28.09.2013 Views

SKRIPSI FULL.pdf - Fakultas Hukum - Unsoed

SKRIPSI FULL.pdf - Fakultas Hukum - Unsoed

SKRIPSI FULL.pdf - Fakultas Hukum - Unsoed

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN<br />

(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)<br />

<strong>SKRIPSI</strong><br />

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu<br />

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana <strong>Hukum</strong> Pada <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong><br />

Universitas Jenderal Soedirman<br />

OLEH :<br />

SUSANTI<br />

E1A008298<br />

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN<br />

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN<br />

FAKULTAS HUKUM<br />

PURWOKERTO<br />

2013<br />

i


LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT <strong>SKRIPSI</strong><br />

PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN<br />

(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)<br />

Disusun Oleh:<br />

SUSANTI<br />

E1A008298<br />

Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan <strong>Hukum</strong> (Skripsi)<br />

<strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> Universitas Jenderal Soedirman pada Jum’at, 22 Februari 2013<br />

Pembimbing I<br />

Drs. Antonius Sidik M.,S.H.,MH.<br />

NIP. 19580905 198601 1 001<br />

MENGETAHUI<br />

Pembimbing II<br />

Sanyoto, S.H.,M.Hum.<br />

NIP. 19610123 198601 1 001<br />

Mengetahui,<br />

Dekan <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong><br />

Universitas Jenderal Soedirman<br />

Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum.<br />

NIP. 19640923 198901 1 001<br />

ii<br />

Penguji<br />

Rahadi Wasi Bintoro, S.H., M.H.<br />

NIP. 19800812 205011 002


Dengan ini Saya:<br />

Nama : SUSANTI<br />

NIM : E1A008298<br />

LEMBAR PERNYATAAN<br />

Judul :::: :<br />

PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM<br />

PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap<br />

Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)<br />

Menyatakan bahwa skripsi yang Saya buat ini adalah benar-benar hasil<br />

karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan<br />

orang lain.<br />

Apabila ternyata saya terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana<br />

tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai<br />

ketentuan yang berlaku.<br />

iii<br />

Purwokerto, Februari 2013<br />

SUSANTI<br />

NIM. E1A008298


ABSTRAK<br />

Putusan pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas<br />

perkara Nomor 03/Pembatalan Perjanjian Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst<br />

tertanggal 28 Juli 2010 tentang “Kepailitan” antara Tomi Bungaran Cs sebagai<br />

pemohon pailit dan PT. Interkon Kebon Jeruk sebagai termohon pailit yang isinya<br />

mengabulkan seluruh permohonan pemohon menyebabkan PT. Interkon Kebon<br />

Jeruk Cs merasa tidak puas. PT. Interkon Kebon Jeruk kemudian mengajukan<br />

upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Akan tetapi,<br />

permohonan kasasi tersebut ditolak. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik<br />

melakukan penelitian dengan mengambil judul skripsi “ PENOLAKAN<br />

PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan<br />

Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)”.<br />

Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan<br />

perundang-undangan dan pendekatan analisis. Penelitian ini bertujuan untuk<br />

mengetahui pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam menolak<br />

permohonan kasasi dalam perkara kepailitan dan akibat hukum ditolaknya kasasi<br />

tersebut. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa pertimbangan<br />

hukum hakim mahkamah agung dalam menolak permohonan kasasi tidak tepat<br />

karena debitur tidak lalai memenuhi isi perjanjian sebagaiamana termaktub dalam<br />

Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Akibat hukum<br />

ditolaknya kasasi tersebut PT. Interkon Kebon Jeruk pailit dan seluruh harta<br />

kekayaan PT. Interkon Kebon Jeruk diserahkan kepada kurator sebagaimana<br />

termaktub dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004<br />

dibawah pengawasan hakim pengawas.<br />

Kata Kunci: kasasi, kepailitan, pengadilan niaga.<br />

iv


ABSTRACT<br />

Decisionof the commercial court at the Central Jakarta District Court<br />

on case No. 03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst dated July 28,<br />

2010 on "Bankruptcy" between Tomi Bungaran Cs., as applicants bankruptcy and<br />

PT. Interkon Kebon Jeruk as a defendant of bankruptcy petitioners which granted<br />

entirely applicants’s petitions have caused PT. Interkon Kebon Jeruk unsatisfied.<br />

PT.Interkon Kebon Jeruk Cs then filed cassation to the Supreme Court of the<br />

Republic of Indonesia. However, the appeal was rejected. Based on the<br />

description, the authors are interested in doing research by taking a thesis title<br />

“The Refusal of Casation Remedy with Regard to Bankrupcty Proceeding” (A<br />

Judicial Review Of Decision Number 771 K/Pdt.Sus/2010 Supreme Court)".<br />

The type of this research is normative juridical,with legislation and<br />

analysis approach. This study aims to determine the legal reasoning of the<br />

Supreme Court’s judgein rejecting the appeal in a bankruptcy case and legal<br />

consequences of the rejection. Result showed that the legal reasoning of judges in<br />

Supreme Court in rejecting an appeal is not appropriate because the debtor<br />

fulfilled the agreement aswritten in Article 70 paragraph (1) of Law No. 37 Year<br />

2004. Legal consequences of the appeal rejection is PT.Interkon Kebon Jeruk was<br />

bankrupt and all assets of PT. Interkon Kebon Jeruk submitted to the curator as<br />

set forth in Article 69 paragraph (1) of Law No. 37 Year 2004, under the<br />

supervision of supervisory judge.<br />

Keywords: appeal, bankruptcy, commercial court.<br />

v


Bismillahirrahmaanirrahim<br />

KATA PENGANTAR<br />

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang<br />

telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat<br />

menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) berjudul “ PENOLAKAN<br />

PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu<br />

Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah<br />

Agung)”.<br />

Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dalam rangka melengkapi syarat-<br />

syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu <strong>Hukum</strong> pada<br />

Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis sepenuhnya menyadari<br />

begitu banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, untuk itu penulis dengan<br />

besar hati menerima saran dan kritik yang membangun.<br />

Penulisan hukum (skripsi) ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari<br />

bimbingan, arahan, petunjuk, bantuan, saran dan kritik serta dorongan dari semua<br />

pihak yang telah turut membantu penulis. Kiranya, bukanlah hal yang berlebihan<br />

pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang<br />

sebesar-besarnya kepada :<br />

1. Bapak Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum , sebagai Dekan <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> Universitas<br />

Jenderal Soedirman yang telah memimpin dengan bijaksana dalam<br />

meningkatkan kualitas <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong>, para mahasiswa dan para alumninya.<br />

vi


2. Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono, S.H.,M.S., selaku Dosen Pembimbing I<br />

yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan<br />

pengetahuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi<br />

ini;<br />

3. Bapak Sanyoto, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas segala<br />

bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sampai selesainya<br />

skripsi ini;<br />

4. Bapak Rahadi Wasi Bintoro, S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji yang telah<br />

memberikan masukan dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.<br />

5. Bapak Tenang Haryanto, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik.<br />

6. Seluruh Dosen <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> Universitas Jenderal Soedirman.<br />

7. Seluruh staf akademik <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> Universitas Jenderal Soedirman.<br />

8. Semua aktivis atau pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong><br />

Universitas Jenderal Soedirman.<br />

9. Seluruh keluarga besar Orang tua, kakak dan adik terimakasih atas dukungan<br />

semangat dan doanya.<br />

10. Sahabat terbaikku Dwi Nurul Hastuti, Dwi Kantiningsih, Dwi Nanda<br />

L.H.N.K, Desy Yuliana, Uun Nur Yahya, Lia Nurjannah, Melda, Aya,<br />

Yuanita, Afib, Ida, Tika, Wiwik, Nindu, Ranggi, Nining, Putri, Dita, Febri<br />

serta seluruh teman seperjuanganku angkatan 2008, seluruh keluarga besar<br />

UKI FH <strong>Unsoed</strong>, teman-teman PLKH Pidana, Perdata, PTUN, teman-teman<br />

KKN Banjarkerta, Karanganyar, Purbalingga, dan yang tidak bisa Penulis<br />

sebut satu per satu, terimakasih atas dukungan doa dan semangatnya.<br />

vii


Semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan serta bantuan yang<br />

telah diberikan kepada penulis. Demikianlah semoga penulisan hukum (skripsi)<br />

ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, kalangan<br />

akademis, praktisi serta masyarakat umum.<br />

viii<br />

Purwokerto, Februari 2013<br />

Penulis,<br />

Susanti


DAFTAR ISI<br />

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i<br />

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii<br />

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii<br />

ABSTRAK ...................................................................................................... iv<br />

ABSTRACT ....................................................................................................... v<br />

KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi<br />

DAFTAR ISI .................................................................................................. viii<br />

BAB I PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang .................................................................................... 1<br />

B. Perumusan Masalah ............................................................................ 7<br />

C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7<br />

D. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 8<br />

BAB II TINJAUAN PUSTAKA<br />

A. KEPAILITAN<br />

1. Pengertian dan Pengaturan Kepailitan ........................................... 9<br />

2. Persyaratan untuk dinyatakan Pailit ............................................... 10<br />

3. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Permohonan Pailit ............... 12<br />

4. Proses Permohonan dan Putusan Pernyataan Pailit ........................ 13<br />

ix


5. Akibat <strong>Hukum</strong> Putusan Pailit ......................................................... 16<br />

6. Pembuktian Sederhana ................................................................... 18<br />

7. Pengadilan Niaga dan Yurisdiksinya ............................................. 20<br />

B. KASASI<br />

1. Pengertian Kasasi ........................................................................... 35<br />

2. Alasan Kasasi ................................................................................. 36<br />

3. Fungsi Peradilan Kasasi ................................................................. 39<br />

C. PUTUSAN HAKIM<br />

1. Pengertian Putusan ......................................................................... 40<br />

2. Kekuatan Putusan .......................................................................... 40<br />

3. Susunan dan Isi Putusan ................................................................. 41<br />

4. Jenis-jenis Putusan ......................................................................... 42<br />

5. Putusan Pengadilan Niaga .............................................................. 46<br />

6. Putusan Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi .......................... 48<br />

D. PERDAMAIAN (Accord)<br />

1. Pengertian Perdamaian (Accord) ..................................................... 57<br />

2. Pembatalan Perdamaian ................................................................... 60<br />

3. Akibat <strong>Hukum</strong> Pembatalan Perdamaian .......................................... 62<br />

x


BAB III METODE PENELITIAN<br />

A. Tipe Penelitian .................................................................................. 64<br />

B. Metode Penelitian ............................................................................... 64<br />

C. Spesifikasi Penelitian .......................................................................... 64<br />

D. Sumber Bahan <strong>Hukum</strong> ....................................................................... 65<br />

E. Metode Penyajian <strong>Hukum</strong> .................................................................. 66<br />

F. Metode Analisis Bahan <strong>Hukum</strong> ......................................................... 66<br />

BAB IV HASIL DAN PENELITIAN<br />

A. Hasil Penelitian .................................................................................... 71<br />

B. Pembahasan ......................................................................................... 130<br />

BAB V PENUTUP<br />

A. Simpulan .............................................................................................. 155<br />

B. Saran .................................................................................................... 155<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

xi


A. Latar Belakang Masalah<br />

BAB I<br />

PENDAHULUAN<br />

Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang<br />

secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia<br />

tidak pernah terlepas dari interaksi antar sesama, dengan demikian kebutuhan<br />

kehidupan akan saling terpenuhi. Terkait dengan adanya interaksi dapat<br />

menimbulkan permasalahan dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi<br />

permasalahan tersebut dalam hal ini hukum mempunyai peranan yang sangat<br />

penting. Terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang rapi dan aman<br />

tentunya tidak terlepas dari kerjasma yang baik antara para penegak hukum<br />

dan masyarakat yaitu dengan cara mentaati suatu kaidah peraturan hukum<br />

yang sudah ada dan tidak melanggarnya. <strong>Hukum</strong> bukanlah semata-mata<br />

sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan<br />

untuk dilaksanakan dan ditaati. 1<br />

Aturan hukum menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi dua yakni<br />

hukum materill dan hukum formil. Aturan hukum materill adalah aturan-<br />

aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang membebani hak dan<br />

kewajiban atau mengatur hubungan hukum atau orang-orang sedangkan<br />

aturan hukum formil adalah aturan hukum untuk melaksanakan dan<br />

mempertahankan yang ada atau melindungi hak perorangan. <strong>Hukum</strong> materill<br />

1 Sudikno Mertokusumo, <strong>Hukum</strong> Acara Perdata Indonesia, edisi ke tujuh, 2002, Liberty<br />

Yogyakarta, hal.1.<br />

1


sebagaimana terjelma dalam undang-undang atau yang bersifat tidak tertulis<br />

merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang<br />

selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat. Adapun dalam<br />

pelaksanaan hukum materill sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran atau<br />

hak materill tersebut dilanggar sehingga menimbulkan ketidak seimbangan<br />

kepentingan dalam masyarakat, atau menimbulkan kerugian pada orang lain<br />

atau pihak lain. Pelaksanakan hukum materill perdata terutama dalam hal ada<br />

pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materill<br />

perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan<br />

hukum lain. Peraturan-peraturan hukum lain yang dimaksud adalah hukum<br />

formil (hukum acara perdata) atau adjective law. <strong>Hukum</strong> acara perdata hanya<br />

diperuntukan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil dan di<br />

samping itu juga berfungsi untuk merealisir pelaksaan dari hukum perdata.<br />

<strong>Hukum</strong> acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur<br />

bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan<br />

perantara hakim, jadi hukum acara perdata dapat dikatakan peraturan hukum<br />

yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata<br />

materiil. Konkritnya bahwa hukum acara perdata mengatur tentang<br />

bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya<br />

dan pelaksanaan dari pada putusannya. Tuntutan hak adalah tindakan yang<br />

bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan<br />

untuk mencegah “eigenrichting” (main hakim sendiri). Tindakan menghakimi<br />

sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya<br />

2


sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain<br />

yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Tindakan<br />

menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan dalam hal kita hendak<br />

memperjuangkan atau melaksanakan hak kita. 2<br />

Suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan<br />

bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Oleh karena itu demi kebenaran dan<br />

keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang,<br />

agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki,<br />

setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum yaitu upaya atau<br />

alat untuk mencegah atau memperbaiki kekliruan dalam suatu putusan. 3<br />

Upaya hukum dapat dilakukan oleh salah satu pihak yang merasa putusan<br />

Pengadilan kurang sesuai dengan yang diharapkan sehingga menurut tujuan<br />

dari upaya hukum yaitu untuk memohon membatalkan putusan Pengadilan<br />

ditingkat yang lebih rendah kepada Pengadilan yang lebih tinggi. 4 <strong>Hukum</strong><br />

acara perdata mengenal adanya upaya hukum yang diberikan oleh undang-<br />

undang kepada subyek hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 132 HIR<br />

(Herzein Indonesis Reglement) yang menyebutkan:<br />

“Jika dianggap perlu oleh ketua, yaitu supaya jalannya perkara baik<br />

dan teratur, maka pada waktu memeriksa perkara, ia berhak untuk<br />

memberikan nasihat kepada kedua belah pihak dan untuk menunjukan<br />

upaya hukum dan keterangan kepada mereka yang boleh<br />

dipergunakan”.<br />

2 Ibid, hal. 2.<br />

3 Ibid, hal. 232.<br />

4 Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, cetakan ketiga revisi,<br />

Citra Aditya Bakti, 2002, Bandung, hal.214.<br />

3


Upaya hukum dalam acara perdata pada umumnya terdapat upaya<br />

hukum biasa berupa perlawanan, banding, kasasi dan upaya hukum luar<br />

biasa berupa derden verzet dan peninjauan kembali. Perkara perdata niaga<br />

maupun HKI (Hak Kekayaan Intelektual) tidak dikenal upaya hukum banding<br />

hal ini termaktub dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Undang-undang<br />

Kepailitan Nomor 37 tahun 2004, sehingga dalam perkara niaga hanya dapat<br />

dilakukan upaya hukum biasa berupa kasasi, serta upaya hukum luar biasa<br />

yang dapat berupa peninjaun kembali sedangkan upaya hukum perlawanan<br />

atau verzet hanya dikenal dalam bentuk yang lain.<br />

Kasasi diharapkan dapat menjadi jawaban yang memuaskan para<br />

pihak, karena kasasi terbatas pada pemeriksaan terhadap penerapan hukum<br />

dan peraturan perundang-undangan terhadap suatu kejadian, sehingga dapat<br />

dilihat apakah dalam putusan sebelumnya telah melanggar hukum atau tidak<br />

dengan harapan dapat memberikan putusan yang memenuhi unsur kepastian<br />

hukum, keadilan dan kemanfaatan. Adapun apabila suatu pengadilan negeri<br />

menurut Mahkamah Agung salah menerapkan suatu hukum atau peraturan<br />

perundang-undangan maka putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi<br />

tersebut dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung. 5<br />

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang-undang Nomor 5<br />

Tahun 2004 Pasal 30 ayat (1) tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan<br />

secara limitatif alasan-alasan pemohon kasasi yaitu:<br />

1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang<br />

5 K.Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hal.143.<br />

4


2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku<br />

3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-<br />

undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang<br />

bersangkutan.<br />

Undang-undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan<br />

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan<br />

dari Undang-undang Nomor 48 tahun 1998. Undang-undang tersebut perlu<br />

dikeluarkan karena perkembangan perekonomian yang semakin pesat<br />

sehingga semakin banyak permasalahan utang piutang yang timbul di<br />

masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian masalah utang<br />

piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Penyelesaian perkara<br />

kepailitan dilangsungkan dengan jangka waktu yang pasti, melalui suatu<br />

badan peradilan khusus yakni pengadilan niaga.<br />

Seseorang atau suatu badan hukum yang mengajukan permohonan<br />

pernyataan pailit, harus mengetahui syarat-syarat kepailitan yang termaktub<br />

dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 2004, apabila<br />

permohonan pernyataan Pailit tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka<br />

permohonan pailit tidak akan dikabulkan oleh pengadilan niaga. Pasal 2 ayat<br />

(1) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 yaitu:<br />

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak<br />

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo waktu<br />

dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik<br />

atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih<br />

krediturnya”.<br />

5


Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan<br />

mengadili Perkara perdata dengan Nomor Register Perkara<br />

27/Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 pada tanggal 21<br />

April 2009 telah menjatuhkan putusan atas permohonan pailit yang diajukan<br />

oleh Tomy Bungaran cs sebagai Pemohon Pailit terhadap PT.Interkon Kebun<br />

Jeruk cs, Octavia Widyastuti Alim cs, Eddy Yuwono cs dan Rainford<br />

Investment cs sebagai Termohon Pailit. PT.Interkon Kebon Jeruk dianggap<br />

lalai memenuhi isi Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan berdasarkan<br />

putusan Nomor 027/ Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 Jo<br />

Nomor 019 PK/N/2006 tertanggal 29 April 2010 (terlampir, Bukti P-2).<br />

Bahwa Putusan Nomor 03/Pembatalan Perjanjian Perdamaian/<br />

2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 28 Juli 2010 Hakim Pengadilan Negeri Niaga<br />

Jakarta Pusat menjatuhkan Putusan terhadap PT. Interkon Kebun Jeruk<br />

dalam salah satu amarnya adalah membatalkan perjanjian perdamaian yang<br />

telah disahkan dalam Putusan Nomor 27/Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo<br />

Nomor21 K/N/2006 jo Nomor 19 PK/N/2006 tanggal 21 April 2009 dan<br />

menyatakan Termohon PT.Interkon Kebun Jeruk (d/h PT. Intercon<br />

Enterprise) pailit dengan segala akibat hukumnya. Setelah dinyatakan Pailit<br />

pihak PT. Interkon Kebun Jeruk cs, Octavia Widyastuti Alim cs, Eddy<br />

Yuwono cs dan Rainford Investment cs mengajukan permohonan kasasi ke<br />

Mahkamah Agung, dengan alasan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri<br />

Niaga Jakarta Pusat telah melakukan beberapa kesalahan penerapan hukum<br />

dan melanggar peraturan yang berlaku, para pemohon kasasi sangat keberatan<br />

6


terhadap putusan pailit untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan oleh karena itu<br />

menolak dengan tegas-tegas putusan judex facti tersebut. Mahkamah Agung<br />

atas permohonan kasasi tersebut telah menjatuhkan putusan yang isinya<br />

menolak permohonan kasasi.<br />

Berdasarkan hal-hal yang duraikan dalam latar belakang tersebut<br />

penulis tertarik untuk meneliti dan menulis Skripsi Putusan Mahkamah<br />

Agung mengenai ditolaknya permohonan kasasi dengan judul: “<br />

PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA<br />

KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771<br />

K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)”.<br />

B. Perumusan Masalah<br />

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu:<br />

1. Bagaimana penerapan hukum hakim Mahkamah Agung dalam menolak<br />

permohonan kasasi perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara<br />

Perdata khusus Kepailitan?<br />

2. Bagaimana akibat hukum kasasi yang ditolak dalam perkara Nomor 771<br />

K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara Perdata khusus Kepailitan?<br />

C. Tujuan Penelitian<br />

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah:<br />

7


1. Mengetahui penerapan hukum Mahkamah Agung dalam menolak<br />

permohonan kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam<br />

perkara perdata khusus kepailitan.<br />

2. Mengetahui akibat hukum penolakan permohonan kasasi pada putusan<br />

Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam perkara perdata khusus kepailitan.<br />

D. Kegunaan Penelitian<br />

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun<br />

secara praktis sebagai berikut:<br />

1. Kegunaan Teoritis<br />

Secara teoritis diharapkan dapat memberikan manfaat dan pengetahuan<br />

lebih mendalam terkait proses beracara dalam kasus kepailitan.<br />

2. Kegunaan Praktis<br />

Secara praktis diharapkan dapat menjadi wacana mengenai ilmu hukum<br />

khusunya hukum acara perdata khusus kepailitan bagi hakim dalam<br />

menjatuhkan suatu putusan.<br />

8


A. KEPAILITAN<br />

BAB II<br />

TINJAUAN PUSTAKA<br />

1. Pengertian dan Pengaturan Kepailitan<br />

Definisi kepailitan secara yuridis terdapat dalam ketentuan Pasal 1<br />

angka 1 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan<br />

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu:<br />

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit<br />

yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di<br />

bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam<br />

undang-undang ini”.<br />

Menurut tata Bahasa Indonesia, kepailitan berarti segala hal yang<br />

berhubungan dengan pailit. 6 Kepailitan adalah eksekusi massal yang<br />

ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan<br />

melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit,<br />

baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama<br />

kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur yang dilakukan<br />

dengan pengawasan pihak yang berwajib. Menurut Kartono kepailitan adalah<br />

suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang yang<br />

6 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT. Raja Grafindo<br />

Persada, Jakarta, 2002, hal.83.<br />

9


erutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang yang<br />

berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu debitur dinyatakan pailit<br />

mempunyai piutang dan untuk jumlah utang yang masing-masing kreditur<br />

miliki saat itu. 7 Menurut Siti Soemantri Hartono dalam bukunya Pengantar<br />

<strong>Hukum</strong> Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Kepailitan adalah suatu<br />

lembaga dalam <strong>Hukum</strong> Perdata Eropa, sebagai realisasi dari dua asas pokok<br />

dalam <strong>Hukum</strong> Perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132<br />

Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Perdata. 8<br />

2. Persyaratan untuk dinyatakan Pailit<br />

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 menyebutkan<br />

syarat kepailitan adalah sebagai berikut:<br />

a. Syarat paling sedikit harus ada 2 (dua) Kreditur<br />

Menurut Pasal. 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, salah satu<br />

syarat yang harus dipenuhi ialah debitur harus mempunyai dua kreditur<br />

atau lebih. Undang-undang ini hanya memungkinkan seorang debitur<br />

dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur.<br />

Syarat mengenai adanya minimal dua atau lebih kreditur dikenal sebagai<br />

concursus creditorium. 9<br />

Persyaratan pertama yang mensyaratkan debitur harus mempunyai<br />

lebih dari seorang kreditur ini selaras dengan ketentuan Pasal 1132 KUH<br />

Perdata yang menentukan pembagian secara teratur semua harta pailit<br />

7<br />

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Pradnya Paramita, Jakarta, 1973, hal.7.<br />

8<br />

Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Penghantar <strong>Hukum</strong> Kepailitan di Indonesia.<br />

Rineka Citra, Jakarta, 1993, hal.20.<br />

9<br />

Sutan Remy Sjahdeny, <strong>Hukum</strong> Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal.64.<br />

10


kepada para krediturnya, yang dilakukan berdasarkan prinsip pari passu<br />

proprate parte. Adapun dalam hal ini yang dipersyaratkan bukan berapa<br />

besar piutang yang mesti ditagih oleh seorang kreditur dari debitur yang<br />

bersangkutan, melainkan berapa banyak orang yang menjadi kreditur dan<br />

debitur yang bersangkutan dan berapa banyak orang yang menjadi kreditur<br />

dari debitur yang bersangkutan. Bahwa disyaratkan debitur minimal yang<br />

mempunyai utang kepada dua orang kreditur. 10<br />

b. Syarat adanya Utang<br />

Pasal 1 angka 6 Undang-undang Kepailitan telah dirumuskan<br />

mengenai utang, yaitu:<br />

“Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah<br />

uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing,<br />

baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari<br />

atau kontijen, yang timbul karena perjanjian dari undang-undang<br />

dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi<br />

memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari<br />

harta kekayaan debitur”.<br />

Para pihak yang mengajukan permohonan pailit harus dapat<br />

membuktikan bahwa debitur mempunyai utang kepadanya. Para pihak<br />

yang dimaksud ialah (penasihat hukum) dari kreditur, (penasihat hukum<br />

dari) debitur, dan Majelis Hakim yang memeriksa permohonan itu, baik<br />

Majelis Hakim pengadilan niaga, Majelis Hakim kasasi, maupun Majelis<br />

Hakim peninjauan kembali. 11<br />

Menurut Volmar dan Zeylemaker, bahwa hakim-lah yang harus<br />

menentukan ada atau tidak adanya keadaan berhenti membayar utang,<br />

10<br />

Rachmadi Usman, Dimensi <strong>Hukum</strong> Kepailitan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,<br />

Jakarta, 2004. hal.15.<br />

11<br />

Sutan Remy Sjahdeny, OP.Cit, hal. 68.<br />

11


ketika mereka tidak menjelaskan lebih lanjut ukuran apa yang dipakai oleh<br />

hakim untuk menentukan kapan debitur berada dalam keadaan berhenti<br />

membayar, dan oleh karena itu dapat dijatuhi putusan pailit. 12<br />

c. Salah satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih<br />

Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih telah<br />

dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yaitu kewajiban untuk<br />

membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan,<br />

karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya<br />

sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh<br />

instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau<br />

majelis arbitrase. Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat<br />

ditagih menunjukan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut<br />

debitur untuk memenuhi prestasinya. 13<br />

3. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Permohonan Kepailitan<br />

Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah<br />

pihak pemohon pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk<br />

mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa<br />

disebut sebagai pihak penggugat. 14 Menurut Pasal 2 Undang-Undang<br />

Nomor 37 Tahun 2004 pihak-pihak dapat mengajukan permohonan<br />

kepailitan adalah:<br />

a. Debitor itu sendiri;<br />

12 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, OP.Cit, hal. 39.<br />

13 Jono, <strong>Hukum</strong> Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.11.<br />

14 Munir Fuadi, <strong>Hukum</strong> Pailit dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,<br />

1999, hal.35.<br />

12


. Satu atau lebih kreditor;<br />

c. Kejaksaan untuk kepentingan umum;<br />

d. Bank Indonesia, dalam hal debitornya adalah Bank;<br />

e. Bapepam, dalam hal debitornya adalah Perusahaan Efek, Lembaga<br />

Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;<br />

f. Menteri Keuangan, dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi,<br />

perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara<br />

yang bergerak di bidang kepentingan publik.<br />

4. Proses Permohonan dan Putusan Pernyataan Pailit<br />

Proses permohonan dan putusan pernyataan pailit diatur dalam<br />

Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-undang Kepailitan. Prosesnya<br />

dapat dijelaskan sebagai berikut:<br />

a. Tahap Pendaftaran Permohonan Pernyataan Pailit<br />

Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada ketua<br />

pengadilan niaga. Panitera pengadilan niaga wajib mendaftarkan<br />

permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan<br />

diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang<br />

ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama<br />

dengan tanggal pendaftaran.<br />

b. Tahap Pemanggilan Para Pihak<br />

Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita<br />

melakukan pemanggilan para pihak, antara lain:<br />

13


1) Wajib memanggil Debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit<br />

diajukan oleh Kreditur, Kejaksaan, Bapepam, atau Menteri<br />

Keuangan;<br />

2) Dapat memanggil Kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit<br />

diajukan oleh Debitur (voluntary petition) dan terdapat keraguan<br />

bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud<br />

dalam Pasal. 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan telah terpenuhi.<br />

Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat<br />

paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksaan pertama<br />

diselenggarakan.<br />

c. Tahap Persidangan atas Permohonan Pernyataan Pailit<br />

Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggla permohonan<br />

pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan<br />

menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut<br />

diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah<br />

tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan Debitur dan<br />

berdasarkan alasan yang cukup seperti adanya surat keterangan sakit<br />

dari dokter, Pengadilan dan dapat menunda penyelenggaraan sidang<br />

pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal<br />

permohonan didaftarkan.<br />

Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dinyatakan bahwa<br />

selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan,<br />

14


setiap kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri<br />

Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk:<br />

1) Meletakan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan<br />

Debitur; atau<br />

2) Menunjukan Kurator sementara untuk mengawasi:<br />

a) Pengelolaan usaha Debitur; dan<br />

b) Pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau pengagunan<br />

kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang<br />

kreditur.<br />

d. Tahap Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit<br />

Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit harus<br />

diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyatan<br />

pailit didaftarkan. Waktu 60 hari (2 bulan) yang cukup singkat<br />

merupakan suatu perwujudan atas asas peradilan yang bersifat cepat,<br />

murah, dan sederhana. Dahulu dalam Undang-undang Nomor 48 tahun<br />

1998 lebih cepat lagi, yaitu hanya dalam waktu 30 hari (1 bulan),<br />

pengadilan sudah harus memberikan putusan atas permohonan<br />

pernyataan pailit. Adapun dengan pertimbangan yang rasional, Undang-<br />

undang Kepailitan memberikan batasan, yaitu 2 (dua) bulan di mana<br />

pengadilan wajib memberikan putusan, terhitung sejak tanggal<br />

permohonan pernyataan pailit didaftarkan.<br />

Putusan atas permohonan pernyataan pailit wajib diucapkan dalam<br />

sidang terbuka untuk umum dan wajib memuat secara lengkap<br />

15


pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut serta memuat<br />

pula:<br />

1) Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan<br />

dan/atau sumber hukum atau tak tertulis yang dijadikan dasar untuk<br />

mengadili; dan<br />

2) Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota<br />

atau ketua majelis.<br />

Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit<br />

wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada<br />

Debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit,<br />

Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah<br />

tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan. 15<br />

5. Akibat <strong>Hukum</strong> Putusan Pailit<br />

Akibat kepailitan diatur dalam Pasal. 21 Undang-Undang Kepailitan<br />

yaitu meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan<br />

pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.<br />

Kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan<br />

segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang<br />

telah dimasukan ke dalam harta pailit.<br />

Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan dan bukan mengenai<br />

perorangan debitur, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan yang<br />

15 Jono, OP.Cit. hal. 87-91<br />

16


lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouderlijke<br />

macht).<br />

Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur. Debitur<br />

tidak berada di bawah pengampuan. Debitur tidaklah kehilangan<br />

kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum itu menyangkut<br />

dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan<br />

dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Diperolehnya itu<br />

kemudian menjadi bagian dari harta pailit. 16 Debitur pailit tetap<br />

berwenang bertindak sepenuhnya, akan tetapi tindakan-tindakannya<br />

tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita. 17<br />

Menurut Pasal 24 Undang-Undang Kepailitan, dengan<br />

pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk<br />

menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam<br />

kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk<br />

kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri. Pasal 69 ayat (1)<br />

menerangkan bahwa kuratorlah yang berwenang melakukan pengurusan<br />

dan pemberesan harta pailit, kurator kehilangan hak menguasai harta<br />

yang masuk dalam kepailitan, dan tidak kehilangan hak atas harta<br />

kekayaan yang berada di luar kepailitan. Tentang harta pailit, lebih<br />

lanjut dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan menerangkan bahwa<br />

harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada pada saat<br />

16 Sutan Remy Sjahdeny, OP.Cit, hal.257.<br />

17 Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan<br />

Harta Pailit, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004. hal.44.<br />

17


pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang diperolehnya<br />

selama kepailitan.<br />

6. Pembuktian Sederhana<br />

Membuktikan, menurut Subekti adalah meyakinkan hakim<br />

tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu<br />

persengketaan. Pada dasarnya, esensi pembuktian adalah untuk<br />

menentukan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak yang<br />

berperkara, meliputi kejadian atau peristiwa serta suatu hak yang<br />

didalilkan oleh para pihak, dan menjadi objek perselisihan. 18 Pasal 163<br />

HIR menyatakan:<br />

“Barangsiapa yang menyatakan mempunyai barang sesuatu hak,<br />

atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya<br />

itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus<br />

membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.<br />

Mengenai beban pembuktian dan alat-alat bukti dalam hukum<br />

acara pada Pengadilan Niaga tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 37<br />

Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Perpu Nomor 1<br />

Tahun 1998), kecuali dalam hal gugatan Actio Paulina. Pembuktian<br />

sederhana merupakan syarat yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-<br />

undang Nomor 37 Tahun 2004 jo Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor<br />

4 Tahun 1998 jo Perpu Nomor 1998, yang menyatakan:<br />

“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila<br />

terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana<br />

18 Aria Syudi dkk, Analisis Kepailitan Indonesia (Kepailitan di Negeri Pailit), PSHK,<br />

Jakarta, 2003, hal.147.<br />

18


ahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana<br />

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.<br />

Terkait yang dimaksud dengan “Fakta atau keadaan yang<br />

terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan<br />

fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Perbedaan besarnya<br />

jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon dan termohon pailit tidak<br />

menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.<br />

Penjelasan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Nomor 37 Tahun<br />

2004 tersebut diatas, dapat diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan<br />

pembuktian sederhana adalah pembuktian mengenai:<br />

a. Eksistensi dari satu utang debitur yang dimohonkan kepailitan yang telah<br />

jatuh tempo; dan<br />

b. Eksistensi dari dua atau lebih kreditur dari debitur yang dimohonkan<br />

kepailitan.<br />

Pembuktian sederhana dalam memutuskan permohonan<br />

pernyataan pailit terdapat dalam Faillissement verordening, Undang-<br />

undang Nomor 4 Tahun 1998, dan Undang-undang Nomor 37 Tahun<br />

2004. Faillissement verordening menentukan pembuktian sederhana<br />

dilakukan terhadap adanya peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan<br />

yang menunjukan debitur berada dalam keadaan telah berhenti<br />

membayar utang-utangnya, dan jika permohonan pernyataan pailit<br />

diajukan oleh seorang kreditur, maka terdapat hak penagihan dari<br />

kreditur ini.<br />

19


Pendapat yang berkembang berkaitan dengan pembuktian<br />

sederhana pada masa Faillissement verordening antara lain pembuktian<br />

tentang debitur dalam keadaan berhenti membayar harus dilakukan<br />

secara sederhana (summier). Artinya, Pengadilan di dalam memeriksa<br />

permohonan pernyataan pailit tidak perlu terikat dengan sistem<br />

pembuktian dan alat-alat bukti yang ditentukan dalam hukum acara<br />

perdata. 19<br />

7. Pengadilan Niaga dan Yurisdiksinya<br />

Pembentukan Pengadilan Niaga untuk memeriksa perkara-<br />

perkara Kepailitan, dan juga kelak perkara-perkara perniagaan lainnya<br />

berdasarkan peraturan pemerintah, didasarkan atas pertimbangan<br />

kecepatan dan efektivitas. Perkara-perkara kepailitan menurut Undang-<br />

undang Kepailitan ditentukan jangka waktu pemeriksaan di tingkat<br />

pengadilan niaga, di tingkat kasasi, maupun di tingkat peninjauan kembali.<br />

Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap<br />

putusan pengadilan niaga dalam perkara kepailitan adalah langsung kasasi<br />

ke Mahkamah Agung tanpa upaya banding melalui pengadilan tinggi,<br />

dengan demikian perkara Kepailitan akan berjalan lebih cepat bila<br />

dibandingkan dengan pemeriksaan perkara biasa di pengadilan negeri. 20<br />

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-undang<br />

Nomor 37 Tahun 2004 termasuk ke dalam hukum materil, namun bila<br />

19 Siti Anisah, Perlindungan dan Kepentingan Kreditur dan Debitur dalam hukum kepailitan<br />

di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008, hal. 127-128<br />

20 Sutan Remy Sjahdeini, OP.Cit. hal. 149.<br />

20


dipelajari seluruhnya maka akan diketahui bahwa sebagian besar dari<br />

Pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan hukum formil yang berisi<br />

pengaturan proses pengajuan permohona kepailitan dan penundaan<br />

kewajiban pembayaran utang bahkan proses upaya hukumnya dari tingkat<br />

kasasi sampai peninjauan kembali. Salah satu hal baru yang terdapat dalam<br />

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-undang Nomor 37<br />

Tahun 2004 tidak dijumpai dalam Faillisements Verordening Stb. 1905<br />

Nomor 217 jo Stb 1906 Nomor 348 adalah tentang pengadilan niaga.<br />

Pengadilan Niaga. Pembentukan pengadilan niaga ini menunjukan bahwa<br />

perkembangan sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami<br />

peningkatan yang cukup berarti, darisegi struktur organisasi, kedudukan<br />

pengadilan niaga merupakan bagian khusus di dalam lingkungan peradilan<br />

umum.<br />

Pembentukan pengadilan niaga ini merupkan langkah diferensial<br />

atas peradilan umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan<br />

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35<br />

Tahun 1999 dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004<br />

Undang-Undang tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan niaga<br />

tersebut bukanlah merupakan pengadilan baru sebagai tambahan<br />

pengadilan yang telah ada seperti dimaksud dalam Pasal 10 Undang-<br />

undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok<br />

Kehakiman sebagaimana sudah diubah dengan Undang-undang Nomor 35<br />

Tahnun 1999 dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004<br />

21


yang meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan<br />

PTUN. Penjelasan Pasal 10 tersebut menyebutkan juga bahwa perbedaan<br />

dalam empat lingkungan peradilan tidak menutup kemungkinan adanya<br />

pengkhususan dilingkungan Peradilan Umum yang diatur dalam Undang-<br />

undang.<br />

Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini, peradilan<br />

khusus yang disebut pengadilan niaga tersebut akan khusus bertugas<br />

menangani permintaan pernyataan Kepailitan. Keberadaan lembaga ini<br />

akan diwujudkan secara bertahap, begitu pula dengan lingkup tugas dan<br />

kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan atau<br />

diperluas dari waktu ke waktu. Semuanya akan dilakukan dengan<br />

mempertimbangkan tingkat kebutuhan, dan ada yang penting lagi, tingkat<br />

kemampuan serta ketersediaan sumber daya yang akan mendukungnya.<br />

Adapun untuk mengetahui landasan yuridis pembentukan<br />

pengadilan niaga dalam hubungannya dengan peraturan perundang-<br />

undangan yang telah ada dapat diuraikan di bawah ini:<br />

1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan<br />

Pokok Kekuasaan Kehakiman yang dalam Pasal 10 Ayat (1) menetukan<br />

bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan Umum dalam<br />

lingkungan:<br />

a. Peradialan Umum;<br />

b. Peradilan Agama;<br />

c. Peradilan Militer;<br />

22


d. Peradilan Tata Usaha Negara.<br />

Pasal 13 menetukan bahwa: “Badan-badan Peradilan Khusus<br />

disamping Badan-badan Peradilan yang sudah ada hanya dapat<br />

diadakan dengan Undang-Undang’.<br />

2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum<br />

(UUPU):<br />

Pasal 1 Ayat (1) UPPU menetukan bahwa: “Pengadilan adalah<br />

Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di lingkungan Peradilan<br />

Umum.”<br />

Pasal 3 UUPU menentukan bahwa: “Kekuasaaan Kehakiman di<br />

Lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh:<br />

a. Pengadilan Negeri;<br />

b. Pengadilan Tinggi.<br />

Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Umum<br />

berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Peradilan Tertinggi. Pasal 8<br />

UUPU menentukan bahwa: “Di Lingkungan Peradilan Umum dapat<br />

diadakan pengkhususan yang diatur Undang-undang”. Dalam penjelasan<br />

Pasal 8 UUPU menyebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan “diadakan<br />

pengkhususan” ialah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan<br />

Peradilan Umum, misalnya pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak dan<br />

Pengadilan Ekonomi”. Terkait dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun<br />

1998 diatur terbentuknya Pengadilan Niaga yang merupakan Pengadilan<br />

Khusus di lingkungan Peradilan Umum.<br />

23


Ketentuan Pasal 300 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004<br />

secara tegas menentukan:<br />

(1) Pengadilan sebagaiman dimaksud dalam Undang-undang ini, selain<br />

memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU,<br />

berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang<br />

perniagaan yang penetapnnya dilakukan dengan Undang-undang.<br />

(2) Pembentukan Pengadilan sebagaiman dimaksud pada ayat (1)<br />

dilakukakan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan<br />

memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumberdaya yang diperlukan.<br />

Tujuan utama dibentuknya pengadilan niaga ini adalah agar<br />

dapat menjadi sarana hukum bagi penyelesaian utang piutang diantara para<br />

pihak yaitu debitur dan kreditur secara cepat, adil, terbuka dan efektif,<br />

sehingga dengan demikian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan<br />

usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya. Adapun selain itu<br />

sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam<br />

proses penyelesaian utang-piutang swasta.<br />

Berlakunya Undang-undang Kepailitan Tahun 1998 telah<br />

memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari pengadilan umum untuk<br />

memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan pengadilan niaga<br />

sebagai pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima<br />

Permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang<br />

(PKPU). Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa<br />

gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara<br />

24


formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak<br />

Pengadilan lain. Pengadilan niaga selain memeriksa dan memutuskan<br />

permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan<br />

memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya<br />

dilakukan dengan Undang-undang.<br />

Pasal 300 ayat (1) di atas memberikan kekuasaan kepada<br />

pengadilan niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara lain dibidang<br />

perniagaan selain perkara Kepailitan dan PKPU, akan tetapi tidak terdapat<br />

penjelasan apa yang dimaksud dengan perkara lain di perniagaan tersebut,<br />

hal ini disebabkan undang-undang yang mengatur hal tersebut, hal ini<br />

disebabkan undang-undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Dengan<br />

demikian, undang-undang yang mengatur hal tersebut kelak, hendaknya<br />

harus jelas bidang-bidang perniagaan apa saja yang menjadi kewenangan<br />

yurisdiksi dalam mengadili antara pengadilan niaga dengan pengadilan<br />

negeri.<br />

Undang-undang dibidang HAKI secara tegas menentukan<br />

bahwa perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di<br />

pengadilan niaga. Hal ini berarti, bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga<br />

selain menyelesaiakan sengketa-sengketa di bidang Kepailitan dan PKPU,<br />

juga menyelesaikan sengketa di bidang HAKI. Untuk pertama kali dengan<br />

undang-undang ini, Pengadilan niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri<br />

Jakarta Pusat. Pembnetukan pengadilan niaga dilakukan secara bertahap<br />

dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan<br />

25


kesiapan sumberdaya yang diperlukan. Sebelum pengadilan niaga<br />

terbentuk, semua perkara menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga<br />

diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.<br />

bahwa:<br />

Pasal 306 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menegaskan<br />

“Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang<br />

dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Perpu Nomor<br />

1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4<br />

Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan<br />

memutus perkara yang menjadi lingkup tugas pengadilan niaga.<br />

Pada tahap permulaan pembentukan Pengadilan Niaga saat ini,<br />

kewenangan mengadili (kompetensi absolut) hanyalah meliputi<br />

pemeriksaan dan pemutusan perkara Permohonan Kepailitan<br />

dan PKPU saja, dan untuk pertama sekali pengadilan niaga<br />

dibentuk pada tanggal 20 Agustus 1998 di Pengadilan Negeri<br />

Jakarta Pusat”.<br />

Proses pemeriksaan perkara Kepailitan, Pasal 301 Undang-<br />

undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan:<br />

(1) Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama<br />

dengan majelis hakim;<br />

(2) Terkait dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan<br />

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 ayat (1), Ketua Mahkamah<br />

Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada Tingkat<br />

Pertama diperiksa dan diputus oleh Hakim Tunggal.<br />

(3) Menjalankan tugasnya, hakim pengadilan dibantu oleh seorang<br />

Panitera atau seorang Panitera Pengganti dan Jurusita.<br />

Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan penyelesaian<br />

perkara kepailitan adalah tentang keenangan pengdilan antara<br />

26


pengadilan niaga dengan peradilan negeri. Berdasarkan cetak biru<br />

pengadilan niaga, maka terungkap bahwa sebenarnya proses kepailitan<br />

di pengadilan niaga tidak efektif. Hal ini terjadi, karena sering kali ada<br />

perkara-perkara kepailitan yang ternyata menimbulkan persinggungan<br />

antara pengadilan negeri dengan pengadilan niaga. Persinggungan ini<br />

terjadi, misalnya saja ada perusahaan yang sudah dinyatakan pailit dan<br />

seharusnya berdasarkan undang-undang kepailitan dikelola oleh<br />

kurator, ternyata masih bisa mengajukan gugatan ke pengadilan<br />

negeri. Hal ini dianggap aneh karena seharusnya, perkara tersebut<br />

menjadi kompetensi Pengadilan Niaga dan bukan Pengadilan Negeri.<br />

Adapun untuk mencegah terjadi persinggunagn perlu ada<br />

mekanismenya. Pasalanya, selama ini bila ada perkara-perkara<br />

kepailitan dan HAKI yang diajukan ke pengadilan negeri tidak ada<br />

mekanisme pencegahannya. Berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan<br />

Kehakiman, hakim tidak boleh mneolak perkara dengan alasan tidak<br />

ada dasar hukumnya, selain menangani perkara kepailitan dan PKPU,<br />

serta perkara-perkara di bidang perniagaan lainnya, pengadilan niaga<br />

berwenang menangani perkara permohonan pernyataan pailit dari para<br />

pihak yang terikat perjanjian yang memuat kalusula Arbitrase. Hal ini<br />

ditegaskan dalam Pasal 303 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004<br />

yang menentukan bahwa:<br />

“Pengadilan berwenang memeriksa dan menyelesaikan<br />

Permohonan Pernyataan Pailit dari para pihak yang terikat<br />

perjanjian yang memuat kalusula Arbitrase, sepanjang utang<br />

yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah<br />

27


memnuhi ketentuan sebagiaman yang dimaksud dalam Pasal 2<br />

Ayat (1) Undang-Undang ini”.<br />

Penjelasan Pasal 303 kembali menegaskan tentang kewenangan<br />

Pengadilan Niaga terhadap perjanjian yang memuat klausula<br />

Arbitrase, yaitu bahwa ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk<br />

memberi penegasan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang<br />

memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para<br />

pihak, sekalipun perjanjian utang piuatang yang mereka buat memuat<br />

klausula Arbitrase. Pada tanggal 18 Agustus 1999, keluarlah PP<br />

Nomor 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada<br />

Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan,<br />

Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang PP<br />

Nomor 97 Tahun 1999 dalam Pasal 1 menetukan: “Membentuk<br />

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan<br />

Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri<br />

Semarang.” Pasal 2 menetukan tentang wilayah hukum Pengadilan<br />

Niaga yang meliputi:<br />

(1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri ujung<br />

Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi<br />

Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian<br />

Jaya.<br />

(2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan<br />

meliputi: Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera<br />

Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.<br />

28


(3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri<br />

Surabaya meliputi: Wilayah Propinsi Jawa Timur, Bali, Nusa<br />

Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.<br />

(4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri<br />

Semarang meliputi: Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah<br />

Istemewa Yogyakarta.<br />

Selanjutnya Pasal 4 menentukan tentang sengketa yang menjadi<br />

kewenangan Pengadilan Niaga meliputi:<br />

(1) Sengketa di bidang perniagaan yang termasuk lingkup<br />

kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri,<br />

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan<br />

Presiden ini ditetapkan telah diperiksa tetapi belum diputus oleh<br />

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akan<br />

tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga pada<br />

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.<br />

(2) Sengketa di bidang perniagaan yang termasuk lingkup<br />

kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri,<br />

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan<br />

Presiden ditetapkan telah diajukan tetapi belum diperiksa oleh<br />

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,<br />

dilimpahkan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri<br />

Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri<br />

Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang sesuai dengan daerah<br />

29


hukum masing-masing Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud<br />

dalam Pasal 2.<br />

Khusus untuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Pasal 5<br />

menentukan tentang daerah hukumnya, yakni pada saat berlakunya<br />

Keputusan Presiden ini, maka daerah hukum Pengadilan Niaga pada<br />

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi Wilayah Daerah Khusus<br />

Ibukota Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung,<br />

dan Kalimantan Barat. Hakim pengadilan niaga diangkat berdasarkan<br />

keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat-syarat untuk dapat<br />

diangkat sebagai hakim sebagai hakim sebagaimana dimaksud pada<br />

ayat (1), adalah:<br />

a. Telah berpengalaman sebagai Hakim dalam lingkungan Peradilan<br />

Umum;<br />

b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang<br />

masalah-masalah yang menjadi lingkup keenangan Pengadilan;<br />

c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan<br />

d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai<br />

Hakim pada Pengadilan.<br />

Tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada<br />

Pasal 302 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan Keputusan<br />

Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang<br />

yang ahli, sebagai Hakim Ad Hoc, baik pada tingkat pertama, kasasi<br />

30


maupun pada peninjauan kembali (Pasal 302 Undang-undang Nomor<br />

37 Tahun 2004).<br />

Hakim-hakim yang bertugas di pengadilan niaga terdiri dari 2<br />

(dua) macam, yaitu:<br />

a. Hakim Tetap, yaitu para Hakim yang diangkat berdasarkan Surat<br />

Keputusan Mahkamah Agung untuk menjadi hakim pengadilan<br />

niaga,<br />

b. Hakim Ad Hoc, yaitu hakim ahli yang diangkat khusus dengan<br />

suatu Keputusan Presiden untuk pengadilan niaga di Tingkat<br />

Pertama.<br />

Pengangkatan Hakim Ad Hoc dikatakan dengan alasan yang<br />

cukup mendasar, yaitu untuk membantu meringankan beban-beban<br />

hakim pengadilan niaga dalam menghadapi perkara-perkara/masalah-<br />

masalah hukum yang berkaitan dengan transaksi-transaksitertentu.<br />

Selama ini pembahasan tentang peranan hakim Ad Hoc terpusat pada<br />

peranannya dalam memutuskan permohonan perkara Kepailitan.<br />

Mengembalikan kepercayaan Kreditur Asing dalam proses<br />

penyelesaian utang-piutang swasta, selain direvisinya Fv, dan<br />

dibentuknya Pengadilan Niaga, juga diintrodusir Hakim Ad Hoc untuk<br />

dapat menjadi bagian dari Majelis Hakim yang memeriksa suatu<br />

perkara di Pengadilan Niaga. Ide awal keterlibatan Hakim Ad Hoc di<br />

pengadilan niaga didasarkan pada penilaian atau asumsi beberapa<br />

pihak bahwa pengetahuan “Hakim Karir” cenderung bersifat umum<br />

31


(generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada<br />

lingkup niaga diperlukan Hakim dalam keahlian khusus, di luar dari<br />

“Hakim Karir” yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk<br />

menjadi “Hakim Niaga”.<br />

Pengangkatan Hakim Ad Hoc dalam Kepailitan ditentukan dalam<br />

Undang-undang Nomor 4 tahun 1998, yang kemudian dikuatkan<br />

kembali dengan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.<br />

Selama berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 yang<br />

kemudian disempurnakan oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun<br />

2004, Pengangkatan Hakim Ad Hoc di pengadilan niaga telah<br />

dilakukan 2 (dua) kali, yakni melalui 2 (dua) buah Keppres. Pertama,<br />

Keppres Nomor. 4 (empat) orang Hakim Ad Hoc untuk masa jabatan 3<br />

(tiga) tahun. Kedua, Keppres Nomor 108/M/2000, berisikan<br />

pengangkatan 9 (sembilan) Hakim Ad Hoc. Penempatan Hakim Ad<br />

Hoc dalam Majelis Hakim adalah berdasarkan penunjukan dari hakim<br />

ketua pengadilan niaga pada pengadilan niaga yang bersangkutan,<br />

dengan terlebih dahulu adanya permohonan dari salah satu pihak yang<br />

berperkara (pemohon pailit).<br />

Konsekuensi dari sifat fakultatif sebagaimana tercantum dalam<br />

Pasal 283 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, maka bila<br />

tidak ada permintaan dari pihak tersebut, maka Hakim Ad Hoc tidak<br />

bertugas. Kondisi inilah yang antara lain mengakibatkan sistem<br />

Hakim Ad Hoc tidak bekerja. Sesuai dengan ketentuan Pasal 303 ayat<br />

32


(3), maka persyaratan pengangkatan seorang sebagai Hakim Ad Hoc<br />

yang membedakan dengan Hakim Pengadilan Niaga yang lain adalah<br />

Hakim Ad Hoc tersebut haruslah seorang “Ahli”. Jadi, berdasarkan<br />

usulan dari Ketua Mahkamah Agung melalui Keppres, maka di<br />

Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang Ahli sebagai Hakim<br />

Ad Hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama dengan “Hakim<br />

Niaga” atau “Hakim Karir”, seperti mempunyai kemampuan<br />

pengetahuan di bidang masalah yang menjadi lingkup kewenngan<br />

Pengadilan Niaga, dan persyaratan lain, harus tetap dipenuhi.<br />

Menurut Paulus Efendi Lotulung menyebutkan beberapa<br />

kemungkinan pengangkatan Hakim Ad Hoc (Sebagai Hakim<br />

Pengawas atau Hakim Majelis) adalah:<br />

(1) Atas permohonan para pihak, baik langsung maupun dengan<br />

penetapan Ketua Pengadilan Niaga, yang selayaknya diberikan<br />

jika wajar (should not be reasonably),<br />

(2) Hanya dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga atas<br />

kewenangan sendiri.<br />

Tentunya pilihan pertama lebih dapat diterima, karena cukup<br />

terdapat check and balance.biaya atau imbalan bagi Hakim Ad Hoc<br />

tersebut, jika perlu tambahan dapat diambil dari harta pailit. Dalam<br />

ketentuan akhirnya, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur<br />

tentang ketentuan peralihan yang dimulai dari Pasal 304 Undang-<br />

undang Kepailitan.<br />

33


ahwa:<br />

Pasal 304 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menetukan<br />

a. Sudah diperiksa dan diputus tetapi belum dilaksanakan atau sudah<br />

diperiksa tetapi belum diputus maka diselesaikan berdasarkan<br />

peraturan perUndang-Undangan di bidang Kepailitan sebelum<br />

berlakunya Undang-Undang ini;<br />

b. Sudah diajukan tetapi belum diperiksa, diselesaikan berdasarkan<br />

ketentuan dalam Undang-Undang ini.<br />

bahwa:<br />

Pasal 305 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menetukan<br />

“ Semua peraturan perUndang-undangan yang merupakan<br />

pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Kepailitan<br />

(Faillissements verordening staatsblad 1905 : 217 juncto<br />

staatsblad 1906 : 348) yang diubah dengan Perpu Nomor. 1<br />

Tahun 1998 tentang perubahan Atas undang-undang tentang<br />

kepailitan yang ditetapkan menjadi Undang-undang berdasarkan<br />

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 pada saat Undang-undang<br />

ini diundangkan, masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan<br />

dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan<br />

Undang-Undang ini”.<br />

Berlakunya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 mencabut dan<br />

menyatakan tidak berlaku lagi Faillissement verodening dan Undang-<br />

undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1<br />

Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang<br />

kepailitan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 307 Undang-undang Nomor<br />

37 Tahun 2004 yang menyatakan:<br />

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-undang<br />

tentang Kepailitan (Faillissements verordening staatsblad 1905<br />

34


B. KASASI<br />

1. Pengertian Kasasi<br />

: 217 juncto staatsblad 1906 : 348) dan Undang-undang Nomor<br />

4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998<br />

tentang perubahan atas undang-undang tentang kepailitan<br />

menjadi Undang-undang (LN RI Tahun 1998 Nomor 135,<br />

Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3778), dicabut dan<br />

dinyatakan tidak berlaku. 21<br />

Upaya hukum kasasi awalnya ada di Perancis. Setelah belanda<br />

dijajah oleh Perancis, upaya hukum kasasi diterapkan di Netherland dan<br />

selanjutnya oleh pemerintah belanda dibawa dan diterapkan di Indonesia.<br />

Dengan demikian Indonesia menganut system “continental”. Adapun<br />

dalam system tersebut Mahkamah Agung sebagai Badan Peradilan<br />

Tertinggi bertugas membina keseragaman penerapan hukum di Indonesia<br />

dan menjaga agar hukum dan Undang-undang diterapkan secara tepat dan<br />

adil.<br />

Upaya hukum kasasi berasal dari kata kerja casser yang berarti<br />

membatalkan atau memecahkan adalah salah satu tindakan Mahkamah<br />

Agung Republik Indonesia sebagai pengawas tertinggi atas putusan-<br />

putusan pengadilan-pengadilan lain, tetapi tidak berarti<br />

merupakan pemeriksaan tingkat ke-3. Hal ini disebabkan dalam tingkat<br />

kasasi tidak dilakukan suatu pemeriksaan kembali perkara tersebut, tetapi<br />

21 Sunarmi, <strong>Hukum</strong> Kepailitan (Edisi 2), PT. Sof Media, Medan, 2010, hal. 229-239<br />

35


hanya diperiksa masalah masalah hukumnya/ penerapan hukumnya. Dasar<br />

hukum Pengadilan Kasasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung diatur<br />

dalam Pasal 20 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48<br />

tahun 2009 yang berbunyi: “Terhadap putusan-putusan yang diberikan<br />

tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain dari Mahkamah Agung,<br />

Kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung”.<br />

Terkait perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban<br />

Pembayaran Utang, upaya hukum kasasi dapat dilakukan baik oleh debitur<br />

dan kreditur yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama,<br />

juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada<br />

persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas<br />

permohonan pernyataan pailit sebagaimana ketentuan pasal 11 ayat (3)<br />

Undang-undang Nomor 37 tahun 2004. Sidang pemeriksaan atas<br />

permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal<br />

permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung dan putusan<br />

atas permohonan kasasi harus di ucapakan paling lambat 60 hari setelah<br />

tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamh Agung (Pasal 12,13<br />

ayat (1), (2),(3) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004).<br />

2. Alasan Kasasi<br />

Upaya hukum Kasasi merupakan upaya hukum yang dilakukan<br />

oleh pihak yang merasa dirugikan dan merasa kurang puas terhadap<br />

putusan Judex facti, agar hakim Mahkamah Agung dapat<br />

mempertimbangkan kembali putusan yang sudah inkracht tersebut<br />

36


sehingga dapat menghasilkan putusan yang adil bagi pihak yang yang<br />

merasa dirugikan terlebih mengenai penerapan hukumnya didalam putusan<br />

Judex Facti. Permohonan pemeriksaan tingkat kasasi harus disertai<br />

memori Kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi, jika hal ini<br />

dilalaikan maka permohonan Kasasi dianggap tidak ada. Yurisprudensi<br />

tetap Mahkamah Agung menyatakan bahwa permohonan kasasi yang tidak<br />

mengajukan risalah yang memuat alasan-alasan kasasi permohonannya<br />

tidak dapat diterima. 22<br />

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 Pasal 30 ayat<br />

(1) yang menyebutkan secara limitatif alasan-alasan Perohonan Kasasi<br />

yaitu:<br />

a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang<br />

Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini<br />

tendens kepada kompetensi relatif (relatieve competentie) dan<br />

kompetensi absolut (absolute competentie). Konkretnya, Judex facti<br />

incasu Pengadilan Niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU<br />

tersebut seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya<br />

tentang judex facti tidak berwenang/bukan merupakan<br />

kewenangannya.Sedangkan alasan kasasi disebabkan judex facti<br />

melampaui batas wewenang adalah bahwa judex facti telah mengadili<br />

tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan dalam<br />

Undang-undang. Adapun ketika melampaui batas wewenang ini dapat<br />

22 Soedirjo, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hal.43.<br />

37


juga di artikan bahwa yudex facti dalam putusannya telah mengabulkan<br />

lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam surat gugatannya.<br />

b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku<br />

Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara<br />

sederhana adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum<br />

acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat dari<br />

penerapan hukum yang berlaku. Sedangkan melanggar hukum tendens<br />

kepada penerapan hukum itu sendiri tidak dapat, salah dan tidak sesuai<br />

serta bertentangan dari ketentuan seharusnya yang digariskan oleh<br />

Undang-undang.<br />

c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan<br />

perundang undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya<br />

putusan yang bersangkutan.<br />

Doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-syarat<br />

yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang<br />

mengancam kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim<br />

disebut dengan istilah melalaikan persyaratan formal (formalities),<br />

sehingga diancam pula kebatalan formal (formele nietigheid) atau<br />

( formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo lebih jauh menegaskan<br />

bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh hakim<br />

dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah<br />

Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya<br />

38


perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada<br />

pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak.<br />

3. Fungsi Peradilan Kasasi<br />

Setelah membicarakan justifikasi peradilan kasasi, berikut ini<br />

akan dibicarakan fungsinya ditinjau dari segi teori dan praktik. Ada<br />

beberapa fungsi pokok yang diperankan Mahkamah Agung sebagai<br />

peradilan kasasi, antara lain seperti yang dijelaskan dibawah ini. 23<br />

a. Mengoreksi kesalahan peradilan bawahan<br />

Fungsi utama peradilan kasasi, mengoreksi atau memperbaiki<br />

kesalahan peradilan bawahan (to correct error or mistake by the trial<br />

court or lower court).<br />

b. Berfungsi menghindari kesewenangan<br />

Fungsi kasasi lain, menghindari terjadinya kesewenangan<br />

(arbitary) terhadap anggota masyarakat yang timbul dari putusan<br />

pengadilan bawahan.<br />

c. Menyelesaikan kontroversi ke arah standar prinsip keadilan umum<br />

(General Justice Principle) yang Objektif dan Uniformitas.<br />

Suatu putusan pengadilan tidak hanya semata-mata bersifat<br />

imparsial (imparitiality) yang terebebas dari cacat berat sebelah<br />

(partiality).<br />

23 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan<br />

Kembali Perkara Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal.237.<br />

39


C. PUTUSAN HAKIM<br />

1. Pengertian Putusan<br />

Menurut sistem HIR( Het Herziene Indonesisch Reglement) dan<br />

Rbg (Rechts Reglement Buitengewesten) hakim mempunyai peranan aktif<br />

memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim<br />

berwenang untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan<br />

gugatannya ke pengadilan (Pasal. 119 HIR-143 Rbg) dengan maksud<br />

supaya perkara yang dimajukan itu menjadi jelas persoalannya dan<br />

memudahkan hakim dalam memeriksa perkara itu. 24 Menurut Darwan<br />

Prinst, Putusan merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara di<br />

pengadilan. 25<br />

2. Kekuatan Putusan<br />

HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) tidak mengatur<br />

tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam kekuatan:<br />

a. Kekuatan Mengikat<br />

Putusan Hakim mempunyai kekuatan mengikat artinya mengikat<br />

kedua belah pihak (Pasal. 1917 KUH Perdata). Terikatnya para pihak<br />

kepada putusan menimbulkan bebrapa teori yang hendak mencoba<br />

memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.<br />

b. Kekuatan Pembuktian<br />

Kekuatan pembuktian dituangkan putusan dalam bentuk tertulis,<br />

yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat<br />

24 Abdulkadir Muhamad, <strong>Hukum</strong> Acara Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,<br />

1990. hal. 21.<br />

25 Darwan Prinst, OP.Cit. hal. 205<br />

40


digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin<br />

diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaanya.<br />

Arti putusan itu sendiri dalam hukum pembuktian ialah bahwa dengan<br />

putusan itu telah diperoleh suatu kepatian tentang sesuatu.<br />

c. Kekuatan Eksekutorial<br />

Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu<br />

persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak<br />

berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau huumnya saja,<br />

melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara<br />

paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah<br />

cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisir atau<br />

dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak<br />

atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim<br />

mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk<br />

dilaksanakannya apa yng ditetapkan dalam putusan itu secara paksa<br />

oleh alat-alat negara. Bahwa kata-kata “Demi Keadilan berdasarkan<br />

keTuhanan Yang Maha Esa” memberi kekuatan eksekutorial bagi<br />

putusan-putusan pengadilan di Indonesia.<br />

3. Susunan dan Isi Putusan<br />

Adapun di dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)<br />

tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaiaman putusan hakim<br />

harus dimuat di dalam putusan diatur dalam Pasal 183, 184, 187 HIR<br />

(Pasal 194, 195, 198 Rbg), 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, 27<br />

41


RO, 61 Rv. Menurut Sudikno Mertokusumo, suatu putusan hakim terdiri<br />

dari 4 bagian, yaitu:<br />

a. Kepala Putusan<br />

Setiap putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan<br />

yang berbunyi: “Demi Keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha<br />

Esa”. Kepala Putusan ini memberikan kekuatan eksekutorial pada<br />

putusan.<br />

b. Identitas Para Pihak<br />

Setiap perkara atau gugatan mempunyai sekurang-kurangnya 2 pihak,<br />

maka di dalam putusan harus dimuat identitas para pihak lain antara<br />

lain: nama, umur, alamat, dan nama pengacara kalau ada.<br />

c. Pertimbangan<br />

Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi 2, yaitu pertimbangan<br />

tentang duduk perkara atau peristiwa dan pertimbangan tentang<br />

hukumnya.<br />

d. Amar<br />

Amar merupakan jawaban terhadap petitum dari pada gugatan yang<br />

merupakan amar atau diktum. Ini berarti bahwa diktum , merupakan<br />

tanggapan terhadap petitum. 26<br />

4. Jenis-jenis Putusan<br />

berikut:<br />

Menurut Darwan Prinst, putusan diklasifikasikan sebagai<br />

26 Sudikno Mertokusmo , OP.Cit. hal.220-225.<br />

42


1) Interlocotoir Vonis<br />

Interlocotuir Vonis (putusan sela), adlah putusan yang belum<br />

merupakan putusan akhir. Putusan sela (Interlocotuir Vonis) itu dapat<br />

berupa:<br />

a. Putusan Provisional (Tak Dim)<br />

Putusan Provisional (Tak Dim), adalah putusan yang diambil segera<br />

mendahului putusan akhir tentang pokok perkara; karena adanya<br />

alasan-alasan yang mendesak itu. Misalnya dalam hal istri<br />

menggugat suaminya, di mana gugatan pokoknya adlah “mohon<br />

cerai”, akan tetapi sebelum itu karena suami yang digugat itu telah<br />

melalaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada istrinya itu,<br />

maka si suami tersebut terlebih dahulu dihukum untuk membayar<br />

nafkah kepada istrinya itu, sebelum putusan akhir terhadap gugatan<br />

cerai itu. Demikian juga halnya mengenai mengizinkan seseorang<br />

untuk berperkara secara cuma-cuma (Pro Deo), sesuai Pasal 235<br />

HIR/Pasal 271 RBG, ditetapkan dengan putusan Provisional.<br />

b. Putusan Preparatoir<br />

Putusan Preparatoir, adalah putusan sela guna mempersiapkan<br />

putusan akhir. Misalnya putusan yang menolak/mengabulkan<br />

pengunduran sidang, karena alasan yang tidak tepat/ tidak dapat<br />

diterima (AT. Hamid 1984: 209). Dalam praktek seringkali terjadi<br />

perbedaan pendapat tentang pengunduran sidang antara penggugat<br />

43


dengan tergugat, maka dalam keadaan demikian hakim harus<br />

mengambil keputusan mengenai pengunduran sidang itu.<br />

c. Putusan Insidental<br />

Putusan Insidental, adalah putusan sela yang diambil secara<br />

insidental. Hal ini terjadi misalnya karena kematian kuasa dari salah<br />

satu pihak (penggugat/tergugat), dan lain-lain sebagainya (AT.<br />

Hamid 1984: 269). Terhadap putusan sela atau belum merupakan<br />

putusan akhir, maka tidak dapat dimintakan banding secara<br />

tersendiri. Oleh karena itu harus diajukan bersama-sama dengan<br />

permohonan banding terhadap putusan akhir (Pasal 9 Undang-<br />

Undang Nomor. 20 Tahun 1974). Logika pelarangan permohonan<br />

banding terhadap putusan sela secara terpisah dari perkara pokok,<br />

adalah untuk menghindarkan berlarut-larutnya perkara di pengadilan.<br />

2) Putusan Akhir<br />

Putusan akhir dari suatu perkara, dapat berupa:<br />

a. Niet Onvankelijk Verklaart<br />

Niet Onvankelijk Verklaart berarti tidak dapat diterima, yakni<br />

putusan pengadilan yang menytakan, bahwa gugatan penggugat<br />

tidak dapat diterima. Adapun alasan-alasan pengadilan mengambil<br />

keputusan menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima, adalah<br />

sebagai berikut:<br />

a) Gugatan tidak berdasarkan hukum;<br />

b) Gugatan tidak patut;<br />

44


c) Gugatan itu bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum;<br />

d) Gugatannya salah;<br />

e) Gugatannya kabur;<br />

f) Gugatannya tidak memenuhi persyaratan;<br />

g) Objek gugatannya tidak jelas;<br />

h) Subjek gugatannya tidak lengkap;<br />

i) Dan lain-lain.<br />

b. Tidak berwenang mengadili<br />

Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak<br />

berwenang, bukan menyangkut kompetensi absolut maupun<br />

kompetensi relatif, akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan<br />

menyatakan dirinya tidak mengadili gugatan itu. Oleh karena itu<br />

gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.<br />

c. Gugatan dikabulkan<br />

Suatu gugatan yang terbukti kebenarannya dipengadilan akan<br />

dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Adapun apabila gugatan<br />

terbukti seluruhnya, maka gugatan akan hanya terbukti sebagian,<br />

mka akan dikabulkan sebagian pula sepanjang yang dapat<br />

dibuktikan itu. Adakalanya pula suatu gugatan yang dikabulkan<br />

ternyata menjadi nihil, dan tidak dapat dilaksanakan, karena adanya<br />

kelemahan dalam petitum gugatan yang kemudian dikabulkan oleh<br />

pengadilan. Demikianlah misalnya putusan perkara perdata Nomor<br />

249/Pdt.G/1988/PN.Mdn, dimana tergugat MS dihukum<br />

45


menyerahkan tiga ekor lambur yang pernah dipinjamnya dari<br />

penggugat. Lembu tersebut ternyata sudah mati, sementara putusan<br />

tidak mengatakan atau menggantinya dengan tiga ekor lembu<br />

lainnya, atau dengan sejumlah uang tertentu.<br />

d. Gugatan ditolak<br />

Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya di depan<br />

pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu<br />

dapat terjadi untuk seluruhnya atau hanya sebagian saja. 27<br />

5. Putusan Pengadilan Niaga<br />

Pengadilan niaga memeriksa dan memutus perkara pada tingkat<br />

pertama dengan Majelis Hakim, dalam menjalankan tugasnya hakim<br />

pengadilan niaga dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera<br />

pengganti dan juru sita. Adapun apabila perkara-perkara lain telah dapat<br />

diperiksa dan diputuskan pula oleh Pengadilan Niaga. Ketua Mahkamah<br />

Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat<br />

pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal (bukan Majelis<br />

Hakim). 28 Undang-undang Kepailitan tidak hanya mengatur masalah<br />

pernyataan pailit dan PKPU. Undang-undang Kepailitan juga mengatur<br />

banyak hal yang tidak terkait langsung dengan pernyataan Kepailitan dan<br />

PKPU. 29<br />

a. Kompetensi Pengadilan<br />

27 Darwan Prinst, OP.Cit. hal. 206-209<br />

28 Sutan Remy Sjahdeini, OP.Cit. hal.152.<br />

29 Aria Suyudi dkk, Kepailitan di Negeri Pailit, Pusat Studi <strong>Hukum</strong> & Kebijakan Indonesia,<br />

Jakarta. hal.49<br />

46


1) Kompetensi absolut<br />

Masalah permintaan pailit adalah menjadi kompetensi absolut untuk<br />

memeriksanya. Jadi tidak ada Badan Peradilan lain di luar Peradilan<br />

umum yang berkompeten untuk memeriksanya.<br />

2) Kompetensi Relatif<br />

Kompetensi relatif Pengadilan Negeri untuk memeriksa permintaan<br />

pailit adalah sebagai berikut:<br />

a) Tempat kediaman Debitur<br />

Permintaan pailit dimintakan kepada Pengadilan Negeri yang<br />

wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Debitur/ si<br />

berhutang.<br />

b) Tempat kediaman terakhir Debitur<br />

Permintaan pailit dapat dimintakan kepada Pengadilan Negeri<br />

yang wilayah hukumnya meliputi tempat terakhir dari Debitur.<br />

c) Tempat Kantor Firma<br />

Permohonan Pailit terhadap persero-persero Firma diajukan<br />

kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya terletak kantor<br />

perseroan.<br />

d) Tempat Kantor Termohon Pailit<br />

Dalam hal termohon pailit tidak mempunyai tempat tinggal di<br />

wilayah Indonesia, tetapi mempunyai pekerjaan maka<br />

permohonan pailit dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri<br />

yang daerah hukumnya daebitur tersebut mempunyai kantor.<br />

47


e) Tempat kedudukan Badan <strong>Hukum</strong><br />

Permohonan pailit terhadap perseroan terbatas, perseroan<br />

pertanggungan timbal balik, perkumpulan koperasi atau lain-lain<br />

perkumpulan yang berbadan hukum dan yayasan-yayasan<br />

dilakukan kepada Pengailan Negeri tempat kediaman, tempat<br />

dimana perseroan-perseroan itu atau perkumpulan-perkumpulan<br />

itu berdomisili.<br />

f) Tempat perempuan melakukan pekerjaan/perusahaan<br />

Sehubungan dengan permintaan pailit ini dapat terjadi dilakukan<br />

oleh beberapa Pengadilan Negeri. 30<br />

6. Putusan Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi<br />

Salah satu prinsip pemeriksaan tingkat kasasi diatur pada Pasal<br />

40 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Agung mengatakan, Mahkamah<br />

Agung memeriksa dan memutus perkara dengan Majelis yakni<br />

sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim. Putusan akhir dapat<br />

dijatuhkan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat dijelaskan<br />

sebagai berikut:<br />

a. Menyatakan Permohonan Kasasi Tidak Dapat Diterima (Niet<br />

Ontvankelijke Verklaren, To Declare Inadmissible).<br />

Salah satu bentuk putusan yang dapat dijatuhkan Mahkamah<br />

Agung pada tingkat Kasasi adalah putusan negatif, berupa<br />

pernyataan permohonan kasasi tidak dapat diterima (niet<br />

30 Darwan Prinst, Op.Cit. hal. 155-156<br />

48


ontvankelijke verklaren). Dasar alasan pertimbangan menjatuhkan<br />

putusan yang menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima,<br />

yaitu apabila Majelis yang memeriksa perkara itu berpendapat<br />

permohonan Kasasi yang diajukan pemohon, tidak memenuhi syarat<br />

formil yang ditentukan Undang-undang.<br />

Penegakan hukum yang menyatakan permohonan kasasi tidak<br />

dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat formil, ditegaskan<br />

pada Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung. Namun<br />

perlu diingat, penerapan ketentuan ini, harus benar-benar terhadap<br />

syarat formil yang bersifat mutlak. Artinya, syarat formil yang<br />

bersangkutan tidak dapat ditoleransi penegakannya.<br />

Terdapat beberapa syarat formil permohonan kasasi yang harus<br />

dipenuhi. Sifat dari syarat formil tersebut komulatif. Supaya<br />

permohonan kasasi sah menurut hukum, harus semua syarat formil<br />

tersebut. Salah satu saja dari syarat tersebut tidak terpenuhi<br />

mengakibatkan permohonan kasasi mengandung cacat formil<br />

sehingga sehingga permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat<br />

diterima.<br />

1) Permohonan kasasi dilakukan kuasa tanpa surat kuasa yang<br />

khusus memberi kuasa mengajukan kasasi.<br />

Sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) huruf a Undang-<br />

undang Mahkamah Agung, permohonan kasasi dlam perkara<br />

perdata dapat diajukan oleh pihak yang berperkara sendiri atau<br />

49


wakilnya. Begitu juga dalam perkara pidana, menurut Pasal 44<br />

ayat (1) huruf b, dapat diajukan terdakwa atau wakilnya atau oleh<br />

jaksa penuntut umum.<br />

2) Permohona Kasasi Tidak disertai Memori Kasasi<br />

Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung<br />

menegaskan, dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon<br />

wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-<br />

alasan kasasi. Penyampaian memori kasasi oleh pemohon kasasi,<br />

merupakan syarat formil keabsahan permohonan kasasi. Sifatnya<br />

menurut Pasal 47 ayat (1) imperatif (mandatory). Pemohon kasasi<br />

wajib menyampaiakan memori kasasi. Tidak terpenuhinya syarat<br />

tersebut oleh pemohon mengakibatkan permohonan kasasi tidak<br />

sah (ongeldig, invalid), dan Mahkamah Agung menyatakan<br />

permohonan kasasi tidak dapat diterima.<br />

3) Terlambat mengajukan Memori Kasasi<br />

Selain pemohon wajib menyampaikan memori kasasi, terdapat<br />

pula syarat formil tentang batas jangka waktu menyampaikan<br />

memori kasasi itu sendiri. Syarat itu ditegaskan pada Pasal 47<br />

ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatakan,<br />

penyampaian memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat<br />

belas) hari setelah permohonan kasasi dicatat dlam buku daftar<br />

(rgister).<br />

50


. Menolak Permohonan Kasasi<br />

Mengenai putusan Mahkamah Agung menolak permohonan<br />

kasasi, dapat dijelaskan sebagai berikut:<br />

1) Permohonan Kasasi memenuhi syarat formil, tetapi keberatan<br />

kasasi tidak memenuhi kriteria.<br />

Bentuk putusan lain yang dpat dijatuhkan Mahkamah Agung<br />

tingkat kasasi, yaitu menolak permohonan kasasi. Putusan yang<br />

menolak permohonan kasasibersifat positif, karena telah<br />

menyangkut penilaian terhadap materi pokok perkara:<br />

a. Jadi, putusan yang berbentuk menolak permohonan kasasi,<br />

telah melampaui tahap pemeriksaan dan penilaian syarat formil<br />

permohonan kasasi,<br />

b. Apabila syarat formil terpenuhi, berarti permohonan kasasi<br />

dapat diterima (otvankelijkheid, adminissibility), sehingga<br />

tahap pemeriksaan selanjutnya memeriksa dan menilai putusan<br />

judex facti,<br />

c. Pemeriksaan putusan judex facti dari segi materiil mengacu<br />

dan bertitik tolak dari keberatan-keberatan atau alasan kasasi<br />

yang diajukan pemohon kasasi dalam memori kasasinya.<br />

2) Keberatan kasasi yang diajukan, tidak tunduk kepada<br />

pemeriksaan kasasi.<br />

a. Keberatan kasasi tentang hasil pembuktian<br />

b. Keberatan kasasi atas perubahan berita acara sidang<br />

51


c. Keberatan kasasi yang tidak ditujukan terhadap putusan judex<br />

factie dan materi poko perkara<br />

d. Keberatan kasasi berupa novum<br />

e. Kebertan yang hanya mengulang fakta-fakta yang telah<br />

diajukan pada pemeriksaan tingkat pertama dan/atau tingkat<br />

banding<br />

f. Keberatan kasasi irelevan<br />

g. Keberatan kasasi terhadap tindakan pengawasan.<br />

3) Penolakan kasasi dengan perbaikan putusan judex facti.<br />

Seperti yang dijelaskan, apabila keberatan kasasi tidak mengenai<br />

hal yang takluk kepada pemeriksaan kasasi, Mahkamah Agung<br />

menjatuhkan putusan “menolak permohonan kasasi”. Berarti,<br />

dalam hal yang demikian pada dasarnya Mahkamah agung setuju<br />

dan menguatkan putusan judex facti. Ada kalanya, memang pada<br />

dasarnya Mahkamah Agung setuju terhadap pertimbangan dan<br />

kesimpulan pokok putusan judex facti, ternyata terdapat<br />

kekeliruan atas kesalahan maupun kelalaian putusan judex facti,<br />

cuma bobot dan kualitasnya tidak sampai membatalkan putusan.<br />

Menghadapi kasus yang seperti ini Mahkamah Agung cukup dan<br />

berwenang “memperbaiki” pertimbangan dan/atau amar putusan<br />

judex facti.<br />

52


c. Mengabulkan Permohonan Kasasi<br />

Bentuk putusan tingkat kasasi yang ketiga, mengabulkan<br />

permohonan kasasi. Berdasarkan hasil pengalaman dan pengamata,<br />

putusan kasasi yang paling dominan adalah menolak permohonan<br />

kasasi. Berkisar sekitar 80 (delapan puluh) persen. Sebesar 5 (lima)<br />

persen tidak dapat diterima karena permohonan mengandung cacat<br />

formil. Sedang selebihnya, sebesar 15 (lima belas) mengabulkan<br />

permohonan kasasi. 31<br />

Sindiran judi dan permainan untung-untungan (gambling and a<br />

gim of chance) serta kelucuan (erratic), bis terjadi dalam peradilan<br />

kasasi. Gugatan yang terang dasar hukumnya, kemungkinan akan<br />

ditolak meskipun didukung oleh alat bukti yang kuat berdasarkan<br />

fakta-fakta yang tidak dapat diingkari. Sebaliknya, terkadang dasar<br />

hokum dan fakta-fakta pendukungnya tidak memenuhi batas<br />

minimal pemuktian, bias lolos dan melanggang mulaidari peradilan<br />

tingkat pertama. Banding, dan kasasi. Sehubungan dengan<br />

melekatnya faktor a game of chance and erratic yang dikemukakan<br />

di atas, menurut Yahya Harahap tidak berani mengatakan besarnya<br />

presentase pengabulan permohonan kasasi telah benar-benar objektif<br />

secara kuantitatif dan kualitatif. Kemungkinan besar angka itu bisa<br />

bergeser ke bawah dan ke atas apabila dedikasi, moral, dan<br />

profesionalisme lebih dipertajam dan lebih dicerdaskan.<br />

31 Yahya Harahap, Op.Cit, hal.388-399<br />

53


1) Terpenuhinya syarat formil, tahap awal ke arah pengabulan kasasi<br />

Seperti halnya putusan penolakan kasasi, tahap awal<br />

pemeriksaannya berpijak dari keabsahan permohonan. Adapun<br />

apabila pemohonan memenuhi syarat formil, baru terbukti jalur<br />

tahap selanjutnya memeriksa materi poko perkara yang tertuang<br />

dalam putusan judex facti dikaitkan dengan keberatan –keberatan<br />

yang dikemukakan dalam memori kasasi dan kontra memori<br />

kasasi (jika ada).<br />

Begitu juga halnya pada pengabulan kasasi. Harus berawal dari<br />

keabsahan formil permohonan kasasi, baru peradilan kasasi<br />

melangkah memriksa putusan judex facti dan memori kasasi (jika<br />

ada). Seperti yang dijelaskan terdahulu, sejak berlakunya<br />

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang mengubah Undang-<br />

Undang Nomor 14 tahun 1985, pada dasarnya kewenangan<br />

memriksa dan menilai terpenuhi atau tidak syarat formil<br />

permohonan kasasi, telah dilimpahkan keweangannya kepada<br />

ketua pengadilan tingkat pertama. Menurut Pasal 45 a ayat (3)<br />

Undang-Undang Mahkamah Agung, jika permohonan kasasi<br />

tidak memenuhi syarta formil, ketua pengadilan tingkat pertama<br />

mengeluarkan penetapan yang memuat dictum menyatakan<br />

permohonan kasasi tidak dapat diterima, dan berkas perkaranya<br />

tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung.<br />

54


Bertitik tolak dari ketentuan ini, dapat dikatakan secara teoretis,<br />

semua berkas perkara kasasi yang dikirimkan ke Mahkamah<br />

Agung sudah lolos seleksi pemeriksaan syarat formil. Majelis<br />

yang memeriksa perkara itu tidak perlu lagi repot-repot meneliti<br />

keabsahan syarat formil, cukup mempercayai hasil penelitian<br />

yang dilakukan oleh ketua pengadilan tingkat pertama. Tanpa<br />

mengurangi pendekatan teoretis tersebut, dari segi moral dan<br />

fungsional, majelis yang memeriksa perkara itu, sebaiknya tetap<br />

melakukan control dan penelitian sewajarnya, apakah benar atau<br />

tidak terprnuhi syarat formalnya.<br />

2) Pengabulan kasasi dibarengi pembatalandan mengadili sendiri<br />

Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung<br />

mengabulkan permohonan kasasi, harus dibarengi dengan<br />

tindakan hokum lain:<br />

(1) Membatalkan putusan judex facti yang dikasasi tersebut,<br />

(2) Mengadili sendiri perkara dimaksud dengan jalan<br />

menyampingkan dan menyingkirkan (set aside) putusan judex<br />

facti yang dibatalkan itu.<br />

Kala begitu, pada pengabulan permohonan kasasi terdapat<br />

rangkaian tindakan yang mesti melekat padanya yakni<br />

membatalkan putusan judex facti dan mengadili sendiri perkara<br />

tersebut dengan jalan menyingkirkan dan menyampingkan putusan<br />

judex facti. Jika putusan judex facti yang dibatalkan itu<br />

55


mengabulkan gugatan atau perlawanan penggugat/pelawan, maka<br />

konsekuensi yuridisnya putusan yang dijatuhkan pada tingkat<br />

kasasi, bias berupa alternatif:<br />

(1) Menyatakan gugatan/ perlawanan tidak dapat diterima.<br />

Apabila Mahkamah Agung berpendapat gugatan penggugat<br />

yang dikabulkan judex facti itu tidak memenuhi syarat formil<br />

melanggar yurisdiksi mengadili, error in persona, obscuur<br />

libel, nebis in idem, premature, dan sebagainya maka<br />

pembatalan itu diikuti dengan putusan menyatakan gugatan<br />

tidak dapat diterima.<br />

(2) Mengabulkan sebagian atau seluruh gugatan<br />

Jika Mahkamah Agung berpendapat putusan judex facti yang<br />

menolak gugatan tidak tepat, maka pembatalan yang dibarengi<br />

dengan mengadili sendiri, berisi amar mengabulkan sebagian<br />

atau seluruh gugatan.<br />

(3) Menolak seluruh gugatan<br />

Kalau Mahkamah Agung berpendapat, pengabulan gugatan yag<br />

dilakukan judex facti tidak tepat, sehingga putusan tersebut<br />

dibatalkan maka putusan tersebut dibatalkan maka putusan<br />

kasasi yang harus dijatuhkan, menolak seluruh gugatan.<br />

Demikian tindakan yustisial yang diambil Mahkamah Agung pada<br />

tingkat kasasi apabila permohonan kassi dikabulkan.<br />

56


D. PERDAMAIAN (Accord)<br />

1. Pengertian Perdamaian<br />

<strong>Hukum</strong> Kepailitan, accord diartikan sebagai suatu perjanjian<br />

perdamaian antara si pailit dengan para Kreditur, dimana diadakan<br />

suatu ketentuan bahwa si Pailit dengan membayar suatu ketentuan<br />

bahwa si pailit dengan membayar sesuatu persentase tertentu (dari<br />

utangnya), ia akan dibebaskan untuk membayar sisanya. 32 Perkara<br />

kepailitan, perdamaian dapat dilakukan pasca putusan, setelah<br />

debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, debitur berhak<br />

menawarkan perdamaian kepada semua kreditur. Lain halnya dengan<br />

perkara perdata (gugatan) yang disidangkan di pengadilan negeri. Di<br />

pengadilan negeri, perdamaian diadakan pra putusan, yakni diawal<br />

persidangan sampai dengan sebelum putusan diucapkan. Setelah<br />

putusan diucapkan, tidak ada lagi perdamaian, yang ada adalah<br />

eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. 33<br />

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, perdamaian diatur<br />

dalam Pasal 144-147.<br />

Menurut Pasal 144:<br />

“Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian<br />

kepada semua Kreditur.”<br />

Tawaran perdamain dibuat dalam rencana perdamaian. Rencana<br />

perdamaian (composition plan) diajukan dengan delapan hari<br />

32 Sunarmi, <strong>Hukum</strong> Kepailitan (Edisi 2), 2010, PT. Sofmedia, Medan, hal. 163.<br />

33 Syamsudin M. Sinaga, <strong>Hukum</strong> Kepailitan Indonesia, 2010, PT. Tatanusa, Jakarta. hal. 125.<br />

57


34 Ibid, hal 125-126<br />

sebelum rapat pencocokan piutan atau rapat verifikasi. Sebelum<br />

rapat verifikasi, debitur menyerahkan asli rencana perdamaian ke<br />

kepaniteraan pengadilan niaga agar dapt dilihat dengan cuma-cuma<br />

oleh setiap orang yang berkepentingan. Salinannya wajib dikirimkan<br />

kepada masing-masing anggota panitia Kreditur sementara. Rencana<br />

perdamaian tersebut harus dibicarakan dan diambil keputusannya<br />

segera setelah verifikasi. Rapat verifikasi dapat ditunda oleh Hakim<br />

Pengawas paling lambat 21 hari:<br />

(1) Apabila dalam rapat diangkat panitia Kreditur tetap yang tidak<br />

terdiri atas orang-orang yang sama seperti panitia Kreditur<br />

sementara, sedangkan jumlah terbanyak Kreditur menghendaki<br />

dari Panitia Kreditur tetap pendapat tertulis menghendaki<br />

tentang rencana perdamaian yang diusulkan tersebut; atau<br />

(2) Rencana perdamaian tidak disediakan di kepaniteraan<br />

pengadilan niaga dalam waktu yang ditentuakn, sedangkan<br />

jumlah terbanayak Kreditur yang hadir menghendaki<br />

pengunduran rapat. 34<br />

Kepailitan ada 2 (dua) accord, yaitu:<br />

a. Accord yang ditawarkan dalam Kepailitan, yaitu pada saat rapat<br />

verifikasi;<br />

b. Accord yang diawarkan dalam Penundaan Kewajiban<br />

Pembayaran Utang, yaitu sebelum Debitur dinyatakan Pailit.<br />

58


Accord yang ditawarkan oleh si Pailit itu berisi beberapa<br />

kemungkinan atau aternatif yang akan dipilih oleh para Kreditur,<br />

yaitu:<br />

a. Si Pailit menawarkan kepada Krediturnya, bahwa ia akan<br />

membayar (sanggup membayar) dalam jumlah tertentu dari<br />

utangnya namun tidak dalam jumlah keseluruhannya;<br />

b. Si Pailit akan menawarkan accord likuidasi (liquidatie accord),<br />

yakni si Pailit menyediakan hartanya bagi kepentingan para<br />

kreditur untuk dijual di bawah pengawasan seorang pengawas<br />

(pemberes), dan hasil penjualannya dibagi untuk para kreditur,<br />

apabila hasil penjualan itu tidak mencukupi, maka si Pailit<br />

dibebaskan dari emmbayar sisa yang belum terbayar;<br />

c. Si debitur Pailit menwarkan untuk meminta Penundaan<br />

Pembayaran dan diperbolehkan mengangsur utangnya untuk<br />

beberapa waktu.<br />

Menurut Zainal Asikin, dengan dibukanya kemungkinan untuk<br />

mengadakan accord, maka hak itu akan dapat menguntungkan<br />

kedua belah pihak , karena:<br />

a. Bagi para kreditur, jikalau harta pailit dijual/ dilelang atau<br />

dilakukan pemberesan dengan perantara hakim, dan hasilnya<br />

dibagi menurut imbangan jumlah piutang kreditur, maka belum<br />

tentu para kreditur itu akan mendapat pembayaran yang lebih<br />

tinggi seperti yang ditawarkan di dlam accord. Jadi, penawaran<br />

59


di dalam accord mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan<br />

pembagian melalui pemberesan oleh hakim;<br />

b. Bagi Debitur Pailit, ia akan membayar sejumlah utang yang<br />

telah disetujui dalam accord yang lebih kecil dari utang<br />

sbenarnya, sedangkan sisanya tidak menjadi beban bagi Debitur<br />

untuk melunasinya. Apabila accord telah dipenuhi, maka<br />

berakhilah Kepailitan. Hal ini berbeda dengan pemberesan oleh<br />

Hakim, yakni apabila dari hasil pelelangan itu belum atau tidak<br />

cukup untuk melunasi utang-utang si Pailit secara penuh, maka<br />

sisanya akan tetap menjadi utang si Pailit secara penuh, maka<br />

sisanya akan tetap menjadi utang si Pailit yang pelunasannya<br />

dengan harta pailit yang masih akan ada (Pasal 1131<br />

KUHPerdata). 35<br />

2. Pembatalan Perdamaian<br />

Tentang pembatalan perdamaian diatur mulai Pasal 170<br />

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan<br />

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu bahwa kreditur dapat<br />

menuntut suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitur lalai<br />

memenuhi isi perdamaian tersebut. Debitur wajib membuktikan<br />

bahwa perdmaian telah dipenuhi. Pengadilan berwenang memberikan<br />

kelonggaran kepada debitur untuk memenuhi semua kewajibannya<br />

35 Sunarmi, Op Cit. hal. 163-164<br />

60


paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian<br />

kelonggaran tersebut diucapkan. Penjelasan Pasal 170 ayat (3)<br />

menentukan bahwa kelonggaran hanya dpat diberikan 1 (satu) kali<br />

dlam seluruh proses. Tuntutan Pembatalan Perdmaian wajib dia jukan<br />

dan ditetapkan dengan cara yang sama sebagaimana dimaksud dalam<br />

Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13<br />

untuk permohonan pernyataan Pailit (Pasal 171 Undang-Undang<br />

Nomor 37 Tahun 2004).<br />

Putusan Pembatalan Perdamaian diperintahkan supaya<br />

Kepailitan dibuka kembali, dengan pengangkatan seorang hakim<br />

pengawas , kurator, dan anggota panitia kreditur, apabila dalam<br />

kepailitan terdahulu ada suatu panitia seperti itu. hakim pengawas,<br />

kurator dan anggota panitia kreditur, apabila dalam kepailitan<br />

terdahulu ada suatu panitia seperti itu. Hakim pengawas, kurator dan<br />

anggota panitia tersebut sedapat mungkin siangkat diangkat dari<br />

mereka yang dahulu dlam kepailitan tersebut telah memangku<br />

jabatannya. Kurator wajib memberitahukan dan mengumumkan<br />

Putusan tersebut dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15<br />

ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. 36<br />

3. Akibat <strong>Hukum</strong> Pembatalan Perdamaian<br />

36 Ibid, hal. 170.<br />

61


Kepailitan dibuka kembali, maka berlaku Pasal 17 ayat (1),<br />

Pasal19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan pasal-pasal yang termaktub<br />

dalam bagian kedua, bagian ketiga dan abgian keempat BAB II<br />

Undang-Undang ini. Demikian pula berlaku ketentuan mengenai<br />

pencocokan piutang terbatas pada piutang yang belum dicocokan.<br />

Kreditur yang piutangnya telah dicocokan wajib dipanggil juga untuk<br />

menghadiri rapat pencocokan piutang dan berhak untuk membantah<br />

piutang yang dimintakan penerimaannya (Pasal 173 Undang-undang<br />

Nomor 37 Tahun 2004).<br />

Pasal 174 menentukan bahwa: “Dengan tidak mengurangi berlakunya<br />

Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44, apabila ada alasan untuk<br />

itu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Debitur di dalam waktu<br />

antara pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali Kepailitan<br />

adalah mengikat bagi harta pailit”.<br />

Setelah Kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat lagi<br />

ditawarkan perdamaian. Kurator wajib seketika memualai dengan<br />

pemberesan harta pailit (Pasal 175 Undang-Undang Nomor 37 Tahun<br />

2004). Adapun apabila kepailitan dibuka kembali, harta pailit dibagi<br />

anatara para Kreditur dengan cara:<br />

a. Jika Kreditur lama maupun kreditur baru belum mendapat<br />

pembayaran, hasil penguangan harta pailit di bagi antara mereka<br />

secara prorata;<br />

62


37 Ibid, hal.171<br />

b. Jika setelah terjadi pembayaran sebagian piutang kepada kreditur<br />

lama, maka kreditur lama dan kreditur baru berhak menerima<br />

pembayaran sesuai dengan presentase yang telah disepakati dlam<br />

perdamaian;<br />

c. Kreditur lama dan kreditur baru berhak memperoleh pembayaran<br />

secara prorata atas sisa harta pailit setelah setelah dikurangi<br />

pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b samapai<br />

dipenuhinya seluruh piutang yang diakui.<br />

Kreditur lama yang telah memperoleh pembayaran tidak<br />

diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya<br />

(Pasal 176 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Yang dimaksud<br />

dengan “prorata” adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang<br />

masing-masing, sedangkan yang dimaksud “sebagian” adalah bagian<br />

berapapun (Penjelasan Pasal 176 huruf a dan huruf b Undang-<br />

Undang Nomor 37 Tahun 2004). Ketentuan sebagaimana dimaksud<br />

dalam Pasal 176 berlaku mutatis mutandis dalam hal debitur sekali<br />

lagi dinyatakan Pailit. 37<br />

63


BAB III<br />

METODE PENELITIAN<br />

A. Tipe Penelitian<br />

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis<br />

Normatif yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang tertutup otonom,<br />

terlepas dari perilaku kehidupan masyarakat dan mengabaikan norma hukum. 38<br />

Peneliti mencoba memfokuskan dan menjawab permasalahan dari segi kaca mata<br />

hukum dan mengabaikan norma lain selain hukum.<br />

B. Metode Penelitain<br />

Berdasarkan rumusan masalah yang ada di dalam penelitian ini, pendekatan yang<br />

dipergunakan adalah Pendekatan Perudang-undangan (Statue Approach) dan<br />

Pendekatan Analitis (Analytical Approach).<br />

C. Spesifikasi Penelitian<br />

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah<br />

Preskriptif 39 , yaitu menganalisis persoalan hukum dengan aturan yang berlaku dan<br />

cara mengoperasionalkan aturan tersebut dalam peristiwa hukum.<br />

38<br />

Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian <strong>Hukum</strong>, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1988,<br />

hal.13.<br />

39<br />

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian <strong>Hukum</strong>, Kencana Media Group, Jakarta, 2010, hal.22.<br />

64


1. Bahan <strong>Hukum</strong> Primer<br />

D. Sumber Bahan <strong>Hukum</strong><br />

Bahan <strong>Hukum</strong> Primer yaitu semua aturan hukum yang dibentuk dan/ atau<br />

dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan/ atau badan-badan<br />

pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa<br />

yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat Negara. Dalam penelitian ini,<br />

bahan hukum primer yang digunakan adalah:<br />

a. HIR (Het Herzine Indonesich Reglement),<br />

b. KUH Perdata,<br />

c. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan<br />

Kewajiban Pembayaran Utang,<br />

d. Undang-Undang Nomor Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang<br />

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14<br />

Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,<br />

e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung,<br />

f. Peraturan perundang-undangan lainnya yang memiliki kaitan dengan objek<br />

penelitian,<br />

g. Putusan Mahkamah Agung Nomor. 771/Pdt.Sus/2010.<br />

2. Bahan <strong>Hukum</strong> Sekunder<br />

Bahan <strong>Hukum</strong> Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya<br />

dengan bahan hukum primer dan dapat yang memberikan penjelasan mengenai<br />

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan<br />

65


hukum primer berupa literatur atau pustaka yang berkaitan dengan<br />

permasalahan yang diteliti.<br />

3. Bahan <strong>Hukum</strong> Tersier<br />

Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk<br />

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,<br />

seperti kamus (hukum), ensklipodia. 40<br />

E. Metode Penyajian <strong>Hukum</strong><br />

Bahan hukum dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara teks<br />

normatif yaitu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang<br />

disusun secara logis dan sistematis. Keseluruhan bahan hukum yang diperoleh<br />

dihubungkan sedemikian rupa satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan<br />

pokok permasalahan yang diteliti untuk menjawab permasalahan yang ada.<br />

F. Metode Analisi Bahan <strong>Hukum</strong><br />

Berdasarkan norma hukum yang tertulis saja tidak cukup untuk langsung<br />

diterapkan dalam fakta hukum. Rumusan norma masih abstrak sehingga<br />

diperlukan kegiatan penemuan hukum (Rechtsvinding).<br />

Hakim dalm menemukan hukum ada tiga metode yaitu penafsiran hukum<br />

atau interpretasi, argumentasi dan konstruksi hukum. 41<br />

1. Interpretasi atau penafsiran, merupakan metode penemuan hukum yang<br />

memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang<br />

40<br />

Amirudin, dan H.Zainal, Asikin, Pengantar Metode Penelitian <strong>Hukum</strong>, PT. Raja Grafindo<br />

Persada, Jakarta, 2003, hal.32.<br />

41<br />

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan <strong>Hukum</strong>, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hal.76.<br />

66


lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.<br />

Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna<br />

undang-undang.<br />

Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode<br />

yaitu secara:<br />

a. Metode interpretasi subsumtif adalah penerapan suatu teks perundang-<br />

undangan terhadap kasus in concreto dengan belum memasuki taraf<br />

penggunaan penalaran dan penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekedar<br />

menerapkan silogisme.<br />

b. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara penafsiran<br />

yang yang menafsirkan undang-undang menurut arti kata-kata (istilah) yang<br />

terdapat pada undang-undang. Hakim wajib menilai arti kata yang lazim<br />

dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.<br />

c. Metode interpretasi secara Sistematis atau Dogmatis yaitu penafsiran yang<br />

menafsirkan peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan<br />

hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.<br />

Karena, terbentuknya suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan<br />

bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlakusehingga<br />

tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat<br />

dengan peraturan perundang-undangan lainnya.<br />

d. Metode interpretasi secara Historis yaitu menafsirkan undang-undang<br />

dengan cara meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau<br />

terjadinya peraturan undang-undang yang bersangkutan.<br />

67


e. Metode interpretasi secara Teleologis atau Sosiologis yaitu cara penafsiran<br />

suatu ketentuan undang-undang untuk mengetahui makna atau yang<br />

didasarkan pada tujuan kemasyarakatan.<br />

f. Interpretasi Komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan<br />

jalan membandingkan antara sistem hukum. Terutama bagi hukum yang<br />

timbul dari perjanjian internasional.<br />

g. Interpretasi Antisipatif atau Futuristis yaitu cara penafsiran yang<br />

menjelaskan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-<br />

undang yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan<br />

undang-undang.<br />

h. Interpretasi Restriktif adalah sebuah perkataan diberi makna sesuai atau<br />

lebih sempit dari arti yang diberikan pada perkataan itu dalam kamus atau<br />

makna yang dilazimkan dalam pada perkataan itu dalam kamus atau makna<br />

yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.<br />

i. Interpretasi Ekstensif adalah sebuah perkataan diberi makna lebih luas<br />

ketimbang arti yang diberikan pada perkataan itu menurut kamus atau<br />

makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.<br />

j. Interpretasi Otentik atau secara resmi dilakukan oleh pembuat undang-<br />

undang sendiri dengan mencantumkan arti beberapa kata yang digunakan di<br />

dalam suatu peraturan. Hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran<br />

dengan cara lain selain dari apayang telah ditentukan pengertiannya di<br />

dalam undang-undang itu sendiri.<br />

68


k. Interpretasi Interdisipliner biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah<br />

yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika<br />

penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.<br />

l. Interpretasi Multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu<br />

atau beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan perkataan<br />

lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari dari disiplin<br />

ilmu yang berbeda-beda.<br />

m. Interpretasi dalam Kontrak atau Perjanjian adalah menentukan makna yang<br />

harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak<br />

dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul kareananya.<br />

n. Interpretasi dalam Perjanjian Internasional yaitu penafsiran dalam<br />

perjanjian-perjanjian internasional, baik yang diatur dalam Konvensi,<br />

pendapat para ahli maupun dari berbagai keputusan pengadilan.<br />

2. Metode Argumentasi yaitu metode penemuan hukum yang diguanakan hakim<br />

apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara<br />

khusus mengenai peristiwa yang terjadi. Metode dalam argumentasi:<br />

a. Metode Konstruksi Analogi (Argumentum Per Analogian) yaitu merupakan<br />

metode penemuan hukum dengan cara memasukan suatu perkara ke dalam<br />

lingkup pengaturan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk<br />

menyelesaikan perkara yang bersangkutan.<br />

b. Argumentum a contratio atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan<br />

atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan<br />

69


pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur<br />

dalam undang-undang.<br />

c. Penyempitan <strong>Hukum</strong>. Pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya<br />

umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang ksusus<br />

dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.<br />

3. Konstruksi <strong>Hukum</strong> yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk<br />

pengertian (hukum) yang merupakan alat yang dipakai untuk menyusun bahan<br />

hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang<br />

baik.<br />

Bahan hukum yang telah diperoleh akan dianalisis secara<br />

kualitatif, dengan menggunakan interpretasi atau penafsiran. Hal ini dilakukan,<br />

karena pada dasarnya baik hukum materill maupun hukum formil sudah<br />

memberikan pengaturan hukum terhadap suatu hubungan hukum yang ada<br />

dalam masyarakat.<br />

70


A. Hasil Penelitian<br />

BAB IV<br />

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil penelitian ini didasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Nomor.<br />

771 K/Pdt. Sus/2010, yang akan diuraikan sebagai berikut:<br />

1. Para Pihak<br />

1.1. Pihak Pemohon<br />

1.1.1. PT. Interkon Kebon Jeruk, yang diwakili oleh Hakim<br />

Saut Simamora, Tjio Johan Kasendra, masing-masing<br />

selaku Direktur, berkedudukan di Jl. Meruya Ilir Raya 14,<br />

Jakarta Barat, dalam hal ini memberi kuasa kepada:<br />

Robertus Ori Setianto, SH.MH. dan kawan, Advokat pada<br />

SS.co D1, Jl. Fachruddin No. 5, Jakarta Pusat, berdasarkan<br />

kuasa khusus tanggal 2 Agustus 2020;<br />

1.1.2. Octavia Widyastuti Alim, betempat tinggal di Permata<br />

Hijau Blok B/32 RT. 015/012, Kelurahan Grogol Utara,<br />

Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Elisabeth<br />

Prayogo, bertempat tinggal di Jl. Kamboja RT. 004<br />

RW.003, Kelurahan Cipete Selatan, Kecamatan Cilandak,<br />

Jakarta Selatan. Swanda Salim, bertempat tinggal di Ruko<br />

Taman Komplek Grawisa Blok D No. 14 A, Jakarta Barat,<br />

Yohanes Hartanto, bertempat tinggal di Ruko Taman<br />

71<br />

Kebon Jeruk Blok W IV No. 11 Jalan Raya Joglo


Srengseng, Jakarta Barat. Eddy Hartono, bertempat tinggal<br />

di Jl. Duri Utama Raya No. 5 RT. 003 RW. 007, Kelurahan<br />

Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Drs.<br />

Abdul Salam, bertempat tinggal di Komplek Moneter No.<br />

C34 RT. 005 RW. 003, Kelurahan Kembangan Selatan,<br />

Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat.Cornelia<br />

Tiosudarmin, bertempat tinggal di Jl.Satria II Blok D No.<br />

81.Trio Jono, bertempat tinggal di Jl. Puri Kembangan<br />

Timur E 1 No. 45, RT. 005/RW. 005 Kelurahan<br />

Kembangan Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat.<br />

Ratna E Jl Tobing, bertempat tinggal di Jl. Taman Kebon<br />

Jeruk J 5/2 Rt. 002/003 Kel. Srengseng, Kec.Kembangan,<br />

Jakarta Barat. Hedy Yani, bertempat tinggal di Jl. Kebon<br />

Jeruk Baru C3 No. 8 Rt. 008/008 Kel.Kebon Jeruk, Kec.<br />

Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Lina Gozali, bertempat tinggal<br />

di Jl. Sanggrahan No.17 Rt. 001/003, Kel. Meruya Utara,<br />

Kec. Kembangan, Jakarta Barat. Liliani Wihardjo,<br />

bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk Blok I VII/44,<br />

Jakarta Barat. Meyliana Susanti Hirawan, bertempat<br />

tinggal di Taman Kebon Jeruk I 7/62, Jakarta Barat.<br />

Herawati Santoso, bertempat tinggal di Taman Kebon<br />

Jeruk G 1/51, Kembangan, Jakarta Barat. Sherwin A. Surja<br />

Atmadja, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk C 1/26<br />

72


Rt. 005/09, Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat. Drg.<br />

Lizza Christina, bertempat tinggal di Jl. Soka No. 3 Rt.<br />

004/07, Kel. Tambaksari, Kec. Tambaksari, Surabaya.<br />

Waluyo Hadi P, bertempat tinggal di Gria Mas II Blok B<br />

No. 3A, Srengseng, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sajuri<br />

Kartika Isanto, bertempat tinggal di Jl.Widya Candra 8<br />

No. 6 RT. 008/001 Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta<br />

Selatan. Megahartawan Santoso, bertempat tinggal di<br />

HOS Cokroaminoto No. 24 A Rt. 005/004, Gondangdia,<br />

Menteng. Lingga Iswara, bertempat tinggal di Jl. Kebon<br />

Palma Raya Blok F/33 Rt.016/020, Kedoya Selatan, Kebon<br />

Jeruk, Jakarta Barat. Bong Mei Tjen, bertempat tinggal di<br />

Jl. Widya Chandra 8 No. 6 Rt. 008/01, Senayan, Kebayoran<br />

Baru, Jakarta Selatan. The Sui An, bertempat tinggal di Jl.<br />

Tanah Abang II No. 112 Rt. 09/03, Gambir, Jakarta Pusat.<br />

Savina Gozali, bertempat tinggal di Jl. Taman Daan Mogot<br />

IV No. 5 RT. 001/RW. 001, kesemuanya dalamhal ini<br />

memberi kuasa: Husin Helmi, SH. dan kawan, Advokat<br />

berkantor di Wisma Sejahtera Lt. 2 No. 201 A Jl. S. Parman<br />

Kav. 75, Jakarta Barat, berdasarkan surat kuasa khusus<br />

tanggal 30 Juli 2010 dan tanggal 2 Agustus 2010.<br />

1.1.3. Eddy Yowono, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk,<br />

73<br />

Blok E No. 2/3 RT. 001/010 Srengseng Kembangan, Jakarta


Barat. Yanti Husada, bertempat tinggal di Taman Kebon<br />

Jeruk, Blok E No. 2-3 RT. 001/010 Srengseng Kembangan,<br />

Jakarta Barat. Liliany Wihardjo, bertempat tinggal di<br />

Taman Kebon Jeruk Blok 1-7/44 RT. 005/RW. 011,<br />

Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta<br />

Barat. Indriyani, bertempat tinggal di Jl. Tawakal VI/4 RT.<br />

010 RW. 009, Kelurahan Tomang, Kecamatan Grogol,<br />

Jakarta Barat, keempatnya dalam hal ini memberi kuasa<br />

kepada: H. Turaji, SH.MM.M.Hum. dan kawan-kawan,<br />

Advokat pada Global Law Firm, berkantor di Gedung<br />

Lingga Dharma No. 17, Jl. Warung Buncit, Jakarta 12550,<br />

berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 30 Juli 2010;<br />

1.1.4. Rainford Investment Inc, berkedudukan Oliaji Trade<br />

1.2. Pihak Termohon<br />

Central 1st floor, Victoria Seychelles, Singapura sebuah<br />

Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan hukum<br />

Singapura, dalam hal ini memberi kuasa kepada: Silvester<br />

Manis, SH. dan kawan-kawan, Advokat pada Kantor<br />

<strong>Hukum</strong> VERITAS, berkantor di Jl. Kayu Manis Satu Lama,<br />

Palmeriam, Jakarta Timur 13140, berdasarkan surat kuasa<br />

khusus tanggal 30 juli 2010.<br />

Para Pemohon Kasasi dahulu Termohon Pailit.<br />

74


1.2.1. Tomi Bungaran dan Dra. Ida Hartono, bertempat tinggal<br />

di Puri Marina No. 8 Ancol, Jakarta Utara;<br />

1.2.2. Bernadet Lianawaty, bertempat tinggal di Pulau Anyer<br />

II/29 Buana Taman Permata;<br />

1.2.3. Budy Hartono, bertempat tinggal di Jl. Pintu Air II/65,<br />

Jakarta;<br />

1.2.4. Heny Anwari, bertempat tinggal di Taman Pluit Murni I<br />

No. 2;<br />

1.2.5. Magdalena Massie, bertempat tinggal di Menun<br />

Pumpungan 3-5, Surabaya;<br />

1.2.6. Rocky Batiaan, bertempat tinggal di Manyar Tompotika<br />

AA 6-7 Surabaya;<br />

1.2.7. Lie Wie-Wie Sulistyo, bertempat tinggal di Jl. Duta Indah<br />

II/25 Jakarta;<br />

1.2.8. Harijanto Kertasasmita, bertempat tinggal di Taman<br />

Kebon Jeruk Blok 06/20, Jakarta Barat;<br />

1.2.9. Inggriati Selamat, bertempat tinggal di Kemanggisan<br />

Utama VIII/1;<br />

1.2.10. Oendi Widjaja, Melinda Rosita Chandrasari, bertempat<br />

tinggal di Gempol Wetan No. 203 danTaman Kebon Jeruk<br />

KI/39;<br />

1.2.11. So Juliata Lenny Sumampouw, bertempat tinggal di<br />

Taman Kebon Jeruk J 13/6, Jakarta Barat;<br />

75


1.2.12. Ir. Tjandra Kumala Dewi, bertempat tinggal di Jl. Palem<br />

2. Alasan Pengajuan Kasasi<br />

Raya No. 1135, Jakarta Barat, semuanya dalam hal ini<br />

memberi kuasa kepada: Horas Panjaitan, SH. Advokat<br />

berkantor di Horas Panjaitan, SH. & Rekan, Jl. Biak Blok<br />

B3 Lt. 1 (Roxi) Cideng, Gambir, Jakarta Pusat.<br />

Para Termohon Kasasi dahulu Pemohon Pailit.<br />

2.1. Alasan Kasasi Pemohon I<br />

2.1.1. Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam memutus<br />

perkara telah melakukan beberapa kesalahan<br />

penerapan hukum dan melanggar yang berlaku.<br />

a. Judex Facti melakukan pelanggaran berat hukum acara<br />

mengenai Intervensi.<br />

Bahwa dalam proses sidang pemeriksaan perkara<br />

Nomor 03/ Pembatalan Perdamaian/<br />

2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. Muncul 3 pihak berkepentingan,<br />

yang mengajukan permohonan intervensi dalam perkara<br />

a quo, yaitu:<br />

- Turut Termohon Kasasi 1 s/d Turut Termohon<br />

Kasasi 9/dahulu Pemohon Intervensi I selaku para<br />

kreditur pembeli kavling Pemohon Kasasi;<br />

76


- Turut Termohon Kasasi 10 s/d Turut Termohon<br />

77<br />

Kasasi 13/dahulu Pemohon Intervensi II, juga selaku<br />

para kreditur pembeli kavling Pemohon Kasasi;<br />

- Turut Termohon Kasasi 14/dahulu Pemohon<br />

Intervensi III selaku kreditur separatis Pemohon<br />

Kasasi.<br />

Ketiganya, merupakan pihak-pihak dalam<br />

Perdamaian, yang telah disahkan dalam Putusan Nomor<br />

027/Pailit /2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor<br />

21K/N/2006 jo Nomor 019PK/N/2006, tanggal 21<br />

April 2009 (selanjutnya disebut "Perdamaian"), yang<br />

dimohonkan pembatalannya oleh Para Termohon<br />

Kasasi/Pemohon Pailit;<br />

Bahwa Para Turut Termohon Kasasi/Para Pemohon<br />

Intervensi selaku pihak dalam Perdamaian, sangat<br />

berkepentingan dengan permohonan pembatalan<br />

Perdamaian, yang diajukan oleh Para Termohon<br />

Kasasi;<br />

Bahwa adanya Putusan Sela untuk menentukan Para<br />

Pemohon Intervensi dapat ikut serta dalam perkara,<br />

kembali ditegaskan Mahkamah Agung RI dalam<br />

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi<br />

Pengadilan Buku II terbitan Mahkamah Agung RI


tahun 1998, cetakan ke-3 halaman 119 Khusus<br />

Mengenai Intervensi: Interventie (tussenkomst) terjadi:<br />

a. Apabila pihak ketiga merasa mempunyai<br />

kepentingan yang akan terganggu, jika ia tidak ikut<br />

dalam proses perkara itu;<br />

b. Misalnya dalam interventie barang milik<br />

intervenient, yang diperebutkan aleh Penggugat dan<br />

Tergugat. Untuk mendapatkan barang itu dan agar<br />

78<br />

barang itu dinyatakan sebagai miliknya, maka<br />

interventie diajukan Interventie dikabulkan atau<br />

ditolak dengan putusan sela;<br />

Bahwa Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan<br />

menyatakan: "Kecuali ditentukan lain dalam undang-<br />

undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah<br />

hukum acara perdata";<br />

Sehingga mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut,<br />

permohonan intervensi dari Para Pemohon Intervensi<br />

haruslah terlebih dahulu diputus dengan Putusan Sela,<br />

apakah intervensi tersebut diterima atau tidak;<br />

Bahwa akan tetapi, Majelis Hakim dalam perkara No.<br />

03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst.,<br />

ternyata:


a. Sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada<br />

79<br />

Pemohon Kasasi/Termohon Pailit maupun Para<br />

Termohon Kasasi/Pemohon Pailit untuk menanggapi<br />

permohonan intervensi tersebut;<br />

b. Sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan<br />

Pemohon Kasasi/Termohon Pailit maupun Para<br />

Termohon Kasasi/ Pemohon Pailit dalam<br />

permohonan intervensi tersebut;<br />

c. Tidak membuat Putusan Sela apakah menerima atau<br />

menolak adanya intervensi tersebut, tetapi hanya<br />

mengeluarkan Putusan Sela berkaitan dengan adanya<br />

eksepsi Kompetensi Absolut (vide Putusan Sela<br />

Nomor.03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.<br />

Jkt.Pst. tgt. 14 Juli 2010);<br />

Bahkan dalam Putusan Nomor. 03/Pembatalan<br />

Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. tgl. 28 Juli 2010,<br />

Majelis Hakim Pengadilan Niaga Sama Sekali Tidak<br />

Menguraikan Adanya Permohonan Intervensi, maupun<br />

Mempertimbangkan dalil-dalil Keberatan Para<br />

Pemohon Intervensi, dengan demikian, Majelis Hakim<br />

dalam Perkara No. 03/Pembatalan<br />

Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst, telah melakukan


80<br />

pelanggaran hukum acara, sehingga putusan a quo cacat<br />

hukum dan haruslah dibatalkan;<br />

b. Judex Facti melanggar ketentuan hukum, dengan tidak<br />

mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi, bahwa<br />

Kuasa Pemohon Pailit tidak mempunyai Legal Standing<br />

untuk memohon Pembatalan Perdamaian.<br />

Bahwa Majelis Hakim tingkat Pertama dalam<br />

Putusannya sama sekali tidak mempertimbangkan<br />

Eksepsi Pemohon Kasasi, bahwa Kuasa <strong>Hukum</strong> Para<br />

Termohon Kasasi, tidak pernah diberi kewenangan<br />

untuk mengajukan permohonan pembatalan<br />

Perdamaian;<br />

Berdasarkan 12 Surat Kuasa dari prinsipal/Pemohon<br />

Pailit asli (vide Bukti P-1), Sdr. Horas Panjaitan, SH.<br />

selaku Kuasa <strong>Hukum</strong> Pemohon Pailit, sama sekali tidak<br />

diberi wewenang untuk mengajukan permohonan<br />

pembatalan perdamaian yang dihomologasi dengan<br />

Putusan No. 027/PAILIT/2006/PN.Niaga.jkt.pst. jo.<br />

Nomor. 21 K/N/2006 jo. No. 019PK/N/2006 tgl. 29<br />

April 2009. Bahkan dalam Surat Kuasa tidak disebutkan<br />

sama sekali mengenai permohonan pembatalan<br />

perdamaian, padahal permohonan pembatalan<br />

perdamaian jelas memerlukan Surat Kuasa Khusus,


tidak cukup hanya dengan Surat Kuasa untuk<br />

mengajukan permohonan pailit, dengan demikian,<br />

Putusan Majelis Hakim tingkat pertama yang sama<br />

sekali tidak mempertimbangkan Eksepsi Pemohon<br />

Kasasi telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku<br />

dan haruslah dibatalkan.<br />

c. Judex Facti melanggar ketentuan hukum dengan tidak<br />

mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi mengenai<br />

Permohonan Pembatalan Perdamaian Prematur.<br />

Bahwa Majelis Hakim tingkat Pertama dalam<br />

Putusannya sama sekali tidak mempertimbangkan<br />

adanya Eksepsi Pemohon Kasasi, bahwa Perdamaian<br />

baru merupakan perjanjian awal, yang masih harus<br />

ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan<br />

penandatanganan Akta Jual Beli, dimana Para<br />

Termohon Kasasi ternyata belum datang untuk<br />

menindaklanjuti Perdamaian dengan memproses Akta<br />

Jual Belinya masing-masing, meskipun telah diundang<br />

oleh Pemohon Kasasi, tetapi Para Termohon Kasasi<br />

yang tidak melaksanakan Perdamaian tersebut malah<br />

mengajukan pembatalan Perdamaian yang telah<br />

disepakati.<br />

81


Berdasarkan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI<br />

Nomor 638K/Sip/1969 tgl. 22 Juli 1970, Putusan<br />

Majelis Hakim tingkat pertama yang tidak<br />

mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi tersebut<br />

merupakan putusan yang kurang cukup<br />

dipertimbangkan, sehingga melanggar ketentuan hukum<br />

yang berlaku dan haruslah dibatalkan.<br />

d. Judex Facti melakukan kesalahan berat penerapan<br />

hukum mengenai Pembuktian.<br />

Pertimbangan putusan Majelis tingkat Pertama halaman<br />

37 alinea 1 dan 2:<br />

"Menimbang bahwa pertimbangan Majelis Hakim<br />

tersebut didasarkan pada bukti surat P-5 yang<br />

dikeluarkan oleh Departemen keuangan RI, Direktorat<br />

Jenderal Pajak menyatakan: "Surat Keterangan bebas<br />

pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final atas<br />

penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau<br />

bangunan terhadap alamat Unit tanah dan/atau<br />

bangunan Taman Kebon Jeruk Blok L.1 Nomor 8;<br />

Menimbang bahwa demikian halnya terhadap bukti<br />

surat (P8, P8a s/d P8u) dan Termohon telah dan tetap<br />

membebankan PPh kepada Para Kreditur di mana<br />

82<br />

seharusnya biaya pengalihan hak, incasu PPh,


seharusnya para Kreditur dibebaskan dari pembayaran<br />

pajak Penghasilan atas tanah."<br />

Keberatan:<br />

Bahwa Majelis Pengadilan Niaga jelas melakukan<br />

kesalahan berat penerapan hukum, dengan mendasarkan<br />

putusannya atas Surat Bukti P5, P8, P8a s/d P8u dari<br />

Para Termohon Kasasi/Pemohon Pailit, yang seluruhnya<br />

merupakan fotokopi yang tidak dapat menunjukkan<br />

aslinya.<br />

Bahwa selain itu, seluruh bukti a quo bukan merupakan<br />

bukti transaksi Para Termohon Kasasi, melainkan<br />

merupakan bukti milik orang lain yang telah selesai<br />

melaksanakan Perdamaian dengan Pemohon Kasasi<br />

dengan penandatanganan Akta Jual Beli dengan baik<br />

tanpa keberatan/sengketa apapun, sehingga Para<br />

Termohon Kasasi merupakan pihak ketiga yang tidak<br />

memiliki Legal Standing untuk menggunakan bukti<br />

tersebut mendalilkan adanya wanprestasi Pemohon<br />

Kasasi;<br />

Bahwa dengan demikian, putusan Nomor.<br />

03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst.<br />

didasari bukti-bukti yang tidak sah, sehingga Putusan a<br />

quo haruslah dibatalkan.<br />

83


e. Judex Facti melakukan kesalahan penerapan hukum<br />

dengan mengabulkan tuntutan Wanprestasi oleh pihak<br />

ketiga yang tidak berhak.<br />

Pertimbangan Putusan Majelis Pengadilan Niaga<br />

halaman 34:<br />

"Menimbang, bahwa Pemohon dalam permohonannya<br />

bertanggal 1Juni 2010 mendalilkan Termohon Pailit PT<br />

lntercon Kebon Jeruk telah melanggar isi perjanjian<br />

perdamaian dan lalai melaksanakan apa yang ditetapkan<br />

dalam lampiran I Proposal Perdamaian tentang biaya<br />

peralihan hak yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan<br />

peraturan perUndang-Undangan yang berlaku."<br />

Pertimbangan Putusan Majelis Pengadilan Niaga<br />

halaman 36 alinea terakhir:<br />

"Menimbang bahwa berdasarkan bukti P-7 yang dibuat<br />

aleh PT. Interkon Kebon Jeruk terhadap Blok L.1<br />

Nomor 8 telah membebankan dengan mencantumkan<br />

pembebanan biaya PPh sebesar Rp. 93.487.500,- kepada<br />

Suwarno Dicky Yusuf selaku Kreditur pembeli kavling<br />

Blok L 1/8 ..."<br />

84


Keberatan:<br />

Bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama keliru<br />

membatalkan permohonan pembatalan perdamaian yang<br />

diajukan oleh Para Termohon Kasasi atas dasar bukti P-<br />

7 untuk kavling Blok L1 No. 8 rnilik orang lain, yaitu<br />

Suwarno Dicky Yusuf (Bukan Pemohon Pailit), karena<br />

Para Termohon Kasasi tidak memiliki Kuasa atau<br />

“Illegal Standing" untuk bertindak mengatas namakan<br />

Suwarno Dicky Yusuf dan transaksi Suwarno Dicky<br />

Yusuf tidak dapat digunakan untuk keuntungan Para<br />

Termohon Kasasi;<br />

Bahwa pertimbangan Putusan a quo jelas melanggar<br />

Pasal 1340 KUHPerdata, yang menyatakan sbb:<br />

"Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang<br />

membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat<br />

membawa rugi pada pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak<br />

ketiga mendapat mandat karenanya ...";<br />

Bahwa apalagi, pihak ketiga Suwarno Dicky Yusuf<br />

tersebut sama sekali tidak ada sengketa wanprestasi atau<br />

klaim apapun terhadap Pemohon Kasasi, malah<br />

Perdamaian antara Pemohon Pailit dengan pihak ketiga<br />

85<br />

Suwarno Dicky Yusuf tersebut telah selesai


dilaksanakan dengan baik, dengan telah selesainya<br />

penandatanganan Akta Jual Beli;<br />

Bahwa dengan demikian, jelas Majelis Hakim<br />

Pengadilan Niaga telah melakukan pelanggaran hukum,<br />

sehingga putusan a quo haruslah dibatalkan.<br />

f. Judex Facti melanggar hukum kepailitan dengan<br />

membatalkan Perdamaian tanpa adanya Wanprestasi,<br />

bahkan melanggar hukum menganulir butir-butir<br />

Perdamaian yang telah disepakati dan dihomologasi.<br />

Bahwa Pemohon Kasasi keberatan atas pertimbangan<br />

putusan Majelis tingkat Pertama, halaman 36 Putusan:<br />

"Menimbang bahwa dari bukti surat P2 dihubungkan<br />

dengan bukti surat T3.b (berupa Lampiran I Proposal<br />

perdamaian) yang merupakan satu kesatuan dalam<br />

Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi dan<br />

oleh Termohon pailit telah lalai memenuhi isi<br />

perdamaian dalam hal: Adanya Termohon Pailit<br />

mewajibkan Pembayaran PPh dan;<br />

Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama, halaman<br />

38 alinea 1-2Putusan:<br />

"Menimbang bahwa dengan demikian Termohon Pailit<br />

telah tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 1.2 yaitu<br />

86<br />

tidak melaksanakan proposal perdamaian tanggal 1


April 2009, beserta lampiran I Proposal perdamaian<br />

khususnya pada angka Romawi I tentang biaya<br />

peralihan hak yang jumlahnya harus sesuai dengan<br />

ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhadap<br />

pembebanan jenis biaya PPh ...";<br />

Keberatan:<br />

Bahwa Majelis Hakim tingkat Pertama jelas keliru<br />

menyatakan Pemohon Kasasi telah lalai memenuhi isi<br />

perdamaian dengan mewajibkan pembayaran PPh;<br />

Bahwa pengenaan biaya PPh adalah tercantum dalam<br />

Perdamaian yang telah disepakati dalam voting (dengan<br />

suara setuju 98,35%) dan telah dihomologasi,<br />

sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Proposal<br />

Perdamaian.<br />

Pasal 162 UUK menyatakan:<br />

"Perdamaian yang disahkan berlaku bagi semua<br />

Kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan,<br />

dengan tidak ada pengecualian, baik yang telah<br />

mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak”;<br />

Pasal 170 UUK menyatakan:<br />

1) Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu<br />

perdamaian yang telah disahkan, apabila Debitor<br />

lalai memenuhi isi perdamaian tersebut;<br />

87


2) Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian<br />

telah dipenuhi..."<br />

Jadi Perdamaian Pemohon Kasasi yang telah<br />

dihomologasi sah dan mengikat seluruh kreditur<br />

termasuk Para Termohon Kasasi dan berdasarkan Pasal<br />

170 Undang-Undang Kepailitan, satu-satunya alasan<br />

pembatalan perdamaian hanyalah adanya ingkar janji.<br />

Bahwa dengan demikian, butir-butir perdamaian yang<br />

telah disepakati, lebih-lebih telah dihomologasi, telah<br />

mengikat sebagai hukum, sehingga tidak dapat<br />

dibatalkan atas dasar alasan apapun;<br />

Dikuatkan Pasal1338 KUHPerdata:<br />

"Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku<br />

sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya;<br />

Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali<br />

selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena<br />

alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan<br />

cukup untuk itu; Persetujuan-persetujuan harus<br />

dilaksanakan dengan itikad baik";<br />

Para Termohon Kasasi mengajukan permohonan<br />

pembatalan Perdamaian, dengan alasan keberatan atas<br />

88<br />

butir-butir yang telah disepakati dalam Perdamaian,


yaitu keberatan mengenai butir biaya PPh, BPHTB<br />

(vide Lampiran I Perdamaian);<br />

Bahwa Para Termohon Kasasi mempersoalkan dan<br />

menolak jumlah besaran PPh 5% dari NJOP tahun<br />

transaksi jual beli dan menggunakannya sebagai alasan<br />

pembatalan Perdamaian, padahal ketentuan tarif<br />

tersebut jelas-jelas ditetapkan oleh Undang-Undang,<br />

bukan oleh Pemohon Pallit;<br />

Ketentuan Peraturan perUndang-Undangan mengenai<br />

jumlah PPh; Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 71 tahun<br />

2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan<br />

Pemerintah No. 48 tahun 1998 tentang Pembayaran<br />

Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan<br />

Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:<br />

1) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud<br />

dalam Pasal 2 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima<br />

persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas<br />

tanah dan/atau bangunan;<br />

2) Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam<br />

89<br />

ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai<br />

berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual<br />

Objek Pajak tanah dan/atau bangunan;


3) Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud<br />

90<br />

dalam ayat (2) adalah Nilai Jual Objek Pajak<br />

menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak<br />

Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan".<br />

Dasar hukum yang dijadikan dasar dalil Para<br />

Termohon Kasasi pun menggunakan bukti<br />

pelaksanaan butir-butir Perdamaian Milik Pembeli<br />

Lain, yang telah selesai Akta Jual Beli dengan baik<br />

tanpa sengketa, sehingga justru membuktikan bahwa<br />

Debitur telah melaksanakan/ memenuhi Perdamaian;<br />

Majelis Hakim dalam tingkat Pertama malah<br />

menganulir begitu saja Perdamaian atas permohonan<br />

sepihak Para Termohon Kasasi yang hanya sebagian<br />

kecil peserta Perdamaian (12 dari 206 kreditur,<br />

mewakili hanya 1% dari total tagihan), yang<br />

menolak tarif yang ditetapkan undang-undang,<br />

sehingga melanggar ketentuan Pasal 162 Undang-<br />

Undang Kepailitan jo. Pasal 170 Undang-Undang<br />

Kepailitan jo. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor.<br />

71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas<br />

Peraturan Pemerintah Nomor.48 Tahun 1998 tentang<br />

Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari


Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan,<br />

karenanya putusan a quo haruslah dibatalkan.<br />

g. Judex Facti melakukan kesalahan berat mengenai<br />

Penerapan hukum dengan mencampuradukan Biaya<br />

Biro Jasa Pengurusan Sertifikat dengan biaya Sertifikat<br />

menurut Undang-Undang.<br />

Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama, halaman<br />

36 alinea 3 Putusan:<br />

"Menimbang bahwa dari bukti surat P2 dihubungkan<br />

dengan bukti surat T3.b. (berupa Lampiran I Proposal<br />

perdamaian) yang merupakan satu kesatuan dalam<br />

Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi dan<br />

oleh Termohon Pailit telah lalai memenuhi isi<br />

perdamaian dalam hal:<br />

Pembebanan biaya pengukuran yang tidak sesuai<br />

dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang<br />

berlaku";<br />

Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama, halaman<br />

37 alinea 3-5 Putusan:<br />

"Menimbang bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan<br />

apakah biaya pengukuran/pemecahan Sertifikat (Point<br />

3) dari Lampiran I Proposal Perdamaian sesuai bukti<br />

91<br />

T.3-b telah dilaksanakan sesuai Penetapan Badan


Pertanahan Nasional (BPN) oleh Majelis Hakim<br />

mempertimbangkan sebagai berikut:<br />

Menimbang bahwa berdasarkan bukti surat (P-7a) oleh<br />

Termohon PT.Interkon Kebun Jeruk telah menerima<br />

uang sejumlah Rp 592.475.000,- dari Suwarno Dicky<br />

Yusuf adalah Kreditur Pembeli Kavling yang<br />

merupakan pihak dalam Perjanjian Perdamaian telah<br />

bersesuaian dengan bukti P-7 dimana telah terjadi<br />

penambahan biaya sebagaimana termaksud pada angka<br />

8 yang dibuat oleh Termohon berupa biaya<br />

perpanjangan SHGB dan jasa dan biaya denda<br />

keterlambatan perpanjangan SHGB dan jasa:<br />

Dengan Demikian:<br />

Berdasarkan bukti surat tersebut di atas telah nyata<br />

secara sederhana bahwa pelaksanaan perjanjian<br />

perdamaian telah terjadi penambahan biaya yang tidak<br />

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan<br />

yang dilakukan oleh PT.Interkon Kebun Jeruk yang<br />

merupakan kelalaian yang bersifat prinsip dan<br />

Eksepsional yang beralasan menurut hukum dituntut<br />

pembatalannya karena telah menyimpang dari lampiran<br />

I proposal perdamaian yang merupakan satu kesatuan<br />

dari perjanjian perdamaian tersebut."<br />

92


Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama, halaman<br />

38 alinea 1-2 Putusan:<br />

"Menimbang bahwa dengan demikian Termohon Pailit<br />

telah tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 1.2 yaitu<br />

tidak melaksanakan proposal perdamaian tanggal 1<br />

April 2009, beserta lampiran I Proposal perdamaian<br />

khususnya pada angka Romawi I tentang biaya<br />

peralihan hak yang jumlahnya harus sesuai dengan<br />

ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhadap<br />

pembebanan jenis biaya PPh dan Biaya<br />

pengukuran/pemecahan Sertifikat;<br />

Menimbang bahwa oleh karena Termohon Pailit (PT.<br />

Interkon Kebon Jeruk) telah tidak melaksanakan sesuai<br />

ketentuan peraturan perUndang-Undangan dengan<br />

membebani biaya yang tidak pernah diperjanjikan<br />

dengan kata lain telah membuat ketentuan sepihak. yang<br />

bertentangan atau melanggar ketentuan peraturan<br />

perundang-undangan, yang secara sepihak membuat<br />

ketentuan sehingga merupakan suatu perbuatan yang<br />

melanggar Undang-Undang maka kepada Termohon<br />

tidak dapat diberikan kelonggaran lagi memenuhi<br />

kewajibannya sebagaimana ditentukan Pasal 170 ayat<br />

93<br />

(3) UUK dan c PKPU dan akibat kelalaian yang


dllakukannya melakukan perbuatan yang bertentangan<br />

dengan undang-undang."<br />

Keberatan:<br />

Bahwa Majelis Hakim tingkat Pertama telah<br />

mencampuradukkan antara biaya<br />

pengukuran/pemecahan Sertifikat dengan biaya jasa<br />

pengurusan Sertifikat. Patut diketahui, bahwa setiap<br />

kreditur (206) pembeli kavling tanahnya spesifik dan<br />

berbeda-beda kategori dan kondisinya (vide Proposal<br />

Perdamaian). Karenanya biaya setiap kreditur sudah<br />

pasti berbeda-beda. Ada yang Sertifikatnya sudah<br />

berakhir sehingga harus diperpanjang, ada yang<br />

sertifikatnya belum terbit (masih girik), ada yang belum<br />

dipecah dari induk, ada yang haknya belum beralih dan<br />

lain-lain;<br />

Bahwa sebagian besar pembeli yang menindaklanjuti<br />

perdamaian tidak bersedia mengurus sendiri Sertifikat<br />

kavlingnya ke Kantor Pertanahan dan meminta pada<br />

Pemohon Kasasi agar urusan tersebut diserahkan saja<br />

pada Biro Jasa. Permintaan pembeli atas jasa<br />

pengurusan tersebut jelas menimbulkan konsekwensi<br />

biaya jasa pengurusan;<br />

94


Biaya jasa pengurusan tersebut sepenuhnya merupakan<br />

hak Biro Jasa atas permintaan pembeli sendiri, bukan<br />

biaya yang dipukulrata terhadap Pemohon Kasasi atau<br />

kreditur-kreditur lainnya. Pembeli Suwarno Dicky<br />

Yusuf termasuk yang meminta pengurusan Sertifikat<br />

dengan perantaraan Biro Jasa dan wajar karenanya<br />

membayar biaya jasa pengurusan tersebut;<br />

Para Termohon Kasasi belum datang mengurus Akta<br />

Jual Beli kavlingnya dan tidak memahami persoalan<br />

tersebut, secara keliru mencampuradukkan biaya jasa<br />

pengurusan Biro Jasa tersebut sebagai biaya Sertifikat.<br />

Sebagai pihak ketiga yang tidak berkaitan dengan<br />

Suwarno Dicky Yusuf, tanpa mengerti duduk persoalan<br />

Para Termohon Kasasi mendalilkan P-7 sebagai murni<br />

biaya Sertifikat;<br />

Biaya jasa pengurusan Biro Jasa Bukan Merupakan<br />

Obyek Perdamaian, karenanya tidak mungkin<br />

menimbulkan wanprestasi atas Perdamaian dan tidak<br />

dapat dijadikan alasan pembatalan Perdamaian;<br />

Dalil keliru pihak ketiga yang tidak mengerti persoalan<br />

tersebut malah diambil alih begitu saja oleh Majelis<br />

Hakim Tingkat Pertama, yang melakukan kesalahan<br />

95<br />

penerapan hukum mencampuradukkan biaya jasa


tersebut dengan biaya sertifikat dalam Perdamaian,<br />

karenanya jelas Putusan Judex Facti telah salah<br />

menerapkan hukum dan harus dibatalkan.<br />

h. Judex Facti melakukan kesalahan penerapan hukum<br />

menyatakan bukti Pemohon Kasasi sebagat Fotokopi.<br />

Pertimbangan Judex Facti, halaman 37 alinea terakhir:<br />

"Menimbang bahwa bukti-bukti yang diajukan (T4;<br />

96<br />

T5a; T5b; T5c1 s/d T5c-3; T5.d-1 s/d T5 d-3 ; T5-e-1<br />

s/d T5-E3; T5-Fl s/d T5-F2; T5-g1 ; T5 h; T5i-l s/d T5<br />

i-3 ; T5-j1 s/d T5-j2; T5-k1 s/d T5-k2 ; T5-L1 s/d T5-<br />

L3; dan T6;T7) karena hanya Foto Copy lagi pula bukti-<br />

bukti tersebut tidak dapat mendukung dalil bantahan<br />

Termohon tentang tidak adanya Penambahan biaya yang<br />

dilakukan dan sebaliknya menurut Majelis Hakim telah<br />

terjadi penambahan biaya yang tidak jelas dasar<br />

perhitungan yang dilakukan oleh Termohon."<br />

Keberatan:<br />

Bahwa Judex Facti jelas melakukan kesalahan<br />

menyatakan bukti-bukti Pemohon Kasasi a quo sebagai<br />

fotokopi;<br />

Persidangan tgl. 1 Juli 2010, PEMOHON KASASI telah<br />

mencocokkan bukti T-4 dengan aslinya;


97<br />

Persidangan tgl. 14 Juli 2010, Pemohon Kasasi telah<br />

mencocokkan bukti T-5a dan T-5b dengan aslinya;<br />

Persidangan tgl. 14 Juli 2010, Pemohon Kasasi telah<br />

mencocokkan bukti-bukti T-5.c.1 dan T5.c.2, T-5.d.1<br />

dan T-5.d.2, T-5.e.1 dan T-5.e.2, T-5.f.1 dan T-5.f.2, T-<br />

5.g.1 T-5.h, T-5.i.1 dan T-5.i.2,T-5.j.1 dan T-5.j.2, T-<br />

5.k.1, T-5.1.1 dan T-5.I.2 dengan bukti yang telah<br />

dilegalisir sesuai aslinya. Sedangkan bukti T-5 lainnya<br />

merupakan bukti KTP para pembeli yang telah selesai<br />

melaksanakan Perdamaian/Akta Jual Beli/bukti mana<br />

tidak mungkin Pemohon Kasasi memiliki aslinya karena<br />

asli KTP pasti dipegang oleh para pemiliknya;<br />

Bahwa Bukti P-6 dan P-7 bukan merupakan bukti fakta,<br />

tetapi hanya bukti referensi peraturan perundang-<br />

undangan mengenai PPh dan BPHTB (Undang-Undang<br />

Nomor. 20 tahun 2000 dan Undang-Undang No. 71<br />

Tahun 2008) yang aslinya ada pada Sekretariat Negara<br />

yang mengundangkan;<br />

Bahwa bukti-bukti a quo membuktikan bahwa Pemohon<br />

Kasasi selaku Debitur telah melaksanakan isi<br />

Perdamaian dengan para pembeli kavling sebagaimana<br />

disyaratkan Pasal 170 ayat (2) Undang-Undang


Kepailitan, sehingga permohonan pembatalan<br />

Perdamaian haruslah ditolak;<br />

Pasal 170 Undang-Undang Kepailitan menyatakan:<br />

1) Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu<br />

perdamaian yang telah disahkan, apabila Debitor<br />

lalai memenuhi isi perdamaian tersebut;<br />

2) Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian<br />

telah dipenuhi.<br />

i. Majelis Hakim tingkat pertama melakukan pelanggaran<br />

Pasal. 172 Undang-Undang Kepailitan dalam<br />

penunjukan Kurator.<br />

j. Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama halaman<br />

38 alinea terakhir dan halaman 39 alinea 1 Putusan:<br />

Menimbang bahwa oleh karena PT. Interkon Kebon<br />

Jeruk dinyatakan pailit, maka sesuai Pasal 15 ayat (1)<br />

UUK dan PKPU maka harus pula diangkat Kurator dan<br />

seorang Hakim Pengawas.<br />

Menimbang, bahwa dalam permohonannya oleh<br />

Pemohon telah bermohon dengan dalam putusan<br />

perkara ini ditunjuk dan diangkat saudara Soedeson<br />

Tandra, SH,MHum dan Drs. Joko Prabowo, SH,MH<br />

yang terdaftar di Departemen <strong>Hukum</strong> sebagai Kurator.<br />

Keberatan:<br />

98


2.2. Alasan Kasasi Pemohon II<br />

Bahwa Judex Facti dalam mempertimbangkan dan<br />

memutus mengenai Kurator, telah mengangkat Kurator<br />

baru: Soedeson Tandra, SH, Mhum dan Drs. Joko<br />

Prabowo, SH,MH, tanpa pertimbangan sama sekali<br />

mengenai Kurator Pemohon Kasasi saat pailit sebelum<br />

terjadi Perdamaian, Sdr. Yan Apul, SH., hal mana<br />

secara nyata telah melanggar ketentuan Pasal 172 UUK;<br />

Pasal 172 UUK ayat (1) dan (2):<br />

1) Dalam putusan pembatalan perdamaian<br />

diperintahkan supaya kepailitan dibuka kembali,<br />

dengan pengangkatan seorang Hakim Pengawas,<br />

Kurator dan anggota panitia kreditor apabila ...”.<br />

2) Hakim Pengawas, Kurator dan sebagaimana<br />

99<br />

dimaksud dalam ayat (1) sedapat mungkin diangkat<br />

dari mereka yang dahulu dalam kepailitan tersebut<br />

telah memangku jabatannya.<br />

Dengan demikian jelas Putusan Judex Facti merupakan<br />

putusan yang melanggar hukum dan harus dibatalkan.<br />

2.2.1. Para Pemohon Kasasi sangat kebertan terhadap<br />

Putusan Pailit untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan<br />

oleh karena itu menolak dengan tegas-tegas Putusan<br />

Judex Facti tersebut. Putusan Pailit terhadap PT.


100<br />

Interkon Kebon Jeruk adalah Putusan yang tidak adil<br />

bagi para pembeli kavling sebagai masyarakat.<br />

a. Putusan Pailit Majelis Hakim terhadap PT. Interkon<br />

Kebon Jeruk sama sekali tidak mencerminkan rasa<br />

keadilan. Putusan Judex Facti merupakan putusan yang<br />

tidak menggali, tidak mengikuti dan tidak memahami<br />

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam<br />

masyarakat, khususnya terhadap ..para pembeli kavling<br />

sebagai masyarakat yang merasakan dampak langsung<br />

kepailitan ini;<br />

b. Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan<br />

Kehakiman secara jelas mewajibkan hakim untuk<br />

menggali rasa keadilan masyarakat:<br />

“Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami<br />

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam<br />

masyarakat";<br />

c. Putusan Judex Facti telah melahirkan ketidakadilan bagi<br />

mayoritas pembeli kavling karena putusan tersebut telah<br />

membuat kekacauan dalam proses pelaksanaan<br />

Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi yang<br />

sudah disepakati sebelumnya oleh PT. lnterkon Kebon<br />

Jeruk dan kreditur;


101<br />

d. Kondisi kekacauan yang akan terjadi setelah PT.<br />

Interkon Kebon Jeruk pailit adalah para pembeli kavling<br />

yang sudah melaksanakan penandatanganan PPJB<br />

maupun Akta Jual Beli dengan PT. Interkon Kebon<br />

Jeruk dan telah membayar pajak-pajak namun sertifikat-<br />

sertifikatnya saat ini masih atas nama PT. Interkon<br />

Kebon Jeruk karena masih dalam proses di Badan<br />

Pertanahan Nasional, mau tidak mau harus kehilangan<br />

haknya karena tanah-tanah yang masih bersertifikat atas<br />

nama PT. Interkon Kebon Jeruk tersebut otomatis akan<br />

ditarik menjadi boedel pailit, untuk selanjutnya dilelang<br />

dan dibagikan secara pro rata kepada kreditur. Status<br />

Para Pembeli kavling akan berubah menjadi kreditur<br />

dan kehilangan hak atas tanah yang sudah dibelinya;<br />

e. Hal tersebut tidak adil karena pembeli kavling yang<br />

sudah melaksanakan perjanjian perdamaian bersama-<br />

sama dengan PT. Interkon Kebon Jeruk dipaksa hilang<br />

hak atas tanahnya dan akan menjadi setara dengan<br />

kreditur-kreditur yang belum melaksanakan perjanjian<br />

perdamaian (Para Pemohon Pailit);<br />

f. Para Pemohon Pailit hanya segelintir kreditur (12 orang)<br />

yang berlawanan pendapat dengan mayoritas kreditur,<br />

dimana 12 orang Pemohon melawan 194 pembeli


102<br />

kavllng (rasionya 1 % pembeli kavllng membatalkan<br />

perjanjian perdamaian yang mengakibatkan kurang<br />

lebih 99% kreditur termasuk pembeli kavling terampas<br />

haknya);<br />

g. Singkat kata Para Pemohon Pailit sendiri belum pernah<br />

melaksanakan kewajiban tetapi malah justru<br />

mempailitkan PT. Interkon Kebon Jeruk dan<br />

mengakibatkan pihak lain yang sudah melaksanakan<br />

kewajiban kehilangan haknya;<br />

h. Dengan demikian putusan Judex Facti tersebut<br />

bertentangan dengan kepentingan umum yang lebih<br />

tinggi dan jauh lebih besar yaitu hak-hak mayoritas<br />

pembeli kavling dan kreditur lain yang dirugikan<br />

dengan adanya kepailitan ini;<br />

Judex Facti sungguh telah lalai menggali rasa keadilan<br />

dalam masyarakat sebagaimana diwajibkan dalam Pasal<br />

28 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.<br />

Para pembeli kavling yang telah melaksanakan<br />

Perjanjian Perdamaian adalah masyarakat yang harus<br />

secara seksama diperhatikan oleh Judex Facti sebelum<br />

memutus perkara pailit ini, dengan adanya putusan<br />

pailit, akan terjadi ketidakadilan yang dialami oleh<br />

Pemohon Kasasi, yaitu:


103<br />

a) Adapun dengan tidak dimungkinkannya lagi<br />

perdamaian dalam kepailitan jilid kedua (pailit<br />

karena pembatalan perdamaian), maka berdasarkan<br />

Pasal 175 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, maka<br />

tanpa ampun seluruh aset atas nama Termohon Pailit<br />

akan dilelang untuk dibagikan kepada kreditur<br />

sehingga tidak ada harapan lagi kreditur bagi<br />

Pemohon Kasasi untuk memiliki tanah, padahal<br />

Pemohon Kasasi sudah melakukan PPJB lunas<br />

ataupun AJB dan telah rnembayar pajak PPh dan<br />

BPHTB;<br />

b) PPh dan BPHTB yang disetorkan kepada Negara<br />

tidak mungkin ditarik lagi sehingga Pemohon Kasasi<br />

kehilangan uangnya;<br />

c) Para Pemohon Pailit yang tidak pernah<br />

melaksanakan perjaniian perdamaian bisa duduk<br />

setara dengan Pemohon Kasasi sebagai pembeli<br />

kavling yang telah beritikad baik melaksanakan<br />

kewajibankewajiban berdasarkan perjanjian<br />

perdamaian (kreditur konkuren yang sama haknya).<br />

Kalaupun Termohon pailit tidak menyetujui<br />

proposal perdamaian atau ingin menawar-nawar<br />

biaya, harusnya dari awal saja mereka menunjukan


104<br />

diri sebagai pihak yang tidak menyetujui perjanjian<br />

perdamaian. Terkait dalam hal ini .mereka<br />

menyetujui perjanjian perdamaian, kemudian disaat<br />

para pembeli kavling lain sudah mulai melaksanakan<br />

perjanjian perdamaian, tiba-tiba mereka yang tidak<br />

melaksanakan perjanjian perdamaian membatalkan<br />

perjanjian perdamaian yang sudah dilaksanakan oleh<br />

sebagian pembeli kavling;<br />

d) Pemohon kasasi juga merasakan ketidakadilan<br />

dengan tidak adanya perlindungan hukum sebagai<br />

konsekuensi dari putusan pailit yang dibuat oleh<br />

Judex Facti. Pemohon kasasi sudah beritikad baik<br />

melaksanakan perjanjian perdamaian bersama<br />

dengan termohon pailit, tetapi kemudian di tengah<br />

jalan dibatalkan oleh pemohon pailit yang tidak<br />

pernah melaksanakan perianjian perdamaian.<br />

Pemohon Pailit mengalami tidak adanya<br />

perlindungan terhadap kreditur walaupun dia sudah<br />

melaksanakan kewajibannya sehubungan dengan<br />

perjanjian perdamaian tersebut. Apalagi kasus pailit<br />

ini diajukan oleh para kreditur yang belum<br />

melaksanakan perjanjian;


105<br />

e) Kalau Pemohon Pailit yang belum pernah<br />

melaksanakan perjanjian perdamaian tidak setuju<br />

terhadap perjanjian perdamaian yang telah<br />

dihomologasi dengan keinginan menawar-nawar<br />

biaya, maka seharusnya jangan menggunakan<br />

instrument Undang-Undang Kepailitan karena akan<br />

berdampak negatif terhadap kreditur-kreditur lain<br />

yang sudah menjalankan perjanjian perdamaian<br />

bersama Termohon Pailit;<br />

2.2.2. Judex Facti telah salah dalam Penerapan hukum atau<br />

melanggar hukum yang berlaku.<br />

a. Tidak adanya putusan sela atas permohonan intervensi;<br />

Atas intervensi yang diajukan oleh pemohon kasasi di<br />

tingkat pengadilan negeri, Hakim tidak pernah<br />

memberikan putusan sela atas intervensi yang diajukan;<br />

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.<br />

305 K/Sip/1962 tgl. 9 Januari1962 dan Yurisprudensi<br />

MA RI No. 731 K/Sip/1975, tgl. 16 Desember 1976,<br />

maka atas permohonan intervensi tersebut harus<br />

dipertimbangkan dan diputus dalam suatu putusan sela;<br />

Tidak adanya putusan sela atas legal standing<br />

intervenient memiliki arti bahwa: "Majelis Hakim telah<br />

meIanggar hukum acara dan oleh karenanya putusan


106<br />

harus dibatalkan dan selain itu hal ini berarti Majelis<br />

Hakim mengabaikan eksistensi dan kepentingan kreditur<br />

lain (para pembeli kavling).<br />

b. Bukti Fotocopy menjadi dasar mempailitkan PT. Interkon Kebon<br />

Jeruk;<br />

Judex Facti masih mempertimbangkan bukti-bukti<br />

fotocopi yang diajukan oleh Termohon Kasasi/Pemohon<br />

Pailit, padahal bukti fotocopi tersebut bisa dikonfirmasi<br />

kebenarannya pada saat sidang , baik karena tidak ada<br />

aslinya maupun tidak ada bukti lainnya yang merujuk<br />

kebenaran fotocopi tersebut;<br />

Akibatnya adalah putusan pailit didasarkan pada<br />

dokumen yang tidak terkonfirmasi kebenarannya<br />

sehingga putusan tersebut telah merobek nilai-nilai<br />

kebenarannya;<br />

Hal ini sebenarnya telah menjadi pengetahuan umum di<br />

dalam hukumacara berdasarkan;<br />

Pasal 1888 KUHPerdata:<br />

"Kekuatan Pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada<br />

aktanya asli. Apabila akta yang asli itu ada maka salinan-<br />

salinan serta ikhtisarikhtisarhanyalah dapat dipercaya,<br />

sekedar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai<br />

dengan aslinya";


107<br />

Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI No. 3609<br />

K/Pdt/1985 tanggal 9 Desember 1987:<br />

"Surat bukti yang hanya berupa fotocopy dan tidak<br />

pernah ada surat aslinya oleh karena mana surat bukti<br />

tersebut harus dikesampingkan."<br />

Judex Facti yang mendasarkan pada bukti Fotocpy yang<br />

tidak terkonfirmasi kebenarannya adalah putusan yang<br />

melanggar hukum.<br />

c. Perjanjian Perdamaian sebagai Pactum Sunt Servanda tidak<br />

diakui;<br />

Majelis Hakim melanggar hukum karena tidak<br />

mempertimbangkan bahwa: pactum sunt servanda<br />

berlaku pada perdamaian yang disepakati juga oleh<br />

Termohon Kasasi/Pemohon Pailit dalam perjanjian<br />

perdamaian yang telah dihomologasi sudah jelas bahwa<br />

PT. Interkon Kebon Jeruk tidak mempunyai biaya untuk<br />

membayar PPh sehingga berdasarkan kesepakatan di<br />

Perjanjian Perdamaian, PPh tersebut ditanggung oleh<br />

pembeli;<br />

Lampiran 1 Proposal Perdamaian;<br />

Biaya Peralihan Hak yang harus dibayarkan oleh Kreditur<br />

meliputi biaya-biaya sebagai berikut:<br />

a) BPHTB (baik tanah maupun bangunan)


) PPh<br />

c) Biaya PengukuranlPemecahan Sertifikat<br />

d) dst .<br />

108<br />

Jadi, PPh yang ditanggung oleh pembeli dan telah<br />

disetorkan kepada negara bukanlah pengingkaran<br />

terhadap perjanjian perdamaian.<br />

2.3. Alasan Kasasi Pemohon III<br />

2.3.1. Judex Facti telah salah menerapkan hukum<br />

a. Putusan Judex Facti tidak menerapkan asas memuat<br />

dasar alasan yang jelas dan rinci.<br />

Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum karena<br />

dalam putusannya tidak memuat dasar alasan yang jelas<br />

dan rinci dalam mempertimbangkan eksepsi Termohon<br />

Pailit, Pemohon Intervensi I, Pemohon Intervensi II<br />

(sekarang Para Pemohon Kasasi), dan Pemohon<br />

Intervensi III. Bahwa dalam mengadili Judex Facti pada<br />

"Tentang Pertimbangan <strong>Hukum</strong>nya" sampai dengan<br />

amar putusan tidak terdapat pertimbangan hukum<br />

mengenai eksepsi Termohon Pailit, Pemohon Intervensi<br />

I, Pemohon Intervensi II (sekarang Para Pemohon<br />

Kasasi), dan Pemohon Intervensi III oleh karenanya<br />

putusan yang demikian haruslah dibatalkan. Bahwa<br />

Termohon Pailit, Pemohon Intervensi I, Pemohon


109<br />

Intervensi II (sekarang Para Pemohon Kasasi), dan<br />

Pemohan Intervensi III telah mengajukan Eksepsi<br />

Kompetensi Absolut, Eksepsi Kompetensi Relatif dan<br />

Eksepsi mengenai pokok perkara. Bahwa dalam UU No.<br />

37 Tahun 2004 memang tidak ada aturan khusus yang<br />

mengatur tentang penyelesaian eksepsi dalam perkara<br />

Niaga namun berdasarkan Pasal 299 UU No. 37 Tahun<br />

2004 menyebutkan "Kecuali ditentukan lain dalam<br />

Undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku<br />

adalah <strong>Hukum</strong> Acara Perdata". Judex facti seharusnya<br />

menyelesaikan eksepsi yang diajukan Termohon Pailit,<br />

Pemohon Intervensi I, Pemohon Intervensi II (sekarang<br />

Para Pemohon Kasasi), dan Pemohon Intervensi III<br />

menggunakan aturan Pasal 136 HIR. Berdasarkan Pasal<br />

136 HIR cara penyelesaian eksepsi lain diluar Eksepsi<br />

Kompetensi seharusnya diputus bersama-sama dalam<br />

Pokok Perkara. Dengan demikian, pertimbangan dan<br />

amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara<br />

dituangkan bersamaan secara keseluruhan dalam putusan<br />

akhir. (M. Yahya Harahap, S.H., 2006 hal. 428).<br />

b. Melanggar Ketentuan Formalitas Salinan Putusan.<br />

Bahwa salinan putusan yang dilakukan oleh Majelis a<br />

quo dalam perkara tersebut, yaitu dengan adanya 2 (dua)


110<br />

salinan putusan, yaitu putusan sela dan putusan akhir<br />

dalam satu nomor perkara yang sama, namun dengan<br />

pihak-pihak yang sangat berbeda. Bahwa dalam Putusan<br />

Sela, Majelis a quo mengkelompokkan pihak- pihak<br />

Pemohon Intervensi, dalam 3 (tiga) kelompok<br />

intervenient berdasarkan 3 (tiga) orang Kuasa <strong>Hukum</strong><br />

yang mengajukannya, yaitu:<br />

a) Pemohon Intervensi Kelompok I, terdiri dari : Octavia<br />

Widyastuti Alim, Drs. Abdul Salam, Trio Jono,<br />

Elisabeth Prayogo, Sajuri Kartika Isanto, Eddy<br />

Hartono, Yohanes Hartanto, Swanda Salim, Cornelia<br />

Tiosudarmin;<br />

b) Pemohon Intervensi Kelompok II, terdiri dari : Eddy<br />

Yuwono, Yanti Husada, Liliany Wihardjo, Indriyani,<br />

PT. Sari Kebon Jeruk Permai;<br />

c) Pemohon Intervensi Kelompok III, terdiri dari:<br />

Rainford Investment Inc.<br />

Padahal masing-masing Pemohon Intervensi, walaupun<br />

ada yang memberikan kuasa kepada orang yang sarna,<br />

haruslah dipandang sebagai pihak yang berdiri sendiri,<br />

bahkan surat kuasa yang diberikan juga berbeda-beda.<br />

Perlu diingat bahwa yang mengajukan Permohonan<br />

Intervensi bukanlah Kuasa <strong>Hukum</strong>, melainkan pihak


111<br />

yang berkepentingan, sedangkan Kuasa <strong>Hukum</strong> hanyalah<br />

mewakili pihak yang berkepentingan tersebut. Dengan<br />

demikian, seharusnya ada 15 (lima belas) Pemohon<br />

Intervensi dalam perkara ini, bukan hanya 3 Pemohon<br />

Intervensi. Bahwa keanehan dalam salinan putusan<br />

berlanjut, dengan Salinan Putusan akhir, yang bahkan<br />

tidak lagi mencantumkan ke-15 pihak Pemohon<br />

Intervensi tersebut sebagai pihak dalam perkara. Padahal<br />

dalil ke-15 Pemohon Intervensi telah diperiksa dan<br />

dipertimbangkan dalam Putusan Sela, dengan demikian<br />

ke-15 Pemohon Intervensi telah ikut masuk sebagai<br />

pihak dalam perkara. Dengan demikian, ada 2 (dua)<br />

salinan putusan dalam 1 (satu) perkara yang sama,<br />

namun memiliki pihak-pihak yang berbeda. Sesuai<br />

dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 130<br />

K/Sip/1952, tgl. 2 juli 1955, dinyatakan bahwa: "Putusan<br />

harus menyebut pihak-pihak yang berperkara”. Jelaslah<br />

bahwa Majelis Hakim a quo telah melakukan kesalahan<br />

berat dalam pertimbangannya dan dalam membuat<br />

salinan putusan dalam perkara a quo, oleh karenanya<br />

haruslah dibatalkan.<br />

c. Berkenaan dengan penerapan Pembuktian Secara<br />

Sederhana yang dipaksakan pemberlakuannya.


112<br />

Bahwa judex Facti telah salah dalam melaksanakan/<br />

menerapkan hukum yang berlaku, yakni berkenaan<br />

dengan penerapan Pembuktian Secara Sederhana<br />

sebagaimana dipersyaratkan oleh Undang-undang<br />

Nomor 37 tahun 2004. Bahwa permohonan pailit<br />

yang dilakukan oleh Termohon Kasasi didasarkan<br />

Pasal 170 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun<br />

2004. Sementara asas sederhana yang diterapkan<br />

dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004<br />

hanya berkenaan dengan Fakta adanya dua atau<br />

lebih kreditor dan fakta utang telah jatuh waktu dan<br />

tidak dibayar namun dalam pertimbangan hukumnya<br />

Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya untuk<br />

membuktikan Termohon Pailit melakukan<br />

wanprestasi atau tidak menggunakan asas<br />

pembuktian secara sederhana.<br />

d. Judex Facti telah salah melakukan penafsiran hukum<br />

terhadap keberadaan Perjanjian Perdamaian yang telah<br />

dihomologasi.<br />

Perjanjian Perdamaian adalah wujud semangat win-win<br />

solution. Bahwa perjanjian perdamaian yang telah<br />

disepakati adalah wujud semangat win-win solution, dimana<br />

para pihak yang berperkara berusaha untuk saling


113<br />

memberikan keuntungan dan menghindari terjadinya<br />

kerugian bagi salah satu pihak yang berperkara. Semangat<br />

kekeluargaan adalah motivasi yang sudah seharusnya<br />

dipupuk dan dipelihara dalam menyelesaikan suatu masalah<br />

terutama dalam lapangan hukum perdata.<br />

e. Melanggar ketentuan Pasal 172 Undang-Undang<br />

Nomor 37 Tahun 2004.<br />

Bahwa putusan Judex Facti yang mengangkat<br />

Soedeson Tandra, SH,MHum dan Drs. Joko Prabowo,<br />

SH,MH sebagai kurator melanggar ketentuan pasal 172<br />

UU No. 37 tahun 2004, sebagaimana dikutip, sebagai<br />

berikut: "(2) Hakim Pengawas, Kurator dan anggota<br />

panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedapat<br />

mungkin diangkat dari mereka yang dahulu dalam<br />

kepailitan tersebut telah memangku jabatannya";<br />

Bahwa sesuai dengan ketentuan tersebut, maka<br />

seharusnya Hakim Pengawas, Kurator dan anggota<br />

panitia kreditur diangkat dari mereka yang terdahulu<br />

memegang jabatan tersebut, kecuali tentu saja kalau ada<br />

halangan untuk itu; Judex Facti dalam putusannya,<br />

sama sekali tidak memberikan pertimbangan tentang<br />

apa alasannya tidak mengangkat Kurator yang lama,<br />

yaitu Sdr. Yan Apul, SH sebagai kurator. Memang


114<br />

benar, kewenangan untuk mengangkat Kurator ada<br />

pada Judex Facti. Namun kewenangan tersebut tidak<br />

boleh digunakan secara sewenangwenang, melainkan<br />

harus taat pada ketentuan hukum dan<br />

perundangundangan yang berlaku. Tidak ada alasan<br />

sama sekali kenapa Judex Facti tidak mengangkat<br />

kurator yang lama untuk menyelesaikan hal ini. Bahkan<br />

kurator yang lama, sama sekali tidak pernah dimintakan<br />

keterangan atau pendapat mengenai hal ini.<br />

f. Judex Facti telah melanggar asas-asas dalam Undang-<br />

Undang Nomor 37 Tahun 2004.<br />

Bahwa dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 37<br />

tahun 2004 dijelaskan bahwa Undang-undang<br />

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran<br />

Utang didasarkan pada beberapa asas:<br />

a) Asas Keseimbangan<br />

Bahwa asas keseimbangan dalam Undang-undang<br />

Nomor 37 tahun 2004 mengatur beberapa ketentuan<br />

yang merupakan perwujudan dari asas kesimbangan,<br />

yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat<br />

mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan<br />

lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di<br />

lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah


115<br />

terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga<br />

kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.<br />

Pelanggaran yang dilakukan oleh judex facti jelas<br />

ternyata dengan diabaikannya penyalahgunaan<br />

pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang<br />

tidak bertikad baik yang dalam perkara a quo adalah<br />

Termohon Kasasi. Bahwa faktanya berdasarkan<br />

Proposal Perdamaian tanggal 1 April 2009 (Vide<br />

Bukti PI.II-2), Pemohon Pailit (kecuali Heny<br />

Anwari) merupakan sebagian kecil dari 206 Kreditor<br />

Termohon Pailit (Vide Bukti PI.II-3), yang artinya<br />

masih banyak kreditor lain yang bersedia tunduk<br />

untuk tetap dilakukannya perjanjian perdamaian.<br />

Fakta dan nyata bahwa itikad tidak baik Termohon<br />

Kasasi dilakukan dengan cara memanfaatkan<br />

Suwarno Dicky Yusuf untuk melakukan AJB atas<br />

tanah yang telah dibelinya sampai dengan<br />

selesainya/diterimanya sertipikat Hak Guna<br />

Bangunan atas nama Suwarno Dicky Yusuf. Dalam<br />

perjalanannya Termohon Kasasi menggunakan<br />

momentum atas biaya-biaya yang dikeluarkan dan<br />

disepakati oleh Suwarno Dicky Yusuf untuk<br />

pengurusan Akta Jual Beli dan sertifikasi


116<br />

(pengurusan sertipikat Hak Guna Bangunan) sebagai<br />

suatu bentuk wanprestasi Termohon Pailit terhadap<br />

Perjanjian Perdamaian dengan dalil bahwa biaya-<br />

biaya tersebut tidak terdapat dalam Proposal<br />

Perdamaian yang merupakan bagian tidak<br />

terpisahkan dari Perjanjian Perdamaian yang telah<br />

dihomologasi. Faktanya biaya-biaya yang<br />

dikeluarkan oleh Suwarno Dicky Yusuf benar-benar<br />

digunakan untuk pengurusan Akta Jual Beli dan<br />

pembuatan Sertipikat Hak Guna Bangunan dan<br />

proses sertifikasi sudah selesai dengan keluarnya<br />

Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor.<br />

7643/Srengseng, Sertipikat Hak Guna Bangunan<br />

Nomor. 7644/ Srengseng, dan Sertipikat Hak Guna<br />

Bangunan Nomor.7682/Srengseng (Vide Bukti PI.II-<br />

7a s/d PI.II-7c). Jika memang jika biaya-biaya yang<br />

dibebankan kepada Suwarno Dicky Yusuf<br />

melanggar ketentuan yang berlaku dan Perjanjian<br />

Perdamaian seharusnya dengan diawali itikad baik<br />

Suwarno Dicky Yusuf meminta pengembalian dari<br />

Termohon Pailit. Judex Facti seharusnya<br />

mempertimbangkan adakah perbuatan melawan<br />

hukum yang dilakukan oleh Termohon pailit


117<br />

terhadap Termohon Kasasi berkaitan dengan biaya-<br />

biaya yang dituduhkan oleh Termohon Kasasi.<br />

b) Pelanggaran terhadap asas Kelangsungan Usaha<br />

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 terdapat<br />

ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor<br />

yang prospektif tetap dilangsungkan. Perjanjian<br />

Perdamaian yang telah dihomologasi dicapai secara<br />

susah payah dengan mendatangkan investor asing<br />

(Pemohon Intervensi III) dengan maksud dan tujuan<br />

agar kelangsungan hidup Termohon Pailit tetap<br />

terjaga. Namun Judex Facti sama sekali tidak<br />

mempertimbangkan efek positif dan negatif dari<br />

dipailitkannya kembali Termohon Pailit. Judex Facti<br />

tidak mempertimbangkan keberadaan Kreditor lain<br />

yang jauh lebih banyak jumlahnya. Undang-Undang<br />

Nomor. 37 Tahun 2004 dibentuk bukan untuk<br />

mematikan dunia usaha namun untuk memberikan<br />

kepastian hukum agar Kreditor secara hukum<br />

mendapatkan jaminan terhadap piutang-piutangnya<br />

dengan dibuka peluang adanya penundaan<br />

pembayaran utang.


c) Pelanggaran terhadap asas Keadilan.<br />

118<br />

Terkait dalam kepailitan asas keadilan mengandung<br />

pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan<br />

dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang<br />

berkepentingan. Dalam pertimbangan hukumnya<br />

halaman 36 judex facti menyatakan sebagai berikut<br />

"Menimbang bahwa berdasarkan bukti P-7 yang<br />

dibuat oleh PT. Interkon Kebon Jeruk terhadap Blok<br />

L 1 Nomor 8 telah membebankan dengan<br />

mencantumkan pembebanan biaya PPh sebesar Rp.<br />

93.487.500,- kepada Suwarno Dicky Yusuf selaku<br />

Kreditur pembeli kavling Blok L.1/8 hal mana telah<br />

bertentangan dengan Lampiran / proposal<br />

perdamaian (Bukti T3-b) dimana seharusnya<br />

Termohon Pailit tidak membebankan atau<br />

mengembalikan biaya PPh yang tidak sesuai dengan<br />

ketentuan perundangan yang berlaku berdasarkan<br />

akta perdamaian. Bahwa kalimat: "dimana<br />

seharusnya Termohon Pailit tidak membebankan<br />

atau mengembalikan biaya PPh yang tidak sesuai<br />

dengan ketentuan perundangan yang berlak." terlihat<br />

jelas jika judex facti memberikan alternative putusan<br />

hukum yaitu dengan kalimat " atau mengembalikan


119<br />

biaya PPh yang tidak sesuai dengan ketentuan<br />

perundangan yang berlaku". Haruskah Termohon<br />

Pailit dinyatakan pailit Hanya Lantaran Terdapat<br />

Kelebihan Biaya-Biaya ?? Alangkah lebih arif dan<br />

bijaksana jika Termohon Pailit diberikan<br />

kesempatan untuk mengembalikan biaya-biaya<br />

tersebut sebagai amanah Undang-Undang Nomor.<br />

37 Tahun 2004 Pasal 170 ayat (3) yang<br />

menyebutkan: "Pengadilan berwenang memberikan<br />

kelonggaraan kepada Debitor untuk memenuhi<br />

kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari<br />

setelah putusan pemberian kelonggaran diucapkan".<br />

Pelanggaran judex facti jelas dan nyata sebenarnya<br />

bisa diputusakan alternative yang lebih solutif yaitu<br />

dengan memberikan kelonggaran untuk<br />

Mengembalikan Kelebihan Biaya Yang Telah<br />

Dibayarkan Oleh Suwarno Dicky Yusuf Kepada<br />

Termohon Pallit. Jika Judex Facti mau memberikan<br />

kelonggaran kepada Termohon Pailit tentu Tidak<br />

Merugikan Kreditur Lain Termasuk Kreditur Yang<br />

Mengajukan Permohonan Pailit. Terlepas dari alasan<br />

tersebut di atas jika diberikan kelonggaran lebih<br />

bermanfaat oleh karena pada dasarnya tujuan


120<br />

Putusan adalah: Keadilan, Kepastian <strong>Hukum</strong> Dan<br />

Kemanfaatan.<br />

d) Pelanggaran terhadap asas Integrasi;<br />

Asas integritas dalam Undang-Undang Nomor. 37<br />

Tahun 2004 mengandung pengertian bahwa system<br />

hukum formil dan hukum materiilnya merupakan<br />

satu kesatuan yang utuh dari system hukum perdata<br />

dan hukum acara perdata nasional. Pelanggaran<br />

Judex Facti terhadap hukum formil dan materiil<br />

secara keseluruhan ditunjukkan/hal-hal yang<br />

merupakan alasan-alasan kasasi dari Pemohon<br />

Kasasi.<br />

3.1.2. Judex Facti telah lalai memenuhi syarat-syarat yang<br />

diwajibkan oleh peraturan perUndang-Undangan.<br />

a. Amar putusan tidak mencantumkan mengenai<br />

ditolaknya Eksepsi dan diterima atau tidaknya<br />

Permohonan Intervensi.<br />

Permohonan Pailit diajukan Pemohon<br />

Pailit/Termohon Kasasi pada tanggal 01 Juni 2010<br />

yang deregister oleh Pengadilan Niaga pada<br />

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.0 3/Pembatalan<br />

Perdamaian/ 2010/ PN.Niaga.Jkt.Pst.<br />

Sidang pertama pada tanggal 14 Juni 2010;


121<br />

Pada tanggal 30 Juni 2010 Pemohon Intervensi<br />

Il/Pemohon Kasasi mengajukan intervensi yang pada<br />

saat itu agenda persidangan adalah Pembuktian dari<br />

Pihak Pemohon Pailit;<br />

Pada tanggal 01 Juli 2010 agenda sidang pembuktian<br />

dari Termohon Pailit dan Pemohon Intervensi;<br />

Pada tanggal 05 Juli 2010 pengajuan bukti Eksepsi<br />

Kompetensi Absolut dari pihak-pihak yang<br />

mengajukan Eksepsi Kompetensi Absolut termasuk<br />

Pemohon Kasasi;<br />

Pada tanggal 14 Juli 2010 pembacaan Putusan Sela<br />

terhadap Eksepsi Kompetensi Absolut bukan tanggal<br />

07 Juli 2010 sebagaimana disebutkan dalam putusan<br />

halaman 2;<br />

Bahwa Putusan Sela tersebut hanya mengenai<br />

kompetensi absulut saja. Bahwa faktanya dalam<br />

Putusan Judex Facti sama sekali tidak menyebutkan<br />

tentang ditolak/diterimanya eksepsi dan Permohonan<br />

Intervensi. Hal tersebut melanggar asas bahwa amar<br />

putusan mesti dirinci sebagaimana putusan<br />

Mahkamah Agung Nomor 698 K/Sip/1969. Bahwa<br />

selanjutnya, judex facti juga telah melakukan<br />

kesalahan berat dalam penerapan hukum acara, karena


122<br />

tidak membuat pertimbangan tentang diterima atau<br />

ditolaknya permohonan intervensi yang diajukan oleh<br />

ke-15 Pemohon Intervensi tersebut.<br />

b. Bahwa Judex Facti sama sekali tidak memberikan<br />

pertimbangan hukum terhadap eksepsi yang diajukan<br />

oleh Pemohon Intervensi II untuk Eksepsi<br />

Permohonan Pembatalan Perdamaian yang diajukan<br />

adalah Prematur.<br />

3.1.3. Judex Facti telah melampaui batas wewenang.<br />

Bahwa pertimbangan hukum yang demikian adalah<br />

pertimbangan hukum yang keliru dan karenanya Judex<br />

Facti telah nyata-nyata melampaui batas<br />

kewenangannya dengan alasan sebagai berikut:<br />

Tuntutan tentang adanya wanprestasi adalah bukan<br />

persoalan sederhana yang memerlukan pembuktian yang<br />

lebih teliti. Bahwa konsep utama pembuktian secara<br />

sederhana digunakan manakala hanya jika dilihat secara<br />

fakta dengan bukti tertulis saja sudah bisa menunjukkan<br />

bahwa gugatan/permohonan adalah benar secara hukum.<br />

Konsep pembuktian secara sederhana lebih tepat kepada<br />

perkara-perkara voluntair yang tidak melibatkan banyak<br />

pihak sehingga pemeriksaannya dapat dilakukan dengan<br />

acara cepat; Pembuktian secara sederhana yang dianut oleh


123<br />

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 hanya digunakan<br />

pada saat permohonan pailit yang pertama sehingga<br />

pemeriksaannya tunduk kepada Pasal 8 ayat (4) Undang-<br />

undang Nomor 37 Tahun 2004. Perkara a quo permohonan<br />

pailit yang diajukan oleh termohon kasasi adalah didasarkan<br />

pada tuduhan wanprestasi terhadap Perjanjian Perdamaian.<br />

Hubungan hukum antara Termohon Pailit dengan Pemohon<br />

Pailit adalah hubungan hukum yang diwadahi oleh<br />

perjanjian. Alangkah lebih tepat jika pembuktian dilakukan<br />

dengan acara biasa yang dilakukan oleh Pengadilan Umum<br />

(masuk dalam ranah perkara perdata biasa).<br />

3.1.4. Termohon Pailit tidak terbukti lalai dalam melaksanakan<br />

Perjanjian Perdamaian.<br />

Bahwa judex facti dalam mengabulkan Permohonan Pailit<br />

atas dasar Termohon Pailit telah lalai dengan membebankan<br />

PPh kepada Pemohon Pailit adalah keliru dengan alasan<br />

sebagai berikut:<br />

a. Tidak ada pembayaran PPh dari Pemohon Pailit untuk<br />

Pembebanan PPh. Bukti yang diajukan berkaitan dengan<br />

Pembebanan PPh yaitu Bukti P-7a yang hanya ditujukan<br />

Kepada Suwarno Dicky Yusuf. Bukan Bukti pembayaran<br />

Pemohon Pailit;


124<br />

Bahwa pertimbangan hukum judex facti halaman 37 yang<br />

menyebutkan: "Menimbang bahwa demikian halnya<br />

terhadap bukti surat (P8, P8a s/d P8u) oleh Termohon<br />

telah dan tetap membebankan PPh kepada Kreditor<br />

dimana seharusnya biaya pengalihan hak incasu PPh<br />

seharusnya para Kreditur dibebaskan dari pembayaran<br />

Pajak Penghasilan hak atas tanah, Adalah Pertimbangan<br />

<strong>Hukum</strong> Yang Keliru Karena Bukti P8.P8a s/d P8u Hanya<br />

Berupa Foto Copy Saja oleh karena kekuatan<br />

pembuktiannya adalah terletak pada aslinya (Pasal 1888<br />

KUHPerdata);<br />

2.4. Alasan Pemohon Kasasi IV<br />

Putusan Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat Nomor<br />

03/Pembatalan Perdamaian 2010/PN.Niaga.JKT.PST., tgl. 28<br />

Juli 2010 harus dibatalkan karena bertentangan dengan<br />

hukum, tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak cukup<br />

pertimbangannya, karena sama sekali tidak<br />

mempertimbangkan dalil-dalil pemohon intervensi,<br />

sebagaimana diuraikan, sebagai berikut:<br />

2.4.1. Melanggar Ketentuan Formalitas Salinan Putusan.<br />

Bahwa secara kasat mata terlihat dengan jelas kesalahan<br />

berat dalam penerapan formalitas salinan putusan yang<br />

dilakukan oleh Majelis a quo dalam perkara tersebut, yaitu


125<br />

dengan adanya 2 (dua) salinan putusan, yaitu putusan sela<br />

dan putusan akhir dalam satu nomor perkara yang sama,<br />

namun dengan pihak-pihak yang sangat berbeda.<br />

2.4.2. Tidak ada pertimbangan mengenai permohonan<br />

Intervensi dan sama sekali tidak mempertimbangkan<br />

dalil dan bukti para pemohon Intervensi.<br />

Bahwa selanjutnya, Majelis Hakim a quo juga telah<br />

melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum acara,<br />

karena tidak membuat pertimbangan tentang diterima atau<br />

ditolaknya permohonan intervensi yang diajukan oleh ke-15<br />

Pemohon Intervensi tersebut. Bahwa Putusan Sela tanggal<br />

14 Juli 2010 hanya mengenai kompetensi absolut saja, sama<br />

sekali tidak memutus apakan permohonan intervensi untuk<br />

bergabung dalam perkara a quo diterima atau ditolak.<br />

2.4.3. Melanggar <strong>Hukum</strong> Acara Pembuktian.<br />

Bahwa putusan perkara a quo harus dibatalkan karena<br />

telah melanggar ketentuan tentang <strong>Hukum</strong> Acara<br />

Pembuktian. Hampir seluruh bukti yang diajukan oleh<br />

Para Termohon Kasasi/Pemohon Pailit adalah bukti-bukti<br />

toto copy yang tidak dikuatkan oleh keterangan saksi,<br />

Karenanya tidak memenuhi ketentuan hukum untuk<br />

dipertimbangkan sebagai alat bukti yang sah.


126<br />

2.4.4. Pertimbangan didasarkan pada alat bukti milik orang<br />

lain.<br />

Bahwa Majelis Hakim a quo dalam pertimbangannya,<br />

mempertimbangkan bahwa bukti P-7, P-5, dan P-7a, yaitu<br />

dengan mempertimbangkan bukti tersebut, yang memuat<br />

Majelis Hakim a quo merupakan bukti pelanggaran atas<br />

Akta Perdamaian karena telah membebankan biaya PPh<br />

tidak sesuai ketentuan PerUndang-undangan yang berlaku<br />

ternyata merupakan bukti-bukti atas nama Suwarno Dicky<br />

Yusuf yang tidak merupakan pihak dalam perkara ini.<br />

Lagipula, Suwarno Dicky Yusuf juga tidak pernah<br />

dihadirkan sebagai sakasi dalam perkara ini.<br />

2.4.5. Melanggar Ketentuan Pasal 172 Undang-Undang<br />

Nomor 37 Tahun 2004.<br />

Majelis a quo dalam putusannya, sama sekali tidak<br />

memberikan pertimbangan tentang apa alasannya tidak<br />

mengangkat Kurator yang lama, yaitu Sdr. Yan Apul, SH<br />

sebagai kurator. Memang benar, kewenangan untuk<br />

mengangkat Kurator ada pada Majelis Hakim a quo.<br />

Namun, kewenangan tersebut tidak boleh digunakan<br />

secara sewenangwenang, melainkan harus taat pada<br />

ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku;<br />

Tidak ada alasan sama sekali kenapa Majelis Hakim a quo


127<br />

tidak mengangkat kurator yang lama untuk menyelesaikan<br />

hal ini. Bahkan kurator yang lama, sama sekali tidak<br />

pernah dimintakan keterangan atau pendapat mengenai hal<br />

ini.<br />

2.4.6. Judex Facti telah melanggar asas-asas dalam Undang-<br />

Undang Nomor 37 Tahun 2004.<br />

a. Melanggaran terhadap asas Keseimbangan<br />

b. Melanggaran terhadap asas Kelangsungan Usaha<br />

c. Melanggar terhadap asas Keadilan<br />

d. Melanggar terhadap asas Integrasi<br />

3. Pertimbangan <strong>Hukum</strong> Hakim Mahkamah Agung<br />

3.1. Menimbang,bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah<br />

Agung berpendapat:<br />

Mengenai alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi I, II, III dan<br />

IV. Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena<br />

Judex Facti/Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat<br />

dalam putusannya yang mengabulkan permohonan Pemohon<br />

seluruhnya sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau melanggar<br />

hukum yang berlaku, sebab:<br />

Perkara ini adalah mengenai tuntutan pembatalan atas<br />

perdamaian yang telah disahkan oleh karena debitor lalai memenuhi<br />

isi perdamaian tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 170 (1)<br />

Undang-Undang Kepailitan dan dalam perkara seperti itu debitur


128<br />

wajib membuktikan bahwa perdamaian telah ia penuhi in casu Debitur<br />

wajib membuktikan bahwa Debitor/ Termohon Pailit tidak<br />

membebankan biaya PPh kepada Kreditor tidak ada penambahan<br />

biaya perpanjangan SHGB, jasa dan denda keterlambatan atas<br />

perpanjangan dimaksud sebagaimana tertuang dalam Lampiran 1 dan<br />

2 Proposal Perdamaian (P.2, P.5, P.7, P.7a, P.8, P.8a s/d P.8u, T.2,<br />

T.3b), akan tetapi ternyata di persidangan Debitor/Termohon Pailit<br />

tidak dapat membuktikan tentang tidak adanya penambahan biaya<br />

dimaksud, bahkan sebaliknya sesuai bukti-bukti tersebut di atas telah<br />

terbukti adanya penambahan biaya tersebut yang melanggar isi<br />

perjanjian perdamaian dimana debitor in casu termohon pailit telah<br />

lalai memenuhi isi perdamaian tesebut.<br />

3.2. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,<br />

ternyata bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan Niaga pada<br />

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan<br />

dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi<br />

yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: PT. Interkon Kebon Jeruk<br />

Cs tersebut harus ditolak;<br />

3.3. Menimbang. bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para Pemohon<br />

Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi ditolak, maka<br />

para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi<br />

harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi<br />

ini; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 37 Tahun


4. Putusan<br />

129<br />

2004, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang<br />

Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan<br />

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan<br />

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-<br />

undangan lain yang bersangkutan.<br />

4.1. Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: I. PT.<br />

Interkon Kebon Jeruk, Ii. 1. Octavia Widyastuti Alim, 2. Elisabeth<br />

Prayogo, 3. Swanda Salim, 4. Yohanes Hartanto, 5. Eddy Hartono, 6.<br />

Drs. Abdul Salam, 7. Cornelia Tiosudarmin, 8. Trio Jono, 9. Ratna E<br />

Jl Tobing, 10. Hedy Yani, 11. Lina Gozali, 12. Liliani Wihardjo, 13.<br />

Meyliana Susanti Hirawan, 14. Herawati Santoso, 15. Sherwin A.<br />

Surja Atmadja, 16. Drg. Lizza Christina, 17. Waluyo Hadi P, 18.<br />

Sajuri Kartika Isanto, 19. Megahartawan Santoso, 20. Lingga Iswara,<br />

21. Bong Mei Tjen, 22. The Sui An, 23. Savina Gozali, Iii. 1. Eddy<br />

Yowono, 2. Yanti Husada, 3. Liliany Wihardjo, 4. Indriyani Dan Iv.<br />

Rainford Investment Inc.<br />

4.2. Menghukum para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit, para Pemohon<br />

Intervensi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini<br />

sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).


B. PEMBAHASAN<br />

1. Penerapan <strong>Hukum</strong> Hakim Mahkamah Agung dalam menolak<br />

permohonan kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam<br />

Perkara Perdata Khusus Kepailitan<br />

130<br />

Pengadilan Niaga sebagai extra ordinary court, oleh Undang-<br />

undang Nomor 37 Tahun 2004 diberikan hal-hal khusus yang merupakan<br />

lex specaialis. Antara lain mengenai upaya hukum. Sebagai speedy trial,<br />

terhadap putusan pailit, orang yang tidak puas dapat mengajukan upaya<br />

hukum. 42<br />

Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004:<br />

“Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas<br />

permohonan pernyataan pailit adalah Kasasi ke Mahkamah<br />

Agung.”<br />

Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004:<br />

“Permohonan Kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />

diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan<br />

yang dimohonkan Kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan<br />

kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan<br />

pernyataan pailit”.<br />

Dasar hukum Pengadilan Kasasi yang dilakukan oleh<br />

Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a Undang-undang<br />

Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 tahun 2009 yang berbunyi:<br />

“Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan<br />

pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan<br />

42 Syamsudin M.Sinaga, <strong>Hukum</strong> Kepailitan Indonesia, 2012, Tata Nusa, Jakarta, hal.115.


131<br />

peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali<br />

Undang-Undang menentukan lain”.<br />

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang-undang<br />

Nomor 5 tahun 2004 Pasal 30 ayat 1 tentang Mahkamah Agung yang<br />

menyebutkan secara limitatif alasan-alasan Permohonan Kasasi yaitu:<br />

a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang<br />

Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini<br />

tendens kepada kompetensi relatif (relatieve competentie) dan<br />

kompetensi absolut (absolute competentie). Konkretnya, yudex facti<br />

incasu pengadilan niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU<br />

tersebut seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya<br />

tentang Judex factie tidak berwenang/bukan merupakan<br />

kewenangannya.Sedangkan alasan kasasi disebabkan judex facti<br />

melampaui batas wewenang adalah bahwa Judex Facti telah<br />

mengadili tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan<br />

dalam Undang-undang. Kemudian, melampaui batas wewenang ini<br />

dapat juga di artikan bahwa judex facti dalam putusannya telah<br />

mengabulkan lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam surat<br />

gugatannya.<br />

b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku<br />

Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara<br />

sederhana adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum<br />

acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat


132<br />

dari penerapan hukum yang berlaku. Sedangkan melanggar<br />

hukum tendens kepada penerapan hukum itu sendiri tidak dapat, salah<br />

dan tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan seharusnya yang<br />

digariskan oleh Undang-undang.<br />

c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan<br />

43 Loc.Cit.<br />

perundang undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya<br />

putusan yang bersangkutan.<br />

Doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-<br />

syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang<br />

mengancam kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim<br />

disebut dengan istilah melalaikan persyaratan formal (formalities),<br />

sehingga diancam pula kebatalan formal (formele nietigheid) atau<br />

( formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo lebih jauh menegaskan<br />

bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh hakim<br />

dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah<br />

Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya<br />

perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada<br />

pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak. 43<br />

Menurut Yahya Harahap, terdapat beberapa pertimbangan<br />

yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam menolak permohonan<br />

Kasasi yaitu:


133<br />

1) Permohonan Kasasi memenuhi syarat formil, tetapi keberatan<br />

kasasi tidak memenuhi kriteria;<br />

2) Keberatan Kasasi yang diajukan tidak tunduk pada Pemeriksaan<br />

Kasasi;<br />

3) Penolakan Kasasi dengan Perbaikan Putusan Judex Facti. 44<br />

Syarat Formil yaitu dalam perkara ini Permohonan para Kasasi<br />

Pemohon Kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan<br />

kepada pihak lawan yang dengan saksama, diajukan dalam tenggang<br />

waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang.<br />

Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata khusus Kepailitan<br />

dengan Nomor Register Perkara 771 K/ Pdt.Sus/2010 ditemukan<br />

sebuah fakta dalam perkara ini dapat dilihat dalam pertimbangan<br />

hakim pengadilan niaga bahwa sesudah putusan terakhir ini dijatuhkan<br />

dengan hadirnya termohon pailit dan para pemohon intervensi pada<br />

tanggal 28 Juli 2010 kemudian terhadapnya oleh termohon pailit dan<br />

para pemohon intervensi dengan perantara kuasanya, berdasarkan<br />

surat kuasa khusus tanggal 2 Agustus 2010 dan tanggal 30 Juli 2010,<br />

diajukan permohonan Kasasi secara lisan pada tanggal 4 Agustus<br />

2010 dan tanggal 5 Agustus sebagaimana ternyata dari akte<br />

permohonan kasasi Nomor 54/Kas/Pembatalan<br />

Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 03/Pembatalan<br />

Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst yang dibuat oleh Panitera<br />

44 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemerisaan Kasasi dan Peninjauan<br />

Kembali Perkara Perdata, 2007, Sinar Grafika, Jakarta, hal.393-396.


134<br />

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan<br />

mana disertai dengan Memori Kasasi yang memuat alasan-alasan yang<br />

diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri<br />

Jakarta Pusat tersebut pada tanggal 4 Agustus 2010 dan tanggal 5<br />

Agustus 2010;<br />

Bahwa setelah itu oleh Pemohon Pailit yang pada tanggal 9<br />

Agustus 2010 telah diberitahukan tentang Memori Kasasi dari para<br />

Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi diajukan jawaban<br />

Memori Kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada<br />

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 6 Agustus 2010;<br />

Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004:<br />

“Permohonan Kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />

diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan<br />

yang dimohonkan Kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan<br />

kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan<br />

pernyataan pailit”.<br />

Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo<br />

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3<br />

Tahun 2009<br />

“ Permohonan Kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara<br />

tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama<br />

yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14<br />

(empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan<br />

yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon.”<br />

Menimbang, bahwa permohonan Kasasi a quo beserta alasan-<br />

alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama,<br />

diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan


135<br />

dalam Undang-undang maka oleh karena itu permohonan Kasasi<br />

tersebut Formil dapat diterima.<br />

Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata khusus<br />

Kepailitan dengan Nomor Register Perkara 771 K/ Pdt.Sus/2010<br />

ditemukan sebuah fakta dalam perkara ini mengenai keberatan yang<br />

diajukan para pemohon Kasasi mengajukan alasan Kasasi sebagai<br />

berikut:<br />

a) Majelis <strong>Hukum</strong> Pengadilan Niaga dalam memutus perkara telah<br />

melakukan beberapa kesalahan penerapan hukum dan melanggar<br />

yang berlaku diantaranya: judex facti melakukan pelanggaran<br />

berat hukum acara mengenai Intervensi, tidak mempertimbangkan<br />

Eksepsi Pemohon Kasasi, tentang Pembuktian (Foto copy dan<br />

Pembuktian sederhana), judex facti mengabulkan tuntutan<br />

wanprestasi oleh pihak ketiga yang tidak berhak, judex facti tidak<br />

menerapkan asas memuat dasar alasan yang lebih rinci,<br />

melanggar ketentuan Formalitas Salinan Putusan, judex facti<br />

salah melakukan penafsiran hukum terhadap Perjanjian<br />

Perdamaian yang telah dihomologasi;<br />

b) Para pemohon Kasasi sangat keberatan terhadap Putusan Pailit<br />

untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan oleh karena itu menolak<br />

dengan tegas-tegas Putusan judex facti tersebut karena Putusan<br />

terhadap Pailit terhadap PT. Interkon Kebon Jeruk adalah Putusan<br />

yang tidak adil bagi para pembeli kavling sebagai masyarakat;


136<br />

c) Judex Facti melanggar ketentuan Pasal 172 Undang-Undang<br />

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kurator;<br />

d) Judex Facti melanggar asas-asas dalam Undang-Undang Nomor.<br />

37 Tahun 2004;<br />

e) Judex Facti lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh<br />

peraturan perUndang-undangan yaitu didalam amar Putusan tidak<br />

mencantumkan mengenai ditolaknya Eksepsi dan diterima atau<br />

tidaknya Permohonan Intervensi;<br />

f) Judex Facti telah melampaui batas wewenang.<br />

Bahwa pertimbangan-pertimbangan yang diajukan oleh para<br />

pemohon kasasi jelas terlihat memenuhi syarat formil dan syarat<br />

materiil dikabulkannya permohonan kasasi. Syarat materiilnya dapat<br />

dilihat dalam pertimbangan-pertimbangan alasan mengajukan<br />

permohonan kasasi sudah memenuhi kriteria sebagaimana termaktub<br />

dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung.<br />

Berdasarkan alasan yang diajukan oleh para pemohon kasasi, Hakim<br />

Mahkamah Agung memberikan pertimbangan yaitu:<br />

Menimbang, bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,<br />

oleh karena judex facti/pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri<br />

Jakarta Pusat dalam putusannya yang mengabulkan permohonan<br />

Pemohon seluruhnya sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau<br />

melanggar hukum yang berlaku, sebab perkara ini adalah mengenai<br />

tuntutan pembatalan atas perdamaian yang telah disahkan oleh karena


137<br />

debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut sebagaimana diatur<br />

dalam Pasal 170 (1) Undang-Undang Kepailitan dan dalam perkara<br />

seperti itu debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah ia<br />

penuhi in casu debitur wajib membuktikan bahwa debitor/ termohon<br />

Pailit tidak membebankan biaya PPh kepada Kreditor tidak ada<br />

penambahan biaya perpanjangan SHGB (Sertipikat Hak Guna<br />

Bangunan), jasa dan denda keterlambatan atas perpanjangan dimaksud<br />

sebagaimana tertuang dalam Lampiran 1 dan 2 Proposal Perdamaian<br />

(P.2, P.5, P.7, P.7a, P.8, P.8a s/d P.8u, T.2, T.3b), akan tetapi ternyata<br />

di persidangan Debitor/Termohon Pailit tidak dapat membuktikan<br />

tentang tidak adanya penambahan biaya dimaksud, bahkan sebaliknya<br />

sesuai bukti-bukti tersebut di atas telah terbukti adanya penambahan<br />

biaya tersebut yang melanggar isi perjanjian perdamaian dimana<br />

Debitor in casu Termohon Pailit telah lalai memenuhi isi perdamaian<br />

tesebut.<br />

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,<br />

ternyata bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan Niaga pada<br />

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan<br />

dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi<br />

yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: PT. Interkon Kebon Jeruk<br />

Cs tersebut harus ditolak;<br />

Menimbang. bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para<br />

Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi


138<br />

ditolak, maka para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para<br />

Pemohon Intervensi harus dihukum untuk membayar biaya perkara<br />

dalam tingkat kasasi ini; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-<br />

Undang Nomor 37 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 48 Tahun<br />

2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang<br />

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan<br />

perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 serta<br />

peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.<br />

Pasal 170 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004<br />

(1) Kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaianyang telah<br />

disahkan apabila Debitur lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.<br />

(2) Debitur wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi.<br />

(3) Pengadilan berwenang memberikan kelonggaran kepada Debitur<br />

untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari<br />

setelah putusan pemberian kelonggaran tersebut diucapkan.<br />

Bahwa perjanjian perdamaian antara Pemohon Pailit dan<br />

Termohon Pailit yang telah disahkan berdasarkan putusan Nomor<br />

027/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST jo No. 21 K/N/2006 jo No.<br />

019 PK/N/2006tertanggal 29 April 2010 (terlampir, Bukti P-2);<br />

Bahwa isi Perjanjian Perdamaian tersebut di atas yang telah<br />

dilanggar oleh Termohon Pailit sebagai berikut:<br />

“ Pasal 1.2 Perjanjian Perdamaian menyebutkan: Para pihak setuju<br />

bahwa perdamaian sebagaimana dimaksud dalam PasaI 1.1. akan


139<br />

dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang<br />

tercantum dalam Proposal Perdamaian tertanggal 1 April 2009,<br />

beserta Lampiran I Proposal Perdamaian dan Surat dari PT. Interkon<br />

Kebon Jeruk (dalam Pailit) tertanggal 1 April 2009. Seluruh dokumen<br />

tersebut terlampir dalam Lampiran 2 Perjanjian ini”.<br />

Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tercantum Biaya Peralihan<br />

Hak antara lain:<br />

(1) BPHTB dengan jumlah pembayaran sesuai ketentuan peraturan<br />

perundang-undangan yang berlaku;<br />

(2) PPh dengan jumlah pembayaran sesuai dengan ketentuan<br />

peraturan perundang-undangan yang berlaku;<br />

(3) Biaya Pengukuran/Pemecahan Sertifikat sesuai dengan penetapan<br />

Badan Pertanahan Nasional (BPN);<br />

PasaI 2 Perjanjian Perdamaian menyebutkan:<br />

(1) Pihak Pertama akan melakukan pembangunan infrastruktur, di<br />

antaranya pembangunan sarana dan prasarana jalan, taman,<br />

pemeliharaan saluran air serta pembangunan fasilitas umum dan<br />

fasilitas sosial di lingkungan Perumahan Taman Kebon Jeruk dan<br />

pemeliharaan kebersihan dan keamanan;<br />

(2) Pembangunan infrastruktur akan dimulai setelah perjanjian ini<br />

ditandatangani dan dihomologasi oleh Pengadilan Negeri/Niaga<br />

Jakarta Pusat.


140<br />

Bahwa dalam pelaksanaan isi perdamaian tersebut ternyata debitor<br />

lalai melaksanakan apa yang ditetapkan dalam proposal perdamaian,<br />

sebagai berikut:<br />

(1) Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tercantum Biaya<br />

Peralihan Hak antara lain:<br />

1) BPHTB dengan jumlah pembayaran sesuai ketentuan peraturan<br />

perundang-undangan yang berlaku; Berdasarkan ketentuan<br />

Pasal 5 Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea<br />

Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan menyebutkan tarif<br />

BPHTB sebesar 5%, namun dalam pelaksanaan perjanjian<br />

perdamaian tersebut ternyata Pihak Termohon Pailit dikenakan<br />

tarif BPHTB lebih dari apa yang ditentukan oleh undang-<br />

undang;<br />

Hal mana dapat dibuktikan dari Akta Jual Beli yang dibuat<br />

setelah Perjanjian Perdamaian oleh Termohon Pailit dengan<br />

salah satu pihak yang terikat dalam Perjanjian Perdamaian.<br />

Adapun dalam Akta Jual Beli No. 8/2009 (terlampir, Bukti P-<br />

3) dan No. 9/2009 (terlampir, Bukti P-4) tanggal 4 November<br />

2009 yang dibuat di hadapan Sri Ambarwati, SH., Notaris<br />

PPAT di Jakarta antara Termohon Pailit dengan Suwarno<br />

Dicky Yusuf disebutkan bahwa jual beli dilakukan atas<br />

Kavling Blok L. No.8 dengan harga seluruhnya Rp.<br />

60.750.000,- (enam puluh juta tujuh ratus lima puluh ribu


141<br />

rupiah) sesuai Perikatan Untuk Menjual dan Membeli Tanah di<br />

Taman Kebon Jeruk yang dibuat secara di bawah tangan<br />

bermeterai cukup tertanggal 19 April 1996 di bawah nomor:<br />

SPP/TKJ/00831.85/IV/96. Namun, dalam perincian<br />

perhitungan yang diberikan oleh Termohon Pailit atas Kavling<br />

Blok L.1 No. 8 (terlampir, Bukti P-5) dikenakan Biaya BPHTB<br />

sebesar Rp. 90.487.500,- (sembilan puluh juta empat ratus<br />

delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) Iebih dari 150%<br />

dari nilai obyek jual beli). Hal mana pengenaan biaya BPHTB<br />

tersebut di atas merupakan pelanggaran dari Perjanjian<br />

Perdamaian karena telah melebihi apa yang ditentukan dalam<br />

undang-undang;<br />

2) PPh dengan jumlah pembayaran sesuai dengan ketentuan<br />

peraturan perundang-undangan yang berlaku; Berdasarkan<br />

ketentuan Undang-undang No. 38 Tahun 2008 tentang Pajak<br />

Penghasilan yang berlaku menetapkan bahwa PPh tidak<br />

dikenakan kepada Pemohon Pailit selaku Pembeli tetapi<br />

terhadap Termohon Pailit selaku Penjual yang menerima<br />

penghasilan, namun dalam pelaksanaan perjanjian perdamaian<br />

tersebut ternyata Pihak Pemohon Pailit yang harus<br />

menanggung PPh tersebut tanpa perincian perhitungan yang<br />

sesuai dengan undang-undang tentang PPh; Hal mana dapat<br />

dibuktikan dari Akta Jual Beli yang dibuat setelah Perjanjian


142<br />

Perdamaian oleh Termohon dengan salah satu pihak yang<br />

terikat dalam Perjanjian Perdamaian. Dalam Akta Jual Beli No.<br />

8/2009 terlampir, Bukti P-3) dan No. 9/2009 (terlampir, Bukti<br />

P-4) tanggal 4 November 2009 yang dibuat di hadapan Sri<br />

Ambarwati, SH., Notaris PPAT di Jakarta antara Termohon<br />

Pailit dengan Suwarno Dicky Yusuf disebutkan bahwa jual beli<br />

dilakukan atas Kavling Blok L.1 No. 8 dengan harga<br />

seluruhnya Rp. 60.750.000,- (enam puluh juta tujuh ratus lima<br />

puluh ribu rupiah) sesuai Perikatan Untuk Menjual dan<br />

Membeli Tanah di Taman Kebon Jeruk yang dibuat secara di<br />

bawah tangan bermeterai cukup tertanggal 19 April 1996 di<br />

bawah nomor: SPP/TKJ/00831.85/IV/96. Namun, dalam<br />

perincian perhitungan yang diberikan oleh Termohon Pailit<br />

atas Kavling Blok L.1 No. 8 (terlampir Bukti P-5) dikenakan<br />

Biaya PPh sebesar Rp. 93.487.500,- (sembilan puluh tiga juta<br />

empat ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) (Iebih<br />

dari 150 % dari nilai obyek jual beli). Hal mana pengenaan<br />

Biaya PPh tersebut di atas merupakan pelanggaran dari<br />

Perjanjian Perdamaian karena telah melebihi apa yang<br />

ditentukan dalam undang-undang;<br />

3) Biaya Pengukuran/Pemecahan Sertifikat sesuai dengan<br />

penetapan Badan Pertanahan Nasional (BPN); Dalam<br />

pelaksanaan perjanjian perdamaian tersebut ternyata Pihak


143<br />

Pemohon Pailit harus menanggung biaya-biaya yang tidak<br />

tercantum dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tersebut.<br />

Selain itu biaya-biaya yang dikenakan tersebut tanpa perincian<br />

perhitungan apakah sesuai dengan penetapan Badan<br />

Pertanahan Nasional (BPN) atau penetapan oleh Termohon<br />

Pailit sendiri;<br />

Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian butir/poin (3) hanya<br />

tercantum biaya pengukuran/pemecahan sertifikat sesuai<br />

penetapan BPN. Namun, dalam perincian perhitungan yang<br />

diberikan oleh Termohon Pailit atas Kavling Blok L.1 No. 8<br />

(terlampir, Bukti P-5) dikenakan selain biaya pengukuran/<br />

pemecahan sertifikat, juga biaya jasa, yang meliputi biaya<br />

balik nama dan jasa, biaya perpanjangan SHGB dan jasa, biaya<br />

keterlambatan perpanjangan SHGB dan jasa. Adapun dalam<br />

pengurusan kavling tersebut di atas ternyata dikenakan:<br />

1. Biaya Balik Nama dan Jasa sebesar Rp. 27.000.000,- (dua<br />

puluh tujuh juta rupiah);<br />

2. Biaya Perpanjangan SHGB dan Jasa sebesar Rp.<br />

56.250.000,- (lima puluh enam juta dua ratus limapuluh ribu<br />

rupiah);<br />

3. Biaya Denda Keterlambatan Perpanjangan SHGB dan jasa<br />

sebesar Rp. 40.500.000,- (empat puluh juta lima ratus ribu<br />

rupiah);


144<br />

Hal mana pengenaan biaya-biaya tersebut di luar apa yang<br />

secara tegas sudah dinyatakan dalam Lampiran I Proposal<br />

Perdamaian yaitu: hanya biaya pengukuran/pemecahan<br />

sertifikat sesuai penetapan BPN, tanpa tambahan biaya<br />

apapun;<br />

Hal ini jelas-jelas merupakan pelanggaran dari Perjanjian<br />

Perdamaian yang dilakukan dengan sengaja dan itikadburuk<br />

dari Termohon Pailit;<br />

4) Menurut ketentuan Pasal 2 Perjanjian Perdamaian disebutkan<br />

Termohon Pailit selaku Pihak Pertama akan melakukan<br />

pembangunan infrastruktur, di antaranya pembangunan sarana<br />

dan prasarana jalan, taman, pemeliharaan saluran air serta<br />

pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial di lingkungan<br />

Perumahan Taman Kebon Jeruk dan pemeliharaan kebersihan<br />

dan keamanan yang akan dimulai setelah perjanjian<br />

iniditandatangani dan dihomologasi oleh Pengadilan<br />

Negeri/Niaga Jakarta Pusat;<br />

Kenyataannya setelah perjanjian perdamaian ditandatangani<br />

dan dihomologasi oleh Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat,<br />

Termohon Pailit tidak memulai pembangunan infrastruktur<br />

yang dijanjikan tersebut. Hal mana dapat dibuktikan jalan-jalan<br />

berbatu tidak diaspal, sungai/kali yang terdapat dalam<br />

perumahan Interkon Kebon Jeruk sudah dalam keadaan kritis


145<br />

akan ambruk tidak dikerjakan oleh Termohon Pailit, meskipun<br />

sudah diberitahukan secara lisan dan tertulis kepada<br />

Termohon. Hal mana dengan terpaksa para Pemohon Pailit<br />

bersama warga yang lain harus mencari upaya sendiri<br />

memperbaikinya dan menanggulangi biaya yang dikeluarkan<br />

untuk perbaikan infrastruktur tersebut secara gotong royong<br />

bersama-sama (terlampir, Buktl P-6);<br />

5) Bahwa kelalaian atas pelaksanaan isi perjanjian perdamaian<br />

oleh Termohon Pailit bukan merupakan keterlambatan<br />

pelaksanaan, melainkan bersifat pelanggaran hukum/undang-<br />

undang yang sengaja dibuat Termohon Pailit dengan<br />

menggelembungkan biaya-biaya yang seharusnya tidak<br />

ditanggung pemohon pailit;<br />

Hal mana jelas-jelas terbukti sangat merugikan para pihak<br />

yang terkait dalam perjanjian perdamaian khususnya para<br />

pembeli kavling perumahan Interkon Kebon Jeruk oleh<br />

karenanya tidak dapat ditolerir lagi, sehingga Termohon Pailit<br />

layak dan patut dipailitkan karena telah melanggar perjanjian<br />

perdamaian;<br />

6) Bahwa para Pemohon Pailit selaku pihak terkait, dalam<br />

perjanjian perdamaian merupakan pihak yang harus dilindungi<br />

oleh hukum karena Termohon Pailit telah melanggar perjanjian<br />

perdamaian sehingga Para Pemohon Pailit berhak memohon


146<br />

agar Termohon Pailit dipailitkan sehingga kepentingan Para<br />

Pemohon Pailit dapat dilaksanakan oleh Pengadilan dengan<br />

seadil-adilnya;<br />

Para Pemohon Pailit sangat berkeberatan dengan pengenaan<br />

biaya-biaya yang ditetapkan di luar isi perjanjian perdamaian<br />

dengan sengaja dan itikad buruk dari Termohon Pailit,<br />

sehingga Para Pemohon Pailit merasa diperas, ditindas oleh<br />

Termohon Pailit dengan biaya-biaya yang sangat besar,<br />

digelembungkan, dimanipulasi, di luar ketentuan undang-<br />

undang, yang dikenakan kepada para Pemohon Pailit untuk<br />

mendapatkan hak-hak atas tanahnya kembali berdasarkan<br />

Perikatan untuk Menjual dan Membeli Tanah di Taman Kebon<br />

Jeruk yang ditandatangani oleh Pemohon Pailit dengan<br />

Termohon Pailit (dahulu PT. Intercon Enterprises). (Bukti P-<br />

7).<br />

Perkara ini hakim Mahkamah Agung menilai bahwa Debitur<br />

lalai memenuhi isi perjanjian sebagaimana termaktub dalam Pasal 170<br />

ayat (1) dan akibatnya Debitur dinyatakan Pailit. Berdasarkan hasil<br />

penelitian dapat dilihat bahwa Hakim Mahkamah Agung dalam<br />

menolak permohonan Kasasi tidak dapat dibenarkan.<br />

Menurut Pasal 170 (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007:


147<br />

“Kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang<br />

telah disahkan apabila Debitur lalai memenuhi isi perdamaian<br />

tersebut”.<br />

Berdasarkan faktanya yang mengajukan permohonan<br />

pembatalan perdamaian adalah Horas Panjaitan , S.H (Kuasa <strong>Hukum</strong><br />

Pemohon Pailit). Akan tetapi Horas Panjaitan, S.H sama sekali tidak<br />

memiliki wewenang mengajukan permohonan pembatalan tersebut hal<br />

ini dapat dilihat dalam Putusan Nomor 027/Pailit/2006/PN.<br />

Naga/Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 jo Nomor 019 PK/N/2006<br />

tanggal 29 April 2009. Bahwa dalam Surat Kuasanya tidak disebutkan<br />

secara tegas dan spesifik mengenai permohonan pembatalan. Bahwa<br />

benar Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan<br />

“Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah<br />

disahkan apabila debitor lalai memenuhi isi perjanjian tersebut”.<br />

Bahwa ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004<br />

tetaplah harus berpedoman pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37<br />

Tahun 2004 yang menyatakan “Debitor yang mempunyai dua atau<br />

lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang<br />

telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan<br />

Pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri<br />

maupun ataspermohonan satu atau lebih Kreditor”;<br />

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, SH. dalam bukunya <strong>Hukum</strong><br />

Kepailitan, menyatakan sebagai berikut: “Sangatlah penting diketahui


148<br />

mengenai apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu<br />

apabila seseorang atau suatu badan hukum bermaksud mengajukan<br />

permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga. Syarat-syarat<br />

tersebut perlu diketahui karena apabila permohonan Kepailitan tidak<br />

memenuhi syarat-syarat tersebut, maka Permohonan tersebut tidak<br />

akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga;<br />

Bahwa syarat tersebut terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-<br />

Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu:<br />

“ Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak<br />

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo<br />

waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan<br />

Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas<br />

permohonan satu atau lebih krediturnya”.<br />

Bahwa syarat tersebut sifatnya limitative dan harus dipenuhi<br />

seluruhnya.<br />

Berdasarkan faktanya:<br />

1) Syarat paling sedikit harus ada 2 (dua) Kreditor;<br />

Sekilas syarat ini terpenuhi oleh karena Tommy Bungaran, Cs<br />

merupakan Kreditor dalam Perjanjian Perdamaian Sesuai dengan<br />

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat<br />

No. 027/PAILIT/2006/PN.NIAGA.JKT.PST. jo. No. 21<br />

K/N/2006, jo No. 019 PK/N/2006 tanggal 29 April 2009 (Kecuali<br />

Heny Anwari), namun demikian Pemohon Pailit tidak mempunyai<br />

legal standing untuk mengajukan Permohonan Pailit sebagaimana<br />

telah diuraikan dalam Eksepsi Pemohon Intervensi;


2) Syarat harus adanya hutang;<br />

149<br />

Bahwa Pemohon Pailit mengajukan Permohonan Pailit<br />

mendasarkan pada kelalaian Termohon Pailit terhadap Perjanjian<br />

Perdamaian Sesuai dengan Putusan Pengadilan Niaga pada<br />

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 027/Pailit/2006/PN.Niaga jo<br />

No. 21 K/N/2006, jo. No. 019 PK/N/2006 tanggal 29 April 2009<br />

dengan alasan pada pokoknya:<br />

1. Termohon Pailit telah membebani BPHTB, PPh, dan Biaya<br />

Pengukuran/Pemecahan Sertifikat kepada Suwarno Dicky<br />

Yusuf yang menurut Pemohon Pailit melanggar lampiran<br />

Perjanjian Perdamaian. (Kesemuanya dituduh melanggar<br />

peraturan yang berlaku);<br />

2. Termohon Pailit tidak membangun infrastruktur;<br />

Bahwa alasan-alasan tersebut di atas bukanlah termasuk dalam<br />

kategori hutang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang<br />

Nomor 37 tahun 2004. Sama sekali tidak ada hubungan hutang<br />

pihutang antara Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit;<br />

Syarat harus adanya hutang sarna sekali tidak terpenuhi dalam alasan<br />

Permohonan Pailit yang diajukan Pemohon Pailit. Bahwa oleh karena<br />

syarat harus adanya hutang tidak terbukti maka "Syarat hutang harus<br />

telah jatuh waktu dan dapat ditagih" dan "Syarat cukup satu hutang<br />

saja telah jatuh waktu dan dapat ditagih" otomatis tidak perlu<br />

dibuktikan atau pasti tidak terpenuhi;


150<br />

Bahwa dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat Permohonan<br />

Pailit sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang<br />

Nomor 37 Tahun 2004, cukup alasan untuk menolak. permohonan<br />

pailit dari Pemohon Pailit atau setidaknya menyatakan tldak dapat<br />

diterima.<br />

2. Akibat hukumnya, terhadap kasasi yang ditolak dalam perkara<br />

Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara Perdata Khusus Kepailitan.<br />

Akibat kepailitan diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan<br />

yaitu meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit<br />

diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Kepailitan<br />

mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan segala “hak<br />

perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah<br />

dimasukan ke dalam harta pailit. Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan<br />

dan bukan mengenai perorangan debitur, ia tetap dapat melaksanakan<br />

hukum kekayaan yang lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan<br />

orang tua (ouderlijke macht). Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan<br />

debitur. Debitur tidak berada di bawah pengampuan. Debitur tidaklah<br />

kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum itu<br />

menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut<br />

pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Diperolehnya itu<br />

kemudian menjadi bagian dari harta pailit. 45<br />

45 Sutan Remy Sjahdeny, Loc.Cit.


151<br />

Debitur pailit tetap berwenang bertindak sepenuhnya, akan tetapi<br />

tindakan-tindakannya tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah<br />

disita. 46 Menurut Pasal 24 Undang-Undang Kepailitan, dengan pernyataan<br />

pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan<br />

mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan, terhitung sejak<br />

tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari<br />

pernyataan itu sendiri. Pasal 69 ayat (1) menerangkan bahwa kuratorlah<br />

yang berwenang melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit,<br />

dengan demikian, kurator kehilangan hak menguasai harta yang masuk<br />

dalam kepailitan, dan tidak kehilangan hak atas harta kekayaan yang berada<br />

di luar kepailitan. Tentang harta pailit, lebih lanjut dalam Pasal 21 Undang-<br />

Undang Kepailitan menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta<br />

kekayaan debitur, yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan serta<br />

semua kekayaan yang diperolehnya selama kepailitan.<br />

Apabila Kepailitan dibuka kembali, maka berlaku Pasal 17 ayat (1),<br />

Pasal19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan pasal-pasal yang termaktub dalam<br />

bagian kedua, bagian ketiga dan bagian keempat BAB II Undang-Undang<br />

ini. Demikian pula berlaku ketentuan mengenai pencocokan piutang terbatas<br />

pada piutang yang belum dicocokan. Wlaupun demikian Kreditur yang<br />

piutangnya telah dicocokan wajib dipanggil juga untuk menghadiri rapat<br />

pencocokan piutang dan berhak untuk membantah piutang yang dimintakan<br />

penerimaannya (Pasal 173 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004).<br />

46 Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan<br />

Harta Pailit, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004. hal.44.


152<br />

Pasal 174 menentukan bahwa: “Dengan tidak mengurangi berlakunya<br />

Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44, apabila ada alasan untuk itu,<br />

semua perbuatan yang dilakukan oleh Debitur di dalam waktu antara<br />

pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali Kepailitan adalah<br />

mengikat bagi harta pailit”.<br />

Setelah Kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat lagi ditawarkan<br />

perdamaian. Kurator wajib seketika memualai dengan pemberesan harta<br />

pailit (Pasal 175 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004).<br />

Bila kepailitan dibuka kembali, harta pailit dibagi anatara para<br />

Kreditur dengan cara:<br />

a. Jika Kreditur lama maupun Kreditur baru belum mendapat pembayaran,<br />

hasil penguangan harta pailit di bagi antara mereka secara prorata;<br />

b. Jika setelah terjadi pembayaran sebagian piutang kepada Kreditur lama,<br />

maka Kreditur lama dan Kreditur baru berhak menerima pembayaran<br />

sesuai dengan presentase yang telah disepakati dalam perdamaian;<br />

c. Kreditur lama dan Kreditur baru berhak memperoleh pembayaran secara<br />

prorata atas sisa harta pailit setelah setelah dikurangi pembayaran<br />

sebagaimana dimaksud pada huruf b samapai dipenuhinya seluruh<br />

piutang yang diakui.<br />

Kreditur lama yang telah memperoleh pembayaran tidak diwajibkan<br />

untuk mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya (Pasal 176<br />

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Yang dimaksud dengan “prorata”<br />

adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing-masing,


sedangkan yang dimaksud “sebagian” adalah bagian berapapun (Penjelasan<br />

Pasal 176 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004).<br />

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 berlaku mutatis<br />

mutandis dalam hal Debitur sekali lagi dinyatakan Pailit. 47<br />

Perkara perdata mengenai kepailitan yang dimohonkan kasasi oleh<br />

para pemohon dalam faktanya ditolak dengan mempertimbangkan bahwa<br />

alasan-alasan para Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena<br />

153<br />

judex facti / Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam<br />

perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang.<br />

Terkait dalam perkara ini Hakim Mahkmah Agung dalam<br />

pertimbangan hukumnya menolak permohonan kasasi para pemohon kasasi<br />

sehingga dalam perkara ini Putusan judex facti/ Pengadilan Niaga pada<br />

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung<br />

Republik Indonesia. Akibat <strong>Hukum</strong> dari ditolaknya Permohonan Kasasi<br />

yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi yaitu PT. Interkon Kebon Jeruk<br />

Cs mengakibatkan bahwa PT.Interkon Kebon Jeruk Pailit. Akibat keputusan<br />

pailit tersebut seluruh harta kekayaan PT.Interkon Kebon Jeruk diserahkan<br />

kepada Kurator sebagaimana termaktub dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-<br />

Undang Nomor 34 Tahun 2007 dan dibawah pengawasan hakim pengawas.<br />

Hakim pengawas memiliki peranan yang sangat penting, peranan itu mulai<br />

berlaku setelah di ucapkan putusan pernyataan pailit. Hakim pengawas<br />

47 Ibid, hal.171


154<br />

mengawasi pekerjaan Kurator dalam rangka melakukan tugas pengurusan<br />

dan pemberesan.


A. SIMPULAN<br />

BAB V<br />

PENUTUP<br />

1. Penerapan hukum Hakim Mahkamah Agung dalam menolak Permohonan<br />

155<br />

Kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 perkara perdata khusus<br />

Kepailitan tidak tepat karena Debitur tidak lalai memenuhi isi perjanjian<br />

sebagiamana termaktub dalam Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor<br />

37 Tahun 2004.<br />

2. Akibat hukum penolakan permohonan kasasi pada putusan perkara<br />

B. SARAN<br />

perdata khusus Kepailitan dengan Nomor Register Perkara 771<br />

K/Pdt.Sus/2010, maka permohonan Kasasi yang diajukan oleh para<br />

Pemohon Kasasi yaitu PT. Interkon Kebon Jeruk Cs mengakibatkan<br />

PT.Interkon Kebon Jeruk Pailit dan seluruh harta kekayaan PT.Interkon<br />

Kebon Jeruk diserahkan kepada kurator sebagaimana termaktub dalam<br />

Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dibawah<br />

pengawasan hakim pengawas.<br />

1. Mahkamah Agung merupakan Puncak Peradilan tertinggi hendaknya<br />

lebih cermat dan teliti dalam memutuskan suatu perkara.<br />

2. Hakim Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan alasan-alasan<br />

Permohonan Kasasi hendaknya lebih teliti terkait dalam menelaaah suatu<br />

perkara yang masuk.


LITERATUR<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anisah, Siti, Perlindungan kepentingan kreditor dan Debitor dalam <strong>Hukum</strong><br />

Kepailitan di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008.<br />

Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia<br />

(1998), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.<br />

Halim, Ridwan, <strong>Hukum</strong> Acara Perdata (Dalam Tanya Jawab), Ghalia Indonesia,<br />

Jakarta, 1996.<br />

Harahap, M. Yahya, <strong>Hukum</strong> Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,<br />

156<br />

Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika, Jakarta,<br />

2004.<br />

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian <strong>Hukum</strong> Normatif, Bayu Media,<br />

Surabaya, 2005.<br />

Jono, <strong>Hukum</strong> Kepailitan. Sinar Grafika, Jakarta. 2008.<br />

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian <strong>Hukum</strong>, Kencana Media Group, Jakarta,<br />

2010.<br />

Mertokusumo, Sudikno, <strong>Hukum</strong> Acara Perdata Indonesia. Liberty Yogyakarta,<br />

Yogyakarta, 2002.<br />

Muhammad, Abdulkadir, <strong>Hukum</strong> Acara Perdata Indonesia.PT.Citra Aditya Bakti,<br />

Bandung, 1990.


Nating, Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan<br />

Pemberesan Harta Pailit, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.<br />

Pangabean P, Henry, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari-hari,<br />

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.<br />

Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, cetakan<br />

ketiga revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.<br />

Rony Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian <strong>Hukum</strong> dan Jurimetri. Ghalia<br />

Indonesia, Jakarta, 1988.<br />

Saleh, Wantjik K, Kehakiman dan Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997.<br />

Sinaga M, Syamsudin, <strong>Hukum</strong> Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Kakarta, 2012.<br />

Sjahdeini, Remy, Sutan, <strong>Hukum</strong> Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2002.<br />

Soedirjo, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Akademika Pressindo, 1985.<br />

Soekanto Soerjono, Mamudji Sri, Penelitian <strong>Hukum</strong> Normatif, PT. Raja Grafindo<br />

Persada, Jakarta, 1985.<br />

Soekarso Hendri, Sitomurang Victor, Pengantar <strong>Hukum</strong> Kepailitan di Indonesia,<br />

Rineka Cipta, Jakarta, 1993.<br />

Shubhan, Hadi, <strong>Hukum</strong> Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik Peradilan),<br />

Kencana Media Group, Surabaya, 2007.<br />

Sunarmi, <strong>Hukum</strong> Kepailitan (Edisi 2), PT. Sofmedia, Jakarta, 2010.<br />

Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan <strong>Hukum</strong>. UII Press, Yogyakarta, 2007.<br />

Usman, Rachmadi, Dimensi <strong>Hukum</strong> Kepailitan di Indonesia. Gramedia Pustaka<br />

Utama, Jakarta. 2004<br />

157


Widjaja Gunawan, Yani Ahmad, Kepailitan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,<br />

1999.<br />

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN<br />

Mr.Tresna, R, Komentar HIR. Pradnya Paramita, Jakarta.1972<br />

Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan<br />

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang<br />

..................., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang<br />

158<br />

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia<br />

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung<br />

...................., Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan<br />

WEBSITE<br />

Kehakiman<br />

http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=771+K%2FPdt.Sus%2F<br />

2010 diakses pada tanggal 1 september 2012<br />

http://gilang-kurnia.blogspot.com/2010/12/upaya-hukum-terhadap-sengketa.html<br />

diakses pada tanggal 17 September 2012<br />

http://click-gtg.blogspot.com/2011/04/berakhirnya-kepailitan.html diakses pada<br />

tanggal 10 September 2012<br />

http://www.djkn.depkeu.go.id/content/article/lainnya/upaya-hukum-2.html<br />

diakses pada tanggal 17 Oktober 2012.


159

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!