·.-acana Ritual Segehan pada Masyarakat Hindu di Bali ... - KM Ristek
·.-acana Ritual Segehan pada Masyarakat Hindu di Bali ... - KM Ristek
·.-acana Ritual Segehan pada Masyarakat Hindu di Bali ... - KM Ristek
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
·.-<strong>acana</strong> <strong>Ritual</strong> <strong>Segehan</strong> <strong>pada</strong> <strong>Masyarakat</strong> <strong>Hindu</strong> <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>" (Bandana, 2007)<br />
Teori yang <strong>di</strong>acu dalam tulisan itu adalah teori linguistik<br />
..!dayaan. Penelitian tersebut menyajikan dua bab pembahasan yang<br />
• uti struktur mantra dan saa w<strong>acana</strong> segehan dan makna w<strong>acana</strong> ritual<br />
~~um.<br />
Struktur yang <strong>di</strong>maksud adalah struktur linguistik yang meliputi<br />
_<br />
1'"Lilll kata dan kalimat. Adapun makna yang <strong>di</strong>kaji adalah makna teks<br />
-~-~ a dan saa dan makna kontekstual atau makna linguistik dan<br />
.-l..U ...... .~.ugu istik.<br />
Kajian tersebut memberikan inspirasi dalam penelitian ini,<br />
::.c;;.:.tama dalam mendeskripsikan struktur linguistik dan makna.<br />
Berdasarkan kajian pustaka tersebut, dapat <strong>di</strong>ketahui bahwa<br />
elitian yang <strong>di</strong>lakukan oleh peneliti sebelumnya lebih bersifat umum.<br />
elitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang<br />
,.-<br />
.:wakukan oleh Riana (2001) dan Bandana (2007). Namun, penelitian kali ini<br />
memiliki perbedaan, terutama permasalahan yang <strong>di</strong>kaji. Kajian lebih<br />
ciusatkan <strong>pada</strong> w<strong>acana</strong> ritual pertanian dengan teori linguistik etnologi<br />
J ang <strong>di</strong>jabarkan sebagai linguistik kebudayaan dan beberapa teori<br />
.:-endukung. Kajian yang <strong>di</strong>lakukan juga bersifat lebih khusus, yaitu w<strong>acana</strong><br />
:itual pertanian yang meliputi awal penanaman pa<strong>di</strong> sampai panen. Di<br />
samping itu, ada juga upacara yang bersifat khusus, seperti upacara nangluk<br />
zrana. Ja<strong>di</strong>, kajian dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian~penelitian<br />
ebelumnya.<br />
11
2.2 Landasan Teori<br />
Setiap penelitian memerlukan teori yang sesuai dengan masalah yang<br />
<strong>di</strong>teliti. Teori <strong>di</strong>gunakan sebagai dasar, tuntunan, dan arah kajian yang<br />
berkaitan dengan penelitian. Penentuan teori <strong>di</strong> dalam suatu penelitian<br />
biasanya <strong>di</strong>sesuaikan dengan hakikat sasaran penelitian sehingga teori<br />
dapat berfungsi untuk menerangkan dan menganalisis permasalahan, dapat<br />
mengklasifikasikan fakta-fakta, dan dapat memberi ramalan tentang faktafakta<br />
yang mungkin ada dan yang akan terja<strong>di</strong> (Jendra, 1981:14). Selain itu,<br />
teori dapat <strong>di</strong>pakai sebagai pembimbing yang menentukan dan memberi<br />
arah atau menggiring peneliti <strong>pada</strong> pemahaman yang mendalam <strong>pada</strong> objek<br />
sasaran (Sudaryanto, 1986:26). Bahkan, Vredenbregt (1981:26) mengatakan<br />
bahwa teori dalam suatu penelitian berhubungan dengan hipotesis, tetapi<br />
,-<br />
teori lebih kompleks dari hipotesis karena hipotesis setelah <strong>di</strong>buktikan<br />
dapat menja<strong>di</strong> teori.<br />
Johnson (1988:3) mengatakan bahwa teori dapat<br />
membantu peneliti dalam menginterpretasikan dan menilai fakta serta<br />
dapat meramalkan dan menjelaskan fakta tersebut (Bdk. Craib, 1992:9-10;<br />
Sindhunata, 1983:72; Lauer, 1989:35; Riana, 1995:37).<br />
2.2.1 Teori Linguistik Etnologi<br />
Teori yang <strong>di</strong>gunakan dalam penelitian ini adalah teori linguistik<br />
etnologij etnolinguistik. Frasa linguistik etnologi apabila <strong>di</strong>jabarkan ter<strong>di</strong>ri<br />
atas dua kata, yaitu linguistik dan etnologi. Linguistik adalah ilmu yang<br />
I<br />
mempelajari bahasa. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari pola-pola<br />
12
kelakuan, seperti adat istiadat, perkawinan, struktur kekerabatan, sistem<br />
politik dan ekonomi, agama, dan cerita-cerita rakyat (Kuswarno, 2008:162).<br />
Penelitian linguistik etnologi dalam penelitian ini <strong>di</strong>artikan sebagai<br />
penelitian yang mengkaji bahasa dalam kegiatan agama atau ritual <strong>pada</strong><br />
khususnya dan kebudayaan <strong>pada</strong> umumnya. Berdasarkan hal itu, penelitian<br />
ini dapat <strong>di</strong>jabarkan menja<strong>di</strong> penelitian linguistik kebudayaan. Istilah<br />
linguistik kebudayaan <strong>di</strong> Indonesia <strong>pada</strong> mulanya <strong>di</strong>ajukan oleh Sutan<br />
Tak<strong>di</strong>r Alisjahbana (1977), sedangkan Suharno (1982) menggunakan istilah<br />
linguistik kultural. Dalam rangka pengembangan kajian inter<strong>di</strong>sipliner antara<br />
linguistik dan kebudayaan, Bagus (1995)<br />
menamakannya linguistik<br />
kebudayaan.<br />
Di Am erika linguistik kebudayaan <strong>di</strong>kenal dengan nama linguis · ·<br />
.... -<br />
antropologi (anthropological linguistics). Istilah itu <strong>di</strong>kemukakan oleh<br />
Mc.Manis (1988); Duranti (1997); Foley (1997).<br />
Palmer (1996:36) menggunakan istilah linguistik budaya. Linguistik<br />
budaya adalah sebuah <strong>di</strong>siplin ilmu yang muncul sebagai persoalan ilmu<br />
antropologi yang merupakan perpaduan dari ilmu bahasa dan budaya.<br />
Linguistik budaya secara mendasar tidak hanya berhubungan dengan<br />
kenyataan objektif, tetapi juga mengenai bagaimana orang/ masyarakat itu<br />
berbicara mengenai dunia yang mereka gambarkan sen<strong>di</strong>ri. Linguistik<br />
budaya berhubungan dengan makna/ arti yang bersifat interpretatif<br />
(penafsiran) atas keseluruhan konteks (linguistik, sosial, dan budaya).<br />
13
Menurut Riana (2003:8), linguistik kebudayaan adalah sebuah stu<strong>di</strong><br />
yang meneliti hubungan intrinsik antara bahasa dan budaya, bahasa<br />
<strong>di</strong>pandang sebagai fenomena budaya yang kajiannya berupa language in<br />
cultural atau language and cultural. Mbete (2004:25) mengatakan bahwa secara<br />
ontologis, linguistik kebudayaan menja<strong>di</strong>kan bentuk, fungsi, dan makna<br />
pemakaian bahasa sebagai objek materi kajiannya.<br />
Linguistik kebudayaan yang ada <strong>di</strong> dunia Barat <strong>di</strong>kenal dengan<br />
linguistik antropologi yang merupakan cabang linguistik dan menaruh<br />
perhatian <strong>pada</strong> (1) pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan budaya<br />
yang luas dan (2) <strong>pada</strong> peran bahasa dalam mengembangkan dan<br />
mempertahankan aktivitas budaya serta struktur sosial. Dalam hal ini<br />
linguistik antropologi memandang bahasa melalui konsep antropologi yang<br />
..... -<br />
hakiki dan melalui budaya serta menemukan makna <strong>di</strong> balik<br />
penggunaannya, menemukan bentuk-bentuk bahasa, register, dan gaya<br />
(Foley, 1997:3; Pastika, 2002:90).<br />
Sibarani (2004:50) menjelaskan bahwa linguistik antropologi adalah<br />
cabang linguistik yang mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam<br />
hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan tempat<br />
komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan,<br />
etika berbahasa, adat istiadat, dan pola-pola kebudayaan lain dari suatu<br />
suku bangsa. Dalam kaitan bahasa dengan antropologi, bahasa merupakan<br />
bagian dari kebudayaan (Halliday, 1977 dalam Sutjaja, 1990: 59).<br />
14
Ada beberapa gagasan analitis yang mendasari linguislli<br />
antropologi, yaitu (1) competence dan performance, (2) indeksikalitas, dan (3)<br />
partisipasi (Duranti, 1997:14-21). Konsep competence dan performance adalah<br />
dua terminologi kunci dalam tata bahasa generati£ yang <strong>di</strong>kembangkan oleh<br />
Chomsky (1965). Competence merupakan sistem pengetahuan suatu bahasa<br />
(sistem suatu budaya) yang <strong>di</strong>kuasai oleh penutur suatu bahasa<br />
bersangkutan dan performance merupakan penggunaan bahasa secara nyata<br />
dalam situasi komunikasi yang sebenarnya merupakan cerminan sistem<br />
bahasa yang ada <strong>pada</strong> pikiran penutur. Konsep indeksikalitas menyangkut<br />
tanda yang memiliki hubungan eksistensial dengan yang <strong>di</strong>acu. Konsep<br />
partisipasi <strong>di</strong>maksudkan sebagai keterlibatan penutur dalam menghasilkan<br />
bentuk tuturan yang berterima (Duranti, 1997:14-21) .<br />
.... -<br />
W<strong>acana</strong> ritual pertanian adalah bahasa yang merupakan bagian dari<br />
pengalaman masyarakat petani yang <strong>di</strong>gunakan untuk berinteraksi dan<br />
berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. Kata sebagai<br />
bagian dari w<strong>acana</strong> ritual memiliki makna tersurat dan tersirat. Oleh karena<br />
itu, teori semiotik sosial juga <strong>di</strong>gunakan sebagai penuntun untuk mencari<br />
atau mengungkap makna w<strong>acana</strong> ritual pertanian.<br />
Semiotik adalah cabang ilmu yang berhubungan dengan tanda,<br />
seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest<br />
dan Sudjiman, 1992:1-7). Lebih jauh, Saussure (1957:16) menjelaskan<br />
sebagai berikut.<br />
... a science that stu<strong>di</strong>ed the life at sign 'loithin society is conceivable; it<br />
would be a part of social psychology and consequently of general psychology;<br />
15
I shall call it semiology (from greek semeion 'sign) (Bdk. Ha\\'ke .... ,<br />
1978:132; Riana, 1995:38).<br />
Konsep semiotik <strong>di</strong>turunkan dari konsep tanda (sign), sedangkan<br />
konsep sosial mengacu <strong>pada</strong> sistem sosial yang merupakan sinonim dari<br />
sistem budaya. Ja<strong>di</strong>, semiotik sosial dapat <strong>di</strong>artikan sebagai sistem sosial<br />
atau sistem budaya sebagai sistem makna yang secara bersama-sama<br />
membentuk budaya manusia (Halliday & Ruqaiya Hasan, 1992:5).<br />
Hodge dan Kress (1988:261) menyatakan bahwa semiotik sosial<br />
merupakan kajian umum tentang semiosis, yaitu proses, efek dari produksi,<br />
penerima, dan sirkulasi makna dalam suatu bentuk yang <strong>di</strong>gunakan oleh<br />
semua manusia dalam berkomunikasi. Ja<strong>di</strong>, <strong>pada</strong> dasarnya semiotik sosial<br />
meliputi fenomena sosial, baik dalam hal sumber, fungsi, konteks, maupun<br />
pengaruluiya serta hubungannya dengan makna sosial yang <strong>di</strong>bentuk<br />
melalui bentuk-bentuk semiotik, teks semiotik, dan kebiasaan-kebiasaan<br />
semiotik.<br />
Semiotik sosial menurut Halliday (1978:25) merupakan pendekatan<br />
terhadap bahasa. Pendekatan ini tidak lagi melihat bahasa sebagai suatu<br />
entitas yang secara atomistis <strong>di</strong>rujuk sebagai hubungan antara "yang<br />
<strong>di</strong>tandai" dan "yang menandai". Akan tetapi, pendekatan ini lebih melihat<br />
bahasa sebagai suatu realitas fisik (field), realitas sosial (tendr), dan sekaligus<br />
sebagai realitas semiotik <strong>di</strong> dalam suatu konteks (situasi dan kultur) tertentu<br />
(mode). Sebagai suatu realitas fisik, bahasa merupakan fenomena<br />
penga1aman fisik, logis, psikis, atau fenomena filosofis penuturnya <strong>di</strong> dalam<br />
konteks situasi dan konteks kultural tertentu. Sebagai realitas sosial, bahasa<br />
16
merupakan fenomena sosial yang <strong>di</strong>gunakan masyarakat penuturnya untuk<br />
berkomunikasi dan berinteraksi <strong>di</strong> dalam konteks situasi dan konteks<br />
kultural tertentu. Sebagai realitas semiotik, bahasa merupakan simbol yang<br />
merealisasikan realitas dan realitas sosial <strong>di</strong> dalam konteks situasi dan<br />
konteks kultural tertentu pula (Santoso, 2003:6). Menurut Riana (2003:11),<br />
kata secara semiotik sosial memiliki makna tersurat dan tersirat.<br />
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian yang berjudul "W<strong>acana</strong><br />
<strong>Ritual</strong> Pertanian sebagai Usaha Pelestarian Bahasa dan Budaya <strong>Bali</strong>: Sebuah<br />
Kajian Linguistik Etnologi" adalah penelitian etnolinguistik. Teori linguistik<br />
etnologi, yang <strong>di</strong>jabarkan menja<strong>di</strong> linguistik kebudayaan dalam hal ini,<br />
<strong>di</strong>gunakan sebagai acuan untuk menganalisis bentuk/ struktur mantra dan<br />
saa, wujud ritual, dan makna yang terkandung <strong>di</strong> dalamnya. W<strong>acana</strong> ritual<br />
... -<br />
pertanian adalah penggunaan bahasa secara nyata oleh masyarakat petani<br />
dalam hubungannya dengan kepercayaan yang <strong>di</strong>anutnya. Dalam w<strong>acana</strong><br />
ritual pertanian terdapat ketiga makna seperti tersebut <strong>di</strong> atas, yaitu makna<br />
linguistik, makna sosial, dan makna budaya. Makna sosial dan budaya itu<br />
bersifat interpretatif atau penafsiran bagi masyarakat pendukungnya.<br />
Kekompleksan masalah menyebabkan penelitian ini menggunakan<br />
teori tambahan selain teori pokok (linguistik etnologi), yaitu teori fungsional<br />
dan teori linguistik struktural. Teori fungsional<br />
<strong>di</strong>gunakan untuk<br />
membedah masalah yang berhubungan dengan fungsi w<strong>acana</strong> ritual<br />
pertanian. Adapun teori linguistik struktural <strong>di</strong>gunakan sebagai acuan<br />
untuk memetakan struktur dan makna linguistik.<br />
17
2.2.2 Teori Fungsi Bahasa<br />
Teori fungsi atau fungsional merupakan bagian dari pendekatan<br />
sistemik dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya (Malinowski, 1968:98).<br />
Pendekatan sistemik terlihat dari pandangan bahwa teori fungsi mengakui<br />
adanya bagian-bagian dari sebuah sistem, yang jika salah satu bagian<br />
mengalami perubahan, komponen yang lain akan mengalami perubahan.<br />
Artinya, teori fungsional menjelaskan arus sebab dan akibat yang menja<strong>di</strong><br />
mekanisme suatu sistem sehingga analisis dengan menggunakan teori<br />
fungsional dapat memberikan pemahaman tentang hal-hal yang menonjol<br />
<strong>pada</strong> waktu dan tempat tertentu. Lebih lanjut Malinowski (1968:98)<br />
menyatakan bahwa sesuatu yang ada itu <strong>pada</strong> hakikatnya berfungsi untuk<br />
memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sesuatu yang ada itu sesungguhnya<br />
.... -<br />
merupakan refleksi dari fungsi-fungsi tertentu.<br />
Malinowski dalam Halliday dan Hasan (1994:20) membedakan fungsi<br />
bahasa menja<strong>di</strong> dua, yaitu fungsi pragmatis dan fungsi magis. Fungsi<br />
pragmatis berfokus <strong>pada</strong> hubungan antara situasi dan konteks berbahasa<br />
atas bentuk-bentuk bahasa yang <strong>di</strong>gunakan dalam berkomunikasi,<br />
sedangkan fungsi magis berfokus <strong>pada</strong> kegiatan ritual untuk<br />
menghubungkan aktivitas ritual dengan sang Pencipta. Dalam kesempatan<br />
yang lain Halliday (1970) mengemukakan tiga macam fungsi bahasa, yaitu<br />
(1) fungsi ideasional, (2) fungsi interpersonal, dan (3) fungsi tekstual. Fungsi<br />
ideasional adalah fungsi bahasa sebagai alat untuk menyampaikan dan<br />
mengiterpretasikan pengalaman dunia. Fungsi interpersonal adalah fungsi<br />
18
ahasa sebagai pengungkapan sikap penutur dan sebagai pengaruh <strong>pada</strong><br />
sikap dan perilaku penutur. Fungsi tekstual adalah fungsi bahasa sebagai<br />
alat untuk mengonstruksi atau menyusun sebuah teks, baik lisan maupun<br />
tulisan.<br />
Penggunaan teori fungsi bahasa sebagai acuan dalam penelitian ini<br />
juga merujuk <strong>pada</strong> pendapat J akobson (1992:70- 79). Ia membagi fungsi<br />
bahasa menja<strong>di</strong> enam, yaitu (1) fungsi emotif, fungsi bahasa yang<br />
berorientasi <strong>pada</strong> sikap, status, dan keadaan emosi pembicara, (2) fungsi<br />
konaktif, fungsi bahasa yang berorientasi <strong>pada</strong> lawan bicara/ pendengar<br />
untuk menimbulkan reaksi <strong>pada</strong> pendengar sehingga menimbulkan atau<br />
menghasilkan ekspresi<br />
gramatikal dalam bentuk vokatif dan imperatif<br />
secara sintaksis, morfologis, dan penyimpangan fonemis dari kategori<br />
... -<br />
nomina dan verba lainnya, (3) fungsi patis, fungsi bahasa yang berorientasi<br />
<strong>pada</strong> penggunaan bahasa untuk mengadakan kontak antara pembicara dan<br />
pendengar, baik untuk menetapkan, mengukuhkan, maupun untuk<br />
memperpanjang alur komunikasi, (4) fungsi referensial atau fungsi kognitif,<br />
fungsi bahasa yang berorientasi <strong>pada</strong> konteks untuk menggambarkan objek<br />
dalam konteks tertentu, (5) fungsi metalingual, fungsi bahasa yang<br />
berorientasi <strong>pada</strong> kode atau penggunaan bahasa untuk menguraikan bahasa<br />
itu sen<strong>di</strong>ri, dan (6) fungsi puitik, fungsi bahasa yang berorientasi <strong>pada</strong> pesan<br />
atau bagaimana pesan <strong>di</strong>hasilkan dalam berkomunikasi.<br />
Sejalan dengan itu, Leech (2003:63-88) mendeskripsikan bahwa<br />
fungsi bahasa itu ada lima, yaitu (1) fungsi informasional, fungsi bahasa<br />
19
sebagai pembawa informasi, (2) fungsi eksprsif, fungsi bahasa untuk<br />
mengungkapkan perasaan dan sikap penutur, (3) fungsi <strong>di</strong>rektif, fungsi<br />
bahasa untuk memengaruhi sikap orang lain yang lebih memberikan<br />
tekanan <strong>pada</strong> sisi penerima (bukan penutur), (4) fungsi estetik, fungsi<br />
bahasa demi hasil karya dalam menciptakan efek artistik, dan (5) fungsi<br />
fatik, fungsi bahasa untuk menjaga agar garis komunikasi tetap terbuka dan<br />
hubungan sosial berjalan secara baik.<br />
Teori fungsional<br />
dalam hubungannya dengan penelitian ini<br />
<strong>di</strong>gunakan sebagai acuan dalam mengungkap fungsi yang terkandung <strong>di</strong><br />
dalam w<strong>acana</strong> ritual pertanian. Eksistensi w<strong>acana</strong> ritual pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong><br />
merefleksikan bahwa hal itu <strong>pada</strong> dasarnya memiliki fungsi tertentu bagi<br />
masyarakat petani, kebudayaan <strong>Bali</strong>, dan lingkungan yang lebih luas .<br />
.... -<br />
2.2.3 Teori Linguistik Struktural<br />
Kajian terhadap masalah yang berhubungan dengan struktur dan<br />
makna linguistik dalam penelitian ini mengacu <strong>pada</strong> teori linguistik<br />
struktural. Penerapan teori yang berhubungan dengan kajian siktaksis<br />
secara umum <strong>di</strong>ambil dari Sugono (1997), Kridalaksana (1990), dan Alwi<br />
dkk. (2000).<br />
Menurut Sugono (1997:26), kalimat dalam struktur lahirnya<br />
sekurang-kurangnya memiliki pre<strong>di</strong>kat. Dengan kata lain, jika suatu<br />
pernyataan memiliki pre<strong>di</strong>kat, pernyataan itu merupakan kalimat,<br />
sedangkan suatu untaian kata yang tidak memiliki pre<strong>di</strong>kat <strong>di</strong>sebut £rasa.<br />
Dalam ragam lisan, kalimat <strong>di</strong>ucapkan dengan suara naik turun dan keras<br />
20
sebagai pembawa infcrmasi, (2) fungsi eksprsif, fungsi bahasa untuk<br />
mengungkapkan perasaan dan sikap penutur, (3) fungsi <strong>di</strong>rektif, fungsi<br />
bahasa untuk memengaruhi sikap orang lain yang lebih memberikan<br />
tekanan <strong>pada</strong> sisi penerima (bukan penutur), (4) fungsi estetik, fungsi<br />
bahasa demi hasil karya dalam menciptakan efek artistik, dan (5) fungsi<br />
fatik, fungsi bahasa untuk menjaga agar garis komunikasi tetap terbuka dan<br />
hubungan sosial berjalan secara baik.<br />
Teori fungsional<br />
dalam hubungannya dengan penelitian ini<br />
<strong>di</strong>gunakan sebagai acuan dalam mengungkap fungsi yang terkandung <strong>di</strong><br />
dalam w<strong>acana</strong> ritual pertanian. Eksistensi w<strong>acana</strong> ritual pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong><br />
merefleksikan bahwa hal itu <strong>pada</strong> dasarnya memiliki fungsi tertentu bagi<br />
masyarakat petani, kebudayaan <strong>Bali</strong>, dan lingkungan yang lebih luas .<br />
.... -<br />
2.2.3 Teori Linguistik Struktural<br />
Kajian terhadap masalah yang berhubungan dengan struktur dan<br />
makna linguistik dalam penelitian ini mengacu <strong>pada</strong> teori linguistik<br />
struktural. Penerapan teori yang berhubungan dengan kajian siktaksis<br />
secara umum <strong>di</strong>ambil dari Sugono (1997), Kridalaksana (1990), dan Alwi<br />
dkk. (2000).<br />
Menurut Sugono (1997:26), kalimat dalam struktur lahirnya<br />
sekurang-kurangnya memiliki pre<strong>di</strong>kat. Dengan kata lain, jika suatu<br />
pernyataan memiliki pre<strong>di</strong>kat, pernyataan itu merupakan kalimat,<br />
sedangkan suatu untaian kata yang tidak memiliki pre<strong>di</strong>kat <strong>di</strong>sebut £rasa.<br />
Dalam ragam lisan, kalimat <strong>di</strong>ucapkan dengan suara naik turun dan keras<br />
20
lembut, <strong>di</strong>sela jeda, dan <strong>di</strong>akhiri dengan intonasi akhir yang <strong>di</strong>ikuti oleh<br />
kesenyapan (Alwi dkk., 2000:311). Adapun kata adalah satuan terkecil yang<br />
dapat <strong>di</strong>ujarkan sebagai bentuk yang bebas. Kata merupakan satuan bahasa<br />
yang dapat ber<strong>di</strong>ri sen<strong>di</strong>ri, terja<strong>di</strong> dari morfem tunggal dan gabungan<br />
morfem (Kridalaksana, 1993:98).<br />
Menurut Darma (2004:116), yang penting bagi strukturalisme adalah<br />
membedah struktur yang mendasari karya-karya itu. Karya sastra, mantra,<br />
dan saa dalam ritual pertanian adalah sebuah w<strong>acana</strong> yang merupakan<br />
unsur tertinggi linguistik. Sebagai sebuah w<strong>acana</strong>, mantra dan saa dalam<br />
ritual pertanian tersusun atas fonem, kata, £rasa, dan kalimat.<br />
Dengan teori-teori yang telah <strong>di</strong>uraikan <strong>di</strong> atas, seperti linguistik<br />
etnologi yang <strong>di</strong>terjemahkan menja<strong>di</strong> teori linguistik kebudayaan yang<br />
,-<br />
<strong>di</strong>kemukakan oleh Palmer (1996), Bagus 1995), Riana (2003), Mbete (2004),<br />
dan Duranti (1997), dan semiotik sosial yang <strong>di</strong>kemukakan oleh Halliday<br />
(1978), Halliday dan Roqaiya Hasan (1992), dan Hodge dan Kress (1988),<br />
teori fungsi bahasa, dan teori struktural, <strong>di</strong>harapkan semua masalah yang<br />
telah <strong>di</strong>rumuskan sebelumnya dapat <strong>di</strong>kaji.<br />
2.3 Konsep<br />
Konsep adalah unsur terkecil dari teori. Dalam kaitannya dengan<br />
kajian akademis, konsep memberikan batasan terhadap apa yang <strong>di</strong>bahas.<br />
Dengan kata lain, konsep merupakan kerangka paling dasar dari batas-batas<br />
pembahasan karena salah satu fungsi konsep adalah mengarahkan dan<br />
21
memberi batas pembahasan (Triguna, 1989 dalam Mayuni, 2005:13'"<br />
Sehubungan dengan itu, ada beberapa konsep dasar yang <strong>di</strong>jabarkan yang<br />
berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini, yaitu (1) w<strong>acana</strong> ritual<br />
pertanian, (2) mantra dan saa, (3) struktur atau bentuk, dan (4) makna.<br />
Keempat konsep tersebut <strong>di</strong>uraikan sebagai berikut.<br />
2.3.1 W<strong>acana</strong> <strong>Ritual</strong> Pertanian<br />
W<strong>acana</strong> adalah satuan bahasa yang lengkap dan merupakan satuan<br />
gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang<br />
lengkap, dalam w<strong>acana</strong> terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang<br />
utuh, yang bisa <strong>di</strong>pahami oleh pembaca (dalam w<strong>acana</strong> tulis) atau<br />
pendengar (dalam w<strong>acana</strong> lisan) tanpa keraguan apa pun. Sebagai satuan<br />
... -<br />
tertinggi atau terbesar, w<strong>acana</strong> <strong>di</strong>bentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat<br />
yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan w<strong>acana</strong> lainnya.<br />
W<strong>acana</strong> itu <strong>di</strong>realisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku,<br />
atau seri ensiklope<strong>di</strong>), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat<br />
yang lengkap (Chaer, 1994:267; Kridalaksana, 2001:231; Santoso, 2003:5).<br />
Crystal (1985:96) menjelaskan bahwa secara formal, khususnya dalam<br />
ilmu bahasa, yang <strong>di</strong>maksud dengan w<strong>acana</strong> adalah suatu rangkaian<br />
sinambung bahasa yang lebih luas dari kalimat. Dari sudut pandang wicara<br />
sebagai satuan (unit), perilaku w<strong>acana</strong> adalah sehimpunan ujaran yang<br />
merupakan peristiwa wicara yang dapat <strong>di</strong>kenali, seperti percakapan,<br />
lelucon, kotbah, dan wawancara. Sementara itu, Eriyanto (1995)<br />
22
menguraikan bahwa w<strong>acana</strong> adalah komunikasi lisan atau tulisan yang<br />
<strong>di</strong>lihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk <strong>di</strong><br />
dalamnya; kepercayaan yang mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi<br />
atau representasi dari pengalaman. Menurut Duranti (1997), w<strong>acana</strong><br />
<strong>di</strong>artikan sebagai sebuah produk dan praktik budaya yang muncul melalui<br />
suatu proses semiotik kebudayaan.<br />
W<strong>acana</strong> ritual adalah suatu tata cara berbahasa lisan formal dalam<br />
konteks upacara (Fox, 1984:148). Kata ritual dalam Sugono dkk. (2008:1178)<br />
dan Sudarodji dan Arief S., 1993:416)<br />
<strong>di</strong>artikan sebagai 'upacara<br />
keagamaan'. Berbeda dengan pendapat Fox, w<strong>acana</strong> ritual pertanian tidak<br />
hanya menyangkut masalah kegiatan berbahasa lisan, tetapi juga berbahasa<br />
tulis. <strong>Ritual</strong> itu sering <strong>di</strong>iringi dengan kidung 'nyanyian tra<strong>di</strong>sional' yang<br />
.... -<br />
merupakan bahasa tulis. Di samping itu, dalam penelitian ini juga<br />
<strong>di</strong>gunakan mantra dalam bahasa tulis yang terdapat <strong>di</strong> dalam buku, naskah,<br />
dan lontar. W<strong>acana</strong> ritual pertanian dalam hal ini adalah w<strong>acana</strong> yang<br />
":>erhubungan dengan upacara keagamaan yang dalam hal ini <strong>di</strong>terjemahkan<br />
ke dalam ritual penanaman pa<strong>di</strong> dan penanggulangan hama dan penyakit<br />
tanaman pa<strong>di</strong>.<br />
Upacara dalam kepercayaan masyarakat <strong>Hindu</strong> <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> <strong>di</strong>kenal<br />
·eng an istilah yadnya. Yadnya adalah korban suci a tau persembahan yang<br />
:::lius ikhlas yang <strong>di</strong>persembahkan ke<strong>pada</strong> Tuhan dan semua makhluk<br />
2ptaan-Nya. Dalam pelaksanaannya yadnya <strong>di</strong>tempuh dengan cara<br />
23
ertingkat (nista, madya, dan utama) menurut kemampuan masing-masing<br />
(Dinas Pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Dasar Propinsi <strong>Bali</strong>, 1991:803).<br />
Cudamani (1991:152) menyebutkan bahwa yadnya adalah karma baik<br />
yang <strong>di</strong>sertai dengan keikhlasan berkorban untuk orang atau untuk Tuhan.<br />
Pengorbanan itu bisa berbentuk upacara yang <strong>di</strong>kenal dengan upacara<br />
yadnya dan bisa juga berbentuk tri kaya (pikiran, perkataan, dan tindakan).<br />
Berdasarkan jenisnya, upacara yadnya <strong>di</strong>bedakan menja<strong>di</strong> lima yang <strong>di</strong>sebut<br />
dengan panca yadnya, yaitu Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra<br />
Yadnya, dan Butha Yadnya. Dewa Yadnya adalah korban sud yang <strong>di</strong>tujukan<br />
ke<strong>pada</strong> para dewa. Manusa Yadnya adalah korban sud yang <strong>di</strong>tujukan untuk<br />
manusia. Rsi Yadnya adalah korban sud yang <strong>di</strong>tujukan untuk para rsi. Pitra<br />
Yadnya adalah korban sud atau penghormatan ke<strong>pada</strong> orang-orang yang<br />
--<br />
telah meninggal. Sementara itu, Butha Yadnya adalah korban suci yang<br />
<strong>di</strong>tujukan untuk para butha kala (Putra, 1993). Surayin (2003:1) menyebutkan<br />
bahwa Bhuta Yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk<br />
membersihkan tempat/ alam beserta isinya atau memelihara serta memberi<br />
panyupatan ke<strong>pada</strong> para bhuta kala dan makhluk-makhluk yang <strong>di</strong>anggap<br />
lebih rendah dari manusia, seperti setan, peri, jin, dan binatang.<br />
Yadnya 'upacara' dalam hubungannya dengan pertanian <strong>di</strong>bagi<br />
dalam lima jenis, yakni (1) Dewa Yadnya, (2) Manusa Yadnya, (3) Rsi Yadnya,<br />
(4) Pitra Yadnya, dan (5) Bhuta Yadnya. Namun, yang <strong>di</strong>kaji dalam penelitian<br />
ini adalah Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya yang berkaitan dengan upacara<br />
pertanian. Dalam upacara penanaman pa<strong>di</strong> korban suci <strong>di</strong>lakukan untuk<br />
24
para dewa penguasa lahan pertanian (persawahan) sebagai Dewi Kesuburan<br />
dan Kemakmuran, yaitu Dewi Sri atau Sri Laksmi (Titib, 2001:354, Riana,<br />
2001:59). Di samping itu, korban suci juga <strong>di</strong>tujukan ke<strong>pada</strong> para bala<br />
(tentara) dan wadwa (rakyat)-Nya yang <strong>di</strong>kenal dengan bhuta kala dan<br />
binatang atau hewan dan hama yang ada <strong>di</strong> areal pertanian.<br />
2.3.2 Mantra dan Saa<br />
Menurut kepercayaan masyarakat <strong>Hindu</strong>, Maharsi Manu adalah<br />
orang yang pertama memperoleh mantra dan mengajarkan mantra itu<br />
ke<strong>pada</strong> umat manusia serta menjelaskan hubungan antara mantra dan<br />
objeknya. Mantra merupakan bahasa ciptaan yang pertama. Bahasa pertama<br />
yang <strong>di</strong>maksud oleh Maharsi Manu adalah bahasa Sanskerta dan bahasa-<br />
... -<br />
bahasa lainnya yang <strong>di</strong>anggap sebagai perkembangan dari bahasa<br />
Sanskerta. Bahasa Sanskerta adalah bahasa asal atau bahasa yang benar<br />
yang merupakan ucapan suci yang <strong>di</strong>gunakan dalam pemujaan yang<br />
<strong>di</strong>sebut mantra. Kata mantra berarti 'bentuk pikiran'. Seseorang yang<br />
mampu memahami makna yang ada <strong>di</strong> dalam mantra dapat merealisasikan<br />
apa yang <strong>di</strong>gambarkan dalam mantra itu (Danielou, 1964 dalam Titib,<br />
2001:437).<br />
Menurut Titib (1996:454), yang <strong>di</strong>maksud dengan mantra adalah<br />
syair-syair yang indah yang merupakan himpunan sabda suci Tuhan Yang<br />
Maha Esa<br />
yang <strong>di</strong>sebut Veda, sedangkan dalam tulisan lainnya, Titib<br />
(1997:28) juga menjelaskan bahwa makna kata mantra adalah alat untuk<br />
25
"mengilatkan" pikiran <strong>pada</strong> objek yang <strong>di</strong>puja. Menurutnya, ada tiga cara<br />
pengucapan mantra, yaitu (1) vaikari (ucapan mantra terdengar oleh orang<br />
lain), (2) upamsu (berbisik-bisik, bibir bergetar, tetapi suara tidak terdengar),<br />
dan (3) manasika (terucap hanya <strong>di</strong> dalam hati, mulut tertutup rapat). Mantra<br />
merupakan kunci yang penting dalam aktivitas ritual dari semua agama dan<br />
juga <strong>di</strong>gunakan dalam aktivitas bentuk-bentuk magik. Pengucapan mantra<br />
tertentu secara berulang-ulang <strong>di</strong>sebut japa. Seseorang yang mengucapkan<br />
mantra tertentu secara berulang-ulang <strong>di</strong>sebut majapa berjapa' (Titib, 1997:<br />
88, Suamba, 2004: 64).<br />
Mantra atau mantram menurut Sugono dkk. (2008:876) adalah (1)<br />
perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (misalnya dapat<br />
menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); (2) susunan kata<br />
--<br />
berunsur puisi yang <strong>di</strong>anggap mengandung kekuatan gaib, biasanya<br />
<strong>di</strong>ucapkan oleh dukun atau pawang untuk menan<strong>di</strong>ngi kekuatan gaib yang<br />
lain.<br />
Maswinara (1997:5-6) menjelaskan bahwa kata mantra berarti<br />
rumusan gaib untuk melepaskan berbagai kesulitan atau untuk memenuhi<br />
bermacam-macam keinginan duniawi, bergantung <strong>pada</strong> motif<br />
pengucapannya. Mantra merupakan sebuah jampi-jampi, yang apabila<br />
<strong>di</strong>ucapkan dengan tekanan suara yang benar, menghasilkan sesuatu akibat<br />
melalui daya kekuatan alam, dewata, atau dewa-dewa sesuai dengan isi<br />
pengucapan mantra tersebut. Mantra adalah sebuah kekuatan kata yang<br />
dapat <strong>di</strong>gunakan untuk mewujudkan keinginan spiritual atau keinginan<br />
26
material yang dapat <strong>di</strong>pergunakan demi kesejahteraan atau pun<br />
penghancuran <strong>di</strong>ri seseorang.<br />
Selain mantra seperti tersebut <strong>di</strong> atas, dalam kegiatan ritual<br />
masyarakat <strong>Hindu</strong> <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> juga <strong>di</strong>kenal adanya doa atau ucapan-ucapan<br />
tra<strong>di</strong>sional yang menggunakan bahasa <strong>Bali</strong>. Doa pujaan yang umumnya<br />
menggunakan bahasa <strong>Bali</strong> halus itu <strong>di</strong>sebut saa atau sasontengan (Dinas<br />
Pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Dasar Propinsi Dati I <strong>Bali</strong>, 1991:592). Adapun menurut Titib<br />
(1997:28), doa yang menggunakan bahasa hati atau bahasa ibu atau bahasa<br />
yang paling <strong>di</strong>pahami oleh seseorang <strong>di</strong>sebut saa.<br />
2.3.3 Struktur atau Bentuk<br />
Bentuk adalah cara bagaimana suatu peristiwa <strong>di</strong>sajikan. Bentuk<br />
.... -<br />
adalah struktur yang mengorganisasikan elemen-elemen pengalaman<br />
(Shipley, 1962:166-167). Dalam bentuk terkandung unsur-unsur yang<br />
kemu<strong>di</strong>an akan <strong>di</strong>kaji dalam fungsi dan makna. Kridalaksana (1982:26)<br />
mengatakan bahwa bentuk adalah penampakan atau rupa satuan bahasa;<br />
satuan gramatikal atau leksikal yang <strong>di</strong>pandang secara Janis (yang<br />
bersangkutan dengan bunyi bahasa) atau grafemis (yang berhubungan<br />
dengan tulisan atau huruf). Adapun struktur atau bentuk yang <strong>di</strong>maksud<br />
dalam hal ini adalah struktur linguistik yang terdapat <strong>pada</strong> mantra dan saa<br />
(ucapan-ucapan doa tra<strong>di</strong>sional). Struktur juga <strong>di</strong>artikan sebagai wujud<br />
ritual pertanian.<br />
27
2.3.4Makna<br />
Makna menurut Palmer (1976:22) tidak semata-mata merefleksikan<br />
realitas dunia nyata, tetapi lebih menampakkan minat atau perhatian dari<br />
pemakainya. Sementara itu, Halliday (1978:112, 123-124) mengatakan<br />
bahwa bahasa sebagai proses sosial tidak terlepas dari seperangkat makna<br />
atau teks. Makna <strong>di</strong>produksi dan <strong>di</strong>reproduksi berdasarkan kon<strong>di</strong>si sosial<br />
tertentu dan melalui pelaku dan objek-objek materi tertentu. Makna dalam<br />
hubungannya dengan subjek dan objek secara konkret tidak bisa <strong>di</strong>uraikan,<br />
kecuali berdasarkan seperangkat<br />
hubungannya dengan struktur sosial,<br />
hubungan peran, dan perilaku masyarakat.<br />
Dillon (1977:99) memberikan penjelasan makna dengan menitikberatkan<br />
<strong>pada</strong> dua kategori, yaitu (1) eksistensi makna berhubungan dengan konteks<br />
..... -<br />
dan (2) makna sering berhubungan secara timbal balik dengan sistem<br />
kepercayaan yang <strong>di</strong>anut oleh penutur suatu bahasa. Makna w<strong>acana</strong> ritual<br />
pertanian dalam hal ini <strong>di</strong>artikan sebagai sebuah kata yang memiliki makna<br />
tersurat dan tersirat (Riana, 2003:10-11).<br />
2.4 Kerangka Berpikir<br />
Kerangka berpikir penelitian dapat <strong>di</strong>ungkapkan dalam bentuk<br />
gambar (hagan, grafik, dan lain-lain). Kerangka berpikir dalam hal ini<br />
<strong>di</strong>maksudkan sebagai abstraksi dan sintesis teori (linguistik etnologi yang<br />
<strong>di</strong>terjemahkan ke dalam linguistik kebudayaan, fungsional, dan struktural)<br />
dan permasalahan yang telah <strong>di</strong>rumuskan sebelumnya, yaitu struktur<br />
28
mantra dan saa, wujudjbentuk ritual, fungsi, dan makna atau pesan yang<br />
terkandung dalam w<strong>acana</strong> ritual pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>.<br />
Kerangka berpikir "W<strong>acana</strong> <strong>Ritual</strong><br />
Pertanian sebagai Usaha<br />
Pelestarian Bahasa dan Budaya <strong>Bali</strong>: Kajian Linguistik Etnologi" <strong>di</strong>buat<br />
dalam bentuk hagan <strong>di</strong>maksudkan untuk memudahkan pembaca melihat<br />
penelitian ini secara umum. Untuk lebih jelasnya, model penelitian yang<br />
<strong>di</strong>maksud dapat <strong>di</strong>lihat <strong>pada</strong> Bagan 1 berikut ini .<br />
..... -<br />
29
Bagan 1 Kerangka Berpikir W<strong>acana</strong> <strong>Ritual</strong> Pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong><br />
WACANA RITUAL PERTANIAN (WRP)<br />
~<br />
TEORI LINGUISTIK ETNOLOGI<br />
_-\NALISIS STRUKTUR<br />
:yfAKNA<br />
~<br />
ANALISIS<br />
~<br />
Keterangan:<br />
STRUKTUR I I FUNGSI I [ MAKNA<br />
= - r /<br />
I TEMUAN PENELITIAN I<br />
.... -<br />
= : arah kajian, ter<strong>di</strong>ri atas<br />
= bagian yang <strong>di</strong>pentingkan<br />
Bagan 1 <strong>di</strong> atas dapat <strong>di</strong>uraikan sebagai berikut.<br />
(1) WRP secara nyata menggunakan teori linguistik etnologi.<br />
(2) Ada tiga hal yang <strong>di</strong>analisis dalam WRP, yaitu (1) analisis struktur<br />
linguistik WRP, (2) analisis fungsi WRP, dan (3) analisis makna WRP.<br />
(3) Analis tersebut menghasilkan tiga hal pula, yaitu (1) "struktur WRP,<br />
(2) fungsi WRP, dan (3) makna WRP.<br />
(4) Ketiga hasil analisis tersebut merupakan sebuah temuan penelitian.<br />
30
BAB III<br />
TUJUAN DAN MANFAAT<br />
3.1 Tujuan<br />
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan<br />
khusus. Uraiannya adalah sebagai berikut.<br />
3.1.1 Tujuan Umum<br />
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali dan<br />
melestarikan nilai-nilai budaya <strong>Bali</strong> yang sampai saat ini masih hidup dan<br />
berkembang dalam masyarakat <strong>Bali</strong>. Secara tidak langsung penelitian ini<br />
juga turut melestarikan, membina, dan mengembangkan budaya <strong>Bali</strong><br />
melalui me<strong>di</strong>a bahasa.<br />
....-<br />
3.1.2 Tujuan Khusus<br />
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menjawab<br />
permasalahan yang telah <strong>di</strong>rumuskan sebelumnya, yaitu<br />
(1) mendeskripsikan dan mendalami struktur dan makna linguistik<br />
w<strong>acana</strong> ritual pertanian;<br />
(2) mendeskripsikan dan mendalami fungsi w<strong>acana</strong> pertanian;<br />
(3) menggali dan mendalami wujud ritual dan makna kontekstual<br />
w<strong>acana</strong> ritual pertanian tersebut.<br />
31
.... 2 Manfaat Penelitian<br />
Secara teoretis penelitian ini bermanfaat sebagai bahan informasi,<br />
_ emahaman, dan acuan, terutama yang berkenaan dengan stu<strong>di</strong> linguistik<br />
etnologi tentang w<strong>acana</strong> ritual pertanian. Secara praktis penelitian ini<br />
:)ermanfaat untuk memberikan tambahan wawasan pengetahuan dan<br />
_ceilmuan. Di samping itu, juga bermanfaat untuk bahan <strong>di</strong>skusi dan<br />
eminar serta pengayaan materi dalam masalah keagamaan untuk para<br />
Deminat.<br />
, -<br />
32
BABIV<br />
METODOLOGI<br />
4.1. Rancangan Penelitian<br />
Penelitian "W<strong>acana</strong> <strong>Ritual</strong> <strong>Masyarakat</strong> Petani sebagai Usaha<br />
Pelestarian Bahasa dan Budaya <strong>Bali</strong>: Sebuah Kajian Linguistik Etnologi"<br />
termasuk jenis penelitian lapangan, yang oleh Ayatrohae<strong>di</strong> (1985) <strong>di</strong>sebut<br />
dengan pupuan lapangan. Di dalam penelitian antropologi <strong>di</strong>sebut grounded<br />
research (Riana, 2003:10) atau field work (Koen~araningrat, 1986:42). Grounded<br />
research adalah suatu penelitian yang memungkinkan bagi peneliti untuk<br />
mengangkat data <strong>di</strong> lapangan tanpa terkait akan benar atau tidaknya suatu<br />
teori. Teori dalam pandangan grounded adalah rangkaian konsep yang jelas.<br />
Konsep budaya seharusnya <strong>di</strong>!~mukan <strong>pada</strong> realita yang <strong>di</strong>lukiskan secara<br />
.... -<br />
deskriptif argumentatif (Endraswara, 2003:70). Dalam penelitian lapangan,<br />
peneliti datang sen<strong>di</strong>ri dan meleburkan <strong>di</strong>ri dalam suatu masyarakat untuk<br />
mendapat keterangan tantang gejala kehidupan manusia dalam masyarakat.<br />
Adapun jenis penelitian yang <strong>di</strong>lakukan adalah penelitian kualitatif.<br />
Istilah kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986:9) <strong>pada</strong> mulanya bersumber<br />
<strong>pada</strong> pengamatan kualitatif yang bertentangan dengan pengamatan<br />
kuantitatif. Ada beberapa istilah yang <strong>di</strong>gunakan untuk penelitian kualitatif,<br />
yaitu penelitian alamiah, etnografi, interaksionis, simbolik, perspektif ke<br />
dalam, etnometodologi, fenomenologis, stu<strong>di</strong> kasus, interpretatif, dan<br />
ekologis dan deskriptif (Moleong, 1996:2). Data yang terkumpul dalam stu<strong>di</strong><br />
I<br />
kualitatif ini adalah data etnografis. Moleong (1996:12) menguraikan etnografi<br />
33
sebagai usaha untuk menguraikan kebudayaan atau aspek-aspe""<br />
kebudayaan.<br />
Dengan penelitian lapangan yang tergolong stu<strong>di</strong> kualitatif ini,<br />
<strong>di</strong>harapkan semua data yang <strong>di</strong>perlukan yang sebelumnya telah terangkum<br />
dalam permasalahan dapat <strong>di</strong>jaring. Adapun permasalahan yang <strong>di</strong>maksud<br />
meliputi stuktur linguistik dalam w<strong>acana</strong> ritual pertanian, wujud ritual<br />
pertanian, makna yang terkandung <strong>di</strong> dalamnya, dan hal-hallainnya yang<br />
terkait dengan w<strong>acana</strong> ritual pertanian.<br />
4.2 Lokasi Penelitian<br />
Sesuai dengan judul dan objek penelitian ini, lokasi penelitian adalah<br />
Provinsi <strong>Bali</strong>. Karena lokasi penelitian begitu luas, <strong>di</strong>pilih Kabupaten<br />
...... -<br />
Tabanan dan Gianyar sebagai sampel. Pemilihan dua wilayah penelitian itu<br />
<strong>di</strong>dasarkan pertimbangan (1) kesejarahan, (2) geografi dan ekologi, dan (3)<br />
tra<strong>di</strong>si. Dilihat dari sejarahnya, Kabupaten Tabanan memiliki wilayah<br />
pertanian yang paling luas <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>. Karena wilayahnya terluas, Kabupaten<br />
Tabanan adalah penghasil beras terbanyak sehingga <strong>di</strong>juluki sebagai<br />
"lumbung beras" -nya <strong>Bali</strong>. Secara geografis dan ekologis, Kabupaten<br />
Tabanan dan Kabupaten Gianyar terletak <strong>di</strong> daerah dataran rendah yang<br />
<strong>di</strong>dukung pula oleh sistem pengairan yang terorganisir dengan baik melalui<br />
subak. Berdasarkan tra<strong>di</strong>si, kedua kabupaten itu sangat kental dengan ritual<br />
pertanian <strong>di</strong> ban<strong>di</strong>ngkan dengan daerah-daerah lain <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>.<br />
34
Di Kabupaten Tabanan daerah yang <strong>di</strong>teliti adalah Kecarnatan<br />
Selemadeg Barat. Kecamatan Selemadeg Barat adalah wilayah paling selatan<br />
an barat dari Kabupaten Tabanan yang sebagian besar penduduknya<br />
hidup dari hasil pertanian. Sementara itu, <strong>di</strong> Kabupaten Gianyar daerah<br />
::ang <strong>di</strong>teliti adalah Kecamatan Sukawati yang merupakan sentra pertanian<br />
<strong>di</strong> Gianyar. Berdasarkan pertimbangan dalam penentuan sampel itu,<br />
daerah-daerah yang <strong>di</strong>teliti sudah dapat mewakili Provinsi <strong>Bali</strong>. Walaupun<br />
demikian, untuk melengkapi data yang <strong>di</strong>perlukan, tetap <strong>di</strong>cari data<br />
pemban<strong>di</strong>ng <strong>di</strong> seluruh kabupaten/ kota <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>.<br />
4.3 Metode Pemerolehan Data<br />
Metode pemerolehan data yang <strong>di</strong>terapkan dalarn penelitian ini<br />
..... -<br />
adalah (1) metode stu<strong>di</strong> pustaka, (2) metode observasi, dan (3) metode<br />
wawancara. Metode stu<strong>di</strong> pustaka adalah peneliti langsung mencari data<br />
kepustakaan berupa buku-buku, naskah, atau lontar yang berkaitan dengan<br />
penelitian ini, baik yang ada <strong>di</strong> perpustakaan maupun <strong>di</strong> masyarakat.<br />
Metode stu<strong>di</strong> pustaka ini bertujuan untuk memperdalam dan memperluas<br />
wawasan terhadap masalah yang akan <strong>di</strong>kaji serta mendalami teori yang<br />
telah <strong>di</strong>gunakan oleh para peneliti terdahulu. Sebagai alat bantu, dalam<br />
metode ini <strong>di</strong>gunakan teknik catat.<br />
Untuk memperoleh data yang lengkap yang terkait dengan w<strong>acana</strong><br />
ritual pertanian, <strong>di</strong>gunakan metode kualitatif berupa observasi dan<br />
wawancara (Danandjaja, 1989:13). Metode observasi adalah hal yang<br />
35
terpenting dalam penelitian ini yang sering <strong>di</strong>artikan dengan pengamatan<br />
dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang <strong>di</strong>seli<strong>di</strong>ki<br />
(Ha<strong>di</strong>, 1990:136). Jenis observasi yang <strong>di</strong>gunakan dalam penelitian ini adalah<br />
observasi langsung (Labovitz dan Hagedorn, 1982:68), yaitu peneliti<br />
melibatkan <strong>di</strong>ri secara langsung dalam kehidupan masyarakat yang<br />
<strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan objek penelitian. Observasi semacam itu juga <strong>di</strong>sebut observasi<br />
partisipan (Bodgan dalam Kuswarno, 2008:49). Lebih lanjut <strong>di</strong>katakan<br />
bahwa observasi partisipan adalah metode tra<strong>di</strong>sional yang <strong>di</strong>gunakan<br />
dalam antropologi dan merupakan sarana peneliti beradaptasi ke dalam<br />
masyarakat yang <strong>di</strong>telitinya.<br />
Metode wawancara adalah kegiatan penemuan data dengan<br />
melakukan tanya jawab secara sistematis antara pihak pewawancara dan<br />
--<br />
pihak pemberi data (Nawawi, 1983:111). Dengan metode wawancara yang<br />
oleh Ha<strong>di</strong> (1990:193) <strong>di</strong>sebut dengan interviu, peneliti sebagai pengejar<br />
informasi (information hunter) mengajukan pertanyaan, menilai jawabanjawaban,<br />
meminta penjelasan, mengadakan parafrasa, mengingat atau<br />
mencatat jawaban-jawaban, dan mengadakan prod<strong>di</strong>ng (menggali<br />
keterangan yang lebih mendalam) ke<strong>pada</strong> informan (information supplyer).<br />
Wawancara yang <strong>di</strong>gunakan dalam hal ini adalah wawancara tak<br />
terstruktur atau wawancara mendalam (Kuswarno, 2008:54). Menurut<br />
Moleong (1996:139) wawancara jenis ini menekankan <strong>pada</strong> kekecualian,<br />
penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali,<br />
pandangan ahli, atau perspektif tunggal. Responden dalam hal ini adalah<br />
36
mereka yang memiliki pengetahuan dan mendalami situasi dan lebih<br />
mengetahui informasi yang <strong>di</strong>perlukan. Dalam penelitian w<strong>acana</strong> ritual<br />
pertanian ini <strong>di</strong>pilih beberapa orang responden yang <strong>di</strong>anggap mengetahui<br />
betul tata cara pelaksanaan upacara tersebut.<br />
Kedua metode itu <strong>di</strong>bantu dengan teknik catat, teknik rekam, dan<br />
dokumentasi. Dengan teknik catat, peneliti berusaha mencatat hal-hal yang<br />
penting yang berhubungan dengan penelitian, kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>analisis. Dengan<br />
teknik rekam, peneliti merekam data <strong>di</strong> lapangan menggunakan tape<br />
recorder.<br />
Dokumentasi <strong>di</strong>lakukan dengan bantuan alat kamera untuk<br />
mengaba<strong>di</strong>kan latar belakang peristiwa<br />
dan unsur-unsur fisik dalam<br />
hubungannya dengan w<strong>acana</strong> ritual pertanian.<br />
4.4 Metode Analisis Data<br />
--<br />
Hal yang pertama <strong>di</strong>lakukan dalam analisis data adalah menelaah<br />
seluruh data yang <strong>di</strong>dapat berdasarkan observasi, wawancara, catatan<br />
lapangan, foto, rekaman, dan sebagainya. Setelah <strong>di</strong>baca, <strong>di</strong>pelajari, dan<br />
<strong>di</strong>telaah, langkah selanjutnya adalah mereduksi data dengan membuat<br />
abstraksi/ rangkuman untuk selanjutnya <strong>di</strong>lakukan penyusunan dalam<br />
satuan-satuan (Moleong, 1996:190). W<strong>acana</strong> ritual pertanian tersebut banyak<br />
macamnya sehingga data yang ada perlu <strong>di</strong>kategorisasikan dan kemu<strong>di</strong>an<br />
<strong>di</strong>lakukan pengodean. Setelah itu, <strong>di</strong>lakukan pemeriksaan keabsahan data.<br />
Tahap akhir dalam analisis data adalah terjemahan data dan<br />
I<br />
penafsiran/ interpretasi terhadap makna yang terkandung <strong>di</strong> balik w<strong>acana</strong><br />
37
itual pertanian tersebut. Dalam hal ini, peneliti <strong>di</strong>bantu oleh informan<br />
kunci.<br />
4.5 Metode Penyajian Hasil Analisis Data<br />
Hasil analsisis data <strong>di</strong>sajikan dengan metode formal dan informal.<br />
Metode formal adalah penyajian hasil analisis data dengan perumusan<br />
lambang-lambang, tabel-tabel, dan sebagainya. Metode informal adalah cara<br />
penyajian kaidah dengan rumusan kata-kata (Sudaryanto, 1982:16). Metode<br />
itu <strong>di</strong>bantu dengan teknik induktif, deduktif, dan argumentatif. Teknik<br />
induktif adalah cara penyajian dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat<br />
khusus terlebih dahulu ..<br />
kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>tarik suatu kesimpulan yang bersifat<br />
umum. Teknik deduktif adalah cara penyajian dengan mengemukakan hal-<br />
--<br />
hal yang bersifat umum terlebih dahulu, kemu<strong>di</strong>an <strong>di</strong>kemukakan hal-hal<br />
yang bersifat khusus sebagai penjelasannya (Ha<strong>di</strong>, 1983:44). Dengan teknik<br />
argumentasi, penulis memberikan komentar atau alasan <strong>pada</strong> saat menarik<br />
suatu kesimpulan (Netra, 1974:2).<br />
4.6 Sumber Data<br />
Sumber data dalam tulisan ini <strong>di</strong>bedakan menja<strong>di</strong> dua, yaitu sumber<br />
data lisan dan sumber data tulisan. Data tulisan yang <strong>di</strong>maksud adalah data<br />
yang terdapat <strong>di</strong> dalam buku, naskah, atau lontar. Sumber-sumber yang<br />
<strong>di</strong>maksud adalah sebagai berikut.<br />
(1) "Tuntunan Gunaning Masasawahan" (PHDI Kabupaten Tabanan,<br />
38
1978)<br />
(2) Naskah Salinan Lontar Prakempon Subak (Suastana, t.t.)<br />
(3) Alih Aksara Lontar Sri Purana (Pemda Tingkat I <strong>Bali</strong>, 1989)<br />
(4) Alih Aksara Lontar Usada Carik (Pemda Tingkat I <strong>Bali</strong>, 1994)<br />
(5) Alih Aksara Lontar Dharma Pamacul: Puja Daa (Dinas Kebudayaan<br />
Provinsi <strong>Bali</strong>, 2008)<br />
Adapun alasan pemilihan buku-buku dan naskah-naskah tersebut<br />
adalah semata-mata karena banyak <strong>di</strong>temukan data yang berhubungan<br />
dengan w<strong>acana</strong> ritual pertanian bagi masyarakat <strong>Hindu</strong> <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>, baik yang<br />
menyangkut struktur linguistik maupun wujud ritual pertanian. Data ini<br />
adalah data skunder yang akan banyak membantu <strong>di</strong> dalam analisis atau<br />
--<br />
pun penyelesaian laporan.<br />
Sumber data lisan <strong>di</strong>dapatkan melalui observasi langsung dan<br />
wawancara dengan informan/ responden <strong>di</strong> lapangan. Informan/ responden<br />
yang <strong>di</strong>maksud adalah para petani, pemuka adat, pamangku, pakaseh,<br />
pendeta, dan tokoh masyarakat atau orang yang <strong>di</strong>anggap mengetahui<br />
tentang masalah yang <strong>di</strong>kaji.<br />
39
BABV<br />
STRUKTUR DAN MAKNA TEKS MANTRA DAN SAA WACANA<br />
RITUAL PERTANIAN<br />
5.1 Struktur Teks Mantra dan Saa<br />
Pembahasan struktur mantra dan saa <strong>di</strong>awali dengan pengertian<br />
mantra dan saa. Dalam Sugono dkk. (2008:876) mantra <strong>di</strong>definisikan sebagai<br />
(1) perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (misalnya dapat<br />
menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya) atau (2) susunan<br />
.Kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang <strong>di</strong>anggap mengandung<br />
Kekuatan gaib, biasanya <strong>di</strong>ucapkan oleh dukun atau pawang untuk<br />
menan<strong>di</strong>ngi kekuatan gaib yang lain. Sejalan dengan itu, menurut Wiana,<br />
_000:124, mantra adalah Weda (l
mantram pan<strong>di</strong>ta <strong>Hindu</strong> <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>, juga <strong>di</strong>sebut mantra. Mantram-mantram itu<br />
<strong>di</strong>golongkan ke dalam kelompok stuti, stava, stotra, dan puja. Dengan<br />
demikian, yang <strong>di</strong>maksud dengan mantra adalah syair-syair dalam kitab<br />
suci Weda. Akan tetapi, dalam penelitian ini yang <strong>di</strong>maksud dengan mantra<br />
adalah sloka dengan pengertian sebenarnya, yaitu syair-syair yang <strong>di</strong>pakai<br />
dalam kitab-kitab Itihasa dan Purana, termasuk seluruh kitab-kitab sastra<br />
agama (Titib, 1997:29-30). Pengertian ini secara umum juga sudah <strong>di</strong>kenal<br />
oleh masyarakat <strong>Bali</strong> sebagai mantra. Dalam ritual pertanian mantra yang<br />
<strong>di</strong>maksud adalah syair-syair yang terdapat dalam Purana dan kitab-kitab<br />
sastra agama, seperti Sri Purana (selanjutnya <strong>di</strong>singkat SP), Prakempon Subak<br />
(PS), Usada Carik (UC), dan Tuntunan Gunaning Masasawahan (TGMSS).<br />
Saa dalam Ruddyanto dkk. (2008:607) <strong>di</strong>definisikan sebagai doa<br />
.....<br />
pujaan dalam bahasa <strong>Bali</strong> halus. Dalam penelitian ini saa yang <strong>di</strong>maksud<br />
adalah doa dengan bahasa sehari-hari yang <strong>di</strong>gunakan oleh para petani<br />
sebagai alat komunikasi dalam ritual pertanian.<br />
Berkaitan dengan struktur teks mantra dan saa w<strong>acana</strong> ritual<br />
pertanian adalah struktur atau bentuk linguistik. Kridalaksana (1982:26)<br />
mengatakan bahwa bentuk adalah penampakan atau rupa satuan bahasa;<br />
bentuk juga penampakan atau rupa satuan gramatikal atau leksikal yang<br />
<strong>di</strong>pandang secara fonis (yang bersangkutan dengan bunyi bahasa) atau<br />
grafemis (yang berhubungan dengan tulisan atau huruf). Dengan kata lain,<br />
bentuk adalah cara bagaimana suatu peristiwa <strong>di</strong>sajikan, sedangkan isi<br />
adalah apa yang <strong>di</strong>sajikan. Shipley (1962:166-167) mengatakan bahwa<br />
41
entuk adalah struktur tempat elemen-elemen pengalaman <strong>di</strong>organisasikan.<br />
Dalam bentuk terkandung unsur-unsur dan unsur inilah yang <strong>di</strong>kaji dalam<br />
fungsi dan makna.<br />
Dalam sebuah teks terdapat tiga tingkatan struktur yang saling<br />
erkaitan. Ketiga tingkatan struktur tersebut adalah (1) struktur makro:<br />
<strong>pada</strong> tataran ini yang perlu <strong>di</strong>cermati adalah makna global dari sebuah teks<br />
_,·ang dapat <strong>di</strong>amati dengan melihat topik atau tema yang <strong>di</strong>kedepankan<br />
dalam sebuah teks; (2) superstruktur: struktur ini merupakan struktur<br />
w<strong>acana</strong> yang berhubungan dengan kerangka sebuah teks, seperti<br />
pendahuluan, isi, penutup, dan simpulan; (3) struktur mikro, yaitu makna<br />
·w<strong>acana</strong> yang dapat <strong>di</strong>amati dari sebuah teks, seperti pilihan kata, kalimat,<br />
proposisi, anak kalimat, parafrasa, dan gambar (Eriyanto, 2005:226). Dari<br />
..... -<br />
ketiga tingkatan itu, analisis mantra dan saa kali ini <strong>di</strong>fokuskan <strong>pada</strong> tingkat<br />
mikro. Pada tingkat ini mantra dan saa <strong>di</strong>bahas berdasarkan (1) struktur<br />
kalimat imperatif dan (2) makna kalimat imperatif.<br />
5.2 Struktur Kalimat Imperatif W<strong>acana</strong> <strong>Ritual</strong> Pertanian<br />
Kalimat imperatif adalah kalimat yang <strong>di</strong>pakai oleh penutur untuk<br />
mengajukan permintaan, memberi perintah, atau mensyaratkan sesuatu<br />
ke<strong>pada</strong> lawan bicara. Secara formal kalimat imperatif <strong>di</strong>tandai dengan<br />
intonasi rendah <strong>di</strong> akhir tuturan, memakai partikel penegas, penghalus, dan<br />
kata tugas ajakan, harapan, permohonan, serta larangan. Pre<strong>di</strong>kat (P)<br />
biasanya berupa verba yang menyatakan perbuatan dan umumnya tidak<br />
42
mendapat awalan. Subjek (S) <strong>di</strong>dominasi persona kedua atau pertama <strong>pada</strong><br />
~imat imperatif aktif. Selain itu, subjek dengan persona kedua cenderung<br />
:idak ha<strong>di</strong>r. Ciri lain kalimat imperatif adalah <strong>di</strong>awali kata seperti tolong,<br />
coba, dan mari. Adapun dalam Alwi dkk. (1998:353) <strong>di</strong>sebutkan, ada tiga cara<br />
:mtuk mewujudkan kalimat imperatif, yaitu (1) kalimat yang ter<strong>di</strong>ri atas<br />
re<strong>di</strong>kat verbal dasar atau adjektiva atau £rasa preposisional saja yang<br />
~ifatnya taktransitif, (2) kalimat lengkap yang berpre<strong>di</strong>kat verbal taktransitif<br />
atau transitif, dan (3) kalimat yang <strong>di</strong>markahi oleh berbagai kata tugas<br />
modalitas kalimat.<br />
Mantra dan saa yang <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan kajian dalam penelitian ini terbatas<br />
<strong>pada</strong> ritual pertanian. Jika <strong>di</strong>cermati, mantra dan saa dalam ritual pertanian<br />
itu menyiratkan ragam kalimat imperatif. Sebagai contoh, berikut ini<br />
..... -<br />
<strong>di</strong>kutipkan beberapa cuplikan mantra dan saa yang menyiratkan kalirnat<br />
imperatif.<br />
(1) Mantra untuk Menyebar Benih<br />
Terjemahan Bebas:<br />
Ong Hyang Ibu Pertiwi,<br />
hulun aminta nugraha,<br />
pakenani taneman ingulun,<br />
hempunen sida urip waras,<br />
Ong Sri Sri ya namah swaha (SP: 23).<br />
Ya, Tuhan, sebagai Hyang Ibu Pertiwi,<br />
hamba mohon anugerah,<br />
peliharalah tanaman hamba ini,<br />
jagalah selalu sehingga hidup sehat sempurna,<br />
terpujilah Engkau Tuhan sebagai Dewi Sri.<br />
43
(2) Saa untuk Ngingu Kakul 'Menjamu Siput'<br />
Terjemahan Bebas:<br />
Ih sira sedahan kakul,<br />
Niki titiang ngaturang nasi,<br />
Icen panjak sira makejang,<br />
Sampunang ngrusak pamulan tiange,<br />
Sampunang menekin tatanduran tiange,<br />
Mangda sida urip waras.<br />
Ya, Engkau sebagai penguasa siput,<br />
ini hamba menghaturkan nasi,<br />
beri(lah) seluruh rakyat-Mu,<br />
janganlah merusak tananam hamba,<br />
janganlah menaiki tanaman hamba,<br />
supaya bisa hidup sehat.<br />
Contoh mantra (1) dan saa (2) memperlihatkan struktur kalimat<br />
. --<br />
!:nperatif. Pada contoh tampak struktur kalimat imperatif yang umumnya<br />
i:lenggunakan verba dasar, seperti pelihara, dan jaga (1) dan ben dan Jangan<br />
_ .. Verba dasar seperti itu dapat <strong>di</strong>gunakan <strong>pada</strong> struktur kalimat imperatif<br />
a2.-ctif, sedangkan <strong>pada</strong> kalimat imperatif pasif, verba dapat <strong>di</strong>lekati awalan<br />
-·:-. Hal itu dapat <strong>di</strong>cermati <strong>pada</strong> cuplikan mantra berikut.<br />
(3) Mantra untuk Ngrasakin<br />
manawi kurang luput,<br />
kalau kurang lengkap,<br />
gong sznampura,<br />
mohon <strong>di</strong>maafkan ... (SP:14).<br />
( 4) Mantera untuk Mengusir Burung<br />
, Ih, Brabu Hitem, Brabu Rawa,<br />
W ahai, Engkau, Raja Burung Gagak, Burung Raw a,<br />
heda baangan sang gowak mangamah,<br />
janganlah <strong>di</strong>izinkan si gagak memakan<br />
tatanduran Bhatara Guru ....<br />
tanaman BEtara Guru ... (UC:25-26; SP: 28).
Struktur kalimat imperati£ umumnya dapat berupa kata, frasa, dan<br />
klausa. Akan tetapi, konstruksi kalimat imperati£ mantra dan saa dalam<br />
ritual pertanian <strong>di</strong>dominasi oleh struktur kalimat berupa klausa. Klausa<br />
yang membentuk kalimat imperati£ tersebut cukup beragam bentuknya.<br />
Konstruksi kalimat imperati£ mantra dan saa dalam ritual pertanian yang<br />
berupa klausa dapat <strong>di</strong>cermati berikut ini.<br />
5.2.1 Klausa yang Diawali dengan Verba<br />
Konstruksi imperati£ yang berupa klausa memiliki beberapa model<br />
seperti berikut.<br />
(1) verba dasar<br />
(2) V ('ber- ... -lah')<br />
..... -<br />
(1) Verba Dasar<br />
Konstruksi imperati£ mantra dan saa w<strong>acana</strong> ritual pertanian yang<br />
<strong>di</strong>awali verba dasar juga dapat <strong>di</strong>dampingi oleh kategori lain. Contohnya<br />
sebagai berikut.<br />
a. V Dasar + FN<br />
(1) hempu tatanduranira (M, 11:11)<br />
peliharalah tanamanku<br />
b. V Dasar + N + Fprep<br />
(2) teka sira maring <strong>Bali</strong> (M, 10:3)<br />
datang kalian ke <strong>Bali</strong><br />
45
c. V Dasar + FV<br />
(3) teka, ndusi, Sanghyang Warsa (M, 1:8)<br />
datang, basahilah, wahai, Dewa hujan<br />
Konstruksi kalimat imperatif <strong>di</strong> atas ter<strong>di</strong>ri atas verba dasar<br />
·dampingi nomina (1), verba dasar <strong>di</strong>dampingi nomina dan frasa<br />
reposisional (2), dan verba dasar <strong>di</strong>dampingi verba dan frasa nominal (3).<br />
-r:-ungsi-fungsi sintaksis <strong>pada</strong> klausa (1)<br />
adalah verba dasar hempu<br />
pelihara(lah)' berfungsi sebagai pre<strong>di</strong>kat dan frasa nominal tatanduranira<br />
tanamanku' sebagai pelengkap. Pada klausa (2) fungsi pre<strong>di</strong>kat <strong>di</strong>isi verba<br />
dasar teka 'datang', fungsi pelengkap <strong>di</strong>isi nomina sira 'kalian, dan fungsi<br />
~'eterangan <strong>di</strong>isi frasa preposisional maring <strong>Bali</strong> 'ke <strong>Bali</strong>'. Pada klausa (3)<br />
·erba dasar teka 'datang' juga sebagai pre<strong>di</strong>kat dan frasa verbal ltalL<br />
Sanghyang Warsa 'basahi(lah), wahai, Dewa Hujan' sebagai pelengKap.<br />
_-\dapun subjek klausa (1)- (3) tidak <strong>di</strong>eksplisitkan sebagai syarat kalimat<br />
imperatif.<br />
Verba dasar pengisi fungsi pre<strong>di</strong>kat <strong>pada</strong> klausa (1)-(3) merupakan<br />
enis verba yang mengandung makna inheren perbuatan. Verba dasar <strong>pada</strong><br />
contoh (1)- (3) adalah verba intransitif yang tidak menunrut keha<strong>di</strong>ran<br />
objek.<br />
-) V ('ber- ... -lah')<br />
Kalimat imperatif dalam mantra dan saa ritual pertanian yang <strong>di</strong>awali<br />
'engan verba bermakna 'ber-' dapat <strong>di</strong>cermati berikut ini.
a. V ('ber- ... -lah') + FN<br />
(1) mapupul palungguh Bhatara (S, 07.2:2)<br />
berkumpullah Engkau (Tuhan)<br />
b. V ('ber- ... -lah') + N + Fprep<br />
(2) mungguh Cri jagat raya namah (M, 5:2)<br />
bersemayamlah Dewi Sri <strong>di</strong> dunia<br />
Verba bermakna 'ber-' <strong>pada</strong> contoh (1)- (2) <strong>di</strong>tandai oleh verba<br />
mapupul 'berkumpul(lah)' (1) dan mungguh 'berstana(lah)' (2) yang berfungsi<br />
ebagai pre<strong>di</strong>kat. Unsur yang lain berupa £rasa nominal palungguh Bhatara<br />
'Engkau (Tuhan)' (1) berfungsi sebagai pelengkap; <strong>pada</strong> (2) nomina Cri<br />
'Dewi Sri' berfungsi sebagai pelei\gkap dan £rasa nominal jagat raya namah<br />
'<strong>di</strong> dunia' berfungsi sebagai keterangan. Dengan demikian, kalimaimperati£<br />
yang berupa klausa <strong>pada</strong> tersebut ter<strong>di</strong>ri atas pre<strong>di</strong>kat uan<br />
pelengkap (1) dan pre<strong>di</strong>kat, pelengkap, dan keterangan <strong>pada</strong> (2).<br />
Verba mapupul'berkumpul(lah)' (1) dan mungguh 'berstana(lah)' (2),<br />
adalah verba akti£ intransiti£ yang secara gramatikal dan semantis tidak<br />
mengharapkan keha<strong>di</strong>ran objek. Keha<strong>di</strong>ran partikel -lah <strong>pada</strong> verba<br />
bermakna 'ber-' <strong>pada</strong> (1)- (2) tidak <strong>di</strong>nyatakan secara eksplisit dalam data .<br />
.·:aiaupun demikian, verba <strong>pada</strong> klausa (1)-(2) tetap menandakan<br />
£:nperati£ apalagi jika <strong>di</strong>ujarkan dengan intonasi naik. Secara semantis verba<br />
pupul 'berkumpul(lah)' dan mungguh 'bersemayam(lah)' <strong>pada</strong> (1)- (2)<br />
.~rmasuk verba <strong>di</strong>namis yang mengandung makna aktivitas.
5.2.2 Klausa yang Diawali Adjektiva<br />
Dalam data mantra dan saa ritual pertanian <strong>di</strong>temukan klausa dengan<br />
struktur adjektiva seperti tampak berikut ini.<br />
a. Adj + ('-ilah') + FN<br />
(1) ... ndusi Sanghyang Warsa (M, 1 :8)<br />
... basahilah, wahai, Dew a Hujan<br />
b. Adj + (' -kanlah) + FN<br />
(2) doh aken ingon-ingon Pangakan kabeh (M, 19:48)<br />
jauhkanlah peliharaan-Mu<br />
Contoh (1) adalah klausa dengan struktur adjektiva + (' -ilah') + £rasa<br />
nominal. Klausa (1) ter<strong>di</strong>ri atas dua unsur, yaitu ndusi 'basah(ilah)' yang<br />
berkatego~~ adjektiva dan berfwgsi sebagai pre<strong>di</strong>kat dan Sanghyang vvarsa<br />
--c..-<br />
'wahai, Dewa Hujan' yang berkategori nomina dan berfungsi sebagai<br />
pelengkap. Verba ndusi 'basahilah' berasal dari verba dasar ndus 'basah' dan<br />
akhiran -i (lah) yang menegaskan makna imperatif. Klausa (2) ter<strong>di</strong>ri atas<br />
£rasa adjektival doh aken 'jauhkanlah' yang berfungsi sebagai pre<strong>di</strong>kat dan<br />
£rasa nominal ingon-ingon Pangakan kabeh 'peliharaan-Mu' yang berfungsi<br />
sebagai pelengkap.<br />
5.2.3 Klausa yang Diawali Nomina (Frasa Nominal)<br />
Kalimat imperatif dalam bentuk klausa dalam mantra dan saa ritual<br />
pertanian yang <strong>di</strong>awali nomina dapat <strong>di</strong>cermati berikut ini.<br />
I<br />
a.N+ V+ FN<br />
48
(1) iki tadah sajinira (M, 6:4)<br />
ini nikmatilah persembahan hamba<br />
b. FN+V<br />
(2) Ong, Sri mandel, belbel (M, 4:2)<br />
Ya, Tuhan, sebagai Dewi Sri Mandel, berjejal-jejallah<br />
Kalimat imperatif (1) ter<strong>di</strong>ri atas tiga unsur, yaitu iki 'ini', tadah<br />
'nikmat(ilah)', dan sajinira persembahan hamba'. Kata iki 'ini' berfungsi<br />
sebagai subjek, tadah 'nikmatilah' berfungsi sebagai pre<strong>di</strong>kat, dan sajinira<br />
'persembahan hamba' sebagai objek. Berdasarkan kategorinya, contoh (1)<br />
ter<strong>di</strong>ri atas N + V + FN (£rasa nominal). Nomina berupa kata iki 'ini', tadah<br />
'makanlah' adalah verba dasar, dan sajinira 'persembahan hamba' yang<br />
beru pa £rasa nominal.<br />
... ,-<br />
Kalimat imperatif (2) ter<strong>di</strong>ri atas dua unsur, yaitu Ong, Sri mandel '<br />
Ya, Tuhan, sebagai Dewi Sri Mandel' dan belbel' berjejal-jejallah(lah)'. Ong,<br />
Sri Mandel 'Ya, Tuhan, sebagai Dewi Sri Mandel' berfungsi sebagai subjek<br />
dan belbel 'berjejal-jejallah(lah)' berfungsi sebagai pre<strong>di</strong>kat. Berdasarkan<br />
kategorinya, contoh (2) ter<strong>di</strong>ri atas FN + V. Frasa nominal berupa gabungan<br />
kata Ong, Sri Mandel 'Ya, Tuhan, sebagai Dewi Sri Mandel' dan belbel<br />
'berjejal-jejallah(lah)' adalah verba dasar.<br />
5.2.4 Kalimat Imperatif dengan Kat a Bermakna 'J angan'<br />
Kalimat dengan kata bermakna 'jangan' tergolong ke dalam kalimat<br />
imperatif larangan. Dalam mantra dan saa kalimat imperatif larangan<br />
49
dengan makna 'jangan' cukup banyak <strong>di</strong>temukan. Beberapa contoh <strong>di</strong>kutip<br />
erikut ini.<br />
(1) Pakulun sang Dora Kala sang Dora Kali,<br />
Paduka sang Dora Kala sang Dora Kali,<br />
aja sira munggah ring lumbung ... (M, 6:1-2) .<br />
jangan paduka naik ke lumbung ....<br />
(2) Ih, Brabu Hitem, Brabu Rawa,<br />
Wahai, Engkau, Raja Burung Gagak, Burung Rawa,<br />
heda baanga sang gowak mangamah, tatanduran Bhatara Guru ... (M,<br />
11:7 -10).<br />
jangan <strong>di</strong>izinkan si gagak memakan tanaman Betara Guru ....<br />
Kalimat imperatif dengan kata aja (Jawa Kuna) dan heda (<strong>Bali</strong>)<br />
'jangan' memiliki lima jenis variasi dan dapat bergabung dengan berbagai<br />
kategori kata. Kalimat imperatif yang <strong>di</strong>tandai dengan makna 'jangan'<br />
berupa klausa menempatkan ~"f1lta<br />
bermakna 'jangan' itu terletak <strong>di</strong> a\\Tal<br />
klausa. Variasi kalimat imperatif dengan kata bermakna 'jangan' <strong>di</strong>sertai<br />
dengan contoh <strong>di</strong>uraikan berikut ini.<br />
1. 'Jangan' + N + V + FPrep<br />
(1) aja sira munggah ring lumbung ... (M, 6:1-2).<br />
N V FPrep<br />
janganlah paduka naik ke lumbung ....<br />
2. FN + 'Jangan' + Adj<br />
(2) sira, walang sangit<br />
FN<br />
haywa campah (M, 10:6)<br />
Adj<br />
kalian, walang sangit, jangan berani<br />
50
3. 'Jangan' + V + FN + V + FN<br />
(3) heda baanga sang gowak mangamah tatanduran Bhatara Guru<br />
V FN V FN<br />
(M, 11:6)<br />
jangan<br />
Guru<br />
<strong>di</strong>izinkan si gagak memakan tanaman Betara<br />
4. 'Jangan' + V + V + N<br />
(4) aja aweh amangan pari (M, 19:50)<br />
v V N<br />
jangan <strong>di</strong>biarkan memakan pa<strong>di</strong><br />
5. 'Janganlah' + V + FN<br />
(5) sampunang ngrusak pamulan tiange (S, 4:4)<br />
V FN<br />
j anganlah merusak tananam hamba<br />
6. 'Janganlah' + N + V + FN + FPrep<br />
..... -<br />
(6) sampunang jrone angusak-asik parin titiange ring jroning lumbung<br />
N V FN FPrep<br />
(S, 8:6)<br />
janganlah Engkau merusak pa<strong>di</strong> hamba <strong>di</strong> lumbung<br />
Contoh (1)-(6) memperlihatkan variasi pemakaian kalimat imperatif<br />
dengan kata bermakna 'jangan' yang <strong>di</strong>temukan dalam mantra dan saa.<br />
Contoh tersebut juga memperlihatkan bahwa penanda imperatif 'jangan'<br />
dapat bergabung dengan berbagai kategori.<br />
Pada contoh (1) konstruksi bermakna 'jangan' dapat bergabung<br />
dengan nomina, verba, dan £rasa preposisional. Penanda imperatif negatif<br />
bermakna 'jangan' <strong>pada</strong> (1) menegasikan nomina sira 'paduka'. Dari tataran<br />
fungsi, contoh (1) ter<strong>di</strong>ri atas subjek (sira 'paduka'), pre<strong>di</strong>kat berupa verba<br />
51
turunan (munggah 'naik'), dan keterangan (ring lumbung 'ke lumbung')<br />
berupa £rasa preposisional dengan unsur ke sebagai inti dan lumbung sebagai<br />
pewatas. Karena pengisi fungsi pre<strong>di</strong>kat berupa verba aktif intransiti£, objek<br />
tidak muncul <strong>pada</strong> contoh (1).<br />
Pada contoh (2) tampak penanda imperati£ negatif bermakna 'jangan'<br />
terletak <strong>di</strong> antara nomina dan adjektiva. Penanda imperatif 'jangan'<br />
menegasikan adjektiva campah 'berani'. Contoh (2), dari tataran fungsi,<br />
ter<strong>di</strong>ri atas dua fungsi, yaitu subjek (sira, 'lvalang sangit 'kalian, walang<br />
sangit') dan pre<strong>di</strong>kat (campah 'berani'). Karena pre<strong>di</strong>kat berupa verba<br />
intransiti£, objek juga tidak <strong>di</strong>munculkan <strong>pada</strong> contoh (2).<br />
Adapun <strong>pada</strong> (3) penanda imperati£ 'jangan' mengawali verba,<br />
nomina, verba, dan £rasa nominal. Penanda imperatif 'jangan' menegasikan<br />
.,..-<br />
verba pasif <strong>di</strong>izinkan. Hal ini dapat terja<strong>di</strong> jika konstruksi tidak bersubjek.<br />
Berdasarkan fungsinya, contoh (3) ter<strong>di</strong>ri atas keterangan (janganlah<br />
<strong>di</strong>izinkan), subjek (si gagak), pre<strong>di</strong>kat (memakan), dan objek berupa £rasa<br />
nominal (tanaman Batara Guru). Objek muncul <strong>pada</strong> contoh (3)<br />
karena<br />
pengisi fungsi pre<strong>di</strong>kat berupa verba aktif transiti£.<br />
Pada contoh (4) penanda imperati£ negatif jangan juga dapat<br />
bergabung dengan verba pasif, verba aktif, dan nomina. Penanda jangan<br />
mewatasi verba pasi£ <strong>di</strong>biarkan yang menduduki fungsi keterangan. Fungsifungsi<br />
yang lain, seperti pre<strong>di</strong>kat (memakan) dan objek (pa<strong>di</strong>) <strong>di</strong>nyatakan<br />
secara eksplisit, sedangkan subjek tidak.<br />
52
Pada (5) jangan dapat <strong>di</strong>tambahkan partikel -lah dan <strong>di</strong>ikuti oleh<br />
yerba sebagai pre<strong>di</strong>kat dan £rasa nominal sebagai objek karena pre<strong>di</strong>kat<br />
erupa verba transitif. Pada (6) janganlah <strong>di</strong>ikuti nomina sebagai subjek,<br />
Yerba transitif sebagai pre<strong>di</strong>kat, £rasa nominal sebagai objek, dan £rasa<br />
reposisional sebagai keterangan. Kalimat imperatif negatif yang <strong>di</strong>awali<br />
engan kata aja, haywa, heda, dan sampunang yang bermakna 'jangan' dapat<br />
menegasikan verba jika dalam konstruksi itu tidak bersubjek (seperti <strong>pada</strong><br />
contoh 3, 4, dan 5) dan dapat menegasikan nomina jika konstruksi itu<br />
ersubjek (seperti <strong>pada</strong> contoh 1 dan 6).<br />
Kata aja, haywa, heda, dan sampunang yang bermakna 'jangan' tidak<br />
hanya berada <strong>di</strong> awal kalimat, tetapi dapat pula terletak <strong>di</strong> antara nomina<br />
dan verba, seperti tampak <strong>pada</strong> (2). Dilihat dari fungsi sintaksisnya, contoh<br />
,-<br />
2) ter<strong>di</strong>ri atas dua fungsi, yaitu subjek dan pre<strong>di</strong>kat.<br />
5.2.5 Kalimat Imperatif dengan Kata Bermakna 'Perintah'<br />
Kalimat perintah <strong>di</strong>lihat dari bentuknya ada yang ter<strong>di</strong>ri atas satu<br />
kata, dua kata, dan kalimat. Kalimat imperatif perintah yang ter<strong>di</strong>ri atas satu<br />
atau dua kata merupakan kalimat yang pendek dan menandakan bahwa<br />
perintah bersifat tegas dengan kadar suruhan yang tinggi. Namun, dalam<br />
mantra dan saa yang <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan sumber data, kalimat imperatif perintah<br />
kebanyakan ter<strong>di</strong>ri atas lebih dari dua kata (kalimat).<br />
Kalimat imperatif dengan kata bermakna 'perintah' dan berbagai<br />
J<br />
variasinya dalam kalimat dapat <strong>di</strong>lihat <strong>pada</strong> contoh berikut.<br />
53
1. N + Perintah + N + F Adv<br />
(1) Ong pasok-pasok Ta Kita saking patala<br />
N<br />
N FPrep<br />
Ya, Tuhan, bermunculanlah Engkau dari dalam tanah (M, 1:7)<br />
- · Perintah + FN<br />
(2) pakenani taneman ingulun<br />
FN<br />
peliharalah tanaman hamba ini (M, 2:3)<br />
3. N + Perintah + FN<br />
(3) iki<br />
N<br />
tadah sazmzra<br />
FN<br />
ini nikmatilah persembahan hamba (M, 6:4)<br />
Umumnya kalimat imperatif perintah <strong>di</strong>tandai dengan pemakaian<br />
--<br />
-lah sebagai penghalus perintah. Namun, dalam data perintah dengan - lalz<br />
tidak <strong>di</strong>nyatakan secara eksplisit. Dalam data tampak perintah <strong>di</strong>tandai<br />
engan kata pasok-pasok 'bermunculanlah' (1), pakenani 'peliharalah' (2), dan<br />
tadah 'nikmatilah' (3).<br />
Ada tiga variasi kalimat imperatif perintah yang <strong>di</strong>temukan dalam<br />
data. Pada contoh (1) pasok-pasok 'bermunculanlah' sebagai perintah <strong>di</strong>apit<br />
oleh nomina Ong 'Ya, Tuhan', nomina Ta Kita 'Engkau', dan frasa<br />
preposisional saking patala 'dari dalam tanah'. Dilihat dari tataran fungsi,<br />
contoh (1) ter<strong>di</strong>ri atas subjek (S) berupa nomina Ong 'Ya, Tuhan', pre<strong>di</strong>kat<br />
(P) yang <strong>di</strong>isi verba perintah pasok-pasok 'bermunculanlah', dan pelengkap<br />
berupa nominaTa Kita 'Engkau', dan keterangan berupa frasa preposisional<br />
54
5.mng patala 'dari dalam tanah. Pada contoh (1) objek tidak muncul karena<br />
. engisi fungsi pre<strong>di</strong>kat adalah verba intransiti£.<br />
Contoh (2) memperlihatkan kata perintah pakeneni 'peliharalah'<br />
:nenempati posisi awal klausa. Pakeneni 'peliharalah' <strong>di</strong>ikuti £rasa nominal<br />
~ne man<br />
ingulun 'tanaman hamba ini'. Contoh (2), berdasarkan tataran<br />
fungsi, ter<strong>di</strong>ri atas pre<strong>di</strong>kat (P) dan objek (0). Pre<strong>di</strong>kat <strong>di</strong>isi oleh verba<br />
akenani 'peliharalah' dan objek <strong>di</strong>isi £rasa nominal taneman ingulun<br />
anaman hamba ini'. Pada contoh (2) subjek (S) tidak muncul karena telah<br />
<strong>di</strong>sebut sebelumnya. Hal itu <strong>di</strong>mungkinkan karena data berbentuk mantra.<br />
Makna 'perintah' yang <strong>di</strong>tandai dengan kata tadah 'nikmatilah'<br />
erdapat <strong>pada</strong> contoh (3). Pada contoh ini tadah 'nikmatilah' <strong>di</strong>apit oleh<br />
nomina iki 'ini' dan £rasa nominal sajinira 'persembahan hamba'. Nomina iJ..:i<br />
..... -<br />
'ini', <strong>di</strong>lihat dari fungsinya, menempati subjek (S), verba tadnh 'nikmatilah'<br />
ebagai pre<strong>di</strong>kat (P), dan sajinira 'persembahan hamba' sebagai objek. Objek<br />
ha<strong>di</strong>r <strong>pada</strong> contoh (3) karena pre<strong>di</strong>kat tadah 'nikmatilah' adalah verba<br />
transiti£ yang memerlukan keha<strong>di</strong>ran objek.<br />
5.2.6 Kalimat Imperatif dengan Kata Bermakna 'Mohon'<br />
Kalimat imperati£ dengan kata bermakna 'mohon' juga <strong>di</strong>temukan<br />
dalam mantra dan saa ritual penanaman pa<strong>di</strong>. Berikut contoh dan variasi<br />
pemakaiannya dalam kalimat.<br />
1. FN + Mohon + N<br />
55
(1) Pakulun manu san paduka Bhatara hatur mint a<br />
FN<br />
nugraha (M, 14:1)<br />
N<br />
Ya, Yang Mulia, hamba<br />
memohon restu<br />
2. N + Mohon + FN<br />
(2) Titiang nunas geng rena sinampura<br />
N<br />
FN<br />
Hamba memohon maaf (S, 1:5)<br />
3. N + Mohon (FV) + N<br />
(3) puniki jagi tunas titiang<br />
N FV<br />
ini akan hamba mohon (S, 7.1:4)<br />
Dalam contoh (1)-(3) tampak makna 'mohon' <strong>di</strong>tandai kata minta<br />
(1), nunas (2), dan nunas (3). Pada contoh itu kata-kata bermakna 'mohon'<br />
terletak <strong>di</strong> ten gah kata (1)-(3). ,-<br />
Contoh (1) memperlihatkan makna 'permohonan' yang <strong>di</strong>tandai<br />
dengan minta 'memohon' yang <strong>di</strong>apit oleh £rasa nominal pakulun manusan<br />
paduka Bhatara hatur 'Ya, Yang Mulia, hamba' dan nomina nugraha 'restu'.<br />
Berdasarkan fungsinya, klausa <strong>pada</strong> contoh (1) ter<strong>di</strong>ri atas tiga tataran, yaitu<br />
subjek, pre<strong>di</strong>kat, dan pelengkap. Subjek <strong>di</strong>isi oleh £rasa nominal pakulun<br />
manusan paduka Bhatara hatur 'Ya, Yang Mulia, hamba', pre<strong>di</strong>kat <strong>di</strong>isi oleh<br />
verba turunan minta 'memohon', dan pelengkap <strong>di</strong>isi oleh nomina nugraha<br />
'restu'. Objek tidak tampak <strong>pada</strong> contoh (1) karena pengisi pre<strong>di</strong>kat adalah<br />
verba aktif intransitif.<br />
Paaa contoh (2) klausa dengan makna 'mohon' yang <strong>di</strong>tandai dengan<br />
kata nunas 'memohon' juga berada <strong>di</strong> tengah klausa <strong>di</strong>apit oleh nomina dan<br />
56
£rasa nominal. Klausa itu termasuk klausa aktif intransitif sehingga, jika<br />
<strong>di</strong>lihat dari tataran fungsi, verba sebagai pengisi fungsi pre<strong>di</strong>kat tidak<br />
memerlukan objek. Contoh (2) ter<strong>di</strong>ri atas tiga tataran fungsi, yaitu subjek<br />
<strong>di</strong>isi oleh nominal titiang 'hamba', pre<strong>di</strong>kat <strong>di</strong>isi verba aktif intransitif nunas<br />
'memohon', dan pelengkap <strong>di</strong>isi oleh £rasa nominal geng rena sznampura<br />
'maaf'. Verba nunas merupakan verba turunan dari tunas 'pinta'.<br />
Pada contoh (3) kata bermakna 'mohon' juga terletak <strong>di</strong> tengah<br />
klausa. Klausa itu <strong>di</strong>awali dengan nomina puniki 'ini' dan <strong>di</strong>akhiri nomina<br />
titiang 'hamba'. Contoh (3) termasuk klausa pasif dan dari segi fungsi ter<strong>di</strong>ri<br />
atas dua fungsi, yaitu objek dan pre<strong>di</strong>kat. Objek berupa nomina puniki 'ini'<br />
dan pre<strong>di</strong>kat berupa £rasa verbal jagi tunas titiang 'akan hamba mohon'.<br />
--<br />
5.2.7 Kalimat Imperatif dengan Kata Bermakna 'Semoga'<br />
Kalimat imperatif dengan kata bermakna 'semoga' termasuk kalimat<br />
imperatif pengharapan. Dalam data kalimat imperatif pengharapan ini cukup<br />
banyak <strong>di</strong>temukan baik <strong>pada</strong> mantra maupun saa. Berdasarkan data, kalimat<br />
imperatif dengan kata bermakna 'semoga' beserta variasi pemakaiannya<br />
<strong>di</strong>berikan berikut ini.<br />
1. Semoga + N + FV + N<br />
(1) Dumadak titiang sida ngamanggihin rahayu<br />
N FV N<br />
Semoga hamba menemui keselamatan (S, 1:7)<br />
57
- · Semoga + F Adj<br />
(2) Dumadak sida rahayu<br />
FAdj<br />
Semoga selamat (S, 07.2:7)<br />
Dilihat dari strukturnya, kata semoga yang menandai makna<br />
· pengharapan' <strong>pada</strong> contoh (1)- (2) terletak <strong>di</strong> awal klausa. Kata dumadak<br />
semoga' <strong>di</strong>ikuti oleh nomina, £rasa verbal, dan nomina <strong>pada</strong> (1), sedangkan<br />
<strong>pada</strong> (2) <strong>di</strong>ikuti £rasa adjektival. Berdasarkan strukturnya, contoh (1) ter<strong>di</strong>ri<br />
atas keterangan, subjek, pre<strong>di</strong>kat, dan objek. Fungsi keterangan <strong>di</strong>isi nomina<br />
dumadak 'semoga', subjek <strong>di</strong>isi nomina titiang 'hamba', pre<strong>di</strong>kat <strong>di</strong>isi £rasa<br />
verbal sida ngamanggihin, dan objek <strong>di</strong>isi nomina rahayu 'keselamatan'.<br />
Pada (2) dumadak 'semoga' <strong>di</strong>ikuti £rasa adjektival sida ralznyu<br />
...... -<br />
'selamat'. Klausa itu, dari tataran fungsi, ter<strong>di</strong>ri atas subjek berupa nomina<br />
dumadak 'semoga' dan pre<strong>di</strong>kat berupa £rasa adjektival sida rahayu 'selamat'.<br />
Pada contoh (1)-(2) tampak kata dumadak 'semoga' menduduki fungsi yang<br />
berbeda, <strong>pada</strong> contoh (1) sebagai keterangan dan <strong>pada</strong> (2) sebagai subjek.<br />
5.2.8 Kalimat Imperatif dengan Kata Bermakna 'Su<strong>di</strong> Kiranya'<br />
Dalam data kalimat imperati£ bermakna 'su<strong>di</strong> kiranya' <strong>di</strong>tandai<br />
dengan kata enaka<strong>pada</strong> (1), ledang (2 dan 4), dan enak (3). Kata enaka<strong>pada</strong> dan<br />
enak adalah kata dari bahasa Jawa Kuna yang sering <strong>di</strong>gunakan <strong>pada</strong><br />
mantra, sedangkan kata lidang adalah kata <strong>Bali</strong> halus yang biasa <strong>di</strong>gunakan<br />
<strong>pada</strong> saa.<br />
I<br />
58
Berdasarkan variasinya, kata enaka<strong>pada</strong>, ledang, dan enak menempati<br />
:osisi awal klausa. Variasi pemakaiannya dalam kalimat imperatif<br />
':Jermakna 'su<strong>di</strong> kiranya' beserta contoh dapat <strong>di</strong>lihat berikut ini.<br />
:. Su<strong>di</strong> kiranya + FV + FN (N)<br />
(1) Enaka<strong>pada</strong> angayab sari penampi sari amukti<br />
FV<br />
FN<br />
Su<strong>di</strong> kiranya menikmati persembahan hamba (M, 4:8)<br />
(2) Ledang <strong>pada</strong> mica lugra<br />
FV<br />
karahajengan<br />
N<br />
Su<strong>di</strong> kiranya menganugerahkan keselamatan (S, 3:3)<br />
_ Su<strong>di</strong> kiranya + FN + V + N<br />
(3) Enak paduka Bhatara ngawehana amukti<br />
FN V N<br />
Su<strong>di</strong>lah kiranya Betara memberi anugerah serta<br />
menikmati persemb~clhan hamba (M, 8:36)<br />
3. Su<strong>di</strong> kiranya + N + V<br />
(4) Ledang Ratu ngrahaiengang<br />
N V<br />
Su<strong>di</strong> kiranya Engkau menyelamatkan (S, 2:6)<br />
Ada tiga variasi pemakaian kalimat imperatif dengan makna 'su<strong>di</strong><br />
kiranya' dalam data. Dari ketiga variasi itu kata bermakna 'su<strong>di</strong> kiranya'<br />
terletak <strong>pada</strong> posisi awal, <strong>di</strong>ikuti £rasa verbal, dan £rasa nominal (nomina)<br />
<strong>pada</strong> contoh (1)- (2), <strong>di</strong>ikuti £rasa nominal, verba, dan nomina <strong>pada</strong> contoh<br />
(3), dan <strong>di</strong>ikuti nomina dan verba <strong>pada</strong> contoh (4).<br />
'Dari segi fungsi, contoh (1)-(2) ter<strong>di</strong>ri atas keterangan (enaka<strong>pada</strong><br />
dan ledang 'su<strong>di</strong> kiranya'), pre<strong>di</strong>kat (angayab sari 'menikmati' dan <strong>pada</strong> mica<br />
59
lugra I menganugerahkan 1 ) 1<br />
dan objek (penampi sari amukti I persembahan<br />
hambal dan amukti 1 anugerah serta menikmati persembahan hamba 1 ).<br />
Pengisi fungsi pre<strong>di</strong>kat contoh (1)-(2) adalah verba aktif transitif sehingga<br />
keha<strong>di</strong>ran objek sangat <strong>di</strong>perlukan. Akan tetapi 1<br />
fungsi subjek tidak<br />
<strong>di</strong>nyatakan secara eksplisit <strong>pada</strong> contoh (1)- (2) karena subjek telah <strong>di</strong>sebut<br />
<strong>pada</strong> bait sebelumnya. Hal ini <strong>di</strong>mungkinkan karena data berbentuk saa.<br />
Pada contoh (3) kata bermakna I su<strong>di</strong> kiranyal yang <strong>di</strong>ungkapkan<br />
dengan kata enak I su<strong>di</strong> kiranyal <strong>di</strong>ikuti £rasa nominal, verba, dan nomina.<br />
/ata enak I su<strong>di</strong> kiranyal mengisi fungsi keterangan, £rasa nominal Paduka<br />
3atara 1 Batara 1 sebagai subjekl verba ngawehana 1 memberi 1 sebagai pre<strong>di</strong>kat,<br />
an nomina amukti 'anugerah serta menikmati persembahan hamba 1 sebagai<br />
bjek. Objek <strong>di</strong>perlukan karena pengisi pre<strong>di</strong>kat adalah verba transitif.<br />
--<br />
Pada contoh (4) ledang 1 Su<strong>di</strong> kiranyal dapat bergabung dengan<br />
!(ategori nomina dan verba. Dilihat dari fungsinya, contoh (4) sebenarnya<br />
:er<strong>di</strong>ri atas tiga tataran fungsi, yaitu keterangan, subjek, pre<strong>di</strong>kat, dan objek.<br />
_-\kan tetapi, <strong>pada</strong> contoh, objek tidak <strong>di</strong>munculkan oleh pengucap saa.<br />
Padahal, jika <strong>di</strong>lihat dari pengisi fungsi pre<strong>di</strong>katnya, verba ngrahajengang<br />
menyelamatkanl adalah verba aktif transitif sehingga objek wajib ha<strong>di</strong>r.<br />
Ketidakha<strong>di</strong>ran objek <strong>pada</strong> contoh (4) karena objek sudah <strong>di</strong>sebut <strong>pada</strong> bait<br />
ebelumnya. Untuk lebih jelasnya, contoh (4), berdasarkan fungsi, ter<strong>di</strong>ri<br />
atas keterangan yang <strong>di</strong>isi oleh ledang 1 Su<strong>di</strong> kiranya 1 ,<br />
subjek <strong>di</strong>isi oleh<br />
nomina Ratu IEngkau, Tuhan 1 ,<br />
dan pre<strong>di</strong>kat <strong>di</strong>isi oleh verba ngrahajengang<br />
I menyelamatkanl.<br />
60
5.2.9 Kalimat Imperatif dengan Kata Bermakna 'Penghormatan'<br />
Dalam data mantra dan saa makna I penghormatanl tidak <strong>di</strong>nyatakan<br />
secara eksplisit. Makna tersebut tampak dalam ungkapan yang bermakna<br />
'Ya, Tuhan .... 1<br />
Umumnya 1 bentuk penghormatan ini terletak <strong>di</strong> awal klausa.<br />
Secara terperinci 1 makna I penghormatan 1 dan variasi pemakaiannya dalam<br />
kalimat tampak <strong>pada</strong> contoh berikut.<br />
1. Penghormatan + N + V + N<br />
(1) Ong Hyang Ibu Pertiwil<br />
Ya, Tuhanl sebagai Hyang Ibu Pertiwi,<br />
hulun aminta nugraha<br />
hamba mohon anugerah (M 1 2:1- 2)<br />
2. Penghormatan + V + FN + Fprep<br />
(2) Ong Cri Mider Cri Mandk_<br />
Ya~ tuhan, sebagai DewiSri Mider Sri Mandel,<br />
mungguh Cri jagat raya namah<br />
bersemayamlah Dewi Sri <strong>di</strong> dunia (M 1 5:1-2)<br />
3. Penghormatan + FV + FN<br />
(3) Ong sira sang Asedahan Yuyu<br />
Ya, Tuhan, sebagai Raja Kepiting,<br />
aja sira mubar dauhan Bhatara Guru<br />
janganlah merusak bendungan Betara Guru (M, 15:1 dan 5)<br />
Dari tiga variasi pemakaian kalimat imperatif dengan kata bermakna<br />
I penghormatan 1 ,<br />
tampak makna I penghormatanl yang <strong>di</strong>nyatakan dengan<br />
ungkapan 1 Ya, Tuhan .... 1<br />
dapat bergabung dengan berbagai kategori kata.<br />
Pada contoh (1) Ong ... sebagai ungkapan penghormatan bergabung dengan<br />
kategori nomina, verba, dan nomina. Masing-masing kategori itu, dari<br />
61
tataran fungsi, menduduki subjek, pre<strong>di</strong>kat, dan pelengkap. Ungkapan Ong<br />
Hyang Ibu Pertiwi 'Ya, Tuhan, sebagai<br />
Hyang Ibu Pertiwi' menduduki<br />
fungsi keterangan, nomina hulun 'hamba' menduduki fungsi subjek, verba<br />
intransiti£ aminta 'mohon' menduduki fungsi pre<strong>di</strong>kat, dan nomina nugraha<br />
'anugerah' menduduki fungsi pelengkap.<br />
Pada contoh (2) ungkapan penghormatan Ong ... dapat bergabung<br />
dengan kategori verba, £rasa nominal, dan £rasa preposisional. Contoh (2)<br />
termasuk kalimat perintah intransitif dengan tataran fungsi keterangan,<br />
pre<strong>di</strong>kat, pelengkap, dan keterangan. Dalam contoh (2) Ong Cri Mider Cri<br />
Mandel 'Ya, Tuhan, sebagai Dewi Sri Mider Sri Mandel' sebagai keterangan,<br />
mungguh 'bersemayamlah' sebagai pre<strong>di</strong>kat, Cri<br />
'Dewi Sri' sebagai<br />
pelengkap, dan jagat raya namah '<strong>di</strong> dunia' sebagai keterangan .<br />
..... -<br />
Contoh (3) memperlihatkan ungkapan Ong ... <strong>di</strong>ikuti £rasa verbal dan<br />
£rasa nominal. Ungkapan Ong sira sang Asedahan Yuyu ' Ya, Tuhan, sebagai<br />
Raja Kepiting' juga berfungsi sebagai keterangan, aja sira mubar 'janganlah<br />
merusak' sebagai pre<strong>di</strong>kat, dan dauhan Bhatara Guru ' bendungan Betara<br />
Guru' sebagai objek. Karena ha<strong>di</strong>rnya fungsi objek, contoh (3) termasuk<br />
kalimat imperati£ transiti£.<br />
5.2.10 Kalimat Imperatif dengan Kata Bermakna 'Silakan'<br />
Kalimat imperati£ bermakna 'silakan' dalam data <strong>di</strong>ungkapkan lewat<br />
kata durus (1) atau durusang (2). Kedua kata itu umumnya menempati posisi<br />
I<br />
awal klausa. Berikut variasi pemakaian dan contohnya.<br />
62
... Silakan + FV + FPrep<br />
(1) Bhatari Wastu dewaning pa<strong>di</strong> kuningl<br />
Betari Wastu dewanya pa<strong>di</strong> kuning 1<br />
Bhatari Sri dewaning pa<strong>di</strong> badengl<br />
Betari Sri dewanya pa<strong>di</strong> hitam 1<br />
Durus sareng sami malinggih ring lumbung<br />
Silakan bersama-sama berstana <strong>di</strong> lumbung (S 1 9:5 -7)<br />
- · Silakan + N + V + N<br />
(2) Sang Hyang Gangga Dewi 1 Bhatara ring Ulun Danul<br />
Sang Hyang Gangga Dewi 1 Betara <strong>di</strong> Ulun Danu 1<br />
Durusang I Ratu makumpul iriki<br />
Silakan Paduka berkumpul <strong>di</strong> sini (S, 16:2-4)<br />
Pada contoh (1) kata durus 'silakan' dapat bergabung dengan verba<br />
dan £rasa preposisional. Klausa yang bercetak tebal itu, bila <strong>di</strong>lihat dari<br />
tataran fungsi, ter<strong>di</strong>ri atas keterangan, pre<strong>di</strong>kat, dan keterangan. Keterangan<br />
~:ang pertama <strong>di</strong>isi oleh kata durus I silakan, <strong>di</strong>ikuti pre<strong>di</strong>kat yang <strong>di</strong>isi oleh<br />
£rasa verbal intransitif sareng sami malinggih lbersama-sama berstana 1 ,<br />
dan<br />
keterangan kedua yang <strong>di</strong>isi oleh £rasa preposisional ring lumbung I <strong>di</strong><br />
lumbung 1 • Jika <strong>di</strong>cermati, petikan saa <strong>pada</strong> contoh (1) mengha<strong>di</strong>rkan subjek<br />
Bhatari Wastu dewaning pa<strong>di</strong> kuning I<br />
Betari Wastu dewanya pa<strong>di</strong> kuningl dan<br />
Bhatari Sri dewaning pa<strong>di</strong> badeng 1 Betari Sri dewanya pa<strong>di</strong> hitam 1 • Namun,<br />
dalam klausa berikutnya (yang bercetak tebal), subjek tidak <strong>di</strong>ha<strong>di</strong>rkan<br />
karena berupa perintah, khususnya perintah halus. Karena verbanya<br />
intrnasitif, objek juga tidak wajib ha<strong>di</strong>r.<br />
'Pada contoh (2) kata durusang I silakanl <strong>pada</strong> klausa yang bercetak<br />
tebal dapat bergabung dengan kategori nomina, verba, dan £rasa<br />
63
eposisional. Kata durusang 'silakan' juga menduduki fungsi keterangan,<br />
<strong>di</strong>ikuti nomina I Ratu 'Paduka' sebagai subjek, verba intransitif makumpul<br />
berkumpul' sebagai pre<strong>di</strong>kat, dan nomina iriki '<strong>di</strong> sini' sebagai keterangano<br />
3erbeda dengan contoh (1), klausa <strong>pada</strong> contoh (2) menampilkan subjek<br />
alam bentuk I Ratu 'Paduka' yang merujuk <strong>pada</strong> Sang Hyang Gangga Dewi,<br />
3hatara ring Ulun Danu 'Sang Hyang Gangga Dewi, Betara <strong>di</strong> Ulun Danu' 0<br />
Sebenarnya dalam kalimat perintah subjek tidak perlu <strong>di</strong>ha<strong>di</strong>rkano<br />
Ketidakha<strong>di</strong>ran subjek tidak mengurangi kehalusan perintah karena hal itu<br />
udah <strong>di</strong>em ban oleh kata durusang 'silakan' 0<br />
5.3 Makna Kalimat Imperatif Teks Mantra dan Saa W<strong>acana</strong> <strong>Ritual</strong><br />
Pertanian<br />
Palmer (1976:22) men@.takan bahwa makna tidak semata-mata<br />
merefleksikan realitas dunia nyata, tetapi lebih menampakkan minat atau<br />
perhatian dari pemakainyao Adapun menurut Halliday (1978:112, 123-124),<br />
bahasa sebagai proses sosial tidak terlepas dari seperangkat makna atau<br />
tekso Makna <strong>di</strong>produksi dan <strong>di</strong>reproduksi berdasarkan kon<strong>di</strong>si sosial<br />
tertentu dan melalui pelaku dan objek-objek materi tertentuo Makna dalam<br />
hubungannya dengan subjek dan objek secara konkret tidak dapat <strong>di</strong>uraikan<br />
kecuali berdasarkan hubungannya dengan struktur sosial masyarakat,<br />
hubungan peran, dan perilakuo<br />
Berkaitan dengan penelitian ini, makna yang <strong>di</strong>maksud adalah<br />
makna 'yang tersurat dan makna yang tersirat. Makna yang tersurat adalah<br />
makna yang nyata yang dapat <strong>di</strong>cermati <strong>di</strong> dalam kamus yang dalam<br />
64
enelitian ini adalah makna yang terdapat dalam teks mantra dan saa<br />
·.\·<strong>acana</strong> ritual pertanian. Makna tersirat, yang <strong>di</strong>sebut juga makna<br />
~o ntekstual, adalah makna yang dapat <strong>di</strong>lihat melalui konteksnya, tidak<br />
apat <strong>di</strong>lihat dalam kamus (Halliday, 1982).<br />
Dalam kaitan ini makna struktur linguistik juga <strong>di</strong>perhatikan. Yang<br />
a.imaksud dengan makna struktur linguistik adalah makna primer, yaitu<br />
:nakna struktur teks mantra dan saa w<strong>acana</strong> ritual pertanian. Makna ini<br />
apat <strong>di</strong>lihat dalam kalimat imperatif dan verbanya dalam teks mantra dan<br />
s:za w<strong>acana</strong> ritual pertanian. Berikut contohnya.<br />
(1) Mantra untuk Membuat Telabah 'Parit'<br />
Ong sira sang asedahan yuyu,<br />
sira ta sedahan be julit,<br />
maka<strong>di</strong> sedahan badawang,<br />
ya ta srkulen, ~~<br />
aja sira mubar dauhan Bhatara Guru,<br />
iki sadanan ira,<br />
mulih sira ring Kahyangan ira,<br />
teka pageh- pageh-pageh (TGMSS:43)<br />
Terjemahan Bebas:<br />
'Y a, Tuhan sebagai Raja Kepiting,<br />
paduka sebagai Raja Ikan ]ulit,<br />
seperti Raja Kura-Kura,<br />
juga Si Kulen,<br />
janganlah Engkau merusak bendungan Betara Guru,<br />
ini imbalan-Mu,<br />
semoga kokoh, kokoh, kokoh.'<br />
(2) Mantra untuk Menanam Pa<strong>di</strong><br />
Ong Sanghyang Indra haneng purwa,<br />
anguripan sarwa tumuwuh,<br />
sinamaya anutudaken tahun.<br />
Sanghyang Gangga Ratih haneng pascima,<br />
anguripan sarwa tumuwuh,<br />
65
sinamaya nutudaken tahun.<br />
Pakulun Hyang Naga Maha haneng uttara,<br />
anguripana sarwa tumuwuh,<br />
sinamaya anutug aken tahun.<br />
Ong Pratiwi Dalem,<br />
da<strong>di</strong> kang tinanem,<br />
da<strong>di</strong> kang tinandur.<br />
Ong, Kurusya, yanamah swaha (TGMSS: 19)<br />
- erjemahan Be bas:<br />
'Ya, Tuhan, sebagai Sang Hyang Indra yang berada <strong>di</strong> timur,<br />
menghidupkan segala jenis tumbuh-tumbuhan,<br />
semuanya menja<strong>di</strong> panjang umur,<br />
Sang Hyang Gangga Ratih <strong>di</strong> barat,<br />
mengidupkan segala jenis tumbuh-tumbuhan,<br />
semuanya menja<strong>di</strong> panjang umur,<br />
Paduka Hyang Naga Maha <strong>di</strong> utara,<br />
menghidupkan segala jenis tumbuh-tumbuhan,<br />
semuanya menja<strong>di</strong> panjang umur,<br />
ya, Tuhan, sebagai Pratiwi Dalem,<br />
semoga berhasil segala yang <strong>di</strong>tanam'<br />
(3) Sa_,a untuk Ngendagin'~~emulai Bekerja <strong>di</strong> Sawah'<br />
Inggih naweg Hyang Ibu Pertiwi,<br />
naweg titiang Ratu Bhatari Sri pinaka Hyang-Hyanging Sawah,<br />
titiang mapinunas ring paduka Bhatara,<br />
titiang jagi nyumunin makarya ring carik,<br />
titiang nunas geng rena sinampura,<br />
saantukan titiang jagi numbeg carik druwene,<br />
dumadak sida titiang ngamanggihin rahayu,<br />
urzp waras,<br />
lanus, lanus, lanus.<br />
Terjemahan Bebas:<br />
'Maaf, Hyang Ibu Pertiwi,<br />
maafkan, hamba, Paduka Dewi Sri sebagai penguasa sawah,<br />
hamba mengajukan permohonan ke<strong>pada</strong>-Mu,<br />
hamba akan mulai mengerjakan sawah,<br />
hamba mohon maaf,<br />
karena hamba akan mencangkul sawah-Mu,<br />
semoga hamba menemukan keselamatan,<br />
nidup yang sehat,<br />
tanpa halangan.'<br />
66
(4) Saa untuk Ngurit 'Menyebar Benih'<br />
Singgih Ratu Sang Hyang Ibu Pertiwi,<br />
inggih mangkin purun titiang maka<strong>di</strong> ngobah anggan<br />
palungguh I Ratu,<br />
mapilungsur titiang nanem antuk ngurit,<br />
ngurit Ida Bhatari Sri,<br />
mangkin purun titiang mapilungsur ring anggan palungguh I Ratu,<br />
ledang Ratu ngrahajengang,<br />
mangda tan keneng karususahan,<br />
inggih mangkin titiang jagi ngurit.<br />
Terjemahan Bebas:<br />
'Hormat(ku) Paduka yang <strong>di</strong>sebut sebagai Dewa Bumi,<br />
sekarang hamba beranikan <strong>di</strong>ri mengganggu ketenangan-Mu,<br />
hamba mohon izin menanam dengan menebar benih,<br />
menebar Betari Sri,<br />
sekarang hamba beranikan <strong>di</strong>ri memohon ke<strong>pada</strong>-Mu,<br />
su<strong>di</strong> kiranya Engkau menyelamatkan,<br />
supaya tidak terkena hama,<br />
ya, sekarang hamba akan menebar benih.'<br />
--<br />
Data (1)-(4) memperlihatkan contoh mantra dan saa w<strong>acana</strong> ritual<br />
pertanian. Berdasarkan strukturnya, w<strong>acana</strong> ritual pertanian memiliki 5<br />
makna, yaitu (1) perintah, (2) permohonan, (3) harapan, dan (4) larangan.<br />
Berikut uraiannya.<br />
5.3.1 Kalimat Imperatif Klasifikasi Perintah<br />
Dalam mantra dan saa hanya <strong>di</strong>temukan kalimat irp.peratif dengan<br />
klasifikasi perintah halus. Kalimat imperatif klasifikasi perintah halus<br />
menandakan bahwa pembicara tampaknya tidak memerintah lagi, tetapi<br />
meny~ruh mencoba atau mempersilakan lawan bicara su<strong>di</strong> berbuat sesuatu<br />
(Alwi dkk., 1998:353). Lebih lanjut Alwi dkk. (1998:355) mengatakan, ada<br />
67
ejumlah kata yang dapat <strong>di</strong>pakai untuk menghaluskan isi kalimat imperaill<br />
halus, yaitu tolong, coba, silakan, su<strong>di</strong>lah, dan kiranya. Dalam mantra dan saa<br />
<strong>di</strong>temukan kalimat imperatif klasifikasi perintah halus seperti berikut dalam<br />
-eks bercetak tebal.<br />
(1) Ong indah ta Sanghyang Rsi Ghana,<br />
'Ya, Tuhan, sebagai Sang Hyang Rsi Ghana,<br />
tulung manusan ira (M, 13:27-28)<br />
Tolong(lah) hamba-Mu ini'<br />
(2) Niki titiang maturan banten sarwa suci,<br />
'ini hamba menghaturkan sesajen sarwa suci,<br />
maduluran guling gayah,<br />
beserta guling gayah,<br />
Durus amukti sari sareng sami (S, 16:6-8)<br />
Silahkan menikmati bersama-sama'<br />
(3) Ih sang Dora Kala, sang Dora Kali,<br />
'Wahai, sang Dora Kaia, sang Dora Kali,<br />
Niki pabuktian,<br />
ini makanan,<br />
Ledang sira amukti caru puniki (S, 8:1-3)<br />
Su<strong>di</strong>lah Engkau menikmati caru ini'<br />
Selain contoh <strong>di</strong> atas, dalam mantra dan saa <strong>di</strong>temukan pula kalimat<br />
:.rnperatif dengan partikel -lah <strong>pada</strong> kata yang menja<strong>di</strong> penanda<br />
• erintahnya. Berikut contohnya.<br />
(4) sira walang sangit haywa campah (M, 10:6)<br />
'kalian walang sangit, janganlah berani'<br />
(5) hempu tatanduranira (M, 11:11)<br />
'peliharalah tanamanku'<br />
(6) joh paranta, garuda putih (M, 12:2)<br />
'menjauhlah engkau, garuda putih'<br />
68
(7) mundura siral kelod kauh pangunduran sira (M 1 12:10)<br />
'pergilah kalian ke tempatmu <strong>di</strong> barat daya I<br />
(8) Ong SaBa Ta A INa Ma Si Wa Ya (M 1 13:12)<br />
'Terpujilah Tuhan sebagai Dasa Dewata I<br />
(9) haweha urip manusanta (M, 13:29)<br />
'berilah kehidupan ke<strong>pada</strong> hamba-Mu ini 1<br />
(10) katuran <strong>pada</strong> tumurun (M, 14:7)<br />
1<br />
hamba mohon 1 datanglah'<br />
(11) asapunika pinunas titiang (5 1 3:11)<br />
'begitulah permohonan hamba 1<br />
(12) Mapupul palungguh Bhatara (S, 7.2:2)<br />
'Berkumpullah Engkau I<br />
(13) malinggih Bhatara ring pangadeg (5 1 7.5:2)<br />
'bersemayamlah Engkau dalam wujud (ini)'<br />
Secara semantis, kalimat perintah seperti (4)- (13) termasuk<br />
..... -<br />
klasifikasi perintah yang cukup tegas. Akan tetapi, dengan adanya partikel<br />
- lah yang melekat <strong>pada</strong> kata penunjuk perintah itu 1 perintah yang cukup<br />
tegas itu tampak menja<strong>di</strong> lebih halusl tidak kasar 1<br />
dan tidak mengesankan<br />
perintah.<br />
5.3.2 Kalimat Imperatif Klasifikasi Permohonan<br />
Kalimat imperatif permohonan sering juga <strong>di</strong>sebut sebagai kalimat<br />
imperatif perizinan. Makna I permohonan' dalam kalimat imperati£<br />
<strong>di</strong>eksplisitkan dengan kata mohon.<br />
Dalam mantra dan saa ritual pertanian <strong>di</strong>temukan kalimat imperati£<br />
dengan makna 'permohonan' sebagai berikut.<br />
69
(1) hulun aminta nugraha<br />
'hamba mohon anugerah' (M, 2:2)<br />
(2) Titiang nunas wangsuh <strong>pada</strong>n I Ratu<br />
'hamba mohon air cucian kaki-Mu' (S, 15.1:3)<br />
(3) Pakulun manusan paduka Bhatara hatur minta nugraha<br />
'Ya, Yang Mulia, hamba mohon restu' (M, 14:1)<br />
(4) niki titiang nunas kaselametan ring carik<br />
'ini hamba memohon keselamatan <strong>di</strong> sa wah' (S, 15.2:3)<br />
Kalimat imperatif dalam bentuk klausa seperti (1)-(4) termasuk<br />
imperatif permohonan. Makna 'permohonan' <strong>di</strong>nyatakan secara eksplisit<br />
dengan kata aminta (1), nunas (2 dan 4), dan minta (3). lsi keempat klausa<br />
tersebut adalah permohonan ke<strong>pada</strong> orang kedua (Tuhan)<br />
untuk<br />
kepentingan orang pertama (pengucap mantra dan saa) .<br />
5.3.3 Kalimat Imperatif Klasifikasi Harapan<br />
..... -<br />
Dalam mantra dan saa ritual pertanian kalimat imperatif dengan<br />
makna 'ajakan' dan 'harapan' ada yang tampak secara eksplisit dalam<br />
bentuk kata dan ada juga yang tidak. Contoh berikut memperlihatkan hal<br />
itu.<br />
(1) Ih, si pari awod kawat, awit salaka (M, 7:1)<br />
'Engkau, pa<strong>di</strong>, hendaknya berjerat seperti kawat'<br />
(2) Ong sidhirastu, yanamah swaha (M, 13:32)<br />
'Ya, Tuhan, semoga permohonan hamba terkabulkan'<br />
(3) Dumadak sida titiang ngamanggihin rahayu<br />
'Semoga hamba menemukan keselamatan' (S, 01:7)<br />
(4) ledang Bhatara amukti sari<br />
'su<strong>di</strong> kiranya Betara menikmati '(S, 07.5:4)<br />
70
Pada contoh (1) makna 'harapan' dalam mantra ritual penanaman<br />
_ a<strong>di</strong> tersirat dalam ungkapan Ih, si pari awod kawat, awit salaka ' Engkau,<br />
_ a<strong>di</strong>, hendaknya berjerat seperti kawat' (1) dan Sri wastu, yanamah swaha '<br />
semoga hendaknya tumbuh bersemi (subur adanya)' (2). Adapun <strong>pada</strong><br />
-ontoh (3)-(4) makna 'harapan' tampak <strong>pada</strong> ungkapan Dumadak sida<br />
•. !iang ngamanggihin rahayu 'semoga hamba menemukan keselamatan' (3)<br />
~an Iedang Bhatara amukti sari 'su<strong>di</strong> kiranya Betara menikmati'.<br />
3.3.4 Kalimat Imperatif Klasifikasi Larangan<br />
Kalimat imperatif larangan dalam mantra dan saa pertanian <strong>di</strong>tandai<br />
c.engan kata aja yang bermakna 'jangan (lah)'. Kalimat imperatif ini<br />
.,.-<br />
·:ermasuk klasifikasi perintah negatif, yaitu kalimat perintah yan<br />
E"tengandung makna negatif ke<strong>pada</strong> lawan bicara supaya tidak melak""<br />
~rbuatan seperti yang <strong>di</strong>nyatakan oleh pre<strong>di</strong>katnya lulyani dkk.,<br />
:97).<br />
Dalam data <strong>di</strong>temukan kalimat imperati£ larangan seperti berikut.<br />
(1) Pakulun sang Dora Kala sang Dora Kali<br />
'Paduka sang Dora Kala sang Dora Kali,<br />
aja sira munggah ring lumbung<br />
janganlah Paduka naik ke lumbung .... '(M:6:1-2)<br />
(2) Ih, Brabu Hitem, Brabu Rawa,<br />
'Wahai, Engkau, Raja Burung Gagak, Burung Rawa,<br />
heda baangan sang gowak mangamah tetanduran Bhatara Guru<br />
janganlah <strong>di</strong>izinkan si gagak memakan tanaman Betara Guru' (M,<br />
11:7 -9)
(3) Sampunang ngrusak pamulan tiangi<br />
I j anganlah merusak tananam hambal<br />
Sampunang menekin tatanduran tiangi<br />
janganlah menaiki tanaman hamba I (5 1<br />
04:4-5)<br />
(4) Sampunang jroni angusak-asik parin titiangi ring jroning lumbung<br />
'janganlah Engkau merusak pa<strong>di</strong> hamba <strong>di</strong> dalam lumbungl (S~<br />
08:6)<br />
..... -
BABVI<br />
FUNGSI WACANA RITUAL<br />
PERTANIAN PADA MASYARAKAT BALI<br />
6.1 Pengantar<br />
Fungsi w<strong>acana</strong> ritual pertanian dapat <strong>di</strong>bedakan menja<strong>di</strong> dua bagian,<br />
·aitu fungsi w<strong>acana</strong> ritual secara umum dan fungsi w<strong>acana</strong> ritual<br />
:iipandang dari sudut ilmu bahasa (linguistik). Fungsi ritual secara umum<br />
adalah fungsi yang <strong>di</strong>kaitkan dengan apa manfaat atau kegunaan serta<br />
;:-.r;uan kegiatan itu <strong>di</strong>lakukan oleh para petani. Secara umum, fungsi w<strong>acana</strong><br />
-i:ual adalah untuk meningkatkan produksi agar tetap melimpah. Dari<br />
=::..;.uut pandang linguistik, <strong>pada</strong>""'i:iasarnya fungsi w<strong>acana</strong> ritual adalah telaah<br />
·-~·tang penggunaan (use) dari bahasa yang <strong>di</strong>gunakan dalam w<strong>acana</strong> ·<br />
--~-<strong>di</strong>ri.<br />
Dalam hal ini fungsi berkaitan erat dengan hakikat, begitu juga<br />
---aliknya (Fokkema, 1977:30-49). Halliday (1994:20) mengatakan bahwa<br />
.~:a<br />
fungsi dapat <strong>di</strong>pandang sebagai <strong>pada</strong>nan penggunaan. Ja<strong>di</strong>, fungsi<br />
t-ahasa dapat <strong>di</strong>artikan sebagai cara orang menggunakanan bahasa, baik<br />
·:ara bertutur, menulis, maupun mendengar dan membaca supaya mencapai<br />
---aran dan tujuan.<br />
Fungsi bahasa w<strong>acana</strong> ritual pertanian <strong>pada</strong> penelitian ini <strong>di</strong>analisis<br />
\:lerdasarkan kerangka teori fungsi bahasa yang <strong>di</strong>kemukakan oleh<br />
-·~alinowski (1923), Jakobson (1992), dan Leech (2003). Konsep fungsi yang<br />
d:gunakan dalam kajian ini mengacu <strong>pada</strong> konsep Malinowski, khususnya
:ungsi magis dan fungsi-fungsi lainnya yang mengacu <strong>pada</strong> konsep fungsi<br />
_ahasa yang <strong>di</strong>kemukakan oleh}akobson dan Leech.<br />
Malinowski, sebagaimana <strong>di</strong>kutip oleh Halliday dan Hasan (1994:20),<br />
rr.embedakan fungsi bahasa menja<strong>di</strong> dua, yaitu (1) fungsi pragmatis dan (2)<br />
f..:ngsi magis. Fungsi pragmatis berfokus <strong>pada</strong> hubungan antara situasi dan<br />
-~onteks<br />
berbahasa atas bentuk-bentuk bahasa yang <strong>di</strong>gunakan dalam<br />
l:'e!komunikasi, sedangkan fungsi magis berfokus <strong>pada</strong> kegiatan ritual<br />
~. tuk menghubungkan aktivitas dengan sang Pencipta.<br />
Jakobson (1992:70-79) membagi fungsi bahasa menja<strong>di</strong> enam, yaitu<br />
fungsi emotif, (2) fungsi konatif, (3) fungsi patis, (4) fungsi referensial<br />
....:au kognitjf, (5) fungsi metal~gual, dan (6) fungsi puitik. Fungsi emotif<br />
wtive function) adalah fungsi bahasa yang berorientasi <strong>pada</strong> sikap, status,<br />
n keadaan emosi pembicara. Fungsi konatif (conative function) adalah<br />
~..:...T)gsi<br />
bahasa yang berorientasi <strong>pada</strong> lawan bicara (pendengar) untuk<br />
-enimbulkan reaksi <strong>pada</strong> pendengar. Fungsi ini menghasilkan ekspresi<br />
g:ramatikal dalam bentuk vokatif dan imperatif secara sintaksis, morfologis,<br />
Gall penyimpangan fonemis dari kategori nomina dan verba lainnya. Fungsi<br />
_atis (phatic function) adalah fungsi bahasa yang berrientasi <strong>pada</strong><br />
~nggunaan<br />
bahasa untuk mengadakan atau memelihara kontak antara<br />
:Jembicara dan pendengar, baik untuk menetapkan, mengukuhkan, maupun<br />
memperpanjang alur komunikasi. Fungsi referensial atau kognitif (referential<br />
an cognitive fungction) adalah fungsi bahasa yang berorientasi <strong>pada</strong> konteks<br />
untuk menggambarkan objek dalam konteks tertentu. Fungsi metalingual
metalingual function) adalah fungsi bahasa yang berorientasi <strong>pada</strong> kode atau<br />
penggunaan bahasa untuk menguraikan bahasa itu sen<strong>di</strong>ri. Fungsi puitik<br />
y oetic function) adalah fungsi bahasa yang berorientasi <strong>pada</strong> pesan atau<br />
agaimana pesan <strong>di</strong>hasilkan dalam berkomunikasi.<br />
Fungsi bahasa yang <strong>di</strong>kemukakan oleh Jakobson <strong>di</strong>sederhanakan<br />
leh Leech (2003:63-88) menja<strong>di</strong> lima, yaitu (1) fungsi informasional, fungsi<br />
. embawa informasi; (2) fungsi ekspresif, fungsi untuk mengungkapkan<br />
perasaan dan sikap penuturnya; (3)<br />
fungsi <strong>di</strong>rektif, fungsi untuk<br />
:nemengaruhi perilaku atau sikap orang lain, lebih memberikan tekanan<br />
ada si penerima, bukan <strong>pada</strong> penutur; (4) fungsi estetik, fungsi<br />
. enggunag_an bahasa demi ha~!l karya itu sen<strong>di</strong>ri dalam menciptakan efek<br />
artistik; (5) fungsi fatik, fungsi untuk menjaga agar garis komunikasi :-era~<br />
;:erbuka dan untuk terus menjaga hubungan sosial secara baik.<br />
Bahasa yang terdapat dalam w<strong>acana</strong> ritual pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>, baik<br />
_.·ang berbentuk kata, frasa, klausa, maupun kalimat mempunyai fungsi<br />
:-ersen<strong>di</strong>ri. Fungsi-fungsi tersebut berhubungan dengan Sang Pencipta,<br />
ewan, tumbuhan, dan hama penyakit.<br />
Berdasarkan analisis data tentang w<strong>acana</strong> ritual pe~tanian yang ada<br />
<strong>Bali</strong>, sebagian besar fungsi bahasa yang <strong>di</strong>kemukakan oleh para ahli<br />
ahasa <strong>di</strong> atas <strong>di</strong>temukan dalam w<strong>acana</strong> tersebut. Fungsi-fungsi bahasa<br />
::ang <strong>di</strong>maksud adalah fungsi informatif, fungsi emotif ( ekspresif), fungsi<br />
<strong>di</strong>rektif, fungsi puitik, fungsi patik, dan fungsi magis. Untuk lebih jelasnya,
eseluruhan fungsi-fungsi bahasa tersebut <strong>di</strong>uraikan dalam subbagian<br />
:Jerikut ini<br />
.2 <strong>Ritual</strong> Ngendagin 'Memulai Pekerjaan <strong>di</strong> Sawah'<br />
Ngendagin adalah ritual yang pertama kali <strong>di</strong>laksanakan oleh petani<br />
sebelum memulai pekerjaan <strong>di</strong> sawah. Kata ngendagin dalam Ruddyanto<br />
dkk. (2008:225) berasal dari kata endag yang berarti 'terbit', 'mulai'.<br />
.(emu<strong>di</strong>an, kata itu mengalami proses nasalisasi N- dan mendapat sufiks -in<br />
:nenja<strong>di</strong> ngendagin 'menerbitkan', 'memulai'. Dalam konteks ini kata<br />
zgendagin bukanlah berarti 'menerbitkan', melainkan 'memulai', yaitu<br />
memulai suatu pekerjaan <strong>di</strong> sawah'. Sebelum mengerjakan sawah, para<br />
--<br />
petani melaksanakan ritual ya~llg<br />
<strong>di</strong>sebut ngendagin. Adapun tujuannya<br />
adalah untuk memohon izin dan keselamatan ke<strong>pada</strong> Sang Hyang Ibu<br />
Pertiwi sebagai Dewa Bumi dan Dewi Uma sebagai Penguasa Sawah karena<br />
awah itu akan <strong>di</strong>cangkul. <strong>Ritual</strong> itu <strong>di</strong>laksanakan <strong>di</strong> bawah, <strong>di</strong> samping<br />
vangalapan. Berikut adalah w<strong>acana</strong> petani tentang ritual tersebut.<br />
(1) W<strong>acana</strong> Ngendagin 'Memulai Bekerja <strong>di</strong> Sawah'<br />
Yaning pacang ngawitin makarya ring carik, patut karihinin antuk matur<br />
piuning ring ulun carik, nunas panugrahan Ida Sanghyang Widhi Wasa<br />
maka<strong>di</strong> Ida Bhatari Uma pinaka pangemban kauripan subak. Wi<strong>di</strong>-widanane<br />
inucap kawastanin ngendagin. Punika taler yaning ngawit numbeg, patut<br />
matur piuning ring Ibu Pertiwi, gumanti pacang katambah, mangda Ida sweca.<br />
Munggwing banten sane katur, inggih punika raka woh-wohan, base, sulasih<br />
merik, kembang payas, 1, canang lenga wangi, burat wangi, Zan dupa.<br />
Sadurunge numbeg patut mapiuning antuk ngaturang canang genten duang<br />
tandzng.<br />
76
-E_jemahan Bebas:<br />
'Kalau akan memulai bekerja <strong>di</strong> sawah, seharusnya <strong>di</strong>dahului dengan<br />
penyampaian permakluman ke<strong>pada</strong> Tuhan sebagai Pangulun Carik,<br />
mohon restu ke<strong>pada</strong> Tuhan Yang Maha Esa sebagai Dewi Uma yang<br />
menguasai lahan persawahan. Kegiatan ritual itu <strong>di</strong>sebut ngendagin.<br />
Begitu pula halnya kalau memulai mencangkul, seharusnya mohon<br />
permakluman ke<strong>pada</strong> Ibu Pertiwi untuk mencangkul agar Beliau<br />
memberikan restu-Nya. Adapun sesajen yang <strong>di</strong>haturkan adalah buahbuahan,<br />
sirih, bunga sulasih yang berbau harum, kembang payas, 1, dan<br />
canang yang berisi minyak wangi, bedak yang berbau harum, dan dupa.<br />
Sebelum mulai mencangkul, seharusnya <strong>di</strong>sampaikan permakluman<br />
dengan cara menghaturkan canang genten 2 tan<strong>di</strong>ng.'<br />
-.1.1 Fungsi <strong>Ritual</strong><br />
Pelaksanaan ritual ngendagin selalu <strong>di</strong>barengi dengan mantra<br />
'"'"an/ a tau saa yang <strong>di</strong>ucapka~~ oleh pemantra a tau pamangku yang telah<br />
..... -<br />
· percaya oleh petani. Mantra dan saa itu memiliki dua macam fungsi, yaitu<br />
iungsi ritual dan fungsi linguistik. Fungsi ritual mantra dan saa adalah<br />
untuk memohon izin atau permakluman ke<strong>pada</strong> Sang Hyang Ibu Pertiwi<br />
ebagai Dewa Bumi dan Dewi Uma sebagai Penguasa Sawah agar dalam<br />
mengerjakan sawah Beliau senantiasa memberikan restu dan keselamatan.<br />
Hal itu tercermin <strong>pada</strong> mantra dan saa ngendagin berikut.<br />
(2) Mantra untuk Ngendagin<br />
Ong Bhatari Sri,<br />
Sri wastu, yanamah swaha.<br />
Ih, sira, pari awod kawat,<br />
awit slaka,<br />
arandon emas,<br />
~woh mirah,<br />
Ong pasok-pasok ta kita saking patala,<br />
teka ndusi Sanghyang Warsa,<br />
77
teka lengu sang Ebun,<br />
teka ngrempeti Sanghyang Bun,<br />
Ong ceb (SP:22).<br />
-:erjemahan Bebas:<br />
'Ya, Tuhan, sebagai Dewi Sri,<br />
semoga hendaknya tumbuh bersemi (subur adanya),<br />
Engkau, pa<strong>di</strong>, hendaknya berjerat seperti kawat,<br />
berbatang bagaikan perak,<br />
berbuah seperti emas,<br />
berdaun seperti permata,<br />
Y a, Tuhan, bermunculanlah Engkau dari dalam tanah,<br />
datang, basahilah, wahai, Dewa hujan,<br />
hingga tunas (itu) akan tumbuh subur,<br />
hingga tunas itu menja<strong>di</strong> rapat,<br />
Y a, Tuhan, semoga hal itu benar-benar terja<strong>di</strong>.'<br />
(3) Saa untuk Ngendagin 'Memulai Bekerja <strong>di</strong> Sawah'<br />
Inggih, naweg Hyang Ibu Pertiwi,<br />
naweg titiang Ratu Bhatari Sri pinaka Hyang-Hyanging Sa·wah,<br />
titiang mapinunas ring paduka Bhatara,<br />
titiang jagi nyumunin ma~-rya ring carik,<br />
titiang nunas geng rena sinampura,<br />
saantukan titiang jagi numbeg carik druwene,<br />
dumadak sida titiang ngamanggihin rahayu,<br />
unp waras,<br />
lanus, lanus, lanus.<br />
-=-erjemahan Bebas:<br />
'Maaf, Hyang Ibu Pertiwi,<br />
maafkan, hamba, Paduka Dewi Sri sebagai penguasa sawah,<br />
hamba mengajukan permohonan ke<strong>pada</strong>-Mu,<br />
hamba akan mulai mengerjakan sawah,<br />
hamba mohon maaf,<br />
karena hamba akan mencangkul sawah-Mu,<br />
semoga hamba menemukan keselamatan,<br />
hid up yang sehat,<br />
tanpa halangan.'<br />
78
.2.2 Fungsi Linguistik<br />
Fungsi linguistik adalah fungsi yang terkait dengan penggunaan<br />
:.:.nsur-unsur bahasa dalam mantra dan saa tersebut. Untuk lebih jelasnya,<br />
:Jerikut ini adalah uraian fungsi-fungsi linguistik yang ada dalam ritual<br />
gendagin.<br />
6.2.2.1 Fungsi Informatif<br />
Dalam data mantra dan saa <strong>di</strong> atas <strong>di</strong>perlihatkan adanya fungsi<br />
L:..~gu istik atau fungsi bahasa informatif tentang hubungan manusia dengan<br />
T :.ilian. Hubungan an tara man usia dan Tuhan sebagai Sang Pencipta<br />
......,erupakan hubungan yang sifatnya vertikal. Hubungan semacam ini<br />
--.elahirkan segala bentuk perasaan yang ada <strong>pada</strong> manusia dalam<br />
.,.,-<br />
-~ehidupan ini, seperti rasa senang, susah, dan bahagia yang kesemuanya<br />
acalah kehendak-Nya. Hubungan manusia dengan Tuhan dalam ritual<br />
certanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> sangat kental karena hampir semua teks mantra dan saa<br />
selalu <strong>di</strong>awali dan <strong>di</strong>akhiri dengan sebutan nama dewa sebagai manifestasi<br />
a:au sinar suci-Nya, terutama <strong>pada</strong> teks mantra. Hal ini tampak dalam data<br />
:nantra dan saa berikut ini.<br />
Ong Bhatari Sri<br />
'Y a, Tuhan, sebagai Dewi Sri',<br />
Ong pasok-pasok ta kita sakeng patala,<br />
'Ya, Tuhan, bermunculanlah Engkau dari dalam tanah',<br />
Teka ndusi Sang Hyang Warsa<br />
'datang, basahilah, wahai, Dewa Hujan' dan<br />
Ong ceb<br />
')'a, Tuhan semoga hal itu benar-benar terja<strong>di</strong>'.<br />
79
Hal yang sama terja<strong>di</strong> pula dalam saa, seperti Inggih naweg Hyang Ibtl<br />
Pertiwi 'Maa£ Hyang Ibu Pertiwi' dan naweg titiang Ratu Bhatari<br />
pinaka<br />
Hyang Hyanging Sawah 'maafkan hamba Paduka Dewi Sri sebagai Penguasa<br />
sawah'.<br />
Secara leksikal, kata-kata dalam teks mantra dan saa tersebut<br />
:nenunjukkan fungsi informatif hubungan manusia dan Tuhan sebagai<br />
. encipta semua makhluk yang ada <strong>di</strong> dunia ini. Misalnya, kata pasok-pasok<br />
bermunculanlah' dan ndusi 'basahilah' bermakna memberikan informasi<br />
ahwa manusia selalu mendambakan kemurahan Tuhan .<br />
. 2.2.2 Fungsi Direktif<br />
Fungsi bahasa lain yang <strong>di</strong>peroleh <strong>pada</strong> data <strong>di</strong> atas adalah fungsi<br />
--<br />
<strong>di</strong>rektif permohonan. Menurut Tarigan (1984:35), permohonan adalah suatu<br />
. ermintaan ke<strong>pada</strong> pihak lain yang lebih tinggi kedudukannya agar<br />
:nendapat sesuatu dari hasil permohonan tersebut. Bentuk permohonan<br />
riasanya berupa kalimat yang memerlukan tanggapan perbuatan selain<br />
0<br />
erakan-gerakan tangan yang bisa <strong>di</strong>lakukan untuk mengiringi salam dan<br />
panggilan. Data yang mendukung fungsi bahasa tersebut adalah Sri wastu,<br />
ya, nama swaha 'Semoga hendaknya bersemi (subur adanya)' dan Ih, sira, pari<br />
mvod kawat 'Engkau, pa<strong>di</strong>, hendaknya berjerat seperti kawat'. Fungsi<br />
<strong>di</strong>rektif permohonan yang lain adalah mohon maa£ ke<strong>pada</strong> sang Pencipta,<br />
Tuhan Yang Maha Kuasa, yang terlihat <strong>pada</strong> data saa berikut ini. Inggih,<br />
naweg, Hyang Ibu Pertiwi 'Maa£, Hyang Ibu Pertiwi', Titiang nunas geng rena<br />
80
:zmpura<br />
'hamba mohon maaf', dan santukan titiang jagi numbeg carik<br />
.4zcene 'karena saya akan mencangkul sawah-Mu'.<br />
Kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks mantra dan saa <strong>di</strong> atas<br />
::::1engandung metafora<br />
permohonan yang menggambarkan seorang<br />
t-€ffiantra atau pamangku memohon agar dalam pengerjaan sawahnya<br />
rr:emperoleh keselamatan dan tanaman pa<strong>di</strong> tumbuh subur sehingga nanti<br />
ikan mendapat hasil panen yang melimpah.<br />
' .2.2.3 Fungsi Ekspresif<br />
Di samping dua fungsi bahasa <strong>di</strong> atas, <strong>di</strong>temukan juga fungsi bahasa<br />
:.-ang lain, yaitu fungsi ekspresif kekaguman dalam mantra ritual ngendagin.<br />
Rasa kagum berarti rasa heran yang <strong>di</strong>ungkapkan dengan rasa memuji<br />
"--<br />
.erhadap sesuatu yang menakjubkan, dalam hal ini tanaman pa<strong>di</strong>. Ekspresi<br />
L,ekaguman dari seseorang muncul setelah menyaksikan sesuatu yang<br />
mempunyai kelebihan. Berikut ini analisis ekspresi kekaguman <strong>pada</strong> mantra<br />
ritual pertanian.<br />
Ih, sira, pari awod kawat 'Engkau, pa<strong>di</strong>, hendaknya berjerat seperti<br />
kawat', awit slaka 'berbatang bagaikan perak', arandon emas 'berdaun seperti<br />
emas', dan awoh mirah 'berbuah bagaikan permata'. Bentuk kalimat a tau<br />
kalusa <strong>pada</strong> data tersebut adalah kalimat tunggal yang berpre<strong>di</strong>kat verba<br />
transitif yang berprefiks a 'ber-' yang <strong>di</strong>bentuk dari nomina wod 'jerat', wit<br />
'batang', ran don 'daun', dan woh 'buah'. Dari strukturnya, sebagian besar<br />
kalimat <strong>pada</strong> mantra itu <strong>di</strong>tandai oleh pelesapan subjek. Kalimat tersebut<br />
81
c:1erupakan ungkapan rasa kagum seorang pemantra atau pamang<br />
-erhadap pari 'pa<strong>di</strong>'. Kekaguman pemantra terlihat melalui ekspresi ucapan<br />
:::alam mantra berupa kata-kata, seperti kawat, perak, emas, dan permata.<br />
~:...d apun maksud pengucapan mantra tersebut adalah untuk<br />
w.enggambarkan keberadaan tanaman pa<strong>di</strong>, seperti jeratnya bagaikan<br />
·-wat, batangnya bagaikan perak, daunnya seperti emas, dan buahnya<br />
=-cperti permata.<br />
Pengucapan mantra seperti itu menimbulkan kerinduan<br />
= ~ keberadaan pa<strong>di</strong> yang akan <strong>di</strong>tanam. Ekspresi kekaguman terhadap<br />
I.:'€Iltuk pa<strong>di</strong> bertujuan untuk meningkatkan hasil panen agar lebih baik dari<br />
,:ahun-tahun sebelumnya.<br />
5.3 <strong>Ritual</strong> Mapag Toya 'Menjemput Air'<br />
--<br />
Mapag toya adalah sebuah istilah yang <strong>di</strong>gunakan oleh para petani<br />
-ang berarti 'menjemput air'. Kata mapag berarti 'menjemput' dan kata<br />
·JI_.;a<br />
berarti 'air'. Ja<strong>di</strong>, ritual mapag toya adalah ritual yang <strong>di</strong>laksanakan<br />
~·tuk<br />
menjemput air. <strong>Ritual</strong> ini <strong>di</strong>laksanakan oleh kelompok tani atau<br />
~:.:.bak sebelum mulai bekerja <strong>di</strong> sawah. <strong>Ritual</strong> ini <strong>di</strong>laksanakan <strong>di</strong> Ulunswi<br />
C.engan memohon ke<strong>pada</strong> Tuhan sebagai Dewa Wisnu untuk menurunkan<br />
t:ujan karena para petani akan mulai mencangkul <strong>di</strong> sawah. Berikut adalah<br />
-·.-<strong>acana</strong> petani tentang ritual tersebut.<br />
(4) W<strong>acana</strong> Mapag Toya 'Menjemput Air'<br />
Toya manggeh pukuhing kabwatan subak, sajeroning matatanduran<br />
' sakalwire. Dwaning asapunika, toya punika patut kasanggra olih krama<br />
subak, pamekas nyulurang pawi<strong>di</strong>-widanan sakalwire. Manut dresta, yaning<br />
sampun panumayane, subake patut ngwentenang yadnya sane kawastanin<br />
82
mapag toya. Yadnyane punika kalaksanayang ring Ulunswi, nun.as<br />
lugraha ring Ida Bhatari Gangga miwah Bhatara Wisnu, mangda<br />
ngwentenang sabeh sawireh ring carik pacang ngawitin tedun amacul.<br />
Munggwing banten sane katur inggih punika daksina pangeleb, itik, peras<br />
panyeneng, sorohan, sesayut pangambean, caru ayam brumbun maolah<br />
jangkep, tumpeng mancawarna, malayang-layang, tadahan Sedahan<br />
Empelan: sega pangkonan, maulam karangan, sajeng, suci, daksina, artha,<br />
225, salaran itik, Zan ayam putih.<br />
- erjemahan Be bas:<br />
'Air memiliki arti yang sangat penting bagi subak dalam bercocok<br />
tanam. Oleh karena itu, air itu sudah sewajarnya <strong>di</strong>jemput oleh<br />
anggota subak, terutama dengan melaksanakan ritual yang<br />
<strong>di</strong>perlukan. Menurut tra<strong>di</strong>si, kalau sudah saatnya, subak harus<br />
melaksanakan ritual yang <strong>di</strong>sebut mapag toya. <strong>Ritual</strong> itu <strong>di</strong>laksanakan<br />
<strong>di</strong> Ulunswi (pinggir bendungan), mohon anugerah ke<strong>pada</strong> Betari<br />
Gangga dan Betara Wisnu untuk menurunkan hujan karena petani<br />
akan mulai mencangkul <strong>di</strong> sawah. Adapun sajen yang <strong>di</strong>haturkan<br />
adalah daksina pangeleb, itik, peras panyeneng, sorohan, sesayut<br />
pangambean, caru ayam.ft!umbun <strong>di</strong>ramu lengkap, tumpeng lima warna,<br />
malayang-layang, suguhan ke<strong>pada</strong> Sedahan Empelan: nasi pangkonan,<br />
dengan lauk satai, tuak, suci, daksina, uang, 225, sebagai penebus<br />
adalah itik dan ayam putih.'<br />
Dalam pelaksaan ritual tersebut, selain wujud ritual, doa yang berupa<br />
::1antra dan saa juga <strong>di</strong>gunakan sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan<br />
sebagai penguasa air. Berikut adalah doa yang <strong>di</strong>maksud.<br />
(5) Mantra untuk Mapag Toya 'Menjemput Air'<br />
]eng Nini, Bhatara Gangga,<br />
manawi kirang manawi luput aturan pasajin ingsun ring sang Asedahan<br />
Tukad, maka<strong>di</strong> paduka Bhatara Gangga,<br />
puniki sasantun panetep ipun,<br />
Ong Ang, Ong Mang,<br />
, Ong Bhur Bwah Swah,<br />
sidhi rastu, yanamah (TGMSS:47).<br />
83
-:-erjemahan Be bas:<br />
'Paduka Nini, Betari Gangga,<br />
kalau ada kekurangan, kealfaan persembahan hamba ke<strong>pada</strong><br />
Penguasa Sungai,<br />
seperti Paduka Betara Gangga,<br />
inilah peresembahanku,<br />
Ya, Tuhan, yang <strong>di</strong>simbolkan dengan aksara Ang dan aksara Mang,<br />
Ya, Tuhan, yang ada <strong>di</strong> ketiga dunia,<br />
semoga terkabulkan.'<br />
(6) Saa untuk Mapag Toya 'Menjemput Air'<br />
Singgih, Ratu Bhatari Gangga,<br />
Ratu Bhatara Wisnu,<br />
titiang ngaturang banten saka sida,<br />
saka<strong>di</strong> ring ajeng,<br />
ledang Ratu amukti sari,<br />
ledang taler Ratu mapaica kasi<strong>di</strong>an,<br />
mangda prasida toyane mamargi becik ,<br />
ngantos ka carike sami,<br />
kirang langkung antuk titiang,<br />
titiang nunas ampura banget.<br />
--<br />
- erjemahan be bas:<br />
'Ya, Paduka Betari Gangga,<br />
Paduka Bhatara Wisnu,<br />
hamba menghaturkan sesajen seadanya,<br />
seperti <strong>di</strong> hadapan-Mu,<br />
su<strong>di</strong> kiranya Paduka menikmati,<br />
su<strong>di</strong> kiranya juga Paduka memberikan rahmat-Mu,<br />
agar airnya mengalir dengan lancar,<br />
sampai <strong>di</strong> semua sawah,<br />
kurang lebih oleh hamba,<br />
hamba mohon maaf yang sebesar-besarnya.'<br />
' .3.1 Fungsi <strong>Ritual</strong><br />
Pelaksanaan ritual mapag toya selalu <strong>di</strong>barengi dengan mantra atau<br />
- ;.1 yang <strong>di</strong>ucapkan oleh pemantra a tau pamangku yang telah <strong>di</strong>percaya oleh<br />
_ etani. Mantra dan saa itu memiliki dua macam fungsi, yaitu fungsi ritual<br />
84
·an fungsi<br />
linguistik. Fungsi ritual mantra dan saa mapag toya adalah<br />
-.mtuk<br />
memohon ke<strong>pada</strong> Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa<br />
-isnu agar Beliau memberkati para petani yang akan menggarap sawah<br />
G.engan limpahan air hujan yang memenuhi bendungan sebagai sumber<br />
~ €ngairan sa wah.<br />
-.3.2 Fungsi Linguistik<br />
Fungsi linguistik adalah fungsi yang terkait dengan penggunaan<br />
:...:.nsur-unsur bahasa dalam mantra dan saa tersebut. Untuk lebih jelasnya,<br />
t-.erikut ini adalah uraian fungsi-fungsi linguistik yang ada dalam ritual<br />
:apag toya.<br />
.3.2.1 Fungsi Informatif<br />
--<br />
Data mantra dan saa <strong>di</strong> atas memperlihatkan adanya fungsi bahasa<br />
:nformatif tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan antara<br />
:nanusia dan Tuhan sebagai Sang Pencipta merupakan hubungan yang<br />
sifatnya vertikal. Hubungan semacam ini melahirkan segala bentuk<br />
perasaan yang ada <strong>pada</strong> manusia dalam kehidupan ini, seperti rasa senang,<br />
susah, dan bahagia yang kesemuanya adalah kehendak-Nya. Hubungan<br />
manusia dengan Tuhan dalam ritual pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> sangat kental karena<br />
hampir semua teks mantra dan saa selalu <strong>di</strong>awali dan <strong>di</strong>akhiri dengan<br />
sebutan nama dewa sebagai manifestasi atau sinar suci-Nya, terutama <strong>pada</strong><br />
teks mantra. Hal ini tampak dalam data mantra dan saa berikut ini. Jeng Nini<br />
85
E::ntara Gangga 'Paduka Nini Betara Gangga', Ong Ang, Ong Mang, 'Ya,<br />
:-wan, yang <strong>di</strong>simbolkan dengan aksara Ang dan Mang', dan Ong Bhur<br />
5:r4'ah Swah 'Ya, Tuhan, yang ada <strong>di</strong> ketiga dunia' Hal yang sama <strong>di</strong>temukan<br />
c:.J..la <strong>pada</strong> saa, seperti Singgih Ratu Bhatari Gangga ' Ya, Paduka Betari<br />
.~ angga' dan Ratu Bhatara Wisnu 'Paduka Betara Wisnu'. Secara leksikal,<br />
,.a:a-kata dalam teks mantra dan saa tersebut menunjukkan fungsi<br />
.:-iormatif hubungan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta semua<br />
-:akhluk yang ada <strong>di</strong> dunia ini.<br />
' - .2.2 Fungsi Direktif<br />
Fungsi linguistik lain yang <strong>di</strong>temukan dalam data mantra dan saa <strong>di</strong><br />
.:.~ adalah fungsi <strong>di</strong>rektif permohonan. Fungsi <strong>di</strong>rektif permohonan yang<br />
..... -<br />
.: ·maksud ada dua macam, yaitu permohonan yang bernada permintaan<br />
Gan permohonan maaf. Kalimat permohonan dalam hal ini adalah kalimat<br />
·ang menagih respon perbuatan selain gerakan-gerakan tangan yang bisa<br />
,.:iJ.akukan untuk mengiringi salam dan panggilan (Tarigan, 1984:35). Data<br />
kalimat yang mengandung fungsi <strong>di</strong>rektif permohonan yang bernada<br />
,ermintaan adalah shi<strong>di</strong>r astu, yanamah 'semoga terkabulkan' dan ledang<br />
·-Ier Ratu mapaica kasi<strong>di</strong>an 'su<strong>di</strong> kiranya juga Paduka memberikan rahmat'.<br />
:ungsi <strong>di</strong>rektif permohonan maaf <strong>di</strong>tunjukkan oleh data saa, seperti kirang<br />
.. mgkung antuk titiang, titiang nunas ampura banget 'kurang lebih hamba<br />
:nohon maaf yang sebesar-besarnya'.<br />
86
- ~ 3 Fungsi Fatik<br />
Terkait dengan data mantra dan saa <strong>di</strong> atas, masih ada satu fungsi<br />
suistik yang <strong>di</strong>temukan, yaitu fungsi fatik metafora yang dalam hal ini<br />
_ LaSuk sapaan hormat ke<strong>pada</strong> Tuhan. Fungsi fatik (basa-basi) adalah<br />
- ~ i bahasa dalam memelihara hubungan yang baik a tau kohesi£ <strong>di</strong> dalam<br />
--" •mpok sosial. Kata-kata yang <strong>di</strong>pakai dalam situasi ini adalah kata-kata<br />
.::-.g mempertahankan keseimbangan <strong>di</strong> dalam masyarakat dan yang<br />
-2:-tunjukkan keramahan, seperti ucapan salam, penghormatan, selamat<br />
~ is ah, dan sapaan yang tidak bersifat kontroversial (Leech, 2003:81).<br />
:Jalam mantra dan saa ritual pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>, fungsi fatik metafora<br />
:6mgsi mempertahankan keseimbangan antara pemantra (pamangku) dan<br />
--.:han yang Maha Pengasih yang sering muncul dalam sapaan sebagai<br />
.... -<br />
- · --~·ghormatan. Sapaan penghormatan tersebut bergantung <strong>pada</strong> kode<br />
·- ..:aaya sehingga terdapat asosiasi masyarakat, dalam hal ini, hubungan<br />
-::han dengan manusia (pemantra) <strong>di</strong>kembangkan atas dasar rasa hormat<br />
ang mendalam atas karunia-Nya. Berikut ini adalah contoh analisis data<br />
_:mgsi fatik metafora dalam mantra dan saa ritual pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong>. ]eng<br />
_.-mi, Bhatara Gangga 'Paduka Betara Gangga', Singgih Ratu Bhatara Gangga<br />
'a, Paduka Betari Gangga', dan Ratu Bhatara Wisnu 'Paduka Betara Wisnu'.<br />
3entuk leksikal, seperti ]eng Nini, Singgih Ratu, dan Ratu <strong>pada</strong> mantra dan<br />
5lUl tersebut menyiratkan fungsi fatik metafora penghormatan ke<strong>pada</strong> Tuhan<br />
Yang Maha Kuasa. Ekspresi verbal kata-kata tersebut merupakan cara<br />
87
. emantra untuk menciptakan komunikasi yang mengandung penuh rasa<br />
hormat ke<strong>pada</strong> Beliau agar segala permohonannya dapat <strong>di</strong>kabulkan .<br />
. 4 <strong>Ritual</strong> Ngurit 'Menebar Benih'<br />
Setelah ritual ngendagin, rangkaian ritual selanjutnya dalam kaitannya<br />
.:iengan penanaman pa<strong>di</strong> adalah ngurit. Kata ngurit berasal dari kata urit<br />
semaikan' (Dinas Pen<strong>di</strong><strong>di</strong>kan Dasar Propinsi <strong>Bali</strong>, 1991:780), yang<br />
rnengalami proses nasalisasi (N-) menja<strong>di</strong> ngurit 'menyemaikan'. Yang<br />
c.:.maksud dalam hal ini adalah menyemaikan pa<strong>di</strong>. Berdasarkan data <strong>di</strong><br />
-:as, dalam menyemaikan pa<strong>di</strong> ada beberapa hal yang perlu <strong>di</strong>perhatikan,<br />
--erti (1) baik buruknya hari (hari baik), (2) keadaan tanah tempat<br />
menyemai, (3) jenis bibit pa<strong>di</strong>~j4)<br />
musim tanam, (5) kerajinan dalam<br />
.... -<br />
,..,.,ernelihara pa<strong>di</strong>, dan (6) ritual yang teratur. <strong>Ritual</strong> itu <strong>di</strong>laksanakan <strong>di</strong><br />
:anpat penyemaian pa<strong>di</strong>. Berikut adalah w<strong>acana</strong> yang <strong>di</strong>dapat dari petani<br />
s.ctempat beserta doa yang <strong>di</strong>gunakan untuk mengiringi ritual tersebut.<br />
(7) W<strong>acana</strong> Ngurit 'Menebar Benih'<br />
Ngurit tan lian wantah mawinih pantun sane nganutin tuntunan saking<br />
pararem subak. Sane patut kaelingang mangda prasida becik olih-olihan<br />
pantune ring carik, inggih punika (1) ala ayuning dewasa mawinih, (2)<br />
kehanan tanah genah mawinih, (3) adung ring bibit druwene, (4) manut<br />
ring kreta masaning matatanduran, Ian (5) jemete miara pqntun, tur (6)<br />
pangacine mangda tetep. Munggwing ban ten mawinih, inggih punika dupa,<br />
sega akojong, canang, entik kunyit, entik kela<strong>di</strong>, don temen, sega kepel putih<br />
kuning.<br />
88
-:-erjemahan Be bas:<br />
'Ngurit tiada lain adalah membibit pa<strong>di</strong> dengan mengikuti peraturan<br />
yang <strong>di</strong>sepakati oleh subak. Yang harus <strong>di</strong>ingat agar proses<br />
penanaman pa<strong>di</strong> mendapatkan hasil yang maksimal adalah (1) hari<br />
baik atau buruk saat membibit, (2) keadaan tanah tempat membibit,<br />
(3) pemilihan bibit yang sesuai, (4) penyesuaian dengan musim, (5)<br />
pemeliharaan pa<strong>di</strong> dengan teratur, dan (6) pelaksanaan ritual yang<br />
rutin. Adapun sesajennya adalah dupa, nasi berbentuk krucut,<br />
canang, pohon kunyit, pohon talas, daun pohon temen, dan nasi kepal<br />
putih dan kuning.'<br />
(8) Mantra untuk Ngurit 'Menyebar Benih'<br />
Ong, Hyang Ibu Pertiwi,<br />
hulun aminta nugraha,<br />
pakenani taneman ingulun,<br />
hempunen sida urip waras,<br />
Ong, Sri, Sri, yanamah swaha (SP: 23).<br />
- erjemahan Be bas:<br />
'Ya, Tu han, sebagai Hyangibu Pertiwi,<br />
hamba mohon anugerah,<br />
peliharalah tanaman hamba ini,<br />
jagalah selalu sehingga hidup sehat sempurna,<br />
terpujilah, Engkau, Tuhan, sebagai Dewi Sri.'<br />
(9) Saa untuk Ngurit 'Menyebar Benih'<br />
Singgih, Ratu, Sang Hyang Ibu Pertiwi,<br />
inggih mangkin purun titiang maka<strong>di</strong> ngobah anggan<br />
palungguh I Ratu,<br />
mapilungsur titiang nanem antuk ngurit,<br />
ngurit Ida Bhatari Sri,<br />
mangkin purun titiang mapilungsur ring anggan palungguh J Ratu,<br />
ledang Ratu ngrahajengang,<br />
mangda tan keneng karususahan,<br />
inggih, mangkin titiang jagi ngurit.<br />
Terjemahan Bebas:<br />
'<br />
'Hormat(ku) Paduka yang <strong>di</strong>sebut sebagai Dewa Bumi,<br />
sekarang hamba beranikan <strong>di</strong>ri mengganggu ketenangan-Mu,<br />
hamba mohon izin menanam dengan menebar benih,<br />
89
menebar Betari Sri,<br />
sekarang hamba beranikan <strong>di</strong>ri memohon ke<strong>pada</strong>-Mu,<br />
su<strong>di</strong> kiranya Engkau menyelamatkan,<br />
supaya tidak terkena hama,<br />
ya, sekarang hamba akan menebar benih.'<br />
6.4.1 Fungsi <strong>Ritual</strong><br />
Pelaksanaan ritual ngurit atau menebar benih selalu <strong>di</strong>barengi dengan<br />
::umtra dan atau saa yang <strong>di</strong>ucapkan oleh pemantra atau pamangku yang<br />
:elah <strong>di</strong>percayai oleh petani. Mantra dan saa itu memiliki dua macam fungsi,<br />
_·aitu fungsi ritual dan fungsi linguistik. Fungsi ritual mantra dan saa adalah<br />
t:ntuk memohon ke<strong>pada</strong> Tuhan dalam sinar suci-Nya sebagai Dewa Bibit<br />
agar bibit pa<strong>di</strong> yang <strong>di</strong>semaikan selamat dari gangguan hama penyakit dan<br />
'~ewan pengganggu lainnya.<br />
--<br />
.4.2 Fungsi Linguistik<br />
Sebagaimana <strong>di</strong>jelaskan, fungsi linguistik adalah fungsi yang terkait<br />
iengan penggunaan unsur-unsur bahasa dalam mantra dan saa tersebut.<br />
Cntuk lebih jelasnya, berikut ini adalah uraian fungsi-fungsi linguistik yang<br />
aaa dalam ritual ngurit .<br />
. 4.2.1 Fungsi Informatif<br />
Data mantra dan saa <strong>di</strong> atas memperlihatkan adanya fungsi bahasa<br />
~"lformatif<br />
tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan antara<br />
:nanusia dan Tuhan sebagai sang Pencipta merupakan hubungan yang<br />
sifatnya vertikal. Hubungan semacam ini melahirkan segala bentuk<br />
90
aan yang ada <strong>pada</strong> manusia dalam kehidupan ini, seperti rasa senang,<br />
, dan bahagia yang kesemuanya adalah kehendak-Nya. Hubungan<br />
-~usia dengan Tuhan dalam ritual pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> sangat kental karena<br />
::tpir semua teks mantra dan saa selalu <strong>di</strong>awali dan <strong>di</strong>akhiri dengan<br />
_ :.ltan nama Tuhan, seperti Ong atau dewa sebagai manifestasi atau sinar<br />
.::-."\Jya, terutama <strong>pada</strong> teks mantra. Hal ini tampak dalam data mantra<br />
-- saa berikut ini. Ong Hyang Ibu Pertiwi 'Ya, Tuhan, sebagai Hyang Ibu<br />
·wi', Ong, Sri, Sri, yanamah swaha 'Terpujilah Engkau, Tuhan, sebagai<br />
-....<br />
i Sri', dan Singgih Ratu, Sang Hyang Ibu Pertiwi 'Hormat(ku) Paduka<br />
-.:lg <strong>di</strong>sebut sebagai Dewi Bumi'. Secara leksikal, kata-kata dalam teks<br />
-~tr a dan saa tersebut menunjukkan fungsi informasi hubungan manusia<br />
engan Tuhan sebagai pencipta semua makhluk yang ada <strong>di</strong> dunia ini.<br />
--<br />
.-1.2.2 Fungsi Fatik<br />
Dalam data mantra dan saa <strong>pada</strong> ritual ngurit 'menyebar benih'<br />
-"·temukan pula fungsi linguistik sebagaimana yang ada <strong>pada</strong> ritual<br />
sebelumnya, yaitu fungsi linguistik yang termasuk dalam fungsi fatik<br />
_.,..,etafora, yang dalam hal ini termasuk sapaan hormat ke<strong>pada</strong> Tuhan. Data<br />
·ang <strong>di</strong>maksud adalah Singgih, Ratu Sang Hyang Ibu Pertiwi 'Hormat(ku)<br />
. aduka yang <strong>di</strong>sebut sebagai Dewi Bumi'. Bentuk leksikal Ratu 'Paduka'<br />
:)ada mantra dan saa<br />
tersebut menyiratkan fungsi fatik metafora<br />
penghormatan<br />
ke<strong>pada</strong> Tuhan Yang Maha Kuasa. Ekspresi verbal kata<br />
'<br />
ersebut merupakan cara pemantra untuk menciptakan komunikasi yang<br />
91
ztengandung penuh rasa hormat ke<strong>pada</strong> Beliau agar segala permohonannya<br />
dapat <strong>di</strong>kabulkan.<br />
6.4.2.3 Fungsi Direktif<br />
Selain kedua fungsi tersebut <strong>di</strong> atas, <strong>pada</strong> mantra ritual menyebar<br />
Jenih <strong>di</strong>temukan juga fungsi linguistik <strong>di</strong>rektif perintah. Perintah<br />
:::nerupakan perkataan yang bermaksud menyuruh untuk melakukan<br />
sesuatu. Dalam mantra ritual menyebar benih, bentuk perintah <strong>di</strong>wujudkan<br />
dengan kalimat perintah. Kalimat perintah atau imperatif adalah kalimat<br />
yang <strong>di</strong>bentuk untuk memancing respon yang berupa tindakan atau jika<br />
pembicara menyuruh lawan bicara berbuat sesuatu. Dalam hal ini perintah<br />
yang <strong>di</strong>ucapkan oleh pemantra <strong>di</strong>tujukan ke<strong>pada</strong> Tuhan dan lebih bersifat<br />
---<br />
memohon kekuatan-Nya agar Beliau senantiasa melindungi dan<br />
memelihara pertumbuhan benihnya tetap sehat dan tumbuh subur. Kalimat<br />
yang dapat memiliki bentuk perintah <strong>pada</strong> umumnya adalah kalimat<br />
taktransitif atau transitif (baik pasif maupun aktif). Kalimat perintah<br />
biasanya <strong>di</strong>bentuk, antara lain, dengan mempertahankan bentuk verba apa<br />
adanya dan menambah partikel -lah untuk memperhalus isinya (Tarigan,<br />
1984:11). Berikut ini adalah contoh analisis perintah yang terdapat dalam<br />
mantra ritual penyebaran benih. Pakenani taneman ingulun 'Peliharalah<br />
tanaman hamba ini' dan Hempunen sida urip 'luaras 'jagalah selalu sehingga<br />
hid up'. Kedua bentuk kalimat perintah ini merupakan bentuk kalimat<br />
perintah transitif aktif dengan menambahkan partikal -lah <strong>pada</strong> verbanya.<br />
92
-~'"1affibahan pertikel tersebut memiliki fungsi untuk memperhalus isi pesan<br />
:...lg ada dalam kalimat tersebut.<br />
Fungsi linguistik terakhir yang ada dalam mantra ritual menyebar<br />
adalah fungsi <strong>di</strong>rektif permohonan. Sebagaimana <strong>di</strong>jelaskan <strong>pada</strong><br />
-~tr a<br />
dan saa ritual pertanian sebelumnya, permohonan adalah suatu<br />
Dmllintaan ke<strong>pada</strong> pihak lain yang lebih tinggi kedudukannya agar<br />
-endapat sesuatu dari hasil permohonan tersebut. Data yang mendukung<br />
-.gsi linguistik tersebut adalah mapilungsur titiang nanem antuk ngurit,<br />
_. rit Ida Bhatari Sri 'hamba mohon izin menanam dengan menebar benih',<br />
gkin purun titiang mapilungsur ring anggan palungguh I Ratu 'sekarang<br />
-~b a<br />
beranikan <strong>di</strong>ri memohon ke<strong>pada</strong>-Mu', ledang Ratu ngrahajengang<br />
__ ai kiranya Engkau menyelamatkan', dan mangda tan keneng karusuhan<br />
--<br />
=:.:paya tidak terkena hama'. Bentuk-bentuk leksikal mapilungsur dan ledang<br />
:::iengandung makna 'permohonan' ke<strong>pada</strong> Tuhan dalam manifestasinya<br />
___ agai Dewi Sri agar beliau mengabulkan segala permohonannya.<br />
~ 5 <strong>Ritual</strong> Pangawiwit 'Permulaan Menanam Pa<strong>di</strong>'<br />
Kata pangawiwit berasal dari kata wi'lvit 'mulai' yang mengalami<br />
roses nasalisasi (N-) menja<strong>di</strong> ngawiwit 'sedang mulai' dan mendapat<br />
. refiks pa- menja<strong>di</strong> pangawiwit 'sebagai tern pat memulai'. Maksudnya, ritual<br />
_angawiwit adalah ritual untuk memulai menanam pa<strong>di</strong> <strong>di</strong> sebuah wilayah<br />
subak. Dalam hal ini ada seorang anggota subak yang berse<strong>di</strong>a sawahnya<br />
ija<strong>di</strong>kan tempat memulai menanam pa<strong>di</strong>. Untuk mencari orang yang<br />
93
:,erse<strong>di</strong>a itu, tidaklah mudah sebab keberse<strong>di</strong>aan berarti menja<strong>di</strong> korban<br />
::a.ma dan penyakit pa<strong>di</strong> lainnya. Semua biaya dalam ritual itu <strong>di</strong>tanggung<br />
.eh subak. <strong>Ritual</strong> itu <strong>di</strong>laksanakan <strong>di</strong> Pura Bedugul dan <strong>di</strong> sawah orang<br />
·ang berse<strong>di</strong>a untuk itu dengan membangun sanggah cucuk dan penjor. Di<br />
_awah ini adalah w<strong>acana</strong> petani tentang ritual dan contoh doa yang<br />
~.engiringinya.<br />
(10) W<strong>acana</strong> Pangawiwit<br />
Pangawiwit wantah upacara ngawitin nandur ring subak. Upacara punika<br />
kalaksanayang olih krama subak sareng sami ring sawah sang sane kaangge<br />
genah ngwiwitin. Upacara punika kalaksanayang ping kalih. Kapertama,<br />
kalaksanayang ring Bedugul, kapuput olih mangku Bedugul, nglantur ring<br />
sawah sang sane sumanggup, ngwangun sanggah cukcuk muah penjor.<br />
Munggwing banten sane katur, inggih punika tipat kelan, peras daksina,<br />
punjung putih kuning, katur ring Ida Bhatara Ring Gunung Agun~ Ida<br />
Bhatara Surya, muah Ida Bhatara ring Ulunswi.<br />
--<br />
T erjemahan be bas:<br />
'Pangawiwit adalah ritual untuk memulai menanam pa<strong>di</strong> <strong>di</strong> wilayah<br />
suatu subak. <strong>Ritual</strong> itu <strong>di</strong>laksanakan oleh seluruh anggota subak<br />
yang bertempat <strong>di</strong> sawah seorang anggota subak yang <strong>di</strong>tunjuk.<br />
<strong>Ritual</strong> itu <strong>di</strong>laksanakan dua kali atau <strong>di</strong> dua tempat. Pertama, <strong>di</strong> Pura<br />
Bedugul yang <strong>di</strong>pimpin oleh mangku Pura Bedugul, selanjutnya <strong>di</strong><br />
sawah anggota yang berse<strong>di</strong>a untuk itu dengan men<strong>di</strong>rikan sebuah<br />
sanggah cucuk dan penjor. Adapun sajen yang <strong>di</strong>haturkan adalah<br />
ketupat 1 kelan, peras daksina, dan punjung putih kuning.'<br />
(11) Mantra untuk Pangawiwit<br />
Ong, Sanghyang Indra haneng purwa,<br />
anguripan sarwa tumuwuh,<br />
sinamaya anutudaken tahun,<br />
Sanghyang Gangga Ratih haneng pascima,<br />
anguripan sarwa tumuwuh,<br />
sinamaya nutudaken tahun,<br />
Pakulun, Hyang Naga Maha haneng uttara,<br />
94
anguripana sarwa tumuwuh,<br />
sinamaya anutug aken tahun,<br />
Ong, Pratiwi Dalem,<br />
da<strong>di</strong> kang tinanem,<br />
da<strong>di</strong> kang tinandur,<br />
Ong, Kurusya, yanamah swaha (TGMSS:19).<br />
-=-erjemahan Be bas:<br />
'Ya, Tuhan, sebagai Sang Hyang Indra yang berada <strong>di</strong> timur,<br />
menghidupkan segala jenis tumbuh-tumbuhan,<br />
semuanya menja<strong>di</strong> panjang umur,<br />
Sang Hyang Gangga Ratih <strong>di</strong> barat,<br />
mengidupkan segala jenis tumbuh-tumbuhan,<br />
semuanya menja<strong>di</strong> panjang umur,<br />
Paduka Hyang Naga Maha <strong>di</strong> utara,<br />
menghidupkan segala jenis tumbuh-tumbuhan,<br />
semuanya menja<strong>di</strong> panjang umur,<br />
ya, Tuhan, sebagai Pratiwi Dalem,<br />
semoga berhasil segala yang <strong>di</strong>tanam,<br />
terpujilah Engkau, Tuhan, sebagai Sanghyang Kurusya. '<br />
(12).Saa untuk Pangawiwit<br />
Inggih, mangkin saka<strong>di</strong> purun titiang mapilungsur ring Ibu Pertiwi,<br />
ngabut punika bulihe turing nanem,<br />
ledang <strong>pada</strong> mica lugra krahajengan,<br />
ring tatanduran titiange mangkin,<br />
inggih mangkin saka<strong>di</strong> purun titiang mapilungsur ring anggan palungguh I<br />
Ratu, ledang <strong>pada</strong> ngrahajengang,<br />
mangda nenten keneng karusuhan olih bikul wia<strong>di</strong>n balang sangit,<br />
<strong>di</strong>sampun mawoh nah ledang <strong>pada</strong> mapaica luput,<br />
mangda katemu antuk pikolih ipun,<br />
asapunika pinunas titiange.<br />
~ erjemahan be bas:<br />
'Y a, sekarang hamba memberanikan <strong>di</strong>ri memohori. ke<strong>pada</strong> yang<br />
<strong>di</strong>sebut Dewa Bumi,<br />
mencabut benih itu lalu menanam,<br />
su<strong>di</strong> kiranya menganugerahkan keselamatan,<br />
ke<strong>pada</strong> seluruh tanaman hamba sekarang,<br />
sekarang hamba memberanikan <strong>di</strong>ri memohon ke<strong>pada</strong> Paduka,<br />
su<strong>di</strong> kiranya memberikan keselamatan,<br />
agar tidak terkena hama tikus dan walang sangit,<br />
95
kalau sudah berbuah supaya berkenan menganugerahkan<br />
keselamatan,<br />
agar sesuai dengan hasil yang <strong>di</strong>harapkan,<br />
begitulah permohonan hamba.'<br />
6.5.1 Fungsi <strong>Ritual</strong><br />
<strong>Ritual</strong> pangawiwit adalah salah satu ritual yang <strong>di</strong>laksanakan secara<br />
':Jersama-sama atau berkelompok <strong>pada</strong> salah satu subak. <strong>Ritual</strong> tersebut<br />
~rfungsi atau bertujuan untuk memohon keselamatan bibit pa<strong>di</strong> yang akan<br />
· tanam. Permohonan <strong>di</strong>tujukan ke<strong>pada</strong> manifestasi Tuhan yang ada <strong>di</strong><br />
ura Bedugul<br />
dan sawah yang akan <strong>di</strong>ja<strong>di</strong>kan tempat pangawiwit.<br />
Berdasarkan doa yang <strong>di</strong>gunakan, permohonan untuk keselamatan juga<br />
· ampaikan ke<strong>pada</strong> Dewa Indra sebagai penguasa hujan, Dewi Gangga<br />
-ebagai pe:figuasa sungai, Hyan'ifNaga Maha yang menghidupkan tumbuh-<br />
:umbuhan, dan Hyang Ibu Pertiwi sebagai Dewa Bumi.<br />
6.5.2 Fungsi Linguistik<br />
Fungsi linguistik adalah fungsi yang terkait dengan penggunaan<br />
'.ffiSur-unsur bahasa dalam mantra dan saa tersebut. Untuk lebih jelasnya,<br />
erikut ini adalah uraian fungsi-fungsi linguistik yang ada dalam ritual<br />
vangawiwit.<br />
6.5.2.1 Fungsi Informatif<br />
Data mantra dan saa <strong>di</strong> atas memperlihatkan adanya fungsi bahasa<br />
informatif tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan antara<br />
96
:nanusia dan Tuhan sebagai Sang Pencipta merupakan hubungan yang<br />
sifatnya vertikal. Hubungan semacam ini<br />
melahirkan segala bentuk<br />
_ erasaan yang ada <strong>pada</strong> manusia dalam kehidupan ini, seperti rasa senang,<br />
susah, dan bahagia yang kesemuanya adalah kehendak-Nya. Hubungan<br />
::tanusia dengan Tuhan dalam ritual pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> sangat kental karena<br />
hampir semua teks mantra dan saa selalu <strong>di</strong>awali dan <strong>di</strong>akhiri dengan<br />
5ebutan nama Tuhan, seperti Ong atau dewa sebagai manifestasi atau sinar<br />
-~ci -Nya,<br />
terutama <strong>pada</strong> teks mantra. Hal ini tampak dalam data mantra<br />
saa berikut ini. Ong Sanghyang Indra haneng purwa 'Ya, Tuhan sebagai<br />
3ang Hyang Indra yang berada <strong>di</strong> timur', Ong Kurusya, yanamah swaha<br />
terpujilah, Engkau, Tuhan sebagai Sanghyang Kurusya', dan Inggih mangkin<br />
--
fungsi linguistik tersebut adalah da<strong>di</strong> kang tinanem, da<strong>di</strong> kang tinandur<br />
'semoga berhasil segala yang <strong>di</strong>tanam', Inggih, saka<strong>di</strong> purun titiang<br />
mapilungsur ring Ibu Pertiwi 'Y a, sekarang hamba memberanikan <strong>di</strong>ri<br />
memohon ke<strong>pada</strong> yang <strong>di</strong>sebut Dewa Bumi',<br />
ledang <strong>pada</strong> mica lugra<br />
krahajengan ring tetanduran titiange mangkin 'su<strong>di</strong> kiranya menganugerahkan<br />
keselamatan ke<strong>pada</strong> seluruh tanaman hamba sekarang', dan inggih mangkin<br />
saka<strong>di</strong> purun titiang mapilungsur ring anggan palungguh I Ratu, ledang <strong>pada</strong><br />
1grahajengang, mangda nenten keneng karusuhan olih bikul wia<strong>di</strong>n balang sangit<br />
sekarang hamba memberanikan <strong>di</strong>ri memohon ke<strong>pada</strong> Paduka, su<strong>di</strong><br />
!dranya memberikan keselamatan agar tidak terkena hama tikus dan walang<br />
angit'.<br />
6.5.2.3 Fungsi Fatik<br />
.....-<br />
Terkait dengan data saa <strong>di</strong> atas, masih ada satu fungsi linguistik yang<br />
<strong>di</strong>temukan, yaitu fungsi fatik metafora yang dalam hal ini termasuk sapaan<br />
uormat ke<strong>pada</strong> Tuhan. Bentuk kata sapaan untuk menyampaikan rasa<br />
uOrmat ke<strong>pada</strong> Tuhan sering <strong>di</strong>ucapkan oleh pemantra (pamangku) dengan<br />
maksud menjaga keharmonisan hubungan antara penguasa alam semesta<br />
an hamba-Nya. Ada satu data berupa kalimat yang mengandung sapaan<br />
hormat ke<strong>pada</strong> Tuhan, yaitu inggih mangkin saka<strong>di</strong> purun titiang mapilungsur<br />
ring anggan palungguh I Ratu 'sekarang hamba memberanikan <strong>di</strong>ri memohon<br />
ke<strong>pada</strong> Paduka'. Bentuk leksikal I Ratu 'Paduka' merupakan salah satu<br />
98
entuk sapaan hormat yang <strong>di</strong>gunakan pemantra dalam ritual pertanian <strong>di</strong><br />
<strong>Bali</strong>.<br />
6.6 <strong>Ritual</strong> Nandur 'Menanam Pa<strong>di</strong>'<br />
Setelah ritual pangawiwit <strong>di</strong>laksanakan, selang beberapa hari atau<br />
:ninggu <strong>di</strong>laksanakan ritual nandur <strong>di</strong> sawah masing-masing warga subak.<br />
<strong>Ritual</strong> itu bersifat priba<strong>di</strong> yang biayanya <strong>di</strong>tanggung sen<strong>di</strong>ri oleh warga<br />
~:ang<br />
bersangkutan. Kata nandur berasal dari kata tandur 'tanam' yang<br />
:nengalami proses nasalisasi menja<strong>di</strong> nandur 'menanam'. Sebelum menanam<br />
_ a<strong>di</strong>, ada beberapa hal yang harus <strong>di</strong>perhatikan, seperti keadaan sawah<br />
::ang sudah siap <strong>di</strong>tanami dan hari yang <strong>di</strong>kenal dengan mitra satru. Mitra<br />
:,erarti 'ternan' dan satru berarti 'musuh'. Maksudnya, ada hari-hari yang<br />
--<br />
baik yang mestinya <strong>di</strong>ikuti dan ada pula hari-hari yang buruk yang harus<br />
cihindari oleh petani dalam menanam pa<strong>di</strong>. Berikut ini adalah w<strong>acana</strong><br />
~etani dan doa yang mengiringi ritual nandur.<br />
(13) W<strong>acana</strong> Nandur 'Menanam Pa<strong>di</strong>'<br />
Sesampune bulihe matuwuh wulanan, sadurunge nandur, pastika tanah<br />
carike sampun sami lemek becik pisan. Lianan ring punika, tanahe sampun<br />
mapalupuh-palupuhan mangda dangan malirang toya ritatkala panumayan<br />
ngenyatin wekasan, gumanti sinarengan kasat, polih sinar sanghyang surya.<br />
Munggwing padewasan nandur manut sima utawi tata agama ring subak<br />
sane nganutin <strong>di</strong>na sane kawastanin mitra satru. Banten sane katur tipat<br />
lepet, nasi penyumuan manut sasih, Zan tipat sari genep.<br />
-:-erjemahan Be bas:<br />
'Kalau bibit itu sudah berumur kurang lebih satu bulan, sebelum<br />
menanam, pastikan tanah sawah sudah siap <strong>di</strong>tanami. Selain itu,<br />
tanah harus rata agar mudah mengalirkan air, ketika mengeringkan,<br />
99
keringnya bersamaan, dan tanaman cukup mendapat sinar matahari.<br />
Adapun waktu penanaman mengikuti adat kebiasaan yang telah<br />
<strong>di</strong>sepakati oleh warga subak yang <strong>di</strong>sebut mitra satru. Sajen yang<br />
<strong>di</strong>haturkan ketupat lepet, nasi permulaan yang warnanya sesuai sasih<br />
(bulan), dan ketupat sari genep.'<br />
(14) Mantra untuk Menanam Pa<strong>di</strong><br />
Ong, Sanghyang Indra haneng purwa,<br />
anguripan sarwa tumuwuh,<br />
sinamaya anutudaken tahun,<br />
Sanghyang Gangga Ratih haneng pascima,<br />
anguripan sarwa tumuwuh,<br />
sinamaya nutudaken tahun,<br />
Pakulun Hyang Naga Maha haneng uttara,<br />
anguripana sarwa tumuwuh,<br />
sinamaya anutug aken tahun,<br />
Ong, Pratiwi Dalem,<br />
da<strong>di</strong> kang tinanem,<br />
da<strong>di</strong> kang tinandur,<br />
Ong, Kurusya, yanamah swaha (TGMSS: 19).<br />
T erjemahan Be<br />
- ..<br />
bas:<br />
--<br />
'Ya, Tuhan, sebagai Sang Hyang Indra yang berada <strong>di</strong> timur,<br />
menghidupkan segala jenis tumbuh-tumbuhan,<br />
semuanya menja<strong>di</strong> panjang umur,<br />
Sang Hyang Gangga Ratih <strong>di</strong> barat,<br />
mengidupkan segala jenis tumbuh-tumbuhan,<br />
semuanya menja<strong>di</strong> panjang umur,<br />
Paduka Hyang Naga Maha <strong>di</strong> utara,<br />
menghidupkan segala jenis tumbuh-tumbuhan,<br />
semuanya menja<strong>di</strong> panjang umur,<br />
ya, Tuhan, sebagai Pratiwi Dalem,<br />
semoga berhasil segala yang <strong>di</strong>tanam,<br />
terpujilah, Engkau, Tuhan sebagai Sanghyang Kurusya.'<br />
(15) Saa untuk Nandur 'Menanam Pa<strong>di</strong>'<br />
Inggih mangkin saka<strong>di</strong> purun titiang mapilungsur ring Ibu Pertiwi,<br />
ngabut punika bulihe turing nanem,<br />
ledang <strong>pada</strong> mica lugra krahajengan,<br />
ring tatanduran titiange mangkin,<br />
inggih mangkin saka<strong>di</strong> purun titiang mapilungur ring anggan palungguh<br />
I Ratu, ledang <strong>pada</strong> ngrahajengang,<br />
mangda nenten keneng karusuhan olih bikul wia<strong>di</strong>n balang sangit,<br />
100
<strong>di</strong>sampun mawoh nah ledang <strong>pada</strong> mapaica luput,<br />
mangda katemu antuk pikolih ipun,<br />
asapunika pinunas titiange .<br />
..,... erjemahan Be bas:<br />
'Y a, sekarang hamba memberanikan <strong>di</strong>ri memohon ke<strong>pada</strong> yang<br />
<strong>di</strong>sebut Dewa Bumi,<br />
mencabut benih itu lalu menanam,<br />
su<strong>di</strong> kiranya menganugerahkan keselamatan,<br />
ke<strong>pada</strong> sel uruh tanaman hamba sekarang,<br />
sekarang hamba memberanikan <strong>di</strong>ri memohon ke<strong>pada</strong> Paduka,<br />
su<strong>di</strong> kiranya memberikan keselamatan,<br />
agar tidak terkena hama tikus dan walang sangit,<br />
kalau sudah berbuah supaya berkenan menganugerahkan<br />
keselamatan,<br />
agar sesuai dengan hasil yang <strong>di</strong>harapkan,<br />
begitulah permohonan hamba.'<br />
.6.1 Fungsi <strong>Ritual</strong><br />
PelaksaRaan ritual nandur ~~au menanam pa<strong>di</strong> atau menebar benih<br />
selalu <strong>di</strong>barengi dengan mantra dan/ atau saa yang <strong>di</strong>ucapkan oleh<br />
:: emantra a tau pamangku yang telah <strong>di</strong>percayai oleh petani. Mantra dan saa<br />
:u memiliki dua macam fungsi, yaitu fungsi umum dan fungsi linguistik.<br />
ungsi ritual mantra dan saa adalah untuk memohon ke<strong>pada</strong> Tuhan dalam<br />
smar suci-Nya sebagai Dewa Bibit yang <strong>di</strong>percaya sebagai penguasa empat<br />
. enjuru mata angin dan Dewi Sri dengan harapan pa<strong>di</strong> yang baru <strong>di</strong>tanam<br />
uput dari serangan hama penyakit dan hewan pengganggu lainnya.<br />
6.6.2 Fungsi Linguistik<br />
Fungsi linguistik adalah fungsi yang terkait dengan penggunaan<br />
unsur-unsur bahasa dalam mantra dan saa tersebut. Untuk lebih jelasnya,<br />
101
oerikut ini adalah uraian fungsi-fungsi linguistik yang ada dalam rituai<br />
··umdur .<br />
. 6.2.1 Fungsi Informatif<br />
Data mantra dan saa <strong>di</strong> atas memperlihatkan adanya fungsi bahasa<br />
:nformatif tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan antara<br />
:nanusia dan Tuhan sebagai Sang Pencipta merupakan hubungan yang<br />
-ifatnya vertikal. Hubungan semacam ini melahirkan segala bentuk<br />
erasaan yang ada <strong>pada</strong> manusia dalam kehidupan ini, seperti rasa senang,<br />
susah, dan bahagia yang kesemuanya adalah kehendak-Nya. Hubungan<br />
manusia dengan Tuhan dalam ritual pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> sangat kental karena<br />
:-.ampir semua teks mantra dan saa selalu <strong>di</strong>awali dan <strong>di</strong>akhiri dengan<br />
--<br />
sebutan nama Tuhan, seperti Ong atau dewa sebagai manifestasi atau sinar<br />
suci-Nya, terutama <strong>pada</strong> teks mantra. Hal ini tampak dalam data mantra<br />
ian saa berikut ini. Ong Sanghyang Indra haneng purwa 'Ya, Tuhan, sebagai<br />
Sang Hyang Indra yang berada <strong>di</strong> Timur', Ong, Kurusya, yanamah swaha<br />
-erpujilah, Engkau, Tuhan sebagai Sanghyang Kurusya', dan inggih mangkin<br />
saka<strong>di</strong> purun titiang mapilungsur ring Ibu Pertiwi<br />
'ya, sekarang hamba<br />
:nemberanikan <strong>di</strong>ri memohon ke<strong>pada</strong> yang <strong>di</strong>sebut Dewa Bumi'. Secara<br />
~eks ikal, kata-kata dalam teks mantra dan saa tersebut menunjukkan fungsi<br />
informatif hubungan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta semua<br />
makhluk yang ada <strong>di</strong> dunia ini.<br />
102
'.6.2.2 Fungsi Direktif<br />
Di samping fungsi bahasa informati£ 1<br />
dalam data <strong>di</strong> atas <strong>di</strong>temukan<br />
.... ga fungsi linguistik <strong>di</strong>rektif permohonan. Sebagaimana <strong>di</strong>jelaskan <strong>pada</strong><br />
wantra dan saa ritual pertanian sebelumnya 1<br />
permohonan adalah suatu<br />
permintaan ke<strong>pada</strong> pihak lain yang lebih tinggi kedudukannya agar<br />
mendapat sesuatu dari hasil permohonan tersebut. Data yang mendukung<br />
-..mgsi linguistik tersebut 1<br />
misalnya da<strong>di</strong> kang tinaneml da<strong>di</strong> kang tinandur<br />
sernoga berhasil segala yang <strong>di</strong>tanam 1 1<br />
inggih saka<strong>di</strong> purun titiang<br />
uzpilungsur ring Ibu Pertiwi I ya 1<br />
sekarang hamba memberanikan <strong>di</strong>ri<br />
:nemohon ke<strong>pada</strong> yang <strong>di</strong>sebut Dewa Bumi 1 1<br />
ledang <strong>pada</strong> mica lugra<br />
ahajengan ring tetanduran titiange mangkin I su<strong>di</strong> kiranya menganugerahkan<br />
.~eselamatan ke<strong>pada</strong> seluruh tanaman hamba sekarang 1 1<br />
--<br />
dan inggih manghn<br />
s:;kn<strong>di</strong> purun titiang mapilungur ring anggan palungguh I Ratul lednng padn<br />
.grahajengangl mangda nenten keneng karusuhan olih bikul wia<strong>di</strong>n balang sangit<br />
sekarang hamba memberanikan <strong>di</strong>ri memohon ke<strong>pada</strong> Padukal su<strong>di</strong><br />
k.iranya memberikan keselamatan agar tidak terkena hama tikus dan walang<br />
sangit 1 •<br />
6.6.2.3 Fungsi Fatik<br />
Terkait dengan data saa <strong>di</strong> atas 1 masih ada satu fungsi linguistik yang<br />
<strong>di</strong>temukan 1 yaitu fungsi fatik metafora yang dalam hal ini termasuk sapaan<br />
hormat ke<strong>pada</strong> Tuhan. Bentuk kata sapaan untuk menyampaikan rasa<br />
hormat ke<strong>pada</strong> Tuhan sering <strong>di</strong>ucapkan oleh pemantra (pamangku) dengan<br />
maksud menjaga keharmonisan hubungan antara penguasa alam semesta<br />
103
u.an hamba-Nya. Ada satu data berupa kalimat yang mengandung sapaan<br />
- ~rmat ke<strong>pada</strong> Tuhan, yaitu inggih mangkin saka<strong>di</strong> purun titiang mapilungsur<br />
- ·;g anggan palungguh I Ratu 'sekarang hamba memberanikan <strong>di</strong>ri memohon<br />
"'ada Paduka'. Bentuk leksikal I Ratu 'Paduka' merupakan salah satu<br />
tuk sapaan hormat yang <strong>di</strong>gunakan pemantra dalam ritual pertanian <strong>di</strong><br />
:; <strong>Ritual</strong> Mubuhin 'Menghaturkan Bubur'<br />
<strong>Ritual</strong> mubuhin adalah ritual yang <strong>di</strong>laksanakan beberapa hari<br />
--~el ah ritual nandur saat pa<strong>di</strong> berumur kurang lebih 12 hari. Kata mubuhin<br />
l:::€rasal dari kata bubuh 'bubur', kemu<strong>di</strong>an mengalami proses nasalilasi (N-)<br />
-an mendapat sufiks -in me~La<strong>di</strong> mubuhin 'memberi bubur'. Untuk lebih<br />
..... -<br />
lasnya, berikut ini adalah w<strong>acana</strong> yang <strong>di</strong>dapat dari petani setempat<br />
:)erikut doa yang berupa saa sebagai sarana komunikasi antara petani dan<br />
Sang Pencipta atau Penguasa Tanaman Pa<strong>di</strong>.<br />
(16) W<strong>acana</strong> Mubuhin 'Menghaturkan Bubur'<br />
Disampune pantune matuwuh 12 <strong>di</strong>na, saka<strong>di</strong> rarene sampun mayusa 12<br />
<strong>di</strong>na, irika kalaksanayang upacara negteg atma pramananing pantun. Irika<br />
ngaturang bubuh ring carike. Banten sane katur nasi bubuh mawadah<br />
suyuk, madaging canang atan<strong>di</strong>ng. Genah maturan ring pangalapan ring<br />
sor.<br />
Terjemahan Bebas:<br />
'Saat pa<strong>di</strong> sudah berumur 12 hari, sama halnya dengan bayi yang<br />
~udah berusia 12 hari, <strong>di</strong>laksanakan ritual negteg atma pramananing<br />
pantun. Pada saat itu <strong>di</strong>haturkan bubur <strong>di</strong> sawah. Sajen yang<br />
<strong>di</strong>haturkan berupa nasi bubur <strong>di</strong>tempatkan dalam suyuk dan berisi<br />
104
canang 1 buah. Tempat persembahyangan adalah <strong>di</strong> bawah, <strong>di</strong><br />
sebelah pangalapan.<br />
(17) Saa untuk Mubuhin<br />
Singgih Ratu Bhatari Sri muah Ratu Sedan Carik,<br />
mangkin sampun tegteg atma pramananing pan tun druwene,<br />
puniki titiang ngaturang bubuh,<br />
mangda ledang I Ratu amukti sari,<br />
riwusan amuktisari,<br />
mangda ledang ngamicayang karahajengan ring pan tun druwene,<br />
mangda prasida nutugang tuwuh,<br />
tur luput ring sahananing mrana,<br />
wantah asapunika pinunas tityang,<br />
kirang langkung titiang nunas pangampura.<br />
erjemahan Bebas:<br />
'Hormatku Dewi Sri dan Penguasa Sawah,<br />
sekarang pa<strong>di</strong>mu sudah waras,<br />
ini hamba haturkan bubur,<br />
su<strong>di</strong> kiranya Engkau menikmati,<br />
setelah menikmati,<br />
su<strong>di</strong> kir1inya Engkau anuge-rihkan keselamatan <strong>pada</strong> pa<strong>di</strong>-Mu,<br />
agar dapat tumbuh sampai panen,<br />
dan terbebas dari segala hama,<br />
hanya itu permohonan hamba,<br />
atas segala kekurangannya hamba mohon maaf.'<br />
6.7.1 Fungsi <strong>Ritual</strong><br />
Dalam ritual mubuhin sudah sangat jelas <strong>di</strong>ungkapkan bahwa<br />
persembahan yang <strong>di</strong>haturkan oleh pamangku<br />
dapat <strong>di</strong>artikan sebagai<br />
sebuah surat yang <strong>di</strong>tujukan ke<strong>pada</strong> Tuhan dengan harapan Beliau<br />
senantiasa melimpahkan rahmat-Nya sehingga tanaman pa<strong>di</strong> dapat tumbuh<br />
subur. Dengan kata lain, fungsi ritual ini adalah untuk memohon ke<strong>pada</strong><br />
Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Dewi Sri-penguasa tanaman pa<strong>di</strong>-<br />
105
an Sedan Carik sebagai penguasa lahan persawahan agar pa<strong>di</strong> yang baru<br />
saja <strong>di</strong>tanam dapat tumbuh subur dan selamat sampai masa panen nanti .<br />
. 7.2 Fungsi Linguistik<br />
Fungsi linguistik adalah fungsi yang terkait dengan penggunaan<br />
:.msur-unsur bahasa dalam saa tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini<br />
aaalah uraian fungsi-fungsi linguistik yang ada dalam ritual mubuhin .<br />
. 7.2.1 Fungsi Informatif<br />
Data saa <strong>di</strong> atas memperlihatkan adanya fungsi bahasa informatif<br />
:entang hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan antara manusia dan<br />
~ uhan sebagai Sang Pencipta merupakan hubungan yang sifatnva Yertikal .<br />
..... -<br />
Hubungan semacam ini melahirkan segala bentuk perasaan yang ada <strong>pada</strong><br />
~usia dalam kehidupan ini, seperti rasa senang, susah, dan bahagia yang<br />
_(esemuanya adalah kehendak-Nya. Hal itu tampak <strong>pada</strong> penyebutan nama<br />
T uhan, yaitu Singgih Ratu Bhatari Sri muah Ratu Sedan Carik 'Hormatku<br />
Paduka Betari Sri dan Ratu Sedan Carik sebagai Penguasa Sa wah'. Secara<br />
.eksikal, kata-kata dalam teks saa tersebut menunjukkan fungsi informasi<br />
hubungan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta semua makhluk yang<br />
ada <strong>di</strong> dunia ini.<br />
106
6. 7.2.2 Fungsi Direktif<br />
Selain fungsi bahasa informatif, dalam data saa <strong>di</strong> atas <strong>di</strong>temukan<br />
uga fungsi linguistik <strong>di</strong>rektif permohonan. Sebagaimana <strong>di</strong>jelaskan <strong>pada</strong> saa<br />
ritual pertanian sebelumnya, permohonan adalah suatu permintaan ke<strong>pada</strong><br />
. ihak lain yang lebih tinggi kedudukannya agar mendapat sesuatu dari<br />
.la.Sil permohonan tersebut. Fungsi linguistik <strong>di</strong>rektif permohonan yang ada<br />
ada saa tersebut <strong>di</strong>bedakan menja<strong>di</strong> dua macam, yaitu fungsi linguistik<br />
6rektif permohonan yang mengandung makna permintaan dan yang<br />
mengandung makna permohonan maa£. Data yang mendukung fungsi<br />
........ guistik <strong>di</strong>rektif permohonan yang bermakna permintaan adalah mangda<br />
· inng I Ratu amukti sari 'su<strong>di</strong> kiranya Engkau menikmati' dan riwusamukti<br />
--ri mangda ledang ngamicayang kerahajengan ring pantun drutuene 'setelah itu<br />
..... -<br />
__ <strong>di</strong> kiranya Engkau menganugerahkan keselamatan <strong>pada</strong> pa<strong>di</strong>-Mu'. Fungsi<br />
.. :Ilguistik <strong>di</strong>rekti£ permohonan yang mengandung permohonan maa£<br />
.::.rperlihatkan oleh data<br />
kirang langkung, titiang nunas pangampura 'atas<br />
__ ekurangannya hamba mohon maa£'.<br />
~. 7 .2.3 Fungsi Fatik<br />
Fungsi linguistik terakhir yang terdapat dalam saa ritual mubuhin<br />
adalah fungsi fatik metafora. Fungsi linguistik ini berfungsi<br />
:nempertahankan keseimbangan an tara man usia dan Tuhan Yang Maha<br />
.-\<strong>di</strong>l dan penguasa seisi alam semesta ini. Bentuk sapaan semacam itu yang<br />
ering muncul dalam sapaan sebagai penghormatan ke<strong>pada</strong> Beliau. Adapun<br />
107
ata yang mendukung fungsi linguistik yang <strong>di</strong>maksud adalah Singgilz Rntzl<br />
3lzatari Sri muah Ratu Sedan Carik 'Hormatku Betari Sri dan Ratu Sedan Carik<br />
sebagai Penguasa Sawah'. Saa tersebut menyiratkan fungsi fatik metafora<br />
b'€nghormatan ke<strong>pada</strong> Tuhan Yang Maha Kuasa. Ekspresi verbal kata-kata<br />
:ersebut merupakan sarana dari pengucap saa<br />
untuk menciptakan<br />
omunikasi yang mengandung penuh rasa hormat ke<strong>pada</strong> Beliau agar<br />
segala permohonannya dapat <strong>di</strong>kabulkan.<br />
~ ~ <strong>Ritual</strong> Ngulapin 'Pembersihan'<br />
<strong>Ritual</strong> ngulapin <strong>di</strong>maksudkan sebagai ritual pembersihan secara batin<br />
--hadap tanaman pa<strong>di</strong> setelah penyiangan rumput yang pertama<br />
· akukan. K._ata ngulapin bera::!i 'upacara pemanggilan roh setelah<br />
mengalami kecelakaan' (Ruddyanto dkk., 2008:778). Pa<strong>di</strong> dalam<br />
epercayaan masyarakat <strong>pada</strong> umumnya dan petani khususnya juga<br />
ggap memiliki roh, sama halnya dengan manusia. Pada saat petani<br />
...... enyiangi rumput <strong>di</strong> sela-sela tanaman pa<strong>di</strong> dengan tidak sengaja tangan<br />
=:au kaki mereka akan menyentuh a tau mengoyak-ngoyaknya sehingga<br />
t.anaman pa<strong>di</strong> menja<strong>di</strong> se<strong>di</strong>kit bergeser dari tempat semula. Kalau<br />
..::andaikan sebagai manusia, pa<strong>di</strong> itu telah mengalami "kecelakaan"<br />
3ehingga menimbulkan stres, pusing, sakit, kotor, dan sebagainya. Oleh<br />
~ena<br />
itu, situasi seperti itu perlu <strong>di</strong>normalkan dengan ritual ngulapin.<br />
3erikut adalah w<strong>acana</strong> tentang ritual ngulapin dan doa yang <strong>di</strong>gunakan<br />
Qntuk mengiringinya.<br />
108
(18) W<strong>acana</strong> Ngulapin 'Pembersihan'<br />
Ring tuwuh pantune kirang langkung 20 <strong>di</strong>na, sinah sampun rumpute<br />
tumbuh panjang ring selag-selagan pantune. Kala punika sang amacul patut<br />
ngresikin rumpute utawi majukut. Rikala ngresikin rumput punika, sinah<br />
sampun wenten pantune sane keni kajekjek, keni ka abas, sane ngawinang<br />
obah pamulane. Yan ring kamanusan, nika ngawinang leteh tur sungkan.<br />
Nika mawinan, riwusane majukut patut pantune punika kaulapin, mangda<br />
prasida resik ring niskala tur lanus ring sekalane. Munggwing banten sane<br />
katur inggih punika tipat, daksina, sampian sangga urip, punjung,<br />
tumpeng, tulung sayut, lis, peras, lan panyeneng.<br />
~ erjemahan Be bas:<br />
'Saat pa<strong>di</strong> itu berumur kurang lebih 20 hari, jelas sudah rumput yang<br />
ada <strong>di</strong> sela-sela pa<strong>di</strong> itu tumbuh tinggi. Pada waktu itu para petani<br />
harus membersihkan rumput itu atau yang <strong>di</strong>sebut dengan istilah<br />
majukut 'menyiangi'. Saat membersihkan rumput-rumput itu sudah<br />
pasti tanaman pa<strong>di</strong> juga terinjak, sabit, yang menyebabkan tanaman<br />
itu berubah posisi. Kalau <strong>di</strong>andaikan pa<strong>di</strong> itu adalah manusia, hal itu<br />
menyebabkan kotor_~ atau sakit. Itulah sebabnya, setelah<br />
..... -<br />
membersihkan rumput, pa<strong>di</strong> itu harus <strong>di</strong>bersihkan agar bersih atau<br />
sehat lahir batin. Adapun sajen yang <strong>di</strong>haturkan adalah ketupat,<br />
daksina, sampian sangga urip, punjung, tumpeng, tulung sayut, lis, peras,<br />
dan panyeneng.'<br />
(19) Saa untuk Ngulapin 'Pembersihan'<br />
Ratu Sang Hyang Tri Na<strong>di</strong>,<br />
Brahma, Wisnu, Iswara,<br />
damuh paduka Bhatara makelingang mangda Bhatara ngwehin rahayu,<br />
<strong>di</strong>rgha yusa,<br />
kasinangkawonan,<br />
kaletehan,<br />
sida kalebur,<br />
kaulapin antuk Bhatara sami,<br />
sida lanus urip pari puniki.<br />
Terjemahan Bebas:<br />
'Paduka Sang Hyang Tri Na<strong>di</strong>,<br />
Brahma, Wisnu, Iswara,<br />
109
hamba-Mu menyampaikan agar Betara menganugerahkan<br />
keselamatan,<br />
panjang umur,<br />
segala yang jelek dan kotor,<br />
bisa <strong>di</strong>musnahkan,<br />
<strong>di</strong>bersihkan oleh Paduka semua,<br />
hingga bisa selamat dan hidup pa<strong>di</strong> ini.'<br />
6.8.1 Fungsi <strong>Ritual</strong><br />
Pelaksanaan ritual ngulapin tidak selalu <strong>di</strong>barengi dengan mantra<br />
dan/ atau saa yang <strong>di</strong>ucapkan oleh pemantra atau pamangku yang telah<br />
<strong>di</strong>percayakan oleh petani. Kadang-kadang ritual itu hanya <strong>di</strong>ikuti dengan<br />
~aa.<br />
Saa itu memiliki dua macam fungsi, yaitu fungsi ritual dan fungsi<br />
linguistik. Fungsi ritual saa dalam hubungannya dengan ritual tersebut<br />
adalah untuk memohon kepc:tPa Tuhan dalam sinar suci-Nya sebagai Sang<br />
Hyang Tri Na<strong>di</strong>: Brahma, Wisnu, dan Siwa yang <strong>di</strong>percaya sebagai Dewa<br />
Penguasa Alam semesta ini, yaitu pencipta, pemelihara, dan pemusnah<br />
dengan harapan Beliau senantiasa menganugerahkan keselamatan dengan<br />
alan memusnahkan segala yang jelek dan kotor yang ada <strong>pada</strong> tanaman<br />
. a<strong>di</strong> yang baru <strong>di</strong>bersihkan atau <strong>di</strong>siangi sehingga pa<strong>di</strong> menja<strong>di</strong> panjang<br />
:.unur serta memberikan hasil banyak.<br />
6.8.2 Fungsi Linguistik<br />
Fungsi linguistik adalah fungsi yang terkait dengan penggunaan<br />
:msur-unsur bahasa dalam saa tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini<br />
adalah uraian fungsi-fungsi linguistik yang ada dalam ritual ngulapin.<br />
110
.8.2.1 Fungsi Informatif<br />
Data saa <strong>di</strong> atas memperlihatkan adanya fungsi bahasa informatif<br />
~ tang hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan antara manusia dan<br />
-uhan sebagai Sang Pencipta merupakan hubungan yang sifatnya vertikal.<br />
Hubungan semacam ini melahirkan segala bentuk perasaan yang ada <strong>pada</strong><br />
::tanusia dalam kehidupan ini, seperti rasa senang, susah, dan bahagia yang<br />
~-esemuanya<br />
adalah kehendak-Nya. Hubungan manusia dengan Tuhan<br />
Calam ritual pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> sangat kental karena hampir semua teks<br />
mantra dan saa selalu <strong>di</strong>awali dan <strong>di</strong>akhiri dengan sebutan nama Tuhan,<br />
·3eperti Ong atau dewa sebagai manifestasi atau sinar suci-Nya, terutama<br />
:ada teks mantra. Hal ini tampak dalam data mantra dan saa berikut ini.<br />
~ 1tu Sang Hyang Tri Na<strong>di</strong>, Bra_7Lma, Wisnu, Iswara 'Paduka Sang Hyang Tri<br />
-....-<br />
_ :a<strong>di</strong>, Brahma, Wisnu Siwa'. Secara leksikal, kata-kata dalam teks saa<br />
:ersebut menunjukkan fungsi informasi hubungan manusia dengan Tuhan<br />
5ebagai pencipta semua makhluk yang ada <strong>di</strong> dunia ini .<br />
. 8.2.2 Fungsi Direktif<br />
Di samping fungsi bahasa informatif, dalam data <strong>di</strong> atas <strong>di</strong>temukan<br />
:1ga fungsi linguistik <strong>di</strong>rektif permohonan. Sebagaimana <strong>di</strong>jelaskan <strong>pada</strong> saa<br />
~tu al<br />
pertanian sebelumnya, permohonan adalah suatu permintaan ke<strong>pada</strong><br />
ihak lain yang lebih tinggi kedudukannya agar mendapat sesuatu dari<br />
hasil permohonan tersebut. Data yang mendukung fungsi linguistik<br />
tersebut, misalnya damuh paduka Bhatara makelingang mangda Bhatara ngwehin<br />
111
ahayu .... 'Hamba-Mu menyampaikan agar Betara menganugrahkan<br />
.
ujak, bungkak nyuh ga<strong>di</strong>ng, banten clekontongan madaging ngeed, kulit<br />
taluh, kunyit, benang, sami magenah ring kronjo.<br />
T erjemahan Be bas:<br />
'Umur dua bulan tanaman pa<strong>di</strong> sudah tumbuh dengan rata. Kalau<br />
<strong>di</strong>andaikan sebagai manusia, pa<strong>di</strong> sudah tumbuh remaja atau akil<br />
balig. Setelah sudah berumur tiga bulan, kalau <strong>pada</strong> manusia, pa<strong>di</strong><br />
sudah memiliki perasaan cinta, saat itu <strong>di</strong>sebut pa<strong>di</strong> itu sudah hamil.<br />
Saat berumur lebih dari tiga bulan, pa<strong>di</strong> <strong>di</strong>katakan sudah menyerupai<br />
ekor kadal, buliran-buliran pa<strong>di</strong> itu sudah samar-samar terlihat, kalau<br />
<strong>pada</strong> manusia sudah <strong>di</strong>sebut tutug sasihan, dan kemu<strong>di</strong>an lahir yang<br />
<strong>di</strong>sebut sebagai Sang Hyang Kwas<strong>pada</strong>n. Yang jelas, dari umur pa<strong>di</strong> itu<br />
tiga bulan dan seterusnya, <strong>pada</strong> saat hari yang <strong>di</strong>anggap baik,<br />
<strong>di</strong>laksanakan upacara yang <strong>di</strong>sebut byakukung atau byukukung. Sajen<br />
yang <strong>di</strong>haturkan berupa aneka ragam rujak, berjenis-jenis ubi, seperti<br />
talas, ketela pohon, biaung, ketela rambat yang semuanya <strong>di</strong>kukus.<br />
Sajen yang berupa beraneka jenis ubi yang berisi rujak, kelapa muda<br />
yang berwarna kuning, sajen celekontongan yang berisi pisau dari<br />
bambu, kulit telor, kunir, benang, semua <strong>di</strong>taruh <strong>di</strong> dalam kronjo atau<br />
kroso/<br />
--<br />
(21) Mantra untuk Ngiseh/Byakukung<br />
Ong, Sang Naga Raja makukuhane ring sarining buana kabeh,<br />
Ong, Sri mandel belbel,<br />
Ong, kamung Hyang akumpulaning buana kabeh,<br />
Ong, Sri Mandel maring sawah,<br />
Ong, Sri Nini sakeng wetan Sri pagha Hyang Mami,<br />
Ong, Sri Nini sakeng kulon Sri Pagha Hyang Mami,<br />
Ong, Sri Nini sakeng lor Sri Pagha Hyang Mami,<br />
enaka<strong>pada</strong> angayab sari penampi sari amukti,<br />
Ong, Dewa Amertha, yanamah (SP:69).<br />
~ erjemahan Be bas:<br />
'Ya, Tuhan, sebagai Sang Raja Naga yang membuat kokoh seluruh<br />
jagat raya,<br />
Ya, Tuhan, sebagai Dewi Sri Mandel berjejal-jejallah,<br />
Ya, Tuhan, Engkau yang memenuhi dunia ini,<br />
Y a, Tuhan, sebagai Dewi Sri Mandel yang berada <strong>di</strong> sa wah,<br />
Ya, Tuhan, sebagai Dewi Sri Nini yang datang dari timur yang<br />
menghadap Ibu-Nya (Dewi Uma),<br />
113
Ya, Tuhan, sebagai Dewi Sri Nini yang datang dari barat yang<br />
menghadap Sang Ibu (Dewi Uma),<br />
Ya, Tuhan, sebagai Dewi Sri Nini yang datang dari utara yang<br />
menghadap Sang Ibu,<br />
su<strong>di</strong> kiranya menikmati persembahan hamba,<br />
terpujilah Engkau, Tuhan, sebagai sumber kesucian.'<br />
(22) Saa untuk Ngiseh/Byakukung 'Pa<strong>di</strong> Hamil'<br />
Inggih, Ratu Bhatara Surya,<br />
Ampura titiang purun ngobah ka<strong>di</strong> anggan palungguh Bhatara,<br />
ledang <strong>pada</strong> ngalingganin saka<strong>di</strong> mangkin,<br />
sampun tutug yusan Ida Bhatari Sri,<br />
mangkin titiang ngluwur antuk pangisehan,<br />
mangkin ledang <strong>pada</strong> mica lugra,<br />
nyinarin mangda ten ipun singse,<br />
saka<strong>di</strong> nglungsur pangemit luir saka<strong>di</strong> pangandungan Bhatari Sri,<br />
ledang Bhatara nyinarin mangda ipun tan keneng karusuhan,<br />
punika panglungsur titiange.<br />
- erjemahan be bas:<br />
'Paduka sebagai Dewa Matahari,<br />
maafkan hamba yangl:~ah berani mengganggu ketenangan-Mu,<br />
su<strong>di</strong> kiranya menjiwai saat ini,<br />
sekarang sudah cukup usianya Dewi Sri,<br />
sekarang hamba memohon dengan menghaturkan sesajen yang<br />
<strong>di</strong>sebut pangisehan,<br />
sekarang su<strong>di</strong> kiranya memberikan izin,<br />
menyinari agar tidak ada yang merusak,<br />
seperti memohon penjagaan terhadap kehamilan Betari Sri,<br />
su<strong>di</strong> kiranya Paduka menyinari agar tidak terkena hama penyakit,<br />
itulah permohonan hamba.'<br />
6.9.1 Fungsi <strong>Ritual</strong><br />
Pelaksanaan ritual ngiseh atau mabyakukung selalu <strong>di</strong>barengi dengan<br />
mantra dan/ atau saa yang <strong>di</strong>ucapkan oleh pemantra atau pamangku yang<br />
elah <strong>di</strong>percayakan oleh petani. Mantra dan saa itu memiliki dua macam<br />
fungsi, yaitu fungsi ritual dan fungsi linguistik. Fungsi ritual mantra dan<br />
114
~aa adalah untuk memohon ke<strong>pada</strong> Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai<br />
:Jewa Matahari agar dengan kekuatan sinar suci-Nya Beliau dapat menjaga<br />
serta melindungi tanaman pa<strong>di</strong> yang sedang dalam keadaan "hamil" (kalau<br />
<strong>di</strong>umpamakan sebagai seorang manusia) sehingga terbebas dari gangguan<br />
4tama penyakit dan hewan pengganggu lainnya .<br />
. 9.2 Fungsi Linguistik<br />
Fungsi linguistik adalah fungsi yang terkait dengan penggunaan<br />
:msur-unsur bahasa dalam mantra dan saa tersebut. Untuk lebih jelasnya,<br />
berikut ini adalah uraian fungsi-fungsi linguistik yang ada dalam ritual<br />
.giseh atau mabyakukung.<br />
6.9.2.1 Fungsi Informatif<br />
.....-<br />
Data mantra dan saa <strong>di</strong> atas memperlihatkan adanya fungsi bahasa<br />
informatif tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan antara<br />
manusia dan Tuhan sebagai Sang Pencipta merupakan hubungan yang<br />
ifatnya vertikal. Hubungan semacam ini melahirkan segala bentuk<br />
perasaan yang ada <strong>pada</strong> manusia dalam kehidupan ini, seperti rasa senang,<br />
susah, dan bahagia yang kesemuanya adalah kehendak-Nya. Hubungan<br />
rnanusia dengan Tuhan dalarn ritual pertanian <strong>di</strong> <strong>Bali</strong> sangat kental karena<br />
hampir semua teks mantra dan saa selalu <strong>di</strong>awali dan <strong>di</strong>akhiri dengan<br />
sebutan nama Tuhan, seperti Ong atau dewa sebagai manifestasi atau sinar<br />
suci-Nya, terutama <strong>pada</strong> teks mantra. Hal ini tampak dalam data mantra<br />
115
~ an saa berikut ini. Ong Sang Naga Raja makukuhane ring sarining buana knbe<br />
'a, Tuhan sebagai sang Raja Naga yang membuat kokoh seluruh jagat<br />
raya',<br />
Ong Dewa Amerta, yanamah 'terpujilah, Engkau, Tuhan, sebagai<br />
5:llTiber kesucian', dan Inggih Ratu Bhatara Surya 'Paduka sebagai Dewa<br />
_.latahari'. Secara leksikal, kata-kata dalam teks mantra dan saa tersebut<br />
::tenunjukkan fungsi informasi hubungan manusia dengan Tuhan sebagai<br />
€ncipta semua makhluk yang ada <strong>di</strong> dunia ini.<br />
'.9.2.2 Fungsi Direktif<br />
Selain fungsi bahasa informatif, dalam data mantra dan saa <strong>di</strong> atas<br />
~:te mukan<br />
juga fungsi linguistik <strong>di</strong>rektif permohonan. Sebagaimana<br />
~=jelaskan <strong>pada</strong> mantra dan saa ritual pertanian sebelumnya, permohonan<br />
.... -<br />
aaalah suatu permintaan ke<strong>pada</strong> pihak lain yang lebih tinggi kedudukannya<br />
agar mendapat sesuatu dari hasil permohonan tersebut. Fungsi linguistik<br />
:::Jrektif permohonan yang ada <strong>pada</strong> mantra dan saa tersebut <strong>di</strong>bedakan<br />
::1enja<strong>di</strong> dua macam, yaitu fungsi linguistik <strong>di</strong>rektif permohonan yang<br />
::1engandung makna permintaan dan yang mengandung makna<br />
':)ermohonan maaf. Data yang mendukung fungsi linguistik <strong>di</strong>rektif<br />
_ ermohonan yang bermakna permintaan, yaitu Ong Sri Mandel belbel 'Ya,<br />
l uhan, sebagai Dewi Sri Mandel, berjejal-jejallah' I<br />
enak a<strong>pada</strong> angayabsari<br />
~'anampi sari amukti 'su<strong>di</strong> kiranya menikmati persembahan hamba', mangkin<br />
:zhang ngluwur antuk pangisehan 'sekarang hamba memohon dengan<br />
:nenghaturkan sesajen yang <strong>di</strong>sebut pangisehan', dan mangkin ledang <strong>pada</strong><br />
116