06.11.2014 Views

Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis ... - BPK Penabur

Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis ... - BPK Penabur

Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis ... - BPK Penabur

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Opini<br />

<strong>Peran</strong> <strong>Guru</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Membangun</strong> <strong>Kesadaran</strong><br />

<strong>Peran</strong> <strong>Guru</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Membangun</strong><br />

<strong>Kesadaran</strong> <strong>Kritis</strong> Siswa<br />

Elika Dwi Murwani *)<br />

Abstrak<br />

<strong>Kesadaran</strong> kritis lebih melihat pada aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Ciri-ciri pokok dari<br />

pembelajaran yang membangun kesadaran kritis adalah belajar dari realitas atau pengalaman, tidak menggurui<br />

dan dialogis. Pola pembelajaran searah kurang dapat menumbuhkan kesadaran kritis. <strong>Peran</strong> guru yang lebih<br />

tepat untuk membangun kesadaran kritis adalah sebagai fasilitator, dan siswa sebagai subjek bukan objek<br />

pembelajaran.<br />

Kata kunci : <strong>Peran</strong> guru, siswa, pembelajaran, kesadaran ktitis<br />

The critical consciousness tends to see the system and structural aspect as a problem source.The main<br />

feature in developing the critical consciousness is learning from reality or experience, not dictating but<br />

interacting. One way instructional process does not develop the critical consciousness<br />

In improving the critical consciousness the teacher is expected to act more as a fasilitator, and the student<br />

plays as the subject, not the object of learning process.<br />

H<br />

Pendahuluan<br />

al yang sangat sering kita dengar <strong>dalam</strong><br />

dekade terakhir ini adalah menurunnya<br />

mutu pendidikan, darimana masyarakat<br />

menilai? Apa yang diamati oleh<br />

masyarakat adalah anak sekarang tidak dapat<br />

memahami hal-hal yang sederhana yang terjadi<br />

di sekelilingnya baik <strong>dalam</strong> fungsi hitungmenghitung,<br />

fungsi sosial, maupun perilaku dan<br />

moral mereka. Mereka lebih senang tawuran<br />

daripada belajar padahal mereka diberi pelajaran<br />

Pendidikan Moral Pancasila yang sarat dengan<br />

nilai-nilai moral dan etika selama bertahun-tahun,<br />

mereka lebih senang membuat gaduh dan tidak<br />

tertib daripada berkreasi, mereka cenderung<br />

menginginkan segala sesuatu yang instan tanpa<br />

mau bersusah payah dan berpikir keras, inisiatif<br />

serta kreativitas mereka terbatas. Dimana letak<br />

kesalahan pendidikan kita? Siapa yang salah?<br />

Para siswa, orang tua, pendidik, sistem<br />

pendidikan kita atau Pemerintah sebagai<br />

pengambil kebijakan?<br />

Sistem pendidikan kita membatasi setiap ruang<br />

gerak anak. Anak tidak mempunyai kebebasan<br />

untuk mengungkapkan apa saja yang menjadi<br />

buah pemikirannya. Mereka “ditakdirkan” hanya<br />

cukup menerima pemberian guru. Sebab jargon<br />

yang mengatakan bahwa “guru tahu segalanya”<br />

masih banyak berlaku sehingga sistem yang<br />

berjalan adalah satu arah, hanya dari guru ke anak.<br />

Tidak ada informasi dari anak ke guru, atau timbal<br />

balik keduanya. Bukan hanya guru, tetapi<br />

pendidikan secara menyeluruh telah menciptakan<br />

generasi inggah-inggih (generasi “asal bapak<br />

senang).<br />

Dari diskusi siswa-siswi di suatu sekolah di<br />

Jakarta yang dimuat <strong>dalam</strong> majalah Basis,<br />

Menggugat Dunia Pendidkan Kita, 1998,: “Menurut<br />

pandangan kami yang dimaksud dengan<br />

“mencerdaskan” adalah membentuk manusia<br />

yang mempunyai pola pikir yang logis, kritis dan<br />

reflektif, serta mampu mengungkapkan isi<br />

pikirannya, berwawasan luas dan mempunyai<br />

daya analisis yang tajam”. Sementara sistem<br />

pendidikan sekarang ibarat gelas kecil yang diisi<br />

penuh air melalui selang pemadam kebakaran,<br />

pada akhirnya akan tumpah ruah karena tidak<br />

dapat lagi menampung air yang disemprotkan.<br />

*) Kepala Jenjang SMAK <strong>BPK</strong> PENABUR Jakarta<br />

Jurnal Pendidikan <strong>Penabur</strong> - No.06/Th.V/Juni 2006<br />

59


<strong>Peran</strong> <strong>Guru</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Membangun</strong> <strong>Kesadaran</strong> <strong>Kritis</strong> Siswa<br />

Tidak dapat dipungkiri kalau sistem<br />

pendidikan seperti ini akan mematikan<br />

kreativitas, sikap kritis dan potensi siswa.<br />

Pendidikan justru membawa para siswa menjadi<br />

‘jauh’ dari lingkungannya, tidak peka terhadap<br />

lingkungannya sendiri karena hanya<br />

mementingkan hal-hal yang bersifat akademis dan<br />

materiil. Pelajaran-pelajaran hanya diberikan<br />

secara teoritis belaka tanpa ditelaah secara<br />

men<strong>dalam</strong> dan mengkritisinya serta diterapkan<br />

<strong>dalam</strong> kehidupan sehari-hari, sehingga pelajaranpelajaran<br />

tersebut tidak bermanfaat.<br />

Hal-hal tersebut di atas membuat siswa tumbuh<br />

dan dibentuk menjadi pribadi-pribadi yang<br />

individualis, dangkal dan lama kelamaan akan<br />

menanamkan sifat “emang gue pikirin”, sementara<br />

guru-guru hanya melaksanakan tugasnya sebagai<br />

pengajar, bukan sebagai pendidik karena mereka<br />

hanya mengejar target materi-materi kurikulum.<br />

Salah satu kelemahan utama pendidikan kita<br />

adalah tidak membangun kesadaran kritis siswa<br />

<strong>dalam</strong> belajar. Kita lebih banyak menjejalkan<br />

pengetahuan ke <strong>dalam</strong> otak siswa tanpa mau tahu<br />

apakah pengetahuan yang kita berikan diserap<br />

dengan baik atau tidak karena kita hanya<br />

menuntut mereka untuk menghafalkan apa yang<br />

kita berikan. Tidak heran kalau siswa sering kali<br />

menjawab “tidak tahu” jika guru bertanya sesuatu<br />

yang baru saja diajarkan<br />

kepada mereka. Dalam<br />

taxonomi Bloom tingkat<br />

belajar yang paling rendah<br />

adalah menghafal dan ini<br />

sudah menjadi pola belajar<br />

siswa kita bahkan sampai<br />

tingkat mahasiswa<br />

sekalipun. Bagaimana<br />

mungkin otak mereka<br />

mampu menyerap secara<br />

men<strong>dalam</strong> ilmu pengetahuan<br />

yang kita berikan karena<br />

terlalu banyaknya bahan<br />

pelajaran yang kita berikan, dengan demikian<br />

pengetahuan itu tidak sempat mengendap dan<br />

dicerna dengan baik. Apa yang dilakukan oleh<br />

para guru selama ini adalah sesuatu yang sia-sia.<br />

Sungguh keprihatinan yang luar biasa karena<br />

pekerjaan mulia para guru ini kurang bermanfaat<br />

bagi perkembangan anak didik.<br />

Lalu pertanyaannya menjadi, apakah yang<br />

hendak kita capai melalui pendidikan untuk anakanak<br />

kita? Orang tua mengharapkan anaknya<br />

bertumbuh menjadi manusia yang mandiri dan<br />

Berpikir kritis merupakan<br />

salah satu ciri manusia yang<br />

cerdas. Akan tetapi berpikir<br />

kritis akan terjadi apabila<br />

didahului dengan kesadaran<br />

kritis yang diharapkan dapat<br />

ditumbuhkembangkan<br />

melalui pendidikan.<br />

mampu menentukan pilihan-pilihannya secara<br />

bertanggung jawab. Untuk itu diperlukan<br />

kesadaran kritis mengenai tanggung jawab<br />

sebagai manusia. Lalu mengapa kita tidak<br />

membangun kesadaran kritis para siswa untuk<br />

belajar sesuatu yang lebih berguna, dengan<br />

demikian siswa akan belajar “living value”.<br />

Masalah<br />

Berpikir kritis merupakan salah satu ciri manusia<br />

yang cerdas. Akan tetapi berpikir kritis akan terjadi<br />

apabila didahului dengan kesadaran kritis yang<br />

diharapkan dapat ditumbuh kembangkan melalui<br />

pendidikan. Tulisan ini mencoba menelaah peran<br />

guru untuk membangun kesadaran kritis siswanya.<br />

Disadari bahwa guru mengemban berbagai peran<br />

sebagai pembelajar di sekolah, akan tetapi telaah<br />

berikut ini dibatasi pada perannya <strong>dalam</strong><br />

membangun kesadaran kritis siswa.<br />

Tinjauan Teoritis<br />

Filsafat Pendidikan Paulo Fraire<br />

Paulo Fraire, seorang ahli pendidikan dari Brazilia,<br />

(1921–1997) banyak mengkritisi teori-teori dan<br />

praktek pendidikan pada jamannya. Dalam<br />

bukunya yang terkenal yakni<br />

Pedagogy of Opressed, 1978<br />

(Pendidikan Kaum Tertindas)<br />

dan Cultural Action for Freedom,<br />

1977 (Gerakan<br />

Kebudayaan Untuk<br />

Kemerdekaan),<br />

menggolongkan kesadaran<br />

manusia menjadi tiga kategori<br />

: <strong>Kesadaran</strong> magis, kesadaran<br />

naïf dan kesadaran kritis.<br />

<strong>Kesadaran</strong> magis (magical<br />

consciousness), adalah suatu<br />

kesadaran masyarakat yang<br />

tidak mampu mengetahui kaitan antara suatu<br />

faktor dengan faktor lainnya. Dalam dunia<br />

pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak<br />

mampu melakukan analisis terhadap suatu<br />

masalah maka proses belajar mengajar tersebut<br />

<strong>dalam</strong> prespektif Freirean disebut sebagai<br />

pendidikan fatalistic. Proses pendidikan modern<br />

ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan<br />

antara sistem dan struktur terhadap suatu<br />

permasalahan masyarakat. Murid secara dogmatik<br />

menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada<br />

mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi<br />

60 Jurnal Pendidikan <strong>Penabur</strong> - No.06/Th.V/Juni 2006


<strong>Peran</strong> <strong>Guru</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Membangun</strong> <strong>Kesadaran</strong><br />

dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.<br />

<strong>Kesadaran</strong> naif (naival consciousness), kesadaran<br />

ini lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar<br />

penyebab masalah masyarakat. Pendidikan <strong>dalam</strong><br />

konteks ini tidak mempertanyakan sistem dan<br />

struktur yang ada sudah baik dan benar.<br />

Semuanya merupakan faktor “given” dan oleh<br />

sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas<br />

pendidikan adalah bagaimana membuat dan<br />

mengarahkan agar siswa dapat masuk<br />

beradaptasi dengan sistem yang sudah benar<br />

tersebut.<br />

<strong>Kesadaran</strong> kritis (critical consciousness),<br />

kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan<br />

struktur sebagai sumber masalah. Paradigma<br />

kritis <strong>dalam</strong> pendidikan, melatih siswa dapat<br />

untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’<br />

<strong>dalam</strong> sistem dan struktur yang ada, kemudian<br />

mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan<br />

struktur itu bekerja, serta bagaimana<br />

mentransformasikannya.<br />

Bagi Fraire pendidikan haruslah berorientasi<br />

kepada pengenalan realitas diri manusia dan<br />

dirinya sendiri, sistem pendidikan yang ada<br />

selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah<br />

“bank” (banking concept of education). Pelajar diberi<br />

ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat<br />

mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Jadi<br />

anak didik sebagai objek investasi dan sumber<br />

deposito potensial.<br />

Secara sederhana Fraire menyusun daftar<br />

antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai<br />

berikut :<br />

<strong>Guru</strong> mengajar, murid belajar.<br />

<strong>Guru</strong> tahu segalanya, murid tidak tahu apaapa.<br />

<strong>Guru</strong> berpikir, murid dipikirkan.<br />

<strong>Guru</strong> bicara, murid mendengarkan.<br />

<strong>Guru</strong> mengatur, murid diatur.<br />

<strong>Guru</strong> memilih dan memaksakan pilihannya,<br />

murid menuruti.<br />

<strong>Guru</strong> bertindak, murid membayangkan<br />

bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan<br />

gurunya.<br />

<strong>Guru</strong> memilih apa yang akan diajarkan, murid<br />

menyesuaikan diri.<br />

<strong>Guru</strong> mengacaukan wewenang ilmu<br />

pengetahuan dengan wewenang<br />

profesionalismenya, mempertentangkannya<br />

dengan kebebasan murid-murid.<br />

<strong>Guru</strong> adalah subyek proses belajar, murid<br />

obyeknya.<br />

Oleh karena guru yang menjadi pusat<br />

segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja<br />

jika kemudian murid-murid mengidentifikasikan<br />

diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal<br />

yang harus digugu dan ditiru. Sistem pendidikan<br />

yang bersifat satu arah yang menjadikan guru<br />

sebagai subjek dan murid sebagai objek melahirkan<br />

hubungan yang otoriter antara guru dan murid.<br />

Pada saatnya sistem dan praktek pendidikan<br />

seperti itu melahirkan generasi baru manusiamanusia<br />

penindas.<br />

Bagi Fraire, sistem pendidikan sebaiknya harus<br />

menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat<br />

manusia. Sistem pendidikan mapan selama ini<br />

telah menjadikan anak didik sebagai manusiamanusia<br />

yang terasing dan tercerabut (disinherited<br />

masses) dari realita dirinya sendiri dan karena ia<br />

telah dididik menjadi seperti orang lain yang<br />

bukan dirinya sendiri.<br />

Manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari<br />

fungsi berpikir, berbicara dan berbuat.<br />

Kemanunggalan karsa, kata dan karya disebut<br />

praxis. Prinsip praxis inilah yang menjadi<br />

kerangka dasar sistem dan metodologi pendidikan<br />

Fraire. Seperti yang digambarkan <strong>dalam</strong> diagram<br />

di bawah ini :<br />

Bertindak<br />

Bertindak<br />

Dst ...<br />

Berpikir<br />

Berpikir<br />

Gambar 1: Kerangka Dasar Sistem dan metodologi<br />

Pendidikan Praire<br />

Dengan aktif bertindak dan aktif berpikir<br />

sebagai pelaku, dengan terlibat langsung <strong>dalam</strong><br />

permasalahan nyata, dan <strong>dalam</strong> suasana yang<br />

dialogis, maka pendidikan segera menumbuhkan<br />

kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa<br />

takut akan kemerdekaan” (fear of freedom). Proses<br />

kesadaran seseorang merupakan proses inti atau<br />

hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia<br />

kesadaran seseorang tidak boleh berhenti atau<br />

mandeg, harus senantiasa berproses, berkembang<br />

dan meluas dari satu tahap ke tahap berikutnya,<br />

dari tingkat “kesadaran naïf” sampai ketingkat<br />

“kesadaran kritis”, sampai akhirnya mencapai<br />

tingkat kesadaran tertinggi dan ter<strong>dalam</strong> yaitu<br />

“kesadarannya kesadaran” (the consice of the<br />

consiousness).<br />

Jurnal Pendidikan <strong>Penabur</strong> - No.06/Th.V/Juni 2006<br />

61


<strong>Peran</strong> <strong>Guru</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Membangun</strong> <strong>Kesadaran</strong> <strong>Kritis</strong> Siswa<br />

Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat<br />

kesadaran kritis terhadap realitas, maka orang<br />

itupun mulai masuk ke <strong>dalam</strong> proses pengertian<br />

dan bukan proses menghafal semata-mata. Ia<br />

menjadi orang yang mengerti bukanlah orang<br />

yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau<br />

sesuatu berdasarkan suatu “kesadaran”,<br />

sedangkan orang yang menghafal hanya<br />

menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis<br />

tanpa perlu sadar apa yang dikatakannya,<br />

darimana ia telah menerima hafalan yang<br />

dinyatakannya, dan untuk apa ia menyatakannya.<br />

Berpikir <strong>Kritis</strong><br />

Seseorang yang telah mencapai kesadaran kritis<br />

akan dapat berpikir kritis, tidak membeo saja, tetapi<br />

dapat melontarkan pertanyaan dan tanggapan<br />

kritis. Kita membutuhkan orang-orang yang<br />

mampu berpikir kritis untuk dapat menjawab<br />

tantangan masa depan pada era globalisasi yang<br />

serba tidak pasti dan berubah sangat cepat.<br />

Berpikir kritis mencakup seluruh proses<br />

mendapatkan, membandingkan, menganalisis,<br />

mengevaluasi, internalisasi dan bertindak<br />

melampaui ilmu pengetahuan dan nilai-nilai.<br />

Berpikir kritis bukan sekedar berpikir logis sebab<br />

berpikir kritis harus memiliki keyakinan <strong>dalam</strong><br />

nilai-nilai, dasar pemikiran dan percaya sebelum<br />

didapatkan alasan yang logis dari padanya (Steven<br />

D. Schafersman, 1998). Berpikir kritis berarti<br />

berpikir tepat <strong>dalam</strong> pencarian relevansi dan andal<br />

tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai tentang<br />

dunia. Berpikir kritis adalah berpikir yang<br />

beralasan, reflektif, bertanggung jawab dan<br />

terampil berpikir yang fokus <strong>dalam</strong> pengambilan<br />

keputusan yang dapat dipercaya.<br />

Seseorang yang berpikir kritis dapat<br />

mengajukan pertanyaan dengan tepat,<br />

memperoleh informasi yang relevan, efektif dan<br />

kreatif <strong>dalam</strong> memilah-milah informasi, alasan<br />

logis dari informasi, sampai pada kesimpulan<br />

yang dapat dipercaya dan meyakinkan tentang<br />

dunia yang memungkinkan untuk hidup dan<br />

beraktifitas dengan sukses di <strong>dalam</strong>nya. Adalah<br />

tidak mungkin untuk mendapatkan aktualisasi<br />

diri tanpa melatih berpikir kritis. Kebiasaan<br />

berpikir kritis itu tidak akan terjadi tanpa didahului<br />

oleh kesadaran kritis.<br />

<strong>Peran</strong> <strong>Guru</strong><br />

<strong>Peran</strong> guru <strong>dalam</strong> pendidikan formal (sekolah)<br />

adalah “mengajar”. Saat ini banyak guru yang<br />

karena kesibukannya <strong>dalam</strong> mengajar lupa bahwa<br />

siswa yang sebenarnya harus belajar. Jika guru<br />

secara intensif mengajar tetapi siswa tidak intensif<br />

belajar maka terjadilah kegagalan pendidikan formal.<br />

Jika guru sudah mengajar tetapi murid belum<br />

belajar maka guru belum mampu membelajarkan<br />

murid.<br />

Menurut Yamamoto, belajar mengajar akan<br />

mencapai titik optimal ketika guru dan murid<br />

mempunyai intensitas belajar yang tinggi <strong>dalam</strong><br />

waktu yang bersamaan. Kedudukan guru dan<br />

siswa haruslah dianggap sejajar <strong>dalam</strong> belajar, jika<br />

kita memandang siswa adalah subyek pendidikan<br />

(Sumarsono, 1993). <strong>Guru</strong> dan siswa sama-sama<br />

belajar, kebenaran bukan mutlak di tangan guru.<br />

<strong>Guru</strong> harus memberi kesempatan seluas-luasnya<br />

bagi siswa untuk belajar dan memfasilitasinya agar<br />

siswa dapat mengaktualisasikan dirinya untuk<br />

belajar. <strong>Guru</strong>pun harus mengembangkan<br />

pengetahuannya secara meluas dan men<strong>dalam</strong><br />

agar dapat memfasilitasi siswanya. Inilah peran<br />

guru dari guru.<br />

Kesalahan fatal yang dilakukan pendidik orang dewasa<br />

adalah usaha <strong>dalam</strong> mendefinisikan fungsi dirinya<br />

sebagai pelaku tunggal bagi perubahan tingkah laku dan<br />

berbuat seolah-olah tugas prinsipnya adalah untuk<br />

mengkomunikasikan ide-ide, mendesain latihan (exercise),<br />

untuk mengembangkan pengetahuan,<br />

keterampilan atau sikap tertentu untuk menentukan<br />

perubahan tingkah laku dan melakukan survey untuk<br />

mendeteksi kebutuhan. (Kezirow,1987)<br />

Di samping orang tua, pelaku utama<br />

pendidikan adalah guru, sehingga seringkali guru<br />

<strong>dalam</strong> paradigma lama berlaku sebagai sumber<br />

utama ilmu pengetahuan dan menjadi segalagalanya<br />

<strong>dalam</strong> pengajaran. <strong>Guru</strong> adalah orang<br />

yang digugu dan ditiru, sehingga tak pelak lagi guru<br />

menjadi orang yang setengah didewakan oleh<br />

anak didiknya. Tetapi peran guru yang sentral<br />

<strong>dalam</strong> pendidikan kurang berpengaruh terhadap<br />

pembelajaran siswanya. Hal ini tentunya sebatas<br />

hubungan formal yang tidak men<strong>dalam</strong> <strong>dalam</strong><br />

membangun kesadaran siswa untuk belajar<br />

dengan sepenuh hatinya.<br />

<strong>Guru</strong> pada era sekarang bukan satu-satunya<br />

sumber pengetahuan karena begitu luas dan cepat<br />

akses informasi yang menerpa kita, sehingga tidak<br />

mungkin seseorang dapat menguasai begitu luas<br />

dan <strong>dalam</strong>nya ilmu pengetahuan serta<br />

perkembangannya. Akan lebih tepat jika guru<br />

berlaku sebagai fasilitator bagi para siswanya<br />

sehingga siswa memiliki kepandaian <strong>dalam</strong><br />

memperoleh informasi, belajar memecahkan<br />

62 Jurnal Pendidikan <strong>Penabur</strong> - No.06/Th.V/Juni 2006


<strong>Peran</strong> <strong>Guru</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Membangun</strong> <strong>Kesadaran</strong><br />

masalah, menarik kesimpulan, menuliskan,<br />

mengekspresikan apa yang diketahuinya, ini akan<br />

membuat siswa menjadi seorang pembelajar yang<br />

luar biasa.<br />

Ki Hajar Dewantoro merumuskan peran guru<br />

<strong>dalam</strong> mendidik di sekolah sebagai berikut ing<br />

ngarso sung tulodo, di depan memberi teladan, ing<br />

madyo mangun karso, di tengah membangun<br />

kreativitas dan tut wuri handayani, di belakang<br />

memberi semangat. Hingga sekarang peran ini<br />

masih aktual dan menjadi dasar dari semua peran<br />

yang dijalankan seorang guru <strong>dalam</strong> mendidik,<br />

bagaimana guru berperan sebagai teladan, mediator<br />

sekaligus motivator <strong>dalam</strong> proses<br />

pembelajaran, dengan pendekatan/metode<br />

apapun yang digunakan oleh guru.<br />

Pendidikan abad ke-21 diprediksi akan jauh<br />

berbeda dengan sebelumnya sehingga UNESCO<br />

pada tahun 1977 sudah mulai menggali esensi dari<br />

pendidikan dan kemudian memperkenalkan The<br />

Four Pillars of Education, yaitu Learning to know,<br />

Learning to do, Learning to live together, dan Learning<br />

to be, untuk mengantisipasi perubahan yang bukan<br />

hanya linier tetapi mungkin eksponensial yang<br />

diantisipasi akan terjadi di masyarakat yang<br />

mengglobal.<br />

Pembahasan<br />

Paolo Fraire mencoba untuk mengungkapkan<br />

kondisi kemanusiaan yang sedemikian rapuh<br />

<strong>dalam</strong> masyarakat kita dengan kejujuran tanpa<br />

tedeng aling-aling. Pernyataan-pernyataan Fraire<br />

memang sering kontroversial, meletup-letup dan<br />

memancing banyak pertanyaan bahkan kritik,<br />

namun fakta yang diungkapkannya adalah<br />

realitas tak terbantahkan di hampir semua, negara<br />

dunia ketiga. Dalam model banking seperti yang<br />

diuraikan oleh Fraire, guru sangat aktif dan siswa<br />

menjadi pasif <strong>dalam</strong> proses belajar mengajar di<br />

sekolah. <strong>Guru</strong>lah yang berkuasa untuk<br />

menentukan semuanya, sedangkan siswa hanya<br />

menurut saja. Siswa dijadikan objek dan tidak<br />

mempunyai hak untuk ikut menentukan. Aktor<br />

utama adalah guru bukan siswa. Hal itu tampak<br />

praktek guru seperti indoktrinasi sedangkan siswa<br />

hanya menerima apa yang diajarkan guru dan<br />

tidak boleh bertanya apalagi bersikap kritis.<br />

<strong>Guru</strong> seringkali menekankan pada hanya ada<br />

satu nilai/jawaban yang benar, juga guru<br />

mengharuskan siswa untuk menggunakan satu<br />

jalan saja, tanpa boleh menggunakan cara lain.<br />

Jika siswa mengungkapkan gagasan alternatif,<br />

selalu disalahkan. Hal ini kadang disebabkan<br />

karena guru sendiri tidak memiliki pengetahuan<br />

yang luas sehingga tidak memahami ada<br />

bermacam-macam alternatif jawaban. Seringkali<br />

guru beranggapan siswa yang banyak bertanya<br />

sebagai pengganggu, apalagi kalau<br />

pertanyaannya tidak dapat dijawab oleh guru.<br />

Pola pengajaran demikian membuat siswa kita<br />

tidak kreatif, tertekan, tidak bebas <strong>dalam</strong><br />

mengungkapkan pemikirannya. Jika kita ingin<br />

mengubah pendidikan kita maka metode<br />

pengajaran di atas perlu diubah dengan metode<br />

pengajaran yang membuat siswa aktif, model<br />

multinilai dan multikebenaran, bebas berbicara,<br />

diperbolehkan salah, metode ilmiah dengan<br />

pencarian bebas, berpikir kritis, membahas<br />

masalah masyarakat secara terbuka, hubungan<br />

guru-siswa dialogis (Paul Suparno, 1999)<br />

Seperti yang diungkapkan Andy Hakim<br />

Nasoetion, <strong>dalam</strong> Ilmu untuk Kehidupan dan<br />

Penghidupan, seorang murid SD dari suatu desa<br />

mengajukan pertanyaan kritis sebagai berikut:<br />

“Kalau saya seorang astronut dan membawa kipas<br />

ke ruang angkasa, kemudian saya kipas-kipaskan,<br />

apakah akan terjadi angin?”. Disusul oleh<br />

pertanyaan dari seorang murid SMP sebagai<br />

berikut: “Kalau saya nyalakan lilin, nyalanya<br />

menuju ke atas. Akan tetapi, kalau lilin itu saya<br />

balikkan sumbunya kearah bawah, mengapa<br />

nyalanya tidak mengarah ke bawah, melainkan<br />

ke atas juga sehingga melelehkan ujung lilin itu<br />

lebih cepat?”. Ternyata pertanyaan-pertanyaan itu<br />

cukup sukar dijawab oleh para guru, guru tidak<br />

siap <strong>dalam</strong> menjawab pertanyaan kritis dari<br />

muridnya. <strong>Guru</strong> tidak suka merangsang murid<br />

untuk bertanya karena pengetahuan guru yang<br />

terbatas dan tidak memahami konsep-konsep sains<br />

secara men<strong>dalam</strong>.<br />

<strong>Guru</strong> harus menjadi agen perubahan dengan<br />

mengubah paradigma berpikirnya terlebih dulu.<br />

<strong>Guru</strong> harus siap dan dapat mengantisipasi <strong>dalam</strong><br />

menghadapi setiap perubahan yang terjadi, karena<br />

dengan memberi kebebasan bagi siswa untuk<br />

berpikir dan berekplorasi maka seringkali apa yang<br />

dipikirkan dan ditemukannya berbeda dengan apa<br />

yang selama ini menjadi pemahaman guru. Di<br />

samping itu guru harus terus menerus<br />

mengaktualisasikan diri, belajar memperluas dan<br />

memper<strong>dalam</strong> pengetahuannya agar dapat<br />

memfasilitasi siswa <strong>dalam</strong> belajar. <strong>Guru</strong> harus<br />

membuat dirinya kompeten dan profesional. Hal<br />

ini berarti guru perlu secara terus menerus<br />

mengembangkan kemampuannya <strong>dalam</strong><br />

menguasai disiplin ilmu yang diajarkannya serta<br />

Jurnal Pendidikan <strong>Penabur</strong> - No.06/Th.V/Juni 2006<br />

63


<strong>Peran</strong> <strong>Guru</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Membangun</strong> <strong>Kesadaran</strong> <strong>Kritis</strong> Siswa<br />

metodologi pembelajaran. <strong>Guru</strong> diharapkan<br />

memberdayakan siswanya <strong>dalam</strong> proses<br />

pembelajaran sehingga siswa benar-benar<br />

memperoleh pengalaman belajar melalui metode<br />

pembelajaram yang tepat.<br />

Metode Ceramah<br />

Di antara berbagai metode pembelajaran siswa,<br />

metode ceramah banyak dipergunakan oleh guru<br />

<strong>dalam</strong> berbagai situasi dan tujuan. Pada masa lalu,<br />

dan mungkin juga sampai sekarang, banyak<br />

orang berpendapat seseorang yang disebut sebagai<br />

guru berdiri di depan kelas sementara yang lain<br />

duduk diam mendengarkan dan melaksanakan<br />

perintahnya. Metode ini hingga sekarang masih<br />

berlaku. Pusat pengetahuan hanya ada pada sang<br />

guru. Metode mengajar seperti ini kurang<br />

mengaktifkan siswa untuk memperoleh ilmu<br />

pengetahuan dan belajar tentang nilai-nilai.<br />

Belajar secara aktif akan lebih baik jika proses<br />

belajar itu didorong oleh metode pengembangan<br />

kemampuan dan pengetahuan yang diproses dari<br />

pengalaman masing-masing. Metode ini akan<br />

menimbulkan suatu pengalaman belajar yang lain<br />

yang lebih menantang baik bagi guru maupun<br />

siswa. <strong>Guru</strong> akan berperan sebagai fasilitator yang<br />

mendorong semangat belajar siswanya, dan<br />

menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan.<br />

Kerugian dari Mendengarkan<br />

<strong>dalam</strong> Metode Ceramah<br />

Diakui bahwa metode ceramah efektif untuk<br />

penyampaian pelajaran yang bersifat kognitif<br />

dengan jumlah siswa yang besar <strong>dalam</strong> suatu<br />

kelas. Akan tetapi penggunaan metode ini secara<br />

tidak tepat dapat menimbulkan hal-hal negatif<br />

sebagai berikut:<br />

1. Pengetahuan yang disampaikan hanya<br />

didasarkan pada apa yang dimiliki<br />

penceramahnya, ibarat komunikasi maka<br />

hanya satu arah tanpa peran partisipan, dan<br />

tak ada umpan balik dari pendengarnya.<br />

2. Ada kesenjangan pengetahuan antara<br />

penceramah dan pendengarnya.<br />

Anggapannya peserta adalah orang yang<br />

tidak berpengetahuan sama sekali sehingga<br />

harus diisi.<br />

3. Peserta hanya menerima informasi secara<br />

pasif, maka mereka akan cepat bosan dan<br />

lelah.<br />

4. Metode kuliah menekankan pada transfer<br />

informasi dan fakta, lebih banyak<br />

mengandalkan pesan-pesan dari informasi<br />

dibandingkan denga faktanya.<br />

5. Rentang waktu peserta untuk dapat<br />

berkonsentrasi penuh sangat terbatas, apalagi<br />

ceramah dengan suara monoton. Rata-rata<br />

orang melupakan 50% dari apa yang mereka<br />

dengar.<br />

6. Penceramah biasanya tidak memiliki cara<br />

untuk memastikan seberapa jauh para peserta<br />

menangkap dan memahami apa yang<br />

disampaikan penceramah, apalagi jika tidak<br />

ditinjau ulang selama ceramah atau setelah<br />

ceramah.<br />

Metode ceramah tidak membuat siswa berpikir<br />

secara aktif, apalagi kritis sehingga metode ini tidak<br />

tepat untuk dapat membangun kesadaran kritis<br />

siswa. Dengan waktu yang terbatas serta jumlah<br />

siswa yang banyak <strong>dalam</strong> kelas, guru tidak mampu<br />

melayani berbagai pertanyaan siswa dengan baik.<br />

Menurut Vigotsky, proses belajar yang dapat<br />

meningkatkan semangat siswa adalah dengan<br />

berdiskusi, banyak bertanya, bereksplorasi, dan<br />

bermain (fun learning), sehingga kemampuan verbal<br />

dan motoriknya berkembang, termasuk<br />

kemampuan berpikir kritisnya (higher order thinking).<br />

Akan tetapi guru yang telah terbiasa dengan<br />

metode tertentu merasa telah nyaman dengan<br />

metode tersebut cenderung mempertahankannya<br />

sungguhpun hasilnya kurang dapat membuat<br />

siswa berpikir kritis. Keengganan guru tersebut<br />

juga diungkapkan oleh Ratna Megawangi, <strong>dalam</strong><br />

Otonomi Sekolah, 2005, dengan mengatakan<br />

“Masalah yang sering kami hadapi di Indonesia<br />

Heritage Foundation, ketika melatih para guru<br />

untuk mengubah metode pembelajaran di kelas<br />

agar tujuan membangun manusia holistik yang<br />

berkarakter dapat tercapai, yaitu ketakutan dan<br />

keengganan para guru untuk memperbaiki metode<br />

pembelajaran di kelas agar sesuai dengan teoriteori<br />

yang berlaku (misalnya Piaget, Erik Erikson,<br />

Vigotsky, dll).<br />

Bagaimana Cara <strong>Membangun</strong><br />

<strong>Kesadaran</strong> <strong>Kritis</strong>?<br />

Dari uraian di atas jelaslah bahwa membangun<br />

kesadaran kritis tidak dapat dilakukan dengan<br />

pola pengajaran ceramah, seperti yang selama ini<br />

dilakukan oleh para guru.<br />

64 Jurnal Pendidikan <strong>Penabur</strong> - No.06/Th.V/Juni 2006


<strong>Peran</strong> <strong>Guru</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Membangun</strong> <strong>Kesadaran</strong><br />

Proses Pendidikan <strong>Kritis</strong>, menurut Mansour Fakih,<br />

2001.<br />

Suatu penyelenggaraan belajar-mengajar,<br />

merupakan proses pendidikan kritis harus<br />

mencerdaskan sekaligus bersifat membebaskan<br />

pesertanya untuk menjadi pelaku (subjek) utama,<br />

bukan sasaran perlakuan (objek), dari proses<br />

tersebut.<br />

Artinya bahwa siswalah yang aktif untuk mencari<br />

pengetahuannya dan menentukan apa yang ingin<br />

dipelajari dan, guru berfungsi memfasilitasi siswa.<br />

Ciri-ciri pokok dari pembelajaran yang<br />

membangun kesadaran kritis, yaitu :<br />

1. Belajar dari realitas atau pengalaman : yang<br />

diajarkan bukan ajaran (teori, pendapat,<br />

kesimpulan, wejangan, dsb) tetapi realitas<br />

nyata. Keabsahan pengetahuan seseorang<br />

ditentukan oleh pembuktiannya <strong>dalam</strong><br />

realitas tindakan atau pengalaman langsung<br />

bukan pada retorika teoritik.<br />

2. Tidak menggurui : guru dan murid samasama<br />

belajar.<br />

3. Dialogis : prosesnya bukan bersifat satu arah<br />

tetapi lebih pada diskusi kelompok, bermain<br />

peran dsb dan menggunakan media (peraga,<br />

grafik, audio visual, dsb) yang lebih<br />

memungkinkan terjadinya dialog kritis antara<br />

semua orang.<br />

Panduan proses belajar harus disusun dan<br />

dilaksanakan <strong>dalam</strong> suatu proses yang dikenal<br />

sebagai “daur belajar dari pengalaman yang<br />

distrukturkan” (structural experiences learning<br />

cyrcle) agar pendidikan kritis dapat dicapai <strong>dalam</strong><br />

pembelajaran. Proses ini memungkinkan setiap<br />

orang untuk mencapai pemahaman dan<br />

kesadaran kritis dengan cara terlibat di<strong>dalam</strong>nya<br />

secara langsung ataupun tidak. Proses yang<br />

melibatkan setiap orang yang belajar itu adalah :<br />

1. Rekonstruksi: yaitu menguraikan kembali<br />

rincian (fakta, unsur-unsur, urutan kejadian,<br />

dll). Ini tahap proses mengalami, menggali<br />

pengalaman dengan cara melakukan<br />

kegiatan. Apa yang dilakukan dan dialami<br />

adalah mengerjakan, mengamati, melihat dan<br />

mengatakan sesuatu. Pengalaman ini yang<br />

menjadi titik tolak proses belajar selanjutnya.<br />

2. Ungkapkan: setelah mengalami, maka tahap<br />

berikutnya yaitu proses mengungkapkan/<br />

menyatakan kembali apa yang sudah<br />

dialami, bagaimana tanggapan, kesan atas<br />

pengalaman tersebut.<br />

3. Analisis: yaitu mengkaji sebab dan kaitan<br />

permasalahan yang ada <strong>dalam</strong> realitas<br />

tersebut yaitu tatanan, aturan-aturan, sistem<br />

dari pokok pembahasan.<br />

4. Kesimpulan: yaitu merumuskan makna atau<br />

hakekat dari apa yang dipelajari, sehingga<br />

terjadi pemahaman baru yang lebih utuh,<br />

berupa prinsip-prinsip, kesimpulan umum<br />

dari kajian atas pengalaman.<br />

5. Tindakan: tahap akhir dari daur belajar ini<br />

adalah memutuskan dan melaksanakan<br />

tindakan-tindakan baru yang lebih baik<br />

berdasarkan pemahaman atau pengertian<br />

atas realitas tersebut, sehingga ada<br />

kemungkinan menciptakan realitas baru yang<br />

lebih baik. Langkah ini diwujudkan dengan<br />

cara merencanakan tindakan <strong>dalam</strong> rangka<br />

menerapkan prinsip-prinsip yang telah<br />

disimpulkan.<br />

Proses pengalaman belumlah lengkap,<br />

sebelum didapatkan ajaran baru, pengalaman<br />

baru, penemuan baru yang dilaksanakan dan diuji<br />

<strong>dalam</strong> perilaku yang sesungguhnya, <strong>dalam</strong><br />

penerapan ini juga menimbulkan pengalaman<br />

baru. Daur proses ini akan berulang kembali dari<br />

awal, konsep learning by doing tercipta <strong>dalam</strong> daur<br />

ini.<br />

5<br />

Tindakan<br />

4<br />

Kesimpulan<br />

3<br />

Analisis<br />

1<br />

Rekontruksi<br />

Gambar 2: Daur Belajar dari Pengalaman yang<br />

Distrukturkan<br />

Proses pendidikan kritis untuk<br />

menumbuhkan kesadaran kritis, akan tercapai<br />

jika guru menempatkan diri sebagai fasilitator<br />

yang siap untuk melayani siswa <strong>dalam</strong> belajar,<br />

bukan untuk menggurui dan berlaku sebagai satusatunya<br />

sumber ilmu dan kebenaran. Dengan<br />

lebih banyak menggunakan metode ilmiah dan<br />

eksperimen agar siswa sebanyak mungkin<br />

merasakan dan mengalami <strong>dalam</strong> suasana yang<br />

dialogis.<br />

Motivasi Belajar<br />

2<br />

Ungkapan<br />

Selama ini guru cenderung kurang mempedulikan<br />

apakah siswanya memiliki motivasi <strong>dalam</strong> belajar,<br />

karena yang penting adalah materi yang harus<br />

disampaikan selesai. Padahal jika seseorang tidak<br />

Jurnal Pendidikan <strong>Penabur</strong> - No.06/Th.V/Juni 2006<br />

65


<strong>Peran</strong> <strong>Guru</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Membangun</strong> <strong>Kesadaran</strong> <strong>Kritis</strong> Siswa<br />

memiliki motivasi yang kuat <strong>dalam</strong> belajar maka<br />

mustahil mereka akan mampu mempelajari<br />

sesuatu dengan baik. Tugas seorang fasilitator<br />

adalah justru membangkitkan motivasi itu, yaitu<br />

dengan menciptakan cara-cara kreatif untuk<br />

memotivasi siswa. Dengan demikian diharapkan<br />

siswa akan belajar dengan penuh semangat.<br />

Bagaimana Menjadi<br />

Fasilitator yang Baik?<br />

Banyak masalah untuk membangun suasana<br />

belajar dan membelajarkan siswa yang aktif dan<br />

menarik dan sebagai aktor utama, guru, seringkali<br />

secara personal mempunyai banyak kendala.<br />

Tetapi tentu saja hal tersebut dapat dipelajari jika<br />

diawali dengan niat yang sungguh-sungguh,<br />

meskipun untuk menjadi fasilitator yang baik<br />

memang diperlukan pengalaman dan jam terbang<br />

yang cukup tinggi.<br />

Mengutip pendapat dari Jenny Rogers,<br />

fasilitator akan dengan semangat, peka dan<br />

cermat memandu sebuah proses belajar jika ia<br />

memiliki watak/karakter :<br />

1. Kepribadian yang menyenangkan.<br />

2. Kemampuan sosial, dengan kemampuan<br />

menciptakan dinamika kelompok.<br />

3. Mampu mendesain cara memfasilitasi yang<br />

membangkitkan semangat para partisipan.<br />

4. Mampu mengorganisasi kegiatan.<br />

5. Cermat <strong>dalam</strong> melihat persoalan partisipan.<br />

6. Memiliki ketertarikan terhadap subyek.<br />

7. Fleksibel <strong>dalam</strong> merespon perubahan<br />

kebutuhan belajar.<br />

8. Pemahaman atas materi pokok pembahasan.<br />

Media Pembelajaran<br />

Dalam perspektif dan metodologi pendidikan<br />

kritis, penggunaan media merupakan suatu<br />

keharusan <strong>dalam</strong> hal siswa menemukan dengan<br />

pengalamannya sendiri, bukan hafalan, teori, atau<br />

kaidah dan rumus-rumus. Media akan membantu<br />

siswa untuk memvisualkan hal-hal abstrak,<br />

mengasah rasa, merangsang kreatifitas,<br />

menemukan pengetahuan, memahami konsep,<br />

dll. Agar dapat berfungsi meningkatkan mutu<br />

proses dan hasil belajar, media harus disiapkan<br />

dan dirancang dengan cermat oleh guru untuk<br />

mencapai tujuan pembelajarannya. Di sini guru<br />

dituntut untuk kreatif dan inovatif.<br />

Pembelajaran yang Baik<br />

Sebagai contoh program Managing Basic Education<br />

(MBA), <strong>dalam</strong> pendampingan sekolah di Pacitan<br />

Jawa Timur mempergunakan Pembelajaran Aktif,<br />

Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) yang<br />

disusun oleh Lynne Hill. PAKEM memenuhi<br />

syarat untuk mengembangkan kesadaran kritis<br />

<strong>dalam</strong> diri siswa.<br />

Pembelajaran yang baik dimulai dengan<br />

perencanaan yang baik, kemudian diusahakan<br />

agar pembelajaran menarik dan menantang serta<br />

aktif. Hal ini memerlukan kreativitas guru dan<br />

aktualisasi yang terus menerus agar dapat<br />

memfasilitasi siswa dengan baik.<br />

Dalam merencanakan pembelajaran yang<br />

baik guru dapat melakukan hal-hal berikut:<br />

1. Mengidentifikasi dengan tepat tujuan<br />

pembelajaran (kompetensi yang diinginkan)<br />

2. Mengidentifikasi apa yang telah diketahui<br />

siswa dan mengembangkan pembelajaran<br />

berdasarkan informasi tersebut.<br />

3. Membuat urutan pembelajaran terdiri dari<br />

beberapa tahap dan kegiatan.<br />

4. Menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang<br />

efektif.<br />

5. Menyiapkan bahan dan sumber belajar.<br />

6. Mengorganisasikan kelas dan mengelola<br />

sumber-sumber yang direncanakan dengan<br />

baik.<br />

7. Memutuskan bagaimana menilai hasil belajar<br />

siswa.<br />

8. Merencanakan proses maupun hasil belajar<br />

(produk). Proses dan produk pembelajaran:<br />

apa yang akan dikerjakan siswa dan<br />

bagaimana mengerjakannya (proses), dan<br />

bagaimana siswa akan mendemonstrasikan<br />

hasil belajar mereka (produk).<br />

Agar pembelajaran menarik dan menantang<br />

sehingga meningkatkan motivasi belajar, guru<br />

hendaknya berusaha agar :<br />

1. tidak terlalu banyak bicara dan memberikan<br />

ceramah tetapi memberi kesempatan pada<br />

siswa untuk melakukan sendiri kegiatan<br />

yang sudah dirancang;<br />

2. siswa tidak terlalu banyak mendengarkan<br />

dan menjawab pertanyaan bersama-sama<br />

(koor);<br />

3. melakukan kegiatan meningkatkan<br />

kemampuan berpikir kritis, memecahkan<br />

masalah, termasuk tugas-tugas terbuka,<br />

66 Jurnal Pendidikan <strong>Penabur</strong> - No.06/Th.V/Juni 2006


<strong>Peran</strong> <strong>Guru</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Membangun</strong> <strong>Kesadaran</strong><br />

misalnya percobaan di laboratorium dengan<br />

metode inquiry laboratory lesson yaitu guru<br />

dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan<br />

pengarah untuk merangsang siswa berpikir<br />

untuk memecahkan masalah;<br />

4. mengembangkan pengalaman siswa secara<br />

langsung (sumber belajar tangan pertama)<br />

untuk meningkatkan minat dan motivasi,<br />

misalnya mempelajari tentang hak asasi<br />

manusia dengan cara melakukan wawancara<br />

dengan tokoh atau orang yang mengalami<br />

ketertindasan atau hak-haknya dilanggar.<br />

Pembelajaran yang mengaktifkan siswa:<br />

1. belajar dengan mengerjakan, siswa aktif,<br />

terlibat, berpartisipasi, bekerja;<br />

2. interaksi antar siswa tinggi, belajar kelompok,<br />

berpasangan, bekerjasama;<br />

3. siswa menemukan, memecahkan masalah<br />

dan mengambil kesimpulan dari yang<br />

dipelajari; dan<br />

4. berfokus pada proses pembelajaran bukan<br />

semata-mata hasil atau penyelesaian target<br />

materi pelajaran selesai<br />

Kesimpulan<br />

<strong>Kesadaran</strong> kritis sangat diperlukan <strong>dalam</strong><br />

pengembangan pribadi dan intelektual siswa<br />

<strong>dalam</strong> kehidupan sekarang dan maupun<br />

kemudian hari. <strong>Kesadaran</strong> kritis dan berpikir kritis<br />

dapat dibangun melalui pendidikan di sekolah<br />

dan secara khusus melalui kegiatan belajar dan<br />

pembelajaran.<br />

Untuk menumbuhkan kesadaran kritis serta<br />

berpikir kritis siswa dengan menempatkan siswa<br />

sebagai subjek, maka hal-hal berikut perlu<br />

diperhatikan guru.<br />

1. Pembelajaran di kelas harus berubah dari<br />

berpusat kepada guru menjadi berpusat<br />

kepada siswa.<br />

2. <strong>Guru</strong> berperan sebagai fasilitator untuk<br />

melayani siswa <strong>dalam</strong> membelajarkan siswa<br />

dan membuat siswa mengalami serta<br />

menyukai belajar. Untuk itu guru senantiasa<br />

belajar terus menerus mengaktualisasi diri,<br />

memperluas dan memper<strong>dalam</strong><br />

pengetahuannya agar efektif <strong>dalam</strong><br />

memfasilitasi siswa <strong>dalam</strong> belajar.<br />

3. Mengajar dengan mengembangkan metode<br />

dialogis <strong>dalam</strong> diskusi, memberi kesempatan<br />

pada siswa untuk berpikir dan<br />

mengendapkan pengetahuannya, memberi<br />

kesempatan untuk bertanya, berdebat,<br />

berekplorasi untuk menemukan suatu<br />

pemahaman yang baru.<br />

4. Dalam membelajarkan siswa maka<br />

pembelajaran dibuat semenarik mungkin<br />

untuk memotivasi siswa sehingga senang<br />

belajar, dengan demikian merangsang otak<br />

untuk dapat menerima pengetahuan/<br />

pemahaman baru lebih cepat.<br />

5. Membuat perencanaan, persiapkan dengan<br />

media yang dapat membantu siswa <strong>dalam</strong><br />

mengalami belajar, menemukan dan<br />

merumuskan sendiri pengetahuannya.<br />

6. <strong>Guru</strong> berperan sebagai agen perubahan<br />

dengan berani mengubah paradigma<br />

berpikirnya yaitu menjauhkan diri dari<br />

ketakutan dan keengganan mengubah cara<br />

mengajarnya yang tidak efektif serta bersikap<br />

terbuka.<br />

7. <strong>Kesadaran</strong> kritis akan terbentuk jika siswa<br />

merasa bebas <strong>dalam</strong> berpikir, berpendapat<br />

dan mengekpresikan diri <strong>dalam</strong> suasana<br />

belajar yang terbuka, tidak banyak aturanaturan<br />

yang membelenggu, multinilai,<br />

multikebenaran, diperbolehkan salah,<br />

menerapkan metode ilmiah. <strong>Guru</strong> tidak<br />

menggurui karena guru dan siswa setara.<br />

8. <strong>Kesadaran</strong> kritis akan membentuk pola<br />

pemahaman konsep yang kuat bukan sekedar<br />

menghafal, mampu untuk mencerna<br />

pengetahuan dengan men<strong>dalam</strong>, memiliki<br />

cara berpikir kritis menghadapi masalahmasalah<br />

sehari-hari <strong>dalam</strong> kehidupan.<br />

Pembelajaran dengan membangun kesadaran<br />

kritis akan menghasilkan pembelajaran yang<br />

bermutu.<br />

Pembelajaran yang dapat meningkatkan<br />

kesadaran kritis siswa ialah pembelajaran yang<br />

membuat siswa menjadi pelaku dan berperan aktif<br />

<strong>dalam</strong> proses belajar dan pembelajaran. <strong>Peran</strong><br />

aktif siswa dapat dirangsang dan ditingkatkan<br />

dengan metode pembelajaran yang berfokus pada<br />

kegiatan siswa untuk mengalami belajar (learning<br />

by doing).<br />

<strong>Guru</strong> sebaiknya melakukan perubahan <strong>dalam</strong><br />

mengefektifkan perannya untuk membangun<br />

kesadaran kritis siswa sehingga dapat<br />

menampilkan pembelajaran menjadi lebih<br />

Jurnal Pendidikan <strong>Penabur</strong> - No.06/Th.V/Juni 2006<br />

67


<strong>Peran</strong> <strong>Guru</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Membangun</strong> <strong>Kesadaran</strong> <strong>Kritis</strong> Siswa<br />

bermutu dan berguna bagi masa depan siswanya<br />

serta mencerdaskan Daftar kehidupan Pustaka bangsa.<br />

Fakih, Mansour, dkk,. (2001). Pendidikan popular,<br />

membangun kesadaran kritis. Yogyakarta: Insist<br />

Hill, Lynne. (2005). Pembelajaran yang baik, <strong>dalam</strong><br />

Program Managing Basic Education (MBE) Indonesia.<br />

http://www.mbeproject.net<br />

Majalah BASIS, No. 01-02 tahun ke 47, edisi khusus<br />

Menggugat Dunia Pendidikan Kita, Februari<br />

1998<br />

Megawangi, Ratna. Otonomi sekolah. Suara<br />

Pembaruan Daily, 2005. http://<br />

www.suarapembaruan.com<br />

Nasution, Andi Hakim. (2000). Ilmu untuk<br />

kehidupan dan Penghidupan, <strong>dalam</strong> menggagas<br />

paradigma baru pendidikan. Yogyakarta:<br />

Yayasan Kanisius<br />

Paul, Suparno. (2000). Kurikulum SMU yang<br />

menunjang pendidikan demokrasi, <strong>dalam</strong><br />

membuka masa depan anak-anak kita.<br />

Mencari kurikulum pendidikan abad XXI.<br />

Yogyakarta: Yayasan Kanisius<br />

Poerwowidagdo, Judo MA, PhD. (2001).<br />

Meningkatkan kualitas pendidikan Kristen<br />

<strong>dalam</strong> menjawab perubahan zaman, <strong>dalam</strong><br />

pendidikan yang mendidik. butir-butir<br />

pemikiran strategis-reflektif di seputar<br />

pendidikan. Jakarta: Yudhistira<br />

Schafersman, Steven D. (1998). Critical thinking and<br />

its relation to science and humanism,<br />

scahafesd@humanism.net.<br />

Sumarsono. (1993). Pendidikan nilai dan profesi guru,<br />

<strong>dalam</strong> Pendidikan nilai memasuki tahun 2000.<br />

Jakarta: Grasindo<br />

Supeli, Karlina Laksono. Ringkasan pemikiran: Orang<br />

Tua di <strong>dalam</strong> Pendidikan Anak-Anak, Media<br />

Kerja Budaya, http://<br />

mkb.kerjabudaya.org , 2003<br />

Tilaar, H.A.R. (1999). Beberapa agenda reformasi<br />

pendidikan nasional. Magelang: Tera Indonesia<br />

68 Jurnal Pendidikan <strong>Penabur</strong> - No.06/Th.V/Juni 2006

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!