01.11.2014 Views

LAPORAN AKHIR - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian ...

LAPORAN AKHIR - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian ...

LAPORAN AKHIR - Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>LAPORAN</strong> <strong>AKHIR</strong><br />

ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN<br />

PERTANIAN : RESPON TERHADAP ISU AKTUAL<br />

Oleh:<br />

Pantjar Simatupang<br />

Dewa K.S. Sadra<br />

Mat Syukur<br />

Edi Basuno<br />

Sudi Mardianto<br />

Ketut Kariyasa<br />

Mohamad Maulana<br />

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PETANIAN<br />

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN<br />

DEPARTEMEN PERTANIAN<br />

2004


RINGKASAN EKSEKUTIF<br />

Berbagai topik yang berhubungan dengan isu aktual sosial ekonomi pertanian<br />

menjadi pokok bahasan dalam kajian analisis kebijakan. Topik yang dibahas antara<br />

lain mengenai evaluasi kebijakan harga gabah <strong>dan</strong> subsidi pupuk, pertumbuhan<br />

sektor pertanian, sumberdaya lahan rawa, arah <strong>dan</strong> strategi ketahanan pangan,<br />

agribisnis peternakan, kebijakan pergulaan nasional, kinerja, arah <strong>dan</strong> strategi<br />

pembangunan pertanian <strong>dan</strong> lain-lain.<br />

1. Efektifitas kebijakan HDPP pada tahun 2004 lebih rendah dari pada tahun 2003.<br />

HDPP tidak efektif di semua wilayah <strong>dan</strong> sepanjang waktu. Hingga bulan<br />

September 2004, kasus transaksi jual beli gabah dibawah HDPP di tingkat<br />

penggilingan mencapai 55,09 persen dari total observasi, se<strong>dan</strong>gkan yang di<br />

atas HDPP <strong>dan</strong> yang sama dengan HDPP masing-masing 44,95 persen <strong>dan</strong> 9,96<br />

persen. Gabah yang dijual di luar (di bawah) persyaratan kualitas mencapai 8,82<br />

persen. Prevalensi kasus transaksi jual beli gabah di bawah HDPP umumnya<br />

tinggi di wilayah sentra produksi gabah seperti Banten, Jawa Tengah, DI.<br />

Yogyakarta, Jawa Timur <strong>dan</strong> Kalimantan Selatan. Penetapan HDPP untuk GKG<br />

<strong>dan</strong> beras yang tidak konsisten ini, atau tegasnya terlalu tinggi relatif terhadap<br />

GKP, sementara transaksi GKG <strong>dan</strong> beras berdasarkan HDPP praktis hanya<br />

antara Bulog <strong>dan</strong> pengusaha kilang penggilingan padi, maka dapat dipastikan<br />

penetapan HDPP untuk GKG <strong>dan</strong> beras kurang bermanfaat bagi petani, lebih<br />

menguntungkan bagi Bulog <strong>dan</strong> mitra pengusaha kilang padinya, <strong>dan</strong> merugikan<br />

bagi negara. Oleh sebab itu, disarankan agar HDPP ditetapkan untuk satu<br />

produk saja, yaitu GKP. HDPP untuk GKG <strong>dan</strong> beras tidak perlu lagi ditetapkan<br />

pemerintah.<br />

2. Fakta lapangan menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk tidak efektif untuk<br />

membantu petani. Hal ini dibuktikan oleh beberapa fakta yaitu harga pupuk<br />

ditingkat petani jauh diatas HET <strong>dan</strong> pasokan pupuk ditingkat petani yang kerap<br />

kali langka. Secara umum, tidak efektifnya kebijakan subsidi pupuk merupakan<br />

komplikasi dari tiga faktor penyebab yaitu rancangan kebijakan yang kurang baik,<br />

perilaku pabrikan pupuk yang tidak bertanggung jawab <strong>dan</strong> melonjakya harga<br />

pupuk dunia. Ketiga faktor tersebutlah yang harus menjadi fokus penanganan<br />

dalam upaya memperbaiki kebijakan subsidi pupuk tahun 2005. Ke depan, pada<br />

tahun 2005, ternyata pencabutan subsidi pupuk dapat menyebabkan harga<br />

pupuk melonjak 20-75 persen, yang boleh dikatakan tidak dapat ditolerir, baik<br />

dari segi pertimbangan ekonomi maupun politik. Dana subsidi pupuk sebesar Rp.<br />

1,3 trilyun belum tentu disetujui DPR <strong>dan</strong> pemerintah sepenuhnya dialihkan untuk


pembangunan infrastruktur atau lainnya yang fokus mendukung petani. Dengan<br />

pertimbangan tersebut maka setidaknya untuk tahun 2005, tindakan yang lebih<br />

baik dipilih Departemen <strong>Pertanian</strong> ialah memperbaiki tatalaksana penyaluran<br />

subsidi pupuk bukan mengalihkan apalagi mencabut subsidi pupuk tersebut.<br />

3. Ada 6 (enam) indikator yang diusulkan sebagai penciri produk strategis, yaitu<br />

persentase pangsa dalam nilai total produksi pertanian domestik (peranan dalam<br />

perekonomian desa), persentase pangsa dalam penyediaan zat gizi, kalori <strong>dan</strong><br />

protein (peranan dalam ketahanan pangan), persentase pangsa dalam total<br />

serapan tenaga kerja sektor pertanian (peranan dalam pengentasan kemiskinan<br />

atau kehidupan penduduk), ketergantungan terhadap impor (kerentanan), insiden<br />

banjir impor (kerapuhan) <strong>dan</strong> trend pertumbuhan (keberlanjutan). Tiga indikator<br />

pertama menunjukkan kontribusi relatif suatu produk dalam menentukan<br />

dinamika perekonomian desa, memantapkan ketahanan pangan <strong>dan</strong><br />

peningkatan kesejahteraan ekonomi penduduk, tiga indikator utama berikutnya<br />

disepakati luas sebagai tujuan utama pembangunan pertanian.<br />

4. Berdasarkan indikator <strong>dan</strong> kriteria kuantitatif-obyektif yang dirumuskan maka<br />

beras, jagung, kedele <strong>dan</strong> gula merupakan komoditas strategis yang amat<br />

menentukan keberhasilan untuk mewujudkan tujuan utama pembangunan<br />

pertanian. Keempat komoditas tersebut layak dijadikan sebagai ” Special<br />

Products ” bagi Indonesia. Indonesia perlu kukuh memperjuangkan agar keempat<br />

produk strategis tersebut dikecualikan dari perundingan WTO.<br />

5. Pengembangan industri gula tebu kedepan hendaknya di arahkan untuk<br />

konsolidasi manajemen. Seluruh pabrik gula BUMN disatukan dalam satu ba<strong>dan</strong><br />

usaha <strong>dan</strong> saham mayoritasnya di miliki oleh petani tebu untuk lebih menjamin<br />

kelangsungan penyediaan bahan baku. Lembaga penelitian merupakan bagian<br />

integral dari perusahaan. Strategi kebijakan yang dapat ditempuh dalam<br />

pengembangan industri gula nasional adalah revitalisasi usahatani tebu,<br />

restrukturisasi <strong>dan</strong> rehabilitasi pabrik gula <strong>dan</strong> regulasi promotif.<br />

6. Dalam menerapkan strategi pembangunan sektor pertanian dengan pendekatan<br />

sistem <strong>dan</strong> usaha agribisnis maka pembangunan pertanian harus diikuti oleh<br />

pengembangan sektor komplemen (agroindustri, penyediaan kredit, teknologi<br />

melalui penyuluhan, pasar bagi hasilnya), sehingga diperoleh sumber nilai<br />

tambah di luar lahan. Dengan pemikiran yang demikian, maka strategi<br />

pembangunan pertanian harus diletakkan dalam perspektif pembangunan<br />

pedesaan secara utuh meliputi sektor primer, sektor sekunder (sektor<br />

komplemen) <strong>dan</strong> sektor tersier (jasa). Dengan pendekatan Sistem <strong>dan</strong> Usaha<br />

Agribisnis tersebut, maka pembangunan pertanian jelas berbasis pada


kerakyatan <strong>dan</strong> dijamin keberlanjutannya karena pengembangannya berbasis<br />

pada sumberdaya lokal. Sehingga konsep pembangunan yang berasal dari<br />

rakyat dilaksanakan oleh rakyat <strong>dan</strong> dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk<br />

seluruh rakyat Indonesia bukan keniscayaan tetapi justru merupakan peluang<br />

yang mungkin dapat dikerjakan.<br />

7. <strong>Kebijakan</strong> umum pemantapan ketahanan pangan diarahkan untuk mengatasi<br />

tantangan <strong>dan</strong> masalah yang menghambat proses <strong>dan</strong> kinerja sub-sistem<br />

ketahanan pangan, serta mendayagunakan peluang yang tersedia untuk<br />

memenuhi kecukupan pangan bagi setiap penduduk. Kecukupan pangan<br />

tersebut dihasilkan oleh masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya,<br />

kelembagaan <strong>dan</strong> budaya lokal. Sejalan dengan itu, output dari pembangunan<br />

ketahanan pangan ini adalah: terpenuhinya hak azasi manusia atas pangan,<br />

berkembangnya SDM Indonesia yang berkualitas, <strong>dan</strong> terciptanya kondisi<br />

kondusif bagi pembangunan ekonomi, <strong>dan</strong> ketahanan nasional.<br />

8. Strategi utama upaya pemantapan ketahanan pangan adalah: Pertama,<br />

pengembangan komoditas produksi pangan nasional melalui perluasan areal <strong>dan</strong><br />

rehabilitasi kemampuan produksi, <strong>dan</strong> optimalisasi pemanfaatan sumberdaya<br />

alam: lahan, air, perairan. Kedua, pengembangan konsumsi pangan beragam,<br />

bergizi, <strong>dan</strong> berimbang (diversifikasi pangan). Ketiga, pengembangan agribisnis<br />

pangan yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, <strong>dan</strong> terdesentralisasi.<br />

Keempat, peningkatan keberdayaan <strong>dan</strong> partisipasi masyarakat dalam<br />

mengembangkan <strong>dan</strong> mengatasi permasalahan ketahanan pangan. Kelima,<br />

pengembangan <strong>dan</strong> peningkatan intensitas jaringan kerja sama lintas pelaku,<br />

lintas wilayah, <strong>dan</strong> lintas waktu dalam suatu sistem koordinasi guna<br />

mensinergikan kebijakan, program <strong>dan</strong> kegiatan pengembangan kemandirian<br />

<strong>dan</strong> ketahanan pangan. Keenam, pengembangan perdagangan pangan nasional<br />

yang mampu meningkatkan ketersediaan pangan <strong>dan</strong> perekonomian antar<br />

daerah. Ketujuh, pemanfaatan pasar internasional secara bijaksana seiring<br />

dengan pengembangan ekonomi pangan dalam negeri.<br />

9. Tersedianya teknologi unggul spesifik lahan rawa merupakan kunci utama<br />

pengembangan agribisnis di kawasan lahan rawa. Penelitian intensif yang sudah<br />

sejak lama di lakukan Ba<strong>dan</strong> Litbang Petanian telah menghasilkan banyak<br />

teknologi usaha pertanian di lahan rawa. Inovasi teknologi tersebut terbukti<br />

mampu meningkatkan kapasitas lahan rawa sehingga layak menjadi basis bagi<br />

berbagai jenis usahatani. Inovasi teknologi konvensional yang bersifat<br />

meningkatkan produktivitas <strong>dan</strong> atau menurunkan biaya produksi usahatani<br />

kurang efektif untuk mengatasi kendala marjinalitas lahan rawa sehingga


agribisnis di kawasan lahan rawa tumbuh kembang secara lambat saja. Oleh<br />

karena itu, ke depan, penelitian untuk pengembangan lahan rawa perlu di perluas<br />

dengan mengeksplorasi kemungkinan terobosan produksi komoditas bahan<br />

pangan “ fungsional “, yakni bahan pangan yang kaya kandungan zat gizi<br />

esensial seperti besi <strong>dan</strong> mineral lainnya, yang juga terkandung amat tinggi di<br />

tanah rawa. Komoditas pangan fungsional tidak saja bermutu gizi lebih tinggi,<br />

harga pasarnya pun lebih tinggi pula daripada bahan pangan tradisonal.<br />

10. Berbagai kelemahan bahkan ketimpangan yang berkaitan dengan orientasi<br />

program Ba<strong>dan</strong> Litbang <strong>Pertanian</strong> selama ini, antara lain : (a) penelitian lebih<br />

banyak berorientasi jangka menengah <strong>dan</strong> panjang, tidak banyak menghasilkan<br />

teknologi yang segera dimanfaatkan, (b) output kegiatan lebih banyak tertuju<br />

pada aspek teknis biologis, sangat sedikit yang berupa rumusan kebijakan, (c)<br />

volume kegiatan aspek penelitian jauh lebih dominan dibandingkan dengan<br />

kegiatan aspek pengembangannya, <strong>dan</strong> (d) upaya menghasilkan teknologi belum<br />

secara sepa<strong>dan</strong> diiringi dengan upaya pendesiminasinya. Akibatnya banyak<br />

program <strong>dan</strong> kegiatan yang sudah dilakukan oleh Ba<strong>dan</strong> Litbang <strong>Pertanian</strong> <strong>dan</strong><br />

hal tersebut membuat kesibukan yang luar biasa bagi para peneliti <strong>dan</strong><br />

penyuluhnya, tetapi belum terlihat secara jelas kontribusi yang bersifat langsung<br />

<strong>dan</strong> signifikan dalam mengatasi berbagai persoalan besar pembangunan<br />

pertanian di Indonesia.<br />

11. Salah satu masalah mendasar yang dihadapi saat ini <strong>dan</strong> yang akan datang,<br />

adalah marjinalisasi pertanian, yakni marjinalisasi luas penguasaan lahan,<br />

kesuburan tanah, khususnya lahan sawah, atau nilai tukar petani. Marjinalisasi<br />

luas penguasaan lahan ditunjukkan oleh semakin meningkatnya jumlah petani<br />

gurem. Akar penyebabnya ialah jumlah petani meningkat lebih cepat dari luas<br />

baku lahan. Jumlah petani yang terus meningkat sementara PDB sektor<br />

pertanian terus menurun, merupakan pertanda proses transformasi<br />

perekonomian berlangsung tidak berimbang. Perekonomian gagal mencapai titik<br />

balik transformasi (transformation turning point). Akar penyebabnya ialah strategi<br />

pembangunan yang tidak memihak sektor pertanian.<br />

12. Ada beberapa permasalahan makroekonomi yang telah dialami pada masa lalu<br />

<strong>dan</strong> akan terus dihadapi pada masa datang. Banyak kebijakan makroekonomi<br />

yang tidak berpihak pada pembangunan pertanian. Alokasi anggaran pemerintah<br />

untuk pembangunan pertanian yang kini sangat kecil. Tidak a<strong>dan</strong>ya kebijakan<br />

kredit yang secara khusus diperuntukan bagi agribisnis pertanian <strong>dan</strong> insentif<br />

yang minimal bagi pembangunan agribisnis jika tidak bisa dikatakan tidak ada.<br />

Oleh karena itu untuk mengatasinya perlu dilanjutkan implementasi pendekatan


sistim agribisnis. Permasalahan disini bukan pada strategi tetapi lebih kepada<br />

bagaimana kemampuan kita untuk mengimplementasikannya.<br />

13. Revolusi peternakan di Indonesia terbatas pada peternakan ayam ras yang<br />

dimungkinkan oleh investasi <strong>dan</strong> teknologi perusahaan multinasional. Peternakan<br />

lain mengalami kendala produksi. Perdagangan global tidak saja tidak bebas<br />

tetapi juga tidak adil sehingga merupakan ancaman bagi agribisnis peternakan<br />

domestik. Disarankan agar pemerintah menempuh kebijakan “proteksi <strong>dan</strong><br />

promosi”. Agribisnis peternakan di proteksi dari dampak negatif perdagangan<br />

dunia yang distortif <strong>dan</strong> tidak adil, <strong>dan</strong> bersamaan dengan itu difasilitasi <strong>dan</strong><br />

didorong dengan dukungan infrastruktur <strong>dan</strong> insentif investasi.<br />

14. Perdagangan internasional dapat berdampak positif atau negatif terhadap<br />

pertumbuh-kembangan perekonomian <strong>dan</strong> kesejahteraan umum suatu negara.<br />

Perdagangan pro-pembangunan <strong>dan</strong> meningkatkan kesejahteraan umum apabila<br />

dilaksanakan secara bebas <strong>dan</strong> adil yang utamanya mensyaratkan bebas akses<br />

<strong>dan</strong> keluar dari pasar, tidak ada pelaku pasar dominan, <strong>dan</strong> tidak ada fasilitasi<br />

yang berbeda diantara pelaku pasar. Prinsip inilah yang mendasari kesepakatan<br />

umum mengenai tarif <strong>dan</strong> perdagangan (GATT) termasuk kesepakatan di bi<strong>dan</strong>g<br />

petanian (AoA) WTO, <strong>dan</strong> itu pulalah alasan utama Indonesia menyetujui<br />

GATT/AoA <strong>dan</strong> berusaha menjadi anggota WTO yang baik.<br />

15. Indonesia berpan<strong>dan</strong>gan bahwa hasil Konferensi di Cancun bukan sebagai<br />

kegagalan yang total. Paling tidak ada benang merah yang dapat kita tarik dari<br />

hasil perundingan tersebut yang pada akhirnya hasil perundingan tersebut<br />

memberi pelajaran bagaimana memproses hasil – hasil yang penting untuk<br />

perundingan AoA di WTO. Secara umum negara-negara yang se<strong>dan</strong>g<br />

berkembang harus saling memahami terhadap kebutuhan dasar yang diperlukan<br />

untuk mencapai kesuksesan dalam perundingan tersebut. Kini negara-negara<br />

berkembang menyadari bahwa “The Developed Dimension” yang dihasilkan di<br />

Doha Development Agenda (DDA) terutama isu pembangunan pedesaan,<br />

pengentasan kemiskinan <strong>dan</strong> ketahanan pangan di negara-negara berkembang<br />

harus selalu disertakan dalam proposal negosiasi pada perundingan AoA. Ketiga<br />

hal tersebut merupakan tujuan yang diprioritaskan <strong>dan</strong> hal yang sangat<br />

mendesak dalam pembangunan nasional di negara-negara se<strong>dan</strong>g berkembang.<br />

16. Paradigma baru pembangunan pertanian dalam 4 tahun terakhir ini<br />

diimplementasikan dengan kebijakan dasar yakni kebijakan ”proteksi <strong>dan</strong><br />

promosi” agribisnis. Prinsip kebijakan ini adalah seraya melindungi dari praktek<br />

unfair-trade (dumping) dari negara lain, menumbuh-kembangkan <strong>dan</strong><br />

meningkatkan daya saing agribisnis dalam negeri dengan fasilitasi <strong>dan</strong> dukungan


pemerintah. Semangat free trade yang diprakarsai WTO harus mewujudkan fair<br />

trade (perdagangan yang adil). Kalau negara lain masih melakukan perlindungan<br />

pada agribisnisnya, maka wajar agribisnis di Indonesia dilindungi sesuai dengan<br />

prinsip-prinsip asas kesetaraan <strong>dan</strong> timbal balik WTO. Alasan menaikkan tarif<br />

impor <strong>dan</strong> mengelola pasar beberapa komoditi agribisnis penting seperti gula <strong>dan</strong><br />

beras selama tiga tahun terakhir adalah bagian dari kebijakan tersebut.<br />

17. Program Rintisan <strong>dan</strong> Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi <strong>Pertanian</strong>,<br />

disingkat Prima Tani, adalah kegiatan terencana <strong>dan</strong> dilaksanakan sistematis<br />

untuk mewujudkan tujuan Ba<strong>dan</strong> Litbang <strong>Pertanian</strong> untuk akselerasi penyebaran<br />

inovasi teknologi pertanian pada tahun 2005-2009. Prima Tani hendaklah<br />

dipan<strong>dan</strong>g sebagai strategi baru pelaksanaan <strong>dan</strong> diseminasi penelitian <strong>dan</strong><br />

pengembangan yang akan di lakukan oleh Ba<strong>dan</strong> Litbang <strong>Pertanian</strong> lima tahun<br />

ke depan. Strategi baru tersebut pada dasarnya merupakan implikasi dari<br />

perubahan paradigma dari “Penelitian <strong>dan</strong> Pengembangan “ (Research and<br />

Development) ke “Penelitian untuk Pembangunan” (Research for Development).<br />

Dengan begitu, kegiatan Ba<strong>dan</strong> Litbang <strong>Pertanian</strong> akan lebih terarah pada<br />

pemenuhan preferensi stake holders atau berorientasi konsumen. Dengan<br />

strategi baru tersebut maka Ba<strong>dan</strong> Litbang <strong>Pertanian</strong> terintegrasi langsung<br />

sebagai salah satu elemen esensial dari sistem agribisnis. Ba<strong>dan</strong> Litbang<br />

<strong>Pertanian</strong> memposisikan diri sebagai “the driving force” dari sistem inovasi<br />

sekaligus bertindak sebagai integrator antara sistem inovasi <strong>dan</strong> sistem agribisnis<br />

dalam mewujudkan sistem <strong>dan</strong> usaha agribisnis industrial berbasis pengetahuan<br />

<strong>dan</strong> teknologi inovatif.<br />

18. Sektor <strong>Pertanian</strong> <strong>dan</strong> Peternakan telah terlepas dari “perangkap spiral<br />

pertumbuhan rendah” yang berlangsung selama periode tahun 1998 – 1999.<br />

Sektor <strong>Pertanian</strong> <strong>dan</strong> Peternakan telah melewati fase pertumbuhan rendah (1998<br />

– 1999), <strong>dan</strong> kini (2003) tengah berada pada fase percepatan pertumbuhan<br />

(accelerating growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan<br />

(sustaining growth). Berdasarkan perkembangan indeks PDB terbukti bahwa<br />

sektor <strong>Pertanian</strong> <strong>dan</strong> Peternakan mampu pulih lebih awal dibanding sektor<br />

ekonomi secara keseluruhan. Walaupun telah pulih ke level sebelum krisis, laju<br />

pertumbuhan subsektor Perkebunan <strong>dan</strong> subsektor Peternakan, yang merupakan<br />

sumber pertumbuhan tinggi dalam sektor <strong>Pertanian</strong>, masih labil <strong>dan</strong> belum<br />

sepenuhnya pulih. Kedua subsektor ini amat tergantung pada kondisi<br />

perekonomian nasional maupun global. Pengalaman krisis multi-dimensi 1997-<br />

1998 memberikan pelajaran berharga betapa strategisnya sektor <strong>Pertanian</strong><br />

sebagai jangkar, peredam gejolak, <strong>dan</strong> penyelamat bagi sistem perekonomian


nasional. Sektor <strong>Pertanian</strong> merupakan kunci untuk pengentasan kemiskinan <strong>dan</strong><br />

pemantapan ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, pembangunan sektor<br />

<strong>Pertanian</strong> haruslah tetap dijadikan sebagai prioritas pembangunan nasional.<br />

19. Untuk dapat mewujudkan peran pemerintah sebagai stimulator <strong>dan</strong> fasilitator<br />

yang mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi <strong>dan</strong> sosial para petani agar<br />

memberikan manfaat bagi peningkatan pendapatan <strong>dan</strong> kesejahteraan, maka visi<br />

pembangunan pertanian tahun 2005-2009 adalah “upaya mengangkat harkat<br />

derajat, kemampuan <strong>dan</strong> kesejahteraan petani dengan mewujudkan sektor<br />

pertanian yang memiliki nilai tambah tinggi, berdaya saing <strong>dan</strong> menjadi landasan<br />

kokoh pembangunan ekonomi nasional”. Sementara itu, misinya antara lain : (a)<br />

mengembangkan <strong>dan</strong> memfasilitasi organisasi petani untuk meningkatkan posisi<br />

tawar petani, (b) meningkatkan pendapatan <strong>dan</strong> kesejahteraan petani,<br />

kesempatan kerja produktif <strong>dan</strong> memposisikan petani sebagai subyek<br />

pembangunan pertanian, (c) mengoptimalkan peran sektor pertanian sebagai<br />

penyedia bahan pangan <strong>dan</strong> bahan baku industri, (d) membangun sarana <strong>dan</strong><br />

prasarana pertanian, termasuk lembaga pembiayaan pertanian, <strong>dan</strong> (e)<br />

melestarikan sumberdaya alam <strong>dan</strong> lingkungan hidup untuk mendukung<br />

pembangunan pertanian berkelanjutan.<br />

20. Sasaran pembangunan pertanian selama kurun waktu lima tahun ke depan<br />

(2005-2009) dengan asumsi ekonomi nasional tumbuh 6 persen per tahun,<br />

antara lain : (a) Produk Domestik Bruto sektor pertanian berdasarkan harga<br />

berlaku ditargetkan akan tumbuh sekitar 4,37 persen per tahun, (b) investasi di<br />

bi<strong>dan</strong>g pertanian ditargetkan meningkat 5,20 persen per tahun, (c) penyerapan<br />

tenaga kerja sektor pertanian ditargetkan hanya sekitar 0,91 persen per tahun,<br />

(d) pendapatan petani per kapita per tahun ditargetkan akan meningkat 3,37<br />

persen per tahun, sehingga pada tahun 2009 akan mencapai Rp. 7,7 juta, (e)<br />

jumlah penduduk miskin ditargetkan akan menurun sekitar 5,77 persen per<br />

tahun, sehingga pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di pedesaan<br />

diperkirakan hanya sebesar 6,52 persen, <strong>dan</strong> (f) produksi tanaman pangan<br />

ditargetkan meningkat sekitar 0,68-6,71 persen per tahun, tanaman hortikultura<br />

sayuran <strong>dan</strong> buah-buahan ditargetkan meningkat di atas 3 <strong>dan</strong> 2 persen per<br />

tahun, tanaman perkebunan ditargetkan meningkat sekitar 2,0-8,0 persen per<br />

tahun, <strong>dan</strong> komoditas peternakan ditargetkan meningkat sekitar 1,5-9,0 persen<br />

per tahun.


21. Sesuai dengan Visi, Misi <strong>dan</strong> Sasaran, maka Program Pembangunan <strong>Pertanian</strong><br />

lima tahun ke depan, dirumuskan dalam dua program utama, yaitu Program<br />

Pengembangan Agribisnis <strong>dan</strong> Program Peningkatan Ketahanan Pangan.<br />

22. Kinerja sektor <strong>Pertanian</strong> pada tahun 2000-2003 haruslah dievaluasi dengan tiga<br />

perspektif yaitu : (a) kemampuan berbalik dari ancaman kontraksi lebih buruk<br />

(rescue) ; (b) kemampuan pulih dari stagnasi berkepanjangan (recovery) ; <strong>dan</strong> (c)<br />

kemampuan tumbuh akseleratif (accelerating) menuju pertumbuhan tinggi<br />

berkelanjutan (sustaining growth). Secara umum, sektor <strong>Pertanian</strong> mampu<br />

melepaskan diri dari ancaman terpuruk secara berkepanjangan. Sektor <strong>Pertanian</strong><br />

terbukti lebih tangguh <strong>dan</strong> mampu pulih lebih cepat dibanding sektor-sektor lain.<br />

23. Selain sektor pertanian mampu pilih, fakta statistik juga menunjukkan bahwa<br />

kinerja sekor pertanian 2000-2003 ternyata lebih baik dibanding periode sebelum<br />

krisis (1993-1996). Fakta statistik tersebut menggugurkan opini publik di media<br />

massa yang mengatakan bahwa kinerja sektor pertanian selama periode 2000-<br />

2003 makin terpuruk. Walaupun demikian harus diakui bahwa kinerja sektor<br />

pertanian tersebut belum sepenuhnya mampu mengatasi permasalahan yang<br />

dihadapi sektor pertanian utamanya peningkatan kesejahteraan petani.


The most of our macroeconomic policies have not been quite friendly for agricultural<br />

development. Government budget allocation for agricultural development remain very<br />

low. We do not have special credit policies for agribusiness development. Fiscal<br />

incentives for agribusiness development are minimal if we can not say not available.<br />

This are some of the challenges we have faced in the past and will continue in the<br />

future. The future strategy for agricultural development is continue the agribusiness<br />

system approach. The problem is not in the strategy but in our ability to properly<br />

implement it.<br />

Ada beberapa permasalahan makroekonomi yang telah dialami pada masa lalu <strong>dan</strong><br />

akan terus dihadapi pada masa datang. Banyak kebijakan makroekonomi yang tidak<br />

berpihak pada pembangunan pertanian. Alokasi anggaran pemerintah untuk<br />

pembangunan pertanian yang kini sangat kecil. Tidak a<strong>dan</strong>ya kebijakan kredit yang<br />

secara khusus diperuntukan bagi agribisnis pertanian <strong>dan</strong> insentif yang minimal bagi<br />

pembangunan agribisnis jika tidak bisa dikatakan tidak ada. Oleh karena itu untuk<br />

mengatasinya perlu dilanjutkan implementasi pendekatan sistim agribisnis.<br />

Permasalahan disini bukan pada strategi tetapi lebih kepada bagaimana kemampuan<br />

kita untuk mengimplementasikannya.<br />

Indonesia holds the view that the Cancun Conference was not a total failure. It<br />

produced some positive results. At the least, it gave us some lessons on how to<br />

proceed for significant progress on the AoA in the WTO. It is now generally accepted<br />

that understanding, tolerance, and sensitiveness of each-other basic needs are<br />

essential for successful negotiations on AoA. We seem now all agree that “ the<br />

development dimension “ of the Doha Development Agenda (DDA), especially rural<br />

developments, poverty alleviation, and food security in developing countries must<br />

always be taken into consideration in any proposal of future negotiations on Aoa.<br />

Indonesia fully understands and can feel with perfect empathy why the developing<br />

countries are adamant with their position to make no compromises regarding the


three development issues. The three are both the priority objectives and the<br />

necessary conditions of national development for any developing country.<br />

Indonesia berpan<strong>dan</strong>gan bahwa hasil Konferensi di Cancun bukan sebagai<br />

kegagalan yang total. Paling tidak ada benang merah yang dapat kita tarik dari hasil<br />

perundingan tersebut yang pada akhirnya hasil perundingan tersebut memberi<br />

pelajaran bagaimana memproses hasil – hasil yang penting untuk perundingan AoA<br />

di WTO. Secara umum negara-negara yang se<strong>dan</strong>g berkembang harus saling<br />

memahami terhadap kebutuhan dasar yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan<br />

dalam perundingan tersebut. Kini negara-negara berkembang menyadari bahwa<br />

“The Developed Dimension” yang dihasilkan di Doha Development Agenda (DDA)<br />

terutama isu pembangunan pedesaan, pengentasan kemiskinan <strong>dan</strong> ketahanan<br />

pangan di negara-negara berkembang harus selalu disertakan dalam proposal<br />

negosiasi pada perundingan AoA. Ketiga hal tersebut merupakan tujuan yang<br />

diprioritaskan <strong>dan</strong> hal yang sangat mendesak dalam pembangunan nasional di<br />

negara-negara se<strong>dan</strong>g berkembang.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!