24.10.2016 Views

Sriwijaya Juni'16 low

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

TRAVELER STORY<br />

93<br />

Pintu, jendela, dan beranda dipenuhi<br />

dekorasi ukiran seni khas Myanmar.<br />

Sebuah mahakarya seni yang molek.<br />

Melanjutkan perjalanan, saya meluncur<br />

menuju Biara Mahagandayon. Biara<br />

ini terkenal sebagai salah satu biara<br />

pengajar terbesar di Mandalay yang<br />

menampung lebih dari seribu orang<br />

biksu. Setelah berkendara selama 30<br />

menit, sampailah saya di Amarapura.<br />

Sesampainya disini, saya takjub melihat<br />

banyak sekali biksu yang berbalut kain<br />

merah, bertelanjang kaki tanpa sehelai<br />

rambut di kepala mereka.<br />

D<br />

melepaskan kehidupan normalnya untuk<br />

menjadi pengikut Sang Buddha. “Tidak<br />

mudah untuk menjadi seorang biksu”,<br />

tambah Ko Ye.<br />

Setiap harinya mereka harus belajar dan<br />

berdoa. Ada ujian yang harus diambil jika<br />

ingin menjadi biksu dengan tingkatan<br />

yang lebih tinggi. Para biksu ini juga<br />

harus melepaskan keinginan duniawi<br />

dan senantiasa menjalani ajaran Sang<br />

Buddha. Salah satu contohnya adalah<br />

mereka tidak diperbolehkan untuk<br />

makan selepas jam 12 siang. “Benar juga<br />

kata Ko Ye”, gumam saya dalam hati.<br />

ARSITEKTUR MEGAH<br />

Mandalay tampak dinamis, tenang,<br />

dan bersahaja. Setelah 15 menit<br />

berkendara melewati gedung-gedung<br />

tinggi, tibalah saya di Kuthodaw Pagoda<br />

yang terletak di kaki Bukit Mandalay.<br />

Dengan bertelanjang kaki, saya mulai<br />

memasuki pagoda yang dikenal<br />

memiliki buku terbesar di dunia. Gaya<br />

arsitektur khas Myanmar tercermin di<br />

pagoda ini. Sebanyak 729 stupa putih,<br />

disusun dengan rapih di sekeliling<br />

pagoda emas yang menjadi porosnya.<br />

Masing-masing berisikan batu prasasti<br />

yang merupakan koleksi skrip Tripitaka,<br />

kitab suci agama Buddha.<br />

Di dalam pagoda yang dibangun pada<br />

tahun 1857 ini, warga lokal berlalu<br />

lalang. Beberapa orang menjalankan<br />

ritual keagamaan. Di sisi lain, ada<br />

yang duduk bersantai sambil sesekali<br />

mengambil gambar atau menjual<br />

kerajinan tangan khas Myanmar.<br />

Sementara ada yang menawarkan saya<br />

untuk memakai thanaka, bedak dingin<br />

yang terbuat dari kayu Thanaka yang<br />

digunakan sebagai tabir surya.<br />

Tujuan kedua saya adalah Shwenandaw<br />

Kyaung. Kyaung dalam bahasa Myanmar<br />

berarti biara. Hanya dengan berjalan kaki<br />

selama 10 menit, tibalah saya di biara<br />

yang secara harafiah berarti istana biara<br />

emas. Sekilas, biara ini terlihat seperti<br />

bangunan yang sudah lama ditinggalkan.<br />

Layaknya rumah berhantu tanpa<br />

penghuni. Namun, ketika saya mendekat,<br />

ukiran kayu jati yang memukau mencuri<br />

perhatian saya. Ukiran yang bercerita<br />

tentang kehidupan lampau Sang Buddha<br />

memenuhi bagian luar bangunan ini.<br />

Tepat pukul sebelas siang, waktunya<br />

makan siang bagi para biksu. Mereka<br />

mulai berbaris, dari yang muda sampai<br />

yang tua. Masing-masing memegang<br />

kendi hitam yang mereka gunakan untuk<br />

mengumpulkan persembahan dari warga<br />

setempat. Persembahan itu mereka<br />

satukan dan kemudian disajikan untuk<br />

dimakan bersama.<br />

Dibutuhkan waktu yang cukup lama<br />

untuk mencapai tujuan saya yang<br />

berikutnya. Perjalanan melewati desadesa<br />

kecil di medan yang berliku-liku<br />

mengantar saya sampai ke Mingun.<br />

Alasan utama saya mengunjungi<br />

Mandalay terletak disini. Pagoda<br />

Hsinbyume dan Mingun Pathidawgyi.<br />

Kedua pagoda yang memiliki bentuk<br />

dan karakter yang jauh berbeda namun<br />

berdiri berdampingan.<br />

Ko Ye menurunkan saya di depan<br />

gerbang Pagoda Hsinbyume. Mata saya<br />

terbuka lebar, terkejut oleh indahnya<br />

bangunan serba putih yang ada di depan<br />

mata. Pada bagian dasar, terdapat<br />

beranda dengan dekorasi meliuk-liuk<br />

layaknya ombak putih. Ketujuh tingkat<br />

beranda tersebut mengelilingi bangunan<br />

utama. Pada puncaknya, terdapat<br />

bangunan bulat dengan dekorasi emas.<br />

Arsitektur pagoda ini berbeda jika<br />

dibandingkan dengan pagoda-pagoda<br />

yang saya kunjungi sebelumnya.<br />

| EDISI 64 | JUNI 2016

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!