You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Kebijakan yang menghambat kebebasan<br />
berekspresi di Indonesia:<br />
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang<br />
KUHP<br />
2. Undang-undang No. 1/PNPS/1965 tentang<br />
Penodaan agama<br />
3. Undang-undang No. 27 Tahun 1999 tentang<br />
Kejahatan terhadap keamanan negara<br />
4. Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang<br />
Penyiaran<br />
5. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang<br />
Pemerintahan daerah<br />
6. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang<br />
Pemilihan umum<br />
7. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang<br />
Transaksi dan informasi elektronik<br />
8. Undang-undang No. 42 Tahun 2008 tentang<br />
Pemilihan presiden<br />
9. Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang<br />
Pornografi<br />
10. Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang<br />
Bendera, bahasa resmi, lambang negara dan<br />
lagu kebangsaan<br />
11. Undang-undang No. 17 Tahun 2011<br />
Tentang Intelijen<br />
12. RUU Rahasia negara<br />
13. RUU Ormas<br />
Potensi dan banyaknya keuntungan dari internet<br />
berada pada karakternya yang unik, seperti kecepatannya<br />
dalam penyebaran informasi, daya jangkaunya yang bisa<br />
meliputi seluruh dunia dan kemungkinan kerahasiaan<br />
untuk penggunanya (anonymous).<br />
Pada sisi lain karakter tersebut menciptakan<br />
ketakutan bagi pemerintah dan penguasa.<br />
Hal ini mendorong meningkatnya pembatasan<br />
penggunaan internet melalui penggunaan teknologi<br />
canggih untuk memblokir isi, memonitor dan<br />
mengidentifi kasi para aktivis dan kritikus. Dalam<br />
hal pembatasan, penekanan adanya standar hak<br />
asasi manusia internasional khususnya pasal 19,<br />
paragraf 3 dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan<br />
Politik bisa digunakan dalam menentukan jenisjenis<br />
pembatasan-pembatasan yang merupakan<br />
pelanggaran kewajiban negara dalam menjamin hak<br />
kemerdekaan berekspresi.<br />
Seperti yang dijelaskan pada pasal 19, paragraf 3<br />
dari Kovenan tersebut, ada beberapa jenis ekspresi<br />
tertentu yang bisa secara sah dibatasi di bawah<br />
hukum hak asasi manusia internasional, yang secara<br />
mendasar berperan sebagai pelindung hak asasi dari<br />
pihak lainnya.<br />
Jenis-jenis informasi yang dilarang meliputi<br />
pornografi anak (untuk menjaga hak-hak anak), ujaran<br />
kebencian (hate speech), fi tnah (untuk menjaga<br />
hak dan reputasi orang lain dari serangan pihakpihak<br />
yang tidak bertanggungjawab) hasutan publik,<br />
ajakan langsung untuk melakukan genosida, dan<br />
ujaran kebencian pada agama atau ras tertentu yang<br />
menimbulkan hasutan diskriminasi, serta kekerasan<br />
atau perwujudan permusuhan (untuk menjaga hakhak<br />
orang lain, seperti hak untuk hidup).<br />
Pembatasan apapun terhadap hak akan<br />
kebebasan berekspresi harus memenuhi kriteria<br />
yang ketat di bawah hukum hak asasi manusia<br />
internasional. Dalam beberapa kasus pembatasan,<br />
pengawasan, manipulasi dan sensor isi internet yang<br />
dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum. Atau<br />
dasar hukumnya terlalu luas atau ambigu; tidak ada<br />
pembenaran tujuan dari tindakan yang dilakukan; atau<br />
dengan cara yang jelas-jelas tidak perlu dan atau tidak<br />
seimbang dalam mencapai tujuan yang direncanakan.<br />
Tindakan-tindakan tertentu benar-benar tidak sesuai<br />
dengan kewajiban negara di bawah hukum hak<br />
asasi international, dan sering hanya menimbulkan<br />
“chilling effect” (efek menakut-nakuti) pada hak akan<br />
kebebasan berekspresi dan berpendapat.<br />
Pembatasan melalui internet bisa dilakukan dalam<br />
berbagai bentuk. Dari tindakan teknis untuk mencegah<br />
akses ke konten tertentu, seperti pemblokiran dan<br />
penyaringan (fi ltering), kurangnya jaminan akan hak<br />
atas privasi dan perlindungan terhadap data pribadi,<br />
sampai yang menghambat penyebaran pendapat dan<br />
informasi.<br />
Pelapor khusus PBB mengenai promosi dan<br />
perlindungan kebebasan berekspresi, Frank La<br />
Rue berpendapat, penggunaan hukum pidana<br />
secara semena-mena pada pengungkapan ekspresi<br />
menimbulkan salah satu bentuk pembatasan yang<br />
paling keras pada hak ini, karena tidak hanya<br />
menciptakan efek menakut-nakuti (chilling effect), tapi<br />
juga menjurus pada pelanggaran hak asasi manusia<br />
yang lain seperti penahanan dan penyiksaan yang<br />
semena-mena serta bentuk-bentuk kejahatan yang<br />
lain.<br />
Intimidasi, penahanan, dan penyiksaan saat<br />
ini banyak menimpa blogger, web master, jurnalis<br />
online yang menyuarakan kondisi sosial politik<br />
dan pemerintahan. Di Vietnam, terhitung hingga<br />
<strong>Sept</strong>ember 2012, terdapat 19 kasus pemenjaraan<br />
terhadap netizen/blogger karena menyuarakan kritik<br />
terhadap pemerintahannya.<br />
Terdapat tiga syarat yang ditetapkan Pasal 18 dan<br />
19 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang harus terpenuhi<br />
sebelum pembatasan terhadap hak atas kebebasan<br />
berekspresi dilakukan, yaitu: (1) harus diatur menurut<br />
hukum; (2) harus untuk suatu tujuan yang sah/memiliki<br />
legitimasi; (3) harus dianggap perlu untuk dilakukan<br />
(proporsional).<br />
Terkait dengan syarat kedua, pembatasan hanya<br />
dapat dilakukan untuk tujuan “melindungi keamanan,<br />
ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak<br />
6 ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER MEI-JUNI 2012 2012