30.10.2014 Views

Klik Disini - KM Ristek

Klik Disini - KM Ristek

Klik Disini - KM Ristek

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

AP<br />

PENGEMBANGAN PEMANFAATAN DATATRMM<br />

UNTUK MENUNJANG KETAHANAN PANGAN<br />

LAPORAN AKHIR<br />

PENELITI UTAMA: INA JUAENI<br />

PROGRAM INSENTIF RISET<br />

DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI (DIKTI)<br />

TAHUN 2010<br />

KATEGORI: RISET TERAPAN<br />

~<br />

PUSAT PEMANFAATAN SAINS ATMOSFER DAN IKLIM<br />

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL<br />

JL. Dr. DJUNDJUN~N 133, BANDUNG 40173


LEMBAR PENGESAHAN<br />

Bandung, 22 November 2010<br />

Dr. Ina Juaeni<br />

NIP: 19641001 198903 2 007<br />

Mengetahui/ Menyetujui :<br />

Ka. Bidang Pemodelan lklim<br />

Dr. Teguh Hardjana<br />

NIP: 19591027 198702 1 001 NIP : 19641129 199103 1 004<br />

~<br />

.,<br />

ii


SUSUNAN TIM PENELITIAN<br />

1. Dr. Ina Juaeni (Peneliti Utama, lAPAN-Bandung)<br />

2. Dr. Teguh Hardjana, M.T (Peneliti, lAPAN-Bandung)<br />

3. Drs. Nurzaman A., MSi. (Peneliti, lAPAN-Bandung)<br />

4. Drs. Arief Suryantoro, MSi (Peneliti, lAPAN-Bandung)<br />

5. Drs. Martono, MSi. (Peneliti, lAPAN-Bandung)<br />

Diusulkan<br />

Dimulai<br />

Diperkirakan selesai<br />

: 2010<br />

: 1 Februari 2010<br />

: 31 November 201 0<br />

PUSAT PEMANFAATAN SAINS ATMOSFER DAN IKLIM<br />

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL<br />

JL. Dr. DJUNDJUNAN 133, BANDUNG 40173<br />

. ~<br />

til"<br />

iii


RINGKASAN<br />

Curah hujan TRMM tipe 3842 adalah curah hujan/presipitasi Tropical Rainfall<br />

.<br />

Measuring Mission (TRMM) yang digabung dengan presipitasi infrared/high quality<br />

(HQ) dalam grid yang mempunyai resolusi waktu tertinggi 3 jam-an dan resolusi<br />

spasial 0,25° X 0,25° dalam cakupan global 50° lintang selatan sampai 50° lintang<br />

utara.<br />

Data TRMM dianalisis melalui tahapan berikut:<br />

1. Menguji kesesuaian pola curah hujan TRMM dengan pola curah hujan<br />

observasi<br />

2. Pengelompokkan curah hujan dengan metode Ward<br />

3. Penentuan dasarian potensial dan kalender tanam potensial<br />

4. Penentuan curah hujan ekstrim<br />

Data curah TRMM tipe 3642 yang digunakan dalam penelitian ini adalah data<br />

dengan resolusi waktu 10 harian , resolusi ruang 0,25 x 0,25° dan periode data dari tahun<br />

1998 sampai dengan 2009 yang menitikberatkan wilayah penelitian di Indonesia (daratan<br />

dan lautan).<br />

Data TRMM meliputi data curah hujan di lautan, maka hasil klastering juga<br />

meliputi wilayah lautan. Banyak wilayah yang mempunyai kemiripan karakteristik<br />

curah hujan yang tinggi dengan karakteristik lautan disekitarnya, sehingga berada<br />

dalam satu klaster yang sama. Hal ini menunjukkan adanya interaksi yang kuat<br />

antara daratan dan lautan. lnteraksi atmosfer dan lautan merupakan salah satu<br />

aspek penting dalam mengkaji perilaku variabel atmosfer di wilayah benua maritim<br />

ini. Klaster di daratan pada wilayah pengamatan I,<br />

II, IV dan V terbentuk<br />

berdasarkan perbedaan area lintang tetapi klaster di daratan Kalimantan (wilayah<br />

Ill) dan klaster-klaster di lautan menunjukkan perbedaan karakteristik yang disebabkan<br />

faktor bujur.<br />

Dari curah hujan rata-rata Jlerdasarian perklaster kemudian ditentukan<br />

dasarian potensial dan kalender tanam potensial. Dasarian potensial dan kalender<br />

iv<br />

. ~


tanam potensial di beberapa sampel lokasi diuraikan di bawah ini. Di Medan padi<br />

bisa mulai ditanam pada dasarian ke 5 sampai dengan dasarian ke 36. Jika dibantu<br />

l<br />

irigasi pada dasarian ke 3, maka pad i bisa ditanam sepanjang tahun atau dalam<br />

setahun bisa 3 x tanam. lni berdasarkan curah hujan rata-rata klaster 8 di P.<br />

Sumatera. Di Probolinggo dan Denpasar, padi bisa mulai ditanam pada dasarian ke<br />

1, dengan dibantu irigasi mulai dasarian ke 12. Padi dapat ditanam lagi di akhir<br />

tahun dengan bantuan irigasi pada dasarian ke 25 sampai dasarian 29. lni waktu<br />

yang tepat sesuai curah hujan rata-rata klaster 6 di P. Jawa. Di Magelang, pada<br />

dasarian 1 sampai 12 tersedia air hujan yang cukup untuk mengairi sawah. Padi<br />

dapat ditanam lagi di akhir tahun dengan bantuan irigasi pada dasarian 25 sampai<br />

dasarian 28. Di Manado, agak sukar menentukan kalender tanam karena diperlukan<br />

12 dasarian berturut-turut, jika hanya berdasarkan dasarian potensial maka padi<br />

hanya dapat ditanam pada akhir tahun mulai dasarian ke 30 sampai dasarian ke 5<br />

tahun berikutnya. Jika ingin dua kali atau tiga kali menanam maka harus dibantu<br />

irigasi.<br />

Berdasarkan dasarian-dasarian potensial maka<br />

terdapat tiga macam kalender<br />

tanam , yaitu dua kali tanam dalam setahun, satu kali tanam setahun dan tiga kali<br />

tanam atau sepanjang tahun menanam. Dua kali menanam padi dalam setahun<br />

terjadi di P. Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Daerah dengan satu kali<br />

tanam sepanjang tahun<br />

adalah Bali dan Nusa Tenggara, karena hujan dengan<br />

intensitas yang cukup hanya terjadi di awal tahun. Sedangkan di Sumatera Barat<br />

dan Papua waktu tanam hampir bisa dilakukan sepanjang tahun.<br />

Penentuan curah hujan ekstrim di wilayah Indonesia menunjukkan bahwa<br />

curah hujan ekstrim 10 harian berkisar antara 80 sampai 180 mm/1 0 hari dengan<br />

nilai terendah berada di Indonesia bagian selatan. Wilayah Indonesia bagian utara<br />

mempunyai intensitas<br />

curah hujan ekstrim yang lebih tinggi dibandingkan di wilayah<br />

Indonesia bagian selatan. Curah hujan ekstrim berpotensi menyeb?bJ


PRAKATA<br />

Laporan ini merupakan laporan akhir dari penelitian yang berlangsung<br />

selama 10 bulan.<br />

Tim peneliti menyadari bahwa dalam penelitian dan laporan penelitian ini<br />

masih terdapat kekurangan, maka saran perbaikan sangat kami harapkan.<br />

Akhirnya, semoga penelitian ini bermanfaat tidak hanya bagi tim penelitian<br />

tetapi juga benar-benar dapat memberikan informasi penting untuk bidang pertanian<br />

dan bidang terkait lain.<br />

Jakarta, 22 November 2010<br />

Peneliti<br />

~<br />

...<br />

vi


DAFTAR lSI<br />

Halaman<br />

LEMBAR PENGESAHAN<br />

SUSUNAN TIM PENELITI<br />

RINGKASAN<br />

PRAKATA<br />

DAFTAR lSI<br />

DAFTAR TABEL<br />

DAFTAR GAMBAR<br />

II<br />

Ill<br />

iv<br />

vi<br />

vii<br />

IX<br />

X<br />

BAB1 PENDAHULUAN 1<br />

1.1 Latar belakang 1<br />

1.2 Tinjauan Pustaka 2<br />

BAB 2 METODOLOGI 7<br />

2.1 Pendeteksian outlier 9<br />

2.2 Uji multikolinearitas 10<br />

2.3 Analisis komponen utama 10<br />

2.4 Penentuan jumlah klaster 12<br />

2.5 Validasi klaster 12<br />

2.6 Analisis klaster 12<br />

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN . ' 14<br />

3.1 Konfirmasi data curah hujan TRMM dengan<br />

curah hujan observasi 14<br />

til"<br />

vii


3.2 Hasil klastering<br />

15<br />

3.3 Dasarian potensial dan kalender tanam<br />

potensial<br />

3.4 Curah hujan ekstrim<br />

22<br />

27<br />

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN<br />

PUBLIKASI<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

PIRAN A<br />

PIRAN 8<br />

PIRAN C<br />

LAMPIRAN D<br />

LAMPIRAN E<br />

LAMPIRAN F<br />

29<br />

29<br />

30<br />

31<br />

33<br />

35<br />

38<br />

44<br />

53<br />

~<br />

..,<br />

viii


DAFT AR T ABEL<br />

Halaman<br />

Tabel 3.1 Koefisien korelasi antara curah hujan rata-rata<br />

TRMM dengan curah hujan rata-rata observasi<br />

15<br />

Tabel 3.2 Koefisien korelasi antara curah hujan rata-rata<br />

TRMM dengan curah hujan rata-rata observasi lain<br />

15<br />

Tabel 3.3 Jumlah klaster dan pola curah hujan rata-rata setiap<br />

wilayah<br />

Tabel 3.4 Periode ketersediaan air (>50 mm/10 hari)<br />

16<br />

25<br />

~<br />

...<br />

ix


DAFT AR GAM BAR<br />

Halaman<br />

Gambar 1.1 lnstrumen TRMM 3<br />

Gambar 1.2 Bagan teknik analisis dalam metode lnterdepensi 5<br />

Gambar 1.3 Klasifikasi analisis klaster 7<br />

Gambar 2.1 Pembagian wilayah dan batas lintang bujurnya 9<br />

Gambar 2.2 Bagan alur penentuan klaster dengan metode Ward 13<br />

Gambar 2.3 Bagan alur penentuan dasarian dan kalender tanam<br />

potensial 14<br />

Gambar 3.1 Klaster-klaster di wilayah I (Sumatera) 17<br />

Gambar 3.2 Klaster-klaster di wilayah II (Jawa, Bali dan Nusa 18<br />

Tenggara<br />

Gambar 3.3 Klaster-klaster di wilayah Ill (Kalimantan) 19<br />

Gambar 3.4 Klaster-klaster di wilayah IV (Sulawesi) 20<br />

Gambar 3.5 Klaster-klaster di wilayah V (Papua) 21<br />

Gambar 3.6 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Sumatera (Medan) 23<br />

Gambar 3.7 Curah hujan rata-rata klaster 6 di P. Jawa (Probolinggo 24<br />

dan Denpasar)<br />

Gambar 3.8 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Jawa (Magelang) 24<br />

Gambar 3.9 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Sulawesi (Manado) 24<br />

Gambar 3.10 Peta curah hujan ekstrim (mm/1 0 hari) 28<br />

Gambar 3.11 Peta frekuensi curah 8t.ljan ekstrim (kejadian/tahun) 28<br />

~<br />

X


PENGEMBANGAN PEMANFAATAN DATA TRMM<br />

UNTUK MENUNJANG KETAHANAN PANGAN<br />

Ina Juaeni, Teguh Hardjana, Nurzaman, Arief Suryantoro, Martono, Noersomadi<br />

inajuaeni@yahoo.com , ina j@bdg.lapan.go.id<br />

1 PENDAHULUAN<br />

1.1 Latar belakang<br />

Sejak dipublikasi tahun 1998, data TRMM semakin sering digunakan dalam<br />

berbagai kajian masalah cuaca dan iklim di Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa<br />

keunggulan yang dimiliki data curah hujan TRMM, seperti keunggulan dalam<br />

cakupan wilayah yang luas, kemampuannya dalam memetakan variasi curah hujan<br />

spasial dan temporal yang besar serta kemampuannya dalam memberikan data<br />

curah hujan dengan resolusi spasial sampai 5 km. Wilayah Indonesia merupakan<br />

bagian wilayah tropis dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Sumber energi<br />

panas radiasi matahari yang selalu tersedia sepanjang tahun ditambah kelembapan<br />

dalam jumlah yang cukup tinggi, mendorong tingginya frekuensi dan intensitas<br />

curah hujan. Curah hujan di wilayah Indonesia juga memiliki variasi spasial dan<br />

temporal yang tinggi, hal ini dapat dijelaskan sebagai akibat perbedaan kondisi<br />

permukaan, yaitu perbedaan relief dan perbedaan tata guna lahan. Variasi curah<br />

hujan yang tinggi ini belum ditunjang oleh sarana observasi yang memadai. Masih<br />

banyak lokasi terutama yang terpencil yang miskin informasi cuaca dan iklimnya,<br />

padahal informasi ini cukup penting.<br />

Dalam rangka melengkapi kesenjangan informasi bagi wilayah-wilayah<br />

yang belum lengkap sarana pengamatannya, dalam penelitian ini dilakukan<br />

pengembangan pemanfaatan data curah hujan TRMM dengan mengelompokkan<br />

wilayah berdasarkan kesamaan sifat curah hujan untuk seluruh wilayah Indonesia<br />

. '<br />

termasuk yang tidak mempunyai sarana pengamatan atmosfer permukaan. Tidak<br />

berhenti sampai disitu, dalam penelitian ini juga ditunjukkan bahwa data TRMM<br />

dapat digunakan untuk menentukan dasarian potensial dan kalender tanam padi<br />

potensial sebagai langkah pen~apan hasil penelitian. Dengan kata lain,<br />

pengelompokkan atau klastering curah hujan TRMM dengan mengguna etode


statistis menghasilkan dua informasi penting. Pertama, penentuan wilayah yang<br />

mempunyai karakter curah hujan yang sama. Sehingga lokasi yang tidak memiliki<br />

l<br />

sarana pengamatan permukaan dapat melakukan inisialisasi. Kedua, pola curah<br />

hujan masing-masing kelompoklklaster dapat digunakan untuk membuat berbagai<br />

kajian variabilitas curah hujan baik untuk riset murni maupun pengembangan dan<br />

pemanfaatan hasil riset, misalnya menentukan kalender tanam padi potensial<br />

seperti yang ditunjukkan dalam penelitian ini.<br />

1.2 Tinjauan Pustaka<br />

Letak geografis Indonesia yang berada dalam wilayah tropis, dibatasi<br />

lautan Hindia disebelah barat, lautan Pasifik disebelah timur, benua Asia disebelah<br />

utara dan benua Australia disebelah selatan. Relief permukaannya merupakan<br />

kombinasi antara dataran, pebukitan dan daerah bergelombang. Kombinasi dari<br />

letak geografis dan relief permukaan seperti diuraikan di atas menciptakan kondisi<br />

iklim yang khas yang tidak sama dengan iklim wilayah non tropis bahkan dengan<br />

wilayah tropis lain sekalipun. Letaknya yang berdekatan dengan lautan Hindia,<br />

mendorong arah perhatian pada fenomena atmosfer Indian Ocean Dipole disamping<br />

El Nino/La Nina yang berada di lautan Pasifik. Meski berada dalam wilayah yang<br />

tidak potensial menciptakan siklon, karena letaknya di ekuatorial, namun siklon<br />

kerap terjadi disekelilingnya, sehingga dampak siklon terhadap cuaca/iklim<br />

Indonesia baik besar maupun kecil patut diperhatikan. Dilain pihak, Osilasi Madden<br />

Julian dengan periode 30 - 60 hari, tidak dapat diabaikan keberadaanya karena<br />

terindikasi berpengaruh pada variabel atmosfer Indonesia bagian barat. lnteraksi<br />

proses-proses atmosfer berskala lokal, meso dan global yang aktif menghasilkan<br />

karakter curah hujan yang khusus.<br />

Pola dan intensitas curah hujan merupakan karakter curah hujan yang bisa<br />

berubah, karena pemicu dan proses pembentukannya juga bisa berubah. Beberapa<br />

penelitian di bawah ini menunjukkan indikasi terjadinya p~n.Jbahan pola dan<br />

intensitas curah hujan. Perubahan intensitas dan distribusi peluang curah hujan<br />

terindikasi terjadi di wilayah Indonesia bagian timur berdasarkan data GHCN (Global<br />

Historical Climatological Network) (Juaeni et a/. , 2007). Perubahan pola dan<br />

intensitas curah hujan juga teramati te i Bandung (Juaeni, 2006). Perubahan pad a<br />

distribusi, baik spasial maupun temporal curah hujan merupakan salah satu indikator


perubahan iklim. Perubahan iklim juga ditandai dengan semakin seringnya terjadi<br />

fenomena dan kejadian cuacaliklim ekstrim. Emanuel (2005) menunjukkan bapwa<br />

terjadi peningkatan kekuatan siklon di tropis pada 50 tahun terakhir. Hasil Emanuel<br />

didukung oleh penemuan Webster et a/. (2005) yaitu adanya peningkatan (hampir<br />

100 %) kejadian siklon tropis dari periode 1975 sampai 2004. Meskipun siklon tropis<br />

tidak terjadi di wilayah Indonesia, tetapi perlu diwaspadai dampaknya terhadap<br />

wilayah Indonesia karena frekuensi dan intensitas cenderung semakin meningkat.<br />

Sebagai negeri yang sebagian besar wilayahnya berupa wilayah agraris, Indonesia<br />

sangat membutuhkan informasi tentang distribusi spasial, temporal dan intensitas<br />

(sesaat dan rata-rata) curah hujan. Surmaini dan Susanti (2009) dalam penelitiannya<br />

menyebutkan bahwa terjadi pergeseran waktu tanam di 5 sampai 11 % dari luas<br />

wilayah sentra pangan di P. Jawa pada tahun 2008 yang disebabkan oleh<br />

perubahan pola dan intensitas curah hujan. Jika waktu tanam berubah maka resiko<br />

gagal panen semakin besar. Dengan demikian, klastering yang berkaitan dengan<br />

pemetaan curah hujan rata-rata perlu dilakukan untuk diaplikasikan dalam<br />

penentuan dasarian dan kalender tanam padi potensial. Pemetaan curah hujan<br />

ekstrim juga diperlukan mengingat intensitas curah hujan yang ekstrim sangat<br />

mempengaruhi produksi pertanian. Kekurangan dan kelebihan air mempunyai<br />

dampak negatif terhadap hasil panen .<br />

...<br />

Gambar 1.1 lnstrumen TRMM<br />

3


Untuk memperoleh klaster-klaster curah hujan dan peta curah hujan ekstrim<br />

tersebut digunakan data curah hujan TRMM. Seperti telah diungkap di atas, :data<br />

curah hujan TRMM memiliki keunggulan dibanding data curah hujan lainnya.<br />

Pertama, cakupan wilayahnya yang luas sehingga memungkinkan diperolehnya data<br />

curah hujan untuk lokasi terpencil sekalipun. Kedua, data TRMM mampu<br />

memetakan variasi curah hujan spasial dan temporal yang besar seperti pada masa<br />

aktif osilasi Madden Julian dan ENSO di Pasifik. Ketiga, TRMM dapat memberikan<br />

data curah hujan dengan resolusi sampai 5 km. Uji validasi curah hujan TRMM<br />

resolusi 0,25° (atau setara dengan 28 km) cukup baik yaitu 0,62 sampai 0,80 untuk<br />

wilayah Sumatera (Juaeni eta/., 2009). Tes sensitivitas dengan penggunaan panas<br />

Iaten estimasi TRMM telah meningkatkan ketelitian prediksi curah hujan sebesar 30<br />

% untuk simulasi curah hujan harian dengan model NMC dan ECMWF<br />

(http://climate.met.psu.edu/). Kemampuan yang tinggi dari TRMM untuk memetakan<br />

curah hujan dan panas Iaten ditunjang oleh peralatan sebagai berikut: Radar<br />

presipitasi (PR), Imager gelombang mikro TRMM (TMI), Scanner visible dan<br />

infrared (VIRS), Sensor awan dan energi radiasi bumi (CERES) serta Sensor image<br />

petir (LIS) seperti yang diperlihatkan pada gambar 1.1. Dalam penelitian ini data<br />

curah hujan TRMM akan digunakan untuk membuat pengelompokkan/klastering<br />

curah hujan 10 harian dan menentukan curah hujan ekstrim. Setiap klaster yang<br />

dihasilkan memiliki pola curah hujan tertentu dengan karakteristik yang berbeda<br />

dengan klaster lainnya. Pola curah hujan setiap klaster dapat diaplikasikan untuk<br />

menentukan waktu tanam yang tepat sesuai batasan curah hujan minimal yang<br />

diperlukan oleh tanaman. Dalam penelitian ini tanaman yang menjadi perhatian<br />

adalah padi.<br />

Dalam analisis multivariat, pengelompokkan termasuk pengelompokkan<br />

curah hujan merupakan metode pengklasifikasian. Metode pengklasifikasian dibagi<br />

ked alam dua kelompok, yaitu metode dependensi dan interdependensi. Penggunaan<br />

metode dependensi bertujuan untuk menjelaskan variabel tak bebas berdasarkan<br />

lebih dari satu variabel bebas yang mempengaruhinya (Hair et a/., 1998 dalam<br />

Ayahbi, 2009). Sedangkan dalam metode interdependensi, variabel-variabel yang<br />

digunakan tidak dapat diklasifikasikan baik ke dalam variabel bebas maupun tak<br />

be bas, semua varia bel yang digu~kan berstatus sam a (Hair et a/., 1998 dalam<br />

Ayahbi, 2009). Dengan demikian, metode pengklasifikasian yang tepat untuk<br />

pengelompokan karakteristik curah hujan di Indonesia adalah metode<br />

4<br />

. ~


interdependensi. Pembagian metode-metode statistik yang termasuk dalam metode<br />

interdependensi diperlihatkan pada gambar 1.2.<br />

'<br />

I<br />

Metrik<br />

[ Analisis Faktor I<br />

'<br />

I<br />

Metode lnterdependensi<br />

I<br />

)<br />

[ Nonmetrik J<br />

' Analisis Kluster<br />

"'<br />

Nonmetrik<br />

Multidimensional Scaling<br />

~<br />

I<br />

..<br />

Ana !isis<br />

Korespondensi<br />

l<br />

...,j<br />

Metrik Multidimensional<br />

Scaling<br />

'<br />

[ Analisis Faktor ]<br />

[ ]<br />

Analisis Faktor Utama<br />

Gambar 1.2 Bagan teknik analisis dalam metode lnterdependensi<br />

Data curah hujan TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) termasuk<br />

data metrik. Dengan demikian ada tiga jenis analisis yang dapat digunakan, yaitu<br />

analisis faktor, analisis kluster dan analisis metrik multidimensional scaling. Namun,<br />

tidak semua teknik statistik interdepensi bisa digunakan untuk data metrik. Masingmasing<br />

teknik memiliki tujuan yang berbeda. Analisis faktor dapat digunakan untuk<br />

mengenali atau mengidentifikasi dimensi dasar (underlying dimensions) dari<br />

sejumlah banyak variabel, menjelaskan korelasi antar kumpulan variabel, dan<br />

mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak berkorelasi yang jumlahnya lebih<br />

. '<br />

sedikit (Hair et a/., 1998 dalam Ayahbi, 2009). Ana lis is metrik multidimensional<br />

scaling merupakan suatu teknik untuk mengelompokkan objek-objek dalam<br />

kelompok-kelompok yang digambarkan (direpresentasikan) pada suatu ruang<br />

dimensi ganda (multidimension~ space) (Hair et a/. , 1998 dalam Ayahbi, 2009).<br />

Sedangkan analisis klaster adalah suatu teknik mengelompokkan variabel menjadi<br />

kelompok atau klaster-klaster berdasarkan kesamaan karakteristik vanabel tersebut<br />

5


(Sharma, 1996 dalam Ayahbi, 2009 dan Yuliani, 2009). Hasil dari analisis klaster<br />

adalah ditemukannya kelompok-kelompok dengan kemiripan (homogenitas) ~yang<br />

tinggi di dalam klasternya serta mempunyai ketidakmiripan (heterogenitas) yang<br />

tinggi antar klaster (Johnson dan Wichern, 1992 dalam Ayahbi, 2009 dan Yuliani,<br />

2009). Sejalan dengan pengertian di atas, maka analisis klaster merupakan teknik<br />

yang tepat untuk mengelompokkan karakteristik curah hujan.<br />

Menurut Mimmack (2000 dalam dalam Ayahbi, 2009 dan Yuliani, 2009),<br />

analisis klaster adalah teknik yang digunakan dalam klimatologi untuk<br />

mengelompokkan objek ke dalam beberapa kelompok yang memiliki karakteristik<br />

yang sama. Pada kasus pengelompokkan curah hujan dengan skala pengamatan<br />

tertentu (misal harian, lima harian atau bulanan) terhadap titik lokasi/grid,<br />

pengelompokkan dilakukan terhadap grid sehingga membentuk beberapa kelompok.<br />

Haryoko, dalam makalahnya yang berjudul "Pewilayahan hujan untuk<br />

menentukan pola hujan (contoh kasus Kabupaten lndramayu)", mengutarakan<br />

bahwa analisis klaster merupakan teknik yang digunakan untuk mengelompokkan<br />

pos pengamatan hujan (stasiun) yang mempunyai kesamaan pola curah hujan<br />

dasarian (1 0 harian) ke dalam sub-sub kelompok. Berdasarkan penelitiannya, curah<br />

hujan dasarian (10 harian) yang satu memiliki korelasi dengan curah hujan dasarian<br />

lainnya. Untuk mengatasi adanya korelasi tersebut, maka harus dicari variabel baru<br />

yang tidak memiliki korelasi satu sama lain. Teknik membentuk variabel baru<br />

tersebut adalah analisis komponen utama. Melalui analisis komponen utama<br />

didapat m komponen utama yang memberikan varians sebesar 80%. Selanjutnya, m<br />

komponen ini menjadi variabel baru sebagai dasar pengelompokan curah hujan<br />

menggunakan analisis klaster. Kombinasi analisis komponen utama dan analisis<br />

klaster juga dilakukan oleh Degaetano (1996), untuk mengelompokkan grid yang<br />

memiliki iklim yang sama. Dalam penelitiannya Degaetano menerapkan analisis<br />

klaster Average Linkage dan metode Ward pada curah hujan dan temperatur<br />

bulanan. Kedua metode dibandingkan berdasarkan distribusi ukuran klaster. Pola<br />

ukuran klaster yang dihasilkan untuk average linkage tidak mem iliki karakteristik<br />

karena dari 47 klaster yang terbentuk, 40% klasternya (19 klaster) masing-masing<br />

hanya memiliki dua bahkan satu grid sebagai anggotanya, sedangkan metode Ward<br />

memberikan hasil yang seragam paSa klaster yang terbentu k. Juaeni et a/. (2009)<br />

telah mengaplikasikan metode Ward untuk lokasi Sumatera Barat dengan data<br />

curah hujan TRMM bulanan, sehingga diperoleh 4 klaster optimum. Aolikasi untuk<br />

6<br />

. ~


Kalimantan Barat menghasilkan 4 klaster (Juaeni et a/., 2010). Kedua kasus<br />

terakhir menunjukkan korelasi yang cukup baik antara pola curah hujan l TRMM<br />

bulanan dengan pola curah hujan observasi (Juaeni et a/. 2009, 201 0). Hasil-hasil<br />

tersebut menjadi dasar untuk menggunakan metode Ward sebagai teknik klaster<br />

dalam penelitian ini. Metode Ward termasuk dalam kelompok metode klastering<br />

Hierarkhi. Klasifikasi analisis klaster diperlihatkan pada gambar 1.3.<br />

Analisis<br />

Klaster<br />

I<br />

Metode<br />

hierarkhi<br />

_j<br />

Metodenon<br />

hierarkhi<br />

I<br />

Agglomerative:<br />

Linkage, Ward,<br />

[<br />

I<br />

Divisive<br />

I<br />

K-means/<br />

Hard<br />

[ Fuzzy<br />

I<br />

J<br />

Centroid<br />

Gambar 1.3 Klasifikasi analisis klaster<br />

2 METODOLOGI<br />

Penelitian dengan menggunakan data TRMM dan penerapan metode<br />

klastering ini merupakan kajian yang menggabungkan data lapangan dengan data<br />

observasi. Data lapangan adalah data jadwal tanam dan kondisi daerah sentra<br />

~<br />

pangan yang diperoleh dengan kunjungan dan diskusi ke 'beberapa lokasi sentra<br />

pangan, sebagai sampel. Data observasi adalah data curah hujan TRMM dan data<br />

observasi curah hujan dibeberapa lokasi sampel (di Kalimantan Barat) untuk<br />

mengkonfirmasi data curah hujan.lRMM terhadap data observasi. Data TRMM yang<br />

digunakan adalah TRMM 3842 Versi 6 dalam periode 1998 sa mpai dengan 2009.<br />

7


Curah hujan TRMM tipe 3B42 adalah curah hujan/presipitasi Tropical<br />

Rainfall Measuring Mission (TRMM) yang digabung dengan presipitasi infrare91high<br />

quality (HQ) dalam grid yang mempunyai resolusi waktu 3-jam dan resolusi spasial<br />

'<br />

0,25° X 0,25° dalam cakupan global 50° lintang selatan sampai 50° lintang utara.<br />

Algoritma 3842 terdiri dari 4 tahap; (1) estimasi presipitasi berbasis mikrowave, (2)<br />

estimasi presipitasi infrared (IR), (3) estimasi gabungan mikrowave dan IR, dan (4)<br />

penskalaan ulang (rescaling) untuk data bulanan/1 0 harian.<br />

Data TRMM dianalisis melalui tahapan berikut:<br />

1. Menguji kesesuaian pola curah hujan TRMM dengan pola curah hujan<br />

observasi<br />

2. Pengelompokkan/klastering curah hujan dengan metode Ward<br />

3. Penentuan dasarian dan kalender tanam potensial perklaster berdasarkan<br />

kebutuhan padi terhadap air<br />

4. Penentuan curah hujan ekstrim dengan persamaan:<br />

X= X- /J(r + Jn( -Jn( F)))<br />

(2.1)<br />

dengan:<br />

x = curah hujan rata-rata<br />

j3 = 0,557 (konstanta Euler)<br />

r = o,7a s<br />

S = deviasi standar<br />

x = intensitas curah hujan ekstrim<br />

F = (n-1)/n<br />

n = jumlah data<br />

Agar mendapatkan jumlah kluster yang optimum untuk setiap pulau, maka analisis<br />

curah hujan TRMM dibagi perwilayah/pulau. Pembagian wila5'an diperlihatkan pada<br />

gambar 2.1. Wilayah klastering tidak hanya meliputi daratan tetapi juga mencakup<br />

lautan dengan tujuan agar dapat melihat indikasi interaksi antara curah hujan di<br />

daratan dan di lautan melalui klast~<br />

8


o 'iO uxr 1~ ")0 '&~ 300 3!'io 4flo<br />

C.n ... ot•d b)l NASA'• (;fcwonf'\i (QiOVOf'\ni q•f.e.no•o.QOV)<br />

I :6 °LU -6 °LS, 95°BT -107.5 °BT<br />

II: 6 °LS -12°LS 95° BT -130 °BT<br />

Ill: 6°LU -6 °LS, 107.5°BT -120°BT<br />

IV: 6 °LU -6 °LS, 120° BT- 130 °BT<br />

V: 6 °LU -12 °LS, 130° BT- 142.5°BT<br />

Gambar 2.1 Pembagian wilayah dan batas lintang bujurnya<br />

Beberapa asumsi diterapkan dalam penelitian ini, yaitu:<br />

1. Fenomena El Nino, La Nina dan Dipole mode yang terjadi dalam rentang data<br />

yang digunakan dalam penelitian ini, tidak berpengaruh secara signifikan<br />

terhadap pola dan intensitas curah hujan di Indonesia<br />

2. Dasarian potensial adalah dasarian dengan curah hujan minimal 50 mm<br />

3. Waktu tanam padi rata-rata adalah 120 hari<br />

4. Kalender tanam ditentukan hanya berdasar ketersediaan air hujan tidak<br />

memperhitungkan faktor teknis pertanian seperti irigasi/subak dan lain-lain<br />

Langkah-langkah dalam analisis klaster dimulai dengan pendeteksian<br />

outlier, uji multi kolinearitas, analisis komponen utama, penerapan analisis<br />

klasternya itu sendiri dan terakhir validasi dan interpretasi.<br />

2.1 Pendeteksian Outlier<br />

Analisis klaster sensitif terhadap outlier (objek yang sangat berbeda dari<br />

objek-objek lainnya). Adanya outlier dapat menjadikan klaster yang diperoleh tidak<br />

merepresentasikan struktur populasi yang sebenarnya. ~ Untuk alasan ini,<br />

pendeteksian terhadap outlier selalu diperlukan. Pendeteksian outlier secara<br />

multivariat dapat dilakukan dengan menggunakan jarak Mahalanobis (D2) kemudian<br />

membaginya dengan qer~jat b~b~ (em yang qernil~! sama dengan jumlah variab~l .<br />

Sehingga nilai (D2/df) mengikuti nilai distribusi t. Kemudian dihitung nilai peluang<br />

(signifikansi) dari nilai (D2/df) tersebut. Data yang signifikansinya lebih kecil dan<br />

9


sama dengan 0,001 dianggap sebagai outlier (Hair eta/., 1998 dalam Ayahbi, 2009<br />

dan Yuliani, 2009). Data yang diidentifikasi sebagai outlier harus dianalisis apakah<br />

merepresentasikan populasi atau tidak merepresentasikan populasi. Jika dinilai tidak<br />

.<br />

merepresentasikan populasi, data harus dibuang. Namun, perlu diperhatikan apakah<br />

penghapusan outlier dapat mengubah struktur data yang sebenarnya.<br />

2.2 Uji multikolinearitas<br />

Multikolinearitas antar variabel adalah salah satu pelanggaran asumsi<br />

dalam analisis klaster (Hair, et a/. , 1998 dalam Ayahbi, 2009 dan Yuliani, 2009).<br />

Multikolinearitas adalah suatu keadaan dimana terdapat hubungan linier sempurna<br />

atau hampir sempurna antara beberapa atau semua variabel. Salah satu cara untuk<br />

mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah dengan menggunakan bilangan<br />

kondisi. Bilangan kondisi ditentukan dengan rumus :<br />

k= Arnax<br />

Arnin<br />

'A adalah nilai eigen dari matriks kovarians variabel.<br />

(2.2)<br />

Batas-batas bilangan kondisi untuk mendiagnosa multikolinearitas adalah sebagai<br />

berikut:<br />

• bilangan kondisi < 100 ; terjadi multikolinearitas lemah<br />

• 100 ~bilangan kondisi ~1 000; terjadi multikolinearitas sedang sampai kuat<br />

• bilangan kondisi > 1000 ; terjadi multikolinearitas sang at kuat<br />

Jika setelah dideteksi ternyata diketahui bahwa terdapat multikolinearitas antar<br />

variabel, maka untuk mengatasinya adalah dengan menerapkan analisis komponen<br />

utama terlebih dahulu pada data curah hujan bulanan TRMM yang nantinya akan<br />

terbentuk sejumlah komponen utama yang saling orthogonal. Komponen utama ini<br />

yang dijadikan sebagai variabel baru untuk input dalam analisis klaster.<br />

2.3 Analisis Komponen Utama<br />

. '<br />

Johnson dan Wichern (1992, dalam Ayahbi dan Yulian i, 2009)<br />

mendefinisikan komponen utama sebagai salah satu bentuk transform asi variabel<br />

yang merupakan kombinasi linier-dari variabel. Proses pembentukan komponen<br />

utama adalah sebagai berikut:<br />

10


1) Matriks X merupakan data pengamatan curah hujan bulanan yang berukuran np<br />

dengan, n = objek (grid) ; n = 1 ,2, 0<br />

0 0, 900<br />

p = variabel (curah hujan bulanan); p = 1,2, 000,<br />

120<br />

X nxp =<br />

x 11 x 12<br />

00000<br />

X 21 X 22 000000<br />

0 x<br />

X<br />

1 P<br />

2p<br />

(203)<br />

X nl X n2 ooooooo X np<br />

2) Dari matriks X, dicari matriks kovariansnya ( Spp )<br />

Su s12 ······ sip<br />

S21 S22 ······ 8 2p<br />

S=i·<br />

.<br />

(2.4)<br />

spl sp2 ....... sPP<br />

3) Tentukan nilai eigen dari matriks kovarians, misalkan At, A2, 0<br />

A 1;::: A2;::: 0 0 00 >oAp;:::o<br />

00 00 00 000 Ap,<br />

dengan<br />

4) Tentukan vektor eigen ke-j untuk nilai eigen ke-j U=1,2, 0 0 oop), misalkan VJ = Vtj,<br />

V2j,o ooooo, Vpj<br />

5) Berdasarkan matriks eigen, maka komponen utama yang terbentuk adalah:<br />

PC1 =zjvjl =z1v11 +z2v21 + ... +zpvjl<br />

PC2 =zjv2 =z1v12 +z2v22 + ... +zpvj2<br />

(205)<br />

PCP =zjvjp =zlvlp +z2v2p + ... +zpvjp<br />

6) Kriteria yang digunakan untuk menentukan berapa komponen yang dapat<br />

dibentuk adalah kriteria persen varianso Jumlah komponen utama yang<br />

digunakan memiliki persentasi kumulatif varians minimal 80% (Rencher, 2001 )0<br />

7) Menghitung komponen skor (PCj) yang akan digunakan sebagai input untuk<br />

analisis klastero Komponen skor yang diperoleh dari m komponen utama (dimana<br />

m


Yil = elxi<br />

Yi2 = e2xi<br />

l(2.6)<br />

Yik = ekxi<br />

2.4 Penentuan jumlah klaster<br />

Jumlah klaster awal diperlukan pada metode Ward. Jumlah klaster<br />

ditentukan dengan dendogram. Dendogram berupa gambaran grafik (diagram<br />

pohon), yang mana setiap objek disusun pada satu sumbu, dan sumbu lainnya<br />

menggambarkan langkah-langkah pada prosedur hierarkhi. Pada tahap awal, setiap<br />

objek digambarkan sebagai klaster yang masih terpisah. Dendogram menunjukkan<br />

secara grafik bagaimana klaster-klaster bergabung pada tiap tahap prosedur hingga<br />

semua objek terkandung dalam satu klaster.<br />

2.5 Validasi klaster<br />

Validasi adalah usaha untuk meyakinkan bahwa solusi atau kelompok<br />

klaster yang ada telah mewakili populasi penelitian, dan berlaku umum untuk objek<br />

lain serta stabil dari waktu ke waktu. Validasi pada metode Ward dilakukan dengan<br />

membagi data secara acak menjadi dua bagian. Kemudian lakukan analisis klaster<br />

dengan masing-masing metode pada setiap bagian data. Hasil pengklasteran<br />

dikatakan valid apabila hasil pengklasteran pada 2 bagian tadi mirip dengan hasil<br />

pengklasteran pad a data asli (Rencher, 2001) dengan cara menghitung selisih<br />

antara objek anggota klaster bagian kesatu dengan bagian kedua, yang memiliki<br />

selisih nol paling banyak maka itu adalah jumlah klaster terbaik.<br />

2.6 Analisis klaster<br />

Metode Ward adalah teknik untuk memperoleh klaster yang memiliki<br />

varians internal sekecil mungkin. Ukuran yang digunakan adalah Sum Square Error<br />

(SSE) variabel. Proses pengelompokan adalah melalui tahapan berikut ini:<br />

Langkah 1. Dimulai dengan memperhatikan N kelompok subjek dengan satu subjek<br />

per kelompok. SSE (sum square error) akan bernilai nol untuk tahap<br />

pertama karena setia~bjek atau individu akan membentuk klaster.<br />

. ~<br />

12


Langkah 2. Kelompok pertama dibentuk dengan memilih dua dari N kelompok ini<br />

yang bila digabungkan akan menghasilkan SSE dalam nilai fungsi<br />

l<br />

tujuannya.<br />

Langkah3 .N -1 kumpulan kelompok kemudian diperhatikan kembali untuk<br />

menentukan dua dari kelompok ini yang bisa meminimumkan tujuan.<br />

Dengan demikian N kelompok secara sistematik dikurangi menjadi N -<br />

1, lalu menjadi N - 2 dan seterusnya sampai menjadi satu kelompok.<br />

SSE dalam metode Ward ini dihitung berdasarkan persamaan berikut:<br />

p n 2 1 n<br />

[ ( J 2J<br />

SSE=~ . ~Xij - n ~Xij<br />

(2.7)<br />

j=l l=l<br />

l=l<br />

dengan:<br />

xij adalah nilai varia bel ke-ij<br />

p adalah banyaknya variabel yang diukur<br />

n adalah banyaknya objek dalam klaster yang terbentuk<br />

Tahapan pengolahan data sampai mendapatkan klaster dirangkum dalam bagan<br />

dibawah ini:<br />

.<br />

/Download data curah hujan 1 cY<br />

harian TRMM 3842 Versi 6<br />

dengan resolusi 0,25 x 0,25°<br />

periode 1998 sampai 2009<br />

'<br />

···--··· ···--·························································· ................ ........................... ---------······ ................................. ···········-····· ·-·---------·········<br />

..)<br />

Tahap awal<br />

I<br />

Uji outlier<br />

.<br />

I<br />

Deteksi<br />

multikolinearitas<br />

Signifikansi:;; 0,001 K > 1000 ;<br />

teriadi multikolinearitas sanaat kuat<br />

UOU O UUUUU mm 0 I<br />

r<br />

uuuuumm, OU O U OUUUUUUUU<br />

Anal isis<br />

komponen<br />

utama<br />

'<br />

~<br />

I<br />

I<br />

Convert data ke<br />

format excell<br />

Tahap lanjut<br />

000 0 UOOU UUO UUUUUUUOUUUu UOUUUOUOUUUOUOUOU UUO •0 Oo UUUOUUU mmmUUUUUUUUOUo<br />

Klastering:<br />

-<br />

Ward<br />

Dendogram<br />

Tahap utama<br />

Penentuan<br />

jumlah klaster 1·1 Validasi klaster<br />

Gambar 2.2 Bagan alur penentuan klaster dengan metode Ward<br />

13


Setelah diperoleh klaster-klaster, kemudian ditentukan curah hujan rata-rata<br />

l<br />

perklaster untuk mendapat dasarian potensial (dasarian dengan curah hujan ;:: 50<br />

mm) dan kalender tanam potensial (12 dasarian potensial) seperti diperlihatkan<br />

dalam bagan di bawah ini:<br />

Klaster yang telah divalidasi<br />

....<br />

Penentuan curah hujan rata-rata<br />

per klaster<br />

;:: 50 mm/dasanan<br />

{ Dasarian potensial J I<br />

( Kalender tan am potensial ) I<br />

12 dasarian potensial<br />

Gambar 2.3 Bagan alur penentuan dasarian dan kalender tanam potensial<br />

3 HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

3.1 Konfirmasi data curah hujan TRMM dengan curah hujan observasi<br />

Langkah awal sebelum dilakukan klastering adalah pengujian kesesuaian<br />

data curah hujan TRMM dengan data curah hujan penakar yang diperoleh dari<br />

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Perbandingan pola curah<br />

hujan TRMM metode Ward dengan pola curah hujan observasi di Kalimantan Barat<br />

menunjukkan nilai korelasi lebih besar dari 0,7, seperti diperlihatkan pada tabel 3.1<br />

(Juaeni, 201 0). Perbandingan pola curah hujannya ditunjukkan pqdi Lampi ran A.<br />

Uji serupa dilakukan oleh Arief et a/. (2008) untuk lokasi lain, yaitu Sicincin<br />

Padang-Sumatera Barat (0,54 °LS; 100,30°8T), Supadio Pontianak-Kalimantan Barat<br />

(0, 15°LS; 109,40°8T), Kayuwatu Manado-Sulawesi Utara (1 ,55°LU; 124,92°8T) dan<br />

Kemayoran Jakarta (6, 15°LS; 1 06,~ 0 8T).<br />

Hasil yang diperoleh menunjukkan<br />

adanya korelasi yang baik, yang ditunjukkan oleh adanya koefisien korelasi yang<br />

14


tinggi (r = 0,8) untuk semua daerah yang ditinjau di atas. Secara ringkas hasil<br />

tersebut ditabulasikan pada tabel (3. 2). Perbandingan pola curah huj9nnya<br />

ditunjukkan pada Lampiran A.<br />

Tabel 3.1 Koefisien korelasi antara curah hujan rata-rata TRMM dengan curah<br />

hujan rata-rata observasi (Juaeni eta/., 201 0)<br />

Lokasi<br />

Koefisien korelasi antara pola curah hujan<br />

metode Ward (TRMM) dengan curah hujan<br />

observasi<br />

Ketapang 0,90<br />

Sambas 0,77<br />

Sintang 0,86<br />

Pangsuma (Kapuas Hulu) 0,73<br />

Tabel 3.2 Koefisien korelasi (r) antara curah hujan rata-rata TRMM dengan curah<br />

hujan rata-rata observasi lain (Arief eta/., 2008)<br />

No. Lokasi Perioda r<br />

1. Sicincin, Padang-Sumatera Barat 2002-2007 0,8<br />

(0,54°LS; 1 00,30°8T) (tanpa 2003)<br />

2. Supadio, Pontianak-Kalimantan 1998-2007 0,8<br />

Barat (0, 15°LS; 1 09,40°8T)<br />

3. Kayuwatu, Manado-Sulawesi 1998-2007 0,8<br />

Utara (1 ,55°LU; 124,92°8T)<br />

4. Kemayoran, Jakarta Pusat 1998-2007 0,8 '<br />

(6, 15°LS; 1 06,85°8T)<br />

3.2 Hasil klastering<br />

Data curah hujan TRMM lulus uji deteksi outlier karena nilai signifikansi ><br />

0,001. lni menunjukkan bahwa dalam data (periode 1998 sampai 2009) tidak ada<br />

data yang sangat berbeda dengan data lainnya. Dalam kurun waktu tersebut<br />

. '<br />

sebenarnya terjadi fenomena atmosfer El Nino (pada tahun 1997/1998, 2002/2003,<br />

2005/2006), La Nina (pada tahun 1999/2000) dan dipole mode negatif pada tahun<br />

1996. Uji outlier menunjukkan bahwa tidak ada perubahan curah hujan yang<br />

signifikan pada saat fenomena-fe11emena tersebut di atas te~adi,<br />

yang digunakan sudah tepat.<br />

berarti asumsi<br />

15


Deteksi multikolinearitas terhadap curah hujan 10 harian menunjukkan<br />

bilangan kondisi (k) >1 000 maka harus dilakukan anal isis komponen utama sebelum<br />

l<br />

analisis klastering. Hasil analisis komponen utama inilah yang kemudian menjadi<br />

input untuk analisis klaster. Berdasarkan dendogram yang terbentuk, data curah<br />

hujan TRMM akumulasi 10 harian menghasilkan 10 jumlah klaster untuk 3 wilayah<br />

dan 12 klaster untuk 2 wilayah. Klaster terbanyak yaitu 12 terdapat di Kalimantan<br />

dan Sulawesi atau wilayah tengah utara Indonesia (tabel 3.3). Dendogram dan<br />

jumlah klaster setiap wilayah diperlihatkan pada Lampiran B, sementara pola curah<br />

hujan rata-rata setiap klaster diperlihatkan pada Lampiran C.<br />

Tabel 3.3 Jumlah klaster dan pola curah hujan rata-rata setiap wilayah<br />

Wilayah Jumlah klaster Pol a<br />

I Sumatera 10 Monsunal dan ekuatorial<br />

II Jawa 10 Monsunal<br />

Ill Kalimantan 12 Monsunal dan Ekuatorial<br />

IV Sulawesi 12 Monsunal, Ekuatorial dan lokal<br />

V Papua 10 Lokal dan Ekuatorial<br />

Rangkuman jumlah klaster dan pola curah hujan rata-rata diperlihatkan<br />

pada tabel 3.3. Pola curah hujan yang ditunjukkan pada Lampiran C, menunjukkan<br />

secara umum tidak terjadi perubahan pola curah hujan di wilayah Indonesia untuk<br />

periode 1998 sampai 2009 (monsunal, ekuatorial dan lokal). Peta klaster untuk<br />

setiap wilayah diperlihatkan mulai gambar 3.1 sampai dengan gambar 3.5.<br />

Gambar 3.1 menunjukkan hasil klastering di Pulau Sumatera. Pulau<br />

Sumatera lokasinya berdekatan dengan lautan Hindia dan terletak di wilayah tropis<br />

memanjang memotong garis khatulistiwa. Bentuk permukaannya merupakan<br />

campuran dataran rendah dan pegunungan. Letak geografisnya menyebabkan pola<br />

hujan tidak hanya bergantung pada faktor-faktor dalam skala l9kal saja tetapi juga<br />

sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar baik darat maupun laut dalam<br />

skala meso sampai skala global.<br />

til"<br />

16


6<br />

4<br />

2<br />

(.')<br />

z<br />

~ 0<br />

z<br />

::J<br />

-2<br />

-4<br />

-6<br />

96 98 100 102 104 106<br />

BUJUR<br />

Gambar 3.1 Klaster-klaster di wilayah I (P. Sumatera)<br />

Penerapan metode kluster Ward pada wilayah Sumatera menghasilkan<br />

jumlah klaster yang sama, baik di bagian utara khatulistiwa maupun di bagian<br />

selatannya. Pulau Sumatera terbagi dalam 6 (enam) klaster dengan tiga klaster di<br />

utara dan tiga klaster di selatan yang terbagi dengan luas yang tidak merata. Lautan<br />

disekitar pulau Sumatera ter klaster dalam 8 area. Didaratan ada dua klaster besar,<br />

satu terletak di utara sedangkan satu lagi terletak di selatan. Klaster besar sebelah<br />

utara memanjang sampai lautan sebelah timurnya, sedangkan klaster besar<br />

diselatan mencapai lautan di sebelah baratnya. Klaster-klaster kecil di daratan<br />

Sumatera adalah klaster-klaster lautan yang mencakup daratan. lni diidentifikasi<br />

sebagai hasil interaksi darat dan laut. Area klaster yang terbagi dua menunjukkan<br />

faktor geografis/posisi lintang sangat kuat pengaruhnya dalam membentuk<br />

kelompoklklaster curah hujan di Sumatera .<br />

....<br />

17


·b<br />

0<br />

z -~<br />

~<br />

~<br />

z .m<br />

- j<br />

-11<br />

% 1m W8 1W 118 11~ 118 n~<br />

BUJUR<br />

Gambar 3.2 Klaster-klaster di wilayah II (P. Jawa, Bali dan NT)<br />

Pulau Jawa secara geografis berada di sebelah selatan garis khatulistiwa<br />

yang dalam kajian meteorologis memiliki pola hujan monsunal, yang berarti bahwa<br />

dalam satu tahun terdapat satu puncak intensitas curah hujan (umumnya terjadi<br />

pada perioda bulan Desember, Januari dan Februari) dan satu puncak intensitas<br />

curah hujan minimum (rata-rata terjadi pada perioda bulan Juni, Juli dan Agustus).<br />

Wilayah Jawa berbatasan dengan laut baik di sebelah utara dan maupun di selatan<br />

dengan karakteristik oseanografis yang berbeda. Hal ini berdampak pada<br />

karakteristik curah hujan di daerah-daerah dekat pantai utara maupun selatan.<br />

Penerapan metode klaster pada wilayah ini (dalam penelitian ini digunakan<br />

dua metode klastering, yaitu metode Ward dan metode Hard (Lampiran C) akan<br />

memberikan variasi yang penting sebagai kajian : bagaimanakah variabilitas utama<br />

curah hujan di wilayah ini, dan apakah diakibatkan pengaruh meteorologis regional<br />

ataukah kondisi lokal. Secara visual, wilayah sampel daratan pulau Jawa<br />

memperlihatkan ada dua klaster (gambar 3.2). Pada metode Ward , diperoleh hasil<br />

bahwa di bagian pantai utara Jawa keseluruhannya berada


sekitarnya. Di P. Jawa hanya ada dua klaster, Bali dan Nusa Tenggara masingmasing<br />

mempunyai satu klaster. Agar mendapat klaster yang lebih detil di masingl<br />

masing pulau, wilayah pengamatan harus diperkecil menjadi P. Jawa saja, P. Bali<br />

saja dan Nusa Tenggara saja.<br />

6<br />

4<br />

2<br />

(.9<br />

z<br />

-=t: 0<br />

f-<br />

z<br />

::::J<br />

-l~~llllllli!<br />

-4<br />

-6 108 110 112 114 116 118 120<br />

BUJUR<br />

Gambar 3.3 Klaster-klaster di wilayah Ill (Kalimantan)<br />

Pulau Kalimantan secara geografis melintang melalui garis khatulistiwa<br />

sehingga dalam kajian meteorologis dapat memiliki pola hujan yang variatif.<br />

Wilayahnya yang relatif datar dibanding pulau lainnya dapat berdampak variasi pola<br />

hujan yang ditentukan kondisi regional daripada lokal.<br />

. ~<br />

Penerapan metoda klaster Ward pada wilayah sampel Kalimantan (gambar<br />

3.3) memperlihatkan variasi yang cukup banyak di bagian utara dibanding bagian<br />

selatannya. Secara visual daratan pulau Kalimantan terbagi dalam 8 (delapan)<br />

wilayah klaster dengan dua wilayah~aitu timur dan barat) terbagi secara dominan<br />

(area biru muda dan area hijau). Lautan disekitar pulau Kalimantan ter klaster dalam<br />

19


8 area. Wilayah selatan yang terbagi dalam 3 klaster dengan dominan area biru tua.<br />

Wilayah utara bervariasi dalam 6 area. Pada metoda ini terlihat pulau KaliiJlantan<br />

dipengaruhi kondisi lokal secara dominan dibanding pengaruh regional.<br />

6<br />

4<br />

0<br />

0<br />

2<br />

z<br />

4: 0<br />

f-<br />

z<br />

:::i<br />

-2mma~<br />

-4<br />

-6<br />

120 122 124 126 128 130<br />

BUJUR<br />

Gambar 3.4 Klaster-klaster di wilayah IV (Sulawesi)<br />

Hasil klastering di Sulawesi dan sekitarnya menghasilkan 12 klaster<br />

(gambar 3.4). Daratan Sulawesi terbagi menjadi 5 klaster sedangkan lautan<br />

sekitarnya terbagi menjadi 12 klaster. Tidak tampak adanya klaster daratan mutlak<br />

atau yang tidak tergabung dengan lautan. Hal ini disebabkan luas daratan lebih<br />

sempit dibandingkan lautan sekitarnya, sehingga pola curah hujan lautan<br />

mempengaruhi pola hujan daratan. Kondisi lokal daratan dalam hal ini kalah<br />

dominan dibandingkan pengaruh lautan sekitarnya.<br />

~<br />

20


6<br />

4<br />

2<br />

0<br />

C)<br />

:z -2<br />


karakteristik curah hujan yang tinggi dengan karakteristik lautan disekitarnya,<br />

sehingga berada dalam satu klaster yang sama. Hal ini dapat dijelaskan adanya<br />

l<br />

interaksi yang kuat antara atmosfer daratan dan lautan. lnteraksi atmosfer dan<br />

lautan merupakan salah satu aspek penting dalam mengkaji perilaku variabel<br />

atmosfer di wilayah benua maritim ini. Untuk penelitian selanjutnya yang hanya<br />

memerlukan klaster di daratan, wilayah pengamatan harus dibatasi pada<br />

wilayah daratan.<br />

2. Klaster di daratan terbentuk berdasarkan perbedaan area lintang tetapi klaster<br />

di daratan Kalimantan dan klaster di lautan juga menunjukkan perbedaan area<br />

bujur.<br />

Hasil klastering sangat tergantung kepada metode yang digunakan,<br />

metode yang berbeda akan menghasilkan hasil klastering yang berbeda pula.<br />

Sebagai perbandingan, juga dilakukan klastering dengan metode Hard (Lampiran<br />

C), tetapi metode Hard tidak dibahas lebih mendalam dalam penelitian ini. Untuk<br />

penentuan kalender tanam digunakan hasil klastering dari metode Ward.<br />

3.3 Dasarian potensial dan kalender tanam potensial<br />

Berdasarkan referensi berikut: Tupan dan Susanto (2002), Juliardi dan<br />

Ruskandar (2006), Sudjarwadi (201 0) padi memerlukan air 5 sampai 10 mm/hari/ha,<br />

maka kebutuhan air per 10 hari adalah 50 - 100 mm/ha. Berdasarkan informasi ini<br />

ditentukan dasarian paten sial yaitu dasarian dengan curah hujan ~ 50 mm/1 0 hari<br />

untuk seluruh klaster di daratan. Dasarian potensial secara lengkap untuk seluruh<br />

klaster diperlihatkan pada Lampiran D. Kalender tanam ditentukan jika dasarian<br />

potensial berjumlah 12 berturut-turut (120 hari). Jumlah dasarian ini ditentukan<br />

berdasarkan rata-rata umur tanaman padi (Ciherang , IR 64 110-120 hari, Ciherang<br />

115-125 hari, Cisokan 110-120 hari). Selanjutnya, dalam bab ini akan diuraikan<br />

dasarian potensial dan kalender tanam di lokasi sampel . sentra pangan yaitu<br />

Denpasar dan Tabanan, Magelang, Probolinggo, Tomohon di Manado dan Medan.<br />

Di Medan padi bisa mulai ditanam pada dasarian ke 5 sampai dengan<br />

..,<br />

dasarian ke 36. Jika dibantu irigasi pada dasarian ke 3, maka pad i bisa ditanam<br />

sepanjang tahun atau dalam setahun bisa 3 x tanam. lni berdasarkan curah hujan<br />

rata-rata klaster 8 di P. Sumatera (gambar 3.6, tabel 3.4). Di Probolinggo dan<br />

22


Denpasar, padi bisa mulai ditanam pad a dasarian ke 1, dengan dibantu irigasi mulai<br />

dasarian ke dasarian 12. Pad i dapat ditanam lagi di akhir tahun dengan bantuan<br />

irigasi pada dasarian ke 25 sampai dasarian 29. lni waktu yang tepat sesuai curah<br />

hujan rata-rata klaster 6 di P. Jawa (gambar 3.7, tabel 3.4). Di Magelang, pada<br />

dasarian 1 sampai 12 tersedia air hujan yang cukup untuk mengairi sawah (gambar<br />

3.8). Padi dapat ditanam lag i di akhir tahun dengan bantuan irigasi pada dasarian 25<br />

sampai dasarian 28. Di Manado, agak sukar menentukan kalender tanam karena<br />

diperlukan 12 dasarian berturut-turut, jika hanya berdasarkan dasarian potensial<br />

maka padi dapat ditanam akhir tahun mulai dasarian ke 30 sampai dasarian ke 5<br />

tahun berikutnya. Jika ingin dua kali menanam maka harus dibantu irigasi (tabel 3.4).<br />

Berdasarkan data di lapangan, Denpasar/Tabanan, Probolinggo dapat<br />

menanam padi dua kali setahun. Jika dikonfirmasi dengan jumlah dasarian potensial<br />

(gambar 3.7) maka di lokasi-lokasi tersebut hanya bisa menanam satu kali dalam<br />

setahun, ini berarti ada tambahan suplai air dari irigasi. Di Magelang air hujan tidak<br />

digunakan untuk mengairi sawah, karena pengairan sawah utama dari irigasi yang<br />

diambil dari sungai Bengawan Solo. Medan belum divalidasi karena tidak ada data<br />

lapangan. Data lapangan Manado menunjukkan bahwa padi ditanam 3 x kali dalam<br />

setahun, sementara jumlah dasarian potensial berdasarkan TRMM (gambar 3.9,<br />

tabel 3.4) maksimal hanya bisa dua kali tanam. lni berarti ada tambahan suplai air<br />

dari irigasi pada dasarian-dasarian yang tidak potensial.<br />

R.-tta-t .-n .-. C ut .-. h Huj.-.n Kl•1s t e 1 ke - 8<br />

1 60 .------,,------,,------.-------.-------.------~------~--~<br />

140<br />

E<br />

..s<br />


140<br />

Rata~ata Curah Huj ... -.n Kl ... l s f e l ke -G<br />

120<br />

100<br />

E<br />

_§_ 80<br />

c<br />

.,<br />

m<br />

:r:<br />

.c= 60<br />

~<br />

(_)<br />

40<br />

20<br />

0 0 5 10 15 30 35<br />

Oasarian ke-<br />

Gam bar 3. 7 Curah hujan rata-rata klaster 6 di P. Jawa (Probolinggo dan<br />

Denpasar)<br />

160<br />

R.ata-lat ... l C u1 ... -,h Huj .. 1n Klaste1 ke -3<br />

140<br />

120<br />

E'1DD<br />

_§_<br />

., ~<br />

80<br />

:r:<br />

.c=<br />

~ 60<br />

(_)<br />

40<br />

20<br />

0 0 5 10 15 20 25 30 35<br />

Oasarian ke -<br />

Gambar 3.8 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Jawa (Magelang)<br />

140<br />

R.tt.l-hlt.l Cu1.1h Huj;m Kl.tsteo ke . 9<br />

120<br />

E<br />

..§_<br />

c<br />

., m<br />

:r:<br />

.c=<br />

~<br />

(_)<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20 0 5 10- 15 20 25 30 35<br />

Dasarian ke ·<br />

Gambar 3.9 Curah hujan rata-rata klaster 9 di P. Sulawesi (Manado)<br />

24


- -<br />

-<br />

--<br />

Tabel 3.4 Periode ketersediaan air(~ 50 mm/dasarian) untuk lokasi sampel sentra pangan (Medan, Magelang , Probolinggo,<br />

Denpasar/Tabanan dan Manado/Tomohon) ditunjukkan dengan shading warna hijau<br />

Medan (klaster 8 wilayah I)<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34<br />

Waktu<br />

tan am<br />

- -<br />

~c<br />

- -·- - -<br />

12<br />

35 36<br />

I<br />

'<br />

Magelang (klaster 8 wilayah II)<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34<br />

Waktu<br />

tan am<br />

-- - - --- --~<br />

-<br />

- --~ - "- - '---- - -<br />

L~<br />

-~ - '--~<br />

12<br />

-<br />

I<br />

35 36<br />

I<br />

Probolinggo (klaster 6<br />

wilayah II)<br />

-<br />

Bulan ko 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Du"'nrlnn ke 1 T 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34<br />

Wnkhr<br />

1111111111<br />

~<br />

'<br />

'<br />

12<br />

35 36<br />

25


Denpasar/Tabanan (klaster 6 wilayah II)<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

Manado (klaster 9 wilayah IV )<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarlan ke 1 -2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

I<br />

26


Pola curah hujan dan dasarian-dasarian potensial klaster daratan lain<br />

selain klaster-klaster sampel di atas, diperlihatkan pada Lampiran D dan E. Dari<br />

l<br />

seluruh hasil di atas, maka kalender tanam berdasarkan TRMM menunjukkan<br />

terdapat tiga macam kalender tanam yaitu dua kali waktu tanam dalam setahun,<br />

satu kali tanam setahun dan tiga kali tanam atau sepanjang tahun menanam. Dua<br />

kali menanam padi dalam setahun terjadi di P. Jawa, Sumatera, Kalimantan dan<br />

Sulawesi. Daerah dengan satu kali tanam sepanjang tahun adalah Bali dan Nusa<br />

Tenggara, karena hujan dengan intensitas yang cukup hanya terjadi di awal tahun.<br />

Sedangkan di Sumatera Barat dan Papua waktu tanam hampir bisa dilakukan<br />

sepanjang tahun.<br />

3.4 Curah hujan ekstrim<br />

Ketahanan pangan sangat tergantung kepada hasil panen, sementara hasil<br />

panen sangat tergantung kepada terpenuhinya kebutuhan air dan masalah-masalah<br />

lain seperti pengendalian hama dan sebagainya. Untuk terpenuhinya kebutuhan<br />

akan air, sawah-sawah tadah hujan sangat tergantung kepada hujan. Air hujan<br />

diperlukan dalam jumlah yang cukup, tidak terlalu banyak dan tidak kurang. Dengan<br />

demikian peta curah hujan ekstrim sangat diperlukan untuk mengetahui lokasi yang<br />

sering terjadi curah hujan ekstrim dan intensitas curah hujan ekstrimnya. lnformasi<br />

ini sangat berguna untuk mendukung dikembangkannya sistem ketahanan pangan.<br />

Dalam penelitian ini curah hujan ekstrim di wilayah Indonesia berdasarkan data<br />

TRMM ditentukan dengan perhitungan (persamaan 2.1 ).<br />

Curah hujan ekstrim yang dibahas disini adalah curah hujan ekstrim tinggi<br />

dan berpedoman pada data curah hujan rata-rata, maka lebih tepat jika dikatakan<br />

curah hujan ekstrim potensial. Curah hujan ekstrim potensial ini sudah memenuhi<br />

dua persyaratan sebagai curah hujan ekstrim yaitu intensitas yang besar dan jarang<br />

terjadi (frekuensi rata-rata 1 sampai 2 kali dalam setahun , gambar 3.11 ). Pada<br />

gam bar 3.10 tampak bahwa curah hujan ekstrim diwilayah. lndonesia berkisar antara<br />

80 sampai 180 mm/1 0 hari. Wilayah Indonesia bag ian timur, curah hujan ekstrimnya<br />

lebih tinggi dibandingkan wilayah Indonesia bagian barat. Jika dikaitkan dengan<br />

resiko maka curah hujan ekstrim ini akan mengakibatkan sawah terlalu basah<br />

(karena kebutuhannya hany~ 50-100 mm/10 hari) apalag i jika air hujan<br />

27


menggenangi sawah dalam<br />

panen.<br />

yang cukup lama, maka akan terjadi<br />

gagal<br />

15 b .• ( •" - ... ~.. .. ~ t "\ ___ 'f-.._:C =-:: .. -2 ! - .--!_<br />

1<br />

-15 ~ ~ . . -<br />

95 100 105 110 115 120 125 130 135 140 145<br />

360<br />

340<br />

320<br />

300<br />

280<br />

260<br />

240<br />

220<br />

200<br />

180<br />

160<br />

140<br />

120<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

Gam bar 3.10 Peta curah hujan ekstrim (mm/1 0 hari)<br />

15 ~<br />

10<br />

...<br />

2<br />

1---' ..._ ) I I I I I ,.__.., ...L.:_<br />

15<br />

95 100 105 11 0 115 120 125 130 135 140 145<br />

- I I I I I I<br />

-<br />

Gambar 3.11 Peta frekuensi curah hujan ekstrim (kejad ianltahun)<br />

28


Pembahasan ka lender tanam dan curah hujan ekstrim terkait ketahanan<br />

pangan dalam makalah ini sengaja dibatasi pada pembahasan umum saja, t ~dak<br />

terlalu detil mengingat kalender tanam sangat erat kaitannya dengan aktivitas<br />

pertanian dengan segala aspeknya yang memang tidak dicakup dalam penelitian ini<br />

karena penelitian ini bersifat sebagai informasi untuk mengembangkan pemanfaatan<br />

data curah hujan TRMM. Untuk menghasilkan klaster seperti diatas diperlukan data<br />

minimum satu tahun, namun jika hanya satu tahun maka klasternya hanya berlaku<br />

pada tahun tersebut. Dalam penelitian ini digunakan data curah hujan rata-rata<br />

selama 12 tahun, sehingga berlaku secara umum.<br />

4 KESIMPULAN DAN SARAN<br />

Curah hujan TRMM sangat berguna dalam mengkaji lebih mendalam<br />

perilaku curah hujan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya karena kemiripan<br />

polanya dengan curah hujan observasi.<br />

Dalam penelitian ini, ada beberapa hal penting yang diperoleh: Pertama,<br />

ada keterkaitan antara pola curah hujan atau klaster curah hujan dengan geografi<br />

dan topografi. Kedua, aspek interaksi atmosfer dan laut sangat menonjol di wilayah<br />

Indonesia terlebih di pulau-pulau berukuran kecil. Ketiga, karakter curah hujan di<br />

lautan lepas berbeda dengan di daratan. Keempat, pengembangan pemanfaatan<br />

data TRMM dapat ditunjukkan dengan ditentukannya dasarian-dasarian potensial<br />

per wilayah untuk menetapkan kalender tanam potensial.<br />

Dari aspek manfaat, selain berisi konfirmasi terhadap hasil sebelumnya,<br />

penelitian ini juga sangat bermanfaat untuk mendukung terciptanya sistem<br />

ketahanan pangan baik skala lokal maupun nasional.<br />

Teknik klastering Ward cukup baik dalam mengklaster curah hujan di<br />

wilayah Indonesia, tetapi perlu juga dilakukan uji terhadap metode klastering<br />

lainnya sebagai bahan perbandingan. Perbandingan dengan klastering yang<br />

menggunakan data penakar curah hujan perlu dilakukan agar h~siJ yang diperoleh<br />

memiliki ting~at kepercayaan yang tinggi.<br />

PUBLIKASI:<br />

Penelitian ini fllenghasilkan 4 makala~enelitian, satu makalah sudah terbit dalam<br />

Jurnal Sains Pirgantara-LAPAN terakreditasi, dua makalah sudah terbit dalam Berita<br />

29


lnderaja-LAPAN, satu makalah diajukan dalam Seminar Sains Atmosfer dan lklim,<br />

15 November 2010. Makalah lengkap ditampilkan pad a Lampi ran F.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Arief Suryantoro, Teguh Harjana , Halimurrahman, 2008. Variasi Spasiotemporal Curah<br />

Hujan Indonesia Berbasis Observasi Satelit TRMM, Prosiding Workshop Aplikasi<br />

sains Atmosfer : Sains Atmosfer Oa/am Mendukung Pembangunan Berkelanjutan,<br />

ISBN 978-979-1458-25-2, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan lklim LAPAN,<br />

Bandung 1 Desember 2008, hal. 175-186.<br />

Ayahbi, R., 2009. Pengelompokkan karakteristik curah hujan di wilayah Sumatera Barat<br />

menggunakan metode Ward, Skripsi, Jurusan Statistika Fakultas Matematika dan<br />

1/mu Pengetahuan A/am, Universitas Padjadjaran-Jatinangor.<br />

Tupan dan Susanto; 2002. Studi perbandingan kebutuhan air irigasi di Jawa Timur<br />

berdasarkan metode faktor palawija relatif dan metode net field water requirement,<br />

Tugas Akhir Jurusan Teknik Sipil, Petra Christian Uiversity.<br />

Degaetano, A. T.; 1996. Delineation of mesoscale climate zones in the Northeastern<br />

United States using a novel approach to cluster analysis, Journal of Climate, 9.<br />

Haryoko, U. , 2009. Pewilayahan hujan untuk menentukan pola hujan (contoh kasus<br />

Kabupeten I ndramayu), http://www. staklimpondokbetung. neUpublikasi/ didownload<br />

Juli 2009.<br />

Juaeni, 1.; Halimurrahman, Risana Ayahbi, Noersomadi, Nurzaman; 2009. Karakteristik<br />

Atmosfer dan lklim Sumatera Barat. Laporan Penelitian RIK-LAPAN 2009.<br />

Juaeni, 1.; Dewi Yuliani, Risana Ayahbi, Noersomadi, Teguh Hardjana, Nurzaman; 2010.<br />

Pengelompokan Wilayah Curah Hujan Kalimantan Barat Berbasis Metoda Ward dan<br />

Fuzzy Clustering, Jurnal Sains Dirgantara, 7,2, LAPAN.<br />

Juliardi dan Ruskandar; 2006. Teknik Mengairi Padi Kalau macak-macak cukup, mengapa<br />

harus digenang? Balai Besar Penelitian Padi.<br />

Rencher, A. C.; 2001 . Methods of Multivariate Analysis, Second Edition, A Wileylnterscience<br />

Publication, United States.<br />

Sudjarwadi ; 2010. lrigasi-1. Diktat kuliah Jurusan Teknik Sipil, UGM, Yogyakarta.<br />

Yuliani, D., 2009. Pengelompokkan karakteristik curah hujan di wilayah KaJimantan Barat<br />

menggunakan Fuzzy Clustering, Skrips1~ Jurusan Statistikct Fakultas Matematika<br />

dan 1/mu Pengetahuan A/am, Universitas Padjadjaran-Jatinangor.<br />

http://trmm.gsfc.nasa.gov/ didownload Maret 2009.<br />

30


LAMPIRAN A<br />

Perbandingan pola curah huja observasi di beberapa lokasi<br />

dengan pola curah hujan TRMM<br />

600<br />

Keta p ang<br />

e<br />

.§.<br />

c<br />

500<br />

400<br />

1 300<br />

~<br />

a 200<br />

100<br />

..... ,<br />

..... ,<br />

..... ,<br />

,<br />

,<br />

/<br />

Observasi<br />

0<br />

1 2 3 4 5<br />

6 7 8 9<br />

Bulanke<br />

10 11 12<br />

350<br />

300<br />

e<br />

250<br />

t 200<br />

~<br />

~ 150<br />

3<br />

100<br />

so<br />

- Observasi<br />

--ward<br />

0<br />

2 3 4 5<br />

6 7 8 9<br />

10 11 12<br />

Bulan k e<br />

500<br />

450<br />

400<br />

350<br />

e<br />

.§_ 300<br />

c<br />

j 250<br />

-


Lanjutan Lampiran A<br />

Korelasi Pola CH terestrial dan CH-TRMM (3843)<br />

Sicincin, Padang 2002-2007 (tanpa 2003); r = 0,8<br />

700<br />

600<br />

I soo<br />

~ 400<br />

0 300<br />

200<br />

100<br />

800<br />

700<br />

600<br />

I 500<br />

400<br />

0<br />

l<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

Korelasi Pola CH terestrial dan CH-TRMM (3843)<br />

Daerah Supadio, Pontianak Tahun 1998-2007; r = 0,8<br />

13 25 37 49 61 73<br />

t (bulan)<br />

85 97 1o9 I<br />

r=- CH terestrial<br />

-a- CHTRMM<br />

900<br />

800<br />

700<br />

-600<br />

I ~ 500<br />

i 400<br />

(J 300<br />

200<br />

Korelasi Pola CH terestrial dan CH-TRMM (3843)<br />

Daerah Manado Tahun 1998-2007; r = 0,8<br />

_ __j-=.- CH-terestrial t<br />

________j--CH-TRMM<br />

___ _<br />

10<br />

~ l'!: ,,,,,,,,, ~ ,,,,,, ~ lliillllii ~ llliliiii rt, llllli~ I" .E .. , ~ ,,~ ,, - ,,, : ,,,<br />

t (bulan)<br />

- --<br />

900<br />

800<br />

700<br />

! 600<br />

500<br />

0 400<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

Korelasi Pola CH terestrial dan CH-TRMM (3843)<br />

Daerah Jakarta Tahun 1998-2007; r = 0 ,8<br />

13 25 37 49 61 73 85 97 109<br />

t (bulan)<br />

32


LAMPIRAN 8<br />

Dendogram (kiri) dan jumlah klaster (kanan) metode Ward<br />

untuk setiap wilayah<br />

8.1 Wilayah I (P. Sumatera dan sekitarnya)<br />

X 10 4<br />

X 10 4<br />

2.-----.------.------.------.-----.<br />

1.6<br />

1.8<br />

1.6<br />

1.4<br />

1.2<br />

I<br />

0 . 2~<br />

0 0 500 1000 1500 2000<br />

~ 161 1<br />

D<br />

e. 14<br />

f- "'<br />

g> 12 1 I<br />

"' ,.,<br />

;;;<br />

;;; 1<br />

"' I ]<br />

2<br />

c<br />


8.3 Wilayah Ill (P. Kalimantan dan sekitarnya)<br />

X 10 4<br />

2 ~--~----~----~----~-----<br />

1.8<br />

g' 1.6<br />

.c "<br />

~1.4<br />

....<br />

g'1.2<br />

..<br />

>-<br />

~ 1<br />

S2<br />

~ 0.8<br />

c<br />


LAMPIRAN C<br />

Metode klastering Hard dan hasilnya<br />

C.1 Metode klastering Hard<br />

Metode Hard atau K-means mengklasifikasikan objek berdasarkan<br />

kesamaan menjadi k bagian. Tujuan utamanya adalah menentukan rata-rata k dari<br />

data berbasis distribusi gaussian dengan cara memperoleh variansi antar klaster<br />

,...<br />

ll =I: I: l:1;j - tt; l 2<br />

yang minimal atau fungsi kesalahan kuadrat (V) yang minimal.<br />

i-lJ'JES,<br />

Dimana k= jumlah klaster Si, i = 1 ,2, ... ,k<br />

!Ji = centroid atau titik rata-rata dari titik-titik dalam klaster 17 J E S;.<br />

Langkah pertama dimulai dengan pembagian data input menjadi k kumpulan data,<br />

yang ditentukan secara acak atau berdasarkan data historik.<br />

Langkah selanjutnya menghitung titik rata-rata atau centroid untuk setiap kumpulan<br />

data. Maka akan terbentuk partisi data yang menghubungkan setiap titik dengan<br />

centroid terdekat.<br />

Selanjutnya menghitung centroid untuk klaster baru, langkah kembali berulang<br />

(iterasi) sampai terkonvergensi, atau tidak ada lagi titik yang sesuai dengan klaster<br />

atau centroid tidak lagi berubah.<br />

Algoritma ini sangat populer karena konvergensi terjadi dengan cepat, tetapi<br />

kelemahannya adalah asumsi jumlah klaster sangat mene!ltukan, sehingga<br />

perbedaan asumsi awal akan menghasilkan cluster yang berbeda. Variansi<br />

terrendah yang diperoleh tidak menjamanin nilai variansi minimum global.<br />

tiP<br />

35


C.2 Hasil klaster metode Hard<br />

I Sumatera 10<br />

II Jawa 12<br />

III Kalirnan tan 17<br />

IV Sulawesi 11<br />

V Papua 13<br />

Visualiasi klaster-klaster dengan merode Hard perwilayah diperlihatkan pada<br />

gambar-gambar di bawah ini.<br />

36


122 124 126 128 130<br />

132 134 1]) 138 140 142<br />

3


LAMPIRAN D<br />

Pola curah hujan di klaster-klaster daratan yang digunakan untuk menent4kan<br />

kalender tanam potensial<br />

0.1 Pola curah hujan di wilayah I (Sumatera)<br />

Rat,l-..1-Jf.'l Cmah Hllj.ln KI-.H~et ke- 1<br />

1~,---~----~----~----~----~----~-----.<br />

Raraoo~at.l Cmah Hujan Klo1stet ke- 2<br />

I<br />

140<br />

120<br />

·5- 100<br />

:I:<br />

=<br />

l!<br />

8 00<br />

J<br />

E'<br />

.s<br />

c<br />

~<br />

5'<br />

:I:<br />

=<br />

\5<br />

(.)<br />

~<br />

400<br />

5<br />

10 15 20 25 3J 35<br />

Dasarian ke -<br />

0 o 5 10 15 20 25 3J 35<br />

Dasarian ke-<br />

Rald-ltll~l C UI ah Hujiln Kl.nlea ke- 3<br />

140.---~----~----~--~~----~----r----,-,<br />

R~lta-hltd Cm ~1 h Hujo1n Klas.tel ke--'<br />

180.---~----~-----r--~~----,-----~----r-o<br />

140<br />

E<br />

.§..<br />

c<br />

~<br />

5'<br />

I<br />

=<br />

5<br />

u<br />

100<br />

80<br />

60<br />

E<br />

.§..<br />

c<br />

120<br />

·5- 100<br />

I<br />

=<br />

5<br />

u 80<br />

40<br />

60<br />

200 5 10 15 20 25 30 35<br />

Dasanan ke-<br />

400<br />

5 10 15 20 25 30 35<br />

Oasarian ke -<br />

140<br />

Rata-aata C.ut.lh Huj.'ln Kl.,stet lte - 5<br />

R.1ta-aara Cmah Huj,l n Klastet ke- 6<br />

140r-----~----~----~------.-----~----~~--~--<br />

120<br />

E'<br />

.s<br />

c<br />

5'<br />

:I:<br />

=<br />

~<br />

(.)<br />

100<br />

.,<br />

c<br />

:a:<br />

=<br />

~<br />

u<br />

50<br />

0 o 5 10 15 20 25 30<br />

..<br />

35<br />

Oasarian ke -<br />

40 •<br />

0 5 10 15 20 25 3J 35<br />

Oa-sanan • e -<br />

38


120<br />

110<br />

100<br />

90<br />

'E 00<br />

-5.<br />

c<br />

~<br />

5'<br />

:I:<br />

""'<br />

8<br />

'E<br />

-5.<br />

c<br />

m<br />

~<br />

""'<br />

5<br />

0<br />

Rat.l - l .lt ~l C m ~l h Hnj•m K l ~-.stel ke - 8<br />

1ro,----.r----.-----.----~----~----~----.-,<br />

140<br />

120<br />

20 o 5 10 15 20 25 :II 35<br />

Oasarian ke-<br />

20<br />

Oasarian ke-<br />

25 30 35<br />

D. 2 Pola curah hujan di wilayah II (P. Jawa, Bali dan Nusa Tenggara)<br />

RaM-Io"'la Cmah Huja n Kl.lst&l ke- J.<br />

R~-.ta-t .. -.M Cm .. l h Huj.ln Klaste1 ke . 6<br />

140,----.-----.-----.----~-----.-----.-----.-,<br />

~ 4()r<br />

\ I<br />

'E<br />

-5.<br />

c<br />

·s<br />

:r::<br />

!!<br />

1 8<br />

00 5 10 15 20 25 :II 35<br />

Oasarian ke -<br />

O'<br />

0 5 1D 15 20 25 :II 35<br />

Dasarian ke -<br />

160<br />

Rata:...r.n..t Cu1..1h Huj.ln Kl .. lSiel ke - 8<br />

120<br />

R.lM--fata Cmah Huj•m KloJster ke. . 9<br />

140<br />

120<br />

E HIJ<br />

-5.<br />

c<br />

5' 00<br />

:r::<br />

~<br />

8 60<br />

j<br />

'E<br />

-5.<br />

c<br />

~<br />

·s<br />

:r::<br />

""'<br />

!5<br />

0<br />

40<br />

40<br />

20<br />

20<br />

Do 5 10 15 20 25 :II 35<br />

Dasarian ke -<br />

Do 5 10 15 20 25 :II 35<br />

Da~arian ke-<br />

39


0.3 Pola curah hujan di w11ayah Ill (Kalimantan)<br />

Rilla-oata Cuoah Hujan KJ-.o h - t R.Jta -rata Cm.ah Huj.m Klilster ke- 2<br />

!.SO<br />

,ffi I ' '<br />

140<br />

120<br />

I. f\ I I E'<br />

-~ 00~ v \ I ~ i<br />

I<br />

.c<br />

8 ffir<br />

V\ A N 1 8<br />

40<br />

20<br />

II<br />

~<br />

o I -vv<br />

'<br />

I<br />

I I I I<br />

' ' 20<br />

0 5 10 15 20 25 3) 35 0 5 10 15 20 25 30 35<br />

Dasarian ke- Oa sarian ke -<br />

Rata~ at a Cuo ah Hujan Klaster ke - 3<br />

110 13)<br />

1001<br />

I<br />

I i<br />

120<br />

110<br />

R.lta-4'at.l Ctuah Hujon Klaster ke -..t<br />

100<br />

E' oo<br />

'E<br />

v V\J\f~~ A~v<br />

90<br />

.s.<br />

.s.<br />

c<br />

·5- "<br />

70 ·5- 80<br />

I<br />

I<br />

.c .c<br />

"'<br />

!" 70<br />

(.)<br />

8 ffi "<br />

40~ ' I I \1 ~<br />

40<br />

3)<br />

0 5 10 15 20 25 3) 35 300 5 10 15 20 25 30 35<br />

Oasanan ke- Dasarian ke -<br />

ffi<br />

50<br />

110r<br />

100<br />

1<br />

·n<br />

Rata-oata Cm ,lh Hujan Klasteo ke - 3 Rata-oata Cmah Hujan Klasteo ke - ~<br />

130<br />

120<br />

110<br />

Vv\j<br />

'E oo<br />

.s.<br />

v I .,.<br />

90<br />

I<br />

·5- " ..<br />

70<br />

"<br />

I<br />

.c<br />

~ ED<br />

~<br />

;;<br />

(.) (.)<br />

A<br />

3) 30<br />

50<br />

40<br />

100<br />

ffi<br />

50<br />

40<br />

.<br />

~<br />

0 5 10 15 20 25 30 35 0 5 10 15 20 25 30 35<br />

Oasarian ke- Dasana" ke -<br />

..,<br />

40


1&1<br />

Rata~ata Cu&ah Hujan KlaSia ~. -S<br />

.I<br />

131<br />

120<br />

Rat,l ·lilt.l C mi~h Huj,ln Klastet ke- 6<br />

110<br />

100<br />

'E<br />

I ' \ 1\1\ 1 v e<br />

.§. .s.<br />

c<br />

m<br />

S'<br />

I<br />

.c<br />

'\/<br />

~<br />

u<br />

ffi<br />

~ 001<br />

\I\ ~ j<br />

II<br />

50<br />

4ll<br />

Oasanan ke-<br />

3J<br />

3J 35 0<br />

5 10 15 20 25 30 35<br />

Dasarian ke-<br />

:r.<br />

. .<br />

R.tM-rata Cu&.th Hujan Kloster ke -7<br />

. ,j<br />

100<br />

100<br />

14ll<br />

'E<br />

I \ A A /\ ~ I I 'E120<br />

.§. .<br />

] 50~<br />

v<br />

.s.<br />

c<br />

·~ 100<br />

Rata-rata Curah Hujan Klaste& ke- 8<br />

\ !\ r \1 \)\ I~~<br />

A<br />

"<br />

~<br />

I<br />

.c<br />

!"<br />

u " 00<br />

ffi<br />

4ll<br />

3J 20<br />

0 5 10 15 20 25 3J 35 0<br />

Dasarian ke -<br />

5 10 15 20 25 30 35<br />

Dasarian ke -<br />

0.4 Pola curah hujan di wilayah IV (Sulawesi)<br />

RataHta Cm.th Hujan Kl.tste& ke - 1<br />

100r---~----~----r----.----~----r----.-,<br />

120<br />

Rata~ata Cmah Hujau Klaste& ke - 2<br />

~<br />

100<br />

'E<br />

.§.<br />

c<br />

S' "'<br />

I<br />

.c<br />

"'<br />

u "<br />

00<br />

'E<br />

.§.<br />

c<br />

·s- "' 60<br />

I<br />

.c<br />

!"<br />

0 "<br />

40<br />

10<br />

oL----L ____ L_ __ _L ____ ~ __ _J ____ ~--~~<br />

0 5 10 15 20 25 3J 35<br />

Oasarian ke-<br />

....<br />

20<br />

0 0<br />

5 10 15 2!l 25 3J 35<br />

~,.,_<br />

41


110<br />

R a t.l-lolt ~l Cm ah Hu j.:~n Kl<br />

00<br />

R.1M -1.1T.1 Cm.lh Hujan Kl~1ste1 ke - 5<br />

1[()<br />

90<br />

70<br />

00<br />

E'<br />

.s<br />

c<br />

..<br />

5'<br />

..<br />

:r:<br />

.c<br />

6<br />

:JU<br />

40<br />

liD<br />

e<br />

~g)<br />

~<br />

:r:<br />

=<br />

!5<br />

0<br />

3J<br />

l1<br />

20<br />

200 5 10 15 20 35<br />

Dasarian ke -<br />

10 0 5 10 15 20 25 3J 35<br />

Oasarian ke -<br />

R ~lt .. l-laf,l Cuaah Hujan Klaste1 k.e -6<br />

100.-----.-----.---~-----,-----,-----,-----.~<br />

Ra1.lAtlM Cur .. 1h Huj'tln Kl,lSte-1 ke - 7<br />

90.----r----r---~--~~--~--~----~<br />

00<br />

E'<br />

.§..<br />

c<br />

5' "'<br />

:r:<br />

""' 5<br />

u<br />

E'<br />

.§..<br />

.c<br />

5<br />

(.)<br />

70<br />

5 10 15 20 25 l1 35<br />

Oasarian ke-<br />

3)0<br />

5 10 15 20 25 l1 35<br />

Dasarian ke-<br />

R .l"t.J -Iilta CutOlh Huj,'ln Klast&t ke -9<br />

140 ,-----.-----.---~----~------------------~<br />

e<br />

.§..<br />

c<br />

.5' "'<br />

::r::<br />

=<br />

5<br />

0<br />

Oasarian ke-<br />

l1 35<br />

~<br />

....<br />

42


0.5 Pola curah hujan di wilayah V (Papua)<br />

140<br />

R.at.1-1Jta Cm.ah Hujan KIJS~e-1 ke -2<br />

Rar.J-rata Curah Hujalt KlaSfel ke.- 3<br />

120<br />

100<br />

E<br />

6 00<br />

~<br />

~<br />

5'<br />

I<br />

= 60<br />

~<br />

(_)<br />

40<br />

JI_;J~<br />

1\<br />

~1<br />

E<br />

6<br />

~<br />

., w<br />

I<br />

=<br />

~<br />

(_)<br />

20<br />

00 5<br />

Oasanan ke-<br />

5 10 15 20 25 30 35<br />

Oasarian ke -<br />

110<br />

100<br />

90<br />

R~"'lta-hlt.l Cm ..)I\ Huj .. ln Klaste• ke - .a.<br />

Rat.l-tata Cmah Hujan KlaSfel ke- 5<br />

E<br />

6<br />

~<br />

:r:<br />

""<br />

00<br />

=<br />

50<br />

~<br />

(_)<br />

40<br />

E<br />

6<br />

=<br />

!5<br />

(_)<br />

30<br />

20<br />

100<br />

5 10 15 20 25<br />

Dasarian ke -<br />

30 35<br />

40 o 5 10 15 20 25 30 35<br />

Oasarian ke-<br />

Rata-1.1t.:1 Cm~1h Huj


E.1 Wil~y<br />

f1 1 (Sumatera dan ~ekitarnya)<br />

~<br />

2 3 I 4<br />

~ 7~ I 9110 I 1~ I 12,13 I 1<br />

LAMPIRAN E: Da~<br />

~--ian<br />

5<br />

potensial (warna hijau)<br />

Klaster 1. '-------=----------------------~<br />

~ · P. Enggano<br />

4 I I ~<br />

7 8 9 10 11 I 12<br />

18 I 19 I 20 I 21 I 22 I 23 I 24 I 25 I 26 27 I 28 29 I 30 I 31 32 I 33 I 34 I 35 I 36<br />

tan am<br />

~<br />

-...........<br />

: 1 I 2 I<br />

--<br />

___./ l4' 2 3 4 5 6 7<br />

.---- 3 4 5<br />

r--sulan~<br />

v ~<br />

Klas~ I I I<br />

I I I I I I I I I I I I I I I<br />

e ~: Lampung<br />

8 9 10 11 12 13 14 15 16<br />

~<br />

-<br />

7 8 9 10 11 12<br />

i


LAMPIRAN E: Dasarian potensial (warna hijau)<br />

E.1 Wilayah I (Sumatera dan sekitarnya)<br />

Klaster 1 : P. Enggano<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

- -- -- --<br />

j<br />

Klaster 2: Lampung<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 - 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

-- --~---<br />

L_ ___ ------- - .<br />

Klaster 3: Kep. Pagai<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

ton am<br />

- '----<br />

~L-.-.<br />

--- - -- ~<br />

-~<br />

-<br />

' - - ·-<br />

. ·-<br />

Klaster 4: Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, Riau .<br />

111111111 kB 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

- - - - ~ -- - -<br />

-<br />

- ----- ----<br />

I ln•Hulnn ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34' 35 36<br />

Woktu<br />

tan am<br />

'- - --- ·-·---<br />

____ ,<br />

--· -· -·· ·-·· .... ·-- -···<br />

44


Klaster 5: Jambi<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35<br />

u<br />

36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

··-· ----- ' - ~ ~ - c ~ --- .<br />

' ---<br />

Klaster 6: Kep. Nias, Kep. Siberut, Pantai timur Sumatera Utara<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

'<br />

~ --· ~·~~· -~<br />

-<br />

1<br />

Klaster 7: Banda Aceh, Riau<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 - ·<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tanam<br />

- - --- -- ----- ~ ---- ---- -L-<br />

.<br />

Klaster 8: Sumatera Utara, NAD<br />

..<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarlan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Woktu<br />

-<br />

-~<br />

tnnum<br />

-'<br />

.<br />

~ -- - ' ·-<br />

I<br />

45


E.2 Wilayah II (Jawa, NT, Bali dan sekitarnya)<br />

Klaster 4: Nusa tenggara sebelah timur<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

.<br />

tanam<br />

I<br />

- '--- -<br />

Klaster 6: Jawa timur, Bali, NT sebelah barat<br />

Bulan ke • 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 38<br />

Waktu<br />

tan am<br />

- '---<br />

Klaster 8: Jawa Barat, Jawa Tengah sebelah selatan<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 i<br />

•<br />

Waktu<br />

tan am<br />

I •<br />

111111111 ku - 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

I)" ~ '" I"" ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 v35 36<br />

Wnktu<br />

ton om<br />

Klaster 9: Sebagian kecil NT .<br />

i<br />

46


.,-~<br />

E.3 Wilayah Ill (P. Kalimantan dan sekitarnya)<br />

Klaster 1: Sebagian Sulawesi selatan<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

I<br />

I<br />

..<br />

I<br />

Klaster 2: Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Tengah dan Sulawesi Barat<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 .. 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 30j<br />

Waktu<br />

tan am<br />

Klaster 3: Samarinda, Balikpapan<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

~ -<br />

--<br />

---·<br />

~<br />

·- .___ - ---- ·--- --<br />

- - ~ ~<br />

~<br />

I<br />

Klaster 4: Selat Karimata<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 3~ 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

~<br />

--"-<br />

-··<br />

~·-·-<br />

47


Klaster 5: Kalimantan Barat<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

Klaster 6: Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke<br />

Waktu<br />

tan em<br />

~<br />

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 30<br />

-<br />

Klaster 7: Tanjung Redeb, Teluk Singkawang<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

I<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

I<br />

~<br />

Klaster 8: Sambas dan Singkawang<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

.<br />

tan am<br />

-<br />

48


E. 4 Wilayah IV (P. Sulawesi dan sekitarnya)<br />

Klaster 1: P. Buton<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tanam<br />

.. - ··-~~.<br />

---·<br />

~<br />

-~.-<br />

-·<br />

-------- -- ----- ------<br />

Klaster 2: Sulawesi Selatan, Teluk Bone<br />

t<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarlan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 . 34 35 3o<br />

Waktu<br />

tan am<br />

-<br />

Klaster 3: Kendari, P. Buru, Ambon<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

.<br />

I<br />

tan am<br />

#<br />

.<br />

- -- - - - -<br />

-~<br />

·-------<br />

Klaster 5: Luwuk, Kep. Banggai<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 . 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

O


Klaster 6: Sulawesi Tenggara dan sebagian Sulawesi Selatan<br />

Dasa<br />

Waktu<br />

tonam<br />

2 I 3<br />

415161718<br />

4 5 6<br />

10 I 11 12 I 13 I 14 I 15 I 16 I 17 I 18 I 19<br />

Klaster 8: Sulawesi Utara<br />

Dasarian ke I 1 I 2 I 3 I 4 I 5 I 6 I 7 I 8 I 9 I 1 o I 11 I 12 I 13 I 14 I 15 I 16 I 17 I 18 I 19 I 20 I 21<br />

Waktu<br />

tan am<br />

~<br />

tan am<br />

50


~<br />

-<br />

-<br />

Klaster 6: Sulawesi Tenggara dan sebagian Sulawesi Selatan<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 1 2 1 3 4 1516 7 1 8 1 9 10111112 13114115 16 1 17 1 18 19 I 20 1 21 22 1 23 1 24 25 1 26 I 27 28 1 29 I 3o 31 1 32 1 33 34 1 35 1 36 ,<br />

Waktu tanam<br />

J _J -· L I L L_ _I J l _I I l I I I I I I I I _ ~- L_ I __ _ _l_j,_ _l<br />

Klaster 7: Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

..<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 3536<br />

Waktu<br />

tan am<br />

- ""<br />

~<br />

- -~<br />

--<br />

-<br />

~<br />

....__ '- ---- - --<br />

~~<br />

Klaster 8: Sulawesi Utara<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

.<br />

~<br />

Klaster 9: Menado<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

----<br />

-<br />

~<br />

!""-~ I ~· -'•'~ • _ c ---<br />

u<br />

L-" .-~ ---- - ---- --· ------- - ---- ---- --- L~- ~!~ -- l~ " c L ·; c,, - ---- -<br />

50


u<br />

E. 5 Wilayah V {Papua dan sekitarnya)<br />

Klaster 2: Kep. Tanimbar, P. Komoro<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

Klaster 3: Merauke<br />

- ·<br />

_.. Bulan ke .. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

DosorTan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36;<br />

Waktu<br />

to nom<br />

- - -- --- , __ -- -- - -----<br />

laster 4: Kep. Aru, sebagian Fak-fak<br />

----<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu )<br />

tanam .<br />

---- - --<br />

I<br />

I<br />

Klaster 5: Papua Timur<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

~<br />

Waktu<br />

tan am<br />

-·- ~<br />

.•. --<br />

~ -<br />

--- - --<br />

-<br />

~<br />

- ~~~ ~- --- ~ -~<br />

'<br />

-~~·-<br />

~-- -- '---- --- - ----- - ------ -- - --- .______:_!__ --'---~- - -- --'---- -----<br />

51


Klaster 6: Jayapura, Fak-Fak, Biak<br />

Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />

Waktu<br />

tan am<br />

~· .<br />

Klaster 7: Papua Tengah<br />

Bulan ke ~ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Dasarlan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 311 3"!1 30<br />

Waktu<br />

tan om<br />

I<br />

~<br />

52


£_<br />

!Slni!IQDd!p qe(;,l ~UR. qE{lnf'CJ~<br />

il ~I dl 1)-J:


PENGELOMPOKAN WILAYAH CURAH HUJAN KALIMANTAN BARAT<br />

BERBASIS METODE WARD DAN FUZZY CLUSTERING<br />

Ina Juaeni, Dewi Yuliani, Risana Ayahbi,<br />

Noersomadi, Teguh Hardjana, dan Nurzaman<br />

ANALISIS KORELASI PEARSON UNTUK UNSUR-UNSUR KIMIA<br />

AIR HUJAN Dl BANDUNG<br />

Tuti Budiwati, Afjf Budiyono, Wiwiek Setyawati, dan Asri lndrawati<br />

ANALISIS SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II SEBAGAI PREKURSOR<br />

KEMUNGKINAN TERJADINY A BADAl MAGNET BUMI<br />

Suratno dan Santi Sulistidni<br />

ANALISIS ALTERNATIF PENEMPATAN SATELIT LAPAN A2 Dl ORBIT<br />

Nizam Ahmad<br />

FLUKS DAN DISTRIBUSI PARTIKEL ENERGETIK Dl ORBIT LEO<br />

PENYEBAB TERJADINYA ANOMALI SATELIT<br />

Nizam Ahmad dan Rasdewita K.<br />

DINAMIKA ORBIT ASTEROID YANG ANALOG DENGAN ORBIT BUMI<br />

B. Dermawan, T. Hidayat, M. Putra, A Fermita,<br />

D. T. Wahyuningtyas, D. Mandey, Z. Hudaya, dan D. Utomo<br />

~t~<br />

LAPAN<br />

.. .<br />

Diterbitkan oleh Lembaga Penerbangari dan Antariksa Nasional (LAPAN)<br />

Jakarta .. Indonesia<br />

I J. Si. Dirgant I VOL. 7 I<br />

-<br />

NO.2 I HAL. 82-1771 JAKARTA, Juni 2010 I ISSN 1412- S08X I.


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii_. I urna/ Sa ins Dirga ntara Vol. 7 N a. 2 I uni 2 010 :82-99<br />

PENGELO<br />

KALIMANTA<br />

D<br />

POKA\J WILAYAH CURAH HUJAN l<br />

i<br />

BARAT BERBASIS METODE WARD<br />

FUzzr CLUSTERING<br />

Ina Juaeni, Dewi Yuliani, Risana Ayahbi, Noersomadi,<br />

Teguh Hardjana, dan Nurzaman<br />

Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan lklim, LAPAN<br />

E-ma il : inajuaeni@yahoo.com<br />

ABSTRACT<br />

In order to decrease the climate information gap, the rainfall<br />

clustering based on the TRMM data is presented. Then, the rainfall<br />

pattern could be determined for all region. Using the principal<br />

component analysis as the interface, clustering analysis, namely the<br />

Ward and the Fuzzy Clustering methods, the rainfall in West<br />

Kalimantan could be grouped in to four clusters according to its<br />

homogenity. The first cluster consists of grids that gather in the<br />

Karimata strait, Java Sea, and some area in West Kalimantan Lands.<br />

The second group was built by grids in the land with homogeneous<br />

topography. The third group in the middle of West Kalimantan was a<br />

cluster in the land which has different elevation. The fourth group was a<br />

cluster in the northern Kalimantan and close to the South China Sea.<br />

The West Kalimantan rainfall derived from the TRMM data has the<br />

equatorial and monsoonal patterns. The monsoonal pattern was<br />

exhibited by the cluster in the ocean (first cluster), and the equatorial<br />

pattern was showed by clusters in the land (second, third, and fourth<br />

clusters). The equatorial rainfall pattern revealed that the first wet<br />

month occuring in April, whereas the second wet month occured in<br />

December or January. The month with lowest rainfall is August.<br />

Key word: Rainfall pattern, Rainfall cluster, Ward and Fuzzy Clustering<br />

methods<br />

ABSTRAK<br />

Dalam rangka mengurangi kesenjangan informasi iklim,<br />

disajikan pengelompokkan wilayah curah hujan berdasarkan data<br />

TRMM, sehingga pola curah hujan dapat ditentukan untuk seluruh<br />

wilayah. Dengan menggunakan analisis komponen utama sebagai<br />

analisis antara dan analisis klaster, yaitu metode Ward dan Fuzzy<br />

Clustering, curah hujan di Kalimantan Barat' dapat dibagi menjadi<br />

empat kelompok sesuai homogenitasnya. Kelompok pertama terdiri dari<br />

grid-grid yang berkumpul di Selat Karimata, Laut Jawa dan sebagian<br />

daratan Kalimantan Barat. Kelompok kedua dibangun oleh grid-grid<br />

82<br />

I


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pengelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)<br />

yang berkumpul di v.ilaya.."-1 da:-at dengan topografi homogen. Kelompok<br />

ketiga merupakan klaster yang berada di wilayah bagian tengah<br />

Kalimantan Barat dengan ele\·asi yang berbeda. Kelompok k-eempat<br />

merupakan klaster yang berada di daratan Kalimantan Utara dan<br />

berdekatan dengan Laut China Selatan. Curah hujan Kalimantan Barat<br />

berbasis data TRMM memilik:i pola ekuatorial dan monsunal. Pola curah<br />

hujan monsunal ditunjukkan oleh klaster di lautan (klaster pertama),<br />

dan pola ekuatorial ditunjukkan oleh klaster di daratan (klaster 2, 3<br />

dan 4). Untuk pola curah hujan ekuatorial, bulan terbasah pertama<br />

terjadi pacta bulan April, sedangkan bulan basah kedua terjadi pada<br />

bulan Desember atau Januari. Bulan dengan curah hujan terrendah<br />

adalah bulan Agustus.<br />

Kata kunci: Pola curah hujan,<br />

Fuzzy Clustering<br />

1 PENDAHULUAN<br />

Klaster curah hujan, Metode Ward and<br />

Wilayah Indonesia merupakan bagian wilayah tropis dengan<br />

intensitas curah hujan yang tinggi. Sumber energi panas radiasi<br />

Matahari yang selalu ada sepanjang tahun ditambah kelembaban dalam<br />

jumlah yang cukup tinggi, mendorong aktivitas konveksi dan proses<br />

pembentukan awan serta hujan menjadi sangat tinggi. Tidak hanya<br />

intensitasnya yang tinggi, curah hujan di wilaya? Indonesia juga<br />

memiliki variasi spasial dan temporal yang tinggi, hal. ini dapat<br />

dijelaskan sebagai akibat perbedaan kondisi permukaan, yaitu<br />

perbedaan relief dan perbedaan tata guna lahan; Variasi curah hujan<br />

yang tinggi ini belum ditunjang oleh sarana observasi yang memadai.<br />

Masih banyak lokasi terpencil yang miskin informasi cuaca dan<br />

iklimnya, padahal informasi ini penting. Data mentah iklim adalah<br />

sarana penunjang penelitian yang hasilnya dimanfaatkan oleh sektor<br />

yang terkait kegiatannya dengan kondisi cuacaj iklim.<br />

Penggunaan data satelit merupakan solusi yang banyak<br />

digunakan dalam rangka mengurangi kesenjangan informasi cuaca dan<br />

iklim tersebut. Berbagai metode dikembangkan untuk mengolah data<br />

satelit agar sesuai dengan rencana aplikasinya. Dalam penelitian ini,<br />

pengolahan data satelit dilakukan berbasis metode statistik dengan<br />

tujuan untuk memperoleh klaster-klaster curah hujan dengan<br />

karakteristik yang sama. Data yang digunakan adalah data curah hujan<br />

bulanan dari satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission). Ada<br />

dua informasi penting yang akan diperoleh dari metode ·pengelompokkan<br />

~<br />

ini. Pertama, wilayah yang mempunyai karakter ' curah hujan yang<br />

sama, sehingga lokasi yang tidak memiliki sarana pengamatan dapat<br />

melakukan inisialisasi. Kedua, karena pengelompokkan berdasarkan<br />

83


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii ju17Ull Sains Dirgantara Vol. 7 No. 2 juni 2010 :82-99<br />

karakterjpola curah huja.:J. maka pola yang diperoleh dapat diguna.J


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pengelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)<br />

(homogenitas) yang tingg! cE dalam klastemya dan mempupyai<br />

ketidakmiripan (heteroge:li~s :·a..'lg tinggi antar klaster. Analisis klaster<br />

digunakan untuk mengelo::::!J.:;>oL'..can objek ke dalam beberapa kelompok<br />

yang memiliki karakteris~ ::ang sama dalam lingkup klimatologi<br />

(Mimmack, 2000). Analisis klaster juga digunakan oleh Haryoko (2009)<br />

untuk mengelompokkan pos pengamatan hujan (stasiun) yang<br />

mempunyai kesamaan pola curah hujan dasarian (10 harian) ke dalam<br />

sub-sub kelompok. Analisis komponen utama dan analisis kluster juga<br />

digunakan oleh Degaetano (1996), untuk mengelompokkan grid yang<br />

memiliki iklim yang sama. Dalam penelitiannya, Degaetano<br />

menggunakan curah hujan dan temperatur bulanan beberapa tahun<br />

serta menerapkan analisis klaster Average Linkage dan metode Ward.<br />

Pola ukuran klaster yang dihasilkan untuk Average Linkage tidak<br />

memiliki karakteristik karena da ri 47 klaster yang terbentuk, 40%<br />

klasternya (19 klaster) masing-masing hanya memiliki dua bahkan satu<br />

grid sebagai anggotanya, sedangkan metode Ward memberikan hasil<br />

yang seragam pada klaster yang terbentuk. Hasil tersebut menjadi latar<br />

belakang penelitian ini untuk menggunakan metode Ward sebagai<br />

teknik klasternya. Sebagai pembanding, pengelompokkan curah hujan<br />

bulanan di Kalimantan Barat juga menggunakan metode klastering<br />

yang lain selain Ward. Metode Ward adalah salah satu metode<br />

klastering Hierarkhi, maka metode pembandingnya dipilih metode<br />

klastering non Hierarkhi. Metode non Hierarkhi yang dipilih adalah<br />

Fuzzy Clustering. Metode ini dipilih didasarkan pada hasil penelitian<br />

Klawonn dan Hoppner (2001) yang mengindikasikan bahwa metode<br />

Fuzzy Clustering merupakan metode yang bagus, karena pusat klaster<br />

dan hasil pengelompokan tidak berubah jika ada data baru yang<br />

ekstrim. Metode ini juga memberikan hasil yang smooth (halus) karena<br />

pembobotan yang digunakan berdasarkan himpunan fuzzy (Pravitasari,<br />

2008). Kehalusan di sini berarti objek pengamatan tidak mutlak<br />

menjadi anggota satu kelompok saja, tapi mungkin menjadi anggota<br />

kelompok yang lain dengan ukuran tingkat keanggotaan yang berbedabeda.<br />

Objek akan cenderung menjadi anggota kelompok tertentu<br />

dimana tingkat keanggotaan objek dalam kelompok itu paling besar<br />

dibandingkan dengan kelompok lainnya.<br />

2 DATA DAN METODE<br />

2.1 Data<br />

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik curah<br />

hujan di wilayah Kalimantan Barat berdasarkarl. data curah hujan<br />

bulanan TRMM 3843 (http://trmm.gsfc.nasa.gov) dalam periode<br />

Januari 1998 sampai Desember 2007.<br />

~<br />

85


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii• J urnal Sa ins Dirgan tara Vol. 7 No. 2 J uni 2 010 :82-99<br />

2.2 Metode<br />

Analisis klaster adalab. suatu teknik multivariat yang memiliki<br />

tujuan untuk mengelompoi


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pengelumpokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)<br />

• bilangan kondisi < 1 00; terjadi :::mltikolinearitas lemah<br />

• 100 ::o;bilangan kondisi:::; 1000; terjadi multikolinearitas sedang sam pal<br />

kuat<br />

• bilangan kondisi > 1000; terjadi multikolinearitas sangat kuat<br />

Jika setelah dideteksi ternyata diketahui bahwa terdapat<br />

multikolinearitas antar variabel, maka diatasi dengan menerapkan<br />

analisis komponen utama terlebih dahulu pada data curah hujan<br />

bulanan TRMM, sehingga terbentuk sejumlah komponen utama yang<br />

saling orthogonal. Komponen utama ini yang dijadikan sebagai variabel<br />

baru untuk input dalam analisis klaster.<br />

2.2.3 Analisis Komponen Utama<br />

Johnson dan Wichern (1992) mendefinisikan komponen utama<br />

sebagai salah satu bentuk transformasi variabel yang merupakan<br />

kombinasi linier dari variabel. Proses pembentukan komponen utama<br />

adalah sebagai berikut:<br />

• Matriks X merupakan data pengamatan curah hujan bulanan yang<br />

berukuran np<br />

dengan, n = objek (grid); n = 1,2, ..., n<br />

p = variabel (curah hujan bulanan); p = 1,2, ..., p<br />

Xu X12 ...... xlp<br />

xnxp =<br />

X21<br />

X22 ...... x2p<br />

I:<br />

xnl xn2 ....... xnp<br />

I (2-2)<br />

• Dari matriks X, dicari matriks kovariansnya (Spp)<br />

S 11 s,2 . . . .. . s,p ·<br />

s2, s22 ...... s2p<br />

S== (2-3)<br />

sp,<br />

sp2 ....... spp<br />

• Tentukan nilai eigen dari matriks kovarians, misalkan A1, A2, ......... .<br />

Ap, dengan A1 ~ A2 ~ ....... ~.Ap~O<br />

• Tentukan vektor eigen ke-j untuk nilai eigen ke-j (j=l,2, .... p), misalkan<br />

Vj = VJj, V2j, ...... , Vpj • ~<br />

• Berdasarkan matriks eigen, maka komponen utama yang terbentuk<br />

adalah:<br />

til'<br />

87


iiiiiii;;;iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii;;iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Jurnal Sains Dirgantara Vol. 7 No. 2 ]uni 2010 :82-99 ·<br />

PC 1 =zivi1 =z1v 11 -Z: \·::1 7 ... +z.,Y 1<br />

tJ"5t',~f~~~ 9(L.·~i . _ • ..<br />

r\..., 2 =Z]Viz = z1v 12 ,z2':: ~ ... ~z .,vj _<br />

(2-4)<br />

"<br />

~CP::;, ~JviP<br />

= z 1 v1P + z 2 v2P + ... .,.. zP viP<br />

• Kiiteria yang digunakan untuk menentukan berapa komponen yang<br />

1<br />

dapat' dibentuk adalah kriteria persen varian. Jumlah komponen<br />

utama yang digunakan memiliki persentasi kumulatif varian minimal<br />

80% (Rencher, 2001).<br />

• Menghitung komponen skor (PCj} yang akan digunakan sebagai input<br />

urituk analisis klaster.<br />

Komponen skor yang diperoleh dari m komponen utama (dimana<br />

m


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii ?c:gelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni eta!.)<br />

n c m<br />

.I .I (uij )d(X i,8j)<br />

s = 1=1 J=1 .<br />

nirmd(Xi,8j)<br />

(2-6)<br />

2.2.5 Analisis klaster<br />

Metode Ward adalah teknik u ntuk memperoleh klaster yang<br />

memiliki varian internal sekecil mungkin. Untuk metode klaster Ward,<br />

jumlah klaster ditentukan terlebih dahulu berdasarkan dendrogram.<br />

Ukuran yang digunakan adalah Sum Square Error (SSE) variabel. Proses<br />

pengelompokan adalah melalu i tahapan berikut ini:<br />

Langkah 1. Dimulai dengan m emperhatikan N kelompok subjek dengan<br />

satu subjek per kelompok. SSE akan bernilai nol untuk<br />

tahap pertama karena setiap objek atau individu akan<br />

membentuk klaster.<br />

Langkah 2. Kelompok pertama dibentuk dengan memilih dua dari N<br />

kelompok ini yang bila digabungkan akan menghasilkan<br />

SSE dalam nilai fungsi tujuannya.<br />

Langkah 3. N -1 kumpulan kelompok kemudian diperhatikan kembali<br />

untuk menentukan dua dari kelompok ini yang bisa<br />

meminimumkan tujuan. Dengan demikian N kelompok<br />

secara sistematik dikurangi menjadi N - 1, lalu menjadi<br />

N - 2 dan seterusnya sampai menjadi satu kelompok. SSE<br />

dalam metode Ward ini dihitung berdasarkan persamaan<br />

berikut:<br />

2<br />

2<br />

SSE= I p ( IX·· n --1 ( IX·· n ) ]<br />

. . 1J . 1J<br />

J=1 1=1 n 1=1<br />

(2-7)<br />

Dengan:<br />

Xij = adalah nilai variabel ke-ij<br />

p = adalah banyaknya variabel yang diukur<br />

n = adalah banyaknya objek dalam klaster yang terbentuk<br />

Analisis Klaster dengan menggunakan Fuzzy Clustering pada<br />

dasarnya adaiah proses penghitungan secara iteratif dimana<br />

penghitungan klasternya direvisi secara iterasi. Adap1;1n algoritma dari<br />

Fuzzy Clustering adalah sebagai berikut:<br />

Langkah 1. Tentukan jurnlah klaster, nilai centroid utama (prototype) 8jOJ<br />

secara random, nilai faktor koreksi t: > 0.<br />

-<br />

89


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Jurnal Sains Dirgantara Vol. 7 No. 2 Juni 2010 :82-99<br />

Langkah 2. Hitung deraja: ~eanggotaan Ui}kJ berdasarkan persamaan 2l"8:<br />

[ l x ;-~ l 1<br />

1/m-1<br />

U" = - . ,<br />

lJ / ·d / m- 1<br />

(2-8)<br />

dengan<br />

c<br />

~lxi- Bii 2<br />

1=1<br />

n<br />

"u'!l ...... x ·<br />

L.Jl] l<br />

(}. = .!c.l=...,.!l __ _<br />

J n<br />

"u .. m<br />

L.Jlj<br />

i=l<br />

Langkah 3. Hitung fungsi objektif J(kJ herdasarkan persamaan<br />

n c 2<br />

J = :L:~:>ij miX; -Bjl<br />

i=l j=l<br />

Langkah 4. Hitung centroid baru8/k+l) dengan persamaan 2-9<br />

(2-9)<br />

Langkah 5. Perbarui keanggotaan Uy{kJ rnenjadi Uy{k+l} dan fungsi bbjektif<br />

J(kJ rnenjadi J(k+l}<br />

Langkah 6. Jika max ij iJ(k+ l) -J(k) I}< & proses akan berhenti, jika<br />

tidak rnaka kernbali ke langkah 4.<br />

Dari algoritrna di atas terlihat bahwa jurnlah klaster dan nilai<br />

centroid-nya ditentukan terlebih dahulu dan ditentukan secara apriori<br />

(pendapat para ahli) atau ditentukan jurnlah klaster awal beserta nilai<br />

centroid-nya dengan rnenggunakan teknik klaster hierarkikal. Nilai-nilai<br />

centroid inilah yang akan rnenjadi prototype (centroid awal) e j ( 0 ) .<br />

Kernudian, dihitung derajat keanggotaan UiJ, lalu penghitungan kernbali<br />

nilai-nilai centroid baru. Nilai centroid dari rnasing-masing klaster akan<br />

bergerak rnenernukan posisi yang sesungguhny9; seiring dengan<br />

penambahan langkah iterasi. . ~<br />

90<br />

....


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pengelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)<br />

3 HASIL DAN PEMBA.HASAN<br />

3.1 Hasil Pendeteksian Outlier<br />

Hasil pendeteksian owlier secara multivariat untuk data 900 grid<br />

di Kalimantan Barat, menunjukkan tidak terdapat objek (grid) yang<br />

memiliki nilai signiftkansi lebih kecil dari 0, 001, sehingga dapat<br />

disimpulkan tidak terdapat outlier pacta data curah hujan 900 grid di<br />

Kalimantan Barat. Dengan demikian, seluruh objek dapat digunakan<br />

untuk tahap analisis selanjutnya.<br />

3.2 Hasil Pendeteksian Multikolinearitas<br />

Dari matriks X yang merupakan matriks<br />

hujan TRMM bulanan di Kalimantan Barat,<br />

kovariansnya ( S PP ) dan nilai eigen (A) dari S PP •<br />

pengamatan curah<br />

didapat matriks<br />

Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas digunakan<br />

bilangan kondisi (k) seperti pacta persamaaan 2-1. Diperoleh:<br />

k = Amax = 3468Q5 = 2568 926<br />

'<br />

Amin 135<br />

Karena k (=2568,926) > 1000 maka dapat disimpulkan terdapat<br />

gejala multikolinieritas yang sangat kuat, sehingga digunakan analisis<br />

komponen utama untuk mendapatkan komponen-komponen utama<br />

dari variabel (curah hujan bulanan selama 10 tahun) yang ortogonal<br />

dan tidak berkorelasi, yang selanjutnya dapat dijadikan variabel baru<br />

untuk dasar pengelompokan pacta analisis klaster dengan metode Ward<br />

dan metode Fuzzy Clustering.<br />

3.3 Hasil Analisis Komponen Utama<br />

Jumlah komponen utama yang harus dibentuk ditentukan<br />

melalui kriteria persen varian, hasilnya adalah sebagai berikut:<br />

Tabel 3-1: OUTPUT AN ALI SIS KOMPONEN UTAMA<br />

-., r--<br />

PC1<br />

--<br />

Eigenvalue 346805 152895 103447 62295 30123 29352<br />

Proportion 0,337 0,148 0,100 0,060 0,029 0,029<br />

Cumulative 0,337 0,485 0,586 0,646 0,675 0,704<br />

PC7 II PCs II p~ II PC10 II PCu II · PC12<br />

Eigenvalue 22920 19622 18365 15638 .14046 l1411<br />

Proportion 0,022 0,019 0,018 0,015 0,014 0,011<br />

Cumulative 0,726 0,745 0,763 0,778 0,792 0,803<br />

91


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;iiiiii Jurnal Sains Dirgantara Vol. 7 No.2 Juni 2010 :82-99<br />

Pacta Tabel 3- :. ~e:rli..'la: bahwa nilai kumulatif persen varian<br />

untuk komponen u tama !)er ..a.-na :PC!) , kedua (PC2), ketiga (PC3) s~pai<br />

dengan ke dua belas (PC:~ be:nilai 0 ,803. Persentase kumulatif varian<br />

untuk 12 komponen ini sudah memenuhi batas minimal persentase<br />

kumulatif varian yaitu 80°'o tRencher, 2001). Hal ini berarti apabila<br />

seluruh variabel (X1, X2, ~, ... ,X 120) direduksi menjadi 12 variabel, maka<br />

variabel yang baru dapat menjelaskan 80,3 % karakteristik seluruh<br />

varia bel.<br />

3.4 Hasil Analisis Klaster dengan Metode Ward<br />

Skor komponen dari 12 komponen utama yang terbentuk<br />

dijadikan sebagai input data dalam pengelompokan karakteristik curah<br />

hujan di wilayah Kalimantan Barat dengan menggunakan metode Ward.<br />

Berdasarkan hasil pengelompokan dengan metode Ward menggunakan<br />

software Statistica 8, maka diperoleh output plot Squared Euclidean<br />

Distance pacta setiap langkah pengelompokannya. Output plot langkah<br />

880 hingga 900 diperlihatkan pacta Gambar 3-1 (kiri), sedangkan<br />

output dendrogram diperlihatkan pacta Gambar 3-1 (kanan).<br />

- ~ ~ - - ~-- - - - -----<br />

~ r---------------------------~--~-,<br />

.,.,<br />


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii PMgelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina fuaeni et al. )<br />

... _,<br />

BoiPior~l SII.~Cmlllllli-... W..•- ......<br />

~~~ ~ ·<br />

...<br />

.-.-..:<br />

.lillft6 11r~lllt'M .\1 .\G ~O:i blllr ~<br />

l l<br />

~<br />

;<br />

lol ~ ~lSILDtlillitnilltii..._W. . l*I(Wal)<br />

..._,<br />

.Cvlll...._......... y._fM.al?)<br />

..,_,<br />

~~: a. d ~ ~ •. 1~<br />

~~· · ·<br />

- ~ -,- -.lii"C8JO:tbDI:<br />

...<br />

~~~~<br />

-~ .. . ._. .. lri.Ac ilp ll:lllii'Dic' ~=<br />

...<br />

Gambar 3-2: Klaster yang terbentuk dengan metode Ward dan pola<br />

curah hujan masin g-masing Klaster<br />

3.5 Hasil Analisis Klaster dengan Metode Fuzzy Clustering<br />

Untuk merientukan jumlah klaster optimum dalam metode<br />

Fuzzy, hasil pengelompokkan divalidasi dengan rumus Xie dan Benni<br />

(1991) dan hasilnya diperlihatkan. pada Tabel 3-2. Tampak bahwa 4<br />

klaster memberikan nilai validasi terkecil, maka jumlah klaster yang<br />

optimum adalah empat. Klaster yang terbentuk diperlihatkan pada<br />

Gambar 3-3.<br />

Tabel3-2: JUMLAH KLASTER DAN NILAI VALIDASI<br />

Jumlah Klaster Yang dibentuk Fungsi Objektif Nibii Validasi<br />

2 Klaster 357.533.759.561 . 42.826<br />

3 Klaster 234.566.463.704 35.859<br />

4 Klaster 175.287.750.841 22.559<br />

5 Klaster . 139.514.948.165 35.313<br />

6 Klaster 115.663.133.613• 48.574<br />

.<br />

7 Klaster 99.015.618.448 56.300<br />

'-<br />

93<br />

~


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii/umal Sains Dirgantara Vol . 7 No. 2 funi 2010 :82-99<br />

.[S;2<br />

INM'-Sl.,_~,...w..~ w T .. f~t-a. :<br />

.<br />

- -:<br />

. --. - -<br />

..<br />

. .-"' ............ .,.,.ar.,.<br />

...<br />

~-W.nt.aaa. ... .._ktlllll ll la.( l~!Wilj tloi;li.u J<br />

!<br />

..,_b.W.JIIN9Sit01tlbi'CII<br />

...<br />

'<br />

'1=-<br />

~-&i!lb•Clalil!ip:kNI:Mi l4 1 ..! ~rliC.. I<br />

lil~l<br />

-~ ... , ....... QI ... r.<br />

..<br />

I~<br />

~-~c.:i: .. JIIii::..:~I I U• {N- :ta'i) POQI&c:'<br />

~<br />

~ -<br />

•Fte""'-...,•.w•s.,oc""'~<br />

...<br />

Gambar 3-3: Klaster yang terbentuk dengan metode Fuzzy Clustering<br />

dan pola curah hujan masing-masing klaster<br />

3.6 Pembahasan<br />

Berdasarkan hasil pengelompokan karakteristik curah hujan di<br />

Kalimantan Barat baik menggunakan metode Ward maupun metode<br />

Fuzzy Clustering terbentuk empat klaster yang optimal.<br />

Klaster 1 pada Ward dan Fuzzy, berada di lautan Jawa dan Selat<br />

Karimata dan sebagian kecil daratan dekat pantai barat Kalimantan<br />

(Ketapang, Kualapetangan dan Kendawangan). Curah hujan di klaster<br />

1, relatif lebih rendah dibandingkan klaster lainnya. Adanya sebagian<br />

daratan yang masuk dalam klaster yang sebagian besar wilayahnya<br />

adalah lautan disebabkan adanya proses interaksi antara daratan dan<br />

lautan yang cukup kuat, sehingga curah hujan di lautan sama dengan<br />

di daratan.<br />

Klaster 2 pada Fuzzy atau klaster 4 pada Ward, berada di bagian<br />

utara Kalimantan Barat, merupakan wilayah dengan topografi<br />

gabungan antara dataran rendah dan dataran tinggi. Letaknya dekat<br />

dengan ekuator, sehingga merupakan wilayah yang surplus energi<br />

radiasi Matahari. Energi radiasi Matahari ditambah kelembaban dalam<br />

jumlah cukup membangkitkan proses pembentukan awan dan hujan di<br />

wilayah ini sepanjang tahun. Intensitas rata-rata di klaster 2 atau 4 ini<br />

merupakan intensitas tertinggi dibandingkan klaste_r lainnya.<br />

Klaster 3 pada Ward dan Fuzzy terletak eli bagian tengah wilayah<br />

Kalimantan Barat, dengan topografi yang cenderung seragam (dengan<br />

ketinggian 0 sampai 200 m). Hujan terjadi sepanjang tahun dengan<br />

94<br />

-


gelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)<br />

intensitas minimum sebesa:- 150 rnm terjadi pada bulan Agust\ls.<br />

Klaster 4 pada Fuzzy atau klas•er 2 pada Ward berada paling selatan di<br />

Kalimantan Barat. Kisaran :n~ensitas curah hujan hampir sama tlengan<br />

klaster 3. Di klaster ini terdapat pegunungan yang lebih banyak<br />

dibandingkan klaster lainnya.<br />

Perbedaan pola dan intensitas curah hujan antar klaster<br />

disebabkan perbedaan geografi dan relief. Meskipun seluruh wilayah<br />

Kalimantan Barat terletak eli wilayah ekuatorial dengan jumlah panas<br />

radiasi yang relatif sama, namun perbedaan relief permukaan (daratan,<br />

lautan, dataran tinggi, dataran rendah pedalaman atau tepi pantai)<br />

menghasilkan proses atmosferis yang berbeda yang selanjutnya<br />

menghasilkan intensitas curah hujan yang berbeda. lntensitas curah<br />

hujan yang relatif tinggi di klaster 2 atau 4 (Fuzzy/Ward) dipengaruhi<br />

oleh suplai kelembaban dari laut China Selatan karena klaster 2 atau 4<br />

berada dekat depgan laut tersebut.<br />

Pada Gambar 3-2 dan 3-3, nampak bahwa curah hujan di<br />

Kalimantan Barat berdasarkan TRMM mengikuti pola ekuatorial untuk<br />

klaster 1, 2 dan 3 dengan metode Ward a tau klaster 1, 3 dan 4 dengan<br />

metode Fuzzy serta pola monsunal untuk klaster 2 (metode Fuzzy) atau<br />

klaster 4 (metode Ward) dengan puncak bulan basah terjadi pada<br />

bulan JanuariiDesember dan bulan April sedangkan bulan dengan<br />

curah hujan terkecil adalah bulari Agustus. Pola ini sama untuk semua<br />

klaster, kecuali intensitasnya. Untuk klaster di daratan, pola curah<br />

hujan mempunyai kesesuaian dengan observasi. Untuk klaster di<br />

lautan (klaster 1 atau 1) pola curah hujan tidak sesuai dengan<br />

observasi. Berdasarkan observasi pola curah hi.ljan di lautan<br />

seharusnya monsunal. Ini menunjukkan bahwa di klaster 1 I 1 sebagai<br />

wilayah perbatasan darat dan laut, pengaruh monsun lebih kuat<br />

dibandingkan pengaruh posisi matahari di atas ekuator I ekinoks.<br />

Perbedaan lain antara metode Ward dan metode Fuzzy<br />

diperlihatkan pada luas daerahljumlah grid untuk setiap klaster.<br />

Jumlah grid pada masing-masing klaster 1, 2, 3 dan 4 berturut-turut<br />

adalah 288, 272, 150 dan 190 untuk metode Fuzzy Clustering. Klaster 1<br />

metode Ward terdiri dari 260 grid, klaster 2 berisi 256 grid, klaster 3<br />

mengandung 207 grid dan klaster 4 terdiri dari 177 grid. Perbedaan ini<br />

bersumber dari overlapping pada metode Fuzzy, sebagai contoh gridgrid<br />

yang berada di sebelah utara pada klaster 2 me.tode Ward temyata<br />

dapat juga dikelompokkan kedalam klaster 3 pada metode Fuzzy. Inilah<br />

keunikan dari metode Fuzzy yang menganut sistem overlapping. Hal ini<br />

dibenarkan karena pola dan intensitas klaster 2 dan 3 tidak terlalu<br />

95<br />

..,


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii~ 1 urnnl Sa ins Dirgantara Vol. 7 No. 2 1 u n i 2 010 :82-99<br />

berbeda, jika kemudiar.. g:-:C.-grid itu dimasukkan dalam klaster 3<br />

l<br />

semata-mata karena deraja: keanggotaan grid-grid tersebut di klaster 3<br />

lebih tinggi dibandingkan di klaster 2.<br />

Tabel 3-3: KOEFISIEN KOREL


-<br />

iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pmgelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)<br />

600<br />

Ketap.ang<br />

500<br />

e 400 /-----<br />

.§.<br />

~ 300 -1---"'- /-'-------<br />

~<br />

a 2oo I -- ~ ........ c:--------/'----------<br />

100<br />

0<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 11 12<br />

Bulan<br />

ill<br />

Boxplclt dan StdDcviasi CUrah Hujan Bulanan Selama 10 Tahun (1998-2007) Pada Klaster 3<br />

: : : : : : : : : : : : ; : I<br />

Jan Feb Mar Apr Mel Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des<br />

Box Plor Rata-Rata & Std. Devlasl Curah Hujan Bulanan Selama 10 Tahun (1998-2007) Pada<br />

Klaster 3<br />

WJ[mm ,__ .m . u<br />

550 - ' '<br />

~ 500 : . '<br />

~:58 --- 1:5 ·--·;:·---1·----~ ----<br />

i~~ :--~-:~<br />

-'= 200<br />

~ 150<br />

(.) 1ggt ----r----~----:<br />

Q<br />

Bulan<br />

I<br />

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul<br />

Waktu<br />

I<br />

----: -·- .- - r- -· -·--<br />

Aug Sep Oct Nov Dec<br />

0 Mean±SD<br />

I Mean±:!"SD<br />

j<br />

,. ' ---<br />

D Mean±SD<br />

I Mean±2"SD<br />

Gambar 3-4: Perbandingan pola dan intensitas di Ketapang antara<br />

curah hujan observasi (atas) dengan curah hujan TRMM<br />

metode Fuzzy Clustering (tengah) dan curah hujan metode<br />

Ward (bawah)<br />

i<br />

I<br />

I<br />

II<br />

A<br />

4 KESIMPULAN<br />

Dengan data curah hujan bulanan TRMM dari tahun 1998<br />

sampai 2007, penggunaan analisis komponen utama sebagai analisis<br />

awal dan analisis klaster dengan metode Ward/ Fuzzy Clustering untuk<br />

mengelompokkan karakteristik curah hujan di Kalimantan Barat<br />

menghasilkan empat kelompok grid yang memiliki karakteristik curah<br />

hujan yang homogen. Jumlah klaster bisa berubah jika ditambahkan<br />

data baru yang membentuk klaster dengan karakteristik yang sangat<br />

berbeda dengan data yang sudah ada, jika deraja~ keanggotaannya<br />

lebih tinggi untuk klaster yang sudah ada maka jumlah klaster tetap.<br />

Perbedaan jumlah grid antar klaster antara metode Ward dan<br />

metode Fuzzy Clustering disebabkan oleh adanya penerapan overlapping<br />

-<br />

97<br />

II


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Jumal Sains Dirgantara Vol. 7 No.~ - [u.ni 291Q_:B2-99<br />

pada metode Fuzzy. se::::.L"lgga gr..d tertentu bisa menjadi anggota ldi dua<br />

klaster atau lebih denga."'1 de:-ajat keanggotaan yang berbeda.<br />

Perbandingan po:a dan intensitas curah hujan antara data<br />

TRMM dan data obserYasi menunjukkan hasil yang baik dengan<br />

koefisien korelasi > 0, 7. Pembandingan intensitas curah hujan<br />

berdasarkan dua metode menunjukkan bahwa metode Fuzzy Clustering<br />

lebih baik dibandingkan metode Ward, namun pembandingan spasial<br />

klaster di daratan menunjukkan bahwa metode Ward lebih mendekati<br />

observasi.<br />

Pola curah hujan monsunal ditunjukkan oleh klaster 2/4<br />

(gabungan daratan dan lautan) dan pola ekuatorial ditunjukkan oleh<br />

klaster 1/1, 3/3 dan 4/2 (daratan dan gabungan daratan dan lautan).<br />

Pola ekuatorial di daratan Kalimantan Barat sesuai dengan observasi,<br />

namun pola curah hujan di klaster 1/ 1 yang seharusnya monsunal<br />

ternyata ekuatorial. Dengan demikian, data TRMM menunjukkan<br />

bahwa di wilayah lautan sekitar Kalimantan Barat pengaruh posisi<br />

matahari di atas ekuator / ekinoks lebih kuat dibandingkan pengaruh<br />

monsun.<br />

DAFTAR RUJUK.AN<br />

http:/ jtrmm.gsfc.nasa.govjdidownload Maret 2009.<br />

Bayong, T. H. K., 2004. Klimatologi, Edisi kedua, Penerbit ITB.<br />

Degaetano, A. T., 1996. Delineation of Mesoscale Climate Zones in The<br />

Northeastern United States using a Novel Approach to Cluster<br />

. Ana,_lysis, . Journal of Climate, 9.<br />

Hair,· J,: F.;; Anderson, R. E.; Tatham, R. L.; and Black, W. C., 1998.<br />

,~;<br />

1<br />

.)!'11 ly.[~;gtivariate Data Analysis, Fifth edition, Prentice Hall<br />

International, Inc., Upper Saddle River, New Jersey.<br />

Haryoko, U., 2009. Pewilayahan Hujan untuk Menentukan Pola Hujan<br />

(contoh kasus Kabupaten Indramayu}, http:/ jwww.<br />

staklimpondokbetung.net/ publikasi/ didownload Juli 2009.<br />

Johnson, R. A., and Wichem, D. W., 1992. Applied Multivariate<br />

Statistical Analysis, Fifth edition, Prentice Hall, Englewood Cliffis,<br />

New Jersey. ·<br />

Klawonn, F. and Hoppner, F., 2001. A New Approach to Fuzzy<br />

Partitioning, Proc. of the Joint 9th IFSA World Congress and 20th<br />

NAF!PS International Conference, Vancouver, Canada.<br />

Mimmack, G. M.; Mason, S. J . and Galphin, J . S., 2000. Choice of<br />

Distance Matrices in Cluster Analysis: Defil\ing Regions, Journal<br />

ofClimate, 14.<br />

'<br />

Pravitasari, A. A., 2008. Analisis Pengelompokkan dengan Fuzzy Z­<br />

Means Cluster (Kasus Pengelompokkan Kecamatan di Kabupaten<br />

-<br />

98


iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pu.gelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni eta!.) .<br />

Tuban berdasarkan Tir.gka~ Partisipasi Pendidikan), Tesis Master,<br />

ITS.<br />

Rencher, A. C., 2001. Methods of Multivariate Analysis, Second -Edition,<br />

A Wiley-Interscience Publication, United States.<br />

Sharma, S., 1996. Applied Multivariate Techniques, A Wiley-Interscience<br />

Publication, United States.<br />

Xie, X. L. and Benni, G., 199 1. A Validity Measure for Fuzzy Clustering,<br />

IEEE Transactions on Pattern Analysis and Machine Intelligence, 13.<br />

~<br />

-<br />

99


lnformasi Data INDERAJA<br />

Siklus Hid up Silklon Tropis Freddy<br />

dan Dampaknya Terhadap<br />

Atmosfer Indonesia<br />

Ina Junaeni<br />

Pusat Pemanfaatan Sa ins Atmosfer dan Iklim, LAPAN<br />

iklim seperti El Nino, La Nina di lautan<br />

Pasifik serta Dipole Mode di lautan Hindia merupakan<br />

fenomena iklim yang berkaitan dengan<br />

F!nomena<br />

fluktuasi cuaca/ iklim di wilayah Indonesia. Fenomena<br />

ersebut mengganggu sistem sirkulasi dalam arah meridional<br />

sehingga proses konveksi, proses pembentukan<br />

awan dan hujan di wilayah Indonesia menjadi aktif pada<br />

kejadian La Nifia dan Dipole Mode lautan Hindia negatif<br />

ehingga mendorong terjadi banjir dan menjadi kurang<br />

aktif pada kejadian El Nino dan Dipole Mode lautan Hindia<br />

positif sehingga mendorong terjadinya kekeringan.<br />

Kondisi ekstrim seperti diatas dapat juga ditimbulkan<br />

oleh adanya siklon tropis. Siklon tropis yang kuat akan<br />

menarik massa udara disekelilingnya sehingga aktivitas<br />

konveksi menjadi berkurang yang dampaknya adalah<br />

curah hujan menjadi rendah, tetapi ditempat lain tepatnya<br />

diwilayah dinding siklon terjadi hujan dengan intensitas<br />

tinggi.<br />

Siklon tropis adalah pusaran arus berbentuk spiral<br />

yang terjadi di wilayah lautan tropis. Meskipun<br />

jumlahnya lebih kecil dibandingkan siklon subtropis<br />

namun mempunyai kemampuan merusak yang lebih<br />

tinggi (Bowditch, 1995). Pada mas a sekarang siklon<br />

tropis mengalami peningkatan frekuensi dan kekuatan<br />

(Emanuel, 2005; Webster et at., 2005). Seiring peningkatan<br />

frekuensi siklon tropis, penelitian yang mengkaji<br />

mekanisme, variabilitas dan faktor-faktor yang berpengaruh<br />

terhadap siklon juga meningkat. Peningkatan<br />

freh.ruensi siklon yang terjadi pada masa se~ahg kemudian<br />

dikaitkan dengan masalah perubahan iklim.<br />

sehingga banyak penelitian yang meghubungkan siklon<br />


lnformasi Data IN DE RAJA<br />

-- atau pusat siklon dan dinding siKlo<br />

~t kencang berada di dalam dindin2" s=·-·<br />

~ .... :~g siklon bisa mencapai ratusan km. o·<br />

merupakan wilayah paling berbahaya d<br />

-ena angin sangat kuat dan disertai hujan yang sanga<br />

~ Di dalam mata siklon kondisi sangatjauh berbeda,<br />

cuaca cerah dengan angin yang bertiup lemah.<br />

· bar mata atau pusat siklon bervariasi mulai 10 sam­<br />

- ratusan km. Struktur vertikal siklon diperlihatkan<br />

Gambar 1. Siklon tropis mendapatkan energi dari<br />

as lautan tropis dan tidak akan terbentuk jika suhu<br />

oe..-mukaan laut kurang dari 26,5°C. Umur siklon tropis<br />

· sanya hanya beberapa hari. Siklon akan melemah dan<br />

- .·nudian lenyap jika bergerak ke arah daratan atau ke<br />

co...


lnformasi Data IN DE RAJA<br />

!•c.o<br />

i<br />

~.bc§ZS•~;.~.,.q~ :<br />

sk.- ;51 -!(1<br />

I #<br />

~<br />

! ' ' ..<br />

I! linlasan siOOn Fredd1 ~-~''\_..--, L"";l ':.., e,;;.'<br />

L:<br />

1'><br />

'l%1s<br />

""¢<br />

_/' 40 , , \. \\ ~\ "\_.. '\-.;_ IIOOme<br />

~ ~ _. ~ ~ I J t ~~<br />

'\ I '/~<br />

~ · ~~ I . -• r--:Portl~ --l---:;.:;_<br />

~ .~<br />

""¢<br />

1-!<br />

J<br />

Australia<br />

J - -<br />

I<br />

Gambar 2. Lintasa n dan siklus hidup siklon Freddy<br />

http:/ /www.bom.gov.au/<br />

-"2S<br />

-'<br />

12<br />

• lkuraldindfrg sikJon<br />

• Jr.KdrD1QcmP. .awa<br />

10<br />

8<br />

1ii<br />

'!' 6<br />

c!<br />

4<br />

2<br />

0<br />

-<br />

.<br />

2<br />

'<br />

4<br />

- 6 7 - 9<br />

10 11<br />

waktu 12<br />

( ~ 00 U1C 8 febnai 2009 ~ JUU 20.00 U1C9 Fellruari 2009 atau<br />

Pl.W 07.00 WIB 8 Fe:bnm 2009 Sln1l'i JUU 03.00 WIB 10 Fellruari 2009)<br />

Gam bar 3. Grafik ukuran dinding siklon Freddy dan jaraknya dari P. Jawa<br />

bar 3 , yang diamati dari citra satelit MTSAT. Ukur­<br />

~ _.;~rl; .. g siklon paling besar hampir mencapai 2 dera­<br />

---u sekitar 222 km terjadi pada tanggal 8 Februari<br />

illl 04.00 UTC atau pukulll.OO WIB sampai pu­<br />

"'\\lB dan pukul 00.00 UTC atau pukul 07.00<br />

·--ggal 9 Februari 2009. Ukuran siklon di luar<br />

tersebut berada dalam kisaran 1 derajat t'in km)<br />

=;>ei beherapa km dalam bentuk spot-spot tekanan.<br />

--tara jarak din ding siklon dari P. J awa mencapai<br />

titik terdekat pada tanggal 8 Februari pukulll.OO WIB<br />

yaitu dengan jarak 5 ~derajat a tau sekitar 555 km. Setelah<br />

itu dinding siklon Freddy semakin menjauhi P. Jawa.<br />

Dampaknya Terhadap Kondisi Cuaca/lklim (Atmosfer)<br />

di Indonesia<br />

Sebelum siklon Freddy dinyatakan sebagai siklon<br />

tropis, berdasarkan citra satelit MTSAT IR, liputan awan<br />

di atas wilayah Indonesia pada tanggal 2 Februari 2009<br />

BERITA INDERAJA, Volume VIII , No. 15, Desember 2009


lnformasi Data IN DE RAJA<br />

c..-or. Hoj-1n (rrm)<br />

5 ·~ 25 J~ 4!i<br />

Gam bar 4. Kiri: Citra satelit MTSAT Infra merah :Data base Bidang Pemodelan lklim- Pusfatsatklim, LAPAN) dan kanan:<br />

estimasi curah hujan TRMM tanggal 2 Februari 2009 pukul1 3.3 0 WIB (http://www.lapanrs.com/ SMBA/ smba.php).<br />

Gambar 4) menunjukkan indikasi adanya awan tebal<br />

' atas Kalimantan barat dan Kalimantan selatan, lautan<br />

Hindia sebelah timur, laut Jawa dan Jawa bagian barat,<br />

apua dan perairan sebelah utara Papua. Berdasarkan<br />

'rra satelit yang sama, estimasi curah hujan menunjukkejadian<br />

curah hujan di lokasi dengan liputan awan<br />

-ebal tersebut. Selanjutnya, sampai tanggal 3 Februari<br />

tengah malam, liputan awan dan hujan di atas wilayah<br />

Indonesia berfluktuasi dengan suhu kecerahan awan<br />

200


lnfonnasi Data INDERAJA<br />

""'iO<br />

""'iO<br />

Gambar 5. Arah dan kecepatan angin di atas permukaan wilayah Indonesia pada tanggal 8 dan 12 Februari 2009<br />

(NCEP/NCAR Reanalysis)<br />

Gambar 6. Citra satelit MTSAT infra merah tanggal 6, 7 dan 8 2009 pukul13.30 WIB (Data base Bidang Pemodelan<br />

..<br />

•<br />

~<br />

•<br />

n<br />

.<br />

:j 4<br />

,.<br />

,.<br />

r'iilloc .. .. ... ,..<br />

~<br />

~<br />

lklim- Pusfatsatklim, LAPAN)<br />

-<br />

'"<br />

.<br />

..<br />

•<br />

C..... h;fz ff!' -<br />

~ ~ )~ 4$<br />

Gam bar 7. Estimasi curah hujan dari Tl<br />

(http·<br />

(!It~~·~"' {mr!'l)<br />

tanggal 6, 7 dan 8 Februari pukul13.00 WIB<br />

Si..13A/ smba.php)<br />

•J<br />

INDERAJA. Volume VIII, No. 15, Desember 2009


( UIDJB:l ~::>U d detfe! fB<br />

OIOZ I I I


Aktivitas Siklon Tropis di Lautan Pasifik Barat dan Lautan China Selatan dan<br />

Dampaknya Terhadap Curah Hujan di Indonesia<br />

Ina Juaeni<br />

inajuaeni@yahoo. com<br />

Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan lkli<br />

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional<br />

Siklon bermula dari gelombang atmosfer yang kemudian berubah menjadi spot<br />

·ekanan rendah dan kemudian berkembang menjadi badai. Jika terjadi peningkatan<br />

ecepatan angin, maka badai berubah menjadi siklon. Di wilayah tropis, 85 % kejadian<br />

siklon dipicu oleh gelombang tropis. Ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi untuk<br />

berkembangnya siklon, yaitu : suhu muka laut harus lebih besar dari 26.5 °C, gaya<br />

Coriolis tidak nol dan harus mencapai nilai tertentu. Gaya Coriolis diperlukan untuk<br />

tetap mempertahankan spot tekanan rendah dari siklon. Jika siklon bergerak ke arah<br />

ekuator dimana gaya Coriolisnya rendah, spin/putaran siklon akan melemah akibat<br />

tidak ada keseimbangan antara gaya Coriolis dengan gaya gradien tekanan (Gambar<br />

1, Sumber: http://web.mit.edu/). Syarat lain terjadinya siklon adalah shear angin vertikal<br />

rendah agar terjadi gerakan spiral vertikal.<br />

~<br />

. .<br />

Gambar 1 Skema aliran uda~ di sekitar spot tekanan rendah (di Belahan Bumi Utara).<br />

Graden tekanan di gambarkan o!eh panah berwarna biru<br />

(Sumber: http://web.mit.edu/)


0-a ~ oersyaratan tersebut maka wilayah yang potensial untuk terjadinY.a siklon adalah<br />

ah tropis dan subtropis, atau pada zona konvergensi tropis/ zona fronU palung<br />

sun,lokasi dimana sering te~ad i tekanan rendah, seperti diperlihatkan pada<br />

Gambar 2 (Sumber:http://www.windows.ucar.edu/earth/images/). Setiap wilayah<br />

..... enamai badai besar dengan nama yang berbeda. Nama siklon (cyclone) digunakan<br />

uk wilayah lautan Hindia, laut China selatan dan Pasifik barat. Di Pasifik barat<br />

agian utara, badai dinamai typhoon. Di lautan Atlantik dan Pasifik timur dinamai<br />

urricane. Siklon di wilayah tropis biasanya berada pad a wilayah 10 sampai 30 derajat<br />

rintang utara (LU) atau lintang selatan (LS). Karena Coriolis yang lemah yang terkait<br />

dengan rotasi bumi, jarang sekali terjadi siklon di wilayah 5 derajat LU/ LS apalagi<br />

sampai di wilayah 0 derajat, tetapi kenyataannya ada juga siklon yang sampai wilayah 5<br />

derajat LU/ LS seperti kejadian siklon Vamei tahun 2001 dan siklon Agni tahun 2004. Di<br />

Atlantik utara dan Pasifik timur laut, angin pasat atau angin yang bergerak ke arah barat<br />

membawa gelombang tropis ke arah barat, dari Afrika ke laut Karibia, lalu ke Amerika<br />

utara terakhir sampai di laut Pasifik tengah. Gelombang tropis ini merupakan prekursor<br />

bagi siklon tropis. Di lautan Hindia dan Pasifik barat, perkembangan siklon lebih<br />

ditentukan oleh gerakan musiman dari palung monsun atau zona tekanan rendah atau<br />

ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone) dibandingkan oleh gelombang. Siklon tropis<br />

juga dapat dibangkitkan oleh sistem lain seperti sistem tekanan rendah, sistem tekanan<br />

tinggi, front panas dan front dingin (Velasco and Fritsch, 1987; Chen and Frank, 1993;<br />

Emanuel, 1993; Zehr, 1992).<br />

Tempat terjadi yang berdekatan dengan wilayah Indonesia ditambah dengan<br />

sistem pemicunya yang sangat berhubungan dengan kondisi cuaca dan iklim Indonesia,<br />

maka siklon tropis merupakan unsur atmosfer yang perlu dikaji. Selain meneliti<br />

variabilitasnya dan perilakunya dipandang perlu untuk meneliti dampak siklon tropis<br />

terhadap atmosfer Indonesia, khususnya curah hujan. Terlebih akhir-akhir ini siklon<br />

tropis mengalami peningkatan frekuensi dan kekuatan (Emanuel, 2005; Webster eta/.,<br />

2005).<br />

Untuk mempelajari perilaku dan dampak siklon tropis terhadap kondisi atmosfer<br />

Indonesia digunakan data radar presipitasi (PR), TRMM (Tropical Rainfall Measuring<br />

Mission), Microwave Imager ("tt11) dan VIRS (Visible and Infrared Scanner] yang<br />

2


iunduh dari http://trmm.gsfc.nasa.gov1 untuk periode tahun 2008 dan 2009 serta data<br />

angin NNR (NCEPI NCAR Reanalysis) dari http://www.esrl.noaa.gov/psd/. PR<br />

empunyai resolusi horisontal - 5 km dan dapat memberikan informasi struktur vertikal<br />

ujan dan salju mulai permukaan sampai ketinggian 20 km. TMI adalah sensor<br />

gelombang mikro yang dirancang untuk memberikan informasi kuantitas curah hujan<br />

melalui pengukuran jumlah uap air, jumlah air dalam awan dan intensitas curah hujan.<br />

VI RS adalah pemantau radiasi yang datang dari bumi dalam 5 wilayah spektral, dari<br />

visibel sampai infrared, atau dari 0,63 sampai 12 mikrometer. Wilayah penelitian<br />

dibatasi di teluk Benggala dan lautan Pasifik Barat (di tunjukkan dengan anak panah<br />

pada Gambar 2), sebagai lokasi terjadinya siklon yang berdekatan dengan wilayah<br />

Indonesia.<br />

Gambar 2. Peta lokasi badai dan lokasi penelitian<br />

(Sumber:http://www.windows.ucar.edu/earth/images/)<br />

Siklon di Pasifik Barat • ~<br />

Pada tahun 2008, data gabungan dari PR, TMI dan VIRS<br />

(http://trmm.gsfc.nasa.gov) menunjukkan terjadi 74 kejadian siklon dari 47 siklon yang<br />

berbeda di lautan Pasifik barat. Berarti, ada siklon yang terjadi lebih dari satu kali yaitu<br />

3


siklon-siklon 96W, INVEST. 9<br />

VONGFONG (Gambar 3).<br />

1<br />

97W, 96W, 24W, 21W, 16W, 98W dan<br />

~5<br />

§4<br />

..c<br />

~<br />

6 -<br />

1!3<br />

..c "'<br />

~2<br />

·;;;<br />

"'<br />

':: 1<br />

~<br />

:::J<br />

..!!!o<br />

:0<br />

c<br />

0<br />

::;;;;<br />

·;;;<br />

.,.,<br />

c<br />

"' :::J<br />

~ ......<br />

2008<br />

~ ..:a:oa::tal.!)ao<br />

~~:;: [~ z!-~; j :;: j j!;;<br />

z~ ~ ~<br />

~<br />

l 371381391 41 ~ 4 ~43 J 44 1 4S ! 46 I 47 I<br />

Gambar 3. Frekuensi kejadian siklon di lautan Pasifik barat tahun 2008<br />

Frekuensi kejadian siklon 96W dan 24W tertinggi selama tahun 2008 yaitu 5<br />

kejadian. Dari 47 siklon baru 21 yang sudah diberi nama sisanya hanya diberi kode.<br />

Siklon terjadi hampir sepanjang tahun dengan waktu hidup satu sampai 11 hari. Siklon<br />

SINLAKU adalah siklon dengan waktu hidup terlama tahun 2008, yaitu 11 hari.<br />

Kekuatan siklon yang diidentifikasi dengan estimasi kecepatan angin permukaan<br />

maksimum sangat bervariasi (Cooper et a/., 2008). Kecepatan angin pada siklon tahun<br />

2008 bervariasi mulai 33 knot sampai 145 knot. Siklon JANGMI mempunyai kecepatan<br />

angin terbesar yaitu 145 knot, yang terjadi mulai 23 September sampai 1 Oktober 2008<br />

(Tabel 1 ). Bentuk visual siklon JANGMI pad a tanggal 26 September 2008 yang terekam<br />

oleh PR, TMI dan VIRS diperlihatkan pada (Gambar 4). Gambar tersebut juga<br />

menunjukkan distribusi spasial curah hujan pada dinding siklon. Garis penampang yang<br />

dibuat melalui siklon tersebut menunjukkan aktivitas hujaQ yang aktif pada dinding<br />

siklon, sedangkan pada mata siklon cuaca tampak cerah. Semakin jauh dari mata<br />

siklon curah hujan semakin kecil. Curah hujan tertinggi berada pada wilayah dengan<br />

jarak kurang dari 1 derajat (-111 km) dari mata siklon. Salah satu siklon dengan<br />

kecepatan angin rendah yaitu -40 knot adalah siklon HIGOS, bentuk visualnya<br />

4


diperlihatkan pada (Gambar 5). Siklon HIGOS adalah salah satu siklon yang bentuknya<br />

tidak simetris dan mata siklon juga kurang jelas terlihat. lni merupakan salah satu tanda<br />

siklon yang lemah.<br />

Tabel 1. Siklon tropis di Pasifik barat tahun 2008 (Sumber: Cooper eta/. , 2008)<br />

Nama Peri ode Peringatan v P (mb)<br />

(knot)<br />

TS01W 13-16 Januari 13 40 992<br />

TY 02W-Neoguri 14-20 April 23 100 948<br />

STY 03W-Rammasum 7-12 Mei 23 135 921<br />

TS 04W-Matmo 14-16 Mei 9 40 992<br />

TY 05W- Halong 15-20 Mei 19 75 966<br />

TY 06W- Nakri 27 Mei-3 Juni 29 125 929<br />

TY 07W- Fengshen 18-25 Juni 29 110 940<br />

TY 08W-Kalmaegi 14-18Juli 19 90 955<br />

TY 09W- Fung-Wong 24-28 Juli 18 95 951<br />

TS 1 OW-Kammuri 4-6 Agustus 12 50 985<br />

TS 11W 13-14 Agustus 7 35 996<br />

TS 12W-Vongfong 14-16 Agustus 9 55 981<br />

TY 13W-Nuri 17-22 Agustus 24 100 948<br />

TS 14W 26-28 Agustus 7 35 996<br />

TY 15W- Sinlaku 8-20 September 47 125 929<br />

TS 16W 10-11 September 8 35 996<br />

TS 17W 14 September 1 40 992<br />

TY 18W-Hagupit 18-24 September 24 125 929<br />

STY 19W-Jangmi 23 September-1 29 145 914<br />

Oktober<br />

TS 20W-Mekkhala 28-30 September 7 55 981<br />

TS 21W-Higos 29 September-4 21 45 988<br />

Oktober<br />

I<br />

TS22W 14-15 Oktober 6 35 996 I<br />

TS 23W-Bavi 18-20 Oktober 6 50 985 I<br />

TS 24W- Maysak 7-10 November 14 55 981 I<br />

TS 25W-Haishen 15-16 November 4 40 992<br />

1<br />

TS 26W-Noul 16-17 November 7 40 992 T_y_ 27\f,/- Dolp]lin 10-18 Desember 33 90 955 I<br />

e:erangan:<br />

~<br />

- :-:gi


Gambar 4. Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon JANGMI, Kanan: Penampang<br />

curah hujan di tengah siklon dari titik A sampai titik B<br />

(http://trmm.gsfc. nasa .gov)<br />

Gambar 5. Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon HIGOS, Kanan: Penampang<br />

curah hujan di tengah siklon dari titik A sampai titik B<br />

(http://trmm.gsfc.nasa.gov)<br />

Pada tahun 2009, terjadi 76 kejadian dari 50 jenis siklon di lautan Pasifik Barat.<br />

Siklon-siklon yang terjadi lebih dari satu kali pada tahun 20D9 adalah 99W, 98W, 97W,<br />

96W, 95W, 94W, 93W, 92W, 91W, 90W dan AL (Gambar 6). Siklon terjadi hampir<br />

sepanjang tahun, dengan waktu hidup (life time) satu sampai empat belas hari. Siklon<br />

.,<br />

PARMA adalah siklon dengan waktu hidup terlama tahun 2009, yaitu 18 hari.<br />

6


Kecepatan angin dalam siklon bervariasi dari 25 knot (siklon 24 W) sampai 150 knot<br />

(Tabel 2).<br />

.... =<br />

0\<br />

6<br />

c:<br />

::::J<br />

..c: 5<br />

.!!!<br />

~<br />

..,.<br />

"' 4<br />

~<br />

·;;;<br />

Q.<br />

"'<br />

c: 3<br />

.!!!<br />

::::J<br />

..!!!<br />

'0 2<br />

c:<br />

0<br />

::;;;;<br />

·;;;<br />

·;;;<br />

c:<br />

1<br />

"'<br />

::::J<br />

-"'<br />

~<br />

....<br />

0<br />

I 2009<br />

Gambar 6. Frekuensi kejadian siklon di lautan Pasifik barat tahun 2009<br />

Dari uraian di atas nampak bahwa frekuensi kejadian siklon tahun 2008 dan<br />

2009 tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Dari perbandingan antar tahun<br />

tersebut juga teridentifikasi bahwa tidak semua siklon mempunyai periode satu tahun<br />

atau dengan kata lain siklon tidak selalu berulang setiap tahun, bahkan siklon yang<br />

muncul tahun 2008 berbeda dengan yang terjadi pada tahun 2009.<br />

Tabel 2. Siklon tropis di Pasifik barat tahun 2009 (Sumber: Cooper eta/. , 2008)<br />

Nama Peri ode Peringatan v P (mb)<br />

(knot)<br />

TY 01W- Kujira 2-7 Mei 20 . 115 936<br />

TY 02W- Chan-Hom 3-11 Mei 29 . 90 955<br />

TY 03W- Linfa 17-22 Juni 21 75 966<br />

TS 04W- Nangka 22-26 Juni 18 45 988<br />

TS 05W- Soulder 9-12Juli 11 35 996<br />

TD06W 13-14 Juli 5 30 1000<br />

TY 07W- Molave 15-19 Juli 16 105 944<br />

TS 08W- Goni 2 !8 Agustus 15 45 988<br />

!<br />

:1<br />

7


TY 09W- Morakot 3-9 Agustus 25 80 963<br />

TS 10W- Etau 8 - 12 Agustus 18 40 . 992<br />

TY 11W- Vamco 17 - 25 Agustus 34 120 933<br />

TY 12W- Krovanh 28 - 31 Agustus 16 65 974<br />

TS 13W- Dujuan 3 - 8 September 25 55 981<br />

TO 14W- Mujigae 9 - 12 September 12 30 1000<br />

STY 15W- Choi-Wan 12 - 20 September 33 140 918<br />

TY 16W- Koppu 13 - 15 September 9 75 966<br />

TY 17W - Ketsana 25 - 29 September 19 90 955<br />

TD18W 27 - 30 September 13 30 1000<br />

STY 19W-Parma 27 September- 14 68 135 921<br />

Oktober<br />

STY 20W-Melor 29 September - 9 38 150 910<br />

Oktober<br />

TS 21W-Nepartak 8 - 13 Oktober 20 55 981<br />

STY 22W- Lupit 14 - 26 Oktober 49 918<br />

TY 23W- Mirinae 26 Oktober - 2 31 140 955<br />

November<br />

TD24W 2 - 3 November 2 90 1003<br />

TS25W 7- 9 November 10 25 988<br />

STY 26W-Nida 22 November - 03 45 150 910<br />

Desember<br />

TD27W 23 - 24 November 5 30 1000<br />

TD28W 5 Desember 1 30 1000<br />

TS 01C-Maka 14-18 Agustus 15 45 988<br />

TD02C 30 Agustus 2 30 1000<br />

Siklon di Teluk Benggala<br />

Di teluk Benggala, pada tahun 2008 terjadi 14 kejadian dari 13 jenis siklon, atau<br />

ada siklon yang terjadi dua kali yaitu siklon 928, siklon lain hanya te~adi satu kali<br />

(Gambar 7). Siklon NARGIS adalah siklon dengan kekuatan angin tertinggi pada tanun<br />

2008, yaitu 115 knot (Tabel 3). Meskipun cukup kuat, tetapi siklon ini tidak memben·<br />

mata siklon atau mata siklon tidak jelas. Distribusi spasial curah hujan nampak<br />

berkumpul ditengah siklon (Gambar 8. Kiri). Siklon NISHA (Gambar 8. Kanan)<br />

dengan intensitas yang lebih kecil menunjukkan distribusi ~pasial curah hujan yang<br />

hampir sama dengan siklon NARGIS, namun siklon NARGIS menunjukkan bentuk yang<br />

lebih simetris dibandingkan siklon NISHA .<br />

.,<br />

8


00<br />

0<br />

0<br />

N<br />

c:<br />

::I<br />

.s::<br />

2<br />

tQ<br />

m,<br />

ao<br />

c:<br />

QJ<br />

a:l<br />

~<br />

::I<br />

~<br />

'0<br />

c:<br />

0<br />

::;;;<br />

·;;:;<br />

·;;:;<br />

c:<br />

QJ<br />

::I<br />

~<br />

QJ<br />

... ....<br />

3 ~<br />

I<br />

2 ~<br />

;<br />

1 J<br />

1 2008<br />

0 -r---r<br />

d)<br />

I d)<br />

r-- lD<br />

0 en<br />

I


l<br />

satu sampai enam hari. Siklon NARGIS adalah siklon yang mempunyai life time terlama<br />

(6 hari) pada tahun 2008, dan siklon WARD (4 hari) pada tahun 2009 (Tabel 4).<br />

Gambar 9 juga menunjukkan ba hwa tidak terjadi peningkatan frekuensi siklon pada<br />

tahun 2009 dibandingkan tahun 2008.<br />

0'1<br />

0<br />

0<br />

"' c<br />

~<br />

.c:<br />

~<br />

n; "'<br />

2<br />

~1<br />

c:<br />

Ql<br />

CD<br />

:c<br />

c<br />

0<br />

::;;:<br />

Vi<br />

·u;<br />

c<br />

Ql<br />

~<br />

""" 0 -1<br />

~ I 0<br />

cr:::<br />

~<br />

3:<br />

1<br />

2009<br />

a:> 1-=-T-=- -r -=- ~, --=-T-=-, -:- -~-<br />

~ W ~ V ~ N ~ 00<br />

o m m m ~ m 4 m a:><br />

2 3 4 5 ~ 1 7 . 8 9<br />

z<br />

Nama siklon<br />

~ T !l l<br />

I 10 I 11 I<br />

Gambar 9. Frekuensi kejadian siklon di teluk Benggala tahun 2009<br />

Tabel 3. Siklon tropis di Hindia Utara tahun 2008 (Sumber: Cooper eta/. , 2008)<br />

Nama Periode Peringatan V (knot)<br />

1 B-Nargis 27 April-3 Mei 25 115<br />

28 16 September 2 45<br />

3A 20-23 Oktober 11 30<br />

48-Rashmi 26-27 Oktober 5 45<br />

58- Khai-Muk 14-16 November 9 45<br />

68-Nisha 25-27 November 7 50<br />

78 4-7 Desember 13 • 35<br />

L_____ ---<br />

Karena lokasi siklon<br />

di Pasifik Barat dan Beng§ala dekat dengan wilayah<br />

Indonesia, putaran/spin siklon a~n menarik massa atmosfer (udara dan atau awan)<br />

10


dari atas wilayah Indonesia akibatnya di atas wilayah Indonesia menjadi cerah. Kasus<br />

seperti ini terjadi pada saat te~ad i siklon NARGIS tanggal28 April 2008 dan siklon 06 8<br />

pada tahun 2009. Ditunjukkan oleh angin dari NNR, terjadi pengalihan massa<br />

udara/awan dari laut Hindia yang seharusnya masuk ke wilayah Indonesia tertarik ke<br />

arah Teluk Benggala (Gam bar 10 dan Gam bar 11).<br />

Tabel4. Siklon tropis di Hindia Utara ffeluk Benggala tahun 2009 (Sumber: Cooper eta/. 2008)<br />

..c::::I<br />

Nama<br />

Bijli<br />

Ail a<br />

Phyan<br />

Ward<br />

2<br />

4-<br />

Periode Peringatan V (knot)<br />

15-17 April 12 50<br />

24-25 Mei 7 65<br />

05 September 1 40<br />

09-11 November 1 40<br />

11-14 Desember 12 45<br />

110E 12


NaP/ NCAR R •u~<br />

'"n/-'), 1 I I I fiii\li\<br />

8 10 12<br />

Gambar 11. Kiri: Image radar TRMM untuk siklon 068 (Sumber: htttp://trmm.gsfc.nasa.gov),<br />

Kanan: Vektor angin dari NNR (Sumber: http://www.esrl.noaa.gov/psdl) pada 12<br />

November 2009)<br />

Curah hujan bulanan dari Precipitation Radar TRMM di wilayah Indonesia pada<br />

tahun 2008 lebih tinggi daripada tahun 2009 terutama setelah bulan Mei (Gambar 12).<br />

Perbedaan curah hujan kumulatif bulanan juga dipengaruhi oleh suplai massa dari<br />

lautan Hindia dan lautan Pasifik. Pada tahun 2008 suplai massa dari lautan Hindia<br />

selatan ke wilayah Indonesia berlangsung sampai bulan April sedangkan pada tahun<br />

2009 hanya sampai bulan Maret. Dari lautan Pasifik, suplai massa pada tahun 2008<br />

berlangsung dari bulan Januari sampai Juli dan November sampai Desember. Pada<br />

tahun 2009, suplai terjadi dari bulan Januari sampai Juni dan bulan Desember. lni<br />

berarti, suplai massa dari kedua lautan tersebut pada tahun 2009 lebih kecil<br />

dibandingkan tahun 2008. Kondisi seperti merupakan salah satu penyebab jumlah<br />

hujan tahun 2009 lebih rendah daripada jumlah curah hujan tahun 2008, karena massa<br />

udara dari lautan Pasifik dan lautan Hindia adalah massa udara dengan kadar uap air<br />

dan salinitas yang tinggi sehingga dapat meningkatkan aktivitas konveksi basah atau<br />

konveksi dengan peluang terjadinya hujan yang tinggi.<br />

.,<br />

12


300 '<br />

I Rata-rata untuk : 10" LU-15° LS, 95°BT-145°BT<br />

250 i<br />

co j<br />

! 150 i<br />

I! '<br />

:s I<br />

u 100 "i<br />

so I<br />

0 J_ _______ --<br />

1 2<br />

-2008<br />

-2009<br />

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Gambar 12. Curah hujan kumulatif bulanan tahun 2008 dan 2009 berdasarkan TRMM untuk<br />

Bulan<br />

wilayah Indonesia (10° LU s/d 15° LS, 95° BT s/d 145 °8T)<br />

-<br />

13


PEMANFAATAN CURAH HUJAN TRMM DASARIAN UNTUK PENGELOMPOKKAN DAN PENENTUAN KALENDER TANAM<br />

POTENSIAL<br />

ABS<br />

Curah hujan TRMM tipe 3842 adalah curah hujan/presipitasi Tropical Rainfall<br />

Measuring Mission (TRMM) yang digabung dengan presipitasi infrared/high quality<br />

(HQ) dalam grid yang mempunyai resolusi waktu 3-jam dan resolusi spasial 0,25° X<br />

0,25° dalam cakupan global 50° lintang selatan sampai 50° lintang utara. Data curah<br />

hujan dapat digunakan sejak tahun 1998 sampai saat ini, namun dalam penelitian ini<br />

digunakan periode pengamatan tahun 1998 sampai dengan 2009. Curah hujan 3 jaman<br />

diakumulasi setiap 10 hari ( ). Pengelompokkan curah hujan dengan<br />

metoae klaster menghasilkan 10 klaster untuk P. Sumatera, P. Jawa dan Papua<br />

serta 12 klaster untuk Kalimantan dan Sulawesi. Jumlah klaster tersebut meliputi<br />

klaster yang ada di lautan. Kalender tanam untuk setiap klaster ditentukan<br />

berdasarkan kebutuhan padi terhadap air (50 mm/dasarian), sehingga diperoleh 3 jenis<br />

kalender tanam yaitu s~tu kali tanam dalam setahun, dua kali tanam dalam setahun<br />

dan tiga kali tanam (se~anjang tahun). Dua kali menanam padi dalam setahun terjadi<br />

di P. Jawa dan Bali. Daerah dengan satu kali tanam sepanjang tahun adalah Nusa<br />

Tenggara, karena hujan dengan lntensltas yang cukup hanya terjadi di awal tahun.<br />

Sedangkan di Sumatera Barat, menanam padi bisa dilakukan hampir sepanjang tahun.<br />

Ina Juaer M Hardjana<br />

nr<br />

n<br />

Bidang Pemodelan lklim, Pusat Pemanfaatan Sa ins Atmosfer dan lkllm - LAPAN<br />

Jl. Dr. Junjunan 133 Phone (022)6037445 Fax. (022)6037443 Bandung, 40173<br />

3<br />

Data curah hujan TRMM lulus uji deteksi outlier karena nilai signifikansi > 0.001 dan<br />

multikolinearitas menunjukkan bilangan kondisi (k) >1000 maka dapat dilakukan analisis komponen utan<br />

Hasil analisis komponen ~rna Jnilah yang kemudian menjadi input untuk analisis klaster. Pengaplikasi<br />

metode klaster Ward pada data curah hujan TRMM akumulasi 10 harian menghasilkan 10 jumlah klas<br />

untuk 3 wilayah dan 12 klaster untuk 2 wilayah (gambar 2, tabel 1). Klaster terbanyak yaitu 12 terdapat<br />

Kalimantan dan Sulawesi atau wilayah tengah utara Indonesia. Berdasarkan peneglompokkan inL kemudi<br />

ditentukan dasarian potensial untuk menentukan kalehder tanam . Beberapa contoh dasarian dan kalen<<br />

tanam potensial diperlihatkan berturut-turut pada tabel 2, tabel 3, tabel 4 dan tabel 5.<br />

LAPA<br />

Sejak dipublikasi tahun 1998, data TRMM semakin sering digunakan dalam<br />

berbagai kajian masalah cuaca dan iklim di Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa<br />

keunggulan yang dimiliki data curah hujan TRMM, seperti keunggulan dalam<br />

cakupan wilayah yang luas, kemampuannya dalam memetakan variasi curah hujan<br />

spasial dan temporal yang besar serta kemampuannya dalam memberikan data<br />

curah hujan dengan resolusi sampai 5 km.<br />

Sebelumnya data curah hujan TRMM hanya digunakan untuk tujuan<br />

penelitian murni, tetapi dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa data TRMM dapat<br />

digunakan untuk pengelompokkan atau· klastering curah hujan dan penentuan<br />

kalender tanam potensial sebagai bentul(' pengembangan pemanfaatan data curah<br />

hujanTRMM.<br />

(!)<br />

-6<br />

~ .a<br />

tz -10<br />

:::J<br />

-12<br />

95<br />

Gamn<br />

Bul•nke<br />

DINrllln Ice<br />

Waklvtln.m<br />

100 105 110 115 120 125 1ll<br />

BUJUR<br />

Hasu klar:;ter<br />

yan<br />

Magelang (wllayah II)<br />

,.<br />

Penelitian dengan menggunakan data TRMM dan penerapan metode<br />

klastering ini merupakan kajian yang menggabungkan data lapangan dengan data<br />

observasi. Data lapangan adalah data jadwal tan am dan I k&W .•. C. m - ..<br />

kondisi daerah sentra pangan yang diperoleh dengan<br />

kunjungan dan diskusi ke beberapa lokasi sentra<br />

pangan, sebagai sampel. Data observasi adalah data<br />

curah hujan TRMM dan data observasi curah hujan<br />

dibeberapa lokasi sampel (di Kalimantan Barat) untuk<br />

mengkonfirmasi data curah hujan TRMM terhadap data<br />

observasi. Data TRMM yang digunakan adalah TRMM<br />

3842 Versi 6 dengan resolusi 0.25 x 0.25° dalam peri ode<br />

1998 sampai dengan 2009.<br />

"""'"' O..n1nke<br />

WlkiUl•nem<br />

Probolinggo (wilayah II)<br />

10<br />

Denpasar/Tabanan (wilayah II)<br />

9 I 1Q I ,, I 12<br />

12 l 13 l 14 l 15 l t6 l 17 l 18 l 19 ] ~121 l 22 l ~ l ~ l ~l~ l 27 l ~ l ~ l ~l~l~ l " l ~ l ~ l ~<br />

Manado (klaster 9 wilayah IV )<br />

1 I 2 ll I 4 I s I e I 1 I a I 9 I 10 I 11 112 I 13 I 14 I 15 1 115 I 11 I 18 I ts I 20 I 21 I 22 I 23

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!