Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
ISBN: 979-95965-5-6<br />
<strong>Prosiding</strong><br />
Semiloka Teknologi Simulasi dan<br />
Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Jakarta, 14 Oktober 2003<br />
Diselenggarakan oleh:<br />
Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi dan Elektronika<br />
C omputational<br />
S cience &<br />
Engineering
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
KATA PENGANTAR<br />
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,<br />
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Berkat dan<br />
Rahmat-Nya maka Semiloka ini telah dapat diselenggarakan dengan baik.<br />
Teknologi Simulasi dan Komputasi dalam kondisi di Indonesia, masih banyak dalam level<br />
pengajaran di kuliah saja, dan hanya sedikit yang sudah diaplikasikan langsung dalam industri.<br />
Dalam Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003 ini, untuk lebih<br />
mendorong perkembangan teknologi simulasi dan komputasi di Indonesia serta aplikasinya,<br />
kami mengundang pembicara yang berkecimpung dalam teknologi ini dan juga memang<br />
berkecimpung langsung di industri. Disamping itu juga diundang pembicara dari pihak<br />
universitas yang memang terlibat dalam state of the art dari penelitian dan pengembangan<br />
aplikasi teknologi ini.<br />
Dalam semiloka ini masuk makalah-malah ilmiah berkualitas terkait dengan teknologi<br />
simulasi dan komputasi, dalam bidang aplikasi simulasi, teknik pemodelan, analisa dan aplikasi<br />
komputasi, yang berasal dari LPND dan universitas. Terlihat beberapa produk perangkat lunak<br />
simulasi dan komputasi baik yang masih taraf pengembangan, prototipe ataupun yang sudah<br />
jadi dari yang dipromosikan dalam makalah ilmiah di semilka ini. Disamping itu juga ada<br />
beberapa makalah yang menampilkan teknik analisa dan terapannya dilapangan.<br />
Semiloka ini memang masih dalam skala kecil, dan belumlah dapat dikatakan mewakili<br />
kondisi nasional. Akan tetapi dari makalah dan hasil yang diajukan dalam prosiding ini, dapat<br />
dikatakan perkembangan teknologi simulasi dan komputasi di Indonesia masih tetap berjalan.<br />
Semoga buku prosiding ini dapat membantu mempercepat pemasyarakatan teknologi<br />
simulasi dengan harapan akan semakin banyak timbul produk-produk teknologi simulasi dan<br />
komputasi dari dalam negeri.<br />
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.<br />
Ketua Komite Teknis<br />
Dr-Ing. Edi Legowo<br />
iii
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
SAMBUTAN DEPUTI KEPALA<br />
BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI ENERGI MATERIAL DAN LINGKUNGAN<br />
BPPT<br />
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,<br />
Pertama-tama, mari kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena<br />
atas Berkat dan Rahmat-Nya maka Semiloka ini telah dapat diselenggarakan dengan baik.<br />
Saya ucapkan selamat kepada semua peserta dan panitia pelaksana.<br />
Tidak dapat disangkal teknologi simulasi dan komputasi adalah salah satu kunci utama<br />
kemajuan industri untuk meningkatkan kualitas suatu produk. Akan tetapi dewasa ini belumlah<br />
dapat dikatakan bahwa bangsa kita telah menguasai teknologi ini, masih besar ketergantungan<br />
kita terhadap produk-produk asing dalam teknologi ini. Hanya sedikit sekali produk simulasi dan<br />
komputasi buatan dalam negeri yang dipakai dalam kalangan industri di Indonesia.<br />
Oleh karena itu, BPPT, dalam hal ini Pusat Teknologi Informasi dan Elektronika dibawah<br />
kedeputianTeknologi Informasi, Energi, Material dan Lingkungan dalam salah satu kegiatannya<br />
berusaha mengembangkan kegiatan pengembangan teknologi simulasi dan komputasi. Untuk<br />
mensosialisasikan hasil kegiatan BPPT dalam pengembangan teknologi ini dan untuk<br />
mendukung perkembangan teknologi simulasi dan komputasi di Indonesia, maka<br />
diselenggarakanlah semiloka teknolgi simulasi dan komputasi, yang tahun ini baru untuk<br />
pertama kalinya diselenggarakan.<br />
Semiloka ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu wadah pertukaran informasi<br />
menegnai kemajuan penelitian dan pengembangan dalam teknologi simulasi dan komputasi<br />
sehingga dapat mendorong perkembangan teknologi ini yang pada akhirnya diharapkan dapat<br />
mendorong peningkatkan daya saing produk Indonesia dan membawa kemajuan bangsa<br />
Indonesia di masa mendatang.<br />
Selaku deputi kepala BPPT kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya<br />
kepada semua pihak yang telah partisipasi sehingga semiloka dapat terselenggara dengan<br />
baik. Semoga kemitraan yang telah kita jalin dapat selalu dipertahankan dan ditingkatkan untuk<br />
kepentingan industri nasional secara keseluruhan.<br />
Terima kasih,<br />
Wabillahittaufiq Walhidayah<br />
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.<br />
Deputi Kepala Bidang TIEML BPPT,<br />
Ir. Martin Djamin, Msc, Ph.D., APU.<br />
iv
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
SUSUNAN PANITIA<br />
Pembina:<br />
Ir. Martin Djamin, Msc, Ph.D., APU (Deputi Kepala Bidang TIEML-BPPT)<br />
Drs. Sulistyo, MS (Direktur P3TIE-BPPT)<br />
Ir. Bambang Heru Tjahyono (BPPT)<br />
Komite Teknis:<br />
Dr-Ing. Edi Legowo (BPPT) (Ketua)<br />
Dr. Ade Jamal (BPPT)<br />
Dr. Anto Satriyo N. (Chukyo Univ. Japan)<br />
Dr. Dwi Handoko (BPPT)<br />
Dr. M.M. Sarinanto (BPPT)<br />
Dr. Ari Syahriar (BPPT)<br />
Dr. Purwoadi (BPPT)<br />
Panitia Pelaksana:<br />
Dr. Dwi Handoko, M.Eng (BPPT) (Ketua)<br />
Ir. Tri Sampurno (BPPT)<br />
Ir. Aris Suwarjono (BPPT)<br />
Ir. Vitria Pragesjvara (BPPT)<br />
Lebong Andalaluna, M.Eng (BPPT)<br />
Agus Sainjati, MSc (BPPT)<br />
v
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
DAFTAR ISI<br />
Kata Pengantar<br />
Dr-Ing. Edi Legowo<br />
Sambutan Deputi Kepala Bidang TIEML<br />
Dr. Martin Djamin, APU<br />
Susunan Panitia<br />
Daftar Isi<br />
iii<br />
iv<br />
v<br />
vi<br />
MAKALAH UNDANGAN<br />
1. Pengolahan Data Seismik Status dan Permasalahannya, 1<br />
Dr. Suprajitno Munadi APU, PPPTMGB “LEMIGAS”<br />
2. Aplikasi Teknologi Simulasi Dan Komputasi Di Industri Nuklir, 3<br />
M. Syamsa Ardisasmita, Pusat Pengembangan Teknologi Informasi dan Komputasi –<br />
BATAN<br />
3. Peranan Simulasi Dan Komputasi Dalam Industri Proses , 13<br />
Ade Jamal, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi dan Elektronika,<br />
BPPT<br />
4. Konstruksi dan Pengembangan Pengolah Paralel Menggunakan Klaster PC, 16<br />
Ir. Hermawan K. Dipojono, MSEE, Ph.D, Departemen Teknik Fisika Institut Teknologi<br />
Bandung<br />
SIMULASI<br />
5. Modifikasi Cerobong Industri Untuk Menekan Kerusakan Lingkungan: 24<br />
Simulasi dengan TAPM (The Air Pollution Model),<br />
Sumaryati dan Afif Budiyono, LAPAN Bandung<br />
6. Simulating Satellite Motions around Jupiter By Using VRML, 29<br />
Bachtiar Anwar, LAPAN Bandung<br />
7. Simulation of the Fatigue Process under Biaxial Loading with Regard to the 33<br />
Microcrack Growth, H. Agus Suhartono, LUK-BPPT<br />
8. Simulasi dan Rekayasa Kolektor Surya Untuk Penghangat Udara, 38<br />
Rudiyanto + , Budi I. Setiawan * dan Leopold O. Nelwan, Fateta-IPB<br />
PEMODELAN<br />
9. Pertimbangan Perilaku dalam Pemodelan Pengikutan Kendaraan 43<br />
untuk Simulator Trafik Kendaraan,<br />
Dwi Handoko, P3TIE-BPPT<br />
10. Disain Simulator Trafik Kendaraan Berorientasi Obyek, 47<br />
Amien Rusdiutomo, Dwi Handoko, P3TIE-BPPT<br />
11. Teknik Simulasi Time Response Analysis pada 52<br />
Multipath Optical Waveguide dengan Menggunakan Transfer Matrix,<br />
Iip Syarif Hidayat, Telkoma-LIPI<br />
vi
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
ANALISA<br />
12. Analisis Tegangan Pada Filter Bahan Bakar Solar, 56<br />
H. Agus Suhartono dan Ogi Ivano<br />
13. Analisis Regangan – Tegangan Pada Bagian Komponen 63<br />
Bowl Mesin Front Shovel,<br />
Ogi Ivano, Sudarmadi, Weni Wijatmoko H.<br />
14. Analisa Aerodinamika Dua Dimensi Jembatan Suramadu, 69<br />
Dewi Asmara, R.Wibawa Purabaya, LAGG-BPPT<br />
APLIKASI KOMPUTASI<br />
15. Vision: Decision Making Analysis for Leaders, 73<br />
Mohamad Haitan Rachman dan Hendro Julianto<br />
16. Potensi Aplikasi Modul ADAM-4080D Sebagai Pencacah Pada 77<br />
Pesawat Renograf,<br />
Hendra Prihatnadi, Wiranto Budi Santoso<br />
17. Pembuatan Prosessor Sinyal Kamera Gamma 37 PMT, 86<br />
Leli , Tjutju RL , Atang S , Sukandar P2PN- BATAN<br />
vii
MAKALAH UNDANGAN
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Pengolahan Data Seismik<br />
Status & Permasalahannya<br />
Dr. Suprajitno Munadi APU<br />
PPPTMGB “LEMIGAS”<br />
1. Pendahuluan<br />
Teknologi komputasi telah banyak<br />
dimanfaatkan oleh para ahli yang<br />
berkecimpung di industri migas baik di<br />
sektor hulu maupun di sektor hilir. Di sektor<br />
hulu teknologi komputasi berperan besar<br />
dalam mengolah dan menganalisa data<br />
digital yang direkam sewaktu pengumpulan<br />
data di lapangan. Di sektor hilir, teknologi<br />
komputasi ada di dalam sistem kontrol yang<br />
menggerakkan instrument-instrument untuk<br />
bekerjanya proses kimia. Jadi komputasi di<br />
sektor hulu banyak digunakan untuk<br />
mengolah data terekam dari waktu-waktu<br />
yang lalu, sedang di sektor hilir komputasi<br />
bertindak pada waktu yang bersamaan<br />
dengan proses dikendalikannya.<br />
Kertas kerja ini memilih sektor hulu<br />
sebagai bidang kajian untuk aplikasi<br />
teknologi komputasi khususnya Eksplorasi.<br />
Sektor hulu di industri migas terdiri atas<br />
kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi (lihat<br />
gambar-1 dan gambar-2). Di bidang<br />
eksplorasi, pemakai terbesar teknologi<br />
komputasi adalah pada kegiatan satellite<br />
image processing dan seismic data<br />
processing.<br />
Dewasa ini satellite image<br />
processing telah mampu menampilkan<br />
gambaran rinci dari obyek-obyek yang ada<br />
dipermukaan tanah dengan kualitas dan<br />
presisi yang jauh lebih sempurna dari pada<br />
yang dapat diberikan oleh foto udara<br />
beberapa waktu yang silam. Peta-peta<br />
yang dihasilkan dari proses pengolahan<br />
citra satelit dapat dimanfaatkan untuk<br />
perencanaan wilayah ataupun perencanaan<br />
survei bahan galian yang ada di bawah<br />
permukaan.<br />
Walaupun bidang kajian kertas ini<br />
telah memilih sektor hulu, rupa-rupanya<br />
masih harus difokuskan lagi agar<br />
bahasannya dapat dibuat sedikit mendalam.<br />
Untuk itu fokus akan diberikan kepada<br />
pengolahan data seismik (seismic data<br />
processing).<br />
2. Pengolahan Data Seismik<br />
Pengolahan data seismik telah<br />
berkembang menjadi industri jasa yang<br />
besar dan telah masuk ke Indonesia<br />
semenjak tahun 1974. Pada saat itu<br />
Geophysical Service Inc. bekerjasama<br />
dengan PT. Electronika Nusantara<br />
membentuk pusat pengolahan data<br />
berbasis komputer main frame di Jakarta.<br />
Pengolahan data seismik adalah<br />
suatu proses yang urutannya panjang dan<br />
di dalam setiap sub proses perhitungan<br />
numeriknya cukup rumit. Contoh urutan<br />
pengolahan data seismik diberikan pada<br />
gambar-3. Para ahli mengatakan bahwa<br />
pengolahan data seismik digital “is entirely<br />
a mathematical process”. Jadi pengolahan<br />
data seismik digital merupakan pemakaian<br />
operator-operator matematika yang<br />
dikenakan kepada data yang berbentuk<br />
deret waktu. Bila rekaman deret waktu<br />
tersebut berubah terhadap jarak maka data<br />
seismik menjadi fungsi dari jarak dan waktu,<br />
sehingga operator matematikanya menjadi<br />
lebih kompleks lagi.<br />
Pada prinsipnya pengolahan data<br />
seismik dapat dibagi menjadi 3 kelompok<br />
besar yakni [1]<br />
1. Kelompok besar pertama terdiri atas<br />
urutan sub proses yang berusaha<br />
mengkoreksi data terhadap hal-hal<br />
yang bersifat geometris yang<br />
mengganggu pengukuran sewaktu<br />
pengumpulan data.<br />
2. Kelompok besar kedua terdiri atas<br />
urutan sub proses yang<br />
menghilangkan gangguan aktif yang<br />
merusak sinyal.<br />
3. Kelompok besar ketiga terdiri atas<br />
urutan sub proses yang berusaha<br />
mengekstraksi informasi seperti<br />
kecepatan, atenuasi dll.<br />
Kompleksitas pengolahan data<br />
seismik ini muncul karena 2 hal :<br />
1. Volume data seismik yang<br />
dimensinya amat besar<br />
2. Rumitnya proses-proses fisis<br />
geologis yang mempengaruhi<br />
terbentuknya data.<br />
3. Rumitnya algoritma numerik yang<br />
diperlukan untuk mengkompensasi<br />
proses-proses fisis-geologis yang<br />
ikut membentuk data.<br />
Berhubung kompleksitas tersebut di<br />
atas, akibatnya sampai dewasa ini kita<br />
belum mampu menciptakan software yang<br />
komplit untuk pengolahan data seismik.<br />
Dalam keadaan yang demikian ini maka<br />
pada pertengahan dekade tahun 1980-an<br />
1
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
masuklah software-software seismik import<br />
dari luar negeri, diantaranya :<br />
1. Geovector dari Compaine Generale<br />
de Geophysique (Perancis)<br />
2. Disco-Cogneseis dari Digicon Inc.<br />
(USA).<br />
3. Timap dari Geophysical Service Inc<br />
(USA) [2]<br />
4. Geco Prakla dari Norwegia – Jerman<br />
5. Software yang disewa oleh<br />
perusahaan Matra Delta.<br />
6. Software yang disewa oleh<br />
perusahaan Horizon<br />
7. Promax dari Landmark Graphic Inc<br />
(USA)<br />
8. Seismic Unix dari Stanford Univ<br />
(USA) yang bersifat public domain<br />
9. Focus dari perusahaan Paradigm<br />
(USA).<br />
3. Masalah Kita<br />
Keadaan yang kita hadapi dengan<br />
membanjirnya software-software luar negeri<br />
ke dalam industri nasional Indonesia adalah<br />
bahwa kita jatuh menjadi konsumen<br />
produk-produk perangkat lunak yang Luar<br />
Negeri yang ketergantungannya makin<br />
lama makin kuat dan kita jatuh sebagai<br />
pembeli dan operator saja. Ketergantungan<br />
itu pada umumnya kita bayar dalam bentuk<br />
pembayaran lisensi.<br />
Secara konsep teoritis maupun<br />
eksperimental sebetulnya bangsa kita<br />
mampu membuat software-software<br />
pengolahan data seismik itu [3] [4].<br />
Masalah yang dihadapi adalah bagaimana<br />
mengemas teori-teori pengolahan data<br />
menjadi perangkat lunak yang siap pakai<br />
dan mampu bersaing dipasar global.<br />
Software yang dibuat ini tidak harus<br />
menyeluruh, akan tetapi dapat berupa<br />
modul-modul yang dapat di sambung<br />
dengan modul pengolahan yang lain 2 .<br />
Pembuatan modul ini dapat<br />
mendorong terbentuknya software house<br />
dikota-kota universitas di Indonesia seperti<br />
Bandung, Yogya, Malang, Surabaya,<br />
Medan, Pekan Baru, Ujung Pandang,<br />
Kendari dll, sehingga aktivitas intelektual<br />
dikota-kota pelajar tersebut diatas dapat<br />
dimuarakan pada kegiatan industri. Dengan<br />
adanya software dasar Matlab yang<br />
merupakan paket program komputasi dan<br />
visualisasi yang canggih, akan<br />
mengakibatkan realisasi dari modul-modul<br />
pengolahan data seismik yang diutarakan<br />
di atas.<br />
4. Kesimpulan<br />
Di sektor hulu dari industri migas 3<br />
pengolahan data seismik merupakan<br />
aplikasi teknologi komputasi yang paling<br />
banyak menyerap energi dan waktu<br />
komputasi. Kompleksitas komputasi akan<br />
dapat diatasi dengan memanfaatkan basic<br />
software Matlab sehingga modul-modul<br />
pengolahan data dapat dikembangkan di<br />
kota-kota universitas dalam bentuk<br />
kegiatan software house.<br />
Pengetahuan dasar dari software<br />
pengolahan data tersebut sebetulnya sudah<br />
diajarkan di universitas yang mengajarkan<br />
basic science dan teknologi [5]. Idealnya<br />
dana untuk membayar lisensi ini dapat<br />
diserap oleh software house software<br />
house tersebut diatas. Pembuatan modulmodul<br />
proses ini akan membuka peluang<br />
bagi terbentuknya home industri di kotakota<br />
universitas di Indonesia sehingga<br />
pengetahuan teoriris dari bangku kuliah<br />
dapat langsung diterapkan untuk<br />
memecahkan masalah-masalah industri.<br />
Dengan demikian ada kaitan antara ilmu<br />
komputasi dengan penerapan dalam<br />
praktek, yang pada gilirannya dapat<br />
membangkitkan minat terhadap<br />
pendalaman ilmu dan pengembangan<br />
teknologi dan aplikasinya [6].<br />
Fasilitas internet dan komputer jenis<br />
PC yang kemampuannya makin maxi<br />
menghimbau kepada kita untuk masuk ke<br />
dalam teknologi komputasi secara<br />
mendalam dan produktif sebagai “the tool<br />
maker”, bukan sekedar sebagai operator<br />
saja.<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Suprajitno, M., 1980. Seismic<br />
Processing Software, Lembaran<br />
Publikasi Lemigas No.1, tahun XIV, p.<br />
34 – 42<br />
2. Geophysical Service Inc. 900 package<br />
Seismic Data Processing Software for<br />
TIMAP.<br />
3. Suprajitno, M. dan Bambang, T., 1993.<br />
Mini Seismic Processing System for<br />
Training and Research Purposes,<br />
Proceedings, Indonesian Petroleum<br />
Association, Vol. II, p.557 – 569<br />
4. Arief Budiman, 2003. Aplikasi<br />
Pengolahan Data Seismik Modular<br />
dengan menggunakan Software Publik<br />
Domain Seismic Unix, Jurusan Fisika,<br />
FMIPA, ITS, Surabaya (Karya Tulis<br />
Ilmiah dalam rangka Diskusi Ilmiah IX,<br />
LEMIGAS).<br />
5. Yilmaz, O., 1987. Seismic Data<br />
Processing, Society of Exploration<br />
Geophysicist, Oklahoma.<br />
6. S. Munadi, E. Soedarmo, B. Widarsono,<br />
1996. An Overview of Computer<br />
Applications in the Indonesian Oil and<br />
Gas Industry, Seminar Aplikasi<br />
Teknologi Komputasi, BPPT, Jakarta.<br />
2
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Aplikasi Teknologi Simulasi Dan Komputasi<br />
Di Industri Nuklir<br />
M. Syamsa Ardisasmita<br />
Pusat Pengembangan Teknologi Informasi dan Komputasi - BATAN<br />
Kawasan PUSPIPTEK Serpong, Tangerang 15310<br />
E-mail: syamsa@batan.go.id<br />
Abstrak<br />
Pada makalah ini disampaikan aplikasi dari Classroom Simulator Pembangkit<br />
Listrik Tenaga Nuklir di industri nuklir. Tujuan dari suatu Pembangkit Listrik<br />
Tenaga Nuklir adalah untuk memasok listrik dengan harga serendah mungkin,<br />
kualitas pelayanan yang tetap, fasilitas nuklir yang aman dan mengurangi<br />
polusi udara. Simulasi komputer adalah penggunaan model matematika untuk<br />
menggambarkan secara realistik perilaku nyata dari sistem dengan mengukur<br />
tanggap dinamik dari variabel-variabel proses yang dipantau, seperti<br />
temperatur, tekanan, dan komposisi bahan. Simulasi dari proses dapat dibagi<br />
kedalam dua kategori: keadaan tunak dan dinamik. Simulasi keadaan tunak<br />
biasanya terdiri dari sejumlah persamaan aljabar yang diselesaikan secara<br />
iteratif untuk menghitung kalkulasi panas dan keseimbangan bahan dari suatu<br />
proses dibawah kondisi keadaan tunak yang berubah-ubah. Simulasi dinamik<br />
tidak hanya memperhatikan kalkulasi panas dan keseimbangan bahan dalam<br />
keadaan tunak, tetapi juga kondisi transien dari proses perubahan. Ini<br />
diselesaikan dengan memecahkan persamaan-persamaan diferensial nonlinier<br />
berjumlah besar dalam waktu nyata, yang menggambarkan<br />
keseimbangan dinamik bahan dan energi dari proses yang disimulasikan.<br />
Karena simulasi dinamik dapat memberikan tanggap dinamik dari proses<br />
menurut waktu, maka secara luas dipergunakan dalam : (1) Pengembangan<br />
simulator untuk pelatihan; (2) Analisis keselamatan PLTN; dan (3) Studi<br />
perancangan untuk kendali proses.<br />
Abstract<br />
This paper present the application of the Nuclear Power Plant Classroom<br />
Simulator in nuclear industry. The objective of the Nuclear Power Plant is to<br />
supply electricity at the least possible cost with a constant service quality, a<br />
safety of nuclear facilities, and a reduction in air pollution. Computer<br />
simulation is the use of mathematical models to develop a realistic<br />
representation of the real process behaviour, as measured by the dynamic<br />
reponses of the monitored process variables such as temperature, pressures,<br />
and material compositions. Process simulation can be divided into two<br />
categories: Steatdy-state and Dynamic. Steady-state simulation usually<br />
consists of groups of algebraic equations solved iteratively to account for the<br />
heat and material balance calculations of the process under various steadystate<br />
conditions. Dynamic simulation is not only concerned with the steadystate<br />
heat and material balance calculation, but also the transient conditions of<br />
process evolution. This is accomplished by solving a large set of coupled, nonlinear<br />
differential equations in real time, that represent the dynamic material<br />
and energy balances for the process being simulated. Because dynamic<br />
simulation can provide dynamic responses of process over time, it is widely<br />
used in: (1) The development of training simulators; (2) Safety analysis for<br />
nuclear power plant; and (3) Design studies for process controls.<br />
Keywords: classroom simulator, full scope training simulator, nuclear power plant.<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Kalau berbicara pemanfaatan tenaga<br />
nuklir maka oleh masyarakat umum selalu<br />
dikaitkan dengan senjata pemusnah masal<br />
yang memiliki daya ledak dan daya rusak<br />
yang luar biasa. Kekuatan bom nuklir<br />
modern dewasa ini adalah sebanding<br />
dengan beberapa juta ton TNT atau 40 kali<br />
lebih dahsyat dari ”Little Boy” dan ”Fat Man”,<br />
dua bom yang dijatuhkan di Hirosima dan<br />
3
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Nagasaki pada tahun 1945. Tenaga yang<br />
sangat besar ini, dihasilkan dari suatu<br />
reaksi berantai uranium-235 yang disebut<br />
dengan proses fisi. Neutron yang diserap<br />
oleh inti atom uranium-235 akan<br />
1985 adalah sebagai sarana untuk<br />
menyongsong era industri nuklir di<br />
Indonesia. Pusat Penelitian ini dibangun<br />
diatas lahan seluas 30 Ha, dengan 37<br />
bangunan dan 13 Pusat Penelitian dan<br />
Gbr. 1 - Full Scope Training Simulator<br />
menghasilkan produk-produk fisi (cesium-<br />
140, Rubidium-93) dan dua atau tiga<br />
neutron lain dengan dilepaskannya tenaga<br />
sebesar 200 MeV atau sebanding dengan<br />
7,7 x 10 -12 cal. Rekasi ini disebut reaksi<br />
berantai karena neutron-neutron yang<br />
dihasilkan akan bereaksi kembali dengan<br />
atom-atom uranium-235 dan menghasilkan<br />
lebih banyak lagi neutron dan tenaga yang<br />
dilepaskan.<br />
1 235 140 93 1<br />
0<br />
n +<br />
92U<br />
→<br />
55Cs<br />
+<br />
37<br />
Rb + 30<br />
n + 200 MeV<br />
Reaksi berantai yang tidak terkendali<br />
akan menyebabkan ledakan bom atom,<br />
akan tetapi reaksi berantai yang dapat<br />
dikendalikan dalam suatu reaktor nuklir,<br />
akan menghasilkan pembangkit listrik yang<br />
murah, skala besar dan bebas terhadap<br />
polusi udara. Murah karena berdasarkan<br />
biaya produksi listrik rata-rata di dunia pada<br />
tahun 2002, untuk tenaga nuklir biaya per<br />
kilowatt-jam dalam dolar A.S. adalah 1,71<br />
sen, sedangkan tenaga batubara 1,85 sen,<br />
minyak 4,41 sen, dan gas 4,06 sen. Bersih<br />
karena dalam pengoperasiannya,<br />
pembangikit listrik tenaga nuklir tidak<br />
menghasilkan emisi gas sulfur atau gas-gas<br />
rumah kaca seperti pada pembangkit listrik<br />
batubara atau minyak.<br />
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir<br />
(PLTN) pertama mulai beroperasi di Inggris<br />
pada tahun 1956 dan di Amerika Serikat<br />
pada tahun 1957. Pada akhir tahun 2002,<br />
ada 441 PLTN yang beroperasi di 32<br />
negara, yang memberikan 2.543,6 TWh<br />
atau 16,2% dari produksi listrik dunia.<br />
Selain itu ada 32 PLTN baru yang sedang<br />
dalam proses pembangunan di 11 negara.<br />
Batan sedang memperjuangkan<br />
diterimanya opsi nuklir sebagai bagian dari<br />
sistem energi nasional jangka panjang. Jika<br />
opsi nuklir diterima maka PLTN pertama<br />
akan beroperasi di Indonesia pada tahun<br />
2016. Pembangunan Pusat Penelitian<br />
Tenaga Nuklir (PPTN) Serpong sejak tahun<br />
Pengembangan, yang didukung oleh 1452<br />
pegawai (50 S3, 124 S2, 396 S1, 820<br />
D3/SLTA). Reaktor Serbaguna G.A.<br />
Siwabessy dengan daya 30 MW diresmikan<br />
operasinya pada tanggal 20 Agustus 1987,<br />
merupakan peralatan utama Batan dalam<br />
melaksanakan litbang dan pemanfaatan<br />
iptek nuklir di Indonesia, selain dua reaktor<br />
riset lain dengan daya yang lebih kecil di<br />
Bandung dan Yogyakarta. Pemanfaatan<br />
Reaktor ini adalah sebagai: (1) Fasilitas<br />
iradiasi untuk produksi radioisotop bagi<br />
keperluan medis, industri, dan litbang<br />
lainnya; (2) Fasilitas eksperimen berkas<br />
neutron untuk pengembangan ilmu bahan;<br />
dan (3) Fasilitas analisis pengaktivan<br />
neutron untuk mendukung pengukuran<br />
pencemaran lingkungan.<br />
Pada tahun 1968, General Electric<br />
melengkapi pusat pelatihannya dengan<br />
Full Scope Training Simulator (FSTS) yaitu<br />
untuk melatih operator PLTN dalam kondisi<br />
normal maupun abnormal. Simulator ini<br />
memberikan replika dari ruang kendali<br />
PLTN dengan ketepatan dan keselarasan<br />
simulasi yang tinggi, yaitu sesuai dengan<br />
perilaku dan parameter PLTN yang<br />
disimulasikan. Kemudian pembangunan<br />
FSTS diikuti oleh seluruh pembuat PLTN di<br />
Amerika dan di seluruh dunia.<br />
Sekarang ini, pembangunan FSTS<br />
sudah menjadi keharusan bagi utulitas<br />
nuklir, terutama setelah terjadinya dua<br />
kecelakaan PLTN yang diakibatkan<br />
kesalahan manusia (operator). Pertama,<br />
kecelakaan PLTN jenis PWR di Three Mile<br />
Island, Pensylvania, A.S. pada tahun 1979<br />
akibat operator mematikan emergency core<br />
cooling system. Pada kecelakaan ini, hanya<br />
sedikit gas radioaktif yang keluar dari<br />
bangunan pelindung (containment building).<br />
Kedua adalah kecelakaan parah pada<br />
PLTN jenis RBMK-1000 di Chernobyl<br />
Ukrania, pada tanggal 26 April 1986, akibat<br />
operator mengadakan pengujian yang tidak<br />
sesuai dengan prosedur keselamatan<br />
4
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
menyebabkan terjadinya ledakan pada core<br />
reaktor dan kebakaran. Karena tidak ada<br />
bangunan pelindung seperti pada reaktor di<br />
Three Mile Island, maka terlepaslah isotop<br />
radiasi tinggi (100-150 juta curies) ke<br />
atmosfer. Akibat kecelakaan ini, 2 pekerja<br />
tewas pada waktu ledakan dan 31 pekerja<br />
meninggal kemudian akibat menerima<br />
dosis radiasi tinggi pada waktu melakukan<br />
pembersihan.<br />
Persyaratan ketaatannya yang tinggi<br />
(high fidelity) menyebabkan FSTS<br />
harganya sangat mahal dan belum dapat<br />
digunakan sebelum PLTN beroperasi<br />
secara komersial. Untuk memberikan<br />
pendidikan dan pelatihan awal bagi<br />
personal PLTN maka dibuat Classroom<br />
Simulator yang harganya relatif murah<br />
dengan menggunakan platform Komputer<br />
PC standar. Classroom Simulator dapat<br />
dianggap sebagai pelengkap dari Full<br />
Scope Training Simulator dalam<br />
memberikan pemahaman dasar teori PLTN<br />
dan sebagai alat untuk sistem pelatihan.<br />
Selama 30 tahun, telah terjadi perubahan<br />
besar dalam teknologi simulator akibat<br />
kemajuan pesat dari perangkat keras dan<br />
piranti lunak komputer.<br />
Walaupun demikian, biaya terbesar<br />
dalam pengembangan simulator PLTN<br />
tetap pada tenaga manusia, yaitu tenaga<br />
ahli untuk melakukan pemodelan<br />
matematika dari sistem fisik dan kemudian<br />
mengubah persamaan-persamaan<br />
matematika menjadi kode-kode komputer<br />
yang siap untuk dijalankan. Setelah<br />
program komputer dapat dijalankan,<br />
dilanjutkan dengan proses akhir untuk<br />
menyelaraskan dan memperkaya model<br />
tersebut agar dapat mendekati kenyataan<br />
yang sebenarnya. Pada masa lalu,<br />
pemodelan matematika merupakan proses<br />
yang membutuhkan tenaga kerja yang<br />
intensif, karena perubahan kecil dalam<br />
persamaan atau beberapa perubahan pada<br />
konstanta numerik, membutuhkan<br />
rekompilasi dan debugging kembali dari<br />
program. Sekarang dengan sistem<br />
pemodelan modular, konsumsi waktu<br />
untuk pengembangan simulator dapat lebih<br />
dipersingkat.<br />
2. DASAR-DASAR SIMULASI<br />
Simulasi komputer adalah usaha<br />
mengeksplorasi model-model matematika<br />
dari suatu proses atau fenomena fisik<br />
dengan menggunakan komputer dalam<br />
rangka memberikan gambaran situasi nyata<br />
dengan sebagian besar rinciannya.<br />
Sedangkan simulasi proses adalah<br />
penggunaan model matematika untuk<br />
menggambarkan secara realistik perilaku<br />
nyata dari sistem dengan mengukur<br />
tanggap dinamik variabel-variabel proses<br />
yang dipantau, misalnya temperatur,<br />
tekanan, dan komposisi bahan. Dengan<br />
memanipulasi atau bekerja dengan model<br />
diharapkan :<br />
1. Dapat meramalkan hasil atau<br />
keluaran;<br />
2. Lebih memahami model fisik dan<br />
matematik dari fenomena dan<br />
proses;<br />
3. Bereksperimen dengan model;<br />
4. Melakukan pengujian dengan model;<br />
dan terakhir<br />
5. Menggunakan model untuk tujuan<br />
pendidikan dan pelatihan.<br />
Simulasi proses tersebut dapat<br />
dibagi kedalam dua kategori: Keadaan<br />
Tunak dan Dinamik.<br />
• Simulasi keadaan tunak biasanya<br />
terdiri dari sejumlah persamaan<br />
aljabar yang diselesaikan secara<br />
iteratif, misalnya untuk menghitung<br />
kalkulasi panas dan keseimbangan<br />
bahan dari suatu proses dibawah<br />
kondisi keadaan tunak yang<br />
berubah-ubah. Program simulasi<br />
keadaan tunak umum digunakan<br />
dalam proses industri seperti<br />
pengukuran boiler dan peralatan<br />
turbin untuk laju panas tertentu.<br />
• Simulasi dinamik tidak hanya<br />
memperhatikan kalkulasi panas dan<br />
keseimbangan bahan dalam<br />
keadaan tunak, tetapi juga kondisi<br />
transien dari perubahan proses.<br />
Sebagai contoh adalah tanggap<br />
dinamik pada tingkat boiler yang<br />
diakibatkan oleh hilangnya<br />
pembangkit turbin secara tiba-tiba di<br />
dalam PLTN. Simulasi dilakukan<br />
dengan menyelesaikan persamaanpersamaan<br />
diferensial non-linier<br />
berjumlah besar dalam waktu nyata,<br />
untuk<br />
menggambarkan<br />
keseimbangan dinamik bahan dan<br />
energi dari proses yang<br />
disimulasikan. Laju akumulasi masa<br />
dan energi dihitung secara kontinyu<br />
dan diintegrasikan sepanjang interval<br />
waktu yang relatif kecil, yaitu untuk<br />
menghasilkan proses tiruan dari<br />
tanggap dinamik yang realistik dari<br />
temperatur, tekanan, komposisi<br />
bahan , dsb. Karena simulasi dinamik<br />
dapat memberikan tanggap dinamik<br />
dari proses menurut waktu, maka<br />
sangat luas dipergunakan dalam : (1)<br />
Pengembangan simulator untuk<br />
pelatihan; (2) Analisis keselamatan<br />
5
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
PLTN; dan (3) Studi perancangan<br />
untuk proses kendali.<br />
2.1. Pemodelan Matematik<br />
Model matematik adalah gambaran<br />
dari karakteristik dinamik suatu sistem.<br />
Agar dapat diselesaikan dengan komputer,<br />
maka fenomena atau proses fisik harus<br />
dapat dimodelkan dengan persamaan<br />
matematika. Beberapa sistem dinamik<br />
seperti mekanika, listrik, neutronik, panas,<br />
hidraulik, pneumatik dan sebagainya dapat<br />
dikarakterisasikan dengan persamaan<br />
diferensial, aljabar dan Boolean.<br />
Persamaan-persamaan tersebut dapat<br />
diturunkan dari hukum-hukum fisika<br />
berdasarkan sistem yang dipelajari,<br />
misalnya hukum Newton, hukum Kekekalan<br />
Energi, hukum Ohm, hukum Kinetika<br />
Reaktor dan sebagainya. Dalam mencari<br />
suatu model, kita harus mengkompromikan<br />
antara penyederhanaan model dan<br />
ketelitian hasil analisis. Harus dicari<br />
kesesuaian yang baik antara hasil analisis<br />
model matematik dan hasil studi<br />
eksperimental pada sistem fisik.<br />
Dengan pemodelan kita dapat<br />
melakukan : (1) Idealisasi dari proses dan<br />
fenomena; (2) Memahami pengaruh dan<br />
kendali lingkungan; (3) Menganalisis<br />
eksperimen yang sulit atau tidak mungkin<br />
dapat dilakukan; (4) Mempertajam<br />
pemahaman dan mengurangi pemborosan<br />
akibat eksperimen yang tidak terarah (trial<br />
& error); dan terakhir (5) Meningkatkan<br />
potensi dan keamanan sistem. Kesalahan<br />
pada pemodelan akan selalu terjadi.<br />
Pertama antara model fisik dengan model<br />
matematik akan terjadi kesalahan<br />
pemodelan karena adanya<br />
penyederhanaan-penyederhanaan. Dari<br />
model matematik ke model numerik akan<br />
terjadi kesalahan diskretisasi akibat<br />
pendekatan deret atau iterasi yang harus<br />
selalu terhingga. Demikian juga dari model<br />
numerik ke model komputer akan terjadi<br />
kesalahan numerik, akibat batasan-batasan<br />
pada perangkat keras komputer dan jumlah<br />
bit yang digunakan.<br />
Mendefinisikan model matematik<br />
yang tepat merupakan langkah yang paling<br />
kritis dalam simulasi. Sebagai contoh,<br />
teknik yang menerapkan pertukaran panas<br />
fasa tunggal (single phase heat exchanger)<br />
akan sangat berbeda dengan teknik yang<br />
menerapkan pertukaran panas dua fasa.<br />
Penganalisis simulasi harus dapat<br />
mengidentifikasi seluruh situasi yang akan<br />
disimulasikan oleh model yang akan dia<br />
dibuat dalam segala daerah operasi,<br />
termasuk situasi yang jarang terjadi,<br />
misalnya kegagalan pemakaian komponen<br />
(katup, pompa, dsb.). Semua ini dilakukan<br />
agar model dapat memberikan tanggap<br />
dinamik sesuai dengan yang sebenarnya.<br />
Karena itu pengembangan model dari suatu<br />
proses fisik membutuhkan intuisi dan<br />
pertimbangan yang baik, yang dapat<br />
diperoleh dari pengalaman.<br />
• Intuisi dibutuhkan untuk menentukan<br />
asumsi dasar, hubungan antara<br />
variabel-variabel kunci, dan<br />
pendekatan awal untuk menentukan<br />
model dari proses fisik.<br />
• Pertimbangan dibutuhkan untuk<br />
menjaga adanya keseimbangan<br />
antara ketelitian dan kelengkapan<br />
terhadap kerumitan dan biaya yang<br />
harus dikeluarkan.<br />
Harus dicatat bahwa pada beberapa<br />
sistem kompleks akan membutuhkan teknik<br />
pemodelan yang lebih rumit untuk<br />
mensimulasikan fenomena tertentu, seperti<br />
aliran dua fasa atau formasi gelembung<br />
uap. Kedua contoh tersebut banyak<br />
ditemukan pada PLTN (sistem pendingin<br />
reaktor, steam generator, pressurizer,<br />
dsb.); demikian juga pada pembangkit fosil<br />
(waterwalls, furnace boiler system, dsb.).<br />
2.2. Spesifikasi Model<br />
Sebelum mengembangkan model<br />
dari proses fisik, maksud dan tujuan dari<br />
model harus dinyatakan dengan jelas.<br />
Parameter-parameter dibawah ini dapat<br />
digunakan untuk pengembangan model<br />
dari proses fisik:<br />
• Lingkup dan batas dari proses yang<br />
dipelajari – definisi dari lingkup dan<br />
batas secara praktis, ditandai dengan<br />
kebutuhan Perangkat Instrumen dan<br />
Proses dan Diagram (misalnya<br />
diagram yang merinci aliran proses,<br />
pengaturan pekerjaan pemipaan,<br />
alat-alat dan instrumentasi yang<br />
dihubungkan dengan sub-bagian<br />
sistem).<br />
• Kedalaman rincian – menentukan<br />
apakah setiap proses, setiap<br />
peralatan (pompa, katup, dsb.),<br />
setiap instrumen (pressure<br />
transmitter, temperature transmitter,<br />
dsb.) harus disimulasikan. Jika<br />
simulasi dibutuhkan, apakah harus<br />
merupakan suatu simulasi yang<br />
terinci atau cukup dengan simulasi<br />
fungsi saja.<br />
• Pembatas fisik dan keamanan –<br />
pada kasus dimana dibutuhkan<br />
model proses untuk mensimulasikan<br />
batas-batas fisik dan keamanan yang<br />
ekstrim, seperti pecahnya pipa,<br />
adanya arus balik, atau meledaknya<br />
6
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
boiler, seberapa lama simulasi harus<br />
dilakukan pada batas-batas ekstrim<br />
tersebut.<br />
• Tanggap keadaan tunak dan dinamik<br />
– tanggap-tanggap ini harus<br />
diperoleh dari data operasional dari<br />
proses yang sedang berjalan.<br />
• Kebutuhan ketelitian – juga disebut<br />
sebagai ketaatan model. Seberapa<br />
ketelitian yang harus diberikan oleh<br />
suatu simulasi, jika dibandingkan<br />
dengan proses transien yang sedang<br />
berjalan.<br />
• Kebutuhan dan metode untuk<br />
memutakhirkan model.<br />
• Variabel-variabel keadaan dan<br />
variabel-variabel kendali yang<br />
tersedia – variabel keadaan dari<br />
suatu sistem dinamik adalah jumlah<br />
terkecil dari variabel yang dibutuhkan<br />
untuk menentukan keadaan sistem<br />
tersebut. Jika ada N variabel (X1(t),<br />
X2(t), ..., Xn(t) – misalnya tekanan,<br />
aliran, dsb.) yang dibutuhkan untuk<br />
menggambarkan secara lengkap<br />
perilaku dari suatu sistem dinamik,<br />
maka N variabel tersebut (X1(t),<br />
X2(t), ..., Xn(t)) adalah kumpulan dari<br />
variabel-variabel keadaan untuk<br />
proses dinamik. Variabel-variabel<br />
keadaan harus teridentifikasi dalam<br />
model.<br />
2.3. Hukum-hukum Dasar Fisika<br />
Sistem pada PLTN meliputi sistem<br />
neutronik, sistem termal, sistem hidraulik,<br />
sistem pneumatik, sistem mekanik dan<br />
sistem listrik. Secara umum, PLTN<br />
berfungsi untuk mengubah tenaga nuklir<br />
menjadi tenaga listrik. Reaktor nuklir<br />
menghasilkan panas dari proses fisi yaitu<br />
reaksi berantai nuklir yang dikendalikan<br />
oleh suatu batang kendali penyerap<br />
neutron. Jenis-jenis reaktor digolongkan<br />
berdasarkan jenis elemen bakar, moderator<br />
dan aliran pendingin yang digunakan.<br />
Panas yang dihasilkan pada inti reaktor<br />
digunakan untuk menggerakkan turbin dan<br />
kemudian menghasilkan listrik. Analisis<br />
reaktor nuklir didasarkan atas keterkaitan<br />
beberapa variabel yang terdiri dari elemen<br />
bakar nuklir, moderator, komposisi,<br />
geometri inti reaktor, dan perpindahan<br />
panas yang sebagian besar dibangkitkan<br />
oleh proses fisi.<br />
2.3.1. Persamaan Difusi Neutron<br />
Persamaan difusi merupakan<br />
persamaan dasar yang digunakan oleh<br />
perekayasa dalam merancang reaktor<br />
nuklir. Menurut hukum Fick, neutron<br />
mengalir dari daerah dengan densitas tinggi<br />
ke daerah dengan densitas yang lebih<br />
rendah, maka arus neutron sebanding<br />
dengan gradian negatif dari fluks neutron :<br />
2<br />
J = D∇<br />
φ<br />
(1)<br />
dengan D adalah konstanta koefisien difusi.<br />
Persamaan difusi neutron merupakan<br />
persamaan diferensial parsial berbentuk<br />
parabolik. Teori persamaan difusi<br />
multigroup telah dikembangkan untuk<br />
penyelesaian laju pertumbuhan neutron.<br />
Energi neutron yang tersebar dari 10 MeV<br />
(neutron cepat) sampai dengan 0,025 eV<br />
(neutron termal) dapat dibagi menjadi 100<br />
group, sehingga penyelesaian himpunan<br />
persamaan diatas secara langsung<br />
sangatlah sukar. Persamaan<br />
keseimbangan neutron merupakan<br />
persamaan diferensial parsial multivariabel<br />
orde dua dari fluks neutron, yang dikoreksi<br />
dengan kebocoran, penyerapan,<br />
penyebaran dan produksi neutron. Reaktor<br />
dibagi-bagi atas sejumlah titik jala ruang<br />
(spatial mesh points) dimana persamaan<br />
difusi dapat dipecahkan dengan<br />
menerapkan boundary conditions.<br />
2.3.2. Kinetika Reaktor<br />
Delayed neutron yang dibangkitkan<br />
oleh peluruhan produk fisi (0,65% dari<br />
neutron yang dibangkitkan oleh fisi),<br />
ternyata dapat memperpanjang perioda<br />
reaktor. Hasilnya reaktor dapat<br />
dikendalikan dengan mudah. Jika tidak ada<br />
delayed neutron, maka tidak mungkin dapat<br />
mengendalikan daya nuklir dari proses fisi.<br />
Delayed neutron tersebut biasanya<br />
teridentifikasi kedalam 6 group. Jika kita<br />
umpamakan model kinetika reaktor<br />
sederhana berbentuk titik untuk suatu inti<br />
reaktor jenis PHWR, maka kita peroleh<br />
persamaan laju pertumbuhan neutron:<br />
dN<br />
dt<br />
dC<br />
dt<br />
FLUKS<br />
β N<br />
⎛<br />
⎜<br />
∆K<br />
−<br />
⎝<br />
=<br />
6<br />
⎞<br />
β ⎟<br />
i<br />
N<br />
⎠<br />
N<br />
∑<br />
i=<br />
1<br />
LIFE<br />
FLUKS<br />
+<br />
6<br />
∑<br />
i=<br />
1<br />
λ C<br />
i<br />
i<br />
(2)<br />
i i FLUKS<br />
= − λ iCi<br />
(3)<br />
N LIFE<br />
dengan: ∆K adalah reaktivitas, β i adalah<br />
fraksi delayed neutron group ke-i, λ i adalah<br />
konstanta peluruhan group ke-i, C i adalah<br />
konsentrasi delayed neutron group ke-i,<br />
N LIFE adalah waktu hidup neutron rata-rata.<br />
7
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
2.3.3. Sistem Pneumatik<br />
Aliran gas melalui lubang kecil dapat<br />
dianggap sebagai turbulen sedangkan<br />
aliran gas pada kecepatan tertentu melalui<br />
pipa besar dianggap sebagai laminar.<br />
Elemen-elemen yang menyebabkan aliran<br />
turbulen adalah lubang, katup dan pipa<br />
kecil. Sedangkan elemen-elemen yang<br />
menyebabkan aliran laminar adalah tabung<br />
sirkular dan pipa. Variabel kuantitas untuk<br />
sistem pneumatik adalah berat, variabel<br />
aliran adalah laju aliran dan variabel<br />
potensial adalah tekanan. Resistensi<br />
pneumatik pada aliran gas laminar dalam<br />
kondisi adiabatik adalah :<br />
128µ<br />
L<br />
R =<br />
4<br />
(4)<br />
πρD<br />
dengan: L= panjang pipa, D = diameter<br />
dalam, µ = viskositas absolut, γ = kerapatan<br />
gas.<br />
Resistensi pneumatik pada aliran gas<br />
turbulen dalam kondisi adiabatik adalah :<br />
0,5<br />
2 ⎛ γV<br />
⎞<br />
fD<br />
R = dimana K =<br />
KAY<br />
⎜<br />
g<br />
⎟<br />
(5)<br />
⎝ ⎠<br />
L<br />
dengan: V = kepala, f = faktor gesekan, D =<br />
diameter lubang, L = panjang ekuivalen, A=<br />
luas batas, g = konstanta gravitas.<br />
Kapasitansi pneumatik bejana<br />
dinyatakan dengan :<br />
V<br />
C = (6)<br />
nGT<br />
dengan: V = volume bejana, n = konstanta<br />
politropik, G = kontanta gas, T = temperatur.<br />
2.3.4. Sistem Hidraulik<br />
Sistem hidraulik mempunyai juga dua<br />
jenis aliran: aliran turbulen dengan bilangan<br />
Reynolds lebih besar dari 4000; dan aliran<br />
laminar dengan bilangan Reynolds kurang<br />
dari 2000. Variabel kuantitas adalah laju<br />
aliran dan variabel potensial adalah<br />
tekanan. Resistensi hidraulik dari aliran<br />
laminar adalah :<br />
128µ<br />
L<br />
R =<br />
4<br />
(7)<br />
πρD<br />
Resistensi hidraulik dari aliran<br />
turbulen adalah :<br />
F<br />
1 2P<br />
R = dimana K =<br />
2 2<br />
(8)<br />
gK A<br />
KA g<br />
Kapasitansi hidraulik untuk tangki<br />
dengan irisan lintang seragam adalah :<br />
Q = A<br />
(9)<br />
dengan: A = irisan lintang tangki pada<br />
permukaan cairan.<br />
2.3.5. Sistem Termal<br />
Ada tiga jenis perpindahan panas:<br />
konduksi, konveksi dan radiasi. Konduksi<br />
apabila perpindahan panas melalui benda<br />
padat. Konveksi apabila melalui pergerakan<br />
cairan atau gas dalam suatu bejana.<br />
Radiasi apabila perpindahan panas dari<br />
suatu permukaan suatu objek ke<br />
permukaan objek yang lain dalam suatu<br />
jarak. Sebagai variabel kuantitas adalah<br />
Entalpi yang umum dikenal sebagai panas,<br />
variabel aliran adalah aliran entalpi atau<br />
aliran panas, dan variabel potensial adalah<br />
temperatur.<br />
Resistensi termal untuk konduksi<br />
melalui suatu bahan homogen adalah:<br />
X<br />
R = (10)<br />
KA<br />
dengan: X = ketebalan, K = konduktivitas<br />
panas, A = luas irisan lintang.<br />
Resistensi termal untuk konveksi<br />
adalah:<br />
1<br />
R = (11)<br />
HA<br />
dengan: H = koefisien konveksi.<br />
Kapasitansi termal dinyatakan dengan:<br />
C = W S<br />
(12)<br />
dengan: W = berat, dan S = spesifikasi<br />
panas pada tekanan tetap.<br />
2.3.6. Sistem Mekanik<br />
Ada dua jenis sistem mekanik:<br />
translasi dan rotasi. Selain resistensi dan<br />
kapasitansi, sistem mekanik mempunyai<br />
karakteristik tambahan dari massa yang<br />
disebut momen inersia. Sebagai variabel<br />
kuantitas adalah momentum, variabel aliran<br />
adalah gaya dan variabel potensial adalah<br />
kecepatan. Menurut hukum Hooke,<br />
konstanta pegas adalah kebalikan dari<br />
turunan pergeseran terhadap gaya:<br />
Kecepa tan<br />
K = (13)<br />
Momentum<br />
8
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Kapasitansi sama dengan konstanta pegas.<br />
Sedangkan resistensi sebanding dengan<br />
konstanta perendaman dari sistem piston<br />
hidraulik.<br />
2.3.7. Sistem Listrik<br />
Sebagai variabel kuantitas adalah<br />
muatan, variabel aliran adalah arus dan<br />
variabel potensial adalah tegangan. Ketiga<br />
sifat dari sistem listrik adalah: resistensi<br />
(V/I), kapasitansi (Q/V) dan induktansi (V/I).<br />
3. METODA NUMERIK<br />
Pemecahan masalah secara<br />
matematik dapat dilakukan dengan metode<br />
analitik atau jika masalah terlampau<br />
kompleks, tidak linier dan multivariabel<br />
maka dilakukan dengan metode numerik.<br />
Metode numerik adalah suatu cabang ilmu<br />
matematika yang menggunakan sistem<br />
bilangan untuk menyelesaikan proses<br />
matematika dengan menggunakan<br />
komputer. Seperti sudah disebutkan diatas<br />
bahwa beberapa sistem fisik seperti<br />
perpindahan massa, difusi neutron,<br />
perpindahan panas, gerak mekanik, termohidraulik,<br />
dsb., dapat dinyatakan dengan<br />
persamaan diferensial. Persamaan<br />
diferensial didefinisikan sebagai hubungan<br />
antara suatu fungsi yang tidak diketahui<br />
dengan satu atau lebih turunan-turunannya.<br />
Ada dua jenis persamaan diferensial:<br />
• Persamaan Diferensial Biasa<br />
(Ordinary Differential Equation)<br />
adalah persamaan diferensial yang<br />
hanya mempunyai satu variabel<br />
bebas. Contoh: y’ = x + y ; variabel<br />
bebasnya disimbolkan dengan x,<br />
sedangkan variabel terikatnya adalah<br />
y yang merupakan fungsi dari x.<br />
• Persamaan Diferensial Parsial<br />
(Partial Differential Equation) adalah<br />
persamaan diferensial yang<br />
mempunyai lebih dari satu variabel<br />
bebas (multivariabel). Turunan fungsi<br />
terhadap setiap variabel bebas<br />
dilakukan secara parsial. Contoh:<br />
persamaan perambatan panas<br />
adalah suatu persamaan diferensial<br />
parsial orde dua (parabolik), dengan<br />
ruang dan waktu sebagai variabelvariabel<br />
bebas.<br />
∂T(x,t)<br />
K 2<br />
= ∇ T(x,t)<br />
∂t<br />
Cρ<br />
(14)<br />
dengan: K = konduktivitas panas<br />
bahan, C = spesifikasi panas, ρ =<br />
kerapatan bahan.<br />
Cara umum untuk menyelesaikan<br />
persamaan diferensial parsial adalah<br />
dengan menuliskan persamaan tersebut<br />
dalam bentuk persamaan diferensial<br />
dengan syarat-syarat batas (boundary<br />
conditions). Dengan membagi daerah<br />
dalam titik-titik jala atau sel-sel, maka<br />
diperoleh sistem persamaan diferensial<br />
yang simultan yang dapat dipecahkan<br />
dengan cara iterasi Gauss-Seidel atau<br />
metode Liebmann. Prinsip ini disebut<br />
dengan diskritisasi domain solusi dalam<br />
ruang dan waktu. Pemecahan lain adalah<br />
dengan metode elemen hingga (Finite<br />
Element Methode). Domain atau struktur<br />
dibagi menjadi elemen-elemen kecil yang<br />
terhubung satu dengan yang lain melalui<br />
titik-titik pertemuan yang disebut titik-titik<br />
simpul (nodal points). Pembagian ini<br />
disebut dengan triangulation. Untuk setiap<br />
elemen, pencarian penyelesaian dilakukan<br />
dengan pendekatan polinomial derajat dua<br />
(parabolik). Penyelesaian dari persamaanpersamaan<br />
ini adalah dengan aljabar linier.<br />
Penyelesaian persamaan diferensial<br />
dengan metode beda hingga atau metode<br />
elemen hingga dalam suatu simulator<br />
reaktor, membutuhkan komputasi yang<br />
sangat intensif, sehingga sulit direalisasikan<br />
dalam waktu nyata jika tidak menggunakan<br />
super-komputer.<br />
3.1. Penyederhanaan dan<br />
Penyelesaian Persamaan<br />
Diferensial<br />
Penyederhanaan dapat dilakukan<br />
dengan mengubah persamaan diferensial<br />
parsial menjadi sejumlah persamaan<br />
diferensial biasa. Misalnya dalam<br />
memecahkan masalah persamaan<br />
perambatan panas, dapat diasumsikan<br />
bahwa ruang dan waktu tergantung pada<br />
fungsi-fungsi yang terpisah dan<br />
perambatanpun dapat diambil dalam satu<br />
koordinat ruang saja. Hasilnya adalah dua<br />
persamaan diferensial biasa:<br />
2<br />
∂ X(x)<br />
2<br />
+ λ X(x) = 0<br />
2<br />
∂x<br />
∂ (t)<br />
+ λ<br />
∂t<br />
T 2<br />
K<br />
T(t)<br />
Cp<br />
= 0<br />
(15)<br />
(16)<br />
dengan: λ adalah suatu konstanta untuk<br />
dihitung.<br />
Pemecahan dalam waktu nyata dari<br />
sejumlah persamaan diferensial biasa<br />
dalam suatu simulator berbasis komputer<br />
digital, membutuhkan aplikasi teknik<br />
integrasi numerik yang stabil dan waktu<br />
integrasi tertentu. Umumnya teknik<br />
integrasi Euler orde pertama sering<br />
digunakan untuk komputasi waktu nyata<br />
9
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
dalam sebagian besar aplikasi simulasi,<br />
karena kesederhanaan skema integrasinya,<br />
kendali kestabilan dan langkah waktu yang<br />
tetap. Ada dua teknik Euler yaitu : Teknik<br />
integrasi Euler eksplisit dan Teknik integrasi<br />
Euler implisit. Pilihan dari teknik Euler yang<br />
akan digunakan tergantung analisis kondisi<br />
kestabilan numerik untuk sejumlah<br />
persamaan yang akan dicari<br />
penyelesaiannya.<br />
Aplikasi simulasi meliputi<br />
penyelesaian persamaan diferensial dan<br />
persamaan aljabar dalam bentuk matriks<br />
yang sangat besar. Ukuran matriks yang<br />
besar jika berisi matriks dengan nilai yang<br />
sangat kecil dan yang sangat besar,<br />
misalnya untuk menyelesaikan persamaan<br />
kekekalan massa dan momentum (tekanan<br />
dan aliran mempunyai konstanta waktu<br />
yang sangat kecil) dan termodinamik<br />
(temperatur mempunyai konstanta waktu<br />
besar), maka matriks tersebut disebut<br />
matriks ”stiff”. Untuk menghitung inverse<br />
dari suatu matriks ”stiff” secara komputasi<br />
adalah sangat mahal dan tidak dapat<br />
dilakukan oleh komputer PC dalam waktu<br />
nyata.<br />
3.2. Validitas dan Reliabilitas<br />
Model simulasi dinamik harus<br />
berlaku diseluruh daerah operasi PLTN,<br />
sebagai contoh: cold start, plant warmup,<br />
loading, full load, unloading, cooldown,<br />
shutdown. Sebagai tambahan, model harus<br />
dilengkapi juga dengan situasi darurat atau<br />
abnormal yang diakibatkan oleh kesalahan<br />
operator atau tidak berfungsinya alat.<br />
Memberikan hasil yang realistik merupakan<br />
kunci dari keandalan simulator dalam<br />
aplikasi pelatihan yang efektif. Model harus<br />
memenuhi beberapa kriteria keandalan<br />
yang disyaratkan, misalnya standar ANSI<br />
untuk ”Nuclear Power Plant Training<br />
Simulator” (ANSI/ANS-3.5-1981), yang<br />
menetapkan bahwa nilai perhitungan<br />
keadaan tunak untuk keseimbangan massa<br />
dan energi dan untuk parameter-parameter<br />
kritis harus dalam toleransi kesalahan ± 2%.<br />
Efektivitas suatu simulator akan jauh<br />
berkurang apabila sering terjadi kegagalan<br />
pada simulator tersebut. Kegagalan dapat<br />
disebabkan karena kerusakan pada<br />
perangkat keras atau akibat kesalahan<br />
model perangkat lunak. Sebagai contoh<br />
kegagalan model adalah akibat adanya<br />
pembagian nol, dimana suatu angka dibagi<br />
dengan angka yang lain, dan mendadak<br />
angka pembagi menjadi nol sehingga<br />
menyebabkan komputer ”crash”. Model<br />
harus melalui pengujian tertentu untuk<br />
menjamin perilaku yang sesuai walaupun<br />
ada diluar daerah jangkauan model<br />
tersebut. Sebagai contoh dalam pengujian<br />
model boiler dalam seluruh daerah operasi,<br />
dapat dilakukan pengujian kondisi ekstrim<br />
dimana seluruh air yang ada menguap. Kita<br />
lihat apakah model masih berfungsi dan<br />
memberikan hasil yang layak.<br />
4. CLASSROOM SIMULATOR<br />
IAEA (International Atomic Energy<br />
Agency) telah mensponsori pengembangan<br />
program komputer yang dioperasikan pada<br />
komputer PC untuk mensimulasikan<br />
beberapa jenis PLTN (BWR, PWR dan<br />
PHWR), dalam rangka membantu negaranegara<br />
anggota dalam pendidikan dan<br />
pelatihan. Tujuannya adalah untuk<br />
meningkatkan wawasan dan pengetahuan<br />
praktis mengenai rancangan dan<br />
karakteristik operasi reaktor, serta tindakantindakan<br />
yang harus dilakukan menghadapi<br />
gangguan dan situasi kecelakaan.<br />
Peralatan dan proses yang dimodelkan<br />
pada simulator adalah menggambarkan<br />
karakteristik PLTN yang sebenarnya.<br />
Walaupun demikian, untuk tujuan simulator<br />
pendidikan, ada beberapa penyederhanaan<br />
dan asumsi-asumsi yang dibuat pada<br />
model dan tidak mengarah pada rancangan<br />
dan keandalan dari PLTN komersial<br />
tertentu. Yang penting diketahui adalah<br />
bahwa tanggap yang diberikan simulator<br />
dalam situasi kecelakaan jangan digunakan<br />
untuk tujuan analisis keselamatan.<br />
Misalnya tanggap dari model dalam<br />
mengestimasi keadaan transien pada<br />
waktu kecelakaan, mungkin<br />
disederhanakan hanya persamaan<br />
diferensial orde pertama saja.<br />
Simulator tersebut dijalankan pada<br />
komputer PC untuk beroperasi dalam waktu<br />
nyata dan memberikan tanggap dinamik<br />
dengan ketaatan yang cukup baik.<br />
Simulator juga dilengkapi dengan<br />
antarmuka manusia-mesin untuk meniru<br />
instrumentasi pada panel kendali yang<br />
sebenarnya dan memungkinkan pemakai<br />
dapat berinteraksi dengan simulator.<br />
Seluruh parameter PLTN yang kritis<br />
terhadap beroperasinya unit dapat<br />
ditampilkan, yaitu parameter-parameter<br />
yang menentukan proses utama, sistem<br />
kendali dan sistem pelindung. Interaksi<br />
antara pemakai dan komputer adalah<br />
melalui kombinasi antara penayangan<br />
monitor, mouse dan keyboard.<br />
Pengembangan model dilakukan dengan<br />
pendekatan modular. Model-model dasar<br />
adalah kombinasi dari persamaan<br />
diferensial orde pertama, persamaan<br />
aljabar dan hubungan logika.<br />
10
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Dalam simulasi reaktor kali ini, kita<br />
akan menampilkan unit-unit dari<br />
pembangkit listrik tenaga nuklir jenis air<br />
ringan (light-water reactor) yaitu PWR<br />
(pressurized-water reactor) dan BWR<br />
(boiling-water reactor) dan membandingkan<br />
antara keduanya. Gambar 2<br />
memperlihatkan sistem PWR 600 Mwe<br />
dengan dua steam generator, 4 loop<br />
resirkulasi dan satu pressurizer di dalam<br />
sistem. PWR mempunyai dua saluran<br />
pendingin (primer dan sekunder). Pendingin<br />
primer dialirkan kedalam inti oleh pompa<br />
resirkulasi dan mengalir membawa panas<br />
Simulator PWR mempunyai 14<br />
tayangan layar interaktif dimana diatas dan<br />
dibawah tayangan diberikan informasi<br />
proses (21 alaram dan pemberitahuan<br />
keadaan). Dibawah layar ditampilkan<br />
parameter-parameter utama PLTN yaitu :<br />
Reactor Neutron Power (%), Reactor<br />
Thermal Power (%), Generator Output (%),<br />
Primary Coolant Pressure (kPa), Core Flow<br />
(kg/sec), Main Steam Pressure (kPa), BOP<br />
Steam Flow (Kg/sec). Dibagian kiri bawah<br />
diberikan tombol inisialiasi untuk dua<br />
kejadian besar pada PLTN: Reactor Trip<br />
dan Turbine Trip. Reactor Power Demand<br />
Gbr. 2 – Simulasi PLTN jenis PWR.<br />
ke heat exchanger. Kondisi operasi normal<br />
PWR pada inti reaktor adalah air dalam<br />
fasa cairan. Pembangkitan uap terjadi<br />
hanya pada fase kedua dari siklus daya,<br />
disebut dengan ”steam generators”.<br />
Tekanan sistem primer dipertahankan oleh<br />
suatu pressurizer yang menggunakan<br />
pemanas listrik untuk memberikan<br />
pemanasan dan tekanan udara, dan<br />
semprotan (spray) untuk pendinginan dan<br />
mengurangi tekanan udara. Kendali daya<br />
reaktor dilakukan dengan kombinasi<br />
beberapa kumpulan batang kendali, boron<br />
cair hanya digunakan untuk masalahmasalah<br />
terbatas. Tidak ada air mendidih<br />
pada inti reaktor PWR selama operasi<br />
normal, sehingga tidak ada perubahan<br />
densitas yang besar pada inti reaktor,<br />
berbeda dengan inti BWR yang selama<br />
transien terjadi perubahan densitas yang<br />
cukup besar.<br />
Setpoint (SP) ditentukan oleh masukan dari<br />
operator atau fungsi terbatas otomatis<br />
(Reactor Stepback atau Reactor Setback).<br />
Turbin trip transien terjadi sebagai akibat<br />
dari load rejection atau tidak berfungsinya<br />
turbin. Reactor trip (reactor scram) adalah<br />
tindakan perlindungan reaktor yang<br />
dilakukan oleh Reactor Safety Shutdown<br />
System ketika mendeteksi alaram karena<br />
dilampauinya batas oleh parameterparameter<br />
tertentu pada inti reaktor, aliran<br />
pendingin dan sistem BOP (Balance of<br />
Plant).<br />
5. KESIMPULAN<br />
Kecelakaan nuklir yang terjadi akhirakhir<br />
ini umumnya disebabkan oleh<br />
kesalahan manusia. Kecelakaan tersebut<br />
dapat dicegah dan dihindari apabila<br />
operator dapat bertindak cepat dan tepat,<br />
sesuai prosedur. Karena itu operator-<br />
11
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
operator PLTN perlu dididik dan dilatih<br />
secara kontinyu, baik dalam kondisi normal<br />
maupun kondisi pengoperasian PLTN yang<br />
abnormal, dengan menggunakan Full<br />
Scope Training Simulator. Dalam persiapan<br />
pembangunan PLTN dan untuk mendidik<br />
dan melatih personal sebelum Full Scope<br />
Training Simulator dapat beroperasi,<br />
Classroom Simulator dapat digunakan<br />
sebagai pelengkap yang murah dan efektif.<br />
Pengembangan PLTN generasi baru<br />
telah menerapkan teknologi nuklir dengan<br />
kehandalan tinggi terhadap tuntutan<br />
keamanan yang semakin ketat dan<br />
persaingan harga yang semakin kompetitif.<br />
Rancangan baru PLTN telah<br />
menerapkan ”computer aided diagnostics”<br />
untuk memberikan indikasi dini jika terjadi<br />
ketidak normalan pada komponen atau<br />
sensor. Untuk menjamin keselamatan<br />
pengoperasian PLTN, maka dipasang<br />
sistem instrumentasi dan kontrol yang<br />
termaju, perawatan secara on-line dan<br />
kemungkinan penerapan sistem pakar.<br />
Untuk itu dibutuhkan simulator pelatihan<br />
PLTN yang lebih baik, kalau perlu dengan<br />
menerapkan teknologi realitas virtual yang<br />
dapat memberikan gambaran ruang yang<br />
lebih lengkap.<br />
12
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Peranan Simulasi Dan Komputasi Dalam Industri Proses<br />
Ade Jamal<br />
Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi dan Elektronika,<br />
BPP Teknologi<br />
Gedung BPPT II lt.. 4, Jl. MH Thamrin 8, Jakarta 10340<br />
1. Latar Belakang<br />
Negara Indonesia sebagai salah satu<br />
negara penghasil minyak dan gas (migas)<br />
terbesar di dunia, pastilah tidak akan lepas<br />
dari industri proses. Mulai dari pengeboran<br />
(produksi), penyulingan, sampai ke industri<br />
petrokimia sebagai turunan dari industri<br />
migas ada di negara ini.<br />
Sektor industri proses ini sebagai salah<br />
satu buah dari perkembangan teknologi<br />
industri di awal abad 20, mulai dari awal<br />
sejarahnya diketahui sebagai sektor yang<br />
memerlukan kemampuan teknologi yang<br />
tinggi. Kemampuan ini dituntut bukan hanya<br />
karena kepentingan ekonomis dari industri,<br />
tapi lebih penting karena faktor keselamatan,<br />
khususnya keselamatan jiwa manusia yang<br />
berhubungan dengan industri tersebut.<br />
Beberapa contoh mulai dari awal sejarah<br />
revolusi industri, ketel uap kapal Sultana<br />
pada tahun 1865 meledak dan meminta<br />
korban jiwa sampai 1500 orang. Ledakanledakan<br />
lain terus terjadi, sehingga negaranegara<br />
industri awal dipelopori oleh Amerika<br />
pda tahun 1906 membuat undang-undang<br />
untuk bejana dan pipa tekan yang<br />
merupakana pokok utama dari industri proses.<br />
Selain faktor keamanan, industriawan<br />
juga dihadapi oleh masalah biaya yang tinggi<br />
baik untuk investasi maupun produksi dalam<br />
industri proses ini. Perbaikan desain,<br />
pembangunan, pengoperasian dan<br />
perawatan dari industri proses terus<br />
dilakuakan baik demi keamanan maupun<br />
kepentingan finansial.<br />
Sebelum ditemukannya komputer<br />
semua kegiatan dalam siklus umur sebuah<br />
industri proses: desain, enjiniring, konstruksi,<br />
operasi, perawatan, dilakukan secara manual.<br />
Kemajuan perkembangan teknologi komputer<br />
khususnya tiga dasa warsa terakhir membuat<br />
banyak perubahan di segala lini dan fase dari<br />
siklus hidup industri proses ini .<br />
2. Siklus Industri Proses<br />
Siklus dari sebuah industri proses<br />
dimulai dari meja kerja perekayasa membuat<br />
konsep desain proses sampai setelah industri<br />
itu beroperasi dan memberikan masukan dan<br />
data kembali ke meja kerja enjinir untuk<br />
perbaikan konsep bahkan pembuatan konsep<br />
baru.<br />
Segala kegiatan di tiap tahap<br />
tergantung dari informasi tahapan<br />
sebelumnya dan menuntut penyampaian<br />
informasi ini dengan akurat dan cepat.<br />
Khususnya di fase perancangan<br />
keterbatasan waktu yang disediakan<br />
merupakan hal yang sangat penting dalam<br />
siklus ini. Difase operasi terbukti bahwa<br />
automasi telah banyak membantu dan<br />
memberikan peningkatan efisiensi produksi<br />
dan tingkat keamanan yang tinggi.<br />
Pengolahan data yang benar dan terintegarsi,<br />
mulai dari perancangan, sampai operasi,<br />
memberikan kemudahan untuk perawatan<br />
dan juga menjadi kunci penting dari<br />
perbaikan perancangan selanjutnya.<br />
Kemajuan teknologi komputer saat ini<br />
memberikan solusi yang tepat untuk tuntutan<br />
ini.<br />
3. Teknologi Komputer di Industri Proses<br />
Sejarah telah membuktikan bahwa<br />
teknologi industri proses ini sudah mencapai<br />
kedewasaannya di pertengahan abad 20,<br />
sementara teknologi komputer baru saja<br />
ditemukan saat itu. Selain karena itu<br />
ditambah dengan karakter umum dari pelaku<br />
industri proses yang konservatif, maka<br />
penerapan teknologi komputer di industri<br />
proses, khususnya dibidang perekayasaan<br />
tidaklah secepat di bidang lainya seperti<br />
bidang niaga, perbankan dan telekomunikasi<br />
maupun industri manufaktur.<br />
Dua dasa warsa terakhir, dengan<br />
semakin populernya PC, pemain-pemain<br />
lama mulai dikejar oleh orang muda yang<br />
lebih dapat menerima komputer sebagai alat<br />
bantu kerjanya.<br />
13
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Di fase operasi, teknik kontrol dari<br />
proses sebelum era komputer digital telah<br />
dikenal dengan menggunakan teknologi<br />
analog (elektrikal, pneumatis maupun<br />
hidraulis). Peralihan ke teknik kontrol<br />
berbasis komputer digital merupakan hal<br />
yang logis. Walaupun lebih mudah diterima,<br />
sifat konservatif dari pihak industri tertampak<br />
dengan mengharuskan sistem cadangan<br />
yang manual atau semi manual.<br />
Fase perancangan baik konsep<br />
maupun detail merupakan lahan kedua yang<br />
menerima masuknya teknologi komputer.<br />
Disini campur tangan dari pihak enjiniiring<br />
dan kontraktor yang melihat potensi teknologi<br />
komputer ini sebagai alat bantu mendapatkan<br />
keuntungan yang lebih besar karena<br />
kemungkinan berkurangnya biaya pekerja<br />
(jam kerja). Penggunaan komputer di fase<br />
perancangan bisa diklasifikasikan menjadi<br />
dua, yaitu perancangan dalam arti gambar<br />
berbasis komputer (CAD) dan perancangan<br />
dalam arti analisa enjiniring (komputasi CAE).<br />
Penerimaan teknologi dari dua jenis ini agak<br />
berbeda. CAD yang teknologinya sebetulnya<br />
lebih lambat berkembangnya karena antara<br />
lain membutuhkan peralatan komputer grafis<br />
yang canggih, tapi lebih cepat diterimanya di<br />
dunia enjiniring sebagai pengganti pena,<br />
penggaris dan kertas. Satu dasa warsa<br />
terakhir ini kemajuan komputer grafis<br />
sangatlah cepat melampaui kemajuan dari<br />
teknologi komputasi/CAE yang lebih dahulu<br />
dikembangkan, yaitu tidak lama sesudah<br />
komputer ditemukan.<br />
Dalam fase perancangan konsep,<br />
komputasi dan simulasi proses merupakan<br />
alat bantu dari sumber informasi utamanya<br />
yaitu, eksperimen dan pengalaman ataupun<br />
masukkan dari data operasi industri yang<br />
sudah jalan. Berhubung ketergangtungan<br />
akan data-data eksperimen, dan data-data<br />
dari industri yang sudah beroperasi,<br />
komputasi dan simulasi untuk perancangan<br />
konsep biasanya tidak mudah didapat oleh<br />
umum dan kalaupun ada harganya sangat<br />
tinggi.<br />
Selain di fase perancangan dan<br />
operasi, teknologi komputer tidak begitu<br />
dikenal sampai beberapa tahun terakhir,<br />
dimana Mangement Information System<br />
(MIS) juga masuk kedunia industri proses.<br />
Pengembang CAD yang telah lebih dahulu<br />
memiliki market disini, mengantisipasi<br />
dengan mengembangkan produknya tidak<br />
hanya sekedar alat bantu menggambar, tapi<br />
merupakan bagian dari MIS. Dan lebih jauh<br />
dari itu keseluruhan siklus hidup dari Industri<br />
proses tersebut dilayani oleh satu paket<br />
produknya. Kecenderungan yang sangat<br />
berambisi ini menjiwai perkembangan<br />
teknologi komputer didunia industri proses.<br />
Hanya saja pemakaian teknologi ini dan<br />
dampak positifnya masih harus dibuktikan<br />
untuk mempertanggung jawabakna investasi<br />
yang tidak kecil.<br />
4. Peranan Komputasi dan Simulasi<br />
Telah disebutkan diatas bahwa<br />
penerapan teknologi komputasi dan simulasi,<br />
secara kuantitas, lebih rendah dibandingkan<br />
penerapan misalnya otomasi proses kontrol<br />
dan teknologi CAD. Tapi peranan bidang ini<br />
mulai meningkat karena ada kebutuhan yang<br />
lebih tinggi misalnya untuk efisiensi dari<br />
pabrik industri yang sudah beroperasi, atau<br />
adanya keinginan menaikkan jumlah produksi,<br />
atau untuk mengevaluasi umur pabrik yang<br />
berdasarkan spesifikasi rancangan sudah<br />
uzur. Untuk tujuan seperti ini kegunaan<br />
teknologi komputasi dan simulai tidak bisa<br />
diabaikan.<br />
Selain alasan tadi, pelaku industripun<br />
belajar dari pengalaman mengoperasikan<br />
pabriknya, bahwa banyak hal yang sering<br />
diabaikan dalam perancangan ternyata harus<br />
dibayar mahal dalam perawatannya. Sebagai<br />
contoh saja, vibrasi sonik yang selalu<br />
dihindarkan dengan aturan standar (rule of<br />
thumb), dapat mengakibatkan getaran pada<br />
klep pengontrol yang mengakibatkan<br />
kebocoran. Problem-problem praktis ini<br />
biasanya tidak diantisipasi pada fase<br />
perancangan detail karena sifat dinamis dari<br />
permasalahannya. Dunia enjiniring selalu<br />
menyederhanakan permasalahan karena<br />
alasan waktu yang tersedia bagi mereka<br />
dalam menyelesaikan tugas perancangannya.<br />
Kalau dulu, problem dinamis biasanya<br />
diselesaikan secara lapangan (field trouble<br />
shooting) atau mungkin juga dibawa<br />
kelaboratorium penelitian atau akademis<br />
untuk dicari solusinya, operator yang sering<br />
menemukan permasalahan ini mulai<br />
menuntut pihak enjiniring dan kontraktor<br />
untuk meningkatkan spesifikasi<br />
rancangannya dengan memasukkan<br />
permasalahan dinamis ini. Disini peranan<br />
komputasi dan simulasi akan diuji lebih jauh<br />
kegunaan praktisnya.<br />
5. Penutup- Kondisi di Indonesia<br />
Harus kita akui bahwa sebagai negara<br />
yang sedang berkembang menuju negara<br />
industri, negara kita tidaklah lebih baik<br />
dibandingkan dengan negara lain. Dengan<br />
tingkat “melek komputer” yang baru<br />
meningkat, bangsa kita belumlah cukup<br />
menikmati kemajuan teknologi komputer<br />
semaksimal mungkin di industri proses ini.<br />
Perancangan konsep, yang<br />
sebenarnya awal dari siklus tertutup industri<br />
proses masih belum banyak yang berani<br />
menyentuhnya. Walaupun ini merupakan inti<br />
14
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
dari ilmu industri proses, kita masih sangat<br />
menggantungkan diri ke negara maju.<br />
Perancangan detail dan enjiniring sudah<br />
mulai dilakukan sendiri oleh putra bangsa,<br />
walaupun disana-sini expat masih sering<br />
ditemukan. Khususnya untuk hal-hal yang<br />
berhubungan dengan komputasi dan simulasi<br />
orang Indonesia masih belum cukup<br />
menghargai kemampuan diri sendiri. Hanya<br />
di bidang teknik struktur sipil, sumber daya<br />
manusianya cukup tersedia. Untuk bidang<br />
seperti mekanikal apalagi proses masih<br />
terlalu langka.<br />
Walaupun demikian tidaklah benar<br />
kalau negara kita dibilang ketinggalan dalam<br />
menerapkan teknologi komputer di duinia<br />
industri proses kita. Untuk otomasi proses,<br />
instrumentasi dan kontrol, industri kita sudah<br />
menggunakan peralatan yang berteknologi<br />
“state of the art”.<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Bausbacher, E. and Hunt, R., Process<br />
Plant Layout and Piping Design, Prentice<br />
Hall, Englewood Cliffs.<br />
2. Ertas, A. and Jones, J.C., 1996, The<br />
Engineering Design Process, John Wiley<br />
& Sons.<br />
3. Jawad, M. H. and Farr, J.R., 1984,<br />
Structural Analysis and Equipment<br />
Design of Process Equipment, A Wiley-<br />
Interscience Publication, John Wiley &<br />
Sons.<br />
4. Woods, G.E. and Baguley, R.B. 1996,<br />
Practical Guide to ASME B31.3, Process<br />
Piping, , CASTI Publishing Inc.<br />
5. Adams, V. and Askenazi, A., 1999,<br />
Building Better Products with Finite<br />
element Analysis,OnWord Press, USA.<br />
15
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Konstruksi dan Pengembangan Pengolah Paralel<br />
Menggunakan Klaster PC<br />
Ir. Hermawan K. Dipojono, MSEE, Ph.D<br />
DEPARTEMEN TEKNIK FISIKA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Klaster komputer pribadi (KP) atau<br />
personal computer (PC) adalah kumpulan<br />
KP yang terhubungkan dalam sebuah<br />
jaringan komputer dan berfungsi sebagai<br />
sebuah komputer untuk menyelesaikan<br />
suatu persoalan secara serempak<br />
(simultaneous). Oleh karena itu dengan<br />
menggunakan klaster KP ini diharapkan<br />
suatu program atau persoalan dapat<br />
dieksekusi dengan lebih cepat. Sudah<br />
barang tentu hanya problema yang dapat<br />
dipilah-pilah menjadi bagian-bagian yang<br />
dapat diproses secara terpisahlah yang<br />
dapat memanfaatkan secara maksimal<br />
fasilitas klaster KP ini.<br />
Kami memilih klaster KP sebagai<br />
pengganti komputer super karena melihat<br />
adanya sejumlah keuntungan yaitu:<br />
• Setiap KP di dalam klaster<br />
merupakan sistem yang lengkap<br />
sehingga dapat digunakan untuk<br />
berbagai keperluan lainnya. Dengan<br />
demikian pada saat tidak digunakan<br />
untuk keperluan komputasi intensif<br />
masingmasing mesin dapat<br />
digunakan untuk keperluan lainnya<br />
sehingga tidak terjadi kesia-siaan.<br />
• Dengan meningkatnya kebutuhan<br />
jaringan komputer maka hampir<br />
seluruh perangkat keras yang<br />
diperlukan untuk membangun klaster<br />
telah tersedia di pasaran. Lebih dari<br />
itu perangkat keras yang dibutuhkan<br />
itu telah membanjiri pasar sehingga<br />
harganyapun terus menurun.<br />
Penghematan masih dapat terus<br />
dilakukan mengingat bahwa<br />
sebenarnya untuk seluruh klaster<br />
hanya diperlukan sebuah monitor,<br />
sebuah video card, dan sebuah<br />
keyboard saja.<br />
• Skala klaster dapat sangat besar,<br />
dengan sedikit kerja tambahan<br />
klaster ini dapat diperluas sehingga<br />
mempunyai anggota dalam jumlah<br />
ratusan, bahkan seluruh internet<br />
dapat dilihat sebagai sebuah klaster.<br />
• Mengganti sebuah anggota klaster<br />
yang rusak dapat dilakukan dengan<br />
sangat mudah dan sederhana. Ini<br />
penting khususnya untuk<br />
penggunaan yang menuntut toleransi<br />
perbaikan yang amat tinggi.<br />
• Telah tersedianya berbagai aplikasi<br />
publik yang mendukung<br />
pengembangan klaster KP sebagai<br />
sistem pengolah paralel.<br />
• Harganya yang jauh lebih murah<br />
dibanding, namun mempunyai kinerja<br />
yang sebanding, dengan komputer<br />
super.<br />
Penelitian ini telah kami lakukan di<br />
Laboratorium Komputasi Sains Materi dan<br />
Komputasi Kinerja Tinggi, Departemen<br />
Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri,<br />
Institut Teknologi Bandung dalam dua<br />
tahun terakhir ini. Pada tahap awal ini kami<br />
menggunakan 4 buah KP, sistem operasi<br />
LINUX, dan paralelisasi dengan MPI<br />
(Message Passing Interface). Pada saat ini<br />
kami mengembangkan klaster sehingga<br />
mempunyai anggota 8 KP dan selanjutnya<br />
berencana untuk memanfaatkan ratusan<br />
KP yang telah terhubungkan dalam suatu<br />
jaringan komputer dengan LAN. Pada awal<br />
kegiatan dalam penelitian ini kami fokuskan<br />
pada instalasi berbagai perangkat keras,<br />
perangkat lunak, dan uji kinerja klaster.<br />
Seluruh perangkat lunak yang kami<br />
gunakan sepenuhnya berasal dari domain<br />
publik. Melalui penelitian ini kami berharap<br />
dapat membangun sebuah perangkat<br />
komputasi yang dapat digunakan untuk<br />
memecahkan problema fisis yang<br />
memerlukan komputasi intensif. Penelitian<br />
ini, pada tahun pertama, bertujuan untuk:<br />
• Membangun, menguji dan<br />
mengembangkan sistem pengolah<br />
paralel menggunakan klaster KP<br />
dengan memanfaatkan semaksimal<br />
mungkin sistem operasi dan aplikasi<br />
publik sehingga dapat menekan<br />
biaya serendah mungkin<br />
Keberhasilan dalam membangun dan<br />
mengembangkan sistem pengolah paralel<br />
murah melalui penggabungan sejumlah KP<br />
ini akan membuka kemungkinan<br />
penggunaannya di berbagai bidang yang<br />
memerlukan komputasi intensif tanpa harus<br />
menggunakan komputer super yang amat<br />
mahal. Dalam penelitian selanjutnya kami<br />
akan memanfaatkannya untuk meneliti<br />
sistem atom-atom dan elektron-elektron<br />
yang amat memerlukan komputasi intensif.<br />
Meskipun demikian tidak berarti bahwa<br />
16
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
bidang-bidang lainnya, termasuk bidang<br />
atau ilmu sosial, tidak dapat memanfaatkan<br />
fasilitas komputasi paralel ini.<br />
Di samping itu dalam masa-masa<br />
mendatang akan terdapat ribuan komputer<br />
yang sudah dianggap kuno, tidak dapat<br />
digunakan untuk mengolah aplikasi terbaru<br />
lagi, padahal jika mereka digabung dalam<br />
klaster sebenarnya masih mempunyai<br />
kemampuan yang hebat. Oleh karena itu<br />
penguasaan teknologi klaster ini menjadi<br />
suatu keharusan bagi institusi pendidikan<br />
dan penelitian yang mempunyai dana<br />
terbatas namun menghadapi problematika<br />
komputasi yang amat intensif. Makalah<br />
yang singkat ini akan menyampaikan<br />
pengalaman kami dalam membangun dan<br />
memanfaatkan klaster KP untuk keperluan<br />
simulasi dinamika molekul sistem fisis<br />
kompleks yang amat memerlukan<br />
komputasi yang amat intensif. Menjadi<br />
harapan kami laporan kegiatan ini akan<br />
membuka sinergi dengan peneliti, penekun,<br />
dan pengguna klaster KP di manapun<br />
mereka berada. Kami berharap hasil<br />
penelitian kami dalam usaha untuk<br />
menguasai teknologi klaster ini dapat<br />
dimanfaatkan oleh rekan- rekan peneliti<br />
maupun pengajar dari manapun mereka<br />
berasal dan di manapun mereka berada.<br />
2 TINJAUAN PUSTAKA<br />
Secara generik klaster KP terdiri atas<br />
sejumlah KP yang terhubungkan dengan<br />
sebuah pemutus berkecepatan tinggi (high<br />
speed switch). Jadi setiap anggota klaster<br />
merupakan sebuah sistem tersendiri yang<br />
mempunyai pengolah (processor), baik<br />
tunggal maupun jamak, memori, sistem<br />
operasi, dan perangkat I/O (input output)<br />
sendiri. Anggota-anggota klaster ini dapat<br />
ditempatkan di sebuah tempat bersamasama<br />
atau terpisah secara fisik dan<br />
dihubungkan oleh suatu jaringan<br />
komunikasi komputer [1].<br />
Paradigma pemrograman serial hadir<br />
terlebih dahulu dibanding paradigma paralel.<br />
Perbedaan utama dari kedua paradigma ini<br />
terletak pada jumlah penggunaan pengolah<br />
dan jumlah program yang bekerja. Pada<br />
pemrograman serial hanya terdapat satu<br />
program yang bekerja pada sebuah mesin<br />
dengan pengolah tunggal beserta sejumlah<br />
memori. Sedangkan dalam paradigma<br />
pemrograman paralel, sebuah program<br />
bekerja di banyak mesin yang masing<br />
masingnya dapat mempunyai pengolah<br />
tunggal ataupun jamak dan mempunyai<br />
sejumlah memori, serta bekerja secara<br />
simultan untuk memecahkan sebuah<br />
persoalan yang dapat dipilah-pilah<br />
sehingga dapat diselesaikan secara paralel.<br />
Agar pelaksanaan atau eksekusi paralel<br />
dapat berlangsung dengan baik maka<br />
dibutuhkan kerjasama yang baik antar<br />
pengolah itu. Untuk koordinasi kerjasama<br />
tersebut dibutuhkan sarana komunikasi<br />
antar pengolah. Dalam penelitian ini kami<br />
menggunakan fasilitas message passing<br />
(MP) untuk komunikasi antar pengolah.<br />
Paradigma MP berkembang sangat pesat<br />
akhir-akhir ini. Alasan utama dari<br />
banyaknya pengguna MP adalah karena ia<br />
dapat mendukung hampir semua arsitektur<br />
komputer. Program yang dibuat dengan<br />
menggunakan MP ini dapat digunakan di<br />
sistem klaster maupun sistem komputer<br />
pengolah tunggal [2]. Pada saat ini ada dua<br />
sistem MP yang sering dipakai untuk<br />
aplikasi sains dan rekayasa, yaitu PVM<br />
(Parallel Virtual Machine) dari Oak Ridge<br />
National Laboratory [3] dan MPI (Message<br />
Passing Interface) yang ditetapkan oleh<br />
Forum MPI. Klaster KP kami menggunakan<br />
MPI varian<br />
3 PEMBUATAN SISTEM KLASTER<br />
Perangkat yang digunakan dalam<br />
pembuatan klaster kami terdiri atas<br />
perangkat keras dan perangkat lunak<br />
dengan rincian sebagai berikut:<br />
1. Perangkat Keras<br />
• 8 buah KP dengan pengolah Pentium<br />
4, 2 GHz, memori DDRAM 256MB,<br />
hard disk 40 GB, dan kartu ethernet<br />
3 Com 3c905 Boomerang<br />
• Kabel UTP kategori 5 dengan<br />
konektor RJ45<br />
• 1 buah switch hub Cisco Catalyst seri<br />
2950<br />
• 1 CDROM untuk instalasi perangkat<br />
lunak<br />
• 1 buah keyboard, 1 buah monitor dan<br />
1 buah mouse<br />
2. Perangkat Lunak<br />
• Sistem operasi RedHat Linux 8.0<br />
dengan kernel 2.4.20<br />
• MOSIX 1.9.0 untuk kernel 2.4.20<br />
• MPICH 1.2.5 sebagai perangkat<br />
lunak message passing<br />
• Compiler gcc versi 3.2<br />
• Program ganglia versi 2.5.3 untuk<br />
memantau klaster melalui web<br />
browser<br />
• Program benchmark HPL versi 1.0<br />
• Program benchmark throughput<br />
jaringan netperf versi 2.2 p14<br />
• Program DFT++ versi 3.0<br />
• Library FFTW versi 2.1.3<br />
• Library ATLAS versi 3.4.1 yang<br />
menyediakan LAPACK secara<br />
lengkap<br />
17
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
3.1 Prosedur Pembuatan<br />
Prosedur pembuatan sistem klaster<br />
yang telah kami lakukan pada prinsipnya<br />
dapat dibedakan atas dua jenis prosedur<br />
yaitu prosedur instalasi perangkat keras<br />
dan prosedur instalasi perangkat lunak.<br />
Berikut ini rincian dari kedua jenis prosedur<br />
yang kami gunakan untuk pembuatan<br />
sistem klaster.<br />
3.1.1 Instalasi Perangkat Keras<br />
Topologi jaringan yang digunakan<br />
untuk klaster ini adalah jenis bintang(star)<br />
di mana semua simpul (node) terhubung<br />
pada hub atau switching hub.<br />
Kartu ethernet yang kami gunakan adalah<br />
kartu ethernet jenis fast ethernet 100<br />
Mbit/detik. Untuk menghubungkan kartu<br />
ethernet ke switch hub kami menggunakan<br />
kabel UTP kategori 5 yang biasa digunakan<br />
pada jaringan 100 Mbits/detik. Untuk<br />
menjaga kestabilan tenaga listrik kami<br />
menggunakan stabilizer sedangkan untuk<br />
menjaga catu daya kami menggunakan<br />
UPS.<br />
3.1.2 Instalasi Perangkat Lunak<br />
Ada sejumlah perangkat lunak yang<br />
diperlukan dalam pembangunan klaster ini.<br />
Kesemua aplikasi ini sengaja kami<br />
usahakan untuk dapat diperoleh secara<br />
cuma-cuma (open source codes) dari situs<br />
publik sehingga mengurangi beban biaya.<br />
Dalam laporan ini rincian instalasi kami<br />
sajikan secara rinci sehingga publik dapat<br />
memanfaatkannya secara maksimal.<br />
Instalasi Sistem Operasi Linux<br />
Perangkat lunak yang pertama kali<br />
dipasang adalah sistem operasi yang<br />
dalam hal ini kami menggunakan Linux<br />
RedHat versi 8.0. Hal ini dapat dilakukan<br />
dengan pertama mengubah setting pada<br />
BIOS komputer agar memulai proses<br />
booting dari CDROM. Selanjutnya instalasi<br />
akan mendapat bimbingan langsung (on<br />
line). Di samping itu kami juga merasa perlu<br />
untuk memasang Java Development Kit<br />
(JDK) versi 1.3.1 sehingga<br />
programprogram dalam bahasa Java<br />
nantinya dapat pula ditangani oleh klaster<br />
kami.<br />
Pemberian Alamat IP (internet protocol)<br />
root > ls<br />
j2sdk-1 3 1 02-linux-i386.bin<br />
root > chmod 755 j2sdk-1 3 1 02-linux-i386.bin<br />
root > ./j2sdk-1 3 1 02-linux-i386.bin<br />
Gambar 1. Perintah instalasi Java<br />
Development Kit.<br />
Untuk membedakan antara satu<br />
anggota dengan anggota klaster lainnya<br />
maka setiap anggota diberi alamat IP yang<br />
berbeda. Pengalokasian alamat IP kami<br />
lakukan dengan menggunakan standar<br />
yang digariskan oleh IANA (Internet<br />
Assigned Numbers Authority). Badan inilah<br />
yang menjaga agar tidak terjadi konflik<br />
karena ada pemakaian IP yang sama.<br />
Berdasarkan RFC1597 untuk jaringan<br />
pribadi (private) dapat dipakai alokasi IP<br />
sebagai berikut:<br />
• Jaringan kelas A: 10.0.0.0 - 10.255.255.255<br />
• Jaringan kelas B: 172.16.0.0 -<br />
172.31.255.255<br />
• Jaringan kelas C: 192.168.0.0 -<br />
192.168.255.255<br />
Karena sistem klaster yang kami<br />
kembangkan saat ini hanya mempunyai<br />
anggota sebanyak 8 KP maka yang<br />
digunakan adalah kelas C. Untuk anggota<br />
nomor 1 kami beri alamat IP 192.168.1.1<br />
dan untuk anggota lainnya kami beri alamat<br />
192.168.1.x dengan x merupakan nomor<br />
urut anggota selanjutnya.<br />
Instalasi Remote Shell<br />
Remote shell dipasang dalam klaster<br />
dengan tujuan agar login ke remote host<br />
dapat dilakukan tanpa password. Layanan<br />
remote shell (rsh) dapat tersedia di setiap<br />
anggota klaster dengan cara mengaktifkan<br />
terlebih dahulu server rsh dan rlogin. Daftar<br />
anggota yang diijinkan mengakses layanan<br />
rsh disimpan di dalam file rhost yang<br />
terletak di home directory setiap anggota<br />
klaster. Sedangkan jika diinginkan<br />
konfigurasi yang berlaku secara global<br />
maka daftar nama anggota disimpan pada<br />
file /etc/hosts.equiv. login ke anggota yang<br />
lain dapat dilakukan dengan menggunakan<br />
perintah rsh. Jika konfigurasi telah<br />
dilakukan secara benar maka login akan<br />
secara otomatis memindahkan layanan<br />
kerja ke anggota yang dituju tanpa<br />
memerlukan password lagi.<br />
Gambar 2. rsh dari anggota nomor 1 ke<br />
root@anggota-1 root > ssh node-2<br />
root@anggota-2 root ><br />
anggota nomor 2<br />
Instalasi Secure Shell (ssh)<br />
ssh adalah layanan sejenis rsh<br />
namun disertai adanya enkripsi terhadap<br />
data. Jika diinginkan agar tidak perlu<br />
memasukkan password pada saat login ke<br />
anggota klaster yang lain maka perlu dibuat<br />
sebuah kunci pengenalan authentication<br />
key yang terdiri dari sebuah public key<br />
untuk eknripsi data dan sebuah kunci<br />
18
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
pribadi (private key) untuk melakukan<br />
dekripsi (decrypt) data. Untuk membuat<br />
sebuah kunci pengenalan dapat digunakan<br />
program ssh-keygen diikuti dengan<br />
disalinnya file ~/.ssh/id_rsa.pub ke dalam<br />
file ~/.ssh/authorized_keys2 yang harus<br />
selalu ada di setiap anggota klaster.<br />
root@anggota-1 root > rsh node-2<br />
Last login: Mon Oct 2 05:04:01 from master<br />
root@anggota-2 root ><br />
Gambar 3. ssh dari anggota nomor 1<br />
ke anggota nomor 2.<br />
Instalasi MOSIX<br />
Kami menggunakan MOSIX versi<br />
1.9.0 yang diperuntukkan bagi kernel Linux<br />
versi 2.4.20. Adapun prosedur instalasi<br />
MOSIX adalah sebagai berikut:<br />
• Ekstrak file MOSIX dengan<br />
menggunakan perintah:<br />
tar -zxvf MOSIX-1.90.tgz<br />
tar -zxvf MOSKRN-1.90.tgz<br />
tar -jxvf linux-2.4.20.tar.bz2 -C /usr/src<br />
• Masuklah ke direktori MOSIX-1.9.0<br />
dengan perintah cd MOSIX-1.9.0<br />
• Lakukan instalasi MOSIX dengan<br />
perintah ./mosix_install<br />
• Setelah itu akan muncul tampilan<br />
konfigurasi kernel<br />
• Pilih konfigurasi kernel yang sesuai<br />
dengan perangkat keras dan perangkat<br />
lunak yang kita miliki. Bagian yang<br />
harus diperhatikan antara lain adalah<br />
dukungan MOSIX, jenis pengolah, kartu<br />
jaringan dan jangan lupa matikan<br />
dukungan untuk PCMCIA dan SCSI jika<br />
memang perangkat keras<br />
pendukungnya tidak tersedia<br />
• Setelah semua konfigurasi serta<br />
kompilasi kernel selesai, reboot<br />
komputer<br />
• Tambahkan baris berikut pada file<br />
/etc/mosix.map:<br />
1 192.168.1.1 8<br />
#<br />
MOSIX CONFIGURATION<br />
# -------------------<br />
# Each line should contain 3 fields,<br />
mapping IP<br />
# addresses to MOSIXnode-numbers:<br />
# 1) first MOSIX node-number in range<br />
# 2) IP address of the above node<br />
# 3) number of nodes in this range<br />
#<br />
# MOSIX IP number-of-nodes<br />
# ---------------------<br />
1 192.168.1.1 8<br />
Gambar 4: Konfigurasi file /etc/mosix.map<br />
Setelah proses instalasi di atas<br />
selesai maka dengan menggunakan root<br />
nama-nama host untuk setiap anggota<br />
klaster (node) ditambahkan pada file<br />
/etc/hosts sehingga isinya menjadi seperti<br />
Gambar 5 di bawah ini<br />
Dengan perintah mon dapat dilihat apakah<br />
instalsi MOSIX telah sesuai dengan semua<br />
prosedur atau belum.<br />
127.0.0.1 localhost<br />
192.168.1.1 node-1<br />
192.168.1.2 node-2<br />
192.168.1.3 node-3<br />
192.168.1.4 node-4<br />
192.168.1.5 node-5<br />
192.168.1.6 node-6<br />
192.168.1.7 node-7<br />
192.168.1.8 node-8<br />
Gambar 5: Isi dari file /etc/hosts<br />
Instalasi MPICH<br />
Instalasi dilakukan dengan<br />
menggunakan MPICH versi 1.2.5 yang<br />
dapat diperoleh secara resmi dari situs<br />
MPICH melalui prosedur sebagai berikut:<br />
• Esktrak file mpich.tar.gz<br />
• Masuk ke dalam direktori mpich-1.2.5<br />
• Konfigurasi MPICH dengan prosedur<br />
berikut:<br />
1. ./configure<br />
2. --prefix=/usr/local/mpich-1.2.5<br />
3. --with-device=ch_p4mpd<br />
4. --with-arch=LINUX<br />
5. -rsh=rsh<br />
di mana di sini telah digunakan:<br />
• --prefix untuk menentukan di mana<br />
program mpich akan di install<br />
• --with-device=ch_p4mpd<br />
menentukan cara komunikasi antar<br />
anggota, yaitu dengan menggunakan<br />
metoda p4 dengan sistem startup<br />
MPD<br />
• --with-arch=LINUX yang berarti<br />
bahwa program mpich akan<br />
digunakan pada arsitektur KP<br />
dengan sistem operasi LINUX<br />
soliton@node-1 > cat machines.LINUX<br />
node-1<br />
node-2<br />
node-3<br />
node-4<br />
node-5<br />
node-6<br />
node-7<br />
node-8<br />
Gambar 6: Nama-nama anggota klaster di<br />
dalam file machines.LINUX<br />
19
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
• -rsh=rsh untuk petunjuk bahwa akses<br />
antar anggota dilakukan dengan<br />
menggunakan rsh. Opsi ini perlu<br />
digunakan karena pada versi terbaru,<br />
default yang dipakai adalah dengan<br />
menggunakan ssh yang lebih lambat<br />
dibandingkan rsh.<br />
• • make untuk melakukan kompilasi<br />
Setelah kompilasi selesai dilakukan<br />
maka daftar anggota klaster dengan nama<br />
file machine.LINUX harus dibuat dan<br />
disimpan di dalam direktori util/machines.<br />
Gambar 6 menunjukkan nama-nama<br />
anggota klaster yang disimpan di<br />
machines.LINUX. Langkah terakhir yang<br />
harus dilakukan adalah melakukan instalasi<br />
MPICH dengan menggunakan perintah<br />
make install. Untuk anggota lainnya cukup<br />
dilakukan dengan mengkopi direktori<br />
/usr/local/mpich-1.2.5 berserta isinya.<br />
3.2 Uji Kinerja<br />
Dalam penelitian ini uji kinerja klaster<br />
KP dilakukan dengan menggunakan<br />
berbagai jenis program aplikasi yang<br />
memang dibuat dengan tujuan tersebut<br />
sebagaimana yang dirumuskan oleh IEEE<br />
TFCC (Task Force on Cluster Computing).<br />
Uji kinerja yang kami lakukan dapat<br />
dibedakan atas dua kategori:<br />
1. Benchmark menggunakan aplikasi untuk<br />
mengukur kinerja klaster dalam<br />
menjalankan aplikasi tersebut<br />
2. Benchmark komunikasi untuk mengukur<br />
kinerja komunikasi klaster<br />
Aplikasi yang kami gunakan pada tahap<br />
ini adalah LINPACK (linear packages) yang<br />
juga telah digunakan secara umum untuk<br />
menguji kinerja komputer paralel di dunia.<br />
Dengan aplikasi ini dapat diketahui kinerja<br />
klaster dalam menyelesaikan persamaan<br />
simultan (sistem linier) yang amat besar.<br />
Gambar 7: Pengujian throughput jaringan<br />
Dalam penelitian ini kami<br />
menggunakan varian dari LINPACK yang<br />
disebut HPL (high performance linpack)<br />
yang merupakan versi LINPACK untuk<br />
digunakan pada komputer dengan memori<br />
terdistribusi, yang pada dasarnya adalah<br />
operasi matriks. Di samping itu kami juga<br />
menggunakan aplikasi Povray untuk suatu<br />
pengolahan citra. Sedangkan untuk<br />
menguji kinerja jaringan penelitian ini akan<br />
memanfaatkan benchmark netperf.<br />
4 HASILDANPEMBAHASAN<br />
4.1 Pengujian Jaringan<br />
Pengujian Throughput Jaringan<br />
Dengan menggunakan program<br />
benchmark netperf kami melakukan uji<br />
kinerja throughput jaringan antara anggota<br />
1 dan 2. Throughput jaringan adalah jumlah<br />
data yang dapat dipindahkan dari satu<br />
tempat ke tempat lain pada jaringan dalam<br />
waktu tertentu. Dalam penelitian ini kami<br />
melakukan pengujian throughput pada<br />
anggota nomor 1 dan nomor 2. Terlihat<br />
bahwa<br />
throughput maksimal jaringan mencapai<br />
94,11 Mbps. Dengan demikian kurang lebih<br />
sekitar 94,11 % dari total lebar pita<br />
(bandwidth) dapat digunakan untuk<br />
menyalurkan data. Angka ini cukup<br />
memuaskan untuk komputasi paralel.<br />
4.2 Uji Pengolahan Citra Dengan<br />
Povray<br />
Program povray digunakan untuk<br />
mengetahui kinerja suatu sistem dalam<br />
mengolah citra. Penelitian ini menggunakan<br />
fasilitas publik (open source code) yang<br />
tersedia di situs http://www.povray.org.<br />
Sebenarnya program povray dibuat untuk<br />
dijalankan pada sistem dengan pengolah<br />
tunggal. Agar dapat dijalankan pada<br />
lingkungan MPI maka perlu dilakukan<br />
modifikasi, yang dalam hal ini kami<br />
menggunakan fasilitas patch yang dapat<br />
diperoleh di http://www.pov.mpi.org.<br />
Sebagai objek penelitian ini<br />
menggunakan gambar yang telah<br />
disediakan dari situs publik dalam suatu file<br />
yang bernama skyvase.pov. Kami sengaja<br />
memilih fasilitas ini agar dapat<br />
membandingkan hasil yang diperoleh<br />
dengan berbagai klaster yang ada di dunia.<br />
Situs yang menyediakan objek untuk acuan<br />
benchmark ini adalah<br />
http://www.haveland.com/povbench/index.p<br />
hp. Situs ini merupakan situs resmi untuk<br />
povray benchmarking yang mengumpulkan<br />
hasil-hasil benchmark dari berbagai tipe<br />
pengolah, baik untuk sistem berpengolah<br />
tunggal maupun jamak.<br />
Uji kinerja dengan aplikasi povray<br />
dengan klaster kami sebanyak 8 buah<br />
dilakukan dengan menggunakan perintah:<br />
mpirun -np 8 mpi-x-povray skyvase.pov +v1 -d -<br />
x +a0.300 +r3 -q9 -w640 -h480 -h480 -mv2.0<br />
+b1000 > & results-mpi.txt<br />
Waktu yang dibutuhkan untuk mengolah<br />
citra skyvase dengan menggunakan klaster<br />
8 pengolah adalah 2 detik sedangkan jika<br />
menggunakan sebuah pengolah saja<br />
20
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
diperlukan waktu 14 detik. Jadi dengan<br />
klaster 8 pengolah diperoleh percepatan<br />
sebesar 7 kali.<br />
Perbandingan waktu untuk mengolah<br />
citra skyvase oleh berbagai sistem<br />
komputer dapat dilihat pada Tabel 1.<br />
Sistem klaster yang dikembangkan melalui<br />
penelitian ini menempati urutan ke 6<br />
lunak yang dapat digunakan untuk<br />
menyelesaikan suatu sistem persamaan<br />
linier pada komputer dengan mem- ori<br />
tersebar. Perangkat lunak ini diperlengkapi<br />
dengan program penguji dan pencatat<br />
waktu untuk menghitung keakuratan dan<br />
kecepatan sistem komputer menyelesaikan<br />
suatu sistem persamaan linier. Penelitian<br />
Tabel 1: Perbandingan waktu pengolahan citra skyvase<br />
Tabel 2: Perbandingan waktu dalam detik pengolahan citra skyvase untuk berbagai<br />
resolusi citra<br />
sedangkan sistem klaster kami terdahulu<br />
menempati urutan ke 117. Percepatan yang<br />
diperoleh klaster dalam penelitian ini<br />
mencapai 87.5 %, suatu hasil yang relatif<br />
sangat baik.<br />
Kami juga melakukan pengujian<br />
pengolahan ini citra ini untuk berbagai<br />
resolusi. Variasi resolusi yang kami<br />
gunakan adalah 320 × 320, 640 × 480, 800<br />
× 600, dan 1024 × 768 pixel. Hasil<br />
penelitian itu dapat dilihat pada Tabel 2.<br />
Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa<br />
percepatan yang dihasilkan tidak<br />
terpengaruh oleh resolusi citra. Jadi kinerja<br />
sistem klaster relatif tidak terpengaruh oleh<br />
resolusi.<br />
4.3 HPL Benchmarking<br />
HPL adalah sebuah paket perangkat<br />
Tabel 3 Kinerja klaster TF dalam<br />
Gflops untuk beberapa ukuran<br />
sistem linier<br />
ini menggunakan perangkat lunak HPL<br />
sebagai salah satu perangkat uji kinerja<br />
klaster. Aplikasi ini dipasang seluruh<br />
anggota klaster untuk menguji kemampuan<br />
klaster dalam parameter Gflops (giga<br />
floating points operation per-second). Hasil<br />
yang diperoleh kami bandingkan dengan<br />
acuan yang tersedia di situs:<br />
http://www.netlib.org/benchmark/hpl/results.html<br />
21
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Sebagai acuan pembanding adalah<br />
sistem yang menggunakan 4 AMD Athlon<br />
K7 500 Mhz (256 MB) - (2x) 100 Mbs<br />
Switched - 2 NICs per node. Kinerja dari<br />
acuan pembanding dapat dilihat pada tabel.<br />
Tabel 4 Kinerja klaster pembanding<br />
dalam Gflops untuk beberapa<br />
ukuran sistem linier<br />
Dari tabel-tabel kinerja dalan Gflops<br />
dapat dilihat bahwa sistem klaster dalam<br />
penelitian ini secara rata-rata lebih cepat<br />
1,6 kali acuan pembanding. Hasil ini cukup<br />
ideal karena sudah mendekati 2 kali lipat,<br />
ukuran maksimal secara teoritis. Di<br />
samping itu sistem acuan pembanding<br />
menggunakan 2 NIC untuk di setiap<br />
anggota klasternya sehingga menambah<br />
lebar pitanya.<br />
4.4 Perkalian Matriks<br />
Program perkalian matriks<br />
melakukan perkalian dua buah matriks,<br />
yaitu matriks A dan matriks B. Matriks A<br />
mempunyai ukuran NRA (number of rows in<br />
matrix A) × NCA (number of column in<br />
matrix A) sedangkan matriks B mempunyai<br />
ukuran NCA × NCB (number of column in<br />
matrix B). Syarat agar perkalian matrix C =<br />
A × B adapat dilakukan adalah jika jumlah<br />
kolom matrik A sama dengan jumlah baris<br />
matriks B. Oleh karena itu maka jumlah<br />
baris matriks B tidak perlu diberikan di sini.<br />
program serial dan paralel<br />
Pada Tabel 5 dapat dilihat<br />
perbandingan proses antara program serial<br />
dan paralel. Untuk matriks yang berukuran<br />
relatif kecil, waktu eksekusi program serial<br />
lebih pendek dibanding waktu eksekusi<br />
program paralel. Hal ini disebabkan adanya<br />
overhead time, yaitu waktu yang<br />
dibutuhkan untuk melakukan paralelisasi<br />
yang dominan. Waktu paralelisasi meliputi<br />
waktu untuk mengumpulkan data,<br />
mengirimkan perintah serta menerima hasil<br />
dari komputer slave. Pada matriks ukuran<br />
relatif besar hasil yang diperoleh<br />
sebagaimana yang diharapkan, percepatan<br />
pengolahan paralel lebih besar dibanding<br />
pengolahan serial. Waktu paralelisasi tidak<br />
lagi dominan dibanding waktu komputasi itu<br />
sendiri.<br />
5 KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Penelitian ini telah membangun dan<br />
melakukan uji klaster komputer pribadi<br />
yang terdiri atas 8 buah komputer pribadi<br />
yang masing-masingnya mempunyai<br />
pengolah Intel P-IV 2GHz. Sistem operasi<br />
yang digunakan adalah Mandrake Linux 9.1<br />
dan message passing yang digunakan<br />
adalah MPI varian MPICH dari Argonne<br />
National Laboratory. Uji kinerja yang<br />
dilakukan meliputi uji kinerja thorughput dan<br />
kemampuan percepatan pengolahan data.<br />
Untuk tujuan tersebut penelitian ini<br />
menggunakan sejumlah aplikasi standar<br />
untuk uji kinerja klaster, di antaranya<br />
dengan menggunakan netperf, povray, dan<br />
HPL. Di samping itu uji kinerja klaster<br />
dalam menyelesaikan operasi matriks juga<br />
telah pula dilakukan. Dari uji kinerja<br />
Tabel 5: Uji kinerja perkalian matriks untuk program serial dan paralel<br />
Matriks C yang dihasilkan mempunyai<br />
ukuran NRA × NCB. Uji kinerja dengan<br />
perkalian matriks dilakukan untuk melihat<br />
berapakah percepatan yang diperoleh dila<br />
digunakan sistem klaster. Hasil dari studi ini<br />
dapat dilihat pada Tabel 5.<br />
throughput diperoleh hasil penggunaan<br />
lebar pita mencapai 94,12 %. Percepatan<br />
pengolahan citra menggunakan aplikasi<br />
povray mencapai 87,5 % dan angka ini<br />
relatif tidak tergantung pada resolusi citra.<br />
Sedangkan dalam uji kinerja<br />
22
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
menyelesaikan sistem persamaan linier<br />
diperoleh hasil kinerja 80 % dari prediksi<br />
teori. Dari uji kinerja menangani operasi<br />
matriks diperoleh hasil bahwa klaster<br />
dengan anggota sebanyak 8 kami akan<br />
efektif menangani matriks dengan ukuran<br />
sekurang-kurangnya 3200 × 3200.<br />
Setelah melakukan uji kinerja klaster PC<br />
yang terhubungkan satu dengan lainnya<br />
secara langsung, kami mengusulkan agar<br />
dilakukan studi selanjutnya untuk<br />
mengembangkan klaster dengan<br />
memanfaatkan jaringan komunikasi<br />
komputer, baik via LAN, WAN maupun<br />
internet. Dengan demikian keanggotaan<br />
klaster dapat diperluas tanpa harus<br />
melakukan investasi yang terlalu besar<br />
namun mempunyai kemampuan komputasi<br />
yang semakin besar.<br />
6. UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Penelitian ini dapat berlangsung<br />
diantaranya karena adanya bantuan<br />
keuangan melalui Proyek Hibah Bersaing<br />
XI Direktorat Perguruan Tinggi Departemen<br />
Pendidikan Nasional dan Proyek Sub QUE<br />
Departemen Teknik Fisika ITB. Juga<br />
penulis ingin menyampaikan terima kasih<br />
kepada Dr.Ir. Nugraha, Heriyadi Zulhaidi ST,<br />
dan Leon Gunanta dari Laboratorium<br />
Komputasi dan Proses Material<br />
Departemen Teknik Fisika ITB atas<br />
bantuan dan masukan dalam penelitian<br />
mengenai klaster KP ini.<br />
7 PUSTAKA<br />
1. Rajkumar Buyya, “High Performance<br />
Cluster Computing volume 2”,<br />
http://www.cs.mu.oz.au/ raj/cluster/,<br />
Sept. 11 2003<br />
2. Neil MacDonald, “Writing Message<br />
Passing Parallel Programs with MPI”,<br />
www.epcc.ed.ac.uk/computing/training/d<br />
ocument archive/mpicourse/ mpicourse.pdf,<br />
Sept. 11 2003<br />
3. Parallel Virtual Machine (PVM) version 3,<br />
http://www.epm.ornl.gov/pvm/pvm<br />
home.html, Sept. 11 2003<br />
4. MPICH-A Portable Implementation of<br />
MPI, http://wwwunix.mcs.anl.gov/mpi/mpich/,<br />
Sept. 11<br />
2003<br />
23
SIMULASI
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
MODIFIKASI CEROBONG INDUSTRI UNTUK MENEKAN<br />
KERUSAKAN LINGKUNGAN :<br />
Simulasi dengan TAPM (The Air Pollution Model)<br />
Sumaryati dan Afif Budiyono<br />
Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi Udara<br />
Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim - LAPAN<br />
Abstrak<br />
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam perkembangan industri<br />
adalah managemen polusi untuk menghindari atau menekan kerusakan<br />
lingkungan. Khusus untuk emisi gas buang dari industri, salah satu<br />
managemen emisi gas buangnya dapat dilakukan dengan mengatur waktu<br />
pengeluaran dan memodifikasi keluaran polutan agar diperoleh bentuk<br />
sebaran polutan yang cocok bagi lingkungan.<br />
TAPM (The Air Polution Model) mampu mensimulasikan bentuk sebaran<br />
polutan dengan berbagai dimensi cerobong dan kecepatan keluaran<br />
polutan. Dalam kajian ini disimulasikan beberapa bentuk cerobong dan<br />
kecepatan keluaran polutan untuk laju emisi polutan yang sama. Tinggi<br />
cerobong tunggal dimodifikasi 50 m, 75 m , dan 100 m, dan kecepatan<br />
keluaran polutan dimodifikasi 2 m/det, 4 m/det dan 8 m/det. Jari-jari<br />
cerobong tunggal sebesar 1 m dan 2 m, kemudian empat buah cerobong<br />
dengan jari-jari 1 m.<br />
Hasil simulasi menunjukkan bahwa modifikasi tinggi cerobong dan<br />
kecepatan keluaran polutan mempengaruhi bentuk sebaran. Sedangkan<br />
modifikasi diameter cerobong tidak signifikan berpengaruh pada bentuk<br />
sebaran polutan. Cerobong yang semakin tinggi dan penambahan<br />
kecepatan keluaran membentuk pola sebaran polutan jauh dan luas,<br />
sehingga menekan konsentrasi polutan di udara ambien.<br />
Kata kunci: polusi udara, TAPM, cerobong, sebaran<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Penekanan laju emisi polutan pada<br />
industri suatu saat akan mengalami<br />
klimaksnya, sehingga terbentuknya polutan<br />
tidak terelakkan lagi. Langkah selanjutnya<br />
adalah mengatur sistem pembuangan<br />
polutan tersebut agar dampak yang<br />
ditimbulkan terhadap kerusakan lingkungan<br />
menjadi sekecil mungkin.<br />
Agar kerusakan lingkungan oleh<br />
polutan udara dari suatu sumber menjadi<br />
kecil maka polutan tersebut harus<br />
menyebar ke daerah rendah aktifitas<br />
manusia, seperti laut dan hutan. Beberapa<br />
simulasi yang telah dikerjakan dengan<br />
TAPM (The Air pollution Model) dan LADM<br />
(Lagrangian Atmospheric Dispersion<br />
Model) di daerah tepi pantai dengan bentuk<br />
topografi berbeda, Surabaya, Semarang,<br />
dan Jakarta, menunjukan pola waktu yang<br />
berbeda kapan polutan itu menyebar ke<br />
laut (1) . Maka jika industri mengeluarkan<br />
polutannya secara berkala perlu<br />
mempertimbangkan pola waktu ini.<br />
Jika sumber polutan jauh dari laut<br />
dan hutan, maka harus dibuatlah sistem<br />
pembuangan emisi gas buang sedemikian<br />
rupa sehingga polutan itu menyebar dalam<br />
area yang luas, agar konsentrasi polutan di<br />
udara ambien menjadi rendah. Selain<br />
dengan nelihat pola waktu kapan polutan<br />
menyebar dalam jangkauan yang luas, juga<br />
bisa dilakukan dengan memodifikasi<br />
cerobong keluaran gas yang membawa<br />
polutan.<br />
Dalam makalah ini disimulasikan<br />
penyebaran polusi dari suatu sumber yang<br />
dimodifikasi bentuk cerobongnya. Simulasi<br />
dilakukan dengan TAPM (The Air Pollution<br />
Model), yang dikeluarkan oleh CSIRO,<br />
Australia.<br />
2. PENJELASAN<br />
Untuk proses running TAPM<br />
dibutuhkan input data topografi domain<br />
(daerah yang disimulasikan), data sinoptik,<br />
dan data yang berkaitan dengan cerobong<br />
dan polutan.<br />
Topografi diambil dari data global<br />
topografi yang dikeluarkan oleh US<br />
24
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Geological Survey, Earth Resources<br />
Observation Systems (EROS) Data Center<br />
Distributed Active Archive Center (EDC<br />
DAAC) dengan resolusi 30 detik atau<br />
sekitar 1 km yang telah diformat oleh<br />
CSIRO untuk input TAPM.<br />
Data sinoptik meteorologi enam<br />
jam-an telah tersedia dalam format yang<br />
telah dibentuk oleh CSIRO untuk wilayah<br />
Indonesia dan Malaysia. Data tersebut<br />
diturunkan dari analisa LAPS data Bereau<br />
of Meteorology (BoM), Australia.<br />
Data polutan meliputi bentuk<br />
cerobong (tinggi dan diameter), kecepatan<br />
keluaran gas buang, laju emisi polutan<br />
(partikel, NOx, SO 2 , smog), kontinuitas<br />
emisi, temperatur, bouyancy, dan<br />
perbandingan NO terhadap NO 2 . Dalam<br />
simulasi ini penyebaran partikelnya saja.<br />
Simulasi dilakukan pada suatu<br />
industri dengan cerobong tunggal yang<br />
mengeluarkan polutan partikel dengan laju<br />
emisi (E) sebesar 3,1 mg/det. Cerobong<br />
tersebut berukuran tinggi (h) 50 m,<br />
diameter (d) 2 m, dan kecepatan keluaran<br />
gas dari cerobongnya 2 m/det.<br />
Simulasi dilakukan pada suatu<br />
industri dengan cerobong tunggal<br />
berukuran tinggi (h) 50 m, diameter (d) 2 m,<br />
dan kecepatan keluaran gas dari<br />
cerobongnya 2 m/det. Konsentrasi partikel<br />
sebesar 500 µg/m3. dari asumsi data itu<br />
perhitungan laju emisi partikel (E)<br />
memberikan nilai sebesar 3,1 mg/det.<br />
Lokasi industri pada koordinat<br />
(6°12,5’ LS ; 107°120’ BT) sekitar daerah<br />
Karawang. Domain diambil 50 km x 50 km<br />
yang terbagi dalam 50 x 50 grid. Topografi<br />
domain hasil running terlihat pada Gambar<br />
Waktu simulasi dilakukan selama<br />
lima hari pada tanggal 10 – 14 Juli 2001.<br />
Tanggal tersebut dimaksudkan untuk<br />
mewakili musim kemarau saat klimaknya<br />
masalah polusi udara.<br />
Simulasi selanjutnya dilakukan<br />
dengan memodifikasi cerobong dengan<br />
memasang blower. Proses industri tidak<br />
berubah. Dengan asumsi udara yang<br />
dimasukkan ke dalam cerobong sangat<br />
bersih, maka pemasangan blower ini tidak<br />
mempengaruhi laju emisi partikel dari<br />
cerobong keluaran tetapi menurunkan<br />
konsentrasinya.<br />
Data input untuk semua simulasi<br />
dapat dilihat pada Tabel 1 dan modifikasi<br />
cerobong dapat dilihat pada Gambar 3 dan<br />
4. Input data yang lain, seperti temperatur<br />
dan laju emisi dibuat tetap<br />
Tabel 1 Data input simulasi<br />
no N v d h<br />
1 1 v 1 d 1 h 1<br />
2 1 2 v 1<br />
d 1 h 1<br />
3 1 4 v 1 d 1 h 1<br />
4 1 v 1 2 d 1 h 1<br />
5 4 v 1 d 1 h 1<br />
6 1 v 1 d 1 3/2 h 1<br />
7 1 v 1 d 1 2 h 1<br />
N = jumlah cerobong<br />
v = kecepatan keluaran gas buang<br />
pembawa polutan (2 m/det)<br />
d = diameter cerobong (2 m)<br />
h = tinggi cerobong (50 m)<br />
3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Output dari TAPM berupa display<br />
sesaat arah dan kecepatan angin serta<br />
bentuk penyebaran polusi dalam dua dan<br />
tiga dimensi. Nilai beberapa parameter<br />
meteo per jam tiap grid dan level ketinggian,<br />
dan konturnya (2) .<br />
Gambar 2 adalah contoh display<br />
sesaat bentuk sebaran dalam dua dan tiga<br />
dimensi. Waktu 02.22.00 menunjukkan hari<br />
ke dua simulasi (tanggal 11 Oktober) jam<br />
22.00.<br />
1.<br />
Gambar 1. Kontur Topografi daerah<br />
Simulasi Daerah Kerawang<br />
(50 km x 50 km)<br />
25
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 2. Tampilan sesaat bentuk<br />
penyebaran<br />
(a) dua dimensi dan (b) tiga dimensi<br />
Untuk analisanya ditampilkan kontur<br />
konsentrasi rata-rata dan maksimum,<br />
keduanya dalam satuan µg/m 3 . Konsentrasi<br />
rata rata yaitu konsentrasi rata-rata selama<br />
proses running. Konsentrasi maksimum<br />
adalah konsentrasi maksimum yang pernah<br />
terjadi selama proses running.<br />
Dari tampilan sesaat dapat diketahui<br />
bentuk, luas, dan konsentrasi pada saat<br />
tertentu saja. Sedangkan dengan<br />
menampilkan kontur konsentrasi rata-rata<br />
dan maksimum dapat diketahui bentuk dan<br />
luas penyebaran selama proses running,<br />
serta konsentrasi rata-rata dan konsentrasi<br />
maksimum yang dapat terjadi pada setiap<br />
grid.<br />
Running pertama dengan tinggi<br />
cerobong h, diameter cerobong d, dan<br />
kecepatan keluaran v, kontur konsentrasi<br />
rata-rata dan maksimumnya dapat dilihat<br />
pada Gambar 3.<br />
Lokasi simulasi diambil 50 km x 50<br />
km, pada tampilan gambar di atas<br />
dicropping 20 km x 30 km agar gambar<br />
lebih jelas. Koordinat (0,0) pada gambar<br />
merupakan letak cerobong yang bertepatan<br />
dengan koordinat bumi (6°12,5’ LS ;<br />
107°120’ BT). Konsentrasi yang semakin<br />
tinggi ditunjukkan dengan warna yang<br />
semakin gelap, dengan skala seperti<br />
ditunjukkan pada Gambar 3.<br />
Gambar 4 berikut adalah bentuk<br />
modifikasi cerobong dan kontur konsentrasi<br />
rata-rata dan maksimum pada simulasi no 2<br />
sampai no.7 Skala konsentrasi mengikuti<br />
skala simulasi pertama.<br />
Dilihat dari konsentrasi maksimum<br />
dari simulasi pertama sampai yang ke tujuh<br />
daerah sebarannya bisa menjangkau lebih<br />
dari 25 km, meskipun sangat tipis yang<br />
menunjukkan konsentrasinya sangat<br />
rendah. Jangkauan yang cukup jauh ini<br />
mungkin disebabkan dorongan angin darat<br />
menuju ke laut. Kalau dilihat kontur<br />
topografi Gambar 1, terlihat di tepi laut<br />
topografinya sangat datar tidak ada yang<br />
menghalangi polutan menyebar ke arah<br />
yang jauh.<br />
Dengan merubah kecepatan keluaran<br />
gas (no. 2 dan no. 3) menghasilkan bentuk<br />
sebaran yang semakin luas dan<br />
konsentrasi rata-rata yang tidak terkumpul<br />
pada daerah dekat sumber. Akibatnya<br />
konsentrasi maksimumnya pada daerah<br />
yang jauh dari sumber masih terlihat tebal.<br />
1 Bentuk cerobong<br />
2<br />
Bentuk cerobong<br />
Kontur konsentrasi<br />
rata-rata<br />
Kontur konsentrasi<br />
maksimum<br />
Kontur konsentrasi<br />
rata-rata<br />
Kontur konsentrasi<br />
maksimum<br />
Gambar 3. Simulasi pertama sebagai<br />
dasar simulasi selanjutnya<br />
26
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
3<br />
Bentuk cerobong<br />
5<br />
Bentuk cerobong<br />
Kontur konsentrasi<br />
rata-rata<br />
Kontur konsentrasi<br />
maksimum<br />
Kontur konsentrasi<br />
rata-rata<br />
Kontur konsentrasi<br />
maksimum<br />
4<br />
Bentuk cerobong<br />
6<br />
Bentuk cerobong<br />
Kontur konsentrasi<br />
rata-rata<br />
Kontur konsentrasi<br />
maksimum<br />
Kontur konsentrasi<br />
rata-rata<br />
Kontur konsentrasi<br />
maksimum<br />
27
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
7<br />
Kontur konsentrasi<br />
rata-rata<br />
Bentuk cerobong<br />
Kontur konsentrasi<br />
maksimum<br />
Dengan menambah luas penampang<br />
cerobong (no. 4 dan no. 5), area jangkauan<br />
dan bentuk sebaran partikel tidak<br />
mengalami perubahan yang signifikan.<br />
Hanya untuk diameter 2d terlihat<br />
konsentrasi maksimum pada jarak yang<br />
jauh dari sumber masih gelap tetapi bentuk<br />
kontur masih hampir sama.<br />
Penambahan tinggi cerobong (no. 6<br />
dan no. 7) merubah bentuk sebaran, dan<br />
sedikit perubahan luas daerah paparan<br />
partikel. Warna kontur terutama konsentrasi<br />
maksimumnya terlihat semakin tipis dengan<br />
makin tinggi cerobong. Hal ini distribusi<br />
vertikalnya semakin tinggi dengan semakin<br />
tingginya cerobong pengeluaran.<br />
Gambar 4. Simulasi berdasarkan<br />
Modifikasi cerobong dari<br />
simulasi pertama<br />
Modifikasi perubahan luas<br />
penampang cerobong dilakukan dengan<br />
menambah luas penampang (no.4) dan<br />
menjadikan banyak cerobong (no.5). Dilihat<br />
dari luas totalnya, bentuk no. 4 dan no. 5<br />
adalah sama, hanya untuk bentuk no. 4<br />
lebih menghemat bahan untuk pembuat<br />
cerobong.<br />
4. KESIMPULAN<br />
Dengan memodifikasi cerobong<br />
keluaran gas buang industri diperoleh<br />
bentuk sebaran polusi yang berbeda.<br />
Perubahan kecepatan keluaran gas buang<br />
pembawa partikel dan tinggi cerobong<br />
paling lebih berpengaruh dari pada<br />
perubahan penampang cerobong.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Sumaryati, Kajian Sebaran Polutan dari<br />
Industri di Daerah Tepi Pantai untuk<br />
Mendapatkan Tata Ruang yang Sehat.<br />
Disampaikan pada Seminar dan<br />
Lokakarya Kajian Aspek Klimatologi dan<br />
Lingkungan serta Pemanfaatannya,<br />
Bandung, 2003<br />
2. Hurley, P. The Air Pollution Model<br />
(TAPM) Version 1: User Manual. CSIRO<br />
Australia. 1999<br />
28
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Simulating Satellite Motions around Jupiter<br />
By Using VRML<br />
Bachtiar Anwar<br />
Watukosek Solar Observatory<br />
National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)<br />
Jl. DR. Djundjunan 133, Bandung 40173<br />
E-mail: bachtiara@yahoo.com<br />
Abstract<br />
In this paper we describe a method of simulating satellite motions around<br />
Jupiter by using VRML. Jupiter is a largest planet in solar system that orbits<br />
the Sun in between Mars and Saturn orbits. It has 16 satellites as follows:<br />
Adrastea, Metis, Amalthea, Thebe, Io, Europa, Ganymede, Callisto, Leda,<br />
Himalia, Lysithea, Elara, Ananke, Carme, Pasiphae, and Sinope. We have<br />
developed a program written in Javascript that generates the VRML codes<br />
automatically for given parameter inputs. The user then views the satellite<br />
motions by loading the VRML codes to a VRML browser. In this simulation,<br />
we have used mean orbital elements of the satellites published in<br />
Astrophysical Data: Planet and Stars 1) . We conclude that VRML combined<br />
with web technologies can be used as a 3D tool for simulating the satellites<br />
orbits in solar system.<br />
Key words: simulation, satellite motions, Jupiter, VRML<br />
1. Introduction<br />
Jupiter is by far the most massive<br />
object in the solar system 2) . Jupiter’s mass<br />
is almost 2.5 times larger than the masses<br />
of all other planets combined. Jupiter is 318<br />
times more massive than Earth, or,<br />
alternatively, about 1/1000 the mass of the<br />
Sun. Additionally, Jupiter is the largest<br />
planet in the solar system. Jupiter’s<br />
diameter is roughly 143000 km or about 11<br />
times larger than Earth’s diameter.<br />
Consequently, more than 1300 Earths<br />
could fit inside a sphere the size of Jupiter.<br />
Jupiter orbits the Sun in between<br />
Mars and Saturn orbits at distant of about<br />
5.20 AU (Astronomical Unit), with<br />
eccentricity of 0.048, inclination angle to the<br />
ecliptic plane is 1.31 o , and the sidereal<br />
period is 11.86 years. Jupiter has been<br />
found to have sixteen satellites that orbit at<br />
various distances, eccentricities, and<br />
inclinations to Jupiter’s orbital plane 1) . Four<br />
its largest satellites were discovered by<br />
Galileo in 1610; they were named Io,<br />
Europa, Ganymede, and Callisto. Other<br />
satellites were then discovered later by<br />
using more advance telescopes spacecrafts.<br />
With its 16 satellites, the Jupiter<br />
system resembles “a tiny solar system”.<br />
Therefore, it is interesting to see the<br />
satellite motions orbiting Jupiter as well as<br />
the orbital orientation relative to each other.<br />
This paper is aimed to describe a method of<br />
simulating the satellite motions around the<br />
Jupiter by using VRML (Virtual Reality<br />
Modeling Language). Some explanations<br />
on VRML basics are given in books 3,4,5) .<br />
The motions of the nine planets about the<br />
Sun have been simulated by Anwar 6) .<br />
The paper is organized as follows.<br />
Section 2 describes the Jupiter and its<br />
satellites, as well as the orbital elements<br />
used in simulations. Graphical User<br />
Interface (GUI) for generating VRML codes<br />
automatically is presented in Section 3,<br />
while algorithms used in this simulation are<br />
provided in Section 4. The results of<br />
simulation are given in Section 5. Finally,<br />
conclusions are presented in Section 6.<br />
2. Jupiter and its satellites<br />
One of the most interesting features<br />
of Jupiter is Great Red Spot. This<br />
phenomenon was firstly discovered by<br />
Giovanni Domenico Cassini in 1660. He<br />
has used a better telescope compared to<br />
the telescope used by Galileo. By observing<br />
Great Red Spot during several nights,<br />
Cassini found that Jupiter has rotation<br />
period of about 10 hours. It is the faster<br />
than any other planet in the solar system.<br />
Since the Jupiter’s mass is large, its gravity<br />
is accordingly larger compared to other<br />
planets. Therefore, Jupiter’s gravity can<br />
disturb the orbit of celestial body such as<br />
comet that passes close to Jupiter.<br />
With an advance technique in<br />
observations, astronomers can measure<br />
29
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
some properties of each satellite of the<br />
Jupiter. One of the accurate sources of data<br />
on Jupiter is Astrophysical Data: Planet and<br />
Stars 1) . The mean orbital and physical<br />
elements of the Jupiter’s satellites are given<br />
in Table 1.<br />
The Graphical User Interface for the<br />
program is given in Figure 1. To generate<br />
VRML codes, the user is requested to fill<br />
parameters such as: the name of satellite,<br />
semimajor axis of the orbit, orbital<br />
eccentricity, orbital inclination, longitude of<br />
Table 1. The mean orbital and physical elements of the Jupiter’s satellites.<br />
Satellite Name<br />
Radius<br />
(km)<br />
Semi-major axis<br />
(Jupiter radius=1)<br />
Orbital Period<br />
(days)<br />
Eccentricity<br />
Inclination<br />
(degree)<br />
Adrastea 20 1.8 0.295 0 0<br />
Metis 20 1.8 0.295 0 0<br />
Amalthea 135 2.55 0.489 0.003 0.4<br />
Thebe 40 3.11 0.675 0.0 0.0<br />
Io 1815 5.95 1.769 0.004 0.0<br />
Europa 1569 9.47 3.551 0.000 0.0<br />
Ganymede 2631 15.1 7.155 0.001 0.5<br />
Callisto 2400 26.6 16.69 0.010 0.2<br />
Leda 5 156 240 0.146 26.7<br />
Himalia 90 161 251 0.158 27.6<br />
Lysithea 10 164 260 0.130 29.0<br />
Elara 40 165 260 0.207 24.8<br />
Ananke 10 291 617 0.17 147<br />
Carme 15 314 692 0.21 164<br />
Pasiphae 20 327 735 0.38 145<br />
Sinope 15 333 758 0.28 153<br />
The inclinations of the satellite are<br />
measured relative to the orbital plane of<br />
Jupiter. It is obvious that the satellite orbits<br />
have various inclination angles, and in<br />
principle can be grouped into three groups<br />
(see the last column of Table 1). For<br />
satellites with inclinations close to zero,<br />
their eccentricities are almost zero (the<br />
orbital shape is almost circular). Four<br />
greatest satellites found by Galileo are Io,<br />
Europa, Ganymede and Callisto. Other<br />
satellite’s radiuses are in range of 5 to 135<br />
km, so they are so small to be detected by<br />
Galileo’s telescope. Usually, the orbital<br />
elements of satellites orbiting the Earth<br />
include the position of the ascending node<br />
and the location of perifocus 7) . In case of<br />
Jupiter, these orbital elements are difficult<br />
to be observed from the Earth, so they are<br />
not given in Table 1.<br />
the ascending node, longitude of perifocus<br />
and orbital period. Additional parameters<br />
are color for satellite, number of points for<br />
3. Graphical User Interface<br />
We have developed program written<br />
in Javascript in order to generate satellite’s<br />
orbits as well as to simulate the satellite<br />
motions around Jupiter by using VRML.<br />
Figure 1. The Graphical User Interface<br />
for Satellite’s Orbit Generator<br />
30
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
interpolation of the orbital path, and color<br />
for the orbit. The user can also specify<br />
whether to add the central object (Sun or<br />
planet) as well as the ecliptic plane or not.<br />
The default values are provided, although<br />
the user is recommended to fill the<br />
parameters to satisfy his/her needs.<br />
When the user finished in filling<br />
parameters, Create button should clicked.<br />
The VMRL codes are displayed in a textbox<br />
area.<br />
4. Algorithms<br />
In order to generate the VRML codes<br />
for simulating satellite motions we have<br />
used the following algorithm:<br />
1. Read the orbital parameters from GUI<br />
2. Provide default values if the user does<br />
not give the inputs<br />
3. Define a variable to hold the VRML<br />
codes to be generated<br />
4. Create a sphere object at the center to<br />
simulate Jupiter<br />
5. Create a sphere object to simulate<br />
satellite at a distant of semimajor axis.<br />
6. Generate an orbit path by using ellipse<br />
equation and locate the Jupiter at one<br />
of the focus.<br />
7. Simulate the satellite motions based on<br />
the orbital period.<br />
8. Write the VRML codes to a textbox<br />
area<br />
9. Repeat steps 5 – 8 to generate other<br />
satellites.<br />
When the VRML codes are displayed<br />
the user can copy and paste the codes to<br />
any text editor and save to file with<br />
extension .wrl. The extension is used to<br />
ensure a web browser with VRML plug-in<br />
will be able to recognize and parse the<br />
VRML codes properly and display the<br />
virtual world to the screen. Note that some<br />
VRML browsers are available freely from be<br />
downloaded. One of the most popular<br />
VRML browsers is Cortona VRML client.<br />
This browser can be downloaded from<br />
www.parallelgraphics.com.<br />
5. Results<br />
In this section we provide some<br />
results of the simulation. Figure 2 shows all<br />
satellite orbits around Jupiter seen at<br />
different view points. It is obvious that there<br />
are three groups of orbits. The first group<br />
located close to Jupiter and their orbits<br />
deviate slightly (0.0 o – 0.5 o ) to the Jupiter<br />
orbital plane (a plane where Jupiter orbits<br />
about the Sun; a rectangular plane in<br />
Figure 2). The second group consists of<br />
satellite orbits that incline relative to the<br />
Jupiter orbital plane at about 24 o - 29 o . And<br />
the third group consists of satellite orbits<br />
with inclination of about 145 o - 164 o . Please<br />
note that the sizes of satellites are too small<br />
to be seen from a distant in this figure.<br />
Figure 2. Satellite orbits of Jupiter seen<br />
from different view points.<br />
Figure 3. Scenes resulted from virtual<br />
camera (observer) approaching<br />
Jupiter at different distances<br />
(clockwise)<br />
Figure 4. Scenes of virtual worlds when<br />
the observer approaching<br />
Jupiter closer. The last row<br />
clearly shows the satellites at<br />
different locations<br />
In Figure 3, the virtual observer<br />
(camera) is getting closer to Jupiter and<br />
passing the outer orbits (first row), as well<br />
as the middle orbits (second row). At this<br />
31
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
distance, the inner satellites still can not be<br />
seen. Further approaching to the central<br />
object (Jupiter) shows satellites orbiting<br />
Jupiter (Figure 4).<br />
6. Conclusion<br />
We have described a method for<br />
simulating the satellite motions of Jupiter by<br />
using VRML. The VRML codes are<br />
generated automatically by program written<br />
in Javascript with web-based graphical user<br />
interface. We conclude that VRML<br />
combined with web technologies can be<br />
used as a 3D tool for simulating the<br />
satellites orbits in solar system.<br />
Acknowledgements<br />
The author would like to acknowledge<br />
Bambang Setiahadi and John Maspupu for<br />
their fruitful discussions. The computation in<br />
this work was performed by using<br />
computing facility at National Institute of<br />
Aeronautics and Space.<br />
References:<br />
1. Lang, K. R. 1992, Astrophysical Data,<br />
Planets and Stars, Springer-Verlag.<br />
2. Kaufmann, W. J. 1978, Exploration of<br />
the Solar System, Macmillan Publishing<br />
Co., Inc.<br />
3. Matsuba, S. N. and Rohl, B. (1996),<br />
Special Edition Using VRML, QUE.<br />
4. Anwar, B. (1999), Belajar Sendiri<br />
Bahasa Pemrograman VRML 1.0<br />
(book), PT Elekmedia Komputindo,<br />
Jakarta.<br />
5. Anwar, B, (1999), Belajar Sendiri<br />
Bahasa Pemrograman VRML97 (book),<br />
PT Elekmedia Komputindo, Jakarta.<br />
6. Anwar, B, 2003, Simulating Planet<br />
Motions in Solar System By Using<br />
VRML, in Proc. Seminar Fisika<br />
Nasional 2003, Department of Physics,<br />
ITS, 22-23 September, 2003, Surabaya.<br />
7. Wertz, J. R. 2001, Mission Geometry;<br />
Orbit and Constellation Design and<br />
Management, Space Technology<br />
Library, Microcosm Press.<br />
32
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Simulation of the Fatigue Process under Biaxial Loading with<br />
Regard to the Microcrack Growth<br />
H. Agus Suhartono<br />
UPT LUK Puspiptek, Serpong, Indonesien<br />
ABSTRACT<br />
The present research results recognize that the growth of microcracks<br />
is significantly influenced by the microstructure of the material. In order<br />
to take into account the influence of the microstructure on the damage<br />
process a simulation. model is suggested in this paper which considers<br />
the local stress state in addition to the random nature of the material<br />
structure in the form of grain boundaries and slip systems.<br />
Special emphasis is given to the microcrack behaviour under multiaxial<br />
loading. Combined normal and shear stresses are investigated with<br />
regard to their influence on the microcrack growth and the simulated<br />
life time. It can be shown, that a phase shift benveen normal and shear<br />
stress loading causes a significant changing in the crack growth<br />
behaviour compared to proportional in phase loading. The results<br />
generated by means of the simulation model are compared and verified<br />
with those experiences obtainedfrom multiaxialfatigue testing.<br />
Key word: simulation, fatigue, microcrack<br />
1. INTRODUCTION<br />
The microstructure of the material<br />
strongly affects the growth of microcracks<br />
under repetitive loading. To improve the<br />
accuracy of lifetime predictions, the<br />
algorithm for lifetime calculation has to take<br />
into account the microstructural damage<br />
process. Besides the experimental<br />
investigations some fatigue simulation<br />
models have been proposed in the last<br />
years, to describe the interaction between<br />
the crack and microstructural barriers [1-5].<br />
These simulation models are based on the<br />
present knowledge about micro crack<br />
initiation and growth.<br />
A Microcrack Simulation Model gives<br />
the opportunity to verify the current<br />
hypotheses of the micro structural crack<br />
growth mechanism in comparison to the<br />
experiments. Furthermore, it is possible to<br />
study the influencing parameter, like grain<br />
si-,e and orientation, or the influence of<br />
multiaxial loading or variable load<br />
sequences. As a result, an improvement of<br />
lifetime prediction should be possible.<br />
In the following paper a simulation<br />
model which describes the microcrack<br />
growth is introduced.<br />
2. SIMULATION OF MICROCRACK<br />
GROWTH<br />
It is assumed, that the microcrack<br />
growth can be divided into Stage-I und<br />
Stage-11 crack growth phases. During the<br />
Stage-I crack growth, the cracks are driven<br />
by the cyclic shear stress on the slip.<br />
planes of tho polycrystalline material. The<br />
crack growth rate depends on the shear<br />
stress amplitude and on the distance s<br />
between the crack tips and the dominant<br />
microstructural barriers, in this case the<br />
grain boundary. The microcrack growth<br />
equation has the form<br />
da<br />
α<br />
= A∆τ ω<br />
⋅ s<br />
(1)<br />
dN<br />
where s is the crack tip distance to the next<br />
barrier, and A and α are material<br />
parameters [6]. At the beginning the crack<br />
growth is fast, but when the crack<br />
approaches the barrier (s ≈ 0) the crack<br />
growth rate tends toward zero. In the<br />
current model the grain boundary is<br />
regarded to be the dominant material<br />
barrier.<br />
The polycrystalline material is<br />
modeled as a two-dimensional hexagonal<br />
network of grains with specific sizes of<br />
diameter d = 60 µm. Individual slip systems<br />
are active in each grain with a randomized<br />
crystallographic orientation ω, Figure 1. The<br />
stress state in the slip plane of each grain is<br />
dependent on its orientation and the applied<br />
loading. Only the material surface with its<br />
plane stress state is considered. The<br />
locations of the microcrack nucleation is<br />
given by a random generator. The shape of<br />
33
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
τω<br />
σy<br />
τxy<br />
ω<br />
d<br />
τxy<br />
σx<br />
Furman [9] proposed a critical distance of<br />
25 percent of the grain diameter.<br />
After the crack reaches a size of<br />
three grain diameters [8] only Stage-II crack<br />
growth is assumed. In this case, the crack<br />
growth direction is perpendicular to the<br />
maximum principal stress direction and the<br />
growth rate is depending on the crack<br />
length and the principal stress amplitude.<br />
Figure 1. Microstructure, stress state<br />
and crack growth of<br />
Simulation<br />
the microcrack seed is a point with no<br />
spatial extension, denoting an initial crack<br />
length of zero. It is assumed that the points<br />
of crack nucleation are given at the<br />
beginning of the simulation and that the<br />
crack growth starts with the first load cycle.<br />
When the Stage-I-crack is sufficiently long<br />
to permit an opening of the crack front, the<br />
development of Stage-II (tensile) crack<br />
occurs. At this point, the influence of the<br />
rnicrostructure is limited, and crack growth<br />
can be described by continuum mechanics.<br />
It is assumed, that during a transition stage<br />
a competitive crack growth occurs between<br />
Stage-I and Stage-II. The equation of<br />
Stage-II crack growth proposed by Hobson,<br />
Brown and de los Rios [7] is used in the<br />
model:<br />
da<br />
β χ<br />
= B∆σ<br />
ω<br />
⋅ a<br />
(2)<br />
dN<br />
where ∆σ represents the tensile stress<br />
perpe ndicular to the crack plane, and β, B<br />
and D are experimentally determined<br />
material parameters. The material<br />
parameters used in the simulation are taken<br />
from Hobson [7]. The crack length at the<br />
transition from Stage-I to Stage-II can be<br />
introduced by assigning the number of the<br />
grains. Taylor and Knott [8) suggest a value<br />
of about three grain diameters for the<br />
transition. In the transition zone the crack<br />
growth is calculated by using the higher<br />
value between equation 1 and equation 2.<br />
Besides the cyclic growth of<br />
microcracks, a rapid spread of the crack<br />
length can be observed during the<br />
experiment by the linking of cracks.<br />
The crack coalescence is described<br />
by assuming that the linking of cracks<br />
appears when the length of the cracks<br />
reaches 75 percent of the grain size, and<br />
the distance r between the crack tips is<br />
les's then a critical distance r, Socie and<br />
da<br />
dN<br />
β χ<br />
= B∆σ 1<br />
⋅ a − C (3)<br />
The simulation ends when the<br />
predetermined number of load cycles is<br />
reached, or the microcrack reaches the<br />
predetermined crack length. The crack<br />
length is defined by the direct line between<br />
both crack tips. If a crack was formed by<br />
linking of several microcracks, the crack<br />
length is always represented by the crack<br />
tips with the longest distance. In the<br />
following simulations the final crack length<br />
is 500µm.<br />
The simulation does not yet<br />
consider the crack growth in the depth<br />
direction of the material. Furthermore, the<br />
deformation behavior of microstructure, the<br />
cyclic hardening and softening of the<br />
material, the crackopening effects, as well<br />
as the texture and anisotropy of the<br />
material are not considered.<br />
3. COMPARISON BETWEEN<br />
SIMULATION AND EXPERIMENTAL<br />
RESULTS<br />
TensionlCompression<br />
A comparison between the crack growth<br />
pattern for repetitive tension/compression<br />
loading observed in experiment and<br />
simulation is presented in Figure 2. It can<br />
be seen that multiple Stage-I cracks initiate<br />
in the maximum shear stress direction.<br />
After the cracks have reached a specific<br />
size, the crack growth direction turns<br />
perpendicular to the orientation of the<br />
maximum principal stress, where ∆<br />
represents the tensile stress perpendicular<br />
to the crack plane, and β, B and D are<br />
experimentally determined material<br />
parameters.<br />
In Figure 3 the simulated crack length<br />
a [µm] is plotted versus the number of load<br />
cycles. Due to the crack arrest at the grain<br />
boundaries, a decreased crack growth rate<br />
can be observed for crack sizes minor 60<br />
µm, which represents the grain diameter.<br />
For those cracks able to overcome the<br />
34
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Figure 2 : Surface cracks with tension/compression loading<br />
barrier, an increasing crack growth rate can<br />
be seen until the end of the simulation.<br />
Figure 4 shows the crack growth<br />
behaviour for torsion loading. The cracks<br />
again occur in the maximum shear stress<br />
direction and change their growth direction<br />
Risslänge a (µm)<br />
600<br />
500<br />
400<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
0 2 10 3 4 10 3 6 10 3<br />
Schwingspiele N<br />
Figure 3. Crack growth versus number of<br />
cycles with tension/ compression<br />
at a specific size, as it can be seen for<br />
tension/compression.<br />
steel or aluminium. The simulated ratio is<br />
caused by the combination of shear- and<br />
normal- stress determined crack growth. If<br />
the fatigue life is dominated by the Stage-I<br />
crack growth, the<br />
τ / σ ratio would tend<br />
a<br />
to a value of 0.5, whereas for Stage-II crack<br />
dominated materials, the - ratio<br />
would reach a value of 1.0.<br />
a<br />
τ / σ<br />
5. SIMULATION OF MULTIXIAL<br />
LOADING<br />
In Phase Loading<br />
In the current paper the crack growth<br />
behaviour with combined tension/<br />
compression and torsion loading is of<br />
special interest. Figure 5 shows the<br />
simulated crack growth pattern for different<br />
ratios<br />
τ / σ of the load amplitudes.<br />
a<br />
a<br />
Depending on the maximum shear stress<br />
direction, the orientation ϕ of the overall<br />
crack growth varies from 0 o to –30 o . In<br />
Figure 7 the resultant S-N curve for load<br />
ratios of = 0 (tension/compression)<br />
τ / σ<br />
a<br />
a<br />
a<br />
a<br />
A comparison of simulated<br />
S-N-curves is given in Figure 7. Ever,<br />
though there is now material plasticity<br />
introduced in the simulation model, the load<br />
amplitude ratio<br />
τ / σ for a given number<br />
a<br />
of endurable load cycles lies in between 0.6<br />
< 0.7, which is a usual value for<br />
τ / σ<br />
<<br />
a a<br />
a<br />
Figure 4: Surface cracks with torsion loading<br />
and τ<br />
a<br />
/ σ = 0.5 (in phase loading) are<br />
given.<br />
a<br />
Out Of Phase Loading<br />
Compared to the in-phase loading,<br />
multiaxial loading with a phase difference of<br />
τ / σ<br />
90º and a load ratio<br />
a a<br />
= 0.5 between<br />
35
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
axial loading Proportional loading τ a /σ a = 0,2<br />
Proportional loading τ a /σ a = 0,5 Proportional loading τ a /σ a = 0,8<br />
Figure 5: Simulated crack pattern for different load ratios<br />
tension/ compression and torsion leads to a<br />
significant changed crack pattern. This is<br />
due to the rotating principal stress direction<br />
during one load cycles in case of the phase<br />
shifted loading. As a result, initial crack<br />
growth takes place in the simulation in<br />
every grain containing a crack seed. On the<br />
other hand, the effective shear stress<br />
amplitude τ<br />
ω<br />
in the slip planes is reduced<br />
compared to the in phase loading. In<br />
addition to that, the normal and shear<br />
τ / σ<br />
a<br />
stress cycles in a specific slip direction do<br />
not appear at the same time. As the result,<br />
a microcrack experiences two stress cycles<br />
during one load cycle. For Stage-I and<br />
Stage-II cracks the shear stress or the<br />
normal stress cycles might be dominant,<br />
respectively. Nevertheless it can be<br />
assumed, that both stress cycles cause<br />
crack growth.<br />
In Figure 6 the crack growth pattern<br />
observed in experiment and simulation with<br />
a<br />
Figure 6: Surface cracks with phase shifted tension/compression loadin<br />
36
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
phase shifted loading (<br />
τ / σ<br />
a<br />
a<br />
= 0.5 and 90 o<br />
phase difference) is shown. It can be seen<br />
that no preferential crack growth direction<br />
can be found.<br />
The simulated load cycles for the final<br />
crack length are plotted as a S-N curve for<br />
tens ion/compression, torsion and<br />
combined in phase and out of phase<br />
loading. The stress-ratio between<br />
tension/compression and torsion as well as<br />
the in phase combined loading are<br />
comparable to usual experimental results.<br />
In the current simulation the phase shift<br />
leads to an increased life time.<br />
6. CONCLUSION<br />
A two dimensional microcrack<br />
simulation model is presented. The model<br />
takes into account the rate and direction of<br />
microcrack growth, the interaction between<br />
the crack and the material barriers, as well<br />
as the crack coalescence.<br />
The simulated crack pattern for<br />
different uniaxial and multiaxial load cases<br />
are in good agreement to experimental<br />
results<br />
REFERENCES<br />
[1] Hoshide T., D. F. Socie, 1988, "Crack<br />
Nucleation and Growth Modelling in<br />
Biaxial Fatigue," Engineering Fracture<br />
Mechanics, Vol 29, No. 3, pp. 287-299.<br />
[2] Socie, D., S. Furman, 1996, "Fatigue<br />
Damage Simulation Models for<br />
Multiaxial Loading," Fatigue 96, Sixth<br />
International Fatigue Congress, G.<br />
Ltitjering and H. Nowark, Ed., Berlin,<br />
Germany, pp.967-976<br />
[3] Argence, D., J. Weiss, A. Pineu, 1994,<br />
"Observation and Modelling of<br />
Transgranular and Intergranular<br />
Multiaxial Low Cycle Fatigue Damage of<br />
Austenitic Stainless Steels," In ESIS:<br />
Fourth International Conference on<br />
BiaxiallMultiaxial Fatigue, Paris, France,<br />
Vol. I, pp. 309-322.<br />
-<br />
[4] Hoshide, T., Kusuura, K., 1998, "Life<br />
Prediction by Simulation of Crack<br />
Growth in Notched Components with<br />
Different Microstructures and under<br />
Multiaxial Fatigue," Fatigue Fracture<br />
Engineering Materials Structures Vol 2 1,<br />
pp. 201-213.<br />
[5] Suhartono, H.A., K. Poetter, A. Schram,<br />
H. Zenner, "Modeling of Short Crack<br />
Growth Under Biaxial Fatigue:<br />
Comparison Between Simulation and<br />
Experiment", Multiaxial Fatigue and<br />
Deformation: Testing and Prediction,<br />
ASTM STP 1487, S. Kalluri and J.<br />
Bonacuse, Eds., American Society for<br />
Testing Materials, West Conshohocken,<br />
PA, 2000, pp. 323-339.<br />
[6] Miller, K-J., 1991, Metal Fatigue – Past,<br />
Current and Future, Proceedings of the<br />
Institution of Mechanixal Engineers.<br />
[7] Hobson, P.D., M. W. Brown, E. R. de los<br />
Rios, 1986. “Two Phases of short Crack<br />
Growth in medium Carbon Steel”, The<br />
Behaviour of short Fatigue Cracks, EGF<br />
Pub. 1, K.J.Miller and E.R. de los Rios,<br />
Ed., London, pp.441-459<br />
[8] Taylor, D., J.F. Knott, 1981, “Fatigue<br />
Crack Propagation Behaviour of Short<br />
cracks; The effect of Microstructure,<br />
“ Fatigue Fracture Engginering Materials<br />
Structures 4, pp. 147<br />
[9] Socie, D., S. Furman,1996, “Fatigue<br />
Damage Simulation Models for<br />
Multiaxial Loading,” Fatigue 96, Sixth<br />
International Fatigue Congress, G<br />
Lutjering and H.Nowack, Ed., Berlin,<br />
Germany, pp.967-976<br />
Author<br />
- H. Agus Suhartono, born in Klaten 3 th<br />
September 1967. Graduated from<br />
Metallurgical Engineering of University<br />
of Indonesia in 1991 and promoted the<br />
Doctor degree from Technische<br />
Universitaet Clausthal Germany in the<br />
field of fatigue and fracture mechanic in<br />
2000. Work in UPT LUK BPPT<br />
37
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
SIMULASI DAN REKAYASA KOLEKTOR SURYA<br />
UNTUK PENGHANGAT UDARA<br />
Rudiyanto + , Budi I. Setiawan * dan Leopold O. Nelwan<br />
Departemen Teknik Pertanian, FATETA IPB, PO BOX 220 Bogor 16002<br />
Email : + lupusae@yahoo.com dan * budindra@ipb.ac.id<br />
Abstract<br />
Makalah ini menjelaskan tentang rekayasa kolektor surya untuk<br />
menghangatkan udara. Model matematika dikembangkan untuk menghitung<br />
pindah panas dan massa. Model matematika dipecahkan dengan metode<br />
finite difference menggunakan skema implisit. Verifikasi dilakukan untuk<br />
melihat kesepadanan model dengan hasil pengukuran. Untuk itu, dibuat<br />
kolektor surya plat datar dengan luas permukaan 2 m 2 . Hasil pengujian<br />
menunjukan bahwa kolektor surya mampu meningkatkan suhu rata-rata<br />
aliran udara dalam kolektor sebesar 5.57 o C dengan efisiensi 57 %. Model<br />
yang dibuat mampu menduga perubahan suhu sistem kolektor surya<br />
dengan ketepatan sekitar 70 %.<br />
Kata kunci : kolektor surya, pemanas udara, efisiensi termal, simulasi.<br />
1. PENDAHULUHAN<br />
Penyusunan model dan simulasi<br />
merupakan bagian penting dari desain<br />
suatu proses. Pemodelan dimaksudkan<br />
untuk meniru dari suatu sistem<br />
sebenarnya (1) . Model yang dibuat biasanya<br />
dalam bentuk persamaan matematika.<br />
Simulasi model dilakukan karena beberapa<br />
alasan misalnya, biaya yang terlalu besar<br />
untuk membuat sistem nyata atau belum<br />
tersedianya bentuk nyata karena masih<br />
dalam perancangan, untuk menganalisis<br />
dan identifikasi pola hubungan input-output,<br />
menyusun suatu strategi optimal dalam<br />
sistem pengendalian dan mengidentifikasi<br />
kondisi-kondisi yang dapat diterima.<br />
Pemanasan udara merupakan<br />
proses termal yang banyak dilakukan untuk<br />
berbagai keperluan manusia; misalnya<br />
untuk penghangat ruangan, pengeringan (2) ,<br />
penghangat air pembenihan ikan (3) dan<br />
lain-lain. Pemanas udara biasanya<br />
menggunakan sumber energi yang berasal<br />
dari listrik, biomassa dan minyak atau gas.<br />
Salah satu usaha diversifikasi penggunaan<br />
sumber energi adalah dengan<br />
menggunakan energi surya. Sumber<br />
energi terbarukan ini mempunyai<br />
keuntungan antara lain tidak menimbulkan<br />
polusi CO 2 ataupun hujan asam seperti<br />
yang terjadi pada sistem penggunaan<br />
bahan bakar fosil. Disamping itu Indonesia<br />
yang letaknya di daerah tropis mempunyai<br />
potensi energi surya yang cukup melimpah.<br />
Irradiasi surya rata-rata di Indonesia<br />
mencapai 562.5 w/m 2(2) . Sehingga, sangat<br />
potensial untuk dikembangkan.<br />
Pengkonversian energi surya menjadi<br />
panas dilakukan dengan menggunakan<br />
kolektor surya plat datar.<br />
Tujuan dari penelitian ini adalah<br />
untuk merancang kolektor surya sebagai<br />
penghangat udara dengan membuat model<br />
matematika pindah panas dan massa,<br />
membuat software simulator, pengujian<br />
kolektor surya dan verifikasi model.<br />
2. BAHAN DAN METODE<br />
Kolektor surya yang digunakan<br />
adalah kolektor surya plat datar yang<br />
mempunyai 2 buah lubang, yaitu lubang<br />
masuk dan keluar udara. Udara<br />
dihembuskan untuk mengambil panas dari<br />
plat hitam yang mengakumulasikan energi<br />
surya yang berupa irradiasi secara<br />
konveksi paksa (force convection).<br />
Sehingga akan terjadi kenaikan suhu udara<br />
sebelum masuk dan saat keluar kolektor<br />
surya. Bentuk fisik kolektor plat datar<br />
disajikan pada Gambar 1<br />
Setiap unit kolektor surya yang<br />
digunakan mempunyai panjang, lebar dan<br />
tebal/tinggi berturut-turut adalah 100 cm,<br />
100 cm dan 20 cm. Diameter lubang<br />
saluran udara adalah 10.16 cm. Tutup<br />
kolektor surya terbuat dari polykarbonat.<br />
Plat hitam terbuat dari seng yang dicat<br />
hitam dan dinding kolektor surya terbuat<br />
dari kayu. Pada penelitian ini digunakan 2<br />
unit kolektor surya.<br />
Alat ukur yang digunakan terdiri dari: 1).<br />
Termokopel CC berfungsi sebagai sensor<br />
suhu. 2). Chino Recorder berfungsi untuk<br />
38
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
merekam suhu lingkungan, tutup, udara<br />
dan plat hitam kolektor surya. 3).<br />
Pyranometer dan voltmeter untuk<br />
mengukur irradiasi surya.<br />
menit selama 6.5 jam. Untuk mendapatkan<br />
hasil interpolasi yang baik data tersebut<br />
didekati dengan piece-wise polynomial<br />
pangkat tiga dengan menggunakan<br />
1. Tutup kolektor surya<br />
Udara<br />
masuk<br />
2. Plat hitam<br />
Udara<br />
keluar<br />
3. Dinding kolektor surya<br />
Gambar 1. Skema kolektor surya plat datar<br />
Dalam penyusunan model matematika,<br />
kolektor surya dibagi menjadi 3 sub sistem;<br />
yaitu : 1) Tutup kolektor surya. 2) Udara<br />
dalam kolektor surya dan 3) Plat hitam<br />
kolektor surya. Berikut ini adalah<br />
persamaan keseimbangan energi pindah<br />
panas dan massa yang digunakan untuk<br />
menghitung perubahan suhu yang terjadi<br />
pada setiap sub sistem:<br />
a. Perubahan suhu tutup kolektor surya.<br />
dT<br />
t<br />
( mCp )<br />
t<br />
= ( h<br />
out<br />
A)<br />
t<br />
( T<br />
l<br />
− T<br />
t<br />
)<br />
dt<br />
(1)<br />
+ ( h A)<br />
( T − T )<br />
+<br />
in<br />
t<br />
uk<br />
( 1 − λ ) 0.5 At<br />
Irr<br />
surya<br />
b. Perubahan suhu udara dalam<br />
kolektor surya.<br />
dT<br />
uk<br />
( mCp )<br />
uk<br />
= ( hin<br />
A)<br />
t<br />
( Tt<br />
− Tuk<br />
)<br />
dt<br />
(2)<br />
+ ( UA ) ( T − T )<br />
+ m<br />
+ 2<br />
alas<br />
•<br />
u Cp<br />
u<br />
( T − T )<br />
( hA ) ( T − T )<br />
c. Perubahan suhu plat hitam kolektor<br />
surya.<br />
dT<br />
pl<br />
( mCp )<br />
pl<br />
= 2( hA)<br />
pl<br />
( Tuk<br />
− T<br />
pl<br />
) (3)<br />
dt<br />
+ ατA<br />
Irr<br />
pl<br />
pl − Irr<br />
l<br />
L<br />
pl<br />
t<br />
surya<br />
Efisiensi termal yang merupakan<br />
perbandingan energi yang digunakan untuk<br />
memanaskan udara dengan energi yang<br />
masuk ke dalam sistem (4) dihitung sebagai<br />
berikut:<br />
•<br />
mu<br />
Cpu<br />
( Tuot<br />
− Tuin<br />
)<br />
η<br />
T<br />
=<br />
(4)<br />
AIrr<br />
Persamaan 1, 2 dan 3 diselesaikan<br />
secara numerik dengan metode finite<br />
difference skema implisit. Data suhu<br />
lingkungan dan irradiasi surya diperoleh<br />
dari hasil pengukuran dengan interval 15<br />
uk<br />
uk<br />
uk<br />
interpolasi kubik spline (5) . Secara<br />
matematika dapat dirumuskan dalam<br />
persamaan berikut:<br />
T<br />
Irradiasi surya (W/m2)<br />
1000<br />
800<br />
600<br />
400<br />
200<br />
0<br />
2 3<br />
( t) a + b t + c t d t<br />
= (5)<br />
ling i i i i<br />
+<br />
Irr<br />
2 3<br />
( t) e + f t + g t h t<br />
= (6)<br />
surya i i i i<br />
+<br />
dimana a i , b i , c i , d i , e i , f i , g i adalah konstanta<br />
piece-wise polynomial data ke-i, T lingi adalah<br />
suhu lingkungan pada pengambilan data<br />
ke-i dan Irr suryai adalah irradiasi surya pada<br />
pengambilan data ke-i.<br />
3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Data irradiasi dan suhu lingkungan<br />
yang digunakan simulasi diambil dari data<br />
aktual di lapang dengan interval waktu<br />
pengambilan data 15 menit selama 6.5 jam.<br />
Irradiasi surya yang digunakan simulasi<br />
mempunyai nilai maximum 975.71 watt/m 2 ,<br />
nilai minimum 234.29 watt/m 2 dan nilai ratarata<br />
790.95 watt/m 2 . Suhu lingkungan yang<br />
juga sebagai suhu udara masuk ke kolektor<br />
surya mempunyai nilai maximum 43 o C,<br />
9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00<br />
Waktu (Jam)<br />
Gambar 2. Irradiasi surya dan suhu<br />
lingkungan<br />
nilai minimum 35 o C dan nilai rata-rata<br />
38.67 o C. Grafik irradiasi surya dan suhu<br />
i<br />
i<br />
39
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
lingkungan yang digunakan simulasi<br />
disajikan pada Gambar 2.<br />
60<br />
50<br />
sebaran suhu hasil pengukuran dan<br />
simulasi pada garis 45 derajat. Dengan<br />
demikian model yang dibuat mampu cukup<br />
baik untuk memprediksi/menerangkan<br />
perubahan yang terjadi pada tutup, udara<br />
dan plat hitam kolektor surya.<br />
Suhu (C)<br />
40<br />
60<br />
30<br />
20<br />
9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00<br />
Waktu (Jam)<br />
Gambar 3. Profil suhu lingkungan<br />
Efisiensi termal kolektor surya<br />
Energi irradiasi surya yang diterima<br />
oleh kolektor surya adalah sebesar 9.88<br />
kWh. Energi tersebut sebesar 5.637 kWh<br />
digunakan untuk memanaskan aliran udara<br />
dalam kolektor surya atau terjadi kenaikan<br />
suhu aliran udara rata-rata sebesar 5.57 o C<br />
dengan efisiensi termal bangunan sebesar<br />
57 %. Grafik kenaikan suhu aliran udara<br />
disajikan pada Gambar 4.<br />
Kenaikan suhu (C)<br />
12<br />
10<br />
8<br />
6<br />
4<br />
2<br />
0<br />
9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00<br />
Waktu (Jam)<br />
Gambar 4. Kenaikan suhu aliran udara<br />
Simulasi dan verifikasi<br />
Model yang telah disusun dan telah<br />
dibuat dalam software simulator diuji<br />
dengan data percobaan. Keluaran model<br />
adalah suhu tutup, udara dan plat hitam<br />
kolektor surya. Gambar 5, 6 dan 7<br />
menyajikan Profil suhu tutup, udara dan<br />
plat hitam kolektor surya hasil pengukuran<br />
dan simulasi<br />
Secara umum suhu tutup, udara dan<br />
plat hitam kolektor surya hasil simulasi<br />
telah mampu mengikuti perubahan suhu<br />
tutup, udara dan plat hitam kolektor surya.<br />
Nilai koefisien determinasi antara hasil<br />
suhu simulasi dan pengukuran untuk tutup,<br />
udara dan plat hitam kolektor surya<br />
berturut-turut adalah 0.78, 0.73 dan 0.7.<br />
Sedangkan sebaran suhu simulasi dan<br />
pengukuran cukup menyebar pada garis 45<br />
derajat. Gambar 8, 9 dan 10 menyajikan<br />
Suhu tutup kolektor surya (C)<br />
50<br />
40<br />
30<br />
9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00<br />
Waktu (Jam)<br />
Ukur<br />
Simulasi<br />
Gambar 5. Profil suhu tutup kolektor surya<br />
hasil pengukuran dan simulasi<br />
Suhu udara kolektor surya (C)<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00<br />
Waktu (Jam)<br />
Ukur<br />
Simulasi<br />
Gambar 6. Profil suhu udara kolektor surya<br />
hasil pengukuran dan simulasi<br />
Suhu p lat kolektor sury a ( C )<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00<br />
Waktu (Jam)<br />
Ukur<br />
Simulasi<br />
Gambar 7. Profil suhu plat hitam kolektor<br />
surya hasil pengukuran dan<br />
simulasi<br />
40
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Suhu tutup kolektor surya ukur (C)<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
R 2 = 0.78<br />
30 40 50 60<br />
Suhu tutup kolektor surya simulasi (C)<br />
Gambar 8. sebaran suhu hasil pengukuran<br />
dan simulasi tutup kolektor<br />
surya pada garis 45 derajat<br />
Suhu udara kolektor surya ukur (C)<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
R 2 = 0.73<br />
30 40 50 60<br />
Suhu udara kolektor surya simulasi (C)<br />
numerik persamaan pindah panas dan<br />
massa kedalam bahasa pemrograman<br />
komputer Borland Delphi 5. Program<br />
simulasi dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 1)<br />
Fungsi untuk mempresentasikan suhu<br />
lingkungan. 2) Fungsi untuk<br />
mempresentasikan irradiasi surya. 3)<br />
Prosedure untuk memecahkan persamaan<br />
pindah panas dan massa dengan metode<br />
finite difference skema implisit dan<br />
algoritma Gaus Jordan.<br />
Form software simulator secara<br />
visual dibuat dalam 3 form, yaitu: 1) Form<br />
utama berisi grafik suhu sistem, irradiasi<br />
surya dan suhu lingkungan. 2) Form kedua<br />
berisi input sistem. 3) Form ketiga berisi<br />
grafik daya dan energi irradiasi surya dan<br />
aliran udara. Software simulator juga<br />
dilengkapi fasilitas untuk menyimpan data<br />
dalam bentuk text file (*.txt) dan<br />
menyimpan grafik dalam bentu meta file<br />
(*.wmf). Interval waktu penyimpanan data<br />
hasil simulasi juga dapat diatur sesuai<br />
keinginan pengguna. Gambar 11<br />
menunjukan form utama software simulator.<br />
Gambar 9. sebaran suhu hasil pengukuran<br />
dan simulasi udara kolektor surya<br />
pada garis 45 derajat<br />
Suhu plat kolektor surya ukur (C)<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
R 2 = 0.7<br />
30 40 50 60<br />
Suhu plat kolektor surya simulasi (C)<br />
Gambar 10. sebaran suhu hasil<br />
pengukuran dan simulasi plat<br />
hitam kolektor surya pada<br />
garis 45 deraja<br />
Software simulator<br />
Pembuatan software simulator<br />
dilakukan dengan menulis pemecahan<br />
Gambar 11. Form utama software simulator<br />
4. KESIMPULAN<br />
Model keseimbangan energi yang<br />
dibuat telah mampu memprediksi suhu<br />
tutup, udara, plat hitam kolektor surya<br />
dengan baik. Sehingga software simulator<br />
rancang bangun pemanas udara<br />
menggunakan kolektor surya siap<br />
digunakan.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Riset ini merupakan bagian dari RUT<br />
X 2003-2005 berjudul Rancang Bangun<br />
Sistem Resirkulasi Air Terkendali Untuk<br />
Pembenihan Ikan Patin (Pangasius<br />
hypopthalmus). Penulis mengucapkan<br />
terima kasih kepada Dewan Riset Nasional<br />
atas dukungan finansial dalam<br />
menyelenggarakan riset ini.<br />
41
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. W.F. Stoecker, Deseign of Thermal<br />
System, Third Edition, Singapore; Mc<br />
Graw Hill, Inc., 1989.<br />
2. L. P. Manalu, K. Abdullah, Model<br />
Simulasi Proses Pengeringan Kakao<br />
Memakai Pengering Surya Tipe Efek<br />
Rumah Kaca, Bulletin Keteknikan<br />
Pertanian, 15(3), 2001, 154-166.<br />
3. Rudiyanto, B. I. Setiawan dan L. O.<br />
Nelwan, Simulasi Pemanfaatan Kolektor<br />
Surya Sebagai Penghangat Air<br />
Terkendali Pada Unit Pembenihan Ikan<br />
Patin, <strong>Prosiding</strong> Ilmu Komputer dan<br />
Teknologi Informasi IV, Surabaya, 2003,<br />
28-33.<br />
4. L. P. Manalu, Studi Kebutuhan Energi<br />
Untuk Pengeringan Kakao Dengan Alat<br />
Pengering Tenaga Surya, Bulletin<br />
Keteknikan Pertanian, 16(3), 2002, 174-<br />
182.<br />
5. B.I. Setiawan, Aplikasi Cubic Spline<br />
Interpolation Dalam Penentuan Debit<br />
Sungai. <strong>Prosiding</strong> Perkemahan Dan<br />
Seminar Tahunan PERTETA,<br />
Jatinangor, 7-8 Juli 1997.<br />
DAFTAR SIMBOL<br />
m massa (kg)<br />
Cp panas jenis (kJ/kg o C)<br />
T suhu ( o C)<br />
t waktu (detik)<br />
h pindah panas konveksi (W/m 2 o C)<br />
A luas permukaan (m 2 )<br />
U overall U (W/m 2 o C)<br />
Irr irradiasi surya (W/m 2 )<br />
λ transmisivitas<br />
α absorptivitas<br />
•<br />
m<br />
η<br />
laju aliran (kg/detik)<br />
efisiensi<br />
SUBSKRIP<br />
t tutup kolektor surya<br />
out tutup kolektor surya-udara<br />
lingkungan<br />
in tutup kolektor surya-udara dalam<br />
kolektor<br />
uk udara kolektor surya<br />
alas alas kolektor surya<br />
l lingkungan<br />
u<br />
pl<br />
udara<br />
plat hitam kolektor surya<br />
RIWAYAT PENULIS<br />
1. Rudiyanto, STP lahir di Jombang, 28<br />
Agustus 1980. Menamatkan S1 tahun<br />
2002 di Institut Pertanian Bogor (IPB)<br />
dalam bidang Teknik Pertanian. Saat<br />
menjadi research student pada<br />
Departemen Teknik Pertanian, FATETA<br />
IPB.<br />
2. Dr. Ir. Budi I. Setiawan, MAgr lahir di<br />
Tasikmalaya, 28 Juni 1960.<br />
Menamatkan S1 tahun 1983 di Institut<br />
Pertanian Bogor (IPB) dalam bidang<br />
Teknik Pertanian, Menamatkan S2<br />
tahun 1990 dan S3 tahun 1993 di The<br />
University of Tokyo, Jepang dalam<br />
bidang Teknik Pertanian. Saat ini<br />
penulis bekerja sebagai staf pengajar<br />
pada Departemen Teknik Pertanian<br />
FATETA IPB. Penulis juga menjadi<br />
anggota pada organisasi profesi ilmiah:<br />
a. JSIDRE (Japan Society of Irrigation,<br />
Drainage and Reclamation<br />
Engineering)<br />
b. ISPWEE (International Society of<br />
Paddy and Water Environmental<br />
Engineering)<br />
c. ICIS (Indonesian Society on<br />
Computer and Informations<br />
Sciences)<br />
d. PERTETA (Perhimpunan Teknik<br />
Pertanian Indonesia)<br />
e. HATHI (Himpunan Ahli Teknik<br />
Hidraulik Indonesia)<br />
3. Ir. Leopold O. Nelwan, MSi lahir di<br />
Jakarta, 8 Desember 1970.<br />
Menamatkan S1 tahun 1994 di<br />
Universitas Samratulangi, Manado<br />
dalam bidang Teknik Pertanian.<br />
Menamatkan S2 di Institut Pertanian<br />
Bogor (IPB) tahun 1997 dan sedang<br />
menempuh S3 di IPB juga dalam<br />
bidang Teknik Pertanian. Saat ini<br />
penulis bekerja sebagai staf pengajar<br />
pada Departemen Teknik Pertanian<br />
FATETA IPB. Penulis juga menjadi<br />
anggota pada organisasi profesi ilmiah<br />
Perhimpunan Teknik Pertanian<br />
Indonesia (PERTETA).<br />
42
PEMODELAN
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Pertimbangan Perilaku dalam<br />
Pemodelan Pengikutan Kendaraan untuk<br />
Simulator Trafik Kendaraan<br />
Dwi Handoko<br />
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Informasi dan Elektronika, BPPT<br />
Jl. M. H. Thamrin No. 8 Jakarta 10340<br />
E-mail: dwih@inn.bppt.go.id<br />
Abstrak<br />
Model pengikutan kendaraan (Car Following) adalah salah satu komponen<br />
penting dalam simulator trafik kendaraan mikroskopik. Beberapa model<br />
kendaraan pengikut telah diketengahkan sebelum ini, dimana sebagian<br />
besar adalah berbasis model matematik. Dalam makalah ini diketengahkan<br />
pemodelan kendaraan hibrid yaitu pencampuran antara model matematika<br />
dan model perilaku kendaraan dan pengemudi. Dalam pendekatan ini,<br />
perilaku spesifik dari tiap-tiap kendaraan dan pengemudi dapat dimodelkan,<br />
sesuai untuk simulator kendaraan bersifat mikroskopik.<br />
Kata kunci: Simulator trafik kendaraan, model kendaraan pengikut, model perilaku kendaraan<br />
1. Pendahuluan<br />
Simulator trafik kendaraan<br />
merupakan alat komputasi untuk<br />
mensimulasikan aliran kendaraan di jalan.<br />
Simulator ini dapat dimanfaatkan untuk<br />
perancangan jalan sehingga kondisi<br />
lalulintas setelah perubahan jalan dapat<br />
diramalkan sebelumnya, dimana dapat<br />
mengurangi akibat buruk dari perencanaan<br />
yang kurang matang.<br />
Pada umumnya simulator trafik<br />
kendaraan dapat dikategorikan atas 2 jenis,<br />
yaitu yang berbasis makroskopik dan<br />
berbasis mikroskopik. Simulator berbasis<br />
makroskopik memodelkan berdasarkan<br />
aliran kendaraan, sedang simulator<br />
mikroskopik memodelkan berdasarkan<br />
gerak kendaraan secara mikro satu<br />
persatu[1].<br />
Simulator makroskopik dimaksudkan<br />
untuk melakukan simulasi trafik kendaraan<br />
dalam wilayah yang luas, sedang simulator<br />
mikroskopik dimaksudkan untuk<br />
mensimulasikan trafik kendaraan untuk<br />
wilayah yang lebih kecil, mengingat<br />
kendaraan dimodelkan satu persatu, hingga<br />
diperlukan kemampuan komputasi yang<br />
besar untuk memodelkan kendaraan dalam<br />
wilayah luas.<br />
Dalam model untuk simulator<br />
mikroskopik, pengikutan kendaraan (car<br />
following) adalah salah satu komponen<br />
pentingnya, dimana disini dimodelkan<br />
bagaimana kendaraan mengikuti<br />
kendaraan didepannya.<br />
Beberapa model telah dikembangkan<br />
sebelum ini, diantaranya meggunakan<br />
model fisika seperti persamaan di bawah<br />
untuk mencari percepatan kendaraan [2]:<br />
a(t) = A[v t (t)-v f (t)] + B{[x t (t)-x f (t)]-H des }, (1)<br />
dimana, a(t) adalah percepatan kendaraan<br />
yang dicari, v t (t) dan v f (t) adalah kecepatan<br />
kendaraan didepan dan kecepatan<br />
kendaraan obyek, x t (t) dan x f (t) adalah<br />
posisi kendaraan didepan dan kendaraan<br />
obyek, dan H des jarak aman antar<br />
kendaraan. A dan B adalah konstanta yang<br />
sesuai.<br />
Dalam makalah ini dikembangkan<br />
model dengan memasukkan<br />
pertimbangan perilaku kendaraan untuk<br />
simulator trafik kendaraan berbasis<br />
mikroskopik, selain model dari matematika<br />
yang digunakan.<br />
2. Perilaku Kendaraan<br />
Dalam kenyataan kondisi trafik<br />
kendaraan, perilaku kendaraan sangat<br />
mempengaruhi kondisi trafik. Oleh karena<br />
itu dalam konsiderasi perilaku dalam<br />
pemodelan kendaraan akan dapat<br />
meningkatkan akurasi dari simulasi.<br />
Akan tetapi tidaklah mudah untuk<br />
memodelkan perilaku kendaraan secara<br />
detail, karena umumnya perilaku kendaraan<br />
dipengaruhi perilaku pengemudi yang mana<br />
sangat kompleks karena menyangkut<br />
manusia.<br />
Dalam pembuatan simulator trafik<br />
kendaraan ini, pendekatan pemodelan<br />
perilaku yang dilakukan adalah dengan<br />
memodelkan perilaku kendaraan<br />
berdasarkan sikap pengemudi secara<br />
umum dan perilaku dari tipe kendaraan<br />
43
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
secara umum. Sebagai contoh perilaku<br />
kendaraan tipe kendaraan umum tentu<br />
berbeda dengan kendaraan pribadi.<br />
Pada makalah ini perbedaan perilaku<br />
tipe kendaraan tidak dibahas secara<br />
mendetail, pembahasan dibatasi atas<br />
perilaku kendaraan secara umum. Perilaku<br />
umum yang menjadi pertimbangan itu<br />
adalah antara lain:<br />
- Pengemudi menekan rem pada lampu<br />
merah kalau jarak sudah dekat.<br />
- Pengemudi mengikuti kecepatan<br />
kendaraan didepan bila jarak sudah<br />
dekat dan menjaga jarak aman antar<br />
kendaraan.<br />
- Pengemudi menekan gas bila didepan<br />
kosong atau jarak ke mobil depan<br />
cukup jauh.<br />
- Pengemudi mempertahankan<br />
kecepatan bila sudah mencapai<br />
kecepatan maksimum dan jarak untuk<br />
berhenti masih jauh. (Tidak ada<br />
hambatan di depan)<br />
- Tiap-tiap tipe kendaraan mempunyai<br />
jarak aman antara kendaraan bergerak<br />
dan kendaraan yang relatif diam<br />
(kecepatan sangat rendah berbeda).<br />
- Tiap-tiap tipe kendaraan mempunyai<br />
percepatan maksimum dan minimum,<br />
serta kecepatan maksimum.<br />
Dalam simulator dengan model<br />
matematika seperti persamaan (1),<br />
percepatan kendaraannya dicari. Dalam<br />
model yang dikembangkan penulis,<br />
percepatan kendaraan tidak dihitung, untuk<br />
penyederhanaan, akan tetapi dijadikan<br />
tetap untuk tiap-tiap tipe kendaraan.<br />
Perilaku kendaraan dalam<br />
percepatan dan perlambatan didefinisikan<br />
sebagai berikut:<br />
- Setiap pengemudi selalu berusaha<br />
mencapai kecepatan maksimum<br />
secepat mungkin.<br />
- Setiap pengemudi selalu bersudaha<br />
dan percepatan minimum untuk<br />
mengurangi kecepatan atau statis untuk<br />
mempertahankan kecepatan.<br />
3. Model Kendaraan<br />
Dalam pemodelan kendaraan<br />
dengan memasukkan pertimbangan<br />
perilaku, untuk tahap awal ini, hanya sisi<br />
kecepatan dan percepatannya yang akan<br />
dimodelkan. Jadi tiap-tiap jenis kendaraan<br />
kecepatan maksimum dan percepatan yang<br />
berbeda.<br />
Dalam pendekatan yang dilakukan,<br />
jalan dari kendaraan dimodelkan sebagai<br />
sebuah jalur. Dimana hanya satu<br />
kendaraan yang dapat berada pada lebar<br />
kendaraan, dan tidak ada kendaraan<br />
parallel dalam satu jalur.<br />
Dari posisi kendaraan di dalam jalur,<br />
dapat dimodelkan 2 jenis kendaraan:<br />
- Kendaraan terdepan (lead vehicle):<br />
kendaraan yang berada di paling depan<br />
dari suatu jalur<br />
- Kendaraan pengikut (vehicle follower):<br />
kendaraan yang berada dibelakang dari<br />
kendaraan terdepan atau kendaraan<br />
belakang lainnya.<br />
Gambar 1 menunjukkan jalur,<br />
kendaraan terdepan, dan kendaraan<br />
pengikut. Berikut dideskripsikan<br />
pendekatan pemodelan untuk kendaraan<br />
tersebut.<br />
A. Kendaraan Terdepan<br />
Kendaraan terdepan adalah<br />
kendaraan yang berada pada posisi<br />
terdepan dari suatu jalur. Kendaraan ini<br />
mempunyai karakteristik untuk melaju<br />
sampai batas kecepatan maksimum sampai<br />
menjumpai hambatan. Dalam hal ini<br />
hambatan yang dimaksud adalah lampu<br />
merah atau hambatan lain selain<br />
kendaraan.<br />
Arah maju kendaraan<br />
Jalur<br />
Kendaraan<br />
Terdepan<br />
Kendaraan<br />
Pengikut<br />
Gambar 1. Hubungan kendaraan terdepan, pengikut dan jalur<br />
untuk mengurangi kecepatan dengan<br />
percepatan minimum.<br />
Oleh karena itu percepatan yang<br />
digunakan adalah hanya percepatan<br />
maksimum untuk meningkatkan kecepatan<br />
Apabila diketahui kecepatan<br />
maksimum kendaraan adalah v max , waktu<br />
yang diperlukan untuk mencapai vmax<br />
adalah t _speed_up dan waktu normal yang<br />
diperlukan untuk berhenti adalah t _stop ,<br />
44
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
maka percepatan maksimum a max adalah<br />
v max /t _speed_up dan percepatan minimum<br />
(perlambatan) a min adalah -v max /t _stop .<br />
Untuk penyederhanaan perilaku<br />
kendaraan terdepan, ditetapkan:<br />
- Kendaraan selalu berusaha untuk<br />
mencapai kecepatan maksimum.<br />
- Kendaraan melakukan perlambatan<br />
dengan percepaan minimum.<br />
Oleh karena itu, bila kendaraan<br />
dalam kecepatan awal v max jarak yang<br />
diperlukan kendaraan untuk sampai<br />
berhenti x _stp dapat di hitung dengan<br />
persamaan v max × t _stop + t 2 _stop × a min /2.<br />
Oleh karenanya apabila di depan<br />
kendaraan terdapat hambatan dalam jarak<br />
(dist_stop + α), dimana α adalah jarak<br />
aman kendaraan dan hambatan, maka<br />
kendaraan harus mulai mengurangi<br />
kecepatan.<br />
B. Kendaraan Pengikut<br />
Kendaraan yang berada dibelakang<br />
kendaraan terdepan, mempunyai perilaku<br />
yang cukup kompleks, untuk memudahkan,<br />
perilaku berikut yang kami jadikan untuk<br />
pemodelan tahap awal:<br />
- mengejar kecepatan kendaraan didepan<br />
apabila jaraknya masih jauh<br />
- kendaraan belakang tidak melewati<br />
kendaraan didepannya<br />
- menjaga jarak aman (β) dengan<br />
kendaraan di depan apabila sudah<br />
dekat<br />
- kendaraan di depannya tidak melakukan<br />
pengereman mendadak<br />
- percepatan dan pelambatan hanya<br />
menggunakan a max dan a min<br />
- Tidak mendahului kendaraan di<br />
depannya<br />
Berdasarkan definisi perilaku seperti<br />
di atas, dan dengan asumpsi jarak aman<br />
antar kendaraan adalah β meter,<br />
dikembangkan model sebagaimana dalam<br />
diagram alur pada gambar 2.<br />
Parameter pada diagram alur adalah<br />
sbb:<br />
v o<br />
: kecepatan kendaraan saat<br />
ini<br />
v t_d : kecepatan kendaraan di<br />
depannya<br />
v t : kecepatan kendaraan yang<br />
dicari<br />
v ts : kecepatan sementara<br />
dist_front: : jarak ke kendaraan depan<br />
β : jarak aman antar<br />
kendaraan<br />
Pada diagram alur ini, kendaraan<br />
yang di depan di asumsikan sudah<br />
mempunyai kecepatan dan posisi pada<br />
waktu yang terbaru[3].<br />
Hitung jarak ke depan<br />
Hitung jarak berhenti<br />
dengan v ts1 =v o<br />
If x _stp < dist_front+β<br />
F<br />
v ts1 dihitung dengan<br />
percepatan a min<br />
T<br />
Hitung v ts2 dengan<br />
percepatan a max dan tidak<br />
melebihi v max<br />
If v ts1 < v td<br />
F<br />
v t =v ts1<br />
Hitung jarak berhenti<br />
dengan v ts2<br />
T<br />
v t =v td<br />
If x _stp < dist_front+β<br />
F<br />
v t =v ts1<br />
T<br />
v t =v ts2<br />
Gambar 2. Diagram alur pengikutan kendaraan<br />
45
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
4. Simulasi<br />
Tabel 1, 2 di bawah menunjukkan<br />
simulasi dari majunya kendaraan terdepan.<br />
Dimana percepatan a max =2.08m/s 2 , a min =-<br />
2.78 m/s 2 , dan start dari keadaan diam.<br />
v maks nya adalah 16.67m/s.<br />
Tabel 1. Simulasi Percepatan<br />
Time Vt Dist<br />
0 0 0<br />
1 2.08 1.04<br />
2 4.17 4.17<br />
3 6.25 9.38<br />
4 8.33 16.67<br />
5 10.42 26.04<br />
6 12.5 37.5<br />
7 14.58 51.04<br />
8 16.67 66.67<br />
9 16.67 83.33<br />
10 16.67 100<br />
Tabel 2. Simulasi Rem<br />
Time Vt Dist<br />
0 16.67 0<br />
1 13.89 15.28<br />
2 11.11 27.78<br />
3 8.33 37.5<br />
4 5.56 44.44<br />
5 2.78 48.61<br />
6 0 48.61<br />
7 0 48.61<br />
8 0 48.61<br />
9 0 48.61<br />
10 0 48.61<br />
Tabel 3 menunjukkan simulasi dari 2<br />
buah kendaraan, dimana Mobil1 berjalan<br />
dengan kecepatan konstan 10m/s dan<br />
Mobil2 dengan percepatan a max =2.08ms/2,<br />
a min =-2.78 m/s2, dan start dari keadaan<br />
diam. v maks untuk kedua mobil tersebut<br />
adalah 16.67m/s. Pada simulasi ini jarak<br />
aman untuk kendaraan bergerak ditentukan<br />
10 m.<br />
Tabel 3. Simulasi Pengikutan Kendaraan<br />
Wkt<br />
Vt<br />
Mobil1<br />
Vt<br />
Mobil2<br />
Dist_front t_stp<br />
0 10 0 50<br />
1 10 2.08 57.92<br />
2 10 4.17 63.75<br />
x_stp<br />
3 10 6.25 67.5 0<br />
4 10 8.33 69.17 0<br />
5 10 10.42 68.75 0.15 1.53<br />
6 10 12.5 66.25 0.9 10.13<br />
7 10 14.58 61.67 1.65 20.26<br />
8 10 16.67 55 2.4 32.02<br />
9 10 16.67 48.33 2.4 32.02<br />
10 10 16.67 41.66 2.4 32.02<br />
11 10 16.67 34.99 2.4 32.02<br />
12 10 13.89 31.1 1.4 16.74<br />
13 10 13.89 27.21 1.4 16.74<br />
14 10 13.89 23.31 1.4 16.74<br />
15 10 13.89 19.42 1.4 16.74<br />
16 10 11.11 18.31 0.4 4.24<br />
17 10 11.11 17.19 0.4 4.24<br />
18 10 11.11 16.08 0.4 4.24<br />
19 10 11.11 14.96 0.4 4.24<br />
20 10 11.11 13.85 0.4 4.24<br />
21 10 11.11 12.73 0.4 4.24<br />
22 10 11.11 11.62 0.4 4.24<br />
23 10 11.11 10.51 0.4 4.24<br />
24 10 10 10.51 0 0<br />
25 10 10 10.51 0 0<br />
26 10 10 10.51 0 0<br />
27 10 10 10.51 0 0<br />
28 10 10 10.51 0 0<br />
5. Penutup<br />
Telah diuraikan di atas pemodelan<br />
pengikutan kendaraan dengan<br />
memasukkan pertimbangan perilaku<br />
kendaraan. Pada makalah ini hanya<br />
diuraikan pengikutan kendaraan<br />
berdasarkan perilaku secara umum. Hasil<br />
simulasi menunjukkan bahwa model yang<br />
dikembangkan cukup valid. Pemodelan<br />
pengikutan kendaraan atas tipe kendaraan<br />
secara mendetail belum dibahas dalam<br />
makalah ini, dan menjadi rencana masa<br />
datang dari kerja pembuatan trafik<br />
kendaraan ini.<br />
Daftar Pustaka<br />
1. Staffan Algers, Eric Bernauer, Marco<br />
Boero, et all, “Review of Micro-<br />
Simulation Models”, Smartest Project, 8<br />
August 1997.<br />
http://www.its.leeds.ac.uk/projects/smart<br />
est/<br />
2. Dwi Handoko, “Disain Simulator Trafik<br />
Kendaraan”, Proc. Seminar Ilmiah<br />
Nasional: Komputer dan Sistem Intelijen<br />
(KOMMIT) 2002, Vol. 2, Th. 2002, pp.<br />
B16-B20.<br />
RIWAYAT PENULIS<br />
Dwi Handoko lahir di Jakarta 25<br />
April 1970. Memperoleh gelar B.Eng dan<br />
M.Eng pada bidang Elektronika dari<br />
Miyazaki University Jepang tahun 1994 dan<br />
1996, dan gelar Dr.Eng pada bidang Sistem<br />
Mikroelektronika dari Shizuoka University<br />
Jepang tahun 2001. Saat ini bekerja di<br />
Pusat Pengkajian dan Pengembangan<br />
Teknologi Teknologi Informasi dan<br />
Elektronika, BPPT. Bidang penelitiannya<br />
adalah Multimedia Signal Processing, VLSI<br />
Design dan Simulasi. Dr. Dwi Handoko<br />
adalah anggota dari IEEE.<br />
46
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Disain Simulator Trafik Kendaraan<br />
Berorientasi Obyek<br />
Amien Rusdiutomo 1 , Dwi Handoko 2<br />
1 Pusat Audit Teknologi, BPPT<br />
2 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Informasi dan Elektronika, BPPT<br />
Jl. M. H. Thamrin No. 8 Jakarta 10340<br />
E-mail: rusdiutomo2000@yahoo.com, dwih@inn.bppt.go.id<br />
Abstract<br />
Kota-kota besar dan daerah sekelilingnya mengalami tingkat pertumbuhan<br />
urban yang tinggi disertai mobilitas penduduk yang makin meningkat. Hal<br />
tersebut memerlukan pengaturan sistem lalu-lintas yang efisien dan terpadu.<br />
Penggunaan simulator untuk mengatur trafik kendaraan adalah salah satu<br />
cara untuk mencapai tujuan diatas. Pada makalah ini dipaparkan tentang<br />
disain simulator trafik kendaraan microscopik yang menggunakan<br />
pemodelan perilaku kendaraan dengan pendekatan desain berorientasi<br />
obyek. Dengan pendekatan desain berorientasi obyek tersebut, simulator<br />
trafik ini akan mampu merepresentasikan perilaku kendaraan lebih detail<br />
dan memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi untuk pemodifikasian ataupun<br />
penambahan fungsi pada pengembangan simulator trafik kendaraan.<br />
Katakunci: simulator trafik kendaraan, microscopic-model, perilaku kendaraan, object-oriented<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Banyak permasalahan nyata disekitar<br />
kita yang dicoba dipecahkah dengan<br />
menggunakan alat bantu komputer.<br />
Permasalahan tersebut dianalisis,<br />
dimodelkan, dan diimplementasikan sebagai<br />
sebuah program simulator. Dengan<br />
menggunakan simulator maka akan<br />
diperoleh efisiensi biaya, dan dapat<br />
berfungsi sebagai subsitusi percobaan untuk<br />
masalah yang sulit, kompleks, ataupun<br />
berbahaya.<br />
Salah satu permasalahan yang cukup<br />
kompleks dan perlu segera dipecahkan,<br />
khususnya untuk kota besar adalah masalah<br />
lalu-lintas (trafik) kendaraan. Dengan<br />
menggunakan bantuan program simulator<br />
trafik kendaraan akan sangat membantu<br />
dalam pengaturan lalu-lintas, maupun<br />
perencanaan ke depan pengembangan<br />
sistem lalu-lintas.<br />
Pengembangan program simulator<br />
trafik kendaraan telah dilakukan di beberapa<br />
negara maju seperti Amerika, negaranegara<br />
Eropa dan Jepang, yang dilakukan<br />
baik oleh institusi pemerintah maupun oleh<br />
industri. Fungsi yang disediakan oleh<br />
program simulator semakin beragam, mulai<br />
dari simulasi kondisi jalur, prediksi tingkat<br />
kemacetan lalu-lintas, hingga ke deteksi<br />
tingkat kenyamanan pengemudi (2) . Selain<br />
fungsi yang beragam dari program simulator<br />
trafik kendaraan, standar pemodelan trafik<br />
kendaraan belum ada. Hal ini disebabkan<br />
oleh kondisi yang berbeda antar negara<br />
menyangkut sistem lalu-lintas termasuk<br />
didalamnya behaviour (kelakuan)<br />
pengendara.<br />
Dengan kondisi lalu-lintas yang<br />
berbeda, Indonesia memerlukan suatu<br />
simulator trafik kendaraan yang dapat<br />
memodelkan kondisi lalu- lintasnya. Untuk<br />
memodelkan hal di atas maka diambil<br />
pendekatan dengan model mikroskopik<br />
(microscopic-model) yang memasukkan<br />
pertimbangan perilaku kendaraan (1,3) .<br />
Dalam makalah ini selanjutnya akan<br />
dibahas tentang pemodelan perangkat lunak<br />
simulasi trafik kendaraan, simulator trafik<br />
kendaraan tersebut dengan berorientasi<br />
obyek, dan rencana ke depan dari<br />
pengembangan simulator ini.<br />
2. MODEL SIMULASI TRAFIK<br />
KENDARAAN<br />
Simulasi trafik kendaraan dapat<br />
diklasifikasikan menurut tingkat detail dari<br />
obyek yang dipelajari menjadi dua model,<br />
yakni model makroskopik (macroscopicmodel)<br />
dan model mikroskopik (microscopicmodel)<br />
(2) . Pada model makroskopik, trafik<br />
kendaraan direpresentasikan sebagai aliran<br />
secara berkelompok dari kendaraan,<br />
dimana dalam satu kelompok, geraknya<br />
dianggap homogen. Model tersebut tidak<br />
sesuai untuk merepresentasikan kondisi<br />
kemacetan, perubahan kepadatan trafik<br />
secara riil. Sementara pada model<br />
47
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
mikroskopik, merepresentasikan trafik<br />
kendaraan dari masing-masing pergerakan<br />
kendaraan yang disimulasikan. Sehingga<br />
akan diperoleh hasil simulasi yang lebih<br />
detail dan mendekati kondisi riil. Model<br />
simulasi trafik kendaraan pada makalah ini<br />
adalah mikroskopik model.<br />
Pergerakan dari tiap-tiap kendaraan<br />
sangat bergantung kepada perilaku<br />
pengemudi. Referensi 3 membahas<br />
pemodelan gerak kendaraan dengan<br />
pertimbangan perilaku pengemudi, seperti:<br />
• Pengemudi menginjak rem pada lampu<br />
merah kalau jarak sudah dekat<br />
• Pengemudi menginjak rem kalau lampu<br />
rem mobil di depannya menyala dan<br />
jarak sudah dekat<br />
• Pengemudi menginjak gas bila didepan<br />
kosong atau jarak ke mobil depan cukup<br />
jauh<br />
• Pengemudi mempertahankan kecepatan<br />
bila sudah mencapai kecepatan<br />
maksimum dan lampu rem mobil di<br />
depan tidak menyala serta dalam jarak<br />
yang cukup<br />
Initializations<br />
New time slice<br />
Update controls<br />
Select Entities<br />
Select a new object<br />
Calculate the object<br />
All objects<br />
All Entities<br />
Gambar 1. Prosedur simulasi time-driven<br />
Untuk dapat memodelkan kendaraan<br />
tersebut, pendekatan berorientasi obyek<br />
sangatlah sesuai, mengingat tiap-tiap<br />
kendaraan dapat di modelkan secara<br />
terpisah, sehingga masing-masing dapat<br />
dimodelkan secara detail.<br />
Hampir semua entiti untuk simulasi<br />
trafik kendaraan adalah dinamik, dimana<br />
waktu adalah sebagai variable yang berdiri<br />
sendiri (independent variable). Kondisi<br />
(state) tiap-tiap entiti dari sistem berubah<br />
berdasar pergerakan waktu dari simulasi.<br />
Secara garis besar ada dua cara<br />
menggerakkan simulasi untuk<br />
merepresentasikan kondisi dinamik dari tiaptiap<br />
elemen sistem, yakni event-driven dan<br />
simulasi time-driven. Mengingat hampir<br />
semua kondisi entiti untuk simulasi trafik<br />
kendaraan berubah secara kontinyu, maka<br />
simulasi time-driven adalah pilihan yang<br />
lebih baik.<br />
Prosedur dari simulasi time-driven<br />
simulasi seperti tergambar pada gambar 1,<br />
dimana perubahan kondisi dari tiap-tiap<br />
obyek dihitung pada setiap satuan waktu.<br />
Pada saat pertama dilakukan inisialisasi dari<br />
kondisi simulasi. Kemudian pemilihan suatu<br />
entitas. Dalam setiap satuan waktu dihitung<br />
pergerakan dari obyek-obyek dalam entitas<br />
tersebut (3) .<br />
3. DESAIN ENTITI BERORIENTASI<br />
OBYEK<br />
Dalam simulator kendaraan ini,<br />
didefinisikan ada dua buah komponen<br />
utama dari obyek yaitu jalur (lane) dan<br />
kendaraan (vehicle), disamping komponen<br />
lainnya seperti lampu lalu lintas (traffic light),<br />
persilangan jalur (junction) dan lain-lain.<br />
Tiap kendaraan harus berada dalam<br />
jalur. Jalur mempunyai arah dan posisi pada<br />
peta. Jalur selanjutnya dapat dibedakan lagi<br />
menjadi, jalur lurus (straight lane) dan jalur<br />
tikungan (curve lane). Perhitungan gerak<br />
dari kendaraan harus disesuaikan dengan<br />
jenis jalur yang dilaluinya.<br />
Sementara kendaraan dapat<br />
dibedakan menjadi dua yakni, kendaraan<br />
pribadi (private vehicle) dan kendaraan<br />
umum (public vehicle). Pembedaan di atas<br />
terletak pada perilaku umum dari masingmasing<br />
kendaraan. Seperti kendaraan<br />
umum mempunyai beberapa titik berhenti<br />
sedang kendaraan pribadi hanya satu. Dan<br />
juga mempunyai perbedaan pada sisi<br />
kecepatan maksimum dan percepatannya.<br />
Peta jalan dapat terdiri dari<br />
komponen: node (N), curve-lane (C),<br />
straight-lane (L), T-junction (T), dan<br />
intersection (I), seperti tampak pada gambar<br />
2 di bawah.<br />
Definisi dari masing-masing<br />
komponen, yang juga merupakan obyek,<br />
jalan seperti berikut:<br />
• Node adalah titik titik ujung jalur,<br />
merepresentasikan sambungan dua jalur.<br />
• Straight-lane adalah jalur lurus<br />
• Curve-lane adalah variasi dari jalur yang<br />
melengkung.<br />
• T-junction adalah persimpangan 3 buah<br />
jalur berbentuk huruf T dengan lampu<br />
trafik<br />
48
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
• Intersection adalah persimpangan dua<br />
jalur dengan lampu trafik<br />
Gambar 2. Data Trafik Jalan<br />
Masing-masing komponen jalur<br />
memiliki atribut seperti: panjang, lebar, titik<br />
koordinat, kecepatan maksimum jumlah<br />
dalam jalur.<br />
Sementara untuk kendaraan,<br />
atributnya antara lain atribut fisik dan atribut<br />
perilaku. Atribut fisik dari kendaraan berupa:<br />
jenis, lebar, panjang, kecepatan. Atribut<br />
perilaku untuk merepresentasikan perilaku<br />
kendaraan adalah: percepatan maksimum,<br />
percepatan minimum, kecepatan maksimum,<br />
tempat berhenti dan tujuan. Kendaraan<br />
pribadi dan kendaraan umum berbeda dari<br />
terutama atribut perilakunya.<br />
Komponen trafik berupa jalur dan<br />
kendaraan di atas, dengan berorientasi<br />
obyek, dapat direpresentasikan dengan<br />
notasi Object Modeling Technique (OMT) (7)<br />
seperti pada gambar 3 di bawah.<br />
Superclass vehicle diturunkan<br />
(inheritanced) menjadi dua subclass: publicvehicle<br />
dan private-vehicle. Sementara<br />
superclass lane diturunkan menjadi dua<br />
subclass: straight-lane dan curve-lane.<br />
Lewat cara penurunan (inheritance),<br />
masing-masing subclass memiliki sifat-sifat<br />
dasar dari superclass selain sifat spesifik<br />
pada subclass tersebut.<br />
Seperti diuraikan di atas, perbedaan<br />
perilaku kendaraan antara kendaraan umum<br />
dan pribadi adalah pada atribut kecepatan<br />
maksimum (v_max) dan percepatan (a).<br />
Dalam implementasinya dengan bahasa<br />
C++, dapat digunakan virtual function pada<br />
superclass vehicle, sementara nilai dan<br />
perhitungan perubahan kecepatan<br />
sebenarnya ada pada masing-masing<br />
subclass.<br />
Antar vehicle class dan lane class<br />
direpresentasikan sebagai hubungan<br />
association. Dimana di atas obyek jalur<br />
terdapat obyek kendaraan yang sedang<br />
bergerak. Ada situasi dimana tidak ada<br />
kendaraan yang bergerak di atas jalur.<br />
Gerak kendaraan dapat mengakibatkan<br />
suatu kendaraan dapat berpindah dari suatu<br />
jalur ke jalur lain sesuai dengan tujuan<br />
perjaluran. Dalam makalah ini, link antara<br />
kendaraan dan jalur dimodelkan dimana<br />
kendaraan terdepan dari suatu jalur (lead<br />
vehicle) mempunyai link dengan jalur,<br />
sedang kendaraan pengikut (vehicle<br />
follower) linknya ke kendaraan di depannya.<br />
Dalam bahasa C++, hubungan<br />
tersebut dapat diimplementasikan dengan<br />
bantuan pointer yang menunjuk ke obyek<br />
kendaraan pada class lane dan memakai<br />
fungsi friend. Gambar 4 menunjukkan link<br />
antara kendaraan dan jalur.<br />
Gambar 4. Link antara Jalur dan Kendaraan<br />
Gambar 3. Notasi Obyek: Jalur dan<br />
Kendaraan<br />
4. PENGEMBANGAN KE DEPAN<br />
Dengan pendekatan model<br />
mikroskopik dan berorientas obyek, maka<br />
gerak dari tiap-tiap kendaraan dapat<br />
direpresentasikan lebih detail dan perilaku<br />
kendaraan dapat ditambah ataupun<br />
dimodifikasi dengan lebih fleksibel.<br />
Konsekuensi dari model mikroskopik adalah<br />
memerlukan komputasi yang besar<br />
dibanding dengan model makroskopik.<br />
Untuk mensimulasikan area yang luas dan<br />
49
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
jumlah kendaraan yang besar, maka<br />
komputasi secara paralel tidak dapat<br />
dihindarkan.<br />
Dari hasil simulasi di University of<br />
Edinburg, diperoleh keunggulan paralel<br />
komputasi untuk mensimulasikan trafik<br />
kendaraan dengan jumlah 200.000<br />
kendaraan yang bergerak di atas 7.000 jalur<br />
dengan performansi yang setara dengan<br />
kondisi sebenarnya<br />
(8) . Performansi dari<br />
paralel simulasi sangat bergantung pada<br />
kecepatan prosesing dan overhead dari<br />
komunikasi antar node komputer. Pada tes<br />
performansi oleh Kasetsart University<br />
diperoleh hasil yang cukup skalabel dimana<br />
diperoleh peningkatan speed-up mendekati<br />
75% dari kondisi ideal, dengan penambahan<br />
jumlah prosesor pada jumlah kendaraan<br />
tetap (6) .<br />
Disain simulator trafik kendaraan ini<br />
akan diimplementasikan di atas PC-cluster.<br />
Dimana beberapa PC dihubungkan oleh<br />
jaringan untuk membentuk suatu gugusan<br />
komputasi (cluster computations). Semua<br />
PC berbasis arsitektur yang sama, yakni<br />
intel micro-processor, dan menggunakan<br />
sistem operasi GNU/Linux. Parallel library<br />
yang digunakan adalah Message Passing<br />
Interface (MPI), mengingat arsitektur dari<br />
platform yang digunakan sama, dan MPI-2<br />
juga telah menyediakan tambahan<br />
language-bindings bahasa C++ untuk<br />
pemrograman berorientasi obyek (9) .<br />
Secara bersamaan, kami telah<br />
memulai mendisain paralisasi simulasi trafik<br />
kendaraan yang meliputi paralisasi data<br />
trafik, paralel algoritma, dan cara<br />
pendistribusian beban pada tiap-tiap node<br />
komputasi<br />
(4) . Pendekatan perancangan<br />
perangkat lunak dengan berorientasi obyek,<br />
di satu sisi, juga memudahkan untuk<br />
pendistribusian beban komputasi berbasis<br />
perhitungan obyek.<br />
Selanjutnya kami akan implementasi<br />
program simulator trafik kendaraan<br />
berorientasi obyek di atas PC-cluster.<br />
5. PENUTUP<br />
Pada makalah ini dipaparkan disain<br />
simulator trafik kendaraan yang berorientasi<br />
obyek. Pendekatan model yang dipakai<br />
adalah mikroskopik agar dapat<br />
merepresentasikan perilaku dari kendaraan<br />
secara detail. Program simulator yang<br />
dirancang bersifat moduler dan komponenkomponen<br />
simulasi dimodelkan berorientasi<br />
obyek (object-oriented). Sehingga<br />
penambahan dan perubahan feature dari<br />
simulator dapat lebih fleksibel.<br />
Karena untuk mensimulasikan trafik<br />
kendaraan dengan jumlah kendaraan yang<br />
besar, paralisasi komputasi sangat perlu,<br />
maka dipaparkan konsideran implementasi<br />
di atas PC-cluster dan secara bersamaan<br />
telah mendisain paralisasi simulasi trafik<br />
kendaraan (4) .<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Dwi Handoko, “Pertimbangan Perilaku<br />
dalam Pemodelan Pengikutan<br />
Kendaraan untuk Simulator Trafik<br />
Kendaraan”, Semiloka Teknologi<br />
Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi,<br />
Oktober 2003.<br />
2. Staffan Algers, Eric Bernauer, Marco<br />
Boero, et all, “Review of Micro-Simulation<br />
Models”, Smartest Project, 8 August<br />
1997. http://www.its.leeds.ac.uk/projects/<br />
smartest/<br />
3. Dwi Handoko, “Disain Simulator Trafik<br />
Kendaraan”, Proc. Seminar Ilmiah<br />
Nasional: Komputer dan Sistem Intelijen<br />
(KOMMIT) 2002, Vol. 2, Th. 2002, pp.<br />
B16-B20.<br />
4. Amien Rusdiutomo, Dwi Handoko,<br />
Lebong Andalaluna, Aris Suwarjono,<br />
”Distribusi Beban Komputasi Paralel<br />
Simulator Trafik Kendaraan”, Proc.<br />
Seminar Ilmiah Nasional: Komputer dan<br />
Sistem Intelijen (KOMMIT) 2002, Vol. 2,<br />
Th. 2002, pp. A26-A29.<br />
5. Ryota Horiguchi, Masahiko Katakura et al,<br />
“A Development of A Traffic Simulator for<br />
Urban Lane Networks: AVENUE”, Proc.<br />
Conference on Vehicle Navigation and<br />
Information Systems, 1994, pp. 254-250<br />
6. Narinnat Suksawat, Yuen Poovarawan,<br />
Somchai Numprasertchai, “The<br />
Development of Scalable Traffic<br />
Simulation Based on Java Technology“,<br />
Technical Report of Dept. Computer<br />
Engineering, Fac. Of Engineering,<br />
Kasetsart University, Bangkok, Thailand.<br />
http://pindex.ku.ac.th/file_research/Scala<br />
bleTrafficSimulation.pdf<br />
7. James Rumbaugh, Michael Blaha, et al,<br />
“Object-Oriented Modeling and Design”,<br />
Prentice-Hall, 1991<br />
8. Brian J. N. Wylie, David McArthur,<br />
“PARAMICS – Moving Vehicles on the<br />
Connection Machine”, Proc. of<br />
Supercomputing ’94, November 1994<br />
9. MPI Forum, “MPI-2: Extensions to the<br />
Message-Passing Interface”, July 1997<br />
RIWAYAT PENULIS<br />
Amien Rusdiutomo lahir di kota<br />
Yogyakarta pada tanggal 26 September<br />
1971. Menamatkan pendidikan S1 di<br />
50
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
University of Electro-communication, Tokyo,<br />
Jepang pada tahun 1996 dalam bidang Ilmu<br />
Komputer. Dan menyelesaikan program S2<br />
pada tahun 1998 di universitas yang sama<br />
dengan bidang spesialis Parallel/Distributed<br />
Processing. Saat ini bekerja sebagai staf<br />
peneliti di Bidang Telematika, Pusat Audit<br />
Teknologi, BPPT, Jakarta. Penulis juga<br />
menjadi anggota pada organisasi profesi<br />
ilmiah IECI, ACM<br />
Dwi Handoko lahir di Jakarta 25 April<br />
1970. Memperoleh gelar B.Eng dan M.Eng<br />
pada bidang Elektronika dari Miyazaki<br />
University Jepang tahun 1994 dan 1996,<br />
dan gelar Dr.Eng pada bidang Sistem<br />
Mikroelektronika dari Shizuoka University<br />
Jepang tahun 2001. Saat ini bekerja di<br />
Pusat Pengkajian dan Pengembangan<br />
Teknologi Teknologi Informasi dan<br />
Elektronika, BPPT. Bidang penelitiannya<br />
adalah Multimedia Signal Processing, VLSI<br />
Design dan Simulasi.<br />
Dr. Dwi Handoko adalah anggota dari IEEE.<br />
51
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Teknik Simulasi Time Response Analysis pada Multipath Optical<br />
Waveguide dengan Menggunakan Transfer Matrix<br />
Iip Syarif Hidayat<br />
Abstrak<br />
Time response analysis sangatlah dibutuhkan untuk melihat kemampuan<br />
bandwidth dari suatu rangkaian optik. Selama ini, dalam mencari time<br />
response analysis dari rangkaian optical waveguide digunakan metoda yang<br />
sudah sangat terkenal yaitu Finite Difference Time Domain (FDTD). Metoda<br />
ini berbeda dengan Beam Propagation Method (BPM), ia mampu<br />
menghitung struktur optical path yang bersifat melengkung, melingkar atau<br />
struktur-struktur yang rumit sekalipun. Akan tetapi, metoda FDTD<br />
memerlukan memori CPU yang besar dan waktu yang lama. Penulis<br />
mencoba memberikan alternatif lain tentang cara mencari time response<br />
analysis dari optical waveguide yang bersifat multipath dengan<br />
menggunakan transfer matrix yang dimodifkasi. Hasil perhitungan<br />
menunjukkan bahwa tingkat ketelitian hitung pada domain waktu metoda ini<br />
masih dibawah FDTD, akan tetapi tetap bisa digunakan sebagai studi awal<br />
karakterisasi sebuah rangkaian optical waveguide tanpa perlu menggunakan<br />
komputer dengan memori yang berorde Gigabyte<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Penggunaan komponen optik saat ini<br />
telah menjangkau berbagai bidang tidak<br />
hanya pada bidang telekomunikasi, tetapi<br />
juga pada bidang-bidang lain seperti sensor,<br />
kedokteran, industri, analisa bahan dan lain<br />
sebagainya. Sejalan dengan itu, ide-ide untuk<br />
menghasilkan komponen optik yang baru<br />
terus tumbuh. Salah satu tahap dalam<br />
mendisain komponen adalah simulasi.<br />
Simulasi dilakukan untuk melihat unjuk kerja<br />
awal suatu disain rangkaian yang selanjutnya<br />
dilakukan berbagai optimasi<br />
parameter-parameter yang ada. Pada saat ini,<br />
metoda yang sering digunakan dalam<br />
simulasi komponen optik adalah Beam<br />
Propagation Method (BPM) dan Finite<br />
Difference Time Domain (FDTD). Untuk<br />
komponen-komponen yang tidak<br />
mengandung waveguide yang melengkung<br />
atau melingkar, metoda BPM sering<br />
digunakan. Adapun untuk komponen optik<br />
yang terdapat waveguide yang berbentuk<br />
lingkaran atau lengkungan digunakan metoda<br />
FDTD. Metoda FDTD juga dilakukan untuk<br />
melihat time response dari komponen.<br />
Metoda FDTD adalah metoda yang relatif<br />
mudah tetapi memerlukan memori komputer<br />
yang besar dan waktu yang relatif lama.<br />
Misalnya, dengan menggunakan CPU 1GHz<br />
dengan RAM 2GHz, untuk komponen yang<br />
berdimensi 100µmx100µm membutuhkan<br />
waktu 12 jam lebih. Sehingga untuk sebuah<br />
simulasi tahap awal dimana masih banyak<br />
parameter yang perlu dioptimasi, FDTD<br />
sangat memerlukan waktu yang relatif lama.<br />
Pada makalah ini penulis mencoba<br />
mengenalkan cara sederhana mensimulasi<br />
komponen yang mengandung waveguide<br />
melingkar. Dalam hal ini penulis mengambil<br />
kasus rangkaian seperti pada gambar 1, yang<br />
kami sebut sebagai multi path ring resonator<br />
(MPRR). Yang melatar belakangi metoda<br />
perhitungan ini adalah karena kami ingin<br />
mencoba menemukan komponen baru untuk<br />
Outport 2<br />
In<br />
Outport 1<br />
Gambar 1. Struktur multipath ring resonator<br />
yang dijadikan model<br />
perhitungan.<br />
modulator optik yang mampu bekerja pada<br />
tegangan rendah dan kecepatan tinggi dan<br />
mempunyai sifat penseleksian panjang<br />
gelombang. Komponen ini diharapkan akan<br />
dapat diaplikasi pada jaringan telekomunikasi<br />
DWDM dengan range panjang gelombang<br />
berorde THz.<br />
Pada struktur tersebut terdapat dua<br />
buah ring dengan keliling lingkaran yang<br />
52
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
berbeda. Sinar yang masuk melalui input<br />
waveguide akan dikeluarkan dalam dua buah<br />
port. Outport 1 adalah untuk sinyal yang tidak<br />
berresonansi sedangkan outport 2 adalah<br />
untuk sinyal yang berresonansi. Jika bahan<br />
substrate menggunakan bahan elektro-optis,<br />
maka modulasi dapat dilakukan dengan<br />
menempelkan elektroda pada lintasan<br />
lingkaran. Dengan memberikan tegangan<br />
pada elektroda ini, akan terjadi perubahan<br />
indeks bias. Perubahan indeks bias ini akan<br />
mengakibatkan perubahan keadaan<br />
resonansi sehingga sinyal yang keluar baik<br />
dari outport 1 ataupun outport 2 akan<br />
merupakan sinyal yang termodulasi.<br />
2. METODA SIMULASI<br />
Metoda simulasi yang penulis paparkan<br />
dalam makalah ini pada prinsipnya<br />
menggunakan dua cara yaitu dengan transfer<br />
matrix dan dengan signal flow chart (SFC).<br />
Transfer matrix digunakan untuk<br />
mengekspresikan sub komponen yang ada<br />
dalam struktur MPRR sedangkan SFC<br />
digunakan untuk mencari transfer function<br />
akhir dari MPRR. Secara mendasar transfer<br />
matrix yang digunakan dalam studi ini adalah<br />
mirip dengan transfer matrix yang sering<br />
digunakan dalam multilayer optics, rangkaian<br />
microwave atau fiberoptic [1], [2].<br />
Beberapa kelebihan transfer matrix<br />
dapat kami sebutkan sebagai berikut :<br />
(a). Untuk rangkaian yang memiliki<br />
subkomponen-subkomponen yang<br />
berulang, relatif lebih mudah menyusun<br />
persamaannya.<br />
(b). Tidak memerlukan kerja keras dalam<br />
menyelesaiakan persamaan-persamaan<br />
yang berjumlah banyak, cukup dengan<br />
mengaplikasikan operasi matrix,<br />
persamaan rangkaian bisa diselesaikan.<br />
Untuk dapat menerapkan transfer<br />
matrix dalam struktur gambar 1, selanjutnya<br />
maka gambar 1 perlu diungkapkan dalam dua<br />
subkomponen sebagaimana diperlihatkan<br />
dalam gambar 2. Subkomponen tersebut<br />
terdiri dari:<br />
a. Komponen coupler. Transfer matrix yang<br />
digunakan untuk subkomponen coupler<br />
kami adopsi dari transfer matrix directional<br />
coupler. Adopsi ini akan valid selama input<br />
light hanya dilakukan pada satu port saja<br />
sehingga arah cahaya yang beresonansi<br />
pada MPRR satu arah. Persamaan (1)<br />
memperlihatkan persamaan untuk transfer<br />
matrix subkomponen coupler H c .<br />
⎡ 1 − K<br />
⎤<br />
i − j 1 − K i<br />
H c = 1 − γ ⎢<br />
⎥ (1)<br />
⎢⎣<br />
− j 1 − K i 1 − K i ⎥⎦<br />
dimana,<br />
K i : power coupling ratio,<br />
γ : fractional loss, dan<br />
j = − 1 .<br />
b. Komponen delay line. Transfer matrix<br />
untuk subkomponen delay line ini<br />
diperlihatkan dalam persamaan (2).<br />
⎡ exp{ − j(<br />
β + jα)<br />
l}<br />
H c<br />
= ⎢<br />
⎣ 0<br />
dimana,<br />
β : propagation constant, dan<br />
α : waveguide loss.<br />
l : panjang delay<br />
0⎤<br />
0<br />
⎥<br />
⎦<br />
(2)<br />
Pada persamaan (1), nilai power<br />
coupling ratio dapat dicari dengan persamaan<br />
berikut:<br />
K = sin 2 ( κl )<br />
(3)<br />
dimana<br />
κ : coupling coefficient, dan<br />
l c : panjang daerah coupling.<br />
c<br />
Adapun coupling coefficient κ dari<br />
suatu waveguide yang mempunyai dimensi<br />
lebar W tertentu dan jarak antara dua<br />
waveguide D tertentu dapat diturunkan dari<br />
pendekatan coupling vertical antara dua slab<br />
waveguide sebagi berikut:<br />
2<br />
2 2<br />
k0 2 2 x z ⎡ 2y ⎤<br />
κ = (neff<br />
− n1<br />
) exp⎢−<br />
(D − W)<br />
β<br />
4<br />
⎥ (4)<br />
(1 + y)z ⎣ W ⎦<br />
dimana,<br />
k 0 : vacuum propagation constant,<br />
n eff : effective refractive index dari<br />
waveguide,<br />
n 1 : refractive index of core, dan<br />
Resonance Out<br />
Coupler<br />
In<br />
Inner ring<br />
Outer ring<br />
Coupler<br />
Delay line<br />
Antiresonance Out<br />
Gambar 2. Subkomponen directional coupler dan<br />
delay line dalam rangkaian MPRR.<br />
53
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
W 2 2 2<br />
x = ( neff<br />
k0<br />
− β )<br />
2<br />
W 2 2 2<br />
y = ( β − n1<br />
k0<br />
)<br />
(5)<br />
2<br />
2<br />
z = x +<br />
y<br />
2<br />
Pada studi simulasi ini diasumsikan<br />
bahwa substrate yang dipakai adalah LiNbO 3<br />
sehingga nilai n eff adalah 2.238 untuk panjang<br />
gelombang 1.5µm. Bahan LiNbO 3 ini dikenal<br />
sebagai bahan yang memiliki sifat<br />
elektro-optis sehingga sering digunakan<br />
sebagai bahan substrate modulator optik.<br />
Dalam simulasi ini juga terdapat beberapa<br />
penyederhanaan, diantaranya yaitu efek<br />
polarisasi cahaya di dalam waveguide<br />
diabaikan dan panjang bagian coupler<br />
dianggap tidak ada.<br />
3. TIME RESPONSE ANALYSIS<br />
Untuk mendapatkan time response dari<br />
struktur yang ada pada gambar 2, digunakan<br />
Out-2<br />
u<br />
melambangkan pasangan input dan output<br />
port pada transfer matrix dari directional<br />
coupler [3], [4].<br />
Sebagaimana diperlihatkan dalam<br />
gambar 3, subkomonen delay line untuk inner<br />
ring dan outer ring tersusun dari banyak<br />
transfer matrix. Jumlah transfer matrix pada<br />
inner ring dan outer ring harus ditetapkan<br />
sesuai dengan persamaan syarat resonansi<br />
dalam MPRR. Sebagai contoh, sesuai<br />
dengan syarat resonansi yang ada pada<br />
referensi [3], perbandingan panjang lintasan<br />
inner ring dan outer ring untuk seperempat<br />
lingkaran inner ring dapat dipenuhi dengan<br />
angka 10:11. Maka, jumlah transfer matrix<br />
pada seperempat lingkaran inner ring menjadi<br />
10 dan jumlah transfer matrix pada<br />
seperempat outer ring adalah 11. Dalam hal<br />
ini diasumsikan bahwa panjang directional<br />
coupler diabaikan. Dari sini, jeda waktu yang<br />
diperlukan dalam perhitungan adalah :<br />
n.<br />
∆l<br />
∆t<br />
=<br />
c<br />
(6)<br />
H H H H H<br />
H<br />
H<br />
H<br />
H<br />
H<br />
H H H H<br />
(6)<br />
(5)<br />
H<br />
H<br />
H<br />
H<br />
H c2<br />
(7)<br />
(4)<br />
H c4<br />
(8) (3)<br />
w (1) (2)<br />
H H H H H c1 H H H H<br />
H c3<br />
H H H H H<br />
v<br />
H<br />
H<br />
H<br />
H<br />
H<br />
In<br />
u<br />
u<br />
Out-1<br />
Gambar 3. Blok diagram MPRR yang tersusun dari subkomponen coupler dan delay line.<br />
cara dengan memecah subkomponen delay<br />
line dalam beberapa bagian. Jika kita<br />
mengungkapkan struktur MPRR yang ada<br />
pada gambar 2 dalam bentuk block diagram<br />
dari transfer matrix<br />
subkomponen-subkomponennya, maka block<br />
diagram tersebut menjadi seperti terlihat pada<br />
gambar 3. Simbol u, v dan w dalam gambar 3<br />
masing-masing melambangkan lintasan untuk<br />
straight waveguide (input-output waveguide),<br />
inner ring dan outer ring. Adapun<br />
angka-angka (1) sampai dengan (8)<br />
dimana untuk kasus perbandingan 10:11, ∆l<br />
adalah:<br />
πr<br />
/ 2<br />
∆ l =<br />
(7)<br />
10<br />
Selanjutnya contoh hasil perhitungan<br />
time response dapat diperlihatkan pada<br />
gambar 4. Variable yang diperlihatkan dalam<br />
gambar 4 adalah nilai K 1 dan K 3 . Kami<br />
mendefiniskan K 1 sebagai nilai power<br />
coupling ratio antara input waveguide dengan<br />
54
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
outer ring, sedangkan K 3 adalah power<br />
coupling ratio antara inner ring dan outer ring.<br />
Pada gambar 4 didapat contoh hasil bahwa<br />
untuk K 1 =0.4 dan K 3 =0.016, dihasilkan<br />
risetime sebesar 0.03ns yang berarti dapat<br />
meresponse sinyal baseband pada bandwidth<br />
11.7GHz. Nilai ini menunjukkan bahwa<br />
struktur MPRR sangat potensial untuk<br />
digunakan dalam sistem yang menuntut<br />
sinyal berorde Gigabits per second (Gbps).<br />
Dalam hasil yang diperlihatkan dalam gambar<br />
4 tersebut terlihat bahwa risetime mengalamai<br />
1<br />
0.5<br />
0<br />
0.2 0.4 0.6 0.8 1<br />
Gambar 4. Contoh hasil perhitungan time<br />
response analysis untuk<br />
berbagai nilai power coupling<br />
ratio K<br />
degradasi sejalan dengan mengecilnya nilai<br />
K 1 dan K 3 . Sebenarnya ada hal lain yang<br />
perlu diperhitungkan untuk memilih nilai<br />
power coupling ratio ini, yaitu interchannel<br />
crosstalk. Dalam studi ini kami tidak<br />
membahasnya secara detail, dan akan kami<br />
laporkan pada lain kesempatan.<br />
Untuk melihat tingkat ketelitian dari<br />
metoda yang kami lakukan ini, penulis telah<br />
membandingkan hasil spektrum resonansi<br />
dengan hasil perhitungan yang dilakukan<br />
dalam kondisi steady state. Hasil<br />
perbandingan menunjukkan bahwa keduanya<br />
hanya berbeda pada digit desimal ke-4 (untuk<br />
satuan panjang gelombang dalam mikron).<br />
4. KESIMPULAN<br />
Metoda transfer matrix yang<br />
dimodifikasi telah penulis gunakan untuk<br />
melakukan time response analysis pada<br />
struktur waveguide yang kompleks yang<br />
mengandung komponen melingkar. Hasil<br />
perhitungan menunjukkan bahwa tingkat<br />
ketelitian metoda ini sampai pada digit<br />
desimal ke-4. Walaupun tidak sepresisi hasil<br />
yang dilakukan dengan menggunakan<br />
metoda biasa (yakni FDTD), akan tetapi untuk<br />
karakterisasi awal dari sebuah hasil disain<br />
baru suatu komponen optik, metoda ini dapat<br />
digunakan. Sebagai contoh, kami dapat<br />
memprediksi kemampuan unjuk kerja struktur<br />
MPRR untuk modulator optik.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Penulis mengucapkan terima kasih<br />
kepada Dr. Yoshitaka Toyota (Oakayama<br />
University, Japan) atas diskusi yang<br />
mendalam untuk mengembangkan metoda ini<br />
dalam analisa komponen optik. Penulis juga<br />
mengucapkan terima kasih kepada Prof. Ryuji<br />
Koga dan Prof. Osami Wada (Okayama<br />
University, Japan) atas bantuan yang<br />
diberikannya dalam studi ini. Terakhir penulis<br />
berterima kasih kepada saudara Satoru<br />
Ichi-Uma (Oki Electric, Japan) yang<br />
membantu penulis dalam kajian ini.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
[1]. B. Moslehi, et al., "Fiber-optic lattice<br />
signal processing," Proc. IEEE, vol. 72,<br />
pp.909-930, 1984.<br />
[2]. P. Urquhart, "Compound<br />
optical-fiber-based resonators," J. Opt.<br />
Soc. Am. A, vol. 5, no. 6, pp. 803-811,<br />
1988.<br />
[3]. J. Capmany, et al., "A new Transfer<br />
Matrix Formalism for the Analysis of<br />
Fiber Ring Resonators: Compound<br />
Coupled Structures for FDMA<br />
Demultiplexing," J. of Lighwave Tecnol.,<br />
vol. 8, no. 12, pp. 1904-1919,1990.<br />
[4]. F. Sanchez, "Matrix Algebra for All-fiber<br />
Optical Resonators," J. Lightwave<br />
Technol., vol. 9, no. 7, pp. 838-844, 1991.<br />
[5]. Iip Syarif Hidayat, et al., “Application of<br />
transfer matrix method with signal<br />
flow-chart to analyze optical multi-path<br />
ring-resonator,” Memoirs of Faculty Of<br />
Eng. Okayama Univ., vol.36, no.2, pp.<br />
73-82, March, 2002.<br />
[6]. I.S. Hidayat, et al., “Multipath structure<br />
for FSR expansion in waveguide-based<br />
optical ring resonator,” Electronics<br />
Letters, vol. 39, Issue 4, pp. 366-367,<br />
February, 2003.<br />
RIWAYAT PENULIS<br />
Iip Syarif Hidayat, lahir di Cirebon<br />
pada tanggal 22 Maret 1969. Penulis<br />
menamatkan S1 dan S2 pada tahun 1994 dan<br />
1996 di Yamagata University, Japan pada<br />
bidang telekomunikasi optik. Pada tahun 2003<br />
penulis telah menyelesaikan S3 nya di<br />
Okayama University juga pada bidang yang<br />
sama. Saat ini penulis adalah staf peneliti<br />
pada Pusat Penelitian Elektronika dan<br />
Telekomunikasi LIPI (P2ET-LIPI). Selain<br />
bidang telekomunikasi optik, penulis juga aktif<br />
melakukan kajian pada bidang gelombang<br />
mikro dan telekomunikasi satelit.<br />
55
ANALISA
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
ANALISIS TEGANGAN PADA FILTER<br />
BAHAN BAKAR SOLAR<br />
H. Agus Suhartono dan Ogi Ivano<br />
UPT-LUK BPP Teknologi, Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang<br />
Abstract<br />
A stress analysis of fuel filter. The analysis of stress on the fuel filter that is<br />
used in a combustion engine system was carried out due to the repeated<br />
failure of the part during operation. The stress analysis are conducted by<br />
analitical method, Finite Element Method (FEM) and stress measurement.<br />
The results of analysis are discribed in this paper which indicates the critical<br />
area of the fuel filter. The critical area proved to be the most place where the<br />
failure occurred.<br />
Kata kunci: fuel filter, FEM, fatigue<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Pada era industri yang makin<br />
berkembang, peningkatan efisiensi adalah<br />
tuntutan yang harus dipenuhi di dalam<br />
memproduksi suatu produk. Proses<br />
produksi harus memenuhi syarat yaitu<br />
selain biaya produksi yang rendah dituntut<br />
pula kualitas dan performance produk yang<br />
dihasilkan. Faktor penyebab rendahnya<br />
kualitas produk dapat disebabkan karena<br />
terjadinya kesalahan di dalam : disain,<br />
pemilihan material, pabrikasi, perakitan,<br />
dan/atau pemakaian. Penguasaan<br />
teknologi dan ilmu penunjang seperti<br />
analisis tegangan sangat membantu<br />
mengindentifikasi masalah dalam fabrikasi<br />
suatu produk.<br />
Kerusakan berulang pada suatu<br />
produk sebelum umurnya terpenuhi<br />
merupakan pertanda terjadinya suatu<br />
kesalahan dalam produksi misalnya dari<br />
segi pemakaian, disain konstruksi maupun<br />
pemilihan material. Pada umumnya<br />
kerusakan merupakan representasi data<br />
pada kondisi sebenamya yang terjadi pada<br />
pemakaian.<br />
Pengujian di lapangan selain<br />
membutuhkan biaya yang besar juga<br />
memiliki tingkat kesulitan yang tinggi selain<br />
itu juga membutuhkan waktu yang lama.<br />
Saat ini dengan kemajuan yang sangat<br />
pesat terutama pada industri komponen<br />
otomotif sangat dibutuhkan teknologi yang<br />
dapat mempersingkat tahapan pengujian di<br />
lapangan, tetapi dengan hasil yang<br />
mendekati keadaan sesungguhnya.<br />
Teknologi simulasi semakin berkembang<br />
untuk mempermudah pendekatan terhadap<br />
pengujian dan pembebanan yang terjadi<br />
pada saat pemakaian. Pendekatan analisis<br />
pada tegangan yang bekerja pada suatu<br />
komponen dapat dilakukan dengan analisis<br />
metode elemen hingga (Finite Element<br />
Method/ FEM).<br />
Pendekatan perhitungan analisis<br />
tegangan dengan metoda elemen hingga<br />
akan mengungkap tegangan yang bekerja<br />
pada komponen sehingga dapat<br />
diantisipasi secara disain konstruksi dan<br />
pemilihan material berbagai macam produk<br />
komponen. Data hasil analisis tegangan<br />
dapat digunakan dalam peningkatan mutu<br />
suatu komponen dengan membuat garis<br />
pedoman pabrikasi yang efektif lewat<br />
penyempurnaan mutu disain, manufaktur<br />
dan perakitan. Sehingga dengan sentuhan<br />
analisis tegangan maka mutu komponen<br />
dapat menjadi lebih handal seperti filter<br />
solar yang menjadi permasalahan pada<br />
kasus ini.<br />
Filter bahan bakar solar di dalam<br />
system motor bakar diesel adalah<br />
merupakan komponen yang cukup penting.<br />
Bahan bakar solar yang akan diinjeksikan<br />
ke dalam ruang bakar harus terlebih dahulu<br />
melalui sistem saringan (filter) untuk<br />
menjamin kebersihan bahan bakar. Bahan<br />
bakar yang bersih akan dapat<br />
menghasilkan daya dan umur mesin yang<br />
baik. Filter bahan bakar yang digunakan<br />
harus dijamin tidak terjadi kebocoran, retak,<br />
ataupun pecah pada bagian body/cover<br />
filter, sebab dapat menyebabkan tejadinya<br />
kebakaran pada mesin. Oleh karena itu,<br />
kualitas body ataupun cover filter harus<br />
dijamin tidak rusak sampai penggantian<br />
secara periode dilakukan pada saat servis.<br />
Body (tabung) filter dibuat dari baja<br />
pelat tipis dengan simbol kualitas material<br />
SPCC [1] yang diproduksi melalui proses<br />
penarikan dalam (deep drawing)<br />
sedangkan cover filter yang mengalami<br />
kerusakan pada kasus ini dibuat dari baja<br />
pelat tipis dengan simbol kualitas material<br />
56
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
SEC [2]<br />
yang diproduksi melalui proses<br />
produksi pembentukan logam pressing<br />
sehingga bagian cover dan body filter<br />
saling menyatu. Proses pressing tersebut<br />
mengakibatkan terjadinya deformasi yang<br />
cukup besar pada material yang<br />
merupakan posisi terjadinya kerusakan.<br />
Analisis tegangan dilakukan pada<br />
filter solar yang mengalami robek atau retak<br />
pada bagian cover filter. Dengan analisis<br />
tegangan maka akan dapat diketahui faktor<br />
utama penyebab terjadinya kerusakan yang<br />
selanjutnya akan menjadi masukan yang<br />
sangat berharga pada pembuatan cover<br />
filter berikutnya yang lebih berkualitas.<br />
Data awal dari pabrikator diketahui<br />
bahwa material dasar cover filter adalah<br />
baja paduan SEC yaitu material baja SPCC<br />
yang dilapisi dengan unsur seng [2] . Dari<br />
pabrikator juga diperoleh data hasil burst<br />
test, endurance test, dan impulse test pada<br />
filter tipe tersebut. Dari data tersebut<br />
diketahui bahwa material body filter tidak<br />
mengalami pembebanan yang berarti<br />
dibanding kekuatan material yang<br />
digunakan karena tekanan maksimum yang<br />
terjadi pada burst test adalah 20kgf/cm 2<br />
dan yang mengalami kerusakan pada saat<br />
pengujian tersebut adalah bagian elco yang<br />
menggelembung. Dan dari hasil uji<br />
ketahanan (endurance test) dengan<br />
tekanan 15 kgf/cm 2 selama 60 menit tidak<br />
menunjukkan adanya perubahan bentuk<br />
pada filter. Demikian pula untuk uji impuls<br />
pada julat tegangan 2-9 kgf/cm 2 , suhu 80°,<br />
frekwensi 90 rpm, sampai pada siklus 4 x<br />
10 4 tidak menunjukkan adanya kebocoran<br />
ataupun perubahan bentuk pada filter.<br />
2. Perhitungan, Analisis dan<br />
Pengukuran Tegangan<br />
Tujuan dari pekerjaan ini adalah<br />
melakukan kajian engineering dan<br />
perhitungan kekuatan dengan melakukan<br />
perhitungan, analisis metoda elemen<br />
hingga dan pengukuran beban untuk<br />
mengkaji bagian-bagian kritis yang sering<br />
mengalami kegagalan.<br />
2.1 Perhitungan Tegangan Analitis<br />
Tabung<br />
Tegangan-tegangan yang terjadi<br />
pada tabung adalah tegangan radial / arah<br />
jari-jari (σ r ), tegangan tangensial /<br />
melingkar tabung (σ t ) dan tegangan<br />
longitudinal / sepanjang sumbu tabung (σ z ).<br />
Tegangan-tegangan pokok yang bekerja<br />
pada tabung tersebut adalah :<br />
σ = pd / 2t<br />
t<br />
σ = pd / 4t<br />
/(1 + d / t)<br />
z<br />
(1),(2)<br />
dimana :<br />
σ t : tegangan arah melintang tabung<br />
σ z : tegangan arah memanjang<br />
tabung<br />
p : tekanan = 9 kg/cm 2 (0.09<br />
kgf/mm 2 )<br />
d : diameter tabung = 11 cm<br />
t : tebal dinding tabung = 0,06 cm<br />
σ = 9⋅11/<br />
2⋅<br />
0,06=<br />
825kg<br />
/ cm<br />
t<br />
σ = pd / 4h<br />
= 412,5 kg / cm<br />
l<br />
2<br />
2<br />
= 80,85 N / mm<br />
= 40,425N<br />
/ mm<br />
2.2 Analisis Tegangan dengan Metode<br />
Elemen Hingga (FEM)<br />
Untuk memecahkan masalah<br />
mekanika teknik secara numerik dapat<br />
dilakukan dengan menggunakan Metoda<br />
Elemen Hingga (FEM). Metoda ini<br />
menganalisis pendekatan melalui<br />
pemisahan kontinum menjadi elemenelemen<br />
yang saling berhubungan.<br />
Elemen-elemen tersebut mempunyai<br />
bentuk yang sederhana dari hubungan<br />
antar nodal dan saling berhubungan satu<br />
sama lainnya oleh nodal-nodal tersebut.<br />
Setiap elemen mempunyai besaran<br />
berlanjut seperti gaya, perpindahan dan<br />
kekakuan yang berbeda-beda tergantung<br />
dari bentuk, ukuran dan sifat bahannya.<br />
Pada kumpulan elemen-elemen<br />
tersebut diberlakukan hukum Hooke seperti<br />
berikut :<br />
f = kx<br />
(3)<br />
dimana :<br />
f : gaya vektor gaya<br />
k : kekakuan matrik kekakuan<br />
x : perpindahan vektor perpindahan<br />
Melalui hukum Hooke (3) dibuat<br />
kekakuan-kekakuan masing-masing<br />
elemen menjadi matrik kekakuan yang lebih<br />
besar dan menjadi satu, gaya dan<br />
perpindahan masing-masing elemen<br />
dikumpulkan menjadi vektor gaya dan<br />
vektor perpindahan. Maka terbentuklah<br />
persamaan matrik sebagai berikut:<br />
{f}=[K]{x} (4)<br />
Untuk menjadikan persamaan matrik<br />
tersebut memberikan hasil, maka pada<br />
beberapa elemen diberikan harga awal<br />
atau kondisi batas, yaitu untuk gaya berupa<br />
2<br />
2<br />
57
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
beban dan untuk perpindahan berupa<br />
constraint. Dengan demikian seluruh data<br />
lengkap awal lengkap, persamaan matrik<br />
dapat dipecahkan. Sehingga setiap elemen<br />
akan terlengkapi data gaya dan<br />
perpindahannya. Dan dari data gaya dan<br />
perpindahan dapat diuraikan menjadi<br />
tegangan dan regangan dengan dibagi oleh<br />
Modulus Elastisitas.<br />
hingga atap tabung adalah seperti pada<br />
gambar 3.<br />
V1<br />
L1<br />
C1<br />
125.5<br />
112.4<br />
99.3<br />
86.23<br />
73.15<br />
60.07<br />
47.<br />
33.92<br />
20.84<br />
7.765<br />
-5.312<br />
-18.39<br />
-31.47<br />
-44.54<br />
V1<br />
L1<br />
C1<br />
Z<br />
Y<br />
X<br />
-57.62<br />
-70.7<br />
Output Set: MPa<br />
Contour: Axisym Axial Stress<br />
Gambar 3. Geometry potongan model<br />
tabung filter<br />
-83.77<br />
Z<br />
Y<br />
X<br />
Gambar 1. Model tabung tampak<br />
samping<br />
V1<br />
L1<br />
C1<br />
Y<br />
Z<br />
X<br />
Gambar 2. Model tabung tiga dimensi<br />
Metode Analisis Tegangan ini<br />
dilakukan dengan menggunakan Software<br />
Finite Element Analysis MSC/Nastran V4.0.<br />
Pemodelan dilakukan dengan<br />
menggunakan element type axysimmetric<br />
yang dapat menghitung tegangan pada<br />
pelat tipis. Karakteristik mekanik dari<br />
material SPCD-SD JIS G3141 yang dipakai<br />
adalah sebagai berikut :<br />
− Modulus Young, E : 210 GPa<br />
− Poisson’s Ratio, ν: 0,3<br />
− Massa Jenis, ρ : 7800 kg/m 3<br />
− Yield Strength : 153 MPa<br />
− Ultimate Tensile Strength: 358 MPa<br />
2.3 Pengukuran Tegangan<br />
Pengukuran tegangan dilakukan<br />
dengan melakukan pengujian hidrodinamis<br />
pada tabung. Pada bagian lengkung tabung<br />
dipasang strain gauge arah logitudinal dan<br />
arah tangensial. Bagian dalam diberikan<br />
tekanan sebesar 2 s.d. 9 kgf/cm 2 dan<br />
luaran dari strain gauge diamati dan<br />
direkam dengan menggunakan data logger.<br />
3 Hasil Analisis Tegangan<br />
Pembebanan pada perhitungan FEA<br />
dilakukan berdasarkan beban maksimum 9<br />
kg/cm 2 . Sedangkan kondisi batas pada<br />
model tersebut adalah untuk bagian atas<br />
simetris arah sumbu Z, dan dinding bawah<br />
adalah pin (fix translasi free rotasi) pada<br />
bagian bawah.<br />
Hasil perhitungan berupa distribusi<br />
tegangan ditampilkan pada bagian-bagian<br />
tabung sebagai berikut :<br />
V1<br />
L1<br />
C1<br />
Z<br />
Y<br />
X<br />
Output Set: MPa<br />
-0.3468<br />
-0.5126<br />
-0.4204<br />
-0.3501<br />
-0.4374<br />
-0.7059<br />
-0.1133<br />
-0.4407<br />
-0.6978<br />
-0.2174<br />
-0.5072<br />
-0.8086<br />
-0.08258<br />
-0.4103<br />
-0.7197<br />
-0.1858<br />
-0.5092<br />
-0.8115<br />
-0.06957<br />
-0.3892<br />
-0.7108<br />
-0.1643<br />
-0.4947<br />
-0.8005<br />
-0.1529<br />
-0.4846<br />
-0.7938<br />
104.4<br />
-0.05036 75.69<br />
Criteria: Axisym Axial Stress<br />
Gambar 4. Distribusi tegangan pada arah<br />
radial tebal<br />
94.8<br />
85.25<br />
66.13<br />
56.57<br />
-0.3656<br />
47.02<br />
37.46<br />
27.9<br />
-0.6935<br />
18.34<br />
8.786<br />
-0.771<br />
-10.33<br />
-19.89<br />
-29.44<br />
-39.<br />
-48.56<br />
Dimensi tabung adalah sebagai berikut:<br />
− Diameter, d = 11 cm<br />
− Tebal, t = 0,06 cm<br />
− Tinggi tabung, h = 20 cm<br />
V1<br />
L1<br />
C1<br />
55.456<br />
56.029<br />
55.616<br />
55.503<br />
56.685<br />
56.609<br />
55.737<br />
55.365<br />
57.433<br />
57.03<br />
55.823<br />
55.246<br />
57.871<br />
57.257<br />
55.856<br />
55.155<br />
69.53<br />
56.18<br />
42.83<br />
29.48 58.056<br />
57.312 16.14<br />
2.789<br />
55.833<br />
-10.56<br />
55.111<br />
-23.91<br />
Dengan model axisymmetric dapat<br />
diketahui gaya-gaya atau tegangantegangan<br />
dari radial, tangensial maupun<br />
longitudinal. Model Perhitungan FEA<br />
dengan elemen axisymmetric pada<br />
potongan tabung mulai dari dinding tabung<br />
Z<br />
Y<br />
X<br />
Output Set: MPa<br />
55.312<br />
55.207<br />
54.693<br />
54.149<br />
Criteria: Axisym Azimuth Stress<br />
Gambar 5. Distribusi tegangan pada arah<br />
tangensial pada puncak tabung<br />
54.173<br />
53.457<br />
53.825<br />
53.041<br />
52.89<br />
-37.25<br />
53.607<br />
-50.6<br />
-63.95<br />
-77.3<br />
-90.65<br />
-104.<br />
-117.3<br />
-130.7<br />
-144.<br />
58
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
V1<br />
L1<br />
C1<br />
91.<br />
82.9<br />
V1<br />
L1<br />
C1<br />
29.342 29.422 29.501<br />
29.312 29.395 29.477<br />
104.4<br />
94.8<br />
Z<br />
Y<br />
X<br />
Output Set: MPa<br />
Criteria: Axisym Radial Stress<br />
55.609<br />
55.628<br />
55.296<br />
56.188<br />
55.498<br />
55.007<br />
57.259<br />
55.815<br />
54.378<br />
57.027<br />
55.316<br />
53.514<br />
58.177<br />
55.931<br />
53.704<br />
57.543<br />
55.174<br />
52.734<br />
58.589<br />
55.968<br />
53.374<br />
57.725<br />
55.096<br />
Gambar 6. Distribusi tegangan pada<br />
arah longitudinal pada<br />
puncak tabung<br />
52.42<br />
57.695<br />
55.086<br />
52.429<br />
74.8<br />
66.71 58.517<br />
58.61<br />
50.52<br />
42.42<br />
55.932<br />
34.33<br />
26.23<br />
53.375<br />
18.13<br />
10.04<br />
1.943<br />
-6.152<br />
-14.25<br />
-22.34<br />
-30.44<br />
-38.53<br />
Z<br />
Y<br />
X<br />
Output Set: MPa<br />
Criteria: Axisym Axial Stress<br />
29.309<br />
29.308<br />
29.306<br />
29.306<br />
29.306<br />
29.339<br />
29.337<br />
29.336<br />
29.335<br />
29.335<br />
29.335<br />
Gambar 10. Distribusi tegangan pada<br />
arah radial pada dinding<br />
tabung<br />
29.394<br />
29.394<br />
29.394<br />
29.394<br />
29.394<br />
29.422<br />
29.422<br />
29.423<br />
29.423<br />
29.423<br />
29.423<br />
29.479<br />
29.48<br />
29.481<br />
29.481<br />
29.481<br />
29.505<br />
29.508<br />
29.509<br />
29.51<br />
29.511<br />
29.51<br />
85.25<br />
75.69<br />
66.13<br />
56.57<br />
47.02<br />
37.46<br />
27.9<br />
18.34<br />
8.786<br />
-0.771<br />
-10.33<br />
-19.89<br />
-29.44<br />
-39.<br />
-48.56<br />
V1<br />
L115.784<br />
17.546<br />
C1<br />
Z<br />
Y<br />
19.369 20.701<br />
X<br />
17.668 15.781<br />
Output Set: MPa<br />
Criteria: Axisym Axial Stress<br />
19.538 16.331<br />
23.974 25.484<br />
7.1974 0.01479<br />
2.5415<br />
16.282<br />
21.916<br />
29.664<br />
34.821<br />
-3.6265<br />
23.25 15.972<br />
40.075 37.774<br />
-0.362 -11.148<br />
25.227 15.401<br />
50.447 45.08<br />
-4.8086 -18.111<br />
14.344-12.102<br />
49.49826.795<br />
63.678<br />
-23.268<br />
13.357-16.889<br />
55.85228.017<br />
72.535<br />
-19.372<br />
-37.146<br />
29.172<br />
12.752<br />
78.152<br />
-22.925<br />
63.564<br />
-41.778<br />
30.378<br />
12.262<br />
85.516<br />
68.458 -25.826<br />
-45.389<br />
31.421<br />
11.95<br />
91.769<br />
72.541<br />
-47.221<br />
11.703<br />
-28.374<br />
Gambar 7. Distribusi tegangan dengan<br />
arah tegak lurus pada<br />
lengkung antara puncak<br />
tabung dan dinding tabung<br />
-30.11<br />
104.4<br />
94.8<br />
85.25<br />
75.69<br />
66.13<br />
56.57<br />
47.02<br />
37.46<br />
27.9<br />
18.34<br />
8.786<br />
-0.771<br />
-10.33<br />
-19.89<br />
-29.44<br />
-39.<br />
-48.56<br />
V1<br />
L1<br />
C1<br />
Z<br />
Y<br />
X<br />
Output Set: MPa<br />
Criteria: Axisym Azimuth Stress<br />
59.512<br />
59.519<br />
59.525<br />
59.531<br />
59.536<br />
59.407<br />
59.415<br />
59.422<br />
59.428<br />
59.435<br />
59.44<br />
59.445<br />
59.235<br />
59.242<br />
59.249<br />
59.255<br />
59.26<br />
59.131<br />
59.139<br />
59.147<br />
59.154<br />
59.16<br />
59.166<br />
59.171<br />
58.963<br />
58.97<br />
58.977<br />
58.983<br />
58.988<br />
58.858<br />
58.867<br />
58.876<br />
58.883<br />
58.889<br />
58.895<br />
58.9<br />
69.53<br />
59.505 59.228 58.955<br />
56.18<br />
Gambar 11. Distribusi tegangan<br />
pada arah tangensial<br />
dinding tabung<br />
42.83<br />
29.48<br />
16.14<br />
2.789<br />
-10.56<br />
-23.91<br />
-37.25<br />
-50.6<br />
-63.95<br />
-77.3<br />
-90.65<br />
-104.<br />
-117.3<br />
-130.7<br />
-144.<br />
V1<br />
L1-66.616<br />
-66.638 -69.119 -71.811 -80.411 -86.218<br />
C1<br />
-94.293<br />
-68.353 -69.449 -74.551 -78.797<br />
-94.091<br />
-83.593<br />
-68.697 -71.14<br />
-100.56<br />
-81.715 -109.03<br />
-72.276<br />
-85.061<br />
-68.82 -92.427<br />
-109.44 -118.81<br />
Z<br />
Y<br />
X<br />
Output Set: MPa<br />
Criteria: Axisym Azimuth Stress<br />
-69.204 -75.238<br />
-90.09 -98.636<br />
-69.833 -77.662<br />
-102.59 -119.66<br />
-79.612 -96.588<br />
-72.585<br />
-124.61<br />
-107.73 -125.76<br />
-82.732 -100.85<br />
-75.006<br />
-131.89<br />
-128.98<br />
-138.89<br />
-103.22<br />
-113.06<br />
-76.543<br />
-132.62<br />
-86.357<br />
-142.25<br />
-106.07<br />
-115.83<br />
-78.567<br />
-88.492 -134.77<br />
-143.91<br />
-107.97<br />
-117.41<br />
-80.21<br />
-89.981<br />
-144.04<br />
-117.74<br />
-135.22<br />
Gambar 8. Distribusi tegangan dengan<br />
arah menembus dinding<br />
pada daerah lengkung<br />
antara puncak tabung dan<br />
dinding tabung<br />
V1<br />
L148.633<br />
44.775 32.689 23.915 0.912 -12.521<br />
C1<br />
-21.076<br />
59.523 52.374 32.664 19.99<br />
-11.622<br />
17.456<br />
72.373 60.404<br />
-16.114<br />
32.169 -33.184<br />
64.465<br />
32.156<br />
84.089 14.493<br />
-20.802 -37.756<br />
Z<br />
Y<br />
X<br />
Output Set: MPa<br />
Criteria: Axisym Radial Stress<br />
88.332 69.257<br />
31.264 12.764<br />
90.995 69.56<br />
86.701<br />
-38.535<br />
12.249-22.159<br />
68.39229.864<br />
80.828<br />
-37.871<br />
11.548-21.37<br />
64.41528.149<br />
-20.484<br />
-34.756<br />
26.593<br />
10.513<br />
75.897<br />
-18.135<br />
57.417<br />
-30.878<br />
24.52<br />
10.038<br />
68.079<br />
51.404 -15.197<br />
-26.271<br />
22.27<br />
9.6299<br />
59.376<br />
44.92<br />
-22.808<br />
9.6538<br />
-10.859<br />
Gambar 9. Distribusi tegangan dengan<br />
arah lengkung dinding pada<br />
daerah lengkung antara<br />
puncak tabung dan dinding<br />
tabung<br />
69.53<br />
56.18<br />
42.83<br />
29.48<br />
16.14<br />
2.789<br />
-10.56<br />
-23.91<br />
-37.25<br />
-50.6<br />
-63.95<br />
-77.3<br />
-90.65<br />
-104.<br />
-117.3<br />
-130.7<br />
-144.<br />
91.<br />
82.9<br />
74.8<br />
66.71<br />
58.61<br />
50.52<br />
42.42<br />
34.33<br />
26.23<br />
18.13<br />
10.04<br />
1.943<br />
-6.152<br />
-14.25<br />
-22.34<br />
-30.44<br />
-38.53<br />
V1<br />
L1<br />
C1<br />
Z<br />
Y<br />
X<br />
Output Set: MPa<br />
Criteria: Axisym Radial Stress<br />
-0.798<br />
-0.798<br />
-0.798<br />
-0.798<br />
-0.798<br />
-0.6966<br />
-0.6965<br />
-0.6965<br />
-0.6965<br />
-0.6965<br />
-0.6965<br />
-0.6965<br />
-0.09821<br />
Jika kita mempertimbangkan fatigue<br />
limit, maka tegangan tidak melebihi<br />
tegangan ijin. Secara keseluruhan hasil<br />
perhitungan di atas dapat dilihat pada tabel<br />
1.<br />
Hasil pengukuran strain gauge<br />
dengan pembebanan hidrodinamis sebesar<br />
2 hingga 9 kg/cm2 . Didapat nilai regangan<br />
utama sebesar 300 mikrostrain Dan nilai<br />
tegangan pada bagian dinding arah<br />
tangensial sebesar adalah 63 MPa dan<br />
pada arah longitudinal sebesar 20 Mpa.<br />
Dari pengukuran pada tempat kritis<br />
diketahui bahwa pada penampang<br />
melintang memiliki tegangan 2 x dibanding<br />
penampang longitudinal. Sehingga pelat<br />
memiliki kecenderungan robek searah<br />
-0.3951<br />
-0.3951<br />
-0.4951<br />
-0.3952<br />
-0.4951<br />
-0.3952<br />
-0.4951<br />
-0.3952<br />
-0.4951<br />
-0.3952<br />
-0.4951<br />
-0.3952<br />
-0.09817<br />
-0.798 -0.4951 -0.1966<br />
82.9<br />
-0.09818<br />
-0.1967<br />
-0.09819<br />
-0.1967<br />
-0.0982<br />
-0.1967<br />
-0.09821<br />
-0.1967<br />
-0.09821<br />
-0.1967<br />
Gambar 12. Distribusi tegangan pada<br />
arah longitudinal dinding<br />
tabung<br />
91.<br />
74.8<br />
66.71<br />
58.61<br />
50.52<br />
42.42<br />
34.33<br />
26.23<br />
18.13<br />
10.04<br />
1.943<br />
-6.152<br />
-14.25<br />
-22.34<br />
-30.44<br />
-38.53<br />
59
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
dengan sumbu longitudinal atau tegak lurus<br />
penampang melintang.<br />
4. PEMBAHASAN<br />
Sifat mekanik kedua macam baja<br />
canai memenuhi standard JIS G 3141<br />
SPCD-SD. Dari hasil pengujian tidak<br />
terdapat perbedaan yang signifikan pada<br />
sifat mekanik kedua bahan. Perbedaan<br />
yang dapat terdeteksi adalah homogenitas<br />
sifat mekanik dari masing-masing bahan.<br />
Kuat luluh pada baja Baoshan pada arah<br />
longitudinal terdapat perbedaan sebesar<br />
13,7 % dari 2 benda uji. Kuat luluh arah<br />
longitudinal dan tranversal terdapat<br />
perbedaan harga maksimum dan harga<br />
minimum sebesar 36,4 %.<br />
Kandungan unsur karbon pada baja<br />
Daewoo lebih kecil dari 0,005 % selain itu<br />
ditemukan unsur Ti, Nb dan V, sedangkan<br />
pada baja Baoshan tidak ditemukan unsurunsur<br />
tersebut. Unsur-unsur Ti, Nb dan V<br />
memiliki pengaruh sebagai penghalus butir,<br />
pembentuk karbida yang berguna untuk<br />
membantu pembentukan struktur pancake<br />
yang memperbaiki kemampuan penarikan<br />
dalam.<br />
Atap<br />
tabung<br />
Tabel 1. Hasil Perhitungan Analisis<br />
Tegangan<br />
(satuan dalam Mpa)<br />
Lengkung<br />
antara atap<br />
dan<br />
dinding<br />
Dinding<br />
tabung<br />
Tegangan<br />
tangensial<br />
arah<br />
melintang<br />
Tegangan<br />
arah<br />
longitudinal<br />
Teganga<br />
n arah<br />
radial<br />
57,9 58,5 -0,8<br />
91(dinding<br />
dlm)<br />
-37<br />
(dinding<br />
luar)<br />
91(dinding<br />
dlm)<br />
-47(dinding<br />
luar)<br />
-89<br />
(dinding<br />
dlm)<br />
-144<br />
(dinding<br />
luar)<br />
59,5 29,5 -0,8<br />
Hasil uji kekerasan antara kedua<br />
jenis baja tidak menunjukkan perbedaan<br />
yang signifikan. Pada pengujian komponen<br />
terjadi peningkatan kekerasan yang<br />
kemungkinan merupakan akibat dari proses<br />
pengerasan regang.<br />
Pemeriksaan mikrostruktur dilakukan<br />
terhadap baja canai dan komponen yang<br />
telah mengalami pengubahan bentuk.<br />
Hasil pemeriksaan pada baja canai dari<br />
Baoshan steel dan Daewoo steel<br />
menunjukkan struktur mikro yang terdiri dari<br />
fasa ferit. Baja dari Baoshan steel memiliki<br />
butiran yang lebih kasar dibandingkan baja<br />
dari Daewoo steel. Endapan karbida yang<br />
kemungkinan merupakan karbida Ti dan Nb<br />
banyak ditemukan pada mikrostruktur dari<br />
Daewoo steel.<br />
Pemeriksaan struktur mikro juga<br />
dilakukan pada baja yang telah mengalami<br />
pengubahan bentuk menjadi tabung filter.<br />
Pada sisi dinding tampak butiran struktur<br />
ferit yang terdeformasi memanjang<br />
sedangkan pada sisi atap filter struktur<br />
mikro tidak menunjukkan adanya<br />
perubahan yang signifikan.<br />
Photo mikro dengan perbesaran 100<br />
x memberikan data derajad deformasi<br />
bagian-bagian filter. Dari hasil pengukuran<br />
gambar yang terletak pada struktur mikro<br />
didapat hasil sebagai berikut:<br />
• Tebal material dasar : 0,6 mm<br />
• Tebal dinding tabung : 0,506 mm<br />
• Tebal bagian atap tabung: 0,662 mm<br />
Hasil pengujian fatik menunjukkan<br />
bahwa fatik limit bahan adalah 120 Mpa.<br />
Pembebanan berdasar perhitungan,<br />
pengujian, dan metode elemen hingga<br />
Data awal dari fabrikator diketahui<br />
bahwa material dasar tabung yaitu material<br />
baja SPCD-SD. Dari fabrikator juga<br />
diperoleh data hasil burst test, endurance<br />
test, dan impulse test pada filter tipe<br />
tersebut. Dari data tersebut diketahui<br />
bahwa material body filter mengalami<br />
pembebanan 20 kgf/cm 2 burst test Hasil uji<br />
ketahanan (endurance test) dengan<br />
tekanan 15 kgf/cm 2 selama 60 menit.<br />
Demikian pula untuk uji impuls dinamis<br />
pada julat tegangan 2-9 kgf/cm 2 , suhu 80°,<br />
frekwensi 90 rpm, hingga 4 x 10 4 siklus.<br />
Besar tegangan yang bekerja pada<br />
komponen dideteksi dengan tiga metode<br />
yaitu perhitungan analitis, metode elemen<br />
hingga dan pengukuran dengan strain<br />
gauge. Perhitungan dengan metode<br />
elemen hingga memiliki keuntungan dalam<br />
kemudahan dan kecepatan dalam<br />
pendeteksian tegangan pada berbagai<br />
bagian tabung.<br />
Berdasarkan perhitungan dengan<br />
metode elemen hingga tabung pada saat<br />
dibebani dengan tekanan operasi sebesar 9<br />
kgf/cm2, tegangan tarik paling tinggi terjadi<br />
pada bagian dalam lengkungan antara<br />
dinding dan atap tabung sebesar adalah 91<br />
MPa. Tegangan tekan tidak diperhitungkan<br />
karena keberadaannya tidak berbahaya<br />
bagi kekuatan struktur.<br />
Berdasarkan pengalaman dalam<br />
pengoperasian kerusakan paling sering<br />
terjadi pada bagian lengkungan antara<br />
60
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 13 Retak pada bagian tabung<br />
dinding dan atap tabung dan pada bagian<br />
dinding tabung lihat gambar 13 a dan b.<br />
Berdasarkan pengalaman dalam<br />
pengoperasian kerusakan paling sering<br />
terjadi pada bagian lengkungan antara<br />
dinding dan atap tabung dan pada bagian<br />
dinding tabung lihat gambar 13 a dan b.<br />
Tegangan pada bagian dinding<br />
tabung hasil perhitungan secara analitis<br />
dengan rumus (1)(2) pada arah tangensial<br />
sebesar 80,85 MPa sedangkan pada arah<br />
longitudinal sebesar 40,43 MPa. Hasil<br />
pengukuran dengan strain gauge<br />
menunjukkan tegangan pada bagian<br />
dinding arah tangensial sebesar adalah 63<br />
MPa dan pada arah longitudinal sebesar 20<br />
MPa. Analisis tegangan dengan metode<br />
elemen hingga memberikan hasil yang<br />
hampir sama dengan pengukuran dengan<br />
strain gauge yaitu 59,5 Mpa pada arah<br />
tangensial dan 29,5 MPa arah longitudinal.<br />
Hasil perhitungan dan pengukuran<br />
menunjukkan bahwa tegangan pada<br />
dinding tabung arah tangensial jauh lebih<br />
besar dibanding arah longitudinal.<br />
Walaupun demikian tegangan-tegangan<br />
tersebut masih lebih rendah dibandingkan<br />
batas fatik bahan. Dengan demikian<br />
secara teoritis tidak akan terjadi kegagalan.<br />
Untuk menganalisis hal tersebut perlu<br />
dilakukan analisis statistik dengan<br />
interpolasi. Secara statistik kemungkinan<br />
terjadinya kegagalan adalah apabila<br />
komponen yang memiliki kualitas yang<br />
kurang baik mendapatkan beban yang<br />
tinggi. Kemungkinan bahan yang<br />
mengalami kegagalan adalah akibat<br />
adanya goresan dari dies pada badan<br />
tabung yang selain mengurangi luas<br />
penampang dinding tabung juga<br />
merupakan konsentrasi tegangan. Pengotor<br />
pada baja juga dapat menjadi penyebab<br />
dari kegagalan.<br />
Berdasarkan hasil pemeriksaan<br />
komposisi kimia diketahui bahwa baja<br />
buatan Daewoo memenuhi kualitas SPCE<br />
yaitu kualitas baja yang lebih tinggi dari<br />
SPCD dengan kandungan Karbon yang<br />
sangat rendah 0,004% sedangkan<br />
persyaratan SPCD hanya 0,018%. Selain<br />
itu baja dari Daewoo mengandung unsurunsur<br />
V, Nb dan Ti. Untuk pembuatan<br />
tabung dengan derajat deformasi yang<br />
tinggi baja berkualitas SPCE lebih baik<br />
digunakan dibandingkan dengan baja<br />
SPCD.<br />
VI. KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Dari penelitian ini dapat diambil<br />
kesimpulan sebagai berikut:<br />
1. Hasil pengukuran beban dan pengujian<br />
karakteristik material diketahui bahwa<br />
dengan pembebanan operasi<br />
maksimum 9 kg/cm2 masih berada di<br />
bawah batas fatik bahan<br />
2. Kegagalan yang sering terjadi<br />
kemungkinan disebabkan oleh :<br />
• inhomogenitas dalam bahan<br />
• timbulnya goresan yang dapat<br />
menjadi konsentrasi tegangan.<br />
• Inhomogenitas atau goresan<br />
tersebut terkena beban dinamis<br />
dan terjadi penjalaran retak<br />
3. Baja dari Daewoo yang pada mill<br />
sertifikat tertera sebagai baja SPCD<br />
setelah diperiksa lebih lanjut<br />
berkualitas SPCE yang merupakan<br />
grade yang lebih tinggi, yang memiliki<br />
kualitas deep drawing lebih baik.<br />
Berdasarkan penelitian ini maka untuk<br />
mendapatkan kualitas tabung yang<br />
lebih baik disarankan untuk<br />
menggunakan baja SPCE.<br />
4. Disarankan memeriksakan komposisi<br />
kimia baja pada saat pembelian untuk<br />
mengetahui kualitas baja tersebut.<br />
61
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
[1] JIS Handbook 2001 Ferrous materials<br />
and Metallurgy II, JIS G 3141, Coldreduced<br />
carbon steel sheets and strip,<br />
291-314.<br />
[2] JIS Handbook 2001 Ferrous materials<br />
and Metallurgy II, JIS G 3313<br />
Electrolytic zinc-coated steel sheets<br />
and coils, hal 428- 480.<br />
[3] Dieter, G-E, Mechanical Metallurgy, 3 rd<br />
edition, McGraw-Hill Book Company,<br />
1986.<br />
[4] ASM Metal Handbook Vol. 12,<br />
Factography, ASM International 1990.<br />
[5] ASM Metal Handbook Vol. 8<br />
Metallography and Microstructures,<br />
ASM International 1990.<br />
[6] Colangelo, V.J., and Heiser, F.A.,<br />
Analysis of Metallurgical Failures, John<br />
Wiley & Sons, New York, 1974.<br />
RIWAYAT PENULIS<br />
H. Agus Suhartono. lahir di Klaten, 3<br />
September 1967. Menamatkan pendidikan<br />
S1 di Universitas Indonesia dalam bidang<br />
Teknik Metalurgi tahun 1991, dan<br />
pendidikan S3 di Technische Universitaet<br />
Clausthal di Jerman, dalam bidang<br />
Metalurgi Material tahun 2001. Saat ini<br />
bekerja sebagai staf Bidang Pengujian<br />
Material UPT LUK BPP Teknologi,<br />
Puspiptek Serpong.<br />
Ogi Ivano, lahir di Bandung, 6 Juni<br />
1969. Menamatkan pendidikan S1 di<br />
Universitas Ibaraki dalam bidang Teknik<br />
Mesin tahun 1994, dan pendidikan S2 di<br />
Universitas Ibaraki di Jepang, dalam bidang<br />
Mesin Konstruksi pada tahun 1996. Saat ini<br />
bekerja sebagai Ka Sub Bid Desain UPT<br />
LUK BPP Teknologi, Puspiptek Serpong.<br />
62
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
ANALISIS REGANGAN – TEGANGAN PADA BAGIAN<br />
KOMPONEN BOWL MESIN FRONT SHOVEL<br />
Ogi Ivano, Sudarmadi, Weni Wijatmoko H.<br />
UPT Laboratoria Uji Konstruksi – BPPT<br />
PUSPIPTEK Serpong, Tangerang 15314<br />
Katakunci:<br />
Abstrak<br />
Suatu bagian dari komponen bowl dari mesin front shovel sering<br />
mengalami kerusakan berupa retak sampai patah. Ingin diketahui apakah<br />
kerusakan tersebut karena kesalahan operasi ataukah karena kualitas<br />
material yang kurang memenuhi syarat. Penelitian dilakukan dengan<br />
pengukuran regangan secara eksperimental, pemeriksaan kekerasan<br />
material, dan analisis metode elemen hingga terhadap bagian yang sering<br />
rusak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan disebabkan oleh<br />
tingginya tegangan yang terjadi pada saat operasi, baik pada operasi<br />
normal maupun pada kesalahan operasi.<br />
regangan, tegangan, kekerasan material, pengukuran, metode elemen hingga<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Mesin Front Shovel adalah salah satu alat<br />
berat yang banyak digunakan di daerah<br />
pertambangan. Mesin ini berfungsi untuk<br />
menggali tanah dan batuan sekaligus<br />
memuatnya ke truk. Alat ini menjadi vital<br />
karena kalau penggalian berhenti atau<br />
berkurang jam operasinya karena rusaknya<br />
alat ini, berakibat pada berhenti atau<br />
berkurangnya produksi yang pada akhirnya<br />
berujung pada kerugian perusahaan.<br />
Kasus yang diteliti pada studi ini<br />
adalah sering rusaknya bagian komponen<br />
bowl dari mesin Front Shovel. Kerusakan<br />
yang terjadi adalah retak dan patahnya<br />
bagian dudukan penggerak bowl. Lihat<br />
Gambar 1. Ketika terjadi kerusakan, bagian<br />
yang patah tersebut kemudian diganti<br />
dengan material baru. Akan tetapi, setelah<br />
diganti pun terjadi hal yang sama.<br />
Asumsi sementara penyebab<br />
kerusakan adalah karena operasi mesin<br />
yang menyalahi prosedur yang semestinya<br />
sehingga diduga mengakibatkan terjadinya<br />
tegangan yang melebihi dari nilai yang<br />
diijinkan. Permasalahannya adalah<br />
benarkah asumsi yang dikemukakan<br />
tersebut. Oleh karena itu, dilakukanlah<br />
penelitian ini dengan tujuan untuk<br />
mengetahui distribusi dan besarnya<br />
tegangan yang sebenarnya terjadi ketika<br />
mesin dioperasikan. Dari data hasil<br />
penelitian ini diharapkan akan dapat<br />
diketahui penyebab terjadinya kerusakan.<br />
2. BENDA UJI DAN METODE<br />
PENELITIAN<br />
2.1 Benda uji<br />
Sebagai benda uji adalah bagian<br />
komponen bowl yang sering mengalami<br />
kerusakan sebagaimana diperlihatkan pada<br />
Gambar 1(b). Material asli diketahui berupa<br />
baja tuang (casting), sedangkan material<br />
pengganti adalah SS400.<br />
Bagian sering rusak<br />
Gambar 1 (a) Mesin Front Shovel dan (b)<br />
Bagian bowl yang sering rusak.<br />
63
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
2.2 Metode Penelitian<br />
Penelitian ini dilakukan melalui serangkaian<br />
kegiatan meliputi peng-ukuran regangan<br />
secara eskperimental, pemeriksaan<br />
kekerasan material, dan analisis metode<br />
elemen hingga. Data yang diperoleh<br />
kemudian digunakan sebagai bahan di<br />
dalam analisis penyebab kerusakan.<br />
4<br />
180<br />
5<br />
6<br />
170<br />
80<br />
2.2.1 Pengukuran regangan<br />
Pengukuran regangan dilakukan dengan<br />
memasang beberapa sensor regangan<br />
(strain gage, SG) di beberapa lokasi titi<br />
ukur. Lokasi titik ukur disesuaikan dengan<br />
kondisi yang paling memungkinkan di<br />
lapangan. Lokasi titik ukur dapat dilihat<br />
pada Gambar 2.<br />
Grease<br />
hole<br />
1<br />
180<br />
2<br />
150<br />
(c) Sketsa lokasi titik ukur sisi kanan<br />
3<br />
Grease<br />
hole<br />
(a) Sketsa lokasi titik ukur sisi kiri<br />
(d) Strain gage terpasang pada titik ukur<br />
sisi kanan<br />
Gambar 2 Lokasi titik-titik ukur<br />
pemeriksaan regangan<br />
(b) Strain gage terpasang pada titik ukur<br />
sisi kiri<br />
Sensor regangan yang digunakan<br />
memiliki spesifikasi sebagai berikut :<br />
• Merk & Tipe: HBM Type 6/120LY11<br />
• Resistance: 120 Ω ± 0,35%<br />
• Gauge factor: 2,08 ± 1%<br />
• Transverse sensitivity: -0,1%<br />
• Temperature compensation: α =<br />
10,8(10 6 )/ o C<br />
64
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Setelah sensor regangan terpasang di<br />
lokasi titik ukur kemudian dihubungkan ke<br />
data logger yang akan berfungsi sebagai<br />
perekam data. Data logger yang digunakan<br />
adalah merk Tokyo Sokki Kenkyujo, tipe<br />
TDS – 302. Sebelum digunakan untuk<br />
pengukuran sebenarnya, sensor regangan<br />
diperiksa untuk memastikan bahwa ia<br />
berfungsi dan dikalibrasi.<br />
Data pengukuran regangan diambil<br />
dengan cara merekam nilai-nilai regangan<br />
pada saat mesin dioperasikan. Dalam hal<br />
ini diambil tujuh kasus operasi:<br />
• Kasus 1: Kondisi awal (saat bowl terbuka<br />
penuh, muatan kosong) = saat nol.<br />
• Kasus 2: Saat bowl menutup sempurna<br />
terhadap dozer, mesin mendorong/<br />
menyodok muatan.<br />
• Kasus 3: Saat membuang muatan<br />
(unloading).<br />
• Kasus 4: Saat bowl menutup tidak<br />
sempurna terhadap dozer, mesin<br />
mendorong/menyodok muatan.<br />
• Kasus 5: Saat muatan kosong, posisi<br />
tengadah, bowl menutup tiba-tiba (impact<br />
closing)<br />
• Kasus 6: Saat bowl dan dozer tidak<br />
menutup, mesin mengisi muatan dengan<br />
cara sambil menutupkan bowl terhadap<br />
dozer (clamping)<br />
• Kasus 7: Saat muatan kosong, posisi<br />
telungkup, bowl menutup tiba-tiba.<br />
Pada setiap kasus dilakukan beberapa<br />
kali pengambilan data ketika mesin<br />
beroperasi. Rangkaian kasus uji dari 1 – 7<br />
dilakukan sebanyak tiga kali. Kasus 4 dan<br />
6 dianggap sebagai kasus salah operasi<br />
yang seharusnya dihindari.<br />
(a) Workshop<br />
(b) Lapangan<br />
Gambar 3 Lokasi titik ukur pemeriksaan<br />
kekerasan material<br />
V1<br />
L3<br />
C1<br />
Y<br />
1<br />
2<br />
1<br />
3<br />
6<br />
4<br />
5<br />
2<br />
Z<br />
X<br />
2.2.2 Pemeriksaan Kekerasan Material<br />
Pemeriksaan kekerasan material<br />
dilakukan dengan portable hardness tester<br />
merk Equotip. Angka kekerasan yang<br />
digunakan adalah kekerasan Brinell (HB).<br />
Lokasi titik ukur untuk pemeriksaan<br />
kekerasan material dapat dilihat pada<br />
Gambar 3.<br />
2.2.3 Analisis Metode Elemen Hingga<br />
Program yang digunakan untuk<br />
analisis metode elemen hingga adalah<br />
NASTRAN. Analisis diawali dengan sketsa<br />
dan pengukuran dimensi benda uji. Setelah<br />
itu dibuat modelnya dan selanjutnya<br />
dilakukan running analisis. Model yang<br />
dibuat adalah seperti yang terlihat pada<br />
Gambar 4.<br />
Gambar 4 Model untuk analisis metode<br />
elemen hingga<br />
3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
3.1 Regangan – Tegangan Terukur<br />
Rangkuman hasil pengukuran<br />
regangan disajikan pada Tabel 1. Pada<br />
Tabel 1 hanya ditampilkan harga regangan<br />
maksimum untuk masing-masing kasus<br />
operasi dan harga tegangannya.<br />
65
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Tabel 1 Regangan – Tegangan Maksimum saat Operasi<br />
Regangan Maks.<br />
Kasus Operasi Terukur (x10 -6 ) Tegangan (MPa) Posisi Keterangan<br />
(a) (b) (c)=(b)xE baja (d) (e)<br />
Pengukuran I<br />
1 0 0 Di-nol-kan<br />
2 -312 -62,4 SG 3 Tekan<br />
3 307 61,4 SG 6 Tarik<br />
4 -281 -56,2 SG 3 Tekan<br />
5 -310 -62 SG 3 Tekan<br />
6 338 67,6 SG 6 Tarik<br />
7 -315 -63 SG 3 Tekan<br />
Pengukuran II<br />
1 0 0 Di-nol-kan<br />
2 -553 -110,6 SG 6 Tekan<br />
3 -458 -91,6 SG 6 Tekan<br />
4 -369 -73,8 SG 6 Tekan<br />
5 -570 -114 SG 6 Tekan<br />
6 -572 -114,4 SG 6 Tekan<br />
7 -570 -114 SG 6 Tekan<br />
Pengukuran III<br />
1 0 0 Di-nol-kan<br />
2 -271 -54,2 SG 3 Tekan<br />
3 -306 -61,2 SG 3 Tekan<br />
4 437 87,4 SG 6 Tarik<br />
5 -291 -58,2 SG 3 Tekan<br />
6 -299 -59,8 SG 3 Tekan<br />
7 -311 -62,2 SG 3 Tekan<br />
Dari tiga kali pengukuran tampak<br />
bahwa nilai-nilai regangan terekam tidak<br />
sama baik pada kasus operasi yang sama<br />
maupun kasus operasi yang berbeda.<br />
Memang tidak mungkin untuk<br />
mendapatkan harga regangan terukur yang<br />
sama karena faktor yang mempengaruhi<br />
selalu berubah. Faktor tersebut diantaranya<br />
adalah jenis/kekerasan/kepadatan dari<br />
tanah/ batuan, volume muatan, dan posisi<br />
mesin/ bowl.<br />
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa<br />
dari tiga posisi sensor pada masing-masing<br />
sisi, yang mengalami tegangan terbesar<br />
pada setiap operasi adalah posisi sensor 3<br />
(SG 3) atau sensor 6 (SG 6) dengan beban<br />
tekan atau tarik. Kemudian dari tiga kali<br />
pengukuran untuk berbagai kasus operasi,<br />
tegangan terbesar dari keseluruhan kasus<br />
operasi terjadi pada SG 6 sebesar -114,4<br />
MPa (tekan) pada Kasus Operasi 6<br />
(clamping).<br />
3.2 Kekerasan Material<br />
Selanjutnya hasil pemeriksaan<br />
kekerasan material disajikan pada Tabel 2.<br />
Dari hasil pemeriksaan kekerasan<br />
dan estimasi kuat tarik terhadap material<br />
bowl, tampak bahwa terjadi<br />
ketidakseragaman antara hasil pengukuran<br />
terhadap di workshop, di lapangan pada<br />
sisi kanan, dan di lapangan pada sisi kiri.<br />
Hal ini menunjukkan bahwa material yang<br />
digunakan sebagai bahan bowl kurang<br />
homogen.<br />
3.3 Tegangan Simulasi<br />
Beban (gaya) sebenarnya yang<br />
bekerja pada daerah ukur pada saat<br />
operasi sulit untuk diketahui. Oleh karena<br />
itu, untuk keperluan analisis, pada daerah<br />
ukur diterapkan beban simulasi sebesar 1<br />
ton pada lubang lingkaran tempat dudukan<br />
penggerak hidrolik yang bekerja pada arah<br />
45 o (searah putaran jarum jam) dari sumbu<br />
X. Arah beban dengan sudut 45 o ini dibuat<br />
untuk mensimulasikan saat operasi pada<br />
Kasus Operasi 6 (clamping) di mana<br />
secara eksperimental menghasilkan<br />
tegangan terbesar (tekan = 114,4 MPa)<br />
pada posisi sensor 6. Hasil analisis dengan<br />
beban simulasi 1 ton disajikan pada<br />
Gambar 5.<br />
66
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Dari hasil analisis yang disajikan<br />
pada Gambar 5 diperoleh nilai tegangan<br />
tekan pada daerah posisi sensor 6 sebesar<br />
sekitar 0,0853 kg/mm 2 (0,853 MPa). Dari<br />
Gambar 5 diketahui pula bahwa ketika<br />
pada posisi sensor 6 terjadi tegangan tekan<br />
maka pada sisi dalamnya terjadi tegangan<br />
tarik. Pada beban 1 ton besarnya tegangan<br />
tarik yang terjadi adalah sekitar 0,266<br />
kg/mm 2 (2,66 MPa). Dengan demikian<br />
diperoleh perbandingan antara nilai<br />
tegangan tekan (posisi sensor 6) terhadap<br />
nilai tegangan tarik (posisi sisi dalam dari<br />
sensor 6), yaitu 1 berbanding 3,12.<br />
Perbandingan nilai tegangan dari analisis<br />
metode elemen hingga kemudian<br />
diterapkan terhadap hasil pengukuran<br />
regangan eksperimental. Mengacu pada<br />
nilai perbandingan yang ada, maka ketika<br />
pada posisi sensor 6 terjadi tegangan tekan<br />
sebesar 114,4 MPa, diperoleh nilai<br />
tegangan tarik pada posisi dalam dari<br />
sensor 6 sebesar 3,12 x 114,4 MPa =<br />
356,9 MPa. Apabila nilai tegangan tarik ini<br />
dibandingkan dengan kuat tarik material,<br />
memang masih berada di bawah nilai kuat<br />
tariknya (lihat Tabel 2, di mana nilai<br />
minimum kuat tarik material adalah 400<br />
MPa). Akan tetapi, nilai tegangan ini<br />
diperkirakan telah melampaui batas leleh<br />
(yield) material. Di samping itu, operasi alat<br />
adalah terus berulang-ulang sehingga<br />
meskipun tegangan yang terjadi masih di<br />
bawah kuat tariknya, material dapat<br />
mengalami kelelahan (fatigue) yang<br />
berakibat terjadinya retak awal dan pada<br />
akhirnya mengalami patah (fracture).<br />
Proses kerusakan dapat diterangkan<br />
sebagai berikut. Ketika batas leleh<br />
dilampaui maka material akan mulur atau<br />
ketika batas kelelahan dilampaui maka<br />
material akan mengalami retak awal.<br />
Mulurnya atau timbulnya retak awal ini<br />
akan menimbulkan ketidakstabilan bearing.<br />
Begitu bearing tidak stabil, bearing akan<br />
merusak sisi dalam lingkaran. Selain itu,<br />
retak awal dapat menyebabkan terjadinya<br />
konsentrasi tegangan sehingga begitu<br />
terjadi retak awal, retak itu akan terus<br />
merambat sampai akhirnya patah.<br />
Tabel 2 Hasil Pengukuran Kekerasan<br />
Material<br />
Lokasi : Workshop, Material : Asli (casting)<br />
Angka<br />
Kekerasan<br />
Brinell (HB)<br />
Titik<br />
Uku<br />
r<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
I<br />
1<br />
8<br />
6<br />
1<br />
1<br />
5<br />
1<br />
2<br />
1<br />
1<br />
1<br />
9<br />
1<br />
7<br />
6<br />
1<br />
4<br />
5<br />
I<br />
I<br />
1<br />
6<br />
5<br />
1<br />
1<br />
9<br />
1<br />
1<br />
6<br />
1<br />
1<br />
9<br />
1<br />
4<br />
8<br />
1<br />
4<br />
2<br />
I<br />
I<br />
I<br />
1<br />
5<br />
7<br />
1<br />
2<br />
0<br />
1<br />
2<br />
3<br />
1<br />
2<br />
5<br />
1<br />
4<br />
8<br />
Estimasi<br />
Kuat Tarik<br />
(MPa)<br />
1<br />
5<br />
2 156 530<br />
1<br />
4<br />
5 144 480<br />
Minimum 400<br />
Lokasi : Lapangan, Sisi : Kanan, Material :<br />
Asli (casting)<br />
Angka<br />
Kekerasan<br />
Brinell (HB)<br />
Titik<br />
Uku<br />
r<br />
1<br />
2<br />
I<br />
1<br />
4<br />
9<br />
2<br />
0<br />
7<br />
I<br />
I<br />
1<br />
8<br />
7<br />
2<br />
1<br />
6<br />
I<br />
I<br />
I<br />
1<br />
7<br />
9<br />
1<br />
8<br />
4<br />
I<br />
V<br />
1<br />
9<br />
3<br />
2<br />
0<br />
9<br />
Estimasi<br />
Kuat Tarik<br />
(MPa)<br />
2<br />
0<br />
2 203,6 690<br />
Minimum 640<br />
Lokasi : Lapangan, Sisi : Kiri, Material :<br />
Modifikasi (SS 400)<br />
Angka<br />
Kekerasan<br />
Brinell (HB)<br />
Titik<br />
Uku<br />
r<br />
1<br />
2<br />
I<br />
1<br />
7<br />
2<br />
1<br />
6<br />
8<br />
I<br />
I<br />
1<br />
4<br />
4<br />
1<br />
6<br />
6<br />
I<br />
I<br />
I<br />
1<br />
7<br />
2<br />
1<br />
6<br />
8<br />
I<br />
V<br />
1<br />
5<br />
2<br />
1<br />
6<br />
0<br />
Estimasi<br />
Kuat Tarik<br />
(MPa)<br />
I<br />
V V<br />
Ratarata<br />
1<br />
5 166,2<br />
7 5 560<br />
1 1<br />
2 2<br />
4 3 120,2 400<br />
1<br />
2<br />
4 121 400<br />
1 1<br />
1 2<br />
8 5 121,2 400<br />
Ratarata<br />
V<br />
2<br />
4<br />
5 190,6 640<br />
Ratarata<br />
V<br />
1<br />
5<br />
3 158,6 530<br />
1<br />
4<br />
9 162,2 545<br />
Minimum 530<br />
Gambar 5 Distribusi tegangan hasil analisis<br />
metode elemen hingga<br />
67
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
4. KESIMPULAN<br />
Dari hasil-hasil pemeriksaan dan<br />
analisis yang telah dilakukan pada<br />
penelitian ini dapat ditarik kesimpulan<br />
sebagai berikut:<br />
1. Pada setiap kali operasi besarnya<br />
regangan – tegangan yang terjadi<br />
selalu tidak sama karena faktor-faktor<br />
jenis/ kekerasan/kepadatan dari tanah/<br />
batuan, volume muatan, dan posisi<br />
mesin/bowl.<br />
2. Dari tiga kali pengukuran dengan tujuh<br />
kasus operasi diperoleh nilai regangan<br />
maksimum sebesar 572x10 -6 , berupa<br />
regangan tekan pada posisi sensor 6<br />
pada kasus operasi 6 : saat bowl dan<br />
dozer tidak menutup, mesin mengisi<br />
muatan dengan cara sambil<br />
menutupkan bowl terhadap dozer<br />
(clamping). Tegangan yang terjadi<br />
sebesar 114,4 MPa.<br />
3. Dari pengukuran kekerasan diperoleh<br />
perkiraan nilai kuat tarik material yaitu<br />
berkisar 400 – 690 MPa.<br />
4. Dari analisis dengan metode elemen<br />
hingga diperoleh nilai tegangan tarik<br />
yang mungkin terjadi pada sisi dalam<br />
dari posisi sensor 6, yaitu sebesar<br />
356,9 MPa, ketika pada kasus operasi<br />
6, posisi sensor 6 mencapai tegangan<br />
tekan sebesar 114,4 MPa.<br />
5. Kerusakan alat kemungkinan diawali<br />
oleh terlampauinya batas leleh material<br />
dan atau karena kelelahan.<br />
Saran yang dapat disampaikan adalah<br />
mengadakan perbaikan dalam hal :<br />
- Penggunaan material yang memiliki<br />
batas leleh dan ketahanan terhadap<br />
perambatan retak (stress intensity factor)<br />
lebih tinggi<br />
- Keseragaman/homogenitas material<br />
- Perubahan desain pada daerah ukur<br />
untuk mendapatkan dimensi yang lebih<br />
besar<br />
- Agar dihindari operasi yang menyalahi<br />
prosedur baku yang dapat mengakibatkan<br />
terjadinya tegangan yang lebih tinggi dari<br />
yang diharapkan<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Terima kasih yang sebesar-besarnya<br />
disampaikan kepada PT Sanggar Sarana<br />
Baja atas kerja samanya sehingga<br />
penelitian ini dapat dilaksanakan. Kepada Ir.<br />
Supriyatno dan Ir. Aswandi juga diucapkan<br />
terima kasih yang sedalam-dalamnya atas<br />
bantuannya dalam penelitian ini.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. H.E. Davis et al., “The Testing and<br />
Inspection of Engineering Materials”,<br />
3 rd Edition, McGraw-Hill, New York,<br />
1964.<br />
2. MSC/Nastran, Version 4.0, “Reference<br />
Manual”, 1997.<br />
3. MSC/Nastran, Version 4.0, “Static<br />
Analysis”, 1997.<br />
RIWAYAT PENULIS<br />
Ogi Ivano, lahir di Bandung pada<br />
tanggal 6 Juni 1969. Pada tahun 1994<br />
menamatkan pendidikan S1 di Universitas<br />
Ibaraki, Jepang dalam bidang Mechanical<br />
Engineering. Program S2 pada bidang<br />
yang sama diselesaikan di universitas yang<br />
sama pula pada tahun 1996. Saat ini<br />
bekerja sebagai Kepala Sub Bidang Desain,<br />
Bidang Sarana Hidraulik dan Mekanik, UPT<br />
Laboratoria Uji Konstruksi – BPPT,<br />
Puspiptek Serpong, Tangerang.<br />
Sudarmadi, lahir di Purbalingga<br />
pada tanggal 30 Agustus 1967. Pada tahun<br />
1992 menamatkan pendidikan S1 di<br />
Universitas Gadjah Mada dalam bidang<br />
Teknik Sipil Struktur. Program S2 pada<br />
bidang Teknik Sipil diselesaikan di The<br />
University of Queensland, Brisbane,<br />
Australia pada tahun 2000. Saat ini bekerja<br />
di Bidang Pengujian Komponen dan<br />
Konstruksi UPT Laboratoria Uji Konstruksi<br />
– BPPT, Puspiptek Serpong, Tangerang.<br />
Weni Wijatmoko H., lahir di<br />
Purwakarta pada tanggal 31 Januari 1958.<br />
Menamatkan pendidikan S1 di Institut<br />
Teknologi Bandung pada tahun 1985.<br />
Pendidikan S2 dan S3 diselesaikan pada<br />
tahun 1993 dan 2001 di Imperial College<br />
University of London, Inggeris. Sekarang<br />
bekerja sebagai peneliti di UPT Laboratoria<br />
Uji Konstruksi – BPPT, Puspiptek Serpong,<br />
Tangerang.<br />
68
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
ANALISA AERODINAMIKA DUA DIMENSI<br />
JEMBATAN SURAMADU<br />
Dewi Asmara, R.Wibawa Purabaya<br />
Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Aero Gas Dinamika dan Getaran (LAGG)<br />
Gedung 200, Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15310<br />
E-mail : wieke288@yahoo.com, wpurabaya@yahoo.com<br />
Abstract<br />
Untuk mengetahui karakteristik aliran di sekitar jembatan dilakukan<br />
pengujian di terowongan angin. Sebelum pengujian itu dijalankan, dilakukan<br />
simulasi pengujian dengan menggunakan software Computational Fluid<br />
Dynamics. Simulasi dilakukan terhadap suatu model jembatan dengan<br />
memvariasikan beberapa sudut serang. Dengan simulasi ini dapat diketahui<br />
estimasi gaya yang dialami oleh model jembatan sehingga dapat didesain<br />
struktur model dan tumpuan yang kuat untuk menahan beban tersebut.<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Jembatan Suramadu merupakan<br />
jembatan yang akan dibangun untuk<br />
menghubungkan Surabaya dan Pulau<br />
Madura. Bagian tengah dari jembatan ini<br />
adalah cable stayed sepanjang 843 m.<br />
Pengujian terhadap model Jembatan<br />
Suramadu dilakukan di terowongan angin<br />
LAGG, namun sebelum itu dilakukan analisa<br />
aerodinamika dengan menggunakan<br />
software Computational Fluid Dynamics<br />
(CFD).<br />
Penelitian dilakukan untuk<br />
mengetahui medan aliran yang terjadi di<br />
sekitar jembatan dan estimasi gaya yang<br />
akan dialami oleh model di terowongan<br />
angin, sehingga dapat didesain struktur<br />
model dan tumpuannya yang kuat untuk<br />
menahan beban tersebut. Penelitian ini<br />
meliputi simulasi aliran di sekitar jembatan<br />
dengan memvariasikan sudut serang.<br />
Software CFD yang digunakan dalam<br />
mensimulasikan aliran adalah Concert.<br />
2. PENJELASAN<br />
Concert adalah salah satu software<br />
CFD yang dapat mensimulasikan aliran di<br />
sekitar model dua dimensi (2D) maupun tiga<br />
dimensi (3D). Selain untuk aliran yang<br />
steady, Concert juga dapat digunakan untuk<br />
aliran yang unsteady. Software Concert<br />
terdiri dari tiga bagian, yaitu prapemrosesan,<br />
pencarian solusi dan pascapemrosesan.<br />
Pada tahap prapemrosesan dilakukan<br />
pendefinisian masalah dengan membentuk<br />
geometri, dapat berupa geometri dua<br />
dimensi maupun tiga dimensi. Dalam<br />
pembentukan geometri ini didefinisikan<br />
topologi yang akan dibangun mulai dari<br />
pembentukan titik (point), garis (curve, edge),<br />
bidang (face) atau volume sehingga menjadi<br />
model yang diinginkan.<br />
Setelah geometri terbentuk dilakukan<br />
diskritisasi menjadi sejumlah grid dimana<br />
persamaan atur akan dicari solusinya di<br />
masing-masing grid tersebut. Bila<br />
menggunakan diskritisasi grid berstruktur<br />
diusahakan sisi yang membentuk grid tetap<br />
tegak lurus atau memliki skewness dengan<br />
toleransi tertentu. Pada grid tak berstruktur<br />
diperhatikan perbandingan antara panjang<br />
dan lebar (aspect ratio) bentuk grid. (3)<br />
Setelah geometri masalah<br />
didefinisikan secara numerik melalui gridgrid,<br />
tahap selanjutnya adalah pencarian<br />
solusi. Pada tahap ini persamaan atur yang<br />
diterapkan untuk memodelkan medan aliran<br />
didiskritisasi untuk masing-masing grid dan<br />
dicari solusinya. Persamaan atur yang<br />
digunakan dalam CFD tergantung dari<br />
permasalahan yang akan dimodelkan. Pada<br />
penelitian ini hanya digunakan pemodelan<br />
aliran fluida stasioner, laminar dan<br />
inkompresibel. Dalam hal ini digunakan<br />
persamaan atur Navier-Stokes.<br />
Pada tahap terakhir adalah<br />
pascapemrosesan. Pada tahap ini semua<br />
solusi dari parameter aliran yang telah<br />
diperoleh untuk setiap grid akan dibentuk<br />
visualisasi. Visualisasi solusi ini bertujuan<br />
untuk mempermudah memahami solusi<br />
yang dihasilkan oleh software CFD.<br />
Beberapa contoh visualisasi yang dihasilkan<br />
oleh Concert adalah Domain dari geometri<br />
dan tampilan grid, plot vektor kecepatan,<br />
plot kontur parameter aliran plot skalar<br />
dalam Diagran X-Y. Selain dalam bentuk<br />
visualisasi, Concert juga dapat<br />
menghasilkan data pressure force dan shear<br />
force.<br />
Model jembatan dibuat 2D dengan<br />
lebar 0.43 m. Simulasi dilakukan pada 3<br />
posisi sudut serang masing-masing -5, 0<br />
dan 5. Diasumsikan kecepatan angin 40 m/s<br />
69
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
dengan densitas ρ = 1.225 dan viskositas µ<br />
= 1.789. x 10 -5 .<br />
Diasumsikan bahwa aliran pada<br />
jembatan lebih didominasi oleh aliran yang<br />
bersifat 2D yaitu tidak ada aliran yang<br />
melintang, maka perhitungan cukup<br />
dilakukan secara 2D dengan mengambil<br />
bentuk penampang (cross-section) jembatan.<br />
Dalam penelitian ini pembentukan grid yang<br />
digunakan adalah metoda block structure.<br />
Hasil perhitungan pada sudut serang<br />
α = -5 pusaran aliran terjadi di bagian bawah<br />
jembatan seperti yang terlihat pada gambar<br />
(4).<br />
3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Setelah dilakukan perhitungan<br />
dengan menggunakan Concert dapat dilihat<br />
hasil Lift dan Drag pada Tabel di bawah ini.<br />
Tabel 1 Lift dan Drag<br />
α Lift (N) Drag (N)<br />
0 -32.72949 -0.074049<br />
-5 -201.5667 -0.060799<br />
5 131.74309 -0.043021<br />
Gambar 2. Kontur tekanan pada α = 0<br />
Pada sudut serang α = 0 seperti yang<br />
terlihat pada gambar (1), aliran di bagian<br />
atas jembatan mengalami perlambatan dan<br />
bagian bawah mengalami percepatan maka<br />
tekanan di permukaan atas lebih besar<br />
dibandingkan dengan tekanan pada<br />
permukaan bawah, sehingga gaya lift<br />
bernilai negatif dan jembatan akan<br />
mengalami gaya kebawah.<br />
Gambar 3. Kontur kecepatan pada α = 0<br />
Gambar 1. Vektor kecepatan pada α = 0<br />
Hal ini dapat terlihat juga pada kontur<br />
tekanan gambar (2) dan kontur kecepatan<br />
gambar (3).<br />
Pada barrier side jembatan<br />
menghasilkan pusaran (vortex) di<br />
belakangnya. Aliran di belakang barrier<br />
tersebut pusaran kecil terbentuk bersatu<br />
dengan aliran pusaran yang terjadi di ujung<br />
belakang jembatan.<br />
Gambar 4. Vektor kecepatan pada α = -5<br />
Pada sudut serang ini jembatan akan<br />
terdorong ke bawah karena mempunyai<br />
gaya lift negatif. Untuk kontur tekanan dan<br />
70
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
kontur kecepatan dapat dilihat pada gambar<br />
(5-6).<br />
positif karena tekanan di permukaan bawah<br />
lebih besar dibandingkan dengan tekanan di<br />
permukaan atas. Untuk lebih jelasnya kontur<br />
tekanan dan kontur kecepatan pada sudut<br />
serang ini dapat dilihat pada gambar (8-9).<br />
Gambar 5. Kontur tekanan pada α = -5<br />
Gambar 8. Kontur tekanan pada α = 5<br />
Gambar 6. Kontur kecepatan pada α = -5<br />
Sedangkan untuk sudut serang α = 5<br />
aliran vortex terjadi di sebagian besar<br />
permukaan<br />
seperti yang diperlihatkan pada<br />
gambar (7).<br />
Gambar 7. Vektor kecepatan pada α = 5<br />
Hal ini akan mengakibatkan jembatan<br />
terangkat ke atas atau mempunyai gaya lift<br />
Gambar 9. Kontur kecepatan pada α = 5<br />
4. KESIMPULAN<br />
Dari hasil simulasi yang diperoleh<br />
dapat disimpulkan bahwa gaya lift untuk<br />
sudut serang α = 0 dan α = -5 bernilai<br />
negatif (jembatan akan mengalami gaya ke<br />
bawah). Sedangkan untuk sudut serang α =<br />
5 jembatan mengalami gaya lift positif.<br />
Pada daerah di atas dek terjadi ulakan<br />
aliran udara, hal ini kurang nyaman bagi<br />
pengguna jalan.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. CONCERT Reference Manual, “CFD<br />
Tutorial Version 2.0”, Numeritec<br />
Corporation, USA, 1998.<br />
2. Casmara, “Analisa Awal Pola Aliran Pada<br />
Model Jembatan”, LAGG-BPPT, 1997.<br />
71
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
3. Parwatha, I Gede,. “Studi Komputasional<br />
Simulasi Pengujian Ground Effect di ILST<br />
Serpong”, ITB, 2003.<br />
4. Pope Alan, Harper John J., “Low Speed<br />
Wind Tunnel Testing”, John Wiley &<br />
Sons, Inc, New York, USA, 1996.<br />
RIWAYAT PENULIS<br />
WIBAWA PURABAYA lahir di<br />
Bandung pada 30 Juni 1965. Menamatkan<br />
pendidikan S1 dan S2 di Aerospace<br />
Engineering di TU Delft, Belanda tahun<br />
1995. Saat ini bekerja sebagai peneliti untuk<br />
spesialisasi Getaran di UPT-LAGG BPPT,<br />
Serpong.<br />
DEWI ASMARA lahir di Bandung 28<br />
Agustus 1974. Menamatkan pendidikan S1<br />
Matematika di Universitas Padjadjaran<br />
Bandung tahun 1998. Saat ini bekerja<br />
sebagai staf Mekanika Fluida di UPT-LAGG<br />
BPPT, Serpong.<br />
72
APLIKASI KOMPUTASI
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
VISION: Decision Making Analysis for Leaders<br />
Mohamad Haitan Rachman dan Hendro Julianto<br />
Jln. Karawitan No. 25 Bandung, PT Multiforma Sarana Consultant<br />
Abstrak<br />
Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendekatan<br />
yang memberikan kesempatan bagi setiap individu atau kelompok untuk<br />
membangun gagasan-gagasan atau ide-ide dan mendefinisikan persoalanpersoalan<br />
yang ada dengan cara membuat asumsi-asumsi dan selanjutnya<br />
mendapatkan pemecahan yang diinginkannya. Pada saat ini AHP telah<br />
digunakan secara luas dalam perencanaan perusahaan, pemilihan<br />
investasi, analisa biaya, bahkan untuk kebutuhan militer. VISION<br />
merupakan tool berbasis AHP dan akan memudahkan proses<br />
pengambilan keputusan, dan juga untuk mengetahui level<br />
ketidakkonsistensian yang dimiliki dalam proses tersebut sehingga akan<br />
memberikan kemudahan juga untuk memperbaiki analisa keputusan yang<br />
dibuat. VISION dapat meningkatkan kepahaman terhadap satu<br />
permasalahan dengan baik, sehingga user lainnya memungkinkan untuk<br />
mempelajari satu permasalahan tersebut dengan baik pula dan akhirnya<br />
menumbuhkan berbagi pengetahuan untuk menangani permasalahan<br />
bersama.<br />
Katakunci: Analytic Hierarchy Process, Decicion Making Analysis<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Setiap dari kita memahami bahwa<br />
dunia merupakan sistem yang sangat<br />
kompleks, dan merupakan keterikatan atau<br />
integrasi dari beberapa sistem yang juga<br />
kompleks, seperti sistem politik, militer,<br />
pendidikan, ekonomi dsb; satu sistem tidak<br />
bisa terlepas dari sistem yang lainnya,<br />
sebagai contoh tidak mungkin mempunyai<br />
sistem pendidikan yang baik kecuali<br />
mempunyai sistem perekonomian yang<br />
baik juga atau bahkan harus mempunyai<br />
sistem teknologi yang tepat dan begitupun<br />
sebaliknya.<br />
Permasalahan yang muncul<br />
merupakan keterikatan yang sangat erat<br />
diantara sistem-sistem tersebut, sehingga<br />
mendorong kita semua untuk bisa<br />
memetakan persoalan dan menetapkan<br />
prioritasnya dengan baik dan terstruktur,<br />
sehingga langkah-langkah solusi dapat<br />
dilaksanakan. Tetapi kebanyakan orang<br />
berpikir bahwa untuk bisa menangani<br />
persoalan yang mempunyai kompleksitas<br />
tinggi, harus juga mempunyai cara berpikir<br />
yang rumit. Pandangan seperti ini tidak<br />
benar karena pendekatan tersebut jelas<br />
tidak akan dipahami banyak orang, dan<br />
juga akan sulit menjelaskan prioritasprioritasnya.<br />
Penyelesaian masalah tersebut dapat<br />
dilaksanakan melalui multi-criteria methods.<br />
Salah satu metoda yang sangat populer<br />
adalah Analytic Hierarchy Process (AHP),<br />
dan telah banyak diterapkan dalam macammacam<br />
aplikasi. Metoda multi-criteria<br />
lainnya seperti scoring and rangking<br />
techniques, multi-attribute value analysis<br />
(MAVA), multi-attribute utility analysis<br />
(MAUA), dan simple multi-attribute rating<br />
technique (SMART), telah juga<br />
dipergunakan untuk penyelesaian masalah<br />
(1) .<br />
Tulisan ini akan menjelaskan<br />
pendekatan yang cukup populer untuk<br />
mendukung analisa proses pengambilan<br />
keputusan, Analytic Hierarchy Process<br />
(AHP), dan disamping itu juga menjelaskan<br />
perangkat lunak VISION yang<br />
memanfaatkan pendekatan AHP.<br />
2 CARA BERPIKIR ANALITIK<br />
Untuk dapat menyelesaikan<br />
persoalan yang kompleks dan memberikan<br />
keputusan-keputusan efektif, maka<br />
diperlukan tiga prinsip berpikir analitik yaitu<br />
(2)<br />
:<br />
• Menyusun Hierarki. Untuk memperoleh<br />
informasi yang lengkap, maka kita harus<br />
mampu menyusun realitas atau<br />
persoalan yang kompleks ke dalam<br />
elemen-elemen yang mempengaruhinya,<br />
selanjutnya elemen-elemen tersebut<br />
juga disusun dari elemen-elemen yang<br />
lebih kecil, dan seterusnya, sehingga<br />
membentuk hierarki. Untuk mampu<br />
73
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
menyusun hierarki dari satu persoalan<br />
dengan baik, biasanya orang melakukan<br />
brainstorming dahulu sehingga akan<br />
terkumpul elemen-elemen tersebut,<br />
selanjutnya dipilih secara baik dan<br />
membentuk hierarki tersebut.<br />
• Menentukan Prioritas. Setelah<br />
menyusun hierarki, selanjutnya kita<br />
membandingkan elemen-elemen<br />
tersebut satu sama lain yang<br />
mempunyai hubungan, melalui<br />
perbandingan skala yang dikembangkan<br />
di AHP, maka akhirnya terbentuk<br />
urutan-urutan prioritas terhadap<br />
persoalan tersebut. Dari hasil urutan<br />
tersebut, kita akan mempunyai<br />
pandangan yag logis dan mampu<br />
mengambil keputusan-keputusan yang<br />
efektif dan logis.<br />
• Konsistensi Logis. Setiap hierarki yang<br />
dibangun akan memberikan perhitungan<br />
konsistensi logis yang dimiliki oleh<br />
setiap orang. Sehingga hierarki dapat<br />
dipergunakan untuk memperlihatkan<br />
kekonsistensian seseorang dalam<br />
menghadapi persoalan, dan<br />
memberikan solusi-solusinya.<br />
3. ANALYTIC HIERARCHY PROCESS<br />
(AHP)<br />
Analytic Hierarchy Process (AHP)<br />
merupakan suatu model pendekatan yang<br />
memberikan kesempatan bagi setiap<br />
individu atau kelompok untuk membangun<br />
gagasan-gagasan atau ide-ide dan<br />
mendefinisikan persoalan-persoalan yang<br />
ada dengan cara membuat asumsi-asumsi<br />
dan selanjutnya mendapatkan pemecahan<br />
yang diinginkannya.<br />
AHP ini bergantung kepada imajinasi,<br />
pengalaman dan pengetahuan untuk<br />
mampu menyusun hierarki suatu persoalan,<br />
dan juga untuk memberikan pertimbanganpertimbangannya.<br />
AHP memperlihatkan<br />
hubungan-hubungan elemen-elemen<br />
tertentu terhadap puncaknya, dan juga<br />
cabang-cabang elemen tertentu terhadap<br />
elemen tersebut, sehingga membentuk<br />
diagram pohon yang beranting.<br />
Untuk mampu mendefinisikan suatu<br />
persoalan yang cukup kompleks, maka<br />
AHP ini harus terus dicoba berulang-ulang,<br />
karena kita sendiri sulit mengharapkan<br />
pemecahan masalah dalam waktu dekat<br />
dan segera atas persoalan tersebut. Pada<br />
saat ini AHP telah digunakan secara luas<br />
dalam perencanaan perusahaan, pemilihan<br />
investasi, analisa biaya, bahkan untuk<br />
kebutuhan militer. Di bawah ini beberapa<br />
keuntungan AHP (2) :<br />
• AHP memberikan satu model yang<br />
mudah dimengerti, luwes untuk<br />
macam-macam persoalan yang tidak<br />
terstruktur.<br />
• AHP mencerminkan cara berpikir alami<br />
untuk memilah-milah elemen-elemen<br />
dari satu sistem ke dalam berbagai<br />
tingkat berlainan dan mengelompokkan<br />
unsur yang serupa dalam setiap tingkat.<br />
• AHP memberikan suatu skala<br />
pengukuran dan memberikan metoda<br />
untuk menetapkan prioritas.<br />
• AHP memberikan penilaian terhadap<br />
konsistensi logis dari pertimbanganpertimbangan<br />
yang digunakan dalam<br />
menentukan prioritas.<br />
• AHP menuntun ke suatu pandangan<br />
menyeluruh terhadap alternatifalternatif<br />
yang muncul untuk persoalan<br />
yang dihadapi<br />
• AHP memberikan satu sarana untuk<br />
penilaian yang tidak dipaksakan tetapi<br />
merupakan penilaian yang sesuai<br />
pandangannya masing-masing.<br />
• AHP memungkinkan setiap orang atau<br />
kelompok untuk mempertajam<br />
kemampuan logik dan intuisinya<br />
terhadap persoalan yang dipetakan<br />
melalui AHP.<br />
Terdapat empat tahap digunakan<br />
untuk menyelesaikan sebuah masalah<br />
dengan metodologi AHP (3) :<br />
1. Membangun penyajian hirarki dari<br />
permasalahan. Posisi puncak dari<br />
hirarki merupakan sasaran atau goal<br />
yang akan dicapai, sedangkan<br />
keputusan alterntif-alternatif berada di<br />
paling bawah dari hirarki tersebut.<br />
2. Menghasilkan nilai-nilai perbandingkan<br />
dari elemen-elemen yang ada di<br />
hierarki tersebut. Tahap ini<br />
memerlukan analis (pengambil<br />
keputusan) untuk membuat<br />
perbandingan-perbandingan dari<br />
elemen-elemen dari setiap level<br />
terhadap level yang lebih tingginya.<br />
Skala yang dipergunakan AHP untuk<br />
membandingkan dua elemen,<br />
misalkan A dan B, terhadap sebuah<br />
atribut U, yaitu:<br />
1- A mempunyai kepentingan yang<br />
sama dengan B terhadap U<br />
3- A mempunyai lebih kepentingan<br />
sedikit dibandingkan B terhadap U<br />
5- A mempunyai lebih kepentingan<br />
dibandingkan B terhadap U<br />
7- A mempunyai lebih banyak<br />
kepentingan dibandingkan B terhadap<br />
U<br />
74
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
9- A mendominasi kepentingan<br />
daripada B terhadap U<br />
2, 4, 6, 8 merupakan nilai yang berada<br />
di antaranya<br />
3. Melakukan perhitungan melalui<br />
metoda eigenvalue (pendekatan<br />
matematika yang digunakan AHP (4) )<br />
untuk menentukan prioritas-prioritas<br />
relatif dari setiap elemen di setiap level<br />
hierarki.<br />
4. Menampilkan urutan-urutan prioritas<br />
dari seluruh alternatif solusi<br />
penyelesaian masalah terhadap goal<br />
yang hendak dicapai.<br />
4. VISION<br />
VISION merupakan perangkat lunak<br />
pendukung proses pengambilan keputusan<br />
berbasiskan metoda AHP. VISION akan<br />
memudahkan proses pengambilan<br />
keputusan, dan juga untuk mengetahui<br />
level ketidakkonsistensian yang dimiliki<br />
dalam proses tersebut sehingga akan<br />
memberikan kemudahan juga untuk<br />
memperbaiki analisa keputusan yang<br />
dibuat. VISION dapat meningkatkan<br />
kepahaman terhadap satu permasalahan<br />
dengan baik, sehingga user lainnya<br />
memungkinkan untuk mempelajari satu<br />
permasalahan tersebut dengan baik pula<br />
dan akhirnya menumbuhkan berbagi<br />
pengetahuan untuk menangani<br />
permasalahan bersama.<br />
VISION dapat dipergunakan untuk<br />
keputusan-keputusan yang berhubungan<br />
dengan proses bisnis, seperti :<br />
• Keputusan memilih peralatan<br />
• Keputusan memilih kandidat SDM<br />
• Keputusan mengalokasikan sumber<br />
untuk R&D<br />
• Keputusan mengevaluasi divisi<br />
perusahaan<br />
• Keputusan mengevaluasi Benefits/Cost<br />
dari projek<br />
• Keputusan bagian yang akan<br />
dibenchmark<br />
• Keputusan menyusun visi dan strategi<br />
perusahaan<br />
• Keputusan menangani konplik<br />
Di bawah ini merupakan fitur-fitur<br />
utama VISION :<br />
• Hierarchy View. Hierarchy View<br />
merupakan fasilitas untuk mengelola<br />
dan menampilkan hierarki goal dan<br />
kriteria berserta nilai-nilai lokal dan<br />
globalnya. Sehingga fitur ini<br />
memberikan kemudahan bagi user<br />
untuk melakukan proses perbandingan<br />
sesuai levelnya, dan memudahkan user<br />
untuk mengetahui nilai-nilai relatif<br />
terhadap satu level yang sama dan<br />
terhadap goal secara keseluruhan.<br />
Gambar 1. Hierarchy View<br />
• Manajemen Brainstorming<br />
Brainstorming merupakan fasilitas yang<br />
cukup penting untuk menyusun hierarki<br />
kriteria. Dengan adanya fasilitas ini, user<br />
akan mudah untuk mengeksplorasi<br />
seluruh kriteria-kriteria yang<br />
kemungkinan berhubungan dengan<br />
proses pengambilan keputusan yang<br />
akan dicapai.<br />
Gambar 2. Brainstorming Module<br />
• Perbandingan Kriteria. Kriteria-kriteria<br />
yang berada dalam satu level untuk<br />
GOAL atau kriteria yang lebih tinggi<br />
perlu dibandingkan satu sama lain untuk<br />
mendapatkan nilai relatif dari setiap<br />
kriteria tersebut. VISION mempunyai<br />
dua model interface perbandingan yaitu<br />
perbandingan satu-satu dan<br />
perbandingan kriteria dalam satu<br />
halaman. Perbandingkan dalam satu<br />
halaman dapat dipergunakan untuk<br />
mengevaluasi proses perbandingan<br />
tersebut, VISION menyediakan fasilitas<br />
cetak untuk perbandingan tersebut.<br />
75
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Gambar 3. Perbandingan Kriteria Satu-ke-<br />
Satu<br />
5. KESIMPULAN DAN RISET LANJUTAN<br />
VISION merupakan perangkat lunak<br />
berbasis metoda AHP untuk mendukung<br />
proses pengambilan keputusan secara<br />
sistematik dan cepat. Dan tentunya VISION<br />
akan memudahkan pimpinan perusahaan /<br />
organisasi melakukan evaluasi terhadap<br />
proses pengambilan keputusan yang<br />
dilakukan, sehingga setiap orang dapat<br />
memperbaiki keputusan yang sudah dibuat.<br />
Diagramming dan integrasi AHP<br />
dengan metoda lainnya merupakan kajian<br />
yang menarik untuk dilaksanakan, sehingga<br />
pendekatan yang diterapkan tidak hanya<br />
bergantung pada satu metoda tetapi akan<br />
dapat memanfaatkan kelebihan-kelebihan<br />
yang tidak dimiliki oleh AHP.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Gambar 4. Perbandingan Kriteria Satu<br />
Halaman<br />
• Analisa Inconsistency dan Priorities List.<br />
Perbandingan kriteria-kriteria dalam<br />
AHP model akan menghasilkan daftar<br />
nilai relatif dari setiap kriteria mulai dari<br />
yang terbesar ke terkecil dan nilai<br />
ketidakkonsistensian perbandingan<br />
yang dilakukan. Nilai-nilai tersebut akan<br />
memudahkan proses pertejemahan<br />
pada proses pengambilan keputusan.<br />
1. C.S. Yap, K.S. Raman dan C.M. Leong,<br />
“Methods for Information System Project<br />
Selection: An Experimental Study of<br />
AHP and SMART”, IEEE, 1992.<br />
2. Thomas L. Saaty, “Decision Making for<br />
Leaders”, RWS Publications, 1988.<br />
3. Les Frair, Jessica O. Matson, dan Jack<br />
E. Matson, “An Undergraduate<br />
Curriculum Evaluation with the Analytic<br />
Hierarchy Process”, IEEE, 1998.<br />
4. Thomas L. Saaty, “The Analytic<br />
Hierarchy Process”, RWS Publications,<br />
1988.<br />
RIWAYAT PENULIS<br />
Mohamad Haitan Rachman lahir di<br />
kota Bandung tanggal 2 Agustus 1966.<br />
Sedang mengikuti pendidikan S3 dalam<br />
bidang Knowledge Management di<br />
Multimedia University (MMU), Cyberjaya<br />
Malaysia. Saat ini sedang memimpin<br />
perusahaan yang bergerak dalam bidang<br />
manajemen dan IT, PT Multiforma Sarana<br />
Consultant, Bandung. Dapat dikontak<br />
melalui email haitan@jamrud.com.<br />
Hendro Julianto lahir di kota<br />
Lhokseumawe, Aceh, tanggal 16 Juli 1980.<br />
Telah menamatkan pendidikan D3 Juruan<br />
Ilmu Komputer di UNPAD. Saat ini sedang<br />
berkerja sebagai Programmer di PT<br />
Multiforma Sarana Consultant, Bandung.<br />
Dapat dikontak melalui email<br />
hendro@jamrud.com.<br />
Gambar 5. Analisa Konsistensi dan Daftar<br />
Prioritas<br />
76
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
POTENSI APLIKASI MODUL ADAM-4080D SEBAGAI<br />
PENCACAH PADA PESAWAT RENOGRAF<br />
Oleh: Hendra Prihatnadi, Wiranto Budi Santoso<br />
ABSTRAK<br />
Potensi aplikasi modul ADAM-4080D sebagai pencacah pada pesawat<br />
Renograf dimungkinkan sesuai dengan perkembangan komputer saat ini.<br />
Sebelumnya pencacah berupa add-on card dengan menggunakan<br />
teknologi ISA bus yang perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Kemampuan<br />
modul ADAM-4080D dibanding add-on card pada Renograf, alat diagnosa<br />
fungsi ginjal, adalah membuka jalur komunikasi data antara pencacah<br />
dengan komputer menggunakan port serial RS-232, sehingga<br />
memungkinkan penggunaan komputer note book. Renograf dibagi menjadi<br />
3 (tiga) bagian, yaitu sistem detektor, modul akuisisi data, dan komputasi.<br />
Modul akuisisi data terdiri dari 2 (dua) perangkat yaitu modul ADAM-4080D<br />
berfungsi sebagai pencacah dan modul ADAM-4520 berfungsi sebagai<br />
konverter dari RS-485 ke jalur komunikasi RS-232 pada komputer.<br />
Komputer memberi perintah pada ADAM-4080D sebagai pencacah,<br />
melalui jalur komunikasi RS-232. Perintah dirubah oleh konverter ADAM-<br />
4520 menjadi perintah yang dimengerti ADAM-4080D. Sedangkan untuk<br />
memberi perintah, menerima data dan menampilkan hasil cacahan, baik<br />
berupa angka maupun gafik dibuat perangkat lunak yang dengan bahasa<br />
pemrograman Visual Basic. Hasil pencacahan dapat dibaca pada led<br />
display yang terdapat pada ADAM-4080D dan ditampilkan secara grafik<br />
pada layar komputer.<br />
1. PENDAHULUAN<br />
Suatu bentuk informasi dapat<br />
dihasilkan dari sistem pengolahan data.<br />
Dari masukan data, sistem itu dapat<br />
meneruskan informasi masukan tersebut<br />
bahkan dapat merubah menjadi bentuk<br />
informasi yang lain. Dalam suatu sistem<br />
pencacah radiasi dimana bentuk informasi<br />
yang dihasilkan adalah jumlah radiasi yang<br />
dapat ditangkap.<br />
Radiasi pada detektor NaI(Tl) diubah<br />
dalam bentuk denyut listrik. Perbandingan<br />
tinggi denyut listrik yang terjadi sebanding<br />
dengan tenaga sinar gamma yang<br />
tertangkap detektor. Setelah melalui alat<br />
pendeteksi yang disebut detektor. Pulsa<br />
dari detektor mengalami penguatan melalui<br />
rangkaian penguat pulsa yaitu penguat<br />
awal dan penguat linier. Setelah melewati<br />
penganalisa pulsa untuk spektroskopi<br />
waktu (TSCA), pulsa yang datang dapat<br />
dipisahkan secara berurutan dengan<br />
mengabaikan tinggi pulsa. Pulsa tersebut<br />
kemudian dihitung dengan pencacah.<br />
Banyaknya cacahan sebanding dengan<br />
intensitas suatu sumber radiasi.<br />
Sistem pencacahan pada renograf<br />
adalah pencacahan yang dilakukan untuk<br />
menghasilkan data hasil cacahan. Hasil<br />
cacahan tersebut dapat memberikan<br />
informasi analog. Informasi analog tersebut<br />
dapat dibaca secara langsung oleh analog<br />
counter berupa tampilan angka cacahan.<br />
Hasil cacahan tersebut merupakan<br />
perwakilan bentuk dari paparan radiasi.<br />
Banyaknya radiasi memberikan cacah<br />
paparan radiasi yang mengakibatkan<br />
tampilan berupa bentuk pulsa.<br />
Cacah radiasi mempunyai perubahan<br />
terhadap waktu cacah. Pada saat awal<br />
pencacahan dapat dikatakan paparan<br />
radiasi dianggap belum ada atau 0.<br />
Kemudian paparan radiasi lambat laun naik<br />
diiringi dengan banyaknya jumlah cacah<br />
atau intensitas cacah sehingga bentuk<br />
pulsa naik, intensitas tersebut sampai<br />
puncak tertentu akan turun kembali atau<br />
mengalami fase mendatar, juga fase naik.<br />
Hal tersebut memberikan gambaran dari<br />
berbagai gejala yang timbul dari paparan<br />
radiasi yang tertangkap, informasi tentang<br />
paparan radiasi yang tertangkap tersebut<br />
akan menjadi sumber masukan dari data<br />
hasil cacahan. Data hasil cacahan diolah<br />
dengan bahasa program sehingga dapat<br />
menampilkan suatu tampilan interaktif yang<br />
dapat mewakili hasil pendiagnosaan pada<br />
gejala gagal ginjal. Hasil dari tampilan<br />
cacahan akan ditampilkan dalam bentuk<br />
grafik pada tampilan komputer. Blok<br />
diagram sistem pendiagnosaan ginjal<br />
renograf dapat dilihat blok diagram pada<br />
gambar1<br />
77
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
KIRI<br />
Cuplikan<br />
KANAN<br />
detektor<br />
HV<br />
detektor<br />
Pre-<br />
Amp<br />
Pre-<br />
Amp<br />
ampli<br />
fier<br />
ampli<br />
fier<br />
TSCA<br />
Modul<br />
Akuisisi<br />
Data<br />
TSCA<br />
Kom<br />
puter<br />
Gambar 1. Blok diagram perangkat keras<br />
Renograf<br />
Dari blok diagram renograf pada gambar 1<br />
dapat dijelaskan sebagai berikut :<br />
a. Cuplikan<br />
Sumber radiasi yang disuntikkan secara<br />
intravena yaitu disuntikan kepada<br />
pasien dengan sumber radiasi gamma I-<br />
131 dengan dosis 30 µ ci. Cuplikan<br />
tersebut akan sensitif menyebar pada<br />
daerah tertentu seperti ginjal dan<br />
kemudian ginjal tersebut didiagnosa<br />
dengan detektor.<br />
b. HV (High Voltage)<br />
High Voltage atau tegangan tinggi<br />
dihubungkan dengan detektor<br />
memberikan tegangan kerja detektor<br />
yaitu diantara 0-1500 Vol dc.<br />
c. Detektor<br />
Detektor sebagai elemen yang merubah<br />
sinyal radiasi menjadi sinyal listrik.<br />
Dalam penelitian ini dipakai detektor NaI<br />
(Tl) sebagai pendeteksi radiasi gamma.<br />
d. Pre Amplifier<br />
Pre Amplifier adalah sebagai penguat<br />
awal pulsa yang mempunyai voltage<br />
sensitive (sensitifitas tegangan) pulsa<br />
detektor dan mempunyai sensitifitas<br />
terhadap perubahan tegangan. Penguat<br />
awal memberikan penguatan pada pulsa<br />
keluaran dari detektor.<br />
e. Amplifier<br />
Amplifier memberikan penguatan linier<br />
dari bentukan pulsa yang dihasilkan<br />
oleh pre amplifier (penguat awal) agar<br />
dapat memberikan bentuk pulsa yang<br />
lebih sempurna. Pada amplifier ini<br />
terjadi penguatan pulsa sebesar 10 kali<br />
penguatan.<br />
f. TSCA (Timing Single Chanel Analyzer)<br />
TSCA adalah suatu sistem penganalisa<br />
bentuk pulsa agar dengan bentuk pulsa<br />
tersebut dapat diketahui dengan<br />
menggambarkan distribusi jumlah cacah<br />
untuk tiap tinggi pulsa tertentu. TSCA<br />
dapat memisahkan urutan pulsa yang<br />
datang dengan mengabaikan tinggi<br />
pulsa, untuk dihitung dengan cacahan<br />
perbandingan intensitas suatu sumber<br />
radiasi. TSCA juga mempunyai<br />
keunggulan dapat mengetahui saat<br />
radiasi datang ke detektor.<br />
g. Modul Akuisisi Data<br />
Modul akuisisi data berfungsi sebagai<br />
pencacah data yang mengolah<br />
intensitas radiasi dari TSCA menjadi<br />
informasi hasil cacahan yang kemudian<br />
data tersebut dikirim ke komputer .<br />
h. Komputer<br />
Komputer sebagai perangkat otomatis<br />
penampil dan pengolah data. Secara<br />
elektronis memberikan hasil pengolahan<br />
data yang akurat dan teliti sesuai yang<br />
diinstruksikan, biasanya terdiri dari unit<br />
pemasukan, unit keluaran, unit<br />
penyimpanan serta unit pengontrolan.<br />
Data pada komputer dapat ditampilkan<br />
secara grafis.<br />
2. APLIKASI MODUL ADAM-4080D<br />
SEBAGAI PENCACAH Modul ADAM-<br />
4080D<br />
ADAM-4080D adalah modul<br />
pencacah yang mempunyai dua kanal<br />
modul pencacah di dalamnya yaitu counter<br />
0 dan counter 1. Setiap pencacah pada<br />
modul ADAM-4080D mempunyai<br />
kemampuan cacah maximum:<br />
4,294,967,295 (32 bits). Modul ADAM-<br />
4080D dilengkapi dengan tampilan LED<br />
display yang menampilkan nilai-nilai<br />
cacahan. LED display tersebut yaitu<br />
berbentuk tampilan seven segmen digital<br />
dengan lima digit tampilan angka. Apabila<br />
komputer diperintah melalui program yang<br />
telah dibuat untuk melakukan pencacahan<br />
maka ADAM-4080D akan melakukan<br />
pencacahan dengan menampilkan angka<br />
cacahan pada LED display ADAM-4080D<br />
tersebut.<br />
Perintah-perintah yang diberikan oleh<br />
komputer berupa perintah yang dimengerti<br />
oleh ADAM-4080D dengan mengunakan<br />
kode standard ASCII . Dalam hal ini<br />
perintah tersebut ditulis dalam bentuk<br />
program komputer, dengan menggunakan<br />
software Visual Basic versi 6. Dengan<br />
demikian pencacahan dapat dilakukan<br />
dengan memberi perintah-perintah yang<br />
sudah terprogram pada komputer, yaitu<br />
pengolahan masukan data dan<br />
merubahnya menjadi informasi data<br />
tampilan pada komputer. Selain memberi<br />
perintah komputer juga dapat menampilkan<br />
data angka cacahan yang tampil pada<br />
display ADAM-4080D, dan juga<br />
menampilkan hasil cacahan dalam bentuk<br />
78
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
grafik. Grafik tersebut memvisualkan hasil<br />
cacahan yang telah dilakukan.<br />
Perangkat Keras<br />
Komputer memberikan perintah pada<br />
ADAM-4080D yang berfungsi sebagai<br />
pencacah, melalui jalur komunikasi data<br />
yang ada pada komputer yaitu RS-232, dan<br />
kemudian perintah tersebut diubah oleh<br />
konverter ADAM-4520, menjadi perintah<br />
yang dapat dimengerti ADAM-4080D<br />
melalui jalur RS-485. Perintah-perintah<br />
tersebut berfungsi menjalankan ADAM-<br />
4080D melalui komputer. Komputer<br />
memberi perintah pada ADAM-4080D untuk<br />
melakukan pencacahan, menghentikan<br />
pencacahan dan menampilkan hasil cacah<br />
dari masukan data yang diterima oleh<br />
ADAM-4080D. Jalannya proses<br />
pencacahan dapat dibaca pada LED<br />
display yang terdapat pada ADAM-4080D.<br />
Selain pada LED display ADAM-4080D<br />
hasil cacahan dapat ditampilkan pada layar<br />
monitor komputer. (lihat gambar 2)<br />
MASUKAN<br />
DATA<br />
Counter 0<br />
Counter 1<br />
ADAM<br />
-4080 D<br />
RS-485<br />
ADAM<br />
-4520<br />
RS-232<br />
Komputer<br />
Gambar 2. Jalur Komunikasi Data<br />
Perangkat Lunak<br />
Perangkat lunak yang dikembangkan<br />
memanfaatkan kemajuan teknologi<br />
informasi yaitu menggunakan bahasa<br />
pemrograman Visual Basic. Program<br />
tersebut berorientasi Windows. Program<br />
Visual Basic mempunyai kemampuan<br />
multitasking, yaitu kemampuan untuk<br />
berpindah dari satu program ke program<br />
yang lainnya. Juga mempunyai unjuk kerja<br />
lebih karena perhitungan menggunakan<br />
operasi 32 bit.<br />
Perangkat lunak ini memberikan<br />
beberapa hal baru dibandingkan dengan<br />
perangkat lunak berorientasi DOS,<br />
sehingga memudahkan dalam<br />
pengoperasiannya.<br />
Visual Basic pada dasarnya adalah<br />
sebuah bahasa pemrograman komputer.<br />
Bahasa pemrograman adalah perintahperintah<br />
atau instruksi yang dimengerti oleh<br />
komputer untuk melakukan tugas-tugas<br />
tertentu. Visual Basic selain disebut<br />
sebagai bahasa program, juga sering<br />
disebut sebagai sarana (tool) untuk<br />
menghasilkan program-program aplikasi<br />
berbasiskan windows. Kemampuan yang<br />
dapat dimanfaatkan dari Visual Basic versi<br />
6 diantaranya, untuk membuat program<br />
aplikasi berbasis window dan untuk<br />
menghasilkan program berakhiran EXE,<br />
yang bersifat executable, atau dapat<br />
langsung dijalankan. Selain hal tersebut<br />
Visual Basic versi 6 mempunyai<br />
keistimewaan di antaranya seperti:<br />
* Memiliki compiler andal yang<br />
dapat menghasilkan file executable<br />
yang lebih cepat dan lebih efisien.<br />
* Dapat mengakses data lebih<br />
cepat dan andal untuk membuat aplikasi<br />
database yang berkemampuan lebih<br />
tinggi.<br />
Program Visual Basic digunakan<br />
untuk mengakses data dengan tampilan<br />
grafik yang dapat bergerak dinamis.<br />
Tampilan grafik tersebut memberikan<br />
informasi kenaikan cacahan terhadap<br />
waktu cacah.<br />
Program tersebut membuka jalur<br />
komunikasi data untuk memberi perintah<br />
dan menerima data dari Modul ADAM-<br />
4080D melalui jalur serial port RS-232.<br />
Perintah-perintah yang dikirim dari<br />
komputer ke modul ADAM-4080D dalam<br />
bentuk ASCII sedangkan output data yang<br />
dikirim ADAM- 4080D masih dalam bentuk<br />
hexadesimal. Untuk merubah hexadesimal<br />
ke desimal maka dibuat program konversi.<br />
Pada tampilan program Visual Basic<br />
yang dibuat tertampil perintah-perintah,<br />
MULAI, BERHENTI, dan RESET. Perintah<br />
MULAI untuk menjalankan program<br />
pencacahan, yaitu untuk mengirim perintah<br />
ke ADAM-4080D denga format ASCII ditulis<br />
dengan $00501. Perintah BERHENTI untuk<br />
menghentikan pencacahan, dengan<br />
mengirim perintah $00500. Dan perintah<br />
RESET adalah untuk mengembalikan ke<br />
posisi awal pencacahan, dengan mengirim<br />
perintah $0060. Data cacahan dari ADAM-<br />
4080D disimpan pada tempat penyimpanan<br />
sementara komputer yaitu pada buffer.<br />
Dari buffer data cacahan akan ditampilkan<br />
berupa angka hasil cacahan dan dalam<br />
grafik oleh layar monitor komputer.<br />
Angka cacahan pada tampilan angka<br />
memberikan informasi angka kenaikan<br />
cacah pada setiap detik pencacahan yang<br />
dilakukan. Sedangkan grafik hasil cacahan<br />
mempunyai variable sumbu vertikal sebagai<br />
jumlah cacah, dan sumbu horizontal<br />
sebagai variable waktu yang bergerak.<br />
Penentuan waktu cacahan ditentukan<br />
dengan masukan pada tampilan program,<br />
berupa masukan data yang dituliskan pada<br />
79
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
kolom text box. Dalam menjalankan<br />
program pencacahan harus setiap kali<br />
memasukkan nilai angka waktu cacahan,<br />
jika nilai waktu cacahan tidak dimasukan<br />
maka komputer akan menolak untuk<br />
melanjutkan pencacahan dengan memberi<br />
peringatan untuk memasukkan nilai waktu<br />
pencacahan. Lihat Gambar 6.<br />
Untuk mengetahui jalannya program<br />
secara keseluruhan maka dibuat diagram<br />
alir. Diagram alir tersebut berisi perintahperintah<br />
pengendalian atau jalannya<br />
aplikasi yang dibuat menggunakan Visual<br />
Basic versi 6. Dalam diagram alir<br />
diperlihatkan susunan dari perintahperintah<br />
yang dipergunakan dan<br />
keputusan-keputusan dalam melaksanakan<br />
proses. Gambar 3 menampilkan diagram<br />
alir dari program.<br />
3. HASIL DAN PEMBAHASAN MASALAH<br />
Tatacara Pengujian<br />
Pengujian pencacahan dilakukan<br />
dengan menggunakan tiga modul alat<br />
pencacah dan sebuah alat pembangkit<br />
pulsa (function generator), yaitu<br />
pencacahan dengan ADAM-4080D,<br />
Tampilan Komputer, dan Universal Counter<br />
DC 503 A. Pada ADAM-4080D hasil<br />
pencacahan ditampilkan pada LED display.<br />
Pada komputer hasil pencacahan<br />
ditampilkan pada text box, berupa tampilan<br />
angka cacahan yang dinamik. Pada display<br />
Universal Counter DC 503 A dapat dilihat<br />
angka pengesetan frekuensi yang di ubah<br />
kenaikannya oleh Fungtion Generator<br />
sesuai frekuensi yang dikehendaki.<br />
Diagram sistem pengujian gambar 4.<br />
Pengujian yang dilakukan adalah<br />
dengan membaca hasil pencacahan<br />
kemudian mencatat hasil cacahan terhadap<br />
waktu yang ditentukan dari masing-masing<br />
alat, kemudian menghitung selisih rata-rata<br />
dari hasil pengukuran cacahannya. Pada<br />
tampilan komputer dan LED display ADAM-<br />
4080D hasil cacahan terhadap waktu,<br />
masing-masing dibandingkan dengan<br />
angka pengesetan frekuensi pada<br />
Universal Counter DC 503 A sebagai<br />
standard pengukuran. Dasar dari<br />
percobaan tersebut adalah definisi<br />
frekuensi yaitu banyaknya pulsa pada<br />
setiap detik. Percobaan dilakukan<br />
pencacahan dalam waktu 10 detik, yaitu<br />
dengan memasukan timer 10 detik pada<br />
text box lama pengukuran tampilan<br />
program Visual Basic. Pada alat Universal<br />
Counter DC 503 A setting frekuensi<br />
dilakukan dengan pengesetan function<br />
pada frequency dan timing pada 1s (1<br />
second). Pengesetan frekuensi dilakukan<br />
dengan menaikan frekuensi sebesar 100<br />
Hz. Tabel 1 dan Tabel 2 memperlihatkan<br />
data hasil pengujian.<br />
Fungtion<br />
Generator<br />
Gambar 4. Diagram sistem pengujian<br />
Data Hasil Pengujian<br />
Tabel 1. Universal Counter DC 503 A<br />
dengan Modul ADAM-4080D<br />
n<br />
Frekuensi<br />
Universal<br />
Counter<br />
DC503A<br />
Herz (S)<br />
ADAM-<br />
4080D<br />
Universal<br />
Counter<br />
DC 503 A<br />
Cacah<br />
Modul<br />
ADAM-<br />
4080D<br />
Cacah/10s<br />
(X)<br />
Selisih<br />
Cacah Alat<br />
∆X=⏐S-X⏐<br />
(∆ X)<br />
Komputer<br />
Kesalahan<br />
Relatif<br />
KR= ∆ X<br />
S<br />
(%)<br />
1 100 104 4 4,000<br />
2 200 201 1 0,500<br />
3 300 301 1 0,333<br />
4 400 397 3 0,750<br />
5 500 503 3 0,600<br />
6 600 601 1 0,160<br />
7 700 703 3 0,428<br />
8 800 805 5 0,625<br />
9 900 905 5 0,555<br />
10 1000 1007 7 0,700<br />
11 1100 1103 3 0,272<br />
12 1200 1199 1 0,083<br />
13 1300 1315 15 1,154<br />
14 1400 1402 2 0,143<br />
15 1500 1481 19 1,267<br />
16 1600 1605 5 0,313<br />
17 1700 1707 7 0,412<br />
18 1800 1803 3 0,167<br />
19 1900 1907 7 0,368<br />
20 2000 2011 11 0,550<br />
21 2100 2101 1 0,048<br />
22 2200 2205 5 0,227<br />
23 2300 2302 2 0,087<br />
24 2400 2411 11 0,458<br />
25 2500 2512 12 0,480<br />
26 2600 2611 11 0,423<br />
27 2700 2703 3 0,111<br />
28 2800 2805 5 0,179<br />
29 2900 2899 9 0,310<br />
30 3000 3011 11 0,367<br />
31 3100 3113 13 0,419<br />
32 3200 3216 16 0,500<br />
33 3300 3296 4 0,121<br />
34 3400 3418 18 0,529<br />
35 3500 3501 1 0,029<br />
36 3600 3621 21 0,583<br />
37 3700 3711 11 0,297<br />
38 3800 3760 40 1,526<br />
39 3900 3913 13 0,333<br />
40 4000 4014 14 0,350<br />
Σ ∆X = 327<br />
Σ KR=<br />
20,759<br />
Dari pengujian dan pengambilan data<br />
cacahan diperoleh harga selisih rata-rata<br />
hasil pengukuran cacah antara Universal<br />
Counter DC 503 A dengan modul ADAM-<br />
4080D:<br />
80
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Σ∆X<br />
327<br />
∆ X = = = 8,175 cacah<br />
n 40<br />
Kesalahan relatif rata-rata:<br />
ΣKR<br />
∗100%<br />
20,759<br />
KR =<br />
n<br />
= = 0,518975 %<br />
100 40<br />
b. Tabel 2. Universal Counter DC 503 A<br />
dengan Tampilan Komputer<br />
n<br />
Frekuensi Cacah<br />
Universal Tampilan<br />
Counter DC Program<br />
503 A Komputer<br />
Herz Cacah/10s<br />
(S) (X)<br />
Selisih<br />
Cacah Alat<br />
∆X<br />
= S − X<br />
(∆ X)<br />
Kesalahan<br />
Relatif<br />
KR =<br />
∆X<br />
S<br />
(%)<br />
1 100 103 3 3,000<br />
2 200 198 2 1,000<br />
3 300 298 2 0,667<br />
4 400 392 8 2,000<br />
5 500 499 1 0,200<br />
6 600 595 5 0,833<br />
7 700 694 6 0,857<br />
8 800 798 2 0,250<br />
9 900 889 11 1,222<br />
10 1000 988 12 1,200<br />
11 1100 1084 16 1,455<br />
12 1200 1177 23 1,917<br />
13 1300 1291 9 0,692<br />
14 1400 1383 17 0,214<br />
15 1500 1508 8 0,533<br />
16 1600 1577 23 1,438<br />
17 1700 1683 17 1,063<br />
18 1800 1785 15 0,833<br />
19 1900 1881 19 1,000<br />
20 2000 1975 25 1,250<br />
21 2100 2080 20 0,952<br />
22 2200 2166 34 1,545<br />
23 2300 2280 20 0,869<br />
24 2400 2388 12 0,500<br />
25 2500 2468 32 1,280<br />
26 2600 2565 35 1,346<br />
27 2700 2655 45 1,667<br />
28 2800 2777 23 0,821<br />
29 2900 2844 56 1,931<br />
30 3000 2958 42 1,400<br />
31 3100 3059 41 1,323<br />
32 3200 3155 45 1,406<br />
33 3300 3251 49 1,485<br />
34 3400 3366 34 1,000<br />
35 3500 3440 60 1,714<br />
36 3600 3558 42 1,167<br />
37 3700 3645 55 1,486<br />
38 3800 3812 12 0,316<br />
39 3900 3875 25 0,641<br />
40 4000 3959 41 1,025<br />
∑ ( ∆X)<br />
= ∑ KR =<br />
947<br />
46,498<br />
Dari pengujian dan pengambilan data<br />
cacahan diperoleh harga selisih rata-rata<br />
hasil pengukuran cacah antara Universal<br />
Counter DC 503 A dengan tampilan<br />
program komputer:<br />
∆X<br />
947<br />
∆X<br />
= ∑ = =<br />
n 40<br />
23,675 cacah<br />
Kesalahan relatif rata-rata:<br />
( KR)<br />
n)<br />
∑ ∗100 % 46,498<br />
KR = = = 1,162 %<br />
100<br />
40<br />
Analisa Pengujian<br />
Sebelum seluruh rangkaian<br />
pengujian dilakukan, hal yang perlu<br />
diperhatikan, apakah ADAM-4080D dapat<br />
dipergunakan sebagai pencacah pada<br />
pesawat Renograf. Hal tersebut dapat<br />
dilihat dengan membandingkan Spesifikasi<br />
Renograf dengan ADAM-4080D (lihat Tabel<br />
3). Pada Renograf spesifikasi didapat dari<br />
pengujian dengan menggunakan sumber I<br />
131 dengan jarak detektor 10 Cm dari<br />
cuplikan.<br />
Tabel 3. Perbandingan Spesifikasi<br />
Renograf terhadap ADAM-4080D<br />
No Spesifikasi Renograf ADAM-4080D<br />
1. Lebar pulsa 1 ms 20 µs<br />
2. Tinggi pulsa 8 V 30 V<br />
3. Jmlh Cacah 750 cacah 50.000 cacah<br />
4. Cacah Max 1000 4,294,967,295<br />
Dari Tabel 3 maka ADAM-4080D<br />
mempunyai spesifikasi ynag lebih tinggi<br />
dari spesifikasi Renograf, hal tersebut<br />
memungkinkan pemakaian ADAM-4080D<br />
sebagai pencacah pada pesawat Renograf.<br />
Setelah mengetahui kelayakan<br />
ADAM-4080D sebagai pencacah pada<br />
pesawat Renograf maka dilakukan<br />
pengujian selanjutnya. Pengujian dilakukan<br />
dengan membandingkan antara hasil<br />
pengukuran yang didapat dari Universal<br />
Counter DC 503 A dengan hasil yang<br />
didapat dari Modul ADAM-4080D, dan<br />
tampilan pada perangkat lunak. Modul<br />
ADAM-4080D dan tampilan perangkat<br />
lunak ADAM sebagai alat pencacah yang<br />
diamati cacahannya. Universal Counter DC<br />
503 A sebagai alat yang diamati<br />
frekuensinya.<br />
Nilai cacahan dari hasil pengamatan<br />
menunjukkan selisih cacahan akhir pada<br />
pencacahan yang dilakukan setiap waktu<br />
10 detik. Nilai tersebut yang menunjukkan<br />
perbedaan antara alat-alat pencacah<br />
dengan alat pengatur kenaikan frekuensi.<br />
Grafik dapat dilihat pada gambar 5.<br />
Dari hasil pengujian jelas terlihat<br />
bahwa data cacahan yang diperoleh<br />
mempunyai harga selisih rata-rata hasil<br />
pengukuran cacah antara Universal<br />
Counter DC 503 A dengan modul ADAM-<br />
4080D adalah ∆ X = 8,175 cacah, yang<br />
berarti setiap kenaikan frekuensi 100 Hz<br />
terjadi selisih rata-rata jumlah cacahan<br />
sebesar 8,175 cacah setiap kenaikannya.<br />
81
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Kesalahan relatif rata-rata adalah KR =<br />
0,518975 %. Sedangkan untuk pengujian<br />
hasil data pencacahan harga selisih ratarata<br />
hasil pengukuran cacah antara<br />
Universal Counter DC 503 A dengan<br />
tampilan program komputer adalah ∆ X =<br />
23,675 cacah, hal ini juga mempunyai arti<br />
bahwa setiap kenaikan frekuensi 100 Hz<br />
terjadi selisih rata-rata jumlah cacahan<br />
sebesar 23,675 cacah setiap kenaikannya.<br />
Dengan kesalahan relatif rata-rata KR =<br />
1,162 %.<br />
Dari hasil pengujian menunjukkan<br />
bahwa selisih rata-rata hasil cacahan dari<br />
tampilan program komputer lebih besar<br />
dibanding dengan hasil cacahan modul<br />
ADAM-4080D. Hal tersebut memberikan<br />
pengertian bahwa dengan waktu<br />
pencacahan yang sama pada setiap kedua<br />
alat tersebut, tidak memberikan hasil<br />
cacahan yang sama. Pada tampilan<br />
program komputer menunjukan kelambatan<br />
pencacahan lebih besar pada setiap waktu<br />
cacahnya. Sedangkan pada LED display<br />
modul ADAM-4080D kelambatan<br />
pencacahan cenderung lebih kecil pada<br />
komputer. Gejala tersebut dapat<br />
diperkirakan karena pada komputer<br />
memerlukan waktu untuk pemberian<br />
perintah dan pengambilan data, yang<br />
disimpan pada tempat penyimpanan<br />
sementara yaitu buffer pada komputer.<br />
Kesalahan relatif rata-rata dari kedua alat<br />
pencacah yang digunakan masih<br />
menunjukan kesalahan yang relatif kecil,<br />
yaitu masih dibawah 5 %, dengan demikian<br />
kedua alat tersebut layak untuk digunakan<br />
sebagai alat pencacah.<br />
4. KESIMPULAN<br />
Modul ADAM-4080D telah layak<br />
dirancang sebagai modul pengganti antar<br />
muka antara pencacah dengan komputer<br />
pengolah data pada pesawat renograf,<br />
yang memanfaatkan teknologi komunikasi<br />
data melalui port serial, dan mampu<br />
membuka jalur komunikasi data antara<br />
pencacah dengan komputer dipergunakan<br />
komunikasi data secara serial yaitu dengan<br />
port serial RS-232. Dengan modul ADAM-<br />
4080D ini, pesawat renograf dapat<br />
dijalankan dengan menggunakan komputer<br />
note book.<br />
Dalam mengantisipasi suatu saat<br />
pada komputer tidak menggunakan slot ISA<br />
bus, maka Modul ADAM-4080D dapat<br />
digunakan sebagai modul pencacah<br />
perangkat renograf menggantikan modul<br />
add-on card yang ada saat ini.<br />
Untuk dapat melihat proses<br />
pencacahan yang dilakukan ADAM-4080D<br />
maka dibuatlah program komputer, yang<br />
secara langsung dapat menampilkan<br />
prosess pencacahan secara numeris<br />
maupun grafis pada tampilan komputer.<br />
5. DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Adi Kurnia, Pemrograman Microsoft<br />
Visual Basic 6, Elex Komputindo,<br />
Jakarta,1999<br />
2. ADVANTECH, ADAM 4000 Serie,<br />
Data Aquisition Modules, User’s<br />
Manual<br />
3. Francis Weston Sears, Mark W.<br />
Zemansky, Fisika untuk Universitas 1<br />
Mekanika, Panas, Bunyi, Binacipta,<br />
Jakarta, 1985<br />
4. K.-H. Bremer, Application of<br />
Radionuclides in life Sciences, Joint<br />
German-Indonesia Seminar On R&D<br />
Activities Using The MPR-30, Jakarta,<br />
1985<br />
5. Rukmono. P, Joko. S, Renograf Dual<br />
Probe Berbasis Komputer Personal<br />
Akurat, Aman, dan Ekonomis, Leaflet,<br />
P2PN, Badan Tenaga Nuklir Nasional,<br />
Serpong, 2001<br />
6. Sudarti, Agus Santoso, Rahmat,<br />
Darsono, Petunjuk Praktikum<br />
Instrumentasi Nuklir, PATN-Batan,<br />
Yogyakarta<br />
7. Val King, Dick Waller, Paduan Praktis<br />
PC-DOS, Elex Media Komputindo,<br />
Jakarta,1988<br />
8. WWW.ADVANTECH.com<br />
6. LAMPIRAN<br />
1. Gambar 1b. Modul ADAM-4080D<br />
2. Gambar 3. Diagram Alir Program<br />
3. Gambar 5. Grafik Cacah terhadap<br />
Frekuensi<br />
4. Gambar 6. Tampilan Perangkat Lunak<br />
Program<br />
RIWAYAT PENULIS<br />
Nama Hendra Prihatnadi lahir di<br />
Subang pada tanggal 10 Juni 1969.<br />
Menamatkan pendidikan di Sekolah Tinggi<br />
Teknologi Nuklir dalam bidang Tekno Fisika<br />
Nuklir. Saat ini bekerja sebagai staf Bidang<br />
Peralatan Komponen Nuklir di Pusat<br />
Pengembangan Perangkat Nuklir – Badan<br />
Tenaga Nuklir Nasional, Kawasan<br />
PUSPIPTEK –Serpong Tangerang.<br />
82
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
83
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Setting comport 9600, 8, 1, N<br />
Waktu<br />
A<br />
MULAI<br />
BERHENTI<br />
RESET<br />
Pesan<br />
Masukan<br />
Waktu<br />
NO<br />
Waktu=” ’’<br />
Serial<br />
buffer = 0<br />
YES<br />
Kirim perintah<br />
MULAI = ”$00501”<br />
Kirim perintah<br />
RESET =”$0060”<br />
A<br />
Hidupkan Timer<br />
Timer=waktu<br />
Hidupkan Timer<br />
Timer=waktu<br />
Kirim perintah<br />
BERHENTI =”$00500”<br />
A<br />
Kirim perintah<br />
BACA =#000<br />
Baca Serial buffer<br />
Konversi Hexadesimal<br />
Tampilkan<br />
YES<br />
Waktu
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
2200 2205 2166<br />
2300 2302 Gambar 2280 5. Grafik Cacah terhadap Frekuensi<br />
2400 2411 2388<br />
2500 2512 2468<br />
2600 2611 2565<br />
2700 4500 2703 2655<br />
2800 4000 2805 2777<br />
2900 3500 2899 2844<br />
3000 3000 3011 2958<br />
3100 2500 3113 3059<br />
3200<br />
2000<br />
3216 3155<br />
1500<br />
3300 3296 3251<br />
1000<br />
3400 3418 3366<br />
500<br />
3500 3501 3440<br />
0<br />
3600 3621 3558<br />
3700 3711 3645<br />
3800 3760 3812<br />
Frekuensi<br />
3900 3913 3875<br />
4000 4014 3958<br />
Cacah<br />
100<br />
300<br />
500<br />
700<br />
900<br />
1100<br />
1300<br />
1500<br />
1700<br />
1900<br />
2100<br />
2300<br />
2500<br />
2700<br />
2900<br />
3100<br />
3300<br />
3500<br />
3700<br />
3900<br />
ADAM4080D<br />
KOMPUTER<br />
Gambar 5. Grafik Cacah terhadap Frekuensi<br />
Gambar 6. Tampilan Perangkat Lunak Program<br />
85
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Pembuatan Prosessor Sinyal<br />
Kamera Gamma 37 PMT<br />
Leli , Tjutju RL , Atang S , Sukandar<br />
P2PN- BATAN Kawasan Puspiptek Serpong<br />
Abstrak<br />
Pembuatan prosessor sinyal kamera gamma 37 PMT telah dilakukan yang<br />
merupakan salah satu bagian dari perangkat keras kamera gamma plannar 37<br />
PMT. Kamera Gamma adalah merupakan alat diagnosa yang dapat memberikan<br />
informasi berupa citra distribusi radioaktif yang berlabel dalam tubuh pasien. Citra<br />
tersebut diperoleh dengan cara mendeteksi pancaran radioaktif dari dalam tubuh<br />
pasien menggunakan detektor nuklir yang ditempatkan pada lokasi yang<br />
ditentukan diluar tubuh pasien. Secara garis besar perangkat kamera gamma<br />
dapat dibagi menjadi 3(tiga) bagian, yaitu sistem detektor, sistem elektronika dan<br />
sistem mekanik.Sistem elektronika terdiri dari perangkat pendeteksi sinyal dan<br />
perangkat pengolah sinyal. Perangkat pengolah sinyal adalah perangkat yang<br />
berfungsi untuk mengolah sinyal yang berasal dari perangkat pendeteksi sehingga<br />
sinyal keluaran dari prosessor sinyal ini bisa di teruskan ke rangkaian interface<br />
untuk komputerisasi. Ada 3 (tiga) sinyal utama kamera gamma yaitu x, y danz,<br />
pengolahan sinyal tersebut dilakukan untuk mendapatkan sinyal analog yang<br />
benar yang membawa informasi berupa posisi yang berasal dari perangkat<br />
pendeteksi sinyal kamera gamma. Sinyal keluaran yang dihasilkan adalah sinyal<br />
analog bipolar x dan y dengan amplitudo 5 volt dengan panjang waktu 1us dan<br />
sinyal z berupa TTL untuk mensinkronisasikan ke sinyal posisi x dan y tersebut.<br />
I. PENDAHULUAN<br />
Indonesia sebagai negara yang telah<br />
mengembangkan bidang kedokteran nuklir<br />
telah banyak menggunakaan kamera<br />
gamma dengan berbagai type yang<br />
umumnya di sponsori oleh BATAN, dengan<br />
demikian BATAN cukup banyak<br />
berpengalaman terutama dalam bidang<br />
perawatan kamera gamma, oleh karena itu<br />
kiranya BATAN perlu untuk<br />
mengembangkan sendiri Kamera Gamma<br />
untuk mengurangi ketergantungan terhadap<br />
negara lain dan juga tidak kalah pentingnya<br />
dalam menghemat devisa negara pada<br />
masa yang akan datang.<br />
Dalam rangka rekayasa disain<br />
kamera gamma sampai saat ini kegiatan<br />
litbang P2PN telah menghasilkan berbagai<br />
komponen untuk kamera gamma planar<br />
antara lain sampai saat ini telah tersedia<br />
37 PMT dalam bentuk larik heksagonal<br />
untuk kamera gamma planar berikut preamp<br />
dan amplifiernya menggunakan<br />
teknologi mikro-elektronik hibrida. Kegiatan<br />
selanjutnya perlu dibuat perangkat<br />
pengolah sinyal untuk melengkapi<br />
perangkat yang sudah ada yang nantinya<br />
akan dilakukan integrasi system untuk<br />
menghasilkan perangkat yang lebih<br />
lengkap, yang kemudian dapat<br />
dioperasikan dengan baik.<br />
II. Diskripsi Rangkaian<br />
Perangkat Kamera gamma yang<br />
sudah ada di P2PN BATAN yaitu telah<br />
terakit Kamera Gamma Planar 37 PMT<br />
dari Medx, USA , terdiri dari<br />
shielding detektor, casing detektor, rak<br />
PMT dan penunjang detektor. Kemudian<br />
telah dibuat perangkat pendeteksi<br />
sinyal yang berfungsi untuk mendeteksi<br />
sinyal dari detektor.<br />
Untuk perangkat pengolah sinyal<br />
telah didisain seperti terlihat pada gambar<br />
1. Blok diagram perangkat pengolah sinyal,<br />
dimana perangkatnya terdiri dari :<br />
• dua buah modul non linier<br />
• satu buah modul sum xyp<br />
• satu buah modul sum ze<br />
• satu buah modul PUI ( pile-up<br />
inspector )<br />
• satu buah modul divider<br />
• dua buah modul SCA ( single<br />
channel analyzer )<br />
Sedangkan untuk rangkaian detailnya bisa<br />
dilihat pada lampiran lampiran.<br />
86
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
PMT yang tidak terletak pada sumbu x<br />
Non<br />
Linier 1<br />
SUM<br />
XYP<br />
Divider<br />
Perangkat<br />
pendeteksi<br />
sinyal<br />
Non<br />
Linier 2<br />
SCA<br />
PUI<br />
inter<br />
face<br />
SUM<br />
ZE<br />
SCA<br />
Perangkat Pengolah Sinyal<br />
Gambar 1. Blok Diagram Perangkat pengolah sinyal<br />
Nonlinier :<br />
Respon dari tiap – tiap PMT tidak<br />
linier tetapi tergantung pada “solid<br />
angle“ kelipan cahaya pada kristal terhadap<br />
PMT (1) yang berpengaruh terhadap<br />
liniearitas. Fungsi rangkaian nonlinier ini<br />
adalah untuk mengurangi slope atau gain<br />
pulsa PMT.<br />
SUM XYP dan SUM ZE<br />
Dasar dari rangkaian ini adalah<br />
rangkaian summing amplifier atau<br />
rangkaian penjumlah dimana untuk sum<br />
xyp merupakan rangkaian penjumlah<br />
differensial sedangkan untuk sum ze<br />
rangkaian penjumlah biasa. Fungsi dari<br />
modul sum xyp ini adalah untuk<br />
mendapatkan sinyal yang sesuai dengan<br />
posisi dari PMT nya, dimana posisi PMT<br />
terdiri dari :<br />
- posisi x+<br />
- posisi x-<br />
- posisi y+<br />
- posisi y-<br />
Sinyal sum x adalah jumlah terbobot<br />
seluruh PMT yang tidak terletak pada<br />
sumbu y. Nilai bobot pada rangkaian sum<br />
x proporsional terhadap posisi PMT dari<br />
sumbu y. Sinyal sum y adalah jumlah<br />
terbobot seluruh<br />
Nilai bobot pada rangkaian sum x<br />
proporsional terhadap posisi PMT dari<br />
sumbu x. Tabung disepanjang sumbu x dan<br />
sumbu y tidak dijumlahkan karena<br />
memberikan pengaruh yang saling<br />
menghilangkan. Amplitudo sum x / sum y<br />
tergantung pada koordinat dan energi<br />
radiasi. Sum z (energi) menjumlahkan<br />
seluruh PMT dengan bobot yang sama.<br />
Keluaran penjumlah :<br />
Sum x = Σ Gi.gi.Ii<br />
Sum y = Σ Gi.fi.Ii<br />
Sum Z = Σ Gi.mi.Ii<br />
Gi = gain PMT ke-i<br />
gi, fi, mi = nilai bobot x, y, z<br />
Ii = input ke-i<br />
ZE,ZP,X,Y,<br />
input<br />
DZE/dt<br />
SCA ( Single Channel Analyzer )<br />
Single Channal Analyzer atau<br />
analisator saluran tunggal adalah modul<br />
yang fungsinya untuk mengamati sinyal<br />
radiasi gamma, saluran yang hanya satu ini<br />
digunakan untuk menjaring (scanning)<br />
sekelompok sinyal secara manual atau<br />
otomatis. Sekelompok sinyal akan berhasil<br />
87
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
masuk ke dalam saluran yang lebih lebar<br />
tingkapnya (window-width) dan sinyal<br />
tertentu akan dilewatkan untuk diteruskan<br />
ke modul lain. Dalam SCA digunakan<br />
diskriminator diferensial yang mempunyai<br />
dua tingkat, yaitu diskriminator tingkat satu<br />
( D1 ) dan diskriminator tingkat dua ( D2 )<br />
kedua diskriminator ini menjadi celah atau<br />
jendela yang lebarnya ( D2 – D1 ) volt.<br />
Sinyal yang berada dalam celah tersebutlah<br />
yang akan dilewatkan oleh modul SCA ini.<br />
Seperti terlihat pada gambar di bawah ini :<br />
D1<br />
D2<br />
input<br />
output<br />
Gambar 3. Bentuk sinyal pada SCA<br />
PUI (Pile-Up Inspector)<br />
Fungsi dari PUI adalah untuk<br />
mengidentifikasi apakah terjadi proses<br />
penumpukan pulsa atau tidak, sebab kalau<br />
terjadi penumpukan menyebabkan<br />
kesalahan koordinat pixel pada CRT.<br />
Proses identifikasi pulsa yang bertumpuk<br />
dapat dilakukan dengan cara menghibung<br />
lebar pulsa, pulsa dari penjumlah energi<br />
didiferensialkan, diperoleh pulsa bipolar<br />
deteksi jarak leading edge dan zero<br />
crossing. Keluaran PUI dilewatkan pada<br />
suatu gate generator yang menghasilkan<br />
sinyal kontrol gate, apabila sinyal yang<br />
diamati memenuhi syarat untuk diproses<br />
lebih lanjut. Sinyal gate tidak sinkron<br />
dengan sinyal sinyal penjumlah posisi.<br />
Sinyal sinyal dari penjumlah posisi perlu<br />
diperlambat selama selang waktu yang<br />
diperlukan PUI untuk memeriksa terjadinya<br />
pile-up.<br />
pile up<br />
DIVIDER<br />
Rangkaian divider ini berfungsi untuk<br />
membagi koordinat analog (x,y) oleh sinyal<br />
energi (z) untuk menghilangkan<br />
ketergantungan koordinaat terhadap energi.<br />
zx<br />
zp<br />
zy<br />
Diveder<br />
zx/zp<br />
zy/zp<br />
Gambar 4. Blok divider<br />
III. HASIL PERCOBAAN DAN<br />
KESIMPULAN<br />
Pengujian dilakukan pada setiap<br />
modul, dengan memberikan input yang<br />
diambil dari keluaran dari perangkat<br />
pendeteksi sinyal. Input masuk ke modul<br />
nonlinier1, modul nonlinier 2 dan modul<br />
sum ze. Pada modul nonlinier sinyal tidak<br />
mengalami perubahan karena sesuai<br />
dengan fungsinya modul nonlinier ini hanya<br />
untuk mengurangi slope atau gain pulsa<br />
yang keluar dari PMT. Sedangkan pada<br />
modul sum ZE dan modul sum XYP disini<br />
sinyal diolah pada rangkaian summing<br />
amplifier untuk mendapatkan titik koordinat<br />
yang benar sesuai dengan posisi x dan y<br />
pada PMT nya. Setelah melalui modul<br />
divider maka keluarannya adalah sinyal<br />
bipolar x dan sinyal y dengan tinggi<br />
amplitudo 5 vdc dan panjang waktu selama<br />
1 us. Sinyal ini merupakan input untuk<br />
rangkaian interface dimana pada rangkaian<br />
interface ini sinyal tersebut akan dirubah<br />
menjadi sinyal digital dan mentransfer<br />
sinyal x dan y tersebut yang di digitasi ke<br />
memori PC menurut parameter aqusisi<br />
yang telah didefinisikan sebelumnya yang<br />
disimpan oleh software dalam registernya.<br />
Sinyal z yang berupa TTL dihasilkan oleh<br />
modul PUI sinyal ini sebagai trigger sinyal x<br />
dan y atau untuk mensinkronkan sinyal x<br />
dan y .<br />
Bentuk sinyal yang dihasilkan seperti<br />
berikut :<br />
zx<br />
zy<br />
X, Y<br />
Gambar 4. Contoh sinyal yang menumpuk<br />
88
<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />
Z<br />
Dari hasil percobaan dapat<br />
disimpulkan bahwa keluaran perangkat<br />
pengolah sinyal adalah sinyal x dan y<br />
dengan tinggi amplitudo 5 volt dc dengan<br />
panjang waktu 1 us serta sinyal z yang<br />
berupa TTL. Sinyal ini merupakan sinyal<br />
input dari rangkaian interface kamera<br />
gamma yang pada saat ini sedang dalam<br />
tahap penyelesaian.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. (1) Diklat Perawatan Kamera Gamma<br />
Genesys/Pegasys ADAC, Januari 1996<br />
2. R.C. Smart, Principles of Radionuclide<br />
Imaging, Departement of Nuclear<br />
Medicine, St George Hospital, Kogarah,<br />
NSW, Australi 1988<br />
3. M. Ridwan dkk, Pengantar Ilmu<br />
Pengetahuan dan Teknologi Nuklir,<br />
Badan Tenaga Nuklir Nasional, 1978.<br />
4. Linier Applications Handbook, National<br />
Semiconductor, 1986<br />
5. Imagamma PC Gamma Camera<br />
Interface, Instituto Nacional De<br />
Oncologia Radiobiologia, Havana, Cuba,<br />
Oktober 1997<br />
RIWAYAT PENULIS<br />
LELI YUNIARSARI, lahir di Sumedang<br />
pada tanggal 4 Desember 1966.<br />
Pendidikan terakhir di PATN (Pendidikan<br />
Ahli Teknik Nuklir ) YOGYAKARTA Jurusan<br />
Intrumentasi, Teknik Fisika. Bekerja di<br />
P2PN BATAN sebagai Staff Bidang<br />
Perawatan dan Perbaikan<br />
89