10.07.2015 Views

Mereka yang Menjadi Korban - Elsam

Mereka yang Menjadi Korban - Elsam

Mereka yang Menjadi Korban - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Daftar IsiPrakata SeriPengantar PenerbitDaftar IsiKata Pengantar1 Membangun Kepedulian Terhadap <strong>Korban</strong>Pelanggaran BeratPerorangan dan Kolektivitas Sebagai <strong>Korban</strong>Masalah-Masalah Khusus <strong>yang</strong> Menarik Minat dan Perhatian2 Perlindungan Terhadap <strong>Korban</strong>Norma-Norma Hak Asasi Manusia InternasionalNorma-Norma Dalam Hal Pencegahan Kejahatan dan Keadilan PidanaNorma Hukum Humaniter InternasionalTanggung Jawab Negara3 Pandangan Lembaga Hak Asasi Manusia InternasionalKomite Hak Asasi ManusiaKomite untuk Penghapusan Diskriminasi RasialKomite Menentang PenyiksaanKomite untuk Penghapusan Diskriminasi Terhadap PerempuanKomisi Penyelidik <strong>yang</strong> Dibentuk Berdasarkan Konstitusi ILOMahkamah Hak Asasi Manusia EropaMahkamah Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia4 Hukum Nasional dan Prakteknya5 Impunitas dan Hak <strong>Korban</strong> Atas Reparasi6 Kompensasi Bagi Para <strong>Korban</strong>: Studi Kasus Terhadap Invasi Irak Atas KuwaitDasar Hukum Bagi Kewajiban Irak untuk Membayar KompensasiKerugian, Kerusakan Atau Cedera <strong>yang</strong> Diderita Dalam Hubungan DenganPelanggaran Berat Terhadap Hak Asasi ManusiaPemerintah dan Pribadi Sebagai Subjek <strong>yang</strong> Mengajukan KlaimBeberapa Komentar7 Penutup: Kesimpulan, Rekomendasi, Prinsip Dasar dan Pedoman


Internasional (ILO). Selain itu, disesuaikan juga dengan tingkat sistem perlindungan hak asasimanusia regional. Bagian kelima membahas masalah kompensasi bagi korban pelanggaran berathak asasi manusia dan kebebasan dasar <strong>yang</strong> diakibatkan oleh invasi dan pendudukan tidak sahatas Kuwait oleh Irak. Bagian keenam menyajikan informasi dan beberapa analisis hukumnasional dan prakteknya di beberapa negara. Dalam bagian ketujuh dikemukakan pandanganmengenai masalah impunitas <strong>yang</strong> dilawankan dengan reparasi terhadap korban pelanggaranberat hak asasi manusia. Bagian kedelapan berisi komentar akhir; di sini disajikan kesimpulanserta rekomendasi. Bagian kesembilan mengusulkan prinsip-prinsip dan pedoman dasar.Pelapor Khusus mengemukakan harapan bahwa prinsip dan pedoman dasar <strong>yang</strong> dicakupdalam bagian IX dapat bermanfaat dan diterima oleh PBB selama Dekade Hukum Internasionalsaat ini. Prinsip dan pedoman dasar tersebut merupakan serangkaian ketentuan dasar <strong>yang</strong>memperkuat hak korban-pelanggaran-berat hak asasi manusia atas reparasi.Pelapor Khusus dapat menarik manfaat <strong>yang</strong> cukup berarti dari seminar mengenai hak atasrestitusi, kompensasi, dan rehabilitasi dari korban pelanggaran berat hak asasi manusia dankebebasan dasar <strong>yang</strong> diselenggarakan dari tanggal 11 sampai 15 Maret 1992 di UniversitasLimburg, Maastricht, Negeri Belanda. Proses seminar diterbitkan dalam suatu terbitan khususmajalah tiga-bulanan Negeri Belanda mengenai hak asasi manusia (SIM khusus No. 12, 1992),dan akan dirujuk dalam studi ini sebagai laporan Seminar Maastricht. Seminar Maastricht sangatbermanfaat bagi Pelapor Khusus, terutama dalam usahanya menyusun bagian akhir studi ini,yaitu prinsip-prinsip dan pedoman dasar.ii


dunia medisin dan kedokteran berasal dari kata Yunani ini) <strong>yang</strong> berarti sebagai “biang keladi”kekacauan sosial; mengorbankan sang Pharmakos akan mengobati penyakit sosial <strong>yang</strong> ada.Sang Pharmakos adalah racun sekaligus obat. Tidak. Kita menolak itu. Kita berupayamentransformasikan mitos menjadi etis. Itu berarti harkat, martabat, dan hak asasi manusiamenjadi pesan sentral dalam setiap tapakan kemanusiaan kita kapan dan di mana pun.Dengan terbitnya buku ini, kami berharap bahwa wacana hak asasi manusia semakinmenemukan bentuknya <strong>yang</strong> elegan dalam perjuangan demokratisasi di negeri ini. Konsep hakasasi manusia adalah elemen inti dari demokrasi itu sendiri. Baik konsep hak asasi manusiamaupun demokrasi sama-sama menolak setiap sikap (entah terbahasakan dalam berbagai cara)<strong>yang</strong> merendahkan harkat dan martabat manusia. Keadilan harus ditegakkan. <strong>Korban</strong> harusdipulihkan dan dihormati. Itulah pesan utama dalam praktek kehidupan kita ke depan terutama dimasa transisi ini. Akhirnya, menghindari kesan menggurui pembaca <strong>yang</strong> terhormat, kamimempersilahkan Anda membaca. Selamat.ii


Prakata SeriSetelah lebih 32 tahun hidup di bawah kekuasaan pemerintahan <strong>yang</strong> otoriter dengan dukunganideologi militerisme <strong>yang</strong> menindas, dan kembali memasuki era keterbukaan, reformasi dandemokrasi, bangsa Indonesia sepertinya tidak peduli dengan apa <strong>yang</strong> terjadi pada masa lalu.Bahkan perbincangan sistematis tentang upaya-upaya penyelesaian hukum dan politis belummenjadi agenda utama banyak kalangan, baik DPR maupun pemerintah. Kalaupun ada, orangcenderung bersikap pragmatis dan seadanya, sehingga mengabaikan prosedur dan sasaran <strong>yang</strong>sesungguhnya. Kita pun belum memiliki perangkat <strong>yang</strong> memadai untuk menangani berbagaidampak traumatik dari akibat pelanggaran HAM masa lalu. Sementara di sisi lain, dampaktraumatik tersebut semakin kelihatan seperti dalam munculnya aksi-aksi kekerasan masyarakat,resistensi ataupun ketidakpatuhan (social disobedience), atau bahkan melalui keinginan dan upayauntuk melepaskan diri dari negara RISalah satu masalah penting <strong>yang</strong> dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini adalah bagaimanamenyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu secara tepat dan memenuhi rasakeadilan masyarakat. Bahasan mengenai penyelesaian pelanggaran berat HAM <strong>yang</strong> terjadi dimasa lalu seyogianya berada di dalam bingkai wacana “transitional justice” karena momentumawal wacana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tersebut adalah pergantian rezim darirezim Orde Baru <strong>yang</strong> otoriter menuju rezim baru <strong>yang</strong> lebih demokratis. Lalu, apa sebenarnyatransitional justice? Pertanyaan ini penting karena wacana transitional justice lebih luas daripada“sekadar” penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran hak asasi manusia. Landasan moralnyaadalah pembentukan pemerintahan dan masyarakat <strong>yang</strong> menghormati martabat dan hak asasimanusia melalui langkah-langkah demokratis, tanpa kekerasan, dan mengacu ke tertib hukum,sehingga menjamin peristiwa serupa tidak akan terulang di masa depan.Persoalannya adalah, apa dan bagaimana sikap kita terhadap tindakan pelanggaran HAMmasa lalu tersebut? Apakah dengan menghukum atau memaafkan? Apakah <strong>yang</strong> harus dibuatuntuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut? Bagaimana dampaknya bila tidak terselesaikan?Bagaimana nasib para korban? Dan bagaimana kita dapat menjamin untuk menghindari terjadinyakekerasan atau pelanggaran HAM <strong>yang</strong> sama pada masa depan?Banyaknya pertanyaan <strong>yang</strong> harus kita jawab bersama itulah <strong>yang</strong> menggugah kami,Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menerbitkan buku seri transitional justiceini. Selama ini, debat wacana tentang masalah keadilan pada masa transisi selalu mengacu padaliteratur negara lain <strong>yang</strong> nota bene terbatas penggunaannya sebagai bahan komparasi semata.Perkembangan literatur dan bahan bacaan tentang transitional justice dengan konteks Indonesiauntuk keperluan konsumsi umum memang masih sangat terbatas. Untuk itulah, seri ini hadir.Untuk mengisi ruang kosong dalam wacana kajian umum tentang “bagaimana kita sebaiknyamenyikapi masa lalu” <strong>yang</strong> selama ini seolah-olah terpinggirkan.Kiranya perlu dicatat bahwa berbagai tawaran dalam seri kali ini bukanlah dimaksudkansebagai semacam pedoman penyelesaian pelanggaran berat HAM di masa lalu. Seri ini diterbitkandengan maksud untuk mengajak kita semua menyadari bahwa ada persoalan mendasar danmendesak <strong>yang</strong> harus kita benahi dalam praktek bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.Mendasar, karena men<strong>yang</strong>kut harkat dan martabat manusia – <strong>yang</strong> menjadi korban kekerasan danpelaku kekerasan itu sendiri. Mendesak, karena <strong>yang</strong> dipertaruhkan adalah pelurusan sejarah,eksistensi kekinian manusia, selain tentu saja masa depan kemanusiaan kita.


Pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama adalah masalah kemanusiaan <strong>yang</strong> secaraprinsip merupakan masalah universal, bukan melulu menjadi masalah kajian satu bidang ilmutertentu. Itulah mengapa, kendatipun semua uraiannya menukik pada satu tema <strong>yang</strong> sama, namunpendekatan <strong>yang</strong> ditawarkan dalam seri ini sangat multidimensional dengan karakterkomprehensionalitas bahasan <strong>yang</strong> cukup kental. Sekaligus hal ini menggambarkan bahwa betapasangat rumitnya kekerasan masa lalu itu baik pada tataran teoritis maupun praktis. Tidak kurang disini ada pendekatan filosofis <strong>yang</strong> mencoba menelusup jauh ke dalam wilayah kelam kekerasanitu. Ia mempertanyakan berbagai ide dasar, gagasan, konsep, keyakinan <strong>yang</strong> menjadipembungkus wajah keras masa lalu itu, termasuk mempertanyakan pertanyaan tentang kekerasanitu sendiri. Ada pula pendekatan historis <strong>yang</strong> menawarkan penjelajahan ruang dan waktu denganmenampilkan berbagai pengalaman negeri lain dalam penyelesaian tindak kejahatan hak asasimanusia di masa lalu. Selain itu, ada pula <strong>yang</strong> membedahnya dengan pisau analitis – sebabbagaimanapun, karakter kekerasan itu sendiri sangat beragam – namun tetap dalam bingkaikomprehensif. Itulah beberapa di antara berbagai pendekatan <strong>yang</strong> ditawarkan dalam seri ini.Akhirnya, selamat membaca.Dewan RedaksiIfdhal Kasim (Ketua)Agung Putri Astrid KartikaAbdul Haris SemendawaiAgung YudhawiranataAtnike Nova SigiroChandraAmiruddinEdisius Riyadi


1Membangun Kepedulian Terhadap <strong>Korban</strong>Sesuai dengan mandat, Pelapor Khusus ditugaskan untuk menyelidiki kemungkinanmengembangkan prinsip-prinsip dan pedoman dasar dalam hubungannya dengan hak atasrestitusi, kompensasi dan rehabilitasi korban-pelanggaran-berat hak asasi manusia dan kebebasandasar (Resolusi Sub-Komisi 1989/13). Tujuan ini selalu menjadi pemikiran Pelapor Khusus agar,dalam laporan akhirnya, berhasil menawarkan prinsip-prinsip dan pedoman dasar <strong>yang</strong>diharapkan dapat menarik perhatian PBB dan pihak-pihak lain <strong>yang</strong> berkepentingan.Ketika menyiapkan studi, Pelapor Khusus didekati sejumlah orang dan organisasi tertentu.<strong>Mereka</strong> berpikir bahwa Pelapor Khusus, selain tugas di atas, juga dipercayakan tugas untukmenangani klaim-klaim khusus men<strong>yang</strong>kut kompensasi. Perkiraan ini berangkat darikesalahpahaman tentang sifat dan tujuan mandat Pelapor Khusus. Sedangkan Pelapor Khusus itusendiri tetap teguh dan percaya pada tujuan umum studi ini, yakni bahwa kesimpulan,rekomendasi, dan prinsip-prinsip serta pedoman dasar <strong>yang</strong> dikemukakannya dapat membantumereka <strong>yang</strong> berusaha memperoleh reparasi atas penderitaan <strong>yang</strong> mereka alami karenapelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar.Pelanggaran BeratSalah satu faktor <strong>yang</strong> menentukan dalam ruang lingkup studi ini adalah ketentuan mandat <strong>yang</strong>dengan tegas mengacu pada frase “pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar”.Menurut sejumlah instrumen hukum hak asasi manusia internasional, setiap pelanggaranterhadap ketentuan instrumen-instrumen itu mengakibatkan adanya kewajiban pelanggar untukmemberikan reparasi selayaknya kepada korban. Studi ini dititikberatkan pada pelanggaran berathak asasi manusia <strong>yang</strong> dianggap berbeda dengan pelanggaran <strong>yang</strong> lain. Namun demikian,


2belum ada definisi <strong>yang</strong> disepakati secara umum mengenai “pelanggaran berat hak asasimanusia”. Kelihatannya kata “berat” menerangkan kata “pelanggaran”, yaitu menunjukkanbetapa parahnya akibat pelanggaran <strong>yang</strong> dilakukan. Tetapi kata “berat” juga berhubungandengan jenis hak asasi manusia <strong>yang</strong> dilanggar. 1Dalam hal ini, pedoman <strong>yang</strong> bermanfaat bisa didapatkan dari Komisi Hukum Internasional;sebuah komisi <strong>yang</strong> menyiapkan Rancangan Ketetapan Tindak Pidana Kejahatan TerhadapPerdamaian dan Keselamatan Umat Manusia. Pada pembahasan pertamanya, ada beberapa pasal<strong>yang</strong> diterima sementara oleh Komisi tersebut: genosida (pasal 19), apartheid (pasal 20), danpelanggaran sistematik atau massal terhadap hak asasi manusia (pasal 21). 2 Dalam kategori inipula, Komisi telah memasukkan pasal tentang pembunuhan; penyiksaan; pemaksaan ataupenerapan secara paksa status perbudakan, perhambaan atau kerja paksa; penganiayaan atasdasar alasan-alasan sosial, politik, rasial, keagamaan, atau budaya dengan cara <strong>yang</strong> sistematikatau massal; pembuangan atau pemindahan paksa penduduk.Pedoman lainnya bisa juga didapatkan dari pasal 3 Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, <strong>yang</strong>berisi standar minimum <strong>yang</strong> harus dihormati “kapan pun dan di mana pun” dan melarangtindakan-tindakan berikut ini: (a) Kekerasan terhadap kehidupan dan induvidu, terutamapembunuhan dalam segala bentuknya, mutilasi (penghilangan anggota badan tertenut), perlakuankejam dan penyiksaan; (b) Penyanderaan; (c) Perkosaan terhadap martabat pribadi terutamaperlakuan <strong>yang</strong> menghina dan merendahkan harkat; (d) Dijatuhkannya hukuman danpelaksanaan eksekusi tanpa pertimbangan pendahuluan <strong>yang</strong> biasanya dilakukan oleh pengadilan<strong>yang</strong> dianggap tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat beradab. 3123Dalam studinya: The Battle of Human Rights: Gross, Systematic Violations and the Inter-American System,dalam Bab II, Cecilia Medina Quiroga mengajukan proposal mengenai definisi “pelanggaran hak asasi manusia<strong>yang</strong> berkategori berat dan sistematik”. Karena pengertian “sistematik” tidak dijadikan sebagai cakupan darimandat studi ini, maka definisi <strong>yang</strong> diusulkan oleh Cecilia tersebut tidak dapat diterapkan sepenuhnya untuktujuan <strong>yang</strong> sekarang ini. Namun demikian, apa <strong>yang</strong> dapat dipertahankan dari rumusan <strong>yang</strong> disarankan olehCecilia adalah elemen-elemen <strong>yang</strong> memiliki karakter serupa, seperti jenis dan sifat pelanggarannya. Mengenaijenis hak <strong>yang</strong> dilanggar, ia menyebut hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi dan hak atas kebebasanpribadi.Laporan Komisi Hukum Internasional mengenai hasil kerjanya pada sidangnya <strong>yang</strong> ke-43 (A/46/10), Bab IV D(draf pasal-pasal dan komentar <strong>yang</strong> diterima sementara oleh Komisi).Serangkaian standar kemanusiaan minimal <strong>yang</strong> lebih elaboratif terdapat pada pasal 75 Protokol I KonvensiJenewa, 12 Agustus 1949, dan Deklarasi Turku mengenai Standar Kemanusiaan Minimal <strong>yang</strong> diterimasekelompok pakar pada 2 Desember 1990 (direproduksi di E/CN.4/Sub.2/1991/55).


3Berbagai kategori pelanggaran berat hak asasi manusia <strong>yang</strong> dikutip di atas diambil dariinstrumen-instrumen hukum pidana internasional dan juga dari standar hukum humaniter dasar(diterapkan pada konflik-konflik bersenjata internasional dan non-internasional). Selain itu, bisajuga ditarik dari perspektif tanggung jawab negara terhadap pelanggaran hak asasi manusiamenurut hukum kebiasaan internasional. Jadi menurut Restatemen Ketiga Undang-UndangHubungan Luar Negeri Amerika Serikat (Bagian 702), “Suatu negara melanggar hukuminternasional jika, sebagai kebijakan, negara mempraktekkan dan mendorong atau mengampuni:(a) genosida; (b) perbudakan atau perdagangan budak; (c) pembunuhan atau penghilangan paksa;(d) penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman lain <strong>yang</strong> kejam, tidak manusiawi ataumerendahkan martabat; (e) penahanan sewenang-wenang dalam waktu <strong>yang</strong> lama; (f)diskriminasi rasial <strong>yang</strong> sistematik; (g) pelanggaran terus-menerus terhadap hak asasi manusia<strong>yang</strong> diakui internasional”.Patut dicatat bahwa hampir semua contoh pelanggaran berat hak asasi manusia <strong>yang</strong> dikutipdalam paragraf-paragraf sebelumnya, <strong>yang</strong> diambil dari sumber-sumber <strong>yang</strong> berbeda, semuanyadicakup oleh berbagai perjanjian hak asasi manusia. Dan semuanya mengharuskan adanyapertanggungjawaban negara <strong>yang</strong> melakukan pelanggaran. Selain itu, negara terebut wajibmemberi reparasi kepada korban pelanggaran berat hak asasi manusia. Karena hak asasi manusiatidak bisa dipisahkan dan saling bergantung, maka pelanggaran berat dan sistematik terhadapsuatu jenis hak asasi manusia <strong>yang</strong> disebutkan di atas sering juga mempengaruhi jenis hak asasimanusia lainnya, termasuk juga hak ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian pula,praktek-praktek sistematik dan kebijakan intoleransi dan diskriminasi keagamaan akanmemunculkan hak untuk memperoleh reparasi bagi korban.Ruang lingkup studi ini akan dibatasi secara tidak pantas jika pengertian mengenai“pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar” hanya dipahami dalam pengertian<strong>yang</strong> statis dan tidak berkembang. Preferensi (pilihan paling baik) harus diberikan pada rumusan<strong>yang</strong> bersifat indikatif atau ilustratif. Namun itu dilakukan tanpa harus membuat ruang lingkupstudi ini diperluas sedemikian jauh sehingga tidak ada kesimpulan <strong>yang</strong> dapat diterapkan secaraumum dalam hal hak dan tanggung jawab <strong>yang</strong> dapat ditarik dari studi ini. Maka ditetapkan –meskipun menurut hukum internasional, setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia akan


4menimbulkan hak atas reparasi 4 bagi korban – perhatian khusus studi ini tertuju padapelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar <strong>yang</strong> mencakup genosida; perbudakanatau praktek-praktek <strong>yang</strong> menyerupai perbudakan; hukuman mati secara sumir atausewenang-wenang; penyiksaan dan perlakuan atau hukuman <strong>yang</strong> kejam, tidak manusiawi ataumerendahkan martabat; penghilangan paksa; penahanan sewenang-wenang dan dalam waktulama; deportasi atau pemindahan paksa penduduk; dan diskriminasi sistematik terutama <strong>yang</strong>didasarkan atas ras atau gender.Perorangan dan Kolektivitas Sebagai <strong>Korban</strong>Tidak dapat disangkal bahwa baik perorangan maupun kelompok sering menjadi korbanpelanggaran berat hak asasi manusia. Kebanyakan pelanggaran berat <strong>yang</strong> disebutkan dalamparagraf sebelumnya, secara tak terpisahkan, akan mempengaruhi hak-hak perorangan dankelompok. Hal ini juga disimpulkan dalam resolusi Sub-Komisi No. 1989/13 <strong>yang</strong> memberipedoman bermanfaat mengenai siapa saja <strong>yang</strong> berhak atas reparasi. Dalam hal ini, pada bagianmukadimah paragraf pertama, resolusi tersebut menyebut “perorangan, kelompok, danmasyarakat”. Dalam uraian selanjutnya dari bagian ini, <strong>yang</strong> menangani masalah khusus <strong>yang</strong>menarik minat dan perhatian, dinyatakan bahwa, dalam banyak hal, aspek-aspek perorangan dankelompok dari para korban berhubungan erat satu sama lain. Koinsidensi atau kesamaan watakkasus dari aspek perorangan dan kelompok ini terutama tampak sekali dalam hal hak-hakmasyarakat adat. Oleh karena itu, dan dengan latar belakang seperti ini, maka di samping saranauntuk memperoleh reparasi bagi perorangan, perlu diberikan ketentuan <strong>yang</strong> memadai <strong>yang</strong>mencakup hak-hak kelompok atau masyarakat <strong>yang</strong> menjadi korban untuk mengajukan tuntutanbersama: tuntutan terhadap kerugian <strong>yang</strong> dialami dan tuntutan untuk mendapatkan reparasikolektif <strong>yang</strong> selayaknya.Untuk keperluan penentuan pengertian tentang korban, baik perorangan maupun kelompok,sangatlah bermanfaat untuk mengacu pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi<strong>Korban</strong> Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice4Kata “reparasi” dalam studi ini berarti segala jenis penggantian (redress) <strong>yang</strong> bersifat material maupunnonmaterial bagi para korban pelanggaran hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu istilah-istilah “restitusi”,“kompensasi” dan “rehabilitasi” mencakup aspek-aspek tertentu dari reparasi.


5for Victims of Crime and Abuse of Power) 5 terutama pada frase-frase dari paragraf 1 dan 2.Berikut ini kutipannya:“<strong>Korban</strong> berarti orang <strong>yang</strong> secara perorangan atau kelompok menderita kejahatan, termasuk cederafisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan nyata terhadap hakdasar mereka”.“… Istilah korban juga termasuk – sejauh dipandang tepat – keluarga langsung atau orang <strong>yang</strong>secara langsung berada di bawah tanggungan para korban dan orang-orang <strong>yang</strong> telah mengalamipenderitaan dalam membantu para korban <strong>yang</strong> sengsara atau dalam mencegah orang-orang agartidak menjadi korban”.Masalah-Masalah Khusus <strong>yang</strong> Menarik Minat dan PerhatianDalam paragraf-paragraf berikut ini, sejumlah masalah-masalah khusus akan ditinjau karena halitu penting untuk orientasi umum studi ini. Juga karena hal itu telah diangkat dalam tahap-tahapawal pembahasan Sub-Komisi mengenai laporan awal dan laporan perkembangan <strong>yang</strong>berhubungan dengan studi ini. Oleh karena masalah-masalah khusus ini tidak mudah dilingkupoleh konteks bab-bab lainnya, maka masalah ini paling sesuai ditempatkan dalam bab ini.Hampir semua masalah khusus ini menunjukkan bahwa parameter studi saat ini dibentuk olehpengertian kerugian serius dan pukulan berat terhadap martabat manusia, terutama integritas fisikdan moral pribadi manusia dan terhadap keberadaan kelompok, masyarakat, dan rakyat itusendiri, <strong>yang</strong> berakibat pada tuntutan <strong>yang</strong> sah akan reparasi bagi mereka <strong>yang</strong> menjadi korban.Yang sangat penting bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat adat adalah hak-hak atastanah dan hak-hak <strong>yang</strong> berhubungan dengan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan.Hukum internasional <strong>yang</strong> ada dan <strong>yang</strong> baru muncul mengenai hak-hak masyarakat adatmemberikan penekanan khusus terhadap perlindungan hak-hak bersama ini. Hukuminternasional itu juga menetapkan hak masyarakat adat atas kompensasi terhadap kerusakan <strong>yang</strong>ditimbulkan oleh pelaksanaan program-program eksplorasi dan eksploitasi <strong>yang</strong> dilakukan5Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 40/34 tertanggal 29 November 1985.


6terhadap tanah mereka, 6 dan dalam pemindahan masyarakat adat 7 . Rancangan deklarasimengenai hak-hak masyarakat adat mengakui hak mereka atas restitusi. Atau bilamana hal initidak memungkinkan, maka harus diusahakan kompensasi selayaknya dan adil terhadap tanahdan wilayah mereka <strong>yang</strong> telah disita, diduduki, dimanfaatkan, atau dirusak secara paksa tanpaperkenan dan izin mereka; dan ketika izin itu diminta, maka itu harus dilakukan dengan tetapmenghormati kebebasan mereka serta didahului pemberian informasi <strong>yang</strong> memadai dan jelastentang alasan mengapa tanah mereka diminta. Kompensasi sebaiknya dalam bentuk tanah danwilayah <strong>yang</strong> mutu, luas, dan status hukumnya paling sedikit sama dengan tanah atau wilayah<strong>yang</strong> telah diambil. 8Dalam hal kerusakan lingkungan <strong>yang</strong> dapat mempengaruhi serangkaian hak asasi manusia,terutama hak atas kehidupan dan standar hidup <strong>yang</strong> layak bagi kesehatan dan kesejahteraan,maka sangatlah bermanfaat untuk memperhatikan Delarasi Rio Mengenai Lingkungan danPembangunan (Rio Declaration on Environment and Development) <strong>yang</strong> diadopsi pada tanggal14 Juni 1992 oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Lingkungan danPembangunan. 9 Prinsip atau Ketentuan 13 Deklarasi Rio – <strong>yang</strong> sebagian besar didasarkan atasPrinsip 22 Deklarasi Stockholm pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa MengenaiLingkungan Hidup Manusia – berbunyi sebagai berikut:“Negara harus mengembangkan Undang-Undang Nasional mengenai kewajiban menyediakanrestitusi dan kompensasi bagi para korban polusi dan kerusakan lingkungan. Negara-negara jugaharus bekerja sama dengan cara <strong>yang</strong> cepat dan efisien serta lebih tekun untuk mengembangkanhukum internasional lebih lanjut mengenai kewajiban menyediakan restitusi dan kompensasi atasefek-efek <strong>yang</strong> merugikan dari kerusakan lingkungan <strong>yang</strong> disebabkan oleh kegiatan di dalamwilayah atau kekuasaan mereka, <strong>yang</strong> efeknya meluas ke luar daerah wilayah mereka”.Keadaan <strong>yang</strong> tak menyenangkan dari orang-orang <strong>yang</strong> selamat dari Kamp Konsentrasi NAZIdan <strong>yang</strong> telah menjadi korban beberapa percobaan ilmiah mendapat perhatian khusus pada suatu6789Konvensi ILO No. 169 mengenai masyarakat adat dan kesukuan di negara-negara merdeka, pasal 15 ayat 2(kompensasi <strong>yang</strong> adil).Ibid., pasal 16 ayat 4 dan 5 (kompensasi penuh).E/CN.4/Sub.2/1992/28, Bagian III, paragraf draf operatif 17.A/CONF.151/26 (Jilid I), Bab 1, Resolusi 1, Lampiran I.


7waktu dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Persoalan ini diangkat oleh Komisi MengenaiStatus Kaum Perempuan dalam sidangnya <strong>yang</strong> keempat, 10 dan kemudian diterima oleh DewanEkonomi dan Sosial dalam resolusinya No. 353 (XII) tertanggal 19 Maret 1951. Dalam resolusitersebut Dewan memohon pada penguasa Jerman <strong>yang</strong> berwenang untuk memberi reparasisepenuhnya atas penderitaan <strong>yang</strong> dialami di bawah rezim Nazi oleh orang-orang <strong>yang</strong> dijadikankelinci percobaan ilmiah di kamp-kamp konsentrasi. Dalam jawabannya, 11 Pemerintah RepublikFederasi Jerman menyatakan bahwa mereka telah siap, dalam kasus-kasus khusus, untukmemberi bantuan praktis kepada para korban percobaan ilmiah itu <strong>yang</strong> kemudian tinggal di luarnegeri, <strong>yang</strong> dikejar-kejar karena alasan ras, agama, pandangan atau keyakinan politik, dan tidakmemenuhi persyaratan restitusi di bawah Undang-Undang Kompensasi <strong>yang</strong> berlaku di RepublikFederasi Jerman karena mereka bukan penduduk tetap atau batas waktu pengajuan telah lewat.Bagi para korban percobaan ilmu pengetahuan <strong>yang</strong> tak memenuhi persyaratan restitusi karenaalasan-alasan lain, permohonan mereka untuk mendapatkan bantuan tidak akan ditolak.Terutama bila kesehatan mereka telah mengalami gangguan tetap akibat perlakuan <strong>yang</strong> tidakmengacuhkan hak asasi manusia. Dewan Ekonomi dan Sosial dalam resolusinya No. 386 (XIII)tertanggal 15 September 1951 menyambut baik keputusan <strong>yang</strong> telah diambil PemerintahRepublik Federasi Jerman dalam kesediaannya untuk memikul tanggung jawab. Dewan jugamemohon kepada Pemerintah Republik Federasi Jerman – dan pemerintah memang bersediamelakukannya – untuk memberi bantuan semurah hati mungkin.Perbuatan dan kegiatan pihak-pihak dalam situasi konflik bersenjata <strong>yang</strong> menyebabkankerugian dan kerusakan sering menimbulkan tuntutan kompensasi. Jadi Majelis UmumPerserikatan Bangsa-Bangsa mendukung dalam serangkaian resolusi di bawah judul “sisa-sisaperang”, atas tuntutan negara-negara berkembang <strong>yang</strong> mengalami kerugian karena penanamanranjau di tanah mereka dengan segala akibatnya kepada negara-negara <strong>yang</strong> menanam ranjautersebut. 12 Baru-baru ini, Dewan Keamanan menegaskan kembali bahwa Irak harus bertanggungjawab di bawah Hukum Internasional atas setiap kerugian langsung, kerusakan, termasukkerusakan lingkungan dan menipisnya sumber daya, serta kerugian <strong>yang</strong> dialami para101112E/1712, paragraf 77-79.Surat tertanggal 30 Juli 1951 di E/2087, Lampiran H.Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 35/71 tertanggal 5 Desember 1980, No. 36/168tertanggal 17 Desember 1981, No. 37/215 tertanggal 20 Desember 1982, No. 38/162 tertanggal 19 Desember1983, dan No. 39/167 tertanggal 17 Desember 1984, dan No. 40/197 tertanggal 17 Desember 1985.


8pemerintah, bangsa, dan perusahaan asing sebagai akibat penyerangan dan pendudukan <strong>yang</strong>tidak sah atas Kuwait; dan memutuskan untuk menyediakan dana untuk membayar kompensasiatas tuntutan-tuntutan <strong>yang</strong> termasuk kategori ini dan membentuk komisi untuk menyalurkandana tersebut. 13 Masalah ini akan ditinjau secara lebih rinci dalam Bab 6 laporan ini.Masalah pemindahan dan pengusiran paksa baru-baru ini menjadi agenda hak asasi manusiainternasional karena hal ini dianggap sebagai praktek <strong>yang</strong> membawa kerugian berat danbencana terhadap hak-hak dasar sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sejumlah besar orangbaik perseorangan maupun kelompok.. Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalamKomentar Umum 4 (diterima pada sidangnya <strong>yang</strong> ke-6 pada tahun 1991) mengenai hak atasperumahan <strong>yang</strong> memadai memberi petunjuk tatacara hukum dalam usaha mendapat kompensasisetelah pengusiran tidak sah dengan menggunakan tuntutan atas perumahan <strong>yang</strong> memadai (hakatas tempat tinggal <strong>yang</strong> layak). 14 Komisi Hak Asasi Manusia dalam resolusinya No. 1993/77dalam masalah pengusiran paksa, merekomendasikan bahwa semua pemerintah memberirestitusi segera, kompensasi dan/atau akomodasi alternatif <strong>yang</strong> selayaknya dan memadai atautanah, sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, kepada orang-orang dan masyarakat <strong>yang</strong>telah diusir paksa, mengikuti perundingan <strong>yang</strong> memuaskan kedua belah pihak yaitu orang-orangatau kelompok <strong>yang</strong> terkena pengusiran tersebut (paragraf 4).Masalah kekerasan terhadap kaum perempuan telah menjadi keprihatinan <strong>yang</strong> mendesakdan meluas, dan sangat berkaitan dengan konteks studi saat ini mengenai hak atas reparasi bagipara korban. Dalam draf Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Kaum Perempuan, <strong>yang</strong>disiapkan dan diadopsi (disahkan) dalam bulan Maret 1993 oleh Komisi Status KaumPerempuan, dan kemudian diserahkan untuk disahkan oleh Majelis Umum PerserikatanBangsa-Bangsa, negara-negara diserukan untuk dengan cara <strong>yang</strong> memadai dan tanpaditunda-tunda lagi memberlakukan kebijakan penghapusan kekerasan terhadap kaum perempuan.Draf Deklarasi merinci “kekerasan terhadap kaum perempuan” sebagai “setiap perbuatankekerasan atas dasar gender <strong>yang</strong> mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan kerugianatau penderitaan fisik, seksual atau psikologis pada kaum perempuan, termasuk ancamanperbuatan sedemikian, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang,<strong>yang</strong> terjadi baik pada kehidupan pribadi maupun kemasyarakatan” (pasal 1). Di antara1314Resolusi Dewan Keamanan No. 687 (1991), paragraf 16 dan 18.HRI/GEN/I, Bagian II, Komentar Umum 4, paragraf 17.


9langkah-langkah pemulihan dan penyantunan <strong>yang</strong> merupakan bagian dari kebijakanpenghapusan kekerasan terhadap kaum perempuan, pasal 4 draf Deklarasi memuat, antara lain,hal-hal sebagai berikut:a. Menahan diri dari tindakan melakukan kekerasan terhadap kaum perempuan(sub-paragraf (b)).b. Dengan tekun mencegah, menyelidiki dan menghukum perbuatan kekerasanterhadap kaum perempuan (sub-paragraf (c)).c. Penyediaan akses mekanisme untuk mendapatkan keadilan dan kepatutanserta pemulihan <strong>yang</strong> efektif bagi para korban kekerasan (sub-paragraf (d)).d. Pengembangan pendekatan-pendekatan preventif untuk memastikan bahwakaum perempuan tidak menjadi korban kembali karena adanyaundang-undang <strong>yang</strong> tidak peka gender, praktek-praktek penegakan hukum<strong>yang</strong> juga tidak peka gender, serta campur tangan lainnya.e. Memastikan bahwa bantuan khusus seperti rehabilitasi, bantuan pemeliharaandan perawatan anak, pengobatan, saran, pelayanan kesehatan dan sosial,kemudahan dan program, maupun struktur pendukung dan langkah-langkahlain demi keselamatan dan rehabilitasi fisik serta psikologi para perempuan<strong>yang</strong> menjadi korban dan anak-anak mereka tersedia (sub-paragraf (g)).Deklarasi juga merekomendasikan penerimaan semua langkah <strong>yang</strong> selayaknya terutama dalambidang pendidikan, untuk mengubah pola sosial dan budaya perilaku kaum laki-laki danperempuan untuk menghilangkan prasangka, adat, dan praktek-praktek lainnya <strong>yang</strong> didasarkanatas keunggulan atau kekurangan salah satu seks serta peran stereotip kaum laki-laki danperempuan (pasal 4, sub-paragraf (j)), harus segera dilakukan.Mengenai bentuk-bentuk perbudakan kontemporer, Kelompok Kerja (Working Group) untukmasalah ini pada sidangnya <strong>yang</strong> ke-17 telah meminta Pelapor Khusus untuk bekerja sama danmembuat rekomendasi terutama dalam hubungan dengan bentuk-bentuk perbudakankontemporer. Kerja sama itu juga dimaksudkan untuk mempertimbangkan bersama soalkebutuhan kompensasi moral bagi para korban perdagangan budak dan bentuk-bentuk


10perbudakan awal lainnya. 15 Dalam kaitannya dengan hal ini, Pelapor Khusus ingin menjelaskanbahwa ia menilai praktek-praktek <strong>yang</strong> ingin dicegah, dihapus, dan diperangi oleh KelompokKerja mengenai bentuk-bentuk Perbudakan Kontemporer, yaitu perdagangan anak-anak,pelacuran anak-anak, pekerja anak, ikatan hutang, penyelundupan manusia, dan eksploitasipelacuran dan sejenisnya, merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia <strong>yang</strong> secara umumdilingkup oleh studi ini. Sedangkan mengenai remedi (pemulihan) dan reparasi (perbaikan) bagipara korban praktek-praktek ini, Pelapor Khusus pertama-tama mengacu pada prinsip-prinsipdan pedoman dasar <strong>yang</strong> diusulkan dan <strong>yang</strong> tercakup pada Bab 7 studi ini (bagian “PrinsipDasar dan Pedoman <strong>yang</strong> Diusulkan”), <strong>yang</strong> dimaksudkan untuk dapat diterapkan secara umum.Di samping itu, ciri-ciri khusus <strong>yang</strong> intrinsik dari praktek jahat ini harus dipertimbangkan,seperti kerawanan luar biasa dari para korban dan aspek trans-nasional dari praktek-praktek ini.Dengan cara <strong>yang</strong> sama seperti pada masalah kekerasan terhadap kaum perempuan, PelaporKhusus lebih menyukai penerapan <strong>yang</strong> luas dari remedi khusus dan langkah reparasi, mulai darirestitusi dan kompensasi sampai rehabilitasi, pemuasan, pencegahan, dan jaminan bahwa halserupa tidak akan terulang lagi. Tugas ini harus dilaksanakan dengan dasar pengetahuan <strong>yang</strong>akrab mengenai masalah-masalah tersebut.Kelompok Kerja untuk Bentuk-Bentuk Perbudakan Kontemporer menekankan perlunyakompensasi moral bagi para korban perdagangan budak dan bentuk-bentuk awal perbudakan.Masalah ini juga disinggung oleh dua orang anggota Sub-Komisi asal Afrika dalam hubungandengan masalah kompensasi bagi orang-orang Afrika keturunan para korban pelanggaran berathak-hak asasi manusia <strong>yang</strong> dilakukan oleh kekuatan-kekuatan kolonial. 16 Dalam hal ini,Pelapor Khusus mengarahkan perhatian para anggota terhadap laporan Sekretaris Jenderalmengenai dimensi internasional hak untuk berkembang sebagai hak asasi manusia di manaserangkaian aspek etik hak untuk berkembang dicatat, antara lain kewajiban moral para bekaspenguasa kolonial untuk menyantuni sebagai penebus dosa eksploitasi di masa lalu dan beberapakewajiban lain. Sekretaris Jenderal mencatat bahwa penerimaan kewajiban moral tersebut samasekali tidak bersifat universal. 17 Barangkali <strong>yang</strong> lebih mendekati masalah ini ialah beberapa151617E/CN.4/Sub.2/1992/34, Bagian VII, Rekomendasi Umum.E/CN.4/Sub.2/1992/SR.27, paragraf 46 (Nyonya Mbonu) dan E/CN.4/Sub.2/1992/SR31, paragraf 1-2 (NyonyaKsentini).E/CN.4/1334, paragraf 52-54.


11rekomendasi <strong>yang</strong> tercakup dalam studi mengenai pencapaian <strong>yang</strong> dibuat dan halangan <strong>yang</strong>dijumpai selama Dekade Memerangi Rasisme dan Diskriminasi Rasial, <strong>yang</strong> disiapkan olehPelapor Khusus Asbjorn Eide 18 . Dalam bagian rekomendasi <strong>yang</strong> berhubungan dengan situasi<strong>yang</strong> ditimbulkan oleh perbudakan, hal-hal berikut ini adalah tepat sesuai dengan konteks saatini:a. Penelitian harus terus dilakukan di negara-negara tersebut untuk menentukansampai sejauh mana keturunan para budak tersebut menderita rintangan ataupelecehan sosial (rekomendasi 17).b. Tindakan dukungan efektif harus dilakukan sampai para anggota kelompok initidak mengalami rintangan atau pelecehan lagi. Tindakan dukungan ini jangansampai menjadi diskriminasi terhadap kelompok masyarakat <strong>yang</strong> dominan(rekomendasi 18).Meskipun agak sulit dan kompleks untuk melaksanakan dan melakukan kewajiban hukum untukmembayar kompensasi bagi para keturunan korban perdagangan budak dan bentuk-bentuk lainperbudakan awal lainnya, Pelapor Khusus saat ini setuju bahwa tindakan dukungan <strong>yang</strong> efektifdiperlukan pada kasus-kasus <strong>yang</strong> berkenaan sebagai kewajiban moral. Sebagai tambahan,catatan <strong>yang</strong> akurat mengenai sejarah perbudakan termasuk catatan perbuatan dan kegiatan parapelaku dan kaki tangannya, dan juga penderitaan para korban, harus mendapat peliputan luasmelalui media, buku sejarah dan bahan-bahan pendidikan.Akhirnya Kelompok Kerja untuk Bentuk-Bentuk Perbudakan Kontemporer memintaSekretaris Jenderal supaya menyerahkan informasi <strong>yang</strong> diterima Kelompok Kerja mengenaisituasi kaum perempuan <strong>yang</strong> dipaksa menjadi pelacur selama masa perang kepada PelaporKhusus. Permohonan ini didukung oleh Sub-Komisi dalam resolusinya No. 1992/2 paragraf 18.Mengenai masalah ini Pelapor Khusus mengacu pada surat <strong>yang</strong> ia telah tulis kepada KelompokKerja di mana dia menyatakan kesediaannya untuk melakukan studi mengenai Situasi kaumperempuan <strong>yang</strong> dipaksa menjadi pelacur selama masa perang atas dasar dokumentasi <strong>yang</strong>diterima dan dalam hubungan dengan prinsip-prinsip dan pedoman dasar <strong>yang</strong> diusulkan, <strong>yang</strong>18E/CNM.4/Sub.2/1989 dan Lampiran 1.


12juga dicakup oleh laporan <strong>yang</strong> sekarang ini. 19 Pelapor Khusus menegaskan bahwa ia bersediamelakukan studi seperti itu dalam kapasitasnya sebagai pakar perseorangan jika ia dimintaberbuat demikian.19E/CN.4/Sub.2/AC.2/1993/9.


2Perlindungan Terhadap <strong>Korban</strong>:Norma Internasional dan Tanggung Jawab NegaraNorma-Norma Hak Asasi Manusia Internasional (Instrumen-Instrumen Hak AsasiManusia Global dan Regional)Sejumlah instrumen Hak Asasi Manusia, baik <strong>yang</strong> universal maupun <strong>yang</strong> regional,mengandung ketentuan <strong>yang</strong> berhubungan dengan hak setiap orang untuk mendapat“remedi <strong>yang</strong> efektif” oleh suatu pengadilan nasional <strong>yang</strong> berwenang untuk menanganiremedi atas pelanggaran hak asasi manusia; remedi <strong>yang</strong> dimaksud adalah remedi <strong>yang</strong>dijamin oleh konstitusi atau undang-undang. Rumusan seperti itu termaktub dalam pasal8 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pengertian “remedi <strong>yang</strong> efektif” jugatercantum dalam pasal 2(3)(a) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan pasal 6Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.Beberapa instrumen hak asasi manusia mengacu pada “hak untuk memperolehrestitusi sesuai dengan undang-undang” (pasal 10 Konvensi Amerika Mengenai HakAsasi Manusia) <strong>yang</strong> lebih khusus atau “hak untuk mendapat kompensasi <strong>yang</strong> memadai”(pasal 21 (2) Piagam Afrika Mengenai Hak Asasi Manusia dan Rakyat).Yang lebih khusus adalah ketentuan pasal 9(5) Kovenan Internasional Hak Sipil danPolitik dan pasal 5(5) Konvensi Eropa Mengenai Perlindungan Hak Asasi Manusia danKebebasan Dasar, <strong>yang</strong> mengacu pada “hak atas kompensasi <strong>yang</strong> dapat diberlakukan”.Demikian juga halnya dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atauHukuman Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Lainnya (CAT =Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or


14Punishment). Konvensi ini mengandung ketentuan <strong>yang</strong> memberikan kepada korbanpenyiksaan suatu penggantian dan hak <strong>yang</strong> dapat diberlakukan untuk suatu kompensasi<strong>yang</strong> adil dan memadai, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin (pasal14(1)). Juga, Deklarasi Mengenai Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa(Declaration on the Protection af All Persons from Enforced Disappearence) memberikepada korban penghilangan paksa dan keluarganya suatu penggantian dan kompensasi<strong>yang</strong> memadai, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin (pasal 19).Pada beberapa instrumen, terdapat ketentuan khusus <strong>yang</strong> menunjukkan bahwakompensasi diwajibkan menurut hukum atau hukum nasional (pasal 14 (6) KovenanInternasional Hak Sipil dan Politik dan pasal 11 Deklarasi Mengenai Perlindungan SemuaOrang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi, atauMerendahkan Martabat Lainnya).Ketentuan <strong>yang</strong> berhubungan dengan reparasi atau pemuasan sebagai akibatkerugian-kerugian tersebut terkandung pada pasal 6 Konvensi Internasional MengenaiPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD = International Convention onthe Elimination of All Forms of Racial Discrimination) <strong>yang</strong> memberi hak untukmendapatkan “reparasi atau pemuasan <strong>yang</strong> adil dan memadai untuk setiap kerugian <strong>yang</strong>diderita”. Konvensi ILO mengenai masyarakat adat dan kesukuan di negara-negaramerdeka juga mengacu pada “kompensasi <strong>yang</strong> adil atas setiap kerugian” (pasal 15 (2)),“kompensasi dalam bentuk uang” serta “di bawah jaminan selayaknya” (pasal 16 (4)),dan kompensasi penuh “atas setiap kerugian dan perbuatan tidak adil” (pasal 16 (5)).Konvensi Amerika Mengenai Hak Asasi Manusia juga mengandung “kerugian <strong>yang</strong>harus dikompensasi” (pasal 68) serta menentukan bahwa para korban pelanggaran hakatau kebebasan “berhak atas pemulihan dan kompensasi <strong>yang</strong> adil” (pasal 63 (1)).Konvensi Mengenai Hak Anak mengandung ketentuan <strong>yang</strong> mewajibkannegara-negara penandatangan (Negara Pihak) mengambil langkah selayaknya untukmenjamin “pemulihan fisik dan psikologis dan reintegrasi sosial dari anak <strong>yang</strong> menjadikorban” (pasal 39).


15Norma-Norma Dalam Hal Pencegahan Kejahatan dan Keadilan PidanaKetentuan substantial <strong>yang</strong> berhubungan dengan masalah restitusi, kompensasi danbantuan bagi para korban kejahatan terkandung dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip DasarKeadilan Bagi Para <strong>Korban</strong> Kejahatan dan Penyalah-gunaan Kekuasaan (ResolusiMajelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 40/34 tertanggal 29 November 1985).Deklarasi tersebut mengandung ketentuan-ketentuan sebagai berikut:a. Para korban berhak untuk mendapatkan penggantian segera ataskerugian <strong>yang</strong> mereka derita.b. <strong>Mereka</strong> harus diberitahu tentang hak mereka untuk mendapatpenggantian.c. Para pelaku atau pihak ketiga harus memberi restitusi <strong>yang</strong> adil bagipara korban, keluarga, dan tanggungan mereka. Penggantian demikianharus mencakup pengembalian hak milik atau pembayaran atas deritaatau kerugian <strong>yang</strong> dialami, penggantian atas biaya-biaya <strong>yang</strong>dikeluarkan sebagai akibat viktimisasi tersebut, dan penyediaanpelayanan serta pemulihan hak-hak.d. Bilamana kompensasi tidak sepenuhnya didapat dari pelaku atausumber-sumber lainnya, negara harus berusaha menyediakankompensasi keuangan.e. Para korban harus mendapat dukungan dan bantuan material,pengobatan, psikologis dan sosial <strong>yang</strong> diperlukan.Deklarasi juga menentukan bahwa pemerintah-pemerintah tersebut harus meninjaukembali praktek-praktek, peraturan dan undang-undang mereka untukmempertimbangkan restitusi sebagai pilihan penjatuhan vonis dalam kasus-kasuskejahatan, di samping sanksi pidana (prinsip 9).Peraturan Standar Minimal Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Tata LaksanaKeadilan Bagi Anak-Anak (“The Beijing Rules”) mengandung ketentuan khusus yakni


16bahwa: “untuk memfasilitasi kebijakan mengenai kasus anak-anak, maka harus ada upaya<strong>yang</strong> dilakukan untuk membekali para pelaksana program kemasyarakatan dengan hal-halseperti: pengawasan dan bimbingan sementara, restitusi dan kompensasi bagi para parakorban (peraturan 11.4)”.Norma Hukum Humaniter InternasionalPasal 3 Konvensi Den Haag (The Hague) Mengenai Hukum dan Adat-Istiadat BidangPertanahan mewajibkan para penanda tangan untuk membayar ganti rugi jika terjadipelanggaran terhadap peraturan. Pasal 41 Peraturan Den Haag <strong>yang</strong> dicakup dalamKonvensi <strong>yang</strong> sama juga memberikan hak untuk menuntut restitusi karenakerugian-kerugian <strong>yang</strong> dialami akibat pelanggaran terhadap klausula gencatan senjataoleh perorangan.Empat Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949 mengandung pasal-pasal <strong>yang</strong>sama <strong>yang</strong> menyatakan bahwa “Tidak satu pun pihak penanda tangan <strong>yang</strong> diizinkanuntuk membebaskan diri sendiri atau pihak penanda tangan lainnya dari tanggung jawabakibat perbuatannya atau perbuatan pihak penanda tangan lainnya”, untuk kasuspelanggaran berat hak asasi manusia seperti “pembunuhan, penyiksaan, atau perlakuantidak manusiawi termasuk percobaan biologis <strong>yang</strong> dilakukan dengan sengaja, dandengan sengaja pula menyebabkan penderitaan besar atau kerugian serius terhadapjasmani atau kesehatan, termasuk perusakan besar-besaran dan perampasan hak milik,<strong>yang</strong> tidak dapat dibenarkan menurut kebutuhan militer dan dilaksanakan secara tidak sahdan ceroboh”. 1Pasal 68 Konvensi Jenewa Tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perangmengandung ketentuan-ketentuan khusus mengenai tuntutan kompensasi bagi tawananperang.1Lihatlah pasal 50 dan 51 Konvensi Jenewa Mengenai Perbaikan Keadaan Prajurit Angkatan Bersenjata<strong>yang</strong> Luka-Luka dan Sakit di Medan Tempur; pasal 51 dan 52 Konvensi Jenewa Mengenai PerbaikanKeadaan Para Prajurit Angkatan Bersenjata <strong>yang</strong> Luka-Luka Sakit dan Kapalnya Tenggelam di Lautan;pasal 130 dan 131 Konvensi Jenewa Mengenai Perlakuan Terhadap Tawanan Perang; dan pasal 147 dan148 mengenai Perlindungan Warga Sipil di Waktu Perang.


17Pasal 55 Konvensi Jenewa Mengenai Perlindungan Terhadap Warga Sipil PadaWaktu Perang menentukan bahwa tentara pendudukan “harus menjamin harga <strong>yang</strong>wajar untuk setiap barang <strong>yang</strong> diambil”.Akhirnya, Protokol I (Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus1949, <strong>yang</strong> berhubungan dengan perlindungan para korban konflik bersenjatainternasional) menyatakan dalam pasal 91 bahwa pihak <strong>yang</strong> dalam konflik bersenjatamelanggar ketentuan konvensi atau protokol ini “wajib membayar kompensasi”.Tanggung Jawab NegaraDalam hukum internasional, tanggung jawab negara (state responsibility) timbul sebagaiakibat dari pelanggaran hukum internasional oleh negara. Elemen-elemen <strong>yang</strong>menyalahi hukum internasional antara lain adalah: (a) melakukan (action) tindakan <strong>yang</strong>tidak dibolehkan, atau tidak melakukan (omission) tindakan <strong>yang</strong> menjadi kewajibannegara, berdasarkan ketentuan hukum internasional; dan (b) melakukan tindakan <strong>yang</strong>merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional suatu negara. 2 Komisi HukumInternasional lebih jauh memberikan rincian mengenai pelanggaran terhadap kewajibaninternasional dan membedakan antara kejahatan internasional (international crimes) dandelik internasional (international delicts). Kejahatan internasional adalah pelanggaranterhadap kewajiban internasional <strong>yang</strong> demikian penting untuk perlindungankepentingan-kepentingan masyarakat internasional dan dianggap sebagai kejahatan olehmasyarakat itu secara keseluruhan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah, antara lain,pelanggaran berat kewajiban internasional <strong>yang</strong> penting untuk pemeliharaan perdamaiandan keamanan internasional, hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, pemeliharaandan pelestarian lingkungan hidup manusia dan – <strong>yang</strong> paling berkaitan dengan konteksstudi sekarang ini – pelanggaran berat terhadap “sejumlah besar kewajiban internasional<strong>yang</strong> penting untuk keselamatan umat manusia, seperti pelarangan perbudakan, genosida,2Rancangan pasal-pasal tentang tanggung jawab negara, Bagian I, pasal 3, Buku Tahunan Komisi HukumInternasional 1980, jilid II (bagian dua), halaman 30-34.


18dan apartheid”. 3 Delik internasional adalah tindakan <strong>yang</strong> salah secara internasionaltetapi bukan merupakan kejahatan.Dalam kaitan dengan hukum internasional untuk hak asasi manusia, masalahtanggung jawab negara mengemuka bila negara melanggar kewajiban untuk menghormatihak asasi manusia <strong>yang</strong> diakui secara internasional. Kewajiban seperti itu mempunyaidasar hukum pada perjanjian-perjanjian internasional, terutama perjanjian-perjanjiantentang hak asasi manusia internasional, dan/atau hukum kebiasaan internasional(international customary law), 4 khususnya norma-norma hukum kebiasaan internasional<strong>yang</strong> mempunyai sifat pasti (jus cogens). 5 Pandangan <strong>yang</strong> secara umum diterima adalahbahwa negara tidak hanya mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia<strong>yang</strong> diakui secara internasional tetapi juga kewajiban untuk memastikan penerapanhak-hak tersebut, <strong>yang</strong> mungkin menyiratkan kewajiban untuk memastikan kepatuhanterhadap kewajiban-kewajiban internasional oleh para pribadi dan kewajiban untukmencegah pelanggaran. 6 Jika pemerintah gagal untuk memberikan tindakan <strong>yang</strong>memadai atau tidak mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, makapemerintah tersebut harus bertanggung jawab secara moral. 734567Ibid., bagian 1, pasal 19 terutama ayat 3 (c).Menurut Restatemen Ketiga untuk Undang-Undang Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat tahun1987, suatu negara melanggar hukum internasional <strong>yang</strong> biasa, jika sebagai kebijakan negara, negaramempraktekkan dan mendorong atau mengampuni: (a) genosida; (b) perbudakan atau perdaganganbudak; (c) pembunuhan atau penghilangan orang-orang; (d) penyiksaan atau perlakuan ataupenghukuman kejam lain <strong>yang</strong> tidak manusiawi atau merendahkan martabat; (e) penahanansewenang-wenang dalam waktu <strong>yang</strong> lama; (f) diskriminasi rasial <strong>yang</strong> sistematik; (g) pelanggaranterus-menerus terhadap hak asasi manusia <strong>yang</strong> diakui internasional (§ 702).Meskipun tidak semua norma hak asasi manusia membentuk bagian dari jus cogens, norma-norma <strong>yang</strong>dicatat dalam klausa (a) sampai dengan (f) catatan kaki sebelumnya biasanya dianggap sebagaitermasuk kategori norma-norma pasti (Restatemen Undang-Undang, § 702, komentar 12).Lihat Restatemen Ketiga Undang-Undang, § 702, catatan pelapor 2. Lebih jauh lihatlah karya TheodorHeron, Human Rgihts and Humanitarian Norms as Customary Law, 1989, halaman 165; dan karyaNaomi Roht-Arriaza, “State resposibility to investigate and prosecute grave human rights violations ininternational law”, dalam California Law Review, vol. 78 (1990), halaman 451-513 (pada halaman 471).Para komentator sering mengacu konteks ini untuk kasus Velásquez Rodriguez, <strong>yang</strong> mana MahkamahAntar-Amerika menyatakan bahwa dalam hubungan dengan pasal 1 ayat 1 Konvensi Amerika,kewajiban “memastikan” menyiratkan kewajiban dari negara-negara penanda tangan untukmengorganisir sistem perlindungan masyarakat dengan cara sedemikian sehingga “mereka dapat secarahukum memastikan penikmatan hak asasi manusia secara bebas dan penuh”. (Judgement,Inter-American Court of Human Rights, Seri C, nomor 4 (1988), paragraf 166).Lihat karya Meron, catatan 24 pada halaman 171 dan karya Roht-Arriaza, catata 24 halaman 471.


19Masalah <strong>yang</strong> timbul sekarang ialah kepada siapakah negara bertanggung jawabketika negara melanggar kewajiban hak asasi manusia menurut hukum internasional.Dalam hukum internasional <strong>yang</strong> tradisional, negara <strong>yang</strong> melanggar bertanggung jawabatas tindakannya terhadap negara <strong>yang</strong> dirugikan di tingkat antar-negara. Ini berartidalam kaidah hak asasi manusia, adalah menjadi tanggung jawab negara jika negara itumelanggar hak asasi manusia warga negara suatu negara lain, sebagaimana halnya jikanegara tersebut melanggar hak asasi manusia <strong>yang</strong> diakui secara internasional dari setiaporang lainnya. Dalam hukum internasional tradisional, pihak <strong>yang</strong> menderita kerugianbukanlah para pribadi orang perorangan, atau kelompok orang-orang, melainkan negaradi mana orang atau kelompok orang-orang tersebut menjadi warga-negaranya. Dalam halini, negara tersebut dapat mengajukan tuntutan reparasi kepada negara pelanggar, tetapipara korban itu sendiri tidak mempunyai hak untuk mengajukan klaim atau tuntutaninternasional. 8Namun demikian, harus diperhatikan bahwa Komisi Hukum Internasional dalambabak kedua pembahasan rancangan pasal-pasal mengenai tanggung jawab negara <strong>yang</strong>diterima Komisi pada pembahasannya <strong>yang</strong> pertama, dalam pemberian konsep “negara<strong>yang</strong> dirugikan”, Komisi tidak membatasi konsep tersebut hanya pada hak dankepentingan negara <strong>yang</strong> dilanggar saja, tetapi juga memakai konsep tersebut untukpelanggaran hak berdasarkan perjanjian multilateral atau peraturan hukum kebiasaaninternasional, <strong>yang</strong> telah diciptakan atau ditegakkan untuk perlindungan hak asasimanusia dan kebebasan <strong>yang</strong> mendasar. 9 Sebagaimana dinyatakan dalam Komentar <strong>yang</strong>berkaitan dari Komisi Hukum Internasional, kepentingan <strong>yang</strong> akan dilindungi olehketentuan-ketentuan hak asasi manusia bukanlah kepentingan suatu negara; jadi perludipertimbangkan pada kesempatan pertama apakah setiap negara penanda tangankonvensi multilateral atau hukum kebiasaan internasional, dapat dianggap sebagai“negara <strong>yang</strong> dirugikan”. 10 Kemungkinan aspek kolektif pertanggungjawaban jugadisoroti lebih jauh oleh Komisi Hukum Internasional ketika Komisi itu menyatakan8910Nigel Rodley, The Treatment of Prisoners under International Law, 1987, halaman 97.Draf pasal-pasal mengenai Tanggung Jawab Negara, Bagian 2, pasal 5 paragraf 2(e)(iii), Yearbook ofthe International Law commission 1985, Jilid II (Bagian II), halaman 24-25.Komentar terhadap draf pasal-pasal mengenai Tanggung Jawab Negara, ibid., paragraf (20), halaman27.


20konteks “negara <strong>yang</strong> dirugikan” juga dapat dapat berarti negara penanda tanganperjanjian multilateral jika hak <strong>yang</strong> dilanggar itu telah ditetapkan dalam perjanjiantersebut untuk kepentingan bersama negara penanda tangan. 11 Sebagai tambahan, KomisiHukum Internasional menghubungkan konsep “negara <strong>yang</strong> dirugikan” padanegara-negara lain selain negara <strong>yang</strong> melanggar jika tindakan <strong>yang</strong> salah secarainternasional itu termasuk kejahatan internasional. 12Penentuan aspek kolektif dalam pertanggungjawaban negara, sebagaimana terbuktidari pekerjaan-pekerjaan draf Komisi Hukum Internasional, adalah sesuai dengankecenderungan <strong>yang</strong> tumbuh dalam hukum hak asasi manusia internasional. Di sanadinyatakan bahwa suatu negara tunduk dan bertanggung jawab di bawahperjanjian-perjanjian hak asasi manusia multilateral atau hukum kebiasaan internasionalbukan hanya karena adanya “negara <strong>yang</strong> dirugikan”, tetapi juga karena hal itu menjadikeprihatinan masyarakat bangsa-bangsa. Ini juga merupakan prinsip <strong>yang</strong> mendasaripandangan Komisi Hak Asasi Manusia Eropa mengenai Konvensi Hak Asasi ManusiaEropa: negara <strong>yang</strong> menuntut pelanggaran terhadap Konvensi, sebenarnya, bukan hanyamenegakkan hak-haknya sendiri atau hak bangsanya sendiri, melainkan demimempertahankan ketertiban umum di Eropa:“Dalam menandatangani suatu Konvensi, suatu negara juga mengikatkan diribersama-sama Negara Penanda Tangan lainnya, untuk mengamankan hak-hak dankebebasan <strong>yang</strong> didefinsikan di Bagian I (Konvensi Eropa Mengenai Hak Asasi Manusia)bagi setiap orang di dalam wilayah kekuasaannya, tanpa memandang kebangsaan ataustatusnya …. Dan negara itu mengikat diri untuk mengamankan hak-hak dan kebebasantersebut tidak hanya bagi bangsanya atau bangsa-bangsa lain dari Negara Penanda Tangantetapi juga bagi bangsa-bangsa dari negara-negara <strong>yang</strong> bukan penanda tangan Konvensitersebut serta bagi para warga tanpa kewarganegaraan… Kewajiban <strong>yang</strong> harus dilakukanoleh Negara-Negara Penanda -Tangan Konvensi garis besarnya bersifat objektif, <strong>yang</strong>dirancang untuk melindungi hak-hak dasar setiap pribadi dari pelanggaran oleh setiap1112Draf pasal-pasal mengenai Tanggung Jawab Negara, Bagian 2 pasal 5 paragraf 2(f), ibid., halaman24-25.Draf pasal-pasal mengenai Tanggung Jawab Negara, ibid., Bagian 2 Pasal 5 paragraf 3.


21Negara Penanda Tangan dan bukannya diciptakan untuk kepentingan subjektif dantukar-menukar Negara-Negara Penanda Tangan itu sendiri.” 13Prinsip <strong>yang</strong> mendasari pertanggungjawaban negara di bawah perjanjian-perjanjian hakasasi manusia multilateral mengakibatkan kewajiban kolektif atau kewajiban masyarakatbangsa-bangsa <strong>yang</strong> harus menghormati dan menjamin penegakan hak-hak <strong>yang</strong> tercakupdalam perjanjian tersebut. Hal itu juga berlaku jika kewajiban-kewajiban tersebut berasaldari hukum internasional mengenai hak asasi manusia, sesuai dengan ketentuanKeputusan Pengadilan Internasional Barcelona, di mana Pengadilan menyatakan bahwasemua negara berhak mempertahankan kewajiban erga omnes. Dinyatakan olehPengadilan:“……sangat penting untuk membedakan kewajiban negara terhadap masyarakatinternasional sebagai suatu keseluruhan, dan <strong>yang</strong> timbul dalam hubungan dengan negaralain di bidang perlindungan diplomatik. Menurut sifatnya <strong>yang</strong> disebut terdahulu adalahkepentingan semua negara. Karena sifat hak-hak <strong>yang</strong> terlibat dipandang penting, makasemua negara dapat dianggap mempunyai kepentingan hukum atas perlindungan hak-haktersebut; kewajiban mereka disebut erga omnes. Kewajiban demikian berasal, misalnya,dari hukum internasional kontemporer, <strong>yang</strong> menyatakan tindakan agresi, genosida,perbudakan, dan diskriminasi rasial sebagai tindakan-tindakan menyalahi hukum. Beberapahak <strong>yang</strong> dilindungi ini telah masuk hukum internasional umum, sedangkan <strong>yang</strong> laindinyatakan oleh instrumen-instrumen sebagai mempunyai sifat quasi-universal atauuniversal. 14Jadi dapat disimpulkan, jika suatu negara melanggar kewajiban erga omnes, maka negaraitu merugikan hukum internasional dan ketertiban umum sebagai suatu keseluruhan danakibatnya setiap negara mempunyai hak dan kepentingan untuk menuntut negara <strong>yang</strong>melanggar itu. 15131415Austria versus Italia. Penerapan No. 788/60. Yearbook of the European Convention of Human Rights1961, (Nyjhoff, Den Haag, 1962), halaman 166 ff., (pada halaman 140).Kasus Perusahaan Penerangan dan Listrik Barcelona (Tahap Kedua, Belgia vs. Spanyol), Laporan ICJ1970, halaman 32.Lihat juga karya Meron, catatan 24 halaman 191 dan karya Menno T. Kamminga, Inter-StateAccountability for Violations of Human Rights, 1992, halaman 156.


22Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep tanggung jawab negara untukpelanggaran standar hak asasi manusia <strong>yang</strong> diakui internasional mempunyai dampakhukum dalam hal “negara <strong>yang</strong> dirugikan” dalam pengertian tradisional, dan – sesuaikasusnya – juga dampak terhadap semua negara penanda tangan perjanjian multilateraljika hak-hak dan kepentingan negara-negara tersebut juga “dirugikan”. Dengan demikian,dampak tersebut juga menimpa seluruh masyarakat internasional, terutama suatu negaratelah melanggar kewajiban hak asasi manusia, kewajiban <strong>yang</strong> mempunyai sifat ergaomnes. Pertanyaan dengan aspek lain muncul, apakah negara <strong>yang</strong> melanggar tersebuthanya bertanggung jawab terhadap Negara-Negara Penanda Tangan ataukah juga secaralebih langsung terhadap orang-orang <strong>yang</strong> dilanggar hak asasi manusianya di dalamnegara itu. Berkenaan dengan hukum perjanjian hak asasi manusia, MahkamahAntar-Amerika menyatakan bahwa Konvensi Amerika Mengenai Hak Asasi Manusiaharus melindungi para individu <strong>yang</strong> menjadi korban dan juga mengharuskan negara<strong>yang</strong> melakukannya bertanggung jawab. Dalam sarannya, Mahkamah Antar-Amerikaberpendapat:“….perjanjian hak asasi manusia modern pada umumnya, dan Konvensi Amerika padakhususnya, bukanlah perjanjian multilateral tradisional <strong>yang</strong> dicapai dengan saling tukarhak untuk kepentingan bersama Negara-Negara Penanda Tangan. Maksud dan tujuannyaadalah untuk melindungi hak-hak dasar manusia, tanpa memandang kebangsaan, baikterhadap negara di mana dia menjadi warga negara maupun terhadap Negara-NegaraPenanda Tangan lainnya. Dalam menyimpulkan perjanjian-perjanjian hak asasi manusiaini, negara-negara dapat dikatakan telah menyerahkan diri mereka pada ketertiban hukum.Dengan begitu, untuk kebaikan bersama, mereka telah men<strong>yang</strong>gupi untuk melakukanberbagai kewajiban, bukan dalam hubungan ke negara lainnya, melainkan terhadap paraindividu di daerah kekuasaannya..." 16Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa kewajiban <strong>yang</strong> diakibatkan olehpertanggungjawaban negara atas pelanggaran hukum hak asasi manusia internasionalmemberikan hak pada pribadi atau kelompok pribadi <strong>yang</strong> menjadi korban dalam wilayah16Efek dari Persyaratan-Persyaratan Dalam Pemberlakuan Konvensi Amerika, PengadilanAntar-Amerika, Pandangan Saran OC-2/82 tertanggal 24 September 1982, Pengadilan Antar-AmerikaMengenai Hak Asasi Manusia, Seri A, Penilaian dan Pandangan, No.2, paragraf 29. Juga lihat karyaAlejandro Artucio, “Impunity of Perpetrators”, dalam Report of the Maastricht Seminar, halaman 190.


23negara itu untuk mendapatkan remedi <strong>yang</strong> efektif dan reparasi <strong>yang</strong> adil, sesuai denganhukum internasional.Di bawah hukum internasional, suatu negara <strong>yang</strong> telah melanggar kewajiban hukumakan diminta untuk menghentikan pelanggaran tersebut dan memberikan reparasi,termasuk – disesuaikan dengan keadaan – restitusi dan kompensasi untuk kerugian danpenderitaan. 17 Sebagaimana dikemukakan pada paragraf-paragraf sebelumnya, pihak<strong>yang</strong> dirugikan, <strong>yang</strong> mendapat hak atas reparasi itu mungkin saja negara <strong>yang</strong> dirugikanlangsung, atau kelompok negara – terutama dalam hal pelanggaran kewajiban erga omnes– dan/atau pribadi/perorangan atau kelompok-kelompok pribadi, <strong>yang</strong> kesemuanya itumerupakan korban pelanggaran hak asasi manusia <strong>yang</strong> diakui secara internasional.Dalam konteks studi saat ini, pribadi atau kelompok <strong>yang</strong> dirugikan, dalam arti korbanpelanggaran berat hak asasi manusia, telah menjadi pusat perhatian. Orang-orang tersebutmungkin warga negara dari negara pelanggar itu sendiri, warga negara dari negara-negaralainnya, atau tidak berkewarganegaraan. Dalam tinjauan norma-norma hak asasi manusiaterkait, sebagaimana disebutkan dalam Bab 2 studi ini, acuan dibuat untukmengekspresikan ketentuan-ketentuan hak asasi manusia universal dan regional <strong>yang</strong>mengakui hak atas “remedi efektif” dari pengadilan nasional <strong>yang</strong> berwenang ataspelanggaran hak asasi manusia <strong>yang</strong> dialaminya.Komisi Hukum Internasional, dalam melanjutkan kerjanya pada topik tanggungjawab negara, telah menerima dari Komite Perancang sejumlah pasal <strong>yang</strong> diterima padapembahasan pertamanya, yaitu dari Bagian Dua pasal-pasal rancangannya <strong>yang</strong> khususberkaitan dengan studi saat ini. 18 Pasal-pasal ini berkenaan dengan penghentian tindakan<strong>yang</strong> salah itu (pasal 6), remedi (pasal 6 bis), restitusi dan sejenisnya (pasal 7),kompensasi (pasal 8), pemuasan (pasal 10), dan kepastian serta jaminan tidak akandiulanginya perbuatan tersebut (pasal 10 bis). 19 Rancangan ini masih dalampertimbangan awal Komisi Hukum Internasional dan dibuat terutama dalam perspektifhubungan antarnegara; dan oleh karena itu, tidak ditujukan untuk hubungan antarnegara171819Lihat Restatemen Ketiga Undang-Undang tersebut, § 901 (Ganti-Rugi Dalam Pelanggaran HukumInternasional).Laporan Komisi Hukum Internasional mengenai pekerjaannya pada sidangnya <strong>yang</strong> ke-44 (A/47/10),alinea 12.Lihat A/CN.4/L.472


24dan pribadi. Diharapkan dalam penyusunan selanjutnya pekerjaan <strong>yang</strong> berkaitan dengan“tanggung jawab negara”, perhatian lebih banyak diberikan kepada aspek kewajibannegara untuk menghormati dan menjamin hak asasi manusia. Namun demikian,pasal-pasal ini, meskipun dibuat dengan perspektif <strong>yang</strong> berlainan, mengandung elemen<strong>yang</strong> tepat untuk konteks studi saat ini. Beberapa elemen itu harus disoroti.Pertama, perlunya penghentian tindakan <strong>yang</strong> salah bila hal ini memiliki efeksinambung dan pemberian hak kepada pihak <strong>yang</strong> dirugikan untuk mendapat jaminantidak akan diulanginya perbuatan itu (pasal 6 dan 10 bis). Kedua, reparasi penuh dapatberupa restitusi dalam segala bentuknya, kompensasi, pemuasan, dan pemberiankeyakinan dan jaminan tidak akan diulanginya perbuatan itu. Juga ditetapkan bahwanegara <strong>yang</strong> telah melakukan tindakan pelanggaran tidak boleh menggunakanketentuan-ketentuan hukum dalam negerinya untuk membenarkan ketidakmampuannyamenyediakan reparasi secara penuh (pasal 6 bis). Ketiga, restitusi dalam bentukmemulihkan keadaan seperti semula sebelum terjadinya tindakan pelanggaran (pasal 7),dan jika kerusakan tidak dapat diperbaiki dengan restitusi dalam segala bentuknya, makadiberikan kompensasi <strong>yang</strong> mencakupi semua kerugian ekonomi <strong>yang</strong> diderita olehkorban (pasal 8). Keempat, pemuasan atas kerugian, terutama kerugian moral, ditujukanuntuk sedapat mungkin memberikan reparasi sepenuhnya. Reparasi itu bisa dilakukandalam bentuk: (a) permintaan maaf, (b) penggantian kerugian nominal, (c) dalam halpelanggaran berat terhadap hak, ganti kerugian itu harus mencerminkan beratnyapelanggaran, (d) jika ada perilaku <strong>yang</strong> sangat buruk atau tindak kejahatan, maka harusdilakukan tindakan disiplin atau penghukuman kepada <strong>yang</strong> bertanggung jawab (pasal10).Badan-badan yudisial internasional seperti Komite Hak Asasi Manusia danPengadilan Hak Asai Antar-Amerika – dengan mempertimbangkan keluhan-keluhan parakorban pelanggaran hak asasi manusia <strong>yang</strong> diakui dan dijamin dalam berbagai bentukperjanjian hak asasi manusia internasional – telah membuat serangkaian ketetapanhukum. Dalam ketetapan hukum tersebut mereka telah mendefinisikan tanggung jawabnegara berupa kewajiban <strong>yang</strong> harus dilaksanakan oleh negara pelanggar. Ketetapanhukum itu ditinjau lagi dalam Bab 3 studi ini dengan mengikuti pola <strong>yang</strong> digariskandalam paragraf-paragraf terdahulu. Salah satu pengungkapan paling jelas dalam hal ini


25dapat kita temukan dalam penilaian Pengadilan Antar-Amerika untuk kasus VelásquezRodriguez, di mana Pengadilan menyatakan:“Negara mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah <strong>yang</strong> masuk akal untuk:mencegah pelanggaran hak asasi manusia; memanfaatkan sarana-sarana <strong>yang</strong> ada padanyauntuk melakukan penyelidikan <strong>yang</strong> serius mengenai pelanggaran-pelanggaran <strong>yang</strong>dilakukan di wilayah kedaulatannya; menentukan siapa <strong>yang</strong> bertanggung jawab;memberikan hukuman <strong>yang</strong> selayaknya; dan memastikan bahwa korban mendapatkankompensasi.” 2020Judgement, Inter-American Court of Human Rights, Seri C, nomor 4 (1988), paragraf 174. Lebih jauhlihatlah karya Juan E. Méndez dan José Miguel Vivanco, “Disappearances and the Inter-AmericanCourt: reflections on a litigation experience”, dalam Hamline Law Review, vol. 13 (1990), halaman507-577.


3Pandangan Lembaga Hak Asasi Manusia InternasioanlKomite Hak Asasi ManusiaBerdasarkan Protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Komite HakAsasi Manusia dapat menerima dan mempertimbangkan komunikasi dari perorangan <strong>yang</strong>mengklaim telah menjadi korban dari suatu pelanggaran oleh Negara Pihak terhadap suatu hak<strong>yang</strong> ditetapkan dalam Kovenan. Keputusan-keputusan Komite Hak Asasi Manusia diacusebagai “pandangan” dalam Pasal 5 ayat 4 Protokol Opsional. Setelah Komite membuat temuanmengenai suatu pelanggaran terhadap satu atau lebih ketentuan dari Kovenan, biasanya Komitelangsung meminta kepada Negara Pihak tersebut untuk mengambil langkah-langkah <strong>yang</strong> tepatuntuk melakukan remedi (upaya perbaikan) terhadap pelanggaran itu. Dasar untuk remedi ituadalah Pasal 2 ayat 3 Kovenan. Menurut ketentuan tersebut setiap Negara Pihak berusaha untukmemastikan bahwa setiap orang <strong>yang</strong> hak atau kebebasannya sebagaimana diakui dalamKovenan itu dilanggar harus mendapat remedi <strong>yang</strong> efektif. Ketentuan tentang kompensasi <strong>yang</strong>lebih spesifik terdapat dalam Pasal 9 ayat 5 Kovenan. Di situ ditetapkan bahwa setiap orang <strong>yang</strong>telah menjadi korban dari penangkapan atau penahanan secara melawan hukum akan mempunyaisuatu hak atas kompensasi. Selain itu, berdasarkan Pasal 14 ayat 6 <strong>yang</strong> menetapkan tentangkompensasi, hak tersebut didapatkan ketika seseorang telah mengalami hukuman sebagai akibatpenerapan keadilan <strong>yang</strong> salah.Dengan kesimpulan dari sidangnya ke-45 (Juli 1992), Komite Hak Asasi Manusia telahmerumuskan pandangannya berdasarkan Pasal 5 ayat 4 Protokol Opsional berkenaan dengankomunikasi 138. 1 Sekalipun kasus hukum dari Komite Hak Asasi Manusia telah menangani1Laporan Komite Hak Asasi Manusia, Catatan Resmi dari Majelis Umum, Sidang ke-47, Suplemen No. 40(A/47/40), paragraf 609.


27sebagian besar ketentuan Kovenan, isu untuk memberikan remedi, termasuk kepada para korbanpelanggaran terhadap Kovenan tampak paling menonjol berkenaan dengan:a. Hak untuk hidup (ps. 6 Kovenan);b. Hak untuk tidak dikenai penyiksaan atau perlakuan atau hukuman <strong>yang</strong>kejam, tidak manusiawi atau menurunkan martabat manusia (ps. 7);c. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (ps. 9), termasuk:i. Hak untuk tidak dikenai penangkapan dan penahanansewenang-wenang (ps. 9);ii. Hak untuk diajukan dengan segera ke depan hakim dan diadili dalamsuatu jangka waktu <strong>yang</strong> masuk akal (ps. 9[3]);iii. Hak seseorang untuk menentang penangkapan dan penahanan atasdirinya (atau remedi habeas corpus – hak untuk diperiksa di depanhakim) (ps. 9[4]);d. Hak untuk diperlakukan secara manusiawi selama dipenjarakan (ps. 10);e. Hak atas pemeriksaan <strong>yang</strong> adil (ps. 14), termasuk:i. Pemeriksaan <strong>yang</strong> adil dan terbuka oleh suatu mahkamah <strong>yang</strong>kompeten, independen dan tidak memihak (ps. 14 [1]);ii. Jaminan minimum dalam penentuan suatu tuduhan kriminal, terutamahak untuk berkomunikasi dengan penasihat hukum (ps. 14[3][b]);iii. Hak atas bantuan hukum <strong>yang</strong> dipilihnya sendiri (ps. 14 [3][b] dan [d]);iv. Hak untuk diadili tanpa penundaan <strong>yang</strong> tidak beralasan (ps. 14 [3][c]);v. Hak atas diperiksanya para saksi (ps. 14 [3][e]);vi. Hak untuk tidak memberatkan diri sendiri (ps. 14 [3][g]);vii. Hak untuk meninjau keputusan bersalahnya seseorang besertahukumannya (ps. 14[5]). 2Dalam kebanyakan komunikasi di mana Komite Hak Asasi Manusia bertindak berdasarkan Pasal5 ayat 4 Protokol Opsional, Komite mendapati bahwa ternyata isi atau ketentuan dalam Kovenan2Ketentuan-ketentuan penting lainnya dari Kovenan <strong>yang</strong> merupakan subjek dari kasus hukum <strong>yang</strong> cukupmenarik adalah, antara lain, hak untuk melakukan kegiatan politik (ps. 25), persamaan di depan hukum, prinsipnon-diskriminasi (ps. 26) dan hak dari golongan minoritas (ps. 27).


28telah dilanggar secara tidak tunggal. Artinya bahwa pelanggaran tersebut tidak hanyamenyinggung salah satu dari ketentuan-ketentuan <strong>yang</strong> tersebut di atas, tetapi sejumlah diantaranya sekaligus.Bukanlah tujuan dari studi ini untuk menelaah substansi dari ketentuan-ketentuan dalamKovenan. Bukan pula untuk meneliti kasus-kasus <strong>yang</strong> telah ditangani Komite Hak AsasiManusia sejauh Komite tersebut telah menerapkan dan menafsirkan ketentuan-ketentuanKovenan. Studi ini dimaksudkan hanya untuk menemukan, apabila Komite berpendapat bahwaKovenan telah dilanggar, bagaimana Komite menangani masalah pemulihan, termasukkompensasi. Tanpa mengabaikan pandangan Komite berkenaan dengan pelanggaran terhadapketentuan-ketentuan lain dalam Kovenan, Pelapor Khusus berpendapat bahwa suatu seleksi darikomunikasi-komunikasi tersebut adalah paling diperlukan bagi tujuan sekarang ini. Fakta-fakta<strong>yang</strong> ada terutama mengungkapkan pelanggaran terhadap Pasal 6 (hak untuk hidup) dan/atauPasal 7 (hak untuk tidak dikenai siksaan atau perlakuan atau hukuman <strong>yang</strong> kejam, tidakmanusiawi atau merendahkan martabat). Sebagaimana pernah ditunjukkan Komite Hak AsasiManusia, pelanggaran-pelanggaran ini mempunyai pemberatan khusus (kasus No. 194/1985 JeanMiango Miuyo vs. Zaire).Kasus-kasus berikut ini berkaitan dengan hak untuk hidup:a. Dalam kasus No. 30/1978 (Irene Bleier Lewenhoff dan Rosa Valino de Bleier vs.Uruguay) Komite berpendapat bahwa Pasal 7, 9 dan 10 (1) dari Kovenan telah dilanggardan bahwa terdapat alasan-alasan serius untuk percaya bahwa pada akhirnya pelanggaranterhadap Pasal 6 telah dilakukan oleh para pejabat Uruguay. Berkenaan dengan hal <strong>yang</strong>tersebut belakangan Komite mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembaliposisisinya dalam kasus ini dan mengambil langkah-langkah efektif, (i) untuk menetapkanapa <strong>yang</strong> terjadi kepada Eduardo Bleier sejak Oktober 1975, untuk mengajukan kepengadilan setiap orang <strong>yang</strong> terbukti bertanggung jawab atas kematiannya, hilangnya atauperlakuan buruk kepadanya, dan untuk membayar kompensasi kepadanya atau kepadakeluarganya atas kerugian <strong>yang</strong> telah dideritanya; dan (ii) memastikan bahwa pelanggaranserupa tidak berulang lagi di masa depan;


29b. Dalam kasus No. 45/1979 (Pedro Pablo Camargo vs. Colombia) Komite berpendapatbahwa semua pelanggaran lain <strong>yang</strong> mungkin telah terjadi dalam kasus tersebutdimasukkan ke dalam pelanggaran <strong>yang</strong> lebih serius lagi terhadap Pasal 6. Dengandemikian Komite berpendapat bahwa Negara Pihak seyogianya mengambillangkah-langkah <strong>yang</strong> perlu untuk memberi kompensasi kepada suami/istri dari orang <strong>yang</strong>terbunuh sebagai akibat dari tindakan polisi <strong>yang</strong> sembrono) dan untuk memastikan hakuntuk hidup dilindungi dengan semestinya dengan melakukan amendemen terhadapundang-undang;c. Dalam kasus No. 84/1981 (Guilermo Ignacio Dermit Barbato dan Hugo Haroldo DermitBarbato vs. Uruguay) Komite berpendapat bahwa, berkenaan dengan satu orang, Pasal 6telah dilanggar sebab para pejabat gagal untuk mengambil langkah-langkah <strong>yang</strong> perluuntuk melindungi hidupnya selama dalam penahanan. Berkenaan dengan orang lain,Komite berpendapat bahwa fakta-fakta mengungkapkan pelanggaran terhadap Pasal 9 (3)dan 14 (3)(c). Dengan demikian, Komite berpendapat bahwa Negara Pihak berkewajibanuntuk mengambil langkah-langkah efektif: (i) untuk menetapkan fakta-fakta mengenaikematian itu, membawa ke pengadilan setiap orang <strong>yang</strong> terbukti bertanggung jawab ataskematian itu dan membayar kompensasi <strong>yang</strong> layak kepada keluarganya; (ii) berkenaandengan orang lain, Negara Pihak seharusnya memastikan kepatuhan secara ketat terhadapsemua jaminan prosedural <strong>yang</strong> diatur dalam Pasal 14, maupun hak dari orang-orang <strong>yang</strong>ditahan sebagaimana diatur dalam Pasal 7, 9 dan 10; (iii) mengirimkan satu salinan daripendapat ini kepada orang <strong>yang</strong> bersangkutan; dan mengambil langkah-langkah untukmemastikan bahwa pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa depan;d. Dalam kasus No. 107/1981 (Elena Quinteros Almeida dan Maria del Carmen Almeidade Quinteros vs. Uruguay), Komite berpendapat bahwa ibu dari anak perempuan <strong>yang</strong>hilang itu hidup dalam suasana kesedihan mendalam dan ketegangan <strong>yang</strong> disebabkan olehhilangnya anak perempuannya dan ketidak-pastian <strong>yang</strong> terus-menerus mengenai nasib dankeberadaannya. Ibu itu berhak untuk tahu apa <strong>yang</strong> terjadi dengan anak perempuannya.Dalam hal ini ibu tersebut juga merupakan seorang korban pelanggaran terhadap Kovenan<strong>yang</strong> diderita oleh anak perempuannya, terutama Pasal 7. Mengenai anak perempuan


30tersebut, Komite menyimpulkan bahwa tanggung jawab atas hilangnya jatuh ke pihak parapejabat Uruguay dan bahwa, sebagai akibatnya, pemerintah harus mengambillangkah-langkah segera dan efektif: (i) untuk menetapkan apa <strong>yang</strong> terjadi dengan orang<strong>yang</strong> hilang tersebut sejak 18 Juni 1986, dan memastikan pembebasannya; (ii) untukmembawa ke depan pengadilan setiap orang <strong>yang</strong> terbukti bertanggung jawab atashilangnya anak perempuan tersebut; (iii) untuk membayar kompensasi atas kesalahan <strong>yang</strong>diderita; dan (iv) memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak akan terulang lagi di masadepan;e. Dalam kasus No. 146/1983 dan 148-154/1983 (John Khemraadi Baboeram dkk. vs.Suriname) Komite berpendapat bahwa para korban diingkari secara sewenang-wenang hakmereka untuk hidup dengan melanggar Pasal 6. Komite mendesak Negara Pihak untukmengambil langkah-langkah efektif, (i) untuk menyelidiki pembunuhan-pembunuhanbulan Desember 1982; (ii) untuk membawa ke depan pengadilan setiap orang <strong>yang</strong>kedapatan bertanggung jawab atas kematian para korban; (iii) untuk membayarkompensasi kepada keluarga <strong>yang</strong> masih hidup; dan (iv) untuk memastikan bahwa hakuntuk mendapat perlindungan <strong>yang</strong> semestinya di Suriname.f. Dalam kasus No. 161/1983 (Joaquin David Herrera Rubio vs. Colombia) Komitemenyimpulkan bahwa Pasal 6 dari Kovenan telah dilanggar sebab Negara Pihak telahgagal mengambil tindakan <strong>yang</strong> semestinya untuk mencegah hilangnya dan kemudianpembunuhan terhadap kedua orang tua dari penulis komunikasi dan untuk menyelidikisecara efektif tanggung jawab atas pembunuhan mereka. Tambahan pula, Komiteberpendapat bahwa, berkenaan dengan penulis komunikasi, Pasal 7 dan 10, ayat 1, telahdilanggar sebab ia telah dikenai siksaan dan perlakuan buruk selama ia ditahan. Dengandemikian Komite berpendapat bahwa Negara Pihak berkewajiban, sesuai denganketentuan-ketentuan Kovenan, untuk mengambil tindakan-tindakan efektif untuk memberiremedi terhadap pelanggaran <strong>yang</strong> telah diderita penulis dan selanjutnya untuk menyelidikipelangaran tersebut, untuk mengambil tindakan terhadap masalah tersebut dengansemestinya dan untuk mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa pelanggaranserupa tidak akan terjadi lagi di masa depan;


31g. Dalam kasus No. 194/1985 (Jean Miango Nuiyo vs. Zaire) Komite mendapati bahwafakta-fakta mengungkapkan pelanggaran terhadap Pasal 6 dan 7 Kovenan. Komitemendesak Negara Pihak untuk mengambil langkah-langkah efektif (i) untuk menyelidikikeadaan mengenai kematian korban; (ii) untuk membawa ke depan pengadilan setiap orang<strong>yang</strong> ternyata bertanggung jawab atas kematiannya; dan (iii) untuk membayar kompensasikepada keluarganya;h. Dalam kasus No. 181/1984 (A. dan H. Sanjuan Arevalo vs. Colombia) Komitemendapati bahwa hak untuk hidup <strong>yang</strong> diabadikan dalam Pasal 6 Kovenan dan hak ataskebebasan dan keamanan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9 Kovenan ternyata belummendapatkan perlindungan secara efektif oleh Negara Pihak <strong>yang</strong> bersangkutan. Komitemenyatakan bahwa pihaknya akan menyambut baik informasi mengenai setiap tindakanrelevan <strong>yang</strong> diambil oleh Negara Pihak berkenaan dengan pandangan Komite dan, secarakhusus, mengundang Negara Pihak tersebut untuk memberi informasi kepada Komitemengenai perkembangan lebih lanjut dalam penyelidikan tentang hilangnya Sanjuanbersaudara;Kasus-kasus berikut ini berkaitan dengan hak untuk tidak dikenai siksaan atau perlakuan atauhukuman <strong>yang</strong> kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.a. Dalam kasus No. 63/1979 (Vileta Setelich vs.Uruguay) Komite Hak Asasi Manusiamenemukan pelanggaran terhadap Pasal 7 dan 10 (1), 9 (3), 14 (3)(a – e) Kovenan. Komiteberpendapat bahwa Negara Pihak mempunyai kewajiban untuk mengambillangkah-langkah segera guna memastikan kepatuhan <strong>yang</strong> ketat terhadapketentuan-ketentuan Kovenan dan untuk memberikan tindakan efektif kepada korban, danterutama untuk memberikan kepada korban (Raul Sendic) perlakuan sebagaimana <strong>yang</strong>ditetapkan dalam Pasal 7 dan 10 Kovenan untuk orang-orang <strong>yang</strong> ditahan. Selain itu,Negara Pihak juga berkewajiban untuk memberikan kepada korban (<strong>yang</strong> ditahan) sidangpengadilan baru dengan semua jaminan prosedural <strong>yang</strong> disebutkan dalam Pasal 14


32Kovenan. Negara Pihak juga harus memastikan bahwa korban menerima dengan segerasemua perawatan medis <strong>yang</strong> perlu.b. Dalam kasus No. 25/1978 (Carmen Amendola dan Graciela Baritussio vs. Uruguay)Komite menemukan, berkenaan dengan seorang korban, pelanggaran terhadap Pasal 7 dan10 (1) dan Pasal 9 (1) Kovenan dan, berkenaan dengan korban lainnya, pelanggaranterhadap Pasal 9 (1) dan 9 (4). Komite berpendapat bahwa Negara Pihak berkewajibanuntuk memberi remedi <strong>yang</strong> efektif kepada para korban, termasuk kompensasi, ataspelanggaran <strong>yang</strong> mereka diderita. Negara Pihak juga didesak untuk menyelidikipernyataan mengenai siksaan <strong>yang</strong> dilakukan terhadap orang-orang dalam kasus itu.c. Dalam kasus No. 80/1980 (Elena Beatriz Vasilakis vs. Uruguay) Komite menemukanpelanggaran terhadap ketentuan Kovenan, yakni Pasal 7 dan 10 (1), dan Pasal 14 (1), 14(3)(b) dan (d) dan 14 (3)(a)). Komite berpendapat bahwa Negara Pihak berkewajiban untukmengambil langkah-langkah segera (i) untuk memastikan dipatuhinya secara ketatketentuan-ketentuan Kovenan dan untuk memberi perbaikan <strong>yang</strong> efektif kepada korbandan, secara khusus, untuk memperluasnya kepada orang-orang dalam Pasal 10 dariKovenan; (ii) untuk memastikan bahwa ia menerima semua perawatan medis <strong>yang</strong> perlu;(iii) untuk menyampaikan satu salinan dari pandangan ini kepada korban; (iv) untukmemastikan bahwa pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa datang.d. Dalam kasus No. 88/1981 (Gustavo Raul Larrosa Beguio vs. Uruguay) Komitemenemukan pelanggaran-pelanggaran terhadap Kovenan berkenaan dengan korban,terutama Pasal 7 dan 10 (1). Komite berpendapat bahwa Negara Pihak berkewajiban untukmengambil langkah-langkah segera (i) untuk memastikan kepatuhan secara ketat terhadapketentuan-ketentuan Kovenan dan menyediakan perbaikan efektif kepada korban,terutama, untuk memberikan kepada korban perlakuan sebagaimana ditetapkan dalamPasal 10 untuk orang-orang <strong>yang</strong> ditahan; (ii) untuk memastikan bahwa ia menerimasemua perawatan medis <strong>yang</strong> perlu; (iii) untuk menyampaikan satu salinan dari pandanganini kepadanya; dan (iv) untuk mengambil langkah-langkah guna memastikan bahwapelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa datang.


33e. Dalam kasus No. 110/1981 (Antonio Vienna Acosta vs. Uruguay) Komitemenyimpulkan bahwa ketentuan Kovenan Pasal 7 dan 10 (1), maupun Pasal 14 (3)(b) dan(d) dan 14 (3)(c) telah dilanggar. Komite berpendapat bahwa Negara Pihak berkewajibanuntuk memberikan kepada korban remedi efektif dan, terutama, kompensasi atas luka-lukadan penderitaan fisik dan mental <strong>yang</strong> ditimbulkan kepada korban oleh perlakuan tidakmanusiawi <strong>yang</strong> dikenakan kepadanya.f. Dalam kasus No. 124/1982 (Tahitenge Nuteba vs. Zaire) Komite menemukanpelanggaran terhadap Pasal 7 dan 10 (1) dan terhadap Pasal 9 (3), 9 (4), 14 (3)(b), (c) dan(d) dan 19. Komite berpendapat bahwa Negara Pihak itu berkewajiban untuk memberikankepada korban remedi <strong>yang</strong> efektif, termasuk kompensasi, atas pelanggaran-pelanggaran<strong>yang</strong> dideritanya, untuk melakukan penyelidikan mengenai keadaan penyiksaan <strong>yang</strong>dialaminya, untuk menghukum orang-orang <strong>yang</strong> ternyata bersalah atas penyiksaan itu danmengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak terjadilagi di masa datang.g. Dalam kasus No. 176/1984 (Walter Lafuente Pefiarrieta dkk. vs. Bolivia) Komitemenyimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap Kovenan telah terjadi berkenaandengan Pasal 7 dan Pasal 9 (9) dan 10 (1) serta Pasal 14 (3)(b). Komite berpendapat bahwaNegara Pihak itu berkewajiban, sesuai dengan ketentuan Pasal 2, untuk mengambiltindakan efektif untuk meremedi pelanggaran <strong>yang</strong> diderita oleh para korban, untukmemberi kompensasi kepada mereka, untuk menyelidiki pelanggaran, untuk mengambiltindakan terhadap pelanggaran itu dengan semestinya,dan mengambil langkah-langkahagar pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa depan.Tinjauan di atas terhadap kasus hukum dari Komite Hak Asasi Manusia, <strong>yang</strong> men<strong>yang</strong>kuttindakan-tindakan, terutama, dari Pasal 6 dan 7 Kovenan, mengungkapkan bahwa ada suatukaitan definitif antara pemberian remedi efektif <strong>yang</strong> menjadi hak (para) korban, remedi <strong>yang</strong>ditujukan untuk mencegah berulangnya pelanggaran serupa dan isu tindak lanjut <strong>yang</strong> ditempuh


34oleh Negara Pihak <strong>yang</strong> bersangkutan berkenaan dengan pemberian remedi <strong>yang</strong> diserukandalam pandangan Komite. Adalah berguna untuk memberi perhatian lebih lanjut lagi kepada tigaunsur tersebut.Berkenaan dengan kewajiban Negara Pihak untuk memastikan bahwa orang-orang <strong>yang</strong> hakdan kebebasannya dilanggar mendapat pemulihan <strong>yang</strong> efektif (Pasal 2 ayat 3), maka Komitemenyatakan pandangannya bahwa Negara Pihak berkewajiban untuk mengambil tindakan efektifuntuk memperbaiki akibat-akibat pelanggaran. Di samping itu, Komite juga telahmengemukakan jenis-jenis khusus remedi <strong>yang</strong> diserukan, tergantung pada sifat pelanggaran dankondisi (para) korban. Akibatnya, Komite Hak Asasi Manusia berkali-kali menyatakanpandangan bahwa Negara Pihak mempunyai suatu kewajiban:a. Untuk menyelidiki fakta-fakta;b. Untuk mengambil tindakan terhadap pelanggaran itu dengan semestinya;c. Untuk membawa ke depan pengadilan orang-orang <strong>yang</strong> terbukti bertanggungjawab;d. Untuk memberikan perlakuan kepada (para) korban sesuai dengan ketentuandan jaminan sebagaimana termaktub dalam Kovenan;e. Untuk memberikan perawatan medis kepada (para) korban;f. Untuk membayar kompensasi kepada (para) korban atau keluarganya.Berkenaan dengan kewajiban untuk membayar kompensasi, Komite Hak Asasi Manusia telahmenggunakan berbagai perumusan:a. Kompensasi kepada korban (orang hilang) atau keluarganya atas setiap kerugian<strong>yang</strong> dideritanya (No. 30/1978);b. Kompensasi kepada suami atas kematian istrinya (No. 45/1979);c. Kompensasi <strong>yang</strong> layak kepada keluarga dari orang <strong>yang</strong> terbunuh (No. 84/1981);d. Kompensasi atas penderitaan korban <strong>yang</strong> salah (No. 107/1981);


35e. Kompensasi atas kerugian dan penderitaan fisik dan mental <strong>yang</strong> ditimbulkankepada korban oleh perlakuan tidak manusiawi <strong>yang</strong> dikenakan kepadanya (No.110/1981);f. Kompensasi kepada keluarga <strong>yang</strong> selamat (No. 146/1983 dan 148-154/1983).Dalam hubungan ini, dua pengamatan harus dilakukan. Pertama, dapat dianggap bahwa dalampandangan Komite dasar untuk menentukan jumlah atau sifat dari kompensasi bukan hanya soalcedera atau kerugian fisik semata, melainkan juga cedera atau kerugian mental. Kedua, tidakjelas sepenuhnya apakah Komite mengakui, dalam kasus kematian atau hilangnya seseorang,bahwa para anggota keluarga dengan sendirinya berhak atas kompensasi karena penderitaan dankesedihan <strong>yang</strong> mereka alami sendiri, atau bahwa para anggota keluarga berhak untukmendapatkan kompensasi atas cedera <strong>yang</strong> ditimbulkan pada korban langsung. Setidak-tidaknyadalam satu kasus (No. 107/1981) Komite memutuskan bahwa ibu dari orang <strong>yang</strong> hilang itusendiri juga merupakan seorang korban.“Komite memahami kesedihan dan ketegangan <strong>yang</strong> ditimbulkan pada sang ibu atas kehilangan anakperempuannya dan dengan ketidak-pastian terus-menerus mengenai nasib dan keberadaan anakperempuannya. Penulis komunikasi berhak untuk mengetahui apa <strong>yang</strong> terjadi dengan anakperempuannya. Dalam hal ini, ia juga seorang korban pelanggaran terhadap ketentuan Kovenan <strong>yang</strong>diderita oleh anak perempuannya, terutama terhadap Pasal 7”. (paragraf 14).Komite mendesak agar kompensasi dibayarkan atas kesalahan <strong>yang</strong> diderita, <strong>yang</strong> diperkirakanatas kesalahan <strong>yang</strong> diderita oleh anak perempuan <strong>yang</strong> hilang itu maupun oleh ibunya.Aspek preventif remedi senantiasa digaris-bawahi oleh Komite Hak Asasi Manusia dalamseruannya <strong>yang</strong> sering dikeluarkan kepada Negara Pihak “untuk mengambil langkah-langkahguna memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa datang”. Demikian pula,Komite berkali-kali telah menyatakan pandangan bahwa Negara Pihak berkewajiban untukmengambil langkah segera guna memastikan kepatuhan <strong>yang</strong> ketat terhadap ketentuan-ketentuanKovenan. Lebih khusus lagi berkenaan dengan hak untuk hidup, Komite mendesak, dengan jalantindakan preventif, hendaknya Negara Pihak <strong>yang</strong> bersangkutan memastikan perlindungan <strong>yang</strong>semestinya terhadap hak itu dengan melakukan amendemen terhadap undang-undangnya (No.45/1979).


36Setelah menyatakan pandangannya berdasarkan Protokol Opsional terhadap Kovenan,Komite Hak Asasi Manusia dalam banyak kasus tetap tidak mengetahui apakah Negara Pihakdalam kenyataan mematuhi pandangan tersebut. Sering kali Komite menerima informasi ataumempunyai alasan untuk beranggapan bahwa Negara Pihak tidak memberikan remedi <strong>yang</strong>memadai sebagaimana diminta oleh Komite. Komite telah mengambil langkah-langkah tertentuuntuk mengatasi keadaan <strong>yang</strong> tidak memuaskan ini. Satu Negara Pihak tertentu <strong>yang</strong> mula-mulamengabaikan pandangan Komite diminta berulang-ulang oleh Komite untuk menyampaikan satusalinan dari pandangannya kepada (para) korban <strong>yang</strong> bersangkutan. Lebih belakangan ini,Komite telah berusaha untuk mengembangkan suatu dialog dengan Negara Pihak <strong>yang</strong>bersangkutan, dengan tujuan untuk mendorong pelaksanaan dari tindakan-tindakan pemulihan.Misalnya, Komite menyatakan dalam suatu kasus tertentu (No. 181/1984) bahwa pihaknya akanmenyambut baik informasi mengenai setiap tindakan terkait <strong>yang</strong> diperkenalkan oleh NegaraPihak berkaitan dengan pandangan-pandangan Komite dan, secara khusus, mengundang NegaraPihak tersebut untuk memberi informasi kepada Komite mengenai perkembangan lebih lanjutdalam penyelidikan mengenai hilangnya para korban. Agar dapat mengikuti secara lebihsistematik ada-atau-tidaknya perkembangan berkenaan dengan pelaksanaan tindakan-tindakanperbaikan setelah Komite mengeluarkan pandangannya, maka Komite memutuskan pada tanggal24 Juli 1990 untuk menunjuk seorang Pelapor Khusus; penunjukkannya dimaksudkan untukmenindak-lanjuti pandangan-pandangan tersebut. 3 Salah satu tugas dari Pelapor Khusus adalahmemberi rekomendasi kepada tindakan Komite terhadap semua surat pengaduan <strong>yang</strong> diterimadari individu-individu <strong>yang</strong> dianggap – dalam pandangan Komite berdasarkan Protokol Opsional– merupakan para korban pelanggaran, dan <strong>yang</strong> menyatakan bahwa tidak ada remedi <strong>yang</strong>memadai <strong>yang</strong> telah diberikan. Isu pemantauan tindak lanjut ini penting sekali terutama demimemberikan keadilan pemulihan kepada para korban dan untuk menegakkan martabat dari suatubadan hak asasi manusia <strong>yang</strong> penting seperti misalnya Komite Hak Asasi Manusia. Isu itu jugamenjadi penting karena ia merupakan unsur penting untuk diingat dalam kerangka <strong>yang</strong> lebihluas dari studi mengenai hak atas restitusi, kompensasi dan rehabilitasi untuk para korbanpelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar.3Laporan Komite Hak Asasi Manusia, Official Records of the General Assembly, Sidang ke-45, Suplemen No. 40(A/45/40), Vol. II, lamp. XI.


37Komite untuk Penghapusan Diskriminasi RasialBerdasarkan Pasal 14 dari Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Semua BentukDiskriminasi Rasial (CERD = International Convention on the Elimination of All Forms ofRacial Discrimination), baik orang perorangan atau kelompok orang <strong>yang</strong> mengklaim bahwasebagian dari haknya <strong>yang</strong> diuraikan dalam Konvensi telah dilanggar oleh suatu Negara Pihak,dan <strong>yang</strong> telah menempuh semua upaya perbaikan domestik <strong>yang</strong> tersedia namun tanpa hasil,dapat mengajukan komunikasi tertulis kepada Komite tentang Penghapusan Diskriminasi Rasialuntuk memperoleh pertimbangan. Sampai 1 Januari 1993, di antara 132 Negara <strong>yang</strong> telahmeratifikasi atau menyetujui Konvensi hanya 16 Negara <strong>yang</strong> menyatakan bahwa merekamengakui kompetensi Komite untuk menerima dan mempertimbangkan komunikasi berdasarkanPasal 14 Konvensi. Komite baru menangani beberapa komunikasi saja. Yang relevan dari sudutpandang pemberian bantuan remedi adalah kasus No. 1/1984 (Yilmaz-Dogan vs. Belanda), dimana Komite, <strong>yang</strong> bertindak berdasarkan Pasal 14 ayat 7 Konvensi, menyimpulkan bahwapengaju petisi tidak diberi perlindungan berkenaan dengan kesetaraan di depan hukum mengenaihaknya untuk bekerja (Pasal 5[a][1] Konvensi). Komite menyarankan agar Negara Pihakmemperhitungkan hal ini dan merekomendasikan agar Negara Pihak memastikan apakah pengajupetisi sementara ini telah mendapat pekerjaan penuh dan, kalau tidak, agar Negara menggunakanjasa baiknya untuk menjamin lapangan kerja alternatif baginya dan/atau memberinya bantuanlain <strong>yang</strong> dapat dianggap adil. Dalam kasus <strong>yang</strong> lebih baru, No. 4/1991 (L. Karim vs. Belanda)Komite menemukan bahwa mengingat tanggapan <strong>yang</strong> kurang memadai di pihak para pejabatBelanda terhadap peristiwa-peristiwa rasial di mana pengaju petisi adalah seorang korbannya,polisi dan sidang pengadilan tidak memberikan kepada pengaju petisi perlindungan efektif danremedi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Konvensi tersebut. Salah satu rekomendasi Komiteadalah agar Negara Pihak memberikan kepada pengaju petisi bantuan <strong>yang</strong> sepadan dengankerugian moral <strong>yang</strong> telah dideritanya.


38Komite Menentang PenyiksaanBerdasarkan Pasal 22 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain <strong>yang</strong>Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (CAT = Convention against Torture andOther Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), perorangan <strong>yang</strong> mengklaimbahwa sebagian dari haknya <strong>yang</strong> diuraikan dalam Konvensi telah dilanggar oleh suatu NegaraPihak dan <strong>yang</strong> telah menempuh semua upaya perbaikan domestik <strong>yang</strong> tersedia namun tidakberhasil, dapat mengajukan komunikasi tertulis kepada Komite Menentang Penyiksaan untukmendapatkan pertimbangannya. Sampai 1 Januari 1993, 28 dari 70 Negara Pihak telahmenyatakan bahwa mereka mengakui kompetensi Komite untuk menerima danmempertimbangkan komunikasi berdasarkan Pasal 22 Konvensi. Dalam kasus No. 1/1988,2/1988, 3/1988 (O.R., H.M. dan M.S. vs. Argentina) para pengaju petisi, keluarga dari tigakorban <strong>yang</strong> meninggal karena penyiksaan, menentang pemberlakuan "Undang-UndangKetaatan Sebagai Haknya" dan "Titik Akhir" karena tidak sejalan dengan kewajiban NegaraPihak berdasarkan Konvensi. Komite menyatakan bahwa komunikasi-komunikasi itu rationetemporis tidak dapat diterima sejauh bahwa Konvensi tidak dapat diterapkan secara retroaktif.Tetapi dalam suatu obiter dictum luar biasa <strong>yang</strong> paling relevan dengan pokok masalah daristudi ini, Komite mengamati bahwa hukum <strong>yang</strong> bersangkutan bertentangan dengan semangatdan tujuan Konvensi. Komite mendesak Negara Pihak untuk tidak membiarkan para korbanpenyiksaan dan orang-orang <strong>yang</strong> menjadi tanggungannya tanpa suatu remedi. Komite merasabahwa kalau tuntutan perdata untuk memperoleh kompensasi tidak mungkin lagi karena bataswaktu untuk mengajukan perkara tersebut telah habis, Komite akan menyambut baik, dalamsemangat Pasal 14 Konvensi (<strong>yang</strong> menangani hak <strong>yang</strong> dapat diterapkan untuk memperolehkompensasi <strong>yang</strong> adil dan memadai), diambilnya tindakan-tindakan <strong>yang</strong> tepat untukmemungkinkan kompensasi <strong>yang</strong> memadai. Komite mengindikasikan bahwa pihaknya akanmenyambut baik penerimaan dari Negara Pihak informasi rinci mengenai jumlah klaim <strong>yang</strong>berhasil untuk kompensasi bagi para korban tindak penyiksaan selama berlangsungnya "perangkotor" atau untuk orang-orang <strong>yang</strong> menjadi tanggungannya, termasuk kriteria untuk dapat


39menerima kompensasi tersebut. Segera setelah merumuskan pandangan-pandangannya, Komitemenerima suatu jawaban <strong>yang</strong> sesungguhnya dari Pemerintah Argentina. 4Dua aspek harus disoroti berkenaan dengan kasus-kasus tersebut di atas. Pertama, sekalipunada kenyataan bahwa Komite Menentang Penyiksaan menyatakan bahwakomunikasi-komunikasi itu ratione temporis tidak dapat diterima, namun Komite ini – <strong>yang</strong>sangat menaruh perhatian terhadap prinsip-prinsip penting <strong>yang</strong> terlibat dalam kasus-kasustersebut – memilih untuk membuat diketahuinya pandangan-pandangannya <strong>yang</strong> kuat tentangsubstansi komunikasi dan untuk menimbulkan kesan kepada Pemerintah <strong>yang</strong> bersangkutan soalperlunya mengambil tindakan perbaikan, termasuk disediakannya kompensasi <strong>yang</strong> memadai.Kedua, mengikuti kebijakan dan praktek dari Komite Hak Asasi Manusia, Komite MenentangPenyiksaan menyediakan diri untuk mengadakan dialog dengan Pemerintah <strong>yang</strong> bersangkutantentang persoalan-persoalan <strong>yang</strong> berkaitan dengan remedi dan pemulihan untuk para korban dankeluarga mereka.Komite untuk Penghapusan Diskriminasi Terhadap PerempuanKomite ini dibentuk berdasarkan Konvensi Tentang Penghapusan Semua Bentuk DiskriminasiTerhadap Perempuan (CEDAW = Convention on the Elimination of All Forms of Discriminationagainst Women) dengan tujuan untuk mempertimbangkan kemajuan <strong>yang</strong> dicapai dalampelaksanaan Konvensi (Pasal 17). Komite belum mengembangkan hukum <strong>yang</strong> berkaitan dengankeputusan terhadap kasus-kasus terdahulu karena Komite belum mempunyai kewenangan untukmenerima dan memeriksa komunikasi <strong>yang</strong> menyatakan terjadinya pelanggaran terhadapKonvensi. Tetapi, Komite telah mengesahkan sejumlah besar rekomendasi umum sesuai denganPasal 21 Konvensi.Satu naskah penting adalah Rekomendasi Umum No. 19 tentang Kekerasan TerhadapPerempuan <strong>yang</strong> disahkan oleh Komite pada sidangnya ke-11 tahun 1992. 5 Haruslah diingatkembali bahwa Komisi untuk Status Perempuan telah mengesahkan suatu rancangan deklarasi45Laporan Komite Menentang Penyiksaan, Official Records of the General Assembly, Sidang ke-45, Suplemen No.44 (A/45/44), lamp. VI.HRI/GEN/1, Bagian III, Rekomendasi Umum No. 19.


40tentang pokok masalah <strong>yang</strong> sama. Rekomendasi Umum No. 19 berisi suatu pernyataan pentingtentang tanggung jawab Negara: "Berdasarkan hukum internasional umum dan kovenan khususuntuk masalah hak asasi manusia, Negara juga dapat bertanggung jawab atas tindakan-tindakanpribadi kalau mereka gagal untuk bertindak dengan semestinya untuk mencegah pelanggaranterhadap hak-hak atau untuk menyelidiki dan menghukum tindak kekerasan, dan untukmenyediakan kompensasi". 6Rekomendasi Umum No. 19 merupakan suatu tinjauan terinci dan mendalam mengenai isukekerasan terhadap perempuan <strong>yang</strong> mengandung komentar umum, yakni komentar tentangPasal khusus mengenai Konvensi dan rekomendasi-rekomendasi khusus. Untuk keperluan studiini rekomendasi-rekomendasi khusus itu sangat relevan, terutama <strong>yang</strong> bekenaan dengantindakan-tindakan protektif dan preventif, kompensasi dan rehabilitasi.Rekomendasi-rekomendasi khusus, antara lain, memberikan:a. Pelayanan protektif dan dukungan <strong>yang</strong> layak bagi para korban (paragraf 24 [b]);b. Tindakan preventif dan rehabilitasi (paragraf 24 [h]);c. Prosedur pengaduan dan upaya perbaikan <strong>yang</strong> efektif, termasuk kompensasi(paragraf 24 [1]);d. Rehabilitasi dan konseling/pemberian nasihat (paragraf 24 [k]);e. Terjangkaunya pelayanan bagi korban <strong>yang</strong> hidup di daerah-daerah terpencil(paragraf 24 [o]);f. Pelayanan untuk memastikan keselamatan dan keamanan para korban danprogram rehabilitasi (paragraf 24 [r]);g. Tindakan hukum efektif, termasuk ketentuan-ketentuan tentang kompensasi,tindakan preventif, tindakan protekif (paragraf 24 [t]).Komisi Penyelidik <strong>yang</strong> Dibentuk Berdasarkan Konstitusi ILO6Lihat juga Bab 2 (bagian “Tanggung Jawab Negara”) dari studi ini, khususnya paragraf 41.


41Komisi Penyelidik dibentuk berdasarkan Pasal 26 ayat 4 Konstitusi ILO (International LabourOrganisation = Organisasi Buruh Internasional). Awal pembentukannya terutama dikaitkandengan upaya untuk memeriksa pengaduan berkenaan dengan kepatuhan Rumania terhadapketentuan Konvensi Diskriminasi (Lapangan Kerja dan Jabatan), 1958 (No. 111), termasuk suatubab khusus mengenai "Reparasi". Berdasarkan itu, laporan ini dan terutama bab khusus tentangketentuan reparasi (pemulihan) tersebut sangat relevan dengan studi sekarang ini; dan olehkarena itu akan ditinjau secara lebih terinci. 7Sebelum memasuki persoalan reparasi, ada <strong>yang</strong> penting untuk digarisbawahi:kewajiban-kewajiban <strong>yang</strong> harus dipenuhi Pemerintah terhadap perjanjian (dalam hal ini:konvensi ILO) <strong>yang</strong> dapat juga berarti, sesuai dengan kasusnya, pemberian remedi dan reparasi. 8Dalam hubungan ini, Komisi Penyelidik mengacu kepada makna dan ruang-lingkup kewajiban<strong>yang</strong> dinyatakan dalam Pasal 19, ayat 5 (d) Konstitusi ILO, di mana berdasarkanketentuan-ketentuannya para anggota <strong>yang</strong> meratifikasi suatu Konvensi "akan mengambiltindakan <strong>yang</strong> mungkin perlu untuk mengefektifkan ketentuan Konvensi tersebut". KomisiPenyelidik menganggap bahwa perundang-undangan <strong>yang</strong> sesuai dengan persyaratan KonvensiNo. 111 harus diberlakukan sepenuhnya dan secara ketat, <strong>yang</strong> "mengandung arti adanyapelayanan pemberlakuan hukum administratif <strong>yang</strong> efektif dan, secara khusus, adanyatindakan-tindakan <strong>yang</strong> memungkinkan inspeksi menyeluruh oleh para pejabat <strong>yang</strong> dapatbertindak dengan kemandirian sepenuhnya. Hal itu juga berarti bahwa ketentuan-ketentuan dariperundang-undangan tersebut dijadikan perhatian oleh semua orang <strong>yang</strong> bersangkutan", dan"bahwa prosedur keluhan <strong>yang</strong> efektif harus menjamin hak untuk mengajukan keluhan mengenaipelanggaran hukum, dalam kondisi <strong>yang</strong> independen dan tidak memihak, tanpa harus mengalamirasa takut terhadap pembalasan dari hal apa pun". 9 Komisi Penyelidik menambahkan secaraberarti bahwa di mana "kondisi tersebut tidak dipatuhi sepenuhnya, suatu Pemerintah tidak dapatmengelakkan tanggung jawab atas perbuatan (actions/comission) atau tidak melakukan789Laporan mengenai Komisi Penyelidik, Kantor Perburuhan Internasional, Official Bulletin, Vol. LXXIV, 1991,Seri B, Suplemen, paragraf 471-506.Lihat lebih lanjut Loie Picard, "Normes internationales du travail et droit à réparation", Report of the MaastrichtSeminar, hlm. 47-60.Laporan dari Komisi Penyelidik, paragraf 576.


42perbuatan (omission) di pihak para pejabatnya, atau atas perilaku para majikan atau bahkanperilaku pribadi-pribadi swasta". 10Bentuk-Bentuk Reparasi (Pemulihan)Komisi Penyelidik meninjau berbagai tindakan reparasi <strong>yang</strong> dilakukan oleh PemerintahRumania sejauh bahwa tindakan tersebut dirancang untuk memperbaiki akibat-akibat daripraktek diskriminatif di bidang-bidang <strong>yang</strong> dicakup oleh Konvensi Diskriminasi (LapanganKerja dan Jabatan). Tindakan ini mencakup: amnesti, pembentukan komite ad hoc untukmenyelesaikan kasus dari orang-orang <strong>yang</strong> menyatakan telah dikenai tindakan salah,pengesahan peraturan-peraturan <strong>yang</strong> dirancang untuk menghilangkan tindakan-tindakandiskriminatif, memeriksa kembali keputusan tertentu, dan kompensasi <strong>yang</strong> diputuskan olehmahkamah.Tindakan amnesti <strong>yang</strong> diberikan oleh Dekrit Legislatif No. 3 tertanggal 4 Januari 1990mencakup pelanggaran politik di bawah rezim terdahulu, terutama tindakan-tindakan dalamhubungan dengan ungkapan oposisi terhadap kediktatoran dan kultus individu, terorisme danpenyalahgunaan kekuasaan <strong>yang</strong> dilakukan oleh orang-orang <strong>yang</strong> memegang kekuasaan politik.Tindakan amnesti itu juga mencakup tindakan-tindakan <strong>yang</strong> dilakukan dalam hubungan denganpenghormatan kepada hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dengan tuntutan untuk hak-haksipil dan politik, sosial dan budaya, dan penghapusan praktek-praktek diskriminatif.Suatu tindakan perbaikan lain adalah diciptakannya pada bulan Februari 1990 suatu komitekhusus "untuk menyelidiki penyalahgunaan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dasardan untuk merehabilitasi korban kediktatoran". Selama tiga bulan persidangannya, komitekhusus ini menerima lebih dari 18.000 klaim untuk perbaikan atas pelanggaran hak asasimanusia <strong>yang</strong> dilakukan oleh Pemerintah terdahulu. Komite memeriksa dan menyelesaikanantara 4.000 dan 5.000 kasus. Komisi Penyelidik melaporkan bahwa menurut seorang saksi,"tidaklah mungkin bagi Komite untuk melaksanakan persidangannya secara efektif, terutamadisebabkan oleh kurangnya personil dan jumlah kasus <strong>yang</strong> luar biasa banyaknya". Acuan juga10 Ibid., paragraf 578.


43dilakukan "kepada kurangnya kerja sama tertentu di pihak orang-orang <strong>yang</strong> tugasnya adalahmembantu memecahkan kasus-kasus itu". 11Tindakan pemulihan ketiga diawali dengan disahkannya suatu Dekrit Legislatif pada tanggal30 Maret 1990 untuk memberikan hak kepada orang-orang <strong>yang</strong> dituntut karena alasan-alasanpolitik di bawah rezim kediktatoran <strong>yang</strong> dibentuk pada tanggal 6 Maret 1945. Orang-orang <strong>yang</strong>dicakup dalam dekrit ini dan berhak untuk menarik manfaat dari ketentuan-ketentuannya adalahorang-orang <strong>yang</strong> dipekerjakan atau <strong>yang</strong> sudah pensiun <strong>yang</strong> dituduh telah melakukanpelanggaran politik dan <strong>yang</strong> telah menderita dari satu di antara enam keadaan berikut ini:a. Dicabutnya kebebasan, <strong>yang</strong> diumumkan atas dasar keputusan final daripengadilan atau atas dasar suatu perintah penahanan dengan tuduhan melakukanpelanggaran <strong>yang</strong> bersifat politis;b. Dicabutnya kebebasan sebagai akibat tindakan administratif atau untuk melayanikebutuhan suatu penyelidikan dengan kekuatan represi;c. Pengasingan psikiatrik;d. Penahanan rumah;e. Pemindahan paksa dari satu tempat ke tempat lain;f. Ketidak-mampuan derajat pertama atau kedua <strong>yang</strong> timbul selama atau mengikutisalah satu dari lima situasi di atas, dan menghalangi orang tersebut untuk mencaripekerjaan.Perbaikan <strong>yang</strong> disediakan berdasarkan Dekrit Legislatif terdiri dari tiga jenis:diperhitungkannya jangka waktu penganiayaan atau akibat-akibatnya dalam perhitungansenioritas lapangan kerja; ganti rugi finansial <strong>yang</strong> proporsional dengan lamanya penganiayaan;dan perolehan hak berkenaan dengan perawatan medis dan akomodasi perumahan. Instrumen<strong>yang</strong> dibangun untuk pelaksanaan Dekrit Legislatif terdiri dari komite-komite <strong>yang</strong> dibentuk ditingkat kabupaten dan tersusun dari para pejabat pemerintah dan wakil partai-partai <strong>yang</strong>bersangkutan, termasuk Perhimpunan Bekas Tahanan Politik dan Para <strong>Korban</strong> Kediktatoran.Suatu komite nasional bertanggung jawab atas pertalian dari seluruh prosedur. KomisiPenyelidik melaporkan bahwa menurut informasi <strong>yang</strong> diterima dari Pemerintah Rumania, pada11 Ibid., paragraf 476.


44bulan Agustus 1990 sekitar 9.300 klaim reparasi telah terdaftar, di antaranya 5.400 klaim telahdiselesaikan. 12Tindakan perbaikan lain berkenaan dengan penghapusan ketidak-adilan tertentu dalampendidikan tinggi, <strong>yang</strong> diwarisi dari kurun waktu kediktatoran. Para mahasiswa <strong>yang</strong>sebelumnya ditolak masuk dalam pendidikan tinggi karena alasan politik atau agamadimasukkan kembali ke dalam universitas-universitas mereka. Juga, para guru <strong>yang</strong> sebelumnyamengalami penganiayaan karena alasan politik atau keagamaan telah dipulihkan kedudukanmereka dan memperoleh hak mereka secara penuh. Tetapi, Komisi Penyelidik tidak berhasilmengumpulkan informasi terinci mengenai jumlah maha siswa dan guru <strong>yang</strong> dipulihkan haknyauntuk menempuh suatu pendidikan, tanpa diskriminasi berdasarkan pandangan politik atauagama <strong>yang</strong> dianutnya. 13Komisi Penyelidik juga memeriksa tindakan-tindakan <strong>yang</strong> diambil demi kepentingangolongan-golongan minoritas nasional. Sesuai dengan seksi 16 dari Undang-Undang No. 18tertanggal 19 Februari 1991 mengenai kepemilikan tanah, "warga negara Rumania <strong>yang</strong>termasuk minoritas Jerman, <strong>yang</strong> telah dideportasikan atau dipindahkan atau dirampas tanahnyaoleh peraturan <strong>yang</strong> berlaku setelah tahun 1944", kalau mereka mengajukan permintaan, akandiberi prioritas dalam pengalokasian tanah atau menerima sejumlah saham <strong>yang</strong> proporsionaldengan nilai tanah <strong>yang</strong> menjadi hak mereka.Akhirnya, Komisi Penyelidik memeriksa sejumlah kasus khusus <strong>yang</strong> diajukan kepadanya.Komisi menerima informasi terinci "mengenai situasi kaum buruh di Brasov <strong>yang</strong>, pada bulanNovember 1987 telah berdemonstrasi menentang Pemerintah <strong>yang</strong> berkuasa". Mahkamah DistrikBrasov pada bulan Desember 1987 menjatuhkan hukuman kepada "61 orang buruh ataskebiadaban <strong>yang</strong> mereka lakukan terhadap kesusilaan dan gangguan kepada kedamaian umum(hooliganisme)". Sebagian besar buruh <strong>yang</strong> dinyatakan bersalah "telah dipindahkan secarapaksa ke daerah-daerah lain, ke bidang pekerjaan <strong>yang</strong> lebih berat dan dengan upah <strong>yang</strong> lebihrendah. Selanjutnya para buruh ini menyatakan bahwa mereka mendapat perlakuan buruk selamapenangkapan dan penahanan mereka" dan mereka khawatir bahwa "mereka telah terkena radiasiselama penahanan mereka setelah diekspos dengan benda-benda radioaktif". Pada tanggal 23Februari 1990, Mahkamah Pengadilan Agung telah mengubah keputusan hukuman dari12 Ibid., paragraf 496.13 Ibid., paragraf 497-498.


45Mahkamah Distrik Brasov, dan orang-orang <strong>yang</strong> terpidana tersebut akhirnya dibebaskan.Tetapi, orang-orang <strong>yang</strong> dibebaskan itu tetap merasa bahwa keputusan tersebut tidak cukupmemberikan keadilan kepada kasus mereka. Lewat "Perhimpunan 15 November 1987" suatupermintaan telah diajukan kepada para pejabat untuk membayar kerugian finansial <strong>yang</strong> dideritapara korban sebagai akibat mereka dinyatakan bersalah dan akibat pemindahan mereka. Sebagaijawaban, Kementerian Perburuhan memberikan kompensasi kepada para korban berdasarkanperhitungan terinci. 14Rekomendasi Oleh Komisi PenyelidikKomisi Penyelidik memasukkan ke dalam laporannya serangkaian rekomendasi <strong>yang</strong> dihimpundalam dua kategori: "dasar pemikiran terpenting" untuk memperoleh ketaatan penuh terhadapketentuan-ketentuan Konvensi Diskriminasi (Lapangan Kerja dan Jabatan), 1958 (No. 111), dantindakan-tindakan <strong>yang</strong> harus diambil berdasarkan dasar pikiran ini. Di antara dasar pikiranterpenting tersebut isu-isu fundamental disebut sebagai memperkuat penegakan hukum;pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif; badan peradilan independen; akses <strong>yang</strong>setara untuk memperoleh keadilan; jaminan konstitusional terhadap hak-hak <strong>yang</strong> diakui untuksemua orang oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan-Kovenan Internasional;kebebasan untuk berkumpul dan hak untuk melakukan tawar-menawar secara kolektif; strukturpermanen untuk dialog antara manajemen dan serikat buruh; dan – <strong>yang</strong> terutama relevan denganperspektif studi ini – "bahwa suatu badan kompeten diberi kepercayaan dengan tugas untukmenerima dan menyelesaikan kira-kira 14.000 keluhan <strong>yang</strong> masih tertunda setelah pembubaranKomisi dari Dewan Sementara untuk Persatuan Nasional untuk menyelidiki penyalahgunaan danpelanggaran hak asasi manusia fundamental dan untuk merehabilitasi para korbankediktatoran". 15Kategori lain dari rekomendasi mencakup tindakan-tindakan <strong>yang</strong> ditujukan untuk:mengakhiri pengaruh dari tindakan-tindakan diskriminatif dalam lapangan kerja danmengembalikan kepada orang-orang <strong>yang</strong> bersangkutan kesempatan dan perlakuan sama <strong>yang</strong>14 Ibid., paragraf 504.15 Ibid., paragraf 616.


46telah ditunda atau diubah; menjamin suatu tindak-lanjut <strong>yang</strong> efisien dan tidak memihakterhadap permintaan untuk pemeriksaan medis <strong>yang</strong> diajukan oleh orang-orang <strong>yang</strong> melakukanpemogokan tanggal 5 Nopember 1987 di Brasov dan <strong>yang</strong> telah direhabilitasi olehpengadilan;mempekerjakan kembali para buruh itu <strong>yang</strong> – berdasarkan ketentuanUndang-Undang Perburuhan tentang orang-orang <strong>yang</strong> dipenjarakan selama lebih dari dua bulan– kehilangan pekerjaan mereka sebagai akibat ditahan karena ikut dalam demonstrasi bulan Juni1990 dan tidak dilepaskan setelah lebih dari dua bulan, sekalipun tidak ada bukti; membantu parawarga <strong>yang</strong> ingin membangun kembali rumah mereka <strong>yang</strong> telah hancur sebagai akibatkebijakan sistematisasi <strong>yang</strong> ditempuh oleh rezim sebelumnya; memberi informasi kepadabadan-badan pengawas dari Organisasi Perburuhan Internasional mengenai hasil-hasil <strong>yang</strong>dicapai berkenaan dengan remedi atas diskriminasi <strong>yang</strong> diderita oleh para anggota golonganminoritas nasional atau oleh orang-orang <strong>yang</strong> dianiaya karena alasan politik. 16Beberapa KomentarBab mengenai reparasi dari laporan Komisi Penyelidik bersifat sangat instruktif dan bergunauntuk tujuan studi ini. Pertama, bab itu menekankan arti penting dari persyaratan dan kondisiprosedural, seperti misalnya pemberitahuan kepada semua orang <strong>yang</strong> bersangkutan, keberadaanprosedur pengaduan <strong>yang</strong> efektif, dan kondisi-kondisi tidak memihak dan independen. Kedua,bab itu menyoroti dan merekomendasikan berbagai sarana remedi dan reparasi (diacu dalam Bab3 buku ini bagian “Rekomendasi Oleh Komisi Penyelidik”) <strong>yang</strong> dirancang untuk memenuhipersyaratan keadilan dan untuk memenuhi kebutuhan khusus dan beraneka ragam dari parakorban. Ketiga, bab itu menghasilkan bahwa hak atas reparasi harus didesakkan apabiladiskriminasi sistematik telah diterapkan tidak hanya di bidang hak-hak sipil dan politik tetapijuga di bidang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa16 Ibid., paragraf 617.


47Berdasarkan Pasal 50 Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan KebebasanDasar, maka Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa – ketika menemukan bahwa pelanggaranterhadap Konvensi oleh suatu Negara penanda tangan telah terjadi – dapat memberikan keadilan<strong>yang</strong> memadai kepada korban ("pihak <strong>yang</strong> menderita"), asalkan akibat-akibat pelanggaran itumemang tidak dapat sepenuhnya diperbaiki menurut hukum nasional negara <strong>yang</strong> bersangkutan.Di samping itu, dalam arti <strong>yang</strong> lebih khusus, Pasal 5 ayat 5 Konvensi Eropa menetapkan bahwasetiap orang <strong>yang</strong> telah menjadi korban penangkapan atau penahanan <strong>yang</strong> bertentangan denganketentuan-ketentuan Pasal <strong>yang</strong> sama harus memperoleh hak atas kompensasi <strong>yang</strong> bisadiberlakukan.Mahkamah Eropa memberikan "kepuasan <strong>yang</strong> adil" (ps. 50 Konvensi) <strong>yang</strong> bersifatfinansial dalam lebih dari 100 kasus. Jumlah <strong>yang</strong> diberikan sangat berbeda-beda dan merupakankompensasi atas kerusakan (berupa uang atau bukan uang) dan/atau penggantian biaya danpengeluaran (terutama biaya untuk pengacara). Mahkamah belum pernah diminta untukmengambil keputusan tentang suatu kasus <strong>yang</strong> men<strong>yang</strong>kut pelanggaran "berat" terhadap hakasasi manusia dan kebebasan dasar. Akibatnya, untuk keperluan studi ini tidak ada analisisterinci mengenai kasus hukum <strong>yang</strong> berhubungan dengan Pasal 50 Konvensi Eropa <strong>yang</strong>digunakan itu. Tetapi, mungkin berguna untuk memberi beberapa petunjuk berkenaan denganpenafsiran dari Pasal 50. Dalam hal ini, acuan khusus akan dilakukan kepada salah satukeputusan terdahulu dari Makhamah Eropa berkaitan dengan masalah penerapan Pasal 50, yaitukeputusan tertanggal 10 Maret 1972 dalam kasus De Wilde, Ooms dan Versijp (<strong>yang</strong> dikenaldengan: Kasus "Vagrancy" – Gelandangan). 17Dalam Kasus "Vagrancy" itu, Pemerintah Belgia mengajukan argumentasi bahwapermintaan para pemohon untuk keadilan <strong>yang</strong> memadai atau memuaskan tidak dapatdikabulkan karena para pemohon belum menempuh semua upaya remedi domestik sesuai denganPasal 26 Konvensi. Dalam pandangan Pemerintah, Pasal ini berlaku tidak hanya padapermohonan <strong>yang</strong> asli, di mana suatu pelanggaran terhadap ketentuan substantif Konvensidiajukan, tetapi juga kepada setiap klaim untuk kompensasi berdasarkan Pasal 50. Mahkamahtidak dapat menerima pembelaan Pemerintah mengenai tidak bisa dikabulkannya klaim tersebut.Mahkamah berargumentasi, antara lain, bahwa Pasal 50 mempunyai asal usul dalam klausula17 Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa, Kasus-Kasus De Wilde, Ooms dan Versijp (Kasus "Vagrancy" -Gelandangan), keputusan tertanggal 10 Maret 1972 (Pasal 50), Seri A, vol. 14.


48tertentu <strong>yang</strong> tampak pada perjanjian-perjanjian suatu jenis klasik, seperti misalnya Pasal 10Perjanjian Jerman-Swis tahun 1921 tentang Arbitrasi dan Konsiliasi, dan Pasal 32Undang-Undang Umum Jenewa untuk Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional, 1928 –dan tidak mempunyai hubungan dengan peraturan mengenai telah ditempuhnya semua upayaremedi di tingkat domestik. Yang paling penting, Mahkamah menambahkan:"…. kalau korban – setelah menempuh dengan sia-sia semua upaya remedi domestik sebelummengajukan keluhan ke Strasbourg mengenai pelanggaran terhadap hak-haknya – diwajibkan untukberbuat demikian kedua kalinya sebelum bisa mendapatkan dari Mahkamah keadilan <strong>yang</strong> memadai,keseluruhan prosedur <strong>yang</strong> ditetapkan oleh Konvensi hampir tidak sejalan dengan gagasan mengenaiperlindungan efektif terhadap hak asasi manusia. Persyaratan semacam itu akan menuju ke suatusituasi <strong>yang</strong> tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari Konvensi". 18Jelaslah bahwa Mahkamah memberikan makna besar pada syarat-syarat penyelesaian <strong>yang</strong> cepatdan efektif dalam masalah-masalah <strong>yang</strong> berkenaan dengan pemberian rasa keadilan <strong>yang</strong>memadai.Adapun mengenai baik-buruknya kasus <strong>yang</strong> sama, Pemerintah Belgia mengajukanargumentasi bahwa hukum dalam negeri Belgia memungkinkan pengadilan nasional memberiperintah kepada Negara untuk memberi remedi atas kerusakan <strong>yang</strong> disebabkan oleh suatusituasi ilegal di mana Negara bertanggung jawab; terlepas dari apakah situasi itu merupakanpelanggaran terhadap aturan hukum dalam negeri atau aturan hukum internasional. Mahkamahtidak menerima pandangan ini. Mahkamah berpendapat bahwa perjanjian dari mana Pasal 50“dipinjam” mempunyai lebih banyak kasus khusus <strong>yang</strong> dipelajari di mana sifat kerugian kiranyamemungkinkan untuk menghapuskan sama sekali akibat-akibat dari pelanggaran, tetapi ternyatahukum dalam negeri atau hukum nasional Negara <strong>yang</strong> terlibat menghalangi terlaksananya halini. Mahkamah menambahkan:"Namun demikian, ketentuan Pasal 50 <strong>yang</strong> mengakui kompetensi Mahkamah untuk memberikankepada pihak <strong>yang</strong> dirugikan suatu kepuasan <strong>yang</strong> adil juga mencakup kasus di manaketidak-mungkinan restitutio in integrum timbul justru dari sifat kerugian itu; memang akal sehatmenyarankan bahwa hal ini haruslah begitu a fortiori". 1918 Ibid., paragraf 16.19 Ibid., paragraf 20.


49Dalam kasus <strong>yang</strong> sama, berbagai persyaratan ditinjau untuk pemberian "kepuasan <strong>yang</strong> adil"dalam penerapan Pasal 50, dengan tujuan bahwa:a. Mahkamah telah menemukan "suatu keputusan atau tindakan perlu diambil" olehsuatu kewenangan dari Negara penanda-tangan untuk "bertentangan dengankewajiban-kewajiban <strong>yang</strong> timbul dari … Konvensi".b. Tidak ada suatu "pihak <strong>yang</strong> dirugikan";c. Mahkamah menganggap "perlu" untuk memberikan kompensasi <strong>yang</strong> adil. 20Sekalipun Mahkamah berpendapat bahwa pihaknya mempunyai yurisdiksi untuk memberikankompensasi, Mahkamah menyatakan bahwa dalam kasus ini klaim para pemohon tidakmempunyai dasar <strong>yang</strong> kuat. Dalam hubungan ini adalah jelas bahwa kata-kata dari Pasal 50memberikan kepada Mahkamah banyak kebebasan ruang gerak berkenaan dengankompetensinya apakah akan memberikan kompensasi dan berapa banyak kompesasi <strong>yang</strong>diberikan itu. Mahkamah sendiri mengatakan hal tersebut ketika mengamati:"sebagaimana diperkuat oleh kata sifat 'adil' dan ungkapan 'kalau perlu', Mahkamah menikmati suatukebijaksanaan tertentu dalam melaksanakan kekuasaan <strong>yang</strong> diberikan oleh Pasal 50". 21Sebagai kesimpulan, dapat diamati bahwa empat syarat dasar harus dipenuhi untuk memberikanrasa adil <strong>yang</strong> memuaskan bagi pihak <strong>yang</strong> dirugikan berdasarkan Pasal 50 Konvensi Eropa: (i)suatu pelanggaran oleh Negara Pihak terhadap kewajibannya berdasarkan Konvensi; (ii) tidakadanya kemungkinan untuk suatu pemulihan menyeluruh (restitutio in integrum) pada NegaraPihak tersebut; (iii) adanya kerusakan material dan/atau moral; (iv) suatu kaitan kausal antarapelanggaran terhadap Konvensi dan adanya kerusakan. 22 Di samping kondisi-kondisi substantifini, bobot khusus seharusnya diberikan, seperti dikemukakan di atas, kepada persyaratan20 Ibid., paragraf 21.21 Keputusan tanggal 6 Nopember 1980 dalam Kasus "Guzzardi", Seri A, vol. 39, paragraf 114.22 Lihat juga Jacques Velu dan Rusen Ergec, La Convention Europeenne des Droits de l'Homme, Bruxelles, 1990,paragraf 1200-1207; P. van Dijk dan G.J.H. van Hoof, Theory and Practice of the European Convention onHuman Rights (edisi kedua), Deventer-Boston, 1990, hlm. 171-185.


50prosedural mengenai kecepatan dan keefektifan. Tetapi dalam banyak hal, Mahkamahberpendapat bahwa suatu keputusan <strong>yang</strong> menguntungkan tentang baik buruk merupakan sesuatu<strong>yang</strong> terdapat dalam dirinya sendiri, maskudnya dalam "rasa adil <strong>yang</strong> memuaskan bagi pihak<strong>yang</strong> dirugikan" dan bahwa suatu pemberian kompensasi lebih lanjut tidak dianjurkan. 23Dalam sejumlah kasus, sejumlah Pemerintah juga melakukan pembayaran, dengan jalankompensasi, sebagai bagian dari suatu penyelesaian secara bersahabat <strong>yang</strong> dicapai sesuaidengan Pasal 28 (b) Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan KebebasanDasar. Suatu peranan khusus dalam hal ini diberikan kepada Komisi Eropa untuk Hak AsasiManusia <strong>yang</strong> tidak hanya menempatkan dirinya untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak <strong>yang</strong>bersangkutan dengan tujuan untuk menjamin penyelesaian tetapi <strong>yang</strong> harus menjaga,sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 28 (b), agar penyelesaian dicapai "atas dasar penghormatankepada Hak Asasi Manusia sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi ini". Dalam prakteknya,persyaratan ini seharusnya mengandung arti bahwa penyelesaian tidak hanya merupakan suatutawar-menawar antara para pihak tetapi bahwa Pemerintah <strong>yang</strong> bersangkutan juga akanmengatasi sebab-sebab pelanggaran <strong>yang</strong> mungkin telah terjadi dan mengambil tindakan <strong>yang</strong>perlu untuk mencegah berulangnya pelanggaran tersebut. Komisi Eropa tentang Hak AsasiManusia, <strong>yang</strong> bertindak demi kepentingan publik untuk mempertahankan hak asasi manusia,dalam hubungan ini mempunyai suatu tugas pengawasan <strong>yang</strong> penting untuk menjunjung tinggiprinsip-prinsip Konvensi. Setiap kompensasi atau hadiah <strong>yang</strong> diberikan kepada pihak <strong>yang</strong>dirugikan haruslah tidak hanya adil terhadap pihak itu sendiri tetapi juga memenuhi rasa keadilanbagi tujuan dan prinsip dari sistem perlindungan hak asasi manusia.Mahkamah Antar-Amerika untuk Hak Asasi ManusiaMahkamah Antar-Amerika telah dicekam oleh sejumlah kasus <strong>yang</strong> men<strong>yang</strong>kut hilangnyaorang-orang <strong>yang</strong> diakibatkan oleh pasukan bersenjata dan aparat keamanan di Honduras. 2423 Lihat A.H. Robertson dan J.G. Merrills, Human Rights in Europe (edisi ketiga), Manchester dan New York,1993, hlm. 311-315 (di hlm. 314).24 Lihat Juan E. Mendez dan Jose Miguel Vivanco, "Orang Hilang dan Pengadilan Antar-Amerika: refleksi tentangsuatu pengalaman litigasi", dalam Hamline Law Review, vol. 13 (1990), hlm. 507-577.


51Mahkamah mencapai keputusan dalam kasus Velasquez Rodriguez, 25 kasus Godinez Cruz, 26dan kasus Fairen Garbi dan Solis Corrales. 27 Mengingat kesamaan kasus-kasus ini, acuan hanyaakan dilakukan pada kasus Velasquez, untuk keperluan praktis. Dengan adanya sifat laporankemajuan ini, tiga aspek akan dikemukakan untuk mendapat perhatian khusus. Pertama,kewajiban untuk membayar kompensasi <strong>yang</strong> berkaitan dengan kewajiban untuk mencegah,menyelidiki dan menghukum; kedua, penetapan kerugian <strong>yang</strong> dapat diberi kompensasi; ketiga,persoalan tindak-lanjut dan pemantauan.Perlu dicatat bahwa Mahkamah Antar-Amerika menafsirkan kewajiban-kewajiban <strong>yang</strong>tercakup dalam Pasal 1 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia dengan tujuan bahwaNegara Pihak berusaha untuk memastikan kepada semua orang <strong>yang</strong> tunduk pada yurisdiksinyapelaksanaan bebas dan sepenuhnya dari hak dan kebebasan <strong>yang</strong> diakui dalam Konvensi secaramenyeluruh. Mahkamah menyatakan bahwa:"Sebagai akibat dari kewajiban ini, Negara harus mencegah, menyelidiki dan menghukum setiappelanggaran terhadap hak-hak <strong>yang</strong> diakui oleh Konvensi dan, tambahan pula, kalau mungkinberusaha memulihkan hak <strong>yang</strong> dilanggar dan memberi kompensasi sebagaimana dibenarkan untukkerugian-kerugian sebagai akibat dari pelanggaran tersebut". 28Dengan nafas <strong>yang</strong> sama Mahkamah memutuskan:"Negara mempunyai suatu tugas hukum yakni mengambil langkah-langkah <strong>yang</strong> masuk akal untukmencegah pelanggaran hak asasi manusia dan menggunakan sarana <strong>yang</strong> dipunyainya untukmelaksanaan penyelidikan serius mengenai pelanggaran <strong>yang</strong> dilakukan dalam yurisdiksinya, untukmengidentifikasi orang-orang <strong>yang</strong> bertanggung jawab, untuk menjatuhkan hukuman <strong>yang</strong> setimpaldan untuk memastikan kompensasi kepada korban". 29Dalam pendekatan Mahkamah, <strong>yang</strong> sangat mirip dengan pendekatan <strong>yang</strong> dilakukan KomiteHak Asasi Manusia, sebagaimana didiskusikan di atas, kewajiban untuk mencegah dan25 Keputusan, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, Seri C. no. 4 (1988).26 Keputusan, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, Seri C, no. 5 (1989).27 Keputusan, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, Seri C, no. 6 (1989).28 Keputusan, Catatan 63, paragraf 166.29 Ibid., paragraf 174.


52kewajiban untuk memulihkan saling berkaitan erat. Tambahan pula, adalah jelas bahwapendekatan preventif haruslah mendapat prioritas dan penekanan <strong>yang</strong> selayaknya karena satuons pencegahan lebih efektif ketimbang satu pon penyembuhan. Juga patut dicatat bahwa diantara sarana-sarana reparasi <strong>yang</strong> disebutkan Mahkamah dalam suatu perintah berikutnyaadalah penyelidikan mengenai pelanggaran <strong>yang</strong> dilakukan, hukuman terhadap <strong>yang</strong> bersalahdan pemberian kompensasi <strong>yang</strong> memadai. Dengan kata lain, reparasi berarti bahwa keadilansepenuhnya haruslah dilakukan terhadap masyarakat secara keseluruhan, orang-orang <strong>yang</strong>bertanggung jawab dan para korban. Tindakan-tindakan untuk memberikan kompensasimerupakan bagian dari suatu kebijakan keadilan.Dalam keputusannya tertanggal 29 Juli 1988, Mahkamah Antar-Amerika memutuskan,dengan mempertimbangkan Pasal 63 (1) Konvensi Amerika, bahwa Negara Pihak <strong>yang</strong>bersangkutan diharuskan untuk membayar kompensasi <strong>yang</strong> layak kepada keluarga terdekatkorban dan bahwa bentuk dan jumlah kompensasi tersebut, <strong>yang</strong> gagal memberi Kovenan dalamwaktu enam bulan setelah tanggal keputusan itu, harus diselesaikan oleh Mahkamah dan bahwa,untuk tujuan itu, Mahkamah mendapat yurisdiksi atas kasus tersebut. Akibatnya, Mahkamahsekali lagi disibukkan oleh masalah itu dan pada tanggal 21 Juli 1989 mengeluarkan suatukeputusan tentang kompensasi atas kerugian dalam kasus Velasquez-Rodriguez. 30 Dalamkeputusannya Mahkamah menetapkan lingkup dan isi dari kompensasi <strong>yang</strong> adil <strong>yang</strong> harusdibayarkan kepada keluarga dari orang <strong>yang</strong> hilang.Mahkamah membuatnya jelas bahwa sebagai suatu prinsip hukum internasional setiappelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional <strong>yang</strong> menimbulkan kerugian menciptakansuatu kewajiban untuk memberi reparasi <strong>yang</strong> memadai. Dalam hubungan ini Mahkamahmemutuskan bahwa reparasi itu "terdiri dari restitusi sepenuhnya (restitutio in integrum), <strong>yang</strong>mencakup pemulihan dari keadaan sebelumnya, perbaikan dari akibat-akibat pelanggaran, danremedi untuk kerugian patrimonial (warisan) dan non-patrimonial, termasuk kerugianemosional". 31 Adapun megenai kerugian emosional, Mahkamah berpendapat bahwa ganti rugiharus diberikan berdasarkan hukum inernasional (yaitu Konvensi Amerika Tentang Hak AsasiManusia) dan bahwa ganti rugi harus didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan. Dalam konteksini Mahkamah mengacu pada ketentuan <strong>yang</strong> bisa diterapkan mengenai Konvensi Amerika30 Keputusan, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, Seri C, no. 7 (1989).31 Keputusan kompensasi Velasquez, paragraf 26.


53(Pasal. 63 [1]), <strong>yang</strong> menurut Mahkamah "tidak dibatasi oleh cacat, ketidak-sempurnaan ataukekurangan hukum nasional, tetapi berfungsi secara mandiri". 32Adapun mengenai lingkup reparasi, Mahkamah mengamati bahwa tindakan-tindakan sepertipenyelidikan terhadap fakta-fakta, hukuman kepada orang-orang <strong>yang</strong> bertanggung jawab,pernyataan publik <strong>yang</strong> mengutuk praktek penghilangan orang secara paksa dan dalamkenyataan keputusan Mahkamah sendiri tentang baik-buruk merupakan bagian dari perbaikandan kepuasan moral <strong>yang</strong> mempunyai makna penting bagi keluarga para korban. Di lain pihak,bertentangan dengan apa <strong>yang</strong> telah diminta oleh pengacara para korban, Mahkamahberpendapat bahwa kerugian <strong>yang</strong> dapat dihukum tidak termasuk dalam ungkapan "kompensasi<strong>yang</strong> adil", <strong>yang</strong> digunakan dalam Pasal 61 (1) dari Konvensi Amerika. Ungkapan ini menurutMahkamah, mengacu pada sebagian dari reparasi dan kepada "pihak <strong>yang</strong> dirugikan", dan olehkarena itu harus diberi kompensasi dan bukan harus dihukum. Sebagai akibatnya, Mahkamahmenyimpulkan bahwa kompensasi <strong>yang</strong> adil mencakup perbaikan kepada keluarga korbanberupa kerugian materiil dan moral <strong>yang</strong> mereka derita karena hilangnya korban secara paksa. 33Harus dicatat lebih lanjut bahwa Mahkamah juga memberi pertimbangan luas kepada persoalankerugian moral dan berpendapat bahwa hilangnya korban menimbulkan dampak psikologis <strong>yang</strong>merugikan di kalangan keluarga dekatnya <strong>yang</strong> diberi ganti rugi sebagai kerugian moral. 34Akhirnya, berkenaan dengan pemantauan dari kegiatan tindak-lanjut, <strong>yang</strong> telahdidiskusikan terlebih dahulu dalam hubungan dengan pandangan Komite Hak Asasi Manusia,berdasarkan Protokol Opsional (lihat paragraf 55 dan 59 di atas), adalah jelas bahwa argumensama <strong>yang</strong> menggarisbawahi kebutuhan akan pengawasan lanjutan menerapkan a fortiori kepadakeputusan Mahkamah <strong>yang</strong> mengikat. Oleh karena itu, harus dicatat dengan semestinya bahwaMahkamah Antar-Amerika dalam keputusannya mengenai konpensasi Velasquez menetapkandalam kalimat penutupnya mengenai pemberian itu: Mahkamah harus mengawasi pemberianganti rugi <strong>yang</strong> diperintahkan dan akan menutup perkara hanya apabila kompensasi telahdibayarkan.32 Ibid., paragraf 30.33 Ibid., paragraf 32-39..34 Ibid., paragraf 51.


4Hukum Nasional dan PrakteknyaTidaklah mungkin untuk menghimpun informasi terinci tentang hukum dan kebiasaan nasional<strong>yang</strong> berkaitan dengan hak atas reparasi bagi para korban pelanggaran berat hak asasi manusiadan kebebasan dasar. Suatu permintaan kepada Pemerintah untuk memberikan informasi <strong>yang</strong>relevan sangat jarang mendapatkan tanggapan <strong>yang</strong> memadai. Akibatnya, Pelapor Khusus harusmengandalkan diri terutama pada informasi <strong>yang</strong> diterima dari sumber-sumber lain 1 danberkaitan dengan sejumlah negara <strong>yang</strong> terbatas. Bagian tentang hukum nasional dan prakteknyaini dimasukkan untuk keperluan ilustrasi guna menunjukkan bagaimana beberapa negara <strong>yang</strong>telah mengalami suatu kurun waktu pelanggaran berat hak asasi manusia telah berusahamemperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu dan menetapkan norma-norma untuk masa depan.Sekalipun informasi <strong>yang</strong> ditinjau dalam bagian ini tidak cukup lengkap untuk menarikkesimpulan umum, namun memungkinkan untuk melakukan observasi tertentu dengan carapemberian ilustrasi.Preseden <strong>yang</strong> paling lengkap dan sistematik mengenai reparasi oleh suatu Pemerintahkepada kelompok-kelompok korban <strong>yang</strong> menderita akibat kesalahan negara disediakan olehRepublik Federal Jerman kepada para korban penganiayaan Nazi. Hukum-hukum terdahulu <strong>yang</strong>berlaku di Jerman setelah Perang Dunia II hanya menangani restitusi, atau kompensasi untukkekayaan <strong>yang</strong> bisa diidentifikasi. 2 Yang lebih berjangkauan jauh adalah Undang-Undang danPerjanjian-Perjanjian Kompensasi berikutnya, <strong>yang</strong> diberlakukan dan ditetapkan dari tahun 194812Secara khusus sumbangan tertulis <strong>yang</strong> disampaikan pada Seminar Tentang Hak Atas Restitusi, Kompensasi danRehabilitasi untuk Para <strong>Korban</strong> Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar (Maastricht, 11-15Maret 1992), <strong>yang</strong> dimasukkan dalam Report of the Maastricht Seminar, SIM Khusus no. 12 (1992), DewanRedaksi: Theo van Boven, Cees Flinterman, Fred Grunfeld, Ingrid Westendorp.Kurt Schwerin, "Kompensasi Jerman untuk Para <strong>Korban</strong> Penganiayaan Nazi", Northwestern University LawReview, vol. 67 (1972), no. 4, hal. 479-527 (pada hal. 489-491). Karl Josef Partsch, Report of the MaastrichtSeminar, hal. 130-145 (pada hal. 133-136).


57dan seterusnya, hingga kemudian diberlakukannya Undang-Undang Kompensasi Final Federal(BEG = Bundesentschädigungsschluessgesetz) pada tahun 1965.Di bawah BEG, seorang korban penganiayaan Nazi didefinisikan sebagai seorang <strong>yang</strong>tertindas karena oposisi politik terhadap Sosialisme Nasional, atau disebabkan oleh ras, agamaatau ideologi, dan <strong>yang</strong> menderita dengan konsekuensi kehilangan jiwa, kerusakan pada anggotabadan atau kesehatan, kehilangan kebebasan, kekayaan atau hak milik, atau kerugian padaprospek profesi atau ekonomi. 3 Suatu aspek penting dari kriteria untuk bisa memenuhipersyaratan berdasarkan BEG adalah prinsip kewilayahan dari hukum itu. Sebuah klaim untukmendapatkan kompensasi terikat pada tempat tinggal pengaju klaim, yakni harus berdomisili diJerman. Tetapi undang-undang tersebut tidak hanya mencakup penduduk Republik FederalJerman dan bekas penduduk dari bekas wilayah Jerman seperti tahun 1937, tetapi juga mencakupberbagai kategori pengungsi, emigran, orang-orang <strong>yang</strong> dideportasi atau diusir – sejauh mereka,untuk beberapa waktu lamanya – mempunyai tempat tinggal atau tempat persinggahan permanendi Jerman. 4Adapun mengenai berbagai kategori kerusakan <strong>yang</strong> dicakup oleh BEG, <strong>yang</strong> berikut inidapat dicatat:a. Kehilangan jiwa mencakup, menurut penafsiran mahkamah, pembunuhan terencana,pembunuhan tak direncanakan dan kematian sebagai akibat kerusakan terhadap kesehatan<strong>yang</strong> ditimbulkan pada korban, terutama juga di kamp-kamp konsentrasi. Kehilangan jiwajuga mencakup kematian <strong>yang</strong> disebabkan oleh kemerosotan kesehatan sebagai akibatemigrasi atau kondisi kehidupan <strong>yang</strong> tidak sesuai dengan kesehatan. Di samping itu,kompensasi telah dibayarkan dalam kasus-kasus bunuh diri <strong>yang</strong> dipicu oleh penganiayaan,termasuk bunuh diri <strong>yang</strong> disebabkan oleh kesukaran ekonomi <strong>yang</strong> tidak dapat diatasikorban di negara di mana ia beremigrasi; 5b. Kerusakan pada anggota badan atau kesehatan mengakibatkan kompensasi kalaukerusakan itu bukan merupakan kekrusakan sepele. Artinya, kerusakan itu mengakibatkan345Schwerin, catatan 75, hal. 496; Partsch, catatan 75, hal. 136.Schwerin, ibid., hal. 497, Partsch, ibid., hal. 136-137.Schwerin, ibid., hal. 499.


58atau mungkin mengakibatkan hambatan terus-menerus terhadap kemampuan mental ataufisik korban; 6c. Kerusakan terhadap kebebasan mencakup perampasan kebebasan dan pembatasanterhadap kebebasan. Dalam perampasan kebebasan termasuk penahanan oleh polisi ataumiliter, penangkapan oleh Partai Sosialis Nasional, pemenjaraan untuk penahanan atauhukuman, penahanan di kamp konsentrasi dan tinggal paksa di ghetto. <strong>Korban</strong> dianggaptelah dirampas kebebasannya kalau ia hidup atau melakukan kerja paksa di bawahkondisi-kondisi <strong>yang</strong> mirip penahanan. Pembatasan terhadap kebebasan, <strong>yang</strong>menimbulkan hak untuk mengajukan klaim atas kompensasi, mencakupi juga paksaanuntuk memakai lencana Bintang Daud dan hidup "di bawah tanah" di bawah kondisi <strong>yang</strong>tidak layak untuk manusia. 7d. Kerusakan pada prospek profesi dan ekonomi menyebabkan diajukannya kompensasikalau korban telah kehilangan kekuatan untuk mencari penghasilan. 8Banyak korban penganiayaan Nazi tidak memenuhi persyaratan untuk BEG. Di antara parakorban ini terdapat warga negara Belgia, Denmark, Belanda dan Prancis <strong>yang</strong> dianiaya dandirugikan di negara mereka sendiri. Untuk memenuhi klaim-klaim ini, sejumlah negara(Luksemburg, Norwegia, Denmark, Yunani, Belanda, Prancis, Belgia, Italia, Swis, Austria,Inggris – Britania Raya, Swedia) pada tahun-tahun antara 1959 – 1961 mengadakan "perjanjianglobal" dengan Republik Federal Jerman di mana mereka menerima dana untuk pembayarankepada masing-masing pengaju klaim. 9 Sebelumnya pada tahun 1952, Republik Federal Jermandan Israel telah menanda-tangani perjanjian di mana Jerman berusaha membayar kompensasikepada Israel untuk membantu penyatuan para pengungsi <strong>yang</strong> terusir dan melarat dari Jerman6789Schwerin, ibid., hal. 500-501.Schwerin, ibid., hal. 502.Schwerin, ibid., hal. 506.Schwerin, ibid., hal. 510-511.


59dan untuk membayar restitusi dan ganti rugi atas klaim orang-orang, organisasi Yahudi, danuntuk rehabilitasi para korban Yahudi dari penganiayaan Nazi. 10Sekalipun penilaian menyeluruh mengenai BEG adalah positif (lihat bab ini, bagian“Beberapa Komentar”), namun undang-undang ini tetap memperlihatkan ketidaksempurnaannya.Dan keputusan <strong>yang</strong> didasarkan pada undang-undang ini, dengan demikian, tetap menunjukkankekurangannya. Misalnya, banyak pengamat tetap berpendapat bahwa kerusakan pada kekayaandan harta milik mendapat pertimbangan <strong>yang</strong> terlalu menguntungkan dibanding denganperlakuan <strong>yang</strong> kurang memadai mengenai kerusakan terhadap kehidupan dan kesehatan.Demikian pula, prinsip kewilayahan tidak menguntungkan para korban <strong>yang</strong> bukan pendudukJerman atau orang-orang atau pengungsi <strong>yang</strong> tidak berkewarga-negaraan. Di lain pihak, satukelompok korban jelas telah diuntungkan. <strong>Mereka</strong> adalah para bekas anggota pegawai negeriJerman atau Pemerintah Jerman, termasuk para hakim, guru besar (profesor) dan guru <strong>yang</strong>dikembalikan ke posisi mereka, termasuk juga kelompok penerima gaji atau pensiun. Dikatakandemikian, karena kelompok-kelompok pengaju klaim ini toh tetap akan menerima hak merekakalau penganiayaan tidak terjadi. 11 Dengan latar belakang inilah bahwa dalam seperangkatprinsip dan pedoman untuk kebijakan kompensasi nasional, <strong>yang</strong> dirumuskan atas dasarpengalaman <strong>yang</strong> didapat oleh Wiedergutmachung Jerman, dua prinsip dan pedoman pertamaberbunyi sebagai berikut:(i)Prinsip persamaan hak dari semua korban adalah sangat penting. Ini tidak berartibahwa mereka semua harus menerima jumlah bantuan <strong>yang</strong> sama, tetapi ituberarti bahwa mereka harus menikmati hak <strong>yang</strong> sama dalam lingkup klaim-klaim<strong>yang</strong> ditetapkan oleh hukum;(ii) Adalah perlu untuk mempunyai perencanaan terpusat, legislatif, dan aparatpemerintahan, karena prinsip sentralitas saja <strong>yang</strong> dapat memastikan prinsippersamaan hak. 1210 Schwerin, ibid., hal. 493.11 Schwerin, ibid., hal. 519.12 "<strong>Korban</strong> Kejahatan", makalah kerja <strong>yang</strong> disiapkan oleh Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk KongresPBB VII tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Para Pelanggar (Milan, 26 Agustus - 6September 1985) (A/CONF.121/6) paragraf 124.


60Di Polandia, pada tanggal 23 Februari 1991, Parlemen mengesahkan undang-undang mengenaipembalikan keputusan <strong>yang</strong> diambil dalam kurun waktu antara 1 Januari 1944 sampai 31Desember 1956 (periode <strong>yang</strong> biasa disebut “Periode Stalinis”) untuk kegiatan-kegiatan demikemerdekaan Negara Polandia. 13 Pembalikan keputusan itu dapat dianggap sebagai suatu bentukrehabilitasi terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia oleh badan peradilan. Tetapi,pembalikan keputusan oleh pengadilan itu tidak secara otomatis berakibat tindakan-tindakankompensasi. Untuk keperluan itu suatu pengajuan terpisah perlu dilakukan dan harus diajukandalam waktu satu tahun setelah pembalikan keputusan tersebut.Sekalipun nilai moral dari undang-undang Polandia mengenai pembalikan keputusan itutidak diragukan lagi, namun telah diamati bahwa undang-undang tersebut hanya mempunyairuang lingkup <strong>yang</strong> terbatas. 14 Pertama-tama, ratione temporis undang-undang itu mencakupkurun waktu sampai 31 Desember 1956 dan tidak memperbolehkan reparasi atas kerugianterhadap para korban pelanggaran hak asasi manusia <strong>yang</strong> terjadi setelah tahun 1956. Suatupembatasan serius ratione materiae lainnya adalah bahwa undang-undang itu tidak mencakuppelanggaran hak asasi manusia <strong>yang</strong> dilakukan oleh organ pemerintahan atau oleh polisi,misalnya kematian atau penyiksaan <strong>yang</strong> dilakukan selama interogasi. Juga, tidak adaundang-undang <strong>yang</strong> memberikan hukuman terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi manusiaantara tahun 1945 dan 1956.Setelah kediktatoran militer di Chili <strong>yang</strong> berlangsung dari 11 September 1973 sampai 11Maret 1990, Pemerintah demokratik <strong>yang</strong> baru membentuk Komisi Nasional untuk Kebenarandan Rekonsiliasi melalui Dekrit Tertinggi tanggal 25 April 1990. 15 Kekuasaan Komisi Nasionalitu berkaitan dengan penyelidikan terhadap pelanggaran serius hak asasi manusia <strong>yang</strong> dilakukandi Chili selama kurun waktu kediktatoran militer. Pelanggaran berat hak asasi manusia dipahamisebagai pelanggaran terhadap kehidupan: orang hilang, hukuman mati secara sumir dan di luarpengadilan, penyiksaan <strong>yang</strong> diikuti kematian, maupun penculikan tak terpecahkan dan kematianorang-orang <strong>yang</strong> dilakukan oleh orang-orang swasta dengan dalih politik. Sebagaimana telahdiamati dengan cermat, pembentukan Komisi Nasional dan kegiatan <strong>yang</strong> mengikutinya dengan13 Asnna Michalska, Report of the Maastricht Seminar, hal. 117-124.14 Michalska, ibid., hal. 119-121.15 Cecilia Medina Quiroga, Report of the Maastricht Seminar, hal. 101-116.


61sendirinya merupakan suatu tindakan perbaikan pertama, dengan memberikan kepuasan parsialkepada keluarga para korban berkenaan dengan keinginan mereka untuk mengetahui keadaan dimana keluarga mereka dibunuh atau dihilangkan. 16 Komisi Nasional menggambarkan tigakategori reparasi: pertama, perbaikan simbolik untuk membersihkan nama korban; kedua,tindakan hukum dan administratif untuk menyelesaikan beberapa masalah <strong>yang</strong> berkaitan denganpengakuan atas kematian (status keluarga, warisan, perwalian hukum untuk orang-orang dibawah umur); ketiga, kompensasi termasuk tunjangan sosial, perawatan kesehatan, danpendidikan.Berdasarkan laporan Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi, Undang-UndangNo. 19.123 tertanggal 31 Januari 1992 disahkan, <strong>yang</strong> merupakan instrumen hukumpembentukan Korporasi Nasional untuk Reparasi dan Rekonsiliasi selama jangka waktu duatahun. Korporasi ini ditugaskan untuk mengkoordinasi, melaksanakan dan memajukankegiatan-kegiatan <strong>yang</strong> perlu untuk memenuhi rekomendasi <strong>yang</strong> terkandung dalam laporanKomisi Nasional. Salah satu tugas utama dari Korporasi adalah memajukan dan bekerja samadalam aksi-aksi dengan tujuan untuk menentukan keberadaan dari orang-orang <strong>yang</strong> hilangsetelah ditahan dan <strong>yang</strong> mayatnya belum ditemukan, sekalipun secara hukum merekadinyatakan telah mati (Pasal 2 ayat 2). Suatu tugas penting lain dari Korporasi tersebut adalahuntuk menyelidiki kasus-kasus di mana Komisi Nasional tidak dapat menegaskan bahwa adakorban-korban pelanggaran terhadap hak asasi manusia maupun kasus-kasus lain <strong>yang</strong> tidakditangani oleh Komisi Nasional (Pasal 2 ayat 4). Juga perlu dicatat bahwa Korporasi Nasionaltidak diberi kuasa untuk melaksanakan tugas-tugas peradilan <strong>yang</strong> menjadi tugas pengadilanhukum dan oleh karena itu Korporasi tidak akan memutuskan tentang tanggung jawab kriminaldari para pribadi. Informasi relevan seperti itu haruslah dikirim ke pengadilan hukum (Pasal 4).Undang-Undang No. 19.123 menyediakan "pensiun reparasi", <strong>yang</strong> merupakan tunjanganbulanan kepada keluarga para korban pelanggaran hak asasi manusia atau kekerasan politik <strong>yang</strong>diidentifikasi dalam laporan Komisi Nasional dan orang-orang <strong>yang</strong> diakui sebagai korban olehKorporasi sendiri (Pasal 17 dan 18). Yang berhak untuk mengajukan permohonan pensiunreparasi adalah pasangan dari korban <strong>yang</strong> masih hidup, ibu (atau ayah kalau ibu tidak ada) darianak-anak <strong>yang</strong> berumur di bawah 25 tahun atau anak-anak cacat dari segala umur (Pasal 20).16 Medina Quiroga, ibid., hal. 107.


62Bentuk-bentuk lain kompensasi adalah tunjangan medis (Pasal 28) dan tunjangan pendidikan(Pasal 29 – 31).Dapat dicatat bahwa Chili telah memberi banyak penekanan pada pengungkapan kebenaranberkenaan dengan pelanggaran <strong>yang</strong> paling serius terhadap hak asasi manusia: hak untuk hidup.Perbaikan difokuskan terutama pada pembersihan nama para korban pelanggaran serius tersebutdan pada kompensasi kepada keluarga mereka. Sementara itu, harus dicatat bahwa tindakanreparasi di Chili tidak mencakup pelanggaran serius hak asasi manusia lainnya dan bahwa tetaptidak jelas apakah dan sejauh mana orang-orang <strong>yang</strong> bertanggung jawab atas kejahatan <strong>yang</strong>dilakukan selama kediktatoran militer itu akan dibawa ke depan pengadilan. 17 Seorang pengamat<strong>yang</strong> kapabel memberi komentar tentang usaha reparasi di Chili bahwa laporan <strong>yang</strong> dibuatKomisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan "suatu kemajuan besar dibandingdengan pendahulu-pendahulunya di negara-negara lain, dalam ruang lingkup, kedalaman dandalam keberanian politik. Bahkan kalau pelaksanaan rekomendasi-rekomendasinya kurang dari<strong>yang</strong> diharapkan, laporan itu akan tetap merupakan suatu standar khas, <strong>yang</strong> mempunyaiimplikasi lebih luas ketimbang laporan dalam konteks Chili". 18Di Argentina, Undang-Undang No. 24.043 telah diundangkan tanggal 23 Desember 1991.Undang-undang itu menetapkan ganti rugi dari Negara – <strong>yang</strong> dapat dibayarkan dalam enamangsuran – kepada orang-orang <strong>yang</strong>, pada saat keadaan darurat diberlakukan, ditempatkan ditangan Eksekutif Nasional atau <strong>yang</strong>, sebagai penduduk sipil, menderita penahanan karenatindakan mahkamah militer. 19 Ganti rugi itu berjumlah sepertiga-belas dari pembayaran bulanan<strong>yang</strong> ditetapkan pada kategori tertinggi pada skala upah untuk personil sipil dalam pemerintahanpublik nasional untuk setiap hari dalam tahanan. Undang-undang itu dilaksanakan di bawahkewenangan Kantor Hak Asasi Manusia dari Kementerian Dalam Negeri – dengan kerja samadari organisasi-organisasi hak asasi manusia – dan undang-undang itu menetapkan penolakanterhadap setiap jenis perbaikan lainnya.Sekalipun Undang-Undang No. 24.043 disahkan untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian<strong>yang</strong> diderita oleh orang-orang <strong>yang</strong> ditahan secara tidak sah, namun ada berbagai alasan17 Medina Quiroga, ibid., hal. 115.18 Daan Bronkhorst, "Conciliation in the aftermath of political killings", Amnesty International, Seksi Belanda(1992), 19 hal. (pada hal. 8).19 Emilio Mignone, Report of the Maastricht Seminar, hal. 125-129.


63mengapa undang-undang itu tidak berfaedah bagi banyak korban (dan keluarga mereka);terutama bagi korban penculikan dan penghilangan paksa, dan siksaan <strong>yang</strong> mereka derita tidakbisa terhapuskan atau terkompensasikan oleh undang-undang itu. Alasan pertama, Pemerintahmiliter <strong>yang</strong> memerintah negara itu dari bulan November 1974 sampai Desember 1983 menolakuntuk mengakui penculikan-penculikan itu; sedangkan Pemerintah baru, setelah pemulihandemokrasi, belum menuntut angkatan bersenjata untuk mengungkapkan sepenuhnya fakta-fakta<strong>yang</strong> berkaitan dengan orang-orang <strong>yang</strong> hilang. Kedua adalah kesukaran untuk membuktikantanggung jawab agen-agen Negara dalam aksi penculikan itu, kesukaran <strong>yang</strong> disebabkan sistemklandestin <strong>yang</strong> digunakan oleh Pemerintah militer. Ketiga adalah keengganan di pihak parakeluarga korban (orang-orang <strong>yang</strong> ditahan/hilang) untuk menuntut kompensasi finansial.<strong>Mereka</strong> menganggap hal itu sebagai suatu suapan selama tuntutan utama mereka, yaitumengetahui kebenaran tentang nasib orang-orang <strong>yang</strong> ditahan/hilang, belum terpenuhi. 20Dalam suatu note verbale tanggal 20 Mei 1992 <strong>yang</strong> ditujukan kepada Kelompok KerjaPerserikatan Bangsa-Bangsa untuk Orang-Orang <strong>yang</strong> Dihilangkan Secara Paksa atau TidakSukarela, Pemerintah Argentina menarik perhatian Kelompok Kerja tersebut kepada suatukeputusan dari Pengadilan Banding Federal dalam kasus seorang warga negara Swedia <strong>yang</strong>diculik dan hilang di Argentina tahun 1977. Pengadilan memutuskan, denganmempertimbangkan keadaan khusus dari kasus itu, untuk memberi kompensasi kepada ayahkorban dengan mengingat kerusakan moral <strong>yang</strong> ditimbulkan kepadanya oleh penculikan danhilangnya anak perempuannya. 21Patut dicatat lebih lanjut bahwa Komisi Antar-Amerika Tentang Hak Asasi Manusia sangatmembantu dalam mencapai suatu penyelesaian secara bersahabat dalam kasus 13 orang <strong>yang</strong>telah mengajukan petisi kepada Komisi <strong>yang</strong> mengutuk pelanggaran serius terhadap hak asasimanusia selama rezim militer <strong>yang</strong> memerintah Argentina antara tahun 1976 dan 1983 (laporanNo. 1/93 dari Komisi Antar-Amerika Tentang Hak Asasi Manusia <strong>yang</strong> diterima tanggal 3 Maret1993). Pelanggaran terdiri dari penahanan sewenang-wenang di bawah dekrit undang-undang<strong>yang</strong> dikenal sebagai "Kekuasaan Eksekutif Nasional" <strong>yang</strong> telah memperbolehkan penahananorang-orang untuk jangka waktu tak terhingga tanpa pengadilan. Para pengaju petisi20 Mignone, ibid., hal. 128-129.21 Laporan Kelompok Kerja untuk Orang-Orang <strong>yang</strong> Dihilangkan Secara Paksa atau Tidak Dengan SukarelaKepada Komisi Hak Asasi Manusia dalam sidangnya ke-49 (E/CN.4.1993/25), paragraf 77.


64mendasarkan diri mereka pada Pasal 8 dan 25 dari Konvensi Amerika Tentang Hak AsasiManusia dan pada keputusan Mahkamah Antar-Amerika dalam kasus Velasquez Rodriguez.Mengikuti dekrit pemerintah No. 70/91 tertanggal 10 Januari 1991 <strong>yang</strong> kemudian dipertegasoleh Undang-Undang No. 24.043, <strong>yang</strong> diacu dalam paragraf 118 di atas, kompensasi <strong>yang</strong>diberikan berjumlah sepertiga-belas dari gaji bulanan pada skala gaji tertinggi untuk pegawaisipil <strong>yang</strong> dipekerjakan dalam pemerintahan umum nasional untuk setiap hari penahanan secarailegal. Berkenaan dengan orang-orang <strong>yang</strong> meninggal selama dalam tahanan, sejumlahkompensasi tambahan diberikan. Kompensasi itu bersifat setara dengan ganti rugi selama limatahun dalam penahanan. Dalam kasus orang-orang <strong>yang</strong> mengalami cedera-cedera serius,pemberian kompensasi untuk penahanan ilegal diperbesar dengan jumlah <strong>yang</strong> setara dengan 70persen dari kompensasi <strong>yang</strong> kiranya diterima oleh para anggota keluarga seorang <strong>yang</strong>meninggal. Dalam suatu press communiqué (siaran pers) <strong>yang</strong> relevan (No. 5/93, tertanggal 10Maret 1993) Komisi Antar-Amerika menunjukkan bahwa ini adalah untuk pertama kali bahwasuatu penyelesaian <strong>yang</strong> bersahabat telah berhasil dicapai dan Komisi menyatakan harapanbahwa preseden itu akan mengilhami penggunaan prosedur ini lebih sering "untuk kepentinganorang-orang <strong>yang</strong> hak asasi manusianya telah dilanggar di belahan bumi ini".Di Uganda, setelah berakhirnya kediktatoran Presiden Idi Amin Dada, Pemerintahmemberlakukan Undang-Undang Kepresidenan Tentang Dana Kedermawanan untuk VeteranPerang, Janda dan Anak Yatim-Piatu (No. 2 tahun 1982) atas nama para korban (dan keluargamereka) <strong>yang</strong> telah ikut serta dalam usaha pembebasan melawan kediktatoran, danUndang-Undang Tentang Kekayaan <strong>yang</strong> Diambil-alih (No. 9 tahun 1982); di bawahundang-undang itu orang-orang Asia <strong>yang</strong> diusir diberi wewenang untuk kembali ke Uganda danmengklaim kembali kekayaan mereka. 22 Tetapi, di Uganda berbagai pembatasan tentang klaimuntuk kompensasi berlaku. Jadi, klaim untuk mendapatkan kembali tanah mungkin tidakditangani setelah 12 tahun dan klaim <strong>yang</strong> berkaitan dengan kerugian biasa mungkin tidakditangani sampai 3 tahun setelah klaim semula diajukan. Pada tahun 1986, PemerintahPerlawanan Nasional (NRM) memberlakukan kembali dalam suatu Pengumuman Hukum (No. 6tahun 1986) kekebalan berdasarkan undang-undang <strong>yang</strong> menghalangi pengajuan klaim terhadapPemerintah berkenaan dengan serangan, penghilangan nyawa (jiwa), penangkapan danpenahanan, perampasan, penggunaan, penghancuran atau kerusakan terhadap harta milik <strong>yang</strong>22 Edward Khiddu-Makubuya, Report of the Maastricht Seminar, hal. 86-100.


65mungkin telah dilakukan oleh agen-agen Pemerintah sebelum NRM memegang kekuasaan diUganda tahun 1986. Ketika Pengumuman Hukum No. 6 tahun 1986 dituduh inkonstitusional didepan Pengadilan Tinggi Uganda, Pengadilan justru memberikan keputusan imunitas/kekebalanberdasarkan undang-undang itu. Sesudah itu, Pemerintah dengan segera mengesahkan Dekrit No.1 tahun 1987 di mana ketentuan hukum mengenai imunitas berdasarkan undang-undangditegakkan kembali. 23Seorang komentator tentang situasi Uganda mengamati bahwa banyak korban pelanggaranterhadap hak asasi manusia di Uganda tidak mendapatkan remedi <strong>yang</strong> efektif. 24 Banyak alasanuntuk hal ini, antara lain, tidak adanya sistem hukum mengenai suatu indikasi khusus darikategori konkret tentang pelanggaran terhadap hak asasi manusia, ketidak-acuhan terhadaphukum dan hak asasi manusia dasar di pihak banyak korban, kesukaran <strong>yang</strong> dijumpai dalamakses ke pengadilan, penerapan kurun waktu pembatasan menurut undang-undang maupunketentuan tentang imunitas menurut undang-undang, penafsiran sempit mengenai hukum adattentang tanggung jawab orang lain atas tindakan-tindakan <strong>yang</strong> dilakukan oleh agen-agenPemerintah, maupun tidak diratifikasinya Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik besertaProtokol Opsional-nya oleh Uganda.Beberapa KomentarTinjauan mengenai hukum nasional dan prakteknya di beberapa negara tertentu, <strong>yang</strong> berkaitandengan pemberian remedi kepada para korban pelanggaran berat hak asasi manusia,menampilkan suatu gambaran <strong>yang</strong> bercampur aduk. Suatu kecenderungan umum dalam tinjauanini ialah adanya keinginan dari negara-negara <strong>yang</strong> bersangkutan untuk melepaskan diri dariserangan serius terhadap martabat manusia <strong>yang</strong> dilakukan di bawah rezim-rezim terdahulu danuntuk memikul tanggung jawab guna memberikan perbaikan atas tindakan-tindakan salah <strong>yang</strong>dilakukan dan ganti rugi kepada para korban. Bersamaan dengan itu, hukum-dan-prakteknasional juga memperlihatkan beberapa kekurangan mendasar <strong>yang</strong> disebabkan oleh lingkup<strong>yang</strong> terbatas dari tindakan <strong>yang</strong> diambil. Tampaknya kategori-kategori besar dari para korban23 Khiddu-Makubuya, ibid., hal. 94-95.24 Khiddu-Makubuya, ibid., hal. 96-98


66pelanggaran berat hak asasi manusia, sebagai akibat dari isi aktual hukum nasional ataudisebabkan oleh cara di mana undang-undang ini diterapkan, gagal untuk menerima ganti rugi<strong>yang</strong> disediakan bagi mereka. Keterbatasan dalam waktu, termasuk penerapan pembatasanmenurut undang-undang; pembatasan dalam definisi mengenai ruang lingkup dan sifatpelanggaran; kegagalan di pihak para pejabat untuk mengakui jenis-jenis tertentu pelanggaranserius; beroperasinya undang-undang amnesti; sikap pengadilan <strong>yang</strong> bersifat membatasi;ketidak-mampuan kelompok tertentu dari korban untuk mengajukan dan memperjuangkanklaim-klaim mereka; kurangnya sumber daya ekonomi dan keuangan; akibat dari semua faktorini, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, adalah bahwa prinsip-prinsip persamaan hak danreparasi <strong>yang</strong> semestinya bagi semua korban tidak dilaksanakan. Kekurangan ini tidak hanyatampak dalam konteks nasional, kekurangan ini bahkan lebih mencolok lagi dalam konteksglobal di mana berjuta-juta korban pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia masih tidakmemperoleh hak dan perspektif untuk pemulihan atau perbaikan.Juga harus diingat bahwa sampai hari ini sistem perbaikan <strong>yang</strong> paling menyeluruhditerapkan oleh Republik Federal Jerman untuk memberi kompensasi kepada para korbanpenganiayaan Nazi. Sebagaimana telah diamati dengan tepat lebih dari 20 tahun <strong>yang</strong> lalu dalamsuatu tinjauan menyeluruh <strong>yang</strong> menjelaskan mengenai preseden penting ini: "pembayaran itumempunyai arti (bagi banyak korban) perbedaan antara kemiskinan <strong>yang</strong> hina dan kehidupan<strong>yang</strong> bermartabat dengan keamanan secukupnya. Ini tidak berarti bahwa restitusi sepenuhnyaatau secara murni telah dilakukan. Penganiayaan <strong>yang</strong> dilakukan rezim Nazi tidak adatandingannya, khas dalam ruang lingkupnya, dan sangat tidak manusiawi. Penganiayaan itu tidakdapat ditebus dan tidak dapat dilupakan. Tetapi, dari sudut pandang historis dan hukum, programkompensasi dan reparasi merupakan suatu operasi <strong>yang</strong> khas". 2525 Schwerin, op.cit., hal. 523.


5Impunitas dan Hak <strong>Korban</strong> Atas ReparasiSuatu studi mengenai persoalan <strong>yang</strong> berkaitan dengan hak atas restitusi, kompensasi danrehabilitasi untuk para korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar padaakhirnya menghadapi persoalan impunitas. Studi ini tidak akan menganalisis secara mendalammasalah impunitas, sebab itu merupakan pokok masalah dari suatu studi khusus <strong>yang</strong> dilakukanoleh Tn. Guissé dan Tn. Joinet. Keduanya adalah Pelapor Khusus dari Sub-Komisi (resolusiKomisi Hak Asasi Manusia No. 1993/43). Tetapi, untuk keperluan sekarang ini tidak dapatdiabaikan bahwa ada suatu kaitan <strong>yang</strong> jelas antara impunitas terhadap para pelaku pelanggaranberat hak asasi manusia dan kegagalan untuk memberikan reparasi <strong>yang</strong> adil dan memadaikepada para korban dan keluarga atau tanggungan mereka.Dalam banyak situasi di mana impunitas telah didukung oleh hukum atau di mana impunitasde facto berlaku berkaitan dengan orang-orang <strong>yang</strong> bertanggung jawab atas pelanggaran berathak asasi manusia, para korban secara efektif dihalangi untuk mencari dan menerima ganti rugidan reparasi. Dalam kenyataannya, sekali para pejabat Negara gagal untuk menyelidikifakta-fakta dan menetapkan tanggung jawab kriminal, maka akan menjadi sangat sukar bagi parakorban atau keluarga mereka untuk melaksanakan tuntutan hukum efektif <strong>yang</strong> bertujuan untukmemperoleh reparasi <strong>yang</strong> adil dan memadai.Badan-badan hukum seperti Komite Hak Asasi Manusia dan Komisi Antar-Amerika danMahkamah Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia – <strong>yang</strong> tugasnya adalah menjaga agarNegara Pihak dalam berbagai perjanjian hak asasi manusia menaati kewajiban mereka terhadapberbagai instrumen hak asasi manusia internasional – telah menetapkan suatu garis <strong>yang</strong> masukakal dan konsisten <strong>yang</strong> menentukan langkah-langkah <strong>yang</strong> harus diambil untuk memperbaiki


69pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Garis kegiatan <strong>yang</strong> masuk akal dan konsisten inimencakup penyelidikan atas fakta-fakta, membawa ke depan pengadilan orang-orang <strong>yang</strong>kedapatan bertanggung jawab, dan memastikan reparasi kepada para korban (lihat Bab 6 bagian“Komite Hak Asasi Manusia”). Dalam Komentar Umum 20 <strong>yang</strong> disetujui oleh Komite HakAsasi Manusia dalam sidangnya <strong>yang</strong> ke-44 tahun 1992 <strong>yang</strong> berkaitan dengan laranganpenyiksaan, Komite menyatakan bahwa amnesti terhadap tindak penyiksaan pada umumnyatidak sesuai dengan kewajiban Negara untuk menyelidiki perbuatan tersebut; untuk menjaminkebebasan dari perbuatan tersebut dalam yurisdiksi mereka; dan untuk memastikan bahwaperbuatan tersebut tidak terjadi lagi di masa depan. Komite menambahkan dalam komentar <strong>yang</strong>sama bahwa Negara tidak dapat merampas hak para individu untuk memperoleh pemulihan <strong>yang</strong>efektif, termasuk kompensasi dan rehabilitasi penuh kalau mungkin. 1 Terutama keputusantentang kasus Velasquez Rodriguez (lihat Bab 6 bagian “Mahkamah Antar-Amerika untuk HakAsasi Manusia”), suatu keputusan <strong>yang</strong> menonjol dari Mahkamah Antar-Amerika untuk HakAsasi Manusia menegaskan posisi <strong>yang</strong> sama. Komisi Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusiasangat mengandalkan diri pada keputusan ini ketika Komisi menyimpulkan dalam kasus daridelapan pengaju petisi bahwa hukum amnesti Uruguay tahun 1986, Ley de Caducidad, <strong>yang</strong>memberikan impunitas kepada para pejabat <strong>yang</strong> telah melanggar hak asasi manusia selamakurun waktu kekuasaan militer, telah melanggar Pasal 1, 8 dan 25 Konvensi Amerika TentangHak Asasi Manusia.Komisi Antar-Amerika mencatat dalam laporannya No. 29/92 tertanggal 2 Oktober 1992bahwa negeri <strong>yang</strong> bersangkutan, dengan mengesahkan dan menerapkan Ley de Caducidad,belum melakukan suatu penyelidikan resmi untuk menetapkan kebenaran tentangperistiwa-peristiwa masa lalu. Komisi mengulangi pandangan Mahkamah dalam kasusVelasquez Rodriguez: jika suatu Negara gagal atau tidak secara serius melakukan penyelidikanterhadap pelanggaran hak asasi manusia – dengan konsekuensi bahwa pelanggaran tetap takdihukum dan korban tidak mendapat kompensasi – maka itu berarti bahwa Negara tersebutmelanggar usahanya sendiri untuk memastikan pelaksanaan sepenuhnya dan secara bebas atashak <strong>yang</strong> terkena pelanggaran. Komisi Antar-Amerika menyimpulkan dengan memberirekomendasi kepada Pemerintah <strong>yang</strong> bersangkutan agar Pemerintah membayar kompensasi<strong>yang</strong> adil kepada para pengaju petisi atas hak-hak mereka <strong>yang</strong> telah dilanggar. Dalam suatu1HRI/GEN/1, bag. I, Komentar Jmum 20 (ps. 7), alinea 15.


70laporan terpisah No. 28/92, juga tertanggal 2 Oktober 1992, Komisi Antar-Amerika mendapatibahwa undang-undang Argentina "Ketaatan <strong>yang</strong> Semestinya" dan "Titik Akhir", maupunPengampunan Presiden No. 1002, telah melanggar Konvensi Amerika. Sekalipun secara faktualtidak sama seperti kasus Uruguay, Komisi pada hakikatnya menetapkan alasan hukum <strong>yang</strong>sama sebagaimana <strong>yang</strong> dilakukannya berkenaan dengan kasus-kasus Uruguay. 2 Komisi AhliHukum Internasional menyimpulkan bahwa rakyat di negara-negara <strong>yang</strong> bersangkutanmempunyai hak untuk membuat agar kebenaran diumumkan; agar supaya para pelaku pelanggarhak asasi manusia diadili dan dihukum, dan para korban dan/atau keluarga mereka diberikompensasi atas penderitaan <strong>yang</strong> mereka tanggung sebagai akibat kejahatan <strong>yang</strong> dilakukanoleh para agen Negara. 3Hal lain <strong>yang</strong> juga relevan untuk diingat adalah bahwa Kelompok Kerja PerserikatanBangsa-Bangsa untuk Orang Hilang <strong>yang</strong> Dihilangkan Secara Paksa atau Tidak Dengan Sukarelatelah mengambil sikap <strong>yang</strong> keras: menentang impunitas. Kelompok Kerja tersebut menyatakanbahwa mungkin faktor tunggal paling penting <strong>yang</strong> memberi sumbangan kepada gejala oranghilang adalah faktor impunits itu. Para pelaku pelanggaran hak asasi manusia, baik sipil maupunmiliter, menjadi semakin tidak bertanggung jawab lagi kalau mereka tidak dimintakanpertanggungjawabannya di depan pengadilan. Kelompok Kerja itu selanjutnya berargumentasibahwa impunitas juga dapat mendorong para korban pelanggaran itu untuk melakukan suatubentuk kegiatan swadaya dan mengambil hukum ke tangan mereka sendiri (main hakim sendiri),<strong>yang</strong> pada gilirannya lebih memperburuk lagi spiral kekerasan (E/CN.4/1990/13 paragraf 18-24dan 344-347). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu suasana sosial dan politikdi mana impunitas berlaku, hak atas reparasi bagi para korban pelanggaran berat hak asasimanusia dan kebebasan dasar mungkin sekali hanya merupakan suatu ilusi. Adalah sukar untukmemahami bahwa suatu sistem keadilan <strong>yang</strong> menaruh perhatian pada hak para korban, dalamwaktu <strong>yang</strong> bersamaan dapat tetap acuh-tak-acuh dan tak berdaya terhadap perbuatan-salah<strong>yang</strong> berat dari para pelaku.23Lihat lebih lanjut Robert K. Goldman, "Impunitas dan hukum internasional – Komisi Hak Asasi ManusiaAntar-Amerika menemukan bahwa undang-undang amnesti Uruguay 1986 melanggar Konvensi AmerikaTentang Hak Asasi Manusia", makalah (12 halaman) <strong>yang</strong> diajukan kepada Rapat Internasional mengenaiImpunitas, <strong>yang</strong> diselenggarakan oleh Komisi Ahli Hukum Internasional dan Commission nationals consultativedes droits de l'homme, Jenewa, November 1992.Pernyataan tertulis <strong>yang</strong> diajukan oleh Komisi Para Ahli Hukum Internasional kepada Sub-Komisi PencegahanDiskriminasi dan Perlindungan Terhadap Golongan Minoritas dalam sidangnya ke-44(E/CN.4/Sub.2/1992/NGO/9).


6Kompensasi Bagi Para <strong>Korban</strong>:Studi Kasus Terhadap Invasi Irak Atas KuwaitDalam resolusi 687 (1991) <strong>yang</strong> disahkan oleh Dewan Keamanan tanggal 3 April 1991, Dewanmenegaskan bahwa Irak "… bertanggung jawab berdasarkan hukum internasional atas setiapkerugian, kerusakan langsung, termasuk kerusakan lingkungan dan habisnya sumber daya alam,atau kerugian <strong>yang</strong> ditimbulkan kepada pemerintah dan warga negara serta perusahaan asing,sebagai akibat dari penyerbuan dan pendudukan Irak secara tidak sah atas Kuwait" (paragraf 16).Berkaitan dengan hal itu, Dewan memutuskan untuk membentuk suatu organisasi penggalangandana untuk membayar klaim-klaim <strong>yang</strong> termasuk dalam paragraf 16 <strong>yang</strong> dikutip di atas danuntuk mendirikan suatu Komisi <strong>yang</strong> akan mengatur dana tersebut. Perlu dicatat bahwaperumusan dalam paragraf 16 dari resolusi 687 (1991) pada dasarnya mempertegas kembaliparagraf 8 resolusi Dewan 674 (1990), <strong>yang</strong> mengingatkan Irak bahwa "… berdasarkan hukuminternasional, Irak bertanggung jawab atas kerugian, kerusakan atau cedera <strong>yang</strong> ditimbulkannyaterhadap Kuwait dan negara ketiga, dan warga negara serta perusahaan mereka, sebagai akibatdari penyerbuan dan pendudukan tidak sah Kuwait oleh Irak".Untuk keperluan studi ini, ada tiga masalah <strong>yang</strong> akan didiskusikan: (a) dasar hukummengenai kewajiban Irak membayar kompensasi: (b) kerugian, kerusakan atau cedera <strong>yang</strong>diderita dalam hubungan dengan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia; (c) Pemerintahdan perorangan sebagai subyek <strong>yang</strong> mengajukan klaim. 11Lihat juga Larisa Gabriel, "Para korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar <strong>yang</strong> timbuldari penyerbuan dan pendudukan tidak sah atas Kuwait oleh Irak", Laporan dari Seminar Maastricht, hal. 29-39;Frank C. Newman, "Reparasi untuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam Perang Teluk", DenverJournal of International Law and Policy, vol. 20 (1992), hal. 213-221; John R. Crook, "Komisi KompensasiPerserikatan Bangsa-Bangsa – Suatu Struktur Baru Terhadap Tanggung Jawab Negara", American Journal ofInternational Law, vol. 87 (1993), hal. 144-157.


73Dasar Hukum Bagi Kewajiban Irak untuk Membayar KompensasiDalam Bab 2 buku ini tentang perlindungan korban berdasarkan norma hukum internasional dantentang tanggung jawab negara, kewajiban untuk memberi kompensasi berdasarkan hukuminernasional telah ditinjau dengan mengingat prinsip dan aturan hukum humaniter, norma-normahukum hak asasi manusia internasional dan hukum nasional Negara <strong>yang</strong> bertanggung jawab,yaitu negara <strong>yang</strong> menjadi subjek dari suatu studi menyeluruh Komisi Hukum Internasional.Ketika Dewan Keamanan menegaskan tanggung jawab Irak berdasarkan hukum internasionaluntuk setiap kerugian, kerusakan atau cedera, Dewan tidak mempertimbangkan kerugian,kerusakan atau cedera <strong>yang</strong> ditimbulkan Irak pada warga negaranya sendiri sebagai akibat daripraktek besar-besaran pelanggaran berat hak asasi manusia dan <strong>yang</strong> menjadi pokok masalahdari suatu mandat <strong>yang</strong> dipercayakan kepada seorang Pelapor Khusus sesuai dengan resolusi1991/74 dari Komisi tentang Hak Asasi Manusia (E/CN.4/1992/31. Dewan Keamanan, denganmendasarkan diri pada konsep tradisional mengenai hukum internasional dan terutama sekalidengan mengingat kepentingan pampasan dalam konteks antar-negara, <strong>yang</strong> mengacu padakerugian, kerusakan atau cedera-cedera <strong>yang</strong> ditimbulkan oleh Irak kepada Pemerintah Kuwait,warga negara dan perusahaan asing. Dari perspektif ini, adalah sangat wajar dan layak bahwaPelapor Khusus <strong>yang</strong> menelaah situasi hak asasi manusia di Kuwait di bawah pendudukan Irak,<strong>yang</strong> ditunjuk sesuai dengan resolusi 1991/67 dari Komisi Hak Asasi Manusia, memberiperhatian semestinya dalam laporannya kepada isu-isu <strong>yang</strong> berkaitan dengan tangung jawab dankompensasi (E/CN.4/1992/26, paragraf 249-261).Harus diingat, sebagaimana dilakukan oleh Pelapor Khusus tentang situasi hak asasi manusiadi Kuwait di bawah pendudukan Irak, bahwa menurut suatu prinsip hukum internasional <strong>yang</strong>sudah mantap, terjadi "perbuatan salah secara internasional dari suatu Negara apabila: (a)perbuatan berupa ‘melakukan suatu kegiatan’ (action) atau ‘tidak melakukan kegiatan’(omission) oleh suatu Negara berdasarkan hukum internasional; dan (b) perbuatan itu merupakansuatu pelanggaran terhadap kewajiban internasional dari Negara tersebut" (Pasal 3 daripasal-pasal rancangan Komisi Hukum Internasional tentang tanggung jawab Negara, Bag. Satu,dok. A/CN.4/SER/A/1975/Add.1). Tambahan pula, di bidang hukum humaniter internasional,acuan harus dilakukan pada ketentuan umum dalam empat Konvensi Jenewa tahun 19949 (Pasal


7451 Konvensi Pertama, Pasal 52 Konvensi Kedua, Pasal 131 Konvensi Ketiga dan Pasal 148 dariKonvensi Keempat) dengan tujuan bahwa tidak satu pun negara diperbolehkan membebaskandirinya sendiri atau suatu negara lainnya dari tanggung jawab <strong>yang</strong> ditimbulkan oleh negara itusendiri atau oleh suatu negara lain berkenaan dengan pelanggaran-pelanggaran berat <strong>yang</strong>didaftar dalam Konvensi-Konvensi Jenewa itu. "Pelanggaran berat", menurut rumusan Pasal 147Konvensi Jenewa Keempat adalah "pelanggaran <strong>yang</strong> mencakup salah satu dariperbuatan-perbuatan berikut ini (kalau dilakukan terhadap orang-orang atau kekayaan <strong>yang</strong>dilindungi oleh Konvensi): penyiksaan dengan sengaja atau perlakuan tidak manusiawi,termasuk percobaan biologis, dengan sengaja menimbulkan penderitaan berat atau cedera seriuspada tubuh atau kesehatan, deportasi atau pemindahan tidak sah atau penahanan tidak sahterhadap orang <strong>yang</strong> dilindungi, memaksa seorang <strong>yang</strong> dilindungi untuk berdinas dalampasukan suatu Kekuatan <strong>yang</strong> bermusuhan, atau dengan sengaja meniadakan hak dari orang <strong>yang</strong>dilindungi untuk memperoleh pengadilan <strong>yang</strong> jujur dan teratur <strong>yang</strong> ditetapkan dalamKonvensi, menahan sandera dan melakukan penghancuran meluas dan perampasan kekayaan,<strong>yang</strong> tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dansecara serampangan".Di samping itu, semua Pasal 3 dalam Konvensi-Konvensi Jenewa, <strong>yang</strong> dimasukkan kedalam berbagai konvensi tersebut sebagai suatu standar perlindungan dalam kaitan denganperselisihan bersenjata <strong>yang</strong> tidak bersifat internasional, harus dianggap sebagai suatu ukuranminimum dari hukum kebiasaan internasional <strong>yang</strong> dapat diterapkan pada semua jenis konflikbersenjata dan dengan demikian relevan dalam konteks hukum sekarang ini. Akibatnya, setiapNegara dan satuan hukum lain <strong>yang</strong> terlibat dalam suatu konflik bersenjata akan terikat untukmenerapkan, paling sedikit, ketentuan-ketentuan atau ayat-ayat berikut ini:Orang-orang <strong>yang</strong> tidak ambil bagian aktif dalam permusuhan, termasuk para anggota angkatan bersenjata<strong>yang</strong> sudah meletakkan senjata mereka dan orang-orang <strong>yang</strong> ditempatkan pada hors de combat karena sakit,cedera, ditahan, atau suatu sebab lain, dalam keadaan apa pun harus diperlakukan secara manusiawi, tanpapembedaan lain <strong>yang</strong> bertentangan dan didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jeniskelamin, kelahiran atau kekayaan, atau kriteria lain <strong>yang</strong> serupa.Untuk tujuan ini, tindakan-tindakan berikut ini dilarang dan akan tetap dilarang setiap waktu, dimana pun dan bagaimanapun berkenaan dengan orang-orang <strong>yang</strong> tersebut di atas: (a) kekerasan


75terhadap kehidupan dan manusia, terutama pembunuhan dalam berbagai jenis dan bentuknya,mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan; (b) penahanan terhadap sandera; (c) kebiadabanterhadap martabat manusia, terutama perlakuan <strong>yang</strong> menghina dan merendahkan martabat; (d)dijatuhkannya hukuman dan dilaksanakannya eksekusi tanpa keputusan <strong>yang</strong> sebelumnyadiumumkan oleh suatu pengadilan <strong>yang</strong> dibentuk secara biasa: pengadilan <strong>yang</strong> memberikansemua jaminan yudisial <strong>yang</strong> diakui secara umum dan dikenal oleh orang-orang <strong>yang</strong> beradabsebagai pengadilan <strong>yang</strong> memang semestinya ada.Kerugian, Kerusakan Atau Cedera <strong>yang</strong> Diderita Dalam Hubungan Dengan PelanggaranBerat Terhadap Hak Asasi ManusiaSalah satu tugas utama Dewan Pengatur dari Komisi Kompensasi Perserikatan Bangsa-Bangsa(UNCC = United Nations Compensation Commission), <strong>yang</strong> dibentuk sesuai dengan paragraf 18dari resolusi Dewan Keamanan 687 (1991) untuk mengatur dana pembayaran kompensasiterhadap klaim-klaim, adalah dirumuskannya kriteria untuk memproses klaim-klaim mendesak(S/AC.26/1991/1). Kriteria ini belakangan dilengkapi dalam keputusan-keputusan berikutnya<strong>yang</strong> diambil oleh Dewan Pengatur UNCC (S/AC.26/1991/2-7). Menurut kriteria Komisi, "klaim<strong>yang</strong> diajukan haruslah untuk kasus kematian, cedera pribadi atau kerugian langsung terhadappara pribadi sebagai akibat dari penyerbuan dan pendudukan Kuwait oleh Irak. Ini mencakupsetiap kerugian <strong>yang</strong> diderita sebagai akibat dari:a. Operasi militer atau ancaman aksi militer oleh kedua belah pihak selama kurunwaktu antara 2 Agustus 1990 dan 2 Maret 1991;b. Keberangkatan dari atau ketidakmampuan meninggalkan Irak atau Kuwait (ataukeputusan untuk tidak kembali) selama kurun waktu tersebut;c. Tindakan oleh para pejabat, pegawai atau wakil Pemerintah Irak atau satuanhukum <strong>yang</strong> dikuasai selama kurun waktu itu dalam hubungan denganpenyerbuan atau pendudukan tersebut;d. Rusaknya tatanan sipil di Kuwait atau Irak selama kurun waktu itu; ataue. Penahanan sandera atau penahanan ilegal lainnya (S/AC.26/1991/1, paragraf 18).


76Dalam suatu keputusan <strong>yang</strong> diambil oleh Dewan Pengatur UNCC selama sidangnya <strong>yang</strong>kedua, <strong>yang</strong> diselenggarakan tanggal 18 Oktober 1991, Dewan Pengatur mengesahkan rumusanmengenai gagasan tentang cedera tubuh <strong>yang</strong> serius dan kesakitan dan kesedihan mental, dengantujuan untuk penerapan kriteria itu (S/AC.26/1991/3). Berkenaan dengan cedera pribadi <strong>yang</strong>serius, Dewan Pengatur memutuskan bahwa gagasan ini berarti:a. Cedera;b. Cacat mencolok secara permanen atau sementara, seperti misalnya perubahansubstansial dalam penampilan luar seseorang;c. Kehilangan permanen atau sementara atas penggunaan atau terbatasnyapenggunaan suatu anggota, bagian, fungsi atau sistem tubuh;d. Suatu cedera <strong>yang</strong>, kalau dibiarkan tak terawat, mungkin sekali membawa akibattidak tersembuhkan sepenuhnya bagian tubuh <strong>yang</strong> cedera itu, atau mungkinsekali memperpanjang jangka waktu penyembuhan."Untuk keperluan penyembuhan di hadapan Komisi Kompensasi, 'cedera pribadi serius' jugamencakup hal-hal mengenai cedera fisik atau mental <strong>yang</strong> timbul dari serangan seksual, siksaan,serangan fisik berat, penahanan sandera atau penahanan ilegal selama lebih dari tiga hari ataudipaksa bersembunyi selama lebih dari tiga hari karena ketakutan <strong>yang</strong> sangat beralasan untukhidup seseorang atau karena ditahan sebagai sandera atau ditahan secara ilegal. "Cedera pribadiserius" tidak termasuk berikut ini: lecet, ketegangan mental atau keseleo ringan, cedera bakarringan, luka teriris dan luka kecil lainnya; atau iritasi lain <strong>yang</strong> tidak membutuhkan perawatanmedis untuk jangka waktu tertentu".Mengenai cidera mental dan kesedihan, berikut itu dikatakan: "Kompensasi akan diberikanuntuk masalah kehilangan daya dukung finansial (termasuk kehilangan penghasilan dan biayaganti rugi) <strong>yang</strong> ditimbulkan kesakitan mental dan penderitaan batin <strong>yang</strong> dalam. Di samping itu,kompensasi akan diberikan untuk ‘cedera-cedera non-keuangan’ <strong>yang</strong> berasal dari kesakitanmental dan kesedihan, sebagaimana dinyatakan berikut:a. Pasangan hidup, anak atau orang tua dari seseorang <strong>yang</strong> mengalami kematian;


77b. Seorang pribadi mengalami cedera serius <strong>yang</strong> mencakup mutilasi, cacatmencolok secara permanen atau sementara, atau kehilangan secara permanen atausementara daya atas penggunaan atau terbatasnya penggunaan dari suatu organ,anggota, fungsi atau sistem tubuh;c. Orang tersebut menderita serangan seksual atau serangan berat atau penyiksaan."Juga harus dicatat bahwa Dewan Pengatur UNCC memutuskan dalam sidangnya <strong>yang</strong> keenampada tanggal 26 Juni 1992 bahwa para anggota Angkatan Bersenjata Koalisi Sekutu tidak berhakmemperoleh kompensasi sebagai akibat dari keterlibatan mereka dalam operasi militer gabunganterhadap Irak, kecuali: (a) kompensasi diberikan sesuai dengan kriteria <strong>yang</strong> sudah disahkan olehDewan; (b) orang <strong>yang</strong> mengajukan klaim adalah tawanan perang; dan (c) kehilangan ataucedera <strong>yang</strong> diakibatkan oleh perlakuan salah <strong>yang</strong> melanggar hukum humaniter internasional(S/AC.26/1992/11).Pemerintah dan Pribadi Sebagai Subjek <strong>yang</strong> Mengajukan KlaimMula-mula, menurut kriteria untuk pemrosesan klaim-klaim mendesak, pengajuan klaimmerupakan hak terutama bagi Pemerintah. Sebagaimana dinyatakan oleh kriteria itu, "setiappemerinah dari suatu Negara secara wajar akan mengajukan klaim orang-orang lain <strong>yang</strong> tinggaldi wilayahnya" (S/AC.26/1991/1, paragraf 19). Akan tetapi, Dewan Pengatur Dana Kompensasi"dapat meminta seorang, pejabat atau badan <strong>yang</strong> tepat untuk mengajukan klaim-klaim atasnama orang-orang <strong>yang</strong> tidak berada dalam posisi pemerintahan untuk membuat agar klaimmereka diajukan oleh Pemerintah". Pemecahan ini tampaknya tidak memuaskan dan DewanPengatur Dana Kompensasi merasakan kebutuhan untuk mengembangkan lebih lanjutpedoman-pedoman dalam hal ini. Dalam suatu keputusan <strong>yang</strong> diambil selama sidang keduanyapada tanggal 18 Oktober 1991 <strong>yang</strong> berisi pedoman lebih lanjut ini (S/AC.26/1991/5), DewanPengatur menyatakan bahwa "sejumlah perorangan <strong>yang</strong> sangat besar mungkin sekali tidakberada dalam posisi untuk membuat agar klaim-klaim mereka diajukan oleh suatu Pemerintah.Di antara perorangan ini, orang-orang Palestina merupakan kelompok <strong>yang</strong> paling besar.Tambahan pula, orang-orang tanpa kewarga-negaraan dan perorangan lain dalam posisi sama


78<strong>yang</strong> masih berada di Kuwait atau <strong>yang</strong> berada di garis perbatasan juga harus dimasukkan dalamkategori ini".Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan orang-orang itu – orang-orang <strong>yang</strong> tidak terwakilioleh Pemerintah – dan untuk memenuhi klaim-klaim mereka, Komisi Kompensasi PerserikatanBangsa-Bangsa (UNCC) menganggap bahwa seorang pribadi, pihak <strong>yang</strong> berwenang atau badan<strong>yang</strong> tepat perlu ditunjuk untuk mengajukan klaim atas nama orang-orang tersebut. Menyadariluasnya tugas <strong>yang</strong> hendak dipercayakan kepada orang, maka pihak berwenang atau badantersebut, menurut Dewan Pengatur UNCC, seyogianya minta nasihat dan kerja sama <strong>yang</strong> layakdari badan-badan internasional <strong>yang</strong> sudah mantap dan berpengalaman, seperti misalnyaUNRWA, UNHCR dan ICRC.Beberapa KomentarPengaturan <strong>yang</strong> dilakukan berkenaan dengan kompensasi kepada para korban pelanggaran beratterhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kasus penyerbuan dan pendudukan tidaksah terhadap Kuwait oleh Irak memiliki suatu dasar politik dan hukum <strong>yang</strong> kuat dalam resolusiDewan Keamanan dan sekaligus menarik manfaat dari kewenangan Dewan Keamanan.Merupakan sifat dari tugas dan mandat Dewan Keamanan bahwa pembentukan DanaKompensasi dan kriteria untuk pemrosesan klaim-klaim diatur berdasarkan kepentingan Negara.Kerangka hukum diletakkan dalam hukum <strong>yang</strong> berkaitan dengan klaim-klaim ganti rugi dipihak para subjek asing ketimbang di pihak hukum hak asasi manusia internasional modern.Namun demikian, kecenderungan dan unsur penting dapat dilihat sebagai relevan dalam kontekskeseluruhan dari studi ini. Misalnya, pernyataan <strong>yang</strong> dikemukakan oleh Dewan Pengatur UNCCbahwa untuk tujuan pemulihan di hadapan Komisi Kompensasi, gagasan "cedera pribadi <strong>yang</strong>serius" mencakup hal-hal <strong>yang</strong> men<strong>yang</strong>kut cedera fisik atau mental <strong>yang</strong> timbul dari seranganseksual, siksaan, serangan fisik berat, penahanan sandera atau pendudukan ilegal selama lebihdari tiga hari, dapat memberi petunjuk <strong>yang</strong> berguna dalam mengembangkan kriteria mengenaihak atas ganti rugi bagi para korban pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Hal <strong>yang</strong>sama berlaku juga bagi lingkup dan isi <strong>yang</strong> diberikan kepada "kesakitan mental dan kesedihan"dan kepada kerugian finansial dan non-finansial <strong>yang</strong> merupakan akibat atau <strong>yang</strong> timbul dari


79kesakitan mental dan kesedihan tersebut. Akhirnya, berdasarkan perkembangan progresif darihukum hak asasi manusia internasional dan pemberian focus standi kepada para pribadi di depanforum internasional, maka ada satu hal penting <strong>yang</strong> perlu diperhatikan. Yaitu bahwaorang-orang <strong>yang</strong> menderita kerugian boleh mengajukan klaim mereka atas nama mereka sendiridan tidak harus menyandarkan diri pada kemauan baik Pemerintah. Ini adalah suatupertimbangan a fortiori dan suatu persyaratan keadilan <strong>yang</strong> mendesak dalam kasus orang-orang<strong>yang</strong> tak mempunyai kewarganegaraan dan pribadi-pribadi lain <strong>yang</strong> tidak mempunyaiPemerintah untuk bertindak atas nama mereka. Persoalan ini telah diperlihatkan sangat jelasdalam praktek UNCC. Dan orang tidak dapat tidak setuju dengan Pelapor Khusus tentang situasihak asasi manusia di Kuwait di bawah pendudukan Irak, bahwa kompensasi harus diberikankepada para korban pelanggaran hak asasi manusia tanpa memandang kebangsaan dan statusmereka sekarang ini di Kuwait (E/CN.4/1992/26, paragraf 261).


7P e n u t u pKesimpulan, Rekomendasi, Prinsip Dasar dan PedomanSudah jelas bahwa pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar,khususnya ketika pelanggaran tersebut dilakukan dalam skala besar-besaran, pada dasarnya tidakdapat diperbaiki (irreparable). Dalam kasus semacam ini, perbaikan dan ganti rugi apa pun tidakmemiliki hubungan <strong>yang</strong> proporsional dengan cedera <strong>yang</strong> teramat dalam <strong>yang</strong> diderita oleh parakorban. Namun merupakan suatu norma imperatif keadilan bahwa tanggung jawab pelaku harusdijelaskan dan bahwa hak-hak para korban harus didukung sampai pada kemungkinan <strong>yang</strong>maksimal.Sudah jelas pula – sejak awal studi – bahwa hanya sedikit perhatian <strong>yang</strong> diberikan padamasalah-masalah remedi dan reparasi bagi para korban. Sikap tak acuh terhadap korban jugadijelaskan oleh kelompok kerja dan pelapor PBB <strong>yang</strong> berhubungan dengan pola konsistenpelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh, Pelapor Khusus tentangeksekusi ekstra-yudisial, sumir atau sewenang-wenang baru-baru ini menyatakan bahwa dalamhal kompensasi <strong>yang</strong> dijamin bagi keluarga korban, eksekusi ekstra-yudisial, sumir atausewenang-wenang hanya satu Pemerintah <strong>yang</strong> telah melapor kepadanya bahwa ganti rugi telahdilakukan terhadap keluarga korban. 1Meskipun ada standar internasional <strong>yang</strong> relevan dengan pengaruh tersebut (lihat Bab 2 bukuini), perspektif terhadap korban sering terlupakan. Tampaknya banyak penguasa memandangperspektif ini rumit, tidak menyenangkan dan memandangnya sebagai fenomena pinggiran.Oleh karena itu, hal tersebut tidak dapat terlalu ditekankan bahwa perhatian <strong>yang</strong> lebih sistematikdapat diberikan pada tingkat nasional dan internasional untuk pelaksanaan hak ganti rugi bagikorban pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Di PBB, kebutuhan ini dapat dipenuhidalam kerja standar <strong>yang</strong> tersusun, dalam studi, dalam pelaporan, dalam prosedur pembebasan1E/CN.4/1993/46, paragraf 688.


81dan ganti rugi dan dalam kegiatan praktis seperti <strong>yang</strong> telah dirancang oleh Dana Sukarela PBBuntuk <strong>Korban</strong> Penyiksaan dan Dana Modal Sukarela Terhadap Bentuk Perbudakan Kontemporer.Harus selalu diingat bahwa banyak korban dan keluarga serta teman-temannya memaksapengungkapan kebenaran sebagai pemenuhan keadilan <strong>yang</strong> pertama. Hal ini sesuai dengankutipan dari dalam sebuah buku <strong>yang</strong> diberikan oleh orang <strong>yang</strong> bekerja sebagai anggota KomisiNasional Chili untuk Kebenaran dan Konsiliasi:“Kebenaran dianggap sebagai sesuatu <strong>yang</strong> absolut, nilai <strong>yang</strong> tidak dapat ditinggalkan karena banyak alasan.Untuk mengambil tindakan reparasi dan pencegahan, harus diketahui dengan jelas apa <strong>yang</strong> harus diperbaikidan dicegah. Lebih lanjut, masyarakat tidak dapat meninggalkan begitu saja babak kehidupannya;masyarakat tidak dapat men<strong>yang</strong>kal kenyataan di masa lalunya, namun hal ini dapat diinterpretasikan secaraberbeda. Tidak dapat dihindarkan bahwa kekosongan ini diisi dengan kebohongan atau dengan versi masalalu <strong>yang</strong> saling bertentangan dan membingungkan. Keutuhan bangsa tergantung pada berbagi identitas, <strong>yang</strong>pada gilirannya sebagian besar tergantung pada kenangan bersama. Kebenaran juga akan menjadi ukurankatarsis sosial <strong>yang</strong> sehat dan membantu mencegah kejadian masa lalu terulang kembali”. 2Kadang kala ada anggapan bahwa dengan berlalunya waktu maka kebutuhan untuk reparasimenjadi daluwarsa dan oleh karena itu tidak lagi berhubungan. Seperti <strong>yang</strong> sudah dibuktikandalam studi ini, aplikasi pembatasan hukum sering kali menghapus reparasi bagi korbanpelanggaran berat terhadap hak asasi manusia <strong>yang</strong> menjadi hak mereka. Prinsip tersebut harusberlaku bahwa klaim <strong>yang</strong> berhubungan dengan ganti rugi bagi pelanggaran berat hak asasimanusia harus tunduk pada batasan undang-undang. 3 Dalam hubungan ini, harusdiperhitungkan bahwa pengaruh pelanggaran berat hak asasi manusia dihubungkan padakejahatan <strong>yang</strong> paling berat. Dan menurut pendapat hukum <strong>yang</strong> otoritatif, terhadap kejahatanseperti itu, seharusnya pembatasan undang-undang tidak diterapkan. Lebih lagi, bagi banyakkorban pelanggaran berat hak asasi manusia, berlalunya waktu tidak memiliki pengaruh <strong>yang</strong>melemahkan; sebaliknya ada peningkatan ketegangan pasca-traumatik, <strong>yang</strong> membutuhkan23José Zalaquett, “Kuliah Peringatan untuk Mathew O. Tobriner; Menyeimbangkan imperatif etika dan hambatanpolitik: Dilema demokrasi baru melawan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu”, dalam Hastings LawJournal, vol. 43 (1992), No. 6, hlm. 1425-1438 (pada paragraf 1433).Lihat juga Ellen L. Lutz, “Setelah pemilihan: kompensasi korban pelanggaran hak asasi manusia”, dalam NewDirections in Human Rights (ed. Ellen L. Lutz, Hurst Hannum, Kathryn J. Burke), University of PennsylvaniaPress, Philadelphia, 1989, hlm. 195 – 212.


82semua bantuan dan dukungan material, medis, psikologis dan sosial <strong>yang</strong> perlu selama jangkawaktu <strong>yang</strong> panjang.Kesimpulan dan RekomendasiBerdasarkan paparan di atas dan mengacu pada keseluruhan pembahasan di depan, maka di siniPelapor Khusus menyerahkan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:UmumPermintaan ganti rugi bagi korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasartelah mendapatkan perhatian <strong>yang</strong> tidak memadai dan harus diarahkan lebih konsisten dan lebihmenyeluruh baik di PBB maupun organisasi internasional <strong>yang</strong> lain, seperti juga di tingkatnasional.Persoalan reparasi harus dilihat dalam konteks keseluruhan promosi dan perlindungan hakasasi manusia dan kebebasan dasar dan mencegah serta memperbaiki pelanggaran hak asasimanusia.Dalam menangani masalah reparasi, perhatian <strong>yang</strong> cukup harus diberikan kepadapengalaman <strong>yang</strong> didapatkan berbagai negara <strong>yang</strong> telah melalui pelanggaran berat hak asasimanusia dalam jangka waktu tertentu.Persatuan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Antar-Pemerintah LainnyaTelah direkomendasikan bahwa PBB, selama Dekade Undang-Undang Internasional saat ini,memberikan perhatian utama untuk melaksanakan seperangkat prinsip dan panduan <strong>yang</strong>memberikan isi terhadap hak reparasi bagi korban pelanggaran berat hak asasi manusia. Usulanpanduan prinsip dasar <strong>yang</strong> termasuk dalam studi saat ini (lihat bab ini bagian “Prinsip Dasar danPedoman”) dapat berfungsi secara berdaya guna sebagai dasar bagi usaha semacam itu.


83Telah direkomendasikan juga bahwa, sejauh tepat, instrumen baru hak asasi manusiamencakupi ketetapan mengenai reparasi dan bahwa pertimbangan perlu diberikan untukmengubah instrumen <strong>yang</strong> ada dalam kaitan dengan kepentingan korban.Semua badan dan mekanisme <strong>yang</strong> berhubungan dengan masalah hak asasi manusia dankemanusiaan pada tingkat nasional dan internasional harus menyadari perspektif korban, danfakta bahwa korban sering kali menderita akibat-akibat berjangka panjang karena kesalahan <strong>yang</strong>membebani mereka.Badan perjanjian internasional <strong>yang</strong> memantau pengawasan dan pelaksanaan hak asasimanusia, dalam menjalankan tugasnya, harus memberikan perhatian secara sistematik dansemestinya pada persoalan reparasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia. <strong>Mereka</strong> harusmengangkat persoalan ini dalam menelaah kinerja Negara Pihak dan memasukkan masalahreparasi tersebut dalam ulasan dan rekomendasi umum mereka. Dan, sejauh dianggap tepat,perlu juga dimasukkan dalam penilaian dan pandangan mereka <strong>yang</strong> berhubungan dengan kasuskhusus ini.Kelompok kerja dan pelapor <strong>yang</strong> berhubungan dengan situasi dan praktek <strong>yang</strong> mencakuppelanggaran berat dan sistematik terhadap hak asasi manusia harus membuat rekomendasikepada Pemerintah mengenai langkah <strong>yang</strong> harus diambil sebagai upaya reparasi bagi korbanpelanggaran berat hak asasi manusia.Direkomendasikan bahwa dalam kegiatan pengembangan <strong>yang</strong> progresif dan kodifikasimengenai topik “tanggung jawab negara”, lebih banyak perhatian diberikan pada aspek-aspektanggung jawab negara. Tanggung jawab negara <strong>yang</strong> dimaksudkan tidak lain adalah kewajibannegara untuk menghormati dan menjamin hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semuaorang dalam wilayah kekuasaannya.Perundangan <strong>yang</strong> memberikan wewenang yurisdiksi universal atas mereka <strong>yang</strong> melakukanpelanggaran berat hak asasi manusia, maupun pendirian pengadilan hak asasi manusia, pidanaatau perdata, regional atau universal, harus disadari berarti bahwa hal tersebut dapat membuatmereka <strong>yang</strong> bertanggung jawab atas pelanggaran berat harus mempertanggung-jawabkanperbuatannya.Pelaku-Pelaku Lain


84Lembaga Swadaya Mayarakat (organisasi non-pemerintah), sejauh dipandang tepat, harusmendesak pengakuan dan pelaksanaan hak atas reparasi bagi korban pelanggaran hak asasimanusia, baik pada tingkat internasional maupun nasional dengan, antara lain, memaparkanpelanggaran dan membantu korban dalam memperjuangkan klaim mereka.Direkomendasikan bahwa korban itu sendiri atau – sejauh dipandang tepat – keluarga dekat,orang <strong>yang</strong> berada di bawah tanggungan korban atau orang <strong>yang</strong> bertindak atas nama korban,<strong>yang</strong> mengupayakan reparasi bagi cedera <strong>yang</strong> diderita sebagai akibat dari pelanggaran hak asasimanusia, harus memiliki akses pada prosedur sumber daya nasional dan internasional.Negara <strong>yang</strong> mencari dan memperoleh kompensasi bagi pelanggaran berat hak asasi manusia<strong>yang</strong> diderita oleh warga negaranya atau orang lain di mana negara tersebut memiliki hak untukbertindak mewakilinya harus menggunakan sumber daya ini bagi kepentingan korban. Negaratersebut seharusnya tidak meninggalkan atau menyelesaikan masalah kompensasi tanpa terlebihdahulu meminta persetujuan korban.Dalam semua hal <strong>yang</strong> tepat, pusat atau lembaga nasional atau internasional <strong>yang</strong>berkegiatan mempromosikan keadilan bagi para korban pelanggaran berat hak asasi manusiaseharusnya didirikan. Pusat atau lembaga semacam itu seyogianya menyelenggarakan danmemelihara catatan publik <strong>yang</strong> permanen tentang kebenaran. Lebih jauh, pusat dan lembagatersebut harus mengumpulkan dan menampung informasi, hukum, studi, dan bahan-bahan laintentang pengalaman bangsa <strong>yang</strong> terkait, memajukan pertukaran pengalaman dan perbandingan,menyaring pelajaran <strong>yang</strong> relevan, dan membantu membangun “gudang” pengetahuan.Prinsip Dasar dan Pedoman <strong>yang</strong> DiusulkanPelapor Khusus dengan ini menyampaikan usul-usul berikut ini mengenai reparasi kepada parakorban pelanggaran berat hak asasi manusia.Prinsip-Prinsip UmumDi bawah hukum internasional, pelanggaran terhadap setiap hak asasi manusia menimbulkansuatu hak atas reparasi bagi korban. Perhatian utama harus diberikan kepada pelanggaran berat


85hak asasi manusia dan kebebasan dasar, <strong>yang</strong> mencakup sekurang-kurangnya berikut ini:genosida; perbudakan dan kebiasaan-kebiasaan menyerupai perbudakan; eksekusi secara sumiratau sewenang-wenang; penyiksaan dan perlakuan atau hukuman <strong>yang</strong> kejam, tidak manusiawiatau merendahkan martabat; penghilangan secara paksa; penahanan sewenang-wenang danberkepanjangan; deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; dan diskriminasi sistematik,terutama <strong>yang</strong> didasarkan pada ras atau gender.Setiap Negara 4 mempunyai kewajiban untuk memberikan reparasi dalam hal terjadi suatupelanggaran terhadap kewajiban di bawah hukum internasional untuk menghormati danmemastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk kewajiban untuk mencegahpelanggaran, kewajiban untuk menyelidiki pelanggaran, kewajiban untuk mengambil tindakan<strong>yang</strong> layak terhadap para pelanggar, dan kewajiban untuk memberikan remedi kepada parakorban. Negara harus memastikan bahwa tidak ada orang <strong>yang</strong> mungkin bertanggung jawab ataspelanggaran berat terhadap hak asasi manusia akan mempunyai kekebalan dari tanggung jawabatas tindakan mereka.Reparasi untuk pelanggaran hak asasi manusia mempunyai tujuan untuk meringankanpenderitaan dan memberikan keadilan kepada para korban dengan menghilangkan ataumemperbaiki sejauh mungkin akibat-akibat dari tindakan salah dan dengan mencegah danmenangkal pelanggaran.Reparasi seharusnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan para korban. Reparasi haruslahproporsional dengan beratnya pelanggaran dan kerusakan <strong>yang</strong> ditimbulkan dan haruslahmencakup: restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan untuk tidak terulang lagi.Reparasi untuk pelanggaran berat hak asasi manusia tertentu <strong>yang</strong> menjadi kejahatan dibawah hukum internasional mencakup suatu kewajiban untuk menuntut dan menghukum parapelaku. Impunitas bertentangan dengan prinsip ini.Reparasi dapat dituntut oleh korban langsung dan – sejauh dipandang mungkin – keluargadekat, orang <strong>yang</strong> berada di bawah tanggungan korban atau orang-orang lain <strong>yang</strong> mempunyaihubungan khusus dengan korban langsung.Di samping memberikan reparasi kepada perorangan, Negara seharusnya membuat ketentuan<strong>yang</strong> memadai bagi kelompok-kelompok korban untuk mengajukan klaim kolektif dan untuk4Di mana prinsip ini mengacu kepada negara, maka juga berlaku, sebagaimana layaknya, kepada satuan-satuanhukum lain <strong>yang</strong> melaksanakan kekuasaan efektif.


86memperoleh reparasi kolektif. Tindakan khusus haruslah diambil untuk keperluan memberikankesempatan untuk pengembangan-diri dan kemajuan bagi kelompok <strong>yang</strong>, sebagai akibat daripelanggaran hak asasi manusia, telah dirampas haknya untuk memperoleh kesempatan tersebut.Bentuk-Bentuk ReparasiRestitusi haruslah diberikan untuk menegakkan kembali, sejauh mungkin, situasi <strong>yang</strong> ada bagikorban sebelum terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Restitusi mengharuskan,antara lain, pemulihan kebebasan, kewarga-negaraan atau tempat tinggal, lapangan kerja atauhak milik.Kompensasi akan diberikan untuk setiap kerusakan <strong>yang</strong> secara ekonomis dapat diperkirakannilainya, <strong>yang</strong> timbul dari pelanggaran hak asasi manusia, seperti misalnya:a. Kerusakan fisik dan mental;b. Kesakitan, penderitaan dan tekanan batin;c. Kesempatan <strong>yang</strong> hilang, termasuk pendidikan;d. Hilangnya mata pencarian dan kemampuan mencari nafkah;e. Biaya medis dan biaya rehabilitasi lain <strong>yang</strong> masuk akal;f. Kerugian terhadap hak-milik atau usaha, termasuk keuntungan <strong>yang</strong> hilang;g. Kerugian terhadap reputasi atau martabat;h. Biaya dan bayaran <strong>yang</strong> masuk akal untuk bantuan hukum atau keahlian untukmemperoleh suatu pemulihan.Rehabilitasi haruslah disediakan, <strong>yang</strong> mencakupi pelayanan hukum, psikologis, perawatanmedis, dan pelayanan atau perawatan lainnya, maupun tindakan untuk memulihkan martabat danreputasi (nama baik) sang korban.Tersedianya atau diberikannya kepuasan dan jaminan bahwa perbuatan serupa tidak akanterulang lagi di masa depan, <strong>yang</strong> mencakupi:a. Dihentikannya pelanggaran <strong>yang</strong> berkelanjutan;


87b. Verifikasi fakta-fakta dan pengungkapan kebenaran sepenuhnya dan secaraterbuka;c. Keputusan <strong>yang</strong> diumumkan demi kepentingan korban;d. Permintaan maaf, termasuk pengakuan di depan umum mengenai fakta-fakta danpenerimaan tanggung jawab;e. Diajukannya ke pengadilan orang-orang <strong>yang</strong> bertanggung jawab ataspelanggaran;f. Peringatan dan pemberian hormat kepada para korban;g. Dimasukkannya suatu catatan <strong>yang</strong> akurat mengenai pelanggaran hak asasimanusia dalam kurikulum dan bahan-bahan pendidikan;h. Mencegah berulangnya pelanggaran dengan cara seperti:(i). Memastikan pengendalian sipil <strong>yang</strong> efektif atas militer dan pasukankeamanan;(ii) Membatasi yurisdiksi mahkamah militer;(iii) Memperkuat kemandirian badan peradilan;(iv) Melindungi profesi hukum dan para pekerja hak asasi manusia;(v) Memberikan pelatihan hak asasi manusia pada semua sektor masyarakat,khususnya kepada militer dan pasukan keamanan dan kepada para pejabatpenegak hukum.Prosedur dan MekanismeSetiap Negara akan mempertahankan prosedur disiplin, administratif, sipil dan kriminal <strong>yang</strong>cepat dan efektif, dengan yurisdiksi universal untuk pelanggaran hak asasi manusia <strong>yang</strong>merupakan kejahatan menurut hukum internasional.Sistem hukum, khususnya dalam masalah-masalah perdata, administratif dan prosedural,harus disesuaikan sehingga menjamin bahwa hak atas reparasi dapat diakses dengan mudah,tidak dihambat secara tak masuk akal dan mempertimbangkan kerentanan potensial dari parakorban.


88Setiap Negara akan mengumumkan, lewat media dan mekanisme <strong>yang</strong> tepat lainnya,prosedur <strong>yang</strong> tersedia untuk memperoleh reparasi.Keadaan daluwarsa tidak berlaku bagi jangka waktu di mana selama itu tidak ada upayaperbaikan <strong>yang</strong> efektif untuk pelanggaran hak asasi manusia. Klaim-klaim <strong>yang</strong> berkaitandengan reparasi bagi pelanggaran berat hak asasi manusia sepantasnyalah untuk tidak terkenabatasan waktu.Tidak seorang pun akan dipaksa untuk melepaskan haknya yaitu hak untuk memperolehreparasi.Setiap Negara akan menyediakan semua bukti <strong>yang</strong> dipunyainya mengenai pelanggaranterhadap hak asasi manusia.Mahkamah administratif atau yudisial <strong>yang</strong> bertanggung jawab atas pemberian reparasiharus memperhitungkan bahwa catatan-catatan atau bukti nyata lainnya mungkin terbatas atautidak tersedia. Dengan tidak adanya bukti lain, reparasi seharusnya didasarkan pada kesaksianpara korban, anggota keluarga, para ahli medis dan kesehatan mental.Setiap Negara akan melindungi para korban, keluarga dan teman-teman mereka, dan parasaksi dari intimidasi dan pembalasan dendam.Keputusan <strong>yang</strong> berkaitan dengan reparasi untuk para korban pelanggaran terhadap hak asasimanusia akan dilaksanakan dengan teliti dan cepat. Demi keperluan ini, maka prosedurtindak-lanjut, seruan atau peninjauan sudah seharusnyalah dirancang.* * * * *


Erangan kesakitan di halaman-halaman buku ini tidak pernah disuarakan oleh korban <strong>yang</strong>paling menderita dan sengsara. Selama berabad-abad mereka terdiam membisu. Di mana pun hakasasi manusia telah diinjak-injak secara kejam, di sanalah kebisuan dan kepasifan merajalela,tidak meninggalkan jejak dalam sejarah; karena sejarah hanya mencatat perkataan dan perbuatanmereka <strong>yang</strong> mampu – meskipun hanya sekelumit – mengatur nasib mereka sendiri, atau palingtidak mencoba berbuat demikian. Masih sangat banyak – dan kini pun demikian – pria, wanita,dan anak-anak <strong>yang</strong> sebagai akibat kemiskinan, teror, atau kebohongan, telah dipaksa melupakanmartabat <strong>yang</strong> sebetulnya tidak dapat dipisahkan dari diri mereka, atau dibuat untuk melepaskanusaha-usaha untuk menjamin pengakuan terhadap martabat itu oleh <strong>yang</strong> lain. <strong>Mereka</strong> membisu.Kebanyakan korban <strong>yang</strong> mengeluh dan didengarkan adalah <strong>yang</strong> bernasib mujur.Buku ini merupakan laporan dari hasil studi <strong>yang</strong> dilakukan Mr. Theo van Boven, seorangpelapor khusus PBB. Buku ini hadir dengan harapan bahwa wacana hak asasi manusia semakinmenemukan bentuknya <strong>yang</strong> elegan dalam perjuangan demokratisasi di negeri ini. Konsep hakasasi manusia adalah elemen inti dari demokrasi itu sendiri. Baik konsep hak asasi manusiamaupun demokrasi sama-sama menolak setiap sikap (entah terbahasakan dalam berbagai cara)<strong>yang</strong> merendahkan harkat dan martabat manusia. Keadilan harus ditegakkan. <strong>Korban</strong> harusdipulihkan dan dihormati. Itulah pesan utama buku ini dalam praktek kehidupan kita ke depanterutama di masa transisi ini. Bagi setiap nurani <strong>yang</strong> terusik – dan juga bagi <strong>yang</strong> tumpul –tatkala menyaksikan korban berjatuhan di bawah tahta ketidakadilan, buku ini hadir menjadipemacu semangat dan penyejuk kemarahan agar tidak takabur.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!