12.07.2015 Views

Download PDF (4.8 MB) - DhammaCitta

Download PDF (4.8 MB) - DhammaCitta

Download PDF (4.8 MB) - DhammaCitta

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Orang-orang sering bertanya-tanya tentang latihan saya, bagaimana saya memersiapkan pikiran saya untuk bermeditasi.Tidak ada sesuatu yang khusus, saya hanya memertahankannya pada tempat yang selayaknya. Mereka bertanya, “Kalaudemikian, apakah Anda seorang arahat?” Apakah saya mengetahui? Saya bagaikan sebatang pohon di tengah hutan, yangpenuh dengan daun, buah, dan bunga. Burung-burung beterbangan dan datang bersarang, dan hewan-hewan berlindung diantara kerimbunannya. Walaupun demikian, pohon itu sendiri tidak mengetahuinya. Pohon itu hanya mengikuti jaluralaminya. Pohon itu bertindak sebagai pohon, apa adanya.Selama tujuh tahun berikutnya, Ajahn Chah menjalankan latihan dalam gayaTradisi Hutan yang keras, tidak mengherankan mengingat daerah di sana merupakantempat yang sesuai untuk mengembangkan meditasi. Beliau tinggal di hutan yangpenuh dengan binatang yang berbahaya seperti harimau dan kobra. Resiko kematianyang Beliau alami di sana digunakannya untuk menemukan makna sebenarnya darikehidupan. Pada suatu saat, Beliau menjalankan latihan di tanah kremasi, untukmenantang dan mengatasi ketakutannya akan kematian. Pada waktu yang lain, Beliaududuk di bawah hujan badai dan dingin, merasakan kesepian sebagai bhikkhu yangtidak memiliki tempat tinggal yang tetap.Pada tahun 1954, bertahun-tahun setelah pencarian, Beliau diajak untukkembali ke kampung halamannya. Beliau akhirnya tiba di suatu tempat yang telahlama dicarinya, yaitu hutan Pah Pong, dalam kondisi sakit-sakitan dan kekuranganmakanan. Namun pada saat itu, Ajahn Chah mendapati murid-muridnya semakinmeningkat jumlahnya. Di sanalah asal mula vihara yang kenal dengan Wat Pah Pongdidirikan, dan setelah itu vihara-vihara cabang lainnya dibangun di mana-mana.Pada 1967, Ajahn Chah menerima seorang murid dari Amerika yang kemudiandikenal sebagai Ajahn Sumedho. Pada saat itu, Ajahn Sumedho yang sedang menjalanilatihan meditasi secara intensif di sebuah vihara dekat perbatasan Laotian, menyadaribahwa dia memerlukan seorang guru yang dapat mengajarkannya segala aspekkehidupan kebhikkhuan. Kebetulan ada salah seorang murid Ajahn Chah sedangmengunjungi vihara tersebut dan menceritakan tentang keberadaan Ajahn Chahkepada Bhikkhu Sumedho. Setelah itu, Bhikkhu Sumedho pun berangkat menemuiAjahn Chah untuk berguru.Ajahn Chah dengan senang hati bersedia menerima siswa baru, tanpaperlakuan khusus meskipun Bhikkhu Sumedho adalah orang Barat. Bhikkhu Sumedhotetap diharuskan untuk menerima sedekah makanan apa adanya dan menjalani latihanyang sama dengan bhikkhu-bhikkhu lainnya di sana.Latihan di sana sungguh keras dan banyak sekali pantangan. Ajahn Chahkerapkali menekan siswa-siswanya hingga batas kemampuan mereka, untuk mengujikekuatan dan daya tahan mereka, sehingga mereka dapat mengembangkan kesabaranmereka. Beliau terkadang memberikan tugas yang panjang dan tidak pasti, hanyauntuk mengurangi kemelekatan mereka terhadap ketenangan. Tekanan yang diberikanselalu berkompromi dengan keadaan sebagaimana adanya, dan tekanan yang kerasterutama diletakkan pada kepatuhan dalam menjalankan vinaya.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!