21.06.2013 Views

PESAN PIMPINAN - DPR-RI

PESAN PIMPINAN - DPR-RI

PESAN PIMPINAN - DPR-RI

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

<strong>PESAN</strong> <strong>PIMPINAN</strong><br />

SUSUNAN REDAKSI<br />

PARLEMENTA<strong>RI</strong>A EDISI 91 TH.XLII 2012<br />

Pengawas Umum Pimpinan <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Penanggung Jawab/<br />

Ketua Pengarah Dra. Nining Indra Shaleh, M.Si<br />

Wakil Ketua Pengarah Achmad Djuned SH, M.Hum<br />

Pimpinan Pelaksana Djaka Dwi Winarko<br />

Pimpinan Redaksi Dwi Maryanto, S.Sos<br />

Wakil Pimpinan Redaksi Dadang Prayitna, S.IP.,MH<br />

Mediantoro, SE<br />

Anggota Redaksi Dra. Trihastuti<br />

Nita Juwita, S.Sos, Sugeng Irianto, S.Sos<br />

M. Ibnur Khalid, Iwan Armanias, Suciati, S.Sos<br />

Agung Sulistiono, SH<br />

Fotografer Rizka Arinindya<br />

Sirkulasi Supriyanto<br />

Alamat Redaksi/Tata Usaha<br />

Bagian Pemberitaan <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Lt. II Gedung Nusantara II <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>,<br />

Jl. Jend. Gatot Soebroto<br />

Senayan, Jakarta<br />

Telp. (021) 5715348, 5715350,<br />

Fax (021) 5715341<br />

Email : penerbitan@dpr.go.id<br />

www.dpr.go.id/berita<br />

!<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


Laporan Utama<br />

DAFTAR ISI<br />

9 | Peran Parlemen Menjadi Salah Satu<br />

Ujung Tombak<br />

“Priyo mengingatkan, pada awal reformasi<br />

<strong>DPR</strong> pernah dikritik oleh mendiang Presiden<br />

Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Saat itu Gus<br />

Dur mengatakan dengan sebutan<br />

taman kanak-kanak.<br />

Tentunya, kata Priyo, yang dimaksudkan<br />

Gus Dur saat itu bahwa <strong>DPR</strong> secara<br />

kelembagaan paska Orde Baru masih<br />

belajar berdemokrasi, membangun<br />

kelembagaan yang efektif dan akuntabel.”<br />

PROFIL<br />

46 | M. Prakosa<br />

Badan Kehormatan,<br />

lanjut Prakosa, sedang menindaklanjuti<br />

yang dilakukan<br />

oleh BURT terkait dugaan<br />

adanya indikasi pembiaran<br />

proyek. “Tidak ada yang<br />

boleh lepas tanggungjawab<br />

atau lepas tangan. Kalau<br />

indikasi pembiaran itu<br />

benar terbukti maka itu jelas<br />

pelanggaran,”tegasnya.<br />

Jika dilihat secara fungsi, paparnya, tidak ada<br />

masalah dengan anggota dewan dalam menjalankan<br />

fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Sorotan<br />

publik muncul karena hal yang diluar dari sifat kedewanan,<br />

seperti keberadaan BURT<br />

Menurut Prakosa, seharusnya tidak dibebankan<br />

kepada anggota. “Masa anggota mengurusi rumah<br />

tangga, secara fungsi itu salah. Kita itu hanya mengawasi,<br />

mengatur anggaran dan membuat undangundang,”ungkapnya.<br />

<strong>PESAN</strong> <strong>PIMPINAN</strong><br />

> Masyarakat Religius dan Supremasi Moral<br />

LAPORAN UTAMA<br />

> Peran Parlemen Menjadi Salahsatu Ujung Tombak<br />

SUMBANG SARAN<br />

> Menata Parlemen Dengan Mengubah UU MD3<br />

PENGAWASAN<br />

> BBM: Pemerintah Harus Hati-hati Mengambil Keputusan Yang Sensitif<br />

> Haji: Mencari Format Pelaksanaan Haji Yang Baik<br />

ANGGARAN<br />

> APBN Harus Miliki Ideologi Kerakyatan<br />

LEGISLASI<br />

> RUU UU Ormas<br />

> RUU Koperasi: Dorong Kemandirian Rakyat<br />

PROFIL<br />

> M. Prakosa<br />

KUNJUNGAN LAPANGAN <strong>DPR</strong><br />

> Kunjungan Kerja Komisi VI, VII, VIII, V <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Ke Berbagai Daerah di Indonesia<br />

SOROTAN<br />

> Pemiskinan Pengemplang Pajak Timbulkan Efek Jera<br />

LIPUTAN KHUSUS<br />

> Fit and Proper Test BPK<br />

SELEB<strong>RI</strong>TIS<br />

> Tiya Diran<br />

PERNIK<br />

> Taman <strong>DPR</strong><br />

Parlementaria Edisi 91 Tahun XLII 2012<br />

POJOK PARLE<br />

> “Hidup Penderitaan Rakyat”<br />

Sorotan<br />

57| Pemiskinan Pengemplang Pajak,<br />

Timbulkan Efek Jera<br />

Belum Lama ini kita<br />

kembali terhentak, dan<br />

dikagetkan muncul<br />

kembali kasus pajak<br />

seperti kasus Gayus II,<br />

yang kali ini menimpa<br />

pegawai pajak berinisial<br />

DW yang diduga<br />

memiliki Rp. 60 Miliar. Kejaksaan Agung (Kejagung)<br />

telah menetapkan DW sebagai tersangka pada 16<br />

Februari 2012, setelah ditetapkan sebagai tersangka,<br />

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor<br />

Rachmad juga mengatakan penyidik Jaksa Agung<br />

Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah mengajukan<br />

permohonan cekal terhadap DW.<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

4<br />

9<br />

22<br />

28<br />

32<br />

36<br />

38<br />

42<br />

46<br />

49<br />

57<br />

60<br />

63<br />

66<br />

70


<strong>PESAN</strong> <strong>PIMPINAN</strong><br />

Masyarakat Religius<br />

dan Supremasi Moral<br />

Peradaban atau civilization<br />

didefinisikan dalam beberapa<br />

pengertian. Beberapa ilmuwan<br />

Barat seperti Samuel Huntington,<br />

Czarnowski, Rene Sedilot dan lain-lain,<br />

mengartikan civilization sebagai nilainilai,<br />

institusi-institusi dan pola pikir,<br />

termasuk khasanah pengetahuan dan<br />

kecakapan teknis yang mencapai taraf<br />

tertentu dari kebudayaan yang menjadi<br />

bagian dari suatu masyarakat dan<br />

terwariskan dari generasi ke generasi.<br />

Dalam Islam, ada istilah yang disebut<br />

hadharah, yang artinya sekumpulan<br />

konsep tentang kehidupan yang<br />

berupa peradaban spiritual (diniyah<br />

ilahiyyah) maupun hasil berpikir manusia<br />

(wadl’iyyah basyariyyah).<br />

Banyak sekali peradaban yang<br />

tumbuh, kemudian mati, bangkit<br />

kembali, dan seterusnya, yang pernah<br />

ada di muka bumi ini. Bahkan<br />

banyak pula peradaban yang hilang<br />

lenyap dari muka bumi, meskipun<br />

dulu pernah berjaya dan gilang gemilang.<br />

Tercatat, banyak sekali bekas<br />

peradaban yang pernah berjaya, namun<br />

hilang dan hanya meninggalkan<br />

bekas, seperti Machu Picchu di Peru,<br />

Angkor Wat di Kamboja, Mesir Kuno,<br />

Petra di Yordania, dan lain-lain. Bahkan<br />

ada peradaban seperti dongeng,<br />

antara ada dan tiada.<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

Saat ini, menurut Samuel Huntington,<br />

terdapat sembilan peradaban<br />

yang masih eksis, yaitu peradaban<br />

Barat, Konfusianis, Jepang, Islam, Hindu,<br />

Slavik, Ortodoks, Amerika Latin,<br />

dan Afrika. Dari peradaban-peradaban<br />

tersebut ada tiga peradaban besar,<br />

yaitu: peradaban Barat, peradaban<br />

China dan peradaban Islam.<br />

Namun, peradaban yang tumbuh<br />

dan berkembang, sesungguhnya tidak<br />

ada yang berdiri sendiri, antarperadaban<br />

yang ada di Bumi saling<br />

berhubungan dan saling mempengaruhi.<br />

Peradaban Barat yang dianggap<br />

sedang berjaya saat ini, dipengaruhi<br />

langsung oleh peradaban Yunani-<br />

Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam.<br />

Bahkan disebutkan bahwa, Peradaban<br />

Barat itu bukanlah peradaban yang<br />

baru yang tumbuh di muka bumi,<br />

tetapi peradaban lama yang tumbuh<br />

kembali (re-birth) atas pilar-pilar peradaban<br />

Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani,<br />

dan Islam, meskipun beberapa<br />

ilmuwan Barat kadang menolak adanya<br />

pengaruh Islam dalam peradaban<br />

mereka.<br />

Peradaban Islam<br />

Begitu pula peradaban Islam, pada<br />

awal-awal kelahirannya juga dipengaruhi<br />

oleh peradaban Yunani-Romawi.<br />

Saling mempengaruhi antar-peradaban<br />

memang sangat dimungkinkan,<br />

sebab bagi ilmuwan Islam, menerima<br />

warisan intelektual dari manapun<br />

datangnya bukanlan suatu kekeliruan.<br />

Bahkan sebagaimana dibuktikan<br />

dalam sejarah, umat Islam “tidak alergi”<br />

terhadap peradaban Mesopotamia,<br />

Bizantium, Persia, Hindu maupun<br />

China. Hal ini dimungkinkan, karena<br />

Islam adalah agama yang inklusif, terbuka<br />

dan toleran terhadap pengaruh<br />

“asing” sejauh tidak bertentangan<br />

dengan prinsip tauhid (tauhid).<br />

Jika umat Islam mengalami kekalahan<br />

atau kemunduran, mereka<br />

segera ingat pada QS. Ali Imron 140<br />

yang artinya:“dan masa (kejayaan dan<br />

kehancuran) itu kami pergilirkan diantara<br />

manusia (agar mereka mendapat<br />

pelajaran)”. Ayat Qur’an yang segera<br />

menjadi kesadaran inilah yang membuat<br />

umat Islam selalu optimis bahwa<br />

peradaban Islam yang sempat<br />

berjaya dan mengalami keruntuhan,<br />

akan tumbuh kembali. Al Qur’an<br />

pun menjelaskan periode masa kenabian<br />

dengan berbagai peristiwa<br />

yang mengguncang dunia, mulai dari<br />

Nabi Adam hingga Nabi Muhammad,<br />

masing-masing memiliki sejarahnya<br />

tersendiri. Dari rentetan sejarah itu,<br />

ada sebuah pesan yang tak lekang


oleh waktu, yakni nilai ketauhidan<br />

(tauhid). Artinya, Allah SWT, memiliki<br />

peran terhadap maju-mundurnya<br />

peradaban manusia.<br />

Nilai Agama dan Supremasi Moral<br />

Jika kita memetik pelajaran dari<br />

bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban,<br />

dapat disimpulkan bahwa<br />

peradaban akan bangkit dan tetap<br />

berjaya, tatkala masyarakatnya tetap<br />

konsisten mematuhi pesan nabi dan<br />

pemimpin yang taat (pada nilai-nilai<br />

ketauhidan). Yaitu mematuhi pesan<br />

agama (religius) dan berpegang teguh<br />

nilai-nilai moral bangsanya. Namun<br />

peradaban akan cepat runtuh tatakala<br />

mereka mulai ingkar terhadap agama<br />

dan memusuhi pemimpin yang taat<br />

kepada agama dan moral bangsanya.<br />

Melihat ini, kemudian yang menjadi<br />

pertanyaan adalah, masihkah<br />

masyarakat dan bangsa kita taat terhadap<br />

nilai-nilai agama dan nilainilai<br />

moral? Masihkah para pemimpin<br />

kita bisa diteladani karena akhlak dan<br />

moralnya?<br />

Ada beberapa penyebab kehancuran<br />

peradaban bangsa, seperti<br />

kepuasan diri para ilmuwan para pemimpin,<br />

sikap hedonis dan rusaknya<br />

moral dan akhlak masyarakatnya, atau<br />

dihancurkan oleh faktor luar seperti<br />

serbuan bangsa lain atau kerusakan<br />

alam. Faktor kerusakan alam atau serbuan<br />

dari bangsa lain, tercatat pernah<br />

dialami oleh bangsa manapun. Bencana<br />

alam pernah menggilas beberapa<br />

peradaban dunia, seperti bencana<br />

gunung Vesufius di Italia, dan bahkan<br />

sampai saat inipun, beberapa peradaban<br />

masing saling curiga dan saling<br />

berperang.<br />

Dari faktor pemimpin, dalam kajian<br />

siyasah Islamiyah seorang pemimpin<br />

haruslah dapat dipercaya, berkata<br />

benar, menyampaikan kebenaran, dan<br />

memiliki kekuatan yang menunjukan<br />

kemampuan dia dalam memimpin (al<br />

qudwah). Begitu pentingnya komitmen<br />

kejujuran seorang pemimpin<br />

kepada rakyatnya, sampai-sampai<br />

agama mengharamkan surga bagi<br />

pemimpin yang mati dalam keadaan<br />

menipu rakyat. Rakyat-pun diharamkan<br />

taat kepada pemimpin yang tak<br />

bermoral yang suka membuat kezaliman.<br />

Namun sebaliknya, rakyat wajib<br />

taat kepada pemimpin yang memiliki<br />

moral yang baik sesuai ajaran agama.<br />

Pemimpin yang bermoral tentunya<br />

bekerja keras untuk kemakmuran<br />

rakyatnya, melihat dengan mata rakyat,<br />

berbicara dengan bahasa rakyat,<br />

dan menangis ketika melihat rakyatnya<br />

dihimpit kemiskinan.<br />

Dari faktor masyarakatnya, dijelaskan<br />

oleh ilmuwan Muslim Ibn Khal-<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


<strong>PESAN</strong> <strong>PIMPINAN</strong><br />

dun, bahwa yang merusak peradaban<br />

diantaranya adalah tenggelamnya<br />

masyarakat dalam kemewahan dan<br />

memperturutkan hawa nafsunya sehingga<br />

terjerumus dalam kehancuran.<br />

Ibn Khaldun juga menjelaskan bahwa<br />

tujuan pembangunan adalah terbentuknya<br />

peradaban dan kemegahan.<br />

Apabila tujuannya telah tercapai, maka<br />

secara perlahan akan berbalik menuju<br />

kehancuran dan mulai memasuki usia<br />

senja, seperti layaknya terjadi pada<br />

daur kehidupan. Peradaban adalah<br />

tujuan pembangunan dan sekaligus<br />

merupakan penyebab kehancurannya.<br />

Lebih lanjut, berpendapat, moralitas<br />

yang dihasilkan oleh peradaban<br />

dan kemegahan adalah sebuah<br />

kerusakan. Maka apabila manusia<br />

telah rusak moral dan agamanya,<br />

maka rusak pulalah kemanusiaannya<br />

dan jati dirinya. Sebab manusia dianggap<br />

sebagai manusia karena bergantung<br />

pada sejauhmana dia mampu<br />

mengambil manfaat dan menghindari<br />

bahaya secara konsisten. Namun<br />

karena keterbatasannya, manusia tidak<br />

mampu menjaga sikap konsistennya.<br />

Baik disebabkan oleh ketidakberdayaannya<br />

mensyukuri kesejahteraan,<br />

maupun karena merasa ujub dengan<br />

kemegahan yang diperolehnya.<br />

Korupsi Anti-Peradaban<br />

Seorang bangsawan Inggris<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

Abadke-19 Lord Acton mengatakan:<br />

“power tends to corrupt; absolute<br />

power tends to corrupt absolutely”.<br />

Kekuasaan memiliki korelasi positif<br />

dengan perilaku korupsi. Korupsi biasanya<br />

dilakukan oleh orang yang memiliki<br />

kuasa, sedangkan cara berkuasa<br />

bisa dilakukan dalam sistem politik<br />

apapun. Dengan kata lain, perilaku<br />

korup sering dilakukan oleh para pemimpin,<br />

dan perilaku ini, juga bisa<br />

berlangsung dalam peradaban manapun.<br />

Korupsi telah menjadi penyakit<br />

bagi setiap peradaban dan menjadi<br />

kejahatan kemanusiaan.<br />

Ironisnya, tema korupsi, saat<br />

ini masih menjadi tema yang terus<br />

mengemuka dalam kehidupan bangsa<br />

kita. Bukan hanya terhadap masyarakatnya,<br />

para pemimpin bangsa<br />

ini, kerap diberitakan terlibat dalam<br />

berbagai kasus korupsi yang akut.<br />

Maraknya perilaku korup yang melanda<br />

bangsa ini, dikhawatirkan akibat<br />

pendidikan dan pola pembangunan<br />

masa lalu yang keliru, yang tidak<br />

dilakukan secara menyeluruh tetapi<br />

hanya dititikberatkan pada pembangunan<br />

empirik yang hanya mengacu<br />

pada tujuan-tujuan hedonis semata.<br />

Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa<br />

pembangunan sebuah peradaban<br />

yang berkesinambungan, seharusnya<br />

tidak meninggalkan aspek-aspek spiritual<br />

dan moral bangsa. Sebab makna<br />

membangun peradaban mencakup<br />

makna umur dan kemakmuran sebagai<br />

objek tujuan. Artinya, setiap jiwa<br />

yang diberi umur harus memba<br />

ngun. Sebab kerja-kerja pembangunan<br />

adalah ibadah yang wajib dilakukan<br />

manusia selaku pemimpin (khalifah)<br />

di muka bumi demi tercapainya<br />

kemakmuran dunia akherat.<br />

Sementara, perilaku korupsi adalah<br />

perilaku yang bertolak belakang dengan<br />

upaya membangun peradaban.<br />

Kejahatan korupsi ini adalah perilaku<br />

yang jauh meninggalkan aspek-aspek<br />

spiritual dan moral sehingga jauh dari<br />

upaya membangun sebuah peradaban<br />

yang kuat. Dalam catatan sejarah<br />

pula, disimpulkan bahwa sebuah peradaban<br />

bangsa akan cepat runtuh,<br />

tatkala korupsi telah menjadi penyakit<br />

dan menggerogoti masyarakatnya.<br />

Dengan bangkit dan runtuhnya<br />

sebuah peradaban akibat adanya korupsi,<br />

sesungguhnya kita telah diperingatkan<br />

agar membangun sebuah<br />

peradaban yang benar-benar beradab,<br />

baik kepada Tuhan, kepada sesama,<br />

maupun kepada alam sekitar kita.<br />

Membangun peradaban ini, dapat<br />

dilihat jelas melalui konsep madinah<br />

atau civil society, dimana berkumpulnya<br />

sebuah komunitas yang bersamasama<br />

membangun peradaban yang<br />

didasari supremasi moral dan ruh keagamaan.<br />

Wallahu’alam Bissawab.*


PROLOG<br />

Mencari Format<br />

Ideal Perubahan<br />

UU MD3<br />

Baru-baru ini, Badan Legislasi<br />

(Baleg) <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> menyelenggarakan<br />

Workshop dan Fokus Group<br />

Discussion dengan tema : “Menata<br />

Parlemen Yang Demokratis, Efektif,<br />

dan Akuntabel”.<br />

Workshop ini diselenggarakan<br />

dengan tujuan untuk mencari masukan<br />

dalam rangka perubahan UU<br />

tentang MPR, <strong>DPR</strong>, DPD dan <strong>DPR</strong>D<br />

(MD3). Masukan-masukan tersebut<br />

akan disusun dalam bentuk proceding<br />

yang diharapkan dapat dijadikan<br />

pijakan dalam perubahan undangundang<br />

tersebut.<br />

Peserta workshop terdiri dari berbagai<br />

Lembaga/Instansi, yaitu Pimpinan<br />

MPR, Pimpinan DPD, Pimpinan<br />

alat kelengkapan <strong>DPR</strong>, Pimpinan alat<br />

kelengkapan DPD, Pimpinan Fraksi,,<br />

Anggota Badan Legislasi, Ketua Asosiasi<br />

<strong>DPR</strong>D Provinsi, Ketua Asosiasi<br />

<strong>DPR</strong>D Kabupaten/Kota, Akademisi<br />

dari Universitas Negeri/Swasta, dan<br />

LSM pemerhati parlemen.<br />

Pembicara dalam kegiatan ini<br />

Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Sae-<br />

fuddin, Wakil Ketua DPD Laode Ida,<br />

Asep Warlan Yusuf, mantan Pimpinan<br />

Baleg Ferry Mursyidan Baldan, Guru<br />

Besar Hukum Tata Negara dan Direktur<br />

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)<br />

Fakultas Hukum Universitas Andalas<br />

Padang Saldi Isra dan mantan Pimpinan<br />

Baleg lainnya Pataniari Siahaan.<br />

Ketua Badan Legislasi <strong>DPR</strong> Ignatius<br />

Mulyono dalam kesempatan tersebut<br />

mengatakan, keberadaan UU tentang<br />

MD3 yang dimaksudkan untuk menata<br />

sistem keparlemenan dalam satu<br />

undang-undang, banyak mendapat<br />

kritik dari berbagai kalangan, baik<br />

yang berkaitan dengan teknis pembentukan<br />

undang-undang maupun<br />

dari substansi yang dimuatnya.<br />

Terkait dengan teknis pembentukan<br />

undang-undang, penempatan 4<br />

(empat) lembaga dalam satu undangundang<br />

kiranya perlu dilakukan revisi<br />

dengan mengacu pada perintah konstitusi.<br />

Sebagaimana diketahui, dalam<br />

UUD 1945 mengenai MPR, <strong>DPR</strong> dan<br />

DPD disebutkan pengaturan lebih<br />

lanjut mengenai lembaga-lembaga<br />

tersebut diatur “dengan” undangundang.<br />

Sedangkan pengaturan lebih<br />

lanjut mengenai <strong>DPR</strong>D disebutkan<br />

diatur “dalam” undang-undang.<br />

Dari sisi teknis perundang-undangan,<br />

penggunaan kata “dengan” dan<br />

kata “dalam” memiliki makna tersendiri.<br />

Kata “dengan” diartikan dengan<br />

undang-undang tersendiri, sedangkan<br />

kata “dalam” diartikan tidak harus<br />

diatur dengan undang-undang<br />

tersendiri.<br />

Kemudian dari sisi materi muatan<br />

yang diatur dalam UU tentang MPR,<br />

<strong>DPR</strong>, DPD dan <strong>DPR</strong>D juga mengandung<br />

beberapa masalah. Diantara<br />

masalah-masalah tersebut adalah,<br />

materi muatan UU tentang MD3 banyak<br />

mengatur hal-hal yang bersifat<br />

teknis, yang semestinya menjadi materi<br />

muatan peraturan di masingmasing<br />

lembaga.<br />

Sebagai contoh, penetapan jumlah<br />

komisi yang dilakukan pada<br />

awal masa keanggotaan dewan dan<br />

permulaan tahun sidang dalam UU<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


LAPORAN PROLOG UTAMA<br />

tentang MD3 mengikat dewan dan<br />

permulaan tahun sidang dalam UU<br />

tentang MD3 mengikat dewan untuk<br />

melakukan perubahan jumlah komisi<br />

sesuai dengan dinamika dan kebutuhan<br />

komisi, beban kerja serta jumlah<br />

mitra kerja yang harus diawasi.<br />

Selain itu, penataan hubungan<br />

<strong>DPR</strong> dan DPD dalam konteks pembentukan<br />

undang-undang. Dalam konstitusi<br />

disebutkan bahwa DPD memiliki<br />

kewenangan untuk ikut membahas<br />

RUU terkait kewenangannya.<br />

Frasa “ikut membahas” dalam<br />

konstitusi belum secara jelas digambarkan<br />

dan dijelaskan oleh penyusun<br />

perubahan konstitusi, sehingga dalam<br />

beberapa undang-undang yang didalamnya<br />

mengatur mengenai pembentukan<br />

undang-undang terdapat<br />

penafsiran yang berbeda atas frasa<br />

“ikut membahas”.<br />

Permasalahan lainnya adalah<br />

ketidakjelasan dan ketidaktegasan<br />

kedudukan <strong>DPR</strong>D sebagai lembaga<br />

perwakilan rakyat di daerah. Di satu<br />

pihak anggota <strong>DPR</strong>D merupakan<br />

wakil rakyat yang dipilih secara langsung<br />

dalam pemilihan umum, di lain<br />

pihak <strong>DPR</strong>D merupakan bagian dari<br />

pemerintahan daerah yang pada prak-<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

teknya mempunyai kedudukan yang<br />

tidak sejajar dengan kepala daerah.<br />

Konsekuensi <strong>DPR</strong>D yang diposisikan<br />

sebagai bagian dari pemerintahan<br />

daerah, maka pengaturan tentang<br />

<strong>DPR</strong>D semestinya dimuat dalam<br />

undang-undang yang mengatur tentang<br />

pemerintahan daerah.<br />

Sistem Pendukung <strong>DPR</strong>, DPD dan<br />

<strong>DPR</strong>D dalam UU tentang MD3 juga<br />

tidak diatur secara jelas, terutama<br />

pengaturan mengenai badan fungsional/keahlian<br />

dan kelompok pakar/<br />

tim ahli.<br />

Wakil Ketua <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Priyo Budi<br />

Santoso dalam sambutan pembukaan<br />

mengatakan, untuk membangun parlemen<br />

yang demokratis, efektif dan<br />

akuntabel harus disempurnakan dahulu<br />

sistem parlemen bikameral yang<br />

Workshop dan Fokus Group Discussion “Menata Parlemen Yang Demokratis, Efektif, dan<br />

Akuntabel” yang diadakan oleh Badan Legislasi <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> di KK 2 Gedung Nusantara<br />

kita pilih.<br />

Parlemen yang kuat itu adalah<br />

parlemen yang bergerak berbasis nilai<br />

dan ideologi. Hal ini bisa terjadi bila<br />

agresi anggota parlemen didesain<br />

secara efektif. Untuk itu menurutnya,<br />

penyederhanaan partai politik sangat<br />

perlu dilakukan.<br />

Mantan Pimpinan Baleg Ferry<br />

Mursyidan Baldan mengatakan, untuk<br />

mengoptimalisasi pelaksanaan fungsi<br />

Dewan, disain idealnya adalah memulai<br />

dengan adanya alat kelengkapan<br />

yang setara terhadap fungsi-fungsi<br />

pokok Dewan, artinya Komisi, Badan<br />

Anggaran dan Badan Legislasi memiliki<br />

kedudukan yang sama.<br />

Ferry juga berpendapat, setiap<br />

anggota Komisi, Badan Anggaran dan<br />

Badan Legislasi tidak dirangkap satu<br />

sama lainnya.<br />

Wakil Ketua Dewan Perwakilan<br />

Daerah (DPD) <strong>RI</strong> Laode Ida menyampaikan,<br />

mengingat keterbatasan fungsi<br />

dan kewenangan DPD, maka dia<br />

berharap dilakukan perubahan-perubahan<br />

yaitu posisi DPD harus lebih<br />

diperkuat sehingga dalam menjalankan<br />

fungsinya dapat maksimal, bukan<br />

hanya sebagai lembaga “pelengkap”<br />

dari lembaga legislatif yang hanya<br />

memberi pertimbangan, usulan kepada<br />

<strong>DPR</strong>. Demikian juga dalam berhadapan<br />

dengan lembaga Negara lainnya<br />

yang menjadi mitra kerja DPD.<br />

Untuk itu, agar secara mendasar<br />

kembali ke akarnya hanya dapat dilakukan<br />

dengan mengamandemen<br />

pasal-pasal dalam UUD 1945 yang<br />

mengatur tentang DPD.<br />

Sementara Guru Besar Hukum<br />

Tata Negara dan Direktur Pusat Studi<br />

Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum<br />

Universitas Andalas Padang, Saldi<br />

Isra menyoroti tidak adanya kejelasan<br />

<strong>DPR</strong>D dalam fungsi legislasi<br />

Berdasarkan Undang-Undang<br />

tentang MPR, <strong>DPR</strong>, DPD dan <strong>DPR</strong>D<br />

(MD3), <strong>DPR</strong>D memiliki fungsi legislasi.<br />

Namun sering terjadi ketidakjelasan<br />

dan ketidaktegasan sebagai pemegang<br />

kekuasaan membuat peraturan<br />

daerah.<br />

Selain itu, posisi <strong>DPR</strong>D sebagai pemegang<br />

kekuasaan legislatif di daerah<br />

masih menjadi perdebatan.<br />

Pimpinan MPR, <strong>DPR</strong>, DPD, mantan<br />

Pimpinan Badan Legislasi dan Guru<br />

Besar Hukum Tata Negara Universitas<br />

Andalas mengupas dengan jelas<br />

bagaimana Menata Parlemen Yang<br />

Demokratis, Efektif, dan Akuntabel<br />

melalui perubahan Undang-Undang<br />

MD3. (tt.iky)<br />

***


LAPORAN UTAMA<br />

Peran Parlemen Menjadi<br />

Salah Satu Ujung Tombak<br />

Saat membuka Workshop yang diselenggarakan Badan Legislasi (Baleg)<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>, Wakil Ketua <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> H. Priyo Budi Santoso menyampaikan, demokrasi<br />

Indonesia saat ini merupakan hasil dari perjuangan panjang seluruh<br />

elemen masyarakat. Keterbukaan, kebebasan berpendapat, menguatnya<br />

hak-hak asasi manusia (HAM) dan lain sebagainya merupakan<br />

wujud dari demokrasi yang kita jalani.<br />

Parlemen sebagai salah satu pilar<br />

lembaga negara selain eksekutif<br />

dan yudikatif, dahulu hanya<br />

menjadi “stempel” kebijakan pemerintah/eksekutif,<br />

dan kini memainkan<br />

peran kontrol/pengawasan yang kritis<br />

dan lebih maju.<br />

Namun kendati demikian, kata<br />

Priyo, kita masih berada dalam dua<br />

pusaran kekuatan. Pada satu sisi ingin<br />

eksekutif berdiri kuat, tapi pada sisi<br />

lain tidak boleh melemahkan peran<br />

legislatif/parlemen. Ini sama dengan<br />

dilema yang ingin memperkuat negara,<br />

tapi sisi berbeda people power<br />

(kekuatan rakyat) harus berdiri tegak<br />

di atas segalanya.<br />

Oleh karena itu, kata Priyo, perlu<br />

eksekutif yang kuat sebagai bentuk<br />

komitmen presidensial sebagai pelaksana<br />

roda pemerintahan negara. Tapi,<br />

harus diimbangi dengan parlemen<br />

yang juga kuat sebagai representasi<br />

suara rakyat, vox populi vox dei; suara<br />

rakyat suara Tuhan.<br />

Disinilah dibutuhkan parlemen<br />

yang efektif, demokratis, dan akuntabel<br />

sebagaimana tema yang diusung<br />

pada acara Workshop. Parlemen<br />

merupakan pengawal demokrasi, jika<br />

parlemennya lumpuh, maka demokrasi<br />

pun tidak dapat berjalan dengan<br />

baik, begitu juga sebaliknya.<br />

Priyo menambahkan, pasca reformasi<br />

parlemen secara kelembagaan<br />

menjadi tumpuan demokrasi sehingga<br />

tidak heran jika acapkali menjadi<br />

pusat perhatian. Perubahan demi pe-<br />

“Priyo mengingatkan, pada awal<br />

reformasi <strong>DPR</strong> pernah dikritik oleh<br />

mendiang Presiden Abdurrahman<br />

Wahid (Gus Dur). Saat itu Gus Dur<br />

mengatakan dengan sebutan<br />

taman kanak-kanak.<br />

Tentunya, kata Priyo, yang<br />

dimaksudkan Gus Dur saat itu bahwa<br />

<strong>DPR</strong> secara kelembagaan paska Orde<br />

Baru masih belajar berdemokrasi,<br />

membangun kelembagaan yang<br />

efektif dan akuntabel.”<br />

Wakil Ketua <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Priyo Budi Santoso memberikan sambutan pada acara workshop<br />

yang diadakan oleh Baleg <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


LAPORAN UTAMA<br />

Wakil Ketua <strong>DPR</strong> Priyo Budi Santoso (kiri) disela-sela acara Workshop dan Fokus Group Discussion<br />

rubahan harus terus dilakukan untuk<br />

membangun kelembagaan parlemen<br />

yang kuat.<br />

Priyo mengingatkan, pada awal<br />

reformasi <strong>DPR</strong> pernah dikritik oleh<br />

mendiang Presiden Abdurrahman<br />

Wahid (Gus Dur). Saat itu Gus Dur<br />

mengatakan dengan sebutan taman<br />

kanak-kanak.<br />

Tentunya, kata Priyo, yang dimaksudkan<br />

Gus Dur saat itu bahwa <strong>DPR</strong><br />

secara kelembagaan paska Orde Baru<br />

masih belajar berdemokrasi, membangun<br />

kelembagaan yang efektif<br />

dan akuntabel.<br />

Namun <strong>DPR</strong> kini menurut Priyo<br />

jauh lebih baik dari masa-masa sebelumnya.<br />

Kendati pun masih ada lubang<br />

sistem yang perlu ditambal dan<br />

dibenahi.<br />

Lebih jauh Priyo menyampaikan,<br />

di medan jalan demokrasi Indonesia<br />

yang masih terjal ini, peran parlemen/<br />

legislatif menjadi salah satu ujung<br />

tombaknya. Menurutnya, ruang yang<br />

dapat dimainkan oleh legislatif adalah<br />

dengan cara membangun check and<br />

balances terhadap pemerintah dengan<br />

baik.<br />

Check and balances ini sangat diperlukan<br />

karena dia melihat sepanjang<br />

perjalanan demokrasi paska reformasi,<br />

masih ada euphoria negatif,<br />

sekalipun perlahan mulai mereda seiring<br />

dengan tumbuhnya kedewasaan<br />

demokrasi kita.<br />

10 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

Euforia yang Priyo maksud adalah<br />

selebrasi “kekuasaan” para pemegang<br />

kekuasaan, baik di pusat atau di daerah<br />

sehingga banyak yang keteteran<br />

dalam menjalankan pemerintahan<br />

dengan baik.<br />

Karenanya, diperlukan daya kontrol<br />

yang kuat dari parlemen terhadap<br />

eksekutif. Hal ini melihat besarnya<br />

kekuasaan, khususnya di daerah<br />

dalam mengelola kekayaannya tidak<br />

berbanding lurus dengan kesiapan<br />

perangkat sistem yang kuat yang kita<br />

miliki. Inilah yang kemudian menyebabkan<br />

eksekutif acapkali melakukan<br />

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of<br />

power).<br />

Priyo menambahkan, berdasarkan<br />

amandemen UUD 1945, sistem yang<br />

kita pilih adalah sistem parlemen bikameral<br />

(dua kamar) dengan adanya<br />

<strong>DPR</strong> dan DPD. Ke dua lembaga inilah<br />

yang akan menjalankan peran keparlemenannya,<br />

sekalipun wewenang<br />

dan tugas ke dua lembaga tersebut<br />

tidak setara.<br />

Sistem bikameral ini sampai sekarang<br />

diakui masih menjadi perdebatan<br />

dan banyak kurang. Priyo<br />

berpendapat, untuk membangun parlemen<br />

yang demokratis, efektif dan<br />

akuntabel harus disempurnakan dahulu<br />

sistem parlemen bikameral yang<br />

kita pilih ini.<br />

Parlemen yang kuat itu adalah<br />

parlemen yang bergerak berbasis nilai<br />

dan ideologi. Hal ini bisa terjadi bila<br />

agresi anggota parlemen didesain<br />

secara efektif. Untuk itu menurutnya,<br />

penyederhanaan partai politik sangat<br />

perlu dilakukan.<br />

Pernyataan ini karena kita membutuhkan<br />

konsolidasi yang cepat dan<br />

kuat di parlemen. Sebuah konsolidasi<br />

yang berbasis pada nilai/ideologi, bukan<br />

pada prinsip politik transaksional.<br />

Dengan demikian, fraksi-fraksi politik<br />

pun harus diminimalisir.<br />

Karena itu, Priyo sangat mendukung<br />

jika Parlemen Treshold (PT) pada<br />

Pemilu 2014 dinaikkan dari 2,5% menjadi<br />

5% agar parlemen dapat terbangun<br />

secara efektif dan efisien. (tt,iky)<br />

***<br />

Suasana Workshop dan Fokus Group Discussion


Tugas MPR Sosialisasikan<br />

Empat Pilar Kebangsaan<br />

Wakil Ketua MPR <strong>RI</strong> Lukman Hakim Saifudddin<br />

“Jika MPR melaksanakan tugas itu dengan<br />

lurus sehingga bersih dari korupsi, suap,<br />

dan sejenisnya, maka MPR juga sudah dapat<br />

dikatakan melaksanakan tugas secara<br />

akuntabel,” papar Lukman.<br />

Lukman Hakim Saifuddin Wakil<br />

Ketua MPR <strong>RI</strong> periode 2009 -<br />

2014 dalam memberikan masukan<br />

terkait dengan revisi UU tentang<br />

MPR, <strong>DPR</strong>, DPD dan <strong>DPR</strong>D memfokuskan<br />

pada tema “Efektivitas dan<br />

Akuntabilitas Pelaksanaan Tugas MPR<br />

<strong>RI</strong>”.<br />

Dalam konteks ketatanegaraan<br />

MPR ada beberapa tugas dan wewenang<br />

MPR <strong>RI</strong> menurut UUD 1945<br />

dan UU No. 27 Tahun 2009 tentang<br />

MPR, <strong>DPR</strong>, DPD, dan <strong>DPR</strong>D.<br />

Tugas dan kewenangan itu diantaranya,<br />

mengubah dan menetapkan<br />

UUD 1945, melantik Presiden dan/<br />

atau Wapres hasil Pemilu, memutuskan<br />

usul <strong>DPR</strong> untuk memberhentikan<br />

Presiden dan/atau Wapres dalam<br />

masa jabatannya, setelah MK memutuskan<br />

bahwa Presiden/Wapres terbukti<br />

melakukan pelanggaran hukum,<br />

melakukan perbuatan tercela dan/<br />

atau terbukti Presiden/ Wapres tidak<br />

memenuhi syarat lagi.<br />

Tugas lain secara ketatanegaraan,<br />

melantik Wapres menjadi Presiden<br />

apabila Presiden berhenti, diberhentikan,<br />

atau tidak melakukan kewajibannya<br />

dalam masa jabatannya. Memilih<br />

Wapres dari dua calon yang diusulkan<br />

Presiden apabila terjadi kekosongan<br />

jabatan Wapres dalam masa jabatannya.<br />

Dan, memilih Presiden dan Wapres<br />

apabila keduanya mangkat, berhenti,<br />

diberhentikan, atau tidak dapat<br />

melakukan kewajibannya dalam masa<br />

jabatannya secara bersamaan.<br />

Menurut Lukman, tugas dan kewenangan<br />

MPR itu bersifat sekali<br />

dan selesai. Artinya, jika MPR sudah<br />

melaksanakan tugas dan kewenangan<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 11


LAPORAN UTAMA<br />

Wakil Ketua MPR <strong>RI</strong> Lukman Hakim Saifudddin<br />

itu dengan lancar, MPR sudah dapat<br />

dikatakan telah melaksanakan tugas<br />

dan kewenangannya secara efektif,<br />

jelasnya.<br />

“Jika MPR melaksanakan tugas itu<br />

dengan lurus sehingga bersih dari korupsi,<br />

suap, dan sejenisnya, maka MPR<br />

juga sudah dapat dikatakan melaksanakan<br />

tugas secara akuntabel,”<br />

papar Lukman.<br />

Jadi, tandas Lukman, efektivitas<br />

dan akuntabilitas MPR dalam melaksanakan<br />

tugas dan wewenangnya<br />

adalah sejauhmana lembaga MPR<br />

mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya<br />

sesuai dengan prosedur<br />

ketatanegaraan yang telah ditetapkan<br />

secara bersih, jujur dan penuh amanah.<br />

Agar negara tetap tertata rapi<br />

sesuai dengan aturan ketatanegaraan<br />

yang telah disepakati bersama.<br />

Menurut Lukman, MPR tidak<br />

mengalami kesulitan berarti untuk<br />

melaksanakan tugas dan wewenangnya<br />

secara efektif dan akuntabel.<br />

Karena, terangnya, ketentuan tentang<br />

pelaksanaan tugas dan wewenang<br />

MPR sudah diatur dengan jelas dalam<br />

peraturan perundang-undangan yang<br />

berlaku.<br />

Namun demikian Lukman tidak<br />

menapik kemungkin lain bisa saja<br />

1 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

terjadi. Misalnya, MPR tetap memutuskan<br />

pemberhentian Presiden atau<br />

sebaliknya setelah memenuhi persyaratan<br />

segala macam peraturan terkait,<br />

namun mayoritas rakyat di luar<br />

gedung MPR secara masif tidak mau<br />

menerima keputusan itu.<br />

Apakah jika hal itu terjadi MPR<br />

dapat dianggap tidak melaksanakan<br />

tugas dan wewenangnya secara efektif<br />

dan akuntabel? Pertanyaan itu dijawab<br />

tegas Lukman, tentu saja tidak.<br />

Sebab, MPR sudah melaksanakan<br />

tugas dan wewenangnya meskipun<br />

keputusan itu tidak sesuai dengan<br />

mayoritas rakyat.<br />

Tugas MPR<br />

di Luar Ketatanegaraan<br />

Lebih jauh Lukman memaparkan, di<br />

luar tugas ketatanegaraan, MPR juga<br />

mempunyai tugas kebangsaan sesuai<br />

amanat UU No. 27 Tahun 2009 pasal<br />

15 ayat (1) huruf e yang menugaskan<br />

anggota MPR, baik <strong>DPR</strong> dan DPD untuk<br />

melakukan sosialisasi UUD 1945<br />

kepada seluruh lapisan masyarakat di<br />

Wakil Ketua MPR <strong>RI</strong> Lukman Hakim Saifudddin<br />

seluruh Indonesia di bawah koordinasi<br />

pimpinan MPR.<br />

MPR periode 2009 - 2014 menterjemahkan<br />

amanat itu dengan sosialisasi<br />

Empat Pilar Kebangsaan, yaitu


Pancasila, UUD 1945, NK<strong>RI</strong>, dan Bhinneka<br />

Tunggal Ika.<br />

Menurut Lukman, untuk mengukur<br />

akuntabilitasnya relatif mudah.<br />

Dengan melihat anggota MPR sudah<br />

menggunakan anggaran sosialisasi<br />

Empat Pilar Kebangsaan dengan<br />

benar, tepat sasaran, dan sesuai dengan<br />

ketentuan yang berlaku.<br />

Namun, lanjutnya, untuk menilai<br />

efektivitasnya akan menghadapi kerumitan,<br />

karena berkaitan dengan pertanyaan<br />

apakah sosialisasi Empat Pilar<br />

Kebangsaan itu merasuk ke kalbu<br />

dan alam pikiran peserta sosialisasi,<br />

sehingga Empat Pilar Kebangsaan itu<br />

terpatri di alam sadar dan alam bawah<br />

sadar peserta, tandasnya.<br />

Tetapi, sebuah hasil studi yang dilakukan<br />

oleh tiga lembaga, antara lain<br />

LPPM Universitas Airlangga Surabaya,<br />

CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,<br />

dan Setara Institute yang dipublikasikan<br />

akhir Desember 2011 dapat<br />

memberikan jawaban dan gambaran<br />

tentang efektivitas dari sosialisasi Empat<br />

Pilar Kebangsaan yang dilakukan<br />

oleh MPR itu. Hasil studi tersebut<br />

menunjukkan sebanyak 96% peserta<br />

sosialisasi mengakui manfaat dari<br />

program itu<br />

Menurut survey terhadap partisi-<br />

pan program sosialisasi Empat Pilar<br />

Kebangsaan menunjukkan, adanya<br />

keinginan secara sukarela untuk turut<br />

melakukan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan<br />

di lingkungan terdekatnya.<br />

Inisiatif untuk melakukan apa yang<br />

telah mereka peroleh selama mengikuti<br />

program sosialisasi kepada lingkungan<br />

terdekatnya tampak sangat<br />

kuat diekspresikan oleh sebesar dari<br />

mereka, yaitu mencapai 91,1%.<br />

Dengan fakta itu sosialisasi Empat<br />

Pilar Kebangsaan tidak saja telah<br />

dapat meningkatkan pengetahuan<br />

dan apresiasi terhadap nilai-nilai<br />

Pancasila, UUD negara <strong>RI</strong>, NK<strong>RI</strong>, dan<br />

Bhineka Tunggal Ika tetapi juga telah<br />

mendorong minat masyarakat untuk<br />

menularkan kepada lingkungan terdekat<br />

mereka.<br />

Dengan demikian, lanjut Lukman,<br />

program sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan<br />

dapat dikatakan berhasil<br />

memberikan dampak positif bagi kelompok<br />

sasaran. “Para peserta program<br />

sosialisasi yang tersebar di 33<br />

provinsi itu telah menyatakan kesanggupan<br />

untuk menjadi agen sosialisasi<br />

empat pilar kehidupan berbangsa dan<br />

bernegara, setidaknya untuk lingkungan<br />

terdekat mereka,” katanya.<br />

Pembicara dalam acara Workshop yang diadakan oleh Baleg <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Rekomendasi<br />

Teruskan Program<br />

Wakil Ketua MPR <strong>RI</strong> Lukman Hakim<br />

Saifuddin diakhir permaparan<br />

menyarankan, berdasarkan hasil studi<br />

itu merekomendasikan supaya program<br />

Empat Pilar Kebangsaan terus<br />

dilanjutkan serta dilakukan pengembangan<br />

dari segi teknis pelaksanaan<br />

program.<br />

Lukman memandang perlu adanya<br />

penyelenggaraan forum pelaksana<br />

tugas lembaga-lembaga negara<br />

sebagai bentuk laporan perkembangan<br />

(progress report) atas pelaksanaan<br />

fungsi, tugas dan wewenang<br />

lembaga Negara.<br />

Disamping itu, Lukman juga mengingatkan,<br />

pentingnya penentuan<br />

arah pembangunan nasional secara<br />

berkelanjutan, dan sekaligus merupakan<br />

pencerminan dari konsensus<br />

nasional yang secara sistematis tersaring<br />

dan terserap dalam satu wadah<br />

formal, serta memiliki kekuatan legitimasi.<br />

“Karena itu sudah seyogyanya<br />

diperlukan lembaga yang paling sesuai<br />

untuk merumuskan arah pembangunan<br />

nasional, baik jangka pendek<br />

maupun jangka menengah,” pungkasnya.<br />

(tt/iky)<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1


LAPORAN UTAMA<br />

Berharap Posisi DPD Diperkuat<br />

Sehingga Fungsi Maksimal<br />

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) <strong>RI</strong> Laode Ida dalam<br />

kesempatan Workshop yang diselenggarakan Badan Legislasi <strong>DPR</strong><br />

menyampaikan dari hasil sebuah survey terbaru terungkap bahwa<br />

keberadaan DPD hingga kini belum dirasakan manfaatnya secara<br />

proporsional oleh masyarakat.<br />

Wakil Ketua DPD <strong>RI</strong> Laode Ida<br />

Ini kiranya kritik masyarakat yang<br />

sudah sering muncul terhadap<br />

DPD, dan hal itu dapat diterima<br />

secara terbuka. Hal ini karena posisi<br />

DPD, meskipun sudah menjalankan<br />

aktualisasi fungsinya secara maksimal,<br />

memang tidak mampu berbuat lebih<br />

banyak karena keterbatasan yang dimiliki<br />

dari segi kewenangan.<br />

Hasil survey LSI (Lembaga Survei<br />

Indonesia) pada Desember 2011<br />

menggambarkan tingginya harapan<br />

publik akan adanya penguatan dan<br />

perluasan kewenangan DPD melalui<br />

amandemen UUD 1945, seperti dalam<br />

hal pembuatan undang-undang hing-<br />

1 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

ga penyusunan anggaran dan pengangkatan<br />

pejabat publik.<br />

Survei LSI itu menunjukkan sekitar<br />

87,6% responden mengetahui bahwa<br />

tugas DPD <strong>RI</strong> untuk mewakili kepentingan<br />

daerah, sekitar 78% responden<br />

berharap DPD memiliki kewenangan<br />

yang lebih luas dalam memutuskan<br />

undang-undang yang berkaitan dengan<br />

kepentingan daerah.<br />

Sebanyak 74% berharap DPD<br />

dapat menindaklanjuti hasil pengawasan<br />

terhadap pemerintah, sekitar<br />

70% responden berharap DPD bersama<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> membuat undang-undang.<br />

Selain itu, sebanyak 71% responden<br />

berharap DPD dan <strong>DPR</strong> bisa bersamasama<br />

memberikan persetujuan atas<br />

RAPBN. Sekitar 64% juga berharap,<br />

DPD juga berwenang ikut mengangkat<br />

pejabat publik yang penting, seperti<br />

Hakim Agung, Gubernur Bank<br />

Indonesia, Panglima TNI dan Kapolri.<br />

Untuk penguatan posisi dan kewenangan<br />

DPD <strong>RI</strong> sekitar 65% responden<br />

setuju agar dilakukan melalui mekanisme<br />

amandemen UUD 1945.<br />

Melihat dari hasil survei tersebut,<br />

timbul pertanyaan dapatkah harapan<br />

masyarakat itu dipenuhi oleh DPD terkait<br />

dengan perubahan dan perbaikan<br />

perannya dalam sistem ketatanegaraan<br />

kita?<br />

Menurut Laode, ini terkait dengan<br />

kepentingan bersama untuk menata<br />

peran DPD dalam hubungannya dengan<br />

<strong>DPR</strong>, pemerintah serta lembaga<br />

negara lainnya. Tujuannya, untuk meletakkan<br />

posisi DPD agar dapat menjalankan<br />

fungsinya sebagai bagian<br />

dari lembaga legislatif yang menjalankan<br />

mandat konstituennya.<br />

Jika dilihat hubungan DPD dengan<br />

<strong>DPR</strong> dalam melaksanakan tugas dan<br />

wewenang DPD, ada beberapa hal<br />

yang perlu menjadi perhatian.<br />

Dewan Perwakilan Daerah dapat<br />

mengajukan rancangan undangundang<br />

berdasarkan program legislasi<br />

nasional. Rancangan undang-undang<br />

yang dimaksud harus disertai dengan<br />

penjelasan atau keterangan dan/atau<br />

naskah akademik dapat diusulkan<br />

oleh panitia perancang undang-


undang dan/atau panitia kerja. Usul<br />

RUU tersebut diputuskan menjadi<br />

ranca-ngan yang berasal dari DPD<br />

dalam sidang paripurna DPD.<br />

Usulan lain yang disampaikan Laode<br />

adalah, DPD juga memberikan<br />

pertimbangan terhadap Rancangan<br />

Undang-undang kepada Pimpinan<br />

<strong>DPR</strong>. Terhadap rancangan undangundang<br />

tentang APBN, DPD memberikan<br />

pertimbangan kepada <strong>DPR</strong><br />

dengan jangka waktu paling lambat<br />

empat belas hari sebelum diambil<br />

persetujuan bersama antara <strong>DPR</strong> dan<br />

Presiden.<br />

Terkait dengan RUU yang membahas<br />

tentang pajak, pendidikan dan<br />

agama, DPD memberikan pertimbangan<br />

kepada <strong>DPR</strong> dan paling lambat<br />

tiga puluh hari sejak diterimanya surat<br />

dari pimpinan <strong>DPR</strong>.<br />

Selain itu, DPD juga memiliki tugas<br />

dan wewenang dalam hal memberikan<br />

pertimbangan kepada <strong>DPR</strong> mengenai<br />

calon anggota BPK. Pertimbangan<br />

tersebut diputuskan dalam sidang<br />

paripurna DPD. Pertimbangan yang<br />

sudah diputuskan tersebut diserahkan<br />

kepada Pimpinan <strong>DPR</strong> sebagai<br />

pertimbangan DPD paling lambat tiga<br />

hari sebelum pelaksanaan pemilihan<br />

anggota BPK.<br />

Salah satu tugas DPD adalah mengawasi<br />

jalannya undang-undang.<br />

Dalam hal penyampaian hasil pengawasan<br />

tersebut, DPD menyampaikan<br />

hasil pengawasan atas undang-undang<br />

kepada <strong>DPR</strong> sebagai<br />

bahan pertimbangan. Hasil pengawasan<br />

tersebut diputuskan dalam sidang<br />

paripurna DPD.<br />

Laode menambahkan, dalam<br />

regulasi dikemukakan bahwa DPD<br />

memiliki sejumlah hak yaitu, mengajukan<br />

rancangan undang-undang<br />

yang berkaitan dengan otonomi<br />

daerah, hubungan pusat dan daerah,<br />

pembentukkan dan pemekaran serta<br />

penggabungan daerah, pengelolaan<br />

sumber daya alam dan sumber daya<br />

ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan<br />

perimbangan keuangan pusat<br />

dan daerah,<br />

Selain itu, ikut membahas ranca-<br />

ngan undang-undang yang berkaitan<br />

dengan otonomi daerah, hubungan<br />

pusat dan daerah, pembentukan,<br />

pemekaran dan penggabungan daerah,<br />

pengelolaan sumber daya alam<br />

dan sumber daya ekonomi lainnya,<br />

serta perimbangan keuangan pusat<br />

dan daerah.<br />

DPD juga memiliki hak memberikan<br />

pertimbangan kepada <strong>DPR</strong> dalam<br />

pembahasan rancangan undangundang<br />

tentang anggaran pendapatan<br />

dan belanja negara dan rancangan<br />

undang-undang yang berkaitan dengan<br />

pajak, pendidikan dan agama.<br />

Hak yang dimiliki lainnya adalah<br />

melakukan pengawasan atas pelaksanaan<br />

undang-undang mengenai<br />

otonomi daerah, pembentukan,<br />

pemekaran dan penggabungan daerah,<br />

hubungan pusat dan daerah,<br />

pengelolaan sumber daya alam dan<br />

sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan<br />

APBN, pajak, pendidikan dan<br />

agama.<br />

Lebih jauh Laode mengatakan,<br />

secara konstitusional DPD memeiliki<br />

kewenangan yang sangat terbatas<br />

untuk memberikan pertimbangan,<br />

mengajukan usul saran kepada <strong>DPR</strong><br />

dan mengawasi pelaksanaan UU tertentu.<br />

Kewenangan legislatif sepenuhnya<br />

di <strong>DPR</strong> bersama Presiden, demikian<br />

pula dalam hal budget DPD hanya<br />

bisa memberikan pertimbangan dan<br />

usulan. Demikian pula dalam hal pengawasan<br />

terhadap pelaksanaan UU,<br />

anggaran dan kebijakan politik tertentu,<br />

semuanya harus diteruskan kepada<br />

<strong>DPR</strong> untuk ditindaklanjuti.<br />

Dalam hal ini, kewenangan DPD<br />

bersifat “konsultatif”, karena tidak<br />

mempunyai kewenangan untuk memutus,<br />

sedangkan <strong>DPR</strong> kewenangannya<br />

amat dominan, dimana semua kewenangan<br />

Presiden ada keterlibatan<br />

<strong>DPR</strong>.<br />

Menurut Laode, hubungan DPD<br />

dengan <strong>DPR</strong> penting untuk dikomunikasikan,<br />

terutama berkenaan dengan<br />

mekanisme legislasi. Sejauh ini, kata<br />

Laode, mekanisme kerja legislasi dan<br />

pengawasan dilakukan antara Komisi<br />

<strong>DPR</strong> dan Komite DPD secara parsial<br />

dan sporadic, juga bervariasi tergantung<br />

dari interaksi masing-masing.<br />

Belum ada upaya proporsional<br />

dan serius untuk secara sistemik melembagakan,<br />

padahal sesungguhnya,<br />

dengan produktifitas tingkat legislasi<br />

yang tidak memuaskan di mata rakyat,<br />

seharusnya bisa dikoreksi dengan<br />

mengembangkan sinergi <strong>DPR</strong> dan<br />

DPD.<br />

“Jadi harus ada keberanian<br />

melakukan terobosan yang sistematis<br />

dan melembaga, baik oleh Pimpinan<br />

<strong>DPR</strong> maupun DPD,” kata Laode.<br />

Beberapa Hal<br />

Yang Harus Dibenahi<br />

Menyangkut hubungan DPD dengan<br />

<strong>DPR</strong>, ada beberapa hal yang<br />

harus dibenahi dan disepakati terutama<br />

dalam aktualisasi DPD dalam<br />

menjalankan fungsinya, diantaranya<br />

adalah masalah pengaturan mekanisme<br />

kerja.<br />

Perihal masalah pengaturan mekanisme<br />

kerja ini terkait dengan beberapa<br />

hal yakni, penyusunan Program<br />

Legislasi Nasional, (Prolegnas)<br />

Prioritas Tahunan, pengajuan dan<br />

pembahasan RUU dan pertimbangan<br />

atas RUU.<br />

Mengenai penyusunan Prolegnas<br />

prioritas tahunan, selama ini DPD amat<br />

mengapresiasi atas keikutsertaan dan<br />

keterlibatan DPD dalam pembahasan<br />

Prolegnas di <strong>DPR</strong>. Hal itu menurut Laode,<br />

telah berjalan dengan baik.<br />

Namun ada harapan yang ingin<br />

dia sampaikan yaitu keikutsertaan<br />

DPD dalam penyusunan daftar RUU<br />

Prolegnas prioritas tahunan dimungkinkan<br />

hingga ke tingkat perumusan.<br />

Adapun terkait pengajuan dan<br />

pembahasan RUU, diperlukan keiikutsertaan<br />

DPD dalam pembahasan RUU<br />

bersama <strong>DPR</strong> dan Presiden, yang meliputi<br />

pengantar musyawarah, pembahasan<br />

daftar inventarisasi masalah<br />

(DIM), dan penyampaian pendapat<br />

mini.<br />

Laode juga berharap mekanisme<br />

kerja dalam pembahasan RUU yang<br />

melibatkan <strong>DPR</strong>, Pemerintah dan<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1


LAPORAN UTAMA<br />

DPD, terutama pembahasan DIM dan<br />

penyampaian pendapat ini, mengikutsertakan<br />

DPD.<br />

Keikutsertaan tersebut meliputi<br />

DPD memiliki wakil dan ikut serta<br />

dalam rapat kerja antara alat kelengkapan<br />

<strong>DPR</strong> dengan Pemerintah untuk<br />

menentukan jadwal pembahasan RUU,<br />

DPD diundang dalam pembicaraan<br />

tingkat II di Rapat Paripurna <strong>DPR</strong>.<br />

DPD memiliki wakil dalam pembahasan<br />

RUU di <strong>DPR</strong> yang berjumlah<br />

paling banyak 1/3 jumlah anggota<br />

alat kelengkapan <strong>DPR</strong> yang membahas<br />

suatu RUU atau paling sedikit 6<br />

(enam) orang.<br />

Pokok-pokok gagasan lainnya<br />

yang disampaikan Laode adalah masalah<br />

pertimbangan atas RUU APBN.<br />

Dalam hal ini DPD mengingatkan<br />

bahwa <strong>DPR</strong> menerima dan menindaklanjuti<br />

pertimbangan tertulis terhadap<br />

RUU APBN yang disampaikan oleh<br />

DPD yang diberikan paling lambat 14<br />

hari sebelum diambil persetujuan bersama<br />

antara <strong>DPR</strong> dan Presiden.<br />

Dia mengharapkan, DPD diikutsertakan<br />

sejak awal pembahasan sehingga<br />

pertimbangan yang disampaikan<br />

oleh DPD tepat sasaran dan bermanfaat<br />

bagi daerah. Untuk itu, katanya,<br />

DPD meminta agar <strong>DPR</strong> mengundang<br />

DPD dalam Rapat Paripurna <strong>DPR</strong> untuk<br />

bersama-sama mendengarkan<br />

keterangan Pemerintah mengenai Pokok-pokok<br />

Pembicaraan Pendahuluan<br />

RAPBN sejak RAPBN 2011.<br />

Dia juga berharap, DPD dapat ikut<br />

serta dalam pertemuan antara <strong>DPR</strong><br />

dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia<br />

(BI), dan Badan Perencanaan<br />

Pembangunan Nasional (Bappenas)<br />

dalam pembicaraan tentang Rencana<br />

Kerja Pemerintah (RKP) dan ekonomi<br />

makro.<br />

Mengenai pertimbangan atas RUU<br />

tertentu, DPD berharap agar <strong>DPR</strong> mencantumkan<br />

Pasal 22D ayat (2) UUD<br />

1945 dalam konsiderans “mengingat”<br />

RUU yang mendapat pertimbangan<br />

DPD dan mencantumkan keputusan<br />

DPD dalam konsiderans “memperhatikan”<br />

dalam keputusan <strong>DPR</strong>, dan<br />

meminta Komisi <strong>DPR</strong> menyampaikan<br />

1 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

paparan hasil pertimbangan DPD.<br />

Pokok gagasan selanjutnya yang<br />

disampaikan Laode adalah pengawasan<br />

atas UU tertentu. Dalam hal<br />

ini, DPD berharap agar <strong>DPR</strong> mencantumkan<br />

Pasal 22D ayat (3) UUD 1945<br />

dalam konsiderans “mengingat” UU<br />

yang direvisi apabila hasil pengawasan<br />

DPD menjadi dasar perevisian,<br />

mencantumkan keputusan DPD tentang<br />

hasil pengawasan DPD dalam<br />

konsiderans “memperhatikan” dalam<br />

keputusan <strong>DPR</strong>, dan meminta Komisi<br />

<strong>DPR</strong> menyampaikan paparan hasil<br />

pengawasan DPD.<br />

Dari beberapa catatan yang disampaikannya,<br />

Laode Ida memberikan<br />

sejumlah catatan utama sebagai<br />

kesimpulan mendasar yaitu, kedudukan<br />

DPD sebagai lembaga perwakilan<br />

daerah yang memperjuangkan aspirasi<br />

dan kepentingan daerah sudah<br />

tepat dan memang dibutuhkan kehadirannya.<br />

Namun demikian menurut Laode,<br />

seharusnya posisi DPD dapat sejajar<br />

dengan <strong>DPR</strong>, bukan lebih rendah. Di<br />

samping itu, sebagai lembaga Negara<br />

DPD mempunyai fungsi yang sangat<br />

lemah, hanya sebagai pelengkap<br />

bagi lembaga legislatif, dimana<br />

hanya sebagai lembaga konsultatif,<br />

dan pertimbangan, tidak mempunyai<br />

kewenangan dalam memutus. Selain<br />

Wakil Ketua DPD <strong>RI</strong> Laode Ida (paling kiri)<br />

juga, DPD dibatasi pada persoalanpersoalan<br />

berkaitan dengan otonomi<br />

daerah.<br />

Laode melihat, hubungan DPD<br />

dengan lembaga Negara lainnya, seperti<br />

MPR, <strong>DPR</strong> Mahkamah Konstitusi,<br />

Pemerintah Daerah dan <strong>DPR</strong>D ada,<br />

tetapi hanya pada masalah-masalah<br />

tertentu saja dan sifatnya hanya sebagai<br />

pemberi “pertimbangan”.<br />

Berdasarkan keterbatasan fungsi<br />

dan kewenangan DPD tersebut,<br />

maka dia berharap dilakukan perubahan-perubahan<br />

yaitu posisi DPD harus<br />

lebih diperkuat sehingga dalam<br />

menjalankan fungsinya dapat maksimal,<br />

bukan hanya sebagai lembaga<br />

“pelengkap” dari lembaga legislatif<br />

yang hanya memberi pertimbangan,<br />

usulan kepada <strong>DPR</strong>. Demikian juga<br />

dalam berhadapan dengan lembaga<br />

Negara lainnya yang menjadi mitra<br />

kerja DPD.<br />

Untuk itu, agar secara mendasar<br />

kembali ke akarnya hanya dapat dilakukan<br />

dengan mengamandemen<br />

pasal-pasal dalam UUD 1945 yang<br />

mengatur tentang DPD.<br />

Laode menegaskan, Anggota<br />

Dewan Perwakilan Daerah sendiri<br />

tentunya harus memperjuangkan<br />

hak-haknya supaya sejajar dengan<br />

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.<br />

(tt,iky)


Memperkuat Posisi Baleg<br />

Dengan Cara Re-Disain<br />

Dalam memberikan masukannya terkait dengan revisi UU<br />

tentang MPR, <strong>DPR</strong>, DPD dan <strong>DPR</strong>D (MD3), mantan Pimpinan<br />

Badan Legislasi (Baleg) <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> periode 2004-2009,<br />

Ferry Mursyidan Baldan memfokuskan pada thema “Menata Alat<br />

Kelengkapan bagi Penguatan Fungsi <strong>DPR</strong>”.<br />

Alat kelengkapan <strong>DPR</strong> terdiri<br />

dari 11 Komisi dan 7 (tujuh)<br />

Badan, yang jika ditelaah dari<br />

segi fungsi pokok Dewan, fungsi<br />

Pengawasan oleh 11 Komisi, Fungsi<br />

Budgeting oleh Badan Anggaran dan<br />

Fungsi Legislasi oleh Baleg. Sementara<br />

Badan-badan lain adalah Alat Kelengkapan<br />

yang tidak berkaitan langsung<br />

dengan fungsi pokok Dewan.<br />

Untuk mengoptimalisasi pelaksanaan<br />

fungsi Dewan, menurut Ferry, disain<br />

idealnya adalah memulai dengan<br />

adanya alat kelengkapan yang setara<br />

terhadap fungsi-fungsi pokok Dewan,<br />

artinya Komisi, Badan Anggaran dan<br />

Badan Legislasi memiliki kedudukan<br />

yang sama.<br />

Ferry juga berpendapat, setiap<br />

anggota Komisi, Badan Anggaran dan<br />

Badan Legislasi tidak dirangkap satu<br />

sama lainnya. Selain itu, review terhadap<br />

mitra kerja komisi, seiring Kementerian<br />

Hukum dan HAM, Sekretariat<br />

Negara dan Sekretariat Kabinet menjadi<br />

mitra kerja Baleg, sedang Menteri<br />

Keuangan dan Bappenas mitra kerja<br />

Badan Anggaran.<br />

Dengan disain ini, kata Ferry, maka<br />

akan menegaskan bahwa masingmasing<br />

fungsi Dewan ditempatkan<br />

pada posisi yang sama, dan semua<br />

anggota terbagi dalam 3 (tiga) fungsi<br />

pokok secara permanen.<br />

Terkait dengan penggunaan hak<br />

mengajukan RUU, Ferry mengatakan,<br />

melekatnya hak mengajukan RUU Mantan Pimpinan Baleg <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> periode 2004-2009 Ferry Mursyidan Baldan<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1


LAPORAN UTAMA<br />

Suasana Workshop dan Fokus Group Discussion<br />

pada anggota Dewan belum dirasa<br />

optimal karena memang daya dukungnya<br />

yang tidak memadai, seperti<br />

Program Legislasi Nasional (Prolegnas)<br />

yang masih berbasis alat kelengkapan,<br />

dalam hal ini komisi.<br />

Ferry juga menyoroti, komisi yang<br />

relatif jarang memberi support pada<br />

RUU yang diajukan oleh anggota,<br />

atau setidaknya memfasilitasi untuk<br />

dibahas, agar menjadi RUU.<br />

Menurut Ferry, persyaratan administratif<br />

yang panjang juga menjadi<br />

faktor yang menyebabkan anggota<br />

enggan untuk mengajukan RUU. Selain<br />

itu, penyusunan Prolegnas yang<br />

tidak melibatkan anggota, sehingga<br />

memunculkan kesan bahwa hak mengajukan<br />

RUU pada dirinya, hanya<br />

bersifat administratif, tidak substantif.<br />

Dengan posisi yang kuat dari<br />

Badan Legislasi, seperti usulan redisain,<br />

maka tahapan pembentukan<br />

UU dapat dilakukan dengan lebih<br />

singkat.<br />

Dimulai dari tahap perencanaan,<br />

dalam tahap ini penyusunan Prolegnas<br />

hendaknya tidak berdasarkan<br />

judul UU, tapi konten atau substansi<br />

pokok, yang bisa saja menjadi lebih<br />

dari 1 judul UU. Selain itu, <strong>DPR</strong> juga<br />

tidak terbebani pada jumlah pencapaian<br />

penyelesaian.<br />

Dalam tahap penyusunan dan harmonisasi<br />

UU, dengan re-disain, maka<br />

sepenuhnya dilakukan oleh Baleg<br />

yang keanggotaannya sudah full, bu-<br />

1 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

kan lagi sisa waktu.<br />

Pada tahap selanjutnya, tahap<br />

pembahasan, jika usul <strong>DPR</strong>, maka<br />

pembahasan dilakukan oleh Komisi<br />

yang mengusulkan, supaya tidak kehilangan<br />

“ruh” tujuan pembentukan<br />

UU, jika RUU berasal dari Pemerintah,<br />

maka pembuatan Daftar Inventarisasi<br />

Masalah (DIM) hanya untuk substansi<br />

pokok saja.<br />

Berkaitan dengan waktu, menurut<br />

Ferry, ada baiknya ditetapkan batas<br />

waktu pembahasan pembentukkan<br />

UU, misalnya 2 atau 3 masa sidang,<br />

yang jika tidak selesai maka pembahasannya<br />

diambil alih oleh Baleg, dan<br />

komisi yang bersangkutan tidak boleh<br />

membentuk UU dalam 1 (satu) Tahun<br />

Masa Sidang.<br />

Terkait dengan pembatasan waktu<br />

ini, perlu ditetapkan batasan waktu<br />

setiap tahapan pembentukkan UU,<br />

termasuk penyusunan DIM yang jika<br />

tidak dipenuhi, maka Fraksi yang bersangkutan<br />

dianggap tidak memiliki<br />

pendapat/pandangan.<br />

Selain menyoroti tahapan mekanisme<br />

pembentukkan UU , Ferry<br />

juga memandang perlunya penataan<br />

Fraksi dalam penguatan fungsi <strong>DPR</strong>.<br />

Meski bukan Alat Kelengkapan<br />

Dewan, namun secara politis, Fraksi<br />

memiliki kewenangan besar dalam<br />

proses pengambilan keputusan di<br />

Dewan. Dalam hal ini timbul pertanyaan,<br />

bisakah kita memulai penataan<br />

dengan “Memperketat” syarat pem-<br />

bentukkan Fraksi.<br />

Hal ini bisa dimulai dengan jumlah<br />

nominal, yakni sekurang-kurangnya<br />

memiliki anggota 20% dari jumlah<br />

anggota Dewan atau 5 (lima) terbesar<br />

perolehan kursi, maka Partai tersebut<br />

dapat membentuk Fraksi.<br />

Dalam hal ini, tidak lagi dikenal<br />

adanya Fraksi gabungan, jika perolehan<br />

suaranya dibawah 20% atau<br />

perolehannya tidak masuk 5 besar,<br />

maka wajib bergabung dengan Fraksi<br />

yang ada.<br />

Kewajiban Melaporkan<br />

Kinerjanya<br />

Politisi Partai Golkar ini juga mengatakan<br />

pentingnya bagi Dewan<br />

melaporkan kinerjanya. Menurut<br />

Ferry, kewajiban melaporkan kinerja<br />

sebagai Anggota Dewan, cukup<br />

dilakukan pada setiap masa Reses,<br />

karena sejatinya masa reses adalah<br />

masa melaporkan apa-apa yang dilakukan<br />

selama masa sidang, termasuk<br />

menyerap aspirasi masyarakat di<br />

Dapilnya.<br />

Sedangkan laporan menyeluruh<br />

dalam konteks Dewan, bisa dituangkan<br />

dalam memori akhir masa jabatan<br />

Dewan secara kolektif, yang berisi<br />

apa-apa yang menjadi target, apa<br />

yang dicapai, apa yang tidak dapat dicapai<br />

dan penyebabnya.<br />

Dengan demikian, kata Ferry, maka<br />

tugas-tugas dalam melaksanakan<br />

fungsi Dewan diemban secara kolektif,<br />

sedang tugas-tugas politik sebagai<br />

wakil rakyat lebih personal atau kolektif<br />

dalam lingkup Dapil.<br />

Secara keseluruhan, optimalnya<br />

pelaksanaan fungsi Dewan tidak semata<br />

tergantung pada aturan main,<br />

tapi lebih pada kesadaran kerja kolektif,<br />

karena semua kewenangan kenegaraan<br />

yang diberi oleh UU adalah<br />

pada Dewan bukan Personal anggota<br />

Dewan.<br />

Sedang untuk personal Anggota<br />

Dewan, menurut Ferry, diberi fasilitas,<br />

hak bahkan imunitas untuk dapat<br />

melaksanakan tugas Dewan secara<br />

Kelembagaan/Kolektif. (tt,iky)<br />

***


Tidak Ada Kejelasan <strong>DPR</strong>D<br />

Dalam Fungsi Legislasi<br />

Berdasarkan Undang-Undang tentang MPR, <strong>DPR</strong>, DPD dan<br />

<strong>DPR</strong>D (MD3), <strong>DPR</strong>D memiliki fungsi legislasi. Namun sering terjadi<br />

ketidakjelasan dan ketidaktegasan sebagai pemegang kekuasaan<br />

membuat peraturan daerah.<br />

Selain itu, posisi <strong>DPR</strong>D sebagai<br />

pemegang kekuasaan legislatif<br />

di daerah masih menjadi<br />

perdebatan. Dalam hal ini timbul pertanyaan,<br />

bagaimana mendisain kemandirian<br />

<strong>DPR</strong>D dalam konsep trias<br />

politika?<br />

Guru Besar Hukum Tata Negara<br />

dan Direktur Pusat Studi Konstitusi<br />

(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas<br />

Andalas Padang, Saldi Isra menyoroti<br />

beberapa pasal dalam UUD 1945, UU<br />

MD3, UU tentang Pemerintahan Daerah,<br />

dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang<br />

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.<br />

Dalam Pasal 18 ayat (3) UUD<br />

1945 berbunyi : Pemerintahan daerah<br />

provinsi, daerah kabupaten, dan<br />

kota memiliki <strong>DPR</strong>D yang anggotaanggotanya<br />

dipilih melalui pemilihan<br />

umum.<br />

Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 berbunyi<br />

: Pemerintahan daerah berhak<br />

menetapkan peraturan daerah<br />

dan peraturan-peraturan lain untuk<br />

melaksanakan otonomi dan tugas<br />

pembantuan.<br />

Sementara Pasal 291 UU tentang<br />

MPR, <strong>DPR</strong>, DPD dan <strong>DPR</strong>D mengatakan,<br />

<strong>DPR</strong>D provinsi merupakan<br />

lembaga perwakilan rakyat daerah<br />

yang berkedudukan sebagai unsur<br />

penyelenggara pemerintahan daerah<br />

provinsi.<br />

Pasal 292 UU MD3, Ayat 1, <strong>DPR</strong>D<br />

provinsi mempunyai fungsi legislasi,<br />

anggaran dan pengawasan. Ayat 2<br />

Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum<br />

Universitas Andalas Padang, Saldi Isra<br />

berbunyi ke tiga fungsi sebagaimana<br />

dimaksud pada ayat (1) dijalankan<br />

dalam kerangka representasi rakyat di<br />

provinsi.<br />

Pasal 293 UU MD3 ayat (1) berbunyi<br />

: <strong>DPR</strong>D provinsi mempunyai tugas<br />

dan wewenang membentuk peraturan<br />

daerah provinsi bersama gubernur.<br />

Selain itu, membahas dan memberikan<br />

persetujuan rancangan peraturan<br />

daerah mengenai anggaran pendapatan<br />

dan belanja daerah provinsi yang<br />

diajukan oleh Gubernur.<br />

Ayat 2 mengatakan, ketentuan<br />

lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan<br />

tugas dan wewenang sebagaimana<br />

dimaksud pada ayat (1) diatur<br />

dengan peraturan <strong>DPR</strong>D provinsi<br />

tentang tata tertib.<br />

Saldi menambahkan, dalam UU<br />

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan<br />

Daerah Pasal 41 disebutkan<br />

<strong>DPR</strong>D memiliki fungsi legislasi, anggaran<br />

dan pengawasan.<br />

Sementara Pasal 42 (ayat 1) menyebutkan,<br />

<strong>DPR</strong>D mempunyai tugas<br />

dan wewenang membentuk Perda<br />

yang dibahas dengan kepala daerah<br />

untuk mendapat persetujuan bersama<br />

dan membahas dan menyetujui rancangan<br />

Perda tentang APBD bersama<br />

dengan kepala daerah.<br />

Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang<br />

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,<br />

Pasal 1 Angka 7 menyebutkan,<br />

Peraturan Daerah Provinsi<br />

adalah Peraturan Perundang-Undangan<br />

yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan<br />

Rakyat Daerah Provinsi de-<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1


LAPORAN UTAMA<br />

ngan persetujuan bersama Gubernur.<br />

Undang-undang yang sama Pasal<br />

34 ayat (1) mengatakan, penyusunan<br />

Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh<br />

<strong>DPR</strong>D Provinsi dan Pemerintahan<br />

Daerah Provinsi.<br />

Berdasarkan penjelasan normatif<br />

tersebut, kata Saldi, ada beberapa hal<br />

yang perlu mendapat perhatian yaitu,<br />

<strong>DPR</strong>D disebutkan sebagai bagian dari<br />

unsur penyelenggaraan pemerintahan<br />

daerah.<br />

Pengaturan demikian menurut<br />

Saldi Isra, tidak memungkinkan<br />

penerapan konsep Trias Politika dalam<br />

pengertian “pemisahan kekuasaan”.<br />

Ketentuan yang ada lebih dekat dengan<br />

penerapan Trias Politika dalam<br />

pengertian “pembagian Kekuasaan”.<br />

Dengan posisi demikian, menjadi<br />

sulit meletakkan <strong>DPR</strong>D sama dan sebangun<br />

dengan model fungsi legislasi<br />

<strong>DPR</strong>.<br />

Saldi juga menjelaskan, tiga UU<br />

yang ada (UU MD3, UU No. 32/2004<br />

dan UU No. 12/2011) tidak mengelaborasi<br />

bagaimana detailnya proses<br />

legislasi di <strong>DPR</strong>D. Dengan begitu,<br />

proses lebih banyak mengandalkan<br />

peraturan <strong>DPR</strong>D.<br />

Sejauh ini, katanya, penyusunan<br />

dan substansi Peraturan <strong>DPR</strong>D lebih<br />

banyak merujuk kepada Peraturan<br />

Workshop dan Fokus Group Discussion yang diadakan oleh Baleg <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

0 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

Pemerintah (PP).<br />

Jika memang hendak menempatkan<br />

<strong>DPR</strong>D sebagai unsur penyelenggaraan<br />

pemerintahan daerah, sebaiknya<br />

pengaturan fungsi legislasi lebih<br />

didetailkan dalam UU Pemerintahan<br />

Daerah.<br />

PP Tidak Sinkron<br />

Dalam kesempatan Workshop kali<br />

ini, Saldi juga menyoroti, saat ini peraturan<br />

yang memberi arahan pembentukan<br />

Tata Tertib <strong>DPR</strong>D yang diatur<br />

dalam PP seringkali tidak sinkron<br />

dengan peraturan yang lebih tinggi<br />

(UU).<br />

Di sini timbul pertanyaan, regulasi<br />

apa yang perlu disusun untuk menjadi<br />

pedoman dalam penyusunan Tatib,<br />

apakah langsung pendelegasian dari<br />

UU yang berimplikasi pada ketidaksamaan<br />

Tatib di masing-masing <strong>DPR</strong>D<br />

atau perlu ada peraturan selevel PP<br />

yang menjadi pedoman penyusunan<br />

Tatib. Karena hal ini juga berimplikasi<br />

pada pengalokasian anggaran yang<br />

bisa dibenarkan menurut peraturan<br />

perundang-undangan.<br />

Sejauh ini, yang menentukan substansi<br />

Tatib <strong>DPR</strong>D tidak hanya pengaturan<br />

yang ada dalam PP. Praktek<br />

menunjukkan, acapkali muncul<br />

(Peraturan Menteri dan Surat Edaran<br />

Menteri) yang mengatur substansi<br />

Tatib.<br />

Karena “perintah” yang beragam<br />

tersebut, sangat mungkin terjadi disinkronisasi<br />

antara yang satu dengan<br />

yang lain. Oleh karena itu, akan menjadi<br />

jauh lebih baik jika UU mengatur<br />

semacam “pedoman” penyusunan<br />

Tatib <strong>DPR</strong>D. Paling tidak, UU mengatur<br />

substansi apa saja yang diatur<br />

dalam Tatib <strong>DPR</strong>D, Namun demikian,<br />

apapun level pengaturannya menurut<br />

Saldi, sebaiknya disediakan ruang<br />

bagi <strong>DPR</strong>D untuk adanya kreatifitas.<br />

Saldi menambahkan, pengaturan<br />

di tingkat UU tidak selalu memberi ruang<br />

yang lebih leluasa. Boleh saja diberi<br />

ruang untuk adanya perbedaan.<br />

Meskipun demikian, katanya, untuk<br />

semua substansi yang ditentukan<br />

dalam UU harus berlaku sama untuk<br />

semua Tatib <strong>DPR</strong>D.<br />

Dalam pengertian itu, semua substansi<br />

yang diatur dalam UU harus<br />

dimuat dalam Tatib <strong>DPR</strong>D. Kelonggaran<br />

yang diberikan kepada <strong>DPR</strong>D<br />

hanya sebatas mengakomodasi<br />

kekhasan daerah dan tidak diperkenankan<br />

bertentangan dengan substansi<br />

yang ada dalam UU.<br />

Selain itu, karena ini menyangkut<br />

kelembagaan, lebih baik kalau ada<br />

aturan internal yang pokok-pokoknya<br />

diatur dalam UU.<br />

Sudah Efektifkah<br />

Alat Kelengkapan<br />

Hal lain yang menjadi sorotan<br />

adalah, saat ini di <strong>DPR</strong>D terdapat<br />

alat kelengkapan baik berupa Komisi<br />

maupun Badan-badan. Apakah alat<br />

kelengkapan ini sudah efektif dan<br />

efisien dalam mengemban pelaksanaan<br />

fungsi dan wewenang <strong>DPR</strong>D.?<br />

Jika dilihat Pasal 302 (1) UU MD3,<br />

Alat Kelengkapan <strong>DPR</strong>D provinsi terdiri<br />

atas : Pimpinan, Badan Musyawarah,<br />

Komisi, Badan Legislasi daerah,<br />

Badan Anggaran, Badan Kehormatan<br />

dan Alat Kelengkapan lain yang diperlukan<br />

dan dibentuk oleh rapat<br />

paripurna.<br />

Dalam hal penentuan Pimpinan<br />

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


erasal dari partai politik berdasarkan<br />

urutan perolehan kursi terbanyak di<br />

<strong>DPR</strong>D provinsi (Kabupaten/Kota).<br />

Ketua <strong>DPR</strong>D (provinsi/kabupaten/<br />

kota) ialah anggota <strong>DPR</strong>D provinsi<br />

yang berasal dari partai politik yang<br />

memperoleh kursi terbanyak pertama<br />

di <strong>DPR</strong>D provinsi.<br />

Menurut Saldi, pola pengisian<br />

Pimpinan (termasuk Ketua <strong>DPR</strong>D)<br />

yang didasarkan kepada raihan urutan<br />

suara di <strong>DPR</strong>D telah menghilangkan<br />

sebuah proses yang demokratis<br />

di <strong>DPR</strong>D.<br />

Selain itu, katanya, pola pengisian<br />

yang demikian potensial “membunuh”<br />

kesempatan bagi partai politik<br />

lain yang kebetulan tidak berasal<br />

dari partai politik yang memiliki suara<br />

terbesar.<br />

Tambah lagi, kalau suara antara<br />

yang meraih posisi teratas hanya<br />

berselisih tipis dengan posisi berikutnya,<br />

aturan ini terasa “zalim” untuk<br />

hadirnya Ketua yang lebih mumpuni.<br />

Mungkin bisa dicek ke lapangan, betapa<br />

banyaknya seorang anggota <strong>DPR</strong>D<br />

menjadi ketua hanya karena keharusan<br />

ketentuan yang sejalan dengan<br />

proses demokrasi yang berkualitas.<br />

Sementara menyoroti Badan Legislasi<br />

Daerah, jika dilihat Pasal 36 UU<br />

No. 12/2011, penyusunan Prolegda<br />

Provinsi antara <strong>DPR</strong>D Provinsi dan<br />

Pemda Provinsi dikoordinasikan oleh<br />

<strong>DPR</strong>D Provinsi melalui alat kelengkapan<br />

<strong>DPR</strong>D Provinsi yang khusus<br />

menangani bidang legislasi.<br />

Ayat (2) UU ini juga mengatakan,<br />

penyusunan Prolegda Provinsi di<br />

lingkungan <strong>DPR</strong>D Provinsi dikoordinasikan<br />

oleh alat kelengkapan <strong>DPR</strong>D<br />

Provinsi yang khusus menangani bidang<br />

legislasi.<br />

Ayat (3) menyebutkan, penyusunan<br />

Prolegda Provinsi di lingkungan<br />

Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan<br />

oleh Biro Hukum dan dapat<br />

mengikutsertakan instansi vertikal<br />

terkait.<br />

Ayat selanjutnya mengatakan, ketentuan<br />

lebih lanjut mengenai tata<br />

cara penyusunan Prolegda Provinsi di<br />

lingkungan <strong>DPR</strong>D Provinsi sebagaima-<br />

Workshop dan Fokus Group Discussion yang diadakan oleh Baleg <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

na dimaksud pada ayat (2) diatur dengan<br />

Peraturan <strong>DPR</strong>D Provinsi.<br />

Sistem Kepegawaian<br />

Yang Tepat<br />

Bahasan lainnya yang menjadi sorotan<br />

Saldi Isra adalah sistem kepegawaian<br />

seperti apa yang tepat bagi<br />

pendukung Dewan.<br />

Menurutnya, kelompok pakar/tim<br />

ahli belum diatur dengan jelas dalam<br />

UU MD 3. Di sini timbul pertanyaan<br />

sistem pendukung keahlian yang<br />

bagaimana yang diperlukan Dewan<br />

untuk mendukung pelaksanaan tugas<br />

dan kewenangannya ?<br />

Dalam hal ini, Saldi berpandangan<br />

staf pendukung merupakan keniscayaan.<br />

staf pendukung diperlukan sesu<br />

ai dengan keahlian yang diperlukan.<br />

Dalam hal ini, staf pendukung tidak<br />

dalam status PNS.<br />

Kalau di daerah, staf pendukung<br />

ini dapat dimulai dari ahli di alat kelengkapan<br />

dan kalau keuangan memungkinkan,<br />

dapat juga diusahakan<br />

staf ahli untuk anggota. (tt/iky)<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1


LAPORAN SUMBANG UTAMA SARAN<br />

Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH, MH<br />

Menata Parlemen<br />

Dengan Mengubah<br />

UU MD<br />

Penataan kelembagaan parlemen<br />

memang harus dilakukan<br />

melalui amandemen UUD 1945<br />

yang kelima, tidak cukup hanya<br />

dengan mengubah UU No. 27 Tahun<br />

2009 tentang MPR, <strong>DPR</strong>, DPD, <strong>DPR</strong>D<br />

(UU MD3). Apabila penataan itu di-<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

pandang sebagai sesuatu yang fondamental<br />

maka harus dimulai dengan<br />

perubahan/amandemen UUD 1945<br />

yang kelima. Karena sulit akan didapatkan<br />

penataan kelembagaan parlemen<br />

yang akan benar-benar demokratis,<br />

efektif, dan akuntabel berdasarkan<br />

Perlu dijelaskan yang<br />

dimaksud dengan unsur<br />

partai politik adalah orang<br />

yang duduk di MPR itu<br />

benar-benar mewakili<br />

partai politik. Pengisiannya<br />

melalui pemilihan umum (pemilu)<br />

khusus untuk MPR.<br />

Dalam Pemilu tersebut ada<br />

orang-orang Parpol yang<br />

hanya duduk di <strong>DPR</strong>.<br />

Dengan demikian, anggota <strong>DPR</strong><br />

tidak merangkap sebagai anggota<br />

MPR, meski pengisiannya<br />

bersamaan dalam<br />

Pemilu.<br />

Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH, MH<br />

Kepala Program Doktor dan<br />

Magister Ilmu Hukum Pascasarjana<br />

Universitas Padjadjaran Bandung<br />

Pancasila apabila penataannya hanya<br />

dilakukan dengan mengubah UU tentang<br />

MD3.<br />

Untuk mengubah UUD 1945 memerlukan<br />

suatu kajian yang sangat<br />

mendalam, komprehensif, konsisten,<br />

serta dilakukan oleh para ahli ketatanegaraan<br />

(dalam arti luas) yang<br />

sudah teruji dan diakui kepakarannya.<br />

Karena itu, untuk mengubah UUD<br />

1945 diperlukan waktu yang cukup<br />

dengan forum yang luas dan melibatkan<br />

banyak keahlian. Sehingga,<br />

untuk sementara ini dapat dimaklumi<br />

dengan mengubah UU tentang<br />

MD3 jauh lebih mudah dari pada mengubah<br />

UUD 1945.<br />

Sehingga, pemikiran dalam<br />

melakukan penataan kelembagaan<br />

parlemen, dibagi dalam dua tataran.<br />

Tataran pertama, penataan melalui<br />

perubahan UUD 1945 pasca amandemen<br />

keempat, dengan dilakukan<br />

amandemen UUD 1945 yang kelima.<br />

Tataran kedua, penataan dilakukan<br />

hanya dengan mengubah UU tentang<br />

MD3, dengan tetap mengacu pada<br />

kelembagaan parlemen seperti diatur<br />

dalam UUD 1945 yang sekarang ini<br />

berlaku.<br />

Pengertian Umum Konstitusi<br />

dan Negara Hukum<br />

Menurut James Brice, konstitusi<br />

diartikan sebagai a frame of political<br />

society, organized through and by<br />

law, that is to say one in which law has<br />

established permanent institutions<br />

with recognised functions and definite<br />

rights. “Again a constitution may<br />

be said to be a collection of principles


according to which the powers of the<br />

government, the rights of the governed,<br />

and relations between the two<br />

are adjusted”. (CF. Strong, Modern<br />

Political Constitutions)<br />

Konstitusi diartikan Sir Keneth C.<br />

Wheare, sebagai sekumpulan ketentuan<br />

hukum tertinggi yang tersusun<br />

di dalam suatu dokumen yang mengatur<br />

pemerintahan negara.<br />

Pendapat senada dikemukakan<br />

oleh S.E. Finner , konstitusi sebagai<br />

sekumpulan norma hukum yang<br />

mengatur alokasi fungsi, kekuasaan,<br />

serta tugas-tugas di antara berbagai<br />

lembaga negara, serta yang menentukan<br />

hubungan-hubungan di antara<br />

lembaga-lembaga negara tersebut<br />

dengan rakyat, dan biasanya termodifikasi<br />

di dalam suatu dokumen.<br />

Sementara itu, Benyamin Akzin<br />

dalam sebuah artikel berjudul “On the<br />

Satbility and Reality of Constitution”<br />

berpendapat, konstitusi merupakan<br />

dokumen atau sekumpulan dokumen<br />

serta kebiasaan ketatanegaraan,<br />

baik yang ditetapkan secara formal<br />

maupun yang disepakati sebagai<br />

ketentuan dasar mengenai susunan<br />

dan fungsi negara, serta menetapkan<br />

pula secara pasti dan efektif kerangka<br />

dasar proses-proses pemerintahan<br />

dan proses-proses yuridis ketatanegaraan.<br />

Loewenstain berpendapat, konstitusi<br />

merupakan suatu sarana dasar<br />

untuk mengawasi proses-proses<br />

kekuasaan. Oleh karena itu, setiap<br />

konstitusi senantiasa mempunyai<br />

dua tujuan, yaitu untuk memberikan<br />

pembatasan dan pengawasan terhadap<br />

kekuasaan politik, dan untuk<br />

membebaskan kekuasaan dari kontrol<br />

mutlak para penguasa, serta menetapkan<br />

bagi para penguasa tersebut<br />

batas-batas kekuasaannya.<br />

Muhammad Tahir Azhary mengambil<br />

inspirasi dari sistem hukum<br />

Islam mengajukan pandangan tentang<br />

ciri-ciri nomokrasi atau negara hukum<br />

yang baik itu mengandung sembilan<br />

prinsip. Kesembilan prinsip itu : 1.<br />

Prinsip kekuasaan sebagai amanah.<br />

2. Prinsip musyawarah. 3. Prinsip keadilan.<br />

4. Prinsip persamaan. 5. Prinsip<br />

pengakuan dan perlindungan terhadap<br />

hak-hak asasi manusia. 6. Prinsip<br />

peradilan yang bebas. 7. Prinsip perdamaian.<br />

8. Prinsip kesejahteraan. 9.<br />

Prinsip ketaatan rakyat.<br />

Jimly Ashiddiqie berpendapat,<br />

dianut dan dipraktekkannya prinsip<br />

demokrasi atau kedaulatan rakyat<br />

yang menjamin peran serta masyarakat<br />

dalam proses pengambilan keputusan<br />

kenegaraan, sehingga setiap<br />

peraturan perundang-undangan yang<br />

ditetapkan dan ditegakkan mencer-<br />

Jajaran Pimpinan Sidang Bersama <strong>DPR</strong>-DPD 16 Agustus 2011<br />

minkan nilai-nilai keadilan yang hidup<br />

ditengah masyarakat.<br />

Hukum dan peraturan perundangundangan<br />

yang berlaku tidak boleh<br />

ditetapkan dan diterapkan secara<br />

sepihak oleh dan/atau hanya untuk<br />

kepentingan penguasa secara bertentangan<br />

dengan prinsip-prinsip demokrasi.<br />

Karena hukum tidak dimaksudkan<br />

hanya menjamin kepentingan<br />

segelintir orang yang berkuasa, melainkan<br />

menjamin kepentingan akan<br />

rasa adil bagi semua orang tanpa<br />

kecuali.<br />

Dengan demikian, cita negara hukum<br />

(rechtsstaat) yang dikembangkan<br />

bukanlah ‘absolute rechtssaat’,<br />

melainkan ‘democratische rechtsstaat’<br />

atau negara hukum yang demokratis.<br />

Dalam setiap negara hukum yang<br />

bersifat nomokratis harus dijamin<br />

adanya demokrasi, sebagaimana di<br />

dalam setiap negara demokrasi harus<br />

dijamin penyelenggaraannya berdasar<br />

atas hukum.<br />

Penataan Kelembagaan<br />

Parlemen Melalui<br />

Amandemen UUD 1945<br />

Konstitusi, menurut Hans Kelsen<br />

dan kemudian dikembangkan oleh<br />

muridnya Hans Nawiasky serta<br />

Adolf Merkl, paling tidak memuat dua<br />

norma utama, yaitu staatsfundamen-<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


SUMBANG SARAN<br />

talnorm (norma fundamental negara)<br />

dan staasgrundgesetz (aturan dasar<br />

negara).<br />

Dengan demikian, kedudukan<br />

norma yang terdapat dalam konstitusi<br />

merupakan kristalisasi dari hasil<br />

perjuangan politik bangsa di waktu<br />

yang lampau, pandangan tokohtokoh<br />

bangsa yang hendak diwujudkan,<br />

baik untuk waktu sekarang, maupun<br />

untuk masa yang akan datang.<br />

Juga merupakan suatu kehendak<br />

dalam hal perkembangan kehidupan<br />

ke-tatanegaraan bangsa yang akan<br />

dipimpin, serta tingkat-tingkat tertinggi<br />

perkembangan ketatanegaraan<br />

bangsa.<br />

Jika ditelusuri, terjadinya reformasi<br />

konstitusi (constitutional reforms)<br />

di berbagai negara yang ditandai<br />

dengan perubahan terhadap materi<br />

muatan konstitusi, menurut beberapa<br />

literature antara lain James L.<br />

Sundquist dalam bukunya ”Constitution<br />

Reform and Effective Government”<br />

(1992); Barber Conable (1984)<br />

seorang Republican veteran; Arthur M.<br />

Schlesinger Jr. Dalam artikelnya berjudul<br />

“Leave The Constitution” (1966)<br />

dan K.C. Wheare “Modern Constructions”<br />

(1971) mengatakan, bahwa<br />

perubahan konstitusi suatu negara<br />

itu sekurang-kurangnya berkisar pada<br />

tiga isu utama.<br />

Pertama, menyangkut pertanyaan<br />

sejauhmanakah pencapaian negara<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

kesejahteraan (welvaartstaat/welfare<br />

state) mewujudkan dalam kehidupan<br />

warga negaranya? Indikasinya, apakah<br />

negara diselenggarakan dengan<br />

tidak efisien, dengan menghamburhamburkan<br />

sumber daya (resources)<br />

dengan dalih untuk dan atas nama<br />

negara, yang oleh konstitusi justru diberikan<br />

kekuasaan kepada pemerintah<br />

untuk melakukannya.<br />

Selain itu, stabilitas negara pun<br />

menjadi amat terancam, antara lain<br />

berimplikasi pada benturan ideologi<br />

yang amat hebat, sehingga terjadi<br />

perpecahan di antara anak bangsa.<br />

Serta yang terpenting, kesejahteraan<br />

(prosperity) tidak menjadi bagian<br />

dalam pendekatan penyelenggaraan<br />

negara dan pemerintahan.<br />

Kedua, apakah negara hukum (rechtstaat/rule<br />

of law) telah menjadi<br />

landasan dalam penyelenggaraan<br />

negara. Indikasinya, hukum sudah<br />

tidak berjalan efektif untuk mengatasi<br />

berbagai bentuk kejahatan dan<br />

pelanggaran yang dilakukan oleh<br />

pejabat/instansi publik maupun masyarakat.<br />

Hambatan konstitusionalnya kekuasaan<br />

kehakiman tidak diberikan<br />

kedudukan yang merdeka. Dengan<br />

kata lain, tidak adanya jaminan konstitusional<br />

untuk mewujudkan independent<br />

of judiciary.<br />

Ketiga, bagaimanakah kedaulatan<br />

rakyat (volksoevereiniteit/democracy)<br />

para anggota parlemen saat mengikuti Sidang Bersama <strong>DPR</strong>-DPD 16 Agustus 2011<br />

menjadi tulang punggung atau pilar<br />

dalam membangun negara. Indikasinya,<br />

jalannya pemerintahan yang berbahaya<br />

(adventurous governments)<br />

yang mengancam atau mengganggu<br />

kebebasan warga negara (individual<br />

liberties) dan hak-hak asasi warga<br />

negara lainnya.<br />

Singkatnya, latar belakang suatu<br />

negara untuk melakukan reformasi<br />

(perubahan) konstitusinya didasarkan<br />

pada penilaian (assessment)<br />

apakah ada hambatan secara konstitusional<br />

untuk mewujudkan negara<br />

kesejahteraan. Kemudian pilar-pilar<br />

negara hukum sudah terancam untuk<br />

ambruk, di mana kekuasaan kehakiman<br />

dan atau institusi penegak hukum<br />

berada pada posisi sun ordinasi<br />

terhadap lembaga negara lainnya.<br />

Serta apakah kedaulatan rakyat atau<br />

demokrasi sudah mandeg, sehingga<br />

lembaga perwakilan rakyat sangat<br />

sulit untuk mendayagunakan fungsi<br />

dan tanggung jawabnya, dan hak-hak<br />

rakyat tidak mendapat perlindungan<br />

semestinya.<br />

Ada beberapa pokok pikiran yang<br />

mendasar dapat menjadi inspirasi<br />

dalam melakukan amandemen atau<br />

perubahan terhadap UUD 1945 dari<br />

paparan di atas, yaitu :<br />

a. Pembentukan konstitusi itu merupakan<br />

kesepakatan rakyat yang<br />

dijalankan oleh wakil-wakilnya<br />

yang benar-benar amanah.<br />

b. Pembentukan konstitusi merupakan<br />

proses yuridis (hukum<br />

ketatanegaraan), selain proses<br />

politik, sehingga dalam proses<br />

pembahasan penyusunan konstitusi<br />

harus berpikir dan bersikap<br />

sebagai seorang negarawan yang<br />

berpengetahuan, berpengala-<br />

c.<br />

man, dan berpengaruh.<br />

Dalam membentuk konstitusi harus<br />

didasarkan kepada nilai-nilai<br />

filosofis dari negara yang bersangkutan,<br />

bukan semata-mata<br />

meniru atau mengadopsi dari<br />

negara lain secara begitu saja,<br />

yang tentunya dapat berbeda<br />

atau bahkan bertentangan dengan<br />

nilai-nilai ideologisnya.


d.<br />

e.<br />

Bahwa konstitusi itu harus mampu<br />

mambawa masyarakatnya kepada<br />

kesejahteraan yang didasarkan<br />

kepada negara hukum dan<br />

demokrasi.<br />

Setiap kali ada upaya penataan<br />

lembaga-lembaga negara yang<br />

termuat dalam konstitusi perlu<br />

terlebih dahulu ditetapkan landasan<br />

filosofis yang menjadi fundamen<br />

bagi pendirian lembagalembaga<br />

negara tersebut.<br />

Bagi bangsa Indonesia, fundamen<br />

filosofis bangunan lembaga-lembaga<br />

negara yang hendak didirikan tersebut<br />

yaitu Pancasila. Dalam konteks<br />

kehidupan ketatanegaraan, dalam sila<br />

keempat dari Pancasila menegaskan,<br />

bahwa adanya landasan bagaimana<br />

negara dijalankan dan bagaimana<br />

hubungan antar pemegang kekuasaan<br />

dalam negara di bangun.<br />

Sila keempat itu selengkapnya<br />

berbunyi “kerakyatan yang dipimpin<br />

oleh hikmah kebijaksanaan dalam<br />

permusyawaratan/perwakilan”. Apabila<br />

rumusan sila keempat itu dijadikan<br />

titik tolak dalam membangun<br />

sistem demokrasi, maka dalam sila<br />

keempat terdapat muatan demokrasi<br />

dalam arti materi dan sekaligus juga<br />

bermuatan sistem demokrasi dalam<br />

arti formil.<br />

Perlu dijelaskan, sistem demokrasi<br />

dalam arti materiil, bahwa demokrasi<br />

Indonesia berlandaskan kerakyatan<br />

yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.<br />

Maknanya, negara <strong>RI</strong> menganut<br />

ajaran kedaulatan rakyat atau<br />

demokrasi yang dalam penyelenggaraannya<br />

dipandu oleh suatu hikmah<br />

kebijaksanaan.<br />

Yang dimaksud dengan hikmah<br />

kebijaksanaan adalah demokrasi itu<br />

harus berpegang teguh kepada nilainilai<br />

Ketuhanan, berperikemanusiaan<br />

yang adil dan beradab, menjunjung<br />

persatuan Indonesia, dan ditujukan<br />

bagi keadilan sosial bagi seluruh rakyat<br />

Indonesia.<br />

Adapun demokrasi dalam arti<br />

formil, dalam sila keempat mengandung<br />

makna yakni dalam penye-<br />

Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH, MH<br />

Kepala Program Doktor dan<br />

Magister Ilmu Hukum Pascasarjana<br />

Universitas Padjadjaran Bandung<br />

lenggaraan demokrasi berlandaskan<br />

pada Permusyawaratan/Perwakilan.<br />

Maknanya, permusyawatan adalah<br />

tempat/wadah, fungsi, prosedur,<br />

proses, dan mekanisme untuk bermusyawarah<br />

dalam menjalankan kedaulatan<br />

rakyat.<br />

Dalam konteks negara yang Bhinneka<br />

Tunggal Ika, maka bermusyawarah<br />

akan mendekatkan pada<br />

kehendak bersama. Artinya, tidak ada<br />

kesewenang-wenangan dari mayoritas<br />

dan tidak ada tindakan tirani dari<br />

minoritas, namun mengutamakan toleransi,<br />

saling memberi dan menerima,<br />

dan kebersamaan menjadi hikmat<br />

menyelenggarakan negara demi kepentingan<br />

rakyat.<br />

Karena permusyawaratan itu bermakna<br />

sebagai wadah, fungsi, dan<br />

proses bermusyawarah, maka pemaknaan<br />

berikutnya digandeng dengan<br />

perwakilan. Perwakilan adalah wujud<br />

dari representative democracy. Artinya,<br />

ada lembaga yang mewakili rakyat<br />

dalam menyelenggarakan negara.<br />

Lembaga yang mewakili rakyat itu<br />

disebut parlemen. Dengan demikian,<br />

apabila bangsa Indonesia memang<br />

memerlukan penamaan dari sistem<br />

demokrasi Indonesia maka dapat<br />

disebut sebagai sistem demokrasi<br />

Permusyawaratan/Perwakilan.<br />

Sistem Permusyawaratan/<br />

Perwakilan<br />

Dalam kajian akademik seringkali<br />

diperdebatkan apakah Negara Indonesia<br />

dalam keparlemenan itu menganut<br />

sistem unicameral (satu kamar),<br />

bicameral (dua kamar), tricameral<br />

(tiga kamar). Oleh para Pendiri Negara<br />

Indonesia sudah diciptakan<br />

sistem demokrasi yang benar-benar<br />

khas Indonesia adalah demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan.<br />

Basis utama dari sistem demokrasi<br />

Permusyawaratan/Perwakilan adalah<br />

Persatuan Indonesia dan Bhinneka<br />

Tunggal Ika. Permusyawaratan sebagai<br />

wadah diciptakan lembaga negara<br />

yang bernama Majelis Permusyawaratan<br />

Rakyat (MPR). Kehadiran<br />

lembaga MPR supaya seluruh rakyat<br />

Indonesia yang beraneka ragam akan<br />

mempunyai wakil dalam Majelis. Intinya,<br />

MPR merupakan wadah yang berfungsi<br />

mewujudkan Bhinneka Tunggal<br />

Ika dalam menyelenggarakan negara,<br />

dengan mengutamakan prinsip perbedaan<br />

dalam kesatuan dan kesatuan<br />

dalam perbedaan.<br />

Untuk itu hemat saya, MPR itu<br />

merupakan lembaga perwakilan<br />

rakyat tertinggi. Karena MPR merupakan<br />

lembaga perwakilan rakyat<br />

tertinggi maka harus diisi oleh orangorang<br />

atas pilihan rakyat, yang dapat<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


SUMBANG SARAN<br />

mencerminkan kebhinnekaan yang<br />

ada pada rakyat Indonesia.<br />

Supaya MPR benar-benar mencerminkan<br />

Bhinneka Tunggal Ika, unsur-unsur<br />

yang ada di MPR harus<br />

mencerminkan kebhinnekaan dengan<br />

ada unsur dari partai politik (Parpol),<br />

Daerah, utusan Golongan, juga<br />

Perseorangan.<br />

Perlu dijelaskan yang dimaksud<br />

dengan unsur partai politik adalah<br />

orang yang duduk di MPR itu benarbenar<br />

mewakili partai politik. Pengisiannya<br />

melalui pemilihan umum<br />

(pemilu) khusus untuk MPR. Dalam<br />

Pemilu tersebut ada orang-orang<br />

Parpol yang hanya duduk di <strong>DPR</strong>. Dengan<br />

demikian, anggota <strong>DPR</strong> tidak<br />

merangkap sebagai anggota MPR,<br />

meski pengisiannya bersamaan dalam<br />

Pemilu.<br />

Unsur dari Daerah adalah orangorang<br />

yang duduk di MPR yang<br />

benar-benar mewakili Pemerintah<br />

Daerah. Cara pengisiannya dipilih oleh<br />

<strong>DPR</strong>D Propinsi atas usulan gubernur.<br />

Jumlah orang dari unsur Daerah untuk<br />

masing-masing propinsi adalah 3<br />

orang. Berbeda dengan DPD (Dewan<br />

Perwakilan Daerah) yang dipilih secara<br />

langsung melalui Pemilu untuk<br />

mewakili Daerah.<br />

Unsur utusan Golongan adalah<br />

tokoh-tokoh yang mewakili organisasi<br />

masyarakat yang terkemuka, dan<br />

tokoh-tokoh nasional yang benarbenar<br />

sudah diakui reputasinya. Utusan<br />

Golongan ini dipilih oleh <strong>DPR</strong> dan<br />

DPD atas usulan dari Presiden.<br />

Unsur Perseorangan adalah orangorang<br />

yang independen, bukan anggota<br />

parpol. Pengisian orang-orang<br />

dari unsur perseorangan tersebut<br />

dilakukan melalui pemilu, dan tata<br />

caranya sama seperti ketika pemilihan<br />

anggota DPD sekarang ini. Jumlah<br />

anggota MPR dari unsur perseorangan<br />

adalah 5 orang dipilih dari masing-masing<br />

propinsi.<br />

Sedangkan Pemilu itu adalah untuk<br />

memilih anggota MPR dari unsur<br />

parpol dan unsur perseorangan, <strong>DPR</strong><br />

dari parpol, <strong>DPR</strong>D juga dari parpol,<br />

dan DPD dari perseorangan. De-<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

ngan demikian keanggotaan MPR itu<br />

benar-benar mencerminkan kebhinnekaan,<br />

mewakili parpol, mewakili<br />

daerah, utusan daerah, golongan, dan<br />

orang perseorangan. Anggota <strong>DPR</strong><br />

dan anggota DPD tidak merangkap<br />

menjadi anggota MPR.<br />

Dengan komposisi MPR demikian,<br />

tugas dan wewenang selain yang telah<br />

diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen,<br />

juga ditambah wewenangnya<br />

antara lain, menetapkan GBHN dan<br />

melakukan pengawasan terhadap<br />

Presiden, <strong>DPR</strong>, dan DPD. MPR perlu<br />

diberikan menetapkan GBHN karena<br />

untuk menjaga kesinambungan pembangunan.<br />

Dalam UUD 1945 yang berlaku<br />

sekarang ini, <strong>DPR</strong>/DPD tidak ada yang<br />

mengawasi. Namun ke depan perlu<br />

MPR diberikan wewenang mengawasi<br />

selain terhadap Presiden dalam<br />

melaksanakan UUD 1945 dan GBHN,<br />

juga <strong>DPR</strong> dan DPD dalam melaksanakan<br />

UUD 1945 dan GBHN.<br />

Berkaitan dengan keberadaan<br />

DPD ada dua kemungkinan. Pertama,<br />

diperkuat kedudukan, fungsi, dan wewenangnya<br />

kurang lebih setara dengan<br />

<strong>DPR</strong>, atau kemungkinan kedua<br />

dibubarkan atau dihapuskan.<br />

Apabila diperkuat, DPD akan banyak<br />

berperan secara signifikan dalam<br />

memperjuangkan aspirasi daerah<br />

dalam pembentukan UU dan APBN.<br />

Namun, apabila tidak diperkuat dalam<br />

pengertian sama seperti keadaan DPD<br />

sekarang ini sebaiknya dihapus saja<br />

keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan<br />

Indonesia. Dan, sebagai<br />

pengganti yang mewakili aspirasi<br />

Daerah adalah utusan Daerah yang<br />

berada di MPR berasal dari unsur<br />

Daerah.<br />

Perubahan UU No. 27/2009<br />

tentang MD3<br />

Dari pengaturan kelembagaan ketatanegaraan<br />

berdasarkan UUD 1945,<br />

menurut hemat saya, akan melahirkan<br />

tiga undang-undang, yaitu UU tentang<br />

<strong>DPR</strong> dan DPD, UU tentang <strong>DPR</strong>D<br />

yang bersatu dengan UU tentang<br />

Pemerintah Daerah. UU tentang MPR<br />

harus tersendiri (sui generis) tidak<br />

digabung dengan <strong>DPR</strong>, DPD, dan apalagi<br />

dengan <strong>DPR</strong>D, karena MPR diposisikan<br />

sebagai lembaga negara yang<br />

“tertinggi”, yang berwenang membentuk/mengubah<br />

UUD, mengangkat<br />

dan memberhentikan Presiden dan<br />

Wakil Presiden, serta tambahan kewenangan<br />

baru antara lain menetapkan<br />

GBHN, mengawasi lembaga-lembaga<br />

negara yang ada “dibawahnya”,<br />

dan menyelesaikan sengketa antar<br />

lembaga negara.<br />

UU tentang MPR mengatur secara<br />

lengkap tentang kedudukan, tugas,<br />

fungsi, wewenang, cara pengisian dan<br />

pemberhentian keanggotaan, hubungan<br />

dengan lembaga-lembaga negara<br />

lain, dan hal-hal lain yang lazim<br />

mengatur kelembagaan.<br />

UU tentang MPR tidak digabung<br />

dengan lembaga <strong>DPR</strong>, DPD, <strong>DPR</strong>D<br />

karena lembaga MPR benar-benar<br />

merupakan cerminan dari sistem<br />

demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan,<br />

Bhinneka Tunggal Ika, Persatuan<br />

Indonesia.<br />

MPR bersidang paling kurang setahun<br />

sekali. Watak dan ciri sidangsidang<br />

MPR, senantiasa begitu luas<br />

dan terbuka melibatkan semua komponen<br />

bangsa, tokoh-tokoh yang<br />

berwibawa, dan perdebatan serta argumentasi<br />

yang begitu berkualitas,<br />

semuanya diabdikan demi kemaslahatan<br />

dan kemajuan bangsa.<br />

Karena itu, MPR jangan dikerdilkan<br />

atau bahkan seolah menjadi lembaga<br />

“pelengkap penderita”, antara ada dan<br />

tiada. Sungguh disayangkan sekarang<br />

ini, MPR menjadi jauh dari pelibatan<br />

rakyat melalui tokoh-tokohnya, dan<br />

jauh dari nilai-nilai Permusyawaratan/<br />

Perwakilan.<br />

Hal itu tentunya telah menafikan<br />

dan menegasikan sejarah perjuangan<br />

bangsa, pemikiran yang genius<br />

dari founding fathers Indonesia, sikap<br />

yang menjauh dari prinsip dasar<br />

sistem demokrasi Permusyawaratan/<br />

Perwakilan.<br />

Diciptakannya MPR oleh founding<br />

fathers Indonesia , dalam kaca mata<br />

perkembangan demokrasi di dunia,


menurut hemat saya, merupakan<br />

temuan yang sangat luar biasa, meskipun<br />

dalam perjalanannya pernah disalahgunakan<br />

oleh penguasa Orde<br />

Lama maupun Orde Baru. Karena itu,<br />

Negara wajib menempatkan kembali<br />

harkat, derajat, dan martabat MPR sebagai<br />

lembaga negara yang memang<br />

berjiwa Indonesia.<br />

Dengan menempatkan MPR sebagai<br />

lembaga “penjelmaan rakyat”,<br />

dalam arti wadah, jiwa, pikiran dan<br />

karsa rakyat, kekisruhan, friksi, dan<br />

kegaduhan di antara lembaga-lembaga<br />

negara dapat “diselesaikan” melalui<br />

forum MPR, tempat bermusyawarah,<br />

mendekatkan hal yang berbeda, dan<br />

mencari solusi dan jalan keluar yang<br />

terbaik bagi kepentingan bangsa dan<br />

Negara. Hal ini juga merupakan suatu<br />

ajang pembuktian bagi para negarawan<br />

yang senantiasa berorientasi<br />

bagi kemaslahatan rakyat.<br />

Sekarang ini, ketika terjadi “konflik”<br />

antar lembaga negara seolah<br />

penyelesaiannya diambil alih oleh<br />

elit-elit politik dengan menggunakan<br />

forum-forum nonformal dan di media<br />

massa. Hasilnya, masyarakat dibuat<br />

bingung, terjadi pro kontra yang tidak<br />

rasional dan tidak produktif. Bahkan,<br />

kemudian masalahnya menjadi<br />

berkembang ke penghujatan pribadi<br />

atau kelompok, dan terkadang terkesan<br />

tidak serius (lebih sekedar hiburan<br />

politik), sangat tidak mencerahkan<br />

dan tidak mencerdaskan.<br />

Karena itu, MPR perlu didukung<br />

oleh supporting system (sekretariat<br />

dan keahlian) yang memadai dan<br />

handal. MPR bukan merupakan joint<br />

session antara <strong>DPR</strong> dan DPD lagi.<br />

Sidang-sidang MPR adalah sidangsidang<br />

yang memberikan kejelasan<br />

dan kepastian arah dan langkah yang<br />

akan membawa Indonesia ke keadaan<br />

yang mencerdaskan kehidupan bangsa,<br />

memajukan kesejahteraan umum,<br />

melindungi bangsa dan tumpah darah<br />

Indonesia, dan ikut serta dalam<br />

perdamaian dunia.<br />

Dengan demikian, semua lembaga-lembaga<br />

negara “di bawah” MPR<br />

yang melaksanakan misi tersebut<br />

senantiasa diawasi oleh MPR agar tidak<br />

keluar dari jalurnya, atau terjadi<br />

pembiaran, pengabaian atau melalaikannya.<br />

MPR akan dengan sigap dan<br />

responsif secara proporsional untuk<br />

mengingatkannya.<br />

UU yang mengatur <strong>DPR</strong> dan DPD<br />

dibuat tersendiri karena kedua lembaga<br />

tersebut ditempatkan sebagai<br />

“parlemen harian” yang tugas dan kewajiban<br />

utamanya membuat UU dan<br />

menetapkan APBN.<br />

Sedangkan pengaturan mengenai<br />

<strong>DPR</strong>D harus diselaraskan dengan pengaturan<br />

Pemerintah Daerah. Karena<br />

keberadaan <strong>DPR</strong>D merupakan bagian<br />

dari Pemerintahan Daerah seperti dinyatakan<br />

dalam Bab VI Pemerintahan<br />

Daerah UUD 1945.<br />

Meskipun keberadaan <strong>DPR</strong>D diatur<br />

dalam UU tentang Pemerintahan<br />

Daerah, namun kedudukan, fungsi,<br />

dan kewenangan <strong>DPR</strong>D harus benarbenar<br />

diposisikan sebagai lembaga<br />

parlemen daerah, yang memiliki kewenangan<br />

dan fungsi signifikan dalam<br />

pembentukan Perda, APBD, dan pengawasan.<br />

Pengaturan <strong>DPR</strong>D harus<br />

diatur lengkap dengan UU tentang<br />

Pemerintahan Daerah, dan sedikit kemungkinan<br />

(hal-hal yang sangat teknis<br />

saja) porsi yang diatur dalam PP<br />

dan Permendagri. Pemerintah melalui<br />

PP dan Permendagri tidak boleh mengatur<br />

lembaga <strong>DPR</strong>D yang berakibat<br />

“pelemahan” kedudukan dan fungsi<br />

<strong>DPR</strong>D.<br />

Hal mengenai materi muatan<br />

UU yang mengatur MPR, <strong>DPR</strong>, DPD,<br />

<strong>DPR</strong>D tidak terlalu rigid dan mengatur<br />

hal-hal teknis. Hal-hal teknis keparlemenan<br />

dapat diatur dalam tata tertib<br />

dari masing-masing lembaga negara.<br />

Hal yang diatur terlampau teknis<br />

akan menyulitkan dalam membangun<br />

dinamika dan sikap responsiveness<br />

dari lembaga tersebut sebagai wakil<br />

rakyat.<br />

Khusus mengenai DPD apabila<br />

benar-benar akan diperkuat kedudukan,<br />

fungsi, dan wewenangnya maka<br />

dalam UU tentang <strong>DPR</strong> dan DPD<br />

perlu dilakukan sharing of power dengan<br />

<strong>DPR</strong>. Meskipun UUD 1945 tidak<br />

mengeksplisitkan peran yang signifikan<br />

DPD dalam pembentukan UU,<br />

APBN, dan pengawasan, namun apabila<br />

<strong>DPR</strong> “rela” berbagi dengan DPD<br />

merupakan hal yang sangat positif<br />

bagi penyelenggaraan Negara.<br />

Menurut hemat saya, meskipun<br />

<strong>DPR</strong> rela berbagi kekuasan dengan<br />

DPD, sesungguhnya tidak akan<br />

mengurangi kekuasaan <strong>DPR</strong>. Justru<br />

manfaatnya, <strong>DPR</strong> memiliki mitra yang<br />

tangguh untuk membentuk UU dan<br />

APBN.<br />

Namun apabila ternyata <strong>DPR</strong> enggan<br />

untuk berbagi kekuasaan dengan<br />

DPD, dan kekuasaan DPD sama seperti<br />

sekarang ini, sebaiknya keberadaan<br />

DPD dihapuskan saja dalam struktur<br />

organisasi ketatanegaraan Indonesia.<br />

Karena apabila DPD tidak diberikan<br />

kewenangan yang signifikan dalam<br />

membentuk UU, APBN, dan pengawasan<br />

akan terjadi kemubadziran<br />

saja.***<br />

Pertemuan para Pimpinan Lembaga Tingggi Negara di Gedung Nusantara V <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


SUMBANG PENGAWASAN SARAN<br />

Masalah BBM :<br />

Pemerintah Harus Hati-hati<br />

Mengambil Keputusan<br />

Yang Sensitif<br />

Beberapa waktu lalu, masyarakat<br />

kita dicemaskan dengan<br />

rencana pemerintah menaikkan<br />

harga Bahan Bakar Minyak (BBM)<br />

bersubsidi. Pasalnya masyarakat khawatir<br />

kenaikan harga BBM biasanya<br />

berdampak pada kenaikan harga<br />

kebutuhan pokok dan transportasi.<br />

Pemerintah dinilai tidak peduli pada<br />

kesulitan sebagian masyarakat yang<br />

berpenghasilan rendah.<br />

Sementara pemerintah berpendapat<br />

dengan menaikkan harga<br />

BBM merupakan suatu kebijakan yang<br />

harus dilaksanakan, mengingat harga<br />

minyak dunia sudah sangat tinggi,<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

sehingga bila tidak dinaikkan, maka<br />

subsidi BBM akan memberatkan<br />

APBN dan dapat mengancam perekonomian<br />

nasional.<br />

Berbagai aksi penolakan kenaikan<br />

BBM pun bermunculan di sejumlah<br />

kota besar di Indonesia, mulai dari<br />

mahasiswa, buruh, sampai beberapa<br />

Kepala Daerah pun turun ke jalan menolak<br />

kebijakan pemerintah tersebut.<br />

Mereka menolak pemerintah menaikkan<br />

harga BBM dari Rp 4.500,-/liter<br />

menjadi Rp 6.000,-/liter.<br />

Rencana pemerintah menaikkan<br />

harga BBM bersubsidi mendapat dukungan<br />

dari lima partai koalasi di <strong>DPR</strong><br />

Internet/ yendi-bengkulu.blogspot.com<br />

antara lain Demokrat, Golkar, PAN,<br />

PPP dan PKB. Sementara saat itu sikap<br />

PKS masih belum jelas. Dibarisan yang<br />

menolak kebijakan pemerintah ada<br />

PDIP, Gerindra dan Hanura.<br />

Rapat-rapat Komisi <strong>DPR</strong> dengan<br />

pemerintah telah melakukan pembahasan<br />

secara intens mengenai masalah<br />

BBM bersubsidi, dan <strong>DPR</strong> telah<br />

memberikan rekomendasi terhadap<br />

langkah-langkah yang perlu diambil<br />

pemerintah.<br />

Pemerintah juga diminta mempersiapkan<br />

Program Kerja Tim Koordinasi<br />

Penanggulangan, Penyalahgunaan,<br />

Penyediaan dan Pendistribusian BBM


(TKP4BBM) dalam rangka mengawal<br />

penggunaan BBM agar tepat sasaran.<br />

Rapat Badan Anggaran <strong>DPR</strong> yang<br />

membahas APBN Perubahan 2012<br />

termasuk didalamnya pembahasan<br />

kenaikan BBM berjalan sangat alot<br />

dan sempat diwarnai aksi walkout<br />

dari Fraksi Gerindra dan Hanura.<br />

Badan Anggaran <strong>DPR</strong> gagal mencapai<br />

kesepakatan dan memutuskan membawa<br />

soal kenaikan harga BBM ke<br />

dalam Rapat Paripurna <strong>DPR</strong>.<br />

Rapat Paripurna <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> (30/3)<br />

yang berlangsung hingga dini hari<br />

menempuh jalan pemungutan suara<br />

(voting) secara terbuka untuk pengambilan<br />

keputusan.<br />

Dalam mekanisme ini, anggota<br />

fraksi <strong>DPR</strong> dihadapkan pada dua opsi<br />

pilihan. Opsi pertama, Pasal 7 ayat 6<br />

RUU tentang Perubahan UU Nomor<br />

22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun<br />

Anggaran 2012 tetap, tidak berubah.<br />

Artinya tak ada kenaikan BBM.<br />

Opsi kedua, menambahkan ayat<br />

6 butir a yang memberi kesempatan<br />

kepada pemerintah untuk menaikkan<br />

harga BBM, namun dengan persyaratan.<br />

Bilamana harga minyak<br />

mentah rata-rata Indonesia dalam kurun<br />

waktu berjalan yaitu enam bulan<br />

mengalami kenaikan atau penurunan<br />

lebih dari 15 persen, maka pemerintah<br />

diberikan kewenangan untuk melakukan<br />

penyesuaian harga BBM bersubsidi<br />

dan kebijakan pendukungnya.<br />

Hasilnya, mayoritas anggota fraksi<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> menyetujui opsi kedua dengan<br />

jumlah 356 suara. Sementara hanya<br />

82 anggota yang menyetujui opsi<br />

pertama. Jumlah dukungan terhadap<br />

opsi pertama cukup kecil karena hanya<br />

terdiri dari Fraksi PKS dan Gerindra.<br />

Dua fraksi yang konsisten sejak<br />

awal menolak memutuskan untuk<br />

walk-out, yaitu PDIP dan Hanura.<br />

Sebagai hasil akhir, Rapat Paripurna<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> memutuskan bahwa kenaikan<br />

harga BBM yang rencananya berlaku<br />

1 April 2012, gagal dilaksanakan<br />

dan <strong>DPR</strong> memutuskan tambahan<br />

Pasal 7 ayat 6a pada UU Nomor 22<br />

Tahun 2011 tentang APBN 2012. Intinya,<br />

pemerintah baru boleh mengubah<br />

harga BBM jika harga rata-rata<br />

minyak mentah Indonesia (Indonesia<br />

Crude Price/ICP) mengalami perubahan<br />

sebesar 15 persen selama enam<br />

bulan.<br />

Keputusan tersebut menjadi sebuah<br />

antiklimaks baik bagi pemerintah<br />

yang sudah bersiap-siap menaikkan<br />

harga BBM, maupun bagi<br />

partai oposisi dan para demonstran<br />

yang menolak pilihan kenaikan BBM.<br />

Meskipun harga BBM tidak jadi naik,<br />

namun tetap terbuka kemungkinan<br />

sewaktu-waktu harga BBM dinaikkan.<br />

Pada dasarnya semua sepakat<br />

bahwa pemerintah berkewajiban<br />

menjamin kesejahteraan rakyat dan<br />

menetapkan kebijakan-kebijakan<br />

yang menjamin terciptanya kesejahteraan<br />

masyarakat secara keseluruhan.<br />

Namun kita pun setuju bahwa<br />

subsidi yang diberikan pemerintah<br />

harus tepat sasaran kepada sektor<br />

dan pihak yang benar-benar membutuhkan.<br />

Subsidi yang tidak tepat<br />

hanya akan mengakibatkan pemborosan<br />

dan menghambat pembangunan<br />

nasional.<br />

Saat ini yang dibutuhkan adalah<br />

kearifan semua pihak. Bagi pihak<br />

yang menentang kebijakan kenaikan<br />

harga BBM, diharapkan dapat memahami<br />

tujuan kenaikan harga tersebut<br />

adalah untuk mengurangi subsidi<br />

yang tidak tepat sasaran menjadi subsidi<br />

yang ditujukan kepada masyarakat<br />

berpenghasilan rendah.<br />

Bagi pemerintah sendiri, hendaknya<br />

dipahami bahwa kritik atas rencana<br />

kenaikan harga BBM tersebut<br />

bukan dimaksudkan untuk membenci<br />

pemerintah, tetapi sebagai suatu alat<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. | Edisi XLII, 91 2012 TH. XLII, | 2012 |<br />

Internet/ batursajalur.blogspot.com


PENGAWASAN<br />

kontrol terhadap fungsi pemerintahan<br />

yang sebenarnya, yaitu melindungi<br />

rakyat seluruhnya.<br />

Kita semua yakin, seluruh rakyat<br />

akan mendukung kenaikan harga<br />

BBM bila pengurangan subsidi tersebut<br />

dapat direalisasikan kepada sektor-sektor<br />

yang benar-benar bermanfaat<br />

bagi kehidupan masyarakat<br />

luas, misalnya mewujudkan sekolah<br />

dan fasilitas kesehatan gratis untuk<br />

rakyat miskin, pembangunan infrastruktur<br />

di daerah-daerah yang tertinggal,<br />

daerah perbatasan, sehingga<br />

dapat mewujudkan pemerataan kesempatan<br />

dalam perekonomian dan<br />

penghidupan yang layak bagi seluruh<br />

warga negara.<br />

Pengalihan subsidi BBM hendaknya<br />

tidak diberikan dalam bentuk<br />

Bantuan Langsung Tunai (BLT),<br />

karena hanya bersifat sementara dan<br />

tidak mendidik, bahkan cenderung<br />

mendidik masyarakat memiliki mental<br />

pengemis.<br />

Anggota Komisi VII <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Daryatmo<br />

Mardiyanto menyatakan se-<br />

Anggota Komisi VII <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Daryatmo Mardiyanto<br />

0 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

belum dilakukan revisi terhadap UU<br />

APBN Tahun Anggaran 2012, UU yang<br />

berlaku adalah UU APBN yang sudah<br />

disetujui pada Oktober 2011 dimana<br />

pada pasal 7 ayat 6 dinyatakan bahwa<br />

harga BBM tidak akan dinaikkan.<br />

“Jika dinaikkan, maka pemerintah<br />

melanggar UU dan kami (<strong>DPR</strong>) berkepentingan<br />

untuk mengingatkan. Kami<br />

akan berusaha mencegah pemerintah,”<br />

ujar Daryatmo.<br />

Daryatmo menyatakan bahwa<br />

masalah BBM menyangkut hajat<br />

hidup orang banyak, oleh karenanya<br />

pemerintah diminta untuk berhatihati<br />

dalam mengambil keputusan<br />

yang berkaitan dengan masalah<br />

tersebut. “Masalah BBM harus menjadi<br />

perhatian kita sehingga sensitifitas<br />

yang sangat tinggi terhadap policy<br />

dalam budget yang kurang baik harus<br />

menjadi perhatian pemerintah agar<br />

berhati-hati melakukan keputusankeputusan<br />

yang sensitif,” terang politisi<br />

dari Partai Demokrasi Indonesia<br />

Perjuangan tersebut.<br />

Karena setiap kenaikan BBM ham-<br />

pir dipastikan berimbas kepada kenaikan-kenaikan<br />

harga lainnya. Dan<br />

indikasi hal tersebut memang menunjukkan<br />

bahwa sebelum kenaikan harga<br />

BBM sudah terjadi kenaikan harga<br />

bahan baku dan sembako lainnya. “Ini<br />

menunjukkan bahwa kenaikan harga<br />

BBM menjadi elemen sentral bagi terjadinya<br />

kegiatan ekonomi di tingkat<br />

masyarakat yang saling terkait dan<br />

berantai, atau disebut dengan efek<br />

domino,” papar Daryatmo.<br />

Daryatmo tidak sependapat jika<br />

dalam menentukan harga minyak<br />

dalam negeri berdasarkan pada<br />

pendekatan pasar atau diserahkan<br />

kepada mekanisme pasar.<br />

Berkaitan dengan rencana pemerintah<br />

untuk melakukan pembatasan<br />

BBM, Daryatmo mempertanyakan,<br />

“Apakah kita yakin hal itu tidak akan<br />

berpengaruh terhadap roda perekonomian<br />

nasional dan masyarakat?,”<br />

tegasnya.<br />

Daryatmo menjelaskan kata pembatasan<br />

mengkonotasikan seolaholah<br />

BBM itu hanya satu-satunya<br />

dalam kehidupan kita, karena masih<br />

ada bahan bakar lain seperti gas<br />

atau energi terbarukan misalnya panas<br />

bumi atau bio ethanol dan bio<br />

gas. Saat ini memang 80% didominasi<br />

oleh minyak.<br />

Namun menurut Daryatmo jika<br />

pembatasan dalam pengertian penghematan,<br />

maka akan membatasi kegiatan<br />

mesin penggerak yang akan<br />

menimbulkan gejolak di sisi lain. “Dan<br />

suply and demand menjadi hukum<br />

ekonomi, volume dibatasi sementara<br />

kebutuhan masih sama maka akan<br />

terjadi kenaikan harga,” paparnya.<br />

Jika subsidi dianggap tidak tepat<br />

sasaran, Daryatmo tidak sependapat.<br />

Menurut survey yang dilakukan fraksinya<br />

(Fraksi PDIP) selama satu bulan<br />

pada Januari 2011 di Jabodetabek tidak<br />

menunjukkan demikian.<br />

“Sebagian besar subsidi BBM dinikmati<br />

masyarakat kelompok bawah.<br />

Survey yang kami lakukan saat membahas<br />

pembatasan BBM yang diusulkan<br />

oleh Pemerintah, hasilnya total<br />

premium yang dikonsumsi oleh rumah


tangga, 64% dikonsumsi oleh sepeda<br />

motor sedangkan untuk kendaraan<br />

mobil hanya 36%,” jelas Daryatmo.<br />

Mengingat sebagian besar pemilik<br />

sepeda motor adalah masyarakat<br />

menengah ke bawah, maka selama<br />

ini sebagian besar subsidi premium<br />

(64%) dikonsumsi oleh kelompok masyarakat<br />

menengah ke bawah dan bukan<br />

oleh kelompok masyarakat atas.<br />

Kemudian konsumsi premium<br />

bagi kendaraan mobil 36%, namun<br />

dalam gambaran pola kepemilikan<br />

atau pembelian kendaraan di Jabodetabek<br />

51% adalah dengan sistem<br />

kredit, 48% pembelian tunai dan 1%<br />

merupakan hibah.<br />

Dari prosentase tersebut, 51%<br />

yang membeli mobil dengan sistem<br />

kredit tidak bisa dikategorikan kelompok<br />

atas karena tidak bisa melakukan<br />

saving (menabung). “Cara mengkredit<br />

kendaraan mobil tersebut sebagai<br />

cara mereka saving (menabung).<br />

Ini menggambarkan bahwa subsidi<br />

dinikmati oleh kelompok masyarakat<br />

bawah,” ujar anggota <strong>DPR</strong> dari Daerah<br />

Pemilihan Jawa Tengah II.<br />

“Sedangkan dari data Survei Sosial<br />

Ekonomi Nasional (Susenas) BPS<br />

menunjukkan, ternyata 65% bensin<br />

dikonsumsi oleh kelompok ma-<br />

syarakat menengah dan bawah yang<br />

pendapatan per kapitanya kurang dari<br />

4 dollar, termasuk masyarakat miskin<br />

yang pendapatan per kapitanya<br />

kurang dari 2 dollar. Maka hasil survei<br />

membantah anggapan bahwa subsidi<br />

tidak tepat sasaran,” tambahnya.<br />

Saat ini yang terpenting menurut<br />

Daryatmo fungsi negara adalah<br />

Demo menolak kenaikan BBM di depan Gedung <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

melindungi seluruh tumpah darah<br />

dan segenap bangsa Indonesia. Oleh<br />

karena itu, maka subsidi harus tetap<br />

diteruskan karena merupakan pemberian<br />

perlindungan kepada kelompok<br />

masyarakat untuk bisa membantu<br />

dirinya sendiri sebelum dilepas untuk<br />

bisa berkompetisi secara penuh dengan<br />

yang lainnya. (sc)<br />

Antrian pengisian bensin disalahsatu SPBU di Jakarta menjelang kenaikan BBM<br />

Internet/ kaltengpos.web.id Internet/ flickr.com<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1


Internet/ gambaronline.com<br />

PENGAWASAN<br />

Mencari Format Terbaik<br />

Pelaksanaan Haji<br />

Perbaikan penyelenggaraan rukun<br />

Islam kelima senantiasa<br />

menjadi harapan besar rakyat<br />

Indonesia. Betapa tidak! Meski memiliki<br />

calon haji terbesar di dunia dan<br />

mengirimkan sekitar 200 ribu orang<br />

lebih jemaah per tahun, selalu saja<br />

ada persoalan krusial dalam pelaksanaan<br />

penyelenggaraan haji.<br />

Maka wajar apabila belum lama ini,<br />

<strong>DPR</strong> dan Komisi Pemberantasan Korupsi<br />

(KPK) mengintensifkan pengawasan<br />

operasionalisasi haji. Terakhir,<br />

kepada parlemen, KPK membeberkan<br />

fakta bahwa telah terjadi pemborosan<br />

biaya penyelenggaraan ibadah haji<br />

atau BPIH (dulu ONH atau ongkos<br />

naik haji) sebesar 253,6 juta dolar AS<br />

atau Rp 2,3 triliun (kurs Rp 9.200/do-<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

lar AS).<br />

Inefisiensi tersebut terjadi pada<br />

tahun 2007-2009. Salah satu penyebab<br />

pemborosan adalah penggunaan<br />

model sewa carter pesawat (bukan<br />

pembelian tiket) dan mekanisme<br />

penunjukan langsung (bukan tender)<br />

yang tak sesuai Keputusan Presiden<br />

Nomor 80 Tahun 2003. KPK juga<br />

menemukan penggunaan biaya tak<br />

langsung (indirect cost) yang tidak<br />

menunjang pelayanan terhadap jemaah.<br />

Bahkan KPK secara tegas mengusulkan<br />

moratorium pendaftaran haji.<br />

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas<br />

menyatakan, manajemen pengelolaan<br />

keuangan haji saat ini berpotensi korupsi.<br />

Hingga Februari 2012 saja jum-<br />

lah pendaftar calon haji sudah mencapai<br />

1,4 juta orang dengan jumlah<br />

setoran awal mencapai Rp 38 triliun.<br />

Dalam kondisi ini, Ketua Fraksi<br />

Partai Golkar (FPG) Setya Novanto<br />

berpandangan perlu dilakukan pemisahan<br />

antara regulator dan operator,<br />

untuk menjamin transparansi penyelenggaraan<br />

haji juga diperlukan<br />

Kantor Akuntan Publik independen<br />

guna mengaudit keuangan pelaksanaan<br />

perjalanan ibadah umat Muslim<br />

tersebut.<br />

Menurut Novanto, dalam penyelenggaraan<br />

ibadah haji, Kementerian<br />

Agama seharusnya bertindak sebagai<br />

regulator yang berfungsi sebagai<br />

penenentu kebijakan. Sedangkan sebagai<br />

pelaksana atau operator adalah


institusi yang terpisah yang diisi oleh<br />

Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tenaga<br />

profesional.<br />

“Dalam hal ini institusi penyelenggaraan<br />

haji bisa berbentuk badan<br />

yang langsung di bawah Presiden,”<br />

ujarnya pada seminar Membangun<br />

Sistem Penyelenggaraan Ibadah Haji<br />

yang Baik, Profesional dan Amanah<br />

yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai<br />

Golkar di Gedung <strong>DPR</strong>/MPR beberapa<br />

waktu lalu.<br />

Novanto mengemukakan dengan<br />

dilakukannya pemisahan itu maka<br />

berbagai kendala haji selama ini bisa<br />

dikurangi. Setya menyebutkan salah<br />

satu persoalan yang dihadapi oleh<br />

jemaah calon haji termasuk masalah<br />

pemondokan.<br />

Ia menambahkan pemondokan jamaah<br />

masih jauh dari Masjidil Haram<br />

dan tidak mungkin ditempuh dengan<br />

jalan kaki sehingga banyak jamaah<br />

yang menggunakan mobil bak terbuka.<br />

Untuk mengatasi masalah pemondokan,<br />

Novanto mengatakan perlu<br />

dibangun sebuah pemondokan yang<br />

permanen agar jemaah bisa tenang<br />

beribadah.<br />

Dia menceritakan pengalamannya<br />

ketika mendapati sebagai jemaah<br />

calon haji tidak bisa ditampung karena<br />

kurangnya tempat pemondokan.<br />

Padahal, kata dia dana haji yang terkumpul<br />

hingga saat ini telah mencapai<br />

kurang lebih sekitar Rp35,3 triliun.<br />

“Besar dana haji yang ada saat ini<br />

belum menyentuh perbaikan pelayanan<br />

haji. Padahal jika dana tersebut<br />

digunakan secara maksimal tentunya<br />

dapat mengurangi beban biaya penyelenggaraan<br />

ibadah haji,” ujarnya.<br />

Terkait usulan moratorium pendaftaran<br />

calon haji, <strong>DPR</strong> secara tegas<br />

menolak usulan KPK tersebut. Wakil<br />

Ketua Komisi VIII <strong>DPR</strong>, Radityo Gondo<br />

Gambiro mengatakan pendaftaran<br />

haji dan pengelolaan keuangan merupakan<br />

kegiatan terpisah. Karenanya<br />

usulan moratorium yang dikaitkan<br />

dengan pengelolaan keuangan, dinilai<br />

tidak tepat.<br />

Radityo menjelaskan dalam kunjungan<br />

kerja Komisi VIII ke sejum-<br />

lah daerah, anggota dewan kerap<br />

mendapat pertanyaan mengenai<br />

wacana moraorium pendaftaran haji.<br />

Namun para ulama termasuk yang<br />

tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia<br />

(MUI) di daerah, melontarkan<br />

reaksi keras. “Mereka tak setuju kalau<br />

pendaftaran itu harus dihentikan karena<br />

haji kan urusan syariat,” kata Radityo<br />

kepada wartawan di<br />

Jakarta, Minggu (26/2).<br />

Namun, Radityo<br />

mendesak dilakukannya<br />

perbaikan sistem pe<br />

ngelolaan keuangan dari<br />

setoran awal calon jemaah<br />

haji. Menurutnya,<br />

Badan Pemeriksa Keuangan<br />

(BPK) perlu melakukan<br />

audit investigatif.<br />

“Ini bukan untuk mencari-cari<br />

kesalahan, tapi<br />

bagaimana membangun<br />

sistem yang lebih sehat,”<br />

cetusnya.<br />

Dia pun mengingatkan<br />

perlunya transparansi<br />

dan akuntabilitas pengelolaan<br />

setoran awal calon<br />

jemaah haji itu. Dicontohkannya,<br />

pemerintah<br />

telah menaikkan dana<br />

setoran awal dari Rp 20<br />

Wakil Ketua Komisi VIII <strong>DPR</strong> Radityo Gondo Gambiro<br />

juta menjadi Rp 25 juta. “Ini apakah<br />

demi mengurangi jumlah pendaftar,<br />

atau ada maksud lain?” ucapnya.<br />

Radityo menambahkan, kenaikan<br />

jumlah setoran awal pendaftaran<br />

dapat dilakukan asalkan dibarengi<br />

dengan pengelolaan yang transparans<br />

dan ada akuntabilitas penggunaannya.<br />

“Jadi audit investigasi tetap<br />

Setya Novanto Ketua Fraksi Partai Golkar<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


PENGAWASAN<br />

Seminar membangun penyelenggaraan ibadah haji yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar di<br />

Gedung Nusantara IV beberapa waktu yang lalu.<br />

dilakukan, tapi BPK juga membangun<br />

sistem manajemen keuangan haji<br />

yang lebih baik. Ini tak kalah penting<br />

karena ini tidak hanya dipakai untuk<br />

sekali musim haji,” imbuh dia.<br />

Saat ini Komisi VIII <strong>DPR</strong> juga tengah<br />

mendorong pembentukan<br />

badan khusus sebagai penyelenggara<br />

ibadah haji. Badan itu akan melengkapi<br />

Komisi Pengawas Ibadah Haji<br />

(KPIH) yang dibentuk sesuai amanat<br />

UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang<br />

Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH).<br />

“Selama ini kan yang jadi persoalan<br />

pemerintah menjadi regulator,<br />

pelaksana, sekaligus pengawas. Nanti<br />

lewat revisi UU PIH, kita bentuk badan<br />

khusus penyelenggara haji. Badan<br />

khusus itu bukan berarti swastanisasi,<br />

karena langsung di bawah presiden.,”<br />

pungkasnya.<br />

Hal senada juga diungkapkan<br />

Wakil Ketua Komisi VIII Chairunnisa<br />

yang menolak permintaan KPK untuk<br />

membekukan atau melakukan moratorium<br />

pendaftaran haji. Pihaknya<br />

beralasan, tidak ada yang bisa menolak<br />

masyarakat yang ingin mendaftarkan<br />

diri menjadi calon jamaah haji.<br />

Meski begitu, <strong>DPR</strong> mendukung adanya<br />

pembekuan sementara setoran<br />

awal haji, yang dibebankan kepada<br />

setiap calon jamaah.<br />

Menurut politisi dari Partai Golkar<br />

itu, setoran awal penyelenggaraan<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

haji itu bisa dibayarkan setelah calon<br />

jamaah mengetahui jadwal keberangkatannya.<br />

“Untuk setoran, nanti dulu.<br />

Tunggu daftar antrian selesai atau<br />

menunggu Kementerian Agama<br />

memberangkatkan calon jamaah yang<br />

telah menyetor dengan jumlah keseluruhan<br />

mencapai Rp 32<br />

triliun itu,” jelas Chairunnisa,<br />

di Gedung <strong>DPR</strong>/MPR,<br />

Jakarta, Selasa (6/3).<br />

Oleh karena itu, Komisi<br />

VIII <strong>DPR</strong> kata dia menargetkan<br />

agar segera menyelesaikan<br />

revisi undangundang<br />

tentang haji, yaitu<br />

UU Nomor 13 Tahun 2008.<br />

Dengan adanya revisi<br />

mengenai setoran awal<br />

ini, diharapkan aturan<br />

mengenai haji dapat lebih<br />

ditegakkan dan tidak<br />

merugikan masyarakat.<br />

“Kami harapkan akhir<br />

tahun ini bisa selesai. Dan<br />

kami juga tetap mengawasi<br />

supaya hal ini tidak<br />

menjadi persoalan terusmenerus<br />

dan merugikan<br />

masyarakat,” imbuh Chairunnisa.<br />

Selain itu, Chairunnisa<br />

menambahkan, selama<br />

ini memang belum ada<br />

aturan yang mengawasi<br />

bunga dana setoran awal ibadah haji<br />

yang diperkirakan mencapai Rp 2 miliar<br />

itu. Karena itu, pihaknya juga akan<br />

memasukkan pengelolaan mengenai<br />

bunga setoran awal penyelenggaraan<br />

ibadah haji kedalam revisi undangundang<br />

ibadah haji. “Pengelolaan<br />

mengenai bunga juga harus diawasi<br />

dan dibuatkan aturan pengelolaannya,”<br />

sebutnya.<br />

Sama halnya dengan Setya Novanto,<br />

anggota Komisi VIII Zulkarnaen<br />

Djabar juga berpandangan agar seluruh<br />

keuangan haji dan penggunaan<br />

dana haji yang saat ini dikelola Kementerian<br />

Agama diaudit oleh Kantor<br />

Akuntan Publik independen. Menurutnya,<br />

audit independen itu diperlukan<br />

guna menciptakan transparansi<br />

dan akuntabilitas pengelolaan keuangan<br />

negara.<br />

“Saya kira, untuk menciptakan<br />

pemerintahan yang bersih dan tidak<br />

menimbulkan praduga tak bersalah,<br />

ada baiknya dana haji yang ada sekarang<br />

ini diaudit oleh Akuntan Publik<br />

Wakil Ketua Komisi VIII <strong>DPR</strong> Chairunnisa


Independen dan selanjutnya hasil audit<br />

tersebut diumumkan kepada publik,”<br />

ujar Zulkaranen.<br />

Dia menjelaskan, pelaksanaan UU<br />

No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan<br />

Ibadah Haji (PIH) terdapat<br />

banyak kelemahan dan berpotensi<br />

menimbulkan penyimpangan. Penyimpangan<br />

itu antara lain soal pembentukan<br />

Panitia Penyelenggaraan<br />

Haji (PPIH), Biaya Penyelenggara Ibadah<br />

Haji, dan Komisi Pengawas Haji<br />

Indonesia.<br />

“Secara prinsip, perlu dihindari<br />

kebijakan ibadah haji yang mengarah<br />

pada in-efisiensi dan monopoli.<br />

Pemerintah harus mengembangkan<br />

semangat untuk perbaikan mutu<br />

pelayanan dan biaya penyelenggaraan<br />

ibadah haji yang murah,” katanya.<br />

Sedangkan untuk menghindari<br />

daftar tunggu (waiting list), menurut<br />

Zulkarnaen sudah saatnya pemerintah<br />

menerapkan moratorium setoran<br />

awal dana haji. Moratorium yang dimaksudkan,<br />

ujarnya, adalah bahwa<br />

jemaah tetap diperbolehkan mendaftar<br />

tapi tanpa menyetor dana setoran<br />

awal haji.<br />

Meski begitu, Menteri Agama<br />

Suryadharma Ali dibeberapa media<br />

menyatakan akan menguji usul<br />

KPK untuk menghentikan sementara<br />

pendaftaran haji (moratorium). Sebab,<br />

ada kemungkinan ongkos naik haji<br />

akan meningkat jika biaya itu baru<br />

dibayar sebelum jemaah haji berangkat<br />

ke Tanah Suci.<br />

“Akan diuji dulu, termasuk barangkali<br />

untuk menghindari jangan sampai<br />

ada penyelewengan uang satu rupiah<br />

pun di Kementerian. Bisa jadi ada pikiran<br />

seperti itu. Jadi, orang pada saat<br />

mau berangkat saja setornya. Bisa saja<br />

kayak begitu,” kata Suryadharma.<br />

Menurut dia, usul setoran satu<br />

kali saat akan berangkat haji bisa<br />

menimbulkan konsekuensi negatif.<br />

“Konsekuensinya, biaya haji bisa lebih<br />

mahal dan pengaturannya bisa lebih<br />

ruwet. Sekarang, kalau orang setor di<br />

bank, dia tahu kapan harus berangkat,”<br />

dia menjelaskan.<br />

Suryadharma menilai pembayaran<br />

biaya penyelenggaraan ibadah haji<br />

(BPIH) sejak jauh hari, seperti selama<br />

ini dilakukan, dapat menghemat di<br />

sejumlah pos biaya. Sebab, sejumlah<br />

biaya dapat dibayar dari bunga hasil<br />

pengendapan pembayaran biaya itu<br />

di bank. Menurut dia, besaran biaya<br />

haji masih dapat dihitung bersama<br />

<strong>DPR</strong> dan diaudit Badan Pemeriksa<br />

Keuangan (BPK). “Kemudian pelaksanaannya<br />

dikontrol <strong>DPR</strong>, DPD, Inspektur<br />

Jenderal, dan badan-badan<br />

terkait,”katanya.<br />

Menanggapi usul anggota Komisi<br />

VIII <strong>DPR</strong> agar penyelenggaraan haji<br />

dikelola badan khusus di luar Kementerian,<br />

Menteri Agama menilainya<br />

belum tentu lebih baik. Namun usul<br />

tersebut akan dilaksanakan jika Undang-Undang<br />

Penyelenggaraan Haji<br />

diubah. “Pelaksanaan tergantung<br />

undang-undang. Kalau menyatakan<br />

lepas, ya, akan dilepas,” katanya.<br />

Dalam makalahnya, saat menjadi<br />

pembicara dalam seminar yang diselenggarakan<br />

Fraksi Partai Golkar, 5<br />

Maret lalu, Profesor Azyumardi Azra<br />

menjelaskan sepanjang sejarah Penyelenggaraan<br />

Ibadah Haji (PIH) sejak<br />

masa kolonial Belanda sampai sekarang<br />

ini, hampir selalu terjadi penyelewengan<br />

pengelolaan dan pendanaan<br />

oleh pihak-pihak swasta.<br />

Sebab itu, penanggungjawab dan<br />

PIH semestinya tetap berada pada<br />

otoritas dan tangan pemerintah, namun<br />

demikian, masyarakat melalui<br />

mekanisme tertentu dapat mengawasi<br />

PIH oleh pemerintah.<br />

Disini Azyumardi mengingatkan,<br />

perlunya mempertimbangkan tentang<br />

urgensi Komisi Pengawas Haji Indonesia<br />

(KPIH) mengingat telah begitu<br />

banyaknya ‘Komisi’ negara yang tidak<br />

efektif; atau cukup dengan semacam<br />

dewan pengawas saja.<br />

Secara ideal menurut Azyumardi,<br />

PIH dapat berupa sebuah badan khusus/lembaga<br />

negara yang bisa disebut<br />

sebagai Badan Otoritas Ibadah<br />

Haji (BOIH—untuk tidak menggunakan<br />

istilah BPIH, yang akan bisa rancu<br />

dengan Biaya Penyelenggaraan Ibadah<br />

Haji). BOIH atau nama lain yang<br />

Profesor Azyumardi Azra<br />

dipandang lebih pas, yang di bentuk<br />

pemerintah bersama <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> memiliki<br />

hubungan kordinatif, evaluative<br />

dan supervise dengan Kementerian<br />

Agama.<br />

Dalam pidato penutupan Masa<br />

Sidang III, Ketua <strong>DPR</strong> Marzuki Alie<br />

mengatakan terkaitnya adanya sorotan<br />

terhadap tidak transparannya pengelolaan<br />

dana setoran calon jamaah<br />

haji yang dikelola oleh Kementerian<br />

Agama.<br />

Dalam hal ini, jelas Marzuki, kita<br />

tentu setuju apabila dilakukan audit secara<br />

menyeluruh terhadap dana-dana<br />

yang disetorkan oleh calon jamaah<br />

haji. “Dewan juga perlu mempertimbangkan<br />

adanya revisi UU No.13 Tahun<br />

2008 tentang Penyelenggaraan<br />

Ibadah haji dalam rangka cetak biru<br />

mengenai tata kelola penyelenggaraan<br />

ibadah haji yang sehat,”katanya.<br />

Terkait dengan usulan KPK untuk<br />

penghentian sementara pendaftaran<br />

calon jamaah haji yang berpotensi<br />

penyelewengan, Marzuki menjelaskan,<br />

butuh pemikiran dan kajian yang<br />

mendalam agar tidak memunculkan<br />

persoalan baru yang terkesan menghalangi<br />

calon jamaah haji dalam<br />

melakukan ibadahnya.<br />

“Peningkatan kualitas pelayanan<br />

dan manajeman penyelenggaraan haji<br />

dan transparansi pengelolaan dana<br />

tentunya menjadi persoalan utama<br />

yang harus segera diselesaikan,”tega<br />

snya.(nt)<br />

***<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


ANGGARAN<br />

APBN Harus Miliki<br />

Ideologi Kerakyatan<br />

Baru pertama kali dalam sejarah<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> melakukan voting terkait<br />

pembahasan anggaran di<br />

APBNP 2012 khususnya mengenai<br />

subsidi BBM. Memang, kita akui BBM<br />

merupakan salah satu variabel yang<br />

benar-benar menyentuh rakyat kecil.<br />

Kenaikan BBM secara langsung maupun<br />

tidak langsung dapat meningkatkan<br />

berbagai macam kebutuhan<br />

bahan pokok.<br />

“Kemampuan <strong>DPR</strong> itu mengubah<br />

dan paling menolak APBN seperti voting<br />

BBM paripurna lalu,itu baru pertama<br />

kali <strong>DPR</strong> melakukan voting terkait<br />

Anggaran Pemerintah,”Ujar Wakil<br />

Ketua Komisi XI <strong>DPR</strong> Harry Azhar Azis<br />

kepada parlementaria melalui telepon<br />

baru-baru ini.<br />

Menurut Harry, indikator di dalam<br />

APBN khususnya mengenai subsidi<br />

bagi orang miskin belum menyentuh<br />

langsung penduduk miskin tersebut.<br />

“seharusnya pemerintah menerapkan<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

atau melakukan pendataan pernama<br />

atau peralamat dan apa saja yang<br />

diberikan,”katanya.<br />

Pemerintah, lanjutnya, harus memahami<br />

bahwa kekayaan alam dan<br />

sumber daya yang ada diperuntukkan<br />

bagi kepentingan rakyat. “saat<br />

ini pemerintah tidak memiliki standar<br />

yang jelas bahkan selama ini<br />

<strong>DPR</strong> belum pernah mendapatkan<br />

laporan triwulan terkait APBN dan<br />

sebagainya,”paparnya. Bahkan, pengawasan<br />

di <strong>DPR</strong> itu cenderung sporadis<br />

dan tidak terfokus kepada hasil<br />

dari outcomes APBN tersebut.<br />

Dia menambahkan, angka kemiskinan<br />

tersebut tidak berpengaruh<br />

secara langsung dengan APBN. Angka<br />

kemiskinan naik dan turun dengan<br />

sendirinya. “kita tidak pernah sedikitpun<br />

menelusuri belanja pemerintah<br />

dari APBN secara detail,”ujarnya.<br />

Pemerintah, tambahnya, tidak<br />

memiliki ideologi pembelanjaan ru-<br />

piah dimana sebenarnya anggaran<br />

tersebut seharusnya diperuntukkan<br />

untuk kesejahteraan rakyat. “Kedepan<br />

harus disesuaikan ideologi untuk<br />

rakyat Indonesia, dan tetap fokus<br />

terhadap pengentasan kemiskinan di<br />

Indonesia,”katanya.<br />

Menurutnya, persoalan APBN masih<br />

berkutat di daya serap yang masih<br />

rendah bahkan seringkali pekerjaan<br />

banyak dikebut pada akhir tahun. Ini<br />

semua menandakan birokrasi yang<br />

ada masih rendah kinerjanya. “Ini<br />

masih jelak birokrasinya hasilnya,<br />

artinya meskipun sudah remunerasi<br />

diberikan ternyata tidak menunjukkan<br />

produktivitas dari para birokrat<br />

tersebut,”terangnya.<br />

Defisit APBN<br />

Persoalan defisit memang menjadi<br />

masalah yang pelik dihadapi<br />

oleh Indonesia, karena konon paling<br />

besar porsinya setelah anggaran


pendidikan, yang dipatok 20 persen<br />

adalah subsidi energi yang mencapai<br />

15 persen, lebih dari total belanja<br />

negara, bahkan di APBN-P mungkin<br />

mendekati 20 persen.<br />

Ketua Komisi XI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Emir Moeis<br />

mengatakan defisit anggaran yang<br />

saat ini masih tercatat dalam APBN<br />

2012 sebesar 1,5 persen, dan tidak<br />

perlu diperlebar hingga 2,3 persen.<br />

Menurut dia, pemerintah masih<br />

memiliki upaya untuk menutup defisit<br />

tersebut, salah satunya dengan<br />

mengoptimalkan penyerapan ang-<br />

Wakil Ketua Komisi XI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Harry Azhar Azis<br />

garan. “Sisa anggaran masih banyak,<br />

penyerapan anggaran masih dibawah<br />

90 persen, buat apa defisit,” ujarnya.<br />

Emir mengatakan pemerintah tidak<br />

perlu menambah sumber pembiayaan<br />

melalui penerbitan surat<br />

berharga negara. Namun, lanjut dia,<br />

penerbitan surat berharga negara<br />

boleh dilakukan sebagai upaya untuk<br />

membiayai pembangunan sarana infrastruktur.<br />

“Boleh, tapi jual obligasi<br />

ritel, dari dulu saya bilang kalau jual<br />

obligasi yang langsung ke proyek,”<br />

ujarnya.<br />

Terkait program kompensasi BBM,<br />

lanjut Emir, pemberian kompensasi<br />

bagi masyarakat tidak mampu yang<br />

akan terdampak langsung akibat kenaikan<br />

BBM, tidak berfungsi efektif.<br />

“Bantuan tersebut lebih maksimal di-<br />

gunakan untuk pembangunan di desa,<br />

sehingga masyarakat dapat memanfaatkan<br />

sarana tersebut untuk meningkatkan<br />

kesejahterannya,”katanya.<br />

Ketua Badan Anggaran (Banggar)<br />

Melchias Markus Mekeng mengatakan,<br />

akhirnya Pemerintah dan<br />

<strong>DPR</strong> telah menyepakati defisit anggaran<br />

negara dalam APBN-P 2012 menjadi<br />

Rp 190,1 triliun atau 2,23% PDB.<br />

Melchias menjelaskan membengkaknya<br />

defisit tersebut karena memperhitungkan<br />

selisih antara target<br />

penerimaan negara dan hibah Rp<br />

1.358,2 triliun dan belanja negara Rp<br />

1.548,3 triliun.<br />

Untuk menutup defisit tersebut,<br />

target utang pemerintah dinaikkan Rp<br />

22,6 triliun menjadi Rp 156,16 triliun.<br />

Adapun rinciannya adalah sebagai<br />

berikut: Pinjaman luar negeri awalnya<br />

turun Rp 2,53 triliun menjadi minus<br />

Rp 4,42 triliun, Penerbitan surat berharga<br />

negara (netto) naik Rp 25 triliun<br />

menjadi Rp 159,59 triliun, Pinjaman<br />

dalam negeri (neto) naik Rp 131 miliar<br />

menjadi Rp 991,2 miliar.<br />

Menanggapi defisit, jauh-jauh hari<br />

Presiden SBY bahkan telah menginstruksikan<br />

empat hal pokok untuk<br />

menjaga defisit pada APBNP 2012 ini,<br />

Presiden meminta untuk dilakukan<br />

penghematan energi dilakukan secara<br />

serius di seluruh Tanah Air sehingga<br />

akan dijadikan sebuah gerakan nasional.<br />

Kemudian langkah kedua, Presiden<br />

meminta konversi BBM ke BBG<br />

dipercepat implementasinya. Ketiga,<br />

penerimaan negara harus ditingkatkan<br />

seperti penerimaan pajak dan<br />

usaha tambang. Dan yang keempat<br />

adalah Presiden meminta penghematan<br />

anggaran di kantor Kementerian<br />

dan Lembaga Negara serta pemerintahan<br />

daerah. “Ini semua untuk menjaga<br />

agar defisit tetap terjaga dan tidak<br />

melebihi yang ditetapkan UU.<br />

Presiden juga menegaskan penerimaan<br />

dan pengeluaran APBN harus<br />

tetap dijaga keseimbangannya untuk<br />

menghindari utang baru. “Kita perlu<br />

menjaga rasio utang terhadap PDB<br />

secara sehat di angka 25 persen. Kita<br />

tidak ingin kondisi makro terganggu.<br />

Ini usaha untuk menyelamatkan<br />

ekonomi,”kata Presiden SBY kepada<br />

pers.<br />

***<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

Internet/ berita8.com


ANGGARAN LEGISLASI<br />

Revisi UU Ormas :<br />

Berdayakan Ormas<br />

lebih produktif,<br />

kontributif, dan tidak<br />

kontradiktif<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

Internet/ tegoeh.multiply.com


Keberadaan Undang-Undang<br />

Nomor 8 Tahun 1985 tentang<br />

Organisasi Kemasyarakatan (UU<br />

Ormas) saat ini dipandang tidak sejalan<br />

lagi dengan perkembangan dan<br />

kondisi saat ini, karena tidak mampu<br />

menampung aspirasi yang berkembang<br />

dan tidak mampu lagi mengatur<br />

berbagai masalah organisasi masyarakat.<br />

UU Ormas dinilai tidak tegas,<br />

karena tidak menimbulkan efek jera<br />

bagi ormas yang menimbulkan ekses<br />

negatif serta meresahkan masyarakat.<br />

Namun di sisi lain masyarakat masih<br />

menginginkan dan mempertahankan<br />

Undang-Undang Nomor 8 Tahun<br />

1985 tentang Organisasi Kemasyarakat<br />

sebagai regulasi yang mengatur<br />

berdirinya sebuah organisasi kemasyarakatan.<br />

Berdasarkan hal tersebut di atas,<br />

<strong>DPR</strong> berinisiatif merevisi Undang-<br />

Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang<br />

Organisasi Kemasyarakatan. <strong>DPR</strong> menilai<br />

Undang-undang Nomor 8 Tahun<br />

1985 sebagai pengatur, belum kuat<br />

sebagai payung hukum.<br />

Rapat Paripurna <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> 20 September<br />

2011 telah memutuskan membentuk<br />

Panitia Khusus (Pansus) yang<br />

bertugas membahas Revisi UU Ormas<br />

tersebut.<br />

Pansus RUU Ormas diharapkan<br />

dapat merumuskan regulasi bagi organisasi<br />

kemasyarakatan yang lebih<br />

partisipasif dalam pembangunan serta<br />

lebih profesional. Sehingga kebebasan<br />

berorganisasi tidak dimanfaatkan oleh<br />

pihak-pihak yang anti demokrasi dan<br />

anti persatuan nasional untuk memprovokasi<br />

terjadi konflik antar suku,<br />

ras, agama, maupun antar golongan.<br />

Saat ini Pansus RUU Ormas telah<br />

masuk pada pembahasan bersama<br />

pemerintah. Pansus RUU Ormas juga<br />

telah melakukan penjaringan melalui<br />

Rapat Dengar Pendapat/Rapat Dengar<br />

Pendapat Umum untuk mencari<br />

masukan positif dan konstruktif secara<br />

langsung bagi RUU Ormas dengan<br />

berbagai kalangan, baik instansi<br />

pemerintah, para pakar, ormas maupun<br />

LSM atau NGO. Hal ini dilakukan<br />

agar RUU Ormas nantinya benarbenar<br />

dapat mengakomodir berbagai<br />

kepentingan ormas di Indonesia.<br />

Bahkan Pansus RUU Ormas sudah<br />

mensosialisasikan RUU tersebut ke<br />

beberapa daerah untuk menampung<br />

usulan yang bisa diadopsi didalamnya<br />

dari berbagai kalangan, seperti<br />

pemerintah daerah, pelaku ormas di<br />

daerah maupun perguruan-perguruan<br />

tinggi. Mengingat banyaknya ormas<br />

yang ada di daerah baik yang merupakan<br />

cabang ormas pusat maupun<br />

ormas yang memang berkembang di<br />

daerah.<br />

Abdul Malik Haramain Ketua Pansus<br />

RUU Ormas menyatakan bahwa<br />

revisi UU Ormas bertujuan memberdayakaan<br />

Ormas agar lebih produktif,<br />

kontributif, dan tidak kontradiktif<br />

dalam melakukan pergerakan di masyarakat.<br />

Haramain memastikan UU tentang<br />

Ormas bebas dari pasal karet. “Kita<br />

memastikan hal itu tak terjadi seperti<br />

masa Orde Baru,” katanya.<br />

Ia mengatakan, dalam UU Ormas<br />

yang baru, pasal-pasal untuk memberikan<br />

sanksi jelas parameternya. Ia<br />

juga mengungkapkan, pembekuan<br />

Ketua Pansus RUU Ormas Abdul Malik Haramain<br />

ataupun pembubaran suatu Ormas<br />

juga akan melalui pengadilan, sehingga<br />

pemerintah tak semena-mena<br />

membubarkan.<br />

“Kita tetap menginginkan pengadilan<br />

sebagai yang mengadili dalam<br />

perkara tersebut, sehingga pemerintah<br />

tidak semena-mena,” jelasnya.<br />

Ia mengatakan, RUU Ormas yang<br />

saat ini masih dibahas, isinya 60<br />

persen berbeda dengan UU Nomor 8<br />

Tahun 1985 tentang Ormas. “Ini bisa<br />

dikatakan baru karena lebih dari 60<br />

persen berbeda,” katanya.<br />

“Kita tidak terburu-buru ingin<br />

segera disahkan, karena jangan sampai<br />

nanti justru memunculkan masalah<br />

baru,” terang Anggota Komisi II<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> ini.<br />

RUU Ormas yang terdiri dari 57<br />

pasal dan 19 bab selain mengatur<br />

larangan dan kewajiban, juga secara<br />

khusus mengatur sanksi terhadap ormas<br />

yang melakukan pelanggaran.<br />

“RUU Ormas mengatur khusus soal<br />

sanksi. Sanksi akan diputuskan melalui<br />

mekanisme pengadilan,” ujarnya.<br />

Sanksi tersebut bisa berupa sanksi<br />

administratif, pembekuan sementara,<br />

hingga pembubaran. Hanya saja itu ti-<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


Internet<br />

LEGISLASI<br />

dak langsung diputuskan pemerintah,<br />

namun melalui proses di pengadilan.<br />

Menurut politisi Partai Kebangkitan<br />

Bangsa ini, perlunya mekanisme sanksi<br />

ini diambil melalui keputusan pengadilan,<br />

agar pemerintah tidak represif<br />

dalam melakukan pembekuan atau<br />

pembubaran ormas. “Ini diatur seperti<br />

itu, untuk membatasi kesewenangan<br />

pemerintah. Kita harapkan nantinya<br />

pengadilan menjadi filter,” katanya.<br />

Tentang proses pengusulan atau<br />

pelaporan hingga putusan dari pengadilan,<br />

Haramain mengatakan, jangka<br />

waktunya hanya berlangsung 30 hari.<br />

Sementara tentang pengadilan apa<br />

nantinya yang ditunjuk untuk mengurus<br />

sengketa ormas ini, masih menjadi<br />

perdebatan.<br />

Apakah nanti Mahkamah Konstitusi,<br />

Pengadilan Negeri atau Pengadilan<br />

Tata Usaha Negara, ini masih diperdebatkan.<br />

Ia menambahkan, hal lain yang<br />

perlu ditegaskan pada pembahasan<br />

RUU Ormas adalah pembubaran Ormas<br />

melalui mekanisme pengadilan.<br />

Melalui mekanisme pengadilan,<br />

kata dia, Ormas yang bersangkutan<br />

dengan pelanggaran hukum diberi<br />

kesempatan membela diri sehingga<br />

ada penegakkan hukum secara adil.<br />

“Pembubaran Ormas dicegah agar<br />

tidak menjadi kewenangan Kemenda-<br />

0 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

gri,” katanya.<br />

Menurut Haramain, dengan mekanisme<br />

pengadilan kepentingan<br />

pemerintah untuk membubarkan Ormas<br />

karena alasan di luar hukum bisa<br />

dicegah. Pembubaran Ormas melalui<br />

mekanisme pengadilan juga merupakan<br />

semangat demokrasi yang memandang<br />

semua pihak sama di mata<br />

hukum.<br />

Haramain menambahkan, muculnya<br />

kembali desakan pembubaran<br />

Ormas yang bertindak anarkistis terjadi<br />

karena pemerintah belum mampu<br />

mengelola Ormas tersebut. “Penegakan<br />

hukum belum tegas sehingga<br />

masih ada Ormas yang berani bertindak<br />

anarkis dan meresahkan masyarakat,”<br />

katanya.<br />

Sedangkan Wakil Ketua Pansus<br />

RUU Ormas Deding Ishak menyatakan,<br />

sejatinya UU Ormas sebagai wadah<br />

partisipasif aktif masyarakat yang berbanding<br />

lurus dengan tujuan kehidupan<br />

berbangsa dan bernegara yang<br />

pelaksanaannya tentu dalam konteks<br />

bagaimana memberdayakan masyarakat<br />

dan memberikan kontribusi<br />

bagi usaha-usaha pencapaian tujuan<br />

pelaksanaan pembangunan.<br />

Sementara dalam konteks Indonesia<br />

sebagai negara hukum tentunya<br />

pengaturan sebuah keberadaan<br />

dan peran organisasi diharapkan akan<br />

membantu bagaimana peran ormas<br />

nantinya. “Hanya undang-undanglah<br />

yang bisa mengaturnya,” ujar Deding.<br />

Dijelaskan Deding, bahwa berdasarkan<br />

Pasal 28 Undang-Undang<br />

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun<br />

1945, paradigma berserikat dan<br />

berkumpul dibedakan dalam dua wadah,<br />

yaitu Partai Politik dan Organisasi<br />

non Partai Politik (Organisasi Masyarakat).<br />

Dengan demikian, menurut Deding<br />

dapat dipahami bahwa ormas<br />

mencakup keseluruhan organisasi<br />

sosial yang ada, baik organisasi keagamaan,<br />

OKP, LSM/NGO’s, organisasi<br />

sosial (Orsos), organisasi profesi<br />

maupun organisasi sosial lainnya?<br />

Bagaimana kelemahan, hambatan<br />

dan tantangan dalam penerapan Undang-Undang<br />

Nomor 8 Tahun 1985<br />

tentang Organisasi Kemasyarakat.<br />

“Itu juga menjadi salah satu dasar<br />

pengaturan dalam Undang-Undang<br />

tentang Ormas yang menempatkan<br />

organisasi kemasyarakatan sebagai<br />

wadah partisipasi masyarakat dalam<br />

pembangunan,” jelas politisi Partai<br />

Golkar tersebut.<br />

Melalui pengaturan dalam undangundang<br />

itulah maka pelembagaan<br />

partisipasi masyarakat diharapkan<br />

dapat terlaksana dan memperoleh<br />

perhatian pemerintah, ujar Deding se-


Wakil Ketua Pansus RUU Ormas Deding Ishak<br />

raya menambahkan karena berkaitan<br />

dengan aspirasi sejumlah orang dengan<br />

argumentasi yang kuat.<br />

Selain mengatur ormas-ormas<br />

lokal, RUU Ormas juga mengatur<br />

keberadaan ormas-ormas asing.<br />

Menurut Michael Watimena (F-PD),<br />

hal tersebut dimaksudkan agar keberadaan<br />

ormas asing di Indonesia<br />

diatur secara tegas dan kegiatannya<br />

dapat diawasi dan dikontrol.<br />

“Dalam RUU Ormas akan dibuat<br />

aturan tegas bagi ormas asing, dengan<br />

mewajibkan mereka memberikan<br />

laporan berkala, baik dalam pendanaan<br />

maupun program kegiatan.<br />

Misalnya, tiga bulan, enam bulan atau<br />

setiap tahun,” kata Michael.<br />

Pengaturan terhadap ormas asing<br />

kata Michael, berguna untuk mengetahui<br />

berapa besar dana yang didapatkan<br />

dari penyandang dana mereka di<br />

luar negeri dan dana itu digunakan<br />

untuk kegiatan apa saja.”Karena,<br />

seringkali kita tidak tahu berapa dana<br />

yang mereka dapatkan dari funding<br />

luar dan untuk apa kebutuhannya. Seharusnya<br />

dijelaskan keberadaan eksistensi<br />

dan sumber keuangan mereka,”<br />

ujarnya.<br />

Meski begitu pihaknya sampai saat<br />

ini belum dapat memastikan berapa<br />

jumlah ormas asing yang beroperasi<br />

di Indonesia. Selama ini keberadaan<br />

mereka belum dapat dikontrol<br />

sepenuhnya oleh pemerintah.<br />

“Mereka dalam melakukan kegiatan<br />

di Indonesia di luar pengontrolan<br />

dari pemerintah. Padahal, mereka<br />

disinyalir sering membocorkan informasi<br />

rahasia ke luar negeri,” katanya.<br />

Ia mensyinyalir keberadaan ormas<br />

asing berada di Indonesia karena dibiayai<br />

penyandang dana untuk maksud<br />

tertentu. “Sehingga keberadaannya<br />

perlu diatur dalam RUU Ormas secara<br />

lebih tegas,” ujarnya.<br />

Untuk itu lanjut dia, ormas asing<br />

yang belum terdaftar diimbau untuk<br />

segera mendaftarkan diri ke pemerintah.<br />

“Sekarang mereka seperti jamur<br />

di musim hujan, tetapi nanti mereka<br />

suka tidak suka harus mendaftar untuk<br />

inventarisasi, baik ke Kementerian<br />

Hukum dan HAM, maupun Kementerian<br />

Dalam Negeri,” katanya.<br />

Politisi dari Partai Demokrat itu<br />

melihat adanya suatu kebutuhan yang<br />

sangat kuat untuk melakukan perubahan<br />

secara menyeluruh terhadap UU<br />

Nomor 5 1985 tentang ormas yang<br />

sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi<br />

dan dinamika saat ini dan ke depan.<br />

(sc)<br />

Wakil Ketua Pansus RUU Ormas Michael Wattimena<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1


LEGISLASI<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> dan Pemerintah merevisi<br />

Undang-Undang Nomor 25<br />

Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.<br />

Pasalnya, pemerintah dinilai<br />

masih kurang memperhatikan Koperasi,<br />

karena itu perlu semacam program<br />

khusus Koperasi yang Sistematik.<br />

Pembahasan RUU yang merupakan<br />

usul inisiatif Pemerintah dilakukan secara<br />

maraton dengan Panitia Khusus<br />

(Pansus) <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>. Lebih dari 1000 Daftar<br />

Inventaris Masalah (DIM) menandakan<br />

perbedaan pendapat antara<br />

Pemerintah dengan <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> siknifikan<br />

baik besaran maupun kedalaman.<br />

UU Koperasi harus direvisi karena<br />

pada kenyataannya koperasi tidak<br />

berkembang seperti yang diinginkan,<br />

misalnya sebagai tidak berkembangnya<br />

koperasi sebagai pelaku usaha,<br />

tidak seperti pelaku usaha lainnya<br />

seperti BUMN dan swasta. apa permasalahan<br />

yang memberatkan koperasi<br />

sehingga kopersi tidak bisa berada<br />

pada level of playing field yang sama<br />

dengan swasta dan BUMN.<br />

Harus ada upaya untuk mengurangi<br />

beban-beban yang memberatkan<br />

koperasi, sehingga koperasi menjadi<br />

indentitas, dan dapat menjadi level of<br />

playing field yang sama. Tetapi tanpa<br />

harus mengorbankan prinsip dan nilai<br />

koperasi.<br />

Wakil Ketua Pansus RUU Perkoperasian<br />

Erik Satrya Wardhana dari Fraksi<br />

Partai Hati Nurani Rakyat (F-P.Hanura)<br />

mengatakan perdebatan terjadi dimulai<br />

dari pembahasan judul. Masih ada-<br />

nya perbedaan pendapat mengenai<br />

judul yaitu RUU Koperasi atau RUU<br />

Perkoperasian. “Perbedaannya antara<br />

lain mengenai judul, yang diusulkan<br />

Pemerintah adalah RUU Koperasi,<br />

tetapi beberapa fraksi di <strong>DPR</strong> meminta<br />

diubah menjadi RUU Perkoperasian,”<br />

kata politisi asal pemilihan Jawa Barat<br />

III itu.<br />

Salah satu kegiatan Koperasi<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


LEGISLASI<br />

Wakil Ketua Pansus RUU Perkoperasian Erik Satrya Wardhana<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

Terkait pemberian nama atau judul<br />

memang sepertinya tidak prinsip, namun<br />

menurut Erik Satrya ini berimplikasi<br />

pada konsistensi penekanan.<br />

Karena kalau dilihat dalam struktur<br />

sistematika RUU ini ada bab tentang<br />

pemberdayaan koperasi, yang mengisyaratkan<br />

mengenai adanya peran<br />

Pemerintah dan gerakan koperasi.<br />

“Peran Pemerintah dan gerakan koperasi<br />

berada diluar kelembagaan<br />

koperasi itu sendiri. Jadi RUU ini lebih<br />

baik diberi Judul RUU Perkoperasian,”<br />

paparnya.<br />

Pemerintah dinilai terlalu menyederhanakan<br />

penafsiran atau implementasi<br />

dari amanat UUD 1945 Pasal<br />

33, beberapa fraksi menginginkan ada<br />

ketegasan itu. Bukan hanya di pendahuluan<br />

tetapi juga pada beberapa<br />

pasal.<br />

Pasal 33 Ayat (1) mengamanatkan<br />

Perekonomian disusun sebagai usaha<br />

bersama berdasar atas asas kekeluargaan.<br />

Dan Ayat (4) Perekonomian nasional<br />

diselenggarakan berdasar atas<br />

demokrasi ekonomi dengan prinsip<br />

kebersamaan, efisiensi berkeadilan,<br />

berkelanjutan, berwawasan lingkungan,<br />

kemandirian, serta dengan<br />

menjaga keseimbangan kemajuan


dan kesatuan ekonomi nasional.<br />

Erik Satrya mengutarakan, bahwa<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> menginginkan adanya kejelasan<br />

mengenai penjewantahan usaha<br />

bersama dan asas kekeluargaan<br />

dalam RUU ini. Dia mengingatkan<br />

UUD 1945 sebelum amandemen pada<br />

penjelasannya menegaskan bahwa<br />

badan usaha yang sesuai dengan itu<br />

adalah Koperasi. Artinya memang<br />

RUU Perkoperasian ini harus menterjemahkan<br />

prinsip dan nilai yang ada di<br />

dalam UUD 1945.<br />

RUU ini nantinya tidak hanya mengatur<br />

koperasi sebagi suatu entitas,<br />

tatapi juga menyangkut peran-peran<br />

lain di luar koperasi, misalnya peran<br />

Pemerintah. Pemerintah harus terus<br />

mendampingi perkembangan koperasi.<br />

Karena didalamnya ada semangat<br />

sebagaimana di amanatkan Pasal 33<br />

sebagai suatu usaha bersama berdasarkan<br />

asas kekeluargaan, Erik Satrya<br />

mengungkapkan kalau koperasi<br />

tidak difasilitasi Pemerintah, maka<br />

dikhawatirkan koperasi akan tetap<br />

sulit berkembang, karena lingkungan<br />

eksternal tidak berubah yang mengarah<br />

pada lingkungan usaha yang lebih<br />

individualistik.<br />

Ada dua jiwa yang berbeda, antara<br />

koperasi dengan lingkungan. Lingkungan<br />

yang Erik maksud adalah baik<br />

konsumen maupun pelaku usaha lainnya,<br />

seperti BUMN dan swasta yang<br />

berprinsip ekonomi relative materialistik<br />

dan individualistik. “Koperasi<br />

berasas kekeluargaan, tetapi koperasi<br />

harus tetap eksis,”katanya.<br />

Berkembangnya koperasi juga tidak<br />

terlepas dari pengelolaan yang<br />

profesionalisme, Erik Satrya mencoba<br />

mengusulkan dalam perubahan UU<br />

ini, misalnya struktur organisasi koperasi<br />

dibuat sama dengan struktur<br />

korporasi.<br />

Dia menjelaskan Struktur koperasi<br />

saat ini ada badan pengawas,<br />

pengurus, setelah itu managemen.<br />

Kemudian permasalahannya timbul<br />

adalah pengurus merangkap sebagai<br />

mana-gemen, sedangkan badan pengawas<br />

yang terjadi adalah antara ada<br />

Wakil Ketua Pansus RUU Perkoperasian Erik Satrya Wardhana saat di wawancara oleh tim parle<br />

dan tiada, secara formal ada tetapi<br />

dalam prakteknya jarang sekali badan<br />

pengawas yang berperan. “Saya usulkan<br />

untuk dirubah, badan pengawas<br />

diganti namanya dengan pengurus<br />

tetapi fungsi mirip dengan badan<br />

komisaris di korporasi, sedangkan<br />

pengurus diubah namanya menjadi<br />

direksi atau managemen yang pada<br />

korperasi adalah dewan direksi,” papar<br />

Erik Satrya.<br />

Menurutnya, hal itu dimungkinkan<br />

sepanjang pengurus yang berfungsi<br />

seperti dewan direksi di korporasi itu<br />

diangkat oleh rapat anggota. Konsep<br />

Koperasi Unit Desa dikembangkan<br />

tidak hanya di desa tapi juga di<br />

kota. Yang terhimpun dalam koperasi<br />

sekunder. Sehingga akan menjadi<br />

kekuatan ekonomi. Setelah itu, lanjutnya,<br />

perlu dikembangkan koperasi<br />

produksi, Pemerintah relative kurang<br />

memperhatikan UKM, sehingga koperasi<br />

relatif kurang tersentuh.<br />

Pemerintah sangat diharapkan<br />

memberikan perhatian khusus terhadap<br />

upaya peningkatan aktivitas<br />

koperasi. Dengan majunya perkoperasian<br />

menjadikan anggota koperasi<br />

merasakan manfaat nyata yang dirasakan<br />

dalam memenuhi kebutuhan<br />

hidupnya, dengan fasilitas dan kemudahan<br />

yang didapatkan dari menjadi<br />

anggota koperasi tersebut. “Koperasi<br />

di Indonesia harus bermanfaat dan<br />

dibutuhkan oleh rakyat Indonesia,”<br />

tegasnya. (as)<br />

***<br />

Salah satu kegiatan Koperasi<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


PROFIL PROFIL<br />

M. Prakosa<br />

Berjuang Bangkitkan<br />

Citra <strong>DPR</strong><br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 90 TH. XLII, 2012 |


Meskipun hanya menjabat<br />

satu tahun pada era kabinet<br />

Abdurahman Wahid, Prakosa<br />

lebih dikenal akrab sebagai mantan<br />

Pertanian, begitu juga pada kabinet<br />

Gotong Royong di era pergantian<br />

kepemimpinan saat Megawati Soekarnoputri<br />

menjadi Presiden, Prakosa<br />

juga masih dipercaya menduduki kursi<br />

kabinet. Ketika itu, Prakosa diberi<br />

mandat sebagai Menteri Kehutanan<br />

hingga akhir periode kepemimpinan<br />

Megawati. (2001-2004).<br />

Ketertarikan Prakosa pada bidang<br />

pertanian dan kehutanan memang<br />

sudah dimulai sejak dirinya masih Kuliah.<br />

Bahkan dia mengambil Fakultas<br />

Kehutanan di Universitas ternama.<br />

Pria kelahiran Yogyakarta yang memiliki<br />

karakter kalem dan cenderung<br />

sabar ini menggantikan posisi Ketua<br />

BK dari PDIP yang lalu yaitu Gayus<br />

Lumbuun. Sebelumnya pimpinan BK<br />

dikenal orang yang berkarakter kuat<br />

dengan nada bicara keras. Memang<br />

dari sisi background bertolak 180 derajat<br />

dengan dirinya, yang berasal dari<br />

Fakultas Kehutanan.<br />

Keinginan kuat untuk belajar<br />

membuat Prakosa cepat beradaptasi<br />

dengan pekerjaan barunya sebagai<br />

Ketua BK. Pria kelahiran Yogyakarta<br />

4 Maret 1960 belum menunjukkan<br />

emosi selama masa kepemimpinannya.<br />

”Bagi saya yang penting menjalankan<br />

tugas sebaik-baiknya berdasarkan<br />

amanat partai,”katanya.<br />

Belum lama ini, BK memang<br />

disibukkan oleh berbagai urusan<br />

baik pelanggaran etika dari anggota<br />

Dewan maupun pengumpulan data<br />

terkait renovasi ruang Banggar <strong>DPR</strong>.<br />

Khusus masalah renovasi Banggar,<br />

BK telah mengumpulkan bukti secara<br />

marathon dengan memanggil<br />

berbagai pihak diantaranya pimpinan<br />

BURT, Pimpinan Banggar, Setjen <strong>DPR</strong>,<br />

maupun pihak kontraktor bahkan<br />

konsultan pengawas renovasi ruang<br />

Banggar tersebut.<br />

Baru saja usai Prakosa mengadakan<br />

rapat tertutup mengenai renovasi<br />

banggar, dengan wajah terlihat letih,<br />

Prakosa masih bersemangat menang-<br />

gapi wartawan yang berusaha mengklarifikasi<br />

hasil rapat BK tersebut.<br />

Dengan sabar dirinya menjelaskan<br />

satu-persatu kepada wartawan televisi<br />

maupun cetak yang mengerubuninya.<br />

Dengan kalimat yang teratur,<br />

dan lugas dia menjelaskan bahwa<br />

memang terdapat lima pelanggaran<br />

yang berhubungan dengan renovasi<br />

banggar, oleh karena itu BK telah meminta<br />

kepada KPK untuk menindaklanjuti<br />

laporan yang telah dilakukan<br />

oleh Ketua <strong>DPR</strong> pada bulan Januari<br />

2012. “BK menduga adanya mark<br />

up dan permasalahan hukum yang<br />

berkaitan dengan proyek pengadaan<br />

di lingkungan <strong>DPR</strong>,” tegasnya saat itu<br />

kepada wartawan<br />

Badan Kehormatan, lanjut Prakosa,<br />

sedang menindaklanjuti yang<br />

dilakukan oleh BURT terkait dugaan<br />

adanya indikasi pembiaran proyek.<br />

“Tidak ada yang boleh lepas tanggungjawab<br />

atau lepas tangan. Kalau<br />

M. Prakosa saat konferensi pers di Gedung <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

indikasi pembiaran itu benar terbukti<br />

maka itu jelas pelanggaran,”tegasnya.<br />

Jika dilihat secara fungsi, paparnya,<br />

tidak ada masalah dengan<br />

anggota dewan dalam menjalankan<br />

fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran.<br />

Sorotan publik muncul karena<br />

hal yang diluar dari sifat kedewanan,<br />

seperti keberadaan BURT<br />

Menurut Prakosa, seharusnya<br />

tidak dibebankan kepada anggota.<br />

“Masa anggota mengurusi rumah<br />

tangga, secara fungsi itu salah. Kita<br />

itu hanya mengawasi, mengatur<br />

anggaran dan membuat undangundang,”ungkapnya.<br />

Pernyataan Prakosa kepada Media<br />

massa tersebut mencerminkan<br />

sosok pemimpin yang tegas dan berwibawa<br />

serta mampu memberikan<br />

solusi bagi masalah-masalah kebangsaan<br />

saat ini. Bahkan meski masih<br />

baru sudah terdapat keputusan yang<br />

dibuat oleh BK. Di kepemimpinannya,<br />

BK <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> telah menetapkan tiga<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


PROFIL<br />

M. Prakosa saat di lantik menjadi Ketua BK <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

vonis kode etik bagi anggota dewan<br />

yang berstatus terdakwa.<br />

Diawal-awal masa kepemimpinan<br />

memang banyak orang yang merasa<br />

ragu mengenai kapasitas dan kapabilitas<br />

seorang Muhammad Prakosa,<br />

pasalnya dia memiliki background<br />

yang bukan berasal dari hukum.<br />

”Semuanya tidak masalah, di BK tetap<br />

saja tugas kedewanan,” katanya.<br />

Menurutnya, sebagai seorang<br />

Ketua BK harus berpegangan kepada<br />

aturan tata tertib dan kode etik beracara<br />

BK yang disahkan 2011 lalu. ”Di<br />

Undang Undang MD3 UU 27 tahun<br />

2009, Ada di pasal 213 hingga 219.<br />

tinggal dihayati,” ujarnya.<br />

Dia menambahkan, Kode etik itukan<br />

ilmu yang common sense, karena<br />

itu semua orang menyadari ada dan<br />

diperlukan kode etik. “Jadi saya santai<br />

saja bertugas di sini,” ujarnya.<br />

Prakosa mengakui tugasnya<br />

sebagai Ketua BK tentu lebih berat<br />

dibandingkan dengan anggota <strong>DPR</strong><br />

biasa, seorang pimpinan harus menjadi<br />

contoh bagi anggota lainnya,<br />

misalnya kedisiplinan. Dengan tugasnya<br />

yang dobel baik di Komisi, pansus<br />

maupun di BK, dia mengaku waktunya<br />

memang banyak tersita di rumah<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 90 TH. XLII, 2012 |<br />

rakyat. Namun ada hal yang tidak<br />

boleh ditinggalkannya yaitu olahraga<br />

rutin setiap pagi. ”Setiap pagi saya<br />

wajib olahraga. Paling tidak jogging,<br />

di rumah” jelasnya.<br />

Disiplin diri sendiri<br />

Ketua BK Muhammad Prakosa<br />

menyadari beban berat sebagai<br />

seorang pimpinan BK yaitu berusaha<br />

menegakkan etika namun disatu sisi<br />

pencitraan dewan semakin terpuruk<br />

karena perilaku anggotanya.<br />

“Untuk bisa menegakkan aturan,<br />

kita harus mematuhi peraturan itu<br />

sendiri. Itu salah satu cara meningkatkan<br />

citra <strong>DPR</strong> yang saat ini sering<br />

menjadi bulan-bulanan di masyarakat,”<br />

ujar Prakosa beberapa waktu<br />

lalu.<br />

Dia mengakui seringkali beberapa<br />

diantara 560 anggota dewan<br />

melanggar kode etik atau melakukan<br />

ketidakpatutan yang seharusnya tidak<br />

dilakukan sebagai seorang representasi<br />

rakyat.<br />

Menyinggung kunjungan luar<br />

negeri yang dipandang menghamburkan<br />

uang negara dan paripurna<br />

yang jadi tolak ukur malas tidaknya<br />

seorang anggota, Menurut Prakosa,<br />

hal-hal semacam itu perlu di kaji ulang<br />

dan dievaluasi, karena menyangkut citra<br />

dan persepsi rakyat terhadap anggota<br />

dewan yang bisa meruntuhkan<br />

segalanya.<br />

“BK berkomitmen, baik pimpinan<br />

maupun anggota akan terus<br />

melakukan perbaikan untuk membangun<br />

persepsi yang positif dari<br />

<strong>DPR</strong>, dan itu harus dimulai sekarang.<br />

Ini konsepnya penegakan citra secara<br />

menyeluruh,”jelas Prakosa.<br />

Tidak hanya perbaikan secara<br />

lembaga saja yang menjadi fokus utama<br />

dari BK namun secara personal BK<br />

merekomendasikan untuk bisa menjaga<br />

tingkah laku dan kode etik seorang<br />

dewan, termasuk terbuka menerima<br />

berbagai pengaduan masyarakat jika<br />

ada pelanggaran yang dilakukan anggota<br />

dewan secara personal. Demi<br />

perbaikan itu BK telah memberikan<br />

kerangka perbaikan citra PR secara<br />

menyeluruh kepada pimpinan <strong>DPR</strong>.<br />

“Kita sudah berikan usulan kepada<br />

kepada pimpinan, termasuk mengkaji<br />

ulang UU MD3 untuk mempertegas<br />

fungsi anggota dewan dalam<br />

menjalankannya, sehingga tidak tumpang<br />

tindih dengan fungsi lain diluar<br />

kedewanan,” ujarnya.***


KUNJUNGAN KERJA<br />

Menuju Bandar Udara<br />

Kelas Dunia<br />

Komisi VI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> mendukung pengembangan<br />

bandar udara di Provinsi Bali.<br />

Pasalnya, kapasitas serta fasilitasnya sudah tidak<br />

memadai lagi untuk menampung aktivitas penumpang<br />

dan arus barang (cargo) yang semakin meningkat.<br />

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua<br />

Komisi VI <strong>DPR</strong> Aria Bima<br />

(F-PDI Perjuangan) saat pertemuan<br />

dengan jajaran Direksi Angkasa<br />

Pura I (Persero) Provinsi Bali, Jum’at<br />

(16/3) dalam rangka kunjungan spesifik<br />

Pengelolaan dan Pengembangan<br />

Bandar Udara oleh BUMN PT. Angkasa<br />

Pura I (Persero) di Provinsi Bali.<br />

“Pengembangan Bandara Internasional<br />

Ngurah Rai, Bali, diharapkan dapat<br />

memberikan peningkatan pelayanan<br />

agar sesuai dengan standar bandara<br />

kelas dunia,” ujar Bima.<br />

Pemerintah telah mencanangkan<br />

program Masterplan Percepatan dan<br />

Perluasan Pembangunan Ekonomi<br />

Indonesia (MP3EI), dimana salah satu<br />

strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan<br />

dengan mengembangkan potensi<br />

ekonomi di koridor ekonomi Bali-<br />

Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai<br />

pintu gerbang pariwisata dan pendukung<br />

pangan nasional. “Jadi Bali<br />

merupakan pintu gerbang kegiatan<br />

ekonomi utama pariwisata di Indonesia,<br />

pada tahun 2011 tercatat 40<br />

persen masuk dari sini” jelasnya.<br />

Pada kesempatan itu, ujar Bima,<br />

Komisi VI <strong>DPR</strong> berharap agar pengembangan<br />

Bandara Internasional Ngurah<br />

Rai, Bali memberikan kontribusi yang<br />

nyata bagi perkembangan perekonomian<br />

nasional umumnya, dan pereko-<br />

nomian di Provinsi Bali, serta dapat<br />

turut serta mensukseskan program<br />

MP3EI yang telah dicanangkan oleh<br />

pemerintah.<br />

Menurutnya, semakin berkembangnya<br />

perekonomian suatu daerah/<br />

wilayah, maka kebutuhan pengembangan<br />

prasarana bandar udara sangat<br />

mendesak dan penting. Begitu<br />

juga permintaan akan angkutan udara<br />

semakin meningkat, dan jumlah<br />

penumpang setiap tahun akan meningkat<br />

pula. “Oleh karenanya, agar<br />

mampu mengimbangi pertumbuhan<br />

tersebut, beberapa bandara Indonesia<br />

perlu diperluas secara signifikan,”<br />

jelasnya.<br />

<strong>DPR</strong> juga berharap agar PT. Angkasa<br />

Pura I sebagai salah satu Badan<br />

Usaha Milik Negara (BUMN) yang<br />

bergerak di bidang pelayanan jasa<br />

navigasi penerbangan dan pengelolaan<br />

bandar udara dapat mencapai<br />

visinya menjadi perusahaan pengelola<br />

bandar udara kelas dunia yang memberikan<br />

manfaat dan nilai tambah ke-<br />

Komisi VI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> saat meninjau Bandara Internasional Ngurah Rai Bali<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


KUNJUNGAN KERJA<br />

pada stakeholder.<br />

Menurutnya, peningkatan fasilitas<br />

dan pelayanan kebandarudaraan<br />

akan berpengaruh signifikan terhadap<br />

program peningkatan daya saing nasional.<br />

Oleh karena itu, BUMN kebandarudaraan<br />

dalam menyelenggarakan<br />

usaha jasanya diharapkan mampu<br />

meningkatkan kualitas pelayanan sehingga<br />

dapat meningkatkan nilai investasi<br />

dan kenyamanan, tuturnya.<br />

Sementara itu Direktur PT. Angkasa<br />

Pura I (Persero) Bali, Tommy<br />

Soetomo menjelaskan, pembangunan<br />

terminal internaional dari 65.000<br />

m2 menjadi 139.000 m2 untuk target<br />

penumpang 16 juta penumpang per<br />

tahun. Sedangkan pengembangan<br />

terminal domestik yang semula seluas<br />

13.000 m2 akan didemolish menjadi<br />

apron, dan kegiatan terminal domestik<br />

akan menempati eks terminal internasional<br />

seluas 65.000 m2 dengan<br />

target penumpang 9,4 juta penumpang<br />

per tahun.<br />

Untuk mempertahankan kualitas<br />

pelayanan atas lonjakan calon penumpang<br />

dan keluhan penumpang<br />

sehubungan dengan bandara yang<br />

sedang dilakukan saat ini PT. Angkasa<br />

Pura I melakukan antisipasi, antara<br />

lain salah satuhnya merenovasi terminal<br />

domestik dengan memperluas<br />

area ruang tunggu penumpang dan<br />

pengoperasian “buggy car” untuk<br />

penumpang lanjut usia, anak-anak,<br />

cacat dan orang sakit, paparnya.<br />

Rapat Gabungan untuk<br />

Tuntaskan Masalah<br />

Kualanamu<br />

Pembangunan Bandar Udara<br />

Kualanamu, Sumatera Utara pengganti<br />

Bandara Polonia yang sudah<br />

tidak memadai dinilai berlarut-larut.<br />

Target penyelesaian akhir tahun 2012<br />

yang disesuaikan untuk kesekian kalinya,<br />

dikhawatirkan tidak dapat dipenuhi<br />

memperhatikan ragam persoalan<br />

proyek kerja sama pusat dan<br />

daerah yang sudah dimulai sejak tahun<br />

2007 lalu.<br />

“Masyarakat sudah kenyang<br />

dengan janji, tahun 2007 Gubernur<br />

0 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

Rudolf Pardede berjanji selesai 2 tahun.<br />

Tahun 2009 Wapres JK datang<br />

menguatkan akan selesai tahun itu<br />

disambut tepuk tangan, ternyata<br />

meleset. Tahun selanjutnya Presiden<br />

SBY datang berjanji lagi akhir tahun<br />

2010 kita resmikan. Kemudian 2011,<br />

Menko Perekonomian menyebut selesai<br />

tahun itu, ternyata tidak. Janji<br />

selanjutnya akhir tahun ini mulai digunakan,”<br />

kata anggota Komisi VI<br />

dari FPAN Nasril Bahar saat melakukan<br />

pertemuan dengan Pimpinan PT.<br />

Angkasa Pura II di Medan, Sumut, Kamis<br />

(15/3/12).<br />

Ia meminta dalam pertemuan<br />

yang merupakan rangkaian kunjungan<br />

spesifik meninjau pelaksanaan<br />

pembangunan Bandara Kualanamu<br />

ini diharapkan pihak Angkasa Pura<br />

II terbuka menyampaikan hambatan<br />

dalam pelaksanaan proyek. Baginya<br />

persoalan pembangunan dengan<br />

anggaran Rp.2,9 triliun tidak bisa ditimpakan<br />

sepenuhnya kepada Angkasa<br />

Pura II, karena melibatkan banyak<br />

pihak seperti Pemerintah Pusat, PU,<br />

investor, Pemprov dan Pemkab.<br />

Anggota Komisi VI dari FPDIP Sukur<br />

Nababan mempertanyakan belum<br />

beresnya pembebasan lahan untuk<br />

jalan menuju bandara. Baginya bandara<br />

sebagus apapun tetap tidak akan<br />

berfungsi apabila infrastruktur eksternal<br />

tidak selesai. Ia menyebut kasus<br />

gedung kargo yang tuntas dibangun<br />

tahun 2007 lalu karena belum digunakan<br />

akhirnya biaya maintenance<br />

menjadi beban PT. Angkasa Pura II.<br />

Hal senada disampaikan Chairuman<br />

Harahap dari FPG yang juga<br />

meragukan Kualanamu bisa beroperasi<br />

akhir tahun ini. “Kami minta report<br />

bukan angin sorganya. Masyarakat sudah<br />

tahu, 2012 akan diresmikan. Kita<br />

khawatir ini tidak akan terjadi, sepertinya<br />

akan diundur 2013,” tandas wakil<br />

rakyat dari dapil Sumut II ini.<br />

Ketua Tim Kunjungan Spesifik<br />

Komisi VI, Agus Hermanto mendukung<br />

agar seluruh permasalahan<br />

pembangunan Bandara Kualanamu<br />

dapat dipetakan dan dipilah-pilah.<br />

“Apabila dipandang perlu, saya men-<br />

dukung pelaksanaan rapat gabungan<br />

Komisi VI dengan Komisi V, sekaligus<br />

menghadirkan Menteri Perhubungan<br />

dan kementrian lainya,” tegas politisi<br />

FPD ini. Percepatan pelaksanaan<br />

proyek merupakan tanggung jawab<br />

seluruh instansi terkait sehingga diharapkan<br />

target penyelesaian tahun<br />

2012 ini dapat dipenuhi.<br />

Direktur Operasi Tehnik PT.<br />

Angkasa Pura II, Salahuddin Rafie<br />

menekankan penuntasan pembangunan<br />

Bandara Kualanamu sudah semakin<br />

mendesak karena Bandara Polonia<br />

yang memiliki kapasitas 900 ribu<br />

penumpang/tahun saat ini traffic-nya<br />

sudah mencapai 7 juta penumpang/<br />

tahun.<br />

Ia meminta dukungan agar kendala<br />

pembebasan lahan yang masih<br />

membayangi pembangunan jalan<br />

akses menuju bandara dapat diatasi.<br />

“Kebutuhan jalan 150 miliar rupiah<br />

tapi pemerintah provinsi baru menyiapkan<br />

19 miliar. Jalan tol perlu 900<br />

hari untuk konstruksi, pembebasan<br />

lahan baru 25 persen. Mohon dukungan<br />

terutama bagi akses masuk<br />

menuju bandara ini,” imbuhnya.<br />

Beberapa bagian fasilitas bandara<br />

yang sepenuhnya dirancang dan<br />

dibangun oleh putra terbaik bangsa<br />

sudah berhasil dituntaskan seperti,<br />

terminal kargo, bangunan security,<br />

gedung otoritas bandara, bangunan<br />

taxiway, dan area parkir.<br />

Terminal yang dapat menampung<br />

8.1 juta penumpang/tahun memasuki<br />

tahap penyelesaian interior. Gedung<br />

ditata modern dengan mengadopsi<br />

kearifan lokal menerapkan package<br />

sending system 100 persen otomatis<br />

pertama kali di Indonesia. Sistem ini<br />

dapat menangani 5000 bagasi perjam,<br />

dengan conveyor otomatis, barcode,<br />

pengaturan jurusan, penanganan<br />

lebih cepat dan aman karena tidak ditangani<br />

orang perorang.<br />

“Kami berharap semua konstruksi<br />

dapat diselesaikan pada akhir 2012<br />

sehingga bandara baru yang menjadi<br />

kebanggaan warga Sumut ini dapat<br />

beroperasi penuh awal 2013,” demikian<br />

Salahuddin Rafie. (Iw/iky)


Komisi VI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Dukung<br />

Revitalisasi Pabrik Gula<br />

Wakil Ketua Komisi VI <strong>DPR</strong> Agus Hermanto<br />

Pada kesempatan itu, Komisi VI<br />

<strong>DPR</strong> meminta agar Program<br />

Pemerintah swasembada gula,<br />

disamping menghasilkan kecukupan<br />

kebutuhan dalam negeri, juga menumbuhkan<br />

struktur industri yang<br />

kuat serta bermuara pada kesejahteraan<br />

petani tebu.<br />

Hal tersebut mengemuka saat<br />

Komisi VI <strong>DPR</strong> mengadakan Kunjungan<br />

Kerja Spesifik ke Pabrik Gula PT<br />

Perkebunan Nusantara (PTPN) IX di<br />

Provinsi Jawa Tengah, beberapa waktu<br />

lalu. Kunjungan tersebut bertujuan<br />

meninjau pabrik gula setempat dalam<br />

rangka revitalisasi pabrik yang ada.<br />

Wakil Ketua Komisi VI <strong>DPR</strong> Agus<br />

Hermanto mengatakan, pengembangan<br />

industri tebu dikaitkan dengan<br />

dengan program swasembada gula<br />

nasional harus diletakkan dalam konteks<br />

pembangunan industri yang lebih<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> mendukung Revitalisasi pabrik gula untuk<br />

pencapaian target swasembada gula benar-benar<br />

tercapai pada tahun 2014.<br />

komprehensif dan terintegritas, yaitu<br />

industri nasional yang berbasis tebu.<br />

Dahulu, lanjutnya, Indonesia pernah<br />

mengalami kejayaan gula, dan<br />

menjadi salah satu Negara pengekpor<br />

gula terbesar di dunia. “Agro<br />

ekosistem, dimana jumlah lahan dan<br />

tenaga kerja yang tersedia sangat potensial<br />

untuk menjadikan Indonesia sebagai<br />

produsen gula dunia,”ujarnya.<br />

Saat ini, kebutuhan konsumsi<br />

gula rumah tangga dan gula untuk<br />

industri dalam negeri saat ini diperkirakan<br />

lebih dari 4,8 juta ton. Namun<br />

pertumbuhan kebutuhan konsumsi<br />

Gudang Gula Bulog<br />

dalam negeri tersebut tidak diikuti<br />

dengan peningkatan produksi industri<br />

gula yang sepadan, sementara pabrikpabrik<br />

gula (PG) milik BUMN yang<br />

ada sudah tua sehingga industri gula<br />

dalam negeri tidak mampu mencukupi<br />

kebutuhan gula untuk kebutuhan<br />

konsumsi maupun untuk industri. ‘hal<br />

itu mengakibatkan Indonesia menjadi<br />

pengimpor gula Kristal putih dalam<br />

kurung waktu yang panjang,”ujarnya.<br />

Komisi VI <strong>DPR</strong>, lanjutnya, menginginkan<br />

tercapainya sasaran industri<br />

gula BUMN dan swasta yang berkualitas,<br />

dilihat dari sisi kualitas produk,<br />

Internet/seputarsulawesi.com<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1


KUNJUNGAN KERJA<br />

kuantitas, biaya produksi yang kompetitif,<br />

meningkatkan minat petani<br />

menanam tebu, mendukung pembentukan<br />

dan pertumbuhan industri<br />

hilir berbasis tebu dan bermuara pada<br />

swasembada gula pada 2014.<br />

Menurut perhitungan proyeksi<br />

swasembada gula dari Pemerintah,<br />

dengan asumsi kebutuhan gula konsumsi<br />

rumah tangga meningkat 1,83%<br />

pertahun dan gula industri 5% pertahun.<br />

Maka pada tahun 2014 dibutuhkan<br />

2,956 juta ton gula konsumsi<br />

rumah tangga (GKP) dan 2,744 juta<br />

ton gula kebutuhan industri, sehingga<br />

total kebutuhan adalah 5,7 juta ton.<br />

Untuk target GKP swasembada<br />

2014 sebesar 2,956 juta ton tersebut,<br />

tingkat produksi GKP dari BUMN<br />

masih dapat dikembangkan hingga<br />

mencapai 2,275 juta ton, sedangkan<br />

dari produsen swasta dapat mencapai<br />

1,2 juta ton, sehingga total adalah<br />

3,494 juta ton. Dengan demikian diperhitungkan<br />

pada tahun 2014 akan<br />

diperoleh surplus sebesar sekitar 538<br />

ribu ton GKP atausekitar 18% diatas<br />

tatal kebutuhan.<br />

Gima mencapai target kumulatif<br />

produksi sebesar 2,275 juta ton yang<br />

berasal dari BUMN gula diperlukan<br />

peningkatan produktivitas agregat.<br />

Langkah yang dilakukan seperti sinergi<br />

kebijakan antara Pemerintah<br />

Pusat dan Pemerintah Daerah, Pembangunan<br />

dan pembenahan infrastruktur<br />

agroindustri terutama di<br />

daerah pengembangan baru, Tata<br />

Wilayah perkebunan tebu yang sesuai<br />

dengan master plan pembangunan<br />

ekonomi nasional dari Pemerintah,<br />

Peningkatan peran lebaga Ristek<br />

dan Pengembangan terutama dalam<br />

mengantisipasi masalah perubahan<br />

iklim dan variasi kondisi pertanahan<br />

di wilayah <strong>RI</strong>, Peningkatan Iptek dan<br />

SDM yang mendukung pengembangan<br />

industri nasional berbasis tebu,<br />

Peningkatan penyuluhan pendampingan<br />

dan fasilitas bagi petani tebu,<br />

Pengembangan tata niaga yang menarik<br />

baik bagi petani maupun pabrikan,<br />

Organisasi dan koordinasi yang<br />

kuat dalam mengelola pelaksanaaan<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

program swasembada gula nasional.<br />

Menurut Agus, Pemerintah harus<br />

memberikan solusi masalah terkait on<br />

farm yang dapat menjadi penghambat<br />

produksi dan produktivitas budidaya<br />

tebu, diantaranya yaitu sulitnya<br />

untuk mendapatkan lahan baru atau<br />

bahkan mempertahankan lahan yang<br />

sudah ada.<br />

“Lahan baru yang dibutuhkan<br />

bagi pencapaian swasembada gula<br />

2014 seluas 360 ribu ha. Selain itu, Penataan<br />

varietas tebu yang masih terhambat<br />

baik dari segi pengembangan<br />

maupun segi budi daya,”ujarnya.<br />

Selanjutnya, Pemerintah juga<br />

harus segera mencarikan solusi masalah<br />

pada sisi off farm, yaitu pada sisi<br />

produksi gula pleh PG-PG terutama<br />

PG milik BUMN, antara lain tingkat<br />

efisiensi pabrik dibawah standar dimana<br />

peralatan pabrik di masing-masing<br />

proses produksi tingkat efiensinya<br />

rendah.<br />

Selain itu, teknologi alat-alat<br />

produksi yang tergolong tertinggal<br />

jauh dari proses produksi autonation<br />

sehingga kinerjanya rendah, belum<br />

berkembangnya diversifikasi produk<br />

dari PG termasuk produk yang dapat<br />

menjadi sumber energy sehingga<br />

dapat meningkatkan daya saing industri<br />

gula. “Kedala lainnya yaitu tidak<br />

adanya sinergi diantara bidang engineering<br />

PG milik BUMN sehingga tidak<br />

terjadi perpindahan pengetahuan<br />

mengenai permasalahan di masingmasing<br />

pabrik, Lokasi masing-masing<br />

PG berjauhan sehinga span of control<br />

dari managemen menjadi terlalu luas<br />

yang mengakibatkan kurangnya perhatian<br />

pada pengelolaan pabrik gula<br />

BUMN,”ujarnya.<br />

Industri gula Kristal putih (GKP)<br />

saat ini didominasi oleh BUMN (PTPN<br />

II, VII, IX, X, XI, XIV dan PT RNI) yang<br />

menguasai 51 PG yang menghasilkan<br />

55% dari produk gula nasional. Tercatat<br />

10 perusahaan swasta produsn<br />

GKR yang terdiri dari 6 PMA dan 4<br />

PMDN, namun masih ada 2 PMDN<br />

yang belum merealisasikan pembangunan<br />

pabriknya.<br />

Kunjungan Spesifik <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> pada<br />

masa persidangan III tahun sidang<br />

2011-2012 ke Jawa Tengah dalam<br />

rangka Revitalisasi Pabrik Gula PTPN<br />

IX tersebut dipimpin Wakil Ketua<br />

Komisi VI Agus Hermanto (F-PD), dan<br />

beranggotakan Hari Kartana (F-PD),<br />

Lili Asdjudireja, Marzuki Daud (F-PG),<br />

Hendrawan Supratikno (F-PDIP), Fahri<br />

Hamzah (F-PKS), dan Abdul Wachid<br />

(F-Gerindra).<br />

Dalam Kunjungan di PTPN<br />

IX tersebut Lili Asdjudireja (F-PG)<br />

mengkritisi masih rendahnya tingkat<br />

efisiensi pabrik, dan mempertanyakan<br />

kendala produksi yang dihadapi, serta<br />

efektifitas manfaat 9 unit Low Grade<br />

yang dimiliki Pabrik Gula PTPN IX.<br />

Hari Kartana mempertanyakan<br />

ketersediaan tenaga listrik dan menyarankan<br />

agar pabrik gula perlu<br />

memperbarui kemasan dimaksudkan<br />

agar hasil produksi kemasan dapat<br />

bersaing dengan produk impor.<br />

Sementara Hendrawan Supratikno<br />

(F-PDIP) mengatakan pabrik<br />

gula rending harus bekerja lebih keras<br />

untuk meningkatkan produktifikasnya<br />

dan dapat bersaing dengan pabrik<br />

gula milik swasta. Sedangkan Fahri<br />

Hamzahmengingatkan bahwa Indonesia<br />

adalah pasar yang sangat potensial<br />

bagi produk gula, jika pabrik<br />

gula BUMN tidak dapat meningkatkan<br />

produktivitasnya, dia mengkhawatirkan<br />

akan kalah bersaing dengan<br />

Pabrik milik swasta dan produk gula<br />

impor akan terus membanjiri pasar<br />

dalam negeri.<br />

Menjawab beberapa pertanyaan<br />

Anggota Dewan tersebut, Direktur<br />

Utama PTPN IX S. Haryanto mengatakan<br />

sasaran kinerja yang telah<br />

disusun sudah mempertimbangkan<br />

saran saat Rapat Dengar Pendapat<br />

Komisi VI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>, untuk tidak terlalu<br />

terpaku dengan roadmap tetapi tetap<br />

harus realistis.<br />

Sedangkan untuk fungsi low<br />

grade, haryono menjelaskan bahwa<br />

pengoperasian mesin loe grade<br />

adalah untuk mengantisipasi jika mesin-mesin<br />

lama mengalami gangguan<br />

dan kerusakan. (parle)<br />

***


Sulbar Berpotensi Bangun<br />

Pabrik Pupuk Pertama di Kawasan Timur<br />

Komisi VII <strong>DPR</strong> menyoroti aset gas yang ada di blok Sebuku di wilayah<br />

Pulau Laria-Lariang. Potensi gas di blok Sebuku tersebut diharapkan dapat<br />

mendorong pembangunan pabrik Pupuk di sekitar Sulbar.<br />

“Sulbar sebagai provinsi harus<br />

ada industri, harus ada keadilan.<br />

Sulbar juga merupakan koridor<br />

ekonomi, yang memiliki daerah pertanian<br />

dan perkebunan yang banyak<br />

terdapat wilayah Sulbar, sehingga sudah<br />

sepantasnya pabrik pupuk juga di<br />

bangun di provinsi ini,”ujar anggota<br />

Komisi VII <strong>DPR</strong> Nazzaruddin Kiemas<br />

dari PDIP saat Kunker Sulbar barubaru<br />

ini. apabila hal ini terjadi, lanjutnya,<br />

maka pabrik ini akan menjadi<br />

pabrik pertama yang ada di Indonesia<br />

bagian timur.<br />

Dia mengungkapkan bahwa<br />

pabrik tambahan pupuk kaltim itu<br />

sendiri belum di bangun. “Jadi kalo<br />

belum dibangun toh haknya tetap<br />

sama untuk PKT tapi di bangunnya di<br />

Sulbar. Jadi hak gasnya tetap sama.<br />

PKTnya pun ada keuntungan pipanya<br />

lebih pendengan maka biayanya lebih<br />

murah,” paparnya.<br />

Wakil Ketua Komisi VII Zainuddin Amali saat melakukan pertemuan dengan Pemprov Sulbar<br />

Memang ada masalah teknis Mendagri bahwa memang benar<br />

masalah palung namun menurut posisi block Sebuku di Sulbar, se-<br />

masukan para ahli hal itu dapat diahingga potensi sumber daya yang<br />

tasi dengan menggunakan teknologi ada menjadi milik Sulbar. “Sulbar juga<br />

canggih. “Untuk pemerintah cost re- merupakan wilayah NK<strong>RI</strong>, sehingga<br />

covery hanya sepertiganya. Jadi saling tidak semata-mata untuk masyarakat<br />

menguntungan dan untuk Sulbar be- Sulbar. Tetapi prioritas diperuntulum<br />

ada industrinya,”ujarnya.<br />

kan bagaimana mempersejahterakan<br />

mawsyarakat Sulbar dimana blok Se-<br />

Blok Sebuku Bagian Sulbar buku itu berada,”katanya.<br />

Pada kesempatan itu, <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Kemudian kedepannya, lanjutnya,<br />

memberikan dukungan secara politis harus diformalkan didalam keputusan<br />

terhadap Block Sebuku yang ada di politik di <strong>DPR</strong>, bahwa sebagai laporan<br />

pulau Laria-Lariang, menjadi bagian komisi VII memberikan dukungan se-<br />

dari provinsi Sulawesi Barat. “block cara politik bahwa blok sebuku yang<br />

Sebuku yang berada di wilayah pulau berada di pulau Laria-Lariang menjadi<br />

Laria-Lariang yang harus menjadi milik bagian dari provinsi Sulbar, kemudian<br />

Sulbar dilihat secara historis adminis- olahan dan lain-lainnya harus terputrative,”<br />

Tegas Wakil Ketua Komisi VII sat di Sulbar.<br />

Zainudin Amali.<br />

Dia menambahkan, pihaknya<br />

Menurut Zainudin, berdasar- akan berkoordinasi dengan komisi VI<br />

kan penjelasan Gubernur Sulbar de- <strong>DPR</strong> yang membidangi industri dan<br />

ngan dikuatkan bukti adanya Surat BUMN, supaya bagian dari pupuk kal-<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


KUNJUNGAN KERJA<br />

tim yang ada di Pusri dapat membuka<br />

industri di Sulbar. “Sementara mengenai<br />

keterlambatan dapat diteloransi<br />

sampai dua tahun, namun efeknya<br />

masyarakat merasakan secara langsung<br />

apa yang terkandung di dalam<br />

perut bumi mereka,”ujarnya.<br />

Menurutnya, rakyat setempat tidak<br />

memberikan dukungan penuh,<br />

karena mereka tidak merasakan langsung<br />

dari dampak investasi tersebut.<br />

“Tempatnya dieploitasi SDA, tapi tidak<br />

merasakan manfaatnya,”katanya.<br />

Dia melanjutkan, bahwa kita semua<br />

harus merubah paradigma tersebut,<br />

karena merupakan kewajiban kita untuk<br />

mensejahterakan rakyat sekitar<br />

lokasi setempat.<br />

Angka Kemiskinan Tinggi<br />

Pada tempat yang berbeda, tim<br />

Komisi VII <strong>DPR</strong> juga melakukan kunjungan<br />

ke Papua Barat, pada kesempatan<br />

itu, Anggota Komisi VII <strong>DPR</strong><br />

Satya Widya Yudha (F-PG) menyoroti<br />

tingginya angka kemiskinan di Teluk<br />

Bintuni, Papua Barat mencapai 46<br />

persen. “Ini sangat ironi sekali, padahal<br />

masyarakat setempat bersebelahan<br />

dengan LNG Tangguh yang<br />

kita anggap sebagai LNG center ketiga<br />

di Indonesia setelah LNG Arun-<br />

Aceh dan LNG Bontang-Kalimantan<br />

Timur,” ungkap Satya saat ditemui tim<br />

Parle usai meninjau LNG Tangguh,<br />

Papua Barat dalam rangka kunjungan<br />

kerja Komisi VII <strong>DPR</strong> ke Provinsi Papua<br />

Tim Kunker Komisi VII saat meninjau langsung LNG Tangguh<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

Barat, Selasa (17/4).<br />

Menurut Satya, LNG Tangguh<br />

adalah mega-proyek yang membangun<br />

kilang LNG di Teluk Bintuni-<br />

Papua Barat untuk menampung gas<br />

alam yang berasal dari beberapa blok<br />

disekitar teluk Bintuni. Seperti Blok<br />

Berau, Blok Wiriagar dan Blok Muturi.<br />

LNG Tangguh ini melengkapi pengilangan<br />

gas yang sudah ada di Indonesia,<br />

yaitu LNG Arun-Aceh dan LNG<br />

Bontang-Kalimantan Timur, jelasnya.<br />

Ia meminta kepada pemerintah<br />

agar masalah ini dapat ditindaklanjuti<br />

dan ditangani secara serius dalam<br />

menangani pengalokasian gas domestik<br />

untuk daerah-daerah dimana LNG<br />

itu berada. Karena tidak ada alokasi<br />

gas Tangguh untuk domestik khususnya<br />

untuk daerah setempat sehingga<br />

dalam jangka pendek yang bisa dilakukan<br />

listriknya dapat digunakan<br />

untuk kepentingan sendiri. Pasalnya,<br />

Tangguh memiliki kelebihan pasokan,<br />

yang dapat diberikan kepada rakyat<br />

setempat sebesar 5 MW.<br />

“Tapi kedepan tidak cukup dengan<br />

itu, kedepan kita minta supaya<br />

ada gas yang dedikasi kepada daerah<br />

setempat untuk mengembangkan<br />

tidak hanya cuma listrik tapi juga<br />

city gas (gas kota), dan itu harus bisa<br />

mengalir ke daerah Kabupaten Bintuni<br />

dimana LNG Tangguh itu berada,”<br />

pinta Satya.<br />

Menurut Satya, pemerintah seharusnya<br />

sudah bisa merubah para-<br />

digma saat ini, dengan tidak lagi<br />

mengandalkan penerimaan negara<br />

saja tapi juga pada pembangunan<br />

dan pertumbuhan ekonomi. “Sehingga<br />

dalam pengembangan Tangguh<br />

kedepan tidak lagi bertumpuh hanya<br />

menjual gas ke luar negeri untuk<br />

pemasukan devisa negara yang besar<br />

tetapi harus melihat yang ada disekeli<br />

lingnya. Bagaimana caranya Tangguh<br />

itu berperan didalam mengembangkan<br />

atau memberikan pertumbuhan<br />

ekonomi di Papua Barat khususnya,”<br />

katanya.<br />

Untuk itu, lanjutnya, Komisi VII<br />

menitikberatkan kepada listrik karena<br />

kekurangan supply listrik dilokasi dimana<br />

disitu merupakan sumber gas<br />

itu membeikan kecemburuan bagi<br />

masyarakat setempat. Karena masyarakat<br />

setempat tidak diberikan<br />

listrik dengan baik yang sementara<br />

berdekatan dengan sumber gas besar.<br />

“Ini jadi program yang harus<br />

segera direalisasikan oleh Pemerintah,”<br />

tegasnya.<br />

Satya menambahkan, Komisi VII<br />

<strong>DPR</strong> akan memanggil Kementerian<br />

ESDM bahkan kalau bisa dalam waktu<br />

dekat akan minta adanya kunjungan<br />

spesifik dengan mengundang kehadiran<br />

Menteri ESDM atau Wamen ESDM<br />

untuk meninjau LNG Tangguh Papua<br />

Barat. “Disitu nanti Menteri ESDM atau<br />

Wamen ESDM dapat melihat langsung<br />

dan mendapatkan informasi yang detail<br />

dari daerah setempat, baik Kabupaten<br />

Bintuni maupun Pemerintah<br />

Provinsi Papua Barat,” katanya.<br />

Menurut Satya ini sangat penting,<br />

karena permintaan Bupati Kabupaten<br />

Teluk Bintuni Papua Barat ini<br />

harus kita difollow-upi seperti adanya<br />

city gas (gas kota), listrik yang ada<br />

disekitar daerah itu harus betul-betul<br />

kita prioritaskan.<br />

Untuk itu, lanjutnya, Komisi VII<br />

akan merencanakan meminta kepada<br />

Kementerian ESDM agar menangani<br />

ini secara serius dan melakukan kunjungan<br />

spesifik bersama ke LNG Tangguh.<br />

“Itu menjadi program prioritas<br />

kita kedepan ini,” tuturnya.***


Anggota <strong>DPR</strong> dari Fraksi Partai<br />

Demokrat Milton Pakpahan<br />

mengatakan, sektor energi, Indonesia<br />

masih menghadapi tantangan<br />

utama yaitu peningkatan kebutuhan<br />

dan konsumsi yang tidak diimbangi<br />

secara proporsional oleh peningkatan<br />

pasokan dan ketersediaan. “Peningkatan<br />

produksi minyak dan gas bumi<br />

serta pertambangan mineral dan batubara<br />

belum dapat dilaksanakan<br />

dengan optimal,” ujarnya.<br />

Saat ini, lanjutnya, Komisi VII<br />

sedang melaksanakan proses perubahan<br />

Undang-Undang Nomor 22<br />

Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas<br />

Bumi, kata Milton seraya menambahkan<br />

perubahan dimaksud untuk<br />

memperbaiki tatakelola minyak dan<br />

gas bumi kita. “Hal tersebut sangat<br />

berkaitan erat dan perlu mendapatkan<br />

perhatian, mengingat Provinsi<br />

Papua Barat merupakan salah satu<br />

daerah penghasil migas yang cukup<br />

besar,” jelasnya.<br />

Terkait de-ngan sektor ketenagalistrikan,<br />

Milton menjelaskan, kita<br />

masih dihadapkan pada persoalan<br />

keterbatasan pasokan yang belum<br />

mampu memenuhi seluruh kebutuhan.<br />

Terlebih lagi di Provinsi Papua<br />

Barat yang juga masih terdapat ma-<br />

salah besar dalam pemenuhan<br />

kebutuhan pasokan listrik.<br />

“Sampai saat ini hanya<br />

sebagian kecil masyarakat<br />

di Papua Barat yang dapat<br />

menikmati listrik, sedangkan<br />

sebagian besar yang lain<br />

masih dalam kondisi gelap<br />

gulita dan belum menikmati<br />

terangnya listrik,” jelasnya.<br />

Menurutnya, yang utama<br />

yaitu bagaimana upaya<br />

untuk mempercepat pembangunan<br />

sektor ketenagalistrikan<br />

dan pengembangan<br />

ener-gi di Provinsi Papua<br />

Barat, karena Provinsi Papua Barat<br />

memiliki sumber energi yang cukup<br />

besar dan memiliki banyak sumber<br />

energi alternatif yang dapat dikembangkan.<br />

“Begitu juga dengan bidang lingkungan<br />

hidup serta riset dan teknologi<br />

(ristek) perlu mendapatkan perhatian<br />

yang serius, khususnya terkait dengan<br />

kerusakan dan upaya konservasi lingkungan<br />

hidup,” paparnya.<br />

Dia menambahkan, perlindungan<br />

dan pelestarian masyarakat dan tanah<br />

adat di bumi Papua Barat juga harus<br />

diprioritaskan sedangkan pengem-<br />

Anggota <strong>DPR</strong> Fraksi Partai Demokrat Milton Pakpahan (kanan)<br />

bangan riset dan teknologi dilakukan<br />

dalam upaya untuk meningkatkan nilai<br />

tambah dalam pemanfaatan sumber<br />

daya alam yang kita miliki, serta<br />

peningkatan daya saing dan produktivitas<br />

perekonomian juga perlu terus<br />

kita kembangkan guna melakukan akselerasi<br />

pembangunan.<br />

Milton berharap, kunjungan kerja<br />

ini dapat mencapai tujuan dan dapat<br />

bermanfaat bagi masyarakat serta<br />

memberikan dukungan terhadap program-program<br />

yang telah dicanangkan<br />

oleh Pemerintah Provinsi Papua<br />

Barat. (as/iw).<br />

Prioritaskan Program PKH<br />

dan KUBE Gorontalo<br />

Pemerintah Provinsi Gorontalo meminta kepada Tim Kunjungan Kerja<br />

Komisi VIII <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> untuk memperjuangkan Program Keluarga Harapan (PKH) dan<br />

Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Gorontalo.<br />

Hal tersebut disampaikan Gubernur<br />

Gorontalo Ruslie Habibie<br />

saat pertemuan dengan<br />

Tim Kunjungan Kerja Komisi VIII ke<br />

Provinsi Gorontalo yang dipimpin<br />

Wakil Ketua Komisi VIII Gondo Radityo<br />

Gambiro di Gedung Wanita<br />

Balelimbui, Gorontalo, Senin malam<br />

(16/4). “Kami harapkan saat pembahasan<br />

anggaran di pusat, Gorontalo<br />

mendapatkan prioritas untuk pro-<br />

gram tersebut,”kata Ruslie.<br />

Kepala Dinas Sosial Provinsi<br />

Gorontalo Baihaki Natsir yang turut<br />

hadir pada pertemuan tersebut,<br />

menjelaskan masih ada satu kabupaten<br />

yang belum mendapatkan program<br />

PKH yaitu Pohuwato.<br />

Untuk Program KUBE, dijelaskan<br />

bahwa masih banyak masyarakat<br />

Gorontalo yang tinggal di bukit-bukit,<br />

jika tidak di relokasi dikhawatirkan<br />

banyak terjadi penggundulan hutan<br />

akibat ladang berpindah sehingga<br />

dapat mengakibatkan longsor. “Kami<br />

juga telah mengusulkan 1000 rumah<br />

layak huni, karena faktanya masyarakat<br />

Gorontalo mayoritas memiliki<br />

rumah kurang layak, sementara setiap<br />

program telah kami usulkan dengan<br />

melampirkan proposal by name, by<br />

photo,”tambahnya.<br />

Ketua Tim Gondo Radityo Gam-<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


KUNJUNGAN KERJA<br />

biro mengatakan, meskipun APBNP<br />

2012 sudah diketok, namun Komisi<br />

VIII berjanji akan memperjuangkan<br />

hal tersebut saat Rapat Kerja dengan<br />

Kementerian Sosial.<br />

Anggota <strong>DPR</strong> dari PKS Jajuli Juwaeni<br />

menjelaskan bahwa dalam<br />

pembahasan APBNP tidak ada anggaran<br />

tambahan baik untuk PKH<br />

ataupun KUBE. Fokusnya kemarin<br />

untuk mengantisipasi jika BBM naik.<br />

Sedangkan untuk PKH ada tambahan,<br />

tapi hanya untuk menambah indeks.<br />

Namun demikian menurutnya berbagai<br />

masukan yang disampaikan akan<br />

menjadi prioritas Komisi VIII.<br />

Saat kunjungan ke Ponpes Bubohu,<br />

tim Kunjungan Kerja Komisi VIII<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> yang dipimpin Wakil Ketua<br />

Komisi VIII Gondo Radityo Gambiro<br />

merasa Kagum pada Pondok<br />

Pesantren (Ponpes) bernuansa alam di<br />

Bubohu, Kabupaten Gorontalo.”Kami<br />

kagum dan bangga pada konsep<br />

alam dan religius yang diterapkan<br />

pada pondok pesantren Bubohu,” ujar<br />

Gondo saat berkunjung ke ponpes<br />

alam Bubohu pimpinan Yosef Ma’ruf<br />

, Selasa (17/4).<br />

Pada kesempatan tersebut Gondo<br />

juga meresmikan Kartu Pos Desa<br />

Wisata Bubohu yang diterbitkan<br />

Ponpes alam tersebut. Kartu pos yang<br />

Wakil Ketua Komisi VIII Gondo Radityo Gambiro<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 90 TH. XLII, 2012 |<br />

merupakan photo-photo ponpes<br />

alam dan lingkungan alam sekitar dijadikan<br />

sebagai brosure atau promosi<br />

bagi ponpes alam.<br />

Serahkan Bantuan<br />

Pada kesempatan berbeda, Tim<br />

Kunjungan Kerja Komisi VIII <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

menyerahkan bantuan Pembangunan<br />

Ruang Kelas Baru bagi Madrasah<br />

Aliyah Muhammadiyah Molowahu<br />

Gorontalo.Bantuan sebesar Rp 197<br />

juta dari Direktorat Jenderal Pendidikan<br />

Islam direktorat pendidikan<br />

madrasah Kementerian Agama diserahkan<br />

langsung Ketua Tim Gondo<br />

Radityo Gambiro saat meninjau<br />

Madrasah Aliyah Muhamadiyah di<br />

Molowahu Gorontalo, Senin (16/4).<br />

Madrasah Aliyah Molowahu<br />

Gorontalo ditetapkan sebagai penerima<br />

bantuan karena merupakan<br />

Madrasah yang didirkan atas dana<br />

masyarakat pada 2007 dan bangunan<br />

sekolahnya dibangun dari bantuan<br />

PNPM Mandiri pada 2010.<br />

Selain Madrasah, Tim kunjungan<br />

Komisi VIII <strong>DPR</strong> juga memberikan<br />

bantuan kepada Panti Sosial Tresna<br />

Werdha Ilomata Gorontalo. Panti<br />

sosial tersebut mendapatkan Bantuan<br />

Pemenuhan Kebutuhan Dasar Tahun<br />

2012 dari Kementerian Sosial. Bantuan<br />

sebesar Rp 38.325.000 bagi 35<br />

orang penghuni panti werdha ilomata<br />

diserahkan langsung Wakil Ketua<br />

Komisi VIII Chairunnisa saat meninjau<br />

panti tersebut, Selasa (17/4).<br />

Chairunnisa meminta kepada<br />

Kepala Dinas Sosial Provinsi Gorontalo<br />

dan pengurus panti untuk benarbenar<br />

memperhatikan Panti dan jika<br />

memang ada kekurangan dana harap<br />

diinfokan kepada pemerintah daerah<br />

setempat. “Jika kita informasikan kepada<br />

Pemerintah daerah, saya yakin<br />

pemda akan memberikan perhatiannya,<br />

pemerintah melalui APBN hanya<br />

dapat membantu pada pemenuhan<br />

kebutuhan dasar,” kata Chairunnisa.<br />

Dia menambahkan, dibutuhkan<br />

keikhlasan dan waktu untuk mengurus<br />

panti, mengasuh manula merupakan<br />

amal ibadah yang akan mendapat-<br />

kan pahala. “Kita anggap saja seperti<br />

mengurus ortu sendiri,”terangnya.<br />

Jadi Embarkasi Haji Penuh<br />

Gubernur Provinsi Gorontalo<br />

Ruslie Habibie mengharapkan kepastiannya<br />

agar Bandara Jalaluddin<br />

Gorontalo untuk ditingkatkan dari<br />

Embarkasi Haji Antara (EHA) menjadi<br />

Embarkasi penuh. Permintaan<br />

tersebut disampaikan oleh Ruslie<br />

saat Komisi VIII melakukan Kunjungan<br />

Kerja yang dipimpin Wakil Ketua<br />

Komisi VIII Gondo Radityo Gambiro di<br />

Gedung Wanita Balelimbui,Gorontalo,<br />

Senin Malam (16/4).<br />

Ketua <strong>DPR</strong>D Gorontalo Marthen<br />

A Taha yang turut hadir dalam pertemuan<br />

tersebut menerangkan bahwa<br />

sejak 2008 Bandara Jalaluddin sudah<br />

menjadi EHA. Seluruh pengurusan haji<br />

dan asramanya di urus di Gorontalo.<br />

“Dengan adanya EHA waktu perjalanan<br />

menjadi sedikit. Hanya menginap<br />

semalam di asrama Gorontalo,<br />

keesokannya langsung berangkat ke<br />

Makasar. Di Makasar hanya pindah<br />

pesawat” papar Marthen.<br />

Menurutnya, berbagai persyaratan<br />

dari kementerian agama dan<br />

perhubungan belum bisa dipenuhi.<br />

“Bandara Jalaluddin belum bisa didarati<br />

pesawat berbadan besar, demikian<br />

pula dengan terminalnya masih<br />

sangat terbatas. Namun dari sisi pengurusan<br />

haji dan asrama Pemerintah<br />

Daerah telah berusaha memenuhi<br />

persyaratannya dengan membangun<br />

kamar sampai mencapai jumlah yang<br />

ditentukan dari anggaran APBD.<br />

Yang menjadi masalah saat ini<br />

adalah bandara ex bandara hasanuddin<br />

yang digunakan untuk jemaah haji<br />

sudah tidak bisa digunakan untuk haji,<br />

sedangkan bandara hasanudin baru<br />

tidak bisa digunakan untuk haji.<br />

Ketua Tim Komisi VIII Gondo<br />

Radityo Gambiro menjawab bahwa<br />

permintaan tersebut juga diminta<br />

oleh Bandara di Nusa Tenggara Barat.<br />

“Kami akan berusaha mempertanyakan<br />

hal tersebut, namun tidak hanya<br />

masalah bandara tapi juga dengan<br />

peningkatannya,” kata Gondo. (sc)


SOROTAN<br />

Pemiskinan Pengemplang Pajak,<br />

Timbulkan Efek Jera<br />

Belum Lama ini kita kembali terhentak, dan dikagetkan muncul kembali kasus<br />

pajak seperti kasus Gayus II, yang kali ini menimpa pegawai pajak berinisial DW<br />

yang diduga memiliki Rp. 60 Miliar. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah<br />

menetapkan DW sebagai tersangka pada 16 Februari 2012, setelah ditetapkan<br />

sebagai tersangka, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rachmad<br />

juga mengatakan penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus<br />

(Jampidsus) telah mengajukan permohonan cekal terhadap DW.<br />

Anggota Fraksi Partai Golkar<br />

Satya Widya Yudha<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 90 91 TH. XLII, 2012 |


SOROTAN<br />

Kemudian, beberapa waktu lalu,<br />

penyidik juga telah melakukan<br />

penggeledahan, penyitaan,<br />

serta pemblokiran terhadap aset DW.<br />

Dari hasil penggeledahan, penyidik<br />

menemukan dokumen, sertifikat,<br />

uang dalam pecahan rupiah dan dollar,<br />

serta logam mulia berupa emas<br />

yang saat ini sudah disita penyidik.<br />

Menanggapi persoalan itu, Satya<br />

W. Yudha dari Partai Golkar mengatakan,<br />

kasus pengemplangan<br />

pajak merupakan bentuk sinyalemen<br />

APBN yang tidak efisien. Karena banyaknya<br />

kebocoran didalam APBN selama<br />

kurun waktu 10 tahun terakhir,<br />

bahkan diprediksi kebocoran bisa<br />

sampai 20 persen.<br />

“Faktor kebocoran itu macammacam<br />

dari sisi pajak karena bermacam<br />

tipe pajak ada pajak di perusahaan-perusahaan<br />

royalti serta wajib<br />

pajak, kemudian kedua kebocoran<br />

di penerimaan yang lain sehingga<br />

menurut hemat saya penyelesaian<br />

pajak yang menjadi sokogurunya<br />

kita dimana pendapatan kita APBN<br />

25 persen migas sisanya pajak itu sangat<br />

mengganggu kesehatan APBN<br />

kalau diteruskan menambah defisit<br />

anggaran,”ujarnya.<br />

Menurutnya, tindakan pemerintah<br />

menambah belanja hingga defisit 3<br />

persen itu sangat ironis sekali, dimana<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 90 TH. XLII, 2012 |<br />

Anggota dari F-Golkar Satya W. Yudha<br />

banyaknya kebocoran pajak negara.<br />

“Kita meminta ada pemeriksaan yang<br />

melekat baik dimiliki kementerian<br />

keuangan dan inspektorat-inspektorat<br />

di departemen hingga pendapatan<br />

negara tidak diselewengkan,”katanya.<br />

Kejadian ini, lanjut Satya, seperti<br />

api dan sekam permasalahan pajak<br />

tidak transparan, bahkan kita tidak<br />

pernah tahu berapa total wajib pajak<br />

yang betul-betul terdaftar dan taksiran<br />

pajak yang benar. Artinya bisa saja<br />

sebuah perusahaan menggelapkan<br />

taxasi tidak seperti asli atau realnya.<br />

Dia mendesak Kementerian atau<br />

lembaga, BPK, BPKP ikut turut serta<br />

audit pajak agar taxasi pajak betulbetul<br />

akurat sehingga kita mengetahui<br />

pendapatan utuh dari sektor pajak.<br />

“Saat ini kita memang sering dikejutkan<br />

terbongkarnya kasus pajak karena<br />

membayar lebih ternyata kurang. Ini<br />

sudah mengejala bahkan banyak pihak<br />

yang mengatakan APBN kita bisa<br />

menanggung subsidi BBM, jika pajak<br />

tidak diselewengkan,”ujarnya.<br />

Pendekatan pajak sekarang ini<br />

ada dua, pertama wajib pajak melapor<br />

karena dia menganggap ketika<br />

mendapatkan kartu identitas pajak,<br />

pihaknya mendapatkan kemudahan<br />

seperti tidak perlu membayar fiskal<br />

ketika keluar negeri dan sebagainya.<br />

Apapun juga dikaitkan dengan kartu<br />

wajib pajaknya yang paling penting<br />

kejujurannya.<br />

Menurutnya, pemerintah bisa<br />

melakukan sistem satu pintu, misal-


nya saja dengan sistem standarisasi<br />

dimana para wajib pajak dapat mengisi<br />

online dan mendapatkan total<br />

pajak yang dibayar. “Itu dapat menjadi<br />

langkah yang bagus dengan memangkas<br />

birokrasi yang ada,”katanya.<br />

Namun terdapat kendala jika bicara<br />

barang maka perlu bukti-bukti<br />

otentik dengan cara menggiatkan<br />

inspeksi pajaknya. “ini kombinasi dua<br />

sistem, orang dipermudah sehingga<br />

orang mudah mengkalkulasinya, kemudian<br />

inspeksi pajak juga tetap<br />

bekerja dia mengetahui persis yang<br />

dilaporkan sesuai yang dimiliki sebenarnya.<br />

Karena itu <strong>DPR</strong> meminta<br />

instansi pajak atau karyawan pajak<br />

tidak main-main dalam hal ini karena<br />

mempengaruhi sumber pendapatan<br />

nasional,”tegasnya.<br />

Saya mengusulkan, perlu ada<br />

sanksi hukum yang tegas terhadap<br />

penyeleweng pajak. Jadi tidak hanya<br />

dimutasi, dipindahkan bahkan dikeluarkan<br />

dalam hal ini sanksi administrasi<br />

semata tetapi harus dengan<br />

cara pemiskinan bagi para tersangka<br />

tersebut. “Wacana pemiskinan itu<br />

menjadi penting karena menimbulkan<br />

efek jera., misal seperti kasus Dhana<br />

harus disita betul dan dimiskinkan<br />

dan dikembalikan kepada posisi awal.<br />

Ini harus dicermati apabila hanya<br />

sanksi biasa mereka masih lenggang<br />

kangkung,”katanya.<br />

Kedua sistem sindikat biasanya<br />

berjenjang pada sistem birokrasi dan<br />

biasanya menggunakan karyawan<br />

dibawah sebagai penerima dana yang<br />

tentunya akan menyetor keatasannya.<br />

“Jadi tidak hanya stop kepada orang<br />

tersebut tetapi sumbernya yang<br />

memperoleh kue yang besar. Harus<br />

disikat habis karena ini sudah menjadi<br />

wabah dan tidak mudah menjadikan<br />

pengemplang pajak dan penghitung<br />

pajak bila menyeleweng jadikan musuh<br />

bersama membuat APBN kita kedodoran.<br />

Sementara Ketua panitia kerja<br />

(Panja) Mafia Pajak <strong>DPR</strong> Tjatur Sapto<br />

Edy mendesak Kepolisian dan Kejaksaan<br />

memprioritaskan pengusutan<br />

skandal mafia pajak ‘kakap’. <strong>DPR</strong><br />

menyindir kinerja Kepolisian dan Kejaksaan<br />

yang hanya berkutat di kasus<br />

pajak dengan kerugian keuangan<br />

negara miliarian rupiah.<br />

“Ada beberapa kasus yang besar<br />

yang kita minta Dirjen Pajak untuk<br />

menindaklanjuti kasus-kasus itu di internal.<br />

Kemudian diproses oleh penegak<br />

hukum, tapi kan sampai sekarang<br />

mereka jarang memproses pelanggar<br />

pajak yang besar. Kalau hanya fokus<br />

di kasus DW (Dhana Widyatmika), itu<br />

kecil,” kata Tjatur<br />

Menurutnya upaya pemberantasan<br />

korupsi di sektor pajak harus<br />

ditunjukkan dengan komitmen penegakan<br />

hukum. “Kasus DW dan Gayus<br />

itu masih level anak buah, sementara<br />

proses hukum untuk atasan mereka<br />

mandek termasuk perusahaan besar<br />

wajib pajak yang menunggak dengan<br />

cara kongkalikong di Ditjen Pajak. Ini<br />

harus segera diselesaikan,” terangnya.<br />

(si/iw)<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 90 91 TH. XLII, 2012 |


LIPUTAN KHUSUS<br />

Fit And Proper Test BPK<br />

INTEG<strong>RI</strong>TAS DAN<br />

KEJUJURAN,<br />

Modal Pimpin BPK <strong>RI</strong><br />

0 0 | | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | | Edisi Edisi 91 91 TH. TH. XLII, XLII, 2012 2012 |<br />

|


Integritas, kejujuran maupun track<br />

record seorang calon anggota<br />

BPK menjadi point penting bagi<br />

seseorang yang ingin mendaftar<br />

menjadi anggota BPK. Sebelumnya<br />

uji kelayakan dan kepatutan diikuti<br />

oleh 35 calon untuk mencari pengganti<br />

Wakil BPK Herman Widyananda<br />

yang wafat tahun lalu, dan anggota<br />

BPK Sapto Amal Damandari. Dari 35<br />

calon ternyata mengundurkan diri<br />

dua orang yaitu mantan Kepala BPH<br />

Migas Tubagus Haryono mundur, dan<br />

Nursanita Nasution juga menyatakan<br />

mundur jadi calon Anggota Badan<br />

Pemeriksa Keuangan (BPK). Kini sisa<br />

calon anggota tinggal 33 orang.<br />

“Tadinya memang ada 35 orang,<br />

Pengunduran dirinya tersebut karena<br />

belum dua tahun sebagai kuasa badan<br />

anggaran, terkait masa jabatannya sebagai<br />

kepala BPH migas,” jelas Wakil<br />

ketua Harry Azhar Azis kepada parle.<br />

Menurut Harry, Kriteria yang diharapkan<br />

dari dua anggota BPK<br />

nantinya, berdasarkan kriteria-kriteria<br />

undang-undang secara khusus yakni<br />

harus lulus secara track record. Kemudian<br />

harus lulus tentang kompetensi<br />

secara proporsional, serta integritas<br />

diri yang menjadi bahan pertimbangan<br />

komisi XI untuk memilih dua<br />

anggota BPK.<br />

“Ketika calon yang terpilih ternyata<br />

dari golongan partai maka mereka harus<br />

meninggalkan partainya, sebelum<br />

terpilih mereka masih boleh mengikuti<br />

partainya,” pungkas Harry.<br />

Ke-33 orang tersebut mendapat<br />

cecaran pertanyaan dari Komisi XI<br />

<strong>DPR</strong>, mulai pertanyaan kemampuan<br />

menganalisa, integritas, kejujuran<br />

bahkan kapasitas dari calon diteliti<br />

sedemikian rupa oleh anggota Komisi<br />

XI <strong>DPR</strong>. Guna mendapatkan dua nama<br />

anggota BPK yang mumpuni, <strong>DPR</strong><br />

melakukan rapat secara marathon<br />

sehingga diharapkan mendapatkan<br />

calon yang sesuai harapan masyarakat<br />

Indonesia.<br />

Rapat fit and proper test calon anggota<br />

BPK, dimulai dari tanggal 22-29<br />

Februari 2012, masing-masing calon<br />

berusaha memaparkan programnya<br />

kepada seluruh anggota Komisi XI<br />

<strong>DPR</strong>. Ada beberapa calon yang memiliki<br />

program menarik misalnya saja,<br />

auditor Utama KN II BPK Syafri Adnan<br />

Ketua Komisi XI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Emir Moeis saat memimpin fit and proper test calon Anggota BPK <strong>RI</strong><br />

Badaruddin yang berjanji akan mengaudit<br />

semua anggaran pada kinerja<br />

berjalan jika terpilih sebagai anggota<br />

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)<br />

“Saya akan bekerja semaksimal<br />

mungkin jika menjadi anggota BPK,<br />

salah satunya mengaudit semua<br />

anggaran pada kinerja yang berjalan<br />

nantinya,” ujarnya saat mengikuti<br />

pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan<br />

anggota BPK di Gedung <strong>DPR</strong>.<br />

Menurutnya, dari sekitar 4.000-<br />

5.000 auditor yang dimiliki Indonesia<br />

saat ini, yang mempunyai kualifikasi<br />

untuk audit kinerja hanya sekitar 350<br />

auditor. “Jadi nantinya kita tingkatkan<br />

terus sampai tahun 2015 sekitar 1.700<br />

auditor,”paparnya. Namun meskipun<br />

dianggap memiliki pengalaman kerja<br />

yang mumpuni ternyata Syafri masih<br />

belum cukup menarik perhatian<br />

anggota Komisi XI <strong>DPR</strong> untuk dipilih,<br />

akhirnya berdasarkan rapat internal<br />

Komisi XI <strong>DPR</strong> dipilihlah dua orang<br />

anggota yaitu Sapto Amal Damandari<br />

dan Agung Firman Sampurna sebagai<br />

anggota BPK <strong>RI</strong> Periode 2012-2017.<br />

Persetujuan Paripurna<br />

Pada Rapat Paripurna, kedua nama<br />

tersebut akhirnya dibacakan oleh<br />

Wakil Ketua Komisi XI <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>, Achsanul<br />

Qosasih terkait materi Paripurna<br />

pembahasan pencalonan dan pemilihan<br />

Anggota BPK periode 2012-2017<br />

untuk dimintakan persetujuan Paripurna<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>.<br />

Achsanul mengatakan, berdasarkan<br />

keputusan rapat Badan Musyawarah<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>, Komisi XI <strong>DPR</strong> diberikan<br />

tugas untuk membahas<br />

pencalonan anggota BPK <strong>RI</strong> dalam<br />

rangka menindaklanjuti Surat Ketua<br />

BPK No.174/S/I/09/2011 tertanggal<br />

15 September 2011 perihal Penggantian<br />

Antar Waktu dan pemberitahuan<br />

berakhirnya masa jabatan anggota<br />

BPK.<br />

Komisi XI <strong>DPR</strong> juga telah melakukan<br />

uji kelayakan kepada 33 calon<br />

anggota BPK. Selanjutnya dalam rapat<br />

internal Komisi XI pada 7 Maret 2012,<br />

dilakukan pengambilan keputusan<br />

melalui pemungutan suara (voting).<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1


LIPUTAN KHUSUS<br />

Pimpinan <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> Marzuki Alie dan Pramono Anung bersama dua anggota BPK <strong>RI</strong> Sapto Amal Damandari (paling kanan) dan Agung Firman Sampurna<br />

Dalam voting tersebut, lanjut<br />

Achsanul ada enam kandidat yang<br />

berhasil mendapat dukungan suara<br />

yaitu Sapto Amal Damandari dengan<br />

34 suara, Agung Firman Sampurna<br />

mendapat 28 suara, Syafri A. Baharuddin<br />

memperoleh 24 suara, Parwito<br />

memperoleh 24 suara, Dharma Bakti<br />

mendapat 1 suara, dan Agus Purwanto<br />

mendapat 1 suara. Berdasarkan<br />

hasil tersebut, Komisi XI menyepakati<br />

bahwa kandidat dengan perolehan<br />

suara terbanyak pertama dan kedua<br />

yang terpilih menjadi Anggota BPK<br />

periode 2012-2017.<br />

Seperti diketahui, dua anggota<br />

BPK yang baru tersebut akan menempati<br />

dua posisi kosong di BPK<br />

pada Mei 2012 mendatang. Pertama,<br />

posisi sebagai Anggota III BPK yang<br />

membidangi mengenai Pemeriksaan<br />

Pengelolaan dan Tanggung Jawab<br />

Keuangan Negara Bidang Lembaga<br />

Negara, Kesejahteraan Rakyat, Kesekretariatan<br />

Negara, Aparatur Negara,<br />

Riset dan Teknologi yang saat ini masih<br />

dirangkap oleh Wakil Ketua BPK,<br />

Hasan Bisri.<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

Kedua, posisi sebagai Anggota V<br />

BPK yang membidangi Pemeriksaan<br />

Pengelolaan dan Tanggung Jawab<br />

Keuangan Daerah dan Kekayaan Daerah<br />

yang Dipisahkan pada Wilayah I<br />

(Sumatera dan Jawa). Posisi ini sebelumnya<br />

diisi oleh Sapto Amal Damandari<br />

yang akan berakhir masa tugasnya<br />

pada Mei mendatang. (si)<br />

***<br />

suasana fit and proper test calon Anggota BPK <strong>RI</strong>


SELEB<strong>RI</strong>TIS<br />

Tiya Diran<br />

Sampai Sekarang Belum Tergoda<br />

Setiap acara kenegaraan yang<br />

dihadiri Presiden atau tamu<br />

mancanegara hampir selalu dipastikan<br />

disitu ada Tiya Diran sebagai<br />

master of ceremony. Master sebuah<br />

acara pastinya tokoh kunci, itulah sebabnya<br />

penyiar TV<strong>RI</strong> berkulit hitam<br />

manis ini selalu tampil total, mulai<br />

dari memeriksa kesiapan sound system,<br />

membangun komunikasi dengan<br />

tim pendukung acara dan tentu gladi<br />

bersih yang benar-benar bersih.<br />

“Keberhasilan sebuah acara tergantung<br />

bagaimana persiapan termasuk<br />

komunikasi yang terbangun diantara<br />

seluruh tim pendukung,” kata Tiya<br />

disela-sela gladi bersih pembukaan<br />

Konferensi Parlemen Anggota OKI<br />

(PUIC) di Palembang, Sumsel, beberapa<br />

waktu lalu. Beberapa kali ia terlihat<br />

bicara dengan sound engineer agar<br />

output dari pengeras suaranya bisa<br />

lebih baik. Senyum selalu mengambang<br />

dari bibirnya ketika memberikan<br />

aba-aba kepada petugas gladi bersih.<br />

Beberapa kali ia harus mengulang komando<br />

dengan intonasi yang tetap<br />

terjaga, tidak ada kesan kesal dari<br />

nada suaranya.<br />

MC pada Konferensi Internasional<br />

PUIC yang dihadiri Presiden SBY,<br />

Sekjen OKI, Ketua <strong>DPR</strong> dan anggota<br />

parlemen dari 45 negara Islam adalah<br />

salah satu acara resmi kenegaraan<br />

yang berhasil dipandunya dengan<br />

baik. Daftar lainnya tentu masih panjang<br />

diantaranya acara Presidential<br />

Lectures di Istana Negara dengan<br />

pembicara antara lain, Sekjen PBB<br />

Koffi Annan (2010), Prince of Wales<br />

(2008), Asean – Uni Eropa Business<br />

Summit, World Geothermal Energy<br />

Congress.<br />

Penggemar jagoan banyak akal<br />

Indiana Jones ini ternyata tidak hanya<br />

piawai menjadi MC tetapi juga menjadi<br />

penerjemah berkesinambungan<br />

– simultaneous interpreter. Kebisaan<br />

ini telah mengantarnya keliling dunia<br />

pada acara-acara besar seperti G 20<br />

Summit di Korea, KTT APEC di Jepang,<br />

Google’s SAVE di Irlandia atau Million<br />

Dollar Round Table di Atlanta, Georgia,<br />

USA.<br />

Menjadi seorang MC baginya<br />

Tiya Diran<br />

adalah seni mengendalikan diri. Salah<br />

satu pengalaman paling berkesan dan<br />

menegangkan yang pernah dialaminya<br />

adalah pada saat menjadi MC<br />

kenegaraan acara penganugerahan<br />

Democracy Award di Grand Hyatt,<br />

Bali. Acara yang dihadiri Presiden SBY<br />

dan tamu-tamu penting lain yang<br />

sudah berjalan beberapa waktu sontak<br />

terhenti. Apa pasal..., mati lampu.<br />

| | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | | Edisi Edisi 91 91 TH. TH. XLII, XLII, 2012 2012 |<br />

|


SELEB<strong>RI</strong>TIS<br />

Tiya Diran bersama rekan penyiar TV<strong>RI</strong><br />

Ballroom yang terletak di basement<br />

itu gelap gulita selama lebih kurang<br />

2 menit.<br />

Panitia penyelenggara panik, ge-<br />

Tiya Diran bersama Presiden Timor Leste<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

nerator yang seharusnya bisa cepat<br />

berfungsi ternyata mogok. Ditengah<br />

remang cahaya lampu darurat ketua<br />

panitia dengan terbata-bata meminta<br />

maaf<br />

dan mencoba<br />

menjelaskan<br />

kepada Presiden<br />

SBY dan<br />

hadirin bahwa<br />

upaya perbaikan<br />

saat ini<br />

tengah berlangsung.<br />

K e t i k a<br />

akhirnya lampu<br />

menyala<br />

kembali Tiya<br />

segera memutar<br />

otak<br />

mencari kata<br />

pembuka untukmencairkan<br />

suasana<br />

yang terlanjur<br />

beku. “Saya<br />

bilang, Pak<br />

Presiden mati<br />

lampu tadi<br />

d i s e n g a j a ,<br />

seperti buku<br />

Tiya Diran bersama Ibu Any Yudhoyono<br />

ibu Kartini habis gelap terbitlah terang.<br />

Demikian pula acara penghargaan Democracy<br />

Award ini seakan memperlihatkan<br />

perjalanan demokrasi Indonesia<br />

yang harus melewati lorong gelap<br />

terlebih dahulu dan kemudian sampai<br />

pada satu titik munculnya sinar, itulah<br />

saat penghargaan bagi demokrasi<br />

kita.” Hadirin bertepuk tangan, kebekuan<br />

cair kembali.<br />

Alumni Lester B. Pearson College,<br />

Canada ini memang serba bisa, ibarat<br />

kata santai bisa resmi juga boleh. Baginya<br />

humor penting dalam melewati<br />

tantangan demi tantangan kehidupan,<br />

ini berhasil dibawakannya dengan renyah<br />

di panggung MC dalam porsi<br />

wajar sehingga tidak merusak hakekat<br />

utama sebuah acara. Pilihan kata, intonasi,<br />

kostum yang tepat membuat<br />

acara resmi yang dipandunya mengalir,<br />

jauh dari bosan atau kaku.<br />

Tampil di banyak acara kenegaraan<br />

pastinya banyak menarik perhatian<br />

pejabat baik di pusat maupun di daerah<br />

sehingga menambah jam terbang<br />

Tiya sebagai MC lintas provinsi. Seperti<br />

minggu lalu ia diundang khusus<br />

seorang bupati untuk membawakan<br />

satu acara didaerahnya. Honornya<br />

pasti tinggi dong?. Ia tergelak sambil


mengelak. “Pastinya ada tarif, alhamdulillah<br />

kalau yang ngundang mau<br />

mengikuti itu.”<br />

Wanita kelahiran 23 November<br />

ini kembali terbahak ketika ditanya<br />

berapa tarif ngemsi kalau yang mengundang<br />

anggota <strong>DPR</strong>. “Wakil kita<br />

di <strong>DPR</strong> pasti ada yang kaya juga kan..<br />

tapi saya juga punya banyak teman,<br />

kalau teman cincailah haha..,” imbuh<br />

pembawa acara upacara pembukaan<br />

Sea Games XXVI Palembang bersama<br />

Tantowi Yahya yang juga anggota<br />

Komisi I <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong>. “Uang penting tapi<br />

bekerja tidak selalu untuk uang-kan,<br />

saya juga sering mendukung acaraacara<br />

sosial.”<br />

TV<strong>RI</strong> dan UU Penyiaran<br />

Menjadi MC papan atas tidak<br />

membuat Tiya Diran melupakan<br />

akarnya TV<strong>RI</strong>, stasiun televisi plat<br />

merah yang sudah digelutinya sejak<br />

tahun 1985. “Aku harus mengakui<br />

TV<strong>RI</strong>-lah yang pertama kali membesarkan<br />

aku, dimulai dengan jadi penyiar<br />

tahun 1985, sekarang tetap di<br />

TV<strong>RI</strong> walaupun godaan banyak untuk<br />

pergi. Bagi aku TV<strong>RI</strong> tetap dihati dan<br />

tidak pernah tergoda pindah kelain<br />

hati.” jelasnya sambil kembali tersenyum,<br />

deretan gigi putih mempertegas<br />

pesona seorang Tiya.<br />

Cerita kemudian mengalir tentang<br />

kondisi televisi tertua di republik<br />

yang diibaratkan bagai kapal besar,<br />

penuh penumpang yang semakin<br />

sulit bergerak. Dinamika bangsa inilah<br />

yang membuat TV<strong>RI</strong> merana. Era<br />

orde baru ketika mereka masih muda<br />

bergairah, kreativitas adalah tabu.<br />

Mereka bekerja tapi dengan tangan<br />

diikat. Mendadak sontak orde baru<br />

tumbang, muncullah era reformasi.<br />

Tangan terikat dilepas tapi mereka<br />

kemudian langsung disuruh lomba<br />

lari sprint dengan stasiun televisi baru<br />

ditingkat nasional maupun lokal.<br />

“Kita jelas terseok, TV swasta muncul<br />

dengan modal besar, SDM fresh<br />

graduate dengan tenaga penuh. Sementara<br />

TV<strong>RI</strong> yang seakan baru lepas<br />

kungkungan mana mungkin bisa berlari<br />

dengan tenaga dan dana yang<br />

dibatasi,” keluhnya. UU Penyiaran<br />

memberi TV<strong>RI</strong> peran baru menjadi<br />

Lembaga Penyiaran Publik. Ini menjadi<br />

nafas baru, namun ternyata belum<br />

cukup karena tidak didukung peningkatan<br />

anggaran untuk memproduksi<br />

program siaran berkualitas.<br />

Tiya Diran berharap revisi UU Penyiaran<br />

yang sedang digarap Komisi I<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> dapat kembali mendorong kebangkitan<br />

stasiun televisi milik bangsa<br />

ini. Peran TV Publik menurutnya<br />

patut dipertahankan, karena masyarakat<br />

saat ini sangat memerlukan stasiun<br />

televisi penyeimbang ditengah<br />

pesatnya perkembangan TV Swasta<br />

yang notabene dimiliki segelintir pengusaha<br />

yang membawa misi kelompok<br />

atau partai politik tertentu.<br />

“Posisi publik sudah pas, kita menjadi<br />

televisi penyeimbang memberi<br />

pilihan pada masyarakat. Swasta kebanyakan<br />

dimiliki individu dengan<br />

kepentingan tertentu, seperti partai<br />

politik dan sebagainya. TV<strong>RI</strong> berada<br />

ditengah, indenpen, bukan kepanjangan<br />

pemerintah, bukan pula kelompok<br />

tertentu seperti parpol,” urainya.<br />

Kedekatan dengan tokoh parpol<br />

membuat Tiya juga tidak luput dari<br />

godaan untuk terjun berpolitik praktis.<br />

Namun sejauh ini ia masih mampu<br />

bertahan dengan profesi yang sudah<br />

terlanjur dicintainya. “Saya lebih suka<br />

freelance, bebas tidak terikat. Banyak<br />

yang udah dorong-dorong tapi tetep<br />

gak mau, tak tergoda. Saya ngemsi<br />

aja, penterjemah, sampai kapan?...<br />

sampai gak laku lagi kali ya,” katanya,<br />

kali ini kembali diiringi derai tawa ceria.<br />

(iky)<br />

***<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


PERNIK<br />

Taman <strong>DPR</strong><br />

Kawasan Hijau Sekaligus<br />

Area Penyerapan Air<br />

Gedung <strong>DPR</strong> yang mempunyai nilai arsistik yang cukup tinggiini merupakan salah satu<br />

gedung yang bersejarah di Indonesia.<br />

Salah satu taman di sekitar kawasan Gedung <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Gedung ini dirancang dan dibangun<br />

antara lain oleh Ir. Soejoedi<br />

dan Ir. Soetami serta ratusan armada<br />

semut, armada muda dan mahasiswa<br />

dari berbagai perguruan tinggi<br />

teknik yang ada di Indonesia, yang<br />

bergotong-royong dengan puluhan<br />

tenaga senior dari berbagai macam<br />

departemen, instansi pemerintah dan<br />

perusahaan-perusahaan swasta.<br />

Kepala Sub Bagian Halaman Akhmad<br />

mengatakan, bahwa kawasan<br />

komplek tersebut sekarang sudah<br />

menjadi salah satu obyek wisata<br />

penting dan juga mendapat perhatian<br />

yang cukup tinggi di Jakarta. Luas<br />

lahan yang mencapai 38 Ha menjadi-<br />

| | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | | Edisi Edisi 91 91 TH. TH. XLII, XLII, 2012 2012 |<br />

|<br />

kan kawasan komplek perkantoran<br />

para wakil rakyat ini juga dijadikan<br />

sebagai kawasan yang memiliki fungsi<br />

penyerapan air yang cukup tinggi<br />

bagi lingkungan perkantoran di sekitar<br />

Senayan.<br />

Akhmad mengemukakan, pohonpohon<br />

yang ada disekitar kawasan<br />

komplek ini cukup tinggi dan besarbesar<br />

dan cukup rindang yang hampir<br />

merata keseluruh lahan kosong di kawasan<br />

komplek senayan ini menjadikan<br />

kawasan ini sebagai tempat yang<br />

nyaman dan membawa ketenangan<br />

untuk beraktifitas.<br />

Sebagai tempat yang cukup representasi<br />

dari pengayoman mereka<br />

yang akan menyampaikan aspirasi<br />

masyarakatnya, kawasan komplek gedung<br />

ini selalu terbuka untuk semua<br />

kalangan masyarakat, baik yang ingin<br />

menyampaikan aspirasi, wisata, study<br />

tour, penelitian bahkan juga sangat<br />

terbuka bagi masyarakat.<br />

Akhmad juga menambahkan, taman<br />

yang ada dilokasi komplek perkantoran<br />

ini selain dijadikan fungsi<br />

daerah penyerapan air, juga merupakan<br />

kawasan yang dapat membuat<br />

suatu keindahan dan membawa kesejukan<br />

tersendiri bagi para karyawan<br />

dan karyawati Setjen MPR/<strong>DPR</strong> dan<br />

DPD serta para pengemudi maupun<br />

para anggota Dewan, juga para pen-


gunjung yang sengaja datang ke gedung<br />

Dewan ini.<br />

Menurut petugas pertamanan<br />

Setjen <strong>DPR</strong> staf Abd Haris mengengemukankan,<br />

bahwa taman yang ada di<br />

lokasi ini di bagi dua zona, zona pertama<br />

di depan gedungMPR/<strong>DPR</strong>/DPD,<br />

sedangkan zona ke dua yang ada dibelakang<br />

gedung, sementara luas taman<br />

yang ada di gedung Dewan ini<br />

adalah 20 persen dari sisa bangunan<br />

yang luas lahannya mencapai kurang<br />

lebih 38 hektare.<br />

Abd Haris selaku koordinator<br />

petugas taman dan halaman yang<br />

kesehariannya mengurus taman dan<br />

halam tersebut menambahkan, bahwa<br />

petugas yang setiap hari merawat<br />

taman dikelola oleh pihak ke tiga<br />

yaitu dikelola oleh dua perusahaan<br />

Perseroan Terbatas (PT) dengan jumlah<br />

petugas kurang lebih 100 orang<br />

pertugas yang setiap harinya.<br />

Petugas taman yang berasal dari<br />

asli Betawi ini juga menjelasakan<br />

bahwa dari 100 orang<br />

karyawan yang mengelola<br />

taman ini juga ada<br />

daftar piketnya yang dilakukan<br />

setiap hari libur<br />

biasa maupun libur besar<br />

seperti hari raya idul<br />

adha maupun hari raya<br />

idul fitri, setiap kali piket<br />

sebanyak dua orang setiap<br />

bertugas piket.<br />

Selain taman out<br />

door juga ada taman in<br />

door, taman in door biasa-nya<br />

tanaman yang<br />

ditanam didalam sebuah<br />

pot, dan tanaman ini<br />

ditempatkan di ruangan-ruangan<br />

pimpinan<br />

Dewan, Pimpinan Komisi<br />

dan juga diruangan Pimpinan Fraksi<br />

atau ditempatkan dilorong-lorong<br />

diseluruh gedung ini.<br />

Abd. Haris lelaki yang setiap<br />

hari menggeluti taman ini juga me-<br />

Kepala Sub Bagian Halaman Akhmad<br />

ngatakan, bahwa tanaman yang<br />

ada dilokasi sekitar gedung ini bermacam-macam<br />

jenis dari tanaman<br />

perdu sampai tanaman pohon besa,r<br />

disana ada beberapa jenisnyang ber-<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


POJOK PARLE<br />

bunga seperti soka, bougenvil, evorbia,<br />

merak, melati, mawar, jasmin,<br />

melati rombusta, rosanda, rowelia,<br />

asalea, hujan mas, pisang lady, aliris,<br />

bromolia, oliander lambago dan masih<br />

banyak lagi yang tidak disebutkan<br />

jenisnya.<br />

Ada juga beberapa jenis pohon<br />

atau tanaman yang berfungsi sebagai<br />

pohon pelindung seperti palm<br />

anggur, palm ponix, palm raja, palm<br />

kuning, palm jepang, palm tupai, dan<br />

juga palm putri, ada juga jenis tanaman<br />

yang ditanam sebagai pelindung<br />

sekaligus sebagai penghias, seperti<br />

pandan bali, pandan afrika, pandan<br />

sugi braziliz, aliria dan juga agave<br />

parigata, meranti, ekor kuda, dan<br />

sanse veira.<br />

Sementara pohon besar sebagai<br />

pohon pelindung yang dinama di taman<br />

gedung Dewan ini juga banyak<br />

jenisnya seperti, mahoni, jati, akasia,<br />

kelapa sawit, salam, kupu-kupu, ketapang<br />

tingkat, ketapang col, tanjung,<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

angsana, satu tangan, bungur, kayu<br />

putih, glondongan tiang, samania saman,<br />

mundu, kabu buya, petai, damar<br />

lautkayu manis, sepatu dea, perdamaian,<br />

dadap merah, cemara lilin,<br />

juga masih banyak lagi yang tidak<br />

disebutkan disini.<br />

Aris mengatakan ada jenis pohon<br />

kelapa yang berada didepan gedung<br />

Utama <strong>DPR</strong> yang berjumlah 7 pohon<br />

tersebut, apabila pohon kelapa tersebut<br />

ada yang mati, itu segera dicarikan<br />

penggantinya, itu yang selalu<br />

mendapat perhatian secara khusus<br />

entah kenapa pohon kelapa tersebut<br />

mendapat perhatian dan perawatan<br />

khusus dari pada tanaman yang lainnya.<br />

Rumput-rumput yang ditanam<br />

ditaman ini juga beragam jenisnya<br />

seperti rumput gajah, rumpaut jepang,<br />

rumput manila, rumput gapes<br />

mini sementara rumput-rumput liar<br />

juga tumbuh dikawan ini dan semua<br />

ditata dengan apik dan cukup indah<br />

dipandang mata.<br />

Mesin atau alat potong rumput<br />

yang digunakan oleh para petugas<br />

yang merawat rumput dan tanaman<br />

hias yang ada di komplek perkantoran<br />

ini, mereka menggunakan mesin jenis<br />

Beaver dan Rover dorong juga ada<br />

mesing gendong yang dipergunakan<br />

oleh para petugas potong rumput.<br />

Jenis pohon yang berbuah juga<br />

ditanam seperti mangga, nangka,<br />

rambutan, jamblang, matoa, buni, jeruk<br />

bali, sawo jawa, sawo duren, sawo<br />

kecik, jambu biji, jambu air, sirsak,<br />

asem jawa, belimbing, kelapa, bisbol,<br />

rukem, kurma, teen, juga masih<br />

banyah pohon buah lagi yang belum<br />

disebutkan.<br />

Aris juga mengeluhkan tentang<br />

kendala yang selama ini dihadapai<br />

apabila sudah memasuki musim kemarau,<br />

air sangat susah didapat untuk<br />

menyiram tanaman yang ada,<br />

sementara air pam yang ada dilokasi<br />

gedung tidak terpenuhi untuk diper-


gunakan menyiram tanaman, sedangkan<br />

tanaman harus disiram setiap hari<br />

tiga kali.<br />

Air yang dipergunakan untuk menyiram<br />

adalah air tanah yang diambil<br />

dari sumur yang dibuat, namun hingga<br />

saat ini air sumur juga belum memadai,<br />

dia mengatakan semestinya<br />

sumur yang ada dilokasi taman ini<br />

kuranag lebih 20 pompa air tanah, namun<br />

pompa air tanah yang ada hingga<br />

saat ini cuma ada 5 pompa, maka<br />

dia meminta agar segera dibuatkan<br />

sumur tambahan agar nanti di musim<br />

kemarau tanaman dapat tersiran dengan<br />

merata, imbuhnya.<br />

Dia juga mengeluhkan dengan<br />

adanya piaraan rusa yang ada dilokasi<br />

taman yang semua hanya berjumlah<br />

25 ekor, namun dengan populasi<br />

yang cepat berkembang biaknya dan<br />

sekarang rusa-rusa tersebut sudah<br />

mencapai kurang lebih 70 ekor, itu<br />

juga memerlukan tanaman rumput<br />

yang segar dan memadai, mengingat<br />

rumput-rumput yang ada dilokasi<br />

rusa sudah ludes habis disikat<br />

oleh kawanan rusa.<br />

Sementara rusa-rusa yang ada<br />

dilokasi tersebut sementara diberi<br />

makan selain rumput juga diberi<br />

makan, sayur-saturan, seperti ubi<br />

jalar, wortel, serta dicampuri dedek<br />

dengan garam, juga masih diberitambahan<br />

obat-obatan berupa vitamin,<br />

rusa-rusa tersebut diberi makan<br />

sehati tiga kali pagi siang siang dan<br />

sori hariserta air minum yang cukup,<br />

kata Aris. (Spy).<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |


POJOK PARLE<br />

“Hidup Penderitaan Rakyat”<br />

<strong>DPR</strong> <strong>RI</strong> sudah sering kali menggelar Rapat Paripurna.<br />

Namun berbeda dengan Rapat Paripurna yang<br />

diselenggarakan pada hari Jum’at, 30 Maret lalu,<br />

Rapat kali ini menjadi hari yang penuh dinantikan<br />

segenap bangsa Indonesia.<br />

Betapa tidak, rapat kali ini salah<br />

satu agendanya akan mengesahkan<br />

APBN-Perubahan 2012<br />

yang memulai pembahasannya sejak<br />

sebulan lalu akibat adanya peningkatan<br />

harga minyak dunia.<br />

Jadi rapat kali ini juga memutuskan<br />

: jadi tidaknya BBM bersubsidi dinaikkan<br />

per 1 April 2012.<br />

Suasana pagi itu di gedung Parlemen<br />

tampak berbeda dari hari-hari<br />

biasanya. Mobil-mobil van dari stasiun-stasiun<br />

TV swasta sudah mulai<br />

memasang peralatannya sehari sebelum<br />

acara dimulai.<br />

Kesibukan itu tidak hanya terlihat<br />

bagi insan Pers, tapi segenap regu<br />

pengamanan baik dari jajaran TNI<br />

maupun Polri tampak sudah siaga<br />

mengamankan jalannya rapat pari-<br />

Suasana Rapat Paripurna bahas kenaikan BBM, 30 Maret 2012<br />

0 | PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |<br />

purna.<br />

Selain mengesahkan APBN-P<br />

2012, sidang juga mengagendakan<br />

dua acara lainnya diantaranya Penetapan<br />

Tata Cara Penyusunan Prolegnas.<br />

Dua agenda rapat ini berjalan mulus<br />

tidak menghabiskan waktu yang begitu<br />

lama.<br />

Dan agenda pengesahan APBN-P<br />

2012 baru dimulai pada pukul 14.30.<br />

Pimpinan Rapat mempersilahkan masing-masing<br />

Fraksi menyampaikan<br />

pendapatnya terkait dengan kenaikan<br />

BBM. Selama berlangsungnya rapat,<br />

hujan interupsi mewarnai jalannya sidang<br />

paripurna.<br />

Fraksi PPP mengusulkan kenaikan<br />

harga BBM dilakukan apabila harga<br />

minyak internasional sebesar 10<br />

persen diatas asumsi harga minyak<br />

dalam APBN-P 2012. “PPP meyakini<br />

kemampuan masyarakat yang masih<br />

kesulitan, untuk itu Fraksi PPP menghimbau<br />

agar ditunda sampai kondisi<br />

riil masyarakat siap,” ujar anggota<br />

<strong>DPR</strong> dari Fraksi PPP Romihurmuzy<br />

Menurut Romi, PPP yakin pemerintah<br />

mampu menganalisis harga minyak<br />

dunia sesuai konteks mikro dan<br />

makro ekonomi karena itu kita menyerahkan<br />

sepenuhnya kepada pemerintah<br />

terkait kenaikan harga BBM.<br />

Setelah F-PKB dan F-PAN, giliran<br />

F-PKS menyampaikan pendapat fraksinya<br />

yang disampaikan Abdul Hakim.<br />

Abdul Hakim membuka dengan<br />

kata : Assalamualikum dilanjutkan<br />

dengan salam yang sering dikumandangkan<br />

F-PDI Perjuangan “merdeka”.<br />

Ternyata salam itu tidak berhenti<br />

sampai di situ, Abdul Hakim dengan<br />

suara lantang melanjutkan lagi dengan<br />

“Hidup Penderitaan Rakyat”.<br />

Mendengar salam yang diucapkan<br />

Abdul Hakim, mendadak pecahlah<br />

tawa seisi ruang rapat paripurna. Seiisi


gedung yang penuh sesak mendadak<br />

bergumuruh suara dan tawa yang<br />

mengikuti sidang.<br />

Terdengar celetukan-celetukan<br />

kecil dari anggota yang lain :” Pak Hakim………<br />

rakyat itu sudah sengsara,<br />

jangan lagi Hidup penderitaan rakyat,”<br />

kata anggota yang mengomentari.<br />

Anggota lainnya ada yang menimpali<br />

:” rakyat sudah menderita Pak<br />

Hakim ……… gimana mau hidup,”<br />

tambah anggota yang mengomentari<br />

berikutnya.<br />

Ternyata yang mengomentari tidak<br />

hanya dari anggota, wartawan yang<br />

memadati balkon pun berceletuk :”<br />

Bapak………. Jangan kelewat semangat<br />

dong jangan-jangan yang dimaksud<br />

Hidup Rakyat !<br />

Demo BBM di depan Gedung <strong>DPR</strong> <strong>RI</strong><br />

Tidak salah juga jika F-PKS terlalu<br />

bersemangat, karena selaian F-PDI<br />

Perjuangan, Fraksi Gerindra dan Fraksi<br />

Hanura, F-PKS juga menolak kenaikan<br />

BBM .<br />

Fraksi PKS mengatakan. agar harga<br />

BBM subsidi dinaikkan pemerintah<br />

apabila harga minyak internasional<br />

naik 20% di atas asumsi harga minyak<br />

dalam APBN-P 2012.<br />

Rapat sempat mengalami skors<br />

pada pukul 16.30 untuk memberikan<br />

kesempatan kepada fraksi untuk<br />

melakukan lobi. Skors kemudian dicabut<br />

pada pukul 22.30, namun sempat<br />

mengalami penundaan selama<br />

Abdul Hakim Anggota dari F-PKS<br />

10 menit menunggu kehadiran fraksi<br />

PDI-Perjuangan yang belum hadir di<br />

ruang rapat. Rapat kemudian dibuka<br />

lagi pada pukul 22.45.<br />

Rapat yang berakhir pada pukul<br />

01.00 dini hari mengambil keputusan<br />

untuk menunda kenaikan harga<br />

BBM bersubsidi serta memungkinkan<br />

adanya penyesuaian apabila harga<br />

rata-rata minyak mentah mengalami<br />

deviasi lebih 15 persen dalam enam<br />

bulan terakhir.<br />

Hasil final Rapat Paripurna ini sejenak<br />

melegakan seluruh masyarakat<br />

Indonesia, setelah dari pagi hingga<br />

malam hari aksi demo mewarnai<br />

jalannya sidang paripurna. (tt)<br />

Suasana Rapat Paripurna bahas kenaikan BBM<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 | 1


POJOK PARLE<br />

| PARLEMENTA<strong>RI</strong>A | Edisi 91 TH. XLII, 2012 |

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!