga negara. Fungsi intelijen pada hakikatnya adalah<br />
menyediakan informasi yang mutakhir dan akurat sebagai dasar pengambilan keputusan di<br />
bidang keamanan, terutama untuk mencegah terjadinya kejutan yang mengganggu keamanan<br />
nasional. Fungsi intelijen diperlukan tidak hanya dalam konteks hubungan antar negara<br />
sebelum dan pada saat perang, melainkan spektrumnya telah meluas menjangkau ancaman<br />
keamanan nasional domestik dan warga negara sehingga tidak pada tempatnya jika intelijen<br />
negara justru mengganggu keamanan warga negara.<br />
Berkembangnya spektrum ancaman keamanan nasional menuntut diselenggarakannya fungsi<br />
intelijen negara yang profesional. Di sisi lain, keberadaan intelijen negara juga harus sesuai<br />
dengan karakter masyarakat demokratis yang menuntut partisipasi dan pertanggungjawaban<br />
dari semua penyelenggara fungsi negara guna menjamin tidak terjadinya penyalahgunaan<br />
kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).<br />
Pengaturan intelijen negara diperlukan sebagai manifestasi pelaksanaan negara hukum, baik<br />
dalam konsepsi rule of law maupun rechtstaats, di mana salah satu unsur utamanya adalah<br />
pemerintahan berdasarkan hukum dan perlindungan terhadap HAM. Oleh karena itu<br />
pengaturan intelijen negara dimaksudkan sebagai landasan hukum sekaligus batasan hukum<br />
bagi pelaksanaan dan kelembagaan intelijen negara. Landasan dan batasan hukum tersebut<br />
diperlukan untuk mencapai terwujudnya intelijen negara yang profesional, akuntabel, dan<br />
tidak berpotensi melakukan atau menjadi alat penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran<br />
HAM.<br />
Pengaturan intelijen yang ideal diperlukan mengingat karakter dasar kerja intelijen yang<br />
secara umum tertutup dan lentur, dengan mengandalkan pada kecepatan dan kerahasiaan.<br />
Karakter dasar tersebut memiliki potensi yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan<br />
kekuasaan dan pelanggaran HAM. Apalagi banyak catatan menunjukkan hal itu terjadi, baik<br />
di Indonesia (misalnya kasus pembunuhan Munir) maupun di negara-negara lain.<br />
Guna mewujudkan intelijen yang profesional dan meminimalisasi potensi penyalahgunaan<br />
kekuasaan, dapat dilakukan dengan menentukan bahwa fungsi intelijen negara dilakukan oleh<br />
beberapa lembaga intelijen negara secara terdiferensiasi namun terkoordinasikan dengan<br />
baik. Setiap penyelenggara intelijen harus ditentukan memiliki fungsi yang khusus dan<br />
spesifik (lex stricta dan lex scripta) sehingga di satu sisi tidak terjadi tumpang-tindih<br />
kewenangan, dan di sisi lain menutup kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan intelijen<br />
yang melampaui kewenangan. Melalui sistem diferensiasi fungsi intelijen dapat terwujud<br />
mekanisme checks and balances di internal komunitas intelijen. Untuk menunjang hal ini,<br />
diperlukan mekanisme koordinasi oleh suatu institusi terdiri atas jabatan majemuk sehingga<br />
tidak ada sub-ordinasi atau pemanfaatan intelijen tertentu oleh penyelenggara intelijen yang<br />
lain.<br />
42
Intelijen negara juga harus dibedakan dengan fungsi penegakan hukum. Fungsi intelijen harus<br />
dibatasi pada fungsi yang berkaitan dengan informasi, bukan penanganan hukum atas suatu<br />
perkara. Oleh karena itu intelijen negara tidak dapat melakukan tindakan-tindakan hukum<br />
serta tidak pula dapat melakukan tindakan yang melanggar hukum.<br />
Pada bab ini akan diketengahkan kajian kritis terhadap draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> versi 2010<br />
yang menganalisis dan mereview <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> yang diagendakan pembahasannya di<br />
tahun 2010 ini. Kajian kritis ini tentunya mengacu kepada ideal pengaturan intelijen negara.<br />
Review dibagi menjadi dua bagian, yaitu review secara umum terhadap paradigma atau<br />
kecenderungan keseluruhan <strong>RUU</strong> Intelijen negara, dan review terhadap pasal-pasal dalam<br />
<strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong>.<br />
1. Kritik Paradigma<br />
Lemahnya landasan filosofis, terkait dengan:<br />
a. Kurang lengkap karena tidak ada prinsip landasan-landasan filosofis pembentukan<br />
negara di dalam konstitusi, seperti halnya prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara<br />
hukum,<br />
b. Penggunaan terminologi “Ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan yang<br />
membahayakan eksistensi dan keutuhan <strong>Negara</strong> Kesatuan Republik Indonesia” sangat<br />
multitafsir. Membahayakan warga negara dan seharusnya tidak perlu diatur,<br />
c. Perlindungan terhadap warga negara tidak terlihat sebagai dasar paradigma dari <strong>RUU</strong><br />
ini, justru yang ada hanya perlindungan terhadap keadulatan negara,<br />
d. Demokrasi, hukum dan HAM hanya menjadi komplemen dalam <strong>RUU</strong> Intelijen. Namun<br />
tidak menjadi pondasi yang mendasar,<br />
e. Penggunaan terminologi “Mendukung tegaknya hukum” ada kecenderungan untuk<br />
memasukkan lembaga ini menjadi penegak hukum,<br />
f. Paradigma yang dianut dalam <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> adalah paradigma pembatasan dan<br />
pelanggaran HAM. Kecenderungan paradigma pembatasan dan pelanggaran HAM<br />
terlihat dari dimuatnya Pasal 28J UUD 1945 yang mengatur tentang pembatasan HAM<br />
dalam konsideran mengingat dan tanpa mencantumkan bahkan justru<br />
mengesampingkan Pasal 28 I di dalam dasar mengingatnya yang sejatinya Pasal 28 I itu<br />
merupakan jiwa dalam konstitusi yang mengatur tentang HAM yang bersifat nonderogable<br />
rights yang artinya hak-hak itu tidak dapat dikurangi dalam situasi dan<br />
kondisi apa pun. Adapun hak-hak itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,<br />
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,<br />
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas<br />
dasar hukum yang berlaku surut. Dengan demikian paradigma <strong>RUU</strong> ini memang lebih<br />
bersifat pembatasan terhadap HAM dan pembatasan itu juga meliputi pembatasan<br />
terhadap hak-hak yang bersifa non-derogable rights itu. Dalam konteks itu <strong>RUU</strong> ini<br />
jelas-jelas tidak secara penuh menjadikan tata nilai HAM sebagai dasar pijakan<br />
paradigmanya. Selain itu, <strong>RUU</strong> ini juga tidak menegaskan jaminan konstitusional<br />
lainnya terkait dengan perlindungan HAM, sebagaimana diatur di dalam Pasal 28D ayat<br />
(1), Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28G, Pasal 30 ayat (1) UUD 1945. <strong>RUU</strong> ini<br />
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan sesuai dengan kebutuhan hukum<br />
masyarakat, namun demikian tidak merujuk pada Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945<br />
tentang jaminan atas kepastian hukum. Sejumlah peraturan perundang-undangan terkait,<br />
yang seharusnya menjadi landasan pembentukan <strong>RUU</strong> ini juga tidak dicantumkan<br />
dalam konsideran, seperti halnya UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan<br />
43
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, dan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan<br />
Kovenan Menentang Penyiksaan dan Penghukuman Kejam.<br />
2. Ketentuan Umum<br />
Penjabaran dan penjelasan di dalam ketentuan umum <strong>RUU</strong> ini belum secara lengkap dan<br />
mendetail menjelaskan definisi-definisi yang seharusnya dijelaskan di dalam <strong>RUU</strong> ini.<br />
Seperti tidak dijelaskannya definisi mengenai ’keamanan nasional, ’ancaman keamanan<br />
nasional’, dan ’kebebasan sipil’, dan beberapa poin penting lainnya.<br />
Dalam rumusan <strong>RUU</strong> ini, seharusnya definisi mengenai keamanan nasional sepenuhnya<br />
merujuk pada definisi di dalam UU Keamanan Nasional. Dengan demikian seharusnya<br />
pemerintah dan DPR terlebih dahulu membentuk UU Keamanan Nasional, sebelum<br />
pembentukan UU Intelijen.<br />
Sejumlah definisi lainnya yang ada di dalam <strong>RUU</strong>, misalnya terkait dengan definisi pihak<br />
lawan, juga sifatnya sangat multitafsir, sehingga dikhawatirkan menjadi pasal karet, yang<br />
justru memberikan ancaman nyata bagi kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Oleh karena<br />
itu, definisi mengenai pihak lawan seharusnya dihapus dari <strong>RUU</strong> ini.<br />
Selain itu, Usulan pemerintah terkait penambahan penyelidikan dan penggalangan seharusnya<br />
juga dihapus, diganti dengan penggunaan istilah operasi tertutup (covert action). Penggunaan<br />
istilah penyelidikan akan merancaukan tugas dan kewenangan intelijen dengan lembaga<br />
penegak hukum. Yang dimaksud dengan ‘Operasi Tertutup’ itu sendiri, adalah operasi yang<br />
dilakukan di luar negeri dan tidak terhadap warga negara Republik Indonesia. Pengertian ini<br />
dicantumkan di dalam bagian penjelasan UU Intelijen. Sementara ‘Sasaran’ adalah target atau<br />
kondisi yang ingin dicapai melalui operasi tertutup dan/atau kontra intelijen.<br />
Ketentuan umum seharusnya mengakomodasi beberapa definisi berikut ini:<br />
a. Lembaga Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong> (LKIN) adalah lembaga yang dibentuk dan<br />
bertanggung-jawab kepada Presiden yang berfungsi untuk melakukan koordinasi antar<br />
dinas intelijen yang menjadi bagian dari komunitas intelijen negara, membuat<br />
perumusan kebijakan nasional dan kode etik, memberi laporan kepada Presiden dan<br />
tidak memiliki kewenangan khusus.<br />
b. Kepala Lembaga Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong> adalah pimpinan LKIN yang<br />
merupakan pejabat setingkat menteri yang diangkat, diberhentikan dan bertanggung<br />
jawab kepada Presiden dan berkedudukan sebagai penasihat utama Presiden di<br />
bidang intelijen negara.<br />
c. Kode etik intelijen adalah seperangkat norma yang mengikat anggota intelijen yang<br />
meliputi: kesetiaan kepada negara dan konstitusi, setia dan tunduk di bawah hukum<br />
yang berlaku, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan HAM, setia pada janji<br />
menjaga kerahasiaan profesi, netralitas politik, memiliki integritas, obyektivitas dan<br />
ketidakberpihakan dalam mengevaluasi informasi, dan saling menjaga kepercayaan<br />
antara pembuat kebijakan dengan pejabat intelijen.<br />
d. Pengawasan berlapis terhadap intelijen negara adalah mekanisme pengawasan<br />
konsentrik yang menempatkan pengawasan internal intelijen negara di titik pusat<br />
lingkaran pengawasan yang kemudian secara konsentrik diperkuat oleh pengawasan<br />
eksekutif, DPR, yudisial dan masyarakat sipil dengan tujuan untuk meningkatkan<br />
akuntabilitas politik, hukum dan keuangan intelijen negara.<br />
44
e. Dinas-dinas intelijen negara adalah seluruh organisasi intelijen negara yang menjadi<br />
bagian dari empat tipe organisasi intelijen, yaitu intelijen nasional, intelijen strategis,<br />
intelijen militer dan intelijen instansional.<br />
f. Komunitas intelijen nasional adalah kumpulan dari seluruh dinas intelijen negara yang<br />
bekerja dalam suatu sistem jaringan kerja dan struktur koordinasi melingkar yang<br />
menempatkan LKIN di titik pusat lingkaran dan berfungsi sebagai koordinator kerja<br />
sama lintas dinas intelijen yang terkait dengan masalah keamanan nasional.<br />
g. Badan Intelijen <strong>Negara</strong> (BIN) adalah satu-satunya organisasi intelijen yang<br />
bertanggungjawab dalam menjalankan fungsi-fungsi intelijen untuk mengantisipasi<br />
ancaman keamanan dalam negeri.<br />
h. Badan Intelijen Strategis adalah satu-satunya organisasi intelijen yang<br />
bertanggungjawab dalam menjalankan fungsi intelijen pertahanan dan luar negeri<br />
untuk mengantisipasi ancaman keamanan yang bersifat eksternal.<br />
i. Intelijen Militer adalah satuan-satuan intelijen yang menjalankan fungsi intelijen<br />
tempur dan melekat pada organisasi Tentara Nasional Indonesia yang memiliki<br />
kewenangan untuk melaksanakan operasi militer.<br />
j. Intelijen instansional adalah intelijen yang melekat pada instansi-instansi pemerintah<br />
yang menjalankan fungsi intelijen kriminal dan yustisia.<br />
k. Lembaga-lembaga penunjang intelijen adalah lembaga-lembaga pemerintah yang<br />
fungsinya terkait dengan masalah-masalah keamanan nasional yang dapat digunakan<br />
untuk membantu pencapaian fungsi intelijen.<br />
l. Anggota intelijen adalah warga negara Indonesia yang direkrut menjadi aparat negara<br />
dalam dinas keintelijenan.<br />
m. Kerja sama intelijen internasional adalah kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah<br />
Indonesia dengan negara lain dan atau organisasi internasional dalam bidang intelijen.<br />
n. Sub-komisi khusus intelijen adalah sub-komisi khusus DPR yang mengawasi dinas<br />
intelijen, yang anggota-anggotanya berasal dari komisi-komisi yang relevan dengan<br />
masalah keamanan nasional.<br />
o. Komisi-komisi independen adalah lembaga sampiran negara yang antara lain meliputi<br />
Ombudsman, Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, dan<br />
Komisi Pemberantasan Korupsi.<br />
p. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau<br />
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindakan operasi intelijen yang<br />
melanggar peraturan perundang-undangan atau objek salah sasaran.<br />
3. Definisi<br />
Definisi intelijen di dalam <strong>RUU</strong> ini lebih meletakkan posisi intelijen sebagai alat pemerintah<br />
(penguasa), bukan alat negara. Hal ini tentu akan membuka ruang bagi penguasa untuk<br />
melakukan politisasi intelijen sebagi alat kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan negara<br />
dan rakyat pada umumnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai definisi intelijen, dapat dilihat di<br />
DIM usulan <strong>Koalisi</strong> Pasal 3 dan Pasal 4.<br />
4. Asas-Asas<br />
Di dalam <strong>RUU</strong> ini asas-asas belum lengkap dan belum jelas, seharusnya di dalamnya juga<br />
mencantumkan asas taat kepada hukum, menghormati HAM, tidak berpolitik, tidak<br />
berbisnis, tidak menjadi anggota organisasi apapun di luar intelijen, tidak bekerja atas dasar<br />
45
sentimen ras, agama, ideologi, atau kelompok, tidak melakukan tindakan represif. Lebih<br />
lanjut lihat DIM Nomor 24 usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />
5. Organisasi, Struktur dan Kedudukan<br />
Dari sisi organisasi, <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tidak menganut diferensiasi struktur dan<br />
spesialisasi fungsi. <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tidak membagi wilayah kerja antara intelijen luar<br />
negeri, intelijen dalam negeri, intelijen militer, dan intelijen penegakan hukum secara tegas.<br />
Pemerintah dan DPR, yang membagi intelijen negara menjadi intelijen TNI, intelijen Polri,<br />
dan intelijen kejaksaan, dan intelijen departemen, justru akan berakibat pada ketidakjelasan<br />
otoritas, antara intelijen strategis dan intelijen penegakan hukum. Oleh karenanya <strong>Koalisi</strong><br />
mengusulkan, membagi intelijen menjadi empat, yakni: Badan Intelijen Strategis, Badan<br />
Intelijen <strong>Negara</strong>, Intelijen Militer, dan Intelijen Instasional.<br />
<strong>RUU</strong> Intelijen negara juga belum dapat memisahkan akuntabilitas antara struktur yang<br />
bertanggungjawab dalam membuat kebijakan dengan struktur yang bertanggungjawab secara<br />
operasional yang melaksanakan kebijakan. Sudah semestinya kedepan seluruh aktor-aktor<br />
keamanan yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan, tidak terkecuali lembaga-lembaga,<br />
intelijen berada dibawah atau menjadi bagian dari struktur negara setingkat kementerian.<br />
6. Peran, Tujuan, Fungsi dan Ruang Lingkup<br />
Bab ini seharusnya diganti dengan kegiatan, tujuan, fungsi, dan produk intelijen. Lebih lanjut<br />
mengenai kegiatan, tujuan dan fungsi intelijen, dapat dilihat dari Pasal 5 sampai dengan Pasal<br />
11 dalam DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />
7. Kewenangan Khusus<br />
a. Penyadapan<br />
Membaca <strong>RUU</strong> Intelijen yang tengah dibahas di DPR, memperlihatkan betapa kurang<br />
memperhatikannya mereka, para pembentuk undang-undang—pemerintah dan DPR, terhadap<br />
dinamika hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kesimpulan ini salah<br />
satunya dapat dilihat dari usulan mengenai kewenangan penyadapan—intersepsi komunikasi<br />
bagi lembaga intelijen negara, yang muncul di dalam rancangan undang-undang.<br />
Di dalam <strong>RUU</strong> tersebut, pada Pasal 31 ayat (1) disebutkan, “... lembaga koordinasi intelijen<br />
negara memiliki wewenang khusus melakukan intersepsi komunikasi”. Selanjutnya di ayat (2)<br />
disebutkan, “Intersepsi komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan dalam<br />
menyelenggarakan fungsi Intelijen”. Pengaturan mengenai intersepsi komunikasi di dalam<br />
<strong>RUU</strong> Intelijen, makin terlihat merisaukan bilamana membaca penjelasan dari ketentuan Pasal<br />
31 ayat (1) <strong>RUU</strong>, yang menyebutkan:<br />
“Dalam Undang-Undang ini wewenang khusus melakukan intersepsi komunikasi<br />
dilakukan tanpa melalui Penetapan Ketua Pengadilan. Yang dimaksud dengan<br />
melakukan “intersepsi komunikasi” antara lain melakukan kegiatan penyadapan<br />
telepon dan faksimile, membuka e-mail, pemeriksaan surat, pemeriksaan paket”.<br />
46
Mencermati pengaturan di atas, meski secara prinsipil, dilihat dari fungsi dan<br />
kewenangannya, lembaga intelijen negara sudah sepatutnya diberikan wewenang untuk<br />
melakukan intersepsi komunikasi—penyadapan, namun aturan yang muncul di dalam <strong>RUU</strong>,<br />
justru memiliki potensi pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Dalam praktik<br />
internasional, undang-undang nasional yang mengatur mengenai kewenangan penyadapan<br />
bagi lembaga intelijen, harus secara tegas mengatur mengenai hal-hal berikut: 97 (1) tindakan<br />
intersepsi yang dapat dilakukan, (2) tujuan melakukan intersepsi, (3) kategorisasi objek—<br />
individu yang dapat dilakukan intersepsi, 98 (4) ambang kecurigaan—bukti permulaan, yang<br />
diperlukan untuk membenarkan penggunaan tindakan intersepsi, (5) pengaturan mengenai<br />
pembatasan durasi dalam melakukan tindakan intersepsi, (6) prosedur otorisasi—perizinan,<br />
dan (7) pengawasan serta peninjauan atas tindakan intersepsi yang dilakukan.<br />
Pengaturan ketat harus diberlakukan bagi aktivitas intersepsi komunikasi, sebab aktivitas ini<br />
merupakan salah satu tindakan yang membatasi hak asasi manusia seseorang, khususnya<br />
terkait dengan hak privasi seseorang. Hal itu sebagaimana tertera di dalam pelbagai<br />
instrumen internasional hak asasi manusia, yang diantaranya menegaskan bahwa menjadi hak<br />
asasi yang bersifat fundamental (fundamental rights), bagi setiap orang untuk tidak dikenakan<br />
tindakan sewenang–wenang ataupun serangan yang tidak sah, terhadap kehidupan pribadinya<br />
atau barang milik pribadinya, termasuk di dalamnya juga hubungan komunikasinya, oleh<br />
pejabat negara yang melakukan proses penyelidikan dan/atau penyidikan dalam suatu tindak<br />
pidana. Bahkan Universal Declaration of Human Rights 1948, dalam Pasal 12 telah<br />
menegaskan bahwa:<br />
“No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home<br />
or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the<br />
right to the protection of the law against such interference or attacks.”<br />
Penegasan tersebut selanjutnya diperkuat kembali melalui Kovenan Internasional Hak-Hak<br />
Sipil dan Politik, dimana pada Pasal 17 Kovenan disebutkan, “Tidak boleh seorang pun yang<br />
dengan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiannya,<br />
keluarganya, rumahtangganya atau surat-menyuratnya, demikian pula tidak boleh dicemari<br />
kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah”. Ketentuan ini menekankan pada<br />
pembatasan kewenangan negara untuk melakukan pengawasan rahasia terhadap suatu<br />
individu. Dalam pasal tersebut dikatakan:<br />
(1) No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy,<br />
family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and<br />
reputation.<br />
(2) Everyone has the right to the protection of the law against such interference or<br />
attacks.<br />
Kemudian dalam Komentar Umum No. 16 yang disepakati oleh Komite Hak Asasi Manusia<br />
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada persidangan ke-23, tahun 1988, yang memberikan<br />
97<br />
98<br />
Martin Scheinin, Compilation of Good Practices on Legal and Institutional Frameworks and Measures that<br />
Ensure Respect for Human Rights by Intelligence Agencies while Countering Terrorism, including on their<br />
Oversight, (UN Human Rights Council, 2010), hlm 19.<br />
Sejumlah negara memberikan jaminan khusus terhadap individu-individu pertentu, khususnya mereka para<br />
jurnalis dan advokat, dari tindakan pengumpulan informasi intelijen—khususnya terkait dengan kerja-kerja<br />
intersepsi komunikasi. Lihat German Criminal Code, G10 Act, sect. 3b; sects. 53 and 53a<br />
47
komentar terhadap materi Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, pada<br />
poin 8 dinyatakan, “…bahwa integritas dan kerahasiaan korespondensi harus dijamin secara<br />
de jure dan de facto. Korespondensi harus diantarkan ke alamat yang dituju tanpa halangan<br />
dan tanpa dibuka atau dibaca terlebih dahulu. Pengamatan (surveillance), baik secara<br />
elektronik maupun lainnya, penyadapan telepon, telegraf, dan bentuk-bentuk komunikasi<br />
lainnya, serta perekaman pembicaraan harus dilarang”.<br />
Sejalan dengan sejumlah instrumen internasional di atas, UUD 1945 juga memberikan<br />
penegasan serupa, ketentuan Pasal 28 G UUD 1945 menyatakan:<br />
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,<br />
dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan<br />
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang<br />
merupakan hak asasi.”<br />
Dalam ranah hukum nasional, ketentuan senada juga dapat ditemukan dalam Pasal 32 UU<br />
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan, “Kemerdekaan dan<br />
rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana<br />
elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah<br />
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”<br />
Selain ketentuan–ketentuan hak asasi manusia nasional tersebut, sesungguhnya terdapat<br />
ketentuan lain yang dapat menjadi rujukan dalam hal perlindungan pribadi khususnya<br />
komunikasi pribadi yaitu dalam Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,<br />
menyatakan, “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang<br />
disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun”. Kemudian di dalam<br />
penjelasan Pasal 40 UU tersebut juga telah ditegaskan:<br />
“yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat<br />
atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan<br />
informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang<br />
adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang”.<br />
Dari beragam ketentuan–ketentuan hukum internasional dan nasional di atas, maka dapat<br />
ditarik beberapa kesamaan, yakni mengenai larangan bagi negara untuk secara sewenang–<br />
wenang melakukan intervensi terhadap kehidupan pribadi dan juga hubungan komunikasi<br />
warganya. Dan hal yang paling penting adalah adanya katup pengaman (safeguards clause)<br />
yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan dari suatu undang–undang<br />
untuk melawan intervensi sewenang–wenang tersebut dan berhak untuk mendapatkan ganti<br />
rugi atas pelanggaran privasi yang dilakukan secara melawan hukum.<br />
Kendati demikian, mengacu pada pada Komentar Umum No. 16 ICCPR, meski hak privasi<br />
adalah bagian dari fundamental rights, namun demi kepentingan publik yang lebih luas,<br />
pelaksanaan dari hak tersebut dapat dibatasi oleh negara, melalui peraturan perundangundangan.<br />
Dinyatakan pada point 7 komentar umum, “Karena semua orang hidup dalam<br />
masyarakat, perlindungan terhadap pribadi (privacy) pada dasarnya bersifat relatif. Namun,<br />
pihak berwenang publik yang kompeten hanya dapat meminta informasi yang berkaitan<br />
dengan kehidupan pribadi individual sejauh diperlukan untuk kepentingan masyarakat<br />
sebagaimana dipahami berdasarkan Kovenan”. Kemudian dalam poin 8 dinyatakan,<br />
“Bahkan dalam hal campur tangan yang sesuai dengan Kovenan, peraturan yang relevan<br />
48
harus memuat secara detil dan tepat kondisi-kondisi di mana campur tangan tersebut dapat<br />
diijinkan. Suatu keputusan untuk melaksanakan kewenangan campur tangan semacam itu<br />
hanya dapat dibuat oleh pihak berwenang yang ditugaskan oleh hukum, dan berdasarkan<br />
kasus-per-kasus. Artinya, hak privasi adalah bagian dari hak asasi manusia yang dapat<br />
dibatasi (derogable rights), dengan sejumlah pra-syarat tertentu, yang diatur menggunakan<br />
undang-undang.<br />
Dalam konteks Indonesia, penegasan serupa juga diberikan oleh sejumlah peraturan<br />
perundang-undangan nasional, seperti halnya ketentuan Pasal 32 UU No. 39 Tahun 1999<br />
tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.<br />
Ketentuan ini makin diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi melalui beberapa putusannya.<br />
Sedikitnya terdapat tiga putusan MK yang secara khusus memberikan penegasan mengenai<br />
jaminan hak privasi serta relasinya dengan keperluan intersepesi komunikasi oleh aparat<br />
negara, dalam kerangka penegakan hukum.<br />
Pertama, dapat kita lihat dalam pertimbangan hukum putusan MK pada Perkara Nomor<br />
006/PUU-I/2003 tentang pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan<br />
Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945, yang diajukan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan<br />
Penyelenggara <strong>Negara</strong> (KPKPN), dan sejumlah perorangan Warga <strong>Negara</strong> Indonesia. Dalam<br />
putusan tersebut MK menyatakan, bahwa kewenangan penyadapan yang dimiliki Komisi<br />
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun<br />
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah konstitusional. MK<br />
menjelaskan hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam<br />
keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan<br />
terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan undang-undang, sebagaimana<br />
diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Lebih lanjut MK menyatakan, “untuk mencegah<br />
kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah<br />
Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata<br />
cara penyadapan dan perekaman dimaksud”. 99<br />
Kedua, adalah pertimbangan hukum putusan MK dalam Perkara Nomor 012-016-019/PUU-<br />
IV/2006, lagi-lagi pada pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan<br />
Tindak Pidana Korupsi, yang diajukan oleh Drs. Mulyana Wirakusumah, dan sejumlah<br />
perorangan Warga <strong>Negara</strong> Indonesia. Dalam putusan tersebut MK menyatakan:<br />
”Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan<br />
hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena<br />
penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak<br />
asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan<br />
undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.<br />
Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain,<br />
siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman<br />
pembicaraan dan apakah perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan itu baru<br />
dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa<br />
penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti,<br />
ataukah justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan<br />
untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan perintah Pasal 28J ayat<br />
99<br />
Lihat Putusan MK No. 006/PUU-I/2003.<br />
49
(2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari<br />
penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi”. 100<br />
Ketiga, MK kembali menegaskan putusannya dalam perkara No. 5/PUU-VIII/2010 tentang<br />
pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi<br />
Eletronik, yang diajukan oleh Anggara, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyudi Djafar.<br />
Dalam pertimbangan putusan (ratio decidendy) tersebut, MK menyatakan bahwa penyadapan<br />
merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain dan oleh karenanya melanggar<br />
hak asasi manusia (HAM), akan tetapi untuk kepentingan nasional yang lebih luas, seperti<br />
halnya penegakan hukum, hak tersebut dapat disimpangi dengan pembatasan. Dikarenakan<br />
intersepsi merupakan salah satu bentuk pembatasan hak asasi seseorang, maka pengaturannya<br />
harus dilakukan dengan undang-undang. Menurut MK, pengaturan dengan menggunakan<br />
undang-undang akan memastikan adanya keterbukaan dan legalitas dari penyadapan itu<br />
sendiri. 101<br />
Dengan merujuk keterangan ahli yang disampaikan oleh Ifdhal Kasim, MK mengatakan<br />
bahwa penyadapan hanya dibolehkan bilamana memenuhi beberapa pra-syarat: (i) adanya<br />
otoritas resmi yang ditunjuk oleh undang-undang untuk memberikan izin penyadapan<br />
(biasanya Ketua Pengadilan), (ii) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan<br />
penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, dan (iv) pembatasan<br />
mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. 102<br />
Lebih jauh MK menekankan tentang perlunya sebuah undang-undang khusus yang mengatur<br />
penyadapan secara umum, serta tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang<br />
berwenang. Menurut MK, undang-undang ini dibutuhkan, karena hingga saat ini di Indonesia<br />
belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan. Seperti diketahui, saat ini di<br />
Indonesia, sedikitnya terdapat sembilan undang-undang yang memberikan kewenangan<br />
penyadapan kepada instansi penegak hukum, dengan mekanisme dan cara yang berbedabeda.<br />
Kesembilan peraturan perundang-undangan tersebut adalah: (1) Bab XXVII WvS<br />
tentang Kejahatan Jabatan, (2) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, (3) UU No. 31<br />
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (4) UU No. 36 Tahun 1999<br />
tentang Telekomunikasi, (5) Perpu Nomor 1 Tahun 20002 tentang Pemberantasan Tindak<br />
Pidana Terorisme, (6) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, (7) UU No. 21 Tahun 2007<br />
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (8) UU No. 11 Tahun 2008<br />
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan (9) UU No. 35 Tahun 2009 tentang<br />
Narkotika.<br />
Selain sembilan undang-undang tersebut, juga terdapat setidaknya dua Peraturan Pemerintah<br />
dan dua Peraturan Menteri, yang materi muatannya mengatur tentang penyadapan, yaitu: (i)<br />
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak<br />
Pidana Korupsi, (ii) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan<br />
Jasa Telekomunikasi, (iii) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No. 11 Tahun 2006<br />
tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, (iv) Peraturan Menteri No.<br />
01/P/M.KOMINFO/03/2008 tentang Perekaman Informasi untuk Kepentingan Pertahanan<br />
100 Lihat Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006.<br />
101 Lihat Putusan MK No. 05/PUU-VIII/2010.<br />
102 Selengkapnya lihat Ifdhal Kasim Kewenangan Penyadapan dan Perlindungan Atas Hak Privasi, Keterangan<br />
Ahli Tertulis untuk Perkara No 5/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi. Lihat juga Steve Tsang (ed.),<br />
Intelligence and Human Rights in the Era of Global Terrorism, (London: Praeger Security International,<br />
2007).<br />
50
dan Keamanan <strong>Negara</strong>, yang mengatur mengenai ketentuan teknis dari penyadapan, tata cara<br />
penyadapan yang bertujuan untuk kepentingan negara tanpa mengabaikan etika dan<br />
kerahasiaan informasi. Menurut MK, akibat ketiadaan aturan tunggal tentang hukum acara<br />
dan/atau tata cara penyadapan telah menyebabkan terancamnya hak atas privasi warga negara<br />
dalam negara-negara hukum modern.<br />
Mengenai undang-undang yang mengatur tentang tata cara penyadapan, seperti pada<br />
instrumen dan praktik di negara lain, dengan mengutip pendapat ahli yang disampaikan<br />
Fajrul Falaakh, MK menyatakan bahwa undang-undang mengenai penyadapan harus<br />
mengatur: (i) Wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan,<br />
(ii) Tujuan penyadapan secara spesifik, (iii) Kategori subjek hukum yang diberi wewenang<br />
untuk melakukan penyadapan, (iv) Adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum<br />
melakukan penyadapan, (v) Tata cara penyadapan, (vii) Pengawasan terhadap penyadapan,<br />
(viii) Penggunaan hasil penyadapan. 103<br />
Dalam praktik intelijen, terkait dengan pelaksanaan kewenangan intersepsi komunikasi,<br />
selain harus patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur di dalam undang-undang<br />
mengenai intersepsi komunikasi—penyadapan, karena tindakannya yang melanggar hak asasi<br />
manusia, makan dalam tindakkannya harus diawasi oleh setidaknya satu institusi eksternal<br />
dan independen dari intervensi badan intelijen. Lembaga ini memiliki kekuasaan untuk revisi<br />
perintah/order, penangguhan atau penghentian tindakan intersepsi, serta pengumpulan data<br />
intelijen lainnya. Untuk memastikan tindakan yang dilakukan badan intelijen, tidak menabrak<br />
prinsip dan jaminan HAM, terhadapnya harus dikenakan proses otorisasi bertingkat.<br />
Memerhatikan materi muatan <strong>RUU</strong> Intelijen, khususnya terkait dengan pemberian<br />
kewenangan khusus intersepsi komunikasi bagi lembaga intelijen (Pasal 31), serta tiadanya<br />
otorisasi bagi lembaga intelijen, dalam melaksanakan aktivitas intersepsi komunikasi<br />
(Penjelasan Pasal 31 (1)), tentu materi tersebut mengingkari keharusan bagi perlindungan hak<br />
atas privasi seseorang. Tanpa adanya otorisasi dari hakim/pengadilan dalam melakukan<br />
aktivitas intersepsi komunikasi, meski diatur di dalam undang-undang, akan tetapi tindakan<br />
tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan unlawful interception, sebab berseberangan<br />
dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.<br />
Pengalaman di beberapa negara seperti Belanda, Amerika Serikat, dan Canada, pengaturan<br />
mengenai penyadapan diatur secara khusus di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana<br />
mereka. Bila melihat Canadian Security and Intelligence Service Act, seluruh ketentuan<br />
mengenai intersepsi, termasuk pengertian, tata cara penyadapan, serta otoritasinya haruslah<br />
tunduk dan mengacu pada Canadian Criminal Code. 104 Sementara di Indonesia pengaturan<br />
mengenai penyadapan diatur secara menyebar di dalam sejumlah peraturan perundangundangan,<br />
untuk itu guna menindaklanjuti amar dari putusan MK, terkait dengan pengujian<br />
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebaiknya pengaturan<br />
mengenai penyadapan diatur di dalam satu undang-undang khusus. Adanya undang-undang<br />
khusus mengenai penyadapan setidaknya menjadikan adanya satu kesatuan hukum<br />
penyadapan, sehingga bisa meminimalisir tindakan intersepsi illegal, yang berpotensi<br />
mengancam perlindungan hak asasi manusia warga negara.<br />
103 Selengkapnya lihat M. Fajrul Falaakh, Penyadapan atas Hak Pribadi Berkomunikasi, Keterangan Ahli<br />
Tertulis untuk Perkara No 5/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi.<br />
104 Lihat ELSAM, Meningkatnya Kekuasaan Eksesif Militer: Kajian Atas Draft <strong>RUU</strong> TNI, Draft <strong>RUU</strong> Intelijen,<br />
dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Briefing <strong>Paper</strong> #1, Maret 2003.<br />
51
Oleh karena itu, sejalan dengan praktik-praktik internasional dan hukum HAM internasional,<br />
pengaturan mengenai pemberian kewenangan khusus intersepsi komunikasi—penyadapan<br />
bagi lembaga intelijen, di dalam <strong>RUU</strong> Intelijen, cukuplah disebutkan:<br />
a. Perihal pemberian kewenangan untuk melakukan intersepsi (penyadapan) kepada lembaga<br />
intelijen<br />
b.Adanya penegasan bahwa penyadapan oleh intelijen harus melalui otorisasi ketua<br />
pengadilan terkecuali intelejen yang berfungsi mendeteksi ancaman luar negeri (BIS).<br />
c. Penyadapan yang dilakukan oleh intelejien dalam negeri (BIN) hanya untuk ancaman<br />
keamanan nasional yang bersifat kejahatan transnasional.<br />
d. Adanya penegasan masa waktu penyadapan<br />
e. Mengenai tata cara, pengawasan, dan penggunaan hasil penyadapan, serta mekanisme<br />
komplain bagi korbannya, haruslah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lain<br />
(undang-undang mengenai intersepsi komunikasi—penyadapan). 105<br />
b. Penangkapan (DIM Pemerintah) dan pengamanan serta penyelidikan dalam<br />
<strong>RUU</strong> Intelijen<br />
Secara prinsip, lembaga intelijen tidak diizinkan untuk menggunakan kekuatan penangkapan<br />
dan penahanan, jika mereka tidak memiliki mandat untuk melakukan fungsi penegakan<br />
hukum (kepolisian). Lembaga intelijen tidak perlu diberikan kewenangan penangkapan dan<br />
penahanan, jikalau kewenangan serupa telah dimiliki oleh institusi lain yang melakukan<br />
fungsi yang sama, dalam konteks penegakan hukum, sebagaimana dimandatkan oleh undangundang.<br />
106 Pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen di dalam undangundang<br />
akan merusak mekanisme criminal justice system.<br />
Sikap pemerintah yang tetap bersikukuh memberikan pemeriksaan intensif alias penangkapan<br />
di dalam Undang-Undang Intelijen kepada lembaga intelijen bukan hanya akan merusak<br />
mekanisme criminal justice system tetapi juga akan membajak sistem penegakan hukum itu<br />
sendiri. Sebagai lembaga yang bekerja secara rahasia dan tertutup, pemberian kewenangan<br />
menangkap kepada lembaga intelijen sama saja melegalisasi kewenangan penculikan di<br />
dalam Undang-Undang Intelijen.<br />
Penting untuk diingat bahwa kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam<br />
proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum<br />
lainnya. Dalam konteks itu, badan intelijen negara maupun intelijen militer bukanlah bagian<br />
dari aparat penegak hukum sehingga adalah salah dan keliru apabila mereka diberikan<br />
kewenangan menangkap.<br />
Lebih dari itu, pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen adalah langkah<br />
mundur dalam proses reformasi sektor keamanan. Pemberian kewenangan itu juga akan<br />
mengembalikan format dan posisi lembaga intelijen seperti pada masa Orde Baru, dimana<br />
lembaga intelijen negara maupun lembaga intelijen militer dapat melakukan kerja-kerja untuk<br />
penangkapan yang pada praktiknya di masa lalu telah berakibat pada terjadinya berbagai<br />
bentuk pelanggaran HAM.<br />
105 Lihat, ELSAM, Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Pilar Pengaturan Intelijen: Kajian Atas Draft <strong>RUU</strong><br />
Intelijen, Briefing <strong>Paper</strong> #2, April 2011.<br />
106 Martin Scheinin, Op.Cit., hlm 24.<br />
52
Pemberian kewenangan menangkap (pemeriksaan intensif) itu tak lepas dari kepentingan<br />
politik militer ataupun badan intelijen negara untuk kembali menempatkan posisinya seperti<br />
pada masa order baru dimana mereka memiliki peran untuk melakukan upaya paksa dalam<br />
kerangka penegakan hukum yang sejak masa Reformasi telah hilang akibat dari pemisahan<br />
peran dan struktur antara TNI dan Polri.<br />
Selain itu, terdapatnya Pasal dalam <strong>RUU</strong> Intelijen yang mengatur bahwa intelijen memiliki<br />
kewenangan dan tugas untuk melakukan pengamanan dan penyelidikan tanpa adanya<br />
penjelasan yang lebih lanjut dan rinci tentang istilah itu jelas-jelas bersifat karet dan<br />
multitasfir.<br />
Hal itu dapat membuka ruang tafsir sepihak bagi penguasa maupun aparat intelijen bahwa<br />
kewenangan itu juga termasuk kewenangan menangkap dan kewenangan upaya paksa<br />
lainnya. Hal itu tak jauh bedanya dengan istilah pemeriksaan intensif yang didesakkan oleh<br />
pemerintah untuk dimasukkan dalam undang-undang Intelijen. Dengan demikian, keberadaan<br />
pasal itu juga akan menimbulkan persoalan tersendiri bagi proses penegakan hukum.<br />
Karenanya istilah pengamanan dan penyelidikan dalam <strong>RUU</strong> ini seharusnya dihapus.<br />
8. Personel dan Rekruitmen<br />
Istilah ”personel” dalam <strong>RUU</strong> Intelijen sebaiknya diganti dengan ”anggota”. Mengenai<br />
definisi tentang anggota intelijen dapat dilihat dalam DIM Usulan <strong>Koalisi</strong> Pasal 27-28.<br />
Sedangkan mengenai ketentuan hak anggota intelijen yang tercantum dalam <strong>RUU</strong> Intelijen<br />
masih kurang lengkap karena tidak mengatur secara tegas mengenai hak anggota untuk<br />
menolak perintah, jaminan penghidupan layak dan perlindungan identitas. Hak menolak<br />
perintah atasan yang melanggar hukum, baik secara tertulis maupun lisan digunakan melalui<br />
Subkomisi Intelijen secara tertutup dan dilindungi sebelum perintah dilakukan. Atas laporan<br />
tersebut Subkomisi Intelijen harus melakukan penyelidikan. Lebih lanjut dapat melihat pada<br />
Pasal 29-36 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />
Selain itu, <strong>RUU</strong> Intelijen juga tidak mengatur bagaimana mekanisme rekruitmen secara lebih<br />
jelas dan rinci. Menurut usulan dari DPR dan pemerintah, pengaturan rekruitmen lebih<br />
menyerahkan pada pengaturan perundang-undangan. Sudah semestinya, pengaturan<br />
mengenai mekanisme rekrutmen diatur jelas dalam <strong>RUU</strong> ini. Lebih lanjut dapat dilihat pada<br />
Pasal 37-38 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />
9. Kode Etik Intelijen<br />
Dalam <strong>RUU</strong> Intelijen, pembentukan kode etik intelijen diserahkan kepada Dewan<br />
Kehormatan dan pengawasan dilakukan oleh Dewan Kehormatan. Sementara pemerintah<br />
mengusulkan kode etik dibentuk oleh masing-masing lembaga intelijen dan bila ada<br />
pelanggaran maka akan dibentuk Dewan Kehormatan yang bersifat adhoc.<br />
Semestinya kode intelijen dibentuk oleh Kepala Lembaga Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong><br />
(LKIN) sebagai lembaga yang mengkoordinasikan seluruh lembaga intelijen. Isi kode etik<br />
merujuk pada hak dan kewajiban anggota serta asas profesionalitas penyelenggaraan intelijen<br />
53
(pasal 2 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>). Sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Kepala LKIN dan<br />
untuk penegakan kode etik dilakukan oleh Dewan Kode Etik yang dibentuk oleh Kepala<br />
LKIN. Lebih lanjut dapat dilihat pada Pasal 39 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />
10. Kerahasiaan Informasi Intelijen<br />
Pengaturan kerahasiaan informasi intelijen di dalam <strong>RUU</strong> Intelijen masih membuka ruang<br />
tafsir yang luas dari penguasa untuk menentukan informasi-informasi yang bersifat rahasia.<br />
Pengaturan rahasia intelijen dalam <strong>RUU</strong> itu belum rigid dan belum secara spesifik mengatur<br />
tentang kategori rahasia informasi intelijen. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan serius<br />
terhadap hak publik untuk memperoleh informasi sebagaimana diatur dalam undang-undang<br />
kebebasan informasi publik dan dapat pula mengancam kebebasan pers.<br />
Pasal 24 UU Intelijen menyebutkan bahwa :<br />
(1) Informasi Intelijen bersifat rahasia.<br />
(2) Informasi Intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:<br />
a. Sistem intelijen negara;<br />
b. Akses-akses yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatannya;<br />
c. Data intelijen kriminal yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan<br />
segala bentuk kejahatan transnasional;<br />
d. Rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala<br />
bentuk kejahatan transnasional;<br />
e. Dokumen tentang Intelijen berkaitan dengan penyelenggaraan Keamanan Nasional;<br />
dan<br />
f. Personel Intelijen negara berkaitan dengan penyelenggaraan Keamanan Nasional.<br />
Lebih dari itu, dengan kategori informasi intelijen yang multitafsir dalam <strong>RUU</strong> Intelijen yang<br />
diikuti dengan adanya sanksi pidana bagi warganegara yang lalai membocorkan rahasia<br />
negara tentu akan mengancam kebebasan informasi, pers dan kehidupan demokrasi itu<br />
sendiri. Pasal 39 <strong>RUU</strong> Intelijen menyebutkan bahwa:<br />
Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya informasi Intelijen yang<br />
bersifat rahasia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara<br />
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit<br />
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta<br />
rupiah)<br />
Di sisi lain, klasifikasi rahasia informasi intelijen dalam <strong>RUU</strong> Intelijen berbeda dengan<br />
klasifikasi rahasia informasi intelijen yang diatur dalam UU KIP di mana rahasia informasi<br />
intelijen di dalam Pasal 17 UU KIP meliputi:<br />
Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik<br />
dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu:<br />
1. Informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan<br />
penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap<br />
perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan<br />
ancaman dari dalam dan luar negeri;<br />
2. Dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang<br />
berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang<br />
meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi;<br />
3.. Sistem persandian negara; dan/atau<br />
4. Sistem intelijen negara.<br />
54
Apabila pengaturan tentang kerahasiaan yang terkait dengan intelijen akan diatur dalam<br />
ruang lingkup tersendiri dalam undang-undang intelijen, maka secara spesifik pengaturan<br />
informasi tentang intelijen yang bersifat rahasia itu dapat berbentuk Pasal berikut ini:<br />
Informasi yang merupakan rahasia negara di bidang Intelijen meliputi:<br />
a. Sistem intelijen strategis;<br />
b. Sistem komunikasi strategis;<br />
c. Kriptologi;<br />
d. Perintah operasi rahasia;<br />
e. Strategi dan taktik intelijen (metode);<br />
f. Personil kecuali kepala intelijen dan beberapa jabatan strategis lain di dalam<br />
struktur intelijen;<br />
g. Aktivitas intelijen (termasuk aktivitas spesial);<br />
h. Sumber intelijen;<br />
Terkait masa retensi, maka perlu ditolak gagasan dalam undang-undang intelijen yang ingin<br />
mencantumkan bahwa rahasia informasi intelijen terdapat rahasia yang bersifat permanen dan<br />
tidak bisa dibuka kepada publik. Penting untuk diingat bahwa rahasia negara adalah<br />
informasi publik yang untuk waktu tertentu tidak dapat disampaikan kepada publik karena<br />
dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional. Dengan sendirinya rahasia negara<br />
merupakan perkecualian dan pembatasan dari hak atas informasi yang telah diakui sebagai<br />
HAM.<br />
Karena sifatnya sebagai perkecualian dan pembatasan, maka rahasia negara harus<br />
dirumuskan secara limitatif sehingga tidak menimbulkan kesewenang-wenangan aparat<br />
negara dan merugikan proses demokratisasi. Penentuan ruang lingkup rahasia dibatasi<br />
semaksimal mungkin dengan benar-benar mempertimbangkan argumentasi filosofis,<br />
normatif, dan sosiologis, baik dalam lingkup nasional maupun perkembangan internasional.<br />
Ruang lingkup rahasia negara dibatasi pada informasi tertentu dari aktivitas intelijen strategis<br />
dan pertahanan keamanan dengan mempertimbangkan instrumen hukum internasional dan<br />
diarahkan untuk menanggulangi masalah keamanan nasional dari ancaman kejahatan<br />
terorganisasi.<br />
Keterbatasan atau keterbukaan informasi yang terkait dengan intelijen terkait erat dengan<br />
konsep keamanan nasional itu sendiri. Permasalahan yang mendasar pada perihal tersebut<br />
adalah seberapa jauh batasan-batasan antara keterbukaan informasi dan perlindungan<br />
informasi. Di beberapa negara, batasan-batasan secara umum ditetapkan oleh undang-undang.<br />
Sementara itu, untuk akuntabilitas dan transparansi diserahkan kepada parlemen terkait dan<br />
‘melakukan perjanjian’ untuk tidak membuka kepada publik sampai masa retensi kerahasiaan<br />
informasi tersebut berakhir.<br />
Seiring dengan perkembangan dunia, maka batasan-batasan tersebut juga turut bergeser. Pada<br />
poin ini, persepsi pemegang otoritas menjadi faktor yang sangat penting untuk menyesuaikan<br />
kerahasiaan informasi dengan ancaman dunia yang terus berkembang. Sementara di sisi lain,<br />
persepsi segelintir otoritas ini juga dapat memiliki kekurangan apabila tidak mendapatkan<br />
gambaran komprehensif mengenai ancaman ke depan, terlebih apabila ditunggangi oleh<br />
kepentingan politik kelompok ataupun individu.<br />
Dengan demikian, konsep keamanan nasional, objek (informasi), otoritas yang terkait dan<br />
batasan-batasan yang menjadi acuan bagi otoritas dibutuhkan sedetail mungkin, termasuk<br />
55
penyampaian protes, proses di dalam sidang, batasan kerahasiaan sidang, dll. Dengan<br />
demikian, mekanisme pertanggungjawaban lembaga-lembaga intelijen, parlemen dan<br />
eksekutif akan lebih jelas dalam mencapai keamanan nasional di dalam sebuah negara yang<br />
demokratis yang menjunjung tinggi keterbukaan sebagai HAM maupun warga negara, karena<br />
pada dasarnya segala informasi harus dibuka kepada publik. Kerahasiaan negara adalah<br />
instrumen yang digunakan untuk menunda ‘dibuka’ kepada publik.<br />
Terkait dengan itu, maka tidak ada rahasia informasi intelijen yang bersifat permanen<br />
mengingat rahasia negara merupakan informasi publik yang untuk waktu tertentu tidak dapat<br />
disampaikan kepada publik karena dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan<br />
nasional.<br />
Tidak hanya itu, informasi intelijen baik itu yang bersifat rahasia maupun sangat rahasia<br />
dengan sendirinya dapat dibuka demi semata-mata untuk kepentingan penegakan hukum,<br />
khususnya demi kepentingan membantu upaya penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan<br />
oleh institusi penegak hukum apabila terdapat kasus hukum yang upaya penyelidikannya<br />
hanya dapat terbantu apabila terdapat informasi dari informasi intelijen yang bersifat rahasia<br />
dan sangat rahasia yang dikelola lembaga intelijen atau kasus yang terkait dengan lembaga<br />
intelijen itu sendiri, sehingga dibutuhkan informasi dari lembaga intelijen untuk mengungkap<br />
kasus tersebut.<br />
Selain itu, lebih baik pengaturan rahasia informasi intelijen dalam undang-undang intelijen<br />
juga perlu ditegaskan mengenai mekanisme keberatan publik, yakni dicantumkan satu pasal<br />
tambahan yang berisi mekanisme keberatan publik atas informasi intelijen yang dirahasiakan<br />
oleh negara merujuk kepada mekanisme keberatan yang telah diatur dalam undang-undang<br />
kebebasan memperoleh informasi publik. Mengenai kategori kerahasiaan informasi intelijen<br />
dapat dilihat pada Pasal 40 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />
11. Lembaga Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong> (LKIN)<br />
Lembaga Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong> (LKIN) sebagai lembaga baru yang diatur dalam <strong>RUU</strong><br />
ini akan menjadi lembaga yang menggantikan kedudukan Badan Intelijen <strong>Negara</strong> (BIN) yang<br />
memiliki kewenangan sangat luas. Dalam hal itu, LKIN seharusnya tidak boleh memiliki<br />
kewenangan dan fungsi operasional, seperti melakukan intersepsi komunikasi, pemeriksaan<br />
aliran dana, dan lain-lain. Pelaksanaan fungsi operasional diserahkan kepada lembagalembaga<br />
intelijen yang sudah terbentuk yang telah memiliki kewenangan operasional.<br />
Sementara pemerintah mengusulkan agar BIN memiliki kewenangan operasi dan koordinasi.<br />
Penggabungan dua kewenangan ini dalam satu institusi adalah kekeliruan. Seharusnya, BIN<br />
hanya memiliki kewenangan operasional, karena institusi ini menjalankan fungsi intelijen<br />
dalam negeri, sehingga tidak perlu memiliki kewenangan mengkoordinasikan semua lembaga<br />
intelijen yang ada (Pasal 13-17 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>) .<br />
Khusus untuk masalah LKIN, <strong>Koalisi</strong> mengusulkan lembaga ini adalah satu-satunya lembaga<br />
yang mengkoordinasi seluruh institusi intelijen, memiliki beberapa peran lainnya dan tidak<br />
memiliki kewenangan operasional apalagi kewenangan khusus seperti penyadapan. Lebih<br />
lanjut mengenai ketentuan LKIN dapat dilihat pada Pasal 41-43 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />
56
12. Pembiayaan, Pengawasan dan Pertanggungjawaban<br />
a. Pembiayaan<br />
Dalam <strong>RUU</strong> Intelijen, pembiayaan intelijen ditanggung oleh APBN. Namun pengaturan<br />
masalah pembiayaan penyelenggaraan intelijen kurang mendapat elaborasi lebih lanjut.<br />
<strong>Koalisi</strong> mengusulkan agar <strong>RUU</strong> Intelijen juga memuat penegasan larangan penggunaan<br />
sumber pendanaan selain APBN dan mencakup prinsip transparansi serta akuntabilitas<br />
publik. Lebih lanjut pembiayaan intelijen menurut <strong>Koalisi</strong>, lihat Pasal 44-45 DIM Usulan<br />
<strong>Koalisi</strong>.<br />
b. Pengawasan dan Pertanggungjawaban<br />
Pengaturan mekanisme pengawasan dalam <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> hanya dilakukan dalam<br />
bentuk pengawasan parlemen oleh DPR, yang dilaksanakan perangkat kelengkapan DPR<br />
yang membidangi pengawasan intelijen. Tidak ada ketentuan yang mengatur pengawasan<br />
internal, pengawasan eksekutif, maupun pengawasan hukum. Di titik ini, pengawasan yang<br />
dilaksanakan parlemen, sebaiknya dilakukan oleh komisi intelijen tersendiri di dalam<br />
parlemen, yakni dengan membentuk komisi baru yang khusus mengawasi intelijen.<br />
<strong>Koalisi</strong> mengusulkan pengawasan berlapis melalui suatu mekanisme pengawasan konsentrik,<br />
yang dilakukan oleh internal lembaga atau dinas intelijen, Presiden, Menteri dan Kepala<br />
LKIN, DPR, yudisial serta masyarakat sipil. Lebih detail mengenai pengawasan dan<br />
pertanggungjawaban lihat Pasal 46-47 dan Pasal 49-50 DIM usulan <strong>Koalisi</strong>. Demikian juga<br />
pengawasan terhadap LKIN dilakukan oleh Presiden dan parlemen. Untuk pengawasan LKIN<br />
dapat dilihat dalam Pasal 48 DIM usulan <strong>Koalisi</strong>. Dalam pengawasan yudisial dapat dilihat<br />
dalam Pasal 50 DIM usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />
13. Hak-Hak Korban<br />
Apabila terjadi praktik penyimpangan kewenangan –khususnya jika terjadi bentuk<br />
pelanggaran HAM- maka korban dapat mengajukan mekanisme keluhan untuk mendapatkan<br />
pemulihan efektif (effective remedy) kepada badan-badan negara independen terkait, seperti<br />
Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). <strong>Koalisi</strong> memandang<br />
Kedua badan ini dinilai memenuhi prinsip-prinsip independensi (independency), ketahanan<br />
integritas (robustness) dan keadilan (fairness).<br />
Pemenuhan hak-hak korban harus sejalan dengan produk kebijakan dan regulasi perundangundangan,<br />
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang<br />
Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya pada Pasal 5 hingga Pasal 10 –yang secara<br />
eksplisit mengatur pemberian hak-hak reparasi (rehabilitasi, restitusi, kompensasi, kepuasan<br />
dan jaminan ketidakberulangan) kepada korban yang terkait. Reparasi dapat diberikan baik<br />
dalam bentuk material (pemenuhan kebutuhan finansial, medis, pemulihan psiko-sosial)<br />
maupun bentuk immaterial (pengakuan dan permintaan maaf serta pemulihan status sosial<br />
politik dan lain sebagainya).<br />
<strong>Koalisi</strong> mendorong mekanisme keluhan harus ditindaklanjuti dalam ruang mekanisme<br />
koreksi, jika terbukti adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan anggota<br />
intelijen. Mekanisme koreksi ini dihadirkan melalui upaya hukum. Lebih lanjut, jika dalam<br />
praktik penyalahgunaan kewenangan terselip adanya unsur pidana (penyiksaan, perampasan<br />
hak atas hidup dan lain sebagainya), maka wajib hukumnya untuk membawa anggota<br />
57
intelijen ke meja pengadilan. Lebih lanjut lihat Pasal 50 ayat (3) dan Pasal 51 DIM usulan<br />
<strong>Koalisi</strong>.<br />
14. Ketentuan Pidana<br />
Bagi publik non-intelijen mengikuti KUHP, UU KIP dan UU Rahasia <strong>Negara</strong>. Sementara<br />
ketentuan pidana di dalam UU Intelijen <strong>Negara</strong> seharusnya dikhususkan bagi anggota<br />
intelijen. Lihat DIM usulan <strong>Koalisi</strong> Pasal 52-54.<br />
58
BAB VII<br />
PRINSIP UMUM PENGATURAN INTELIJEN<br />
Dari lintasan sejarah keberadaan institusi intelijen di Indonesia, belum terdapat satupun<br />
pengaturan yang memberikan rambu-rambu jelas, baik dari sisi bangunan organisasi,<br />
mekanisme kerja, koordinasi, pertanggungjawaban, maupun pengawasan. Intelijen menjadi<br />
dunia gelap yang tidak tersentuh oleh aturan hukum. Kalaupun terdapat aturan yang<br />
mendasari keberadaannya, hanyalah berupa keputusan penguasa pada tingkat Peraturan<br />
Pemerintah, Keputusan Presiden, atau bahkan hanya tingkat keputusan instansi di mana<br />
intelijen itu bernaung. Hal ini sangat tidak sesuai dengan mandat yang diberikan kepada<br />
institusi intelijen sebagai pengumpul dan penganalisis informasi keamanan nasional yang<br />
tidak saja menentukan kebijakan nasional keamanan nasional, juga menentukan pemenuhan<br />
hak hidup, serta HAM yang lain.<br />
Ketiadaan aturan yang jelas dan tegas tentang intelijen, dengan peran besar, sangat<br />
berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bagaimana<br />
penyalahgunaan terjadi, baik intelijen telah disalahgunakan oleh penguasa maupun<br />
penyalahgunaan yang dilakukan oleh aparat intelijen sendiri. Bahkan, penyalahgunaan yang<br />
justru merugikan warga negara dan masyarakat tersebut tidak pernah dapat terungkap dan<br />
para pelakunya pun hingga kini belum dapat dimintai pertanggungjawaban.<br />
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa <strong>Negara</strong> Indonesia adalah <strong>Negara</strong><br />
Hukum. Salah satu prinsip dari negara hukum adalah asas legalitas atau pemerintahan<br />
dijalankan berdasarkan aturan hukum. Oleh karena itu setiap tindakan negara dan setiap<br />
lembaga yang menjalankan tindakan tersebut harus memiliki dasar hukum. Pengaturan<br />
sebagai dasar hukum tidak hanya berfungsi memberikan legitimasi atas keberadaan lembaga<br />
dan tindakan yang dilakukan berdasarkan wewenang yang dimiliki, melainkan memberikan<br />
jaminan bahwa kelembagaan dan wewenang yang diberikan akan dapat mencapai tujuan<br />
yang dikehendaki. Pengaturan juga berfungsi sebagai batasan agar lembaga dan wewenang<br />
yang dimiliki tidak mudah disalahgunakan selain dari untuk tujuan yang ditetapkan.<br />
Sebagai negara hukum, prinsip penting lain adalah perlindungan HAM. Oleh karena itu<br />
tujuan sesungguhnya dari keberadaan intelijen negara adalah agar negara dapat membuat<br />
keputusan keamanan nasional yang cepat dan tepat, sehingga eksistensi dan kemampuannya<br />
dalam menjalankan pemerintahan untuk memenuhi HAM tidak terganggu, maupun untuk<br />
melindungi keamanan warga negara secara langsung. Dengan tujuan tersebut, tentu saja<br />
intelijen tidak boleh melakukan pelanggaran terhadap HAM. Apalagi kebal terhadap<br />
pertanggungjawaban atas pelanggaran yang dilakukan.<br />
Dari perpektif demokratis, adanya pengaturan intelijen pada level undang-undang mutlak<br />
diperlukan. Fungsi yang dijalankan oleh intelijen menentukan pemenuhan HAM, terutama<br />
hak atas rasa aman dari segala bentuk ancaman. Keamanan adalah barang publik sehingga<br />
adalah hak publik untuk ikut menentukan bagaimana hak atas keamanan harus dipenuhi dan<br />
menjaga agar tidak terjadi pelanggaran atas hak tersebut. Partisipasi publik hanya mungkin<br />
ada apabila terdapat pengaturan yang pembentukannya bersifat demokratis, baik melalui<br />
wakil rakyat maupun aspirasi dan diskursus publik. Oleh karena itu, pengaturan tentang<br />
intelijen harus dalam bentuk undang-undang.<br />
59
Namun demikian, argumentasi tentang perlunya pengaturan intelijen dalam undang-undang<br />
tidak boleh menjadikan kecerobohan, sehingga undang-undang yang terbentuk menjadi<br />
undang-undang yang asal jadi, hanya memberikan legitimasi keberadaan intelijen dengan<br />
mengesampingkan prinsip-prinsip penting yang menentukan tercapai/tidaknya fungsi<br />
intelijen yang mampu mendukung keamanan nasional dan pemenuhan HAM. Oleh karena<br />
itu, pengaturan tentang intelijen harus merupakan pengaturan yang bersifat ideal,<br />
memperbaiki kekeliruan dan kelemahan institusi intelijen masa lalu. Adanya pengaturan baru<br />
harus mampu menjadi kekuatan pengubah dunia “hitam” intelijen di Indonesia.<br />
Dunia intelijen bukan merupakan hak eksklusif dari komunitas intelijen. Untuk<br />
mengembangkan intelijen yang profesional dalam masyarakat demokratis dan menghormati<br />
HAM berbagai kajian akademis telah dilakukan. Berdasarkan hasil kajian teoritik yang<br />
dilakukan oleh Pacivis-UI, terdapat paling tidak 6 (enam) aspek intelijen yang harus<br />
dirumuskan di dalam pengaturan intelijen melalui undang-undang, yaitu hakekat, kegiatan,<br />
organisasi, anggota, produk, dan pengawasan . 107<br />
7.1 Hakekat Intelijen<br />
Intelijen pada hakekatnya adalah hal yang berkaitan dengan informasi yang diperlukan bukan<br />
sebagai tujuan, melainkan sebagai bahan atau instrumen untuk pengambilan keputusan.<br />
Intelijen dapat dilihat sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi, informasi<br />
sebagai produk, dan organisasi yang menanganinya. Oleh karena itu aktivitas intelijen yang<br />
utama adalah mengumpulkan dan mencari informasi, mengevaluasi informasi,<br />
mengintegrasikan, menganalisis, menyimpulkan, dan memperkirakan dinamika keamanan<br />
nasional dengan menggunakan metode yang ilmiah. 108<br />
Intelijen adalah bagian dari sistem keamanan nasional yang merupakan unsur pelaksana<br />
pemberi input, dan bukan pengambil keputusan kebijakan keamanan nasional. Bahkan untuk<br />
dapat memberikan informasi yang obyektif, harus terdapat jarak proporsional antara intelijen<br />
dan pengambil keputusan kebijakan nasional agar informasi yang diberikan tidak hanya<br />
menuruti keinginan dari pembuat kebijakan tersebut.<br />
Agar dapat bekerja secara cepat dan tepat, salah satu karakter intelijen adalah kerahasiaan<br />
dalam bekerja. Hal ini merupakan keharusan karena hakikat intelijen sebagai penyuplai<br />
informasi keamanan nasional. Kerahasiaan diperlukan agar kebijakan keamanan nasional atau<br />
tindakan pencegahan berdasarkan informasi deteksi dini intelijen tetap mutakhir sesuai<br />
dengan ancaman yang akan terjadi dan mampu mencegah terjadinya pendadakan ancaman<br />
keamanan nasional.<br />
Sebagai bagian dari sistem keamanan nasional yang berperan sebagai sistem peringatan dini<br />
dan pencegahan pendadakan strategis untuk melindungi keamanan nasional, intelijen<br />
memiliki ciri sebagai institusi sipil, netral secara politik, tidak otonom, dibentuk berdasarkan<br />
undang-undang, tunduk kepada hukum dan kendali demokratis, memiliki anggaran yang<br />
sepenuhnya berasal dari negara, bersifat akuntabel dan waspada. Hanya intelijen yang<br />
memiliki ciri-ciri inilah yang akan mampu menjadi intelijen yang profesional. Sedangkan<br />
ciri-ciri intelijen yang tidak akan efektif mengejawantahkan hakikat dirinya adalah intelijen<br />
107 Andi Widjajanto (ed.), Menguak Tabir Intelijen “Hitam” Indonesia, (Jakarta: Pacivis-UI, 2006), hlm. 9-64.<br />
108 David L, Carter, Law Enforcement Intelligence: A Guide for State, Local, and Tribal Law Enforcement<br />
Agencies, (Michigan State University, 2004), dalam Ibid, hlm. 11.<br />
60
yang memiliki ciri institusi militeristik, menjadi alat politik rezim, bersifat otonom, ekstra<br />
konstitusional, kebal hukum, tidak tunduk pada kendali demokratis, dapat mencari sumber<br />
dana sendiri di luar anggaran negara, serta tanpa pengawasan yang efektif. 109<br />
7.2 Kegiatan<br />
Sesuai dengan hakikat intelijen sebagai hal sesuatu yang terkait dengan informasi, maka<br />
kegiatan utama intelijen adalah mulai dari pengumpulan informasi hingga memproduksi<br />
informasi. Informasi merupakan produk intelijen yang akan disampaikan kepada pengguna,<br />
yaitu Presiden yang memiliki otoritas memutuskan kebijakan dan tindakan keamanan<br />
nasional.<br />
Dalam perkembangannya, kegiatan intelijen dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu<br />
pengumpulan informasi (collection), analisis informasi (analysis), operasi rahasia (covert<br />
operation), dan kontra-intelijen (counterinteligence). Pengumpulan informasi adalah kegiatan<br />
memperoleh informasi dari berbagai sumber dengan berbagai cara. Informasi dapat diperoleh<br />
dari sumber yang terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat umum, maupun melalui caracara<br />
tertentu seperti spionase, penyadapan komunikasi, maupun cara lain yang melibatkan<br />
instrumen tertentu. Informasi yang dikumpulkan tentu saja bukan informasi yang diperlukan<br />
untuk keperluan intelijen itu sendiri, melainkan informasi yang diperlukan sesuai dengan<br />
kebutuhan pemegang kebijakan keamanan nasional.<br />
Informasi yang dikumpulkan pada prinsipnya merupakan data mentah dari berbagai sumber.<br />
Kegiatan intelijen selanjutnya adalah melakukan analisis agar data dan informasi yang<br />
diperoleh menjadi produk informasi yang berguna bagi pembuat kebijakan. Kegiatan analisis<br />
dapat meliputi verifikasi dan validasi, klasifikasi, evaluasi, serta menyatukan dan<br />
menghubungkan berbagai informasi parsial. Hasil analisis menjadi dasar penilaian terhadap<br />
suatu peristiwa, perkiraan, serta penilaian atas maksud, kapasitas, dan tindakan yang akan<br />
dilakukan pihak lawan.<br />
Analisis informasi dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah berbasis data yang<br />
obyektif, secara komprehensif, preskriptif-analitis yang original sehingga mampu menyajikan<br />
informasi terkini dan perkiraan skenario yang validitas dan reliabilitasnya teruji.<br />
Kegiatan intelijen selanjutnya yang masih terkait dengan informasi adalah kontra intelijen.<br />
Kegiatan ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengimbangi atau menanggapi<br />
kegiatan intelijen atau kekuatan luar yang mengancam keamanan negara berdasarkan<br />
informasi yang telah diperoleh. Tujuan utama kontra intelijen adalah untuk melindungi<br />
keamanan nasional dari aktivitas intelijen lain dalam berbagai bentuk. Bentuk kontra intelijen<br />
yang pada umumnya dilakukan antara lain adalah upaya untuk mencegah kemampuan musuh<br />
dalam mengumpulkan informasi misalnya menutup sumber informasi atau memberikan<br />
informasi yang keliru, mencegah dinas-dinas intelijen asing melakukan infiltrasi atau<br />
melakukan aktivitas spionase, subversi, terorisme, dan sabotase.<br />
Prinsip yang harus dipegang adalah bahwa kegiatan kontra intelijen hanya dapat dilakukan<br />
terhadap kekuatan intelijen asing atau kekuatan asing lainnya, bukan ditujukan terhadap<br />
warga negara atau kekuatan nasional lainnya. Kontra intelijen dapat bersifat pasif maupun<br />
aktif. Kontra intelijen pasif meliputi aktivitas mengidentifikasi orang dan membatasi akses<br />
109 Ibid., hlm 13-14.<br />
61
mereka terhadap materi informasi yang terklasifikasi. Kontra intelijen aktif adalah tindakan<br />
balasan (counter-measure) untuk menetralkan musuh dan aktivitasnya.<br />
Kegiatan intelijen yang keempat merupakan kegiatan yang bersifat terbatas dan sedikit<br />
berbeda dengan ketiga kegiatan sebelumnya. Kegiatan ini adalah kegiatan operasi rahasia<br />
sebagai tindakan aktif yang tidak hanya terkait dengan informasi, tetapi ditujukan untuk<br />
mempengaruhi suatu peristiwa secara langsung. Dalam operasi rahasia ini, intelijen menjadi<br />
alat kebijakan nasional, khusus dan terbatas pada kebijakan luar negeri, yang ditujukan<br />
kepada pemerintahan negara lain, masyarakat tertentu di negara lain, ataupun kepada<br />
kelompok tertentu di luar negara sendiri. Operasi rahasia dapat dilakukan dalam berbagai<br />
bentuk mulai dari propaganda hingga tindakan paramiliter, namun disertai kemampuan<br />
mengaburkan pemerintah dengan alasan yang rasional (plausible denial).<br />
Dalam melakukan kegiatan, intelijen harus tunduk pada prinsip demokrasi dan HAM, serta<br />
dilakukan secara cepat dan akurat (velox et exactus). Untuk memenuhi hal tersebut, intelijen<br />
harus memiliki standart operating procedures (SOP) yang melibatkan penggunaan technical<br />
inteligence dan human inteligence, memiliki sistem validasi dan pengujian reliabilitas, dan<br />
memiliki sistem penyimpanan informasi. Selain itu kegiatan tersebut harus dilakukan<br />
berdasarkan kewenangan yang diatur secara jelas dan tegas secara hukum, dan dalam<br />
pelaksanaannya didasarkan pada mekanisme otorisasi. Sebaliknya intelijen yang bertentangan<br />
dengan prinsip demokrasi dan HAM ditandai dengan metode menangkap dan menyadap,<br />
melakukan pelanggaran HAM, memanipulasi atau merekayasa informasi, tidak memiliki<br />
mekanisme validasi dan penyimpanan informasi sehingga bersifat subyektif, serta tidak<br />
memiliki legalitas hukum dan mekanisme otorisasi sehingga dapat melakukan cara-cara yang<br />
melanggar HAM dalam menjalankan fungsinya. 110<br />
7.3 Organisasi<br />
Penyusunan kerangka organisasi intelijen tentu harus didasarkan pada hakikat intelijen dan<br />
kegiatan yang dilakukan. Hal penting dalam hakekat intelijen adalah sebagai institusi negara<br />
yang menyediakan informasi untuk pengambilan kebijakan keamanan nasional yang tunduk<br />
kepada supremasi sipil, prinsip demokrasi, dan penghormatan HAM. Sedangkan hal penting<br />
yang harus diperhatikan dari sisi kegiatan intelijen adalah sifatnya sebagai unsur pelaksana<br />
dan bukan pengambil kebijakan, aktivitas yang harus dijalankan dengan keahlian tertentu<br />
sesuai dengan wilayah kegiatan.<br />
Berdasarkan pertimbangan hakekat dan kegiatan yang dilakukan, terdapat lima konsep yang<br />
menentukan pembentukan organisasi intelijen berdasarkan hasil kajian Pacivis UI, yaitu (1)<br />
diferensiasi struktrur dan spesialisasi fungsi; (2) koordinasi dan interdependensi; (3)<br />
akuntabilitas anggaran dan kegiatan; (4) institusionalisasi berupa standarisasi dan code of<br />
conduct; dan (5) mekanisme proteksi informasi. 111<br />
Di dalam organisasi intelijen harus terdapat diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi.<br />
Diferensiasi struktur dimaksudkan untuk menguatkan rentang kendali dan membagi<br />
wewenang secara berimbang dalam organisasi intelijen untuk mencegah terjadinya akumulasi<br />
kekuasaan atas intelijen yang sangat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan. Sedangkan<br />
spesialisasi fungsi dimaksudkan agar intelijen dapat menjalankan tugas secara efektif dan<br />
110 Ibid., hlm 20.<br />
111 Ibid., hlm 30.<br />
62
profesional sesuai dengan wilayah kerja. Profesionalisme hanya mungkin dibangun jika<br />
intelijen memiliki satu fungsi yang tegas dan jelas serta tidak melakukan kegiatan lain yang<br />
tidak relevan dengan hakekatnya sebagai intelijen.<br />
Diferensiasi struktur dan spesialisasi ditandai dengan lima karakter organisasi. 112 Pertama,<br />
komunitas intelijen terbagi menjadi dinas-dinas intelijen yang secara organisasi terpisah<br />
sesuai dengan ruang lingkup atau wilayah kegiatan yang dimiliki. Pembagian ini diperlukan<br />
karena setiap ruang lingkup memiliki karakter informasi serta aturan hukum yang berbeda.<br />
Antara intelijen luar negeri dengan intelijen dalam negeri dan intelijen militer memiliki<br />
perbedaan dari sisi jenis informasi yang harus dikumpulkan dan dianalisis, karakter ancaman<br />
keamanan yang dihadapi, maupun batasan kegiatan yang dapat dilakukan. Oleh karena itu,<br />
Pacivis merekomendasikan komunitas intelijen terbagi menjadi emapat dinas intelijen<br />
berdasarkan area kerja, yaitu intelijen dalam negeri, intelijen luar negeri, intelijen militer, dan<br />
intelijen yustisia/instansional.<br />
Diferensiasi dan spesialisasi fungsi juga harus dijalankan dalam setiap dinas intelijen itu<br />
sendiri. Hal ini sangat diperlukan agar intelijen dapat menghasilkan informasi yang benarbenar<br />
cepat dan tepat. Aktivitas pengumpulan, analisis, hingga kegiatan kontra intelijen dan<br />
operasi rahasia tidak dapat disatukan. Di samping tidak efektif, penyatuan dapat<br />
mengakibatkan produk informasi yang disajikan tidak tepat. Oleh karena itu karakter kedua<br />
diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi adalah di dalam setiap dinas intelijen terdapat<br />
pemisahan fungsi pengumpulan informasi, analisis, kontra intelijen dan operasi rahasia.<br />
Untuk membangun intelijen yang efektif dan menjaga sifat kerahasiaan intelijen, harus<br />
terdapat kompartementasi vertikal dan horisontal wilayah kerja baik di dalam maupun luar<br />
negeri. Namun kompartemen ini tidak dibentuk secara baku apalagi mengikuti struktur<br />
pemerintahan. Kompartemen dibentuk berdasarkan dinamika lingkungan strategis dan<br />
analisis ancaman. Inilah yang menjadi karakter kelima dari deferensiasi struktur dan<br />
spesialisasi fungsi.<br />
Konsep kedua organisasi intelijen ideal adalah koordinasi dan interdependensi. 113 Koordinasi<br />
dan interdepensi meliputi koordinasi dan interdepensi produk, koordinasi dan interdependensi<br />
lembaga, serta koordinasi dan interdepensi kegiatan. Koordinasi dan interdependensi produk<br />
diperlukan karena untuk menyajikan informasi yang tepat dan lengkap di satu sisi<br />
memerlukan sumber dan data informasi yang banyak dan bervariasi yang mungkin diperoleh<br />
dari beberapa dinas intelijen yang berbeda, dan di sisi lain informasi tersebut harus diuji<br />
validitasnya sehingga tidak akan menghasilkan penilaian yang salah. Oleh karena itu<br />
diperlukan standar yang sama antar dinas intelijen terkait dengan sistem pelaporan dan<br />
analisis informasi.<br />
Koordinasi dan interdependensi produk tentu membutuhkan adanya koordinasi dan<br />
interdependensi lembaga, yang juga diperlukan untuk memastikan berjalannya fungsi<br />
intelijen yang lain, serta menjamin pengembangan kapasitas dan akuntabilitas organisasi<br />
intelijen. Koordinasi dipegang oleh lembaga atau badan tertentu yang memiliki akses<br />
langsung terhadap pengambil kebijakan nasional, namun terpisah dari struktur organisasi<br />
intelijen itu sendiri.<br />
112 Ibid.<br />
113 Ibid., hlm 32-34.<br />
63
Koordinasi dan interdependensi juga harus dilakukan antar dinas intelijen dalam guna<br />
mendukung dan menjalankan kegiatan. Hal ini membutuhkan adanya saluran komunikasi<br />
yang tidak saling menegasikan, koordinasi dan verifikasi, serta mekanisme pelaksanaan<br />
operasi bersama.<br />
Konsep organisasi intelijen ideal yang ketiga adalah akuntabilitas anggaran dan kegiatan. 114<br />
Akuntabilitas merupakan ciri dari institusi di negara-negara demokrasi berdasarkan<br />
pemahaman bahwa semua kekuasaan yang dimiliki oleh negara berasal dari rakyat sehingga<br />
harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Tentu saja akuntabilitas dimaksud sesuai<br />
dengan karakter intelijen sehingga perlu mekanisme khusus yang menjamin akuntabilitas<br />
dengan tetap tidak mengganggu hakikat dan kegiatan intelijen.<br />
Sebagai alat negara, seluruh anggaran intelijen harus berasal dari anggaran negara. Tidak<br />
boleh ada anggaran yang didapat di luar anggaran negara dan intelijen tidak boleh mencari<br />
maupun menerima anggaran di luar anggaran negara karena akan mengganggu bahkan<br />
merusak tujuan dan kegiatan intelijen.<br />
Untuk menjamin akuntabilitas kegiatan, terdapat enam hal yang diperlukan, yaitu; (1)<br />
prosedur penugasan yang baku dan bukan personal; (2) mekanisme deklasifikasi karena<br />
waktu dan apabila ada penyalahgunaan kekuasaan; (3) prosedur otorisasi kewenangan khusus<br />
disertai dengan mekanisme penyampaian keberatan; (4) mekanisme pertanggungjawaban<br />
pelaksanaan kewenangan khusus; (5) mekansme pelaporan secara tertulis; dan (6) sistem<br />
dokumentasi dan pengarsipan. 115<br />
Untuk memenuhi ideal organisasi yang keempat, yaitu institusionalisasi, komunitas intelijen<br />
harus disusun menurut standarisasi tertentu dan memiliki code of conduct bersama yang dapat<br />
ditegakkan untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Standarisasi meliputi standarisasi<br />
prosedur kerja, pelaporan, operasi, produk, penyaluran produk, dan dokumentasi atau<br />
pengarsipan. Standarisasi diperlukan agar informasi dari berbagai sumber intelijen dapat<br />
saling diverifikasi dan saling mendukung. Sedangkan code of conduct diperlukan agar dinas<br />
intelijen dan apartanya dalam menjalankan tugas tidak menyalahgunakan wewenang dan<br />
melanggar aturan hukum. Code of conduct meliputi ketaatan kepada konstitusi dan hukum;<br />
penghormatan terhadap prinsip demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil; netralitas,<br />
imparsialitas dan non-partisan; serta profesional, efektif, dan efisien. 116<br />
Konsep kelima, organisasi intelijen yang ideal harus memiliki mekanisme proteksi, akses,<br />
diseminasi, serta deklasifikasi dan terminasi informasi. Apabila mekanisme ini tidak dimiliki<br />
akan terjadi penyebaran informasi yang merusak kerahasiaan informasi intelijen. Mekanisme<br />
ini juga dimaksudkan untuk memproteksi informasi agar dapat menjalin kerjasama dengan<br />
intelijen negara lain. 117<br />
7.4 Anggota<br />
Pacivis UI mengidentifikasi enam hal terkait dengan konsepsi keanggotaan intelijen, yaitu<br />
klasifikasi anggota, proses rekruitmen, pembinaan, perlindungan, hak dan kewajiban, serta<br />
114 Ibid., hlm 34-36.<br />
115 Ibid., hlm 35.<br />
116 Ibid., hlm 36.<br />
117 Ibid., hlm 37.<br />
64
sanksi. 118 Keanggotaan dapat diklasifikasikan menjadi analis dan pelaksana, yang masingmasing<br />
juga disusun secara berjenjang dan berpuncak pada pimpinan tertinggi intelijen.<br />
Untuk pelaksanaan operasi khusus dibentuk tim ad hoc dengan pejabat tertentu sebagai<br />
penanggungjawab operasi. Anggota intelijen terdiri dari beberapa klasifikasi yang cara<br />
perekrutannya dibedakan, antara lain melalui perekrutan terbuka, talent scouting, lolos butuh,<br />
dan rekruitmen tertutup. Untuk menghasilkan anggota yang profesional dan berstandar,<br />
pembinaan dilakukan secara terpusat oleh lembaga intelijen tertentu sebagai koordinator<br />
dengan sistem akreditasi kualitas pembinaan.<br />
Anggota intelijen mendapatkan perlindungan institusi baik terkait dengan identitas maupun<br />
tugas yang dijalankan. <strong>Negara</strong> juga memiliki kewajiban menemukan atau mengembalikan<br />
agen yang tewas atau dinyatakan hilang, serta memberikan kompensasi kepada agen yang<br />
luka dalam menjalankan tugas. Namun perlindungan identitas dan kegiatan dapat dibuka jika<br />
diperlukan untuk proses penegakan hukum yang terjadi dengan cara penyalahgunaan<br />
wewenang intelijen. Anggota intelijen juga memiliki hak mengajukan nota keberatan<br />
terhadap perintah atasan yang dipandang melebihi wewenang atau melanggar hukum dan<br />
HAM.<br />
Setiap anggota intelijen harus dijamin haknya, terutama hak atas kesejahteraan sehingga<br />
secara penuh dapat menjalani profesinya, hak pengembangan karier, dan hak atas<br />
perlindungan. Sebaliknya, anggota intelijen juga memiliki kewajiban, terutama mematuhi<br />
kode etik dan larangan profesi, baik terkait dengan status maupun aktivitas yang dilakukan.<br />
Untuk mewujudkan anggota intelijen yang profesional, aturan harus ditegakkan dengan<br />
memberikan sanksi. Anggota intelijen bukan manusia yang kebal hukum, bahkan<br />
profesionalisme intelijen menuntut penegakan aturan dengan mengenakan sanksi atas<br />
pelanggaran, baik sanksi profesi maupun sanksi hukum. Impunitas terhadap pelanggaran<br />
yang dilakukan oleh aparat intelijen pada akhirnya hanya akan menyebabkan tidak<br />
profesionalnya aparat intelijen dan mendorong terjadinya pelanggaran dan penyalahgunaan<br />
yang lain.<br />
7.5 Produk<br />
Seluruh informasi intelijen harus melalui mekanisme sistematis yang menjamin pihak-pihak<br />
yang menjadi konsumen produk intelijen dapat menerima informasi itu. Studi Pacivis UI<br />
merumuskan siklus sebagai berikut. 119<br />
1. Perencanaan: meliputi masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan yang dihadapi<br />
pembuat kebijakan, serta arahan mengenai bagaimana menjalankan intelijen.<br />
Kebutuhan informasi sesuai dengan kondisi keamanan nasional dibuat oleh pengguna.<br />
Hal ini akan ditindaklanjuti oleh pimpinan intelijen untuk melaksanakannya.<br />
2. Pengumpulan informasi: dari sumber-sumber terbuka, tertutup, elektronik, satelit<br />
maupun terklasifikasi.<br />
3. Pengolahan: pengurangan data dalam berbagai format menjadi potongan-potongan<br />
data yang berguna, membuat informasi intelijen ke dalam bentuk yang mudah<br />
dimengerti.<br />
4. Analisis: penyatuan dan penilaian data, mencakup peer review dan supervisory review.<br />
118 Ibid., hlm 40-47.<br />
119 Ibid., hlm 49-58.<br />
65
5. Diseminasi: memberikan produk yang tepat untuk memenuhi kebutuhan pengguna<br />
yaitu pembuat kebijakan yang dapat berupa (1) current intelligence, yang menganalisa<br />
kejadian aktual; (2) estimative intelligence, yang menganalisa dan memprediksi<br />
kejadian yang akan datang; (3) warning intelligence, yang memberikan peringatan<br />
tentang sesuatu yang akan terjadi; (4) research intelligence, yang memberikan kajian<br />
mendalam tentang suatu isu; (5) scientific and technical intelligence, yang<br />
memberikan informasi tentang teknologi asing.<br />
Untuk menjalankan siklus ini, jarak antara komunitas intelijen dengan pimpinan negara harus<br />
fungsional, yaitu cukup jauh untuk menjaga agar komunitas intelijen tidak menjadi alat<br />
kekuasaan pembuat kebijakan, dan cukup dekat untuk memungkinkan komunikasi dua arah<br />
sehingga komunitas intelijen dapat mengetahui apa yang dibutuhkan dan pembuat kebijakan<br />
dapat memperoleh informasi yang cukup. Karakter ini akan membuat dinas intelijen<br />
bertindak sepenuhnya berdasarkan data, tanpa harus khawatir bagaimana produknya nanti<br />
akan mempengaruhi proses kebijakan. Selain itu juga membantu menghilangkan<br />
kecenderungan untuk menyalahkan atau menolak analis-analis intelijen yang memberikan<br />
informasi tidak diinginkan atau tidak mendukung kebijakan.<br />
7.6 Pengawasan<br />
Sebagai lembaga dalam negara demokrasi, intelijen harus tunduk pada pengawasan yang<br />
dibutuhkan untuk memastikan intelijen menjalankan fungsinya dengan baik dan mencegah<br />
terjadinya penyimpangan. Pengawasan intelijen menjadi suatu permasalahan tersendiri<br />
mengingat karakter rahasia yang dimiliki intelijen serta pada umumnya mendapatkan<br />
resistensi dari komunitas intelijen, terutama di negara-negara yang baru mengalami<br />
demokratisasi.<br />
Pacivis UI merumuskan beberapa bentuk pengawasan terhadap intelijen. Pertama, di dalam<br />
intelijen yang ‘ideal’ harus memiliki pejabat setingkat menteri yang mengkoordinir dinasdinas<br />
intelijen dan bertanggungjawab secara politik. Kedua, adanya mekanisme pengawasan<br />
berlapis dari sisi internal, eksekutif, parlemen, dan publik. Ketiga, pengawasan internal<br />
dilakukan melalui mekanisme pengawasan melekat dan penetapan standard operating<br />
procedures. Keempat, pengawasan eksekutif dilakukan melalui mekanisme penugasan dan<br />
pelaporan. Kelima, pengawasan parlemen dilakukan melalui mekanisme anggaran dan<br />
adanya subkomisi (select committee) di parlemen. Keenam, pengawasan publik dilakukan<br />
melalui mekanisme penampungan keluhan warga melalui lembaga-lembaga sampiran negara<br />
serta organisasi-organisasi masyarakat sipil. 120<br />
Intelijen juga harus tunduk pada pengawasan dan memiliki akuntabilitas hukum. Hal ini<br />
berupa (1) kegiatan intelijen ‘ideal’ bersumber pada wewenang yang dimandatkan oleh<br />
undang-undang; (2) memiliki otorisasi tertulis dari koordinator seluruh dinas intelijen dalam<br />
menjalankan kewenangan khusus; (3) memiliki saluran tunggal dalam menyampaikan produk<br />
intelijen kepada pengguna akhir; (4) menggunakan kewenangan khusus berdasarkan otorisasi<br />
tertulis yang dikeluarkan oleh penegak hukum. Dari sisi anggaran mekanisme pengawasan<br />
anggaran intelijen dilakukan melalui penetapan anggaran dan pengawasan oleh parlemen atas<br />
penggunaan anggaran, serta mekanisme audit oleh lembaga pemeriksa keuangan.<br />
120 Ibid., hlm 59-63.<br />
66
BAB VII<br />
KESIMPULAN<br />
1. Reformasi intelijen harus diletakkan dalam sistem politik kenegaraan yang demokratis.<br />
Dimana di dalamnya mengharuskan adanya pengakuan intelijen untuk tunduk dan patuh<br />
terhadap otoritas politik (prinsip supremasi sipil), adanya pertanggungjawaban yang jelas<br />
dalam menjalankan fungsi dan tugasnya (prinsip akuntabilitas), keterbukaan (transparansi)<br />
dan pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan HAM, khususnya pengakuan terhadap<br />
hak-hak mendasar yang tergolong dalam rumpun hak yang sifatnya tidak dapat ditunda (nonderogable<br />
rights).<br />
2. Reformasi intelijen pertama-tama dan utama dilakukan melalui pembentukan undangundang<br />
intelijen sebagai payung hukum bagi Intelijen yang mencakup tentang hakekat dan<br />
tujuan intelijen; ruang lingkup intelijen; tugas, fungsi serta wewenang intelijen; organisasi<br />
dan prinsip-prinsip pengaturan kedinasan, termasuk hubungan antar dinas; pembiayaan<br />
kegiatan dan dinas intelijen; mekanisme pengawasan terhadap kegiatan, operasi dan dinas<br />
intelijen.<br />
3. Pembentukan undang-undang intelijen itu harus dapat menjaga keseimbangan antara<br />
kebutuhan negara untuk tetap menjamin dan melindungi kebebasan masyarakat sipil dan hak<br />
asasi manusia di satu sisi dan menjaga serta melindungi keamanan nasional disisi lain.<br />
4. <strong>RUU</strong> Intelijen yang saat ini di bahas di parlemen memiliki banyak permasalahan yang<br />
dapat mengganggu kehidupan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia maupun<br />
penegakan hukum itu sendiri. Hal itu dapat dilihat dari identifikasi masalah-masalah dalam<br />
<strong>RUU</strong> Intelijen sebagaimana dijelaskan dalam Bab VI di atas.<br />
5. Kami meminta dan mendesak agar parlemen menunda pengesahan <strong>RUU</strong> Intelijen dalam<br />
waktu dekat ini mengingat masih banyaknya permasalahan yang terdapat dalam <strong>RUU</strong><br />
Intelijen. Adalah sangat bijak apabila parlemen dan pemerintah untuk melakukan sosialisasi<br />
ke masyarakat secara lebih luas tentang <strong>RUU</strong> Intelijen sambil secara bersamaan<br />
menyempurnakan draft <strong>RUU</strong> Intelijen yang didasarkan pada masukan dan pandangan<br />
masyarakat itu.<br />
67
SUMBER BACAAN<br />
Buku, Jurnal dan Laporan Penelitian<br />
Arganata, H. Emon Rivai (1998), Intelijen Bisnis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.<br />
Araf, Al, dkk (eds.) (2003), Terorisme: Defenisi, Aksi dan Regulasi, Jakarta: Imparsial.<br />
Azhar, Haris dan Syamsul Alam Agus (2005), Poso, Wilayah yang Dikonflikkan,<br />
Jakarta/Palu: KontraS.<br />
Carter, David L. (2004) Law Enforcement Intelligence: A Guide for State, Local, and Tribal<br />
Law Enforcement Agencies, Michigan State University<br />
Dulles, Allan (1965), The Craft of Intelligence, New York: Signet Book<br />
ELSAM (2003), Meningkatnya Kekuasaan Eksesif Militer: Kajian Atas Draft <strong>RUU</strong> TNI,<br />
Draft <strong>RUU</strong> Intelijen, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jakarta:<br />
ELSAM<br />
ELSAM (2011), Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Pilar Pengaturan Intelijen: Kajian<br />
Atas Draft <strong>RUU</strong> Intelijen, Jakarta: ELSAM<br />
Holsti, Kalevi J., Peace and War: Armed Conflict and International Order 1648-1989,<br />
Cambridge: CUP.<br />
ICTJ, Kajian terhadap Laporan Komite Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor<br />
Leste tentang Kejahatan yang Terjadi pada Tahun 1999, (2009), Jakarta: ICTJ.<br />
KKP (2008), Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste,<br />
Jakarta: KKP<br />
Komnas HAM, Laporan Lengkap Hasil Penyelidikan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan<br />
Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T) (2000), Jakarta: Komnas<br />
HAM.<br />
Komnas HAM, Ringkasan Eksekutif Tim adhoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi<br />
Manusia yang Berat Peristiwa Talangsari 1989, (2008), Jakarta: Komnas HAM.<br />
KontraS (2005), Operasi Pemulihan Keamanan di Poso dan Kekerasan yang Terpelihara,<br />
Jakarta: KontraS.<br />
KontraS (2006), Aceh Damai dengan Keadilan, Jakarta: KontraS<br />
Kurnarto (1999), Intelijen: Pengertian dan Pemahamannya, Jakarta: PT.Cipta Manunggal<br />
Kunarto (2001), Intelijen Polri, Jakarta: Cipta Manunggal<br />
Otto Syamsuddin Ishak, Sang Martir Teungku Bantaqiah, (2003), Jakarta: Yappika<br />
Prihatono, T. Hari (ed.) (2006), Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, Jakarta:<br />
Propatria Institute<br />
Rabasa, Angel dan John Haseman, The Military and Democracy in Indonesia – Challenges,<br />
Politics, and Power (2002), Santa Monica: RAND<br />
Scheinin, Martin (2010), Compilation of Good Practices on Legal and Institutional<br />
Frameworks and Measures that Ensure Respect for Human Rights by Intelligence<br />
Agencies while Countering Terrorism, including on their Oversight, UN Human Rights<br />
Council<br />
68
Subijanto, Prof. Dr. Bijah (2003), Restorasi Intelijen; Memperkuat Korporat Memperkuat<br />
Sistem Nasional, Jakarta: Penerbit Jati Diri<br />
Tim Imparsial (2005), Evaluasi Kinerja BIN di masa transisi dan catatan untuk Reformasi,<br />
Jakarta: Imparsial.<br />
Tim Imparsial, (2010), Perebutan Kuasa Intelijen, Jakarta:Imparsial<br />
Tim Penyusun Kamus (1990), Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa, Departemen<br />
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.<br />
Tsang, Steve (ed.) (2007), Intelligence and Human Rights in the Era of Global Terrorism,<br />
London: Praeger Security International<br />
Widjajanto, Andi (ed.) (2006), Menguak Tabir Intelijen “Hitam” Indonesia, Jakarta: Pacivis-<br />
UI<br />
Widjajanto, Andi (ed), <strong>Negara</strong>, Intel, dan Ketakutan, (2006), Jakarta: Pacivis UI<br />
Widjajanto, Andi, Cornelis L., Makmur K. (2006), Intelijen:Velox et Exactus, Jakarta:Pacivis<br />
Widjajanto, Andi dan Artanti Wardhani (2008), Hubungan Intelijen-<strong>Negara</strong> 1945-2004,<br />
Jakarta: Pacivis<br />
Perundangan, Draf Perundangan dan Catatan Peradilan<br />
Draft <strong>RUU</strong> Pokok-pokok Intelijen, 5 September 2003<br />
German Criminal Code, G10 Act, sect. 3b; sects. 53 and 53a<br />
Ifdhal Kasim, Kewenangan Penyadapan dan Perlindungan Atas Hak Privasi, Keterangan<br />
Ahli Tertulis untuk Perkara No 5/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi. Lihat juga<br />
M. Fajrul Falaakh, Penyadapan atas Hak Pribadi Berkomunikasi, Keterangan Ahli Tertulis<br />
untuk Perkara No 5/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi.<br />
Putusan MK No. 006/PUU-I/2003<br />
Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006<br />
Putusan MK No. 05/PUU-VIII/2010<br />
Surat Kabar dan Majalah<br />
Forum Keadilan, edisi 14 Maret 2004<br />
Gatra, 12 Maret 2004<br />
Indopos, 8 Juni 2004<br />
Kompas, 3 Februari 2003<br />
Kompas, 20 Februari 2003<br />
Kompas, 10 Agustus 2003<br />
Kompas, 5 Maret 2005<br />
Kompas, 29 Juni 2005<br />
Kompas, 26 Juli 2005<br />
Kompas, 28 April 2010<br />
Koran Tempo, 20 Desember 2003<br />
Majalah Tempo, edisi 12 Januari 2004<br />
Merdeka, 12 Agustus 1982<br />
Majalah Tempo, 25 Juli 1998<br />
Majalah Tempo, 21 Maret 2004<br />
Media Indonesia, 15 Januari 2005<br />
69
Media Indonesia, 14 Februari 2005<br />
Media Indonesia, 21 Mei 2005<br />
Pelita, 10 Maret 2004<br />
Radar Sulteng, 16 Oktober 2004<br />
Republika, 27 Mei 2010<br />
Sampari, edisi 2 Februari 2006<br />
Sinar Harapan, 11 Januari 1982<br />
Sinar Harapan, 22 Juli 1983<br />
Telik Sandi, volume I, No. 1 Juni 2006<br />
Tempo Interaktif, 14 Juli 2005<br />
Internet<br />
Detik, “Foto ‘Penembakan’ SBY; Permadi: Itu Foto Latihan Perang Kasus Poso”<br />
www.detiknews.com/read/2009/07/21/161343/1168849/10/<br />
Geneva Centre for Democratic Control of Armed Forces, Switzerland: Intelligence Services<br />
and Democracy, dalam http://www.dcaf.ch/_docs/WP13.pdf<br />
Headquarters Department of Army, United States: Inteliigence, dalam<br />
http://www.fas.org/irp/doddir/army/fm2-0.pdf<br />
Human Rights Watch: Indonesia’s Draft Law on Intelligence: A Threat To the nation?, dalam<br />
http://ejp.icj.org/IMG/HRWIndonesiaBINbill.pdf<br />
Intelligence in a Constitutional Democracy: Final Report to the Minister for Intelligence<br />
Services MR Ronnie Kasrils MP- South Africa, dalam<br />
http://www.mg.co.za/uploads/final-report-september-2008-615.pdf<br />
John Helmi Mempi-Umar Abduh, Sejarah Dinas Intelijen Indonesia,<br />
http://swaramuslim.net/galery/more.php?id=A5783_0_18_0_M<br />
Laporan OHCHR dikeluarkan pada tanggal 17 Oktober 2006. Lihat Pemberitahuan Pers pada<br />
website<br />
OHCHR:<br />
http://ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=5657&LangID=E<br />
Vivanews, “Ledakan di JW Marriot dan Ritz Carlton: Prabowo Tidak Terima Pernyataan<br />
SBY”, http://politik.vivanews.com/news/read/76053<br />
70