Edisi Mei -Juni Tahun 2008 per HAL - Elsam
Edisi Mei -Juni Tahun 2008 per HAL - Elsam
Edisi Mei -Juni Tahun 2008 per HAL - Elsam
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
World<br />
WTO Bank IMF<br />
GATT<br />
TNCs<br />
Pembebasan dari<br />
Cengkeraman Modal,<br />
Pembodohan, dan Impunitas<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
www.elsam.or.id
daftar isi<br />
editorial 03<br />
laporan utama<br />
Sejarah bangsa ini mem<strong>per</strong>lihatkan bahwa modal kolonial bangkrut<br />
di . <strong>per</strong>tengahan abad 18. Bangkrut kembali se-abad kemudian dan<br />
lagi-lagi ini terjadi di tahun 1930-an. Dalam siklus kebangkitan dan<br />
kebangkrutan modal, pengkhianat dan pejuang pun timbul<br />
tenggelam.<br />
laporan utama 5 - 13<br />
kolom tetap<br />
dari pembaca 4<br />
nasional<br />
14-16<br />
Kenaikan Harga BBM, Krisis Pangan,<br />
dan Tanggung Jawab Negara<br />
internasional<br />
17-18<br />
Penyiksaan:<br />
Bagaimana Mungkin Dikriminalisasi,<br />
Diatur Saja Belum<br />
daerah<br />
19<br />
<strong>per</strong>spektif 20<br />
resensi 22<br />
Program ELSAM 24<br />
menyamaratakan standard penilaian? Dok. Kompas<br />
Pembebasan dari Opresi Modal<br />
Globalisasi bukanlah fenomena satu dimensi, tetapi merupakan<br />
proses multidimensi yang melibatkan ranah kegiatan dan<br />
interaksi yang berbeda-beda termasuk ranah kultural. Fenomena<br />
globalisasi ditandai dengan ekspansi modal dan eskalasi <strong>per</strong>ilaku<br />
konsumtif di berbagai bidang kehidupan. Globalisasi telah<br />
menciptakan varian penindasan kemanusiaan dalam bungkusan<br />
masyarakat industrial dan pasar global.<br />
Pembebasan dari Impunitas<br />
Tentara harus dibuat akuntabel atas pelanggaran hak asasi<br />
manusia di masa lalu dengan sebuah proses kebenaran dan<br />
keadilan melalui sebuah pengadilan yang bersih. Dan di masa<br />
depan, tentara harus ditempatkan di bawah pengawasan sipil,<br />
tanpa pengaruh politik dan kepentingan ekonomi apa pun.<br />
Tanggung jawab dari kesatuan tentara harus ditetapkan secara<br />
tegas, kelompok-kelompok paramiliter harus dibekukan dan<br />
anggota-anggotanya harus dibawa ke pengadilan untuk<br />
mem<strong>per</strong>tanggungjawabkan kejahatan mereka.<br />
Guru ”Kritis” di Bawah Rejim Ujian<br />
Gerardus Weruin menggambarkan pembelajaran di sekolah<br />
bukan dalam suasana yang menyenangkan dan merdeka, tetapi<br />
menjadi beban dan suatu paksaan terhadap anak-anak. UN<br />
menjadi hal yang lebih memberatkan, mencemaskan, dan<br />
menakutkan anak karena menentukan kelulusan dan tamat<br />
belajar.<br />
<strong>per</strong>spektif 18-21<br />
Merawat Ke-Indonesiaan<br />
Sikap pemerintah dan kekuatan politik yang mendiamkan<br />
seluruh kekerasan yang terindikasi secara kuat sebagai<br />
pelanggaran HAM dan memiskinkan rakyat Indonesia secara<br />
sistematis, menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun ini belum<br />
ada <strong>per</strong>bedaan yang berarti antara karakter politik pemerintahan<br />
masa lalu dengan masa kini. Maknanya adalah elite-elite politik,<br />
partai politik dan pemerintah gagal merawat ke-Indonesiaan<br />
dalam sepuluh tahun ini.
editorial<br />
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
“Menjinakkan” Tirani Modal,<br />
Agenda Demokrasi yang Tertinggal<br />
al paling meresahkan<br />
m a s yarakat p a s c a<br />
otoritarian adalah<br />
p e n g k h i a n a t a n .<br />
HTe r b u k a ny a r u a n g<br />
politik segera diisi oleh kekuatan<br />
politik yang saling berebut kuasa,<br />
dan yang terpenting meninggalkan<br />
rakyat. Kebijakan ekonomi dan<br />
politik lahir dari kesepakatankesepakatan<br />
jangka pendek<br />
kekuatan politik. Perhitungan<br />
<strong>per</strong>tama-tama dan utama adalah<br />
menguasai aset ekonomi, konsesi<br />
dan lisensi. Perhitungan ini hingga<br />
tahun yang ke 10 pasca otoritarian<br />
belum bergeser.<br />
Sekarang orang membaca<br />
gejala di atas dengan cara lain:<br />
bahwa modal bukan lagi unsur<br />
ekonomi suatu bangsa tetapi sudah<br />
m e n j a d i t i r a n i . M o d a l<br />
m e n c e n g ke r a m p u s a t - p u s a t<br />
kegiatan ekonomi dan segala forum<br />
politik; menyusup ke ruang-ruang<br />
sekolah dan mengakar sejauhjauhnya<br />
pada tumbuh susutnya<br />
ke<strong>per</strong>cayaan dan kebudayaan. Dia<br />
berkuasa atas bangsa.<br />
K a l a u b e g i n i r e fo r m a s i<br />
tampaknya cuma melahirkan<br />
pengkhianat dan modal yang tiran.<br />
Bila keduanya bertemu, maka tirani<br />
modal menjadi sempurna. Namun<br />
seketika kita membayangkan<br />
kesempurnaan itu, maka seketika<br />
itu segala komponen reformasi akan<br />
tersesat. Sejarah bangsa ini<br />
mem<strong>per</strong>lihatkan bahwa modal<br />
kolonial bangkrut di <strong>per</strong>tengahan<br />
abad 18. Bangkrut kembali se-abad<br />
kemudian dan lagi-lagi ini terjadi di<br />
tahun 1930-an. Dalam siklus<br />
kebangkitan dan kebangkrutan<br />
modal, pengkhianat dan pejuang<br />
pun timbul tenggelam.<br />
Yang menjadi soal, banyak yang<br />
m e y a k i n i p e n t i n g n y a<br />
membangkitkan modal tapi sedikit<br />
yang mampu mengendalikannya.<br />
Gaung <strong>per</strong>ingatan 100 tahun<br />
K e b a n g k i t a n N a s i o n a l<br />
menggemakan kebangkitan dari<br />
ke t e r p u r u k a n e ko n o m i d a n<br />
kebangkitan modal nasional.<br />
Sebaliknya suara tentang pembagian<br />
aset hanya di pinggiran. Politik<br />
bergerak untuk menggerakan modal<br />
ketimbang mengelola modal. Agenda<br />
<strong>per</strong>ubahan atau transformasi politik<br />
melepaskan dirinya dari keharusan<br />
menata ulang modal, capital reform.<br />
Demikian pula kemiskinan<br />
sebagai konsekuensi dari gerak<br />
modal justru dilepaskan darinya.<br />
Bahkan setelah berabad hilang dari<br />
khazanah keilmuan, pandangan<br />
kemiskinan sebagai bencana<br />
dihadirkan kembali. Nyaris seusia<br />
dengan lahirnya Boedi Oetomo, 100<br />
tahun lalu, hasil penelitian kommisie<br />
van minderwaarderheid (1912-<br />
1914) mendorong lahirnya kebijakan<br />
b a n t u a n b e r a s c u m a - c u m a<br />
pemerintah kolonial bagi kaum<br />
miskin. Berton-ton beras sengaja<br />
didatangkan dari Burma di tahun 20-<br />
an, lagi-lagi karena harga gula jatuh<br />
di pasaran dunia. Di kemudian hari,<br />
j a r i n g p e n g a m a n s o s i a l<br />
di<strong>per</strong>kenalkan oleh Bank Dunia pada<br />
tahun 1997 telah diproduksi ulang<br />
oleh bangsa sendiri dalam program<br />
Bantuan Langsung Tunai (BLT),<br />
program cash and carry dan<br />
seterusnya.<br />
Pe m i k i r a n s e m a c a m i n i<br />
sesungguhnya tidak memiliki<br />
landasan konstitusional. Justru<br />
konstitusi bangsa Indonesia<br />
menegaskan dalam pasal 28 a, b, c,<br />
dan h bahwa bebas dari kelaparan<br />
dan kemiskinan adalah hak. Dalam<br />
berbagai <strong>per</strong>janjian internasional di<br />
bidang HAM, hal sama juga<br />
diserukan. Memang masih sulit<br />
u n t u k m e n c a p a i ko n s e n s u s<br />
internasional agar kemiskinan<br />
ditetapkan sebagai tindakan<br />
kejahatan terhadap kemanusiaan.<br />
Hak asasi manusia juga tidak secara<br />
khusus menyinggung soal modal.<br />
Namun yang pasti, dalam segala<br />
<strong>per</strong>janjian internasional HAM, dan<br />
k h u s u s ny a b i l a m e n c e r m a t i<br />
<strong>per</strong>janjian hak ekonomi, sosial dan<br />
budaya, amat jelas ke<strong>per</strong>luannya<br />
untuk menjinakkan modal. Dengan<br />
menjadikan Negara sebagai aktor<br />
utama pelindung HAM, <strong>per</strong>janjian<br />
internasional HAM coba menghadang<br />
fluktuasi gerak modal. Bila modal<br />
berusaha mengecilkan <strong>per</strong>an Negara,<br />
sebaliknya rejim HAM di bawah PBB<br />
justru membesarkan <strong>per</strong>an Negara.<br />
Rejim HAM PBB paham benar<br />
kekuatan modal. Resolusi dewan<br />
HAM PBB telah menunjuk para ahli<br />
d a n p e l a p o r k h u s u s u n t u k<br />
menangani gejala modal. Untuk<br />
bidang HAM dan <strong>per</strong>usahaan<br />
transnasional dan lainnya, Dewan<br />
menunjuk Mr. John Rugie. Sedangkan<br />
pelapor khusus di bidang hutang luar<br />
negeri dan pemenuhan HAM,<br />
khususnya hak ekonomi sosial dan<br />
budaya adalah Mr. Chepas Lumina.<br />
Global Compact yang digagas oleh<br />
Kofie Annan ketika menjabat sebagai<br />
sekretaris jendral PBB, tidak lain<br />
adalah langkah diplomatis menyeret<br />
kekuasaan modal untuk tidak<br />
bergerak liar sendiri, namun dalam<br />
kerangka hak asasi manusia. Usaha<br />
lain adalah menetapkan suatu<br />
protokol opsional bagi konvensi hak<br />
ekonomi sosial budaya. Bila berhasil<br />
maka protokol inilah yang menjadi<br />
unsur pemaksa penting bagi tiap<br />
negara untuk memastikan akses<br />
masyarakat pada sumber ekonomi.<br />
Menjinakan modal memang<br />
bukan pekerjaan mudah. Namun<br />
dapat dipastikan konsensus<br />
kenegaraan maupun internasional<br />
t i d a k p e r n a h m e n y a t a k a n<br />
dukungannya pada tirani modal.<br />
Karenanya tirani modal pada<br />
prinsipnya tidak di<strong>per</strong>kenankan<br />
hidup.<br />
Agung Putri<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
03
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
Dari pembaca<br />
w w w . e l s a m . o r . i d<br />
Redaksional<br />
Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi:<br />
Agung Putri<br />
Wakil Pemimpin Redaksi:<br />
Amiruddin al Rahab<br />
Redaktur Pelaksana:<br />
Eddie Riyadi<br />
Redaktur:<br />
A.H. Semendawai, Eddie Riyadi, Betty<br />
Yolanda, Triana Dyah Pujiastuti, Otto Adi<br />
Yulianto, Raimondus Arwalembun<br />
Sekretaris Redaksi:<br />
Raimondus Arwalembun<br />
Sirkulasi/Distribusi:<br />
Khumaedy<br />
Desain & Tata Letak:<br />
Alang-alang<br />
Penerbit:<br />
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat<br />
(ELSAM)<br />
Alamat Redaksi:<br />
Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar<br />
Minggu, Jakarta 12510,<br />
Telepon: (021) 7972662, 79192564<br />
Faximile: (021) 79192519<br />
E-mail:<br />
office@elsam.or.id, asasi@elsam.or.id<br />
Website:<br />
Www.elsam.or.id.<br />
Redaksi senang menerima tulisan, saran,<br />
kritik dan komentar dari pembaca. Buletin<br />
ASASI bisa di<strong>per</strong>oleh secara rutin.<br />
Kirimkan nama dan alamat lengkap ke<br />
redaksi. Kami juga menerima pengganti<br />
biaya cetak dan distribusi berapapun<br />
nilainya. Transfer ke rekening<br />
Hai.......ASASI:<br />
Perkenalkan saya Erwin S Basrin bekerja di AKAR<br />
Foundation, salah satu NGO yang ada di Bengkulu yang<br />
bergerak pada isu lingkungan, HAM, PSDA dan Masyarakat<br />
Adat. Kami berharap bisa dikirim beberapa bacaan dari<br />
ELSAM (buletin dan beberapa buku publikasi) sebagai<br />
bagian penambahan bacaan dan kapasitas kami dalam<br />
melakukan beberapa pekerjaan di Bengkulu, mohon dikirim<br />
ke:<br />
AKAR Foundation<br />
Jl. Sukajadi No 8 Rt 7 Rw 3 Kelurahan Penurunan<br />
Ratu Samban-Kota Bengkulu 38223 Bengkulu<br />
Terima kasih<br />
Salam<br />
Erwin S Basrin<br />
Direktur Eksekutif<br />
Redaksi:<br />
Bapak Erwin S Basrin yang baik, terima kasih untuk<br />
<strong>per</strong>mohonannya. Kami akan mulai mengirimkan secara rutin<br />
setiap penerbitan Buletin ASASI kepada lembaga bapak.<br />
Semoga bermanfaat bagi teman-teman di AKAR<br />
Foundation.<br />
Kami mengucapkan terima kasih atas pengiriman Buletin<br />
ASASI-nya. Perlu Kami beritahukan bahwa alamat<br />
BAKUMSU bukan di Jl. Bromo tetapi sekarang beralamat di:<br />
Jalan Air Bersih No. 28, Kelurahan Sudi Rejo I<br />
Kecamatan Medan Kota, KP 20218.<br />
Jika mengirimkan Buletin ASASI edisi berikutnya kepada<br />
kami, mohon dikirimkan ke alamat baru tersebut. Atas<br />
<strong>per</strong>hatian dan pengiriman buletinnya kami ucapkan terima<br />
kasih.<br />
Mangaliat Simarmata, SH<br />
Sekretaris Eksekutif BAKUMSU Medan<br />
Redaksi:<br />
Terima kasih untuk informasi <strong>per</strong>ubahan alamatnya. Buletin<br />
ASASI <strong>Edisi</strong> selanjutnya akan kami kirimkan ke alamat yang<br />
baru.<br />
ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar<br />
Minggu No. 127.00.0412864-9<br />
Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat<br />
Dikirimkan via email di bawah ini:<br />
asasi@elsam.or.id<br />
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
04 EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong>
laporan utama<br />
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
Pembebasan dari<br />
Opresi Modal<br />
Oleh Emile A. Laggut<br />
(Kadiv Litbang HAM PBHI Pusat)<br />
rus politik ekonomi<br />
global merangsek<br />
masuk ke Indonesia<br />
s e j a k a d a n y a<br />
k u n j u n g a n t a h a p A<strong>per</strong>tama tim IMF pada bulan Juli<br />
1966. Selang satu bulan<br />
berikutnya, agen Bank Dunia juga<br />
menyusul. Agenda utama kedua<br />
lembaga keuangan Internasional<br />
ini adalah memusatkan <strong>per</strong>hatian<br />
pada tugas jangka panjang<br />
k h u s u s n y a m e n i n g k a t k a n<br />
kapasitas produktif di Indonesia.<br />
P e m e r i n t a h m e n e r i m a<br />
kehadiran kedua lembaga ini<br />
dengan satu impian besar, dapat<br />
menstabiliasasikan kondisi hi<strong>per</strong>inflasi<br />
kurs rupiah yang sedang<br />
anjlok pada waktu itu. Presiden<br />
Soeharto meminta bantuan<br />
ekonom muda kelompok UI dan<br />
SESKOAD yang terdiri dari<br />
Wijoyo Nitisastro, Ali Wardana, M.<br />
Sadli, Subroto dan Emil Salim<br />
untuk merancang program<br />
“Stabilisasi dan Rehabilitasi” guna<br />
menghentikan laju inflansi.<br />
Alhasil, program ini berjalan<br />
efektif karena sokongan program<br />
pinjaman berkala dari kedua<br />
lembaga keuangan internasional<br />
tersebut.<br />
G u n a m e n i n d a k l a n j u t i<br />
program kerja sama di bidang<br />
e k o n o m i - p o l i t i k a n t a r a<br />
Pemerintah dengan kedua<br />
lembaga keuangan internasional<br />
ini, maka pada bulan November<br />
1 9 6 7 d i s e l e n g g a r a k a n<br />
“Konferensi Investasi Indonesia”<br />
di Jenewa. Delegasi Indonesia<br />
terdiri dari menteri ekonomi dan<br />
menteri luar negeri serta para ahli<br />
ekonomi terkemuka pemerintah<br />
dari kelompok UI dan SESKOAD<br />
(yang kemudian lazim dikenal<br />
sebagai “Mafia Berkley"). Para ahli<br />
ekonomi ini diberi tugas khusus<br />
untuk melakukan pengawasan<br />
dan bertanggung jawab atas<br />
pelaksanaan dan pengembangan<br />
investasi dan <strong>per</strong>dagangan global.<br />
Pendek kata, sejak 1967-an<br />
pemerintah hendak menciptakan<br />
stabilitas ekonomi-politik dan iklim<br />
usaha yang menjamin keamanan<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
05
laporan utama<br />
i n v e s t o r a s i n g d a n<br />
menguntungkan sekaligus tidak<br />
menimbulkan kebencian dari<br />
kelompok-kelompok ekonom<br />
nasional dan pengusahapengusaha<br />
di tanah air. Hal ini<br />
dijelaskan oleh Emil Salim bahwa<br />
kebutuhan akan investasi asing<br />
sangat penting, namun terlalu<br />
besar untuk dipikul sendirian oleh<br />
pemerintah. Pernyataan ini<br />
didukung oleh Sri Sultan HB IX<br />
bahwa orang-orang Indonesia<br />
tidak lagi tercekam oleh<br />
ketakutan yang tak masuk akal<br />
bahwa investasi asing haruslah<br />
berarti dominasi “im<strong>per</strong>ialisme.”<br />
(Winters, 1998: 84). Inilah awal<br />
mula cengkeraman modal dalam<br />
tata politik dan ekonomi<br />
Indonesia, yang mendapatkan<br />
gizi baiknya dalam globalisasi.<br />
Modal itu sendiri (bisnis) tidak<br />
d e n g a n s e n d i r i n y a j a h a t,<br />
demikian juga globalisasi itu<br />
sendiri tidak semata-mata<br />
negatif, tetapi kolaborasi<br />
keduanya melahirkan derita dan<br />
kejahatan di mana-mana,<br />
termasuk Indonesia.<br />
Kajian ekonomi mengenai<br />
globalisasi menunjukan bahwa<br />
fenomena globalisasi ekonomi<br />
muncul di saat dibentuknya<br />
Konferensi Bretton Woods yang<br />
kemudian menjadi landasan<br />
institusional terhadap pendirian<br />
t i g a o r g a n i s a s i e k o n o m i<br />
internasional yaitu IMF, World<br />
Bank dan GATT. Globalisasi<br />
sebagai proses ekonomi tidak<br />
terlepas dari proses institusiinstitusi<br />
politik, misalnya<br />
g l o b a l i s a s i e k o n o m i b i s a<br />
mendorong menyusutnya kontrol<br />
pemerintah terhadap kebijakan<br />
ekonomi. Kemudian penyusutan<br />
soal prinsip kedaulatan negara<br />
dan kian membesarnya pengaruh<br />
organisasi antar-pemerintah dan<br />
prospek terhadap tatanan<br />
pemerintahan global (global<br />
governance). Globalisasi sebagai<br />
proses kultural tidak terlepas dari<br />
munculnya fenomena kultur<br />
g l o b a l . J a d i p e n g a m a t a n<br />
terhadap globalisasi tidak akan<br />
memadai jika tidak melakukan<br />
pengamatan atas dimensi<br />
kulturalnya saja. Sebagaimana<br />
dinyatakan oleh sosiolog John<br />
Tomlinson: “Globalisasi berada di<br />
jantung modern, praktik-praktik<br />
kultural berada di jantung<br />
globalisasi.”<br />
Dengan demikian, globalisasi<br />
bukanlah fenomena satu dimensi,<br />
t e t a p i m e r u p a k a n p r o s e s<br />
multidimensi yang melibatkan<br />
ranah kegiatan dan interaksi yang<br />
berbeda-beda termasuk ranah<br />
kultural. Fenomena globalisasi<br />
ditandai dengan ekspansi modal<br />
dan eskalasi <strong>per</strong>ilaku konsumtif<br />
diberbagai bidang kehidupan.<br />
Globalisasi telah menciptakan<br />
varian penindasan kemanusiaan<br />
dalam bungkusan masyarakat<br />
industrial dan pasar global.<br />
Terpaan arus globalisasi ini<br />
telah memicu meningkatnya<br />
pelanggaran HAM yang bersifat<br />
sistemik dan struktural, dan<br />
pelanggaran-pelanggaran itu sulit<br />
dikenal satu <strong>per</strong> satu. Ancaman itu<br />
muncul akibat dari kegagalan kita<br />
s e b a g a i b a n g s a u n t u k<br />
melindungi, mencegah dan<br />
m e m p r o m o s i k a n h a k - h a k<br />
ekonomi, sosial dan budaya. Hal<br />
ini bisa dilihat dari tingkat<br />
pengangguran yang tinggi,<br />
kemiskinan, gizi buruk, jumlah<br />
anak jalanan yang dilacurkan, dan<br />
yang terlampar dari sekolah telah<br />
meningkat drastis. Kaum petani<br />
kebanyakan tidak memiliki tanah<br />
l a g i a k i b a t d a r i a d a n y a<br />
pencaplokan tanah milik mereka.<br />
Begitu juga dengan kondisi<br />
kehidupan kaum buruh yang<br />
serba tidak menentu.<br />
Opresi Modal dan Kondisi<br />
buruh<br />
Kelompok sosial <strong>per</strong>tama yang<br />
langsung terkena dampak<br />
globalisasi dan kapitalisme global<br />
adalah kaum buruh baik yang<br />
bekerja di sektor formal maupun<br />
y a n g i n f o r m a l . S i s t e m<br />
internasionalisasi modal telah<br />
mengatur secara detail tentang<br />
keahlian, profesionalitas, potensi<br />
dan sumber daya, upah minimun<br />
yang telah menyebabkan kondisi<br />
buruh di Indonesia terhempas ke<br />
ranah kemelaratan yang tidak<br />
menentu.<br />
Ini erat kaitannya dengan<br />
penciptaan lapangan kerja yang<br />
memadai dan peningkatan kondisi<br />
kehidupan para buruh sesuai<br />
standard ketentuan-ketentuan<br />
k o n v e n s i I L O d a n U U<br />
Ketenagakerjaan. Akan tetapi,<br />
sampai sejauh ini kondisi buruh<br />
tetap saja di<strong>per</strong>lakukan se<strong>per</strong>ti<br />
“sapi <strong>per</strong>ah” oleh para pemilik<br />
m o d a l . H a k - h a k m e r e k a<br />
dieksploitasi, sementara rasio gaji<br />
atau upah tidak berimbang<br />
dengan standard kelayakan hidup.<br />
Belum lagi, adanya tata cara kerja<br />
paksa dan <strong>per</strong>lakuan diskriminatif<br />
antara kelompok ekspatriat dan<br />
pribumi, berikut sentimen soal<br />
kesempatan di bidang karier.<br />
Padahal, ada beberapa<br />
ketentuan Konvensi ILO yang<br />
fundamental, dan pemerintah<br />
Indonesia telah meratifikasi<br />
beberapa dari konvensi tersebut di<br />
antaranya Konvensi ILO No. 87<br />
tentang Kebebasan untuk<br />
Bergabung dan Perlindungan Hak<br />
untuk Berorganisasi (1948),<br />
Konvensi No. 98 mengenai<br />
Penerapan Asas Hak untuk<br />
B e r o r g a n i s a s i d a n u n t u k<br />
Berunding Bersama (1949),<br />
Konvensi ILO No. 29 dan 105<br />
tentang Penghapusan Kerja<br />
Paksa atau Wajib Kerja (1930),<br />
Konvensi No. 100 dan 111,<br />
m e n g e n a i K e s a m a a n<br />
Pengupahan antara Buruh Pria<br />
dan Wanita untuk Pekerjaan yang<br />
S e d e r a j a t d a n m e n g e n a i<br />
Diskriminasi dalam Hal Pekerjaan<br />
dan Jabatan, Konvensi N0. 138<br />
mengenai Usia Minimum untuk<br />
Di<strong>per</strong>bolehkan Masuk Kerja<br />
(1973), Konvensi No. 182 tentang<br />
Pelanggaran dan Tindakan<br />
Segera Penghapusan Bentuk-<br />
Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk<br />
Anak, Konvensi No. 88 tentang<br />
Lembaga Pelayanan Penempatan<br />
Tenaga Kerja (1948), Konvensi<br />
No. 106 tentang Istirahat<br />
Mingguan di Perdagangan dan<br />
Kantor (1957) dan Konvensi ILO<br />
No. 144 tentang Konsultasi<br />
Tripartit untuk Memajukan<br />
Pelaksanaan Standar Perburuhan<br />
Internasional (1976).<br />
Selain ketentuan-ketentuan<br />
Konvensi ILO, pengaturan<br />
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
06 EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong>
laporan utama<br />
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
maupun <strong>per</strong>lindungan hak-hak<br />
dan status buruh termaktub<br />
dalam UU No. 13 <strong>Tahun</strong> 2003<br />
tentang Ketenagakerjaan yang<br />
secara eksplisit memposisikan<br />
buruh sebagai mitra, sekaligus<br />
jalinan kerja yang bersifat tripartit<br />
antara pemilik modal, buruh dan<br />
pemerintah. Pada bagian IV UU<br />
i n i a d a k l a u s u l t e n t a n g<br />
Perencanaan Ketenagakerjaan<br />
oleh Pemerintah, di mana<br />
kewajiban pemerintah adalah<br />
menetapkan kebijakan dan<br />
menyusun <strong>per</strong>encanaan strategis<br />
bagi tenaga kerja baik itu tenaga<br />
kerja mikro maupun makro.<br />
Namun harus diakui juga bahwa<br />
di satu sisi UU ini jauh dari<br />
harapan karena melegalkan<br />
s i s t e m o u t s o u r c i n g y a n g<br />
ditentang kaum buruh. Artinya,<br />
<strong>per</strong>lindungan dan pengaturan<br />
tentang hak-hak buruh yang<br />
termaktub dalam konvensi ILO<br />
dan UU Ketenagakerjaan sama<br />
sekali tidak membuat hidup kaum<br />
buruh tertolong dan bebas dari<br />
belenggu kejahatan modal.<br />
Praktik-praktik penindasan masih<br />
terus berlangsung dalam sistem<br />
kapitalisme global. Kaum buruh<br />
merupakan kelompok sosial yang<br />
tersubordinatif dalam sistem<br />
ekonomi-politik yang dikelola oleh<br />
investor asing dengan konsep<br />
swastanisasi atau privatisasi<br />
aset-aset ekonomi negara.<br />
Bebas dari Opresi Modal<br />
Upaya pembebasan dari o<strong>per</strong>asi<br />
modal dan bentuk-bentuk<br />
kejahatan modal bisa ditempuh<br />
dengan beberapa cara: <strong>per</strong>tama,<br />
konsep state-led development<br />
(pembangunan yang terpimpin<br />
oleh negara) <strong>per</strong>lu dibangkitkan<br />
lagi guna menghentikan laju<br />
kapitalisme global di bawah<br />
genggaman TNCs dan lembaga<br />
keuangan internasional. Hal ini<br />
selain selaras dengan prinsipprinsip<br />
moral dasar politik, juga<br />
t e r u t a m a s e j a l a n d e n g a n<br />
paradigma tanggung jawab politik<br />
yang dianut oleh hak asasi<br />
manusia internasional. Secara<br />
lebih khusus, konsep pemenuhan<br />
hak-hak ekonomi, sosial dan<br />
budaya mengandaikan <strong>per</strong>an<br />
n e g a r a s e c a r a l a n g s u n g<br />
(obligation of ressult) dan bersifat<br />
progressive realization; artinya<br />
sistem ekonomi-politik nasional<br />
harus di bawah pengelolan atau<br />
pengawasan langsung negara,<br />
bukannya diserahkan kepada<br />
pihak swasta.<br />
Kedua, <strong>per</strong>lu diciptakan dan<br />
ditegakkan aturan hukum yang<br />
bersifat ketat dan adil. Pemerintah<br />
<strong>per</strong>lu membuat kebijakan di<br />
bidang pembangunan ekonomi<br />
yang pada hakikatnya dapat<br />
meningkatkan kesejahteraan<br />
para buruh dan atau menciptakan<br />
sistem ekonomi politik yang<br />
berasaskan pada keadilan sosial<br />
sesuai mandat Konstitusi pasal 33<br />
UUD 1945, demi terwujudnya<br />
kesejahteraan seluruh warga<br />
negara. Selain itu, pemerintah<br />
<strong>per</strong>lu merevisi kembali seluruh<br />
“ k o n t r a k k a r y a ” d e n g a n<br />
<strong>per</strong>usahan-<strong>per</strong>usahan asing yang<br />
telah lama bero<strong>per</strong>asi di<br />
Indonesia.<br />
Ketiga adalah nasionalisasi<br />
seluruh modal (<strong>per</strong>usahaan)<br />
asing, khususnya TNCs dan<br />
MNCs. Negara-negara Amerika<br />
Latin se<strong>per</strong>ti Bolivia, Nikaragua<br />
dan khususnya Venezuela yang<br />
bersatu di bawah lingkaran<br />
revolusi Bolivarian telah berhasil<br />
m e l a k u k a n n a s i o n a l i s a s i<br />
t e r h a d a p p e r u s a h a a n -<br />
p e r u s a h a a n a s i n g d a n<br />
multinasional asing. Sasarannya<br />
adalah menasionalisasikan<br />
seluruh korporat di bawah kendali<br />
TNCs dan menolak keterlibatan<br />
lembaga-lembaga keuangan<br />
i n t e r n a s i o n a l . Ve n e z u e l a<br />
merupakan salah satu negara di<br />
Amerika Latin yang berhasil<br />
membebaskan diri dari belenggu<br />
m o d a l d a l a m b u n g k u s a n<br />
kapitalisme global, globalisasi,<br />
dan neoliberalisme.<br />
Ada baiknya pemerintah<br />
Indonesia belajar dari negara<br />
Venezuela, terutama di bidang<br />
pembangunan ekonomi nasional<br />
yang sudah lama di pasung dalam<br />
sistem ekonomi-politiknya IMF,<br />
World Bank dan TNCs/MNCs.<br />
P e m b e l a j a r a n i t u a k a n<br />
menyingkap fakta-fakta betapa<br />
negara kita ini sudah lama dijajah<br />
oleh agenda im<strong>per</strong>alisme modal<br />
global.<br />
Sumber Referensi:<br />
G l o b a l i s a s i M e n g h e m p a s<br />
Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2007<br />
Manfred B. Steger, Globalisme,<br />
The New Market Ideology, (trj)<br />
Globalisme, Bangkitnya Ideologi<br />
Pasar, Yogyakarta: Lafadl, 2005.<br />
McChesney, Allan, Memajukan dan<br />
Membela Hak-Hak Ekonomi,<br />
Sosial dan Budaya, Insist:<br />
Yogyakarta, 2003.<br />
Naisbit, John, Global Paradox,<br />
New York: William Marrow and<br />
Company, Inc., 1994.<br />
Petras, James dan Henry<br />
V e l t m e y e r , G l o b a l i z a t i o n<br />
Unmasked, 2001, (terj) Kedok<br />
Globalisasi, Im<strong>per</strong>ialisme Abad 21,<br />
Jakarta: Caraka Nusa, 2006<br />
Soyomukti, Nurani, Revolusi<br />
Bolivarian, Hugo Chaves dan<br />
Politik Radikal, Yogyakarta: Resist<br />
Book, 2007.<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
07
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
laporan utama<br />
Membebaskan Indonesia<br />
dari Jeratan Impunitas*<br />
e r a p a b a n y a k<br />
kekerasan hak asasi<br />
manusia di Indonesia<br />
yang belum dihukum<br />
sejak tahun 1965? BJawabannya: “Terlalu banyak.”<br />
Tapi jawaban ini tidak membantu<br />
para aktivis hak asasi manusia<br />
dalam memerangi impunitas.<br />
Karya tulis ini menganalisis<br />
mekanisme-mekanisme impunitas<br />
d i I n d o n e s i a , m e n c o b a<br />
menemukan pola-pola yang<br />
dipakai dan memberikan<br />
rekomendasi bagi penentuan<br />
prioritas dalam mengentaskan<br />
impunitas.<br />
I m p u n i t a s a d a l a h<br />
“ketidakmungkinan, de jure dan de<br />
facto, untuk membawa para<br />
pelaku kejahatan dan kekerasan<br />
untuk mem<strong>per</strong>tanggungjawabkan<br />
<strong>per</strong>buatannya baik dalam proses<br />
<strong>per</strong>sidangan pidana, <strong>per</strong>data,<br />
administrasi atau disipliner karena<br />
mereka tidak tunduk pada<br />
p e n y i d i k a n y a n g b i s a<br />
mengarahkan mereka pada<br />
alasan mengapa mereka dituduh,<br />
ditangkap, diadili dan, jika<br />
ditemukan bersalah, dihukum<br />
dengan hukuman yang tepat, dan<br />
untuk melakukan reparasi bagi<br />
para korban.” (Orentlicher, 2005a:<br />
6).<br />
Analisis telah diatursusun<br />
dengan menggunakan<br />
metode Penilaian Dampak Hak<br />
Asasi Manusia (Human Rights<br />
Impact Assessment, HRIA),<br />
dengan langkah-langkah berikut:<br />
(1) Situasi mutakhir sebuah<br />
deskripsi berdasarkan laporan hak<br />
asasi manusia inernasional dan<br />
Indonesia untuk memberikan<br />
gambaran tentang kekerasan hak<br />
asasi manusia yang terjadi (2004-<br />
2005); (2) Konteks politik<br />
difokuskan pada impunitas yang<br />
diarahkan pada analisis pola-pola<br />
impunitas selama <strong>per</strong>iode 1965-<br />
2005; (3) Sasaran <strong>per</strong>ubahan<br />
difokuskan pada pengentasan<br />
impunitas dengan menggunakan<br />
panduan PBB yang dikembangkan<br />
oleh Orentlicher; (4) Isu-isu yang<br />
akan dimonitor mendaftar isu-isu<br />
di mana pola-pola impunitas<br />
berkonflik dengan sasaran<br />
<strong>per</strong>ubahan yang tampak pada<br />
sejumlah indikator spesifik yang<br />
dimonitor; (5) Kesimpulan dan<br />
rekomendasi termasuk prioritas<br />
untuk <strong>per</strong>ubahan dan advokasi.<br />
Langkah-langkah tersisa<br />
dari Penilaian Dampak Hak Asasi<br />
M a n u s i a y a n g m e n c a k u p i<br />
implementasi, monitoring dan<br />
evaluasi, hanya dapat diwujudkan<br />
s e t e l a h r e k o m e n d a s i -<br />
r e k o m e n d a s i n y a b i s a<br />
diimplementasikan.<br />
1. Situasi mutakhir<br />
S i t u a s i m u t a k h i r t e n t a n g<br />
kekerasan hak asasi manusia<br />
(2004-2005) telah dianalisis<br />
dengan mencocokan komitmen<br />
formal (compliance) dalam<br />
<strong>per</strong>janjian-<strong>per</strong>janjian internasional<br />
yang telah diratifikasi oleh<br />
Indonesia dengan implementasi<br />
dari hak-hak politik dan sipil yang<br />
utama. Tampak di atas kertas<br />
bahwa kendatipun ada janji untuk<br />
meratifikasi namun komitmen<br />
tersebut tidaklah memadai dan<br />
dalam praktiknya tetap terjadi<br />
sejumlah besar pelanggaran Hak<br />
Asasi Manusia (HAM) dan bahwa<br />
mekanisme-mekanisme yang<br />
mendukung impunitas itu tetap<br />
saja berlaku, walaupun pemegang<br />
tampuk pimpinan Indonesia telah<br />
diganti pada 1998.<br />
2. Konteks politik<br />
Dalam analisis tentang konteks<br />
politik, ada empat pola impunitas<br />
yang harus jelas: (1) aspek yang<br />
berkaitan dengan kekuasaan; (2)<br />
aspek hukum; (3) aspek kultural;<br />
(4) aspek internasional.<br />
2.1. Aspek yang berkaitan<br />
dengan kekuasaan<br />
Aspek-aspek kekuasaan terkait<br />
adalah aspek kekuasaan militer<br />
dan kepolisian yang selama<br />
puluhan tahun telah membentengi<br />
diri mereka sendiri dan yang<br />
masing-masingnya melanjutkan<br />
praktik represi. Salah satu temuan<br />
penting adalah bahwa tentara<br />
Indonesia memiliki dua cara<br />
menerapkan impunitas: <strong>per</strong>tama<br />
adalah melalui model dwifungsi<br />
yang memberikannya kekuasaan<br />
untuk merepresi para warga<br />
negara di tingkat akar rumput tanpa<br />
k o n t r o l s a m a s e k a l i d a r i<br />
pemerintahan dan kekuasaan<br />
k e h a k i m a n ; k e d u a a d a l a h<br />
ketertutupan yang sengaja<br />
dikembangkan dalam pelbagai<br />
kegiatan ketentaraan, kapasitas<br />
dan kebijakan.<br />
2.2. Aspek-aspek hukum<br />
Aspek-aspek legal dari impunitas<br />
dibagi atas legislasi dan praktik<br />
pengadilan. Undang-Undang telah<br />
dibuat dengan tujuan untuk<br />
mencegah pandangan-pandangan<br />
terbuka dan kritis tentang<br />
p e l a n g g a r a n H A M . P a r a<br />
profesional yudisial dalam<br />
penuntutan dan para hakim<br />
bekerja dalam iklim di mana<br />
penghukuman terhadap kejahatan<br />
hak asasi manusia adalah hal yang<br />
tidak mungkin. Lebih khusus,<br />
korupsi di lembaga kehakiman dan<br />
pelbagai profesi hukum lainnya<br />
akhirnya menghasilkan praktik<br />
pengimbangan kekuatan (tradeoff)<br />
dan “penjualan” keputusan<br />
dalam kasus-kasus yang dibawa<br />
08<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong>
laporan utama<br />
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
ke pengadilan. Akhirnya, sejak<br />
1998, sebuah proses reformasi<br />
hukum telah dimulai. Namun pada<br />
saat itu, tampaklah bahwa begitu<br />
b a n y a k m e k a n i s m e u n t u k<br />
menegakkan kedaulatan hukum<br />
(rule of law), dan bahwa jumlah<br />
yang begitu banyak itu malah<br />
m e n j a d i p e n g h a l a n g b a g i<br />
penuntutan dan penghukuman.<br />
2.3. Aspek kultural<br />
Terdapat banyak sinyal dan<br />
p e r n y a t a a n d a r i p e l b a g a i<br />
narasumber yang menunjukkan<br />
bahwa kultur feodalisme masih<br />
tetap bercokol kuat dalam<br />
masyarakat. Hal itu membuat<br />
impunitas bukan hanya mungkin,<br />
melainkan merupakan suatu unsur<br />
esensial dalam kultur masyarakat<br />
sekarang ini. Perilaku “asal bapak<br />
senang”, tidak kritis, dan sopan<br />
santun hipokrit merupakan ciri<br />
khas paling jelas dari kultur<br />
feodalisme. Dua jenis <strong>per</strong>ilaku<br />
lainnya juga berkaitan erat dengan<br />
hal itu, yaitu kultur kekerasan<br />
mengatasi konflik bukan dengan<br />
dialog dan debat melainkan<br />
dengan kekerasan dan budaya<br />
k e m u n a f i k a n ( c u l t u r e o f<br />
fabrication) karena adanya<br />
tuntutan sopan santun dalam<br />
m a s y a r a k a t m a k a o r a n g<br />
cenderung untuk tidak menggali<br />
kebenaran dan menyingkapkan<br />
fakta-fakta. Akhirnya, ada juga<br />
kultur korupsi yang menerima<br />
begitu saja praktik-praktik korupsi<br />
dan memaafkan begitu saja ketika<br />
praktik korupsi itu terbukti. Semua<br />
<strong>per</strong>ilaku itu secara bersama-sama<br />
mem<strong>per</strong>kuat tindakan menutupnutupi<br />
ketika dihadapkan pada<br />
tuntutan untuk menghukum<br />
kejahatan hak asasi manusia.<br />
2.4. Aspek-aspek internasional<br />
Perjanjian-<strong>per</strong>janjian internasional<br />
tidak mengijinkan terjadinya<br />
impunitas. Kendati Indonesia<br />
belum meratifikasi semua<br />
<strong>per</strong>janjian itu, namun sudah<br />
tercakup dalam konsep common<br />
law bahwa impunitas tidak boleh<br />
dibiarkan hidup. Kurangnya<br />
implementasi atas <strong>per</strong>janjian<strong>per</strong>janjian<br />
ini, dan kurangnya<br />
tekanan internasional untuk<br />
membuat <strong>per</strong>janjian-<strong>per</strong>janjian itu<br />
diimplementasikan dengan lebih<br />
b a i k , t u r u t m e n y e b a b k a n<br />
kelanggengan impunitas. Salah<br />
satu masalahnya adalah cara<br />
yang tidak memadai tentang<br />
b a g a i m a n a i m p u n i t a s<br />
dimasukkan ke dalam <strong>per</strong>janjian<strong>per</strong>janjian<br />
itu. Masalah lainnya lagi<br />
adalah kurangnya komitmen<br />
politik (political will) untuk<br />
melakukan tekanan se<strong>per</strong>ti itu.<br />
Contoh-contoh pelanggaran hak<br />
asasi manusia yang berkaitan<br />
dengan kasus 1965 dan kasuskasus<br />
di Timor Timur sejak 1975<br />
m e m p e r l i h a t k a n b a h w a<br />
m e k a n i s m e - m e k a n i s m e<br />
internasional PBB belum berjalan<br />
efektif sama sekali. Satu-satunya<br />
pengecualian adalah program<br />
pelepasan bagi para tahanan<br />
politik yang didesak oleh<br />
Organisasi Buruh Internasional<br />
( I L O ) k e p a d a p e m e r i n t a h<br />
Indonesia pada tahun 1976-1979.<br />
J u r i s d i k s i u n i v e r s a l<br />
m e r u p a k a n s i s t e m y a n g<br />
dengannya penuntutan dan<br />
pengadilan bisa diinisiasi oleh<br />
negara-negara lain dan bukan<br />
sekadar oleh negara di mana<br />
pelanggaran HAM terjadi, dan<br />
lebih mengarah kepada para<br />
pelakunya dalam kapasitas<br />
individual dan bukan mengarah<br />
pada kapasitasnya sebagai warga<br />
bangsa atau negara tertentu.<br />
Namun demikian, jurisdiksi<br />
u n i v e r s a l b e l u m p e r n a h<br />
d i t e r a p k a n d a l a m k a s u s<br />
Indonesia, tidak juga dalam kasus<br />
Timor Timur, baik dalam bentuk<br />
sebuah Pengadilan (Tribunal)<br />
Internasional maupun dalam<br />
bentuk penuntutan individual yang<br />
dilakukan di negara-negara lain.<br />
D a l a m h u b u n g a n<br />
bilateral, impunitas tidak <strong>per</strong>nah<br />
menjadi isu yang penting. Sejauh<br />
yang kita ketahui, pelanggaran<br />
HAM, hanya dibahas secara<br />
sambil lalu. Intervensi-intervensi<br />
diplomatik pada dasarnya<br />
memang tidak transparan.<br />
Bertahun-tahun sejak 1965,<br />
tampak jelas bahwa tekanan<br />
b i l a t e r a l a s i n g h a n y a<br />
mendatangkan sedikit <strong>per</strong>ubahan<br />
dalam situasi represi yang dialami<br />
oleh ratusan dari ribuan orang<br />
yang “terlibat” dalam apa yang<br />
disebut sebagai kudeta gagal itu,<br />
dan bahkan tidak memberi<br />
<strong>per</strong>hatian apa pun berkaitan<br />
dengan impunitas.<br />
Persyaratan tertentu<br />
(conditionality) dalam hubungan<br />
internasional pada hakikatnya<br />
merupakan alat yang dipakai untuk<br />
menekan <strong>per</strong>ubahan tertentu di<br />
sebuah negara berkembang oleh<br />
negara donor atau sekelompok<br />
negara donor. Persyaratan pada<br />
umumnya berarti menerapkan<br />
kekuasaan negara donor kepada<br />
negara penerima, dan sangat<br />
diragukan apakah <strong>per</strong>syaratan itu<br />
dapat diterima jika berkaitan<br />
dengan <strong>per</strong>soalan hak asasi<br />
manusia. Dalam kasus Indonesia,<br />
IGGI (Intergovernmental Group on<br />
Indonesia), yang setelah tahun<br />
1992 berubah menjadi CGI<br />
(Consultative Group on Indonesia),<br />
telah menjadi sangat enggan untuk<br />
mengajukan <strong>per</strong>syaratan berupa<br />
<strong>per</strong>mintaan sebagai imbalan dari<br />
pemberian bantuan kerja sama,<br />
pinjaman dan hibah. Pada tahun<br />
1992, IGGI telah diganti menjadi<br />
CGI oleh pemerintah Indonesia<br />
setelah retaknya hubungan kerja<br />
sama antara Indonesia dan<br />
Belanda, karena pemerintah<br />
Belanda melakukan kritik terhadap<br />
tragedi pembantaian massal Santa<br />
Cruz, Dili, pada tahun 1991.<br />
Pemerintah Belanda kemudian<br />
kehilangan kursi kepemimpinan<br />
dalam IGGI. CGI kemudian<br />
dikepalai oleh Bank Dunia (World<br />
Bank). Perilaku pemerintah<br />
Indonesia dalam menghadapi<br />
<strong>per</strong>syaratan dalam kerja sama<br />
bantuan masih tetap demikian<br />
sejak saat itu.<br />
3. Sasaran <strong>per</strong>ubahan<br />
Sasaran <strong>per</strong>ubahan-<strong>per</strong>ubahan<br />
dalam kasus ini berarti sebuah<br />
p r o s e s m e n u j u l e n y a p n y a<br />
impunitas telah diturunkan dari<br />
Pedoman PBB yang belum lama<br />
(April 2005) diadopsi, yang drafnya<br />
di<strong>per</strong>siapkan oleh Prof. Orentlicher.<br />
Ia membagi sasaran dari suatu<br />
masyarakat tanpa impunitas dalam<br />
terminologi-hak sebagai berikut:<br />
(1) hak untuk mengetahui; (2) hak<br />
atas keadilan; (3) hak atas<br />
r e p a r a s i ; ( 4 ) j a m i n a n<br />
ketakberulangan.<br />
Pada dasarnya, pedoman<br />
tersebut berfokus pada sasaran<br />
<strong>per</strong>ubahan dalam <strong>per</strong>iode transisi<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
09
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
laporan utama<br />
dari pemerintahan otoritarian<br />
menuju tatanan demokratis, dan<br />
diarahkan pada kesulitankesulitan<br />
menangani sejarah<br />
pelanggaran hak asasi manusia.<br />
Karena itu, dalam pedoman<br />
tersebut, suatu analisis impunitas<br />
menjadi sangat kurang dan<br />
prosedur-prosedur yang diajukan<br />
sangat pragmatis. Ketiga hak yang<br />
disebutkan di atas sangat esensial<br />
u n t u k m e n y i k a p i s e j a r a h<br />
impunitas, sementara yang<br />
t e r a k h i r , “ j a m i n a n<br />
ketakberulangan”, merupakan<br />
poin paling penting untuk<br />
kepentingan masa depan, yaitu<br />
b a g a i m a n a m e n c e g a h<br />
mekanisme-mekanisme impunitas<br />
tetap melanggeng atau kembali.<br />
4. Rekomendasi<br />
Dipandang dari <strong>per</strong>spektif<br />
s a s a r a n , j a m i n a n<br />
ketakberulangan mendapatkan<br />
prioritas tertinggi karena ia<br />
b e r h u b u n g a n d e n g a n<br />
pencegahan impunitas di masa<br />
depan. Dalam konteks ini, gugus<br />
prioritas tinggi yang kedua yang<br />
harus diambil di Indonesia untuk<br />
mengentaskan impunitas adalah<br />
soal relasi kekuasaan. Tentara<br />
harus dibuat akuntabel atas<br />
pelanggaran hak asasi manusia di<br />
masa lalu dengan sebuah proses<br />
kebenaran dan keadilan melalui<br />
sebuah pengadilan yang bersih.<br />
Dan di masa depan, tentara harus<br />
d i t e m p a t k a n d i b a w a h<br />
pengawasan sipil, tanpa pengaruh<br />
politik dan kepentingan ekonomi<br />
apa pun. Tanggung jawab dari<br />
kesatuan tentara harus ditetapkan<br />
secara tegas, kelompok-kelompok<br />
paramiliter harus dibekukan dan<br />
anggota-anggotanya harus<br />
dibawa ke pengadilan untuk<br />
m e m p e r t a n g g u n g j a w a b k a n<br />
kejahatan mereka. Lagi-lagi,<br />
sebuah pengadilan yang bersih<br />
sangat di<strong>per</strong>lukan.<br />
Semua itu di satu sisi<br />
merupakan keputusan politik yang<br />
harus diambil oleh pemerintahan<br />
sipil, namun selama waktu itu<br />
Menteri Pertahanan memerlukan<br />
tentara sebagai mitra koalisi untuk<br />
mengamankan kekuasaan. Risiko<br />
sebuah kudeta tetap dapat<br />
dibayangkan. Di sisi lain,<br />
keputusan-keputusan ini juga<br />
s a n g a t t e r g a n t u n g p a d a<br />
kebersihan lembaga kehakiman<br />
dari korupsi. Hal ini berhubungan<br />
erat dengan prioritas penting<br />
ketiga yaitu suatu <strong>per</strong>lawanan<br />
yang jelas dan transparan<br />
terhadap korupsi. Banyak komisi<br />
dan pengadilan, penuntut khusus<br />
dan legislasi harus dihubungkan<br />
ke dalam satu prosedur yang<br />
bersih yang dikepalai oleh<br />
Kejaksaan Agung.<br />
Komisi Kebenaran dan<br />
Rekonsiliasi menjamin suatu<br />
prioritas yang tinggi karena<br />
menyikapi masalah adalah suatu<br />
keharusan. Pelbagai NGO tetap<br />
menginginkan amendemen<br />
terhadap UU KKR (UU No. 27<br />
<strong>Tahun</strong> 2004) dengan tujuan untuk<br />
m e m p e r b a i k i s e j u m l a h<br />
kelemahan: (1) Bahwa amnesti<br />
d a p a t d i b e r i k a n t e r h a d a p<br />
kejahatan yang tidak dapat<br />
d i a m p u n i , s e p e r t i<br />
p e r t a n g g u n g j a w a b a n a t a s<br />
penghukuman mati di luar atau<br />
tanpa proses pengadilan (extrajudicial<br />
execution), penghilangan<br />
yang dipaksakan dan penyiksaan;<br />
(2) Bahwa pelaku se<strong>per</strong>ti itu belum<br />
ditetapkan dan hanya dipandang<br />
dalam kapasitas individual dan<br />
bukan institusional, sementara<br />
kejahatan yang diidentifikasi<br />
se<strong>per</strong>ti kejahatan <strong>per</strong>ang dan<br />
genosida merupakan kejahatan<br />
yang lebih sering terjadi; (3)<br />
Bahwa reparasi atas korban<br />
hanya mungkin setelah amnesti<br />
diberikan kepada para pelaku;<br />
Dan (4) bahwa KKR adalah alat<br />
untuk menggantikan proses<br />
yudisial dan bukan, sebagaimana<br />
disarankan dalam Prinsip-Prinsip<br />
Acuan, sebagai sebuah prosedur<br />
tambahan.<br />
Dalam implementasinya,<br />
banyak NGO sangat tidak puas<br />
dengan seleksi anggota KKR,<br />
yang menurut mereka telah<br />
menghasilkan sejumlah anggota<br />
kandidat tanpa pengetahuan<br />
memadai tentang kejahatan dan<br />
kekerasan hak asasi manusia dan<br />
banyaknya jumlah anggota yang<br />
merupakan mantan militer. Ini<br />
tidak dapat “dipatahkan”. Karena<br />
itu, dibutuhkan monitoring ekstra<br />
tentang apa yang terjadi dalam<br />
KKR itu dan dukungan dari<br />
gerakan hak asasi manusia yang<br />
lebih luas terhadap beberapa<br />
“wakil” mereka yang terpilih dalam<br />
1<br />
KKR.<br />
A k h i r n y a , a p a y a n g<br />
mendesak menurut banyak<br />
narasumber saya adalah sebuah<br />
pusat dokumentasi sejarah dengan<br />
sejumlah gugus tugas se<strong>per</strong>ti<br />
berikut: (1) Untuk mengidentifikasi<br />
isu-isu untuk penelitian kritis<br />
tentang pelanggaran hak asasi<br />
manusia di masa lalu oleh para<br />
sejarawan; (2) Untuk melakukan<br />
r i s e t t e r s e b u t d a n<br />
mempublikasikan hasil-hasilnya<br />
secara luas; (3) Untuk memberikan<br />
nasihat atau masukan kepada<br />
institusi-institusi pendidikan untuk<br />
melakukan <strong>per</strong>ubahan dalam<br />
kurikulum pendidikan sejarah; Dan<br />
(4) untuk menstimulasi debat publik<br />
tentang pelanggaran hak asasi<br />
manusia dan pelbagai praktik<br />
ketidakadilan di masa lalu.<br />
Pusat dokumentasi yang<br />
benar-benar independen ini harus<br />
memiliki beberapa kompetensi<br />
minimal sebagai berikut: (1) Akses<br />
terhadap data pemerintahan dan<br />
yudisial (lembaga-lembaga<br />
hukum); (2) Sumber daya yang<br />
c u k u p u n t u k m e n j a l a n k a n<br />
p r i o r i t a s n y a s e n d i r i ; ( 3 )<br />
Memberikan masukan tentang<br />
prosedur melawan pelaku oleh<br />
Kejaksaan Agung: (4) Dan<br />
memberikan masukan tentang<br />
pemberian ganti rugi dan reparasi<br />
bagi para korban oleh pemerintah.<br />
Sebuah riset yang aktif ke dalam,<br />
dan sebuah tinjauan tentang,<br />
pelanggaran hak asasi manusia<br />
harus mendukung <strong>per</strong>baikan atas<br />
ketidakadilan di masa lalu.<br />
Penderitaan individual yang<br />
berkaitan dengan kebenaran dari<br />
pelanggaran hak asasi manusia di<br />
masa lalu harus diakui dalam<br />
konteks tinjauan itu, sebelum<br />
keputusan-keputusan diambil<br />
dalam kaitan dengan pengadilan,<br />
reparasi, dan amnesti.<br />
Catatan:<br />
* Tulisan ini merupakan petikan dari<br />
executive summary hasil penelitian Martha<br />
<strong>Mei</strong>jer, The Scope of Impunity in Indonesia,<br />
Utrecht: HOM, 2006 (terj. Indonesia oleh<br />
Eddie Sius Riyadi, Jangkauan Impunitas di<br />
Indonesia, Jaringan Impunitas dan PBHI,<br />
2007).<br />
1 UU KKR dibatalkan atas dasar putusan<br />
Mahkamah Konstitusi, Desember 2006<br />
(pnrj).<br />
10<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong>
laporan utama<br />
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
Guru ”Kritis” di Bawah Rejim Ujian<br />
Oleh T.R. Arif Faisal<br />
(Kordinator Eksekutif SAHdaR)<br />
ari Rabu tanggal 23<br />
April <strong>2008</strong>, sekitar<br />
pukul 13.30 WIB,<br />
beberapa orang polisi<br />
berpakaian preman Hdiikuti satu regu pasukan DENSUS<br />
88, melompati pagar sekolah<br />
kemudian merangsek masuk ke<br />
sekolah SMA Negeri 2 Lubuk<br />
Pakam, Deli Serdang. Mereka<br />
langsung menuju sebuah ruangan<br />
(yang kemudian diketahui sebagai<br />
ruangan penyimpanan berkas<br />
U N ) . Ta k l a m a b e r s e l a n g<br />
terdengar satu letusan senjata dan<br />
satu orang anggota DENSUS 88<br />
menendang pintu diikuti yang<br />
l a i n n y a m e n y e r b u m a s u k<br />
langsung menodongkan senjata<br />
otomatis kepada guru yang tidak<br />
bersenjata sedang duduk-duduk di<br />
dalam ruangan, sementara<br />
kegiatan mem<strong>per</strong>baiki lembar<br />
jawaban UN siswa telah selesai<br />
dilaksanakan. Enam belas orang<br />
Guru yang berada di dalam ruang<br />
terkejut namun belum sempat<br />
hilang rasa terkejut, mereka<br />
dipaksa mengakui bahwa mereka<br />
sedang mem<strong>per</strong>baiki lembar<br />
jawaban dan mereka langsung di<br />
giring ke Mapolres Deli Serdang<br />
untuk dimintai keterangan sebagai<br />
tersangka dengan tuduhan telah<br />
memalsukan dokumen.<br />
Hari-hari berikutnya, di<br />
media massa baik lokal maupun<br />
nasional ramai memberitakannya,<br />
muncul <strong>per</strong>debatan apakah guru<br />
sebagai pelaku sebenarnya atau<br />
korban dari kebijakan. Tentu saja<br />
kalau memakai pendekatan<br />
hukum pidana, dilihat sepintas,<br />
guru merupakan pelaku yang<br />
berhak dihukum karena telah<br />
berlaku curang melakukan<br />
<strong>per</strong>baikan lembar ujian siswa,<br />
tetapi kalau mendalami dan<br />
menghayati latar belakang<br />
diselenggarakannya UN, terutama<br />
mem<strong>per</strong>gunakan prinsip dan<br />
pendekatan pendidikan kritis, guru<br />
justru telah menjadi korban tanpa<br />
mereka sadari. Lebih jauh, kalau<br />
d i c e r m a t i p e n u l i s b e r a n i<br />
m e n g a t a k a n a d a i d e o l o g i<br />
tersembunyi yang menyelubungi<br />
rezim Ujian ini.<br />
Ujian Nasional atau sering<br />
disingkat UN mulai diterapkan<br />
pada tahun ajaran 2002/2003.<br />
Malik Fadjar yang ketika itu<br />
M e n d i k n a s m e n c e t u s k a n<br />
pelaksanaan UN untuk mengganti<br />
Ebtanas yang dihapus oleh<br />
Mendiknas yang bijaksana Yahya<br />
Muhaimin. Bukan mengikuti<br />
pendahulunya atau belajar dari<br />
masa lalu, Malik Fadjar justru<br />
mem<strong>per</strong>kuat cara-cara yang gagal<br />
dialami oleh rezim sebelumnya<br />
dan kebijakan ini kemudian<br />
diteruskan oleh Bambang<br />
Sudibyo yang lebih kencang lagi<br />
menekankan evaluasi belajar<br />
harus dilaksanakan secara<br />
nasional, daerah dan sekolah<br />
harus ikut.<br />
Kekuasaan pemerintah<br />
m e n j a d i s a n g a t d o m i n a n<br />
sedangkan paradigma pendidikan<br />
y a n g m e n c e r a h k a n d a n<br />
membebaskan menjadi kalah.<br />
H.A.R. Tilaar sampai <strong>per</strong>nah<br />
mengemukakan bahwa memang<br />
b e n a r k e k u a s a a n s a n g a t<br />
di<strong>per</strong>lukan agar pendidikan dapat<br />
d i s e l e n g g a r a k a n , n a m u n<br />
masalahnya kemudian apabila<br />
kekuasaan itu justru tidak sesuai<br />
d e n g a n a r a h d a r i p r o s e s<br />
pendidikan yang sebenarnya.<br />
Menurutnya, proses pendidikan<br />
yang sebenarnya adalah proses<br />
pembebasan dengan jalan<br />
memberikan kepada peserta didik<br />
s u a t u k e s a d a r a n a k a n<br />
kemampuan kemandirian atau<br />
m e m b e r i k a n k e k u a s a a n<br />
kepadanya untuk menjadi individu.<br />
Kekuasaan dalam pendidikan<br />
berbeda dengan kekuasaan yang<br />
dipahami sebagaimana kehidupan<br />
sehari-hari. Kekuasaan dalam<br />
pendidikan adalah bersifat<br />
kekuasaan yang transformatif.<br />
Tujuannya ialah dalam proses<br />
terjadinya hubungan kekuasaan<br />
tidak ada bentuk subordinasi<br />
antara subjek dengan subjek yang<br />
lain. Kekuasaan yang transformatif<br />
bahkan membangkitkan refleksi<br />
dan refleksi tersebut menimbulkan<br />
aksi yang berorientasi advokatif.<br />
Di dalam proses kekuasaan<br />
s e b a g a i t r a n s m i t i f t e r j a d i<br />
sebaliknya, proses transmisi yang<br />
diinginkan oleh subjek yang<br />
memegang kekuasaan terhadap<br />
subjek yang terkena kekuasaan itu<br />
s e n d i r i y a n g b e r o r i e n t a s i<br />
legitimatif, dengan model ini,<br />
menurut Freire sebagai proses<br />
pelaksanaan kekuasaan untuk<br />
suatu aksi dari subjek yang bersifat<br />
robotik karena sekedar menerima<br />
atau dituangkan sesuatu ke dalam<br />
bejana subjek yang bersangkutan.<br />
D a l a m U N , s a n g a t<br />
kelihatan pendidikan dipakai<br />
s e b a g a i t r a n s m i s i u n t u k<br />
m e m a k s a k a n s e s u a t u i d e .<br />
Kekuatan ini bermain dengan<br />
paradigma, <strong>per</strong>tama, paksaan<br />
untuk menasionalkan evaluasi<br />
yang terkontrol yakni standar<br />
nasional pendidikan, kedua,<br />
m e n y a m a r a t a k a n s t a n d a r<br />
penilaian, tidak ada penilaian<br />
b e r b a s i s k e l a s s e r t a<br />
menghilangkan penilaian guru<br />
yang berinteraksi dengan siswa,<br />
ketiga, soal dibuat oleh<br />
Pemerintah Pusat bukan hasil dari<br />
proses belajar, keempat, daerah<br />
dipaksa harus tunduk dan ikut, dan<br />
kelima, menghidupkan industri<br />
<strong>per</strong>cetakan.<br />
Dengan model ini, Tilaar<br />
menyebut sebagai adanya<br />
imprealisme pendidikan dan<br />
kekuasaan yang merasuk dalam<br />
pendidikan, hal ini dapat dilihat<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
11
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
laporan utama<br />
dengan indikator se<strong>per</strong>ti peserta<br />
didik menjadi subjek eksploitasi<br />
oleh suatu kekuasaaan di luar<br />
pendidikan dan menjadikan<br />
peserta didik sebagai budak dan<br />
alat dari penjajahan mental dari<br />
yang mempunyai kekuasaan.<br />
Menekankan pada standar dan<br />
seolah standar telah menjadi milik<br />
atau monopoli dari birokrasi<br />
pendidikan sehingga peserta didik<br />
semata-mata menjadi objek dari<br />
kekuasaan birokrasi.<br />
Kondisi ini mirip dengan<br />
pendidikan pada masa Kolonial<br />
Belanda, <strong>per</strong>nah diungkapkan<br />
o l e h S . N a s u t i o n b a h w a<br />
pendidikan kolonial Belanda yang<br />
bertujuan untuk mencapai<br />
keuntungan dari negeri jajahan<br />
dengan mem<strong>per</strong>alat anak negeri<br />
jajahan, pendidikan dijadikan alat<br />
untuk membuat patuh dan tunduk<br />
pada keinginan kolonialisme.<br />
Se<strong>per</strong>ti, <strong>per</strong>tama, penerapan<br />
p r i n s i p k o n k o r d a n s i y a n g<br />
m e m a k s a s e m u a s e k o l a h<br />
berorientasi mengikuti model<br />
sekolah di Nederland dan<br />
menghalangi penyesuaiannya<br />
dengan keadaan di Indonesia,<br />
kedua, kontrol sentral yang ketat<br />
yang menciptakan birokrasi yang<br />
ketat yang hanya memungkinkan<br />
<strong>per</strong>ubahan kurikulum dengan<br />
<strong>per</strong>setujuan para pembesar di<br />
Indonesia maupun di Negeri<br />
Belanda.<br />
Terlepas dari itu, ada<br />
yang mengatakan bahwa UN<br />
memang harus ada tetapi<br />
diterapkan pada waktu dan tempat<br />
yang salah, pada saat wajah<br />
p e n d i d i k a n k i t a m a s i h<br />
mem<strong>per</strong>lihatkan wajah yang buruk<br />
karena belum dipenuhinya<br />
availability dan accessibility, saat<br />
itu pula dilakukan standarisasi<br />
dengan UN, ada lagi yang<br />
mengatakan masih terjadi<br />
kesenjangan antara kaya dan<br />
miskin, antara daerah kaya dan<br />
miskin, serta antara kota dan<br />
desa, demikian pula kebutuhan<br />
kita masih berkutat dengan angka<br />
buta huruf yang tinggi dan<br />
penyediaan fasilitas penunjang<br />
pendidikan yang memadai, Tetapi<br />
kenapa UN justru dipaksa harus<br />
dilaksanakan.<br />
Hampir seluruh prinsipprinsip<br />
yang dianut dalam<br />
pendidikan baik metode maupun<br />
filosofinya dijungkir balikkan,<br />
bahkan ada yang mengatakan<br />
dengan istilah bahwa UN adalah<br />
bentuk 'pembusukan pendidikan'<br />
( e d u c a t i o n d e c a y ) . Ti l a a r<br />
menyebutnya sebagai proses<br />
pembodohan, untuk menunjukkan<br />
i n k o n s i s t e n s i k e b i j a k a n<br />
pendidikan, yang membingungkan<br />
p e l a k u p e n d i d i k a n d a n<br />
m e n y e s a t k a n p e n g g u n a<br />
pendidikan dalam hal ini anaka<br />
n a k , k a r e n a p e n d i d i k a n<br />
diselenggarakan bukan untuk<br />
mengajak manusia berpikir tetapi<br />
m e n j a d i m a n u s i a y a n g<br />
menghadapi kehidupan sebagai<br />
menghadapi teka-teki silang saja,<br />
tidak memberikan ruang analitis<br />
dan mencari alternatif yang terbaik<br />
dalam situasi yang dihadapi,<br />
sehingga tidak mengembangkan<br />
kemampuan rasio manusia dan<br />
b a h k a n m e l u m p u h k a n<br />
kemampuan berpikir manusia.<br />
Problem kemudian bukan<br />
guru yang salah atau murid yang<br />
tidak mampu mengikuti, tapi<br />
memang UN tidak sesuai dengan<br />
kondisi pendidikan yang ada,<br />
menyamaratakan kemajemukan<br />
anak dari berbagai daerah dan<br />
sekolah se<strong>per</strong>ti memaksakan<br />
pikiran pembuat soal agar ikut<br />
kemauannya, mereka dipaksa<br />
harus bisa sama dengan pembuat<br />
kebijakan, di sisi lain, kemampuan<br />
guru yang beragam bahkan<br />
b a n y a k g u r u j u s t r u t i d a k<br />
menguasai apa yang di ujikan di<br />
UN. Lantas cara lain pun<br />
ditempuh, bahkan sangat ekstrim<br />
membentuk tim sukses (yang<br />
mem<strong>per</strong>baiki lembar jawaban atau<br />
membocorkan soal) agar anakanak<br />
sukses dengan predikat<br />
l u l u s . J a l a n i n i d i t e m p u h<br />
sebahagian besar guru, karena<br />
mau tidak mau, suka tidak suka<br />
kebijakan UN harus dijalankan,<br />
upaya-upaya “menyukseskan”<br />
pelaksanaan UN menjadi pilihan<br />
utama, memilih jalan menentang<br />
dianggap beresiko karena<br />
berhadapan dengan kekuasaan<br />
absolut.<br />
Anak-anak tidak bisa<br />
memilih yang terbaik bagi dirinya,<br />
mereka harus hidup sesuai apa<br />
yang telah digariskan kepada<br />
mereka, seolah-olah hidup telah<br />
ditentukan dan tidak boleh memilih.<br />
G e r a r d u s W e r u i n<br />
menggambarkan pembelajaran di<br />
sekolah bukan dalam suasana<br />
y a n g m e n y e n a n g k a n d a n<br />
merdeka, tetapi menjadi beban dan<br />
suatu paksaan terhadap anakanak.<br />
UN menjadi hal yang lebih<br />
memberatkan, mencemaskan, dan<br />
m e n a k u t k a n a n a k k a r e n a<br />
menentukan kelulusan dan tamat<br />
belajar. Hari-hari belajarnya<br />
diwarnai dengan latihan soal dan<br />
menghafal untuk menghadapi UN<br />
yang telah ditentukan oleh birokrasi<br />
pendidikan, tahap mengenal<br />
( k n o w ) , t a h a p m e m a h a m i<br />
( u n d e r s t a n d ) , d a n t a h a p<br />
m e n g u a s a i ( m a s t e r i n g )<br />
ditinggalkan, prosesnya langsung<br />
lompat siswa harus menguasai.<br />
Mereka akan sulit untuk dapat<br />
keluar dari <strong>per</strong>masalahan<strong>per</strong>masalahan<br />
yang menghalangi<br />
<strong>per</strong>kembangan mereka.<br />
Kalau kita belajar dari<br />
Jhon Dewey, seorang filosof<br />
pendidikan yang karyanya<br />
kemudian banyak dikutip dan<br />
dianut oleh para pakar pendidikan<br />
d i s e l u r u h d u n i a , p e r n a h<br />
mengemukakan di dalam karyanya<br />
Ex<strong>per</strong>ience and Education, bahwa<br />
penekanan pengalaman dalam<br />
proses belajar memiliki <strong>per</strong>anan<br />
yang sangat penting, pengalaman<br />
sebagai proses belajar merupakan<br />
suatu proses berkesinambungan<br />
dari masa lalu, sekarang dan masa<br />
depan. Pandangan Jhon Dewey<br />
ini kemudian dianut oleh aliran<br />
pragmatisme yang kemudian<br />
mengajukan prinsip-prinsip yang<br />
sangat dikenal sebagai bentuk<br />
p e n o l a k a n k e p a d a s i s t e m<br />
p e n d i d i k a n k l a s i k y a n g<br />
berkembang di Amerika pada saat<br />
itu, penolakan <strong>per</strong>tama, mengajar<br />
secara formal dan berjalan rutin,<br />
kedua, melaksanakan kurikulum<br />
yang telah ditentukan terlebih<br />
dahulu yang menekankan kepada<br />
mata pelajaran dibandingkan<br />
kebutuhan dan minat peserta didik<br />
yang spontan, ketiga, Menolak<br />
situasi-situasi kompetitif yang<br />
melahirkan suasana <strong>per</strong>musuhan<br />
di antara peserta didik, keempat,<br />
proses belajar yang diarahkan<br />
kepada ujian, kelima, Insentif<br />
eksternal dalam proses belajar<br />
se<strong>per</strong>ti hadiah dan hukuman, serta<br />
12<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong>
laporan utama<br />
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
praktik-praktiik pendidikan yang<br />
sifatnya eksplisit sehingga tidak<br />
memacu proses belajar yang<br />
sebenarnya.<br />
Kembali ke pembahasan<br />
awal, walau pun begitu tidak<br />
relevannya sistem ujian masih<br />
diterapkan, tak habis pikir<br />
Mendiknas Bambang Sudibyo<br />
mem<strong>per</strong>tahankan mati-matian UN<br />
harus tetap dilaksanakan, seolah<br />
k r i t i k d a n p e n o l a k h a n y a<br />
merupakan suara-suara yang<br />
berseliweran di sekeliling gedung<br />
Depdiknas. Sampai sekarang<br />
bahkan mungkin tahun depan tidak<br />
ada tanda-tanda bahwa UN bakal<br />
dihentikan atau diganti ke bentuk<br />
lain yang lebih sesuai dengan<br />
<strong>per</strong>kembangan filosofi pendidikan,<br />
walaupun berbagai bentuk<br />
penolakan dilakukan, bahkan<br />
Wapres Jusuf Kalla <strong>per</strong>nah<br />
m e n g a t a k a n , s i l a h k a n<br />
demonstrasi, tahun depan UN<br />
tetap dilaksanakan. Dan lebih<br />
kontras manakala menyukseskan<br />
pelaksanaan UN, harus dipaksa<br />
dibawah todongan senjata, di<br />
negara manapun di dunia ini baru<br />
Indonesia yang melakukan praktek<br />
ini.<br />
Di balik kukuhnya sikap<br />
Menteri Pendidikan Nasional yang<br />
mendapat dukungan dari Wakil<br />
Presiden R.I, ternyata ada<br />
sejumlah besar dana yang<br />
dikucurkan untuk pelaksanaan<br />
UN, pada tahun 2004 sebagai<br />
contoh, dana yang disediakan<br />
d a l a m A P B N s e b e s a r R p<br />
259.722.500.000. Jumlah tersebut<br />
akan semakin membengkak<br />
karena Pemerintah Daerah,<br />
Provinsi dan Kabupaten/Kota juga<br />
diwajibkan ikut menyediakan dana<br />
pendamping dalam APBD. Pada<br />
pelaksanaan UN April <strong>2008</strong>, dana<br />
yang dihabiskan dari APBN<br />
mencapai Rp 572.9 milyar, itu<br />
belum termasuk dana pendamping<br />
baik yang dialokasikan pemerintah<br />
Provinsi, Kabupaten/Kota dan<br />
sekolah. Sebagai contoh misalnya<br />
Jawa Timur, untuk pelaksanaan<br />
U N p e m e r i n t a h p r o v i n s i<br />
menganggarkan hampir Rp 47,89<br />
miliar yang diambil dari APBN dan<br />
APBD, itu belum termasuk dana<br />
yang disubsidi untuk SMK sebesar<br />
Rp. 50 ribu <strong>per</strong> siswa. Sedangkan<br />
Kabupaten/Kota menganggarkan<br />
dalam APBD bervariasi tetapi<br />
jumlahnya antara Rp. 2 hingga 10<br />
miliar, untuk dana pendamping<br />
yang bersumber dari APBS se<strong>per</strong>ti<br />
misalnya di kota Bandung<br />
mencapai Rp. 50 juta yang diambil<br />
dari uang sumbangan pendidikan<br />
yang kemudian dana-dana itu<br />
hanya dihabiskan dalam waktu<br />
1<br />
satu minggu.<br />
Lantas kemana danadana<br />
itu mengalir, yang sangat<br />
jelas <strong>per</strong>usahaan rekanan<br />
pencetak soal akan sangat<br />
diuntungkan, birokrasi yang<br />
menjadi panitia pelaksana juga<br />
akan sangat diuntungkan se<strong>per</strong>ti<br />
Kadis Pendidikan Sumut, yang<br />
ketangkap menilep dana Rp. 1,5<br />
miliar untuk pelaksanaan UN<br />
2<br />
tahun 2006/2007.<br />
Kembali kepada <strong>per</strong>istiwa<br />
yang dialami guru Lubuk Pakam,<br />
tentu saja tidak dapat dibenarkan<br />
upaya mem<strong>per</strong>baiki lembar<br />
jawaban, tindakan ini merupakan<br />
sesuatu yang salah, tetapi <strong>per</strong>lu<br />
diingat, bahwa guru terpaksa<br />
melakukan itu sebab berada<br />
dalam tekanan rejim ujian yang<br />
tidak memberikan pilihan. Disadari<br />
oleh guru, rejim ini telah<br />
menggiring guru ke posisi yang<br />
justru menghancurkan siswa,<br />
setiap hari kondisi tambah buruk<br />
dan semakin mem<strong>per</strong>buruk pula<br />
wajah pendidikan kita.<br />
R e z i m i n i t e l a h<br />
menggantikan <strong>per</strong>an guru dengan<br />
bimbingan test bahkan digantikan<br />
tim sukses. Guru tidak menjadi<br />
transformator lagi, tetapi hanya<br />
s e b a g a i p e n y u k s e s d a n<br />
panjangan hari-hari yang dilalui<br />
oleh siswa di ruang kelas, siswa<br />
telah menyerahkan nasibnya<br />
kepada kelulusan yang pasti<br />
diraih. Jelas saja menuruti rezim ini<br />
akan menyulitkan <strong>per</strong>an guru<br />
bahkan nantinya menghapus<br />
profesi ini, karena sudah tidak<br />
dibutuhkan lagi.<br />
Bahaya ini sudah terlihat<br />
dari survey yang dilakukan<br />
SAHdaR di beberapa sekolah di<br />
Medan, Deli Serdang, Tebing<br />
Tinggi, Langkat dan Serdang<br />
Bedagai, disimpulkan hampir<br />
sebahagian murid yakin bakal<br />
lulus, kalau pun tidak lulus ada<br />
cara lain yang dapat ditempuh,<br />
sedangkan dalam proses belajar<br />
mengajar, para murid sudah mulai<br />
meremehkan <strong>per</strong>an guru sebab<br />
mereka tetap lulus atau paling tidak<br />
akan dibantu tim sukses.<br />
Sikap yang harus diambil,<br />
sekolah-sekolah harus berani<br />
menolak untuk melaksanakan<br />
kemauan rejim UN dan kenapa<br />
tidak guru juga ikut serta sekalian<br />
b a h k a n b e r a d a d i d e p a n<br />
menentang rejim ujian ini. Sikap<br />
diam dan mencari jalan pintas<br />
sudah pasti harus disadari adalah<br />
tindakan yang salah dan telah<br />
melanggar sumpah seorang guru<br />
ketika berani memilih profesi ini,<br />
tapi kenapa justru tidak berani<br />
melawan malah hanya tunduk<br />
untuk ditindas.<br />
M e l i n d u n g i d a n<br />
membiarkan kemauan rejim UN<br />
tidak akan menyelamatkan guru<br />
tetapi justru akan menempatkan<br />
guru sebagai pelaku kriminal<br />
w a l a u p u n b u k a n p e l a k u<br />
sebenarnya, posisi ini akan tetap<br />
disandang guru sampai kapan pun<br />
walaupun dengan berbagai cara<br />
dapat lolos dari jerat hukum.<br />
R e j i m u j i a n t e l a h<br />
menempatkan guru selamanya<br />
berada dalam bayang-bayangnya<br />
sambil menikmati penghasilan<br />
yang melimpah sebagai pelaku<br />
yang sebenarnya dari kejahatan<br />
ini, penilaian buruk akan tetap<br />
d i b e b a n k a n k e p a d a g u r u .<br />
Kekritisan guru yang <strong>per</strong>nah ada,<br />
kini hanya tinggal menjadi guru<br />
yang sedang kritis di bawah<br />
tekanan rejim ujian.<br />
Lantas melihat situasi<br />
begitu kukuhnya kekuatan yang<br />
menguasai pendidikan, banyak<br />
aktivis Gerakan Pendidikan Rakyat<br />
mengkampanyekan pendidikan<br />
alternatif dengan metode dan<br />
filosofi pendidikan kritis yang<br />
memerdekakan, tetapi menurut<br />
penulis yang kita butuhkan dan<br />
yang harus kita lakukan saat ini<br />
bukan hanya sekedar pendidikan<br />
y a n g m e m e r d e k a k a n t a p i<br />
memerdekakan pendidikan harus<br />
menjadi prioritas utama.<br />
1.Diolah dari berbagai sumber<br />
2.ibid<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
13
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
nasional<br />
Kenaikan Harga BBM, Anggaran,<br />
dan Tanggung Jawab Negara<br />
Oleh Triana Dyah & Otto Adi Yulianto<br />
(Pustakawati di ELSAM & Deputi Direktur Bidang Urusan Internal)<br />
eputusan pemerintah<br />
untuk menaikkan<br />
harga bahan bakar<br />
minyak (BBM) di<br />
dalam negeri <strong>per</strong> 24 K<strong>Mei</strong> <strong>2008</strong> diambil sebagai akibat<br />
pemerintah kewalahan dengan<br />
meningkatnya subsidi untuk<br />
BBM, yang menekan sisi<br />
pengeluaran dari Anggaran<br />
Pendapatan dan Belanja Negara<br />
(APBN) tahun <strong>2008</strong>. Kenaikan<br />
alokasi subsidi BBM<br />
sehingga jauh melampaui<br />
jumlah yang dianggarkan<br />
tersebut dikarenakan oleh<br />
kenaikan harga minyak<br />
d u n i a d i p a s a r<br />
internasional, yang makin<br />
jauh melampaui asumsi<br />
harga minyak dalam APBN.<br />
Keputusan ini bisa jadi akan<br />
menyelamatkan APBN,<br />
instrumen yang konon<br />
u n t u k m e n c i p t a k a n<br />
kesejahteraan sosial bagi<br />
seluruh rakyat Indonesia.<br />
Dikatakan “konon” karena<br />
hal ini lebih sebagai<br />
normativitas yang masih<br />
<strong>per</strong>lu diuji secara empirik.<br />
Dalam <strong>per</strong>kara APBN ini,<br />
tentunya aspek tujuan lebih<br />
utama dari aspek instrumennya,<br />
apalagi bila masih “konon”.<br />
Kenaikan harga BBM bisa jadi<br />
akan menyelamatkan aspek<br />
instrumen (APBN), namun<br />
bagaimanakah dengan aspek<br />
tujuannya?<br />
D e n g a n m e m p e r<br />
timbangkan aspek tujuannya<br />
tersebut, kebijakan pemerintah<br />
yang menaikkan harga BBM di<br />
dalam negeri ini <strong>per</strong>lu ditinjau:<br />
apa implikasinya kenaikan harga<br />
BBM ini terhadap kesejahteraan<br />
sosial bagi warga negara<br />
Indonesia, terutama mereka yang<br />
saat ini dikategorikan sebagai<br />
kelompok miskin dan nyaris<br />
miskin? Apa implikasi dari<br />
kebijakan menaikkan harga BBM<br />
ini terhadap kesejahteraan sosial<br />
bagi warga negara di saat krisis<br />
p a n g a n d u n i a s e d a n g<br />
berlangsung? Apa kaitannya<br />
kebijakan dan <strong>per</strong>istiwa ini<br />
dengan <strong>per</strong>soalan tanggung<br />
jawab negara akan kesejahteraan<br />
sosial bagi warga negaranya,<br />
khususnya berkenaan dengan<br />
aspek pemenuhan hak ekonomi,<br />
sosial, dan budaya?<br />
Mengapa Harga BBM Naik?<br />
Mengapa harga minyak dunia<br />
n a i k ? P e n y e b a b y a n g<br />
fundamental, terjadi penurunan<br />
pasokan minyak dunia saat ini<br />
karena adanya sejumlah kejadian<br />
yang menghambat produksi dan<br />
distribusi minyak di beberapa<br />
negara penghasil minyak.<br />
Misalnya di Negara Sudan akibat<br />
adanya <strong>per</strong>istiwa bentrokan<br />
bersenjata yang menyebabkan<br />
proses produksi dan distribusi<br />
minyak di sana terganggu.<br />
Penyebab lainnya adalah faktor<br />
spekulasi. Makin berkurangnya<br />
ketersediaan dan proyeksi<br />
produksi minyak bumi ke depan<br />
dibanding dengan proyeksi<br />
kebutuhannya yang makin<br />
meningkat telah menjadikan<br />
minyak menjadi salah satu<br />
komoditi untuk kepentingan<br />
s p e k u l a s i . M i n y a k<br />
merupakan sumber daya<br />
alam yang tidak dapat<br />
di<strong>per</strong>baharui, sementara<br />
dari sisi <strong>per</strong>mintaan terus<br />
meningkat seiring dengan<br />
m a k i n p e s a t n y a<br />
<strong>per</strong>tumbuhan industri dunia,<br />
s e p e r t i y a n g t e r l i h a t<br />
misalnya di Cina dalam<br />
kurun 10 tahun terakhir ini.<br />
Aksi para spekulan minyak<br />
tersebut amat menentukan<br />
dan berdampak pada naik<br />
turunnya harga minyak<br />
dunia. Kenaikan harga minyak<br />
dunia yang terjadi saat ini juga<br />
tidak bisa dilepaskan dari ulah<br />
para spekulan tersebut.<br />
Mengapa pemerintah<br />
kewalahan? Harga minyak dunia<br />
yang terus meningkat hingga<br />
melampaui dan makin menjauh<br />
dari harga US$ 95 <strong>per</strong> barel<br />
( p a t o k a n A P B N 2 0 0 8 ) ,<br />
mengakibatkan peningkatan yang<br />
signifikan bagi pos pengeluaran<br />
APBN, khususnya pos subsidi<br />
BBM. Peningkatan pengeluaran<br />
14<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong>
nasional<br />
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
untuk subsidi BBM yang jauh<br />
melampaui anggarannya ini<br />
berakibat akan mengganggu<br />
desain sisi pengeluaran APBN<br />
saat ini. Sementara dari sisi<br />
p e n d a p a t a n , k e n a i k a n<br />
pendapatan pajak akibat dari<br />
kenaikan harga minyak tersebut<br />
tidak signifikan bila dibanding<br />
dengan sisi pengeluaran untuk<br />
subsidi BBM. Alokasi dana<br />
subsidi BBM tahun <strong>2008</strong> adalah<br />
sebesar Rp 75,6 trilyun, dengan<br />
asumsi harga minyak <strong>per</strong> barel<br />
sebesar US$ 95 dan konsumsi<br />
sebanyak 35,4 juta kiloliter<br />
dengan konversi 1 kiloliter sama<br />
dengan 6,29 barel . Sementara<br />
saat ini (26 <strong>Mei</strong> <strong>2008</strong>) harga<br />
minyak <strong>per</strong> barel sudah mencapai<br />
sebesar US$ 124, 95 Dengan<br />
jumlah konsumsi yang sama,<br />
di<strong>per</strong>kirakan subsidi BBM akan<br />
menjadi sebesar Rp 141 trilyun.<br />
S e m e n t a r a s e k a d a r<br />
<strong>per</strong>bandingan saja, pendapatan<br />
minyak bumi pada 2007 hanya Rp<br />
5 5 , 5 3 t r i l y u n . D e n g a n<br />
mem<strong>per</strong>timbangkan adanya<br />
tekanan yang besar terhadap<br />
APBN ini maka pemerintah<br />
kemudian berusaha menekan<br />
d a n m e n g u r a n g i p o t e n s i<br />
kenaikan alokasi dana bagi<br />
subsidi BBM dalam APBN dengan<br />
menaikkan harga BBM di dalam<br />
negeri.<br />
Dampak Kenaikan Harga BBM<br />
Kenaikan harga BBM di dalam<br />
negeri akan menyelamatkan<br />
APBN dari tekanan. Dari APBN<br />
yang selamat ini pemerintah<br />
k e m u d i a n m e m b e r i k a n<br />
kompensasi sebagai pengganti.<br />
Bentuknya berupa dana bantuan<br />
langsung tunai (BLT) sebesar Rp<br />
100.000 <strong>per</strong> bulan/keluarga<br />
miskin yang diberikan sekaligus<br />
untuk tiga bulan. Keefektifannya<br />
dalam meredam dampak buruk<br />
yang dialami warga negara akibat<br />
kenaikan harga BBM ini belum<br />
t e r l i h a t . D i t a h u n - t a h u n<br />
sebelumnya, juga <strong>per</strong>nah<br />
dilakukan sejumlah program<br />
kompensasi (misalnya jaring<br />
pengaman sosial, beras untuk<br />
rakyat miskin (raskin), juga BLT),<br />
namun ternyata tetap saja angka<br />
kemiskinan bertambah. Menurut<br />
data Badan Pusat Statistik (BPS),<br />
angka kemiskinan seluruh<br />
Indonesia pada tahun 2004<br />
sebesar 36,1 juta jiwa dan tahun<br />
<strong>2008</strong> justru meningkat menjadi 38<br />
juta jiwa. Dari APBN yang<br />
tergerus, hal apakah yang mampu<br />
dilakukan oleh pemerintah saat ini<br />
yang dapat melampaui apa yang<br />
<strong>per</strong>nah dilakukan sebelumnya?<br />
K o m p e n s a s i t i d a k<br />
signifikan, namun implikasi<br />
langsung kenaikan harga BBM<br />
tersebut bagi warga negara<br />
kebanyakan langsung terasa.<br />
Kenaikan harga minyak akan<br />
berdampak meningkatkan jumlah<br />
orang yang kehilangan mata<br />
pencaharian dan pekerjaan.<br />
Nelayan akan makin berat dan<br />
jarang melaut. Pabrik akan<br />
m e l a k u k a n e f i s i e n s i d a n<br />
pengurangan produksi yang<br />
berdampak pada meningkatnya<br />
pengangguran. Pekerjaan di<br />
sektor domestik juga terimbas,<br />
pekerja rumah tangga dan baby<br />
sitter di-PHK demi pengetatan<br />
anggaran.<br />
Kenaikan harga minyak<br />
akan menghasilkan multiflier<br />
effect. Inflasi, efek domino<br />
kenaikan harga, termasuk juga<br />
kebutuhan pokok. Kenaikan<br />
h a r g a - h a r g a j u g a a k a n<br />
m e n g u r a n g i k e m a m p u a n<br />
k a l a n g a n m i s k i n d a l a m<br />
mengakses pendidikan dan<br />
kesehatan. Terlebih di saat<br />
p e r s o a l a n k e s e h a t a n d a n<br />
pendidikan, yang seharusnya<br />
menjadi tanggung jawab negara,<br />
k i n i d i s e r a h k a n k e p a d a<br />
mekanisme pasar. Inflasi ini amat<br />
memberatkan bagi kehidupan<br />
banyak warga, terutama dari<br />
kalangan miskin dan nyaris<br />
miskin, terlebih bila mereka<br />
berpendapatan sangat minim dan<br />
tetap. Apalagi bagi mereka yang<br />
menganggur atau kemudian<br />
menjadi penganggur akibat<br />
tempatnya bekerja tutup atau<br />
mengurangi produksi akibat krisis<br />
ini.<br />
Kemampuan dan Kemauan<br />
Pemerintah<br />
Dalam kasus kenaikan harga BBM<br />
dan krisis pangan ini, tampak<br />
bahwa keterbatasan pendapatan<br />
n e g a r a t e l a h m e n j a d i k a n<br />
pemerintah juga terbatas dalam<br />
bertindak. Dengan wilayah negara<br />
yang luas dan kaya akan sumber<br />
daya alam, mengapa pendapatan<br />
negara masih relatif kecil bila<br />
d i b a n d i n g k a n d e n g a n<br />
potensinya? Salah satu yang<br />
utama, yang mengelola dan<br />
menikmati untung banyak dari<br />
sumber daya alam yang berlimpah<br />
tersebut, termasuk minyak bumi,<br />
adalah multi national corporation<br />
( M N C ) , b u k a n n e g a r a c q<br />
pemerintah Indonesia. MNC, juga<br />
<strong>per</strong>usahaan minyak domestik,<br />
sebagai kontraktor sangat<br />
dimanjakan oleh pemerintah<br />
dengan pemberian berbagai<br />
macam insentif (Pri Agung<br />
Rakhmanto, 2007). Mulai dari<br />
p e n i a d a a n k e w a j i b a n<br />
menyediakan/menjual minyak<br />
untuk ke<strong>per</strong>luan dalam negeri<br />
( D M O ( D o m e s t i c M a r k e t<br />
Obligations) holiday), batasan<br />
cost recovery hingga 120%,<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
15
nasional<br />
dberikannya investment credit<br />
bagi barang capital, hingga pola<br />
bagi hasil hingga 0:100, di mana 0<br />
untuk pemerintah 100 untuk<br />
kontraktor, misalnya dalam<br />
kontrak Blok Natuna D-Alpha, di<br />
mana 0% untuk pemerintah dan<br />
100% untuk ExxonMobil. Dalam<br />
hal minyak, pemerintah hanya<br />
dapat pajak dan <strong>per</strong>senan bagi<br />
hasil saja sehingga <strong>per</strong>olehannya<br />
juga relatif kecil. Sementara<br />
pendapatan pajak, tidak hanya<br />
dari <strong>per</strong>usahaan yang berkaitan<br />
dengan sumber daya alam, masih<br />
belum optimal. Selain karena<br />
sistem <strong>per</strong>pajakannya, juga<br />
masih besarnya kebocoran<br />
dalam pendapatan pajak ini.<br />
Te r m a s u k d a r i a d a n y a<br />
penyelundupan minyak.<br />
Sementara dari sisi<br />
pengeluaran, digerus oleh alokasi<br />
untuk membayar bunga dan<br />
cicilan utang, baik utang dalam<br />
negeri maupun luar negeri. Juga<br />
oleh kebocoran dan pemborosan<br />
a n g g a r a n . S u b s i d i m a k i n<br />
berkurang dan menjadi prioritas<br />
kesekian bila dibandingkan<br />
dengan pengeluaran untuk<br />
membayar hutang maupun pospos<br />
pengeluaran departemen<br />
yang sebenarnya dapat dihemat.<br />
A d a p r o b l e m d e n g a n<br />
kemampuan dan kemauan politik<br />
dari pemerintah dan rezim. Di<br />
mana tanggung jawab negara?<br />
Tanggung Jawab Negara<br />
Kenaikan harga BBM dan krisis<br />
pangan telah mengancam hak<br />
Ekosob warga negara, yang<br />
sejatinya menjadi tanggung jawab<br />
negara dalam pemenuhannya.<br />
Keterbatasan APBN, baik dari<br />
segi pendapatan maupun sisi<br />
alokasi pengeluarannya, tidak<br />
dapat menjadi dalih/alasan<br />
karena tanggung jawab tersebut<br />
dapat dilakukan secara progresif.<br />
Meningkatkan pendapatan bagi<br />
APBN dengan ber<strong>per</strong>spektif<br />
k e r a k y a t a n d a n k e a d i l a n<br />
merupakan tanggung jawab<br />
pemerintah, bukan dalih untuk<br />
menutupi ketidakmampuan<br />
dalam memenuhi tanggung jawab<br />
lainnya. Pemerintah <strong>per</strong>lu<br />
memikirkan strateginya secara<br />
transparan dan bijak.<br />
Demikian juga alokasi<br />
bagi sisi pengeluarannya.<br />
Kesejahteraan sosial, khususnya<br />
bagi mereka yang miskin dan<br />
nyaris miskin, merupakan<br />
<strong>per</strong>spektifnya. Review atas pos<br />
pengeluaran APBN, khususnya<br />
menyangkut pembayaran utang<br />
dan pemborosan pengeluaran,<br />
<strong>per</strong>lu dilakukan. Alokasi bagi<br />
usaha pemenuhan hak ekonomi,<br />
sosial, dan budaya wajib menjadi<br />
prioritas. Ini bukan sekadar soal<br />
kemampuan, namun juga soal<br />
kemauan rejim yang memerintah.<br />
APBN <strong>per</strong>lu kuat, sustainable dari<br />
sisi pendapatan dan bijak dari sisi<br />
pengeluaran. APBN yang kuat,<br />
tahan dari goncangan yang<br />
berasal dari faktor eksternal,<br />
termasuk harga minyak dunia.<br />
APBN yang bijak, ber<strong>per</strong>spektif<br />
kesejahteraan sosial serta<br />
m e m p r i o r i t a s k a n u s a h a<br />
pemenuhan hak ekonomi, sosial,<br />
d a n b u d a y a d a r i w a r g a<br />
negaranya.<br />
Catatan Penutup<br />
Berkenaan dengan problem saat<br />
ini, yakni keputusan pemerintah<br />
menaikkan harga BBM di dalam<br />
negeri, terlebih di saat krisis<br />
pangan dunia, merupakan<br />
kebijakan yang tidak hanya tidak<br />
populer namun memang benarbenar<br />
tidak bijak karena secara<br />
faktual memberikan implikasi<br />
buruk terhadap kondisi hak<br />
Ekosob kebanyakan warga<br />
negara, di mana seharusnya untuk<br />
pemenuhannya justru menjadi<br />
tanggung jawab negara. Proyek<br />
penyelamatan APBN saat ini tidak<br />
seharusnyalah dengan menekan<br />
pos subsidi BBM yang memang<br />
m a s i h d i b u t u h k a n o l e h<br />
kebanyakan warga negara untuk<br />
survival, namun dengan mengkaji<br />
ulang pos pengeluaran untuk<br />
pembayaran utang (yang dapat<br />
d i j a d w a l u l a n g m a u p u n<br />
dihapuskan) dan pengeluaran<br />
yang bukan prioritas dan lebih<br />
m e r u p a k a n p e m b o r o s a n ,<br />
misalnya yang ada dalam<br />
anggaran-anggaran di sejumlah<br />
departemen.<br />
Untuk jangka menengah<br />
dan panjang, selain berusaha<br />
menyusun alokasi anggaran demi<br />
kesejahteraan sosial, mengkaji<br />
ulang <strong>per</strong>soalan pembayaran<br />
u t a n g , s e r t a m e n g u r a n g i<br />
/menghapuskan pemborosan dan<br />
kebocoran anggaran, pemerintah<br />
p e r l u m e n i n g k a t k a n s i s i<br />
pendapatan negara melalui<br />
berbagai kebijakan dan strategi<br />
yang demokratis dan memenuhi<br />
aspek keadilan, misalnya,<br />
penguatan Pertamina yang<br />
menguasai hajat hidup orang<br />
banyak sehingga selain berfungsi<br />
sebagaimana seharusnya juga<br />
tidak merugi namun justru<br />
memberikan pendapatan bagi<br />
negara, mengkaji pajak progresif.<br />
Akuntabilitas sisi pendapatan dan<br />
pengeluaran dari APBN tersebut<br />
merupakan tanggung jawab<br />
negara, cq pemerintah (dan DPR).<br />
APBN yang kuat dan bijak<br />
merupakan instrumen penting<br />
bagi negara cq pemerintah yang<br />
bermartabat dalam memenuhi<br />
t a n g g u n g j a w a b n y a a k a n<br />
p e m e n u h a n h a k E k o s o b<br />
warganya. *****<br />
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
16 EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong>
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
Penyiksaan:<br />
Bagaimana Mungkin Dikriminalisasi,<br />
Diatur Saja Belum<br />
Oleh Betty Yolanda<br />
(Staf di ELSAM)<br />
internasional<br />
enyiksaan adalah<br />
sebuah kejahatan<br />
serius berdasarkan<br />
hukum internasional<br />
(serious crime) yang Pdisejajarkan dengan kejahatankejahatan<br />
serius lainnya se<strong>per</strong>ti<br />
pembajakan, <strong>per</strong>budakan,<br />
kejahatan <strong>per</strong>ang, kejahatan<br />
terhadap <strong>per</strong>damaian, kejahatan<br />
terhadap kemanusiaan, dan<br />
genosida. Hal ini ditegaskan<br />
dalam Prinsip 2 Princenton<br />
1<br />
Principles.<br />
Sebagai salah satu<br />
Negara Pihak pada Konvensi<br />
Menentang Penyiksaan dan<br />
Perlakuan atau Penghukuman<br />
L a i n y a n g K e j a m , Ti d a k<br />
Manusiawi dan Merendahkan<br />
Martabat (Konvensi Menentang<br />
Penyiksaan atau Konvensi),<br />
Indonesia berkewajiban untuk<br />
menyerahkan laporan atas<br />
implementasi terhadap Konvensi<br />
kepada Komite Menentang<br />
Penyiksaan (Komite). Pada tahun<br />
2001, Pemerintah Indonesia telah<br />
menyerahkan laporan awalnya<br />
(initial report) kepada Komite,<br />
yang kemudian diikuti dengan<br />
penyerahan laporan <strong>per</strong>iodik<br />
kedua (second <strong>per</strong>iodic report)<br />
pada bulan September 2005.<br />
N a m u n , l a p o r a n k e d u a<br />
Pemerintah baru mendapat<br />
kesempatan untuk pembahasan<br />
pada awal <strong>Mei</strong> <strong>2008</strong>.<br />
Pada tanggal 28 April-16<br />
<strong>Mei</strong> <strong>2008</strong>, Komite Menentang<br />
P e n y i k s a a n t e l a h<br />
menyelenggarakan sesinya yang<br />
2<br />
ke-40 di Jenewa, Swiss.<br />
Sebanyak delapan laporan<br />
Negara-Negara Pihak dibahas<br />
dalam sesi tersebut, termasuk<br />
laporan Australia, Swedia,<br />
Islandia, Aljazair, Indonesia,<br />
Zambia, Macedonia, dan Kosta<br />
Rika. Indonesia mendapat giliran<br />
pembahasan pada tanggal 6-7<br />
<strong>Mei</strong> <strong>2008</strong>.<br />
Selama 2 (dua) hari<br />
P e m e r i n t a h d i b e r i k a n<br />
k e s e m p a t a n u n t u k<br />
mempresentasikan laporan dan<br />
j a w a b a n a t a s D a f t a r<br />
Permasalahan (List of Issues)<br />
yang dikeluarkan oleh Komite<br />
pada bulan Desember 2007.<br />
Apabila tidak puas dengan<br />
jawaban yang diberikan, para<br />
anggota Komite berhak untuk<br />
m e n g a j u k a n p e r t a n y a a n -<br />
<strong>per</strong>tanyaan tambahan, bahkan<br />
jika topik yang diangkat bukan<br />
merupakan bagian dari Daftar<br />
Permasalahan, atau pun tercakup<br />
d a l a m l a p o r a n N e g a r a .<br />
Kesempatan ini digunakan oleh<br />
Felice Gaer (Pelapor untuk<br />
Indonesia), Claudio Grossman<br />
(Wakil Pelapor), dan beberapa<br />
anggota Komite lainnya untuk<br />
k e m b a l i m e m p e r t a n y a k a n<br />
beberapa isu krusial, antara lain,<br />
ketiadaan definisi penyiksaan<br />
dalam KUHP; pemberian amnesti<br />
untuk kejahatan serius; kekerasan<br />
terhadap para pembela hak asasi<br />
m a n u s i a ; p e m b e r l a k u a n<br />
<strong>per</strong>aturan-<strong>per</strong>aturan daerah yang<br />
diskriminatif; lamanya masa<br />
p e n a h a n a n ; p r a k t i k s u n a t<br />
<strong>per</strong>empuan; dan rendahnya usia<br />
<strong>per</strong>tanggungjawaban pidana<br />
3<br />
anak.<br />
S e p e r t i h a l n y a<br />
P e m e r i n t a h , o r g a n i s a s i -<br />
organisasi non-pemerintah<br />
(ORNOP) dan Komisi Nasional<br />
Hak Asasi Manusia (KOMNAS<br />
HAM) juga mendapat kesempatan<br />
untuk berdialog dengan Komite.<br />
Sejak tahun 2004 Komite<br />
menerapkan sebuah prosedur<br />
baru, yakni menjadwalkan, di<br />
dalam agenda kerjanya, masingmasing<br />
1 (satu) jam <strong>per</strong>temuan<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
17
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
internasional<br />
resmi dengan ORNOP dan<br />
KOMNAS HAM yang telah<br />
menyerahkan laporan-laporan<br />
alternatif sebagai tandingan<br />
terhadap laporan Pemerintah.<br />
Sungguh disayangkan, hanya<br />
karena alasan administratif<br />
KOMNAS HAM berhalangan<br />
hadir pada sesi Komite yang ke-<br />
40 tersebut.<br />
Selain laporan <strong>per</strong>iodik<br />
P e m e r i n t a h , K o m i t e j u g a<br />
menerima 6 laporan alternatif dari<br />
Amnesty International; Asian<br />
Legal Resource Centre (ALRC);<br />
Komnas Perempuan; laporan<br />
bersama Sekretariat Keadilan<br />
dan Perdamaian (SKP) Jayapura,<br />
Imparsial, Progressio Timor<br />
Leste, Sinode GKI Papua, dan<br />
Franciscans International; dan<br />
Kelompok Kerja untuk Advokasi<br />
Menentang Penyiksaan (Pokja<br />
Anti Penyiksaan) yang bekerja<br />
sama dengan Association for the<br />
Prevention of Torture (APT) dan<br />
World Organisation against<br />
Torture (OMCT).<br />
Dari 50 <strong>per</strong>tanyaan yang<br />
diajukan oleh Komite dalam<br />
D a f t a r P e r m a s a l a h a n ,<br />
Pemerintah, yang diwakili oleh<br />
kurang lebih 30 orang delegasi<br />
dari berbagai departemen terkait,<br />
memberikan informasi yang<br />
s a n g a t m i n i m m e n g e n a i<br />
beberapa isu, antara lain isu<br />
mengenai kerangka hukum;<br />
agama (Ahmadiyah); impunitas;<br />
<strong>per</strong>da-<strong>per</strong>da Syariah; otonomi<br />
daerah; dan kekerasan terhadap<br />
<strong>per</strong>empuan.<br />
Dalam hal kerangka<br />
hukum, nampaknya Pemerintah<br />
tetap berpegang teguh bahwa<br />
meskipun definisi mengenai<br />
penyiksaan belum diatur dalam<br />
K U H P , p a s a l - p a s a l<br />
penganiayaan sudah cukup<br />
memadai karena penganiayaan<br />
sudah mencakup kekerasan fisik.<br />
Padahal, definisi penyiksaan<br />
yang dimaksud dalam Pasal 1<br />
Konvensi tidak hanya mencakup<br />
“kekerasan fisik” tetapi juga<br />
“penderitaan atau rasa sakit yang<br />
hebat secara mental”. Beralih ke<br />
isu <strong>per</strong>empuan, khususnya sunat<br />
<strong>per</strong>empuan, Pemerintah menilai<br />
b a h w a s u n a t p e r e m p u a n<br />
merupakan praktik yang sudah<br />
b e r l a n g s u n g l a m a d a n<br />
merupakan bagian yang tak<br />
terpisahkan dari adat-istiadat<br />
masyarakat, bukan sebagai<br />
tindakan diskriminatif dan tidak<br />
manusiawi.<br />
Setelah berdialog dengan<br />
Pemerintah dan beberapa<br />
stakeholder lainnya, Komite<br />
akhirnya mengeluarkan sebuah<br />
k e s i m p u l a n o b s e r v a s i<br />
(concluding observation) pada<br />
tanggal 16 <strong>Mei</strong> <strong>2008</strong>. Kesimpulan<br />
ini tidak hanya menyoroti aspeka<br />
s p e k p o s i t i f t e t a p i j u g a<br />
mengangkat masalah-masalah<br />
yang dinilai masih sangat<br />
m e m p r i h a t i n k a n s e r t a<br />
m e m b e r i k a n r e k o m e n d a s i<br />
mengenai langkah-langkah yang<br />
harus diambil untuk <strong>per</strong>baikan.<br />
J i k a d i b a n d i n g k a n<br />
dengan kesimpulan observasi<br />
4<br />
Komite tahun 2001, kesimpulan<br />
observasi Komite atas laporan<br />
<strong>per</strong>iodik kedua Indonesia ini<br />
d i n i l a i s a n g a t k e r a s d a n<br />
mengakomodasi pelbagai isu<br />
penting yang sebelumnya tidak<br />
t e r s e n t u h , a n t a r a l a i n<br />
penggunaan statemen yang<br />
di<strong>per</strong>oleh dengan penyiksaan<br />
dalam pemeriksaan <strong>per</strong>kara;<br />
<strong>per</strong>da-<strong>per</strong>da diskriminatif; sunat<br />
<strong>per</strong>empuan; kekerasan dalam<br />
rumah tangga; sistem <strong>per</strong>adilan<br />
pidana anak; pengungsi internal<br />
(internally displaced <strong>per</strong>sons);<br />
kekerasan terhadap Ahmadiyah;<br />
<strong>per</strong>dagangan <strong>per</strong>empuan dan<br />
anak; buruh migran <strong>per</strong>empuan;<br />
penyelidikan dan penuntutan<br />
Kejaksaan Agung yang tidak<br />
efektif terhadap kasus-kasus<br />
pelanggaran berat hak asasi<br />
manusia; dan mekanisme<br />
monitoring terhadap pelbagai<br />
fasilitas penahanan.<br />
Dari 44 rekomendasi,<br />
Komite meminta Pemerintah<br />
Indonesia untuk menyediakan<br />
informasi, dalam jangka waktu<br />
satu tahun, atas 6 rekomendasi<br />
y a n g t e r k a i t d e n g a n i s u<br />
penyiksaan dan <strong>per</strong>lakuan<br />
sewenang-wenang yang meluas<br />
dan upaya <strong>per</strong>lindungan yang<br />
tidak memadai bagi para tahanan<br />
di kantor polisi; <strong>per</strong>da-<strong>per</strong>da<br />
diskriminatif; pengungsi internal;<br />
kekerasan terhadap Ahmadiyah;<br />
<strong>per</strong>dagangan <strong>per</strong>empuan dan<br />
anak; buruh migran <strong>per</strong>empuan;<br />
dan independensi Komnas HAM.<br />
Sepanjang sejarah, baru<br />
kali ini Komite secara tegas<br />
meminta Pemerintah untuk<br />
bekerja sama dengan dunia<br />
internasional untuk menyelidiki,<br />
menuntut dan mengekstradisi<br />
Kolonel Burhanuddin Siagian<br />
yang telah mendapat red notice<br />
(surat penangkapan) dari Interpol<br />
atas pelanggaran berat hak asasi<br />
manusia di Timor-Timur pada<br />
tahun 1999.<br />
Semua masalah tersebut<br />
di atas <strong>per</strong>lahan-lahan akan dapat<br />
diatasi jika Pemerintah mau<br />
s e g e r a m e n g k r i m i n a l i s a s i<br />
penyiksaan dalam KUHP yang<br />
adalah payung hukum dari semua<br />
<strong>per</strong>aturan <strong>per</strong>undang-undangan di<br />
Indonesia. Memang, definisi<br />
penyiksaan sudah dimasukkan ke<br />
dalam RUU KUHP, namun entah<br />
k a p a n P e m e r i n t a h a k a n<br />
mensahkan RUU KUHP tersebut.<br />
Catatan:<br />
1.Princenton Principles, Principle 2:<br />
Serious Crimes Under International<br />
Law, butir (1) berbunyi: “For purposes<br />
of these principles, serious crimes<br />
under international law include: (1)<br />
piracy; (2) slavery; (3) war crimes; (4)<br />
crimes against peace; (5) crimes<br />
against humanity; (6) genocide; and (7)<br />
torture.”<br />
2.Untuk mengakses semua dokumen<br />
yang relevan dengan sesi ke-40<br />
Komite Menentang Penyiksaan<br />
s i l a k a n k u n j u n g i<br />
http://www2.ohchr.org/english/bodies/<br />
cat/cats40.htm.<br />
3.Silakan lihat Siaran Pers Komite<br />
Menentang Penyiksaan tanggal 7 <strong>Mei</strong><br />
<strong>2008</strong>,<br />
Http://www.unog.ch/unog/website/ne<br />
ws_media.nsf/(httpNewsByYear_en)/<br />
54E3118EC5178635C12574420041<br />
CFBF?OpenDocument.<br />
4.CAT/C/XXVII/Concl.3, 22/11/2001,<br />
d a p a t d i a k s e s d i<br />
http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/(Sy<br />
mbol)/1853a70025ce7646c1256b110<br />
04f0a2b?Opendocument<br />
18<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong>
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
Menuju Pembentukan<br />
Pengadilan HAM dan KKR Aceh<br />
(Review dari awal tahun <strong>2008</strong> Sekarang)<br />
Oleh Raimondus Arwalembun<br />
(Staf Publikasi ELSAM)<br />
daerah<br />
engapa pembentukan<br />
Pengadilan HAM dan<br />
KKR Aceh se<strong>per</strong>ti yang<br />
tertuang dalam MoU<br />
H e l s i n k i y a n g Mditandatangani oleh Pemerintah<br />
Republik Indonesia dan Gerakan<br />
Aceh Merdeka belum terwujud?<br />
Siapakah yang bertanggung jawab<br />
terhadap proses pembentukannya?<br />
Kalau pemerintah pusat yang<br />
bertanggung jawab, apa bentuk<br />
t a n g g u n g j a w a b n y a d a l a m<br />
mengupayakan pembentukan<br />
Pengadilan HAM dan KKR Aceh?<br />
Pertanyaan-<strong>per</strong>tanyaan di<br />
atas merupakan penuntun bagi kita<br />
untuk melihat sampai sejauh<br />
m a n a k a h p e m e r i n t a h p u s a t<br />
menjalankan kewajibannya dalam<br />
m e w u j u d k a n p e m b e n t u k a n<br />
Pengadilan HAM dan KKR Aceh.<br />
Inilah yang dituntut oleh rakyat Aceh,<br />
tanggung jawab negara dalam<br />
melaksanakan kewajibannya itu.<br />
Menurut hemat penulis, dalam<br />
proses pembentukan Pengadilan<br />
HAM dan KKR Aceh, pemerintah<br />
terkesan mengabaikan kewajibannya<br />
itu. Ini terlihat ketika bulan Desember<br />
2006 yang lalu, Mahkamah Konstitusi<br />
(MK) mencabut UU No. 27/2004<br />
tentang Komisi Kebenaran dan<br />
Rekonsiliasi. Pertanyaan yang<br />
m u n c u l a d a l a h : a p a k a h<br />
pembentukan Pengadilan HAM dan<br />
KKR Aceh dapat diwujudkan setelah<br />
KKR Nasional dicabut oleh MK<br />
karena dinilai bertentangan dengan<br />
UUD 1945? Lepas dari jawaban atas<br />
<strong>per</strong>tanyaan di atas, di tahun ini<br />
(<strong>2008</strong>), suara-suara yang menuntut<br />
pembentukan Pengadilan HAM dan<br />
KKR Aceh terus menggema. Berikut<br />
adalah beberapa data terakhir<br />
<strong>per</strong>kembangan isu Pengadilan HAM<br />
dan KKR Aceh yang dihimpun dari<br />
berbagai sumber:<br />
? Pada tanggal 22 Januari <strong>2008</strong>,<br />
Koalisi Pengungkap Kebenaran Aceh<br />
meminta DPR mendesak pemerintah<br />
menuntaskan pelanggaran hak asasi<br />
m a n u s i a d i A c e h , m e r e k a<br />
mengusulkan dibentuknya Komisi<br />
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)<br />
Aceh. Menurut Rafendi Djamin<br />
(Koordinator Human Rights Working<br />
Group), semangat pembentukan<br />
pengadilan HAM dan KKR Aceh<br />
adalah menghentikan kekerasan<br />
yang terjadi di Aceh, jadi dicabutnya<br />
UU KKR Nasional oleh Mahkamah<br />
K o n s t i t u s i s e h a r u s n y a t i d a k<br />
membatalkan pembentukan KKR<br />
Aceh sebab dasar pembentukan KKR<br />
Aceh adalah UU 11/2006 tentang<br />
Pemerintahan Aceh;<br />
? Tanggal 16 April <strong>2008</strong>, CoSPA<br />
(Commission on Sustaining Peace in<br />
Aceh) mendesak pemerintah pusat<br />
m e m p e r c e p a t p e m b e n t u k a n<br />
pengadilan HAM dan KKR untuk<br />
Aceh. Menurut Ir Azwar Abubakar MM<br />
(Pimpinan Pertemuan CoSPA),<br />
Pengadilan HAM dan KKR Aceh<br />
merupakan amanat MoU Helsinki<br />
serta Undang-Undang Pemerintahan<br />
Aceh yang belum terealisasi. Selain<br />
itu, dalam rilis komisi yang<br />
ditandatangani pemimpin <strong>per</strong>temuan<br />
CoSPA, Azwar Abubakar, dinyatakan,<br />
pembahasan draf <strong>per</strong>aturan daerah<br />
atau qanun Dewan Perwakilan<br />
Rakyat Aceh mengenai KKR<br />
sebaiknya dilakukan setelah RUU<br />
KKR di tingkat nasional disahkan<br />
m e n j a d i u n d a n g - u n d a n g .<br />
Pembentukan qanun mengenai KKR<br />
Aceh yang dilakukan sebelum UU<br />
KKR disahkan dikhawatirkan akan<br />
bertentangan dengan <strong>per</strong>aturan<br />
<strong>per</strong>undangan di atasnya;<br />
? Tanggal 29 April <strong>2008</strong>, dalam<br />
rapat yang digelar di Sekretariat<br />
Forbes Damai Aceh, Kompleks<br />
Taman Ratu Safiatuddin, Banda<br />
Aceh, anggota Forbes Damai Aceh<br />
sepakat untuk membahas rancangan<br />
qanun (raqan) Komisi Kebenaran dan<br />
Rekonsiliasi (KKR). Tugas tersebut<br />
nantinya akan dilaksanakan Badan<br />
Narasumber Damai Aceh atau Aceh<br />
Peace Resouces Center (APRC);<br />
? Tanggal 1 <strong>Mei</strong> <strong>2008</strong>, Sedikitnya<br />
40 pakar, akademisi dan praktisi<br />
d i l i b a tkan p e merintah d a l a m<br />
menyusun satu draft rancangan<br />
qanun (Raqan) tentang Komisi<br />
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).<br />
Dua orang di antaranya adalah pakar<br />
asal Jerman. Tim pra rancangan<br />
qanun KKR dibentuk melalui<br />
k e p u t u s a n G u b e r n u r N o .<br />
188.342/37/<strong>2008</strong> tanggal 8 April <strong>2008</strong><br />
terdiri 40 <strong>per</strong>sonil. Tim ini bertugas<br />
mencari bahan masukan untuk<br />
pembentukan komisi kebenaran dan<br />
rekonsiliasi, baik dari nilai-nilai<br />
universal maupun kearifan lokal serta<br />
norma-norma agama;<br />
? Pada tanggal 07 <strong>Mei</strong> <strong>2008</strong>,<br />
dalam kunjungannya, Ketua Crisis<br />
Management Initiative (CMI) dan<br />
Interpeace Peacebuilding Alliance<br />
Martti Ahtisaari mem<strong>per</strong>tanyakan<br />
komitmen Presiden Susilo Bambang<br />
Yu d h o y o n o t e n t a n g K o m i s i<br />
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)<br />
Aceh yang kini mandeg.<br />
F a k t a - f a k t a d i a t a s ,<br />
sesungguhnya hendak menunjukkan<br />
kepada kita bahwa penyelesaian<br />
pelanggaran HAM masa lalu di Aceh<br />
sebenarnya merupakan <strong>per</strong>soalan<br />
mendesak yang harus segera<br />
d i p i k i r k a n k e m b a l i . A r t i n y a ,<br />
pembentukan Pengadilan HAM dan<br />
KKR Aceh sebagaimana diamanatkan<br />
dalam MoU Helsinki harus segera<br />
diwujudkan. Tapi apakah ini mungkin?<br />
Menurut hemat penulis, walau pun<br />
dasar pembentukan KKR Aceh adalah<br />
UU 11/2006 tentang Pemerintahan<br />
Aceh, namun pembentukannya akan<br />
sulit terwujud kalau pemerintah pusat<br />
tidak serius untuk mencari atau<br />
membentuk kembali UU KKR<br />
Nasional yang telah dibatalkan MK<br />
pada bulan Desember 2006 yang lalu.<br />
Kalau faktanya demikian, berarti<br />
negara, dalam hal ini “tidak mampu”<br />
melaksanakan kewajibannya.<br />
Pertanyaan kritisnya adalah: kalau<br />
negara “tidak mampu,” apakah<br />
m a s y a r a k a t A c e h m a m p u<br />
mewujudkannya? Semoga....!<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
19
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
<strong>per</strong>spektif<br />
Merawat Ke-Indonesiaan<br />
Oleh Amiruddin al Rahab<br />
(Pengamat Politik dan HAM di ELSAM)<br />
20<br />
erakhirnya bulan <strong>Mei</strong><br />
dalam setiap tahun<br />
s e t e l a h g e r a k a n<br />
reformasi terjadi,<br />
Bterasa ada satu hal<br />
yang bolong di dalamnya. Yaitu<br />
mengkerdilnya ke-Indonesiaan<br />
serta menjauhnya <strong>per</strong>ubahan ke<br />
arah yang baik.<br />
Dalam situasi se<strong>per</strong>ti itu,<br />
apa makna Kebangkitan<br />
Nasional yang ke 100<br />
tahun sekarang ini?<br />
Kebangkitan Nasional<br />
hanya bermakna jika<br />
p e r i n g a t a n n y a t i d a k<br />
d i t e m p a t k a n p a d a<br />
kenangan, melainkan<br />
pada tekad untuk merawat<br />
ke-Indonesian 100 tahun<br />
k e d e p a n . G e r a k a n<br />
reformasi sesunguhnya<br />
adalah upaya terusmenerus<br />
untuk merawat<br />
ke-Indonesiaan agar<br />
keluar dari kehancuran<br />
a k i b a t d i m a n g s a<br />
otoriterianisme.<br />
Yang diharapkan<br />
setelah jatuhnya rezim<br />
militer Soeharto adalah<br />
t e r w u j u d n y a k e -<br />
I n d o n e s i a a n y a n g<br />
menghargai kemanusian<br />
dan hak asasi manusia dengan<br />
memenuhi keadilan bagi mereka<br />
yang menjadi korban, baik korban<br />
akibat kedurjanaan politik mau<br />
pun akibat struktur ekonomi yang<br />
tidak adil. Seiring dengan itu juga<br />
memberikan ganjaran yang<br />
setimpal kepada mereka yang<br />
m e n j a d i p e n y o k o n g d a n<br />
penganjur segala bentuk politik<br />
kerdujanaan di masa lalu itu.<br />
Singkat kata, ke-Indonesian yang<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
baru adalah ke-Indonesian yang<br />
menentukan batas antara politik<br />
kedurjanaan dengan politik yang<br />
menghargai kemanusian dan hak<br />
asasi manusia (civility politic).<br />
Akibat tidak <strong>per</strong>nah<br />
jelasnya garis demarkasi antara<br />
politik kedurjanaan dengan politik<br />
k e a d a b a n m e m b u a t k e -<br />
Indonesian kini kian compangcamping.<br />
Hal itu tampak dari<br />
mengap-mengapnya rakyat di<br />
Sidoarjo yang ditelan lumpur<br />
Lapindo, mengigilnya Jamaah<br />
Ahmadiah akibat dimangsa oleh<br />
e g o i s m e k e a g a m a a n ,<br />
menjeritnya rakyat yang papa<br />
akibat dijerat harga BBM yang<br />
melambung tinggi. Penjarahan<br />
hutan dan bencana alam<br />
mendera setiap saat hampir di<br />
seantero nusantara. Singkatnya,<br />
rakyat dibiarkan terkapar tanpa<br />
pangan dan keamanan diri oleh<br />
para elit di semua level.<br />
Sementara para petinggi partai<br />
politik hanya sibuk bersolek<br />
dengan beragam iklan menjual diri<br />
sambil mengagahi ke-Indonesian<br />
sedemikian rupa. Pemimpinpemimpin<br />
di daerah sibuk<br />
berternak kabupten/kota baru<br />
demi menyulap keuangan negara<br />
dan mengobral segala<br />
potensi daerah dengan<br />
harga murah demi PAD.<br />
Dalam situasi se<strong>per</strong>ti ini,<br />
d e m o k r a s i y a n g k i n i<br />
dikembangkan terasa tidak<br />
mampu menjadi sarana<br />
u n t u k m e n e g u h k a n<br />
keadilan. Bahkan banyak<br />
p i h a k y a n g m e n i l a i<br />
d e m o k r a s i y a n g k i n i<br />
b e r k e m b a n g j u s t r u<br />
m e m p e r m u d a h p a r a<br />
penyokong rezim lama<br />
untuk bersalin rupa menjadi<br />
penganjur demokrasi dan<br />
sekaligus mem<strong>per</strong>kudanya.<br />
Para penyokong rezim lama<br />
ini malah dengan gagah<br />
berani dan merasa tanpa<br />
dosa mengemukakan mari<br />
kita melihat ke depan<br />
dengan melupakan masa<br />
lalu. Singkatnya masalah<br />
kekinian jauh lebih mendesak<br />
untuk diselesaikan, ketimbang<br />
menguak luka lama. Padahal,<br />
langkah melupakan begitu saja,<br />
akan menjadi preseden buruk bagi<br />
p o l i t i k d a n h u k u m d a l a m<br />
merekonstruksi ke-Indonesiaan<br />
yang baru. Artinya, dengan<br />
melupakan, pemerintah seakan<br />
memberikan sinyal lampu hijau<br />
kepada semua pihak yang dulu<br />
melakukan dan bertanggung
<strong>per</strong>spektif<br />
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
jawab atas politik kedurjanaan<br />
untuk terus merasa benar dan<br />
b a h k a n k e k e r a s a n b o l e h<br />
dipraktekan kembali dalam<br />
menjalankan politik kenegaraan.<br />
Toh semuanya bisa dilupakan<br />
dan dimaafkan.<br />
Di era Soeharto, ke-<br />
Indonesiaan hadir di Aceh<br />
menebar maut, di Papua begitu<br />
diskriminatif, di Maluku dan Poso<br />
memendam segregasi agama, di<br />
K a l i m a n t a n m e n g a n d u n g<br />
prasangka etnis serta di Jawa<br />
mengadung kecemburuan kelas<br />
sosial yang menajam. Artinya<br />
konstruksi ke-Indonesiaan yang<br />
dikonstruksikan oleh rezim<br />
militer-golkar Soeharto begitu<br />
bermasalah bagi ke-Indonesian<br />
kita sebagai bangsa. Karena ke-<br />
Indonesian rezim militer-golkar<br />
Soeharto terlalu pencemburu<br />
pada daerah sehingga berwatak<br />
menyerang-yerang, terlalu rakus<br />
sehingga menyedot semua yang<br />
ada di daerah ke pusat, terlalu<br />
b e n g i s s e h i n g g a m u d a h<br />
memvonis warganya menjadi<br />
sesat, ekstrem, separatis, OTB<br />
bahkan GPK, serta terlalu suka<br />
menggadaikan semua SDA.<br />
S i n g k a t n y a , s i k a p<br />
pemerintah dan kekuatan politik<br />
yang mendiamkan seluruh<br />
kekerasan yang terindikasi<br />
secara kuat sebagai pelanggaran<br />
HAM dan memiskin rakyat<br />
Indonesia secara sistematis,<br />
menunjukan bahwa dalam<br />
sepuluh tahun ini belum ada<br />
<strong>per</strong>bedaan yang berarti antara<br />
karakter politik pemerintahan<br />
masa lalu dengan masa kini.<br />
Maknanya adalah elit-elit politik,<br />
partai politik dan pemerintah<br />
gagal merawat ke-Indonesiaan<br />
dalam sepuluh tahun ini.<br />
Akibatnya aksi-aksi kekerasan<br />
terus terjadi, kemiskinan tetap<br />
menjerat leher rakyat Indonesia<br />
dan SDA Indonesia diobral muruh<br />
kepada pihak asing demi rente.<br />
Beranjak dari fenomenf<br />
e n o m e n s e p e r t i i t u ,<br />
sesunguhnya pengungkapan<br />
kebenaran akan watak rezim<br />
masa lalu dalam bidang ekonomi<br />
dan politik sunguh harus kita<br />
pikirkan matang sekarang ini<br />
sebagai cara kita merawat ke-<br />
Indonesiaan secara baru demi<br />
100 tahun ke depan. Indonesia<br />
100 tahun kedepan adalah<br />
Indonesia yang bisa menjadi<br />
taman sari bagi kehidupan<br />
bersama yang lebih baik.<br />
Kalau di<strong>per</strong>tanyakan<br />
mengapa ke-Indonesia <strong>per</strong>lu<br />
dirawat? Jawabannya adalah<br />
untuk mencegah disintegrasi<br />
bangsa. Mengapa bangsa<br />
t e r a n c a m d i s i n t e g r a s i ?<br />
Sebenarnya jawaban yang<br />
mendasar adalah karena tidak<br />
ada ruang bagi kehidupan<br />
bersama yang lebih baik. Namun,<br />
e l i t e N e g a r a s e r i n g<br />
menyembunyikan atau tak cukup<br />
kesatria untuk mengakui adanya<br />
s i k a p y a n g m e n g a n c a m<br />
kehidupan bersama itu dalam<br />
mengelola negara. Oleh karena<br />
itu, segala watak ke-Indonesiaan<br />
yang dibangun oleh rezim<br />
Soeharto, mesti kita ubah jika ingin<br />
Indonesia masih ada 100 tahun<br />
lagi.<br />
Oleh karena itu merawat<br />
ke-Indonesia demi 100 tahun ke<br />
depan, <strong>per</strong>lu diambil langkahlangkah<br />
yang memberikan<br />
kepastian akan dipenuhinya hak<br />
warga negara untuk tahu tentang<br />
apa yang terjadi di masa lalu (right<br />
to know) dan hak atas keadilan<br />
(right to justice) serta hak untuk<br />
berpartisipasi secara politik (right<br />
to participate) dan hak atas<br />
informasi (right to information) .<br />
Atau dalam ungkapan<br />
para ahli hukum rule of law harus<br />
ditegakan. Sebab tanpa rule of<br />
law, komitmen untuk mem<strong>per</strong>baiki<br />
akibat dari kedurjanaan politik<br />
atau kesalahan pengelolaan<br />
ekonomi negara tidak akan ada.<br />
Atau bagaimana saat ini<br />
kita memaknai ke-Indonesiaan<br />
kita tanpa adanya pengakuan<br />
akan kebenaran di masa lalu yang<br />
telah mengoyahkan seluruh sendisendi<br />
pondasi kebangsaan dan<br />
kenegaraan yang bernama<br />
Indonesia ini? Atau apa makna<br />
menjadi Indonesia saat ini, ketika<br />
kita terpencar ke dalam puak-puak<br />
etnis dan agama begitu mudah,<br />
bahkan saling membunuh dalam<br />
ikatan ke-Indonesiaan? Maka dari<br />
itu merawat ke-Indonesiaan,<br />
berarti merawat kemanusian kita.<br />
Semoga.<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong><br />
21
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
resensi<br />
Mahkamah Pidana Internasional:<br />
Statuta Roma, Hukum Acara,<br />
dan Unsur-Unsur Kejahatan<br />
Oleh Ikhana Indah<br />
(Staf ELSAM)<br />
Judul Buku : Mahkama Pidana Internasional: Statuta Roma,<br />
Hukum Acara, dan Unsur-Unsur Kejahatan<br />
Pengantar : Agung Yudhawiranata<br />
Penerbit : ELSAM<br />
<strong>Tahun</strong> : 2007<br />
Data Fisik : 384 hlm<br />
“<br />
elanggaran berat hak<br />
asasi manusia yang<br />
d i l a k u k a n o l e h<br />
N e g a r a m e l a l u i<br />
aparat negaranya Psupaya dibawa ke Mahkamah<br />
Internasional agar pelakunya<br />
diadili.” Atau “… bawa kasus<br />
pelangaran hak asasi manusia ke<br />
Mahkamah Internasoional…!”<br />
Pendapat yang sering muncul<br />
adalah bahwa Mahkamah<br />
Internasional dapat menangani<br />
kasus pelanggaran berat hak<br />
asasi manusia yang dilakukan<br />
oleh negara. Padahal jurisdiksi<br />
M a h k a m a h I n t e r n a s i o n a l<br />
hanyalah sengketa antar Negara,<br />
dan bukan antara Negara dengan<br />
warga negaranya.<br />
Jika akan membawa<br />
kasus pelanggaran berat hak<br />
asasi manusia yang dilakukan<br />
oleh Negara melalui aparat<br />
negaranya, maka seharusnya<br />
Mahkamah Pidana Internasional<br />
adalah lembaga yang tepat.<br />
Karena jurisdiksi Mahkamah<br />
Pidana Internasional adalah<br />
kejahatan paling serius yang<br />
menjadi <strong>per</strong>hatian masyarakat<br />
internasional. Kejahatan tersebut<br />
antara lain adalah genosida<br />
(pemusnahan etnis); kejahatan<br />
t e r h a d a p k e m a n u s i a a n ;<br />
kejahatan <strong>per</strong>ang; dan kejahatan<br />
agresi.<br />
D i t e n g a h - t e n g a h<br />
tuntutan penyelesaian masalah<br />
pelanggaran berat hak asasi<br />
manusia, maka pemahaman<br />
mengenai <strong>per</strong>angkat hak asasi<br />
manusia, terutama di tingkat<br />
Internasional sangat di<strong>per</strong>lukan.<br />
Hal inilah yang mendorong<br />
ELSAM untuk menterjemahkan<br />
dan menerbitkan Statuta Roma<br />
u n t u k M a h k a m a h P i d a n a<br />
Internasional. Diharapkan,<br />
penerbitan buku ini dapat<br />
memberikan kontribusi dalam<br />
<strong>per</strong>umusan <strong>per</strong>angkat hukum hak<br />
asasi manusia di Indonesia.<br />
Buku ini adalah edisi<br />
revisi dari buku Statuta Roma<br />
yang terbit pada tahun 2000. Jika<br />
pada edisi sebelumnya hanya<br />
menjelaskan mengenai Statuta<br />
Roma, maka pada edisi kali ini,<br />
penyempurnaan dilakukan<br />
dengan memasukkan Hukum<br />
Acara dan Pembuktian serta<br />
Unsur-unsur Kejahatan. Secara<br />
keseluruhan, buku ini dibagi<br />
menjadi 3 bagian utama.<br />
Bagian <strong>per</strong>tama adalah<br />
Statuta Roma, yang menjelaskan<br />
tentang definisi dari Mahkamah<br />
Pidana Internasional; berbagai<br />
kejahatan yang masuk dalam<br />
jurisdiksi Mahkamah Pidana<br />
Internasional se<strong>per</strong>ti Kejahatan<br />
Genosida; Kejahatan terhadap<br />
Kemanusiaan; Kejahatan Perang<br />
dan Kejahatan Agresi. Dan untuk<br />
lebih detailnya, penjabaran dari<br />
m a s i n g - m a s i n g k e j a h a t a n<br />
tersebut terdapat dalam beberapa<br />
pasal. Bagian ini menjelaskan<br />
m e n g e n a i j u r i s i d i k s i d a n<br />
bagaimana prosedur beracara di<br />
Mahkamah Pidana Internasional.<br />
Selain itu, bagian ini juga yang<br />
m e n j a w a b k e k h a w a t i r a n<br />
b e b e r a p a N e g a r a b a h w a<br />
Mahkamah Pidana Internasional<br />
akan mengintervensi hukum<br />
nasional dari masing-masing<br />
Negara. Menurut Statuta Roma,<br />
kekhawatiran tersebut tidaklah<br />
tepat, karena prinsipnya adalah<br />
Mahkamah Pidana Internasional<br />
akan berlaku jika pengadilan<br />
nasional tidak mau dan tidak<br />
22<br />
EDISI MEI-JUNI TAHUN <strong>2008</strong>
m a m p u m e n g a d i l i s u a t u<br />
p e l a n g g a r a n t e r h a d a p<br />
kemanusiaan. Dan tujuan dari<br />
Mahkamah Pidana Internasional<br />
a d a l a h u n t u k m e n d o r o n g<br />
keefektifan dari pengadilan<br />
n a s i o n a l . H a l i n i j u g a<br />
disampaikan kembali di bagian<br />
kata pengantar (hal xix).<br />
Bagian kedua yaitu<br />
Hukum Acara dan Pembuktian.<br />
Bagian ini menjelaskan mengenai<br />
bagaimana prosedur beracara<br />
dan pembuktian yang lebih<br />
mendalam dari apa yang sudah<br />
diatur dalam Statuta Roma.<br />
Misalnya berbagai ketentuan<br />
yang mengatur mengenai<br />
komposisi dan administrasi<br />
mahkamah, se<strong>per</strong>ti bagaimana<br />
sidang pleno, pengambilan<br />
sumpah hingga unit korban dan<br />
saksi bekerja. Bagaimana<br />
prosedur <strong>per</strong>sidangan hingga<br />
upaya banding dan peninjauan<br />
kembali. Bagian ini menjelaskan<br />
pula bagaimana cara kerja hakim,<br />
penuntut umum, wakil penuntut<br />
umum serta panitera dalam<br />
Mahkamah Pidana Internasional.<br />
Intinya, bagian kedua ini<br />
m e n j e l a s k a n b a g a i m a n a<br />
administrasi keadilan bekerja.<br />
B a g i a n k e t i g a<br />
menjelaskan mengenai Unsur-<br />
Unsur Kejahatan. Disebutkan<br />
bahwa unsur-unsur kejahatan<br />
yang diuraikan akan membantu<br />
mahkamah dalam menafsirkan<br />
dan menerapkan pasal 6, 7, dan 8<br />
(hal 309). Seluruh unsur-unsur<br />
dari masing-masing kejahatan<br />
disebutkan detail dan jelas.<br />
Pelakunnya membunuh<br />
satu atau lebih orang; orang yang<br />
dibunuh itu berasal dari suatu<br />
bangsa tertentu, kelompok etnis<br />
atau agama tertentu; pelakunya<br />
m e m a n g b e r n i a t u n t u k<br />
menghancurkan, baik seluruh<br />
maupun sebagian bangsa, etnis,<br />
ras atau agama tertentu; dan<br />
tindakan tersebut terjadi dalam<br />
konteks tindakan yang tidak pasti<br />
saja berakibat pada kehancuran<br />
terhadap kelompok tersebut..” ini<br />
adalah salah satu unsur-unsur<br />
yang disebutkan dalam kejahatan<br />
genoosida dengan pembunuhan.<br />
Bagian ini menjadi sangat<br />
penting karena menjelaskan<br />
dengan detail dan jelas unsurunsur<br />
kejahatan yang masuk<br />
dalam jurisdiksi Mahkamah<br />
Pidana Internasional. Artinya,<br />
pembaca benar-benar dapat<br />
memahami kejahatan se<strong>per</strong>ti apa<br />
yang dapat dibawa ke Mahkamah<br />
Pidana Internasional, sehingga<br />
pendapat-pendapat se<strong>per</strong>ti yang<br />
dikutip di awal tulisan ini tidak<br />
akan terjadi lagi.<br />
D a l a m k o n t e k s<br />
Indonesia, UU No. 26 tahun 2000<br />
mengenai pengadilan hak asasi<br />
manusia telah mengadopsi<br />
sebagian dari Statuta Roma,<br />
walaupun dalam beberapa hal<br />
juga tidak sesuai dengan Statuta<br />
Roma. Tujuan dari Statuta Roma<br />
adalah untuk memberikan<br />
<strong>per</strong>lindungan dan jaminan<br />
penghukuman bagi kejahatan<br />
resensi<br />
terhadap kemanusiaan, kejahatan<br />
<strong>per</strong>ang dan juga genosida,<br />
d e n g a n m e n g u t a m a k a n<br />
mekanisme hukum nasional.<br />
Tetapi di lain sisi, <strong>per</strong>lindungan hak<br />
asasi manusia di Indonesia juga<br />
belum berjalan dengan maksimal.<br />
A r t i n y a , k i t a ( I n d o n e s i a )<br />
memerlukan Statuta Roma guna<br />
menegakkan Hukum Hak Asasi<br />
Manusia, maka meratifikasi<br />
Statuta Roma adalah pilihan yang<br />
tepat dan mendesak.<br />
Dengan hadirnya buku ini,<br />
diharapkan dapat membantu dan<br />
m e m b e r i k a n p e m a h a m a n<br />
mengenai hukum hak asasi<br />
m a n u s i a , d a n j u g a d a p a t<br />
mendorong Indonesia untuk<br />
segera meratifikasi Statuta Roma.<br />
Selamat membaca.....
Beberapa Program ELSAM ke Depan<br />
(Juli - Agustus <strong>2008</strong>)<br />
Oleh Raimondus Arwalembun<br />
(Staf Publikasi ELSAM)<br />
ada tanggal 28-29<br />
J u l i 2 0 0 8<br />
m e n d a t a n g ,<br />
E L S A M a k a n<br />
m e n g a d a k a n P“Seminar & Workshop<br />
Kekerasan Komunal.”<br />
Kegiatan yang akan diadakan<br />
di kota Pontianak, Kalimantan<br />
Barat ini bertujuan untuk: (1)<br />
Bersama seluruh elemen<br />
masyarakat mencari jalan<br />
k e l u a r d a r i k e b u n t u a n<br />
p e n y e l e s a i a n m a s a l a h<br />
kekerasan yang terjadi di<br />
Kalimantan Barat khususnya<br />
maupun Indonesia; (2)<br />
Mengembangkan ide-ide<br />
p e n y e l e s a i a n k a s u s<br />
kekerasan; (3) mendiskusikan<br />
d a n k e m u d i a n<br />
merekomendasikan langkahlangkah<br />
yang bisa diambil oleh<br />
pemerintah daerah dalam<br />
pencegahan kekerasan dalam<br />
bentuk pokok-pokok pikiran<br />
hasil seminar dan lokakarya.<br />
Adapun tema dari seminar ini<br />
a d a l a h : K e k e r a s a n<br />
komunal sebagai sisi<br />
gelap demokrasi. Seminar<br />
ini akan dihadiri oleh pembela<br />
hak asasi manusia, akademisi,<br />
a p a r a t P e m d a , a p a r a t<br />
penegak hukum, Perwakilan<br />
Komnas HAM Kalimantan<br />
Barat, dan tokoh masyarakat.<br />
Pada tanggal 5-7<br />
Agustus <strong>2008</strong> mendatang,<br />
ELSAM akan mengadakan<br />
“Konferensi Warisan<br />
O t o r i t a r i a n i s m e :<br />
Demokrasi Indonesia di<br />
Bawah Tirani Modal.”<br />
K o n f e r e n s i y a n g a k a n<br />
diselenggarakan di Jakarta<br />
(FISIP UI) ini bertujuan untuk:<br />
( 1 ) m e m b i c a r a k a n ,<br />
merumuskan, menyimpulkan<br />
langkah <strong>per</strong>lawanan terhadap<br />
tirani modal, sebagai bagian<br />
dari usaha membangun<br />
gerakan di kalangan akademik<br />
d e n g a n p r a s y a r a t<br />
pembangunan organisasiorganisasi<br />
komunitas. (2)<br />
memberi gambaran politik<br />
tentang kerja modal dalam<br />
berbagai bidang kehidupan<br />
dan atau mekanisme kerja<br />
modal sebagai kekuatan<br />
politik. (3) memberikan<br />
rancangan pemikiran bagi<br />
<strong>per</strong>umusan kebijakan publik<br />
y a n g b e r p i h a k p a d a<br />
masyarakat. Konferensi ini<br />
diarahkan pada kelompokkelompok<br />
intelektual atau<br />
kaum muda di berbagai<br />
bidang, khususnya kalangan<br />
intelektual sosial yang bekerja<br />
di organisasi-organisasi non<br />
pemerintah dan lembagalembaga<br />
akademik, serta para<br />
penggiat seni dan seniman<br />
mandiri di berbagai komunitas.<br />
Setelah melaksanakan<br />
dua kegiatan (Seminar dan<br />
Konferensi) di atas, pada<br />
tanggal 27 Agustus <strong>2008</strong>,<br />
ELSAM akan Merayakan<br />
“Hari Ulang <strong>Tahun</strong>”-nya<br />
yang ke 15. Dalam rangka<br />
merayakan hari jadinya ini,<br />
E L S A M b e r e n c a n a<br />
mengadakan serangkaian<br />
acara yang secara ekplisit dan<br />
implisit merefleksikan kerjakerja<br />
advokasi HAM selama<br />
kurun waktu 15 tahun terakhir<br />
dan juga untuk menguatkan<br />
gerakan advokasi HAM di<br />
Indonesia. Adapun <strong>per</strong>ayaan<br />
Hari Ulang <strong>Tahun</strong> ELSAM ini<br />
akan diadakan di Teater Kecil<br />
TIM (Taman Ismail Marzuki).<br />
Di penghujung bulan<br />
Agustus (tepatnya tanggal 14<br />
Agustus 03 September <strong>2008</strong>),<br />
ELSAM akan mengadakan<br />
“ K u r s u s H A M u n t u k<br />
Pengacara XII.” Kegiatan<br />
yang akan diselenggarakan di<br />
GG House Happy Valley<br />
(Cipayung Bogor) ini bertujuan<br />
u n t u k m e n i n g k a t k a n<br />
kemampuan pengacara dan<br />
pekerja hak asasi manusia<br />
dalam rangka memajukan dan<br />
melindungi hak asasi manusia.<br />
Kursus ini di<strong>per</strong>untukkan bagi<br />
mereka yang melakukan kerjak<br />
e r j a a d v o k a s i k a s u s<br />
p e l a n g g a r a n h a k a s a s i<br />
manusia, baik melalui jalur<br />
litigasi maupun non litigasi<br />
(se<strong>per</strong>ti yang dilakukan<br />
k a l a n g a n p e n g a c a r a ;<br />
pengacara publik; asisten<br />
pengacara; dan para legal).<br />
Se<strong>per</strong>ti yang sudah-sudah,<br />
jumlah peserta dibatasi hingga<br />
25 orang yang berasal dari<br />
berbagai wilayah Indonesia<br />
d e n g a n m e m p e r h a t i k a n<br />
<strong>per</strong>timbangan gender.