blakasuta 05.pdf - Fahmina Institute
blakasuta 05.pdf - Fahmina Institute
blakasuta 05.pdf - Fahmina Institute
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Kajian Utama:<br />
Membedah<br />
Anggaran Kesehatan<br />
Kota Cirebon<br />
Dewasa ini, Kota Cirebon masih<br />
menghadapi berbagai persoalan<br />
kesehatan yang kompleks,<br />
termasuk masih rendahnya Derajat<br />
kesehatan masyarakat. Ditandai<br />
tingginya Angka Kematian Bayi<br />
(AKB) mencapai 34,94 serta AKI<br />
sebesar 202 per 1.000 kelahiran<br />
hidup pada Tahun 2000 .............. 07<br />
Susunan Redaksi<br />
Penanggung Jawab : KH Husein Muhammad,<br />
Pemimpin Redaksi : Faqihuddin Abdul Kodir,<br />
Sekretaris Redaksi: Marzuki Rais, Tim Redaksi:<br />
AamAzmy Al'ab, Asep Saefuddin Jazuli, Ipah<br />
Jahrotunnasipah, Obeng Nurrosyid, Nuruzzaman,<br />
Rosidin, Redaktur Tamu: Ade Duryawan, Desain<br />
Grafis: Anand Administrasi & Keuangan: Ini<br />
Suartini Penerbit: <strong>Fahmina</strong>-institute bekerja sama<br />
dengan Partnership for Governance Reform<br />
Alamat Redaksi: Jl. Suratno No. 37 Cirebon<br />
Telp./Fax: (0231) 203789.<br />
Redaksi menerima sumbangan tulisan yang berkaitan<br />
dengan upaya penguatan masyarakat sipil dan<br />
perbaikan manajemen keuangan daerah. Redaksi<br />
berhak mengedit tulisan tersebut dengan tidak<br />
mengubah substansi. Setiap tulisan yang dimuat akan<br />
mendapat imbalan. Akurasi data dalam Rubrik Opini<br />
sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis yang<br />
bersangkutan.<br />
Dari Redaksi<br />
Perempuan dan Agama<br />
Oleh : Faqihuddin AK. ................ 03<br />
Kolom<br />
Duka Akibat Malpraktik<br />
Oleh: Asep Saefuddin Jazuli..........04<br />
Kajian Utama<br />
Cermin Keberpihakan Pemkot<br />
Cirebon:<br />
Membaca Alokasi Anggaran<br />
Kesehatan untuk Perempuan<br />
dan Masyarakat Miskin .......... 05<br />
Membedah Anggaran Kesehatan<br />
Kota Cirebon ............................. 07<br />
Info Jaringan<br />
Membela Perempuan:<br />
Upaya WCC Balqis Pesantren<br />
Dar al Tauhid Cirebon<br />
Mengungkap Fakta Kekerasan<br />
dan Meminimalisir<br />
Penderitaan ............................ 11<br />
Info Kegiatan<br />
Islam Membela Kaum Perempuan;<br />
Catatan dari Kursus Islam dan<br />
Jender bagi Aktivis Perempuan<br />
se-Indonesia ............................ 15<br />
Seminar Nasional:<br />
Peran Pesantren dan Organisasi<br />
Keagamaan dalam<br />
Penanggulangan Persoalan<br />
Kematian Ibu di Cirebon ......... 16<br />
Wawancara<br />
Menakar Kepekaan Negara<br />
terhadap Isu-isu Perempuan<br />
Bersama Kamala Chandra<br />
Kirana ........................................ 19<br />
Ketidak Pedulian Negara Pada<br />
Kesehatan Perempuan<br />
Bersama Ninuk Widyantoro ....... 21<br />
Opini<br />
Penelitian Berperspektif<br />
Perempuan;<br />
Mengkaji secara dalam<br />
Keberpihakan Pengetahuan<br />
terhadap Perempuan<br />
Oleh: Nuruzzaman .................... 23<br />
02
Memanusiakan<br />
Perempuan<br />
Faqihuddin Abdul Kadir<br />
Assalamu'alaikum, Wr. Wb.<br />
Dalam setiap dialog mengenai agama dan<br />
perempuan, selalu muncul ungkapan bahwa<br />
kebanyakan perempuan bersahabat dengan<br />
agama tetapi kebanyakan agama tidak<br />
bersahabat dengan perempuan. Mungkin<br />
kebanyakan tokoh agama akan menyanggah<br />
pernyataan ini. Tetapi pengalaman perempuan<br />
menyiratkan betapa banyak orang, dengan<br />
mengatasnamakan agama, seringkali tidak<br />
menutup akses yang seharusnya dinikmati<br />
perempuan. Merekapun kemudian sering<br />
menjadi obyek pembicaraan, daripada menjadi<br />
subyek yang membicarakan, apalagi<br />
menentukan.<br />
Pada masa kecil dahulu, kita sering<br />
mendengar nyanyian yang sangat menyentuh<br />
mengenai kasih ibu.<br />
Kasih ibu kepada beta<br />
Tak terhingga sepanjang masa<br />
Hanya memberi tak harap kembali<br />
Bagai sang surya menyinari dunia<br />
Nyanyian ini indah dan menyentuh<br />
perasaan semua orang. Betapa ibu seringkali<br />
harus berkorban tanpa mengharap imbalan<br />
sama sekali. Nyanyian ini sebenarnya untuk<br />
mengingatkan kita; betapa jasa ibu sangat<br />
besar, agung dan mulia. Setiap orang pasti akan<br />
mengingat betapa besar pengorbanan ibu<br />
terhadap anak-anaknya.<br />
Tetapi bait ketiga dan keempat dari<br />
nyanyian itu: Hanya memberi tak harap<br />
kembali- Bagai sang surya menyinari duniamengendap<br />
dalam kesadaran setiap kita,<br />
bahwa mereka para ibu memang benar-benar<br />
laksana sang surya yang terus diminta<br />
berkorban, memberi, melayani dan mengasihi<br />
untuk orang lain. Sementara diri mereka<br />
terlupakan, atau secara sengaja dilupakan.<br />
Para perempuan benar-benar harus<br />
laksana surya yang membakar diri mereka<br />
untuk kepentingan orang lain, sementara orang<br />
lain itu tidak perlu harus berbuat sesuatu yang<br />
sama. Mereka tidak perlu diperhatikan, karena<br />
kitalah yang seharusnya diperhatikan mereka.<br />
Mereka tidak perlu dipikirkan, karena kitalah<br />
yang harus dipikirkan mereka. Bahkan,<br />
kesehatan mereka tidak perlu dianggarkan,<br />
karena kitalah yang sebenarnya memerlukan<br />
anggaran kesehatan.<br />
Sekalipun semua orang sepakat bahwa<br />
reproduksi merupakan amanah kemanusiaan<br />
yang harus diemban perempuan, tetapi tidak<br />
banyak yang memikirkan bahwa seorang<br />
perempuan untuk mengemban amanah<br />
reproduksi itu memerlukan kesehatan yang<br />
prima. Karena itu, memerlukan akses<br />
pendidikan dan ekonomi yang juga prima.<br />
Sangat sedikit sekali, diantara kita yang benarbenar<br />
memikirkan akses sosial ekonomi yang<br />
menjadi hak dasar perempuan.<br />
Tidak semestinya kita mengagungkan<br />
para ibu, hanya dengan pujian dan kata-kata<br />
manis semata. Kita harus benar-benar<br />
memastikan kesehatan mereka, baik secara<br />
fisik, mental maupun sosial. Mereka bukanlah<br />
dewa atau malaikat yang hanya diciptakan<br />
untuk dipuja dan diagungkan. Mereka adalah<br />
manusia, yang perlu hidup dengan layak, perlu<br />
pendidikan dan kesehatan.<br />
Blakasuta pada nomor ini memebicarakan<br />
sejauhmana institusi-institusi sosial kita sudah<br />
memanusiakan perempuan, terutama dari<br />
APBD dan kebijakan-kebijakan publik lain.<br />
Selamat membaca.<br />
Wallahu al-Musta'an, Wassalam.<br />
Redaksi.<br />
03
Asep Saefuddin Jazuli<br />
asus meninggalnya Ny. Muzayanah akibat kesalahan<br />
transfusi darah pada hari Jum'at, 12 Maret 2004 di RST<br />
Ciremai, jelas menambah semakin panjang daftar buruk<br />
Kpelayanan medis di negeri kita. Meski tidak berdasar pada<br />
penelitian yang komprehensif, tapi keluhan dan kekecewaan<br />
masyarakat terhadap buruknya pelayanan medis sudah sering<br />
terdengar telinga kita. Di antara yang kerap dikeluhkan publik<br />
adalah soal lambannya penanganan pasien, kurang ramah dan<br />
keputusan medis yang berdampak komersial. Pasien diputuskan<br />
untuk dioperasi untuk penyakit yang sebenarnya bisa ditangani<br />
tanpa operasi. Kemampun dana pasein, atau keluarga pasien juga<br />
kerap menjadi penentu apakah pelayanan medis diteruskan atau<br />
dihentikan.<br />
Menggugat Instansi Pelayanan Medis<br />
Agaknya, keluhan dan kekecewaan terhadap kinerja instansi<br />
medis cukup banyak dan beragam. Instansi ini tidak hanya<br />
berpotensi menambah penyakit yang menimpa pasien, tetapi juga<br />
memiliki panyakit buruknya kinerja birokrasi di dalam dirinya<br />
sendiri. Banyak instansi pelayanan medis yang agaknya telah<br />
mengalami pergeseran dari fungsi yang seharusnya. Instansi medis<br />
yang seyogyanya menjadi tempat menyembuhkan orang sakit,<br />
terkadang justru menjadi tempat yang menyakitkan, atau<br />
setidaknya, membuat orang bertambah sakit. Jika semula pasien<br />
hanya menderita sakit fisik, setelah ke instansi medis justru<br />
bertambah dengan sakit hati.<br />
Buruknya kinerja dan pelayanan instansi medis dirasakan<br />
banyak masyarakat Kota Cirebon sejak lama. Dalam kegiatan<br />
Lokakarya Penilaian Partisipatif Tata Pemerintahan Kota Cirebon<br />
yang dilaksanakan oleh Partnership for Governance Reform in<br />
Indonesia bekerjasama dengan <strong>Fahmina</strong>-institute pada tanggal 30<br />
September-3 Oktober 2002,peserta Lokakarya yang terdiri dari<br />
berbagai elemen multipelaku di Kota Cirebon -anggota dewan,<br />
unsur pemda, pengusaha, akademisi, mahasiswa, buruh, nelayan,<br />
tukang beca dan pedagang kaki lima- menyimpulkan bahwa<br />
pelayanan medis menjadi salah satu persoalan krusial di Kota<br />
Cirebon. Selain dua persoalan lain; pengalokasian dan penggunaan<br />
APBD yang kurang memihak rakyat, serta kekerasan tehadap<br />
perempuan akibat ketidak-adilan gender.<br />
Kasus buruknya pelayanan medis membuat kita patut<br />
bertanya; sebenarnya sejauh mana komitmen pengelola instansi<br />
medis memberikan pertolongan terhadap pasien dalam bingai<br />
nilai-nilai kemanusiaan? Bukankah pasien datang karena memang<br />
membutuhkan pertolongan yang wajar diterima sebagai warga<br />
negara? Bukankah kita semua sepakat bahwa nilai kemanusiaan<br />
adalah universal dan tidak memandang kekayaan atau status<br />
sosial? Ataukah karena setiap hari bergaul dengan berbagai macam<br />
penyakit, dan setiap hari pula mendengar rintihan pasien sampai<br />
tangisan keluarga yang ditinggalkan oleh pasien meninggal dunia,<br />
lalu membuat para pengelola menjadi kehilangan kepekaan dan<br />
empati?<br />
Pelayan Masyarakat<br />
Setidaknya, ada tiga hal yang patut direnungkan pengelola<br />
instansi medis. Pertama, bahwa instansi medis adalah sarana<br />
ibadah untuk hifdz al-nafs (menjaga kelangsungan hidup), yang di<br />
mata Tuhan bernilai luhur.<br />
Perhatian agama terhadap<br />
kelangsungan hidup umat<br />
manusia sangatlah tinggi.<br />
Dalam al-Quran, ditegaskan,<br />
“Barangsiapa yang<br />
menghidupkan (satu) jiwa, maka<br />
seakan-akan dia menghidupkan manusia<br />
seluruhnya” (QS. al-Mâidah, 5: 32). Artinya nilai untuk<br />
mempertahankan kehidupan satu jiwa dengan berusaha<br />
menghindari kematiannya adalah sama halnya dengan<br />
mempertahankan kehidupan seluruh manusia di muka bumi. Dan<br />
disitulah terdapat nilai jihad yang sesungguhnya.<br />
Kedua, pengelolaan dan pelayanan di instansi medis<br />
merupakan amanah. Amanah dari pemerintah yang memberikan<br />
izin dan/atau berbagai fasilitas dan sarana, juga amanah dari<br />
masyarakat umum yang telah memberikan kepercayaan<br />
penanganan dan membayar biaya sesuai dengan ketentuan yang<br />
semestinya. Amanah tersebut jelas harus dijunjung tinggi, dijaga<br />
dan dipelihara dengan melakukan yang terbaik dalam memberikan<br />
pelayanan medis.<br />
Ketiga, pengelolaan dan pelayanan di instansi medis adalah<br />
wahana mengamalkan ilmu yang telah dipelajari dan dimiliki. Bisa<br />
dipastikan, bahwa dalam pembelajaran pasti diajarkan mengenai<br />
penanganan medis yang harus didasarkan pada sentuhan kasih<br />
sayang kemanusiaan, tidak mengedepankan kepentingan pribadi,<br />
apalagi untuk hal-hal yang bersifat materi. Agama secara jelas<br />
mengecam orang-orang yang memiliki pengetahuan tetapi justru<br />
melakukan tindakan sebaliknya dalam kehidupan nyata. Atas dasar<br />
hal-hal tersebut, seyogyanya pemerintah memiliki tanggaung<br />
jawab penuh memberikan pelayanan medis kepada masyarakat<br />
semaksimal mungkin. Bagi pengelola instansi medis, seharusnya<br />
penanganan dan perhatian terhadap pasien menjadi prioritas<br />
utama. Untuk itu, peningkatan kualitas pelayanan sudah menjadi<br />
hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.<br />
Sikap dan perilku buruk yang selama ini diterima masyarakat<br />
ketika berurusan dengan instansi medis, seharusnya dihapuskan<br />
atau paling tidak dikurangi terus sampai tingkat terendah.<br />
Mengabaikan pasien, menangani dengan cara asal-asalan, atau<br />
memberikan pelayanan yang tidak atau kurang semestinya harus<br />
disadari sebagai bentuk pelanggaran terhadap norma-norma<br />
agama dan sosial. Pada saat yang sama, pengabaian tersebut<br />
merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.<br />
Semua orang sebagai manusia, termasuk pihak pemerintah dan<br />
para pengelola instansi medis memiliki moralitas yang sama untuk<br />
membela kemanusiaan, dan dididik untuk menerapkan nilai-nilai<br />
kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.<br />
Penderitaan, kesakitan dan kematian adalah siklus kehidupan<br />
yang selalu menghampri setiap orang. Termasuk mereka yang<br />
duduk di pemerintahan, atau yang mengelola instansi kesehatan.<br />
Adakah kita berkenan apabila ketika sakit, kita justru tambah<br />
disakiti dengan perlakuan yang lebih menyakitkan dari pada<br />
penyakit itu sendiri? Jika kita tidak berkenan, maka orang lainpun<br />
sama. Semoga kita terbiasa untuk berbahagia manakala mampu<br />
membahagiakan orang-orang yang kebahagiaannya terkurangi,<br />
karena suatu penyakit misalnya.*****<br />
04
Membaca Alokasi Anggaran Kesehatan untuk Perempuan dan Masyarakat Miskin<br />
alam kata pengantar buku<br />
APBD Responsif Gender<br />
karangan Sri Mastuti dan DRinusu yang di dukung oleh The Asia<br />
Foundation, disebutkan bahwa<br />
kebijakan anggaran yang buta gender<br />
secara langsung telah memberi andil<br />
besar bagi lahirnya kesenjangan<br />
gender yang masih terjadi sampai<br />
sekarang. Padahal anggaran yang<br />
disusun dalam APBD merupakan<br />
instrumen penting untuk<br />
meningkatkan kesejahteraan<br />
masyarakat, baik laki-laki maupun<br />
perempuan.<br />
Strategi mewujudkan kesetaraan<br />
dan keadilan gender oleh Pemerintah<br />
Indonesia sejak tahun 1990-an<br />
dilakukan dengan pendekatan Gender<br />
and Development (GAD). Dalam rangka<br />
merealisasikan GAD inilah kemudian<br />
dikembangkan strategi Pengaruh<br />
Utamaan Gender (PUG). PUG<br />
merupakan strategi untuk menjamin<br />
bahwa seluruh proses perencanaan,<br />
pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi<br />
dari seluruh kebijakan program dan<br />
proyek di seluruh sektor pembangunan<br />
telah memperhitungkan<br />
dimensi/aspek gender yaitu melihat<br />
laki-laki dan perempuan sebagai<br />
pelaku (subyek dan obyek) yang setara<br />
dalam akses partisipasi dan kontrol<br />
atas pembangunan serta dalam<br />
memanfaatkan hasil pembangunan.<br />
Tujuan PUG sebagaimana yang<br />
dimuat dalam Inpres No. 9 tahun 2000<br />
adalah “terselenggaranya perencanaan,<br />
penyusunan, pelaksanaan,<br />
pemantauan, dan evaluasi atas<br />
kebijakan dan program pembangunan<br />
nasional yang berperspektif gender<br />
dalam rangka mewujudkan kesetaraan<br />
dan keadilan gender dalam kehidupan<br />
berkeluarga, bermasyarakat,<br />
berbangsa, dan bernegara”.<br />
Seperti apakah APBD yang<br />
responsif gender itu? Pertanyaan<br />
menggelitik ini sering saya dapatkan<br />
ketika mencoba menjelaskan betapa<br />
pentingnya APBD Kota Cirebon yang<br />
pro poor dan sensitive gender. Sering juga<br />
'walaupun birokrat tulen' yang<br />
mendefinikan gender-perempuan,<br />
sehingga APBD sudah disebut<br />
responsif ketika ada anggaran untuk<br />
PKK, GOW, atau program dengan<br />
judul 'perempuan'. Misalnya dalam<br />
APBD Kota Cirebon 2004 Dinas<br />
Pemberdayaan Masyarakat<br />
memunculkan anggaran untuk<br />
program:<br />
(1) P2WKSS PKK Kota Cirebon<br />
sebesar Rp. 171.250.000,-<br />
(2)Pemberdayaan perempuan<br />
sebesar Rp. 100.000.000,-<br />
(3)UP2K PKK Kota Cirebon<br />
Rp. 70.000.000,-.<br />
Atau di Dinas Kesehatan :<br />
(4) Manajemen kesehatan ibu dan<br />
neonatal Rp. 241.597.300,-<br />
(5)Pelatihan tenaga bidan<br />
Rp. 63.473.500,-<br />
(6) Pembinaan gerakan sayang ibu<br />
Rp. 209.210.700,-<br />
(7) Penanggulangan anemia gizi besi<br />
Rp. 79.050.000,-.<br />
Begitu juga di dalam bantuan<br />
keuangan terdapat anggaran:<br />
(8) Bantuan penunjang 10 program<br />
kegiatan PKK Rp. 50.000.000,-<br />
(9) Bantuan kepada organisasi<br />
wanita Rp. 44.500.000,-.<br />
Padalah menurut UNIFEM (United<br />
Nation Development Fund for<br />
Women) anggaran responsif gender<br />
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:<br />
1. Anggaran responsif gender bukan<br />
merupakan anggaran yang terpisah<br />
bagi laki-laki atau perempuan;<br />
2. Fokus pada kesetaraan gender dan<br />
PUG dalam semua aspek<br />
penganggaran;<br />
3. Meningkatkan keterlibatan aktif<br />
dan partisipasi stakeholder<br />
perempuan;<br />
4. Monitoring dan evaluasi belanja<br />
dan penerimaan pemerintah<br />
dilakukan dengan responsif<br />
gender;<br />
5. Meningkatkan efektifitas<br />
penggunaan sumber-sumber untuk<br />
mencapai kesetaraan gender dan<br />
pengembangan sumber daya<br />
manusia;<br />
6. Menekankan pada re-prioritas dari<br />
pada meningkatkan keseluruhan<br />
belanja pemerintah;<br />
7. Melakukan re-orientasi dari<br />
program-program dalam sektorsektor<br />
dari pada menambah angka<br />
pada sektor-sektor khusus.<br />
Tujuan akhir dari anggaran<br />
responsif gender adalah adanya<br />
anggaran yang berpihak kepada lakilaki<br />
dan perempuan, khususnya<br />
(karena fakta berbicara) khususnya<br />
bagi perempuan miskin yang selama<br />
ini kurang mendapatkan manfaat dari<br />
alokasi anggaran yang ada.<br />
Masyarakat harus tahu dan harus<br />
peduli, bahwa uang yang digunakan<br />
oleh mereka, adalah uang rakyat dari<br />
pajak dan retribusi. Tidak salah jika<br />
masyarakat menuntut mendapatkan<br />
pelayanan kesehatan yang lebih baik,<br />
lebih manusiawi, dan tentu saja<br />
dengan anggaran yang lebih memadai.<br />
Jika kita mengamati angka-angka<br />
di atas, maka terlihat bahwa anggaran<br />
kesehatan dibandingkan dengan total<br />
APBD pada periode 1999/2000 2003<br />
adalah terendah 1.5% dan tertinggi<br />
4.2%. Sedangkan pada tahun 2004<br />
menurun menjadi 3.17%.<br />
Tentu masih banyak yang menilai<br />
keberpihakan pemerintah dan<br />
legislatif (yang ditunjukkan oleh<br />
anggaran kesehatan di dalam APBD)<br />
belum secara optimal menunjukkan<br />
prioritas pembangunan pada sektor<br />
kesehatan.<br />
Sesungguhnya tidaklah sulit untuk<br />
membuat APBD yang tidak lagi buta<br />
gender. Anggaran responsif gender<br />
dapat dimulai dengan mengalokasikan<br />
anggaran belanja berdasarkan<br />
05
Contoh pembelanjaan responsif gender dapat dilihat dalam tabel berikut :<br />
Tabel 3 : Alokasi Anggaran Responsif Gender<br />
Spesifik Gender<br />
· Program pemenuhan gizi, makanan<br />
balita dan ibu menyusui;<br />
· Pendidikan untuk siswa<br />
perempuan;<br />
· Program pemberdayaan ibu rumah<br />
tangga, kesehatan reproduksi<br />
perempuan miskin;<br />
· Kegiatan operasional untuk staf bagi<br />
program-program gender;<br />
Umum Mainstreaming Gender<br />
Meningkatkan Kesetaraan<br />
· Affirmative action (pemberian<br />
perlakuan khusus) dalam programprogram<br />
untuk mencapai<br />
kesetaraan gender;<br />
· Pelayanan publik dan keterwakilan<br />
yang mencakup jumlah,<br />
representasi posisi manajemen<br />
dalam lapangan pekerjaan,<br />
pemberian upah, dan syarat<br />
pelayanan;<br />
· Bidang hukum : program pembentukan peraturan daerah yang terkait<br />
dengan akses perempuan, peningkatan hak-hak perempuan,<br />
ketenagakerjaan, dan program-program untuk perempuan di lembaga<br />
peradilan;<br />
· Bidang ekonomi : program pemberdayaan ekonomi, perluasan kesempatan<br />
usaha, perlindungan;<br />
· Bidang politik : persamaan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan dalam<br />
kehidupan politik formal, di lembaga eksekutif, legislatif, danyudikatif di<br />
tingkat daerah sampai kecamatan, kelurahan, dan RW/RT;<br />
· Bidang pendidikan : jumlah anggaran untuk pendidikan tinggi peningkatan<br />
persamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan, serta jaminan bagi<br />
pendidik laki-laki dan perempuan;<br />
· Bidang sosial budaya (khususnya kesehatan) : penyediaan sarana dan<br />
prasarana kesehatan;<br />
Sumber : Buku APBD Responsif Gender, Sri Mastuti Rinusu, hal 61<br />
kebutuhan gender, yaitu terdiri dari<br />
tiga kategori :<br />
1. Belanja yang secara khusus<br />
ditargetkan untuk kelompok<br />
perempuan dan anak-anak<br />
perempuan;<br />
2. Belanja yang dialokasikan untuk<br />
meningkatkan kesempatan yang<br />
setara bagi laki-laki dan perempuan<br />
dalam sektor publik;<br />
Anggaran belanja umum, untuk<br />
memberikan pelayanan bagi<br />
masyarakat yang mainstreaming<br />
gender.<br />
Beberapa hal yang perlu dikritisi<br />
dan diusulkan sebagai perbaikan<br />
dalam alokasi anggaran kesehatan<br />
adalah :<br />
1. Belanja untuk pelayanan kesehatan<br />
keluarga miskin sebesar Rp.<br />
451.385.000,-. Jika keluarga miskin<br />
di Kota Cirebon adalah 13.000 KK<br />
(atau berkisar 65.000 orang), maka<br />
perorang akan mendapat Rp. 6.900,-<br />
/tahun. Dengan biaya puskesmas<br />
Rp. 2.000,-/kali datang/orang,<br />
maka anggaran di atas hanya cukup<br />
untuk tiga kali datang ke<br />
puskesmas/tahun.<br />
2. Seharusnya belanja untuk<br />
pelayanan keluarga miskin dapat<br />
ditingkatkan menjadi minimal dua<br />
kali lipat dari alokasi anggaran yang<br />
ada sekarang. Sehingga minimal<br />
mereka dapat berobat gratis<br />
sebanyak enam kali dalam satu<br />
tahun.<br />
3. Kesehatan ibu dan neonatal, telah<br />
disebutkan di dalam Renstra akan<br />
dilayani 4.000 orang ibu hamil.<br />
Anggarannya adalah Rp.<br />
241.597.300,-, maka jika dibagi<br />
dalam sembilan bulan kehamilan di<br />
dapat angka Rp. 6.700,-/ibu/bulan.<br />
Anggaran Gerakan Sayang Ibu<br />
sebesar Rp. 209.210.700,- atau<br />
Rp. 4.300,/ ibu/bulan.<br />
4. Kita perlu bersikap kritis dan<br />
bersama-sama mencari jalan keluar<br />
agar anggaran bagi ibu dan neonatal<br />
tidak lagi minim seperti di atas.<br />
Kenaikan anggaran sebesar dua kali<br />
lipat dan diprioritaskan untuk ibu<br />
hamil dari keluarga miskin,<br />
mustinya dapat dilakukan segera.<br />
5. Data kematian ibu hamil dan<br />
melahirkan adalah 202 per 100.000<br />
kelahiran hidup, sedangkan<br />
kematian bayi adalah 34 per 1.000<br />
kelahiran hidup. Walaupun Kota<br />
Cirebon memiliki angka di bawah<br />
rata-rata nasional, tetapi kita tetap<br />
perlu melakukan upaya-upaya<br />
peningkatan pelayanan bagi ibu,<br />
neonatal, juga untuk balita.<br />
6. Anggaran untuk peningkatan usaha<br />
perbaikan gizi keluarga adalah Rp.<br />
447.293.000,- jika dimanfaatkan oleh<br />
keluarga miskin, maka setiap balita<br />
mendapat Rp. 2.800,-/bulan atau<br />
Rp. 95,-/hari. Anggaran untuk<br />
posyandu sebesar Rp. 92.000.000,-<br />
untuk lima kecamatan, berarti<br />
setiap Posyandu di tingkat RW<br />
hanya mendapatkan Rp. 17.400,<br />
/bulan.<br />
Bagaimana bisa sehat ibu dan anak<br />
(yang pasti adalah generasi masa<br />
depan) jika perhatian yang diberikan<br />
tidak optimal ? Tentu diperlukan<br />
strategi pelayanan di tingkat dasar<br />
(puskesmas atau puskesmas<br />
pembantu) yang lebih baik untuk<br />
balita. Selain peningkatan kesadaran<br />
masyarakat tentang kesehatan<br />
keluarga dan balita. Melihat angkaangka<br />
tersebut, jelas kita harus<br />
berusaha keras untuk meningkatkan<br />
anggaran kesehatan. Peningkatan<br />
anggaran kesehatan yang<br />
diprioritaskan pada pelayanan dasar<br />
dan pelayanan keluarga miskin,<br />
tentunya. Mengingat, Coba<br />
bandingkan dengan angka asuransi<br />
kesehatan anggota DPRD pada tahun<br />
2003 yang mencapai Rp. 750.000.000,-<br />
atau Rp. 25.000.000,-/ orang/tahun<br />
dan Pada tahun 2004 yaitu sebesar Rp.<br />
200.000.000,- atau Rp. 6.600.000,-<br />
/orang/tahun. Sedangkan Walikota<br />
dan Wakil Walikota pada tahun 2004<br />
mendapat biaya perawatan dan<br />
pengobatan sebesar Rp. 54.000.000,-<br />
atau Rp. 27.000.000,-/orang/tahun.<br />
Dari perbandigan nominal tersebut,<br />
jelas anggaran kesehatan untuk publik<br />
jauh lebih kecil . ******<br />
06
Membedah Anggaran Kesehatan<br />
KOTA CIREBON<br />
esehatan termasuk bidang<br />
yang sangat penting karena<br />
merupakan salah satu Kindikator yang menunjukkan<br />
kualitas SDM yang ada. Kondisi<br />
kesehatan masyarakat Kota Cirebon<br />
sendiri dipengaruhi oleh letak<br />
geografis kota sebagai simpul<br />
pergerakan masyarakat antara<br />
wilayah Jawa Barat dan Jawa<br />
Tengah. Selain fungsinya juga<br />
sebagai pusat kegiatan masyarakat di<br />
wilayah Jawa Barat bagian Timur<br />
yang ditengarai dengan tingginya<br />
intensitas kegiatan bercirikan<br />
perkotaan.<br />
Kondisi demikian memicu<br />
tingginya resiko dampak kesehatan<br />
akibat mobilitas masyarakat yang<br />
keluar masuk Kota Cirebon. Dewasa<br />
ini, Kota Cirebon masih menghadapi<br />
berbagai persoalan kesehatan yang<br />
kompleks, termasuk masih<br />
rendahnya Derajat kesehatan<br />
masyarakat. Ditandai tingginya<br />
Angka Kematian Bayi (AKB)<br />
mencapai 34,94 serta AKI sebesar 202<br />
per 1.000 kelahiran hidup pada<br />
Tahun 2000. Sementara itu, terjadi<br />
pula peningkatan penyakit menular<br />
DB (Demam Berdarah) dengan<br />
angka kematian (CFR) di atas<br />
Propinsi Jawa Barat yakni 2,33%,<br />
berikut ditemukannya pula penyakit<br />
tuberkulosis paru dengan BTA<br />
positif sebanyak 159 penderita,<br />
disamping penyakit lain seperti :<br />
diare, penyakit kusta, penyakit<br />
seksual dan pneumonia. Diketahui<br />
pula, Angka prevalensi Kurang<br />
Energi Protein (KEP) Balita di<br />
wilayah Kota Cirebon mencapai<br />
3,9%, sedangkan Angka Gizi Buruk<br />
prosentasenya 1,7%, dan masalah<br />
gizi lain seperti: anemia pada ibu<br />
hamil (hasil survey cepat)<br />
menunjukkan cukup tinggi yakni<br />
54,55%.<br />
Dalam hal kesehatan ibuanak,<br />
Kota Cirebon menghadapi<br />
persoalan besarnya jumlah ibu hamil<br />
berisiko tinggi sebesar 16,97%, dan<br />
angka kelahiran bayi dengan berat<br />
lahir rendah (BBLR) mencapai 1,87%.<br />
Selain itu, menyangkut Pelayanan<br />
kesehatan keluarga miskin yang<br />
jumlahnya berdasarkan pendataan<br />
Dinas Kesehatan pada bulan Januari<br />
Maret 2003 sebesar 13.090 KK yang<br />
sebelumnya dibiayai lewat dana JPS-<br />
BK. Belum lagi, soal penyebaran dan<br />
komposisi tenaga kesehatan di<br />
Puskesmas sesuai tingkat<br />
pendidikan yang masih kurang dan<br />
belum merata. Diperparah kondisi<br />
Sarana dan prasarana pelayanan<br />
kesehatan Kota Cirebon termasuk<br />
perbekalan kesehatan dan<br />
pengadaan obat yang belum merata<br />
dan dapat dijangkau oleh<br />
masyarakat lewat pelayanan<br />
kesehatan prima. Terakhir, Masalah<br />
kerja sama lintas sektoral yang perlu<br />
ditata kembali menambah deretan<br />
panjang persoalan kesehatan di Kota<br />
Cirebon. Mengingat masalah<br />
kesehatan tidak dapat terlepas dari<br />
berbagai kebijakan sector lain,<br />
sehingga upaya pemecahannya<br />
harus melibatkan sector terkait<br />
Menyikapi beberapa<br />
persoalan bidang kesehatan tersebut,<br />
Pemerintah Kota Cirebon telah<br />
menetapkan arah kebijakan<br />
pembangunan dalam bidang<br />
kesehatan lima tahun kedepan.<br />
Pertama, Meningkatkan upaya<br />
penyusunan perencanaan kesehatan<br />
berdasarkan fakta (Evidence Base<br />
Planning) sebagai upaya penyusunan<br />
perencanaan kesehatan berdasarkan<br />
kepada akar masalah yang ada;<br />
Kedua, Meningkatkan akuntabilitas<br />
manajerial diberbagai tingkat<br />
administrative, yang senantiasa<br />
didasarkan kepada<br />
pengorganisasian kesehatan yang<br />
baik dan efektif serta mampu<br />
memberikan pelayanan berkualitas<br />
kepada masyarakat; Ketiga,<br />
Meningkatkan efektifitas dan<br />
responsibilitas pelayanan kesehatan<br />
terutama bagi masyarakat miskin,<br />
dengan mampu menampilkan<br />
kinerjanya dalam bentuk pencapaian<br />
cakupan program yang bermakna<br />
sehingga terjadi perubahan derajat<br />
kesehatan di wilayah kerjanya;<br />
Keempat, Meningkatkan pelayanan<br />
rumah sakit yang proaktif dan<br />
sensitive, merupakan bentuk<br />
pelayanan rumah sakit yang lebih<br />
tanggap terhadap berbagai<br />
pelayanan kesehatan masyarakat<br />
dan lebih proaktif untuk<br />
menanggulangi masalah kesehatan<br />
masyarakat; Kelima,<br />
Mengembangkan sumber daya<br />
manusia kesehatan, berorientasi<br />
pada ketersediaan tenaga kesehatan<br />
yang didasari kepada kecukupan<br />
jumlah dan mutu tenaga kesehatan<br />
tersebut dengan memperhatikan<br />
efisiensi dan efektifitas pelayanan;<br />
Keenam, Meningkatkan<br />
pemeliharaan mutu pelayanan<br />
kesehatan dan penyediaan obat serta<br />
alat kesehatan yang memadai dalam<br />
rangka memberikan kepuasan<br />
kepada pelanggan dan memberikan<br />
pelayanan kesehatan prima; Ketujuh,<br />
Meningkatkan pencegahan dan<br />
pemberantasan penyakit yang<br />
efektif, adanya transisi epidemiologi<br />
memberikan perubahan pola<br />
penyakit menular yang bersifat reemerging<br />
maupun new emerging<br />
diseases. Kedelepan, Upaya ini<br />
07
RENCANA ANGGARAN<br />
Satuan Kerja Dinas Kesehatan dan Rincian Program<br />
No Uraian Jumlah % % dari Total<br />
1. Pengadaan obat 1.644.779.170 21.21 8.56<br />
2. Penunjang Yankes Dasar dan Labkesda 894.870.000 11.54 4.66<br />
3. Pemberantasan penyakit DBD 595.618.000 7.68 3.10<br />
4. Peningkatan Yankes kepada keluarga miskin 524.110.000 6.76 2.73<br />
5. Peningkatan usaha perbaikan gizi keluarga 447.293.000 5.77 2.33<br />
6. Pengadaan alat kesehatan 316.000.000 4.07 1.64<br />
7. Imunisasi 307.080.000 3.96 1.60<br />
8. Manajemen kesehatan ibu dan neonatal 241.597.300 3.11 1.26<br />
9. Promosi HIV/AIDS dan NAPZA 212.000.000 2.73 1.10<br />
10. Pembinaan gerakan sayang ibu (GSI) 209.210.700 2.70 1.09<br />
11. Pemantauan status gizi 190.781.575 2.46 099<br />
12. Pengk.manj.was dini (survailan epidemiologi) 163.900.000 2.11 0.85<br />
13. Penatalaksanaan kes.anak 145.485.250 1.88 0.76<br />
14. Peng.sar.perikskimia, air, mamin dan klinik labkesda 135.406.000 1.75 0.71<br />
15. Peningkatan yankes pem.kes dipospindu usila 129.323.000 1.67 0.67<br />
16. Higiene dan sanitasi tempat peng.makanan 125.297.500 1.62 0.65<br />
17. Pengawasan kualitas dan penyehatan sar. air bersih 123.845.150 1.60 0.65<br />
18. Pemberantasan penyakit TBC Paru 123.360.000 1.59 0.64<br />
19. Higiene dan sanitasi tempat-tempat umum dan lingkungan 119.369.750 1.54 0.62<br />
20. Pemb.dan peningk posyandu 5 kecamatan 92.000.000 1.19 0.48<br />
21. Pengkajian dan intervensi PHBS 90.300.000 1.16 0.47<br />
22. Penanganan gangguan kekurangan yodium 84.959.700 1.10 0.44<br />
23. Pemberantasan penyakit malaria 79.936.000 1.03 0.42<br />
24. Penanggulangan anemia gizi besi 79.050.000 1.02 0.41<br />
25. Pemberantasan penyakit menular seksual/PMS 75.413.500 0.97 0.39<br />
26. Peningk. mutu. sar. yankes swasta/khusus dan RS 69.814.500 0.90 0.36<br />
27. Pemeriksaan dan yankes remaja 68.443.175 0.88 0.36<br />
28. Pemberantasan penyakit diare 64.700.000 0.83 0.33<br />
29. Pelatihan tenaga bidan 63.473.500 0.82 0.33<br />
30. Pembinaan usaha kesehatan sekolah 60.025.000 0.77 0.31<br />
31. Penyebarluasan informasi kesehatan 50.000.000 0.64 0.26<br />
32. Pemberantasan penyakit ISPA/Pneumonia 39.675.000 0.51 0.21<br />
33. Pemberantasan penyakit rabies 31.981.000 0.41 0.17<br />
34. Pemb.pengobat tradisional (BATTRA)&TOGA 27.842.000 0.36 0.15<br />
35. Pemberantasan penyakit kusta 27.370.000 0.35 0.14<br />
36. Pengembangan JPKM 26.000.000 0.33 0.13<br />
TOTAL 7.755.049.720<br />
100<br />
40.37<br />
Sumber : Dokumen APBD Kota Cirebon 2004 dan hasil analisa<br />
Catatan : terdapat selisih antara jumlah seluruh RASK program kegiatan yaitu Rp. 7.755.049.720,- dengan jumlah belanja operasional dan<br />
pemeliharaan sebesar Rp. 7.613.149.720,-. Artinya ada selisih sebesar Rp. 141.900.000,-. Kesalahan penghitungan yang ditemukan adalah :<br />
·Program imunisasi selisih Rp. 128.100.000 dan Rp. 12.400.000,-<br />
·Total belanja pemeliharaan selisih Rp. 1.400.000,-<br />
08
diimbangi dengan<br />
adanya keseimbangan<br />
lingkungan<br />
dengan perubahan<br />
perilaku masyarakat<br />
yang positif; serta<br />
Kesembilan, Meningkatkan<br />
system<br />
informasi kesehatan<br />
yang efektif;<br />
merupakan dukungan<br />
penting terhadap<br />
penyediaan informasi<br />
bagi pengambilan<br />
keputusan<br />
maupun kebijakan<br />
daerah.<br />
Untuk melaksanakan<br />
arah<br />
kebijakan dimaksud,<br />
Pemkot Cirebon akan melaksanakan<br />
serangkaian program dan kegiatan<br />
meliputi, penyuluhan kesehatan;<br />
Peningkatan pelayanan kesehatan<br />
dasar dan rujukan rumah sakit;<br />
Pencegahan dan pemberantasan<br />
penyakit menular; Higiene dan<br />
sanitasi tempat-tempat umum;<br />
Pengawasan obat dan makanan;<br />
Peningkatan kesehatan keluarga;<br />
serta pengentasan kemiskinan<br />
bidang kesehatan.<br />
Kajian kritis APBD Kota<br />
Cirebon 2004 bidang kesehatan<br />
dapat dimulai dari melihat ternyata<br />
bidang kesehatan di mendapat jatah<br />
anggaran sebesar Rp. 18,86 milyar<br />
atau 7,86% saja dari seluruh total<br />
APBD. Juga dapat dilihat dari belanja<br />
untuk 40 jenis program adalah Rp.<br />
7,61 milyar atau 3,17% saja dari<br />
seluruh total APBD.<br />
Jika angka Rp. 7,61 milyar<br />
dibagikan kepada 270.000 orang<br />
penduduk Kota Cirebon, maka satu<br />
orang penduduk hanya memperoleh<br />
dana kesehatan sebesar Rp. 14.300,-/<br />
tahun.<br />
Kita cukup gembira bila melihat<br />
ada 40 program kesehatan yang telah<br />
direncanakan oleh Pemerintah Kota<br />
Cirebon untuk tahun 2004. Ada<br />
program pelayanan kesehatan dasar,<br />
pelayanan untuk keluarga miskin,<br />
pelayanan ibu dan anak,<br />
40%<br />
49%<br />
11%<br />
pemberantasan penyakit, pelatihan<br />
tenaga medis, dan sosialisasi<br />
kesehatan.<br />
Dari 40 program yang menjadi<br />
prioritas adalah pengadaan obat dan<br />
penunjang pelayanan kesehatan<br />
dasar di 21 puskesmas dan 15<br />
puskesmas pembantu dan<br />
laboratorium kesehatan dasar.<br />
Persentase anggaran adalah 30%<br />
lebih. Hal ini menunjukkan<br />
Pemerintah daerah melalui dinas<br />
kesehatan sudah cukup<br />
menyediakan dana di titik pertama<br />
dan terdekat kepada masyarakat<br />
untuk dilayani kesehatannya.<br />
Pintu pertama pelayanan<br />
kesehatan dimulai di puskesmas dan<br />
puskemas pembantu. Di setiap<br />
kelurahan telah ada puskesmas<br />
(dengan fasilitas dokter umum,<br />
dokter gigi, pelayanan ibu - anak,<br />
pemberantasan penyakit menular,<br />
dan pengadaan obat) juga beberapa<br />
kelurahan dibantu dengan<br />
puskesmas pembantu.<br />
Mari kita lihat juga anggaran<br />
untuk pelayanan kesehatan keluarga<br />
miskin sebesar Rp. 451.385.000,-. Jika<br />
keluarga miskin di Kota Cirebon<br />
adalah 13.000 KK (atau berkisar<br />
65.000 orang), maka perorang akan<br />
mendapat Rp. 6.900,-/tahun. Dengan<br />
biaya puskesmas Rp. 2.000,-/kali<br />
datang/orang, maka anggaran di<br />
DIAGRAM ANGGARAN KESEHATAN<br />
KOTA CIREBON TAHUN 2004<br />
administrasi umum<br />
operasi pemeliharaan<br />
modal<br />
Sumber : Dokumen APBD Kota Cirebon 2004 dan hasil analisa<br />
atas hanya cukup untuk tiga kali<br />
datang ke puskesmas/tahun.<br />
Bagaimana jika mengalami sakit<br />
berat? dan harus di rawat di rumah<br />
sakit, padahal kita tahu keluarga<br />
miskin jarang yang memiliki<br />
asuransi kesehatan (misalnya<br />
ASKES). Dan fakta menunjukkan,<br />
keluarga miskin adalah keluarga<br />
yang sangat rentan terhadap<br />
serangan berbagai penyakit.<br />
Kesehatan ibu dan neonatal,<br />
telah disebutkan di dalam Renstra<br />
akan dilayani 4.000 orang ibu<br />
hamil. Anggarannya adalah<br />
Rp. 241.597.300,-, maka jika dibagi<br />
dalam sembilan bulan kehamilan di<br />
dapat angka Rp. 6.700,-/ibu/bulan.<br />
Anggaran gerakan sayang ibu<br />
sebesar Rp. 209.210.700,- atau<br />
Rp. 4.300,-/ibu/bulan. Kita perlu<br />
bersikap kritis dan bersama-sama<br />
mencari jalan keluar agar anggaran<br />
bagi ibu dan neonatal tidak lagi<br />
minim seperti di atas.<br />
Data kematian ibu hamil dan<br />
melahirkan adalah 202 per 100.000<br />
kelahiran hidup, sedangkan<br />
kematian bayi adalah 34 per 1.000<br />
kelahiran hidup. Walaupun Kota<br />
Cirebon memiliki angka di bawah<br />
rata-rata nasional, tetapi kita tetap<br />
perlu melakukan upaya-upaya<br />
peningkatan pelayanan bagi ibu,<br />
neonatal, juga untuk balita.<br />
09
Data APBD tahun 2000-2003<br />
untuk Sektor Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Peranan Wanita, Anak, dan Remaja.<br />
No.<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
Tahun<br />
1999/2000<br />
2000<br />
2001<br />
2002<br />
2003<br />
Pembangun<br />
1.5%<br />
3.5%<br />
3.0%<br />
3.2%<br />
4.2%<br />
No Tahun Publik<br />
Administrasi<br />
Umum<br />
Modal<br />
Jumlah<br />
1 2004 3.17%<br />
3.80%<br />
0.89%<br />
7.86%<br />
Sumber : Dokumen APBD Kota Cirebon 2004 dan hasil analisa<br />
Bagaimana bisa sehat ibu dan<br />
anak (yang pasti adalah generasi<br />
masa depan) jika perhatian yang<br />
diberikan tidak optimal. Anggaran<br />
untuk peningkatan usaha perbaikan<br />
gizi keluarga adalah Rp. 447.293.000,-<br />
jika dimanfaatkan oleh keluarga<br />
miskin, maka setiap balita mendapat<br />
Rp. 2.800,-/bulan atau Rp. 95,-/<br />
hari.<br />
Anggaran untuk posyandu<br />
sebesar Rp. 92.000.000,- untuk lima<br />
Kecamatan, berarti setiap Posyandu<br />
di tingkat RW hanya mendapatkan<br />
Rp. 17.400,- /bulan. Melihat angkaangka<br />
tersebut, jelas kita harus<br />
berusaha keras untuk meningkatkan<br />
anggaran kesehatan. Peningkatan<br />
anggaran kesehatan yang<br />
diprioritaskan pada pelayanan dasar<br />
dan pelayanan keluarga miskin,<br />
tentunya.<br />
Coba bandingkan dengan angka<br />
asuransi kesehatan anggota DPRD<br />
pada tahun 2003 sebesar<br />
Rp. 750.000.000,- atau Rp.<br />
25.000.000,-/orang/tahun. Pada<br />
tahun 2004 yaitu sebesar Rp.<br />
200.000.000,- atau Rp. 6.600.000,-/<br />
orang / tahun.<br />
Sedangkan Walikota dan Wakil<br />
Walikota pada tahun 2004 mendapat<br />
biaya perawatan dan pengobatan<br />
sebesar Rp. 54.000.000,- atau Rp.<br />
27.000.000,- /orang /tahun.<br />
Kepekaan kita memang harus<br />
terus diasah. Paling mudah adalah<br />
dengan membandingkan anggaran<br />
untuk seluruh masyarakat Kota<br />
Cirebon (270.000 orang) dengan<br />
anggaran untuk para pejabat (2<br />
kepala daerah, 30 anggota dewan,<br />
dan 30 kepala dinas/instansi).<br />
Masyarakat harus tahu dan harus<br />
peduli, bahwa uang yang digunakan<br />
oleh mereka, adalah uang rakyat dari<br />
pajak dan retribusi. Tidak salah jika<br />
masyarakat menuntut mendapatkan<br />
pelayanan kesehatan yang lebih baik,<br />
lebih manusiawi, dan tentu saja<br />
dengan anggaran yang lebih<br />
memadai. Sebagai perbandingan,<br />
kita bisa melihat data APBD selama<br />
lima tahun 1999/2000-2003<br />
mengenai anggaran belanja<br />
pembangunan sektor kesehatan,<br />
kesejahteraan sosial, peranan wanita,<br />
anak, dan remaja (lihat tabel).<br />
Jika kita mengamati angka-angka<br />
di atas, maka terlihat bahwa<br />
anggaran kesehatan dibandingkan<br />
dengan total APBD pada periode<br />
1999/2000-2003 adalah terendah<br />
1.5% dan tertinggi 4.2%. Sedangkan<br />
pada tahun 2004 menurun<br />
menjadi 3.17%.<br />
Tentu masih banyak yang<br />
menilai keberpihakan pemerintah<br />
dan legislatif (yang ditunjukkan oleh<br />
anggaran kesehatan di dalam APBD)<br />
belum secara optimal menunjukkan<br />
prioritas pembangunan pada<br />
sektor kesehatan. Sektor kesehatan<br />
merupakan sektor tak terpisahkan<br />
dalam proses pembangunan kualitas<br />
sumber daya manusia. Human<br />
development index (HDI)/indeks<br />
pembangunan manusia yang<br />
dikeluarkan oleh UNDP menetapkan<br />
derajat/tingkat pendidikan dan<br />
kesehatan sebagai indikator utama.<br />
Adapun indikator HDI adalah<br />
Harapan kelahiran hidup yang<br />
diukur dengan menggunakan<br />
ukuran untuk hidup sehat yang<br />
lama, gizi, dan bebas dari penyakit;<br />
(indeks kesehatan), Orang dewasa<br />
yang melek huruf, yang<br />
menggunakan indikator dari formasi<br />
kemampuan dan keahlian manusia;<br />
(indeks pendidikan), dan GDP per<br />
kapita yang nyata untuk melihat<br />
kemampuan daya beli yang dipilih<br />
sebagai wakil ukuran untuk<br />
mengontrol sumber penghasilan;<br />
(indeks pendapatan).*****<br />
10
MEMBELA PEREMPUAN<br />
Upaya WCC Balqis Pesantren Dar Al Tauhid Cirebon<br />
Mengungkap Fakta Kekerasan dan Meminimalisir Penderitaan<br />
“Ny. Hj. Up (30), menikah dengan H.A (32) sejak tahun 1985. Setiap hari Selasa dan<br />
Sabtu, Ny. Hj.UP turut berdagang bersama suaminya. Menginjak beberapa tahun<br />
usahanya semakin maju, bahkan lebih dari cukup untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.<br />
Namun, seiring dengan itu, --sejak kelahiran anak kedua, suaminya mulai berubah--. H.A<br />
(32) sering berfoya-foya menghamburkan uang dan kerapkali pergi ke diskotik, bahkan<br />
selalu berbicara kasar dan tidak segan-segan memukul ketika marah. Ny. Hj.Up putus<br />
asa, badan pun tidak terawat sebab memikirkan ulah suaminya.”<br />
Kekerasan Terhadap<br />
Perempuan Fakta yang Baru<br />
Disadari ?<br />
Kekerasan terhadap perempuan,<br />
merupakan fakta yang sekian lama<br />
berlangsung sepanjang bergulirnya<br />
sejarah kehidupan bangsa ini. Di<br />
masa sebelum kemerdekaan, aktivis<br />
perempuan pada zamannya telah<br />
mencatat kasus-kasus perkawinan<br />
paksa, poligami, perceraian secara<br />
sepihak yang bias keadilan bagi istri<br />
dan anak, serta bentuk-bentuk<br />
kesewenangan lain. Masa Orde<br />
Lama, juga tercatat masalah-masalah<br />
perempuan dalam perkawinan,<br />
sebagai buruh di tempat kerja, dan<br />
eksploitasi perempuan sebagai objek<br />
seksualitas. Pada Masa Orde Baru,<br />
beberapa lembaga swadaya<br />
masyarakat tercatat aktif<br />
memberikan pendampingan bagi<br />
perempuan korban kekerasan. (Peta<br />
Kekerasan: Pengalaman Kekerasan<br />
Perempuan Indonsesia, Komnas<br />
Perempuan; 2002).<br />
Meski begitu, selama beberapa<br />
tahun realitas kekerasan terhadap<br />
perempuan di Indonesia belum<br />
menjadi suatu kesadaran kolektik<br />
(Publik). Baru menjadi perhatian<br />
kelompok-kelompok kecil. Sebelum<br />
akhirnya, tragedi kerusuhan Mei<br />
1998; --yang mengungkapkan<br />
bentuk-bentuk kekerasan seksual<br />
massal terhadap perempuan--,<br />
kemudian merubah kecenderungan<br />
semula. Disusul pada Oktober 1998,<br />
Komisi Anti Kekerasan Terhadap<br />
Perempuan resmi dibentuk. Selain<br />
itu, bermunculannya kesaksian<br />
perempuan korban kekerasan aparat<br />
di beberapa daerah DOM seperti<br />
Aceh, Timor Timur, dan Irian Jaya,<br />
semakin memicu lahirnya sebuah<br />
pemahaman akan krusialnya<br />
problematika kekerasan terhadap<br />
perempuan.<br />
Tindakan kekerasan terhadap<br />
perempuan di negeri yang lebih<br />
separuh (104,6 juta) dari total<br />
penduduknya (206,2 juta) adalah<br />
wanita ini, tidak terjadi begitu saja.<br />
Lahir, tumbuh dan mengakar kuat,<br />
sebagai akibat terbentuknya pola<br />
relasi timpang antara laki-laki dan<br />
perempuan. Sistem budaya<br />
patriarkhi secara luas turut<br />
menyebabkan status perempuan<br />
dibedakan dari laki-laki di dalam<br />
keluarga, tempat kerja, dan<br />
masyarakat luas. Begitu juga<br />
--interpretasi mitos-mitos, teks<br />
agama dan praktek budaya-- sangat<br />
membakukan peran-peran<br />
perempuan pada peminggiran<br />
fungsi dan posisi perempuan dalam<br />
masyarakat. Akibatnya, timbul<br />
persepsi menyudutkan seperti lakilaki<br />
sebagai makhluk utama;<br />
karenanya bisa berperilaku<br />
seenaknya terhadap perempuan.<br />
Juga anggapan perempuan tidak<br />
lebih dari objek pemuas biologis lakilaki.<br />
Steorotip-steorotip miring itu,<br />
telah memposisikan perempuan<br />
menjadi sub-ordinasi dari laki-laki.<br />
Sementara di sisi lain, pengaruh<br />
feodalisme maupun kehidupan<br />
sosial-ekonomi, dan politik yang<br />
menafikan keadilan menjadikan<br />
praktek-praktek diskriminatif<br />
terhadap perempuan kian menguat<br />
di masyarakat.<br />
Selama ini, umumnya tindak<br />
kekerasan itu dianggap hal lumrah.<br />
Bukan dipandang sebagai keadaan<br />
yang mendeskriditkan perempuan.<br />
Konsekuensi stigmatisasi itu,<br />
memicu semakin merebaknya tindak<br />
kekeras-an terhadap perempuan<br />
baik dalam relasi personal, relasi<br />
kerja, relasi kemasyarakatan<br />
maupun situasi konflik. KOMNAS<br />
Perempuan menilai pertumbuhan<br />
akar-akar kekerasan terhadap<br />
perempuan ditunjang oleh sistem<br />
pendidikan, hukum, ekonomi,<br />
layanan kesehatan ataupun<br />
kebijakan dari institusi-institusi<br />
masyarakat, (termasuk agama dan<br />
adat), serta institusi negara yang bias<br />
Gender. (data di tabel 1).<br />
Dalam realitasnya, --berbagai<br />
tindak kekerasan terhadap perempuan<br />
itu muncul tidak jauh dari<br />
lingkungan komunitas-komunitas<br />
terdekat korban seperti di rumah<br />
tinggal korban sendiri maupun<br />
dalam upacara-upacara adat atau<br />
11
BENTUK<br />
Relasi Personal Relasi Kerja Relasi Kemasyarakatan Situasi Konflik<br />
Tekanan Psikologis, Kekerasan<br />
fisik,Pelecehan seksual,<br />
perkosaan, eksploitasi,<br />
ekonomi, pekerja keluarga,<br />
b e n t u k - b e n t u k<br />
deprivasi/penghalangan<br />
pemenuhan kebutuhan<br />
Tabel 1<br />
Peta Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia<br />
Diskriminasi kerja dalam<br />
ragam bentuk (upah, status/<br />
posisi, kemungkinan karir),<br />
pelecehan seksual,<br />
perkosaan, penyiksaan<br />
seksual<br />
Pelecahan seksual, perkosaan,<br />
praktek-praktek budaya<br />
(misalkan, ketiadaan hak<br />
waris, poligami/perceraian<br />
sewenang-wenang,<br />
pemotongan jari-Suku Dani),<br />
perdagangan perempuan,<br />
pornografi<br />
Penembakan/pembunuhan,<br />
penganiyaan, penculikan/<br />
penghilangan, kerja paksa,<br />
pelecehan seksual, perkosaan,<br />
penyiksaan seksual,<br />
perbudakan seksual,<br />
intimidasi basis gender,<br />
kekerasan dalam rumah<br />
LOKUS<br />
Rumah tinggal (dan tempat<br />
lain yang memungkinkan)<br />
Tempat kerja (dan tempat lain<br />
yang memungkinkan)<br />
Komunitas, tempat umum,<br />
tempat penampungan<br />
Tempat umum, markas<br />
tentara, rumah korban, tempat<br />
pengungsian<br />
PELAKU<br />
Suami/mantan ayah<br />
(kandung/tiri), saudara lakilaki,<br />
pacar, anggota kelaurga<br />
lain/yang memiliki relasi<br />
personal<br />
Majikan/mandor, sesama<br />
pekerja<br />
Warga masyarakat<br />
Tentara, sipil bersenjata,<br />
orang yang memiliki hubugan<br />
keluarga/realsi personal<br />
KORBAN<br />
Istri, anak perempuan,<br />
perempuan dengan status<br />
pacar, tunangan, teman<br />
Pekerja sektor informal/<br />
formal, TKW, PRT dan pekerja<br />
rumahan lain, aktivis buruh<br />
Perempuan dewasa,<br />
perempuan dibawah umur,<br />
anak jalanan<br />
Perempuan warga sipil,<br />
perempuan pengungsi,<br />
perempuan tahanan<br />
Sumber : Komnas Perempuan; 2002<br />
keramaian yang diadakan keluarga<br />
besar, sanak saudara atau komunitas<br />
adat--. Relasi antara pelaku dan<br />
Korban pun, tidak jarang memiliki<br />
kedekatan hubungan baik dalam<br />
relasi keluarga, relasi sosial,<br />
hubungan kerja maupun secara<br />
interpersonal.<br />
Namun, biarpun begitu tidak<br />
sedikit kasus-kasus kekerasan<br />
perempuan luput dari pantauan kita<br />
atau Publik. Kalaupun diketahui<br />
atau dilaporkan, --kebanyakan<br />
proses penyelesaian masalah tidak<br />
pernah jelas dan tuntas--. Bahkan,<br />
tidak sedikit korban memutuskan<br />
mundur di tengah jalan. Dalam<br />
kondisi itu, lagi-lagi pihak korban<br />
perempuan--, selalu berada pada<br />
posisi dirugikan. Secara fisik<br />
teraniaya, begitupun beban<br />
psikologis harus ditanggung sendiri.<br />
Sementara, Pelaku bisa leluasa<br />
melepas tanggungjawab bahkan<br />
seringkali tidak pernah tersentuh<br />
proses hukum. Data tahun 2002 dari<br />
21 organisasi pengada layanan bagi<br />
perempuan korban kekerasan di 15<br />
Kota di Indonesia menunjukkan<br />
bahwa hanya 17% saja dari kasuskasus<br />
yang ditangani berhasil<br />
dibawa ke polisi. Itupun, cuma 21%<br />
yang berhasil sampai dituntaskan di<br />
pengadilan.<br />
Temuan tidak berbeda, juga<br />
terlihat dari catatan penelitian<br />
sebuah lembaga di Jakarta, yang<br />
menunjukkan bahwa dari 171 kasus<br />
kekerasan terhadap istri, hanya 17<br />
korban (10%) saja melapor tindak<br />
Jenis Kasus<br />
Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />
Perkosaan<br />
Kekerasan Dalam Pacaran<br />
Pelecehan Seksual<br />
T K W<br />
Guide and Conselling<br />
Remaja Bermasalah<br />
Kesehatan Reproduksi Remaja<br />
Kesehatan Reproduksi<br />
Jumlah<br />
penganiayaan ke polisi. Bahkan<br />
sedikit sekali dari jumlah itu,<br />
perkaranya kemudian dilanjutkan<br />
secara hukum. (Kompilasi Data<br />
Komnas Perempuan, 2002).<br />
KDRT:<br />
Derita Pahit Perempuan<br />
Cirebon<br />
Ilustrasi kasus yang dialami Ny.<br />
Hj. Up., di atas, adalah sebagian kecil<br />
dari sederet kasus-kasus kekerasan<br />
Tabel 2<br />
Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2002 dan Tahun 2003 di Wilayah Cirebon<br />
50<br />
10<br />
8<br />
5<br />
3<br />
15<br />
2<br />
-<br />
-<br />
93<br />
TAHUN 2002 TAHUN 2003<br />
Prosentase<br />
53.8<br />
10.8<br />
8.6<br />
5.4<br />
3.2<br />
16.0<br />
2.2<br />
-<br />
-<br />
Jumlah<br />
79<br />
4<br />
12<br />
1<br />
-<br />
-<br />
3<br />
26<br />
8<br />
Prosentase<br />
59.4<br />
3.0<br />
9.0<br />
0.8<br />
-<br />
-<br />
2.3<br />
19.5<br />
6.0<br />
TOTAL 100 133 100<br />
Sumber : Data WCC Balqis Cirebon<br />
12
Tabel 3<br />
Data Rangkuman Kasus SIKAP-Jakarta Juni 1998 - Mei 2000<br />
BENTUK KEKERASAN<br />
KURUN WAKTU<br />
Perkosaan<br />
(Rape)<br />
Penganiayaan Anak<br />
(Chid Abuse)<br />
Kekerasan Terhadap Istri<br />
(Domestic Violence)<br />
Juni 1998-November 1998<br />
16<br />
1<br />
1<br />
Desember 1998-Mei 1999<br />
23<br />
3<br />
3<br />
Juni 1999-November 1999<br />
16<br />
2<br />
2<br />
Desember 1999-Mei 2000<br />
16<br />
0<br />
0<br />
Sumber : Hasil Analisis Komnas Perempuan; 2002<br />
yang dialami perempuan di wilayah<br />
Cirebon. Bila ditelusuri, akan<br />
diperoleh kasus-kasus tindak<br />
kekerasan lain yang belum<br />
terungkap. Hal itu terjadi, selain<br />
korban tidak tahu persis harus<br />
bertindak apa, umumnya korban<br />
menutup diri karena tekanan<br />
psikologis atau alasan malu. Korban<br />
lebih memilih diam, walaupun harus<br />
berujung menanggung beban<br />
penderitaan berkepanjangan. (data di<br />
tabel 2)<br />
Dari tabel, terlihat bentuk<br />
kekerasan yang paling menonjol<br />
dalam kurun Tahun 2002-2003<br />
adalah KDRT (kekerasan dalam<br />
rumah tangga). Kasus KDRT pada<br />
tahun 2002 sebanyak 50 kasus<br />
(53,8%) dari 93 kasus, dan meningkat<br />
79 kasus atau 59,4% dari 133 kasus<br />
pada tahun 2003. Selain KDRT, kasus<br />
yang tergolong tinggi di tahun 2003<br />
dibandingkan kasus lain; adalah<br />
kesehatan reproduksi remaja<br />
mencapai 26 kasus (19,5%) dan<br />
kekerasan dalam pacaran 12 kasus<br />
(9,0%).<br />
Sementara itu, data tahun 2004<br />
menunjukkan dalam rentang 8 bulan<br />
(Januari s/d Agustus) terdapat 90<br />
kasus kekerasan. Tidak berbeda<br />
dibandingkan tahun sebelumnya,<br />
pada tahun 2004 pun, KDRT masih<br />
sebagai kasus dominan yang<br />
mencapai 41 kasus (45,5%).<br />
Realitas dominannya kasus<br />
kekerasan terhadap istri di wilayah<br />
Cirebon, ternyata tidak berbeda dari<br />
temuan kasus oleh WCC Rifka<br />
Annisa-Jogajakarta 1994-2001, dimana<br />
dari 1683 kasus kekerasan 1037<br />
kasus atau 62% adalah Jenis<br />
kekerasan terhadap Istri. Begitupun,<br />
temuan SIKAP (solidaritas aksi<br />
korban kekerasan terhadap anak dan<br />
perempuan) Jakarta berdasarkan<br />
catatan pendampingan sejak Juni<br />
1998-Mei 2000. Data memperlihatkan<br />
bahwa meski SIKAP banyak<br />
menangani kasus-kasus perkosaan,<br />
namun jumlah kasus kekerasan<br />
terhadap istri masih menduduki<br />
urutan pertama sebagimanan terlihat<br />
pada tabel 3.<br />
Secara umum, intensitas kasus<br />
kekerasan perempuan di wilayah<br />
Cirebon relatif tinggi.<br />
Kecenderungan itu, terlihat pada<br />
data WCC Balqis Cirebon. Tahun<br />
2002, tercatat 93 kasus. Angka itu<br />
naik 30%, pada tahun 2003 menjadi<br />
133 kasus. Identifikasi WCC Balqis-<br />
Cirebon, menunjukkan bentukbentuk<br />
kekerasan perempuan di<br />
wilayah Cirebon antara lain berupa<br />
kekerasan dalam rumah tangga<br />
(KDRT), perkosaan, kekerasan<br />
dalam pacaran, pelecehan seksual,<br />
pemerasan terhadap TKW, remaja<br />
bermasalah, kesehatan reproduksi<br />
remaja, dan kesehatan reproduksi.<br />
(lihat tabel 4).<br />
Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam<br />
Rumah Tangga<br />
Dari kasus-kasus KDRT, hasil<br />
Tabel 4<br />
Data Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan<br />
Januari-Agustus Tahun 2004 di Wilayah Cirebon<br />
Jenis Kasus Jumlah Prosentase<br />
Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />
Perkosaan<br />
Kekerasan Dalam Pacaran<br />
Pelecehan Seksual<br />
T K W<br />
Remaja Bermasalah<br />
Kesehatan Reproduksi Remaja<br />
Kesehatan Reproduksi<br />
41<br />
13<br />
5<br />
-<br />
2<br />
8<br />
10<br />
2<br />
45,6<br />
14,4<br />
5,6<br />
-<br />
2,2<br />
8,9<br />
11,1<br />
2,2<br />
TOTAL 90 100<br />
Sumber : Data WCC Balqis Cirebon<br />
13
NAMA NAMA EKSES KEKERASAN<br />
MDH<br />
IYH<br />
SMH<br />
TRN<br />
CC<br />
CT<br />
IS<br />
SLH<br />
JJ<br />
SLM<br />
MSH<br />
NN<br />
Tabel 5<br />
Daftar Klien KDRT Bentuk Kasus, dan Ekses Kekerasan<br />
Suami kawin lagi<br />
Suami meninggalkan keluarga<br />
Suami berkali-kali kawin<br />
Initimidasi lewat perilaku suami<br />
Suami selingkuh<br />
Suami marah-marah dan melarang<br />
istri bekerja buruh untuk ekonomi<br />
keluarga dengan alasan gengsi<br />
tindakan kekerasan fisik dan psikis<br />
sepanjang usia perkawinan<br />
Suami tidak bertanggungjawab,<br />
poligami<br />
Suami meninggalkan keluarga<br />
Tindakan kekerasan psikis dan fisik<br />
{dibacok sampai parah}<br />
Diperkosa, dikawin sesaat lalu<br />
diceraikan dengan tunjangan minin<br />
Suami kurang bertanggungjawab<br />
dan sering emosional<br />
pantauan WCC Balqis-Cirebon<br />
memperlihatkan akar pemicu<br />
persoalan sebagian besar disebabkan<br />
antara lain Suami kawin lagi,<br />
poligami atau selingkuh. Bentukbentuk<br />
kekerasan yang dialami<br />
korban pun cukup beragam mencakup<br />
kekerasan berdimensi seksual,<br />
ekonomi, mental/psikologis atau<br />
fisik. Kondisi demikian relatif serupa<br />
dengan hasil pengamatan<br />
LKBHluWK-Jakarta, 1997-1998<br />
yang menunjukkan dari 277 korban<br />
ternyata 41 orang (30%) mengalami<br />
bentuk kekerasan Seksual, 72 orang<br />
(51%) bentuk ke-kerasan Ekonomi,<br />
27 orang (20%) kekerasan Fisik, dan<br />
137 orang atau 98% mengakui<br />
mendapat kekerasan mental<br />
(Sumber: Komnas Perempuan;<br />
2002).<br />
Dari catatan pendampingan<br />
terhadap Korban-korban kekerasan<br />
oleh WCC Balqis-Cirebon,<br />
Perceraian, keluarga dan anak-anak<br />
terlantar,Tekanan Psikis<br />
Anak-anak terlantar dan istri terkatung<br />
tanpa diceraikan, Tekanan Psikis<br />
Perceraian, aset dikuasai dan anakanak<br />
ditelantarkan, Tekanan Psikis<br />
Tekanan psikis dan fisik<br />
Tekanan psikis<br />
Tekanan psikis<br />
Selalu mendapat kekerasan psikis<br />
Perceraian, keluarga dan anak-anak<br />
terlantar, Tekanan Psikis<br />
Perceraian, keluarga dan anak-anak<br />
terlantar, Tekanan Psikis<br />
Selalu mendapat kekerasan psikis dan<br />
fisik {dibacok sampai parah}<br />
Diperkosa, dikawin sesaat lalu diceraikan<br />
dengan tunjangan minin, Tekanan Psikis<br />
Tekanan psikis dan fisik<br />
Sumber : WCC Balqis Cirebon hasil analisa<br />
diketahui korban yang mengalami<br />
bentuk kekerasan berdimensi<br />
Ekonomi dan seksual diantaranya<br />
adalah Ny. Slm (39) seorang ibu<br />
rumah tangga dengan 3 anak dari<br />
hasil pernikahannya dengan AD (45)<br />
bertatus PNS. Dalam penuturannya<br />
diakui bahwa : “saya menikah pada<br />
tahun 1982 karena dijodohkan oleh<br />
orang tuanya. Sayapun turut<br />
membantu perekonomian keluarga<br />
dengan menerima jahitan. Setelah 5<br />
tahun pernikahan, suami mulai<br />
berubah. Dia sering keluar rumah<br />
dan pulang larut malam, selalu<br />
bicara kasar, bahkan uang belanja<br />
harianpun selalu dibatasi. Ketika<br />
ingin berhubungan intim, dia selalu<br />
memaksakan kehendaknya.<br />
Akibatnya saya mengalami tekanan<br />
jiwa, dan sering melampiaskan<br />
kekesalan kepada anak-anak”.<br />
Kasus intimidasi serupa<br />
berdimensi ekonomi juga dialami<br />
oleh Ny. Ct asal Arjawinangun,<br />
Cirebon. Diakuinya bahwa:<br />
“Suaminya seringkali marah-marah<br />
melarangnya bekerja buruh dengan<br />
alasan gengsi. Padahal ia bekerja<br />
agar kebutuhan ekonomi keluarga<br />
terpenuhi". Begitupun kasus Ny. Iyh<br />
asal Posong, Arjawinangun, Cirebon,<br />
yang bertutur bahwa: “Suaminya<br />
pergi meninggalkan keluarga,<br />
sementara status dirinya tidak ada<br />
kejelasan, terkatung-katung tanpa<br />
diceraikan. Akibatnya anak-anak<br />
menjadi terlantar dan Ny. Iyh<br />
mengalami tekanan psikis yang luar<br />
biasa.” Adapun beberapa kasus<br />
serupa dapat dilihat pada table 5.<br />
Di dalam praktiknya, kekerasan<br />
terhadap perempuan yang terjadi di<br />
Wilayah Cirebon sering tidak<br />
berdimensi tunggal. Korban dapat<br />
atau sering mengalami lebih dari<br />
satu bentuk kekerasan. Hal itu<br />
terlihat jelas pada tabel 4; dari 12<br />
korban hampir seluruhnya,<br />
disamping menderita dan tertekan<br />
secara mental/psikis, juga<br />
mengalami berbagai bentuk<br />
kekerasan fisik seperti dimarahi,<br />
dipukul, ditampar, bahkan dibacok<br />
atau perlakuan penganiayaan lain.<br />
Sedangkan eksesnya, berupa<br />
perceraian, pelaku (suami) pergi<br />
meninggalkan keluarga, istri dan<br />
anak-anaknya sampai terlantar<br />
karena tidak dinafkahi lagi<br />
umumnya dialami hampir oleh<br />
seluruh korban (istri).<br />
Kecenderungan di atas, di mana<br />
korban tidak hanya mengalami satu<br />
macam kekerasan, tapi sekaligus dua<br />
atau tiga bentuk kekerasan,<br />
--teridentifikasi juga dalam data<br />
LKBHIuWK - Jakarta Tahun 1997--.<br />
Dari 66 kasus kekerasan terhadap<br />
istri yang teridentifikasi, --terdapat<br />
43 korban kekerasan berdimensi<br />
ekonomi, 20 mengalami kekerasan<br />
fisik, 64 perempuan (hampir<br />
semuanya) mengalami kekerasan<br />
mental, dan sejumlah 11 orang<br />
menderita kekerasan seksual--. (Data<br />
Hasil Analisis Komnas Perempuan,<br />
2002)***<br />
14
Islam Membela Kaum Perempuan<br />
Catatan dari Kursus Islam dan Jender bagi Aktivis Perempuan se-Indonesia<br />
Oleh : Marzuki Rais<br />
ekerasan terhadap perempuan<br />
dalam berbagai bentuknya,<br />
sampai saat ini masih sering Kterjadi. Perempuan masih dianggap<br />
sebagai mahluk second class yang seluruh<br />
hidupnya diperuntukan bagi laki-laki.<br />
Sementara itu diwilayah publik,<br />
perempuan juga tidak memiliki ruang<br />
untuk mengekspresikan diri. Kerap kali<br />
berbagai setereotif miring diberikan<br />
kepada perempuan yang aktif bekerja di<br />
luar rumah.<br />
Perjuangan untuk mencapai<br />
kesetaraan dan keadilan gender oleh<br />
kalangan aktivis perempuan sendiri,<br />
nampaknya masih menemui banyak<br />
masalah lebih-lebih ketika persoalan<br />
eksistensi perempuan harus bergesekan<br />
dengan pemahaman keagaman<br />
mainstream. Aktivis gender dihadapkan<br />
pada benturan dan klaim kebenaran oleh<br />
mayoritas. Apalagi yang<br />
memperjuangkan demokrasi dan<br />
keadilan gender di Indonesia,<br />
kebanyakan berlatar belakang<br />
pendidikan umum [sekuler] yang lebih<br />
mengandalkan pada alat analisis sosial<br />
dan filsafat atau berlatar belakang<br />
pendidikan agama tetapi tidak memiliki<br />
otoritas keagamaan yang diakui oleh<br />
masyarakat. Sehingga program-program<br />
dan kerja-kerja yang mereka lakukan,<br />
sering mendapat tantangan dari<br />
masyarakat.<br />
Bagi masyarakat Indonesia, agama<br />
merupakan landasan utama dalam<br />
menjalankan aktivitas keseharian.<br />
Sehingga berbagai persoalan<br />
kemasyarakatan yang ada, selalu<br />
dikaitkan dengan agama. Demikian juga<br />
dalam masalah gender, pembagian peran<br />
antara laki-laki dan perempuan, baik<br />
dalam ranah publik maupun domestik,<br />
selalu dikaitkan dengan ajaran agama,<br />
terutama fiqih.<br />
Dalam fiqih, banyak dijumpai<br />
aturan dan pembagian peran antara lakilaki<br />
dan perempuan, seperti perempuan<br />
sebagai ibu rumah tangga yang<br />
berkewajiban mengurus dan melayani<br />
suami dan anak. Sementara laki-laki<br />
sebagai kepala rumah tangga yang wajib<br />
melindungi dan menafkahi keluarga. Di<br />
wilayah publik, fiqih juga menerapkan<br />
aturan dimana<br />
perempuan tidak<br />
boleh menjadi<br />
pemimpin, dan<br />
lain sebagainya<br />
yang kesemuanya<br />
itu didasarkan<br />
atas al-Qur'an<br />
maupun al-Hadis.<br />
Persoalanpersoalan<br />
tersebut<br />
kalau dilihat pada<br />
dasarnya merupakan<br />
imbas dari<br />
adanya budaya<br />
patriarkhi yang ada pada<br />
masyarakat saat itu. Sebab agama (Islam)<br />
sebagaimana dikatakan oleh Asghar Ali,<br />
merupakan agama yang mengusung<br />
keadilan, emansipasi, persamaan hak<br />
dan agama yang paling bisa didekati<br />
dengan berbagai disiplin keilmuan<br />
kontemporer. Sehingga budaya yang ada<br />
pada saat itu termasuk budaya patriarkhi,<br />
sedikit demi sedikit mulai dikikis oleh<br />
agama.<br />
Persoalan penafsiran terhadap<br />
agama inilah yang hendak dibongkar<br />
dan coba direkonstruksi dengan model<br />
penafsiran baru yang berperspektif<br />
perempuan, oleh <strong>Fahmina</strong>-institute<br />
bekerjasama dengan The Asia<br />
Foundation dengan mengadakan<br />
“Dawroh Fiqh Perempuan; Kursus Islam dan<br />
Gender bagi Aktivis Perempuan se-<br />
Indonesia” pada akhir Mei 2004 lalu.<br />
Kegiatan ini difasilitasi oleh Musdah<br />
Mulia, Lies Marcoes-Natsir, Marzuki<br />
Wahid, Badriyah Fayumi dan<br />
Faqihuddin Abdul Kodir dengan<br />
narasumber KH. Husein Muhammad<br />
(Arjawinangun), Imam Nakho'i<br />
(Situbondo), M. Jadul Maula dan<br />
Nurkholis (Yogyakarta), diharapkan bisa<br />
memberikan gambaran dan bekal yang<br />
cukup mengenai wawasan Islam dan<br />
gender bagi aktivis gender ketika mereka<br />
harus berhadapan dengan masyarakat<br />
yang berbasis agama.<br />
Di sinilah, kiranya diperlukan<br />
sinergi yang baik antara aktivis<br />
perempuan dan aktivis keagamaan yang<br />
pro gerakan perempuan. Programprogram<br />
penguatan yang sistematis dan<br />
metodologis untuk gerakan perempuan<br />
juga diperlukan ketika harus memasuki<br />
wilayah atau berhadapan dengan<br />
masyarakat yang berbasis agama.<br />
“Bangunan pengetahuan dan tafsir<br />
keislaman baru” yang memihak pada<br />
keadilan gender tidak saja penting,<br />
melainkan sangat berarti bagi aktivis<br />
gerakan perempuan dan masyarakat<br />
sebagai pedoman dan rujukan baru<br />
ajaran keislaman.<br />
Beberapa aktivis gerakan<br />
perempuan 'kawakan' turut serta dalam<br />
kursus ini. Di antara yang hadir adalah<br />
Saparina Sadli (Penasehat Komnas<br />
Perempuan), Ninuk Widyantoro<br />
(Yayasan Kesehatan Perempuan) Jakarta,<br />
Kamala Candrakirana (Komnas<br />
Perempuan) Jakarta, Debra Yatim serta<br />
beberapa peserta lainnya dari NTB,<br />
Sulawesi Utara, Yogyakarta, Medan dan<br />
Aceh yang seluruhnya berjumlah 30<br />
orang. Mereka datang dengan segudang<br />
harapan dan impian agar keadilan jender<br />
dapat segera terwujud di masyarakat.<br />
Mereka juga berharap agama Islam<br />
sebagai agama rahmatan lil'alamin<br />
mampu mewujud dalam pembelaan<br />
terhadap keadilan gender yang selama<br />
ini mereka perjuangkan. Sebagaimana<br />
ungkapkan salah seorang peserta “Hari<br />
ini, saya telah menemukan kembali agama<br />
saya” merupakan ungkapan perasaan<br />
seorang perempuan yang melihat betapa<br />
agamanya (Islam) selama ini dirasa<br />
kurang bersahabat dengan<br />
perempuan.***<br />
15
Seminar Nasional :<br />
Peran Pesantren dan Organisasi Keagamaan<br />
dalam Penanggulangan Persoalan<br />
Kematian Ibu di Cirebon<br />
elama ini, --pesantren seolah<br />
menjadi komunitas keagamaan<br />
Stersendiri yang berjarak<br />
dengan persoalan kesehatan<br />
perempuan--. Pesantren hanya<br />
identik mengkultuskan diri pada<br />
wilayah peran edukatifnya sebagai<br />
lembaga kajian ilmu-ilmu kegamaan<br />
klasik. Sementara, problematika<br />
kesehatan perempuan dianggap<br />
berada pada konteks yang berbeda.<br />
Padahal, --lewat otoritas basis<br />
keilmuan dan posisi sosialkemasyarakatan<br />
yang dimiliki--,<br />
pesantren dan organisasi-organisasi<br />
keagamaan bisa berperan lebih besar<br />
dalam peningkatan kesehatan<br />
perempuan. Dalam konteks masa<br />
kini, --di tengah tingginya Angka<br />
Kematian Ibu (AKI) dan anak<br />
maupun secara umum rendahnya<br />
akses perempuan terhadap<br />
kesehatan--, pesantren bisa<br />
mengambil peran; khususnya dalam<br />
membela hak-hak reproduksi<br />
perempuan melalui penguatan<br />
argumentatif agama yang egaliter<br />
tidak diskrimitatif.<br />
Untuk memetakan peran<br />
pesantren dan organisasi keagamaan<br />
dalam penanggulangan persoalan<br />
kematian ibu di wilayah Cirebon,<br />
Rahima dan WWC Balkis Cirebon,<br />
menggelar seminar nasional pada 01<br />
Juli 2004 di Hotel Green Apita<br />
Cirebon. Hadir sebagai nara sumber<br />
Prof. DR. Wulardi (Dosen FK UI<br />
Jakarta), KH. Husein Muhammad<br />
(PP. Dar al Tauhid Arjawinangun<br />
Cirebon), Maria Ulfah Anshor (PP.<br />
Fatayat NU) dan Drs. H.I Cholisin<br />
,MA. (Kepala Dinas Kependudukan<br />
dan Catatan Sipil/BKKBN Kab.<br />
Cirebon).<br />
Realitas buruknya<br />
kesehatan perempuan.<br />
Dalam paparannya,<br />
Prof. DR. Wulardi<br />
menyajikan data-data<br />
tentang kondisi kesehatan<br />
perempuan yang relatif<br />
buruk. Mengacu data AGI<br />
dan WHO, 1998; diketahui<br />
dari 210 kehamilan pertahun,<br />
ternyata 20 juta-nya<br />
melakukan aborsi tidak<br />
aman. Akibatnya, 70 ribu<br />
orang mati dalam setahun<br />
atau mencapai 13% dari<br />
kematian ibu.<br />
Dibandingkan negaranegara<br />
ASEAN lainnya,<br />
Indonesia tercatat sebagai<br />
negara dengan AKI<br />
tertinggi, yakni 373 per 100<br />
ribu kelahiran hidup.<br />
Lebih lanjut, disebutkan<br />
Wulardi; 46% penyebab kematian<br />
Ibu adalah pendarahan termasuk di<br />
dalamnya aborsi tidak aman, 24%<br />
akibat eklampsi, 15%karena Infeksi,<br />
7% partus macet dan 8% penyebab<br />
lain.<br />
Wulardi juga menyebutkan,<br />
--karakteristik perempuan yang<br />
melakukan aborsi tidak aman adalah<br />
87% sudah menikah, 58% berusia<br />
kurang dari 30 th, dan 84% sudah<br />
memiliki anak--. Kebanyakan<br />
mereka adalah pegawai dan<br />
mengeluh gagal KB. Di luar<br />
perkiraan, ternyata aborsi yang<br />
dilakukan SMU relatif lebih kecil,<br />
hanya mencapai 53,7 % saja.<br />
Lebih jauh, jelas Wulardi, aborsi<br />
tidak aman adalah penghentian<br />
kehamilan yang tidak diinginkan<br />
yang dilakukan oleh tenaga tidak<br />
16
terlatih, atau tidak mengikuti<br />
prosedur kesehatan atau keduaduanya.<br />
Padahal, Wulardi melihat<br />
saat ini Indonesia masih berkutat<br />
dengan problem kekurangan tenaga<br />
medis/kesehatan, ditambah<br />
dibeberapa wilayah terpencil<br />
fasilitas kesehatan minim. “Jadi, bisa<br />
kita prediksi bila peluang kematian<br />
akibat aborsi tidak aman di negara<br />
kita relatif besar sekali“, katanya.<br />
Belum lagi terkait dengan rendahnya<br />
pengetahuan dan pemahaman<br />
kesehatan, --yang dipicu pula oleh<br />
kurangnya akses perempuan<br />
Indonesia terhadap informasi<br />
kesehatan reproduksi turut<br />
memperparah buruknya kondisi<br />
kesehatan mereka tambah Wulardi.<br />
Tidak berbeda dari kondisi di<br />
atas, realitas perempuan di wilayah<br />
Cirebon pun masih menghadapi<br />
berbagai persoalan. Drs. H.I<br />
Cholisin, MA., Kepala Dinas<br />
Kependudukan dan catatan Sipil/<br />
BKKBN Kabupaten Cirebon,<br />
menyebutkan bahwa mereka<br />
sebagian besar atau mencapai angka<br />
352.552 (62,97%) tidak bekerja.<br />
Kondisi itu dibarengi tingginya<br />
prosentase drop out anak<br />
perempuan usia 7-15 tahun<br />
mencapai 52,08% dari yang<br />
bersekolah. Pada bagian lain,<br />
Cholisin menyebutkan prosentase<br />
PUS (Pasangan Usia Subur) kurang<br />
dari 20 tahun relatif besar, yakni<br />
15.295 wanita atau 4,29%, sementara<br />
itu PUS tua menempati porsi terbesar<br />
yakni 201.195 wanita (56,39%) dari<br />
total PUS sebesar 356.779.<br />
Dari segi kesehatan Cholisin<br />
memaparkan beberapa indikator<br />
masih rendahnya kondisi kesehatan<br />
perempuan di Kabupaten Cirebon.<br />
Di antaranya kematian bayi masih<br />
sebesar 359 dari 37.078 kelahiran<br />
hidup, angka kematian ibu (AKI)<br />
mencapai 67 dari 50.461 persalinan,<br />
dan masih terdapatnya gizi buruk<br />
sebesar 2,54%. Di sisi lain, kurangnya<br />
tenaga medis dan fasilitas kesehatan<br />
menjadi persoalan tersendiri. Hal itu<br />
bisa dilihat dari rasio sarana dan<br />
tenaga medis terhadap jumlah<br />
penduduk. Rasio Puskesmas<br />
terhadap penduduk 1 : 46.252;<br />
Puskesmas Pembantu masih<br />
1 : 29.494; pusling terhadap<br />
penduduk 1 : 49.636; dokter umum<br />
terhadap penduduk 1 : 27.501; dan<br />
bidan terhadap penduduk masih<br />
berkisar 1 : 4.078.<br />
Upaya Pemkab. Cirebon dalam<br />
meminimalisir kondisi tersebut,<br />
misalkan lewat pengentasan<br />
kemiskinan. Asumsinya, menurut<br />
Cholisin, jika kesejahteraan<br />
keluarga/masyarakat meningkat,<br />
diharapkan tidak akan ada lagi<br />
keluarga yang meminta pertolongan<br />
kesehatan bukan ke fasilitas<br />
kesehatan resmi seperti rumah sakit<br />
atau puskesmas. Sedangkan,<br />
program kampanye dan penyuluhan<br />
secara mandiri maupun kolektif,<br />
lewat GISS (gerakan ibu sehat<br />
sejahtera), SIAGA, atau program<br />
KISS (kampanye ibu sehat sejahtera)<br />
oleh penyuluh KB, bidan desa serta<br />
aktivis LSM perempuan difokuskan<br />
akan berefek positif pada taraf<br />
pengetahuan dan kesadaran<br />
masyarakat terhadap kesehatan<br />
reproduksi. Seluruh program itu,<br />
akan dibarengi terus dengan<br />
peningkatan kualitas pelayanan<br />
kesehatan tambahnya. “Kita akui,<br />
Pemkab. belum sepenuhnya bisa<br />
atasi AKI yang tinggi, kita juga perlu<br />
kesadaran masyarakat dan<br />
optimalisasi semua potensi<br />
stakeholder yang ada”, kata Cholisin.<br />
Apa yang bisa dilakukan pesantren<br />
dan organisai keagamaan?<br />
Berbicara mengenai peran<br />
pesantren, pimpinan PP. Dar al<br />
Tauhid Arjawinangun Cirebon,<br />
Husein Muhammad; menyebutkan<br />
selain pada wilayah tafaquh fiddin<br />
(kajian ilmu keagamaan), pesantren<br />
juga memiliki posisi sebagai sub<br />
kultur; bagian budaya yang memiliki<br />
peran signifikan terhadap perubahan<br />
sosial-budaya masyarakat kepada<br />
arah yang lebih maju. Peran agen of<br />
change pesantren itu; terlihat dari<br />
realitas historis bangsa yang<br />
terpengaruh besar oleh eksistensi<br />
pesantren lewat sebuah perjalanan<br />
kultural-sosialnya. Dalam konsteks<br />
lokal Cirebon sendiri, --hal itu<br />
terlihat jelas dari kultural atau<br />
perspektif Islam yang turut<br />
berpengaruh luas terhadap cara<br />
pandang masyarakat Cirebon dalam<br />
berbagai aspek kehidupan, tambah<br />
Husein.<br />
Dalam perspektifnya, Husein<br />
melihat, --terelaborasinya peran<br />
sosial pesantren dewasa ini --; antara<br />
lain dipengaruhi oleh besarnya<br />
kekuatan otoritas tokoh/kyai.<br />
Pandangan atau penafsiran<br />
keagamaan kyai yang bersifat<br />
personal; kerapkali dianggap mutlak<br />
kebenarannya secara sosialkomunal.<br />
Sementara, kitab-kitab<br />
kuning yang dijadikan literatur<br />
mereka, masih dianggap memiliki<br />
tingkat sakralitas/semi suci yang<br />
bersifat tekstual dan otoritatif.<br />
Kitab-Kitab kuning produk<br />
ulama masa lampau, --di pesantren--<br />
masih diintepretasikan apa adanya<br />
pada konteks masa kini dengan<br />
menafikan perubahan-perubahan<br />
yang terjadi. Hal itu, menurut<br />
Husein, menyebabkan banyak<br />
persoalan kekinian tidak terakomodir<br />
sehingga tidak mendapatkan<br />
jawaban-jawaban jelas. “Saya fikir,<br />
perlu reinterpretasi atau tafsir kembali<br />
terhadap teks-teks tersebut secara<br />
kontekstualt”, tegas Husein.<br />
Terkait soal kesehatan<br />
perempuan, Husein melihat,<br />
misalkan, --selalu dimaknai secara<br />
sederhana (simplisitas) yakni sangat<br />
pisikal sehingga solusinya lebih<br />
bersifat kuratif seperti medis<br />
pengobatan yang mana tidak<br />
menyelesaikan masalah. Padahal bila<br />
dicoba penelaahan atau pencarian<br />
akar masalah akan berujung pada<br />
realitas bahwa kesehatan perempuan<br />
lebih kompleks terkait pula pada<br />
kesehatan sosial. “Faktanya,<br />
kekerasan terhadap perempuan<br />
timbul misalnya karena kesehatan<br />
reproduksi yang tidak terjamin”,<br />
kata Husein.<br />
Selain itu, dalam banyak hal<br />
terkait dengan hak-hak reproduksi<br />
17
perempuan, terdapat pandangan<br />
kaum muslimin yang belum<br />
memberikan respons transformatifprogressif.<br />
Mayoritas penafsir dalam<br />
literatur klasik Islam terlihat<br />
kecenderungan memposisikan<br />
perempuan secara sub ordinat:<br />
perempuan secara alami adalah<br />
makhluk inferior, dan laki-laki<br />
superior. Hal itulah yang menurut<br />
Husein membawa implikasi serius<br />
pada persoalan hak-hak reproduksi,<br />
---termasuk khitan perempuan, hak<br />
menentukan perkawinan, hak<br />
penikmatan seksual, hak<br />
menentukan kehamilan, hak<br />
mendapatkan informasi kesehatan<br />
reproduksi, serta hak menentukan<br />
kelahiran (Aborsi)--; di mana dalam<br />
hal itu semua tetap memposisikan<br />
perempuan sebagai makhluk<br />
biologis untuk kenikmatan laki-laki.<br />
Dalam memahami kasus aborsi,<br />
Husein melihat bukan terletak pada<br />
soal hukum boleh atau tidak dan<br />
bukan pula karena suatu alasan<br />
tertentu, melainkan terkait dengan<br />
hal prinsipil, yakni soal kematian<br />
perempuan (ibu). Menurutnya<br />
pemikiran itu harus menjadi dasar<br />
bagi pertimbangan hukum untuk<br />
dilakukannya tindakan aborsi atau<br />
tidak. Pada sisi lain, meskipun UU<br />
melarang, tetapi aborsi bisa saja<br />
dilakukan orang dengan segenap<br />
cara atau jalan yang seringkali<br />
membahayakan keselamatan<br />
hidupnya. “Saya kira kita perlu<br />
berfikir solusi terbaik tanpa<br />
menimbulkan kemungkinan<br />
kematian perempuan lebih banyak",<br />
kata Husein.<br />
Sementara itu, Maria Ulfa<br />
Anshor, Ketua Umum Fatayat NU,<br />
melihat tingginya angka kematian<br />
ibu karena tindakan aborsi<br />
merupakan kondisi yang sama sekali<br />
jauh dari prinsip maslahat dan<br />
keadilan. Sehingga menurutnya<br />
perlu dicarikan solusi yang bisa<br />
menjembatani nilai-nilai ideal yang<br />
bersumber dari agama dengan<br />
realitas tingginya AKI sebagai<br />
sebuah fakta dengan berlandaskan<br />
pada prinsip-prinsip pembentukan<br />
hukum Islam (maqoshid al-syari'ah),<br />
yakni kesejahteraan atau<br />
kemaslahatan umum (al-mashalih al-<br />
'ammah).<br />
Lebih jauh Maria menambahkan<br />
tingginya angka aborsi tak aman<br />
yang diikuti resiko besarnya<br />
kematian ibu, tidak berdiri sendiri.<br />
Melainkan disebabkan berbagai<br />
faktor penentu pada level individu,<br />
keluarga atau masyarakat maupun<br />
negara. Disebutkan pada level<br />
individu karena kegagalan<br />
kontrasepsi, psikologis, ekonomi dan<br />
ketidaktahuan cara pencegahan<br />
kehamilan yang benar. Level<br />
keluarga dan masyarakat, faktor<br />
penentunya: kemiskinan,<br />
pengetahuan keluarga/suami<br />
rendah, pandangan agama sempit,<br />
kesulitan akses pelayanan aborsi<br />
aman dan stigmatisasi takut dan malu<br />
diketahui. Sementara faktor penentu<br />
pada level negara adalah adanya<br />
larangan aborsi dengan alasan<br />
apapun di Indonesia, sesuai KUHP<br />
pasal 346-349 dan UU Kesehatan No.<br />
23/1992 pasal 15 ayat 1 dan 2.<br />
“Realitas itu mendorong Fatayat NU<br />
bersama-sama lembaga lain perlu<br />
melakukan advokasi penguatan<br />
terhadap hak kesehatan reproduksi<br />
perempuan”, kata Maria.<br />
Adapun, Strategi dan program<br />
yang dilakukan Fatayat NU dalam<br />
penguatan hak kesehatan<br />
reproduksi, seperti dipaparkan<br />
Maria berupa; Pelatihan-pelatihan<br />
untuk meningkatkan kesadaran<br />
kritis terhadap persoalan-persoalan<br />
perempuan kepada masyarakat,<br />
melakukan kajian kritis terhadap<br />
pemahaman agama bias gender<br />
terkait isu-isu perempuan, publikasi<br />
hasil kajian kritis dalam bentuk buku<br />
leaflet dan buletin secara rutin,<br />
pemberian pelayanan informasi dan<br />
konseling kesehatan reproduksi<br />
kepada masyarakat lewat PIKER<br />
(Pusat Informasi Kesehatan<br />
Reproduksi) di 11 Propinsi, serta<br />
program penguatan dan<br />
pengembangan jaringan advokasi.<br />
Program-program tersebut selalu<br />
dilakukan menggunakan<br />
pendekatan bahasa agama. Solusi<br />
persoalan-persoalan selalu dicari<br />
berlandaskan pada prisnip-prisnsip<br />
agama (Islam). Begitupun proses<br />
sosialisasi selalu memakai idiomdiom<br />
dan bahasa agama sehingga<br />
akan lebih mudah diterima<br />
masyarakat.<br />
Namun dalam pelaksanaan di<br />
lapangan, dijelaskan Maria --tidak<br />
jarang masih dihadapkan pada<br />
kendala eksternal berupa<br />
pemahaman agama yang bias gender<br />
khususnya di kalangan tokoh-tokoh<br />
agama atau Kyai/Nyai. Hal itu<br />
berpengaruh ketika proses<br />
penyadaran terhadap masyarakat.<br />
“Kita coba lakukan klarifikasi<br />
meskipun kadang-kadang sulit<br />
karena mereka cenderung menjadi<br />
apriori “, tambahnya. *****<br />
Jika anda benar, Anda tidak perlu marah<br />
Jika anda salah, Anda tidak berhak marah.<br />
-Mahatma Gandi-<br />
18
MENAKAR<br />
KEPEKAAN NEGARA<br />
Terhadap Isu-isu Perempuan<br />
Wawancara bersama Kamala Chandra Kirana<br />
ekerasan terhadap perempuan atau disingkat KTP,<br />
sampai saat ini belum menjadi isu keprihatinan<br />
bersama masyarakat Indonesia. Boleh jadi, isu ini Kbaru berputar-putar di tingkat kalangan tertentu, belum sampai<br />
pada tingkatan grassroot. Meskipun sampai, isu tersebut masih<br />
terdengar asing, termasuk oleh korbannya sendiri.<br />
Pasalnya, masyarakat masih melihat konteks<br />
perempuan sebagai individu di satu sisi, dan sisi lain<br />
perempuan sebagai penanggung jawab utama keberhasilan<br />
keluarga dan masyarakat di wilayah domestik saja. Karena itu,<br />
kekerasan yang dialami perempuan tidak banyak diungkap<br />
bahkan dianggap tidak perlu diselesaikan lewat proses hukum<br />
positive. Padahal, kalau kita melihat bagaimana kompleksnya<br />
peta KTP ini terjadi di Indonesia, bisa jadi ini merupakan satu<br />
bentuk kekerasan yang dilakukan Negara terhadap warganya<br />
yang berjenis kelamin perempuan.<br />
Untuk melihat hal itu lebih jelas, berikut ini petikan<br />
wawancara Blakasuta dengan Kamala Chandra Kirana, salah<br />
satu Direktur Komnas Perempuan yang banyak bergerak<br />
mengusung isu UU Anti KDRT (sekarang UU Penghapusan<br />
KDRT), di Hotel Prima pertengahan Juni 2004 lalu.<br />
Apa pengertian kekerasan terhadap perempuan yang<br />
dilakukan oleh Negara?<br />
Ya, kekerasan yang dilakukan oleh negara ada dua cara,<br />
yaitu secara langsung dan tidak langsung atau<br />
-pembiaran-. Secara langsung, misalnya yang dilakukan<br />
oleh aparat; artinya negara lewat aparatnya melakukan<br />
langsung tindakan kekerasan. Jadi Aparat Negara yang<br />
melakukan langsung penyiksaan, pemerkosaan atau<br />
tindakan kekerasan lain terhadap perempuan dan anakanak<br />
misalkan yang terjadi diwilayah konflik Aceh,<br />
Papua atau di Timtim, sebagai satu bentuk intimidasi<br />
untuk melemahkan mental-psikologis kelompokkolompok<br />
musuh. Cara kedua adalah dengan pembiaran,<br />
jadi Aparat Negara tidak secara lang-sung melaku-kan<br />
suatu tindakan keke-rasan. Melainkan Negara tahu<br />
terjadi-nya tin-dak kekerasan atau kerusuhankerusuhan<br />
tapi tidak ada tindakan pencegahan konkret<br />
atau proses hukum yang jelas terhadap pelaku. Kedua<br />
cara tindakan kekerasan itu berlaku di Indonesia.<br />
Bagaimana keadaan kekerasan terhadap perempuan di<br />
Indonesia Sekarang ini? Apakah setiap tahunnya terus<br />
mengalami peningkatan ?<br />
Ya, secara luas memang kecenderungannya<br />
mengindikasikan kearah itu. Ketika KOMNAS<br />
perempuan berdiri tahun 1999 lalu, pada saat itu<br />
bersamaan Negara kita ditimpa krisis ekonomi besarbesaran<br />
mulai tahun 1997. Selain banyak perempuan<br />
korban kekerasan oleh aparat negara seperti yang<br />
diilustrasikan di atas, juga kekerasan muncul akibat<br />
krisis ekonomi.<br />
Sejak mei 1998, Isu kekerasan terhadap perempuan<br />
menjadi sebuah isu bersama yang berdampak<br />
munculnya respon, reaksi atau penyikapan terhadap<br />
keberadaan perempuan secara nasional termasuk juga<br />
hadirnya WCC di Cirebon, Semarang, Papua, dan Aceh.<br />
Terpuruknya kondisi ekonomi kita ataupun<br />
merebaknya konflik-konflik sosial politik memunculkan<br />
keresahan dan situasi tidak nyaman di dalam keluarga.<br />
Tekanan yang dialami Suami, --karena kehilangan<br />
pekerjaan dan sulitnya mencari pekerjaan baru--,<br />
berakibat kasus-kasus kekerasan di dalam rumah tangga<br />
(KDRT) terus melonjak. Di sisi lain, kondisi ekonomi<br />
yang hancur turut pula mendorong semakin tingginya<br />
19
minat orang kerja ke keluar negeri.<br />
Belum lagi, Keluarga-keluarga turut<br />
mendorong istrinya, atau anak<br />
perempuanya menjadi TKW ke luar<br />
negeri. Kondisi ini memperparah<br />
peluang kekerasan terjadi semakin<br />
banyak<br />
Padahal kenyataan disana,<br />
pasaran TKW Indonesia sebagian<br />
besar PRT yang notabene riskan<br />
tindak kekerasan. Ditambah masih<br />
buruknya sistem pengiriman TKW<br />
yang tidak memuat mekanisme<br />
perlindungan secara jelas. Agenagen<br />
tidak lebih sebagai pedagang<br />
orang saja; berkolusi dengan Aparat<br />
Negara demi keuntungan material<br />
mereka pribadi. Sehingga beberapa<br />
kasus-kasus TKW mencuat seperti<br />
TKW pulang dalam kondisi<br />
bermasalah (ilegal), diperkosa<br />
bahkan banyak TKW diantarkan<br />
dalam kondisi sudah di peti mati...<br />
Jadi, dari tahun 1998 persoalan<br />
kekerasan perempuan ini semakin<br />
komplek? Kenapa?<br />
Iya, karena yang tadi saya bilang<br />
perekonomian kita lemah ditambah<br />
kasus konflik atau benturanbenturan<br />
komunan atau pun militersipil<br />
masih banyak sekali. Tingkat<br />
kekerasan merajalela menjadi suatu<br />
budaya tersendiri. Sebab pada<br />
akhirnya kekerasan kita bukannya<br />
berkurang tetapikan kecenderungan<br />
semakin mengental. Kondisi itu<br />
tidak terlepas dari warisan ORBA;<br />
sebuah masa dimana militer<br />
melakukan peyelesaian-penyelesain<br />
dengan menggunakan kekerasan.<br />
Kita sendiri akhirnya lama-kelamaan<br />
ikut menginter-nalisasi. Walaupun<br />
sistem orde baru-nya telah hilang tapi<br />
budaya dan cara-cara kerjanya itu<br />
masih hidup di dalam diri kita.<br />
Bentuk advokasi yang dijalani<br />
KOMNAS Perempuan seperti apa?<br />
Yang membantu korban kekerasan<br />
secara langsung adalah kawankawan<br />
di komunitas pendampingan<br />
untuk para korban. Kita berperan<br />
untuk menciptakan situasi yang<br />
kondusif dan sistemik untuk<br />
memungkinkan hak-hak perempuan<br />
dipenuhi dan melindungi mereka<br />
dari kekerasan. Jadi arena kerja<br />
komnas adalah di wilayah kebijakan<br />
selain penguatan di tingkat<br />
masyarakat. Di bidang Kebijakan<br />
misalkan kita bersama organisasi<br />
aktivis perempuan terlibat aktif<br />
mendesak pengesahan rancangan<br />
undang-undang anti kekerasan<br />
dalam rumah tangga (KDRT).<br />
Untuk persoalan buruh<br />
migran, kita juga mendukung<br />
rancangan undang-undang perlindungan<br />
buruh migran dan memberi<br />
masukan-masukan khusus untuk<br />
memastikan bahwa Undang-undang<br />
itu bisa peka terhadap realitas TKW<br />
di luar negeri.<br />
Model pendekatannya?<br />
Pada Wilayah kebijakan, selain lewat<br />
perundangan, kita juga bekerja sama<br />
dengan lembaga-lembaga penegak<br />
hukum supaya supremasi hukum<br />
bagi perempuan korban kekerasan<br />
itu betul-betul ditegakkan. Kenyataan<br />
korban perkosaan yang di proses<br />
ke peradilan formal itu lebih sering<br />
dilecehkan dari pada di bantu. Kita<br />
lakukan dialog dengan Pimpinan<br />
dari lembaga-lembaga hukum serta<br />
lembaga-lembaga terkait lain semisal<br />
Depertemen Kesehatan agar mereka<br />
bisa peka juga melihat realitas<br />
kekerasan terhadap perempuan di<br />
sektor kesehatan.<br />
Berkaitan dengan penguatan<br />
kapasitas, kita juga bekerja sama<br />
dengan kawan-kawan aktivis<br />
organisasi perempuan untuk<br />
mengeksplor perlu penguatan di<br />
bidang apa. Di samping itu, kita juga<br />
ikut memfasilitasi penguatan mereka<br />
di bidang advokasi seperti standar<br />
pemberian layanan untuk korban<br />
kekerasan agar berkualitas dan<br />
bertanggungjawab. Terus kita juga<br />
memfasilitasi Kawan-kawan di<br />
daerah untuk bersinergi dengan<br />
banyak pihak supaya mendapatkan<br />
dukungan banyak, misalkan dengan<br />
rumah sakit daerah sehingga<br />
bantuan yang diberikan kepada<br />
perempuan korban kekerasan itu<br />
sifatnya holistik. Institusi-institusi ini<br />
membuat mekanisme kerjasama<br />
yang baik sehingga perempuan<br />
korban yang datang minta bantuan<br />
itu bisa dilayani secara terpadu.<br />
Ya termasuk ke dalam lingkungan<br />
keluarga. Peta kekerasan di dalam<br />
keluarga kian bervariasi. Karena itu,<br />
terhadap situasi seperti itu apakah<br />
cukup hanya mengandalkan<br />
kebijakan pemerintah semacam<br />
undang-undang KDRT atau banyak<br />
situasi lain atau cara lain yang<br />
mungkin bisa dilakukan?<br />
Pasti banyak cara lain tapi kan<br />
perannya KOMNAS perempuankan<br />
di situ. Porsi kita adalah kebijakan.<br />
Bukannya kita anggap inilah satusatunya<br />
cara. Tapi ini stressing tugas<br />
kita. Yang lain harus memainkan<br />
perannya...<br />
Dari pengalaman melakukan<br />
advokasi, kesulitan apa yang<br />
dihadapi dilapangan?<br />
Persoalan yang substansif adalah<br />
Legislatif sendiri sebenarnya tidak<br />
terlalu paham bahkan tidak terlalu<br />
serius menanggapi persoalanpersoalan<br />
advokasi perempuan.<br />
Legislatif melihat kita tidak sebagai<br />
sumber dukungan. Mayoritas<br />
mereka menyelesaikan masalah<br />
sambil lalu. Bila realisasi UU anti<br />
KDRT, kemudian tidak betul-betul<br />
disikapi serius, maka hal ini<br />
termasuk bagian dari suatu bentuk<br />
kekerasan dalam arti bahwa negara<br />
terus menerus melakukan pembiaran<br />
terhadap realitas munculnya<br />
kekerasan terhadap perempuan di<br />
Negeri ini.****<br />
20
Ketidak Pedulian Negara<br />
Pada Kesehatan Perempuan<br />
Wawancara dengan Mbak Ninuk Widyantoro<br />
Nasib perempuan di negeri ini, belum semujur perempuan-perempuan di belahan Negeri lain,<br />
bahkan dibandingkan negara-negara ASEAN sekalipun. dari ukuran HDI (Human Development<br />
Indeks) kesehatan perempuan Indonesia tergolong memprihatinkan. Begitu juga, bila dilihat dari<br />
AKI (Angka Kematian Ibu) yang terus melonjak. Saat ini, besaran AKI di Indonesia<br />
dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya adalah kurang kebih 66 kali AKI Singapura;<br />
sekitar 10 kali AKI Malaysia; atau 9 kali AKI Thailand; dan masih 2,3 kali Filipina (Data GOI &<br />
UNICEF, 2000). Dalam kurun waktu 20 tahun tercatat rata-rata dalam setiap jam satu<br />
perempuan tidak bisa tertolong jiwanya akibat aborsi tidak aman.<br />
Parahnya, kondisi buruk itu turut dipicu oleh kebijakan publik Negara sendiri dalam<br />
bidang kesehatan yang tidak pernah berpihak kepada perempuan. Tanpa disadari, --tidak<br />
adanya Political Will Negara yang jelas atas pemberdayaan perempuan lewat programprogram<br />
peningkatan kesehatan perempuan; berarti Negara tengah melakukan tindak<br />
kekerasan dan kekejian terhadap perempuan--. Sebab, tingginya Aki berarti masih<br />
rendahnya tingkat kesejahteran penduduk dan secara tidak langsung mencerminkan<br />
kegagalan pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi resiko kematian ibu dan<br />
anak.<br />
Berikut petikan wawancara Ipah Jahrotunasifah dengan Aktivis Kesehatan<br />
Perempuan Mbak Ninuk Widyantoro, Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan Jakarta<br />
pada pertengahan Juni 2004 lalu.<br />
Bagaimana kondisi perempuan<br />
Indonesia secara khusus dari sisi<br />
kesehatan ?<br />
Ya, secara global ada ukuranukuran<br />
untuk mengukur atau menilai<br />
kualitas kesehatan perempuan di<br />
sebuah negara, pertama HDI (human<br />
development indeks), kedua MMR<br />
(maternal mortality rate) atau Angka<br />
Kematian Ibu yang mengukur tiga<br />
hal, yaitu kesehatan, pendidikan dan<br />
ekonomi, ketiga ukuran secara makro<br />
adalah tingkat pendidikan<br />
perempuan.<br />
Ditinjau dari HDI menunjukkan<br />
kesehatan perempuan Indonesia<br />
mengalami kemerosotan atau<br />
setidaknya tidak ada perubahan<br />
berarti. Faktanya, pada tahun 1992<br />
HDI Vietnam menduduki tingkat 107<br />
berada jauh 20 tingkat lebih rendah<br />
dari kita yang berada pada level 97<br />
dari 160 negara. Nah, tahun 2003<br />
kondisinya berbalik, Vietnam di<br />
posisi 97 sedangkan Indonesia<br />
terpuruk diposisi 113, --mereka<br />
mengalami kenaikan 20 tingkat, kita<br />
mundur 16 tingkat--.<br />
Dari ukuran AKI (angka kematian<br />
ibu) melahirkan selama hampir 20<br />
tahun tidak pernah turun signifikan,<br />
bahkan statistik BPS memperlihatkan<br />
angka AKI naik 396 rata-rata<br />
pertahun atau lebih dari satu<br />
perempuan rata-rata mati setiap<br />
jamnya.<br />
Mengapa kondisi demikian bisa<br />
terjadi?<br />
Di sinilah kita melihat kepedulian<br />
pembuat kebijakan terhadap keadaan<br />
dan nasib perempuan sangat kecil,<br />
misalkan enggak ada upaya-upaya<br />
pendidikan kesehatan yang<br />
bermakna; programnya jelas dan<br />
teruji, bisa difolow-up, bisa dinilai atau<br />
dievaluasi, dan disupervisi. Lalu,<br />
setelah dinilai apakah memang yang<br />
dididik itu menjadi faham sehingga<br />
terjadi perubahan perilaku. Ini kan<br />
engga? misalnya dalam program KB, -<br />
-Faktanya banyak perempuan<br />
mengalami kegagalan kontrasepsi--.<br />
Ini kan berarti pendidikannya tidak<br />
efektif. Jadi, menurut saya selama ini<br />
tidak ada pendidikan kesehatan yang<br />
bermakna kepada masyarakat umum.<br />
Kalau menurut mereka (Pemerintahred)<br />
ada, buktinya apa? mestinya bila<br />
program itu serius dilakukan, harus<br />
terukur sejauh mana tingkat<br />
penguasaan pengetahuan perempuan<br />
Indonesia terhadap kesehatan dan<br />
sejauh mana mereka mengalami<br />
perubahan perilaku sehingga<br />
terhindar dari penyakit atau<br />
kehamilan yang tidak diinginkan.<br />
Data menunjukkan tingginya AKI di<br />
Indonesia tergolong meresahkan,<br />
kenapa hal itu bisa timbul ?<br />
Angka Kematian Ibu sebagian<br />
besar terjadi akibat aborsi tidak<br />
aman. Di satu sisi seharusnya<br />
kemajuan Iptek, memungkinkan bisa<br />
melindungi perempuan dari aborsi<br />
yang tidak aman dengan pelayanan<br />
memadai, aman dan murah. Tapi kok<br />
enggak di pakai? satu hal kita<br />
terbentur juga dengan perspektif<br />
agama yang tidak membolehkan.<br />
21
Kondisi itu, dipicu pula karena<br />
ulamanya sendiri tidak pernah<br />
dididik atau dilibatkan dalam soal<br />
tersebut (seperti Kegiatan Dawroh Fiqh<br />
Perempuan, red). Nah itu semuanya<br />
termasuk tindak kekerasan terhadap<br />
perempuan dalam bidang kesehatan.<br />
Ada pengetahuan dan teknologi baru<br />
tapi tidak dipakai untuk memperbaiki<br />
kondisi perempuan. Padahal dalam<br />
satu jam di Indonesia lebih dari satu<br />
perempuan mati akibat aborsi sendiri.<br />
Jadi, menurut anda berarti akses<br />
perempuan di Indonesia terhadap<br />
kesehatannya sangat rendah?<br />
Ya, bahkan tidak ada kepedulian,<br />
apalagi memikirkan akses informasi,<br />
sebab enggak ada informasi, enggak<br />
ada akses. Akses apa? Buktinya mati<br />
segitu banyak kan tidak ada yang<br />
peduli menolong. Padahal kondisi<br />
begitu sudah berlangsung hampir<br />
tiga puluh tahun. Apa pernah ada<br />
seruan nasional? seperti semua pihak<br />
dibuat kelabakan ketika kasus SARS<br />
merebak? kan tidak? Lalu, kalau<br />
misalnya aborsi nggak<br />
diperbolehkan, apa ada pendidikan<br />
seks yang memadai sehingga terjamin<br />
tidak akan ada kehamilan yang tidak<br />
diinginkan. Kan tidak ada juga ?...<br />
Atau mungkin terkait penerapan<br />
metodologinya yang keliru?<br />
Ah, metodologi apa? Saya fikir<br />
peduli saja dulu sudah cukup. Kalau<br />
memang peduli siapapun bisa belajar<br />
dari orang lain, nggak usah pergi ke<br />
mana-mana di rumah juga bisa, asal<br />
mau karena sebetulnya materinya itu<br />
gampang. Kalau kepedulian itu<br />
sudah timbul dari diri sendiri, maka<br />
orang akan mencari cara atau metodemetode<br />
sendiri...<br />
Bagaimana dengan perempuan di<br />
pedesaan yang aksesnya betul-betul<br />
rendah?<br />
Ya, itu persoalannya kan negara ini<br />
tidak pernah mengajarkan warganya<br />
itu peduli terhadap dirinya sendiri.<br />
Berbeda dengan negara-negara lain,<br />
persoalan kesehatan perempuan<br />
termasuk pendidikan seksual telah<br />
diajarkan di sekolah sejak SLTA.<br />
Sedangkan di Indonesia tidak ada.<br />
Bagaimana kita mau menjelaskan<br />
tentang HIV/AIDS kalau tidak<br />
pernah ada pendidikan seks<br />
sebelumnya. Berbicara cara<br />
penularan HIV/AIDS kan berarti juga<br />
harus berbicara secara terbuka<br />
tentang seks?<br />
Sementara lembaga-lembaga<br />
formal seperti Menteri Negara<br />
Pemberdayaan Perempuan tidak<br />
pernah jelas melakukan<br />
pemberdayan di bidang atau bagian<br />
apa? Departemen Kesehatan sendiri<br />
sepertinya tidak bisa berbuat banyak,<br />
buktinya banyak perempuan dalam<br />
kondisi tak sehat, bahkan satu orang<br />
mati dalam setiap jamnya. Selain itu,<br />
aborsi tidak aman terjadi dimanamana,<br />
kalau misalkan tersedia akses<br />
cukup tentang kontratsepsi oleh<br />
BKKBN mestinya kasus ini tidak<br />
terjadi. Jadi ini menggambarkan<br />
memang departemen-departemen<br />
tersebut tidak peduli dan tidak<br />
bertanggungjawab mengurus<br />
perempuan.<br />
Sejauhmana anda melihat<br />
keberpihakan negara sendiri<br />
terhadap kondisi kesehatan<br />
perempuan kita ?<br />
Negara kita memang enggak<br />
peduli, mereka itu tidak sadar bahwa<br />
telah melakukan kekejian dan<br />
kekerasan terhadap perempuan<br />
dengan cara tidak peduli terhadap<br />
program-program peningkatan<br />
kesehatan perempuan. Apakah<br />
kondisi demikian akan terus<br />
dibiarkan? Padahal dewasa ini segala<br />
sesuatunya (IPTEK, red) memungkinkan<br />
berperan banyak? Sementara<br />
itu negara lain sudah berubah; Angka<br />
kematian perempuan kita itu 10 kali<br />
lipat dari Iran. Nah, kita tahu Iran itu<br />
negara Islam tapi di sana aborsi<br />
diperbolehkan, emergensi<br />
kontrasepsi tidak dilarang, konseling<br />
juga ada, di sini kan gak? Dengan<br />
begitu kita sudah bisa memperoleh<br />
gambaran sendiri betapa parahnya<br />
kita. Padahal, banyak negara-negara<br />
Islam lain konsisten menyelamatkan<br />
perempuannya. Hal itu terukur dari<br />
tingkat HDI-nya tinggi dan<br />
rendahnya tingkat kematian<br />
perempuan di negaranya.<br />
Apakah itu juga menunjukkan posisi<br />
perempuan Indonesia memang betulbetul<br />
secara status sosial masih<br />
sangat rendah ?<br />
Banyak ukurannya, tapi saya<br />
membatasi dalam soal kesehatan saja.<br />
Saya takutnya mereka enggak<br />
berpikir dampak buruk dari<br />
tingginya perempuan mati atau tidak<br />
sehat, misalkan terhadap pola<br />
pengasuhan anak atau terhadap<br />
rendahnya kualitas SDM kita yang<br />
saat ini rata-rata rendah. Saya juga<br />
sedih, selama ini yang dipakai<br />
ternyata ayat-ayat Qur'an yang tidak<br />
berpihak kepada perempuan.<br />
Sementara aturan-aturan di negara<br />
kitapun, interpretasi-interpretasinya<br />
masih merendahkan perempuan. Kita<br />
enggak tahu bagaimana<br />
merubahnya? Jadi, percuma kalau<br />
kita hanya menuntut terus, karena<br />
selama ini realitasnya tidak pernah<br />
ada perubahan. Kita nggak usah<br />
berharap terus, mungkin lebih baik<br />
membangun apa yang disebut Civil<br />
Society Movement yang mengharuskan<br />
kita terus bergerak...<br />
Bagamana dengan sistem civil<br />
society movement terkait isu<br />
kesehatan agar perempuan betulbetul<br />
perduli terhadap dirinya?<br />
caranya?<br />
Jadi, civil society itu termasuk juga<br />
mendorong banyak LSM perempuan<br />
untuk berfikir dan bergerak dalam<br />
bidang kesehatan perempuan. Nah,<br />
Kita masukkan materi-materi<br />
kesehatan perempuan dalam setiap<br />
program-program mereka, misalnya<br />
lewat Fear Education Program atau<br />
melatih orang-orang potensial dan<br />
memiliki kemauan yang timbul dari<br />
hati. Dan seharusnya setiap orang<br />
menyebarkan pengetahuan atau<br />
informasi kepada sesamanya. Selain<br />
itu, sebagai perempuan harus aktif<br />
menggali informasi dan pengetahuan<br />
sendiri terkait peningkatan<br />
kesehatannya serta betul-betul harus<br />
merasa perlu.****<br />
22
" PENELITIAN BERPERSPEKTIF PEREMPUAN “<br />
Mengkaji Secara dalam Keberpihakan Pengetahuan<br />
Terhadap Perempuan<br />
Oleh : Nuruzzaman<br />
Dalam dunia akademik dikenal dua macam pendekatan<br />
penelitian, yaitu pendekatan positivisme (yang lebih dikenal dengan<br />
pendekatan kuantitative), dan pendekatan humanisme (yang lebih<br />
dikenal dengan pendekatan kualitative), dua pendekatan ini dikenal<br />
sebagai dua pendekatan yang konvesional karena dua pendekatan ini<br />
lebih banyak dikenal dan digunakan dalam melakukan penelitian ilmu<br />
sosial di Indonesia, yang pada kenyataannya bahwa riset sosial yang ada<br />
selama ini kebanyakan berdasar pada tulisan-tulisan dari ilmuan sosial<br />
yang tidak bebas dari berbagai pandangan setereotipik tentang<br />
perempuan atau perspektif androsentrik tidak mementingkan<br />
keberpihakan pada perempuan dalam memilih topik riset maupun dalam<br />
tujuan risetnya.<br />
Namun akhir-akhir ini di Indonesia muncul jenis penelitian yang<br />
memiliki perspektif perempuan yang memiliki tujuan sama dengan<br />
penelitian konvensional lain yaitu, membangun teori masyarakat dan<br />
perubahan-perubahannya, dan hasilnya dapat digunakan sebagai<br />
masukan dalam merumuskan kebijakan, ini erat kaitannya dengan usaha<br />
untuk memperbaiki kehidupan kaum perempuan yang gemanya juga<br />
merebak ke dunia akademik. Namun sebagai sebuah meteodologi<br />
penelitian, penelitian berperspektif perempuan telah lama berkembang di<br />
Barat sejak tahun 1970-an sebagai bagian dari gerakan perempuan,<br />
yaitu gerakan feminisme telah merangsang sejumlah ilmuan feminis<br />
untuk kemudian melakukan kegiatan akademik yang mengacu pada<br />
gerakan sosial-politik tersebut.<br />
Munculnya riset berperspektif perempuan, salah satunya di<br />
dorong oleh keadaan adanya sejumlah akademisi perempuan dari<br />
berbagai disiplin ilmu yang berkeyakinan bahwa terhadap masalah yang<br />
sama, pengalaman laki-laki dan perempuan dapat berbeda (sebagai<br />
konsekuensi dari proses sosialisasinya, tradisi, agama serta nilai sosial,<br />
budaya yang memandang perempuan dan laki-laki berbeda). Keadaan<br />
ini lah yang memunculkan berkembangnya keyakinan pada kaum<br />
feminis yang berada di dalam lingkungan akademik bahwa berbagai<br />
masalah yang dinilai sebagai masalah perempuan perlu dipahami<br />
berdasarkan kondisi dan situasi perempuan.<br />
Riset feminis atau penelitian berperspektif perempuan lebih<br />
penting daripada observasi sederhana mengenai kehidupan wanita; riset<br />
ini juga memasukkan metodologi feminis. Metodologi ini berbeda dengan<br />
metodologi penelitian lain yang konvensional. Sandra Harding<br />
membedakan metodologi, metode dan epistimologi. Metodologi adalah<br />
suatu teori dan analisis mengenai bagaimana riset dilakukan atau<br />
dimulai, sedangkan metode adalah teknik (cara bekerja) mengumpukan<br />
fakta-fakta. Sedangkan epistimologi menjawab pertanyaan-pertanyaan<br />
tentang siapa yang bisa menjadi 'yang mengetahui' (bisakah wanita?).<br />
Epistimologi memainkan peran yang signifikan dalam membentuk<br />
metodologi feminis serta memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang<br />
metode tradisional. Sandra Harding menggambarkan tiga ciri metodologi<br />
feminis atau pilihan feminis terhadap metode: Pertama, metodologi itu<br />
memanfaatkan sumber-sumber empiris dan teoritis baru yang<br />
menggabungkan rangkaian penuh pengalaman-pengalaman wanita.<br />
Kedua, masalah riset dipandang sebagai tak terpisahkan dari tujuan riset<br />
dan analisis. Ketiga, peneliti dilihat dalam lingkungan yang sama<br />
sebagaimana informan/subyek penelitian, yakni, kelas, ras, kebudayaan,<br />
serta asumsi-asumsi jenis kelamin, kepercayaan.<br />
Prinsip-prinsip penelitian berperspektif perempuan;<br />
1. Keberpihakan kepada/untuk perempuan<br />
Riset berperspektif perempuan berpihak pada perempuan dan<br />
permasalahannya. Topik riset adalah masalah perempuan. Metodenya<br />
tidak dibatasi secara ketat dan kriteria pilihan ditentukan oleh apa yang<br />
dianggap penting untuk dapat memahami perempuan dan<br />
permasalahannya. Tujuan riset bukanlah terutama "tentang perempuan"<br />
melainkan "untuk perempuan". Validitas riset dikaitkan dengan<br />
pengalaman perempuan sebagai indikator realitas.<br />
2. Jender sebagai tool of analysis<br />
Jender dipandang sebagai faktor yang berpengaruh menentukan<br />
persepsi dan kehidupan perempuan, membentuk kesadarannya,<br />
ketrampilannya, dan membentuk pula hubungan kekuasaan antara lakilaki<br />
dan perempuan.<br />
Fokus penelitian adalah masalah khas perempuan yang dialami<br />
sebagai konsekuensi dari hubungan jender. Kecenderungan untuk<br />
menggunkan metode kualitatif seperti; FGD, wawancara mendalam,<br />
partisipasi observasi. Ini digunakan untuk memahami pengalaman<br />
pribadi dari sudut pandang orang yang bersangkutan. Metode yang<br />
dipegang oleh peneliti tidak kaku, bisa berubah sesuai dengan<br />
kebutuhan dan perekembangan.<br />
Ciri-ciri dasar metodologi penelitian berperspektive perempuan;<br />
Penelitian berperspektif perempuan tidak mementingkan metode<br />
riset, tapi lebih pada bagaimana hasil riset digunakan untuk bisa<br />
menjawab berbagai kondisi hidup perempuan yang merugi akibat posisi<br />
sosialnya (jendernya), dengan kata lain orientasinya cenderung pada<br />
keinginan untuk dapat memahami masalah yang dialami perempuan<br />
sebagai akibat dari keberadaannya dalam masyarakat di mana selalu<br />
berlaku ideologi jender tertentu yang merugikan perempuan sebagai<br />
anggota masyarakat mapun pribadi.<br />
Penelitian berperspektif perempuan dapat memahami<br />
pengalaman perempuan dengan meneliti persepsinya tentang<br />
pengalaman pribadi. Analisis riset juga memakai konsep-konsep dari<br />
bebagai aliran feminisme yang telah berkembang seperti: hubungan<br />
kekuasaan, konsep marjinalisasi, subordinasi, opresi dan sebagainya.<br />
Metode pngumpulan data yang digunakan tidak berbeda dengan riset<br />
sosial pada umumnya yaitu kualitative atau kuantitative.<br />
Penelitian yang berperspektif perempuan adalah peneletian yang<br />
berusaha untuk mengangkat pengalaman dan pengetahuan perempuan<br />
dalam kehidupannya bermasyarakat, yang mencakup pula hubungan<br />
jender di dalamnya. Sedangkan tujuannya adalah hasil penelitian dapat<br />
digunakan sebagai bahan masukan dalam merumuskan kebijakan<br />
pembangunan yang tidak saja memepertimbangkan kebutuhankebutuhan<br />
praktis jender saja, tapi juga mempertimbangkan kebutuhankebutuhan<br />
strategis jender. Sedangkan yang dimaksud dengan<br />
kebutuhan dan kepentingan yang praktis jender adalah kepentingan atau<br />
kebutuhan yang sesuai dengan peran produktif, reproduktif, dan peran<br />
yang berkaitan dengan pengelolaan komunitas kaum perempuan di<br />
negara-negara yangs edang berkembang.<br />
Penelitian berperspektif perempuan adalah bukan penelitian<br />
tentang perempuan, tetapi penelitian untuk perempuan, yaitu penelitian<br />
yang bertujuan untuk mengubah kehidupan perempuan menjadi lebih<br />
baik sehingga kesenjangan hubungan antarjender yang lebih merugikan<br />
perempuan dapat diminimalkan. [ ]<br />
23
Syekh Muhammad al-Ghazali<br />
(1917-1996)