18.03.2020 Views

Gangguan Disosiatif, Simtom Somatis dan Gangguan Terkait, serta Faktor Psikologis yang Memengruhi Kesehatan Tubuh

menjelaskan mengenai abnormalitas psikologis. dimana disini ada mengenai gangguan kepribadian ganda, gangguan fisik yang diakibatkan karena faktor psikis, faktor psikis yang mempengaruhi tubuh, dan macam-macam penyakit fisik dikarenakan psikis

menjelaskan mengenai abnormalitas psikologis. dimana disini ada mengenai gangguan kepribadian ganda, gangguan fisik yang diakibatkan karena faktor psikis, faktor psikis yang mempengaruhi tubuh, dan macam-macam penyakit fisik dikarenakan psikis

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap hari manusia dihadapkan pada berbagai situasi atau kejadian yang dapat

memicu munculnya kecemasan. Misalnya ujian mendadak, presentasi tugas, terlambat

masuk kelas, deadline pekerjaan, dan sebagainya. Sebenarnya kecemasan adalah reaksi

yang wajar yang dapat dialami oleh siapapun, sebagai respon terhadap situasi yang

dianggap mengancam atau membahayakan. Namun jika kecemasan tersebut berlebihan

dan serta tidak sesuai dengan proporsi ancamannya, maka dapat mengarah ke gangguan

yang akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.

Kaplan, Sadock dan Grebb (dalam Fausiah & Widury, 2007) menyatakan bahwa

kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan

hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan pengalaman baru atau

yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Pada

kadar yang rendah, kecemasan membantu individu untuk bersiaga mengambil langkahlangkah

mencegah bahaya dan atau untuk memperkecil dampak bahaya tersebut.

Kecemasan sampai pada taraf tertentu dapat mendorong meningkatnya performa dan

produktifitas. Misalnya cemas mendapat nilai yang buruk, membuat seorang siswa

belajar keras dan mempersiapkan diri menghadapi ujian. Kecemasan seperti ini disebut

facilitating anxiety. Namun apabila kecemasan sangat tinggi, justru akan sangat

mengganggu. Misalnya kecemasan berlebihan saat akan ujian, justru akan membuat

blocking dan tidak bisa menjawab pertanyaan. Hal ini disebut sebagai debilitating anxiety.

Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan takut dan kehatihatian

atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan (Davison,dkk 2004).

Kaplan, Sadock & Greb menyatakan bahwa „takut‟ dan “cemas‟ merupakan dua emosi

yang berfungsi sebagai tanda akan adanya bahaya. Rasa takut muncul jika terdapat

ancaman yang jelas atau nyata, berasal dari lingkungan, dan tidak menimbulkan konflik

bagi individu. Sedangkan kecemasan muncul jika bahaya berasal dari dalam diri, tidak

jelas atau menyebabkan konflik bagi individu.

B. Tujuan

Mengetahui dan memahami mengenai Gangguan Kecemasan, Obsesif Kompulsif,

dan Gangguan Terkait.


BAB II

KAJIAN TEORI

A. Gangguan Kecemasan

Kecemasan (Anxiety) adalah kondisi umum dari ketakutan atas perasaan tidak

nyaman. Kecemasan bisa bermanfaat bagi kita karena kecemasan membuat kita untuk

belajar menjelang ujian. Oleh karena itu, kecemasan adalah respons normal terhadap

ancaman, tetapi kecemasan menjadi abnormal ketika kecemasan melebihi proporsi dari

ancaman yang sebenarnya, atau ketika kecemasan muncul tanpa sebab-yakni bila bukan

merupakan respons terhadap perubahan lingkungan.

Gambaran Mengenai Gangguan Kecemasan

Kecemasan ditandai dengan berbagai simtom, yang mencakup simtom fisik,

perilaku, dan kognitif:

1. Ciri fisik, yang meliputi kegelisahan, kecemasan, gemetar, sesak di bagian perut atau

dada, berkeringat hebat, telapak tangan berkeringat, kepala pusing atau rasa ingin

pingsan, mulut atau tenggorokan terasa kering, napas tersengal-sengal, jantung

berdegup kencang, jari atau anggota tubuh terasa dingin, dan mual adalah beberapa

dari banyaknya simtom-simtom fisik lainnya.

2. Ciri perilaku, yang meliputi perilaku menghindar, perilaku bergantung dan perilaku

gelisah.

3. Ciri kognitif, yang meliputi kekhawatiran, merasa takut atau cemas akan masa depan,

terlalu memikirkan atau sangat waspada dengan sensasi yang muncul di tubuh, takut

kehilangan kendali, memikirkan pikiran yang mengganggu secara terus-menerus,

memiliki pemikiran yang membingungkan, sulit berkonsentrasi atau memfokuskan

pemikirannya, dan berpikir bahwa segala sesuatunya menjadi tidak terkendali.

Walaupun orang dengan gangguan kecemasan tidak harus mengalami semua ciriciri

ini, terlihat jelas mengapa kecemasan begitu menekan bagi penderitanya. Tabel 1.0

memberikan gambaran umum mengenai jenis gangguan kecemasan utama. Jenis-jenis

gangguan kcemasan bukan sesuatu yang mutlak. Orang sering kali memenuhi lebih dari

satu kritera diagnosis. Selain itu, banyak orang dengan gangguan kecemasan juga

memiliki jenis gangguan lain, khususnya gangguan mood.

Tabel 1.0

Gambaran Umum Mengenai Jenis-Jenis Gangguan Kecemasan

Jenis

Gangguan

Perkiraan

Prevalensi

dalam

Populasi (%)

Deskripsi

Ciri Terkait


Gangguan

Panik

Gangguan

Kecemasan

Menyeluruh

Fobia

Spesifik

Gangguan

Kecemasan

Sosial (Fobia

Sosial)

5,1%

9%

12,5%

12,1%

Agorafobia 1,4 - 2%

Serangan panik berulang

(episode-episode dari

ketakutan yang luar biasa,

simtom psikologis yang

kuat, berpikir akan terjadi

sesuatu

yang

membahayakan, dan

desakan untuk melarikan

diri).

Kecemasan yang persisten

dan tidak terbatas pada

situasi tertentu.

Ketakutan yang berlebihan

terhadap objek atau

situasi tertentu.

Ketakutan yang berlebihan

terhadap interaksi sosial.

Takut dan menghindari

tempat publik, atau ruang

terbuka.

Takut akan serangan yang akan

datang bisa mendorong

penghindaran dari situasi yang

berhubungan dengan ancaman

atau saat tidak ada bantuan;

ancaman mulai tiba-tiba tapi

bisa berhubungan dengan

petunjuk atau situasi tertentu;

bisa dibarengi oleh agorafobia,

atau penghindaran dari situasi

ramai.

Kekhawatiran berlebih; kondisi

gairah tubuh yang meninggi,

tekanan, gelisah.

Penghindaran dari rangsangan

atau situasi fobia; contohnya

termasuk

akrofobia,

klaustrofobia, dan takut akan

darah, hewan kecil, atau

serangga.

Ditandai dengan penolakan rasa

takut, penghinaan, atau malu

pada situasi ramai.

Bisa muncul setelah hilangnya

dukungan orang lain karena

kematian, perpisahan atau

perceraian.

Kecemasan tidak hanya terbatas pada kategori diagnosis yang secara tradisional

disebut neurosis. Orang dengan masalah penyesuaian, depresi, dan gangguan psikotik,

juga dapat mengalami masalah kecemasan. Di bawah ini adalah jenis-jenis gangguan

kecemasan utama menurut ciri atau simtom, penyebabnya, dan cara mengatasinya.

Tabel 1.1

Karakteristik Utama dari Serangan Panik

Serangan panik adalah episode-episode ketakutan atau ketidaknyamanan luar biasa yang

muncul secara tiba-tiba dan mencapai puncaknya dalam waktu beberapa menit. Serangan

panik ditandai dengan ciri-ciri berikut:

• Jantung berdegup kencang, takikardia (detak jantung cepat), atau palpitasi

• Berkeringat, gemetar, menggigil

• Mengalami tersedak atau sensasi sesak atau napas tersengal-sengal

• Takut hilang kendali dan merasa akan mati atau akan gila

• Rasa sakit atau tidak nyaman di dada


• Sensasi merinding atau kebas

• Mual atau distress abdominal

• Perasaan pusing, kepala ringan, akan pingsan, atau tidak seimbang

• Merasa terlepas dari diri sendiri, seolah-olah mengamati diri sendiri dari jauh, atau

merasa lingkungan sekitarnya tidak nyata atau aneh

• Takut hilang kendali atau menjadi gila

• Merasa kedinginan atau kepanasan

1. Gangguan Panik

Gangguan panik (Panic Disorder) ditandai dengan serangan panik berulang dan

datang secara tidak terduga. Serangan panik adalah reaksi kecemasan intens yang

kemunculannya bersamaan dengan simtom fisik, seperti jantung berdegup kencang;

napas cepat, tersengal-sengal, atau sulit bernapas; berkeringat hebat; dan merasa

lemah atau pusing (Tabel 1.1). Terdapat komponen ketubuhan yang lebih kuat pada

serangan panik dibandingkan pada bentuk kecemasan lainnya. Serangan panik disertai

dengan perasaan terror yang luar biasa dan perasaan terancam atau bahaya yang akan

menimpanya, serta desakan untuk melarikan diri dari kondisi tersebut. Simtomsimtom

tersebut biasanya juga disertai dengan pikiran kehilangan kendali, “akan gila”,

atau sekarat.

Saat terjadi serangan panik, seseorang cenderung menyadari perubahan detak

jantungnya dan mungkin berpikir ia mengalami serangan janung, meskipun jantungnya

baik-baik saja. Namun, karena simtom serangan panik dapat terlihat seperti simtom

serangan jantung atau bahkan reaksi alergi yang parah, evaluasi medis yang mendalam

harus dilakukan.

Serangan panik pertama muncul secara spontan atau tanpa diduga, tetapi seiring

waktu, serangan-serangan ini dapat dihubungkan dengan situasi atau isyarat tertentu,

seperti memasuki swalayan yang ramai atau menaiki pesawat atau kereta. Orang

tersebut dapat mnghubungkan situasi ini dengan serangan panik di masa lalu atau

mungkin merasa sulit untuk melarikan diri ketika serangan lain terjadi.

Beberapa orang dengan serangan panik takut untuk pergi keluar sendiri.

Serangan panik yang berulang dapat menjadi sulit ditangani sehingga penderitanya

mencoba bunuh diri. Orang dengan gangguan panik mungkin menghindari aktivitas

yang berkaitan dengan serangan mereka, seperti olahraga atau pergi ke tempat

serangan dapat muncul atau tempat yang mereka takuti dapat memunculkan serangan

panik, atau tempat di mana mereka tidak memiliki dukungan. Akibatnya, gangguan

panik dapat berujung pada agorafobia (agoraphobia)-perasaan takut yang berlebihan

untuk berada di tempat publik, di mana seseorang sulit untuk melarikan diri atau tidak

tesedianya bantuan (Berle et al., 2008).

Agar bisa didiagnosis dengan gangguan panik, seseorang perlu mengalami

serangan panik berulang yang tidak diinginkan dan setidaknya satu serangan harus


disertai dengan salah satu ciri-ciri berikut selama setidaknya satu bulan (American

Psychiatric Association, 2003) :

• Ketakutan yang persisten akan serangan beruntun atau takut akan konsekuensi dari

suatu serangan, seperti hilang kendali, mengalami serangan jantung, atau menjadi

gila.

• Perubahan maladaptif yang signifikan pada perilaku, seperti membatasi aktivitas

atau menolak meninggalkan rumah atau pergi ke tempat umum karena takut akan

kembali mengalami serangan panik

Perspektif Teoretis

Pandangan umum dari gangguan panik adalah serangan panik di satu sisi

melibatkan kombinasi dari faktor-faktor kognitif dan biologis, kesalahan atribusi

(kesalahan persepsi mengenai penyebab mendasar dari perubahan sensasi fisik) dan

reaksi fisiologis di sisi lainnya. Gambar 1.0 menunjukkan representasi skematis dari

model kognitif-biologis dari gangguan panik.

Seperti yang digambarkan pada Gambar 1.0, persepsi sensasi tubuh sebagai

ancaman memicu kecemasan, yang disertai dengan aktivasi sistem saraf simpatik. Di

bawah kendali sistem saraf simpatik, kelenjar adrenal melepaskan hormon stres,

epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin). Hormon-hormon ini

meningkatkan intensitas sensasi fisik dengan meningkatkan detak jantung, tingkat

pernapasan, dan keringat. Perubahan sensasi tubuh ini kemudian salah ditafsirkan

sebagai bukti dari munculnya serangan panik, atau lebih parahnya lagi, sebagai hal

buruk yang akan menimpa dirinya (“Ya Tuhan, aku terkena serangan jantung!”).

Kesalahan fatal dalam menafsirkan sensasi tubuh memunculkan persepsi ancaman,

yang kemudian meningkatkan intensitas kecemasan, memunculkan lebih banyak

gejala ketubuhan terkait kecemasan dan kesalahan tafsir yang lebih fatal sehingga

membentuk sebuah siklus mematikan yang dengan cepat dapat berubah menjadi

serangan panik yang luar biasa besar.

Perubahan sensasi tubuh yang memicu serangan panik dapat berasal dari

berbagai faktor, seperti hiperventilasi (bernapas dengan cepat) yang tidak disadari,

rasa nyeri, perubahan temperatur, atau reaksi terhadap obat-obatan tertentu. Atau

faktor-faktor tersebut mungkin bersifat sementara, umumnya mengakibatkan

perubahan kondisi tubuh yang biasanya tidak disadari. Namun, individu yang mudah

panik dapat salah mengatribusikan petunjuk-petunjuk tubuh menjadi penyebab

ancaman, berada pada siklus mematikan yang dapat mengakibatkan munculnya

serangan.


Kecenderungan Panik

• Predisposisi genetis yang membuat seseorang terlalu sensitif terhadap

perubahan tubuh internal

• Sensitivitas akan kecemasan (kecenderungan untuk mengeluarkan

bereaksi secara berlebihan terhadap gejala kecemasan)

“Saya merasa dada

saya sesak”

Peristiwa Pemicu

• Sensasi tubuh internal

• Isyarat dari ancaman internal

Persepsi Ancaman

“Apa yang terjadi

pada saya?”

Kesalahan Fatal dalam

Menafsirkan Sensasi Tubuh

Kekhawatiran atau

Ketakutan

“Saya mengalami

serangan jantung!

Seseorang tolong saya!

Saya butuh pertolongan!”

Perubahan Sensasi

Tubuh

“Semuanya terasa

semakin buruk.”

Gambar 1.0

Model kognitif-biologis dari gangguan panik. Pada orang yang mudah panik, persepsi ancaman dari

petunjuk internal atau eksternal memunculkan perasaan khawatir atau takut, yang disertai dengan

perubahan sensasi tubuh (contohnya, jantung berdegup kencang atau palpitasi). Tafsir yang terlalu

berlebihan dari sensasi ini meningkatkan sensasi tubuh, dan lain sebagainya. Hal itu kemudian

membentuk sebuah lingkaran setan yang puncaknya ada pada serangan panik yang sangat hebat.

Sensitivitas akan kecemasan meningkatkan kecenderungan seseorang akan bereaksi secara berlebihan

terhadap petunjuk-petunjuk kebutuhan atau simtom-simtom kecemasan. Serangan panik dapat memicu

seseorang untuk menghindari situasi di mana serangan pernah terjadi atau di mana pertolongan tidak

tersedia.


Faktor Biologis

Bukti mengindikasikan bahwa faktor genetik berkontribusi terhadap

kecenderungan atau kerentanan seseorang mengembangkan gangguan panik

(Spatola et al., 2011). Gen bisa menciptakan predisposisi atau kecenderungan,

tetapi bukanlah sebuah kepastian akan berkembangnya gangguan panik atau

gangguan psikologis lainnya. Faktor-faktor lain juga memainkan peranan penting,

seperti pola pikir (Casey, Oei, & Newcombe, 2004).

Dasar biologis dari serangan panik dapat melibatkan sistem peringatan

internal yang sangat sensitif dan melibatkan bagian-bagian otak, khususnya sistem

limbik dan lobus frontal, yang umumnya terlibat dalam respons terhadap petunjuk

ancaman atau bahaya (Katon, 2006). Psikiater Donald Klein (1994) mengajukan

berbagai model peringatan yang disebut suffocation false alarm theory. Ia

menyatakan bahwa rusaknya sistem peringatan pernapasan di otak memicu

munculnya peringatan palsu sebagai respons terhadap petunjuk-petunjuk minor

kesulitan bernapas.

Peranan neurotransmiter, khususnya asam gamma-amonibutirik (gammaaminobutyric

acid, GABA). GABA adalah neurotransmiter inhibitor, yang

menurunkan aktivitas berlebih pada sistem saraf pusat dan membantu mengatasi

respons tubuh terhadap stres. Orang dengan gangguan panik cenderung memiliki

kadar GABA yang rendah pada beberapa bagian otaknya (Goddard et al., 2001).

Selain itu, kita tahu bahwa obat anti-kecemasan yang disebut benzodiazepine, yang

meliputi Valium dan Xanax yang telah dikenal luas, bekerja secara khusus pada

reseptor GABA. Obat ini membuat situs-situs penerimaan GABA menjadi lebih

sensitif terhadap bahan-bahan kimia yang meningkatkan efek menenangkan yang

dimiliki neurotransmiter ini.

Neurotransmiter lain, khususnya serotonin, membantu mengatur kondisi

emosional (Weisstaub et al., 2006). Peran serotonin didukung oleh bukti bahwa

obat-obatan antidepresan yang secara khusus menargetkan aktivitas serotonin

dalam otak memiliki dampak yang menguntungkan pada beberapa bentuk

kecemasan dan juga depresi.

Faktor Kognitif

Sensitivitas kecemasan, atau takut akan rasa takut itu sendiri, melibatkan rasa

takut akan hilangnya kendali emosi dan sensasi tubuh seseorang. Saat orang dengan

kadar AS tinggi mengalami tanda fisik terkait kecemasan, seperti jantung berdegup

kencang atau napas pendek, mereka menganggap gejala ini sebagai konsekuensi

buruk atau bahkan malapetaka yang menimpa dirinya, seperti serangan jantung.

Pikiran buruk ini meningkatkan intensitas reaksi kecemasan mereka, membuat

mereka lebih rentan terhadap siklus terbentuknya kecemasan itu sendiri, yang

dapat menimbulkan serangan panic berskala besar.


Sensitivitas kecemasan dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik (Zavos et al.,

2012). Namun, faktor lingkungan juga berperan, termasuk faktor terkait etnisitas.

Fakta bahwa serangan panik sering kali tampak terjadi begitu saja mendukung

keyakinan bahwa serangan tersebut dipicu oleh faktor biologis. Akan tetapi, isyarat

yang sering kali memicu banyak kasus serangan panik mungkin lebih bersifat

internal, melibatkan perubahan sensasi tubuh, bukan stimulus eksternal. Perubahan

petunjuk internal (fisik) yang dikombinasikan dengan pemikiran buruk dapat

menimbulkan siklus kecemasan yang berujung pada serangan panik.

Pendekatan Penanganan

Bentuk penanganan gangguan panik yang paling banyak digunakan adalah terapi

obat-obatan dan terapi kognitif-perilaku. Obat-obatan yang umum digunakan untuk

menangani depresi, yang disebut obat antidepresan, juga memiliki efek antikecemasan

dan anti-kepanikan. Antidepresan membantu mengatasi kecemasan

dengan menormalkan aktivitas neurotransmiter dalam otak. Antidepresan yang

digunakan untuk menangani gangguan panik meliputi trisiklik imipramin (Tofranil),

clomipramine (Anafranil), paroktesin SSRI (Paxil), dan sertralin (Zoloft) (Katon,2006).

Akan tetapi, beberapa efek samping yang mengganggu mungkin muncul bersama

obat-obatan ini, seperti berkeringat banyak dan palpitasi jantung. Hal ini membuat

banyak pasien berhenti menggunakan obat-obatan ini lebih awal. Obat antikecemasan

berefektivitas tinggi, alprazolam (Xanax), sejenis bezodiazepin, juga

berguna untuk mengatasi gangguan panik, kecemasan sosial, dan gangguan

kecemasan menyeluruh.

Terapis kognitif-perilaku menggunakan berbagai teknik untuk menangani

serangan panik, termasuk mengembangkan kemampuan menangani serangan panik,

melatih ulang teknik pernapasan, dan latihan relaksasi untuk mengurangi kondisi

tingginya stimulus tubuh; dan memaparkan situasi yang berhubungan dengan

serangan panik dan isyarat tubuh yang berhubungan dengan simtom-simtom

kepanikan. Terapis dapat membantu klien untuk mengubah pemikirannya mengenai

perubahan isyarat tubuh, seperti sensasi pusing atau palpitasi jantung.

Melatih ulang teknik pernapasan adalah teknik yang bertujuan memulihkan

kadar karbon dioksida normal dalam darah dengan menginstruksikan klien untuk

bernapas secara perlahan dan dalam dari abdomen, menghindari napas yang cepat

dan pendek yang dapat mengakibatkan karbon dioksida yang terhirup terlalu banyak.

Pada beberapa program penanganan, orang dengan gangguan panik didorong untuk

dengan sengaja menginduksikan gejala panik untuk mempelajari cara menanganinya.

Melalui pengalaman langsung tersebut, pasien belajar untuk menenangkan diri

mereka dan mengatasi sensasi ini alih-alih bereaksi secara berlebihan.

Tabel 1.2

Elemen-Elemen Program Kognitif-Perilaku dalam Penanganan Gangguan Panik


Self-monitoring

Paparan

Perkembangan

Respons Coping

Membuat catatan serangan panik untuk membantu menentukan

stimulus situasional yang dapat memicunya.

Program pemaparan gradual terhadap situasi di mana serangan

panic muncul. Selama pengujian pemaparan, seseorang terlibat

dalam relaksasi diri dan self-talk yang rasional untuk mencegah

kecemasan berkembang dan hilang kendali. Pada beberapa

program, partisipan belajar untuk menoleransi perubahan sensasi

tubuh yang diasosiasikan dengan serangan panik dengan mengalami

sensasi-sensasi ini di dalam latar klinik pengobatan yang terkontrol.

Seseorang mungkin berputar-putar di kursinya untuk memunculkan

rasa pusing sembari belajar bahwa sensasi tersebut bukanlah tanda

bahaya atau tanda kemalangan yang akan terjadi.

Mengembangkan kemampuan coping untuk menghambat siklus

mematikan di mana reaksi yang berlebihan terhadap isyarat

kecemasan atau sensasi kardiovaskuler menyebabkan serangan

panik. Metode-metode behavioral berfokus pada pernapasan biasa

dan dalam serta latihan relaksasi. Metode-metode kognitif berfokus

pada mengubah kesalahan dalam menafsirkan sensasi tubuh.

Melatih ulang metode pernapasan dapat digunakan untuk

membantu individu menghindari hipervenilasi selama serangan

panik.

2. Gangguan Fobia

Kata fobia (phobia) berasal dari bahasa Yunani phobos, yang brarti “takut”.

Konsep rasa takut dan kecemasan sangat berhubungan. Ketakutan adalah kecemasan

yang dialami sebagai respons terhadap ancaman tertentu. Fobia adalah ketakutan

akan sebuah objek atau situasi yang tidak sepadan dengan ancaman yang dimilikinya.

Hal yang aneh tentang fobia adalah fobia biasanya melibatkan rasa takut akan

peristiwa kehidupan yang biasa saja, seperti menaiki lift atau berkendara di jalan tol,

dan bukan rasa takut akan hal-hal yang tidak biasa. Fobia dapat melumpuhkan ketika

mengganggu kegiatan sehari-hari, seperti menaiki bus, pesawat, atau kereta;

berkendara; berbelanja; atau bahkan keluar rumah.

Jenis fobia yang berbeda biasanya muncul pada usia yang berbeda, seperti yang

tampak paa tabel 1.3. Usia munculnya fobia mencerminkan tingkat perkembangan

kognitif dan pengalaman hidup seseorang. Ketakutan akan hewan adalah subjek

umum dalam fantasi anak-anak, contohnya Agorafobia, sebaliknya, sering menyertai

berkembangnya serangan panik yang dimulai pada masa dewasa.

Tabel 1.3

Usia Umum Munculnya Berbagai Fobia

Jenis Fobia

Usia Rata-Rata

Munculnya Fobia


Fobia Hewan 7

Fobia Darah 9

Fobia

Suntikan

8

Fobia Dokter

Gigi

12

Fobia Sosial 15

Klaustrofobia 20

Agorafobia 28

Jenis-Jenis Gangguan Fobia

DSM mengenal tiga gangguan fobia yang berbeda: fobia spesifik, gangguan

kecemasan sosial (fobia sosial), dan agorafobia.

1) Fobia Spesifik (Spesific Phobia)

Fobia spesifik adalah ketakutan berlebih yang persisten terhadap objek atau

situasi tertentu yang tidak sesuai dengan bahaya yang sebenarnya dimiliki objek

atau situasi ini. Terdapat banyak jenis fobia spesifik, termasuk berikut ini (APA,

2013) :

• Ketakutan akan hewan, seperti ketakutan akan laba-laba, serangga, dan anjing

• Ketakutan akan lingkungan alami, seperti ketakutan akan ketinggian (akrofobia),

badai, atau air

• Ketakutan akan luka yang berdarah, seperti ketakutan akan jarum suntik atau

prosedur medis yang invasif

• Ketakutan akan situasi tertentu, seperti ketakutan akan ruangan tertutup

(klaustrofobia), lift, atau pesawat

Orang yang fobia mengalami tingkat ketakutan dan stimulus psikologis yang

tinggi saat menghadapi objek fobia. Hal ini memunculkan desakan kuat untuk

menghindari atau melarikan diri dari situasi atau menghindari stimulus yang

ditakutkan. Untuk sampai pada tingkat gangguan yang bisa didiagnosis, fobia harus

secara signifikan memengaruhi gaya hidup atau fungsi seseorang atau

menyebabkan distres yang signifikan. Anda mungkin takut ular, tetapi kecuali

ketakutan Anda menghambat kegiatan sehari-hari Anda atau membuat Anda

mengalami tekanan emosional yang signifikan, ketakutan itu tidak dapat didiagnosis

sebagai gangguan fobia.

Fobia spesifik sering kali dimulai pada masa kanak-kanak. Banyak anak-anak

yang mengembangkan ketakutan akan objek atau situasi tertentu. Klaustrofobia

tampaknya muncul lebih belakangan dibandingkan dengan fobia spesifik lainnya,

dengan rata-rata usia kemunculan 20 tahun (Tabel 1.3).

Gangguan kecemasan pada umumnya dan gangguan fobia pada khususnya

lebih umum ditemukan pada wanita daripada pria (McLean & Anderson, 2009).

Perbedaan gender dalam munculnya fobia dapat mencerminkan pengaruh budaya


yang mengasosiasikan peran wanita di masyarakat dengan peran yang lebih

bergantung, contohnya, lebih pemalu daripada berani atau suka berpetualang.

Peneliti juga harus menyadari faktor-faktor budaya saat membuat keputusan

diagnosis.

2) Gangguan Kecemasan Sosial (Social Anxiety Disorder)

Orang dengan gangguan kecemasan sosial (Social Anxiety Disorder), yang

juga disebut fobia sosial, memiliki ketakutan yang sangat intens terhadap situasi

sosial yang bisa mereka hindari atau menahannya, meskipun hal tersebut

memberikan tekanan besar pada dirinya. Masalah yang mendasarinya adalah

ketakutan berlebih akan evaluasi negatif yang diberikan orang lain-ketakutan akan

penolakan, dipermalukan, atau merasa gugup.

Demam panggung, kecemasan saat berpidato, dan ketakutan saat berkencan

adalah bentuk-bentuk umum dari kecemasan sosial. Orang dengan kecemasan

sosial akan mencari-cari alasan untuk menolak undangan acara sosial. Kecemasan

atau ketakutan sosial bisa sangat mengganggu fungsionalitas sehari-hari dan

kualitas hidup seseorang. Ketakutan dapat mencegah seseorang menyelesaikan

target akademik mereka, kemajuan karier mereka, atau bahkan mempertahankan

pekerjaan di mana mereka harus berinteraksi dengan orang lain.

Orang dengan kecemasan sosial sering kali beralih pada obat penenang atau

mencoba “mengobati” diri mereka dengan alcohol saat mempersiapkan diri untuk

berinteraksi sosial (Gambar 1.1). Pada kasus-kasus yang ekstrem, mereka mungkin

menjadi sangat takut untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga mereka enggan

meninggalkan rumah.

Persentase Masalah yang Dilaporkan

120

100

80

60

40

20

0

Situasi Sosial

Kecemasan di untuk

Mengurangi atau Obat

Penenang Konsumsi

Alkohol

Karena Takut Acara

Sosial Menghadiri Tidak

Mampu

Sosial Satu Fungsi

Lebih dari Menghindari

Kecemasan Terbebani

Pekerjaannya Merasa

Kinerja

Gambar 1.1

Presentase orang-orang dengan kecemasan sosial yang mselaporkan kesulitan khusus terkait

ketakutan mereka terhadap situasi sosial. Lebih dari 90% orang dengan kecemasan sosial merasa

pekerjaan mereka terbebani kecemasan. (Diadaptasi dari Turner & Beidel, 1989)


Usia rata-rata munculnya kecemasan sosial adalah sekitar 15 tahun (Grant et

al., 2006c). Sekitar 80% penderita mengembangkan gangguan kecemasan sosial

pada usia 20 tahun (Stein & Stein, 2008). Kecemasan sosial memiliki hubungan yang

sangat kuat dengan riwayat sifat pemalu saat masa kanak-kanak (Cox, MacPheron,

& Enns, 2004). Rasa malu dapat mewakili diatesis atau predisposisi yang membuat

seseorang lebih rentan untuk mengembangkan kecemasan sosial ketika

menghadapi pengalaman yang membuat stres, seperti peristiwa sosial yang

traumatis (misalnya, dipermalukan di depan orang lain).

3) Agorafobia

Kata agorafobia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “takut akan pasar”,

yang menunjukkan ketakuan berada di area terbuka dan sibuk. Orang dengan

agorafobia mungkin akan takut bebelanja di toko yang penuh sesak; berjalan

melewati jalanan yang ramai; menyeberangi jembatan; bepergian dengan bus,

kereta, atau mobil; makan di restoran; berada di bioskop; atau bahkan

meninggalkan rumah. Mereka akan mengatur kehidupan mereka agar terhindar dari

paparan situasi yang memicu rasa takut dan pada beberapa kasus, mengurung diri

di rumah selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, bahkan sampai tidak

mampu keluar rumah untuk mengambil surat. Agorafobia berpotensi menjadi fobia

yang paling melumpuhkan.

Orang dengan agorafobia mengembangkan rasa takut akan tempat atau

situasi yang menyulitkan atau membuat mereka merasa malu untuk melarikan diri

saat simtom-simtom kepanikan atau serangan panik terjadi; atau takut akan situasi

di mana tidak terdapat bantuan jika masalah tersebut muncul. Lansia dengan

agorafobia mungkin akan menghindari situasi di mana mereka takut mereka akan

terjatuh dan tidak ada bantuan.

Wanita dan pria memiliki kemungkinan yang sama untuk mengembangkan

agrofobia (APA, 2013). Sering kali agorafobia dimulai pada akhir masa remaja atau

masa dewasa awal. Agorafobia bisa muncul baik disertai maupun tanpa disertai

gangguan panik. Orang dengan agorafobia yang tidak memiliki riwayat gangguan

panik bisa mengalami simtom panik ringan, seperti pusing, yang menghalangi

mereka untuk keluar dari tempat yang mereka rasa aman. Mereka juga cenderung

bergantung pada orang lain.

Perspektif Teoretis

Pendekatan teoretis untuk memahami perkembangan fobia memiliki sejarah

yang panjang dalam psikologi, dimulai dari perspektif psikodinamika.

Perspektif Psikodinamika

Menurut perspektif psikodinamika, kecemasan adalah sebuah tanda bahaya

bahwa impuls mengancam yang bersifat seksual atau agresif (keinginan membunuh

atau bunuh diri) berada dekat dengan kesadaran seseorang. Untuk menghalau


impuls yang mengancam ini, ego menjalankan mekanisme pertahanannya. Dalam

fobia, teori Freud mengenai mekanisme pertahanan proyeksi berperan.

Reaksi fobia adalah proyeksi impuls yang mengancam dari diri seseorang

kepada objek yang menimbulkan fobia. Contohnya, ketakutan akan pisau atau

benda tajam lainnya dapat merepresentasikan proyeksi impuls merusak seseorang

kepada objek fobia. Objek atau situasi fobia menyimbolkan atau mewakili harapan

atau keinginan tak sadar ini. Seseorang sadar dengan fobia yang dimilikinya, tetapi

tidak menyadari impuls tak sadar yang disimbolkannya.

Perspektif Pembelajaran

Perspektif pembelajaran klasik mengenai fobia diperkenalkan oleh psikolog O.

Hobart Mowrer (1960). Model dua faktor (two-factor model) dari Mowrer

menggabungkan peran pengondisian klasik dan pengondisian instrumental dalam

pengembangan fobia. Komponen rasa takut dari fobia diyakini didapat melalui

pengondisian fisik, di mana objek dan situasi yang sebelumnya netral memiliki

kapasitas untuk menimbulkan ketakutan jika dipasangkan dengan stimulus

berbahaya atau tidak menyenangkan. Banyak orang dengan fobia telah mengalami

peristiwa di mana objek atau situasi fobia dihubungkan dengan pengalaman tidak

menyenangkan (contohnya, terjebak di dalam lift).

Pengondisian bertanggung jawab atas beberapa gangguan, tetapi tidak semua

fobia. Pada banyak kasus, bahkan mungkin sebagian besar kasus, orang dengan

fobia spesifik tidak dapat mengingat pengalaman tidak menyenangkan apa pun

dengan objek yang mereka takuti. Teoretikus pembelajaran beranggapan bahwa

ingatan akan pengalaman pengondisian menjadi samar seiring dengan waktu atau

pengalaman tersebut menjadi pada usia yang terlalu dini untuk dapat diingat secara

verbal. Akan tetapi, teoretikus pembelajaran kontemporer menyoroti peran bentuk

pembelajaran lainnya-pembelajaran observasional- yang tidak membutuhkan

pengondisian rasa takut secara langsung. Pada bentuk pembelajran ini, orang tua

yang mengamati atau seseorang yang penting bagi individu menunjukkan reaksi

ketakutan terhadap sebuah stimulus dapat menyebabkan anak mengakuisisi

respons ketakutan yang sama.

Model pembelajaran membantu menjelaskan perkembangan fobia (Field,

2006). Namun, mengapa beberapa orang tampak lebih mudah mendapatkan

respons rasa takut daripada yang lain? Perspektif biologis dan kognitif mungkin bisa

memberikan beberapa penjelasan.

Perspektif Biologis

Faktor genetik dapat memengaruhi kecenderungan individu untuk

mengembangkan gangguan kecemasan seperti gangguan panik dan gangguan fobia

(Coryell et al., 2006; Kendler, 2005; Smoller et al., 2008). Pertama-tama, kita sudah

mempelajari bahwa orang dengan variasi gen tertentu lebih rentan untuk

mengembangkan respons takut dan lebih sulit mengatasinya (Londsorf et al.,

2009). Contohnya, orang dengan variasi gen tertentu yang terpapar stimulus yang


menakutkan menunjukan aktifitas yang lebih tinggi pada struktur otak yang disebut

amigdala (amygdala), sebuah stuktur seperti kacang almond di dalam sistem limbik

otak (Hariri et al., 2002).

Amigdala menghasilkan respons takut terhadap stimulus pemicu dan proses

ini terjadi di bawah sadar kita (Argen et al., 2012; Forgas, 2008). Amigdala bekerja

sebagai sejenis “komputer emosi” setiap kali kita menghadapi ancaman atau

bahaya (Coelho & Purkis, 2009). Pusat otak yang lebih tinggi, khususnya korteks

prafrontal pada lobus frontal dari korteks serebral, bertugas mengevaluasi stimulus

yang mengancam dengan lebih seksama. Seperti yang sudah kita bahas di Bab 2,

korteks prafrontal yang terletak langsung di bawah dahi Anda, bertanggung jawab

atas berbagai fungsi mental yang lebih kompleks, seperti berpikir, memecahkan

masalah, membentuk argumen, dan mengambil keputusan.

Namun, pada orang dengan gangguan kecemasan, amigdala dapat terstimulasi

secara berlebihan sehingga menimbulkan rasa takut sebagai respons terhadap

situasi atau isyarat lingkungan ringan yang mengancam (Nitschke et al., 2009).

Sejalan dengan pandangan ini, peneliti menemukan meningkatnya tingkat aktivasi

amigdala pada orang-orang dengan kecemasan sosial yang veteran perang dengan

PTSD (Stein & Stein, 2008). Bagi orang-orang dengan gangguan kecemasan,

amigdala bisa menjadi terlalu sensitif terhadap isyarat, ancaman, ketakutan, dan

penolakan.

Apakah manusia secara genetik memiliki kecenderungan untuk mendapatkan

respons fobia terhadap jenis stimulus tertentu? Contohnya, seseorang tampak lebih

mungkin memiliki ketakutan pada ular dan laba-laba daripada kelinci. Keyakinan

dalam predisposisi biologis untuk mendapatkan respons ketakutan terhadap jenis

atau situasi tertentu disebut pengondisian yang dipersiapkan (prepared

conditioning). Pengondisian ini menunjukkan bahwa evolusi membantu nenek

moyang kita bertahan hidup. Nenek moyang kita secara genetik cenderung

mengembangkan respons ketakutan terhadap objek yang berpontensi mengancam,

seperti hewan besar, ular, laba-laba, dan “hewan merayap yang menyeramkan”;

ketinggian; tempat tertutup; dan bahkan orang asing. Model ini dapat menjelaskan

mengapa kita lebih mungkin mengembangkan rasa takut terhadap laba-laba atau

ketinggian daripada objek yang muncul lebih belakangan pada situasi evolusi

manusia, seperti pistol atau pisau, walaupun objek-objek ini memberikan ancaman

yang lebih nyata pada kelangsungan hidup kita saat ini.

Perspektif Kognitif

Penelitian terkini menggarisbawahi pentingnya faktor-faktor kongnitif dalam

menentukan kerentanan seseorang terhadap fobia, termasuk faktor terlalu sensitif

terhadap isyarat yang membahayakan, melebih-lebihkan prediksi suatu bahaya, dan

pemikiran self-defeating serta keyakinan irasional (misalnya dalam Armfield, 2006;

Schultz & Heimberg, 2008; Wenzel et al., 2005).

1) Terlalu sensitif terhadap isyarat yang membahayakan.


Orang dengan fobia cenderung memersepsikan bahaya pada situasi yang

dianggap aman oleh sebagian besar orang, seperti menaiki lift atau berkendara

melewati jembatan. Begitu pula, orang dengan kecemasan sosial cenderung

terlalu sensitif terhadap tanda-tanda penolakan sosial atau penilaian negatif dari

orang lain (Schmidt et al., 2009).

Kita semua memiliki sistem peringatan internal yang sensitif terhadap

tanda ancaman. Amigdala pada sistem limbik otak berperan penting dalam

sistem peringatan dini ini. Sistem peringatan ini mungkin memberikan

keuntungan evolusioner bagi nenek moyang manusia dengan meningkatan

peluang bertahan hidup dalam lingkungan yang berbahaya.

Emosi dari rasa takut adalah elemen kunci dalam sistem peringatan ini dan

mungkin saja memotivasi nenek moyang kita untuk mengambil tindakan

defensif, yang pada akhirnya membantu mereka bertahan hidup. Manusia

modern yang memiliki fobia spesifik dan gangguan kecemasan lainnya mungkin

mewarisi sistem peringatan internal yang sangat sensitif sehingga membuat

mereka menjadi sangat sensitif terhadap tanda ancaman.

2) Melebih-lebihkan prediksi suatu bahaya.

Individu dengan fobia cenderung melebih-lebihkan prediksi seberapa parah

ketakutan atau kecemasan yang akan mereka alami di dalam situasi yang

menakutkan. Seseorang dengan fobia ular, contohnya, mungkin akan gemetar

saat ia melihat ular di dalam kandang. Orang dengan fobia dokter gigi mungkin

memiliki harapan yang berlebihan dari rasa sakit yang mereka alami saat

mengunjungi dokter gigi. Biasanya, ketakutan atau rasa sakit sebenarnya yang

dialami selama paparan terhadap stimulus fobia tidak seburuk yang dibayangkan

orang-orang. Namun, kecenderungan untuk mengharapkan yang terburuk

mendorong perilaku menghindar dari stimulasi yang menakutkan, yang pada

akhirnya mencegah individu mengatur dan mengatasi kecemasan.

Implikasi klinisnya adalah dengan pemaparan berulang, orang-orang

dengan gangguan kecemasan bisa mengantisipasi respons mereka terhadap

stimulus yang membuat takut dengan lebih akurat sehingga mengurangi

ekspektasi sesorang akan rasa takut yang dirasakannya. Hal ini lambat laun dapat

mengurangi kecenderungan untuk menghindar.

3) Pemikiran self-defeating dan keyakinan irasional.

Pemikiran self-defeating dapat meningkatkan dan memperpanjang

gangguan kecemasan dan fobia. Ketika dihadapkan dengan stimulus yang

menimbulkan rasa takut, seseorang mungkin berpikir, “Saya harus keluar dari

sini." atau "Jantung saya serasa mau copot." Pemikiran seperti ini meningkatkan

stimulus otonom, mengganggu perencanaan, memperparah stimulus,


mendorong perilaku penghindaran, dan menurunkan ekspektasi self-efficacy

terkait kemampuan seseorang untuk mengendalikan situasi.

Orang-orang dengan fobia juga menampilkan lebih banyak keyakinan

irasional dari jenis keyakinan irasional yang dikatalogkan Albert Ellis (lihat Bab 2)

daripada orang yang tidak memiliki ketakutan. Keyakinan irasional ini dapat

meliputi melebih-lebihkan kebutuhan untuk diterima oleh semua orang yang

mereka temui dan menghindari situasi di mana penilaian negatif dapat diberikan

oleh orang lain.

Pendekatan Penanganan

Psikoanalisis tradisional menumbuhkan kesadaran mengenai bagaimana

ketakutan klien menyimbolkan konflik di dalam diri mereka sehingga ego tidak harus

mengeluarkan energinya untuk merepresi konflik ini. Namun, terapi psikodinamika

modern juga menumbuhkan kesadaran klien terhadap sumber konflik pada diri

mereka. Namun, terapi-terapi ini berfokus pada cakupan yang lebih luas dibandingkan

dengan pendekatan tradisional guna mencari sumber kecemasan yang muncul dalam

hubungan saat ini alih-alih hubungan di masa lampau. Selain itu, terapi ini mendorong

klien untuk mengembangkan perilaku yang lebih adaptif.

Pendekatan penanganan kontemporer utama bagi fobia tertentu, seperti bagi

gangguan kecemasan lainnya, didapat dari perspektif pembelajaran, kognitif, dan

biologis.


Faktor Biologis

Pengaruh Pembelajaran

• Predisposisi genetik yang

menyebabkan lebih mudah

mengembangkan respons

ketakutan

• Kemungkinan lebih

sensitifnya amigdala dalam

merespons isyarat-isyarat

yang membahayakan

• Pengondisian

dipersiapkan

yang

Pengondisian

Klasik

Stimulus yang

semula netral

dipasangkan

dengan stimulus

menyakitkan atau

tidak

menyenangkan

Pengondisian

Instrumental

Perilaku

menghindar yang

diperkuat dengan

penguatan

negatif

(pelepasan

kecemasan)

Pembelajaran

Observasional

Mengamati orang

lain memberikan

reaksi ketakutan

terhadap stimulus

menyebabkan

akuisisi respons

fobia terhadap

stimulus tersebut

Faktor Kerentanan

Potensi Risiko

Meningkat

Bias Kognitif

• Terlalu sensitif dengan

isyarat-isyarat yang

mengancam

• Memprediksikan

secara berlebihan

bahaya

• Pemikiran-pemikiran selfdefeating

dan keyakinan

yang tidak rasional

Fobia

Gambar 1.2

Model multifaktor dari fobia. Pengaruh pembelajaran memainkan peranan penting dalam akuisisi

berbagai fobia. Namun, apakah pengalaman pembelajaran menyebabkan perkembangan fobia

mungkin juga tergantung pada faktor kerentanan, seperti predisposisi genetik dan faktor-faktor

kognitif.


Pendekatan Berdasarkan Pembelajaran

Banyak penelitian yang menunjukkan efektifitas pendekatan berdasarkan

pembelajaran dalam menangani berbagai gangguan kecemasan. Inti pendekatan ini

adalah upaya membantu seseorang mengatasi objek dan situasi yang menimbulkan

kecemasan dengan lebih efektif. Contoh pendekatan berdasarkan pembelajaran

meliputi desensitisasi sistematis (Systematic Desensitization), pemaparan gradual

(Gradual Exposure), dan floading.

Adam sedang menjalani desensitasi sistematis (systematic desensitization),

prosedur pengurangan rasa takut yang diinisiasi oleh psikiater Joseph Wolpe (1958)

pada tahun 1950-an. Desensitisasi sistematis adalah proses gradual di mana klien

belajar untuk mengendalikan stimulus yang semakin mengganggu secara progresif

sementara tetap dalam kondisi tenang. Sekitar 10 sampai 20 stimulus diatur dalam

sebuah rangkaian atau hierarki-yang disebut hierarki stimulus ketakutan (fearstimulus

hierarchy)-menurut kapasitas stimulus-stimulus tersebut memunculkan

ketakutan. Dengan menggunakan imajinasi mereka atau melihat foto, klien

dipaparkan pada item yang ada pada hierarki, perlahan membayangkan mereka

mendekati perilaku yang ditargetkan-baik itu kemampuan untuk menerima suntikan

atau tetap berada di ruangan tertutup atau lift-tanpa kecemasan yang berlebihan.

Desensitisasi sistematis didasarkan pada asumsi bahwa fobia adalah respons

yang dipelajari atau dikondisikan dan dapat dilupakan dengan mengganti respons

yang tidak sesuai terhadap kecemasan dalam situasi yang umumnya menimbulkan

kecemasan (Rachman, 2000). Desensitisasi sistematis menciptakan serangkaian

kondisi yang dapat menghilangkan respons ketakutan. Teknik ini memunculkan fase

pemunahan dengan cara memberikan kesempatan bagi paparan berulang terhadap

stimulus fobia di dalam imajinasi klien tanpa konsekuensi buruk.

Pemaparan bertahap (gradul exposure) menggunakan pendekatan bertahap

di mana individu dengan fobia secara bertahap menghadapi objek atau situasi yang

mereka takuti. Paparan berulang pada stimulus fobia tanpa adanya peristiwa tidak

menyenangkan ("tidak ada hal buruk yang terjadi") dapat memicu pemunahan, atau

pelemahan bertahap, respons fobia, bahkan sampai pada titik respons fobia hilang.

Terapi pemaparan memiliki beberapa bentuk, termasuk imaginal exposure

(membayangkan diri sendiri berada di dalam situasi yang menakutkan) dan in vivo

exposure (menghadapi stimulus fobia di dunia nyata). In vivo exposure mungkin

lebih efektif daripada imaginal exposure, tetapi kedua teknik ini sering digunakan

dalam terapi. Efektivitas terapi pemaparan untuk fobia sudah teruji sehingga teknik

ini menjadi pilihan penanganan bagi banyak fobia (misalnya dalam Gloster et a.,

2011; Hofman, 2008; McEvoy, 2008).

Flooding adalah bentuk terapi pemaparan di mana subjek dipaparkan dengan

stimulus pemicu rasa takut tingkat tinggi baik di dalam imajinasi maupun situasi

nyata. Keyakinan di balik metode ini adalah kecemasan mewakili respons terkondisi

terhadap stimulus fobia dan harus dihilangkan jika individu tetap berada dalam


situasi fobia untuk waktu yang cukup lama tanpa konsekuensi buruk. Flooding telah

digunakan secara ekeftif dalam menangani berbagai gangguan kecemasan,

termasuk kecemasan sosial dan PTSD (Moulds & Nixon, 2006).

Terapi Virtual

Terapi realitas virtual (Virtual Reality Therapy, VRT) adalah teknik terapi

perilaku yang menggunakan lingkungan simulasi yang dihasilkan komputer sebagai

alat terapi. Dengan mengenakan helm dan sarung tangan khusus yang terhubung

dengan komputer, seseorang dengan rasa takut akan ketinggian, contohnya, dapat

menghadapi stimulus yang ditakutinya dalam dunia virtual ini, seperti menaiki lift

kaca ke lantai atas dari sebuah hotel imajiner, melihat dari pagar balkon di lantai 20,

atau menyeberangi jembatan.

Tetapi virtual telah terbukti berhasil membantu seseorang mengatasi fobia,

seperti takut akan terbang (Coelho et al., 2009; Parsons & Rizzo, 2008). Terapi

realitas virtual menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan dengan

penanganan tradisional berbasis pemaparan. Di satu sisi, mengatur jenis

pengalaman yang dipaparkan dalam realitas virtual untuk dipaparkan di dunia nyata

sering kali berulang. Tetapi virtual juga memungkinkan lebih besarnya kendali atas

lingkungan yang digunakan selama sesi pemaparan virtual (Zimand et al., 2002).

Individu pun mungkin lebih suka melakukan tugas menakutkan tertentu dalam

realitas virtual daripada di dunia nyata.

Agar terapi virtual dapat dikatakan efektif, menurut Psikologi Barbara

Rothbaum (pelopor penggunaan teknik ini) seseorang harus merasa terlibat dalam

pengalaman yang ditampilkan dan yakin bahwa pada tingkat tertentu, pengalaman

tersebut nyata dan tidak seperti menonton video. Saat ini, dengan kemajuan

teknologi realitas virtual, lingkungan virtual yang disimulasikan cukup meyakinkan

sehingga dapat menimbulkan kecemasan yang intens pada orang yang memiliki rasa

takut akan stimulus tersebut (Lubell, 2004).

Pada penerapan lainnya, terapi virtual dapat membantu klien mengatasi

konflik yang tak terselesaikan dengan individu-individu penting dalam hidup mereka

dengan memungkinkan mereka menghadapi “orang-orang” ini dalam lingkungan

virtual.

Terapi Kognitif

Terapis kognitif mencoba mengidentifikasi dan membenarkan keyakinan yang

terganggu atau bercela. Terapis kognitif membantu klien menyadari cela logika

dalam pemikiran mereka dan melihat situasi secara rasional. Terapis dapat

mendorong klien dengan kecemasan sosial untuk menguji keyakinan mereka bahwa

mereka pasti akan menjadi seseorang yang diabaikan, ditolak, atau dicemooh orang

lain dalam perkumpulan sosial dengan cara menghadiri pesta, memulai percakapan,

dan memantau reaksi orang lain. Terapis juga dapat membantu klien

mengembangkan kemampuan sosial untuk meningkatkan efektivitas interpersonal


dan mengajari mereka cara menangani penolakan sosial, jika terjadi, tanpa

kesulitan.

Salah satu contoh dari teknik kognitif adalah restrukturisasi kognitif (cognitive

restructuring), sebuah metode di mana terapis membantu klien mengetahui

pemikiran self-defeating dan membuat alternatif rasional yang dapat mereka

gunakan untuk mengatasi situasi yang menimbulkan kecemasan.

Terapi perilaku kognitif adalah istilah umum yang digunakan untuk

pendekatan terapeutik yang menggabungkan teknik terapi perilaku dan kognitif.

Praktisi CBT menggabungkan teknik perilaku, seperti pemaparan, dengan teknik

yang diambil dari terapi kognitif Ellis, Beck, dan teoretikus kognitif lainnya.

Contohnya, dalam menangani kecemasan sosial, terapis sering kali menggabungkan

penanganan pemaparan dengan teknik restrukturisasi kognitif yang membantu

klien mengganti pemikiran yang membuat cemas dengan alternatif yang

menenangkan (Rapee, Gaston, & Abbott, 2009).

Terapi Obat-Obatan

Bukti juga mendukung penggunaan obat-obatan antidepresan, termasuk

sertralin (Zoloft) dan paroksetin (Paxil), dalam menangani kecemasan sosial

(Liebowitz, Gelenberg, & Munjack, 2005; Schneier, 2006). Kombinasi psikoterapi

dan terapi obat-obatan dalam pengoabatan antidepresan mungkin dapat lebih

efektif pada beberapa kasus daripada jika kedua pendekatan penanganan tersebut

digunakan secara terpisah (Blanco et al., 2010).

3. Gangguan Kecemasan Menyeluruh

Gangguan kecemasan menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD)

dicirikan dengan kecemasan dan kekhawatiran berlebih yang tidak terbatas pada

objek, situasi, atau aktivitas tertentu. Umumnya, kecemasan bisa menjadi respons

adaptif, sejenis sistem peringatan alami tubuh untuk memberi tahu tubuh terdapat

sesuatu yang mengancam dan butuh segera. Namun, bagi orang dengan gangguan

kecemasan menyeluruh, kecemasan menjadi berlebih, sulit dikendalikan, dan disertai

dengan simtom-simtom fisik seperti rasa lelah, gelisah, dan tegangan otot (Donegan &

Dugas, 2012; Torpy, Burke, & Golub, 2011).

Ciri utama dari GAD adalah kekhawatiran berlebih (Newman & Llera, 2011;

Starcevic et al., 2012). Orang dengan GAD cenderung menjadi pencemas kronis bahkan

akan selalu cemas seumur hidupnya. Mereka mungkin mengkhawatirkan banyak hal,

termasuk kesehatan, keuangan, kesejahteraan anak, dan hubungan sosial mereka.

Mereka cenderung mencemaskan hal-hal kecil di keseharian mereka, seperti terjebak

macet, dan peristiwa masa depan yang belum tentu akan terjadi, seperti

kebangkrutan. Mereka mungkin akan menghindari situasi atau kejadian di mana

mereka berharap sesuatu yang “buruk” akan terjadi. Atau mereka mungkin saja

berulang kali memastikan pada orang lain bahwa segalanya baik-baik saja. Untuk dapat

didiagnosis menderita GAD, GAD perlu dihubungkan baik dengan distres emosional


yang tampak atau terganggunya fungsi sehari-hari seseorang secara signifikan. Anakanak

dengan gangguan kecemasan menyeluruh cenderung akan mengkhawatirkan

prestasi akademik, atletik, dan aspek sosial dalam kehidupan sekolah mereka.

Distres emosional yang berhubungan dengan GAD secara signifikan mengganggu

kehidupan sehari-hari seseorang . GAD sering kali muncul bersamaan dengan

gangguan lain, termasuk depresi atau gangguan kecemasan lainnya seperti agorafobia

dan gangguan obsesif kompulsif. Ciri terkait lainnya termasuk kesehatan; tertekan,

tegang, atau gelisah; menjadi mudah lelah; dan gangguan tidur, seperti sulit tidur,

terus tertidur, atau tidur dengan rasa gelisah dan tidak nyenyak.

GAD cenderung menjadi gangguan yang stabil di mana muncul untuk pertama

kalinya pada masa pertengahan remaja sampai pertengahan umur 20 tahun dan

umumnya bertahan seumur hidup.

Perspektif Teoretis

Dari sudut pandang psikodinamika, kecemasan menyeluruh merepresentasikan

ancaman kebocoran-kebocoran impuls-impuls atau harapan-harapan seksual atau

agresif yang tidak berterima ke dalam kesadaran. Seseorang menyadari kecemasan

tersebut, tetapi tidak menyadari sumber yang melandasinya. Masalah dengan

spekulasi tentang asal-usul tidak sadar tentang kecemasan adalah hal tersebut

mungkin berada di luar jangkauan pengujian ilmiah. Tidak bisa mengamati atau

mengukur impuls tak sadar secara langsung.

Sudut pandang kognitif terhadap GAD menekankan peranan pemikiran dan

keyakinan yang berlebihan atau terganggu, khususnya keyakinan yang mendasari

kekhawatiran. Orang dengan GAD dan hubungannya dengan pusat berpikir otak,

korteks prefrontal (prefrontal cortex; PFC) (Etkin et al., 2009). Terlihat bahwa pada

orang dengan GAD, PFC mungkin bergantung pada kekhawatiran sebagai strategi

kognitif untuk menghadapi rasa takut yang dihasilkan oleh amigdala yang terlalu aktif.

Pendekatan Penanganan

Bentuk penanganan utama terhadap gangguan kecemasan menyeluruh adalah

obat-obatan psikiatris dan terapi kognitif perilaku. Obat-obatan antidepresan, seperti

setralin (Zoloft) dan paroksetin (Paxil), dapat membantu meredakan simtom

kecemasan (Allgulander et al., 2004; Liebowitz et al., 2002). Namun, ingatlah bahwa

meskipun obat-obatan psikiatris dapat membantu meredakan kecemasan, obatobatan

berhenti diberikan, simtom-simtom tersebut sering kali kembali muncul.

Terapis kognitif perilaku menggunakan kombinasi teknik untuk menangani GAD,

termasuk pelatihan kemampuan relaksasi; belajar mengganti pemikiran yang

mengganggu dan membuat cemas dengan pemikiran menenangkan dan adaptif; serta

mempelajari kemampuan untuk meredakan pemikiran buruk (seperti menghindari

kecenderungan untuk memikirkan hal terburuk). Bukti dari penelitian terkontrol

menunjukkan adanya keuntungan terapeutik yang substansial dari terapi kognitif

perilaku dalam menangani DAD (DiMauro et al., 2013; Donegan & Dugas,


2012;Newman et al., 2011). Efektivitas CBT bisa dibandingkan dengan efektivitas terapi

obat-obatan, tetapi dengan tingkat berhenti sebelum waktunya yang lebih rendah; ini

mengindikasikan bahwa pasien dapat menoleransi penanganan psikologis dengan

lebih baik (Mitte, 2005).

Perbedaan Etnis dalam Gangguan Kecemasan

Apakah gangguan kecemasan lebih umum ditemukan pada kelompok ras atau etnis

tertentu? Kita mungkin berpikir bahwa stresor yang lebih banyak dihadapi orang Afrika

Amerika dalam masyarat AS, seperti rasisme dan kesulitan ekonomi, dapat berkontribusi

terhadap stres sehingga mereka berlindung dari gangguan kecemasan di dalam kelompok

populasi ini. Di sisi lain, sebuah pendapat lain menyatakan bahwa karena orang Afrika

Amerika harus mengatasi kesulitan ini sejak masa awal kehidupannya, mereka

mengembangkan ketahanan terhadap stres sehingga mereka terlindungi dari gangguan

kecemasan. Bukti dari survey epidemiologis terkemuka mendukung pendapat alternatif

ini.

Menurut data yang didapat dari survei terkemuka berskala internasional, National

Comerbidty Survey Replication (NCS-R), menunjukkan bahwa orang Afrika Amerika (atau

kulit hitam non-hispanik) dan latin memiliki tingkat gangguan kecemasan sosial serta

gangguan kecemasan menyeluruh yang lebih rendah daripada orang-orang Eropa

Amerika (kulit putih non-hispanik) (Breslau et al., 2006). Kami juga memiliki bukti dari

survei terkemuka berskala nasional lainnya yang menunjukkan tingkat kemunculan

gangguan panik yang lebih tinggi pada orang Eropa Amerika daripada orang-orang Latin,

Afrika Amerika, atau Asia Amerika (Grant et al., 2006b).

B. Gangguan Obsesif Kompulsif dan Gangguan Terkait

Kategori DSM-5 dari Gangguan Obsesif Kompulsif dan Gangguan Terkait meliputi

berbagai macam gangguan yang sama-sama memiliki pola perilaku kompulsif atau

repetitif yang tidak dapat dikendalikan dan diasosiasikan dengan distres personal yang

signifikan atau mengganggu fungsi seseorang dalam memenuhi tuntutan kehidupan

sehari-harinya (Tabel 1.4). pada bagian berikutnya kita berfokus pada tiga gangguan

utama dalam kategori ini: gangguan obsesif kompulsif, gangguan dismorfik tubuh, dan

gangguan menimbun. Dua gangguan terkait lainnya, trikotilomania (gangguan

menjambak rambut), dan gangguan eksoriasi (mengelupas kulit), (dijelaskan pada Tabel

1.4).

1. Gangguan Obsesif Kompulsif

Orang dengan gangguan obsesif kompulsif (Obsessive-Compulsive Disorder,

OCD) bermasalah dengan obsesi atau kompulsi berulang, atau kompulsi dan obsesi,

yang menyita waktu mereka, seperti berlangsung lebih dari satu jam dalam satu hari,

atau menyebabkan distres atau gangguan signifikan terhadap rutinitas, pekerjaan,

atau fungsi sosial seseorang (APA, 2013; Parmet, Lynn, & Golub, 2011).


Sebuah obsesi (obsession) adalah pikiran, dorongan, atau gambaran mental

berulang, persisten, dan tidak diinginkan yang tampak berada di luar kendali

seseorang. Obsesi bisa menjadi cukup kuat dan persisten untuk menghambat

keseharian seseorang dan dapat menimbulkan kesulitan dan kecemasan yang

signifikan. Seseorang mungkin akan terus mengkhawatirkan apakah ia telah mengunci

pintu dan menutup jendela, misalnya. Obsesi biasanya menyebabkan kecemasan atau

distres, tetapi tidak semua kasus demikian (APA, 2013).

Kompulsi (Compulsion) adalah perilaku berulang (seperti mencuci tangan atau

memeriksa kunci pintu) atau tindakan mental (seperti berdoa, mengulang kata

tertentu, atau berhitung) di mana seseorang merasa terdorong atau merasa terpaksa

untuk melakukannya (APA, 2013). Kompulsi biasanya muncul sebagai respons

terhadap pemikiran obsesif yang sering terjadi dan cukup kuat untuk menghambat

keseharian seseorang atau menyebabkan distres yang signifikan. Kompulsi sering kali

menyertai obsesi dan setidaknya bisa sedikit melegakan kecemasan yang ditimbulkan

pemikiran obsesif.

Tabel 1.4

Ikhtisar Gangguan Obsesif Kompulsif dan Gangguan Terkait

Jenis

Gangguan

Gangguan

Obsesif

Kompulsif

Gangguan

Dismorfik

Tubuh

Gangguan

Menimbun

(Penimbunan

Kompulsif)

Perkiraan

Prevalensi

dalam

Populasi

Sekitar 2-3%

Tidak

diketahui

2-5%

Deskripsi

Obsesi berulang (pikiran

buruk yang berulang)

dan/ atau kompulsi

(perilaku berulang yang

terpaksa dilakukan oleh

seseorang)

Terlalu asyik dengan

cacat tubuh yang

dibayangkan atau

dilebih-lebihkan

Keinginan kuat unuk

mengumpulkan barang,

terlepas dari nilainya,

dan kesulitan atau

distres yang persisten

dan berhubungan

dengan membuang

barang-brang tersebut.

Ciri Terkait

• Obsesi menimbulkan kecemasan

yang mungkin setidaknya sedikit

diredam dengan melakukan ritual

kompulsif

• Seseorang yakin bahwa orang lain

memandang rendah dirinya sebagai

manusia karena cacat yang diderita

• Seseorang mungkin terlibat dalam

perilaku kompulsif, seperti dandan

secara berlebihan, untuk menutupi

cacat yang diderita

• Menyebabkan rumah dipenuhi

timbunan barang-barang yang

dikumpulkan, seperti buku, baju,

perabot rumah tangga, bahkan surat

• Bisa memiliki berbagai efek

merugikan, termasuk kesulitan

menggunakan ruangan dan

mengalami konflik kepentingan

dengan anggota keluarga dan orang


Gangguan

Trikotilomani

a (Gangguan

Menjambak

Rambut)

Gangguan

Ekskoriasi

(Mengelupas

Kulit)

Tidak

diketahui

1,4% atau

lebih tinggi

(pada orang

dewasa)

Menjambak rambut

secara kompulsif atau

repetitif

yang

menyebabkan

kebotakan

Menggaruk kulit secara

kompulsif atau repetitif,

yang menyebabkan lesi

atau ruam kulit yang

mungkin tidak akan

pernah sembuh karena

kulit terus digaruk

lain

• Seseorang merasa aman karena

mengumpulkan dan menyimpan

barang-barang yang tidak berguna

atau tidak penting

• Seseorang mungkin tidak sadar

bahwa perilaku menimbun adalah

sebuah masalah, terlepas dari bukti

yang terlihat jelas

• Menjambak rambut bisa melibatkan

kulit kepala atau bagian tubuh

lainnya dan dapat memunculkan

titik-titik kebotakan yang terlihat

jelas

• Menjambak rambut mungkin

memiliki efek melegakan dan

digunakan sebagai respons coping

untuk mengatasi stres atau

kecemasan

• Mengelupas kulit dapat meliputi

perilaku menggaruk, mengelupas,

menggosok, atau menusuk kulit

• Mengelupas kulit mungkin

merupakan sebuah usaha untuk

menghilangkan ketidaksempurnaan

atau cela pada kulit atau digunakan

sebagai respon untuk mengatasi

stres atau kecemasan

Tabel 1.5

Contoh Pikiran Obsesif dan Perilaku Kompulsif

Pola Pikiran Obsesif

Berpikir tangannya masih kotor meskipun

sudah berulang kali dicuci

Kesulitan untuk menghilangkan pikiran

bahwa orang yang dicintai terluka atau

terbunuh

Terus berpikir bahwa ia membiarkan pintu

rumahnya tak terkunci

Terus merasa khawatir gas di rumahnya

belum dimatikan

Terus berpikir ia telah melakukan hal buruk

pada orang yang ia cintai

Pola Perilaku Kompulsif

Memeriksa dan memeriksa kembali

pekerjaan secara berulang-ulang

Memeriksa kembali pintu dan gas sebelum

meninggalkan rumah

Secara konstan mencuci tangannya agar

tetap bersih dan bebas bakteri


Gangguan obsesif kompulsif memengaruhi sekitar 2-3% populasi umum pada

periode tertentu kehidupan (Keeley et al., 2008). OCD biasanya dimulai pada masa

remaja atau dewasa awal, tetapi dapat pula muncul pada masa kanak-kanak, bahkan

pada masa kanak-kanak awal (Parmet, Lynn, & Golub, 2011). Penelitian dari Swedia

menemukan bahwa walaupun sebagian besar pasien OCD pada akhirnya menunjukkan

beberapa peningkatan, sebagian besar juga terus memiliki beberapa simtom dari

gangguan ini sejalan dengan perjalanan hidup mereka (Skoog & Skoog, 1999). Pria dan

wanita memiliki kesempatan yang hampir sama untuk mengalami gangguan ini.

Perspektif Teoretis

Dalam tradisi psikodinamika, obsesi mewakili bocornya dorongan atau impuls tak

sadar ke dalam kesadaran dan kompulsi adalah tindakan yang membantu impuls ini

tetap tertahan. Pemikiran obseif tentang kontaminasi debu atau kuman dapat

merepresentasikan ancaman munculnya keinginan-keinginan infantil tak sadar untuk

membuat diri sendiri kotor dan bermain dengan feses. Kompulsi (dalam kasus ini,

ritual bersih-bersih) membantu harapan tersebut tetap tertahan di dalam

ketidaksadaran. Model psikodinamika sebagian besar masih bersifat spekulatif,

sebagian besar karena kesulitan (beberapa mengatakan ketidakmungkinan) membuat

pengujian ilmiah untuk menentukan adanya impuls dan konflik tak sadar.

Kerentanan terhadap OCD sedikit banyak ditentukan oleh faktor genetic (Taylor,

2011; Taylor & Jang, 2011). Gen apa yang terlibat di dalam OCD masih terus dipelajari,

tetapi bukti penelitian menunjukkan kemungkinan adanya peran gen yang berfungsi

menurunkan aktivitas neurotransmiter tertentu, glutamate, setidaknya pada beberapa

kasus gangguan (Arnold et al., 2006; Dickel et al., 2006).

Kemungkinan lainnya adalah aktivitas gen tertentu memengaruhi keseimbangan

senyawa kimia dalam otak yang menyebabkan terlalu terstimulasinya jaringan saraf

yang disebut sirkuit kekhawatiran, sebuah jaringan saraf yang member sinyal bahaya

saat merespons ancaman. Dalam OCD, otak mungkin akan terus mengirimkan pesan

melalui “sirkuit kekhawatiran” atau sirkuit saraf bahwa terdapat sesuatu yang salah

dan membutuhkan perhatian secepatnya sehingga menimbulkan pemikiran obsesif

yang mencemaskan dan perilaku kompulsif yang berulang. Normalnya, korteks

prafrontal mengatur input dari amigdala dan struktur otak bawah lainnya. Namun,

pada orang dengan OCD dan gangguan kecemasan lainnya, proses ini bisa terganggu,

di mana proses prafrontal gagal mengendalikan aktivitas saraf berlebih yang berasal

dari amigdala, menyebabkan kecemasan dan kekhawatiran (Harrison et al., 2009;

Monk et al., 2008).

Model psikologis dari OCD menekankan faktor-faktor kognitif dan pembelajaran.

Orang-orang dengan OCD cenderung terlalu fokus dengan pikiran mereka (Taylor &

Jang, 2011). Mereka tampaknya tidak bisa memutus siklus mental sehingga pikiran

buruk dan negatif yang sama terus terngiang di dalam pikiran mereka. Faktor kognitif

lain yang berhubungan dengan OCD adalah perfeksionisme, atau keyakinan bahwa

seseorang harus tampil sempurna (Moretz & McKay, 2009; Taylor & Jang, 2011).


Orang-orang yang memegang keyakinan perfeksionisme melebih-lebihkan

konsekuensi dari memberikan kinerja yang tidak sempurna dan merasa terdorong

untuk kembali melakukan usaha mereka sampai detailnya sempurna.

Dari perspektif pembelajaran, kita dapat melihat perilaku kompulsif sebagai

respons instrumental yang secara negatif diperkuat oleh rasa lega terbebas dari

kecemasan yang dipicu oleh pikiran obsesif. Secara sederhana, “obsesi menimbulkan

kecemasan atau distres, sementara kompulsi meredakannya” (Franklin et al., 2002,

hal. 283). Penguatan, baik positif maupun negatif, memperkuat perilaku yang

mendahuluinya. Dengan demikian, seseorang cenderung akan mengulang ritual

kompulsif ketika ia kembali terpapar isyarat yang menimbulkan kecemasan, seperti

bersalaman atau menyentuh gagang pintu).

Pendekatan Penanganan

Terapis perilaku telah mencapai hasil yang luar biasa dalam penanganan

gangguan obsesif kompulsif dengan teknik pemaparan dengan pencegahan respons

(Exposure with Response Prevention, ERP) (misalnya dalam Franklin & Foa, 2011).

Komponen pemaparan melibatkan pemaparan situasi yang menumbuhkan pemikiran

obsesif. Bagi banyak orang, situasi seperti itu sulit dihindari. Komponen pencegahan

respons melibatkan penghindaran perilaku kompulsif agar tidak kembali muncul.

Melalui pemaparan dengan pencegahan respons, orang dengan OCD belajar

menoleransi kecemasan yang dipicu oleh pemikiran obsesif mereka sembari dicegah

untuk melakukan ritual kompulsif mereka. Dengan proses pemaparan berulang,

kecemasan pada akhirnya mereda dan orang tersebut merasa kurang terdorong untuk

melakukan ritualnya. Prinsip yang mendasarinya adalah kepunahan. Saat isyarat yang

memicu pemikiran obsesif dan kecemasan yang menyertainya ditampilkan secara

berulang tetapi orang tersebut tidak menganggap hal buruk akan terjadi, ikatan antara

isyarat ini dan respons kecemasan melemah.

Teknik kognitif sering digabungkan dengan ERP di dalam program penanganan

kognitif perilaku (Abramowitz, 2008; Hassija & Gray, 2010). Komponen kognitif

melibatkan memperbaiki cara berpikir yang terganggu (distorsi kognitif), seperti

kecenderungan untuk melebih-lebihkan estimasi kemungkinan dan keparahan

konsekuensi yang ditakutkan (Whittal et al., 2008).

Antidepresan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) juga memiliki

keuntungan terapeutik dalam menangani OCD (Pampaloni et al., 2009; Simpson et al.,

2008). Kelas obat-obatan ini termasuk fluoksetin (Prozac), parokseti (Paxil), dan

klomipramin (Anafranil). Obat-obatan ini meningkatkan ketersediaan neurotransmiter

serotonin di otak. Efektivitas obat-obatan ini menunjukkan bahwa masalah transmisi

serotonin memainkan peranan penting terhadap pengembangan OCD, setidaknya

dalam beberapa kasus.

CBT menghasilkan manfaat yang kurang lebih sama dengan penanganan dengan

obat-obatan SSRI dan mungkin memberikan hasil yang lebuh bertahan lama dalam

menangani OCD (Franklin & Foa, 2011). Seperti bentuk gangguan kecemasan lainnya,


beberapa orang dengan OCD mungkin akan mendapatkan keuntungan dari kombinasi

penanganan psikologis dan obat-obatan (Simpson et al., 2008).

2. Gangguan Dismorfik Tubuh

Orang-orang dengan gangguan dismorfik tubuh (Body Dysmorphic Disorder,

BDD) disibukkan dengan cela fisik yang ia persepsikan atau lebih-lebihkan pada

penampilannya, seperti jerawat, kerutan atau pembengkakan wajah, noda atau bercak

pada tubuh, atau luka di wajah, yang membuat mereka merasa jelek atau bahkan

cacat (Buhlmann, Marques, & Wilhelm, 2012; Marques et al., 2011). Mereka takut

orang lain akan menilai buruk mereka dengan dasar cacat atau kekurangan yang

mereka anggap miliki (Anson, Veale, & de Silva, 2012). Mereka bisa menghabiskan

waktu berjam-jam memeriksa diri mereka di cermin dan melakukan tindakan ekstrem

untuk memperbaiki cela yang mereka asumsikan miliki, bahkan hingga melakukan

prosedur medis invasif atau tidak menyenangkan, termasuk operasi plastic yang

sebenarnya tidak diperlukan.

BDD termasuk ke dalam spektrum obsesif kompulsif karena orang dengan

gangguan ini sering kali terobsesi dengan cacat yang mereka asumsikan miliki dan

sering kali merasa perlu memeriksa diri mereka di depan cermin atau melakukan

perilaku kompulsif yang bertujuan memperbaiki, menutupi, atau mengubah cela yang

mereka asumsikan miliki.

Terapi pemaparan dengan penghindaran respons sering kali digunakan untuk

menangani gangguan dismorfik tubuh. Pemaparan bisa secara sengaja mengungkap

cela yang seseorang rasakan di depan public alih-alih menutupinya dengan riasan atau

baju. Pencegahan respons bisa melibatkan upaya untuk tidak bercermin (seperti

menutup cermin di rumah) dan dandan secara berlebihan. ERP biasanya digabungkan

dengan restrukturisasi kognitif, di mana terapis membantu klien menguji keyakinan

mereka yang terganggu mengenai penampilan fisiknya dan mengevaluasinya

berdasarkan bukti yang ada (Phillips & Rogers, 2011).

3. Gangguan Menimbun

Penimbunan kompulsif, yang diklasifikasikan DSM-5 sebagai suatu gangguan baru

yang disebut gangguan menimbun (Hoarding Disorder), ditandai dengan akumulasi

dan keinginan untuk menyimpan tumpukan barang yang tidak penting dan tampak

tidak berguna, yang menyebabkan distres personal atau membuatnya sulit untuk

menjaga keamanan dan kelayakan tempat tinggal. Tumpukan objek tersebut dapat

memberikan ancaman kebakaran atau membuat sebagian besar ruang tinggal tidak

dapat digunakan secara efektif.

Gangguan menimbun memiliki komponen emosional penting yang ditandai

dengan kebutuhan untuk mengakumulasi dan menyimpan barang-barang milik mereka

agar mereka merasa aman. Orang yang menimbun menjadi sangat terikat dengan

barang milik mereka dan takut kehilangan barang-barang tersebut, sering kali karena

keyakinan yang salah bahwa barang-barang tersebut entah bagaimana berharga atau


penting bagi mereka. Biasanya, orang yang menimbun tidak menyadari bahwa

menimbun merupakan suatu masalah.

Faktor penyebab yang mendasari perilaku menimbun masih terus dipelajari,

tetapi penelitian terkini telah berusaha meneliti dasar neurologisnya. Saat berpikir

tentang memperoleh dan membuang barang-barangnya, penimbun menunjukkan pola

aktivasi yang tidak biasa pada bagian-bagian otak yang terlibat dalam proses seperti

pengambilan keputusan dan pengaturan diri (Tolin et al., 2012). Meskipun gangguan

menimbun sulit ditangani, tetapi bukti terkini menunjukkan hasil yang menjanjikan

dari terapi kognitif perilaku yang berfokus untuk membantu orang tersebut mengubah

keyakinan maladaptif tentang perlunya ia mengumpulkan dan menyimpan barang

miliknya serta mencari cara membuangnya (Steketee et al., 2010).


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Gambaran Mengenai Gangguan Kecemasan

Gangguan kecemasan ditandai dengan pola perilaku yang terganggu di mana

kecemasan adalah ciri yang paling menonjol. Kecemasan ditandai dengan simtom-simtom

fisik seperti gugup, tangan berkeringat, dan jantung yang berdegup kencang; dengan ciri

perilaku seperti penghindaran, bergantung pada orang lain, dan tidak tenang; serta

dengan ciri kognitif seperti khawatir atau rasa takut akan masa depan dan akan

kehilangan kendali.

Gangguan Panik

Gangguan panik ditandai dengan sering terjadinya serangan panik berulang yang

menghambat dan melibatkan ciri fisik yang intens, biasanya simtom kardiovaskular yang

mungkin dibarengi dengan rasa takut yang teramat sangat serta rasa takut akan

kehilangan kendali, gila, atau sekarat. Penderita serangan panik sering kali membatasi

aktivitas luar ruangan mereka karena takut akan kembali mengalami serangan panik. Ini

bisa memunculkan agorafobia, rasa takut pergi ke tempat-tempat umum.

Model utama mengonsepkan gangguan panik sebagai kombinasi faktor kognitif

(seperti melebih-lebihkan interpretasi sensasi tubuh, sensitivitas kecemasan) dan faktor

bologis (seperti kerentanan genetik, meningkatnya sensitivitas akan isyarat tubuh).

Menurut pandangan ini, gangguan panik melibatkan faktor fisiologis dan psikologis yang

berinteraksi dalam siklus mengerikan yang dapat berubah menjadi serangan panik yang

parah.

Metode penanganan yang paling efektif adalah terapi kognitif perilaku dan terapi

obat-obatan. CBT untuk gangguan panik menggabungkan beberapa teknik seperti selfmonitoring,

pemaparan terkontrol pada isyarat terkait panik, termasuk sensasi tubuh,

dan pengembangan respons untuk mengatasi serangan panik tanpa melebih-lebihkan

penafsiran isyarat tubuh. Pendekatan biomedis menggabungkan penggunaan obatobatan

antidepresan, yang memiliki efek antikecemasan, antikepanikan, dan juga

antidepresan.

Gangguan Fobia

Fobia adalah ketakutan irasional yang berlebihan terhadap situasi atau objek

tertentu. Fobia melibatkan komponen perilaku-penghindaran stimulus fobia-dan juga ciriciri

fisik dan kognitif kecemasan yang berhubungan dengan paparan stimulus fobia. Fobia

spesifik adalah rasa takut berlebihan pada objek atau situasi tertentu, seperti tikus, labalaba,

ruangan sempit, atau ketinggian. Kecemasan sosial melibatkan sebuah ketakutan

yang intens akan penilaian negatif orang lain. Agorafobia melibatkan rasa takut pergi ke


tempat-tempat umum. Agorafobia bisa disertai, atau tidak disertai dengan gangguan

panik.

Teoretikus pembelajaran menjelaskan fobia sebagai perilaku yang dipelajari yang

didapat berdasarkan prinsip pengondisian dan pembelajaran observasional. Model dua

faktor Mowrer menggabungkan pengondisian klasik dan instrumental untuk menjelaskan

fobia. Fobia tampaknya dikendalikan oleh faktor kognitif, seperti sensitivitas berlebih

terhadap isyarat ancaman, prediksi berlebihan akan suatu bahaya, dan pemikiran selfdefeating

dan keyakinan irasional. Faktor genetik juga tampaknya meningkatkan

kerentanan seseorang untuk mengembangkan fobia. Beberapa peneliti percaya, kita

memiliki predisposisi genetik untuk mendapatkan jenis fobia tertentu yang mungkin

berguna bagi kelangsungan hidup nenek moyang kita.

Metode penanganan yang paling efektif adalah pendekatan berdasarkan

pembelajaran, seperti desensitisasi sistematis dan pemaparan bertahap, begitu pula

terapi kognitif dan terapi obat-obatan, seperti penggunaan antidepresan (contohnya

Zoloft, Paxil) untuk menangani kecemasan sosial.

Gangguan Kecemasan Menyeluruh

Gangguan kecemasan menyeluruh adalah jenis gangguan kecemasan yang

melibatkan kecemasan persisten yang tampaknya terbebas atau tidak terikat pada situasi

tertentu. Teoretikus psikodinamika melihat gangguan kecemasan sebagai upaya ego

untuk mengendalikan desakan impuls yang mengancam untuk timbul ke kesadaran.

Perasaan cemas dianggap sebagai sinyal peringatan bahwa impuls yang mengancam telah

mendekati kesadaran. Model penanganan berdasarkan pembelajaran berfokus pada

generalisasi kecemasan di semua situasi stimulus. Teoretikus kognitif mencari penjelasan

terkait kecemasan menyeluruh dalam hal pikiran atau keyakinan menyimpang yang

mendasari kekhawatiran. Model biologis berfokus pada abnormalitas fungsi

neurotransmitter di otak. Dua pendekatan penanganan utama adalah terapi kogniif

perilaku dan terapi obat-obatan (biasanya paroksetin).

Perbedaan Etnis dalam Gangguan Kecemasan

Bukti dari sampel representatif orang dewasa AS menunjukkan tingkat beberapa

gangguan kecemasan yang umumnya lebih rendah di antara etnis minoritas dibandingkan

dengan orang Amerika kulit putih (non-Hispanik).

Gangguan Obsesif Kompulsif dan Gangguan Terkait

Gangguan obsesif kompulsif melibatkan pola berulang dari obsesi atau kompulsi,

atau kombinasi keduanya. Obsesi adalah pemikiran mengganggu yang persisten dan

menciptakan kecemasan serta tampaknya di luar kendali seseorang. Kompulsi adalah

desakan yang tampaknya berulang dan tidak dapat dilawan untuk melakukan perilaku

tertentu, seperti membersihkan diri secara hati-hati dan berulang setelah menggunakan

kamar mandi.


Dalam tradisi psikodinamika, obsesi mewakili bocornya desakan atau impuls tak

sadar ke dalam kesadaran dan kompulsi adalah tindakan yang membantu menjaga impuls

ini tetap tertekan. Penelitian terkait faktor biologis menggarisbawahi peranan genetika

dan mekanisme otak yang terlibat di dalam pemberian sinyal bahaya dan mengendalikan

perilaku repetitif. Penelitian menunjukkan peranan faktor kognitif, seperti fokus berlebih

pada pikiran seseorang, persepsi berlebihan dari risiko suatu peristiwa buruk, dan

perfeksionisme. Teoretikus pembelajaran melihat perilaku kompulsif sebagai respons

instrumental yang secara negatif memperkuat rasa lega dari kecemasan yang dihasilkan

oleh pemikiran obsesif.

Pendekatan pengobatan kontemporer utama meliputi model penanganan

berdasarkan pembelajaran (pemaparan dengan pencegahan respons), terapi kognitif

(perbaikan distorsi kognitif), dan penggunaan antidepresan SSRI.

Dalam gangguan dismorfik tubuh, seseorang terlalu mengkhawatirkan cela imajiner

atau melebih-lebihkan cela pada penampilan fisik mereka. Gangguan ini termasuk ke

dalam spektrum OCD karena orang dengan BDD biasanya memiliki pemikiran obsesif

terkait penampilan fisik dan menunjukkan perilaku memeriksa yang kompulsif serta

berusaha untuk memperbaiki atau menutupi masalah tersebut.

Gangguan menimbun ditandai dengan akumulasi berlebihan dan menyimpan

barang miliknya hingga menyebabkan distres personal atau secara signifikan mengganggu

kemampuan seseorang untuk menjaga tempat tinggalnya aman dan layak. Penimbun

memiliki ikatan yang kuat dengan objek yang ia kumpulkan dan sulit membuang barangbarang

tersebut. Gangguan menimbun memiliki karakteristik yang serupa dengan

gangguan obsesif kompulsif, seperti pemikiran obsesif tentang memperoleh objek dan

takut kehilangan barang-barang tersebut serta perilaku kompulsif yang melibatkan

mengatur ulang barang miliknya dan bersikeras untuk tidak membuangnya.


DAFTAR PUSTAKA

Nevid, Jefrey N., Rathus, Spencer A., & Greene, Beverly. 2014. Psikologi Abnormal di Dunia

yang Terus Berubah. Edisi ke-9. Jilid 1. Jakarta: Erlangga

http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/

https://psychology-tools.com/test/obsessive-compulsive-inventory-revised


Lampiran

OBSESSIVE COMPULSIVE INVENTORY

The OCI-R is a self-rating scale that is designed to assess the severity and type of

symptoms of those potentially dealing with OCD. The following statements refer to

experiences that many people have in their everyday lives. Select the answer that best

describes how much that experience has distressed or bothered you during the past

month.

1. I have saved up so many things that

they get in the way.

2. I check things more often than

necessary.

3. I get upset if objects are not

arranged properly.

4. I feel compelled to count while I am

doing things.

5. I find it difficult to touch an object

when I know it has been touched

by strangers or certain people.

6. I find it difficult to control my own

thoughts.

7. I collect things I don’t need.

8. I repeatedly check doors, windows,

drawers, etc.

9. I get upset if others change the way

I have arranged things.

10. I feel I have to repeat certain

numbers.

11. I sometimes have to wash or clean

myself simply because I feel

contaminated.

12. I am upset by unpleasant thoughts

that come into my mind against my

Not at all A little Moderately A lot Extremely


Not at all A little Moderately A lot Extremely

will.

13. I avoid throwing things away

because I am afraid I might need

them later.

14. I repeatedly check gas and water

taps and light switches after turning

them off.

15. I need things to be arranged in a

particular way.

16. I feel that there are good and bad

numbers.

17. I wash my hands more often and

longer than necessary.

18. I frequently get nasty thoughts and

have difficulty in getting rid of

them.


OCI-R adalah skala penilaian diri yang dirancang untuk menilai tingkat keparahan dan

jenis gejala dari mereka yang berpotensi berurusan dengan OCD. Pernyataan berikut

merujuk pada pengalaman yang dimiliki banyak orang dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Pilih jawaban yang paling menggambarkan seberapa banyak pengalaman itu telah membuat

Anda sedih atau terganggu selama sebulan terakhir.

Tidak

Pernah

Sedikit

Kadangkadang

Sering

Sangat

Sering

1. Saya telah menyimpan begitu

banyak hal yang menghalangi

mereka.

2. Saya memeriksa hal-hal lebih sering

daripada yang diperlukan.

3. Saya marah jika benda tidak diatur

dengan benar.

4. Saya merasa harus

memperhitungkan saat melakukan

sesuatu.

5. Saya merasa sulit menyentuh suatu

objek ketika saya tahu benda itu

telah disentuh oleh orang asing atau

orang-orang tertentu.

6. Saya merasa sulit mengendalikan

pikiran saya sendiri.

7. Saya mengumpulkan barang-barang

yang tidak saya butuhkan.

8. Saya berulang kali memeriksa pintu,

jendela, laci, dll.

9. Saya marah jika orang lain

mengubah cara saya mengatur

berbagai hal.

10. Saya merasa saya harus mengulangi

angka-angka tertentu

11. Kadang-kadang saya harus mencuci

atau membersihkan diri hanya

karena saya merasa terkontaminasi.


Tidak

Pernah

Sedikit

Kadangkadang

Sering

Sangat

Sering

12. Saya kesal dengan pikiran tidak

menyenangkan yang muncul di

benak saya yang bertentangan

dengan keinginan saya.

13. Saya menghindari membuang

barang-barang karena saya takut

saya akan membutuhkannya nanti.

14. Saya berulang kali memeriksa gas

dan keran air dan sakelar lampu

setelah mematikannya.

15. Saya perlu mengatur hal-hal dengan

cara tertentu.

16. Saya merasa ada angka baik dan

buruk.

17. Saya mencuci tangan lebih sering

dan lebih lama dari yang diperlukan.

18. Saya sering mendapat pikiran jahat

dan sulit menghilangkannya.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!