25.11.2014 Views

LAPORAN AKHIR - KM Ristek

LAPORAN AKHIR - KM Ristek

LAPORAN AKHIR - KM Ristek

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>LAPORAN</strong> <strong>AKHIR</strong><br />

FORMULAS! JAMU BERBASIS JAHE MERAH<br />

(gingerol) DAN SAMBILOTO (andrografolid)<br />

EFEKTIF MENGENDALIKAN OOKISTE Eimeria<br />

tenella PENYEBAB COCCIDIOSIS<br />

PADA AYAM SEBESAR >70°/o<br />

PROGRAM INSENTIF RISET TERAPAN<br />

Fokus Bidang Prioritas<br />

Produk Target<br />

Kode Kegiatan<br />

Peneliti Utama<br />

Teknologi Kesehatan dan Obat<br />

2.04.<br />

2.04.10<br />

Ir. M. Januwati, MS<br />

KEMENTERIAN PERTANIAN<br />

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN<br />

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN<br />

BALAI PENELITIAN TANAMAN OBAT DAN AROMATIK<br />

Jalan Tentara Pelajar No.3, Bogor 16111<br />

TELP: 0251 8321879, Fax: 0251 8327010,<br />

e-mail : balittro@telkom.net.id<br />

2010


LEMBAR PENGESAHAN<br />

1. Judul Kegiatan Formulasi Jamu Berbasis Jahe<br />

merah (gingerol) dan Sambiloto<br />

(andrografolid)<br />

Efektif<br />

Mengendalikan Ookiste Eimeria<br />

tenella Penyebab Coccidiosis Pada<br />

A yam Sebesar > 70%<br />

2. Penanggung Jawab<br />

Penelitian<br />

a. Nama Ir. M. Januwati, MS<br />

b. Pangkat/Golongan Pembina Utama/ IVe<br />

c. Jabatan<br />

Struktural -<br />

Fungsional<br />

Peneliti Utama<br />

3 Lokasi Penelitian Jawa Barat dan Jawa Tengah<br />

4 Biaya Penelitian Rp. 177.000 000,-<br />

5. Sumber Dana RISET INSENTIF TA 2010<br />

Menyetujui<br />

a.i Kepala Balai Penelitian Tanaman<br />

----==--- Obat dan Aromatik<br />

Penanggung Jawab Kegiatan<br />

-<br />

~<br />

A:l-<br />

Ir. M. Januwati, MS<br />

NIP. 19480101 198406 2 001<br />

_,_.,<br />

Mengetahui<br />

Kepala Puslitbang Perkebunan


DAFTAR lSI<br />

Bab Uraian Halaman<br />

KATA PENGANTAR ... ~ ................................................................<br />

DAFTAR lSI............................................................................ ii<br />

RINGKASAN EKSEKUTIF ..... .......... .. .. .. .. .. .. .................................<br />

v<br />

EXECUTIVE SUMMARY ....,..........................................................<br />

viii<br />

I PENDAHULUAN .................... ..................................................... 1<br />

II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4<br />

III METODOLOGI ................................................................................... 8<br />

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 15<br />

V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 31<br />

VI PERKIRAAN MANFMT DAN DAMPAK .......................................... 31<br />

VII DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 32<br />

LAMPIRAN GAMBAR PELAKSANMN PENELITIAN .........................<br />

34<br />

ii


DAFTAR TABEL<br />

No Uraian Halaman<br />

1. Formulasi Jamu Ternak Untuk Anti Cocci pada Ayam........... .... ... 9<br />

2. Mutu Simplisia dari Beberapa Lokasi Produksi .. ........ ...... ............ ........ 15<br />

3. Formulasi Jamu Ternak Untuk Anti Cocci pada A yam. .. ................ 16<br />

4. Pengujian Mutu Bahan Akif Hasil Fermentasi Bahan Baku .............. 17<br />

5. Skor Perlukaan Sekum Ayam 11 Hari Setelah Infeksi ke 2 Dengan<br />

Oocista £ten ella .................................................................... 18<br />

6. Pengaruh Formula Terhadap Bobot Badan (g) Pada Beberapa<br />

Umur ................................................................................................... 27<br />

7. Pengaruh Formula Terhadap PO/ (packed cell volume) Pada Umur<br />

35 Hari.................................................................................... 27<br />

8. Mortalitas Ayam Broiler dan Berat Sampai Umur 7 Hari. .................. 29<br />

iii


DAFTAR GAMBAR<br />

No<br />

Uraian<br />

Halaman<br />

1 Perbandingan jumlah rataan oocista dari kelompok kontrol negatif<br />

(Fll) dan positif (F12) dengan kelompok yang diberi pakan dengan<br />

formula non-fermentasi, pada ayam setelah diinfeksi ke 2 dengan<br />

ookista £ tenella ...•..........._....................................................••••..•...••• 19<br />

2 Perbandingan jumlah rataan ookista dari perlakuan kontrol negatif<br />

(Fll) dengan kontrol positif (F12) dan formula fermentasi ................ 20<br />

3 Jumlah ookista pada feses ayam antara F-1 dibandingkan obat<br />

komersial. ......................................................................................... 21<br />

4 Jumlah ookista pada feses ayam antara F-2 dibandingkan F- komersial 22<br />

5 Jumlah ookista pada feses ayam antara F3 dibandingkan F- komersial 23<br />

6 Jumlah ookista pada feses ayam antara F-4 dibandingkan F-komersial 23<br />

7 Jumlah ookista pada feses ayam antara F-5 dibandingkan F- komersial 24<br />

8 Jumlah ookista pada feses ayam antara F-6 dibandingkan F-komersial 24<br />

9 Jumlah ookista pada feses ayam antara F-7 dibandingkan F- komersial 25<br />

10 Jumlah ookista pada feses ayam antara F-8 dibandingkan F- komersial 25<br />

11 Jumlah ookista pada feses ayam antara F-9 dibandingkan F- komersial 26<br />

12 Jumlah ookista pada feses ayam antara F-10 dibandingkan F- komersial 26<br />

iv


RINGKASAN EKSEKUTIF<br />

Latar Belakang<br />

Beberapa tanaman obat seperti temu-temuan, sirih-sirihan, sambiloto, meniran<br />

diketahui memiliki aktivitas anti parasit dan bersifat sebagai imunomodulator pada manusia.<br />

Beberapa tanaman obat mampu meningkatkan produksi sitokin. Sitokin adalah protein ekstra<br />

seluler yang berperan sebagai regulator dan mobilisator intersel (interleukin, interferon dan<br />

kemokin) yang memiliki aktivitas anti parasit. Peningkatan sekresi sitokin membuka peluang<br />

baru didalam penanggulangan berbagai macam penyakit termasuk infeksi parasit. Sambiloto<br />

dapat meningkatkan sel fagositosis dan limfosik, sehingga dapat mengobati cocddia dan dapat<br />

menjadi koksidiostat (sulfaquinoxalin). Pemanfaatan tanaman obat untuk tujuan pencegahan<br />

dan pengobatan parasit pada manusia (sebagai obat cacing, obat jamur) telah lama dikenal,<br />

tetapi belum banyak dilakukan pada ternak. Tanaman obat tersebut sebenarnya juga dapat<br />

digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit pada hewan.<br />

Sebagai bahan pangan, ayam mempunyai nilai nutrien yang lengkap di dalam daging<br />

dan telur. Usahatani ini dapat dilakukan oleh masyarakat skala kedl sampai menengah.<br />

Kendala produksi diantaranya adanya penyakit coccidiosis yang disebabkan timeria tenella. E.<br />

Tenella termasuk ordo Coccidia adalah parasit protozoa yang menyerang saluran pencernaan<br />

ayam, sehingga terjadi peradangan hebat, menyebabkan diare berdarah dan lebih dikenal<br />

dengan coccidiosis sekum ayam. Penyakit ini mudah berkembang di Indonesia karena sesuai<br />

dengan suhu optimum untuk perkembangan Eimeria yaitu 21° C - 32 ° C serta kelembaban<br />

yang cukup. Dan ternyata ayam dewasa dapat bertindak sebagai pembawa penyakit.<br />

Mekanisme penanggulangan penyakit coccidiosis dengan tanaman obat, diarahkan kepada<br />

peningkatan sistim imun terhadap infeksi parasit.<br />

Saat ini tindakan untuk menanggulangi penyakit tersebut diatas dengan memakai<br />

koksidistat (umumnya preparat sulfa). Pemakaian yang terus menerus menimbulkan resistensi<br />

dan residu pada daging dan telur sehingga pada ekspor daging dan telur ditolak. Untuk<br />

mengatasi hal tersebut perlu mencari alternatif untuk menanggulangi dengan menggunakan<br />

sumber alam yang terdapat di Indonesia sehingga mengurangi impor bahan dasar obat unggas<br />

ayam yang bersifat anti cocci, dan mampu meningkatkan imunitas terhadap penyakit coccidiosis<br />

serta sekaligus dapat meningkatkan produktivitas. Manfaat dan dampaknya menurunkan<br />

kerugian peternak unggas ayam serta penghematan devisa melalui pengurangan impor sulfa<br />

yang digunakan sebagai koksidiostat, dan peluang inovasi untuk menghasilkan teknologi<br />

budidaya ayam organik.<br />

Tujuan dan signifikansi : Menghasilkan formula jamu ternak berbasis tanaman obat untuk<br />

unggas ayam yang bersifat anti cocci, dan mampu meningkatkan imunitas terhadap penyakit<br />

coccidiosis serta sekaligus dapat meningkatkan produktivitas.<br />

Tahap-tahap penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium dan lapang.<br />

Penelitian ini akan dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun, diawali pada tahun 2009 dengan<br />

pemilihan jenis tanaman obat untuk formula yang bersifat anti coccidiosis dan<br />

immunomodulator yang tepat. Uji secara in vitro dan in vivo formula sebagai anti coccidiosis<br />

v


dan immunomodulator telah dilakukan. Pada tahap kedua tahun 2010 akan dilakukan penelitian<br />

untuk penyempumaan formula dan uji formula secara in vitro dan in vivo kembali. Pada tahap<br />

ketiga tahun 2011 akan dilakukan pengujian formula jamu temak anti coccidiosis dengan skala<br />

pengembangan. Uji stabilitas formula secara feeding trial untuk mendukung skala<br />

pengembangan, menjadikan produk komersial. Formula unggulan diaplikasikan pada minimum<br />

10.000 ekor (kerjasama dengan petemak)<br />

Hipotesis yang akan dibuktikan : Formula jamu temak berbasis tanaman obat untuk<br />

unggas ayam yang bersifat anti cocci, dan mampu meningkatkan imunitas terhadap penyakit<br />

coccidiosis serta sekaligus dapat m~ningkat~n produktivitas. )<br />

Metodologi yang digunakan. : Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium dan Ia pang<br />

yang akan dilaksanakan pada Februari - Desember 2010. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan<br />

meliputi : ·<br />

1. Penyiapan bahan baku terstandar. identifikasi dan analisis mutu bahan aktif (Balittro).<br />

Bahan baku diambil dari daerah produksi, menggunakan metode sampling terarah (purpossive .. .<br />

sampling methode). Metode standarisasi bahan baku dilakukan dengan mengambil dari<br />

minimum 3 lokasi sentra produksi. Mutu yang terbaik yang dipilih dijadikan bahan baku.<br />

2. Formulasi jamu untuk mengendalikan coccidiosis (Balittro).<br />

Bahan baku yang digunakan, hasil dari kegiatan identifikasi dan yang mempunyai kadar<br />

bahan aktif tinggi. Semua bahan dikeringkan sampai kadar air 10%.<br />

Metode formulasi jamu kering dibuat, dengan menetapan jenis dan takaran tanaman<br />

obat. Dibuat 5 formula kering dari bahan baku non fermentasi dan 5 formula kering dari bahan<br />

baku difermentasi, masing-masing terdiri dari komponen Temu-temuan (Temulawak, Jahe<br />

merah, temu ireng) dan Sambiloto. Formulasi dibuat dengan dasar bahan temulawak dan<br />

temu ireng (Komponen I}, ditambahkan sambiloto dan jahe merah (Komponen II).<br />

Formula yang dihasilkan, masing-masing terdiri dari komponen I + II , yaitu:<br />

Komponen I : Temu lawak (10%} dan Temu ireng (10%}<br />

Komponen II : Sambiloto dan jahe merah (0- 80%}<br />

Formula yang dihasilkan dicampur dengan pakan yang tidak mengandung koksidiostat,<br />

menggunakan alat pencampur feed mixer di Balinak. Formula diberikan 1% dari jumlah pakan.<br />

Parameter yang diamati, mutu dan kestabilan bahan aktifnya cemaran mikroba setelah<br />

·disimpan 1, 2 dan 3 tahun.<br />

3. Perbanyakan parasit coccidiosis dan uji patooenitas (BBUtvetl.<br />

Perbanyakan ookiste E. Tenella untuk uji papar.<br />

4. Uji patologi organ ayam yang di papar Cocci dan diberi perlakuan jamu yang efektif (70%)<br />

(BB.UtVet).<br />

Pengujian patologi dilakukan, menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), perlakuan<br />

terdiri dari 5 formula kering dari bahan baku non fermentasi dan 5 formula kering dari bahan<br />

baku difermentasi, kontrol negatif dan kontrol positif, 5 ekor/perlakuan dengan ulangan 3.<br />

Parameter meliputi persentase kesakitan, kematian, peningkatan bobot badan, skor pelukaan<br />

pada usus, produksi ookista E. tene//a pada litter (tinja}, dan hematologi. ·<br />

5. Uji In vivo Feeding Tria/formula jamu temak pada unggas ayam (Balitnak).<br />

Pengujian In vivo Feeding Trial formula jamu temak pada unggas ayam untuk<br />

mengamati persentase peningkatan bobot badan dan tingkat kematian. Menggunakan<br />

vi


ancangan acak kelompok (RAK), perlakuan terdiri dari 3 formula kering dari bahan baku non<br />

fermentasi dan 3 formula bahan baku difermentasi, kontrol negatif dan kontrol positif, 12<br />

ekor/unit perlakuan, dengan ulangan 3. Formula yang digunakan akan dipilih yang<br />

menunjukkan respon terbaik.<br />

Keluaran : Formula jamu temak berbasis tanaman obat untuk unggas ayam yang bersifat anti<br />

cocci yang efektif (70%) dan mampu meningkatkan imunitas terhadap penyakit coccidiosis<br />

serta sekaligus dapat meningkatkan produktivitas ayam pedaging (20 %).<br />

Hasil penelitian :<br />

1. Bahan baku terstandar dari tiga lokasi ditetapkan Jahe merah, Temulawak, Temu ireng dari<br />

Sukabumi dan Sambiloto dari Sukoharjo.<br />

2. Formula jamu temak kering untuk anti coed telah dibuat 5 macam, dengan temulawak dan<br />

temu ireng sebagai dasar (ukuran sama untuk semua formula masing-masing). Formulasi<br />

dilakukan dengan komposisi : Temulawak, Temu ireng, Jahe merah dan Sambiloto adalah<br />

(10-10-Q-80% ), (10-10-20-60°/o), (10-1Q-40-40%), (10-10-60-20), (1Q-10-8Q-O), dengan<br />

cara pembuatan secara non fermentasi dan fermentasi.<br />

3. Formula jamu P1-P10 berdasarkan bobot badan, dan PVC lebih baik dibanding kontrol positif<br />

dan kontrol negatif. Dari uji papar pada umur 20 dan 25 hari 6000 dan 10.000 ookiste E<br />

tenella yang diamati sesudah hari ke 11, formula jamu non-fermenttasi (F2,3,5) dan formula<br />

fermentasi (F6,7,8) lebih efektif mencegah gejala infeksi koksidiosis dibanding formula yang<br />

lain. Berdasar pelukaan sekum dengan skore (-) tidak ada lesi, (+) lesi ringan, dan lesi<br />

berat ( ++++) yaitu pada F11, maka efikasi formula jamu dapat menurunkan ookiste E<br />

tenella.<br />

4. Formula jamu temak tidak menyebabkan kematian ayam. Kematian disebabkan oleh<br />

omphalitis. Kematian sampai ayam umur 7 hari hanya mencapai 2,67% dari populasi 600<br />

ekor population.<br />

Kata Kunci : Formula jamu temak, coccidiosis, timeria tene/la, unggas ayam.<br />

vii


EXECUTIVE SUMMARY<br />

Background<br />

Some medicinal crop, zingiberaceae, piperaceae, sambiloto, were known to activity as<br />

immunomodulator and anti parasite at human being. Some medicinal crop be able to increase<br />

product sitokin. Sitokin is protein extra cellulair which could as regulator and mobilisator intercel<br />

activity activity ( interleukin, interferon and kemokin) as anti parasite. Increased secretion of<br />

sitokin open new opportunity in assorted decreased of diseases of parasite infection. King of<br />

bitter could improve cell fagositosis and limfosik, so that could cure coccidia and could become<br />

cocksidiostat ( sulfaquinoxalin). Crop exploiting medicinal for the purpose of parasite<br />

medication and prevention at human being ( as worm drug, fungi drug) have old recognized, but<br />

not yet a lot of conducted at livestock. Medicinal plant in fact also the prevention applicable to<br />

and the disease medication of livestock.<br />

Upon which the food, chicken have value of complete nutrient in carcase and egg. This<br />

agroindustry can be done by society of small and middle scale. Constraint produce among other<br />

things existence of disease of coccidiosis caused by Eimeria tenel/a. E. Tenella of inclusive of<br />

ordo Coccidia parasite of protozoa groaning channel of chicken digestion, so that happened<br />

inflamatory, causing bleed diarrhoea and more knowledgeable as coccidiosis secum of chicken.<br />

This disease potentiaaly occurs in Indonesia because the optimum environmental conditions<br />

(temperate 21° C - 32 ° C and also the high huminity). Whereas the adult chicken could act as<br />

carrier disease. Mechanism of disease control of coccidiosis with medicinal plant, to investigate<br />

the induction of protective intestine! immunity againt coccidiosis of chicken.<br />

Currently, chemoterapy (sulfa) is used extensively to control coccidiosis, but drug<br />

resistance in field strains of parasites and the possible detrimental effects of drug residues in<br />

poultry products, mandates development of alternative methode to control this disease. To<br />

overcome the mentioned require to look for alternative to overcome by using source of nature<br />

which is there are in Indonesia so that lessen import of elementary substance medicinize poultry<br />

of chicken having the character of anti cocci, and able to improve immunity to disease of<br />

coccidiosis and also improve productivity. And benefit decrease loss of chicken poultry and also<br />

thrift of foreign exchange through reduction import sulfa which is used as coccidiostat, and the<br />

opportunity innovate to technology of organic chicken poultry.<br />

Objective and Significancy : The research is proposed to obtain anti coccidiosis herbal<br />

medicine formula to investigate the induction of protective intestinal immunity against<br />

coccidiosis of chicken. It is expected that poultry production, carcass yield and quality as well<br />

as the health of chicken could be improved, and consequently it will increase farmer income.<br />

This applied study is expected also to become sulfa substitution in prevention and treatment of<br />

coccidiosis.<br />

• Research Stage : The research are a laboratorium and field experiment. The research<br />

will be carried out for three years, in order to study the effect of formula, and also to<br />

know the stability of quality formula for chicken coccidiosis. Rrst stage was done in<br />

2009, to screening raw materials, to formulate herbal medicine as anti coccidiosis and<br />

study to evaluate the health and productivity benefits, haematology, patology and<br />

viii


histopathological changes that may occur in the organs of broilers treated with jamu<br />

formula following infection with £ Tenella Stage II (2010), producing the standardized<br />

dried materials, formulation of herbal medicine as anti coccidiosis, collection of£ tenella<br />

oocyst from faeces and intestine of chicken at Bogar and Sukabumi district, propagation,<br />

sporulation, counting and preparation of oocyst inocula, and study to evaluate the<br />

health and productvity benefits, haematology, patology and histopathological changes<br />

that may occur in the organs of broilers treated with jamu formula following infection<br />

with £ Tenella. Stage III (2011), for developing formula jamu of herbal medicine as<br />

anti coccidiosis, should be evaluated by commercial scala and also to know the stability<br />

of quality formula for chicken coccidiosis.<br />

Methodology :<br />

• Standardize raw materials herbal medicinal, identivicacy and analyze active ingredient<br />

Herbal medicinal raw materials chicken coccidiosis formula consist of four type of plant<br />

materials i.e. red ginger, java curcuma, black curcuma and King of bitter. There was<br />

collected from growing are using purpossive sampling method. This plant was collected<br />

from three different ecological conditions growing area. The best quality of dried herbal<br />

was used as raw materials. This is a rapid method to produce a new formula of poultry<br />

medicines.<br />

• Formulation be done using raw materials of zingiberaceae (red ginger, Java curcuma,<br />

black curcuma) and king of bitter (A. Paniculata). Formulation activity was started by<br />

determination of kind and dosage of herbals.<br />

Five formulas were made from herbal<br />

medicine. The formula were ready to tested to obtain the most effective one for chicken<br />

coccidiosis. Formula stability will be observed after one year.<br />

• Study the feeding trial of jamu to control coccidiosis. Biological feeding trial was<br />

conducted using randomized block design with three replication. The first . is 12<br />

treatments, i.e. 5 non fermentage formulas + 5 fermentage formulas + 1 control<br />

positive + 1 control negative. Study the efficacy of jamu to control coccidiosis .caused<br />

by £ tenella at broiler. The criteria used to judge performance and efficacy of<br />

anticoccidial jamu include weight gain, mortality, lesion scores (0/no lesion - 4/severe<br />

lesion), oocyst count and PO/ (packed cell volume)<br />

Output : Formula jamu biofarmaca product which is effective to decrease the iincidence of -----­<br />

chicken coccidiosis<br />

The result showed that :<br />

• Herbal medicinal raw materials were collected red ginger, java curcuma, black curcuma<br />

from Suka Mulia, Sukabumi and king of bitter ( andrographiS) from Omanggu, Bogar. The<br />

best quality of dried herbal was used as raw materials.<br />

• Five formulas were made from herbal medicine, consist of four type of plant materials<br />

such as java curcuma, black curcuma red ginger and king of bitter (andrographis).<br />

Formulation activity was started by determination of kind and dosage of herbals. The<br />

best formula were consist : java curcuma - black curcuma- red ginger - andrographis, i.e.<br />

(10-10-0-80%), (10-10-20-60%), (10-1


• The purpose of the research was to study the efffectivity of jamu non-fermented and<br />

fermented formulas. Broiler were used as experimental animals and divided randomly<br />

into 12 treatments. On the 20th day and 25th, all of the chickens were infected with 6000<br />

and 10.000 oocysts of E. tenel/a respectivelly. On the 11th day after second infection, the<br />

chickens were killed to get the data of the lesion scores. The data of the number of<br />

oocyst elimination per gram faeces were collected on the 4th day until the 11th day after<br />

second infectio. The result showed that jamu non-fermented groups (F2,3,5) and<br />

fermented formulas (F6,7,8) were effective for preventing · coccidiosis infection. This<br />

was based on injured caecum scoring with lesions ranging from no lesion (-) to mild<br />

lesion ( + ), compared to Fll treatment (without jamu) was ++++ (severe lesions). In<br />

addition, the number of oocyst showed that those formula could decrease the<br />

production of E. tenel/a oocyst.<br />

• The herbal medicinal formula did not influence chicken mortality. Mortality were known<br />

because of omphalitis, not by formula. The chicken mortality which is 2,67% 0,4% of<br />

600 population. Study th·e efficacy of jamu to control coccidiosis caused by E. tenella at<br />

broiler indicated that formulas jamu F2,3,5 and F6,7,8 were effectif for preventing<br />

coccidiosis infection. This was based on injured and histopatologic caecum scoring with<br />

mild lesion ( +) compared to Fll and F12 treatment (infected control) was ++++ (severe<br />

lesion).<br />

Keywords : Formula, Broilers, Bmeria tenella, Coccidiostat<br />

X


I. PENDAHULUAN<br />

1.1. Latar Belakang<br />

1.1. Latar Belakang<br />

Tanaman obat yang banyak digunakan sebagai obat alternatif diantaranya jahe,<br />

temulawak, kunyit, mengkudu, meniran, pegagan dan sambiloto (Andrographis paniculata<br />

Ness). Dari sembilan kandungan senyawa kimia sambiloto, isolat andrografolida adalah<br />

kandungan zat kimia yang paling utama dan banyak diteliti (Astuti et al, 2008). Pada<br />

umumnya, zat aktif andrografolida yang terkandung di sambiloto memberikan efek<br />

imunostimulan dan antibakteri (Bone, 2001; Puri et al, 1993) dan dari uji klinis sambiloto<br />

efektif sebagai anti parasit malaria (Hadisahputra et al, 2005). Beberapa hasil penelitian<br />

penggunaan ekstrak tanaman obat terbukti dapat merubah aktivitas sistim imun melalui<br />

pengaturan sitokin (Spelman et al, 2006).<br />

Beberapa tanaman obat seperti temu-temuan, sambiloto, sirih-sirihan, meniran,<br />

diketahui memiliki aktivitas anti parasit dan bersifat sebagai imunomodulator pada manusia<br />

(Perry, 1980 dalam Nugroho dan Nafrialdi, 2001). Sebagai anti parsit tersebut tanaman<br />

obat yang digunakan diarahkan pada tanaman obat yang mampu meningkatkan produksi<br />

sitokin. Sitokin adalah protein ekstra seluler yang berperan sebagai regulator dan<br />

mobilisator intersel (interleukin, interferon dan kemokin) yang memiliki aktivitas anti parasit<br />

(Young et al, 1990). Peningkatan sekresi sitokin membuka peluang baru didalam<br />

penanggulangan berbagai macam penyakit termasuk infeksi parasit (Diemer et al, 1989;<br />

Spelman et al, 2006).<br />

Kebanyakan tanaman obat yang telah diteliti membuktikan adanya kerja<br />

imunostimulator, sedangkan untuk imunosupresor masih jarang dijumpai. Pemakaian<br />

tanaman obat imunostimulator ditujukan untuk mengatasi imunodefisiensi, sebagai ajuvan<br />

(adjuvant) pada pengobatan infeksi terutama infeksi viral, bakteri intraseluler dan jamur.<br />

Sebagai ajuvan akan merangsang pembentukan sitokin yang tepat (Lawman et al 1990 ;<br />

Maat, 2001). Menambahkan sitokin sebagai pembawa vaksin diduga akan merupakan cara<br />

efisien untuk mendapatkan lingkungan sitokin yang benar dalam mengarahkan respons<br />

imun yang diinginkan. Pemanfaatan tanaman obat untuk tujuan pencegahan dan<br />

pengobatan parasit pada manusia (sebagai obat cacing, obat jamur) telah lama dikenal,<br />

tetapi belum banyak dilakukan pada ternak.<br />

1


Ternak ayam memberikan sumbangan pasokan protein hewani terbesar di Indonesia.<br />

Banyak dikonsumsi, sehingga perlu dikembang industrinya. Sebagai bahan pangan, ayam<br />

mempunyai nilai nutrien yang lengkap di dalam daging dan telur. Dan usahatani ini dapat<br />

dilakukan oleh masyarakat skala kecil sampai menengah.<br />

Kendala produksi diantaranya adanya penyakit coccidiosis atau berak darah adalah<br />

penyakit parasit yang disebabkan Bmeria tenella. yang merupakan mikroorganisme bersel<br />

satu yang tergolong kedalam filum protozoa (Ashadi dan Partosoedjono, 1992). Yang dapat<br />

menyebabkan terjadinya peradangan hebat, menyebabkan diare berdarah dan lebih dikenal<br />

dengan koksidiosis sekum ayam.<br />

Hasil penelitian Ashadi dan Tampubolon (1980) pada ayam petelur, coccidiosis<br />

menyebabkan mortalitas sebesar 74.5%, masa bertelur terlambat sampai dengan 5 minggu,<br />

dan jumlah produksi telur selama satu tahun berkurang lebih kurang 17.74%. Pada ayam<br />

pedaging, coccidiosis menyebabkan mortalitas sebesar 74% dan penurunan berat badan. Di<br />

dunia, koksidiosis menimbulkan kerugian ekonomi yang paling besar apabila dibandingkan<br />

dengan penyakit ayam yang lain dan diperkirakan mencapai US $ 800 juta/tahun (Allen dan<br />

Fetterer,2002).<br />

Pengobatan yang dilakukan untuk mencegah koksidiosis adalah pemberian preparat<br />

koksidiostat. Koksidiostat adalah obat yang bekerja menghentikan perkembangbiakan<br />

coccidia. Eimeria menyerang ayam muda berumur antara 3-4 minggu, dan kematian yang<br />

tinggi terjadi pada hari ke 4 sampai 6 setelah infeksi. Sedangkan ayam dewasa dapat<br />

bertindak sebagai pembawa. Penyakit ini mudah berkembang di Indonesia karena sesuai<br />

dengan suhu optimum untuk perkembangan Eimeria yaitu 21° C - 32 ° C serta kelembaban<br />

yang cukup (Cahyaningsih dan Rohimat, 2004; Cahyaningsih dan Srihadi, 2005).<br />

Saat ini tindakan untuk menanggulangi penyakit tersebut diatas dengan memakai<br />

koksidistat (sulfaquinoxalin, preparat sulfa). Pemakaian yang terus menerus menimbulkan<br />

resistensi (Harismah 2006) dan residu pada daging dan telur sehingga pada ekspor daging<br />

dan telur ditolak. Untuk mengatasi hal tersebut perlu mencari alternatif untuk<br />

menanggulangi dengan menggunakan sumber alam yang terdapat di Indonesia sehingga<br />

mengurangi impor bahan dasar obat sulfa (Allen dan Fetterer, 2002; Cahyaningsih eta!.,<br />

2003). Mekanisme penanggulangan penyakit coccidiosis dengan tanaman obat, diarahkan<br />

kepada peningkatan sistim imun terhadap infeksi parasit.<br />

Tanaman obat tersebut sebenarnya juga dapat digunakan untuk pencegahan dan<br />

pengobatan penyakit pada hewan. Dan peternak di negeri China, sudah lama menggunakan<br />

2


obat tradisional dari bahan tanaman (herba) sebagi "feed additive'. Polisakarida yang<br />

terdapat di dalam herba merupakan komponen penting sebagai "immuno modulatot',<br />

sehingga "immuno active polysaccarides' yang terdapat dalam tanaman obat sangat baik<br />

digunakan sebagai "feed additive" pada ransum unggas (Guo eta!, 2003). Hasan (1988)<br />

menambahkan bahwa komponen polisakarida yang terdapat pada herba secara nyata dapat<br />

menurunkan pengaruh infeksi viral pada ayam dan secara langsung mempengaruhi<br />

mekanisme respon immunitas ayam. Hal ini telah diuji pada ayam yang diinfeksi virus<br />

Newcastle Disease (Zang eta!., 1988).<br />

Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan hayati tumbuhan obat yang tinggi<br />

dan warisan budaya dalam pemanfaatan tanaman obat sebagai jamu memiliki peluang yang<br />

sangat besar untuk menemukan ramuan tanaman obat untuk mengatasi penyakti<br />

cocccidiosis. Pengobatan dengan herbal menjadi pilihan untuk mengobati coccidiosis karena<br />

tidak meninggalkan residu pada daging dan telur.<br />

Kendala yang perlu diatasi dalam pemanfaatan tanaman obat untuk obat penyakit<br />

coccidiosis adalah: a) jenis tanaman yang tepat atau senyawa yang efektif sebagai anti<br />

para sit dan immunomodulator, b) penyiapan teknologi produksi bahan tanaman atau<br />

senyawa aktif secara massal yang efisien, dan ramah lingkungan, dan c)<br />

dukungan ilmiah (uji pra klinik) bagi formula yang akan digunakan temak, baik sebagai feed<br />

additive, imunomodulator atau anti parasit.<br />

Pemanfaatan tanaman obat untuk tujuan pencegahan dan pengobatan parasit pada<br />

manusia (sebagai obat cacing, obat jamur) telah lama dikenal, tetapi belum banyak<br />

dilakukan pada temak. Tanaman obat tersebut sebenamya juga dapat digunakan untuk<br />

pencegahan dan pengobatan penyakit pada hewan.<br />

1.2. Tujuan penelitian ini untuk menghasilkan formula jamu temak berbasis tanaman obat<br />

untuk unggas ayam yang bersifat anti cocci, dan mampu meningkatkan imunitas terhadap<br />

penyakit coccidiosis serta sekaligus dapat meningkatkan produktivitas.<br />

1.3. Luaran yang diharapkan : Formula jamu temak dari tanaman obat bersifat anti parasit<br />

yang dapat meningkatkan imunitas terhadap penyakit coccidiosis akan mampu<br />

mengendalikan penyakit coccidiosis pada unggas ayam, sekaligus dapat meningkatkan<br />

produktivitas karena mengurangi kematian, dapat menurunkan kerugian petemak unggas<br />

ayam disebabkan penurunan produksi per ekor dan penghematan devisa melalui .<br />

pengurangan impor sulfa yang digunakan sebagai anti parasit.<br />

3


II.<br />

TINJAUAN PUSTAKA<br />

Eimeria tenella termasuk ordo Coccidia adalah parasit protozoa yang menyerang<br />

saluran pencernaan ayam. Untuk mengatasi penyakit cocsidiosis, selain menggunakan obatobatan<br />

anti parasit, penggunaan obat yang bersifat immunomodulator merupakan<br />

pendekatan penting dalam pencegahan dan penanggulan coccidiosis (Zainuddin, 2006).<br />

Coccidiosis pada ayam dapat dalam dua macam, yaitu coccidiosis sekum (Eimeria tenella)<br />

dan coccidiosis usus (Eimeria necatrix, E brunetti, E maxima, E acervulina, E praecox, E<br />

mitis, E hagan~ danE mivatJ) (Ashadi & Partosoedjono 1992). Menurut Levine (1985), E<br />

tenella adalah coccidia yang paling patogen pada ayam karena dapat menyebabkan disentri<br />

dan kematian unggas muda, kesakitan (morbiditas), terlambatnya masa produksi telur dan<br />

berkurangnya jumlah telur yang diproduksi, penurunan bobot badan serta meningkatnya<br />

biaya pengobatan (Tampubolon, 1996).<br />

Sambiloto berperan sebagai imunostimulan (Puri et a/., 1993), dan dapat<br />

meningkatkan sel fagositosis dan linfosik, sehingga dapat mengobati coccidia dan dapat<br />

menjadi koksidiostat (sulfaquinoxalin). Hasil penelitian dengan perlakuan serbuk sambiloto,<br />

pada dosis 1, dosis 2 berturut-turut menghasilkan 1,34 ; 1,51 dan 1,54 kg/ekor. Dengan<br />

mengurangi koksidiosis sehingga dapat meningkatkan bobot badan (Cahyaningsih et a!.,<br />

2003; Cahyaningsih dan Sirhadi 2006). Dilaporkan juga pengaruh positif pemberian sebagai<br />

anti coccidia herbal serbuk sambiloto (Andrographis paniculata Nees) terhadap gejala klinik<br />

dan bobot badan, diferensiasi leukosit darah ayam yang diinfeksi Eimeria tenella pada<br />

sekum ayam (Cahyaningsih dan Rohimat, 2002). Dan dari uji klinis sambiloto efektif sebagai<br />

anti parasit malaria (Hadisahputra eta/., 2005).<br />

Menurut cahyadi (1996) bahwa ekstrak batang dan daun sambiloto juga berpotensi<br />

tinggi dalam menghambat pertumbuhan dan produksi aflatoksin oleh Aspergillus flavus.<br />

Hasil penelitian Zainuddin (2003) bahwa pemberian larutan sambiloto dan mengkudu<br />

melalui air minum ayam, menampilkan kinerja pertambahan bobot badan dan efisiensi<br />

pakan yang baik dibandingkan kontrol. Beberapa penelitian menggunakan herba telah<br />

dilakukan oleh Zainuddin dan Wakradihardja (2002). Selanjutnya penelitian Sumardi (2007),<br />

bahwa campuran antara temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb ), temu ireng (Curcuma<br />

aeruginosa Roxb) dan buah mojo (Aegle marmelos I. Corr;) yang diberikan pada ternak<br />

unggas dapat meningkatkan produktivitas dan mencegah ternak terserang virus flu burung.<br />

Temu-temuan yang digunakan dalam formula, berfungsi sebagai growth regulator<br />

(meningkatkan nafsu makan) dan growth stimulator (mempercepat pertumbuhan badan),<br />

4


mengefisienkan pakan, meminimalkan staknasi pertumbuhan, meningkatkan akumulasi<br />

protein dan memperpanjang umur sel.<br />

Jahe merah 0,5% dalam pakan dapat menekan pelukaan pada coccidiosis sekum (E.<br />

tenella) dan pakan lebih disenangi · ayam petelur (Iskandar dan Husein, 2003). Sumardi<br />

(2007), mengatakan bahwa . campuran antara temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb ),<br />

temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) dan buah mojo (Aegle marmelos I. Corr.) yang<br />

diberikan pada ternak unggas dapat meningkatkan produktivitas dan mencegah ternak<br />

terserang virus flu burung. Temu-temuan yang digunakan dalam formula, berfungsi sebagai<br />

growth regulator (meningkatkan nafsu makan) dan growth stimulator (mempercepat<br />

pertumbuhan badan), mengefisienkan pakan, meminimalkan staknasi pertumbuhan,<br />

meningkatkan akumulasi protein dan memperpanjang umur sel.<br />

Tanaman obat telah diketahui dapat menjadi produk jamu yang bermanfaat untuk<br />

meningkatkan daya tahan tubuh, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan<br />

pemulihan kesehatan (Sudibyo, 1992). Petemak di negeri China, sudah lama menggunakan<br />

obat tradisional dari bahan tanaman (herba) sebagi "feed additive'. Polisakarida yang<br />

terdapat di dalam herba merupakan komponen penting sebagai "immuno modulatot',<br />

sehingga "immuno active polysaccarides' yang terdapat dalam tanaman obat sangat baik<br />

digunakan sebagai "feed additive" pada ransum unggas (Guo eta!, 2003). Hasan (1988)<br />

mengatakan bahwa komponen polisakarida yang terdapat pada herba secara nyata dapat<br />

menurunkan pengaruh infeksi viral pada ayam dan secara langsung mempengaruhi<br />

mekanisme respon immunitas ayam. Hal ini telah diuji pada ayam yang diinfeksi virus<br />

Newcastle Disease (Zang eta!, 1988).<br />

Hasil penelitian penggunaan ekstrak tanaman obat terbukti dapat merubah aktivitas<br />

sistim imun melalui pengaturan sitokin. Ekstrak meniran pada mencit, mampu<br />

meningkatkan aktivitas sel yang berperan dalam sistim imun, antara lain meningkatkan<br />

proliferasi limfosit T dan B, meningkatkan fungsi fagositosis non-spesifik dari makrofag,<br />

meningkatkan sitoksisitas sel NK (Natural Killet), produksi antibodi IgM dan IgG, terhadap<br />

subset limfosit T-helper 1 (Thl) meningkatkan sekresi TNF- a, menekan sekresi IL-2 (Maat,<br />

2001; Spelman et a!., 2006). Uji coba pengujian ekstrak sirih dan kemuning untuk<br />

. mengatasi penyakit TBC, temyata mampu mengubah subset limfosit T-helper 2 ke arah Th1,<br />

seperti yang dkehendaki pada pengobatan anti viral. Andrographolide dari sambiloto<br />

mampu meningkatkan sekresi IL-2 dan produksi and TNF-a dan meningkatkan proliferasi<br />

limfosit, yang berperan dalam sistim imun (Anderson et a!., 1989). Ekstrak jahe, bawang<br />

5


putih, kunyit, temulawak, lengkuas mampu meningkatkan aktivitas sistim imun pada hewan<br />

coba (Chang eta!., 1995; Spelman eta!., 2006).<br />

Kebanyakan tanaman obat yang telah diteliti membuktikan adanya kerja<br />

imunostimulator, sedangkan untuk imunosupresor masih jarang dijumpai. Pemakaian<br />

tanaman obat imunostimulator ditujukan untuk mengatasi imunodefisiensi, sebagai ajuvan<br />

(adjuvant) pada pengobatan infeksi terutama infeksi viral, bakteri intraseluler dan jamur.<br />

Sebagai ajuvan akan merangsang pembentukan sitokin yang tepat (Lawman eta!. 1990 ;<br />

Maat, 2001). Menambahkan sitokin sebagai pembawa vaksin diduga akan merupakan cara<br />

efisien untuk mendapatkan lingkungan sitokin yang benar dalam mengarahkan respons<br />

imun yang diinginkan.<br />

Serangkaian studi dari tanaman obat membuktikan bahwa Indonesia berpotensi<br />

besar menjadi negara penghasil obat penyakit coccidiosis untuk unggas berkualitas di dunia.<br />

Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan hayati tumbuhan obat yang tinggi dan<br />

warisan budaya dalam pemanfaatan tanaman obat sebagai jamu memiliki peluang yang<br />

sangat besar untuk menemukan ramuan tanaman obat untuk mengatasi penyakti<br />

cocccidiosis.<br />

Kandungan bahan aktif merupakan senyawa sekunder akan bervariasi tergantung<br />

lingkungan tumbuh, beberapa ekosistem terhadap mutu simplisia. Kondisi lingkungan akan<br />

dievaluasi dan dijadikan asupan untuk merancang teknik memperoleh bahan baku<br />

terstandar. Simplisia yang mempunyai variabel benih, tempat produksi, umur panen, serta<br />

proses pasca panen akan diusahakan untuk menjaga keajegkan mutu simplisianya. Proses<br />

penyiapan bahan baku diharapkan menjaga komposisi senyawa kandungan dan stabilitas<br />

bahan. Standarisasi mutu simplisia akan digunakan menetapkan nilai mutu dari produk<br />

(BPOM, 2000).<br />

Kendala yang perlu diatasi dalam pemanfaatan tanaman obat untuk obat penyakit<br />

coccidiosis adalah: a) jenis tanaman yang tepat atau senyawa yang efektif sebagai anti<br />

parasit dan immunomodulator, b) penyiapan teknologi produksi bahan tanaman atau<br />

senyawa aktif secara massal yang efisien, dan ramah lingkungan, dan c) dukungan ilmiah<br />

(uji pra klinik) bagi formula yang akan digunakan temak, baik sebagai feed additive,<br />

imunomodulator atau anti parasit.<br />

Dengan demikian, untuk memanfaatkan tanaman obat untuk pengendalian penyakit<br />

coccidiosis pada unggas melalui mekanisme anti parasit dan immunomodulator perlu<br />

dilakukan secara bertahap melalui: pemilihan bahan tanaman yang bersifat anti cocci dan<br />

6


immunomodulator yang tepat, pembuatan formula/sediaan dan pengujian anti cocci dan<br />

immunomodulator in vitro dan in vivo.<br />

Pemanfaatan Obat Bahan Alam (OBA) di dunia medis telah meningkat di seluruh<br />

dunia. Kesadaran dalam menempuh upaya kesehatan preventif dan pencarian obat yang<br />

bersifat aman dan sedikit mungkin memberi efek samping, suatu efek-efek yang banyak<br />

dimiliki oleh kebanyakan obat-obat sintetik, mendorong untuk "kembali ke alam".<br />

Hasil<br />

survei omnibus menunjukkan saat ini kata "herbal" ternyata sangat powerful. Daya magnet<br />

herbal cukup tinggi, persepsi masyarakat obat herba lebih aman bagi kesehatan dan lebih<br />

manjur dibanding jamu dan obat biasa. Dimulai dari krisis ekonomi 1997 telah membuat<br />

biaya produksi farmasi meningkat dan harga obat menjadi mahal, sehingga situasi ini<br />

mendorong masyarakat menggunakan bahan alami (Suryadi dan Mubarak, 2008), termasuk<br />

untuk ternak.<br />

Guna mencegah adanya ancaman dari produk herbal impor untuk peternakan<br />

mendorong keinginan di tingkat regional untuk menuju harmonisasi di bidang standar dan<br />

mutu obat tradisional, maka langkah untuk antisipasi standarisasi bahan baku harus<br />

diupayakan secara maksimal. Standarisasi simplisia diperlukan untuk mendapat efek yang<br />

terulangkari (reproducible).<br />

Mutu sediaan herbal sangat dipengaruhi oleh mutu sirnplisia<br />

yang digunakan, oleh karena itu sumber simplisia, cara pengolahan dan penyimpanan harus<br />

dilakukan dengan cara yang baik, berpedoman pada GAP (Good Agriculture Practices)<br />

(WHO, 2003) tahapan menuju bahan baku terstandar. Variabel yang besar dalam tanaman<br />

melalui modifikasi teknologi dan fitofarmasi dibuat mengecil sampai variabel yang sempit<br />

(ajeg) pada produk dan kandungan bahan aktif yang dijadi standar adalah zat petanda<br />

(marker) dan mengikuti acuan sediaan herbal yang telah ada (BPOM, 2000).<br />

Sehingga<br />

dapat memenuhi tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety­<br />

Efficacy (Mutu-Aman-Khasiat).<br />

7


III.<br />

METODOLOGI<br />

3.1. Penyiapan bahan baku terstandar, identifikasi dan analisis mutu bahan<br />

aktif (Balittro).<br />

3.1.1. Waktu dan tempat.<br />

Penelitian ini merupakan penelitian lapang dan laboratorium yang akan<br />

dilaksanakan pada Februari-Juni 2010. Penelitian Ia pang sebagai kegiatan penyiapan bahan<br />

baku temu-temuan dan sambiloto dilaksanakan di berbagai daerah sentra produksi di Jawa<br />

Barat dan Jawa Tengah (Bogor, Sukabumi, Cianjur, Sumedang, Boyolali, Karanganyar dll).<br />

Penelitian laboratorium untuk menganalisa mutu bahan obat yang akan digunakan<br />

dilaksanakan di laboratorium Tanaman dan Laboratorium Fisiologi Hasil di Balittro, Bogor.<br />

3.1.2. Bahan dan peralatan.<br />

Bahan dan peralatan, terdiri dari :<br />

(1). Tanaman obat disiapkan, temu-temuan digunakan dalam bentuk segar dan sambiloto<br />

digunakan dalam bentuk serbuk kering.<br />

(2). Bahan kimia untuk analisa mutu tanaman obat.<br />

(3). Alat pengering, peralatan laboratorium, HPLC dan AAS, untuk analisa mutu.<br />

3.1.3. Metode Penelitian.<br />

Metode standarisasi bahan baku akan menggunakan standarisasi kriteria bahan baku<br />

yang telah dibakukan oleh BPOM (2000), yaitu dengan mengambil dari minimum 3 lokasi<br />

produksi pada ekologi yang berbeda. Pengambilan bahan baku menggunakan metode<br />

sampling terarah (purposive sampling method), yaitu pengambilan dilakukan dibeberapa<br />

sentra produksi di lokasi Jawa Barat dan Jawa Tengah.<br />

Mutu yang terbaik akan ditentukan menjadi bahan baku. Pendekatan ini dilakukan<br />

untuk mendapatkan bahan baku secara cepat, karena pada tahun 2011 ditargetkan sudah<br />

ada keluaran beberapa formula jamu ternak Balittro dengan skala komersial.<br />

analaisa mutu sesuai standar prosedur yang sudah dibakukan DEPKES. RI.(1989).<br />

Metode<br />

3.2. Formulasi jamu untuk mengendalikan coccidiosis (Balittro).<br />

3.2.1. Waktu dan Tempat.<br />

Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium yang akan dilaksanakan pada Mei­<br />

Juli 2010. Dilaksanakan di laboratorium Tanaman dan Laboratorium Fisiologi Hasil di<br />

Balittro, Bogor .<br />

8


3.2.2. Bahan dan peralatan.<br />

Bahan tanaman terdiri dari jahe merah, temulawak, temu ireng dan sambiloto, serta<br />

fermentor EM4. Peralatan yang digunakan terdiri dari ember, pengaduk, timbangan,<br />

penggiling simplisia untuk pembuatan formula. Feed Mixer (Balitnak) untuk mencampur<br />

. pakan dengan formula.<br />

3.2.3. Metode pembuatan formula.<br />

Formulasi jamu kering dibuat, dengan menetapan jenis dan takaran tanaman obat.<br />

Dibuat 5 formula kering tanpa fermentasi dan 5 formula dengan fermentasi, masing-masing<br />

terdiri dari komponen Temu-temuan (Temulawak, Jahe merah, Temu ireng) dan<br />

Sambiloto. Rencana formulasi seperti tertera pada Tabel 1.<br />

Tabel 1.<br />

Formulasi Jamu Ternak Untuk Anti Cocci pada A yam.<br />

Non Fennentasi<br />

Fennentasi<br />

Fl Fl F3 F4 FS F6 F7 FS F9 FlO<br />

No Perlakuan<br />

•••••••••••••••••••••••••<br />

0 /o ···········•··············<br />

1. Temulawak 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10<br />

2. Temu ireng 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10<br />

3. Jahe merah 0 20 40 60 80 0 20 40 60 80<br />

4. Sambiloto so 60 40 20 0 80 60 40 20 0<br />

Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100_ .. _l.()()- 100<br />

Keterangan : Formula (F) 1 - 5 = Fonnulasi dilakukan dengan bahan baku non fermentasi.<br />

Formula (F) 6 - 10 = Formulasi dilakukan dengan bahan baku difermentasi.<br />

Formula diberikan dengan dosis 1% x Jumlah pakan y ang diberikan, mengikuti<br />

ketentuan formula dijadikan feed additive, maksimum 1% dari jumlah pakan komersial<br />

yang diberikan.<br />

3.3. Perbanyakan parasit coccidiosis dan uji patogenitas.<br />

3.3.1. Waktu dan Tempat<br />

Penelitian dilakukan mulai bulan Maret sampai Juni 2010, di kandang unggas dan<br />

Laboratorium dan BBlitVet Bogor.<br />

3.3.2. Bahan dan Peralatan<br />

Bahan yang digunakan adalah anak ayam (DOC), bahan kimia seperti RNA later<br />

solution, Alkohol, Metanol, Tablet buffer. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah<br />

Mikroskop, tube eppendorf, scalpel blades, slides, Alat spray, AI foil, dll.<br />

3.3.3. Metode<br />

Tahap-tahap pelaksanaan<br />

1). Persiapan kandang dan peralatan, dilakukan sterilisasi dengan fumigasi dan sanitasi.<br />

2). Anak ayam untuk perbanyakan ookiste cocci.<br />

3). Uji patogenitas ookiste yang diperoleh dari perbanyakan.<br />

9


Metode infeksi £ Tenella<br />

a. Persiapan awal : Perbanyakan £ Tene//a dengan menginfeksi £ Tenella isolat lokal<br />

peroral dengan dosis 1,5 x 10.000/ml ookiste bersporulasi. Mulai hari ke-7 setelah infeksi<br />

dilakukan isolasi ookiste dari feses.<br />

b. Pelaksanaan penelitian :<br />

1) . Fumigasi kandang dengan Kalium Permanganat dan Formalin (600 g/1) untuk ukuran<br />

ruangan 25 m2<br />

2) Ayam berjumlah 120 ekor dibagi menjadi 12 kelompok, masing~masing kelompok terdiri<br />

atas 10 ekor ayam<br />

3) Ayam umur 23 hari diinfeksi dengan dosis 6 x 103/ml ookiste/ekor setiap kelompok.<br />

4). 7 hari setelah diinfeksi, diinfeksi ulang dengan £ Tenella dengan dosis 1 x 104/ml<br />

ookista setiap ekor setiap kelompok<br />

5) Penghitungan ookista di feses mulai hari ke-5 setelah infeksi s/d hari ke-13.<br />

3.3.4. Rancangan<br />

· Perbanyakan parasit dilakukan, untuk memenuhi jumlah populasi untuk uji<br />

papar. Uji patogenitas dilakukan untuk memastikan ookiste yang digunakan bersifat<br />

aktif. Metode perbanyakan dilakukan dengan menginfeksi ayam 100 ekor, dengan<br />

ookiste coed. Sehingga mencukupi dosis 6000 ookiste/ekor yang digunakan untuk<br />

perlakuan uji tantang.<br />

4.4. Uji patologi organ ayam yang di papar Cocci dan diberi perlakuan jamu<br />

yang efektif (700/o) (BB.Lit Veteriner ).<br />

4.4.1. Waktu dan Tempat<br />

Penelitian dilakukan mulai bulan Pebruari sampai November 2010, di Laboratorium<br />

dan kandang unggas Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogar.<br />

4.4.2. Bahan dan Peralatan<br />

Bahan yang digunakan adalah anak ayam (DOC), bahan kimia seperti RNA later<br />

solution, Alkohol, Metanol, Tablet buffer. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah<br />

Mikroskop, tube eppendorf, scalpel blades, slides, Alat spray, AI foil, dll.<br />

4.4.3. Metode<br />

4.4.3.1. Tahap-tahap pelaksanaan<br />

10


Dalam penelitian ini akan digunakan ayam pedaging umur 1 hari (DOC)<br />

dengan jumlah sampel sebanyak 5 ekor/perlakuan. Vaksin inaktif NO diberikan<br />

secara intramuskular pada saat ayam umur 1 minggu (saat titer antibodi maternal nol).<br />

Parasit ookist diberikan pada umur 3 minggu, dengan dipaparkan sejumlah populasi<br />

6000 per ekor.<br />

4.4.3.2. Rancangan<br />

1. Rancangan lingkungan<br />

Rancangan penelitian yan_g digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK)<br />

dengan 4 ulangan. Masing-masing unit perlakuan terdiri dari 10 ekor ayam broiler.<br />

2. Rancangan perlakuan<br />

Terdiri dari 12 perlakuan tanpa fermentasi (5 Formula non fermentasi + 5 Formula<br />

fermentasi + 1 Kontrol Negatif + 1 Kontrol Positif), yaitu :<br />

a. Formula non fermentasi 1<br />

b. Formula non fermentasi 2<br />

c. Formula non fermentasi 3<br />

d. Formula non fermentasi 4<br />

e. Formula non fermentasi 5<br />

a. Formula fermentasi 1<br />

b. Formula · fermentasi 2<br />

c. Formula fermentasi 3<br />

d. Formula fermentasi 4<br />

e. Formula fermentasi 5<br />

e. Kontrol positif (Koksidiostat Komersial)<br />

f. Kontrol negatif {Tanpa Formula)<br />

3. Rancangan Pengamatan<br />

Pengamatan titer ND dan HI test masing-masing ulangan diambil dari 10 ekor<br />

ayam/minggu. Untuk pemeriksaan sitokin sampel limpa diambil pada minggu pertama<br />

sebanyak 10 ekor (jantan dan betina) per perlakuan, selanjutnya diulang setiap minggu, dan<br />

dilakukan selama 6 minggu.<br />

Pengujian patologi meliputi persentase kesakitan, kematian, peningkatan bobot<br />

badan, skor pelukaan pada usus, produksi ookista £ tenella pada litter (tinja), dan<br />

hematologi. Parameter yang diuji adalah titer antibodi terhadap ND, diferensial leukosit<br />

11


(pemeriksaan preparat apus darah, melihat jumlah sel radang), profil sitokin Interlukin-10<br />

(IL-10), IL-12 dan Interferon-y (IFN- y) (Untuk tahun anggaran selanjutnya).<br />

Pengambilan darah untuk uji serologi HI (Haemaglutination Inhibition) dilakukan<br />

setiap 1 minggu sekali, sebelum dan sesudah vaksinasi. Pengambilan sampel darah untuk<br />

pemeriksaan titer antibodi baik terhadap ND dilakukan dari vena sayap kemudian serumnya<br />

diperiksa untuk dideteksi adanya antibodi terhadap ND dengan uji hemaglutinasi inhibisi<br />

(HI).<br />

Untuk pemeriksaan titer antibodi terhadap ND dan IB digunakan uji HI. Semua<br />

serum yang akan diuji diinaktifkan dengan pemanasan pada suhu 56°C selama 30 menit.<br />

Serum tersebut kemudian diencerkan dengan larutan phosphate buffer saline (PBS) pH 7,2<br />

secara pengenceran seri lipat dua dalam lempeng mikrotiter, sehingga diperoleh enceran 2<br />

kali lipat, 4 kali lipat, 8 kali lipat dan seterusnya. Setiap enceran berisi 0,025 mi. Setelah itu,<br />

sebanyak 0,025 ml larutan antigen ND atau IB yang mengandung 4 HAU per 0,025 ml<br />

ditambahkan kepada setiap enceran serum dan kemudian lempeng digoyang dengan alat<br />

penggoyang elektrik selama 30 detik. Lempeng dibiarkan selama 30 menit pada suhu<br />

ruangan. Selanjutnya, kepada setiap enceran ditambahkan 0,050 ml suspensi butir-butir<br />

darah merah ayam yang berkonsentrasi 0,5%. Kemudian lempeng digoyang lagi dengan _alat<br />

penggoyang elektrik selama 30 detik. Setelah itu, lempeng dibiarkan beberapa saat sampai<br />

hasilnya dapat dibaca. Pada setiap pengujian selalu disertakan kontrol serum positif, serum<br />

negatif, suspensi butir-butir darah merah dan titrasi antigen balik (back titration). Hasil<br />

pengujian dapat dibaca pada saat suspensi kontrol butir-butir darah merah sudah<br />

mengendap berupa satu titik di dasar lempeng mikrotiter. Titer HI dinyatakan sebagai<br />

pengenceran serum tertinggi yang masih memperlihatkan aktivitas hemaglutinasi sempurna.<br />

liter HI diekspresikan dalam bilangan log2.<br />

Pemeriksaan diferensial leukosit dengan cara dibuat preparat apus darah,difiksasii<br />

dengan metanol dan pewarnaan giemza. Untuk pemeriksaan profil sitokin, saat sebelum dan<br />

sesudah vaksinasi setiap minggu sebanyak 2 ekor ayam per perlakuan dibunuh untuk<br />

diambil limpa dimasukkan dalam larutan RNA-Iater(Ambion)_, simpan pada -70°C (catatan:<br />

sampel diambil mulai minggu pertama, selanjutnya akan diulang setiap minggu, dilakukan<br />

selama 6 minggu).<br />

4. Rancangan Respon<br />

Untuk mengetahui respon perlakuan yang diberikan akan digunakan uji lanjut,<br />

menggunakan uji Ortogonal, BNJ dan T test.<br />

12


5.5. Uji In vivo Feeding Trial formula jamu ternak pada unggas ayam {Balitnak).<br />

5.5.1. Waktu dan Tempat<br />

Penelitian dilakukan mulai bulan Mei sampai November 2010 di Laboratorium dan<br />

kandang unggas Balai Penelitian Temak, Ciawi, Bogor.<br />

5.5.2. Bahan dan Peralatan<br />

Anak ayam broiler (doc), pakan, vaksin (ND, AI, Gumboro), timbangan, perlengkapan<br />

dan peralatan kandang, perlengkapan laboratorium<br />

5.5.3. Metode<br />

5.5.3.1. Tahap-tahap pelaksanaan<br />

1). Persiapan kandang dan peralatan, dilakukan sterilisasi dengan fumigasi dan<br />

sanitasi.<br />

2).Anak ayam uji dipilih atau diseleksi berdasarkan bobot badan rata-rata kelompok<br />

(37-40 gram/ekor).<br />

3).Jamu temak diberikan dicampur dengan konsentrat pakan, diberikan selama 6<br />

minggu.<br />

5.5.3.2. Rancangan<br />

1. Rancangan lingkungan<br />

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK).<br />

dengan 5 ulangan. Masing-masing unit perlakuan terdiri dari 10 ekor ayam broiler.<br />

2. Rancangan perlakuan<br />

Terdiri dari 8 perlakuan (Tabel 3) tanpa fermentasi dan fermentasi (diambil formula<br />

terbaik dari uji papar), yaitu meliputi (3 Formula non fermentasi + 3 Formula fermentasi + 1<br />

Kontrol Negatif + 1 Kontrol Positif), yaitu :<br />

a. Formula non fermentasi 2<br />

b. Formula non fermentasi 3<br />

c. Formula non fermentasi 5<br />

d. Formula fermentasi 6<br />

e. Formula fermentasi 7<br />

f. Formula fermentasi 8<br />

e. Kontrol positif (Koksidiostat Komersial)<br />

d. Kontrol negatif (Tanpa Formula)<br />

13


3. Rancangan Pengamatan<br />

Pengamatan titer ND dan HI test masing-masing perlakuan diambil 10 ekor<br />

ayam/minggu (jantan dan betina), dilakukan setiap minggu selama 5 minggu. Pengamatan<br />

pertumbuhan bobot badan, konsumsi pakan, mortalitas ayam, populasi ookist (pada<br />

kotoran) dan analisis karkas diambil dari 30% per populasi setiap perlakuan dilakukan setiap<br />

minggu. Konsumsi air minum diukur setiap hari selama 5 minggu.<br />

Pengukuran bobot badan dilakukan secara individual dan konsumsi pakan untuk<br />

setiap unit ulangan ditimbang setiap mimggu selama 5 minggu. Analisis karkas dilakukan<br />

pada akhir pengamatan sebanyal< 30% dari populasi terhadap persentase bobot karkas,<br />

bobot lemak abdominal dan kualitas karkas (kuantitas dan kuliatas).<br />

Pengujian In vivo Feeding Trial formula jamu temak pada unggas ayam untuk<br />

mengamati persentase peningkatan bobot badan dan tingkat kematian.<br />

4.Rancangan Respon<br />

Untuk mengetahui respon perlakuan yang diberikan akan digunakan uji lanjut,<br />

menggunakan uji Ortogonal, BNJ dan T test.<br />

14


IV.<br />

HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

4.1. Penyiapan bahan baku terstandar, identifikasi dan analisis mutu bahan<br />

aktif (Balittro).<br />

Kandungan bahan aktif merupakan senyawa sekunder akan bervariasi tergantung<br />

lingkungan tumbuh, variabel benih, umur panen, serta proses pasca panen (WHO, 2003).<br />

Kondisi lingkungan dievaluasi dan dijadikan asupan untuk merancang teknik memperoleh<br />

bahan baku terstandar. Standarisasi simplisia diperlukan untuk mendapat efek yang<br />

terulangkan (reproducible). Standarisasi mutu simplisia akan digunakan menetapkan nilai<br />

mutu dari produk (BPOM, 2000).<br />

Tabel 2.<br />

Mutu Simplisia dari Beberapa Lokasi Produksi<br />

Jenis Tanaman Sambiloto Jahe merah Temulawak Temu ireng<br />

1. Kadar sari yang larut dalam a. 28,05 a. 8.87 a. 12,76 a. 12,76<br />

a~(%) .<br />

b. 27,47 b. 7,96 b. 12,66 b. 12,20<br />

c. 28,82 c. 7,06 c. 12,75 c. 12,40<br />

2. Kadar sari yang larut dalam a. 14,08 a. 13,05 a. 11,82 a. 9,77<br />

alkohol (%)<br />

b. 14,64 b. 13,02 b. 11,29 b. 9,32<br />

c. 15,04 c. 13,04 c. 11,39 c. 9,25<br />

3 Kadar air (%) a. 9,36 a. 8,07 a. 74,67 a. 78.81<br />

b. 9,05 b. 7,98 b. 70,29 b. 76,65<br />

c. 8,67 c. 7,05 c. 72,25 c. 77,99<br />

4. Kadar abu(%) a. 7,82 a. 7,61 a. 4,25 a. 1.41<br />

b. 8,57 b. 7,51 b. 3,03 b. 1.80<br />

c. 8,67 c. 7,45 c. 4,36 c. 1,44<br />

5. Kadar minyak atsiri (%) - a. 3,37 a. 3,79 a. 0.86<br />

b. 3,31 b. 3,05 b. 0.79<br />

c. 3,33 c. 3,75 c. 0,88<br />

6. Kandungan bahan aktif (%) a. 1,92 a. 0,179 a. 0,24 a. 0,07<br />

Keterangan :<br />

b. 1,96 b. 0,175 b. 0,19 b. 0,06<br />

c. 2,10 c. 0,176 c. 0,21 c. 0,06<br />

Asal simplisia berturut-turut dari daerah sentra produksi di Jawa Barat (Bogar,<br />

Sukabumi, Cianjur, Sumedang) dan Jawa Tengah (Boyolali, Sukoharjo ).<br />

Sambiloto : a. Bogar , b. Sukabumi dan c. Sukoharjo.<br />

Jahe merah, temulawak, dan temu ireng : a. Sukabumi, b. Cianjur dan Boyolali.<br />

*) Bahan aktif dari masing-masing jenis simplisia : Sambiloto (Andrografolid), Jahe<br />

merah (Gingerol), : Temulawak (Curcumin) dan Temu Ireng (Curcumin/Mycene).<br />

15


Hasil uji mutu temu-temuan dan sambiloto yang diperoleh sebagai tertera pada<br />

Tabel 2. Dari bahan baku yang mempunyai mutu tertinggi ditentukan yang digunakan<br />

dalam formulasi. Metode standarisasi BPOM (2000) ini diikuti sesuai dengan standarisasi<br />

untuk ekstrak yang telah dibakukan.<br />

Dari hasil uji mutu temu-temuan dan sambiloto menunjukkan bahwa mutu bahan baku<br />

dipengaruhi oleh ekosistem lokasi produksi. Dan bahan baku yang mempunyai mutu<br />

tertinggi ditentukan yang digunakan dalam formulasi, sesuai metode standarisasi yang telah<br />

dibakukan BPOM (2000). Bahan baku ditetapkan Jahe merah (kandungan gingerol 0,179),<br />

Temulawak (kandungan kurkumin 0,24%), Temu ireng (kandungan kurkumin 0,07%) dari<br />

Sukabumi dan Sambiloto (kandungan andrografolid 2,10%) dari Sukohardjo. Hal ini<br />

dijadikan acuan dalam penyiapan . bahan baku untuk menjaga komposisi senyawa dan<br />

stabilitas bahan.<br />

4.2. Formulasi jamu untuk mengendalikan coccidiosis {Balittro ).<br />

Formulasi jamu kering dibuat, dengan menetapan jenis dan takaran tanaman obat.<br />

Dibuat 5 formula kering non fermentasi dan 5 formula dengan fermentasi, masing-masing<br />

terdiri dari komponen Temu-temuan (Jahe merah, Temulawak dan Temu ireng) dan<br />

Sambiloto. Formulasi seperti tertera pada Tabel 3.<br />

Tabel 3.<br />

Formulasi Jamu Ternak Untuk Anti Cocci pada Ayam.<br />

Non Fennentasi<br />

Fennentasi<br />

F1 F2 F3 F4 FS F6 F7 F8 F9 FlO<br />

No Perlakuan ••••••••••••••••••••••••• OJo •••••••••••••••···········<br />

1. Temulawak 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10<br />

2. Temu ireng 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10<br />

3. Jahe merah 0 20 40 60 80 0 20 40 60 80<br />

4. Sambiloto 80 60 40 20 0 80 60 40 20 0<br />

Jumlah 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100<br />

- ·- ·- -<br />

Keterangan : Formula (F) 1 - 5 = Formulasi dilakukan dengan bahan baku tanpa fermentasi.<br />

Formula (F) 6 - 10 = Formulasi dilakukan dengan bahan baku difermentasi.<br />

Formula diberikan dengan dosis 1% x Jumlah pakan y ang diberikan, mengikuti<br />

ketentuan formula dijadikan feed additive, maksimum 1% dari jumlah pakan komersial<br />

yang diberikan.<br />

Pembuatan formula dilakukan dengan menggunakan bahan baku non fermentasi dan<br />

. difermentasi, hal ini dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan kadar bahan aktif.<br />

Dalam penelitian ini telah dilakukan penelitian pendahuluan, menggunakan dua macam<br />

fermentor RI dan EM4.<br />

Hasil ana lisa bahan aktif dari . bahan baku menunjukkan bahwa<br />

kandungan bahan aktif dipengaruhi adanya fermentasi dan jenis fermentor, serta tempat<br />

16


penyimpanan, dari menggunakan oven dibandingkan dengan menggunakan ruang dengan<br />

blower, maka bahan aktif yang tinggi diperoleh dari ruangan dengan blower. Selanjutnya<br />

dalam formulasi fermentasi dipilih menggunakan EM4 (TabeJ 4). .<br />

Tabel 4.<br />

Pengujian Mutu Bahan Akif Hasil Fermentasi Bahan Baku<br />

Tanpa<br />

Fermentasi<br />

RI<br />

Fermentasi<br />

No. Kadar Bahan Aktif {%) Sinar Blower Oven Blower Oven<br />

matahari<br />

1. Sambiloto (Andrografolid) 0,49 .0,58 - 1.13 -<br />

2. Jahe merah (Gingerol) 0,48 0,16 0.39 0.10 -<br />

3. Temulawak (Kurkumin} 1,06 0,33 0,05 0,59 0,47<br />

4. Temu ireng (Kurkumin) 0,08 0,03 0,06 0,07 0,01<br />

Keterangan : (-) = tidak terdeteksi<br />

EM4<br />

4.3. Perbanyakan parasit coccidiosis dan uji patogenitas.<br />

Penelitian telah dilaksanakan, sejumlah ookiste dipanen akhir bulan Juni 2010.<br />

Ookiste dipersiapkan untuk kegiatan uji papar pada ayam berumur 20 hari, sejumlah ·<br />

populasi lebih dari 6000 ookiste/ekor dan disimpan di Laboratorium Parasitologi<br />

BBLitVet, Bogar.<br />

4.4. Uji patologi organ ayam yang di papar Cocci dan diberi perlakuan jamu<br />

yang efektif (70°/o) (BB.Lit Veteriner ).<br />

Dosis infeksi, daya kekebalan, dan umur inang merupakan faktor yang berpengaruh<br />

terhadap derajat keparahan serangan infeksi cocsidiosis. Pada penelitian ini ayam diinfeksi<br />

pada umur 20 hari dan 25 hari. Diharapkan pada umur ini infeksi £ tenella akan<br />

berkembang lebih baik, dibanding infeksi yang dilakukan pada umur lebih muda gerakan<br />

otot ventrikulus masih lemah sehingga pemecahan dinding oocista kurang sempurna.<br />

Gejala klinis yang teramati pada perlakuan Kontrol negatif (F-11) yaitu kelompok<br />

yang tidak diberi formula herbal dan cocsidiostat adalah berak darah/diare bercampur darah<br />

dan ayam tampak lesu dan lemah. Sedangkan pengamatan pada ayam kelompok lainnya<br />

yang diberi formula herbai tidak menunjukkan adanya gejala klinis tetapi setelah<br />

dinekropsi/dibedah terdapat perlukaan pada sekumnya.<br />

17


Penilaian terhadap derajad perlukaan (patologi-anatomi) pada sekum dari ke-12 kelompok<br />

ayam yang dibunuh pada hari ke 11 setelah infeksi ke dua dapat dilihat pada Tabel 5.<br />

Derajad perlukaan sekum pada F-ll(kontrol negatif atau tanpa formula herbal dan<br />

tanpa cocsidiostat) adalah tertinggi ( ++++ ). Hal ini mengindikasikan adanya<br />

pembengkakan sekum dengan dinding sekum yang . sangat merentang dan berisi bekuan<br />

darah dengan daerah luka yang sangat luas dan para h. Lesi sekum dengan derajad ( +++)<br />

dijumpai pada kelompok 12(kontrol positif atau diberi cocsidiostat). Sedangkan kelompok<br />

yang diberi formula herbal menunjukkan lesi sekum yang bervariasi antara ( +) hingga ( ++ ),<br />

bahkan pada kelompok 6,7 dan 8 tidak ditemukan lesi (-)<br />

Tabel 5. Skor Perlukaan Sekum Ayam 11 Hari Setelah Infeksi ke 2<br />

Dengan Oocista Etenella<br />

No.<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

4.<br />

5.<br />

6.<br />

7.<br />

8.<br />

9.<br />

10.<br />

11.<br />

12.<br />

Perlakuan ' . Skor perlukaan sekum<br />

F1 = Formula non fermentasi 1 ++<br />

F2 = Formula non fermentasi 2 +<br />

F3 = Formula non fermentasi 3 +<br />

F4 = Formula non fermentasi 4 ++<br />

F5 = Formula non fermentasi 5 +<br />

F6 = Formula fermentasi 1 -<br />

F7 = Formula fermentasi 2 -<br />

F8 = Formula fermentasi 3 -<br />

F9 = Formula fermentasi 4 ++<br />

FlO = Formula fermentasi 5 ++<br />

Fll = Kontrol positif (Koksidiostat Komersial) ++++<br />

F12 = Kontrol negatif (Tanpa Formula Jamu/Sulfa) +++<br />

Keterangan: (- ) . . = tidak ada lesi ( +) = lesi ringan ( ++) = lesi sedang<br />

( +++) = lesi parah ( ++++) = lesi sangat parah<br />

18


. Hasil penghitungan oocista yang dieliminasikan ayam dihitung mulai<br />

hari ke 4 setelah infeksi ke · 2. Gam bar 1 menunjukkan perbandingan jumlah<br />

rataan oocista dari kelompok kontrol negatif_(F11) dengan kelompok kontrol<br />

positif (F12) dan kelompok yang diberi pakan dengan formula non-fermentasi.<br />

Sedangkan Gambar 2 menunjukkan perbandingan jumlah rataan oocista dari<br />

kelompok kontrol negatif dan positif dengan kelompok yang diberi pakan<br />

dengan formula fermentasi. Dari gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa<br />

kelompok kontrol negatif dan · positip mempunyai eliminasi oocista yang lebih<br />

tinggi dibanding kelompok -F2,3, 5 dan F6,7,8.<br />

35.000 l<br />

I<br />

30.000 -1<br />

I 25.000 ~<br />

-+-F2<br />

i<br />

I -F3<br />

';' . 20.000 -'1<br />

I \<br />

.~ I _._FS<br />

.X .<br />

o<br />

I<br />

£ 15.000 l<br />

I<br />

-+-Komersial<br />

. J -+-Bianko<br />

10.000 I<br />

I<br />

s.ooo I<br />

I<br />

0 ~ Hari ke-<br />

4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Gambar 1. Perbandingan jumlah rataan oocista dari kelompok kontrol negatif<br />

(Fll) dan positif (F12) dengan kelompok yang diberi pakan<br />

dengan formula non-fermentasi, pada ayam · setelah diinfeksi ke 2<br />

dengan ookista £ tenella.<br />

19


35.000<br />

30.000<br />

25.000<br />

i 20.000<br />

:;<br />

0<br />

E. 15.000<br />

10.000<br />

..,._F6<br />

-II-F7<br />

...... F8<br />

-Komersial<br />

...,_Bianko<br />

5.000<br />

0<br />

4<br />

~· = = , Harikes<br />

6 7 8 9 10 11<br />

·------------------1<br />

Gambar 2. Perbandingan jumlah rataan ookista dari perlakuan kontrol<br />

negatif (Fll) dengan kontrol positif (F12) dan formula<br />

fermentasi.<br />

lidak adanya lesi pad a sekum dari kelompok F6, 7 dan 8, dan derajat<br />

lesi yang ringan pada kelompok F2,3,5; serta eliminasi ookista yang lebih<br />

sedikit pada ke 6 perlakuan ini membuktikan bahwa pemberian formula yang<br />

terdiri dari sambiloto, jahe-merah, temuireng dan temulawak pada ayam,<br />

secara sinergis diduga dapat berpengaruh terhadap skor perlukaan dan<br />

jumlah ookista dalam tinja. Bahkan pemberian jamu ini lebih baik<br />

dibandingkan dengan pemberian koksidiostat.<br />

Diterpenoid yang terkandung dalam sambiloto berkhasiat sebagai<br />

imunostimulan yaitu dengan cara meningkatkan respon imun non-spesifik dan<br />

spesifik. Karena tariaman ini memiliki kemampuan untuk memproduksi<br />

interferon gamma (y-IFN) yang dapat menginduksi sel makrofag guna<br />

meningkatkan kemampuannya dalam membunuh parasit intraseluler seperti<br />

koksidia. Selain itu bersifat sitotoksitas terhadap parasit seperti £ tenella yang<br />

20


menginfeksi intraseluler dari sel epitel sekum. Selain itu beberapa alkaloid<br />

yang terkandung dalam tanaman ini bersifat antiradang, sehingga akan<br />

memperbaiki sel-sel epitel mukosa usus sehingga penyerapan zat-zat<br />

makanan menjadi lebih baik.<br />

Perbedaan ketahanan ayam terhadap infeksi £ tenella bisa disebabkan<br />

karena 3 hal, yaitu: 1) ayam mungkin kebal secara total terhadap parasit dan<br />

tidak terjadi perkembangan dari parasit; 2) ayam mempunyai kekebalan pada<br />

derajat tertentu dan ookista £ tenet/a mampu menyelesaikan siklus hidupnya<br />

tetapi tidak terjadi perlukaan di sekum dan 3) ayam tidak menunjukkan gejala<br />

klinis tetapi terjadi perlukaan pada sekumnya.<br />

35.000<br />

30.000<br />

~ 25.000<br />

:¥<br />

0 20.000<br />

0<br />

.c -+-Fl<br />

15.000<br />

e "'<br />

::;, -Bianko<br />

... 10.000<br />

..,._ Komersial<br />

5.000<br />

0<br />

4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Hari<br />

Gambar 3. Jumlah ookista pada feses ayam antara F-1 dibandingkan obat<br />

komersial.<br />

Hasil analisis ookista pada feses ayam pada perlakuan F-1<br />

dibandingkan dengan K- negatif dan F-komersial (sulfa) memperlihatkan<br />

bahwa formula herbal memberikan respon penekanan · jumlah ookista lebih<br />

baik. Hasil ini membuktikan bahwa daya imunitas ayam meningkat dengan<br />

diberikannya formula herbal dan penekanannya terhadap perkembangbiakan<br />

ookista lebih baik dibandingkan dengan F- komersial. Formula herbal memiliki<br />

khasiat yang jauh lebih baik dibandingkan dengan F-komersial.<br />

21


Efek penekanan terhadap jumlah ookista pada pemberian formula<br />

herbal F-2 lebih baik dibandingkan dengan F-komersial. Secara umum grafik<br />

di atas memperlihatkan bahwa pemberian formula herbal masih dapat<br />

· dikatakan lebih baik dibandingkan dengan F- komersial (Gambar 2,3,4,5)<br />

35.000<br />

30.000<br />

£! 25.000<br />

~ 20.000<br />

0<br />

.t::. .<br />

.!.1! 15.000 J<br />

s<br />

:;:,<br />

~ 10.000<br />

5.000<br />

-+-F2<br />

_._Bianko<br />

...-Komersial<br />

0<br />

4 5 6 7 8<br />

Hari<br />

9 10 11<br />

Gambar 4. Jumlah ookista pada feses ayam antara F-2 dibandingkan F­<br />

komersial<br />

22


35.000<br />

30.000<br />

1! 25.000<br />

~ 20.000<br />

.s::.<br />

s 15.000<br />

E<br />

::J<br />

.... 10.000<br />

5.000<br />

-+-F3<br />

-Bianko<br />

.......-Komersial<br />

0<br />

4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Hari<br />

Gambar 5. Jumlah ookista pada feses ayam antara F3 dibandingkan F- komersial.<br />

35.000 ., 3o.ooo I<br />

~ 25.000 j<br />

t;<br />

:.;;2<br />

~ 2o.ooo I<br />

s 15.000 1<br />

E<br />

::J<br />

•<br />

.... 1o.ooo I<br />

5.000 i<br />

-+-F4<br />

-Bianko<br />

-w-Komersial<br />

0 I<br />

4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Hari<br />

Gambar 6. Jumlah ookista pada feses ayam antara F-4 dibandingkan F-komersial.<br />

23


35.000 1<br />

30.000<br />

tl! 25.000<br />

I<br />

~ 20.000<br />

0<br />

-+-F5<br />

:E 15.000<br />

§ -Bianko<br />

~ 10.000<br />

..,._Komersial<br />

5.000<br />

0<br />

4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Hari<br />

Gam bar 7. Jumlah ookista pada feses ayam antara F-5 dibandingkan F- komersial.<br />

Gambar 6-10 memperlihatkan efek pemberian F 1-5 yang difermentasi temyata<br />

memberikan efek penekanan terhadap ookista yang lebih baik dibandingkan dengan F­<br />

komersial pada hari ke-9 hingga ke-11. Melihat dari tren-nya, pemberian formula yang<br />

difermentasi dalam jangka panjang memperlihatkan efek penekanan yang lebih baik<br />

dibandingkan dengan F- komersial. sehingga dapat dilihat apakah daya tekan terhadap<br />

ookista hanya bersifat sementara atau dapat bertahan lebih lama lagi.<br />

35.000 l<br />

I<br />

30.000 l<br />

! 25.000 i<br />

:¥ i<br />

0 20.000 ;<br />

~ J<br />

~ 15.000 I<br />

..... 10.000 l<br />

I<br />

5.000<br />

...,_F6<br />

-Bianko<br />

..,._Komersial<br />

0<br />

4 5 6 7 8<br />

Hari<br />

9 10 11<br />

Gambar 8. Jumlah ookista pada feses ayam antara F-6 dibandingkan F-komersial.<br />

24


35.000<br />

30.000<br />

~ 25.000<br />

8 20.000 -<br />

115~ j<br />

... 10.000<br />

5.000<br />

-+-F7<br />

-Bianko<br />

-w-Komersial<br />

0<br />

4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Hari<br />

Gambar 9. Jumlah ookista pada feses ayam antara F-7 dibandingkan F- komersial.<br />

35.000 l<br />

30.000 1<br />

~ . 25.000 i<br />

:5( 1<br />

0 20.000<br />

~ 15.000 ~<br />

E<br />

:::J<br />

I<br />

.... 10.000 i<br />

!<br />

5.000 I<br />

-+-F8<br />

-Bianko<br />

_.,_ Komersial<br />

0<br />

4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Hari<br />

Gambar 10. Jumlah ookista pada feses ayam antara F-8 dibandingkan F- komersial.<br />

25


35.000<br />

30.000<br />

~ 25.000<br />

8 20.000<br />

.s::.<br />

-+-F9<br />

J! 15.000<br />

E<br />

:::1<br />

--Bianko<br />

... 10.000<br />

_,._ Komersial<br />

5.000<br />

0<br />

4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Hari<br />

Gambar 11. Jumlah ookista pada feses ayam antara F-9 dibandingkan F- komersial.<br />

35.000<br />

30.000<br />

~ 25.000<br />

::;:<br />

0 20.000<br />

0<br />

.s::.<br />

-+-FlO<br />

.!! 15.000<br />

E<br />

:::1<br />

--Bianko<br />

... 10.000<br />

_,._ Komersial<br />

5.000<br />

0<br />

4 5 6 7 8 9 10 11<br />

Hari<br />

Gambar 12. Jumlah ookista pada feses ayam antara F-10 dibandingkan F- komersial.<br />

26


Tabel 6.<br />

Pengaruh Formula Terhadap Bobot Badan (g) Pada Beberapa Umur<br />

.. .. .. .. . Umur (Hari) ..........<br />

No. Perlakuan 20 (Hari) 29 (Hari)<br />

1. Formula non fermentasi 1 632 1175<br />

2. Formula non fermentasi 2 610 1275<br />

3. Formula non fermentasi 3 660 1275<br />

4. Formula non fermentasi 4 588 1250<br />

5. Formula non fermentasi 5 600 1275<br />

6. Formula fermentasi 6 610 1350<br />

7. Formula fermentasi 7 590 1400<br />

8. Formula fermentasi 8 615 1375<br />

9. Formula fermentasi 9 605 1250<br />

10. Formula fermentasi 10 650 1225<br />

11. Kontrol positif (K.diostat Komersial) 600 1125<br />

12. Kontrol negatif (Tanpa Formula) 610 1250<br />

Keterangan : Umur 20 hari (Sebelum infeksi ookiste E. Tenella)<br />

Umur 29 ( 7 hari setelah infeksi I)<br />

Umur 35 ( 7 hari setelah infeksi II)<br />

35 (Hari)<br />

1522,5<br />

1687,5<br />

1677,5<br />

1506,25<br />

1675<br />

1737,5<br />

1850<br />

1837,5<br />

1627,5<br />

1537,5<br />

1482,5<br />

1610<br />

Tabel 7.<br />

Pengaruh Formula Terhadap PCV (packed cell volume) Pada Umur 35 Hari<br />

......... PCV (%) ..........<br />

No. Perlakuan 20 (Hari) 29 (Hari) 35 (Hari)<br />

1. Formula non fermentasi 1 32 31 27<br />

2. Formula non fermentasi 2 31,8 32 33,4<br />

3. Formula non fermentasi 3 32,4 32,5 32<br />

4. Formula non fermentasi 4 30,8 30 27<br />

5. Formula non fermentasi 5 33 32,1 33<br />

6. Formula fermentasi 6 33,2 32,5 33<br />

7. Formula fermentasi 7 31 32 32,4<br />

8. Formula fermentasi 8 29 32 32<br />

9. Formula fermentasi 9 30 30 30<br />

10. Formula fermentasi 10 32,7 30 29<br />

11. Kontrol positif (K.diostat Komersial) 33 28 25<br />

12. Kontrol negatif (Tanpa Formula) 31,4 30 27<br />

27


Keterangan : Umur 20 hari (Sebelum infeksi ookiste E. Tenella)<br />

Umur 29 ( 7 hari setelah infeksi I)<br />

Umur 35 ( 7 hari setelah infeksi II)<br />

Hal ini disebabkan karena temulawak, temu ireng dan jahe mengandung senyawasenyawa<br />

hidrokarbon tertentu dalam minyak atsirinya, seperti oleoresin, pipene, mycene,<br />

ocimene dan lain-lain, dimana senyawa-senyawa tersebut mudah melepaskan hidrogennya<br />

bila berikatan dengan senyawa lain yang lebih kuat, seperti jaringan otot maka karbon<br />

tersebut akan dilepaskan menjadi ion negatif (Spilling et al, 2004 dalam Sumardi et al,<br />

2007). Untuk menetralkan kenibali, maka senyawa-senyawa tersebut akan mengikat<br />

hidrogen, sehingga kembali meningkatkan keasaman lambung. Akibatnya, keberadaan<br />

senyawa-senyawa tersebut memperpendek siklus keasaman<br />

lambung, yang berarti<br />

meningkatkan frekuensi lapar temak. Disamping itu senyawa-senyawa xanthorhizol dan<br />

derivatnya telah didokumentasikan memperlancar peredaran darah dan penurunan<br />

konsentrasi gula dan trigliserida dalam serum darah mencit (Yasni and Imaizumi dalam<br />

Sumardi et al, 2007) mempercepat proses penyerapan dan pelepasan makanan dalam<br />

jaringan tubuh (Yasni and Yoshiie, 1993 dalam Sumardi et al, 2007) sehingga kadar gula<br />

darah dalam darah segera rendah kembali. Rendahnya gula darah ini berarti mempercepat<br />

siklus lapar pada ternak, dan mempercepat pertumbuhan (Tusan, 1994) dan menurunkan<br />

resiko stress (Aminah, 1996).<br />

Disamping itu curcumin temulawak telah dikenal luas mengefektifkan penyerapan<br />

makanan ke dalam tubuh, dengan kandungan anti oksidan tinggi dan daya anti-inflamatori<br />

yang kuat ( Goto et a!., 2005 dalam Sumardi et al, 2007). Selanjutnya disebutkan temu<br />

ireng dapat mengendalikan cacing dan menambah nafsu makan.<br />

Hasil penelitian ini<br />

berbeda dengan penelitian (Cahyaningsih et a!., 2003; Cahyaningsih dan Sirhadi 2006)<br />

yang menggunakan sambiloto tunggal, dimana pada perlakuan tanpa serbuk sambiloto,<br />

serbuk sambiloto dosis 1, dosis 2 berturut-turut menghasilkan 1,34 ; 1,51 dan 1,54 kg/ekor,<br />

sambiloto dapat meningkatkan bobot badan. Dan dengan berkurangnya kejadian coccidiosis<br />

pada ayam broiler maka bobot badan dapat ditingkatkan.<br />

Hal ini terjadi diduga adanya<br />

minyak atsiri dalam temulawak dan temuireng mengurangi lemak dalam karkas. Pada ayam<br />

kampung pemberian sambiloto melalui air minum menampilkan respon kinerja pertumbuhan<br />

bobot badan 26.09% dan efisiensi pakan lebih baik 15.52% dibandingkan kontrol<br />

(Zainuddin, 2003). Sumardi et al, (2007) bahwa temu-temuan yang digunakan dalam<br />

formula, berfungsi sebagai growth regulator (meningkatkan nafsu makan) dan growth<br />

stimulator (mempercepat pertumbuhan badan), mengefisienkan pakan, meminimalkan<br />

staknasi pertumbuhan, meningkatkan akumulasi protein dan memperpanjang umur sel.<br />

28


4.5. .Uji in vivo feeding trial untuk mengetahui pengaruh perlakuan jamu yang<br />

dapat meningkatkan produktivitas (>200/o).<br />

Materi anak ayam (DOC) yang digunakan cukup seragam dengan rataan bobot per<br />

ekor 39 + 0,54 dan dalam keadaan sehat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat<br />

kematian (sampai ayam umur 7 hari) hanya mencapai 2,67% dari populasi 600 ekor, dan<br />

hasil bedah ayam mati menunjukkan penyebab kematian diduga bawaan penetasan tidak<br />

sempurna (omphalitis), bukan karena perlakuan formula (Tabel 5).<br />

Tabel 8.<br />

Mortalitas A yam Broiler dan Berat Sampai Umur 7 Hari.<br />

Jumlah Mortalitas Bobot DOC<br />

No. Perlakuan Awal Umur 1 hari<br />

.......... ekor ....... (g /ekor)·<br />

1. Formula non fermentasi 1 50 0 39,90<br />

2. Formula non fermentasi 2 50 2 39.50<br />

3. Formuia non fermentasi 3 50 1 39,00<br />

4. Formula non fermentasi 4 50 1 38,90<br />

5. Formula non fermentasi 5 50 0 39,00<br />

6. Formula fermentasi 6 50 2 38,95<br />

7. Formula fermentasi 7 50 0 39,95<br />

8. Formula fermentasi 8 50 1 38,80<br />

9. Formula fermentasi 9 50 2 38,99<br />

10. Formula fermentasi 10 50 2 39,00<br />

11. Kontrol positif 50 2 39,03<br />

(K.diostat Komersial)<br />

12. Kontrol negatif 50 1 39,88<br />

(Tanpa Formula)<br />

JUMLAH 600 16 470,4<br />

Rataan Bobot g/ekor) 39,20<br />

Keterangan : K<br />

K<br />

= Kontrol (-) : Pakan komersial tanpa koksidiostat<br />

= Kontrol ( +) : Pakan komersial dengan koksidiostat<br />

Bobot DOC<br />

Umur 7 hari<br />

129<br />

128<br />

129<br />

129<br />

127<br />

127<br />

127<br />

129<br />

127<br />

127<br />

128<br />

129<br />

1536<br />

128<br />

I<br />

'<br />

'<br />

'<br />

Penelitian ini belum selesai dilaksanakan, dan akan diteruskan sampai ayam berumur<br />

lima minggu, dan pada umur tiga minggu akan dilakukan analisa titer antibodi Newcatle<br />

29


Disease (NO), hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kesehatan ayam setelah diberikan<br />

formula. Apabila nilai titer Log 2 =3, maka berarti ayam pada kondisi sehat. Selain itu akan<br />

dilakukan pengamatan Pertambahan Bobot Badan (PBB) dan Feed conversion ratio ( FCR),<br />

dimana semakin rendah nilai FCR, semakin efisien dalam penggunaan pakan.<br />

30


V. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

1. Bahan baku terstandar dari tiga lokasi sentra produksi ditetapkan Jahe merah,<br />

Temulawak, Temu ireng dari Sukabumi dan Sambiloto dari Sukoharjo. Bahan baku<br />

ditetapkan Jahe merah (kandungan gingerol 0,179), Temulawak (kandungan kurkumin<br />

0,24%), Temu ireng (kandungan kurkumin 0,07%) dari Sukabumi dan Sambiloto<br />

(kandungan andrografolid 2,10%) dari Sukohardjo.<br />

2. Formula jamu ternak untuk anti cocci akan dibuat 5 formula non fermentasi dan 5<br />

formula fermentasi, dengan teniulawak dan temu ireng sebagai dasar (ukuran sama<br />

untuk semua formula masing-masing). Formulasi jamu dengan komposisi : Temulawak,<br />

Temu ireng, Jahe merah dan Sambiloto adalah (10-10-0-80%), (10-10-20-60%), (10-10-<br />

40-40%), (10-10-60-20), (1Q-10-80-0).<br />

3. Perbanyakan parasit coccidiosis dilakukan, tersedia 6000 ookiste/ekor untuk uji papar.<br />

4. Berdasar skor perlukaan pada sekum ayam dan jumlah ookista pada tinja, pada<br />

pemberian formula dari tanaman obat mampu menahan infeksi koksidiosis dibanding<br />

kelompok tanpa formula (kontrol negatif). Formula nonfermentasi yang efektif<br />

melawan coccidiosis terbaik adalah Formula 2, 3 dan 5 , sedangkan formula yang<br />

difermentasi paling efektif berturut-turut adalah Formula 7,8 dan 6.<br />

VI. PERKIRAAN MANFAAT DAN DAMPAK.<br />

Setelah dilakukan uji pemantapan formula unggulan secara feeding trial pada tahun<br />

ke tiga (tahun 2011) untuk mendukung skala pengembangan diaplikasikan pada 10.000-<br />

50.000 ekor ayam (kerjasama dengan peternak) diharapkan formula akan dijadikan produk<br />

komersial.<br />

Dengan dihasilkannya formula jamu ternak dari tanaman obat yang bersifat anti<br />

parasit dan dapat meningkatkan imunitas terhadap penyakit coccidiosis akan mampu<br />

mengendalikan penyakit coccidiosis pada unggas ayam sekaligus dapat meningkatkan<br />

efisiensi pakan dan produktivitas karena mengurangi kematian, dan menurunkan kerugian<br />

peternak unggas ayam serta penghematan devisa melalui pengurangan impor preparat sulfa<br />

yang digunakan sebagai anti parasit.<br />

Mengantisipasi permintaan produk daging ayam organik yang semangkin meningkat.<br />

31


VI. DAFT AR PUST AKA<br />

Anderson, K.P., Fennie, E.H., Yilmo, T. 1989. Enhancement of a secondary antibody<br />

response to vesicular stomatitis virus G protein by IFN- y treatment at primary<br />

immunisation J. Immun (140): 599-604 ·<br />

BPOM. 2000. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Direktorat Pengawasan<br />

Obat Tradisional. 68 hal. ·<br />

cahyadi, A. 1996. Pengaruh hambatan ekstrak daun Sambiloto (Andrographis paniculata<br />

Ness) terhadap pertumbuhan dan produksi aflatoxin dari Aspergillus flavus. Skripsi<br />

IPB Boger.<br />

Chang, C~P., Chang, J-Y, Wang, F-Y, Chang, J-G. 1995. The effect of Chinese herb Zingiber<br />

rhizoma extract on cytokine secretion by human peripheral blood mononuclear<br />

cells. J. Ethnopharmacology (48) : 13-19.<br />

Diemer, I.H., Quere, E.P., Naciri, M., Bout, D.T. 1998. Inhibition of Eimeria tenella<br />

development in vitro mediated by chicken macrophages and fibroblast treated with<br />

chicken cell supernatant with IFN- y activity. Avian Dis 1998, 42: 239-47<br />

DEPKES. R.I. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. 653 hal.<br />

Guo, H.C., H.F.J. Savelkoul, R.P. Kwakkel, B.A. Williams and M.W.A. Verstegon. 2003.<br />

Immunoactive medical properties of mushroom and herb polysaccharides and their<br />

potential use in chicken diets. Worlds Poultry<br />

Hasan, H. 1988. Biosynthesis and regulation of superoxide dismutases. Free radical Bioi.<br />

Med. 5: 377.<br />

Januwati, M., Sintha S., Ening Wiedosari, Iskandar, T. dan Zainuddin, D. 2009. Jamu<br />

berbasis tanaman biofarmaka untuk pengendalian penyakit coccidiosis pada ayam.<br />

Laporan proyek SINTA- BALllTRO. 46 hal.<br />

Lawman, M.J.P., Campos, M., Ohmann, B.H., Griebel, P., Babiuk, L.A. 1990. Recombinant<br />

cytokines and their therapeutic value in veterinary medicine. In: Babiuk editors.<br />

Animal Biotechnology. Oxford: Pergamon Press. p. 63-106<br />

Ma'at, S. 2001. Manfaat Tanaman Obat Asli Indonesia Bagi Kesehatan. Presiding Forum<br />

Koordinasi Kelembagaan Produksi Aneka Tanaman. Jakarta 13-16 November 2001.<br />

Nugroho, Y.A. dan Nafrialdi. 2001. Sambiloto (Andrographis paniculata Ness). Tumbuhan<br />

Obat Indonesia penurun kadar lipid darah. Presiding Seminar Nasional XIX<br />

Tumbuhan Obat Indonesia : p. 353-357<br />

Soedibyo, B.M. 1992. Pendayagunaan Tanaman Obat. Proceeding Forum Komunikasi Ilmiah.<br />

Hasil Penelitian Plasma Nutfah dan Budidaya Tanaman Obat. Puslitbang Tanaman<br />

Industri, Boger.<br />

Sumardi. 2006. Sumardi dan Jamu Tahan Flu Burung. Dilaporkan C. Wahyu Haryo. Dalam<br />

Harian Kompas, tanggal 17 Juli, hal. 16. Jakarta. ·<br />

Spelman, K., Burns, J.J., Niches, D., Winters, N., Ottersgerg, S., Tenborg, M. 2006.<br />

Modulation of cytokine expression by tradisional medicines: a review of herbal<br />

immunomodulators. Alternative Medicine Review 2006, 11: 128-146<br />

WHO. 2003. WHO guidelines on good agricultural and collection practices (GACP) for<br />

medicinal plant. Geneva. 72 p.<br />

32


Young, A.S., Cummins, J.M. 1990. The history of Interferon and its use in animal therapy.<br />

East .Afr. Med. J. (67) : p. 31-36<br />

Zainuddin, D. dan E. Wlkradihardja. 2002. Racikan ramuan tanaman obat dalam bentuk<br />

larutan jamu dapat memepertahankan dan meningkatkan kesehatan serta<br />

produktivitas ayam buras. Proceeding Semionar Nasional XIX Tanaman Obat<br />

Indonesia. Pokja Nasional Tariaman Obat Indonesia.<br />

Zainuddin, D. 2003. Pengaruh pemberian tumbuhan obat buah mengkudu dan sambiloto<br />

terhadap pertumbuhan ayam kampung. Proceeding Semionar Nasional Tumbuhan<br />

Obat Indonesia XXIII. Pokja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia<br />

Zainuddin, D. 2006. Tanaman obat meningkatkan effisiensi pakan dan kesehatan ternak<br />

unggas. Proc. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usaha<br />

Ternak Unggas Berdayasaing. Agustus 2006. Undip Semarang. Bekerjasama<br />

dengan Puslitbang Peternakan, Bogar.<br />

Zang, L.C., J.B. Wang, J.P. Sun, M.A. Diaz, M.I. Shi and Z.H. Wang. 1988. Effect of adding<br />

Chinese Herb polysaccharide preparation to a Newcastle disese inactived vaccine on<br />

the development of immuno organs in chikcens. Chinese Journal of Vet. Science<br />

and Technology. (In Chinese) 38 (5): 378--J81.<br />

33

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!