Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
jumlah subsidi mencapai Rp. 317 triliun.<br />
Dan jika harga minyak naik lagi ke angka<br />
US$ 160 per barel, total subsidi kita menjadi<br />
Rp. 347 triliun. Bayangkan. Subsidi ini praktis<br />
mengurangi dan membatasi pengeluaran lain<br />
untuk pembangunan, misalnya pendidikan,<br />
kesehatan, infrastruktur, kesejahteraan<br />
pegawai, pemeliharaan keamanan, dan<br />
sebagainya.<br />
Bagi yang berpikirnya kapitalistik, atau<br />
neo-liberalistik, fundamentalistik pasar bebas,<br />
ya . . . kalau subsidi terlalu besar, kurangi saja.<br />
Harga BBM naikkan lagi. Habis perkara . . .<br />
Tapi untuk Indonesia tidak semudah itu<br />
ya Pak. Kenaikan harga BBM Mei yang lalu<br />
juga banyak sekali protes dan unjuk rasa.<br />
Popularitas Pak SBY-pun menurut “polling”<br />
sempat anjlok.<br />
Benar. Benar sekali. Inilah dilema yang<br />
saya hadapi. Siang-malam saya terus berpikir<br />
tentang ini. Pemerintah terus bekerja menyusun<br />
rencana dan kebijakan, dan mengantisipasi, apa<br />
yang harus kita lakukan menghadapi kenaikan<br />
harga minyak yang sangat tidak wajar.<br />
Untuk diketahui, meskipun bulan Mei yang<br />
lalu harga BBM dinaikkan rata-rata kurang<br />
dari 30%, harga BBM kita tergolong yang<br />
paling rendah. Di Asia Tenggara, yang harga<br />
BBMnya lebih rendah dari kita hanya Brunei<br />
Darussalam. Kenaikan harga BBM terpaksa<br />
kita lakukan agar APBN dan ekonomi kita<br />
secara keseluruhan tidak hancur. Kenaikan<br />
harga BBM itupun kita lakukan setelah semua<br />
cara kita tempuh terlebih dahulu, termasuk<br />
penghematan anggaran dan peningkatan<br />
penerimaan yang kesemuanya berjumlah RP.<br />
153 triliun lebih. Tapi tetap tidak bisa menjamin<br />
selamatnya APBN dan perekonomian kita ke<br />
depan, dan kalau dibiarkan bisa menimbulkan<br />
krisis baru di negeri kita. Akhirnya keputusan<br />
pahit harus saya ambil.<br />
Soal jatuhnya popularitas saya, sebagai<br />
pemimpin saya harus siap. Risiko itu harus saya<br />
ambil. Caci-maki sebagian masyarakat kita<br />
harus saya terima. Kadang-kadang kecamankecaman<br />
itu melewati batas, seolah-olah hilang<br />
sudah nilai-nilai luhur dan kesantunan kita<br />
sebagai bangsa terhormat. Tetapi; sekali lagi,<br />
saya rela menerima semuanya itu. Pemimpin<br />
harus siap berkorban, dan banyak yang bilang<br />
bahwa pemimpin itu adalah “pribadi yang<br />
dikorbankan”.<br />
Apa sesungguhnya yang mengakibatkan<br />
harga minyak terus meroket, dan krisis<br />
harga minyak ini tak kunjung reda?<br />
Faktornya banyak. Mana yang menjadi<br />
penyebab utamanyapun para ahli memiliki<br />
pengantar<br />
pandangan yang berbeda. Ada yang<br />
mengatakan, termasuk OPEC, produksi minyak<br />
dunia cukup untuk memenuhi konsumsi.<br />
Tidak ada masalah dengan “supply-demand” .<br />
Yang jadi biang keladi adalah spekulasi di<br />
pasar minyak global, faktor geo-politik karena<br />
konflik di Timur Tengah seperti yang terjadi<br />
di Irak, dan ketegangan di Iran. Melemahnya<br />
nilai dolar Amerika juga dianggap sebagai<br />
penyebab.<br />
Sementara itu, ada yang mengatakan<br />
bahwa permasalahan utama adalah permintaan<br />
(konsumsi) yang terus meningkat melebihi<br />
produksi yang dihasilkan. Contohnya negaranegara<br />
yang ekonominya tumbuh pesat seperti<br />
China dan India mengkonsumsi minyak dalam<br />
jumlah yang besar.<br />
Silang pendapat ini muncul di berbagai<br />
forum. Saya sendiri merasakan ketika<br />
menghadiri Pertemuan Puncak G-8 Diperluas<br />
di Hokkaido Jepang. Juga ketika saya bertemu<br />
dengan Presiden Lula dari Brazil dan Presiden<br />
OPEC beberapa waktu yang lalu ketika beliaubeliau<br />
itu berkunjung ke Jakarta.<br />
Kalau Pak SBY sendiri berpandangan<br />
seperti apa? Karena harganya kelewat<br />
tinggi, dan tidak pernah terjadi<br />
sebelumnya.<br />
Sejak awal saya berpendapat sebab<br />
utamanya, atau yang paling fundamental,<br />
adalah hubungan antara produksi dan<br />
konsumsi, “supply” dan “demand”. Dan, benar,<br />
ada faktor-faktor lain yang turut mendorong<br />
meroketnya harga minyak tersebut, seperti<br />
spekulasi, melemahnya nilai dolar, geo-politik<br />
dan lain-lain.<br />
Jadi, untuk mendapatkan harga yang<br />
wajar, termasuk stabilitas harga minyak jangka<br />
panjang, yang harus diperhatikan adalah<br />
kesesuaian antara produksi dan konsumsi.<br />
Penduduk dunia harus melakukan semacam<br />
revolusi, untuk mengurangi penggunaan BBM<br />
atau listrik yang berasal dari minyak bumi<br />
secara besar-besaran. Ini termasuk yang harus<br />
kita lakukan di Indonesia. Dengan demikian<br />
permintaan atau penggunaan minyak akan<br />
menurun, atau tidak terus bertambah.<br />
Setelah itu, produksi minyak disesuaikan<br />
atau disetarakan dengan kebutuhan atau<br />
konsumsi minyak yang wajar itu.<br />
Apa mungkin harga minyak kembali di<br />
bawah 60, atau 70 dolar setiap barelnya?<br />
Sulit. Kemungkinannya sangat kecil.<br />
Tetapi, pada kisaran 100 dolar setiap barelnya<br />
bisa saja terjadi.<br />
TRUBUS EDISI KHUSUS HUT KE-63 RI 13