Asasi Edisi Januari-Februari 2010 - Elsam
Asasi Edisi Januari-Februari 2010 - Elsam
Asasi Edisi Januari-Februari 2010 - Elsam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA<br />
editorial<br />
eorang teman baik bercerita,<br />
suatu kali di tahun<br />
60-an Pramoedya Ananta<br />
Toer dihibahi satu peti Sdokumen dari seorang pegawai<br />
Dinas Pendidikan yang kala itu<br />
berkantor di Jalan Kimia, Jakarta<br />
Pusat. Peti diusung ke rumah dan<br />
bagai harta karun begitu dibuka,<br />
isinya tumpukan dokumen asli<br />
laporan intelijen pemerintah<br />
kolonial Hindia Belanda (PID).<br />
Terkuaklah rahasia intelijen<br />
memata-matai partai politik dan<br />
gerak kaum Indisch. Sayang<br />
dokumen bersejarah itu dibakar<br />
tanggal 13 Oktober 1965 saat<br />
tentara dan massa menyerbu<br />
rumahnya. Pram benar-benar<br />
terguncang mendengar dokumen<br />
itu lembar demi lembar dijilat api.<br />
Sesungguhnya sejak itu dia tidak<br />
pernah sembuh dari keguncangan<br />
tersebut. Hanya mengandalkan<br />
ingatan atas dokumen dan atas<br />
'jasa baik' Jendral Sumitro tahun<br />
1977 yang meng'hadiah'i Pram<br />
mesin tik -sekalipun mesin itu tak<br />
pernah diterimanya- sekaligus ijin<br />
mengetik, “Bumi Manusia” lahir,<br />
Minke hadir hingga di buku keempat<br />
“Rumah Kaca”.<br />
Naskah ketik beredar dari unit<br />
ke unit di Pulau Buru, berlayar<br />
mengarungi laut Jawa dari Pulau<br />
Buru kembali ke Jawa. Mendarat di<br />
Nusa Kambangan, berpindah ke<br />
Rutan Salemba, naskah selamat<br />
tiba di rumah. Bersama Joesoef<br />
Isak dan Hasjim Rachman,<br />
sahabatnya, Pram mendirikan<br />
penerbit 'Hasta Mitra' dengan versi<br />
Belandanya 'Manus Amici', dan<br />
menerbitkan naskah tersebut<br />
sebagai serial “Karya Pulau Buru”<br />
tahun 1980. Malang tak henti<br />
merundung. Jaksa Agung kembali<br />
hadir dalam kehidupan kepengarangan<br />
Pram. Kali ini dia datang<br />
untuk melarang peredarannya dan<br />
menginterogasi Pram, Joesoef dan<br />
Hasjim. Jejak Pak Jaksa diikuti oleh<br />
komandan Kodim Yogyakarta. Atas<br />
perintahnya, satuan intelijen dan<br />
militer menangkap Bonar Tigor<br />
Naipospos, Bambang Isti dan<br />
Subono, menyiksa dalam interogasi.<br />
Mereka diadili dan diganjar<br />
hingga 8 tahun oleh hakim<br />
Bubur Kertas<br />
Pengadilan Negeri. Kesalahan<br />
mereka adalah melawan larangan<br />
Jaksa Agung menjual buku Pram.<br />
Kisah dokumen intelijen belum<br />
lagi jadi sejarah. Perintah melarang<br />
peredaran buku tetap bergema<br />
hingga hari ini. Soalnya tak berhenti<br />
pada sifat rezim yang lalim. Benar<br />
Yoga Sugama Kepala Staf<br />
Kopkamtib 1978, pernah berkata<br />
“… the position was given to me has<br />
never had any precedent in any<br />
country, not before. The precedent<br />
was during himmler's time and was<br />
given by Himmler (sic) (seharusnya<br />
Hitler, pen)…” (Tapol, 1979). Tetapi<br />
memasuki koridor pembangunan<br />
bangsa dan modernisasi sejak<br />
tahun 50-an, tak pelak buku duduk<br />
di kederajatan politik tinggi. Seruan<br />
“mencerdaskan kehidupan bangsa”<br />
menjadi ambisi mewujudkan apa<br />
yang disebut Partha Chatterjee<br />
(2004) sebagai bangsa yang<br />
homogen, tak berwajah, tak berdimensi<br />
waktu. Kekal, berstandar dan baku.<br />
D e m i p o l i t i k k e b a n g s a a n ,<br />
pelarangan buku berurusan dengan<br />
perang dingin. Putusnya hubungan<br />
diplomatik dengan Cina dilengkapi<br />
rezim Orde Baru dengan melarang<br />
penggunaan aksara Cina dalam<br />
barang cetakan dan non-cetakan.<br />
Selain Jaksa Agung, Departemen<br />
Pendidikan, Departemen Agama,<br />
bahkan Departemen Perdagangan,<br />
Dirjen Pers dan Grafika, dikerahkan<br />
untuk mengawasi buku.<br />
Di sini juga berlangsung<br />
mistifikasi pelarangan buku. Misi<br />
pembersihan dosa, demikian Jaksa<br />
Agung memuliakan kedudukannya,<br />
dengan tugas kebangsaan yang<br />
pamungkas yaitu memusnahkan<br />
buku. Penghancuran candi, penggulingan<br />
ke laut arca-arca pemujaan<br />
yang dipandang berhala, penghancuran<br />
kerajaan Hindu terakhir, hidup<br />
kembali 500 abad kemudian.<br />
Membakar buku. Padahal tak<br />
sebarispun perundangan memaklumkan<br />
kuasa memusnahkan.<br />
Pernah dikerahkan massa untuk<br />
m e m b u m i h a n g u s k a n b u k u .<br />
Mulanya tim penelaah buku<br />
bergerak menelusuri peredaran<br />
buku hingga ke daerah. Hasilnya,<br />
tak lebih dari 1 bulan 2000 buah<br />
b u k u d i m u s n a h k a n d a l a m<br />
pergolakan politik 45 tahun lalu.<br />
Membakar buku menjadi atraksi<br />
publik mencekam, gigantis, ritualistik<br />
yang diliput media. Hukuman mati<br />
bagi kebudayaan.<br />
Penghangusan gagasan menantang<br />
mereka yang berseberangan:<br />
bahwa pelarangan buku<br />
adalah tindakan paripurna, tak bisa<br />
dicabut apapun situasi politik dan<br />
seberapapun tinggi tingkat kecerdasan<br />
masyarakat. Ini lebih dari<br />
yang diatur dalam PNPS No. 4/<br />
1963. Ketika publik mengecam<br />
betapa tidak beradabnya pembakaran<br />
buku, Jaksa Agung segera<br />
membuatnya tampak 'beradab'.<br />
Teknologi daur ulang, ikon generasi<br />
ketiga gerakan hak asasi manusia<br />
dengan ide pembangunan berkelanjutan<br />
dan penyelamatan lingkungan,<br />
menjalankan perintah mendaur.<br />
Para wartawan kembali diundang<br />
bukan untuk melihat tumpukan abu<br />
sisa bakar melainkan bubur kertas.<br />
Tak ada pasalnya penulis atau<br />
penerbit punya hak membela diri.<br />
Entah buku Yoshihara Kunio<br />
,“Kapitalisme Semu di Asia<br />
Tenggara” atau Harry Poeze tentang<br />
Tan Malaka, Jaksa Agung telah<br />
menjadikannya bubur kertas.<br />
Demokrasi pasca Orde Baru<br />
belum mengubah hubungan negara<br />
dan masyarakat. Keberagaman<br />
budaya dan kecerdasan pikiran<br />
belum jadi sumber kekuatan politik<br />
bangsa. Kita pun masih mendaur<br />
ulang kebijakan kolonial. Dari<br />
haatzaai artikelen dalam wetboek<br />
van Strafrecht, persbreidelordonnantie,<br />
staat van oorlog en beleg<br />
ordonnantie menjadi KUHP, PNPS<br />
No 4 1963 dan menjadi UU No<br />
4/PNPS/1963. Demokrasi ini<br />
bertabur pujian dari berbagai<br />
b e l a h a n d u n i a s e m e n t a r a<br />
pengendalian pikiran selangkah<br />
demi selangkah dilakukan. Apa<br />
boleh buat kertas sudah menjadi<br />
bubur.<br />
Agung Putri<br />
Direktur Eksekutif<br />
04<br />
EDISI JANUARI-FEBRUARI TAHUN <strong>2010</strong>