You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
nasional<br />
Minggu Pagi di Jejalen Jaya<br />
Oleh Daywin Prayogo<br />
(Staf ELSAM)<br />
Rombongan jemaat berkumpul kurang dari tigapuluh orang pagi itu. Beriringan, mereka<br />
bergerak menuju sebuah bangunan yang belum rampung. Tempat yang dituju berjarak sekitar<br />
300 meter dari lokasi berkumpul. Berkaus putih-putih dan beberapa mengenakan topi, mereka<br />
berjalan dikawal para polisi dan Satpol PP. Para aparat berjaga sepanjang rute menuju gereja<br />
HKBP Filadelfi a, Jejalen Jaya, Tambun Utara. Hari itu mereka hendak berangkat beribadah,<br />
ritual yang seharusnya biasa mereka lakukan tiap minggu. Tujuan ibadah itu mungkin mencari<br />
kesejukan rohani, namun yang tampak adalah deretan wajah lesu dan tertunduk.<br />
Belum sampai di depan gereja, mereka dihadang sekelompok orang yang mengatasnamakan<br />
warga desa Jejalen Jaya. Di jarak yang tinggal 200 meter lagi, warga menyuruh mereka<br />
pulang. Dengan tegas mereka menolak aktivitas peribadatan minggu pagi yang belum lagi<br />
terlaksana. “Pulang loe, dasar gak tahu diri! Sudah tahu gak dikasih ibadah, masih aja kesini!”,<br />
teriak seorang warga. Di tengah keributan itu, beberapa jemaah diam tak bergeming.<br />
***<br />
Cerita di atas hanya sebuah ilustrasi<br />
singkat bagaimana sikap intoleransi terus<br />
merebak. Tidak hanya kisah desa kecil di<br />
Tambun Utara itu, tetapi juga di berbagai<br />
daerah di Indonesia. Dalam kurun waktu lima bulan<br />
di tahun 2012, tercatat beberapa kelompok agama<br />
terpaksa berhenti beribadah. Beberapa kelompok<br />
tersebut adalah HKBP Filadelfi a, kelompok Syiah<br />
di Sampang, serta dua kelompok Ahmadiyah<br />
di Singaparna dan Tasikmalaya, Jawa Barat.<br />
Pemimpin jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfi a, Bekasi, Jawa Barat,<br />
Pendeta Palti Panjaitan berharap negara melindungi kebebasan kaum minoritas dalam<br />
menjalankan ibadahnya masing-masing. (dok:okezone.com)<br />
Semuanya berhenti beribadah akibat serangan<br />
kelompok yang lebih populer disebut sebagai<br />
kelompok intoleran.<br />
Selain tidak mentolerir agama lain beribadah,<br />
mereka juga tidak bisa menerima suara yang<br />
mengkritisi. Bahkan ketika suara kritis itu hanya<br />
tertera di selembar kaos. Tulisan kaos itu singkat,<br />
padat dan mengena: “Lawan Tirani Mayoritas”. Dari<br />
pesan singkat itu, salah satu kelompok intoleran<br />
menjadi berang seketika. Seorang yang memakai<br />
kaos itu adalah aktivis yang bertugas meliput<br />
penolakan ibadah HKBP Filadelfi a. Seketika<br />
kelompok intoleran menyeretnya untuk dihakimi<br />
bersama.<br />
Lalu kalimat itu bertransformasi sebagai simbol.<br />
Sebuah simbol penolakan atas penindasan terhadap<br />
kelompok yang tidak sepakat dengan kehidupan<br />
toleransi di Indonesia. Tetapi apakah benar kelompok<br />
ini hanya menjadi satu-satunya pendorong maraknya<br />
kasus kekerasan belakangan ini?<br />
Toleransi dalam “Tangan Besi”<br />
Noam Chomsky pernah mengatakan, “If we don’t<br />
believe in freedom of expression for people we<br />
despise, we don’t believe in it at all..” Kata-kata<br />
Chomsky tersebut benar adanya. Syiar kebencian<br />
(hate speech) dan tindakan kekerasan belakangan<br />
ini, tidak hanya berkembang karena kelompok<br />
intoleran menjadi ancaman terhadap keberagaman.<br />
Salah satu faktor yang harus dicermati juga adalah<br />
peran negara sebagai pemegang kekuasan.<br />
Negara harusnya mampu mempengaruhi tingkah<br />
laku orang sesuai dengan cita – cita negara yang<br />
berkeadilan. Juga lewat perangkat hukum untuk<br />
menindak tegas aksi – aksi tersebut.<br />
16 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012