Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
AP<br />
PENGEMBANGAN PEMANFAATAN DATATRMM<br />
UNTUK MENUNJANG KETAHANAN PANGAN<br />
LAPORAN AKHIR<br />
PENELITI UTAMA: INA JUAENI<br />
PROGRAM INSENTIF RISET<br />
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI (DIKTI)<br />
TAHUN 2010<br />
KATEGORI: RISET TERAPAN<br />
~<br />
PUSAT PEMANFAATAN SAINS ATMOSFER DAN IKLIM<br />
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL<br />
JL. Dr. DJUNDJUN~N 133, BANDUNG 40173
LEMBAR PENGESAHAN<br />
Bandung, 22 November 2010<br />
Dr. Ina Juaeni<br />
NIP: 19641001 198903 2 007<br />
Mengetahui/ Menyetujui :<br />
Ka. Bidang Pemodelan lklim<br />
Dr. Teguh Hardjana<br />
NIP: 19591027 198702 1 001 NIP : 19641129 199103 1 004<br />
~<br />
.,<br />
ii
SUSUNAN TIM PENELITIAN<br />
1. Dr. Ina Juaeni (Peneliti Utama, lAPAN-Bandung)<br />
2. Dr. Teguh Hardjana, M.T (Peneliti, lAPAN-Bandung)<br />
3. Drs. Nurzaman A., MSi. (Peneliti, lAPAN-Bandung)<br />
4. Drs. Arief Suryantoro, MSi (Peneliti, lAPAN-Bandung)<br />
5. Drs. Martono, MSi. (Peneliti, lAPAN-Bandung)<br />
Diusulkan<br />
Dimulai<br />
Diperkirakan selesai<br />
: 2010<br />
: 1 Februari 2010<br />
: 31 November 201 0<br />
PUSAT PEMANFAATAN SAINS ATMOSFER DAN IKLIM<br />
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL<br />
JL. Dr. DJUNDJUNAN 133, BANDUNG 40173<br />
. ~<br />
til"<br />
iii
RINGKASAN<br />
Curah hujan TRMM tipe 3842 adalah curah hujan/presipitasi Tropical Rainfall<br />
.<br />
Measuring Mission (TRMM) yang digabung dengan presipitasi infrared/high quality<br />
(HQ) dalam grid yang mempunyai resolusi waktu tertinggi 3 jam-an dan resolusi<br />
spasial 0,25° X 0,25° dalam cakupan global 50° lintang selatan sampai 50° lintang<br />
utara.<br />
Data TRMM dianalisis melalui tahapan berikut:<br />
1. Menguji kesesuaian pola curah hujan TRMM dengan pola curah hujan<br />
observasi<br />
2. Pengelompokkan curah hujan dengan metode Ward<br />
3. Penentuan dasarian potensial dan kalender tanam potensial<br />
4. Penentuan curah hujan ekstrim<br />
Data curah TRMM tipe 3642 yang digunakan dalam penelitian ini adalah data<br />
dengan resolusi waktu 10 harian , resolusi ruang 0,25 x 0,25° dan periode data dari tahun<br />
1998 sampai dengan 2009 yang menitikberatkan wilayah penelitian di Indonesia (daratan<br />
dan lautan).<br />
Data TRMM meliputi data curah hujan di lautan, maka hasil klastering juga<br />
meliputi wilayah lautan. Banyak wilayah yang mempunyai kemiripan karakteristik<br />
curah hujan yang tinggi dengan karakteristik lautan disekitarnya, sehingga berada<br />
dalam satu klaster yang sama. Hal ini menunjukkan adanya interaksi yang kuat<br />
antara daratan dan lautan. lnteraksi atmosfer dan lautan merupakan salah satu<br />
aspek penting dalam mengkaji perilaku variabel atmosfer di wilayah benua maritim<br />
ini. Klaster di daratan pada wilayah pengamatan I,<br />
II, IV dan V terbentuk<br />
berdasarkan perbedaan area lintang tetapi klaster di daratan Kalimantan (wilayah<br />
Ill) dan klaster-klaster di lautan menunjukkan perbedaan karakteristik yang disebabkan<br />
faktor bujur.<br />
Dari curah hujan rata-rata Jlerdasarian perklaster kemudian ditentukan<br />
dasarian potensial dan kalender tanam potensial. Dasarian potensial dan kalender<br />
iv<br />
. ~
tanam potensial di beberapa sampel lokasi diuraikan di bawah ini. Di Medan padi<br />
bisa mulai ditanam pada dasarian ke 5 sampai dengan dasarian ke 36. Jika dibantu<br />
l<br />
irigasi pada dasarian ke 3, maka pad i bisa ditanam sepanjang tahun atau dalam<br />
setahun bisa 3 x tanam. lni berdasarkan curah hujan rata-rata klaster 8 di P.<br />
Sumatera. Di Probolinggo dan Denpasar, padi bisa mulai ditanam pada dasarian ke<br />
1, dengan dibantu irigasi mulai dasarian ke 12. Padi dapat ditanam lagi di akhir<br />
tahun dengan bantuan irigasi pada dasarian ke 25 sampai dasarian 29. lni waktu<br />
yang tepat sesuai curah hujan rata-rata klaster 6 di P. Jawa. Di Magelang, pada<br />
dasarian 1 sampai 12 tersedia air hujan yang cukup untuk mengairi sawah. Padi<br />
dapat ditanam lagi di akhir tahun dengan bantuan irigasi pada dasarian 25 sampai<br />
dasarian 28. Di Manado, agak sukar menentukan kalender tanam karena diperlukan<br />
12 dasarian berturut-turut, jika hanya berdasarkan dasarian potensial maka padi<br />
hanya dapat ditanam pada akhir tahun mulai dasarian ke 30 sampai dasarian ke 5<br />
tahun berikutnya. Jika ingin dua kali atau tiga kali menanam maka harus dibantu<br />
irigasi.<br />
Berdasarkan dasarian-dasarian potensial maka<br />
terdapat tiga macam kalender<br />
tanam , yaitu dua kali tanam dalam setahun, satu kali tanam setahun dan tiga kali<br />
tanam atau sepanjang tahun menanam. Dua kali menanam padi dalam setahun<br />
terjadi di P. Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Daerah dengan satu kali<br />
tanam sepanjang tahun<br />
adalah Bali dan Nusa Tenggara, karena hujan dengan<br />
intensitas yang cukup hanya terjadi di awal tahun. Sedangkan di Sumatera Barat<br />
dan Papua waktu tanam hampir bisa dilakukan sepanjang tahun.<br />
Penentuan curah hujan ekstrim di wilayah Indonesia menunjukkan bahwa<br />
curah hujan ekstrim 10 harian berkisar antara 80 sampai 180 mm/1 0 hari dengan<br />
nilai terendah berada di Indonesia bagian selatan. Wilayah Indonesia bagian utara<br />
mempunyai intensitas<br />
curah hujan ekstrim yang lebih tinggi dibandingkan di wilayah<br />
Indonesia bagian selatan. Curah hujan ekstrim berpotensi menyeb?bJ
PRAKATA<br />
Laporan ini merupakan laporan akhir dari penelitian yang berlangsung<br />
selama 10 bulan.<br />
Tim peneliti menyadari bahwa dalam penelitian dan laporan penelitian ini<br />
masih terdapat kekurangan, maka saran perbaikan sangat kami harapkan.<br />
Akhirnya, semoga penelitian ini bermanfaat tidak hanya bagi tim penelitian<br />
tetapi juga benar-benar dapat memberikan informasi penting untuk bidang pertanian<br />
dan bidang terkait lain.<br />
Jakarta, 22 November 2010<br />
Peneliti<br />
~<br />
...<br />
vi
DAFTAR lSI<br />
Halaman<br />
LEMBAR PENGESAHAN<br />
SUSUNAN TIM PENELITI<br />
RINGKASAN<br />
PRAKATA<br />
DAFTAR lSI<br />
DAFTAR TABEL<br />
DAFTAR GAMBAR<br />
II<br />
Ill<br />
iv<br />
vi<br />
vii<br />
IX<br />
X<br />
BAB1 PENDAHULUAN 1<br />
1.1 Latar belakang 1<br />
1.2 Tinjauan Pustaka 2<br />
BAB 2 METODOLOGI 7<br />
2.1 Pendeteksian outlier 9<br />
2.2 Uji multikolinearitas 10<br />
2.3 Analisis komponen utama 10<br />
2.4 Penentuan jumlah klaster 12<br />
2.5 Validasi klaster 12<br />
2.6 Analisis klaster 12<br />
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN . ' 14<br />
3.1 Konfirmasi data curah hujan TRMM dengan<br />
curah hujan observasi 14<br />
til"<br />
vii
3.2 Hasil klastering<br />
15<br />
3.3 Dasarian potensial dan kalender tanam<br />
potensial<br />
3.4 Curah hujan ekstrim<br />
22<br />
27<br />
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN<br />
PUBLIKASI<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
PIRAN A<br />
PIRAN 8<br />
PIRAN C<br />
LAMPIRAN D<br />
LAMPIRAN E<br />
LAMPIRAN F<br />
29<br />
29<br />
30<br />
31<br />
33<br />
35<br />
38<br />
44<br />
53<br />
~<br />
..,<br />
viii
DAFT AR T ABEL<br />
Halaman<br />
Tabel 3.1 Koefisien korelasi antara curah hujan rata-rata<br />
TRMM dengan curah hujan rata-rata observasi<br />
15<br />
Tabel 3.2 Koefisien korelasi antara curah hujan rata-rata<br />
TRMM dengan curah hujan rata-rata observasi lain<br />
15<br />
Tabel 3.3 Jumlah klaster dan pola curah hujan rata-rata setiap<br />
wilayah<br />
Tabel 3.4 Periode ketersediaan air (>50 mm/10 hari)<br />
16<br />
25<br />
~<br />
...<br />
ix
DAFT AR GAM BAR<br />
Halaman<br />
Gambar 1.1 lnstrumen TRMM 3<br />
Gambar 1.2 Bagan teknik analisis dalam metode lnterdepensi 5<br />
Gambar 1.3 Klasifikasi analisis klaster 7<br />
Gambar 2.1 Pembagian wilayah dan batas lintang bujurnya 9<br />
Gambar 2.2 Bagan alur penentuan klaster dengan metode Ward 13<br />
Gambar 2.3 Bagan alur penentuan dasarian dan kalender tanam<br />
potensial 14<br />
Gambar 3.1 Klaster-klaster di wilayah I (Sumatera) 17<br />
Gambar 3.2 Klaster-klaster di wilayah II (Jawa, Bali dan Nusa 18<br />
Tenggara<br />
Gambar 3.3 Klaster-klaster di wilayah Ill (Kalimantan) 19<br />
Gambar 3.4 Klaster-klaster di wilayah IV (Sulawesi) 20<br />
Gambar 3.5 Klaster-klaster di wilayah V (Papua) 21<br />
Gambar 3.6 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Sumatera (Medan) 23<br />
Gambar 3.7 Curah hujan rata-rata klaster 6 di P. Jawa (Probolinggo 24<br />
dan Denpasar)<br />
Gambar 3.8 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Jawa (Magelang) 24<br />
Gambar 3.9 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Sulawesi (Manado) 24<br />
Gambar 3.10 Peta curah hujan ekstrim (mm/1 0 hari) 28<br />
Gambar 3.11 Peta frekuensi curah 8t.ljan ekstrim (kejadian/tahun) 28<br />
~<br />
X
PENGEMBANGAN PEMANFAATAN DATA TRMM<br />
UNTUK MENUNJANG KETAHANAN PANGAN<br />
Ina Juaeni, Teguh Hardjana, Nurzaman, Arief Suryantoro, Martono, Noersomadi<br />
inajuaeni@yahoo.com , ina j@bdg.lapan.go.id<br />
1 PENDAHULUAN<br />
1.1 Latar belakang<br />
Sejak dipublikasi tahun 1998, data TRMM semakin sering digunakan dalam<br />
berbagai kajian masalah cuaca dan iklim di Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa<br />
keunggulan yang dimiliki data curah hujan TRMM, seperti keunggulan dalam<br />
cakupan wilayah yang luas, kemampuannya dalam memetakan variasi curah hujan<br />
spasial dan temporal yang besar serta kemampuannya dalam memberikan data<br />
curah hujan dengan resolusi spasial sampai 5 km. Wilayah Indonesia merupakan<br />
bagian wilayah tropis dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Sumber energi<br />
panas radiasi matahari yang selalu tersedia sepanjang tahun ditambah kelembapan<br />
dalam jumlah yang cukup tinggi, mendorong tingginya frekuensi dan intensitas<br />
curah hujan. Curah hujan di wilayah Indonesia juga memiliki variasi spasial dan<br />
temporal yang tinggi, hal ini dapat dijelaskan sebagai akibat perbedaan kondisi<br />
permukaan, yaitu perbedaan relief dan perbedaan tata guna lahan. Variasi curah<br />
hujan yang tinggi ini belum ditunjang oleh sarana observasi yang memadai. Masih<br />
banyak lokasi terutama yang terpencil yang miskin informasi cuaca dan iklimnya,<br />
padahal informasi ini cukup penting.<br />
Dalam rangka melengkapi kesenjangan informasi bagi wilayah-wilayah<br />
yang belum lengkap sarana pengamatannya, dalam penelitian ini dilakukan<br />
pengembangan pemanfaatan data curah hujan TRMM dengan mengelompokkan<br />
wilayah berdasarkan kesamaan sifat curah hujan untuk seluruh wilayah Indonesia<br />
. '<br />
termasuk yang tidak mempunyai sarana pengamatan atmosfer permukaan. Tidak<br />
berhenti sampai disitu, dalam penelitian ini juga ditunjukkan bahwa data TRMM<br />
dapat digunakan untuk menentukan dasarian potensial dan kalender tanam padi<br />
potensial sebagai langkah pen~apan hasil penelitian. Dengan kata lain,<br />
pengelompokkan atau klastering curah hujan TRMM dengan mengguna etode
statistis menghasilkan dua informasi penting. Pertama, penentuan wilayah yang<br />
mempunyai karakter curah hujan yang sama. Sehingga lokasi yang tidak memiliki<br />
l<br />
sarana pengamatan permukaan dapat melakukan inisialisasi. Kedua, pola curah<br />
hujan masing-masing kelompoklklaster dapat digunakan untuk membuat berbagai<br />
kajian variabilitas curah hujan baik untuk riset murni maupun pengembangan dan<br />
pemanfaatan hasil riset, misalnya menentukan kalender tanam padi potensial<br />
seperti yang ditunjukkan dalam penelitian ini.<br />
1.2 Tinjauan Pustaka<br />
Letak geografis Indonesia yang berada dalam wilayah tropis, dibatasi<br />
lautan Hindia disebelah barat, lautan Pasifik disebelah timur, benua Asia disebelah<br />
utara dan benua Australia disebelah selatan. Relief permukaannya merupakan<br />
kombinasi antara dataran, pebukitan dan daerah bergelombang. Kombinasi dari<br />
letak geografis dan relief permukaan seperti diuraikan di atas menciptakan kondisi<br />
iklim yang khas yang tidak sama dengan iklim wilayah non tropis bahkan dengan<br />
wilayah tropis lain sekalipun. Letaknya yang berdekatan dengan lautan Hindia,<br />
mendorong arah perhatian pada fenomena atmosfer Indian Ocean Dipole disamping<br />
El Nino/La Nina yang berada di lautan Pasifik. Meski berada dalam wilayah yang<br />
tidak potensial menciptakan siklon, karena letaknya di ekuatorial, namun siklon<br />
kerap terjadi disekelilingnya, sehingga dampak siklon terhadap cuaca/iklim<br />
Indonesia baik besar maupun kecil patut diperhatikan. Dilain pihak, Osilasi Madden<br />
Julian dengan periode 30 - 60 hari, tidak dapat diabaikan keberadaanya karena<br />
terindikasi berpengaruh pada variabel atmosfer Indonesia bagian barat. lnteraksi<br />
proses-proses atmosfer berskala lokal, meso dan global yang aktif menghasilkan<br />
karakter curah hujan yang khusus.<br />
Pola dan intensitas curah hujan merupakan karakter curah hujan yang bisa<br />
berubah, karena pemicu dan proses pembentukannya juga bisa berubah. Beberapa<br />
penelitian di bawah ini menunjukkan indikasi terjadinya p~n.Jbahan pola dan<br />
intensitas curah hujan. Perubahan intensitas dan distribusi peluang curah hujan<br />
terindikasi terjadi di wilayah Indonesia bagian timur berdasarkan data GHCN (Global<br />
Historical Climatological Network) (Juaeni et a/. , 2007). Perubahan pola dan<br />
intensitas curah hujan juga teramati te i Bandung (Juaeni, 2006). Perubahan pad a<br />
distribusi, baik spasial maupun temporal curah hujan merupakan salah satu indikator
perubahan iklim. Perubahan iklim juga ditandai dengan semakin seringnya terjadi<br />
fenomena dan kejadian cuacaliklim ekstrim. Emanuel (2005) menunjukkan bapwa<br />
terjadi peningkatan kekuatan siklon di tropis pada 50 tahun terakhir. Hasil Emanuel<br />
didukung oleh penemuan Webster et a/. (2005) yaitu adanya peningkatan (hampir<br />
100 %) kejadian siklon tropis dari periode 1975 sampai 2004. Meskipun siklon tropis<br />
tidak terjadi di wilayah Indonesia, tetapi perlu diwaspadai dampaknya terhadap<br />
wilayah Indonesia karena frekuensi dan intensitas cenderung semakin meningkat.<br />
Sebagai negeri yang sebagian besar wilayahnya berupa wilayah agraris, Indonesia<br />
sangat membutuhkan informasi tentang distribusi spasial, temporal dan intensitas<br />
(sesaat dan rata-rata) curah hujan. Surmaini dan Susanti (2009) dalam penelitiannya<br />
menyebutkan bahwa terjadi pergeseran waktu tanam di 5 sampai 11 % dari luas<br />
wilayah sentra pangan di P. Jawa pada tahun 2008 yang disebabkan oleh<br />
perubahan pola dan intensitas curah hujan. Jika waktu tanam berubah maka resiko<br />
gagal panen semakin besar. Dengan demikian, klastering yang berkaitan dengan<br />
pemetaan curah hujan rata-rata perlu dilakukan untuk diaplikasikan dalam<br />
penentuan dasarian dan kalender tanam padi potensial. Pemetaan curah hujan<br />
ekstrim juga diperlukan mengingat intensitas curah hujan yang ekstrim sangat<br />
mempengaruhi produksi pertanian. Kekurangan dan kelebihan air mempunyai<br />
dampak negatif terhadap hasil panen .<br />
...<br />
Gambar 1.1 lnstrumen TRMM<br />
3
Untuk memperoleh klaster-klaster curah hujan dan peta curah hujan ekstrim<br />
tersebut digunakan data curah hujan TRMM. Seperti telah diungkap di atas, :data<br />
curah hujan TRMM memiliki keunggulan dibanding data curah hujan lainnya.<br />
Pertama, cakupan wilayahnya yang luas sehingga memungkinkan diperolehnya data<br />
curah hujan untuk lokasi terpencil sekalipun. Kedua, data TRMM mampu<br />
memetakan variasi curah hujan spasial dan temporal yang besar seperti pada masa<br />
aktif osilasi Madden Julian dan ENSO di Pasifik. Ketiga, TRMM dapat memberikan<br />
data curah hujan dengan resolusi sampai 5 km. Uji validasi curah hujan TRMM<br />
resolusi 0,25° (atau setara dengan 28 km) cukup baik yaitu 0,62 sampai 0,80 untuk<br />
wilayah Sumatera (Juaeni eta/., 2009). Tes sensitivitas dengan penggunaan panas<br />
Iaten estimasi TRMM telah meningkatkan ketelitian prediksi curah hujan sebesar 30<br />
% untuk simulasi curah hujan harian dengan model NMC dan ECMWF<br />
(http://climate.met.psu.edu/). Kemampuan yang tinggi dari TRMM untuk memetakan<br />
curah hujan dan panas Iaten ditunjang oleh peralatan sebagai berikut: Radar<br />
presipitasi (PR), Imager gelombang mikro TRMM (TMI), Scanner visible dan<br />
infrared (VIRS), Sensor awan dan energi radiasi bumi (CERES) serta Sensor image<br />
petir (LIS) seperti yang diperlihatkan pada gambar 1.1. Dalam penelitian ini data<br />
curah hujan TRMM akan digunakan untuk membuat pengelompokkan/klastering<br />
curah hujan 10 harian dan menentukan curah hujan ekstrim. Setiap klaster yang<br />
dihasilkan memiliki pola curah hujan tertentu dengan karakteristik yang berbeda<br />
dengan klaster lainnya. Pola curah hujan setiap klaster dapat diaplikasikan untuk<br />
menentukan waktu tanam yang tepat sesuai batasan curah hujan minimal yang<br />
diperlukan oleh tanaman. Dalam penelitian ini tanaman yang menjadi perhatian<br />
adalah padi.<br />
Dalam analisis multivariat, pengelompokkan termasuk pengelompokkan<br />
curah hujan merupakan metode pengklasifikasian. Metode pengklasifikasian dibagi<br />
ked alam dua kelompok, yaitu metode dependensi dan interdependensi. Penggunaan<br />
metode dependensi bertujuan untuk menjelaskan variabel tak bebas berdasarkan<br />
lebih dari satu variabel bebas yang mempengaruhinya (Hair et a/., 1998 dalam<br />
Ayahbi, 2009). Sedangkan dalam metode interdependensi, variabel-variabel yang<br />
digunakan tidak dapat diklasifikasikan baik ke dalam variabel bebas maupun tak<br />
be bas, semua varia bel yang digu~kan berstatus sam a (Hair et a/., 1998 dalam<br />
Ayahbi, 2009). Dengan demikian, metode pengklasifikasian yang tepat untuk<br />
pengelompokan karakteristik curah hujan di Indonesia adalah metode<br />
4<br />
. ~
interdependensi. Pembagian metode-metode statistik yang termasuk dalam metode<br />
interdependensi diperlihatkan pada gambar 1.2.<br />
'<br />
I<br />
Metrik<br />
[ Analisis Faktor I<br />
'<br />
I<br />
Metode lnterdependensi<br />
I<br />
)<br />
[ Nonmetrik J<br />
' Analisis Kluster<br />
"'<br />
Nonmetrik<br />
Multidimensional Scaling<br />
~<br />
I<br />
..<br />
Ana !isis<br />
Korespondensi<br />
l<br />
...,j<br />
Metrik Multidimensional<br />
Scaling<br />
'<br />
[ Analisis Faktor ]<br />
[ ]<br />
Analisis Faktor Utama<br />
Gambar 1.2 Bagan teknik analisis dalam metode lnterdependensi<br />
Data curah hujan TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) termasuk<br />
data metrik. Dengan demikian ada tiga jenis analisis yang dapat digunakan, yaitu<br />
analisis faktor, analisis kluster dan analisis metrik multidimensional scaling. Namun,<br />
tidak semua teknik statistik interdepensi bisa digunakan untuk data metrik. Masingmasing<br />
teknik memiliki tujuan yang berbeda. Analisis faktor dapat digunakan untuk<br />
mengenali atau mengidentifikasi dimensi dasar (underlying dimensions) dari<br />
sejumlah banyak variabel, menjelaskan korelasi antar kumpulan variabel, dan<br />
mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak berkorelasi yang jumlahnya lebih<br />
. '<br />
sedikit (Hair et a/., 1998 dalam Ayahbi, 2009). Ana lis is metrik multidimensional<br />
scaling merupakan suatu teknik untuk mengelompokkan objek-objek dalam<br />
kelompok-kelompok yang digambarkan (direpresentasikan) pada suatu ruang<br />
dimensi ganda (multidimension~ space) (Hair et a/. , 1998 dalam Ayahbi, 2009).<br />
Sedangkan analisis klaster adalah suatu teknik mengelompokkan variabel menjadi<br />
kelompok atau klaster-klaster berdasarkan kesamaan karakteristik vanabel tersebut<br />
5
(Sharma, 1996 dalam Ayahbi, 2009 dan Yuliani, 2009). Hasil dari analisis klaster<br />
adalah ditemukannya kelompok-kelompok dengan kemiripan (homogenitas) ~yang<br />
tinggi di dalam klasternya serta mempunyai ketidakmiripan (heterogenitas) yang<br />
tinggi antar klaster (Johnson dan Wichern, 1992 dalam Ayahbi, 2009 dan Yuliani,<br />
2009). Sejalan dengan pengertian di atas, maka analisis klaster merupakan teknik<br />
yang tepat untuk mengelompokkan karakteristik curah hujan.<br />
Menurut Mimmack (2000 dalam dalam Ayahbi, 2009 dan Yuliani, 2009),<br />
analisis klaster adalah teknik yang digunakan dalam klimatologi untuk<br />
mengelompokkan objek ke dalam beberapa kelompok yang memiliki karakteristik<br />
yang sama. Pada kasus pengelompokkan curah hujan dengan skala pengamatan<br />
tertentu (misal harian, lima harian atau bulanan) terhadap titik lokasi/grid,<br />
pengelompokkan dilakukan terhadap grid sehingga membentuk beberapa kelompok.<br />
Haryoko, dalam makalahnya yang berjudul "Pewilayahan hujan untuk<br />
menentukan pola hujan (contoh kasus Kabupaten lndramayu)", mengutarakan<br />
bahwa analisis klaster merupakan teknik yang digunakan untuk mengelompokkan<br />
pos pengamatan hujan (stasiun) yang mempunyai kesamaan pola curah hujan<br />
dasarian (1 0 harian) ke dalam sub-sub kelompok. Berdasarkan penelitiannya, curah<br />
hujan dasarian (10 harian) yang satu memiliki korelasi dengan curah hujan dasarian<br />
lainnya. Untuk mengatasi adanya korelasi tersebut, maka harus dicari variabel baru<br />
yang tidak memiliki korelasi satu sama lain. Teknik membentuk variabel baru<br />
tersebut adalah analisis komponen utama. Melalui analisis komponen utama<br />
didapat m komponen utama yang memberikan varians sebesar 80%. Selanjutnya, m<br />
komponen ini menjadi variabel baru sebagai dasar pengelompokan curah hujan<br />
menggunakan analisis klaster. Kombinasi analisis komponen utama dan analisis<br />
klaster juga dilakukan oleh Degaetano (1996), untuk mengelompokkan grid yang<br />
memiliki iklim yang sama. Dalam penelitiannya Degaetano menerapkan analisis<br />
klaster Average Linkage dan metode Ward pada curah hujan dan temperatur<br />
bulanan. Kedua metode dibandingkan berdasarkan distribusi ukuran klaster. Pola<br />
ukuran klaster yang dihasilkan untuk average linkage tidak mem iliki karakteristik<br />
karena dari 47 klaster yang terbentuk, 40% klasternya (19 klaster) masing-masing<br />
hanya memiliki dua bahkan satu grid sebagai anggotanya, sedangkan metode Ward<br />
memberikan hasil yang seragam paSa klaster yang terbentu k. Juaeni et a/. (2009)<br />
telah mengaplikasikan metode Ward untuk lokasi Sumatera Barat dengan data<br />
curah hujan TRMM bulanan, sehingga diperoleh 4 klaster optimum. Aolikasi untuk<br />
6<br />
. ~
Kalimantan Barat menghasilkan 4 klaster (Juaeni et a/., 2010). Kedua kasus<br />
terakhir menunjukkan korelasi yang cukup baik antara pola curah hujan l TRMM<br />
bulanan dengan pola curah hujan observasi (Juaeni et a/. 2009, 201 0). Hasil-hasil<br />
tersebut menjadi dasar untuk menggunakan metode Ward sebagai teknik klaster<br />
dalam penelitian ini. Metode Ward termasuk dalam kelompok metode klastering<br />
Hierarkhi. Klasifikasi analisis klaster diperlihatkan pada gambar 1.3.<br />
Analisis<br />
Klaster<br />
I<br />
Metode<br />
hierarkhi<br />
_j<br />
Metodenon<br />
hierarkhi<br />
I<br />
Agglomerative:<br />
Linkage, Ward,<br />
[<br />
I<br />
Divisive<br />
I<br />
K-means/<br />
Hard<br />
[ Fuzzy<br />
I<br />
J<br />
Centroid<br />
Gambar 1.3 Klasifikasi analisis klaster<br />
2 METODOLOGI<br />
Penelitian dengan menggunakan data TRMM dan penerapan metode<br />
klastering ini merupakan kajian yang menggabungkan data lapangan dengan data<br />
observasi. Data lapangan adalah data jadwal tanam dan kondisi daerah sentra<br />
~<br />
pangan yang diperoleh dengan kunjungan dan diskusi ke 'beberapa lokasi sentra<br />
pangan, sebagai sampel. Data observasi adalah data curah hujan TRMM dan data<br />
observasi curah hujan dibeberapa lokasi sampel (di Kalimantan Barat) untuk<br />
mengkonfirmasi data curah hujan.lRMM terhadap data observasi. Data TRMM yang<br />
digunakan adalah TRMM 3842 Versi 6 dalam periode 1998 sa mpai dengan 2009.<br />
7
Curah hujan TRMM tipe 3B42 adalah curah hujan/presipitasi Tropical<br />
Rainfall Measuring Mission (TRMM) yang digabung dengan presipitasi infrare91high<br />
quality (HQ) dalam grid yang mempunyai resolusi waktu 3-jam dan resolusi spasial<br />
'<br />
0,25° X 0,25° dalam cakupan global 50° lintang selatan sampai 50° lintang utara.<br />
Algoritma 3842 terdiri dari 4 tahap; (1) estimasi presipitasi berbasis mikrowave, (2)<br />
estimasi presipitasi infrared (IR), (3) estimasi gabungan mikrowave dan IR, dan (4)<br />
penskalaan ulang (rescaling) untuk data bulanan/1 0 harian.<br />
Data TRMM dianalisis melalui tahapan berikut:<br />
1. Menguji kesesuaian pola curah hujan TRMM dengan pola curah hujan<br />
observasi<br />
2. Pengelompokkan/klastering curah hujan dengan metode Ward<br />
3. Penentuan dasarian dan kalender tanam potensial perklaster berdasarkan<br />
kebutuhan padi terhadap air<br />
4. Penentuan curah hujan ekstrim dengan persamaan:<br />
X= X- /J(r + Jn( -Jn( F)))<br />
(2.1)<br />
dengan:<br />
x = curah hujan rata-rata<br />
j3 = 0,557 (konstanta Euler)<br />
r = o,7a s<br />
S = deviasi standar<br />
x = intensitas curah hujan ekstrim<br />
F = (n-1)/n<br />
n = jumlah data<br />
Agar mendapatkan jumlah kluster yang optimum untuk setiap pulau, maka analisis<br />
curah hujan TRMM dibagi perwilayah/pulau. Pembagian wila5'an diperlihatkan pada<br />
gambar 2.1. Wilayah klastering tidak hanya meliputi daratan tetapi juga mencakup<br />
lautan dengan tujuan agar dapat melihat indikasi interaksi antara curah hujan di<br />
daratan dan di lautan melalui klast~<br />
8
o 'iO uxr 1~ ")0 '&~ 300 3!'io 4flo<br />
C.n ... ot•d b)l NASA'• (;fcwonf'\i (QiOVOf'\ni q•f.e.no•o.QOV)<br />
I :6 °LU -6 °LS, 95°BT -107.5 °BT<br />
II: 6 °LS -12°LS 95° BT -130 °BT<br />
Ill: 6°LU -6 °LS, 107.5°BT -120°BT<br />
IV: 6 °LU -6 °LS, 120° BT- 130 °BT<br />
V: 6 °LU -12 °LS, 130° BT- 142.5°BT<br />
Gambar 2.1 Pembagian wilayah dan batas lintang bujurnya<br />
Beberapa asumsi diterapkan dalam penelitian ini, yaitu:<br />
1. Fenomena El Nino, La Nina dan Dipole mode yang terjadi dalam rentang data<br />
yang digunakan dalam penelitian ini, tidak berpengaruh secara signifikan<br />
terhadap pola dan intensitas curah hujan di Indonesia<br />
2. Dasarian potensial adalah dasarian dengan curah hujan minimal 50 mm<br />
3. Waktu tanam padi rata-rata adalah 120 hari<br />
4. Kalender tanam ditentukan hanya berdasar ketersediaan air hujan tidak<br />
memperhitungkan faktor teknis pertanian seperti irigasi/subak dan lain-lain<br />
Langkah-langkah dalam analisis klaster dimulai dengan pendeteksian<br />
outlier, uji multi kolinearitas, analisis komponen utama, penerapan analisis<br />
klasternya itu sendiri dan terakhir validasi dan interpretasi.<br />
2.1 Pendeteksian Outlier<br />
Analisis klaster sensitif terhadap outlier (objek yang sangat berbeda dari<br />
objek-objek lainnya). Adanya outlier dapat menjadikan klaster yang diperoleh tidak<br />
merepresentasikan struktur populasi yang sebenarnya. ~ Untuk alasan ini,<br />
pendeteksian terhadap outlier selalu diperlukan. Pendeteksian outlier secara<br />
multivariat dapat dilakukan dengan menggunakan jarak Mahalanobis (D2) kemudian<br />
membaginya dengan qer~jat b~b~ (em yang qernil~! sama dengan jumlah variab~l .<br />
Sehingga nilai (D2/df) mengikuti nilai distribusi t. Kemudian dihitung nilai peluang<br />
(signifikansi) dari nilai (D2/df) tersebut. Data yang signifikansinya lebih kecil dan<br />
9
sama dengan 0,001 dianggap sebagai outlier (Hair eta/., 1998 dalam Ayahbi, 2009<br />
dan Yuliani, 2009). Data yang diidentifikasi sebagai outlier harus dianalisis apakah<br />
merepresentasikan populasi atau tidak merepresentasikan populasi. Jika dinilai tidak<br />
.<br />
merepresentasikan populasi, data harus dibuang. Namun, perlu diperhatikan apakah<br />
penghapusan outlier dapat mengubah struktur data yang sebenarnya.<br />
2.2 Uji multikolinearitas<br />
Multikolinearitas antar variabel adalah salah satu pelanggaran asumsi<br />
dalam analisis klaster (Hair, et a/. , 1998 dalam Ayahbi, 2009 dan Yuliani, 2009).<br />
Multikolinearitas adalah suatu keadaan dimana terdapat hubungan linier sempurna<br />
atau hampir sempurna antara beberapa atau semua variabel. Salah satu cara untuk<br />
mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah dengan menggunakan bilangan<br />
kondisi. Bilangan kondisi ditentukan dengan rumus :<br />
k= Arnax<br />
Arnin<br />
'A adalah nilai eigen dari matriks kovarians variabel.<br />
(2.2)<br />
Batas-batas bilangan kondisi untuk mendiagnosa multikolinearitas adalah sebagai<br />
berikut:<br />
• bilangan kondisi < 100 ; terjadi multikolinearitas lemah<br />
• 100 ~bilangan kondisi ~1 000; terjadi multikolinearitas sedang sampai kuat<br />
• bilangan kondisi > 1000 ; terjadi multikolinearitas sang at kuat<br />
Jika setelah dideteksi ternyata diketahui bahwa terdapat multikolinearitas antar<br />
variabel, maka untuk mengatasinya adalah dengan menerapkan analisis komponen<br />
utama terlebih dahulu pada data curah hujan bulanan TRMM yang nantinya akan<br />
terbentuk sejumlah komponen utama yang saling orthogonal. Komponen utama ini<br />
yang dijadikan sebagai variabel baru untuk input dalam analisis klaster.<br />
2.3 Analisis Komponen Utama<br />
. '<br />
Johnson dan Wichern (1992, dalam Ayahbi dan Yulian i, 2009)<br />
mendefinisikan komponen utama sebagai salah satu bentuk transform asi variabel<br />
yang merupakan kombinasi linier-dari variabel. Proses pembentukan komponen<br />
utama adalah sebagai berikut:<br />
10
1) Matriks X merupakan data pengamatan curah hujan bulanan yang berukuran np<br />
dengan, n = objek (grid) ; n = 1 ,2, 0<br />
0 0, 900<br />
p = variabel (curah hujan bulanan); p = 1,2, 000,<br />
120<br />
X nxp =<br />
x 11 x 12<br />
00000<br />
X 21 X 22 000000<br />
0 x<br />
X<br />
1 P<br />
2p<br />
(203)<br />
X nl X n2 ooooooo X np<br />
2) Dari matriks X, dicari matriks kovariansnya ( Spp )<br />
Su s12 ······ sip<br />
S21 S22 ······ 8 2p<br />
S=i·<br />
.<br />
(2.4)<br />
spl sp2 ....... sPP<br />
3) Tentukan nilai eigen dari matriks kovarians, misalkan At, A2, 0<br />
A 1;::: A2;::: 0 0 00 >oAp;:::o<br />
00 00 00 000 Ap,<br />
dengan<br />
4) Tentukan vektor eigen ke-j untuk nilai eigen ke-j U=1,2, 0 0 oop), misalkan VJ = Vtj,<br />
V2j,o ooooo, Vpj<br />
5) Berdasarkan matriks eigen, maka komponen utama yang terbentuk adalah:<br />
PC1 =zjvjl =z1v11 +z2v21 + ... +zpvjl<br />
PC2 =zjv2 =z1v12 +z2v22 + ... +zpvj2<br />
(205)<br />
PCP =zjvjp =zlvlp +z2v2p + ... +zpvjp<br />
6) Kriteria yang digunakan untuk menentukan berapa komponen yang dapat<br />
dibentuk adalah kriteria persen varianso Jumlah komponen utama yang<br />
digunakan memiliki persentasi kumulatif varians minimal 80% (Rencher, 2001 )0<br />
7) Menghitung komponen skor (PCj) yang akan digunakan sebagai input untuk<br />
analisis klastero Komponen skor yang diperoleh dari m komponen utama (dimana<br />
m
Yil = elxi<br />
Yi2 = e2xi<br />
l(2.6)<br />
Yik = ekxi<br />
2.4 Penentuan jumlah klaster<br />
Jumlah klaster awal diperlukan pada metode Ward. Jumlah klaster<br />
ditentukan dengan dendogram. Dendogram berupa gambaran grafik (diagram<br />
pohon), yang mana setiap objek disusun pada satu sumbu, dan sumbu lainnya<br />
menggambarkan langkah-langkah pada prosedur hierarkhi. Pada tahap awal, setiap<br />
objek digambarkan sebagai klaster yang masih terpisah. Dendogram menunjukkan<br />
secara grafik bagaimana klaster-klaster bergabung pada tiap tahap prosedur hingga<br />
semua objek terkandung dalam satu klaster.<br />
2.5 Validasi klaster<br />
Validasi adalah usaha untuk meyakinkan bahwa solusi atau kelompok<br />
klaster yang ada telah mewakili populasi penelitian, dan berlaku umum untuk objek<br />
lain serta stabil dari waktu ke waktu. Validasi pada metode Ward dilakukan dengan<br />
membagi data secara acak menjadi dua bagian. Kemudian lakukan analisis klaster<br />
dengan masing-masing metode pada setiap bagian data. Hasil pengklasteran<br />
dikatakan valid apabila hasil pengklasteran pada 2 bagian tadi mirip dengan hasil<br />
pengklasteran pad a data asli (Rencher, 2001) dengan cara menghitung selisih<br />
antara objek anggota klaster bagian kesatu dengan bagian kedua, yang memiliki<br />
selisih nol paling banyak maka itu adalah jumlah klaster terbaik.<br />
2.6 Analisis klaster<br />
Metode Ward adalah teknik untuk memperoleh klaster yang memiliki<br />
varians internal sekecil mungkin. Ukuran yang digunakan adalah Sum Square Error<br />
(SSE) variabel. Proses pengelompokan adalah melalui tahapan berikut ini:<br />
Langkah 1. Dimulai dengan memperhatikan N kelompok subjek dengan satu subjek<br />
per kelompok. SSE (sum square error) akan bernilai nol untuk tahap<br />
pertama karena setia~bjek atau individu akan membentuk klaster.<br />
. ~<br />
12
Langkah 2. Kelompok pertama dibentuk dengan memilih dua dari N kelompok ini<br />
yang bila digabungkan akan menghasilkan SSE dalam nilai fungsi<br />
l<br />
tujuannya.<br />
Langkah3 .N -1 kumpulan kelompok kemudian diperhatikan kembali untuk<br />
menentukan dua dari kelompok ini yang bisa meminimumkan tujuan.<br />
Dengan demikian N kelompok secara sistematik dikurangi menjadi N -<br />
1, lalu menjadi N - 2 dan seterusnya sampai menjadi satu kelompok.<br />
SSE dalam metode Ward ini dihitung berdasarkan persamaan berikut:<br />
p n 2 1 n<br />
[ ( J 2J<br />
SSE=~ . ~Xij - n ~Xij<br />
(2.7)<br />
j=l l=l<br />
l=l<br />
dengan:<br />
xij adalah nilai varia bel ke-ij<br />
p adalah banyaknya variabel yang diukur<br />
n adalah banyaknya objek dalam klaster yang terbentuk<br />
Tahapan pengolahan data sampai mendapatkan klaster dirangkum dalam bagan<br />
dibawah ini:<br />
.<br />
/Download data curah hujan 1 cY<br />
harian TRMM 3842 Versi 6<br />
dengan resolusi 0,25 x 0,25°<br />
periode 1998 sampai 2009<br />
'<br />
···--··· ···--·························································· ................ ........................... ---------······ ................................. ···········-····· ·-·---------·········<br />
..)<br />
Tahap awal<br />
I<br />
Uji outlier<br />
.<br />
I<br />
Deteksi<br />
multikolinearitas<br />
Signifikansi:;; 0,001 K > 1000 ;<br />
teriadi multikolinearitas sanaat kuat<br />
UOU O UUUUU mm 0 I<br />
r<br />
uuuuumm, OU O U OUUUUUUUU<br />
Anal isis<br />
komponen<br />
utama<br />
'<br />
~<br />
I<br />
I<br />
Convert data ke<br />
format excell<br />
Tahap lanjut<br />
000 0 UOOU UUO UUUUUUUOUUUu UOUUUOUOUUUOUOUOU UUO •0 Oo UUUOUUU mmmUUUUUUUUOUo<br />
Klastering:<br />
-<br />
Ward<br />
Dendogram<br />
Tahap utama<br />
Penentuan<br />
jumlah klaster 1·1 Validasi klaster<br />
Gambar 2.2 Bagan alur penentuan klaster dengan metode Ward<br />
13
Setelah diperoleh klaster-klaster, kemudian ditentukan curah hujan rata-rata<br />
l<br />
perklaster untuk mendapat dasarian potensial (dasarian dengan curah hujan ;:: 50<br />
mm) dan kalender tanam potensial (12 dasarian potensial) seperti diperlihatkan<br />
dalam bagan di bawah ini:<br />
Klaster yang telah divalidasi<br />
....<br />
Penentuan curah hujan rata-rata<br />
per klaster<br />
;:: 50 mm/dasanan<br />
{ Dasarian potensial J I<br />
( Kalender tan am potensial ) I<br />
12 dasarian potensial<br />
Gambar 2.3 Bagan alur penentuan dasarian dan kalender tanam potensial<br />
3 HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
3.1 Konfirmasi data curah hujan TRMM dengan curah hujan observasi<br />
Langkah awal sebelum dilakukan klastering adalah pengujian kesesuaian<br />
data curah hujan TRMM dengan data curah hujan penakar yang diperoleh dari<br />
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Perbandingan pola curah<br />
hujan TRMM metode Ward dengan pola curah hujan observasi di Kalimantan Barat<br />
menunjukkan nilai korelasi lebih besar dari 0,7, seperti diperlihatkan pada tabel 3.1<br />
(Juaeni, 201 0). Perbandingan pola curah hujannya ditunjukkan pqdi Lampi ran A.<br />
Uji serupa dilakukan oleh Arief et a/. (2008) untuk lokasi lain, yaitu Sicincin<br />
Padang-Sumatera Barat (0,54 °LS; 100,30°8T), Supadio Pontianak-Kalimantan Barat<br />
(0, 15°LS; 109,40°8T), Kayuwatu Manado-Sulawesi Utara (1 ,55°LU; 124,92°8T) dan<br />
Kemayoran Jakarta (6, 15°LS; 1 06,~ 0 8T).<br />
Hasil yang diperoleh menunjukkan<br />
adanya korelasi yang baik, yang ditunjukkan oleh adanya koefisien korelasi yang<br />
14
tinggi (r = 0,8) untuk semua daerah yang ditinjau di atas. Secara ringkas hasil<br />
tersebut ditabulasikan pada tabel (3. 2). Perbandingan pola curah huj9nnya<br />
ditunjukkan pada Lampiran A.<br />
Tabel 3.1 Koefisien korelasi antara curah hujan rata-rata TRMM dengan curah<br />
hujan rata-rata observasi (Juaeni eta/., 201 0)<br />
Lokasi<br />
Koefisien korelasi antara pola curah hujan<br />
metode Ward (TRMM) dengan curah hujan<br />
observasi<br />
Ketapang 0,90<br />
Sambas 0,77<br />
Sintang 0,86<br />
Pangsuma (Kapuas Hulu) 0,73<br />
Tabel 3.2 Koefisien korelasi (r) antara curah hujan rata-rata TRMM dengan curah<br />
hujan rata-rata observasi lain (Arief eta/., 2008)<br />
No. Lokasi Perioda r<br />
1. Sicincin, Padang-Sumatera Barat 2002-2007 0,8<br />
(0,54°LS; 1 00,30°8T) (tanpa 2003)<br />
2. Supadio, Pontianak-Kalimantan 1998-2007 0,8<br />
Barat (0, 15°LS; 1 09,40°8T)<br />
3. Kayuwatu, Manado-Sulawesi 1998-2007 0,8<br />
Utara (1 ,55°LU; 124,92°8T)<br />
4. Kemayoran, Jakarta Pusat 1998-2007 0,8 '<br />
(6, 15°LS; 1 06,85°8T)<br />
3.2 Hasil klastering<br />
Data curah hujan TRMM lulus uji deteksi outlier karena nilai signifikansi ><br />
0,001. lni menunjukkan bahwa dalam data (periode 1998 sampai 2009) tidak ada<br />
data yang sangat berbeda dengan data lainnya. Dalam kurun waktu tersebut<br />
. '<br />
sebenarnya terjadi fenomena atmosfer El Nino (pada tahun 1997/1998, 2002/2003,<br />
2005/2006), La Nina (pada tahun 1999/2000) dan dipole mode negatif pada tahun<br />
1996. Uji outlier menunjukkan bahwa tidak ada perubahan curah hujan yang<br />
signifikan pada saat fenomena-fe11emena tersebut di atas te~adi,<br />
yang digunakan sudah tepat.<br />
berarti asumsi<br />
15
Deteksi multikolinearitas terhadap curah hujan 10 harian menunjukkan<br />
bilangan kondisi (k) >1 000 maka harus dilakukan anal isis komponen utama sebelum<br />
l<br />
analisis klastering. Hasil analisis komponen utama inilah yang kemudian menjadi<br />
input untuk analisis klaster. Berdasarkan dendogram yang terbentuk, data curah<br />
hujan TRMM akumulasi 10 harian menghasilkan 10 jumlah klaster untuk 3 wilayah<br />
dan 12 klaster untuk 2 wilayah. Klaster terbanyak yaitu 12 terdapat di Kalimantan<br />
dan Sulawesi atau wilayah tengah utara Indonesia (tabel 3.3). Dendogram dan<br />
jumlah klaster setiap wilayah diperlihatkan pada Lampiran B, sementara pola curah<br />
hujan rata-rata setiap klaster diperlihatkan pada Lampiran C.<br />
Tabel 3.3 Jumlah klaster dan pola curah hujan rata-rata setiap wilayah<br />
Wilayah Jumlah klaster Pol a<br />
I Sumatera 10 Monsunal dan ekuatorial<br />
II Jawa 10 Monsunal<br />
Ill Kalimantan 12 Monsunal dan Ekuatorial<br />
IV Sulawesi 12 Monsunal, Ekuatorial dan lokal<br />
V Papua 10 Lokal dan Ekuatorial<br />
Rangkuman jumlah klaster dan pola curah hujan rata-rata diperlihatkan<br />
pada tabel 3.3. Pola curah hujan yang ditunjukkan pada Lampiran C, menunjukkan<br />
secara umum tidak terjadi perubahan pola curah hujan di wilayah Indonesia untuk<br />
periode 1998 sampai 2009 (monsunal, ekuatorial dan lokal). Peta klaster untuk<br />
setiap wilayah diperlihatkan mulai gambar 3.1 sampai dengan gambar 3.5.<br />
Gambar 3.1 menunjukkan hasil klastering di Pulau Sumatera. Pulau<br />
Sumatera lokasinya berdekatan dengan lautan Hindia dan terletak di wilayah tropis<br />
memanjang memotong garis khatulistiwa. Bentuk permukaannya merupakan<br />
campuran dataran rendah dan pegunungan. Letak geografisnya menyebabkan pola<br />
hujan tidak hanya bergantung pada faktor-faktor dalam skala l9kal saja tetapi juga<br />
sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar baik darat maupun laut dalam<br />
skala meso sampai skala global.<br />
til"<br />
16
6<br />
4<br />
2<br />
(.')<br />
z<br />
~ 0<br />
z<br />
::J<br />
-2<br />
-4<br />
-6<br />
96 98 100 102 104 106<br />
BUJUR<br />
Gambar 3.1 Klaster-klaster di wilayah I (P. Sumatera)<br />
Penerapan metode kluster Ward pada wilayah Sumatera menghasilkan<br />
jumlah klaster yang sama, baik di bagian utara khatulistiwa maupun di bagian<br />
selatannya. Pulau Sumatera terbagi dalam 6 (enam) klaster dengan tiga klaster di<br />
utara dan tiga klaster di selatan yang terbagi dengan luas yang tidak merata. Lautan<br />
disekitar pulau Sumatera ter klaster dalam 8 area. Didaratan ada dua klaster besar,<br />
satu terletak di utara sedangkan satu lagi terletak di selatan. Klaster besar sebelah<br />
utara memanjang sampai lautan sebelah timurnya, sedangkan klaster besar<br />
diselatan mencapai lautan di sebelah baratnya. Klaster-klaster kecil di daratan<br />
Sumatera adalah klaster-klaster lautan yang mencakup daratan. lni diidentifikasi<br />
sebagai hasil interaksi darat dan laut. Area klaster yang terbagi dua menunjukkan<br />
faktor geografis/posisi lintang sangat kuat pengaruhnya dalam membentuk<br />
kelompoklklaster curah hujan di Sumatera .<br />
....<br />
17
·b<br />
0<br />
z -~<br />
~<br />
~<br />
z .m<br />
- j<br />
-11<br />
% 1m W8 1W 118 11~ 118 n~<br />
BUJUR<br />
Gambar 3.2 Klaster-klaster di wilayah II (P. Jawa, Bali dan NT)<br />
Pulau Jawa secara geografis berada di sebelah selatan garis khatulistiwa<br />
yang dalam kajian meteorologis memiliki pola hujan monsunal, yang berarti bahwa<br />
dalam satu tahun terdapat satu puncak intensitas curah hujan (umumnya terjadi<br />
pada perioda bulan Desember, Januari dan Februari) dan satu puncak intensitas<br />
curah hujan minimum (rata-rata terjadi pada perioda bulan Juni, Juli dan Agustus).<br />
Wilayah Jawa berbatasan dengan laut baik di sebelah utara dan maupun di selatan<br />
dengan karakteristik oseanografis yang berbeda. Hal ini berdampak pada<br />
karakteristik curah hujan di daerah-daerah dekat pantai utara maupun selatan.<br />
Penerapan metode klaster pada wilayah ini (dalam penelitian ini digunakan<br />
dua metode klastering, yaitu metode Ward dan metode Hard (Lampiran C) akan<br />
memberikan variasi yang penting sebagai kajian : bagaimanakah variabilitas utama<br />
curah hujan di wilayah ini, dan apakah diakibatkan pengaruh meteorologis regional<br />
ataukah kondisi lokal. Secara visual, wilayah sampel daratan pulau Jawa<br />
memperlihatkan ada dua klaster (gambar 3.2). Pada metode Ward , diperoleh hasil<br />
bahwa di bagian pantai utara Jawa keseluruhannya berada
sekitarnya. Di P. Jawa hanya ada dua klaster, Bali dan Nusa Tenggara masingmasing<br />
mempunyai satu klaster. Agar mendapat klaster yang lebih detil di masingl<br />
masing pulau, wilayah pengamatan harus diperkecil menjadi P. Jawa saja, P. Bali<br />
saja dan Nusa Tenggara saja.<br />
6<br />
4<br />
2<br />
(.9<br />
z<br />
-=t: 0<br />
f-<br />
z<br />
::::J<br />
-l~~llllllli!<br />
-4<br />
-6 108 110 112 114 116 118 120<br />
BUJUR<br />
Gambar 3.3 Klaster-klaster di wilayah Ill (Kalimantan)<br />
Pulau Kalimantan secara geografis melintang melalui garis khatulistiwa<br />
sehingga dalam kajian meteorologis dapat memiliki pola hujan yang variatif.<br />
Wilayahnya yang relatif datar dibanding pulau lainnya dapat berdampak variasi pola<br />
hujan yang ditentukan kondisi regional daripada lokal.<br />
. ~<br />
Penerapan metoda klaster Ward pada wilayah sampel Kalimantan (gambar<br />
3.3) memperlihatkan variasi yang cukup banyak di bagian utara dibanding bagian<br />
selatannya. Secara visual daratan pulau Kalimantan terbagi dalam 8 (delapan)<br />
wilayah klaster dengan dua wilayah~aitu timur dan barat) terbagi secara dominan<br />
(area biru muda dan area hijau). Lautan disekitar pulau Kalimantan ter klaster dalam<br />
19
8 area. Wilayah selatan yang terbagi dalam 3 klaster dengan dominan area biru tua.<br />
Wilayah utara bervariasi dalam 6 area. Pada metoda ini terlihat pulau KaliiJlantan<br />
dipengaruhi kondisi lokal secara dominan dibanding pengaruh regional.<br />
6<br />
4<br />
0<br />
0<br />
2<br />
z<br />
4: 0<br />
f-<br />
z<br />
:::i<br />
-2mma~<br />
-4<br />
-6<br />
120 122 124 126 128 130<br />
BUJUR<br />
Gambar 3.4 Klaster-klaster di wilayah IV (Sulawesi)<br />
Hasil klastering di Sulawesi dan sekitarnya menghasilkan 12 klaster<br />
(gambar 3.4). Daratan Sulawesi terbagi menjadi 5 klaster sedangkan lautan<br />
sekitarnya terbagi menjadi 12 klaster. Tidak tampak adanya klaster daratan mutlak<br />
atau yang tidak tergabung dengan lautan. Hal ini disebabkan luas daratan lebih<br />
sempit dibandingkan lautan sekitarnya, sehingga pola curah hujan lautan<br />
mempengaruhi pola hujan daratan. Kondisi lokal daratan dalam hal ini kalah<br />
dominan dibandingkan pengaruh lautan sekitarnya.<br />
~<br />
20
6<br />
4<br />
2<br />
0<br />
C)<br />
:z -2<br />
karakteristik curah hujan yang tinggi dengan karakteristik lautan disekitarnya,<br />
sehingga berada dalam satu klaster yang sama. Hal ini dapat dijelaskan adanya<br />
l<br />
interaksi yang kuat antara atmosfer daratan dan lautan. lnteraksi atmosfer dan<br />
lautan merupakan salah satu aspek penting dalam mengkaji perilaku variabel<br />
atmosfer di wilayah benua maritim ini. Untuk penelitian selanjutnya yang hanya<br />
memerlukan klaster di daratan, wilayah pengamatan harus dibatasi pada<br />
wilayah daratan.<br />
2. Klaster di daratan terbentuk berdasarkan perbedaan area lintang tetapi klaster<br />
di daratan Kalimantan dan klaster di lautan juga menunjukkan perbedaan area<br />
bujur.<br />
Hasil klastering sangat tergantung kepada metode yang digunakan,<br />
metode yang berbeda akan menghasilkan hasil klastering yang berbeda pula.<br />
Sebagai perbandingan, juga dilakukan klastering dengan metode Hard (Lampiran<br />
C), tetapi metode Hard tidak dibahas lebih mendalam dalam penelitian ini. Untuk<br />
penentuan kalender tanam digunakan hasil klastering dari metode Ward.<br />
3.3 Dasarian potensial dan kalender tanam potensial<br />
Berdasarkan referensi berikut: Tupan dan Susanto (2002), Juliardi dan<br />
Ruskandar (2006), Sudjarwadi (201 0) padi memerlukan air 5 sampai 10 mm/hari/ha,<br />
maka kebutuhan air per 10 hari adalah 50 - 100 mm/ha. Berdasarkan informasi ini<br />
ditentukan dasarian paten sial yaitu dasarian dengan curah hujan ~ 50 mm/1 0 hari<br />
untuk seluruh klaster di daratan. Dasarian potensial secara lengkap untuk seluruh<br />
klaster diperlihatkan pada Lampiran D. Kalender tanam ditentukan jika dasarian<br />
potensial berjumlah 12 berturut-turut (120 hari). Jumlah dasarian ini ditentukan<br />
berdasarkan rata-rata umur tanaman padi (Ciherang , IR 64 110-120 hari, Ciherang<br />
115-125 hari, Cisokan 110-120 hari). Selanjutnya, dalam bab ini akan diuraikan<br />
dasarian potensial dan kalender tanam di lokasi sampel . sentra pangan yaitu<br />
Denpasar dan Tabanan, Magelang, Probolinggo, Tomohon di Manado dan Medan.<br />
Di Medan padi bisa mulai ditanam pada dasarian ke 5 sampai dengan<br />
..,<br />
dasarian ke 36. Jika dibantu irigasi pada dasarian ke 3, maka pad i bisa ditanam<br />
sepanjang tahun atau dalam setahun bisa 3 x tanam. lni berdasarkan curah hujan<br />
rata-rata klaster 8 di P. Sumatera (gambar 3.6, tabel 3.4). Di Probolinggo dan<br />
22
Denpasar, padi bisa mulai ditanam pad a dasarian ke 1, dengan dibantu irigasi mulai<br />
dasarian ke dasarian 12. Pad i dapat ditanam lagi di akhir tahun dengan bantuan<br />
irigasi pada dasarian ke 25 sampai dasarian 29. lni waktu yang tepat sesuai curah<br />
hujan rata-rata klaster 6 di P. Jawa (gambar 3.7, tabel 3.4). Di Magelang, pada<br />
dasarian 1 sampai 12 tersedia air hujan yang cukup untuk mengairi sawah (gambar<br />
3.8). Padi dapat ditanam lag i di akhir tahun dengan bantuan irigasi pada dasarian 25<br />
sampai dasarian 28. Di Manado, agak sukar menentukan kalender tanam karena<br />
diperlukan 12 dasarian berturut-turut, jika hanya berdasarkan dasarian potensial<br />
maka padi dapat ditanam akhir tahun mulai dasarian ke 30 sampai dasarian ke 5<br />
tahun berikutnya. Jika ingin dua kali menanam maka harus dibantu irigasi (tabel 3.4).<br />
Berdasarkan data di lapangan, Denpasar/Tabanan, Probolinggo dapat<br />
menanam padi dua kali setahun. Jika dikonfirmasi dengan jumlah dasarian potensial<br />
(gambar 3.7) maka di lokasi-lokasi tersebut hanya bisa menanam satu kali dalam<br />
setahun, ini berarti ada tambahan suplai air dari irigasi. Di Magelang air hujan tidak<br />
digunakan untuk mengairi sawah, karena pengairan sawah utama dari irigasi yang<br />
diambil dari sungai Bengawan Solo. Medan belum divalidasi karena tidak ada data<br />
lapangan. Data lapangan Manado menunjukkan bahwa padi ditanam 3 x kali dalam<br />
setahun, sementara jumlah dasarian potensial berdasarkan TRMM (gambar 3.9,<br />
tabel 3.4) maksimal hanya bisa dua kali tanam. lni berarti ada tambahan suplai air<br />
dari irigasi pada dasarian-dasarian yang tidak potensial.<br />
R.-tta-t .-n .-. C ut .-. h Huj.-.n Kl•1s t e 1 ke - 8<br />
1 60 .------,,------,,------.-------.-------.------~------~--~<br />
140<br />
E<br />
..s<br />
140<br />
Rata~ata Curah Huj ... -.n Kl ... l s f e l ke -G<br />
120<br />
100<br />
E<br />
_§_ 80<br />
c<br />
.,<br />
m<br />
:r:<br />
.c= 60<br />
~<br />
(_)<br />
40<br />
20<br />
0 0 5 10 15 30 35<br />
Oasarian ke-<br />
Gam bar 3. 7 Curah hujan rata-rata klaster 6 di P. Jawa (Probolinggo dan<br />
Denpasar)<br />
160<br />
R.ata-lat ... l C u1 ... -,h Huj .. 1n Klaste1 ke -3<br />
140<br />
120<br />
E'1DD<br />
_§_<br />
., ~<br />
80<br />
:r:<br />
.c=<br />
~ 60<br />
(_)<br />
40<br />
20<br />
0 0 5 10 15 20 25 30 35<br />
Oasarian ke -<br />
Gambar 3.8 Curah hujan rata-rata klaster 8 di P. Jawa (Magelang)<br />
140<br />
R.tt.l-hlt.l Cu1.1h Huj;m Kl.tsteo ke . 9<br />
120<br />
E<br />
..§_<br />
c<br />
., m<br />
:r:<br />
.c=<br />
~<br />
(_)<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
20 0 5 10- 15 20 25 30 35<br />
Dasarian ke ·<br />
Gambar 3.9 Curah hujan rata-rata klaster 9 di P. Sulawesi (Manado)<br />
24
- -<br />
-<br />
--<br />
Tabel 3.4 Periode ketersediaan air(~ 50 mm/dasarian) untuk lokasi sampel sentra pangan (Medan, Magelang , Probolinggo,<br />
Denpasar/Tabanan dan Manado/Tomohon) ditunjukkan dengan shading warna hijau<br />
Medan (klaster 8 wilayah I)<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34<br />
Waktu<br />
tan am<br />
- -<br />
~c<br />
- -·- - -<br />
12<br />
35 36<br />
I<br />
'<br />
Magelang (klaster 8 wilayah II)<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34<br />
Waktu<br />
tan am<br />
-- - - --- --~<br />
-<br />
- --~ - "- - '---- - -<br />
L~<br />
-~ - '--~<br />
12<br />
-<br />
I<br />
35 36<br />
I<br />
Probolinggo (klaster 6<br />
wilayah II)<br />
-<br />
Bulan ko 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11<br />
Du"'nrlnn ke 1 T 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34<br />
Wnkhr<br />
1111111111<br />
~<br />
'<br />
'<br />
12<br />
35 36<br />
25
Denpasar/Tabanan (klaster 6 wilayah II)<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
Manado (klaster 9 wilayah IV )<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarlan ke 1 -2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
I<br />
26
Pola curah hujan dan dasarian-dasarian potensial klaster daratan lain<br />
selain klaster-klaster sampel di atas, diperlihatkan pada Lampiran D dan E. Dari<br />
l<br />
seluruh hasil di atas, maka kalender tanam berdasarkan TRMM menunjukkan<br />
terdapat tiga macam kalender tanam yaitu dua kali waktu tanam dalam setahun,<br />
satu kali tanam setahun dan tiga kali tanam atau sepanjang tahun menanam. Dua<br />
kali menanam padi dalam setahun terjadi di P. Jawa, Sumatera, Kalimantan dan<br />
Sulawesi. Daerah dengan satu kali tanam sepanjang tahun adalah Bali dan Nusa<br />
Tenggara, karena hujan dengan intensitas yang cukup hanya terjadi di awal tahun.<br />
Sedangkan di Sumatera Barat dan Papua waktu tanam hampir bisa dilakukan<br />
sepanjang tahun.<br />
3.4 Curah hujan ekstrim<br />
Ketahanan pangan sangat tergantung kepada hasil panen, sementara hasil<br />
panen sangat tergantung kepada terpenuhinya kebutuhan air dan masalah-masalah<br />
lain seperti pengendalian hama dan sebagainya. Untuk terpenuhinya kebutuhan<br />
akan air, sawah-sawah tadah hujan sangat tergantung kepada hujan. Air hujan<br />
diperlukan dalam jumlah yang cukup, tidak terlalu banyak dan tidak kurang. Dengan<br />
demikian peta curah hujan ekstrim sangat diperlukan untuk mengetahui lokasi yang<br />
sering terjadi curah hujan ekstrim dan intensitas curah hujan ekstrimnya. lnformasi<br />
ini sangat berguna untuk mendukung dikembangkannya sistem ketahanan pangan.<br />
Dalam penelitian ini curah hujan ekstrim di wilayah Indonesia berdasarkan data<br />
TRMM ditentukan dengan perhitungan (persamaan 2.1 ).<br />
Curah hujan ekstrim yang dibahas disini adalah curah hujan ekstrim tinggi<br />
dan berpedoman pada data curah hujan rata-rata, maka lebih tepat jika dikatakan<br />
curah hujan ekstrim potensial. Curah hujan ekstrim potensial ini sudah memenuhi<br />
dua persyaratan sebagai curah hujan ekstrim yaitu intensitas yang besar dan jarang<br />
terjadi (frekuensi rata-rata 1 sampai 2 kali dalam setahun , gambar 3.11 ). Pada<br />
gam bar 3.10 tampak bahwa curah hujan ekstrim diwilayah. lndonesia berkisar antara<br />
80 sampai 180 mm/1 0 hari. Wilayah Indonesia bag ian timur, curah hujan ekstrimnya<br />
lebih tinggi dibandingkan wilayah Indonesia bagian barat. Jika dikaitkan dengan<br />
resiko maka curah hujan ekstrim ini akan mengakibatkan sawah terlalu basah<br />
(karena kebutuhannya hany~ 50-100 mm/10 hari) apalag i jika air hujan<br />
27
menggenangi sawah dalam<br />
panen.<br />
yang cukup lama, maka akan terjadi<br />
gagal<br />
15 b .• ( •" - ... ~.. .. ~ t "\ ___ 'f-.._:C =-:: .. -2 ! - .--!_<br />
1<br />
-15 ~ ~ . . -<br />
95 100 105 110 115 120 125 130 135 140 145<br />
360<br />
340<br />
320<br />
300<br />
280<br />
260<br />
240<br />
220<br />
200<br />
180<br />
160<br />
140<br />
120<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
Gam bar 3.10 Peta curah hujan ekstrim (mm/1 0 hari)<br />
15 ~<br />
10<br />
...<br />
2<br />
1---' ..._ ) I I I I I ,.__.., ...L.:_<br />
15<br />
95 100 105 11 0 115 120 125 130 135 140 145<br />
- I I I I I I<br />
-<br />
Gambar 3.11 Peta frekuensi curah hujan ekstrim (kejad ianltahun)<br />
28
Pembahasan ka lender tanam dan curah hujan ekstrim terkait ketahanan<br />
pangan dalam makalah ini sengaja dibatasi pada pembahasan umum saja, t ~dak<br />
terlalu detil mengingat kalender tanam sangat erat kaitannya dengan aktivitas<br />
pertanian dengan segala aspeknya yang memang tidak dicakup dalam penelitian ini<br />
karena penelitian ini bersifat sebagai informasi untuk mengembangkan pemanfaatan<br />
data curah hujan TRMM. Untuk menghasilkan klaster seperti diatas diperlukan data<br />
minimum satu tahun, namun jika hanya satu tahun maka klasternya hanya berlaku<br />
pada tahun tersebut. Dalam penelitian ini digunakan data curah hujan rata-rata<br />
selama 12 tahun, sehingga berlaku secara umum.<br />
4 KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Curah hujan TRMM sangat berguna dalam mengkaji lebih mendalam<br />
perilaku curah hujan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya karena kemiripan<br />
polanya dengan curah hujan observasi.<br />
Dalam penelitian ini, ada beberapa hal penting yang diperoleh: Pertama,<br />
ada keterkaitan antara pola curah hujan atau klaster curah hujan dengan geografi<br />
dan topografi. Kedua, aspek interaksi atmosfer dan laut sangat menonjol di wilayah<br />
Indonesia terlebih di pulau-pulau berukuran kecil. Ketiga, karakter curah hujan di<br />
lautan lepas berbeda dengan di daratan. Keempat, pengembangan pemanfaatan<br />
data TRMM dapat ditunjukkan dengan ditentukannya dasarian-dasarian potensial<br />
per wilayah untuk menetapkan kalender tanam potensial.<br />
Dari aspek manfaat, selain berisi konfirmasi terhadap hasil sebelumnya,<br />
penelitian ini juga sangat bermanfaat untuk mendukung terciptanya sistem<br />
ketahanan pangan baik skala lokal maupun nasional.<br />
Teknik klastering Ward cukup baik dalam mengklaster curah hujan di<br />
wilayah Indonesia, tetapi perlu juga dilakukan uji terhadap metode klastering<br />
lainnya sebagai bahan perbandingan. Perbandingan dengan klastering yang<br />
menggunakan data penakar curah hujan perlu dilakukan agar h~siJ yang diperoleh<br />
memiliki ting~at kepercayaan yang tinggi.<br />
PUBLIKASI:<br />
Penelitian ini fllenghasilkan 4 makala~enelitian, satu makalah sudah terbit dalam<br />
Jurnal Sains Pirgantara-LAPAN terakreditasi, dua makalah sudah terbit dalam Berita<br />
29
lnderaja-LAPAN, satu makalah diajukan dalam Seminar Sains Atmosfer dan lklim,<br />
15 November 2010. Makalah lengkap ditampilkan pad a Lampi ran F.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Arief Suryantoro, Teguh Harjana , Halimurrahman, 2008. Variasi Spasiotemporal Curah<br />
Hujan Indonesia Berbasis Observasi Satelit TRMM, Prosiding Workshop Aplikasi<br />
sains Atmosfer : Sains Atmosfer Oa/am Mendukung Pembangunan Berkelanjutan,<br />
ISBN 978-979-1458-25-2, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan lklim LAPAN,<br />
Bandung 1 Desember 2008, hal. 175-186.<br />
Ayahbi, R., 2009. Pengelompokkan karakteristik curah hujan di wilayah Sumatera Barat<br />
menggunakan metode Ward, Skripsi, Jurusan Statistika Fakultas Matematika dan<br />
1/mu Pengetahuan A/am, Universitas Padjadjaran-Jatinangor.<br />
Tupan dan Susanto; 2002. Studi perbandingan kebutuhan air irigasi di Jawa Timur<br />
berdasarkan metode faktor palawija relatif dan metode net field water requirement,<br />
Tugas Akhir Jurusan Teknik Sipil, Petra Christian Uiversity.<br />
Degaetano, A. T.; 1996. Delineation of mesoscale climate zones in the Northeastern<br />
United States using a novel approach to cluster analysis, Journal of Climate, 9.<br />
Haryoko, U. , 2009. Pewilayahan hujan untuk menentukan pola hujan (contoh kasus<br />
Kabupeten I ndramayu), http://www. staklimpondokbetung. neUpublikasi/ didownload<br />
Juli 2009.<br />
Juaeni, 1.; Halimurrahman, Risana Ayahbi, Noersomadi, Nurzaman; 2009. Karakteristik<br />
Atmosfer dan lklim Sumatera Barat. Laporan Penelitian RIK-LAPAN 2009.<br />
Juaeni, 1.; Dewi Yuliani, Risana Ayahbi, Noersomadi, Teguh Hardjana, Nurzaman; 2010.<br />
Pengelompokan Wilayah Curah Hujan Kalimantan Barat Berbasis Metoda Ward dan<br />
Fuzzy Clustering, Jurnal Sains Dirgantara, 7,2, LAPAN.<br />
Juliardi dan Ruskandar; 2006. Teknik Mengairi Padi Kalau macak-macak cukup, mengapa<br />
harus digenang? Balai Besar Penelitian Padi.<br />
Rencher, A. C.; 2001 . Methods of Multivariate Analysis, Second Edition, A Wileylnterscience<br />
Publication, United States.<br />
Sudjarwadi ; 2010. lrigasi-1. Diktat kuliah Jurusan Teknik Sipil, UGM, Yogyakarta.<br />
Yuliani, D., 2009. Pengelompokkan karakteristik curah hujan di wilayah KaJimantan Barat<br />
menggunakan Fuzzy Clustering, Skrips1~ Jurusan Statistikct Fakultas Matematika<br />
dan 1/mu Pengetahuan A/am, Universitas Padjadjaran-Jatinangor.<br />
http://trmm.gsfc.nasa.gov/ didownload Maret 2009.<br />
30
LAMPIRAN A<br />
Perbandingan pola curah huja observasi di beberapa lokasi<br />
dengan pola curah hujan TRMM<br />
600<br />
Keta p ang<br />
e<br />
.§.<br />
c<br />
500<br />
400<br />
1 300<br />
~<br />
a 200<br />
100<br />
..... ,<br />
..... ,<br />
..... ,<br />
,<br />
,<br />
/<br />
Observasi<br />
0<br />
1 2 3 4 5<br />
6 7 8 9<br />
Bulanke<br />
10 11 12<br />
350<br />
300<br />
e<br />
250<br />
t 200<br />
~<br />
~ 150<br />
3<br />
100<br />
so<br />
- Observasi<br />
--ward<br />
0<br />
2 3 4 5<br />
6 7 8 9<br />
10 11 12<br />
Bulan k e<br />
500<br />
450<br />
400<br />
350<br />
e<br />
.§_ 300<br />
c<br />
j 250<br />
-
Lanjutan Lampiran A<br />
Korelasi Pola CH terestrial dan CH-TRMM (3843)<br />
Sicincin, Padang 2002-2007 (tanpa 2003); r = 0,8<br />
700<br />
600<br />
I soo<br />
~ 400<br />
0 300<br />
200<br />
100<br />
800<br />
700<br />
600<br />
I 500<br />
400<br />
0<br />
l<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
Korelasi Pola CH terestrial dan CH-TRMM (3843)<br />
Daerah Supadio, Pontianak Tahun 1998-2007; r = 0,8<br />
13 25 37 49 61 73<br />
t (bulan)<br />
85 97 1o9 I<br />
r=- CH terestrial<br />
-a- CHTRMM<br />
900<br />
800<br />
700<br />
-600<br />
I ~ 500<br />
i 400<br />
(J 300<br />
200<br />
Korelasi Pola CH terestrial dan CH-TRMM (3843)<br />
Daerah Manado Tahun 1998-2007; r = 0,8<br />
_ __j-=.- CH-terestrial t<br />
________j--CH-TRMM<br />
___ _<br />
10<br />
~ l'!: ,,,,,,,,, ~ ,,,,,, ~ lliillllii ~ llliliiii rt, llllli~ I" .E .. , ~ ,,~ ,, - ,,, : ,,,<br />
t (bulan)<br />
- --<br />
900<br />
800<br />
700<br />
! 600<br />
500<br />
0 400<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
Korelasi Pola CH terestrial dan CH-TRMM (3843)<br />
Daerah Jakarta Tahun 1998-2007; r = 0 ,8<br />
13 25 37 49 61 73 85 97 109<br />
t (bulan)<br />
32
LAMPIRAN 8<br />
Dendogram (kiri) dan jumlah klaster (kanan) metode Ward<br />
untuk setiap wilayah<br />
8.1 Wilayah I (P. Sumatera dan sekitarnya)<br />
X 10 4<br />
X 10 4<br />
2.-----.------.------.------.-----.<br />
1.6<br />
1.8<br />
1.6<br />
1.4<br />
1.2<br />
I<br />
0 . 2~<br />
0 0 500 1000 1500 2000<br />
~ 161 1<br />
D<br />
e. 14<br />
f- "'<br />
g> 12 1 I<br />
"' ,.,<br />
;;;<br />
;;; 1<br />
"' I ]<br />
2<br />
c<br />
8.3 Wilayah Ill (P. Kalimantan dan sekitarnya)<br />
X 10 4<br />
2 ~--~----~----~----~-----<br />
1.8<br />
g' 1.6<br />
.c "<br />
~1.4<br />
....<br />
g'1.2<br />
..<br />
>-<br />
~ 1<br />
S2<br />
~ 0.8<br />
c<br />
LAMPIRAN C<br />
Metode klastering Hard dan hasilnya<br />
C.1 Metode klastering Hard<br />
Metode Hard atau K-means mengklasifikasikan objek berdasarkan<br />
kesamaan menjadi k bagian. Tujuan utamanya adalah menentukan rata-rata k dari<br />
data berbasis distribusi gaussian dengan cara memperoleh variansi antar klaster<br />
,...<br />
ll =I: I: l:1;j - tt; l 2<br />
yang minimal atau fungsi kesalahan kuadrat (V) yang minimal.<br />
i-lJ'JES,<br />
Dimana k= jumlah klaster Si, i = 1 ,2, ... ,k<br />
!Ji = centroid atau titik rata-rata dari titik-titik dalam klaster 17 J E S;.<br />
Langkah pertama dimulai dengan pembagian data input menjadi k kumpulan data,<br />
yang ditentukan secara acak atau berdasarkan data historik.<br />
Langkah selanjutnya menghitung titik rata-rata atau centroid untuk setiap kumpulan<br />
data. Maka akan terbentuk partisi data yang menghubungkan setiap titik dengan<br />
centroid terdekat.<br />
Selanjutnya menghitung centroid untuk klaster baru, langkah kembali berulang<br />
(iterasi) sampai terkonvergensi, atau tidak ada lagi titik yang sesuai dengan klaster<br />
atau centroid tidak lagi berubah.<br />
Algoritma ini sangat populer karena konvergensi terjadi dengan cepat, tetapi<br />
kelemahannya adalah asumsi jumlah klaster sangat mene!ltukan, sehingga<br />
perbedaan asumsi awal akan menghasilkan cluster yang berbeda. Variansi<br />
terrendah yang diperoleh tidak menjamanin nilai variansi minimum global.<br />
tiP<br />
35
C.2 Hasil klaster metode Hard<br />
I Sumatera 10<br />
II Jawa 12<br />
III Kalirnan tan 17<br />
IV Sulawesi 11<br />
V Papua 13<br />
Visualiasi klaster-klaster dengan merode Hard perwilayah diperlihatkan pada<br />
gambar-gambar di bawah ini.<br />
36
122 124 126 128 130<br />
132 134 1]) 138 140 142<br />
3
LAMPIRAN D<br />
Pola curah hujan di klaster-klaster daratan yang digunakan untuk menent4kan<br />
kalender tanam potensial<br />
0.1 Pola curah hujan di wilayah I (Sumatera)<br />
Rat,l-..1-Jf.'l Cmah Hllj.ln KI-.H~et ke- 1<br />
1~,---~----~----~----~----~----~-----.<br />
Raraoo~at.l Cmah Hujan Klo1stet ke- 2<br />
I<br />
140<br />
120<br />
·5- 100<br />
:I:<br />
=<br />
l!<br />
8 00<br />
J<br />
E'<br />
.s<br />
c<br />
~<br />
5'<br />
:I:<br />
=<br />
\5<br />
(.)<br />
~<br />
400<br />
5<br />
10 15 20 25 3J 35<br />
Dasarian ke -<br />
0 o 5 10 15 20 25 3J 35<br />
Dasarian ke-<br />
Rald-ltll~l C UI ah Hujiln Kl.nlea ke- 3<br />
140.---~----~----~--~~----~----r----,-,<br />
R~lta-hltd Cm ~1 h Hujo1n Klas.tel ke--'<br />
180.---~----~-----r--~~----,-----~----r-o<br />
140<br />
E<br />
.§..<br />
c<br />
~<br />
5'<br />
I<br />
=<br />
5<br />
u<br />
100<br />
80<br />
60<br />
E<br />
.§..<br />
c<br />
120<br />
·5- 100<br />
I<br />
=<br />
5<br />
u 80<br />
40<br />
60<br />
200 5 10 15 20 25 30 35<br />
Dasanan ke-<br />
400<br />
5 10 15 20 25 30 35<br />
Oasarian ke -<br />
140<br />
Rata-aata C.ut.lh Huj.'ln Kl.,stet lte - 5<br />
R.1ta-aara Cmah Huj,l n Klastet ke- 6<br />
140r-----~----~----~------.-----~----~~--~--<br />
120<br />
E'<br />
.s<br />
c<br />
5'<br />
:I:<br />
=<br />
~<br />
(.)<br />
100<br />
.,<br />
c<br />
:a:<br />
=<br />
~<br />
u<br />
50<br />
0 o 5 10 15 20 25 30<br />
..<br />
35<br />
Oasarian ke -<br />
40 •<br />
0 5 10 15 20 25 3J 35<br />
Oa-sanan • e -<br />
38
120<br />
110<br />
100<br />
90<br />
'E 00<br />
-5.<br />
c<br />
~<br />
5'<br />
:I:<br />
""'<br />
8<br />
'E<br />
-5.<br />
c<br />
m<br />
~<br />
""'<br />
5<br />
0<br />
Rat.l - l .lt ~l C m ~l h Hnj•m K l ~-.stel ke - 8<br />
1ro,----.r----.-----.----~----~----~----.-,<br />
140<br />
120<br />
20 o 5 10 15 20 25 :II 35<br />
Oasarian ke-<br />
20<br />
Oasarian ke-<br />
25 30 35<br />
D. 2 Pola curah hujan di wilayah II (P. Jawa, Bali dan Nusa Tenggara)<br />
RaM-Io"'la Cmah Huja n Kl.lst&l ke- J.<br />
R~-.ta-t .. -.M Cm .. l h Huj.ln Klaste1 ke . 6<br />
140,----.-----.-----.----~-----.-----.-----.-,<br />
~ 4()r<br />
\ I<br />
'E<br />
-5.<br />
c<br />
·s<br />
:r::<br />
!!<br />
1 8<br />
00 5 10 15 20 25 :II 35<br />
Oasarian ke -<br />
O'<br />
0 5 1D 15 20 25 :II 35<br />
Dasarian ke -<br />
160<br />
Rata:...r.n..t Cu1..1h Huj.ln Kl .. lSiel ke - 8<br />
120<br />
R.lM--fata Cmah Huj•m KloJster ke. . 9<br />
140<br />
120<br />
E HIJ<br />
-5.<br />
c<br />
5' 00<br />
:r::<br />
~<br />
8 60<br />
j<br />
'E<br />
-5.<br />
c<br />
~<br />
·s<br />
:r::<br />
""'<br />
!5<br />
0<br />
40<br />
40<br />
20<br />
20<br />
Do 5 10 15 20 25 :II 35<br />
Dasarian ke -<br />
Do 5 10 15 20 25 :II 35<br />
Da~arian ke-<br />
39
0.3 Pola curah hujan di w11ayah Ill (Kalimantan)<br />
Rilla-oata Cuoah Hujan KJ-.o h - t R.Jta -rata Cm.ah Huj.m Klilster ke- 2<br />
!.SO<br />
,ffi I ' '<br />
140<br />
120<br />
I. f\ I I E'<br />
-~ 00~ v \ I ~ i<br />
I<br />
.c<br />
8 ffir<br />
V\ A N 1 8<br />
40<br />
20<br />
II<br />
~<br />
o I -vv<br />
'<br />
I<br />
I I I I<br />
' ' 20<br />
0 5 10 15 20 25 3) 35 0 5 10 15 20 25 30 35<br />
Dasarian ke- Oa sarian ke -<br />
Rata~ at a Cuo ah Hujan Klaster ke - 3<br />
110 13)<br />
1001<br />
I<br />
I i<br />
120<br />
110<br />
R.lta-4'at.l Ctuah Hujon Klaster ke -..t<br />
100<br />
E' oo<br />
'E<br />
v V\J\f~~ A~v<br />
90<br />
.s.<br />
.s.<br />
c<br />
·5- "<br />
70 ·5- 80<br />
I<br />
I<br />
.c .c<br />
"'<br />
!" 70<br />
(.)<br />
8 ffi "<br />
40~ ' I I \1 ~<br />
40<br />
3)<br />
0 5 10 15 20 25 3) 35 300 5 10 15 20 25 30 35<br />
Oasanan ke- Dasarian ke -<br />
ffi<br />
50<br />
110r<br />
100<br />
1<br />
·n<br />
Rata-oata Cm ,lh Hujan Klasteo ke - 3 Rata-oata Cmah Hujan Klasteo ke - ~<br />
130<br />
120<br />
110<br />
Vv\j<br />
'E oo<br />
.s.<br />
v I .,.<br />
90<br />
I<br />
·5- " ..<br />
70<br />
"<br />
I<br />
.c<br />
~ ED<br />
~<br />
;;<br />
(.) (.)<br />
A<br />
3) 30<br />
50<br />
40<br />
100<br />
ffi<br />
50<br />
40<br />
.<br />
~<br />
0 5 10 15 20 25 30 35 0 5 10 15 20 25 30 35<br />
Oasarian ke- Dasana" ke -<br />
..,<br />
40
1&1<br />
Rata~ata Cu&ah Hujan KlaSia ~. -S<br />
.I<br />
131<br />
120<br />
Rat,l ·lilt.l C mi~h Huj,ln Klastet ke- 6<br />
110<br />
100<br />
'E<br />
I ' \ 1\1\ 1 v e<br />
.§. .s.<br />
c<br />
m<br />
S'<br />
I<br />
.c<br />
'\/<br />
~<br />
u<br />
ffi<br />
~ 001<br />
\I\ ~ j<br />
II<br />
50<br />
4ll<br />
Oasanan ke-<br />
3J<br />
3J 35 0<br />
5 10 15 20 25 30 35<br />
Dasarian ke-<br />
:r.<br />
. .<br />
R.tM-rata Cu&.th Hujan Kloster ke -7<br />
. ,j<br />
100<br />
100<br />
14ll<br />
'E<br />
I \ A A /\ ~ I I 'E120<br />
.§. .<br />
] 50~<br />
v<br />
.s.<br />
c<br />
·~ 100<br />
Rata-rata Curah Hujan Klaste& ke- 8<br />
\ !\ r \1 \)\ I~~<br />
A<br />
"<br />
~<br />
I<br />
.c<br />
!"<br />
u " 00<br />
ffi<br />
4ll<br />
3J 20<br />
0 5 10 15 20 25 3J 35 0<br />
Dasarian ke -<br />
5 10 15 20 25 30 35<br />
Dasarian ke -<br />
0.4 Pola curah hujan di wilayah IV (Sulawesi)<br />
RataHta Cm.th Hujan Kl.tste& ke - 1<br />
100r---~----~----r----.----~----r----.-,<br />
120<br />
Rata~ata Cmah Hujau Klaste& ke - 2<br />
~<br />
100<br />
'E<br />
.§.<br />
c<br />
S' "'<br />
I<br />
.c<br />
"'<br />
u "<br />
00<br />
'E<br />
.§.<br />
c<br />
·s- "' 60<br />
I<br />
.c<br />
!"<br />
0 "<br />
40<br />
10<br />
oL----L ____ L_ __ _L ____ ~ __ _J ____ ~--~~<br />
0 5 10 15 20 25 3J 35<br />
Oasarian ke-<br />
....<br />
20<br />
0 0<br />
5 10 15 2!l 25 3J 35<br />
~,.,_<br />
41
110<br />
R a t.l-lolt ~l Cm ah Hu j.:~n Kl<br />
00<br />
R.1M -1.1T.1 Cm.lh Hujan Kl~1ste1 ke - 5<br />
1[()<br />
90<br />
70<br />
00<br />
E'<br />
.s<br />
c<br />
..<br />
5'<br />
..<br />
:r:<br />
.c<br />
6<br />
:JU<br />
40<br />
liD<br />
e<br />
~g)<br />
~<br />
:r:<br />
=<br />
!5<br />
0<br />
3J<br />
l1<br />
20<br />
200 5 10 15 20 35<br />
Dasarian ke -<br />
10 0 5 10 15 20 25 3J 35<br />
Oasarian ke -<br />
R ~lt .. l-laf,l Cuaah Hujan Klaste1 k.e -6<br />
100.-----.-----.---~-----,-----,-----,-----.~<br />
Ra1.lAtlM Cur .. 1h Huj'tln Kl,lSte-1 ke - 7<br />
90.----r----r---~--~~--~--~----~<br />
00<br />
E'<br />
.§..<br />
c<br />
5' "'<br />
:r:<br />
""' 5<br />
u<br />
E'<br />
.§..<br />
.c<br />
5<br />
(.)<br />
70<br />
5 10 15 20 25 l1 35<br />
Oasarian ke-<br />
3)0<br />
5 10 15 20 25 l1 35<br />
Dasarian ke-<br />
R .l"t.J -Iilta CutOlh Huj,'ln Klast&t ke -9<br />
140 ,-----.-----.---~----~------------------~<br />
e<br />
.§..<br />
c<br />
.5' "'<br />
::r::<br />
=<br />
5<br />
0<br />
Oasarian ke-<br />
l1 35<br />
~<br />
....<br />
42
0.5 Pola curah hujan di wilayah V (Papua)<br />
140<br />
R.at.1-1Jta Cm.ah Hujan KIJS~e-1 ke -2<br />
Rar.J-rata Curah Hujalt KlaSfel ke.- 3<br />
120<br />
100<br />
E<br />
6 00<br />
~<br />
~<br />
5'<br />
I<br />
= 60<br />
~<br />
(_)<br />
40<br />
JI_;J~<br />
1\<br />
~1<br />
E<br />
6<br />
~<br />
., w<br />
I<br />
=<br />
~<br />
(_)<br />
20<br />
00 5<br />
Oasanan ke-<br />
5 10 15 20 25 30 35<br />
Oasarian ke -<br />
110<br />
100<br />
90<br />
R~"'lta-hlt.l Cm ..)I\ Huj .. ln Klaste• ke - .a.<br />
Rat.l-tata Cmah Hujan KlaSfel ke- 5<br />
E<br />
6<br />
~<br />
:r:<br />
""<br />
00<br />
=<br />
50<br />
~<br />
(_)<br />
40<br />
E<br />
6<br />
=<br />
!5<br />
(_)<br />
30<br />
20<br />
100<br />
5 10 15 20 25<br />
Dasarian ke -<br />
30 35<br />
40 o 5 10 15 20 25 30 35<br />
Oasarian ke-<br />
Rata-1.1t.:1 Cm~1h Huj
E.1 Wil~y<br />
f1 1 (Sumatera dan ~ekitarnya)<br />
~<br />
2 3 I 4<br />
~ 7~ I 9110 I 1~ I 12,13 I 1<br />
LAMPIRAN E: Da~<br />
~--ian<br />
5<br />
potensial (warna hijau)<br />
Klaster 1. '-------=----------------------~<br />
~ · P. Enggano<br />
4 I I ~<br />
7 8 9 10 11 I 12<br />
18 I 19 I 20 I 21 I 22 I 23 I 24 I 25 I 26 27 I 28 29 I 30 I 31 32 I 33 I 34 I 35 I 36<br />
tan am<br />
~<br />
-...........<br />
: 1 I 2 I<br />
--<br />
___./ l4' 2 3 4 5 6 7<br />
.---- 3 4 5<br />
r--sulan~<br />
v ~<br />
Klas~ I I I<br />
I I I I I I I I I I I I I I I<br />
e ~: Lampung<br />
8 9 10 11 12 13 14 15 16<br />
~<br />
-<br />
7 8 9 10 11 12<br />
i
LAMPIRAN E: Dasarian potensial (warna hijau)<br />
E.1 Wilayah I (Sumatera dan sekitarnya)<br />
Klaster 1 : P. Enggano<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
- -- -- --<br />
j<br />
Klaster 2: Lampung<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 - 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
-- --~---<br />
L_ ___ ------- - .<br />
Klaster 3: Kep. Pagai<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
ton am<br />
- '----<br />
~L-.-.<br />
--- - -- ~<br />
-~<br />
-<br />
' - - ·-<br />
. ·-<br />
Klaster 4: Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, Riau .<br />
111111111 kB 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
- - - - ~ -- - -<br />
-<br />
- ----- ----<br />
I ln•Hulnn ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34' 35 36<br />
Woktu<br />
tan am<br />
'- - --- ·-·---<br />
____ ,<br />
--· -· -·· ·-·· .... ·-- -···<br />
44
Klaster 5: Jambi<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35<br />
u<br />
36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
··-· ----- ' - ~ ~ - c ~ --- .<br />
' ---<br />
Klaster 6: Kep. Nias, Kep. Siberut, Pantai timur Sumatera Utara<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
'<br />
~ --· ~·~~· -~<br />
-<br />
1<br />
Klaster 7: Banda Aceh, Riau<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 - ·<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tanam<br />
- - --- -- ----- ~ ---- ---- -L-<br />
.<br />
Klaster 8: Sumatera Utara, NAD<br />
..<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarlan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Woktu<br />
-<br />
-~<br />
tnnum<br />
-'<br />
.<br />
~ -- - ' ·-<br />
I<br />
45
E.2 Wilayah II (Jawa, NT, Bali dan sekitarnya)<br />
Klaster 4: Nusa tenggara sebelah timur<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
.<br />
tanam<br />
I<br />
- '--- -<br />
Klaster 6: Jawa timur, Bali, NT sebelah barat<br />
Bulan ke • 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 38<br />
Waktu<br />
tan am<br />
- '---<br />
Klaster 8: Jawa Barat, Jawa Tengah sebelah selatan<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 i<br />
•<br />
Waktu<br />
tan am<br />
I •<br />
111111111 ku - 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
I)" ~ '" I"" ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 v35 36<br />
Wnktu<br />
ton om<br />
Klaster 9: Sebagian kecil NT .<br />
i<br />
46
.,-~<br />
E.3 Wilayah Ill (P. Kalimantan dan sekitarnya)<br />
Klaster 1: Sebagian Sulawesi selatan<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
I<br />
I<br />
..<br />
I<br />
Klaster 2: Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Tengah dan Sulawesi Barat<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 .. 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 30j<br />
Waktu<br />
tan am<br />
Klaster 3: Samarinda, Balikpapan<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
~ -<br />
--<br />
---·<br />
~<br />
·- .___ - ---- ·--- --<br />
- - ~ ~<br />
~<br />
I<br />
Klaster 4: Selat Karimata<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 3~ 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
~<br />
--"-<br />
-··<br />
~·-·-<br />
47
Klaster 5: Kalimantan Barat<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
Klaster 6: Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke<br />
Waktu<br />
tan em<br />
~<br />
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 30<br />
-<br />
Klaster 7: Tanjung Redeb, Teluk Singkawang<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
I<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
I<br />
~<br />
Klaster 8: Sambas dan Singkawang<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
.<br />
tan am<br />
-<br />
48
E. 4 Wilayah IV (P. Sulawesi dan sekitarnya)<br />
Klaster 1: P. Buton<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tanam<br />
.. - ··-~~.<br />
---·<br />
~<br />
-~.-<br />
-·<br />
-------- -- ----- ------<br />
Klaster 2: Sulawesi Selatan, Teluk Bone<br />
t<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarlan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 . 34 35 3o<br />
Waktu<br />
tan am<br />
-<br />
Klaster 3: Kendari, P. Buru, Ambon<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
.<br />
I<br />
tan am<br />
#<br />
.<br />
- -- - - - -<br />
-~<br />
·-------<br />
Klaster 5: Luwuk, Kep. Banggai<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 . 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
O
Klaster 6: Sulawesi Tenggara dan sebagian Sulawesi Selatan<br />
Dasa<br />
Waktu<br />
tonam<br />
2 I 3<br />
415161718<br />
4 5 6<br />
10 I 11 12 I 13 I 14 I 15 I 16 I 17 I 18 I 19<br />
Klaster 8: Sulawesi Utara<br />
Dasarian ke I 1 I 2 I 3 I 4 I 5 I 6 I 7 I 8 I 9 I 1 o I 11 I 12 I 13 I 14 I 15 I 16 I 17 I 18 I 19 I 20 I 21<br />
Waktu<br />
tan am<br />
~<br />
tan am<br />
50
~<br />
-<br />
-<br />
Klaster 6: Sulawesi Tenggara dan sebagian Sulawesi Selatan<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 1 2 1 3 4 1516 7 1 8 1 9 10111112 13114115 16 1 17 1 18 19 I 20 1 21 22 1 23 1 24 25 1 26 I 27 28 1 29 I 3o 31 1 32 1 33 34 1 35 1 36 ,<br />
Waktu tanam<br />
J _J -· L I L L_ _I J l _I I l I I I I I I I I _ ~- L_ I __ _ _l_j,_ _l<br />
Klaster 7: Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
..<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 3536<br />
Waktu<br />
tan am<br />
- ""<br />
~<br />
- -~<br />
--<br />
-<br />
~<br />
....__ '- ---- - --<br />
~~<br />
Klaster 8: Sulawesi Utara<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
.<br />
~<br />
Klaster 9: Menado<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
----<br />
-<br />
~<br />
!""-~ I ~· -'•'~ • _ c ---<br />
u<br />
L-" .-~ ---- - ---- --· ------- - ---- ---- --- L~- ~!~ -- l~ " c L ·; c,, - ---- -<br />
50
u<br />
E. 5 Wilayah V {Papua dan sekitarnya)<br />
Klaster 2: Kep. Tanimbar, P. Komoro<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
Klaster 3: Merauke<br />
- ·<br />
_.. Bulan ke .. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
DosorTan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36;<br />
Waktu<br />
to nom<br />
- - -- --- , __ -- -- - -----<br />
laster 4: Kep. Aru, sebagian Fak-fak<br />
----<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu )<br />
tanam .<br />
---- - --<br />
I<br />
I<br />
Klaster 5: Papua Timur<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
~<br />
Waktu<br />
tan am<br />
-·- ~<br />
.•. --<br />
~ -<br />
--- - --<br />
-<br />
~<br />
- ~~~ ~- --- ~ -~<br />
'<br />
-~~·-<br />
~-- -- '---- --- - ----- - ------ -- - --- .______:_!__ --'---~- - -- --'---- -----<br />
51
Klaster 6: Jayapura, Fak-Fak, Biak<br />
Bulan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarian ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36<br />
Waktu<br />
tan am<br />
~· .<br />
Klaster 7: Papua Tengah<br />
Bulan ke ~ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Dasarlan ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 311 3"!1 30<br />
Waktu<br />
tan om<br />
I<br />
~<br />
52
£_<br />
!Slni!IQDd!p qe(;,l ~UR. qE{lnf'CJ~<br />
il ~I dl 1)-J:
PENGELOMPOKAN WILAYAH CURAH HUJAN KALIMANTAN BARAT<br />
BERBASIS METODE WARD DAN FUZZY CLUSTERING<br />
Ina Juaeni, Dewi Yuliani, Risana Ayahbi,<br />
Noersomadi, Teguh Hardjana, dan Nurzaman<br />
ANALISIS KORELASI PEARSON UNTUK UNSUR-UNSUR KIMIA<br />
AIR HUJAN Dl BANDUNG<br />
Tuti Budiwati, Afjf Budiyono, Wiwiek Setyawati, dan Asri lndrawati<br />
ANALISIS SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE II SEBAGAI PREKURSOR<br />
KEMUNGKINAN TERJADINY A BADAl MAGNET BUMI<br />
Suratno dan Santi Sulistidni<br />
ANALISIS ALTERNATIF PENEMPATAN SATELIT LAPAN A2 Dl ORBIT<br />
Nizam Ahmad<br />
FLUKS DAN DISTRIBUSI PARTIKEL ENERGETIK Dl ORBIT LEO<br />
PENYEBAB TERJADINYA ANOMALI SATELIT<br />
Nizam Ahmad dan Rasdewita K.<br />
DINAMIKA ORBIT ASTEROID YANG ANALOG DENGAN ORBIT BUMI<br />
B. Dermawan, T. Hidayat, M. Putra, A Fermita,<br />
D. T. Wahyuningtyas, D. Mandey, Z. Hudaya, dan D. Utomo<br />
~t~<br />
LAPAN<br />
.. .<br />
Diterbitkan oleh Lembaga Penerbangari dan Antariksa Nasional (LAPAN)<br />
Jakarta .. Indonesia<br />
I J. Si. Dirgant I VOL. 7 I<br />
-<br />
NO.2 I HAL. 82-1771 JAKARTA, Juni 2010 I ISSN 1412- S08X I.
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii_. I urna/ Sa ins Dirga ntara Vol. 7 N a. 2 I uni 2 010 :82-99<br />
PENGELO<br />
KALIMANTA<br />
D<br />
POKA\J WILAYAH CURAH HUJAN l<br />
i<br />
BARAT BERBASIS METODE WARD<br />
FUzzr CLUSTERING<br />
Ina Juaeni, Dewi Yuliani, Risana Ayahbi, Noersomadi,<br />
Teguh Hardjana, dan Nurzaman<br />
Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan lklim, LAPAN<br />
E-ma il : inajuaeni@yahoo.com<br />
ABSTRACT<br />
In order to decrease the climate information gap, the rainfall<br />
clustering based on the TRMM data is presented. Then, the rainfall<br />
pattern could be determined for all region. Using the principal<br />
component analysis as the interface, clustering analysis, namely the<br />
Ward and the Fuzzy Clustering methods, the rainfall in West<br />
Kalimantan could be grouped in to four clusters according to its<br />
homogenity. The first cluster consists of grids that gather in the<br />
Karimata strait, Java Sea, and some area in West Kalimantan Lands.<br />
The second group was built by grids in the land with homogeneous<br />
topography. The third group in the middle of West Kalimantan was a<br />
cluster in the land which has different elevation. The fourth group was a<br />
cluster in the northern Kalimantan and close to the South China Sea.<br />
The West Kalimantan rainfall derived from the TRMM data has the<br />
equatorial and monsoonal patterns. The monsoonal pattern was<br />
exhibited by the cluster in the ocean (first cluster), and the equatorial<br />
pattern was showed by clusters in the land (second, third, and fourth<br />
clusters). The equatorial rainfall pattern revealed that the first wet<br />
month occuring in April, whereas the second wet month occured in<br />
December or January. The month with lowest rainfall is August.<br />
Key word: Rainfall pattern, Rainfall cluster, Ward and Fuzzy Clustering<br />
methods<br />
ABSTRAK<br />
Dalam rangka mengurangi kesenjangan informasi iklim,<br />
disajikan pengelompokkan wilayah curah hujan berdasarkan data<br />
TRMM, sehingga pola curah hujan dapat ditentukan untuk seluruh<br />
wilayah. Dengan menggunakan analisis komponen utama sebagai<br />
analisis antara dan analisis klaster, yaitu metode Ward dan Fuzzy<br />
Clustering, curah hujan di Kalimantan Barat' dapat dibagi menjadi<br />
empat kelompok sesuai homogenitasnya. Kelompok pertama terdiri dari<br />
grid-grid yang berkumpul di Selat Karimata, Laut Jawa dan sebagian<br />
daratan Kalimantan Barat. Kelompok kedua dibangun oleh grid-grid<br />
82<br />
I
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pengelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)<br />
yang berkumpul di v.ilaya.."-1 da:-at dengan topografi homogen. Kelompok<br />
ketiga merupakan klaster yang berada di wilayah bagian tengah<br />
Kalimantan Barat dengan ele\·asi yang berbeda. Kelompok k-eempat<br />
merupakan klaster yang berada di daratan Kalimantan Utara dan<br />
berdekatan dengan Laut China Selatan. Curah hujan Kalimantan Barat<br />
berbasis data TRMM memilik:i pola ekuatorial dan monsunal. Pola curah<br />
hujan monsunal ditunjukkan oleh klaster di lautan (klaster pertama),<br />
dan pola ekuatorial ditunjukkan oleh klaster di daratan (klaster 2, 3<br />
dan 4). Untuk pola curah hujan ekuatorial, bulan terbasah pertama<br />
terjadi pacta bulan April, sedangkan bulan basah kedua terjadi pada<br />
bulan Desember atau Januari. Bulan dengan curah hujan terrendah<br />
adalah bulan Agustus.<br />
Kata kunci: Pola curah hujan,<br />
Fuzzy Clustering<br />
1 PENDAHULUAN<br />
Klaster curah hujan, Metode Ward and<br />
Wilayah Indonesia merupakan bagian wilayah tropis dengan<br />
intensitas curah hujan yang tinggi. Sumber energi panas radiasi<br />
Matahari yang selalu ada sepanjang tahun ditambah kelembaban dalam<br />
jumlah yang cukup tinggi, mendorong aktivitas konveksi dan proses<br />
pembentukan awan serta hujan menjadi sangat tinggi. Tidak hanya<br />
intensitasnya yang tinggi, curah hujan di wilaya? Indonesia juga<br />
memiliki variasi spasial dan temporal yang tinggi, hal. ini dapat<br />
dijelaskan sebagai akibat perbedaan kondisi permukaan, yaitu<br />
perbedaan relief dan perbedaan tata guna lahan; Variasi curah hujan<br />
yang tinggi ini belum ditunjang oleh sarana observasi yang memadai.<br />
Masih banyak lokasi terpencil yang miskin informasi cuaca dan<br />
iklimnya, padahal informasi ini penting. Data mentah iklim adalah<br />
sarana penunjang penelitian yang hasilnya dimanfaatkan oleh sektor<br />
yang terkait kegiatannya dengan kondisi cuacaj iklim.<br />
Penggunaan data satelit merupakan solusi yang banyak<br />
digunakan dalam rangka mengurangi kesenjangan informasi cuaca dan<br />
iklim tersebut. Berbagai metode dikembangkan untuk mengolah data<br />
satelit agar sesuai dengan rencana aplikasinya. Dalam penelitian ini,<br />
pengolahan data satelit dilakukan berbasis metode statistik dengan<br />
tujuan untuk memperoleh klaster-klaster curah hujan dengan<br />
karakteristik yang sama. Data yang digunakan adalah data curah hujan<br />
bulanan dari satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission). Ada<br />
dua informasi penting yang akan diperoleh dari metode ·pengelompokkan<br />
~<br />
ini. Pertama, wilayah yang mempunyai karakter ' curah hujan yang<br />
sama, sehingga lokasi yang tidak memiliki sarana pengamatan dapat<br />
melakukan inisialisasi. Kedua, karena pengelompokkan berdasarkan<br />
83
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii ju17Ull Sains Dirgantara Vol. 7 No. 2 juni 2010 :82-99<br />
karakterjpola curah huja.:J. maka pola yang diperoleh dapat diguna.J
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pengelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)<br />
(homogenitas) yang tingg! cE dalam klastemya dan mempupyai<br />
ketidakmiripan (heteroge:li~s :·a..'lg tinggi antar klaster. Analisis klaster<br />
digunakan untuk mengelo::::!J.:;>oL'..can objek ke dalam beberapa kelompok<br />
yang memiliki karakteris~ ::ang sama dalam lingkup klimatologi<br />
(Mimmack, 2000). Analisis klaster juga digunakan oleh Haryoko (2009)<br />
untuk mengelompokkan pos pengamatan hujan (stasiun) yang<br />
mempunyai kesamaan pola curah hujan dasarian (10 harian) ke dalam<br />
sub-sub kelompok. Analisis komponen utama dan analisis kluster juga<br />
digunakan oleh Degaetano (1996), untuk mengelompokkan grid yang<br />
memiliki iklim yang sama. Dalam penelitiannya, Degaetano<br />
menggunakan curah hujan dan temperatur bulanan beberapa tahun<br />
serta menerapkan analisis klaster Average Linkage dan metode Ward.<br />
Pola ukuran klaster yang dihasilkan untuk Average Linkage tidak<br />
memiliki karakteristik karena da ri 47 klaster yang terbentuk, 40%<br />
klasternya (19 klaster) masing-masing hanya memiliki dua bahkan satu<br />
grid sebagai anggotanya, sedangkan metode Ward memberikan hasil<br />
yang seragam pada klaster yang terbentuk. Hasil tersebut menjadi latar<br />
belakang penelitian ini untuk menggunakan metode Ward sebagai<br />
teknik klasternya. Sebagai pembanding, pengelompokkan curah hujan<br />
bulanan di Kalimantan Barat juga menggunakan metode klastering<br />
yang lain selain Ward. Metode Ward adalah salah satu metode<br />
klastering Hierarkhi, maka metode pembandingnya dipilih metode<br />
klastering non Hierarkhi. Metode non Hierarkhi yang dipilih adalah<br />
Fuzzy Clustering. Metode ini dipilih didasarkan pada hasil penelitian<br />
Klawonn dan Hoppner (2001) yang mengindikasikan bahwa metode<br />
Fuzzy Clustering merupakan metode yang bagus, karena pusat klaster<br />
dan hasil pengelompokan tidak berubah jika ada data baru yang<br />
ekstrim. Metode ini juga memberikan hasil yang smooth (halus) karena<br />
pembobotan yang digunakan berdasarkan himpunan fuzzy (Pravitasari,<br />
2008). Kehalusan di sini berarti objek pengamatan tidak mutlak<br />
menjadi anggota satu kelompok saja, tapi mungkin menjadi anggota<br />
kelompok yang lain dengan ukuran tingkat keanggotaan yang berbedabeda.<br />
Objek akan cenderung menjadi anggota kelompok tertentu<br />
dimana tingkat keanggotaan objek dalam kelompok itu paling besar<br />
dibandingkan dengan kelompok lainnya.<br />
2 DATA DAN METODE<br />
2.1 Data<br />
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik curah<br />
hujan di wilayah Kalimantan Barat berdasarkarl. data curah hujan<br />
bulanan TRMM 3843 (http://trmm.gsfc.nasa.gov) dalam periode<br />
Januari 1998 sampai Desember 2007.<br />
~<br />
85
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii• J urnal Sa ins Dirgan tara Vol. 7 No. 2 J uni 2 010 :82-99<br />
2.2 Metode<br />
Analisis klaster adalab. suatu teknik multivariat yang memiliki<br />
tujuan untuk mengelompoi
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pengelumpokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)<br />
• bilangan kondisi < 1 00; terjadi :::mltikolinearitas lemah<br />
• 100 ::o;bilangan kondisi:::; 1000; terjadi multikolinearitas sedang sam pal<br />
kuat<br />
• bilangan kondisi > 1000; terjadi multikolinearitas sangat kuat<br />
Jika setelah dideteksi ternyata diketahui bahwa terdapat<br />
multikolinearitas antar variabel, maka diatasi dengan menerapkan<br />
analisis komponen utama terlebih dahulu pada data curah hujan<br />
bulanan TRMM, sehingga terbentuk sejumlah komponen utama yang<br />
saling orthogonal. Komponen utama ini yang dijadikan sebagai variabel<br />
baru untuk input dalam analisis klaster.<br />
2.2.3 Analisis Komponen Utama<br />
Johnson dan Wichern (1992) mendefinisikan komponen utama<br />
sebagai salah satu bentuk transformasi variabel yang merupakan<br />
kombinasi linier dari variabel. Proses pembentukan komponen utama<br />
adalah sebagai berikut:<br />
• Matriks X merupakan data pengamatan curah hujan bulanan yang<br />
berukuran np<br />
dengan, n = objek (grid); n = 1,2, ..., n<br />
p = variabel (curah hujan bulanan); p = 1,2, ..., p<br />
Xu X12 ...... xlp<br />
xnxp =<br />
X21<br />
X22 ...... x2p<br />
I:<br />
xnl xn2 ....... xnp<br />
I (2-2)<br />
• Dari matriks X, dicari matriks kovariansnya (Spp)<br />
S 11 s,2 . . . .. . s,p ·<br />
s2, s22 ...... s2p<br />
S== (2-3)<br />
sp,<br />
sp2 ....... spp<br />
• Tentukan nilai eigen dari matriks kovarians, misalkan A1, A2, ......... .<br />
Ap, dengan A1 ~ A2 ~ ....... ~.Ap~O<br />
• Tentukan vektor eigen ke-j untuk nilai eigen ke-j (j=l,2, .... p), misalkan<br />
Vj = VJj, V2j, ...... , Vpj • ~<br />
• Berdasarkan matriks eigen, maka komponen utama yang terbentuk<br />
adalah:<br />
til'<br />
87
iiiiiii;;;iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii;;iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Jurnal Sains Dirgantara Vol. 7 No. 2 ]uni 2010 :82-99 ·<br />
PC 1 =zivi1 =z1v 11 -Z: \·::1 7 ... +z.,Y 1<br />
tJ"5t',~f~~~ 9(L.·~i . _ • ..<br />
r\..., 2 =Z]Viz = z1v 12 ,z2':: ~ ... ~z .,vj _<br />
(2-4)<br />
"<br />
~CP::;, ~JviP<br />
= z 1 v1P + z 2 v2P + ... .,.. zP viP<br />
• Kiiteria yang digunakan untuk menentukan berapa komponen yang<br />
1<br />
dapat' dibentuk adalah kriteria persen varian. Jumlah komponen<br />
utama yang digunakan memiliki persentasi kumulatif varian minimal<br />
80% (Rencher, 2001).<br />
• Menghitung komponen skor (PCj} yang akan digunakan sebagai input<br />
urituk analisis klaster.<br />
Komponen skor yang diperoleh dari m komponen utama (dimana<br />
m
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii ?c:gelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni eta!.)<br />
n c m<br />
.I .I (uij )d(X i,8j)<br />
s = 1=1 J=1 .<br />
nirmd(Xi,8j)<br />
(2-6)<br />
2.2.5 Analisis klaster<br />
Metode Ward adalah teknik u ntuk memperoleh klaster yang<br />
memiliki varian internal sekecil mungkin. Untuk metode klaster Ward,<br />
jumlah klaster ditentukan terlebih dahulu berdasarkan dendrogram.<br />
Ukuran yang digunakan adalah Sum Square Error (SSE) variabel. Proses<br />
pengelompokan adalah melalu i tahapan berikut ini:<br />
Langkah 1. Dimulai dengan m emperhatikan N kelompok subjek dengan<br />
satu subjek per kelompok. SSE akan bernilai nol untuk<br />
tahap pertama karena setiap objek atau individu akan<br />
membentuk klaster.<br />
Langkah 2. Kelompok pertama dibentuk dengan memilih dua dari N<br />
kelompok ini yang bila digabungkan akan menghasilkan<br />
SSE dalam nilai fungsi tujuannya.<br />
Langkah 3. N -1 kumpulan kelompok kemudian diperhatikan kembali<br />
untuk menentukan dua dari kelompok ini yang bisa<br />
meminimumkan tujuan. Dengan demikian N kelompok<br />
secara sistematik dikurangi menjadi N - 1, lalu menjadi<br />
N - 2 dan seterusnya sampai menjadi satu kelompok. SSE<br />
dalam metode Ward ini dihitung berdasarkan persamaan<br />
berikut:<br />
2<br />
2<br />
SSE= I p ( IX·· n --1 ( IX·· n ) ]<br />
. . 1J . 1J<br />
J=1 1=1 n 1=1<br />
(2-7)<br />
Dengan:<br />
Xij = adalah nilai variabel ke-ij<br />
p = adalah banyaknya variabel yang diukur<br />
n = adalah banyaknya objek dalam klaster yang terbentuk<br />
Analisis Klaster dengan menggunakan Fuzzy Clustering pada<br />
dasarnya adaiah proses penghitungan secara iteratif dimana<br />
penghitungan klasternya direvisi secara iterasi. Adap1;1n algoritma dari<br />
Fuzzy Clustering adalah sebagai berikut:<br />
Langkah 1. Tentukan jurnlah klaster, nilai centroid utama (prototype) 8jOJ<br />
secara random, nilai faktor koreksi t: > 0.<br />
-<br />
89
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Jurnal Sains Dirgantara Vol. 7 No. 2 Juni 2010 :82-99<br />
Langkah 2. Hitung deraja: ~eanggotaan Ui}kJ berdasarkan persamaan 2l"8:<br />
[ l x ;-~ l 1<br />
1/m-1<br />
U" = - . ,<br />
lJ / ·d / m- 1<br />
(2-8)<br />
dengan<br />
c<br />
~lxi- Bii 2<br />
1=1<br />
n<br />
"u'!l ...... x ·<br />
L.Jl] l<br />
(}. = .!c.l=...,.!l __ _<br />
J n<br />
"u .. m<br />
L.Jlj<br />
i=l<br />
Langkah 3. Hitung fungsi objektif J(kJ herdasarkan persamaan<br />
n c 2<br />
J = :L:~:>ij miX; -Bjl<br />
i=l j=l<br />
Langkah 4. Hitung centroid baru8/k+l) dengan persamaan 2-9<br />
(2-9)<br />
Langkah 5. Perbarui keanggotaan Uy{kJ rnenjadi Uy{k+l} dan fungsi bbjektif<br />
J(kJ rnenjadi J(k+l}<br />
Langkah 6. Jika max ij iJ(k+ l) -J(k) I}< & proses akan berhenti, jika<br />
tidak rnaka kernbali ke langkah 4.<br />
Dari algoritrna di atas terlihat bahwa jurnlah klaster dan nilai<br />
centroid-nya ditentukan terlebih dahulu dan ditentukan secara apriori<br />
(pendapat para ahli) atau ditentukan jurnlah klaster awal beserta nilai<br />
centroid-nya dengan rnenggunakan teknik klaster hierarkikal. Nilai-nilai<br />
centroid inilah yang akan rnenjadi prototype (centroid awal) e j ( 0 ) .<br />
Kernudian, dihitung derajat keanggotaan UiJ, lalu penghitungan kernbali<br />
nilai-nilai centroid baru. Nilai centroid dari rnasing-masing klaster akan<br />
bergerak rnenernukan posisi yang sesungguhny9; seiring dengan<br />
penambahan langkah iterasi. . ~<br />
90<br />
....
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pengelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)<br />
3 HASIL DAN PEMBA.HASAN<br />
3.1 Hasil Pendeteksian Outlier<br />
Hasil pendeteksian owlier secara multivariat untuk data 900 grid<br />
di Kalimantan Barat, menunjukkan tidak terdapat objek (grid) yang<br />
memiliki nilai signiftkansi lebih kecil dari 0, 001, sehingga dapat<br />
disimpulkan tidak terdapat outlier pacta data curah hujan 900 grid di<br />
Kalimantan Barat. Dengan demikian, seluruh objek dapat digunakan<br />
untuk tahap analisis selanjutnya.<br />
3.2 Hasil Pendeteksian Multikolinearitas<br />
Dari matriks X yang merupakan matriks<br />
hujan TRMM bulanan di Kalimantan Barat,<br />
kovariansnya ( S PP ) dan nilai eigen (A) dari S PP •<br />
pengamatan curah<br />
didapat matriks<br />
Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas digunakan<br />
bilangan kondisi (k) seperti pacta persamaaan 2-1. Diperoleh:<br />
k = Amax = 3468Q5 = 2568 926<br />
'<br />
Amin 135<br />
Karena k (=2568,926) > 1000 maka dapat disimpulkan terdapat<br />
gejala multikolinieritas yang sangat kuat, sehingga digunakan analisis<br />
komponen utama untuk mendapatkan komponen-komponen utama<br />
dari variabel (curah hujan bulanan selama 10 tahun) yang ortogonal<br />
dan tidak berkorelasi, yang selanjutnya dapat dijadikan variabel baru<br />
untuk dasar pengelompokan pacta analisis klaster dengan metode Ward<br />
dan metode Fuzzy Clustering.<br />
3.3 Hasil Analisis Komponen Utama<br />
Jumlah komponen utama yang harus dibentuk ditentukan<br />
melalui kriteria persen varian, hasilnya adalah sebagai berikut:<br />
Tabel 3-1: OUTPUT AN ALI SIS KOMPONEN UTAMA<br />
-., r--<br />
PC1<br />
--<br />
Eigenvalue 346805 152895 103447 62295 30123 29352<br />
Proportion 0,337 0,148 0,100 0,060 0,029 0,029<br />
Cumulative 0,337 0,485 0,586 0,646 0,675 0,704<br />
PC7 II PCs II p~ II PC10 II PCu II · PC12<br />
Eigenvalue 22920 19622 18365 15638 .14046 l1411<br />
Proportion 0,022 0,019 0,018 0,015 0,014 0,011<br />
Cumulative 0,726 0,745 0,763 0,778 0,792 0,803<br />
91
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;iiiiii Jurnal Sains Dirgantara Vol. 7 No.2 Juni 2010 :82-99<br />
Pacta Tabel 3- :. ~e:rli..'la: bahwa nilai kumulatif persen varian<br />
untuk komponen u tama !)er ..a.-na :PC!) , kedua (PC2), ketiga (PC3) s~pai<br />
dengan ke dua belas (PC:~ be:nilai 0 ,803. Persentase kumulatif varian<br />
untuk 12 komponen ini sudah memenuhi batas minimal persentase<br />
kumulatif varian yaitu 80°'o tRencher, 2001). Hal ini berarti apabila<br />
seluruh variabel (X1, X2, ~, ... ,X 120) direduksi menjadi 12 variabel, maka<br />
variabel yang baru dapat menjelaskan 80,3 % karakteristik seluruh<br />
varia bel.<br />
3.4 Hasil Analisis Klaster dengan Metode Ward<br />
Skor komponen dari 12 komponen utama yang terbentuk<br />
dijadikan sebagai input data dalam pengelompokan karakteristik curah<br />
hujan di wilayah Kalimantan Barat dengan menggunakan metode Ward.<br />
Berdasarkan hasil pengelompokan dengan metode Ward menggunakan<br />
software Statistica 8, maka diperoleh output plot Squared Euclidean<br />
Distance pacta setiap langkah pengelompokannya. Output plot langkah<br />
880 hingga 900 diperlihatkan pacta Gambar 3-1 (kiri), sedangkan<br />
output dendrogram diperlihatkan pacta Gambar 3-1 (kanan).<br />
- ~ ~ - - ~-- - - - -----<br />
~ r---------------------------~--~-,<br />
.,.,<br />
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii PMgelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina fuaeni et al. )<br />
... _,<br />
BoiPior~l SII.~Cmlllllli-... W..•- ......<br />
~~~ ~ ·<br />
...<br />
.-.-..:<br />
.lillft6 11r~lllt'M .\1 .\G ~O:i blllr ~<br />
l l<br />
~<br />
;<br />
lol ~ ~lSILDtlillitnilltii..._W. . l*I(Wal)<br />
..._,<br />
.Cvlll...._......... y._fM.al?)<br />
..,_,<br />
~~: a. d ~ ~ •. 1~<br />
~~· · ·<br />
- ~ -,- -.lii"C8JO:tbDI:<br />
...<br />
~~~~<br />
-~ .. . ._. .. lri.Ac ilp ll:lllii'Dic' ~=<br />
...<br />
Gambar 3-2: Klaster yang terbentuk dengan metode Ward dan pola<br />
curah hujan masin g-masing Klaster<br />
3.5 Hasil Analisis Klaster dengan Metode Fuzzy Clustering<br />
Untuk merientukan jumlah klaster optimum dalam metode<br />
Fuzzy, hasil pengelompokkan divalidasi dengan rumus Xie dan Benni<br />
(1991) dan hasilnya diperlihatkan. pada Tabel 3-2. Tampak bahwa 4<br />
klaster memberikan nilai validasi terkecil, maka jumlah klaster yang<br />
optimum adalah empat. Klaster yang terbentuk diperlihatkan pada<br />
Gambar 3-3.<br />
Tabel3-2: JUMLAH KLASTER DAN NILAI VALIDASI<br />
Jumlah Klaster Yang dibentuk Fungsi Objektif Nibii Validasi<br />
2 Klaster 357.533.759.561 . 42.826<br />
3 Klaster 234.566.463.704 35.859<br />
4 Klaster 175.287.750.841 22.559<br />
5 Klaster . 139.514.948.165 35.313<br />
6 Klaster 115.663.133.613• 48.574<br />
.<br />
7 Klaster 99.015.618.448 56.300<br />
'-<br />
93<br />
~
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii/umal Sains Dirgantara Vol . 7 No. 2 funi 2010 :82-99<br />
.[S;2<br />
INM'-Sl.,_~,...w..~ w T .. f~t-a. :<br />
.<br />
- -:<br />
. --. - -<br />
..<br />
. .-"' ............ .,.,.ar.,.<br />
...<br />
~-W.nt.aaa. ... .._ktlllll ll la.( l~!Wilj tloi;li.u J<br />
!<br />
..,_b.W.JIIN9Sit01tlbi'CII<br />
...<br />
'<br />
'1=-<br />
~-&i!lb•Clalil!ip:kNI:Mi l4 1 ..! ~rliC.. I<br />
lil~l<br />
-~ ... , ....... QI ... r.<br />
..<br />
I~<br />
~-~c.:i: .. JIIii::..:~I I U• {N- :ta'i) POQI&c:'<br />
~<br />
~ -<br />
•Fte""'-...,•.w•s.,oc""'~<br />
...<br />
Gambar 3-3: Klaster yang terbentuk dengan metode Fuzzy Clustering<br />
dan pola curah hujan masing-masing klaster<br />
3.6 Pembahasan<br />
Berdasarkan hasil pengelompokan karakteristik curah hujan di<br />
Kalimantan Barat baik menggunakan metode Ward maupun metode<br />
Fuzzy Clustering terbentuk empat klaster yang optimal.<br />
Klaster 1 pada Ward dan Fuzzy, berada di lautan Jawa dan Selat<br />
Karimata dan sebagian kecil daratan dekat pantai barat Kalimantan<br />
(Ketapang, Kualapetangan dan Kendawangan). Curah hujan di klaster<br />
1, relatif lebih rendah dibandingkan klaster lainnya. Adanya sebagian<br />
daratan yang masuk dalam klaster yang sebagian besar wilayahnya<br />
adalah lautan disebabkan adanya proses interaksi antara daratan dan<br />
lautan yang cukup kuat, sehingga curah hujan di lautan sama dengan<br />
di daratan.<br />
Klaster 2 pada Fuzzy atau klaster 4 pada Ward, berada di bagian<br />
utara Kalimantan Barat, merupakan wilayah dengan topografi<br />
gabungan antara dataran rendah dan dataran tinggi. Letaknya dekat<br />
dengan ekuator, sehingga merupakan wilayah yang surplus energi<br />
radiasi Matahari. Energi radiasi Matahari ditambah kelembaban dalam<br />
jumlah cukup membangkitkan proses pembentukan awan dan hujan di<br />
wilayah ini sepanjang tahun. Intensitas rata-rata di klaster 2 atau 4 ini<br />
merupakan intensitas tertinggi dibandingkan klaste_r lainnya.<br />
Klaster 3 pada Ward dan Fuzzy terletak eli bagian tengah wilayah<br />
Kalimantan Barat, dengan topografi yang cenderung seragam (dengan<br />
ketinggian 0 sampai 200 m). Hujan terjadi sepanjang tahun dengan<br />
94<br />
-
gelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)<br />
intensitas minimum sebesa:- 150 rnm terjadi pada bulan Agust\ls.<br />
Klaster 4 pada Fuzzy atau klas•er 2 pada Ward berada paling selatan di<br />
Kalimantan Barat. Kisaran :n~ensitas curah hujan hampir sama tlengan<br />
klaster 3. Di klaster ini terdapat pegunungan yang lebih banyak<br />
dibandingkan klaster lainnya.<br />
Perbedaan pola dan intensitas curah hujan antar klaster<br />
disebabkan perbedaan geografi dan relief. Meskipun seluruh wilayah<br />
Kalimantan Barat terletak eli wilayah ekuatorial dengan jumlah panas<br />
radiasi yang relatif sama, namun perbedaan relief permukaan (daratan,<br />
lautan, dataran tinggi, dataran rendah pedalaman atau tepi pantai)<br />
menghasilkan proses atmosferis yang berbeda yang selanjutnya<br />
menghasilkan intensitas curah hujan yang berbeda. lntensitas curah<br />
hujan yang relatif tinggi di klaster 2 atau 4 (Fuzzy/Ward) dipengaruhi<br />
oleh suplai kelembaban dari laut China Selatan karena klaster 2 atau 4<br />
berada dekat depgan laut tersebut.<br />
Pada Gambar 3-2 dan 3-3, nampak bahwa curah hujan di<br />
Kalimantan Barat berdasarkan TRMM mengikuti pola ekuatorial untuk<br />
klaster 1, 2 dan 3 dengan metode Ward a tau klaster 1, 3 dan 4 dengan<br />
metode Fuzzy serta pola monsunal untuk klaster 2 (metode Fuzzy) atau<br />
klaster 4 (metode Ward) dengan puncak bulan basah terjadi pada<br />
bulan JanuariiDesember dan bulan April sedangkan bulan dengan<br />
curah hujan terkecil adalah bulari Agustus. Pola ini sama untuk semua<br />
klaster, kecuali intensitasnya. Untuk klaster di daratan, pola curah<br />
hujan mempunyai kesesuaian dengan observasi. Untuk klaster di<br />
lautan (klaster 1 atau 1) pola curah hujan tidak sesuai dengan<br />
observasi. Berdasarkan observasi pola curah hi.ljan di lautan<br />
seharusnya monsunal. Ini menunjukkan bahwa di klaster 1 I 1 sebagai<br />
wilayah perbatasan darat dan laut, pengaruh monsun lebih kuat<br />
dibandingkan pengaruh posisi matahari di atas ekuator I ekinoks.<br />
Perbedaan lain antara metode Ward dan metode Fuzzy<br />
diperlihatkan pada luas daerahljumlah grid untuk setiap klaster.<br />
Jumlah grid pada masing-masing klaster 1, 2, 3 dan 4 berturut-turut<br />
adalah 288, 272, 150 dan 190 untuk metode Fuzzy Clustering. Klaster 1<br />
metode Ward terdiri dari 260 grid, klaster 2 berisi 256 grid, klaster 3<br />
mengandung 207 grid dan klaster 4 terdiri dari 177 grid. Perbedaan ini<br />
bersumber dari overlapping pada metode Fuzzy, sebagai contoh gridgrid<br />
yang berada di sebelah utara pada klaster 2 me.tode Ward temyata<br />
dapat juga dikelompokkan kedalam klaster 3 pada metode Fuzzy. Inilah<br />
keunikan dari metode Fuzzy yang menganut sistem overlapping. Hal ini<br />
dibenarkan karena pola dan intensitas klaster 2 dan 3 tidak terlalu<br />
95<br />
..,
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii~ 1 urnnl Sa ins Dirgantara Vol. 7 No. 2 1 u n i 2 010 :82-99<br />
berbeda, jika kemudiar.. g:-:C.-grid itu dimasukkan dalam klaster 3<br />
l<br />
semata-mata karena deraja: keanggotaan grid-grid tersebut di klaster 3<br />
lebih tinggi dibandingkan di klaster 2.<br />
Tabel 3-3: KOEFISIEN KOREL
-<br />
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pmgelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni et al.)<br />
600<br />
Ketap.ang<br />
500<br />
e 400 /-----<br />
.§.<br />
~ 300 -1---"'- /-'-------<br />
~<br />
a 2oo I -- ~ ........ c:--------/'----------<br />
100<br />
0<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 11 12<br />
Bulan<br />
ill<br />
Boxplclt dan StdDcviasi CUrah Hujan Bulanan Selama 10 Tahun (1998-2007) Pada Klaster 3<br />
: : : : : : : : : : : : ; : I<br />
Jan Feb Mar Apr Mel Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des<br />
Box Plor Rata-Rata & Std. Devlasl Curah Hujan Bulanan Selama 10 Tahun (1998-2007) Pada<br />
Klaster 3<br />
WJ[mm ,__ .m . u<br />
550 - ' '<br />
~ 500 : . '<br />
~:58 --- 1:5 ·--·;:·---1·----~ ----<br />
i~~ :--~-:~<br />
-'= 200<br />
~ 150<br />
(.) 1ggt ----r----~----:<br />
Q<br />
Bulan<br />
I<br />
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul<br />
Waktu<br />
I<br />
----: -·- .- - r- -· -·--<br />
Aug Sep Oct Nov Dec<br />
0 Mean±SD<br />
I Mean±:!"SD<br />
j<br />
,. ' ---<br />
D Mean±SD<br />
I Mean±2"SD<br />
Gambar 3-4: Perbandingan pola dan intensitas di Ketapang antara<br />
curah hujan observasi (atas) dengan curah hujan TRMM<br />
metode Fuzzy Clustering (tengah) dan curah hujan metode<br />
Ward (bawah)<br />
i<br />
I<br />
I<br />
II<br />
A<br />
4 KESIMPULAN<br />
Dengan data curah hujan bulanan TRMM dari tahun 1998<br />
sampai 2007, penggunaan analisis komponen utama sebagai analisis<br />
awal dan analisis klaster dengan metode Ward/ Fuzzy Clustering untuk<br />
mengelompokkan karakteristik curah hujan di Kalimantan Barat<br />
menghasilkan empat kelompok grid yang memiliki karakteristik curah<br />
hujan yang homogen. Jumlah klaster bisa berubah jika ditambahkan<br />
data baru yang membentuk klaster dengan karakteristik yang sangat<br />
berbeda dengan data yang sudah ada, jika deraja~ keanggotaannya<br />
lebih tinggi untuk klaster yang sudah ada maka jumlah klaster tetap.<br />
Perbedaan jumlah grid antar klaster antara metode Ward dan<br />
metode Fuzzy Clustering disebabkan oleh adanya penerapan overlapping<br />
-<br />
97<br />
II
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Jumal Sains Dirgantara Vol. 7 No.~ - [u.ni 291Q_:B2-99<br />
pada metode Fuzzy. se::::.L"lgga gr..d tertentu bisa menjadi anggota ldi dua<br />
klaster atau lebih denga."'1 de:-ajat keanggotaan yang berbeda.<br />
Perbandingan po:a dan intensitas curah hujan antara data<br />
TRMM dan data obserYasi menunjukkan hasil yang baik dengan<br />
koefisien korelasi > 0, 7. Pembandingan intensitas curah hujan<br />
berdasarkan dua metode menunjukkan bahwa metode Fuzzy Clustering<br />
lebih baik dibandingkan metode Ward, namun pembandingan spasial<br />
klaster di daratan menunjukkan bahwa metode Ward lebih mendekati<br />
observasi.<br />
Pola curah hujan monsunal ditunjukkan oleh klaster 2/4<br />
(gabungan daratan dan lautan) dan pola ekuatorial ditunjukkan oleh<br />
klaster 1/1, 3/3 dan 4/2 (daratan dan gabungan daratan dan lautan).<br />
Pola ekuatorial di daratan Kalimantan Barat sesuai dengan observasi,<br />
namun pola curah hujan di klaster 1/ 1 yang seharusnya monsunal<br />
ternyata ekuatorial. Dengan demikian, data TRMM menunjukkan<br />
bahwa di wilayah lautan sekitar Kalimantan Barat pengaruh posisi<br />
matahari di atas ekuator / ekinoks lebih kuat dibandingkan pengaruh<br />
monsun.<br />
DAFTAR RUJUK.AN<br />
http:/ jtrmm.gsfc.nasa.govjdidownload Maret 2009.<br />
Bayong, T. H. K., 2004. Klimatologi, Edisi kedua, Penerbit ITB.<br />
Degaetano, A. T., 1996. Delineation of Mesoscale Climate Zones in The<br />
Northeastern United States using a Novel Approach to Cluster<br />
. Ana,_lysis, . Journal of Climate, 9.<br />
Hair,· J,: F.;; Anderson, R. E.; Tatham, R. L.; and Black, W. C., 1998.<br />
,~;<br />
1<br />
.)!'11 ly.[~;gtivariate Data Analysis, Fifth edition, Prentice Hall<br />
International, Inc., Upper Saddle River, New Jersey.<br />
Haryoko, U., 2009. Pewilayahan Hujan untuk Menentukan Pola Hujan<br />
(contoh kasus Kabupaten Indramayu}, http:/ jwww.<br />
staklimpondokbetung.net/ publikasi/ didownload Juli 2009.<br />
Johnson, R. A., and Wichem, D. W., 1992. Applied Multivariate<br />
Statistical Analysis, Fifth edition, Prentice Hall, Englewood Cliffis,<br />
New Jersey. ·<br />
Klawonn, F. and Hoppner, F., 2001. A New Approach to Fuzzy<br />
Partitioning, Proc. of the Joint 9th IFSA World Congress and 20th<br />
NAF!PS International Conference, Vancouver, Canada.<br />
Mimmack, G. M.; Mason, S. J . and Galphin, J . S., 2000. Choice of<br />
Distance Matrices in Cluster Analysis: Defil\ing Regions, Journal<br />
ofClimate, 14.<br />
'<br />
Pravitasari, A. A., 2008. Analisis Pengelompokkan dengan Fuzzy Z<br />
Means Cluster (Kasus Pengelompokkan Kecamatan di Kabupaten<br />
-<br />
98
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Pu.gelompokan Wilayah Curah Hujan ..... (Ina Juaeni eta!.) .<br />
Tuban berdasarkan Tir.gka~ Partisipasi Pendidikan), Tesis Master,<br />
ITS.<br />
Rencher, A. C., 2001. Methods of Multivariate Analysis, Second -Edition,<br />
A Wiley-Interscience Publication, United States.<br />
Sharma, S., 1996. Applied Multivariate Techniques, A Wiley-Interscience<br />
Publication, United States.<br />
Xie, X. L. and Benni, G., 199 1. A Validity Measure for Fuzzy Clustering,<br />
IEEE Transactions on Pattern Analysis and Machine Intelligence, 13.<br />
~<br />
-<br />
99
lnformasi Data INDERAJA<br />
Siklus Hid up Silklon Tropis Freddy<br />
dan Dampaknya Terhadap<br />
Atmosfer Indonesia<br />
Ina Junaeni<br />
Pusat Pemanfaatan Sa ins Atmosfer dan Iklim, LAPAN<br />
iklim seperti El Nino, La Nina di lautan<br />
Pasifik serta Dipole Mode di lautan Hindia merupakan<br />
fenomena iklim yang berkaitan dengan<br />
F!nomena<br />
fluktuasi cuaca/ iklim di wilayah Indonesia. Fenomena<br />
ersebut mengganggu sistem sirkulasi dalam arah meridional<br />
sehingga proses konveksi, proses pembentukan<br />
awan dan hujan di wilayah Indonesia menjadi aktif pada<br />
kejadian La Nifia dan Dipole Mode lautan Hindia negatif<br />
ehingga mendorong terjadi banjir dan menjadi kurang<br />
aktif pada kejadian El Nino dan Dipole Mode lautan Hindia<br />
positif sehingga mendorong terjadinya kekeringan.<br />
Kondisi ekstrim seperti diatas dapat juga ditimbulkan<br />
oleh adanya siklon tropis. Siklon tropis yang kuat akan<br />
menarik massa udara disekelilingnya sehingga aktivitas<br />
konveksi menjadi berkurang yang dampaknya adalah<br />
curah hujan menjadi rendah, tetapi ditempat lain tepatnya<br />
diwilayah dinding siklon terjadi hujan dengan intensitas<br />
tinggi.<br />
Siklon tropis adalah pusaran arus berbentuk spiral<br />
yang terjadi di wilayah lautan tropis. Meskipun<br />
jumlahnya lebih kecil dibandingkan siklon subtropis<br />
namun mempunyai kemampuan merusak yang lebih<br />
tinggi (Bowditch, 1995). Pada mas a sekarang siklon<br />
tropis mengalami peningkatan frekuensi dan kekuatan<br />
(Emanuel, 2005; Webster et at., 2005). Seiring peningkatan<br />
frekuensi siklon tropis, penelitian yang mengkaji<br />
mekanisme, variabilitas dan faktor-faktor yang berpengaruh<br />
terhadap siklon juga meningkat. Peningkatan<br />
freh.ruensi siklon yang terjadi pada masa se~ahg kemudian<br />
dikaitkan dengan masalah perubahan iklim.<br />
sehingga banyak penelitian yang meghubungkan siklon<br />
lnformasi Data IN DE RAJA<br />
-- atau pusat siklon dan dinding siKlo<br />
~t kencang berada di dalam dindin2" s=·-·<br />
~ .... :~g siklon bisa mencapai ratusan km. o·<br />
merupakan wilayah paling berbahaya d<br />
-ena angin sangat kuat dan disertai hujan yang sanga<br />
~ Di dalam mata siklon kondisi sangatjauh berbeda,<br />
cuaca cerah dengan angin yang bertiup lemah.<br />
· bar mata atau pusat siklon bervariasi mulai 10 sam<br />
- ratusan km. Struktur vertikal siklon diperlihatkan<br />
Gambar 1. Siklon tropis mendapatkan energi dari<br />
as lautan tropis dan tidak akan terbentuk jika suhu<br />
oe..-mukaan laut kurang dari 26,5°C. Umur siklon tropis<br />
· sanya hanya beberapa hari. Siklon akan melemah dan<br />
- .·nudian lenyap jika bergerak ke arah daratan atau ke<br />
co...
lnformasi Data IN DE RAJA<br />
!•c.o<br />
i<br />
~.bc§ZS•~;.~.,.q~ :<br />
sk.- ;51 -!(1<br />
I #<br />
~<br />
! ' ' ..<br />
I! linlasan siOOn Fredd1 ~-~''\_..--, L"";l ':.., e,;;.'<br />
L:<br />
1'><br />
'l%1s<br />
""¢<br />
_/' 40 , , \. \\ ~\ "\_.. '\-.;_ IIOOme<br />
~ ~ _. ~ ~ I J t ~~<br />
'\ I '/~<br />
~ · ~~ I . -• r--:Portl~ --l---:;.:;_<br />
~ .~<br />
""¢<br />
1-!<br />
J<br />
Australia<br />
J - -<br />
I<br />
Gambar 2. Lintasa n dan siklus hidup siklon Freddy<br />
http:/ /www.bom.gov.au/<br />
-"2S<br />
-'<br />
12<br />
• lkuraldindfrg sikJon<br />
• Jr.KdrD1QcmP. .awa<br />
10<br />
8<br />
1ii<br />
'!' 6<br />
c!<br />
4<br />
2<br />
0<br />
-<br />
.<br />
2<br />
'<br />
4<br />
- 6 7 - 9<br />
10 11<br />
waktu 12<br />
( ~ 00 U1C 8 febnai 2009 ~ JUU 20.00 U1C9 Fellruari 2009 atau<br />
Pl.W 07.00 WIB 8 Fe:bnm 2009 Sln1l'i JUU 03.00 WIB 10 Fellruari 2009)<br />
Gam bar 3. Grafik ukuran dinding siklon Freddy dan jaraknya dari P. Jawa<br />
bar 3 , yang diamati dari citra satelit MTSAT. Ukur<br />
~ _.;~rl; .. g siklon paling besar hampir mencapai 2 dera<br />
---u sekitar 222 km terjadi pada tanggal 8 Februari<br />
illl 04.00 UTC atau pukulll.OO WIB sampai pu<br />
"'\\lB dan pukul 00.00 UTC atau pukul 07.00<br />
·--ggal 9 Februari 2009. Ukuran siklon di luar<br />
tersebut berada dalam kisaran 1 derajat t'in km)<br />
=;>ei beherapa km dalam bentuk spot-spot tekanan.<br />
--tara jarak din ding siklon dari P. J awa mencapai<br />
titik terdekat pada tanggal 8 Februari pukulll.OO WIB<br />
yaitu dengan jarak 5 ~derajat a tau sekitar 555 km. Setelah<br />
itu dinding siklon Freddy semakin menjauhi P. Jawa.<br />
Dampaknya Terhadap Kondisi Cuaca/lklim (Atmosfer)<br />
di Indonesia<br />
Sebelum siklon Freddy dinyatakan sebagai siklon<br />
tropis, berdasarkan citra satelit MTSAT IR, liputan awan<br />
di atas wilayah Indonesia pada tanggal 2 Februari 2009<br />
BERITA INDERAJA, Volume VIII , No. 15, Desember 2009
lnformasi Data IN DE RAJA<br />
c..-or. Hoj-1n (rrm)<br />
5 ·~ 25 J~ 4!i<br />
Gam bar 4. Kiri: Citra satelit MTSAT Infra merah :Data base Bidang Pemodelan lklim- Pusfatsatklim, LAPAN) dan kanan:<br />
estimasi curah hujan TRMM tanggal 2 Februari 2009 pukul1 3.3 0 WIB (http://www.lapanrs.com/ SMBA/ smba.php).<br />
Gambar 4) menunjukkan indikasi adanya awan tebal<br />
' atas Kalimantan barat dan Kalimantan selatan, lautan<br />
Hindia sebelah timur, laut Jawa dan Jawa bagian barat,<br />
apua dan perairan sebelah utara Papua. Berdasarkan<br />
'rra satelit yang sama, estimasi curah hujan menunjukkejadian<br />
curah hujan di lokasi dengan liputan awan<br />
-ebal tersebut. Selanjutnya, sampai tanggal 3 Februari<br />
tengah malam, liputan awan dan hujan di atas wilayah<br />
Indonesia berfluktuasi dengan suhu kecerahan awan<br />
200
lnfonnasi Data INDERAJA<br />
""'iO<br />
""'iO<br />
Gambar 5. Arah dan kecepatan angin di atas permukaan wilayah Indonesia pada tanggal 8 dan 12 Februari 2009<br />
(NCEP/NCAR Reanalysis)<br />
Gambar 6. Citra satelit MTSAT infra merah tanggal 6, 7 dan 8 2009 pukul13.30 WIB (Data base Bidang Pemodelan<br />
..<br />
•<br />
~<br />
•<br />
n<br />
.<br />
:j 4<br />
,.<br />
,.<br />
r'iilloc .. .. ... ,..<br />
~<br />
~<br />
lklim- Pusfatsatklim, LAPAN)<br />
-<br />
'"<br />
.<br />
..<br />
•<br />
C..... h;fz ff!' -<br />
~ ~ )~ 4$<br />
Gam bar 7. Estimasi curah hujan dari Tl<br />
(http·<br />
(!It~~·~"' {mr!'l)<br />
tanggal 6, 7 dan 8 Februari pukul13.00 WIB<br />
Si..13A/ smba.php)<br />
•J<br />
INDERAJA. Volume VIII, No. 15, Desember 2009
( UIDJB:l ~::>U d detfe! fB<br />
OIOZ I I I
Aktivitas Siklon Tropis di Lautan Pasifik Barat dan Lautan China Selatan dan<br />
Dampaknya Terhadap Curah Hujan di Indonesia<br />
Ina Juaeni<br />
inajuaeni@yahoo. com<br />
Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan lkli<br />
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional<br />
Siklon bermula dari gelombang atmosfer yang kemudian berubah menjadi spot<br />
·ekanan rendah dan kemudian berkembang menjadi badai. Jika terjadi peningkatan<br />
ecepatan angin, maka badai berubah menjadi siklon. Di wilayah tropis, 85 % kejadian<br />
siklon dipicu oleh gelombang tropis. Ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi untuk<br />
berkembangnya siklon, yaitu : suhu muka laut harus lebih besar dari 26.5 °C, gaya<br />
Coriolis tidak nol dan harus mencapai nilai tertentu. Gaya Coriolis diperlukan untuk<br />
tetap mempertahankan spot tekanan rendah dari siklon. Jika siklon bergerak ke arah<br />
ekuator dimana gaya Coriolisnya rendah, spin/putaran siklon akan melemah akibat<br />
tidak ada keseimbangan antara gaya Coriolis dengan gaya gradien tekanan (Gambar<br />
1, Sumber: http://web.mit.edu/). Syarat lain terjadinya siklon adalah shear angin vertikal<br />
rendah agar terjadi gerakan spiral vertikal.<br />
~<br />
. .<br />
Gambar 1 Skema aliran uda~ di sekitar spot tekanan rendah (di Belahan Bumi Utara).<br />
Graden tekanan di gambarkan o!eh panah berwarna biru<br />
(Sumber: http://web.mit.edu/)
0-a ~ oersyaratan tersebut maka wilayah yang potensial untuk terjadinY.a siklon adalah<br />
ah tropis dan subtropis, atau pada zona konvergensi tropis/ zona fronU palung<br />
sun,lokasi dimana sering te~ad i tekanan rendah, seperti diperlihatkan pada<br />
Gambar 2 (Sumber:http://www.windows.ucar.edu/earth/images/). Setiap wilayah<br />
..... enamai badai besar dengan nama yang berbeda. Nama siklon (cyclone) digunakan<br />
uk wilayah lautan Hindia, laut China selatan dan Pasifik barat. Di Pasifik barat<br />
agian utara, badai dinamai typhoon. Di lautan Atlantik dan Pasifik timur dinamai<br />
urricane. Siklon di wilayah tropis biasanya berada pad a wilayah 10 sampai 30 derajat<br />
rintang utara (LU) atau lintang selatan (LS). Karena Coriolis yang lemah yang terkait<br />
dengan rotasi bumi, jarang sekali terjadi siklon di wilayah 5 derajat LU/ LS apalagi<br />
sampai di wilayah 0 derajat, tetapi kenyataannya ada juga siklon yang sampai wilayah 5<br />
derajat LU/ LS seperti kejadian siklon Vamei tahun 2001 dan siklon Agni tahun 2004. Di<br />
Atlantik utara dan Pasifik timur laut, angin pasat atau angin yang bergerak ke arah barat<br />
membawa gelombang tropis ke arah barat, dari Afrika ke laut Karibia, lalu ke Amerika<br />
utara terakhir sampai di laut Pasifik tengah. Gelombang tropis ini merupakan prekursor<br />
bagi siklon tropis. Di lautan Hindia dan Pasifik barat, perkembangan siklon lebih<br />
ditentukan oleh gerakan musiman dari palung monsun atau zona tekanan rendah atau<br />
ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone) dibandingkan oleh gelombang. Siklon tropis<br />
juga dapat dibangkitkan oleh sistem lain seperti sistem tekanan rendah, sistem tekanan<br />
tinggi, front panas dan front dingin (Velasco and Fritsch, 1987; Chen and Frank, 1993;<br />
Emanuel, 1993; Zehr, 1992).<br />
Tempat terjadi yang berdekatan dengan wilayah Indonesia ditambah dengan<br />
sistem pemicunya yang sangat berhubungan dengan kondisi cuaca dan iklim Indonesia,<br />
maka siklon tropis merupakan unsur atmosfer yang perlu dikaji. Selain meneliti<br />
variabilitasnya dan perilakunya dipandang perlu untuk meneliti dampak siklon tropis<br />
terhadap atmosfer Indonesia, khususnya curah hujan. Terlebih akhir-akhir ini siklon<br />
tropis mengalami peningkatan frekuensi dan kekuatan (Emanuel, 2005; Webster eta/.,<br />
2005).<br />
Untuk mempelajari perilaku dan dampak siklon tropis terhadap kondisi atmosfer<br />
Indonesia digunakan data radar presipitasi (PR), TRMM (Tropical Rainfall Measuring<br />
Mission), Microwave Imager ("tt11) dan VIRS (Visible and Infrared Scanner] yang<br />
2
iunduh dari http://trmm.gsfc.nasa.gov1 untuk periode tahun 2008 dan 2009 serta data<br />
angin NNR (NCEPI NCAR Reanalysis) dari http://www.esrl.noaa.gov/psd/. PR<br />
empunyai resolusi horisontal - 5 km dan dapat memberikan informasi struktur vertikal<br />
ujan dan salju mulai permukaan sampai ketinggian 20 km. TMI adalah sensor<br />
gelombang mikro yang dirancang untuk memberikan informasi kuantitas curah hujan<br />
melalui pengukuran jumlah uap air, jumlah air dalam awan dan intensitas curah hujan.<br />
VI RS adalah pemantau radiasi yang datang dari bumi dalam 5 wilayah spektral, dari<br />
visibel sampai infrared, atau dari 0,63 sampai 12 mikrometer. Wilayah penelitian<br />
dibatasi di teluk Benggala dan lautan Pasifik Barat (di tunjukkan dengan anak panah<br />
pada Gambar 2), sebagai lokasi terjadinya siklon yang berdekatan dengan wilayah<br />
Indonesia.<br />
Gambar 2. Peta lokasi badai dan lokasi penelitian<br />
(Sumber:http://www.windows.ucar.edu/earth/images/)<br />
Siklon di Pasifik Barat • ~<br />
Pada tahun 2008, data gabungan dari PR, TMI dan VIRS<br />
(http://trmm.gsfc.nasa.gov) menunjukkan terjadi 74 kejadian siklon dari 47 siklon yang<br />
berbeda di lautan Pasifik barat. Berarti, ada siklon yang terjadi lebih dari satu kali yaitu<br />
3
siklon-siklon 96W, INVEST. 9<br />
VONGFONG (Gambar 3).<br />
1<br />
97W, 96W, 24W, 21W, 16W, 98W dan<br />
~5<br />
§4<br />
..c<br />
~<br />
6 -<br />
1!3<br />
..c "'<br />
~2<br />
·;;;<br />
"'<br />
':: 1<br />
~<br />
:::J<br />
..!!!o<br />
:0<br />
c<br />
0<br />
::;;;;<br />
·;;;<br />
.,.,<br />
c<br />
"' :::J<br />
~ ......<br />
2008<br />
~ ..:a:oa::tal.!)ao<br />
~~:;: [~ z!-~; j :;: j j!;;<br />
z~ ~ ~<br />
~<br />
l 371381391 41 ~ 4 ~43 J 44 1 4S ! 46 I 47 I<br />
Gambar 3. Frekuensi kejadian siklon di lautan Pasifik barat tahun 2008<br />
Frekuensi kejadian siklon 96W dan 24W tertinggi selama tahun 2008 yaitu 5<br />
kejadian. Dari 47 siklon baru 21 yang sudah diberi nama sisanya hanya diberi kode.<br />
Siklon terjadi hampir sepanjang tahun dengan waktu hidup satu sampai 11 hari. Siklon<br />
SINLAKU adalah siklon dengan waktu hidup terlama tahun 2008, yaitu 11 hari.<br />
Kekuatan siklon yang diidentifikasi dengan estimasi kecepatan angin permukaan<br />
maksimum sangat bervariasi (Cooper et a/., 2008). Kecepatan angin pada siklon tahun<br />
2008 bervariasi mulai 33 knot sampai 145 knot. Siklon JANGMI mempunyai kecepatan<br />
angin terbesar yaitu 145 knot, yang terjadi mulai 23 September sampai 1 Oktober 2008<br />
(Tabel 1 ). Bentuk visual siklon JANGMI pad a tanggal 26 September 2008 yang terekam<br />
oleh PR, TMI dan VIRS diperlihatkan pada (Gambar 4). Gambar tersebut juga<br />
menunjukkan distribusi spasial curah hujan pada dinding siklon. Garis penampang yang<br />
dibuat melalui siklon tersebut menunjukkan aktivitas hujaQ yang aktif pada dinding<br />
siklon, sedangkan pada mata siklon cuaca tampak cerah. Semakin jauh dari mata<br />
siklon curah hujan semakin kecil. Curah hujan tertinggi berada pada wilayah dengan<br />
jarak kurang dari 1 derajat (-111 km) dari mata siklon. Salah satu siklon dengan<br />
kecepatan angin rendah yaitu -40 knot adalah siklon HIGOS, bentuk visualnya<br />
4
diperlihatkan pada (Gambar 5). Siklon HIGOS adalah salah satu siklon yang bentuknya<br />
tidak simetris dan mata siklon juga kurang jelas terlihat. lni merupakan salah satu tanda<br />
siklon yang lemah.<br />
Tabel 1. Siklon tropis di Pasifik barat tahun 2008 (Sumber: Cooper eta/. , 2008)<br />
Nama Peri ode Peringatan v P (mb)<br />
(knot)<br />
TS01W 13-16 Januari 13 40 992<br />
TY 02W-Neoguri 14-20 April 23 100 948<br />
STY 03W-Rammasum 7-12 Mei 23 135 921<br />
TS 04W-Matmo 14-16 Mei 9 40 992<br />
TY 05W- Halong 15-20 Mei 19 75 966<br />
TY 06W- Nakri 27 Mei-3 Juni 29 125 929<br />
TY 07W- Fengshen 18-25 Juni 29 110 940<br />
TY 08W-Kalmaegi 14-18Juli 19 90 955<br />
TY 09W- Fung-Wong 24-28 Juli 18 95 951<br />
TS 1 OW-Kammuri 4-6 Agustus 12 50 985<br />
TS 11W 13-14 Agustus 7 35 996<br />
TS 12W-Vongfong 14-16 Agustus 9 55 981<br />
TY 13W-Nuri 17-22 Agustus 24 100 948<br />
TS 14W 26-28 Agustus 7 35 996<br />
TY 15W- Sinlaku 8-20 September 47 125 929<br />
TS 16W 10-11 September 8 35 996<br />
TS 17W 14 September 1 40 992<br />
TY 18W-Hagupit 18-24 September 24 125 929<br />
STY 19W-Jangmi 23 September-1 29 145 914<br />
Oktober<br />
TS 20W-Mekkhala 28-30 September 7 55 981<br />
TS 21W-Higos 29 September-4 21 45 988<br />
Oktober<br />
I<br />
TS22W 14-15 Oktober 6 35 996 I<br />
TS 23W-Bavi 18-20 Oktober 6 50 985 I<br />
TS 24W- Maysak 7-10 November 14 55 981 I<br />
TS 25W-Haishen 15-16 November 4 40 992<br />
1<br />
TS 26W-Noul 16-17 November 7 40 992 T_y_ 27\f,/- Dolp]lin 10-18 Desember 33 90 955 I<br />
e:erangan:<br />
~<br />
- :-:gi
Gambar 4. Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon JANGMI, Kanan: Penampang<br />
curah hujan di tengah siklon dari titik A sampai titik B<br />
(http://trmm.gsfc. nasa .gov)<br />
Gambar 5. Kiri: Gambar visual dan curah hujan siklon HIGOS, Kanan: Penampang<br />
curah hujan di tengah siklon dari titik A sampai titik B<br />
(http://trmm.gsfc.nasa.gov)<br />
Pada tahun 2009, terjadi 76 kejadian dari 50 jenis siklon di lautan Pasifik Barat.<br />
Siklon-siklon yang terjadi lebih dari satu kali pada tahun 20D9 adalah 99W, 98W, 97W,<br />
96W, 95W, 94W, 93W, 92W, 91W, 90W dan AL (Gambar 6). Siklon terjadi hampir<br />
sepanjang tahun, dengan waktu hidup (life time) satu sampai empat belas hari. Siklon<br />
.,<br />
PARMA adalah siklon dengan waktu hidup terlama tahun 2009, yaitu 18 hari.<br />
6
Kecepatan angin dalam siklon bervariasi dari 25 knot (siklon 24 W) sampai 150 knot<br />
(Tabel 2).<br />
.... =<br />
0\<br />
6<br />
c:<br />
::::J<br />
..c: 5<br />
.!!!<br />
~<br />
..,.<br />
"' 4<br />
~<br />
·;;;<br />
Q.<br />
"'<br />
c: 3<br />
.!!!<br />
::::J<br />
..!!!<br />
'0 2<br />
c:<br />
0<br />
::;;;;<br />
·;;;<br />
·;;;<br />
c:<br />
1<br />
"'<br />
::::J<br />
-"'<br />
~<br />
....<br />
0<br />
I 2009<br />
Gambar 6. Frekuensi kejadian siklon di lautan Pasifik barat tahun 2009<br />
Dari uraian di atas nampak bahwa frekuensi kejadian siklon tahun 2008 dan<br />
2009 tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Dari perbandingan antar tahun<br />
tersebut juga teridentifikasi bahwa tidak semua siklon mempunyai periode satu tahun<br />
atau dengan kata lain siklon tidak selalu berulang setiap tahun, bahkan siklon yang<br />
muncul tahun 2008 berbeda dengan yang terjadi pada tahun 2009.<br />
Tabel 2. Siklon tropis di Pasifik barat tahun 2009 (Sumber: Cooper eta/. , 2008)<br />
Nama Peri ode Peringatan v P (mb)<br />
(knot)<br />
TY 01W- Kujira 2-7 Mei 20 . 115 936<br />
TY 02W- Chan-Hom 3-11 Mei 29 . 90 955<br />
TY 03W- Linfa 17-22 Juni 21 75 966<br />
TS 04W- Nangka 22-26 Juni 18 45 988<br />
TS 05W- Soulder 9-12Juli 11 35 996<br />
TD06W 13-14 Juli 5 30 1000<br />
TY 07W- Molave 15-19 Juli 16 105 944<br />
TS 08W- Goni 2 !8 Agustus 15 45 988<br />
!<br />
:1<br />
7
TY 09W- Morakot 3-9 Agustus 25 80 963<br />
TS 10W- Etau 8 - 12 Agustus 18 40 . 992<br />
TY 11W- Vamco 17 - 25 Agustus 34 120 933<br />
TY 12W- Krovanh 28 - 31 Agustus 16 65 974<br />
TS 13W- Dujuan 3 - 8 September 25 55 981<br />
TO 14W- Mujigae 9 - 12 September 12 30 1000<br />
STY 15W- Choi-Wan 12 - 20 September 33 140 918<br />
TY 16W- Koppu 13 - 15 September 9 75 966<br />
TY 17W - Ketsana 25 - 29 September 19 90 955<br />
TD18W 27 - 30 September 13 30 1000<br />
STY 19W-Parma 27 September- 14 68 135 921<br />
Oktober<br />
STY 20W-Melor 29 September - 9 38 150 910<br />
Oktober<br />
TS 21W-Nepartak 8 - 13 Oktober 20 55 981<br />
STY 22W- Lupit 14 - 26 Oktober 49 918<br />
TY 23W- Mirinae 26 Oktober - 2 31 140 955<br />
November<br />
TD24W 2 - 3 November 2 90 1003<br />
TS25W 7- 9 November 10 25 988<br />
STY 26W-Nida 22 November - 03 45 150 910<br />
Desember<br />
TD27W 23 - 24 November 5 30 1000<br />
TD28W 5 Desember 1 30 1000<br />
TS 01C-Maka 14-18 Agustus 15 45 988<br />
TD02C 30 Agustus 2 30 1000<br />
Siklon di Teluk Benggala<br />
Di teluk Benggala, pada tahun 2008 terjadi 14 kejadian dari 13 jenis siklon, atau<br />
ada siklon yang terjadi dua kali yaitu siklon 928, siklon lain hanya te~adi satu kali<br />
(Gambar 7). Siklon NARGIS adalah siklon dengan kekuatan angin tertinggi pada tanun<br />
2008, yaitu 115 knot (Tabel 3). Meskipun cukup kuat, tetapi siklon ini tidak memben·<br />
mata siklon atau mata siklon tidak jelas. Distribusi spasial curah hujan nampak<br />
berkumpul ditengah siklon (Gambar 8. Kiri). Siklon NISHA (Gambar 8. Kanan)<br />
dengan intensitas yang lebih kecil menunjukkan distribusi ~pasial curah hujan yang<br />
hampir sama dengan siklon NARGIS, namun siklon NARGIS menunjukkan bentuk yang<br />
lebih simetris dibandingkan siklon NISHA .<br />
.,<br />
8
00<br />
0<br />
0<br />
N<br />
c:<br />
::I<br />
.s::<br />
2<br />
tQ<br />
m,<br />
ao<br />
c:<br />
QJ<br />
a:l<br />
~<br />
::I<br />
~<br />
'0<br />
c:<br />
0<br />
::;;;<br />
·;;:;<br />
·;;:;<br />
c:<br />
QJ<br />
::I<br />
~<br />
QJ<br />
... ....<br />
3 ~<br />
I<br />
2 ~<br />
;<br />
1 J<br />
1 2008<br />
0 -r---r<br />
d)<br />
I d)<br />
r-- lD<br />
0 en<br />
I
l<br />
satu sampai enam hari. Siklon NARGIS adalah siklon yang mempunyai life time terlama<br />
(6 hari) pada tahun 2008, dan siklon WARD (4 hari) pada tahun 2009 (Tabel 4).<br />
Gambar 9 juga menunjukkan ba hwa tidak terjadi peningkatan frekuensi siklon pada<br />
tahun 2009 dibandingkan tahun 2008.<br />
0'1<br />
0<br />
0<br />
"' c<br />
~<br />
.c:<br />
~<br />
n; "'<br />
2<br />
~1<br />
c:<br />
Ql<br />
CD<br />
:c<br />
c<br />
0<br />
::;;:<br />
Vi<br />
·u;<br />
c<br />
Ql<br />
~<br />
""" 0 -1<br />
~ I 0<br />
cr:::<br />
~<br />
3:<br />
1<br />
2009<br />
a:> 1-=-T-=- -r -=- ~, --=-T-=-, -:- -~-<br />
~ W ~ V ~ N ~ 00<br />
o m m m ~ m 4 m a:><br />
2 3 4 5 ~ 1 7 . 8 9<br />
z<br />
Nama siklon<br />
~ T !l l<br />
I 10 I 11 I<br />
Gambar 9. Frekuensi kejadian siklon di teluk Benggala tahun 2009<br />
Tabel 3. Siklon tropis di Hindia Utara tahun 2008 (Sumber: Cooper eta/. , 2008)<br />
Nama Periode Peringatan V (knot)<br />
1 B-Nargis 27 April-3 Mei 25 115<br />
28 16 September 2 45<br />
3A 20-23 Oktober 11 30<br />
48-Rashmi 26-27 Oktober 5 45<br />
58- Khai-Muk 14-16 November 9 45<br />
68-Nisha 25-27 November 7 50<br />
78 4-7 Desember 13 • 35<br />
L_____ ---<br />
Karena lokasi siklon<br />
di Pasifik Barat dan Beng§ala dekat dengan wilayah<br />
Indonesia, putaran/spin siklon a~n menarik massa atmosfer (udara dan atau awan)<br />
10
dari atas wilayah Indonesia akibatnya di atas wilayah Indonesia menjadi cerah. Kasus<br />
seperti ini terjadi pada saat te~ad i siklon NARGIS tanggal28 April 2008 dan siklon 06 8<br />
pada tahun 2009. Ditunjukkan oleh angin dari NNR, terjadi pengalihan massa<br />
udara/awan dari laut Hindia yang seharusnya masuk ke wilayah Indonesia tertarik ke<br />
arah Teluk Benggala (Gam bar 10 dan Gam bar 11).<br />
Tabel4. Siklon tropis di Hindia Utara ffeluk Benggala tahun 2009 (Sumber: Cooper eta/. 2008)<br />
..c::::I<br />
Nama<br />
Bijli<br />
Ail a<br />
Phyan<br />
Ward<br />
2<br />
4-<br />
Periode Peringatan V (knot)<br />
15-17 April 12 50<br />
24-25 Mei 7 65<br />
05 September 1 40<br />
09-11 November 1 40<br />
11-14 Desember 12 45<br />
110E 12
NaP/ NCAR R •u~<br />
'"n/-'), 1 I I I fiii\li\<br />
8 10 12<br />
Gambar 11. Kiri: Image radar TRMM untuk siklon 068 (Sumber: htttp://trmm.gsfc.nasa.gov),<br />
Kanan: Vektor angin dari NNR (Sumber: http://www.esrl.noaa.gov/psdl) pada 12<br />
November 2009)<br />
Curah hujan bulanan dari Precipitation Radar TRMM di wilayah Indonesia pada<br />
tahun 2008 lebih tinggi daripada tahun 2009 terutama setelah bulan Mei (Gambar 12).<br />
Perbedaan curah hujan kumulatif bulanan juga dipengaruhi oleh suplai massa dari<br />
lautan Hindia dan lautan Pasifik. Pada tahun 2008 suplai massa dari lautan Hindia<br />
selatan ke wilayah Indonesia berlangsung sampai bulan April sedangkan pada tahun<br />
2009 hanya sampai bulan Maret. Dari lautan Pasifik, suplai massa pada tahun 2008<br />
berlangsung dari bulan Januari sampai Juli dan November sampai Desember. Pada<br />
tahun 2009, suplai terjadi dari bulan Januari sampai Juni dan bulan Desember. lni<br />
berarti, suplai massa dari kedua lautan tersebut pada tahun 2009 lebih kecil<br />
dibandingkan tahun 2008. Kondisi seperti merupakan salah satu penyebab jumlah<br />
hujan tahun 2009 lebih rendah daripada jumlah curah hujan tahun 2008, karena massa<br />
udara dari lautan Pasifik dan lautan Hindia adalah massa udara dengan kadar uap air<br />
dan salinitas yang tinggi sehingga dapat meningkatkan aktivitas konveksi basah atau<br />
konveksi dengan peluang terjadinya hujan yang tinggi.<br />
.,<br />
12
300 '<br />
I Rata-rata untuk : 10" LU-15° LS, 95°BT-145°BT<br />
250 i<br />
co j<br />
! 150 i<br />
I! '<br />
:s I<br />
u 100 "i<br />
so I<br />
0 J_ _______ --<br />
1 2<br />
-2008<br />
-2009<br />
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Gambar 12. Curah hujan kumulatif bulanan tahun 2008 dan 2009 berdasarkan TRMM untuk<br />
Bulan<br />
wilayah Indonesia (10° LU s/d 15° LS, 95° BT s/d 145 °8T)<br />
-<br />
13
PEMANFAATAN CURAH HUJAN TRMM DASARIAN UNTUK PENGELOMPOKKAN DAN PENENTUAN KALENDER TANAM<br />
POTENSIAL<br />
ABS<br />
Curah hujan TRMM tipe 3842 adalah curah hujan/presipitasi Tropical Rainfall<br />
Measuring Mission (TRMM) yang digabung dengan presipitasi infrared/high quality<br />
(HQ) dalam grid yang mempunyai resolusi waktu 3-jam dan resolusi spasial 0,25° X<br />
0,25° dalam cakupan global 50° lintang selatan sampai 50° lintang utara. Data curah<br />
hujan dapat digunakan sejak tahun 1998 sampai saat ini, namun dalam penelitian ini<br />
digunakan periode pengamatan tahun 1998 sampai dengan 2009. Curah hujan 3 jaman<br />
diakumulasi setiap 10 hari ( ). Pengelompokkan curah hujan dengan<br />
metoae klaster menghasilkan 10 klaster untuk P. Sumatera, P. Jawa dan Papua<br />
serta 12 klaster untuk Kalimantan dan Sulawesi. Jumlah klaster tersebut meliputi<br />
klaster yang ada di lautan. Kalender tanam untuk setiap klaster ditentukan<br />
berdasarkan kebutuhan padi terhadap air (50 mm/dasarian), sehingga diperoleh 3 jenis<br />
kalender tanam yaitu s~tu kali tanam dalam setahun, dua kali tanam dalam setahun<br />
dan tiga kali tanam (se~anjang tahun). Dua kali menanam padi dalam setahun terjadi<br />
di P. Jawa dan Bali. Daerah dengan satu kali tanam sepanjang tahun adalah Nusa<br />
Tenggara, karena hujan dengan lntensltas yang cukup hanya terjadi di awal tahun.<br />
Sedangkan di Sumatera Barat, menanam padi bisa dilakukan hampir sepanjang tahun.<br />
Ina Juaer M Hardjana<br />
nr<br />
n<br />
Bidang Pemodelan lklim, Pusat Pemanfaatan Sa ins Atmosfer dan lkllm - LAPAN<br />
Jl. Dr. Junjunan 133 Phone (022)6037445 Fax. (022)6037443 Bandung, 40173<br />
3<br />
Data curah hujan TRMM lulus uji deteksi outlier karena nilai signifikansi > 0.001 dan<br />
multikolinearitas menunjukkan bilangan kondisi (k) >1000 maka dapat dilakukan analisis komponen utan<br />
Hasil analisis komponen ~rna Jnilah yang kemudian menjadi input untuk analisis klaster. Pengaplikasi<br />
metode klaster Ward pada data curah hujan TRMM akumulasi 10 harian menghasilkan 10 jumlah klas<br />
untuk 3 wilayah dan 12 klaster untuk 2 wilayah (gambar 2, tabel 1). Klaster terbanyak yaitu 12 terdapat<br />
Kalimantan dan Sulawesi atau wilayah tengah utara Indonesia. Berdasarkan peneglompokkan inL kemudi<br />
ditentukan dasarian potensial untuk menentukan kalehder tanam . Beberapa contoh dasarian dan kalen<<br />
tanam potensial diperlihatkan berturut-turut pada tabel 2, tabel 3, tabel 4 dan tabel 5.<br />
LAPA<br />
Sejak dipublikasi tahun 1998, data TRMM semakin sering digunakan dalam<br />
berbagai kajian masalah cuaca dan iklim di Indonesia. Hal ini disebabkan beberapa<br />
keunggulan yang dimiliki data curah hujan TRMM, seperti keunggulan dalam<br />
cakupan wilayah yang luas, kemampuannya dalam memetakan variasi curah hujan<br />
spasial dan temporal yang besar serta kemampuannya dalam memberikan data<br />
curah hujan dengan resolusi sampai 5 km.<br />
Sebelumnya data curah hujan TRMM hanya digunakan untuk tujuan<br />
penelitian murni, tetapi dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa data TRMM dapat<br />
digunakan untuk pengelompokkan atau· klastering curah hujan dan penentuan<br />
kalender tanam potensial sebagai bentul(' pengembangan pemanfaatan data curah<br />
hujanTRMM.<br />
(!)<br />
-6<br />
~ .a<br />
tz -10<br />
:::J<br />
-12<br />
95<br />
Gamn<br />
Bul•nke<br />
DINrllln Ice<br />
Waklvtln.m<br />
100 105 110 115 120 125 1ll<br />
BUJUR<br />
Hasu klar:;ter<br />
yan<br />
Magelang (wllayah II)<br />
,.<br />
Penelitian dengan menggunakan data TRMM dan penerapan metode<br />
klastering ini merupakan kajian yang menggabungkan data lapangan dengan data<br />
observasi. Data lapangan adalah data jadwal tan am dan I k&W .•. C. m - ..<br />
kondisi daerah sentra pangan yang diperoleh dengan<br />
kunjungan dan diskusi ke beberapa lokasi sentra<br />
pangan, sebagai sampel. Data observasi adalah data<br />
curah hujan TRMM dan data observasi curah hujan<br />
dibeberapa lokasi sampel (di Kalimantan Barat) untuk<br />
mengkonfirmasi data curah hujan TRMM terhadap data<br />
observasi. Data TRMM yang digunakan adalah TRMM<br />
3842 Versi 6 dengan resolusi 0.25 x 0.25° dalam peri ode<br />
1998 sampai dengan 2009.<br />
"""'"' O..n1nke<br />
WlkiUl•nem<br />
Probolinggo (wilayah II)<br />
10<br />
Denpasar/Tabanan (wilayah II)<br />
9 I 1Q I ,, I 12<br />
12 l 13 l 14 l 15 l t6 l 17 l 18 l 19 ] ~121 l 22 l ~ l ~ l ~l~ l 27 l ~ l ~ l ~l~l~ l " l ~ l ~ l ~<br />
Manado (klaster 9 wilayah IV )<br />
1 I 2 ll I 4 I s I e I 1 I a I 9 I 10 I 11 112 I 13 I 14 I 15 1 115 I 11 I 18 I ts I 20 I 21 I 22 I 23