Visa Lady Gaga Sudah Diterbitkan
Visa Lady Gaga Sudah Diterbitkan
Visa Lady Gaga Sudah Diterbitkan
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
REPUBLIKA RABU, 23 MEI 2012 29<br />
ANTUSIASME<br />
di Antara Pocong dan Kuntilanak<br />
■ Oleh Muhammad Subarkah<br />
Meski potensinya melimpah, secara faktual film Islami<br />
penontonnya belum semapan film bertema kuntilanak dan<br />
pocong.<br />
Bila dilihat dari se -<br />
jarah film ‘bergen -<br />
re’ Islami, memang<br />
baru muncul sema -<br />
rak sekitar satu de -<br />
kade belakangan.<br />
Dan, hal ini juga harus diakui se -<br />
bagai akibat menguatnya pendi -<br />
dik an kaum Muslim dan munculnya<br />
kesadaran keagamaan yang<br />
lebih kuat.<br />
Pada sisi lain, usaha untuk me -<br />
nam pilkan berbagai jenis film ber -<br />
genre Islami ini juga bukan hal mu -<br />
dah.Apalagi, sejarah bangsa Indo -<br />
nesia jelas menyisakan sikap Isla -<br />
mo fobia yang sangat kental. Baru<br />
pada dekade akhir 1980-an, secara<br />
perlahan situasi ini terkikis. Dan,<br />
ini juga dihasilkan melalui per -<br />
juang an dramatis, misalnya, ditan -<br />
dai dengan diperbolehkannya jil -<br />
bab sebagai seragam sekolah.<br />
Salah satu tonggak penting dari<br />
perhatian publik kepada film Is -<br />
lami ini adalah hadirnya dua film,<br />
yakni “Ayat-Ayat Cinta” dan “Ke -<br />
ti ka Cinta Bertasbih”. Bahkan,<br />
khu sus untuk film “Ayat-Ayat Cin -<br />
ta”, mampu mengundang perhatian<br />
yang sangat dramatis, yakni ditonton<br />
hingga lebih dari 4,6 juta orang.<br />
Sedangkan, film “Ketika Cinta<br />
Ber tasbih I” ditonton hingga se -<br />
kitar 3,5 juta orang. Sedangkan,<br />
film “Ketika Cinta Bertasbih 2”<br />
ditonton lebih dari 2,1 juta orang.<br />
“Ketika film itu diputar, mun -<br />
culnya penonton baru, yakni orangorang<br />
yang selama ini tidak pernah<br />
datang ke bioskop. Orang-orang<br />
yang mengenakan jilbab tiba-tiba<br />
memenuhi gedung film. Suasana mi -<br />
rip pengajian,” kata Chaerul Umam.<br />
●●●<br />
Hadirnya ‘penonton baru’ di<br />
bio skop pada saat itu memang sem -<br />
pat mengejutkan. Namun, bagi<br />
Chae rul Umam, misalnya, dia me -<br />
ng akui hal itu bukan merupakan<br />
pengalaman baru baginya. Pada<br />
1977, ketika film “Al Kautsar” di -<br />
putar maka penonton jenis seperti<br />
ini juga bermunculan. “Saya ingat<br />
betul situasi pada pertengahan<br />
dekade 1970-an. Saya betul-betul<br />
tunggui ketika film itu diputar. Di<br />
sana pun sudah muncul antusias -<br />
me. Inilah yang membuat saya optimistis<br />
bahwa film Islami mempu -<br />
nyai pasar tersendiri di negeri ini.”<br />
Dari kalangan praktisi atau ar -<br />
tis, menurut mereka, pun pasar film<br />
Islami itu memang besar, na mun ini<br />
belum tergarap dengan baik. Aktor<br />
film, Ela Gayo, menga takan, ken -<br />
da la yang paling utama di dalam<br />
me mopulerkan film-film Islami<br />
adalah lebih kepada persoalan mi -<br />
nimnya publikasi. Dan, karena pro -<br />
mosi filmnya pun tak terlalu kuat<br />
maka perhatian publik kepada film<br />
jenis ini juga belum optimal.<br />
“Saya lihat dan alami sendiri<br />
bahwa back up promosi film jenis<br />
ini yang masih banyak kurang. Pa -<br />
dahal, sebenarnya dari sisi antu -<br />
sias me dan dukungan publik, sebenarnya<br />
juga besar. Beberapa orga -<br />
ni sasi masa Islam, misalnya, sudah<br />
be rulang kali menyerukan agar<br />
publik ikut menonton sebuah film.<br />
Hasil seruan inipun menjadi sangat<br />
lumayan. Jadi, inilah fakta adanya<br />
an tusiasme yang besar dari publik<br />
atas adanya film-film Islami,” kata<br />
Ela Gayo.<br />
Bagi kalangan artisnya sendiri,<br />
dengan melihat kuatnya dukungan<br />
publik atas film-film bergenre Isla -<br />
mi, juga kadang menjadi persoalan<br />
ba ru. Banyak di antara mereka ju -<br />
ga masih takut mencoba dengan<br />
ber anggapan ada ‘konsekuensi<br />
moral’ bila ikut main dalam film<br />
jenis seperti ini.<br />
“Tapi, bagi saya sendiri tak ma -<br />
salah. Dan, saya pun melihat secara<br />
keseluruhan, para artis pun sangat<br />
siap bila ada tawaran main dalam<br />
film berrgenre Islami ini. Dukung -<br />
an sumber daya manusia dari sisi<br />
aktor dan artisnya saya rasa pun<br />
cukup baik,” ujar Ela.<br />
Dia pun mengakui, pada masa<br />
lalu dan masa datang pun peluang<br />
luasnya dukungan publik memang<br />
ma sih sangat terbuka. Menurut<br />
Ela, memang masih banyak ken da -<br />
la yang harus dihadapi, misalnya,<br />
minimnya dukungan dari sisi pendanaan<br />
dan ketersediaan nasakah<br />
atau skenario yang kuat. Namun,<br />
sebenarnya hal inipun bisa masih<br />
bisa diatasi karena pasar filmnya<br />
sendiri sangat menjanjikan keuntungan<br />
ekonomi.<br />
“Dari segi tema, masih banyak<br />
hal baru yang bisa diangkat. Dalam<br />
kasus meledaknya film-film ‘Ayat-<br />
Ayat Cinta’ dan ‘Ketika Cinta Ber -<br />
tasbih’ itu, misalnya, film ini men -<br />
jadi laris karena membuka hal-hal<br />
baru yang selama ini tersimpan<br />
rapat dan seolah tabu dibicarakan,<br />
yak ni soal poligami. Nah, ketika<br />
soal ini diangkat, ternyata publik<br />
antusias menyambutnya karena<br />
idenya memang berbeda dengan isu<br />
poligami yang biasanya selalu di -<br />
tuduhkan sebagai salah satu biang<br />
kejahatan itu. Karena adanya wa -<br />
ca na lain dan ditambah dengan ke -<br />
populeran novelnya maka mem -<br />
buat film ini menjadi sangat laris,”<br />
tegas Ela.<br />
Pengamat film, Ekky Imanja ya,<br />
mengatakan, pada satu sisi me -<br />
mang untuk menyebut sebuah film<br />
termasuk Islami atau tidak, hal ini<br />
masih menyisakan masalah atau<br />
pa ling tidak belum ada kesepakatan.<br />
Tapi, menurutnya, setidak -<br />
nya sebuah film bisa disebut film<br />
Islami bila apa yang disajikannya<br />
itu mengetengahkan persoalan<br />
yang ada di tengah komunitas Is -<br />
lam secara khas.<br />
“Dalam sejarah perfilman Indo -<br />
nesia, jejak film Islami saya rasa<br />
su dah begitu panjang. Dan, terus<br />
te rang saja saya melihat film-film<br />
pada masa lalu masih lebih bagus<br />
dari film Islami masa kini. Lihat<br />
saja, misalnya, pada film ‘Tauhid’,<br />
‘Al Kautsar’, ‘Titian Serambut Di -<br />
mrloperkoran @ ScraperOne & Kaskus<br />
be lah Tujuh’, dan ‘Nada Dakwah’,<br />
mi salnya. Coba bandingkan dengan<br />
film ‘Ayat-Ayat Cinta’ atau film<br />
‘Ke tika Cinta Bertasbih’. Saya kira<br />
film yang dahulu ini lebih<br />
baik,” katanya.<br />
Dari pengamatan Ekky, publik<br />
atau segmen film Islami sendiri<br />
sebenarnya sudah ada dan jumlahnya<br />
juga sangat besar. Cuma,<br />
masalahnya bila sampai kini film<br />
bergenre Islami tak selalu ditonton<br />
oleh banyak orang, hal itu lebih<br />
karena dari segi tema dan sistem<br />
distribusinya belum bisa mela ku -<br />
kan terobosan pasar secara akurat.<br />
“Saya kira, ke depan para<br />
pembuat film Islami harus lebih jeli<br />
melihat potensi pasar. Cobalah<br />
jangan terpaku pada ide cerita dan<br />
sistem distribusi yang itu-itu saja.<br />
Dari segi cerita, misalnya, lakukanlah<br />
hal baru baru, yakni jangan<br />
terpaku pada sisi film drama saja.<br />
Cobalah membuat film yang lebih<br />
bernuansa kehidupan sosial. Da -<br />
hulu kan hal seperti ini pernah di -<br />
lakukan, misalnya, pada film ‘Nada<br />
Dakwah’ itu. Ini memang filmnya<br />
Rhoma Irama. Tapi, karena disutra -<br />
darai oleh orang yang tepat, yakni<br />
Chaerul Umam, dan penulis skenario<br />
juga tepat, yakni Asrul Sani,<br />
maka film ini mampu mempunyai<br />
kualitas yang baik,” ujarnya.<br />
Sedangkan, pada sisi sistem distribusi,<br />
para produsernya juga ha -<br />
rus berani melakukan inovasi. Ke -<br />
tergantungan kepada sistem distribusi<br />
film yang hanya melalui ja -<br />
ringan gedung bioskop 21 harus<br />
mu lai dikikis. Ini, misalnya, dengan<br />
menggelar pertunjukan di tempattempat<br />
yang selama ini tak terjangkau<br />
pertunjukan film konvensional<br />
yang kini hanya selalu<br />
diputar di berbagai gedung bioskop<br />
yang ada mal-mal itu.<br />
“Kalau perlu gelarlah pertunjukan<br />
ala layar tancep. Gelarlah di<br />
tempat yang tidak biasa, misalnya,<br />
di sekolah-sekolah atau di pesan -<br />
tren-pesantren. Di sini harga kar-<br />
PERINGKAT 10 FILM INDONESIA DALAM<br />
PEROLEHAN JUMLAH PENONTON<br />
PADA 2007-2012<br />
NO JUDUL PENONTON<br />
1 Laskar Pelangi 4.606.785<br />
2 Ayat-ayat Cinta 3.581.947<br />
3 Ketika Cinta Bertasbih 3.100.906<br />
4 Ketika Cinta Bertasbih 2 2.003.121<br />
5 The Raid 1.812.572<br />
6 Sang Pemimpi 1.742.242<br />
7 Get Married 1.400.000<br />
8 Garuda Di Dadaku 1.371.131<br />
9 Nagabonar Jadi 2 1.300.000<br />
10 Sang Pencerah 1.206.000<br />
cisnya pun bisa dibuat lebih murah,<br />
misalnya, kalau nonton di bioskop<br />
yang ada di mal itu, karcisnya Rp<br />
25 ribu, di layar tancap dijual cu -<br />
kup dengan Rp 10 ribu. Gaya se -<br />
perti ini sudah berhasil dilakukan<br />
oleh komunitas Partai Keadilan<br />
Sejahtera (PKS) ketika mereka<br />
membuat film ‘Sang Mu rabbi’ atau<br />
‘Sang Pencerah’ milik komunitas<br />
Muhammadiyah itu,” kata Ekky.<br />
Menurutnya, kejelian membidik<br />
pasar itulah yang kini diperlukan.<br />
Antusiasme dari kelompok-kelompok<br />
umat Islam sebenarnya pun<br />
sudah siap untuk menonton film<br />
itu. “Dalam waktu dekat, komunitas<br />
Nahdlatul Ulama juga berencana<br />
akan membuat film. Begitu<br />
juga dengan komunitas umat Islam<br />
yang ada di Persis, mereka juga<br />
akan membuat film mengenai sisi<br />
sejarah tokoh pendirinya. Nah,<br />
kalau ini sampai diproduksi saya<br />
yakin penontonnya akan cukup<br />
banyak,” tegas Ekky.<br />
Bila dikaji secara detail, potensi<br />
jumlah umat Islam dengan jumlah<br />
penonton film Islami memang ma -<br />
sih sangat ‘jomplang’. Film “Ayat-<br />
Ayat Cinta” atau “Ketika Cinta<br />
Ber tasbih” jumlah penontonnya<br />
be lum sampai satu persen dari jum -<br />
lah seluruh umat Islam. Dengan<br />
demikian, dapat secara sederhana<br />
disimpulkan bahwa umat Islam<br />
belum memberi perhatian khusus<br />
kepada film yang memperbincang -<br />
kan mengenai sisi-sisi kehidupannya.<br />
Film Islami di sini masih terasing<br />
dari problematik yang pada<br />
komunitasnya.<br />
“Sekali lagi film Islami jangan<br />
Sumber: filmindonesia.or.id<br />
hanya terjebak dalam tema drama<br />
percintaan. Masih banyak tema lain<br />
yang belum tergarap. Misalnya, te -<br />
ma pesantren, sejarah, tenaga kerja<br />
wanita, dan berbagai soal kehidupan<br />
sosial lainnya. Bila ini nanti<br />
bisa digarap dengan baik maka sa -<br />
ya yakin film Islami akan bisa terus<br />
tumbuh,” tandasnya.<br />
●●●<br />
Dok Film<br />
Alhasil, mengutip perbincangan<br />
sutradara film senior dalam sebuah<br />
perbincangan di televisi, Slamet<br />
Rahardjo, membuat film itu me -<br />
mang tak sekadar hanya membuat<br />
rangkaian gambar. Namun, mem -<br />
buat film itu sebenarnya adalah<br />
membuat gambaran tentang situasi<br />
yang ada dalam masyarakat de -<br />
ngan segala macam problemanya.<br />
“Celakanya, film oleh kita ma -<br />
sih dianggap sekadar gambar. Aki -<br />
batnya, wajar bila kini film-film<br />
hantu tetap laris sedangkan filmfilm<br />
yang baik malah seolah enggan<br />
muncul. Inilah tantangan dunia<br />
film kita pada masa kini dan masa<br />
depan,” kata Slamet Rahardjo.<br />
Nah, apakah nasib film Islami<br />
juga akan tergusur film-film kuntilanak<br />
dan hantu pocong? Ja -<br />
wabnya, semua itu berpulang dari<br />
sikap umat Islam itu sendiri. Sebab,<br />
fakta menyatakan, meski dihujat<br />
dan dikritik dengan begitu keras,<br />
film hantu-hantuan itu paling<br />
sedikit selalu ditonton sekitar 200<br />
ribu penonton.<br />
Jadi, sekarang semuanya ber -<br />
pu lang kepada kepedulian umat<br />
Islam itu sendiri! ■<br />
Rusdy Nurdiansyah/Republika