12.07.2015 Views

blakasuta 08.pdf - fahmina institute Cirebon

blakasuta 08.pdf - fahmina institute Cirebon

blakasuta 08.pdf - fahmina institute Cirebon

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Faqihuddin Abdul KadirAssalamu'alaikum, Wr. Wb.Dalam diskusi-diskusi hukum maupun kebijakan publik,hampir bisa dipastikan bahwa PeKa-eL, atau PedagangKaki Lima dianggap selalu yang bersalah di hadapanpemerintah. Mereka yang mengambil trotoar jalan,merusak ketertiban, menyesakkan pejalan kaki danmengurangi keindahan kota. Dalam setiap kesempatan,Wakil Walikota <strong>Cirebon</strong>, Bapak Agus al-Wafier seringmenyampaikan bahwa yang menjad problem masyarakatKota adalah apa yang sebut sebagai tujuh belas kaki. Kakidua (PSK), kaki tiga (becak), kaki empat (angkot) dan kakilima (PKL).Persoalan PKL di Kota <strong>Cirebon</strong> tidak bisa dilihathanya dari sisi para pedagang semata. Sebagai makhluksosial, mereka tidak beridir sendiri. PKL adalah bagianyang tidak terpisahkan dari struktur sosial dan strukturkebijakan yang melingkupinya. Dalam kasus PKL pasarpagi misalnya, mereka telah membayar uang sewatempat, membayar uang retribusi daerah, bahkanpungutan-pungutan lain yang dibebankan kepadamereka. Di samping itu, keberadaan mereka jugamerupakan kebijakan penataan yang tidak jelas yangdilakukan pemerintah daerah. Hampir bisa dipastikan,pemerintah daerah hanya akan melayani para pedagangbesar yang membangun mal-mal dan toko-toko besar.Sekalipun pembangunan mereka akan menggusur sentrasentrapasar tradisional, cagar budaya, bahkan tempattempatpublik yang menjadi ruang kebersamaanmasyarakat. Kebijakan ini tentu saja akan mematikanekonomi rakyat di satu sisi. Di sisi lain pembangunan initidak pernah menyertakan di mana letak PKL bisa secarabersama berjualan di samping mal-mal. Padahal, PKLmemiliki konsumen yang juga cukup banyak, termasukpara pekerja di dalam mal itu sendiri.Persoalan PKL di kota <strong>Cirebon</strong> harus dilihatsebagai titik balik dari ketidak-seriusan para pengambilkebijakan dalam menata sentra-sentra perdagangan diKota <strong>Cirebon</strong>. Pengusaha besar seringkali bernafsumenggusur sentra perdagangan tradisional, tanpamemikirkan penempatan kembali para pedagang kecil inidi tempat yang layak jual. Ketika mereka tidak lagi memilikitempat yang laya untuk berjualan, di tambah dengansempitnya lapangan kerja dan membludaknya jumlahpenduduk, maka satu-satunya alternatif bagi parapedagang kecil adalah merebut trotoar yang tersisa untukberjualan. Para pedagang kecil ketika berhadapan denganpara pengusaha besar, selalu dikalahkan oleh pemerintahdaerah, yang katanya berdiri untuk memihak rakyat.Mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali merebut ruasruasjalan itu.Tetapi mereka seringkali disalahkan denganmengatasnamakan ketertiban, kenyamanan dankerapihan. Di samping juga atas nama investasi dan PAD.Padahal, pemerintah daerah seringkali juga ketikaberinvestasi dengan pedagang-pedagang besar jugamengalami kerugian yang mengancam APBD. Lihat sajapasar Jagasatru, pasar Drajat, pembangunan terminalHarjamukti dan Pasar Balong sendiri. Sekali lagi,persoalan PKL harus dilihat sebagai titik balik darikebijakan pemerintah terhadap penataan para pedagang,kecil maupun besar.Tidak bermaksud menyalahkan siapa-siapa, tetapipenataan harus dilakukan secara baik dandipertanggungjawabkan. Salah satu caranya denganmemperoleh masukan dari berbagai pihak, denganmelibatikan partisipasi publik seluas mungkin, dalammerumuskan penataan para pedagang. Tidak semestinyapembangunan mal-mal menggusur para pedagang kecil,karena semua warga negara memiliki hak yang samaterhadap akses ekonomi. Di negara maju saja,pembangunan mal-mal itu dilakukan di luar kota yanghanya bisa dijangkau dengan kendaraan. Sementara didalam kota, tetap dikhususkan untuk para pedagang kecil.Ke depan, seharusnya tidak ada lagi pembangunan mal didalam Kota yang akan menggusur para pedagang kecil,atau akan memperbeser kemacetan. Ke depan, penataanruang Kota harus memperhatikan seluruh lapisan rakyat;para pejalan kaki, angkot, tukang becak dan pedagangkaki lima.Blakasuta edisi ini, mengajak para pembacamelihat persoalan PKL secara seksama untuk lebihmemihak pada perekonomian rakyatSelamat MembacaWallahu al-Musta'an, Wassalam.02


PKL Pasar PagiPerjalanan Panjang Memperoleh Hak BerjualanOleh: Erlinus Yunus Thahareberadaan PKL di Pasar Pagi,sama dengan sejarah PasarPagi itu sendiri, yang dimulai Ksejak zaman penjajahan. Kriteria PKL,dulu, sebenarnya tak seburuksangkaan orang. Sebagai PasarTradisional, Pasar Pagi awalnnyaterbentuk oleh kumpulan pedagangtradisional, atau dengan bahasasetempat disebut “pedaganglemprakan” atau “dasaran”. Yakniorang-orang yang berjualan denganmenggelar dagangan dengan alasseadanya. Pada awalnya merekamenjual hasil bumi, seperti sayuran,buah-buahan, rempah-rempah, ikan,daging dll. Lalu berkembang tidakhanya itu, ada sandal, pakaian, emberdan sebagainya. Berbagai macamrupa kebutuhan dasar sehari-haritersedia di sana.Kepraktisan tampaknya turutmendorong pengunjung sukamengunjungi Pasar Pagi. Selain hargayang kompetitif, juga banyakragamnya, seperti halnya pasar-pasartradisional lainnya. PKL lemprakanmembuat Pasar Pagi jadi ramai.Mereka bertahun-tahun membentukcitra Pasar Pagi menjadi pasar yangterkenal, tempat belanja yang murah,dan bersahabat kepada rakyatterutama kelas ekonomi menengahkebawah. Dari kumpulan PKL,lemprakan, dasaran lalu jadi pasar.Lalu sebagian dari mereka yang maju,membentuk kios-kios sendiri. Daristrata yang paling bawah ke tingkatyang lebih tinggi, adalah sebuahproses. PKL adalah bagian dari prosesitu yang mengarah pada perbaikanekonomi masyarakat kecil.Secara teoritis istilah PedagangKaki Lima (PKL) merupakanpeninggalan zaman penjajahanInggris (An Nal, 1983: 30). Diambildari ukuran lebar trotoar yang waktuitu dihitung dalam “feet” sama dengankaki, kira-kira 31 centimeter lebihsedikit. Lebar trotoar waktu itu 5 kaki(1,5 meter). Pedagang yang berjualandi trotoar tersebut kemudian disebutPedagang Kaki Lima (PKL).Sedangkan menurut Akhirudin,(1982), Pedagang Kaki Lima adalahorang yang dengan modal relatifsedikit berusaha di bidang produksidan berjualan barang-barang (jasajasa)untuk memenuhi kebutuhankelompok konsumen tertentu didalam masyarakat. Aktifitasnyadilaksanakan pada tempat-tempatyang sangat strategis dalam suasanalingkungan yang informal.Pada tahun 1977 Pasar Pagimemasuki era baru. Konsep hiburandan belanja mulai diperkenalkan.Sebuah bioskop dengan dua layarlebar berdiri di pasar pagi, hinggamulai diminati dan menjadi daya tariktersendiri bagi pedagang bermodalbesar.Pasar Pagi mencapai puncakjayanya pada pertengahan tahun 80-an. Pengunjung meningkat danomzetpun luar biasa, sehingga PasarPagi menjadi barometer perdaganganeceran di wilayah <strong>Cirebon</strong>. Seiringdengan itu, beberapa PKL yangsebelum renovasi tak punya tempatkemudian bisa mulai membeli kiosdan sebagian awning. Inilah generasiawal PKL yang memperolehperhatian PD. Pasar.Pada perkembangannya, diPasar Pagi kemudian makin banyakPKL yang tumbuh. Saat itu oleh PihakPD Pasar PKL di tempatkan di bagiandepan Pasar, yang kebetulan ada gangyang cukup lebar, dan tertata denganbaik. Ketika itu, terjalin simbiosismutualisme antara PD Pasar dan PKL.Terbukti dalam perjalanannya tidakterjadi konflik kepentingan baikmenyangkut personal maupunkebijakan.Di akhir 80-an, mulailahbeberapa departement store berdiri.Gaya masyarakat <strong>Cirebon</strong> pun mulaiberubah. Demam swalayan dengantata letak dan ruangan yang megahtelah mengubah sebagian gaya hidupmasyarakat <strong>Cirebon</strong>. Pasar Pagisebagai pasar tradisional terkenaimbasnya, pelan-pelan dari tahun ketahun Pasar Pagi mengalamipenurunan pengunjung.Hingga pada tahun 1997, PasarPagi memasuki renovasi lagi. Konseppasar modern ditawarkan. Banyakpedagang yang menentang. Rencanakeberadaan pasar swalayan di lantai IIbanyak dikhawatirkan oleh pedagangkecil akan berimbas buruk terhadappenghasilan mereka. Dari sinilah awalmulainya muncul persoalan.Konsep untuk membangunPasar Pagi sama sekali tidakmemperhatikan karakteristikpedagang di sana. Pedagangpedagangyang bermodal kecil luputdari perhatian PD Pasar. Pasar Pagilebih banyak dibangun pertokoan,yang sebagian besar dikuasai olehpemilik modal besar, apalagi tempattempatyang strategis. Mereka hanyamembeli kios sebanyak-banyaknya,lalu mengontrakan kembali ke pihaklain dengan harga selangit, bahkanlebih mahal dari harga kios itu sendiri.Pasar Pagi, yang pada awalnyasebagai pasar sembako, makin04


Logikanya, Pengunjung jelas tidakmau susah-susah naik-turun tanggamanual dengan ruangan pengap danbau, hanya untuk sekedar membelikaos kaki atau dompet.Sejak itu, kebijakan PD Pasarmulai ditentang khususnya olehPedagang kecil. Dari sinilah awaltimbulnya persoalan, dan praktekketidakadilan dimulai. Sebelumdibangun, PKL sudah memintakepada pengembang dan PD Pasaruntuk melokalisir PKL di lantaibawah. Tapi, permintaan itu ditolakoleh pejabat PD Pasar danPengembang.Di tengah kekhawatiran PKLakan nasibnya, PD Pasar sendiritetap bersikeras dengan konsepsemula. Undangan BAPPEDAmelalui tim tekhnis PDPP kepadaseluruh BUMD di kota <strong>Cirebon</strong>untuk presentasi tentang peluangdan tantangan BUMD ke depan, adaRabu, 01 September 2004 lalu, tidakurung dihadiri juga PD Pasar.Dalam pertemuan itu, PD Pasarmempresentasikan rencanapembangunan/renovasi Pasar Pagimenjadi Pusat Grosir <strong>Cirebon</strong> (PGC)yang akan dimulai secepatnya.Terkait soal itu, PD Pasar akanmelakukan penertiban PKL(Pedagang Kaki Lima) di pasar pagiuntuk dipindahkan ke lantai 2.Pertemuan Tanpa HasilMenindaklanjuti rencanarelokasi, pada Selasa, 07 September2004 Pukul. 09.00 WIB PD Pasarmelakukan dialog untuk pertamakalinya dengan PKL pasar pagibertempat di Aula kantor PD Pasar.Agenda pertemuan adalah sosialisasirencana PD Pasar untukmengoptimalisasikan bangunanpasar bagi yang selama ini tidakdigunakan lagi pasca Ramayanahengkang dari Pasar Pagi. Dalamdialog, PD Pasar meminta para PKLuntuk kembali pindah ke lantai 2seperti mereka dulu pernahmenempati tempat tersebut. DirutPD Pasar menjamin ketika merekapindah ke lantai 2 pendapatanmereka tidak akan berkurang bahkanlanjutnya pasti akan ramai. Namun,Keinginan PD Pasar tersebut ditolakPKL dengan alasan tempat tersebuttidak layak untuk aktivitas jual beli.Selain berada dibelakang, tempattersebut juga dinilai PKL sangat tidaknyaman. Terbukti seluruh PKL yangberjualan dilantai atas, lewatnegoisasi dengan pihak PD Pasarpindah kelantai dasar danmenempati tempat yang sekarangditempati PKL. Pertemuan negosiasitersebut dihadiri oleh Dirut PD pasarbeserta jajarannya, sekda AnoSutrisno, Cornellis, koordinator PKLpasar pagi dan ketua IPP. Sampaiakhir pertemuan, tidak ditemukankesepakatan antara PKL dan PDpasar. Untuk pertemuan berikutnyaPD Pasar menunjuk 5 orangperwakilan dari PKL.Menyikapi hasil pertemuan,pada Rabu, 15 September 2004 PKLmengadakan pertemuan bertempatdi Musholla Imam Bonjol pukul20,00 wib. untuk membahas rencanarelokasi tersebut dan menyusunstrategi gerakan advokasi ke depan.Pertemuan dihadiri sekitar 60 orangPKL.Selang sepekan kemudian daripertemuan pertama, tepatnya padaKamis,16 September 04 Pukul, 10.00WIB, PKL diundang dialog untukkedua kalinya di Aula kantor PDPasar. Pada pertemuan ke-2 ini PDPasar kembali mengutarakanmaksudnya untuk merenovasi pasarpagi terutama lantai 2, 3, parkir danmemagar kompleks pasar pagi. Agarpasar pagi kelihatan indah, tertib dannyaman, PD Pasar melalui dirutnyapak Ramli, meminta dengan tegasagar PKL mengosongkan tempatberjualan dan pindah ke lantai atas.Namun kembali PKL menolak untukdipindahkan sesuai apa yang merekautarakan pada pertemuan pertama.Lagi-lagi di pertemuan ini tidak adatitik temu dan pertemuan tersebutselesai pada pukul 12.20 wib. tanpahasil.Sementara itu, meyikapi 2 kalipertemuan dengan PD Pasar yangtanpa hasil, pada Kamis,16September 2004 Pukul, 20.00-23.15wib. PKL kembali melakukanpertemuan di Musholla Imam BonjolPD Pasar. Di dalam pertemuan yangdihadiri sekitar 65 orang tersebut,dibahas rencana lanjutan PKL dalammenyikapi persoalan yang terjadi,diantaranya dengan menyusunrangkaian advokasi, semisal, hearingdengan eksekutif, legislatif, pressopini dll.Selanjutnya, pada Selasa,28September 2004 Pukul, 10.00 wib.kembali PD Pasar mengundang PKLuntuk dialog, bertempat di Aulakantor PD Pasar. Tidak berbedadengan pertemuan pertama dankedua kembali Dirut PD Pasarkembali menegaskan bahwa paraPKL harus pindah ke lantai 2.Pertemuan ini dianggap PKL tidaklain hanyalah merupakan ruanguntuk memaksakan kehendak tanpaada niat baik dari pihak PD Pasaruntuk mencari solusi. Sehingga PKLmemilih walkout dari ruangpertemuan, pertemuan yangberlangsung sekitar 30 menittersebut akhirnya menemui jalanbuntu lagi.Dialog: Menyampaikan Aspirasi -Menggalang DukunganPada Selasa, 28 September 2004Pukul, 20.00 wib., untuk kesekiankalinya di tempat dan waktu yangsama yaitu di Mushola Imam Bonjol,PKL kembali mengadakanpertemuan untuk menindaklanjutihasil pertemuan dengan PD Pasaryang berakhir dengan walkout. Bilapada pertemuan sebelumnyarangkaian advokasi baru sebataswacana, maka dipertemuan kali inisudah masuk ke hal tekhnis danpembagian unit kerja.Hasil kesepakatan padapertemuan di Imam Bonjol adalahmembuat surat untuk memintadukungan kepada pihak-pihakterkait sekaligus berdialog. Pihak07


yang akan dihubungiadalah Wakil Walikota,DPRD, Bappeda,Kesbang linmas,Polresta, PD Pasar,Mandor Pasar Pagi danIPP Pasar Pagi. Kegiatandialog tersebut,dilaksanakan padakesekoan harinya yakni,tanggal 29 September2004. Sedangkan PKLberkumpul sebelumnyadi Fahmina institust padajam 09.00 wib. pagi untukkonsolidasi intenal.Sesuai kesepakatanbersama, pada Rabu, 29September 2004 Pukul09.00 pagi, sekitar 20orang PKL berkumpul di<strong>fahmina</strong> institut untukroadshow menyampaikansurat aspirasi danmeminta dukungansekaligus berdialogdengan pihak-pihakterkait. Surat aspirasi yangditandatangani oleh BagindoAlmarwi, atas nama ketuaHimpunan Keluarga Minang RukunSepakat Kota <strong>Cirebon</strong>, juga diketahuioleh Erlinus Yunus ThaharKoordinator PKL Pasar Pagi itu,berisi penyikapan PKL terhadaphasil tiga kali pertemuan denganPihak PD. Pasar tentang rencanarelokasi PKL Pasar Pagi ke lantai IIKompleks Pasar Pagi <strong>Cirebon</strong>. PKLmenolak dengan tegas rencanatersebut, dengan menyatakan sikapsebagai berikut bahwa:1. Relokasi itu sangat tidak adilkarena kami juga pedagang PasarPagi yang mempunyai hak dankewajiban sama dengan pedaganglainnya yang berjualan di PasarPagi.2. Sejak tahun 1997, sesuaikesepakatan dengan pihak-pihakyang berwenang, penempatankami pada lokasi yang sekarangkami pertahankan ini, dilakukanjuga melalui pembayaranYunus (Paling Kiri) Koordinator PKL sedang menegoisasikan Kebijakandengan Anggota DPRD, Sdr. Azrul (tengah) dari PKS, dan Sdr. Sunaryo (kanan) dari Golkar.terhadap lahan atas (lantai II)seluas 1 x 1,5 m yang tidak kamitempati. Dikatakan, pembayaranini sebagai ganti dari penempatankami pada lahan yang sekarang inikami tempati.3. Kami telah menempati lokasiyang kami tempati sekarang inilebih dari 7 tahun dan telahmelalui kesepakatan-kesepakatandan prosedur yang panjang dancukup melelahkan dengan pihakpimpinan PD. Pasar dan pemkotterdahulu walaupun tidak tertulis.4. Kami tidak berjualan di trotoarataupun di badan jalan umum,kami berjualan di lokasi PasarTradisional yang dibangun dandiperuntukan untuk pedagangkecil salah satunya adalah kami.Dan sudah selayaknyalah PD.Pasar dan semua pengambilkebijakan berpihak ke pedagangkecil dan tidak selalu membelapemodal/investor besar.5. Selama ini kami sangat kooperatifdengan PD. Pasar, kami selalumendukung program-programPD. Pasar, misalnya penyesuaianretribusi. Sepanjang bisamemberikan kontribusi yang logiskami setuju saja, bahkan secaratotal, kami membayar lebih mahaldari pihak kios.6. Perlu diketahui kami sebenarnyamendukung proyekpembangunan lantai II dan III eksRamayana tersebut, yang kamitolak adalah relokasi kami ketempat tersebut.7. Kami juga pernah berjualan dilokasi tersebut selama beberapawaktu, dan kenyataannya dan itudiakui oleh beberapa pihak jugabahwa tempat di lantai II tersebutsangat tidak ekonomis dan sangatmerugikan kami. Dan padakenyataanya juga hampir 98%pedagang makanan dan minumanyang menempati lokasi yang samatidak kuat bertahan di sana.Bahkan Ramayana Dept. Store sajatidak bisa bertahan.8. Kami bersedia untuk ditata ulang,08


tapi dengan prinsip kami tetap ditempat semula kami berdagang,baik mengenai ukuran tinggi danbentuk tempat jualannya sesuaidengan kesepakatan semua pihak,seperti misalnya denganmenggunakan sponsorship yangfeenya bisa meyumbang langsungkas Pemkot hingga kita memenuhikriteria tertib dan rapi sesuaiaturannya.9. Tidak ada satu hukum positif punyang kami langgar. Kami adalahwarga negara Indonesia yangmempunyai HAM yaitu hakekonomi dan sosial yang layakyang dilindungi UUD 45 danhukum universal lainnya10.Maka sudah selayaknyalahpihak-pihak terkait baik Pemkot,DPRD, dan dinas-dinas terkaityang ada mempelajari lebih dalamdan arif dalam menyikapi soal ini.Kami tetap bersedia dialog dalamkerangka kesetaraan, aspiratif danpartisipatif. Tidak main paksakehendak seperti dialog-dialogsebelumnya.Pada kesempatan dialog hariRabu 29 September 2004 sekitarpukul 11.00 -12.00 wib. denganCornelis, Kepala Kesbang Linmas,terungkap bahwa dalam kasusrelokasi PKL Sukalila, KesbangLinmas hanya diperbantukan olehPD Pasar. Namun, Cornelis berjanjiakan menindak lanjuti pertemuantersebut untuk memberi masukankepada PD Pasar agar bisa lebih arifdalam menyelesaikan persoalan ini.Selain itu menurut Cornellispenataan PKL sepenuhnya menjadihak PD Pasar selaku pengelola pasarkarena PKL tersebut beradadiwilayah pasar pagi.Sementara, dalam pertemuandengar pendapat PKL bersama 11anggota DPRD sekitar pukul 12.20-13.30, tampak tidak terjadi dialog.DPRD hanya mendengarkankeluhan dari PKL. Namun, DPRDsendiri berjanji akanmenindaklanjuti pertemuan denganmemanggil Dirut PD Pasar danmeminta agar persoalan ini tidakmerugikan pihak PKL.Selanjutnya, dalam dialogdengan BAPPEDA pada pukul 13.50-14.05 wib., seperti diakui olehsekretaris BAPEDA, Asep Deddy,bahwa secara kelembagaanBAPPEDA belum mendapat laporandari PD Pasar tentang rancanainvestor untuk mengembangkan danmengelola Pasar Pagi. Namun,menurut Asep, pihaknya berjanjiakan menindaklanjuti pertemuan inidengan memberikan masukankepada pihak-pihak terkait.Pada Dialog sekitar pukul14.30-14.45 wib dengan WakilWalikota <strong>Cirebon</strong>, Agus Alwafierwakil walikota berjanji akanmemanggil Dirut PD Pasar untukmendengarkan dan mempelajaripersoalan yang sedang terjadi dipasar pagi. Didepan PKL, WakilWalikota kemudian melalui telponselulernya memanggil Dirut PDPasar.Selajutnya, di hari itu jugasekitar pukul 14.45-15.30 wib.,beberapa PKL menyampaikan surataspirasi yang sama kepada beberapapihak terkait tanpa melakukandialog.PKL Tolak Surat Edaran PD PasarPada Jumat, 01 Oktober 2004,PD Pasar Pagi mengeluarkan suratedaran tertanggal 28 September 2004nomor: 511.23/SE.03/Um, prihalpenempatan/Pemindahan PKL,yang isinya meminta PKL agarpindah ke lantai 2 dengan bataswaktu sampai tanggal 03 Oktober2004. Bila sampai batas waktu ituPKL belum pindah maka akandilakukan pemindahan paksa.Menyikapi surat edaran PDPasar, maka PKL pada Jum'at, 01Oktober 04 sekira Pukul, 20.00, wib.,kembali berkumpul untukmenyusun langkah advokasi yangakan dilakukan pada hari Sabtukeesekon harinya. Pihak-pihak yangdihubungi, diantaranya WakilWalikota, Dahrin, Kapolresta,H.Sunaryo, Kang Ayip, HasannudinManaf, Sukma, Cornelli, Joko,Wawan Wanija, Karsono, UstdAbdullah, Sri Maryati, HediyanaYusuf, ketua BEM perguruan tinggise-<strong>Cirebon</strong>, serta media massa. Surataspirasi tersebut berisi penolakanuntuk ditertibkan dan memintadukungan semua pihak.Selanjutnya, pada Sabtu, 02Oktober 04 Pukul 09.00 wib.bertempat di Fahmina-<strong>institute</strong> paraPKL menyiapkan surat dan alamatuntuk kemudian menyebarmenyampaikan surat penolakantersebut, sesuai tugas yang diberikanmalam harinya. Surat tersebut berisipenolakan secara tegas surat edaranyang dikeluarkan PD Pasar Nomor511.23/SE.03/Um, tertanggal 28September 2004 terkait soalPenempatan/Pemindahan PKL diPasar pagi. Di dalam surat, ForumPedagang Kaki Lima Pasar Pagi,menyatakan sikap sebagai berikutbahwa :1. Surat edaran yang dibuat oleh PDPasar merupakan wujud arogansiPD Pasar terhadap Pedagang KakiLima, karena surat edarantersebut tidak melalui prosessosalisasi yang partisipatif danjuga tidak melalui dialog interaktifantara PD Pasar dan PedagangKaki Lima. Dialog yangdiselenggarakan PD Pasar, hanyamenaympaikan pemberitahuan,perintah bahkan ultimatum untukmengosongkan areal yang sudahlama kami tempati untukmenempati lahan atas yangdisediakan PD Pasar.2. Kami Forum Pedagang Kaki Limamenolak instruksi PD Pasar dalamsurat edaran tersebut dan tetapberjualan sebagaimana mestinya.3. Kami Forum Pedagang Kaki Limaakan mempertahankan hak yaitutempat berjualan kami jika PDPasar mencoba merampas haktersebut dari kami.4. Kami Forum Pedagang kaki limamenegaskan agar PD Pasarmeninjau ulang surat edaran09


tersebut sebab jika dipaksakankami khawatir terjadi hal-hal yangtidak dinginkan, selain itu akanmengakibatkan terganggunyasumber penghasilan keluargakami yang saat ini sebenarnyasedang mulai membaik.Kecemasan PKL MenjelangPenertibanKetegangan sempat tersiratmengiringi keluh-kesah PKL, ketikamereka bersikap keras menolakpindah ke lantai 2 pasar pagi. Di lainpihak PD Pasar, akhirnya tetapmengeluarkan surat edaran yangmengharuskan PKL pindah darilokasi semula. Untuk mengantisipasikemungkinan penertiban PD Pasar,pada Sabtu, 02 Oktober 04 sekitarPukul, 20.00 malam, Seluruh PKLPasar pagi tampak melakukan jagamalam. Mereka menyusun langkahdan gerakan menghadapi penertibanbesok pagi. Namun, sampai batastoleransi (03 Oktober 2004)Penertiban yang akan dilakukan olehpihak PD ternyata tidak terbukti.Keesokan malam, padaMinggu, 03 Oktober 04 Seluruh PKLPasar pagi masih melakukan jagamalam untuk yang kedua kalinya.Pada Senin, 04 Oktober 04 sekitar09.00-10,30 Sejumlah anggota DPRDmengunjungi lokasi PKL yang akanditertibkan dan melihat bangunanlantai 2 pada kesempatan itu,anggota dewan berdialog denganpara PKL. Dari hasil kunjungan itu,sejumlah DPRD menyatakanpemindahan PKL menjelang hariraya dinilai sangat tidak manusiawi.Mengingat PKL telah menunggu 11bulan untuk bulan puasa ini.Kalaupun memang PKL harusdipindahkan ke lantai 2, makamenurut anggota dewan investordan PD Pasar harus merenovasitempat tersebut terlebih dahulu agarmenjadi layak dan ramai untukberjualan.Pada Selasa, 05 Oktober 2004sekira Pukul, 20.00 wib. para PKLkembali bertemu di Mushola ImamBonjol menyikapi undanganpertemuan ke 4 di Aula PD Pasar,pada Kamis, 07 Oktober 04. Namun,Pertemuan lanjutan ke 4 itu, akhirnyadiurungkan karena dirut besertajajarannya tidak berada di tempatsehingga pertemuan diundurmenjadi keesokan harinya.Sementara itu, dihari yangsama ketika pertemuan gagal, PDPasar dan investor melakukanpresentasi tentang rencana renovasidan pengembangan kompleks pasarpagi didepan anggota DPRD.Mengetahui hal itu, maka sekitarpukul 13.00 wib. beberapa PKLmenyambangi gedung DPRD untukmeminta penjelasan hasil pertemuandengan PD Pasar dan Investor.Pertemuan keempat: Nasib PKLBelum JelasSesuai kesepakatan antara PKLdan PD Pasar, maka pada hari Jumat,08 Oktober 2004 sekitar Pukul, 10.00-12.00 wib. dengan mengerahkansekitar 25 becak, 60 orang PKLberangkat menuju tempatPertemuan di aula PD Pasar. Hasilpertemuan adalah PKL pindahsementara waktu di sebelah selatanPasar Pagi sampai lebaran selesai(H+7) dan kemudian pindah kelantai 2. Sedangkan penertiban akandilakukan mulai hari Sabtu-Senin.Terkait dengan itu, Jum,at, 08Oktober 2004, 5 orang perwakilanPKL ditunjuk untuk melakukanhearing tentang kepastian nasibmereka dengan beberapa anggotalegislatif.Di hari yang sama, sekitarpukul 15.00 wib., 3 orang intel dariPolresta menemui PKL dan memintamereka menandatangani suratperjanjian yang waktu itu dipertegasoleh Pejabat PD supaya polemik dipasar pagi usai. Namun karenabeberapa draff tidak disepakati PKL,akhirnya surat perjanjian itu gagalditandatangani. Biarpun begitu,pada sore harinya sekitar pukul 16.00WIB, tetap dilakukan Pemasangan10 unit tenda dari 20 unit yangdirencanakan di sebelah selatan.Tenda itu diperuntukan bagi PKL,mengingat bagian depan bangunanpasar akan direnovasi.Pada Sabtu, 09 Oktober 2004penertiban tidak terbukti. Padakesempatan itu juga Ketua RukunMinang, Mayor Nasrul dan Ketuasementara DPRD H. Dahrin, sertabeberapa petugas dari kodim,melakukan dialog dengan PejabatPD Pasar dan meminta merekamenunda relokasi sampai lebaranselesai.Begitu pula, pada Minggu, 10Oktober 2004 penertiban PKL belumjuga terjadi. Sekitar pukul 09.00 wib.pertemuan lanjutan digelar di kantorPasar Pagi antara perwakilan PDPasar, H. Dahrin, Ketua sementaraDPRD, Ibu Yani, Mandor Pasar Pagi,Mayor Nasrul, Ketua rukun minang,Bagindo Almarwi, wakil ketuaMinang, H. Agus, ketua IPP PasarPagi, serta Jul Saeful dan YunusTahar sebagai Kordinator PKL dansejumlah PKL.Dari pertemuan itu, disepakatibeberapa hal yakni :1. PKL tetap berjualan di tempatsemula sampai lebaran H+7.2. Pedagang kaki lima yangberjualan di joglo untuksementara dipindah karenadikhawatirkan mengganggu arusmatrial bangunan.3. Selama masa renovasi PKLdipindahkan ke selatan pasar pagidan diadakan evaluasi danperjanjian untuk mengetahuiapakah tempat tersebut layak danstrategis bagi PKL.Namun ketiga draff perjanjiantersebut belum tertuang dalamperjanjian bersama sehingga belumada kejelasan nasib PKL pascapertemuan. Dan sampai hari Senin,11 Oktober 2004 pun, tindakanpenertiban terhadap PKL tidak jugadilakukan. Sampai akhirnya sekitarpukul 17.00 wib., 10 unit tenda yangdidirikan oleh PD Pasar di bongkarlagi. Nasib PKL pun sampai kini,belum jelas.* *obeng/add.10


Memposisikan PKL di Kota <strong>Cirebon</strong>;BERKACA PADA KOMUNITAS PKLJALAN SUKALILAOleh : Obeng Nur Rosyid*ertumbuhan PKL (PedagangKaki Lima) di kota <strong>Cirebon</strong>saat ini berkembang pesat. PSituasi perekonomiam yangberangsur pulih dan mulaiterbukanya kesempatan kerjaseharusnya membuat lajupertumbuhan sektor informal inisemakin berkurang, namunkenyataannya malah semakinbertambah. Ditengarai akarmasalahnya adalah kurangnya minatmasyarakat untuk bekerja di desa,meningkatnya intensitas keramaiandan sektor ini menjadi alternatif bagikelas menengah ke bawah untukmencari barang kebutuhan denganharga relatif lebih murah. Selain itusektor pedagang kaki lima relatiflebih mudahdimasuki olehpelaku ekonomilemah yangn o t a b e n emenempati posisimayoritas dari sisijumlah. Seiringd e n g a nmeningkatnyajumlah pedagangkaki lima,pemerintahdihadapkan padas e j u m l a hdampak, yaitupersoalanketertiban,kebersihan,keindahan,pencemaran dankemacetanlalulintas.Keadaan ini pada satu sisi dianggapsebagai sesuatu yang sangatmengganggu, namun di sisi lainkegiatan perdagangan PKLmemberikan kontribusi yang sangatbesar dalam aktivitas ekonomi dankesejahteraan masyarakat terutamagolongan ekonomi lemah.Sejalan dengan pemikiranKadir dan Biantoro, (2000; 1), sektorinformal (baca: PKL) kinidiperhitungkan sebagai salah satualternatif bagi upaya pemecahanmasalah ketenagakerjaan. Hal inidimungkinkan oleh karena dalamproses perjalanan danpertumbuhannya hingga saat ini,dianggap pada awalnya sebagai“pengganggu”, ternyata mampumenunjukan paling tidak duamanfaat, pertama, dalam berbagaiketerbatasannya serta dalam suatupersaingan ekonomi kapitalistik yangketat, PKL telah menunjukkankemampuannya untuk tetapbertahan, meskipun dalam tahapyang kurang atau belum layak.Kedua, sektor informal (PKL) telahmenciptakan lapangan kerja barubagi mereka yang tidak memilikikesempatan bekerja pada sektorformal.Secara teoritis istilah PedagangKaki Lima merupakan peninggalanzaman penjajahan Inggris (AnNal,1983: 30). Diambil dari ukuranlebar trotoar yang waktu itu dihitungdalam feet sama dengan kaki; kirakira31 centimeter lebih sedikit. Lebartrotoar waktu itu 5 kaki (1,5 meter).Pedagang yang berjualan ditrotoartersebut kemudian disebutpedagang kaki lima (PKL).Sedangkan menurut Akhirudin,1982pedagang kaki lima adalah orangyang dengan modal relatif sedikitberusaha di bidang produksi danberjualan barang-barang (jasa-jasa)untuk memenuhi kebutuhankelompok konsumen tertentu didalam masyarakat. Aktifitasnyadilaksanakan pada tempat-tempatyang sangat strategis dalam suasanalingkungan yang informal.Memang keberadaan PKLsangat dilematis, seperti yang terjadidikota <strong>Cirebon</strong>. Pada satu sisi harusdilindungi karena sebagai salah satupelaku ekonomi yang dapatmembantu menciptakan lapangankerja minimal bagi dirinya sendiri11


dan secara tidak langsung kepadaorang lain, mengurangi tindakkriminal, dan keberadaannya jugadibutuhkan oleh sebagianmasyarakat yang kemampuannyapas-pasan. Di sisi lainnya, PKL selalumenjadi obyek penggusuran karenadianggap mengganggu ketertibandan keindahan kota. Selain itu,p e r t u m b u h a n d a nperkembangannya tidak teratur,nampak liar, kumuh, melebar danada yang menggunakan fasilitasumum untuk berdagang (misalnyadi trotoar). Dari sini sering munculasumsi, bahwa pedagang kaki limaadalah sekumpulan pelaku usahayang harus ditertibkan, karenaselama ini acap kali melanggarberbagai peraturan daerah. Lalupernahkah kita berusaha untukmengerti bahwa pedagang kaki limaselayaknya diperlakukan samadengan pelaku ekonomi yang lain,baik akses informasi, permodalan,pembinaan maupun pengakuan?Mengingat berbagai peranstrategisnya tersebut, menjadi sangatmenarik-sekaligus penting, untukmenelusuri dan mengkaji kenyataanpedagang kaki lima. Sebuah surveydi lapangan bisa membantu banyakkalangan untuk mengetahui ragampotensi, peluang sekaligus persoalandan tantangan yang dihadapi parapedagang kaki lima. Terlebih sejauhini banyak kalangan yang menilaibahwa para pedagang kaki limasering kali menjadi salah satu sumberpersoalan di tingkat kota, terkaitdengan persoalan tata ruang dan tatawilayah maupun ketertiban umumyang sulit dipecahkan.Pada hari Rabu, 30 Juni 2004,Fahmina-<strong>institute</strong> <strong>Cirebon</strong> dibanturekan-rekan jaringan Fahmina<strong>institute</strong>dari komunitas PKL, becak,ibu rumah tangga, pengojeg, nelayandan pengamen, melakukan surveydan jajak pendapat untuk pedagangkaki lima di kawasan Sukalila.Survey ini dilakukan terkait denganrencana tim POKJA penataanpedagang kaki lima untukmelakukan penataan di kawasanSukalila. Jumlah angket yang disebaradalah 100 dengan sasaran depanPasar Pagi-lampu merah Asia-jalanSukalila. Kemudian data diolah danhanya 93 responden yang bisadianalisa lebih lanjut.Tujuan SurveyDi samping alasan di atas,survey dan jajak pendapat bertujuanuntuk mengetahui beberapa halterkait dengan: Pertama, pendapatpedagang kaki lima mengenaipersoalan penataan di kawasanSukalila. Kedua seberapa jauh paraPKL dilibatkan, baik dalamperencanaan maupun tahappembangunan. Ketiga, kondisisebenarnya PKL tentang keragamanjenis dagangan/jasa, jumlah,pendapatan dan kemampuan dalamhal interaksi sosial. Keempat, tingkatkepedulian pedagang kaki limaterhadap masalah lingkungansekitarnya, dan Kelima, menilaikebutuhan mendasar pedagang kakilima.Sedangkan alat analisis yangdigunakan pada survey ini adalah :1. Kondisi riil Pedagang Kaki Limadan keterlibatannya dalam halpenataan dengan subdimensi;a. Keikutsertaan PKL dalam halorganisasi, sumbangan danhubungan dengan pemerintah;b. Bentuk sosialisasi, kepentingandan pada sikap kepercayaannya;2. Modal sosial dengan subdimensia. Kepedulian sosial pedagangkaki lima terhadap lingkungansekitarnya;b. Menilai kebutuhan masadepan/keinginan dan harapanterhadap pemerintah kota.Kondisi Pedagang Kaki LimaSukalilaDari hasil survey di lapangan,ternyata sebagian pedagang sudahmerasa nyaman dengan kondisitempat berjualan (71,0%). Hal ini bisadimaklumi karena para pedagangsudah menempati kawasan tersebutlebih dari 5 tahun. Bahkan beberapapedagang mengaku sudah lebih dari10 tahun berada di kawasan Sukalila.sehingga para pedagang berharapkondisi ini tidak berubah. Sedangkan(25,8%) merasa tidak nyamandengan kondisi berjualan sekarangini. Hal ini terkait dengan harapansebagian pedagang yangmendukung wacana penataankawasan Sukalila karenamenganggap bahwa tempat yangsekarang tidak prospektif dandengan penataan mereka setidaknyapunya harapan baru. Sisanya tidakmenjawab (3,2%). Selain itupersoalan kepatuhanpunditanyakan, yaitu tentang retribusiyang dibayarkan, sebanyak 93,5%mengaku membayar retribusi dan5,4% mengatakan tidak membayarretribusi dengan alasan sepi danbelum mendapat uang. Lalu ada 3orang atau 1,1% memilih tidakmenjawab. Seperti kita ketahui,secara umum kontribusi pedagangkaki lima terhadap sumbangan kekas daerah sebenarnya cukup besar,pada tahun 2003 saja diperkirakansumbangan yang diberikan sekitarRp.198.180.000,-. Jumlah tersebutdidapat dari hasil investigasimengenai peta penyebaran PKL dikota <strong>Cirebon</strong>.Sedangkan mengenai jumlahPKL, pada tahun 2002 saja terdapatkurang lebih 2.085 yang tersebar ditiga rayon jalan, yaitu rayon jalan A,B dan C. Namun pada tahun 2003hasil penelitian penulis di 25 ruasjalan sebagai sample random,ternyata jumlah pedagang kaki limamengalami lonjakan cukup berarti,yaitu sekitar 3.338 dan tahun 2004 inidipastikan terjadi lonjakan kembali.Dari jumlah tersebut, hanyasedikit sekali yang mengaku masukdalam wadah paguyuban pedagangkaki lima. Kalaupun mereka masukdalam wilayah paguyuban ataukelompok-kelompok kepentingan,hanya sebagai anggota pasif. Sepertiyang terjadi dikawasan Sukalila,sebanyak 48,4% mengaku mengikutipaguyuban PKL. Namun tidak ada12


kegiatan terarah dan terencana baikjangka pendek maupun jangkamenengah tentang programpemberdayaan anggota. Sedangkan47,3% mengaku tidak pernah atautidak menjadi anggota paguyubanPKL dan sebanyak 4,3% memilihuntuk tidak menjawab. Persoalankurangnya pembinaan danpengawasan bahkan menjadi salahsatu variabel yang ditanyakan yaitu97,8% mengatakan tidak pernahmendapat pembinaan atau danausaha dari pemerintah. Ini bisa jadimenyebabkan PKL merasa bahwakegiatan mereka dilegalkan olehpemerintah sehingga jumlahnyaterus berkembang dan tidakterkendali. Lalu sebanyak 2,2%mengatakan mendapat pembinaandan pinjaman dana usaha daripemerintah.Mengingat banyaknyavariabel yang mempengaruhieksistensi pembinaan PKLdiperkotaan,maka adabeberapam o d e lpengawasandan pembinaan,diantaranya (1)arus urbanisasihendaknyadikendalikandengan jalanmenumbuhkanlapangankerja baru didesa misalnya menumbuhkanindustri rakyat dan kerajinan tangan.(2) pendidikan masyarakat desaperlu ditingkatkan (3) perlu dibentukorganisasi pedagang kaki lima. (4)perlu adanya bimbingan danpenyuluhan dari pemerintah yangmengarah kepada ketata laksanaanusaha. (5) diberikan vasilitas kreditpemerintah. (6) PKL yang sudah adaperlu diarahkan (7) semangatkewiraswastaan relatif tinggi dapatdipakai untuk tumbuhnya semangatberkoperasi misalnya koperasisimpan pinjam. (8) perlu adanyasuatu badan pemerintah yangkhusus menangani masalah PKL. (9)kepada pemerintah kota diharapkanagar menyediakan dan menertibkanTidakKONDISI RIIL PKL TERKAIT Ya % Tidak %Menjawab %Kenyamanan dengan keberadaankondisi tempat berjualanPembayaran retribusiKeangotaan dalam paguyuban /organisasi PKLMengandalkan penghasilan hanya dariberdagang sebagai PKLPerolahan pengawasan, pembinaan dandana usaha dari pemerintah kota66874586tempat-tempat yang akan menjadiendemik tumbuhnya PKL di wilayahyang belum ada PKL, sesuai dengantata kota.Di kawasan Sukalila parapedagang cenderung mengandalkanSIKAP PKL TERHADAPRELOKASI OLEH PEMKOT TERKAIT271.093.548.492.52.2Tahu/tidaknya perencanaanAda tidaknya sosialisasi dari PemkotSetuju/tidaknya rencana relokasi oleh pemkotPentingnya Keterlibatan PKLdalam Perencanan RelokasiEfek Positif Relokasi Terhadappeningkatan Pendapatan PKL24544491Ya161344642425.85.447.34.397.8penghasilan hanya dari berdagangsaja, yaitu sebanyak 92,5%, dan 4,3%mengatakan memiliki usaha lain ditempat tinggalnya atau bersebelahandengan usahanya yang sekarang.Lalu sebanyak 3,2% memilih tidakmenjawab.Terkait persoalan rencanapemerintah kota untuk menataPedagang Kaki Lima di kawasanSukalila, hasil survei menunjukkan82,8% mengaku tidak tahu dan hanya17,2% mengatakan mengetahuinya.Kalaupun mereka tahu, bukan daripemerintah melainkan dari mediaatau sesama pedagang. Hal inidisebabkan tidak adanya sosialisasiatau pemerintah belum mensosialisasikanrencana tersebut. Ini terkaitm a s i h314303.21.14.33.20.0banyaknyapersoalanyang belumdiselesai-kanbaik secarayuridismaupund e n g a ninstitusiterkait.Datas u r v e ymenunjukkan84,9%mengatakan bahwa PKL belummendapatkan sosialisasi tersebutdan 14,0% mengatakan sudahmendapatkan penjelasan, dan 11%memilih tidak menjawab. Terlepasdari persoalan tahu dan tidak tahu,Kondisi RiilTidak% Tidak %Menjawab %17.214.047.368.825.8777946246482.884.949.525,868.8013550.01.13.25.45.413


pada dasarnya para pedagangmenginginkan situasi berdagangyang lebih baik dan mendapatkanpengakuan dari pemerintah kota.Hal itu terlihat pada hasil surveitentang apakah para pedagangsetuju dengan rencana penataantersebut? Didapat 47,3% mengatakansetuju. Dengan asumsi bahwapenataan itu gratis. Kalaupunmereka harus membayar hendaknyat i d a kmemberatkan pedagang.Sedangkan4 9 , 5 %mengatakantidak setujud e n g a nrencanapenataantersebut dan3,2% memilihuntuk tidakmenjawab.D i a k u ipedagang,penataanbukanlah satu-satunya jalan untukmeningkatkan pendapatan dankesejahteraan mereka, kalaumemang ada niat baik untukmembantu, mereka sangatberuntung kalau pemerintah bisamenurunkan gangguan,menurunkan pungutan tidak resmi,keamanan usaha, serta melibatkanmereka dalam rangka meningkatkantaraf hidup dan kesadaran terhadaplingkungan. Keterlibatan PKL dalamproses perencanaan penataanhendaknya dipertimbangkan olehpemerintah kota, karena keterlibatanPKL sangat penting untuk dilakukanagar masukan-masukan daripedagang menjadi bahanpertimbangan penting pemerintahkota, dengan alasan bahwa merekalebih tahu situasi dan merasakandampak dari penataan tersebut.Sebanyak 68,8% respondenmengatakan pentingnya keterlibatanpedagang dalam prosesperencanaan. 25,8% mengatakantidak perlu dan 5,4 persen memilihtidak menjawab.Ternyata ada keterkaitan eratantara tingkat kepercayaanpedagang ketika penataan itudilakukan dan proses perencanaanyang melibatkan para pedagang,yaitu sebanyak 68,8% tidak percayajika penataan itu dilaksanakanpendapatan pedagang akanmeningkat. Hal ini terjadi karenaKepedulian PKL dalamTurut serta membantu dan menjaga kebersihanTurut serta mencari jalan keluar ketikamuncul persoalan/konflik antar pedagangTurut serta membantu kelancaran arus lalu lintasTurut serta membantu keamanan lingkunganTurut serta membantu ketika terjadi kecelakaanTurut serta menyumbang untuk kepentingan lingkungan(kebersihan, keamanan, keindahan danketertiban).pedagang merasa pemerintah kotabelum memiliki niat baik untukmelibatkan PKL dalam halperencanaan tersebut sehinggamereka tidak memiliki posisi tawarterhadap Pemkot. Sedangkansebanyak 25,8% percaya bahwapendapatan mereka akan meningkatkarena ketika penataan jadidilakukan maka akan menjadi dayatarik tersendiri. Lalu sebanyak 5,4%memilih tidak menjawab.Kepedulian Sosial (Modal Sosial)Temuan lain dalam survei ini,adalah sikap kepedulian PedagangKaki Lima di kawasan Sukalilamenunjukkan kecenderungan angkacukup tinggi. Hubungannya dengankuantitas pedagang yangmenyumbang untuk kegiatanlingkungan menunjukan arah yangpositif, cukup kuat dan signifikan.Dalam arti mereka yang terlibatdalam aktivitas sosial danlingkungan, punya kecenderunganuntuk menyumbang. Korelasi inidilakukan untuk mengetahuiseberapa besar kemaun parapedagang untuk menyumbangdalam kegiatan-kegiatan sosial danlingkungan di sekitar mereka.Dalam hal kebersihan,pedagang mengaku menjagakebersihan sekitar dagangannya, halitu dapat dilihat pada hasil survey.Diketahui, sebanyak 29% mengakuIntensitasTP % P % CS % S % TJ %014103800.015.110.83.28.60.027503839473429.053.840.941.950.5Ket :TP : Tidak Pernah CS: Cukup Sering TJ: Tidak Menjawab P: PernahTP: Tidak Pernah36.616113119817.21.114.011.89.78.650222835255053.823.730.137.626.953.8pernah membersihkan tempatjualannya, 17,2% mengatakan cukupsering membantu dan menjagakebersihan, serta PKL yang seringmembantu dan menjaga kebersihanmencapai angka prosesntasi sebesar53,8%. Sedangkan tidak ada satupunresponden yang mengatakan tidakpernah atau tidak menjawab.Persoalan kebersamaanpun dicobadiangkat dalam survei jajakpendapat ini, yaitu bagaimana parapedagang turut berperan ketikaterjadi konflik antar pedagang.Didapat angka 15,1% mengatakantidak pernah membantu, sebanyak53,8% mengatakan pernah, 1,1%mengatakan cukup sering, 23,7%mengatakan sering dan sisanya 6,5%memilih tidak menjawab.Kemacetan lalulintas yangmenurut pemerintah dipicu olehPKL, sepertinya harus ditinjau ulang.Hasil survey menunjukkan sebanyak40,9% mengatakan pernahmembantu kelancaran arus0645410.06.54.35.44.31.114


lalulintas. 10,8% Tidak Pernah, 14,0%menyebut Cukup Sering, 30,1%mengakui Sering, dan sisanyasebanyak 4,3% Tidak Menjawab.Selain itu pedagang ikut peduli jugaketika terjadi kecelakaan. Sebanyak50,5% mengatakan pernahmembantu, 8,6 Tidak Pernah, 9,7%mengatakan Cukup Sering dan26,9% menyebutkan seringmembantu kecelakaan, serta sisanya4,3% Tidak Menjawab.Variabel lainnya yaitukepedulian pedagang terhadapkeamanan lingkungan, 3,2%mengaku tidak pernah ikutmenjaga keamanan, 41,9%mengaku Pernah, 11,8%Cukup Sering, 37,6%mengatakan Sering sertasisanya 5,4% TidakMenjawab.Kepedulian lain yangdimiliki pedagang kaki limadi kawasan Sukalila adalahkepedulian mereka untukmenyumbang dalam bentukuang. Pedagang yangmengatakan Pernahmenyumbang sebanyak36,6%, 8,6% menyatakanCukup Sering, 53,8menyebut Sering dan 1,1%memilih Tidak Menjawab.Menilai Harapan PKLP e n e l i t i a nmenyeluruh ataupengkajian ulang pernahdisampaikan beberapadinas dan NGO terkaitpersoalan dampaklingkungan dan keterlibatanpedagang kaki lima.Sangatlah tidak relevan bilaada penilaian bahwapenataan tidak bisaditunda-tunda lagi atau adabatasan waktu untukpenataan. Namun persoalanutama tentang dampaknegatif dari penataantersebut belum tersentuh.Seperti persoalanlingkungan terkait denganpenanganan sungai, bantaran sungaidan jalur hijau, arus lalulintas danketerlibatan pedagang. Terutamamengenai studi kelayakan analisismengenai dampak lingkungan(AMDAL). Ketika pedagang ditanyapersoalan tersebut, 29,0%mengatakan sangat setuju, 51,6%mengatakan setuju, 3,2% tidaksetuju, 0% sangat tidak setuju dan16,1% memilih untuk tidakmenjawab.Penelitian menyeluruhpunkami coba tanyakan kepadapedagang dan hasilnya sebanyak36,6% Sangat Setuju Pemerintahmelakukan penelitian menyeluruh,45,2% menyebutkan Setuju, 5,4%Tidak Setuju, 2,2% mengatakanSangat Tidak Setuju dan 10,8 % TidakMenjawab. Menurut pedagang halini perlu dilakukan agar tidak adapersoalan yang terjadi pascapenataan. Keterlibatan pedagangjuga mutlak dilakukan agar tidakterjadi miss communication. Hal ininampak ketika pedagang ditanya15


sebaiknya dilibatkan dalam halperencanaan dan pelaksanaanpenataan. Sebanyak 24,7%mengatakan Sangat Setuju, 49,5%Setuju, 6,5% Tidak Setuju, 2,2%menyebutkan Sangat Tidak Setuju,dan sisanya 14,0% Tidak Menjawab.Lalu, betulkah penataantersebut merupakan wujudkepedulian Pemerintah Kotaterhadap PKL? Ketika ditanya haltersebut, 21,5% mengatakan SangatSetuju bahwa penataan tersebutmerupakan wujud kepedulianpemerintah terhadap PKL, 43,0%mengatakan Setuju, 4,3% TidakSetuju, 2,2% Sangat Tidak Setuju, dan29,0% Tidak Menjawab. Tentangkemitraanpun kami tanyakankepada pedagang dengan variabel,jika penataan ini jadi dilaksanakan,pemerintah akan berupaya menjadimitra strategis PKL. Sebanyak 18,3%Sangat Setuju, 38,7 menyatakanSetuju, 8,6% Tidak Setuju, 10,8mengatakan Sangat Tidak Setuju,dan 23,7% memilih untuk tidakmenjawab.Sebanyak 34,4% pedagangmengatakan tidak setuju, ketikaditanya keberadaan PKLbertentangan dengan tata kotaterkait dengan gangguan kebersihan,keindahan, ketertiban dankelancaran lalulintas, 7,5%mengatakan Sangat Setuju, 11.8 % 5Setuju, 23,7% mengatakan SangatTidak Setuju, dan 22,6% TidakMenjawab. Variabel selanjutnyaadalah sebaiknya pemerintah tidakperlu melakukan penataan PKLtetapi melakukan pembinaan danpelatihan agar PKL bisa lebih tertibdan menjaga lingkungan sekitarnya.Sebanyak 40,9% mengatakan sangatsetuju, 36,6 setuju, 9,7% tidak setuju,5,4% sangat tidak setuju dan 7,4%memilih untuk tidak menjawab.Sedangkan mengenai dukunganpedagang terhadap penataandidapat 43,0% mengatakan sangatsetuju jika niatan baik pemerintahuntuk menata PKL harus didukungsemua pihak. 37,6% setuju, 3,2%tidak setuju, 1,1% sangat tidak setujudan 15,1% tidak menjawab.Adapun mengenaipendapatan pedagang yangkemungkinan menurun ditanyakanuntuk memperjelas dampakpenataan dalam hal penghasilan,sebanyak 28,0% menyebutkan sangatsetuju penataan akan membuatpenghasilan pedagang turun, 19,4%menyatakan Setuju, 21,5% TidakSetuju, 10,8% sangat tidak setuju dansisanya 20,4% memilih tidakberpendapat. Dan terakhirpertanyaan ini untuk memperjelaspertanyaan sebelumnya yaitupemerintah tidak akan melakukanpenataan namun pedagang harusmelaksanakan kewajibannya yaitumembayar retribusi dan menjagalingkungannya. Sebanyak 33,3%mengatakan sangat setuju, 29,0%mengatakan setuju, 11,8%mengatakan setuju, 7,5% sangattidak setuju dan 18,3% memilihuntuk tidak menjawab.RekomendasiDari hasil survai dan jajakpendapat terhadap eksistensi PKLdikawasan Sukalila, beberapa halbisa direkomendasikan terkaitdengan rencana Pemkot untuk16


melakukan penataan pedagang kakilima. Pertama, jika pemerintahmemang punya niat baik untukmembantu pedagang kaki lima,pemerintah harus mengkaji ulangrencana tersebut atau bila perlumenunda penataan, sebab masihbanyak persoalan yang belumdiselesaikan oleh pemerintah kota.Hal ini penting untuk dilakukanmengingat selama ini terdapatbanyak kebijakan pemerintah daerahyang kelihatannya membantu bagipengembangan PKL, sepertiformalisasi usaha misalnya(penataan), tanpa disadarisebenarnya malah mematikan usahamereka. Formalisasi usaha dengandibuatkan tendanisasi atau tokotoko,meskipun terdongkraknyaharga jual produksi pedagang, tetapimereka harus mengeluarkan biayaekstra untuk sewa tempat usahatersebut. Belum lagi pola interaksiantara produsen dan konsumenmenjadi lebih formal (kaku), padahalsalah satu ciri pedagang kaki limaadalah pola interaksi yang lumerantara penjual dan pembeli,sepertidimungkinkan adanya saling tawarharga produk. Hilangnya nuansaseperti itu secara pelan-pelan akanmembuat komunitas PKLditinggalkan oleh pelanggannyakarena tidak ada bedanya denganpusat perbelanjaan lainnya.(Alisjahbana, 2003).Kedua, melakukan pendekatansecara bottom up, pendekatan inidalam upaya pengembangan danketerlibatan pedagang mutlakdilakukan. Dengan sikap edukatifpersuasif secara bertahap disesuaikandengan tingkat adaptasinya baikdalam pengertian kejiwaan,keterampilan dan naluri kerjasamaserta motifasinya. Oleh karenanya,dapat ditempuh pembinaan secaratidak langsung atau secara langsung.Tahap pengembangan individu darikomunitas PKL harus disesuaikandengan kondisi masing-masing subsektor dengan alternatif menjadikanpedagang yang mapan dan bila manatelah dipandang cukup mampudapat ditarik ke arah sektor formalmelalui penataan yang partisipatif.Ketiga, pembinaan danpengawasan mutlak untukdilakukan, namun dasar pembinaantersebut tidak didasarkan padapengaturan-pengaturan yang ketat,akan tetapi justru didasarkan padakepastian dan ketenangan usaha.Mungkin makalah Gurbenur DKI(1985) mengenai pembinaanpedagang kaki lima bisa dijadikanacuan, ia berpendapat bahwapembinaan terhadap sector informalkhususnya PKL merupakan upayapendidikan yang mengandungunsur pembangkit, ajakan,dorongan, bimbingan, pengarahan,pemberian bantuan yangdilaksanakan secara sadar,terprogram, terarah, teratur danbertanggung jawab, dalam rangkamemperkenalkan, membimbing danmengembangkan mereka. Agarmemiliki kepribadian, sikap dantingkah laku yang seimbang, selaras,serasi dan utuh dalam rangkamemberikan keterampilan,pengetahuan dan teknologi, bantuanmodal atau alat-alat produksi sampaidengan mampu mengelolapemasarannya, sesuai dengan bakat,kecenderungan, keinginan sertakemampuan untuk meningkatkanproduktivitasnya demi kehidupandan kesejahteraan yang layak bagikemanusiaan.Keempat, kemungkinansemakin rusaknya lingkunganSukalila akibat dampak daripenataan agar dipertimbangan.Pemerintah kota sebaiknyamelakukan studi kelayakan analisismengenai dampak lingkungan(AMDAL) untuk mengetahui apakahpenataan tersebut tidak merusaklingkungan sekitarnya. Sepertikemungkinan pemangkasan ataumalah penebangan pohon-pohondijalur hijau, semakin tercemarnyasungai Sukalila akibat pembuangansampah organik, anorganik danlimbah industri. Semakindangkalnya sungai Sukalila akibatkedua ruas sungai tertutup olehpedagang sehingga menyulitkanproses pemeliharaan.Keempat rekomendasi diatastidaklah mutlak, tentunya masih bisadiperdebatkan, paling tidak bisadijadikan dasar pemikiranpemerintah kota yang selama initidak adil dalam menilai keberadaanPKL.Catatan AkhirLangkah ke depan yang perludiperhatikan oleh pihak pemkotadalah membuat suatu kebijakanyang mampu memberikankeuntungan semua pihak, termasukmampu meningkatkan pendapatanasli daerah (PAD) dari kebijakanyang dihasilkan. Diyakini, bahwapenertiban, relokasi, penataan atauapapun namanya hanya akanmenyelesaikan persoalan dalamwaktu sesaat, akan tetapi belummampu memecahkan persoalanuntuk jangka waktu panjang,mengingat berbagai pihak yangberhubungan dengan Pasar, pegawaikantor, pejalan kaki, pengunjung,angkutan umum dan lainnya padadasarnya secara langsung maupuntidak langsung sangatmembutuhkan kehadiran PKL.Mereka membutuhkan para PKLkarena berbagai keuntungan dankemudahan yang bisa merekarasakan.Diyakini pula, faktorkeindahan, kebersihan, kesehatan,ketertiban, kemacetan, dankesemerawutan yang disebabkanoleh kehadiran PKL merupakanmasalah yang masih perlu dicarikansolusi terbaik. Oleh karena itu, perlupemikiran bersama semua pihakyang bisa mengurangi pengaruhnegatif yang disebabkan olehkehadiran saudara kita yangbergerak disector informal terutamaPKL disekitar kawasan Sukalila.***17


Selama ini, stigmatisasi PKL (Pedagang Kaki Lima)selalu miring. PKL diidentikkan dengankesemerawutan, kekotoran bahkan pengganggukenyamanan kota. Status profesi PKL pundipertanyakan bahkan tidak diakui. PKL dianggapsebagai komunitas pedagang illegal. Mungkinkarenanya, tidak jarang tindakan-tindakan penertibanPKL dilakukan lewat langkah-langkah arogansi yangmenafikan sisi kemanusiaan mereka. Padahal PKL,seperti warga negara lainnya memiliki hak sama dalammemperoleh penghidupan layak.Melihat realitas PKL di Pasar Pagi, berartimenelisik aktivitas kehidupan berjualan mereka dalammemenuhi nafkah. Bila dilihat dari sifat PKL yang familyenterprise, di perkirakan ada 353 jiwa menggantungkanhidup dengan berjualan dikawasan Sukalila. Darisurvey terhadap 93 PKL Pasar Pagi, oleh FahminaInstitut, diketahui PKL Sukalila sebagian besar laki-laki87,1%, sisanya 8,6% wanita. Usia PKL bervariatif, dariusia 20 sampai dengan 50 tahun, bahkan 10,8% berumurdibawah 20 tahun. Kebanyakan mereka berusiadiantara 21-30 tahun, yang mencapai 26,9%. DiketahuiProfile PKL Sukalila79.6% PKL sudah menikah, 17,2% belum berkeluarga,sisanya 3,2% janda/duda.Mayoritas PKL Sukalila 50,5% berasal dari luardaerah, dan 41,9% dari dalam kota <strong>Cirebon</strong> sendiri. PKL-PKL sebagian besar 24,7%, mengaku sudah berjualanselama 3 tahun, bahkan 10 % dari mereka mengakuimenekuni propesinya lebih dari 10 tahun. Jenisdagangan/jasa PKL, 48,4% makanan/minuman, Pigurasebanyak 17,2%, sol sepatu 14,0%, tukang cukur 11,8%,aksesoris 1,1%, pakaian 0% dan penjual kaset dan kunci5,4%.Dari segi pendapatan, 62,4%PKL Sukalilamenagakui penghasilannya kurang dari Rp 500,000.18,3% PKL mengaku berpenghasilan antara Rp 500,000sampai 1 juta, dan 3,2% diatas 3 juta rupiah.Sementara dari segi pendidikan, terungkap PKLyang tidak bersekolah mencapai 3,2%. Sementara yangberpendidikan SD terlihat paling banyak mencapai34,4%, PKL yang pernah mengenyam pendidikan SLTP29,0%, menyelesaikan pendidikan SMU 29,0% dan tidakada satupun PKL mengaku kuliah di Akademi D-1, D-3atau sarjana. ****ObengMUSYAWARAH PENGAMEN SE-JABARMenguatkan Kebersamaan di Pondok Pesantrenesantren dan Pengamen,memang dua komunitasberbeda. Keduanya, Pmemiliki pola kehidupan dan relasiinterpersonal tersendiri. Namun,tidak berarti diantara keduanyatidak bisa saling bersentuhan.Buktinya, pada Jumat, (10/09) lalusekira pukul 20.00 malam, justru 22pengamen jalanan memilihPondok Pesantren Al-MizanCiborelang, Jatiwangi, KabupatenMajalengka sebagai tempatmusyawarah sesama pengamen se-Jawa Barat.Acara yang digagas OlehAZAM (Anak Jalanan Majalengka)salah satu komunitas pengamenjalanan di wilayah Majalengka itu,dihadiri kawan-kawan pengamendari <strong>Cirebon</strong>, Kuningan,Majalengka, dan Bandung. Merekabiasanya mangkal di beberapaterminal bus seperti terminalHarjamukti-<strong>Cirebon</strong>, Cirendang-Kuningan, Cikampek-Bandung,dan terminal Cideres-KadipatenMajalengka.Pesantren-pengamen: Dua Sisiyang Tidak Lagi BerjarakBagi sebagian besarPengamen yang hadir pada acaratersebut, sisi kehidupan pesantrenmungkin terasa asing. Bahkanmungkin baru kali ini merekarambah. Namun, tidak bagi Ndang(45) koordinator AZAM. Pria asalKadipaten itu, sudah 2 tahunbelakangan ini aktif merangkulsesama pengamen jalanan diwilayah Majalengka. DiakuiNdang, dirinya bersama-sama KH.Maman Imanul Haq Faqieh,Pengasuh PP. Al Mizan terusmelakukan pembinaan parapengamen jalan lewat komunitasAZAM. Ndang sendiri sudah lamamenganggap Pondok Pesantren18


menjadi alternatif sisi kehidupanlain disamping kerasnyakehidupan jalanan yang biasadisusurinya. “Al Mizan sangattoleran terhadap kita, bahkanterbuka bagi tumbuhnyakreativitas kawan-kawanpengamen jalanan khususnya diWilayah Majalengka", tuturNdang. Terbukti, Al Mizanmempasilitasi kreativitas senikawan-kawan pengamen lewatkomunitas Seni Sholawat Ki-Buyyut tambahnya.Ruang keterbukaan dankeakraban itulah, yang diakuiNdang jarang ditemukan padaPesantren-pesantren lain. Namun,jelas Ndang bukan karena alasankedekatan emosional semata,sehingga musyawarahdilangsungkan di pondok tersebut.Lebih dari itu, sebetulnya Ndangingin mengikis habis anggapanbahwa dunia Pengamen sebagaisatu serpihan kehidupanterpinggirkan yang seolah-olahtertutup; milik pengamen saja.Sehingga komunitas-komunitasluar tidak bisa menyentuhnya,termasuk pesantren.Anggapan pesantren tidaklazim akrab dengan kehidupanpengamen, kecuali misalnya ketikapengamen didudukkan sebagaikaum dhuafa, menurut Ndangharus dirubah. Sebaliknya,pengamen dengan setumpukpersoalannya dinilai Ndangmerupakan realitas sosial yangperlu disikapi oleh pesantren.Tetapi, bukan karena mereka tidakberdaya atau lemah. Melainkan,lebih pada alasan bila digalisebetulnya pengamen bisaberperan lebih banyak lagi dalamkehidupan sosial-kemasyarakatan,satu wilayah yang menurut Ndangjuga menjadi bagian dari garapanPesantren .Menguatkan: “Solidaritas-Kebersamaan”Di tengah suasanamusyawarah yang terkesan santaidan akrab itu, sempat disinggungsoal batas wilayah mangkal. Diakuiseluruh peserta musyawarah, tidakjarang diantara mereka sendirisering terjadi bentrok hanyadisebabkan melewati bataswilayah masing-masing. Untukmengurangi perselisihan yangterjadi, maka mereka sepakatuntuk lebih menguatkansolidaritas diantara parapengamen. Terkait dengan itu,semua Pengamen sepakatmembawa hasil musyawarah kaliini kepada forum pengamen yanglebih besar dengan melibatkankawan-kawan pengamen dibeberapa wilayah lain dalamjumlah lebih banyak lagi. “Kitaperlu konsolidasi dengan kawankawanlain, sebab kali ini banyakyang tidak hadir”, kata Asep (24),salah seorang pengamen yangkerap operasi di terminalCikampek.Selain itu, dibahas pula peransosial-politik kemasyarakatanpengamen. Selama ini, pengamendianggap komunitasterpinggirkan. Dalam relasi sosial,mereka tidak memiliki peran sosialyang jelas. Stgimatisasi miringkerap dilabelkan kepada mereka,mulai dari sebagai sumber masalahsosial, pemicu keonaran sampaidianggap bagian darikesemerawutan kota.Melekatnya stigmatisasimiring terhadap pengamen,menurut Iwan S. (35), pengamenasal <strong>Cirebon</strong> tidak terlepas daritidak adanya pengakuan formalterhadap profesi pengamen selamaini. Sehingga, lanjut Iwan aturanhukum atau UU dibikin hanyamenguatkan justifikasi bahwamereka termasuk bagian darikesemerawutan yang perluditertibkan. “Kepentingankepentingankita, lebih banyaktidak terakomodir”, ungkapnya.Kondisi itu, dibenarkan Aris (21),pengamen asal terminalCirendang-Kuningan, serayamenyebutkan bahwa hal itumembuat pengamen kering darikemauan politik atau kemauanuntuk berperan lebih banyak padawilayah sosial-kemasyarakatan. Disisi lain, Aris melihat kebijakankebijakanatau peraturan punkebanyakan masih belummemihak kepada mereka.Untuk itu para pengamensepakat akan terus berkonsolidasisesama kawan-kawan merekalewat satu wadah perkumpulanorganisasi pengamen seluruh JawaBarat yang nantinya akan merekabentuk. Selain itu, mereka jugaakan berupaya melakukan kerjakerjareal diwilayah peran-peransosial-kemasyarakatan lewatwadah tersebut agar eksistensiPengamen lebih diakui. **** add.19


Workshop Kerukunan Umat Beragamaenomena merebaknyakonflik-horizontal yangberujung Chaos-Kerusuhan Fmassal, paska prosesi transisipolitik-demokrasi tahun 1997,sempat menjadi kenyataan pahitbangsa ini. Tercatat serentetanpergolakan berbalut sentimenkeagamaan muncul di beberapawilayah seperti tragedi Ambon,Poso, dan Sampit. Belum lagi,kasus tragedi teror Bom yangdisinyalir kuat sebagai aksi darigerakan radikalisme agama, jugamencuat. Kasus Bom Bali, BomMakassar, Bom Hotel Mariotsampai terakhir meledaknya Bomdi Kedubes Australia, Kuningan,Jakarta telah mengusik racikankebersamaan antar ummatberagama.Menyikapi realitas yangterjadi, Pondok Pesantren AlMizan Ciborelang, Jatiwangi,Majalengka, pada Jumat (10/09)lalu, menggelar WorkshopKerukunan Ummat Beragama.Workshop bertema Satu BumiSatu Hati itu, menghadirkan NaraSumber Pdt. Supriyatno dan Pdt.Sugeng Daryadi, keduanya dariForum Sabtuan <strong>Cirebon</strong> denganmoderator Ali Makhrusy. PesertaWorkshop adalah tokoh-tokohagamawan baik Kristen maupunIslam, Tokoh masyarakat, AktivisOrganisasi Keagamaan, danKalangan Pesantren di wilayah<strong>Cirebon</strong> dan Majalengka.Dalam hantaran diskusi,Pengasuh Pondok Pesantren AlMizan, KH. Maman ImmanulHaq Faqih, menegaskan bahwapertemuan adalah refleksi atastragedi ledakan Bom KedubesAustalia, Kuningan, Jakarta padaKamis, 09 September 2004. Bomkemarin, jelas Maman bisamenodai jalinan kebersamaanantar ummat beragama.“Kehadiran tokoh-tokohmasyarakat dan tokoh agama kaliini adalah untuk mengembalikankebersamaan ummat beragamalewat proses dialog bersama”,tutur Maman.Di sisi lain, kemunculanVCD-VCD maupun buku-bukuyang menyudutkan pihak agamatertentu belakangan ini, sepertipengakuan muallaf Irene Handono,dalam sebuah pengajian di bulanRamadhan, November 2003 lalu,yang rekaman VCD-nya dijualbebas di pasaran berjudul StrategiPemurtadan Umat, menurutMaman mengharuskankebersamaan antar ummatberagama terus solid dibangun.“Saya berharap dari pertemuansederhana ini mampudipecahkan persoalan toleransiberagama yang kini masihmelingkupi kita, serta adastressing point pernyataanbersama mengutuk ledakan BomKuningan kemarin” tambahnya.Manusia Sebagai Citra TuhanPdt. Supriyatno dari ForumSabtuan <strong>Cirebon</strong>, dalampaparannya terkait tema yangdiusung Workshop, mencobamenginterpetasikan tema SatuBumi Satu Hati; secara luas.Dijelaskan Pdt. Supriyatno,sebagai kristiani dirinya berpijaktidak terlepas dari konsepmanusia sebagai “Citra Tuhan”.“Tidak mungkin jadi manusiaseutuhnya tanpa hati, kitadiciptakan dalam Citra Allah”,tuturnya. Prinsip teologi yangdiangkat menurut Pdt.Supriyatno, adalah penciptaanmanusia itu tidak lain untukmenata, menggali danmelestarikan bumi. Konsepteologi itu, jelasnya berangkat darirealitas bahwa Manusia itubermartabat, dengan diberi hatinurani.Dalam kehidupan kristen,manusia memiliki sesuatu yangdimiliki Tuhan, meskipunterdapat perbedaan tentunya.Karena itu, dengan konsep “CitraTuhan”, kehidupan manusiaharus dipertanggung jawabkan.Pada sisi lain, manusia tidakdibedakan karena agama, etnis,20


ataupun stratifikasi sosial.Manusia memiliki derajat sama didepan hukum demikian jugadimata Tuhan. Ketika manusiadipanggil ketengah dunia, makake-berartian manusia dituntutdiaktualisasikan dalam realitaskehidupan. “Kata bumi itu tidakdireduksi hanya pada sekedar carinafkah, melainkan dimaknaimembangun bagi perkembanganmanusia lainnya” kataSupriyanto. Manusia dipanggilselain untuk mencipta danmelestarikan bumi, jugamelindungi dan menjagamanusia lain. Manusia juga,harus membangun format yangramah terhadap lingkungan. Iniyang disebut dengan etika danmoral jelas Supriyatno. Tanpamendasarkan pada itu,kehidupan manusia akanteralienasi dari Tuhannya.Tindakan dan praktekperendahan terhadap sesamamanusia, berarti melecehkanPenciptanya itu sendiri tandasSupriyanto. Sebaliknya, ketikamemuliakan manusia berarti kitameninggikan Tuhan.Membangun bumi sebagaiamanat Tuhan, berartimemproteksi atau memelihara.Dengan begitu, pemahaman atasmakna bahwa bumi harus ditatamenurut Supriyanto memilikidimensi luas, mencakup pulamembangun budaya, komunitasbahkan keagamaan yangmencirikan pro-kemanusiaan,tambahnya.Kesimpulan daripemahaman itu, bila maumembangun solidaritas, jelasSupriyanto, harus diciptakan“Manusia Mulia” terlebih dahulu.“Nafsu dan kebencian harusdieliminasi sebab kita hakikatnyasetara”, kata Supriyanto. Padakonteks solidaritas antar ummat,perbedaan atau lawan adalahmereka yang menciptakanstruktur atau pemahaman agamayang tidak mengapresiasikemanusiaan tambahnya.Sementara itu, Pdt. SugengDaryadi menilai kemunculanVCD provokatif tidak terlepasdari konsep dakwah yangdimaknai sempit. Karenanya,harus ada interpretasi ulangterkait pemahaman tentang misiatau dakwah Kristiani. Konsepdakwah yang keliru itu, sepertidijelaskan Sugeng didasarkanpada Matius ayat 28 yangberbunyi “Pergilah, agar semuabangsa menjadi muridku”, yangdifahami secara frontal, yaknimanusia harus menjadi kristensebagaimana dalam Kasus VCDnyaIrene Handoyo.Anggapan bila ummatKristiani tidak mampumengaktualisasikan misi dakwahdalam kerangka sempit itu, makadianggap berdosa, menurut Pdt.Sugeng Daryadi sepenuhnyatidaklah benar. Mengingat,hakikatnya dalam penilaianSugeng siapapun telah menjadiumat Tuhan bila mampumenerapkan nilai-nilai universalkemanusiaan. “Penanaman danaktualisasi dari nilai-nilaiuniversal itu tidak harus secaraformal lewat berganti bajuagama", tegas Sugeng. Sebab,justru sebaliknya dalam ajarankristen dijelaskan bahwa bilaorang kristen tidak menghasilkanbuah (manfaat), maka dia celakadan binasa. Dakwah Kristiani,bertolak dari pemahaman itu.Bagaimana berlomba-lombauntuk berbuat sesuatu yangmampu menghasilkan manfaatbagi kemanusiaan tuturnya.Pernyataan Sikap BersamaSelain melakukan diskusidan dialog bersama, WorkshopKerukunan Antar UmmatBeragama kali ini juga berhasilmerumuskan 6 (enam) poitpenting pernyataan sikapbersama, yakni :1.Semua agama menolakkekerasan, intimidasi dantindakan-tindakan yangmenodai nilai-nilaikemanusiaan dan keadilan.2.Semua agama mengajarkankasih sayang, keadilan dankesetaraan sesama ummatmanusia.3.Mengutuk keras segalatindakan atas nama agamaapapun yang telah menjadikanmanusia kehilangan nyawa.4.Kerukunan ummat beragamamerasa terganggu denganadanya sosialisasi-provokatiflewat VCD maupun buku-bukuyang mendeskriditkan agamaagamatertentu.5.Perilaku terorisme yangmuncul dibelahan dunia, tidakdapat mewakili agama tertentu.6.Turut berduka cita dan prihatinyang sedalam-dalamnya ataskorban peristiwa Bom diKedubes Australia, Kuningan,Jakarta.Pernyataan sikap itu, sepertiditegaskan KH. Maman ImmanulHaq Faqieh merupakan wujudreaksi penolakan terhadap segalabentuk tindakanmengatasnamakan kebenaranagama apapun yang menafikannilai-nilai universalkemanusiaan, kesetaran dankeadilan. ****add.21


Pelatihan Media Rakyat Bagi Penggerak Komunitasembangunanisme(developmentalisme) hanya bisaPmelahirkan kemakmuran bagisegelintir orang. Khususnya mereka yangmemiliki kekuasaan atau dekat dengankekuasaan. Sementara, kemanusiaansebagai dasar utama dari tatanan sosialpolitik,teramat rapuh dan mudah hancur.Terbukti, paradigma developmentalismegagal memahami faktor kemanusiaan.Masyarakat luas menjadi pasif,cenderung hanya menjadi objekpembangunan yang dirancang dandiarahkan pihak luar lewat pemerintah.Kecenderungan di atas, melahirlanefek negatif yakni keputusan ataukebijakan pemerintah selama ini tidakberorientasi pada kepentinganmasyarakat. Akibatnya, masyarakatterjerat dalam kubangan kemiskinan,karena struktur sosial dan politik hanyaberpihak pada sekelompok kecil orangyang berada dalam lingkar kekuasaan.Sementara, pengguliran konsepkebijakan desentralisasi lewat Otdabelum sepenuhnya efektif. Dalamrealitasnya, otoritas Pemerintah masihkuat, dan masyarakat sipil masih beradapada posisi terpinggirkan.Dalam mendorong peningkatanketerlibatan (Partisipasi) masyarakatdalam proses tata kelola kota <strong>Cirebon</strong>,sehingga memunculkan konsep keadilanantara masyarakat sipil, dunia usaha danpemerintah, maka diperlukan mediasebagai ruang aspirasi penyampaian idedan gagasan. Terkait soal media rakyatitu, maka Fahmina-Institute <strong>Cirebon</strong> padatanggal 2-4 Oktober 2004 lalu,melaksanakan Pelatihan Media Rakyatbagi Penggerak Komunitas bertempat diHotel Sidodadi Jl Siliwangi No 74 Kota<strong>Cirebon</strong>.Pelatihan yang berlangsung selama3 hari itu, menghadirkan Agus SetiawanSaputra dari CRI sebagai Fasilitator, danmelibatkan 10 peserta dari komunitaskelurahan (LPM) dan 10 peserta dariKomunitas Basis (Nelayan, PKL,Kawasan terminal, IRT dan Pebecak.Output dari pelatihan, diharapkan pesertabisa mengembangkan radio komunitas.Nantinya, radio itu bisa dipakai sebagaimedia bagi penyampaian ide ataugagasan mereka terkait persoalankebijakan kebijakan publik.Radio dipilih sebagai mediaalternatif bukan tanpa alasan. MenurutObeng Nur Rosyid, Program Officerkegiatan ini, dibandingkan media jenislain, radio memiliki banyak kelebihan. Diantaranya siaran radio mudah difahami,bahkan oleh mereka yang buta hurufsekalipun jelas Obeng. Biaya untukmendengarkan radio pun relatif lebihmurah. Selain itu, radio mampumenyiarkan informasi secara lebih cepatmenjangkau kesemua wilayah. “Yangterpenting radio komunitas mendorongterjadinya demokratisasi informasi yangcirinya antara lain beregamanankepemilikan dan keberagaman isiinformasi”, tutur Obeng.Lebih jauh, soal pentingnyapelatihan, dijelaskan Obeng sangatterkait dengan adanya ketimpangandalam hal kekuatan politik danpenguasaan informasi, antaramasyarakat sipil di satu pihak denganpemerintah dan dunia usaha di pihak lain.Ketimpangan itu, jelas Obengmenyebabkan masyarakat sipil tidakpernah bisa berpartisipasi secara baikdalam proses perencanaan,pelaksanaan, dan pengawasanpembangunan.Untuk itu, menurut Obengmasyarakat perlu dikuatkan sehinggaada keseimbangan dalam hal kekuatanpolitik dan penguasaan informasi antaramasyarakat sipil, pemerintah dan duniausaha. Sebagai ikhtiar solusi, jelasObeng pelatihan bertujuan untukmeningkatkan kapasitas bagimasyarakat sipil, khususnya yangmengarah pada kemampuan dalammengembangkan model media yang bisadigunakan oleh komunitas perkotaan,dalam hal ini radio komunitas.Dalam konteks program Fahmina<strong>institute</strong>sendiri, pelatihan ini menurutObeng menjadi penting. Mengingat, saatini kapasitas penggerak masyarakat yangada belum memadai dan mampu untukmengelola sebuah media rakyat, semisalradio komunitas. “Perlu ada sebuahruang untuk merumuskan strategipengembangan jaringan yang mengarahpada penguasaan media informasi dikomunitas perkotaan”, tuturnya.Pada akhir pelatihan, berhasildirumuskan beberapa rencana tindaklanjut pasca pelatihan antara lain :1. Mencari peluang bantuan dana untukmembangun sebuah radio komunitasdi tingkat kelurahan maupun basis.2. Membangun relasi/masukan dari mitrastrategis untuk mengembanganjaringan radio komunitas.3. Mengupayakan pelatihan lanjutan,bisa berupa workshop maupun studyke Combine Bandung untukmeningkatkan kapasitas pesertapelatihan.4. Melakukan sosialisasi lanjutan kekomunitas masing-masing, sepertikomunitas lembaga pemberdayaanmasyarakat dan komunitas Basis.5. Konsolidasi dan sosialisasi ke seluruh/berbagai pihak terkait untuk memintadukungan baik moril maupun materiil.Pelatihan ini diharapkan bisamenghadirkan aura perubahan yangkonstruktif pada komunitas kelurahandan komunitas basis di Kota <strong>Cirebon</strong>.Pasca pelatihan ini diharapkan munculide-ide kreatif dan bernas menyangkutpembangunan di kota <strong>Cirebon</strong>. Denganbegitu, pelaksanaan pembangunan ditingkat kelurahan dapat meningkatkankualitas kesejahteraan masyarakatsecara lebih otentik.*****add.22


Merubah Wajah Polisidengan COP (Comunity Oriented Policing)Oleh : Erlinus Yunus ThaharMendengar kata “Polisi” yang terlintas di benak kita pada umumnya tidak akan jauh dari apa yang ditayangkan oleh sejumlah acara kriminal dibeberapa stasiun TV swasta, seperti Buser di SCTV, Sergap di RCTI, Patroli di Indosiar dan lain-lainnya ; --Dunia kriminalitas, perampokan, pencurian,pembunuhan, yang penanganannya begitu lekat dengan tugas-tugas kepolisian--. Atau juga, kesan Polisi begitu kuat menempel dibenak kita ketikamenjumpainya di jalan raya ; yaitu POLANTAS yang tengah mengatur lalu lintas jalan.“Citra polisi” masa kini dimasyarakat kental dengan kekerasan. Kondisi itu tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Bahkan ada keengganan masyarakatketika ada peristiwa kriminal untuk melapor karena dianggap akan menyulitkan. Tayangan televisi seperti yang disebut diatas juga kerap menayangkan letusanpistol dan kekerasan ketika memburu dan menggeledah tersangka, semakin memperburuk image polisi. Namun seburuk itukah ? Apakah kita bisamengubahnya? Seiring perubahan politik yang tumbuh di masyarakat dengan semangat reformasi dan demokrasi melalui TAP MPR No IV/MPR/2000 dan TAPMPR No VII/MPR/2000 Polri dinyatakan lepas dari TNI, dan mesti menjalani fungsinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.Lepasnya Polri dari TNI, niscayanya diikuti dengan perubahan kultur militerisme menjadi berorientasi sipil (civilian oriented). Namun, tidaklah mudahmengubah budaya yang telah berkembang bertahun-tahun dan mengakar di tubuh Polri. Begitu pula stigma polisi yang ada di masyarakat. Padahal, di erareformasi ini, telah terjadi perubahan, --dimana masyarakat lebih kritis, terbuka dan demokratis. Hal itu membutuhkan perubahan kualitas pemolisian yangberbeda dengan kondisi masyarakat yang relatif stabil dan tenang---. Karena fungsi kepolisian tidak melulu menangani kasus-kasus kriminal saja, ada yang lebihpenting dan esensial yaitu sebagai kontrol sosial --dalam negara hukum kontrol itu menjadi kontrol sosial yang dilakukan oleh pemerintah hingga sifatnya jadibirokratis, prosedural dan formal. Sehingga seringkali polisi dianggap sebagai penjaga status quo. Padahal mestinya polisi juga menjaga “status kehidupan”dengan memahami secara lebih mendalam persoalan-persoalan yang ada dimasyarakat.Aksi unjuk rasa, penggusuran, urbanisasi, perburuhan, HAM, pencemaran lingkungan, illegal logging, perdagangan perempuan dan anak-anak(traficking), adalah masalah-masalah yang sangat marak akhir-akhir ini ada didepan mata polisi dan butuh penanganan yang berbeda. Memahami danmengurangi beban korban adalah salah satu contoh konkret apa yang disebut menjaga kualitas kehidupan. Maka, perubahan paradigma kepolisian menjadiberorientasi sipil adalah suatu keharusan bagi Civil Society. Wajah polisi harus lebih ramah dan berpihak pada masyarakat. Karena selama ini sebenarnya telahterjadi ketidakpuasan masyarakat atas citra dan kinerja institusi penegak hukum disamping keinginan polisi untuk mereformasi dirinya sendiri paska pisah dariTNI.Salah satu jawabannya, --walaupun perlu kajian lebih dalam dan disesuaikan dengan kultur domestik, salah satunya mungkin dengan programComunity Oriented Policing (COP) atau polisi yang berorientasi pada masyarakat. Program itu telah lebih dua tahun diprogramkan oleh PUSHAM UII Yogyakartadi beberapa kelurahan dan kecamatan di Yogyakarta, dimana hasilnya dapat diketahui ada perubahan paradigma dalam masyarakat tentang keberadaan polisi,begitu juga performa polisi di dalam masyarakat. Walaupun program ini sebenarnya telah lama dikembangkan misalnya di Amerika seperti yang diungkap dalambuku “Surpervising Police Personal” oleh Paul Whisenan dan George M. Rush mengutip laporan Komisi Independen tentang Kepolisian LAPD : “ modelpemolisian berbasis masyarakat atau COP memperlalukan pelayanan kepada masyarakat dan pencegahan kejahatan sebagai fungsi utama kepolisian di dalammasyarakat. Model pemolisian berbasis masyarakat (COP) telah berkembang dan mendapat penerimaan yang meluas pada tahun 1880-an.” Disamping itu jugaseperti apa yang diamanatkan oleh Resolusi PBB No. 34/169 Ags 17 Desember 1979 yang merekomendasikan ditetapkannya strategi pemolisian berbasismasyarakat yang mencakup : Bagaimana membangun komitmen antar polisi dengan warga masyarakat yang taat hukum dan menerapkan kebijakan danrencana aksi tentang hubungan masyarakat.Kita mungkin telah akrab dengan istilah Siskamling, Ronda, Hansip, Pamswakarsa dan lain-lainnya, yang lebih mengedepankan swadaya masyarakatterhadap keamanan wilayahnya masing-masing. Walaupun sama-sama membutuhkan partisipasi masyarakat, tetapi penekanannya tidak melulu soalkeamanan melainkan juga kondisi sosial secara umum, juga peran aktif polisi dalam berbaur di masyarakat yang lebih intensif. Adanya POKJA-POKJA(Kelompok Kerja) tentang COP di beberapa kelurahan di Yogyakarta tersebut yang terdiri beberapa elemen masyarakat baik tokoh masyarakat, pemuda, iburumah tangga dan polisi memberikan pemahaman masyarakat akan tugas-tugas kepolisian dan bersama merumuskan peran serta aktif masyarakat dalammembantu tugas-tugas kepolisian dan bisa juga menjadi ruang bagi kepolisian untuk memahami kebutuhan dan kondisi masyarakat seacara utuh sehinggakomunikasi berjalan baik melalui pertemuan reguler dan aksi sosial lainnya.Namun, secara mandat, Community Oriented Policing (COP) bertujuan untuk menstimulasi dan mendorong akselarasi reformasi polisi, bukan sekadarmenjalin hubungan “baik-baik” antara polisi dan masyarakat, yang mana relasi yang dijalankan adalah komunikasi yang kritis, terbuka rasional. Hubungan yang“baik-baik” saja kadang berpotensi untuk menutupi kesalahan polisi atau sebaliknya, serta “mendomestikasi” keadaan kritis masyarakat. Meski banyaktantangan baik secara internal dan eksternal, Civilisasi Polisi hendaknya menjadi tugas kita bersama. Diantaranya, adalah Persoalan masih serba minimnyakesejahteraan anggota polisi yang sering menjadi alasan menurunnya kinerja polisi seperti yang dilansir oleh Political and Economic Risk (PERC), sebuahlembaga penelitian di Hongkong, yang menyebutkan bahwa sistem peradilan dan kepolisian Indonesia terburuk di Asia. Valid atau tidak, citra POLRI mestidicermati. Namun, indikatornya menunjukkan adanya perbedaan penghasilan antara anggota polisi Indonesia dengan Pegawai Administrasi Keuangan setaraf ;yaitu hanya 22 %, bandingkan dengan Singapura 150 %, Malaysia 67 %, Thailand 47 %, Filipina 51 %, Hongkong 110 % dan Vietnam 38 %.Dengan kondisi diatas, kita terpaksa melihat banyak anggota polisi nyambi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dan disinilah sering terjadipenyalahgunaan wewenang. Seringkali kehadiran polisi di jalan tidak memberi kenyamanan bagi pengguna lalu lintas, tetapi mengundang rasa takut untukditilang. Atau kehadiran polisi di pusat-pusat keramaian sering diikuti dengan soal upeti. Sehingga kondisi internal polisi itu sendiri menjadi sebuah tantanganlain. Adrianus Meliala, kriminolog UI dan staf ahli Kapolri, mengatakan bahwa COP sebagai sebuah gagasan atau program sudah menjadi agenda dan perhatianMabes Polri, tetapi karena banyak hal yang perlu dibenahi dan budaya militeris yang masih kuat, maka program COP masih ditanggapi dengan setengah hati.Artinya, mengharapkan “political will” sepenuhnya dari pemerintah dan POLRI sendiri sangatlah berat walaupun seperangkat aturan sudah menyemangatinya.Sebagai bagian dari kebutuhan bermasyarakat madani, ditengah keterbatasan dana dan rendahnya kesejahteraan polisi kita, barangkali tugas kitabersama untuk mengembangkan COP di wilayah masing-masing (local situation), tentunya dengan modifikasi dan menyesuaikan dengan kultur setempat.Pendekatan sosial dan budaya menjadi intsrumen penting dalam mewujudkan COP. Keberhasilan program COP, secara menyeluruh akan mengubah strategidan wajah POLRI ke depan, sehingga gagasan dan program ini menjadi skema POLRI di masa mendatang.Sehingga apa yang menjadi salah satu prinsip dasar COP, yaitu mengubah fokus pengamanan dari fokus reaktif pada kontrol kejahatan menjadi fokusproaktif pada penyebab kejahatan dan kekerasan disamping pemahaman kondisi sosial budaya masyarakat lokal maupun secara umum bisa terwujud dan polisibisa berwajah lebih “bersahabat” kepada masyarakat. Karenanya, --tragedi seperti di Bojong Bogor ; dimana polisi begitu brutalnya kepada masyarakat hanyakarena pro kontra soal TPST ( Tempat Pembuangan Sampah Terpadu) tak perlu terjadi lagi--***23


Syekh Muhammad al-Ghazali(1917-1996)

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!