laporan akhir program insentif peningkatan kemampuan ... - KM Ristek
laporan akhir program insentif peningkatan kemampuan ... - KM Ristek
laporan akhir program insentif peningkatan kemampuan ... - KM Ristek
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
LAPORAN AKHIR<br />
PROGRAM INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI<br />
DAN PEREKAYASA TAHUN 2010<br />
JUDUL:<br />
KARAKTERISASI GENETIK BERBAGAI SPESIES CHAETOCEROS<br />
SERTA ANALISIS PEMANFAATANNYA PADA PERBENIHAN<br />
UDANG WINDU (Panaeus monodon)<br />
DEWAN RISET NASIONAL<br />
KEMENTERIAN NEGARA RISET DAN TEKNOLOGI<br />
JAKARTA<br />
2010
LEMBAR 1IOE<br />
S DAN PENGESAHAN<br />
Judul Riset<br />
Peneliti Utama<br />
Jenis kelamin<br />
Bidang Prioritas<br />
Program<br />
araKterisasi Genetik Berbagai Spesies<br />
Chaetoceros Serta Analisis Pemanfaatannya pada<br />
Perbenihan Udang Windu (Panaeus monodon)<br />
erlinah, S.Pi, M.Si<br />
Perempuan<br />
Ketahanan Pangan<br />
I nsentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan<br />
Perekayasa<br />
Jenis Prioritas<br />
Lama Riset<br />
Tahun Mulai Riset<br />
Total Biaya Riset<br />
Terbilang<br />
Riset T erapan<br />
1 (satu) tahun<br />
2010<br />
Rp. 85.006.091,-<br />
Delapan Puluh Lima Juta Enam Ribu sembilan Puluh<br />
Satu Rupiah<br />
Maros, 22 November 2010<br />
Kepala Balai Riset Perikanan<br />
Budidav~Payau,<br />
Peneliti Utama,<br />
~<br />
Dr. lr. Rachman Syah, MS.<br />
NIP . 1961102 198603 1 004<br />
Herlinah, S.Pi. MS.<br />
NIP.19760517200112 2 002
GKASAN<br />
Perbenihan udang masrr; r-. en~ad i pennasalahan utama dalam industri udang<br />
hingga saat ini. Pennasalaha'1 ya'1g dihadapi dalam perbenihan udang windu, salah<br />
satunya adalah proses produksi larva. Belum tersedianya pakan alami yang tepat serta<br />
dalam jumlah dan kualitas yang mencukupi kebutuhan harian larva masih menjadi<br />
kendala dalam kegiatan perbenihan pada produksi post larva (PL). Mikroalga,<br />
Chaetoceros sp. adalah jenis pakan alami yang umum digunakan sebagai pakan alami<br />
bagi larva udang windu (Penaeus monodon). Saat ini telah ditemukan berbagai jenis<br />
Chaetoceros yang digunakan dipanti-panti perbenihan namun belum diketahui<br />
karakteristik genetik dan perbandingan maupun keunggulan masing-masing jenis<br />
terhadap performa larva udang windu yang dihasilkan.<br />
Kegiatan penelitian · Karakterisasi Genetik Berbagai Spesies Chaetoceros Serta<br />
Analisis Pemanfaatannya pada Perbenihan Udang Windu (Panaeus monodon)" meliputi 3<br />
kegiatan yakni 1) karakterisasi genetik berbagai jenis, 2) Pemantauan pertumbuhan dan<br />
kualitas nutrisi dari berbagai jenis Chaetoceros yang diperoleh serta, 3) analisis<br />
pemanfaatan dari Chaetoceros tersebut pada larva udang windu.<br />
Penelitian diawali dengan karakterisasi genetik berbagai spesies Chaetoceros<br />
dengan teknik PCR untuk memastikan pemilihan spesies yang digunakan. Selanjutnya,<br />
dilakukan uji komposisi biokimia dan uji pertumbuhan serta aplikasi penggunaan<br />
mikroalga tersebut pada larva udang windu. Penelitian menggunakan kontainer volume<br />
100 L dan didesain denga!l rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan.<br />
Hasil yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah diketahuinya secara jelas<br />
karakteristik genetik dari berbagai spesies Chaetoceros yang banyak digunakan selama<br />
ini dan komposisi biokimia nutrisi dari masing-masing spesies sehingga dapat diterapkan<br />
untuk menentukan jenis pakan alami dalam hal ini jenis Chaetoceros yang tepat pada<br />
perbenihan larva udang windu. Sehingga dengan sendirinya akan diperoleh <strong>peningkatan</strong><br />
produksi dan kualitas larva udang windu.
'RAKA TA<br />
~~~_:... . ~<br />
Alhamdulillahirabbil a !a~- s.ega:a puji hanya bagi Allah SWT yang telah<br />
memperkenankan kita se ga elaksanakan segala aktifitas penelitian ini<br />
dengan baik tanpa halanga ang berar+J.<br />
Penelitian dengan judul ·Karakterisasi Genetik Berbagai Spesies Chaetoceros<br />
Serta Analisis Pemanfaatannya pada Perbenihan Udang Windu (Panaeus monodon)"<br />
merupakan penelitian Program lnsentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan<br />
Perekayasa Tahun 2010. Seluruh rangkaian kegiatan dari penelitian ini telah selesai dan<br />
diharapkan hasilnya dapat segera dipublikasikan baik berupa <strong>laporan</strong> <strong>akhir</strong>/<strong>laporan</strong> teknis<br />
hasil penelitian dan beberapa <strong>laporan</strong> ilmiah.<br />
Tanpa bantuan dan kekompakan dari tim peneliti, pembantu peneliti dan tenaga<br />
lapangan serta dukungan dari rekan-rekan di lingkup 'Badan Riset Kelautan ·dan<br />
Perikanan khususnya Balai Riset Perikanan Budidaya, Maros, tentunya penelitian ini tidak<br />
akan dapat be~alan dengan baik. Untuk itu melalui prakata singkat ini kami<br />
mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak<br />
yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Semoga semua langkah, aktifitas dan<br />
ke~a<br />
keras yang telah kita lakukan bernilai ibadah di sisi Allah SWT dan semoga<br />
penelitian yang dilakukan ini bermanfaat baik bagi pengembangan ilmu dan teknologi<br />
perikanan dan kelautan di Indonesia, Amin.<br />
Maros, 22 November 2010<br />
Peneliti Utama,<br />
Herlinah
~- .:, - ·=r;...R lSI<br />
29<br />
LEMBAR IDENTITAS DAN PENG~~-.<br />
RINGKASAN<br />
PRAKATA<br />
DAFTAR lSI<br />
DAFTAR TABEL<br />
DAFTAR GAMBAR<br />
Halaman<br />
ii<br />
iii<br />
iv<br />
v<br />
vii<br />
viii<br />
BASI PENDAHULUAN<br />
1<br />
BAB II TINJAUAN PUSTAKA<br />
2.1. Biologi dan Morfologi Chaetoceros<br />
2.2. Pertumbuhan Chaetoceros<br />
3<br />
3<br />
4<br />
2.3. Komposisi Kimia Chaetoceros<br />
5<br />
2.4. Karakterisasi Genetik<br />
2.5. Hubungan Kekerabatan dan Jarak Genetik<br />
2.6. Pakan Larva<br />
2.7. Kualitas Air<br />
6<br />
9<br />
10<br />
11<br />
BAB Ill TUJUAN DAN MANFAAT<br />
12<br />
BAB IV METODOLOGI<br />
13<br />
4.1. Karakterisasi Genetik<br />
4.1.1 . Ekstraksi DNA<br />
13<br />
13<br />
4.1.2. Penggandaan DNA<br />
4.1.3. Elektroforesis<br />
4 .1.4. Analisa sekuen DNA<br />
14<br />
14<br />
15<br />
4.2. Pemantauan Pertumbuhan dan Komposisi Biokimia<br />
16<br />
4.3. Aplikasi Chaetoceros terhadap Larva Udang Windu<br />
18<br />
BAB V HAS~L o;..N PEMBAHASAN<br />
21<br />
5.1 Of"s~e-~as 1 Gsr--€:."ca Molekuler<br />
21<br />
52<br />
28
BAS VI<br />
KES IMPUU..N D.!.<br />
32<br />
6.1 KES IMP .... -<br />
6.2 SARAN<br />
DAFT AR PUSTAKA<br />
32<br />
32<br />
33
1. Komposisi PUFA beberapa<br />
2. Komposisi Asam lemak. Prote<br />
3. Komposisi Medium Steril Walne (P<br />
RTABEL<br />
pad a medi~m Guillard · s<br />
al l emak beberapa jenis Chaetoceros<br />
Conwy)<br />
6<br />
6<br />
17<br />
4. Hasil Slash Sampel Chaetoceros 25<br />
5. Hasil Pengamatan klorofil a 5 Jenis Chaetoceros sp 28<br />
6. Hasil Pengamatan Komposisi Proksimat 5 Jenis Chaetoceros 29<br />
7. laju metamorfosis larva udang windu setiap perlakuan sampai hari ke-9 30<br />
8. Kisaran rata-rata Hasil Peng ukuran parameter kualitas air 31<br />
9. Hasil Pengukuran Klorofil a 38<br />
10. Sintasan larva Udang windu setiap perlakuan sampai pad a Hari Kesembilan 39
~-r.1BAR<br />
1. Morfologi C. grad/is 3<br />
2. Siklus hidup Chaetoceros sp 4<br />
3. Fase pertumbuhan mikroalagae 5<br />
4. Sampel Chaetoceros yang siap d1sentrifuge 14<br />
5. Pemantauan Pertumbuhan Chaetoceros di Lab. Biologi dan<br />
Pengukuran kandungan Chlorofil di Lab. Kualitas Air BRPBAP Maros 17<br />
6. Kegiatan Ekstraksi Chaetoceros spp dengan Sentrifuge 18<br />
7. Aplikasi Chaetoceros pada larva udang windu (Penaeus monodon) 18<br />
8. Hasil elektorforesis DNA genom 21<br />
9. Hasil kromatografi fragmen 16S rRNA mtDNA (bawah) Ghaetoceros 23<br />
10. Dendrogram UPGMA berdasarkan nukleotida daerah 16S rRNA mtDNA 24<br />
11. Grafik Perkembangan Cell Chaetoceros sp yang Dikultur dengan Aerasi 28<br />
12. Grafik Sintasan Larva Udang windu 29<br />
13. Met ode Ekstraksi DNA (Lampi ran 1) 36<br />
14. Metode PCR 37
BABI.PENDAHULUAN<br />
Mikroalga secara kuantitatif merupakan komponen dan juga memiliki fungsi<br />
biologis dan ekologis yang sangat penting, misalnya sebagai produsen primer dalam<br />
rantai makanan (Lin et a/. 2005), sebagai pakan hidup dalam marikultur (Brown and Miller<br />
1992; Rao eta/. 2005), sebagai penyerap bahan pencemar (Gonzales-Davina 1995) dan<br />
sebagai transfer polutan dalam rantai makanan (Okay et a/. 2000). Keberadaan<br />
konsumen primer berupa zooplankton, larva invertebrata (udang dll) serta ikan sangat<br />
dipengaruhi oleh jumlah produsen primer dalam hal ini mikroalga yang terdapat di suatu<br />
perairan (Bosman and Hockey 1988) dan dalam lingkup yang lebih kecil yakni<br />
ketersediaan mikroalga di perbenihan. Faktor pendukung utama dalam peningkata<br />
produksi budidaya udang di tambak adalah perbenihan, dimana kebutuhan akan be ·<br />
terus meningkat seiring dengan perkembangan teknologi budidaya. Salah satu faKto<br />
pendukung dalam keberhasilan usaha perbenihan · udang adalah ketersediaan paKa.,<br />
alami berupa mikroalga.<br />
Pemberian pakan alami yang tepat dan berkualitas dengan jumlah yang cukup<br />
dapat meningkatkan kelangsungan hidup larva udang. Pemberian pakan alami sangat<br />
penting terutama pada fase awal larva dimana saluran cema belum berkembang<br />
sempuma sehingga diperlukan suplai nutrisi dari luar tubuh. Karakterisasi pakan alami<br />
yang digunakan yaitu mempunyai nilai nutrisi yang tinggi, mudah dibudidayakan, memiliki<br />
ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva, dan <strong>kemampuan</strong> berkembang biak<br />
dengan cepat. Pada kultur pakan alami yang berupa fitoplankton, pemantauan<br />
pertumbuhan sel sangat diperlukan disamping kualitas dan jumlah selnya. Pertumbuhan<br />
setiap jenis fitoplankton bervariasi tergantung pada kondisi kultur (kualitas air,<br />
pencahayaan dan suhu), inokulan, unsur hara, keterampilan teknis dalam<br />
penangananannya serta spesies yang digunakan (Liao et a/. 1983).<br />
Selama ini ske/etonema costatum merupakan jenis yang paling banyak digunakan<br />
karena kemudahan dalam kulturnya, tetapi teknik ,pengawetan dalam·· waktu lama<br />
mengalami kendala serta performa larva yang dihasilkan lebih rendah dibanding dengan<br />
penggunaan Chaetoceros sp (Haryanti et a/. 1992). Aplikasi penggunaan beberapa<br />
jenis mikroalga telah dilakukan oleh Nunez et a/. (2002) terhadap larva stadia zoea<br />
Utopenaeus vannamei selama 72 jam. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh laju<br />
kecemaan. s "tasa~ can tota! biomassa tertinggi pada Chaetoceros sp dibandingkan<br />
S.coscawm -aa~ a ....... ~.m demikian, ketersediaan Chaetoceros sering
2<br />
mengalami kendala karena<br />
dicapai pada umur 3-6 ha ·<br />
relatif lambat dimana puncak populasi<br />
Penyediaan pakan ala'111 yang bericualitas dan mencukupi sangat penting untuk<br />
pemeliharaan larva, terutama pada pantJ-panti pembenihan.. Pentingnya penyediaan<br />
pakan alami lebih dirasakart paca ,pembenihan organisme laut seperti udang windu<br />
karena hingga saat ini belum ada pa'-::a:-1 buatan yang dapat menggantikan peranan pakan<br />
alami secara sempuma. Salah satu jenis pakan alami yang sering digunakan sebagai<br />
pakan larva udang di pembenihan adalah Chaetoceros sp. Menurut Suryanto dan<br />
Hardjono (1987) bahawa salah satu jenis diatom yang telah populer dan cocok untuk<br />
larva pada stadia awal adalah Chaetoceros. Selanjutnya Nurdjana et al., (1980) dan Lim<br />
et al., (1987) menyatakan bahwa Chaetoceros merupakan salah satu jenis diatom yang<br />
cukup baik sebagai pakan larva udang.<br />
Di panti-panti perbenihan, dijumpai beberapa· jenis ··-chaetoceros ·yang diduga<br />
merupakan spesies yang berbeda dan memberikan kualitas nutrisi dan pengaruh yang<br />
berbeda terhadap performa dan kualitas larva udang. Untuk itu perlu dilakukan<br />
karakterisasi genetik dari berbagai jenis Chaetoceros yang sering digunakan di<br />
perbenihan larva udang windu; kajian perbandingan pertumbuhan dan kualitas<br />
(komposisi biokimia) berbagai spesies Chaetoceros; serta kaji terap (aplikasi)<br />
penggunaan berbagai jenis Chaetoceros terhadap perform a· dan kualitas· larva udang<br />
windu yang dihasilkan, sehingga produksi (kuantitas) dan kualitas larva yang dihasilkan<br />
akan meningkat karena penggunaan mikroalga jenis Chaetoceros yang tepat.
BAB II.<br />
AUAN PUSTAKA<br />
2.1. Biologi dan Morfologi Chaetoceros<br />
Secara biologi Chaetoceros termasuk kelas diatom yang hidup pada lingkungan<br />
perairan laut, dimana pada bagian luamya dibungkus oleh cangkang dari silikat dengan<br />
bentuk yang geometric beraturan. Jenis ini telah banyak diidentifikasi dan diklasifikasi<br />
berdasarkan ukuran, bentuk dan struktur silikat pada cangkangnya (Hourmant et a/.,<br />
2009)(Gambar 1).<br />
Gambar 1. Morfologi C. gracilis (Hourman et a/.,2009)<br />
C. gracilis merupakan frtoplankton sel tunggal dan dapat membentuk rantai menggunakan<br />
duri yang saling berhubungan dari sel yang berdekatan. Tubuh utama berbehtuk selinder<br />
pipih. Jika dilihat dari samping mikroalgae ini berbentuk persegi dengan panjang 12-14<br />
!Jm dan Iebar 15-17 !Jm, dengan setae yang menonjol . Selnya dapat membentuk rantai<br />
sebanyak 10-20 sel dan mencapai panjang 200 IJm (Pilar eta/., 2003).<br />
Klasifikasi mikroalga Chaetoceros menurut Botes (2003) Sebagai berkut:<br />
Phyi!Jm Chrisophyta<br />
Klass<br />
Bacillariophyceae<br />
Ordo<br />
Biddulphiales<br />
Sub ordo Biddulphineae<br />
Famili Chaetocerotaceae<br />
Genus Chaetoceros<br />
Species C. gracillis<br />
Ukuran beberapa jenis Chaetoceros bervariasi yaitu C. ceratosporum berukuran<br />
5-7 !Jm dengan pa~a~ cetae 20 !Jm, sedangkan C. gracillis berukuran 6-12 IJm, volume<br />
sel vaitw v<br />
as1h dapat diterima larva udang yaitu sekitar 3-30 !Jm<br />
Nei can 'F-:<br />
.4 1:.:=-
4<br />
Siklus hidup Chaetoceros yai:"..J peri-\ - ... . .; .. '-._-.)<br />
'<br />
,.. ..:. ' .<br />
.L..,<br />
'· '' " •. '<br />
\<br />
.· '-'v·<br />
:) "" :--- ~ - -).,<br />
. , -<br />
•_, "'~;{·<br />
.., __ ;), /<br />
(~/ ---&:.-::::<br />
.<br />
.. r-=-- .<br />
""a.. J -~ - .•<br />
,. ~ i - -- ..,- ' ~ -'\.;_, I '' .. ' " -·· '--.~ -' ... '·~-• - I<br />
·_. ' J· "!- ,. I •<br />
'--; .'• ,./ •: L<br />
:-,. ..../ ~ - -;---..,-l<br />
j<br />
/<br />
~-<br />
. ,"'t<br />
l--c V>>\ ~""'---Y ..... ~ -~<br />
:• ' •, ....._/ ~ •<br />
-·-'\ ......,. - '· .... .. .. ••. ) .·.... . r-.._: -, -,<br />
'.; .•.\:-:,._ I• '\. _;.:.r.:::_ "t -\ '. _I.._" ·-:~ : [-"" j . '<br />
" '·.·......- , ,, L-"'"~ ---t -......... ~,, ,_<br />
• ' ·-'~ •· ./-' -- )..,... '' : I<br />
< - > __ _, ._---: . .. -- . .. ~ /------:-"<br />
,. ~ ·' ...._ 1'--;--- -- < - ·- ~ - ' - o • ·~ ,. .. ' .<br />
•. ( - J - j ' v " >!; / ? ~<br />
- ·;:;·-"..,o, )-···:·/ · · ._.c, - · ,-- .,<br />
15"-L ~~;;...._:..~ :;:' ·;:- ,. ;:;· ~~ -- ~~
5<br />
karena penurunan faktor pembatas seperti nutrient, cahaya, pH, karbon dioksida dan<br />
faktor fisika kimia lainnya (Gam bar 3).<br />
3 4<br />
f u<br />
jl<br />
E<br />
:J<br />
c<br />
"ij<br />
0<br />
't<br />
IS)<br />
.2<br />
11a~ or induction phase<br />
2 e>
6<br />
yang dikultur pad a Guillard · s F2 mec<br />
dan 12 jam gelap terlihat pad a Tabe<br />
dengan periode pencahayaan 12 jam terang<br />
Tabel 1. Komposisi PUFA beberapa jenis Diatom pada medi~m Guillard's<br />
Pol_lunsaturated C.cal<br />
16:2(n-7) 3,5<br />
16:2(n-6)<br />
16:2(n-4)<br />
16:3(n-6)<br />
16:3(n-4)<br />
16:3(n-3)<br />
16:4(n-3)<br />
16:4(n-1)<br />
18:2(n-9)<br />
18:2(n-6)<br />
18:3(n-6)<br />
18:3(n-3)<br />
18:4(n-3)<br />
18:6(n-3)<br />
20:4(n-6)<br />
20:4(n-3)<br />
20:5(n-3)<br />
22:5(n-3)<br />
1,0<br />
8,0<br />
0,3<br />
0,8<br />
0,8<br />
0,4<br />
TR<br />
0,5<br />
5,7<br />
0,2<br />
11 '1<br />
C.gra no 1<br />
2,9<br />
1,7<br />
2,3<br />
2,0<br />
0,5<br />
0,8<br />
0,2<br />
4,5<br />
TR<br />
4,6<br />
C._g_ra. no 2<br />
2,4<br />
0,7<br />
2,2<br />
TR<br />
4,2<br />
0,7<br />
1,1<br />
1,2<br />
0,2<br />
TR<br />
5,7<br />
Skele<br />
3,3<br />
3,6<br />
3,7<br />
2,0<br />
2,2<br />
0,3<br />
0,3<br />
. ·-.2~ 2<br />
TR<br />
6,0<br />
Thai<br />
2,7<br />
4,6<br />
12,7<br />
2,3<br />
TR<br />
0,4<br />
0,2<br />
0,1<br />
.6,3<br />
0,3<br />
0,3<br />
19,3<br />
22-6(n-3) 0,8 0,3 0,4 2,0 3,9<br />
S~mber : Boeing (2008) Ket. C.CAL (Chaetoceros ca/citrans) I C.GRA (Chaetoceros<br />
gracilis) I SKEL (Ske/etonema costatum) I THAL (Tha/assiosira pseudonana)<br />
Tabel2. Komposisi Asam Lemak, Protein dan Total Lemak beberapa jenis chaetoceros<br />
Nutrien<br />
C. neog_racilis<br />
C20.4 n-6 3,1<br />
C20.5 n-3 14,0<br />
C22.5 n-3 0,0<br />
C22.6 n-3 0,8<br />
Protein 25,7<br />
Lemak total 10,7<br />
S~mber . Okauci et at (1997)<br />
C. neog_racilis<br />
2,8<br />
15,0<br />
0,2<br />
0,8<br />
24,0<br />
11,8<br />
C. calcitrans<br />
0,5<br />
15,3<br />
0,6<br />
1,4<br />
20,1<br />
9,9<br />
Chaetoceros se_<br />
3,0<br />
16,0<br />
0,2<br />
1,0<br />
22,3<br />
1-1 ~D<br />
Kondisi kultur berpengaruh terhadap nilai nutrisi C. muelleri dimana kadar protein<br />
tertinggi didapatkan pada kultur dalam ruangan (Indoor) pada musim panas tetapi<br />
menurun drastis pada musim dingin, sedangkan lemak tertinggi didapatkan pada kultur<br />
luar ruangan (Outdoor) (Elias eta/., 2005).<br />
2.4. Karakterisasi Genetik<br />
Diferensiasi ~e~e· oat
7<br />
habitat, komunitas, populasi, dan jenis. Keragaman genetik ini dianggap penting<br />
dibanding jenis dan ekosistem. Hal ini disebabkan karena sumber daya genetik<br />
merupakan kunci penting bagi suatu jenis untuk bertahan hidup sampai generasi<br />
berikutnya. Krisis biodiversitas atau keragaman hayati dimulai dari semakin menurunnya<br />
tingkat keragaman genetik dari suatu jenis.<br />
Menurut Sumantadinata (1980) keragaman genetik antar populasi merupakan<br />
hasil interpretasi dari isolasi secara fisik maupun terhalang secara ekologis, terpisah jauh<br />
secara geografis atau pengaruh tingkah laku seperti migrasi dan waktu memija ...<br />
Keragaman genetik suatu populasi memiliki arti penting, karena faktor yang<br />
mempengaruhi respon suatu populasi terhadap seleksi alam maupun buatan ya<br />
dilakukan oleh manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati tersebut ses:..;a<br />
kebutuhannya. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memili<br />
yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena setiap 9en meffii.liki respon yang be:t:>edabeda<br />
terhadap kondisi lingkungan, sehingga dengan dimilikinya berbagai macam gen da ·<br />
individu-individu di dalam populasi maka berbagai perubahan lingkungan yang ada akan<br />
dapat direspons lebih baik. Beberapa studi menunjukkan bahwa karakteristik genetik<br />
suatu populasi ikan di alam pada umumnya menunjukkan adanya heterogenitas spasial,<br />
bahkan pada jarak yang sang at dekat (Ryman & Utter, 1987).<br />
Keragaman genetik juga dipengaruhi oleh perpindahan materi genetik antar dua<br />
populasi yang berbeda tempat (Soelistyawati, 1996). Keragaman genetik mempunyai arti<br />
penting dalam stabilitas dan ketahanan populasi seperti pencegahan terhadap kehilangan<br />
fitness individu yang disebabkan oleh inbreeding yang dapat mengakibatkan kepunahan<br />
karena sifat yang seragam (Ferguson et a/., 1995). Leary et a/. (1985) memaparkan<br />
bahwa keragaman genetik yang rendah akan berakibat negatif terhadap sifat penting<br />
dalam makhluk hidup seperti kecilnya sintasan suatu organisme, berkurangnya<br />
pertumbuhan, dan keragaman ukuran, serta turunnya <strong>kemampuan</strong> adaptasi.<br />
Leary et a/. (1985) mengungkapkan bahwa rendahnya - keragaman · genetik<br />
berhubungan dengan terjadinya silang dalam populasi yang meningkat sehingga akan<br />
terjadi perubahan morfologi pada individu akibat meningkatnya homozigositas.<br />
Homozigositas ini akan menyebabkan berkurangnya <strong>kemampuan</strong> individu untuk<br />
berkembang secara normal. Menurut Frankham (1999) kehilangan keragaman genetik<br />
akan mengurang i <strong>kemampuan</strong> spesies tersebut untuk beradaptasi terhadap perubahan<br />
lingku'"'fa... 1:-;J.::';,;c:.; dengan keragaman genetik yang tinggi akan mempunyai komponen
8<br />
fitness yang besar yang me!iputi Ia~ pertumbuhan, fekunditas, viabilitas, dan daya tahan<br />
terhadap perubahan lingkungan da~ stress.<br />
Ada beberapa metode untuk mengukur keragaman genetik di dalam atau antar<br />
populasi. Menurut Chambers & Bayless (1983) dalam lmron (1998), ada tujuh cara untuk<br />
mengetahui keragaman genetik yaitu pengukuran asam inti, sekuensing protein,<br />
elektroforesis, imunologi, kromosom, hubungan antar lokus, morfometrik, dan studi<br />
breeding. Metode untuk mengukur keragaman genotipe yang sekarang ini banyak<br />
digunakan oleh para ahli genetika salah satunya adalah DNA mitokondria. Pengukuran<br />
tingkat DNA ini mempunyai hasil yang lebih akurat (Ryman & Utter, 1987). DNA tersusun<br />
dari rangkaian tinier nukleotida. Masing-masing nukleotida mengandung basa organik<br />
yaitu gula, pentosa, dan fosfat. Di samping itu terdapat pula empat basa nitrogen yang<br />
berbeda yaitu adenin, timin, sitosin, dan guanin. Keragaman genetik dapat dideteksi<br />
dengan bantuan enzim yang dapat mengenali rangkaian nukleotida · yang ··spesifik 4 ·- 6<br />
pasangan basa dari DNA (Watson & Crick, 1953 dalam Warwick eta/., 1995). Menurut<br />
Ryman & Utter (1987) untuk mengetahui genom suatu hewan yang bertujuan untuk<br />
kepentingan studi populasi dan evolusi adalah dengan menggunakan DNA mitokondria<br />
yang merupakan genom mitokondria yang berbentuk lingkaran ganda terdiri atas 5 - 10<br />
untai setiap organel.<br />
Mitokondria merupakan organel berupa kantung yang diselaputi oleh dua<br />
membran yaitu membran l~ar dan dalam, sehingga memiliki dua kompartemen yaitu<br />
matriks mitokondria yang diselimuti langsung oleh membran dalam dan ruang antar<br />
membran. Matriks mitokondria berupa cairan kental serupa gel, dengan campuran<br />
ratusan jenis enzim dengan konsentrasi yang sangat tinggi, untuk proses oksidasi piruvat,<br />
oksidasi asam lemak, dan untuk menjalankan siklus asam trikarboksilat. Matriks<br />
mitokondria juga mengandung salinan identik DNA genom mitokondria, ribosom<br />
mitokondria, tRNA, dan berbagai jenis enzim yang diperlukan untuk ekspresi gen<br />
mitokondria (Artika, 2003).<br />
Molekul DNA mitokondria mempunyai banyak kelebihan sebagai penanda<br />
molekuler dalam mempelajari hubungan evolusi hewan pada berbagai tingkat. Hal ini<br />
disebabkan ukurannya relatif kecil, mengandung 13 gen penyandi protein, 22 gen<br />
penyandi tRNA, 2 penyandi rRNA, dan satu ruas DNA berukuran besar yang tidak<br />
menyandj prate· Pola pewarisan melalui garis ibu yang menyebabkan tidak ada<br />
~ m:.:tasi tinggi, sehingga mempunyai keunggulan tersendiri sebagai<br />
Genom mitokondria mempunyai variasi sekuens DNA
9<br />
yang beberapa kali lebih tingg; d;:Ja<br />
1 0 kali lebih cepat.<br />
an dengan DNA inti dan kecepatan evolusi 5 -<br />
2.5. Hubungan Kekerabatan dan Jarak Genetik<br />
Phylogenetic merupakan studi tentang hubungan antar organisme berdasarkan<br />
penanda genetik. Di antaranya menguraikan hubungan secara evolusi antara organisme<br />
atau molekul, karena semua org anisme antara satu dan lainnya ada hubungan<br />
keturunan. Pada periode sebelumya, hubungan kekerabatan diduga berdasarkan<br />
karakter morfologi organisme hidup atau dari fosil (Hall dalam Nuryanto, 2007).<br />
Walaupun demikian pada saat ini data molekuler, khususnya data sekuens DNA lebih<br />
banyak diminati untuk mengetahui studi phylogenetic karena lebih akurat. Selain itu,<br />
dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan antara organisme.<br />
Ditambahkan, data molekuler lebih mudah digunakan sebagai pengukuran kuantitatif<br />
daripada karakter morfologi.<br />
Menurut Li, 1997 dalam Nuryanto, 2007, hubungan evolusi antar organisme<br />
digambarkan dengan pohon phylogenetic. Pada filogeni molekuler, pohon phylogenetic<br />
dibuat berdasarkan perbedaan sekuens DNA antar individu atau sekuens aiel dari gen<br />
individu tersebut. Ada 4 macam metode untuk membentuk pohon filogeni dari protein<br />
maupun data sekuens DNA. Metode tersebut adalah neighbour joining (NJ), maximum<br />
parsimony (MP), maximum likehood (ML), dan Bayesian (BAY).<br />
2.6. Pakan Larva<br />
Siklus hidup larva udang peneaid (
10<br />
~m 3 ) memberikan performa larva yang lebih baik dibandingkan dengan Pinnata sp (60<br />
~m 3 ) dan T. nitchioides (780 ~m 3 ) tidak mendukung pertumbuhan larva. Sedangkan lsmi<br />
et a/ (1991) menyatakan bahwa penggunaan Chaetoceros sebagai pakan larva<br />
menunjukkan C. ceratosporum lebih baik dibandingkan dengan C gracillis karena<br />
perbedaan ukuran dimana larva lebih merespon pakan yang berkuran kecil. Larva P.<br />
merguiensis yang diberi algae biru hijau tidak dapat bermetamorfosis ke stadia<br />
selanjutnya meskipun secara histologi usus larva nampak penuh tetapi kebutuhan nutrisi<br />
tidak terpenuhi.<br />
2.7. Kualitas Air<br />
Kualitas air adalah setiap variabel yang mempengaruhi pengelolaan, sintasa ..,<br />
reproduksi, pertumbuhan dan produksi hewan budidaya (Boyd, 1982). Variabel terseb<br />
meliputi suhu, salinitas, pH, senyawa amoniak dan oksigen tertarut.<br />
Suhu berpengaruh langsung terhadap keadaan tubuh organisme, dimana<br />
kenaikan suhu sebesar 1 ooc akan meningkatkan metabolisme dua kali lipat dan<br />
mereduksi kelarutan gas esensial dalam air. Kungvangkij (1986) menyatakan telur udang<br />
penaeid tidak akan menetas pada suhu dibawah 24°C. Suhu optimal dicapai pada kisaran<br />
29 - 31°C dimana telur menetas setelah 18 jam. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada<br />
stadia zoea larva udang windu bertangsung selama 6 hari pada suhu 28°C. Sedangkan<br />
pada suhu 30°C, metamorfosis berlangsung lebih singkat yaitu 4 hari. Kenaikan suhu<br />
diatas ambang optimal membahayakan kehidupan larva dan bahkan perubahan<br />
mendadak 2°C menyebabkan stres dan mortalitas tinggi.<br />
Salinitas merupakan jumlah bahan padat total yang terkandung dalam tiap<br />
kilogram air laut apabila semua karbonat dirubah menjadi bentuk oksida, bromida dan<br />
iodin diganti dengan klorin serta semua bahan organik mengalami oksidasi dan<br />
dinyatakan dalam gram perkilogram (Spotte, 1979). Larva udang windu menghendaki<br />
salinitas air media 30 - 35 ppt. (Nurdjana et a/., 1980). Selanjutnya dijelaskan bahwa<br />
stadia nauplius sampai dengan zoea dari induk ablasi tumbuh baik pada salinitas 30 - 35<br />
ppt, sedangkan mysis dan pascalarva 22 - 30 ppt.<br />
pH merupakan tingkat konsentrasi ion hidrogen yang ada dalam perairan air laut<br />
melalui kisaran pH 7,5 - 8,5 dimana pada konsentrasi lebih rendah atau lebih tinggi dari<br />
kisaran tersebut menyebabkan ketidaknormalan larva. Sutaman (1992) menyatakan<br />
bahwa pH dia:as 8,5 menyeoao!":an bentuk larva tidak normal dan menyebabkan<br />
metaformosis. Sedangkan pada kisaran<br />
6 4 capat ""e~- ~..!z-J: a "- L:::;_!' c:-=.:~::.;:::-!:.-.h. :: .r. se::::-esar 60% pengaruh pH yang rendah antara
11<br />
lain menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit sedangkan pada pH<br />
tinggi toksitas amoniak meningkat (Spotte, 1979).<br />
Senyawa amoniak dalam lingkungan perairan merupakan hasil pemupukan,<br />
kotoran udang dan perambakan jasad mokroorganisme (Nurdjanah et a/., 1980).<br />
Konsentrasi amoniak yang tinggi pada media kultur menyebabkan pengeluaran amoniak<br />
melalui insang terhambat sehingga te~adi akj.Jmulasi dalam darah mengakibatkan<br />
kekacauan metaboksme, selanjutnya menghambat pertumbuhan bahkan menyebabkan<br />
kematian (Lazur, 2007). Lebih lanjut dijelaskan pada kadar NH 3 0,5 ppm menurunkan laju<br />
pertumbuhan sampai 50%, sedangkan pada konsentrasi 1,3 ppm dapat mematikan larva.<br />
Oksigen terlarut merupakan variabel kualitas air yang penting bagi hewan air,<br />
dimana pada konsentrasi tertentu dapat diserap oleh haemosianin dalam pembuluh dara<br />
insang akibat perbedaan tekanan parsial selanjutnya dimanfaatkan dalam metabolisme<br />
baik pembentukan sel baru maupun pergerakan· ·(Lazur, 2007): ·· Udang wtnd<br />
membutuhkan kadar optimallebih besar dari 3 ppm. Sedangkan pada konsentrasi kurang<br />
dari 1 ppm menyebabkan kematian (Sutaman, 1992).<br />
Dalam proses pembelahan sel, cahaya memegang peranan penting dalam proses<br />
pertumbuhan fitoplankton. Menurut Budiono (1990) bahwa pertumbuhan fitoplankton<br />
sangat tergantung pada intensitas cahaya, lama penyinaran dan panjang gelombang<br />
cahaya yang mengenai sel-sel tanaman untuk berfotosintesis. Selanjutnya Dwijoseputro<br />
(1984) menyatakan sinar yang terlalu banyak berpengaruh buruk pada klorofil, sebab<br />
larutan klorofil. Berdasarkan hal tersebut maka dtanggap perlu dilakukan penelitian<br />
mengenai pengaruh intensitas cahaya dan lama penyinaran terhadap perumbuhan<br />
Chaetoceros sp.
BAB Ill. TUJUAN DAN MANFAAT<br />
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas karakteristik genetik dari<br />
berbagai spesies Chaetoceros yang banyak digunakan di hatchery-hatchery dan<br />
komposisi biokimia nutrisi dari masing-masing spesies sehingga dapat digunakan untuk<br />
menentukan jenis pakan alami dalam hal ini jenis Chaetoceros yang tepat pada<br />
perbenihan larva udang windu_ Sehingga dengan sendirinya akan diperoleh <strong>peningkatan</strong><br />
produksi dan kualitas larva udang windu.
BAB rv. METODOLOGI<br />
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei - Nepember 2010 di Balai Penelitian dan<br />
Pengembangan Budidaya Air Payau - Mares. Dilakukan dibeberapa lekasi yakni<br />
Laberaterium Bieteknelogi, Laboratorium Bielog i, Laboraterium Kualitas Air, Laboraterium<br />
Nutrisi dan Laberaterium Kesehatan lkan dan Lingkungan serta lnstalasi Hatchery Balai<br />
Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau di Desa Lawallu Kabupaten Barru.<br />
Penelitian terdiri dari 3 lingkup keg iatan yakni sebagai berikut:<br />
4.1. Karakterisasi Genetik Berbagai Spesies Chaetoceros<br />
Kegiatan ini dilaksanakan di Laberaterium Bieteknelegi BRPBAP Mares. Bahan-bahan<br />
yang digunakan meliputi beberapa jenis Chaeteceres yang .untuk sementara diduga sebagai<br />
Chaeetoceros amami, Chaetoceros ca/citran, Chaetoceros ceratos, Chaetoceros gracilis<br />
dan Chaetoceros simplex yang ada di laberaterium kultur BRPBAP Mares, dan jika terdapat<br />
jenis yang berbeda ditambah dengan keleksi dari hatchery di sepanjang perairan Sulawesi<br />
Selatan antara lain hatchery di Barru dan Takalar.<br />
Kegiatan pada tahap ini dilakukan dengan 4 tahap utama, yaitu:<br />
1. Ekstraksi DNA<br />
2. Penggandaan (amplifikasi) DNA dengan teknik PCR. Primer spesifik telah<br />
dirancang/didesain dengan target: gen penyandi 16S-rRNA.<br />
3. Deteksi hasil amplifikasi (preduk PCR) dengan metede elektreferesis gel agaresa<br />
4. Analisa sekuen DNA hasil PCR<br />
4.1.1. Ekstraksi DNA<br />
Ekstraksi DNA diawali dengan kegiatan preservasi sampel. Mikroalga<br />
Chaeteceres murni yang telah dikultur dalam vo1u_me yang · - C!~kup _{! 50 ml}<br />
selanjutnya dipreservasi dengan cara 1 ,5 ml sampel disentrifuge 3500 rpm,<br />
selama 10 me nit. Buang supernatan dan ditambahkan sam pel dan disentrifuge<br />
lagi hingga terbentuk ekstrak mikroalga yang dianggap cukup dan sudah terpisah<br />
dengan kandungan aimya; kemudian diawetkan dalam larutan etanel 70%.<br />
Selanjutnya diuji dengan menggunakan teknik PCR dua tahap. Dipreservasi<br />
=s-Urea buffer dalam tabung eppenderf 1,5 ml,<br />
se ,' a,., ,_. u ruang sampai dilakukan ekstraksi DNA.
14<br />
Gambar 4. Sampel Chaetoceros yang siap disentrifuge<br />
Ekstraksi dan amplifikasi DNA Chaetoceros dilakukan dengan<br />
metode phenol kloroform. Semua sampel ditimbang sebanyak 0,03 gra<br />
na,....ao;...iffi-5<br />
supernatant yang diambil sebanyak 400 IJL dan penambahan etanol 95% se~nv-~<br />
800 IJL Proses elektroforesis dilakukan dalam agarose 2% dengan TBE 1:x: se:.a;a<br />
pelarutnya. Elektroforesis dijalankan pad a tegangan 100 se 1 a~a 1 ja- ~<br />
yang telah dielektroforesis selanjutnya direndam dalam farutan Bhidium Bromrca<br />
(konsentrasi 1 mg/ml) selama 10-15 menit lalu direndam lagi dalam akuades sa<br />
digoyang-goyangkan selama 5-10 menit agar sisa ethidium tertepas dan gel bisa<br />
terlihat lebih jemih. Gel kemudian disimpan dalam gel dokumentasi yang dilengkapi<br />
dengan lampu UV dan sekaligus dilakukan pengambilan foto. Detil prosedur dapat<br />
dilihat pada Lampiran 1.<br />
4.1.2. Penggandaan (amplifikasi) DNA dengan PCR<br />
Proses PCR untuk memperbanyak DNA melibatkan serangkaian siklus<br />
temperatur yang berulang dan masing-masing siklus terdiri atas tiga tahapan.<br />
Tahapan yang pertama adalah denaturasi cetakan DNA (DNA template) pada<br />
temperatur 94-96°C, yaitu pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal.<br />
Sesudah itu, dilakukan penurunan temperatur pada tahap kedua sampai 45-60°C<br />
yang memungkinkan terjadinya penempelan (annealing) atau hibridisasi antara<br />
oligonukleotida primer dengan utas tunggal cetakan DNA. Tahap yang ter<strong>akhir</strong><br />
adalah tahap ekstensi atau elongasi (elongation) , yaitu pemanjangan primer menjadi<br />
suatu utas DNA baru oleh enzim DNA polimerase. Temperatur pada tahap ini<br />
bergantung pada jenis DNA polimerase yang digunakan (Lampiran 2).<br />
4.1.3. Elektroforesis<br />
E:e r-~etoa'e untuk memisahkan DNA pada media gel<br />
be a"'"'~ c::;.e atan listrik. Pemisahan molekul DNA adalah
15<br />
berdasarkan perbedaan mobilitas atau kecepatan fragmen-fragmen DNA yang<br />
bergerak karena adanya gaya tarik atau gaya tolak partike-partikel (DNA) yang<br />
bermuatan. Pada proses elektroforesis, molekul-molekul dipisahkan berdasarkan laju<br />
perpindahannya oleh gaya gerak listrik di dalam matriks gel. Laju perpindahan<br />
tersebut bergantung pada ukuran molekul bersangkutan.<br />
Setiap sistem elektroforesis mempunyai kisaran optimum DNA yang akan<br />
dipisahkan. Fragmen DNA yang memiliki ukuran yang besar (> 20 kb = > 20.000 bp)<br />
tidak akan terpisahkan dengan memakai elektroforesis minigel. DNA-DNA berukuran<br />
besar (berbagai ukuran) akan terkumpul membentuk satu pita di dekat sumur (well)<br />
sampel. Elektroforesis minigel hanya optimum untuk pemisahan DNA berukuran<br />
kecil (ratusan bp hingga sekitar 10 kb). Kondisi running pada minigel: Voltase 70<br />
hingga 120 V, waktu running: 30 hingga 120 menit. Kondisi kuat arus (Ampere) aKa<br />
menyesuaikan setting Voltase sehingga tidak perlu disetting lagi. Buffe<br />
elektroforesis diperlukan untuk menciptakan kondisi -bermuatan · Hstrik. Pada<br />
umumnya berupa buffer TAE atau TBE.<br />
Prosedur Elektroforesis:<br />
• Sejumlah sampel DNA (banyaknya sampel tergantung tujuan pengecekan) yang<br />
akan di cek dicampur dengan 2-5 f.d loading dye yang mengandung bahan pemberat<br />
DNA dan pewama (Bromphenol blue, xylene cyanol, glycerol, EDTA).<br />
• Campuran dimasukkan ke dalam sumur-sumur elektroforesis. Siapkan 1 well untuk<br />
running marker DNA.<br />
• Bak elektroforesis ditutup dan lisrik dialirkan dengan tegangan 250 volt dan kuat arus<br />
80-100 rnA.<br />
• Setelah DNA bermigrasi dari kutub negatif ke kutl.ib positif .mencapai % bag ian dari<br />
panjang gel (dapat diamati dari migrasi pewama loading dye} , maka proses<br />
elektroforesis dapat dihentikan.<br />
• Gel diangkat dari bak elektroforesis dan .dilepaskan.dari .cetakan .·untuk selanjutnya<br />
diamati dengan menggunakan ultraviolet transluminator dengan panjang gelombang<br />
pendek (280 nm).<br />
4.1.4. Analisa sekuen DNA hasil PCR<br />
SeK~.;e<br />
377 ::Je,..,• n E: l.rii.:-~ ~&!,J_ Cvcle sequenc;ng DNA template dilakukan
16<br />
menggunakan kit BigDye® Ready Reaction Mix (Perkin Elmer Biosystem, USA).<br />
Campuran cycle sequencing terdiri atas 1 J..ll (300-500 ng) DNA template, 3,2 pmol<br />
primer, 1 1-11 DMSO, 6 1-11 BigDye® Ready Reaction Mix, dan nuclease free water<br />
untuk menggenapkan volume menjadi 20 1-1'- Prose cycle sequencing dilakukan pada<br />
mesin PCR dengan kondisi sebagai berikut: pre-PCR pada suhu 94°C selama 5<br />
menit, denaturasi pada suhu 94°C selama 30 detik, annealing atau pelekatan primer<br />
(50°C, 30 detik}, elongasi atau pemanjangan primer (72°C, 2 menit}, dan post-PCR<br />
(72°C, 7 menit) dengan jumlah siklus sebanyak 25 kali.<br />
Hasil cycle sequencing terebut selanjutnya dimurnikan dengan metode<br />
pengendapan etanol dan natrium asetat (Sambrook dan Russell 2001 ). Pada<br />
metode pemurnian ini campuran hasil cycle sequencing dimasukkan dalam taoung<br />
Eppendorf yang berisi 50 J..ll 95% (v/v) etanol dan 2 1-11 3M natrium asetat pH 4.6 ta<br />
divorteks. Setelah diinkubasi pada suhu ruang<br />
disentrifugasi selama 20 menit pada kecepatan<br />
supernatan dibuang sampai habis menggunakan pipet mikro. Pelet yang tertinggal<br />
dicuci dua kali dengan 70% (v/v) etanol. Untuk menghilangkan sisa-sisa etanol,<br />
pelet divakum selama 10 men it. Pelet yang diperoleh selanjutnya dilarutkan dengan<br />
loading buffer dan siap dilarikan pada gel sekuensing. Sekuen DNA yang diperoleh<br />
dibandingkan dengan sekuen data base European Bioinformatics Institute (EBI)<br />
BLASTIN 2.0 atau FASTA3 pada situs http://www.ebi.ac.uk.<br />
4.2. Pemantauan Pertumbuhan dan Komposisi Biokimia<br />
Kegiatan pemantauan pertumbuhan dan komposisi biokimia berbagai spesies<br />
Chaetoceros dilaksanakan di beberapa lokasi laboratorium yakni di Laboratorium Biologi,<br />
Laboratorium Kualitas Air dan Laboratorium Nutrisi dan Makanan lkan BRPBAP Mares.<br />
Wadah yang digunakan untuk pemantauan pertumbuhan yakni wadah kaca yang diisi<br />
volume air media 2 liter, dilengkapi dengan perangkat .. aerasi . dan .lampu penerangan<br />
dengan suhu ruangan 23°C. Media air laut yang digunakan salinitas 30 ppt dan terlebih<br />
dahulu disaring dengan menggunakan membran filter 0,2 mikron, selanjutnya diautoclave<br />
(115 oc selama 30 menit). Media air selanjutnya dipupuk dengan Conwy. Komposisi<br />
pembuatan medium Conway (Walne) sebagai berikut:
17<br />
Gam bar .... Kegiatan pemantauan pertumbuhan spesies Chaetoceros sp<br />
Tabel3. Kome_osisi medium steril Walne<br />
Nutrien<br />
NaN03<br />
Na 2 EDTA<br />
H3803<br />
NaH2P04.H20<br />
FeCI3.6HzO<br />
MnCiz.4HzO<br />
Stok vitamin primer 1 ><br />
Stok Trace metals 2 ><br />
Akuades<br />
lJKomposisi stok vitamin primer<br />
Vitamin 81<br />
Vitamin 812<br />
Akuades<br />
Kome_osisi Stok trace metals<br />
ZnCiz<br />
COCI2.H20<br />
H4)6Mo10 24· HzO<br />
CuS04. SH20<br />
Akuades<br />
Total<br />
10,0 g<br />
4,5 g<br />
.. 3,3g<br />
2,0 g<br />
0,13 g<br />
0,036 g<br />
10 ml<br />
0,1 ml<br />
Volume up to 100 ml<br />
---50mg<br />
2,5mg<br />
50ml<br />
2,1 g<br />
2,0 g<br />
0,9 g<br />
2,0 g<br />
100 ml
18<br />
Stok Chaetoceros yang akan diinokuilasi, terlebih dahulu dihitung kepadatan<br />
awalnya kemudian diinokulasi sesuai dengan kepadatan awal media Chaetoceros yang<br />
diinginkan yakni 500.000 sellml. Hasil <strong>akhir</strong> yang diukur (endpoint) adalah pertumbuhan<br />
Oumlah sel) diatom pada perlakuan. Penelitian didesain dengan Rancangan Acak Lengkap<br />
dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan (Gambar 3). Untuk kegiatan uji mutu/kandungan nutrisi<br />
dari sampe/ Chaetoceros, telah dilakukan pengumpulan ekstrak 5 jenis Chaetoceros dengan<br />
menggunakan sentrifuge untuk kebutuhan ana lisa proksimat (Gam bar 4 ). Kegiatan<br />
pemantauan biokimia terdiri dari komposisi proksimat dan pengukuran khlorofil.<br />
Gambar 5. Pemantauan Pertumbuhan Chaetoceros di Lab. Biologi dan Pengukuran<br />
kandungan Chlorofil di Lab. Kualitas Air BRPBAP Maros
19<br />
Gam bar 6. Kegiatan Ekstraksi Chaetoceros spp dengan Sentrifuge<br />
4.3. Aplikasi Pemanfaatan Chaetoceros spp pada Perbenihan Larva Udang Windu.<br />
Penelitian dilaksanakan di lnstalasi Hatchery BRPBAP di Kab. Barru. Tahapa<br />
diawali/disertai dengan kegiatan penyediaan stok kultur murni dan ku ltur massal.<br />
murni Chaetoceros sp diperoleh dari Laboratorium Kultur Mumi/Laboratorium Biolog·<br />
BRPBAP Maros. Diatom dikultur dalam medium steril Walne (Conwy).<br />
Medium Walne<br />
disterilisasi menggunakan prosedur standar autoclave. Kultur stok awal dibuat menjadi 5 x<br />
1 0 5 sel/ml. Kepadatan stok dihitung dengan menggunakan haemocytometer di bawah<br />
mikroskop. Setiap 7-14 hari sekali dilakukan pemindahan ke media yang baru. Selanjutnya<br />
untuk membudidayakan secara massal di lakukan upscalling yaitu <strong>peningkatan</strong> skala secara<br />
bertahap.<br />
Bak pemeliharaan larva yang digunakan adalah bak fiber volume 1 00 liter sebanyak<br />
15 bak. Air laut hasil saringan filter bag diklorinisasi 125-150 ppm kemudian diaerasi<br />
beberapa menit lalu dinetralkan dengan natrium thiosulfat. Pupuk yang digunakan adalah<br />
pupuk teknis dengan komposisi Urea 10 g/ton, TSP 15 g/ton, ZA 60-80 g/ton, EDTA 2 g/ton,<br />
FeCI3 1 g/ton.<br />
rr ~ ~<br />
,....<br />
Gambar 7. Aoli'l
20<br />
Penelitian didesain dengan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan Genis<br />
Chaetoceros yang digunakan) masing-masing dengan 3 ulangan. Udang uji yakni naupli<br />
udang windu yang berasal dari satu ekor induk, ditebar dengan kepadatan 100 ekor/liter.<br />
Pemberian mikroalga Chaetoceros spp sebanyak 2-10 L per hari tergantung stadia<br />
perkembangan larva. Pengamatan perkembangan stadia dan pengukuran kepadatan serta<br />
pengukuran kualitas air yakni DO, pH, suhu, dan salinitas dilakukan setiap hari.<br />
Meskipun dilaksanakan di ruang non permanen yang diberi atap dan didinding rapat<br />
dengan terpal plastik di lnstalasi hatchery BRPBAP Barru, diharapkan suhu bisa<br />
dipertahankan konstan (tidak terlalu fluktuatif) dan dapat mendukung perkembangan naupli<br />
udang windu dan pakan chaetoceros yang akan dicobakan. Hal ini dilakukan denga.<br />
pemasangan instalasi lampu, namun karena desain ruangan tertutup dengan terpal plas'"<br />
sehingga suhu dapat stabil dan tidak diperlukan penggunaan heater di masing-masina ba<br />
pemeliharaan.
BAS V. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
5.1 Diferensiasi Genetika Molekuler<br />
Kegiatan diawali dengan preservasi sampel dan diperoleh hasil ekstraksi DNA<br />
genom dari keempat jenis Chaetoceros yang diuji coba (Gambar 4), yang menghasilkan<br />
fragmen tunggal dengan berat molekul 1200 bp, hal ini memperlihatkan bahwa dengan<br />
menggunakan preservasi larutan TNES-Urea dengan metode Phenol-Chloroform maka<br />
ekstraksi DNA genom Chaetoceros telah berhasil dilakukan yang menghasilkan tingKa<br />
kemurnian DNA genom yang tinggi, jelas dan bersih. Hasil penelitian ini mengindikasika<br />
bahwa preservasi larutan TNES-Urea dan metode Phenol-Chloroform merupakan met<br />
yang efektif digunakan untuk isolasi DNA genom Chaetoceros. Berdasarl
£-V<br />
:.•1' !':<br />
,>J"i:\·.' j '<br />
i . 1 • II<br />
ll
23<br />
A-4<br />
24<br />
[GENETYX : Evolutionary tree]<br />
Date : 2010.10.26<br />
Method: UPGMA<br />
0.0173<br />
A1-16s-forward-edit<br />
0.0( 17<br />
-<br />
0.0173<br />
A4-16s-for ward - ed~~<br />
0.0029<br />
A3 - l6s-forwa=d-ed~~<br />
0.0086<br />
0.0029<br />
A5 - 16s- forward-edit<br />
0.0075<br />
0.0115<br />
A2-16s-forward-edit<br />
Gam bar 10. Dendrogram UPGMA berdasarkan nukleotida daerah 16S rRNA mtDNA<br />
C.amami, C.calcitran, C.ceratosforum, C. gracilis, C. ·simplex berukuran 1200<br />
bp.<br />
Sampel C. amami mempunyai jarak genetik 0,0017 dengan C. gracilis dan nilai jarak<br />
genetik 0,0173 dengan C. gracilis. Sampel C. calcitrans mempunyai jarak genetik terbesar<br />
yaitu 0,0115 dengan C. ceratosforum dan C. simplex. Sampel C. ceratosforum mempunyai<br />
jarak genetik 0,0086 dan nilai jarak genetik 0,0029. Variasi·genetik·yang -k~cil kemungkinan<br />
diakibatkan oleh kurangnya pertukaran bibit Chaetoceros antar lokasi dan persilangan yang<br />
jarang terjadi karena semua bibit Chatoceros yang berada pada suatu daerah berasal dari<br />
satu sumber saja. Disamping perbedaan lingkungan perairan budidaya, karakteristik genetik<br />
(genotip) terse but juga merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan fenotip<br />
Chaetoceros. Penggunaan populasi yang sama secara genetik akan menghasilkan generasi<br />
yang miskin variasi genetik dan akan terjadi "bottle neck effect" (pembatasan pertukaran<br />
gen) dalam suatu pen
25<br />
hilangnya aiel penting tertentu, misalnya aiel terhadap ketahanan terhadap penyakit atau<br />
perubahan lingkungan.<br />
Dendrogram hasil pengamatan morfometrik antar populasi diperoleh 2 kelompok<br />
(cluster) yaitu cluster pertama yang terdiri atas kluster C. Am ami dan C. gracilis, dan kluster<br />
C. calcitran, C. ceratos, dan C. simplex. Terjadinya pengelompokan ini kemungkinan<br />
disebabkan oleh persamaan lokasi geografi. Sesuai dengan pendapat (Tave, 1995)<br />
penampilan fenotipe sangat dipengaruhi oleh habitatnya. Dimana fenotipe suatu individu<br />
merupakan ekspresi dari genotipe dan lingkungan. Dengan lokasi geografi yang sama<br />
diduga kondisi kualitas air juga relatif sama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor<br />
lingkungan dapat mempengaruhi fenotifik suatu organisme. Suzuki et a/. (1 989)<br />
mengatakan, penampakan keragaman fenotipe pada beberapa sifat kuantitatif sebagia<br />
besar dipengaruhi oleh adaptasi lingkungan, bukan semata-mata oleh komponen genetL<br />
Nilai jarak genetik dan jauh dekatnya hubungan ··kekerabatan antar sampel<br />
menentukan keberhasilan persilangan dan budidaya suatu organisme. Semakin besar nilai<br />
jarak genetik dan semakin jauh hubungan kekerabatan antar sampel maka semakin kecil<br />
keberhasilan persilangan, tetapi kemungkinan untuk memperoleh genotip unggul lebih besar<br />
jika persilangan berhasil. Semakin beragam genetik yang ada maka semakin besar<br />
kemungkinan untuk memperoleh genotip unggul. Perkawinan antara individu berjarak<br />
genetik dekat atau hubungan kekerabatanya sama mempunyai efek <strong>peningkatan</strong><br />
homozigositas. Sebaliknya perkawinan antara individu berjarak genetik besar atau<br />
kekerabatannya jauh mempunyai efek <strong>peningkatan</strong> heterozigositas (Leong, 1995).<br />
Homologi hasil analisis blast N untuk susunan basa nukleotida sampel Chaetoceros<br />
hasil penelitian dengan Chaetoceros yang tersedia di Bank Gen tertera di Tabel4 berikut:<br />
Tabel4. Hasil Blash Sampel Chaetoceros<br />
Sam pel<br />
Deskripsi<br />
Query<br />
Coverage<br />
Max.<br />
Identity<br />
1 . Chaetoceros • Chaetoceros muellerii isolate C12 16S 99% 94%<br />
amami<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros calcitrans isolate C07 16S 99% 94%<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros sp. GSL025 16S ribosomal 99% 93%<br />
RNA gene, partial sequence;_Qiastid<br />
I· Chaetoceros socia!is strain NOZ 16S ribosomal RNA ce~e partial sequence; I<br />
99% 93%
26<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros sp. C134 16S ribosomal 99% 93%<br />
RNA gene, partial sequence; chloroplast<br />
2. Chaetoceros • Chaetoceros muellerii isolate C12 16S 99% 96%<br />
calcitran<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros sp. GSL025 16S ribosomal 99% 96%<br />
RNA gene, partial sequence; plastid<br />
• Chaetoceros calcitrans isolate C07 16S 99% 96%<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros socialis strain NOZ 16S 99% 95%<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros sp. C134 16S ribosomal 95% 95 %<br />
RNA gene, partial sequence; chloroplast<br />
3. Chaetoceros • Chaetoceros muellerii isolate C12 16S 99 % 98 %<br />
ceratosforum<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros sp. GSL025 16S ribosomal 99 % 98 %<br />
RNA gene, partial sequence; plastid<br />
• Chaetoceros calcitrans isolate C07 16S 99% 98%<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros socialis strain NOZ 16S 99% 98%<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros sp. C134 16S ribosomal 99% 97%<br />
RNA gene, partial sequence; chloroplast<br />
4. Chaetoceros • Chaetoceros muellerii isolate C12 16S 100% 96%<br />
gracilis<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros sp. GSL025 16S ribosomal 100% 95%<br />
RNA gene, partial sequence; plastid<br />
• Chaetoceros socialis strain NOZ 16S 100% 95%<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros calcitrans isolate _C07 16S 100% 95%<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros sp. C134 16S ribosomal 100% 93%<br />
RNA gene, partial sequence; chloroplast<br />
-<br />
5. Chaetoceros • Chaetoceros muellerii isolate C 12 16S 92% 98%<br />
simplex<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros sp. GSL025 16S ribosomal 92% 98%<br />
RNA gene. parta! sequence; plastid<br />
I
27<br />
I<br />
• Chaetoceros calcitrans isolate C07 16S 92% 97%<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros socialis strain NOZ 16S 92% 97%<br />
ribosomal RNA gene, partial sequence;<br />
chloroplast<br />
• Chaetoceros sp. C 134 16S ribosomal 92% 96%<br />
RNA gene, partial sequence; chloroplast<br />
Homologi yang dilakukan dengan analisis blastN, Chaetoceros ceratosforum dan<br />
Chaetoceros simplex hasil penelitian menghasilkan top similarity 98%, sehingga memiliki<br />
hubungan kekerabatan yang dekat dengan Chaetoceros yang ada di Bank Gen. Sampel C.<br />
amami menghasilkan similarity 94% dengan C. muellerii dan C. calcitrans yang ada di ba<br />
gen. Sampel C. calcitran menghasilkan similarity 96% (dengan C. muellerii, Chaetoceros<br />
sp. GSL025, dan C. calcitrans di bank gen) dan 95% (dengan C. socia/is dan Chaetoceros<br />
sp. C134 di bank gen). Sampel C. ceratosforum menghasilkan similarity 98% dengan C.<br />
muellerii, Chaetoceros sp. GSL025, C. calcitrans, C. socilais dan 97% dengan Chaetoceros<br />
sp. C134 yang ada di bank gen. Sampel C. gracilis menghasilkan similarity 96% dengan C.<br />
muellerii, 95% dengan Chaetoceros sp. GSL025, C. socialis, C. calcitrans, dan 93% dengan<br />
Chaeroceros sp. C134 yang ada di bank gen. Sampel C. simplex menghasilkan similarity<br />
98% dengan C. muellerii dan Chaetoceros sp. GSL025, 97% dengan C. calcitrans dan C.<br />
socialis, 96% dengan Chaetoceros sp. C134.<br />
Berdasarkan hasil tersebu~<br />
mengindikasikan bahwa sebagian besar materi genetik<br />
Chaetoceros hasil penelitian mengandung materi genetik yang sama dengan Chetoceros<br />
yang ada di bank gen. Namun demikian, spesifik nama jenis Chaetoceros sampel uji belum<br />
keseluruhan telah tercatat dan terdeposit di dalam Bank Gen kecuali C. calcitrans<br />
DNA mitokondria adalah penanda berdasarkan silsilah maternal (haploid) pada<br />
semua individu. Chaetoceros yang terkait dengan maternal akan memiliki urutan sekuens<br />
yang serupa, sementara yang tidak terkait hubungan maternal akan berbeda.<br />
Adanya<br />
perbedaan susunan dan komposisi basa-basa nukleotida antara Chaetoceros maupun<br />
Chaetoceros yang lain dianalisis berdasarkan sekuens 16S rRNA mtDNA (1200 bp)<br />
menunjukkan ada perbedaan materi genetik antar Chaetoceros tersebut.<br />
Demikian juga<br />
apabila dibandingkan inter populasi, walaupun demikian dibandingkan dengan data Bank<br />
Gen mempunyai keeratan, maka jelas terdapat hubungan kekerabatan yang tinggi. Proses<br />
ehidupan Chaetoceros dan berbagai pengaruh mutasi dan lingkungannya, udang<br />
mengalami perbedaan masing-masing. Apabila dibandingkan Chaetoceros hasil penelitian<br />
dengan Bank Gen terlihat jelas bahwa aca,..,ya perbedaan susunan basa-basa nukleotida
28<br />
(insersi, delesi, mutasi). Hal ini karena ada beberapa delesi dan insersi nukleotida pada<br />
Chaetoceros tersebut. Apabila ada satu saja situs yang mengalami delesi atau insersi dari<br />
hasil perbandingan tersebut, maka dianggap Chaetoceros tersebut sudah memiliki delesi<br />
atau insersi. Jumlah delesi atau insersi bervariasi antar individu.<br />
5.2. Pemantauan Pertumbuhan dan Komposisi Biokimia<br />
Berdasarkan hasil penelitian pengamatan pertumbuhan cell Chaetoceros sp, secara<br />
umum berdasarkan Grafik ... diperoleh bahwa C.graci/is memiliki tingkat perkembangan cell<br />
yang lebih tinggin dibanding dengan sampel Chaetoceros yang diuji lainnya.<br />
.. -<br />
0<br />
Perkembanean Jumlah Cell Chactoccros spp<br />
3000 ,-----·---<br />
2500<br />
" 2000<br />
~<br />
Gi<br />
v<br />
-3<br />
E<br />
--C. gracilis<br />
1500 --C. c~rat o s:f o ru m<br />
1000<br />
-- C. calc itran<br />
-~<br />
--C. sim p l~ x<br />
500<br />
--C.amarni<br />
0<br />
1 2 3 ~ 5 6 7 s 9 101112131~1516<br />
hau 1-.e-<br />
··----- ·~~·· ··--·------· ·---·-·--------<br />
Gam bar 11. Grafik Perkembangan Cell Chaetoceros sp yang Dikultur dengan Aerasi<br />
Tabel 5. Hasil Pengamatan klorofil a 5 Jenis Chaetoceros sp<br />
II<br />
I<br />
i<br />
No<br />
Kode<br />
Konsentrasi Klorofil a (mg/m 3 )<br />
Awal<br />
Akhir<br />
1. Chaetoceros amami 72.32 768.47<br />
2. C. calcitran 60.94 623,51<br />
3. C. ceratos 69.89 521.72<br />
4. C.gracilis 164.06 410.99<br />
5. C.simplex -- §5,83______ 110,27
29<br />
5.3. Aplikasi Chaetoceros pada Larva Udang Windu<br />
Berdasarkan hasil penelitian aplikasi berbagai jenis Chaetoceros terhadap larva udang<br />
windu, diperoleh gambaran sintasan larva selama pemeliharaan mulai dari naupli hingga<br />
mysis 3 (Gambar 12). Terlihat bahwa hingga hari ke-9, larva udang windu yang memiliki<br />
sintasan tertinggi adalah perlakuan E atau dengan pemberian C.gracilis.<br />
120 '<br />
100 j<br />
::::!:!<br />
0 80<br />
-<br />
~A<br />
c:<br />
10<br />
Cll 60<br />
--8<br />
10<br />
-c:<br />
c;; 40<br />
20<br />
-t::- c<br />
- - -D<br />
--E<br />
0 J<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9<br />
Waktu pengamatan (Hari)<br />
Gambar 12.<br />
Sintasan Larva Udang windu
30<br />
Tabel 7. Laju metamorfosis larva udang windu setiap perlakuan sampai hari ke-9<br />
Perlakuan<br />
Laju Metamorfosis pada Hari ke-<br />
1 2 3 4 5 6 7 8<br />
A1 0 1,00 1,00 1,97 2,86 3,79 4,87 5,76<br />
A2 0 1,00 1,00 2,00 2,96 3,82 4,75 5,72<br />
A3 0 1,00 1,00 2,00 2,85 3,80 4,73 5,84<br />
Total 0 3,00 3,00 5,97 8,67 11,41 14,35 17,32<br />
Rata-Rata 0 1,00 1,00 1,99 2,89 3,80 4,78 5,77<br />
81 0 1,00 1,00 1,80 2,67 3,60 4,53 5,57<br />
82 0 1,00 1,00 2,00 2,88 3,79 4,52 5,61<br />
83 0 1,00 1,00 1,90 2,84 3,85 4,51 5,58<br />
Total 0 3,00 3,00 5,70 8,39 11,24 13,56 16,76<br />
Rata-Rata 0 1,00 1,00 1,90 2,80 3,75 4,52 5,59<br />
C1 0 1,00 1,00 1,95 2,96 3,89 4,74 5,74<br />
C2 0 1,00 1,00 1,97 2,95 3,88 4,79 5,73<br />
C3 0 1,00 1,00 2,00 2,97 3,90 4,84 1 5,87<br />
Total 0 3,00 3,00 5,92 8,88 11,67 14,37 17,34<br />
Rata-Rata 0 1,00 1,00 1,97 2,96 3,89- 4,79 5,78<br />
01 0 1,00 1,00 1,75 2,69 3,71 4,45 5,41<br />
02 0 1,00 1,00 1,77 2,72 3,68 4,51 5,55<br />
03 0 1,00 1,00 1,79 2,70 3,66 4,57 5,62<br />
Total 0 3,00 3,00 5,31 8,11 11,05 13,53 16,58<br />
Rata-Rata 0 1,00 1,00 1,77 2,70 3,68 4,51 5,53<br />
E1 0 1,00 1,00 2,00 2,96 3,98 4,97 5,92<br />
E2 0 1,00 1,00 2,00 2,97 3,98 4,97 5,93<br />
E3 0 1,00 1,00 2,00 2,99 3,99 4,98 5,95<br />
Total 0 3,00 3,00 6,00 8,92 11,95 14,92 17,80<br />
Rata-Rata 0 1,00 1,00 2,00 2,97 3,98 4,97 5,93<br />
Ket: O=Naupli, 1 = Z1, 2=Z2, 3=Z3, 4=M1, 5=M2,6=M3, 7=Pascalarva 1<br />
9<br />
•<br />
6,86<br />
6,85<br />
6,83<br />
20,54<br />
6,85<br />
6,58<br />
6,54<br />
6,56<br />
19,68<br />
6 56<br />
6 78<br />
6,80 '<br />
6,84 I<br />
2042 I<br />
6,81 I<br />
6,42<br />
6,51<br />
6,35<br />
19,28<br />
6,43<br />
6,90<br />
6,92<br />
6,94<br />
20,76<br />
6,92<br />
A = C. simplex<br />
8 = C. ceratosforum<br />
C = C. calcitran<br />
C =C. amami<br />
C = C. gracilis
31<br />
arameter kualitas air<br />
Parameter I Perlakuan<br />
A 8 c D E<br />
29,4-31.3 29,6-31,5 29,7-31,4 29,7-31,5 29,5-31,6<br />
30-31 31-32 30-34 30-31 30-31<br />
8,00-8,12 8,00-8,13 8,00-8,13 8,01 -8,12 8,02-8,15<br />
4,45-5,13 4,25-4,66 4,04-4,63 4,43-4,54 4,47-4,64<br />
Kisaran kualitas air yang diukur setiap hari secara keseluruhan berada dalam range<br />
yang sesuai dengan pertumbuhan mikro alga dan larva udang windu, sehingga dapat<br />
dipastikan bahwa pengaruh lingkungan dalam hal ini kualitas air pengaruhnya dapat<br />
diminimalisis terhadap perlakuan yang diberikan
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN<br />
6.1. Kesimpulan<br />
6.1.1 . Populasi Chaetoceros yang diteliti terbagi menjadi 2 kelompok (kluster) utama<br />
yaitu cluster pertama yang terdiri atas kluster C. amami dan C. gracilis, dan<br />
kluster C. calcitran, C. ceratos, dan C. Simplex.<br />
6.1.2. Hasil yang diperoleh memiliki kemungkinan untuk dapat didepositkan ke Bank<br />
Gen mengingat beberapa jenis diantaranya bel urn terdaftar.<br />
6.1 .3. Nilai performasi spesies C.gracilis lebih tinggi dibanding Chaetoceros uji lainnya<br />
6.1.4. Tingkat penerimaan dan respon larva udang windu yang diberi C.graci/is lebih<br />
tinggi dibanding Chaetoceros uji lainnya<br />
6.2. Saran<br />
Penggunaan jenis Chaetoceros gracilis lebih disarankan pada perbenihan larva<br />
udang windu karena menunjukkan performansi yang lebih baik dibanding jenis lain yang<br />
diuji.
33<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Amini. S. dan Aswin D. 2007. Pertumbuhan dan Kandungan Biokimia Mikroalgae Klas<br />
Bacillariophyceae (Thalassiosiera pseudomona, Chaetoceros calcitrans dan<br />
Skeletonema costatum). Jumal Penelitian. www.stp.go.id<br />
Anonim. 2006. lnstruktion Manual IQSyme 2000. Detection and Prevention System for<br />
White Spot Syndrom Virus (WSSV). Taiwan. 18 pp.<br />
Boeing.P.,2008. larval feed alternatives .Aquafauna Bio-Marine Inc. USA.<br />
Bosman, A.L. and P.A.R. Hockey. 1988. The influence of primary production rate on the<br />
population dynamics of Patella granularis, an intertidal limpet. Marone Ecology 9(3):<br />
181-198.<br />
Boyd. C.E., 1982. Water Quality Management For Fish Pond Kultur Elsevier Sci. Publ.<br />
Comp. New York.<br />
Brown, M. R., 2002. Nutritional value of mikroalga for aqukultur. In: Cruz-Suarez, L. E.,<br />
Ricque-Marie, D., Tapia-Salazar, M.,Gaxiola-Cortes, M. G., Simoes, N. (Eds.).<br />
Avances en Nutrici6n ·Acuicola VI. Memorias del VI Simposi!Jm lnternacional de<br />
Nutrici6nAcuicola. 3 al 6 de Septiembre del 2002. Cancun, Quintana Roo, Mexico.<br />
Brown, M.R. and K.A. Miller 1992. The ascorbic acid content of eleven species of<br />
microalgae used in maricultur. J. Appl. Phycology 4(3): 205-215.<br />
Budiono, 1990. Proyek pengembangan Udang Balai Budidaya Air Payau. Takalar.<br />
Burford, M.A., Preston, N.P.,1994. Tropical Mikroalga, Their Potential For Rearing Prawn<br />
Larvae. The Third Asian Fisheries For!Jm, Manila Fhilippines.<br />
Dall, W., 1992. Feeding Digest and assimilation. In Penaeidae in Proceeding of the<br />
aquakultur Nutrition Workshop. Brackishwater Fish Kultur Research Station.<br />
Australia. Pp. 57-63<br />
Dwijoseputro, D., 1984. Pengantar Fis.iologi Tumbuhan. PT. Gramedia Jakarta.<br />
Elias.J.A.L., D. Voltolina· F. E.Ocana and G. G.Simental., 2005 Indoor and outdoor mass<br />
production of the diatom Chaetoceros muelleri in a mexican commercial hatchery .<br />
Aquacultural Engineering Voi!Jme 33, Issue 3, September 2005, Pages 181-191<br />
Fox, J.M., 1983. Intensive algal culture techniques in CRC Handbook Mariculture. CRC<br />
Press Florida USA.<br />
Fryxell, G.A., and Medlin, L.K., 1981. Chain Forming Diatom: Evidence parallel evolution of<br />
Chaetoceros. Cryptogamie: Algologie 2.<br />
Gireesh, R., H. C. Kesavan, and G. C. Purushothaman. 2008. Growth and Proximate<br />
Composition of the Chaetoceros calcitrans f pumilus under Different Temperature,<br />
Salinity and Carbon Dioxide Levels. Aquaculture Research, Volume 39, Number 10,<br />
July 2008 , pp. 1 053-1 058(6).<br />
Gonzales-Davina 1995. The role of phytoplankton cell on the control of heavy metal<br />
concentration in sea water. Mar. Chern. 48: 215-236.<br />
Haryanti, M. Takano, dan S. lsmi, 1992. Pengelolaan Hatchery Udang Pross.<br />
Puslitbangkan, Dirjen Perikanan Jakarta. Hal 26-33.<br />
Hourmant. A. , A Amara, P. Pouline, G. Durand, G. Arzul,and F. Quiniou. 2009. Effect of<br />
Bentazon on Growth and Physiological Responses of Marine Diatom: Chaetoceros<br />
gracilis. Toxicology Mechanisms and Methods February 2009, Voi!Jme 19, No. 2,<br />
Pages 1 09-115
34<br />
lsmi. S., Haryanti. Dan M. Takano., 1992. Teknik pengawetan dan Kultur Massal Plankton<br />
untuk hatchery udang. Pros Puslitbangkan . Jakarta<br />
Kungvangkij, P., 1988. Shrimp Hatchery Design. Operator and Management Naca<br />
Training Manual Series. Bangkok. 86 p.<br />
Lazur,A., 2007. Growout Pond and WaterQuality Management. JIFSAN Good<br />
Aquacultural Practices Program University of Maryland USA.<br />
Leong Cheu, Khokal R., Tit Meng Lim, and Woon Khiong Chan. 1995. Inheritance of<br />
RAPD Marker in the Guppy fish, Poecila reticulata. Departmen of Zoology,<br />
National University of Singapore.<br />
Liao, I. H. Su Dan J. H. Lin, 1983. Larval Food For Penaeid Prawn. Handbook Of<br />
Marikultur CRC Press. Florida. USA.<br />
Lin J.H, W.C Kao, K.P. Tsai, and C.Y. Chen. 2005. A novel algal toxicity testing technique<br />
for assessing the toxicity of both metalliv and organics toxicans. Wat.Res. 39: 1869-<br />
1877<br />
Nurdjana, M. L. , B. Martosudarmo, dan Anindiastuti, 1980. Pengelolaan Pembenihan<br />
Udang. Dirjen Perikanan Deptan Jakarta.<br />
Okauchi M., K. Toyoda, K. lmai, H. Suzuki and T. Nagumo.-2002. Identification of<br />
Chaetoceros neogracile and C. calcitrans Using DNA Polymorphism and Their<br />
Nutritive Value as Food Organisms National Research Institute of Aquakultur,<br />
Fisheries Research Agency, Minamiise, Mie 516-0193 Japan.<br />
Okay, O.S, P.Donkin, L.D.Peters, and D.R. Livingstone. 2000. The role of algae<br />
(lsochrysis galbana) enrichment on the bioaccumulation benzo[a]pyrene and its<br />
effects on the blue mussels Mytilus edulis. Environ. Pollut. 110: 103-113.<br />
Pilar.M.S. Saavedra and D. Voltolina. 2003.The chemical composition of Chaetoceros sp.<br />
(Bacillariophyceae) under different light conditions de Educaci6n Superior de<br />
Ensenada, (C.I.C.E.S.E.), Departamento de Acuicultura, Ave. Espinoza 843, Apdo.<br />
Preston,N.P.,Burford,M.A.,Coman, F.E., Rothlisberg, P.C., 1992. Natural diet of Larval<br />
Penaeus marguensis (Decapoda; Penaeidae) and its effect on survival. Mar.Biol.113.<br />
Rao, D.V.S., Y.Pan and F.AI-Yamani. 2005. Growth and photosynthetic rates of<br />
Clamydomonas plethora and Nitschia frustula cultures in isolated from Kuwait Bay,<br />
Arabian Gulf and their potential as live algal food for tropical mariculture. Marine<br />
Ecology 26:66-711<br />
Suyanto R. dan A. Harjono, 1987. Pedoman Pembenihan Udang. Desain Pengoperasian<br />
dan Pengelolaannya. Dirjen perikanan ke~asana dengan International Development<br />
Research Centre. Jakarta.<br />
Spotte, S., 1979. Fish and Invertebrate Kultur. Second -Edition John Willey and Sons<br />
New york.<br />
Sutaman, 1992. Petunjuk Praktis Pembenihan Udang Skala R1-1mah Tangga .<br />
Kanisius Yogyakarta.<br />
Suwanto, A. , Yogiara, D. Suryanto, I. Tan, and E. Puspitasari. 2000. Selected Protocols.<br />
Training Course on Advences in Molecular Biology Techniques to Assess Microbial<br />
Diversity. Bogor. 28 pp.<br />
Suzuki, D.T., A.J .F. Grifitths, J.H. Miller, and R.C. Lewontin. 1989. An Introduction to Genetic<br />
Analysis 4th. Ed. W.H. Freeman & Co, New York, 767 p.
35<br />
Tave, D. 1995. Selective breeding <strong>program</strong>me for medium-sized fish farms. FAO Fish. Tech.<br />
Paper. No. 352. Rome, Italy. 122 p.<br />
Tzardis,t., S. E., G. W . Patterson, G. H. Wikfors, P. K. Gladu, and D. Harrison. 1993. Sterols<br />
of Chaetoceros and Skeletonema. Lipids. Aquaculture . 28: 465-467.<br />
Vey,J.P.M, and J.M. Fox, 1983. Hatchery techniques for Penaeid Shrimp utilized by Texas<br />
A&M. CRC Handbook of Marikultur.Crustacean Aquakultur Vol-1 . Florida
JU<br />
Lampiran 1.<br />
METODE EKSTRAKSI DNA<br />
SO- 150 mg Sam pel + 250 Buffer TE<br />
D.<br />
+ 500 111 Buffer lysis + 20 111 Proteinase -K + 40 111 SDS 10%<br />
D.<br />
Diinkubasi pada suhu 55°C selama 1-3 jam<br />
D.<br />
+ 12.5 Ill RNAse<br />
D.<br />
Simpan pada suhu ruang selama 15- 30 menit<br />
D.<br />
+ Phenol : Chloroform : Isoamyl alcohol ( PCIA 25 : 24 : 1)<br />
D.<br />
Vorteks secara perlahan sampai homogen<br />
D.<br />
Simpan pada suhu ruang selama 10 menit<br />
D.<br />
Sentrifuse dgn kecepatan 13.000 rpm selama 8 menit<br />
D.<br />
Ambillapisan paling atas dan pindahkan ke tabung eopencorf ::.ar'-<br />
D.<br />
Penambahan PCIA diulang sekali lagi sepe<br />
D.<br />
Lapisan paling atas diambil dan pindahkan ke tabt.ng e:Jpencor. ::.a. -<br />
D.<br />
+ 1 bagian Vol Chloroform : Isoamyl alcohol ( CIA 24 : 1)<br />
D.<br />
Sentrifugasi dgn kecepatan 13.000 rpm selama 4 menit<br />
D.<br />
Lapisan paling atas diambil dan pindahkan ke tabung eppendorf baru<br />
.0.<br />
+ 2 bagian ethanol absolute dingin kemudian campur perlahan sampai homogen<br />
Sentrifugasi dengan kecepQ--an 6000 rpm selama 30 menit<br />
D.<br />
Cairan dibuang kemudian pellet DNA dicuci dengan 1 ml etanol 70%<br />
D.<br />
Sentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 15 menit<br />
n
37<br />
Lampiran 2.<br />
METODE PCR (Polymerase<br />
=s:er r,tix (MM) yang terdiri dari campuran bahan 1-<br />
1. ddH20 = 15."' .. - ~"J ·6~ ~~m .s.a::u ta::>ung Eppendorf 1.5 111. Volume stok dikalikan<br />
2. Primer F = I ..... --~:X:r.y:: k sampe1 yang akan diuji ditambah dengan kontrol<br />
3. Primer R = 1 _.... s!s-...i; ca- :Control negatif. Contoh : Jumlah sampel {2) +<br />
4. dNTP<br />
5. Buffer<br />
6. Taqpol<br />
7. MgCI2<br />
= 2.5 '"' 3! = 4. M aka MM yang harus disiapkan adalah:<br />
= 2.5<br />
= 0.2 ddH20 = 60.4 ~I<br />
2. Primer F<br />
= 2.0<br />
= 4 ~I<br />
3. PrimerR = 4 ~I<br />
4. Dst.. ..<br />
Siapkan da n beri kode tabung PCR {200 Ill). Distribusikan MM ke dalam tabung tersebut<br />
dengan vol masing-masing 24.5 111/tabung. Jumlah tabung PCR yang disiapkan sebanyak<br />
jumlah sampel yang akan diuji + kontrol {3)<br />
_[J_<br />
Tahap ter<strong>akhir</strong>, masukkan template, yaitu ekstrak DNA ke dalam masingmasing<br />
tabung PCR tsb 0.5 Ill<br />
....!..._!- 1<br />
Masukkan tabung eppendorf ke dalam mesin PCR dan atur <strong>program</strong> sesuai suhu reaksi<br />
untuk primer yang digunakan<br />
Secara umum proses PCR berjalan seperti gambar di bawah ini<br />
Denaturasi<br />
94- gsoc<br />
,.,<br />
Annealing<br />
rA<br />
45- 60°C<br />
ekstensi atau elongasi<br />
~ ~<br />
LV<br />
Suhunya bergantung<br />
LV<br />
Elektroforesis
38<br />
Lampiran Hasil Peng<br />
KODE<br />
C. am3mi I<br />
C. Calcitran 1<br />
C. c~ratos I<br />
C. Grac:l.s I<br />
C. Sirr4)1~x I<br />
I C. Jrr.Jmi 2<br />
I C. CJicitr3n ~<br />
I c. c~3~os~<br />
I C. Graclis 2<br />
C. SirrciH2<br />
C. lrr..ami 2<br />
C. CJicitrJn 3<br />
C. C~J:os 3<br />
C. Graclos 3<br />
C. Sirrpl~x 3<br />
P~njM>g~<br />
644 6.47 1£X I<br />
O.CCe -ace -- •· ...<br />
0.003 -a.cc~ · ...: :.· ·<br />
O.C03 -a.cet ~=·=·<br />
O.Oii ace: --·<br />
0.171 0 Col~ .: _:;;<br />
D 2-'1 oc·· -. .,. ...<br />
0 2-4< on:' : =-=- ·<br />
Q.27!! oc.::l :·-:· 1<br />
0 157 oe2Q oc.:.: .. -·-<br />
~.<br />
e-=:r<br />
~........--...-·<br />
~~<br />
:::10&<br />
-::;:::.<br />
-:~<br />
-':!I::<br />
-.<br />
·- ··-<br />
c-.:<br />
c.....-;:<br />
!: ".':': I<br />
':::::: 1<br />
-. ·[<br />
-: :::::.: r<br />
., • • I<br />
-.....<br />
-..<br />
.......<br />
--<br />
-- ~<br />
--<br />
-:<br />
"""ro~ .-·ICI: :<br />
.;- :1' E1I E3 X<br />
~:...~!, ~Si o.oa Vol (l) Khlorofil ~<br />
' C2 C3<br />
~ II<br />
:-..-:. e::....:- ..<br />
... ..,.. --<br />
:...~.-.·<br />
'Y ... ---~<br />
- -r-- -: 00~ o.cco 0.010 72.~15<br />
:---; -~<br />
... ---- : .'Y.l ~ o.ccc 0,010 60,';-~S<br />
:~ - ..... : :·z : .00::! 0,000 0,010 6g.E-:.5<br />
- ! :r,:.t -. -~"'<br />
- :.ace 0.000 0.010 164 .Dec3<br />
~ - I<br />
- :-.: ... , : :·· ... '<br />
--"""· --~<br />
: . 07~ O.C03 0.010 65.cs:l<br />
---- ... -=<br />
: =~ : ICe 0 004 0,050 40g s:~<br />
--<br />
:.. ...- : :-: ·, :!~ ::.;· :llll 0 004 0.050 416440<br />
7 :-a ': ~! · ~ : :,;- 3 :-· : 122 0 co:<br />
0,050 470 5i0<br />
- •"9'"- : : - _,. I - .. ..,2 1 :""~ ) Oi7 0 002<br />
0,050<br />
263 IS<br />
~ '::_;<br />
- : :t' :..-... ;. :l.ltlc 0,004 0.050 3g5,£3..:l<br />
... -~<br />
-~-<br />
: -? 1 .... 0. ~0 0,002 0,010 768,46~·<br />
. - -<br />
- ....... : : .- : ~ :.~.: 0.032 0.001 0.010 623 .513<br />
.. .. -<br />
-. - . - : : .: : :: ·.:3 :>.o::!e O.C01 0.010 521.i23<br />
: :~ : : : • .: ! :: ~.:;<br />
-- . :l.O::>O 0.001 0.010 -410 . ~S5<br />
: .:-.t-: . : :-: i 3 4~- 0.12-' O,OOc 0.010 110 .2"..4<br />
Rumus<br />
Khlorofila