03.11.2014 Views

Peningkatan Kapasitas Adaptasi Petani di Daerah Marginal ...

Peningkatan Kapasitas Adaptasi Petani di Daerah Marginal ...

Peningkatan Kapasitas Adaptasi Petani di Daerah Marginal ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

LAPORAN AKHIR<br />

PENELITIAN TA 2008<br />

PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTASI PETANI<br />

DI DAERAH MARGINAL TERHADAP PERUBAHAN IKLIM<br />

Oleh :<br />

Sahat M. Pasaribu<br />

Henny Mayrowani<br />

Dewa K. Swastika<br />

M. Iqbal<br />

Amar K. Zakaria<br />

Tjetjep Nurasa<br />

Valeriana Darwis<br />

Juni Hestina<br />

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN<br />

DEPARTEMEN PERTANIAN<br />

2008


Pendahuluan<br />

RINGKASAN EKSEKUTIF<br />

1. Perubahan iklim <strong>di</strong>perkirakan masih akan terus berlanjut dalam jangka waktu yang<br />

panjang. Meningkatnya konsentrasi CO2 <strong>di</strong> atmosfir telah mendorong terja<strong>di</strong>nya efek<br />

gas rumah kaca (green house gases) sehingga suhu rata-rata bumi meningkat<br />

(global warming). Hal itu berpengaruh terhadap perilaku angin dan penguapan air<br />

laut ataupun danau sehingga pola sebaran temporal dan spatial, maupun intensitas<br />

curah hujan berubah. Perubahannya cukup tajam, bahkan kadang-kadang ekstrim.<br />

2. Secara keseluruhan perubahan iklim tersebut <strong>di</strong>perkirakan membawa dampak<br />

negatif terhadap perekonomian global, terutama kehilangan setidaknya 5% GDP<br />

dunia per tahun. Diperkirakan bahwa dampak negatif yang menimpa negara-negara<br />

berkembang akan lebih lebih besar.<br />

3. Pertanian merupakan salah satu sektor perekonomian yang paling rawan terhadap<br />

dampak negatif perubahan perilaku iklim. Insiden dan intensitas kekeringan dan atau<br />

banjir secara langsung menyebabkan kerusakan tanaman. Secara tidak langsung<br />

kon<strong>di</strong>si seperti itu juga menyebabkan kurang optimalnya atau rusaknya jaringan<br />

irigasi, jalan usahatani, dan prasarana pertanian lainnya. Implikasinya, masa depan<br />

ketahanan pangan global menghadapi situasi yang lebih suram.<br />

4. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan bahwa sebagian<br />

besar negara <strong>di</strong> dunia akan menghadapi tantangan yang lebih berat untuk<br />

mencukupi kebutuhan pangannya.<br />

5. Sampai saat ini pasokan pangan masih tetap mengandalkan sistem pertanian<br />

konvensional yang antara lain <strong>di</strong>cirikan oleh ketergantungannya yang tinggi terhadap<br />

iklim. Keputusan petani tentang apa yang akan <strong>di</strong>produksi, berapa banyak, kapan,<br />

<strong>di</strong>mana, teknik bu<strong>di</strong>daya apa yang akan <strong>di</strong>aplikasikan sangat <strong>di</strong>pengaruhi oleh iklim.<br />

Karena iklim tidak dapat <strong>di</strong>kendalikan, maka upaya menekan risiko rugi ataupun<br />

upaya memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan (jika ada) <strong>di</strong>tempuh melalui<br />

adaptasi.<br />

Sasaran dan Tujuan<br />

6. Sasaran penelitian adalah terciptanya sistem adaptasi terencana yang harus<br />

<strong>di</strong>lakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan kapasitas adaptasi petani <strong>di</strong><br />

wilayah marginal terhadap perubahan iklim. Dengan sasaran tersebut, tujuan<br />

penelitian ini adalah: (1) mempelajari perilaku perubahan iklim dan dampak yang<br />

<strong>di</strong>timbulkannya; (2) mempelajari bentuk dan pola adaptasi petani terhadap kon<strong>di</strong>si<br />

iklim <strong>di</strong> wilayah marginal; (3) mengidentifikasi komponen yang <strong>di</strong>perlukan komunitas<br />

petani <strong>di</strong> wilayah marginal untuk meningkatkan kapasitas adaptasinya terhadap<br />

perubahan iklim; (4) merumuskan rekomendasi kebijakan dan program dalam<br />

rangka meningkatkan kapasitas adaptasi petani <strong>di</strong> wilayah marginal terhadap<br />

perubahan iklim.<br />

Keluaran yang Diharapkan<br />

7. Mengacu pada tujuan penelitian dan sasaran yang ingin <strong>di</strong>capai, maka keluaran<br />

yang <strong>di</strong>harapkan dari penelitian adalah: (1) data dan informasi tentang perilaku<br />

perubahan iklim dan dampak yang <strong>di</strong>timbulkannya; (2) data, informasi, dan<br />

pengetahuan tentang bentuk dan pola adaptasi petani <strong>di</strong> wilayah marginal terhadap<br />

perubahan iklim; (3) inventarisasi dari faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas


adaptasi petani <strong>di</strong> wilayah marginal terhadap perubahan iklim; (4) berbagai<br />

komponen yang <strong>di</strong>butuhkan untuk meningkatkan kapasitas adaptasi petani <strong>di</strong><br />

wilayah marginal terhadap perubahan iklim; dan (5) rekomendasi kebijakan dan<br />

usulan program yang <strong>di</strong>perlukan untuk meningkatkan kapasitas adaptasi petani <strong>di</strong><br />

wilayah marginal terhadap perubahan iklim<br />

Keterbatasan Penelitian<br />

8. Penelitian ini memiliki keterbatasan terutama dalam hal pengumpulan data <strong>di</strong><br />

lapangan. Pengumpulan data <strong>di</strong> tingkat petani <strong>di</strong> Kabupaten Kudus mendapat<br />

kendala karena <strong>di</strong>laksanakan pada saat musim panen pa<strong>di</strong>, sehingga pengumpulan<br />

data primer sebagian besar <strong>di</strong>lakukan pada malam hari yang kurang kondusif bagi<br />

para responden. Sementara itu, penyelenggaraan FGD <strong>di</strong> kedua provinsi lokasi<br />

penelitian dapat <strong>di</strong>laksanakan dengan baik, meski tidak semua pejabat yang<br />

berkompeten dalam bidang iklim bisa ha<strong>di</strong>r. Andaikan semua pejabat yang<br />

<strong>di</strong>harapkan tersebut ha<strong>di</strong>r dan berpartisipasi secara aktif, niscaya informasi yang<br />

<strong>di</strong>kumpulkan dapat lebih tajam lagi.<br />

Metodologi<br />

9. Penelitian ini <strong>di</strong>laksanakan <strong>di</strong> dua provinsi yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT)<br />

mewakili daerah rawan kekringan dan Jawa Tengah (Jateng) untuk mewakili daerah<br />

rawan banjir. Di NTT, <strong>di</strong>pilih kabupaten Kupang dengan 2 desa contoh, yaitu Nun<br />

Kurus dan Oe Bola. Sedangkan <strong>di</strong> Jateng <strong>di</strong>pilih kabupaten Kudus dengan 2 desa<br />

contoh Undaan Kidul dan Karang Rowo. Tiap desa <strong>di</strong> kedua provinsi <strong>di</strong>ambil 30<br />

petani contoh secara acak sederhana untuk wawancara in<strong>di</strong>vidu, dan sekitar 10<br />

orang tokoh masyarakat per desa untuk wawancara kelompok (group interview),<br />

dengan pendekatan focus group <strong>di</strong>scussion (FGD) secara partisipatif. Selain<br />

melakukan wawancara dan FGD <strong>di</strong> desa, pendekatan FGD tingkat provinsi juga<br />

<strong>di</strong>lakukan <strong>di</strong> tiap provinsi, dengan melibatkan pemangku kebijakan (stakeholders)<br />

tingkat provinsi dalam bidang yang berkaitan dengan perubahan iklim.<br />

10. Penelitian ini juga menghimpun data sekunder untuk mempelajari potensi wilayah<br />

dan kendala dalam mengantisipasi perubahan iklim. Sedangkan data primer dari<br />

petani <strong>di</strong>gunakan untuk menganalisis kapasitas dan strategi petani dalam<br />

mengantisipasi perubahan iklim.<br />

11. Analisis data mencakup analisis deskriptif sesuai dengan konteks permasalahan dan<br />

informasi yang <strong>di</strong>hasilkan. Analisis kelembagaan dari kasus-kasus yang <strong>di</strong>temui <strong>di</strong><br />

masing-masing lokasi penelitian sangat penting karena lesson learned dari kasuskasus<br />

tersebut sangat berguna untuk memperoleh pemahaman empiris secara<br />

komprehensif. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat)<br />

<strong>di</strong>gunakan untuk mengidentifikasi potensi, peluang dan kendala serta menyusun<br />

strategi dalam mengantisipasi perubahan iklim. Kesemuanya itu <strong>di</strong>organisasikan<br />

secara sistematis agar keluaran penelitian ini dapat berkontribusi nyata dalam<br />

perumusan kebijakan dan program Departemen Pertanian dalam menghadapi era<br />

perubahan iklim.


Hasil dan Pembahasan<br />

A. Provinsi Jawa Tengah<br />

Profil <strong>Petani</strong><br />

12. <strong>Petani</strong> contoh <strong>di</strong> desa Uddaan Kidul berumur rata-rata 38,2 tahun dengan kisaran<br />

umur antara 24 sampai 59 tahun. Sedangkan <strong>di</strong> Desa Karang Rowo, rataan umur<br />

petani adalah 39,6 tahun, dengan kisaran antara 28 sampai 56 tahun.<br />

Berdasarkan kon<strong>di</strong>si umur tersebut, dapat <strong>di</strong>kemukakan bahwa petani responden<br />

<strong>di</strong> Kecamatan Undaan tergolong pada usia produktif.<br />

13. Tingkat pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan formal yang <strong>di</strong>capai oleh petani responden <strong>di</strong> Desa Undaan<br />

Kidul rata-rata 10,4 tahun. Sedangkan petani responden Desa Karang Rowo ratarata<br />

7,3 tahun, dengan kisaran antara 7-28 tahun. Pengalaman bertani responden<br />

<strong>di</strong> dua desa adalah masing-masing 17 dan 19 tahun. Berarti, secara umum petani<br />

responden <strong>di</strong> wilayah Kecamatan Undaan sudah cukup berpengalaman dalam<br />

berusahatani.<br />

14. Luas lahan garapan <strong>Petani</strong> <strong>di</strong> Undaan Kidul rata-rata 0,86 ha/petani, dengan<br />

kisaran 0,36-2,0 ha/petani. Di desa Karang Rowo, luas garapan rata-rata 0,64<br />

ha/petani, dengan kisaran 0,4-1,4 ha/petani. Luas lahan garapan <strong>di</strong> dua desa ini<br />

relatif lebih besar <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan luas lahan petani sawah <strong>di</strong> pulau Jawa<br />

yang rata-rata 0,3 ha/petani. Ini berarti bahwa petani contoh <strong>di</strong> lokasi penelitian<br />

mempunyai potensi lebih besar dalam menghasilkan pangan <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan dengan<br />

rataan petani <strong>di</strong> pulau Jawa.<br />

Perubahan Iklim dan Dampak yang Ditimbulkan<br />

15. Perubahan iklim <strong>di</strong> Jawa Tengah dalam kurun waktu 5 tahun menimbulkan<br />

perubahan musim hujan dan musim kemarau. Musim kemarau yang berkepanjangan<br />

mengakibatkan kekeringan dan musim hujan mengakibatkan banjir <strong>di</strong><br />

beberapa kabupaten <strong>di</strong> Jawa Tengah. Curah hujan yang besar yang tidak bisa<br />

tertahan oleh bendungan, serta tebalnya se<strong>di</strong>mentasi saluran penampung air<br />

menyebabkan banjir besar.<br />

16. Perubahan iklim yang terja<strong>di</strong> tahun 2007 mengakibatkan kon<strong>di</strong>si puso <strong>di</strong> hampir<br />

semua Kabupaten, Provinsi Jawa Tengah. Puso tanaman pa<strong>di</strong> terbesar terja<strong>di</strong> <strong>di</strong><br />

kabupaten Kudus dengan total wilayah 7.513 Ha, <strong>di</strong>ikuti Kabupaten Sragen<br />

dengan luas 7.389 ha dan Pati 4.658 ha. Sementara daerah yang tidak terkena<br />

puso adalah Cilacap, Brebes, Tegal, Banjar Negara dan Kendal.<br />

17. Produksi pangan pokok Jawa Tengah yaitu pa<strong>di</strong>, jagung, kedelai, kacang tanah,<br />

kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar dalam lima tahun terakhir secara umum<br />

menurun dengan pertumbuhan rata-rata –0,37% per-tahun. Perhatian perlu<br />

<strong>di</strong>berikan pada gejala pertumbuhan negatif produksi pa<strong>di</strong>, yaitu –0,93%, kedelai<br />

–7,55% dan ubi jalar –6,45%. Anomali iklim dan kemunduran kinerja penyuluhan<br />

pertanian <strong>di</strong>duga merupakan sebagian kontributor utama terja<strong>di</strong>nya kegagalan<br />

panen.<br />

18. Perubahan iklim <strong>di</strong> kecamatan Undaan Kabuapaten Kudus, menunjukkan<br />

penurunan produksi pa<strong>di</strong> secara significant pada tahun 2007. Tahun 2006 produksi<br />

pa<strong>di</strong> <strong>di</strong> Kecamatan Undaan mencapai 68.836 ton dan merupakan produksi pa<strong>di</strong><br />

terbesar <strong>di</strong> Kabupaten Kudus. Akan tetapi pada tahun 2007 mengalami penurunan


produksi hampir 50 persen yaitu menja<strong>di</strong> 37.695 ton yang <strong>di</strong>akibatkan oleh banjir.<br />

Rata-rata pertumbuhan produksi pa<strong>di</strong> <strong>di</strong> Kecamatan Undaan turun (–3,9%).<br />

19. Berdasarkan hasil FGD, dampak negatif perubahan iklim terhadap produksi<br />

pertanian dan pendapatan petani adalah sebagai : (a) jadwal tanam berubah,<br />

musim tanam menja<strong>di</strong> tidak tepat waktu, (b) munculnya hama dan penyakit, yang<br />

mengakibatkan menurunnya produksi pertanian, (c) sulitnya penanganan pasca<br />

panen karena tingginya curah hujan, sehingga kualitas gabah dan harga rendah,<br />

dan (d) akhir tahun 2007, akibat banjir yang melanda Kabupaten Kudus, tanaman<br />

pa<strong>di</strong> puso dan panen hanya mencapai 10-15%.<br />

Pola <strong>Adaptasi</strong> dan Antisipasi <strong>Petani</strong><br />

20. Pada saat banjir, upaya penanggulangan <strong>di</strong>lakukan secara gotong-royong<br />

(membuatan tanggul penahan air) bersama kelompok tani dengan sumber dana<br />

berasal dari paguyuban P3A. Peringatan bahaya banjir <strong>di</strong>informasikan oleh<br />

petugas PSDA melalui ra<strong>di</strong>o komunikasi “handy talky” kepada aparat kecamatan<br />

dan desa. Sinyal peringatan siaga-1 terja<strong>di</strong> apabila debit air sungai telah mencapai<br />

sekitar 700 meter kubik per detik.<br />

21. Untuk kelancaran tugas penanggulangan bahaya banjir ini, pada lintas kecamatan<br />

<strong>di</strong>bentuk “tim yustisia” dengan anggota tripida kecamatan (Camat dan Kapolsek<br />

beserta Danramil). Menurut kepala Desa Undaan Kidul, seyogyanya tim yustisia <strong>di</strong><br />

atas lintas kecamatan, guna menggalang kerjasama antar kecamatan dan<br />

kabupaten. Hal tersebut penting, terutama sejak <strong>di</strong>berlakukannya otonomi daerah.<br />

22. Dalam menghadapi keadaan yang ekstrim tersebut, masyarakat petani <strong>di</strong> Desa<br />

Undaan Kidul telah berusaha mengubah pola usahatani menuju pertanian yang<br />

<strong>di</strong>namis. Salah satunya adalah melalui penerapan sistem pertanian organik seperti<br />

pa<strong>di</strong>, mina-pa<strong>di</strong>, palawija (jagung manis), jamur tiram, hortikultura (kangkung, sawi,<br />

jeruk pamelo, jeruk citra, dan jeruk muria).<br />

29. Peran kelembagaan dalam mengatasi perubahan iklim meliputi peran dalam<br />

peningkatan SDM pertanian, permodalan, perubahan perilaku, akses informasi<br />

iklim, penye<strong>di</strong>aan sarana-prasarana.<br />

Kearifan lokal (local wisdom)<br />

30. Pada zaman dahulu para orang tua sudah bisa membaca alam, dan biasanya<br />

<strong>di</strong>sebut dengan ilmu titen. Ilmu “titen” adalah ilmu mengamati sesuatu dari gejala<br />

alam, biasanya berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang (keja<strong>di</strong>an dalam<br />

kehidupan, peristiwa <strong>di</strong> alam). Salah satu ilmu titen adalah “pranata mongso” yang<br />

berisikan pembagian masa dalam satu tahun untuk melakukan suatu pekerjaan,<br />

terutama bertani. Ada masa untuk menanam, ada masa untuk menyiangi dan ada<br />

masa untuk panen. Hitungannya selalu tepat karena ekosistem alam pada masa itu<br />

masih berimbang. Sehingga datangnya musim hujan bisa <strong>di</strong>pre<strong>di</strong>ksi dan lamanya<br />

musim kemarau bisa <strong>di</strong>pre<strong>di</strong>ksi.<br />

31. Kearifan lokal dalam bu<strong>di</strong>daya pertanian pada zaman dahulu <strong>di</strong>kenal dengan nama<br />

Pranoto Mongso untuk masyarakat Jawa, Pranata Mangsa untuk masyarakat Sunda<br />

dan Kerta Masa atau Dewasa untuk masyarakat Bali. Pranoto Mongso <strong>di</strong>butuhkan<br />

pada saat itu sebagai penentuan atau patokan bila akan mengerjakan sesuatu


pekerjaan. Contohnya melaksanakan usaha tani seperti bercocok tanam atau melaut<br />

sebagai nelayan, merantau mungkin juga berperang.<br />

32. <strong>Petani</strong> <strong>di</strong> Jawa Tengah sejak dulu telah mempunyai pedoman pranoto mongso yang<br />

memuat aturan-aturan musim dalam satu tahun, yang <strong>di</strong>gunakan sebagai dasar<br />

dalam permulaan tanam. Dalam pranoto mongso <strong>di</strong>kenal ada empat musim: (1)<br />

musim labuhan, musim saat permulaan hujan yang <strong>di</strong>mulai akhir bulan September<br />

atau Oktober, saat petani mulai menanam polowijo; (2) musim rendengan (mulai<br />

Oktober-Nopember), hujan mulai banyak, mulai tanam pa<strong>di</strong> <strong>di</strong> sawah; (3) musim<br />

marengan mulai Maret, hujan mulai berkurang, polowijo musim labuhan sudah<br />

panen dan <strong>di</strong> tegalan akan <strong>di</strong>tanami lagi; (4) musim kemarau (mulai April–Mei), saat<br />

pa<strong>di</strong> rendengan <strong>di</strong> sawah sudah <strong>di</strong>panen, dan sawah akan <strong>di</strong>tanami polowijo atau<br />

pa<strong>di</strong> lagi jika ada air atau pa<strong>di</strong> gadu. Namun pranoto mongso tersebut saat ini sudah<br />

tidak sesuai lagi, karena adanya perubahan iklim secara global. Karena itu, sudah<br />

banyak <strong>di</strong>tinggalkan.<br />

B. Provinsi Nusa Tenggara Timur<br />

Profil Wilayah dan <strong>Petani</strong><br />

33. Sektor pertanian masih merupakan sektor andalan NTT, yang tercermin dari<br />

kontribusinya dalam perolehan PDRB. Pada tahun 2006 sektor pertanian<br />

menyumbang sekitar Rp 6,90 triliun atau 41,22 persen dari PDRB provinsi ini. Dari<br />

sektor pertanian, kontribusi terbesar berasal dari sub-sektor tanaman pangan yang<br />

menyumbang sebesar 21,29 persen dari total PDRB Provinsi NTT.<br />

34. Secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan antara umur, pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan, dan<br />

pengalaman bertani KK <strong>di</strong> Desa Nun Kurus dan <strong>di</strong> Desa Oe Bola. Rataan umur KK <strong>di</strong><br />

kedua desa penelitian adalah <strong>di</strong> bawah 40 tahun. Dengan kata lain, rataan umur<br />

tersebut tergolong ke dalam kategori umur produktif yang memiliki prospek untuk<br />

<strong>di</strong>kembangkan khususnya terkait dengan peningkatan produktivitas kerja.<br />

Sementara itu, rataan pengalaman bertani KK berkisar antara 16-17 tahun. Dengan<br />

rataan umur dan pengalaman bertani tersebut dapat <strong>di</strong>katakan bahwa KK <strong>di</strong> lokasi<br />

penelitian telah mulai aktif berusahatani sejak umur 20 tahun. Rataan lama<br />

pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan formal sekitar enam tahun (setingkat SD).<br />

35. Semua petani contoh, baik <strong>di</strong> Desa Nun Kurus maupun <strong>di</strong> Desa Oe Bola, belum<br />

pernah mengikuti pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan non-formal terkait dengan iklim. Hampir semua petani,<br />

yaitu masing-masing 100 persen <strong>di</strong> Desa Nun Kurus dan sekitar 95 persen <strong>di</strong> Desa<br />

Oe Bola, menginginkan adanya kegiatan Sekolah Lapang Iklim (SLI) <strong>di</strong> desa mereka<br />

masing-masing.<br />

36. <strong>Petani</strong> <strong>di</strong> Desa Nun Kurus mengusahakan dua jenis lahan usahatani yaitu sawah<br />

tadah hujan dan tegalan sedangkan petani Desa Oe Bola lebih mengandalkan<br />

usahatani tegalan.<br />

Bentuk dan Dampak Perubahan Iklim<br />

37. Hampir sebagian besar petani baik <strong>di</strong> Desa Nun Kurus maupun <strong>di</strong> Desa Oe Bola<br />

mengetahui perubahan musim hujan setiap tahun. Secara umum tingkat<br />

pengetahuan petani terhadap perubahan musim hujan <strong>di</strong> Desa Nun Kurus lebih baik<br />

dari pada petani <strong>di</strong> Desa Oe Bola. Perubahan musim hujan yang paling banyak<br />

<strong>di</strong>ketahui petani <strong>di</strong> Desa Nun Kurus terja<strong>di</strong> pada tahun 2000, tahun 2005, dan


sebelum tahun 2000. Sementara itu, fenomena identik yang paling banyak <strong>di</strong>ketahui<br />

petani <strong>di</strong> Desa Oe Bola terja<strong>di</strong> pada tahun 2000 hingga tahun 2004.<br />

38. Dari hasil <strong>di</strong>skusi kelompok terfokus (focused group <strong>di</strong>scussion/FGD) <strong>di</strong>peroleh<br />

gambaran bahwa fenomena perubahan iklim telah menimbulkan beberapa dampak<br />

baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung berkaitan erat<br />

dengan penerapan pola tanam, pemeliharaan, risiko penurunan produktivitas, dan<br />

kegagalan panen. Sementara itu, dampak tidak langsung yaitu berupa penurunan<br />

keterse<strong>di</strong>aan pangan dan kemampuan (daya) tukar produk pertanian subsisten serta<br />

pengaruh terhadap aspek sosial (pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan dan kesehatan).<br />

Sumber dan Diseminasi Informasi Iklim<br />

39. Informasi mengenai perubahan iklim <strong>di</strong>peroleh dari berbagai sumber. Hal tersebut<br />

<strong>di</strong>tunjukkan oleh tingginya persentase informasi dari kombinasi berbagai sumber<br />

tersebut. Informasi dari sumber yang spesifik hanya terbatas dari televisi, ra<strong>di</strong>o,<br />

instansi pemerintah, dan sumber tra<strong>di</strong>sional dengan persentase <strong>di</strong> bawah 10 persen.<br />

Se<strong>di</strong>kit perbedaan <strong>di</strong>temui <strong>di</strong> Desa Nun Kurus, <strong>di</strong>mana sebagian petani setempat<br />

memperoleh informasi dari televisi dan instansi pemerintah sedangkan <strong>di</strong> Desa Oe<br />

Bola hanya dari ra<strong>di</strong>o.<br />

40. Sebagian petani <strong>di</strong> Desa Nun Kurus dan beberapa petani <strong>di</strong> Desa Oe Bola samasama<br />

mendapatkan informasi mengenai perubahan iklim dari sumber tra<strong>di</strong>sional<br />

seperti tokoh masyarakat dari kalangan adat dan keagamaan, orang tua, dan<br />

sesama petani.<br />

Antisipasi dan <strong>Adaptasi</strong> <strong>Petani</strong> terhadap Perubahan Iklim<br />

41. Antisipasi dan adaptasi petani terhadap perubahan iklim terkait dengan strategi dan<br />

implementasi yang <strong>di</strong>lakukan dalam menyikapi fenomena perubahan iklim. Strategi<br />

yang <strong>di</strong>lakukan mencakup strategi bertahan, agresif, dan antisipatif. Strategi<br />

bertahan cenderung berpatokan pada kon<strong>di</strong>si yang terja<strong>di</strong>. Strategi agresif lebih<br />

mengarah pada upaya mengganti atau mendapatkan inovasi. Strategi antisipasi<br />

berhubungan dengan langkah perencanaan. Sementara itu, implementasinya<br />

<strong>di</strong>tempuh melalui beberapa langkah seperti mengubah waktu dan pola tanam,<br />

menerapkan pengalaman turun temurun, dan lain-lain.<br />

42. Secara umum strategi yang <strong>di</strong>terapkan petani <strong>di</strong> Desa Nun Kurus relatif tidak begitu<br />

berbeda dengan strategi yang <strong>di</strong>gunakan petani <strong>di</strong> Desa Oe Bola. Beberapa<br />

perbedaan terja<strong>di</strong> karena adanya ketidaksamaan agroekosistem dan <strong>di</strong>namika<br />

tingkat pengetahuan petani pada masing-masing lokasi penelitian. Perbedaan yang<br />

paling menonjol adalah adanya upaya petani <strong>di</strong> Desa Nun Kurus membuat embung<br />

untuk menampung air saat musim hujan dan memanfaatkannya pada saat musim<br />

kemarau. Perbedaan lainnya adalah strategi mengubah jenis tanaman (<strong>di</strong>versifikasi),<br />

<strong>di</strong>mana persentase petani yang menerapkan strategi ini lebih tinggi <strong>di</strong>temui <strong>di</strong> Desa<br />

Nun Kurus <strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan <strong>di</strong> Desa Oe Bola.<br />

43. Sesuai dengan karakteristik agroekosistem lahan kering, sebagian besar petani<br />

menerapkan strategi menanam pada saat curah hujan sudah banyak. Strategi<br />

lainnya adalah menyimpan produksi untuk ketahanan pangan, <strong>di</strong>mana persentase<br />

petani yang menerapkan strategi ini lebih banyak <strong>di</strong>jumpai <strong>di</strong> Desa Nun Kurus<br />

<strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan <strong>di</strong> Desa Oe Bola. Perlu <strong>di</strong>kemukakan bahwa tidak ada petani yang<br />

menerapkan strategi mengasuransikan tanaman. Kon<strong>di</strong>si ini lumrah terja<strong>di</strong> karena


strategi asuransi tanaman belum banyak <strong>di</strong>kenal atau belum <strong>di</strong>ketahui oleh sebagian<br />

besar petani <strong>di</strong> lokasi penelitian.<br />

44. Strategi meminjam uang atau barang untuk memenuhi kebutuhan keluarga jarang<br />

<strong>di</strong>lakukan. Karena kebanyakan petani <strong>di</strong> lokasi penelitian telah menerapkan strategi<br />

menyimpan produksi untuk ketahanan pangan rumah tangga. Disamping itu,<br />

informasi tambahan menyebutkan bahwa sebagian besar petani setempat berusaha<br />

untuk tidak melakukan pinjaman karena dapat mendatangkan beban tambahan.<br />

45. Yang cukup menarik <strong>di</strong>temui adalah persentase petani yang menerapkan strategi<br />

penjualan sampai harga baik, angkanya lebih tinggi <strong>di</strong>jumpai <strong>di</strong> Desa Nun Kurus<br />

<strong>di</strong>ban<strong>di</strong>ngkan <strong>di</strong> Desa Oe Bola. Kon<strong>di</strong>si ini sekaligus mengisyaratkan bahwa petani<br />

<strong>di</strong> Desa Nun Kurus se<strong>di</strong>kit lebih baik dalam mengelola pemasaran hasil pertanian<br />

dari pada sistem pengolalaan pemasaran yang <strong>di</strong>lakukan petani <strong>di</strong> Desa Oe Bola.<br />

Perlu <strong>di</strong>kemukakan bahwa sebagian petani <strong>di</strong> Desa Oe Bola cenderung melakukan<br />

pemasaran hasil pertanian tanpa menunggu harga baik, karena desakan kebutuhan<br />

keluarga.<br />

Kearifan Lokal (In<strong>di</strong>genous Knowledge)<br />

46. Khusus mengenai kearifan lokal (in<strong>di</strong>genous knowledge), beberapa <strong>di</strong>antaranya<br />

masih <strong>di</strong>pakai masyarakat petani <strong>di</strong> lokasi penelitian, seperti cara memperkirakan<br />

waktu datangnya hujan dan besar kecilnya curah hujan. Sebagian besar petani <strong>di</strong><br />

kedua lokasi penelitian sama-sama memperoleh pengetahuan lokal tersebut dari<br />

orang tua/turun temurun.<br />

47. Masyarakat setempat memikli cukup banyak kearifan lokal, <strong>di</strong>antaranya adalah<br />

melalui acara ritual adat. Selain itu, ada juga pengetahuan lokal yang spesifik dalam<br />

membaca fenomena alam, sehingga mereka dapat meramal/menduga apakah tahun<br />

atau musim yang akan datang mengalami kekeringan atau kelebihan hujan. Hal ini<br />

sulit untuk membuktikan secara rasional, namun kenyataannya sampai saat ini caracara<br />

tersebut masih terus <strong>di</strong>laksanakan oleh komunitas adat tertentu.<br />

48. Masyarakat setempat masih mempercayai fenomena-fenomena alam yang<br />

mencirikan keberadaan hujan yang akan <strong>di</strong>hadapi dalam musim yang <strong>di</strong>tunggu.<br />

Diantaranya adalah: (i) jika ada awan kuning bergumpal muncul <strong>di</strong> bagian Barat<br />

pada jam 5 sore, maka <strong>di</strong>anggap curah hujan musim ini akan kurang; (ii) jika Nowa<br />

(burung) Makleat (besar) berteriak keliling sepanjang hari <strong>di</strong> desa pada bulan<br />

November maka pertanda hujan akan datang dan normal. Suasana ini <strong>di</strong>sebut<br />

“manakabau”; jika burung ini datang terlambat pertanda bahwa akan datang musim<br />

kelaparan karena hujan mengalami gangguan. Menurut keyakinan mereka, burung<br />

ini bukan burung biasa, namun burung ini kiriman dari “Tafatik” dan “Maromak” dan<br />

(iii) JIka bunga asam (Tamarindus in<strong>di</strong>ca. L.) yang sedang berbunga cepat gugur,<br />

maka pertanda hujan segera datang dan musim membaik.<br />

Faktor Terkait Perubahan Iklim dan Pilihan Aplikasi Usahatani untuk Produksi<br />

Pertanian<br />

49. Sebagian besar petani <strong>di</strong> Desa Nun Kurus dan Desa Oe Bola menyatakan bahwa<br />

faktor utama penyebab terja<strong>di</strong>nya perubahan iklim <strong>di</strong> wilayah mereka adalah karena<br />

berkurangnya areal hutan.


50. Tindakan yang <strong>di</strong>lakukan petani terhadap perubahan iklim sebagian besar<br />

<strong>di</strong>musyawarahkan antar sesama petani. Perlu <strong>di</strong>garisbawahi bahwa tidak ada petani<br />

yang meminta bantuan kepeda pemerintah setempat dalam kaitannya dengan<br />

tindakan terhadap perubahan iklim pada kedua lokasi penelitan. <strong>Petani</strong> <strong>di</strong> desa Nun<br />

Kurus selalu men<strong>di</strong>skusikan dan meminta bantuan pemecahan masalah adaptasi<br />

dan antisipasi perubahan iklim dengan seorang tokoh gereja yang sekaligus sebagai<br />

motivator dan inovator <strong>di</strong> desa tersebut.<br />

51. Secara umum, cara petani mengelola usahatani akibat adanya kekurangan curah<br />

hujan <strong>di</strong> Desa Nun Kurus adalah melakukan berbagai teknik irigasi, membuat<br />

penampungan air hujan dan sumur pompa, serta mengganti varietas tanaman.<br />

Sementara itu, <strong>di</strong> Desa Oe Bola para petaninya lebih banyak menempuh cara-cara<br />

seperti melakukan <strong>di</strong>versifikasi jenis tanaman dan menerapkan tehnik konservasi<br />

lahan.<br />

Peran Kelembagaan Dalam Antisipasi Perubahan Iklim<br />

53 Kelembagaan merupakan salah satu komponen penting yang sangat menentukan<br />

keberhasilan petani dalam melakukan adaptasi dan antisipasi terhadap perubahan<br />

iklim. Kelembagaan petani (seperti kelompok tani) memungkinkan petani bekerja<br />

secara kelompok dalam pengadaan sarana produksi, melakukan penanggulangan<br />

bencana, pengendalian OPT, penanganan pasca panen dan pemasaran hasil,<br />

sehingga kinerja usaha dan peluang keberhasilan menja<strong>di</strong> makin tinggi.<br />

54. Kelembagaan non petani, seperti lembaga keuangan mikro, pasar input, pasar<br />

output, penyuluhan, dan sebagainya mempunyai peran sangat menentukan<br />

keberhasilan usahatani. Demikian juga kelembagaan pemerintah yang berkaitan<br />

dengan kebijakan pendukung sektor pertanian mempunyai peran yang sangat<br />

strategis.<br />

Strategi Kebijakan <strong>Peningkatan</strong> <strong>Kapasitas</strong> <strong>Adaptasi</strong> <strong>Petani</strong> Terhadap Perubahan<br />

Iklim <strong>di</strong> Jawa Tengah<br />

55. Dengan menggunakan analisis SWOT, potensi dan kendala dalam pengembangan<br />

kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim dapat <strong>di</strong>pahami dengan baik.<br />

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas adaptasi petani dalam<br />

mengantisipasi perubahan iklim dapat <strong>di</strong>klasifikasikan sebagai faktor internal<br />

(kekuatan dan kelemahan) dan fartor eksternal (peluang dan ancaman).<br />

56. Dari keempat faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada, strategi<br />

untuk pengembangan kapasitas adaptasi petani dalam mengantisipasi perubahan<br />

iklim adalah : (1) <strong>Peningkatan</strong> kualitas usahatani tanaman pangan dengan<br />

terse<strong>di</strong>anya lahan, teknologi, SDM, irigasi, kelembagaan petani, serta penyebar<br />

luasan data iklim dan program SLI; (2) Memanfaatkan dukungan Pemda dalam<br />

peningkatan akses petani terhadap informasi iklim yang terse<strong>di</strong>a dan program<br />

pembiayaan usahatani, peningkatan jumlah penyuluh dan pembangunan<br />

infrastruktur usahatani, serta peningkatan pelestarian hutan; (3) Penyesuaian<br />

teknlogi usahatani tanaman pangan dengan perubahan iklim, misalnya :<br />

penyesuaian pola tanam , penggunaan varitas tahan hama penyakit, penerapan pola<br />

usahatani konservasi, (4) penguatan kelembagaan petani dalam pengadaan sarana<br />

produksi dan pemasaran hasil, serta (5) pengelolaan sistem penye<strong>di</strong>aan dan<br />

pemakaian air yang lebih baik.


57. Dari strategi yang <strong>di</strong>tempuh <strong>di</strong>atas, opsi kebijakan yang bisa <strong>di</strong>ambil adalah : (1)<br />

Pengembangan bu<strong>di</strong>daya tanaman pangan dan SLI; (2) Pengembangan penyuluhan<br />

dan infrastruktur pertanian; (3) Pengembangan varietas pa<strong>di</strong> tahan hama dan pola<br />

usahatani konservasi, serta penguatan kelembagaan petani; dan (4) <strong>Peningkatan</strong><br />

akses petani terhadap informasi iklim dan harga, serta intervensi pemerintah dalam<br />

pemasaran hasil.<br />

58. Program-program yang harus <strong>di</strong>jalankan adalah : (1) Intensifikasi usahatani,<br />

penye<strong>di</strong>aan kre<strong>di</strong>t lunak dan peyebar luasan SLI; (2) <strong>Peningkatan</strong> jumlah penyuluh<br />

dan pembangunan serta perbaikan infrastruktur pertanian; (3) Introduksi HYV tahan<br />

hama dan pola usaha konservasi, melalui demplot kelompok serta kemitraan<br />

kelompok tani dengan swasta; dan (4) Pembentukan balai informasi pertanian<br />

tingkat kecamatan dan pembangunan gudang kelompok yang <strong>di</strong>lengkapi fasilitas<br />

penanganan pasca panen serta penguatan modal kelompok tani.<br />

Strategi Kebijakan <strong>Peningkatan</strong> <strong>Kapasitas</strong> <strong>Adaptasi</strong> <strong>Petani</strong> Terhadap Perubahan<br />

Iklim <strong>di</strong> NTT<br />

59. Berdasarkan hasil observasi lapang, <strong>di</strong>skusi kelompok (group interview) <strong>di</strong> tingkat<br />

petani, dan <strong>di</strong>skusi kelompok terfokus (focus group <strong>di</strong>scussion/FGD) secara<br />

partisipatif dengan stakeholders dari berbagai institusi dan komponen masyarakat <strong>di</strong><br />

provinsi NTT, teridentifikasi masing-masing tiga faktor terpenting dari S, W, O, dan T,<br />

sehingga terdapat 12 faktor yang <strong>di</strong>gunakan dalam penyusunan strategi kebijakan.<br />

60. Dalam menggunakan kekuatan (S) dan memanfaatkan peluang (O), dapat<br />

<strong>di</strong>rumuskan minimal dua strategi S-O, yaitu : (1) Introduksi Teknologi Usahatani<br />

Konservasi melalui program SLI untuk Penyuluh Pertanian Lapang dan Kelompok<br />

Tani; dan (2) Pengujian dan pengembangan varietas jagung toleran kekeringan<br />

dengan memanfaatkan lahan yang belum <strong>di</strong>olah. Demikian juga untuk strategi W-O,<br />

strategi S-T, dan W-T <strong>di</strong>susun masing-masing dua strategi, sehingga seluruhnya<br />

terdapat delapan rumusan strategi kebijakan dalam upaya meningkatkan kapasitas<br />

adaptasi petani terhadap perubahan iklim.<br />

61. Dari delapan strategi kebijakan, dapat <strong>di</strong>susun 13 program kebijakan operasional<br />

dalam rangka melaksanakan strategi yang telah <strong>di</strong>rumuskan. Program tersebut<br />

adalah : (1) Sekolah Lapang Iklim untuk Penyuluh Pertanian Lapang dan Kelompok<br />

Tani; (2) Pilot Proyek Pengembangan Usahatani Konservasi <strong>di</strong> tingkat petani; (3)<br />

Pengembangan usahatani jagung menggunakan varietas toleran kekeringan; (4) Uji<br />

adaptasi beberapa varietas jagung toleran kekeringan bekerjasama dengan petani <strong>di</strong><br />

lahan petani; (5) Diseminasi informasi iklim <strong>di</strong> tingkat petani; (6) Pilot proyek<br />

pembuatan embung <strong>di</strong> tingkat petani; (7) Perbaikan pola tanam lahan kering <strong>di</strong><br />

tingkat petani; (8) <strong>Peningkatan</strong> intensitas tanam <strong>di</strong> tingkat petani; (9) Pilot Proyek<br />

Usahatani Alley Cropping <strong>di</strong> tingkat petani; (10) Introduksi teknologi penggunaan<br />

mulsa pada usahatani jagung; (11) Pelatihan teknologi pengeringan, pemipilan,<br />

pengemasan dan penyimpanan jagung <strong>di</strong> tingkat petani; (12) Introduksi teknologi<br />

pemanfaatan pupuk kandang untuk mengurangi penggunaan pupuk an organik; dan<br />

(13) Fasilitasi penguatan kelompok tani.<br />

62. Dalam rangka pelaksanaan berbagai program kebijakan, <strong>di</strong>perlukan penyusunan<br />

skala prioritas. Hal ini sangat penting, mengingat sumberdaya yang terse<strong>di</strong>a (dana,<br />

SDM, dan waktu) terbatas. Penyusunan skala prioritas <strong>di</strong>lakukan dengan cara<br />

penapisan atau penyaringan (screening) berbagai program kebijakan berdasarkan


perkiraan kontribusi, kebutuhan dana, dan efektifitas dari masing-masing program<br />

dalam mencapai tujuan.<br />

63. Berdasarkan hasil penapisan, maka dari 13 alternatif program kebijakan, <strong>di</strong>peroleh<br />

lima urutan program kebijakan yang dapat <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan prioritas dalam upaya<br />

meningkatkan kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Kelima program<br />

tersebut adalah: (1) Pengembangan usahatani jagung menggunakan varietas<br />

toleran kekeringan; (2) Sekolah Lapang Iklim untuk Penyuluh Pertanian Lapang dan<br />

Kelompok Tani; (3) Perbaikan pola tanam lahan kering <strong>di</strong> tingkat petani; (4) Pilot<br />

proyek pembuatan embung <strong>di</strong> tingkat petani; dan (5) Pelatihan teknologi<br />

pengeringan, pemipilan, pengemasan dan penyimpanan jagung <strong>di</strong> tingkat petani.<br />

Kesimpulan<br />

64. Penelitian ini mampu menguraikan perilaku perubahan iklim dan dampak yang<br />

<strong>di</strong>timbulkannya. Demikian juga dengan bentuk dan pola adaptasi petani <strong>di</strong> kedua<br />

lokasi penelitian yang <strong>di</strong>kategorikan sebagai wilayah marginal, terhadap kon<strong>di</strong>si iklim<br />

yang berubah. Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi komponen yang<br />

<strong>di</strong>perlukan komunitas petani <strong>di</strong> kedua lokasi penelitian untuk meningkatkan kapasitas<br />

adaptasinya terhadap perubahan iklim. Sintesis penelitian ini juga berhasil<br />

merumuskan strategi pelaksanaan pengembangan dan merekomen-dasikan<br />

sejumlah program sebagai alternatif kebijakan pembangunan pertanian terkait<br />

dengan perubahan iklim dan kapasitas petani terhadap fenomena iklim.<br />

65. Perilaku perubahan iklim yang sulit <strong>di</strong>ramalkan telah menimbulkan kerugian yang<br />

tidak se<strong>di</strong>kit karena kegagalan panen, baik <strong>di</strong> Jawa Tengah maupun <strong>di</strong> NTT. <strong>Petani</strong><br />

<strong>di</strong> Jawa Tengah dan <strong>di</strong> NTT memiliki pengetahuan lokal tentang iklim secara turuntemurun<br />

(kearifan lokal/in<strong>di</strong>genous knowledge), namun tidak cukup memadai untuk<br />

membantu usahatani mereka karena tidak <strong>di</strong>ikuti oleh antisipasi program yang<br />

terarah dan kegiatan internal usahatani secara berkesinambungan.<br />

66. Dampak negatif yang <strong>di</strong>timbulkannya mencakup (a) perubahan jadwal tanam<br />

(perubahan musim tanam), (b) munculnya hama dan penyakit tanaman, (c)<br />

meningkatnya biaya usahatani), (d) berkurangnya fasilitas pengeringan (penjemuran<br />

selama musim hujan) dengan biaya pengeringan yang lebih tinggi dan<br />

mempengaruhi kualitas hasil pertanian, (e) terja<strong>di</strong>nya banjir yang merusak areal<br />

pertanaman, dan (f) erosi dan pendangkalan sungai sebagai sumber air irigasi.<br />

67. Bentuk dan pola adaptasi petani terhadap perubahan iklim yang selama ini<br />

berlangsung <strong>di</strong>lakukan <strong>di</strong> Provinsi Jawa Tengah dengan (a) membangun long<br />

storage sebagai penampung air, (b) peningkatan kerjasama kelompok tani (gotong<br />

royong) melalui kelembagaan P3A yang <strong>di</strong>bantu oleh pemerintah daerah setempat,<br />

(c) mengubah pola tanam, termasuk penanaman serentak <strong>di</strong>sertai dengan pola<br />

tanam pada lahan irigasi teknis dengan pola bu<strong>di</strong>daya hemat air (pola SRI) dan pada<br />

lahan non irigasi teknis dengan bu<strong>di</strong>daya gogo rancah (pemanfaatan air dangkal).<br />

Sementara itu, petani Provinsi NTT melakukan adaptasi melalui tiga strategi, yaitu<br />

(a) bertahan (menanam tanaman secara berulang dengan pertimbangan aspek<br />

ekonomi dan pasrah kepada keadaan), (b) agresif (mengganti jenis tanaman,<br />

mengubah pola tanam, menerapkan inovasi pemanenan air dengan embung dan<br />

sumur, serta menunggu informasi curah hujan, dan (c) antisipatif (menyiapkan input<br />

yang cukup, mengalihkan usaha dari on-farm ke off-farm, dan memanfaatkan<br />

pengetahuan spesifik lokal).


68. Di Provinsi Jawa Tengah, faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas adaptasi<br />

petani terhadap perubahan ikllim, <strong>di</strong>antaranya adalah: (1) faktor <strong>di</strong>luar kegiatan<br />

usahatani/pemanfaatan informasi iklim yang ada: (a) kon<strong>di</strong>si geografis yang tidak<br />

rata, (b) dukungan kebijakan pemerintah daerah yang masih kurang memadai, dan<br />

(c) rendahnya akses terhadap informasi iklim dan kurangnya tenaga penyuluh atau<br />

pendamping untuk membantu membaca dan menginterpretasikan informasi iklim<br />

yang ada; (2) faktor terkait dengan pelaksanaan usahatani: (a) keterbatasan<br />

pengetahuan dan kemampuan petani mengakses dan menginterpretasikan informasi<br />

iklim, (b) belum memadainya sarana dan prasarana usahatani, dan (c) keterbatasan<br />

modal usahatani yang menyulitkan petani memutuskan penerapan teknologi tertentu<br />

terkait dengan antisipasi perubahan iklim.<br />

69. Di Provinsi NTT, faktor <strong>di</strong>luar kegiatan usahatani adalah: (a) faktor teknis (informasi<br />

iklim, pemahaman pola tanam, keragaman cabang usahatani, dan kemampuan<br />

mengubah jenis tanaman), (b) faktor sosial (keragaman budaya konsumsi<br />

masyarakat, kebiasaan petani mencari makanan, dan kultur turun-temurun tentang<br />

kebiasaan menanyakan prakiraan cuaca/keadaan iklim kepada orang pintar, seperti<br />

atoin ama pada suku Timor, rato suku Sumba, mone ama suku Sabu), dan (c)<br />

kelembagaan (pengetahuan lokal membaca tanda-tanda secara alami, seperti bunyi<br />

burung coco<strong>di</strong>kuk, bambu berbunga, dan kebijakan/regulasi terkait dengan<br />

kurangnya informasi <strong>di</strong>ni tentang iklim dan lemahnya <strong>di</strong>seminasi informasi tentang<br />

aspek perubahan iklim). Faktor terkait dengan pelaksanaan usahatani adalah: (a)<br />

berkurangnya areal hutan, dan (b) bertambahnya jumlah penduduk.<br />

Implikasi Kebijakan<br />

70. Opsi kebijakan yang dapat <strong>di</strong>ambil sesuai dengan hasil penelitian ini antara lain<br />

adalah: (1) Pengembangan bu<strong>di</strong>daya tanaman pangan dan sekolah lapang iklim<br />

(SLI); (2) <strong>Peningkatan</strong> layanan penyuluhan dan infrastruktur pertanian; (3)<br />

Pengembangan varietas jagung toleran kekeringan dan pola usahatani konservasi,<br />

serta penguatan kelembagaan petani; dan (4) <strong>Peningkatan</strong> akses petani terhadap<br />

informasi iklim dan harga, serta intervensi pemerintah dalam pemasaran hasil.<br />

71. Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten harus secara optimal bekerjasama dengan<br />

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Perguruan Tinggi, untuk<br />

memfasilitasi para penyuluh pertanian dengan sekolah lapang iklim <strong>di</strong> wilayah<br />

kerjanya masing-masing. Demikian juga bagi kelompok tani, program ini sangat<br />

penting, agar petani dapat mengadaptasikan <strong>di</strong>rinya terhadap perubahan iklim dan<br />

mengantisipasi kemungkinan dampak buruk dari perubahan iklim tersebut.<br />

72. Khusus untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur, pengembangan usahatani jagung<br />

menggunakan varietas toleran kekeringan, sangat penting artinya bagi penerapan<br />

teknologi, dalam rangka penyesuaian <strong>di</strong>ri terhadap ketidak-pastian hujan akibat<br />

perubahan iklim. Program ini <strong>di</strong>harapkan dapat menyelamatkan petani dari<br />

kegagalan panen akibat tanaman jagungnya kekeringan. Untuk itu, Dinas Pertanian<br />

Provinsi dan Kabupaten bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian<br />

(BPTP) setempat dan Perguruan Tinggi, hendaknya lebih intensif dan memiliki<br />

mekanisme kerjasama mengembangkan varietas jagung toleran kekeringan dalam<br />

rangka peningkatan produksi tanaman pangan dan pendapatan petani.<br />

73. Perbaikan pola tanam sangat mungkin <strong>di</strong>lakukan dengan memanfaatkan data<br />

sebaran curah hujan bulanan selama beberapa tahun. Jika selama ini petani<br />

menanam jagung pada lahan tegalan sekali dalam setahun, maka dengan<br />

menggeser waktu tanam dari minggu kedua Desember menja<strong>di</strong> minggu ketiga


November, maka masih ada peluang menanam kedelai atau kacang hijau setelah<br />

panen jagung.<br />

74. Pelatihan tentang penerapan teknologi pasca panen (pengeringan, pemipilan,<br />

pengepakan dan penyimpanan jagung) sangat penting artinya bagi peningkatan<br />

mutu jagung untuk memperoleh harga yang baik.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!