27.10.2014 Views

Prosiding - KM Ristek

Prosiding - KM Ristek

Prosiding - KM Ristek

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

ISBN: 979-95965-5-6<br />

<strong>Prosiding</strong><br />

Semiloka Teknologi Simulasi dan<br />

Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Jakarta, 14 Oktober 2003<br />

Diselenggarakan oleh:<br />

Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi dan Elektronika<br />

C omputational<br />

S cience &<br />

Engineering


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

KATA PENGANTAR<br />

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,<br />

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Berkat dan<br />

Rahmat-Nya maka Semiloka ini telah dapat diselenggarakan dengan baik.<br />

Teknologi Simulasi dan Komputasi dalam kondisi di Indonesia, masih banyak dalam level<br />

pengajaran di kuliah saja, dan hanya sedikit yang sudah diaplikasikan langsung dalam industri.<br />

Dalam Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003 ini, untuk lebih<br />

mendorong perkembangan teknologi simulasi dan komputasi di Indonesia serta aplikasinya,<br />

kami mengundang pembicara yang berkecimpung dalam teknologi ini dan juga memang<br />

berkecimpung langsung di industri. Disamping itu juga diundang pembicara dari pihak<br />

universitas yang memang terlibat dalam state of the art dari penelitian dan pengembangan<br />

aplikasi teknologi ini.<br />

Dalam semiloka ini masuk makalah-malah ilmiah berkualitas terkait dengan teknologi<br />

simulasi dan komputasi, dalam bidang aplikasi simulasi, teknik pemodelan, analisa dan aplikasi<br />

komputasi, yang berasal dari LPND dan universitas. Terlihat beberapa produk perangkat lunak<br />

simulasi dan komputasi baik yang masih taraf pengembangan, prototipe ataupun yang sudah<br />

jadi dari yang dipromosikan dalam makalah ilmiah di semilka ini. Disamping itu juga ada<br />

beberapa makalah yang menampilkan teknik analisa dan terapannya dilapangan.<br />

Semiloka ini memang masih dalam skala kecil, dan belumlah dapat dikatakan mewakili<br />

kondisi nasional. Akan tetapi dari makalah dan hasil yang diajukan dalam prosiding ini, dapat<br />

dikatakan perkembangan teknologi simulasi dan komputasi di Indonesia masih tetap berjalan.<br />

Semoga buku prosiding ini dapat membantu mempercepat pemasyarakatan teknologi<br />

simulasi dengan harapan akan semakin banyak timbul produk-produk teknologi simulasi dan<br />

komputasi dari dalam negeri.<br />

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.<br />

Ketua Komite Teknis<br />

Dr-Ing. Edi Legowo<br />

iii


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

SAMBUTAN DEPUTI KEPALA<br />

BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI ENERGI MATERIAL DAN LINGKUNGAN<br />

BPPT<br />

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,<br />

Pertama-tama, mari kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena<br />

atas Berkat dan Rahmat-Nya maka Semiloka ini telah dapat diselenggarakan dengan baik.<br />

Saya ucapkan selamat kepada semua peserta dan panitia pelaksana.<br />

Tidak dapat disangkal teknologi simulasi dan komputasi adalah salah satu kunci utama<br />

kemajuan industri untuk meningkatkan kualitas suatu produk. Akan tetapi dewasa ini belumlah<br />

dapat dikatakan bahwa bangsa kita telah menguasai teknologi ini, masih besar ketergantungan<br />

kita terhadap produk-produk asing dalam teknologi ini. Hanya sedikit sekali produk simulasi dan<br />

komputasi buatan dalam negeri yang dipakai dalam kalangan industri di Indonesia.<br />

Oleh karena itu, BPPT, dalam hal ini Pusat Teknologi Informasi dan Elektronika dibawah<br />

kedeputianTeknologi Informasi, Energi, Material dan Lingkungan dalam salah satu kegiatannya<br />

berusaha mengembangkan kegiatan pengembangan teknologi simulasi dan komputasi. Untuk<br />

mensosialisasikan hasil kegiatan BPPT dalam pengembangan teknologi ini dan untuk<br />

mendukung perkembangan teknologi simulasi dan komputasi di Indonesia, maka<br />

diselenggarakanlah semiloka teknolgi simulasi dan komputasi, yang tahun ini baru untuk<br />

pertama kalinya diselenggarakan.<br />

Semiloka ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu wadah pertukaran informasi<br />

menegnai kemajuan penelitian dan pengembangan dalam teknologi simulasi dan komputasi<br />

sehingga dapat mendorong perkembangan teknologi ini yang pada akhirnya diharapkan dapat<br />

mendorong peningkatkan daya saing produk Indonesia dan membawa kemajuan bangsa<br />

Indonesia di masa mendatang.<br />

Selaku deputi kepala BPPT kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya<br />

kepada semua pihak yang telah partisipasi sehingga semiloka dapat terselenggara dengan<br />

baik. Semoga kemitraan yang telah kita jalin dapat selalu dipertahankan dan ditingkatkan untuk<br />

kepentingan industri nasional secara keseluruhan.<br />

Terima kasih,<br />

Wabillahittaufiq Walhidayah<br />

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh.<br />

Deputi Kepala Bidang TIEML BPPT,<br />

Ir. Martin Djamin, Msc, Ph.D., APU.<br />

iv


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

SUSUNAN PANITIA<br />

Pembina:<br />

Ir. Martin Djamin, Msc, Ph.D., APU (Deputi Kepala Bidang TIEML-BPPT)<br />

Drs. Sulistyo, MS (Direktur P3TIE-BPPT)<br />

Ir. Bambang Heru Tjahyono (BPPT)<br />

Komite Teknis:<br />

Dr-Ing. Edi Legowo (BPPT) (Ketua)<br />

Dr. Ade Jamal (BPPT)<br />

Dr. Anto Satriyo N. (Chukyo Univ. Japan)<br />

Dr. Dwi Handoko (BPPT)<br />

Dr. M.M. Sarinanto (BPPT)<br />

Dr. Ari Syahriar (BPPT)<br />

Dr. Purwoadi (BPPT)<br />

Panitia Pelaksana:<br />

Dr. Dwi Handoko, M.Eng (BPPT) (Ketua)<br />

Ir. Tri Sampurno (BPPT)<br />

Ir. Aris Suwarjono (BPPT)<br />

Ir. Vitria Pragesjvara (BPPT)<br />

Lebong Andalaluna, M.Eng (BPPT)<br />

Agus Sainjati, MSc (BPPT)<br />

v


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

DAFTAR ISI<br />

Kata Pengantar<br />

Dr-Ing. Edi Legowo<br />

Sambutan Deputi Kepala Bidang TIEML<br />

Dr. Martin Djamin, APU<br />

Susunan Panitia<br />

Daftar Isi<br />

iii<br />

iv<br />

v<br />

vi<br />

MAKALAH UNDANGAN<br />

1. Pengolahan Data Seismik Status dan Permasalahannya, 1<br />

Dr. Suprajitno Munadi APU, PPPTMGB “LEMIGAS”<br />

2. Aplikasi Teknologi Simulasi Dan Komputasi Di Industri Nuklir, 3<br />

M. Syamsa Ardisasmita, Pusat Pengembangan Teknologi Informasi dan Komputasi –<br />

BATAN<br />

3. Peranan Simulasi Dan Komputasi Dalam Industri Proses , 13<br />

Ade Jamal, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi dan Elektronika,<br />

BPPT<br />

4. Konstruksi dan Pengembangan Pengolah Paralel Menggunakan Klaster PC, 16<br />

Ir. Hermawan K. Dipojono, MSEE, Ph.D, Departemen Teknik Fisika Institut Teknologi<br />

Bandung<br />

SIMULASI<br />

5. Modifikasi Cerobong Industri Untuk Menekan Kerusakan Lingkungan: 24<br />

Simulasi dengan TAPM (The Air Pollution Model),<br />

Sumaryati dan Afif Budiyono, LAPAN Bandung<br />

6. Simulating Satellite Motions around Jupiter By Using VRML, 29<br />

Bachtiar Anwar, LAPAN Bandung<br />

7. Simulation of the Fatigue Process under Biaxial Loading with Regard to the 33<br />

Microcrack Growth, H. Agus Suhartono, LUK-BPPT<br />

8. Simulasi dan Rekayasa Kolektor Surya Untuk Penghangat Udara, 38<br />

Rudiyanto + , Budi I. Setiawan * dan Leopold O. Nelwan, Fateta-IPB<br />

PEMODELAN<br />

9. Pertimbangan Perilaku dalam Pemodelan Pengikutan Kendaraan 43<br />

untuk Simulator Trafik Kendaraan,<br />

Dwi Handoko, P3TIE-BPPT<br />

10. Disain Simulator Trafik Kendaraan Berorientasi Obyek, 47<br />

Amien Rusdiutomo, Dwi Handoko, P3TIE-BPPT<br />

11. Teknik Simulasi Time Response Analysis pada 52<br />

Multipath Optical Waveguide dengan Menggunakan Transfer Matrix,<br />

Iip Syarif Hidayat, Telkoma-LIPI<br />

vi


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

ANALISA<br />

12. Analisis Tegangan Pada Filter Bahan Bakar Solar, 56<br />

H. Agus Suhartono dan Ogi Ivano<br />

13. Analisis Regangan – Tegangan Pada Bagian Komponen 63<br />

Bowl Mesin Front Shovel,<br />

Ogi Ivano, Sudarmadi, Weni Wijatmoko H.<br />

14. Analisa Aerodinamika Dua Dimensi Jembatan Suramadu, 69<br />

Dewi Asmara, R.Wibawa Purabaya, LAGG-BPPT<br />

APLIKASI KOMPUTASI<br />

15. Vision: Decision Making Analysis for Leaders, 73<br />

Mohamad Haitan Rachman dan Hendro Julianto<br />

16. Potensi Aplikasi Modul ADAM-4080D Sebagai Pencacah Pada 77<br />

Pesawat Renograf,<br />

Hendra Prihatnadi, Wiranto Budi Santoso<br />

17. Pembuatan Prosessor Sinyal Kamera Gamma 37 PMT, 86<br />

Leli , Tjutju RL , Atang S , Sukandar P2PN- BATAN<br />

vii


MAKALAH UNDANGAN


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Pengolahan Data Seismik<br />

Status & Permasalahannya<br />

Dr. Suprajitno Munadi APU<br />

PPPTMGB “LEMIGAS”<br />

1. Pendahuluan<br />

Teknologi komputasi telah banyak<br />

dimanfaatkan oleh para ahli yang<br />

berkecimpung di industri migas baik di<br />

sektor hulu maupun di sektor hilir. Di sektor<br />

hulu teknologi komputasi berperan besar<br />

dalam mengolah dan menganalisa data<br />

digital yang direkam sewaktu pengumpulan<br />

data di lapangan. Di sektor hilir, teknologi<br />

komputasi ada di dalam sistem kontrol yang<br />

menggerakkan instrument-instrument untuk<br />

bekerjanya proses kimia. Jadi komputasi di<br />

sektor hulu banyak digunakan untuk<br />

mengolah data terekam dari waktu-waktu<br />

yang lalu, sedang di sektor hilir komputasi<br />

bertindak pada waktu yang bersamaan<br />

dengan proses dikendalikannya.<br />

Kertas kerja ini memilih sektor hulu<br />

sebagai bidang kajian untuk aplikasi<br />

teknologi komputasi khususnya Eksplorasi.<br />

Sektor hulu di industri migas terdiri atas<br />

kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi (lihat<br />

gambar-1 dan gambar-2). Di bidang<br />

eksplorasi, pemakai terbesar teknologi<br />

komputasi adalah pada kegiatan satellite<br />

image processing dan seismic data<br />

processing.<br />

Dewasa ini satellite image<br />

processing telah mampu menampilkan<br />

gambaran rinci dari obyek-obyek yang ada<br />

dipermukaan tanah dengan kualitas dan<br />

presisi yang jauh lebih sempurna dari pada<br />

yang dapat diberikan oleh foto udara<br />

beberapa waktu yang silam. Peta-peta<br />

yang dihasilkan dari proses pengolahan<br />

citra satelit dapat dimanfaatkan untuk<br />

perencanaan wilayah ataupun perencanaan<br />

survei bahan galian yang ada di bawah<br />

permukaan.<br />

Walaupun bidang kajian kertas ini<br />

telah memilih sektor hulu, rupa-rupanya<br />

masih harus difokuskan lagi agar<br />

bahasannya dapat dibuat sedikit mendalam.<br />

Untuk itu fokus akan diberikan kepada<br />

pengolahan data seismik (seismic data<br />

processing).<br />

2. Pengolahan Data Seismik<br />

Pengolahan data seismik telah<br />

berkembang menjadi industri jasa yang<br />

besar dan telah masuk ke Indonesia<br />

semenjak tahun 1974. Pada saat itu<br />

Geophysical Service Inc. bekerjasama<br />

dengan PT. Electronika Nusantara<br />

membentuk pusat pengolahan data<br />

berbasis komputer main frame di Jakarta.<br />

Pengolahan data seismik adalah<br />

suatu proses yang urutannya panjang dan<br />

di dalam setiap sub proses perhitungan<br />

numeriknya cukup rumit. Contoh urutan<br />

pengolahan data seismik diberikan pada<br />

gambar-3. Para ahli mengatakan bahwa<br />

pengolahan data seismik digital “is entirely<br />

a mathematical process”. Jadi pengolahan<br />

data seismik digital merupakan pemakaian<br />

operator-operator matematika yang<br />

dikenakan kepada data yang berbentuk<br />

deret waktu. Bila rekaman deret waktu<br />

tersebut berubah terhadap jarak maka data<br />

seismik menjadi fungsi dari jarak dan waktu,<br />

sehingga operator matematikanya menjadi<br />

lebih kompleks lagi.<br />

Pada prinsipnya pengolahan data<br />

seismik dapat dibagi menjadi 3 kelompok<br />

besar yakni [1]<br />

1. Kelompok besar pertama terdiri atas<br />

urutan sub proses yang berusaha<br />

mengkoreksi data terhadap hal-hal<br />

yang bersifat geometris yang<br />

mengganggu pengukuran sewaktu<br />

pengumpulan data.<br />

2. Kelompok besar kedua terdiri atas<br />

urutan sub proses yang<br />

menghilangkan gangguan aktif yang<br />

merusak sinyal.<br />

3. Kelompok besar ketiga terdiri atas<br />

urutan sub proses yang berusaha<br />

mengekstraksi informasi seperti<br />

kecepatan, atenuasi dll.<br />

Kompleksitas pengolahan data<br />

seismik ini muncul karena 2 hal :<br />

1. Volume data seismik yang<br />

dimensinya amat besar<br />

2. Rumitnya proses-proses fisis<br />

geologis yang mempengaruhi<br />

terbentuknya data.<br />

3. Rumitnya algoritma numerik yang<br />

diperlukan untuk mengkompensasi<br />

proses-proses fisis-geologis yang<br />

ikut membentuk data.<br />

Berhubung kompleksitas tersebut di<br />

atas, akibatnya sampai dewasa ini kita<br />

belum mampu menciptakan software yang<br />

komplit untuk pengolahan data seismik.<br />

Dalam keadaan yang demikian ini maka<br />

pada pertengahan dekade tahun 1980-an<br />

1


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

masuklah software-software seismik import<br />

dari luar negeri, diantaranya :<br />

1. Geovector dari Compaine Generale<br />

de Geophysique (Perancis)<br />

2. Disco-Cogneseis dari Digicon Inc.<br />

(USA).<br />

3. Timap dari Geophysical Service Inc<br />

(USA) [2]<br />

4. Geco Prakla dari Norwegia – Jerman<br />

5. Software yang disewa oleh<br />

perusahaan Matra Delta.<br />

6. Software yang disewa oleh<br />

perusahaan Horizon<br />

7. Promax dari Landmark Graphic Inc<br />

(USA)<br />

8. Seismic Unix dari Stanford Univ<br />

(USA) yang bersifat public domain<br />

9. Focus dari perusahaan Paradigm<br />

(USA).<br />

3. Masalah Kita<br />

Keadaan yang kita hadapi dengan<br />

membanjirnya software-software luar negeri<br />

ke dalam industri nasional Indonesia adalah<br />

bahwa kita jatuh menjadi konsumen<br />

produk-produk perangkat lunak yang Luar<br />

Negeri yang ketergantungannya makin<br />

lama makin kuat dan kita jatuh sebagai<br />

pembeli dan operator saja. Ketergantungan<br />

itu pada umumnya kita bayar dalam bentuk<br />

pembayaran lisensi.<br />

Secara konsep teoritis maupun<br />

eksperimental sebetulnya bangsa kita<br />

mampu membuat software-software<br />

pengolahan data seismik itu [3] [4].<br />

Masalah yang dihadapi adalah bagaimana<br />

mengemas teori-teori pengolahan data<br />

menjadi perangkat lunak yang siap pakai<br />

dan mampu bersaing dipasar global.<br />

Software yang dibuat ini tidak harus<br />

menyeluruh, akan tetapi dapat berupa<br />

modul-modul yang dapat di sambung<br />

dengan modul pengolahan yang lain 2 .<br />

Pembuatan modul ini dapat<br />

mendorong terbentuknya software house<br />

dikota-kota universitas di Indonesia seperti<br />

Bandung, Yogya, Malang, Surabaya,<br />

Medan, Pekan Baru, Ujung Pandang,<br />

Kendari dll, sehingga aktivitas intelektual<br />

dikota-kota pelajar tersebut diatas dapat<br />

dimuarakan pada kegiatan industri. Dengan<br />

adanya software dasar Matlab yang<br />

merupakan paket program komputasi dan<br />

visualisasi yang canggih, akan<br />

mengakibatkan realisasi dari modul-modul<br />

pengolahan data seismik yang diutarakan<br />

di atas.<br />

4. Kesimpulan<br />

Di sektor hulu dari industri migas 3<br />

pengolahan data seismik merupakan<br />

aplikasi teknologi komputasi yang paling<br />

banyak menyerap energi dan waktu<br />

komputasi. Kompleksitas komputasi akan<br />

dapat diatasi dengan memanfaatkan basic<br />

software Matlab sehingga modul-modul<br />

pengolahan data dapat dikembangkan di<br />

kota-kota universitas dalam bentuk<br />

kegiatan software house.<br />

Pengetahuan dasar dari software<br />

pengolahan data tersebut sebetulnya sudah<br />

diajarkan di universitas yang mengajarkan<br />

basic science dan teknologi [5]. Idealnya<br />

dana untuk membayar lisensi ini dapat<br />

diserap oleh software house software<br />

house tersebut diatas. Pembuatan modulmodul<br />

proses ini akan membuka peluang<br />

bagi terbentuknya home industri di kotakota<br />

universitas di Indonesia sehingga<br />

pengetahuan teoriris dari bangku kuliah<br />

dapat langsung diterapkan untuk<br />

memecahkan masalah-masalah industri.<br />

Dengan demikian ada kaitan antara ilmu<br />

komputasi dengan penerapan dalam<br />

praktek, yang pada gilirannya dapat<br />

membangkitkan minat terhadap<br />

pendalaman ilmu dan pengembangan<br />

teknologi dan aplikasinya [6].<br />

Fasilitas internet dan komputer jenis<br />

PC yang kemampuannya makin maxi<br />

menghimbau kepada kita untuk masuk ke<br />

dalam teknologi komputasi secara<br />

mendalam dan produktif sebagai “the tool<br />

maker”, bukan sekedar sebagai operator<br />

saja.<br />

Daftar Pustaka<br />

1. Suprajitno, M., 1980. Seismic<br />

Processing Software, Lembaran<br />

Publikasi Lemigas No.1, tahun XIV, p.<br />

34 – 42<br />

2. Geophysical Service Inc. 900 package<br />

Seismic Data Processing Software for<br />

TIMAP.<br />

3. Suprajitno, M. dan Bambang, T., 1993.<br />

Mini Seismic Processing System for<br />

Training and Research Purposes,<br />

Proceedings, Indonesian Petroleum<br />

Association, Vol. II, p.557 – 569<br />

4. Arief Budiman, 2003. Aplikasi<br />

Pengolahan Data Seismik Modular<br />

dengan menggunakan Software Publik<br />

Domain Seismic Unix, Jurusan Fisika,<br />

FMIPA, ITS, Surabaya (Karya Tulis<br />

Ilmiah dalam rangka Diskusi Ilmiah IX,<br />

LEMIGAS).<br />

5. Yilmaz, O., 1987. Seismic Data<br />

Processing, Society of Exploration<br />

Geophysicist, Oklahoma.<br />

6. S. Munadi, E. Soedarmo, B. Widarsono,<br />

1996. An Overview of Computer<br />

Applications in the Indonesian Oil and<br />

Gas Industry, Seminar Aplikasi<br />

Teknologi Komputasi, BPPT, Jakarta.<br />

2


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Aplikasi Teknologi Simulasi Dan Komputasi<br />

Di Industri Nuklir<br />

M. Syamsa Ardisasmita<br />

Pusat Pengembangan Teknologi Informasi dan Komputasi - BATAN<br />

Kawasan PUSPIPTEK Serpong, Tangerang 15310<br />

E-mail: syamsa@batan.go.id<br />

Abstrak<br />

Pada makalah ini disampaikan aplikasi dari Classroom Simulator Pembangkit<br />

Listrik Tenaga Nuklir di industri nuklir. Tujuan dari suatu Pembangkit Listrik<br />

Tenaga Nuklir adalah untuk memasok listrik dengan harga serendah mungkin,<br />

kualitas pelayanan yang tetap, fasilitas nuklir yang aman dan mengurangi<br />

polusi udara. Simulasi komputer adalah penggunaan model matematika untuk<br />

menggambarkan secara realistik perilaku nyata dari sistem dengan mengukur<br />

tanggap dinamik dari variabel-variabel proses yang dipantau, seperti<br />

temperatur, tekanan, dan komposisi bahan. Simulasi dari proses dapat dibagi<br />

kedalam dua kategori: keadaan tunak dan dinamik. Simulasi keadaan tunak<br />

biasanya terdiri dari sejumlah persamaan aljabar yang diselesaikan secara<br />

iteratif untuk menghitung kalkulasi panas dan keseimbangan bahan dari suatu<br />

proses dibawah kondisi keadaan tunak yang berubah-ubah. Simulasi dinamik<br />

tidak hanya memperhatikan kalkulasi panas dan keseimbangan bahan dalam<br />

keadaan tunak, tetapi juga kondisi transien dari proses perubahan. Ini<br />

diselesaikan dengan memecahkan persamaan-persamaan diferensial nonlinier<br />

berjumlah besar dalam waktu nyata, yang menggambarkan<br />

keseimbangan dinamik bahan dan energi dari proses yang disimulasikan.<br />

Karena simulasi dinamik dapat memberikan tanggap dinamik dari proses<br />

menurut waktu, maka secara luas dipergunakan dalam : (1) Pengembangan<br />

simulator untuk pelatihan; (2) Analisis keselamatan PLTN; dan (3) Studi<br />

perancangan untuk kendali proses.<br />

Abstract<br />

This paper present the application of the Nuclear Power Plant Classroom<br />

Simulator in nuclear industry. The objective of the Nuclear Power Plant is to<br />

supply electricity at the least possible cost with a constant service quality, a<br />

safety of nuclear facilities, and a reduction in air pollution. Computer<br />

simulation is the use of mathematical models to develop a realistic<br />

representation of the real process behaviour, as measured by the dynamic<br />

reponses of the monitored process variables such as temperature, pressures,<br />

and material compositions. Process simulation can be divided into two<br />

categories: Steatdy-state and Dynamic. Steady-state simulation usually<br />

consists of groups of algebraic equations solved iteratively to account for the<br />

heat and material balance calculations of the process under various steadystate<br />

conditions. Dynamic simulation is not only concerned with the steadystate<br />

heat and material balance calculation, but also the transient conditions of<br />

process evolution. This is accomplished by solving a large set of coupled, nonlinear<br />

differential equations in real time, that represent the dynamic material<br />

and energy balances for the process being simulated. Because dynamic<br />

simulation can provide dynamic responses of process over time, it is widely<br />

used in: (1) The development of training simulators; (2) Safety analysis for<br />

nuclear power plant; and (3) Design studies for process controls.<br />

Keywords: classroom simulator, full scope training simulator, nuclear power plant.<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Kalau berbicara pemanfaatan tenaga<br />

nuklir maka oleh masyarakat umum selalu<br />

dikaitkan dengan senjata pemusnah masal<br />

yang memiliki daya ledak dan daya rusak<br />

yang luar biasa. Kekuatan bom nuklir<br />

modern dewasa ini adalah sebanding<br />

dengan beberapa juta ton TNT atau 40 kali<br />

lebih dahsyat dari ”Little Boy” dan ”Fat Man”,<br />

dua bom yang dijatuhkan di Hirosima dan<br />

3


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Nagasaki pada tahun 1945. Tenaga yang<br />

sangat besar ini, dihasilkan dari suatu<br />

reaksi berantai uranium-235 yang disebut<br />

dengan proses fisi. Neutron yang diserap<br />

oleh inti atom uranium-235 akan<br />

1985 adalah sebagai sarana untuk<br />

menyongsong era industri nuklir di<br />

Indonesia. Pusat Penelitian ini dibangun<br />

diatas lahan seluas 30 Ha, dengan 37<br />

bangunan dan 13 Pusat Penelitian dan<br />

Gbr. 1 - Full Scope Training Simulator<br />

menghasilkan produk-produk fisi (cesium-<br />

140, Rubidium-93) dan dua atau tiga<br />

neutron lain dengan dilepaskannya tenaga<br />

sebesar 200 MeV atau sebanding dengan<br />

7,7 x 10 -12 cal. Rekasi ini disebut reaksi<br />

berantai karena neutron-neutron yang<br />

dihasilkan akan bereaksi kembali dengan<br />

atom-atom uranium-235 dan menghasilkan<br />

lebih banyak lagi neutron dan tenaga yang<br />

dilepaskan.<br />

1 235 140 93 1<br />

0<br />

n +<br />

92U<br />

→<br />

55Cs<br />

+<br />

37<br />

Rb + 30<br />

n + 200 MeV<br />

Reaksi berantai yang tidak terkendali<br />

akan menyebabkan ledakan bom atom,<br />

akan tetapi reaksi berantai yang dapat<br />

dikendalikan dalam suatu reaktor nuklir,<br />

akan menghasilkan pembangkit listrik yang<br />

murah, skala besar dan bebas terhadap<br />

polusi udara. Murah karena berdasarkan<br />

biaya produksi listrik rata-rata di dunia pada<br />

tahun 2002, untuk tenaga nuklir biaya per<br />

kilowatt-jam dalam dolar A.S. adalah 1,71<br />

sen, sedangkan tenaga batubara 1,85 sen,<br />

minyak 4,41 sen, dan gas 4,06 sen. Bersih<br />

karena dalam pengoperasiannya,<br />

pembangikit listrik tenaga nuklir tidak<br />

menghasilkan emisi gas sulfur atau gas-gas<br />

rumah kaca seperti pada pembangkit listrik<br />

batubara atau minyak.<br />

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir<br />

(PLTN) pertama mulai beroperasi di Inggris<br />

pada tahun 1956 dan di Amerika Serikat<br />

pada tahun 1957. Pada akhir tahun 2002,<br />

ada 441 PLTN yang beroperasi di 32<br />

negara, yang memberikan 2.543,6 TWh<br />

atau 16,2% dari produksi listrik dunia.<br />

Selain itu ada 32 PLTN baru yang sedang<br />

dalam proses pembangunan di 11 negara.<br />

Batan sedang memperjuangkan<br />

diterimanya opsi nuklir sebagai bagian dari<br />

sistem energi nasional jangka panjang. Jika<br />

opsi nuklir diterima maka PLTN pertama<br />

akan beroperasi di Indonesia pada tahun<br />

2016. Pembangunan Pusat Penelitian<br />

Tenaga Nuklir (PPTN) Serpong sejak tahun<br />

Pengembangan, yang didukung oleh 1452<br />

pegawai (50 S3, 124 S2, 396 S1, 820<br />

D3/SLTA). Reaktor Serbaguna G.A.<br />

Siwabessy dengan daya 30 MW diresmikan<br />

operasinya pada tanggal 20 Agustus 1987,<br />

merupakan peralatan utama Batan dalam<br />

melaksanakan litbang dan pemanfaatan<br />

iptek nuklir di Indonesia, selain dua reaktor<br />

riset lain dengan daya yang lebih kecil di<br />

Bandung dan Yogyakarta. Pemanfaatan<br />

Reaktor ini adalah sebagai: (1) Fasilitas<br />

iradiasi untuk produksi radioisotop bagi<br />

keperluan medis, industri, dan litbang<br />

lainnya; (2) Fasilitas eksperimen berkas<br />

neutron untuk pengembangan ilmu bahan;<br />

dan (3) Fasilitas analisis pengaktivan<br />

neutron untuk mendukung pengukuran<br />

pencemaran lingkungan.<br />

Pada tahun 1968, General Electric<br />

melengkapi pusat pelatihannya dengan<br />

Full Scope Training Simulator (FSTS) yaitu<br />

untuk melatih operator PLTN dalam kondisi<br />

normal maupun abnormal. Simulator ini<br />

memberikan replika dari ruang kendali<br />

PLTN dengan ketepatan dan keselarasan<br />

simulasi yang tinggi, yaitu sesuai dengan<br />

perilaku dan parameter PLTN yang<br />

disimulasikan. Kemudian pembangunan<br />

FSTS diikuti oleh seluruh pembuat PLTN di<br />

Amerika dan di seluruh dunia.<br />

Sekarang ini, pembangunan FSTS<br />

sudah menjadi keharusan bagi utulitas<br />

nuklir, terutama setelah terjadinya dua<br />

kecelakaan PLTN yang diakibatkan<br />

kesalahan manusia (operator). Pertama,<br />

kecelakaan PLTN jenis PWR di Three Mile<br />

Island, Pensylvania, A.S. pada tahun 1979<br />

akibat operator mematikan emergency core<br />

cooling system. Pada kecelakaan ini, hanya<br />

sedikit gas radioaktif yang keluar dari<br />

bangunan pelindung (containment building).<br />

Kedua adalah kecelakaan parah pada<br />

PLTN jenis RBMK-1000 di Chernobyl<br />

Ukrania, pada tanggal 26 April 1986, akibat<br />

operator mengadakan pengujian yang tidak<br />

sesuai dengan prosedur keselamatan<br />

4


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

menyebabkan terjadinya ledakan pada core<br />

reaktor dan kebakaran. Karena tidak ada<br />

bangunan pelindung seperti pada reaktor di<br />

Three Mile Island, maka terlepaslah isotop<br />

radiasi tinggi (100-150 juta curies) ke<br />

atmosfer. Akibat kecelakaan ini, 2 pekerja<br />

tewas pada waktu ledakan dan 31 pekerja<br />

meninggal kemudian akibat menerima<br />

dosis radiasi tinggi pada waktu melakukan<br />

pembersihan.<br />

Persyaratan ketaatannya yang tinggi<br />

(high fidelity) menyebabkan FSTS<br />

harganya sangat mahal dan belum dapat<br />

digunakan sebelum PLTN beroperasi<br />

secara komersial. Untuk memberikan<br />

pendidikan dan pelatihan awal bagi<br />

personal PLTN maka dibuat Classroom<br />

Simulator yang harganya relatif murah<br />

dengan menggunakan platform Komputer<br />

PC standar. Classroom Simulator dapat<br />

dianggap sebagai pelengkap dari Full<br />

Scope Training Simulator dalam<br />

memberikan pemahaman dasar teori PLTN<br />

dan sebagai alat untuk sistem pelatihan.<br />

Selama 30 tahun, telah terjadi perubahan<br />

besar dalam teknologi simulator akibat<br />

kemajuan pesat dari perangkat keras dan<br />

piranti lunak komputer.<br />

Walaupun demikian, biaya terbesar<br />

dalam pengembangan simulator PLTN<br />

tetap pada tenaga manusia, yaitu tenaga<br />

ahli untuk melakukan pemodelan<br />

matematika dari sistem fisik dan kemudian<br />

mengubah persamaan-persamaan<br />

matematika menjadi kode-kode komputer<br />

yang siap untuk dijalankan. Setelah<br />

program komputer dapat dijalankan,<br />

dilanjutkan dengan proses akhir untuk<br />

menyelaraskan dan memperkaya model<br />

tersebut agar dapat mendekati kenyataan<br />

yang sebenarnya. Pada masa lalu,<br />

pemodelan matematika merupakan proses<br />

yang membutuhkan tenaga kerja yang<br />

intensif, karena perubahan kecil dalam<br />

persamaan atau beberapa perubahan pada<br />

konstanta numerik, membutuhkan<br />

rekompilasi dan debugging kembali dari<br />

program. Sekarang dengan sistem<br />

pemodelan modular, konsumsi waktu<br />

untuk pengembangan simulator dapat lebih<br />

dipersingkat.<br />

2. DASAR-DASAR SIMULASI<br />

Simulasi komputer adalah usaha<br />

mengeksplorasi model-model matematika<br />

dari suatu proses atau fenomena fisik<br />

dengan menggunakan komputer dalam<br />

rangka memberikan gambaran situasi nyata<br />

dengan sebagian besar rinciannya.<br />

Sedangkan simulasi proses adalah<br />

penggunaan model matematika untuk<br />

menggambarkan secara realistik perilaku<br />

nyata dari sistem dengan mengukur<br />

tanggap dinamik variabel-variabel proses<br />

yang dipantau, misalnya temperatur,<br />

tekanan, dan komposisi bahan. Dengan<br />

memanipulasi atau bekerja dengan model<br />

diharapkan :<br />

1. Dapat meramalkan hasil atau<br />

keluaran;<br />

2. Lebih memahami model fisik dan<br />

matematik dari fenomena dan<br />

proses;<br />

3. Bereksperimen dengan model;<br />

4. Melakukan pengujian dengan model;<br />

dan terakhir<br />

5. Menggunakan model untuk tujuan<br />

pendidikan dan pelatihan.<br />

Simulasi proses tersebut dapat<br />

dibagi kedalam dua kategori: Keadaan<br />

Tunak dan Dinamik.<br />

• Simulasi keadaan tunak biasanya<br />

terdiri dari sejumlah persamaan<br />

aljabar yang diselesaikan secara<br />

iteratif, misalnya untuk menghitung<br />

kalkulasi panas dan keseimbangan<br />

bahan dari suatu proses dibawah<br />

kondisi keadaan tunak yang<br />

berubah-ubah. Program simulasi<br />

keadaan tunak umum digunakan<br />

dalam proses industri seperti<br />

pengukuran boiler dan peralatan<br />

turbin untuk laju panas tertentu.<br />

• Simulasi dinamik tidak hanya<br />

memperhatikan kalkulasi panas dan<br />

keseimbangan bahan dalam<br />

keadaan tunak, tetapi juga kondisi<br />

transien dari perubahan proses.<br />

Sebagai contoh adalah tanggap<br />

dinamik pada tingkat boiler yang<br />

diakibatkan oleh hilangnya<br />

pembangkit turbin secara tiba-tiba di<br />

dalam PLTN. Simulasi dilakukan<br />

dengan menyelesaikan persamaanpersamaan<br />

diferensial non-linier<br />

berjumlah besar dalam waktu nyata,<br />

untuk<br />

menggambarkan<br />

keseimbangan dinamik bahan dan<br />

energi dari proses yang<br />

disimulasikan. Laju akumulasi masa<br />

dan energi dihitung secara kontinyu<br />

dan diintegrasikan sepanjang interval<br />

waktu yang relatif kecil, yaitu untuk<br />

menghasilkan proses tiruan dari<br />

tanggap dinamik yang realistik dari<br />

temperatur, tekanan, komposisi<br />

bahan , dsb. Karena simulasi dinamik<br />

dapat memberikan tanggap dinamik<br />

dari proses menurut waktu, maka<br />

sangat luas dipergunakan dalam : (1)<br />

Pengembangan simulator untuk<br />

pelatihan; (2) Analisis keselamatan<br />

5


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

PLTN; dan (3) Studi perancangan<br />

untuk proses kendali.<br />

2.1. Pemodelan Matematik<br />

Model matematik adalah gambaran<br />

dari karakteristik dinamik suatu sistem.<br />

Agar dapat diselesaikan dengan komputer,<br />

maka fenomena atau proses fisik harus<br />

dapat dimodelkan dengan persamaan<br />

matematika. Beberapa sistem dinamik<br />

seperti mekanika, listrik, neutronik, panas,<br />

hidraulik, pneumatik dan sebagainya dapat<br />

dikarakterisasikan dengan persamaan<br />

diferensial, aljabar dan Boolean.<br />

Persamaan-persamaan tersebut dapat<br />

diturunkan dari hukum-hukum fisika<br />

berdasarkan sistem yang dipelajari,<br />

misalnya hukum Newton, hukum Kekekalan<br />

Energi, hukum Ohm, hukum Kinetika<br />

Reaktor dan sebagainya. Dalam mencari<br />

suatu model, kita harus mengkompromikan<br />

antara penyederhanaan model dan<br />

ketelitian hasil analisis. Harus dicari<br />

kesesuaian yang baik antara hasil analisis<br />

model matematik dan hasil studi<br />

eksperimental pada sistem fisik.<br />

Dengan pemodelan kita dapat<br />

melakukan : (1) Idealisasi dari proses dan<br />

fenomena; (2) Memahami pengaruh dan<br />

kendali lingkungan; (3) Menganalisis<br />

eksperimen yang sulit atau tidak mungkin<br />

dapat dilakukan; (4) Mempertajam<br />

pemahaman dan mengurangi pemborosan<br />

akibat eksperimen yang tidak terarah (trial<br />

& error); dan terakhir (5) Meningkatkan<br />

potensi dan keamanan sistem. Kesalahan<br />

pada pemodelan akan selalu terjadi.<br />

Pertama antara model fisik dengan model<br />

matematik akan terjadi kesalahan<br />

pemodelan karena adanya<br />

penyederhanaan-penyederhanaan. Dari<br />

model matematik ke model numerik akan<br />

terjadi kesalahan diskretisasi akibat<br />

pendekatan deret atau iterasi yang harus<br />

selalu terhingga. Demikian juga dari model<br />

numerik ke model komputer akan terjadi<br />

kesalahan numerik, akibat batasan-batasan<br />

pada perangkat keras komputer dan jumlah<br />

bit yang digunakan.<br />

Mendefinisikan model matematik<br />

yang tepat merupakan langkah yang paling<br />

kritis dalam simulasi. Sebagai contoh,<br />

teknik yang menerapkan pertukaran panas<br />

fasa tunggal (single phase heat exchanger)<br />

akan sangat berbeda dengan teknik yang<br />

menerapkan pertukaran panas dua fasa.<br />

Penganalisis simulasi harus dapat<br />

mengidentifikasi seluruh situasi yang akan<br />

disimulasikan oleh model yang akan dia<br />

dibuat dalam segala daerah operasi,<br />

termasuk situasi yang jarang terjadi,<br />

misalnya kegagalan pemakaian komponen<br />

(katup, pompa, dsb.). Semua ini dilakukan<br />

agar model dapat memberikan tanggap<br />

dinamik sesuai dengan yang sebenarnya.<br />

Karena itu pengembangan model dari suatu<br />

proses fisik membutuhkan intuisi dan<br />

pertimbangan yang baik, yang dapat<br />

diperoleh dari pengalaman.<br />

• Intuisi dibutuhkan untuk menentukan<br />

asumsi dasar, hubungan antara<br />

variabel-variabel kunci, dan<br />

pendekatan awal untuk menentukan<br />

model dari proses fisik.<br />

• Pertimbangan dibutuhkan untuk<br />

menjaga adanya keseimbangan<br />

antara ketelitian dan kelengkapan<br />

terhadap kerumitan dan biaya yang<br />

harus dikeluarkan.<br />

Harus dicatat bahwa pada beberapa<br />

sistem kompleks akan membutuhkan teknik<br />

pemodelan yang lebih rumit untuk<br />

mensimulasikan fenomena tertentu, seperti<br />

aliran dua fasa atau formasi gelembung<br />

uap. Kedua contoh tersebut banyak<br />

ditemukan pada PLTN (sistem pendingin<br />

reaktor, steam generator, pressurizer,<br />

dsb.); demikian juga pada pembangkit fosil<br />

(waterwalls, furnace boiler system, dsb.).<br />

2.2. Spesifikasi Model<br />

Sebelum mengembangkan model<br />

dari proses fisik, maksud dan tujuan dari<br />

model harus dinyatakan dengan jelas.<br />

Parameter-parameter dibawah ini dapat<br />

digunakan untuk pengembangan model<br />

dari proses fisik:<br />

• Lingkup dan batas dari proses yang<br />

dipelajari – definisi dari lingkup dan<br />

batas secara praktis, ditandai dengan<br />

kebutuhan Perangkat Instrumen dan<br />

Proses dan Diagram (misalnya<br />

diagram yang merinci aliran proses,<br />

pengaturan pekerjaan pemipaan,<br />

alat-alat dan instrumentasi yang<br />

dihubungkan dengan sub-bagian<br />

sistem).<br />

• Kedalaman rincian – menentukan<br />

apakah setiap proses, setiap<br />

peralatan (pompa, katup, dsb.),<br />

setiap instrumen (pressure<br />

transmitter, temperature transmitter,<br />

dsb.) harus disimulasikan. Jika<br />

simulasi dibutuhkan, apakah harus<br />

merupakan suatu simulasi yang<br />

terinci atau cukup dengan simulasi<br />

fungsi saja.<br />

• Pembatas fisik dan keamanan –<br />

pada kasus dimana dibutuhkan<br />

model proses untuk mensimulasikan<br />

batas-batas fisik dan keamanan yang<br />

ekstrim, seperti pecahnya pipa,<br />

adanya arus balik, atau meledaknya<br />

6


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

boiler, seberapa lama simulasi harus<br />

dilakukan pada batas-batas ekstrim<br />

tersebut.<br />

• Tanggap keadaan tunak dan dinamik<br />

– tanggap-tanggap ini harus<br />

diperoleh dari data operasional dari<br />

proses yang sedang berjalan.<br />

• Kebutuhan ketelitian – juga disebut<br />

sebagai ketaatan model. Seberapa<br />

ketelitian yang harus diberikan oleh<br />

suatu simulasi, jika dibandingkan<br />

dengan proses transien yang sedang<br />

berjalan.<br />

• Kebutuhan dan metode untuk<br />

memutakhirkan model.<br />

• Variabel-variabel keadaan dan<br />

variabel-variabel kendali yang<br />

tersedia – variabel keadaan dari<br />

suatu sistem dinamik adalah jumlah<br />

terkecil dari variabel yang dibutuhkan<br />

untuk menentukan keadaan sistem<br />

tersebut. Jika ada N variabel (X1(t),<br />

X2(t), ..., Xn(t) – misalnya tekanan,<br />

aliran, dsb.) yang dibutuhkan untuk<br />

menggambarkan secara lengkap<br />

perilaku dari suatu sistem dinamik,<br />

maka N variabel tersebut (X1(t),<br />

X2(t), ..., Xn(t)) adalah kumpulan dari<br />

variabel-variabel keadaan untuk<br />

proses dinamik. Variabel-variabel<br />

keadaan harus teridentifikasi dalam<br />

model.<br />

2.3. Hukum-hukum Dasar Fisika<br />

Sistem pada PLTN meliputi sistem<br />

neutronik, sistem termal, sistem hidraulik,<br />

sistem pneumatik, sistem mekanik dan<br />

sistem listrik. Secara umum, PLTN<br />

berfungsi untuk mengubah tenaga nuklir<br />

menjadi tenaga listrik. Reaktor nuklir<br />

menghasilkan panas dari proses fisi yaitu<br />

reaksi berantai nuklir yang dikendalikan<br />

oleh suatu batang kendali penyerap<br />

neutron. Jenis-jenis reaktor digolongkan<br />

berdasarkan jenis elemen bakar, moderator<br />

dan aliran pendingin yang digunakan.<br />

Panas yang dihasilkan pada inti reaktor<br />

digunakan untuk menggerakkan turbin dan<br />

kemudian menghasilkan listrik. Analisis<br />

reaktor nuklir didasarkan atas keterkaitan<br />

beberapa variabel yang terdiri dari elemen<br />

bakar nuklir, moderator, komposisi,<br />

geometri inti reaktor, dan perpindahan<br />

panas yang sebagian besar dibangkitkan<br />

oleh proses fisi.<br />

2.3.1. Persamaan Difusi Neutron<br />

Persamaan difusi merupakan<br />

persamaan dasar yang digunakan oleh<br />

perekayasa dalam merancang reaktor<br />

nuklir. Menurut hukum Fick, neutron<br />

mengalir dari daerah dengan densitas tinggi<br />

ke daerah dengan densitas yang lebih<br />

rendah, maka arus neutron sebanding<br />

dengan gradian negatif dari fluks neutron :<br />

2<br />

J = D∇<br />

φ<br />

(1)<br />

dengan D adalah konstanta koefisien difusi.<br />

Persamaan difusi neutron merupakan<br />

persamaan diferensial parsial berbentuk<br />

parabolik. Teori persamaan difusi<br />

multigroup telah dikembangkan untuk<br />

penyelesaian laju pertumbuhan neutron.<br />

Energi neutron yang tersebar dari 10 MeV<br />

(neutron cepat) sampai dengan 0,025 eV<br />

(neutron termal) dapat dibagi menjadi 100<br />

group, sehingga penyelesaian himpunan<br />

persamaan diatas secara langsung<br />

sangatlah sukar. Persamaan<br />

keseimbangan neutron merupakan<br />

persamaan diferensial parsial multivariabel<br />

orde dua dari fluks neutron, yang dikoreksi<br />

dengan kebocoran, penyerapan,<br />

penyebaran dan produksi neutron. Reaktor<br />

dibagi-bagi atas sejumlah titik jala ruang<br />

(spatial mesh points) dimana persamaan<br />

difusi dapat dipecahkan dengan<br />

menerapkan boundary conditions.<br />

2.3.2. Kinetika Reaktor<br />

Delayed neutron yang dibangkitkan<br />

oleh peluruhan produk fisi (0,65% dari<br />

neutron yang dibangkitkan oleh fisi),<br />

ternyata dapat memperpanjang perioda<br />

reaktor. Hasilnya reaktor dapat<br />

dikendalikan dengan mudah. Jika tidak ada<br />

delayed neutron, maka tidak mungkin dapat<br />

mengendalikan daya nuklir dari proses fisi.<br />

Delayed neutron tersebut biasanya<br />

teridentifikasi kedalam 6 group. Jika kita<br />

umpamakan model kinetika reaktor<br />

sederhana berbentuk titik untuk suatu inti<br />

reaktor jenis PHWR, maka kita peroleh<br />

persamaan laju pertumbuhan neutron:<br />

dN<br />

dt<br />

dC<br />

dt<br />

FLUKS<br />

β N<br />

⎛<br />

⎜<br />

∆K<br />

−<br />

⎝<br />

=<br />

6<br />

⎞<br />

β ⎟<br />

i<br />

N<br />

⎠<br />

N<br />

∑<br />

i=<br />

1<br />

LIFE<br />

FLUKS<br />

+<br />

6<br />

∑<br />

i=<br />

1<br />

λ C<br />

i<br />

i<br />

(2)<br />

i i FLUKS<br />

= − λ iCi<br />

(3)<br />

N LIFE<br />

dengan: ∆K adalah reaktivitas, β i adalah<br />

fraksi delayed neutron group ke-i, λ i adalah<br />

konstanta peluruhan group ke-i, C i adalah<br />

konsentrasi delayed neutron group ke-i,<br />

N LIFE adalah waktu hidup neutron rata-rata.<br />

7


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

2.3.3. Sistem Pneumatik<br />

Aliran gas melalui lubang kecil dapat<br />

dianggap sebagai turbulen sedangkan<br />

aliran gas pada kecepatan tertentu melalui<br />

pipa besar dianggap sebagai laminar.<br />

Elemen-elemen yang menyebabkan aliran<br />

turbulen adalah lubang, katup dan pipa<br />

kecil. Sedangkan elemen-elemen yang<br />

menyebabkan aliran laminar adalah tabung<br />

sirkular dan pipa. Variabel kuantitas untuk<br />

sistem pneumatik adalah berat, variabel<br />

aliran adalah laju aliran dan variabel<br />

potensial adalah tekanan. Resistensi<br />

pneumatik pada aliran gas laminar dalam<br />

kondisi adiabatik adalah :<br />

128µ<br />

L<br />

R =<br />

4<br />

(4)<br />

πρD<br />

dengan: L= panjang pipa, D = diameter<br />

dalam, µ = viskositas absolut, γ = kerapatan<br />

gas.<br />

Resistensi pneumatik pada aliran gas<br />

turbulen dalam kondisi adiabatik adalah :<br />

0,5<br />

2 ⎛ γV<br />

⎞<br />

fD<br />

R = dimana K =<br />

KAY<br />

⎜<br />

g<br />

⎟<br />

(5)<br />

⎝ ⎠<br />

L<br />

dengan: V = kepala, f = faktor gesekan, D =<br />

diameter lubang, L = panjang ekuivalen, A=<br />

luas batas, g = konstanta gravitas.<br />

Kapasitansi pneumatik bejana<br />

dinyatakan dengan :<br />

V<br />

C = (6)<br />

nGT<br />

dengan: V = volume bejana, n = konstanta<br />

politropik, G = kontanta gas, T = temperatur.<br />

2.3.4. Sistem Hidraulik<br />

Sistem hidraulik mempunyai juga dua<br />

jenis aliran: aliran turbulen dengan bilangan<br />

Reynolds lebih besar dari 4000; dan aliran<br />

laminar dengan bilangan Reynolds kurang<br />

dari 2000. Variabel kuantitas adalah laju<br />

aliran dan variabel potensial adalah<br />

tekanan. Resistensi hidraulik dari aliran<br />

laminar adalah :<br />

128µ<br />

L<br />

R =<br />

4<br />

(7)<br />

πρD<br />

Resistensi hidraulik dari aliran<br />

turbulen adalah :<br />

F<br />

1 2P<br />

R = dimana K =<br />

2 2<br />

(8)<br />

gK A<br />

KA g<br />

Kapasitansi hidraulik untuk tangki<br />

dengan irisan lintang seragam adalah :<br />

Q = A<br />

(9)<br />

dengan: A = irisan lintang tangki pada<br />

permukaan cairan.<br />

2.3.5. Sistem Termal<br />

Ada tiga jenis perpindahan panas:<br />

konduksi, konveksi dan radiasi. Konduksi<br />

apabila perpindahan panas melalui benda<br />

padat. Konveksi apabila melalui pergerakan<br />

cairan atau gas dalam suatu bejana.<br />

Radiasi apabila perpindahan panas dari<br />

suatu permukaan suatu objek ke<br />

permukaan objek yang lain dalam suatu<br />

jarak. Sebagai variabel kuantitas adalah<br />

Entalpi yang umum dikenal sebagai panas,<br />

variabel aliran adalah aliran entalpi atau<br />

aliran panas, dan variabel potensial adalah<br />

temperatur.<br />

Resistensi termal untuk konduksi<br />

melalui suatu bahan homogen adalah:<br />

X<br />

R = (10)<br />

KA<br />

dengan: X = ketebalan, K = konduktivitas<br />

panas, A = luas irisan lintang.<br />

Resistensi termal untuk konveksi<br />

adalah:<br />

1<br />

R = (11)<br />

HA<br />

dengan: H = koefisien konveksi.<br />

Kapasitansi termal dinyatakan dengan:<br />

C = W S<br />

(12)<br />

dengan: W = berat, dan S = spesifikasi<br />

panas pada tekanan tetap.<br />

2.3.6. Sistem Mekanik<br />

Ada dua jenis sistem mekanik:<br />

translasi dan rotasi. Selain resistensi dan<br />

kapasitansi, sistem mekanik mempunyai<br />

karakteristik tambahan dari massa yang<br />

disebut momen inersia. Sebagai variabel<br />

kuantitas adalah momentum, variabel aliran<br />

adalah gaya dan variabel potensial adalah<br />

kecepatan. Menurut hukum Hooke,<br />

konstanta pegas adalah kebalikan dari<br />

turunan pergeseran terhadap gaya:<br />

Kecepa tan<br />

K = (13)<br />

Momentum<br />

8


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Kapasitansi sama dengan konstanta pegas.<br />

Sedangkan resistensi sebanding dengan<br />

konstanta perendaman dari sistem piston<br />

hidraulik.<br />

2.3.7. Sistem Listrik<br />

Sebagai variabel kuantitas adalah<br />

muatan, variabel aliran adalah arus dan<br />

variabel potensial adalah tegangan. Ketiga<br />

sifat dari sistem listrik adalah: resistensi<br />

(V/I), kapasitansi (Q/V) dan induktansi (V/I).<br />

3. METODA NUMERIK<br />

Pemecahan masalah secara<br />

matematik dapat dilakukan dengan metode<br />

analitik atau jika masalah terlampau<br />

kompleks, tidak linier dan multivariabel<br />

maka dilakukan dengan metode numerik.<br />

Metode numerik adalah suatu cabang ilmu<br />

matematika yang menggunakan sistem<br />

bilangan untuk menyelesaikan proses<br />

matematika dengan menggunakan<br />

komputer. Seperti sudah disebutkan diatas<br />

bahwa beberapa sistem fisik seperti<br />

perpindahan massa, difusi neutron,<br />

perpindahan panas, gerak mekanik, termohidraulik,<br />

dsb., dapat dinyatakan dengan<br />

persamaan diferensial. Persamaan<br />

diferensial didefinisikan sebagai hubungan<br />

antara suatu fungsi yang tidak diketahui<br />

dengan satu atau lebih turunan-turunannya.<br />

Ada dua jenis persamaan diferensial:<br />

• Persamaan Diferensial Biasa<br />

(Ordinary Differential Equation)<br />

adalah persamaan diferensial yang<br />

hanya mempunyai satu variabel<br />

bebas. Contoh: y’ = x + y ; variabel<br />

bebasnya disimbolkan dengan x,<br />

sedangkan variabel terikatnya adalah<br />

y yang merupakan fungsi dari x.<br />

• Persamaan Diferensial Parsial<br />

(Partial Differential Equation) adalah<br />

persamaan diferensial yang<br />

mempunyai lebih dari satu variabel<br />

bebas (multivariabel). Turunan fungsi<br />

terhadap setiap variabel bebas<br />

dilakukan secara parsial. Contoh:<br />

persamaan perambatan panas<br />

adalah suatu persamaan diferensial<br />

parsial orde dua (parabolik), dengan<br />

ruang dan waktu sebagai variabelvariabel<br />

bebas.<br />

∂T(x,t)<br />

K 2<br />

= ∇ T(x,t)<br />

∂t<br />

Cρ<br />

(14)<br />

dengan: K = konduktivitas panas<br />

bahan, C = spesifikasi panas, ρ =<br />

kerapatan bahan.<br />

Cara umum untuk menyelesaikan<br />

persamaan diferensial parsial adalah<br />

dengan menuliskan persamaan tersebut<br />

dalam bentuk persamaan diferensial<br />

dengan syarat-syarat batas (boundary<br />

conditions). Dengan membagi daerah<br />

dalam titik-titik jala atau sel-sel, maka<br />

diperoleh sistem persamaan diferensial<br />

yang simultan yang dapat dipecahkan<br />

dengan cara iterasi Gauss-Seidel atau<br />

metode Liebmann. Prinsip ini disebut<br />

dengan diskritisasi domain solusi dalam<br />

ruang dan waktu. Pemecahan lain adalah<br />

dengan metode elemen hingga (Finite<br />

Element Methode). Domain atau struktur<br />

dibagi menjadi elemen-elemen kecil yang<br />

terhubung satu dengan yang lain melalui<br />

titik-titik pertemuan yang disebut titik-titik<br />

simpul (nodal points). Pembagian ini<br />

disebut dengan triangulation. Untuk setiap<br />

elemen, pencarian penyelesaian dilakukan<br />

dengan pendekatan polinomial derajat dua<br />

(parabolik). Penyelesaian dari persamaanpersamaan<br />

ini adalah dengan aljabar linier.<br />

Penyelesaian persamaan diferensial<br />

dengan metode beda hingga atau metode<br />

elemen hingga dalam suatu simulator<br />

reaktor, membutuhkan komputasi yang<br />

sangat intensif, sehingga sulit direalisasikan<br />

dalam waktu nyata jika tidak menggunakan<br />

super-komputer.<br />

3.1. Penyederhanaan dan<br />

Penyelesaian Persamaan<br />

Diferensial<br />

Penyederhanaan dapat dilakukan<br />

dengan mengubah persamaan diferensial<br />

parsial menjadi sejumlah persamaan<br />

diferensial biasa. Misalnya dalam<br />

memecahkan masalah persamaan<br />

perambatan panas, dapat diasumsikan<br />

bahwa ruang dan waktu tergantung pada<br />

fungsi-fungsi yang terpisah dan<br />

perambatanpun dapat diambil dalam satu<br />

koordinat ruang saja. Hasilnya adalah dua<br />

persamaan diferensial biasa:<br />

2<br />

∂ X(x)<br />

2<br />

+ λ X(x) = 0<br />

2<br />

∂x<br />

∂ (t)<br />

+ λ<br />

∂t<br />

T 2<br />

K<br />

T(t)<br />

Cp<br />

= 0<br />

(15)<br />

(16)<br />

dengan: λ adalah suatu konstanta untuk<br />

dihitung.<br />

Pemecahan dalam waktu nyata dari<br />

sejumlah persamaan diferensial biasa<br />

dalam suatu simulator berbasis komputer<br />

digital, membutuhkan aplikasi teknik<br />

integrasi numerik yang stabil dan waktu<br />

integrasi tertentu. Umumnya teknik<br />

integrasi Euler orde pertama sering<br />

digunakan untuk komputasi waktu nyata<br />

9


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

dalam sebagian besar aplikasi simulasi,<br />

karena kesederhanaan skema integrasinya,<br />

kendali kestabilan dan langkah waktu yang<br />

tetap. Ada dua teknik Euler yaitu : Teknik<br />

integrasi Euler eksplisit dan Teknik integrasi<br />

Euler implisit. Pilihan dari teknik Euler yang<br />

akan digunakan tergantung analisis kondisi<br />

kestabilan numerik untuk sejumlah<br />

persamaan yang akan dicari<br />

penyelesaiannya.<br />

Aplikasi simulasi meliputi<br />

penyelesaian persamaan diferensial dan<br />

persamaan aljabar dalam bentuk matriks<br />

yang sangat besar. Ukuran matriks yang<br />

besar jika berisi matriks dengan nilai yang<br />

sangat kecil dan yang sangat besar,<br />

misalnya untuk menyelesaikan persamaan<br />

kekekalan massa dan momentum (tekanan<br />

dan aliran mempunyai konstanta waktu<br />

yang sangat kecil) dan termodinamik<br />

(temperatur mempunyai konstanta waktu<br />

besar), maka matriks tersebut disebut<br />

matriks ”stiff”. Untuk menghitung inverse<br />

dari suatu matriks ”stiff” secara komputasi<br />

adalah sangat mahal dan tidak dapat<br />

dilakukan oleh komputer PC dalam waktu<br />

nyata.<br />

3.2. Validitas dan Reliabilitas<br />

Model simulasi dinamik harus<br />

berlaku diseluruh daerah operasi PLTN,<br />

sebagai contoh: cold start, plant warmup,<br />

loading, full load, unloading, cooldown,<br />

shutdown. Sebagai tambahan, model harus<br />

dilengkapi juga dengan situasi darurat atau<br />

abnormal yang diakibatkan oleh kesalahan<br />

operator atau tidak berfungsinya alat.<br />

Memberikan hasil yang realistik merupakan<br />

kunci dari keandalan simulator dalam<br />

aplikasi pelatihan yang efektif. Model harus<br />

memenuhi beberapa kriteria keandalan<br />

yang disyaratkan, misalnya standar ANSI<br />

untuk ”Nuclear Power Plant Training<br />

Simulator” (ANSI/ANS-3.5-1981), yang<br />

menetapkan bahwa nilai perhitungan<br />

keadaan tunak untuk keseimbangan massa<br />

dan energi dan untuk parameter-parameter<br />

kritis harus dalam toleransi kesalahan ± 2%.<br />

Efektivitas suatu simulator akan jauh<br />

berkurang apabila sering terjadi kegagalan<br />

pada simulator tersebut. Kegagalan dapat<br />

disebabkan karena kerusakan pada<br />

perangkat keras atau akibat kesalahan<br />

model perangkat lunak. Sebagai contoh<br />

kegagalan model adalah akibat adanya<br />

pembagian nol, dimana suatu angka dibagi<br />

dengan angka yang lain, dan mendadak<br />

angka pembagi menjadi nol sehingga<br />

menyebabkan komputer ”crash”. Model<br />

harus melalui pengujian tertentu untuk<br />

menjamin perilaku yang sesuai walaupun<br />

ada diluar daerah jangkauan model<br />

tersebut. Sebagai contoh dalam pengujian<br />

model boiler dalam seluruh daerah operasi,<br />

dapat dilakukan pengujian kondisi ekstrim<br />

dimana seluruh air yang ada menguap. Kita<br />

lihat apakah model masih berfungsi dan<br />

memberikan hasil yang layak.<br />

4. CLASSROOM SIMULATOR<br />

IAEA (International Atomic Energy<br />

Agency) telah mensponsori pengembangan<br />

program komputer yang dioperasikan pada<br />

komputer PC untuk mensimulasikan<br />

beberapa jenis PLTN (BWR, PWR dan<br />

PHWR), dalam rangka membantu negaranegara<br />

anggota dalam pendidikan dan<br />

pelatihan. Tujuannya adalah untuk<br />

meningkatkan wawasan dan pengetahuan<br />

praktis mengenai rancangan dan<br />

karakteristik operasi reaktor, serta tindakantindakan<br />

yang harus dilakukan menghadapi<br />

gangguan dan situasi kecelakaan.<br />

Peralatan dan proses yang dimodelkan<br />

pada simulator adalah menggambarkan<br />

karakteristik PLTN yang sebenarnya.<br />

Walaupun demikian, untuk tujuan simulator<br />

pendidikan, ada beberapa penyederhanaan<br />

dan asumsi-asumsi yang dibuat pada<br />

model dan tidak mengarah pada rancangan<br />

dan keandalan dari PLTN komersial<br />

tertentu. Yang penting diketahui adalah<br />

bahwa tanggap yang diberikan simulator<br />

dalam situasi kecelakaan jangan digunakan<br />

untuk tujuan analisis keselamatan.<br />

Misalnya tanggap dari model dalam<br />

mengestimasi keadaan transien pada<br />

waktu kecelakaan, mungkin<br />

disederhanakan hanya persamaan<br />

diferensial orde pertama saja.<br />

Simulator tersebut dijalankan pada<br />

komputer PC untuk beroperasi dalam waktu<br />

nyata dan memberikan tanggap dinamik<br />

dengan ketaatan yang cukup baik.<br />

Simulator juga dilengkapi dengan<br />

antarmuka manusia-mesin untuk meniru<br />

instrumentasi pada panel kendali yang<br />

sebenarnya dan memungkinkan pemakai<br />

dapat berinteraksi dengan simulator.<br />

Seluruh parameter PLTN yang kritis<br />

terhadap beroperasinya unit dapat<br />

ditampilkan, yaitu parameter-parameter<br />

yang menentukan proses utama, sistem<br />

kendali dan sistem pelindung. Interaksi<br />

antara pemakai dan komputer adalah<br />

melalui kombinasi antara penayangan<br />

monitor, mouse dan keyboard.<br />

Pengembangan model dilakukan dengan<br />

pendekatan modular. Model-model dasar<br />

adalah kombinasi dari persamaan<br />

diferensial orde pertama, persamaan<br />

aljabar dan hubungan logika.<br />

10


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Dalam simulasi reaktor kali ini, kita<br />

akan menampilkan unit-unit dari<br />

pembangkit listrik tenaga nuklir jenis air<br />

ringan (light-water reactor) yaitu PWR<br />

(pressurized-water reactor) dan BWR<br />

(boiling-water reactor) dan membandingkan<br />

antara keduanya. Gambar 2<br />

memperlihatkan sistem PWR 600 Mwe<br />

dengan dua steam generator, 4 loop<br />

resirkulasi dan satu pressurizer di dalam<br />

sistem. PWR mempunyai dua saluran<br />

pendingin (primer dan sekunder). Pendingin<br />

primer dialirkan kedalam inti oleh pompa<br />

resirkulasi dan mengalir membawa panas<br />

Simulator PWR mempunyai 14<br />

tayangan layar interaktif dimana diatas dan<br />

dibawah tayangan diberikan informasi<br />

proses (21 alaram dan pemberitahuan<br />

keadaan). Dibawah layar ditampilkan<br />

parameter-parameter utama PLTN yaitu :<br />

Reactor Neutron Power (%), Reactor<br />

Thermal Power (%), Generator Output (%),<br />

Primary Coolant Pressure (kPa), Core Flow<br />

(kg/sec), Main Steam Pressure (kPa), BOP<br />

Steam Flow (Kg/sec). Dibagian kiri bawah<br />

diberikan tombol inisialiasi untuk dua<br />

kejadian besar pada PLTN: Reactor Trip<br />

dan Turbine Trip. Reactor Power Demand<br />

Gbr. 2 – Simulasi PLTN jenis PWR.<br />

ke heat exchanger. Kondisi operasi normal<br />

PWR pada inti reaktor adalah air dalam<br />

fasa cairan. Pembangkitan uap terjadi<br />

hanya pada fase kedua dari siklus daya,<br />

disebut dengan ”steam generators”.<br />

Tekanan sistem primer dipertahankan oleh<br />

suatu pressurizer yang menggunakan<br />

pemanas listrik untuk memberikan<br />

pemanasan dan tekanan udara, dan<br />

semprotan (spray) untuk pendinginan dan<br />

mengurangi tekanan udara. Kendali daya<br />

reaktor dilakukan dengan kombinasi<br />

beberapa kumpulan batang kendali, boron<br />

cair hanya digunakan untuk masalahmasalah<br />

terbatas. Tidak ada air mendidih<br />

pada inti reaktor PWR selama operasi<br />

normal, sehingga tidak ada perubahan<br />

densitas yang besar pada inti reaktor,<br />

berbeda dengan inti BWR yang selama<br />

transien terjadi perubahan densitas yang<br />

cukup besar.<br />

Setpoint (SP) ditentukan oleh masukan dari<br />

operator atau fungsi terbatas otomatis<br />

(Reactor Stepback atau Reactor Setback).<br />

Turbin trip transien terjadi sebagai akibat<br />

dari load rejection atau tidak berfungsinya<br />

turbin. Reactor trip (reactor scram) adalah<br />

tindakan perlindungan reaktor yang<br />

dilakukan oleh Reactor Safety Shutdown<br />

System ketika mendeteksi alaram karena<br />

dilampauinya batas oleh parameterparameter<br />

tertentu pada inti reaktor, aliran<br />

pendingin dan sistem BOP (Balance of<br />

Plant).<br />

5. KESIMPULAN<br />

Kecelakaan nuklir yang terjadi akhirakhir<br />

ini umumnya disebabkan oleh<br />

kesalahan manusia. Kecelakaan tersebut<br />

dapat dicegah dan dihindari apabila<br />

operator dapat bertindak cepat dan tepat,<br />

sesuai prosedur. Karena itu operator-<br />

11


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

operator PLTN perlu dididik dan dilatih<br />

secara kontinyu, baik dalam kondisi normal<br />

maupun kondisi pengoperasian PLTN yang<br />

abnormal, dengan menggunakan Full<br />

Scope Training Simulator. Dalam persiapan<br />

pembangunan PLTN dan untuk mendidik<br />

dan melatih personal sebelum Full Scope<br />

Training Simulator dapat beroperasi,<br />

Classroom Simulator dapat digunakan<br />

sebagai pelengkap yang murah dan efektif.<br />

Pengembangan PLTN generasi baru<br />

telah menerapkan teknologi nuklir dengan<br />

kehandalan tinggi terhadap tuntutan<br />

keamanan yang semakin ketat dan<br />

persaingan harga yang semakin kompetitif.<br />

Rancangan baru PLTN telah<br />

menerapkan ”computer aided diagnostics”<br />

untuk memberikan indikasi dini jika terjadi<br />

ketidak normalan pada komponen atau<br />

sensor. Untuk menjamin keselamatan<br />

pengoperasian PLTN, maka dipasang<br />

sistem instrumentasi dan kontrol yang<br />

termaju, perawatan secara on-line dan<br />

kemungkinan penerapan sistem pakar.<br />

Untuk itu dibutuhkan simulator pelatihan<br />

PLTN yang lebih baik, kalau perlu dengan<br />

menerapkan teknologi realitas virtual yang<br />

dapat memberikan gambaran ruang yang<br />

lebih lengkap.<br />

12


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Peranan Simulasi Dan Komputasi Dalam Industri Proses<br />

Ade Jamal<br />

Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi dan Elektronika,<br />

BPP Teknologi<br />

Gedung BPPT II lt.. 4, Jl. MH Thamrin 8, Jakarta 10340<br />

1. Latar Belakang<br />

Negara Indonesia sebagai salah satu<br />

negara penghasil minyak dan gas (migas)<br />

terbesar di dunia, pastilah tidak akan lepas<br />

dari industri proses. Mulai dari pengeboran<br />

(produksi), penyulingan, sampai ke industri<br />

petrokimia sebagai turunan dari industri<br />

migas ada di negara ini.<br />

Sektor industri proses ini sebagai salah<br />

satu buah dari perkembangan teknologi<br />

industri di awal abad 20, mulai dari awal<br />

sejarahnya diketahui sebagai sektor yang<br />

memerlukan kemampuan teknologi yang<br />

tinggi. Kemampuan ini dituntut bukan hanya<br />

karena kepentingan ekonomis dari industri,<br />

tapi lebih penting karena faktor keselamatan,<br />

khususnya keselamatan jiwa manusia yang<br />

berhubungan dengan industri tersebut.<br />

Beberapa contoh mulai dari awal sejarah<br />

revolusi industri, ketel uap kapal Sultana<br />

pada tahun 1865 meledak dan meminta<br />

korban jiwa sampai 1500 orang. Ledakanledakan<br />

lain terus terjadi, sehingga negaranegara<br />

industri awal dipelopori oleh Amerika<br />

pda tahun 1906 membuat undang-undang<br />

untuk bejana dan pipa tekan yang<br />

merupakana pokok utama dari industri proses.<br />

Selain faktor keamanan, industriawan<br />

juga dihadapi oleh masalah biaya yang tinggi<br />

baik untuk investasi maupun produksi dalam<br />

industri proses ini. Perbaikan desain,<br />

pembangunan, pengoperasian dan<br />

perawatan dari industri proses terus<br />

dilakuakan baik demi keamanan maupun<br />

kepentingan finansial.<br />

Sebelum ditemukannya komputer<br />

semua kegiatan dalam siklus umur sebuah<br />

industri proses: desain, enjiniring, konstruksi,<br />

operasi, perawatan, dilakukan secara manual.<br />

Kemajuan perkembangan teknologi komputer<br />

khususnya tiga dasa warsa terakhir membuat<br />

banyak perubahan di segala lini dan fase dari<br />

siklus hidup industri proses ini .<br />

2. Siklus Industri Proses<br />

Siklus dari sebuah industri proses<br />

dimulai dari meja kerja perekayasa membuat<br />

konsep desain proses sampai setelah industri<br />

itu beroperasi dan memberikan masukan dan<br />

data kembali ke meja kerja enjinir untuk<br />

perbaikan konsep bahkan pembuatan konsep<br />

baru.<br />

Segala kegiatan di tiap tahap<br />

tergantung dari informasi tahapan<br />

sebelumnya dan menuntut penyampaian<br />

informasi ini dengan akurat dan cepat.<br />

Khususnya di fase perancangan<br />

keterbatasan waktu yang disediakan<br />

merupakan hal yang sangat penting dalam<br />

siklus ini. Difase operasi terbukti bahwa<br />

automasi telah banyak membantu dan<br />

memberikan peningkatan efisiensi produksi<br />

dan tingkat keamanan yang tinggi.<br />

Pengolahan data yang benar dan terintegarsi,<br />

mulai dari perancangan, sampai operasi,<br />

memberikan kemudahan untuk perawatan<br />

dan juga menjadi kunci penting dari<br />

perbaikan perancangan selanjutnya.<br />

Kemajuan teknologi komputer saat ini<br />

memberikan solusi yang tepat untuk tuntutan<br />

ini.<br />

3. Teknologi Komputer di Industri Proses<br />

Sejarah telah membuktikan bahwa<br />

teknologi industri proses ini sudah mencapai<br />

kedewasaannya di pertengahan abad 20,<br />

sementara teknologi komputer baru saja<br />

ditemukan saat itu. Selain karena itu<br />

ditambah dengan karakter umum dari pelaku<br />

industri proses yang konservatif, maka<br />

penerapan teknologi komputer di industri<br />

proses, khususnya dibidang perekayasaan<br />

tidaklah secepat di bidang lainya seperti<br />

bidang niaga, perbankan dan telekomunikasi<br />

maupun industri manufaktur.<br />

Dua dasa warsa terakhir, dengan<br />

semakin populernya PC, pemain-pemain<br />

lama mulai dikejar oleh orang muda yang<br />

lebih dapat menerima komputer sebagai alat<br />

bantu kerjanya.<br />

13


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Di fase operasi, teknik kontrol dari<br />

proses sebelum era komputer digital telah<br />

dikenal dengan menggunakan teknologi<br />

analog (elektrikal, pneumatis maupun<br />

hidraulis). Peralihan ke teknik kontrol<br />

berbasis komputer digital merupakan hal<br />

yang logis. Walaupun lebih mudah diterima,<br />

sifat konservatif dari pihak industri tertampak<br />

dengan mengharuskan sistem cadangan<br />

yang manual atau semi manual.<br />

Fase perancangan baik konsep<br />

maupun detail merupakan lahan kedua yang<br />

menerima masuknya teknologi komputer.<br />

Disini campur tangan dari pihak enjiniiring<br />

dan kontraktor yang melihat potensi teknologi<br />

komputer ini sebagai alat bantu mendapatkan<br />

keuntungan yang lebih besar karena<br />

kemungkinan berkurangnya biaya pekerja<br />

(jam kerja). Penggunaan komputer di fase<br />

perancangan bisa diklasifikasikan menjadi<br />

dua, yaitu perancangan dalam arti gambar<br />

berbasis komputer (CAD) dan perancangan<br />

dalam arti analisa enjiniring (komputasi CAE).<br />

Penerimaan teknologi dari dua jenis ini agak<br />

berbeda. CAD yang teknologinya sebetulnya<br />

lebih lambat berkembangnya karena antara<br />

lain membutuhkan peralatan komputer grafis<br />

yang canggih, tapi lebih cepat diterimanya di<br />

dunia enjiniring sebagai pengganti pena,<br />

penggaris dan kertas. Satu dasa warsa<br />

terakhir ini kemajuan komputer grafis<br />

sangatlah cepat melampaui kemajuan dari<br />

teknologi komputasi/CAE yang lebih dahulu<br />

dikembangkan, yaitu tidak lama sesudah<br />

komputer ditemukan.<br />

Dalam fase perancangan konsep,<br />

komputasi dan simulasi proses merupakan<br />

alat bantu dari sumber informasi utamanya<br />

yaitu, eksperimen dan pengalaman ataupun<br />

masukkan dari data operasi industri yang<br />

sudah jalan. Berhubung ketergangtungan<br />

akan data-data eksperimen, dan data-data<br />

dari industri yang sudah beroperasi,<br />

komputasi dan simulasi untuk perancangan<br />

konsep biasanya tidak mudah didapat oleh<br />

umum dan kalaupun ada harganya sangat<br />

tinggi.<br />

Selain di fase perancangan dan<br />

operasi, teknologi komputer tidak begitu<br />

dikenal sampai beberapa tahun terakhir,<br />

dimana Mangement Information System<br />

(MIS) juga masuk kedunia industri proses.<br />

Pengembang CAD yang telah lebih dahulu<br />

memiliki market disini, mengantisipasi<br />

dengan mengembangkan produknya tidak<br />

hanya sekedar alat bantu menggambar, tapi<br />

merupakan bagian dari MIS. Dan lebih jauh<br />

dari itu keseluruhan siklus hidup dari Industri<br />

proses tersebut dilayani oleh satu paket<br />

produknya. Kecenderungan yang sangat<br />

berambisi ini menjiwai perkembangan<br />

teknologi komputer didunia industri proses.<br />

Hanya saja pemakaian teknologi ini dan<br />

dampak positifnya masih harus dibuktikan<br />

untuk mempertanggung jawabakna investasi<br />

yang tidak kecil.<br />

4. Peranan Komputasi dan Simulasi<br />

Telah disebutkan diatas bahwa<br />

penerapan teknologi komputasi dan simulasi,<br />

secara kuantitas, lebih rendah dibandingkan<br />

penerapan misalnya otomasi proses kontrol<br />

dan teknologi CAD. Tapi peranan bidang ini<br />

mulai meningkat karena ada kebutuhan yang<br />

lebih tinggi misalnya untuk efisiensi dari<br />

pabrik industri yang sudah beroperasi, atau<br />

adanya keinginan menaikkan jumlah produksi,<br />

atau untuk mengevaluasi umur pabrik yang<br />

berdasarkan spesifikasi rancangan sudah<br />

uzur. Untuk tujuan seperti ini kegunaan<br />

teknologi komputasi dan simulai tidak bisa<br />

diabaikan.<br />

Selain alasan tadi, pelaku industripun<br />

belajar dari pengalaman mengoperasikan<br />

pabriknya, bahwa banyak hal yang sering<br />

diabaikan dalam perancangan ternyata harus<br />

dibayar mahal dalam perawatannya. Sebagai<br />

contoh saja, vibrasi sonik yang selalu<br />

dihindarkan dengan aturan standar (rule of<br />

thumb), dapat mengakibatkan getaran pada<br />

klep pengontrol yang mengakibatkan<br />

kebocoran. Problem-problem praktis ini<br />

biasanya tidak diantisipasi pada fase<br />

perancangan detail karena sifat dinamis dari<br />

permasalahannya. Dunia enjiniring selalu<br />

menyederhanakan permasalahan karena<br />

alasan waktu yang tersedia bagi mereka<br />

dalam menyelesaikan tugas perancangannya.<br />

Kalau dulu, problem dinamis biasanya<br />

diselesaikan secara lapangan (field trouble<br />

shooting) atau mungkin juga dibawa<br />

kelaboratorium penelitian atau akademis<br />

untuk dicari solusinya, operator yang sering<br />

menemukan permasalahan ini mulai<br />

menuntut pihak enjiniring dan kontraktor<br />

untuk meningkatkan spesifikasi<br />

rancangannya dengan memasukkan<br />

permasalahan dinamis ini. Disini peranan<br />

komputasi dan simulasi akan diuji lebih jauh<br />

kegunaan praktisnya.<br />

5. Penutup- Kondisi di Indonesia<br />

Harus kita akui bahwa sebagai negara<br />

yang sedang berkembang menuju negara<br />

industri, negara kita tidaklah lebih baik<br />

dibandingkan dengan negara lain. Dengan<br />

tingkat “melek komputer” yang baru<br />

meningkat, bangsa kita belumlah cukup<br />

menikmati kemajuan teknologi komputer<br />

semaksimal mungkin di industri proses ini.<br />

Perancangan konsep, yang<br />

sebenarnya awal dari siklus tertutup industri<br />

proses masih belum banyak yang berani<br />

menyentuhnya. Walaupun ini merupakan inti<br />

14


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

dari ilmu industri proses, kita masih sangat<br />

menggantungkan diri ke negara maju.<br />

Perancangan detail dan enjiniring sudah<br />

mulai dilakukan sendiri oleh putra bangsa,<br />

walaupun disana-sini expat masih sering<br />

ditemukan. Khususnya untuk hal-hal yang<br />

berhubungan dengan komputasi dan simulasi<br />

orang Indonesia masih belum cukup<br />

menghargai kemampuan diri sendiri. Hanya<br />

di bidang teknik struktur sipil, sumber daya<br />

manusianya cukup tersedia. Untuk bidang<br />

seperti mekanikal apalagi proses masih<br />

terlalu langka.<br />

Walaupun demikian tidaklah benar<br />

kalau negara kita dibilang ketinggalan dalam<br />

menerapkan teknologi komputer di duinia<br />

industri proses kita. Untuk otomasi proses,<br />

instrumentasi dan kontrol, industri kita sudah<br />

menggunakan peralatan yang berteknologi<br />

“state of the art”.<br />

Daftar Pustaka<br />

1. Bausbacher, E. and Hunt, R., Process<br />

Plant Layout and Piping Design, Prentice<br />

Hall, Englewood Cliffs.<br />

2. Ertas, A. and Jones, J.C., 1996, The<br />

Engineering Design Process, John Wiley<br />

& Sons.<br />

3. Jawad, M. H. and Farr, J.R., 1984,<br />

Structural Analysis and Equipment<br />

Design of Process Equipment, A Wiley-<br />

Interscience Publication, John Wiley &<br />

Sons.<br />

4. Woods, G.E. and Baguley, R.B. 1996,<br />

Practical Guide to ASME B31.3, Process<br />

Piping, , CASTI Publishing Inc.<br />

5. Adams, V. and Askenazi, A., 1999,<br />

Building Better Products with Finite<br />

element Analysis,OnWord Press, USA.<br />

15


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Konstruksi dan Pengembangan Pengolah Paralel<br />

Menggunakan Klaster PC<br />

Ir. Hermawan K. Dipojono, MSEE, Ph.D<br />

DEPARTEMEN TEKNIK FISIKA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Klaster komputer pribadi (KP) atau<br />

personal computer (PC) adalah kumpulan<br />

KP yang terhubungkan dalam sebuah<br />

jaringan komputer dan berfungsi sebagai<br />

sebuah komputer untuk menyelesaikan<br />

suatu persoalan secara serempak<br />

(simultaneous). Oleh karena itu dengan<br />

menggunakan klaster KP ini diharapkan<br />

suatu program atau persoalan dapat<br />

dieksekusi dengan lebih cepat. Sudah<br />

barang tentu hanya problema yang dapat<br />

dipilah-pilah menjadi bagian-bagian yang<br />

dapat diproses secara terpisahlah yang<br />

dapat memanfaatkan secara maksimal<br />

fasilitas klaster KP ini.<br />

Kami memilih klaster KP sebagai<br />

pengganti komputer super karena melihat<br />

adanya sejumlah keuntungan yaitu:<br />

• Setiap KP di dalam klaster<br />

merupakan sistem yang lengkap<br />

sehingga dapat digunakan untuk<br />

berbagai keperluan lainnya. Dengan<br />

demikian pada saat tidak digunakan<br />

untuk keperluan komputasi intensif<br />

masingmasing mesin dapat<br />

digunakan untuk keperluan lainnya<br />

sehingga tidak terjadi kesia-siaan.<br />

• Dengan meningkatnya kebutuhan<br />

jaringan komputer maka hampir<br />

seluruh perangkat keras yang<br />

diperlukan untuk membangun klaster<br />

telah tersedia di pasaran. Lebih dari<br />

itu perangkat keras yang dibutuhkan<br />

itu telah membanjiri pasar sehingga<br />

harganyapun terus menurun.<br />

Penghematan masih dapat terus<br />

dilakukan mengingat bahwa<br />

sebenarnya untuk seluruh klaster<br />

hanya diperlukan sebuah monitor,<br />

sebuah video card, dan sebuah<br />

keyboard saja.<br />

• Skala klaster dapat sangat besar,<br />

dengan sedikit kerja tambahan<br />

klaster ini dapat diperluas sehingga<br />

mempunyai anggota dalam jumlah<br />

ratusan, bahkan seluruh internet<br />

dapat dilihat sebagai sebuah klaster.<br />

• Mengganti sebuah anggota klaster<br />

yang rusak dapat dilakukan dengan<br />

sangat mudah dan sederhana. Ini<br />

penting khususnya untuk<br />

penggunaan yang menuntut toleransi<br />

perbaikan yang amat tinggi.<br />

• Telah tersedianya berbagai aplikasi<br />

publik yang mendukung<br />

pengembangan klaster KP sebagai<br />

sistem pengolah paralel.<br />

• Harganya yang jauh lebih murah<br />

dibanding, namun mempunyai kinerja<br />

yang sebanding, dengan komputer<br />

super.<br />

Penelitian ini telah kami lakukan di<br />

Laboratorium Komputasi Sains Materi dan<br />

Komputasi Kinerja Tinggi, Departemen<br />

Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri,<br />

Institut Teknologi Bandung dalam dua<br />

tahun terakhir ini. Pada tahap awal ini kami<br />

menggunakan 4 buah KP, sistem operasi<br />

LINUX, dan paralelisasi dengan MPI<br />

(Message Passing Interface). Pada saat ini<br />

kami mengembangkan klaster sehingga<br />

mempunyai anggota 8 KP dan selanjutnya<br />

berencana untuk memanfaatkan ratusan<br />

KP yang telah terhubungkan dalam suatu<br />

jaringan komputer dengan LAN. Pada awal<br />

kegiatan dalam penelitian ini kami fokuskan<br />

pada instalasi berbagai perangkat keras,<br />

perangkat lunak, dan uji kinerja klaster.<br />

Seluruh perangkat lunak yang kami<br />

gunakan sepenuhnya berasal dari domain<br />

publik. Melalui penelitian ini kami berharap<br />

dapat membangun sebuah perangkat<br />

komputasi yang dapat digunakan untuk<br />

memecahkan problema fisis yang<br />

memerlukan komputasi intensif. Penelitian<br />

ini, pada tahun pertama, bertujuan untuk:<br />

• Membangun, menguji dan<br />

mengembangkan sistem pengolah<br />

paralel menggunakan klaster KP<br />

dengan memanfaatkan semaksimal<br />

mungkin sistem operasi dan aplikasi<br />

publik sehingga dapat menekan<br />

biaya serendah mungkin<br />

Keberhasilan dalam membangun dan<br />

mengembangkan sistem pengolah paralel<br />

murah melalui penggabungan sejumlah KP<br />

ini akan membuka kemungkinan<br />

penggunaannya di berbagai bidang yang<br />

memerlukan komputasi intensif tanpa harus<br />

menggunakan komputer super yang amat<br />

mahal. Dalam penelitian selanjutnya kami<br />

akan memanfaatkannya untuk meneliti<br />

sistem atom-atom dan elektron-elektron<br />

yang amat memerlukan komputasi intensif.<br />

Meskipun demikian tidak berarti bahwa<br />

16


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

bidang-bidang lainnya, termasuk bidang<br />

atau ilmu sosial, tidak dapat memanfaatkan<br />

fasilitas komputasi paralel ini.<br />

Di samping itu dalam masa-masa<br />

mendatang akan terdapat ribuan komputer<br />

yang sudah dianggap kuno, tidak dapat<br />

digunakan untuk mengolah aplikasi terbaru<br />

lagi, padahal jika mereka digabung dalam<br />

klaster sebenarnya masih mempunyai<br />

kemampuan yang hebat. Oleh karena itu<br />

penguasaan teknologi klaster ini menjadi<br />

suatu keharusan bagi institusi pendidikan<br />

dan penelitian yang mempunyai dana<br />

terbatas namun menghadapi problematika<br />

komputasi yang amat intensif. Makalah<br />

yang singkat ini akan menyampaikan<br />

pengalaman kami dalam membangun dan<br />

memanfaatkan klaster KP untuk keperluan<br />

simulasi dinamika molekul sistem fisis<br />

kompleks yang amat memerlukan<br />

komputasi yang amat intensif. Menjadi<br />

harapan kami laporan kegiatan ini akan<br />

membuka sinergi dengan peneliti, penekun,<br />

dan pengguna klaster KP di manapun<br />

mereka berada. Kami berharap hasil<br />

penelitian kami dalam usaha untuk<br />

menguasai teknologi klaster ini dapat<br />

dimanfaatkan oleh rekan- rekan peneliti<br />

maupun pengajar dari manapun mereka<br />

berasal dan di manapun mereka berada.<br />

2 TINJAUAN PUSTAKA<br />

Secara generik klaster KP terdiri atas<br />

sejumlah KP yang terhubungkan dengan<br />

sebuah pemutus berkecepatan tinggi (high<br />

speed switch). Jadi setiap anggota klaster<br />

merupakan sebuah sistem tersendiri yang<br />

mempunyai pengolah (processor), baik<br />

tunggal maupun jamak, memori, sistem<br />

operasi, dan perangkat I/O (input output)<br />

sendiri. Anggota-anggota klaster ini dapat<br />

ditempatkan di sebuah tempat bersamasama<br />

atau terpisah secara fisik dan<br />

dihubungkan oleh suatu jaringan<br />

komunikasi komputer [1].<br />

Paradigma pemrograman serial hadir<br />

terlebih dahulu dibanding paradigma paralel.<br />

Perbedaan utama dari kedua paradigma ini<br />

terletak pada jumlah penggunaan pengolah<br />

dan jumlah program yang bekerja. Pada<br />

pemrograman serial hanya terdapat satu<br />

program yang bekerja pada sebuah mesin<br />

dengan pengolah tunggal beserta sejumlah<br />

memori. Sedangkan dalam paradigma<br />

pemrograman paralel, sebuah program<br />

bekerja di banyak mesin yang masing<br />

masingnya dapat mempunyai pengolah<br />

tunggal ataupun jamak dan mempunyai<br />

sejumlah memori, serta bekerja secara<br />

simultan untuk memecahkan sebuah<br />

persoalan yang dapat dipilah-pilah<br />

sehingga dapat diselesaikan secara paralel.<br />

Agar pelaksanaan atau eksekusi paralel<br />

dapat berlangsung dengan baik maka<br />

dibutuhkan kerjasama yang baik antar<br />

pengolah itu. Untuk koordinasi kerjasama<br />

tersebut dibutuhkan sarana komunikasi<br />

antar pengolah. Dalam penelitian ini kami<br />

menggunakan fasilitas message passing<br />

(MP) untuk komunikasi antar pengolah.<br />

Paradigma MP berkembang sangat pesat<br />

akhir-akhir ini. Alasan utama dari<br />

banyaknya pengguna MP adalah karena ia<br />

dapat mendukung hampir semua arsitektur<br />

komputer. Program yang dibuat dengan<br />

menggunakan MP ini dapat digunakan di<br />

sistem klaster maupun sistem komputer<br />

pengolah tunggal [2]. Pada saat ini ada dua<br />

sistem MP yang sering dipakai untuk<br />

aplikasi sains dan rekayasa, yaitu PVM<br />

(Parallel Virtual Machine) dari Oak Ridge<br />

National Laboratory [3] dan MPI (Message<br />

Passing Interface) yang ditetapkan oleh<br />

Forum MPI. Klaster KP kami menggunakan<br />

MPI varian<br />

3 PEMBUATAN SISTEM KLASTER<br />

Perangkat yang digunakan dalam<br />

pembuatan klaster kami terdiri atas<br />

perangkat keras dan perangkat lunak<br />

dengan rincian sebagai berikut:<br />

1. Perangkat Keras<br />

• 8 buah KP dengan pengolah Pentium<br />

4, 2 GHz, memori DDRAM 256MB,<br />

hard disk 40 GB, dan kartu ethernet<br />

3 Com 3c905 Boomerang<br />

• Kabel UTP kategori 5 dengan<br />

konektor RJ45<br />

• 1 buah switch hub Cisco Catalyst seri<br />

2950<br />

• 1 CDROM untuk instalasi perangkat<br />

lunak<br />

• 1 buah keyboard, 1 buah monitor dan<br />

1 buah mouse<br />

2. Perangkat Lunak<br />

• Sistem operasi RedHat Linux 8.0<br />

dengan kernel 2.4.20<br />

• MOSIX 1.9.0 untuk kernel 2.4.20<br />

• MPICH 1.2.5 sebagai perangkat<br />

lunak message passing<br />

• Compiler gcc versi 3.2<br />

• Program ganglia versi 2.5.3 untuk<br />

memantau klaster melalui web<br />

browser<br />

• Program benchmark HPL versi 1.0<br />

• Program benchmark throughput<br />

jaringan netperf versi 2.2 p14<br />

• Program DFT++ versi 3.0<br />

• Library FFTW versi 2.1.3<br />

• Library ATLAS versi 3.4.1 yang<br />

menyediakan LAPACK secara<br />

lengkap<br />

17


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

3.1 Prosedur Pembuatan<br />

Prosedur pembuatan sistem klaster<br />

yang telah kami lakukan pada prinsipnya<br />

dapat dibedakan atas dua jenis prosedur<br />

yaitu prosedur instalasi perangkat keras<br />

dan prosedur instalasi perangkat lunak.<br />

Berikut ini rincian dari kedua jenis prosedur<br />

yang kami gunakan untuk pembuatan<br />

sistem klaster.<br />

3.1.1 Instalasi Perangkat Keras<br />

Topologi jaringan yang digunakan<br />

untuk klaster ini adalah jenis bintang(star)<br />

di mana semua simpul (node) terhubung<br />

pada hub atau switching hub.<br />

Kartu ethernet yang kami gunakan adalah<br />

kartu ethernet jenis fast ethernet 100<br />

Mbit/detik. Untuk menghubungkan kartu<br />

ethernet ke switch hub kami menggunakan<br />

kabel UTP kategori 5 yang biasa digunakan<br />

pada jaringan 100 Mbits/detik. Untuk<br />

menjaga kestabilan tenaga listrik kami<br />

menggunakan stabilizer sedangkan untuk<br />

menjaga catu daya kami menggunakan<br />

UPS.<br />

3.1.2 Instalasi Perangkat Lunak<br />

Ada sejumlah perangkat lunak yang<br />

diperlukan dalam pembangunan klaster ini.<br />

Kesemua aplikasi ini sengaja kami<br />

usahakan untuk dapat diperoleh secara<br />

cuma-cuma (open source codes) dari situs<br />

publik sehingga mengurangi beban biaya.<br />

Dalam laporan ini rincian instalasi kami<br />

sajikan secara rinci sehingga publik dapat<br />

memanfaatkannya secara maksimal.<br />

Instalasi Sistem Operasi Linux<br />

Perangkat lunak yang pertama kali<br />

dipasang adalah sistem operasi yang<br />

dalam hal ini kami menggunakan Linux<br />

RedHat versi 8.0. Hal ini dapat dilakukan<br />

dengan pertama mengubah setting pada<br />

BIOS komputer agar memulai proses<br />

booting dari CDROM. Selanjutnya instalasi<br />

akan mendapat bimbingan langsung (on<br />

line). Di samping itu kami juga merasa perlu<br />

untuk memasang Java Development Kit<br />

(JDK) versi 1.3.1 sehingga<br />

programprogram dalam bahasa Java<br />

nantinya dapat pula ditangani oleh klaster<br />

kami.<br />

Pemberian Alamat IP (internet protocol)<br />

root > ls<br />

j2sdk-1 3 1 02-linux-i386.bin<br />

root > chmod 755 j2sdk-1 3 1 02-linux-i386.bin<br />

root > ./j2sdk-1 3 1 02-linux-i386.bin<br />

Gambar 1. Perintah instalasi Java<br />

Development Kit.<br />

Untuk membedakan antara satu<br />

anggota dengan anggota klaster lainnya<br />

maka setiap anggota diberi alamat IP yang<br />

berbeda. Pengalokasian alamat IP kami<br />

lakukan dengan menggunakan standar<br />

yang digariskan oleh IANA (Internet<br />

Assigned Numbers Authority). Badan inilah<br />

yang menjaga agar tidak terjadi konflik<br />

karena ada pemakaian IP yang sama.<br />

Berdasarkan RFC1597 untuk jaringan<br />

pribadi (private) dapat dipakai alokasi IP<br />

sebagai berikut:<br />

• Jaringan kelas A: 10.0.0.0 - 10.255.255.255<br />

• Jaringan kelas B: 172.16.0.0 -<br />

172.31.255.255<br />

• Jaringan kelas C: 192.168.0.0 -<br />

192.168.255.255<br />

Karena sistem klaster yang kami<br />

kembangkan saat ini hanya mempunyai<br />

anggota sebanyak 8 KP maka yang<br />

digunakan adalah kelas C. Untuk anggota<br />

nomor 1 kami beri alamat IP 192.168.1.1<br />

dan untuk anggota lainnya kami beri alamat<br />

192.168.1.x dengan x merupakan nomor<br />

urut anggota selanjutnya.<br />

Instalasi Remote Shell<br />

Remote shell dipasang dalam klaster<br />

dengan tujuan agar login ke remote host<br />

dapat dilakukan tanpa password. Layanan<br />

remote shell (rsh) dapat tersedia di setiap<br />

anggota klaster dengan cara mengaktifkan<br />

terlebih dahulu server rsh dan rlogin. Daftar<br />

anggota yang diijinkan mengakses layanan<br />

rsh disimpan di dalam file rhost yang<br />

terletak di home directory setiap anggota<br />

klaster. Sedangkan jika diinginkan<br />

konfigurasi yang berlaku secara global<br />

maka daftar nama anggota disimpan pada<br />

file /etc/hosts.equiv. login ke anggota yang<br />

lain dapat dilakukan dengan menggunakan<br />

perintah rsh. Jika konfigurasi telah<br />

dilakukan secara benar maka login akan<br />

secara otomatis memindahkan layanan<br />

kerja ke anggota yang dituju tanpa<br />

memerlukan password lagi.<br />

Gambar 2. rsh dari anggota nomor 1 ke<br />

root@anggota-1 root > ssh node-2<br />

root@anggota-2 root ><br />

anggota nomor 2<br />

Instalasi Secure Shell (ssh)<br />

ssh adalah layanan sejenis rsh<br />

namun disertai adanya enkripsi terhadap<br />

data. Jika diinginkan agar tidak perlu<br />

memasukkan password pada saat login ke<br />

anggota klaster yang lain maka perlu dibuat<br />

sebuah kunci pengenalan authentication<br />

key yang terdiri dari sebuah public key<br />

untuk eknripsi data dan sebuah kunci<br />

18


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

pribadi (private key) untuk melakukan<br />

dekripsi (decrypt) data. Untuk membuat<br />

sebuah kunci pengenalan dapat digunakan<br />

program ssh-keygen diikuti dengan<br />

disalinnya file ~/.ssh/id_rsa.pub ke dalam<br />

file ~/.ssh/authorized_keys2 yang harus<br />

selalu ada di setiap anggota klaster.<br />

root@anggota-1 root > rsh node-2<br />

Last login: Mon Oct 2 05:04:01 from master<br />

root@anggota-2 root ><br />

Gambar 3. ssh dari anggota nomor 1<br />

ke anggota nomor 2.<br />

Instalasi MOSIX<br />

Kami menggunakan MOSIX versi<br />

1.9.0 yang diperuntukkan bagi kernel Linux<br />

versi 2.4.20. Adapun prosedur instalasi<br />

MOSIX adalah sebagai berikut:<br />

• Ekstrak file MOSIX dengan<br />

menggunakan perintah:<br />

tar -zxvf MOSIX-1.90.tgz<br />

tar -zxvf MOSKRN-1.90.tgz<br />

tar -jxvf linux-2.4.20.tar.bz2 -C /usr/src<br />

• Masuklah ke direktori MOSIX-1.9.0<br />

dengan perintah cd MOSIX-1.9.0<br />

• Lakukan instalasi MOSIX dengan<br />

perintah ./mosix_install<br />

• Setelah itu akan muncul tampilan<br />

konfigurasi kernel<br />

• Pilih konfigurasi kernel yang sesuai<br />

dengan perangkat keras dan perangkat<br />

lunak yang kita miliki. Bagian yang<br />

harus diperhatikan antara lain adalah<br />

dukungan MOSIX, jenis pengolah, kartu<br />

jaringan dan jangan lupa matikan<br />

dukungan untuk PCMCIA dan SCSI jika<br />

memang perangkat keras<br />

pendukungnya tidak tersedia<br />

• Setelah semua konfigurasi serta<br />

kompilasi kernel selesai, reboot<br />

komputer<br />

• Tambahkan baris berikut pada file<br />

/etc/mosix.map:<br />

1 192.168.1.1 8<br />

#<br />

MOSIX CONFIGURATION<br />

# -------------------<br />

# Each line should contain 3 fields,<br />

mapping IP<br />

# addresses to MOSIXnode-numbers:<br />

# 1) first MOSIX node-number in range<br />

# 2) IP address of the above node<br />

# 3) number of nodes in this range<br />

#<br />

# MOSIX IP number-of-nodes<br />

# ---------------------<br />

1 192.168.1.1 8<br />

Gambar 4: Konfigurasi file /etc/mosix.map<br />

Setelah proses instalasi di atas<br />

selesai maka dengan menggunakan root<br />

nama-nama host untuk setiap anggota<br />

klaster (node) ditambahkan pada file<br />

/etc/hosts sehingga isinya menjadi seperti<br />

Gambar 5 di bawah ini<br />

Dengan perintah mon dapat dilihat apakah<br />

instalsi MOSIX telah sesuai dengan semua<br />

prosedur atau belum.<br />

127.0.0.1 localhost<br />

192.168.1.1 node-1<br />

192.168.1.2 node-2<br />

192.168.1.3 node-3<br />

192.168.1.4 node-4<br />

192.168.1.5 node-5<br />

192.168.1.6 node-6<br />

192.168.1.7 node-7<br />

192.168.1.8 node-8<br />

Gambar 5: Isi dari file /etc/hosts<br />

Instalasi MPICH<br />

Instalasi dilakukan dengan<br />

menggunakan MPICH versi 1.2.5 yang<br />

dapat diperoleh secara resmi dari situs<br />

MPICH melalui prosedur sebagai berikut:<br />

• Esktrak file mpich.tar.gz<br />

• Masuk ke dalam direktori mpich-1.2.5<br />

• Konfigurasi MPICH dengan prosedur<br />

berikut:<br />

1. ./configure<br />

2. --prefix=/usr/local/mpich-1.2.5<br />

3. --with-device=ch_p4mpd<br />

4. --with-arch=LINUX<br />

5. -rsh=rsh<br />

di mana di sini telah digunakan:<br />

• --prefix untuk menentukan di mana<br />

program mpich akan di install<br />

• --with-device=ch_p4mpd<br />

menentukan cara komunikasi antar<br />

anggota, yaitu dengan menggunakan<br />

metoda p4 dengan sistem startup<br />

MPD<br />

• --with-arch=LINUX yang berarti<br />

bahwa program mpich akan<br />

digunakan pada arsitektur KP<br />

dengan sistem operasi LINUX<br />

soliton@node-1 > cat machines.LINUX<br />

node-1<br />

node-2<br />

node-3<br />

node-4<br />

node-5<br />

node-6<br />

node-7<br />

node-8<br />

Gambar 6: Nama-nama anggota klaster di<br />

dalam file machines.LINUX<br />

19


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

• -rsh=rsh untuk petunjuk bahwa akses<br />

antar anggota dilakukan dengan<br />

menggunakan rsh. Opsi ini perlu<br />

digunakan karena pada versi terbaru,<br />

default yang dipakai adalah dengan<br />

menggunakan ssh yang lebih lambat<br />

dibandingkan rsh.<br />

• • make untuk melakukan kompilasi<br />

Setelah kompilasi selesai dilakukan<br />

maka daftar anggota klaster dengan nama<br />

file machine.LINUX harus dibuat dan<br />

disimpan di dalam direktori util/machines.<br />

Gambar 6 menunjukkan nama-nama<br />

anggota klaster yang disimpan di<br />

machines.LINUX. Langkah terakhir yang<br />

harus dilakukan adalah melakukan instalasi<br />

MPICH dengan menggunakan perintah<br />

make install. Untuk anggota lainnya cukup<br />

dilakukan dengan mengkopi direktori<br />

/usr/local/mpich-1.2.5 berserta isinya.<br />

3.2 Uji Kinerja<br />

Dalam penelitian ini uji kinerja klaster<br />

KP dilakukan dengan menggunakan<br />

berbagai jenis program aplikasi yang<br />

memang dibuat dengan tujuan tersebut<br />

sebagaimana yang dirumuskan oleh IEEE<br />

TFCC (Task Force on Cluster Computing).<br />

Uji kinerja yang kami lakukan dapat<br />

dibedakan atas dua kategori:<br />

1. Benchmark menggunakan aplikasi untuk<br />

mengukur kinerja klaster dalam<br />

menjalankan aplikasi tersebut<br />

2. Benchmark komunikasi untuk mengukur<br />

kinerja komunikasi klaster<br />

Aplikasi yang kami gunakan pada tahap<br />

ini adalah LINPACK (linear packages) yang<br />

juga telah digunakan secara umum untuk<br />

menguji kinerja komputer paralel di dunia.<br />

Dengan aplikasi ini dapat diketahui kinerja<br />

klaster dalam menyelesaikan persamaan<br />

simultan (sistem linier) yang amat besar.<br />

Gambar 7: Pengujian throughput jaringan<br />

Dalam penelitian ini kami<br />

menggunakan varian dari LINPACK yang<br />

disebut HPL (high performance linpack)<br />

yang merupakan versi LINPACK untuk<br />

digunakan pada komputer dengan memori<br />

terdistribusi, yang pada dasarnya adalah<br />

operasi matriks. Di samping itu kami juga<br />

menggunakan aplikasi Povray untuk suatu<br />

pengolahan citra. Sedangkan untuk<br />

menguji kinerja jaringan penelitian ini akan<br />

memanfaatkan benchmark netperf.<br />

4 HASILDANPEMBAHASAN<br />

4.1 Pengujian Jaringan<br />

Pengujian Throughput Jaringan<br />

Dengan menggunakan program<br />

benchmark netperf kami melakukan uji<br />

kinerja throughput jaringan antara anggota<br />

1 dan 2. Throughput jaringan adalah jumlah<br />

data yang dapat dipindahkan dari satu<br />

tempat ke tempat lain pada jaringan dalam<br />

waktu tertentu. Dalam penelitian ini kami<br />

melakukan pengujian throughput pada<br />

anggota nomor 1 dan nomor 2. Terlihat<br />

bahwa<br />

throughput maksimal jaringan mencapai<br />

94,11 Mbps. Dengan demikian kurang lebih<br />

sekitar 94,11 % dari total lebar pita<br />

(bandwidth) dapat digunakan untuk<br />

menyalurkan data. Angka ini cukup<br />

memuaskan untuk komputasi paralel.<br />

4.2 Uji Pengolahan Citra Dengan<br />

Povray<br />

Program povray digunakan untuk<br />

mengetahui kinerja suatu sistem dalam<br />

mengolah citra. Penelitian ini menggunakan<br />

fasilitas publik (open source code) yang<br />

tersedia di situs http://www.povray.org.<br />

Sebenarnya program povray dibuat untuk<br />

dijalankan pada sistem dengan pengolah<br />

tunggal. Agar dapat dijalankan pada<br />

lingkungan MPI maka perlu dilakukan<br />

modifikasi, yang dalam hal ini kami<br />

menggunakan fasilitas patch yang dapat<br />

diperoleh di http://www.pov.mpi.org.<br />

Sebagai objek penelitian ini<br />

menggunakan gambar yang telah<br />

disediakan dari situs publik dalam suatu file<br />

yang bernama skyvase.pov. Kami sengaja<br />

memilih fasilitas ini agar dapat<br />

membandingkan hasil yang diperoleh<br />

dengan berbagai klaster yang ada di dunia.<br />

Situs yang menyediakan objek untuk acuan<br />

benchmark ini adalah<br />

http://www.haveland.com/povbench/index.p<br />

hp. Situs ini merupakan situs resmi untuk<br />

povray benchmarking yang mengumpulkan<br />

hasil-hasil benchmark dari berbagai tipe<br />

pengolah, baik untuk sistem berpengolah<br />

tunggal maupun jamak.<br />

Uji kinerja dengan aplikasi povray<br />

dengan klaster kami sebanyak 8 buah<br />

dilakukan dengan menggunakan perintah:<br />

mpirun -np 8 mpi-x-povray skyvase.pov +v1 -d -<br />

x +a0.300 +r3 -q9 -w640 -h480 -h480 -mv2.0<br />

+b1000 > & results-mpi.txt<br />

Waktu yang dibutuhkan untuk mengolah<br />

citra skyvase dengan menggunakan klaster<br />

8 pengolah adalah 2 detik sedangkan jika<br />

menggunakan sebuah pengolah saja<br />

20


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

diperlukan waktu 14 detik. Jadi dengan<br />

klaster 8 pengolah diperoleh percepatan<br />

sebesar 7 kali.<br />

Perbandingan waktu untuk mengolah<br />

citra skyvase oleh berbagai sistem<br />

komputer dapat dilihat pada Tabel 1.<br />

Sistem klaster yang dikembangkan melalui<br />

penelitian ini menempati urutan ke 6<br />

lunak yang dapat digunakan untuk<br />

menyelesaikan suatu sistem persamaan<br />

linier pada komputer dengan mem- ori<br />

tersebar. Perangkat lunak ini diperlengkapi<br />

dengan program penguji dan pencatat<br />

waktu untuk menghitung keakuratan dan<br />

kecepatan sistem komputer menyelesaikan<br />

suatu sistem persamaan linier. Penelitian<br />

Tabel 1: Perbandingan waktu pengolahan citra skyvase<br />

Tabel 2: Perbandingan waktu dalam detik pengolahan citra skyvase untuk berbagai<br />

resolusi citra<br />

sedangkan sistem klaster kami terdahulu<br />

menempati urutan ke 117. Percepatan yang<br />

diperoleh klaster dalam penelitian ini<br />

mencapai 87.5 %, suatu hasil yang relatif<br />

sangat baik.<br />

Kami juga melakukan pengujian<br />

pengolahan ini citra ini untuk berbagai<br />

resolusi. Variasi resolusi yang kami<br />

gunakan adalah 320 × 320, 640 × 480, 800<br />

× 600, dan 1024 × 768 pixel. Hasil<br />

penelitian itu dapat dilihat pada Tabel 2.<br />

Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa<br />

percepatan yang dihasilkan tidak<br />

terpengaruh oleh resolusi citra. Jadi kinerja<br />

sistem klaster relatif tidak terpengaruh oleh<br />

resolusi.<br />

4.3 HPL Benchmarking<br />

HPL adalah sebuah paket perangkat<br />

Tabel 3 Kinerja klaster TF dalam<br />

Gflops untuk beberapa ukuran<br />

sistem linier<br />

ini menggunakan perangkat lunak HPL<br />

sebagai salah satu perangkat uji kinerja<br />

klaster. Aplikasi ini dipasang seluruh<br />

anggota klaster untuk menguji kemampuan<br />

klaster dalam parameter Gflops (giga<br />

floating points operation per-second). Hasil<br />

yang diperoleh kami bandingkan dengan<br />

acuan yang tersedia di situs:<br />

http://www.netlib.org/benchmark/hpl/results.html<br />

21


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Sebagai acuan pembanding adalah<br />

sistem yang menggunakan 4 AMD Athlon<br />

K7 500 Mhz (256 MB) - (2x) 100 Mbs<br />

Switched - 2 NICs per node. Kinerja dari<br />

acuan pembanding dapat dilihat pada tabel.<br />

Tabel 4 Kinerja klaster pembanding<br />

dalam Gflops untuk beberapa<br />

ukuran sistem linier<br />

Dari tabel-tabel kinerja dalan Gflops<br />

dapat dilihat bahwa sistem klaster dalam<br />

penelitian ini secara rata-rata lebih cepat<br />

1,6 kali acuan pembanding. Hasil ini cukup<br />

ideal karena sudah mendekati 2 kali lipat,<br />

ukuran maksimal secara teoritis. Di<br />

samping itu sistem acuan pembanding<br />

menggunakan 2 NIC untuk di setiap<br />

anggota klasternya sehingga menambah<br />

lebar pitanya.<br />

4.4 Perkalian Matriks<br />

Program perkalian matriks<br />

melakukan perkalian dua buah matriks,<br />

yaitu matriks A dan matriks B. Matriks A<br />

mempunyai ukuran NRA (number of rows in<br />

matrix A) × NCA (number of column in<br />

matrix A) sedangkan matriks B mempunyai<br />

ukuran NCA × NCB (number of column in<br />

matrix B). Syarat agar perkalian matrix C =<br />

A × B adapat dilakukan adalah jika jumlah<br />

kolom matrik A sama dengan jumlah baris<br />

matriks B. Oleh karena itu maka jumlah<br />

baris matriks B tidak perlu diberikan di sini.<br />

program serial dan paralel<br />

Pada Tabel 5 dapat dilihat<br />

perbandingan proses antara program serial<br />

dan paralel. Untuk matriks yang berukuran<br />

relatif kecil, waktu eksekusi program serial<br />

lebih pendek dibanding waktu eksekusi<br />

program paralel. Hal ini disebabkan adanya<br />

overhead time, yaitu waktu yang<br />

dibutuhkan untuk melakukan paralelisasi<br />

yang dominan. Waktu paralelisasi meliputi<br />

waktu untuk mengumpulkan data,<br />

mengirimkan perintah serta menerima hasil<br />

dari komputer slave. Pada matriks ukuran<br />

relatif besar hasil yang diperoleh<br />

sebagaimana yang diharapkan, percepatan<br />

pengolahan paralel lebih besar dibanding<br />

pengolahan serial. Waktu paralelisasi tidak<br />

lagi dominan dibanding waktu komputasi itu<br />

sendiri.<br />

5 KESIMPULAN DAN SARAN<br />

Penelitian ini telah membangun dan<br />

melakukan uji klaster komputer pribadi<br />

yang terdiri atas 8 buah komputer pribadi<br />

yang masing-masingnya mempunyai<br />

pengolah Intel P-IV 2GHz. Sistem operasi<br />

yang digunakan adalah Mandrake Linux 9.1<br />

dan message passing yang digunakan<br />

adalah MPI varian MPICH dari Argonne<br />

National Laboratory. Uji kinerja yang<br />

dilakukan meliputi uji kinerja thorughput dan<br />

kemampuan percepatan pengolahan data.<br />

Untuk tujuan tersebut penelitian ini<br />

menggunakan sejumlah aplikasi standar<br />

untuk uji kinerja klaster, di antaranya<br />

dengan menggunakan netperf, povray, dan<br />

HPL. Di samping itu uji kinerja klaster<br />

dalam menyelesaikan operasi matriks juga<br />

telah pula dilakukan. Dari uji kinerja<br />

Tabel 5: Uji kinerja perkalian matriks untuk program serial dan paralel<br />

Matriks C yang dihasilkan mempunyai<br />

ukuran NRA × NCB. Uji kinerja dengan<br />

perkalian matriks dilakukan untuk melihat<br />

berapakah percepatan yang diperoleh dila<br />

digunakan sistem klaster. Hasil dari studi ini<br />

dapat dilihat pada Tabel 5.<br />

throughput diperoleh hasil penggunaan<br />

lebar pita mencapai 94,12 %. Percepatan<br />

pengolahan citra menggunakan aplikasi<br />

povray mencapai 87,5 % dan angka ini<br />

relatif tidak tergantung pada resolusi citra.<br />

Sedangkan dalam uji kinerja<br />

22


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

menyelesaikan sistem persamaan linier<br />

diperoleh hasil kinerja 80 % dari prediksi<br />

teori. Dari uji kinerja menangani operasi<br />

matriks diperoleh hasil bahwa klaster<br />

dengan anggota sebanyak 8 kami akan<br />

efektif menangani matriks dengan ukuran<br />

sekurang-kurangnya 3200 × 3200.<br />

Setelah melakukan uji kinerja klaster PC<br />

yang terhubungkan satu dengan lainnya<br />

secara langsung, kami mengusulkan agar<br />

dilakukan studi selanjutnya untuk<br />

mengembangkan klaster dengan<br />

memanfaatkan jaringan komunikasi<br />

komputer, baik via LAN, WAN maupun<br />

internet. Dengan demikian keanggotaan<br />

klaster dapat diperluas tanpa harus<br />

melakukan investasi yang terlalu besar<br />

namun mempunyai kemampuan komputasi<br />

yang semakin besar.<br />

6. UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Penelitian ini dapat berlangsung<br />

diantaranya karena adanya bantuan<br />

keuangan melalui Proyek Hibah Bersaing<br />

XI Direktorat Perguruan Tinggi Departemen<br />

Pendidikan Nasional dan Proyek Sub QUE<br />

Departemen Teknik Fisika ITB. Juga<br />

penulis ingin menyampaikan terima kasih<br />

kepada Dr.Ir. Nugraha, Heriyadi Zulhaidi ST,<br />

dan Leon Gunanta dari Laboratorium<br />

Komputasi dan Proses Material<br />

Departemen Teknik Fisika ITB atas<br />

bantuan dan masukan dalam penelitian<br />

mengenai klaster KP ini.<br />

7 PUSTAKA<br />

1. Rajkumar Buyya, “High Performance<br />

Cluster Computing volume 2”,<br />

http://www.cs.mu.oz.au/ raj/cluster/,<br />

Sept. 11 2003<br />

2. Neil MacDonald, “Writing Message<br />

Passing Parallel Programs with MPI”,<br />

www.epcc.ed.ac.uk/computing/training/d<br />

ocument archive/mpicourse/ mpicourse.pdf,<br />

Sept. 11 2003<br />

3. Parallel Virtual Machine (PVM) version 3,<br />

http://www.epm.ornl.gov/pvm/pvm<br />

home.html, Sept. 11 2003<br />

4. MPICH-A Portable Implementation of<br />

MPI, http://wwwunix.mcs.anl.gov/mpi/mpich/,<br />

Sept. 11<br />

2003<br />

23


SIMULASI


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

MODIFIKASI CEROBONG INDUSTRI UNTUK MENEKAN<br />

KERUSAKAN LINGKUNGAN :<br />

Simulasi dengan TAPM (The Air Pollution Model)<br />

Sumaryati dan Afif Budiyono<br />

Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi Udara<br />

Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim - LAPAN<br />

Abstrak<br />

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam perkembangan industri<br />

adalah managemen polusi untuk menghindari atau menekan kerusakan<br />

lingkungan. Khusus untuk emisi gas buang dari industri, salah satu<br />

managemen emisi gas buangnya dapat dilakukan dengan mengatur waktu<br />

pengeluaran dan memodifikasi keluaran polutan agar diperoleh bentuk<br />

sebaran polutan yang cocok bagi lingkungan.<br />

TAPM (The Air Polution Model) mampu mensimulasikan bentuk sebaran<br />

polutan dengan berbagai dimensi cerobong dan kecepatan keluaran<br />

polutan. Dalam kajian ini disimulasikan beberapa bentuk cerobong dan<br />

kecepatan keluaran polutan untuk laju emisi polutan yang sama. Tinggi<br />

cerobong tunggal dimodifikasi 50 m, 75 m , dan 100 m, dan kecepatan<br />

keluaran polutan dimodifikasi 2 m/det, 4 m/det dan 8 m/det. Jari-jari<br />

cerobong tunggal sebesar 1 m dan 2 m, kemudian empat buah cerobong<br />

dengan jari-jari 1 m.<br />

Hasil simulasi menunjukkan bahwa modifikasi tinggi cerobong dan<br />

kecepatan keluaran polutan mempengaruhi bentuk sebaran. Sedangkan<br />

modifikasi diameter cerobong tidak signifikan berpengaruh pada bentuk<br />

sebaran polutan. Cerobong yang semakin tinggi dan penambahan<br />

kecepatan keluaran membentuk pola sebaran polutan jauh dan luas,<br />

sehingga menekan konsentrasi polutan di udara ambien.<br />

Kata kunci: polusi udara, TAPM, cerobong, sebaran<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Penekanan laju emisi polutan pada<br />

industri suatu saat akan mengalami<br />

klimaksnya, sehingga terbentuknya polutan<br />

tidak terelakkan lagi. Langkah selanjutnya<br />

adalah mengatur sistem pembuangan<br />

polutan tersebut agar dampak yang<br />

ditimbulkan terhadap kerusakan lingkungan<br />

menjadi sekecil mungkin.<br />

Agar kerusakan lingkungan oleh<br />

polutan udara dari suatu sumber menjadi<br />

kecil maka polutan tersebut harus<br />

menyebar ke daerah rendah aktifitas<br />

manusia, seperti laut dan hutan. Beberapa<br />

simulasi yang telah dikerjakan dengan<br />

TAPM (The Air pollution Model) dan LADM<br />

(Lagrangian Atmospheric Dispersion<br />

Model) di daerah tepi pantai dengan bentuk<br />

topografi berbeda, Surabaya, Semarang,<br />

dan Jakarta, menunjukan pola waktu yang<br />

berbeda kapan polutan itu menyebar ke<br />

laut (1) . Maka jika industri mengeluarkan<br />

polutannya secara berkala perlu<br />

mempertimbangkan pola waktu ini.<br />

Jika sumber polutan jauh dari laut<br />

dan hutan, maka harus dibuatlah sistem<br />

pembuangan emisi gas buang sedemikian<br />

rupa sehingga polutan itu menyebar dalam<br />

area yang luas, agar konsentrasi polutan di<br />

udara ambien menjadi rendah. Selain<br />

dengan nelihat pola waktu kapan polutan<br />

menyebar dalam jangkauan yang luas, juga<br />

bisa dilakukan dengan memodifikasi<br />

cerobong keluaran gas yang membawa<br />

polutan.<br />

Dalam makalah ini disimulasikan<br />

penyebaran polusi dari suatu sumber yang<br />

dimodifikasi bentuk cerobongnya. Simulasi<br />

dilakukan dengan TAPM (The Air Pollution<br />

Model), yang dikeluarkan oleh CSIRO,<br />

Australia.<br />

2. PENJELASAN<br />

Untuk proses running TAPM<br />

dibutuhkan input data topografi domain<br />

(daerah yang disimulasikan), data sinoptik,<br />

dan data yang berkaitan dengan cerobong<br />

dan polutan.<br />

Topografi diambil dari data global<br />

topografi yang dikeluarkan oleh US<br />

24


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Geological Survey, Earth Resources<br />

Observation Systems (EROS) Data Center<br />

Distributed Active Archive Center (EDC<br />

DAAC) dengan resolusi 30 detik atau<br />

sekitar 1 km yang telah diformat oleh<br />

CSIRO untuk input TAPM.<br />

Data sinoptik meteorologi enam<br />

jam-an telah tersedia dalam format yang<br />

telah dibentuk oleh CSIRO untuk wilayah<br />

Indonesia dan Malaysia. Data tersebut<br />

diturunkan dari analisa LAPS data Bereau<br />

of Meteorology (BoM), Australia.<br />

Data polutan meliputi bentuk<br />

cerobong (tinggi dan diameter), kecepatan<br />

keluaran gas buang, laju emisi polutan<br />

(partikel, NOx, SO 2 , smog), kontinuitas<br />

emisi, temperatur, bouyancy, dan<br />

perbandingan NO terhadap NO 2 . Dalam<br />

simulasi ini penyebaran partikelnya saja.<br />

Simulasi dilakukan pada suatu<br />

industri dengan cerobong tunggal yang<br />

mengeluarkan polutan partikel dengan laju<br />

emisi (E) sebesar 3,1 mg/det. Cerobong<br />

tersebut berukuran tinggi (h) 50 m,<br />

diameter (d) 2 m, dan kecepatan keluaran<br />

gas dari cerobongnya 2 m/det.<br />

Simulasi dilakukan pada suatu<br />

industri dengan cerobong tunggal<br />

berukuran tinggi (h) 50 m, diameter (d) 2 m,<br />

dan kecepatan keluaran gas dari<br />

cerobongnya 2 m/det. Konsentrasi partikel<br />

sebesar 500 µg/m3. dari asumsi data itu<br />

perhitungan laju emisi partikel (E)<br />

memberikan nilai sebesar 3,1 mg/det.<br />

Lokasi industri pada koordinat<br />

(6°12,5’ LS ; 107°120’ BT) sekitar daerah<br />

Karawang. Domain diambil 50 km x 50 km<br />

yang terbagi dalam 50 x 50 grid. Topografi<br />

domain hasil running terlihat pada Gambar<br />

Waktu simulasi dilakukan selama<br />

lima hari pada tanggal 10 – 14 Juli 2001.<br />

Tanggal tersebut dimaksudkan untuk<br />

mewakili musim kemarau saat klimaknya<br />

masalah polusi udara.<br />

Simulasi selanjutnya dilakukan<br />

dengan memodifikasi cerobong dengan<br />

memasang blower. Proses industri tidak<br />

berubah. Dengan asumsi udara yang<br />

dimasukkan ke dalam cerobong sangat<br />

bersih, maka pemasangan blower ini tidak<br />

mempengaruhi laju emisi partikel dari<br />

cerobong keluaran tetapi menurunkan<br />

konsentrasinya.<br />

Data input untuk semua simulasi<br />

dapat dilihat pada Tabel 1 dan modifikasi<br />

cerobong dapat dilihat pada Gambar 3 dan<br />

4. Input data yang lain, seperti temperatur<br />

dan laju emisi dibuat tetap<br />

Tabel 1 Data input simulasi<br />

no N v d h<br />

1 1 v 1 d 1 h 1<br />

2 1 2 v 1<br />

d 1 h 1<br />

3 1 4 v 1 d 1 h 1<br />

4 1 v 1 2 d 1 h 1<br />

5 4 v 1 d 1 h 1<br />

6 1 v 1 d 1 3/2 h 1<br />

7 1 v 1 d 1 2 h 1<br />

N = jumlah cerobong<br />

v = kecepatan keluaran gas buang<br />

pembawa polutan (2 m/det)<br />

d = diameter cerobong (2 m)<br />

h = tinggi cerobong (50 m)<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Output dari TAPM berupa display<br />

sesaat arah dan kecepatan angin serta<br />

bentuk penyebaran polusi dalam dua dan<br />

tiga dimensi. Nilai beberapa parameter<br />

meteo per jam tiap grid dan level ketinggian,<br />

dan konturnya (2) .<br />

Gambar 2 adalah contoh display<br />

sesaat bentuk sebaran dalam dua dan tiga<br />

dimensi. Waktu 02.22.00 menunjukkan hari<br />

ke dua simulasi (tanggal 11 Oktober) jam<br />

22.00.<br />

1.<br />

Gambar 1. Kontur Topografi daerah<br />

Simulasi Daerah Kerawang<br />

(50 km x 50 km)<br />

25


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 2. Tampilan sesaat bentuk<br />

penyebaran<br />

(a) dua dimensi dan (b) tiga dimensi<br />

Untuk analisanya ditampilkan kontur<br />

konsentrasi rata-rata dan maksimum,<br />

keduanya dalam satuan µg/m 3 . Konsentrasi<br />

rata rata yaitu konsentrasi rata-rata selama<br />

proses running. Konsentrasi maksimum<br />

adalah konsentrasi maksimum yang pernah<br />

terjadi selama proses running.<br />

Dari tampilan sesaat dapat diketahui<br />

bentuk, luas, dan konsentrasi pada saat<br />

tertentu saja. Sedangkan dengan<br />

menampilkan kontur konsentrasi rata-rata<br />

dan maksimum dapat diketahui bentuk dan<br />

luas penyebaran selama proses running,<br />

serta konsentrasi rata-rata dan konsentrasi<br />

maksimum yang dapat terjadi pada setiap<br />

grid.<br />

Running pertama dengan tinggi<br />

cerobong h, diameter cerobong d, dan<br />

kecepatan keluaran v, kontur konsentrasi<br />

rata-rata dan maksimumnya dapat dilihat<br />

pada Gambar 3.<br />

Lokasi simulasi diambil 50 km x 50<br />

km, pada tampilan gambar di atas<br />

dicropping 20 km x 30 km agar gambar<br />

lebih jelas. Koordinat (0,0) pada gambar<br />

merupakan letak cerobong yang bertepatan<br />

dengan koordinat bumi (6°12,5’ LS ;<br />

107°120’ BT). Konsentrasi yang semakin<br />

tinggi ditunjukkan dengan warna yang<br />

semakin gelap, dengan skala seperti<br />

ditunjukkan pada Gambar 3.<br />

Gambar 4 berikut adalah bentuk<br />

modifikasi cerobong dan kontur konsentrasi<br />

rata-rata dan maksimum pada simulasi no 2<br />

sampai no.7 Skala konsentrasi mengikuti<br />

skala simulasi pertama.<br />

Dilihat dari konsentrasi maksimum<br />

dari simulasi pertama sampai yang ke tujuh<br />

daerah sebarannya bisa menjangkau lebih<br />

dari 25 km, meskipun sangat tipis yang<br />

menunjukkan konsentrasinya sangat<br />

rendah. Jangkauan yang cukup jauh ini<br />

mungkin disebabkan dorongan angin darat<br />

menuju ke laut. Kalau dilihat kontur<br />

topografi Gambar 1, terlihat di tepi laut<br />

topografinya sangat datar tidak ada yang<br />

menghalangi polutan menyebar ke arah<br />

yang jauh.<br />

Dengan merubah kecepatan keluaran<br />

gas (no. 2 dan no. 3) menghasilkan bentuk<br />

sebaran yang semakin luas dan<br />

konsentrasi rata-rata yang tidak terkumpul<br />

pada daerah dekat sumber. Akibatnya<br />

konsentrasi maksimumnya pada daerah<br />

yang jauh dari sumber masih terlihat tebal.<br />

1 Bentuk cerobong<br />

2<br />

Bentuk cerobong<br />

Kontur konsentrasi<br />

rata-rata<br />

Kontur konsentrasi<br />

maksimum<br />

Kontur konsentrasi<br />

rata-rata<br />

Kontur konsentrasi<br />

maksimum<br />

Gambar 3. Simulasi pertama sebagai<br />

dasar simulasi selanjutnya<br />

26


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

3<br />

Bentuk cerobong<br />

5<br />

Bentuk cerobong<br />

Kontur konsentrasi<br />

rata-rata<br />

Kontur konsentrasi<br />

maksimum<br />

Kontur konsentrasi<br />

rata-rata<br />

Kontur konsentrasi<br />

maksimum<br />

4<br />

Bentuk cerobong<br />

6<br />

Bentuk cerobong<br />

Kontur konsentrasi<br />

rata-rata<br />

Kontur konsentrasi<br />

maksimum<br />

Kontur konsentrasi<br />

rata-rata<br />

Kontur konsentrasi<br />

maksimum<br />

27


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

7<br />

Kontur konsentrasi<br />

rata-rata<br />

Bentuk cerobong<br />

Kontur konsentrasi<br />

maksimum<br />

Dengan menambah luas penampang<br />

cerobong (no. 4 dan no. 5), area jangkauan<br />

dan bentuk sebaran partikel tidak<br />

mengalami perubahan yang signifikan.<br />

Hanya untuk diameter 2d terlihat<br />

konsentrasi maksimum pada jarak yang<br />

jauh dari sumber masih gelap tetapi bentuk<br />

kontur masih hampir sama.<br />

Penambahan tinggi cerobong (no. 6<br />

dan no. 7) merubah bentuk sebaran, dan<br />

sedikit perubahan luas daerah paparan<br />

partikel. Warna kontur terutama konsentrasi<br />

maksimumnya terlihat semakin tipis dengan<br />

makin tinggi cerobong. Hal ini distribusi<br />

vertikalnya semakin tinggi dengan semakin<br />

tingginya cerobong pengeluaran.<br />

Gambar 4. Simulasi berdasarkan<br />

Modifikasi cerobong dari<br />

simulasi pertama<br />

Modifikasi perubahan luas<br />

penampang cerobong dilakukan dengan<br />

menambah luas penampang (no.4) dan<br />

menjadikan banyak cerobong (no.5). Dilihat<br />

dari luas totalnya, bentuk no. 4 dan no. 5<br />

adalah sama, hanya untuk bentuk no. 4<br />

lebih menghemat bahan untuk pembuat<br />

cerobong.<br />

4. KESIMPULAN<br />

Dengan memodifikasi cerobong<br />

keluaran gas buang industri diperoleh<br />

bentuk sebaran polusi yang berbeda.<br />

Perubahan kecepatan keluaran gas buang<br />

pembawa partikel dan tinggi cerobong<br />

paling lebih berpengaruh dari pada<br />

perubahan penampang cerobong.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Sumaryati, Kajian Sebaran Polutan dari<br />

Industri di Daerah Tepi Pantai untuk<br />

Mendapatkan Tata Ruang yang Sehat.<br />

Disampaikan pada Seminar dan<br />

Lokakarya Kajian Aspek Klimatologi dan<br />

Lingkungan serta Pemanfaatannya,<br />

Bandung, 2003<br />

2. Hurley, P. The Air Pollution Model<br />

(TAPM) Version 1: User Manual. CSIRO<br />

Australia. 1999<br />

28


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Simulating Satellite Motions around Jupiter<br />

By Using VRML<br />

Bachtiar Anwar<br />

Watukosek Solar Observatory<br />

National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)<br />

Jl. DR. Djundjunan 133, Bandung 40173<br />

E-mail: bachtiara@yahoo.com<br />

Abstract<br />

In this paper we describe a method of simulating satellite motions around<br />

Jupiter by using VRML. Jupiter is a largest planet in solar system that orbits<br />

the Sun in between Mars and Saturn orbits. It has 16 satellites as follows:<br />

Adrastea, Metis, Amalthea, Thebe, Io, Europa, Ganymede, Callisto, Leda,<br />

Himalia, Lysithea, Elara, Ananke, Carme, Pasiphae, and Sinope. We have<br />

developed a program written in Javascript that generates the VRML codes<br />

automatically for given parameter inputs. The user then views the satellite<br />

motions by loading the VRML codes to a VRML browser. In this simulation,<br />

we have used mean orbital elements of the satellites published in<br />

Astrophysical Data: Planet and Stars 1) . We conclude that VRML combined<br />

with web technologies can be used as a 3D tool for simulating the satellites<br />

orbits in solar system.<br />

Key words: simulation, satellite motions, Jupiter, VRML<br />

1. Introduction<br />

Jupiter is by far the most massive<br />

object in the solar system 2) . Jupiter’s mass<br />

is almost 2.5 times larger than the masses<br />

of all other planets combined. Jupiter is 318<br />

times more massive than Earth, or,<br />

alternatively, about 1/1000 the mass of the<br />

Sun. Additionally, Jupiter is the largest<br />

planet in the solar system. Jupiter’s<br />

diameter is roughly 143000 km or about 11<br />

times larger than Earth’s diameter.<br />

Consequently, more than 1300 Earths<br />

could fit inside a sphere the size of Jupiter.<br />

Jupiter orbits the Sun in between<br />

Mars and Saturn orbits at distant of about<br />

5.20 AU (Astronomical Unit), with<br />

eccentricity of 0.048, inclination angle to the<br />

ecliptic plane is 1.31 o , and the sidereal<br />

period is 11.86 years. Jupiter has been<br />

found to have sixteen satellites that orbit at<br />

various distances, eccentricities, and<br />

inclinations to Jupiter’s orbital plane 1) . Four<br />

its largest satellites were discovered by<br />

Galileo in 1610; they were named Io,<br />

Europa, Ganymede, and Callisto. Other<br />

satellites were then discovered later by<br />

using more advance telescopes spacecrafts.<br />

With its 16 satellites, the Jupiter<br />

system resembles “a tiny solar system”.<br />

Therefore, it is interesting to see the<br />

satellite motions orbiting Jupiter as well as<br />

the orbital orientation relative to each other.<br />

This paper is aimed to describe a method of<br />

simulating the satellite motions around the<br />

Jupiter by using VRML (Virtual Reality<br />

Modeling Language). Some explanations<br />

on VRML basics are given in books 3,4,5) .<br />

The motions of the nine planets about the<br />

Sun have been simulated by Anwar 6) .<br />

The paper is organized as follows.<br />

Section 2 describes the Jupiter and its<br />

satellites, as well as the orbital elements<br />

used in simulations. Graphical User<br />

Interface (GUI) for generating VRML codes<br />

automatically is presented in Section 3,<br />

while algorithms used in this simulation are<br />

provided in Section 4. The results of<br />

simulation are given in Section 5. Finally,<br />

conclusions are presented in Section 6.<br />

2. Jupiter and its satellites<br />

One of the most interesting features<br />

of Jupiter is Great Red Spot. This<br />

phenomenon was firstly discovered by<br />

Giovanni Domenico Cassini in 1660. He<br />

has used a better telescope compared to<br />

the telescope used by Galileo. By observing<br />

Great Red Spot during several nights,<br />

Cassini found that Jupiter has rotation<br />

period of about 10 hours. It is the faster<br />

than any other planet in the solar system.<br />

Since the Jupiter’s mass is large, its gravity<br />

is accordingly larger compared to other<br />

planets. Therefore, Jupiter’s gravity can<br />

disturb the orbit of celestial body such as<br />

comet that passes close to Jupiter.<br />

With an advance technique in<br />

observations, astronomers can measure<br />

29


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

some properties of each satellite of the<br />

Jupiter. One of the accurate sources of data<br />

on Jupiter is Astrophysical Data: Planet and<br />

Stars 1) . The mean orbital and physical<br />

elements of the Jupiter’s satellites are given<br />

in Table 1.<br />

The Graphical User Interface for the<br />

program is given in Figure 1. To generate<br />

VRML codes, the user is requested to fill<br />

parameters such as: the name of satellite,<br />

semimajor axis of the orbit, orbital<br />

eccentricity, orbital inclination, longitude of<br />

Table 1. The mean orbital and physical elements of the Jupiter’s satellites.<br />

Satellite Name<br />

Radius<br />

(km)<br />

Semi-major axis<br />

(Jupiter radius=1)<br />

Orbital Period<br />

(days)<br />

Eccentricity<br />

Inclination<br />

(degree)<br />

Adrastea 20 1.8 0.295 0 0<br />

Metis 20 1.8 0.295 0 0<br />

Amalthea 135 2.55 0.489 0.003 0.4<br />

Thebe 40 3.11 0.675 0.0 0.0<br />

Io 1815 5.95 1.769 0.004 0.0<br />

Europa 1569 9.47 3.551 0.000 0.0<br />

Ganymede 2631 15.1 7.155 0.001 0.5<br />

Callisto 2400 26.6 16.69 0.010 0.2<br />

Leda 5 156 240 0.146 26.7<br />

Himalia 90 161 251 0.158 27.6<br />

Lysithea 10 164 260 0.130 29.0<br />

Elara 40 165 260 0.207 24.8<br />

Ananke 10 291 617 0.17 147<br />

Carme 15 314 692 0.21 164<br />

Pasiphae 20 327 735 0.38 145<br />

Sinope 15 333 758 0.28 153<br />

The inclinations of the satellite are<br />

measured relative to the orbital plane of<br />

Jupiter. It is obvious that the satellite orbits<br />

have various inclination angles, and in<br />

principle can be grouped into three groups<br />

(see the last column of Table 1). For<br />

satellites with inclinations close to zero,<br />

their eccentricities are almost zero (the<br />

orbital shape is almost circular). Four<br />

greatest satellites found by Galileo are Io,<br />

Europa, Ganymede and Callisto. Other<br />

satellite’s radiuses are in range of 5 to 135<br />

km, so they are so small to be detected by<br />

Galileo’s telescope. Usually, the orbital<br />

elements of satellites orbiting the Earth<br />

include the position of the ascending node<br />

and the location of perifocus 7) . In case of<br />

Jupiter, these orbital elements are difficult<br />

to be observed from the Earth, so they are<br />

not given in Table 1.<br />

the ascending node, longitude of perifocus<br />

and orbital period. Additional parameters<br />

are color for satellite, number of points for<br />

3. Graphical User Interface<br />

We have developed program written<br />

in Javascript in order to generate satellite’s<br />

orbits as well as to simulate the satellite<br />

motions around Jupiter by using VRML.<br />

Figure 1. The Graphical User Interface<br />

for Satellite’s Orbit Generator<br />

30


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

interpolation of the orbital path, and color<br />

for the orbit. The user can also specify<br />

whether to add the central object (Sun or<br />

planet) as well as the ecliptic plane or not.<br />

The default values are provided, although<br />

the user is recommended to fill the<br />

parameters to satisfy his/her needs.<br />

When the user finished in filling<br />

parameters, Create button should clicked.<br />

The VMRL codes are displayed in a textbox<br />

area.<br />

4. Algorithms<br />

In order to generate the VRML codes<br />

for simulating satellite motions we have<br />

used the following algorithm:<br />

1. Read the orbital parameters from GUI<br />

2. Provide default values if the user does<br />

not give the inputs<br />

3. Define a variable to hold the VRML<br />

codes to be generated<br />

4. Create a sphere object at the center to<br />

simulate Jupiter<br />

5. Create a sphere object to simulate<br />

satellite at a distant of semimajor axis.<br />

6. Generate an orbit path by using ellipse<br />

equation and locate the Jupiter at one<br />

of the focus.<br />

7. Simulate the satellite motions based on<br />

the orbital period.<br />

8. Write the VRML codes to a textbox<br />

area<br />

9. Repeat steps 5 – 8 to generate other<br />

satellites.<br />

When the VRML codes are displayed<br />

the user can copy and paste the codes to<br />

any text editor and save to file with<br />

extension .wrl. The extension is used to<br />

ensure a web browser with VRML plug-in<br />

will be able to recognize and parse the<br />

VRML codes properly and display the<br />

virtual world to the screen. Note that some<br />

VRML browsers are available freely from be<br />

downloaded. One of the most popular<br />

VRML browsers is Cortona VRML client.<br />

This browser can be downloaded from<br />

www.parallelgraphics.com.<br />

5. Results<br />

In this section we provide some<br />

results of the simulation. Figure 2 shows all<br />

satellite orbits around Jupiter seen at<br />

different view points. It is obvious that there<br />

are three groups of orbits. The first group<br />

located close to Jupiter and their orbits<br />

deviate slightly (0.0 o – 0.5 o ) to the Jupiter<br />

orbital plane (a plane where Jupiter orbits<br />

about the Sun; a rectangular plane in<br />

Figure 2). The second group consists of<br />

satellite orbits that incline relative to the<br />

Jupiter orbital plane at about 24 o - 29 o . And<br />

the third group consists of satellite orbits<br />

with inclination of about 145 o - 164 o . Please<br />

note that the sizes of satellites are too small<br />

to be seen from a distant in this figure.<br />

Figure 2. Satellite orbits of Jupiter seen<br />

from different view points.<br />

Figure 3. Scenes resulted from virtual<br />

camera (observer) approaching<br />

Jupiter at different distances<br />

(clockwise)<br />

Figure 4. Scenes of virtual worlds when<br />

the observer approaching<br />

Jupiter closer. The last row<br />

clearly shows the satellites at<br />

different locations<br />

In Figure 3, the virtual observer<br />

(camera) is getting closer to Jupiter and<br />

passing the outer orbits (first row), as well<br />

as the middle orbits (second row). At this<br />

31


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

distance, the inner satellites still can not be<br />

seen. Further approaching to the central<br />

object (Jupiter) shows satellites orbiting<br />

Jupiter (Figure 4).<br />

6. Conclusion<br />

We have described a method for<br />

simulating the satellite motions of Jupiter by<br />

using VRML. The VRML codes are<br />

generated automatically by program written<br />

in Javascript with web-based graphical user<br />

interface. We conclude that VRML<br />

combined with web technologies can be<br />

used as a 3D tool for simulating the<br />

satellites orbits in solar system.<br />

Acknowledgements<br />

The author would like to acknowledge<br />

Bambang Setiahadi and John Maspupu for<br />

their fruitful discussions. The computation in<br />

this work was performed by using<br />

computing facility at National Institute of<br />

Aeronautics and Space.<br />

References:<br />

1. Lang, K. R. 1992, Astrophysical Data,<br />

Planets and Stars, Springer-Verlag.<br />

2. Kaufmann, W. J. 1978, Exploration of<br />

the Solar System, Macmillan Publishing<br />

Co., Inc.<br />

3. Matsuba, S. N. and Rohl, B. (1996),<br />

Special Edition Using VRML, QUE.<br />

4. Anwar, B. (1999), Belajar Sendiri<br />

Bahasa Pemrograman VRML 1.0<br />

(book), PT Elekmedia Komputindo,<br />

Jakarta.<br />

5. Anwar, B, (1999), Belajar Sendiri<br />

Bahasa Pemrograman VRML97 (book),<br />

PT Elekmedia Komputindo, Jakarta.<br />

6. Anwar, B, 2003, Simulating Planet<br />

Motions in Solar System By Using<br />

VRML, in Proc. Seminar Fisika<br />

Nasional 2003, Department of Physics,<br />

ITS, 22-23 September, 2003, Surabaya.<br />

7. Wertz, J. R. 2001, Mission Geometry;<br />

Orbit and Constellation Design and<br />

Management, Space Technology<br />

Library, Microcosm Press.<br />

32


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Simulation of the Fatigue Process under Biaxial Loading with<br />

Regard to the Microcrack Growth<br />

H. Agus Suhartono<br />

UPT LUK Puspiptek, Serpong, Indonesien<br />

ABSTRACT<br />

The present research results recognize that the growth of microcracks<br />

is significantly influenced by the microstructure of the material. In order<br />

to take into account the influence of the microstructure on the damage<br />

process a simulation. model is suggested in this paper which considers<br />

the local stress state in addition to the random nature of the material<br />

structure in the form of grain boundaries and slip systems.<br />

Special emphasis is given to the microcrack behaviour under multiaxial<br />

loading. Combined normal and shear stresses are investigated with<br />

regard to their influence on the microcrack growth and the simulated<br />

life time. It can be shown, that a phase shift benveen normal and shear<br />

stress loading causes a significant changing in the crack growth<br />

behaviour compared to proportional in phase loading. The results<br />

generated by means of the simulation model are compared and verified<br />

with those experiences obtainedfrom multiaxialfatigue testing.<br />

Key word: simulation, fatigue, microcrack<br />

1. INTRODUCTION<br />

The microstructure of the material<br />

strongly affects the growth of microcracks<br />

under repetitive loading. To improve the<br />

accuracy of lifetime predictions, the<br />

algorithm for lifetime calculation has to take<br />

into account the microstructural damage<br />

process. Besides the experimental<br />

investigations some fatigue simulation<br />

models have been proposed in the last<br />

years, to describe the interaction between<br />

the crack and microstructural barriers [1-5].<br />

These simulation models are based on the<br />

present knowledge about micro crack<br />

initiation and growth.<br />

A Microcrack Simulation Model gives<br />

the opportunity to verify the current<br />

hypotheses of the micro structural crack<br />

growth mechanism in comparison to the<br />

experiments. Furthermore, it is possible to<br />

study the influencing parameter, like grain<br />

si-,e and orientation, or the influence of<br />

multiaxial loading or variable load<br />

sequences. As a result, an improvement of<br />

lifetime prediction should be possible.<br />

In the following paper a simulation<br />

model which describes the microcrack<br />

growth is introduced.<br />

2. SIMULATION OF MICROCRACK<br />

GROWTH<br />

It is assumed, that the microcrack<br />

growth can be divided into Stage-I und<br />

Stage-11 crack growth phases. During the<br />

Stage-I crack growth, the cracks are driven<br />

by the cyclic shear stress on the slip.<br />

planes of tho polycrystalline material. The<br />

crack growth rate depends on the shear<br />

stress amplitude and on the distance s<br />

between the crack tips and the dominant<br />

microstructural barriers, in this case the<br />

grain boundary. The microcrack growth<br />

equation has the form<br />

da<br />

α<br />

= A∆τ ω<br />

⋅ s<br />

(1)<br />

dN<br />

where s is the crack tip distance to the next<br />

barrier, and A and α are material<br />

parameters [6]. At the beginning the crack<br />

growth is fast, but when the crack<br />

approaches the barrier (s ≈ 0) the crack<br />

growth rate tends toward zero. In the<br />

current model the grain boundary is<br />

regarded to be the dominant material<br />

barrier.<br />

The polycrystalline material is<br />

modeled as a two-dimensional hexagonal<br />

network of grains with specific sizes of<br />

diameter d = 60 µm. Individual slip systems<br />

are active in each grain with a randomized<br />

crystallographic orientation ω, Figure 1. The<br />

stress state in the slip plane of each grain is<br />

dependent on its orientation and the applied<br />

loading. Only the material surface with its<br />

plane stress state is considered. The<br />

locations of the microcrack nucleation is<br />

given by a random generator. The shape of<br />

33


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

τω<br />

σy<br />

τxy<br />

ω<br />

d<br />

τxy<br />

σx<br />

Furman [9] proposed a critical distance of<br />

25 percent of the grain diameter.<br />

After the crack reaches a size of<br />

three grain diameters [8] only Stage-II crack<br />

growth is assumed. In this case, the crack<br />

growth direction is perpendicular to the<br />

maximum principal stress direction and the<br />

growth rate is depending on the crack<br />

length and the principal stress amplitude.<br />

Figure 1. Microstructure, stress state<br />

and crack growth of<br />

Simulation<br />

the microcrack seed is a point with no<br />

spatial extension, denoting an initial crack<br />

length of zero. It is assumed that the points<br />

of crack nucleation are given at the<br />

beginning of the simulation and that the<br />

crack growth starts with the first load cycle.<br />

When the Stage-I-crack is sufficiently long<br />

to permit an opening of the crack front, the<br />

development of Stage-II (tensile) crack<br />

occurs. At this point, the influence of the<br />

rnicrostructure is limited, and crack growth<br />

can be described by continuum mechanics.<br />

It is assumed, that during a transition stage<br />

a competitive crack growth occurs between<br />

Stage-I and Stage-II. The equation of<br />

Stage-II crack growth proposed by Hobson,<br />

Brown and de los Rios [7] is used in the<br />

model:<br />

da<br />

β χ<br />

= B∆σ<br />

ω<br />

⋅ a<br />

(2)<br />

dN<br />

where ∆σ represents the tensile stress<br />

perpe ndicular to the crack plane, and β, B<br />

and D are experimentally determined<br />

material parameters. The material<br />

parameters used in the simulation are taken<br />

from Hobson [7]. The crack length at the<br />

transition from Stage-I to Stage-II can be<br />

introduced by assigning the number of the<br />

grains. Taylor and Knott [8) suggest a value<br />

of about three grain diameters for the<br />

transition. In the transition zone the crack<br />

growth is calculated by using the higher<br />

value between equation 1 and equation 2.<br />

Besides the cyclic growth of<br />

microcracks, a rapid spread of the crack<br />

length can be observed during the<br />

experiment by the linking of cracks.<br />

The crack coalescence is described<br />

by assuming that the linking of cracks<br />

appears when the length of the cracks<br />

reaches 75 percent of the grain size, and<br />

the distance r between the crack tips is<br />

les's then a critical distance r, Socie and<br />

da<br />

dN<br />

β χ<br />

= B∆σ 1<br />

⋅ a − C (3)<br />

The simulation ends when the<br />

predetermined number of load cycles is<br />

reached, or the microcrack reaches the<br />

predetermined crack length. The crack<br />

length is defined by the direct line between<br />

both crack tips. If a crack was formed by<br />

linking of several microcracks, the crack<br />

length is always represented by the crack<br />

tips with the longest distance. In the<br />

following simulations the final crack length<br />

is 500µm.<br />

The simulation does not yet<br />

consider the crack growth in the depth<br />

direction of the material. Furthermore, the<br />

deformation behavior of microstructure, the<br />

cyclic hardening and softening of the<br />

material, the crackopening effects, as well<br />

as the texture and anisotropy of the<br />

material are not considered.<br />

3. COMPARISON BETWEEN<br />

SIMULATION AND EXPERIMENTAL<br />

RESULTS<br />

TensionlCompression<br />

A comparison between the crack growth<br />

pattern for repetitive tension/compression<br />

loading observed in experiment and<br />

simulation is presented in Figure 2. It can<br />

be seen that multiple Stage-I cracks initiate<br />

in the maximum shear stress direction.<br />

After the cracks have reached a specific<br />

size, the crack growth direction turns<br />

perpendicular to the orientation of the<br />

maximum principal stress, where ∆<br />

represents the tensile stress perpendicular<br />

to the crack plane, and β, B and D are<br />

experimentally determined material<br />

parameters.<br />

In Figure 3 the simulated crack length<br />

a [µm] is plotted versus the number of load<br />

cycles. Due to the crack arrest at the grain<br />

boundaries, a decreased crack growth rate<br />

can be observed for crack sizes minor 60<br />

µm, which represents the grain diameter.<br />

For those cracks able to overcome the<br />

34


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Figure 2 : Surface cracks with tension/compression loading<br />

barrier, an increasing crack growth rate can<br />

be seen until the end of the simulation.<br />

Figure 4 shows the crack growth<br />

behaviour for torsion loading. The cracks<br />

again occur in the maximum shear stress<br />

direction and change their growth direction<br />

Risslänge a (µm)<br />

600<br />

500<br />

400<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

0 2 10 3 4 10 3 6 10 3<br />

Schwingspiele N<br />

Figure 3. Crack growth versus number of<br />

cycles with tension/ compression<br />

at a specific size, as it can be seen for<br />

tension/compression.<br />

steel or aluminium. The simulated ratio is<br />

caused by the combination of shear- and<br />

normal- stress determined crack growth. If<br />

the fatigue life is dominated by the Stage-I<br />

crack growth, the<br />

τ / σ ratio would tend<br />

a<br />

to a value of 0.5, whereas for Stage-II crack<br />

dominated materials, the - ratio<br />

would reach a value of 1.0.<br />

a<br />

τ / σ<br />

5. SIMULATION OF MULTIXIAL<br />

LOADING<br />

In Phase Loading<br />

In the current paper the crack growth<br />

behaviour with combined tension/<br />

compression and torsion loading is of<br />

special interest. Figure 5 shows the<br />

simulated crack growth pattern for different<br />

ratios<br />

τ / σ of the load amplitudes.<br />

a<br />

a<br />

Depending on the maximum shear stress<br />

direction, the orientation ϕ of the overall<br />

crack growth varies from 0 o to –30 o . In<br />

Figure 7 the resultant S-N curve for load<br />

ratios of = 0 (tension/compression)<br />

τ / σ<br />

a<br />

a<br />

a<br />

a<br />

A comparison of simulated<br />

S-N-curves is given in Figure 7. Ever,<br />

though there is now material plasticity<br />

introduced in the simulation model, the load<br />

amplitude ratio<br />

τ / σ for a given number<br />

a<br />

of endurable load cycles lies in between 0.6<br />

< 0.7, which is a usual value for<br />

τ / σ<br />

<<br />

a a<br />

a<br />

Figure 4: Surface cracks with torsion loading<br />

and τ<br />

a<br />

/ σ = 0.5 (in phase loading) are<br />

given.<br />

a<br />

Out Of Phase Loading<br />

Compared to the in-phase loading,<br />

multiaxial loading with a phase difference of<br />

τ / σ<br />

90º and a load ratio<br />

a a<br />

= 0.5 between<br />

35


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

axial loading Proportional loading τ a /σ a = 0,2<br />

Proportional loading τ a /σ a = 0,5 Proportional loading τ a /σ a = 0,8<br />

Figure 5: Simulated crack pattern for different load ratios<br />

tension/ compression and torsion leads to a<br />

significant changed crack pattern. This is<br />

due to the rotating principal stress direction<br />

during one load cycles in case of the phase<br />

shifted loading. As a result, initial crack<br />

growth takes place in the simulation in<br />

every grain containing a crack seed. On the<br />

other hand, the effective shear stress<br />

amplitude τ<br />

ω<br />

in the slip planes is reduced<br />

compared to the in phase loading. In<br />

addition to that, the normal and shear<br />

τ / σ<br />

a<br />

stress cycles in a specific slip direction do<br />

not appear at the same time. As the result,<br />

a microcrack experiences two stress cycles<br />

during one load cycle. For Stage-I and<br />

Stage-II cracks the shear stress or the<br />

normal stress cycles might be dominant,<br />

respectively. Nevertheless it can be<br />

assumed, that both stress cycles cause<br />

crack growth.<br />

In Figure 6 the crack growth pattern<br />

observed in experiment and simulation with<br />

a<br />

Figure 6: Surface cracks with phase shifted tension/compression loadin<br />

36


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

phase shifted loading (<br />

τ / σ<br />

a<br />

a<br />

= 0.5 and 90 o<br />

phase difference) is shown. It can be seen<br />

that no preferential crack growth direction<br />

can be found.<br />

The simulated load cycles for the final<br />

crack length are plotted as a S-N curve for<br />

tens ion/compression, torsion and<br />

combined in phase and out of phase<br />

loading. The stress-ratio between<br />

tension/compression and torsion as well as<br />

the in phase combined loading are<br />

comparable to usual experimental results.<br />

In the current simulation the phase shift<br />

leads to an increased life time.<br />

6. CONCLUSION<br />

A two dimensional microcrack<br />

simulation model is presented. The model<br />

takes into account the rate and direction of<br />

microcrack growth, the interaction between<br />

the crack and the material barriers, as well<br />

as the crack coalescence.<br />

The simulated crack pattern for<br />

different uniaxial and multiaxial load cases<br />

are in good agreement to experimental<br />

results<br />

REFERENCES<br />

[1] Hoshide T., D. F. Socie, 1988, "Crack<br />

Nucleation and Growth Modelling in<br />

Biaxial Fatigue," Engineering Fracture<br />

Mechanics, Vol 29, No. 3, pp. 287-299.<br />

[2] Socie, D., S. Furman, 1996, "Fatigue<br />

Damage Simulation Models for<br />

Multiaxial Loading," Fatigue 96, Sixth<br />

International Fatigue Congress, G.<br />

Ltitjering and H. Nowark, Ed., Berlin,<br />

Germany, pp.967-976<br />

[3] Argence, D., J. Weiss, A. Pineu, 1994,<br />

"Observation and Modelling of<br />

Transgranular and Intergranular<br />

Multiaxial Low Cycle Fatigue Damage of<br />

Austenitic Stainless Steels," In ESIS:<br />

Fourth International Conference on<br />

BiaxiallMultiaxial Fatigue, Paris, France,<br />

Vol. I, pp. 309-322.<br />

-<br />

[4] Hoshide, T., Kusuura, K., 1998, "Life<br />

Prediction by Simulation of Crack<br />

Growth in Notched Components with<br />

Different Microstructures and under<br />

Multiaxial Fatigue," Fatigue Fracture<br />

Engineering Materials Structures Vol 2 1,<br />

pp. 201-213.<br />

[5] Suhartono, H.A., K. Poetter, A. Schram,<br />

H. Zenner, "Modeling of Short Crack<br />

Growth Under Biaxial Fatigue:<br />

Comparison Between Simulation and<br />

Experiment", Multiaxial Fatigue and<br />

Deformation: Testing and Prediction,<br />

ASTM STP 1487, S. Kalluri and J.<br />

Bonacuse, Eds., American Society for<br />

Testing Materials, West Conshohocken,<br />

PA, 2000, pp. 323-339.<br />

[6] Miller, K-J., 1991, Metal Fatigue – Past,<br />

Current and Future, Proceedings of the<br />

Institution of Mechanixal Engineers.<br />

[7] Hobson, P.D., M. W. Brown, E. R. de los<br />

Rios, 1986. “Two Phases of short Crack<br />

Growth in medium Carbon Steel”, The<br />

Behaviour of short Fatigue Cracks, EGF<br />

Pub. 1, K.J.Miller and E.R. de los Rios,<br />

Ed., London, pp.441-459<br />

[8] Taylor, D., J.F. Knott, 1981, “Fatigue<br />

Crack Propagation Behaviour of Short<br />

cracks; The effect of Microstructure,<br />

“ Fatigue Fracture Engginering Materials<br />

Structures 4, pp. 147<br />

[9] Socie, D., S. Furman,1996, “Fatigue<br />

Damage Simulation Models for<br />

Multiaxial Loading,” Fatigue 96, Sixth<br />

International Fatigue Congress, G<br />

Lutjering and H.Nowack, Ed., Berlin,<br />

Germany, pp.967-976<br />

Author<br />

- H. Agus Suhartono, born in Klaten 3 th<br />

September 1967. Graduated from<br />

Metallurgical Engineering of University<br />

of Indonesia in 1991 and promoted the<br />

Doctor degree from Technische<br />

Universitaet Clausthal Germany in the<br />

field of fatigue and fracture mechanic in<br />

2000. Work in UPT LUK BPPT<br />

37


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

SIMULASI DAN REKAYASA KOLEKTOR SURYA<br />

UNTUK PENGHANGAT UDARA<br />

Rudiyanto + , Budi I. Setiawan * dan Leopold O. Nelwan<br />

Departemen Teknik Pertanian, FATETA IPB, PO BOX 220 Bogor 16002<br />

Email : + lupusae@yahoo.com dan * budindra@ipb.ac.id<br />

Abstract<br />

Makalah ini menjelaskan tentang rekayasa kolektor surya untuk<br />

menghangatkan udara. Model matematika dikembangkan untuk menghitung<br />

pindah panas dan massa. Model matematika dipecahkan dengan metode<br />

finite difference menggunakan skema implisit. Verifikasi dilakukan untuk<br />

melihat kesepadanan model dengan hasil pengukuran. Untuk itu, dibuat<br />

kolektor surya plat datar dengan luas permukaan 2 m 2 . Hasil pengujian<br />

menunjukan bahwa kolektor surya mampu meningkatkan suhu rata-rata<br />

aliran udara dalam kolektor sebesar 5.57 o C dengan efisiensi 57 %. Model<br />

yang dibuat mampu menduga perubahan suhu sistem kolektor surya<br />

dengan ketepatan sekitar 70 %.<br />

Kata kunci : kolektor surya, pemanas udara, efisiensi termal, simulasi.<br />

1. PENDAHULUHAN<br />

Penyusunan model dan simulasi<br />

merupakan bagian penting dari desain<br />

suatu proses. Pemodelan dimaksudkan<br />

untuk meniru dari suatu sistem<br />

sebenarnya (1) . Model yang dibuat biasanya<br />

dalam bentuk persamaan matematika.<br />

Simulasi model dilakukan karena beberapa<br />

alasan misalnya, biaya yang terlalu besar<br />

untuk membuat sistem nyata atau belum<br />

tersedianya bentuk nyata karena masih<br />

dalam perancangan, untuk menganalisis<br />

dan identifikasi pola hubungan input-output,<br />

menyusun suatu strategi optimal dalam<br />

sistem pengendalian dan mengidentifikasi<br />

kondisi-kondisi yang dapat diterima.<br />

Pemanasan udara merupakan<br />

proses termal yang banyak dilakukan untuk<br />

berbagai keperluan manusia; misalnya<br />

untuk penghangat ruangan, pengeringan (2) ,<br />

penghangat air pembenihan ikan (3) dan<br />

lain-lain. Pemanas udara biasanya<br />

menggunakan sumber energi yang berasal<br />

dari listrik, biomassa dan minyak atau gas.<br />

Salah satu usaha diversifikasi penggunaan<br />

sumber energi adalah dengan<br />

menggunakan energi surya. Sumber<br />

energi terbarukan ini mempunyai<br />

keuntungan antara lain tidak menimbulkan<br />

polusi CO 2 ataupun hujan asam seperti<br />

yang terjadi pada sistem penggunaan<br />

bahan bakar fosil. Disamping itu Indonesia<br />

yang letaknya di daerah tropis mempunyai<br />

potensi energi surya yang cukup melimpah.<br />

Irradiasi surya rata-rata di Indonesia<br />

mencapai 562.5 w/m 2(2) . Sehingga, sangat<br />

potensial untuk dikembangkan.<br />

Pengkonversian energi surya menjadi<br />

panas dilakukan dengan menggunakan<br />

kolektor surya plat datar.<br />

Tujuan dari penelitian ini adalah<br />

untuk merancang kolektor surya sebagai<br />

penghangat udara dengan membuat model<br />

matematika pindah panas dan massa,<br />

membuat software simulator, pengujian<br />

kolektor surya dan verifikasi model.<br />

2. BAHAN DAN METODE<br />

Kolektor surya yang digunakan<br />

adalah kolektor surya plat datar yang<br />

mempunyai 2 buah lubang, yaitu lubang<br />

masuk dan keluar udara. Udara<br />

dihembuskan untuk mengambil panas dari<br />

plat hitam yang mengakumulasikan energi<br />

surya yang berupa irradiasi secara<br />

konveksi paksa (force convection).<br />

Sehingga akan terjadi kenaikan suhu udara<br />

sebelum masuk dan saat keluar kolektor<br />

surya. Bentuk fisik kolektor plat datar<br />

disajikan pada Gambar 1<br />

Setiap unit kolektor surya yang<br />

digunakan mempunyai panjang, lebar dan<br />

tebal/tinggi berturut-turut adalah 100 cm,<br />

100 cm dan 20 cm. Diameter lubang<br />

saluran udara adalah 10.16 cm. Tutup<br />

kolektor surya terbuat dari polykarbonat.<br />

Plat hitam terbuat dari seng yang dicat<br />

hitam dan dinding kolektor surya terbuat<br />

dari kayu. Pada penelitian ini digunakan 2<br />

unit kolektor surya.<br />

Alat ukur yang digunakan terdiri dari: 1).<br />

Termokopel CC berfungsi sebagai sensor<br />

suhu. 2). Chino Recorder berfungsi untuk<br />

38


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

merekam suhu lingkungan, tutup, udara<br />

dan plat hitam kolektor surya. 3).<br />

Pyranometer dan voltmeter untuk<br />

mengukur irradiasi surya.<br />

menit selama 6.5 jam. Untuk mendapatkan<br />

hasil interpolasi yang baik data tersebut<br />

didekati dengan piece-wise polynomial<br />

pangkat tiga dengan menggunakan<br />

1. Tutup kolektor surya<br />

Udara<br />

masuk<br />

2. Plat hitam<br />

Udara<br />

keluar<br />

3. Dinding kolektor surya<br />

Gambar 1. Skema kolektor surya plat datar<br />

Dalam penyusunan model matematika,<br />

kolektor surya dibagi menjadi 3 sub sistem;<br />

yaitu : 1) Tutup kolektor surya. 2) Udara<br />

dalam kolektor surya dan 3) Plat hitam<br />

kolektor surya. Berikut ini adalah<br />

persamaan keseimbangan energi pindah<br />

panas dan massa yang digunakan untuk<br />

menghitung perubahan suhu yang terjadi<br />

pada setiap sub sistem:<br />

a. Perubahan suhu tutup kolektor surya.<br />

dT<br />

t<br />

( mCp )<br />

t<br />

= ( h<br />

out<br />

A)<br />

t<br />

( T<br />

l<br />

− T<br />

t<br />

)<br />

dt<br />

(1)<br />

+ ( h A)<br />

( T − T )<br />

+<br />

in<br />

t<br />

uk<br />

( 1 − λ ) 0.5 At<br />

Irr<br />

surya<br />

b. Perubahan suhu udara dalam<br />

kolektor surya.<br />

dT<br />

uk<br />

( mCp )<br />

uk<br />

= ( hin<br />

A)<br />

t<br />

( Tt<br />

− Tuk<br />

)<br />

dt<br />

(2)<br />

+ ( UA ) ( T − T )<br />

+ m<br />

+ 2<br />

alas<br />

•<br />

u Cp<br />

u<br />

( T − T )<br />

( hA ) ( T − T )<br />

c. Perubahan suhu plat hitam kolektor<br />

surya.<br />

dT<br />

pl<br />

( mCp )<br />

pl<br />

= 2( hA)<br />

pl<br />

( Tuk<br />

− T<br />

pl<br />

) (3)<br />

dt<br />

+ ατA<br />

Irr<br />

pl<br />

pl − Irr<br />

l<br />

L<br />

pl<br />

t<br />

surya<br />

Efisiensi termal yang merupakan<br />

perbandingan energi yang digunakan untuk<br />

memanaskan udara dengan energi yang<br />

masuk ke dalam sistem (4) dihitung sebagai<br />

berikut:<br />

•<br />

mu<br />

Cpu<br />

( Tuot<br />

− Tuin<br />

)<br />

η<br />

T<br />

=<br />

(4)<br />

AIrr<br />

Persamaan 1, 2 dan 3 diselesaikan<br />

secara numerik dengan metode finite<br />

difference skema implisit. Data suhu<br />

lingkungan dan irradiasi surya diperoleh<br />

dari hasil pengukuran dengan interval 15<br />

uk<br />

uk<br />

uk<br />

interpolasi kubik spline (5) . Secara<br />

matematika dapat dirumuskan dalam<br />

persamaan berikut:<br />

T<br />

Irradiasi surya (W/m2)<br />

1000<br />

800<br />

600<br />

400<br />

200<br />

0<br />

2 3<br />

( t) a + b t + c t d t<br />

= (5)<br />

ling i i i i<br />

+<br />

Irr<br />

2 3<br />

( t) e + f t + g t h t<br />

= (6)<br />

surya i i i i<br />

+<br />

dimana a i , b i , c i , d i , e i , f i , g i adalah konstanta<br />

piece-wise polynomial data ke-i, T lingi adalah<br />

suhu lingkungan pada pengambilan data<br />

ke-i dan Irr suryai adalah irradiasi surya pada<br />

pengambilan data ke-i.<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Data irradiasi dan suhu lingkungan<br />

yang digunakan simulasi diambil dari data<br />

aktual di lapang dengan interval waktu<br />

pengambilan data 15 menit selama 6.5 jam.<br />

Irradiasi surya yang digunakan simulasi<br />

mempunyai nilai maximum 975.71 watt/m 2 ,<br />

nilai minimum 234.29 watt/m 2 dan nilai ratarata<br />

790.95 watt/m 2 . Suhu lingkungan yang<br />

juga sebagai suhu udara masuk ke kolektor<br />

surya mempunyai nilai maximum 43 o C,<br />

9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00<br />

Waktu (Jam)<br />

Gambar 2. Irradiasi surya dan suhu<br />

lingkungan<br />

nilai minimum 35 o C dan nilai rata-rata<br />

38.67 o C. Grafik irradiasi surya dan suhu<br />

i<br />

i<br />

39


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

lingkungan yang digunakan simulasi<br />

disajikan pada Gambar 2.<br />

60<br />

50<br />

sebaran suhu hasil pengukuran dan<br />

simulasi pada garis 45 derajat. Dengan<br />

demikian model yang dibuat mampu cukup<br />

baik untuk memprediksi/menerangkan<br />

perubahan yang terjadi pada tutup, udara<br />

dan plat hitam kolektor surya.<br />

Suhu (C)<br />

40<br />

60<br />

30<br />

20<br />

9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00<br />

Waktu (Jam)<br />

Gambar 3. Profil suhu lingkungan<br />

Efisiensi termal kolektor surya<br />

Energi irradiasi surya yang diterima<br />

oleh kolektor surya adalah sebesar 9.88<br />

kWh. Energi tersebut sebesar 5.637 kWh<br />

digunakan untuk memanaskan aliran udara<br />

dalam kolektor surya atau terjadi kenaikan<br />

suhu aliran udara rata-rata sebesar 5.57 o C<br />

dengan efisiensi termal bangunan sebesar<br />

57 %. Grafik kenaikan suhu aliran udara<br />

disajikan pada Gambar 4.<br />

Kenaikan suhu (C)<br />

12<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

0<br />

9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00<br />

Waktu (Jam)<br />

Gambar 4. Kenaikan suhu aliran udara<br />

Simulasi dan verifikasi<br />

Model yang telah disusun dan telah<br />

dibuat dalam software simulator diuji<br />

dengan data percobaan. Keluaran model<br />

adalah suhu tutup, udara dan plat hitam<br />

kolektor surya. Gambar 5, 6 dan 7<br />

menyajikan Profil suhu tutup, udara dan<br />

plat hitam kolektor surya hasil pengukuran<br />

dan simulasi<br />

Secara umum suhu tutup, udara dan<br />

plat hitam kolektor surya hasil simulasi<br />

telah mampu mengikuti perubahan suhu<br />

tutup, udara dan plat hitam kolektor surya.<br />

Nilai koefisien determinasi antara hasil<br />

suhu simulasi dan pengukuran untuk tutup,<br />

udara dan plat hitam kolektor surya<br />

berturut-turut adalah 0.78, 0.73 dan 0.7.<br />

Sedangkan sebaran suhu simulasi dan<br />

pengukuran cukup menyebar pada garis 45<br />

derajat. Gambar 8, 9 dan 10 menyajikan<br />

Suhu tutup kolektor surya (C)<br />

50<br />

40<br />

30<br />

9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00<br />

Waktu (Jam)<br />

Ukur<br />

Simulasi<br />

Gambar 5. Profil suhu tutup kolektor surya<br />

hasil pengukuran dan simulasi<br />

Suhu udara kolektor surya (C)<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00<br />

Waktu (Jam)<br />

Ukur<br />

Simulasi<br />

Gambar 6. Profil suhu udara kolektor surya<br />

hasil pengukuran dan simulasi<br />

Suhu p lat kolektor sury a ( C )<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00<br />

Waktu (Jam)<br />

Ukur<br />

Simulasi<br />

Gambar 7. Profil suhu plat hitam kolektor<br />

surya hasil pengukuran dan<br />

simulasi<br />

40


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Suhu tutup kolektor surya ukur (C)<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

R 2 = 0.78<br />

30 40 50 60<br />

Suhu tutup kolektor surya simulasi (C)<br />

Gambar 8. sebaran suhu hasil pengukuran<br />

dan simulasi tutup kolektor<br />

surya pada garis 45 derajat<br />

Suhu udara kolektor surya ukur (C)<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

R 2 = 0.73<br />

30 40 50 60<br />

Suhu udara kolektor surya simulasi (C)<br />

numerik persamaan pindah panas dan<br />

massa kedalam bahasa pemrograman<br />

komputer Borland Delphi 5. Program<br />

simulasi dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 1)<br />

Fungsi untuk mempresentasikan suhu<br />

lingkungan. 2) Fungsi untuk<br />

mempresentasikan irradiasi surya. 3)<br />

Prosedure untuk memecahkan persamaan<br />

pindah panas dan massa dengan metode<br />

finite difference skema implisit dan<br />

algoritma Gaus Jordan.<br />

Form software simulator secara<br />

visual dibuat dalam 3 form, yaitu: 1) Form<br />

utama berisi grafik suhu sistem, irradiasi<br />

surya dan suhu lingkungan. 2) Form kedua<br />

berisi input sistem. 3) Form ketiga berisi<br />

grafik daya dan energi irradiasi surya dan<br />

aliran udara. Software simulator juga<br />

dilengkapi fasilitas untuk menyimpan data<br />

dalam bentuk text file (*.txt) dan<br />

menyimpan grafik dalam bentu meta file<br />

(*.wmf). Interval waktu penyimpanan data<br />

hasil simulasi juga dapat diatur sesuai<br />

keinginan pengguna. Gambar 11<br />

menunjukan form utama software simulator.<br />

Gambar 9. sebaran suhu hasil pengukuran<br />

dan simulasi udara kolektor surya<br />

pada garis 45 derajat<br />

Suhu plat kolektor surya ukur (C)<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

R 2 = 0.7<br />

30 40 50 60<br />

Suhu plat kolektor surya simulasi (C)<br />

Gambar 10. sebaran suhu hasil<br />

pengukuran dan simulasi plat<br />

hitam kolektor surya pada<br />

garis 45 deraja<br />

Software simulator<br />

Pembuatan software simulator<br />

dilakukan dengan menulis pemecahan<br />

Gambar 11. Form utama software simulator<br />

4. KESIMPULAN<br />

Model keseimbangan energi yang<br />

dibuat telah mampu memprediksi suhu<br />

tutup, udara, plat hitam kolektor surya<br />

dengan baik. Sehingga software simulator<br />

rancang bangun pemanas udara<br />

menggunakan kolektor surya siap<br />

digunakan.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Riset ini merupakan bagian dari RUT<br />

X 2003-2005 berjudul Rancang Bangun<br />

Sistem Resirkulasi Air Terkendali Untuk<br />

Pembenihan Ikan Patin (Pangasius<br />

hypopthalmus). Penulis mengucapkan<br />

terima kasih kepada Dewan Riset Nasional<br />

atas dukungan finansial dalam<br />

menyelenggarakan riset ini.<br />

41


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. W.F. Stoecker, Deseign of Thermal<br />

System, Third Edition, Singapore; Mc<br />

Graw Hill, Inc., 1989.<br />

2. L. P. Manalu, K. Abdullah, Model<br />

Simulasi Proses Pengeringan Kakao<br />

Memakai Pengering Surya Tipe Efek<br />

Rumah Kaca, Bulletin Keteknikan<br />

Pertanian, 15(3), 2001, 154-166.<br />

3. Rudiyanto, B. I. Setiawan dan L. O.<br />

Nelwan, Simulasi Pemanfaatan Kolektor<br />

Surya Sebagai Penghangat Air<br />

Terkendali Pada Unit Pembenihan Ikan<br />

Patin, <strong>Prosiding</strong> Ilmu Komputer dan<br />

Teknologi Informasi IV, Surabaya, 2003,<br />

28-33.<br />

4. L. P. Manalu, Studi Kebutuhan Energi<br />

Untuk Pengeringan Kakao Dengan Alat<br />

Pengering Tenaga Surya, Bulletin<br />

Keteknikan Pertanian, 16(3), 2002, 174-<br />

182.<br />

5. B.I. Setiawan, Aplikasi Cubic Spline<br />

Interpolation Dalam Penentuan Debit<br />

Sungai. <strong>Prosiding</strong> Perkemahan Dan<br />

Seminar Tahunan PERTETA,<br />

Jatinangor, 7-8 Juli 1997.<br />

DAFTAR SIMBOL<br />

m massa (kg)<br />

Cp panas jenis (kJ/kg o C)<br />

T suhu ( o C)<br />

t waktu (detik)<br />

h pindah panas konveksi (W/m 2 o C)<br />

A luas permukaan (m 2 )<br />

U overall U (W/m 2 o C)<br />

Irr irradiasi surya (W/m 2 )<br />

λ transmisivitas<br />

α absorptivitas<br />

•<br />

m<br />

η<br />

laju aliran (kg/detik)<br />

efisiensi<br />

SUBSKRIP<br />

t tutup kolektor surya<br />

out tutup kolektor surya-udara<br />

lingkungan<br />

in tutup kolektor surya-udara dalam<br />

kolektor<br />

uk udara kolektor surya<br />

alas alas kolektor surya<br />

l lingkungan<br />

u<br />

pl<br />

udara<br />

plat hitam kolektor surya<br />

RIWAYAT PENULIS<br />

1. Rudiyanto, STP lahir di Jombang, 28<br />

Agustus 1980. Menamatkan S1 tahun<br />

2002 di Institut Pertanian Bogor (IPB)<br />

dalam bidang Teknik Pertanian. Saat<br />

menjadi research student pada<br />

Departemen Teknik Pertanian, FATETA<br />

IPB.<br />

2. Dr. Ir. Budi I. Setiawan, MAgr lahir di<br />

Tasikmalaya, 28 Juni 1960.<br />

Menamatkan S1 tahun 1983 di Institut<br />

Pertanian Bogor (IPB) dalam bidang<br />

Teknik Pertanian, Menamatkan S2<br />

tahun 1990 dan S3 tahun 1993 di The<br />

University of Tokyo, Jepang dalam<br />

bidang Teknik Pertanian. Saat ini<br />

penulis bekerja sebagai staf pengajar<br />

pada Departemen Teknik Pertanian<br />

FATETA IPB. Penulis juga menjadi<br />

anggota pada organisasi profesi ilmiah:<br />

a. JSIDRE (Japan Society of Irrigation,<br />

Drainage and Reclamation<br />

Engineering)<br />

b. ISPWEE (International Society of<br />

Paddy and Water Environmental<br />

Engineering)<br />

c. ICIS (Indonesian Society on<br />

Computer and Informations<br />

Sciences)<br />

d. PERTETA (Perhimpunan Teknik<br />

Pertanian Indonesia)<br />

e. HATHI (Himpunan Ahli Teknik<br />

Hidraulik Indonesia)<br />

3. Ir. Leopold O. Nelwan, MSi lahir di<br />

Jakarta, 8 Desember 1970.<br />

Menamatkan S1 tahun 1994 di<br />

Universitas Samratulangi, Manado<br />

dalam bidang Teknik Pertanian.<br />

Menamatkan S2 di Institut Pertanian<br />

Bogor (IPB) tahun 1997 dan sedang<br />

menempuh S3 di IPB juga dalam<br />

bidang Teknik Pertanian. Saat ini<br />

penulis bekerja sebagai staf pengajar<br />

pada Departemen Teknik Pertanian<br />

FATETA IPB. Penulis juga menjadi<br />

anggota pada organisasi profesi ilmiah<br />

Perhimpunan Teknik Pertanian<br />

Indonesia (PERTETA).<br />

42


PEMODELAN


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Pertimbangan Perilaku dalam<br />

Pemodelan Pengikutan Kendaraan untuk<br />

Simulator Trafik Kendaraan<br />

Dwi Handoko<br />

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Informasi dan Elektronika, BPPT<br />

Jl. M. H. Thamrin No. 8 Jakarta 10340<br />

E-mail: dwih@inn.bppt.go.id<br />

Abstrak<br />

Model pengikutan kendaraan (Car Following) adalah salah satu komponen<br />

penting dalam simulator trafik kendaraan mikroskopik. Beberapa model<br />

kendaraan pengikut telah diketengahkan sebelum ini, dimana sebagian<br />

besar adalah berbasis model matematik. Dalam makalah ini diketengahkan<br />

pemodelan kendaraan hibrid yaitu pencampuran antara model matematika<br />

dan model perilaku kendaraan dan pengemudi. Dalam pendekatan ini,<br />

perilaku spesifik dari tiap-tiap kendaraan dan pengemudi dapat dimodelkan,<br />

sesuai untuk simulator kendaraan bersifat mikroskopik.<br />

Kata kunci: Simulator trafik kendaraan, model kendaraan pengikut, model perilaku kendaraan<br />

1. Pendahuluan<br />

Simulator trafik kendaraan<br />

merupakan alat komputasi untuk<br />

mensimulasikan aliran kendaraan di jalan.<br />

Simulator ini dapat dimanfaatkan untuk<br />

perancangan jalan sehingga kondisi<br />

lalulintas setelah perubahan jalan dapat<br />

diramalkan sebelumnya, dimana dapat<br />

mengurangi akibat buruk dari perencanaan<br />

yang kurang matang.<br />

Pada umumnya simulator trafik<br />

kendaraan dapat dikategorikan atas 2 jenis,<br />

yaitu yang berbasis makroskopik dan<br />

berbasis mikroskopik. Simulator berbasis<br />

makroskopik memodelkan berdasarkan<br />

aliran kendaraan, sedang simulator<br />

mikroskopik memodelkan berdasarkan<br />

gerak kendaraan secara mikro satu<br />

persatu[1].<br />

Simulator makroskopik dimaksudkan<br />

untuk melakukan simulasi trafik kendaraan<br />

dalam wilayah yang luas, sedang simulator<br />

mikroskopik dimaksudkan untuk<br />

mensimulasikan trafik kendaraan untuk<br />

wilayah yang lebih kecil, mengingat<br />

kendaraan dimodelkan satu persatu, hingga<br />

diperlukan kemampuan komputasi yang<br />

besar untuk memodelkan kendaraan dalam<br />

wilayah luas.<br />

Dalam model untuk simulator<br />

mikroskopik, pengikutan kendaraan (car<br />

following) adalah salah satu komponen<br />

pentingnya, dimana disini dimodelkan<br />

bagaimana kendaraan mengikuti<br />

kendaraan didepannya.<br />

Beberapa model telah dikembangkan<br />

sebelum ini, diantaranya meggunakan<br />

model fisika seperti persamaan di bawah<br />

untuk mencari percepatan kendaraan [2]:<br />

a(t) = A[v t (t)-v f (t)] + B{[x t (t)-x f (t)]-H des }, (1)<br />

dimana, a(t) adalah percepatan kendaraan<br />

yang dicari, v t (t) dan v f (t) adalah kecepatan<br />

kendaraan didepan dan kecepatan<br />

kendaraan obyek, x t (t) dan x f (t) adalah<br />

posisi kendaraan didepan dan kendaraan<br />

obyek, dan H des jarak aman antar<br />

kendaraan. A dan B adalah konstanta yang<br />

sesuai.<br />

Dalam makalah ini dikembangkan<br />

model dengan memasukkan<br />

pertimbangan perilaku kendaraan untuk<br />

simulator trafik kendaraan berbasis<br />

mikroskopik, selain model dari matematika<br />

yang digunakan.<br />

2. Perilaku Kendaraan<br />

Dalam kenyataan kondisi trafik<br />

kendaraan, perilaku kendaraan sangat<br />

mempengaruhi kondisi trafik. Oleh karena<br />

itu dalam konsiderasi perilaku dalam<br />

pemodelan kendaraan akan dapat<br />

meningkatkan akurasi dari simulasi.<br />

Akan tetapi tidaklah mudah untuk<br />

memodelkan perilaku kendaraan secara<br />

detail, karena umumnya perilaku kendaraan<br />

dipengaruhi perilaku pengemudi yang mana<br />

sangat kompleks karena menyangkut<br />

manusia.<br />

Dalam pembuatan simulator trafik<br />

kendaraan ini, pendekatan pemodelan<br />

perilaku yang dilakukan adalah dengan<br />

memodelkan perilaku kendaraan<br />

berdasarkan sikap pengemudi secara<br />

umum dan perilaku dari tipe kendaraan<br />

43


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

secara umum. Sebagai contoh perilaku<br />

kendaraan tipe kendaraan umum tentu<br />

berbeda dengan kendaraan pribadi.<br />

Pada makalah ini perbedaan perilaku<br />

tipe kendaraan tidak dibahas secara<br />

mendetail, pembahasan dibatasi atas<br />

perilaku kendaraan secara umum. Perilaku<br />

umum yang menjadi pertimbangan itu<br />

adalah antara lain:<br />

- Pengemudi menekan rem pada lampu<br />

merah kalau jarak sudah dekat.<br />

- Pengemudi mengikuti kecepatan<br />

kendaraan didepan bila jarak sudah<br />

dekat dan menjaga jarak aman antar<br />

kendaraan.<br />

- Pengemudi menekan gas bila didepan<br />

kosong atau jarak ke mobil depan<br />

cukup jauh.<br />

- Pengemudi mempertahankan<br />

kecepatan bila sudah mencapai<br />

kecepatan maksimum dan jarak untuk<br />

berhenti masih jauh. (Tidak ada<br />

hambatan di depan)<br />

- Tiap-tiap tipe kendaraan mempunyai<br />

jarak aman antara kendaraan bergerak<br />

dan kendaraan yang relatif diam<br />

(kecepatan sangat rendah berbeda).<br />

- Tiap-tiap tipe kendaraan mempunyai<br />

percepatan maksimum dan minimum,<br />

serta kecepatan maksimum.<br />

Dalam simulator dengan model<br />

matematika seperti persamaan (1),<br />

percepatan kendaraannya dicari. Dalam<br />

model yang dikembangkan penulis,<br />

percepatan kendaraan tidak dihitung, untuk<br />

penyederhanaan, akan tetapi dijadikan<br />

tetap untuk tiap-tiap tipe kendaraan.<br />

Perilaku kendaraan dalam<br />

percepatan dan perlambatan didefinisikan<br />

sebagai berikut:<br />

- Setiap pengemudi selalu berusaha<br />

mencapai kecepatan maksimum<br />

secepat mungkin.<br />

- Setiap pengemudi selalu bersudaha<br />

dan percepatan minimum untuk<br />

mengurangi kecepatan atau statis untuk<br />

mempertahankan kecepatan.<br />

3. Model Kendaraan<br />

Dalam pemodelan kendaraan<br />

dengan memasukkan pertimbangan<br />

perilaku, untuk tahap awal ini, hanya sisi<br />

kecepatan dan percepatannya yang akan<br />

dimodelkan. Jadi tiap-tiap jenis kendaraan<br />

kecepatan maksimum dan percepatan yang<br />

berbeda.<br />

Dalam pendekatan yang dilakukan,<br />

jalan dari kendaraan dimodelkan sebagai<br />

sebuah jalur. Dimana hanya satu<br />

kendaraan yang dapat berada pada lebar<br />

kendaraan, dan tidak ada kendaraan<br />

parallel dalam satu jalur.<br />

Dari posisi kendaraan di dalam jalur,<br />

dapat dimodelkan 2 jenis kendaraan:<br />

- Kendaraan terdepan (lead vehicle):<br />

kendaraan yang berada di paling depan<br />

dari suatu jalur<br />

- Kendaraan pengikut (vehicle follower):<br />

kendaraan yang berada dibelakang dari<br />

kendaraan terdepan atau kendaraan<br />

belakang lainnya.<br />

Gambar 1 menunjukkan jalur,<br />

kendaraan terdepan, dan kendaraan<br />

pengikut. Berikut dideskripsikan<br />

pendekatan pemodelan untuk kendaraan<br />

tersebut.<br />

A. Kendaraan Terdepan<br />

Kendaraan terdepan adalah<br />

kendaraan yang berada pada posisi<br />

terdepan dari suatu jalur. Kendaraan ini<br />

mempunyai karakteristik untuk melaju<br />

sampai batas kecepatan maksimum sampai<br />

menjumpai hambatan. Dalam hal ini<br />

hambatan yang dimaksud adalah lampu<br />

merah atau hambatan lain selain<br />

kendaraan.<br />

Arah maju kendaraan<br />

Jalur<br />

Kendaraan<br />

Terdepan<br />

Kendaraan<br />

Pengikut<br />

Gambar 1. Hubungan kendaraan terdepan, pengikut dan jalur<br />

untuk mengurangi kecepatan dengan<br />

percepatan minimum.<br />

Oleh karena itu percepatan yang<br />

digunakan adalah hanya percepatan<br />

maksimum untuk meningkatkan kecepatan<br />

Apabila diketahui kecepatan<br />

maksimum kendaraan adalah v max , waktu<br />

yang diperlukan untuk mencapai vmax<br />

adalah t _speed_up dan waktu normal yang<br />

diperlukan untuk berhenti adalah t _stop ,<br />

44


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

maka percepatan maksimum a max adalah<br />

v max /t _speed_up dan percepatan minimum<br />

(perlambatan) a min adalah -v max /t _stop .<br />

Untuk penyederhanaan perilaku<br />

kendaraan terdepan, ditetapkan:<br />

- Kendaraan selalu berusaha untuk<br />

mencapai kecepatan maksimum.<br />

- Kendaraan melakukan perlambatan<br />

dengan percepaan minimum.<br />

Oleh karena itu, bila kendaraan<br />

dalam kecepatan awal v max jarak yang<br />

diperlukan kendaraan untuk sampai<br />

berhenti x _stp dapat di hitung dengan<br />

persamaan v max × t _stop + t 2 _stop × a min /2.<br />

Oleh karenanya apabila di depan<br />

kendaraan terdapat hambatan dalam jarak<br />

(dist_stop + α), dimana α adalah jarak<br />

aman kendaraan dan hambatan, maka<br />

kendaraan harus mulai mengurangi<br />

kecepatan.<br />

B. Kendaraan Pengikut<br />

Kendaraan yang berada dibelakang<br />

kendaraan terdepan, mempunyai perilaku<br />

yang cukup kompleks, untuk memudahkan,<br />

perilaku berikut yang kami jadikan untuk<br />

pemodelan tahap awal:<br />

- mengejar kecepatan kendaraan didepan<br />

apabila jaraknya masih jauh<br />

- kendaraan belakang tidak melewati<br />

kendaraan didepannya<br />

- menjaga jarak aman (β) dengan<br />

kendaraan di depan apabila sudah<br />

dekat<br />

- kendaraan di depannya tidak melakukan<br />

pengereman mendadak<br />

- percepatan dan pelambatan hanya<br />

menggunakan a max dan a min<br />

- Tidak mendahului kendaraan di<br />

depannya<br />

Berdasarkan definisi perilaku seperti<br />

di atas, dan dengan asumpsi jarak aman<br />

antar kendaraan adalah β meter,<br />

dikembangkan model sebagaimana dalam<br />

diagram alur pada gambar 2.<br />

Parameter pada diagram alur adalah<br />

sbb:<br />

v o<br />

: kecepatan kendaraan saat<br />

ini<br />

v t_d : kecepatan kendaraan di<br />

depannya<br />

v t : kecepatan kendaraan yang<br />

dicari<br />

v ts : kecepatan sementara<br />

dist_front: : jarak ke kendaraan depan<br />

β : jarak aman antar<br />

kendaraan<br />

Pada diagram alur ini, kendaraan<br />

yang di depan di asumsikan sudah<br />

mempunyai kecepatan dan posisi pada<br />

waktu yang terbaru[3].<br />

Hitung jarak ke depan<br />

Hitung jarak berhenti<br />

dengan v ts1 =v o<br />

If x _stp < dist_front+β<br />

F<br />

v ts1 dihitung dengan<br />

percepatan a min<br />

T<br />

Hitung v ts2 dengan<br />

percepatan a max dan tidak<br />

melebihi v max<br />

If v ts1 < v td<br />

F<br />

v t =v ts1<br />

Hitung jarak berhenti<br />

dengan v ts2<br />

T<br />

v t =v td<br />

If x _stp < dist_front+β<br />

F<br />

v t =v ts1<br />

T<br />

v t =v ts2<br />

Gambar 2. Diagram alur pengikutan kendaraan<br />

45


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

4. Simulasi<br />

Tabel 1, 2 di bawah menunjukkan<br />

simulasi dari majunya kendaraan terdepan.<br />

Dimana percepatan a max =2.08m/s 2 , a min =-<br />

2.78 m/s 2 , dan start dari keadaan diam.<br />

v maks nya adalah 16.67m/s.<br />

Tabel 1. Simulasi Percepatan<br />

Time Vt Dist<br />

0 0 0<br />

1 2.08 1.04<br />

2 4.17 4.17<br />

3 6.25 9.38<br />

4 8.33 16.67<br />

5 10.42 26.04<br />

6 12.5 37.5<br />

7 14.58 51.04<br />

8 16.67 66.67<br />

9 16.67 83.33<br />

10 16.67 100<br />

Tabel 2. Simulasi Rem<br />

Time Vt Dist<br />

0 16.67 0<br />

1 13.89 15.28<br />

2 11.11 27.78<br />

3 8.33 37.5<br />

4 5.56 44.44<br />

5 2.78 48.61<br />

6 0 48.61<br />

7 0 48.61<br />

8 0 48.61<br />

9 0 48.61<br />

10 0 48.61<br />

Tabel 3 menunjukkan simulasi dari 2<br />

buah kendaraan, dimana Mobil1 berjalan<br />

dengan kecepatan konstan 10m/s dan<br />

Mobil2 dengan percepatan a max =2.08ms/2,<br />

a min =-2.78 m/s2, dan start dari keadaan<br />

diam. v maks untuk kedua mobil tersebut<br />

adalah 16.67m/s. Pada simulasi ini jarak<br />

aman untuk kendaraan bergerak ditentukan<br />

10 m.<br />

Tabel 3. Simulasi Pengikutan Kendaraan<br />

Wkt<br />

Vt<br />

Mobil1<br />

Vt<br />

Mobil2<br />

Dist_front t_stp<br />

0 10 0 50<br />

1 10 2.08 57.92<br />

2 10 4.17 63.75<br />

x_stp<br />

3 10 6.25 67.5 0<br />

4 10 8.33 69.17 0<br />

5 10 10.42 68.75 0.15 1.53<br />

6 10 12.5 66.25 0.9 10.13<br />

7 10 14.58 61.67 1.65 20.26<br />

8 10 16.67 55 2.4 32.02<br />

9 10 16.67 48.33 2.4 32.02<br />

10 10 16.67 41.66 2.4 32.02<br />

11 10 16.67 34.99 2.4 32.02<br />

12 10 13.89 31.1 1.4 16.74<br />

13 10 13.89 27.21 1.4 16.74<br />

14 10 13.89 23.31 1.4 16.74<br />

15 10 13.89 19.42 1.4 16.74<br />

16 10 11.11 18.31 0.4 4.24<br />

17 10 11.11 17.19 0.4 4.24<br />

18 10 11.11 16.08 0.4 4.24<br />

19 10 11.11 14.96 0.4 4.24<br />

20 10 11.11 13.85 0.4 4.24<br />

21 10 11.11 12.73 0.4 4.24<br />

22 10 11.11 11.62 0.4 4.24<br />

23 10 11.11 10.51 0.4 4.24<br />

24 10 10 10.51 0 0<br />

25 10 10 10.51 0 0<br />

26 10 10 10.51 0 0<br />

27 10 10 10.51 0 0<br />

28 10 10 10.51 0 0<br />

5. Penutup<br />

Telah diuraikan di atas pemodelan<br />

pengikutan kendaraan dengan<br />

memasukkan pertimbangan perilaku<br />

kendaraan. Pada makalah ini hanya<br />

diuraikan pengikutan kendaraan<br />

berdasarkan perilaku secara umum. Hasil<br />

simulasi menunjukkan bahwa model yang<br />

dikembangkan cukup valid. Pemodelan<br />

pengikutan kendaraan atas tipe kendaraan<br />

secara mendetail belum dibahas dalam<br />

makalah ini, dan menjadi rencana masa<br />

datang dari kerja pembuatan trafik<br />

kendaraan ini.<br />

Daftar Pustaka<br />

1. Staffan Algers, Eric Bernauer, Marco<br />

Boero, et all, “Review of Micro-<br />

Simulation Models”, Smartest Project, 8<br />

August 1997.<br />

http://www.its.leeds.ac.uk/projects/smart<br />

est/<br />

2. Dwi Handoko, “Disain Simulator Trafik<br />

Kendaraan”, Proc. Seminar Ilmiah<br />

Nasional: Komputer dan Sistem Intelijen<br />

(KOMMIT) 2002, Vol. 2, Th. 2002, pp.<br />

B16-B20.<br />

RIWAYAT PENULIS<br />

Dwi Handoko lahir di Jakarta 25<br />

April 1970. Memperoleh gelar B.Eng dan<br />

M.Eng pada bidang Elektronika dari<br />

Miyazaki University Jepang tahun 1994 dan<br />

1996, dan gelar Dr.Eng pada bidang Sistem<br />

Mikroelektronika dari Shizuoka University<br />

Jepang tahun 2001. Saat ini bekerja di<br />

Pusat Pengkajian dan Pengembangan<br />

Teknologi Teknologi Informasi dan<br />

Elektronika, BPPT. Bidang penelitiannya<br />

adalah Multimedia Signal Processing, VLSI<br />

Design dan Simulasi. Dr. Dwi Handoko<br />

adalah anggota dari IEEE.<br />

46


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Disain Simulator Trafik Kendaraan<br />

Berorientasi Obyek<br />

Amien Rusdiutomo 1 , Dwi Handoko 2<br />

1 Pusat Audit Teknologi, BPPT<br />

2 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Informasi dan Elektronika, BPPT<br />

Jl. M. H. Thamrin No. 8 Jakarta 10340<br />

E-mail: rusdiutomo2000@yahoo.com, dwih@inn.bppt.go.id<br />

Abstract<br />

Kota-kota besar dan daerah sekelilingnya mengalami tingkat pertumbuhan<br />

urban yang tinggi disertai mobilitas penduduk yang makin meningkat. Hal<br />

tersebut memerlukan pengaturan sistem lalu-lintas yang efisien dan terpadu.<br />

Penggunaan simulator untuk mengatur trafik kendaraan adalah salah satu<br />

cara untuk mencapai tujuan diatas. Pada makalah ini dipaparkan tentang<br />

disain simulator trafik kendaraan microscopik yang menggunakan<br />

pemodelan perilaku kendaraan dengan pendekatan desain berorientasi<br />

obyek. Dengan pendekatan desain berorientasi obyek tersebut, simulator<br />

trafik ini akan mampu merepresentasikan perilaku kendaraan lebih detail<br />

dan memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi untuk pemodifikasian ataupun<br />

penambahan fungsi pada pengembangan simulator trafik kendaraan.<br />

Katakunci: simulator trafik kendaraan, microscopic-model, perilaku kendaraan, object-oriented<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Banyak permasalahan nyata disekitar<br />

kita yang dicoba dipecahkah dengan<br />

menggunakan alat bantu komputer.<br />

Permasalahan tersebut dianalisis,<br />

dimodelkan, dan diimplementasikan sebagai<br />

sebuah program simulator. Dengan<br />

menggunakan simulator maka akan<br />

diperoleh efisiensi biaya, dan dapat<br />

berfungsi sebagai subsitusi percobaan untuk<br />

masalah yang sulit, kompleks, ataupun<br />

berbahaya.<br />

Salah satu permasalahan yang cukup<br />

kompleks dan perlu segera dipecahkan,<br />

khususnya untuk kota besar adalah masalah<br />

lalu-lintas (trafik) kendaraan. Dengan<br />

menggunakan bantuan program simulator<br />

trafik kendaraan akan sangat membantu<br />

dalam pengaturan lalu-lintas, maupun<br />

perencanaan ke depan pengembangan<br />

sistem lalu-lintas.<br />

Pengembangan program simulator<br />

trafik kendaraan telah dilakukan di beberapa<br />

negara maju seperti Amerika, negaranegara<br />

Eropa dan Jepang, yang dilakukan<br />

baik oleh institusi pemerintah maupun oleh<br />

industri. Fungsi yang disediakan oleh<br />

program simulator semakin beragam, mulai<br />

dari simulasi kondisi jalur, prediksi tingkat<br />

kemacetan lalu-lintas, hingga ke deteksi<br />

tingkat kenyamanan pengemudi (2) . Selain<br />

fungsi yang beragam dari program simulator<br />

trafik kendaraan, standar pemodelan trafik<br />

kendaraan belum ada. Hal ini disebabkan<br />

oleh kondisi yang berbeda antar negara<br />

menyangkut sistem lalu-lintas termasuk<br />

didalamnya behaviour (kelakuan)<br />

pengendara.<br />

Dengan kondisi lalu-lintas yang<br />

berbeda, Indonesia memerlukan suatu<br />

simulator trafik kendaraan yang dapat<br />

memodelkan kondisi lalu- lintasnya. Untuk<br />

memodelkan hal di atas maka diambil<br />

pendekatan dengan model mikroskopik<br />

(microscopic-model) yang memasukkan<br />

pertimbangan perilaku kendaraan (1,3) .<br />

Dalam makalah ini selanjutnya akan<br />

dibahas tentang pemodelan perangkat lunak<br />

simulasi trafik kendaraan, simulator trafik<br />

kendaraan tersebut dengan berorientasi<br />

obyek, dan rencana ke depan dari<br />

pengembangan simulator ini.<br />

2. MODEL SIMULASI TRAFIK<br />

KENDARAAN<br />

Simulasi trafik kendaraan dapat<br />

diklasifikasikan menurut tingkat detail dari<br />

obyek yang dipelajari menjadi dua model,<br />

yakni model makroskopik (macroscopicmodel)<br />

dan model mikroskopik (microscopicmodel)<br />

(2) . Pada model makroskopik, trafik<br />

kendaraan direpresentasikan sebagai aliran<br />

secara berkelompok dari kendaraan,<br />

dimana dalam satu kelompok, geraknya<br />

dianggap homogen. Model tersebut tidak<br />

sesuai untuk merepresentasikan kondisi<br />

kemacetan, perubahan kepadatan trafik<br />

secara riil. Sementara pada model<br />

47


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

mikroskopik, merepresentasikan trafik<br />

kendaraan dari masing-masing pergerakan<br />

kendaraan yang disimulasikan. Sehingga<br />

akan diperoleh hasil simulasi yang lebih<br />

detail dan mendekati kondisi riil. Model<br />

simulasi trafik kendaraan pada makalah ini<br />

adalah mikroskopik model.<br />

Pergerakan dari tiap-tiap kendaraan<br />

sangat bergantung kepada perilaku<br />

pengemudi. Referensi 3 membahas<br />

pemodelan gerak kendaraan dengan<br />

pertimbangan perilaku pengemudi, seperti:<br />

• Pengemudi menginjak rem pada lampu<br />

merah kalau jarak sudah dekat<br />

• Pengemudi menginjak rem kalau lampu<br />

rem mobil di depannya menyala dan<br />

jarak sudah dekat<br />

• Pengemudi menginjak gas bila didepan<br />

kosong atau jarak ke mobil depan cukup<br />

jauh<br />

• Pengemudi mempertahankan kecepatan<br />

bila sudah mencapai kecepatan<br />

maksimum dan lampu rem mobil di<br />

depan tidak menyala serta dalam jarak<br />

yang cukup<br />

Initializations<br />

New time slice<br />

Update controls<br />

Select Entities<br />

Select a new object<br />

Calculate the object<br />

All objects<br />

All Entities<br />

Gambar 1. Prosedur simulasi time-driven<br />

Untuk dapat memodelkan kendaraan<br />

tersebut, pendekatan berorientasi obyek<br />

sangatlah sesuai, mengingat tiap-tiap<br />

kendaraan dapat di modelkan secara<br />

terpisah, sehingga masing-masing dapat<br />

dimodelkan secara detail.<br />

Hampir semua entiti untuk simulasi<br />

trafik kendaraan adalah dinamik, dimana<br />

waktu adalah sebagai variable yang berdiri<br />

sendiri (independent variable). Kondisi<br />

(state) tiap-tiap entiti dari sistem berubah<br />

berdasar pergerakan waktu dari simulasi.<br />

Secara garis besar ada dua cara<br />

menggerakkan simulasi untuk<br />

merepresentasikan kondisi dinamik dari tiaptiap<br />

elemen sistem, yakni event-driven dan<br />

simulasi time-driven. Mengingat hampir<br />

semua kondisi entiti untuk simulasi trafik<br />

kendaraan berubah secara kontinyu, maka<br />

simulasi time-driven adalah pilihan yang<br />

lebih baik.<br />

Prosedur dari simulasi time-driven<br />

simulasi seperti tergambar pada gambar 1,<br />

dimana perubahan kondisi dari tiap-tiap<br />

obyek dihitung pada setiap satuan waktu.<br />

Pada saat pertama dilakukan inisialisasi dari<br />

kondisi simulasi. Kemudian pemilihan suatu<br />

entitas. Dalam setiap satuan waktu dihitung<br />

pergerakan dari obyek-obyek dalam entitas<br />

tersebut (3) .<br />

3. DESAIN ENTITI BERORIENTASI<br />

OBYEK<br />

Dalam simulator kendaraan ini,<br />

didefinisikan ada dua buah komponen<br />

utama dari obyek yaitu jalur (lane) dan<br />

kendaraan (vehicle), disamping komponen<br />

lainnya seperti lampu lalu lintas (traffic light),<br />

persilangan jalur (junction) dan lain-lain.<br />

Tiap kendaraan harus berada dalam<br />

jalur. Jalur mempunyai arah dan posisi pada<br />

peta. Jalur selanjutnya dapat dibedakan lagi<br />

menjadi, jalur lurus (straight lane) dan jalur<br />

tikungan (curve lane). Perhitungan gerak<br />

dari kendaraan harus disesuaikan dengan<br />

jenis jalur yang dilaluinya.<br />

Sementara kendaraan dapat<br />

dibedakan menjadi dua yakni, kendaraan<br />

pribadi (private vehicle) dan kendaraan<br />

umum (public vehicle). Pembedaan di atas<br />

terletak pada perilaku umum dari masingmasing<br />

kendaraan. Seperti kendaraan<br />

umum mempunyai beberapa titik berhenti<br />

sedang kendaraan pribadi hanya satu. Dan<br />

juga mempunyai perbedaan pada sisi<br />

kecepatan maksimum dan percepatannya.<br />

Peta jalan dapat terdiri dari<br />

komponen: node (N), curve-lane (C),<br />

straight-lane (L), T-junction (T), dan<br />

intersection (I), seperti tampak pada gambar<br />

2 di bawah.<br />

Definisi dari masing-masing<br />

komponen, yang juga merupakan obyek,<br />

jalan seperti berikut:<br />

• Node adalah titik titik ujung jalur,<br />

merepresentasikan sambungan dua jalur.<br />

• Straight-lane adalah jalur lurus<br />

• Curve-lane adalah variasi dari jalur yang<br />

melengkung.<br />

• T-junction adalah persimpangan 3 buah<br />

jalur berbentuk huruf T dengan lampu<br />

trafik<br />

48


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

• Intersection adalah persimpangan dua<br />

jalur dengan lampu trafik<br />

Gambar 2. Data Trafik Jalan<br />

Masing-masing komponen jalur<br />

memiliki atribut seperti: panjang, lebar, titik<br />

koordinat, kecepatan maksimum jumlah<br />

dalam jalur.<br />

Sementara untuk kendaraan,<br />

atributnya antara lain atribut fisik dan atribut<br />

perilaku. Atribut fisik dari kendaraan berupa:<br />

jenis, lebar, panjang, kecepatan. Atribut<br />

perilaku untuk merepresentasikan perilaku<br />

kendaraan adalah: percepatan maksimum,<br />

percepatan minimum, kecepatan maksimum,<br />

tempat berhenti dan tujuan. Kendaraan<br />

pribadi dan kendaraan umum berbeda dari<br />

terutama atribut perilakunya.<br />

Komponen trafik berupa jalur dan<br />

kendaraan di atas, dengan berorientasi<br />

obyek, dapat direpresentasikan dengan<br />

notasi Object Modeling Technique (OMT) (7)<br />

seperti pada gambar 3 di bawah.<br />

Superclass vehicle diturunkan<br />

(inheritanced) menjadi dua subclass: publicvehicle<br />

dan private-vehicle. Sementara<br />

superclass lane diturunkan menjadi dua<br />

subclass: straight-lane dan curve-lane.<br />

Lewat cara penurunan (inheritance),<br />

masing-masing subclass memiliki sifat-sifat<br />

dasar dari superclass selain sifat spesifik<br />

pada subclass tersebut.<br />

Seperti diuraikan di atas, perbedaan<br />

perilaku kendaraan antara kendaraan umum<br />

dan pribadi adalah pada atribut kecepatan<br />

maksimum (v_max) dan percepatan (a).<br />

Dalam implementasinya dengan bahasa<br />

C++, dapat digunakan virtual function pada<br />

superclass vehicle, sementara nilai dan<br />

perhitungan perubahan kecepatan<br />

sebenarnya ada pada masing-masing<br />

subclass.<br />

Antar vehicle class dan lane class<br />

direpresentasikan sebagai hubungan<br />

association. Dimana di atas obyek jalur<br />

terdapat obyek kendaraan yang sedang<br />

bergerak. Ada situasi dimana tidak ada<br />

kendaraan yang bergerak di atas jalur.<br />

Gerak kendaraan dapat mengakibatkan<br />

suatu kendaraan dapat berpindah dari suatu<br />

jalur ke jalur lain sesuai dengan tujuan<br />

perjaluran. Dalam makalah ini, link antara<br />

kendaraan dan jalur dimodelkan dimana<br />

kendaraan terdepan dari suatu jalur (lead<br />

vehicle) mempunyai link dengan jalur,<br />

sedang kendaraan pengikut (vehicle<br />

follower) linknya ke kendaraan di depannya.<br />

Dalam bahasa C++, hubungan<br />

tersebut dapat diimplementasikan dengan<br />

bantuan pointer yang menunjuk ke obyek<br />

kendaraan pada class lane dan memakai<br />

fungsi friend. Gambar 4 menunjukkan link<br />

antara kendaraan dan jalur.<br />

Gambar 4. Link antara Jalur dan Kendaraan<br />

Gambar 3. Notasi Obyek: Jalur dan<br />

Kendaraan<br />

4. PENGEMBANGAN KE DEPAN<br />

Dengan pendekatan model<br />

mikroskopik dan berorientas obyek, maka<br />

gerak dari tiap-tiap kendaraan dapat<br />

direpresentasikan lebih detail dan perilaku<br />

kendaraan dapat ditambah ataupun<br />

dimodifikasi dengan lebih fleksibel.<br />

Konsekuensi dari model mikroskopik adalah<br />

memerlukan komputasi yang besar<br />

dibanding dengan model makroskopik.<br />

Untuk mensimulasikan area yang luas dan<br />

49


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

jumlah kendaraan yang besar, maka<br />

komputasi secara paralel tidak dapat<br />

dihindarkan.<br />

Dari hasil simulasi di University of<br />

Edinburg, diperoleh keunggulan paralel<br />

komputasi untuk mensimulasikan trafik<br />

kendaraan dengan jumlah 200.000<br />

kendaraan yang bergerak di atas 7.000 jalur<br />

dengan performansi yang setara dengan<br />

kondisi sebenarnya<br />

(8) . Performansi dari<br />

paralel simulasi sangat bergantung pada<br />

kecepatan prosesing dan overhead dari<br />

komunikasi antar node komputer. Pada tes<br />

performansi oleh Kasetsart University<br />

diperoleh hasil yang cukup skalabel dimana<br />

diperoleh peningkatan speed-up mendekati<br />

75% dari kondisi ideal, dengan penambahan<br />

jumlah prosesor pada jumlah kendaraan<br />

tetap (6) .<br />

Disain simulator trafik kendaraan ini<br />

akan diimplementasikan di atas PC-cluster.<br />

Dimana beberapa PC dihubungkan oleh<br />

jaringan untuk membentuk suatu gugusan<br />

komputasi (cluster computations). Semua<br />

PC berbasis arsitektur yang sama, yakni<br />

intel micro-processor, dan menggunakan<br />

sistem operasi GNU/Linux. Parallel library<br />

yang digunakan adalah Message Passing<br />

Interface (MPI), mengingat arsitektur dari<br />

platform yang digunakan sama, dan MPI-2<br />

juga telah menyediakan tambahan<br />

language-bindings bahasa C++ untuk<br />

pemrograman berorientasi obyek (9) .<br />

Secara bersamaan, kami telah<br />

memulai mendisain paralisasi simulasi trafik<br />

kendaraan yang meliputi paralisasi data<br />

trafik, paralel algoritma, dan cara<br />

pendistribusian beban pada tiap-tiap node<br />

komputasi<br />

(4) . Pendekatan perancangan<br />

perangkat lunak dengan berorientasi obyek,<br />

di satu sisi, juga memudahkan untuk<br />

pendistribusian beban komputasi berbasis<br />

perhitungan obyek.<br />

Selanjutnya kami akan implementasi<br />

program simulator trafik kendaraan<br />

berorientasi obyek di atas PC-cluster.<br />

5. PENUTUP<br />

Pada makalah ini dipaparkan disain<br />

simulator trafik kendaraan yang berorientasi<br />

obyek. Pendekatan model yang dipakai<br />

adalah mikroskopik agar dapat<br />

merepresentasikan perilaku dari kendaraan<br />

secara detail. Program simulator yang<br />

dirancang bersifat moduler dan komponenkomponen<br />

simulasi dimodelkan berorientasi<br />

obyek (object-oriented). Sehingga<br />

penambahan dan perubahan feature dari<br />

simulator dapat lebih fleksibel.<br />

Karena untuk mensimulasikan trafik<br />

kendaraan dengan jumlah kendaraan yang<br />

besar, paralisasi komputasi sangat perlu,<br />

maka dipaparkan konsideran implementasi<br />

di atas PC-cluster dan secara bersamaan<br />

telah mendisain paralisasi simulasi trafik<br />

kendaraan (4) .<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Dwi Handoko, “Pertimbangan Perilaku<br />

dalam Pemodelan Pengikutan<br />

Kendaraan untuk Simulator Trafik<br />

Kendaraan”, Semiloka Teknologi<br />

Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi,<br />

Oktober 2003.<br />

2. Staffan Algers, Eric Bernauer, Marco<br />

Boero, et all, “Review of Micro-Simulation<br />

Models”, Smartest Project, 8 August<br />

1997. http://www.its.leeds.ac.uk/projects/<br />

smartest/<br />

3. Dwi Handoko, “Disain Simulator Trafik<br />

Kendaraan”, Proc. Seminar Ilmiah<br />

Nasional: Komputer dan Sistem Intelijen<br />

(KOMMIT) 2002, Vol. 2, Th. 2002, pp.<br />

B16-B20.<br />

4. Amien Rusdiutomo, Dwi Handoko,<br />

Lebong Andalaluna, Aris Suwarjono,<br />

”Distribusi Beban Komputasi Paralel<br />

Simulator Trafik Kendaraan”, Proc.<br />

Seminar Ilmiah Nasional: Komputer dan<br />

Sistem Intelijen (KOMMIT) 2002, Vol. 2,<br />

Th. 2002, pp. A26-A29.<br />

5. Ryota Horiguchi, Masahiko Katakura et al,<br />

“A Development of A Traffic Simulator for<br />

Urban Lane Networks: AVENUE”, Proc.<br />

Conference on Vehicle Navigation and<br />

Information Systems, 1994, pp. 254-250<br />

6. Narinnat Suksawat, Yuen Poovarawan,<br />

Somchai Numprasertchai, “The<br />

Development of Scalable Traffic<br />

Simulation Based on Java Technology“,<br />

Technical Report of Dept. Computer<br />

Engineering, Fac. Of Engineering,<br />

Kasetsart University, Bangkok, Thailand.<br />

http://pindex.ku.ac.th/file_research/Scala<br />

bleTrafficSimulation.pdf<br />

7. James Rumbaugh, Michael Blaha, et al,<br />

“Object-Oriented Modeling and Design”,<br />

Prentice-Hall, 1991<br />

8. Brian J. N. Wylie, David McArthur,<br />

“PARAMICS – Moving Vehicles on the<br />

Connection Machine”, Proc. of<br />

Supercomputing ’94, November 1994<br />

9. MPI Forum, “MPI-2: Extensions to the<br />

Message-Passing Interface”, July 1997<br />

RIWAYAT PENULIS<br />

Amien Rusdiutomo lahir di kota<br />

Yogyakarta pada tanggal 26 September<br />

1971. Menamatkan pendidikan S1 di<br />

50


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

University of Electro-communication, Tokyo,<br />

Jepang pada tahun 1996 dalam bidang Ilmu<br />

Komputer. Dan menyelesaikan program S2<br />

pada tahun 1998 di universitas yang sama<br />

dengan bidang spesialis Parallel/Distributed<br />

Processing. Saat ini bekerja sebagai staf<br />

peneliti di Bidang Telematika, Pusat Audit<br />

Teknologi, BPPT, Jakarta. Penulis juga<br />

menjadi anggota pada organisasi profesi<br />

ilmiah IECI, ACM<br />

Dwi Handoko lahir di Jakarta 25 April<br />

1970. Memperoleh gelar B.Eng dan M.Eng<br />

pada bidang Elektronika dari Miyazaki<br />

University Jepang tahun 1994 dan 1996,<br />

dan gelar Dr.Eng pada bidang Sistem<br />

Mikroelektronika dari Shizuoka University<br />

Jepang tahun 2001. Saat ini bekerja di<br />

Pusat Pengkajian dan Pengembangan<br />

Teknologi Teknologi Informasi dan<br />

Elektronika, BPPT. Bidang penelitiannya<br />

adalah Multimedia Signal Processing, VLSI<br />

Design dan Simulasi.<br />

Dr. Dwi Handoko adalah anggota dari IEEE.<br />

51


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Teknik Simulasi Time Response Analysis pada Multipath Optical<br />

Waveguide dengan Menggunakan Transfer Matrix<br />

Iip Syarif Hidayat<br />

Abstrak<br />

Time response analysis sangatlah dibutuhkan untuk melihat kemampuan<br />

bandwidth dari suatu rangkaian optik. Selama ini, dalam mencari time<br />

response analysis dari rangkaian optical waveguide digunakan metoda yang<br />

sudah sangat terkenal yaitu Finite Difference Time Domain (FDTD). Metoda<br />

ini berbeda dengan Beam Propagation Method (BPM), ia mampu<br />

menghitung struktur optical path yang bersifat melengkung, melingkar atau<br />

struktur-struktur yang rumit sekalipun. Akan tetapi, metoda FDTD<br />

memerlukan memori CPU yang besar dan waktu yang lama. Penulis<br />

mencoba memberikan alternatif lain tentang cara mencari time response<br />

analysis dari optical waveguide yang bersifat multipath dengan<br />

menggunakan transfer matrix yang dimodifkasi. Hasil perhitungan<br />

menunjukkan bahwa tingkat ketelitian hitung pada domain waktu metoda ini<br />

masih dibawah FDTD, akan tetapi tetap bisa digunakan sebagai studi awal<br />

karakterisasi sebuah rangkaian optical waveguide tanpa perlu menggunakan<br />

komputer dengan memori yang berorde Gigabyte<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Penggunaan komponen optik saat ini<br />

telah menjangkau berbagai bidang tidak<br />

hanya pada bidang telekomunikasi, tetapi<br />

juga pada bidang-bidang lain seperti sensor,<br />

kedokteran, industri, analisa bahan dan lain<br />

sebagainya. Sejalan dengan itu, ide-ide untuk<br />

menghasilkan komponen optik yang baru<br />

terus tumbuh. Salah satu tahap dalam<br />

mendisain komponen adalah simulasi.<br />

Simulasi dilakukan untuk melihat unjuk kerja<br />

awal suatu disain rangkaian yang selanjutnya<br />

dilakukan berbagai optimasi<br />

parameter-parameter yang ada. Pada saat ini,<br />

metoda yang sering digunakan dalam<br />

simulasi komponen optik adalah Beam<br />

Propagation Method (BPM) dan Finite<br />

Difference Time Domain (FDTD). Untuk<br />

komponen-komponen yang tidak<br />

mengandung waveguide yang melengkung<br />

atau melingkar, metoda BPM sering<br />

digunakan. Adapun untuk komponen optik<br />

yang terdapat waveguide yang berbentuk<br />

lingkaran atau lengkungan digunakan metoda<br />

FDTD. Metoda FDTD juga dilakukan untuk<br />

melihat time response dari komponen.<br />

Metoda FDTD adalah metoda yang relatif<br />

mudah tetapi memerlukan memori komputer<br />

yang besar dan waktu yang relatif lama.<br />

Misalnya, dengan menggunakan CPU 1GHz<br />

dengan RAM 2GHz, untuk komponen yang<br />

berdimensi 100µmx100µm membutuhkan<br />

waktu 12 jam lebih. Sehingga untuk sebuah<br />

simulasi tahap awal dimana masih banyak<br />

parameter yang perlu dioptimasi, FDTD<br />

sangat memerlukan waktu yang relatif lama.<br />

Pada makalah ini penulis mencoba<br />

mengenalkan cara sederhana mensimulasi<br />

komponen yang mengandung waveguide<br />

melingkar. Dalam hal ini penulis mengambil<br />

kasus rangkaian seperti pada gambar 1, yang<br />

kami sebut sebagai multi path ring resonator<br />

(MPRR). Yang melatar belakangi metoda<br />

perhitungan ini adalah karena kami ingin<br />

mencoba menemukan komponen baru untuk<br />

Outport 2<br />

In<br />

Outport 1<br />

Gambar 1. Struktur multipath ring resonator<br />

yang dijadikan model<br />

perhitungan.<br />

modulator optik yang mampu bekerja pada<br />

tegangan rendah dan kecepatan tinggi dan<br />

mempunyai sifat penseleksian panjang<br />

gelombang. Komponen ini diharapkan akan<br />

dapat diaplikasi pada jaringan telekomunikasi<br />

DWDM dengan range panjang gelombang<br />

berorde THz.<br />

Pada struktur tersebut terdapat dua<br />

buah ring dengan keliling lingkaran yang<br />

52


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

berbeda. Sinar yang masuk melalui input<br />

waveguide akan dikeluarkan dalam dua buah<br />

port. Outport 1 adalah untuk sinyal yang tidak<br />

berresonansi sedangkan outport 2 adalah<br />

untuk sinyal yang berresonansi. Jika bahan<br />

substrate menggunakan bahan elektro-optis,<br />

maka modulasi dapat dilakukan dengan<br />

menempelkan elektroda pada lintasan<br />

lingkaran. Dengan memberikan tegangan<br />

pada elektroda ini, akan terjadi perubahan<br />

indeks bias. Perubahan indeks bias ini akan<br />

mengakibatkan perubahan keadaan<br />

resonansi sehingga sinyal yang keluar baik<br />

dari outport 1 ataupun outport 2 akan<br />

merupakan sinyal yang termodulasi.<br />

2. METODA SIMULASI<br />

Metoda simulasi yang penulis paparkan<br />

dalam makalah ini pada prinsipnya<br />

menggunakan dua cara yaitu dengan transfer<br />

matrix dan dengan signal flow chart (SFC).<br />

Transfer matrix digunakan untuk<br />

mengekspresikan sub komponen yang ada<br />

dalam struktur MPRR sedangkan SFC<br />

digunakan untuk mencari transfer function<br />

akhir dari MPRR. Secara mendasar transfer<br />

matrix yang digunakan dalam studi ini adalah<br />

mirip dengan transfer matrix yang sering<br />

digunakan dalam multilayer optics, rangkaian<br />

microwave atau fiberoptic [1], [2].<br />

Beberapa kelebihan transfer matrix<br />

dapat kami sebutkan sebagai berikut :<br />

(a). Untuk rangkaian yang memiliki<br />

subkomponen-subkomponen yang<br />

berulang, relatif lebih mudah menyusun<br />

persamaannya.<br />

(b). Tidak memerlukan kerja keras dalam<br />

menyelesaiakan persamaan-persamaan<br />

yang berjumlah banyak, cukup dengan<br />

mengaplikasikan operasi matrix,<br />

persamaan rangkaian bisa diselesaikan.<br />

Untuk dapat menerapkan transfer<br />

matrix dalam struktur gambar 1, selanjutnya<br />

maka gambar 1 perlu diungkapkan dalam dua<br />

subkomponen sebagaimana diperlihatkan<br />

dalam gambar 2. Subkomponen tersebut<br />

terdiri dari:<br />

a. Komponen coupler. Transfer matrix yang<br />

digunakan untuk subkomponen coupler<br />

kami adopsi dari transfer matrix directional<br />

coupler. Adopsi ini akan valid selama input<br />

light hanya dilakukan pada satu port saja<br />

sehingga arah cahaya yang beresonansi<br />

pada MPRR satu arah. Persamaan (1)<br />

memperlihatkan persamaan untuk transfer<br />

matrix subkomponen coupler H c .<br />

⎡ 1 − K<br />

⎤<br />

i − j 1 − K i<br />

H c = 1 − γ ⎢<br />

⎥ (1)<br />

⎢⎣<br />

− j 1 − K i 1 − K i ⎥⎦<br />

dimana,<br />

K i : power coupling ratio,<br />

γ : fractional loss, dan<br />

j = − 1 .<br />

b. Komponen delay line. Transfer matrix<br />

untuk subkomponen delay line ini<br />

diperlihatkan dalam persamaan (2).<br />

⎡ exp{ − j(<br />

β + jα)<br />

l}<br />

H c<br />

= ⎢<br />

⎣ 0<br />

dimana,<br />

β : propagation constant, dan<br />

α : waveguide loss.<br />

l : panjang delay<br />

0⎤<br />

0<br />

⎥<br />

⎦<br />

(2)<br />

Pada persamaan (1), nilai power<br />

coupling ratio dapat dicari dengan persamaan<br />

berikut:<br />

K = sin 2 ( κl )<br />

(3)<br />

dimana<br />

κ : coupling coefficient, dan<br />

l c : panjang daerah coupling.<br />

c<br />

Adapun coupling coefficient κ dari<br />

suatu waveguide yang mempunyai dimensi<br />

lebar W tertentu dan jarak antara dua<br />

waveguide D tertentu dapat diturunkan dari<br />

pendekatan coupling vertical antara dua slab<br />

waveguide sebagi berikut:<br />

2<br />

2 2<br />

k0 2 2 x z ⎡ 2y ⎤<br />

κ = (neff<br />

− n1<br />

) exp⎢−<br />

(D − W)<br />

β<br />

4<br />

⎥ (4)<br />

(1 + y)z ⎣ W ⎦<br />

dimana,<br />

k 0 : vacuum propagation constant,<br />

n eff : effective refractive index dari<br />

waveguide,<br />

n 1 : refractive index of core, dan<br />

Resonance Out<br />

Coupler<br />

In<br />

Inner ring<br />

Outer ring<br />

Coupler<br />

Delay line<br />

Antiresonance Out<br />

Gambar 2. Subkomponen directional coupler dan<br />

delay line dalam rangkaian MPRR.<br />

53


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

W 2 2 2<br />

x = ( neff<br />

k0<br />

− β )<br />

2<br />

W 2 2 2<br />

y = ( β − n1<br />

k0<br />

)<br />

(5)<br />

2<br />

2<br />

z = x +<br />

y<br />

2<br />

Pada studi simulasi ini diasumsikan<br />

bahwa substrate yang dipakai adalah LiNbO 3<br />

sehingga nilai n eff adalah 2.238 untuk panjang<br />

gelombang 1.5µm. Bahan LiNbO 3 ini dikenal<br />

sebagai bahan yang memiliki sifat<br />

elektro-optis sehingga sering digunakan<br />

sebagai bahan substrate modulator optik.<br />

Dalam simulasi ini juga terdapat beberapa<br />

penyederhanaan, diantaranya yaitu efek<br />

polarisasi cahaya di dalam waveguide<br />

diabaikan dan panjang bagian coupler<br />

dianggap tidak ada.<br />

3. TIME RESPONSE ANALYSIS<br />

Untuk mendapatkan time response dari<br />

struktur yang ada pada gambar 2, digunakan<br />

Out-2<br />

u<br />

melambangkan pasangan input dan output<br />

port pada transfer matrix dari directional<br />

coupler [3], [4].<br />

Sebagaimana diperlihatkan dalam<br />

gambar 3, subkomonen delay line untuk inner<br />

ring dan outer ring tersusun dari banyak<br />

transfer matrix. Jumlah transfer matrix pada<br />

inner ring dan outer ring harus ditetapkan<br />

sesuai dengan persamaan syarat resonansi<br />

dalam MPRR. Sebagai contoh, sesuai<br />

dengan syarat resonansi yang ada pada<br />

referensi [3], perbandingan panjang lintasan<br />

inner ring dan outer ring untuk seperempat<br />

lingkaran inner ring dapat dipenuhi dengan<br />

angka 10:11. Maka, jumlah transfer matrix<br />

pada seperempat lingkaran inner ring menjadi<br />

10 dan jumlah transfer matrix pada<br />

seperempat outer ring adalah 11. Dalam hal<br />

ini diasumsikan bahwa panjang directional<br />

coupler diabaikan. Dari sini, jeda waktu yang<br />

diperlukan dalam perhitungan adalah :<br />

n.<br />

∆l<br />

∆t<br />

=<br />

c<br />

(6)<br />

H H H H H<br />

H<br />

H<br />

H<br />

H<br />

H<br />

H H H H<br />

(6)<br />

(5)<br />

H<br />

H<br />

H<br />

H<br />

H c2<br />

(7)<br />

(4)<br />

H c4<br />

(8) (3)<br />

w (1) (2)<br />

H H H H H c1 H H H H<br />

H c3<br />

H H H H H<br />

v<br />

H<br />

H<br />

H<br />

H<br />

H<br />

In<br />

u<br />

u<br />

Out-1<br />

Gambar 3. Blok diagram MPRR yang tersusun dari subkomponen coupler dan delay line.<br />

cara dengan memecah subkomponen delay<br />

line dalam beberapa bagian. Jika kita<br />

mengungkapkan struktur MPRR yang ada<br />

pada gambar 2 dalam bentuk block diagram<br />

dari transfer matrix<br />

subkomponen-subkomponennya, maka block<br />

diagram tersebut menjadi seperti terlihat pada<br />

gambar 3. Simbol u, v dan w dalam gambar 3<br />

masing-masing melambangkan lintasan untuk<br />

straight waveguide (input-output waveguide),<br />

inner ring dan outer ring. Adapun<br />

angka-angka (1) sampai dengan (8)<br />

dimana untuk kasus perbandingan 10:11, ∆l<br />

adalah:<br />

πr<br />

/ 2<br />

∆ l =<br />

(7)<br />

10<br />

Selanjutnya contoh hasil perhitungan<br />

time response dapat diperlihatkan pada<br />

gambar 4. Variable yang diperlihatkan dalam<br />

gambar 4 adalah nilai K 1 dan K 3 . Kami<br />

mendefiniskan K 1 sebagai nilai power<br />

coupling ratio antara input waveguide dengan<br />

54


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

outer ring, sedangkan K 3 adalah power<br />

coupling ratio antara inner ring dan outer ring.<br />

Pada gambar 4 didapat contoh hasil bahwa<br />

untuk K 1 =0.4 dan K 3 =0.016, dihasilkan<br />

risetime sebesar 0.03ns yang berarti dapat<br />

meresponse sinyal baseband pada bandwidth<br />

11.7GHz. Nilai ini menunjukkan bahwa<br />

struktur MPRR sangat potensial untuk<br />

digunakan dalam sistem yang menuntut<br />

sinyal berorde Gigabits per second (Gbps).<br />

Dalam hasil yang diperlihatkan dalam gambar<br />

4 tersebut terlihat bahwa risetime mengalamai<br />

1<br />

0.5<br />

0<br />

0.2 0.4 0.6 0.8 1<br />

Gambar 4. Contoh hasil perhitungan time<br />

response analysis untuk<br />

berbagai nilai power coupling<br />

ratio K<br />

degradasi sejalan dengan mengecilnya nilai<br />

K 1 dan K 3 . Sebenarnya ada hal lain yang<br />

perlu diperhitungkan untuk memilih nilai<br />

power coupling ratio ini, yaitu interchannel<br />

crosstalk. Dalam studi ini kami tidak<br />

membahasnya secara detail, dan akan kami<br />

laporkan pada lain kesempatan.<br />

Untuk melihat tingkat ketelitian dari<br />

metoda yang kami lakukan ini, penulis telah<br />

membandingkan hasil spektrum resonansi<br />

dengan hasil perhitungan yang dilakukan<br />

dalam kondisi steady state. Hasil<br />

perbandingan menunjukkan bahwa keduanya<br />

hanya berbeda pada digit desimal ke-4 (untuk<br />

satuan panjang gelombang dalam mikron).<br />

4. KESIMPULAN<br />

Metoda transfer matrix yang<br />

dimodifikasi telah penulis gunakan untuk<br />

melakukan time response analysis pada<br />

struktur waveguide yang kompleks yang<br />

mengandung komponen melingkar. Hasil<br />

perhitungan menunjukkan bahwa tingkat<br />

ketelitian metoda ini sampai pada digit<br />

desimal ke-4. Walaupun tidak sepresisi hasil<br />

yang dilakukan dengan menggunakan<br />

metoda biasa (yakni FDTD), akan tetapi untuk<br />

karakterisasi awal dari sebuah hasil disain<br />

baru suatu komponen optik, metoda ini dapat<br />

digunakan. Sebagai contoh, kami dapat<br />

memprediksi kemampuan unjuk kerja struktur<br />

MPRR untuk modulator optik.<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Penulis mengucapkan terima kasih<br />

kepada Dr. Yoshitaka Toyota (Oakayama<br />

University, Japan) atas diskusi yang<br />

mendalam untuk mengembangkan metoda ini<br />

dalam analisa komponen optik. Penulis juga<br />

mengucapkan terima kasih kepada Prof. Ryuji<br />

Koga dan Prof. Osami Wada (Okayama<br />

University, Japan) atas bantuan yang<br />

diberikannya dalam studi ini. Terakhir penulis<br />

berterima kasih kepada saudara Satoru<br />

Ichi-Uma (Oki Electric, Japan) yang<br />

membantu penulis dalam kajian ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

[1]. B. Moslehi, et al., "Fiber-optic lattice<br />

signal processing," Proc. IEEE, vol. 72,<br />

pp.909-930, 1984.<br />

[2]. P. Urquhart, "Compound<br />

optical-fiber-based resonators," J. Opt.<br />

Soc. Am. A, vol. 5, no. 6, pp. 803-811,<br />

1988.<br />

[3]. J. Capmany, et al., "A new Transfer<br />

Matrix Formalism for the Analysis of<br />

Fiber Ring Resonators: Compound<br />

Coupled Structures for FDMA<br />

Demultiplexing," J. of Lighwave Tecnol.,<br />

vol. 8, no. 12, pp. 1904-1919,1990.<br />

[4]. F. Sanchez, "Matrix Algebra for All-fiber<br />

Optical Resonators," J. Lightwave<br />

Technol., vol. 9, no. 7, pp. 838-844, 1991.<br />

[5]. Iip Syarif Hidayat, et al., “Application of<br />

transfer matrix method with signal<br />

flow-chart to analyze optical multi-path<br />

ring-resonator,” Memoirs of Faculty Of<br />

Eng. Okayama Univ., vol.36, no.2, pp.<br />

73-82, March, 2002.<br />

[6]. I.S. Hidayat, et al., “Multipath structure<br />

for FSR expansion in waveguide-based<br />

optical ring resonator,” Electronics<br />

Letters, vol. 39, Issue 4, pp. 366-367,<br />

February, 2003.<br />

RIWAYAT PENULIS<br />

Iip Syarif Hidayat, lahir di Cirebon<br />

pada tanggal 22 Maret 1969. Penulis<br />

menamatkan S1 dan S2 pada tahun 1994 dan<br />

1996 di Yamagata University, Japan pada<br />

bidang telekomunikasi optik. Pada tahun 2003<br />

penulis telah menyelesaikan S3 nya di<br />

Okayama University juga pada bidang yang<br />

sama. Saat ini penulis adalah staf peneliti<br />

pada Pusat Penelitian Elektronika dan<br />

Telekomunikasi LIPI (P2ET-LIPI). Selain<br />

bidang telekomunikasi optik, penulis juga aktif<br />

melakukan kajian pada bidang gelombang<br />

mikro dan telekomunikasi satelit.<br />

55


ANALISA


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

ANALISIS TEGANGAN PADA FILTER<br />

BAHAN BAKAR SOLAR<br />

H. Agus Suhartono dan Ogi Ivano<br />

UPT-LUK BPP Teknologi, Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang<br />

Abstract<br />

A stress analysis of fuel filter. The analysis of stress on the fuel filter that is<br />

used in a combustion engine system was carried out due to the repeated<br />

failure of the part during operation. The stress analysis are conducted by<br />

analitical method, Finite Element Method (FEM) and stress measurement.<br />

The results of analysis are discribed in this paper which indicates the critical<br />

area of the fuel filter. The critical area proved to be the most place where the<br />

failure occurred.<br />

Kata kunci: fuel filter, FEM, fatigue<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Pada era industri yang makin<br />

berkembang, peningkatan efisiensi adalah<br />

tuntutan yang harus dipenuhi di dalam<br />

memproduksi suatu produk. Proses<br />

produksi harus memenuhi syarat yaitu<br />

selain biaya produksi yang rendah dituntut<br />

pula kualitas dan performance produk yang<br />

dihasilkan. Faktor penyebab rendahnya<br />

kualitas produk dapat disebabkan karena<br />

terjadinya kesalahan di dalam : disain,<br />

pemilihan material, pabrikasi, perakitan,<br />

dan/atau pemakaian. Penguasaan<br />

teknologi dan ilmu penunjang seperti<br />

analisis tegangan sangat membantu<br />

mengindentifikasi masalah dalam fabrikasi<br />

suatu produk.<br />

Kerusakan berulang pada suatu<br />

produk sebelum umurnya terpenuhi<br />

merupakan pertanda terjadinya suatu<br />

kesalahan dalam produksi misalnya dari<br />

segi pemakaian, disain konstruksi maupun<br />

pemilihan material. Pada umumnya<br />

kerusakan merupakan representasi data<br />

pada kondisi sebenamya yang terjadi pada<br />

pemakaian.<br />

Pengujian di lapangan selain<br />

membutuhkan biaya yang besar juga<br />

memiliki tingkat kesulitan yang tinggi selain<br />

itu juga membutuhkan waktu yang lama.<br />

Saat ini dengan kemajuan yang sangat<br />

pesat terutama pada industri komponen<br />

otomotif sangat dibutuhkan teknologi yang<br />

dapat mempersingkat tahapan pengujian di<br />

lapangan, tetapi dengan hasil yang<br />

mendekati keadaan sesungguhnya.<br />

Teknologi simulasi semakin berkembang<br />

untuk mempermudah pendekatan terhadap<br />

pengujian dan pembebanan yang terjadi<br />

pada saat pemakaian. Pendekatan analisis<br />

pada tegangan yang bekerja pada suatu<br />

komponen dapat dilakukan dengan analisis<br />

metode elemen hingga (Finite Element<br />

Method/ FEM).<br />

Pendekatan perhitungan analisis<br />

tegangan dengan metoda elemen hingga<br />

akan mengungkap tegangan yang bekerja<br />

pada komponen sehingga dapat<br />

diantisipasi secara disain konstruksi dan<br />

pemilihan material berbagai macam produk<br />

komponen. Data hasil analisis tegangan<br />

dapat digunakan dalam peningkatan mutu<br />

suatu komponen dengan membuat garis<br />

pedoman pabrikasi yang efektif lewat<br />

penyempurnaan mutu disain, manufaktur<br />

dan perakitan. Sehingga dengan sentuhan<br />

analisis tegangan maka mutu komponen<br />

dapat menjadi lebih handal seperti filter<br />

solar yang menjadi permasalahan pada<br />

kasus ini.<br />

Filter bahan bakar solar di dalam<br />

system motor bakar diesel adalah<br />

merupakan komponen yang cukup penting.<br />

Bahan bakar solar yang akan diinjeksikan<br />

ke dalam ruang bakar harus terlebih dahulu<br />

melalui sistem saringan (filter) untuk<br />

menjamin kebersihan bahan bakar. Bahan<br />

bakar yang bersih akan dapat<br />

menghasilkan daya dan umur mesin yang<br />

baik. Filter bahan bakar yang digunakan<br />

harus dijamin tidak terjadi kebocoran, retak,<br />

ataupun pecah pada bagian body/cover<br />

filter, sebab dapat menyebabkan tejadinya<br />

kebakaran pada mesin. Oleh karena itu,<br />

kualitas body ataupun cover filter harus<br />

dijamin tidak rusak sampai penggantian<br />

secara periode dilakukan pada saat servis.<br />

Body (tabung) filter dibuat dari baja<br />

pelat tipis dengan simbol kualitas material<br />

SPCC [1] yang diproduksi melalui proses<br />

penarikan dalam (deep drawing)<br />

sedangkan cover filter yang mengalami<br />

kerusakan pada kasus ini dibuat dari baja<br />

pelat tipis dengan simbol kualitas material<br />

56


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

SEC [2]<br />

yang diproduksi melalui proses<br />

produksi pembentukan logam pressing<br />

sehingga bagian cover dan body filter<br />

saling menyatu. Proses pressing tersebut<br />

mengakibatkan terjadinya deformasi yang<br />

cukup besar pada material yang<br />

merupakan posisi terjadinya kerusakan.<br />

Analisis tegangan dilakukan pada<br />

filter solar yang mengalami robek atau retak<br />

pada bagian cover filter. Dengan analisis<br />

tegangan maka akan dapat diketahui faktor<br />

utama penyebab terjadinya kerusakan yang<br />

selanjutnya akan menjadi masukan yang<br />

sangat berharga pada pembuatan cover<br />

filter berikutnya yang lebih berkualitas.<br />

Data awal dari pabrikator diketahui<br />

bahwa material dasar cover filter adalah<br />

baja paduan SEC yaitu material baja SPCC<br />

yang dilapisi dengan unsur seng [2] . Dari<br />

pabrikator juga diperoleh data hasil burst<br />

test, endurance test, dan impulse test pada<br />

filter tipe tersebut. Dari data tersebut<br />

diketahui bahwa material body filter tidak<br />

mengalami pembebanan yang berarti<br />

dibanding kekuatan material yang<br />

digunakan karena tekanan maksimum yang<br />

terjadi pada burst test adalah 20kgf/cm 2<br />

dan yang mengalami kerusakan pada saat<br />

pengujian tersebut adalah bagian elco yang<br />

menggelembung. Dan dari hasil uji<br />

ketahanan (endurance test) dengan<br />

tekanan 15 kgf/cm 2 selama 60 menit tidak<br />

menunjukkan adanya perubahan bentuk<br />

pada filter. Demikian pula untuk uji impuls<br />

pada julat tegangan 2-9 kgf/cm 2 , suhu 80°,<br />

frekwensi 90 rpm, sampai pada siklus 4 x<br />

10 4 tidak menunjukkan adanya kebocoran<br />

ataupun perubahan bentuk pada filter.<br />

2. Perhitungan, Analisis dan<br />

Pengukuran Tegangan<br />

Tujuan dari pekerjaan ini adalah<br />

melakukan kajian engineering dan<br />

perhitungan kekuatan dengan melakukan<br />

perhitungan, analisis metoda elemen<br />

hingga dan pengukuran beban untuk<br />

mengkaji bagian-bagian kritis yang sering<br />

mengalami kegagalan.<br />

2.1 Perhitungan Tegangan Analitis<br />

Tabung<br />

Tegangan-tegangan yang terjadi<br />

pada tabung adalah tegangan radial / arah<br />

jari-jari (σ r ), tegangan tangensial /<br />

melingkar tabung (σ t ) dan tegangan<br />

longitudinal / sepanjang sumbu tabung (σ z ).<br />

Tegangan-tegangan pokok yang bekerja<br />

pada tabung tersebut adalah :<br />

σ = pd / 2t<br />

t<br />

σ = pd / 4t<br />

/(1 + d / t)<br />

z<br />

(1),(2)<br />

dimana :<br />

σ t : tegangan arah melintang tabung<br />

σ z : tegangan arah memanjang<br />

tabung<br />

p : tekanan = 9 kg/cm 2 (0.09<br />

kgf/mm 2 )<br />

d : diameter tabung = 11 cm<br />

t : tebal dinding tabung = 0,06 cm<br />

σ = 9⋅11/<br />

2⋅<br />

0,06=<br />

825kg<br />

/ cm<br />

t<br />

σ = pd / 4h<br />

= 412,5 kg / cm<br />

l<br />

2<br />

2<br />

= 80,85 N / mm<br />

= 40,425N<br />

/ mm<br />

2.2 Analisis Tegangan dengan Metode<br />

Elemen Hingga (FEM)<br />

Untuk memecahkan masalah<br />

mekanika teknik secara numerik dapat<br />

dilakukan dengan menggunakan Metoda<br />

Elemen Hingga (FEM). Metoda ini<br />

menganalisis pendekatan melalui<br />

pemisahan kontinum menjadi elemenelemen<br />

yang saling berhubungan.<br />

Elemen-elemen tersebut mempunyai<br />

bentuk yang sederhana dari hubungan<br />

antar nodal dan saling berhubungan satu<br />

sama lainnya oleh nodal-nodal tersebut.<br />

Setiap elemen mempunyai besaran<br />

berlanjut seperti gaya, perpindahan dan<br />

kekakuan yang berbeda-beda tergantung<br />

dari bentuk, ukuran dan sifat bahannya.<br />

Pada kumpulan elemen-elemen<br />

tersebut diberlakukan hukum Hooke seperti<br />

berikut :<br />

f = kx<br />

(3)<br />

dimana :<br />

f : gaya vektor gaya<br />

k : kekakuan matrik kekakuan<br />

x : perpindahan vektor perpindahan<br />

Melalui hukum Hooke (3) dibuat<br />

kekakuan-kekakuan masing-masing<br />

elemen menjadi matrik kekakuan yang lebih<br />

besar dan menjadi satu, gaya dan<br />

perpindahan masing-masing elemen<br />

dikumpulkan menjadi vektor gaya dan<br />

vektor perpindahan. Maka terbentuklah<br />

persamaan matrik sebagai berikut:<br />

{f}=[K]{x} (4)<br />

Untuk menjadikan persamaan matrik<br />

tersebut memberikan hasil, maka pada<br />

beberapa elemen diberikan harga awal<br />

atau kondisi batas, yaitu untuk gaya berupa<br />

2<br />

2<br />

57


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

beban dan untuk perpindahan berupa<br />

constraint. Dengan demikian seluruh data<br />

lengkap awal lengkap, persamaan matrik<br />

dapat dipecahkan. Sehingga setiap elemen<br />

akan terlengkapi data gaya dan<br />

perpindahannya. Dan dari data gaya dan<br />

perpindahan dapat diuraikan menjadi<br />

tegangan dan regangan dengan dibagi oleh<br />

Modulus Elastisitas.<br />

hingga atap tabung adalah seperti pada<br />

gambar 3.<br />

V1<br />

L1<br />

C1<br />

125.5<br />

112.4<br />

99.3<br />

86.23<br />

73.15<br />

60.07<br />

47.<br />

33.92<br />

20.84<br />

7.765<br />

-5.312<br />

-18.39<br />

-31.47<br />

-44.54<br />

V1<br />

L1<br />

C1<br />

Z<br />

Y<br />

X<br />

-57.62<br />

-70.7<br />

Output Set: MPa<br />

Contour: Axisym Axial Stress<br />

Gambar 3. Geometry potongan model<br />

tabung filter<br />

-83.77<br />

Z<br />

Y<br />

X<br />

Gambar 1. Model tabung tampak<br />

samping<br />

V1<br />

L1<br />

C1<br />

Y<br />

Z<br />

X<br />

Gambar 2. Model tabung tiga dimensi<br />

Metode Analisis Tegangan ini<br />

dilakukan dengan menggunakan Software<br />

Finite Element Analysis MSC/Nastran V4.0.<br />

Pemodelan dilakukan dengan<br />

menggunakan element type axysimmetric<br />

yang dapat menghitung tegangan pada<br />

pelat tipis. Karakteristik mekanik dari<br />

material SPCD-SD JIS G3141 yang dipakai<br />

adalah sebagai berikut :<br />

− Modulus Young, E : 210 GPa<br />

− Poisson’s Ratio, ν: 0,3<br />

− Massa Jenis, ρ : 7800 kg/m 3<br />

− Yield Strength : 153 MPa<br />

− Ultimate Tensile Strength: 358 MPa<br />

2.3 Pengukuran Tegangan<br />

Pengukuran tegangan dilakukan<br />

dengan melakukan pengujian hidrodinamis<br />

pada tabung. Pada bagian lengkung tabung<br />

dipasang strain gauge arah logitudinal dan<br />

arah tangensial. Bagian dalam diberikan<br />

tekanan sebesar 2 s.d. 9 kgf/cm 2 dan<br />

luaran dari strain gauge diamati dan<br />

direkam dengan menggunakan data logger.<br />

3 Hasil Analisis Tegangan<br />

Pembebanan pada perhitungan FEA<br />

dilakukan berdasarkan beban maksimum 9<br />

kg/cm 2 . Sedangkan kondisi batas pada<br />

model tersebut adalah untuk bagian atas<br />

simetris arah sumbu Z, dan dinding bawah<br />

adalah pin (fix translasi free rotasi) pada<br />

bagian bawah.<br />

Hasil perhitungan berupa distribusi<br />

tegangan ditampilkan pada bagian-bagian<br />

tabung sebagai berikut :<br />

V1<br />

L1<br />

C1<br />

Z<br />

Y<br />

X<br />

Output Set: MPa<br />

-0.3468<br />

-0.5126<br />

-0.4204<br />

-0.3501<br />

-0.4374<br />

-0.7059<br />

-0.1133<br />

-0.4407<br />

-0.6978<br />

-0.2174<br />

-0.5072<br />

-0.8086<br />

-0.08258<br />

-0.4103<br />

-0.7197<br />

-0.1858<br />

-0.5092<br />

-0.8115<br />

-0.06957<br />

-0.3892<br />

-0.7108<br />

-0.1643<br />

-0.4947<br />

-0.8005<br />

-0.1529<br />

-0.4846<br />

-0.7938<br />

104.4<br />

-0.05036 75.69<br />

Criteria: Axisym Axial Stress<br />

Gambar 4. Distribusi tegangan pada arah<br />

radial tebal<br />

94.8<br />

85.25<br />

66.13<br />

56.57<br />

-0.3656<br />

47.02<br />

37.46<br />

27.9<br />

-0.6935<br />

18.34<br />

8.786<br />

-0.771<br />

-10.33<br />

-19.89<br />

-29.44<br />

-39.<br />

-48.56<br />

Dimensi tabung adalah sebagai berikut:<br />

− Diameter, d = 11 cm<br />

− Tebal, t = 0,06 cm<br />

− Tinggi tabung, h = 20 cm<br />

V1<br />

L1<br />

C1<br />

55.456<br />

56.029<br />

55.616<br />

55.503<br />

56.685<br />

56.609<br />

55.737<br />

55.365<br />

57.433<br />

57.03<br />

55.823<br />

55.246<br />

57.871<br />

57.257<br />

55.856<br />

55.155<br />

69.53<br />

56.18<br />

42.83<br />

29.48 58.056<br />

57.312 16.14<br />

2.789<br />

55.833<br />

-10.56<br />

55.111<br />

-23.91<br />

Dengan model axisymmetric dapat<br />

diketahui gaya-gaya atau tegangantegangan<br />

dari radial, tangensial maupun<br />

longitudinal. Model Perhitungan FEA<br />

dengan elemen axisymmetric pada<br />

potongan tabung mulai dari dinding tabung<br />

Z<br />

Y<br />

X<br />

Output Set: MPa<br />

55.312<br />

55.207<br />

54.693<br />

54.149<br />

Criteria: Axisym Azimuth Stress<br />

Gambar 5. Distribusi tegangan pada arah<br />

tangensial pada puncak tabung<br />

54.173<br />

53.457<br />

53.825<br />

53.041<br />

52.89<br />

-37.25<br />

53.607<br />

-50.6<br />

-63.95<br />

-77.3<br />

-90.65<br />

-104.<br />

-117.3<br />

-130.7<br />

-144.<br />

58


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

V1<br />

L1<br />

C1<br />

91.<br />

82.9<br />

V1<br />

L1<br />

C1<br />

29.342 29.422 29.501<br />

29.312 29.395 29.477<br />

104.4<br />

94.8<br />

Z<br />

Y<br />

X<br />

Output Set: MPa<br />

Criteria: Axisym Radial Stress<br />

55.609<br />

55.628<br />

55.296<br />

56.188<br />

55.498<br />

55.007<br />

57.259<br />

55.815<br />

54.378<br />

57.027<br />

55.316<br />

53.514<br />

58.177<br />

55.931<br />

53.704<br />

57.543<br />

55.174<br />

52.734<br />

58.589<br />

55.968<br />

53.374<br />

57.725<br />

55.096<br />

Gambar 6. Distribusi tegangan pada<br />

arah longitudinal pada<br />

puncak tabung<br />

52.42<br />

57.695<br />

55.086<br />

52.429<br />

74.8<br />

66.71 58.517<br />

58.61<br />

50.52<br />

42.42<br />

55.932<br />

34.33<br />

26.23<br />

53.375<br />

18.13<br />

10.04<br />

1.943<br />

-6.152<br />

-14.25<br />

-22.34<br />

-30.44<br />

-38.53<br />

Z<br />

Y<br />

X<br />

Output Set: MPa<br />

Criteria: Axisym Axial Stress<br />

29.309<br />

29.308<br />

29.306<br />

29.306<br />

29.306<br />

29.339<br />

29.337<br />

29.336<br />

29.335<br />

29.335<br />

29.335<br />

Gambar 10. Distribusi tegangan pada<br />

arah radial pada dinding<br />

tabung<br />

29.394<br />

29.394<br />

29.394<br />

29.394<br />

29.394<br />

29.422<br />

29.422<br />

29.423<br />

29.423<br />

29.423<br />

29.423<br />

29.479<br />

29.48<br />

29.481<br />

29.481<br />

29.481<br />

29.505<br />

29.508<br />

29.509<br />

29.51<br />

29.511<br />

29.51<br />

85.25<br />

75.69<br />

66.13<br />

56.57<br />

47.02<br />

37.46<br />

27.9<br />

18.34<br />

8.786<br />

-0.771<br />

-10.33<br />

-19.89<br />

-29.44<br />

-39.<br />

-48.56<br />

V1<br />

L115.784<br />

17.546<br />

C1<br />

Z<br />

Y<br />

19.369 20.701<br />

X<br />

17.668 15.781<br />

Output Set: MPa<br />

Criteria: Axisym Axial Stress<br />

19.538 16.331<br />

23.974 25.484<br />

7.1974 0.01479<br />

2.5415<br />

16.282<br />

21.916<br />

29.664<br />

34.821<br />

-3.6265<br />

23.25 15.972<br />

40.075 37.774<br />

-0.362 -11.148<br />

25.227 15.401<br />

50.447 45.08<br />

-4.8086 -18.111<br />

14.344-12.102<br />

49.49826.795<br />

63.678<br />

-23.268<br />

13.357-16.889<br />

55.85228.017<br />

72.535<br />

-19.372<br />

-37.146<br />

29.172<br />

12.752<br />

78.152<br />

-22.925<br />

63.564<br />

-41.778<br />

30.378<br />

12.262<br />

85.516<br />

68.458 -25.826<br />

-45.389<br />

31.421<br />

11.95<br />

91.769<br />

72.541<br />

-47.221<br />

11.703<br />

-28.374<br />

Gambar 7. Distribusi tegangan dengan<br />

arah tegak lurus pada<br />

lengkung antara puncak<br />

tabung dan dinding tabung<br />

-30.11<br />

104.4<br />

94.8<br />

85.25<br />

75.69<br />

66.13<br />

56.57<br />

47.02<br />

37.46<br />

27.9<br />

18.34<br />

8.786<br />

-0.771<br />

-10.33<br />

-19.89<br />

-29.44<br />

-39.<br />

-48.56<br />

V1<br />

L1<br />

C1<br />

Z<br />

Y<br />

X<br />

Output Set: MPa<br />

Criteria: Axisym Azimuth Stress<br />

59.512<br />

59.519<br />

59.525<br />

59.531<br />

59.536<br />

59.407<br />

59.415<br />

59.422<br />

59.428<br />

59.435<br />

59.44<br />

59.445<br />

59.235<br />

59.242<br />

59.249<br />

59.255<br />

59.26<br />

59.131<br />

59.139<br />

59.147<br />

59.154<br />

59.16<br />

59.166<br />

59.171<br />

58.963<br />

58.97<br />

58.977<br />

58.983<br />

58.988<br />

58.858<br />

58.867<br />

58.876<br />

58.883<br />

58.889<br />

58.895<br />

58.9<br />

69.53<br />

59.505 59.228 58.955<br />

56.18<br />

Gambar 11. Distribusi tegangan<br />

pada arah tangensial<br />

dinding tabung<br />

42.83<br />

29.48<br />

16.14<br />

2.789<br />

-10.56<br />

-23.91<br />

-37.25<br />

-50.6<br />

-63.95<br />

-77.3<br />

-90.65<br />

-104.<br />

-117.3<br />

-130.7<br />

-144.<br />

V1<br />

L1-66.616<br />

-66.638 -69.119 -71.811 -80.411 -86.218<br />

C1<br />

-94.293<br />

-68.353 -69.449 -74.551 -78.797<br />

-94.091<br />

-83.593<br />

-68.697 -71.14<br />

-100.56<br />

-81.715 -109.03<br />

-72.276<br />

-85.061<br />

-68.82 -92.427<br />

-109.44 -118.81<br />

Z<br />

Y<br />

X<br />

Output Set: MPa<br />

Criteria: Axisym Azimuth Stress<br />

-69.204 -75.238<br />

-90.09 -98.636<br />

-69.833 -77.662<br />

-102.59 -119.66<br />

-79.612 -96.588<br />

-72.585<br />

-124.61<br />

-107.73 -125.76<br />

-82.732 -100.85<br />

-75.006<br />

-131.89<br />

-128.98<br />

-138.89<br />

-103.22<br />

-113.06<br />

-76.543<br />

-132.62<br />

-86.357<br />

-142.25<br />

-106.07<br />

-115.83<br />

-78.567<br />

-88.492 -134.77<br />

-143.91<br />

-107.97<br />

-117.41<br />

-80.21<br />

-89.981<br />

-144.04<br />

-117.74<br />

-135.22<br />

Gambar 8. Distribusi tegangan dengan<br />

arah menembus dinding<br />

pada daerah lengkung<br />

antara puncak tabung dan<br />

dinding tabung<br />

V1<br />

L148.633<br />

44.775 32.689 23.915 0.912 -12.521<br />

C1<br />

-21.076<br />

59.523 52.374 32.664 19.99<br />

-11.622<br />

17.456<br />

72.373 60.404<br />

-16.114<br />

32.169 -33.184<br />

64.465<br />

32.156<br />

84.089 14.493<br />

-20.802 -37.756<br />

Z<br />

Y<br />

X<br />

Output Set: MPa<br />

Criteria: Axisym Radial Stress<br />

88.332 69.257<br />

31.264 12.764<br />

90.995 69.56<br />

86.701<br />

-38.535<br />

12.249-22.159<br />

68.39229.864<br />

80.828<br />

-37.871<br />

11.548-21.37<br />

64.41528.149<br />

-20.484<br />

-34.756<br />

26.593<br />

10.513<br />

75.897<br />

-18.135<br />

57.417<br />

-30.878<br />

24.52<br />

10.038<br />

68.079<br />

51.404 -15.197<br />

-26.271<br />

22.27<br />

9.6299<br />

59.376<br />

44.92<br />

-22.808<br />

9.6538<br />

-10.859<br />

Gambar 9. Distribusi tegangan dengan<br />

arah lengkung dinding pada<br />

daerah lengkung antara<br />

puncak tabung dan dinding<br />

tabung<br />

69.53<br />

56.18<br />

42.83<br />

29.48<br />

16.14<br />

2.789<br />

-10.56<br />

-23.91<br />

-37.25<br />

-50.6<br />

-63.95<br />

-77.3<br />

-90.65<br />

-104.<br />

-117.3<br />

-130.7<br />

-144.<br />

91.<br />

82.9<br />

74.8<br />

66.71<br />

58.61<br />

50.52<br />

42.42<br />

34.33<br />

26.23<br />

18.13<br />

10.04<br />

1.943<br />

-6.152<br />

-14.25<br />

-22.34<br />

-30.44<br />

-38.53<br />

V1<br />

L1<br />

C1<br />

Z<br />

Y<br />

X<br />

Output Set: MPa<br />

Criteria: Axisym Radial Stress<br />

-0.798<br />

-0.798<br />

-0.798<br />

-0.798<br />

-0.798<br />

-0.6966<br />

-0.6965<br />

-0.6965<br />

-0.6965<br />

-0.6965<br />

-0.6965<br />

-0.6965<br />

-0.09821<br />

Jika kita mempertimbangkan fatigue<br />

limit, maka tegangan tidak melebihi<br />

tegangan ijin. Secara keseluruhan hasil<br />

perhitungan di atas dapat dilihat pada tabel<br />

1.<br />

Hasil pengukuran strain gauge<br />

dengan pembebanan hidrodinamis sebesar<br />

2 hingga 9 kg/cm2 . Didapat nilai regangan<br />

utama sebesar 300 mikrostrain Dan nilai<br />

tegangan pada bagian dinding arah<br />

tangensial sebesar adalah 63 MPa dan<br />

pada arah longitudinal sebesar 20 Mpa.<br />

Dari pengukuran pada tempat kritis<br />

diketahui bahwa pada penampang<br />

melintang memiliki tegangan 2 x dibanding<br />

penampang longitudinal. Sehingga pelat<br />

memiliki kecenderungan robek searah<br />

-0.3951<br />

-0.3951<br />

-0.4951<br />

-0.3952<br />

-0.4951<br />

-0.3952<br />

-0.4951<br />

-0.3952<br />

-0.4951<br />

-0.3952<br />

-0.4951<br />

-0.3952<br />

-0.09817<br />

-0.798 -0.4951 -0.1966<br />

82.9<br />

-0.09818<br />

-0.1967<br />

-0.09819<br />

-0.1967<br />

-0.0982<br />

-0.1967<br />

-0.09821<br />

-0.1967<br />

-0.09821<br />

-0.1967<br />

Gambar 12. Distribusi tegangan pada<br />

arah longitudinal dinding<br />

tabung<br />

91.<br />

74.8<br />

66.71<br />

58.61<br />

50.52<br />

42.42<br />

34.33<br />

26.23<br />

18.13<br />

10.04<br />

1.943<br />

-6.152<br />

-14.25<br />

-22.34<br />

-30.44<br />

-38.53<br />

59


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

dengan sumbu longitudinal atau tegak lurus<br />

penampang melintang.<br />

4. PEMBAHASAN<br />

Sifat mekanik kedua macam baja<br />

canai memenuhi standard JIS G 3141<br />

SPCD-SD. Dari hasil pengujian tidak<br />

terdapat perbedaan yang signifikan pada<br />

sifat mekanik kedua bahan. Perbedaan<br />

yang dapat terdeteksi adalah homogenitas<br />

sifat mekanik dari masing-masing bahan.<br />

Kuat luluh pada baja Baoshan pada arah<br />

longitudinal terdapat perbedaan sebesar<br />

13,7 % dari 2 benda uji. Kuat luluh arah<br />

longitudinal dan tranversal terdapat<br />

perbedaan harga maksimum dan harga<br />

minimum sebesar 36,4 %.<br />

Kandungan unsur karbon pada baja<br />

Daewoo lebih kecil dari 0,005 % selain itu<br />

ditemukan unsur Ti, Nb dan V, sedangkan<br />

pada baja Baoshan tidak ditemukan unsurunsur<br />

tersebut. Unsur-unsur Ti, Nb dan V<br />

memiliki pengaruh sebagai penghalus butir,<br />

pembentuk karbida yang berguna untuk<br />

membantu pembentukan struktur pancake<br />

yang memperbaiki kemampuan penarikan<br />

dalam.<br />

Atap<br />

tabung<br />

Tabel 1. Hasil Perhitungan Analisis<br />

Tegangan<br />

(satuan dalam Mpa)<br />

Lengkung<br />

antara atap<br />

dan<br />

dinding<br />

Dinding<br />

tabung<br />

Tegangan<br />

tangensial<br />

arah<br />

melintang<br />

Tegangan<br />

arah<br />

longitudinal<br />

Teganga<br />

n arah<br />

radial<br />

57,9 58,5 -0,8<br />

91(dinding<br />

dlm)<br />

-37<br />

(dinding<br />

luar)<br />

91(dinding<br />

dlm)<br />

-47(dinding<br />

luar)<br />

-89<br />

(dinding<br />

dlm)<br />

-144<br />

(dinding<br />

luar)<br />

59,5 29,5 -0,8<br />

Hasil uji kekerasan antara kedua<br />

jenis baja tidak menunjukkan perbedaan<br />

yang signifikan. Pada pengujian komponen<br />

terjadi peningkatan kekerasan yang<br />

kemungkinan merupakan akibat dari proses<br />

pengerasan regang.<br />

Pemeriksaan mikrostruktur dilakukan<br />

terhadap baja canai dan komponen yang<br />

telah mengalami pengubahan bentuk.<br />

Hasil pemeriksaan pada baja canai dari<br />

Baoshan steel dan Daewoo steel<br />

menunjukkan struktur mikro yang terdiri dari<br />

fasa ferit. Baja dari Baoshan steel memiliki<br />

butiran yang lebih kasar dibandingkan baja<br />

dari Daewoo steel. Endapan karbida yang<br />

kemungkinan merupakan karbida Ti dan Nb<br />

banyak ditemukan pada mikrostruktur dari<br />

Daewoo steel.<br />

Pemeriksaan struktur mikro juga<br />

dilakukan pada baja yang telah mengalami<br />

pengubahan bentuk menjadi tabung filter.<br />

Pada sisi dinding tampak butiran struktur<br />

ferit yang terdeformasi memanjang<br />

sedangkan pada sisi atap filter struktur<br />

mikro tidak menunjukkan adanya<br />

perubahan yang signifikan.<br />

Photo mikro dengan perbesaran 100<br />

x memberikan data derajad deformasi<br />

bagian-bagian filter. Dari hasil pengukuran<br />

gambar yang terletak pada struktur mikro<br />

didapat hasil sebagai berikut:<br />

• Tebal material dasar : 0,6 mm<br />

• Tebal dinding tabung : 0,506 mm<br />

• Tebal bagian atap tabung: 0,662 mm<br />

Hasil pengujian fatik menunjukkan<br />

bahwa fatik limit bahan adalah 120 Mpa.<br />

Pembebanan berdasar perhitungan,<br />

pengujian, dan metode elemen hingga<br />

Data awal dari fabrikator diketahui<br />

bahwa material dasar tabung yaitu material<br />

baja SPCD-SD. Dari fabrikator juga<br />

diperoleh data hasil burst test, endurance<br />

test, dan impulse test pada filter tipe<br />

tersebut. Dari data tersebut diketahui<br />

bahwa material body filter mengalami<br />

pembebanan 20 kgf/cm 2 burst test Hasil uji<br />

ketahanan (endurance test) dengan<br />

tekanan 15 kgf/cm 2 selama 60 menit.<br />

Demikian pula untuk uji impuls dinamis<br />

pada julat tegangan 2-9 kgf/cm 2 , suhu 80°,<br />

frekwensi 90 rpm, hingga 4 x 10 4 siklus.<br />

Besar tegangan yang bekerja pada<br />

komponen dideteksi dengan tiga metode<br />

yaitu perhitungan analitis, metode elemen<br />

hingga dan pengukuran dengan strain<br />

gauge. Perhitungan dengan metode<br />

elemen hingga memiliki keuntungan dalam<br />

kemudahan dan kecepatan dalam<br />

pendeteksian tegangan pada berbagai<br />

bagian tabung.<br />

Berdasarkan perhitungan dengan<br />

metode elemen hingga tabung pada saat<br />

dibebani dengan tekanan operasi sebesar 9<br />

kgf/cm2, tegangan tarik paling tinggi terjadi<br />

pada bagian dalam lengkungan antara<br />

dinding dan atap tabung sebesar adalah 91<br />

MPa. Tegangan tekan tidak diperhitungkan<br />

karena keberadaannya tidak berbahaya<br />

bagi kekuatan struktur.<br />

Berdasarkan pengalaman dalam<br />

pengoperasian kerusakan paling sering<br />

terjadi pada bagian lengkungan antara<br />

60


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

(a)<br />

(b)<br />

Gambar 13 Retak pada bagian tabung<br />

dinding dan atap tabung dan pada bagian<br />

dinding tabung lihat gambar 13 a dan b.<br />

Berdasarkan pengalaman dalam<br />

pengoperasian kerusakan paling sering<br />

terjadi pada bagian lengkungan antara<br />

dinding dan atap tabung dan pada bagian<br />

dinding tabung lihat gambar 13 a dan b.<br />

Tegangan pada bagian dinding<br />

tabung hasil perhitungan secara analitis<br />

dengan rumus (1)(2) pada arah tangensial<br />

sebesar 80,85 MPa sedangkan pada arah<br />

longitudinal sebesar 40,43 MPa. Hasil<br />

pengukuran dengan strain gauge<br />

menunjukkan tegangan pada bagian<br />

dinding arah tangensial sebesar adalah 63<br />

MPa dan pada arah longitudinal sebesar 20<br />

MPa. Analisis tegangan dengan metode<br />

elemen hingga memberikan hasil yang<br />

hampir sama dengan pengukuran dengan<br />

strain gauge yaitu 59,5 Mpa pada arah<br />

tangensial dan 29,5 MPa arah longitudinal.<br />

Hasil perhitungan dan pengukuran<br />

menunjukkan bahwa tegangan pada<br />

dinding tabung arah tangensial jauh lebih<br />

besar dibanding arah longitudinal.<br />

Walaupun demikian tegangan-tegangan<br />

tersebut masih lebih rendah dibandingkan<br />

batas fatik bahan. Dengan demikian<br />

secara teoritis tidak akan terjadi kegagalan.<br />

Untuk menganalisis hal tersebut perlu<br />

dilakukan analisis statistik dengan<br />

interpolasi. Secara statistik kemungkinan<br />

terjadinya kegagalan adalah apabila<br />

komponen yang memiliki kualitas yang<br />

kurang baik mendapatkan beban yang<br />

tinggi. Kemungkinan bahan yang<br />

mengalami kegagalan adalah akibat<br />

adanya goresan dari dies pada badan<br />

tabung yang selain mengurangi luas<br />

penampang dinding tabung juga<br />

merupakan konsentrasi tegangan. Pengotor<br />

pada baja juga dapat menjadi penyebab<br />

dari kegagalan.<br />

Berdasarkan hasil pemeriksaan<br />

komposisi kimia diketahui bahwa baja<br />

buatan Daewoo memenuhi kualitas SPCE<br />

yaitu kualitas baja yang lebih tinggi dari<br />

SPCD dengan kandungan Karbon yang<br />

sangat rendah 0,004% sedangkan<br />

persyaratan SPCD hanya 0,018%. Selain<br />

itu baja dari Daewoo mengandung unsurunsur<br />

V, Nb dan Ti. Untuk pembuatan<br />

tabung dengan derajat deformasi yang<br />

tinggi baja berkualitas SPCE lebih baik<br />

digunakan dibandingkan dengan baja<br />

SPCD.<br />

VI. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

Dari penelitian ini dapat diambil<br />

kesimpulan sebagai berikut:<br />

1. Hasil pengukuran beban dan pengujian<br />

karakteristik material diketahui bahwa<br />

dengan pembebanan operasi<br />

maksimum 9 kg/cm2 masih berada di<br />

bawah batas fatik bahan<br />

2. Kegagalan yang sering terjadi<br />

kemungkinan disebabkan oleh :<br />

• inhomogenitas dalam bahan<br />

• timbulnya goresan yang dapat<br />

menjadi konsentrasi tegangan.<br />

• Inhomogenitas atau goresan<br />

tersebut terkena beban dinamis<br />

dan terjadi penjalaran retak<br />

3. Baja dari Daewoo yang pada mill<br />

sertifikat tertera sebagai baja SPCD<br />

setelah diperiksa lebih lanjut<br />

berkualitas SPCE yang merupakan<br />

grade yang lebih tinggi, yang memiliki<br />

kualitas deep drawing lebih baik.<br />

Berdasarkan penelitian ini maka untuk<br />

mendapatkan kualitas tabung yang<br />

lebih baik disarankan untuk<br />

menggunakan baja SPCE.<br />

4. Disarankan memeriksakan komposisi<br />

kimia baja pada saat pembelian untuk<br />

mengetahui kualitas baja tersebut.<br />

61


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

[1] JIS Handbook 2001 Ferrous materials<br />

and Metallurgy II, JIS G 3141, Coldreduced<br />

carbon steel sheets and strip,<br />

291-314.<br />

[2] JIS Handbook 2001 Ferrous materials<br />

and Metallurgy II, JIS G 3313<br />

Electrolytic zinc-coated steel sheets<br />

and coils, hal 428- 480.<br />

[3] Dieter, G-E, Mechanical Metallurgy, 3 rd<br />

edition, McGraw-Hill Book Company,<br />

1986.<br />

[4] ASM Metal Handbook Vol. 12,<br />

Factography, ASM International 1990.<br />

[5] ASM Metal Handbook Vol. 8<br />

Metallography and Microstructures,<br />

ASM International 1990.<br />

[6] Colangelo, V.J., and Heiser, F.A.,<br />

Analysis of Metallurgical Failures, John<br />

Wiley & Sons, New York, 1974.<br />

RIWAYAT PENULIS<br />

H. Agus Suhartono. lahir di Klaten, 3<br />

September 1967. Menamatkan pendidikan<br />

S1 di Universitas Indonesia dalam bidang<br />

Teknik Metalurgi tahun 1991, dan<br />

pendidikan S3 di Technische Universitaet<br />

Clausthal di Jerman, dalam bidang<br />

Metalurgi Material tahun 2001. Saat ini<br />

bekerja sebagai staf Bidang Pengujian<br />

Material UPT LUK BPP Teknologi,<br />

Puspiptek Serpong.<br />

Ogi Ivano, lahir di Bandung, 6 Juni<br />

1969. Menamatkan pendidikan S1 di<br />

Universitas Ibaraki dalam bidang Teknik<br />

Mesin tahun 1994, dan pendidikan S2 di<br />

Universitas Ibaraki di Jepang, dalam bidang<br />

Mesin Konstruksi pada tahun 1996. Saat ini<br />

bekerja sebagai Ka Sub Bid Desain UPT<br />

LUK BPP Teknologi, Puspiptek Serpong.<br />

62


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

ANALISIS REGANGAN – TEGANGAN PADA BAGIAN<br />

KOMPONEN BOWL MESIN FRONT SHOVEL<br />

Ogi Ivano, Sudarmadi, Weni Wijatmoko H.<br />

UPT Laboratoria Uji Konstruksi – BPPT<br />

PUSPIPTEK Serpong, Tangerang 15314<br />

Katakunci:<br />

Abstrak<br />

Suatu bagian dari komponen bowl dari mesin front shovel sering<br />

mengalami kerusakan berupa retak sampai patah. Ingin diketahui apakah<br />

kerusakan tersebut karena kesalahan operasi ataukah karena kualitas<br />

material yang kurang memenuhi syarat. Penelitian dilakukan dengan<br />

pengukuran regangan secara eksperimental, pemeriksaan kekerasan<br />

material, dan analisis metode elemen hingga terhadap bagian yang sering<br />

rusak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan disebabkan oleh<br />

tingginya tegangan yang terjadi pada saat operasi, baik pada operasi<br />

normal maupun pada kesalahan operasi.<br />

regangan, tegangan, kekerasan material, pengukuran, metode elemen hingga<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Mesin Front Shovel adalah salah satu alat<br />

berat yang banyak digunakan di daerah<br />

pertambangan. Mesin ini berfungsi untuk<br />

menggali tanah dan batuan sekaligus<br />

memuatnya ke truk. Alat ini menjadi vital<br />

karena kalau penggalian berhenti atau<br />

berkurang jam operasinya karena rusaknya<br />

alat ini, berakibat pada berhenti atau<br />

berkurangnya produksi yang pada akhirnya<br />

berujung pada kerugian perusahaan.<br />

Kasus yang diteliti pada studi ini<br />

adalah sering rusaknya bagian komponen<br />

bowl dari mesin Front Shovel. Kerusakan<br />

yang terjadi adalah retak dan patahnya<br />

bagian dudukan penggerak bowl. Lihat<br />

Gambar 1. Ketika terjadi kerusakan, bagian<br />

yang patah tersebut kemudian diganti<br />

dengan material baru. Akan tetapi, setelah<br />

diganti pun terjadi hal yang sama.<br />

Asumsi sementara penyebab<br />

kerusakan adalah karena operasi mesin<br />

yang menyalahi prosedur yang semestinya<br />

sehingga diduga mengakibatkan terjadinya<br />

tegangan yang melebihi dari nilai yang<br />

diijinkan. Permasalahannya adalah<br />

benarkah asumsi yang dikemukakan<br />

tersebut. Oleh karena itu, dilakukanlah<br />

penelitian ini dengan tujuan untuk<br />

mengetahui distribusi dan besarnya<br />

tegangan yang sebenarnya terjadi ketika<br />

mesin dioperasikan. Dari data hasil<br />

penelitian ini diharapkan akan dapat<br />

diketahui penyebab terjadinya kerusakan.<br />

2. BENDA UJI DAN METODE<br />

PENELITIAN<br />

2.1 Benda uji<br />

Sebagai benda uji adalah bagian<br />

komponen bowl yang sering mengalami<br />

kerusakan sebagaimana diperlihatkan pada<br />

Gambar 1(b). Material asli diketahui berupa<br />

baja tuang (casting), sedangkan material<br />

pengganti adalah SS400.<br />

Bagian sering rusak<br />

Gambar 1 (a) Mesin Front Shovel dan (b)<br />

Bagian bowl yang sering rusak.<br />

63


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

2.2 Metode Penelitian<br />

Penelitian ini dilakukan melalui serangkaian<br />

kegiatan meliputi peng-ukuran regangan<br />

secara eskperimental, pemeriksaan<br />

kekerasan material, dan analisis metode<br />

elemen hingga. Data yang diperoleh<br />

kemudian digunakan sebagai bahan di<br />

dalam analisis penyebab kerusakan.<br />

4<br />

180<br />

5<br />

6<br />

170<br />

80<br />

2.2.1 Pengukuran regangan<br />

Pengukuran regangan dilakukan dengan<br />

memasang beberapa sensor regangan<br />

(strain gage, SG) di beberapa lokasi titi<br />

ukur. Lokasi titik ukur disesuaikan dengan<br />

kondisi yang paling memungkinkan di<br />

lapangan. Lokasi titik ukur dapat dilihat<br />

pada Gambar 2.<br />

Grease<br />

hole<br />

1<br />

180<br />

2<br />

150<br />

(c) Sketsa lokasi titik ukur sisi kanan<br />

3<br />

Grease<br />

hole<br />

(a) Sketsa lokasi titik ukur sisi kiri<br />

(d) Strain gage terpasang pada titik ukur<br />

sisi kanan<br />

Gambar 2 Lokasi titik-titik ukur<br />

pemeriksaan regangan<br />

(b) Strain gage terpasang pada titik ukur<br />

sisi kiri<br />

Sensor regangan yang digunakan<br />

memiliki spesifikasi sebagai berikut :<br />

• Merk & Tipe: HBM Type 6/120LY11<br />

• Resistance: 120 Ω ± 0,35%<br />

• Gauge factor: 2,08 ± 1%<br />

• Transverse sensitivity: -0,1%<br />

• Temperature compensation: α =<br />

10,8(10 6 )/ o C<br />

64


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Setelah sensor regangan terpasang di<br />

lokasi titik ukur kemudian dihubungkan ke<br />

data logger yang akan berfungsi sebagai<br />

perekam data. Data logger yang digunakan<br />

adalah merk Tokyo Sokki Kenkyujo, tipe<br />

TDS – 302. Sebelum digunakan untuk<br />

pengukuran sebenarnya, sensor regangan<br />

diperiksa untuk memastikan bahwa ia<br />

berfungsi dan dikalibrasi.<br />

Data pengukuran regangan diambil<br />

dengan cara merekam nilai-nilai regangan<br />

pada saat mesin dioperasikan. Dalam hal<br />

ini diambil tujuh kasus operasi:<br />

• Kasus 1: Kondisi awal (saat bowl terbuka<br />

penuh, muatan kosong) = saat nol.<br />

• Kasus 2: Saat bowl menutup sempurna<br />

terhadap dozer, mesin mendorong/<br />

menyodok muatan.<br />

• Kasus 3: Saat membuang muatan<br />

(unloading).<br />

• Kasus 4: Saat bowl menutup tidak<br />

sempurna terhadap dozer, mesin<br />

mendorong/menyodok muatan.<br />

• Kasus 5: Saat muatan kosong, posisi<br />

tengadah, bowl menutup tiba-tiba (impact<br />

closing)<br />

• Kasus 6: Saat bowl dan dozer tidak<br />

menutup, mesin mengisi muatan dengan<br />

cara sambil menutupkan bowl terhadap<br />

dozer (clamping)<br />

• Kasus 7: Saat muatan kosong, posisi<br />

telungkup, bowl menutup tiba-tiba.<br />

Pada setiap kasus dilakukan beberapa<br />

kali pengambilan data ketika mesin<br />

beroperasi. Rangkaian kasus uji dari 1 – 7<br />

dilakukan sebanyak tiga kali. Kasus 4 dan<br />

6 dianggap sebagai kasus salah operasi<br />

yang seharusnya dihindari.<br />

(a) Workshop<br />

(b) Lapangan<br />

Gambar 3 Lokasi titik ukur pemeriksaan<br />

kekerasan material<br />

V1<br />

L3<br />

C1<br />

Y<br />

1<br />

2<br />

1<br />

3<br />

6<br />

4<br />

5<br />

2<br />

Z<br />

X<br />

2.2.2 Pemeriksaan Kekerasan Material<br />

Pemeriksaan kekerasan material<br />

dilakukan dengan portable hardness tester<br />

merk Equotip. Angka kekerasan yang<br />

digunakan adalah kekerasan Brinell (HB).<br />

Lokasi titik ukur untuk pemeriksaan<br />

kekerasan material dapat dilihat pada<br />

Gambar 3.<br />

2.2.3 Analisis Metode Elemen Hingga<br />

Program yang digunakan untuk<br />

analisis metode elemen hingga adalah<br />

NASTRAN. Analisis diawali dengan sketsa<br />

dan pengukuran dimensi benda uji. Setelah<br />

itu dibuat modelnya dan selanjutnya<br />

dilakukan running analisis. Model yang<br />

dibuat adalah seperti yang terlihat pada<br />

Gambar 4.<br />

Gambar 4 Model untuk analisis metode<br />

elemen hingga<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

3.1 Regangan – Tegangan Terukur<br />

Rangkuman hasil pengukuran<br />

regangan disajikan pada Tabel 1. Pada<br />

Tabel 1 hanya ditampilkan harga regangan<br />

maksimum untuk masing-masing kasus<br />

operasi dan harga tegangannya.<br />

65


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Tabel 1 Regangan – Tegangan Maksimum saat Operasi<br />

Regangan Maks.<br />

Kasus Operasi Terukur (x10 -6 ) Tegangan (MPa) Posisi Keterangan<br />

(a) (b) (c)=(b)xE baja (d) (e)<br />

Pengukuran I<br />

1 0 0 Di-nol-kan<br />

2 -312 -62,4 SG 3 Tekan<br />

3 307 61,4 SG 6 Tarik<br />

4 -281 -56,2 SG 3 Tekan<br />

5 -310 -62 SG 3 Tekan<br />

6 338 67,6 SG 6 Tarik<br />

7 -315 -63 SG 3 Tekan<br />

Pengukuran II<br />

1 0 0 Di-nol-kan<br />

2 -553 -110,6 SG 6 Tekan<br />

3 -458 -91,6 SG 6 Tekan<br />

4 -369 -73,8 SG 6 Tekan<br />

5 -570 -114 SG 6 Tekan<br />

6 -572 -114,4 SG 6 Tekan<br />

7 -570 -114 SG 6 Tekan<br />

Pengukuran III<br />

1 0 0 Di-nol-kan<br />

2 -271 -54,2 SG 3 Tekan<br />

3 -306 -61,2 SG 3 Tekan<br />

4 437 87,4 SG 6 Tarik<br />

5 -291 -58,2 SG 3 Tekan<br />

6 -299 -59,8 SG 3 Tekan<br />

7 -311 -62,2 SG 3 Tekan<br />

Dari tiga kali pengukuran tampak<br />

bahwa nilai-nilai regangan terekam tidak<br />

sama baik pada kasus operasi yang sama<br />

maupun kasus operasi yang berbeda.<br />

Memang tidak mungkin untuk<br />

mendapatkan harga regangan terukur yang<br />

sama karena faktor yang mempengaruhi<br />

selalu berubah. Faktor tersebut diantaranya<br />

adalah jenis/kekerasan/kepadatan dari<br />

tanah/ batuan, volume muatan, dan posisi<br />

mesin/ bowl.<br />

Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa<br />

dari tiga posisi sensor pada masing-masing<br />

sisi, yang mengalami tegangan terbesar<br />

pada setiap operasi adalah posisi sensor 3<br />

(SG 3) atau sensor 6 (SG 6) dengan beban<br />

tekan atau tarik. Kemudian dari tiga kali<br />

pengukuran untuk berbagai kasus operasi,<br />

tegangan terbesar dari keseluruhan kasus<br />

operasi terjadi pada SG 6 sebesar -114,4<br />

MPa (tekan) pada Kasus Operasi 6<br />

(clamping).<br />

3.2 Kekerasan Material<br />

Selanjutnya hasil pemeriksaan<br />

kekerasan material disajikan pada Tabel 2.<br />

Dari hasil pemeriksaan kekerasan<br />

dan estimasi kuat tarik terhadap material<br />

bowl, tampak bahwa terjadi<br />

ketidakseragaman antara hasil pengukuran<br />

terhadap di workshop, di lapangan pada<br />

sisi kanan, dan di lapangan pada sisi kiri.<br />

Hal ini menunjukkan bahwa material yang<br />

digunakan sebagai bahan bowl kurang<br />

homogen.<br />

3.3 Tegangan Simulasi<br />

Beban (gaya) sebenarnya yang<br />

bekerja pada daerah ukur pada saat<br />

operasi sulit untuk diketahui. Oleh karena<br />

itu, untuk keperluan analisis, pada daerah<br />

ukur diterapkan beban simulasi sebesar 1<br />

ton pada lubang lingkaran tempat dudukan<br />

penggerak hidrolik yang bekerja pada arah<br />

45 o (searah putaran jarum jam) dari sumbu<br />

X. Arah beban dengan sudut 45 o ini dibuat<br />

untuk mensimulasikan saat operasi pada<br />

Kasus Operasi 6 (clamping) di mana<br />

secara eksperimental menghasilkan<br />

tegangan terbesar (tekan = 114,4 MPa)<br />

pada posisi sensor 6. Hasil analisis dengan<br />

beban simulasi 1 ton disajikan pada<br />

Gambar 5.<br />

66


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Dari hasil analisis yang disajikan<br />

pada Gambar 5 diperoleh nilai tegangan<br />

tekan pada daerah posisi sensor 6 sebesar<br />

sekitar 0,0853 kg/mm 2 (0,853 MPa). Dari<br />

Gambar 5 diketahui pula bahwa ketika<br />

pada posisi sensor 6 terjadi tegangan tekan<br />

maka pada sisi dalamnya terjadi tegangan<br />

tarik. Pada beban 1 ton besarnya tegangan<br />

tarik yang terjadi adalah sekitar 0,266<br />

kg/mm 2 (2,66 MPa). Dengan demikian<br />

diperoleh perbandingan antara nilai<br />

tegangan tekan (posisi sensor 6) terhadap<br />

nilai tegangan tarik (posisi sisi dalam dari<br />

sensor 6), yaitu 1 berbanding 3,12.<br />

Perbandingan nilai tegangan dari analisis<br />

metode elemen hingga kemudian<br />

diterapkan terhadap hasil pengukuran<br />

regangan eksperimental. Mengacu pada<br />

nilai perbandingan yang ada, maka ketika<br />

pada posisi sensor 6 terjadi tegangan tekan<br />

sebesar 114,4 MPa, diperoleh nilai<br />

tegangan tarik pada posisi dalam dari<br />

sensor 6 sebesar 3,12 x 114,4 MPa =<br />

356,9 MPa. Apabila nilai tegangan tarik ini<br />

dibandingkan dengan kuat tarik material,<br />

memang masih berada di bawah nilai kuat<br />

tariknya (lihat Tabel 2, di mana nilai<br />

minimum kuat tarik material adalah 400<br />

MPa). Akan tetapi, nilai tegangan ini<br />

diperkirakan telah melampaui batas leleh<br />

(yield) material. Di samping itu, operasi alat<br />

adalah terus berulang-ulang sehingga<br />

meskipun tegangan yang terjadi masih di<br />

bawah kuat tariknya, material dapat<br />

mengalami kelelahan (fatigue) yang<br />

berakibat terjadinya retak awal dan pada<br />

akhirnya mengalami patah (fracture).<br />

Proses kerusakan dapat diterangkan<br />

sebagai berikut. Ketika batas leleh<br />

dilampaui maka material akan mulur atau<br />

ketika batas kelelahan dilampaui maka<br />

material akan mengalami retak awal.<br />

Mulurnya atau timbulnya retak awal ini<br />

akan menimbulkan ketidakstabilan bearing.<br />

Begitu bearing tidak stabil, bearing akan<br />

merusak sisi dalam lingkaran. Selain itu,<br />

retak awal dapat menyebabkan terjadinya<br />

konsentrasi tegangan sehingga begitu<br />

terjadi retak awal, retak itu akan terus<br />

merambat sampai akhirnya patah.<br />

Tabel 2 Hasil Pengukuran Kekerasan<br />

Material<br />

Lokasi : Workshop, Material : Asli (casting)<br />

Angka<br />

Kekerasan<br />

Brinell (HB)<br />

Titik<br />

Uku<br />

r<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

I<br />

1<br />

8<br />

6<br />

1<br />

1<br />

5<br />

1<br />

2<br />

1<br />

1<br />

1<br />

9<br />

1<br />

7<br />

6<br />

1<br />

4<br />

5<br />

I<br />

I<br />

1<br />

6<br />

5<br />

1<br />

1<br />

9<br />

1<br />

1<br />

6<br />

1<br />

1<br />

9<br />

1<br />

4<br />

8<br />

1<br />

4<br />

2<br />

I<br />

I<br />

I<br />

1<br />

5<br />

7<br />

1<br />

2<br />

0<br />

1<br />

2<br />

3<br />

1<br />

2<br />

5<br />

1<br />

4<br />

8<br />

Estimasi<br />

Kuat Tarik<br />

(MPa)<br />

1<br />

5<br />

2 156 530<br />

1<br />

4<br />

5 144 480<br />

Minimum 400<br />

Lokasi : Lapangan, Sisi : Kanan, Material :<br />

Asli (casting)<br />

Angka<br />

Kekerasan<br />

Brinell (HB)<br />

Titik<br />

Uku<br />

r<br />

1<br />

2<br />

I<br />

1<br />

4<br />

9<br />

2<br />

0<br />

7<br />

I<br />

I<br />

1<br />

8<br />

7<br />

2<br />

1<br />

6<br />

I<br />

I<br />

I<br />

1<br />

7<br />

9<br />

1<br />

8<br />

4<br />

I<br />

V<br />

1<br />

9<br />

3<br />

2<br />

0<br />

9<br />

Estimasi<br />

Kuat Tarik<br />

(MPa)<br />

2<br />

0<br />

2 203,6 690<br />

Minimum 640<br />

Lokasi : Lapangan, Sisi : Kiri, Material :<br />

Modifikasi (SS 400)<br />

Angka<br />

Kekerasan<br />

Brinell (HB)<br />

Titik<br />

Uku<br />

r<br />

1<br />

2<br />

I<br />

1<br />

7<br />

2<br />

1<br />

6<br />

8<br />

I<br />

I<br />

1<br />

4<br />

4<br />

1<br />

6<br />

6<br />

I<br />

I<br />

I<br />

1<br />

7<br />

2<br />

1<br />

6<br />

8<br />

I<br />

V<br />

1<br />

5<br />

2<br />

1<br />

6<br />

0<br />

Estimasi<br />

Kuat Tarik<br />

(MPa)<br />

I<br />

V V<br />

Ratarata<br />

1<br />

5 166,2<br />

7 5 560<br />

1 1<br />

2 2<br />

4 3 120,2 400<br />

1<br />

2<br />

4 121 400<br />

1 1<br />

1 2<br />

8 5 121,2 400<br />

Ratarata<br />

V<br />

2<br />

4<br />

5 190,6 640<br />

Ratarata<br />

V<br />

1<br />

5<br />

3 158,6 530<br />

1<br />

4<br />

9 162,2 545<br />

Minimum 530<br />

Gambar 5 Distribusi tegangan hasil analisis<br />

metode elemen hingga<br />

67


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

4. KESIMPULAN<br />

Dari hasil-hasil pemeriksaan dan<br />

analisis yang telah dilakukan pada<br />

penelitian ini dapat ditarik kesimpulan<br />

sebagai berikut:<br />

1. Pada setiap kali operasi besarnya<br />

regangan – tegangan yang terjadi<br />

selalu tidak sama karena faktor-faktor<br />

jenis/ kekerasan/kepadatan dari tanah/<br />

batuan, volume muatan, dan posisi<br />

mesin/bowl.<br />

2. Dari tiga kali pengukuran dengan tujuh<br />

kasus operasi diperoleh nilai regangan<br />

maksimum sebesar 572x10 -6 , berupa<br />

regangan tekan pada posisi sensor 6<br />

pada kasus operasi 6 : saat bowl dan<br />

dozer tidak menutup, mesin mengisi<br />

muatan dengan cara sambil<br />

menutupkan bowl terhadap dozer<br />

(clamping). Tegangan yang terjadi<br />

sebesar 114,4 MPa.<br />

3. Dari pengukuran kekerasan diperoleh<br />

perkiraan nilai kuat tarik material yaitu<br />

berkisar 400 – 690 MPa.<br />

4. Dari analisis dengan metode elemen<br />

hingga diperoleh nilai tegangan tarik<br />

yang mungkin terjadi pada sisi dalam<br />

dari posisi sensor 6, yaitu sebesar<br />

356,9 MPa, ketika pada kasus operasi<br />

6, posisi sensor 6 mencapai tegangan<br />

tekan sebesar 114,4 MPa.<br />

5. Kerusakan alat kemungkinan diawali<br />

oleh terlampauinya batas leleh material<br />

dan atau karena kelelahan.<br />

Saran yang dapat disampaikan adalah<br />

mengadakan perbaikan dalam hal :<br />

- Penggunaan material yang memiliki<br />

batas leleh dan ketahanan terhadap<br />

perambatan retak (stress intensity factor)<br />

lebih tinggi<br />

- Keseragaman/homogenitas material<br />

- Perubahan desain pada daerah ukur<br />

untuk mendapatkan dimensi yang lebih<br />

besar<br />

- Agar dihindari operasi yang menyalahi<br />

prosedur baku yang dapat mengakibatkan<br />

terjadinya tegangan yang lebih tinggi dari<br />

yang diharapkan<br />

UCAPAN TERIMA KASIH<br />

Terima kasih yang sebesar-besarnya<br />

disampaikan kepada PT Sanggar Sarana<br />

Baja atas kerja samanya sehingga<br />

penelitian ini dapat dilaksanakan. Kepada Ir.<br />

Supriyatno dan Ir. Aswandi juga diucapkan<br />

terima kasih yang sedalam-dalamnya atas<br />

bantuannya dalam penelitian ini.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. H.E. Davis et al., “The Testing and<br />

Inspection of Engineering Materials”,<br />

3 rd Edition, McGraw-Hill, New York,<br />

1964.<br />

2. MSC/Nastran, Version 4.0, “Reference<br />

Manual”, 1997.<br />

3. MSC/Nastran, Version 4.0, “Static<br />

Analysis”, 1997.<br />

RIWAYAT PENULIS<br />

Ogi Ivano, lahir di Bandung pada<br />

tanggal 6 Juni 1969. Pada tahun 1994<br />

menamatkan pendidikan S1 di Universitas<br />

Ibaraki, Jepang dalam bidang Mechanical<br />

Engineering. Program S2 pada bidang<br />

yang sama diselesaikan di universitas yang<br />

sama pula pada tahun 1996. Saat ini<br />

bekerja sebagai Kepala Sub Bidang Desain,<br />

Bidang Sarana Hidraulik dan Mekanik, UPT<br />

Laboratoria Uji Konstruksi – BPPT,<br />

Puspiptek Serpong, Tangerang.<br />

Sudarmadi, lahir di Purbalingga<br />

pada tanggal 30 Agustus 1967. Pada tahun<br />

1992 menamatkan pendidikan S1 di<br />

Universitas Gadjah Mada dalam bidang<br />

Teknik Sipil Struktur. Program S2 pada<br />

bidang Teknik Sipil diselesaikan di The<br />

University of Queensland, Brisbane,<br />

Australia pada tahun 2000. Saat ini bekerja<br />

di Bidang Pengujian Komponen dan<br />

Konstruksi UPT Laboratoria Uji Konstruksi<br />

– BPPT, Puspiptek Serpong, Tangerang.<br />

Weni Wijatmoko H., lahir di<br />

Purwakarta pada tanggal 31 Januari 1958.<br />

Menamatkan pendidikan S1 di Institut<br />

Teknologi Bandung pada tahun 1985.<br />

Pendidikan S2 dan S3 diselesaikan pada<br />

tahun 1993 dan 2001 di Imperial College<br />

University of London, Inggeris. Sekarang<br />

bekerja sebagai peneliti di UPT Laboratoria<br />

Uji Konstruksi – BPPT, Puspiptek Serpong,<br />

Tangerang.<br />

68


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

ANALISA AERODINAMIKA DUA DIMENSI<br />

JEMBATAN SURAMADU<br />

Dewi Asmara, R.Wibawa Purabaya<br />

Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Aero Gas Dinamika dan Getaran (LAGG)<br />

Gedung 200, Kawasan Puspiptek Serpong Tangerang 15310<br />

E-mail : wieke288@yahoo.com, wpurabaya@yahoo.com<br />

Abstract<br />

Untuk mengetahui karakteristik aliran di sekitar jembatan dilakukan<br />

pengujian di terowongan angin. Sebelum pengujian itu dijalankan, dilakukan<br />

simulasi pengujian dengan menggunakan software Computational Fluid<br />

Dynamics. Simulasi dilakukan terhadap suatu model jembatan dengan<br />

memvariasikan beberapa sudut serang. Dengan simulasi ini dapat diketahui<br />

estimasi gaya yang dialami oleh model jembatan sehingga dapat didesain<br />

struktur model dan tumpuan yang kuat untuk menahan beban tersebut.<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Jembatan Suramadu merupakan<br />

jembatan yang akan dibangun untuk<br />

menghubungkan Surabaya dan Pulau<br />

Madura. Bagian tengah dari jembatan ini<br />

adalah cable stayed sepanjang 843 m.<br />

Pengujian terhadap model Jembatan<br />

Suramadu dilakukan di terowongan angin<br />

LAGG, namun sebelum itu dilakukan analisa<br />

aerodinamika dengan menggunakan<br />

software Computational Fluid Dynamics<br />

(CFD).<br />

Penelitian dilakukan untuk<br />

mengetahui medan aliran yang terjadi di<br />

sekitar jembatan dan estimasi gaya yang<br />

akan dialami oleh model di terowongan<br />

angin, sehingga dapat didesain struktur<br />

model dan tumpuannya yang kuat untuk<br />

menahan beban tersebut. Penelitian ini<br />

meliputi simulasi aliran di sekitar jembatan<br />

dengan memvariasikan sudut serang.<br />

Software CFD yang digunakan dalam<br />

mensimulasikan aliran adalah Concert.<br />

2. PENJELASAN<br />

Concert adalah salah satu software<br />

CFD yang dapat mensimulasikan aliran di<br />

sekitar model dua dimensi (2D) maupun tiga<br />

dimensi (3D). Selain untuk aliran yang<br />

steady, Concert juga dapat digunakan untuk<br />

aliran yang unsteady. Software Concert<br />

terdiri dari tiga bagian, yaitu prapemrosesan,<br />

pencarian solusi dan pascapemrosesan.<br />

Pada tahap prapemrosesan dilakukan<br />

pendefinisian masalah dengan membentuk<br />

geometri, dapat berupa geometri dua<br />

dimensi maupun tiga dimensi. Dalam<br />

pembentukan geometri ini didefinisikan<br />

topologi yang akan dibangun mulai dari<br />

pembentukan titik (point), garis (curve, edge),<br />

bidang (face) atau volume sehingga menjadi<br />

model yang diinginkan.<br />

Setelah geometri terbentuk dilakukan<br />

diskritisasi menjadi sejumlah grid dimana<br />

persamaan atur akan dicari solusinya di<br />

masing-masing grid tersebut. Bila<br />

menggunakan diskritisasi grid berstruktur<br />

diusahakan sisi yang membentuk grid tetap<br />

tegak lurus atau memliki skewness dengan<br />

toleransi tertentu. Pada grid tak berstruktur<br />

diperhatikan perbandingan antara panjang<br />

dan lebar (aspect ratio) bentuk grid. (3)<br />

Setelah geometri masalah<br />

didefinisikan secara numerik melalui gridgrid,<br />

tahap selanjutnya adalah pencarian<br />

solusi. Pada tahap ini persamaan atur yang<br />

diterapkan untuk memodelkan medan aliran<br />

didiskritisasi untuk masing-masing grid dan<br />

dicari solusinya. Persamaan atur yang<br />

digunakan dalam CFD tergantung dari<br />

permasalahan yang akan dimodelkan. Pada<br />

penelitian ini hanya digunakan pemodelan<br />

aliran fluida stasioner, laminar dan<br />

inkompresibel. Dalam hal ini digunakan<br />

persamaan atur Navier-Stokes.<br />

Pada tahap terakhir adalah<br />

pascapemrosesan. Pada tahap ini semua<br />

solusi dari parameter aliran yang telah<br />

diperoleh untuk setiap grid akan dibentuk<br />

visualisasi. Visualisasi solusi ini bertujuan<br />

untuk mempermudah memahami solusi<br />

yang dihasilkan oleh software CFD.<br />

Beberapa contoh visualisasi yang dihasilkan<br />

oleh Concert adalah Domain dari geometri<br />

dan tampilan grid, plot vektor kecepatan,<br />

plot kontur parameter aliran plot skalar<br />

dalam Diagran X-Y. Selain dalam bentuk<br />

visualisasi, Concert juga dapat<br />

menghasilkan data pressure force dan shear<br />

force.<br />

Model jembatan dibuat 2D dengan<br />

lebar 0.43 m. Simulasi dilakukan pada 3<br />

posisi sudut serang masing-masing -5, 0<br />

dan 5. Diasumsikan kecepatan angin 40 m/s<br />

69


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

dengan densitas ρ = 1.225 dan viskositas µ<br />

= 1.789. x 10 -5 .<br />

Diasumsikan bahwa aliran pada<br />

jembatan lebih didominasi oleh aliran yang<br />

bersifat 2D yaitu tidak ada aliran yang<br />

melintang, maka perhitungan cukup<br />

dilakukan secara 2D dengan mengambil<br />

bentuk penampang (cross-section) jembatan.<br />

Dalam penelitian ini pembentukan grid yang<br />

digunakan adalah metoda block structure.<br />

Hasil perhitungan pada sudut serang<br />

α = -5 pusaran aliran terjadi di bagian bawah<br />

jembatan seperti yang terlihat pada gambar<br />

(4).<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Setelah dilakukan perhitungan<br />

dengan menggunakan Concert dapat dilihat<br />

hasil Lift dan Drag pada Tabel di bawah ini.<br />

Tabel 1 Lift dan Drag<br />

α Lift (N) Drag (N)<br />

0 -32.72949 -0.074049<br />

-5 -201.5667 -0.060799<br />

5 131.74309 -0.043021<br />

Gambar 2. Kontur tekanan pada α = 0<br />

Pada sudut serang α = 0 seperti yang<br />

terlihat pada gambar (1), aliran di bagian<br />

atas jembatan mengalami perlambatan dan<br />

bagian bawah mengalami percepatan maka<br />

tekanan di permukaan atas lebih besar<br />

dibandingkan dengan tekanan pada<br />

permukaan bawah, sehingga gaya lift<br />

bernilai negatif dan jembatan akan<br />

mengalami gaya kebawah.<br />

Gambar 3. Kontur kecepatan pada α = 0<br />

Gambar 1. Vektor kecepatan pada α = 0<br />

Hal ini dapat terlihat juga pada kontur<br />

tekanan gambar (2) dan kontur kecepatan<br />

gambar (3).<br />

Pada barrier side jembatan<br />

menghasilkan pusaran (vortex) di<br />

belakangnya. Aliran di belakang barrier<br />

tersebut pusaran kecil terbentuk bersatu<br />

dengan aliran pusaran yang terjadi di ujung<br />

belakang jembatan.<br />

Gambar 4. Vektor kecepatan pada α = -5<br />

Pada sudut serang ini jembatan akan<br />

terdorong ke bawah karena mempunyai<br />

gaya lift negatif. Untuk kontur tekanan dan<br />

70


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

kontur kecepatan dapat dilihat pada gambar<br />

(5-6).<br />

positif karena tekanan di permukaan bawah<br />

lebih besar dibandingkan dengan tekanan di<br />

permukaan atas. Untuk lebih jelasnya kontur<br />

tekanan dan kontur kecepatan pada sudut<br />

serang ini dapat dilihat pada gambar (8-9).<br />

Gambar 5. Kontur tekanan pada α = -5<br />

Gambar 8. Kontur tekanan pada α = 5<br />

Gambar 6. Kontur kecepatan pada α = -5<br />

Sedangkan untuk sudut serang α = 5<br />

aliran vortex terjadi di sebagian besar<br />

permukaan<br />

seperti yang diperlihatkan pada<br />

gambar (7).<br />

Gambar 7. Vektor kecepatan pada α = 5<br />

Hal ini akan mengakibatkan jembatan<br />

terangkat ke atas atau mempunyai gaya lift<br />

Gambar 9. Kontur kecepatan pada α = 5<br />

4. KESIMPULAN<br />

Dari hasil simulasi yang diperoleh<br />

dapat disimpulkan bahwa gaya lift untuk<br />

sudut serang α = 0 dan α = -5 bernilai<br />

negatif (jembatan akan mengalami gaya ke<br />

bawah). Sedangkan untuk sudut serang α =<br />

5 jembatan mengalami gaya lift positif.<br />

Pada daerah di atas dek terjadi ulakan<br />

aliran udara, hal ini kurang nyaman bagi<br />

pengguna jalan.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. CONCERT Reference Manual, “CFD<br />

Tutorial Version 2.0”, Numeritec<br />

Corporation, USA, 1998.<br />

2. Casmara, “Analisa Awal Pola Aliran Pada<br />

Model Jembatan”, LAGG-BPPT, 1997.<br />

71


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

3. Parwatha, I Gede,. “Studi Komputasional<br />

Simulasi Pengujian Ground Effect di ILST<br />

Serpong”, ITB, 2003.<br />

4. Pope Alan, Harper John J., “Low Speed<br />

Wind Tunnel Testing”, John Wiley &<br />

Sons, Inc, New York, USA, 1996.<br />

RIWAYAT PENULIS<br />

WIBAWA PURABAYA lahir di<br />

Bandung pada 30 Juni 1965. Menamatkan<br />

pendidikan S1 dan S2 di Aerospace<br />

Engineering di TU Delft, Belanda tahun<br />

1995. Saat ini bekerja sebagai peneliti untuk<br />

spesialisasi Getaran di UPT-LAGG BPPT,<br />

Serpong.<br />

DEWI ASMARA lahir di Bandung 28<br />

Agustus 1974. Menamatkan pendidikan S1<br />

Matematika di Universitas Padjadjaran<br />

Bandung tahun 1998. Saat ini bekerja<br />

sebagai staf Mekanika Fluida di UPT-LAGG<br />

BPPT, Serpong.<br />

72


APLIKASI KOMPUTASI


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

VISION: Decision Making Analysis for Leaders<br />

Mohamad Haitan Rachman dan Hendro Julianto<br />

Jln. Karawitan No. 25 Bandung, PT Multiforma Sarana Consultant<br />

Abstrak<br />

Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendekatan<br />

yang memberikan kesempatan bagi setiap individu atau kelompok untuk<br />

membangun gagasan-gagasan atau ide-ide dan mendefinisikan persoalanpersoalan<br />

yang ada dengan cara membuat asumsi-asumsi dan selanjutnya<br />

mendapatkan pemecahan yang diinginkannya. Pada saat ini AHP telah<br />

digunakan secara luas dalam perencanaan perusahaan, pemilihan<br />

investasi, analisa biaya, bahkan untuk kebutuhan militer. VISION<br />

merupakan tool berbasis AHP dan akan memudahkan proses<br />

pengambilan keputusan, dan juga untuk mengetahui level<br />

ketidakkonsistensian yang dimiliki dalam proses tersebut sehingga akan<br />

memberikan kemudahan juga untuk memperbaiki analisa keputusan yang<br />

dibuat. VISION dapat meningkatkan kepahaman terhadap satu<br />

permasalahan dengan baik, sehingga user lainnya memungkinkan untuk<br />

mempelajari satu permasalahan tersebut dengan baik pula dan akhirnya<br />

menumbuhkan berbagi pengetahuan untuk menangani permasalahan<br />

bersama.<br />

Katakunci: Analytic Hierarchy Process, Decicion Making Analysis<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Setiap dari kita memahami bahwa<br />

dunia merupakan sistem yang sangat<br />

kompleks, dan merupakan keterikatan atau<br />

integrasi dari beberapa sistem yang juga<br />

kompleks, seperti sistem politik, militer,<br />

pendidikan, ekonomi dsb; satu sistem tidak<br />

bisa terlepas dari sistem yang lainnya,<br />

sebagai contoh tidak mungkin mempunyai<br />

sistem pendidikan yang baik kecuali<br />

mempunyai sistem perekonomian yang<br />

baik juga atau bahkan harus mempunyai<br />

sistem teknologi yang tepat dan begitupun<br />

sebaliknya.<br />

Permasalahan yang muncul<br />

merupakan keterikatan yang sangat erat<br />

diantara sistem-sistem tersebut, sehingga<br />

mendorong kita semua untuk bisa<br />

memetakan persoalan dan menetapkan<br />

prioritasnya dengan baik dan terstruktur,<br />

sehingga langkah-langkah solusi dapat<br />

dilaksanakan. Tetapi kebanyakan orang<br />

berpikir bahwa untuk bisa menangani<br />

persoalan yang mempunyai kompleksitas<br />

tinggi, harus juga mempunyai cara berpikir<br />

yang rumit. Pandangan seperti ini tidak<br />

benar karena pendekatan tersebut jelas<br />

tidak akan dipahami banyak orang, dan<br />

juga akan sulit menjelaskan prioritasprioritasnya.<br />

Penyelesaian masalah tersebut dapat<br />

dilaksanakan melalui multi-criteria methods.<br />

Salah satu metoda yang sangat populer<br />

adalah Analytic Hierarchy Process (AHP),<br />

dan telah banyak diterapkan dalam macammacam<br />

aplikasi. Metoda multi-criteria<br />

lainnya seperti scoring and rangking<br />

techniques, multi-attribute value analysis<br />

(MAVA), multi-attribute utility analysis<br />

(MAUA), dan simple multi-attribute rating<br />

technique (SMART), telah juga<br />

dipergunakan untuk penyelesaian masalah<br />

(1) .<br />

Tulisan ini akan menjelaskan<br />

pendekatan yang cukup populer untuk<br />

mendukung analisa proses pengambilan<br />

keputusan, Analytic Hierarchy Process<br />

(AHP), dan disamping itu juga menjelaskan<br />

perangkat lunak VISION yang<br />

memanfaatkan pendekatan AHP.<br />

2 CARA BERPIKIR ANALITIK<br />

Untuk dapat menyelesaikan<br />

persoalan yang kompleks dan memberikan<br />

keputusan-keputusan efektif, maka<br />

diperlukan tiga prinsip berpikir analitik yaitu<br />

(2)<br />

:<br />

• Menyusun Hierarki. Untuk memperoleh<br />

informasi yang lengkap, maka kita harus<br />

mampu menyusun realitas atau<br />

persoalan yang kompleks ke dalam<br />

elemen-elemen yang mempengaruhinya,<br />

selanjutnya elemen-elemen tersebut<br />

juga disusun dari elemen-elemen yang<br />

lebih kecil, dan seterusnya, sehingga<br />

membentuk hierarki. Untuk mampu<br />

73


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

menyusun hierarki dari satu persoalan<br />

dengan baik, biasanya orang melakukan<br />

brainstorming dahulu sehingga akan<br />

terkumpul elemen-elemen tersebut,<br />

selanjutnya dipilih secara baik dan<br />

membentuk hierarki tersebut.<br />

• Menentukan Prioritas. Setelah<br />

menyusun hierarki, selanjutnya kita<br />

membandingkan elemen-elemen<br />

tersebut satu sama lain yang<br />

mempunyai hubungan, melalui<br />

perbandingan skala yang dikembangkan<br />

di AHP, maka akhirnya terbentuk<br />

urutan-urutan prioritas terhadap<br />

persoalan tersebut. Dari hasil urutan<br />

tersebut, kita akan mempunyai<br />

pandangan yag logis dan mampu<br />

mengambil keputusan-keputusan yang<br />

efektif dan logis.<br />

• Konsistensi Logis. Setiap hierarki yang<br />

dibangun akan memberikan perhitungan<br />

konsistensi logis yang dimiliki oleh<br />

setiap orang. Sehingga hierarki dapat<br />

dipergunakan untuk memperlihatkan<br />

kekonsistensian seseorang dalam<br />

menghadapi persoalan, dan<br />

memberikan solusi-solusinya.<br />

3. ANALYTIC HIERARCHY PROCESS<br />

(AHP)<br />

Analytic Hierarchy Process (AHP)<br />

merupakan suatu model pendekatan yang<br />

memberikan kesempatan bagi setiap<br />

individu atau kelompok untuk membangun<br />

gagasan-gagasan atau ide-ide dan<br />

mendefinisikan persoalan-persoalan yang<br />

ada dengan cara membuat asumsi-asumsi<br />

dan selanjutnya mendapatkan pemecahan<br />

yang diinginkannya.<br />

AHP ini bergantung kepada imajinasi,<br />

pengalaman dan pengetahuan untuk<br />

mampu menyusun hierarki suatu persoalan,<br />

dan juga untuk memberikan pertimbanganpertimbangannya.<br />

AHP memperlihatkan<br />

hubungan-hubungan elemen-elemen<br />

tertentu terhadap puncaknya, dan juga<br />

cabang-cabang elemen tertentu terhadap<br />

elemen tersebut, sehingga membentuk<br />

diagram pohon yang beranting.<br />

Untuk mampu mendefinisikan suatu<br />

persoalan yang cukup kompleks, maka<br />

AHP ini harus terus dicoba berulang-ulang,<br />

karena kita sendiri sulit mengharapkan<br />

pemecahan masalah dalam waktu dekat<br />

dan segera atas persoalan tersebut. Pada<br />

saat ini AHP telah digunakan secara luas<br />

dalam perencanaan perusahaan, pemilihan<br />

investasi, analisa biaya, bahkan untuk<br />

kebutuhan militer. Di bawah ini beberapa<br />

keuntungan AHP (2) :<br />

• AHP memberikan satu model yang<br />

mudah dimengerti, luwes untuk<br />

macam-macam persoalan yang tidak<br />

terstruktur.<br />

• AHP mencerminkan cara berpikir alami<br />

untuk memilah-milah elemen-elemen<br />

dari satu sistem ke dalam berbagai<br />

tingkat berlainan dan mengelompokkan<br />

unsur yang serupa dalam setiap tingkat.<br />

• AHP memberikan suatu skala<br />

pengukuran dan memberikan metoda<br />

untuk menetapkan prioritas.<br />

• AHP memberikan penilaian terhadap<br />

konsistensi logis dari pertimbanganpertimbangan<br />

yang digunakan dalam<br />

menentukan prioritas.<br />

• AHP menuntun ke suatu pandangan<br />

menyeluruh terhadap alternatifalternatif<br />

yang muncul untuk persoalan<br />

yang dihadapi<br />

• AHP memberikan satu sarana untuk<br />

penilaian yang tidak dipaksakan tetapi<br />

merupakan penilaian yang sesuai<br />

pandangannya masing-masing.<br />

• AHP memungkinkan setiap orang atau<br />

kelompok untuk mempertajam<br />

kemampuan logik dan intuisinya<br />

terhadap persoalan yang dipetakan<br />

melalui AHP.<br />

Terdapat empat tahap digunakan<br />

untuk menyelesaikan sebuah masalah<br />

dengan metodologi AHP (3) :<br />

1. Membangun penyajian hirarki dari<br />

permasalahan. Posisi puncak dari<br />

hirarki merupakan sasaran atau goal<br />

yang akan dicapai, sedangkan<br />

keputusan alterntif-alternatif berada di<br />

paling bawah dari hirarki tersebut.<br />

2. Menghasilkan nilai-nilai perbandingkan<br />

dari elemen-elemen yang ada di<br />

hierarki tersebut. Tahap ini<br />

memerlukan analis (pengambil<br />

keputusan) untuk membuat<br />

perbandingan-perbandingan dari<br />

elemen-elemen dari setiap level<br />

terhadap level yang lebih tingginya.<br />

Skala yang dipergunakan AHP untuk<br />

membandingkan dua elemen,<br />

misalkan A dan B, terhadap sebuah<br />

atribut U, yaitu:<br />

1- A mempunyai kepentingan yang<br />

sama dengan B terhadap U<br />

3- A mempunyai lebih kepentingan<br />

sedikit dibandingkan B terhadap U<br />

5- A mempunyai lebih kepentingan<br />

dibandingkan B terhadap U<br />

7- A mempunyai lebih banyak<br />

kepentingan dibandingkan B terhadap<br />

U<br />

74


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

9- A mendominasi kepentingan<br />

daripada B terhadap U<br />

2, 4, 6, 8 merupakan nilai yang berada<br />

di antaranya<br />

3. Melakukan perhitungan melalui<br />

metoda eigenvalue (pendekatan<br />

matematika yang digunakan AHP (4) )<br />

untuk menentukan prioritas-prioritas<br />

relatif dari setiap elemen di setiap level<br />

hierarki.<br />

4. Menampilkan urutan-urutan prioritas<br />

dari seluruh alternatif solusi<br />

penyelesaian masalah terhadap goal<br />

yang hendak dicapai.<br />

4. VISION<br />

VISION merupakan perangkat lunak<br />

pendukung proses pengambilan keputusan<br />

berbasiskan metoda AHP. VISION akan<br />

memudahkan proses pengambilan<br />

keputusan, dan juga untuk mengetahui<br />

level ketidakkonsistensian yang dimiliki<br />

dalam proses tersebut sehingga akan<br />

memberikan kemudahan juga untuk<br />

memperbaiki analisa keputusan yang<br />

dibuat. VISION dapat meningkatkan<br />

kepahaman terhadap satu permasalahan<br />

dengan baik, sehingga user lainnya<br />

memungkinkan untuk mempelajari satu<br />

permasalahan tersebut dengan baik pula<br />

dan akhirnya menumbuhkan berbagi<br />

pengetahuan untuk menangani<br />

permasalahan bersama.<br />

VISION dapat dipergunakan untuk<br />

keputusan-keputusan yang berhubungan<br />

dengan proses bisnis, seperti :<br />

• Keputusan memilih peralatan<br />

• Keputusan memilih kandidat SDM<br />

• Keputusan mengalokasikan sumber<br />

untuk R&D<br />

• Keputusan mengevaluasi divisi<br />

perusahaan<br />

• Keputusan mengevaluasi Benefits/Cost<br />

dari projek<br />

• Keputusan bagian yang akan<br />

dibenchmark<br />

• Keputusan menyusun visi dan strategi<br />

perusahaan<br />

• Keputusan menangani konplik<br />

Di bawah ini merupakan fitur-fitur<br />

utama VISION :<br />

• Hierarchy View. Hierarchy View<br />

merupakan fasilitas untuk mengelola<br />

dan menampilkan hierarki goal dan<br />

kriteria berserta nilai-nilai lokal dan<br />

globalnya. Sehingga fitur ini<br />

memberikan kemudahan bagi user<br />

untuk melakukan proses perbandingan<br />

sesuai levelnya, dan memudahkan user<br />

untuk mengetahui nilai-nilai relatif<br />

terhadap satu level yang sama dan<br />

terhadap goal secara keseluruhan.<br />

Gambar 1. Hierarchy View<br />

• Manajemen Brainstorming<br />

Brainstorming merupakan fasilitas yang<br />

cukup penting untuk menyusun hierarki<br />

kriteria. Dengan adanya fasilitas ini, user<br />

akan mudah untuk mengeksplorasi<br />

seluruh kriteria-kriteria yang<br />

kemungkinan berhubungan dengan<br />

proses pengambilan keputusan yang<br />

akan dicapai.<br />

Gambar 2. Brainstorming Module<br />

• Perbandingan Kriteria. Kriteria-kriteria<br />

yang berada dalam satu level untuk<br />

GOAL atau kriteria yang lebih tinggi<br />

perlu dibandingkan satu sama lain untuk<br />

mendapatkan nilai relatif dari setiap<br />

kriteria tersebut. VISION mempunyai<br />

dua model interface perbandingan yaitu<br />

perbandingan satu-satu dan<br />

perbandingan kriteria dalam satu<br />

halaman. Perbandingkan dalam satu<br />

halaman dapat dipergunakan untuk<br />

mengevaluasi proses perbandingan<br />

tersebut, VISION menyediakan fasilitas<br />

cetak untuk perbandingan tersebut.<br />

75


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Gambar 3. Perbandingan Kriteria Satu-ke-<br />

Satu<br />

5. KESIMPULAN DAN RISET LANJUTAN<br />

VISION merupakan perangkat lunak<br />

berbasis metoda AHP untuk mendukung<br />

proses pengambilan keputusan secara<br />

sistematik dan cepat. Dan tentunya VISION<br />

akan memudahkan pimpinan perusahaan /<br />

organisasi melakukan evaluasi terhadap<br />

proses pengambilan keputusan yang<br />

dilakukan, sehingga setiap orang dapat<br />

memperbaiki keputusan yang sudah dibuat.<br />

Diagramming dan integrasi AHP<br />

dengan metoda lainnya merupakan kajian<br />

yang menarik untuk dilaksanakan, sehingga<br />

pendekatan yang diterapkan tidak hanya<br />

bergantung pada satu metoda tetapi akan<br />

dapat memanfaatkan kelebihan-kelebihan<br />

yang tidak dimiliki oleh AHP.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Gambar 4. Perbandingan Kriteria Satu<br />

Halaman<br />

• Analisa Inconsistency dan Priorities List.<br />

Perbandingan kriteria-kriteria dalam<br />

AHP model akan menghasilkan daftar<br />

nilai relatif dari setiap kriteria mulai dari<br />

yang terbesar ke terkecil dan nilai<br />

ketidakkonsistensian perbandingan<br />

yang dilakukan. Nilai-nilai tersebut akan<br />

memudahkan proses pertejemahan<br />

pada proses pengambilan keputusan.<br />

1. C.S. Yap, K.S. Raman dan C.M. Leong,<br />

“Methods for Information System Project<br />

Selection: An Experimental Study of<br />

AHP and SMART”, IEEE, 1992.<br />

2. Thomas L. Saaty, “Decision Making for<br />

Leaders”, RWS Publications, 1988.<br />

3. Les Frair, Jessica O. Matson, dan Jack<br />

E. Matson, “An Undergraduate<br />

Curriculum Evaluation with the Analytic<br />

Hierarchy Process”, IEEE, 1998.<br />

4. Thomas L. Saaty, “The Analytic<br />

Hierarchy Process”, RWS Publications,<br />

1988.<br />

RIWAYAT PENULIS<br />

Mohamad Haitan Rachman lahir di<br />

kota Bandung tanggal 2 Agustus 1966.<br />

Sedang mengikuti pendidikan S3 dalam<br />

bidang Knowledge Management di<br />

Multimedia University (MMU), Cyberjaya<br />

Malaysia. Saat ini sedang memimpin<br />

perusahaan yang bergerak dalam bidang<br />

manajemen dan IT, PT Multiforma Sarana<br />

Consultant, Bandung. Dapat dikontak<br />

melalui email haitan@jamrud.com.<br />

Hendro Julianto lahir di kota<br />

Lhokseumawe, Aceh, tanggal 16 Juli 1980.<br />

Telah menamatkan pendidikan D3 Juruan<br />

Ilmu Komputer di UNPAD. Saat ini sedang<br />

berkerja sebagai Programmer di PT<br />

Multiforma Sarana Consultant, Bandung.<br />

Dapat dikontak melalui email<br />

hendro@jamrud.com.<br />

Gambar 5. Analisa Konsistensi dan Daftar<br />

Prioritas<br />

76


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

POTENSI APLIKASI MODUL ADAM-4080D SEBAGAI<br />

PENCACAH PADA PESAWAT RENOGRAF<br />

Oleh: Hendra Prihatnadi, Wiranto Budi Santoso<br />

ABSTRAK<br />

Potensi aplikasi modul ADAM-4080D sebagai pencacah pada pesawat<br />

Renograf dimungkinkan sesuai dengan perkembangan komputer saat ini.<br />

Sebelumnya pencacah berupa add-on card dengan menggunakan<br />

teknologi ISA bus yang perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Kemampuan<br />

modul ADAM-4080D dibanding add-on card pada Renograf, alat diagnosa<br />

fungsi ginjal, adalah membuka jalur komunikasi data antara pencacah<br />

dengan komputer menggunakan port serial RS-232, sehingga<br />

memungkinkan penggunaan komputer note book. Renograf dibagi menjadi<br />

3 (tiga) bagian, yaitu sistem detektor, modul akuisisi data, dan komputasi.<br />

Modul akuisisi data terdiri dari 2 (dua) perangkat yaitu modul ADAM-4080D<br />

berfungsi sebagai pencacah dan modul ADAM-4520 berfungsi sebagai<br />

konverter dari RS-485 ke jalur komunikasi RS-232 pada komputer.<br />

Komputer memberi perintah pada ADAM-4080D sebagai pencacah,<br />

melalui jalur komunikasi RS-232. Perintah dirubah oleh konverter ADAM-<br />

4520 menjadi perintah yang dimengerti ADAM-4080D. Sedangkan untuk<br />

memberi perintah, menerima data dan menampilkan hasil cacahan, baik<br />

berupa angka maupun gafik dibuat perangkat lunak yang dengan bahasa<br />

pemrograman Visual Basic. Hasil pencacahan dapat dibaca pada led<br />

display yang terdapat pada ADAM-4080D dan ditampilkan secara grafik<br />

pada layar komputer.<br />

1. PENDAHULUAN<br />

Suatu bentuk informasi dapat<br />

dihasilkan dari sistem pengolahan data.<br />

Dari masukan data, sistem itu dapat<br />

meneruskan informasi masukan tersebut<br />

bahkan dapat merubah menjadi bentuk<br />

informasi yang lain. Dalam suatu sistem<br />

pencacah radiasi dimana bentuk informasi<br />

yang dihasilkan adalah jumlah radiasi yang<br />

dapat ditangkap.<br />

Radiasi pada detektor NaI(Tl) diubah<br />

dalam bentuk denyut listrik. Perbandingan<br />

tinggi denyut listrik yang terjadi sebanding<br />

dengan tenaga sinar gamma yang<br />

tertangkap detektor. Setelah melalui alat<br />

pendeteksi yang disebut detektor. Pulsa<br />

dari detektor mengalami penguatan melalui<br />

rangkaian penguat pulsa yaitu penguat<br />

awal dan penguat linier. Setelah melewati<br />

penganalisa pulsa untuk spektroskopi<br />

waktu (TSCA), pulsa yang datang dapat<br />

dipisahkan secara berurutan dengan<br />

mengabaikan tinggi pulsa. Pulsa tersebut<br />

kemudian dihitung dengan pencacah.<br />

Banyaknya cacahan sebanding dengan<br />

intensitas suatu sumber radiasi.<br />

Sistem pencacahan pada renograf<br />

adalah pencacahan yang dilakukan untuk<br />

menghasilkan data hasil cacahan. Hasil<br />

cacahan tersebut dapat memberikan<br />

informasi analog. Informasi analog tersebut<br />

dapat dibaca secara langsung oleh analog<br />

counter berupa tampilan angka cacahan.<br />

Hasil cacahan tersebut merupakan<br />

perwakilan bentuk dari paparan radiasi.<br />

Banyaknya radiasi memberikan cacah<br />

paparan radiasi yang mengakibatkan<br />

tampilan berupa bentuk pulsa.<br />

Cacah radiasi mempunyai perubahan<br />

terhadap waktu cacah. Pada saat awal<br />

pencacahan dapat dikatakan paparan<br />

radiasi dianggap belum ada atau 0.<br />

Kemudian paparan radiasi lambat laun naik<br />

diiringi dengan banyaknya jumlah cacah<br />

atau intensitas cacah sehingga bentuk<br />

pulsa naik, intensitas tersebut sampai<br />

puncak tertentu akan turun kembali atau<br />

mengalami fase mendatar, juga fase naik.<br />

Hal tersebut memberikan gambaran dari<br />

berbagai gejala yang timbul dari paparan<br />

radiasi yang tertangkap, informasi tentang<br />

paparan radiasi yang tertangkap tersebut<br />

akan menjadi sumber masukan dari data<br />

hasil cacahan. Data hasil cacahan diolah<br />

dengan bahasa program sehingga dapat<br />

menampilkan suatu tampilan interaktif yang<br />

dapat mewakili hasil pendiagnosaan pada<br />

gejala gagal ginjal. Hasil dari tampilan<br />

cacahan akan ditampilkan dalam bentuk<br />

grafik pada tampilan komputer. Blok<br />

diagram sistem pendiagnosaan ginjal<br />

renograf dapat dilihat blok diagram pada<br />

gambar1<br />

77


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

KIRI<br />

Cuplikan<br />

KANAN<br />

detektor<br />

HV<br />

detektor<br />

Pre-<br />

Amp<br />

Pre-<br />

Amp<br />

ampli<br />

fier<br />

ampli<br />

fier<br />

TSCA<br />

Modul<br />

Akuisisi<br />

Data<br />

TSCA<br />

Kom<br />

puter<br />

Gambar 1. Blok diagram perangkat keras<br />

Renograf<br />

Dari blok diagram renograf pada gambar 1<br />

dapat dijelaskan sebagai berikut :<br />

a. Cuplikan<br />

Sumber radiasi yang disuntikkan secara<br />

intravena yaitu disuntikan kepada<br />

pasien dengan sumber radiasi gamma I-<br />

131 dengan dosis 30 µ ci. Cuplikan<br />

tersebut akan sensitif menyebar pada<br />

daerah tertentu seperti ginjal dan<br />

kemudian ginjal tersebut didiagnosa<br />

dengan detektor.<br />

b. HV (High Voltage)<br />

High Voltage atau tegangan tinggi<br />

dihubungkan dengan detektor<br />

memberikan tegangan kerja detektor<br />

yaitu diantara 0-1500 Vol dc.<br />

c. Detektor<br />

Detektor sebagai elemen yang merubah<br />

sinyal radiasi menjadi sinyal listrik.<br />

Dalam penelitian ini dipakai detektor NaI<br />

(Tl) sebagai pendeteksi radiasi gamma.<br />

d. Pre Amplifier<br />

Pre Amplifier adalah sebagai penguat<br />

awal pulsa yang mempunyai voltage<br />

sensitive (sensitifitas tegangan) pulsa<br />

detektor dan mempunyai sensitifitas<br />

terhadap perubahan tegangan. Penguat<br />

awal memberikan penguatan pada pulsa<br />

keluaran dari detektor.<br />

e. Amplifier<br />

Amplifier memberikan penguatan linier<br />

dari bentukan pulsa yang dihasilkan<br />

oleh pre amplifier (penguat awal) agar<br />

dapat memberikan bentuk pulsa yang<br />

lebih sempurna. Pada amplifier ini<br />

terjadi penguatan pulsa sebesar 10 kali<br />

penguatan.<br />

f. TSCA (Timing Single Chanel Analyzer)<br />

TSCA adalah suatu sistem penganalisa<br />

bentuk pulsa agar dengan bentuk pulsa<br />

tersebut dapat diketahui dengan<br />

menggambarkan distribusi jumlah cacah<br />

untuk tiap tinggi pulsa tertentu. TSCA<br />

dapat memisahkan urutan pulsa yang<br />

datang dengan mengabaikan tinggi<br />

pulsa, untuk dihitung dengan cacahan<br />

perbandingan intensitas suatu sumber<br />

radiasi. TSCA juga mempunyai<br />

keunggulan dapat mengetahui saat<br />

radiasi datang ke detektor.<br />

g. Modul Akuisisi Data<br />

Modul akuisisi data berfungsi sebagai<br />

pencacah data yang mengolah<br />

intensitas radiasi dari TSCA menjadi<br />

informasi hasil cacahan yang kemudian<br />

data tersebut dikirim ke komputer .<br />

h. Komputer<br />

Komputer sebagai perangkat otomatis<br />

penampil dan pengolah data. Secara<br />

elektronis memberikan hasil pengolahan<br />

data yang akurat dan teliti sesuai yang<br />

diinstruksikan, biasanya terdiri dari unit<br />

pemasukan, unit keluaran, unit<br />

penyimpanan serta unit pengontrolan.<br />

Data pada komputer dapat ditampilkan<br />

secara grafis.<br />

2. APLIKASI MODUL ADAM-4080D<br />

SEBAGAI PENCACAH Modul ADAM-<br />

4080D<br />

ADAM-4080D adalah modul<br />

pencacah yang mempunyai dua kanal<br />

modul pencacah di dalamnya yaitu counter<br />

0 dan counter 1. Setiap pencacah pada<br />

modul ADAM-4080D mempunyai<br />

kemampuan cacah maximum:<br />

4,294,967,295 (32 bits). Modul ADAM-<br />

4080D dilengkapi dengan tampilan LED<br />

display yang menampilkan nilai-nilai<br />

cacahan. LED display tersebut yaitu<br />

berbentuk tampilan seven segmen digital<br />

dengan lima digit tampilan angka. Apabila<br />

komputer diperintah melalui program yang<br />

telah dibuat untuk melakukan pencacahan<br />

maka ADAM-4080D akan melakukan<br />

pencacahan dengan menampilkan angka<br />

cacahan pada LED display ADAM-4080D<br />

tersebut.<br />

Perintah-perintah yang diberikan oleh<br />

komputer berupa perintah yang dimengerti<br />

oleh ADAM-4080D dengan mengunakan<br />

kode standard ASCII . Dalam hal ini<br />

perintah tersebut ditulis dalam bentuk<br />

program komputer, dengan menggunakan<br />

software Visual Basic versi 6. Dengan<br />

demikian pencacahan dapat dilakukan<br />

dengan memberi perintah-perintah yang<br />

sudah terprogram pada komputer, yaitu<br />

pengolahan masukan data dan<br />

merubahnya menjadi informasi data<br />

tampilan pada komputer. Selain memberi<br />

perintah komputer juga dapat menampilkan<br />

data angka cacahan yang tampil pada<br />

display ADAM-4080D, dan juga<br />

menampilkan hasil cacahan dalam bentuk<br />

78


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

grafik. Grafik tersebut memvisualkan hasil<br />

cacahan yang telah dilakukan.<br />

Perangkat Keras<br />

Komputer memberikan perintah pada<br />

ADAM-4080D yang berfungsi sebagai<br />

pencacah, melalui jalur komunikasi data<br />

yang ada pada komputer yaitu RS-232, dan<br />

kemudian perintah tersebut diubah oleh<br />

konverter ADAM-4520, menjadi perintah<br />

yang dapat dimengerti ADAM-4080D<br />

melalui jalur RS-485. Perintah-perintah<br />

tersebut berfungsi menjalankan ADAM-<br />

4080D melalui komputer. Komputer<br />

memberi perintah pada ADAM-4080D untuk<br />

melakukan pencacahan, menghentikan<br />

pencacahan dan menampilkan hasil cacah<br />

dari masukan data yang diterima oleh<br />

ADAM-4080D. Jalannya proses<br />

pencacahan dapat dibaca pada LED<br />

display yang terdapat pada ADAM-4080D.<br />

Selain pada LED display ADAM-4080D<br />

hasil cacahan dapat ditampilkan pada layar<br />

monitor komputer. (lihat gambar 2)<br />

MASUKAN<br />

DATA<br />

Counter 0<br />

Counter 1<br />

ADAM<br />

-4080 D<br />

RS-485<br />

ADAM<br />

-4520<br />

RS-232<br />

Komputer<br />

Gambar 2. Jalur Komunikasi Data<br />

Perangkat Lunak<br />

Perangkat lunak yang dikembangkan<br />

memanfaatkan kemajuan teknologi<br />

informasi yaitu menggunakan bahasa<br />

pemrograman Visual Basic. Program<br />

tersebut berorientasi Windows. Program<br />

Visual Basic mempunyai kemampuan<br />

multitasking, yaitu kemampuan untuk<br />

berpindah dari satu program ke program<br />

yang lainnya. Juga mempunyai unjuk kerja<br />

lebih karena perhitungan menggunakan<br />

operasi 32 bit.<br />

Perangkat lunak ini memberikan<br />

beberapa hal baru dibandingkan dengan<br />

perangkat lunak berorientasi DOS,<br />

sehingga memudahkan dalam<br />

pengoperasiannya.<br />

Visual Basic pada dasarnya adalah<br />

sebuah bahasa pemrograman komputer.<br />

Bahasa pemrograman adalah perintahperintah<br />

atau instruksi yang dimengerti oleh<br />

komputer untuk melakukan tugas-tugas<br />

tertentu. Visual Basic selain disebut<br />

sebagai bahasa program, juga sering<br />

disebut sebagai sarana (tool) untuk<br />

menghasilkan program-program aplikasi<br />

berbasiskan windows. Kemampuan yang<br />

dapat dimanfaatkan dari Visual Basic versi<br />

6 diantaranya, untuk membuat program<br />

aplikasi berbasis window dan untuk<br />

menghasilkan program berakhiran EXE,<br />

yang bersifat executable, atau dapat<br />

langsung dijalankan. Selain hal tersebut<br />

Visual Basic versi 6 mempunyai<br />

keistimewaan di antaranya seperti:<br />

* Memiliki compiler andal yang<br />

dapat menghasilkan file executable<br />

yang lebih cepat dan lebih efisien.<br />

* Dapat mengakses data lebih<br />

cepat dan andal untuk membuat aplikasi<br />

database yang berkemampuan lebih<br />

tinggi.<br />

Program Visual Basic digunakan<br />

untuk mengakses data dengan tampilan<br />

grafik yang dapat bergerak dinamis.<br />

Tampilan grafik tersebut memberikan<br />

informasi kenaikan cacahan terhadap<br />

waktu cacah.<br />

Program tersebut membuka jalur<br />

komunikasi data untuk memberi perintah<br />

dan menerima data dari Modul ADAM-<br />

4080D melalui jalur serial port RS-232.<br />

Perintah-perintah yang dikirim dari<br />

komputer ke modul ADAM-4080D dalam<br />

bentuk ASCII sedangkan output data yang<br />

dikirim ADAM- 4080D masih dalam bentuk<br />

hexadesimal. Untuk merubah hexadesimal<br />

ke desimal maka dibuat program konversi.<br />

Pada tampilan program Visual Basic<br />

yang dibuat tertampil perintah-perintah,<br />

MULAI, BERHENTI, dan RESET. Perintah<br />

MULAI untuk menjalankan program<br />

pencacahan, yaitu untuk mengirim perintah<br />

ke ADAM-4080D denga format ASCII ditulis<br />

dengan $00501. Perintah BERHENTI untuk<br />

menghentikan pencacahan, dengan<br />

mengirim perintah $00500. Dan perintah<br />

RESET adalah untuk mengembalikan ke<br />

posisi awal pencacahan, dengan mengirim<br />

perintah $0060. Data cacahan dari ADAM-<br />

4080D disimpan pada tempat penyimpanan<br />

sementara komputer yaitu pada buffer.<br />

Dari buffer data cacahan akan ditampilkan<br />

berupa angka hasil cacahan dan dalam<br />

grafik oleh layar monitor komputer.<br />

Angka cacahan pada tampilan angka<br />

memberikan informasi angka kenaikan<br />

cacah pada setiap detik pencacahan yang<br />

dilakukan. Sedangkan grafik hasil cacahan<br />

mempunyai variable sumbu vertikal sebagai<br />

jumlah cacah, dan sumbu horizontal<br />

sebagai variable waktu yang bergerak.<br />

Penentuan waktu cacahan ditentukan<br />

dengan masukan pada tampilan program,<br />

berupa masukan data yang dituliskan pada<br />

79


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

kolom text box. Dalam menjalankan<br />

program pencacahan harus setiap kali<br />

memasukkan nilai angka waktu cacahan,<br />

jika nilai waktu cacahan tidak dimasukan<br />

maka komputer akan menolak untuk<br />

melanjutkan pencacahan dengan memberi<br />

peringatan untuk memasukkan nilai waktu<br />

pencacahan. Lihat Gambar 6.<br />

Untuk mengetahui jalannya program<br />

secara keseluruhan maka dibuat diagram<br />

alir. Diagram alir tersebut berisi perintahperintah<br />

pengendalian atau jalannya<br />

aplikasi yang dibuat menggunakan Visual<br />

Basic versi 6. Dalam diagram alir<br />

diperlihatkan susunan dari perintahperintah<br />

yang dipergunakan dan<br />

keputusan-keputusan dalam melaksanakan<br />

proses. Gambar 3 menampilkan diagram<br />

alir dari program.<br />

3. HASIL DAN PEMBAHASAN MASALAH<br />

Tatacara Pengujian<br />

Pengujian pencacahan dilakukan<br />

dengan menggunakan tiga modul alat<br />

pencacah dan sebuah alat pembangkit<br />

pulsa (function generator), yaitu<br />

pencacahan dengan ADAM-4080D,<br />

Tampilan Komputer, dan Universal Counter<br />

DC 503 A. Pada ADAM-4080D hasil<br />

pencacahan ditampilkan pada LED display.<br />

Pada komputer hasil pencacahan<br />

ditampilkan pada text box, berupa tampilan<br />

angka cacahan yang dinamik. Pada display<br />

Universal Counter DC 503 A dapat dilihat<br />

angka pengesetan frekuensi yang di ubah<br />

kenaikannya oleh Fungtion Generator<br />

sesuai frekuensi yang dikehendaki.<br />

Diagram sistem pengujian gambar 4.<br />

Pengujian yang dilakukan adalah<br />

dengan membaca hasil pencacahan<br />

kemudian mencatat hasil cacahan terhadap<br />

waktu yang ditentukan dari masing-masing<br />

alat, kemudian menghitung selisih rata-rata<br />

dari hasil pengukuran cacahannya. Pada<br />

tampilan komputer dan LED display ADAM-<br />

4080D hasil cacahan terhadap waktu,<br />

masing-masing dibandingkan dengan<br />

angka pengesetan frekuensi pada<br />

Universal Counter DC 503 A sebagai<br />

standard pengukuran. Dasar dari<br />

percobaan tersebut adalah definisi<br />

frekuensi yaitu banyaknya pulsa pada<br />

setiap detik. Percobaan dilakukan<br />

pencacahan dalam waktu 10 detik, yaitu<br />

dengan memasukan timer 10 detik pada<br />

text box lama pengukuran tampilan<br />

program Visual Basic. Pada alat Universal<br />

Counter DC 503 A setting frekuensi<br />

dilakukan dengan pengesetan function<br />

pada frequency dan timing pada 1s (1<br />

second). Pengesetan frekuensi dilakukan<br />

dengan menaikan frekuensi sebesar 100<br />

Hz. Tabel 1 dan Tabel 2 memperlihatkan<br />

data hasil pengujian.<br />

Fungtion<br />

Generator<br />

Gambar 4. Diagram sistem pengujian<br />

Data Hasil Pengujian<br />

Tabel 1. Universal Counter DC 503 A<br />

dengan Modul ADAM-4080D<br />

n<br />

Frekuensi<br />

Universal<br />

Counter<br />

DC503A<br />

Herz (S)<br />

ADAM-<br />

4080D<br />

Universal<br />

Counter<br />

DC 503 A<br />

Cacah<br />

Modul<br />

ADAM-<br />

4080D<br />

Cacah/10s<br />

(X)<br />

Selisih<br />

Cacah Alat<br />

∆X=⏐S-X⏐<br />

(∆ X)<br />

Komputer<br />

Kesalahan<br />

Relatif<br />

KR= ∆ X<br />

S<br />

(%)<br />

1 100 104 4 4,000<br />

2 200 201 1 0,500<br />

3 300 301 1 0,333<br />

4 400 397 3 0,750<br />

5 500 503 3 0,600<br />

6 600 601 1 0,160<br />

7 700 703 3 0,428<br />

8 800 805 5 0,625<br />

9 900 905 5 0,555<br />

10 1000 1007 7 0,700<br />

11 1100 1103 3 0,272<br />

12 1200 1199 1 0,083<br />

13 1300 1315 15 1,154<br />

14 1400 1402 2 0,143<br />

15 1500 1481 19 1,267<br />

16 1600 1605 5 0,313<br />

17 1700 1707 7 0,412<br />

18 1800 1803 3 0,167<br />

19 1900 1907 7 0,368<br />

20 2000 2011 11 0,550<br />

21 2100 2101 1 0,048<br />

22 2200 2205 5 0,227<br />

23 2300 2302 2 0,087<br />

24 2400 2411 11 0,458<br />

25 2500 2512 12 0,480<br />

26 2600 2611 11 0,423<br />

27 2700 2703 3 0,111<br />

28 2800 2805 5 0,179<br />

29 2900 2899 9 0,310<br />

30 3000 3011 11 0,367<br />

31 3100 3113 13 0,419<br />

32 3200 3216 16 0,500<br />

33 3300 3296 4 0,121<br />

34 3400 3418 18 0,529<br />

35 3500 3501 1 0,029<br />

36 3600 3621 21 0,583<br />

37 3700 3711 11 0,297<br />

38 3800 3760 40 1,526<br />

39 3900 3913 13 0,333<br />

40 4000 4014 14 0,350<br />

Σ ∆X = 327<br />

Σ KR=<br />

20,759<br />

Dari pengujian dan pengambilan data<br />

cacahan diperoleh harga selisih rata-rata<br />

hasil pengukuran cacah antara Universal<br />

Counter DC 503 A dengan modul ADAM-<br />

4080D:<br />

80


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Σ∆X<br />

327<br />

∆ X = = = 8,175 cacah<br />

n 40<br />

Kesalahan relatif rata-rata:<br />

ΣKR<br />

∗100%<br />

20,759<br />

KR =<br />

n<br />

= = 0,518975 %<br />

100 40<br />

b. Tabel 2. Universal Counter DC 503 A<br />

dengan Tampilan Komputer<br />

n<br />

Frekuensi Cacah<br />

Universal Tampilan<br />

Counter DC Program<br />

503 A Komputer<br />

Herz Cacah/10s<br />

(S) (X)<br />

Selisih<br />

Cacah Alat<br />

∆X<br />

= S − X<br />

(∆ X)<br />

Kesalahan<br />

Relatif<br />

KR =<br />

∆X<br />

S<br />

(%)<br />

1 100 103 3 3,000<br />

2 200 198 2 1,000<br />

3 300 298 2 0,667<br />

4 400 392 8 2,000<br />

5 500 499 1 0,200<br />

6 600 595 5 0,833<br />

7 700 694 6 0,857<br />

8 800 798 2 0,250<br />

9 900 889 11 1,222<br />

10 1000 988 12 1,200<br />

11 1100 1084 16 1,455<br />

12 1200 1177 23 1,917<br />

13 1300 1291 9 0,692<br />

14 1400 1383 17 0,214<br />

15 1500 1508 8 0,533<br />

16 1600 1577 23 1,438<br />

17 1700 1683 17 1,063<br />

18 1800 1785 15 0,833<br />

19 1900 1881 19 1,000<br />

20 2000 1975 25 1,250<br />

21 2100 2080 20 0,952<br />

22 2200 2166 34 1,545<br />

23 2300 2280 20 0,869<br />

24 2400 2388 12 0,500<br />

25 2500 2468 32 1,280<br />

26 2600 2565 35 1,346<br />

27 2700 2655 45 1,667<br />

28 2800 2777 23 0,821<br />

29 2900 2844 56 1,931<br />

30 3000 2958 42 1,400<br />

31 3100 3059 41 1,323<br />

32 3200 3155 45 1,406<br />

33 3300 3251 49 1,485<br />

34 3400 3366 34 1,000<br />

35 3500 3440 60 1,714<br />

36 3600 3558 42 1,167<br />

37 3700 3645 55 1,486<br />

38 3800 3812 12 0,316<br />

39 3900 3875 25 0,641<br />

40 4000 3959 41 1,025<br />

∑ ( ∆X)<br />

= ∑ KR =<br />

947<br />

46,498<br />

Dari pengujian dan pengambilan data<br />

cacahan diperoleh harga selisih rata-rata<br />

hasil pengukuran cacah antara Universal<br />

Counter DC 503 A dengan tampilan<br />

program komputer:<br />

∆X<br />

947<br />

∆X<br />

= ∑ = =<br />

n 40<br />

23,675 cacah<br />

Kesalahan relatif rata-rata:<br />

( KR)<br />

n)<br />

∑ ∗100 % 46,498<br />

KR = = = 1,162 %<br />

100<br />

40<br />

Analisa Pengujian<br />

Sebelum seluruh rangkaian<br />

pengujian dilakukan, hal yang perlu<br />

diperhatikan, apakah ADAM-4080D dapat<br />

dipergunakan sebagai pencacah pada<br />

pesawat Renograf. Hal tersebut dapat<br />

dilihat dengan membandingkan Spesifikasi<br />

Renograf dengan ADAM-4080D (lihat Tabel<br />

3). Pada Renograf spesifikasi didapat dari<br />

pengujian dengan menggunakan sumber I<br />

131 dengan jarak detektor 10 Cm dari<br />

cuplikan.<br />

Tabel 3. Perbandingan Spesifikasi<br />

Renograf terhadap ADAM-4080D<br />

No Spesifikasi Renograf ADAM-4080D<br />

1. Lebar pulsa 1 ms 20 µs<br />

2. Tinggi pulsa 8 V 30 V<br />

3. Jmlh Cacah 750 cacah 50.000 cacah<br />

4. Cacah Max 1000 4,294,967,295<br />

Dari Tabel 3 maka ADAM-4080D<br />

mempunyai spesifikasi ynag lebih tinggi<br />

dari spesifikasi Renograf, hal tersebut<br />

memungkinkan pemakaian ADAM-4080D<br />

sebagai pencacah pada pesawat Renograf.<br />

Setelah mengetahui kelayakan<br />

ADAM-4080D sebagai pencacah pada<br />

pesawat Renograf maka dilakukan<br />

pengujian selanjutnya. Pengujian dilakukan<br />

dengan membandingkan antara hasil<br />

pengukuran yang didapat dari Universal<br />

Counter DC 503 A dengan hasil yang<br />

didapat dari Modul ADAM-4080D, dan<br />

tampilan pada perangkat lunak. Modul<br />

ADAM-4080D dan tampilan perangkat<br />

lunak ADAM sebagai alat pencacah yang<br />

diamati cacahannya. Universal Counter DC<br />

503 A sebagai alat yang diamati<br />

frekuensinya.<br />

Nilai cacahan dari hasil pengamatan<br />

menunjukkan selisih cacahan akhir pada<br />

pencacahan yang dilakukan setiap waktu<br />

10 detik. Nilai tersebut yang menunjukkan<br />

perbedaan antara alat-alat pencacah<br />

dengan alat pengatur kenaikan frekuensi.<br />

Grafik dapat dilihat pada gambar 5.<br />

Dari hasil pengujian jelas terlihat<br />

bahwa data cacahan yang diperoleh<br />

mempunyai harga selisih rata-rata hasil<br />

pengukuran cacah antara Universal<br />

Counter DC 503 A dengan modul ADAM-<br />

4080D adalah ∆ X = 8,175 cacah, yang<br />

berarti setiap kenaikan frekuensi 100 Hz<br />

terjadi selisih rata-rata jumlah cacahan<br />

sebesar 8,175 cacah setiap kenaikannya.<br />

81


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Kesalahan relatif rata-rata adalah KR =<br />

0,518975 %. Sedangkan untuk pengujian<br />

hasil data pencacahan harga selisih ratarata<br />

hasil pengukuran cacah antara<br />

Universal Counter DC 503 A dengan<br />

tampilan program komputer adalah ∆ X =<br />

23,675 cacah, hal ini juga mempunyai arti<br />

bahwa setiap kenaikan frekuensi 100 Hz<br />

terjadi selisih rata-rata jumlah cacahan<br />

sebesar 23,675 cacah setiap kenaikannya.<br />

Dengan kesalahan relatif rata-rata KR =<br />

1,162 %.<br />

Dari hasil pengujian menunjukkan<br />

bahwa selisih rata-rata hasil cacahan dari<br />

tampilan program komputer lebih besar<br />

dibanding dengan hasil cacahan modul<br />

ADAM-4080D. Hal tersebut memberikan<br />

pengertian bahwa dengan waktu<br />

pencacahan yang sama pada setiap kedua<br />

alat tersebut, tidak memberikan hasil<br />

cacahan yang sama. Pada tampilan<br />

program komputer menunjukan kelambatan<br />

pencacahan lebih besar pada setiap waktu<br />

cacahnya. Sedangkan pada LED display<br />

modul ADAM-4080D kelambatan<br />

pencacahan cenderung lebih kecil pada<br />

komputer. Gejala tersebut dapat<br />

diperkirakan karena pada komputer<br />

memerlukan waktu untuk pemberian<br />

perintah dan pengambilan data, yang<br />

disimpan pada tempat penyimpanan<br />

sementara yaitu buffer pada komputer.<br />

Kesalahan relatif rata-rata dari kedua alat<br />

pencacah yang digunakan masih<br />

menunjukan kesalahan yang relatif kecil,<br />

yaitu masih dibawah 5 %, dengan demikian<br />

kedua alat tersebut layak untuk digunakan<br />

sebagai alat pencacah.<br />

4. KESIMPULAN<br />

Modul ADAM-4080D telah layak<br />

dirancang sebagai modul pengganti antar<br />

muka antara pencacah dengan komputer<br />

pengolah data pada pesawat renograf,<br />

yang memanfaatkan teknologi komunikasi<br />

data melalui port serial, dan mampu<br />

membuka jalur komunikasi data antara<br />

pencacah dengan komputer dipergunakan<br />

komunikasi data secara serial yaitu dengan<br />

port serial RS-232. Dengan modul ADAM-<br />

4080D ini, pesawat renograf dapat<br />

dijalankan dengan menggunakan komputer<br />

note book.<br />

Dalam mengantisipasi suatu saat<br />

pada komputer tidak menggunakan slot ISA<br />

bus, maka Modul ADAM-4080D dapat<br />

digunakan sebagai modul pencacah<br />

perangkat renograf menggantikan modul<br />

add-on card yang ada saat ini.<br />

Untuk dapat melihat proses<br />

pencacahan yang dilakukan ADAM-4080D<br />

maka dibuatlah program komputer, yang<br />

secara langsung dapat menampilkan<br />

prosess pencacahan secara numeris<br />

maupun grafis pada tampilan komputer.<br />

5. DAFTAR PUSTAKA<br />

1. Adi Kurnia, Pemrograman Microsoft<br />

Visual Basic 6, Elex Komputindo,<br />

Jakarta,1999<br />

2. ADVANTECH, ADAM 4000 Serie,<br />

Data Aquisition Modules, User’s<br />

Manual<br />

3. Francis Weston Sears, Mark W.<br />

Zemansky, Fisika untuk Universitas 1<br />

Mekanika, Panas, Bunyi, Binacipta,<br />

Jakarta, 1985<br />

4. K.-H. Bremer, Application of<br />

Radionuclides in life Sciences, Joint<br />

German-Indonesia Seminar On R&D<br />

Activities Using The MPR-30, Jakarta,<br />

1985<br />

5. Rukmono. P, Joko. S, Renograf Dual<br />

Probe Berbasis Komputer Personal<br />

Akurat, Aman, dan Ekonomis, Leaflet,<br />

P2PN, Badan Tenaga Nuklir Nasional,<br />

Serpong, 2001<br />

6. Sudarti, Agus Santoso, Rahmat,<br />

Darsono, Petunjuk Praktikum<br />

Instrumentasi Nuklir, PATN-Batan,<br />

Yogyakarta<br />

7. Val King, Dick Waller, Paduan Praktis<br />

PC-DOS, Elex Media Komputindo,<br />

Jakarta,1988<br />

8. WWW.ADVANTECH.com<br />

6. LAMPIRAN<br />

1. Gambar 1b. Modul ADAM-4080D<br />

2. Gambar 3. Diagram Alir Program<br />

3. Gambar 5. Grafik Cacah terhadap<br />

Frekuensi<br />

4. Gambar 6. Tampilan Perangkat Lunak<br />

Program<br />

RIWAYAT PENULIS<br />

Nama Hendra Prihatnadi lahir di<br />

Subang pada tanggal 10 Juni 1969.<br />

Menamatkan pendidikan di Sekolah Tinggi<br />

Teknologi Nuklir dalam bidang Tekno Fisika<br />

Nuklir. Saat ini bekerja sebagai staf Bidang<br />

Peralatan Komponen Nuklir di Pusat<br />

Pengembangan Perangkat Nuklir – Badan<br />

Tenaga Nuklir Nasional, Kawasan<br />

PUSPIPTEK –Serpong Tangerang.<br />

82


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

83


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Setting comport 9600, 8, 1, N<br />

Waktu<br />

A<br />

MULAI<br />

BERHENTI<br />

RESET<br />

Pesan<br />

Masukan<br />

Waktu<br />

NO<br />

Waktu=” ’’<br />

Serial<br />

buffer = 0<br />

YES<br />

Kirim perintah<br />

MULAI = ”$00501”<br />

Kirim perintah<br />

RESET =”$0060”<br />

A<br />

Hidupkan Timer<br />

Timer=waktu<br />

Hidupkan Timer<br />

Timer=waktu<br />

Kirim perintah<br />

BERHENTI =”$00500”<br />

A<br />

Kirim perintah<br />

BACA =#000<br />

Baca Serial buffer<br />

Konversi Hexadesimal<br />

Tampilkan<br />

YES<br />

Waktu


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

2200 2205 2166<br />

2300 2302 Gambar 2280 5. Grafik Cacah terhadap Frekuensi<br />

2400 2411 2388<br />

2500 2512 2468<br />

2600 2611 2565<br />

2700 4500 2703 2655<br />

2800 4000 2805 2777<br />

2900 3500 2899 2844<br />

3000 3000 3011 2958<br />

3100 2500 3113 3059<br />

3200<br />

2000<br />

3216 3155<br />

1500<br />

3300 3296 3251<br />

1000<br />

3400 3418 3366<br />

500<br />

3500 3501 3440<br />

0<br />

3600 3621 3558<br />

3700 3711 3645<br />

3800 3760 3812<br />

Frekuensi<br />

3900 3913 3875<br />

4000 4014 3958<br />

Cacah<br />

100<br />

300<br />

500<br />

700<br />

900<br />

1100<br />

1300<br />

1500<br />

1700<br />

1900<br />

2100<br />

2300<br />

2500<br />

2700<br />

2900<br />

3100<br />

3300<br />

3500<br />

3700<br />

3900<br />

ADAM4080D<br />

KOMPUTER<br />

Gambar 5. Grafik Cacah terhadap Frekuensi<br />

Gambar 6. Tampilan Perangkat Lunak Program<br />

85


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Pembuatan Prosessor Sinyal<br />

Kamera Gamma 37 PMT<br />

Leli , Tjutju RL , Atang S , Sukandar<br />

P2PN- BATAN Kawasan Puspiptek Serpong<br />

Abstrak<br />

Pembuatan prosessor sinyal kamera gamma 37 PMT telah dilakukan yang<br />

merupakan salah satu bagian dari perangkat keras kamera gamma plannar 37<br />

PMT. Kamera Gamma adalah merupakan alat diagnosa yang dapat memberikan<br />

informasi berupa citra distribusi radioaktif yang berlabel dalam tubuh pasien. Citra<br />

tersebut diperoleh dengan cara mendeteksi pancaran radioaktif dari dalam tubuh<br />

pasien menggunakan detektor nuklir yang ditempatkan pada lokasi yang<br />

ditentukan diluar tubuh pasien. Secara garis besar perangkat kamera gamma<br />

dapat dibagi menjadi 3(tiga) bagian, yaitu sistem detektor, sistem elektronika dan<br />

sistem mekanik.Sistem elektronika terdiri dari perangkat pendeteksi sinyal dan<br />

perangkat pengolah sinyal. Perangkat pengolah sinyal adalah perangkat yang<br />

berfungsi untuk mengolah sinyal yang berasal dari perangkat pendeteksi sehingga<br />

sinyal keluaran dari prosessor sinyal ini bisa di teruskan ke rangkaian interface<br />

untuk komputerisasi. Ada 3 (tiga) sinyal utama kamera gamma yaitu x, y danz,<br />

pengolahan sinyal tersebut dilakukan untuk mendapatkan sinyal analog yang<br />

benar yang membawa informasi berupa posisi yang berasal dari perangkat<br />

pendeteksi sinyal kamera gamma. Sinyal keluaran yang dihasilkan adalah sinyal<br />

analog bipolar x dan y dengan amplitudo 5 volt dengan panjang waktu 1us dan<br />

sinyal z berupa TTL untuk mensinkronisasikan ke sinyal posisi x dan y tersebut.<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Indonesia sebagai negara yang telah<br />

mengembangkan bidang kedokteran nuklir<br />

telah banyak menggunakaan kamera<br />

gamma dengan berbagai type yang<br />

umumnya di sponsori oleh BATAN, dengan<br />

demikian BATAN cukup banyak<br />

berpengalaman terutama dalam bidang<br />

perawatan kamera gamma, oleh karena itu<br />

kiranya BATAN perlu untuk<br />

mengembangkan sendiri Kamera Gamma<br />

untuk mengurangi ketergantungan terhadap<br />

negara lain dan juga tidak kalah pentingnya<br />

dalam menghemat devisa negara pada<br />

masa yang akan datang.<br />

Dalam rangka rekayasa disain<br />

kamera gamma sampai saat ini kegiatan<br />

litbang P2PN telah menghasilkan berbagai<br />

komponen untuk kamera gamma planar<br />

antara lain sampai saat ini telah tersedia<br />

37 PMT dalam bentuk larik heksagonal<br />

untuk kamera gamma planar berikut preamp<br />

dan amplifiernya menggunakan<br />

teknologi mikro-elektronik hibrida. Kegiatan<br />

selanjutnya perlu dibuat perangkat<br />

pengolah sinyal untuk melengkapi<br />

perangkat yang sudah ada yang nantinya<br />

akan dilakukan integrasi system untuk<br />

menghasilkan perangkat yang lebih<br />

lengkap, yang kemudian dapat<br />

dioperasikan dengan baik.<br />

II. Diskripsi Rangkaian<br />

Perangkat Kamera gamma yang<br />

sudah ada di P2PN BATAN yaitu telah<br />

terakit Kamera Gamma Planar 37 PMT<br />

dari Medx, USA , terdiri dari<br />

shielding detektor, casing detektor, rak<br />

PMT dan penunjang detektor. Kemudian<br />

telah dibuat perangkat pendeteksi<br />

sinyal yang berfungsi untuk mendeteksi<br />

sinyal dari detektor.<br />

Untuk perangkat pengolah sinyal<br />

telah didisain seperti terlihat pada gambar<br />

1. Blok diagram perangkat pengolah sinyal,<br />

dimana perangkatnya terdiri dari :<br />

• dua buah modul non linier<br />

• satu buah modul sum xyp<br />

• satu buah modul sum ze<br />

• satu buah modul PUI ( pile-up<br />

inspector )<br />

• satu buah modul divider<br />

• dua buah modul SCA ( single<br />

channel analyzer )<br />

Sedangkan untuk rangkaian detailnya bisa<br />

dilihat pada lampiran lampiran.<br />

86


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

PMT yang tidak terletak pada sumbu x<br />

Non<br />

Linier 1<br />

SUM<br />

XYP<br />

Divider<br />

Perangkat<br />

pendeteksi<br />

sinyal<br />

Non<br />

Linier 2<br />

SCA<br />

PUI<br />

inter<br />

face<br />

SUM<br />

ZE<br />

SCA<br />

Perangkat Pengolah Sinyal<br />

Gambar 1. Blok Diagram Perangkat pengolah sinyal<br />

Nonlinier :<br />

Respon dari tiap – tiap PMT tidak<br />

linier tetapi tergantung pada “solid<br />

angle“ kelipan cahaya pada kristal terhadap<br />

PMT (1) yang berpengaruh terhadap<br />

liniearitas. Fungsi rangkaian nonlinier ini<br />

adalah untuk mengurangi slope atau gain<br />

pulsa PMT.<br />

SUM XYP dan SUM ZE<br />

Dasar dari rangkaian ini adalah<br />

rangkaian summing amplifier atau<br />

rangkaian penjumlah dimana untuk sum<br />

xyp merupakan rangkaian penjumlah<br />

differensial sedangkan untuk sum ze<br />

rangkaian penjumlah biasa. Fungsi dari<br />

modul sum xyp ini adalah untuk<br />

mendapatkan sinyal yang sesuai dengan<br />

posisi dari PMT nya, dimana posisi PMT<br />

terdiri dari :<br />

- posisi x+<br />

- posisi x-<br />

- posisi y+<br />

- posisi y-<br />

Sinyal sum x adalah jumlah terbobot<br />

seluruh PMT yang tidak terletak pada<br />

sumbu y. Nilai bobot pada rangkaian sum<br />

x proporsional terhadap posisi PMT dari<br />

sumbu y. Sinyal sum y adalah jumlah<br />

terbobot seluruh<br />

Nilai bobot pada rangkaian sum x<br />

proporsional terhadap posisi PMT dari<br />

sumbu x. Tabung disepanjang sumbu x dan<br />

sumbu y tidak dijumlahkan karena<br />

memberikan pengaruh yang saling<br />

menghilangkan. Amplitudo sum x / sum y<br />

tergantung pada koordinat dan energi<br />

radiasi. Sum z (energi) menjumlahkan<br />

seluruh PMT dengan bobot yang sama.<br />

Keluaran penjumlah :<br />

Sum x = Σ Gi.gi.Ii<br />

Sum y = Σ Gi.fi.Ii<br />

Sum Z = Σ Gi.mi.Ii<br />

Gi = gain PMT ke-i<br />

gi, fi, mi = nilai bobot x, y, z<br />

Ii = input ke-i<br />

ZE,ZP,X,Y,<br />

input<br />

DZE/dt<br />

SCA ( Single Channel Analyzer )<br />

Single Channal Analyzer atau<br />

analisator saluran tunggal adalah modul<br />

yang fungsinya untuk mengamati sinyal<br />

radiasi gamma, saluran yang hanya satu ini<br />

digunakan untuk menjaring (scanning)<br />

sekelompok sinyal secara manual atau<br />

otomatis. Sekelompok sinyal akan berhasil<br />

87


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

masuk ke dalam saluran yang lebih lebar<br />

tingkapnya (window-width) dan sinyal<br />

tertentu akan dilewatkan untuk diteruskan<br />

ke modul lain. Dalam SCA digunakan<br />

diskriminator diferensial yang mempunyai<br />

dua tingkat, yaitu diskriminator tingkat satu<br />

( D1 ) dan diskriminator tingkat dua ( D2 )<br />

kedua diskriminator ini menjadi celah atau<br />

jendela yang lebarnya ( D2 – D1 ) volt.<br />

Sinyal yang berada dalam celah tersebutlah<br />

yang akan dilewatkan oleh modul SCA ini.<br />

Seperti terlihat pada gambar di bawah ini :<br />

D1<br />

D2<br />

input<br />

output<br />

Gambar 3. Bentuk sinyal pada SCA<br />

PUI (Pile-Up Inspector)<br />

Fungsi dari PUI adalah untuk<br />

mengidentifikasi apakah terjadi proses<br />

penumpukan pulsa atau tidak, sebab kalau<br />

terjadi penumpukan menyebabkan<br />

kesalahan koordinat pixel pada CRT.<br />

Proses identifikasi pulsa yang bertumpuk<br />

dapat dilakukan dengan cara menghibung<br />

lebar pulsa, pulsa dari penjumlah energi<br />

didiferensialkan, diperoleh pulsa bipolar<br />

deteksi jarak leading edge dan zero<br />

crossing. Keluaran PUI dilewatkan pada<br />

suatu gate generator yang menghasilkan<br />

sinyal kontrol gate, apabila sinyal yang<br />

diamati memenuhi syarat untuk diproses<br />

lebih lanjut. Sinyal gate tidak sinkron<br />

dengan sinyal sinyal penjumlah posisi.<br />

Sinyal sinyal dari penjumlah posisi perlu<br />

diperlambat selama selang waktu yang<br />

diperlukan PUI untuk memeriksa terjadinya<br />

pile-up.<br />

pile up<br />

DIVIDER<br />

Rangkaian divider ini berfungsi untuk<br />

membagi koordinat analog (x,y) oleh sinyal<br />

energi (z) untuk menghilangkan<br />

ketergantungan koordinaat terhadap energi.<br />

zx<br />

zp<br />

zy<br />

Diveder<br />

zx/zp<br />

zy/zp<br />

Gambar 4. Blok divider<br />

III. HASIL PERCOBAAN DAN<br />

KESIMPULAN<br />

Pengujian dilakukan pada setiap<br />

modul, dengan memberikan input yang<br />

diambil dari keluaran dari perangkat<br />

pendeteksi sinyal. Input masuk ke modul<br />

nonlinier1, modul nonlinier 2 dan modul<br />

sum ze. Pada modul nonlinier sinyal tidak<br />

mengalami perubahan karena sesuai<br />

dengan fungsinya modul nonlinier ini hanya<br />

untuk mengurangi slope atau gain pulsa<br />

yang keluar dari PMT. Sedangkan pada<br />

modul sum ZE dan modul sum XYP disini<br />

sinyal diolah pada rangkaian summing<br />

amplifier untuk mendapatkan titik koordinat<br />

yang benar sesuai dengan posisi x dan y<br />

pada PMT nya. Setelah melalui modul<br />

divider maka keluarannya adalah sinyal<br />

bipolar x dan sinyal y dengan tinggi<br />

amplitudo 5 vdc dan panjang waktu selama<br />

1 us. Sinyal ini merupakan input untuk<br />

rangkaian interface dimana pada rangkaian<br />

interface ini sinyal tersebut akan dirubah<br />

menjadi sinyal digital dan mentransfer<br />

sinyal x dan y tersebut yang di digitasi ke<br />

memori PC menurut parameter aqusisi<br />

yang telah didefinisikan sebelumnya yang<br />

disimpan oleh software dalam registernya.<br />

Sinyal z yang berupa TTL dihasilkan oleh<br />

modul PUI sinyal ini sebagai trigger sinyal x<br />

dan y atau untuk mensinkronkan sinyal x<br />

dan y .<br />

Bentuk sinyal yang dihasilkan seperti<br />

berikut :<br />

zx<br />

zy<br />

X, Y<br />

Gambar 4. Contoh sinyal yang menumpuk<br />

88


<strong>Prosiding</strong> Semiloka Teknologi Simulasi dan Komputasi serta Aplikasi 2003<br />

Z<br />

Dari hasil percobaan dapat<br />

disimpulkan bahwa keluaran perangkat<br />

pengolah sinyal adalah sinyal x dan y<br />

dengan tinggi amplitudo 5 volt dc dengan<br />

panjang waktu 1 us serta sinyal z yang<br />

berupa TTL. Sinyal ini merupakan sinyal<br />

input dari rangkaian interface kamera<br />

gamma yang pada saat ini sedang dalam<br />

tahap penyelesaian.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

1. (1) Diklat Perawatan Kamera Gamma<br />

Genesys/Pegasys ADAC, Januari 1996<br />

2. R.C. Smart, Principles of Radionuclide<br />

Imaging, Departement of Nuclear<br />

Medicine, St George Hospital, Kogarah,<br />

NSW, Australi 1988<br />

3. M. Ridwan dkk, Pengantar Ilmu<br />

Pengetahuan dan Teknologi Nuklir,<br />

Badan Tenaga Nuklir Nasional, 1978.<br />

4. Linier Applications Handbook, National<br />

Semiconductor, 1986<br />

5. Imagamma PC Gamma Camera<br />

Interface, Instituto Nacional De<br />

Oncologia Radiobiologia, Havana, Cuba,<br />

Oktober 1997<br />

RIWAYAT PENULIS<br />

LELI YUNIARSARI, lahir di Sumedang<br />

pada tanggal 4 Desember 1966.<br />

Pendidikan terakhir di PATN (Pendidikan<br />

Ahli Teknik Nuklir ) YOGYAKARTA Jurusan<br />

Intrumentasi, Teknik Fisika. Bekerja di<br />

P2PN BATAN sebagai Staff Bidang<br />

Perawatan dan Perbaikan<br />

89

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!