05.05.2015 Views

Position Paper RUU Intelejen Negara _Koalisi Masyarakat ... - Elsam

Position Paper RUU Intelejen Negara _Koalisi Masyarakat ... - Elsam

Position Paper RUU Intelejen Negara _Koalisi Masyarakat ... - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

KERTAS POSISI<br />

KOALISI ADVOKASI UNTUK <strong>RUU</strong><br />

INTELIJEN NEGARA<br />

KOALISI ADVOKASI UNTUK <strong>RUU</strong><br />

INTELIJEN NEGARA<br />

(Imparsial, KontraS, IDSPS, <strong>Elsam</strong>, Ridep Institute,<br />

Lesperssi, Setara Institute, LBH <strong>Masyarakat</strong>, ICW,<br />

YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, Praxis, Infid,<br />

Yayasan SET, KRHN, Leip, Ikohi, Foker Papua,<br />

PSHK, MAPPi, MediaLink)<br />

1


BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

Berubahnya sistem keamanan sebuah negara merupakan sesuatu hal yang niscaya terjadi.<br />

Sistem keamanan bukanlah sesuatu hal yang statis melainkan bersifat dinamis dimana<br />

perubahan sistem keamanan sangat dipengaruhi dari dinamika lingkungan strategis yang<br />

terus berkembang dan terus berubah.<br />

Derasnya arus gelombang demokratisasi, kecenderungan konflik dari inter-state menjadi<br />

intra-state, laju arus globalisasi yang tak terelakkan, kemajuan teknologi dan arus informasi<br />

yang begitu cepat, pengakuan universalitas HAM serta kompleksitas ancaman yang<br />

berkembang pascaperang dingin tentulah menjadi faktor-faktor yang secara langsung maupun<br />

tidak langsung memaksa banyak negara untuk kembali menata ulang sistem keamanannya.<br />

Melalui program reformasi sektor keamanan banyak negara telah melakukan penataan<br />

kembali lembaga-lembaga keamanannya dengan memperhatikan dinamika lingkungan<br />

strategis yang telah berubah. Tujuan utama dari proses reformasi sektor keamanan itu adalah<br />

menciptakan good governance di sektor keamanan dan menciptakan lingkungan yang aman<br />

dan tertib, sehingga dapat menopang tujuan negara untuk menyejahterakan dan<br />

memakmurkan masyarakat. Tidak hanya itu, sistem keamanan di masa kini tidak lagi sebatas<br />

menjadikan “negara” sebagai obyek yang harus dijaga tetapi juga harus menjaga dan<br />

melindungi rasa aman manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian keamanan<br />

harus ditempatkan sebagai barang publik (public goods) yang berhak dinikmati oleh setiap<br />

warga, baik individu, kelompok, maupun sebagai bangsa dengan menempatkan kewajiban<br />

negara untuk mengatur dan mengelolanya.<br />

Di Indonesia, berbagai perubahan dan capaian positif dalam reformasi sektor keamanan telah<br />

dihasilkan di masa reformasi. Perubahan-perubahan itu diantaranya meliputi perubahan di<br />

level regulasi dengan menetapkan beberapa aturan baru di bidang keamanan yakni UU No.<br />

3/2002 tentang Pertahanan <strong>Negara</strong>, UU No. 2/2002 tentang Polri dan UU No. 34/2004<br />

tentang TNI.<br />

Namun demikian, perubahan-perubahan itu belumlah cukup apalagi memadai di dalam<br />

membangun sistem keamanan nasional yang terintegrasi. Apalagi untuk aktor intelijen hingga<br />

kini belum ada aturan hukum setingkat undang-undang yang mengatur tugas dan fungsi<br />

intelijen di dalam sistem negara demokrasi. Atas dasar itulah usaha untuk melakukan<br />

reformasi intelijen melalui pembentukan undang-undang intelijen yang sesuai dengan tata<br />

sistem negara yang demokratik menjadi penting untuk diwujudkan.<br />

2


BAB II<br />

INTELIJEN DALAM NEGARA DEMOKRASI<br />

2.1 Hakikat Intelijen<br />

Terminologi mata-mata (spies) dan operasi rahasia telah ada dalam berbagai literatur sejak<br />

masa Yunani, namun keberadaan organisasi intelijen secara formal oleh negara baru muncul<br />

pada akhir abad-19. Kemunculan organisasi intelijen ini dipicu pertimbangan real-politics<br />

untuk mengantisipasi pergeseran perimbangan kekuasaan di Eropa. 1 Pergeseran tersebut<br />

diawali dengan melemahnya sistem Concert of Europe pada awal abad-19 yang ditandai<br />

dengan perang antara Austria dan Naples (1820-1821). Selanjutnya, perang ini diikuti dengan<br />

31 rangkaian perang antar negara yang dikenal sebagai Perang Dunia I (1914-1919).<br />

Perubahan sistem internasional ini diantisipasi oleh Jerman, Prancis, Inggris dan Amerika<br />

Serikat dengan membentuk organisasi khusus yang diberi tugas spesifik untuk<br />

mengumpulkan informasi mengenai dinamika kekuatan militer negara lain. 2<br />

Berdasarkan kondisi yang dihadapi negara-negara tersebut dalam pencariannya untuk<br />

mendapatkan keseimbangan kekuatan (balance of power), maka hakekat intelijen sangat<br />

dipengaruhi perspektif realis dalam hubungan internasional. Dengan demikian, intelijen<br />

negara selalu mengacu pada seluruh dinas serta anggota intelijen yang terlibat dalam kegiatan<br />

dan operasi untuk menjamin keamanan nasional. 3<br />

Secara harfiah kata ‘intelijen’ dapat diartikan sebagai ‘kecerdasan’. Sementara kata<br />

’intelijensi’ pada Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai daya membuat reaksi atau<br />

penyesuaian yang cepat dan tepat, baik secara fisik maupun mental, terhadap pengalamanpengalaman<br />

baru, membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki siap untuk<br />

dipakai apabila dihadapkan pada fakta-fakta atau kondisi-kondisi baru; kecerdasan. 4 Apabila<br />

kita masukan kata ’intelijen’ ke dalam konteks militer, maka intelijen merupakan tindakan<br />

lanjut dari ’spionase’. Pada dasarnya, ’spionase’ mengacu kepada pengumpulan informasi<br />

secara rahasia, dimana sumber-sumber informasi berupaya mempertahankan dan<br />

melindunginya dari rongrongan pihak lain. Sementara ’intelijen’ mengacu pada proses<br />

mengevaluasi dan memproses informasi yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan. 5<br />

Lebih lanjut, Allen Dulles menyatakan bahwa intelijen berkaitan langsung dengan segala<br />

sesuatu yang harus diketahui sesegera mungkin untuk menunjang setiap inisiatif tindakan.<br />

Ladislas Farago menyatakan bahwa intelijen adalah suatu kegiatan yang terorganisasi untuk<br />

mengumpulkan informasi, dinilai sedikit demi sedikit dan dibentuk sampai terbentuknya<br />

pola-pola yang lebih jelas yang pada saatnya akan memberikan suatu gambaran yang lebih<br />

1 Lihat Andi W., Cornelis L., Makmur K., Intelijen:Velox et Exactus, Pacivis, Jakarta, 2006, hlm.35-36 dan juga<br />

lihat Allan Dulles, The Craft of Intelligence, Signet Book, New York, 1965, hlm 21-23<br />

2 Andi W., Cornelis L., Makmur K., op. cit, hlm.35-36 dan lihat juga Kalevi J. Holsti, Peace and War: Armed<br />

Conflict and International Order 1648-1989, CUP, Cambridge, 1991, hlm 138-169.<br />

3 Ibid. hlm.41.<br />

4<br />

Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan<br />

Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.335 dan juga lihat I. Kurnarto,<br />

Intelijen: Pengertian dan Pemahamannya, PT.Cipta Manunggal,1999<br />

5 I. Kurnarto, Intelijen: Pengertian dan Pemahamannya, PT.Cipta Manunggal,1999, hlm.25<br />

3


tajam atau komprehensif. 6 Selanjutnya, Department of Army in United States mendefinisikan<br />

intelijen sebagai suatu produk yang dihasilkan dari proses pengumpulan, pengolahan,<br />

integrasi, evaluasi, analisis, dan interpretasi informasi yang tersedia mengenai negara-negara<br />

asing, pihak-pihak yang mengancam atau berpotensi untuk memberikan ancaman potensial<br />

maupun aktual. Istilah ini juga mengacu pada produk dan organisasi yang terlibat di dalam<br />

kegiatan tersebut. 7<br />

Dalam konteks itu, setidaknya pengertian intelijen meliputi: 8<br />

1. Intelijen sebagai produk, merupakan hasil penilaian dan pengolahan dari fakta dan<br />

data serta keterangan/informasi yang diperlukan pimpinan sebagai bahan pengambilan<br />

keputusan.<br />

2. Intelijen sebagai organisasi, merupakan alat untuk mencapai tujuan dengan<br />

menggerakkan kegiatan sesuai dengan fungsi dan peranannya serta memberikan<br />

informasi sesuai dengan tuntutan otoritas yang berwenang dan bertanggungjawab.<br />

3. Intelijen sebagai kegiatan, merupakan upaya mengumpulkan, mengolah dan<br />

menggunakan bahan informasi melalui kegiatan intelijen.<br />

Seperti yang sudah dijelaskan, maka kata ’intelijen’ memiliki beberapa pengertian yang pada<br />

akhirnya mengacu pada suatu hasil pemikiran/perkiraan yang berbentuk informasi untuk<br />

digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan pada otoritas tertentu. Apabila perkiraan<br />

tersebut tepat, maka dapat dikatakan ’intelijen’ bekerja dengan baik. Lebih jauh lagi, hal ini<br />

hanya akan terjadi apabila ditangani oleh pihak-pihak yang memiliki intelijensia yang tinggi<br />

atau kecerdasan, seperti definisi dasar kata ’intelijen’ itu sendiri.<br />

Berdasarkan pengertian intelijen tersebut, maka fungsi utama intelijen adalah sebagai sistem<br />

peringatan dini (early warning system) terhadap pengambil kebijakan (otoritas) di dalam<br />

konteks keamanan nasional. 9 Sementara tugas intelijen adalah mengumpulkan informasi<br />

rahasia yang sifatnya terkini dan akurat, yang kemudian disampaikan kepada pembuat<br />

kebijakan (otoritas) sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dengan<br />

tujuan untuk menghindari pendadakan (strategic surprises) yang dapat mengganggu<br />

keamanan nasional. Dengan kata lain, intelijen hanya berfungsi pada tataran taktik untuk<br />

mengimplementasikan suatu strategi tanpa memiliki otoritas untuk menggantikan strategi<br />

tersebut. 10 Aktivitas intelijen yang utama adalah mengumpulkan dan mencari informasi,<br />

mengevaluasi informasi, mengintegrasikan, menganalisis, menyimpulkan, dan<br />

memperkirakan dinamika keamanan nasional dengan menggunakan metode yang ilmiah. 11<br />

2.2 Intelijen dalam <strong>Negara</strong> Demokrasi<br />

Keberadaan pelayanan keamanan pada negara demokratis pada dasarnya menimbulkan<br />

political paradox. Pada satu sisi, layanan keamanan didirikan untuk melindungi segenap<br />

warga negara dan tatanan negara. Atas dasar fungsi tersebut, maka mereka diberikan<br />

6 Ibid dan lihat juga H. Emon Rivai Arganata, Intelijen Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998,<br />

hlm.21-24<br />

7<br />

Headquarters Department of Army, United States: Inteliigence, dalam<br />

http://www.fas.org/irp/doddir/army/fm2-0.pdf<br />

8 I. Kurnanto, Op.Cit. hlm.48-49<br />

9 Andi Widjajanto, Artanti Wardhani, Hubungan Intelijen-<strong>Negara</strong> 1945-2004, Pacivis, Jakarta, 2008, hlm 1-2.<br />

10 Andi W., Cornelis L., Makmur K, Op.Cit, hlm. 42<br />

11 David L, Carter, Law Enforcement Intelligence: A Guide for State, Local, and Tribal Law Enforcement<br />

Agencies, (Michigan State University, 2004), dalam Ibid, hlm. 11.<br />

4


kewenangan dan kemampuan khusus untuk melaksanakan tugas utamanya. Namun di sisi<br />

lain, kewenangan dan kemampuan khusus yang diberikan tersebut memiliki potensi untuk<br />

mengancam keamanan warga negara, tatanan negara bahkan proses demokrasi suatu negara. 12<br />

Hal ini seiring dengan badan-badan intelijen yang memberikan sebuah tantangan khusus<br />

karena sifat, peran, fungsi, kewenangan dan karakteristiknya yang sangat kental dengan unsur<br />

kerahasiaan. Mengingat bahaya ini, maka tantangan bagi negara-negara demokrasi adalah<br />

membangun sebuah peraturan yang komprehensif mengenai pengawasan, perlindungan hak<br />

asasi manusia, pencegahan penyalahgunaan kewenangan intelijen dan memastikan bahwa<br />

intelijen bekerja di bawah peraturan dan sistem yang sah dan demokratis.<br />

Sebagai bagian dari sistem keamanan nasional yang berperan sebagai sistem peringatan dini<br />

dan pencegahan pendadakan strategis untuk melindungi keamanan nasional, intelijen yang<br />

profesional dan efektif di dalam negara demokrasi setidaknya memiliki ciri-ciri: 13<br />

a. Institusi sipil,<br />

b. Netral secara politik,<br />

c. Tidak otonom,<br />

d. Dibentuk berdasarkan undang-undang,<br />

e. Tunduk kepada hukum dan kendali demokratis,<br />

f. Memiliki anggaran yang sepenuhnya berasal dari negara,<br />

g. Bersifat akuntabel dan waspada.<br />

Sedangkan ciri-ciri intelijen yang tidak akan efektif mengejawantahkan hakekat dirinya<br />

adalah intelijen yang memiliki ciri-ciri: 14<br />

a. Institusi militeristik,<br />

b. Menjadi alat politik rezim,<br />

c. Bersifat otonom,<br />

d. Ekstra konstitusional,<br />

e. Kebal hukum,<br />

f. Tidak tunduk pada kendali demokratis,<br />

g. Dapat mencari sumber dana sendiri di luar anggaran negara,<br />

h. Tanpa pengawasan yang efektif.<br />

Dalam rangka untuk menghadapi ancaman terhadap keamanan nasional dan untuk<br />

menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan (abuse of power), maka<br />

intelijen pada sebuah negara demokratis harus tunduk kepada kode etik intelijen yang<br />

menegaskan prinsip-prinsip etis, antara lain: 15<br />

1. Kesetiaan pada negara dan konstitusi<br />

2. Kepatuhan pada hukum dan tunduk pada aturan main<br />

3. Menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi<br />

4. Penghormatan atas hak asasi manusia (HAM) khususnya pada non-derogable rights,<br />

5. Sumpah untuk menjaga kerahasiaan<br />

6. Integritas yang tinggi kepada publik dalam melaksanakan tugasnya secara efektif dan<br />

efisien<br />

12 Intelligence in a Constitutional Democracy: Final Report to the Minister for Intelligence Services MR Ronnie<br />

Kasrils MP- South Africa. Diakses dari http://www.mg.co.za/uploads/final-report-september-2008-615.pdf<br />

13 David L, Carter Op.Cit, hlm 13-14 dan juga lihat laporan penelitian Imparsial, Perebutan Kuasa intelijen,<br />

Imparsial, 2010.<br />

14 Ibid<br />

15 Andi W., Cornelis L. Makmur K, Op.Cit, hlm 99-102<br />

5


7. Memiliki objektivitas dan tidak bias dalam mengevaluasi informasi<br />

8. Memiliki komitmen untuk mempromosikan terbangunnya rasa saling percaya antara<br />

pengambil kebijakan dan intelijen<br />

9. Tidak melakukan tindakan represif dan tidak melaksanakan fungsi polisi ataupun<br />

tindakan pemeriksaan<br />

10. Netral secara politik; tidak mempengaruhi dan dipengaruhi oleh partai politik, aparat<br />

negara, individu, kelompok, media, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lembagalembaga<br />

perekonomian untuk tujuan di luar kewenangannya<br />

11. Tidak bekerja atas dasar sentimen ras, agama, ideologi kelompok atau karena<br />

keanggotaannya di dalam suatu organisasi<br />

12. Tidak menyalahgunakan kewenangannya dan menghindarkan penggunaan dana<br />

publik secara semena-mena<br />

Dengan kata lain, intelijen harus tunduk pada prinsip demokrasi dan HAM, yang<br />

dilaksanakan secara cepat dan akurat (velox et exactus) berdasarkan kewenangan yang telah<br />

diatur secara jelas dan tegas secara hukum, serta didasarkan pada mekanisme otorisasi di<br />

dalam pelaksanaannya. Lebih jauh lagi ke dalam tataran operasional, maka terdapat beberapa<br />

prinsip di dalam pengaturan intelijen yang harus mendasari kegiatan intelijen pada sebuah<br />

negara demokratis yang meliputi: 16<br />

Pertama, prinsip transparansi vs. kerahasiaan. Transparansi di dalam segala administrasi dan<br />

kegiatan suatu lembaga di negara demokrasi merupakan suatu hal yang sangat penting.<br />

Namun, dalam rangka keefektifan kegiatan intelijen maka akan ada beberapa bagian dan<br />

aktivitas yang sensitif yang harus dirahasiakan. Secara umum, terdapat beberapa bagian yang<br />

disepakati untuk dirahasiakan antara lain:<br />

1. Seluruh informasi yang terkait dengan tindakan operasional, sumber, metodologi,<br />

prosedur dan sarana<br />

2. Personel yang terkait (anggota) dan pengamanan terhadap pengetahuan dan informasi<br />

yang dimilikinya<br />

3. Sumber dan rincian informasi bagi intelijen yang diberikan oleh pemerintah ataupun<br />

sumber asing lainnya.<br />

Kedua, prinsip pemisahan intelijen domestik dan asing. Pemisahan ini didasarkan pada<br />

perbedaan misi dan payung hukum di antara keduanya. Intelijen domestik umumnya<br />

memiliki misi untuk memperoleh, menghubungkan dan mengevaluasi informasi yang<br />

berkaitan dengan keamanan internal suatu negara. Sementara intelijen asing pada umumnya<br />

berkaitan dengan keamanan eksternal untuk tujuan peringatan terhadap pengambil kebijakan.<br />

Payung hukum yang digunakan untuk intelijen domestik adalah peraturan perundangundangan<br />

yang dibuat oleh negara tersebut. Sementara untuk intelijen asing, mereka<br />

mengikuti peraturan perundangan yang dimiliki oleh negara dimana mereka ditempatkan,<br />

walaupun terdapat peraturan negara asal mereka khusus mengenai aturan main intelijen asing<br />

mengenai apa yang dapat dan tidak dapat mereka lakukan.<br />

Ketiga, prinsip pemisahan intelijen domestik dengan penegakan hukum. Secara fundamental<br />

tujuan penegakan hukum dan intelijen berbeda, penegakan hukum adalah melakukan<br />

eksekusi dan pembuktian ke dalam suatu kasus kriminal yang spesifik. Sementara intelijen<br />

bertujuan untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Selain itu, pada dasarnya<br />

16 Geneva Centre for Democratic Control of Armed Forces, Switzerland: Intelligence Services and Democracy.<br />

Diakses dari http://www.dcaf.ch/_docs/WP13.pdf<br />

6


intelijen tidak turut melakukan eksekusi terhadap suatu tindak kriminal, karena hal ini akan<br />

berdampak kepada melemahnya kapabilitas intelijen untuk mengumpulkan informasi lebih<br />

jauh, dimana hal ini merupakan tugas utama intelijen.<br />

Keempat, prinsip Civil or Military Lead? Hasil terbaik dari kinerja intelijen adalah yang<br />

berdasarkan perspektif dan analisis oleh sipil dan militer. Namun di dalam negara demokrasi<br />

pemegang kekuasaan secara politis pada bidang intelijen adalah tugas sipil.<br />

Selain prinsip-prinsip dari pengaturan kegiatan intelijen itu sendiri, intelijen juga terkait<br />

dengan lembaga-lembaga pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dalam mengawasi<br />

aktivitas intelijen, sebagai berikut: 17<br />

Eksekutif Legislatif Yudikatif<br />

- Pengawasan anggaran<br />

intelijen<br />

- Di beberapa negara,<br />

terdapat badan khusus<br />

yang melakukan<br />

pengawasan terhadap<br />

kegiatan intelijen<br />

apabila terdapat<br />

kejanggalan atau<br />

pelanggaran, yang<br />

disertai mekanisme<br />

yang demokratis<br />

dengan tetap<br />

menjamin prinsip<br />

kerahasiaan kegiatan<br />

intelijen itu sendiri. 18<br />

- Menetapkan persyaratan<br />

dan prioritas intelijen<br />

- Meninjau program<br />

intelijen, proposal<br />

anggaran dan alokasi<br />

- Melakukan pemeriksaan<br />

berkala atas produk<br />

intelijen<br />

- Mengevaluasi kualitas<br />

produk intelijen<br />

- Mengembangkan<br />

pedoman kebijakan untuk<br />

memastikan kualitas<br />

intelijen<br />

- Memenuhi perubahan<br />

kebutuhan intelijen<br />

- Membuat laporan tahunan<br />

- Membuat rekomendasi<br />

mengenai kendala dalam<br />

intelijen<br />

- Menerima dan mempertimbangkan<br />

laporan dari lembaga intelijen.<br />

- Memberikan laporan kepada pihak<br />

yang bertanggungjawab (Menteri,<br />

Presiden, Perdana Menteri, dll)<br />

mengenai tanggapan terhadap<br />

laporan intelijen dan apabila<br />

kegiatan intelijen menimbulkan<br />

pertanyaan legalitas<br />

- Menginformasikan terhadap pihak<br />

yang bertanggung jawab mengenai<br />

keputusan-keputusan hukum yang<br />

mempengaruhi operasional badan<br />

intelijen.<br />

- Membuat dan menyetujui<br />

prosedur 19 dalam pelaksanaan<br />

kegiatan intelijen untuk<br />

memastikan kepatuhan terhadap<br />

hukum, perlindungan hak-hak<br />

konstitusional dan privasi<br />

17 Ibid.<br />

18 Parlemen harus dapat dipercaya oleh intelijen dan masyarakat untuk melaksanakan pengawasan ini. Selain itu<br />

pihak oposisi yang berada di dalam parlemen juga harus dilibatkan di dalam badan/lembaga pengawasan<br />

intelijen yang berada di bawah parlemen.<br />

19 Prosedur ini juga harus memastikan bahwa prinsip penggunaan, penyebaran dan penyimpanan informasi yang<br />

diperoleh melalui kegiatan intelijen terbatas pada yang diperlukan untuk mencapai tujuan pemerintah.<br />

7


BAB III<br />

SEKILAS SEJARAH PENGATURAN INTELIJEN DI INDONESIA<br />

Keberadaan intelijen di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, bahkan sebelum<br />

kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, intelijen dilakukan secara sederhana oleh<br />

kekuatan perjuangan kemerdekaan yang pada umumnya memanfaatkan masyarakat umum<br />

untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Pada masa penjajahan Belanda, telah dibentuk<br />

Dinas Reserse Umum terpisah dari Dinas Polisi Umum. Tugas utama Dinas Reserse Umum<br />

bukan mengumpulkan informasi kriminal, tetapi memata-matai kegiatan politik organisasi<br />

pergerakan nasional. Dari sisi keorganisasian, cikal-bakal intelijen dibentuk pada masa<br />

pendudukan Jepang tahun 1943. Pada masa itu Jepang mendirikan versi lokal lembaga<br />

intelijen yang terkenal dengan sebutan Sekolah Intelijen Militer Nakano. Fungsi intelijen<br />

diemban oleh Kempetai dan Tokko-koto (Bagian Spesial). 20<br />

Awal memasuki masa kemerdekaan, keberadaan intelijen di Indonesia dibutuhkan untuk<br />

menghadapi ancaman penjajahan kembali dan mempertahankan kemerdekaan. Pada masa<br />

tersebut yang berperan besar adalah tokoh-tokoh intelijen yang pernah dididik Jepang di<br />

Kempetai dan Tokko-koto, antara lain Zulkifli Lubis dan R. Moch. Oemargatab.<br />

Dalam perkembangannya, intelijen sering mengalami perubahan baik dari sisi nama maupun<br />

kelembagaan. Namun dari awal kemerdekaan hingga saat ini, intelijen belum pernah<br />

memiliki legalitas perundang-undangan yang demokratis. Setiap lembaga intelijen memang<br />

dibentuk secara legal, namun dasar pembentukannya hanya berupa keputusan, surat<br />

penugasan, atau peraturan setingkat Peraturan Presiden. Dasar pembentukan itupun hanya<br />

berisi ketentuan tentang tugas pokok dan fungsi yang bersifat umum. Dengan demikian<br />

intelijen yang merupakan salah satu institusi yang menjalankan fungsi keamanan sebagai<br />

barang publik, belum pernah melibatkan publik dalam pembentukan dan pengaturannya.<br />

Institusi intelijen hingga saat ini belum memenuhi asas profesionalisme dan pengorganisasian<br />

kelembagaan yang demokratis. 21<br />

Di awal kemerdekaan bangsa Indonesia orientasi segenap kekuatan nasional adalah untuk<br />

mempertahankan kemerdekaan, baik dari upaya Belanda untuk kembali menjajah Indonesia<br />

maupun untuk mendapatkan pengakuan internasional. Upaya Belanda menjajah kembali<br />

dilakukan secara fisik dengan agresi militer yang dihadapi dengan perlawanan bersenjata.<br />

Dalam kondisi tersebut diperlukan adanya badan intelijen sehingga pada bulan September<br />

1945 dibentuk Badan Istimewa (BI) 22 atas inisiatif Zulkifli Lubis. Dengan kondisi serba<br />

terbatas serta ancaman penjajahan kembali, BI menjalankan fungsi baik sebagai intelijen<br />

nasional maupun intelijen tempur. Dalam pelaksanaan tugas intelijen, BI lebih merupakan<br />

intelijen militer karena memanfaatkan jaringan tentara yang tersebar di berbagai wilayah.<br />

20<br />

Muradi, Intelijen <strong>Negara</strong> dan Intelijen Keamanan: Perspektif Kepemimpinan Politik dan Efektifitas<br />

Organisasi, dalam Andi Widjajanto (ed), <strong>Negara</strong>, Intel, dan Ketakutan, (Jakarta: Pacivis UI, 2006), hlm. 70-71.<br />

21 Ibid, hlm. 68.<br />

22 Beberapa sumber menyebut dengan istilah Dewan Istimewa. Lihat John Helmi Mempi-Umar Abduh, Sejarah<br />

Dinas Intelijen Indonesia, http://swaramuslim.net/galery/more.php?id=A5783_0_18_0_M, (Diakses 1 Juni<br />

2010).<br />

8


Dalam keterbatasannya, BI telah dimanfaatkan oleh negara sebagai penyuplai informasi<br />

untuk mengambil keputusan, khususnya oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Namun karena<br />

ketiadaan legalitas organisasi dan koordinasi, BI dalam perkembangannya tidak dapat<br />

dikontrol oleh Presiden Soekarno, bahkan menjadi bagian dari konflik elit antara Soekarno<br />

dan Sjahrir. Kondisi intelijen sebagai bagian dari konflik elit kekuasaan ini menjadi warna<br />

dominan sepanjang Orde Lama. Konflik inilah yang menjadi dasar utama dalam perubahanperubahan<br />

institusi intelijen pada masa Orde Lama.<br />

Pada 7 Mei 1946 dibentuk Badan Rahasia <strong>Negara</strong> Indonesia (BRANI) tetap di bawah<br />

kepemimpinan Zulkifli Lubis yang diharapkan menjadi lembaga intelijen payung yang<br />

membawahi berbagai organisasi intelijen. Namun demikian, Zulkifli Lubis tetap<br />

menghendaki BRANI sebagai organisasi di bawah kontrol militer, apalagi untuk menghadapi<br />

agresi militer Belanda pasca-kekalahan Jepang. Pembentukan BRANI ternyata tidak<br />

menghilangkan konflik, justru memperkuat konflik antara Sjahrir yang mengutamakan<br />

diplomasi dengan kelompok militer. 23<br />

Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk lembaga intelijen baru yang murni sipil,<br />

yaitu Lembaga Pertahanan B. Militer yang masih menginginkan dominasi di dalam intelijen<br />

mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk membubarkan BRANI dan menggantinya<br />

dengan Bagian V yang menjadi koordinator operasi intelijen nasional. Soekarno memberikan<br />

persetujuan pembentukan Bagian V yang dilegalisasi dengan Keputusan Menteri Pertahanan<br />

No. A/126/1947 tanggal 30 April 1947 sekaligus menjadi dasar dari fusi berbagai institusi<br />

intelijen. Namun perubahan ini tetap tidak mampu mewujudkan organisasi intelijen yang<br />

profesional. Sebaliknya, organisasi intelijen tetap merupakan kepanjangan dari konflik para<br />

elit politik.<br />

Di lingkungan kepolisian, pada awal 1946 dibentuk kekuatan intelijen untuk mengatasi<br />

gangguan keamanan karena dinamika politik masyarakat saat itu, sehingga dibentuk satuan<br />

Pengawasan Aliran <strong>Masyarakat</strong> (PAM) yang dipimpin oleh R. Moch. Oemargatab. Tugas<br />

Pokok PAM adalah mengawasi semua aliran dan kegiatan atau tujuan seseorang maupun<br />

golongan di Indonesia atau yang datang dari luar yang dianggap dapat membahayakan<br />

negara, serta membantu kegiatan yang menyentausakan negara dan keamanan Indonesia, dan<br />

tugas riset analisis lainnya. 24<br />

Bersamaan dengan perubahan kedudukan Djawatan Kepolisian Nasional (DKN) pada 1949,<br />

terjadi pula perubahan fungsi PAM yang lebih spesifik. Berdasarkan Surat Kepala Kepolisian<br />

<strong>Negara</strong> No. Pol.68/Staf/PAM tanggal 22 September 1949, tugas pokok PAM adalah:<br />

1. Mengawasi aliran-aliran politik, pergerakan-pergerakan buruh, wanita, pemuda, dan<br />

lain-lain;<br />

2. Mengawasi aliran agama, ketahayulan, kepercayaan-kepercayaan lain dan lain<br />

sebagainya;<br />

3. Mengawasi pendapat umum dalam pers, radio dan masyarakat (pergaulan umum dari<br />

segala lapisan masyarakat/rakyat);<br />

4. Mengawasi kebudayaan, pertunjukan-pertunjukan bioskop dan kesusastraan;<br />

5. Mengawasi pergerakan sosial, yakni soal-soal kemasyarakatan yang timbul karena<br />

kurang sempurnanya susunan masyarakat, cara mengerjakan anak-anak dan<br />

perempuan, perdagangan anak, pelacuran, pemberantasan pemadatan, perdagangan<br />

23 Muradi, Op. Cit., hlm. 74.<br />

24 Kunarto, Intelijen Polri, (Jakarta: Cipta Manunggal, 2001), hlm. 7, dalam Ibid., hlm. 77.<br />

9


minuman keras, pemeliharaan orang-orang terlantar lainnya. Semuanya dilihat dari<br />

sisi politik polisionil teknis;<br />

6. Mengawasi keadaan ekonomi, soal-soal yang timbul karena kurang sempurnanya<br />

susunan ekonomi;<br />

7. Mengawasi bangsa asing, terutama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa<br />

politik di luar negeri yang dapat mempengaruhi masyarakat/bangsa asing di<br />

Indonesia;<br />

8. Mengawasi gerak-gerik mata-mata musuh, dan pergerakan/tindakan ilegal yang<br />

menentang/membahayakan pemerintah.<br />

Dalam perkembangannya, Bagian PAM berubah menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan<br />

<strong>Negara</strong> (DPKN) berdasarkan Keputusan No.: Pol.4/2/28/UM tanggal 13 Maret 1951. Di<br />

samping tugas yang telah diemban sejak bernama PAM, DPKN juga mendapatkan tugas<br />

untuk:<br />

a. Melakukan penjagaan terhadap keselamatan Presiden dan Wakil Presiden serta<br />

pejabat tinggi negara; dan<br />

b. Melakukan penjagaan terhadap tamu negara dan perwakilan negara lain.<br />

Sementara itu, intelijen tempur menegaskan keberadaannya pada awal tahun 1952 dengan<br />

dibentuknya Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP) oleh Kepala Staf Angkatan<br />

Perang T.B. Simatupang. Namun demikian BISAP ternyata juga dilatarbelakangi oleh<br />

keinginan militer untuk ikut serta dalam menentukan kebijakan politik nasional.<br />

Keberadaan berbagai institusi intelijen yang tidak terkoordinasi dengan baik menyebabkan<br />

konflik antar elit semakin memuncak. Presiden Soekarno yang tetap tidak memiliki kontrol<br />

atas institusi intelijen mendorong upaya pembentukan lembaga intelijen baru yang mampu<br />

mengkoordinasikan lembaga intelijen yang lain. Dibentuklah Badan Koordinasi Intelijen<br />

(BKI) pada 5 Desember 1958. Namun dalam pelaksanaannya lembaga ini juga sulit<br />

melakukan koordinasi dengan lembaga intelijen yang ada, terutama dengan lembaga intelijen<br />

militer yang saat itu memang sedang berkonflik dengan Soekarno.<br />

BKI dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1958. Fungsi utama BKI<br />

adalah mengolah, menyaring, dan mengadakan verifikasi atas semua keterangan-keterangan<br />

yang akan disampaikan kepada pemerintah. Tugas pokok BKI adalah sebagai berikut:<br />

1. Menyelenggarakan koordinasi antara badan-badan sipil dan militer yang mempunyai<br />

fungsi dan tugas intelijen;<br />

2. Mengumpulkan, mempelajari, membahas keterangan dan laporan-laporan dalam<br />

laporan intelijen;<br />

3. Menyampaikan kepada Dewan Menteri melalui Perdana Menteri hasil-hasil intelijen<br />

yang perlu guna keselamatan, kesejahteraan, dan keamanan negara.<br />

Pada saat kekuasaan Presiden Soekarno menguat pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dibentuk<br />

Badan Pusat Intelijen (BPI) pada 10 November 1959. BPI dipimpin oleh Soebandrio dan<br />

bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden. BPI menjadi lembaga yang diharapkan<br />

dapat mengkoordinasikan lembaga intelijen lain, serta dapat menjadi alat Soekarno untuk<br />

menandingi kekuatan TNI, khususnya Angkatan Darat.<br />

BPI dibentuk melalui PP Nomor 8 Tahun 1959 menggantikan BKI. Fungsi utama BPI<br />

ditentukan adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban dalam negeri, pemeliharaan<br />

kelangsungan kewibawaan kekuasaan pemerintah, pemeliharaan rahasia negara, dan<br />

10


pengamanan keselamatan negara dari bahaya-bahaya yang mengancam dari luar. Sedangkan<br />

tugas BPI adalah sebagai berikut;<br />

1. Memberikan laporan kepada pimpinan dan menyelenggarakan koordinasi antara<br />

badan-badan sipil dan militer yang mempunyai tugas intelijen;<br />

2. Mengumpulkan, mempelajari, membahas, dan menilai keterangan-keterangan dan<br />

laporan dalam laporan intelijen;<br />

3. Menyampaikan kepada Perdana Menteri/Presiden/Panglima Tertinggi angkatan<br />

Perang, hasil-hasil intelijen yang perlu guna keselamatan, kesejahteraan, dan<br />

keamanan negara.<br />

BPI ternyata kemudian banyak terlibat dalam konflik antara Soekarno dengan TNI. BPI<br />

melakukan berbagai upaya penggalangan massa bekerjasama dengan kekuatan politik kiri,<br />

berhadapan dengan intelijen militer yang memanfaatkan jaringan CIA. Konflik ini ikut<br />

meruncingkan konflik hingga jatuhnya Soekarno pada tahun 1965. 25<br />

Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, intelijen kepolisian juga mengalami perubahan menjadi<br />

Korps Polisi Dinas Security berdasarkan Order Kepala Kepolisian <strong>Negara</strong> No. 37/4/1960<br />

tanggal 4 Juni 1960. Adapun tugas Korps Polisi Dinas Security adalah:<br />

1. Mengatur pelaksanaan security intelijen;<br />

2. Mengatur pelaksanaan pengumpulan, penyusunan, penilaian dan pengolahan bahanbahan<br />

informasi mengenai persoalan-persoalan dalam masyarakat untuk menentukan<br />

kebijaksanaan dalam rangka kepentingan keamanan nasional;<br />

3. Menyelesaikan masalah-masalah tentang persoalan-persoalan dalam masyarakat<br />

termasuk dalam poin 2 di atas, yang tidak dapat diselesaikan oleh pihak Kepolisian<br />

Komisariat atau yang meliputi lebih dari satu daerah Kepolisian Komisariat;<br />

4. Memberi pimpinan dalam penjagaan keselamatan orang-orang penting dan<br />

perwakilan kenegaraan dalam kerjasama dengan instansi-instansi yang bersangkutan,<br />

yang tidak dapat diselesaikan oleh Kepolisian Komisariat atau yang meliputi lebih<br />

dari satu Kepolisian Komisariat.<br />

Pada tahun 1964, Korps Polisi Dinas Security berubah menjadi Direktorat Intelijen dan<br />

Security Departemen Angkatan Kepolisian. Berdasarkan Surat Keputusan No. Pol:<br />

11/SK/MK/1964 tanggal 14 Februari 1964 tugas Direktorat Intelijen dan Security adalah<br />

sebagai berikut:<br />

1. Tugas Umum: Menciptakan ketertiban dan ketentraman lahir dan batin untuk menuju<br />

masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur, tata tentrem kerta raharja, serta<br />

mengamankan/menyelamatkan dan aktif merealisasikan amanat penderitaan rakyat,<br />

sesuai dengan kerangka tujuan revolusi nasional.<br />

2. Tugas Khusus: Menjalankan tugas yang bersifat preventif dan represif dengan cara<br />

positif dan aktif di bidang intelijen dan security.<br />

Terjadinya pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto tidak membawa perubahan yang<br />

berarti terhadap institusi intelijen yang ada. Perbedaan utama antara kedua periode tersebut<br />

adalah jika pada masa Soekarno institusi-institusi intelijen menjadi bagian dari konflik elit<br />

yang tidak dapat dikoordinasikan, pada masa Soeharto intelijen mutlak berada sepenuhnya di<br />

bawah Soeharto dan sangat dimanfaatkan untuk kepentingan Presiden Soeharto. Kekuasaan<br />

mutlak tersebut menjadikan Soeharto sebagai titik sentral lingkaran komunitas intelijen.<br />

Namun demikian, keberadaan intelijen tetap bersifat ekstra konstitusional dan ekstra yudisial,<br />

25 Ibid., hlm. 83.<br />

11


demikian pula kekuasaan yang dimiliki sehingga merupakan cermin dunia “hitam” intelijen<br />

di negara-negara otoriter.<br />

Di awal masa kekuasaannya, Soeharto segera menyatukan kekuatan bersenjata dengan<br />

memasukkan Polri sebagai bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)<br />

dengan maksud untuk mengukuhkan kontrolnya serta menjaga agar tidak dimanfaatkan oleh<br />

kelompok anti pemerintah. BPI sebagai lembaga koordinasi antar institusi intelijen pun<br />

dibubarkan dan diganti menjadi lembaga yang lebih berwatak militer, yaitu Komando<br />

Intelijen <strong>Negara</strong> (KIN).<br />

KIN dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1966, tanggal 22 Agustus 1966<br />

dipimpin oleh Brigjen. Yoga Sugomo sebagai kepala yang langsung bertanggung jawab<br />

kepadanya. KIN juga memiliki Operasi Khusus (Opsus) di bawah Letkol. Ali Moertopo<br />

dengan asisten Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani dan Aloysius Sugiyanto<br />

Tugas pokok KIN adalah melaksanakan segala kegiatan intelijen negara RI demi keselamatan<br />

dan keamanan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia. Sedang fungsi utamanya adalah<br />

mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan intelijen politik, ekonomi, sosial budaya,<br />

teknologi, militer keamanan dalam negeri dan luar negeri, menyelenggarakan riset dan<br />

analisis masalah dan pengalaman secara ilmiah, menyelenggarakan dokumentasi dan filing<br />

intelijen, dan menyelenggarakan koordinasi dan integrasi kegiatan dan operasi intelijen dari<br />

badan-badan intelijen departemen dan lembaga-lembaga serta melakukan fungsi-fungsi<br />

pengawasan.<br />

Pada tahun 1967 KIN berubah menjadi Badan Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong> (BAKIN),<br />

tepatnya pada 22 Mei 1967 Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 1967.<br />

Kepala BAKIN yang pertama adalah Soedirgo yang menjabat 1966-1968. Tugas pokok<br />

BAKIN adalah membantu presiden dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah negara<br />

dibidang intelijen, dan membantu presiden mengamankan pelaksanaan kebijaksanaan<br />

pemerintah negara. Sedang fungsi utamanya:<br />

1. Menyelenggarakan operasi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen<br />

dalam dan luar negeri;<br />

2. Menyelenggarakan koordinasi intelijen dan pembinaan teknis terhadap kegiatan dan<br />

operasi intelijen yang dilakukan oleh badan-badan intelijen di luar BAKIN;<br />

3. Pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas-tugas intelijen; dan<br />

merumuskan kebijakan intelijen.<br />

BAKIN menjadi lembaga koordinasi intelijen yang sangat hegemonik serta menjadi<br />

kepanjangan tangan penguasa untuk melakukan operasi-operasi ekstra konstitusional dan<br />

ekstra yudisial. Operasi tersebut dilakukan dengan menggunakan jaringan militer yang ada di<br />

daerah-daerah. 26<br />

Pada masa Mayjen. Sutopo Juwono, Bakin memiliki Deputi II di bawah Kolonel Nicklany<br />

Soedardjo, perwira Polisi Militer (POM) lulusan Fort Gordon, AS. Sebenarnya di awal 1965<br />

Nicklany menciptakan unit intel PM, yaitu Detasemen Pelaksana Intelijen (Den Pintel) POM.<br />

Secara resmi, Den Pintel POM menjadi Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel), tahun 1976<br />

menjadi Satuan Pelaksana (Satlak) Bakin dan di era 1980-an kelak menjadi Unit Pelaksana<br />

(UP) 01.<br />

26 Ibid., hlm. 89.<br />

12


Mulai tahun 1970 terjadi reorganisasi BAKIN dengan tambahan Deputi III pos Opsus di<br />

bawah Brigjen. Ali Moertopo. Sebagai inner circle Soeharto, Opsus dipandang paling<br />

prestisius di BAKIN, mulai dari urusan domestik Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian<br />

Barat dan kelahiran mesin politik Golongan Karya (Golkar) sampai masalah Indocina.<br />

Tahun 1983, sebagai Wakil Kepala BAKIN, L.B. Moerdani memperluas kegiatan intelijen<br />

dengan menegaskan keberadaan intelijen militer, yaitu Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat)<br />

yang kemudian berubah menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS). Selanjutnya Bakin tinggal<br />

menjadi sebuah direktorat kontra-subversi dari Orde Baru. BAIS memainkan peran sentral<br />

intelijen dengan jaringan lengkap dari Kodam hingga Koramil dan perwakilan di luar negeri.<br />

BAKIN dan BAIS memainkan peran utama komunitas intelijen dan meminggirkan intelijen<br />

Polri sepanjang Orde Baru. Polri dan Intelijen Polri menjadi subordinat terhadap institusi<br />

militer.<br />

Pada saat institusi sektor keamanan lain telah melakukan perubahan di era reformasi, institusi<br />

intelijen baru mengalami perubahan pada tahun 2000. BAKIN berubah menjadi Badan<br />

Intelijen <strong>Negara</strong> (BIN). BIN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun<br />

2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja<br />

Lembaga Pemerintah Non Departemen.<br />

Keppres Nomor 166 Tahun 2000 menyatakan bahwa BIN mempunyai tugas melaksanakan<br />

tugas pemerintahan di bidang intelijen. Dalam melaksanakan tugas tersebut, BIN<br />

menyelenggarakan fungsi:<br />

a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen;<br />

b. Penyampaian produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan<br />

kebijakan Pemerintah;<br />

c. Perencanaan dan pelaksanaan operasi intelijen di bidangnya;<br />

d. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BIN;<br />

e. Pelancaran dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang intelijen;<br />

f. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan<br />

umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan,<br />

persandian, perlengkapan, dan rumah tangga.<br />

Dalam menyelenggarakan fungsi dimaksud BIN mempunyai kewenangan:<br />

a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;<br />

b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro;<br />

c. Kewenangan lain yang melekat dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan<br />

peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu:<br />

1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang intelijen; dan<br />

2. Pengaturan Sistem Intelijen Nasional dan sistem pengamanan pimpinan<br />

nasional di bidang intelijen.<br />

Pada masa reformasi perubahan-perubahan organisasi BIN dilakukan berdasarkan instruksi<br />

atau keputusan Presiden. Perubahan antara lain dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden<br />

Nomor 5 Tahun 2002 dan diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2004<br />

tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja<br />

Lembaga Pemerintahan Non Departemen. Tugas utama BIN adalah untuk<br />

mengkoordinasikan komunitas intelijen lainnya. Namun perubahan nama ini hanya bersifat<br />

penegasan dari peran dan fungsi BAKIN.<br />

13


Selain itu juga terdapat pengaturan organisasi BIN yang lain. Keputusan Presiden Nomor 62<br />

Tahun 2003, menentukan bahwa BIN terdiri dari 7 Deputi dan Staf Ahli. Keputusan Presiden<br />

Nomor 9 Tahun 2004, BIN dimungkinkan membentuk pos wilayah dan kelompok kerja.<br />

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2002, BIN berwenang mengkoordinasikan kegiatan<br />

pelaksanaan intelijen instansi pemerintah. Penetapan Presiden Nomor 52 Tahun 2005, BIN<br />

terdiri dari 5 Deputi, Sekretaris Utama, Inspektorat Utama, dan 5 Staf Ahli. Kedudukan<br />

kepala BIN berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan BIN<br />

mengkoordinasikan kegiatan pelaksanaan intelijen instansi pemerintah.<br />

Persoalan mengenai payung hukum bagi pelaksanaan kegiatan intelijen ternyata dapat<br />

berdampak pada persoalan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Konflik komunal yang<br />

terjadi pada masa awal reformasi dan kegiatan terorisme yang terjadi di Indonesia merupakan<br />

tantangan yang harus dihadapi oleh BIN. Pada saat itu, BIN dihadapkan pada dua tantangan<br />

utama yaitu melakukan tugas intelijen dalam memberi informasi yang tepat pada aparat<br />

penegak hukum Indonesia tanpa mengabaikan kaidah-kaidah hak asasi manusia.<br />

Dengan kedudukan tersebut BIN mempunyai beberapa kewenangan:<br />

a) Mengumpulkan, menganalisa serta menyajikan informasi intelijen baik dalam maupun<br />

luar negeri;<br />

b) Menciptakan situasi dan kondisi yang aman bagi negara;<br />

c) Memberikan saran kepada Presiden berkaitan dengan aspek keamanan;<br />

d) Mengkoordinasi operasional intelijen seluruh instansi intelijen yang ada.<br />

Dalam menjalankan kewenangan itu, organisasi BIN dibagi dalam lima (5) sektor yang<br />

dipimpin oleh seorang deputi dengan rincian (Gambar 1):<br />

a. Deputi I membidangi luar negeri dan organisasi internasional<br />

b. Deputi II membidangi politik dalam negeri dalam bentuk pengumpulan data dan<br />

pengamanan<br />

c. Deputi III menangani dan memproduksi data-data yang dikumpulkan oleh Deputi I,<br />

II, dan IV<br />

d. Deputi IV membidangi pengamanan dan kontra intelijen<br />

e. Deputi V membidangi penggalangan dan propaganda<br />

Kepala BIN &<br />

waka BIN<br />

Sekretaris<br />

Utama<br />

Staf Ahli<br />

DEPUTI I DEPUTI II DEPUTI III<br />

DEPUTI IV<br />

DEPUTI V<br />

Gambar 1. Struktur Badan Intelijen <strong>Negara</strong> (BIN)<br />

14


Intelijen kepolisian juga mengalami perubahan di masa Reformasi dan bernama Badan<br />

Intelijen Keamanan Polri. Orientasi utama badan intelijen ini adalah pada intelijen keamanan.<br />

Ketentuan yang mengatur Intelkam Polri adalah Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 2002<br />

tentang Organisasi Tata Kerja Kepolisian <strong>Negara</strong> Republik Indonesia. Pasal 21 Keppres<br />

Nomor 70 Tahun 2002 menentukan:<br />

a. Badan Intelijen Keamanan Polri, disingkat Baintelkam adalah unsur pelaksana utama<br />

pusat bidang intelijen keamanan di bawah Polri.<br />

b. Baintelkam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam bidang<br />

keamanan bagi kepentingan tugas operasional dan manajemen Polri maupun guna<br />

mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan<br />

Keamanan Dalam Negeri.<br />

Pada umumnya fungsi dan tugas Baintelkam sama seperti badan intelijen pada umumnya<br />

yaitu sebagai pengumpul informasi dalam usaha pencegahan dari ancaman terhadap<br />

kepentingan nasional yang ada dibawah Kapolri. Mengenai wilayah operasional dari<br />

Baintelkam, lembaga ini memiliki tugas untuk menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri<br />

(struktur Baintelkam lihat Gambar 2).<br />

Secara spesifik fungsi Baintelkam antara lain adalah; pertama, penyelenggaraan kegiatan<br />

operasional intelijen keamanan guna terselenggaranya deteksi dini (early protection) dan<br />

peringatan dini (early warning). Kedua, penyelenggaraan dan pembinaan fungsi pelayanan<br />

administrasi, persandian, dan intelijen teknologi termasuk pelaksanaannya dalam mendukung<br />

fungsi-fungsi operasional intelijen lainnya. Ketiga, penyelenggaraan dokumentasi dan<br />

penganalisaan terhadap perkembangan lingkungan strategis serta penyusunan produk intelijen<br />

baik untuk kepentingan pimpinan maupun untuk mendukung kegiatan operasional intelijen.<br />

Keempat, penyelenggaraan kegiatan intelijen terhadap masalah-masalah yang memiliki<br />

dampak politis dan strategis melalui satuan tugas khusus.<br />

Unsur Pimpinan<br />

KABAINTELKAM<br />

WAKA<br />

ROANALIS<br />

RORENMIN<br />

Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf<br />

BID YANMIN BID SANDI BID INTELTEK<br />

Unsur Pelaksana Staf Khusus/Teknis<br />

DIT<br />

SATGASUS<br />

Unsur Pelaksana Utama<br />

Gambar 2. Struktur Organisasi Baintelkam<br />

15


Lebih lanjut, lembaga intelijen yang dimiliki oleh militer Indonesia adalah BAIS.<br />

Terbentuknya BAIS tidak akan pernah terlepas dari peran L.B Moerdani yang pada tahun<br />

1980-an diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia oleh Soeharto.<br />

Ketika menjadi panglima ABRI, Moerdani mulai membangun BAIS yang memiliki jaringan<br />

internasional dengan penempatan atase pertahanan di berbagai negara. Dengan dukungan<br />

anggaran yang besar serta jaringan kerja di dalam dan luar negeri, BAIS menjadi lembaga<br />

intelijen yang menonjol dan mengungguli badan intelijen lainnya di Indonesia.<br />

Walaupun BAIS bukan merupakan satu-satunya organisasi intelijen di dalam organisasi TNI,<br />

namun BAIS adalah organisasi intelijen yang paling menonjol karena diberi tanggung jawab<br />

oleh Mabes (Markas Besar) TNI untuk untuk menjalankan fungsi intelijen di dalam tubuh<br />

militer. Pada tahun 1980, Pusinteltrat dan Satgas Inte Kopkamtib dilebur menjadi Badan<br />

Intelijen ABRI (BIA). Namun pada tahun 1986 keadaan BIA diubah menjadi BAIS untuk<br />

menjawab segala tantangan strategis di Indonesia.<br />

BAIS dalam mengumpulkan informasi serta melakukan tugas intelijen dapat dikatakan efektif<br />

secara operasional, antara lain karena didukung oleh ruang lingkup kerja dari BAIS yang<br />

cukup luas baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Dari luar negeri, pasokan informasi<br />

BAIS diperoleh dari atase pertahanan atau militer, yang penunjukkannya atas dasar dari<br />

BAIS. Dari lingkup domestik, informasi yang didapat BAIS berasal dari jalur struktur<br />

teritorial atau Komando Daerah Militer (Kodam). BAIS sebagai badan intelijen militer pada<br />

tingkat operasional bertanggung jawab langsung kepada Panglima TNI atau Mabes TNI.<br />

Struktur organisasi yang dimiliki BAIS pun memiliki perbedaan dengan dua lembaga<br />

intelijen yang disebutkan di atas (Gambar 3). BAIS membagi ruang kerja intelijen dalam 7<br />

direktorat yang dijabat oleh perwira tinggi bintang satu, yakni:<br />

Direktorat A : direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang<br />

lingkungan strategis dalam negeri<br />

Direktorat B: direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang<br />

lingkungan strategi luar negeri<br />

Direktorat C: direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang<br />

militer dan pertahanan<br />

Direktorat D: direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang<br />

pengamanan<br />

Direktorat E : direkturnya dijabat Pati bintang satu yang bertanggungjawab di bidang<br />

penggalangan<br />

Direktorat F : direkturnya Pati bintang satu bertanggungjawab di bidang administrasi<br />

dan personel<br />

Direktorat G: direkturnya Pati bintang satu bertanggungjawab menyajikan produkproduk<br />

intelijen kepada kepala BAIS dan Panglima TNI. 27<br />

Komandan Satuan Intelijen dijabat Pati bintang satu yang bertanggung jawab tentang<br />

perencanaan dan kegiatan intelijen<br />

\<br />

27 Angel Rabasa – John Haseman, The Military and Democracy in Indonesia – Challenges, Politics, and Power,<br />

RAND, Santa Monica, 2002, hlm.32. dan sumber-sumber lainnya.<br />

16


Kepala<br />

Wakil Kepala<br />

DIR A<br />

DIR B<br />

DIR C<br />

DIR D<br />

DIR E<br />

DIR F<br />

DIR G<br />

Dansat<br />

intel<br />

Dansat<br />

intel tek<br />

Dansat<br />

induk<br />

Kadis<br />

Sandi<br />

Kaset<br />

Gambar 3. Struktur Organisasi BAIS<br />

17


BAB IV<br />

EVALUASI KINERJA INTELIJEN DI INDONESIA<br />

4.1 Masa Orde Baru<br />

Ruwetnya akuntabilitas intelijen di Indonesia dapat dimulai dari praktik-praktik kebijakan<br />

intelijen di masa lampau. Meski secara organisasional, eksistensi BIN baru terbentuk pada<br />

medio 2000, namun cikal bakal dari kerja-kerja intelijen sudah tersisip pada organisasi<br />

kemiliteran (saat itu ABRI), khususnya melalui keberadaan Komando Operasi Pemulihan<br />

Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).<br />

Meski badan negara ini (baca: Kopkamtib) memiliki Tugas, Pokok dan Fungsi (Tupoksi)<br />

pada politik keamanan domestik Indonesia, namun di bawah Kopkamtib telah banyak<br />

dilakukan serangkaian operasi-militer dan non-militer yang memiliki corak ke-intelijen-an.<br />

Pengembangan operasi-operasi intelijen dalam ranah militer juga banyak diterapkan pada<br />

operasi-operasi Satuan Gabungan Intelijen (SGI) di masa Orde Baru dan masa transisi<br />

Reformasi 1998. Biasanya kategori operasi SGI banyak diterapkan di wilayah-wilayah<br />

konflik, seperti pada masa DOM Aceh, Darurat Militer-Sipil Aceh, konflik Ambon, konflik<br />

Poso, konflik Papua dan masa Jajak Pendapat Timor Timur 1999.<br />

Lalu, mengapa praktik-praktik intelijen begitu identik dengan kegiatan militer Indonesia di<br />

masa Orde Baru dan diteruskan hingga kini? Perekrutan aparat intelijen dari unsur militer<br />

bukan sesuatu hal baru. Relasi ini bahkan dipercaya mampu memperkuat karakter intelijen<br />

militer Orde Baru, khususnya untuk menopang kekuasaan ekonomi, sosial, politik dan<br />

keamanan Indonesia saat itu.<br />

4.1.1 Kopkamtib<br />

Badan ini dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1965, pasca peristiwa September 1965.<br />

Kedaruratan dan kekacauan situasi politik Indonesia saat itu, menyebabkan negara<br />

mengambil respon cepat dengan membentuk badan yang memang semata ditujukan untuk<br />

menumpas PKI. Meski badan ini berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden<br />

serta hanya memiliki tugas pokok untuk mengawasi kegiatan eks-PKI, kelak, Kopkamtib<br />

berkembang menjadi badan yang memiliki kewenangan besar dan meluas. Badan ini diberi<br />

kewenangan untuk menangkal berbagai gerakan ekstrem, memberantas korupsi dan pungli,<br />

ikut membredel pers, menertibkan sertifikat tanah, sampai mengamankan calo di terminal<br />

bus. 28 Tupoksi Kopkamtib kemudian dirumuskan oleh Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun<br />

1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Kopkamtib.<br />

28 Secara umum, Kopkamtib memang memiliki fungsi sebagai berikut: (1) Mengkoordinasikan pelaksanaan<br />

kebijakan dalam menjaga keamanan, stabilitas dan ketertiban nasional, (2) Mencegah dan menghancurkan<br />

kegiatan subversif sisa-sisa G30S/PKI dan kelompok ekstrem lain yang mengancam keamanan dan ketertiban<br />

sosial serta yang membahayakan kesejahteraan dan integritas negara dan bangsa berdasarkan Pancasila dan<br />

UUD 1945, (3) Menghalangi pengaruh moral dan mental yang muncul dari G30S/PKI dan bentuk budaya lain<br />

yang menentang Pancasila secara moral, mental dan budaya, (4) Membina masyarakat ke arah partisipasi aktif<br />

dan bertanggung jawab dalam menjaga keamanan dan ketertiban.<br />

18


Kopkamtib adalah inti kekuasaan politik keamanan Orba. Kopkamtib membangun sistem<br />

koordinasi mulai dari Badan Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong> (BAKIN) sampai dengan badan<br />

intelijen di setiap matra ABRI. Dalam kondisi tertentu, Kopkamtib memiliki kewenangan<br />

untuk menggunakan para personel ABRI untuk melakukan tugas-tugas intelijen. 29 Namun,<br />

pada tahun 1988, Soeharto membubarkan badan ini, menggantikannya dengan Badan<br />

Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas). Sesungguhnya,<br />

Bakorstanas juga memiliki tujuan nyaris serupa dengan Kopkamtib. Bahkan, hampir seluruh<br />

staf Kopkamtib dan seluruh fungsi, peran serta tugas yang diperankan oleh Kopkamtib juga<br />

tetap dilanjutkan oleh Bakorstanas.<br />

Berikut ini adalah catatan keterlibatan peran intelijen negara, khususnya peran Kopkamtib<br />

pada serangkaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.<br />

• Kasus Penembakan Misterius (1983-1985)<br />

Penembakan misterius (Petrus) merebak pada medio 1983. Kebijakan ini digunakan<br />

pemerintah untuk “mengamankan” orang-orang yang dituduh telah meresahkan keamanan<br />

dan ketertiban umum. Terma “mengamankan” merujuk pada serangkaian tindakan<br />

mengeksekusi mati, dengan cara menembak di tempat. Sering kali mayatnya dibiarkan<br />

tergeletak di pinggir-pinggir jalan. Operasi ini terjadi nyaris di seluruh Indonesia. Biasanya<br />

mereka yang melawan langsung ditembak di tempat. Orang banyak menemukan mayat<br />

dengan luka tembak. Biasanya penemuan mayat ini terjadi pada pagi hari. Dari identifikasi<br />

korban, sebagian besar bertato.<br />

Praktik teror ini menyebar dan bertahan hingga tahun 1985. Bahkan secara terbuka,<br />

pemerintah membenarkan adanya rangkaian operasi yang berujung pada eksekusi tersebut.<br />

Istilah shock therapy digunakan sebagai pembenaran atas praktik kebijakan Petrus, dengan<br />

alasan, kebijakan ini mampu mengurangi angka tindak kriminalitas di tengah masyarakat.<br />

Meski kebijakan ini tidak mendapatkan prosedur pengawasan dan kontrol efektif dari badan<br />

legislatif dan yudisial. Perluasan kewenangan memang semata-mata dilakukan demi stabilitas<br />

politik rezim. Perluasan kewenangan ini secara siginifikan mengurangi proses penegakan<br />

hukum. Akibatnya, hadir operasi tertutup yang mengandalkan metode-metode represif.<br />

Peran Kopkamtib dalam kasus ini amatlah jelas. Panglima Kopkamtib yang saat itu dijabat<br />

Sudomo (1973-1983) mengawasi langsung jalannya Operasi Clurit. Mayjen Try Soetrisno<br />

ditunjuk sebagai Pelaksana Khusus (Laksus) Pangkopkamtib dan untuk membasmi tindak<br />

kejahatan, langsung diikuti oleh Pelaksana Khusus Daerah/Laksusda sebagai strata komando<br />

terbawah dari Pangkopkamtib di daerah-daerah untuk menggelar operasi serupa.<br />

Operasi ini dibentuk pada tanggal 19 Januari 1983. Sejatinya, operasi ini dilakukan selama<br />

sebulan, melibatkan unsur-unsur kepolisian, Laksusda dan masyarakat. Namun akhirnya<br />

ABRI juga ikut terlibat di dalam operasi tersebut. Selain bertujuan untuk memberantas tindak<br />

kriminal yang dianggap meresahkan masyarakat, operasi ini juga bertujuan untuk<br />

menciptakan rasa aman menjelang penyelenggaraan Sidang Umum MPR 1983. Mulanya<br />

operasi ini hanya diberlakukan di DKI Jakarta, namun operasi ini akhirnya dilakukan<br />

serentak di seluruh Indonesia di bawah pengawasan Kopkamtib. Terhadap para pelaku tindak<br />

kejahatan, Pangkopkamtib memberikan instruksi untuk dilakukan tindakan tembak di<br />

29 Biasanya kasus-kasus yang dikategorikan dapat menganggu stabilitas ekonomi dan politik dalam artian luas<br />

dan luar biasa, Kopkamtib mampu menggunakan kewenangan dan memerintahkan para personel ABRI terlibat<br />

dalam operasi intelijen.<br />

19


tempat. Instruksi tembak di tempat ini mendapat respon positif dari para petinggi jenderal<br />

pada jajaran Polri dan ABRI.<br />

PKI masih dijadikan ancaman laten atas stabilitas keamanan nasional. Ketakutan kepada<br />

paham komunisme ini dijadikan akar dari ketakutan terhadap tindak kriminalitas. Legitimasi<br />

keterlibatan PKI dalam peningkatan angka kriminalitas dijadikan alasan pembenar untuk<br />

dijalankannya Operasi Clurit. 30 Sebagai operasi yang direstui negara, Operasi Clurit<br />

digunakan untuk melumpuhkan: (1) Penjahat yang diklasifikasikan sebagai bagian dari<br />

kekuatan politik yang dilarang (PKI, DI/TII dan atau NII) dan memiliki potensi untuk<br />

melakukan tindak kriminal, (2) Para penjahat menggunakan metode kekerasan untuk<br />

melemahkan korbannya, (3) Tindakan para penjahat termasuk tindakan pelanggaran hukum<br />

sehingga harus dilumpuhkan.<br />

Petrus dapat dikategorikan sebagai operasi intelijen, karena operasi ini diselenggarakan<br />

secara instruktif dan fungsionil di bawah pengendalian Kopkamtib. Laksusda sebagai<br />

pelaksana operasi pemulihan keamanan dan ketertiban di daerah-daerah bertanggung jawab<br />

penuh kepada Kopkamtib. Meski operasi ini memang dibenarkan oleh pemerintah dan terjadi<br />

serempak di banyak wilayah di Indonesia, namun pelaksanaannya tetap bersifat tertutup.<br />

Hingga kini, para pelaku Petrus tidak pernah terungkap jati dirinya. Begitu pula, aparat<br />

kepolisian tidak pernah melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap kasus-kasus Petrus.<br />

Hingga kini, kita masih menunggu keluarnya hasil penyelidikan adhoc peristiwa Petrus oleh<br />

tim Komnas HAM. Penyelidikan sudah dilakukan sejak Juli 2008.<br />

• Peristiwa Tanjung Priok (1984)<br />

Laporan lengkap hasil penyelidikan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran Hak<br />

Asasi Manusia (KP3T) Tanjung Priok resmi dikeluarkan pada tanggal 12 Juni 2000. Namun,<br />

laporan penyelidikan tersebut tidak berhasil menyeret pihak-pihak yang bertanggung jawab<br />

pada peristiwa Tanjung Priok, peristiwa yang menewaskan 24 orang dan melukai 55 orang<br />

pada tanggal 12 September 1984. Dalam kesimpulannya, KP3T menerangkan bahwa telah<br />

terjadi pelanggaran HAM yang berat, terutama tetapi tidak terbatas pada pembunuhan kilat,<br />

penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penghilangan orang secara<br />

paksa.<br />

Seluruh rangkaian di atas merupakan tanggung jawab pelaku di lapangan, penanggung jawab<br />

komando operasional dan pemegang komando. 31 Masih dalam laporan tersebut, latar<br />

belakang kejadian yang muncul sebelum peristiwa 12 September 1984 adalah adanya<br />

kebijakan politik nasional dengan dikeluarkannya TAP MPR Nomor 14 Tahun 1978 tentang<br />

Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Kebijakan ini kemudian mendapat<br />

respon dari sebagian umat Islam yang melihat adanya indikasi untuk mengkerdilkan Islam<br />

dan “mengagamakan” Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat,<br />

30 Pernyataan Pangdam VII/Diponogoro Mayjen TNI Ismail,”Meningkatnya kriminalitas dimungkinkan masih<br />

aktifnya golongan ekstrem generasi kedua atau ketiga dari bekas PKI atau DII-TII”. Lihat Sinar Harapan, 11<br />

Januari 1982; Mendagri Amir Mahmud,“Terjadinya berbagai tindakan kriminal dan kejahatan yang terjadi<br />

akhir-akhir ini serta gejala politik menjelang pemilu yang lalu, Karena eks PKI ikut bermain.” Lihat Merdeka,<br />

12 Agustus 1982; Ketua MPR/DPR Amir Mahmud,”Kalau ada kejahatan yang nekat, luar biasa dan sadis, itu<br />

menurut feeling saya merupakan usaha ingin come backnya PKI. “Lihat Sinar Harapan, 22 Juli 1983.<br />

31 Lihat Ringkasan Eksekutif Laporan Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di<br />

Tanjung Priok, 13 Oktober 2003.<br />

20


erbangsa dan bernegara. Ketegangan ini memperuncing hubungan antara sebagian umat<br />

Islam dengan aparat keamanan, khususnya dalam mempraktikkan kebijakan politik nasional<br />

dengan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.<br />

Masih dalam laporan tersebut, KP3T merekomendasikan 23 nama yang seharusnya menjadi<br />

terdakwa. Namun hanya 14 nama yang diajukan ke pengadilan HAM adhoc. Nama-nama<br />

tersebut rata-rata merupakan personel tingkat rendah pada saat peristiwa terjadi. Jaksa<br />

sengaja mengabaikan fakta keterlibatan para petinggi keamanan dan pengambil keputusan<br />

tertinggi. Penanggungjawab hanya dibebankan kepada Komandan Kodim, Letkol Inf. RA.<br />

Butar-Butar.<br />

Kemudian muncul pertanyaan, sejauh mana Kopkamtib terlibat dalam peristiwa Tanjung<br />

Priok 1984. Saat itu Kopkamtib dipimpin oleh Jenderal LB. Moerdani. Jabatan ini ia rangkap<br />

dengan posisi Pangab. Pada saat peristiwa terjadi Mayjen Try Soetrisno menjabat sebagai<br />

Panglima Kodam Jaya. Struktur tertinggi pengamanan berada pada Pangkopkamtib. Di<br />

bawahnya berturut-turut, Panglima Komando Wilayah Pertahanan II Pelaksana Khusus<br />

Daerah Jakarta Raya (dipegang langsung Panglima Kodam Jaya). Operasional lapangan<br />

langsung berada di bawah komando Komandan Distrik Militer Jakarta Utara.<br />

Kedatangan Jenderal LB. Moerdani dan Mayjen Try Soetrisno saat peristiwa terjadi juga<br />

tercantum pada laporan KP3T Komnas HAM. 32 Di dalam laporan diterangkan bahwa Mayjen<br />

Try Soetrisno, Jenderal LB Moerdani dan Letkol Inf RA Butar-Butar dan Walikota Jakarta<br />

Utara datang ke TKP menggunakan kendaraan jip yang dikendarai sendiri oleh Mayjen Try<br />

Soetrisno. Duduk di sebelah kirinya Jenderal LB. Moerdani, sementara di belakang duduk<br />

Dandim dan Walikota. Bahkan, Mayjen Try Soetrisno pada saat itu memberikan perintah<br />

untuk segera mengamankan PT Berikat Nusantara. Rombongan juga mengunjungi RS. Koja<br />

dan RSPAD Gatot Subroto, di mana banyak korban dilarikan di sana. 33<br />

Mayjen Try Soetrisno diiindikasikan mengetahui, membiarkan dan memerintahkan<br />

penguburan (secara diam-diam) para korban tewas, serta penangkapan terhadap aktivis<br />

masjid lainnya. Selain itu, korban luka dan tewas dikumpulkan di RSPAD Gatot Subroto dan<br />

setelah sehat kemudian mereka ditahan di Kodim, Balak Intel Laksusda Jaya, Markas<br />

Pomdam Jaya Guntur dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis tanpa ada surat perintah<br />

penangkapan dan penahanan. Tindakan ini dilakukan atas perintah Pangdam V Jaya, Mayjen<br />

Try Soetrisno.<br />

Keberadaan Kopkamtib dan Laksusda di sini dapat menggambarkan bagaimana organisasi<br />

negara terlibat secara langsung dalam pada proses penanganan peristiwa Tanjung Priok.<br />

Bahkan, dalam laporan terakhir Komnas HAM pasca KP3T Tanjung Priok dibentuk,<br />

disebutkan bahwa Komnas HAM merekomendasikan Panglima ABRI/Pangkopkamtib<br />

Jenderal LB. Moerdani dan Pandam V Jaya Mayjen Try Soetrisno sebagai pihak dianggap<br />

paling bertanggung jawab pada peristiwa Tanjung Priok 1984. Mengingat<br />

Pangab/Pangkopkamtib dan Pangdam V Jaya adalah dua dari sekian banyak nama yang<br />

menjustifikasi peristiwa itu kepada publik. Pembenaran atas peristiwa itupun dilakukan oleh<br />

Pangab/Pangkopkamtib Jenderal LB. Moerdani pada rapat dengar pendapat bersama DPR RI<br />

yang dilakukan pada tanggal 2 Oktober 1984. 34 Selain itu, aksi penangkapan dan penahanan<br />

32 Lihat Halaman 13 Laporan Lengkap Hasil Penyelidikan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran<br />

Hak Asasi Manusia di Tanjung priok (KP3T), Komnas HAM: 2000.<br />

33 Ibid.<br />

34 Lihat Dokumen Lampiran Hasil Penyelidikan Komisi Penyelidikan dan pemeriksaan Pelanggaran Hak Asasi<br />

Manusia di Tanjung Priok (KP3T), Komnas HAM: 2000.<br />

21


kepada sejumlah aktivis masjid pasca peristiwa Tanjung Priok di sejumlah daerah seperti di<br />

Garut, Tasikmalaya dan Ujung Pandang, juga dilakukan atas perintah<br />

Pangab/Pangkopkamtib. Penangkapan dan penahanan ini tentu saja terkait dengan aksi kritik<br />

sosial tajam yang dilontarkan kepada Orde Baru.<br />

Meski Pengadilan HAM Adhoc untuk kasus Tanjung Priok 1984 telah digelar pada 15<br />

September 2003 hingga Agustus 2004, namun pengadilan itu tidak bisa menyeret pihak-pihak<br />

yang semestinya bertanggung jawab pada rantai komando yang paling tinggi. Pengadilan itu<br />

juga tidak mampu membuktikan adanya keterkaitan Kopkamtib dan mekanisme pertanggung<br />

jawaban komando yang lebih tinggi.<br />

• Peristiwa Talangsari (1989)<br />

Meski Kopkamtib telah dibubarkan pada tahun 1988 digantikan dengan Bakorstanas, namun<br />

inter-relasi keterkaitan antara peristiwa Talangsari dengan kebijakan politik keamanan Orde<br />

Baru melalui Bakorstanas tetap memiliki relasi yang kuat. Peristiwa Talangsari merupakan<br />

serangan yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 terhadap penduduk sipil Jamaah Pondok<br />

Pesantren Warsidi di Desa Cihideung dilakukan oleh pelaku yang dapat diidentifikasi sebagai<br />

aparat militer. Serangan tersebut mengakibatkan sekurang-kurangnya 130 orang meninggal<br />

dunia. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa Talangsari adalah<br />

sebagai berikut: pembunuhan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,<br />

perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, dan penyiksaan.<br />

Berangkat dari laporan resmi yang dikeluarkan oleh Tim Adhoc Penyelidikan Pelanggaran<br />

Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa Talangsari 1989 – Komnas HAM, ada kemiripan<br />

latar belakang peristiwa dengan kasus yang terjadi pada peristiwa Tanjung Priok 1984.<br />

Penerapan asas tunggal Pancasila melatarbelakangi ketidakpuasan sebagian umat Islam.<br />

Salah satu kelompok masyarakat adalah Jamaah Warsidi, Talangsari Lampung.<br />

Ketidakpuasan ini direspon dengan pendekatan sekuritisasi berlebihan dalam menangani<br />

kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki pandangan berseberangan dengan kebijakan<br />

politik nasional pemerintah Orde Baru. Serangan di lapangan dilakukan di bawah komando<br />

resor Militer Garuda Hitam 043 Lampung, yang saat itu dipimpin oleh Kolonel<br />

Hendropriyono.<br />

Pasca-peristiwa, ada upaya dari pihak ABRI untuk menutup-nutupi jumlah korban tewas. Hal<br />

ini setidaknya dilakukan melalui dua cara, penguburan mayat secara tertutup –dilakukan<br />

dengan tidak layak dan melakukan tindak intimidasi saksi-saksi peristiwa untuk tidak<br />

memberitahukan jumlah korban yang sebenarnya. 35<br />

Kembali merujuk laporan Komnas HAM, dugaan keterlibatan institusi keamanan dilihat dari<br />

kesiapan sarana dan prasarana serta tindakan aparat keamanan pada saat peristiwa terjadi. 36<br />

Institusi-institusi keamanan yang terlibat atau setidaknya mengetahui adalah Komando Rayon<br />

Militer Way Jepara, Koramil Jabung, Koramil Labuan Maringgai, Komando Distrik Militer<br />

Metro, Kodim 0411 Lampung Tengah, Kodim Painan Padang dan Komanda Resort Militer<br />

034 Garuda Hitam Lampung. Laksusda Jaya juga mengetahui operasi ini. Semua institusi di<br />

atas berada di bawah naungan Bakorstanas, yang nyaris memiliki kewenangan serupa dengan<br />

badan pendahulunya, Kopkamtib.<br />

35 Lihat Ringkasan Eksekutif Tim adhoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa<br />

Talangsari 1989, Komnas HAM 2008, hlm 14.<br />

36 Ibid. Hlm 20.<br />

22


• Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis Pro-Demokrasi (1997/1998)<br />

Kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997/1998 dapat<br />

dikategorikan sebagai operasi intelijen yang digelar dengan tujuan untuk mengamankan<br />

jalannya pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR pengukuhan Soeharto menjabat sebagai<br />

presiden kembali pada tahun 1998. Satu persatu aktivis pro-demokrasi hilang sejak medio<br />

1997. Beberapa aktivis yang diculik kemudian dibebaskan secara bergelombang. Mereka,<br />

sebanyak 9 orang tersebut kemudian memberikan kesaksian kepada publik atas peristiwa<br />

penculikan yang mereka alami.<br />

Akibat mendapatkan desakan publik nasional dan internasional, Pangab Jenderal Wiranto<br />

membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diketuai Jenderal Subagyo HS (saat itu<br />

menjabat KSAD). 37 Tidak lama dari pembentukan DKP, Letjen Prabowo Subianto, mantan<br />

Pangkostrad diberhentikan dari dinas kemiliteran. Jenderal Wiranto memutuskan untuk<br />

melakukan penyelidikan dan penyidikan internal yang dilakukan oleh Puspom ABRI.<br />

Penyelidikan itu membawa nama 11 anggota Kopassus yang diketahui bergabung dalam Tim<br />

Mawar terlibat dalam aksi penculikan 23 orang aktivis. Kesebelas orang ini diadili melalui<br />

mekanisme Peradilan Militer, Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II Jakarta.<br />

Namun pengadilan itu sarat dengan rekayasa kasus, mengingat pertanggungjawaban<br />

komando tidak melibatkan nama-nama petinggi ABRI yang saat itu seharusnya bertanggung<br />

jawab, seperti Letjen Prabowo Subianto dan Mayjen Muchdi Purwopranjono yang saat itu<br />

menjabat sebagai Danjen Kopassus.<br />

Hingga laporan ini dikeluarkan, nasib ke-13 orang hilang tersebut belum diketahui<br />

keberadaannya. Meski DPR RI telah mengeluarkan rekomendasi khusus pada akhir tahun<br />

2009, yang isinya antara lain, mendorong Pemerintah untuk segera membentuk pengadilan<br />

HAM adhoc kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1997/1998,<br />

termasuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Setiap Orang dari Tindakan Penghilangan<br />

Paksa, namun hingga sekarang pemerintah masih belum menindaklanjutinya. 38<br />

4.1.2 Satuan Gabungan Intelijen (SGI)<br />

Satuan Gabungan Intelijen (SGI) biasanya diturunkan di wilayah-wilayah yang dikategorikan<br />

sebagai wilayah konflik, di mana operasi militer banyak diterapkan di sana. Kita bisa<br />

merujuk pada penanganan konflik Aceh (melalui DOM Aceh), konflik Papua (DOM Papua),<br />

konflik Ambon, konflik Poso dan masa referendum Timor Timur 1999. Meski satuan ini<br />

lintas dirancang untuk lintas institusi keamanan, namun satuan ini didominasi oleh TNI,<br />

khususnya Komando Pasukan Khusus (Kopassus).<br />

37 DKP terdiri dari wakil ketua Letjen Fachrul Razi (Kasum ABRI) dan Letjen Yusuf Kertanegara (Irjen<br />

Dephankam). Anggota terdiri dari Letjen Susilo Bambang Yudhoyono (Kassospol ABRI), Letjen Agum<br />

Gumelar (Gubernur Lemhanas), Letjen Djamari Chaniago (Pangkostrad) dan Laksdya Achmad Sutjipto (Danjen<br />

Akabri). Dibentuk pada tanggal 3 Agustus 1998.<br />

38 Meski Pemerintah RI melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa telah menandatangani Konvensi itu di<br />

New York pada tanggal 27 September 2010.<br />

23


• Timor Timur<br />

Dalam laporan resmi yang dikeluarkan oleh Komisi Penyelidikan PBB Khusus dan<br />

Independen untuk Timor Leste (Laporan OHCHR), diterangkan bahwa hadir peran penting<br />

(baik yang datang dari Kopassus maupun SGI) dalam menopang dan mengorganisasi<br />

kelompok-kelompok kekerasan milisi sipil. 39 Bahkan temuan OHCHR tersebut dipertegas<br />

dalam laporan resmi Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Timor Leste dan Indonesia.<br />

SGI tersebar di seluruh distrik Timor Timur. Meski secara resmi SGI berada di bawah<br />

otoritas Korem, satuan ini sesungguhnya dikendalikan secara langsung oleh perwira-perwira<br />

Kopassus di lapangan. Dalam laporan KKP, ditegaskan operasi intelijen yang dilakukan oleh<br />

Kopassus dan SGI amat berperan dalam menciptakan kecurigaan dan perpecahan di antara<br />

masyarakat Timor. Ini tentu saja dilakukan melalui operasi-operasi militer yang didominasi<br />

dengan pendekatan intelijen. 40<br />

• Nangroe Aceh Darussalam<br />

Operasi intelijen di Aceh mulai intensif dilakukan pada medio 1990-an. Soeharto<br />

memerintahkan untuk mengerahkan 6.000 pasukan tambahan, termasuk dua batalyon dari<br />

Kopassus dan unit-unit tentara lainnya, seperti Kujang Siliwangi, Kodam VII Brawijaya,<br />

Arhanud Medan, Linud Medan dan Brimob. 41 Daerah operasi yang mulai efektif sejak tahun<br />

1990, terbagi dalam 3 sektor, Sektor A (Pidie), Sektor B (Aceh Utara) dan Sektor C (Aceh<br />

Timur). Operasi ini memiliki 3 satuan tugas. Satuan tugas intelijen, satuan tugas marinir<br />

(mengamankan daerah pantai) dan satuan tugas taktis (mengisolasi posisi satuan gerakan<br />

pengacau keamanan Aceh Merdeka pada lokasi-lokasi strategis). Khusus Satuan Tugas Taktis<br />

dibentuk tim-tim yang lebih khusus, yakni tim Pase-1, tim Pase-2, tim Pase-3, tim Pase-4, tim<br />

Pase-5, tim Pase-6 dan seterusnya yang berasal dari unit Kopassus. 42<br />

Tim Pase ini merupakan satuan intelijen taktis di lapangan yang menjalankan operasi<br />

intelijen. Untuk tim Pase-4 (November 1994-November 1995), memiliki tugas pokok untuk<br />

mencari dan menghancurkan tokoh-tokoh dan anggota GAM, baik dalam kondisi hidup atau<br />

mati, serta merebut senjatanya, membongkar jaringan klandestin GAM di kampung dan di<br />

kota, serta membongkar jaringan sindikat ganja, yang disinyalir sebagai sumber dana GAM. 43<br />

Dalam laporan khusus, Nomor R/13/LAPSUS/I/1995, Komandan Tim Pase-4 Eko Margino,<br />

melaporkan Satgas Rencong-94 regu Pos Tdr-01/Geumpang dan Dansattis-A Tdr/Kota Bakti<br />

melakukan penumpasan terhadap GPK wilayah Pidie pimpinan Pawang Rasyid. Dari hasil<br />

penyergapan dilaporkan sebagai “keuntungan” tewasnya 6 orang anggota GAM, antara lain<br />

39 Laporan OHCHR dikeluarkan pada tanggal 17 Oktober 2006. Lihat Pemberitahuan Pers pada website<br />

OHCHR: http://ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=5657&LangID=E diakses pada<br />

tanggal 3 April. 2011. Catatan ini juga diambil dari Kebenaran yang belum berakhir: Kajian terhadap Laporan<br />

Komite Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste tentang Kejahatan yang Terjadi pada Tahun<br />

1999, ICTJ: 2009.<br />

40 Lihat Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste, 2008.<br />

41 Lihat KontraS, Aceh Damai dengan Keadilan, Jakarta: 2006, hlm: 28-29.<br />

42 Ibid, hlm 29.<br />

43 Pemerintah beranggapan bahwa Gerakan Aceh Merdeka terlibat dalam perdagangan ganja keluar Aceh. Tim<br />

Pase-4 didukung oleh 38 personil dengan komandannya adalah Kapten Inf. A Rahman Siregar dengan NRP<br />

30786. Tim Pase-4 ini diberikan mandat atau perintah oleh Brigjen TNI Subagyo Hadi Siswoyo pada 24<br />

November 1994. “Laporan Otto Syamsuddin Ishak, Sang Martir Teungku Bantaqiah, (Jakarta: Yappika, 2003),<br />

hlm 81.<br />

24


Cut Fauziah, Nasrul (anak Cut Fauziah berusia 5 tahun) dan anak berumur 3 tahun yang tidak<br />

diketahui namanya. Hasil laporan itu merekomendasikan 12 prajurit yang melakukan operasi<br />

untuk mendapatkan kenaikan Pangkat Luar Biasa. Berangkat dari laporan itu, kita bisa<br />

melihat bahwa TNI menjadikan kematian anggota keluarga GAM, baik perempuan maupun<br />

anak-anak adalah bagian dari prestasi operasi yang wajib dibanggakan. 44<br />

SGI juga melakukan praktik penculikan di Aceh pada saat kesepakatan demiliterisasi,<br />

maupun kesepakatan Perjanjian Penghentian Permusuhan dilakukan di tahun 2003. Aksi<br />

penculikan dua orang aktivis HAM Aceh, Mukhlis dan Zulfikar terjadi pada tanggal 25 Maret<br />

2003. Aksi ini dilakukan oleh aparat SGI Pos Bireun. Kedua aktivis tersebut bekerja menjadi<br />

pendamping masyarakat dari LSM Link for Community Development. Kedua aktivis ini<br />

diculik karena aktivitasnya melakukan pendampingan persiapan pengungsian warga Keude<br />

Dua, pasca beredarnya informasi rencana didirikannya Pos Brimob BKO di Keude Dua.<br />

Sebelum pengungsian dilakukan, kedua aktivis ini mengorganisir warga untuk melakukan<br />

aksi demonstrasi di depan Pendopo Bupati Bireun. Kedua aktivis tersebut diculik di lokasi<br />

aksi demonstrasi. Hingga kini nasib mereka belum diketahui keberadaannya.<br />

• Poso<br />

Pemerintah telah berkali-kali melakukan operasi intelijen pasca-meledaknya konflik Poso.<br />

Meski operasi ini tidak melibatkan SGI, operasi intelijen tetap dilakukan. 45 Menkopolhukam<br />

yang saat itu dijabat Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan untuk segera menggelar<br />

operasi intelijen pasca-deklarasi Malino (2001), di mana Desa Beteleme dan beberapa desa<br />

lainnya mendapatkan penyerangan brutal. Instruksi operasi intelijen juga dilakukan pascameledaknya<br />

bom Tentena. Terakhir, operasi intelijen digelar melalui Instruksi Presiden<br />

Nomor 14 Tahun 2005 tentang Langkah-Langkah Komprehensif Penanganan Masalah Poso,<br />

yang menekankan upaya pengungkapan dan perusakan jaringan pelaku teror, termasuk<br />

pelaku kerusuhan. 46<br />

Namun, operasi intelijen itu tidak terlalu banyak memberikan dampak kepada pemulihan<br />

keamanan di Poso. Setiap menjelang masa operasi, angka kekerasan cenderung meningkat.<br />

Di lapangan, aparat TNI/Polri selalu membangun opini dengan menyatakan bahwa tidak akan<br />

ada rekonsiliasi tanpa kehadiran aparat. Artinya, kekerasan yang terjadi di Poso menjelang<br />

masa berakhirnya operasi hanya merupakan pembenaran untuk memperpanjang proyek<br />

operasi keamanan. 47 Kegagalan operasi intelijen ini terlihat dari maraknya kasus penembakan<br />

misterius (36 kasus) dan kasus pengeboman (32 kasus). Dalam beberapa kasus, aparat<br />

TNI/Polri menjadi pelaku tindak kekerasan, seperti kasus pemukulan, penembakan, pencurian<br />

penjarahan dan kasus kekerasan terhadap perempuan, penangkapan sewenang-wenang<br />

disertai penyiksaan dan stigmatisasi terorisme kepada warga.<br />

44 Op.Cit Hlm. 49-50.<br />

45 Operasi intelijen di Poso, didahului dengan operasi pemulihan keamanan yang dinamakan Operasi Sintuwu<br />

Maroso (2001). Operasi ini merupakan operasi pemulihan keamanan terpusat dan terpadu, di bawah<br />

Menkopolhukam. Selanjutnya operasi ini dikembangkan menjadi operasi kemandirian wilayah, diberi nama<br />

Operasi Sintuwu Maroso I, yang dikomandoi Kapolda Sulawesi Tengah.<br />

46 Lihat Haris Azhar dan Syamsul Alam Agus, Poso, Wilayah yang Dikonflikkan, Jakarta/Palu: 2005<br />

47 Lihat Laporan KontraS, Operasi Pemulihan Keamanan di Poso dan Kekerasan yang Terpelihara, Jakarta 2005.<br />

25


• Papua<br />

Operasi keamanan di Papua semakin meningkat pasca terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003<br />

tentang Percepatan dan Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah.<br />

Indikatornya terlihat dari diturunkannya aparat keamanan dalam bentuk bantuan operasi di<br />

sejumlah kabupaten, khususnya di Jayawijaya dan Manokwari. Termasuk juga pembukaan<br />

sejumlah Kodim dan Kodam di Jayawijaya. Pengiriman SGI disejumlah wilayah di Papua<br />

tidak sebanding dengan bentuk perlawanan bersenjata yang tidak signifikan dari OPM/TPN.<br />

Bahkan, beberapa operasi intelijen yang dilakukan di Papua sebelum tahun 1998, selama<br />

kurun waktu di bawah rezim Orde Baru, setidaknya 100 ribu lebih warga asli Papua terbunuh.<br />

Sasaran pembunuhan tidak saja pada orang-orang yang dianggap sebagai aktor OPM, namun<br />

juga terhadap warga Papua yang dianggap terlibat dan atau masuk dalam basis kekuatan<br />

OPM. 48 Praktik operasi intelijen paling nyata terlihat pada operasi pembebasan Tim<br />

Ekspedisi Lorentz 95 yang disandera selama 130 hari oleh OPM di desa Mapenduma. 49<br />

Operasi ini dilakukan oleh Kopassus, dipimpin Brigjen Prabowo Subianto. Dalam operasi itu,<br />

satu unit tim pemukul Kopassus memang berhasil membebaskan sembilan sandera. Namun<br />

operasi ini menewaskan delapan anggota OPM dalam pertempuran jarak dekat. Dua orang<br />

sandera dan lima anggota Kopassus tewas.<br />

4.2. Masa Reformasi<br />

4.3.<br />

4.2.1 Kegagalan Deteksi Dini dalam Penanggulangan Aksi Terorisme<br />

Peran intelijen di Indonesia masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan masih terjadinya<br />

peledakan bom di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton di Kuningan, Jakarta, pada 17 Juli 2009.<br />

Peristiwa ini juga menunjukkan bahwa kemampuan intelijen untuk melakukan<br />

penanggulangan dan juga pengawasan kegiatan terorisme belum berjalan baik. Hal ini bisa<br />

terjadi karena koordinasi antara institusi intelijen juga tidak berjalan baik, bahkan disinyalir<br />

terdapat persaingan di antara mereka.<br />

Pasca terjadinya peledakan bom tersebut, intelijen kembali memperlihatkan kelemahannya<br />

dalam membuat laporan kepada Presiden. Hal ini ditunjukkan ketika Presiden mengadakan<br />

siaran pers menanggapi peristiwa peledakan dua hotel tersebut. Dalam siaran pers tersebut<br />

Presiden menyatakan bahwa peledakan bom tersebut terkait dengan hasil pemilu presiden<br />

yang belum lama berlangsung ketika itu dan pelakunya bisa saja masih terkait dengan kasus<br />

penculikan dan penghilangan paksa di masa lalu. 50<br />

Pernyataan tersebut secara tidak langsung merujuk pada salah satu kandidat calon wakil<br />

presiden yang ikut bersaing dalam Pilpres 2009, yaitu Prabowo Subianto yang menjadi<br />

pasangan calon presiden Megawati Soekarnoputri. Menanggapi pernyataan Presiden,<br />

Prabowo menyatakan bahwa tuduhan tersebut berlebihan dan tanpa pertimbangan matang<br />

48 Lihat Sampari, edisi 02 Februari 2006, Menapaki Jejak Pelanggaran HAM di Papua.<br />

49 Lihat Majalah Tempo, Membebaskan Sandera Cara Mapenduma, 12 Januari 2004. Dapat dilihat pada:<br />

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/01/12/NAS/mbm.20040112.NAS87780.id.html diakses pada<br />

tanggal 3 April 2011.<br />

50 Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat dari transkrip jumpa pers Presiden SBY di Istana <strong>Negara</strong>, 17 Juli 2009.<br />

26


serta terlampau buru-buru membuat kesimpulan. Padahal, proses penyelidikan terhadap<br />

peristiwa pemboman oleh aparat kemanan sedang berjalan. 51<br />

Dalam jumpa pers tersebut Presiden juga menyebutkan bahwa ada upaya untuk menjadikan<br />

Presiden sebagai sasaran teroris selanjutnya. Ketika menyebutkan hal ini, Presiden<br />

menunjukkan foto-foto yang memperlihatkan sekelompok orang yang memakai penutup<br />

muka sedang berlatih menembak dan sasaran tembakannya adalah foto Presiden. Menurut<br />

Permadi, anggota DPR dari PDI-P waktu itu, sebenarnya foto itu adalah foto lama yang tidak<br />

ada kaitannya dengan peristiwa peledakan bom di hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton. Fotofoto<br />

tersebut pernah ditunjukkan Kepala BIN AM Hendropriyono 4 tahun yang lalu ketika<br />

mengikuti rapat dengan Komisi I DPR. Foto tersebut merupakan gambar latihan perang<br />

dalam kasus Poso. 52<br />

Jika dicermati, di era kepemimpinan SBY-JK memang tidak terlalu banyak peristiwa<br />

peledakan bom, dibanding masa pemerintahan Abdurahman Wahid dan Megawati<br />

Soekarnoputri, di mana aksi teror dan peledakan bom meningkat tajam. Berbagai peristiwa<br />

teror melalui peledakan bom, mulai dari penggunaan bahan peledak yang berdaya kekuatan<br />

rendah (low explosive) sampai penggunaan bahan peledak dengan daya ledak tinggi (high<br />

explosive) telah mengakibatkan kurang lebih 298 korban tewas dan 572 korban luka (1998-<br />

September 2005). 53 Hasil catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan<br />

(KontraS) sejak 1998-2002, kurang lebih telah terjadi 128 peristiwa peledakan bom, di mana<br />

peristiwa peledakan bom paling tinggi terjadi pada 2000 dengan jumlah 32 kasus dan 2001<br />

dengan jumlah 81 kasus. 54<br />

Lebih lanjut, berdasarkan hasil catatan Imparsial, kurang lebih telah terjadi 21 kasus peristiwa<br />

peledakan bom pada 2003-2005 (2003, 6 kasus; 2004, 8 kasus; dan 2005, 7 kasus). Aksi-aksi<br />

teror tersebut berulangkali terjadi di beberapa daerah, baik di daerah konflik seperti Poso,<br />

Ambon ataupun di daerah yang tidak sedang mengalami konflik, seperti di Jakarta.<br />

Dari berbagai aksi teror yang terjadi, sebagian peristiwa peledakan bom dapat diketahui<br />

kelompok dan pelaku yang melakukan, namun sebagian besar lagi tidak diketahui. Untuk<br />

kelompok dan pelaku yang hingga kini belum diketahui dan belum terungkap kasusnya,<br />

paling banyak terlihat pada kasus peledakan bom pada 2000 dan 2001, yang jumlahnya<br />

mencapai 113 kasus. Dalam beberapa kasus khusus peristiwa peledakan bom yang terjadi di<br />

rumah ibadah pada Natal 2000, yang berbarengan dengan upaya pemeriksaan dan pengusutan<br />

terhadap Tommy Soeharto dan persidangan mantan Presiden Soeharto.<br />

Sementara dalam beberapa kasus besar yang menggunakan bahan peledak dengan daya ledak<br />

tinggi (high explosive) terlihat bahwa para pelaku peledakan bom adalah orang-orang yang<br />

memiliki kemampuan untuk mengakses, mengoperasikan dan menjalankan operasi teror<br />

secara profesional. Salah satu indikasinya terlihat dari penggunaan jenis bahan peledak,<br />

pemilihan lokasi, dan sasaran korban.<br />

51 http://politik.vivanews.com/news/read/76053, “Ledakan di JW Marriot dan Ritz Carlton: Prabowo Tidak<br />

Terima Pernyataan SBY”, 17 Juli 2009.<br />

52 www.detiknews.com/read/2009/07/21/161343/1168849/10/, “Foto ‘Penembakan’ SBY; Permadi: Itu Foto<br />

Latihan Perang Kasus Poso”, 21 Juli 2009.<br />

53 Dalam peristiwa bom Bali II, Sabtu, 1 Oktober 2005, setidaknya 30 orang tewas dan ratusan lainnya<br />

mengalami luka-luka pada 3 lokasi ledakan: Jimbaran, Kuta, dan Nusa Penida.<br />

54 Lihat riset KontraS, “Analisis Kasus Peledakan Bom di Bali: Mengapa Teror Terjadi?” dalam Al Araf, dkk<br />

(eds.), Terorisme: Defenisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2003), hlm 37.<br />

27


4.2.2 Kasus BAIS<br />

Gugatan ini bermula setelah adanya seminar yang digelar oleh Departemen Pertahanan pada<br />

29 Agustus 2006. Dalam seminar itu Kepala BAIS, Mayjen. TNI Syafril Armen, S.IP, S.H.,<br />

M.Sc, memaparkan dalam makalahnya bahwa ada beberapa kelompok radikal di Indonesia<br />

yang mengancam eksistensi Pancasila. BAIS membaginya dalam tiga kelompok besar:<br />

kelompok radikal kiri, kelompok radikal kanan, dan kelompok radikal lain-lain. Imparsial<br />

bersama KontraS dan Elsham Papua ditempatkan sebagai bagian dari kelompok radikal lainlain<br />

yang anti-Pancasila dan tidak puas serta kecewa dengan Pemerintah.<br />

Perkembangan selanjutnya, pada 4 Oktober 2006 Imparsial meminta BAIS mengoreksi<br />

pernyataannya. Permintaan itu ditanggapi Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Markas<br />

Besar TNI Laksamana Muda Mohamad Sunarto melalui surat pembaca di Koran Tempo, 20<br />

November 2006, berjudul “Tanggapan untuk Imparsial”. Isi dari tanggapan itu adalah:<br />

a. Persepsi ancaman internal dan transnasional sebagaimana dimaksud dalam makalah<br />

yang dipaparkan dalam seminar di Departemen Pertahanan adalah hasil analisa dari<br />

analisis intelijen yang telah dianalisis dengan baik dengan fakta dan data yang akurat<br />

guna mendukung tugas pokok TNI dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan dan<br />

kesiapan TNI dalam rangka mengantisipasi situasi yang berubah dengan cepat,<br />

b. Lebih lanjut bahwa perhatian TNI terhadap ideologi Pancasila bukanlah berarti TNI<br />

telah masuk ke wilayah politik, melainkan terkait dengan kode etik terhadap negara,<br />

yaitu tentara adalah pembela ideologi negara,<br />

c. Dalam tanggapan yang sama, Kepala Puspen TNI menyatakan bahwa seminar yang<br />

dilaksanakan di Departemen Pertahanan pada 29 Agustus 2006 tersebut bersifat<br />

tertutup. Identitas pemapar tidak boleh dipublikasikan dan naskah tidak boleh<br />

diperbanyak kecuali seizin Departemen Pertahanan. Seminar tersebut, katanya, adalah<br />

forum ilmiah dalam suatu academic floor, di mana setiap panelisnya dapat<br />

mengeluarkan pendapat secara faktual dan ilmiah.<br />

Karena tanggapan tersebut tidak mengklarifikasi, bahkan malah menjustifikasi tulisan dalam<br />

makalah tersebut adalah berdasar dari analisis intelijen dari data dan fakta menurut BAIS<br />

adalah valid, akhirnya Imparsial pada 14 Februari 2007 mengajukan gugatan perbuatan<br />

melawan hukum terhadap BAIS, dengan pertimbangan bahwa BAIS telah melampaui batas<br />

kewenangan yang seharusnya sebagai intelijen pertahanan dan intelijen militer. Pernyataan<br />

yang menuding kelompok-kelompok kritis sebagai kelompok ancaman menunjukkan bahwa<br />

TNI, khususnya BAIS telah memasuki wilayah politik yang bukan kewenangannya.<br />

Setelah menjalani proses persidangan, akhirnya pada 12 Desember 2007, Majelis Hakim<br />

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan menolak gugatan yang diajukan Imparsial.<br />

Dalam putusannya Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh karena pernyataan dari BAIS<br />

tersebut disampaikan dalam forum seminar yang sifatnya tertutup maka pernyataannya<br />

tersebut merupakan kebebasan berekspresi akademik dan informasi yang disampaikan hanya<br />

berlaku di ruang tersebut saja. Majelis Hakim juga menyatakan bahwa apa yang telah<br />

dilakukan oleh BAIS tidak bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM, dan UU TNI.<br />

Keputusan Majelis Hakim tersebut terlihat aneh, karena apa yang dinyatakan oleh KaBAIS<br />

adalah dalam kapasitasnya bukan sebagai individu dari institusi yang seharusnya melakukan<br />

kegiatan intelijen yang mendukung pertahanan. Munculnya analisis atas kerja-kerja dari<br />

masyarakat sipil menunjukkan bahwa mental serta institusi militer Indonesia belum<br />

28


mengalami perubahan menuju tentara yang profesional, begitu pula dengan lembaga intelijen<br />

yang berada di dalamnya.<br />

4.2.3 Politisasi dan Tabiat Orde Baru dalam Menyikapi Pemilu<br />

Di tengah kegagalan Lembaga Intelijen <strong>Negara</strong> dalam melakukan deteksi dini terhadap aksiaksi<br />

terorisme dan di masa ramainya proses pertarungan politik kekuasaan melalui pemilu<br />

2004, BIN tiba-tiba membeberkan pernyataan yang menyatakan adanya indikasi 20<br />

organisasi non-pemerintah (NGO) lokal dan asing yang mengganggu stabilitas keamanan<br />

sepanjang pemilu Presiden 5 Juli 2004. Pernyataan seorang anggota DPR yang dilansir dalam<br />

dengar pendapat DPR secara langsung menyebut International Crisis Group (ICG) dan<br />

<strong>Elsam</strong> sebagai dua di antara LSM yang dimaksud. Identifikasi BIN terhadap ICG berakhir<br />

dengan pengusiran Sidney Jones, selaku Direktur ICG Indonesia. 55<br />

Sikap lembaga intelijen tersebut memperlihatkan bahwa kelompok-kelompok aktivis yang<br />

kritis terhadap negara masih diidentifikasikan sebagai kelompok yang mengancam keamanan<br />

nasional. Dalam konteks itu, intelijen masih memusuhi penggunaan hak dan kebebasan<br />

politik warga negara yang dilakukan secara demokratik dan bersandar pada hak-hak asasi<br />

manusia yang saat ini telah dijamin konstitusi.<br />

Di tengah era keterbukaan seperti saat ini, arus deras keterbukaan informasi merupakan hal<br />

yang tidak dapat dibendung. Informasi tentang perkembangan di Indonesia dapat diperoleh<br />

dari sumber manapun, sehingga ada atau tidaknya laporan yang dilakukan kelompok<br />

masyarakat sipil, dunia internasional tetap bisa menilai baik atau buruknya kinerja aparat<br />

negara. Oleh karenanya, tuduhan bahwa biasnya laporan-laporan yang dikeluarkan<br />

kelompok-kelompok masyarakat sipil sehingga mempengaruhi opini internasional tentang<br />

Indonesia adalah sangat tak berdasar, kalau tak bisa disebut naif.<br />

Sikap lembaga intelijen tersebut adalah cermin sikap lembaga intelijen pada rezim<br />

pemerintahan yang otoritarian –sebagaimana pernah dialami di masa Orde Baru. Bagi<br />

lembaga seperti ini, sikap dan ekspresi politik warga negara yang kritis terhadap negara<br />

dianggap sebagai bentuk ancaman terhadap stabilitas politik dan keamanan.<br />

Tabiat Orde Baru juga tidak hanya diperlihatkan oleh kelembagaan intelijen (BIN), tapi juga<br />

dilakukan oleh salah satu partai politik peserta pemilu 2004. Sebelum rilis BIN mengenai 20<br />

NGO lokal dan asing yang mengganggu stabilitas keamanan sepanjang pemilu Presiden 5 Juli<br />

2004, di hadapan publik muncul situasi dimana Ketua BIN, A.M Hendropriyono, didaftarkan<br />

menjadi salah satu juru kampanye Calon Presiden Megawati Soekarnoputri oleh PDIP ke<br />

KPU. 56 Kemunculan nama Hendropriyono ini sempat merebak di publik dan memicu protes<br />

dari berbagai pihak, khususnya kalangan politisi, 57 karena sebagai Kepala BIN jika ia<br />

berkampanye dianggap berbahaya dan berafiliasi dengan salah satu partai politik.<br />

55 Indopos, 8 Juni 2004.<br />

56 Kompas, “Kepala BIN Jadi Jurkam PDIP, Sebaiknya Mundur, 5 Maret 2004; Forum Keadilan, “Jurkam di<br />

Pentas Nasional”, edisi 14 Maret 2004, hlm 87<br />

57 Di antaranya disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR Effendy Choirie, yang berasal dari PKB yang<br />

menyatakan jika memang Hendropriyono menerima ajakan sebagai jurkam, sebaiknya dia mengundurkan diri<br />

dari jabatannya. Ini penting untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat, untuk menghindari penggunaan<br />

fasilitas dan rahasia negara dalam kampanye. Lihat Kompas, “Kepala BIN Jadi Jurkam PDIP, 5 Maret 2004.<br />

29


Gugatan terhadap Hendropriyono ini diawali ketika KPU melansir jajaran juru kampanye<br />

nasional partai-partai politik. Nama purnawirawan TNI AD ini terselip di antara sejumlah<br />

nama menteri yang juga kader PDIP. Bahkan menurut Ketua DPP PDIP, Roy B.B. Janis,<br />

Hendro berkelayakan sebagai juru kampanye: paham visi dan misi organisasi, sehat dan<br />

cakap berpidato. Bukan hanya sebagai kader, Hendro juga merupakan anggota Majelis<br />

Pertimbangan Partai (MPP). 58 Namun karena ramai dibicarakan, saat rapat internal partai<br />

pekan kedua Maret 2004, Megawati akhirnya meminta pengurus partai banteng menarik<br />

nama Hendropriyono dari juru kampanye PDIP yang telah disetor ke KPU. 59<br />

4.2.4 Sikap Tidak Kooperatif dalam Pengungkapan Kasus Kematian Munir<br />

TPF (Tim Pencari Fakta) kasus terbunuhnya Munir –yang dibentuk dengan Keputusan<br />

Presiden Nomor 111 Tahun 2004– dimandatkan untuk melakukan penyelidikan terhadap<br />

individu dan lembaga guna penuntasan kasus tersebut.<br />

Dalam upaya mengungkap kasus tersebut, TPF telah diberikan izin oleh Presiden SBY untuk<br />

memeriksa BIN karena adanya dugaan TPF yang mengindikasikan keterlibatan lembaga ini<br />

dalam kasus kematian Munir. Upaya TPF secara langsung mendapatkan respon dari BIN,<br />

yang menyatakan bahwa TPF perlu bukti indikasi kuat keterlibatan BIN.<br />

Sikap BIN tersebut sangat bertentangan dan bertolakbelakang dengan sikap BIN dalam<br />

penanggulangan aksi terorisme. Pada kasus pemberantasan tindak terorisme –dimana BIN<br />

menjadi koodinator seluruh kegiatan intelijen– BIN sangat kooperatif dengan melakukan<br />

sharing data kepada instansi lainnya. Akan tetapi dalam kasus Munir, BIN sangat tidak<br />

kooperatif dengan sikapnya yang menolak pemeriksaan sebelum TPF mengajukan indikasi<br />

keterlibatan lembaganya.<br />

Sebagai lembaga yang bertanggungjawab kepada Presiden, tidak ada alasan BIN untuk<br />

melontarkan masalah berkaitan dengan bukti-bukti. Izin yang diberikan kepada TPF oleh<br />

Presiden SBY harus ditafsirkan BIN sebagai perintah Presiden kepada BIN, untuk bertindak<br />

kooperatif. Sikap tidak kooperatif BIN tersebut dapat dipandang sebagai insubordinasi<br />

kepada Presiden.<br />

Apalagi dalam perkembangan terakhir pembunuhan terhadap Munir ditemukan bukti baru<br />

yang menunjukkan adanya dugaan keterlibatan pejabat BIN. Adanya kontak telepon antara<br />

Pollycarpus (salah satu tersangka dalam kasus pembunuhan Munir) dengan pejabat BIN<br />

melalui ruang Deputi V Bidang Penggalangan Opini dan Propaganda BIN, 60 menjadi satu<br />

bukti awal yang tidak bisa ditolak oleh BIN untuk bersikap tertutup dalam penyelesaian kasus<br />

Munir.<br />

58<br />

Soetardjo Soerjogoeritno, salah satu anggota Majelis Pertimbangan Partai PDI-P, juga menyatakan<br />

ketidaksetujuannya Hendropriyono menjadi jurkam PDIP. Ibid.<br />

59 Majalah Tempo, “Batal: Intel Merangkap Jurkam”, edisi 21 Maret 2004, hlm. 18-19; Baca juga Gatra, ”Intel<br />

di Panggung Kampanye”, hlm 18.<br />

60 Media Indonesia, 21 Mei 2005.<br />

30


4.2.5 Penyimpangan Fungsi Intelijen dalam Kasus Uang Palsu dan Cukai Palsu<br />

Dengan dalih untuk mengetahui pelaku pencetak dan peredaran uang palsu di Indonesia, BIN<br />

mencetak uang palsu dan cukai rokok palsu. Dalam perjalanannya, situasi tersebut bagai<br />

senjata makan tuan, posisi BIN selaku Ketua Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu<br />

dan Pengamanan-Pengawasan Pencetakan Dokumen Sekuriti (Instruksi Presiden Nomor 1<br />

Tahun 1971 jo Surat Keputusan Kepala BIN selaku Ketua Botasupal Nomor 046/2002)<br />

dimanfaatkan oleh beberapa pejabat dan agen intelijen negara (BIN) untuk mencetak dan<br />

mengedarkan uang palsu secara otonom. Proses pencetakan uang palsu dan cukai rokok palsu<br />

tersebut dilakukan di sebuah ruangan “terkunci” di kantor Botasupal, Jl. Madiun No. 34<br />

Menteng, Jakarta Pusat. 61<br />

Dalam kasus uang palsu dan cukai rokok palsu tersebut, terdapat tujuh orang aparat Badan<br />

Intelijen <strong>Negara</strong> (BIN) yang terlibat dalam kasus pemalsuan uang dan cukai rokok palsu pada<br />

awal 2005 ini. Mereka adalah Brigjen Pol (Purn) H Zyaeri (57), Kepala Staf Harian Badan<br />

Koordinasi Penanggulangan Uang Palsu (Botasupal) BIN. Ia ditangkap pada 13 Januari<br />

2005; Haryanto (31), Jaelani (38), Waronakus Saptoro (31), M Iskandar alias Muis (43).<br />

Keempatnya dari TNI dan PNS di Botasupal; Dadang Ruhiyat (46), Tatan Rustana alias Tedy<br />

(50). Kedua nama terakhir adalah anggota (agen) BIN dari sipil. 62<br />

Pemalsuan uang dan pita cukai itu bermula ketika Zyaeri dan Muhammad Iskandar menemui<br />

Dadang Ruhiyat yang saat di penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang pada<br />

pertengahan 2003, untuk membicarakan pembuatan uang palsu. 63 Zyaeri dan Iskandar<br />

membesuk terdakwa Dadang sebanyak dua kali. Sebelum pulang sehabis membesuk Dadang,<br />

terdakwa Zyaeri dan Iskandar memberi uang sebesar Rp 7,2 juta kepada Dadang secara<br />

bertahap. Uang itu diduga sebagai imbalan supaya Dadang membantu rencana pembuatan<br />

uang palsu.<br />

Menindaklanjuti pembicaraan tersebut, setelah keluar dari LP Cipinang (5 September 2003),<br />

Dadang lalu mendatangi kantor Zyaeri di Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu<br />

(Botasupal) BIN di Jl. Madiun, Jakarta Pusat, pada 7 September 2003. Saat itu Zyaeri<br />

memberi Dadang sebuah ruangan di kantornya untuk mencetak uang palsu.<br />

Sesaat setelah itu, Dadang lalu mengenalkan Tatan Rustana kepada Zyaeri. Zyaeri kemudian<br />

juga meminta Tatan membuat pita cukai palsu. Setelah mengadakan persiapan secukupnya,<br />

atas permintaan Zyaeri dan Muhammad Iskandar, Dadang mencetak uang palsu pecahan Rp<br />

100 ribu di kantor Zyaeri pada Mei 2004 sampai Oktober 2004. Pada saat yang hampir<br />

bersamaan, Tatan juga mencetak pita cukai palsu di Bandung.<br />

Terdakwa Zyaeri kemudian membeli sejumlah peralatan untuk proses pembuatan uang palsu.<br />

Dengan peralatan itu, para terdakwa mulai membuat uang palsu pecahan Rp 100 ribu.<br />

Caranya, antara lain pertama-tama menyablon huruf BI, burung garuda, dan tanda tangan<br />

pejabat BI. Pembuatan uang palsu tersebut diawasi oleh Zyaeri. Para terdakwa berhasil<br />

61 www.suarakarya-online.com/news.html?id=110653<br />

62 Media Indonesia, 15 Januari 2005.<br />

63 Dadang Ruhiyat dan Tatang pernah ditahan di LP Cipinang karena tindak kriminal. Dadang adalah ahli<br />

pembuat uang palsu dan Tatang ahli pembuat cukai palsu. Keduanya sengaja direkrut dan diperbantukan di<br />

Botasupal BIN oleh Zyaeri, dengan tujuan untuk mengetahui cara kerja para penjahat di bidang pemalsuan uang<br />

dan pita cukai. Media Indonesia, 14 Februari 2005.<br />

31


membuat uang palsu pecahan Rp100 ribu sebanyak 2.267 lembar antara Mei hingga Oktober<br />

2004.<br />

Aksi ini akhirnya diketahui sejumlah anggota Botasupal BIN pada Desember 2004. Saat<br />

penggerebekan, dari komplotan Zyaeri disita 2.267 lembar uang palsu pecahan Rp 100 ribu<br />

dan puluhan banderol pita cukai rokok. Selain itu, polisi juga menyita 40 lembar klise film<br />

untuk pembuatan uang palsu, tiga kaleng cat merah, tiga kaleng minyak pelicin merek<br />

Cyclon. Lainnya, dua kaleng pernis, lima liter minyak cat, obat afdruk, satu set unit komputer<br />

dan printer, satu set pengering uang palsu dan lima lembar cukai rokok. 64 Kasus uang palsu<br />

yang melibatkan agen BIN tersebut telah memasuki tahap persidangan di pengadilan negeri.<br />

Perkara pemalsuan uang dan cukai rokok yang melibatkan tujuh orang pejabat BIN tersebut<br />

untuk pertama kali disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 28 Juni 2005. 65<br />

Selanjutnya pada 25 Juli 2005 ketujuh terdakwa divonis majelis hakim di Pengadilan Negeri<br />

Jakarta Pusat dengan 4-5 tahun penjara. Lima orang di antaranya, mantan Kepala Staf Harian<br />

Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) BIN Brigadir Jenderal (Purn) HM<br />

Zyaeri, Haryanto, Jailani, Woro Narus Saptoro, dan Muhamad Iskandar divonis 4 tahun<br />

penjara, sementara dua lainnya, yakni Tatan Rustana dan Dadang Ruhiyat divonis 5 tahun<br />

penjara. 66 Mereka dijerat Pasal 250 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dan Pasal 55 huruf a UU<br />

Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.<br />

4.2.6 Meluasnya Kewenangan-Struktur BIN atas Nama Terorisme<br />

4.2.6.1 Penebalan Kewenangan BIN<br />

Terjadinya tragedi 11 September 2001 di New York boleh dikatakan menjadi babak baru bagi<br />

banyak negara khususnya Amerika Serikat untuk melakukan perang melawan terorisme.<br />

Respon atas persoalan ini melahirkan peta baru pertarungan politik global dan mengubah<br />

model dan watak kekuasaan baru di banyak negara.<br />

Berbagai langkah politik dilakukan untuk mengejar semua pelaku terorisme, bahkan juga<br />

memunculkan agenda menumbangkan rezim-rezim kekuasaan yang dianggap melindungi<br />

ataupun bekerjasama dengan pelaku terorisme. Langkah-langkah politik ini telah<br />

menempatkan pendekatan keamanan yang berlebihan sebagai pilihan dalam melakukan<br />

perang melawan terorisme dan mengorbankan HAM ke atas altar anti-terorisme –termasuk<br />

hak-hak yang digolongkan ke dalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh<br />

dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. 67<br />

Di beberapa negara (Australia, Kanada, Denmark, India, Nepal dan Amerika Serikat),<br />

undang-undang anti-terorisme yang digunakan sebagai salah satu instrumen dalam perang<br />

melawan terorisme, mensahkan penangkapan sewenang-wenang (arbitary detention),<br />

pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial, tindakan-tindakan berlebihan kepada warga<br />

64 Bahkan sesuai pengakuan salah seorang tersangka beberapa cukai rokok palsu sudah pernah dikirimkan ke<br />

Malang, Jawa Timur. Lihat Media Indonesia, 14 Februari 2005; dan Kompas, “Perkara Pemalsuan Uang Segera<br />

Disidangkan”, 5 Maret 2005.<br />

65 Kompas, “Uang Palsu: Jaksa Tuntut Tujuh Terdawa dengan Hukuman Penjara 6-8 Tahun”, 29 Juni 2005.<br />

66 Kompas, “Vonis Sidang: Mencetak Uang Palsu Divonis 4-5 Tahun”, 26 Juli 2005; dan Media Indonesia, 26<br />

Juli 2005.<br />

67 Todung Mulya Lubis, <strong>Masyarakat</strong> sipil dan Kebijakan <strong>Negara</strong> (Kasus Perppu/<strong>RUU</strong> Tindak Pidana<br />

terorisme), Kompas, 3 Februari 2003.<br />

32


negara asing dengan alasan keadaan yang genting dan tekanan terhadap fundamental<br />

freedoms, khususnya hak untuk bebas berkumpul dan menyatakan pendapat. 68<br />

Di Indonesia sendiri keadaannya tidak jauh berbeda. Pasca peledakan bom Bali 2002 yang<br />

diikuti dengan terbentuknya Perpu Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Terorisme, lembaga intelijen non-judicial dilibatkan dalam proses penegakan<br />

hukum melalui dijadikannya laporan intelijen sebagai bukti permulaan dalam penanganan<br />

tindak pidana terorisme (lihat: Pasal 26 UU Nomor 15 Tahun 2003).<br />

Lebih lanjut, keinginan lembaga intelijen non-judicial untuk terlibat dalam proses penegakan<br />

hukum diakomodasi dalam <strong>RUU</strong> Intelijen. Kendati tidak diakui keberadaannya oleh BIN,<br />

draf tersebut memberikan kewenangan bagi BIN untuk menangkap selama 30 hari dan juga<br />

memberikan kewenangan untuk melakukan pengadaan senjata secara mandiri. 69<br />

Sebelumnya, perluasan kewenangan BIN juga dilegitimasi melalui beberapa kebijakan, yang<br />

di dalamnya menempatkan BIN selaku Koordinator Seluruh Unit Intelijen (Instruksi Presiden<br />

Nomor 5 Tahun 2002), hingga menjadi Ketua Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu<br />

dan Pengamanan-Pengawasan Pencetakan Dokumen Sekuriti –pita cukai, perangko, materai<br />

tempel, kertas bermaterai, sertifikat tanah, pasport, STTB dan Danem, ijazah perguruan<br />

tinggi, SKSHH, stiker pelunas PPN kaset, LD, VCD, SBI, fiskal, naskah ujian negara, buku<br />

uji kendaraan bermotor, surat/buku izin menangkap ikan, stiker visa, encoding, kartu telepon<br />

(termasuk pencetakan PIN), kartu peserta jamsostek, air line ticket OPTAT, sertifikat ekspor,<br />

paper seale barang ekspor– (Surat Keputusan Kepala BIN Nomor 046/2002 dan lampirannya<br />

tertanggal 18 Februari 2002 jo Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1971 tentang ditunjuknya<br />

Lembaga Intelijen <strong>Negara</strong> [dulu Kabakin] sebagai Koordinator Pemberantasan Uang Palsu di<br />

Indonesia).<br />

Niatan untuk melakukan restorasi intelijen tersebut sejalan dengan pemikiran pejabat intelijen<br />

negara Prof. Dr. Bijah Subijanto, M.SiE, yang diungkapkan dalam bukunya yang berjudul<br />

Restorasi Intelijen: Memperkuat Korporat Memperkuat Sistem Nasional. 70 Dalam Bab<br />

tentang “Reposisi dan Refungsionalisasi Intelijen”, terungkap bila BIN hendak menjadi<br />

entitas independen yang lepas dari pengawasan pemerintahan sipil dalam hal ini presiden. 71<br />

Di sisi lain, adanya keinginan BIN untuk memiliki kewenangan menangkap dan memiliki<br />

kantor di daerah didasarkan pada alasan bahwa FBI saja sebagai salah satu lembaga intelijen<br />

di Amerika Serikat juga memiliki kewenangan menangkap dan memiliki kantor di setiap<br />

negara bagian.<br />

68 Ibid.<br />

69 Pasal 20 ayat (1) jo Pasal 21 ayat (1) jo Pasal 23 ayat (1) Draft <strong>RUU</strong> Pokok-pokok Intelijen, 5 September<br />

2003.<br />

70 Saat buku itu ditulis Prof. Dr. Bijah menjabat sebagai Deputi Bidang Penyelidikan Dalam Negeri dan<br />

kemudian menjadi Deputi VII Bidang Teknologi.<br />

71 Prof. Dr. Bijah Subijanto, Restorasi Intelijen; Memperkuat Korporat Memperkuat Sistem Nasional, (Jakarta:<br />

Penerbit Jati Diri, 2003), hlm. 92. Dalam catatan kakinya, “Kekuasaan Badan Intelijen <strong>Negara</strong> yang hanya<br />

diatur dalam Keppres dan menjalankan pengawasan yang sepenuhnya oleh presiden berpotensi mengancam<br />

tingkat independensi intelijen.”<br />

33


4.2.6.2 Penguatan Struktur BIN Melalui Kominda<br />

Terbentuknya Kominda, yang beranjak dari keputusan Menteri Dalam Negeri tentu tidak<br />

lepas dari adanya keinginan BIN untuk memperluas dan memiliki kantor dari pusat sampai ke<br />

daerah. Sebelumnya, gagasan memperluas kantor sampai ke daerah ini didorong oleh BIN<br />

kepada Presiden Megawati Soekarnoputri agar menyetujui pembentukan Badan Koordinasi<br />

Intelijen Daerah (Bakorinda). Bahkan di beberapa daerah, seperti di Sulawesi Utara dan<br />

Gorontalo. Keinginan memperkuat lembaga intelijen negara dilakukan dengan merekrut<br />

Lurah dan perangkatnya menjadi aparat intelijen. 72<br />

Dalam kelanjutannya, keinginan membentuk kantor-kantor wilayah BIN disetujui oleh<br />

Presiden Megawati Soekarnoputri dan dalam rencananya akan segera dituangkan dalam<br />

Keppres. Namun karena banyak tentangan berbagai kalangan, keinginan untuk menerbitkan<br />

Keppres tersebut tidak terealisasi hingga akhir masa kepemimpinan Megawati. Tetapi yang<br />

muncul kemudian adalah suatu keputusan Mendagri untuk membentuk Komunitas Intelijen<br />

Daerah (Kominda) (lihat: Surat Mendagri No.X.300.08/SC tanggal 25 Febuari 2003). 73<br />

Kepentingan BIN terhadap kebutuhan adanya Kominda ditegaskan dan dijelaskan oleh<br />

seorang pejabat BIN yang mengatakan, konsep di BIN secara formal adalah membentuk<br />

Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) sebagai wadah untuk melakukan koordinasi antar<br />

aparat intelijen. 74<br />

Landasan hukum pembentukan komunitas tersebut didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor<br />

5 Tahun 2002 tentang penetapan BIN selaku koordinator kegiatan intelijen dan Surat<br />

Mendagri No.X.300.08/SC tanggal 25 Februari 2003, 75 tentang Pembentukan Panitia<br />

Penyelenggara Rapat Konsultasi Penguatan Sistem Jaringan Komunitas Intelijen Daerah.<br />

Kominda terdiri dari berbagai unsur intelijen, pejabat daerah serta staf dari Badan Kesatuan<br />

Bangsa dan Perlindungan <strong>Masyarakat</strong> Kabupaten/Kota.<br />

Di beberapa tempat peranan dan fungsi Kominda bermacam-macam. Bahkan dalam sebuah<br />

kasus, Kepala BIN Syamsir Siregar saat rapat dengan Komunitas Intelijen Daerah yang<br />

dihadiri Gubernur Sulawesi Tengah dan para Bupati serta Kejaksaan Tinggi Wilayah,<br />

meminta agar Departemen Dalam Negeri mencopot Bupati Morowali Sulawesi Tengah. 76<br />

72 Ihwal perekrutan Kepala Desa dan Lurah oleh BIN diungkapkan Brigjen (Pol) Wenny Warow, yang<br />

memimpin lembaga itu. Koran Tempo, 20 Desember 2003.<br />

73 www.dayakology.com/kr/ind/2004/108/daerah3.htm - 9k -<br />

74 Kompas, ”Teror Itu Terus Mengancam”, 10 Agustus 2003.<br />

75 www.dayakology.com/kr/ind/2004/108/daerah3.htm - 9k -<br />

76 Tempo Interaktif, ”Syt! Ada Calon Intel!”, 14 Juli 2005.<br />

34


BAB V<br />

REFORMASI INTELIJEN DAN TARIK ULUR PEMBENTUKAN UU INTELIJEN<br />

5.1 Mengapa Perlu Reformasi Intelijen?<br />

Proses perubahan politik di Indonesia pada 1998 yang ditandai dengan jatuhnya rezim Orde<br />

Baru, membawa konsekuensi dipilihnya sistem demokrasi sebagai satu sistem poltik di<br />

Indonesia. Meskipun perubahan politik sejak 1998 telah membuka ruang demokrasi, tetapi<br />

institusi, praktik dan kultur yang demokratis belum sepenuhnya terwujud. Kontrol publik<br />

terhadap kekuasaan negara masih belum terjamin keberlangsungannya. Dengan kata lain,<br />

meskipun hak-hak warga mulai diakui, kekuasaan eksesif dan hegemoni negara belum<br />

sepenuhnya terkikis.<br />

Atas dasar tujuan dibangunnya sistem kenegaraan yang demokratis, proses demokrasi yang<br />

sedang berjalan menuntut adanya perubahan di dalam lembaga-lembaga negara, termasuk di<br />

dalamnya badan-badan intelijen. Dengan berubahnya sistem politik negara, maka perubahan<br />

itu diharapkan akan memberikan dampak pada perubahan paradigma, peran, fungsi, kultur,<br />

dan struktur badan intelijen itu sendiri.<br />

Namun demikian, setelah sepuluh tahun reformasi berjalan, perubahan yang terjadi di dalam<br />

lembaga intelijen masih belum maksimal. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan/<br />

perubahan yang hanya mencakup perubahan nama, lambang, slogan dan dasar hukum<br />

pembentukan lembaga intelijen hanya bersandar pada Inpres dan Keppres. Padahal, salah satu<br />

cara untuk mencapai reformasi intelijen di Indonesia yaitu dengan merumuskan kaidahkaidah<br />

normatif intelijen yang tertuang di dalam undang-undang intelijen negara agar arah<br />

dan tujuannya dari intelijen tersebut tidak terus berganti seiring dengan pergantian otoritas<br />

politik.<br />

Ketiadaan aturan yang jelas dan tegas tentang intelijen dengan peran yang besar sangat<br />

berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bagaimana<br />

penyalahgunaan terjadi, baik intelijen telah disalahgunakan oleh penguasa maupun<br />

penyalahgunaan yang dilakukan oleh aparat intelijen sendiri. Bahkan, penyalahgunaan yang<br />

justru merugikan warga negara dan masyarakat tersebut tidak pernah dapat terungkap dan<br />

para pelakunya pun hingga kini belum dapat dimintai pertanggungjawaban.<br />

Pada masa pemerintahan Orde Baru, intelijen di masa itu kerap dikenal sebagai ’intelijen<br />

hitam’ yang secara eksplisit dijalankan untuk menghadapi ancaman terhadap penguasa politik<br />

saat itu dimana pada awalnya fokus dari kegiatan intelijen pada periode ini ditujukan untuk<br />

menghancurkan komunisme di Indonesia. Selanjutnya terdapat beberapa pelanggaran HAM<br />

yang terjadi pada masa periode ini yang menunjukkan bahwa intelijen digunakan oleh<br />

penguasa sebagai ’pelindung’ kekuasaannya, seperti operasi militer di Aceh, Timor-Timur,<br />

Papua, peristiwa Malari 1974, Tanjung Priok 1984, kasus Talangsari di Lampung, kasus<br />

Penembakan Misterius (Petrus) di era 1980-an, yang terakhir ditutup dengan kasus<br />

penghilangan aktivis sepanjang tahun 1997-1998. Pada periode ini dinas-dinas intelijen<br />

mengalami politisasi dan militerisasi sehingga secara efektif dapat melaksanakan intervensi<br />

politik yang secara sistematik masuk ke setiap lini lain: 77<br />

77 Andi W. dan Artanti W., Op.Cit., hlm 4-7<br />

35


Praktik penyimpangan intelijen itu ternyata tidak berhenti di masa Orde Baru. Dalam<br />

kelanjutannya, beberapa kasus penyimpangan intelijen terus terjadi di masa reformsi ini dan<br />

kasus penyimpangan intelijen yang paling mendapat perhatian publik adalah kasus<br />

pembunuhan aktivis HAM Munir dimana dalam pembunuhan itu diduga pejabat tinggi<br />

intelijen terlibat di dalamnya. Selain kasus itu, penyimpangan intelijen juga terjadi dalam<br />

kasus percetakan uang palsu dan cukai palsu. Dengan dalih untuk mengetahui pelaku<br />

pencetak dan peredaran uang palsu di Indonesia, BIN mencetak uang palsu dan cukai rokok.<br />

Di dalam prosesnya, Ketua Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu dan Pengamananpengawasan<br />

Pencetakan Dokumen Sekuriti dimanfaatkan oleh beberapa pejabat dan agen<br />

BIN untuk mencetak dan mengedarkan uang palsu secara otonom. Selanjutnya pada awal<br />

tahun 2005, terungkap terdapat tujuh orang aparat BIN yang terlibat di dalam kasus ini. 78<br />

Di sisi lain, kompleksitas ancaman yang berkembang tentunya telah memaksa lembaga<br />

intelijen untuk dapat bekerja secara lebih profesional. Pandangan publik yang menilai<br />

intelijen tidak cukup maksimal di dalam melakukan deteksi dini dalam menghadapi ancaman<br />

terhadap keamanan dan berakibat pada terjadinya tindakan kejahatan tentunya menjadi salah<br />

satu alasan penting di dalam melakukan reformasi intelijen.<br />

Di masa kini, ancaman terhadap keamanan nasional tidak hanya ancaman yang bersifat<br />

Tradisional tetapi juga meliputi ancaman yang bersifat non-tradisional. Bahkan di Indonesia<br />

maupun di kawasan Asia khususnya ASEAN, ancaman non-tradisional dianggap sebagai isu<br />

utama yang mengancam keamanan kawasan. Ancaman ini terdiri dari persoalan terorisme,<br />

penyelundupan senjata ringan, separatisme bersenjata, penjualan wanita dan anak-anak,<br />

kebakaran hutan, piracy, money laundering, drugs trafficking. Meski ancaman nontradisional<br />

menjadi isu utama di kawasan Asia namun ancaman tradisional masih juga<br />

potensial menimbulkan konflik di kawasan Asia secara umum antara lain border disputesisu-isu<br />

perbatasan seperti Indonesia-Malaysia tentang masalah Ambalat, Indonesia dan<br />

Filipina tentang masalah Kepulauan Miangas, masalah batas landas kontingen antara<br />

Malaysia dan Singapura dan Malaysia-Thailand; konflik di Korea Peninsula; konflik China-<br />

Taiwan; maupun konflik India-Pakistan tentang masalah Kasmir. 79<br />

Terkait dengan itu, lembaga intelijen yang ada di Indonesia diharapkan dapat bekerja secara<br />

lebih profesional untuk mencegah kompleksitas ancaman-ancaman itu. Namun demikian,<br />

penting untuk dihindari terjadinya sekuritisasi di dalam menilai ancaman yang ada dimana<br />

salah satu persoalan yang akan ditimbulkan adalah bias pendekatan militer di dalam<br />

menghadapi ancaman terhadap keamanan.<br />

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa reformasi intelijen menjadi sesuatu yang sangat<br />

dibutuhkan di Indonesia mengingat; pertama, reformasi intelijen merupakan bagian dari<br />

usaha untuk mengoreksi kesalahan sejarah kelam intelijen di masa lalu maupun mengoreksi<br />

serta memperbaiki praktik penyimpangan intelijen yang terjadi di masa kini. Kedua, untuk<br />

memperkuat landasan hukum yang mengatur tentang keseluruhan intelijen yang ada di<br />

Indonesia.Ketiga, untuk memperkuat sistem peringatan dini dan memperkuat sistem analisa<br />

informasi strategis, dimana intelijen memiliki peran utama di dalamnya. Keempat, sebagai<br />

78 Tim Imparsial, Evaluasi Kinerja BIN di masa transisi dan catatan untuk Reformasi, Imparsial, Jakarta, 2005,<br />

hlm 1, hlm 21-22<br />

79 Untuk lebih jelas melihat isu-isu dan ancaman di kawasan Asia lihat Connie Rahakundini Bakrie, Pertahanan<br />

<strong>Negara</strong> dan Postur TNI Ideal, (Jakarta: Obor, 2007), hlm 64<br />

36


agian penting dari proses reformasi sektor keamanan maka kelembagan intelijen harus<br />

menyesuaikan diri dengan tata nilai baru di dalam negara demokrasi yang menghormati hak<br />

HAM dan prinsip negara hukum. Adapun tujuan untuk melakukan reformasi intelijen itu<br />

adalah untuk mewujudkan terciptanya intelijen yang profesional dan efektif, yang patuh pada<br />

tata nilai demokrasi dalam kerangka mewujudkan keamanan nasional.<br />

5.2 Tarik Ulur Pembentukan <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong><br />

Di masa Orde Baru, intelijen negara sering digunakan sebagai ”alat” untuk membungkam<br />

gerakan-gerakan yang dapat mengancam keberlangsungan kekuasaan Soeharto. Berbagai<br />

peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa pada masa tersebut ditengarai<br />

dilakukan oleh aktor intelijen negara. 80 Hal tersebut kemudian menjadi salah satu pemicu<br />

terjadinya gerakan reformasi mahasiswa 1998 yang menuntut dilakukannya perubahan di<br />

segala bidang, tak terkecuali terhadap aktor-aktor keamanan negara.<br />

Reformasi terhadap aktor-aktor keamanan negara telah menghasilkan TNI dan Polri yang<br />

sudah terpisah secara struktural dari sebelumnya berada di bawah ABRI dan bekerja dalam<br />

kerangka peraturan perundang-undangannya masing-masing. Namun demikian, satu-satunya<br />

aktor keamanan negara yang nyaris belum tersentuh reformasi adalah intelijen. Padahal,<br />

penyalahgunaan fungsi intelijen pada masa lalu adalah fakta yang seharusnya menjadi<br />

pembelajaran untuk mereformasi institusi Intelijen.<br />

Penataan dan pembenahan institusi intelijen juga menjadi agenda penting untuk menjawab<br />

kebutuhan akan keamanan nasional yang kian mendesak, selain reformasi intelijen itu sendiri<br />

merupakan salah satu agenda besar reformasi sektor keamanan. Intelijen negara yang<br />

berfungsi sebagai pendukung penyelenggaraan fungsi keamanan nasional, tentunya harus<br />

mendapatkan legitimasi publik pada mandat, tugas, dan wewenang intelijen yang legal dan<br />

akuntabel.<br />

Selama ini aktivitas intelijen hanya diatur melalui keputusan-keputusan Presiden yang tidak<br />

memiliki legitimasi yang kuat. Cara mendapatkan legitimasi tersebut adalah dengan<br />

mendasarkan seluruh sistem operasi intelijen pada sebuah aturan hukum yang secara hierarkis<br />

dapat diawasi oleh wakil rakyat di parlemen. Tidak dilibatkannya DPR sebagai badan<br />

legislatif yang memiliki kewenangan untuk membuat regulasi politik membuat aktivitas<br />

intelijen cenderung menjadi tidak terawasi. 81 Maka dari itu, dibutuhkan sebuah undangundang<br />

yang mengatur secara tegas, jelas, dan komprehensif tentang tugas, fungsi, dan<br />

wewenang intelijen negara.<br />

5.2.1 Draf <strong>RUU</strong> Intelijen pada Masa DPR Periode 1999-2004<br />

Draf <strong>RUU</strong> tentang Intelijen <strong>Negara</strong> pertama kali muncul pada 2002, kemudian baru diajukan<br />

resmi ke DPR-RI September 2003. 82 Draf <strong>RUU</strong> tentang Intelijen <strong>Negara</strong> yang bertanggal 25<br />

Januari 2002 diajukan bersamaan dengan <strong>RUU</strong> Kebebasan Memperoleh Informasi Publik<br />

(KMIP) dan <strong>RUU</strong> Rahasia <strong>Negara</strong>. 83 Pengajuan tersebut memancing kritikan dari<br />

80 www.tempo.co.id/ang/min/03/21/nas10.htm, “Intelijen Terlibat Penculikan”, Edisi 21/03-25/Juli/1998.<br />

81 Buletin TELIK SANDI, Tajuk, “Saatnya mereformasi Intelijen”, volume I, No. 1 Juni 2006, hlm 3.<br />

82 Ibid., hlm 2.<br />

83 Kompas, “DPR Didesak Dahulukan <strong>RUU</strong> Kebebasan Informasi”, 20 Februari 2003.<br />

37


masyarakat, karena kedua <strong>RUU</strong> tersebut dinilai mempunyai perbedaan dan paradigma yang<br />

mendasar. <strong>RUU</strong> KMIP menjadi tolok ukur transisi demokrasi di Indonesia, sedangkan <strong>RUU</strong><br />

Intelijen <strong>Negara</strong> dan <strong>RUU</strong> Rahasia <strong>Negara</strong> yang diajukan pemerintah mempunyai paradigma<br />

tertutup dan cenderung membatasi kebebasan bahkan hak warga negara. Karena mendapat<br />

tentangan yang keras dari masyarakat, <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> dikembalikan DPR kepada<br />

pemerintah untuk diperbaiki.<br />

Dalam draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tahun 2002, diatur tentang kewenangan BIN untuk<br />

melakukan penangkapan dan penahanan terharap orang yang diduga dapat mengancam<br />

keamanan nasional. Pemberian kewenangan tersebut tentu lebih menempatkan BIN sebagai<br />

polisi rahasia dibandingkan tugas yang sebenarnya: pemasok informasi bagi pengambil<br />

kebijakan. Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya, BIN juga telah memperoleh<br />

perluasan kewenangan yang dilegitimasi melalui beberapa kebijakan, seperti yang<br />

memposisikan BIN selaku Koordinator Seluruh Unit Intelijen (Instruksi Presiden Nomor 5<br />

Tahun 2002). 84 Hingga menjadi Ketua Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu dan<br />

Pengamanan-pengawasan Dokumen Sekuriti. 85<br />

Terlalu luasnya kewenangan yang diberikan <strong>RUU</strong> tersebut terhadap BIN kembali mendapat<br />

kritikan yang keras dari masyarakat, tak terkecuali anggota DPR-RI. Alvin Lie dari Partai<br />

Amanat Nasional menilai draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> harus ditolak karena dapat memperkosa<br />

demokrasi dan membunuh HAM. Bahkan, kewenangan intelijen yang diberikan <strong>RUU</strong> ini<br />

terlalu luas karena siapapun bisa ditangkap, kapanpun dan dimanapun tanpa menghormati<br />

asas praduga tak bersalah dan tanpa boleh didampingi oleh pengacara serta keluarga selama<br />

masa penahanan maksimal 3 kali 30 hari. Bahkan menurutnya, sebisa mungkin draf <strong>RUU</strong><br />

tersebut harus ”dibunuh” sebelum lahir menjadi undang-undang. 86<br />

Masih terkait dengan kewenangan penangkapan, perbedaan pendapat tidak hanya terjadi<br />

sesama anggota parlemen ataupun masyarakat, tetapi juga di dalam institusi yang mewakili<br />

pemerintah di Parlemen. Kapolri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar pada saat itu mengatakan<br />

pandangan yang berbeda dengan Kepala BIN, bahwa kewenangan penangkapan hanya ada di<br />

tangan kepolisian, bukan pada BIN. 87 Sebelumnya, Kepala BIN AM Hendropriyono<br />

mengatakan bahwa pekerjaan intelijen itu ibarat mencari sarang tikus dan kemudian<br />

menangkapi tikus-tikus tersebut. Selanjutnya tugas kepolisian dan pengadilan lah yang<br />

membuktikan apakah pihak intelijen salah tangkap atau tidak. Hendropriyono menambahkan,<br />

prinsip tugas intelijen adalah preventif alias mencegah sebelum terjadi. Jadi <strong>RUU</strong> Intelijen<br />

tidak akan digunakan untuk menangkapi orang-orang yang tidak bersalah. 88<br />

84 Tim Imparsial, “Evaluasi Kinerja BIN di Masa Transisi dan Catatan Untuk Reformasi BIN”, (Jakarta:<br />

Imparsial, 2005).<br />

85 Keputusan Kepala BIN No. 046/2002 dan lampirannya tertanggal 18 Februari 2002 jo Insruksi Presiden<br />

Nomor 1 Tahun 1971 tentang ditunjuknya Lembaga Intelijen <strong>Negara</strong> (dulu Kabakin) sebagai Koordinator<br />

Pemberantasan Uang Palsu di Indonesia, serta dokumen securiti (pita cukai, perangko, materai tempel, kertas<br />

bermaterai, sertifikat tanah, paspor, STTB dan Danem, ijazah perguruan tinggi, SKSHH, stiker pelunas PPN<br />

kaset, LD, VCD, SBI, fiskal, naskah ujian negara, buku uji kendaraan bermotor, surat/ izin menangkap ikan,<br />

stiker visa, encoding, kartu telepon (termasuk pencetakan PIN), kartu peserta jamsostek, air line OPTAT,<br />

sertifikat ekspor, paper sale barang ekspor).<br />

86 Pelita, ”<strong>RUU</strong> Intelijen Beri Kewenangan BIN Luar Biasa”, 10 Maret 2004.<br />

87 www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=33645, ”LSM Khawatir BIN Jadi Polisi Rahasia”,<br />

16 Oktober 2004.<br />

88 Ibid.<br />

38


Akhirnya, <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tidak jadi disahkan oleh DPR periode 1999-2004. <strong>RUU</strong><br />

tersebut dikembalikan kepada pemerintah untuk diperbaiki, dengan catatan memasukkan<br />

HAM sebagai nilai-nilai yang harus diadopsi dalam <strong>RUU</strong> tersebut. Adalah sebuah keharusan<br />

untuk mengadopsi ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia dalam setiap peraturan<br />

perundang-undangan agar ada jaminan tertulis dalam upaya perlindungan terhadap nilai-nilai<br />

kemanusiaan.<br />

5.2.2 Draf <strong>RUU</strong> Intelijen pada Masa DPR Periode 2004-2009<br />

Perdebatan tentang <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> sejenak terhenti dengan pelaksanaan pemilu 2004.<br />

<strong>RUU</strong> ini baru kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) periode 2005-<br />

2009, dan menjadi salah satu <strong>RUU</strong> yang diprioritaskan untuk segera dibahas di DPR. 89<br />

Pembahasannya ditargetkan dapat dilakukan pada 2007, sehingga pada 2008 pemerintah<br />

diharapkan sudah mengesahkan <strong>RUU</strong> tersebut menjadi Undang-Undang.<br />

Pada 2006, pemerintah secara resmi kembali mengajukan draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> kepada<br />

DPR-RI. Draft <strong>RUU</strong> yang bertanggal 10 Maret 2006 tersebut terdiri dari 7 bab dan 48 pasal. 90<br />

Di dalam bab I draft <strong>RUU</strong> tentang Intelijen <strong>Negara</strong> mengatur tentang hakekat, asas, dan<br />

fungsi intelijen negara; bab II memaparkan tentang tugas, kewenangan, serta organisasi<br />

dinas-dinas Intelijen yang tergabung dalam komunitas intelijen negara. Dinas-dinas intelijen<br />

tersebut antara lain adalah BIN, BAIS, BIK POLRI, Intelijen Kejaksaan, dan dinas-dinas<br />

intelijen di departemen atau instansi pemerintahan lainnya; bab III mengatur tentang personel<br />

intelijen; dalam bab IV mengatur tentang sumber pembiayaan aktivitas intelijen; kemudian<br />

bab V menawarkan pembentukan Sub Komisi Intelijen <strong>Negara</strong> di DPR yang akan melakukan<br />

pengawasan terhadap aktivitas terhadap dinas-dinas intelijen; dan terakhir bab VII draf <strong>RUU</strong><br />

Intelijen <strong>Negara</strong> tersebut mengatur tentang ketentuan pidana, peralihan organisasi dan<br />

regulasi tentang intelijen negara. 91<br />

Penempatan dinas-dinas intelijen dalam sistem keamanan nasional telah diatur dalam draf<br />

<strong>RUU</strong> tentang intelijen negara tahun 2006. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 1 yang<br />

menyatakan bahwa ”intelijen negara adalah lembaga pemerintahan yang merupakan bagian<br />

integral dari sistem keamanan nasional”. Hal tersebut diharapkan dapat mencegah politisasi<br />

dan militerisasi intelijen. Intelijen harus dipisahkan dari kegitan politik praktis dan lepas dari<br />

pertarungan kekuasaan politik rezim. Intelijen harus menjadi institusi sipil yang tidak boleh<br />

dipandang dan dijalankan sebagaimana menjalankan organisasi militer.<br />

Upaya untuk mencegah politisasi intelijen juga tampak dari draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tahun<br />

2006 tersebut, yang diatur di Pasal 4 yang menyatakan bahwa ”personel intelijen bersifat<br />

non-partisasan, netral dalam kehidupan politik, dan tidak melibatkan diri pada kegiatan<br />

politik praktis”. Personel intelijen harus dituntut untuk bersifat obyektif, tidak menjadi alat<br />

kekuasaan suatu partai politik yang sedang berkuasa dalam pemerintahan.<br />

Namun, jika dianalisis lebih dalam draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tahun 2006 sebenarnya hanya<br />

menitikberatkan pada perumusan pengaturan tentang komunitas intelijen nasional dan belum<br />

menjabarkan keterkaitan antara dinas-dinas intelijen dengan dimensi keamanan nasional. Hal<br />

89 Buletin TELIK SANDI, Op. Cit.<br />

90 T. Hari Prihatono (ed.), Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, (Jakarta: Propatria Institute,<br />

2006), hlm 99.<br />

91 Ibid., hlm 99-100.<br />

39


itu terbukti dengan adanya tumpang-tindih fungsi dan kewenangan antara intelijen negara<br />

dengan kepolisian sebagai aparat penegak hukum di Indonesia yang diatur dalam draft <strong>RUU</strong><br />

tersebut.<br />

Selain itu, perumusan <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> harus berkaitan erat dengan <strong>RUU</strong> tentang<br />

Keamanan Nasional. Intelijen negara yang berfungsi sebagai bagian dari sistem keamanan<br />

nasional dalam aktivitasnya harus mendukung kinerja lembaga-lembaga yang selama ini<br />

bertanggungjawab terhadap keamanan nasional, tentunya melalui aliran informasi dan sistem<br />

koordinasi yang kuat.<br />

Satu lagi kelemahan yang terdapat dalam draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tahun 2006 ini, yaitu<br />

godaan untuk menjadikan intelijen sebagai aparat penegak hukum. Hal itu tampak dalam<br />

Pasal 12 yang menyatakan bahwa BIN memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan<br />

dalam rangka interogasi, penyadapan, pemeriksaan rekening, dan pembukaan surat setiap<br />

orang yang dianggap dapat membahayakan keselamatan warga negara.<br />

Draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> harus secara tegas memisahkan fungsi intelijen dari fungsi<br />

penegakan hukum. Fungsi penegakan hukum tetap harus dipegang oleh Kepolisian dan<br />

Kejaksaan dan tidak dapat dipindah-tangankan kepada aparat intelijen. Agar intelijen<br />

berfungsi secara efektif, yang harus dipertegas adalah mekanisme koordinasi antara aparat<br />

penegak hukum dan aparat intelijen, bukan melalui perluasan fungsi atau kewenangan<br />

intelijen yang merusak tatanan dan mekanisme penegakan hukum di Indonesia.<br />

Dalam pembahasannya di DPR, draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> usulan pemerintah tersebut<br />

banyak menuai kritik dari masyarakat sipil. Hingga akhirnya, kemudian muncul draf <strong>RUU</strong><br />

Intelijen <strong>Negara</strong> tandingan versi masyarakat sipil yang dimotori oleh Kelompok Kerja<br />

Indonesia untuk Reformasi Intelijen <strong>Negara</strong>. 92 Draf <strong>RUU</strong> tersebut terdiri dari 9 bab dan 54<br />

pasal, yang pada prinsipnya menawarkan suatu bentuk pengaturan baru terhadap Intelijen<br />

<strong>Negara</strong> secara efektif dan profesional dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi<br />

dan HAM.<br />

Namun, dalam pembahasan di DPR, <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> kembali mengalami kebuntuan,<br />

terutama soal kewenangan menangkap yang dimiliki intelijen yang nantinya dinilai akan<br />

sangat membahayakan masyarakat sipil. Ditambah lagi, intelijen memiliki masa penahanan<br />

yang terlalu lama terhadap orang yang diduga mengancam keamanan negara. Perkembangan<br />

selanjutnya, <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> dan beberapa <strong>RUU</strong> lainnya termasuk <strong>RUU</strong> Rahasia<br />

<strong>Negara</strong> tidak jadi disahkan oleh DPR periode 2004 2009.<br />

5.2.3 Draf <strong>RUU</strong> Intelijen pada Masa DPR Periode 2009-2014<br />

Usai pelaksanaan pemilu 2009, dan setelah terpilihnya anggota DPR-RI yang baru periode<br />

2009-2014, <strong>RUU</strong> Intelijen kembali menjadi salah satu <strong>RUU</strong> yang akan dibahas di parlemen.<br />

Terbukti, <strong>RUU</strong> Intelijen masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014.<br />

Kali ini draf <strong>RUU</strong> tersebut diajukan atas inisiatif DPR. Draft <strong>RUU</strong> tersebut diajukan<br />

bersamaan dengan draf <strong>RUU</strong> Rahasia <strong>Negara</strong>, dimana keduanya pernah sama-sama ditolak<br />

oleh wakil rakyat di DPR.<br />

92 Kelompok Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen <strong>Negara</strong> menyelesaikan draft <strong>RUU</strong> Intelijen tandingan<br />

pada 23 Agustus 2005 yang dimotori oleh Pacivis UI dan beranggotakan dari beberapa organisasi (ELSAM,<br />

IMPARSIAL, HRWG, ICW, ISAI, KontraS, Pro Patria, Ridep Institute, YLBHI, dan Pacivis UI).<br />

40


Rencananya, <strong>RUU</strong> tentang Intelijen <strong>Negara</strong> akan mulai dibahas secara tersendiri pada 2010. 93<br />

Sehingga pada akhir 2011, Indonesia diharapkan sudah mempunyai regulasi yang lebih<br />

komprehensif yang mengatur tentang intelijen negara. Namun, hingga tulisan ini dibuat DPR<br />

belum mengumumkan atau mempublikasikan secara resmi draf <strong>RUU</strong> Intelijen yang akan<br />

dibahas.<br />

Bahkan beberapa kalangan mencurigai bahwa tidak akan terjadi banyak perubahan terhadap<br />

draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> versi 2010 ini. Persoalannya disinyalir masih seputar perdebatan<br />

lama yang telah dibahas sebelumnya, khususnya mengenai kewenangan penangkapan yang<br />

dimiliki oleh intelijen. Hal ini pun kemudian kembali mengundang reaksi dan tanggapan dari<br />

masyarakat sipil. Makmur Keliat, dosen FISIP Universitas Indonesia, mengatakan lembaga<br />

intelijen bukanlah lembaga penegak hukum yang bisa menangkap orang. Peran lembaga<br />

intelijen hanya sebatas penyuplai informasi secara cepat dan akurat seuai dengan doktrin<br />

intelijen, velox et exactus. 94<br />

Senada dengan itu, anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan<br />

(PDI-P), Tubagus Hasanudin, mengatakan selama ini intelijen dicitrakan sebagai institusi<br />

bengis yang dapat menangkap dan menahan orang kapan saja, terutama bila orang itu dinilai<br />

dapat merugikan kepentingan penguasa. Hasanudin menambahkan, agar hal tersebut tidak<br />

terulang kembali, kewenangan dan peran intelijen harus dibatasi. Intelijen tidak boleh diberi<br />

kewenangan menangkap dan kinerja intelijen harus pula didasarkan pada prinsip-prinsip<br />

perlindungan terhadap masyarakat sipil serta penghormatan terhadap HAM. 95<br />

<strong>RUU</strong> Intelijen harus menempatkan intelijen pada fungsi yang sebenarnya, agar terhindar dari<br />

penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan penguasa. Intelijen negara haruslah dilihat<br />

sebagai pelengkap dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Untuk itu, draf <strong>RUU</strong><br />

Intelijen <strong>Negara</strong> harus mengatur secara rinci dan detail tentang fungsi, tugas, dan<br />

wewenangan intelijen. Regulasi yang mengatur secara detail tentang kewenangan operasional<br />

bagi setiap dinas intelijen merupakan tuntutan dasar negara demokratis. 96 Di tengah masa<br />

transisi demokrasi di Indonesia, adalah wajar bila pengaturan tentang intelijen menjadi<br />

barometer untuk mengukur kemajuan demokrasi di Indonesia.<br />

93 Republika Online, “DPR Harap <strong>RUU</strong> Intelijen Lolos Uji Publik”, 27 Mei 2010.<br />

94 Kompas, “Merancang Aturan Intelijen yang Profesional”, 28 April 2010.<br />

95 Ibid.<br />

96 T. Hari Prihatono (Ed.), Op. Cit., hlm. 98.<br />

41


BAB VI<br />

KRITIK <strong>RUU</strong> INTELIJEN NEGARA<br />

6.1 Kritik <strong>RUU</strong> Intelijen 2010-2011<br />

Intelijen negara diperlukan untuk mengatasi ancaman terhadap keamanan nasional, tidak saja<br />

ancaman yang ditujukan kepada eksistensi, keutuhan, dan kedaulatan negara, melainkan juga<br />

ancaman terhadap keamanan warga negara. Fungsi intelijen pada hakikatnya adalah<br />

menyediakan informasi yang mutakhir dan akurat sebagai dasar pengambilan keputusan di<br />

bidang keamanan, terutama untuk mencegah terjadinya kejutan yang mengganggu keamanan<br />

nasional. Fungsi intelijen diperlukan tidak hanya dalam konteks hubungan antar negara<br />

sebelum dan pada saat perang, melainkan spektrumnya telah meluas menjangkau ancaman<br />

keamanan nasional domestik dan warga negara sehingga tidak pada tempatnya jika intelijen<br />

negara justru mengganggu keamanan warga negara.<br />

Berkembangnya spektrum ancaman keamanan nasional menuntut diselenggarakannya fungsi<br />

intelijen negara yang profesional. Di sisi lain, keberadaan intelijen negara juga harus sesuai<br />

dengan karakter masyarakat demokratis yang menuntut partisipasi dan pertanggungjawaban<br />

dari semua penyelenggara fungsi negara guna menjamin tidak terjadinya penyalahgunaan<br />

kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).<br />

Pengaturan intelijen negara diperlukan sebagai manifestasi pelaksanaan negara hukum, baik<br />

dalam konsepsi rule of law maupun rechtstaats, di mana salah satu unsur utamanya adalah<br />

pemerintahan berdasarkan hukum dan perlindungan terhadap HAM. Oleh karena itu<br />

pengaturan intelijen negara dimaksudkan sebagai landasan hukum sekaligus batasan hukum<br />

bagi pelaksanaan dan kelembagaan intelijen negara. Landasan dan batasan hukum tersebut<br />

diperlukan untuk mencapai terwujudnya intelijen negara yang profesional, akuntabel, dan<br />

tidak berpotensi melakukan atau menjadi alat penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran<br />

HAM.<br />

Pengaturan intelijen yang ideal diperlukan mengingat karakter dasar kerja intelijen yang<br />

secara umum tertutup dan lentur, dengan mengandalkan pada kecepatan dan kerahasiaan.<br />

Karakter dasar tersebut memiliki potensi yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan<br />

kekuasaan dan pelanggaran HAM. Apalagi banyak catatan menunjukkan hal itu terjadi, baik<br />

di Indonesia (misalnya kasus pembunuhan Munir) maupun di negara-negara lain.<br />

Guna mewujudkan intelijen yang profesional dan meminimalisasi potensi penyalahgunaan<br />

kekuasaan, dapat dilakukan dengan menentukan bahwa fungsi intelijen negara dilakukan oleh<br />

beberapa lembaga intelijen negara secara terdiferensiasi namun terkoordinasikan dengan<br />

baik. Setiap penyelenggara intelijen harus ditentukan memiliki fungsi yang khusus dan<br />

spesifik (lex stricta dan lex scripta) sehingga di satu sisi tidak terjadi tumpang-tindih<br />

kewenangan, dan di sisi lain menutup kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan intelijen<br />

yang melampaui kewenangan. Melalui sistem diferensiasi fungsi intelijen dapat terwujud<br />

mekanisme checks and balances di internal komunitas intelijen. Untuk menunjang hal ini,<br />

diperlukan mekanisme koordinasi oleh suatu institusi terdiri atas jabatan majemuk sehingga<br />

tidak ada sub-ordinasi atau pemanfaatan intelijen tertentu oleh penyelenggara intelijen yang<br />

lain.<br />

42


Intelijen negara juga harus dibedakan dengan fungsi penegakan hukum. Fungsi intelijen harus<br />

dibatasi pada fungsi yang berkaitan dengan informasi, bukan penanganan hukum atas suatu<br />

perkara. Oleh karena itu intelijen negara tidak dapat melakukan tindakan-tindakan hukum<br />

serta tidak pula dapat melakukan tindakan yang melanggar hukum.<br />

Pada bab ini akan diketengahkan kajian kritis terhadap draf <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> versi 2010<br />

yang menganalisis dan mereview <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> yang diagendakan pembahasannya di<br />

tahun 2010 ini. Kajian kritis ini tentunya mengacu kepada ideal pengaturan intelijen negara.<br />

Review dibagi menjadi dua bagian, yaitu review secara umum terhadap paradigma atau<br />

kecenderungan keseluruhan <strong>RUU</strong> Intelijen negara, dan review terhadap pasal-pasal dalam<br />

<strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong>.<br />

1. Kritik Paradigma<br />

Lemahnya landasan filosofis, terkait dengan:<br />

a. Kurang lengkap karena tidak ada prinsip landasan-landasan filosofis pembentukan<br />

negara di dalam konstitusi, seperti halnya prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara<br />

hukum,<br />

b. Penggunaan terminologi “Ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan yang<br />

membahayakan eksistensi dan keutuhan <strong>Negara</strong> Kesatuan Republik Indonesia” sangat<br />

multitafsir. Membahayakan warga negara dan seharusnya tidak perlu diatur,<br />

c. Perlindungan terhadap warga negara tidak terlihat sebagai dasar paradigma dari <strong>RUU</strong><br />

ini, justru yang ada hanya perlindungan terhadap keadulatan negara,<br />

d. Demokrasi, hukum dan HAM hanya menjadi komplemen dalam <strong>RUU</strong> Intelijen. Namun<br />

tidak menjadi pondasi yang mendasar,<br />

e. Penggunaan terminologi “Mendukung tegaknya hukum” ada kecenderungan untuk<br />

memasukkan lembaga ini menjadi penegak hukum,<br />

f. Paradigma yang dianut dalam <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> adalah paradigma pembatasan dan<br />

pelanggaran HAM. Kecenderungan paradigma pembatasan dan pelanggaran HAM<br />

terlihat dari dimuatnya Pasal 28J UUD 1945 yang mengatur tentang pembatasan HAM<br />

dalam konsideran mengingat dan tanpa mencantumkan bahkan justru<br />

mengesampingkan Pasal 28 I di dalam dasar mengingatnya yang sejatinya Pasal 28 I itu<br />

merupakan jiwa dalam konstitusi yang mengatur tentang HAM yang bersifat nonderogable<br />

rights yang artinya hak-hak itu tidak dapat dikurangi dalam situasi dan<br />

kondisi apa pun. Adapun hak-hak itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,<br />

hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,<br />

hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas<br />

dasar hukum yang berlaku surut. Dengan demikian paradigma <strong>RUU</strong> ini memang lebih<br />

bersifat pembatasan terhadap HAM dan pembatasan itu juga meliputi pembatasan<br />

terhadap hak-hak yang bersifa non-derogable rights itu. Dalam konteks itu <strong>RUU</strong> ini<br />

jelas-jelas tidak secara penuh menjadikan tata nilai HAM sebagai dasar pijakan<br />

paradigmanya. Selain itu, <strong>RUU</strong> ini juga tidak menegaskan jaminan konstitusional<br />

lainnya terkait dengan perlindungan HAM, sebagaimana diatur di dalam Pasal 28D ayat<br />

(1), Pasal 28E ayat (2) dan (3), Pasal 28G, Pasal 30 ayat (1) UUD 1945. <strong>RUU</strong> ini<br />

bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan sesuai dengan kebutuhan hukum<br />

masyarakat, namun demikian tidak merujuk pada Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945<br />

tentang jaminan atas kepastian hukum. Sejumlah peraturan perundang-undangan terkait,<br />

yang seharusnya menjadi landasan pembentukan <strong>RUU</strong> ini juga tidak dicantumkan<br />

dalam konsideran, seperti halnya UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan<br />

43


Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, dan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan<br />

Kovenan Menentang Penyiksaan dan Penghukuman Kejam.<br />

2. Ketentuan Umum<br />

Penjabaran dan penjelasan di dalam ketentuan umum <strong>RUU</strong> ini belum secara lengkap dan<br />

mendetail menjelaskan definisi-definisi yang seharusnya dijelaskan di dalam <strong>RUU</strong> ini.<br />

Seperti tidak dijelaskannya definisi mengenai ’keamanan nasional, ’ancaman keamanan<br />

nasional’, dan ’kebebasan sipil’, dan beberapa poin penting lainnya.<br />

Dalam rumusan <strong>RUU</strong> ini, seharusnya definisi mengenai keamanan nasional sepenuhnya<br />

merujuk pada definisi di dalam UU Keamanan Nasional. Dengan demikian seharusnya<br />

pemerintah dan DPR terlebih dahulu membentuk UU Keamanan Nasional, sebelum<br />

pembentukan UU Intelijen.<br />

Sejumlah definisi lainnya yang ada di dalam <strong>RUU</strong>, misalnya terkait dengan definisi pihak<br />

lawan, juga sifatnya sangat multitafsir, sehingga dikhawatirkan menjadi pasal karet, yang<br />

justru memberikan ancaman nyata bagi kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Oleh karena<br />

itu, definisi mengenai pihak lawan seharusnya dihapus dari <strong>RUU</strong> ini.<br />

Selain itu, Usulan pemerintah terkait penambahan penyelidikan dan penggalangan seharusnya<br />

juga dihapus, diganti dengan penggunaan istilah operasi tertutup (covert action). Penggunaan<br />

istilah penyelidikan akan merancaukan tugas dan kewenangan intelijen dengan lembaga<br />

penegak hukum. Yang dimaksud dengan ‘Operasi Tertutup’ itu sendiri, adalah operasi yang<br />

dilakukan di luar negeri dan tidak terhadap warga negara Republik Indonesia. Pengertian ini<br />

dicantumkan di dalam bagian penjelasan UU Intelijen. Sementara ‘Sasaran’ adalah target atau<br />

kondisi yang ingin dicapai melalui operasi tertutup dan/atau kontra intelijen.<br />

Ketentuan umum seharusnya mengakomodasi beberapa definisi berikut ini:<br />

a. Lembaga Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong> (LKIN) adalah lembaga yang dibentuk dan<br />

bertanggung-jawab kepada Presiden yang berfungsi untuk melakukan koordinasi antar<br />

dinas intelijen yang menjadi bagian dari komunitas intelijen negara, membuat<br />

perumusan kebijakan nasional dan kode etik, memberi laporan kepada Presiden dan<br />

tidak memiliki kewenangan khusus.<br />

b. Kepala Lembaga Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong> adalah pimpinan LKIN yang<br />

merupakan pejabat setingkat menteri yang diangkat, diberhentikan dan bertanggung<br />

jawab kepada Presiden dan berkedudukan sebagai penasihat utama Presiden di<br />

bidang intelijen negara.<br />

c. Kode etik intelijen adalah seperangkat norma yang mengikat anggota intelijen yang<br />

meliputi: kesetiaan kepada negara dan konstitusi, setia dan tunduk di bawah hukum<br />

yang berlaku, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan HAM, setia pada janji<br />

menjaga kerahasiaan profesi, netralitas politik, memiliki integritas, obyektivitas dan<br />

ketidakberpihakan dalam mengevaluasi informasi, dan saling menjaga kepercayaan<br />

antara pembuat kebijakan dengan pejabat intelijen.<br />

d. Pengawasan berlapis terhadap intelijen negara adalah mekanisme pengawasan<br />

konsentrik yang menempatkan pengawasan internal intelijen negara di titik pusat<br />

lingkaran pengawasan yang kemudian secara konsentrik diperkuat oleh pengawasan<br />

eksekutif, DPR, yudisial dan masyarakat sipil dengan tujuan untuk meningkatkan<br />

akuntabilitas politik, hukum dan keuangan intelijen negara.<br />

44


e. Dinas-dinas intelijen negara adalah seluruh organisasi intelijen negara yang menjadi<br />

bagian dari empat tipe organisasi intelijen, yaitu intelijen nasional, intelijen strategis,<br />

intelijen militer dan intelijen instansional.<br />

f. Komunitas intelijen nasional adalah kumpulan dari seluruh dinas intelijen negara yang<br />

bekerja dalam suatu sistem jaringan kerja dan struktur koordinasi melingkar yang<br />

menempatkan LKIN di titik pusat lingkaran dan berfungsi sebagai koordinator kerja<br />

sama lintas dinas intelijen yang terkait dengan masalah keamanan nasional.<br />

g. Badan Intelijen <strong>Negara</strong> (BIN) adalah satu-satunya organisasi intelijen yang<br />

bertanggungjawab dalam menjalankan fungsi-fungsi intelijen untuk mengantisipasi<br />

ancaman keamanan dalam negeri.<br />

h. Badan Intelijen Strategis adalah satu-satunya organisasi intelijen yang<br />

bertanggungjawab dalam menjalankan fungsi intelijen pertahanan dan luar negeri<br />

untuk mengantisipasi ancaman keamanan yang bersifat eksternal.<br />

i. Intelijen Militer adalah satuan-satuan intelijen yang menjalankan fungsi intelijen<br />

tempur dan melekat pada organisasi Tentara Nasional Indonesia yang memiliki<br />

kewenangan untuk melaksanakan operasi militer.<br />

j. Intelijen instansional adalah intelijen yang melekat pada instansi-instansi pemerintah<br />

yang menjalankan fungsi intelijen kriminal dan yustisia.<br />

k. Lembaga-lembaga penunjang intelijen adalah lembaga-lembaga pemerintah yang<br />

fungsinya terkait dengan masalah-masalah keamanan nasional yang dapat digunakan<br />

untuk membantu pencapaian fungsi intelijen.<br />

l. Anggota intelijen adalah warga negara Indonesia yang direkrut menjadi aparat negara<br />

dalam dinas keintelijenan.<br />

m. Kerja sama intelijen internasional adalah kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah<br />

Indonesia dengan negara lain dan atau organisasi internasional dalam bidang intelijen.<br />

n. Sub-komisi khusus intelijen adalah sub-komisi khusus DPR yang mengawasi dinas<br />

intelijen, yang anggota-anggotanya berasal dari komisi-komisi yang relevan dengan<br />

masalah keamanan nasional.<br />

o. Komisi-komisi independen adalah lembaga sampiran negara yang antara lain meliputi<br />

Ombudsman, Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, dan<br />

Komisi Pemberantasan Korupsi.<br />

p. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau<br />

kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindakan operasi intelijen yang<br />

melanggar peraturan perundang-undangan atau objek salah sasaran.<br />

3. Definisi<br />

Definisi intelijen di dalam <strong>RUU</strong> ini lebih meletakkan posisi intelijen sebagai alat pemerintah<br />

(penguasa), bukan alat negara. Hal ini tentu akan membuka ruang bagi penguasa untuk<br />

melakukan politisasi intelijen sebagi alat kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan negara<br />

dan rakyat pada umumnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai definisi intelijen, dapat dilihat di<br />

DIM usulan <strong>Koalisi</strong> Pasal 3 dan Pasal 4.<br />

4. Asas-Asas<br />

Di dalam <strong>RUU</strong> ini asas-asas belum lengkap dan belum jelas, seharusnya di dalamnya juga<br />

mencantumkan asas taat kepada hukum, menghormati HAM, tidak berpolitik, tidak<br />

berbisnis, tidak menjadi anggota organisasi apapun di luar intelijen, tidak bekerja atas dasar<br />

45


sentimen ras, agama, ideologi, atau kelompok, tidak melakukan tindakan represif. Lebih<br />

lanjut lihat DIM Nomor 24 usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />

5. Organisasi, Struktur dan Kedudukan<br />

Dari sisi organisasi, <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tidak menganut diferensiasi struktur dan<br />

spesialisasi fungsi. <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> tidak membagi wilayah kerja antara intelijen luar<br />

negeri, intelijen dalam negeri, intelijen militer, dan intelijen penegakan hukum secara tegas.<br />

Pemerintah dan DPR, yang membagi intelijen negara menjadi intelijen TNI, intelijen Polri,<br />

dan intelijen kejaksaan, dan intelijen departemen, justru akan berakibat pada ketidakjelasan<br />

otoritas, antara intelijen strategis dan intelijen penegakan hukum. Oleh karenanya <strong>Koalisi</strong><br />

mengusulkan, membagi intelijen menjadi empat, yakni: Badan Intelijen Strategis, Badan<br />

Intelijen <strong>Negara</strong>, Intelijen Militer, dan Intelijen Instasional.<br />

<strong>RUU</strong> Intelijen negara juga belum dapat memisahkan akuntabilitas antara struktur yang<br />

bertanggungjawab dalam membuat kebijakan dengan struktur yang bertanggungjawab secara<br />

operasional yang melaksanakan kebijakan. Sudah semestinya kedepan seluruh aktor-aktor<br />

keamanan yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan, tidak terkecuali lembaga-lembaga,<br />

intelijen berada dibawah atau menjadi bagian dari struktur negara setingkat kementerian.<br />

6. Peran, Tujuan, Fungsi dan Ruang Lingkup<br />

Bab ini seharusnya diganti dengan kegiatan, tujuan, fungsi, dan produk intelijen. Lebih lanjut<br />

mengenai kegiatan, tujuan dan fungsi intelijen, dapat dilihat dari Pasal 5 sampai dengan Pasal<br />

11 dalam DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />

7. Kewenangan Khusus<br />

a. Penyadapan<br />

Membaca <strong>RUU</strong> Intelijen yang tengah dibahas di DPR, memperlihatkan betapa kurang<br />

memperhatikannya mereka, para pembentuk undang-undang—pemerintah dan DPR, terhadap<br />

dinamika hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kesimpulan ini salah<br />

satunya dapat dilihat dari usulan mengenai kewenangan penyadapan—intersepsi komunikasi<br />

bagi lembaga intelijen negara, yang muncul di dalam rancangan undang-undang.<br />

Di dalam <strong>RUU</strong> tersebut, pada Pasal 31 ayat (1) disebutkan, “... lembaga koordinasi intelijen<br />

negara memiliki wewenang khusus melakukan intersepsi komunikasi”. Selanjutnya di ayat (2)<br />

disebutkan, “Intersepsi komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan dalam<br />

menyelenggarakan fungsi Intelijen”. Pengaturan mengenai intersepsi komunikasi di dalam<br />

<strong>RUU</strong> Intelijen, makin terlihat merisaukan bilamana membaca penjelasan dari ketentuan Pasal<br />

31 ayat (1) <strong>RUU</strong>, yang menyebutkan:<br />

“Dalam Undang-Undang ini wewenang khusus melakukan intersepsi komunikasi<br />

dilakukan tanpa melalui Penetapan Ketua Pengadilan. Yang dimaksud dengan<br />

melakukan “intersepsi komunikasi” antara lain melakukan kegiatan penyadapan<br />

telepon dan faksimile, membuka e-mail, pemeriksaan surat, pemeriksaan paket”.<br />

46


Mencermati pengaturan di atas, meski secara prinsipil, dilihat dari fungsi dan<br />

kewenangannya, lembaga intelijen negara sudah sepatutnya diberikan wewenang untuk<br />

melakukan intersepsi komunikasi—penyadapan, namun aturan yang muncul di dalam <strong>RUU</strong>,<br />

justru memiliki potensi pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Dalam praktik<br />

internasional, undang-undang nasional yang mengatur mengenai kewenangan penyadapan<br />

bagi lembaga intelijen, harus secara tegas mengatur mengenai hal-hal berikut: 97 (1) tindakan<br />

intersepsi yang dapat dilakukan, (2) tujuan melakukan intersepsi, (3) kategorisasi objek—<br />

individu yang dapat dilakukan intersepsi, 98 (4) ambang kecurigaan—bukti permulaan, yang<br />

diperlukan untuk membenarkan penggunaan tindakan intersepsi, (5) pengaturan mengenai<br />

pembatasan durasi dalam melakukan tindakan intersepsi, (6) prosedur otorisasi—perizinan,<br />

dan (7) pengawasan serta peninjauan atas tindakan intersepsi yang dilakukan.<br />

Pengaturan ketat harus diberlakukan bagi aktivitas intersepsi komunikasi, sebab aktivitas ini<br />

merupakan salah satu tindakan yang membatasi hak asasi manusia seseorang, khususnya<br />

terkait dengan hak privasi seseorang. Hal itu sebagaimana tertera di dalam pelbagai<br />

instrumen internasional hak asasi manusia, yang diantaranya menegaskan bahwa menjadi hak<br />

asasi yang bersifat fundamental (fundamental rights), bagi setiap orang untuk tidak dikenakan<br />

tindakan sewenang–wenang ataupun serangan yang tidak sah, terhadap kehidupan pribadinya<br />

atau barang milik pribadinya, termasuk di dalamnya juga hubungan komunikasinya, oleh<br />

pejabat negara yang melakukan proses penyelidikan dan/atau penyidikan dalam suatu tindak<br />

pidana. Bahkan Universal Declaration of Human Rights 1948, dalam Pasal 12 telah<br />

menegaskan bahwa:<br />

“No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home<br />

or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the<br />

right to the protection of the law against such interference or attacks.”<br />

Penegasan tersebut selanjutnya diperkuat kembali melalui Kovenan Internasional Hak-Hak<br />

Sipil dan Politik, dimana pada Pasal 17 Kovenan disebutkan, “Tidak boleh seorang pun yang<br />

dengan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiannya,<br />

keluarganya, rumahtangganya atau surat-menyuratnya, demikian pula tidak boleh dicemari<br />

kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah”. Ketentuan ini menekankan pada<br />

pembatasan kewenangan negara untuk melakukan pengawasan rahasia terhadap suatu<br />

individu. Dalam pasal tersebut dikatakan:<br />

(1) No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy,<br />

family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and<br />

reputation.<br />

(2) Everyone has the right to the protection of the law against such interference or<br />

attacks.<br />

Kemudian dalam Komentar Umum No. 16 yang disepakati oleh Komite Hak Asasi Manusia<br />

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada persidangan ke-23, tahun 1988, yang memberikan<br />

97<br />

98<br />

Martin Scheinin, Compilation of Good Practices on Legal and Institutional Frameworks and Measures that<br />

Ensure Respect for Human Rights by Intelligence Agencies while Countering Terrorism, including on their<br />

Oversight, (UN Human Rights Council, 2010), hlm 19.<br />

Sejumlah negara memberikan jaminan khusus terhadap individu-individu pertentu, khususnya mereka para<br />

jurnalis dan advokat, dari tindakan pengumpulan informasi intelijen—khususnya terkait dengan kerja-kerja<br />

intersepsi komunikasi. Lihat German Criminal Code, G10 Act, sect. 3b; sects. 53 and 53a<br />

47


komentar terhadap materi Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, pada<br />

poin 8 dinyatakan, “…bahwa integritas dan kerahasiaan korespondensi harus dijamin secara<br />

de jure dan de facto. Korespondensi harus diantarkan ke alamat yang dituju tanpa halangan<br />

dan tanpa dibuka atau dibaca terlebih dahulu. Pengamatan (surveillance), baik secara<br />

elektronik maupun lainnya, penyadapan telepon, telegraf, dan bentuk-bentuk komunikasi<br />

lainnya, serta perekaman pembicaraan harus dilarang”.<br />

Sejalan dengan sejumlah instrumen internasional di atas, UUD 1945 juga memberikan<br />

penegasan serupa, ketentuan Pasal 28 G UUD 1945 menyatakan:<br />

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,<br />

dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan<br />

perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang<br />

merupakan hak asasi.”<br />

Dalam ranah hukum nasional, ketentuan senada juga dapat ditemukan dalam Pasal 32 UU<br />

No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan, “Kemerdekaan dan<br />

rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana<br />

elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah<br />

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”<br />

Selain ketentuan–ketentuan hak asasi manusia nasional tersebut, sesungguhnya terdapat<br />

ketentuan lain yang dapat menjadi rujukan dalam hal perlindungan pribadi khususnya<br />

komunikasi pribadi yaitu dalam Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,<br />

menyatakan, “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang<br />

disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun”. Kemudian di dalam<br />

penjelasan Pasal 40 UU tersebut juga telah ditegaskan:<br />

“yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat<br />

atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan<br />

informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang<br />

adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang”.<br />

Dari beragam ketentuan–ketentuan hukum internasional dan nasional di atas, maka dapat<br />

ditarik beberapa kesamaan, yakni mengenai larangan bagi negara untuk secara sewenang–<br />

wenang melakukan intervensi terhadap kehidupan pribadi dan juga hubungan komunikasi<br />

warganya. Dan hal yang paling penting adalah adanya katup pengaman (safeguards clause)<br />

yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan dari suatu undang–undang<br />

untuk melawan intervensi sewenang–wenang tersebut dan berhak untuk mendapatkan ganti<br />

rugi atas pelanggaran privasi yang dilakukan secara melawan hukum.<br />

Kendati demikian, mengacu pada pada Komentar Umum No. 16 ICCPR, meski hak privasi<br />

adalah bagian dari fundamental rights, namun demi kepentingan publik yang lebih luas,<br />

pelaksanaan dari hak tersebut dapat dibatasi oleh negara, melalui peraturan perundangundangan.<br />

Dinyatakan pada point 7 komentar umum, “Karena semua orang hidup dalam<br />

masyarakat, perlindungan terhadap pribadi (privacy) pada dasarnya bersifat relatif. Namun,<br />

pihak berwenang publik yang kompeten hanya dapat meminta informasi yang berkaitan<br />

dengan kehidupan pribadi individual sejauh diperlukan untuk kepentingan masyarakat<br />

sebagaimana dipahami berdasarkan Kovenan”. Kemudian dalam poin 8 dinyatakan,<br />

“Bahkan dalam hal campur tangan yang sesuai dengan Kovenan, peraturan yang relevan<br />

48


harus memuat secara detil dan tepat kondisi-kondisi di mana campur tangan tersebut dapat<br />

diijinkan. Suatu keputusan untuk melaksanakan kewenangan campur tangan semacam itu<br />

hanya dapat dibuat oleh pihak berwenang yang ditugaskan oleh hukum, dan berdasarkan<br />

kasus-per-kasus. Artinya, hak privasi adalah bagian dari hak asasi manusia yang dapat<br />

dibatasi (derogable rights), dengan sejumlah pra-syarat tertentu, yang diatur menggunakan<br />

undang-undang.<br />

Dalam konteks Indonesia, penegasan serupa juga diberikan oleh sejumlah peraturan<br />

perundang-undangan nasional, seperti halnya ketentuan Pasal 32 UU No. 39 Tahun 1999<br />

tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.<br />

Ketentuan ini makin diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi melalui beberapa putusannya.<br />

Sedikitnya terdapat tiga putusan MK yang secara khusus memberikan penegasan mengenai<br />

jaminan hak privasi serta relasinya dengan keperluan intersepesi komunikasi oleh aparat<br />

negara, dalam kerangka penegakan hukum.<br />

Pertama, dapat kita lihat dalam pertimbangan hukum putusan MK pada Perkara Nomor<br />

006/PUU-I/2003 tentang pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945, yang diajukan oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan<br />

Penyelenggara <strong>Negara</strong> (KPKPN), dan sejumlah perorangan Warga <strong>Negara</strong> Indonesia. Dalam<br />

putusan tersebut MK menyatakan, bahwa kewenangan penyadapan yang dimiliki Komisi<br />

Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun<br />

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah konstitusional. MK<br />

menjelaskan hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam<br />

keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan<br />

terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan undang-undang, sebagaimana<br />

diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. Lebih lanjut MK menyatakan, “untuk mencegah<br />

kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah<br />

Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata<br />

cara penyadapan dan perekaman dimaksud”. 99<br />

Kedua, adalah pertimbangan hukum putusan MK dalam Perkara Nomor 012-016-019/PUU-<br />

IV/2006, lagi-lagi pada pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan<br />

Tindak Pidana Korupsi, yang diajukan oleh Drs. Mulyana Wirakusumah, dan sejumlah<br />

perorangan Warga <strong>Negara</strong> Indonesia. Dalam putusan tersebut MK menyatakan:<br />

”Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan<br />

hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena<br />

penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak<br />

asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan<br />

undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.<br />

Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain,<br />

siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman<br />

pembicaraan dan apakah perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan itu baru<br />

dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa<br />

penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti,<br />

ataukah justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan<br />

untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan perintah Pasal 28J ayat<br />

99<br />

Lihat Putusan MK No. 006/PUU-I/2003.<br />

49


(2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari<br />

penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi”. 100<br />

Ketiga, MK kembali menegaskan putusannya dalam perkara No. 5/PUU-VIII/2010 tentang<br />

pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi<br />

Eletronik, yang diajukan oleh Anggara, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyudi Djafar.<br />

Dalam pertimbangan putusan (ratio decidendy) tersebut, MK menyatakan bahwa penyadapan<br />

merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain dan oleh karenanya melanggar<br />

hak asasi manusia (HAM), akan tetapi untuk kepentingan nasional yang lebih luas, seperti<br />

halnya penegakan hukum, hak tersebut dapat disimpangi dengan pembatasan. Dikarenakan<br />

intersepsi merupakan salah satu bentuk pembatasan hak asasi seseorang, maka pengaturannya<br />

harus dilakukan dengan undang-undang. Menurut MK, pengaturan dengan menggunakan<br />

undang-undang akan memastikan adanya keterbukaan dan legalitas dari penyadapan itu<br />

sendiri. 101<br />

Dengan merujuk keterangan ahli yang disampaikan oleh Ifdhal Kasim, MK mengatakan<br />

bahwa penyadapan hanya dibolehkan bilamana memenuhi beberapa pra-syarat: (i) adanya<br />

otoritas resmi yang ditunjuk oleh undang-undang untuk memberikan izin penyadapan<br />

(biasanya Ketua Pengadilan), (ii) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan<br />

penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, dan (iv) pembatasan<br />

mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. 102<br />

Lebih jauh MK menekankan tentang perlunya sebuah undang-undang khusus yang mengatur<br />

penyadapan secara umum, serta tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang<br />

berwenang. Menurut MK, undang-undang ini dibutuhkan, karena hingga saat ini di Indonesia<br />

belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan. Seperti diketahui, saat ini di<br />

Indonesia, sedikitnya terdapat sembilan undang-undang yang memberikan kewenangan<br />

penyadapan kepada instansi penegak hukum, dengan mekanisme dan cara yang berbedabeda.<br />

Kesembilan peraturan perundang-undangan tersebut adalah: (1) Bab XXVII WvS<br />

tentang Kejahatan Jabatan, (2) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, (3) UU No. 31<br />

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (4) UU No. 36 Tahun 1999<br />

tentang Telekomunikasi, (5) Perpu Nomor 1 Tahun 20002 tentang Pemberantasan Tindak<br />

Pidana Terorisme, (6) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, (7) UU No. 21 Tahun 2007<br />

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (8) UU No. 11 Tahun 2008<br />

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan (9) UU No. 35 Tahun 2009 tentang<br />

Narkotika.<br />

Selain sembilan undang-undang tersebut, juga terdapat setidaknya dua Peraturan Pemerintah<br />

dan dua Peraturan Menteri, yang materi muatannya mengatur tentang penyadapan, yaitu: (i)<br />

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak<br />

Pidana Korupsi, (ii) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan<br />

Jasa Telekomunikasi, (iii) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No. 11 Tahun 2006<br />

tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, (iv) Peraturan Menteri No.<br />

01/P/M.KOMINFO/03/2008 tentang Perekaman Informasi untuk Kepentingan Pertahanan<br />

100 Lihat Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006.<br />

101 Lihat Putusan MK No. 05/PUU-VIII/2010.<br />

102 Selengkapnya lihat Ifdhal Kasim Kewenangan Penyadapan dan Perlindungan Atas Hak Privasi, Keterangan<br />

Ahli Tertulis untuk Perkara No 5/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi. Lihat juga Steve Tsang (ed.),<br />

Intelligence and Human Rights in the Era of Global Terrorism, (London: Praeger Security International,<br />

2007).<br />

50


dan Keamanan <strong>Negara</strong>, yang mengatur mengenai ketentuan teknis dari penyadapan, tata cara<br />

penyadapan yang bertujuan untuk kepentingan negara tanpa mengabaikan etika dan<br />

kerahasiaan informasi. Menurut MK, akibat ketiadaan aturan tunggal tentang hukum acara<br />

dan/atau tata cara penyadapan telah menyebabkan terancamnya hak atas privasi warga negara<br />

dalam negara-negara hukum modern.<br />

Mengenai undang-undang yang mengatur tentang tata cara penyadapan, seperti pada<br />

instrumen dan praktik di negara lain, dengan mengutip pendapat ahli yang disampaikan<br />

Fajrul Falaakh, MK menyatakan bahwa undang-undang mengenai penyadapan harus<br />

mengatur: (i) Wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan,<br />

(ii) Tujuan penyadapan secara spesifik, (iii) Kategori subjek hukum yang diberi wewenang<br />

untuk melakukan penyadapan, (iv) Adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum<br />

melakukan penyadapan, (v) Tata cara penyadapan, (vii) Pengawasan terhadap penyadapan,<br />

(viii) Penggunaan hasil penyadapan. 103<br />

Dalam praktik intelijen, terkait dengan pelaksanaan kewenangan intersepsi komunikasi,<br />

selain harus patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur di dalam undang-undang<br />

mengenai intersepsi komunikasi—penyadapan, karena tindakannya yang melanggar hak asasi<br />

manusia, makan dalam tindakkannya harus diawasi oleh setidaknya satu institusi eksternal<br />

dan independen dari intervensi badan intelijen. Lembaga ini memiliki kekuasaan untuk revisi<br />

perintah/order, penangguhan atau penghentian tindakan intersepsi, serta pengumpulan data<br />

intelijen lainnya. Untuk memastikan tindakan yang dilakukan badan intelijen, tidak menabrak<br />

prinsip dan jaminan HAM, terhadapnya harus dikenakan proses otorisasi bertingkat.<br />

Memerhatikan materi muatan <strong>RUU</strong> Intelijen, khususnya terkait dengan pemberian<br />

kewenangan khusus intersepsi komunikasi bagi lembaga intelijen (Pasal 31), serta tiadanya<br />

otorisasi bagi lembaga intelijen, dalam melaksanakan aktivitas intersepsi komunikasi<br />

(Penjelasan Pasal 31 (1)), tentu materi tersebut mengingkari keharusan bagi perlindungan hak<br />

atas privasi seseorang. Tanpa adanya otorisasi dari hakim/pengadilan dalam melakukan<br />

aktivitas intersepsi komunikasi, meski diatur di dalam undang-undang, akan tetapi tindakan<br />

tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan unlawful interception, sebab berseberangan<br />

dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.<br />

Pengalaman di beberapa negara seperti Belanda, Amerika Serikat, dan Canada, pengaturan<br />

mengenai penyadapan diatur secara khusus di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana<br />

mereka. Bila melihat Canadian Security and Intelligence Service Act, seluruh ketentuan<br />

mengenai intersepsi, termasuk pengertian, tata cara penyadapan, serta otoritasinya haruslah<br />

tunduk dan mengacu pada Canadian Criminal Code. 104 Sementara di Indonesia pengaturan<br />

mengenai penyadapan diatur secara menyebar di dalam sejumlah peraturan perundangundangan,<br />

untuk itu guna menindaklanjuti amar dari putusan MK, terkait dengan pengujian<br />

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebaiknya pengaturan<br />

mengenai penyadapan diatur di dalam satu undang-undang khusus. Adanya undang-undang<br />

khusus mengenai penyadapan setidaknya menjadikan adanya satu kesatuan hukum<br />

penyadapan, sehingga bisa meminimalisir tindakan intersepsi illegal, yang berpotensi<br />

mengancam perlindungan hak asasi manusia warga negara.<br />

103 Selengkapnya lihat M. Fajrul Falaakh, Penyadapan atas Hak Pribadi Berkomunikasi, Keterangan Ahli<br />

Tertulis untuk Perkara No 5/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi.<br />

104 Lihat ELSAM, Meningkatnya Kekuasaan Eksesif Militer: Kajian Atas Draft <strong>RUU</strong> TNI, Draft <strong>RUU</strong> Intelijen,<br />

dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Briefing <strong>Paper</strong> #1, Maret 2003.<br />

51


Oleh karena itu, sejalan dengan praktik-praktik internasional dan hukum HAM internasional,<br />

pengaturan mengenai pemberian kewenangan khusus intersepsi komunikasi—penyadapan<br />

bagi lembaga intelijen, di dalam <strong>RUU</strong> Intelijen, cukuplah disebutkan:<br />

a. Perihal pemberian kewenangan untuk melakukan intersepsi (penyadapan) kepada lembaga<br />

intelijen<br />

b.Adanya penegasan bahwa penyadapan oleh intelijen harus melalui otorisasi ketua<br />

pengadilan terkecuali intelejen yang berfungsi mendeteksi ancaman luar negeri (BIS).<br />

c. Penyadapan yang dilakukan oleh intelejien dalam negeri (BIN) hanya untuk ancaman<br />

keamanan nasional yang bersifat kejahatan transnasional.<br />

d. Adanya penegasan masa waktu penyadapan<br />

e. Mengenai tata cara, pengawasan, dan penggunaan hasil penyadapan, serta mekanisme<br />

komplain bagi korbannya, haruslah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lain<br />

(undang-undang mengenai intersepsi komunikasi—penyadapan). 105<br />

b. Penangkapan (DIM Pemerintah) dan pengamanan serta penyelidikan dalam<br />

<strong>RUU</strong> Intelijen<br />

Secara prinsip, lembaga intelijen tidak diizinkan untuk menggunakan kekuatan penangkapan<br />

dan penahanan, jika mereka tidak memiliki mandat untuk melakukan fungsi penegakan<br />

hukum (kepolisian). Lembaga intelijen tidak perlu diberikan kewenangan penangkapan dan<br />

penahanan, jikalau kewenangan serupa telah dimiliki oleh institusi lain yang melakukan<br />

fungsi yang sama, dalam konteks penegakan hukum, sebagaimana dimandatkan oleh undangundang.<br />

106 Pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen di dalam undangundang<br />

akan merusak mekanisme criminal justice system.<br />

Sikap pemerintah yang tetap bersikukuh memberikan pemeriksaan intensif alias penangkapan<br />

di dalam Undang-Undang Intelijen kepada lembaga intelijen bukan hanya akan merusak<br />

mekanisme criminal justice system tetapi juga akan membajak sistem penegakan hukum itu<br />

sendiri. Sebagai lembaga yang bekerja secara rahasia dan tertutup, pemberian kewenangan<br />

menangkap kepada lembaga intelijen sama saja melegalisasi kewenangan penculikan di<br />

dalam Undang-Undang Intelijen.<br />

Penting untuk diingat bahwa kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam<br />

proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum<br />

lainnya. Dalam konteks itu, badan intelijen negara maupun intelijen militer bukanlah bagian<br />

dari aparat penegak hukum sehingga adalah salah dan keliru apabila mereka diberikan<br />

kewenangan menangkap.<br />

Lebih dari itu, pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen adalah langkah<br />

mundur dalam proses reformasi sektor keamanan. Pemberian kewenangan itu juga akan<br />

mengembalikan format dan posisi lembaga intelijen seperti pada masa Orde Baru, dimana<br />

lembaga intelijen negara maupun lembaga intelijen militer dapat melakukan kerja-kerja untuk<br />

penangkapan yang pada praktiknya di masa lalu telah berakibat pada terjadinya berbagai<br />

bentuk pelanggaran HAM.<br />

105 Lihat, ELSAM, Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Pilar Pengaturan Intelijen: Kajian Atas Draft <strong>RUU</strong><br />

Intelijen, Briefing <strong>Paper</strong> #2, April 2011.<br />

106 Martin Scheinin, Op.Cit., hlm 24.<br />

52


Pemberian kewenangan menangkap (pemeriksaan intensif) itu tak lepas dari kepentingan<br />

politik militer ataupun badan intelijen negara untuk kembali menempatkan posisinya seperti<br />

pada masa order baru dimana mereka memiliki peran untuk melakukan upaya paksa dalam<br />

kerangka penegakan hukum yang sejak masa Reformasi telah hilang akibat dari pemisahan<br />

peran dan struktur antara TNI dan Polri.<br />

Selain itu, terdapatnya Pasal dalam <strong>RUU</strong> Intelijen yang mengatur bahwa intelijen memiliki<br />

kewenangan dan tugas untuk melakukan pengamanan dan penyelidikan tanpa adanya<br />

penjelasan yang lebih lanjut dan rinci tentang istilah itu jelas-jelas bersifat karet dan<br />

multitasfir.<br />

Hal itu dapat membuka ruang tafsir sepihak bagi penguasa maupun aparat intelijen bahwa<br />

kewenangan itu juga termasuk kewenangan menangkap dan kewenangan upaya paksa<br />

lainnya. Hal itu tak jauh bedanya dengan istilah pemeriksaan intensif yang didesakkan oleh<br />

pemerintah untuk dimasukkan dalam undang-undang Intelijen. Dengan demikian, keberadaan<br />

pasal itu juga akan menimbulkan persoalan tersendiri bagi proses penegakan hukum.<br />

Karenanya istilah pengamanan dan penyelidikan dalam <strong>RUU</strong> ini seharusnya dihapus.<br />

8. Personel dan Rekruitmen<br />

Istilah ”personel” dalam <strong>RUU</strong> Intelijen sebaiknya diganti dengan ”anggota”. Mengenai<br />

definisi tentang anggota intelijen dapat dilihat dalam DIM Usulan <strong>Koalisi</strong> Pasal 27-28.<br />

Sedangkan mengenai ketentuan hak anggota intelijen yang tercantum dalam <strong>RUU</strong> Intelijen<br />

masih kurang lengkap karena tidak mengatur secara tegas mengenai hak anggota untuk<br />

menolak perintah, jaminan penghidupan layak dan perlindungan identitas. Hak menolak<br />

perintah atasan yang melanggar hukum, baik secara tertulis maupun lisan digunakan melalui<br />

Subkomisi Intelijen secara tertutup dan dilindungi sebelum perintah dilakukan. Atas laporan<br />

tersebut Subkomisi Intelijen harus melakukan penyelidikan. Lebih lanjut dapat melihat pada<br />

Pasal 29-36 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />

Selain itu, <strong>RUU</strong> Intelijen juga tidak mengatur bagaimana mekanisme rekruitmen secara lebih<br />

jelas dan rinci. Menurut usulan dari DPR dan pemerintah, pengaturan rekruitmen lebih<br />

menyerahkan pada pengaturan perundang-undangan. Sudah semestinya, pengaturan<br />

mengenai mekanisme rekrutmen diatur jelas dalam <strong>RUU</strong> ini. Lebih lanjut dapat dilihat pada<br />

Pasal 37-38 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />

9. Kode Etik Intelijen<br />

Dalam <strong>RUU</strong> Intelijen, pembentukan kode etik intelijen diserahkan kepada Dewan<br />

Kehormatan dan pengawasan dilakukan oleh Dewan Kehormatan. Sementara pemerintah<br />

mengusulkan kode etik dibentuk oleh masing-masing lembaga intelijen dan bila ada<br />

pelanggaran maka akan dibentuk Dewan Kehormatan yang bersifat adhoc.<br />

Semestinya kode intelijen dibentuk oleh Kepala Lembaga Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong><br />

(LKIN) sebagai lembaga yang mengkoordinasikan seluruh lembaga intelijen. Isi kode etik<br />

merujuk pada hak dan kewajiban anggota serta asas profesionalitas penyelenggaraan intelijen<br />

53


(pasal 2 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>). Sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Kepala LKIN dan<br />

untuk penegakan kode etik dilakukan oleh Dewan Kode Etik yang dibentuk oleh Kepala<br />

LKIN. Lebih lanjut dapat dilihat pada Pasal 39 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />

10. Kerahasiaan Informasi Intelijen<br />

Pengaturan kerahasiaan informasi intelijen di dalam <strong>RUU</strong> Intelijen masih membuka ruang<br />

tafsir yang luas dari penguasa untuk menentukan informasi-informasi yang bersifat rahasia.<br />

Pengaturan rahasia intelijen dalam <strong>RUU</strong> itu belum rigid dan belum secara spesifik mengatur<br />

tentang kategori rahasia informasi intelijen. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan serius<br />

terhadap hak publik untuk memperoleh informasi sebagaimana diatur dalam undang-undang<br />

kebebasan informasi publik dan dapat pula mengancam kebebasan pers.<br />

Pasal 24 UU Intelijen menyebutkan bahwa :<br />

(1) Informasi Intelijen bersifat rahasia.<br />

(2) Informasi Intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:<br />

a. Sistem intelijen negara;<br />

b. Akses-akses yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatannya;<br />

c. Data intelijen kriminal yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan<br />

segala bentuk kejahatan transnasional;<br />

d. Rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala<br />

bentuk kejahatan transnasional;<br />

e. Dokumen tentang Intelijen berkaitan dengan penyelenggaraan Keamanan Nasional;<br />

dan<br />

f. Personel Intelijen negara berkaitan dengan penyelenggaraan Keamanan Nasional.<br />

Lebih dari itu, dengan kategori informasi intelijen yang multitafsir dalam <strong>RUU</strong> Intelijen yang<br />

diikuti dengan adanya sanksi pidana bagi warganegara yang lalai membocorkan rahasia<br />

negara tentu akan mengancam kebebasan informasi, pers dan kehidupan demokrasi itu<br />

sendiri. Pasal 39 <strong>RUU</strong> Intelijen menyebutkan bahwa:<br />

Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya informasi Intelijen yang<br />

bersifat rahasia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara<br />

paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit<br />

Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta<br />

rupiah)<br />

Di sisi lain, klasifikasi rahasia informasi intelijen dalam <strong>RUU</strong> Intelijen berbeda dengan<br />

klasifikasi rahasia informasi intelijen yang diatur dalam UU KIP di mana rahasia informasi<br />

intelijen di dalam Pasal 17 UU KIP meliputi:<br />

Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik<br />

dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu:<br />

1. Informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan<br />

penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap<br />

perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan<br />

ancaman dari dalam dan luar negeri;<br />

2. Dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang<br />

berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang<br />

meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi;<br />

3.. Sistem persandian negara; dan/atau<br />

4. Sistem intelijen negara.<br />

54


Apabila pengaturan tentang kerahasiaan yang terkait dengan intelijen akan diatur dalam<br />

ruang lingkup tersendiri dalam undang-undang intelijen, maka secara spesifik pengaturan<br />

informasi tentang intelijen yang bersifat rahasia itu dapat berbentuk Pasal berikut ini:<br />

Informasi yang merupakan rahasia negara di bidang Intelijen meliputi:<br />

a. Sistem intelijen strategis;<br />

b. Sistem komunikasi strategis;<br />

c. Kriptologi;<br />

d. Perintah operasi rahasia;<br />

e. Strategi dan taktik intelijen (metode);<br />

f. Personil kecuali kepala intelijen dan beberapa jabatan strategis lain di dalam<br />

struktur intelijen;<br />

g. Aktivitas intelijen (termasuk aktivitas spesial);<br />

h. Sumber intelijen;<br />

Terkait masa retensi, maka perlu ditolak gagasan dalam undang-undang intelijen yang ingin<br />

mencantumkan bahwa rahasia informasi intelijen terdapat rahasia yang bersifat permanen dan<br />

tidak bisa dibuka kepada publik. Penting untuk diingat bahwa rahasia negara adalah<br />

informasi publik yang untuk waktu tertentu tidak dapat disampaikan kepada publik karena<br />

dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional. Dengan sendirinya rahasia negara<br />

merupakan perkecualian dan pembatasan dari hak atas informasi yang telah diakui sebagai<br />

HAM.<br />

Karena sifatnya sebagai perkecualian dan pembatasan, maka rahasia negara harus<br />

dirumuskan secara limitatif sehingga tidak menimbulkan kesewenang-wenangan aparat<br />

negara dan merugikan proses demokratisasi. Penentuan ruang lingkup rahasia dibatasi<br />

semaksimal mungkin dengan benar-benar mempertimbangkan argumentasi filosofis,<br />

normatif, dan sosiologis, baik dalam lingkup nasional maupun perkembangan internasional.<br />

Ruang lingkup rahasia negara dibatasi pada informasi tertentu dari aktivitas intelijen strategis<br />

dan pertahanan keamanan dengan mempertimbangkan instrumen hukum internasional dan<br />

diarahkan untuk menanggulangi masalah keamanan nasional dari ancaman kejahatan<br />

terorganisasi.<br />

Keterbatasan atau keterbukaan informasi yang terkait dengan intelijen terkait erat dengan<br />

konsep keamanan nasional itu sendiri. Permasalahan yang mendasar pada perihal tersebut<br />

adalah seberapa jauh batasan-batasan antara keterbukaan informasi dan perlindungan<br />

informasi. Di beberapa negara, batasan-batasan secara umum ditetapkan oleh undang-undang.<br />

Sementara itu, untuk akuntabilitas dan transparansi diserahkan kepada parlemen terkait dan<br />

‘melakukan perjanjian’ untuk tidak membuka kepada publik sampai masa retensi kerahasiaan<br />

informasi tersebut berakhir.<br />

Seiring dengan perkembangan dunia, maka batasan-batasan tersebut juga turut bergeser. Pada<br />

poin ini, persepsi pemegang otoritas menjadi faktor yang sangat penting untuk menyesuaikan<br />

kerahasiaan informasi dengan ancaman dunia yang terus berkembang. Sementara di sisi lain,<br />

persepsi segelintir otoritas ini juga dapat memiliki kekurangan apabila tidak mendapatkan<br />

gambaran komprehensif mengenai ancaman ke depan, terlebih apabila ditunggangi oleh<br />

kepentingan politik kelompok ataupun individu.<br />

Dengan demikian, konsep keamanan nasional, objek (informasi), otoritas yang terkait dan<br />

batasan-batasan yang menjadi acuan bagi otoritas dibutuhkan sedetail mungkin, termasuk<br />

55


penyampaian protes, proses di dalam sidang, batasan kerahasiaan sidang, dll. Dengan<br />

demikian, mekanisme pertanggungjawaban lembaga-lembaga intelijen, parlemen dan<br />

eksekutif akan lebih jelas dalam mencapai keamanan nasional di dalam sebuah negara yang<br />

demokratis yang menjunjung tinggi keterbukaan sebagai HAM maupun warga negara, karena<br />

pada dasarnya segala informasi harus dibuka kepada publik. Kerahasiaan negara adalah<br />

instrumen yang digunakan untuk menunda ‘dibuka’ kepada publik.<br />

Terkait dengan itu, maka tidak ada rahasia informasi intelijen yang bersifat permanen<br />

mengingat rahasia negara merupakan informasi publik yang untuk waktu tertentu tidak dapat<br />

disampaikan kepada publik karena dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan<br />

nasional.<br />

Tidak hanya itu, informasi intelijen baik itu yang bersifat rahasia maupun sangat rahasia<br />

dengan sendirinya dapat dibuka demi semata-mata untuk kepentingan penegakan hukum,<br />

khususnya demi kepentingan membantu upaya penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan<br />

oleh institusi penegak hukum apabila terdapat kasus hukum yang upaya penyelidikannya<br />

hanya dapat terbantu apabila terdapat informasi dari informasi intelijen yang bersifat rahasia<br />

dan sangat rahasia yang dikelola lembaga intelijen atau kasus yang terkait dengan lembaga<br />

intelijen itu sendiri, sehingga dibutuhkan informasi dari lembaga intelijen untuk mengungkap<br />

kasus tersebut.<br />

Selain itu, lebih baik pengaturan rahasia informasi intelijen dalam undang-undang intelijen<br />

juga perlu ditegaskan mengenai mekanisme keberatan publik, yakni dicantumkan satu pasal<br />

tambahan yang berisi mekanisme keberatan publik atas informasi intelijen yang dirahasiakan<br />

oleh negara merujuk kepada mekanisme keberatan yang telah diatur dalam undang-undang<br />

kebebasan memperoleh informasi publik. Mengenai kategori kerahasiaan informasi intelijen<br />

dapat dilihat pada Pasal 40 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />

11. Lembaga Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong> (LKIN)<br />

Lembaga Koordinasi Intelijen <strong>Negara</strong> (LKIN) sebagai lembaga baru yang diatur dalam <strong>RUU</strong><br />

ini akan menjadi lembaga yang menggantikan kedudukan Badan Intelijen <strong>Negara</strong> (BIN) yang<br />

memiliki kewenangan sangat luas. Dalam hal itu, LKIN seharusnya tidak boleh memiliki<br />

kewenangan dan fungsi operasional, seperti melakukan intersepsi komunikasi, pemeriksaan<br />

aliran dana, dan lain-lain. Pelaksanaan fungsi operasional diserahkan kepada lembagalembaga<br />

intelijen yang sudah terbentuk yang telah memiliki kewenangan operasional.<br />

Sementara pemerintah mengusulkan agar BIN memiliki kewenangan operasi dan koordinasi.<br />

Penggabungan dua kewenangan ini dalam satu institusi adalah kekeliruan. Seharusnya, BIN<br />

hanya memiliki kewenangan operasional, karena institusi ini menjalankan fungsi intelijen<br />

dalam negeri, sehingga tidak perlu memiliki kewenangan mengkoordinasikan semua lembaga<br />

intelijen yang ada (Pasal 13-17 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>) .<br />

Khusus untuk masalah LKIN, <strong>Koalisi</strong> mengusulkan lembaga ini adalah satu-satunya lembaga<br />

yang mengkoordinasi seluruh institusi intelijen, memiliki beberapa peran lainnya dan tidak<br />

memiliki kewenangan operasional apalagi kewenangan khusus seperti penyadapan. Lebih<br />

lanjut mengenai ketentuan LKIN dapat dilihat pada Pasal 41-43 DIM Usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />

56


12. Pembiayaan, Pengawasan dan Pertanggungjawaban<br />

a. Pembiayaan<br />

Dalam <strong>RUU</strong> Intelijen, pembiayaan intelijen ditanggung oleh APBN. Namun pengaturan<br />

masalah pembiayaan penyelenggaraan intelijen kurang mendapat elaborasi lebih lanjut.<br />

<strong>Koalisi</strong> mengusulkan agar <strong>RUU</strong> Intelijen juga memuat penegasan larangan penggunaan<br />

sumber pendanaan selain APBN dan mencakup prinsip transparansi serta akuntabilitas<br />

publik. Lebih lanjut pembiayaan intelijen menurut <strong>Koalisi</strong>, lihat Pasal 44-45 DIM Usulan<br />

<strong>Koalisi</strong>.<br />

b. Pengawasan dan Pertanggungjawaban<br />

Pengaturan mekanisme pengawasan dalam <strong>RUU</strong> Intelijen <strong>Negara</strong> hanya dilakukan dalam<br />

bentuk pengawasan parlemen oleh DPR, yang dilaksanakan perangkat kelengkapan DPR<br />

yang membidangi pengawasan intelijen. Tidak ada ketentuan yang mengatur pengawasan<br />

internal, pengawasan eksekutif, maupun pengawasan hukum. Di titik ini, pengawasan yang<br />

dilaksanakan parlemen, sebaiknya dilakukan oleh komisi intelijen tersendiri di dalam<br />

parlemen, yakni dengan membentuk komisi baru yang khusus mengawasi intelijen.<br />

<strong>Koalisi</strong> mengusulkan pengawasan berlapis melalui suatu mekanisme pengawasan konsentrik,<br />

yang dilakukan oleh internal lembaga atau dinas intelijen, Presiden, Menteri dan Kepala<br />

LKIN, DPR, yudisial serta masyarakat sipil. Lebih detail mengenai pengawasan dan<br />

pertanggungjawaban lihat Pasal 46-47 dan Pasal 49-50 DIM usulan <strong>Koalisi</strong>. Demikian juga<br />

pengawasan terhadap LKIN dilakukan oleh Presiden dan parlemen. Untuk pengawasan LKIN<br />

dapat dilihat dalam Pasal 48 DIM usulan <strong>Koalisi</strong>. Dalam pengawasan yudisial dapat dilihat<br />

dalam Pasal 50 DIM usulan <strong>Koalisi</strong>.<br />

13. Hak-Hak Korban<br />

Apabila terjadi praktik penyimpangan kewenangan –khususnya jika terjadi bentuk<br />

pelanggaran HAM- maka korban dapat mengajukan mekanisme keluhan untuk mendapatkan<br />

pemulihan efektif (effective remedy) kepada badan-badan negara independen terkait, seperti<br />

Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). <strong>Koalisi</strong> memandang<br />

Kedua badan ini dinilai memenuhi prinsip-prinsip independensi (independency), ketahanan<br />

integritas (robustness) dan keadilan (fairness).<br />

Pemenuhan hak-hak korban harus sejalan dengan produk kebijakan dan regulasi perundangundangan,<br />

sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang<br />

Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya pada Pasal 5 hingga Pasal 10 –yang secara<br />

eksplisit mengatur pemberian hak-hak reparasi (rehabilitasi, restitusi, kompensasi, kepuasan<br />

dan jaminan ketidakberulangan) kepada korban yang terkait. Reparasi dapat diberikan baik<br />

dalam bentuk material (pemenuhan kebutuhan finansial, medis, pemulihan psiko-sosial)<br />

maupun bentuk immaterial (pengakuan dan permintaan maaf serta pemulihan status sosial<br />

politik dan lain sebagainya).<br />

<strong>Koalisi</strong> mendorong mekanisme keluhan harus ditindaklanjuti dalam ruang mekanisme<br />

koreksi, jika terbukti adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan anggota<br />

intelijen. Mekanisme koreksi ini dihadirkan melalui upaya hukum. Lebih lanjut, jika dalam<br />

praktik penyalahgunaan kewenangan terselip adanya unsur pidana (penyiksaan, perampasan<br />

hak atas hidup dan lain sebagainya), maka wajib hukumnya untuk membawa anggota<br />

57


intelijen ke meja pengadilan. Lebih lanjut lihat Pasal 50 ayat (3) dan Pasal 51 DIM usulan<br />

<strong>Koalisi</strong>.<br />

14. Ketentuan Pidana<br />

Bagi publik non-intelijen mengikuti KUHP, UU KIP dan UU Rahasia <strong>Negara</strong>. Sementara<br />

ketentuan pidana di dalam UU Intelijen <strong>Negara</strong> seharusnya dikhususkan bagi anggota<br />

intelijen. Lihat DIM usulan <strong>Koalisi</strong> Pasal 52-54.<br />

58


BAB VII<br />

PRINSIP UMUM PENGATURAN INTELIJEN<br />

Dari lintasan sejarah keberadaan institusi intelijen di Indonesia, belum terdapat satupun<br />

pengaturan yang memberikan rambu-rambu jelas, baik dari sisi bangunan organisasi,<br />

mekanisme kerja, koordinasi, pertanggungjawaban, maupun pengawasan. Intelijen menjadi<br />

dunia gelap yang tidak tersentuh oleh aturan hukum. Kalaupun terdapat aturan yang<br />

mendasari keberadaannya, hanyalah berupa keputusan penguasa pada tingkat Peraturan<br />

Pemerintah, Keputusan Presiden, atau bahkan hanya tingkat keputusan instansi di mana<br />

intelijen itu bernaung. Hal ini sangat tidak sesuai dengan mandat yang diberikan kepada<br />

institusi intelijen sebagai pengumpul dan penganalisis informasi keamanan nasional yang<br />

tidak saja menentukan kebijakan nasional keamanan nasional, juga menentukan pemenuhan<br />

hak hidup, serta HAM yang lain.<br />

Ketiadaan aturan yang jelas dan tegas tentang intelijen, dengan peran besar, sangat<br />

berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bagaimana<br />

penyalahgunaan terjadi, baik intelijen telah disalahgunakan oleh penguasa maupun<br />

penyalahgunaan yang dilakukan oleh aparat intelijen sendiri. Bahkan, penyalahgunaan yang<br />

justru merugikan warga negara dan masyarakat tersebut tidak pernah dapat terungkap dan<br />

para pelakunya pun hingga kini belum dapat dimintai pertanggungjawaban.<br />

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa <strong>Negara</strong> Indonesia adalah <strong>Negara</strong><br />

Hukum. Salah satu prinsip dari negara hukum adalah asas legalitas atau pemerintahan<br />

dijalankan berdasarkan aturan hukum. Oleh karena itu setiap tindakan negara dan setiap<br />

lembaga yang menjalankan tindakan tersebut harus memiliki dasar hukum. Pengaturan<br />

sebagai dasar hukum tidak hanya berfungsi memberikan legitimasi atas keberadaan lembaga<br />

dan tindakan yang dilakukan berdasarkan wewenang yang dimiliki, melainkan memberikan<br />

jaminan bahwa kelembagaan dan wewenang yang diberikan akan dapat mencapai tujuan<br />

yang dikehendaki. Pengaturan juga berfungsi sebagai batasan agar lembaga dan wewenang<br />

yang dimiliki tidak mudah disalahgunakan selain dari untuk tujuan yang ditetapkan.<br />

Sebagai negara hukum, prinsip penting lain adalah perlindungan HAM. Oleh karena itu<br />

tujuan sesungguhnya dari keberadaan intelijen negara adalah agar negara dapat membuat<br />

keputusan keamanan nasional yang cepat dan tepat, sehingga eksistensi dan kemampuannya<br />

dalam menjalankan pemerintahan untuk memenuhi HAM tidak terganggu, maupun untuk<br />

melindungi keamanan warga negara secara langsung. Dengan tujuan tersebut, tentu saja<br />

intelijen tidak boleh melakukan pelanggaran terhadap HAM. Apalagi kebal terhadap<br />

pertanggungjawaban atas pelanggaran yang dilakukan.<br />

Dari perpektif demokratis, adanya pengaturan intelijen pada level undang-undang mutlak<br />

diperlukan. Fungsi yang dijalankan oleh intelijen menentukan pemenuhan HAM, terutama<br />

hak atas rasa aman dari segala bentuk ancaman. Keamanan adalah barang publik sehingga<br />

adalah hak publik untuk ikut menentukan bagaimana hak atas keamanan harus dipenuhi dan<br />

menjaga agar tidak terjadi pelanggaran atas hak tersebut. Partisipasi publik hanya mungkin<br />

ada apabila terdapat pengaturan yang pembentukannya bersifat demokratis, baik melalui<br />

wakil rakyat maupun aspirasi dan diskursus publik. Oleh karena itu, pengaturan tentang<br />

intelijen harus dalam bentuk undang-undang.<br />

59


Namun demikian, argumentasi tentang perlunya pengaturan intelijen dalam undang-undang<br />

tidak boleh menjadikan kecerobohan, sehingga undang-undang yang terbentuk menjadi<br />

undang-undang yang asal jadi, hanya memberikan legitimasi keberadaan intelijen dengan<br />

mengesampingkan prinsip-prinsip penting yang menentukan tercapai/tidaknya fungsi<br />

intelijen yang mampu mendukung keamanan nasional dan pemenuhan HAM. Oleh karena<br />

itu, pengaturan tentang intelijen harus merupakan pengaturan yang bersifat ideal,<br />

memperbaiki kekeliruan dan kelemahan institusi intelijen masa lalu. Adanya pengaturan baru<br />

harus mampu menjadi kekuatan pengubah dunia “hitam” intelijen di Indonesia.<br />

Dunia intelijen bukan merupakan hak eksklusif dari komunitas intelijen. Untuk<br />

mengembangkan intelijen yang profesional dalam masyarakat demokratis dan menghormati<br />

HAM berbagai kajian akademis telah dilakukan. Berdasarkan hasil kajian teoritik yang<br />

dilakukan oleh Pacivis-UI, terdapat paling tidak 6 (enam) aspek intelijen yang harus<br />

dirumuskan di dalam pengaturan intelijen melalui undang-undang, yaitu hakekat, kegiatan,<br />

organisasi, anggota, produk, dan pengawasan . 107<br />

7.1 Hakekat Intelijen<br />

Intelijen pada hakekatnya adalah hal yang berkaitan dengan informasi yang diperlukan bukan<br />

sebagai tujuan, melainkan sebagai bahan atau instrumen untuk pengambilan keputusan.<br />

Intelijen dapat dilihat sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi, informasi<br />

sebagai produk, dan organisasi yang menanganinya. Oleh karena itu aktivitas intelijen yang<br />

utama adalah mengumpulkan dan mencari informasi, mengevaluasi informasi,<br />

mengintegrasikan, menganalisis, menyimpulkan, dan memperkirakan dinamika keamanan<br />

nasional dengan menggunakan metode yang ilmiah. 108<br />

Intelijen adalah bagian dari sistem keamanan nasional yang merupakan unsur pelaksana<br />

pemberi input, dan bukan pengambil keputusan kebijakan keamanan nasional. Bahkan untuk<br />

dapat memberikan informasi yang obyektif, harus terdapat jarak proporsional antara intelijen<br />

dan pengambil keputusan kebijakan nasional agar informasi yang diberikan tidak hanya<br />

menuruti keinginan dari pembuat kebijakan tersebut.<br />

Agar dapat bekerja secara cepat dan tepat, salah satu karakter intelijen adalah kerahasiaan<br />

dalam bekerja. Hal ini merupakan keharusan karena hakikat intelijen sebagai penyuplai<br />

informasi keamanan nasional. Kerahasiaan diperlukan agar kebijakan keamanan nasional atau<br />

tindakan pencegahan berdasarkan informasi deteksi dini intelijen tetap mutakhir sesuai<br />

dengan ancaman yang akan terjadi dan mampu mencegah terjadinya pendadakan ancaman<br />

keamanan nasional.<br />

Sebagai bagian dari sistem keamanan nasional yang berperan sebagai sistem peringatan dini<br />

dan pencegahan pendadakan strategis untuk melindungi keamanan nasional, intelijen<br />

memiliki ciri sebagai institusi sipil, netral secara politik, tidak otonom, dibentuk berdasarkan<br />

undang-undang, tunduk kepada hukum dan kendali demokratis, memiliki anggaran yang<br />

sepenuhnya berasal dari negara, bersifat akuntabel dan waspada. Hanya intelijen yang<br />

memiliki ciri-ciri inilah yang akan mampu menjadi intelijen yang profesional. Sedangkan<br />

ciri-ciri intelijen yang tidak akan efektif mengejawantahkan hakikat dirinya adalah intelijen<br />

107 Andi Widjajanto (ed.), Menguak Tabir Intelijen “Hitam” Indonesia, (Jakarta: Pacivis-UI, 2006), hlm. 9-64.<br />

108 David L, Carter, Law Enforcement Intelligence: A Guide for State, Local, and Tribal Law Enforcement<br />

Agencies, (Michigan State University, 2004), dalam Ibid, hlm. 11.<br />

60


yang memiliki ciri institusi militeristik, menjadi alat politik rezim, bersifat otonom, ekstra<br />

konstitusional, kebal hukum, tidak tunduk pada kendali demokratis, dapat mencari sumber<br />

dana sendiri di luar anggaran negara, serta tanpa pengawasan yang efektif. 109<br />

7.2 Kegiatan<br />

Sesuai dengan hakikat intelijen sebagai hal sesuatu yang terkait dengan informasi, maka<br />

kegiatan utama intelijen adalah mulai dari pengumpulan informasi hingga memproduksi<br />

informasi. Informasi merupakan produk intelijen yang akan disampaikan kepada pengguna,<br />

yaitu Presiden yang memiliki otoritas memutuskan kebijakan dan tindakan keamanan<br />

nasional.<br />

Dalam perkembangannya, kegiatan intelijen dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu<br />

pengumpulan informasi (collection), analisis informasi (analysis), operasi rahasia (covert<br />

operation), dan kontra-intelijen (counterinteligence). Pengumpulan informasi adalah kegiatan<br />

memperoleh informasi dari berbagai sumber dengan berbagai cara. Informasi dapat diperoleh<br />

dari sumber yang terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat umum, maupun melalui caracara<br />

tertentu seperti spionase, penyadapan komunikasi, maupun cara lain yang melibatkan<br />

instrumen tertentu. Informasi yang dikumpulkan tentu saja bukan informasi yang diperlukan<br />

untuk keperluan intelijen itu sendiri, melainkan informasi yang diperlukan sesuai dengan<br />

kebutuhan pemegang kebijakan keamanan nasional.<br />

Informasi yang dikumpulkan pada prinsipnya merupakan data mentah dari berbagai sumber.<br />

Kegiatan intelijen selanjutnya adalah melakukan analisis agar data dan informasi yang<br />

diperoleh menjadi produk informasi yang berguna bagi pembuat kebijakan. Kegiatan analisis<br />

dapat meliputi verifikasi dan validasi, klasifikasi, evaluasi, serta menyatukan dan<br />

menghubungkan berbagai informasi parsial. Hasil analisis menjadi dasar penilaian terhadap<br />

suatu peristiwa, perkiraan, serta penilaian atas maksud, kapasitas, dan tindakan yang akan<br />

dilakukan pihak lawan.<br />

Analisis informasi dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah berbasis data yang<br />

obyektif, secara komprehensif, preskriptif-analitis yang original sehingga mampu menyajikan<br />

informasi terkini dan perkiraan skenario yang validitas dan reliabilitasnya teruji.<br />

Kegiatan intelijen selanjutnya yang masih terkait dengan informasi adalah kontra intelijen.<br />

Kegiatan ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengimbangi atau menanggapi<br />

kegiatan intelijen atau kekuatan luar yang mengancam keamanan negara berdasarkan<br />

informasi yang telah diperoleh. Tujuan utama kontra intelijen adalah untuk melindungi<br />

keamanan nasional dari aktivitas intelijen lain dalam berbagai bentuk. Bentuk kontra intelijen<br />

yang pada umumnya dilakukan antara lain adalah upaya untuk mencegah kemampuan musuh<br />

dalam mengumpulkan informasi misalnya menutup sumber informasi atau memberikan<br />

informasi yang keliru, mencegah dinas-dinas intelijen asing melakukan infiltrasi atau<br />

melakukan aktivitas spionase, subversi, terorisme, dan sabotase.<br />

Prinsip yang harus dipegang adalah bahwa kegiatan kontra intelijen hanya dapat dilakukan<br />

terhadap kekuatan intelijen asing atau kekuatan asing lainnya, bukan ditujukan terhadap<br />

warga negara atau kekuatan nasional lainnya. Kontra intelijen dapat bersifat pasif maupun<br />

aktif. Kontra intelijen pasif meliputi aktivitas mengidentifikasi orang dan membatasi akses<br />

109 Ibid., hlm 13-14.<br />

61


mereka terhadap materi informasi yang terklasifikasi. Kontra intelijen aktif adalah tindakan<br />

balasan (counter-measure) untuk menetralkan musuh dan aktivitasnya.<br />

Kegiatan intelijen yang keempat merupakan kegiatan yang bersifat terbatas dan sedikit<br />

berbeda dengan ketiga kegiatan sebelumnya. Kegiatan ini adalah kegiatan operasi rahasia<br />

sebagai tindakan aktif yang tidak hanya terkait dengan informasi, tetapi ditujukan untuk<br />

mempengaruhi suatu peristiwa secara langsung. Dalam operasi rahasia ini, intelijen menjadi<br />

alat kebijakan nasional, khusus dan terbatas pada kebijakan luar negeri, yang ditujukan<br />

kepada pemerintahan negara lain, masyarakat tertentu di negara lain, ataupun kepada<br />

kelompok tertentu di luar negara sendiri. Operasi rahasia dapat dilakukan dalam berbagai<br />

bentuk mulai dari propaganda hingga tindakan paramiliter, namun disertai kemampuan<br />

mengaburkan pemerintah dengan alasan yang rasional (plausible denial).<br />

Dalam melakukan kegiatan, intelijen harus tunduk pada prinsip demokrasi dan HAM, serta<br />

dilakukan secara cepat dan akurat (velox et exactus). Untuk memenuhi hal tersebut, intelijen<br />

harus memiliki standart operating procedures (SOP) yang melibatkan penggunaan technical<br />

inteligence dan human inteligence, memiliki sistem validasi dan pengujian reliabilitas, dan<br />

memiliki sistem penyimpanan informasi. Selain itu kegiatan tersebut harus dilakukan<br />

berdasarkan kewenangan yang diatur secara jelas dan tegas secara hukum, dan dalam<br />

pelaksanaannya didasarkan pada mekanisme otorisasi. Sebaliknya intelijen yang bertentangan<br />

dengan prinsip demokrasi dan HAM ditandai dengan metode menangkap dan menyadap,<br />

melakukan pelanggaran HAM, memanipulasi atau merekayasa informasi, tidak memiliki<br />

mekanisme validasi dan penyimpanan informasi sehingga bersifat subyektif, serta tidak<br />

memiliki legalitas hukum dan mekanisme otorisasi sehingga dapat melakukan cara-cara yang<br />

melanggar HAM dalam menjalankan fungsinya. 110<br />

7.3 Organisasi<br />

Penyusunan kerangka organisasi intelijen tentu harus didasarkan pada hakikat intelijen dan<br />

kegiatan yang dilakukan. Hal penting dalam hakekat intelijen adalah sebagai institusi negara<br />

yang menyediakan informasi untuk pengambilan kebijakan keamanan nasional yang tunduk<br />

kepada supremasi sipil, prinsip demokrasi, dan penghormatan HAM. Sedangkan hal penting<br />

yang harus diperhatikan dari sisi kegiatan intelijen adalah sifatnya sebagai unsur pelaksana<br />

dan bukan pengambil kebijakan, aktivitas yang harus dijalankan dengan keahlian tertentu<br />

sesuai dengan wilayah kegiatan.<br />

Berdasarkan pertimbangan hakekat dan kegiatan yang dilakukan, terdapat lima konsep yang<br />

menentukan pembentukan organisasi intelijen berdasarkan hasil kajian Pacivis UI, yaitu (1)<br />

diferensiasi struktrur dan spesialisasi fungsi; (2) koordinasi dan interdependensi; (3)<br />

akuntabilitas anggaran dan kegiatan; (4) institusionalisasi berupa standarisasi dan code of<br />

conduct; dan (5) mekanisme proteksi informasi. 111<br />

Di dalam organisasi intelijen harus terdapat diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi.<br />

Diferensiasi struktur dimaksudkan untuk menguatkan rentang kendali dan membagi<br />

wewenang secara berimbang dalam organisasi intelijen untuk mencegah terjadinya akumulasi<br />

kekuasaan atas intelijen yang sangat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan. Sedangkan<br />

spesialisasi fungsi dimaksudkan agar intelijen dapat menjalankan tugas secara efektif dan<br />

110 Ibid., hlm 20.<br />

111 Ibid., hlm 30.<br />

62


profesional sesuai dengan wilayah kerja. Profesionalisme hanya mungkin dibangun jika<br />

intelijen memiliki satu fungsi yang tegas dan jelas serta tidak melakukan kegiatan lain yang<br />

tidak relevan dengan hakekatnya sebagai intelijen.<br />

Diferensiasi struktur dan spesialisasi ditandai dengan lima karakter organisasi. 112 Pertama,<br />

komunitas intelijen terbagi menjadi dinas-dinas intelijen yang secara organisasi terpisah<br />

sesuai dengan ruang lingkup atau wilayah kegiatan yang dimiliki. Pembagian ini diperlukan<br />

karena setiap ruang lingkup memiliki karakter informasi serta aturan hukum yang berbeda.<br />

Antara intelijen luar negeri dengan intelijen dalam negeri dan intelijen militer memiliki<br />

perbedaan dari sisi jenis informasi yang harus dikumpulkan dan dianalisis, karakter ancaman<br />

keamanan yang dihadapi, maupun batasan kegiatan yang dapat dilakukan. Oleh karena itu,<br />

Pacivis merekomendasikan komunitas intelijen terbagi menjadi emapat dinas intelijen<br />

berdasarkan area kerja, yaitu intelijen dalam negeri, intelijen luar negeri, intelijen militer, dan<br />

intelijen yustisia/instansional.<br />

Diferensiasi dan spesialisasi fungsi juga harus dijalankan dalam setiap dinas intelijen itu<br />

sendiri. Hal ini sangat diperlukan agar intelijen dapat menghasilkan informasi yang benarbenar<br />

cepat dan tepat. Aktivitas pengumpulan, analisis, hingga kegiatan kontra intelijen dan<br />

operasi rahasia tidak dapat disatukan. Di samping tidak efektif, penyatuan dapat<br />

mengakibatkan produk informasi yang disajikan tidak tepat. Oleh karena itu karakter kedua<br />

diferensiasi struktur dan spesialisasi fungsi adalah di dalam setiap dinas intelijen terdapat<br />

pemisahan fungsi pengumpulan informasi, analisis, kontra intelijen dan operasi rahasia.<br />

Untuk membangun intelijen yang efektif dan menjaga sifat kerahasiaan intelijen, harus<br />

terdapat kompartementasi vertikal dan horisontal wilayah kerja baik di dalam maupun luar<br />

negeri. Namun kompartemen ini tidak dibentuk secara baku apalagi mengikuti struktur<br />

pemerintahan. Kompartemen dibentuk berdasarkan dinamika lingkungan strategis dan<br />

analisis ancaman. Inilah yang menjadi karakter kelima dari deferensiasi struktur dan<br />

spesialisasi fungsi.<br />

Konsep kedua organisasi intelijen ideal adalah koordinasi dan interdependensi. 113 Koordinasi<br />

dan interdepensi meliputi koordinasi dan interdepensi produk, koordinasi dan interdependensi<br />

lembaga, serta koordinasi dan interdepensi kegiatan. Koordinasi dan interdependensi produk<br />

diperlukan karena untuk menyajikan informasi yang tepat dan lengkap di satu sisi<br />

memerlukan sumber dan data informasi yang banyak dan bervariasi yang mungkin diperoleh<br />

dari beberapa dinas intelijen yang berbeda, dan di sisi lain informasi tersebut harus diuji<br />

validitasnya sehingga tidak akan menghasilkan penilaian yang salah. Oleh karena itu<br />

diperlukan standar yang sama antar dinas intelijen terkait dengan sistem pelaporan dan<br />

analisis informasi.<br />

Koordinasi dan interdependensi produk tentu membutuhkan adanya koordinasi dan<br />

interdependensi lembaga, yang juga diperlukan untuk memastikan berjalannya fungsi<br />

intelijen yang lain, serta menjamin pengembangan kapasitas dan akuntabilitas organisasi<br />

intelijen. Koordinasi dipegang oleh lembaga atau badan tertentu yang memiliki akses<br />

langsung terhadap pengambil kebijakan nasional, namun terpisah dari struktur organisasi<br />

intelijen itu sendiri.<br />

112 Ibid.<br />

113 Ibid., hlm 32-34.<br />

63


Koordinasi dan interdependensi juga harus dilakukan antar dinas intelijen dalam guna<br />

mendukung dan menjalankan kegiatan. Hal ini membutuhkan adanya saluran komunikasi<br />

yang tidak saling menegasikan, koordinasi dan verifikasi, serta mekanisme pelaksanaan<br />

operasi bersama.<br />

Konsep organisasi intelijen ideal yang ketiga adalah akuntabilitas anggaran dan kegiatan. 114<br />

Akuntabilitas merupakan ciri dari institusi di negara-negara demokrasi berdasarkan<br />

pemahaman bahwa semua kekuasaan yang dimiliki oleh negara berasal dari rakyat sehingga<br />

harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Tentu saja akuntabilitas dimaksud sesuai<br />

dengan karakter intelijen sehingga perlu mekanisme khusus yang menjamin akuntabilitas<br />

dengan tetap tidak mengganggu hakikat dan kegiatan intelijen.<br />

Sebagai alat negara, seluruh anggaran intelijen harus berasal dari anggaran negara. Tidak<br />

boleh ada anggaran yang didapat di luar anggaran negara dan intelijen tidak boleh mencari<br />

maupun menerima anggaran di luar anggaran negara karena akan mengganggu bahkan<br />

merusak tujuan dan kegiatan intelijen.<br />

Untuk menjamin akuntabilitas kegiatan, terdapat enam hal yang diperlukan, yaitu; (1)<br />

prosedur penugasan yang baku dan bukan personal; (2) mekanisme deklasifikasi karena<br />

waktu dan apabila ada penyalahgunaan kekuasaan; (3) prosedur otorisasi kewenangan khusus<br />

disertai dengan mekanisme penyampaian keberatan; (4) mekanisme pertanggungjawaban<br />

pelaksanaan kewenangan khusus; (5) mekansme pelaporan secara tertulis; dan (6) sistem<br />

dokumentasi dan pengarsipan. 115<br />

Untuk memenuhi ideal organisasi yang keempat, yaitu institusionalisasi, komunitas intelijen<br />

harus disusun menurut standarisasi tertentu dan memiliki code of conduct bersama yang dapat<br />

ditegakkan untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Standarisasi meliputi standarisasi<br />

prosedur kerja, pelaporan, operasi, produk, penyaluran produk, dan dokumentasi atau<br />

pengarsipan. Standarisasi diperlukan agar informasi dari berbagai sumber intelijen dapat<br />

saling diverifikasi dan saling mendukung. Sedangkan code of conduct diperlukan agar dinas<br />

intelijen dan apartanya dalam menjalankan tugas tidak menyalahgunakan wewenang dan<br />

melanggar aturan hukum. Code of conduct meliputi ketaatan kepada konstitusi dan hukum;<br />

penghormatan terhadap prinsip demokrasi, HAM, dan kebebasan sipil; netralitas,<br />

imparsialitas dan non-partisan; serta profesional, efektif, dan efisien. 116<br />

Konsep kelima, organisasi intelijen yang ideal harus memiliki mekanisme proteksi, akses,<br />

diseminasi, serta deklasifikasi dan terminasi informasi. Apabila mekanisme ini tidak dimiliki<br />

akan terjadi penyebaran informasi yang merusak kerahasiaan informasi intelijen. Mekanisme<br />

ini juga dimaksudkan untuk memproteksi informasi agar dapat menjalin kerjasama dengan<br />

intelijen negara lain. 117<br />

7.4 Anggota<br />

Pacivis UI mengidentifikasi enam hal terkait dengan konsepsi keanggotaan intelijen, yaitu<br />

klasifikasi anggota, proses rekruitmen, pembinaan, perlindungan, hak dan kewajiban, serta<br />

114 Ibid., hlm 34-36.<br />

115 Ibid., hlm 35.<br />

116 Ibid., hlm 36.<br />

117 Ibid., hlm 37.<br />

64


sanksi. 118 Keanggotaan dapat diklasifikasikan menjadi analis dan pelaksana, yang masingmasing<br />

juga disusun secara berjenjang dan berpuncak pada pimpinan tertinggi intelijen.<br />

Untuk pelaksanaan operasi khusus dibentuk tim ad hoc dengan pejabat tertentu sebagai<br />

penanggungjawab operasi. Anggota intelijen terdiri dari beberapa klasifikasi yang cara<br />

perekrutannya dibedakan, antara lain melalui perekrutan terbuka, talent scouting, lolos butuh,<br />

dan rekruitmen tertutup. Untuk menghasilkan anggota yang profesional dan berstandar,<br />

pembinaan dilakukan secara terpusat oleh lembaga intelijen tertentu sebagai koordinator<br />

dengan sistem akreditasi kualitas pembinaan.<br />

Anggota intelijen mendapatkan perlindungan institusi baik terkait dengan identitas maupun<br />

tugas yang dijalankan. <strong>Negara</strong> juga memiliki kewajiban menemukan atau mengembalikan<br />

agen yang tewas atau dinyatakan hilang, serta memberikan kompensasi kepada agen yang<br />

luka dalam menjalankan tugas. Namun perlindungan identitas dan kegiatan dapat dibuka jika<br />

diperlukan untuk proses penegakan hukum yang terjadi dengan cara penyalahgunaan<br />

wewenang intelijen. Anggota intelijen juga memiliki hak mengajukan nota keberatan<br />

terhadap perintah atasan yang dipandang melebihi wewenang atau melanggar hukum dan<br />

HAM.<br />

Setiap anggota intelijen harus dijamin haknya, terutama hak atas kesejahteraan sehingga<br />

secara penuh dapat menjalani profesinya, hak pengembangan karier, dan hak atas<br />

perlindungan. Sebaliknya, anggota intelijen juga memiliki kewajiban, terutama mematuhi<br />

kode etik dan larangan profesi, baik terkait dengan status maupun aktivitas yang dilakukan.<br />

Untuk mewujudkan anggota intelijen yang profesional, aturan harus ditegakkan dengan<br />

memberikan sanksi. Anggota intelijen bukan manusia yang kebal hukum, bahkan<br />

profesionalisme intelijen menuntut penegakan aturan dengan mengenakan sanksi atas<br />

pelanggaran, baik sanksi profesi maupun sanksi hukum. Impunitas terhadap pelanggaran<br />

yang dilakukan oleh aparat intelijen pada akhirnya hanya akan menyebabkan tidak<br />

profesionalnya aparat intelijen dan mendorong terjadinya pelanggaran dan penyalahgunaan<br />

yang lain.<br />

7.5 Produk<br />

Seluruh informasi intelijen harus melalui mekanisme sistematis yang menjamin pihak-pihak<br />

yang menjadi konsumen produk intelijen dapat menerima informasi itu. Studi Pacivis UI<br />

merumuskan siklus sebagai berikut. 119<br />

1. Perencanaan: meliputi masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan yang dihadapi<br />

pembuat kebijakan, serta arahan mengenai bagaimana menjalankan intelijen.<br />

Kebutuhan informasi sesuai dengan kondisi keamanan nasional dibuat oleh pengguna.<br />

Hal ini akan ditindaklanjuti oleh pimpinan intelijen untuk melaksanakannya.<br />

2. Pengumpulan informasi: dari sumber-sumber terbuka, tertutup, elektronik, satelit<br />

maupun terklasifikasi.<br />

3. Pengolahan: pengurangan data dalam berbagai format menjadi potongan-potongan<br />

data yang berguna, membuat informasi intelijen ke dalam bentuk yang mudah<br />

dimengerti.<br />

4. Analisis: penyatuan dan penilaian data, mencakup peer review dan supervisory review.<br />

118 Ibid., hlm 40-47.<br />

119 Ibid., hlm 49-58.<br />

65


5. Diseminasi: memberikan produk yang tepat untuk memenuhi kebutuhan pengguna<br />

yaitu pembuat kebijakan yang dapat berupa (1) current intelligence, yang menganalisa<br />

kejadian aktual; (2) estimative intelligence, yang menganalisa dan memprediksi<br />

kejadian yang akan datang; (3) warning intelligence, yang memberikan peringatan<br />

tentang sesuatu yang akan terjadi; (4) research intelligence, yang memberikan kajian<br />

mendalam tentang suatu isu; (5) scientific and technical intelligence, yang<br />

memberikan informasi tentang teknologi asing.<br />

Untuk menjalankan siklus ini, jarak antara komunitas intelijen dengan pimpinan negara harus<br />

fungsional, yaitu cukup jauh untuk menjaga agar komunitas intelijen tidak menjadi alat<br />

kekuasaan pembuat kebijakan, dan cukup dekat untuk memungkinkan komunikasi dua arah<br />

sehingga komunitas intelijen dapat mengetahui apa yang dibutuhkan dan pembuat kebijakan<br />

dapat memperoleh informasi yang cukup. Karakter ini akan membuat dinas intelijen<br />

bertindak sepenuhnya berdasarkan data, tanpa harus khawatir bagaimana produknya nanti<br />

akan mempengaruhi proses kebijakan. Selain itu juga membantu menghilangkan<br />

kecenderungan untuk menyalahkan atau menolak analis-analis intelijen yang memberikan<br />

informasi tidak diinginkan atau tidak mendukung kebijakan.<br />

7.6 Pengawasan<br />

Sebagai lembaga dalam negara demokrasi, intelijen harus tunduk pada pengawasan yang<br />

dibutuhkan untuk memastikan intelijen menjalankan fungsinya dengan baik dan mencegah<br />

terjadinya penyimpangan. Pengawasan intelijen menjadi suatu permasalahan tersendiri<br />

mengingat karakter rahasia yang dimiliki intelijen serta pada umumnya mendapatkan<br />

resistensi dari komunitas intelijen, terutama di negara-negara yang baru mengalami<br />

demokratisasi.<br />

Pacivis UI merumuskan beberapa bentuk pengawasan terhadap intelijen. Pertama, di dalam<br />

intelijen yang ‘ideal’ harus memiliki pejabat setingkat menteri yang mengkoordinir dinasdinas<br />

intelijen dan bertanggungjawab secara politik. Kedua, adanya mekanisme pengawasan<br />

berlapis dari sisi internal, eksekutif, parlemen, dan publik. Ketiga, pengawasan internal<br />

dilakukan melalui mekanisme pengawasan melekat dan penetapan standard operating<br />

procedures. Keempat, pengawasan eksekutif dilakukan melalui mekanisme penugasan dan<br />

pelaporan. Kelima, pengawasan parlemen dilakukan melalui mekanisme anggaran dan<br />

adanya subkomisi (select committee) di parlemen. Keenam, pengawasan publik dilakukan<br />

melalui mekanisme penampungan keluhan warga melalui lembaga-lembaga sampiran negara<br />

serta organisasi-organisasi masyarakat sipil. 120<br />

Intelijen juga harus tunduk pada pengawasan dan memiliki akuntabilitas hukum. Hal ini<br />

berupa (1) kegiatan intelijen ‘ideal’ bersumber pada wewenang yang dimandatkan oleh<br />

undang-undang; (2) memiliki otorisasi tertulis dari koordinator seluruh dinas intelijen dalam<br />

menjalankan kewenangan khusus; (3) memiliki saluran tunggal dalam menyampaikan produk<br />

intelijen kepada pengguna akhir; (4) menggunakan kewenangan khusus berdasarkan otorisasi<br />

tertulis yang dikeluarkan oleh penegak hukum. Dari sisi anggaran mekanisme pengawasan<br />

anggaran intelijen dilakukan melalui penetapan anggaran dan pengawasan oleh parlemen atas<br />

penggunaan anggaran, serta mekanisme audit oleh lembaga pemeriksa keuangan.<br />

120 Ibid., hlm 59-63.<br />

66


BAB VII<br />

KESIMPULAN<br />

1. Reformasi intelijen harus diletakkan dalam sistem politik kenegaraan yang demokratis.<br />

Dimana di dalamnya mengharuskan adanya pengakuan intelijen untuk tunduk dan patuh<br />

terhadap otoritas politik (prinsip supremasi sipil), adanya pertanggungjawaban yang jelas<br />

dalam menjalankan fungsi dan tugasnya (prinsip akuntabilitas), keterbukaan (transparansi)<br />

dan pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan HAM, khususnya pengakuan terhadap<br />

hak-hak mendasar yang tergolong dalam rumpun hak yang sifatnya tidak dapat ditunda (nonderogable<br />

rights).<br />

2. Reformasi intelijen pertama-tama dan utama dilakukan melalui pembentukan undangundang<br />

intelijen sebagai payung hukum bagi Intelijen yang mencakup tentang hakekat dan<br />

tujuan intelijen; ruang lingkup intelijen; tugas, fungsi serta wewenang intelijen; organisasi<br />

dan prinsip-prinsip pengaturan kedinasan, termasuk hubungan antar dinas; pembiayaan<br />

kegiatan dan dinas intelijen; mekanisme pengawasan terhadap kegiatan, operasi dan dinas<br />

intelijen.<br />

3. Pembentukan undang-undang intelijen itu harus dapat menjaga keseimbangan antara<br />

kebutuhan negara untuk tetap menjamin dan melindungi kebebasan masyarakat sipil dan hak<br />

asasi manusia di satu sisi dan menjaga serta melindungi keamanan nasional disisi lain.<br />

4. <strong>RUU</strong> Intelijen yang saat ini di bahas di parlemen memiliki banyak permasalahan yang<br />

dapat mengganggu kehidupan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia maupun<br />

penegakan hukum itu sendiri. Hal itu dapat dilihat dari identifikasi masalah-masalah dalam<br />

<strong>RUU</strong> Intelijen sebagaimana dijelaskan dalam Bab VI di atas.<br />

5. Kami meminta dan mendesak agar parlemen menunda pengesahan <strong>RUU</strong> Intelijen dalam<br />

waktu dekat ini mengingat masih banyaknya permasalahan yang terdapat dalam <strong>RUU</strong><br />

Intelijen. Adalah sangat bijak apabila parlemen dan pemerintah untuk melakukan sosialisasi<br />

ke masyarakat secara lebih luas tentang <strong>RUU</strong> Intelijen sambil secara bersamaan<br />

menyempurnakan draft <strong>RUU</strong> Intelijen yang didasarkan pada masukan dan pandangan<br />

masyarakat itu.<br />

67


SUMBER BACAAN<br />

Buku, Jurnal dan Laporan Penelitian<br />

Arganata, H. Emon Rivai (1998), Intelijen Bisnis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.<br />

Araf, Al, dkk (eds.) (2003), Terorisme: Defenisi, Aksi dan Regulasi, Jakarta: Imparsial.<br />

Azhar, Haris dan Syamsul Alam Agus (2005), Poso, Wilayah yang Dikonflikkan,<br />

Jakarta/Palu: KontraS.<br />

Carter, David L. (2004) Law Enforcement Intelligence: A Guide for State, Local, and Tribal<br />

Law Enforcement Agencies, Michigan State University<br />

Dulles, Allan (1965), The Craft of Intelligence, New York: Signet Book<br />

ELSAM (2003), Meningkatnya Kekuasaan Eksesif Militer: Kajian Atas Draft <strong>RUU</strong> TNI,<br />

Draft <strong>RUU</strong> Intelijen, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jakarta:<br />

ELSAM<br />

ELSAM (2011), Menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai Pilar Pengaturan Intelijen: Kajian<br />

Atas Draft <strong>RUU</strong> Intelijen, Jakarta: ELSAM<br />

Holsti, Kalevi J., Peace and War: Armed Conflict and International Order 1648-1989,<br />

Cambridge: CUP.<br />

ICTJ, Kajian terhadap Laporan Komite Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor<br />

Leste tentang Kejahatan yang Terjadi pada Tahun 1999, (2009), Jakarta: ICTJ.<br />

KKP (2008), Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste,<br />

Jakarta: KKP<br />

Komnas HAM, Laporan Lengkap Hasil Penyelidikan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan<br />

Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T) (2000), Jakarta: Komnas<br />

HAM.<br />

Komnas HAM, Ringkasan Eksekutif Tim adhoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi<br />

Manusia yang Berat Peristiwa Talangsari 1989, (2008), Jakarta: Komnas HAM.<br />

KontraS (2005), Operasi Pemulihan Keamanan di Poso dan Kekerasan yang Terpelihara,<br />

Jakarta: KontraS.<br />

KontraS (2006), Aceh Damai dengan Keadilan, Jakarta: KontraS<br />

Kurnarto (1999), Intelijen: Pengertian dan Pemahamannya, Jakarta: PT.Cipta Manunggal<br />

Kunarto (2001), Intelijen Polri, Jakarta: Cipta Manunggal<br />

Otto Syamsuddin Ishak, Sang Martir Teungku Bantaqiah, (2003), Jakarta: Yappika<br />

Prihatono, T. Hari (ed.) (2006), Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, Jakarta:<br />

Propatria Institute<br />

Rabasa, Angel dan John Haseman, The Military and Democracy in Indonesia – Challenges,<br />

Politics, and Power (2002), Santa Monica: RAND<br />

Scheinin, Martin (2010), Compilation of Good Practices on Legal and Institutional<br />

Frameworks and Measures that Ensure Respect for Human Rights by Intelligence<br />

Agencies while Countering Terrorism, including on their Oversight, UN Human Rights<br />

Council<br />

68


Subijanto, Prof. Dr. Bijah (2003), Restorasi Intelijen; Memperkuat Korporat Memperkuat<br />

Sistem Nasional, Jakarta: Penerbit Jati Diri<br />

Tim Imparsial (2005), Evaluasi Kinerja BIN di masa transisi dan catatan untuk Reformasi,<br />

Jakarta: Imparsial.<br />

Tim Imparsial, (2010), Perebutan Kuasa Intelijen, Jakarta:Imparsial<br />

Tim Penyusun Kamus (1990), Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa, Departemen<br />

Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.<br />

Tsang, Steve (ed.) (2007), Intelligence and Human Rights in the Era of Global Terrorism,<br />

London: Praeger Security International<br />

Widjajanto, Andi (ed.) (2006), Menguak Tabir Intelijen “Hitam” Indonesia, Jakarta: Pacivis-<br />

UI<br />

Widjajanto, Andi (ed), <strong>Negara</strong>, Intel, dan Ketakutan, (2006), Jakarta: Pacivis UI<br />

Widjajanto, Andi, Cornelis L., Makmur K. (2006), Intelijen:Velox et Exactus, Jakarta:Pacivis<br />

Widjajanto, Andi dan Artanti Wardhani (2008), Hubungan Intelijen-<strong>Negara</strong> 1945-2004,<br />

Jakarta: Pacivis<br />

Perundangan, Draf Perundangan dan Catatan Peradilan<br />

Draft <strong>RUU</strong> Pokok-pokok Intelijen, 5 September 2003<br />

German Criminal Code, G10 Act, sect. 3b; sects. 53 and 53a<br />

Ifdhal Kasim, Kewenangan Penyadapan dan Perlindungan Atas Hak Privasi, Keterangan<br />

Ahli Tertulis untuk Perkara No 5/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi. Lihat juga<br />

M. Fajrul Falaakh, Penyadapan atas Hak Pribadi Berkomunikasi, Keterangan Ahli Tertulis<br />

untuk Perkara No 5/PUU-VIII/2010 pada Mahkamah Konstitusi.<br />

Putusan MK No. 006/PUU-I/2003<br />

Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006<br />

Putusan MK No. 05/PUU-VIII/2010<br />

Surat Kabar dan Majalah<br />

Forum Keadilan, edisi 14 Maret 2004<br />

Gatra, 12 Maret 2004<br />

Indopos, 8 Juni 2004<br />

Kompas, 3 Februari 2003<br />

Kompas, 20 Februari 2003<br />

Kompas, 10 Agustus 2003<br />

Kompas, 5 Maret 2005<br />

Kompas, 29 Juni 2005<br />

Kompas, 26 Juli 2005<br />

Kompas, 28 April 2010<br />

Koran Tempo, 20 Desember 2003<br />

Majalah Tempo, edisi 12 Januari 2004<br />

Merdeka, 12 Agustus 1982<br />

Majalah Tempo, 25 Juli 1998<br />

Majalah Tempo, 21 Maret 2004<br />

Media Indonesia, 15 Januari 2005<br />

69


Media Indonesia, 14 Februari 2005<br />

Media Indonesia, 21 Mei 2005<br />

Pelita, 10 Maret 2004<br />

Radar Sulteng, 16 Oktober 2004<br />

Republika, 27 Mei 2010<br />

Sampari, edisi 2 Februari 2006<br />

Sinar Harapan, 11 Januari 1982<br />

Sinar Harapan, 22 Juli 1983<br />

Telik Sandi, volume I, No. 1 Juni 2006<br />

Tempo Interaktif, 14 Juli 2005<br />

Internet<br />

Detik, “Foto ‘Penembakan’ SBY; Permadi: Itu Foto Latihan Perang Kasus Poso”<br />

www.detiknews.com/read/2009/07/21/161343/1168849/10/<br />

Geneva Centre for Democratic Control of Armed Forces, Switzerland: Intelligence Services<br />

and Democracy, dalam http://www.dcaf.ch/_docs/WP13.pdf<br />

Headquarters Department of Army, United States: Inteliigence, dalam<br />

http://www.fas.org/irp/doddir/army/fm2-0.pdf<br />

Human Rights Watch: Indonesia’s Draft Law on Intelligence: A Threat To the nation?, dalam<br />

http://ejp.icj.org/IMG/HRWIndonesiaBINbill.pdf<br />

Intelligence in a Constitutional Democracy: Final Report to the Minister for Intelligence<br />

Services MR Ronnie Kasrils MP- South Africa, dalam<br />

http://www.mg.co.za/uploads/final-report-september-2008-615.pdf<br />

John Helmi Mempi-Umar Abduh, Sejarah Dinas Intelijen Indonesia,<br />

http://swaramuslim.net/galery/more.php?id=A5783_0_18_0_M<br />

Laporan OHCHR dikeluarkan pada tanggal 17 Oktober 2006. Lihat Pemberitahuan Pers pada<br />

website<br />

OHCHR:<br />

http://ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=5657&LangID=E<br />

Vivanews, “Ledakan di JW Marriot dan Ritz Carlton: Prabowo Tidak Terima Pernyataan<br />

SBY”, http://politik.vivanews.com/news/read/76053<br />

70

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!