SKRIPSI FULL.pdf - Fakultas Hukum - Unsoed
SKRIPSI FULL.pdf - Fakultas Hukum - Unsoed
SKRIPSI FULL.pdf - Fakultas Hukum - Unsoed
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN<br />
(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)<br />
<strong>SKRIPSI</strong><br />
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu<br />
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana <strong>Hukum</strong> Pada <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong><br />
Universitas Jenderal Soedirman<br />
OLEH :<br />
SUSANTI<br />
E1A008298<br />
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN<br />
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN<br />
FAKULTAS HUKUM<br />
PURWOKERTO<br />
2013<br />
i
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT <strong>SKRIPSI</strong><br />
PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN<br />
(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)<br />
Disusun Oleh:<br />
SUSANTI<br />
E1A008298<br />
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan <strong>Hukum</strong> (Skripsi)<br />
<strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> Universitas Jenderal Soedirman pada Jum’at, 22 Februari 2013<br />
Pembimbing I<br />
Drs. Antonius Sidik M.,S.H.,MH.<br />
NIP. 19580905 198601 1 001<br />
MENGETAHUI<br />
Pembimbing II<br />
Sanyoto, S.H.,M.Hum.<br />
NIP. 19610123 198601 1 001<br />
Mengetahui,<br />
Dekan <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong><br />
Universitas Jenderal Soedirman<br />
Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum.<br />
NIP. 19640923 198901 1 001<br />
ii<br />
Penguji<br />
Rahadi Wasi Bintoro, S.H., M.H.<br />
NIP. 19800812 205011 002
Dengan ini Saya:<br />
Nama : SUSANTI<br />
NIM : E1A008298<br />
LEMBAR PERNYATAAN<br />
Judul :::: :<br />
PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM<br />
PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap<br />
Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)<br />
Menyatakan bahwa skripsi yang Saya buat ini adalah benar-benar hasil<br />
karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan<br />
orang lain.<br />
Apabila ternyata saya terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana<br />
tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai<br />
ketentuan yang berlaku.<br />
iii<br />
Purwokerto, Februari 2013<br />
SUSANTI<br />
NIM. E1A008298
ABSTRAK<br />
Putusan pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas<br />
perkara Nomor 03/Pembatalan Perjanjian Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst<br />
tertanggal 28 Juli 2010 tentang “Kepailitan” antara Tomi Bungaran Cs sebagai<br />
pemohon pailit dan PT. Interkon Kebon Jeruk sebagai termohon pailit yang isinya<br />
mengabulkan seluruh permohonan pemohon menyebabkan PT. Interkon Kebon<br />
Jeruk Cs merasa tidak puas. PT. Interkon Kebon Jeruk kemudian mengajukan<br />
upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Akan tetapi,<br />
permohonan kasasi tersebut ditolak. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik<br />
melakukan penelitian dengan mengambil judul skripsi “ PENOLAKAN<br />
PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan<br />
Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)”.<br />
Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan<br />
perundang-undangan dan pendekatan analisis. Penelitian ini bertujuan untuk<br />
mengetahui pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam menolak<br />
permohonan kasasi dalam perkara kepailitan dan akibat hukum ditolaknya kasasi<br />
tersebut. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa pertimbangan<br />
hukum hakim mahkamah agung dalam menolak permohonan kasasi tidak tepat<br />
karena debitur tidak lalai memenuhi isi perjanjian sebagaiamana termaktub dalam<br />
Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Akibat hukum<br />
ditolaknya kasasi tersebut PT. Interkon Kebon Jeruk pailit dan seluruh harta<br />
kekayaan PT. Interkon Kebon Jeruk diserahkan kepada kurator sebagaimana<br />
termaktub dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004<br />
dibawah pengawasan hakim pengawas.<br />
Kata Kunci: kasasi, kepailitan, pengadilan niaga.<br />
iv
ABSTRACT<br />
Decisionof the commercial court at the Central Jakarta District Court<br />
on case No. 03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst dated July 28,<br />
2010 on "Bankruptcy" between Tomi Bungaran Cs., as applicants bankruptcy and<br />
PT. Interkon Kebon Jeruk as a defendant of bankruptcy petitioners which granted<br />
entirely applicants’s petitions have caused PT. Interkon Kebon Jeruk unsatisfied.<br />
PT.Interkon Kebon Jeruk Cs then filed cassation to the Supreme Court of the<br />
Republic of Indonesia. However, the appeal was rejected. Based on the<br />
description, the authors are interested in doing research by taking a thesis title<br />
“The Refusal of Casation Remedy with Regard to Bankrupcty Proceeding” (A<br />
Judicial Review Of Decision Number 771 K/Pdt.Sus/2010 Supreme Court)".<br />
The type of this research is normative juridical,with legislation and<br />
analysis approach. This study aims to determine the legal reasoning of the<br />
Supreme Court’s judgein rejecting the appeal in a bankruptcy case and legal<br />
consequences of the rejection. Result showed that the legal reasoning of judges in<br />
Supreme Court in rejecting an appeal is not appropriate because the debtor<br />
fulfilled the agreement aswritten in Article 70 paragraph (1) of Law No. 37 Year<br />
2004. Legal consequences of the appeal rejection is PT.Interkon Kebon Jeruk was<br />
bankrupt and all assets of PT. Interkon Kebon Jeruk submitted to the curator as<br />
set forth in Article 69 paragraph (1) of Law No. 37 Year 2004, under the<br />
supervision of supervisory judge.<br />
Keywords: appeal, bankruptcy, commercial court.<br />
v
Bismillahirrahmaanirrahim<br />
KATA PENGANTAR<br />
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang<br />
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat<br />
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) berjudul “ PENOLAKAN<br />
PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu<br />
Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah<br />
Agung)”.<br />
Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dalam rangka melengkapi syarat-<br />
syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu <strong>Hukum</strong> pada<br />
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis sepenuhnya menyadari<br />
begitu banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, untuk itu penulis dengan<br />
besar hati menerima saran dan kritik yang membangun.<br />
Penulisan hukum (skripsi) ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari<br />
bimbingan, arahan, petunjuk, bantuan, saran dan kritik serta dorongan dari semua<br />
pihak yang telah turut membantu penulis. Kiranya, bukanlah hal yang berlebihan<br />
pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang<br />
sebesar-besarnya kepada :<br />
1. Bapak Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum , sebagai Dekan <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> Universitas<br />
Jenderal Soedirman yang telah memimpin dengan bijaksana dalam<br />
meningkatkan kualitas <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong>, para mahasiswa dan para alumninya.<br />
vi
2. Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono, S.H.,M.S., selaku Dosen Pembimbing I<br />
yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan<br />
pengetahuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi<br />
ini;<br />
3. Bapak Sanyoto, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas segala<br />
bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sampai selesainya<br />
skripsi ini;<br />
4. Bapak Rahadi Wasi Bintoro, S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji yang telah<br />
memberikan masukan dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.<br />
5. Bapak Tenang Haryanto, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik.<br />
6. Seluruh Dosen <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> Universitas Jenderal Soedirman.<br />
7. Seluruh staf akademik <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong> Universitas Jenderal Soedirman.<br />
8. Semua aktivis atau pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa <strong>Fakultas</strong> <strong>Hukum</strong><br />
Universitas Jenderal Soedirman.<br />
9. Seluruh keluarga besar Orang tua, kakak dan adik terimakasih atas dukungan<br />
semangat dan doanya.<br />
10. Sahabat terbaikku Dwi Nurul Hastuti, Dwi Kantiningsih, Dwi Nanda<br />
L.H.N.K, Desy Yuliana, Uun Nur Yahya, Lia Nurjannah, Melda, Aya,<br />
Yuanita, Afib, Ida, Tika, Wiwik, Nindu, Ranggi, Nining, Putri, Dita, Febri<br />
serta seluruh teman seperjuanganku angkatan 2008, seluruh keluarga besar<br />
UKI FH <strong>Unsoed</strong>, teman-teman PLKH Pidana, Perdata, PTUN, teman-teman<br />
KKN Banjarkerta, Karanganyar, Purbalingga, dan yang tidak bisa Penulis<br />
sebut satu per satu, terimakasih atas dukungan doa dan semangatnya.<br />
vii
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan serta bantuan yang<br />
telah diberikan kepada penulis. Demikianlah semoga penulisan hukum (skripsi)<br />
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, kalangan<br />
akademis, praktisi serta masyarakat umum.<br />
viii<br />
Purwokerto, Februari 2013<br />
Penulis,<br />
Susanti
DAFTAR ISI<br />
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i<br />
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii<br />
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii<br />
ABSTRAK ...................................................................................................... iv<br />
ABSTRACT ....................................................................................................... v<br />
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi<br />
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii<br />
BAB I PENDAHULUAN<br />
A. Latar Belakang .................................................................................... 1<br />
B. Perumusan Masalah ............................................................................ 7<br />
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7<br />
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 8<br />
BAB II TINJAUAN PUSTAKA<br />
A. KEPAILITAN<br />
1. Pengertian dan Pengaturan Kepailitan ........................................... 9<br />
2. Persyaratan untuk dinyatakan Pailit ............................................... 10<br />
3. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Permohonan Pailit ............... 12<br />
4. Proses Permohonan dan Putusan Pernyataan Pailit ........................ 13<br />
ix
5. Akibat <strong>Hukum</strong> Putusan Pailit ......................................................... 16<br />
6. Pembuktian Sederhana ................................................................... 18<br />
7. Pengadilan Niaga dan Yurisdiksinya ............................................. 20<br />
B. KASASI<br />
1. Pengertian Kasasi ........................................................................... 35<br />
2. Alasan Kasasi ................................................................................. 36<br />
3. Fungsi Peradilan Kasasi ................................................................. 39<br />
C. PUTUSAN HAKIM<br />
1. Pengertian Putusan ......................................................................... 40<br />
2. Kekuatan Putusan .......................................................................... 40<br />
3. Susunan dan Isi Putusan ................................................................. 41<br />
4. Jenis-jenis Putusan ......................................................................... 42<br />
5. Putusan Pengadilan Niaga .............................................................. 46<br />
6. Putusan Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi .......................... 48<br />
D. PERDAMAIAN (Accord)<br />
1. Pengertian Perdamaian (Accord) ..................................................... 57<br />
2. Pembatalan Perdamaian ................................................................... 60<br />
3. Akibat <strong>Hukum</strong> Pembatalan Perdamaian .......................................... 62<br />
x
BAB III METODE PENELITIAN<br />
A. Tipe Penelitian .................................................................................. 64<br />
B. Metode Penelitian ............................................................................... 64<br />
C. Spesifikasi Penelitian .......................................................................... 64<br />
D. Sumber Bahan <strong>Hukum</strong> ....................................................................... 65<br />
E. Metode Penyajian <strong>Hukum</strong> .................................................................. 66<br />
F. Metode Analisis Bahan <strong>Hukum</strong> ......................................................... 66<br />
BAB IV HASIL DAN PENELITIAN<br />
A. Hasil Penelitian .................................................................................... 71<br />
B. Pembahasan ......................................................................................... 130<br />
BAB V PENUTUP<br />
A. Simpulan .............................................................................................. 155<br />
B. Saran .................................................................................................... 155<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
xi
A. Latar Belakang Masalah<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang<br />
secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia<br />
tidak pernah terlepas dari interaksi antar sesama, dengan demikian kebutuhan<br />
kehidupan akan saling terpenuhi. Terkait dengan adanya interaksi dapat<br />
menimbulkan permasalahan dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi<br />
permasalahan tersebut dalam hal ini hukum mempunyai peranan yang sangat<br />
penting. Terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang rapi dan aman<br />
tentunya tidak terlepas dari kerjasma yang baik antara para penegak hukum<br />
dan masyarakat yaitu dengan cara mentaati suatu kaidah peraturan hukum<br />
yang sudah ada dan tidak melanggarnya. <strong>Hukum</strong> bukanlah semata-mata<br />
sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan<br />
untuk dilaksanakan dan ditaati. 1<br />
Aturan hukum menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi dua yakni<br />
hukum materill dan hukum formil. Aturan hukum materill adalah aturan-<br />
aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang membebani hak dan<br />
kewajiban atau mengatur hubungan hukum atau orang-orang sedangkan<br />
aturan hukum formil adalah aturan hukum untuk melaksanakan dan<br />
mempertahankan yang ada atau melindungi hak perorangan. <strong>Hukum</strong> materill<br />
1 Sudikno Mertokusumo, <strong>Hukum</strong> Acara Perdata Indonesia, edisi ke tujuh, 2002, Liberty<br />
Yogyakarta, hal.1.<br />
1
sebagaimana terjelma dalam undang-undang atau yang bersifat tidak tertulis<br />
merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang<br />
selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat. Adapun dalam<br />
pelaksanaan hukum materill sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran atau<br />
hak materill tersebut dilanggar sehingga menimbulkan ketidak seimbangan<br />
kepentingan dalam masyarakat, atau menimbulkan kerugian pada orang lain<br />
atau pihak lain. Pelaksanakan hukum materill perdata terutama dalam hal ada<br />
pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materill<br />
perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan<br />
hukum lain. Peraturan-peraturan hukum lain yang dimaksud adalah hukum<br />
formil (hukum acara perdata) atau adjective law. <strong>Hukum</strong> acara perdata hanya<br />
diperuntukan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil dan di<br />
samping itu juga berfungsi untuk merealisir pelaksaan dari hukum perdata.<br />
<strong>Hukum</strong> acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur<br />
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan<br />
perantara hakim, jadi hukum acara perdata dapat dikatakan peraturan hukum<br />
yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata<br />
materiil. Konkritnya bahwa hukum acara perdata mengatur tentang<br />
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya<br />
dan pelaksanaan dari pada putusannya. Tuntutan hak adalah tindakan yang<br />
bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan<br />
untuk mencegah “eigenrichting” (main hakim sendiri). Tindakan menghakimi<br />
sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya<br />
2
sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain<br />
yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Tindakan<br />
menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan dalam hal kita hendak<br />
memperjuangkan atau melaksanakan hak kita. 2<br />
Suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan<br />
bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Oleh karena itu demi kebenaran dan<br />
keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang,<br />
agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki,<br />
setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum yaitu upaya atau<br />
alat untuk mencegah atau memperbaiki kekliruan dalam suatu putusan. 3<br />
Upaya hukum dapat dilakukan oleh salah satu pihak yang merasa putusan<br />
Pengadilan kurang sesuai dengan yang diharapkan sehingga menurut tujuan<br />
dari upaya hukum yaitu untuk memohon membatalkan putusan Pengadilan<br />
ditingkat yang lebih rendah kepada Pengadilan yang lebih tinggi. 4 <strong>Hukum</strong><br />
acara perdata mengenal adanya upaya hukum yang diberikan oleh undang-<br />
undang kepada subyek hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 132 HIR<br />
(Herzein Indonesis Reglement) yang menyebutkan:<br />
“Jika dianggap perlu oleh ketua, yaitu supaya jalannya perkara baik<br />
dan teratur, maka pada waktu memeriksa perkara, ia berhak untuk<br />
memberikan nasihat kepada kedua belah pihak dan untuk menunjukan<br />
upaya hukum dan keterangan kepada mereka yang boleh<br />
dipergunakan”.<br />
2 Ibid, hal. 2.<br />
3 Ibid, hal. 232.<br />
4 Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, cetakan ketiga revisi,<br />
Citra Aditya Bakti, 2002, Bandung, hal.214.<br />
3
Upaya hukum dalam acara perdata pada umumnya terdapat upaya<br />
hukum biasa berupa perlawanan, banding, kasasi dan upaya hukum luar<br />
biasa berupa derden verzet dan peninjauan kembali. Perkara perdata niaga<br />
maupun HKI (Hak Kekayaan Intelektual) tidak dikenal upaya hukum banding<br />
hal ini termaktub dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Undang-undang<br />
Kepailitan Nomor 37 tahun 2004, sehingga dalam perkara niaga hanya dapat<br />
dilakukan upaya hukum biasa berupa kasasi, serta upaya hukum luar biasa<br />
yang dapat berupa peninjaun kembali sedangkan upaya hukum perlawanan<br />
atau verzet hanya dikenal dalam bentuk yang lain.<br />
Kasasi diharapkan dapat menjadi jawaban yang memuaskan para<br />
pihak, karena kasasi terbatas pada pemeriksaan terhadap penerapan hukum<br />
dan peraturan perundang-undangan terhadap suatu kejadian, sehingga dapat<br />
dilihat apakah dalam putusan sebelumnya telah melanggar hukum atau tidak<br />
dengan harapan dapat memberikan putusan yang memenuhi unsur kepastian<br />
hukum, keadilan dan kemanfaatan. Adapun apabila suatu pengadilan negeri<br />
menurut Mahkamah Agung salah menerapkan suatu hukum atau peraturan<br />
perundang-undangan maka putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi<br />
tersebut dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung. 5<br />
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang-undang Nomor 5<br />
Tahun 2004 Pasal 30 ayat (1) tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan<br />
secara limitatif alasan-alasan pemohon kasasi yaitu:<br />
1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang<br />
5 K.Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hal.143.<br />
4
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku<br />
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-<br />
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang<br />
bersangkutan.<br />
Undang-undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan<br />
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan<br />
dari Undang-undang Nomor 48 tahun 1998. Undang-undang tersebut perlu<br />
dikeluarkan karena perkembangan perekonomian yang semakin pesat<br />
sehingga semakin banyak permasalahan utang piutang yang timbul di<br />
masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian masalah utang<br />
piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Penyelesaian perkara<br />
kepailitan dilangsungkan dengan jangka waktu yang pasti, melalui suatu<br />
badan peradilan khusus yakni pengadilan niaga.<br />
Seseorang atau suatu badan hukum yang mengajukan permohonan<br />
pernyataan pailit, harus mengetahui syarat-syarat kepailitan yang termaktub<br />
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 2004, apabila<br />
permohonan pernyataan Pailit tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka<br />
permohonan pailit tidak akan dikabulkan oleh pengadilan niaga. Pasal 2 ayat<br />
(1) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 yaitu:<br />
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak<br />
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo waktu<br />
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik<br />
atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih<br />
krediturnya”.<br />
5
Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan<br />
mengadili Perkara perdata dengan Nomor Register Perkara<br />
27/Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 pada tanggal 21<br />
April 2009 telah menjatuhkan putusan atas permohonan pailit yang diajukan<br />
oleh Tomy Bungaran cs sebagai Pemohon Pailit terhadap PT.Interkon Kebun<br />
Jeruk cs, Octavia Widyastuti Alim cs, Eddy Yuwono cs dan Rainford<br />
Investment cs sebagai Termohon Pailit. PT.Interkon Kebon Jeruk dianggap<br />
lalai memenuhi isi Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan berdasarkan<br />
putusan Nomor 027/ Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 Jo<br />
Nomor 019 PK/N/2006 tertanggal 29 April 2010 (terlampir, Bukti P-2).<br />
Bahwa Putusan Nomor 03/Pembatalan Perjanjian Perdamaian/<br />
2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 28 Juli 2010 Hakim Pengadilan Negeri Niaga<br />
Jakarta Pusat menjatuhkan Putusan terhadap PT. Interkon Kebun Jeruk<br />
dalam salah satu amarnya adalah membatalkan perjanjian perdamaian yang<br />
telah disahkan dalam Putusan Nomor 27/Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo<br />
Nomor21 K/N/2006 jo Nomor 19 PK/N/2006 tanggal 21 April 2009 dan<br />
menyatakan Termohon PT.Interkon Kebun Jeruk (d/h PT. Intercon<br />
Enterprise) pailit dengan segala akibat hukumnya. Setelah dinyatakan Pailit<br />
pihak PT. Interkon Kebun Jeruk cs, Octavia Widyastuti Alim cs, Eddy<br />
Yuwono cs dan Rainford Investment cs mengajukan permohonan kasasi ke<br />
Mahkamah Agung, dengan alasan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri<br />
Niaga Jakarta Pusat telah melakukan beberapa kesalahan penerapan hukum<br />
dan melanggar peraturan yang berlaku, para pemohon kasasi sangat keberatan<br />
6
terhadap putusan pailit untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan oleh karena itu<br />
menolak dengan tegas-tegas putusan judex facti tersebut. Mahkamah Agung<br />
atas permohonan kasasi tersebut telah menjatuhkan putusan yang isinya<br />
menolak permohonan kasasi.<br />
Berdasarkan hal-hal yang duraikan dalam latar belakang tersebut<br />
penulis tertarik untuk meneliti dan menulis Skripsi Putusan Mahkamah<br />
Agung mengenai ditolaknya permohonan kasasi dengan judul: “<br />
PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA<br />
KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771<br />
K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)”.<br />
B. Perumusan Masalah<br />
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu:<br />
1. Bagaimana penerapan hukum hakim Mahkamah Agung dalam menolak<br />
permohonan kasasi perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara<br />
Perdata khusus Kepailitan?<br />
2. Bagaimana akibat hukum kasasi yang ditolak dalam perkara Nomor 771<br />
K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara Perdata khusus Kepailitan?<br />
C. Tujuan Penelitian<br />
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah:<br />
7
1. Mengetahui penerapan hukum Mahkamah Agung dalam menolak<br />
permohonan kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam<br />
perkara perdata khusus kepailitan.<br />
2. Mengetahui akibat hukum penolakan permohonan kasasi pada putusan<br />
Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam perkara perdata khusus kepailitan.<br />
D. Kegunaan Penelitian<br />
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun<br />
secara praktis sebagai berikut:<br />
1. Kegunaan Teoritis<br />
Secara teoritis diharapkan dapat memberikan manfaat dan pengetahuan<br />
lebih mendalam terkait proses beracara dalam kasus kepailitan.<br />
2. Kegunaan Praktis<br />
Secara praktis diharapkan dapat menjadi wacana mengenai ilmu hukum<br />
khusunya hukum acara perdata khusus kepailitan bagi hakim dalam<br />
menjatuhkan suatu putusan.<br />
8
A. KEPAILITAN<br />
BAB II<br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
1. Pengertian dan Pengaturan Kepailitan<br />
Definisi kepailitan secara yuridis terdapat dalam ketentuan Pasal 1<br />
angka 1 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan<br />
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu:<br />
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit<br />
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di<br />
bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam<br />
undang-undang ini”.<br />
Menurut tata Bahasa Indonesia, kepailitan berarti segala hal yang<br />
berhubungan dengan pailit. 6 Kepailitan adalah eksekusi massal yang<br />
ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan<br />
melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit,<br />
baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama<br />
kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur yang dilakukan<br />
dengan pengawasan pihak yang berwajib. Menurut Kartono kepailitan adalah<br />
suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang yang<br />
6 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT. Raja Grafindo<br />
Persada, Jakarta, 2002, hal.83.<br />
9
erutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang yang<br />
berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu debitur dinyatakan pailit<br />
mempunyai piutang dan untuk jumlah utang yang masing-masing kreditur<br />
miliki saat itu. 7 Menurut Siti Soemantri Hartono dalam bukunya Pengantar<br />
<strong>Hukum</strong> Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Kepailitan adalah suatu<br />
lembaga dalam <strong>Hukum</strong> Perdata Eropa, sebagai realisasi dari dua asas pokok<br />
dalam <strong>Hukum</strong> Perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132<br />
Kitab Undang-Undang <strong>Hukum</strong> Perdata. 8<br />
2. Persyaratan untuk dinyatakan Pailit<br />
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 menyebutkan<br />
syarat kepailitan adalah sebagai berikut:<br />
a. Syarat paling sedikit harus ada 2 (dua) Kreditur<br />
Menurut Pasal. 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, salah satu<br />
syarat yang harus dipenuhi ialah debitur harus mempunyai dua kreditur<br />
atau lebih. Undang-undang ini hanya memungkinkan seorang debitur<br />
dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur.<br />
Syarat mengenai adanya minimal dua atau lebih kreditur dikenal sebagai<br />
concursus creditorium. 9<br />
Persyaratan pertama yang mensyaratkan debitur harus mempunyai<br />
lebih dari seorang kreditur ini selaras dengan ketentuan Pasal 1132 KUH<br />
Perdata yang menentukan pembagian secara teratur semua harta pailit<br />
7<br />
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Pradnya Paramita, Jakarta, 1973, hal.7.<br />
8<br />
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Penghantar <strong>Hukum</strong> Kepailitan di Indonesia.<br />
Rineka Citra, Jakarta, 1993, hal.20.<br />
9<br />
Sutan Remy Sjahdeny, <strong>Hukum</strong> Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal.64.<br />
10
kepada para krediturnya, yang dilakukan berdasarkan prinsip pari passu<br />
proprate parte. Adapun dalam hal ini yang dipersyaratkan bukan berapa<br />
besar piutang yang mesti ditagih oleh seorang kreditur dari debitur yang<br />
bersangkutan, melainkan berapa banyak orang yang menjadi kreditur dan<br />
debitur yang bersangkutan dan berapa banyak orang yang menjadi kreditur<br />
dari debitur yang bersangkutan. Bahwa disyaratkan debitur minimal yang<br />
mempunyai utang kepada dua orang kreditur. 10<br />
b. Syarat adanya Utang<br />
Pasal 1 angka 6 Undang-undang Kepailitan telah dirumuskan<br />
mengenai utang, yaitu:<br />
“Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah<br />
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing,<br />
baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari<br />
atau kontijen, yang timbul karena perjanjian dari undang-undang<br />
dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi<br />
memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari<br />
harta kekayaan debitur”.<br />
Para pihak yang mengajukan permohonan pailit harus dapat<br />
membuktikan bahwa debitur mempunyai utang kepadanya. Para pihak<br />
yang dimaksud ialah (penasihat hukum) dari kreditur, (penasihat hukum<br />
dari) debitur, dan Majelis Hakim yang memeriksa permohonan itu, baik<br />
Majelis Hakim pengadilan niaga, Majelis Hakim kasasi, maupun Majelis<br />
Hakim peninjauan kembali. 11<br />
Menurut Volmar dan Zeylemaker, bahwa hakim-lah yang harus<br />
menentukan ada atau tidak adanya keadaan berhenti membayar utang,<br />
10<br />
Rachmadi Usman, Dimensi <strong>Hukum</strong> Kepailitan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,<br />
Jakarta, 2004. hal.15.<br />
11<br />
Sutan Remy Sjahdeny, OP.Cit, hal. 68.<br />
11
ketika mereka tidak menjelaskan lebih lanjut ukuran apa yang dipakai oleh<br />
hakim untuk menentukan kapan debitur berada dalam keadaan berhenti<br />
membayar, dan oleh karena itu dapat dijatuhi putusan pailit. 12<br />
c. Salah satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih<br />
Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih telah<br />
dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yaitu kewajiban untuk<br />
membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan,<br />
karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya<br />
sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh<br />
instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau<br />
majelis arbitrase. Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat<br />
ditagih menunjukan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut<br />
debitur untuk memenuhi prestasinya. 13<br />
3. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Permohonan Kepailitan<br />
Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah<br />
pihak pemohon pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk<br />
mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa<br />
disebut sebagai pihak penggugat. 14 Menurut Pasal 2 Undang-Undang<br />
Nomor 37 Tahun 2004 pihak-pihak dapat mengajukan permohonan<br />
kepailitan adalah:<br />
a. Debitor itu sendiri;<br />
12 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, OP.Cit, hal. 39.<br />
13 Jono, <strong>Hukum</strong> Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.11.<br />
14 Munir Fuadi, <strong>Hukum</strong> Pailit dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,<br />
1999, hal.35.<br />
12
. Satu atau lebih kreditor;<br />
c. Kejaksaan untuk kepentingan umum;<br />
d. Bank Indonesia, dalam hal debitornya adalah Bank;<br />
e. Bapepam, dalam hal debitornya adalah Perusahaan Efek, Lembaga<br />
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;<br />
f. Menteri Keuangan, dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi,<br />
perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara<br />
yang bergerak di bidang kepentingan publik.<br />
4. Proses Permohonan dan Putusan Pernyataan Pailit<br />
Proses permohonan dan putusan pernyataan pailit diatur dalam<br />
Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-undang Kepailitan. Prosesnya<br />
dapat dijelaskan sebagai berikut:<br />
a. Tahap Pendaftaran Permohonan Pernyataan Pailit<br />
Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada ketua<br />
pengadilan niaga. Panitera pengadilan niaga wajib mendaftarkan<br />
permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan<br />
diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang<br />
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama<br />
dengan tanggal pendaftaran.<br />
b. Tahap Pemanggilan Para Pihak<br />
Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita<br />
melakukan pemanggilan para pihak, antara lain:<br />
13
1) Wajib memanggil Debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit<br />
diajukan oleh Kreditur, Kejaksaan, Bapepam, atau Menteri<br />
Keuangan;<br />
2) Dapat memanggil Kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit<br />
diajukan oleh Debitur (voluntary petition) dan terdapat keraguan<br />
bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal. 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan telah terpenuhi.<br />
Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat<br />
paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksaan pertama<br />
diselenggarakan.<br />
c. Tahap Persidangan atas Permohonan Pernyataan Pailit<br />
Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggla permohonan<br />
pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan<br />
menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut<br />
diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah<br />
tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan Debitur dan<br />
berdasarkan alasan yang cukup seperti adanya surat keterangan sakit<br />
dari dokter, Pengadilan dan dapat menunda penyelenggaraan sidang<br />
pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal<br />
permohonan didaftarkan.<br />
Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dinyatakan bahwa<br />
selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan,<br />
14
setiap kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri<br />
Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk:<br />
1) Meletakan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan<br />
Debitur; atau<br />
2) Menunjukan Kurator sementara untuk mengawasi:<br />
a) Pengelolaan usaha Debitur; dan<br />
b) Pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau pengagunan<br />
kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang<br />
kreditur.<br />
d. Tahap Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit<br />
Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit harus<br />
diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyatan<br />
pailit didaftarkan. Waktu 60 hari (2 bulan) yang cukup singkat<br />
merupakan suatu perwujudan atas asas peradilan yang bersifat cepat,<br />
murah, dan sederhana. Dahulu dalam Undang-undang Nomor 48 tahun<br />
1998 lebih cepat lagi, yaitu hanya dalam waktu 30 hari (1 bulan),<br />
pengadilan sudah harus memberikan putusan atas permohonan<br />
pernyataan pailit. Adapun dengan pertimbangan yang rasional, Undang-<br />
undang Kepailitan memberikan batasan, yaitu 2 (dua) bulan di mana<br />
pengadilan wajib memberikan putusan, terhitung sejak tanggal<br />
permohonan pernyataan pailit didaftarkan.<br />
Putusan atas permohonan pernyataan pailit wajib diucapkan dalam<br />
sidang terbuka untuk umum dan wajib memuat secara lengkap<br />
15
pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut serta memuat<br />
pula:<br />
1) Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan<br />
dan/atau sumber hukum atau tak tertulis yang dijadikan dasar untuk<br />
mengadili; dan<br />
2) Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota<br />
atau ketua majelis.<br />
Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit<br />
wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada<br />
Debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit,<br />
Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah<br />
tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan. 15<br />
5. Akibat <strong>Hukum</strong> Putusan Pailit<br />
Akibat kepailitan diatur dalam Pasal. 21 Undang-Undang Kepailitan<br />
yaitu meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan<br />
pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.<br />
Kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan<br />
segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang<br />
telah dimasukan ke dalam harta pailit.<br />
Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan dan bukan mengenai<br />
perorangan debitur, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan yang<br />
15 Jono, OP.Cit. hal. 87-91<br />
16
lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouderlijke<br />
macht).<br />
Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur. Debitur<br />
tidak berada di bawah pengampuan. Debitur tidaklah kehilangan<br />
kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum itu menyangkut<br />
dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan<br />
dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Diperolehnya itu<br />
kemudian menjadi bagian dari harta pailit. 16 Debitur pailit tetap<br />
berwenang bertindak sepenuhnya, akan tetapi tindakan-tindakannya<br />
tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita. 17<br />
Menurut Pasal 24 Undang-Undang Kepailitan, dengan<br />
pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk<br />
menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam<br />
kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk<br />
kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri. Pasal 69 ayat (1)<br />
menerangkan bahwa kuratorlah yang berwenang melakukan pengurusan<br />
dan pemberesan harta pailit, kurator kehilangan hak menguasai harta<br />
yang masuk dalam kepailitan, dan tidak kehilangan hak atas harta<br />
kekayaan yang berada di luar kepailitan. Tentang harta pailit, lebih<br />
lanjut dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan menerangkan bahwa<br />
harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada pada saat<br />
16 Sutan Remy Sjahdeny, OP.Cit, hal.257.<br />
17 Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan<br />
Harta Pailit, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004. hal.44.<br />
17
pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang diperolehnya<br />
selama kepailitan.<br />
6. Pembuktian Sederhana<br />
Membuktikan, menurut Subekti adalah meyakinkan hakim<br />
tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu<br />
persengketaan. Pada dasarnya, esensi pembuktian adalah untuk<br />
menentukan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak yang<br />
berperkara, meliputi kejadian atau peristiwa serta suatu hak yang<br />
didalilkan oleh para pihak, dan menjadi objek perselisihan. 18 Pasal 163<br />
HIR menyatakan:<br />
“Barangsiapa yang menyatakan mempunyai barang sesuatu hak,<br />
atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya<br />
itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus<br />
membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.<br />
Mengenai beban pembuktian dan alat-alat bukti dalam hukum<br />
acara pada Pengadilan Niaga tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 37<br />
Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Perpu Nomor 1<br />
Tahun 1998), kecuali dalam hal gugatan Actio Paulina. Pembuktian<br />
sederhana merupakan syarat yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-<br />
undang Nomor 37 Tahun 2004 jo Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor<br />
4 Tahun 1998 jo Perpu Nomor 1998, yang menyatakan:<br />
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila<br />
terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana<br />
18 Aria Syudi dkk, Analisis Kepailitan Indonesia (Kepailitan di Negeri Pailit), PSHK,<br />
Jakarta, 2003, hal.147.<br />
18
ahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.<br />
Terkait yang dimaksud dengan “Fakta atau keadaan yang<br />
terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan<br />
fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Perbedaan besarnya<br />
jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon dan termohon pailit tidak<br />
menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.<br />
Penjelasan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Nomor 37 Tahun<br />
2004 tersebut diatas, dapat diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan<br />
pembuktian sederhana adalah pembuktian mengenai:<br />
a. Eksistensi dari satu utang debitur yang dimohonkan kepailitan yang telah<br />
jatuh tempo; dan<br />
b. Eksistensi dari dua atau lebih kreditur dari debitur yang dimohonkan<br />
kepailitan.<br />
Pembuktian sederhana dalam memutuskan permohonan<br />
pernyataan pailit terdapat dalam Faillissement verordening, Undang-<br />
undang Nomor 4 Tahun 1998, dan Undang-undang Nomor 37 Tahun<br />
2004. Faillissement verordening menentukan pembuktian sederhana<br />
dilakukan terhadap adanya peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan<br />
yang menunjukan debitur berada dalam keadaan telah berhenti<br />
membayar utang-utangnya, dan jika permohonan pernyataan pailit<br />
diajukan oleh seorang kreditur, maka terdapat hak penagihan dari<br />
kreditur ini.<br />
19
Pendapat yang berkembang berkaitan dengan pembuktian<br />
sederhana pada masa Faillissement verordening antara lain pembuktian<br />
tentang debitur dalam keadaan berhenti membayar harus dilakukan<br />
secara sederhana (summier). Artinya, Pengadilan di dalam memeriksa<br />
permohonan pernyataan pailit tidak perlu terikat dengan sistem<br />
pembuktian dan alat-alat bukti yang ditentukan dalam hukum acara<br />
perdata. 19<br />
7. Pengadilan Niaga dan Yurisdiksinya<br />
Pembentukan Pengadilan Niaga untuk memeriksa perkara-<br />
perkara Kepailitan, dan juga kelak perkara-perkara perniagaan lainnya<br />
berdasarkan peraturan pemerintah, didasarkan atas pertimbangan<br />
kecepatan dan efektivitas. Perkara-perkara kepailitan menurut Undang-<br />
undang Kepailitan ditentukan jangka waktu pemeriksaan di tingkat<br />
pengadilan niaga, di tingkat kasasi, maupun di tingkat peninjauan kembali.<br />
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap<br />
putusan pengadilan niaga dalam perkara kepailitan adalah langsung kasasi<br />
ke Mahkamah Agung tanpa upaya banding melalui pengadilan tinggi,<br />
dengan demikian perkara Kepailitan akan berjalan lebih cepat bila<br />
dibandingkan dengan pemeriksaan perkara biasa di pengadilan negeri. 20<br />
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-undang<br />
Nomor 37 Tahun 2004 termasuk ke dalam hukum materil, namun bila<br />
19 Siti Anisah, Perlindungan dan Kepentingan Kreditur dan Debitur dalam hukum kepailitan<br />
di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008, hal. 127-128<br />
20 Sutan Remy Sjahdeini, OP.Cit. hal. 149.<br />
20
dipelajari seluruhnya maka akan diketahui bahwa sebagian besar dari<br />
Pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan hukum formil yang berisi<br />
pengaturan proses pengajuan permohona kepailitan dan penundaan<br />
kewajiban pembayaran utang bahkan proses upaya hukumnya dari tingkat<br />
kasasi sampai peninjauan kembali. Salah satu hal baru yang terdapat dalam<br />
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-undang Nomor 37<br />
Tahun 2004 tidak dijumpai dalam Faillisements Verordening Stb. 1905<br />
Nomor 217 jo Stb 1906 Nomor 348 adalah tentang pengadilan niaga.<br />
Pengadilan Niaga. Pembentukan pengadilan niaga ini menunjukan bahwa<br />
perkembangan sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami<br />
peningkatan yang cukup berarti, darisegi struktur organisasi, kedudukan<br />
pengadilan niaga merupakan bagian khusus di dalam lingkungan peradilan<br />
umum.<br />
Pembentukan pengadilan niaga ini merupkan langkah diferensial<br />
atas peradilan umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan<br />
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35<br />
Tahun 1999 dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004<br />
Undang-Undang tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan niaga<br />
tersebut bukanlah merupakan pengadilan baru sebagai tambahan<br />
pengadilan yang telah ada seperti dimaksud dalam Pasal 10 Undang-<br />
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok<br />
Kehakiman sebagaimana sudah diubah dengan Undang-undang Nomor 35<br />
Tahnun 1999 dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004<br />
21
yang meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan<br />
PTUN. Penjelasan Pasal 10 tersebut menyebutkan juga bahwa perbedaan<br />
dalam empat lingkungan peradilan tidak menutup kemungkinan adanya<br />
pengkhususan dilingkungan Peradilan Umum yang diatur dalam Undang-<br />
undang.<br />
Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini, peradilan<br />
khusus yang disebut pengadilan niaga tersebut akan khusus bertugas<br />
menangani permintaan pernyataan Kepailitan. Keberadaan lembaga ini<br />
akan diwujudkan secara bertahap, begitu pula dengan lingkup tugas dan<br />
kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan atau<br />
diperluas dari waktu ke waktu. Semuanya akan dilakukan dengan<br />
mempertimbangkan tingkat kebutuhan, dan ada yang penting lagi, tingkat<br />
kemampuan serta ketersediaan sumber daya yang akan mendukungnya.<br />
Adapun untuk mengetahui landasan yuridis pembentukan<br />
pengadilan niaga dalam hubungannya dengan peraturan perundang-<br />
undangan yang telah ada dapat diuraikan di bawah ini:<br />
1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan<br />
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang dalam Pasal 10 Ayat (1) menetukan<br />
bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan Umum dalam<br />
lingkungan:<br />
a. Peradialan Umum;<br />
b. Peradilan Agama;<br />
c. Peradilan Militer;<br />
22
d. Peradilan Tata Usaha Negara.<br />
Pasal 13 menetukan bahwa: “Badan-badan Peradilan Khusus<br />
disamping Badan-badan Peradilan yang sudah ada hanya dapat<br />
diadakan dengan Undang-Undang’.<br />
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum<br />
(UUPU):<br />
Pasal 1 Ayat (1) UPPU menetukan bahwa: “Pengadilan adalah<br />
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di lingkungan Peradilan<br />
Umum.”<br />
Pasal 3 UUPU menentukan bahwa: “Kekuasaaan Kehakiman di<br />
Lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh:<br />
a. Pengadilan Negeri;<br />
b. Pengadilan Tinggi.<br />
Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Umum<br />
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Peradilan Tertinggi. Pasal 8<br />
UUPU menentukan bahwa: “Di Lingkungan Peradilan Umum dapat<br />
diadakan pengkhususan yang diatur Undang-undang”. Dalam penjelasan<br />
Pasal 8 UUPU menyebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan “diadakan<br />
pengkhususan” ialah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan<br />
Peradilan Umum, misalnya pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak dan<br />
Pengadilan Ekonomi”. Terkait dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun<br />
1998 diatur terbentuknya Pengadilan Niaga yang merupakan Pengadilan<br />
Khusus di lingkungan Peradilan Umum.<br />
23
Ketentuan Pasal 300 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004<br />
secara tegas menentukan:<br />
(1) Pengadilan sebagaiman dimaksud dalam Undang-undang ini, selain<br />
memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU,<br />
berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang<br />
perniagaan yang penetapnnya dilakukan dengan Undang-undang.<br />
(2) Pembentukan Pengadilan sebagaiman dimaksud pada ayat (1)<br />
dilakukakan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan<br />
memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumberdaya yang diperlukan.<br />
Tujuan utama dibentuknya pengadilan niaga ini adalah agar<br />
dapat menjadi sarana hukum bagi penyelesaian utang piutang diantara para<br />
pihak yaitu debitur dan kreditur secara cepat, adil, terbuka dan efektif,<br />
sehingga dengan demikian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan<br />
usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya. Adapun selain itu<br />
sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam<br />
proses penyelesaian utang-piutang swasta.<br />
Berlakunya Undang-undang Kepailitan Tahun 1998 telah<br />
memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari pengadilan umum untuk<br />
memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan pengadilan niaga<br />
sebagai pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima<br />
Permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang<br />
(PKPU). Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa<br />
gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara<br />
24
formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak<br />
Pengadilan lain. Pengadilan niaga selain memeriksa dan memutuskan<br />
permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan<br />
memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya<br />
dilakukan dengan Undang-undang.<br />
Pasal 300 ayat (1) di atas memberikan kekuasaan kepada<br />
pengadilan niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara lain dibidang<br />
perniagaan selain perkara Kepailitan dan PKPU, akan tetapi tidak terdapat<br />
penjelasan apa yang dimaksud dengan perkara lain di perniagaan tersebut,<br />
hal ini disebabkan undang-undang yang mengatur hal tersebut, hal ini<br />
disebabkan undang-undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Dengan<br />
demikian, undang-undang yang mengatur hal tersebut kelak, hendaknya<br />
harus jelas bidang-bidang perniagaan apa saja yang menjadi kewenangan<br />
yurisdiksi dalam mengadili antara pengadilan niaga dengan pengadilan<br />
negeri.<br />
Undang-undang dibidang HAKI secara tegas menentukan<br />
bahwa perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di<br />
pengadilan niaga. Hal ini berarti, bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga<br />
selain menyelesaiakan sengketa-sengketa di bidang Kepailitan dan PKPU,<br />
juga menyelesaikan sengketa di bidang HAKI. Untuk pertama kali dengan<br />
undang-undang ini, Pengadilan niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri<br />
Jakarta Pusat. Pembnetukan pengadilan niaga dilakukan secara bertahap<br />
dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan<br />
25
kesiapan sumberdaya yang diperlukan. Sebelum pengadilan niaga<br />
terbentuk, semua perkara menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga<br />
diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.<br />
bahwa:<br />
Pasal 306 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menegaskan<br />
“Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang<br />
dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Perpu Nomor<br />
1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4<br />
Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan<br />
memutus perkara yang menjadi lingkup tugas pengadilan niaga.<br />
Pada tahap permulaan pembentukan Pengadilan Niaga saat ini,<br />
kewenangan mengadili (kompetensi absolut) hanyalah meliputi<br />
pemeriksaan dan pemutusan perkara Permohonan Kepailitan<br />
dan PKPU saja, dan untuk pertama sekali pengadilan niaga<br />
dibentuk pada tanggal 20 Agustus 1998 di Pengadilan Negeri<br />
Jakarta Pusat”.<br />
Proses pemeriksaan perkara Kepailitan, Pasal 301 Undang-<br />
undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan:<br />
(1) Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama<br />
dengan majelis hakim;<br />
(2) Terkait dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 ayat (1), Ketua Mahkamah<br />
Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada Tingkat<br />
Pertama diperiksa dan diputus oleh Hakim Tunggal.<br />
(3) Menjalankan tugasnya, hakim pengadilan dibantu oleh seorang<br />
Panitera atau seorang Panitera Pengganti dan Jurusita.<br />
Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan penyelesaian<br />
perkara kepailitan adalah tentang keenangan pengdilan antara<br />
26
pengadilan niaga dengan peradilan negeri. Berdasarkan cetak biru<br />
pengadilan niaga, maka terungkap bahwa sebenarnya proses kepailitan<br />
di pengadilan niaga tidak efektif. Hal ini terjadi, karena sering kali ada<br />
perkara-perkara kepailitan yang ternyata menimbulkan persinggungan<br />
antara pengadilan negeri dengan pengadilan niaga. Persinggungan ini<br />
terjadi, misalnya saja ada perusahaan yang sudah dinyatakan pailit dan<br />
seharusnya berdasarkan undang-undang kepailitan dikelola oleh<br />
kurator, ternyata masih bisa mengajukan gugatan ke pengadilan<br />
negeri. Hal ini dianggap aneh karena seharusnya, perkara tersebut<br />
menjadi kompetensi Pengadilan Niaga dan bukan Pengadilan Negeri.<br />
Adapun untuk mencegah terjadi persinggunagn perlu ada<br />
mekanismenya. Pasalanya, selama ini bila ada perkara-perkara<br />
kepailitan dan HAKI yang diajukan ke pengadilan negeri tidak ada<br />
mekanisme pencegahannya. Berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan<br />
Kehakiman, hakim tidak boleh mneolak perkara dengan alasan tidak<br />
ada dasar hukumnya, selain menangani perkara kepailitan dan PKPU,<br />
serta perkara-perkara di bidang perniagaan lainnya, pengadilan niaga<br />
berwenang menangani perkara permohonan pernyataan pailit dari para<br />
pihak yang terikat perjanjian yang memuat kalusula Arbitrase. Hal ini<br />
ditegaskan dalam Pasal 303 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004<br />
yang menentukan bahwa:<br />
“Pengadilan berwenang memeriksa dan menyelesaikan<br />
Permohonan Pernyataan Pailit dari para pihak yang terikat<br />
perjanjian yang memuat kalusula Arbitrase, sepanjang utang<br />
yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah<br />
27
memnuhi ketentuan sebagiaman yang dimaksud dalam Pasal 2<br />
Ayat (1) Undang-Undang ini”.<br />
Penjelasan Pasal 303 kembali menegaskan tentang kewenangan<br />
Pengadilan Niaga terhadap perjanjian yang memuat klausula<br />
Arbitrase, yaitu bahwa ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk<br />
memberi penegasan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang<br />
memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para<br />
pihak, sekalipun perjanjian utang piuatang yang mereka buat memuat<br />
klausula Arbitrase. Pada tanggal 18 Agustus 1999, keluarlah PP<br />
Nomor 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada<br />
Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan,<br />
Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang PP<br />
Nomor 97 Tahun 1999 dalam Pasal 1 menetukan: “Membentuk<br />
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan<br />
Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri<br />
Semarang.” Pasal 2 menetukan tentang wilayah hukum Pengadilan<br />
Niaga yang meliputi:<br />
(1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri ujung<br />
Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi<br />
Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian<br />
Jaya.<br />
(2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan<br />
meliputi: Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera<br />
Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.<br />
28
(3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri<br />
Surabaya meliputi: Wilayah Propinsi Jawa Timur, Bali, Nusa<br />
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.<br />
(4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri<br />
Semarang meliputi: Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah<br />
Istemewa Yogyakarta.<br />
Selanjutnya Pasal 4 menentukan tentang sengketa yang menjadi<br />
kewenangan Pengadilan Niaga meliputi:<br />
(1) Sengketa di bidang perniagaan yang termasuk lingkup<br />
kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri,<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan<br />
Presiden ini ditetapkan telah diperiksa tetapi belum diputus oleh<br />
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akan<br />
tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga pada<br />
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.<br />
(2) Sengketa di bidang perniagaan yang termasuk lingkup<br />
kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri,<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan<br />
Presiden ditetapkan telah diajukan tetapi belum diperiksa oleh<br />
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,<br />
dilimpahkan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri<br />
Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri<br />
Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang sesuai dengan daerah<br />
29
hukum masing-masing Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 2.<br />
Khusus untuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Pasal 5<br />
menentukan tentang daerah hukumnya, yakni pada saat berlakunya<br />
Keputusan Presiden ini, maka daerah hukum Pengadilan Niaga pada<br />
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi Wilayah Daerah Khusus<br />
Ibukota Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung,<br />
dan Kalimantan Barat. Hakim pengadilan niaga diangkat berdasarkan<br />
keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat-syarat untuk dapat<br />
diangkat sebagai hakim sebagai hakim sebagaimana dimaksud pada<br />
ayat (1), adalah:<br />
a. Telah berpengalaman sebagai Hakim dalam lingkungan Peradilan<br />
Umum;<br />
b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang<br />
masalah-masalah yang menjadi lingkup keenangan Pengadilan;<br />
c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan<br />
d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai<br />
Hakim pada Pengadilan.<br />
Tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada<br />
Pasal 302 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan Keputusan<br />
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang<br />
yang ahli, sebagai Hakim Ad Hoc, baik pada tingkat pertama, kasasi<br />
30
maupun pada peninjauan kembali (Pasal 302 Undang-undang Nomor<br />
37 Tahun 2004).<br />
Hakim-hakim yang bertugas di pengadilan niaga terdiri dari 2<br />
(dua) macam, yaitu:<br />
a. Hakim Tetap, yaitu para Hakim yang diangkat berdasarkan Surat<br />
Keputusan Mahkamah Agung untuk menjadi hakim pengadilan<br />
niaga,<br />
b. Hakim Ad Hoc, yaitu hakim ahli yang diangkat khusus dengan<br />
suatu Keputusan Presiden untuk pengadilan niaga di Tingkat<br />
Pertama.<br />
Pengangkatan Hakim Ad Hoc dikatakan dengan alasan yang<br />
cukup mendasar, yaitu untuk membantu meringankan beban-beban<br />
hakim pengadilan niaga dalam menghadapi perkara-perkara/masalah-<br />
masalah hukum yang berkaitan dengan transaksi-transaksitertentu.<br />
Selama ini pembahasan tentang peranan hakim Ad Hoc terpusat pada<br />
peranannya dalam memutuskan permohonan perkara Kepailitan.<br />
Mengembalikan kepercayaan Kreditur Asing dalam proses<br />
penyelesaian utang-piutang swasta, selain direvisinya Fv, dan<br />
dibentuknya Pengadilan Niaga, juga diintrodusir Hakim Ad Hoc untuk<br />
dapat menjadi bagian dari Majelis Hakim yang memeriksa suatu<br />
perkara di Pengadilan Niaga. Ide awal keterlibatan Hakim Ad Hoc di<br />
pengadilan niaga didasarkan pada penilaian atau asumsi beberapa<br />
pihak bahwa pengetahuan “Hakim Karir” cenderung bersifat umum<br />
31
(generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada<br />
lingkup niaga diperlukan Hakim dalam keahlian khusus, di luar dari<br />
“Hakim Karir” yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk<br />
menjadi “Hakim Niaga”.<br />
Pengangkatan Hakim Ad Hoc dalam Kepailitan ditentukan dalam<br />
Undang-undang Nomor 4 tahun 1998, yang kemudian dikuatkan<br />
kembali dengan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.<br />
Selama berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 yang<br />
kemudian disempurnakan oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun<br />
2004, Pengangkatan Hakim Ad Hoc di pengadilan niaga telah<br />
dilakukan 2 (dua) kali, yakni melalui 2 (dua) buah Keppres. Pertama,<br />
Keppres Nomor. 4 (empat) orang Hakim Ad Hoc untuk masa jabatan 3<br />
(tiga) tahun. Kedua, Keppres Nomor 108/M/2000, berisikan<br />
pengangkatan 9 (sembilan) Hakim Ad Hoc. Penempatan Hakim Ad<br />
Hoc dalam Majelis Hakim adalah berdasarkan penunjukan dari hakim<br />
ketua pengadilan niaga pada pengadilan niaga yang bersangkutan,<br />
dengan terlebih dahulu adanya permohonan dari salah satu pihak yang<br />
berperkara (pemohon pailit).<br />
Konsekuensi dari sifat fakultatif sebagaimana tercantum dalam<br />
Pasal 283 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, maka bila<br />
tidak ada permintaan dari pihak tersebut, maka Hakim Ad Hoc tidak<br />
bertugas. Kondisi inilah yang antara lain mengakibatkan sistem<br />
Hakim Ad Hoc tidak bekerja. Sesuai dengan ketentuan Pasal 303 ayat<br />
32
(3), maka persyaratan pengangkatan seorang sebagai Hakim Ad Hoc<br />
yang membedakan dengan Hakim Pengadilan Niaga yang lain adalah<br />
Hakim Ad Hoc tersebut haruslah seorang “Ahli”. Jadi, berdasarkan<br />
usulan dari Ketua Mahkamah Agung melalui Keppres, maka di<br />
Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang Ahli sebagai Hakim<br />
Ad Hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama dengan “Hakim<br />
Niaga” atau “Hakim Karir”, seperti mempunyai kemampuan<br />
pengetahuan di bidang masalah yang menjadi lingkup kewenngan<br />
Pengadilan Niaga, dan persyaratan lain, harus tetap dipenuhi.<br />
Menurut Paulus Efendi Lotulung menyebutkan beberapa<br />
kemungkinan pengangkatan Hakim Ad Hoc (Sebagai Hakim<br />
Pengawas atau Hakim Majelis) adalah:<br />
(1) Atas permohonan para pihak, baik langsung maupun dengan<br />
penetapan Ketua Pengadilan Niaga, yang selayaknya diberikan<br />
jika wajar (should not be reasonably),<br />
(2) Hanya dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga atas<br />
kewenangan sendiri.<br />
Tentunya pilihan pertama lebih dapat diterima, karena cukup<br />
terdapat check and balance.biaya atau imbalan bagi Hakim Ad Hoc<br />
tersebut, jika perlu tambahan dapat diambil dari harta pailit. Dalam<br />
ketentuan akhirnya, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur<br />
tentang ketentuan peralihan yang dimulai dari Pasal 304 Undang-<br />
undang Kepailitan.<br />
33
ahwa:<br />
Pasal 304 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menetukan<br />
a. Sudah diperiksa dan diputus tetapi belum dilaksanakan atau sudah<br />
diperiksa tetapi belum diputus maka diselesaikan berdasarkan<br />
peraturan perUndang-Undangan di bidang Kepailitan sebelum<br />
berlakunya Undang-Undang ini;<br />
b. Sudah diajukan tetapi belum diperiksa, diselesaikan berdasarkan<br />
ketentuan dalam Undang-Undang ini.<br />
bahwa:<br />
Pasal 305 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menetukan<br />
“ Semua peraturan perUndang-undangan yang merupakan<br />
pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Kepailitan<br />
(Faillissements verordening staatsblad 1905 : 217 juncto<br />
staatsblad 1906 : 348) yang diubah dengan Perpu Nomor. 1<br />
Tahun 1998 tentang perubahan Atas undang-undang tentang<br />
kepailitan yang ditetapkan menjadi Undang-undang berdasarkan<br />
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 pada saat Undang-undang<br />
ini diundangkan, masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan<br />
dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan<br />
Undang-Undang ini”.<br />
Berlakunya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 mencabut dan<br />
menyatakan tidak berlaku lagi Faillissement verodening dan Undang-<br />
undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1<br />
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang<br />
kepailitan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 307 Undang-undang Nomor<br />
37 Tahun 2004 yang menyatakan:<br />
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-undang<br />
tentang Kepailitan (Faillissements verordening staatsblad 1905<br />
34
B. KASASI<br />
1. Pengertian Kasasi<br />
: 217 juncto staatsblad 1906 : 348) dan Undang-undang Nomor<br />
4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998<br />
tentang perubahan atas undang-undang tentang kepailitan<br />
menjadi Undang-undang (LN RI Tahun 1998 Nomor 135,<br />
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3778), dicabut dan<br />
dinyatakan tidak berlaku. 21<br />
Upaya hukum kasasi awalnya ada di Perancis. Setelah belanda<br />
dijajah oleh Perancis, upaya hukum kasasi diterapkan di Netherland dan<br />
selanjutnya oleh pemerintah belanda dibawa dan diterapkan di Indonesia.<br />
Dengan demikian Indonesia menganut system “continental”. Adapun<br />
dalam system tersebut Mahkamah Agung sebagai Badan Peradilan<br />
Tertinggi bertugas membina keseragaman penerapan hukum di Indonesia<br />
dan menjaga agar hukum dan Undang-undang diterapkan secara tepat dan<br />
adil.<br />
Upaya hukum kasasi berasal dari kata kerja casser yang berarti<br />
membatalkan atau memecahkan adalah salah satu tindakan Mahkamah<br />
Agung Republik Indonesia sebagai pengawas tertinggi atas putusan-<br />
putusan pengadilan-pengadilan lain, tetapi tidak berarti<br />
merupakan pemeriksaan tingkat ke-3. Hal ini disebabkan dalam tingkat<br />
kasasi tidak dilakukan suatu pemeriksaan kembali perkara tersebut, tetapi<br />
21 Sunarmi, <strong>Hukum</strong> Kepailitan (Edisi 2), PT. Sof Media, Medan, 2010, hal. 229-239<br />
35
hanya diperiksa masalah masalah hukumnya/ penerapan hukumnya. Dasar<br />
hukum Pengadilan Kasasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung diatur<br />
dalam Pasal 20 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48<br />
tahun 2009 yang berbunyi: “Terhadap putusan-putusan yang diberikan<br />
tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain dari Mahkamah Agung,<br />
Kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung”.<br />
Terkait perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban<br />
Pembayaran Utang, upaya hukum kasasi dapat dilakukan baik oleh debitur<br />
dan kreditur yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama,<br />
juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada<br />
persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas<br />
permohonan pernyataan pailit sebagaimana ketentuan pasal 11 ayat (3)<br />
Undang-undang Nomor 37 tahun 2004. Sidang pemeriksaan atas<br />
permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal<br />
permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung dan putusan<br />
atas permohonan kasasi harus di ucapakan paling lambat 60 hari setelah<br />
tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamh Agung (Pasal 12,13<br />
ayat (1), (2),(3) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004).<br />
2. Alasan Kasasi<br />
Upaya hukum Kasasi merupakan upaya hukum yang dilakukan<br />
oleh pihak yang merasa dirugikan dan merasa kurang puas terhadap<br />
putusan Judex facti, agar hakim Mahkamah Agung dapat<br />
mempertimbangkan kembali putusan yang sudah inkracht tersebut<br />
36
sehingga dapat menghasilkan putusan yang adil bagi pihak yang yang<br />
merasa dirugikan terlebih mengenai penerapan hukumnya didalam putusan<br />
Judex Facti. Permohonan pemeriksaan tingkat kasasi harus disertai<br />
memori Kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi, jika hal ini<br />
dilalaikan maka permohonan Kasasi dianggap tidak ada. Yurisprudensi<br />
tetap Mahkamah Agung menyatakan bahwa permohonan kasasi yang tidak<br />
mengajukan risalah yang memuat alasan-alasan kasasi permohonannya<br />
tidak dapat diterima. 22<br />
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 Pasal 30 ayat<br />
(1) yang menyebutkan secara limitatif alasan-alasan Perohonan Kasasi<br />
yaitu:<br />
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang<br />
Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini<br />
tendens kepada kompetensi relatif (relatieve competentie) dan<br />
kompetensi absolut (absolute competentie). Konkretnya, Judex facti<br />
incasu Pengadilan Niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU<br />
tersebut seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya<br />
tentang judex facti tidak berwenang/bukan merupakan<br />
kewenangannya.Sedangkan alasan kasasi disebabkan judex facti<br />
melampaui batas wewenang adalah bahwa judex facti telah mengadili<br />
tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan dalam<br />
Undang-undang. Adapun ketika melampaui batas wewenang ini dapat<br />
22 Soedirjo, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hal.43.<br />
37
juga di artikan bahwa yudex facti dalam putusannya telah mengabulkan<br />
lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam surat gugatannya.<br />
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku<br />
Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara<br />
sederhana adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum<br />
acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat dari<br />
penerapan hukum yang berlaku. Sedangkan melanggar hukum tendens<br />
kepada penerapan hukum itu sendiri tidak dapat, salah dan tidak sesuai<br />
serta bertentangan dari ketentuan seharusnya yang digariskan oleh<br />
Undang-undang.<br />
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan<br />
perundang undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya<br />
putusan yang bersangkutan.<br />
Doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-syarat<br />
yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang<br />
mengancam kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim<br />
disebut dengan istilah melalaikan persyaratan formal (formalities),<br />
sehingga diancam pula kebatalan formal (formele nietigheid) atau<br />
( formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo lebih jauh menegaskan<br />
bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh hakim<br />
dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah<br />
Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya<br />
38
perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada<br />
pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak.<br />
3. Fungsi Peradilan Kasasi<br />
Setelah membicarakan justifikasi peradilan kasasi, berikut ini<br />
akan dibicarakan fungsinya ditinjau dari segi teori dan praktik. Ada<br />
beberapa fungsi pokok yang diperankan Mahkamah Agung sebagai<br />
peradilan kasasi, antara lain seperti yang dijelaskan dibawah ini. 23<br />
a. Mengoreksi kesalahan peradilan bawahan<br />
Fungsi utama peradilan kasasi, mengoreksi atau memperbaiki<br />
kesalahan peradilan bawahan (to correct error or mistake by the trial<br />
court or lower court).<br />
b. Berfungsi menghindari kesewenangan<br />
Fungsi kasasi lain, menghindari terjadinya kesewenangan<br />
(arbitary) terhadap anggota masyarakat yang timbul dari putusan<br />
pengadilan bawahan.<br />
c. Menyelesaikan kontroversi ke arah standar prinsip keadilan umum<br />
(General Justice Principle) yang Objektif dan Uniformitas.<br />
Suatu putusan pengadilan tidak hanya semata-mata bersifat<br />
imparsial (imparitiality) yang terebebas dari cacat berat sebelah<br />
(partiality).<br />
23 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan<br />
Kembali Perkara Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal.237.<br />
39
C. PUTUSAN HAKIM<br />
1. Pengertian Putusan<br />
Menurut sistem HIR( Het Herziene Indonesisch Reglement) dan<br />
Rbg (Rechts Reglement Buitengewesten) hakim mempunyai peranan aktif<br />
memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim<br />
berwenang untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan<br />
gugatannya ke pengadilan (Pasal. 119 HIR-143 Rbg) dengan maksud<br />
supaya perkara yang dimajukan itu menjadi jelas persoalannya dan<br />
memudahkan hakim dalam memeriksa perkara itu. 24 Menurut Darwan<br />
Prinst, Putusan merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara di<br />
pengadilan. 25<br />
2. Kekuatan Putusan<br />
HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) tidak mengatur<br />
tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam kekuatan:<br />
a. Kekuatan Mengikat<br />
Putusan Hakim mempunyai kekuatan mengikat artinya mengikat<br />
kedua belah pihak (Pasal. 1917 KUH Perdata). Terikatnya para pihak<br />
kepada putusan menimbulkan bebrapa teori yang hendak mencoba<br />
memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.<br />
b. Kekuatan Pembuktian<br />
Kekuatan pembuktian dituangkan putusan dalam bentuk tertulis,<br />
yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat<br />
24 Abdulkadir Muhamad, <strong>Hukum</strong> Acara Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,<br />
1990. hal. 21.<br />
25 Darwan Prinst, OP.Cit. hal. 205<br />
40
digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin<br />
diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaanya.<br />
Arti putusan itu sendiri dalam hukum pembuktian ialah bahwa dengan<br />
putusan itu telah diperoleh suatu kepatian tentang sesuatu.<br />
c. Kekuatan Eksekutorial<br />
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu<br />
persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak<br />
berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau huumnya saja,<br />
melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara<br />
paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah<br />
cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisir atau<br />
dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak<br />
atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim<br />
mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk<br />
dilaksanakannya apa yng ditetapkan dalam putusan itu secara paksa<br />
oleh alat-alat negara. Bahwa kata-kata “Demi Keadilan berdasarkan<br />
keTuhanan Yang Maha Esa” memberi kekuatan eksekutorial bagi<br />
putusan-putusan pengadilan di Indonesia.<br />
3. Susunan dan Isi Putusan<br />
Adapun di dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)<br />
tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaiaman putusan hakim<br />
harus dimuat di dalam putusan diatur dalam Pasal 183, 184, 187 HIR<br />
(Pasal 194, 195, 198 Rbg), 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, 27<br />
41
RO, 61 Rv. Menurut Sudikno Mertokusumo, suatu putusan hakim terdiri<br />
dari 4 bagian, yaitu:<br />
a. Kepala Putusan<br />
Setiap putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan<br />
yang berbunyi: “Demi Keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha<br />
Esa”. Kepala Putusan ini memberikan kekuatan eksekutorial pada<br />
putusan.<br />
b. Identitas Para Pihak<br />
Setiap perkara atau gugatan mempunyai sekurang-kurangnya 2 pihak,<br />
maka di dalam putusan harus dimuat identitas para pihak lain antara<br />
lain: nama, umur, alamat, dan nama pengacara kalau ada.<br />
c. Pertimbangan<br />
Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi 2, yaitu pertimbangan<br />
tentang duduk perkara atau peristiwa dan pertimbangan tentang<br />
hukumnya.<br />
d. Amar<br />
Amar merupakan jawaban terhadap petitum dari pada gugatan yang<br />
merupakan amar atau diktum. Ini berarti bahwa diktum , merupakan<br />
tanggapan terhadap petitum. 26<br />
4. Jenis-jenis Putusan<br />
berikut:<br />
Menurut Darwan Prinst, putusan diklasifikasikan sebagai<br />
26 Sudikno Mertokusmo , OP.Cit. hal.220-225.<br />
42
1) Interlocotoir Vonis<br />
Interlocotuir Vonis (putusan sela), adlah putusan yang belum<br />
merupakan putusan akhir. Putusan sela (Interlocotuir Vonis) itu dapat<br />
berupa:<br />
a. Putusan Provisional (Tak Dim)<br />
Putusan Provisional (Tak Dim), adalah putusan yang diambil segera<br />
mendahului putusan akhir tentang pokok perkara; karena adanya<br />
alasan-alasan yang mendesak itu. Misalnya dalam hal istri<br />
menggugat suaminya, di mana gugatan pokoknya adlah “mohon<br />
cerai”, akan tetapi sebelum itu karena suami yang digugat itu telah<br />
melalaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada istrinya itu,<br />
maka si suami tersebut terlebih dahulu dihukum untuk membayar<br />
nafkah kepada istrinya itu, sebelum putusan akhir terhadap gugatan<br />
cerai itu. Demikian juga halnya mengenai mengizinkan seseorang<br />
untuk berperkara secara cuma-cuma (Pro Deo), sesuai Pasal 235<br />
HIR/Pasal 271 RBG, ditetapkan dengan putusan Provisional.<br />
b. Putusan Preparatoir<br />
Putusan Preparatoir, adalah putusan sela guna mempersiapkan<br />
putusan akhir. Misalnya putusan yang menolak/mengabulkan<br />
pengunduran sidang, karena alasan yang tidak tepat/ tidak dapat<br />
diterima (AT. Hamid 1984: 209). Dalam praktek seringkali terjadi<br />
perbedaan pendapat tentang pengunduran sidang antara penggugat<br />
43
dengan tergugat, maka dalam keadaan demikian hakim harus<br />
mengambil keputusan mengenai pengunduran sidang itu.<br />
c. Putusan Insidental<br />
Putusan Insidental, adalah putusan sela yang diambil secara<br />
insidental. Hal ini terjadi misalnya karena kematian kuasa dari salah<br />
satu pihak (penggugat/tergugat), dan lain-lain sebagainya (AT.<br />
Hamid 1984: 269). Terhadap putusan sela atau belum merupakan<br />
putusan akhir, maka tidak dapat dimintakan banding secara<br />
tersendiri. Oleh karena itu harus diajukan bersama-sama dengan<br />
permohonan banding terhadap putusan akhir (Pasal 9 Undang-<br />
Undang Nomor. 20 Tahun 1974). Logika pelarangan permohonan<br />
banding terhadap putusan sela secara terpisah dari perkara pokok,<br />
adalah untuk menghindarkan berlarut-larutnya perkara di pengadilan.<br />
2) Putusan Akhir<br />
Putusan akhir dari suatu perkara, dapat berupa:<br />
a. Niet Onvankelijk Verklaart<br />
Niet Onvankelijk Verklaart berarti tidak dapat diterima, yakni<br />
putusan pengadilan yang menytakan, bahwa gugatan penggugat<br />
tidak dapat diterima. Adapun alasan-alasan pengadilan mengambil<br />
keputusan menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima, adalah<br />
sebagai berikut:<br />
a) Gugatan tidak berdasarkan hukum;<br />
b) Gugatan tidak patut;<br />
44
c) Gugatan itu bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum;<br />
d) Gugatannya salah;<br />
e) Gugatannya kabur;<br />
f) Gugatannya tidak memenuhi persyaratan;<br />
g) Objek gugatannya tidak jelas;<br />
h) Subjek gugatannya tidak lengkap;<br />
i) Dan lain-lain.<br />
b. Tidak berwenang mengadili<br />
Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak<br />
berwenang, bukan menyangkut kompetensi absolut maupun<br />
kompetensi relatif, akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan<br />
menyatakan dirinya tidak mengadili gugatan itu. Oleh karena itu<br />
gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.<br />
c. Gugatan dikabulkan<br />
Suatu gugatan yang terbukti kebenarannya dipengadilan akan<br />
dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Adapun apabila gugatan<br />
terbukti seluruhnya, maka gugatan akan hanya terbukti sebagian,<br />
mka akan dikabulkan sebagian pula sepanjang yang dapat<br />
dibuktikan itu. Adakalanya pula suatu gugatan yang dikabulkan<br />
ternyata menjadi nihil, dan tidak dapat dilaksanakan, karena adanya<br />
kelemahan dalam petitum gugatan yang kemudian dikabulkan oleh<br />
pengadilan. Demikianlah misalnya putusan perkara perdata Nomor<br />
249/Pdt.G/1988/PN.Mdn, dimana tergugat MS dihukum<br />
45
menyerahkan tiga ekor lambur yang pernah dipinjamnya dari<br />
penggugat. Lembu tersebut ternyata sudah mati, sementara putusan<br />
tidak mengatakan atau menggantinya dengan tiga ekor lembu<br />
lainnya, atau dengan sejumlah uang tertentu.<br />
d. Gugatan ditolak<br />
Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya di depan<br />
pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu<br />
dapat terjadi untuk seluruhnya atau hanya sebagian saja. 27<br />
5. Putusan Pengadilan Niaga<br />
Pengadilan niaga memeriksa dan memutus perkara pada tingkat<br />
pertama dengan Majelis Hakim, dalam menjalankan tugasnya hakim<br />
pengadilan niaga dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera<br />
pengganti dan juru sita. Adapun apabila perkara-perkara lain telah dapat<br />
diperiksa dan diputuskan pula oleh Pengadilan Niaga. Ketua Mahkamah<br />
Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat<br />
pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal (bukan Majelis<br />
Hakim). 28 Undang-undang Kepailitan tidak hanya mengatur masalah<br />
pernyataan pailit dan PKPU. Undang-undang Kepailitan juga mengatur<br />
banyak hal yang tidak terkait langsung dengan pernyataan Kepailitan dan<br />
PKPU. 29<br />
a. Kompetensi Pengadilan<br />
27 Darwan Prinst, OP.Cit. hal. 206-209<br />
28 Sutan Remy Sjahdeini, OP.Cit. hal.152.<br />
29 Aria Suyudi dkk, Kepailitan di Negeri Pailit, Pusat Studi <strong>Hukum</strong> & Kebijakan Indonesia,<br />
Jakarta. hal.49<br />
46
1) Kompetensi absolut<br />
Masalah permintaan pailit adalah menjadi kompetensi absolut untuk<br />
memeriksanya. Jadi tidak ada Badan Peradilan lain di luar Peradilan<br />
umum yang berkompeten untuk memeriksanya.<br />
2) Kompetensi Relatif<br />
Kompetensi relatif Pengadilan Negeri untuk memeriksa permintaan<br />
pailit adalah sebagai berikut:<br />
a) Tempat kediaman Debitur<br />
Permintaan pailit dimintakan kepada Pengadilan Negeri yang<br />
wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Debitur/ si<br />
berhutang.<br />
b) Tempat kediaman terakhir Debitur<br />
Permintaan pailit dapat dimintakan kepada Pengadilan Negeri<br />
yang wilayah hukumnya meliputi tempat terakhir dari Debitur.<br />
c) Tempat Kantor Firma<br />
Permohonan Pailit terhadap persero-persero Firma diajukan<br />
kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya terletak kantor<br />
perseroan.<br />
d) Tempat Kantor Termohon Pailit<br />
Dalam hal termohon pailit tidak mempunyai tempat tinggal di<br />
wilayah Indonesia, tetapi mempunyai pekerjaan maka<br />
permohonan pailit dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri<br />
yang daerah hukumnya daebitur tersebut mempunyai kantor.<br />
47
e) Tempat kedudukan Badan <strong>Hukum</strong><br />
Permohonan pailit terhadap perseroan terbatas, perseroan<br />
pertanggungan timbal balik, perkumpulan koperasi atau lain-lain<br />
perkumpulan yang berbadan hukum dan yayasan-yayasan<br />
dilakukan kepada Pengailan Negeri tempat kediaman, tempat<br />
dimana perseroan-perseroan itu atau perkumpulan-perkumpulan<br />
itu berdomisili.<br />
f) Tempat perempuan melakukan pekerjaan/perusahaan<br />
Sehubungan dengan permintaan pailit ini dapat terjadi dilakukan<br />
oleh beberapa Pengadilan Negeri. 30<br />
6. Putusan Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi<br />
Salah satu prinsip pemeriksaan tingkat kasasi diatur pada Pasal<br />
40 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Agung mengatakan, Mahkamah<br />
Agung memeriksa dan memutus perkara dengan Majelis yakni<br />
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim. Putusan akhir dapat<br />
dijatuhkan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat dijelaskan<br />
sebagai berikut:<br />
a. Menyatakan Permohonan Kasasi Tidak Dapat Diterima (Niet<br />
Ontvankelijke Verklaren, To Declare Inadmissible).<br />
Salah satu bentuk putusan yang dapat dijatuhkan Mahkamah<br />
Agung pada tingkat Kasasi adalah putusan negatif, berupa<br />
pernyataan permohonan kasasi tidak dapat diterima (niet<br />
30 Darwan Prinst, Op.Cit. hal. 155-156<br />
48
ontvankelijke verklaren). Dasar alasan pertimbangan menjatuhkan<br />
putusan yang menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima,<br />
yaitu apabila Majelis yang memeriksa perkara itu berpendapat<br />
permohonan Kasasi yang diajukan pemohon, tidak memenuhi syarat<br />
formil yang ditentukan Undang-undang.<br />
Penegakan hukum yang menyatakan permohonan kasasi tidak<br />
dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat formil, ditegaskan<br />
pada Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung. Namun<br />
perlu diingat, penerapan ketentuan ini, harus benar-benar terhadap<br />
syarat formil yang bersifat mutlak. Artinya, syarat formil yang<br />
bersangkutan tidak dapat ditoleransi penegakannya.<br />
Terdapat beberapa syarat formil permohonan kasasi yang harus<br />
dipenuhi. Sifat dari syarat formil tersebut komulatif. Supaya<br />
permohonan kasasi sah menurut hukum, harus semua syarat formil<br />
tersebut. Salah satu saja dari syarat tersebut tidak terpenuhi<br />
mengakibatkan permohonan kasasi mengandung cacat formil<br />
sehingga sehingga permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat<br />
diterima.<br />
1) Permohonan kasasi dilakukan kuasa tanpa surat kuasa yang<br />
khusus memberi kuasa mengajukan kasasi.<br />
Sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) huruf a Undang-<br />
undang Mahkamah Agung, permohonan kasasi dlam perkara<br />
perdata dapat diajukan oleh pihak yang berperkara sendiri atau<br />
49
wakilnya. Begitu juga dalam perkara pidana, menurut Pasal 44<br />
ayat (1) huruf b, dapat diajukan terdakwa atau wakilnya atau oleh<br />
jaksa penuntut umum.<br />
2) Permohona Kasasi Tidak disertai Memori Kasasi<br />
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung<br />
menegaskan, dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon<br />
wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-<br />
alasan kasasi. Penyampaian memori kasasi oleh pemohon kasasi,<br />
merupakan syarat formil keabsahan permohonan kasasi. Sifatnya<br />
menurut Pasal 47 ayat (1) imperatif (mandatory). Pemohon kasasi<br />
wajib menyampaiakan memori kasasi. Tidak terpenuhinya syarat<br />
tersebut oleh pemohon mengakibatkan permohonan kasasi tidak<br />
sah (ongeldig, invalid), dan Mahkamah Agung menyatakan<br />
permohonan kasasi tidak dapat diterima.<br />
3) Terlambat mengajukan Memori Kasasi<br />
Selain pemohon wajib menyampaikan memori kasasi, terdapat<br />
pula syarat formil tentang batas jangka waktu menyampaikan<br />
memori kasasi itu sendiri. Syarat itu ditegaskan pada Pasal 47<br />
ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatakan,<br />
penyampaian memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat<br />
belas) hari setelah permohonan kasasi dicatat dlam buku daftar<br />
(rgister).<br />
50
. Menolak Permohonan Kasasi<br />
Mengenai putusan Mahkamah Agung menolak permohonan<br />
kasasi, dapat dijelaskan sebagai berikut:<br />
1) Permohonan Kasasi memenuhi syarat formil, tetapi keberatan<br />
kasasi tidak memenuhi kriteria.<br />
Bentuk putusan lain yang dpat dijatuhkan Mahkamah Agung<br />
tingkat kasasi, yaitu menolak permohonan kasasi. Putusan yang<br />
menolak permohonan kasasibersifat positif, karena telah<br />
menyangkut penilaian terhadap materi pokok perkara:<br />
a. Jadi, putusan yang berbentuk menolak permohonan kasasi,<br />
telah melampaui tahap pemeriksaan dan penilaian syarat formil<br />
permohonan kasasi,<br />
b. Apabila syarat formil terpenuhi, berarti permohonan kasasi<br />
dapat diterima (otvankelijkheid, adminissibility), sehingga<br />
tahap pemeriksaan selanjutnya memeriksa dan menilai putusan<br />
judex facti,<br />
c. Pemeriksaan putusan judex facti dari segi materiil mengacu<br />
dan bertitik tolak dari keberatan-keberatan atau alasan kasasi<br />
yang diajukan pemohon kasasi dalam memori kasasinya.<br />
2) Keberatan kasasi yang diajukan, tidak tunduk kepada<br />
pemeriksaan kasasi.<br />
a. Keberatan kasasi tentang hasil pembuktian<br />
b. Keberatan kasasi atas perubahan berita acara sidang<br />
51
c. Keberatan kasasi yang tidak ditujukan terhadap putusan judex<br />
factie dan materi poko perkara<br />
d. Keberatan kasasi berupa novum<br />
e. Kebertan yang hanya mengulang fakta-fakta yang telah<br />
diajukan pada pemeriksaan tingkat pertama dan/atau tingkat<br />
banding<br />
f. Keberatan kasasi irelevan<br />
g. Keberatan kasasi terhadap tindakan pengawasan.<br />
3) Penolakan kasasi dengan perbaikan putusan judex facti.<br />
Seperti yang dijelaskan, apabila keberatan kasasi tidak mengenai<br />
hal yang takluk kepada pemeriksaan kasasi, Mahkamah Agung<br />
menjatuhkan putusan “menolak permohonan kasasi”. Berarti,<br />
dalam hal yang demikian pada dasarnya Mahkamah agung setuju<br />
dan menguatkan putusan judex facti. Ada kalanya, memang pada<br />
dasarnya Mahkamah Agung setuju terhadap pertimbangan dan<br />
kesimpulan pokok putusan judex facti, ternyata terdapat<br />
kekeliruan atas kesalahan maupun kelalaian putusan judex facti,<br />
cuma bobot dan kualitasnya tidak sampai membatalkan putusan.<br />
Menghadapi kasus yang seperti ini Mahkamah Agung cukup dan<br />
berwenang “memperbaiki” pertimbangan dan/atau amar putusan<br />
judex facti.<br />
52
c. Mengabulkan Permohonan Kasasi<br />
Bentuk putusan tingkat kasasi yang ketiga, mengabulkan<br />
permohonan kasasi. Berdasarkan hasil pengalaman dan pengamata,<br />
putusan kasasi yang paling dominan adalah menolak permohonan<br />
kasasi. Berkisar sekitar 80 (delapan puluh) persen. Sebesar 5 (lima)<br />
persen tidak dapat diterima karena permohonan mengandung cacat<br />
formil. Sedang selebihnya, sebesar 15 (lima belas) mengabulkan<br />
permohonan kasasi. 31<br />
Sindiran judi dan permainan untung-untungan (gambling and a<br />
gim of chance) serta kelucuan (erratic), bis terjadi dalam peradilan<br />
kasasi. Gugatan yang terang dasar hukumnya, kemungkinan akan<br />
ditolak meskipun didukung oleh alat bukti yang kuat berdasarkan<br />
fakta-fakta yang tidak dapat diingkari. Sebaliknya, terkadang dasar<br />
hokum dan fakta-fakta pendukungnya tidak memenuhi batas<br />
minimal pemuktian, bias lolos dan melanggang mulaidari peradilan<br />
tingkat pertama. Banding, dan kasasi. Sehubungan dengan<br />
melekatnya faktor a game of chance and erratic yang dikemukakan<br />
di atas, menurut Yahya Harahap tidak berani mengatakan besarnya<br />
presentase pengabulan permohonan kasasi telah benar-benar objektif<br />
secara kuantitatif dan kualitatif. Kemungkinan besar angka itu bisa<br />
bergeser ke bawah dan ke atas apabila dedikasi, moral, dan<br />
profesionalisme lebih dipertajam dan lebih dicerdaskan.<br />
31 Yahya Harahap, Op.Cit, hal.388-399<br />
53
1) Terpenuhinya syarat formil, tahap awal ke arah pengabulan kasasi<br />
Seperti halnya putusan penolakan kasasi, tahap awal<br />
pemeriksaannya berpijak dari keabsahan permohonan. Adapun<br />
apabila pemohonan memenuhi syarat formil, baru terbukti jalur<br />
tahap selanjutnya memeriksa materi poko perkara yang tertuang<br />
dalam putusan judex facti dikaitkan dengan keberatan –keberatan<br />
yang dikemukakan dalam memori kasasi dan kontra memori<br />
kasasi (jika ada).<br />
Begitu juga halnya pada pengabulan kasasi. Harus berawal dari<br />
keabsahan formil permohonan kasasi, baru peradilan kasasi<br />
melangkah memriksa putusan judex facti dan memori kasasi (jika<br />
ada). Seperti yang dijelaskan terdahulu, sejak berlakunya<br />
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang mengubah Undang-<br />
Undang Nomor 14 tahun 1985, pada dasarnya kewenangan<br />
memriksa dan menilai terpenuhi atau tidak syarat formil<br />
permohonan kasasi, telah dilimpahkan keweangannya kepada<br />
ketua pengadilan tingkat pertama. Menurut Pasal 45 a ayat (3)<br />
Undang-Undang Mahkamah Agung, jika permohonan kasasi<br />
tidak memenuhi syarta formil, ketua pengadilan tingkat pertama<br />
mengeluarkan penetapan yang memuat dictum menyatakan<br />
permohonan kasasi tidak dapat diterima, dan berkas perkaranya<br />
tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung.<br />
54
Bertitik tolak dari ketentuan ini, dapat dikatakan secara teoretis,<br />
semua berkas perkara kasasi yang dikirimkan ke Mahkamah<br />
Agung sudah lolos seleksi pemeriksaan syarat formil. Majelis<br />
yang memeriksa perkara itu tidak perlu lagi repot-repot meneliti<br />
keabsahan syarat formil, cukup mempercayai hasil penelitian<br />
yang dilakukan oleh ketua pengadilan tingkat pertama. Tanpa<br />
mengurangi pendekatan teoretis tersebut, dari segi moral dan<br />
fungsional, majelis yang memeriksa perkara itu, sebaiknya tetap<br />
melakukan control dan penelitian sewajarnya, apakah benar atau<br />
tidak terprnuhi syarat formalnya.<br />
2) Pengabulan kasasi dibarengi pembatalandan mengadili sendiri<br />
Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung<br />
mengabulkan permohonan kasasi, harus dibarengi dengan<br />
tindakan hokum lain:<br />
(1) Membatalkan putusan judex facti yang dikasasi tersebut,<br />
(2) Mengadili sendiri perkara dimaksud dengan jalan<br />
menyampingkan dan menyingkirkan (set aside) putusan judex<br />
facti yang dibatalkan itu.<br />
Kala begitu, pada pengabulan permohonan kasasi terdapat<br />
rangkaian tindakan yang mesti melekat padanya yakni<br />
membatalkan putusan judex facti dan mengadili sendiri perkara<br />
tersebut dengan jalan menyingkirkan dan menyampingkan putusan<br />
judex facti. Jika putusan judex facti yang dibatalkan itu<br />
55
mengabulkan gugatan atau perlawanan penggugat/pelawan, maka<br />
konsekuensi yuridisnya putusan yang dijatuhkan pada tingkat<br />
kasasi, bias berupa alternatif:<br />
(1) Menyatakan gugatan/ perlawanan tidak dapat diterima.<br />
Apabila Mahkamah Agung berpendapat gugatan penggugat<br />
yang dikabulkan judex facti itu tidak memenuhi syarat formil<br />
melanggar yurisdiksi mengadili, error in persona, obscuur<br />
libel, nebis in idem, premature, dan sebagainya maka<br />
pembatalan itu diikuti dengan putusan menyatakan gugatan<br />
tidak dapat diterima.<br />
(2) Mengabulkan sebagian atau seluruh gugatan<br />
Jika Mahkamah Agung berpendapat putusan judex facti yang<br />
menolak gugatan tidak tepat, maka pembatalan yang dibarengi<br />
dengan mengadili sendiri, berisi amar mengabulkan sebagian<br />
atau seluruh gugatan.<br />
(3) Menolak seluruh gugatan<br />
Kalau Mahkamah Agung berpendapat, pengabulan gugatan yag<br />
dilakukan judex facti tidak tepat, sehingga putusan tersebut<br />
dibatalkan maka putusan tersebut dibatalkan maka putusan<br />
kasasi yang harus dijatuhkan, menolak seluruh gugatan.<br />
Demikian tindakan yustisial yang diambil Mahkamah Agung pada<br />
tingkat kasasi apabila permohonan kassi dikabulkan.<br />
56
D. PERDAMAIAN (Accord)<br />
1. Pengertian Perdamaian<br />
<strong>Hukum</strong> Kepailitan, accord diartikan sebagai suatu perjanjian<br />
perdamaian antara si pailit dengan para Kreditur, dimana diadakan<br />
suatu ketentuan bahwa si Pailit dengan membayar suatu ketentuan<br />
bahwa si pailit dengan membayar sesuatu persentase tertentu (dari<br />
utangnya), ia akan dibebaskan untuk membayar sisanya. 32 Perkara<br />
kepailitan, perdamaian dapat dilakukan pasca putusan, setelah<br />
debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, debitur berhak<br />
menawarkan perdamaian kepada semua kreditur. Lain halnya dengan<br />
perkara perdata (gugatan) yang disidangkan di pengadilan negeri. Di<br />
pengadilan negeri, perdamaian diadakan pra putusan, yakni diawal<br />
persidangan sampai dengan sebelum putusan diucapkan. Setelah<br />
putusan diucapkan, tidak ada lagi perdamaian, yang ada adalah<br />
eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. 33<br />
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, perdamaian diatur<br />
dalam Pasal 144-147.<br />
Menurut Pasal 144:<br />
“Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian<br />
kepada semua Kreditur.”<br />
Tawaran perdamain dibuat dalam rencana perdamaian. Rencana<br />
perdamaian (composition plan) diajukan dengan delapan hari<br />
32 Sunarmi, <strong>Hukum</strong> Kepailitan (Edisi 2), 2010, PT. Sofmedia, Medan, hal. 163.<br />
33 Syamsudin M. Sinaga, <strong>Hukum</strong> Kepailitan Indonesia, 2010, PT. Tatanusa, Jakarta. hal. 125.<br />
57
34 Ibid, hal 125-126<br />
sebelum rapat pencocokan piutan atau rapat verifikasi. Sebelum<br />
rapat verifikasi, debitur menyerahkan asli rencana perdamaian ke<br />
kepaniteraan pengadilan niaga agar dapt dilihat dengan cuma-cuma<br />
oleh setiap orang yang berkepentingan. Salinannya wajib dikirimkan<br />
kepada masing-masing anggota panitia Kreditur sementara. Rencana<br />
perdamaian tersebut harus dibicarakan dan diambil keputusannya<br />
segera setelah verifikasi. Rapat verifikasi dapat ditunda oleh Hakim<br />
Pengawas paling lambat 21 hari:<br />
(1) Apabila dalam rapat diangkat panitia Kreditur tetap yang tidak<br />
terdiri atas orang-orang yang sama seperti panitia Kreditur<br />
sementara, sedangkan jumlah terbanyak Kreditur menghendaki<br />
dari Panitia Kreditur tetap pendapat tertulis menghendaki<br />
tentang rencana perdamaian yang diusulkan tersebut; atau<br />
(2) Rencana perdamaian tidak disediakan di kepaniteraan<br />
pengadilan niaga dalam waktu yang ditentuakn, sedangkan<br />
jumlah terbanayak Kreditur yang hadir menghendaki<br />
pengunduran rapat. 34<br />
Kepailitan ada 2 (dua) accord, yaitu:<br />
a. Accord yang ditawarkan dalam Kepailitan, yaitu pada saat rapat<br />
verifikasi;<br />
b. Accord yang diawarkan dalam Penundaan Kewajiban<br />
Pembayaran Utang, yaitu sebelum Debitur dinyatakan Pailit.<br />
58
Accord yang ditawarkan oleh si Pailit itu berisi beberapa<br />
kemungkinan atau aternatif yang akan dipilih oleh para Kreditur,<br />
yaitu:<br />
a. Si Pailit menawarkan kepada Krediturnya, bahwa ia akan<br />
membayar (sanggup membayar) dalam jumlah tertentu dari<br />
utangnya namun tidak dalam jumlah keseluruhannya;<br />
b. Si Pailit akan menawarkan accord likuidasi (liquidatie accord),<br />
yakni si Pailit menyediakan hartanya bagi kepentingan para<br />
kreditur untuk dijual di bawah pengawasan seorang pengawas<br />
(pemberes), dan hasil penjualannya dibagi untuk para kreditur,<br />
apabila hasil penjualan itu tidak mencukupi, maka si Pailit<br />
dibebaskan dari emmbayar sisa yang belum terbayar;<br />
c. Si debitur Pailit menwarkan untuk meminta Penundaan<br />
Pembayaran dan diperbolehkan mengangsur utangnya untuk<br />
beberapa waktu.<br />
Menurut Zainal Asikin, dengan dibukanya kemungkinan untuk<br />
mengadakan accord, maka hak itu akan dapat menguntungkan<br />
kedua belah pihak , karena:<br />
a. Bagi para kreditur, jikalau harta pailit dijual/ dilelang atau<br />
dilakukan pemberesan dengan perantara hakim, dan hasilnya<br />
dibagi menurut imbangan jumlah piutang kreditur, maka belum<br />
tentu para kreditur itu akan mendapat pembayaran yang lebih<br />
tinggi seperti yang ditawarkan di dlam accord. Jadi, penawaran<br />
59
di dalam accord mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan<br />
pembagian melalui pemberesan oleh hakim;<br />
b. Bagi Debitur Pailit, ia akan membayar sejumlah utang yang<br />
telah disetujui dalam accord yang lebih kecil dari utang<br />
sbenarnya, sedangkan sisanya tidak menjadi beban bagi Debitur<br />
untuk melunasinya. Apabila accord telah dipenuhi, maka<br />
berakhilah Kepailitan. Hal ini berbeda dengan pemberesan oleh<br />
Hakim, yakni apabila dari hasil pelelangan itu belum atau tidak<br />
cukup untuk melunasi utang-utang si Pailit secara penuh, maka<br />
sisanya akan tetap menjadi utang si Pailit secara penuh, maka<br />
sisanya akan tetap menjadi utang si Pailit yang pelunasannya<br />
dengan harta pailit yang masih akan ada (Pasal 1131<br />
KUHPerdata). 35<br />
2. Pembatalan Perdamaian<br />
Tentang pembatalan perdamaian diatur mulai Pasal 170<br />
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan<br />
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu bahwa kreditur dapat<br />
menuntut suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitur lalai<br />
memenuhi isi perdamaian tersebut. Debitur wajib membuktikan<br />
bahwa perdmaian telah dipenuhi. Pengadilan berwenang memberikan<br />
kelonggaran kepada debitur untuk memenuhi semua kewajibannya<br />
35 Sunarmi, Op Cit. hal. 163-164<br />
60
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian<br />
kelonggaran tersebut diucapkan. Penjelasan Pasal 170 ayat (3)<br />
menentukan bahwa kelonggaran hanya dpat diberikan 1 (satu) kali<br />
dlam seluruh proses. Tuntutan Pembatalan Perdmaian wajib dia jukan<br />
dan ditetapkan dengan cara yang sama sebagaimana dimaksud dalam<br />
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13<br />
untuk permohonan pernyataan Pailit (Pasal 171 Undang-Undang<br />
Nomor 37 Tahun 2004).<br />
Putusan Pembatalan Perdamaian diperintahkan supaya<br />
Kepailitan dibuka kembali, dengan pengangkatan seorang hakim<br />
pengawas , kurator, dan anggota panitia kreditur, apabila dalam<br />
kepailitan terdahulu ada suatu panitia seperti itu. hakim pengawas,<br />
kurator dan anggota panitia kreditur, apabila dalam kepailitan<br />
terdahulu ada suatu panitia seperti itu. Hakim pengawas, kurator dan<br />
anggota panitia tersebut sedapat mungkin siangkat diangkat dari<br />
mereka yang dahulu dlam kepailitan tersebut telah memangku<br />
jabatannya. Kurator wajib memberitahukan dan mengumumkan<br />
Putusan tersebut dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15<br />
ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. 36<br />
3. Akibat <strong>Hukum</strong> Pembatalan Perdamaian<br />
36 Ibid, hal. 170.<br />
61
Kepailitan dibuka kembali, maka berlaku Pasal 17 ayat (1),<br />
Pasal19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan pasal-pasal yang termaktub<br />
dalam bagian kedua, bagian ketiga dan abgian keempat BAB II<br />
Undang-Undang ini. Demikian pula berlaku ketentuan mengenai<br />
pencocokan piutang terbatas pada piutang yang belum dicocokan.<br />
Kreditur yang piutangnya telah dicocokan wajib dipanggil juga untuk<br />
menghadiri rapat pencocokan piutang dan berhak untuk membantah<br />
piutang yang dimintakan penerimaannya (Pasal 173 Undang-undang<br />
Nomor 37 Tahun 2004).<br />
Pasal 174 menentukan bahwa: “Dengan tidak mengurangi berlakunya<br />
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44, apabila ada alasan untuk<br />
itu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Debitur di dalam waktu<br />
antara pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali Kepailitan<br />
adalah mengikat bagi harta pailit”.<br />
Setelah Kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat lagi<br />
ditawarkan perdamaian. Kurator wajib seketika memualai dengan<br />
pemberesan harta pailit (Pasal 175 Undang-Undang Nomor 37 Tahun<br />
2004). Adapun apabila kepailitan dibuka kembali, harta pailit dibagi<br />
anatara para Kreditur dengan cara:<br />
a. Jika Kreditur lama maupun kreditur baru belum mendapat<br />
pembayaran, hasil penguangan harta pailit di bagi antara mereka<br />
secara prorata;<br />
62
37 Ibid, hal.171<br />
b. Jika setelah terjadi pembayaran sebagian piutang kepada kreditur<br />
lama, maka kreditur lama dan kreditur baru berhak menerima<br />
pembayaran sesuai dengan presentase yang telah disepakati dlam<br />
perdamaian;<br />
c. Kreditur lama dan kreditur baru berhak memperoleh pembayaran<br />
secara prorata atas sisa harta pailit setelah setelah dikurangi<br />
pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b samapai<br />
dipenuhinya seluruh piutang yang diakui.<br />
Kreditur lama yang telah memperoleh pembayaran tidak<br />
diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya<br />
(Pasal 176 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Yang dimaksud<br />
dengan “prorata” adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang<br />
masing-masing, sedangkan yang dimaksud “sebagian” adalah bagian<br />
berapapun (Penjelasan Pasal 176 huruf a dan huruf b Undang-<br />
Undang Nomor 37 Tahun 2004). Ketentuan sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 176 berlaku mutatis mutandis dalam hal debitur sekali<br />
lagi dinyatakan Pailit. 37<br />
63
BAB III<br />
METODE PENELITIAN<br />
A. Tipe Penelitian<br />
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis<br />
Normatif yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang tertutup otonom,<br />
terlepas dari perilaku kehidupan masyarakat dan mengabaikan norma hukum. 38<br />
Peneliti mencoba memfokuskan dan menjawab permasalahan dari segi kaca mata<br />
hukum dan mengabaikan norma lain selain hukum.<br />
B. Metode Penelitain<br />
Berdasarkan rumusan masalah yang ada di dalam penelitian ini, pendekatan yang<br />
dipergunakan adalah Pendekatan Perudang-undangan (Statue Approach) dan<br />
Pendekatan Analitis (Analytical Approach).<br />
C. Spesifikasi Penelitian<br />
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah<br />
Preskriptif 39 , yaitu menganalisis persoalan hukum dengan aturan yang berlaku dan<br />
cara mengoperasionalkan aturan tersebut dalam peristiwa hukum.<br />
38<br />
Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian <strong>Hukum</strong>, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1988,<br />
hal.13.<br />
39<br />
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian <strong>Hukum</strong>, Kencana Media Group, Jakarta, 2010, hal.22.<br />
64
1. Bahan <strong>Hukum</strong> Primer<br />
D. Sumber Bahan <strong>Hukum</strong><br />
Bahan <strong>Hukum</strong> Primer yaitu semua aturan hukum yang dibentuk dan/ atau<br />
dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan/ atau badan-badan<br />
pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa<br />
yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat Negara. Dalam penelitian ini,<br />
bahan hukum primer yang digunakan adalah:<br />
a. HIR (Het Herzine Indonesich Reglement),<br />
b. KUH Perdata,<br />
c. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan<br />
Kewajiban Pembayaran Utang,<br />
d. Undang-Undang Nomor Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang<br />
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14<br />
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,<br />
e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung,<br />
f. Peraturan perundang-undangan lainnya yang memiliki kaitan dengan objek<br />
penelitian,<br />
g. Putusan Mahkamah Agung Nomor. 771/Pdt.Sus/2010.<br />
2. Bahan <strong>Hukum</strong> Sekunder<br />
Bahan <strong>Hukum</strong> Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya<br />
dengan bahan hukum primer dan dapat yang memberikan penjelasan mengenai<br />
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan<br />
65
hukum primer berupa literatur atau pustaka yang berkaitan dengan<br />
permasalahan yang diteliti.<br />
3. Bahan <strong>Hukum</strong> Tersier<br />
Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk<br />
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,<br />
seperti kamus (hukum), ensklipodia. 40<br />
E. Metode Penyajian <strong>Hukum</strong><br />
Bahan hukum dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara teks<br />
normatif yaitu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang<br />
disusun secara logis dan sistematis. Keseluruhan bahan hukum yang diperoleh<br />
dihubungkan sedemikian rupa satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan<br />
pokok permasalahan yang diteliti untuk menjawab permasalahan yang ada.<br />
F. Metode Analisi Bahan <strong>Hukum</strong><br />
Berdasarkan norma hukum yang tertulis saja tidak cukup untuk langsung<br />
diterapkan dalam fakta hukum. Rumusan norma masih abstrak sehingga<br />
diperlukan kegiatan penemuan hukum (Rechtsvinding).<br />
Hakim dalm menemukan hukum ada tiga metode yaitu penafsiran hukum<br />
atau interpretasi, argumentasi dan konstruksi hukum. 41<br />
1. Interpretasi atau penafsiran, merupakan metode penemuan hukum yang<br />
memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang<br />
40<br />
Amirudin, dan H.Zainal, Asikin, Pengantar Metode Penelitian <strong>Hukum</strong>, PT. Raja Grafindo<br />
Persada, Jakarta, 2003, hal.32.<br />
41<br />
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan <strong>Hukum</strong>, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hal.76.<br />
66
lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.<br />
Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna<br />
undang-undang.<br />
Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode<br />
yaitu secara:<br />
a. Metode interpretasi subsumtif adalah penerapan suatu teks perundang-<br />
undangan terhadap kasus in concreto dengan belum memasuki taraf<br />
penggunaan penalaran dan penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekedar<br />
menerapkan silogisme.<br />
b. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara penafsiran<br />
yang yang menafsirkan undang-undang menurut arti kata-kata (istilah) yang<br />
terdapat pada undang-undang. Hakim wajib menilai arti kata yang lazim<br />
dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.<br />
c. Metode interpretasi secara Sistematis atau Dogmatis yaitu penafsiran yang<br />
menafsirkan peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan<br />
hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.<br />
Karena, terbentuknya suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan<br />
bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlakusehingga<br />
tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat<br />
dengan peraturan perundang-undangan lainnya.<br />
d. Metode interpretasi secara Historis yaitu menafsirkan undang-undang<br />
dengan cara meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau<br />
terjadinya peraturan undang-undang yang bersangkutan.<br />
67
e. Metode interpretasi secara Teleologis atau Sosiologis yaitu cara penafsiran<br />
suatu ketentuan undang-undang untuk mengetahui makna atau yang<br />
didasarkan pada tujuan kemasyarakatan.<br />
f. Interpretasi Komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan<br />
jalan membandingkan antara sistem hukum. Terutama bagi hukum yang<br />
timbul dari perjanjian internasional.<br />
g. Interpretasi Antisipatif atau Futuristis yaitu cara penafsiran yang<br />
menjelaskan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-<br />
undang yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan<br />
undang-undang.<br />
h. Interpretasi Restriktif adalah sebuah perkataan diberi makna sesuai atau<br />
lebih sempit dari arti yang diberikan pada perkataan itu dalam kamus atau<br />
makna yang dilazimkan dalam pada perkataan itu dalam kamus atau makna<br />
yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.<br />
i. Interpretasi Ekstensif adalah sebuah perkataan diberi makna lebih luas<br />
ketimbang arti yang diberikan pada perkataan itu menurut kamus atau<br />
makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.<br />
j. Interpretasi Otentik atau secara resmi dilakukan oleh pembuat undang-<br />
undang sendiri dengan mencantumkan arti beberapa kata yang digunakan di<br />
dalam suatu peraturan. Hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran<br />
dengan cara lain selain dari apayang telah ditentukan pengertiannya di<br />
dalam undang-undang itu sendiri.<br />
68
k. Interpretasi Interdisipliner biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah<br />
yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika<br />
penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.<br />
l. Interpretasi Multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu<br />
atau beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan perkataan<br />
lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari dari disiplin<br />
ilmu yang berbeda-beda.<br />
m. Interpretasi dalam Kontrak atau Perjanjian adalah menentukan makna yang<br />
harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak<br />
dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul kareananya.<br />
n. Interpretasi dalam Perjanjian Internasional yaitu penafsiran dalam<br />
perjanjian-perjanjian internasional, baik yang diatur dalam Konvensi,<br />
pendapat para ahli maupun dari berbagai keputusan pengadilan.<br />
2. Metode Argumentasi yaitu metode penemuan hukum yang diguanakan hakim<br />
apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara<br />
khusus mengenai peristiwa yang terjadi. Metode dalam argumentasi:<br />
a. Metode Konstruksi Analogi (Argumentum Per Analogian) yaitu merupakan<br />
metode penemuan hukum dengan cara memasukan suatu perkara ke dalam<br />
lingkup pengaturan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk<br />
menyelesaikan perkara yang bersangkutan.<br />
b. Argumentum a contratio atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan<br />
atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan<br />
69
pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur<br />
dalam undang-undang.<br />
c. Penyempitan <strong>Hukum</strong>. Pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya<br />
umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang ksusus<br />
dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.<br />
3. Konstruksi <strong>Hukum</strong> yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk<br />
pengertian (hukum) yang merupakan alat yang dipakai untuk menyusun bahan<br />
hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang<br />
baik.<br />
Bahan hukum yang telah diperoleh akan dianalisis secara<br />
kualitatif, dengan menggunakan interpretasi atau penafsiran. Hal ini dilakukan,<br />
karena pada dasarnya baik hukum materill maupun hukum formil sudah<br />
memberikan pengaturan hukum terhadap suatu hubungan hukum yang ada<br />
dalam masyarakat.<br />
70
A. Hasil Penelitian<br />
BAB IV<br />
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil penelitian ini didasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Nomor.<br />
771 K/Pdt. Sus/2010, yang akan diuraikan sebagai berikut:<br />
1. Para Pihak<br />
1.1. Pihak Pemohon<br />
1.1.1. PT. Interkon Kebon Jeruk, yang diwakili oleh Hakim<br />
Saut Simamora, Tjio Johan Kasendra, masing-masing<br />
selaku Direktur, berkedudukan di Jl. Meruya Ilir Raya 14,<br />
Jakarta Barat, dalam hal ini memberi kuasa kepada:<br />
Robertus Ori Setianto, SH.MH. dan kawan, Advokat pada<br />
SS.co D1, Jl. Fachruddin No. 5, Jakarta Pusat, berdasarkan<br />
kuasa khusus tanggal 2 Agustus 2020;<br />
1.1.2. Octavia Widyastuti Alim, betempat tinggal di Permata<br />
Hijau Blok B/32 RT. 015/012, Kelurahan Grogol Utara,<br />
Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Elisabeth<br />
Prayogo, bertempat tinggal di Jl. Kamboja RT. 004<br />
RW.003, Kelurahan Cipete Selatan, Kecamatan Cilandak,<br />
Jakarta Selatan. Swanda Salim, bertempat tinggal di Ruko<br />
Taman Komplek Grawisa Blok D No. 14 A, Jakarta Barat,<br />
Yohanes Hartanto, bertempat tinggal di Ruko Taman<br />
71<br />
Kebon Jeruk Blok W IV No. 11 Jalan Raya Joglo
Srengseng, Jakarta Barat. Eddy Hartono, bertempat tinggal<br />
di Jl. Duri Utama Raya No. 5 RT. 003 RW. 007, Kelurahan<br />
Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Drs.<br />
Abdul Salam, bertempat tinggal di Komplek Moneter No.<br />
C34 RT. 005 RW. 003, Kelurahan Kembangan Selatan,<br />
Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat.Cornelia<br />
Tiosudarmin, bertempat tinggal di Jl.Satria II Blok D No.<br />
81.Trio Jono, bertempat tinggal di Jl. Puri Kembangan<br />
Timur E 1 No. 45, RT. 005/RW. 005 Kelurahan<br />
Kembangan Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat.<br />
Ratna E Jl Tobing, bertempat tinggal di Jl. Taman Kebon<br />
Jeruk J 5/2 Rt. 002/003 Kel. Srengseng, Kec.Kembangan,<br />
Jakarta Barat. Hedy Yani, bertempat tinggal di Jl. Kebon<br />
Jeruk Baru C3 No. 8 Rt. 008/008 Kel.Kebon Jeruk, Kec.<br />
Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Lina Gozali, bertempat tinggal<br />
di Jl. Sanggrahan No.17 Rt. 001/003, Kel. Meruya Utara,<br />
Kec. Kembangan, Jakarta Barat. Liliani Wihardjo,<br />
bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk Blok I VII/44,<br />
Jakarta Barat. Meyliana Susanti Hirawan, bertempat<br />
tinggal di Taman Kebon Jeruk I 7/62, Jakarta Barat.<br />
Herawati Santoso, bertempat tinggal di Taman Kebon<br />
Jeruk G 1/51, Kembangan, Jakarta Barat. Sherwin A. Surja<br />
Atmadja, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk C 1/26<br />
72
Rt. 005/09, Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat. Drg.<br />
Lizza Christina, bertempat tinggal di Jl. Soka No. 3 Rt.<br />
004/07, Kel. Tambaksari, Kec. Tambaksari, Surabaya.<br />
Waluyo Hadi P, bertempat tinggal di Gria Mas II Blok B<br />
No. 3A, Srengseng, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sajuri<br />
Kartika Isanto, bertempat tinggal di Jl.Widya Candra 8<br />
No. 6 RT. 008/001 Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta<br />
Selatan. Megahartawan Santoso, bertempat tinggal di<br />
HOS Cokroaminoto No. 24 A Rt. 005/004, Gondangdia,<br />
Menteng. Lingga Iswara, bertempat tinggal di Jl. Kebon<br />
Palma Raya Blok F/33 Rt.016/020, Kedoya Selatan, Kebon<br />
Jeruk, Jakarta Barat. Bong Mei Tjen, bertempat tinggal di<br />
Jl. Widya Chandra 8 No. 6 Rt. 008/01, Senayan, Kebayoran<br />
Baru, Jakarta Selatan. The Sui An, bertempat tinggal di Jl.<br />
Tanah Abang II No. 112 Rt. 09/03, Gambir, Jakarta Pusat.<br />
Savina Gozali, bertempat tinggal di Jl. Taman Daan Mogot<br />
IV No. 5 RT. 001/RW. 001, kesemuanya dalamhal ini<br />
memberi kuasa: Husin Helmi, SH. dan kawan, Advokat<br />
berkantor di Wisma Sejahtera Lt. 2 No. 201 A Jl. S. Parman<br />
Kav. 75, Jakarta Barat, berdasarkan surat kuasa khusus<br />
tanggal 30 Juli 2010 dan tanggal 2 Agustus 2010.<br />
1.1.3. Eddy Yowono, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk,<br />
73<br />
Blok E No. 2/3 RT. 001/010 Srengseng Kembangan, Jakarta
Barat. Yanti Husada, bertempat tinggal di Taman Kebon<br />
Jeruk, Blok E No. 2-3 RT. 001/010 Srengseng Kembangan,<br />
Jakarta Barat. Liliany Wihardjo, bertempat tinggal di<br />
Taman Kebon Jeruk Blok 1-7/44 RT. 005/RW. 011,<br />
Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta<br />
Barat. Indriyani, bertempat tinggal di Jl. Tawakal VI/4 RT.<br />
010 RW. 009, Kelurahan Tomang, Kecamatan Grogol,<br />
Jakarta Barat, keempatnya dalam hal ini memberi kuasa<br />
kepada: H. Turaji, SH.MM.M.Hum. dan kawan-kawan,<br />
Advokat pada Global Law Firm, berkantor di Gedung<br />
Lingga Dharma No. 17, Jl. Warung Buncit, Jakarta 12550,<br />
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 30 Juli 2010;<br />
1.1.4. Rainford Investment Inc, berkedudukan Oliaji Trade<br />
1.2. Pihak Termohon<br />
Central 1st floor, Victoria Seychelles, Singapura sebuah<br />
Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan hukum<br />
Singapura, dalam hal ini memberi kuasa kepada: Silvester<br />
Manis, SH. dan kawan-kawan, Advokat pada Kantor<br />
<strong>Hukum</strong> VERITAS, berkantor di Jl. Kayu Manis Satu Lama,<br />
Palmeriam, Jakarta Timur 13140, berdasarkan surat kuasa<br />
khusus tanggal 30 juli 2010.<br />
Para Pemohon Kasasi dahulu Termohon Pailit.<br />
74
1.2.1. Tomi Bungaran dan Dra. Ida Hartono, bertempat tinggal<br />
di Puri Marina No. 8 Ancol, Jakarta Utara;<br />
1.2.2. Bernadet Lianawaty, bertempat tinggal di Pulau Anyer<br />
II/29 Buana Taman Permata;<br />
1.2.3. Budy Hartono, bertempat tinggal di Jl. Pintu Air II/65,<br />
Jakarta;<br />
1.2.4. Heny Anwari, bertempat tinggal di Taman Pluit Murni I<br />
No. 2;<br />
1.2.5. Magdalena Massie, bertempat tinggal di Menun<br />
Pumpungan 3-5, Surabaya;<br />
1.2.6. Rocky Batiaan, bertempat tinggal di Manyar Tompotika<br />
AA 6-7 Surabaya;<br />
1.2.7. Lie Wie-Wie Sulistyo, bertempat tinggal di Jl. Duta Indah<br />
II/25 Jakarta;<br />
1.2.8. Harijanto Kertasasmita, bertempat tinggal di Taman<br />
Kebon Jeruk Blok 06/20, Jakarta Barat;<br />
1.2.9. Inggriati Selamat, bertempat tinggal di Kemanggisan<br />
Utama VIII/1;<br />
1.2.10. Oendi Widjaja, Melinda Rosita Chandrasari, bertempat<br />
tinggal di Gempol Wetan No. 203 danTaman Kebon Jeruk<br />
KI/39;<br />
1.2.11. So Juliata Lenny Sumampouw, bertempat tinggal di<br />
Taman Kebon Jeruk J 13/6, Jakarta Barat;<br />
75
1.2.12. Ir. Tjandra Kumala Dewi, bertempat tinggal di Jl. Palem<br />
2. Alasan Pengajuan Kasasi<br />
Raya No. 1135, Jakarta Barat, semuanya dalam hal ini<br />
memberi kuasa kepada: Horas Panjaitan, SH. Advokat<br />
berkantor di Horas Panjaitan, SH. & Rekan, Jl. Biak Blok<br />
B3 Lt. 1 (Roxi) Cideng, Gambir, Jakarta Pusat.<br />
Para Termohon Kasasi dahulu Pemohon Pailit.<br />
2.1. Alasan Kasasi Pemohon I<br />
2.1.1. Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam memutus<br />
perkara telah melakukan beberapa kesalahan<br />
penerapan hukum dan melanggar yang berlaku.<br />
a. Judex Facti melakukan pelanggaran berat hukum acara<br />
mengenai Intervensi.<br />
Bahwa dalam proses sidang pemeriksaan perkara<br />
Nomor 03/ Pembatalan Perdamaian/<br />
2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. Muncul 3 pihak berkepentingan,<br />
yang mengajukan permohonan intervensi dalam perkara<br />
a quo, yaitu:<br />
- Turut Termohon Kasasi 1 s/d Turut Termohon<br />
Kasasi 9/dahulu Pemohon Intervensi I selaku para<br />
kreditur pembeli kavling Pemohon Kasasi;<br />
76
- Turut Termohon Kasasi 10 s/d Turut Termohon<br />
77<br />
Kasasi 13/dahulu Pemohon Intervensi II, juga selaku<br />
para kreditur pembeli kavling Pemohon Kasasi;<br />
- Turut Termohon Kasasi 14/dahulu Pemohon<br />
Intervensi III selaku kreditur separatis Pemohon<br />
Kasasi.<br />
Ketiganya, merupakan pihak-pihak dalam<br />
Perdamaian, yang telah disahkan dalam Putusan Nomor<br />
027/Pailit /2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor<br />
21K/N/2006 jo Nomor 019PK/N/2006, tanggal 21<br />
April 2009 (selanjutnya disebut "Perdamaian"), yang<br />
dimohonkan pembatalannya oleh Para Termohon<br />
Kasasi/Pemohon Pailit;<br />
Bahwa Para Turut Termohon Kasasi/Para Pemohon<br />
Intervensi selaku pihak dalam Perdamaian, sangat<br />
berkepentingan dengan permohonan pembatalan<br />
Perdamaian, yang diajukan oleh Para Termohon<br />
Kasasi;<br />
Bahwa adanya Putusan Sela untuk menentukan Para<br />
Pemohon Intervensi dapat ikut serta dalam perkara,<br />
kembali ditegaskan Mahkamah Agung RI dalam<br />
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi<br />
Pengadilan Buku II terbitan Mahkamah Agung RI
tahun 1998, cetakan ke-3 halaman 119 Khusus<br />
Mengenai Intervensi: Interventie (tussenkomst) terjadi:<br />
a. Apabila pihak ketiga merasa mempunyai<br />
kepentingan yang akan terganggu, jika ia tidak ikut<br />
dalam proses perkara itu;<br />
b. Misalnya dalam interventie barang milik<br />
intervenient, yang diperebutkan aleh Penggugat dan<br />
Tergugat. Untuk mendapatkan barang itu dan agar<br />
78<br />
barang itu dinyatakan sebagai miliknya, maka<br />
interventie diajukan Interventie dikabulkan atau<br />
ditolak dengan putusan sela;<br />
Bahwa Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan<br />
menyatakan: "Kecuali ditentukan lain dalam undang-<br />
undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah<br />
hukum acara perdata";<br />
Sehingga mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut,<br />
permohonan intervensi dari Para Pemohon Intervensi<br />
haruslah terlebih dahulu diputus dengan Putusan Sela,<br />
apakah intervensi tersebut diterima atau tidak;<br />
Bahwa akan tetapi, Majelis Hakim dalam perkara No.<br />
03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst.,<br />
ternyata:
a. Sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada<br />
79<br />
Pemohon Kasasi/Termohon Pailit maupun Para<br />
Termohon Kasasi/Pemohon Pailit untuk menanggapi<br />
permohonan intervensi tersebut;<br />
b. Sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan<br />
Pemohon Kasasi/Termohon Pailit maupun Para<br />
Termohon Kasasi/ Pemohon Pailit dalam<br />
permohonan intervensi tersebut;<br />
c. Tidak membuat Putusan Sela apakah menerima atau<br />
menolak adanya intervensi tersebut, tetapi hanya<br />
mengeluarkan Putusan Sela berkaitan dengan adanya<br />
eksepsi Kompetensi Absolut (vide Putusan Sela<br />
Nomor.03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.<br />
Jkt.Pst. tgt. 14 Juli 2010);<br />
Bahkan dalam Putusan Nomor. 03/Pembatalan<br />
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. tgl. 28 Juli 2010,<br />
Majelis Hakim Pengadilan Niaga Sama Sekali Tidak<br />
Menguraikan Adanya Permohonan Intervensi, maupun<br />
Mempertimbangkan dalil-dalil Keberatan Para<br />
Pemohon Intervensi, dengan demikian, Majelis Hakim<br />
dalam Perkara No. 03/Pembatalan<br />
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst, telah melakukan
80<br />
pelanggaran hukum acara, sehingga putusan a quo cacat<br />
hukum dan haruslah dibatalkan;<br />
b. Judex Facti melanggar ketentuan hukum, dengan tidak<br />
mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi, bahwa<br />
Kuasa Pemohon Pailit tidak mempunyai Legal Standing<br />
untuk memohon Pembatalan Perdamaian.<br />
Bahwa Majelis Hakim tingkat Pertama dalam<br />
Putusannya sama sekali tidak mempertimbangkan<br />
Eksepsi Pemohon Kasasi, bahwa Kuasa <strong>Hukum</strong> Para<br />
Termohon Kasasi, tidak pernah diberi kewenangan<br />
untuk mengajukan permohonan pembatalan<br />
Perdamaian;<br />
Berdasarkan 12 Surat Kuasa dari prinsipal/Pemohon<br />
Pailit asli (vide Bukti P-1), Sdr. Horas Panjaitan, SH.<br />
selaku Kuasa <strong>Hukum</strong> Pemohon Pailit, sama sekali tidak<br />
diberi wewenang untuk mengajukan permohonan<br />
pembatalan perdamaian yang dihomologasi dengan<br />
Putusan No. 027/PAILIT/2006/PN.Niaga.jkt.pst. jo.<br />
Nomor. 21 K/N/2006 jo. No. 019PK/N/2006 tgl. 29<br />
April 2009. Bahkan dalam Surat Kuasa tidak disebutkan<br />
sama sekali mengenai permohonan pembatalan<br />
perdamaian, padahal permohonan pembatalan<br />
perdamaian jelas memerlukan Surat Kuasa Khusus,
tidak cukup hanya dengan Surat Kuasa untuk<br />
mengajukan permohonan pailit, dengan demikian,<br />
Putusan Majelis Hakim tingkat pertama yang sama<br />
sekali tidak mempertimbangkan Eksepsi Pemohon<br />
Kasasi telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku<br />
dan haruslah dibatalkan.<br />
c. Judex Facti melanggar ketentuan hukum dengan tidak<br />
mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi mengenai<br />
Permohonan Pembatalan Perdamaian Prematur.<br />
Bahwa Majelis Hakim tingkat Pertama dalam<br />
Putusannya sama sekali tidak mempertimbangkan<br />
adanya Eksepsi Pemohon Kasasi, bahwa Perdamaian<br />
baru merupakan perjanjian awal, yang masih harus<br />
ditindaklanjuti pelaksanaannya dengan<br />
penandatanganan Akta Jual Beli, dimana Para<br />
Termohon Kasasi ternyata belum datang untuk<br />
menindaklanjuti Perdamaian dengan memproses Akta<br />
Jual Belinya masing-masing, meskipun telah diundang<br />
oleh Pemohon Kasasi, tetapi Para Termohon Kasasi<br />
yang tidak melaksanakan Perdamaian tersebut malah<br />
mengajukan pembatalan Perdamaian yang telah<br />
disepakati.<br />
81
Berdasarkan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI<br />
Nomor 638K/Sip/1969 tgl. 22 Juli 1970, Putusan<br />
Majelis Hakim tingkat pertama yang tidak<br />
mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi tersebut<br />
merupakan putusan yang kurang cukup<br />
dipertimbangkan, sehingga melanggar ketentuan hukum<br />
yang berlaku dan haruslah dibatalkan.<br />
d. Judex Facti melakukan kesalahan berat penerapan<br />
hukum mengenai Pembuktian.<br />
Pertimbangan putusan Majelis tingkat Pertama halaman<br />
37 alinea 1 dan 2:<br />
"Menimbang bahwa pertimbangan Majelis Hakim<br />
tersebut didasarkan pada bukti surat P-5 yang<br />
dikeluarkan oleh Departemen keuangan RI, Direktorat<br />
Jenderal Pajak menyatakan: "Surat Keterangan bebas<br />
pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final atas<br />
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau<br />
bangunan terhadap alamat Unit tanah dan/atau<br />
bangunan Taman Kebon Jeruk Blok L.1 Nomor 8;<br />
Menimbang bahwa demikian halnya terhadap bukti<br />
surat (P8, P8a s/d P8u) dan Termohon telah dan tetap<br />
membebankan PPh kepada Para Kreditur di mana<br />
82<br />
seharusnya biaya pengalihan hak, incasu PPh,
seharusnya para Kreditur dibebaskan dari pembayaran<br />
pajak Penghasilan atas tanah."<br />
Keberatan:<br />
Bahwa Majelis Pengadilan Niaga jelas melakukan<br />
kesalahan berat penerapan hukum, dengan mendasarkan<br />
putusannya atas Surat Bukti P5, P8, P8a s/d P8u dari<br />
Para Termohon Kasasi/Pemohon Pailit, yang seluruhnya<br />
merupakan fotokopi yang tidak dapat menunjukkan<br />
aslinya.<br />
Bahwa selain itu, seluruh bukti a quo bukan merupakan<br />
bukti transaksi Para Termohon Kasasi, melainkan<br />
merupakan bukti milik orang lain yang telah selesai<br />
melaksanakan Perdamaian dengan Pemohon Kasasi<br />
dengan penandatanganan Akta Jual Beli dengan baik<br />
tanpa keberatan/sengketa apapun, sehingga Para<br />
Termohon Kasasi merupakan pihak ketiga yang tidak<br />
memiliki Legal Standing untuk menggunakan bukti<br />
tersebut mendalilkan adanya wanprestasi Pemohon<br />
Kasasi;<br />
Bahwa dengan demikian, putusan Nomor.<br />
03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst.<br />
didasari bukti-bukti yang tidak sah, sehingga Putusan a<br />
quo haruslah dibatalkan.<br />
83
e. Judex Facti melakukan kesalahan penerapan hukum<br />
dengan mengabulkan tuntutan Wanprestasi oleh pihak<br />
ketiga yang tidak berhak.<br />
Pertimbangan Putusan Majelis Pengadilan Niaga<br />
halaman 34:<br />
"Menimbang, bahwa Pemohon dalam permohonannya<br />
bertanggal 1Juni 2010 mendalilkan Termohon Pailit PT<br />
lntercon Kebon Jeruk telah melanggar isi perjanjian<br />
perdamaian dan lalai melaksanakan apa yang ditetapkan<br />
dalam lampiran I Proposal Perdamaian tentang biaya<br />
peralihan hak yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan<br />
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku."<br />
Pertimbangan Putusan Majelis Pengadilan Niaga<br />
halaman 36 alinea terakhir:<br />
"Menimbang bahwa berdasarkan bukti P-7 yang dibuat<br />
aleh PT. Interkon Kebon Jeruk terhadap Blok L.1<br />
Nomor 8 telah membebankan dengan mencantumkan<br />
pembebanan biaya PPh sebesar Rp. 93.487.500,- kepada<br />
Suwarno Dicky Yusuf selaku Kreditur pembeli kavling<br />
Blok L 1/8 ..."<br />
84
Keberatan:<br />
Bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama keliru<br />
membatalkan permohonan pembatalan perdamaian yang<br />
diajukan oleh Para Termohon Kasasi atas dasar bukti P-<br />
7 untuk kavling Blok L1 No. 8 rnilik orang lain, yaitu<br />
Suwarno Dicky Yusuf (Bukan Pemohon Pailit), karena<br />
Para Termohon Kasasi tidak memiliki Kuasa atau<br />
“Illegal Standing" untuk bertindak mengatas namakan<br />
Suwarno Dicky Yusuf dan transaksi Suwarno Dicky<br />
Yusuf tidak dapat digunakan untuk keuntungan Para<br />
Termohon Kasasi;<br />
Bahwa pertimbangan Putusan a quo jelas melanggar<br />
Pasal 1340 KUHPerdata, yang menyatakan sbb:<br />
"Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang<br />
membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat<br />
membawa rugi pada pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak<br />
ketiga mendapat mandat karenanya ...";<br />
Bahwa apalagi, pihak ketiga Suwarno Dicky Yusuf<br />
tersebut sama sekali tidak ada sengketa wanprestasi atau<br />
klaim apapun terhadap Pemohon Kasasi, malah<br />
Perdamaian antara Pemohon Pailit dengan pihak ketiga<br />
85<br />
Suwarno Dicky Yusuf tersebut telah selesai
dilaksanakan dengan baik, dengan telah selesainya<br />
penandatanganan Akta Jual Beli;<br />
Bahwa dengan demikian, jelas Majelis Hakim<br />
Pengadilan Niaga telah melakukan pelanggaran hukum,<br />
sehingga putusan a quo haruslah dibatalkan.<br />
f. Judex Facti melanggar hukum kepailitan dengan<br />
membatalkan Perdamaian tanpa adanya Wanprestasi,<br />
bahkan melanggar hukum menganulir butir-butir<br />
Perdamaian yang telah disepakati dan dihomologasi.<br />
Bahwa Pemohon Kasasi keberatan atas pertimbangan<br />
putusan Majelis tingkat Pertama, halaman 36 Putusan:<br />
"Menimbang bahwa dari bukti surat P2 dihubungkan<br />
dengan bukti surat T3.b (berupa Lampiran I Proposal<br />
perdamaian) yang merupakan satu kesatuan dalam<br />
Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi dan<br />
oleh Termohon pailit telah lalai memenuhi isi<br />
perdamaian dalam hal: Adanya Termohon Pailit<br />
mewajibkan Pembayaran PPh dan;<br />
Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama, halaman<br />
38 alinea 1-2Putusan:<br />
"Menimbang bahwa dengan demikian Termohon Pailit<br />
telah tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 1.2 yaitu<br />
86<br />
tidak melaksanakan proposal perdamaian tanggal 1
April 2009, beserta lampiran I Proposal perdamaian<br />
khususnya pada angka Romawi I tentang biaya<br />
peralihan hak yang jumlahnya harus sesuai dengan<br />
ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhadap<br />
pembebanan jenis biaya PPh ...";<br />
Keberatan:<br />
Bahwa Majelis Hakim tingkat Pertama jelas keliru<br />
menyatakan Pemohon Kasasi telah lalai memenuhi isi<br />
perdamaian dengan mewajibkan pembayaran PPh;<br />
Bahwa pengenaan biaya PPh adalah tercantum dalam<br />
Perdamaian yang telah disepakati dalam voting (dengan<br />
suara setuju 98,35%) dan telah dihomologasi,<br />
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Proposal<br />
Perdamaian.<br />
Pasal 162 UUK menyatakan:<br />
"Perdamaian yang disahkan berlaku bagi semua<br />
Kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan,<br />
dengan tidak ada pengecualian, baik yang telah<br />
mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak”;<br />
Pasal 170 UUK menyatakan:<br />
1) Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu<br />
perdamaian yang telah disahkan, apabila Debitor<br />
lalai memenuhi isi perdamaian tersebut;<br />
87
2) Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian<br />
telah dipenuhi..."<br />
Jadi Perdamaian Pemohon Kasasi yang telah<br />
dihomologasi sah dan mengikat seluruh kreditur<br />
termasuk Para Termohon Kasasi dan berdasarkan Pasal<br />
170 Undang-Undang Kepailitan, satu-satunya alasan<br />
pembatalan perdamaian hanyalah adanya ingkar janji.<br />
Bahwa dengan demikian, butir-butir perdamaian yang<br />
telah disepakati, lebih-lebih telah dihomologasi, telah<br />
mengikat sebagai hukum, sehingga tidak dapat<br />
dibatalkan atas dasar alasan apapun;<br />
Dikuatkan Pasal1338 KUHPerdata:<br />
"Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku<br />
sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya;<br />
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali<br />
selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena<br />
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan<br />
cukup untuk itu; Persetujuan-persetujuan harus<br />
dilaksanakan dengan itikad baik";<br />
Para Termohon Kasasi mengajukan permohonan<br />
pembatalan Perdamaian, dengan alasan keberatan atas<br />
88<br />
butir-butir yang telah disepakati dalam Perdamaian,
yaitu keberatan mengenai butir biaya PPh, BPHTB<br />
(vide Lampiran I Perdamaian);<br />
Bahwa Para Termohon Kasasi mempersoalkan dan<br />
menolak jumlah besaran PPh 5% dari NJOP tahun<br />
transaksi jual beli dan menggunakannya sebagai alasan<br />
pembatalan Perdamaian, padahal ketentuan tarif<br />
tersebut jelas-jelas ditetapkan oleh Undang-Undang,<br />
bukan oleh Pemohon Pallit;<br />
Ketentuan Peraturan perUndang-Undangan mengenai<br />
jumlah PPh; Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 71 tahun<br />
2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan<br />
Pemerintah No. 48 tahun 1998 tentang Pembayaran<br />
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan<br />
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:<br />
1) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud<br />
dalam Pasal 2 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima<br />
persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas<br />
tanah dan/atau bangunan;<br />
2) Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam<br />
89<br />
ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai<br />
berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual<br />
Objek Pajak tanah dan/atau bangunan;
3) Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud<br />
90<br />
dalam ayat (2) adalah Nilai Jual Objek Pajak<br />
menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak<br />
Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan".<br />
Dasar hukum yang dijadikan dasar dalil Para<br />
Termohon Kasasi pun menggunakan bukti<br />
pelaksanaan butir-butir Perdamaian Milik Pembeli<br />
Lain, yang telah selesai Akta Jual Beli dengan baik<br />
tanpa sengketa, sehingga justru membuktikan bahwa<br />
Debitur telah melaksanakan/ memenuhi Perdamaian;<br />
Majelis Hakim dalam tingkat Pertama malah<br />
menganulir begitu saja Perdamaian atas permohonan<br />
sepihak Para Termohon Kasasi yang hanya sebagian<br />
kecil peserta Perdamaian (12 dari 206 kreditur,<br />
mewakili hanya 1% dari total tagihan), yang<br />
menolak tarif yang ditetapkan undang-undang,<br />
sehingga melanggar ketentuan Pasal 162 Undang-<br />
Undang Kepailitan jo. Pasal 170 Undang-Undang<br />
Kepailitan jo. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor.<br />
71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas<br />
Peraturan Pemerintah Nomor.48 Tahun 1998 tentang<br />
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan,<br />
karenanya putusan a quo haruslah dibatalkan.<br />
g. Judex Facti melakukan kesalahan berat mengenai<br />
Penerapan hukum dengan mencampuradukan Biaya<br />
Biro Jasa Pengurusan Sertifikat dengan biaya Sertifikat<br />
menurut Undang-Undang.<br />
Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama, halaman<br />
36 alinea 3 Putusan:<br />
"Menimbang bahwa dari bukti surat P2 dihubungkan<br />
dengan bukti surat T3.b. (berupa Lampiran I Proposal<br />
perdamaian) yang merupakan satu kesatuan dalam<br />
Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi dan<br />
oleh Termohon Pailit telah lalai memenuhi isi<br />
perdamaian dalam hal:<br />
Pembebanan biaya pengukuran yang tidak sesuai<br />
dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang<br />
berlaku";<br />
Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama, halaman<br />
37 alinea 3-5 Putusan:<br />
"Menimbang bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan<br />
apakah biaya pengukuran/pemecahan Sertifikat (Point<br />
3) dari Lampiran I Proposal Perdamaian sesuai bukti<br />
91<br />
T.3-b telah dilaksanakan sesuai Penetapan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) oleh Majelis Hakim<br />
mempertimbangkan sebagai berikut:<br />
Menimbang bahwa berdasarkan bukti surat (P-7a) oleh<br />
Termohon PT.Interkon Kebun Jeruk telah menerima<br />
uang sejumlah Rp 592.475.000,- dari Suwarno Dicky<br />
Yusuf adalah Kreditur Pembeli Kavling yang<br />
merupakan pihak dalam Perjanjian Perdamaian telah<br />
bersesuaian dengan bukti P-7 dimana telah terjadi<br />
penambahan biaya sebagaimana termaksud pada angka<br />
8 yang dibuat oleh Termohon berupa biaya<br />
perpanjangan SHGB dan jasa dan biaya denda<br />
keterlambatan perpanjangan SHGB dan jasa:<br />
Dengan Demikian:<br />
Berdasarkan bukti surat tersebut di atas telah nyata<br />
secara sederhana bahwa pelaksanaan perjanjian<br />
perdamaian telah terjadi penambahan biaya yang tidak<br />
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan<br />
yang dilakukan oleh PT.Interkon Kebun Jeruk yang<br />
merupakan kelalaian yang bersifat prinsip dan<br />
Eksepsional yang beralasan menurut hukum dituntut<br />
pembatalannya karena telah menyimpang dari lampiran<br />
I proposal perdamaian yang merupakan satu kesatuan<br />
dari perjanjian perdamaian tersebut."<br />
92
Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama, halaman<br />
38 alinea 1-2 Putusan:<br />
"Menimbang bahwa dengan demikian Termohon Pailit<br />
telah tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 1.2 yaitu<br />
tidak melaksanakan proposal perdamaian tanggal 1<br />
April 2009, beserta lampiran I Proposal perdamaian<br />
khususnya pada angka Romawi I tentang biaya<br />
peralihan hak yang jumlahnya harus sesuai dengan<br />
ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhadap<br />
pembebanan jenis biaya PPh dan Biaya<br />
pengukuran/pemecahan Sertifikat;<br />
Menimbang bahwa oleh karena Termohon Pailit (PT.<br />
Interkon Kebon Jeruk) telah tidak melaksanakan sesuai<br />
ketentuan peraturan perUndang-Undangan dengan<br />
membebani biaya yang tidak pernah diperjanjikan<br />
dengan kata lain telah membuat ketentuan sepihak. yang<br />
bertentangan atau melanggar ketentuan peraturan<br />
perundang-undangan, yang secara sepihak membuat<br />
ketentuan sehingga merupakan suatu perbuatan yang<br />
melanggar Undang-Undang maka kepada Termohon<br />
tidak dapat diberikan kelonggaran lagi memenuhi<br />
kewajibannya sebagaimana ditentukan Pasal 170 ayat<br />
93<br />
(3) UUK dan c PKPU dan akibat kelalaian yang
dllakukannya melakukan perbuatan yang bertentangan<br />
dengan undang-undang."<br />
Keberatan:<br />
Bahwa Majelis Hakim tingkat Pertama telah<br />
mencampuradukkan antara biaya<br />
pengukuran/pemecahan Sertifikat dengan biaya jasa<br />
pengurusan Sertifikat. Patut diketahui, bahwa setiap<br />
kreditur (206) pembeli kavling tanahnya spesifik dan<br />
berbeda-beda kategori dan kondisinya (vide Proposal<br />
Perdamaian). Karenanya biaya setiap kreditur sudah<br />
pasti berbeda-beda. Ada yang Sertifikatnya sudah<br />
berakhir sehingga harus diperpanjang, ada yang<br />
sertifikatnya belum terbit (masih girik), ada yang belum<br />
dipecah dari induk, ada yang haknya belum beralih dan<br />
lain-lain;<br />
Bahwa sebagian besar pembeli yang menindaklanjuti<br />
perdamaian tidak bersedia mengurus sendiri Sertifikat<br />
kavlingnya ke Kantor Pertanahan dan meminta pada<br />
Pemohon Kasasi agar urusan tersebut diserahkan saja<br />
pada Biro Jasa. Permintaan pembeli atas jasa<br />
pengurusan tersebut jelas menimbulkan konsekwensi<br />
biaya jasa pengurusan;<br />
94
Biaya jasa pengurusan tersebut sepenuhnya merupakan<br />
hak Biro Jasa atas permintaan pembeli sendiri, bukan<br />
biaya yang dipukulrata terhadap Pemohon Kasasi atau<br />
kreditur-kreditur lainnya. Pembeli Suwarno Dicky<br />
Yusuf termasuk yang meminta pengurusan Sertifikat<br />
dengan perantaraan Biro Jasa dan wajar karenanya<br />
membayar biaya jasa pengurusan tersebut;<br />
Para Termohon Kasasi belum datang mengurus Akta<br />
Jual Beli kavlingnya dan tidak memahami persoalan<br />
tersebut, secara keliru mencampuradukkan biaya jasa<br />
pengurusan Biro Jasa tersebut sebagai biaya Sertifikat.<br />
Sebagai pihak ketiga yang tidak berkaitan dengan<br />
Suwarno Dicky Yusuf, tanpa mengerti duduk persoalan<br />
Para Termohon Kasasi mendalilkan P-7 sebagai murni<br />
biaya Sertifikat;<br />
Biaya jasa pengurusan Biro Jasa Bukan Merupakan<br />
Obyek Perdamaian, karenanya tidak mungkin<br />
menimbulkan wanprestasi atas Perdamaian dan tidak<br />
dapat dijadikan alasan pembatalan Perdamaian;<br />
Dalil keliru pihak ketiga yang tidak mengerti persoalan<br />
tersebut malah diambil alih begitu saja oleh Majelis<br />
Hakim Tingkat Pertama, yang melakukan kesalahan<br />
95<br />
penerapan hukum mencampuradukkan biaya jasa
tersebut dengan biaya sertifikat dalam Perdamaian,<br />
karenanya jelas Putusan Judex Facti telah salah<br />
menerapkan hukum dan harus dibatalkan.<br />
h. Judex Facti melakukan kesalahan penerapan hukum<br />
menyatakan bukti Pemohon Kasasi sebagat Fotokopi.<br />
Pertimbangan Judex Facti, halaman 37 alinea terakhir:<br />
"Menimbang bahwa bukti-bukti yang diajukan (T4;<br />
96<br />
T5a; T5b; T5c1 s/d T5c-3; T5.d-1 s/d T5 d-3 ; T5-e-1<br />
s/d T5-E3; T5-Fl s/d T5-F2; T5-g1 ; T5 h; T5i-l s/d T5<br />
i-3 ; T5-j1 s/d T5-j2; T5-k1 s/d T5-k2 ; T5-L1 s/d T5-<br />
L3; dan T6;T7) karena hanya Foto Copy lagi pula bukti-<br />
bukti tersebut tidak dapat mendukung dalil bantahan<br />
Termohon tentang tidak adanya Penambahan biaya yang<br />
dilakukan dan sebaliknya menurut Majelis Hakim telah<br />
terjadi penambahan biaya yang tidak jelas dasar<br />
perhitungan yang dilakukan oleh Termohon."<br />
Keberatan:<br />
Bahwa Judex Facti jelas melakukan kesalahan<br />
menyatakan bukti-bukti Pemohon Kasasi a quo sebagai<br />
fotokopi;<br />
Persidangan tgl. 1 Juli 2010, PEMOHON KASASI telah<br />
mencocokkan bukti T-4 dengan aslinya;
97<br />
Persidangan tgl. 14 Juli 2010, Pemohon Kasasi telah<br />
mencocokkan bukti T-5a dan T-5b dengan aslinya;<br />
Persidangan tgl. 14 Juli 2010, Pemohon Kasasi telah<br />
mencocokkan bukti-bukti T-5.c.1 dan T5.c.2, T-5.d.1<br />
dan T-5.d.2, T-5.e.1 dan T-5.e.2, T-5.f.1 dan T-5.f.2, T-<br />
5.g.1 T-5.h, T-5.i.1 dan T-5.i.2,T-5.j.1 dan T-5.j.2, T-<br />
5.k.1, T-5.1.1 dan T-5.I.2 dengan bukti yang telah<br />
dilegalisir sesuai aslinya. Sedangkan bukti T-5 lainnya<br />
merupakan bukti KTP para pembeli yang telah selesai<br />
melaksanakan Perdamaian/Akta Jual Beli/bukti mana<br />
tidak mungkin Pemohon Kasasi memiliki aslinya karena<br />
asli KTP pasti dipegang oleh para pemiliknya;<br />
Bahwa Bukti P-6 dan P-7 bukan merupakan bukti fakta,<br />
tetapi hanya bukti referensi peraturan perundang-<br />
undangan mengenai PPh dan BPHTB (Undang-Undang<br />
Nomor. 20 tahun 2000 dan Undang-Undang No. 71<br />
Tahun 2008) yang aslinya ada pada Sekretariat Negara<br />
yang mengundangkan;<br />
Bahwa bukti-bukti a quo membuktikan bahwa Pemohon<br />
Kasasi selaku Debitur telah melaksanakan isi<br />
Perdamaian dengan para pembeli kavling sebagaimana<br />
disyaratkan Pasal 170 ayat (2) Undang-Undang
Kepailitan, sehingga permohonan pembatalan<br />
Perdamaian haruslah ditolak;<br />
Pasal 170 Undang-Undang Kepailitan menyatakan:<br />
1) Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu<br />
perdamaian yang telah disahkan, apabila Debitor<br />
lalai memenuhi isi perdamaian tersebut;<br />
2) Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian<br />
telah dipenuhi.<br />
i. Majelis Hakim tingkat pertama melakukan pelanggaran<br />
Pasal. 172 Undang-Undang Kepailitan dalam<br />
penunjukan Kurator.<br />
j. Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama halaman<br />
38 alinea terakhir dan halaman 39 alinea 1 Putusan:<br />
Menimbang bahwa oleh karena PT. Interkon Kebon<br />
Jeruk dinyatakan pailit, maka sesuai Pasal 15 ayat (1)<br />
UUK dan PKPU maka harus pula diangkat Kurator dan<br />
seorang Hakim Pengawas.<br />
Menimbang, bahwa dalam permohonannya oleh<br />
Pemohon telah bermohon dengan dalam putusan<br />
perkara ini ditunjuk dan diangkat saudara Soedeson<br />
Tandra, SH,MHum dan Drs. Joko Prabowo, SH,MH<br />
yang terdaftar di Departemen <strong>Hukum</strong> sebagai Kurator.<br />
Keberatan:<br />
98
2.2. Alasan Kasasi Pemohon II<br />
Bahwa Judex Facti dalam mempertimbangkan dan<br />
memutus mengenai Kurator, telah mengangkat Kurator<br />
baru: Soedeson Tandra, SH, Mhum dan Drs. Joko<br />
Prabowo, SH,MH, tanpa pertimbangan sama sekali<br />
mengenai Kurator Pemohon Kasasi saat pailit sebelum<br />
terjadi Perdamaian, Sdr. Yan Apul, SH., hal mana<br />
secara nyata telah melanggar ketentuan Pasal 172 UUK;<br />
Pasal 172 UUK ayat (1) dan (2):<br />
1) Dalam putusan pembatalan perdamaian<br />
diperintahkan supaya kepailitan dibuka kembali,<br />
dengan pengangkatan seorang Hakim Pengawas,<br />
Kurator dan anggota panitia kreditor apabila ...”.<br />
2) Hakim Pengawas, Kurator dan sebagaimana<br />
99<br />
dimaksud dalam ayat (1) sedapat mungkin diangkat<br />
dari mereka yang dahulu dalam kepailitan tersebut<br />
telah memangku jabatannya.<br />
Dengan demikian jelas Putusan Judex Facti merupakan<br />
putusan yang melanggar hukum dan harus dibatalkan.<br />
2.2.1. Para Pemohon Kasasi sangat kebertan terhadap<br />
Putusan Pailit untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan<br />
oleh karena itu menolak dengan tegas-tegas Putusan<br />
Judex Facti tersebut. Putusan Pailit terhadap PT.
100<br />
Interkon Kebon Jeruk adalah Putusan yang tidak adil<br />
bagi para pembeli kavling sebagai masyarakat.<br />
a. Putusan Pailit Majelis Hakim terhadap PT. Interkon<br />
Kebon Jeruk sama sekali tidak mencerminkan rasa<br />
keadilan. Putusan Judex Facti merupakan putusan yang<br />
tidak menggali, tidak mengikuti dan tidak memahami<br />
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam<br />
masyarakat, khususnya terhadap ..para pembeli kavling<br />
sebagai masyarakat yang merasakan dampak langsung<br />
kepailitan ini;<br />
b. Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan<br />
Kehakiman secara jelas mewajibkan hakim untuk<br />
menggali rasa keadilan masyarakat:<br />
“Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami<br />
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam<br />
masyarakat";<br />
c. Putusan Judex Facti telah melahirkan ketidakadilan bagi<br />
mayoritas pembeli kavling karena putusan tersebut telah<br />
membuat kekacauan dalam proses pelaksanaan<br />
Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi yang<br />
sudah disepakati sebelumnya oleh PT. lnterkon Kebon<br />
Jeruk dan kreditur;
101<br />
d. Kondisi kekacauan yang akan terjadi setelah PT.<br />
Interkon Kebon Jeruk pailit adalah para pembeli kavling<br />
yang sudah melaksanakan penandatanganan PPJB<br />
maupun Akta Jual Beli dengan PT. Interkon Kebon<br />
Jeruk dan telah membayar pajak-pajak namun sertifikat-<br />
sertifikatnya saat ini masih atas nama PT. Interkon<br />
Kebon Jeruk karena masih dalam proses di Badan<br />
Pertanahan Nasional, mau tidak mau harus kehilangan<br />
haknya karena tanah-tanah yang masih bersertifikat atas<br />
nama PT. Interkon Kebon Jeruk tersebut otomatis akan<br />
ditarik menjadi boedel pailit, untuk selanjutnya dilelang<br />
dan dibagikan secara pro rata kepada kreditur. Status<br />
Para Pembeli kavling akan berubah menjadi kreditur<br />
dan kehilangan hak atas tanah yang sudah dibelinya;<br />
e. Hal tersebut tidak adil karena pembeli kavling yang<br />
sudah melaksanakan perjanjian perdamaian bersama-<br />
sama dengan PT. Interkon Kebon Jeruk dipaksa hilang<br />
hak atas tanahnya dan akan menjadi setara dengan<br />
kreditur-kreditur yang belum melaksanakan perjanjian<br />
perdamaian (Para Pemohon Pailit);<br />
f. Para Pemohon Pailit hanya segelintir kreditur (12 orang)<br />
yang berlawanan pendapat dengan mayoritas kreditur,<br />
dimana 12 orang Pemohon melawan 194 pembeli
102<br />
kavllng (rasionya 1 % pembeli kavllng membatalkan<br />
perjanjian perdamaian yang mengakibatkan kurang<br />
lebih 99% kreditur termasuk pembeli kavling terampas<br />
haknya);<br />
g. Singkat kata Para Pemohon Pailit sendiri belum pernah<br />
melaksanakan kewajiban tetapi malah justru<br />
mempailitkan PT. Interkon Kebon Jeruk dan<br />
mengakibatkan pihak lain yang sudah melaksanakan<br />
kewajiban kehilangan haknya;<br />
h. Dengan demikian putusan Judex Facti tersebut<br />
bertentangan dengan kepentingan umum yang lebih<br />
tinggi dan jauh lebih besar yaitu hak-hak mayoritas<br />
pembeli kavling dan kreditur lain yang dirugikan<br />
dengan adanya kepailitan ini;<br />
Judex Facti sungguh telah lalai menggali rasa keadilan<br />
dalam masyarakat sebagaimana diwajibkan dalam Pasal<br />
28 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.<br />
Para pembeli kavling yang telah melaksanakan<br />
Perjanjian Perdamaian adalah masyarakat yang harus<br />
secara seksama diperhatikan oleh Judex Facti sebelum<br />
memutus perkara pailit ini, dengan adanya putusan<br />
pailit, akan terjadi ketidakadilan yang dialami oleh<br />
Pemohon Kasasi, yaitu:
103<br />
a) Adapun dengan tidak dimungkinkannya lagi<br />
perdamaian dalam kepailitan jilid kedua (pailit<br />
karena pembatalan perdamaian), maka berdasarkan<br />
Pasal 175 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, maka<br />
tanpa ampun seluruh aset atas nama Termohon Pailit<br />
akan dilelang untuk dibagikan kepada kreditur<br />
sehingga tidak ada harapan lagi kreditur bagi<br />
Pemohon Kasasi untuk memiliki tanah, padahal<br />
Pemohon Kasasi sudah melakukan PPJB lunas<br />
ataupun AJB dan telah rnembayar pajak PPh dan<br />
BPHTB;<br />
b) PPh dan BPHTB yang disetorkan kepada Negara<br />
tidak mungkin ditarik lagi sehingga Pemohon Kasasi<br />
kehilangan uangnya;<br />
c) Para Pemohon Pailit yang tidak pernah<br />
melaksanakan perjaniian perdamaian bisa duduk<br />
setara dengan Pemohon Kasasi sebagai pembeli<br />
kavling yang telah beritikad baik melaksanakan<br />
kewajibankewajiban berdasarkan perjanjian<br />
perdamaian (kreditur konkuren yang sama haknya).<br />
Kalaupun Termohon pailit tidak menyetujui<br />
proposal perdamaian atau ingin menawar-nawar<br />
biaya, harusnya dari awal saja mereka menunjukan
104<br />
diri sebagai pihak yang tidak menyetujui perjanjian<br />
perdamaian. Terkait dalam hal ini .mereka<br />
menyetujui perjanjian perdamaian, kemudian disaat<br />
para pembeli kavling lain sudah mulai melaksanakan<br />
perjanjian perdamaian, tiba-tiba mereka yang tidak<br />
melaksanakan perjanjian perdamaian membatalkan<br />
perjanjian perdamaian yang sudah dilaksanakan oleh<br />
sebagian pembeli kavling;<br />
d) Pemohon kasasi juga merasakan ketidakadilan<br />
dengan tidak adanya perlindungan hukum sebagai<br />
konsekuensi dari putusan pailit yang dibuat oleh<br />
Judex Facti. Pemohon kasasi sudah beritikad baik<br />
melaksanakan perjanjian perdamaian bersama<br />
dengan termohon pailit, tetapi kemudian di tengah<br />
jalan dibatalkan oleh pemohon pailit yang tidak<br />
pernah melaksanakan perianjian perdamaian.<br />
Pemohon Pailit mengalami tidak adanya<br />
perlindungan terhadap kreditur walaupun dia sudah<br />
melaksanakan kewajibannya sehubungan dengan<br />
perjanjian perdamaian tersebut. Apalagi kasus pailit<br />
ini diajukan oleh para kreditur yang belum<br />
melaksanakan perjanjian;
105<br />
e) Kalau Pemohon Pailit yang belum pernah<br />
melaksanakan perjanjian perdamaian tidak setuju<br />
terhadap perjanjian perdamaian yang telah<br />
dihomologasi dengan keinginan menawar-nawar<br />
biaya, maka seharusnya jangan menggunakan<br />
instrument Undang-Undang Kepailitan karena akan<br />
berdampak negatif terhadap kreditur-kreditur lain<br />
yang sudah menjalankan perjanjian perdamaian<br />
bersama Termohon Pailit;<br />
2.2.2. Judex Facti telah salah dalam Penerapan hukum atau<br />
melanggar hukum yang berlaku.<br />
a. Tidak adanya putusan sela atas permohonan intervensi;<br />
Atas intervensi yang diajukan oleh pemohon kasasi di<br />
tingkat pengadilan negeri, Hakim tidak pernah<br />
memberikan putusan sela atas intervensi yang diajukan;<br />
Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.<br />
305 K/Sip/1962 tgl. 9 Januari1962 dan Yurisprudensi<br />
MA RI No. 731 K/Sip/1975, tgl. 16 Desember 1976,<br />
maka atas permohonan intervensi tersebut harus<br />
dipertimbangkan dan diputus dalam suatu putusan sela;<br />
Tidak adanya putusan sela atas legal standing<br />
intervenient memiliki arti bahwa: "Majelis Hakim telah<br />
meIanggar hukum acara dan oleh karenanya putusan
106<br />
harus dibatalkan dan selain itu hal ini berarti Majelis<br />
Hakim mengabaikan eksistensi dan kepentingan kreditur<br />
lain (para pembeli kavling).<br />
b. Bukti Fotocopy menjadi dasar mempailitkan PT. Interkon Kebon<br />
Jeruk;<br />
Judex Facti masih mempertimbangkan bukti-bukti<br />
fotocopi yang diajukan oleh Termohon Kasasi/Pemohon<br />
Pailit, padahal bukti fotocopi tersebut bisa dikonfirmasi<br />
kebenarannya pada saat sidang , baik karena tidak ada<br />
aslinya maupun tidak ada bukti lainnya yang merujuk<br />
kebenaran fotocopi tersebut;<br />
Akibatnya adalah putusan pailit didasarkan pada<br />
dokumen yang tidak terkonfirmasi kebenarannya<br />
sehingga putusan tersebut telah merobek nilai-nilai<br />
kebenarannya;<br />
Hal ini sebenarnya telah menjadi pengetahuan umum di<br />
dalam hukumacara berdasarkan;<br />
Pasal 1888 KUHPerdata:<br />
"Kekuatan Pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada<br />
aktanya asli. Apabila akta yang asli itu ada maka salinan-<br />
salinan serta ikhtisarikhtisarhanyalah dapat dipercaya,<br />
sekedar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai<br />
dengan aslinya";
107<br />
Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI No. 3609<br />
K/Pdt/1985 tanggal 9 Desember 1987:<br />
"Surat bukti yang hanya berupa fotocopy dan tidak<br />
pernah ada surat aslinya oleh karena mana surat bukti<br />
tersebut harus dikesampingkan."<br />
Judex Facti yang mendasarkan pada bukti Fotocpy yang<br />
tidak terkonfirmasi kebenarannya adalah putusan yang<br />
melanggar hukum.<br />
c. Perjanjian Perdamaian sebagai Pactum Sunt Servanda tidak<br />
diakui;<br />
Majelis Hakim melanggar hukum karena tidak<br />
mempertimbangkan bahwa: pactum sunt servanda<br />
berlaku pada perdamaian yang disepakati juga oleh<br />
Termohon Kasasi/Pemohon Pailit dalam perjanjian<br />
perdamaian yang telah dihomologasi sudah jelas bahwa<br />
PT. Interkon Kebon Jeruk tidak mempunyai biaya untuk<br />
membayar PPh sehingga berdasarkan kesepakatan di<br />
Perjanjian Perdamaian, PPh tersebut ditanggung oleh<br />
pembeli;<br />
Lampiran 1 Proposal Perdamaian;<br />
Biaya Peralihan Hak yang harus dibayarkan oleh Kreditur<br />
meliputi biaya-biaya sebagai berikut:<br />
a) BPHTB (baik tanah maupun bangunan)
) PPh<br />
c) Biaya PengukuranlPemecahan Sertifikat<br />
d) dst .<br />
108<br />
Jadi, PPh yang ditanggung oleh pembeli dan telah<br />
disetorkan kepada negara bukanlah pengingkaran<br />
terhadap perjanjian perdamaian.<br />
2.3. Alasan Kasasi Pemohon III<br />
2.3.1. Judex Facti telah salah menerapkan hukum<br />
a. Putusan Judex Facti tidak menerapkan asas memuat<br />
dasar alasan yang jelas dan rinci.<br />
Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum karena<br />
dalam putusannya tidak memuat dasar alasan yang jelas<br />
dan rinci dalam mempertimbangkan eksepsi Termohon<br />
Pailit, Pemohon Intervensi I, Pemohon Intervensi II<br />
(sekarang Para Pemohon Kasasi), dan Pemohon<br />
Intervensi III. Bahwa dalam mengadili Judex Facti pada<br />
"Tentang Pertimbangan <strong>Hukum</strong>nya" sampai dengan<br />
amar putusan tidak terdapat pertimbangan hukum<br />
mengenai eksepsi Termohon Pailit, Pemohon Intervensi<br />
I, Pemohon Intervensi II (sekarang Para Pemohon<br />
Kasasi), dan Pemohon Intervensi III oleh karenanya<br />
putusan yang demikian haruslah dibatalkan. Bahwa<br />
Termohon Pailit, Pemohon Intervensi I, Pemohon
109<br />
Intervensi II (sekarang Para Pemohon Kasasi), dan<br />
Pemohan Intervensi III telah mengajukan Eksepsi<br />
Kompetensi Absolut, Eksepsi Kompetensi Relatif dan<br />
Eksepsi mengenai pokok perkara. Bahwa dalam UU No.<br />
37 Tahun 2004 memang tidak ada aturan khusus yang<br />
mengatur tentang penyelesaian eksepsi dalam perkara<br />
Niaga namun berdasarkan Pasal 299 UU No. 37 Tahun<br />
2004 menyebutkan "Kecuali ditentukan lain dalam<br />
Undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku<br />
adalah <strong>Hukum</strong> Acara Perdata". Judex facti seharusnya<br />
menyelesaikan eksepsi yang diajukan Termohon Pailit,<br />
Pemohon Intervensi I, Pemohon Intervensi II (sekarang<br />
Para Pemohon Kasasi), dan Pemohon Intervensi III<br />
menggunakan aturan Pasal 136 HIR. Berdasarkan Pasal<br />
136 HIR cara penyelesaian eksepsi lain diluar Eksepsi<br />
Kompetensi seharusnya diputus bersama-sama dalam<br />
Pokok Perkara. Dengan demikian, pertimbangan dan<br />
amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara<br />
dituangkan bersamaan secara keseluruhan dalam putusan<br />
akhir. (M. Yahya Harahap, S.H., 2006 hal. 428).<br />
b. Melanggar Ketentuan Formalitas Salinan Putusan.<br />
Bahwa salinan putusan yang dilakukan oleh Majelis a<br />
quo dalam perkara tersebut, yaitu dengan adanya 2 (dua)
110<br />
salinan putusan, yaitu putusan sela dan putusan akhir<br />
dalam satu nomor perkara yang sama, namun dengan<br />
pihak-pihak yang sangat berbeda. Bahwa dalam Putusan<br />
Sela, Majelis a quo mengkelompokkan pihak- pihak<br />
Pemohon Intervensi, dalam 3 (tiga) kelompok<br />
intervenient berdasarkan 3 (tiga) orang Kuasa <strong>Hukum</strong><br />
yang mengajukannya, yaitu:<br />
a) Pemohon Intervensi Kelompok I, terdiri dari : Octavia<br />
Widyastuti Alim, Drs. Abdul Salam, Trio Jono,<br />
Elisabeth Prayogo, Sajuri Kartika Isanto, Eddy<br />
Hartono, Yohanes Hartanto, Swanda Salim, Cornelia<br />
Tiosudarmin;<br />
b) Pemohon Intervensi Kelompok II, terdiri dari : Eddy<br />
Yuwono, Yanti Husada, Liliany Wihardjo, Indriyani,<br />
PT. Sari Kebon Jeruk Permai;<br />
c) Pemohon Intervensi Kelompok III, terdiri dari:<br />
Rainford Investment Inc.<br />
Padahal masing-masing Pemohon Intervensi, walaupun<br />
ada yang memberikan kuasa kepada orang yang sarna,<br />
haruslah dipandang sebagai pihak yang berdiri sendiri,<br />
bahkan surat kuasa yang diberikan juga berbeda-beda.<br />
Perlu diingat bahwa yang mengajukan Permohonan<br />
Intervensi bukanlah Kuasa <strong>Hukum</strong>, melainkan pihak
111<br />
yang berkepentingan, sedangkan Kuasa <strong>Hukum</strong> hanyalah<br />
mewakili pihak yang berkepentingan tersebut. Dengan<br />
demikian, seharusnya ada 15 (lima belas) Pemohon<br />
Intervensi dalam perkara ini, bukan hanya 3 Pemohon<br />
Intervensi. Bahwa keanehan dalam salinan putusan<br />
berlanjut, dengan Salinan Putusan akhir, yang bahkan<br />
tidak lagi mencantumkan ke-15 pihak Pemohon<br />
Intervensi tersebut sebagai pihak dalam perkara. Padahal<br />
dalil ke-15 Pemohon Intervensi telah diperiksa dan<br />
dipertimbangkan dalam Putusan Sela, dengan demikian<br />
ke-15 Pemohon Intervensi telah ikut masuk sebagai<br />
pihak dalam perkara. Dengan demikian, ada 2 (dua)<br />
salinan putusan dalam 1 (satu) perkara yang sama,<br />
namun memiliki pihak-pihak yang berbeda. Sesuai<br />
dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 130<br />
K/Sip/1952, tgl. 2 juli 1955, dinyatakan bahwa: "Putusan<br />
harus menyebut pihak-pihak yang berperkara”. Jelaslah<br />
bahwa Majelis Hakim a quo telah melakukan kesalahan<br />
berat dalam pertimbangannya dan dalam membuat<br />
salinan putusan dalam perkara a quo, oleh karenanya<br />
haruslah dibatalkan.<br />
c. Berkenaan dengan penerapan Pembuktian Secara<br />
Sederhana yang dipaksakan pemberlakuannya.
112<br />
Bahwa judex Facti telah salah dalam melaksanakan/<br />
menerapkan hukum yang berlaku, yakni berkenaan<br />
dengan penerapan Pembuktian Secara Sederhana<br />
sebagaimana dipersyaratkan oleh Undang-undang<br />
Nomor 37 tahun 2004. Bahwa permohonan pailit<br />
yang dilakukan oleh Termohon Kasasi didasarkan<br />
Pasal 170 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun<br />
2004. Sementara asas sederhana yang diterapkan<br />
dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004<br />
hanya berkenaan dengan Fakta adanya dua atau<br />
lebih kreditor dan fakta utang telah jatuh waktu dan<br />
tidak dibayar namun dalam pertimbangan hukumnya<br />
Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya untuk<br />
membuktikan Termohon Pailit melakukan<br />
wanprestasi atau tidak menggunakan asas<br />
pembuktian secara sederhana.<br />
d. Judex Facti telah salah melakukan penafsiran hukum<br />
terhadap keberadaan Perjanjian Perdamaian yang telah<br />
dihomologasi.<br />
Perjanjian Perdamaian adalah wujud semangat win-win<br />
solution. Bahwa perjanjian perdamaian yang telah<br />
disepakati adalah wujud semangat win-win solution, dimana<br />
para pihak yang berperkara berusaha untuk saling
113<br />
memberikan keuntungan dan menghindari terjadinya<br />
kerugian bagi salah satu pihak yang berperkara. Semangat<br />
kekeluargaan adalah motivasi yang sudah seharusnya<br />
dipupuk dan dipelihara dalam menyelesaikan suatu masalah<br />
terutama dalam lapangan hukum perdata.<br />
e. Melanggar ketentuan Pasal 172 Undang-Undang<br />
Nomor 37 Tahun 2004.<br />
Bahwa putusan Judex Facti yang mengangkat<br />
Soedeson Tandra, SH,MHum dan Drs. Joko Prabowo,<br />
SH,MH sebagai kurator melanggar ketentuan pasal 172<br />
UU No. 37 tahun 2004, sebagaimana dikutip, sebagai<br />
berikut: "(2) Hakim Pengawas, Kurator dan anggota<br />
panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedapat<br />
mungkin diangkat dari mereka yang dahulu dalam<br />
kepailitan tersebut telah memangku jabatannya";<br />
Bahwa sesuai dengan ketentuan tersebut, maka<br />
seharusnya Hakim Pengawas, Kurator dan anggota<br />
panitia kreditur diangkat dari mereka yang terdahulu<br />
memegang jabatan tersebut, kecuali tentu saja kalau ada<br />
halangan untuk itu; Judex Facti dalam putusannya,<br />
sama sekali tidak memberikan pertimbangan tentang<br />
apa alasannya tidak mengangkat Kurator yang lama,<br />
yaitu Sdr. Yan Apul, SH sebagai kurator. Memang
114<br />
benar, kewenangan untuk mengangkat Kurator ada<br />
pada Judex Facti. Namun kewenangan tersebut tidak<br />
boleh digunakan secara sewenangwenang, melainkan<br />
harus taat pada ketentuan hukum dan<br />
perundangundangan yang berlaku. Tidak ada alasan<br />
sama sekali kenapa Judex Facti tidak mengangkat<br />
kurator yang lama untuk menyelesaikan hal ini. Bahkan<br />
kurator yang lama, sama sekali tidak pernah dimintakan<br />
keterangan atau pendapat mengenai hal ini.<br />
f. Judex Facti telah melanggar asas-asas dalam Undang-<br />
Undang Nomor 37 Tahun 2004.<br />
Bahwa dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 37<br />
tahun 2004 dijelaskan bahwa Undang-undang<br />
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran<br />
Utang didasarkan pada beberapa asas:<br />
a) Asas Keseimbangan<br />
Bahwa asas keseimbangan dalam Undang-undang<br />
Nomor 37 tahun 2004 mengatur beberapa ketentuan<br />
yang merupakan perwujudan dari asas kesimbangan,<br />
yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat<br />
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan<br />
lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di<br />
lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah
115<br />
terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga<br />
kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.<br />
Pelanggaran yang dilakukan oleh judex facti jelas<br />
ternyata dengan diabaikannya penyalahgunaan<br />
pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang<br />
tidak bertikad baik yang dalam perkara a quo adalah<br />
Termohon Kasasi. Bahwa faktanya berdasarkan<br />
Proposal Perdamaian tanggal 1 April 2009 (Vide<br />
Bukti PI.II-2), Pemohon Pailit (kecuali Heny<br />
Anwari) merupakan sebagian kecil dari 206 Kreditor<br />
Termohon Pailit (Vide Bukti PI.II-3), yang artinya<br />
masih banyak kreditor lain yang bersedia tunduk<br />
untuk tetap dilakukannya perjanjian perdamaian.<br />
Fakta dan nyata bahwa itikad tidak baik Termohon<br />
Kasasi dilakukan dengan cara memanfaatkan<br />
Suwarno Dicky Yusuf untuk melakukan AJB atas<br />
tanah yang telah dibelinya sampai dengan<br />
selesainya/diterimanya sertipikat Hak Guna<br />
Bangunan atas nama Suwarno Dicky Yusuf. Dalam<br />
perjalanannya Termohon Kasasi menggunakan<br />
momentum atas biaya-biaya yang dikeluarkan dan<br />
disepakati oleh Suwarno Dicky Yusuf untuk<br />
pengurusan Akta Jual Beli dan sertifikasi
116<br />
(pengurusan sertipikat Hak Guna Bangunan) sebagai<br />
suatu bentuk wanprestasi Termohon Pailit terhadap<br />
Perjanjian Perdamaian dengan dalil bahwa biaya-<br />
biaya tersebut tidak terdapat dalam Proposal<br />
Perdamaian yang merupakan bagian tidak<br />
terpisahkan dari Perjanjian Perdamaian yang telah<br />
dihomologasi. Faktanya biaya-biaya yang<br />
dikeluarkan oleh Suwarno Dicky Yusuf benar-benar<br />
digunakan untuk pengurusan Akta Jual Beli dan<br />
pembuatan Sertipikat Hak Guna Bangunan dan<br />
proses sertifikasi sudah selesai dengan keluarnya<br />
Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor.<br />
7643/Srengseng, Sertipikat Hak Guna Bangunan<br />
Nomor. 7644/ Srengseng, dan Sertipikat Hak Guna<br />
Bangunan Nomor.7682/Srengseng (Vide Bukti PI.II-<br />
7a s/d PI.II-7c). Jika memang jika biaya-biaya yang<br />
dibebankan kepada Suwarno Dicky Yusuf<br />
melanggar ketentuan yang berlaku dan Perjanjian<br />
Perdamaian seharusnya dengan diawali itikad baik<br />
Suwarno Dicky Yusuf meminta pengembalian dari<br />
Termohon Pailit. Judex Facti seharusnya<br />
mempertimbangkan adakah perbuatan melawan<br />
hukum yang dilakukan oleh Termohon pailit
117<br />
terhadap Termohon Kasasi berkaitan dengan biaya-<br />
biaya yang dituduhkan oleh Termohon Kasasi.<br />
b) Pelanggaran terhadap asas Kelangsungan Usaha<br />
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 terdapat<br />
ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor<br />
yang prospektif tetap dilangsungkan. Perjanjian<br />
Perdamaian yang telah dihomologasi dicapai secara<br />
susah payah dengan mendatangkan investor asing<br />
(Pemohon Intervensi III) dengan maksud dan tujuan<br />
agar kelangsungan hidup Termohon Pailit tetap<br />
terjaga. Namun Judex Facti sama sekali tidak<br />
mempertimbangkan efek positif dan negatif dari<br />
dipailitkannya kembali Termohon Pailit. Judex Facti<br />
tidak mempertimbangkan keberadaan Kreditor lain<br />
yang jauh lebih banyak jumlahnya. Undang-Undang<br />
Nomor. 37 Tahun 2004 dibentuk bukan untuk<br />
mematikan dunia usaha namun untuk memberikan<br />
kepastian hukum agar Kreditor secara hukum<br />
mendapatkan jaminan terhadap piutang-piutangnya<br />
dengan dibuka peluang adanya penundaan<br />
pembayaran utang.
c) Pelanggaran terhadap asas Keadilan.<br />
118<br />
Terkait dalam kepailitan asas keadilan mengandung<br />
pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan<br />
dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang<br />
berkepentingan. Dalam pertimbangan hukumnya<br />
halaman 36 judex facti menyatakan sebagai berikut<br />
"Menimbang bahwa berdasarkan bukti P-7 yang<br />
dibuat oleh PT. Interkon Kebon Jeruk terhadap Blok<br />
L 1 Nomor 8 telah membebankan dengan<br />
mencantumkan pembebanan biaya PPh sebesar Rp.<br />
93.487.500,- kepada Suwarno Dicky Yusuf selaku<br />
Kreditur pembeli kavling Blok L.1/8 hal mana telah<br />
bertentangan dengan Lampiran / proposal<br />
perdamaian (Bukti T3-b) dimana seharusnya<br />
Termohon Pailit tidak membebankan atau<br />
mengembalikan biaya PPh yang tidak sesuai dengan<br />
ketentuan perundangan yang berlaku berdasarkan<br />
akta perdamaian. Bahwa kalimat: "dimana<br />
seharusnya Termohon Pailit tidak membebankan<br />
atau mengembalikan biaya PPh yang tidak sesuai<br />
dengan ketentuan perundangan yang berlak." terlihat<br />
jelas jika judex facti memberikan alternative putusan<br />
hukum yaitu dengan kalimat " atau mengembalikan
119<br />
biaya PPh yang tidak sesuai dengan ketentuan<br />
perundangan yang berlaku". Haruskah Termohon<br />
Pailit dinyatakan pailit Hanya Lantaran Terdapat<br />
Kelebihan Biaya-Biaya ?? Alangkah lebih arif dan<br />
bijaksana jika Termohon Pailit diberikan<br />
kesempatan untuk mengembalikan biaya-biaya<br />
tersebut sebagai amanah Undang-Undang Nomor.<br />
37 Tahun 2004 Pasal 170 ayat (3) yang<br />
menyebutkan: "Pengadilan berwenang memberikan<br />
kelonggaraan kepada Debitor untuk memenuhi<br />
kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari<br />
setelah putusan pemberian kelonggaran diucapkan".<br />
Pelanggaran judex facti jelas dan nyata sebenarnya<br />
bisa diputusakan alternative yang lebih solutif yaitu<br />
dengan memberikan kelonggaran untuk<br />
Mengembalikan Kelebihan Biaya Yang Telah<br />
Dibayarkan Oleh Suwarno Dicky Yusuf Kepada<br />
Termohon Pallit. Jika Judex Facti mau memberikan<br />
kelonggaran kepada Termohon Pailit tentu Tidak<br />
Merugikan Kreditur Lain Termasuk Kreditur Yang<br />
Mengajukan Permohonan Pailit. Terlepas dari alasan<br />
tersebut di atas jika diberikan kelonggaran lebih<br />
bermanfaat oleh karena pada dasarnya tujuan
120<br />
Putusan adalah: Keadilan, Kepastian <strong>Hukum</strong> Dan<br />
Kemanfaatan.<br />
d) Pelanggaran terhadap asas Integrasi;<br />
Asas integritas dalam Undang-Undang Nomor. 37<br />
Tahun 2004 mengandung pengertian bahwa system<br />
hukum formil dan hukum materiilnya merupakan<br />
satu kesatuan yang utuh dari system hukum perdata<br />
dan hukum acara perdata nasional. Pelanggaran<br />
Judex Facti terhadap hukum formil dan materiil<br />
secara keseluruhan ditunjukkan/hal-hal yang<br />
merupakan alasan-alasan kasasi dari Pemohon<br />
Kasasi.<br />
3.1.2. Judex Facti telah lalai memenuhi syarat-syarat yang<br />
diwajibkan oleh peraturan perUndang-Undangan.<br />
a. Amar putusan tidak mencantumkan mengenai<br />
ditolaknya Eksepsi dan diterima atau tidaknya<br />
Permohonan Intervensi.<br />
Permohonan Pailit diajukan Pemohon<br />
Pailit/Termohon Kasasi pada tanggal 01 Juni 2010<br />
yang deregister oleh Pengadilan Niaga pada<br />
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.0 3/Pembatalan<br />
Perdamaian/ 2010/ PN.Niaga.Jkt.Pst.<br />
Sidang pertama pada tanggal 14 Juni 2010;
121<br />
Pada tanggal 30 Juni 2010 Pemohon Intervensi<br />
Il/Pemohon Kasasi mengajukan intervensi yang pada<br />
saat itu agenda persidangan adalah Pembuktian dari<br />
Pihak Pemohon Pailit;<br />
Pada tanggal 01 Juli 2010 agenda sidang pembuktian<br />
dari Termohon Pailit dan Pemohon Intervensi;<br />
Pada tanggal 05 Juli 2010 pengajuan bukti Eksepsi<br />
Kompetensi Absolut dari pihak-pihak yang<br />
mengajukan Eksepsi Kompetensi Absolut termasuk<br />
Pemohon Kasasi;<br />
Pada tanggal 14 Juli 2010 pembacaan Putusan Sela<br />
terhadap Eksepsi Kompetensi Absolut bukan tanggal<br />
07 Juli 2010 sebagaimana disebutkan dalam putusan<br />
halaman 2;<br />
Bahwa Putusan Sela tersebut hanya mengenai<br />
kompetensi absulut saja. Bahwa faktanya dalam<br />
Putusan Judex Facti sama sekali tidak menyebutkan<br />
tentang ditolak/diterimanya eksepsi dan Permohonan<br />
Intervensi. Hal tersebut melanggar asas bahwa amar<br />
putusan mesti dirinci sebagaimana putusan<br />
Mahkamah Agung Nomor 698 K/Sip/1969. Bahwa<br />
selanjutnya, judex facti juga telah melakukan<br />
kesalahan berat dalam penerapan hukum acara, karena
122<br />
tidak membuat pertimbangan tentang diterima atau<br />
ditolaknya permohonan intervensi yang diajukan oleh<br />
ke-15 Pemohon Intervensi tersebut.<br />
b. Bahwa Judex Facti sama sekali tidak memberikan<br />
pertimbangan hukum terhadap eksepsi yang diajukan<br />
oleh Pemohon Intervensi II untuk Eksepsi<br />
Permohonan Pembatalan Perdamaian yang diajukan<br />
adalah Prematur.<br />
3.1.3. Judex Facti telah melampaui batas wewenang.<br />
Bahwa pertimbangan hukum yang demikian adalah<br />
pertimbangan hukum yang keliru dan karenanya Judex<br />
Facti telah nyata-nyata melampaui batas<br />
kewenangannya dengan alasan sebagai berikut:<br />
Tuntutan tentang adanya wanprestasi adalah bukan<br />
persoalan sederhana yang memerlukan pembuktian yang<br />
lebih teliti. Bahwa konsep utama pembuktian secara<br />
sederhana digunakan manakala hanya jika dilihat secara<br />
fakta dengan bukti tertulis saja sudah bisa menunjukkan<br />
bahwa gugatan/permohonan adalah benar secara hukum.<br />
Konsep pembuktian secara sederhana lebih tepat kepada<br />
perkara-perkara voluntair yang tidak melibatkan banyak<br />
pihak sehingga pemeriksaannya dapat dilakukan dengan<br />
acara cepat; Pembuktian secara sederhana yang dianut oleh
123<br />
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 hanya digunakan<br />
pada saat permohonan pailit yang pertama sehingga<br />
pemeriksaannya tunduk kepada Pasal 8 ayat (4) Undang-<br />
undang Nomor 37 Tahun 2004. Perkara a quo permohonan<br />
pailit yang diajukan oleh termohon kasasi adalah didasarkan<br />
pada tuduhan wanprestasi terhadap Perjanjian Perdamaian.<br />
Hubungan hukum antara Termohon Pailit dengan Pemohon<br />
Pailit adalah hubungan hukum yang diwadahi oleh<br />
perjanjian. Alangkah lebih tepat jika pembuktian dilakukan<br />
dengan acara biasa yang dilakukan oleh Pengadilan Umum<br />
(masuk dalam ranah perkara perdata biasa).<br />
3.1.4. Termohon Pailit tidak terbukti lalai dalam melaksanakan<br />
Perjanjian Perdamaian.<br />
Bahwa judex facti dalam mengabulkan Permohonan Pailit<br />
atas dasar Termohon Pailit telah lalai dengan membebankan<br />
PPh kepada Pemohon Pailit adalah keliru dengan alasan<br />
sebagai berikut:<br />
a. Tidak ada pembayaran PPh dari Pemohon Pailit untuk<br />
Pembebanan PPh. Bukti yang diajukan berkaitan dengan<br />
Pembebanan PPh yaitu Bukti P-7a yang hanya ditujukan<br />
Kepada Suwarno Dicky Yusuf. Bukan Bukti pembayaran<br />
Pemohon Pailit;
124<br />
Bahwa pertimbangan hukum judex facti halaman 37 yang<br />
menyebutkan: "Menimbang bahwa demikian halnya<br />
terhadap bukti surat (P8, P8a s/d P8u) oleh Termohon<br />
telah dan tetap membebankan PPh kepada Kreditor<br />
dimana seharusnya biaya pengalihan hak incasu PPh<br />
seharusnya para Kreditur dibebaskan dari pembayaran<br />
Pajak Penghasilan hak atas tanah, Adalah Pertimbangan<br />
<strong>Hukum</strong> Yang Keliru Karena Bukti P8.P8a s/d P8u Hanya<br />
Berupa Foto Copy Saja oleh karena kekuatan<br />
pembuktiannya adalah terletak pada aslinya (Pasal 1888<br />
KUHPerdata);<br />
2.4. Alasan Pemohon Kasasi IV<br />
Putusan Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat Nomor<br />
03/Pembatalan Perdamaian 2010/PN.Niaga.JKT.PST., tgl. 28<br />
Juli 2010 harus dibatalkan karena bertentangan dengan<br />
hukum, tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak cukup<br />
pertimbangannya, karena sama sekali tidak<br />
mempertimbangkan dalil-dalil pemohon intervensi,<br />
sebagaimana diuraikan, sebagai berikut:<br />
2.4.1. Melanggar Ketentuan Formalitas Salinan Putusan.<br />
Bahwa secara kasat mata terlihat dengan jelas kesalahan<br />
berat dalam penerapan formalitas salinan putusan yang<br />
dilakukan oleh Majelis a quo dalam perkara tersebut, yaitu
125<br />
dengan adanya 2 (dua) salinan putusan, yaitu putusan sela<br />
dan putusan akhir dalam satu nomor perkara yang sama,<br />
namun dengan pihak-pihak yang sangat berbeda.<br />
2.4.2. Tidak ada pertimbangan mengenai permohonan<br />
Intervensi dan sama sekali tidak mempertimbangkan<br />
dalil dan bukti para pemohon Intervensi.<br />
Bahwa selanjutnya, Majelis Hakim a quo juga telah<br />
melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum acara,<br />
karena tidak membuat pertimbangan tentang diterima atau<br />
ditolaknya permohonan intervensi yang diajukan oleh ke-15<br />
Pemohon Intervensi tersebut. Bahwa Putusan Sela tanggal<br />
14 Juli 2010 hanya mengenai kompetensi absolut saja, sama<br />
sekali tidak memutus apakan permohonan intervensi untuk<br />
bergabung dalam perkara a quo diterima atau ditolak.<br />
2.4.3. Melanggar <strong>Hukum</strong> Acara Pembuktian.<br />
Bahwa putusan perkara a quo harus dibatalkan karena<br />
telah melanggar ketentuan tentang <strong>Hukum</strong> Acara<br />
Pembuktian. Hampir seluruh bukti yang diajukan oleh<br />
Para Termohon Kasasi/Pemohon Pailit adalah bukti-bukti<br />
toto copy yang tidak dikuatkan oleh keterangan saksi,<br />
Karenanya tidak memenuhi ketentuan hukum untuk<br />
dipertimbangkan sebagai alat bukti yang sah.
126<br />
2.4.4. Pertimbangan didasarkan pada alat bukti milik orang<br />
lain.<br />
Bahwa Majelis Hakim a quo dalam pertimbangannya,<br />
mempertimbangkan bahwa bukti P-7, P-5, dan P-7a, yaitu<br />
dengan mempertimbangkan bukti tersebut, yang memuat<br />
Majelis Hakim a quo merupakan bukti pelanggaran atas<br />
Akta Perdamaian karena telah membebankan biaya PPh<br />
tidak sesuai ketentuan PerUndang-undangan yang berlaku<br />
ternyata merupakan bukti-bukti atas nama Suwarno Dicky<br />
Yusuf yang tidak merupakan pihak dalam perkara ini.<br />
Lagipula, Suwarno Dicky Yusuf juga tidak pernah<br />
dihadirkan sebagai sakasi dalam perkara ini.<br />
2.4.5. Melanggar Ketentuan Pasal 172 Undang-Undang<br />
Nomor 37 Tahun 2004.<br />
Majelis a quo dalam putusannya, sama sekali tidak<br />
memberikan pertimbangan tentang apa alasannya tidak<br />
mengangkat Kurator yang lama, yaitu Sdr. Yan Apul, SH<br />
sebagai kurator. Memang benar, kewenangan untuk<br />
mengangkat Kurator ada pada Majelis Hakim a quo.<br />
Namun, kewenangan tersebut tidak boleh digunakan<br />
secara sewenangwenang, melainkan harus taat pada<br />
ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku;<br />
Tidak ada alasan sama sekali kenapa Majelis Hakim a quo
127<br />
tidak mengangkat kurator yang lama untuk menyelesaikan<br />
hal ini. Bahkan kurator yang lama, sama sekali tidak<br />
pernah dimintakan keterangan atau pendapat mengenai hal<br />
ini.<br />
2.4.6. Judex Facti telah melanggar asas-asas dalam Undang-<br />
Undang Nomor 37 Tahun 2004.<br />
a. Melanggaran terhadap asas Keseimbangan<br />
b. Melanggaran terhadap asas Kelangsungan Usaha<br />
c. Melanggar terhadap asas Keadilan<br />
d. Melanggar terhadap asas Integrasi<br />
3. Pertimbangan <strong>Hukum</strong> Hakim Mahkamah Agung<br />
3.1. Menimbang,bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah<br />
Agung berpendapat:<br />
Mengenai alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi I, II, III dan<br />
IV. Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena<br />
Judex Facti/Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat<br />
dalam putusannya yang mengabulkan permohonan Pemohon<br />
seluruhnya sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau melanggar<br />
hukum yang berlaku, sebab:<br />
Perkara ini adalah mengenai tuntutan pembatalan atas<br />
perdamaian yang telah disahkan oleh karena debitor lalai memenuhi<br />
isi perdamaian tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 170 (1)<br />
Undang-Undang Kepailitan dan dalam perkara seperti itu debitur
128<br />
wajib membuktikan bahwa perdamaian telah ia penuhi in casu Debitur<br />
wajib membuktikan bahwa Debitor/ Termohon Pailit tidak<br />
membebankan biaya PPh kepada Kreditor tidak ada penambahan<br />
biaya perpanjangan SHGB, jasa dan denda keterlambatan atas<br />
perpanjangan dimaksud sebagaimana tertuang dalam Lampiran 1 dan<br />
2 Proposal Perdamaian (P.2, P.5, P.7, P.7a, P.8, P.8a s/d P.8u, T.2,<br />
T.3b), akan tetapi ternyata di persidangan Debitor/Termohon Pailit<br />
tidak dapat membuktikan tentang tidak adanya penambahan biaya<br />
dimaksud, bahkan sebaliknya sesuai bukti-bukti tersebut di atas telah<br />
terbukti adanya penambahan biaya tersebut yang melanggar isi<br />
perjanjian perdamaian dimana debitor in casu termohon pailit telah<br />
lalai memenuhi isi perdamaian tesebut.<br />
3.2. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,<br />
ternyata bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan Niaga pada<br />
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan<br />
dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi<br />
yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: PT. Interkon Kebon Jeruk<br />
Cs tersebut harus ditolak;<br />
3.3. Menimbang. bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para Pemohon<br />
Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi ditolak, maka<br />
para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi<br />
harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi<br />
ini; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 37 Tahun
4. Putusan<br />
129<br />
2004, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang<br />
Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan<br />
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan<br />
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-<br />
undangan lain yang bersangkutan.<br />
4.1. Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: I. PT.<br />
Interkon Kebon Jeruk, Ii. 1. Octavia Widyastuti Alim, 2. Elisabeth<br />
Prayogo, 3. Swanda Salim, 4. Yohanes Hartanto, 5. Eddy Hartono, 6.<br />
Drs. Abdul Salam, 7. Cornelia Tiosudarmin, 8. Trio Jono, 9. Ratna E<br />
Jl Tobing, 10. Hedy Yani, 11. Lina Gozali, 12. Liliani Wihardjo, 13.<br />
Meyliana Susanti Hirawan, 14. Herawati Santoso, 15. Sherwin A.<br />
Surja Atmadja, 16. Drg. Lizza Christina, 17. Waluyo Hadi P, 18.<br />
Sajuri Kartika Isanto, 19. Megahartawan Santoso, 20. Lingga Iswara,<br />
21. Bong Mei Tjen, 22. The Sui An, 23. Savina Gozali, Iii. 1. Eddy<br />
Yowono, 2. Yanti Husada, 3. Liliany Wihardjo, 4. Indriyani Dan Iv.<br />
Rainford Investment Inc.<br />
4.2. Menghukum para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit, para Pemohon<br />
Intervensi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini<br />
sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
B. PEMBAHASAN<br />
1. Penerapan <strong>Hukum</strong> Hakim Mahkamah Agung dalam menolak<br />
permohonan kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam<br />
Perkara Perdata Khusus Kepailitan<br />
130<br />
Pengadilan Niaga sebagai extra ordinary court, oleh Undang-<br />
undang Nomor 37 Tahun 2004 diberikan hal-hal khusus yang merupakan<br />
lex specaialis. Antara lain mengenai upaya hukum. Sebagai speedy trial,<br />
terhadap putusan pailit, orang yang tidak puas dapat mengajukan upaya<br />
hukum. 42<br />
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004:<br />
“Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas<br />
permohonan pernyataan pailit adalah Kasasi ke Mahkamah<br />
Agung.”<br />
Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004:<br />
“Permohonan Kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan<br />
yang dimohonkan Kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan<br />
kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan<br />
pernyataan pailit”.<br />
Dasar hukum Pengadilan Kasasi yang dilakukan oleh<br />
Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a Undang-undang<br />
Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 tahun 2009 yang berbunyi:<br />
“Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan<br />
pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan<br />
42 Syamsudin M.Sinaga, <strong>Hukum</strong> Kepailitan Indonesia, 2012, Tata Nusa, Jakarta, hal.115.
131<br />
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali<br />
Undang-Undang menentukan lain”.<br />
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang-undang<br />
Nomor 5 tahun 2004 Pasal 30 ayat 1 tentang Mahkamah Agung yang<br />
menyebutkan secara limitatif alasan-alasan Permohonan Kasasi yaitu:<br />
a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang<br />
Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini<br />
tendens kepada kompetensi relatif (relatieve competentie) dan<br />
kompetensi absolut (absolute competentie). Konkretnya, yudex facti<br />
incasu pengadilan niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU<br />
tersebut seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya<br />
tentang Judex factie tidak berwenang/bukan merupakan<br />
kewenangannya.Sedangkan alasan kasasi disebabkan judex facti<br />
melampaui batas wewenang adalah bahwa Judex Facti telah<br />
mengadili tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan<br />
dalam Undang-undang. Kemudian, melampaui batas wewenang ini<br />
dapat juga di artikan bahwa judex facti dalam putusannya telah<br />
mengabulkan lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam surat<br />
gugatannya.<br />
b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku<br />
Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara<br />
sederhana adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum<br />
acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat
132<br />
dari penerapan hukum yang berlaku. Sedangkan melanggar<br />
hukum tendens kepada penerapan hukum itu sendiri tidak dapat, salah<br />
dan tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan seharusnya yang<br />
digariskan oleh Undang-undang.<br />
c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan<br />
43 Loc.Cit.<br />
perundang undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya<br />
putusan yang bersangkutan.<br />
Doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-<br />
syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang<br />
mengancam kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim<br />
disebut dengan istilah melalaikan persyaratan formal (formalities),<br />
sehingga diancam pula kebatalan formal (formele nietigheid) atau<br />
( formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo lebih jauh menegaskan<br />
bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh hakim<br />
dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah<br />
Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya<br />
perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada<br />
pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak. 43<br />
Menurut Yahya Harahap, terdapat beberapa pertimbangan<br />
yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam menolak permohonan<br />
Kasasi yaitu:
133<br />
1) Permohonan Kasasi memenuhi syarat formil, tetapi keberatan<br />
kasasi tidak memenuhi kriteria;<br />
2) Keberatan Kasasi yang diajukan tidak tunduk pada Pemeriksaan<br />
Kasasi;<br />
3) Penolakan Kasasi dengan Perbaikan Putusan Judex Facti. 44<br />
Syarat Formil yaitu dalam perkara ini Permohonan para Kasasi<br />
Pemohon Kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan<br />
kepada pihak lawan yang dengan saksama, diajukan dalam tenggang<br />
waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang.<br />
Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata khusus Kepailitan<br />
dengan Nomor Register Perkara 771 K/ Pdt.Sus/2010 ditemukan<br />
sebuah fakta dalam perkara ini dapat dilihat dalam pertimbangan<br />
hakim pengadilan niaga bahwa sesudah putusan terakhir ini dijatuhkan<br />
dengan hadirnya termohon pailit dan para pemohon intervensi pada<br />
tanggal 28 Juli 2010 kemudian terhadapnya oleh termohon pailit dan<br />
para pemohon intervensi dengan perantara kuasanya, berdasarkan<br />
surat kuasa khusus tanggal 2 Agustus 2010 dan tanggal 30 Juli 2010,<br />
diajukan permohonan Kasasi secara lisan pada tanggal 4 Agustus<br />
2010 dan tanggal 5 Agustus sebagaimana ternyata dari akte<br />
permohonan kasasi Nomor 54/Kas/Pembatalan<br />
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 03/Pembatalan<br />
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst yang dibuat oleh Panitera<br />
44 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemerisaan Kasasi dan Peninjauan<br />
Kembali Perkara Perdata, 2007, Sinar Grafika, Jakarta, hal.393-396.
134<br />
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan<br />
mana disertai dengan Memori Kasasi yang memuat alasan-alasan yang<br />
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri<br />
Jakarta Pusat tersebut pada tanggal 4 Agustus 2010 dan tanggal 5<br />
Agustus 2010;<br />
Bahwa setelah itu oleh Pemohon Pailit yang pada tanggal 9<br />
Agustus 2010 telah diberitahukan tentang Memori Kasasi dari para<br />
Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi diajukan jawaban<br />
Memori Kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada<br />
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 6 Agustus 2010;<br />
Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004:<br />
“Permohonan Kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan<br />
yang dimohonkan Kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan<br />
kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan<br />
pernyataan pailit”.<br />
Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo<br />
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3<br />
Tahun 2009<br />
“ Permohonan Kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara<br />
tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama<br />
yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14<br />
(empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan<br />
yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon.”<br />
Menimbang, bahwa permohonan Kasasi a quo beserta alasan-<br />
alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama,<br />
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan
135<br />
dalam Undang-undang maka oleh karena itu permohonan Kasasi<br />
tersebut Formil dapat diterima.<br />
Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata khusus<br />
Kepailitan dengan Nomor Register Perkara 771 K/ Pdt.Sus/2010<br />
ditemukan sebuah fakta dalam perkara ini mengenai keberatan yang<br />
diajukan para pemohon Kasasi mengajukan alasan Kasasi sebagai<br />
berikut:<br />
a) Majelis <strong>Hukum</strong> Pengadilan Niaga dalam memutus perkara telah<br />
melakukan beberapa kesalahan penerapan hukum dan melanggar<br />
yang berlaku diantaranya: judex facti melakukan pelanggaran<br />
berat hukum acara mengenai Intervensi, tidak mempertimbangkan<br />
Eksepsi Pemohon Kasasi, tentang Pembuktian (Foto copy dan<br />
Pembuktian sederhana), judex facti mengabulkan tuntutan<br />
wanprestasi oleh pihak ketiga yang tidak berhak, judex facti tidak<br />
menerapkan asas memuat dasar alasan yang lebih rinci,<br />
melanggar ketentuan Formalitas Salinan Putusan, judex facti<br />
salah melakukan penafsiran hukum terhadap Perjanjian<br />
Perdamaian yang telah dihomologasi;<br />
b) Para pemohon Kasasi sangat keberatan terhadap Putusan Pailit<br />
untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan oleh karena itu menolak<br />
dengan tegas-tegas Putusan judex facti tersebut karena Putusan<br />
terhadap Pailit terhadap PT. Interkon Kebon Jeruk adalah Putusan<br />
yang tidak adil bagi para pembeli kavling sebagai masyarakat;
136<br />
c) Judex Facti melanggar ketentuan Pasal 172 Undang-Undang<br />
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kurator;<br />
d) Judex Facti melanggar asas-asas dalam Undang-Undang Nomor.<br />
37 Tahun 2004;<br />
e) Judex Facti lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh<br />
peraturan perUndang-undangan yaitu didalam amar Putusan tidak<br />
mencantumkan mengenai ditolaknya Eksepsi dan diterima atau<br />
tidaknya Permohonan Intervensi;<br />
f) Judex Facti telah melampaui batas wewenang.<br />
Bahwa pertimbangan-pertimbangan yang diajukan oleh para<br />
pemohon kasasi jelas terlihat memenuhi syarat formil dan syarat<br />
materiil dikabulkannya permohonan kasasi. Syarat materiilnya dapat<br />
dilihat dalam pertimbangan-pertimbangan alasan mengajukan<br />
permohonan kasasi sudah memenuhi kriteria sebagaimana termaktub<br />
dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung.<br />
Berdasarkan alasan yang diajukan oleh para pemohon kasasi, Hakim<br />
Mahkamah Agung memberikan pertimbangan yaitu:<br />
Menimbang, bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,<br />
oleh karena judex facti/pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri<br />
Jakarta Pusat dalam putusannya yang mengabulkan permohonan<br />
Pemohon seluruhnya sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau<br />
melanggar hukum yang berlaku, sebab perkara ini adalah mengenai<br />
tuntutan pembatalan atas perdamaian yang telah disahkan oleh karena
137<br />
debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut sebagaimana diatur<br />
dalam Pasal 170 (1) Undang-Undang Kepailitan dan dalam perkara<br />
seperti itu debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah ia<br />
penuhi in casu debitur wajib membuktikan bahwa debitor/ termohon<br />
Pailit tidak membebankan biaya PPh kepada Kreditor tidak ada<br />
penambahan biaya perpanjangan SHGB (Sertipikat Hak Guna<br />
Bangunan), jasa dan denda keterlambatan atas perpanjangan dimaksud<br />
sebagaimana tertuang dalam Lampiran 1 dan 2 Proposal Perdamaian<br />
(P.2, P.5, P.7, P.7a, P.8, P.8a s/d P.8u, T.2, T.3b), akan tetapi ternyata<br />
di persidangan Debitor/Termohon Pailit tidak dapat membuktikan<br />
tentang tidak adanya penambahan biaya dimaksud, bahkan sebaliknya<br />
sesuai bukti-bukti tersebut di atas telah terbukti adanya penambahan<br />
biaya tersebut yang melanggar isi perjanjian perdamaian dimana<br />
Debitor in casu Termohon Pailit telah lalai memenuhi isi perdamaian<br />
tesebut.<br />
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,<br />
ternyata bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan Niaga pada<br />
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan<br />
dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi<br />
yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: PT. Interkon Kebon Jeruk<br />
Cs tersebut harus ditolak;<br />
Menimbang. bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para<br />
Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi
138<br />
ditolak, maka para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para<br />
Pemohon Intervensi harus dihukum untuk membayar biaya perkara<br />
dalam tingkat kasasi ini; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-<br />
Undang Nomor 37 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 48 Tahun<br />
2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang<br />
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan<br />
perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 serta<br />
peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.<br />
Pasal 170 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004<br />
(1) Kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaianyang telah<br />
disahkan apabila Debitur lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.<br />
(2) Debitur wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi.<br />
(3) Pengadilan berwenang memberikan kelonggaran kepada Debitur<br />
untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari<br />
setelah putusan pemberian kelonggaran tersebut diucapkan.<br />
Bahwa perjanjian perdamaian antara Pemohon Pailit dan<br />
Termohon Pailit yang telah disahkan berdasarkan putusan Nomor<br />
027/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST jo No. 21 K/N/2006 jo No.<br />
019 PK/N/2006tertanggal 29 April 2010 (terlampir, Bukti P-2);<br />
Bahwa isi Perjanjian Perdamaian tersebut di atas yang telah<br />
dilanggar oleh Termohon Pailit sebagai berikut:<br />
“ Pasal 1.2 Perjanjian Perdamaian menyebutkan: Para pihak setuju<br />
bahwa perdamaian sebagaimana dimaksud dalam PasaI 1.1. akan
139<br />
dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang<br />
tercantum dalam Proposal Perdamaian tertanggal 1 April 2009,<br />
beserta Lampiran I Proposal Perdamaian dan Surat dari PT. Interkon<br />
Kebon Jeruk (dalam Pailit) tertanggal 1 April 2009. Seluruh dokumen<br />
tersebut terlampir dalam Lampiran 2 Perjanjian ini”.<br />
Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tercantum Biaya Peralihan<br />
Hak antara lain:<br />
(1) BPHTB dengan jumlah pembayaran sesuai ketentuan peraturan<br />
perundang-undangan yang berlaku;<br />
(2) PPh dengan jumlah pembayaran sesuai dengan ketentuan<br />
peraturan perundang-undangan yang berlaku;<br />
(3) Biaya Pengukuran/Pemecahan Sertifikat sesuai dengan penetapan<br />
Badan Pertanahan Nasional (BPN);<br />
PasaI 2 Perjanjian Perdamaian menyebutkan:<br />
(1) Pihak Pertama akan melakukan pembangunan infrastruktur, di<br />
antaranya pembangunan sarana dan prasarana jalan, taman,<br />
pemeliharaan saluran air serta pembangunan fasilitas umum dan<br />
fasilitas sosial di lingkungan Perumahan Taman Kebon Jeruk dan<br />
pemeliharaan kebersihan dan keamanan;<br />
(2) Pembangunan infrastruktur akan dimulai setelah perjanjian ini<br />
ditandatangani dan dihomologasi oleh Pengadilan Negeri/Niaga<br />
Jakarta Pusat.
140<br />
Bahwa dalam pelaksanaan isi perdamaian tersebut ternyata debitor<br />
lalai melaksanakan apa yang ditetapkan dalam proposal perdamaian,<br />
sebagai berikut:<br />
(1) Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tercantum Biaya<br />
Peralihan Hak antara lain:<br />
1) BPHTB dengan jumlah pembayaran sesuai ketentuan peraturan<br />
perundang-undangan yang berlaku; Berdasarkan ketentuan<br />
Pasal 5 Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea<br />
Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan menyebutkan tarif<br />
BPHTB sebesar 5%, namun dalam pelaksanaan perjanjian<br />
perdamaian tersebut ternyata Pihak Termohon Pailit dikenakan<br />
tarif BPHTB lebih dari apa yang ditentukan oleh undang-<br />
undang;<br />
Hal mana dapat dibuktikan dari Akta Jual Beli yang dibuat<br />
setelah Perjanjian Perdamaian oleh Termohon Pailit dengan<br />
salah satu pihak yang terikat dalam Perjanjian Perdamaian.<br />
Adapun dalam Akta Jual Beli No. 8/2009 (terlampir, Bukti P-<br />
3) dan No. 9/2009 (terlampir, Bukti P-4) tanggal 4 November<br />
2009 yang dibuat di hadapan Sri Ambarwati, SH., Notaris<br />
PPAT di Jakarta antara Termohon Pailit dengan Suwarno<br />
Dicky Yusuf disebutkan bahwa jual beli dilakukan atas<br />
Kavling Blok L. No.8 dengan harga seluruhnya Rp.<br />
60.750.000,- (enam puluh juta tujuh ratus lima puluh ribu
141<br />
rupiah) sesuai Perikatan Untuk Menjual dan Membeli Tanah di<br />
Taman Kebon Jeruk yang dibuat secara di bawah tangan<br />
bermeterai cukup tertanggal 19 April 1996 di bawah nomor:<br />
SPP/TKJ/00831.85/IV/96. Namun, dalam perincian<br />
perhitungan yang diberikan oleh Termohon Pailit atas Kavling<br />
Blok L.1 No. 8 (terlampir, Bukti P-5) dikenakan Biaya BPHTB<br />
sebesar Rp. 90.487.500,- (sembilan puluh juta empat ratus<br />
delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) Iebih dari 150%<br />
dari nilai obyek jual beli). Hal mana pengenaan biaya BPHTB<br />
tersebut di atas merupakan pelanggaran dari Perjanjian<br />
Perdamaian karena telah melebihi apa yang ditentukan dalam<br />
undang-undang;<br />
2) PPh dengan jumlah pembayaran sesuai dengan ketentuan<br />
peraturan perundang-undangan yang berlaku; Berdasarkan<br />
ketentuan Undang-undang No. 38 Tahun 2008 tentang Pajak<br />
Penghasilan yang berlaku menetapkan bahwa PPh tidak<br />
dikenakan kepada Pemohon Pailit selaku Pembeli tetapi<br />
terhadap Termohon Pailit selaku Penjual yang menerima<br />
penghasilan, namun dalam pelaksanaan perjanjian perdamaian<br />
tersebut ternyata Pihak Pemohon Pailit yang harus<br />
menanggung PPh tersebut tanpa perincian perhitungan yang<br />
sesuai dengan undang-undang tentang PPh; Hal mana dapat<br />
dibuktikan dari Akta Jual Beli yang dibuat setelah Perjanjian
142<br />
Perdamaian oleh Termohon dengan salah satu pihak yang<br />
terikat dalam Perjanjian Perdamaian. Dalam Akta Jual Beli No.<br />
8/2009 terlampir, Bukti P-3) dan No. 9/2009 (terlampir, Bukti<br />
P-4) tanggal 4 November 2009 yang dibuat di hadapan Sri<br />
Ambarwati, SH., Notaris PPAT di Jakarta antara Termohon<br />
Pailit dengan Suwarno Dicky Yusuf disebutkan bahwa jual beli<br />
dilakukan atas Kavling Blok L.1 No. 8 dengan harga<br />
seluruhnya Rp. 60.750.000,- (enam puluh juta tujuh ratus lima<br />
puluh ribu rupiah) sesuai Perikatan Untuk Menjual dan<br />
Membeli Tanah di Taman Kebon Jeruk yang dibuat secara di<br />
bawah tangan bermeterai cukup tertanggal 19 April 1996 di<br />
bawah nomor: SPP/TKJ/00831.85/IV/96. Namun, dalam<br />
perincian perhitungan yang diberikan oleh Termohon Pailit<br />
atas Kavling Blok L.1 No. 8 (terlampir Bukti P-5) dikenakan<br />
Biaya PPh sebesar Rp. 93.487.500,- (sembilan puluh tiga juta<br />
empat ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) (Iebih<br />
dari 150 % dari nilai obyek jual beli). Hal mana pengenaan<br />
Biaya PPh tersebut di atas merupakan pelanggaran dari<br />
Perjanjian Perdamaian karena telah melebihi apa yang<br />
ditentukan dalam undang-undang;<br />
3) Biaya Pengukuran/Pemecahan Sertifikat sesuai dengan<br />
penetapan Badan Pertanahan Nasional (BPN); Dalam<br />
pelaksanaan perjanjian perdamaian tersebut ternyata Pihak
143<br />
Pemohon Pailit harus menanggung biaya-biaya yang tidak<br />
tercantum dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tersebut.<br />
Selain itu biaya-biaya yang dikenakan tersebut tanpa perincian<br />
perhitungan apakah sesuai dengan penetapan Badan<br />
Pertanahan Nasional (BPN) atau penetapan oleh Termohon<br />
Pailit sendiri;<br />
Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian butir/poin (3) hanya<br />
tercantum biaya pengukuran/pemecahan sertifikat sesuai<br />
penetapan BPN. Namun, dalam perincian perhitungan yang<br />
diberikan oleh Termohon Pailit atas Kavling Blok L.1 No. 8<br />
(terlampir, Bukti P-5) dikenakan selain biaya pengukuran/<br />
pemecahan sertifikat, juga biaya jasa, yang meliputi biaya<br />
balik nama dan jasa, biaya perpanjangan SHGB dan jasa, biaya<br />
keterlambatan perpanjangan SHGB dan jasa. Adapun dalam<br />
pengurusan kavling tersebut di atas ternyata dikenakan:<br />
1. Biaya Balik Nama dan Jasa sebesar Rp. 27.000.000,- (dua<br />
puluh tujuh juta rupiah);<br />
2. Biaya Perpanjangan SHGB dan Jasa sebesar Rp.<br />
56.250.000,- (lima puluh enam juta dua ratus limapuluh ribu<br />
rupiah);<br />
3. Biaya Denda Keterlambatan Perpanjangan SHGB dan jasa<br />
sebesar Rp. 40.500.000,- (empat puluh juta lima ratus ribu<br />
rupiah);
144<br />
Hal mana pengenaan biaya-biaya tersebut di luar apa yang<br />
secara tegas sudah dinyatakan dalam Lampiran I Proposal<br />
Perdamaian yaitu: hanya biaya pengukuran/pemecahan<br />
sertifikat sesuai penetapan BPN, tanpa tambahan biaya<br />
apapun;<br />
Hal ini jelas-jelas merupakan pelanggaran dari Perjanjian<br />
Perdamaian yang dilakukan dengan sengaja dan itikadburuk<br />
dari Termohon Pailit;<br />
4) Menurut ketentuan Pasal 2 Perjanjian Perdamaian disebutkan<br />
Termohon Pailit selaku Pihak Pertama akan melakukan<br />
pembangunan infrastruktur, di antaranya pembangunan sarana<br />
dan prasarana jalan, taman, pemeliharaan saluran air serta<br />
pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial di lingkungan<br />
Perumahan Taman Kebon Jeruk dan pemeliharaan kebersihan<br />
dan keamanan yang akan dimulai setelah perjanjian<br />
iniditandatangani dan dihomologasi oleh Pengadilan<br />
Negeri/Niaga Jakarta Pusat;<br />
Kenyataannya setelah perjanjian perdamaian ditandatangani<br />
dan dihomologasi oleh Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat,<br />
Termohon Pailit tidak memulai pembangunan infrastruktur<br />
yang dijanjikan tersebut. Hal mana dapat dibuktikan jalan-jalan<br />
berbatu tidak diaspal, sungai/kali yang terdapat dalam<br />
perumahan Interkon Kebon Jeruk sudah dalam keadaan kritis
145<br />
akan ambruk tidak dikerjakan oleh Termohon Pailit, meskipun<br />
sudah diberitahukan secara lisan dan tertulis kepada<br />
Termohon. Hal mana dengan terpaksa para Pemohon Pailit<br />
bersama warga yang lain harus mencari upaya sendiri<br />
memperbaikinya dan menanggulangi biaya yang dikeluarkan<br />
untuk perbaikan infrastruktur tersebut secara gotong royong<br />
bersama-sama (terlampir, Buktl P-6);<br />
5) Bahwa kelalaian atas pelaksanaan isi perjanjian perdamaian<br />
oleh Termohon Pailit bukan merupakan keterlambatan<br />
pelaksanaan, melainkan bersifat pelanggaran hukum/undang-<br />
undang yang sengaja dibuat Termohon Pailit dengan<br />
menggelembungkan biaya-biaya yang seharusnya tidak<br />
ditanggung pemohon pailit;<br />
Hal mana jelas-jelas terbukti sangat merugikan para pihak<br />
yang terkait dalam perjanjian perdamaian khususnya para<br />
pembeli kavling perumahan Interkon Kebon Jeruk oleh<br />
karenanya tidak dapat ditolerir lagi, sehingga Termohon Pailit<br />
layak dan patut dipailitkan karena telah melanggar perjanjian<br />
perdamaian;<br />
6) Bahwa para Pemohon Pailit selaku pihak terkait, dalam<br />
perjanjian perdamaian merupakan pihak yang harus dilindungi<br />
oleh hukum karena Termohon Pailit telah melanggar perjanjian<br />
perdamaian sehingga Para Pemohon Pailit berhak memohon
146<br />
agar Termohon Pailit dipailitkan sehingga kepentingan Para<br />
Pemohon Pailit dapat dilaksanakan oleh Pengadilan dengan<br />
seadil-adilnya;<br />
Para Pemohon Pailit sangat berkeberatan dengan pengenaan<br />
biaya-biaya yang ditetapkan di luar isi perjanjian perdamaian<br />
dengan sengaja dan itikad buruk dari Termohon Pailit,<br />
sehingga Para Pemohon Pailit merasa diperas, ditindas oleh<br />
Termohon Pailit dengan biaya-biaya yang sangat besar,<br />
digelembungkan, dimanipulasi, di luar ketentuan undang-<br />
undang, yang dikenakan kepada para Pemohon Pailit untuk<br />
mendapatkan hak-hak atas tanahnya kembali berdasarkan<br />
Perikatan untuk Menjual dan Membeli Tanah di Taman Kebon<br />
Jeruk yang ditandatangani oleh Pemohon Pailit dengan<br />
Termohon Pailit (dahulu PT. Intercon Enterprises). (Bukti P-<br />
7).<br />
Perkara ini hakim Mahkamah Agung menilai bahwa Debitur<br />
lalai memenuhi isi perjanjian sebagaimana termaktub dalam Pasal 170<br />
ayat (1) dan akibatnya Debitur dinyatakan Pailit. Berdasarkan hasil<br />
penelitian dapat dilihat bahwa Hakim Mahkamah Agung dalam<br />
menolak permohonan Kasasi tidak dapat dibenarkan.<br />
Menurut Pasal 170 (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007:
147<br />
“Kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang<br />
telah disahkan apabila Debitur lalai memenuhi isi perdamaian<br />
tersebut”.<br />
Berdasarkan faktanya yang mengajukan permohonan<br />
pembatalan perdamaian adalah Horas Panjaitan , S.H (Kuasa <strong>Hukum</strong><br />
Pemohon Pailit). Akan tetapi Horas Panjaitan, S.H sama sekali tidak<br />
memiliki wewenang mengajukan permohonan pembatalan tersebut hal<br />
ini dapat dilihat dalam Putusan Nomor 027/Pailit/2006/PN.<br />
Naga/Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 jo Nomor 019 PK/N/2006<br />
tanggal 29 April 2009. Bahwa dalam Surat Kuasanya tidak disebutkan<br />
secara tegas dan spesifik mengenai permohonan pembatalan. Bahwa<br />
benar Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan<br />
“Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah<br />
disahkan apabila debitor lalai memenuhi isi perjanjian tersebut”.<br />
Bahwa ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004<br />
tetaplah harus berpedoman pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37<br />
Tahun 2004 yang menyatakan “Debitor yang mempunyai dua atau<br />
lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang<br />
telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan<br />
Pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri<br />
maupun ataspermohonan satu atau lebih Kreditor”;<br />
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, SH. dalam bukunya <strong>Hukum</strong><br />
Kepailitan, menyatakan sebagai berikut: “Sangatlah penting diketahui
148<br />
mengenai apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu<br />
apabila seseorang atau suatu badan hukum bermaksud mengajukan<br />
permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga. Syarat-syarat<br />
tersebut perlu diketahui karena apabila permohonan Kepailitan tidak<br />
memenuhi syarat-syarat tersebut, maka Permohonan tersebut tidak<br />
akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga;<br />
Bahwa syarat tersebut terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-<br />
Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu:<br />
“ Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak<br />
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo<br />
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan<br />
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas<br />
permohonan satu atau lebih krediturnya”.<br />
Bahwa syarat tersebut sifatnya limitative dan harus dipenuhi<br />
seluruhnya.<br />
Berdasarkan faktanya:<br />
1) Syarat paling sedikit harus ada 2 (dua) Kreditor;<br />
Sekilas syarat ini terpenuhi oleh karena Tommy Bungaran, Cs<br />
merupakan Kreditor dalam Perjanjian Perdamaian Sesuai dengan<br />
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat<br />
No. 027/PAILIT/2006/PN.NIAGA.JKT.PST. jo. No. 21<br />
K/N/2006, jo No. 019 PK/N/2006 tanggal 29 April 2009 (Kecuali<br />
Heny Anwari), namun demikian Pemohon Pailit tidak mempunyai<br />
legal standing untuk mengajukan Permohonan Pailit sebagaimana<br />
telah diuraikan dalam Eksepsi Pemohon Intervensi;
2) Syarat harus adanya hutang;<br />
149<br />
Bahwa Pemohon Pailit mengajukan Permohonan Pailit<br />
mendasarkan pada kelalaian Termohon Pailit terhadap Perjanjian<br />
Perdamaian Sesuai dengan Putusan Pengadilan Niaga pada<br />
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 027/Pailit/2006/PN.Niaga jo<br />
No. 21 K/N/2006, jo. No. 019 PK/N/2006 tanggal 29 April 2009<br />
dengan alasan pada pokoknya:<br />
1. Termohon Pailit telah membebani BPHTB, PPh, dan Biaya<br />
Pengukuran/Pemecahan Sertifikat kepada Suwarno Dicky<br />
Yusuf yang menurut Pemohon Pailit melanggar lampiran<br />
Perjanjian Perdamaian. (Kesemuanya dituduh melanggar<br />
peraturan yang berlaku);<br />
2. Termohon Pailit tidak membangun infrastruktur;<br />
Bahwa alasan-alasan tersebut di atas bukanlah termasuk dalam<br />
kategori hutang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang<br />
Nomor 37 tahun 2004. Sama sekali tidak ada hubungan hutang<br />
pihutang antara Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit;<br />
Syarat harus adanya hutang sarna sekali tidak terpenuhi dalam alasan<br />
Permohonan Pailit yang diajukan Pemohon Pailit. Bahwa oleh karena<br />
syarat harus adanya hutang tidak terbukti maka "Syarat hutang harus<br />
telah jatuh waktu dan dapat ditagih" dan "Syarat cukup satu hutang<br />
saja telah jatuh waktu dan dapat ditagih" otomatis tidak perlu<br />
dibuktikan atau pasti tidak terpenuhi;
150<br />
Bahwa dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat Permohonan<br />
Pailit sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang<br />
Nomor 37 Tahun 2004, cukup alasan untuk menolak. permohonan<br />
pailit dari Pemohon Pailit atau setidaknya menyatakan tldak dapat<br />
diterima.<br />
2. Akibat hukumnya, terhadap kasasi yang ditolak dalam perkara<br />
Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara Perdata Khusus Kepailitan.<br />
Akibat kepailitan diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan<br />
yaitu meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit<br />
diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Kepailitan<br />
mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan segala “hak<br />
perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah<br />
dimasukan ke dalam harta pailit. Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan<br />
dan bukan mengenai perorangan debitur, ia tetap dapat melaksanakan<br />
hukum kekayaan yang lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan<br />
orang tua (ouderlijke macht). Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan<br />
debitur. Debitur tidak berada di bawah pengampuan. Debitur tidaklah<br />
kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum itu<br />
menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut<br />
pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Diperolehnya itu<br />
kemudian menjadi bagian dari harta pailit. 45<br />
45 Sutan Remy Sjahdeny, Loc.Cit.
151<br />
Debitur pailit tetap berwenang bertindak sepenuhnya, akan tetapi<br />
tindakan-tindakannya tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah<br />
disita. 46 Menurut Pasal 24 Undang-Undang Kepailitan, dengan pernyataan<br />
pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan<br />
mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan, terhitung sejak<br />
tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari<br />
pernyataan itu sendiri. Pasal 69 ayat (1) menerangkan bahwa kuratorlah<br />
yang berwenang melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit,<br />
dengan demikian, kurator kehilangan hak menguasai harta yang masuk<br />
dalam kepailitan, dan tidak kehilangan hak atas harta kekayaan yang berada<br />
di luar kepailitan. Tentang harta pailit, lebih lanjut dalam Pasal 21 Undang-<br />
Undang Kepailitan menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta<br />
kekayaan debitur, yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan serta<br />
semua kekayaan yang diperolehnya selama kepailitan.<br />
Apabila Kepailitan dibuka kembali, maka berlaku Pasal 17 ayat (1),<br />
Pasal19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan pasal-pasal yang termaktub dalam<br />
bagian kedua, bagian ketiga dan bagian keempat BAB II Undang-Undang<br />
ini. Demikian pula berlaku ketentuan mengenai pencocokan piutang terbatas<br />
pada piutang yang belum dicocokan. Wlaupun demikian Kreditur yang<br />
piutangnya telah dicocokan wajib dipanggil juga untuk menghadiri rapat<br />
pencocokan piutang dan berhak untuk membantah piutang yang dimintakan<br />
penerimaannya (Pasal 173 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004).<br />
46 Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan<br />
Harta Pailit, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004. hal.44.
152<br />
Pasal 174 menentukan bahwa: “Dengan tidak mengurangi berlakunya<br />
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44, apabila ada alasan untuk itu,<br />
semua perbuatan yang dilakukan oleh Debitur di dalam waktu antara<br />
pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali Kepailitan adalah<br />
mengikat bagi harta pailit”.<br />
Setelah Kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat lagi ditawarkan<br />
perdamaian. Kurator wajib seketika memualai dengan pemberesan harta<br />
pailit (Pasal 175 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004).<br />
Bila kepailitan dibuka kembali, harta pailit dibagi anatara para<br />
Kreditur dengan cara:<br />
a. Jika Kreditur lama maupun Kreditur baru belum mendapat pembayaran,<br />
hasil penguangan harta pailit di bagi antara mereka secara prorata;<br />
b. Jika setelah terjadi pembayaran sebagian piutang kepada Kreditur lama,<br />
maka Kreditur lama dan Kreditur baru berhak menerima pembayaran<br />
sesuai dengan presentase yang telah disepakati dalam perdamaian;<br />
c. Kreditur lama dan Kreditur baru berhak memperoleh pembayaran secara<br />
prorata atas sisa harta pailit setelah setelah dikurangi pembayaran<br />
sebagaimana dimaksud pada huruf b samapai dipenuhinya seluruh<br />
piutang yang diakui.<br />
Kreditur lama yang telah memperoleh pembayaran tidak diwajibkan<br />
untuk mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya (Pasal 176<br />
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Yang dimaksud dengan “prorata”<br />
adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
sedangkan yang dimaksud “sebagian” adalah bagian berapapun (Penjelasan<br />
Pasal 176 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004).<br />
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 berlaku mutatis<br />
mutandis dalam hal Debitur sekali lagi dinyatakan Pailit. 47<br />
Perkara perdata mengenai kepailitan yang dimohonkan kasasi oleh<br />
para pemohon dalam faktanya ditolak dengan mempertimbangkan bahwa<br />
alasan-alasan para Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena<br />
153<br />
judex facti / Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam<br />
perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang.<br />
Terkait dalam perkara ini Hakim Mahkmah Agung dalam<br />
pertimbangan hukumnya menolak permohonan kasasi para pemohon kasasi<br />
sehingga dalam perkara ini Putusan judex facti/ Pengadilan Niaga pada<br />
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung<br />
Republik Indonesia. Akibat <strong>Hukum</strong> dari ditolaknya Permohonan Kasasi<br />
yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi yaitu PT. Interkon Kebon Jeruk<br />
Cs mengakibatkan bahwa PT.Interkon Kebon Jeruk Pailit. Akibat keputusan<br />
pailit tersebut seluruh harta kekayaan PT.Interkon Kebon Jeruk diserahkan<br />
kepada Kurator sebagaimana termaktub dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-<br />
Undang Nomor 34 Tahun 2007 dan dibawah pengawasan hakim pengawas.<br />
Hakim pengawas memiliki peranan yang sangat penting, peranan itu mulai<br />
berlaku setelah di ucapkan putusan pernyataan pailit. Hakim pengawas<br />
47 Ibid, hal.171
154<br />
mengawasi pekerjaan Kurator dalam rangka melakukan tugas pengurusan<br />
dan pemberesan.
A. SIMPULAN<br />
BAB V<br />
PENUTUP<br />
1. Penerapan hukum Hakim Mahkamah Agung dalam menolak Permohonan<br />
155<br />
Kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 perkara perdata khusus<br />
Kepailitan tidak tepat karena Debitur tidak lalai memenuhi isi perjanjian<br />
sebagiamana termaktub dalam Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor<br />
37 Tahun 2004.<br />
2. Akibat hukum penolakan permohonan kasasi pada putusan perkara<br />
B. SARAN<br />
perdata khusus Kepailitan dengan Nomor Register Perkara 771<br />
K/Pdt.Sus/2010, maka permohonan Kasasi yang diajukan oleh para<br />
Pemohon Kasasi yaitu PT. Interkon Kebon Jeruk Cs mengakibatkan<br />
PT.Interkon Kebon Jeruk Pailit dan seluruh harta kekayaan PT.Interkon<br />
Kebon Jeruk diserahkan kepada kurator sebagaimana termaktub dalam<br />
Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dibawah<br />
pengawasan hakim pengawas.<br />
1. Mahkamah Agung merupakan Puncak Peradilan tertinggi hendaknya<br />
lebih cermat dan teliti dalam memutuskan suatu perkara.<br />
2. Hakim Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan alasan-alasan<br />
Permohonan Kasasi hendaknya lebih teliti terkait dalam menelaaah suatu<br />
perkara yang masuk.
LITERATUR<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Anisah, Siti, Perlindungan kepentingan kreditor dan Debitor dalam <strong>Hukum</strong><br />
Kepailitan di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008.<br />
Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia<br />
(1998), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.<br />
Halim, Ridwan, <strong>Hukum</strong> Acara Perdata (Dalam Tanya Jawab), Ghalia Indonesia,<br />
Jakarta, 1996.<br />
Harahap, M. Yahya, <strong>Hukum</strong> Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,<br />
156<br />
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika, Jakarta,<br />
2004.<br />
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian <strong>Hukum</strong> Normatif, Bayu Media,<br />
Surabaya, 2005.<br />
Jono, <strong>Hukum</strong> Kepailitan. Sinar Grafika, Jakarta. 2008.<br />
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian <strong>Hukum</strong>, Kencana Media Group, Jakarta,<br />
2010.<br />
Mertokusumo, Sudikno, <strong>Hukum</strong> Acara Perdata Indonesia. Liberty Yogyakarta,<br />
Yogyakarta, 2002.<br />
Muhammad, Abdulkadir, <strong>Hukum</strong> Acara Perdata Indonesia.PT.Citra Aditya Bakti,<br />
Bandung, 1990.
Nating, Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan<br />
Pemberesan Harta Pailit, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.<br />
Pangabean P, Henry, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari-hari,<br />
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.<br />
Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, cetakan<br />
ketiga revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.<br />
Rony Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian <strong>Hukum</strong> dan Jurimetri. Ghalia<br />
Indonesia, Jakarta, 1988.<br />
Saleh, Wantjik K, Kehakiman dan Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997.<br />
Sinaga M, Syamsudin, <strong>Hukum</strong> Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Kakarta, 2012.<br />
Sjahdeini, Remy, Sutan, <strong>Hukum</strong> Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2002.<br />
Soedirjo, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Akademika Pressindo, 1985.<br />
Soekanto Soerjono, Mamudji Sri, Penelitian <strong>Hukum</strong> Normatif, PT. Raja Grafindo<br />
Persada, Jakarta, 1985.<br />
Soekarso Hendri, Sitomurang Victor, Pengantar <strong>Hukum</strong> Kepailitan di Indonesia,<br />
Rineka Cipta, Jakarta, 1993.<br />
Shubhan, Hadi, <strong>Hukum</strong> Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik Peradilan),<br />
Kencana Media Group, Surabaya, 2007.<br />
Sunarmi, <strong>Hukum</strong> Kepailitan (Edisi 2), PT. Sofmedia, Jakarta, 2010.<br />
Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan <strong>Hukum</strong>. UII Press, Yogyakarta, 2007.<br />
Usman, Rachmadi, Dimensi <strong>Hukum</strong> Kepailitan di Indonesia. Gramedia Pustaka<br />
Utama, Jakarta. 2004<br />
157
Widjaja Gunawan, Yani Ahmad, Kepailitan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,<br />
1999.<br />
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN<br />
Mr.Tresna, R, Komentar HIR. Pradnya Paramita, Jakarta.1972<br />
Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan<br />
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang<br />
..................., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang<br />
158<br />
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia<br />
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung<br />
...................., Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan<br />
WEBSITE<br />
Kehakiman<br />
http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=771+K%2FPdt.Sus%2F<br />
2010 diakses pada tanggal 1 september 2012<br />
http://gilang-kurnia.blogspot.com/2010/12/upaya-hukum-terhadap-sengketa.html<br />
diakses pada tanggal 17 September 2012<br />
http://click-gtg.blogspot.com/2011/04/berakhirnya-kepailitan.html diakses pada<br />
tanggal 10 September 2012<br />
http://www.djkn.depkeu.go.id/content/article/lainnya/upaya-hukum-2.html<br />
diakses pada tanggal 17 Oktober 2012.
159