SEMNAS Hortikultura Buku 2 - Departemen Pertanian
SEMNAS Hortikultura Buku 2 - Departemen Pertanian
SEMNAS Hortikultura Buku 2 - Departemen Pertanian
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
c<br />
BUKU 2
PROSIDING SEMINAR NASIONAL<br />
BUKU 2<br />
“Penerapan Inovasi Teknologi dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong><br />
yang Berdaya Saing dan Berbasis Keragaman<br />
Sumber Daya Lokal”<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
Penanggung Jawab :<br />
Dr. Ir. M. Prama Yufdy, MSc.<br />
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan <strong>Hortikultura</strong><br />
Penyunting :<br />
Dr. Budi Marwoto<br />
Dr. Budi Winarto<br />
Dr. Idha Widi Arsanti<br />
Dr. I Djatnika<br />
Dr. Witono Adiyoga<br />
Dr. Rofik Sinung Basuki<br />
Drs. Jawal AS, MS<br />
Dr. Iteu M Hidayat<br />
Ir. Otto Endarto<br />
Dra. Dyah Widiastoeti<br />
Tata Letak dan Editing :<br />
Djoko Mulyono<br />
Adhitya Marendra Kiloes<br />
Turyono<br />
Dian Kurniasih<br />
Nurmalinda<br />
Ofi Luthfiyah<br />
Suarti Sutadi<br />
Alamat :<br />
Pusat Penelitian dan Pengembangan <strong>Hortikultura</strong><br />
Jl. Ragunan No. 29 A, Pasar Minggu<br />
PO Box 122 Jkpsm, 12540 Jakarta Selatan<br />
Telp : (021) 7805768, 7890990, Fax : (021) 7805135<br />
E-mail : semnashorti@litbang.deptan.go.id<br />
Website : www.hortikultura.litbang.deptan.go.id
Kata Pengantar<br />
KATA PENGANTAR<br />
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Prosiding<br />
Seminar Nasional <strong>Hortikultura</strong> tahun 2012 telah dapat diselesaikan dengan<br />
baik. Seminar Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2012 di<br />
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang dengan tema : “Penerapan<br />
Inovasi Teknologi dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong><br />
yang Berdaya Saing dan Berbasis Keragaman Sumber Genetik Daya<br />
Lokal” ini bertujuan untuk : 1) Meningkatkan peran inovasi teknologi<br />
hortikultura berbasis sumberdaya lokal untuk mendukung tercapainya 4<br />
Sukses Kementan, meliputi pencapaian swasembada dan swasembada<br />
pangan berkelanjutan, diversifikasi pangan, nilai tambah, daya saing dan<br />
ekspor, serta mewujudkan kesejahteraan petani, 2) Menyebarluaskan<br />
hasil-hasil penelitian hortikultura dan meningkatkan adopsi oleh pengguna<br />
akhir, 3) Wahana diskusi dalam upaya memberikan solusi pemecahan<br />
permasalahan di bidang pengembangan inovasi teknologi hortikultura dan diseminasinya, dan 4)<br />
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) hortikultura dan membangun jaringan kerja<br />
sama di antara lembaga penelitian dan perguruan tinggi.<br />
Berbagai rumusan telah dihasilkan dalam Seminar Nasional tersebut, diharapkan tidak hanya sebatas<br />
menjadi dokumen semata, tetapi berbagai inovasi dan teknologi hortikultura yang dihasilkan berbagai<br />
lembaga penelitian dapat ditingkatkan aplikasinya untuk mendukung 4 Sukses Kementan.<br />
Prosiding Seminar Nasional ini mengemukakan hasil-hasil iptek hortikultura yang disajikan dalam<br />
naskah-naskah yang telah dipresentasikan dalam seminar tersebut. Selanjutnya dokumen tersebut telah<br />
melalui proses perbaikan oleh Tim evaluator serta editing oleh tim editor Pusat Penelitian dan<br />
Pengembangan <strong>Hortikultura</strong>.<br />
Pada kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang<br />
telah membantu penyusunan Prosiding Seminar Nasional <strong>Hortikultura</strong> 2012 ini. Semoga Prosiding ini<br />
dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkan<br />
Jakarta, April 2013<br />
Kepala Pusat,<br />
Dr. Ir. M. Prama Yufdy, MSc.<br />
NIP.: 19591010 198603 1 002<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│i
ii│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
DAFTAR ISI<br />
Bagian 1. Pemuliaan dan Teknologi Benih ................................................................................. 1<br />
Seleksi Delapan Progeni Kentang Tahan Penyakit Busuk Daun (Sahat, JP dan Sofiari, E) ........... 2<br />
Uji Daya Hasil 11 Galur Bawang Merah Asal Biji (True shallot Seed/TSS) di Brebes, Tegal,<br />
dan Nganjuk (Pinilih, J 1 , Hidayat, I. M 2 , Sartono PS 2 ) ............................................................... 9<br />
Studi Persilangan Tiga Varietas Stroberi (Fragaria x ananassa) Komersial di Indonesia<br />
(Yulianti, F dan Siregar, A. S.) ....................................................................................................... 17<br />
Seleksi Galur Kentang Hasil Persilangann dengan Menggunakan Tetua Varietas Atlantic untuk<br />
Toleransi Terhadap Penyakit Busuk Daun (Phytophthora infestans) (Kusmana) .......................... 25<br />
Evaluasi Daya Hasil 4 Varietas Stroberi pada Dua Ketinggian yang Berbeda (Budiyati, E 1 ,<br />
Hanif , Z 1 , Banaty, O. A. 1 dan Agustina.M 2 ) ................................................................................. 33<br />
Induksi Pembentukan Embrio Somatik dan Multiplikasi Tunas Salak Secara Kultur In<br />
Vitro (Triatminingsih, R, Joni, YZ, Irawati, Y dan Sadwiyanti, L) ........................................ 39<br />
Pemberian BAP, Kinetin dan 2-iP pada Media Kultur Jaringan<br />
untuk Inisiasi Embrio Somatik Durian (Triatminingsih, R, Joni, YZ dan Riska) .............. 44<br />
Keragaan Dua Aksesi Rosela (Hibicus sabdariffa) di Dataran Tinggi Lembang (Fajri Widati 1)<br />
dan I. M. Hidayat 1) ) ......................................................................................................................... 49<br />
Perakitan Varietas Unggul Baru Pepaya Merah Delima (Sunyoto, Budiyanti, T, Fatria, D, dan<br />
Noflindawati) .................................................................................................................................. 55<br />
Inisiasi Kultur Endosperm Durian Kunyit (Irawati, Y dan Indriyani, NLP) .................................. 63<br />
Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Semangka di Sumbar dan Riau (Kuswandi,<br />
Hendri, Makful dan Sahlan) ............................................................................................................ 67<br />
Pengaruh Varietas terhadap Multiplikasi Tunas Pisang yang Diperbanyak Melalui Kultur<br />
Jaringan (Meldia, Y, Makful, Edison dan Wahyuni, D) ........................................................... 71<br />
Pengenalan dan Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Melon<br />
di Sumbar dan Riau (Makful, Kuswandi, Hendri, dan Sahlan) ...................................................... 78<br />
Bagian 2. Fisiologi dan Agronomi ................................................................................................ 83<br />
Yield Performance of Applying Cropping Pattern Technologies of Potato on Volcanic Medium<br />
Altitute Land (Mulyadi, Sarjiman, Widodo, S, and Wanita, Y. P) ........................................... 84<br />
Application of Chemical and Bio-Fertilizers in Relation to String Bean (Phaseolus vulgaris L.)<br />
Yield and Soil-Borne Pathogen (Mulyadi, Pustika, A. B. and Iswadi, A) ............................. 91<br />
Pengkajian Penggunaan Pupuk Organik dan Trichocompos serta Mimba dan Perangkap Kuning<br />
untuk Peningkatan Produksi dan Mutu Sawi Daging dan Selada (Baswarsiati, Yuwoko) ................ 99<br />
Pola Pertumbuhan 3 Aksesi Kangkung (Ipomoea Spp) Pada Berbagai Komposisi Media Tanam<br />
( Utami, NW dan Syarif, F.) ........................................................................................................... 106<br />
Deskripsi Kesuburan Beberapa Lahan Potensial untuk Budidaya Krisan di Kabupaten Sleman,<br />
DI Yogyakarta (Fibrianty dan Iswadi, A) ...................................................................................... 116<br />
Pemanfaatan Pupuk Fosfat dan Pengairan dalam Upaya Peningkatan Kuantitas dan Kualitas<br />
Buah Mangga Arumanis 143 (Juliati, S dan Istianto, M) .......................................................... 120<br />
Respon Adaptasi Gendola (Basella alba) Terhadap Naungan pada Sistem Budidaya<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│iii
Menggunakan Paranet (Lestari, P dan Juhaeti, T) .......................................................................... 125<br />
Peluang Pengembangan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di<br />
Kalimantan Selatan (Kasus di Desa Antar Baru Kec Marabahan Kab Barito Kuala) (Zuraida, R<br />
dan Adijaya, J) ................................................................................................................................ 134<br />
Pengkajian Efisiensi Pemakaian Air dengan Irigasi Tetes pada Tanaman Cabai Merah di Musim<br />
Kemarau (Setiapermas, MN dan Jauhari, S) .................................................................................. 140<br />
Uji Adaptasi Beberapa Klon Kentang Introduksi di Dataran Medium Kabupaten Sleman,<br />
Yogyakarta (Sahat, JP dan Sofiari, E) ............................................................................................. 148<br />
Kajian Penerapan Teknologi Berbasis LEISA Melalui Tumpangsari Wortel dengan Sayuran<br />
Lainnya di Dataran Tinggi Papua (Soplanit, A) ......................................................................... 156<br />
Sistem Irigasi Berbahan Gerabah pada Tanaman Jeruk (Citrus sp) di Lahan Pasiran (Al<br />
Fanshuri, B dan Banaty, O. A) ........................................................................................................ 163<br />
Tingkat Serapan NPK 6 Varietas Batang Bawah Jeruk (Banaty, O. A 1 , Budiyati, E 1 dan<br />
Hardiyanto 2 ) .................................................................................................................................... 169<br />
Penambahan Pupuk K dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kacang Panjang di Lahan<br />
Kering (Srihartanto, E 1) dan Hardani, AK 2) ) ................................................................................... 175<br />
Pengaruh Media Tumbuh dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Anggrek<br />
Vanda (Ginting, B dan Prasetya, V. J.) ........................................................................................... 180<br />
Bagian 3. Proteksi ............................................................................................................... 188<br />
Aspek Ekonomi Pengendalian Ramah Lingkungan Vektor Virus Kuning (Bemisia tabaci Genn)<br />
pada Cabai (Rahayu, H.S.P. dan Sukarjo) ...................................................................................... 189<br />
Validasi Metode Deteksi Bakteri Xanthomonas campestris pv. vesicatoria Menggunakan Media<br />
Selektif dan Uji Patogenisitas (Sulastrini, I., Murtiningsih, R., O. Setiani Gunawan, dan A.S.<br />
Duriat) ............................................................................................................................................. 197<br />
Solarisasu Tanah untuk Menurunkan Populasi Nematoda Parasit pada Pertanaman Kentang<br />
(Hudayya, A dan Sulastrini, I) ........................................................................................................ 203<br />
Kelimpahan Arthropoda Tanah dan Tingkat Parasitasi Diadegma semiclausum Akibat<br />
Penggunaan Insektisida Nabati Nimba (Azadirachta indica) pada Pertanaman Kubis (Jayanti, H<br />
dan Setiawati, W) ............................................................................................................................ 209<br />
Pemakaian Pestisida Karbamat dan Residunya pada Sayuran di Kawasan Puncak Kabupaten<br />
Bogor (Srihartanto, E dan Anshori, A) ........................................................................................... 216<br />
Luas Serangan Colletotrichum sp. pada Jenis Cabai Besar dan Cabai Keriting (Krestini, E H<br />
dan Kusandriani, Y) ........................................................................................................................ 222<br />
Identifikasi Jamur Patogen pada Tanaman Stroberi (Fragaria vesca L.) di Batu (Dwiastuti, M.<br />
E.) .................................................................................................................................................... 226<br />
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi<br />
Mengurangi Tingkat Serangan Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10% ( Dwiastuti, M. E.<br />
dan Widiyaningsih, S) ..................................................................................................................... 238<br />
Seleksi Formulasi Media Cair bagi Perkembangbiakan dan Viabilitas Trichoderma harzianum<br />
(Tarigan, R 1) , Marpaung, AE 1) , Fitri Nasution 2) & Sinaga, R 3) ) ...................................................... 248<br />
Studi Biologi Kutu Sisik Lepidosaphes beckii N. (Homoptera: Diaspididae) Hama pada<br />
Tanaman Jeruk (Endarto, O dan Priyatmoko, R) .......................................................................... 258<br />
Ketahanan Kutu Putih Dysmicoccus neobrevipes (Breadsley) (Hemiptera: Pseudococcidae)<br />
iv│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
terhadap Iradiasi Gamma (Indarwatmi, M, Nasution, IA, Kuswadi, AN, dan Sasmita, HI) .......... 268<br />
Control of Moler Disease (Fusarium oxysporum f.sp. cepae) on Shallot Using Trichoderma sp.<br />
and Gliocladium sp. (Pustika, A B, Iswadi, A, Fibrianty, and Sutarno) ............................... 275<br />
Pengaruh Pengendalian Hayati terhadap Produksi Tanaman Caisin (Brassica campestris var.<br />
chinensis) (Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2) ) .............................................................................................. 281<br />
Studi Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum Schlecht) pada Caisin<br />
(Brassica campestris var. chinensis) dengan Kombinasi Trichoderma harzianum dan<br />
Gliocladium virens (Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2) ) ............................................................................. 289<br />
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan<br />
(Dendranthema grandiflora Kitam) Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase Polymerase<br />
Chain Reaction (RT-PCR) (Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1) ) ................... 298<br />
Bagian 4. Pascapanen .................................................................................................................... 209<br />
Pengaruh Larutan Perendaman dan Jenis Tepung Terhadap Mutu Sale Pisang Serta Preferensi<br />
Konsumennya (Wanita, Y. P. 1) dan Masniah 2) ) .............................................................................. 310<br />
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan Asam<br />
Sitrat (S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis) ..................................................................................... 316<br />
Penggunaan Air Kapur (CaCo 3 ) dan Suhu Penyimpanan untuk Memperpanjang Umur Simpan<br />
Anggur Jestro Ag60 (BS 60) dan Kediri kuning (BS 88) (Ashari, H dan Hanif, Z) ............ 327<br />
Kharakteristik Beberapa Jenis Buah Cempedak (Artocarpus champeden Spreng) (Herawati, H,<br />
Satuhu, S dan Arif, A) ..................................................................................................................... 334<br />
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam dan Jeruk Keprok Terigas<br />
(Purba, T dan Jhon David H, STP) ................................................................................................. 340<br />
Pelapisan Lilin Sebagai Upaya Memperpanjang Masa Simpan Jeruk Siam Pontianak (Haloho, J.<br />
D. dan Purba, T) .............................................................................................................................. 351<br />
Pengaruh Jenis Larutan Perendaman untuk Menghilangkan Rasa Sepat Buah Kesemek<br />
(Marpaung, AE 1) , Silalahi, FH 1) , Hutabarat, RC 1) dan Sinaga, R 2) ) ........................................... 358<br />
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota (Prabawati, S 1) ,<br />
Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2) ) ......................................................................................................... 366<br />
Karasteristik Fisik dan Kimia Puree Sawo dan Srikaya Menggunakan Pulper Semi Otomatis<br />
Berkapasitas 450 kg Buah/Jam (Wanita, YP dan Kobarsih, M) .............................................. 378<br />
Bagian 5. Sosial Ekonomi ................................................................................................ 383<br />
Keragaan Teknologi Jeruk Siam di Tingkat Petani Papua (Kasus Kabupaten Nabire) (Malik, A)<br />
.......................................................................................................................................................... 384<br />
Peluang Pengembngan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di<br />
Kalimantan Selatan (Kasus di Desa Antar Baru Kecamatan Marabahan Kabupaten Barito<br />
Kuala) (Zuraida, R dan Adijaya, J) ................................................................................................. 391<br />
Respon Petani dalam Pemanfaatan Air pada Usahatani Sayuran Pada Musim Kemarau di<br />
Magelang (Setiapermas, M. N, Basuki, S dan Cempaka, I. G.) ...................................................... 398<br />
Identifikasi Masalah Teknologi Produksi Bunga Mawar Potong tingkat Petani ( Nurmalinda<br />
dan Hanudin) ................................................................................................................................... 407<br />
Peningkatan Nilai Tambah Petani Melalui Kerjasama Produksi Kentang di Kecamatan<br />
Sembalun Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat (Adnan, Bulu, Y. G. dan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│v
Prisdiminggo) .................................................................................................................................. 415<br />
Karakeristik Ekonomi Produksi Anggur di Bali (Zamzami, L dan Budiyati, E) .............. 424<br />
vi│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
BAGIAN 1.<br />
PEMULIAAN DAN TEKNOLOGI BENIH<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│1
Seleksi Delapan Progeni Kentang Tahan Penyakit Busuk Daun<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Seleksi Delapan Progeni Kentang Tahan Penyakit Busuk Daun<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Balai Penelitian Tanaman Sayuran<br />
Jl. Tangkuban Parahu 517 Lembang, Bandung Barat<br />
amudra.sahat@yahoo.co.id<br />
ABSTRAK. Peningkatan produksi tanaman kentang guna memenuhi kebutuhan penduduk yang selalu<br />
bertambah masih terkendala oleh faktor biotik, seperti hama dan penyakit tanaman. Penyakit busuk daun<br />
disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans sering menjadi kendala dalam budidaya kentang, sehingga<br />
menyebabkan penurunan hasil antara 10-100%. Saat ini di Indonesia belum terdapat varietas kentang yang<br />
tahan terhadap penyakit busuk daun, sehingga menyulitkan petani untuk menghindari penyakit ini. Tujuan<br />
penelitian untuk menyeleksi 8 progeni kentang hasil persilangan tahan penyakit busuk daun berdaya hasil<br />
tinggi. Seleksi dilakukan terhadap 8 progeni dari persilangan 6 tetua (klon SP 905, SP 951, Granola, Atlantik,<br />
Diamant dan Cardinal). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tanaman hidup, vigor tanaman, waktu<br />
berbunga, intensitas serangan busuk daun dan hasil umbi. Seleksi terhadap umbi yang dihasilkan dilakukan<br />
pada saat panen. Hanya umbi yang terpilih yang disimpan digudang untuk penanaman pada musim berikutnya<br />
(untuk seleksi klon). Berdasarkan nilai AUDPC, dari 8 progeni yang di uji dihasilkan 5 progeni yang tahan<br />
terhadap penyakit busuk daun yaitu ASP 1, GSP 2, DSP 1, CSP 1 dan DSP 2. Hasil seleksi umbi terpilih 90<br />
aksesi berpotensi hasil tinggi (> 500 g/tanaman).<br />
Kata kunci: Solanum tuberosum L., progeni, seleksi, busuk daun<br />
ABSTRACT. Sahat, J. P. dan Eri Sofiari. The increase of potato production is needed concomitant with the<br />
increase of Indonesian people. However, there are some obstacles of pests and potato disease. The most<br />
important of potato diseases is late blight that caused by Phytophthora infestans. Up to present, there is no<br />
available potato variety in Indonesia that is resistant to late blight. This research was aimed to obtain progenies<br />
of potato which have high yield and resistant to late blight disease. Eight progenies resulted from the breeding<br />
of six parents of clon SP 905, SP 951, Granola, Atlantik, Diamant and Cardinal were examined in this research.<br />
Parameters of the plant survivor, plant vigor, time of flowering, intensity of late blight attack, and tuber weight<br />
were observed. Selected tubers were stored in the storage for further selection. Based on AUDPC values of the<br />
eight progenies were tested in this research, there were only five progenies that resistant to the late blight.<br />
Those are ASP 1, GSP 2, DSP 1, CSP 1 and DSP 2. There are 90 accessions which had high yield potential (><br />
500 g/plant) selected.<br />
Key words: Solanum tuberosum L., progeny, selection, late blight<br />
Kentang (Solanum tuberosum (L.)) merupakan tanaman pangan utama ke lima di dunia<br />
setelah gandum, jagung, sorghum dan padi. Daerah sentra produksi kentang utama di Indonesia<br />
meliputi Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara dan Sumatera Utara. Luas areal<br />
tanam di Indonesia mencapai 71 ribu ha (BPS Indonesia, 2009). Guna memenuhi kebutuhan<br />
penduduk yang selalu bertambah, peningkatan produksi tanaman kentang perlu diupayakan. Namun<br />
usaha tersebut masih terkendala oleh faktor biotik, seperti hama dan penyakit tanaman. Perakitan<br />
tanaman tahan hama atau penyakit secara konvesional dapat dilakukan melalui pemuliaan tanaman.<br />
Hasil perakitan tanaman tersebut dapat dijadikan sebagai material pemuliaan untuk membentuk<br />
populasi segregasi. Populasi tersebut diseleksi untuk kebutuhan dalam menghadapi anomali iklim<br />
sebagai dampak dari pemanasan global. Kelangkaan air, pola curah hujan, suhu udara merupakan<br />
faktor-faktor pemicu ketidaktentuan agro ekologi dan endemik berbagai organisme penggangu<br />
tanaman (OPT). Antisipasi terhadap situasi ini dapat ditanggulangi dengan cara menyediakan<br />
berbagai varietas sesuai dengan lingkungan dan mampu menginduksi sifat tahan terhadap OPT.<br />
Di Indonesia, penyakit busuk daun dapat disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans<br />
yang merupakan penyakit sangat penting pada tanaman kentang dan tomat. Kerusakan oleh penyakit<br />
busuk daun dapat mengakibatkan penurunan hasil antara 10-100% (Suryaningsih, at.al., 1999).<br />
2│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Seleksi Delapan Progeni Kentang Tahan Penyakit Busuk Daun<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Demikian juga halnya di luar negeri, penyakit ini menimbulkan kerugian yang sangat besar.<br />
Hasil penelitian Sengooba dan Hakiza (1999), dilaporkan bahwa kehilangan produksi dapat melebihi<br />
90% dan dapat mencapai 100% gagal panen jika patogen menyerang kultivar rentan pada awal<br />
pertanaman terutama pada musim penghujan dengan kelembaban udara 90%. Serangan dapat terjadi<br />
pada seluruh bagian tanaman terutama pada musim hujan di dataran tinggi tropika atau di negaranegara<br />
bermusim dingin dengan kelembaban udara diatas 85 % dan temperatur rata-rata 15-18 0 C.<br />
Penurunan atau kehilangan produksi telah dicatat dapat mencapai antara 5-100 %, namun hal ini<br />
sangat tergantung kepada varitas kentang yang ditanam, faktor cuaca dan kutur teknis (Staples, R.C.,<br />
2004).<br />
Secara global, penyakit busuk daun dapat menyebabkan penurunan produksi kentang dunia<br />
10-15% (CIP, 1995). Pengendalian penyakit tersebut dilakukan dengan menggunakan fungisida,<br />
meskipun demikian cara pengendalian tersebut tidak mendapatkan hasil yang maksimum.<br />
Penggunaan pestisida yang terus menerus dalam jangka waktu lama dapat merusak ekosistem<br />
disamping jumlah biaya untuk pestisida sebanyak 60 % dari biaya produksi. Secara ekonomi akibat<br />
kehilangan hasil ini dan biaya untuk perlindungan tanaman diperkirakan mencapai 5 juta US$ tiap<br />
tahunnya (Duncan, J. M. 1999).<br />
Faktor non teknis yang menjadi kendala adalah proses penerimaan dan adopsi masyarakat<br />
terhadap varietas baru yang dihasilkan dari tahapan pemuliaan. Petani cenderung enggan mengganti<br />
penggunaan varietas lama dengan varietas baru karena sudah terbiasa dan sesuai selera konsumen.<br />
Meskipun banyak fakta menunjukkan bahwa varietas-varietas yang sekarang banyak ditanam rentan<br />
terhadap busuk daun, namun di sisi lain juga cukup banyak varietas tahan penyakit yang sudah<br />
dihasilkan. Ahir-akhir ini ada kecenderungan pasar menghendaki varietas yang ramah lingkungan<br />
dengan biaya produksi rendah. Keadaan tersebut memberikan peluang bagi pemulia tanaman kentang<br />
untuk merakit varietas yang memiliki keunggulan yang lebih baik dibandingkan dengan varietas<br />
sebelumnya. Lebih penting lagi, varietas terakit dapat memperbaiki kualitas varietas yang telah ada<br />
dari segi ketahanan terhadap penyakit. Namun kegiatan tersebut tidak mudah, karena proses<br />
pemuliaan tanaman kentang dihadapkan pada beberapa kendala. Diantaranya perbedaan jumlah<br />
kromosom, sterilitas, imkompatibilitas dan kemampuan berbunga, karena tidak semua kentang dapat<br />
berbunga (Landeo, J.A. 1985).<br />
Metode persilangan tanaman kentang hampir sama dengan tanaman penyerbuk lainnya.<br />
Perbedaannya adalah setelah didapatkan hasil persilangan, perlu dilakukan perbanyakan secara<br />
vegetatif. Metode backcross, pedigree, seleksi recurrent, dan uji progeni adalah metode yang sering<br />
digunakan (Landeo, J.A. 1985). Namun penggunaan metode tersebut disesuaikan dengan tujuan<br />
penyilangan itu sendiri. Misalnya metode backcross dan pedigree adalah metode sederhana untuk<br />
penurunan sifat pada ketahanan hama dan penyakit. Metode uji progeni dianjurkan dalam penurunan<br />
sifat kuantitatif.<br />
Berdasarkan permasalahan diatas, penelitian ini dimaksudkan untuk menyeleksi 8 progeni<br />
kentang hasil silangan tahan penyakit busuk daun dan berdaya hasil tinggi. Hasil seleksi ini<br />
diharapkan didapatkan klon-klon kentang unggul dan stabil, baik dari hasil, kualitas, maupun<br />
ketahanan terhadap penyakit busuk daun.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang selama<br />
4 bulan (Juni - September 2011). Delapan progeni yang digunakan merupakan hasil persilangan 6<br />
tetua (klon SP 905 dan klon SP 951 sebagai sumber gen Rb, Granola, Atlanatik, Diamant, dan<br />
Cardinal) pada tahun 2004. Progeni kentang yang di uji pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│3
Seleksi Delapan Progeni Kentang Tahan Penyakit Busuk Daun<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Tabel 1. Progeni kentang yang di uji pada tahun 2011 (progenies of Potato that tested in 2011)<br />
Progeni<br />
Pedigree<br />
ASP 1 Atlantik x SP 951<br />
ASP 2 Atlantik x SP 904<br />
GSP 1 Granola x SP 951<br />
GSP 2 Granola x SP 904<br />
DSP 1 Diamant x SP 951<br />
DSP 2 Diamant x SP 904<br />
CSP 1 Cardinal x SP 951<br />
CSP 2 Cardinal x SP 904<br />
Biji disemai di baki persemaian berisi media arang sekam dan pupuk kandang kuda dengan<br />
perbandingan (1 : 1) yang sudah disterilkan. Apabila semaian telah berdaun minimal 2 atau 4 helai,<br />
dipindahkan (dibumbun) ke semaian kedua dengan media yang sama. Semaian ditumbuhkan sampai<br />
berumur 3 minggu. Dipersemian setiap kelompok progeni diseleksi, tanaman yang paling vigor<br />
diambil untuk ditanam dilapangan.<br />
Penanaman dilapangan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan<br />
ulangan 3 kali, jumlah tanaman per plot sebanyak 40 tanaman. Pupuk buatan yang diberikan adalah<br />
NPK (16:16:16) sebanyak 1200 kg/ha diberikan pada saat tanam. Pupuk kandang kuda diberikan satu<br />
minggu sebelum tanam sebanyak 30 ton/ha. Jarak tanam yang digunakan 50 cm x 30 cm. Semua<br />
pertanaman kentang pada percobaan ini hanya disemprot dengan fungsida pada awal pertumbuhan<br />
sampai 14 hari setelah tanam (HST). Hal ini dilakukan karena setiap klon memiliki waktu<br />
pertumbuhan yang berbeda, sedangkan pengamatan percobaan harus dilakukan pada kondisi<br />
pertumbuhan kentang yang seragam. Penyemprotan selanjutnya hanya dengan insektisida untuk<br />
mengurangi serangan hama seperti Pengorok Daun , Penggerek Umbi dan Aphids.<br />
Tanaman diamati pada jumlah tanaman hidup, vigor tanaman, waktu berbunga, nilai Area<br />
Under the Diseases Progress Curve (AUDPC) dan hasil umbi. Seleksi terhadap umbi yang dihasilkan<br />
dilakukan pada saat panen. Hanya umbi yang terpilih yang disimpan digudang untuk penanaman pada<br />
musim berikutnya (untuk seleksi klon). Pengamatan untuk mengukur tingkat ketahanan tanaman<br />
kentang terhadap intensitas serangan Phytophthora infestans dilakukan sistem skoring 1-9<br />
(Halterman, D. A., at.al., 2008), lihat Tabel 2.<br />
Tabel 2. Skoring intensitas serangan Phytophthora infestans (Scoring the intensity of late blight<br />
attack)<br />
Skore Persentase daun<br />
Deskripsi<br />
terserang<br />
0 0 Tidak ada gejala serangan<br />
1 90 Daerah yang berwarna hijau tinggal sedikit.<br />
9 100 Sudah tidak ada lagi daun yang berwarna hijau, kerusakan sudah<br />
menyeluruh<br />
4│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Seleksi Delapan Progeni Kentang Tahan Penyakit Busuk Daun<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Daya tahan setiap klon ditentukan dengan menghitung nilai AUDPC Landeo, J.A. (1999),<br />
dengan rumus sebagai berikut:<br />
AUDPC = ∑ i=1 (X t+1 + X t )<br />
Keterangan :<br />
X t = persentase serangan penyakit busuk daun pada pengamtan waktu ke t,<br />
X t+1 = persentase serangan penyakit busuk daun pada pengamatan t + 1,<br />
(D t+1 - D t ) = interval pengamtan dari pengamatan pertama ke pengamatan berikutnya.<br />
Intensitas serangan busuk daun diamati mulai 30 HST. Frekuensi pengamatan selanjutnya<br />
setiap 2 hari sekali.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah tanaman tumbuh dipersemaian bervariasi, antara 120 -<br />
185 kecambah (Tabel 3). Beberapa progeni dari masing-masing kelompok ada yang tidak tumbuh. Hal<br />
ini kemungkinan karena benihnya sudah terlalu lama disimpan yaitu hasil persilangan 2004. Seleksi<br />
dilakukan pada tanaman yang paling vigor untuk ditanam dilapangan.<br />
Pertumbuhan tanaman dilapangan pada umumnya baik. Serangan hama relatif kecil, karena<br />
tanaman dipelihara secara intensif. Secara umum masing-masing progeni yang diteliti memperlihatkan<br />
vigor tanaman yang baik. Progeni ASP 2, GSP 1, DSP 1, DSP 2, CSP 1 dan CSP 2 menampilkan vigor<br />
yang cukup baik yaitu masing-masing mempunyai nilai 7. Sementara ASP 1 dan DSP 2 menampilkan<br />
vigor sedang yaitu dengan nilai 5 (Tabel 3). Vigor tanaman dikatakan baik apabila menunjukan<br />
pertumbuhan daun yang subur, batang besar dan kekar. Pertumbuhan daun dan batang tersebut<br />
dipengaruhi oleh suhu. Guna pertumbuhan daun yang baik diperlukan suhu optimum 20 0 C, sedangkan<br />
untuk pertumbuhan batang adalah 25 0 C (Moorby, J., 1978). Progeni ASP 1, ASP 2, DSP 1, DSP 2,<br />
CSP 1 dan CSP 2 berbunga rata-rata pada umur 45 HST, sedangkan progeni GSP 1 dan GSP 2<br />
berbunga umur 50 HST (Tabel 3). Progeni GSP 1 dan 2 merupakan persilangan antara Granola dengan<br />
SP 951 dan 904, di Indonesia Granola sulit berbunga. Dinyatakan oleh Landeo, J.A. (1985) bahwa<br />
tidak semua kentang dapat berbunga.<br />
Tabel 3. Jumlah tanaman hidup, vigor tanaman serta umur berbunga 8 progeni kentang hasil silangan<br />
tahan penyakit busuk daun (number of live plants, plant vigor, time of flowering of eight<br />
potato progenies against Late blight)<br />
Progeni Pedigree Jumlah tanaman tumbuh Vigor Umur<br />
Persemaian Lapangan tanaman berbunga<br />
(tanaman) (tanaman) (1 - 9) (HST)<br />
ASP 1 Atlantik x SP 951 120 113 5 45<br />
ASP 2 Atlantik x SP 904 178 113 7 45<br />
GSP 1 Granola x SP 951 132 120 7 50<br />
GSP 2 Granola x SP 904 139 111 7 50<br />
DSP 1 Diamant x SP 951 176 113 7 45<br />
DSP 2 Diamant x SP 904 132 114 5 45<br />
CSP 1 Cardinal x SP 951 185 115 7 45<br />
CSP 2 Cardinal x SP 904 176 120 7 45<br />
Keterangan : Vigor: 1 = sangat buruk; 9 = sangat vigor<br />
Pengamatan terhadap serangan penyakit busuk daun yang disebabkan oleh cendawan<br />
Phitophthora infestan dimulai pada saat tanaman berumur 30 HST. Secara umum pada awal<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│5
Seleksi Delapan Progeni Kentang Tahan Penyakit Busuk Daun<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
pengamatan serangan penyakit busuk daun belum terlihat, tetapi pada beberapa progeni ASP 2, GSP 1,<br />
GSP 2 dan DSP 1 sudah terserang penyakit busuk daun namun persentase serangannya masih rendah.<br />
Presentase serangan mulai meningkat pada saat tanaman berumur 38 HST (Tabel 4). Serangan<br />
tertinggi penyakit busuk daun terjadi pada umur 40 - 68 HST dengan intensitas serangan mencapai 20-<br />
50%, tetapi pada umur 75 - 89 HST serangannya berkurang sebesar 7-8% (Suryaningsih, E. 1993).<br />
Tabel 4. Hasil AUDPC 8 progeni kentang hasil silangan tahan penyaki busuk daun (AUDVC of eight<br />
potato progenies against Late blight)<br />
Progeni<br />
ASP 1<br />
ASP 2<br />
GSP 1<br />
GSP 2<br />
DSP 1<br />
DSP 2<br />
CSP 1<br />
CSP 2<br />
Pedigree<br />
Kerusakan (%) pada umur… hst<br />
30 32 34 36 38 40 42 44 46 48<br />
AUPDC<br />
Atlantik x<br />
SP.951 0.05 0.05 0.1 0.15 0.2 3 4 12.3 17 23.5 97.15<br />
Atlantik x<br />
SP.904 0.2 0.6 1 1 1 2.7 5.7 14.7 18 23.0 112.6<br />
Granola x<br />
SP.951 0.1 1 1.15 1.85 2.25 3.3 5.3 25.7 17.4 22.7 138.5<br />
Granola x<br />
SP.904 0.1 0.1 0.1 0.1 0.55 1.5 3.85 13.3 17 25.3 98.4<br />
Diamant x<br />
SP.951 0.15 0.15 0.55 0.9 2.2 2.85 4.5 13.5 13.6 23.7 99.75<br />
Diamant x<br />
SP.904 0 0 0 1.85 1.85 3.15 5 15.3 14.3 25.7 108.6<br />
Cardinal x<br />
SP.951 0 0 0 1 1 1.85 4.8 16 14.7 25.9 104.45<br />
Cardinal x<br />
SP.904 0 0 0 0 0 0.85 4.3 15.7 14 23.7 93.4<br />
Rata-rata/<br />
106.61/<br />
Jumlah<br />
852.85<br />
Penentuan ketahanan tanaman kentang terhadap serangan penyakit busuk daun yang<br />
disebabakan oleh cendawan Phytophthora infestans dinyatakan dengan nilai AUDPC. Hal tersebut<br />
sesuai pernyataan Frey, et.al. (1992) menyatakan bahwa AUDPC dipergunakan untuk menentukan<br />
nilai reaksi tanaman terhadap serangan Phytophthora infestans. Tanaman dikatakan tahan terhadap<br />
penyakit busuk daun apabila apabila nilai AUDPC kurang dari nilai rata rata (106.61 unit) sedangkan<br />
apabila melebihi dari nilai rata rata maka digolongkan sebagai tanaman peka.<br />
Berdasarkan pengamatan hasil AUDPC, hingga akhir pengamatan yaitu 48 hst kerusakan<br />
tanaman kentang yang disebabkan oleh serangan penyakit busuk menunjukan bahwa pada progeni<br />
CSP 2 intensitas serangannya paling ringan yaitu 93.4 unit. Sementara serangan yang paling berat<br />
adalah GSP 1 dengan nilai serangan 138.5 unit (Tabel 4).<br />
Serangan penyakit busuk pada tanaman kentang yang diuji dapat mempengaruhi hasil panen,<br />
baik jumlah umbi maupun berat umbi (pertanaman dan perplot). Pada parameter jumlah umbi per<br />
tanaman dan per plot progeni ATS 1 menunjukan hasil yang berbeda nyata dengan 7 progeni lainnya.<br />
Namun pada parameter berat umbi pertanaman dan per plotnya tidak menunjukan adanya perbedaan<br />
yang nyata (Tabel 5). Hal ini terjadi karena, meskipun jumlah umbi yang dihasilkan lebih sedikit tetapi<br />
bobot dari masing-masing yang dihasilkan umbinya cukup besar.<br />
6│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Seleksi Delapan Progeni Kentang Tahan Penyakit Busuk Daun<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Tabel 5. Rerata jumlah ubi (knol) dan berat ubi (g) (Tuber number and tuber weight)<br />
Progeni Pedigree Jumlah ubi/ Jumlah ubi/ Berat ubi/ Berat ubi/<br />
tanaman<br />
plot<br />
tanaman<br />
plot<br />
ASP 1 Atlantik x<br />
SP.951 5.37 b 213.00 b 307.47 a 12,185.33 a<br />
ASP 2 Atlantik x<br />
SP.904<br />
10.68 a 423.33 a 410.46 a 16,256.67 a<br />
GSP 1 Granola x<br />
SP.951 9.29 ab 368.67 ab 404.37 a 16,050.33 a<br />
GSP 2 Granola x<br />
SP.904 7.60 ab 301.33 ab 357.95 a 14,192.00 a<br />
DSP 1 Diamant x<br />
SP.951 8.65 ab 343.00 ab 385.30 a 15,273.67 a<br />
DSP 2 Diamant x<br />
SP.904 9.01 ab 357.67 ab 322.64 a 12,807.00 a<br />
CSP 1 Cardinal x<br />
SP.951 8.30 ab 328.33 ab 312.02 a 12,370.67 a<br />
CSP 2 Cardinal x<br />
SP.904 6.81 ab 269.00 ab 307.19 a 12,170.00 a<br />
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada LSD taraf 5%<br />
Hasil AUDPC menunjukan bahwa serangan penyakit busuk daun cukup tinggi menyerang<br />
progeni ATS 2 dan GSP 1, tetapi memperoleh jumlah dan berat umbi tertinggi dibandingkan dengan 6<br />
progeni lainnya baik per tanaman maupun per plot (Tabel 5). Hal ini terjadi, karena tanaman yang<br />
berasal dari biji botani masing-masing berbeda secara genetic (Kusmana dan E. Sofiari. 2006). Dengan<br />
demikian beberapa tanaman individu dari kedua progeni tersebut ada yang mampu menghasilkan<br />
umbi cukup baik walaupun serangan penyakit busuk daunnya cukup tinggi.<br />
Semua tanaman dari masing-masing progeni menghasilkan jumlah dan berat umbi cukup baik,<br />
tetapi tidak semua umbi dapat dikoleksi karena tidak memenuhi kriteria seleksi. Pada awal seleksi<br />
hanya dilakukan karakter kualitatif, tetapi masing-masing tanaman yang menghasilkan jumlah umbi<br />
sedikit tidak dikoleksi. Berdasarkan nilai AUDPC dan jumlah serta berat umbi pertanaman, maka<br />
terpilih 90 aksesi (calon galur harapan). Aksesi-aksesi tersebut masing-masing dihasilkan dari<br />
persilangan ASP 1 (21 aksesi),<br />
KESIMPULAN<br />
Berdasarkan nilai AUDPC, dari 8 progeni yang di uji, maka dihasilkan 5 progeni yang tahan<br />
terhadap penyakit busuk daun yaitu CSP 2, ASP 1, GSP 2, DSP 1 dan CSP1. Jumlah aksesi yang<br />
dihasilkan dari seleksi umbi terpilih yaitu 90 aksesi dari 5 progeni hasil persilangan. Aksesi yang<br />
diperoleh tersebut berpotensi mempunyai produksi tinggi (> 500 g/tanaman).<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Penelitian dilakukan dengan menggunakan dana DIPA Balai Penelitian Tanaman Sayuran<br />
2011. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Tri Handayani, Kusmana, Euis Suryaningsih, Usep<br />
Jaenudin dan Dedeh Suwarsih yang telah membantu selama penelitian berlangsung.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. BPS Indonesia.2009. Statistik Indonesia.(http://www.bps.go.id/tab_sub/view.phptabel<br />
=1&daftar=1&id_subyek=55¬ab=15 Diakses tanggal 6 April 2012)<br />
2. CIP, 1995. The International Potato Center Annual Report. Lima, Peru<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│7
Seleksi Delapan Progeni Kentang Tahan Penyakit Busuk Daun<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
3. Duncan, J. M. 1999. Phytophthora – an abiding threat to our crops. Microbioiogy. Today 26,<br />
114—116.<br />
4. Fry, W.E., at.al. 1992. Populations Genetic and Intercontinental Migrations of Phytophthora<br />
infestans. Annual Review of Phytophathology 30:107-130.<br />
5. Halterman, D. A., L.C. Kramer, S. Wielgus and J. Jiang. 2008. Performance of transgenic potato<br />
containing the late blight resistance gene RB. Plant Disease. 92:339-343.<br />
6. Kusmana dan E. Sofiari. 2006. Seleksi Galur Kentang dari Progeni Hasil Silangan. Buletin<br />
Plasma Nutfah Vol. 13. No. 2: 56-61. Tahun 2007.<br />
7. Landeo, J.A. 1985. Basic Concept of Potato Breeding. International Potato Center. Lima, Peru.32<br />
p.<br />
8. Landeo, J.A. 1999. Data Processing and Interpretation of Resistance Parameters. CIP. Lima,<br />
Peru (unpublished).<br />
9. Moorby, J. 1978. The Physiology of growth and Tuber Yield. 153-194. In Haris, P.M. (Ed). The<br />
Potato Crop the Scientific Basis for Improvement. London Chapman and Hall. P. 153-194.<br />
10. Sengooba, T. and J.J. Hakiza. 1999. The current status of late blight caused by Phytophthora<br />
infestans in Africa with empasis on Eastern and Southern Africa. In Late Blight a Threat to<br />
Global Food Initiative on Late Blight Conference, March 16- 19, 1999. Quito Equador.<br />
11. Staples, R.C. 2004. Race non-specific resistance for potato late blight. Trends in Plant Science 9<br />
(1): 5-6.<br />
12. Suryaningsih, E. 1993.Pengendalian Penyakit Busuk Daun (P. infestans Mt. De Berry) Oleh<br />
Beberapa Kombinasi Campuran Antara Dimetoporph, Chlorotalonil dan Mankozeb. Buletin<br />
Penelitian <strong>Hortikultura</strong>. XXV (1).<br />
13. Suryaningsih, E., E. Chujoi, and Kusmana. 1999. Identification of potato cultivars resistance to<br />
late blight through a Standard International Field Trial (SIFT) in Indonesia. In Potato Research in<br />
Indonesia. Research Result in a Series of Working Papers, 1999. Collaborative Research between<br />
The RIV and CIP. p. 37-44.<br />
8│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Uji Daya Hasil 11 Galur Bawang Merah Asal Biji (True shallot Seed/TSS) di Brebes, Tegal, dan Nganjuk<br />
Pinilih, J 1 , Hidayat, I. M 2 , Sartono PS 2<br />
Uji Daya Hasil 11 Galur Bawang Merah Asal Biji (True shallot Seed/TSS) di Brebes,<br />
Tegal, dan Nganjuk<br />
Pinilih, J 1 , Hidayat, I. M 2 , Sartono PS 2<br />
1 Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Pajajaran, Bandung, dan peneliti Balitsa.<br />
2<br />
Peneliti Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang 40391, Jl. Tangkuban Parahu No 517, Lembang<br />
40391<br />
Abstrak. Bawang merah (Allium ascalonicum) biasanya diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan<br />
umbi sebagai benih. Keterbatasan ketersediaan benih dalam bentuk umbi pada musim tanam terutama pada<br />
penanaman di luar musim menyebabkan berkurangnya pasokan bawang merah di pasaran. Hal ini menyebabkan<br />
masuknya bawang merah impor. Biji botani (True Shallot Seed/TSS) merupakan alternatif dalam<br />
menanggulangi keterbatasan penyediaan benih. Perakitan galur untuk tetua TSS sudah dilakukan sejak tahun<br />
2002, dan setelah melalui serangkaian seleksi dan serbuk sendiri diselang seling dengan serbuk terbuka, pada<br />
tahun 2009 terseleksi 11 galur yang mempunyai potensi hasil dan keseragaman tinggi. Pada pengujian ini galurgalur<br />
tersebut, yaitu: TSS-1-S4, TSS-5-S4, TSS-13-S4, TSS-17-S4, TSS-28-S4, TSS-33-S4, TSS-62-S4, TS-<br />
MJ-S3 TS-KL80-S3, TS-KT-S2 dan TS-ML-S3, diuji dengan menggunakan pembanding varietas Tuk Tuk.<br />
Pengujian terdiri dari dua tahap, yaitu produksi biji botani TSS yang dilakukan di Screen House Balai Penelitian<br />
Tanaman Sayuran, dari Januari – Mei 2010. Tahap berikutnya adalah penyemaian benih TSS dan penanaman di<br />
lokasi pengujian yang merupakan sentra bawang merah Brebes, Tegal (Jawa Tengah) dan Nganjuk (Jawa<br />
Timur) dari Juni sampai Desember 2010. Pengujian di tiap lokasi dilakukan dengan menggunakan rancangan<br />
acak kelompok, 3 ulangan, 140 tanaman/plot dengan jarak tanam 10 x 10 cm. Pengamatan dilakukan terhadap<br />
tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, bobot basah dan bobot kering umbi. Hasil pengujian<br />
menunjukkan galur TS-KL80-S3 memberikan bobot kering tertinggi di tiga lokasi pengujian Brebes, Tegal dan<br />
Nganjuk, di mana bobot kering tertinggi dicapai di Tegal setara dengan 21.35 ton/ha.<br />
Kata kunci : bawang merah (Allium ascalonicum), biji botani, True Shallot Seed/TSS<br />
Abstract. Shallot (Allium ascalonicum) is vegetatively propagated crop by using seed bulb. Seed shortage at<br />
planting time particularly during off season may lead to deficiency of shallot supply in the market. This<br />
condition open the opportunity to cover market demand by imported shallot. Botanical seed (True Shallot<br />
Seed/TSS) is one alternative to overcome a scarcity of seed. Breeding for TSS parents have been conducted<br />
since 2002, and eversince through series of selection, and pollination by selfing proceeded in alternate with<br />
open pollination, in 2009 potential lines (11 lines) with high yield and uniformity were selected. Those lines viz:<br />
TSS-1-S4, TSS-5-S4, TSS-13-S4, TSS-17-S4, TSS-28-S4, TSS-33-S4, TSS-62-S4, TS-MJ-S3 TS-KL80-S3,<br />
TS-KT-S2 dan TS-ML-S3, were evaluated with var. Tuk Tuk as a control. Evaluation was conducted in two<br />
steps, the first step was to produced botanical seed (TSS) in the screen house Indonesian Vegetable Research<br />
Institute from January – May 2010. The second step was to germinate TSS derived from the first step, and<br />
planting the seedling at the evaluation sites which were center of shallot production: Brebes, Tegal (Central<br />
Java) and Nganjuk (East Java) from June to December 2010. In each location, evaluation was conducted using<br />
completely block randomized design (CBRD), with 3 replication, each plot consisted of 140 plant/plot, planting<br />
distance 10 x 10 cm. Observation was made on plant height, number of leaf, number of bulb, fresh weight and<br />
dry weight. Result indicated that line TS-KL80-S3 gave the highest dry weight in three evaluation sites Brebes,<br />
Tegal dan Nganjuk, with wich dry weight in Tegal was the highest equal to 21.35 ton/ha.<br />
Key words: shallot (Allium ascalonicum), botanical seed, True Shallot Seed/TSS<br />
Budidaya bawang merah dengan menggunakan umbi sebagai bibit memerlukan biaya bibit<br />
hampir 40 % dari total biaya produksinya. Selain itu umbi bibit dapat membawa penyakit tular umbi,<br />
memerlukan gudang penyimpanan yang cukup luas serta pemeliharaan rutin selama penyimpanan<br />
benih dan memerlukan transportasi untuk membawa umbi dari dan ke lahan pertanaman. Untuk<br />
menekan biaya untuk pengadaan umbi bibit, diupayakan penanaman menggunakan benih atau biji<br />
(Hermiati, 1995). Di tingkat petani, penanaman bawang merah dengan menggunakan biji atau TSS<br />
masih sulit diterapkan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka perlu dikembangkan varietas unggul<br />
bawang merah yang berbasis TSS artinya benih yang dilepas merupakan umbi vegetatif tetapi benih<br />
tersebut dapat disimpan dalam bentuk biji (TSS).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│9
Uji Daya Hasil 11 Galur Bawang Merah Asal Biji (True shallot Seed/TSS) di Brebes, Tegal, dan Nganjuk<br />
Pinilih, J 1 , Hidayat, I. M 2 , Sartono PS 2<br />
Benih bawang merah (TSS) yang baik adalah TSS yang seragam pada sifat-sifatnya.<br />
Penyerbukan sendiri atau hasil persilangan pada bawang merah akan menghasilkan individu-individu<br />
keturunan dengan banyak variasi pada sifat-sifatnya (Permadi, 1999). Untuk meningkatkan<br />
keseragaman populasi bawang merah yang berasal dari TSS dilakukan dengan pennyerbukan sendiri<br />
atau selfing (Pike, 1986). Tanaman bawang merah merupakan tanaman menyerbuk silang yang tidak<br />
memungkinkan dilakukan penyerbukan sendiri secara terus menerus karena akan terjadi depresi silang<br />
dalam yang akan menurunkan vigor tumbuh dan produksinya. Untuk menghindari terjadinya depresi<br />
silang dalam penyerbukan sendiri tidak dilakukan terus menerus tetapi diselingi dengan persarian<br />
bebas.<br />
Pada tahun 2004 ditanam benih 5 populasi hasil seleksi tahun 2003 ditanam terjadi persarian<br />
bebas sehingga didapatkan 45 populasi TSS-M2. Dari 45 populasi yang ditanam terseleksi 13<br />
populasi. Masing–masing populasi yang terseleksi sudah mempunyai keseragaman dalam hal warna<br />
umbi, tetapi masih bervariasi pada sifat bobot kering per rumpun dan jumlah anakan (Pinilih, 2004).<br />
Untuk meningkatkan keseragaman pada tahun berikutnya dilakuan penyerbukan sendiri.<br />
Umbi 13 populasi TSS-M2, pada tahun 2005 ditanam dan diselfing untuk menghasilkan TSS-<br />
S2. Dari 13 populasi TSS-M2 menghasilkan 64 populasi TSS-S2. Biji asal TSS-S2 kemudian<br />
ditanam dilapangan. Setelah dievaluasi akhirnya terseleksi terseleksi 31 populasi. Ke 31 populasi<br />
tersebut akan dipakai sebagai bahan penelitian tahun 2006. Populasi –populasi itu akan ditanam dan<br />
dibiarkan bersari bebas untuk menghasilkan TSS-M3.<br />
Pada Tahun 2006 dilakukan seleksi dan evaluasi terhadap 31 populasi bawang merah asal<br />
TSS-M3 dan didapatkan 18 populasi terseleksi. Populasi-populasi yang terseleksi tersebut<br />
mempunyai keseragaman umbi, tetapi jumlah anakan masih bervariasi ( Pinilih, 2006). Untuk<br />
program penelitian tahun 2007, dari ke 18 populasi yang terseleksi tahun 2006 kemudian diselfing<br />
untuk menghasilkan TSS-S3.<br />
Pada Tahun 2007, 18 populasi TSS-M3 mengalami penyerbukan sendiri menghasilkan populasi baru<br />
sebanyak 66 populasi TSS-S3. Dari 66 populasi tersebut terseleksi 20 populasi. Pada penelitian tahun<br />
2008 dilakukan pembentukan populasi TSS-S4 dan terseleksi 11 populasi. Populasi-populasi tersebut<br />
sudah menunjukkan keseragaman yang tinggi terutama pada warna umbi dan warna daun. Untuk<br />
mengetahui daya adaptasi dan daya hasil, galur galur tersebut akan diuji atau dievaluasi di sentra<br />
sentra produksi bawang merah.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilaksanakan 2 tahap yaitu tahap kesatu produksi biji dan tahap kedua pengujian<br />
bawang merah asal biji yang dihasilkan pada tahap kesatu di tiga lokasi daerah sentra produksi<br />
bawang merah.<br />
Produksi biji (TSS).<br />
Bahan untuk produksi biji adalah hasil seleksi galur TSS-S4 hasil selfing tahun 2008 yang<br />
terdiri 11 galur. Ke 11 galur tersebut meliputi TSS-1-S4, TSS-5-S4, TSS-13-S4, TSS-17-S4, TSS-<br />
28-S4, TSS-33-S4, TSS-62-S4, TS-MJ-S3 TS-KL80-S3, TS-KT-S2 dan TS-ML-S3. Waktu<br />
penanaman untuk produksi biji ke 11 galur dilakukan pada bulan Januari 2010 sampai dengan bulan<br />
Mei 2010. Umbi ditanam pada bedengan dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Luas lahan 200 m2.<br />
Produksi biji dilakukan di rumah kasa Balitsa Lembang. Panen biji diperkirakan bulan Mei 2010. Biji<br />
yang dihasilkan kemudian diseleksi dan di uji daya kecambah serta kemurniannya kemudian disemai<br />
dan selanjutnya diuji didaerah sentra produksi bawang merah untuk mengetahui daya hasil dan daya<br />
adaptasinya.<br />
Uji Daya Hasil Pendahuluan Calon Varietas Bawang Merah Asal Biji.<br />
Pengujian dilakukan di tiga lokasi yaitu Brebes, Tegal dan Nganjuk. Waktu pelaksanaan Juni –<br />
Desember 2010. Persemaian dilakukan di masing masing lokasi. Biji yang telah dihasilkan disemai di<br />
bawah naungan plastik transparan. Materi yang diuji terdiri atas 11 galur bawang merah dari biji<br />
(TSS) yang diproduksi pada kegiatan tahap 1. Sebagai pembanding digunakan varietas Tuk tuk.<br />
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 3 kali ulangan. Biji yang<br />
dihasilkan pada penelitian tahap 1 disemai sampai umur 5 minggu di persemaian. Setelah berumur 5<br />
minngu bibit bibit asal biji tersebut dipindahkan ke lahan dengan jarak tanam 10x10 cm. Pelaksanaan<br />
10│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Uji Daya Hasil 11 Galur Bawang Merah Asal Biji (True shallot Seed/TSS) di Brebes, Tegal, dan Nganjuk<br />
Pinilih, J 1 , Hidayat, I. M 2 , Sartono PS 2<br />
penanaman dilakukan pada bulan Agustus 2010 untuk lokasi Tegal dan untuk lokasi Brebes dan<br />
Nganjuk dilakuakn pada bulan September.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Penelitian tahap kedua dilaksanakan tiga lokasi sentra produksi bawang merah yaitu Brebes,<br />
Tegal dan Nganjuk. Penanaman dilakukan pada awal musim hujan. Intensitas hujan yang terjadi<br />
sangat tinggi sehingga menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang optimal. Hasil pengamatan<br />
masing masing lokasi adalah sebagai berikut :<br />
Tinggi Tanaman<br />
Berdasarkan data pengamatan tinggi tanaman bawang merah asal biji ternyata hanya hasil<br />
pengujian di Tegal yang menunjukkan perbedaan yang nyata diantara galur galur yang diuji,<br />
sedangkan di Brebes dan Nganjuk tidak berbeda nyata (Tabel 1). Rata-rata tinggi tanaman bawang<br />
merah asal biji yang diuji dilokasi Brebes berkisar antara 31.77 cm hingga 34,33 cm, tanaman<br />
terpendek adalah galur TS-ML-S3 dan tertinggi galur TSS-33-S4. Rata-rata tinggi tanaman bawang<br />
merah asal biji yang diuji di lokasi Tegal berkisar antara 36.07 cm hingga 40.33 cm, tanaman<br />
terpendek adalah galur TSS-13-S4 dan tanaman tertinggi adalah galur TS- KT-S2. Tinggi tanaman<br />
dari 11 (Sebelas) galur yang diuji ternyata ada yang berbeda nyata apabila dibandingkan dengan<br />
tinggi tanaman bawang merah asal biji pembanding (Tuk-Tuk), yaitu galur TS- KT-S2.<br />
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman bawang merah asal biji di Brebes, Tegal dan Nganjuk (cm)<br />
No<br />
Galur<br />
Lokasi Pengujian<br />
Brebes Tegal Nganjuk<br />
1 TSS-62-S4 31.80 a 39.13 bc 29.63 a<br />
2 TSS-13-S4 32.63 a 36.07 c 31.80 a<br />
3 TS- KT-S2 32.80 a 43.00 a 27.23 a<br />
4 TSS-28-S4 33.90 a 37.30 bc 28.30 a<br />
5 TSS-1-S4 33.53 a 37.77 bc 29.90 a<br />
6 TSS-5-S4 34.07 a 37.27 bc 29.87 a<br />
7 TSS-33-S4 34.33 a 37.10 bc 28.77 a<br />
8 TSS-17-S4 32.80 a 39.30 b 31.07 a<br />
9 TS-Mj-S3 33.00 a 38.80 bc 30.73 a<br />
10 TS-KL80-S3 34.03 a 39.03 bc 29.63 a<br />
11 TS-ML-S3 31.77 a 38.80 bc 30.97 a<br />
12 TUK-TUK 33.03 a 38.03 bc 28.10 a<br />
Angka rata-rata yang ditandai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada tingkat nyata 5%.<br />
Secara visual kondisi tanaman bawang merah asal biji di lokasi pengujian Tegal lebih baik<br />
apabila dibandingkan dengan tanaman bawang merah asal biji yang diuji di lokasi Brebes, dan<br />
Nganjuk.<br />
Rata-rata tinggi tanaman bawang merah asal biji yang diuji di lokasi Nganjuk bekisar antara<br />
27.23 cm hingga 31,80 cm, tanaman terpendek adalah galur TS-KT-S2 dan tanaman tertinggi adalah<br />
galur TSS-13-S4.<br />
Jumlah Daun<br />
Berdasarkan data pengamatan diketahui bahwa tinggi tanaman bawang merah asal biji hanya<br />
hasil pengujian yang di Brebes yang menunjukkan perbedaan yang nyata diantara galur galur yang<br />
diuji. Sedangkan untuk pengujian di Tegal dan Nganjuk tidak terdapat perbedaan yang nyata tinggi<br />
tanaman dari 11 galur yang diuji berdasarkan hasil analisis statistik. Selengkapnya hasil uji statistik<br />
hasil pengujian di 3 lokasi pengujian disajikan pada Tabel 2.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│11
Uji Daya Hasil 11 Galur Bawang Merah Asal Biji (True shallot Seed/TSS) di Brebes, Tegal, dan Nganjuk<br />
Pinilih, J 1 , Hidayat, I. M 2 , Sartono PS 2<br />
Tabel 2. Rata-rata jumlah daun tanaman bawang merah asal biji di Brebes, Tegal dan Nganjuk.<br />
No<br />
Galur<br />
Lokasi Pengujian<br />
Brebes Tegal Nganjuk<br />
1 TSS-62-S4 6.47 b 7.70 a 4.57 a<br />
2 TSS-13-S4 6.13 b 7.00 a 4.73 a<br />
3 TS- KT-S2 6.53 b 7.53 a 4.27 a<br />
4 TSS-28-S4 7.17 b 7.43 a 4.47 a<br />
5 TSS-1-S4 6.63 b 8.07 a 4.57 a<br />
6 TSS-5-S4 6.77 b 7.90 a 4.20 a<br />
7 TSS-33-S4 6.90 b 7.83 a 4.03 a<br />
8 TSS-17-S4 6.23 b 7.93 a 4.70 a<br />
9 TS-Mj-S3 6.73 b 8.40 a 4.87 a<br />
10 TS-KL80-S3 8.97 a 8.03 a 4.50 a<br />
11 TS-ML-S3 6.27 b 9.10 a 5.10 a<br />
12 TUK-TUK 6.93 b 7.77 a 4.43 a<br />
Angka rata-rata yang ditandai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada tingkat nyata 5%.<br />
Rata-rata jumlah daun tanaman bawang merah asal biji yang diuji di lokasi Brebes berkisar<br />
antara 6.13 hingga 8.97 helai, berdasarkan hasil analisis data jumlah daun tanaman bawang merah asal<br />
biji lokasi pengujian Brebes menunjukan bahwa ada perbedaan yang nyata, jumlah daun terbanyak<br />
dihasilkan oleh tanaman bawang merah asal biji galur TS-KL80-S3, sedangkan jumlah daun paling<br />
sedikit dihasilkan oleh tanaman bawang merah asal biji galur TSS-13-S4. Galur TS-KL80-S3<br />
mempunyai jumlah daun yang terbanyak dari semua galur yang diuji termasuk dengan TUK TUK<br />
yang dipakai sebagai pembanding. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis statistik yang meninjukkan<br />
bahwa galur TS-KL80-S3 berbeda nyata dari semua galur yang diuji (tabel 2).<br />
Rata-rata jumlah daun tanaman bawang merah asal biji yang di uji dilokasi Tegal berkisar<br />
antara 7.00 helai hingga 9.10 helai. Jumlah daun terbanyak dimiliki galur TS-ML-S3 dan yang paling<br />
sedikit dimiliki galur TSS-13-S4. Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa jumlah daun<br />
bawang merah tidak berbeda nyata diantara galur galur yang diuji. Hasil analisis jumlah daun<br />
selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 2.<br />
Rata-rata jumlah daun tanaman bawang merah asal biji yang di uji dilokasi Nganjuk berkisar<br />
antara 4.03 helai hingga 5.10 helai. Jumlah daun terbanyak dimiliki galur TS-ML-S3 dan yang paling<br />
sedikit dimiliki galur TSS-33-S4 . Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa jumlah daun<br />
bawang merah asal biji tidak berbeda nyata diantara galur galur yang diuji.<br />
Jumlah Anakan<br />
Berdasarkan data hasil pengamatan jumlah anakan tanaman bawang merah asal biji yang diuji<br />
di lokasi Brebes dan Tegal menunjukkan perbedaan yang nyata diantara galur galur yang diuji<br />
sedangkan menurut hasil pengujian di Nganjuk jumlah anakan galur galur yang diuji tidak berbeda<br />
nyata.<br />
Rata-rata jumlah anakan bawang merah asal biji yang di uji lokasi Brebes berkisar diantara 1.07<br />
anakan hingga hingga 2.27 anakan. Jumlah anakan terbanyak terdapat pada galur TS-KL80-S3 dan<br />
jumlah anakan yang paling sedikit adalah pada galur TUK-TUK. Berdasarkan analisis statistik<br />
jumlah anakan tanaman yang di uji dilokasi Brebes terjadi perbedaan yang nyata bahkan berbeda<br />
nyata dengan pembanding yaitu TUK-TUK. Hasil analisis data jumlah anakan bawang merah asal biji<br />
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3.<br />
Rata-rata jumlah anakan bawang merah asal biji yang di uji dilokasi Tegal berkisar antara 1.10<br />
anakan hingga 2.43 anakan tanaman yang memiliki jumlah anakan terendah adalah tanaman bawang<br />
merah TUK-TUK yang merupakan tanaman pembanding. Semua galur yang di uji semuanya<br />
memiliki jumlah anakan lebih banyak dibandingkan dengan tanaman pembanding walaupun tidak<br />
semuanya berbeda nyata dengan tanaman pembanding tersebut.<br />
12│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Uji Daya Hasil 11 Galur Bawang Merah Asal Biji (True shallot Seed/TSS) di Brebes, Tegal, dan Nganjuk<br />
Pinilih, J 1 , Hidayat, I. M 2 , Sartono PS 2<br />
Tabel 3. Rata-rata jumlah anakan bawang merah asal biji di Brebes, Tegal dan Nganjuk.<br />
NO Galur Lokasi Pengujian<br />
Brebes Tegal Nganjuk<br />
1 TSS-62-S4 1.60 b 1.80 b 1.22 a<br />
2 TSS-13-S4 1.40 bcd 1.47 bcde 1.16 a<br />
3 TS- KT-S2 1.37 bcd 1.47 bcde 1.22 a<br />
4 TSS-28-S4 1.47 bc 1.40 cde 1.14 a<br />
5 TSS-1-S4 1.13 cd 1.20 ef 1. 28 a<br />
6 TSS-5-S4 1.53 b 1.67 bc 1.13 a<br />
7 TSS-33-S4 1.43 bc 1.40 cde 1.12 a<br />
8 TSS-17-S4 1.57 b 1.60 bcd 1.20 a<br />
9 TS-Mj-S3 1.47 bc 1.47 bcde 1.21 a<br />
10 TS-KL80-S3 2.27 a 2.43 a 1.43 a<br />
11 TS-ML-S3 1.30 bcd 1.27 def 1.16 a<br />
12 TUK-TUK 1.07 d 1.10 f 1.07 a<br />
Angka rata-rata yang ditandai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada tingkat nyata 5%.<br />
Rata-rata jumlah anakan bawang merah asal biji yang di uji dilokasi Nganjuk berkisar antara<br />
1.00 anakan hingga 1.20 cm. Jumlah anakan terbanyak dimiliki galur TSS-17-S4. Berdasarkan hasil<br />
analisis data diketahui bahwa jumlah anakan bawang merah asal biji tidak berbeda nyata diantara<br />
galur galur yang diuji.<br />
Bobot Basah<br />
Berat basah umbi bawang merah asal biji diperoleh setelah produksi basah ditimbang setelah<br />
panen. Hasil analisis data diketahui bahwa untuk pengujian lokasi Brebes dan Tegal terdapat<br />
perbedaan yang nyata, sedangkan untuk lokasi Nganjuk tidak terdapat perbedaan yang nyata antar<br />
perlakuan.<br />
Rata-rata bobot basah umbi bawang merah asal biji yang di uji di lokasi Brebes berkisar antara<br />
6.91 ton/ha hingga 14.92 ton/ha. Hasil terendah didapat dari hasil galur TSS-13-S4, sedangkan hasil<br />
tertinggi didapat dari hasil galur TS-KL80-S3. Berdasarkan hasil analisis statistik juga diketahui<br />
bahwa antara galur yang mempunyai hasil tertinggi yaitu TS-KL80-S3 tidak berbeda nyata dengan<br />
pembanding TUK TUK. Hasil analisis data bobot basah selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.<br />
Rata-rata bobot basah umbi bawang merah asal biji yang di uji di lokasi Tegal berkisar antara<br />
17.44 ton/ha hingga 27.82 ton/ha. Hasil terendah diperoleh dari galur TS- KT-S2 dan hasil tertinggi<br />
diperoleh dari galur TSS-1-S4. Berdasarkan hasil analisis statistik menujukkan bahwa terdapat<br />
perbedaan yang nyata diantara galur galur yang diuji (tabel 4). Ada 3 galur yang mempunyai bobot<br />
basah lebih tinggi dan berbeda nyata dengan varietas pembanding TUK TUK yaitu TSS-1-S4, TS-<br />
KL80-S3 dan TSS-33-S4.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│13
Uji Daya Hasil 11 Galur Bawang Merah Asal Biji (True shallot Seed/TSS) di Brebes, Tegal, dan Nganjuk<br />
Pinilih, J 1 , Hidayat, I. M 2 , Sartono PS 2<br />
Tabel 4. Rata-rata bobot basah umbi bawang merah di Brebes, Tegal dan Nganjuk (ton/ha)<br />
NO Galur Lokasi Pengujian<br />
Brebes Tegal Nganjuk<br />
1 TSS-62-S4 14.14 a 18.38 cd 11.31 a<br />
2 TSS-13-S4 8.98 c 20.63 cd 9.79 a<br />
3 TS- KT-S2 10.50 bc 17.44 d 10.11 a<br />
4 TSS-28-S4 13.32 ab 22.75 abcd 10.65 a<br />
5 TSS-1-S4 14.68 a 27.82 a 9.53 a<br />
6 TSS-5-S4 11.77 abc 23.05 abc 9.90 a<br />
7 TSS-33-S4 11.71 abc 23.45 ab 9.37 a<br />
8 TSS-17-S4 13.41 ab 23.24 abc 10.73 a<br />
9 TS-Mj-S3 12.83 ab 21.08 bcd 10.26 a<br />
10 TS-KL80-S3 14.92 a 27.76 a 11.94 a<br />
11 TS-ML-S3 14.23 a 17.59 cd 11.38 a<br />
12 TUK-TUK 14.71 a 20.72 cd 10.39 a<br />
Angka rata-rata yang ditandai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada tingkat nyata 5%.<br />
Rata-rata bobot basah umbi bawang merah asal biji yang di uji di lokasi Tegal berkisar antara<br />
9.37 ton/ha hingga 11.94 ton/ha. Hasil terendah diperoleh dari galur TSS-33-S4 dan hasil tertinggi<br />
diperoleh dari galur TS-KL80-S3. Berdasarkan hasil analisis statistik menujukkan bahwa tidak<br />
terdapat perbedaan yang nyata diantara galur galur yang diuji (tabel 4).<br />
Bobot Kering<br />
Bobot kering umbi bawang merah asal biji diperoleh setelah produksi basah dijemur hingga<br />
bagian batang dan daun mengering. Hasil analisis data diketahui bahwa untuk pengujian lokasi<br />
Brebes,Tegal dan Nganjuk terdapat perbedaan yang nyata di antara galur galur yang diuji.<br />
Tabel 5. Rata-rata bobot kering umbi bawang merah hasil pengujian dilokasi Brebes, Tegal dan<br />
Nganjuk (ton/ha)<br />
NO Galur Lokasi Pengujian<br />
Brebes<br />
Tegal<br />
Nganjuk<br />
1 TSS-62-S4 10.87 a 14.14 cd 8.70 ab<br />
2 TSS-13-S4 6.91 c 15.87 bcd 6.19 c<br />
3 TS- KT-S2 8.07 bc 13.42 d 7.33 abc<br />
4 TSS-28-S4 10.24 ab 17.50 bcd 8.19 ab<br />
5 TSS-1-S4 11.29 a 20.04 ab 8.17 ab<br />
6 TSS-5-S4 9.05 abc 17.73 bcd 8.21 ab<br />
7 TSS-33-S4 9.01 abc 18.04 abc 7.21 bc<br />
8 TSS-17-S4 10.31 ab 17.87 abcd 8.25 ab<br />
9 TS-Mj-S3 9.87 ab 16.22 bcd 7.90 ab<br />
10 TS-KL80-S3 11.48 a 21.35 a 9.18 a<br />
11 TS-ML-S3 10.94 a 13.53 cd 8.75 ab<br />
12 TUK-TUK 11.32 a 15.94 bcd 8.64 ab<br />
Angka rata-rata yang ditandai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada tingkat nyata 5%.<br />
Rata-rata bobot kering umbi bawang merah asal biji yang di uji di lokasi Brebes berkisar antara<br />
6.91 ton/ha hingga 11.48 ton/ha. Hasil terendah didapat dari hasil galur TSS-13-S4, sedangkan hasil<br />
tertinggi didapat dari hasil galur TS-KL80-S3. Berdasarkan hasil analisis statistik juga diketahui<br />
14│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Uji Daya Hasil 11 Galur Bawang Merah Asal Biji (True shallot Seed/TSS) di Brebes, Tegal, dan Nganjuk<br />
Pinilih, J 1 , Hidayat, I. M 2 , Sartono PS 2<br />
bahwa antara galur yang mempunyai hasil tertinggi yaitu TS-KL80-S3 tidak berbeda nyata dengan<br />
pembanding TUK TUK, sedangkan berat kering kedua galur tersebut tidak berbeda nyata bila<br />
dibandingkan dengan galur-galur yang lainya. Berdasarkan hasil bobot kering juga dapat dilaporkan<br />
bahwa dari 11 (sebelas) galur yang di uji terdapat 1 (satu) galur yang mempunyai bobot umbi kering<br />
lebih tinggi dari pembanding TUK-TUK yaitu galur TS-KL80-S3 walaupun tidak berbeda nyata<br />
secara statistik. Hasil analisis data berat kering selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.<br />
Rata-rata bobot kering umbi bawang merah asal biji yang di uji di lokasi Tegal berkisar antara<br />
13.42 ton/ha hingga 21.35 ton/ha. Hasil terendah diperoleh dari galur TS- KT-S2 dan hasil tertinggi<br />
diperoleh dari galur TS-KL80-S3. Berdasarkan hasil analisis statistik menujukkan bahwa terdapat<br />
perbedaan yang nyata diantara galur galur yang diuji (tabel 5). Galur TS-KL80-S3 yang mempunyai<br />
bobot kering tertinggi ternyata berbeda nyata bila dibandingkan dengan berat kering TUK-TUK.<br />
Selain itu galur TS-KL80-S3 mempunyai hasil bobot kering umbi lebih dari 20 ton per ha yaitu<br />
berdasarkan data pengamatan hasil bobot kering umbi galur TS-KL80-S3 adalah 21.35 ton/ha.<br />
Rata-rata bobot kering umbi bawang merah asal biji yang di uji di lokasi Nganjuk berkisar<br />
antara 6.19 ton/ha hingga 9.18 ton/ha. Hasil terendah didapat dari hasil galur TSS-13-S4, sedangkan<br />
hasil tertinggi didapat dari hasil galur TS-KL80-S3. Berdasarkan hasil analisis statistik juga diketahui<br />
bahwa antara galur yang mempunyai hasil tertinggi yaitu TS-KL80-S3 tidak berbeda nyata dengan<br />
pembanding TUK TUK, sedangkan bobot kering kedua galur tersebut tidak berbeda nyata bila<br />
dibandingkan dengan galur-galur yang lainya. Berdasarkan hasil bobot kering juga dapat dilaporkan<br />
bahwa dari 11 (sebelas) galur yang di uji terdapat 1 (satu) galur yang mempunyai bobot umbi kering<br />
lebih tinggi dari pembanding TUK-TUK yaitu galur TS-KL80-S3 walaupun tidak berbeda nyata<br />
secara statistik. Hasil analisis data bobot kering selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.<br />
Diameter Umbi<br />
Data diameter umbi didapatkan setelah umbi bawang merah kering. Rata rata hasil pengamatan<br />
dan analisis hasil secara statistik dapat dilihat pada Tabel 6.<br />
Tabel 6. Rata-rata diameter umbi bawang merah di Brebes, Tegal dan Nganjuk (cm)<br />
NO Galur Lokasi Pengujian<br />
Brebes<br />
Tegal<br />
1 TSS-62-S4 2.15 cd 2,83 bc 1.93 c<br />
2 TSS-13-S4 1.97 d 2,78 c 1.77 d<br />
3 TS- KT-S2 2.15 cd 3,14 ab 1.93 c<br />
4 TSS-28-S4 2.17 cd 2,88 bc 1.95 c<br />
5 TSS-1-S4 1.99 cd 2,92 bc 1.79 cd<br />
6 TSS-5-S4 2.13 cd 2,93 bc 1.92 cd<br />
7 TSS-33-S4 1.99 cd 2,90 bc 1.79 cd<br />
8 TSS-17-S4 2.16 cd 2,90 bc 1.94 c<br />
9 TS-Mj-S3 2.54 b 2,90 bc 2.29 b<br />
10 TS-KL80-S3 2.11 cd 3,12 ab 1.90 cd<br />
11 TS-ML-S3 2.20 c 2,83 bc 1.98 cd<br />
12 TUK-TUK 3.21 a 3,35 a 2.89 a<br />
Angka rata-rata yang ditandai dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada tingkat nyata 5%.;<br />
Rata-rata diameter umbi bawang merah asal biji yang di uji di 2 lokasi pengujian yaitu Brebes, Tegal<br />
dan Nganjuk berkisar antara 1.77 cm hingga 3.35 cm. Berdasarkan hasil analisis statistik baik di<br />
Brebes Tegal maupun di Nganjuk diameter umbi berbeda nyata diantara galur galur yang diuji. Dari<br />
hasil pengamatan diketahui bahwa umbi terbesar dimiliki oleh TUK TUK baik dari hasil pengujian di<br />
Brebes, Tegal dan Nganjuk. Umbi TUK TUK mempunyai ukuran yang paling besar dikarenakan<br />
kultivar TUK TUK mempunyai jumlah anakan yang paling sedikit bila dibandingkan dengan galur<br />
galur yang diuji sehingga ukuran umbinya lebih besar.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│15
Uji Daya Hasil 11 Galur Bawang Merah Asal Biji (True shallot Seed/TSS) di Brebes, Tegal, dan Nganjuk<br />
Pinilih, J 1 , Hidayat, I. M 2 , Sartono PS 2<br />
KESIMPULAN<br />
Galur TS-KL80-S3 mepunyai mempunyai produksi kering tertinggi di tiga lokasi pengujian<br />
yaitu Brebes, Tegal dan Nganjuk. Produksi tertinggi dari semua lokasi pengujian diperoleh oleh galur<br />
TS-KL80-S3 yaitu 21.3 ton/ha yang merupakan hasil pengujian di Tegal.<br />
PUSTAKA<br />
1. Basuki, R. S. 2008. Hortin II Research report 4. Unpublished.<br />
2. Haim D. Robinowitch and James L. Brewster, 1990. “Onions and allied crops Volume I. Botany,<br />
Physiology, and Genetics”. National Vegetable Research Station. AFRC Institute for<br />
Horticultural Research. Wellesbauer and Warwick. UK. Florida (216 – 224).<br />
3. Hendry A. Jones and Louis K. Mann, 1963. “Onions Anthera Allies”. Intersciences publishers<br />
Inc. New York (83 – 107).<br />
4. Hermiati, N. 1995. “Pemindahan Mandul Jantan dan Heterosis dalam Persilangan Bawang<br />
Bombay dengan Bawang Merah sebagai Dasar Produksi Hibrida Bawang Merah”. Disertasi<br />
Program Doktor Universitas Pandjadjaran. Bandung.<br />
5. Permadi, A. H. 1999. “Seleksi Individu Tanaman dari 30 Macam Populasi Bawang Merah II,<br />
Seleksi Klon Bawang Merah Hasil Persilangan Intra spesies”. Laporan Penelitian Balitsa,<br />
Lembang.<br />
6. Pike, L.M. 1986. “Onion Breeding”. In M.J. Basset : “Breeding Vegetable Crops”. AVI<br />
PUBL., Inc. Westtport, Connecticut.<br />
7. Pinilih, J dan Anggoro H. P. 2004, “Perbaikan Populasi Bawang Merah untuk Menghasilkan TSS<br />
dengan Keseragaman yang Tinggi pada Keturunannya”. Laporan Penelitian Ballitsa. Lembang.<br />
16│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Persilangan Tiga Varietas Stroberi (Fragaria x ananassa) Komersial di Indonesia<br />
Yulianti, F dan Siregar, A. S<br />
Studi Persilangan Tiga Varietas Stroberi (Fragaria x ananassa)<br />
Komersial di Indonesia<br />
Yulianti, F dan Siregar, A. S.<br />
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika<br />
Jl. Raya Tlekung No. 1 Junrejo, Kota Batu, Jawa Timur<br />
e-mail: adiraf212@yahoo.com, HP: 083834734480<br />
ABSTRAK. F. Yulianti dan A. Syahrian Siregar. 2012. Studi Persilangan Tiga Varietas Stroberi<br />
(Fragaria x ananassa) Komersial di Indonesia. Stroberi merupakan komoditas buah subtropika yang mulai<br />
banyak dikembangkan di Indonesia. Sayangnya, varietas-variets stroberi yang dikembangkan di Indonesia telah<br />
mengalami penurunan kualitas, sedangkan ketersediaan varietas unggul stroberi masih sangat bergantung pada<br />
hasil introduksi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya perbaikan varietas stroberi, salah satunya melalui<br />
persilangan varietas komersial yang telah banyak dikembangkan. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan<br />
Tlekung dan Laboratorium Pemuliaan, Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika mulai Agustus –<br />
November 2011. Persilangan dilakukan dengan tiga kombinasi, yaitu antara Earlibrite X Sweet Charlie, Sweet<br />
Charlie X Earlibrite dan Earlibrite X Dorit. Achene yang dihasilkan dari persilangan selanjutnya ditanam secara<br />
in vitro pada media MS + 50 g/l sukrosa + 10 g/l agar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persen<br />
keberhasilan persilangan dipengaruhi oleh waktu pelaksanaan persilangan, sedangkan persen keberhasilan<br />
perkecambahan achene hasil persilangan dipengaruhi oleh fertilitas embrio. Waktu terbaik untuk melakukan<br />
persilangan adalah pada pukul 07.00 – 08.30 WIB dengan tingkat keberhasilan 100%. Persen keberhasilan<br />
perkecambahan achene hasil persilangan antara Earlibrite X Sweet Charlie sebesar 39%, Sweet Charlie X<br />
Earlibrite sebesar 53% dan Earlibrite X Dorit sebesar 51%.<br />
Kata kunci: stroberi, Fragaria x ananassa, persilangan, Earlibrite, Sweet Charlie dan Dorit<br />
ABSTRACT. F. Yulianti and A. Syahrian Siregar. 2012. Study of Three Commercial Strawberry<br />
(Fragaria x ananassa) Breeding in Indonesia. Strawberry is one of subtropical fruit that has been planted<br />
in Indonesia. Unfortunately, quality of strawberry developed in Indonesia has experienced a decline, while the<br />
high yielding varieties of strawberries are still dependent on the introduction. It is therefore necessary to<br />
attempt improvement of varieties of strawberries, one of which by hybridization through the<br />
commercial varieties have been developed. This research conducted at the KP Tlekung and Breeding Laboratory<br />
of Indonesian Citrus and Subtropical Research Institute from August to November 2011. hybridization<br />
performed with three combinations, that is Earlibrite X Sweet Charlie, Sweet Charlie X Earlibrite and<br />
Earlibrite X Dorit. Seeds resulting from the hybrid further planted in vitro on MS medium + 50 g / l sucrose +<br />
10 g / l agar. The results showed that the percent of hybrid success is affected by time of the implementation<br />
of hybridization, while percent of seed germination success influenced by the fertility of the embryo. The best<br />
time to perform hybridization is at 7:00 to 8:30 pm with 100% success rate. Percent seed<br />
germination success from hybridization between Earlibrite X Sweet Charlie at 39%, Sweet Charlie X<br />
Earlibrite at 53% and Earlibrite X Dorit at 51%.<br />
Key Words: strawberry, Fragaria x ananassa, hibridization, Earlibrite, Sweet Charlie and Dorit<br />
Stroberi merupakan salah satu komoditas buah yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut<br />
Syariefa (2003), pasar stroberi di Indonesia bertambah 15% per tahun, oleh karena itu, stroberi banyak<br />
diusahakan secara komersial oleh petani di Indonesia, khususnya petani di dataran tinggi. Pada awal<br />
perkembangannya, usaha budi daya stroberi di Indonesia masih terbatas di daerah sentra produksi<br />
seperti Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur, Cipanas dan Lembang), Jawa Timur (Batu) dan Bali<br />
(Bedugul), namun seiring dengan semakin meningkatnya permintaan pasar, usaha stroberi secara<br />
komersial telah diusahakan di beberapa daerah lain, seperti Banyuwangi, Magelang, dan Purbalingga<br />
yang memiliki ketinggian tempat berbeda.<br />
Varietas-varietas yang banyak dikembangkan petani di Indonesia adalah hasil introduksi<br />
seperti Dorit, California, Rosalinda, Sweet Charlie, Chandler, Earlibrite, Oso Grande, Camarosa, dan<br />
Festival. Selain varietas introduksi, ada beberapa petani yang masih mengembangkan varietas lokal.<br />
Sayangnya, varietas-variets stroberi yang dikembangkan di Indonesia telah mengalami penurunan<br />
kualitas sebagai akibat dari sistem pembibitan yang kurang baik. Di sisi lain, ketersediaan varietas<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│17
Studi Persilangan Tiga Varietas Stroberi (Fragaria x ananassa) Komersial di Indonesia<br />
Yulianti, F dan Siregar, A. S<br />
unggul stroberi masih sangat bergantung pada hasil introduksi, sedangkan introduksi benih stroberi<br />
sejak beberapa tahun terakhir ini sangat dibatasi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya perbaikan<br />
varietas stroberi, salah satunya melalui persilangan varietas komersial yang telah banyak<br />
dikembangkan, dalam hal ini adalah varietas Sweet Charlie, Earlibrite dan Dorit.<br />
Sweet charlie termasuk short-day cultivar yang merupakan hasil persilangan antara FL 80-<br />
456 dengan Pajaro (US Plant Patent PP 8,729). Varietas ini memiliki ukuran tanaman kecil namun<br />
memiliki vigor kompak (Anonim, 2010), memiliki daun tebal dan berwarna hijau tua, posisi bunga<br />
tersusun dalam malai yang berukuran panjang, bentuk buah bulat sampai oval, ukuran buah besar,<br />
berwarna merah pucat sampai merah cerah dengan daging buah berwarna putih dan aroma yang<br />
tajam. (Staudt, 1989). Produksi tinggi namun ukuran buah kecil dengan tekstur lembut sehingga daya<br />
simpannya rendah (Chandler et al., 2000)<br />
Earlibrite termasuk short-day cultivar yang merupakan hasil persilangan antara Rosalinda<br />
dengan FL 90-38 (Chandler et al., 2000). Varietas ini memiliki vigor tanaman kompak, buah<br />
berukutan besar (rata-rata 20 gram/buah), berwarna merah tua, biji masuk kedalam, proses<br />
pematangan buah cepat, dan memiliki aroma yang lembut. (Hancock, 1999; Chandler, 2002).<br />
Dorit merupakan hasil persilangan antara Dover A dengan Nurit. Varietas ini memiliki vigor<br />
tanaman kompak dan kuat dengan densitas medium dan memilliki stolon banyak. Bentuk buah mirip<br />
dengan Pajaro, berukuran besar, beraroma tajam, tekstur keras shingga daya simpan lama (Izhak and<br />
Izhar, 1992).<br />
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan persilangan antara Sweet<br />
Charlie X Earlibrite, Earlibrite X Sweet Charlie dan Earlibrite X Dorit serta daya kecambah achene<br />
hasil persilangan.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Waktu dan Tempat Penelitian<br />
Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Agustus-November 2011 di Kebun Percobaan Tlekung dan<br />
Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika. yang<br />
berada di Kecamatan Junrejo, Tlekung, Batu-Jawa Timur.<br />
Alat dan Bahan Penelitian<br />
Alat yang digunakan dalam percobaan lapang adalah mulsa hitam perak, skop, gembor, label,<br />
pisau scalpel, kuas kecil, pinset jung runcing, wadah tempat benang sari, plastik penutup, tusuk gigi,<br />
label tahan air, tali rafia gunting, kantung plastik, dan alat tulis. Alat-alat yang digunakan dalam<br />
laboratorium terdiri dari gelas ukur, beaker glass, erlenmeyer, spatula, pipet, autoclave, timbangan<br />
analitik, ph-meter, botol kultur, pinset, kertas saring, cawan petri, bunsen, pisau scalpel, dan<br />
mikroskop.<br />
Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan lapang adalah stroberi varietas Earlibrite, Sweet<br />
Charlie dan Dorit, air, dan pupuk organik. Baham yang digunakan dalam kegiatan laboratorium<br />
adalah media MS, sukrosa, agar, klorox dn aquades.<br />
Metode Pelaksanaan Penelitian<br />
Persiapan Tanaman tetua<br />
Persiapan tanaman tetua dimulai dengan pembuatan bedengan yang ditutup dengan mulsa<br />
hitam perak. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan tanaman yang akan dijadikan tetua. Tanaman<br />
yang telah dipilih ditempatkan di atas bedengan berdasarkan varietas dan diberi label untuk<br />
mempermudah proses pelabelan buah hasil hibridisasi.<br />
Pemeliharaan Tanaman induk dilakukan dengan penyiraman secara rutin 3 kali dalam<br />
seminggu. Untuk pemberian pupuk organik dilakukan secara rutin selama masa pembungaan, dalam<br />
jangka waktu seminggu sekali.<br />
Pelaksanaan Hibridisasi<br />
Proses pelaksanaan hibridisasi disajikan pada Gambar 1. Hibridisasi stroberi dimulai dengan<br />
kegiatan emaskulasi yang dilakukan pada saat bunga masih belum mekar sempurna (kuncup). Hal ini<br />
dilakukan karena bunga stroberi memiliki serbuk sari yang matang sebelum anther terbuka serta untuk<br />
18│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Persilangan Tiga Varietas Stroberi (Fragaria x ananassa) Komersial di Indonesia<br />
Yulianti, F dan Siregar, A. S<br />
menghindari terjadinya penyerbukan sendiri. Emaskulasi dilakukan dengan cara membuang bagian<br />
sepal dan petal pada bunga dengan menggunakan pisau scalpel. Serbuksari dikumpulkan dengan<br />
menggunakan pinset dan dikumpulkan dalam sebuah wadah, setelah serbuksari terkumpul kepala<br />
putik dibersihkan dengan menggunakan kuas agar serbuksari yang masih menempel dapat hilang.<br />
Setelah bunga diemaskulasi, bunga siap diserbuki. Cara penyerbukan dimulai dengan<br />
mengeluarkan polen dari stament menggunakan pinset, polen yang sudah terkumpul dalam satu<br />
wadah diambil dengan menggunakan kuas dan kemudian ditaburkan keatas kepala putik.<br />
Penyerbukan dilaksanakan antara pukul 7.30-10.30 wib, ini dilakukan untuk menghindari bunga<br />
betina menjadi layu. Karena stigmata pada stroberi masih reseptif terhadap polen selama 8-10 hari dan<br />
jumlah kepala putik yang tidak sedikit, maka proses penyerbukan dilakukan selama 10 hari untuk<br />
mendapatkan hasil yang maksimal.. Setelah bunga diserbuki, maka bunga diisolasi dengan<br />
menggunakan kantung plastik, ini dilakukan untuk mencegah bunga terserbuki oleh polen asing,<br />
dimakan oleh serangga, atau layu. Bunga yang telah diserbuki dan diisolasi diberi label yang anti air<br />
dan ditulis dengan menggunakan pensil, dimana pada label ini terdapat informasi nomor yang<br />
berhubungan dengan lapangan, waktu penyerbukan serta naman tetua jantan dan betina.<br />
Pemanenan dan Pengumpulan<br />
Buah stroberi yang telah berumur kurang lebih 25 hari sesudah penyilangan dan berwarna<br />
merah merata mulai bisa dipanen dengan cara menggunting tangkai buah 3 cm dari buah. Buah<br />
stroberi yang telah dipanen di masukan ke dalam kantong plastik dan di beri label, kemudian di<br />
simpan dalam lemari es agar tidak mudah busuk, sampai dilakukannya proses sterilisasi dan<br />
penanaman dalam media kultur.<br />
Sterilisasi dan Penanaman<br />
Achene stroberi diambil dengan menggunakan pinset ujung runcing, kemudian diletakkan di<br />
dalam botol yang sebelumnya telah di beri air. Achene yang sudah terkumpul di beri sabun cair dan<br />
direndam selama 10 menit, setelah itu achene dicuci diatas air mengalir kurang lebih selama 10 menit.<br />
Selanjutnya kegiatan dilakukan didalam Laminar Air Flow kabinet. Achene yang sudah dibersihkan<br />
kemudian direndam dengan larutan clorox 10 % selama 15 menit. Karena achene berukuran sangat<br />
kecil maka achene perlu ditiriskan terlebih dahulu di atas kertas saring yang diletakkan diatas cawan<br />
petri. Untuk kemudian dilanjutkan perendaman dengan clorox 5% selama 10 menit. Achene kemudian<br />
direndam dengan aquades steril selama 5 menit dengan 3 kali ulangan.<br />
Achene yang telah melalui tahap sterilisasi, kemudian diletakkan di bawah mikroskop dan di<br />
potong menjadi 2 bagian menggunakan pisau scalpel. Bagian kotiledon dibuang dan embrio ditanam<br />
pada media MS. 0.<br />
3.5.Pengamatan<br />
Sebagai data utama penelitian ini dilakukan pengamatan sebagai berikut :<br />
1. Persentase keberhasilan persilangan<br />
% keberhasilan = 100%<br />
2. Persentase perkecambahan achene yang diamati adalah jumlah achene berkecambah. Rumus<br />
perhitungan<br />
% perkecambahan = x 100%<br />
Pada tahap pengamatan keberhasilan persilangan stroberi mulai bisa dilihat berhasil atau tidaknya<br />
pada hari ke 7 sampai dengan ke 10 setelah penyerbukan dan mulai bisa di panen stelah 25 hari<br />
setelah penyerbukan, keberhasilan ditandai dengan membengkaknya bagian dasar buah (receptakel),<br />
selain itu waktu persilangan juga digunakan sebagai variabel pengamatan keberhasilan persilangan.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│19
Studi Persilangan Tiga Varietas Stroberi (Fragaria x ananassa) Komersial di Indonesia<br />
Yulianti, F dan Siregar, A. S<br />
Pada fase perkecambahan, achene stroberi diamati ketika telah ditanam dalam media agar.<br />
Keberhasilan perkecambahan ditandai dengan pertumbuhan pada achene yang semakin lama semakin<br />
panjang.<br />
(a)<br />
(b)<br />
(c)<br />
(d)<br />
(e)<br />
(f)<br />
Gambar 1. Proses pelaksanaan hibridisasi : (a) pemilihan bunga, (b) bunga yang telah<br />
siap diemaskulasi, (c) bunga yang telah diemaskulasi, (d) pengumpulan<br />
serbuk sari, (e) penyerbukanm (f) isolasi dan pelabelan. hybridization<br />
process: (a) flower selection (b) flower ready to emasculate (c) emasculated<br />
flower (d) pollen collection (e) pollination (f) isolation and labeling<br />
20│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Persilangan Tiga Varietas Stroberi (Fragaria x ananassa) Komersial di Indonesia<br />
Yulianti, F dan Siregar, A. S<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Tingkat keberhasilan Hibridisasi<br />
Dari hasil pengamatan keberhasilan hibridisasi dapat diketahui bahwa varietas Sweet charlie,<br />
Earlibrite dan Dorit tidak terdapat hambatan secara genetik dalam penyerbukan. Hal ini terbukti<br />
dengan hasil hibridisasi kedua varietas tersebut berkisar antara 40-100 % (Gambar 2). Buah hasil<br />
persilangan disajikan pada Gambar 3.<br />
100<br />
90<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
40<br />
30<br />
20<br />
10<br />
0<br />
100 100 100 100 100<br />
83,3<br />
50<br />
40<br />
40<br />
EB X SC SC X EB EB X DR<br />
07:00-08:30<br />
08:30-10:00<br />
10:00-11:00<br />
Gambar 2. Grafik persen keberhasilan persilangan<br />
(Figure 2. Graphic of percent of hybridization success<br />
(a)<br />
(b)<br />
(c)<br />
Gambar 3. Buah hasil persilangan (a) Sweet Charlie X Earlibrite, (b) Earlibrite X Sweet Charlie dan<br />
(c) Earlibrite X Dorit yang telah siap panen. Hybrid fruits: (a) Sweet Charlie X<br />
Earlibrite, (b) Earlibrite X Sweet Charlie and (c) Earlibrite X Dorit ready to harvest)<br />
Tingkat keberhasilan hibridisasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung lainnya,<br />
seperti waktu penyerbukan dan jumlah serbuk sari. Waktu hibridisasi juga sangat menentukan tingkat<br />
keberhasilan hibridisasi. Bunga betina yang disilangkan antara pukul 07:00-08:30 keberhasilan<br />
mencapai 100% baik pada hibridisasi antara Sweet Charlie X Earlibrite, Earlibrite X Sweet Charlie<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│21
Studi Persilangan Tiga Varietas Stroberi (Fragaria x ananassa) Komersial di Indonesia<br />
Yulianti, F dan Siregar, A. S<br />
maupun Earlibrite X Dorit. Hibridisasi lebih baik dilakukan pada pagi hari sebelum jam 10.00 karena<br />
kelembaban masih tinggi dan pencahayaan cukup. Kesesuaian masa matang antara gamet jantan dan<br />
betina mempengaruhi keberhasilan hibridisasi. Apabila putik sudah siap menerima serbuk sari<br />
sedangkan serbuk sari belum matang maka hibridisasi tidak akan berhasil. Suhu juga berpengaruh<br />
terhadap hibridisasi, suhu yang terlalu dingin atau panas akan mengurangi reseptivitas putik dan<br />
viabilitas polen serta mereduksi pertumbuhan achene karena serbuk sari sulit berkecambah (Major,<br />
1980). Kelembaban optimum untuk tanaman stroberi 80-90%. Peningkatan kelembaban dapat<br />
menghasilkan kegagalan perkecambahan polen pada stigma (Major, 1980).<br />
Pada umumnya hibridisasi dapat dilihat keberhasilannya pada 7-10 hari setelah penyerbukan,<br />
Hibridisasi yang berhasil ditandai dengan masih segarnya sepal dan dasar bunga. Kemudian<br />
munculnya buah yang berbentuk bulat telur dan berwarna hijau. Sedangkan hibridisasi yang gagal<br />
ditandai dengan mengeringannya sepal dan dasar bunga. Ada beberapa hal yang menyebabkan<br />
terjadinya kegagalan pembuahan, yaitu serbuk sari yang pendek dan pertumbuhan berjalan semakin<br />
lambat, sehingga tabung serbuk sari dapat berhenti tumbuh dalam saluran tangki putik (Darjanto,<br />
1984).<br />
Penyebab tinggi rendahnya hasil hibridisasi sangat tergantung dengan dekat tidaknya<br />
hubungan spesies yang disilangkan. Poespodarsono (1989) menjelaskan bahwa makin jauh hubungan<br />
kekerabatan akan semakin mengakibatkan kegagalan untuk mendapatkan keturunan. Kegagalan ini<br />
secara genetik dapat dijelaskan sebagai akibat ketidakmampuan bergabung genetik yang dapat dilihat<br />
pada pembentukan zigot. Namun terkadang dapat terjadi sebaliknya , yakni tanaman yang genetiknya<br />
berbeda jauh lebih dapat disilangkan dibandingkan yang berdekatan.<br />
Ashari (2002) menjelaskan bahwa keberhasilan interaksi antara polen dengan stigma<br />
menyebabkan aktifitas metabolisme terus berjalan pada polen, polen mengalami dehidrasi dengan<br />
menyerap cairan stigma setelah dari luar dinding polen ( extine) dan dinding dalam polem (intine)<br />
ditransfer kepermukaan stigma. Butir polen berkecambah dengan membentuk tabung sari (pollen<br />
tubes). Polen yang berkecambah di atas kepala putik akan tumbuh memanjang ke bawah dan masuk<br />
ke dalam saluran tangkai putik (canidalis stylinus) menuju ke ruang bakal buah (ovarium), bagian<br />
ujung tabung polen kemudian bergerak menuju ke arah bakal benih (ovulum) melalui mikropil<br />
sehingga polen dapat menyentuh nucellus dan masuk ke dalam jaringan tersebut sampai ujung<br />
kandung embrio (saccus embryonalis) dan terbentuklah zygot.<br />
Tingkat keberhasilan Perkecambahan<br />
Proses perkecambahan achene dilakukan secara in vitro dengan menanam achene pada media<br />
MS. Hasil hibridisasi Early brite dengan Sweet charlie, Sweet charlie dengan Early brite dan Early<br />
brite dengan Dorit menunjukan respon pertumbuhan yang cukup baik, hal ini ditandai dengan persen<br />
perkecambahan antara 39 – 53% (Gambar 4).<br />
22│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Persilangan Tiga Varietas Stroberi (Fragaria x ananassa) Komersial di Indonesia<br />
Yulianti, F dan Siregar, A. S<br />
SC X EB<br />
EB x SC<br />
19%<br />
berkecamba<br />
h<br />
19%<br />
39%<br />
28%<br />
53%<br />
mati<br />
kontaminasi<br />
42%<br />
berke<br />
cam…<br />
0%<br />
EB X DR<br />
49%<br />
51%<br />
berkecambah<br />
mati<br />
kontaminasi<br />
Gambar 4. Persentase perkecambahan achene hasil persilangan<br />
(Figure 5. Percent of hybrid achenes germination)<br />
Pada pengamatan perkecambahan achene setelah ditanam di media agar, diperoleh data bahwa<br />
aksesi Sweet charlie X Earlibrite memiliki total persentase sebesar 53% ini lebih tinggi dari total<br />
persentase hasil perkecambahan Earlibrite X Sweet charlie dan Earlibrite X Dorit yakni berturut-turut<br />
sebesar 39% dan 51%. Namun demikian, persen perkecambahan achene dalam penelitian ini masih<br />
lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Miller et al.,(1992), yaitu sebesar 97%.<br />
Penyebab perbedaan persentase hasil perkecambahan polen, bisa disebabkan oleh kesesuaian media<br />
yang digunakan, serta tingkat fertilitas embrio berkecambah.<br />
KESIMPULAN<br />
1. Persen keberhasilan persilangan dipengaruhi oleh waktu pelaksanaan persilangan, sedangkan<br />
persen keberhasilan perkecambahan achene hasil persilangan dipengaruhi oleh kesesuaian media<br />
dan fertilitas embrio<br />
2. Waktu terbaik untuk melakukan persilangan adalah pada pukul 07.00 – 08.30 WIB<br />
3. Persen perkecambahan achene aksesi Sweet charlie X Earlibrite lebih tinggi dibandingkan<br />
dengan Earlibrite X Sweet charlie dan Earlibrite X Dorit<br />
PUSTAKA<br />
1. Anonim. 2010. Sweet Charlie strawberry plants:introduction. Diunduh 14 Agustus 2010.<br />
http://strawberryplants.org/2010/08/sweet-charlie-strawberry-plants/<br />
2. Ashari, S., 2002, ‘Pengantar Biologi Reproduksi Tanaman’. Rineka Cipta. Jakarta<br />
3. Chandler, C.K. 2002. “Earlibrite strawberry plants’. US patent number: US PP13,061 P2.<br />
4. Chandler, C.K., Legard, D.E., Dunigan, D, Crocker, T.E., & Sims, C.A. 2000. ‘Earlibrite<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│23
Studi Persilangan Tiga Varietas Stroberi (Fragaria x ananassa) Komersial di Indonesia<br />
Yulianti, F dan Siregar, A. S<br />
Strawberry. HortScience Vol 35. No. 1 pp. 1363 – 1365.<br />
5. Darjanto. 1884. ‘Pengetahuan dasar biologi bunga dan teknik penyerbukan silang buatan’.<br />
Gramedia, Jakarta<br />
6. Hancock, J.F., 1999, ‘Strawberries’. University Press,UK. Cambrid<br />
7. Izhak, E & Izhar, S. 1992. ‘Strawberry Plant Dorit’ US Patent Number: Plant 7,869.<br />
8. Major, D.J 1980. ‘Environmental Effect of Flowering’. In Hybridization of Crop Plant (Ed).<br />
W.R. Fehr & H.H Hadley. ‘America Sosiety of Agronomy and Crop Sosiety of America<br />
Publisher’. Madison, Wisconsin. USA.<br />
9. Miller, A.R., Scheereus, JC., & Erb, P.S., 1992. ‘Enhanced strawberry seed germination<br />
through in vitro culture of cut achenes’. J. Amer.Soc.Hort.Sci. Vol 117 no. 2. Pp. 313 – 316<br />
10. Poespodarsono, S. 1988. ‘Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan’. Pusat Antar Universitas. Institut<br />
<strong>Pertanian</strong> Bogor. Bogor<br />
11. Staudt, G. 1989. ‘The species of Fragaria, their taxonomic and geographical distribution’ .<br />
Acta Hort. Vol. 265 pp 23-33<br />
12. Syariefa, E. 2003. ‘Janji Untung Stroberi’. Trubus Majalah <strong>Pertanian</strong>. Vol XXXIV. Juni.<br />
Jakarta<br />
24│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Seleksi Galur Kentang Hasil Persilangann dengan Menggunakan Tetua Varietas Atlantic untuk Toleransi Terhadap<br />
Penyakit Busuk Daun (Phytophthora infestans)<br />
Kusmana<br />
Seleksi Galur Kentang Hasil Persilangann dengan Menggunakan Tetua Varietas<br />
Atlantic untuk Toleransi Terhadap Penyakit Busuk Daun (Phytophthora infestans)<br />
Kusmana<br />
Balai Penelitian Tanaman Sayuran Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung 40391<br />
ABSTRAK. Produksi kentang Indonesia mencapai lebih 1 juta ton yang dihasilkan dari dataran tinggi di Pulau<br />
Jawa, Pulau Sumatera dan Sulawesi serta daerah lainnya yang memiliki pegunungan. Produktivitas kentang<br />
akhir-akhir ini dihadapkan pada masalah anomali iklim seperti musim hujan yang berkepanjangan sehingga<br />
perlu dibentuk varietas yang toleran terhadap anomali iklim tersebut. Penyakit busuk daun merupakan salah satu<br />
penyakit utama pada tanaman kentang terutama sekali pada musim hujan. Tujuan kegiatan ini ialah untuk<br />
mendapatkan klon kentang turunan Atlantic yang toleran terhadap penyakit busuk daun (Phytophthora<br />
infestans). Seleksi dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang 1250 m diatas<br />
permukaan laut pada tahun 2010. Tujuh progeni F-1 hasil persilangan yaitu 1) Atlantic x 393079.4; 2) Atlantic<br />
x 393280.64;3) Atlantic x 393385.39; 4) Atlantic x 391058.175; 5) Atlantic x 393077.54; 6) Atlantic x<br />
393284.39 ; 7) Atlantic x Repita. Total 104 galur dihasilkan dari kegiatan tersebut kemudian ditanam dengan<br />
tanpa menggunakan ulangan dengan populasi tanaman untuk setiap progeni tidak sama. Seleksi berikutnya<br />
dihasilkan 38 galur harapan yang toleran penyakit hawar daun dengan nilai AUDPC kurang dari 500 sementara<br />
nilai AUDPC varietas pembanding Granola ialah 2170 dan Atlantic 2310.<br />
Kata kunci : Solanum tuberosum L, seleksi, busuk daun<br />
ABSTRACT. Potato productivity in Indonesia reach more than 1 million ton derived from high land of Java,<br />
Sumatera, Sulawesi islands and others area which have mountaineous. Potato productivity recently faced of<br />
climate change such as rainy of all around the year, It is very important to create a variety which can tolerant<br />
for anticipated of climate change such as exessive rain. Late blight is one of important potato diseases especially<br />
in rainy seasons. The objective of the research was to find out an inheritan of Atlantic variety tolerant to late<br />
blight (Phytophthora infestans). Experiment was conducted at the experimental garden of Indonesia Vegetables<br />
Reserach Institute, Lembang west java 1250 m asl. Seven progenies of 1) Atlantic x 393079.4; 2) Atlantic x<br />
393280.64;3) Atlantic x 393385.39; 4) Atlantic x 391058.175; 5) Atlantic x 393077.54; 6) Atlantic x 393284.39<br />
; 7) Atlantic x Repita were growing. A total of 104 assession from those crosses were growing without<br />
replication with an unequal of population number.The result of selection were selected of 38 potato assessions<br />
which tolerant to late blight diseases with low of AUDPC score (
Seleksi Galur Kentang Hasil Persilangann dengan Menggunakan Tetua Varietas Atlantic untuk Toleransi Terhadap<br />
Penyakit Busuk Daun (Phytophthora infestans)<br />
Kusmana<br />
dipilih oleh industri kripik diantaranya karena rasa enak, Sg tinggi, hasil gorengan bagus dan<br />
rendemen hasil gorengan tinggi. Namun dibalik keunggulan tersebut varietas memiliki kekurangan<br />
diantaranya adalah sangat peka terhadap serangan penyakit busuk daun, degenerasi sangat cepat, hasil<br />
relatif rendah. Untuk itu diperlukan perbaikan karakter agar varietas Atlantic yang tadinya peka<br />
terhadap serangan busuk daun, hasil rendah menjadi toleran terhadap penyakit busuk daun serta<br />
berdaya hasil tinggi, namun masih tetap dapat digunakan sebagai bahan baku kripik.<br />
Upaya perbaikan untuk varietas Atlantic dilakukan dengan cara melakukan persilangan<br />
dengan tetua yang memiliki gen ketahanan terhadap penyakit busuk daun. Tetua yang digunakan<br />
merupakan hasil introduksi dari CIP yaitu grup B3C1 yang mereka klaim memiliki ketahanan mayor<br />
(horizontal) terhadap penyakit busuk daun (Landeo, et al 2001).<br />
Dari hasil persilangan dengan tetua B3C1 tersebut berhasil mendapatkan 7 progeni<br />
persilangan yaitu Atlantic x 393079.4 (13 galur), Atlantic x Repita (17 galur), Atlantic x 391058.175<br />
(13 galur), Atlantic x 393280.64 (11 galur), Atlantic x 393284.39 (23 galur) , Atlantic x 393385.39<br />
(15 galur), Atlantic x 393077.54 (11 galur) dengan total galur yang dihasilkan sebanyak 104 galur.<br />
Upaya perbaikan untuk toleransi terhadap penyakit busuk telah dilakukan Kusmana dan Sofiari<br />
(2007) dengan melakukan persilangan sesama klon tetua B3C1 x B3C1.<br />
Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan `klon kentang dengan karakter agronomis yang baik<br />
seperti bentuk umbi bagus, hasil tinggi, umur genjah serta cocok untuk industri olahan kripik kentang.<br />
Dampak dari penelitian ini adalah dihasilkan klon kentang yang sangat potensial untuk industri kripik<br />
kentang.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran bahan terdiri<br />
atas 104 galur yang berasal dari 7 progeni hasil silangan dengan menggunakan varietas Atlantic<br />
sebagai salah satu tetuanya. Galur-galur ditanam dengan tanpa menggunakan ulangan karena jumlah<br />
masing-masing galur belum cukup dijaikan sebagai bahan penelitian. Jumlah tanaman yang ditanam<br />
untuk masing-masing galur antara 13-40 tanaman. Penanaman dilakukan dengan menggunakan mulsa<br />
plastik hitam dengan ukuran lebar bedengan 100 cm. Jarak tanam yang digunakan 60 cm x 30 cm<br />
(double row). Pupuk organik pupuk kuda dengan dosis 30 ton/ha diberikan seminggu sebelum tanam.<br />
Pupuk buatan yang diberikan adalah NPK 16:16:16 dengan dosis 1000 kg/ha diberikan dua kali<br />
setengah dosis diberikan pada saat tanam dan setengah dosis lagi diberikan pada umur 3 minggu<br />
setelah tanam. Pemeliharaan tanaman dilakukan seoptimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang<br />
optimal Penyiraman dilakukan sekali dalam seminggu dengan cara di leb (digenangi) mulai saat<br />
tanam sampai dengan tanaman berumur 70 hari. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT)<br />
dilakukan satu kali dalam satu minggu untuk OPT hama dan penyakit penting.<br />
Pengamatan dilakukan terhadap (1) Jumlah tanaman tumbuh diamati dengan cara menghitung<br />
tanaman yang muncul diatas permukaan tanah pada umur 3 minggu setelah tanam, (2) Insiden<br />
serangan busuk daun minggu ke 6 sampai ke 10 dihitung berdasarkan persentase gejala kerusakan<br />
tanaman, berdasarkan Henfling (1980), (3) Vigor tanaman diamati dengan menggunakan skor 1=<br />
sangat buruk dan 9= sangat vigor, diamatai pada umur 60 hari setelah tanam, (4) Tinggi tanaman<br />
diamati pada saat berbunga dengan cara mengukur mulai dari permukaan tanah sampai bagian<br />
tanaman tertinggi, (5) Nilai AUDPC (Area under diseases progress curve) (6) hasil umbi per tanaman<br />
jumlah dan bobot<br />
26│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Seleksi Galur Kentang Hasil Persilangann dengan Menggunakan Tetua Varietas Atlantic untuk Toleransi Terhadap<br />
Penyakit Busuk Daun (Phytophthora infestans)<br />
Kusmana<br />
Tabel 1. Galur – galur kentang yang diuji<br />
Pedigree<br />
Jumlah Galur<br />
Atlantic x 393079.1 13<br />
Atlantic x 391058.175 13<br />
Atlantic x 393280.64 11<br />
Atlantic x 393385.39 15<br />
Atlantic x 3933894.39 23<br />
Atlantic x 393077.53 11<br />
Atlantic x Repita 18<br />
Granola 1<br />
Atlantic 1<br />
Total 106<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Penelitian dilakukan pada kondisi curah hujan yang ekstrim tinggi sehingga tanaman tidak<br />
dapat berkembang dengan baik. Hal ini sangat menunjang untuk terjadinya serangan penyakit busuk<br />
daun yang hebat. Umbi benih yang digunakan berukuran sangat kecil antara 5-10 g sehingga tidak<br />
menunjang perkembangan kanopi tanaman yang sempurna sehingga menghasilkan vigor tanaman<br />
yang kurang bagus. Umbi bibit ukuran kecil menghasilkan vigor tanaman yang kurang bagus karena<br />
hanya menghasilkan 1 atau 2 batang tanaman (Struik and Wiersema, 1999). Skore atau nilai vigor 9<br />
(sangat vigorous) hanya dihasilkan dari satu klon yaitu klon 9 dari hasil persilangan antara tetua<br />
Atlantic x 393385.39. Intensitas serangan penyakit busuk daun mulai nampak pada pengamatan umur<br />
tanaman 6 minggu setelah tanam (Tabel 2). Intensitas serangan antar progeni bahkan dalam progeni<br />
yang sama menampilkan tingkat serangan penyakit yang berbeda.<br />
Hasil pengamatan untuk masing-masing progeni hasil silangan dapat diuraikan sebagai<br />
berikut :<br />
1. Atlantic x 393079.4<br />
Intensitas serangan penyakit busuk daun sebagian besar terjadi pada saat tanaman berumur 8<br />
minggu setelah tanam. Klon 6 dan klon13 bahkan serangan penyakit sudah terjadi saat tanaman<br />
berumur 6 minggu. Nilai AUDC (Area Under Diseases Progress Curve) untuk populasi Atlantic x<br />
393079.4 berkisar antara 455 – 1400. Nilai AUDC untuk varietas pembanding Granola adalah<br />
2170 sementara varietas Atlantic 2310. Vigor tanaman berkisar mulai 5 (sedang) – 7(bagus).<br />
Tinggi tanaman berkisar antara 55,5 – 62,4 cm. Persentase tanaman dipanen 60% dan sisanya tidak<br />
dapat dipanen karena terserang layu bakteri (Ralstonia solanacearum) sehingga tanaman tidak<br />
dapat dipanen, karena benihnya telah terkontaminasi bakteri.<br />
2. Atlantic x 391058.175<br />
Intensitas serangan penyakit busuk daun terendah diekspresikan dengan nilai AUDPC kecil (
Seleksi Galur Kentang Hasil Persilangann dengan Menggunakan Tetua Varietas Atlantic untuk Toleransi Terhadap<br />
Penyakit Busuk Daun (Phytophthora infestans)<br />
Kusmana<br />
4. Atlantic x 393385.39<br />
Intensitas penyakit busuk daun berkisar antara 30 -100 % pada pengamatan 70 hari setelah<br />
tanam. Nilai AUDPC berkisar antara 350 (klon 4) - 1050 (klon 7). Vigor tanaman berkisar antara<br />
3 (buruk) – 7 (bagus). Tinggi tanaman berkisar antara 60 – 72,4 cm. Persentase tanaman dipanen<br />
hanya mencapai 47%.<br />
5. Atlantic x 393284.39<br />
Paling tidak ada 12 klon terpilih dari populasi ini yaitu klon 2, klon 4, klon 6, klon 8, klon 10,<br />
klon 11, klon 14, klon 15, klon 17, kon 18, klon 19, klon 20 dengan tingkat infeksi busuk daun<br />
Phytophthora infestan yang rendah. Nilai AUDPC klon yang terpilih berkisar antara 120 - 490.<br />
Vigor tanaman berkisar antara 3 – 7 sedangkan untuk tinggi tanaman berkisar antara 56.4 - 65.8<br />
cm. Persentase tanaman dipanen mencapai 68%.<br />
6. Atlantic x 393077.54<br />
Persilangan dari populasi ini menghasilkan tidak kurang dari 90% tanaman atau klon yang<br />
toleran terhadap penyakit busuk daun sehingga seluruh populasi ini direncanakan untuk<br />
dievaluasi lebih lanjut ada tahun atau musim tanam berikutnya. Persentase tanaman dipanen<br />
mencapai 77%.<br />
7. Atlantic x Repita (LBr-40)<br />
Varietas Repita dilepas Balitsa pada tahun 2005, jumlah klon yang terpilih dari populasi<br />
persilangan ini mencaai 6 klon. Keenam klon tersebut adalah klon 3, klon 4, klon 7, klon 8, klon<br />
9 dan klon 14 seleksi ditekankan pada tingkat serangan busuk daun yang relatif rendah.<br />
Table 2. Intensitas serangan penyakit busuk daun minggu ke 6-10, nilai AUDPC, vigor tanaman,<br />
tinggi tanaman hasil umbi 104 galur kentang di Lembang.<br />
28│<br />
Progeni<br />
Intensitas Kerusakan Busuk Daun<br />
(%) pada minggu ke<br />
1. Atlantic x 393079.4<br />
AUDPC<br />
Vigor<br />
Tanaman<br />
Tinggi<br />
tanaman<br />
6 7 8 9 10 (1-9) (cm) (g)<br />
Hasil<br />
umbiplot<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
Keterangan<br />
1<br />
0 0 30 80 100 1120 7 59,4 700<br />
R<br />
2<br />
0 0 50 100 100 1400 7 56,4 1100<br />
R<br />
3<br />
10 10 20 80 80 1085 7 60,2 100<br />
R<br />
4<br />
0 0 20 80 100 1050 7 62,4 300<br />
R<br />
5<br />
0 0 20 50 100 840 5 57,4<br />
Nh<br />
R<br />
6<br />
5 5 10 50 70 718 5 57,4 700<br />
S<br />
7<br />
0 0 5 30 80 525 5 55,6<br />
Nh<br />
R<br />
8<br />
0 0 5 30 60 455 5 60,4<br />
Nh<br />
R<br />
9<br />
0 0 5 30 100 595 5 61,6<br />
Nh<br />
R<br />
10<br />
0 0 5 20 100 525 5 60,8 250<br />
S<br />
11<br />
0 0 20 70 100 980 5 60 650<br />
R<br />
12<br />
0 0 10 50 100 770 5 60,2<br />
Nh<br />
R<br />
13<br />
5 5 5 30 80 578 5 59,2<br />
Nh<br />
R<br />
Granola<br />
20 50 100 100 100<br />
2170 7 60 600 R<br />
Atlantic<br />
20 70 100 100 100<br />
2310 7 65 700 R<br />
Persentase tanaman dipanen 60%<br />
1<br />
2<br />
2. Atlantic x 391058.175<br />
0 0 0 20 30 245 3 63,4 200<br />
0 0 10 50 70 665 5 61,4 200<br />
S<br />
R
Seleksi Galur Kentang Hasil Persilangann dengan Menggunakan Tetua Varietas Atlantic untuk Toleransi Terhadap<br />
Penyakit Busuk Daun (Phytophthora infestans)<br />
Kusmana<br />
3<br />
0 0 5 30 80 525 5 58,6 Nh<br />
R<br />
4<br />
0 0 0 20 30 245 5 62,8 550<br />
S<br />
5<br />
0 0 0 20 50 315 5 59,3<br />
Nh<br />
R<br />
6<br />
0 0 0 20 30 245 3<br />
62 Nh R<br />
7<br />
0 0 0 20 30 245 3 60,6 1650<br />
S<br />
8<br />
0 0 0 20 30 245 5 62 1200<br />
S<br />
9<br />
0 0 10 50 70 665 5 59,8 550<br />
R<br />
10<br />
0 0 0 20 50 315 5 62,6<br />
Nh<br />
R<br />
11<br />
0 0 10 70 70 805 5 62,2<br />
Nh<br />
R<br />
12<br />
0 0 0 20 30 245 5 62,6<br />
Nh<br />
S<br />
13<br />
0 0 0 20 30<br />
464 5 61.0 450 S<br />
Granola<br />
20 50 100 100 100<br />
2170 7 60 800 R<br />
Atlantic<br />
20 70 100 100 100<br />
2310 7 65 1000 R<br />
Persentase tanaman dipanen 60%<br />
3. Atlantic x 393280.64<br />
1<br />
0 0 5 30 50 420 5 73,4 3500<br />
S<br />
2<br />
0 0 5 20 30 280 3 64,6 Nh<br />
R<br />
3<br />
0 0 0 20 40 280 3 65,2 700<br />
S<br />
4<br />
0 0 20 70 80 910 5 60,2<br />
Nh<br />
R<br />
5<br />
0 0 5 30 50 420 3 64,6<br />
Nh<br />
R<br />
6<br />
0 0 25 100 100 1225 3 62,4<br />
Nh<br />
R<br />
7<br />
0 0 25 70 80 945 5 65<br />
Nh<br />
R<br />
8<br />
0 0 20 50 80 770 7 65<br />
Nh<br />
R<br />
9<br />
0 0 0 20 30 245 5<br />
63 Nh R<br />
10<br />
0 0 0 20 30 245 3 66,6 650<br />
S<br />
11<br />
0 0 20 50 100 840 5 66,4 700<br />
R<br />
Granola<br />
20 50 100 100 100<br />
2170 7 60 600 R<br />
Atlantic<br />
20 70 100 100 100<br />
2310 7 65 700 R<br />
Persentase tanaman dipanen 46%<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
8<br />
9<br />
10<br />
11<br />
12<br />
13<br />
14<br />
4. Atlantic x 393385.39<br />
0 0 10 70 100 910 5 64,8 650<br />
R<br />
0 0 5 30 50 420 7 62,4 300<br />
S<br />
10 10 20 70 80 1015 5 61,4 450<br />
R<br />
0 0 5 30 30 350 7 60<br />
Nh<br />
R<br />
0 0 25 70 100 1015 5 67,4<br />
650 R<br />
5 10 5 20 40 403 5 72,4<br />
Nh<br />
R<br />
0 0 30 70 100 1050 3 63<br />
Nh<br />
R<br />
0 0 5 30 50 420 3 61,4<br />
Nh<br />
R<br />
0 0 10 50 100 770 9 64,8 350<br />
R<br />
0 0 10 50 100 770 5<br />
61,6<br />
Nh<br />
R<br />
0 0 5 30 100 595 7 61,6<br />
500 R<br />
0 0 5 30 100 595 5 63,2<br />
Nh<br />
R<br />
5 5 20 70 80 963 5 61,6<br />
Nh<br />
R<br />
10 10 15 60 100 980 7 59,8<br />
Nh<br />
R<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│29
Seleksi Galur Kentang Hasil Persilangann dengan Menggunakan Tetua Varietas Atlantic untuk Toleransi Terhadap<br />
Penyakit Busuk Daun (Phytophthora infestans)<br />
Kusmana<br />
15<br />
10 10 10 40 80 735 5 60,4<br />
Nh<br />
R<br />
Granola<br />
20 50 100 100 100<br />
2170 7 60 600 R<br />
Atlantic<br />
20 70 100 100 100<br />
2310 7 65 700 R<br />
Persentase tanaman dipanen 47%<br />
1<br />
2<br />
3<br />
5. Atlantic x 393284.39<br />
0 0 10 50 70 665 5 59,6 600<br />
0 0 5 30 50 420 3<br />
59,2<br />
450<br />
10 10 10 30 70 630 7 60,6 330 R<br />
4<br />
0 0 5 20 50 350 7 58,4 100<br />
S<br />
5<br />
0 0 10 50 80 700 3 61,4<br />
Nh<br />
R<br />
6<br />
0 0 10 20 50 385 3 65,2 550<br />
S<br />
7<br />
0 0 10 50 60 630 5 61,4 200<br />
R<br />
8<br />
0 0 5 30 40 385 5 61,2<br />
Nh<br />
R<br />
9<br />
0 0 10 30 70 525 3 65,8 450<br />
S<br />
10<br />
0 0 10 20 60 420 5 63,4 1150<br />
S<br />
11<br />
0 0 5 20 60 385 3 64,8 450<br />
S<br />
12<br />
0 0 20 80 80 980 7 62,6 550<br />
R<br />
13<br />
0 0 15 60 70 770 7 56,4 350<br />
R<br />
14<br />
0 0 5 10 30 210 5 63,8 1000<br />
S<br />
15<br />
0 0 10 40 40 490 5 60,8 350<br />
S<br />
16<br />
0 0 10 50 80 700 5 62,4<br />
Nh<br />
R<br />
17<br />
0 0 5 10 70 350 5 63,4 950<br />
S<br />
18<br />
0 0 10 30 50 455 7 62,8 500<br />
S<br />
19<br />
0 0 5 20 50 350 5<br />
64,4<br />
950<br />
S<br />
20<br />
0 0 5 5 20 140 3 62,8 300<br />
S<br />
21<br />
0 0 10 30 70 525 3 63<br />
Nh<br />
R<br />
22<br />
0 0 0 10 40 210 5 65,6<br />
Nh<br />
R<br />
23<br />
0 0 0 30 50 385 7 61,8<br />
Nh<br />
R<br />
Granola<br />
20 50 100 100 100<br />
2170 7<br />
62,8<br />
Nh<br />
R<br />
Atlantic<br />
20 70 100 100 100<br />
2310 7<br />
62,8<br />
Nh<br />
R<br />
Persentase tanaman dipanen 68%<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
8<br />
9<br />
10<br />
11<br />
6. Atlantic x 393077.54<br />
0 0 5 20 30 280 5 63,8 2700<br />
0 0 5 30 50 420 7 59 1000<br />
0 0 0 20 30 245 7 63,4 1450<br />
0 0 0 20 30 245 7 65,4 2800<br />
0 0 0 20 20 210 3 58,2 Nh<br />
0 0 5 40 40 455 5 60,6 800<br />
0 0 0 20 30 245 5 59,8 1950<br />
0 0 20 70 70 875 5 60,4<br />
Nh<br />
0 0 5 30 30 350 3 59,4<br />
Nh<br />
0 0 5 30 30 350 3 63,8 650<br />
0 0 5 30 50 420 5 59,2 550<br />
R<br />
S<br />
S<br />
S<br />
S<br />
S<br />
R<br />
S<br />
S<br />
R<br />
R<br />
S<br />
S<br />
30│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Seleksi Galur Kentang Hasil Persilangann dengan Menggunakan Tetua Varietas Atlantic untuk Toleransi Terhadap<br />
Penyakit Busuk Daun (Phytophthora infestans)<br />
Kusmana<br />
Granola<br />
20 50 100 100 100<br />
2170 7 60 400 R<br />
Atlantic<br />
20 70 100 100 100<br />
2310 7 65 900 R<br />
Persentase tanaman dipanen 77%<br />
7. Atlantic x Repita<br />
1<br />
0 0 30 70 80 980 5 61,6 0<br />
R<br />
2<br />
0 0 10 50 70 665 7<br />
74<br />
50<br />
R<br />
3<br />
0 0 5 30 50 420 7 57,6 750<br />
S<br />
4<br />
0 0 10 20 50 385 7 60,8 1450<br />
S<br />
5<br />
0 0 5 10 30 210 5 56,4 Nh<br />
R<br />
6<br />
0 0 20 50 70 735 7 71,6 200<br />
R<br />
7<br />
0 0 5 20 40 315 5 61,2 200<br />
R<br />
8<br />
0 0 5 20 30 280 5 64,4 250<br />
S<br />
9<br />
0 0 5 20 40 315 5 63,2 100<br />
S<br />
10<br />
0 0 10 50 100 770 5 63,4 Nh<br />
R<br />
11<br />
0 0 20 70 90 945 3 58,2 550<br />
R<br />
12<br />
0 0 10 60 90 805 3 61,6 900<br />
R<br />
13<br />
0 0 10 60 100 840 3 65 300<br />
R<br />
14<br />
0 0 5 30 50 420 5 63,8 1500<br />
S<br />
15<br />
0 0 10 40 70 595 7 60,8<br />
Nh<br />
R<br />
16<br />
10 10 20 50 70 840 7 59,8<br />
Nh<br />
R<br />
17<br />
0 0 50 100 100 1400 3 64,4<br />
Nh<br />
R<br />
Granola<br />
20 50 100 100 100<br />
2170 7 60 Nh R<br />
Atlantic<br />
20 70 100 100 100<br />
2310 7 65 Nh R<br />
Persentase tanaman dipanen 63%<br />
Note : nh=no harvested, R = rejected/tidak terpilih, S= terpilih<br />
Tabel 3 Klon yang terpilih dari hasil 7 progeni silangan di Lembang 2009<br />
Progeni Nomor klon terpilih Jumlah Persentase terpilih<br />
(%)<br />
Atlantic x 393079.4 6, 10 2 13,3<br />
Atlantic x 391058.175 2, 4, 7, 8, 12, 13, 6 40.0<br />
Atlantic x 393280.64 1,3,10 3 23,1<br />
Atlantic x 393385.39 2 1 8.2<br />
Atlantic x 393284.39 2, 3, 4, 6, 9, 10, 11, 14, 15, 17, 13 52.0<br />
18, 19, 20<br />
Atlantic x 393077.54 1, 2, 3, 4, 6,7, 10, 11 8 61,5<br />
Atlantic x Repita 3, 4, 8, 9, 14 5 27.7<br />
TOTAL 38<br />
Persentase tanaman terpilih tertinggi dihasilkan dari hasil persilangan Atlantic x 393077.54<br />
(61, 5 %) diiukuti Atlantic x 393284.39 (52%) dan Atlantic x 391058.175 (40 %). Total galur terpilih<br />
sebanyak 38 galur atau sekitar 36,5 % dari seluruh galur yang diuji (Tabel 3). Kriteria seleksi<br />
ditekankan pada toleransi terhadap toleransinya terhadap tingkat kerusakan tanaman oleh penyakit<br />
busuk daun (Phytophthora infestans) dan penampilan umbi yang meliputi bentuk umbi, kulit umbi<br />
dan kedalaman mata umbi.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│31
Seleksi Galur Kentang Hasil Persilangann dengan Menggunakan Tetua Varietas Atlantic untuk Toleransi Terhadap<br />
Penyakit Busuk Daun (Phytophthora infestans)<br />
Kusmana<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
1. Kriteria seleksi berdasarkan rendahnya tingkat infeksi busuk daun hal ini dicirikan dengan<br />
rendahnya nilai AUDPC (
Evaluasi Daya Hasil 4 Varietas Stroberi pada Dua Ketinggian yang Berbeda<br />
Emi budiyati 1 , Zainuri Hanif 1 , Oka Ardiana Banaty 1 dan Agustina.M 2<br />
Evaluasi Daya Hasil 4 Varietas Stroberi pada Dua Ketinggian yang Berbeda<br />
Budiyati, E 1 , Hanif , Z 1 , Banaty, O. A. 1 dan Agustina.M 2<br />
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika 1<br />
Balai Penelitian Tanaman Buah Solok 2<br />
Jl. Raya Tlekung No 1 Junrejo, Batu, Jawa Timur 65301<br />
Telp. (0341) 592683 . Fax (0341) 593047<br />
email : emi.budiyati@ yahoo.co.id<br />
Abstrak. Percobaan dilaksanakan di KP Kliran pada ketinggian 950 m dpl (tinggi kering) dan Berastagi<br />
pada ketinggian 1340 m dpl (tinggi basah) yang dimulai Bulan Maret sampai dengan Desember 2009. Tujuan<br />
untuk mendapatkan varietas –varietas stroberi yang adaptip, mempunyai kualitas dan produktivitas tinggi.<br />
Perlakuan 4 varietas yang digunakan yaitu : D=Dorit, R = Rosalinda, S = Sweet Carlie, dan C = California)<br />
). Ke-4 kultivar ditanam dengan media tanah, pukan ayam, sekam bakar dengan perbadingan 2:1/2:1/3 pada<br />
polibag ukuran 30x35cm. Jumlah perlakuan tanaman = 4 varietas x 3 ulangan x 70 tanaman sehingga total<br />
tanaman perlakuan sebanyak = 840 polibag setiap lokasi, data hasil pengamatan dianalisa dengan Uji DMRT<br />
pada taraf 0,05. Hasil di KP Brastagi, Jumlah bunga, buah, dan bobot/buah tertinggi pada varietas Rosalinda<br />
(38,30) (10,75 ) dan (14.58 ). Hasil analisa kimia buah menunjukkan kadar gula tertinggi Sweet Carlie (8.06),<br />
sedangkan untuk Volume Jus per 100 gr buah segar tertinggi pada varietas Sweet Carlie (50,64). Selanjutnya<br />
% total asam per mgram buah segar tertinggi ditunjukkan Rosalinda (2,5), untuk % vitamin C tertinggi pada<br />
varietas sweet Carlie (2,39). Hasil di KP Kliran menunjukkan jumlah daun dan anakan tertinggi pada<br />
varietas Sweetcarlie (22.73) (3,66), jumlah bunga tertinggi pada varietas Dorit, jumnlah bunga terendah<br />
ditunjukkan oleh Rosalinda (2,49), jumlah buah tertinggi pada varietas Rosalinda (3,62), bobot buah/ buah<br />
dan panjang buah tertinggi pada varietas Dorit (12,62 gram ) (3,82 cm). Hasil analisa buah yang ditanam di<br />
KP kliran, menunjukkan kadar gula tertinggi pada varietas Dorit (5.4) untuk Volume Juici per 100 gr buah<br />
segar tertinggi pada varietas California (70ml). Selanjutnya % total asam per gr buah segar tertinggi pada<br />
varietas California (2.1) vitamin C/ gr buah segar tertinggi pada varietas California (2.3).<br />
Kata kunci : stroberi, varietas, dataran tinggi kering, dataran tinggi basah<br />
Abstract. Emi budiyati 1 , Zainuri Hanif 1 , Oka Ardiana Banati 1 dan Agustina.M 2 . The results of the<br />
evaluation of four varieties of strawberries are planted on Two Different Altitude. Experiments carried out<br />
in KP Kliran at an altitude of 950 m asl (high dry) and Berastagi at an altitude of 1340 m asl (high wet)<br />
beginning in March until December 2009. Purpose to obtain varieties of strawberries are adaptive, have a high<br />
quality and productivity. Treatment of 4 varieties are used as follows: D = Dorit, R = Rosalinda, S = Sweet<br />
Carlie, and C = California)). The four cultivars grown in soil media, pile chicken, grilled with the husk<br />
composition 2:1 / 2:1 / 3 in polybag size 30x35cm. Number of treatment plants = 4 varieties x 3 replicates x 70<br />
plants for a total of as many treatment plants = 840 polybags each location, data were analyzed with the test<br />
observations DMRT at 0.05 level. The results of the KP Brastagi, The number of flowers, fruit, and weight /<br />
fruit varieties Rosalinda highest (38.30) (10.75) and (14:58). The results of chemical analysis of fruits showed<br />
the highest sugar content Sweet Carlie (8:06), while the volume of juice per 100 grams of fresh fruit was highest<br />
in varieties Sweet Carlie (50.64). Furthermore% total acid per mgram indicated highest fresh fruit Rosalinda<br />
(2.5), for% vitamin C was highest in sweet varieties of Sweet Carlie (2.39). The results of the KP Kliran showed<br />
the highest number of leaves and tillers in Sweetcarlie varieties (22.73) (3.66), the highest number of flower<br />
varieties Dorit, jumnlah lowest interest shown by Rosalinda (2.49), the highest number of fruit varieties<br />
Rosalinda (3, 62), the weight of fruit / fruit and fruit length was highest in varieties Dorit (12.62 grams) (3.82<br />
cm). Results of analysis of fruit grown in the KP kliran, showed the highest sugar content varieties Dorit (5.4)<br />
for Volume Juici per 100 grams of fresh fruit varieties was highest in California (70ml). Furthermorec% total<br />
acid /g of fresh fruit varieties was highest in California (2.1) of vitamin C / gram of fresh fruit varieties was<br />
highest in California (2.3).<br />
Key words: strawberry, varieties, dry plateaus, upland wet<br />
Stroberi merupakan salah satu jenis buah subtropika yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.<br />
Meskipun stroberi merupakan buah subtropika, namun komoditas ini telah banyak diusahakan secara<br />
komersial oleh petani di Indonesia, khususnya petani di dataran tinggi. Pada awal perkembangannya,<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│33
Evaluasi Daya Hasil 4 Varietas Stroberi pada Dua Ketinggian yang Berbeda<br />
Emi budiyati 1 , Zainuri Hanif 1 , Oka Ardiana Banaty 1 dan Agustina.M 2<br />
usaha budi daya stroberi di Indonesia masih terbatas di daerah sentra produksi seperti Jawa Barat<br />
(Sukabumi, Cianjur, Cipanas dan Lembang), Jawa Timur (Batu) dan Bali (Bedugul), namun seiring<br />
dengan semakin meningkatnya permintaan pasar, usaha stroberi secara komersial telah diusahakan di<br />
beberapa daerah lain, seperti Banyuwangi, Magelang, dan Purbalingga yang memiliki ketinggian<br />
tempat berbeda.<br />
Buah stroberi dimanfaatkan sebagai makanan dalam keadaan segar atau olahannya. Produk<br />
makanan yang terbuat dari stroberi telah banyak dikenal misalnya sirup, jam, ataupun stup (compote)<br />
stroberi. Menurut Eno (2007) khasiat stroberi adalah: (1) dapat mengurangi kadar kolestrol, (2) dapat<br />
meredam gejala stroke, (3) Mengandung zat anti alergi dan anti radang, (4) Mengandung zat anti<br />
alergi dan anti radang, (5) Konsentrasi tujuh zat antioksidan yang ada pada stroberi lebih tinggi<br />
dibandingkan buah atau sayuran lain, sehingga stroberi merupakan buah yang efektif mencegah<br />
proses oksidasi pada tubuh (Oksidasi ialah hancurnya jaringan tubuh karena radikal bebas. Oksidasi<br />
juga bertanggung jawab pada proses penuaan), (6) Kebutuhan vitamin C orang dewasa perharinya<br />
dapat dicukupi oleh 8 buah stroberi, kebutuhan serat juga sekaligus bisa terpenuhi. Stroberi juga dapat<br />
bermanfaat bagi pertumbuhan anak, (7) Stroberi yang hanya sedikit mengandung gula juga cocok<br />
untuk diet bagi pengidap diabetes, (8) Apabila dimakan secara teratur, stroberi dapat menghaluskan<br />
kulit dan membuat warna kulit terlihat lebih cerah dan bersih. Khasiat yang terkenal lainnya adalah<br />
anti keriput,(9) Dapat memutihkan atau membersihkan permukaan gigi, (10) Ampuh melawan encok<br />
dan radang sendi, (11) Daun stroberi berkhasiat karena memiliki zat astringent. Tiga hingga empat<br />
cangkir air hasil rebusan daun stroberi per hari, dapat efektif menghentikan serangan diare.<br />
Tanaman stroberi dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan 600-700<br />
mm/tahun. Lamanya penyinaran cahaya matahari yang dibutuhkan dalam pertumbuhan adalah 8–10<br />
jam setiap harinya. Dan dapat beradaptasi dengan baik di dataran tinggi tropis yang memiliki<br />
temperatur 17–20 derajat C. Tanaman stroberi menghendaki tanah liat berpasir, subur, gembur,<br />
mengandung banyak bahan organik, (pH tanah) untuk di kebun 5.4-7.0, untuk budidaya di pot adalah<br />
6.5-7,0. temperatur 22–28 ºC, dengan kelembaban udara antara 80-90% serta ketinggian tempat yang<br />
memenuhi syarat iklim tersebut adalah 1.000-1.500 meter dpl.<br />
Meski stroberi sudah banyak yang menanam, tetapi sampai saat ini produksinya belum bisa<br />
memenuhi permintaan pasar. Harga jual buah stroberi cukup menjanjikan. Petani yang menanam<br />
dilahan terbuka harganya mencapai Rp. 30.000,-/kg (grade A/terbaik), grade B Rp. 22.000,-/kg, dan<br />
grade C Rp. 15.000,-/kg (Cahyana, 2006 dalan DN. Siagihan, 211).<br />
Varietas yang paling banyak disukai adalah varietas stroberi liar yang walaupun<br />
penampilannya kurang menarik karena bentuk nya yang kecil dan tidak seragam, tapi aroma dan<br />
rasanya ternyata sangat kuat,juga berwarna lebih merah melebihi varietas yang berukuran besar.<br />
Tanaman stroberi memerlukan temperatur rendah maka budidaya di Indonesia harus<br />
dilakukan di dataran tinggi seperti, Bedugul, Brastagi, Batu, Lembang dan Purbalingga. Tanaman<br />
stroberi juga cocok diusahakan di daerah Tanah Karo. Salah satunya ada di Desa Tongkoh<br />
Kecamatan Tiga Panah ,Berastagi. Dengan ketinggian tempat ± 1200 m dpl , dengan produktivitas<br />
petani stroberi adalah 13.847,62 Kg/Ha masih jauh lebih rendah dari produktivitas stroberi menurut<br />
literatur (57.142,85 Kg/Ha). Kecamatan Merek, Kabupaten Karo dengan ketinggian tempat ± 1400 m<br />
dpl.<br />
Varietas-varietas yang banyak dikembangkan petani di Indonesia adalah varitas lokal<br />
Benggala dan Nenas (Lembang), varitas lokal baik di Batu maupun di Berastagi. Akhir-akhir ini<br />
mulai ditanam varietas introduksi, antara lain varitas Hokowaze (Jepang) Sweet Carlie, Osogrande,<br />
Pajero, Selva, Ostara, Tenira, Robunda, Bogota, Elvira, Grella, Rosalinda, California dan Red<br />
Gantlet.<br />
Realita saat ini kebutuhan stroberi cukup tinggi, selain untuk buah segar juga untuk produki<br />
olahan (selai, sirup, es krim, dan yoghurt.). Karena produksi dalam negeri belum mencukupi<br />
kebutuhan sedang untuk impor buah tidak memungkinkan karena buah stroberi mudah rusah dan<br />
tidak tahan lama. Masalah utama dalam pengembangan agribisnis stroberi di Indonesia yang<br />
mensyaratkan produk bermutu tinggi dan aman dikonsumsi serta berdaya saing tinggi adalah dengan<br />
merasionalisasikan penggunaan agroinput (pupuk dan pestisida), mengintroduksikan penggunaan<br />
biopestisida terdiri dari bahan organik, nabati dan agensia hayati agar dapat memenuhi regulasi pasar<br />
global yang eco-labeling attributes, nutritional attributes dan aman dikonsumsi (food safety<br />
attributes).<br />
34│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Evaluasi Daya Hasil 4 Varietas Stroberi pada Dua Ketinggian yang Berbeda<br />
Emi budiyati 1 , Zainuri Hanif 1 , Oka Ardiana Banaty 1 dan Agustina.M 2<br />
Berdasarkan latar belakang ini, penulis ingin meneliti pertumbuhan dan produksi beberapa varietas<br />
tanaman stroberi (Fragaria chiloensis L. ) pada dua ketinggian tempat yang berbeda di Brastagi<br />
Karo dan KP Kliran di Batu. Dengan tujuan untuk mendapatkan kultivar – kultivar stroberi yang<br />
adaptip, mempunyai kualitas dan produktivitas tinggi, di dua ketinggian yang bebeda ( KP Kliran dan<br />
KP Kliran di Batu).<br />
METODOLOGI<br />
Percobaan dilaksanakan di KP Kliran pada ketinggian 950 m dpl (tinggi kering) dan<br />
Berastagi pada ketinggian 1340 m dpl (tinggi basah) yang dimulai Februari sampai dengan<br />
Desember 2009.<br />
Perlakuan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 2 faktor : Faktor 1<br />
adalah Kultivar, terdiri dari 4 kultivar yaitu : D=Dorit, R = Rosalinda, S = Sweet Carlie, dan C =<br />
California). Faktor 2. Ketinggian yang berbeda di dua lokasi yaitu KP Kliran 950 m dpl dan KP<br />
Berastagi 1340 m dpl. Ke-4 kultivar ditanam dengan media tanah, pukan ayam, sekam bakar<br />
dengan perbadingan 2:1/2:1/3 pada polibag ukuran 30x35cm. Jumlah perlakuan tanaman = 4<br />
varietas x 3 ulangan x 70 tanaman x 2 lokasi, sehingga total tanaman perlakuan sebanyak = 840<br />
polibag setiap lokasi.<br />
Pemeliharaan meliputi ( penyiraman, pewiwilan dan sanitasi), pemupukan dilakukan pada<br />
tanaman stroberi berumur 2 minggu setelah tanam dengan dosis sesuai anjuran, yaitu dengan<br />
melarutkan pupuk NPK dalam air, kemudian disiramkan ke tanaman, pemupukan selanjutnya sesuai<br />
kebutuhan dari tanaman<br />
Peubah yang diamati :<br />
Pengamatan vegetatif dimulai dua minggu setelah tanam, diteruskan setiap seminggu sekali meliputi :<br />
jumlah anakan, jumlah daun, selanajutnya pengamatan generatif dilakukan seminggu 2 kali meliputi<br />
jumlah bunga, jumlah buah , panjang buah, diameter buah, bobot buah perbutir. data hasil<br />
pengamatan dianalisa dengan Uji DMRT pada taraf 0,05. Analisa kimia buah dilakukan di<br />
Laboratorium Terpadu Balitjestro.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Secara umum pertumbuhan dan perkembangan serta produktivitas 4 varietas stroberi yang<br />
ditananam di KP Brastagi ( ketinggian 1340 m dpl) menunjukkan pertumbuhan yang optimal, dan<br />
hasil secara lengkap ditampilkan pada tabel 1, 2, 4 dan 5.<br />
Tabel 1. Keragaan vegetativ (jumlah daun dan jumlah anakan) 4 varietas stroberi yang ditanam di dua<br />
ketinggian yang berbeda( KP Tlekung 950 m dpl dan KP Brastagi 1340 m dpl)<br />
Jumlah Daun<br />
Jumlah Anakan<br />
Varietas<br />
KP Kliran KP Brastagi KP Kliran KP Brastagi<br />
Dorit 12.657 cd 46.667 fg 1.5833 de 3.2500 cde<br />
Rosalinda 16.577 ab 46.667 fg 2.2300 cde 3.0000 de<br />
Sweet Carlie 19.510 a 55.500 abc 3.0667 ab 3.1667 cde<br />
California 16.243 abc 51.250 de 1.8800 bcde 4.0000 abc<br />
Dari tabel 1, keragaan vegetatif baik untuk jumlah daun dan jumlah anakan stroberi yang<br />
ditanam di dua lokasi menunjukkan perbedaan yang nyata, pertumbuhan tanaman stroberi di KP<br />
Brastagi lebih optimal yang dibuktikan dengan jumlah daun dan jumlah anakan yang lebih tinggi<br />
dibanding dengan pertumbuhan tanaman stroberi yang ditanam di KP Kliran, hal ini diduga<br />
ketinggian tempat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan stroberi. Dengan<br />
ketinggian tempat ± 1200 m dpl, dengan produktivitas petani stroberi adalah 13.847,62 Kg/Ha masih<br />
jauh lebih rendah dari produktivitas stroberi menurut literatur (57.142,85 Kg/Ha). Kecamatan Merek,<br />
Kabupaten Karo dengan ketinggian tempat ± 1400 m dpl. Ketinggian tempat mempengaruhi<br />
perubahan suhu udara (DN. Siagian, 2011). Secara terpisah perlakuan varietas tanaman stropberi<br />
yang ditanam di KP Kliran Sweetcarlie menunjukkan pertumbuhan jumlah daun tertinggi dan di KP<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│35
Evaluasi Daya Hasil 4 Varietas Stroberi pada Dua Ketinggian yang Berbeda<br />
Emi budiyati 1 , Zainuri Hanif 1 , Oka Ardiana Banaty 1 dan Agustina.M 2<br />
Brastagi sama tertinggi sweetcarlie tapi dengan jumlah daun dua kali lipat tanaman stroberi di KP<br />
Kliran, sedang untuk jumlah anakan tertinggi ditunjukkan varietas California di KP Brastagi. Hal ini<br />
sependapat Ashari (1995) menyatakan bahwa suhu tinggi dengan lama penyinaran yang panjang<br />
mendorong pembentukan stolon, jumlah stolon yang paling sedikit dibandingkan penanaman stroberi<br />
di lapang.<br />
Tabel 2. Keragaan Generatif (jumlah bunga dan jumla buah ) 4 varietas stroberi yang ditanam di dua<br />
ketinggian yang berbeda( KP Tlekung 950 m dpl dan KP Brastagi 1340 m dpl)<br />
Varietas Jumlah Bunga Jumlah Buah % Bunga jadi buah<br />
Kliran Brastagi Kliran Brastagi Kliran Brastagi<br />
Dorit 3.5833 a 15.250 g 2.9600 f 2.8333 fg 82.68 18.61<br />
Rosalinda 3.4700 a 28.250 ab 2.7167 f 9.0000 a 78.09 31.85<br />
Sweet Carlie 3.8800 a 8.167 j 3.2967 f 2.8333 fg 84.79 32.14<br />
California 3.9900 a 20.417 de 2.2700 gh 4.0833 g 56.89 34.43<br />
Dari tabel 2, terlihat bahwa pertumbuhan generatif jumlah bunga dan jumlah buah tidak<br />
menunjukkan perbedaan yang nyata antar varietas yang ditanaman di KP Kliran maupun Brsatagi,<br />
akan tetapi perbedaan lokasi dan ketinggian menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada varietas<br />
stroberi yang ditanam di dua lokasi, varietas Rosalinda di KP Brastagi menunjukkan jumlah bunga<br />
dan jumlah buah tertinggi (28.250 : 9.000). Perbedaan antara jumlah bunga menjadi buah di KP<br />
Kliran menunjukkan persentase yang tinggi, berkisar 56% - 85% dari semua varietas yang ditanam,<br />
sedang di KP Brastagi persentase bunga menjadi buah rendah berkisar, 18- 34%. Hal ini dididuga<br />
karena perbedaan topagarafi (KP Kliran merupakan dataran tinggi kering dan KP Brastagi merupakan<br />
dataran tinggi basah) sehingga di KP brastagi polinasi stroberi terganggu karena sering turun hujan<br />
(tabel 3) dan akibatnya persentase bunga menjadi bunga rendah hal ini sependapat dengan (DN.<br />
Siagian, 2011) yang menyatakan bahwa ketinggian tempat dan varietas berpengaruh nyata terhadap<br />
luas daun, bobot kering, bobot buah, jumlah buah, laju asimilasi bersih, laju tumbuh relatif, kadar gula<br />
buah, dan total asam buah, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap vitamin C.<br />
Tabel 3. Data Klimatologi KP Brastagi Selama Kegiatan Penelitian berlangsung dari<br />
bulan Appril 2009s/d Desember 2009<br />
No.<br />
April Mei Juni Juli Agust Septbr Oktobr Nopebr Rataaan<br />
1<br />
Suhu rata 2 Harian<br />
( 0 C)<br />
19,7 19,45 19,15 18,9 18,49 18,79 18,62 18,28 18,92<br />
2<br />
Rata2 CH<br />
Harian(mm)<br />
8,9 5,19 1,93 1,61 2,77 4,73 10,29 12,4 4,78<br />
3<br />
4<br />
Penyinaran<br />
Rata2 (%)<br />
Kelembaban<br />
Nisbi (%)<br />
46,83 57,58 60,7 54,29 31,37 42,54 35,66 46,99<br />
86,32 84,63 85,11 85,22 87,59 88,31 89,20 90,57 87,12<br />
36│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Evaluasi Daya Hasil 4 Varietas Stroberi pada Dua Ketinggian yang Berbeda<br />
Emi budiyati 1 , Zainuri Hanif 1 , Oka Ardiana Banaty 1 dan Agustina.M 2<br />
Tabel 4. Keragaan Generatif ( panjamg buah, diameter buah dan bobot buah ) 4 varietas<br />
stroberi yang ditanam di dua ketinggian yang berbeda( KP Tlekung 950 m dpl danBrastagi<br />
1340 m dpl)<br />
Varietas Panjang buah (cm) Diameter Buah (Cm) Bobot Buah (gram)<br />
Kliran Brastagi Kliran Brastagi Kliran Brastagi<br />
Dorit 2.2833 b 3.3567 b 2.3933 a 2.7833 c 8.507 abc 11.053 ab<br />
Rosalinda 2.2133 b 3.7067 a 2.0900 a 3.1733 a 8.067 bc 14.580 a<br />
Sweet Carlie 2.6400 ab 3.5367 ab 2.6667 a 2.6433 c 11.350 a 10.677 bc<br />
California 2.6133 b 2.4500 c 2.3200 a 2.3767 cd 9.890 c 6.567 c<br />
Tabel 4, menunjukkan bahwa panjang dan diameter buah serta bobot buah stroberi yang<br />
ditanam di dua lokasi menunjukkan perbedaan yang nyata, akan tetapi secara terpisah 4 varietas yang<br />
ditanam di KP Kliran tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, sedang 4 varietas yang ditanam di<br />
KP Brastagi menunjukkan perbedaan yang nyata, varietas Rosalinda menunjukkan panjang, diameter<br />
dan bobot buah tertinggi dibanding varietas lainnya dan ini sesuai hasil penelitian (DN. Siagian,<br />
2011) yang menyatakan bahwa ketinggian tempat dan varietas berpengaruh nyata terhadap luas daun,<br />
bobot kering, bobot buah, jumlah buah, laju asimilasi bersih, laju tumbuh relatif, kadar gula buah, dan<br />
total asam buah, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap vitamin C.<br />
Tabel 5. Analisa kimia buah 4 varietas stroberi yang ditanam ( KP Tlekung 950 m dpl danBrastagi<br />
1340 m dpl)<br />
Brix (% sukrosa) ml juice/100 gram<br />
buah segar<br />
% Total asam/mg<br />
buah segar<br />
Vit C/g buah<br />
segar<br />
Perlakuan Kliran Brastagi Kliran Brastagi Kliran Brastagi Kliran Brastagi<br />
Dorit 5.4 6.9 50 38,00 1.8 1.8 1.8 1.6<br />
Rosalinda 5.0 5.4 66 49,20 1.6 1.5 1.6 2.0<br />
Sweet Carlie - 8.06 - 50,64 - 1.86 - 2.39<br />
California 4.4 7.8 70 46,00 2.1 1.61 2.3 2.04<br />
Pada Tabel 5, hasil analis kimia kualitas buah 4 varietas stroberi yang ditanam di KP Kliran<br />
(ketinggian 950 mdpl), menunjukkan kadar gula yang kurang optimal, akan tetapi kandungan juice<br />
tinggi dibanding buah yang ditanam di KP Brastagi (ketinggian 1340 m dpl). Sedang total asam dan<br />
kandungan vitamin C di dua lokasi tidak banyak perbedaan Pelayo-Zaldívar et al (1997)<br />
menunjukkan korelasi antara kualitas keseluruhan beberapa kultivar California dan gula / rasio asam<br />
dalam buah.<br />
Menurut Jackson dan Looney (1999) ada beberapa macam asam dalam buah, 3 yang paling umum<br />
yaitu asam malat, sitrat dan tartarat. Asam sitrat merupakan asam utama yang ditemukan pada stroberi<br />
(Wang and Camp, 2000). Perlakuan lingkungan tumbuh dan aksesi tidak berpengaruh terhadap<br />
kandungan TAT buah. Menurut Wang and Camp (2000) dan Moing et al. (2001) akumulasi<br />
kandungan PTT pada stroberi sangat dipengaruhi oleh jenis kultivar. Kandungan TAT buah<br />
menentukan rasa pada buah. Kandungan TAT tinggi menyebabkan buah menjadi asam dan<br />
sebaliknya.<br />
KESIMPULAN<br />
Ketinggian tempat berpengaruh nyata pada produksi maupun kualitas 4 varietas stroberi (Dorit,<br />
Sweet Carlie, Rosalinda dan California). Di KP Brastagi dengan ketinggian (1340 mdpl) varietas<br />
Rosalinda menunjukkan produksi yang tinggi dan di KP Kliran dengan ketinggian ( 950 mdpl),<br />
varietas Sweet Carlie menunjukkan hasil yang tinggi, akan tetapi secara umum produktivitas 4<br />
varietas stroberi yang ditanam di KP Brastagi menunjukkan pertumbuhan yang optimal.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│37
Evaluasi Daya Hasil 4 Varietas Stroberi pada Dua Ketinggian yang Berbeda<br />
Emi budiyati 1 , Zainuri Hanif 1 , Oka Ardiana Banaty 1 dan Agustina.M 2<br />
PUSTAKA<br />
1. Ashari, S. 1995. <strong>Hortikultura</strong> Aspek Budidaya. Universitas Indonesia Press.Jakarta.<br />
2. Budiman, S. Dan D. Saraswati. 2002. Berkebun Stroberi Secara Komersial. Penebar Swadaya,<br />
Jakarta.<br />
3. Donna Novita Siagihan, 2011. Pertumbuhan Dan Produksi Beberapa Varietas Strober (Fragaria<br />
Chiloensis L.) Pada Ketinggian Tempat Yang Berbeda Tesis S2 Agoteknologi. Universitas<br />
Sumatra Utara<br />
4. Budiman, S. dan Desi S. 2006. Berkebun Stroberi Secara Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta.<br />
107 hal.<br />
5. Hancock, JF. 1999. Strawberryes. Crop Production Science In <strong>Hortikultura</strong> <strong>Departemen</strong>t of<br />
Horticulture Michingan State University East Lansing Michigan USA Lokakarya<br />
<strong>Hortikultura</strong>.Puslitbangtan. Bogor. Hal: 64-68<br />
6. Jacson, D. And N. E. Looney. 1999. Temperate and Subtropical Fruit Production 2nd Edition.<br />
CABI Publishing. Canada.<br />
7. Moing, A. and C. Renaud. 2001. Biochemical Changes During Fruit Development of Four<br />
Strawberry Cultivars. J. Amer. Hort. Sci. 126 (4) : 394-403.<br />
8. Novianti, E. 2004. Pengaruh Lingkungan Tumbuh yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan<br />
Kualitas Stroberi (Fragaria ananassa Duch.) Secara Hidroponik. Skripsi. <strong>Departemen</strong> Budidaya<br />
<strong>Pertanian</strong>. Faperta. IPB. Bogor. 30 hal<br />
9. Onny Untung. 1999. Stroberi Pagi di Bali Sore di Jakarta. Trubus no. 350 hal. 52- 53.<br />
10. Rukmana, R. 1998. Stroberi Budi Daya dan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. 79 hal.<br />
38│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Induksi Pembentukan Embrio Somatik dan Multiplikasi Tunas Salak Secara Kultur In Vitro<br />
Triatminingsih, R, Joni, YZ, Irawati, Y dan Sadwiyanti, L<br />
Induksi Pembentukan Embrio Somatik dan Multiplikasi Tunas Salak Secara Kultur<br />
In Vitro<br />
Triatminingsih, R, Joni, YZ, Irawati, Y dan Sadwiyanti, L<br />
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jl. Raya Solok-Aripan Km. 8, Solok 27301<br />
ABSTRAK. Embrio Somatik adalah struktur bipolar yang bebas dan secara fisik tidak menempel pada jaringan<br />
asal eksplan/jaringan awal. Tahapan pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman melalui jalur embriogenesis<br />
somatik terdiri dari 5, yaitu tahap pemantapan dan inisiasi kalus embriogenik, induksi pembentukan embrio<br />
somatik, pematangan embrio somatik, perkecambahan embrio somatik dan pembentukan plantlet. Penelitian<br />
tahap pembentukan embrio somatik dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman<br />
Buah Tropika, pada Bulan Maret sampai dengan Desember 2011. Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh<br />
media yang sesuai untuk inisiasi dan proliferasi kalus embrio somatik salak kultivar unggul. Hasil penelitian<br />
menunjukkan bahwa persentase kalus terbanyak terjadi pada media SR3 (MS+15 ppm 2,4-D + 0,1 ppm KIN). Saat<br />
terbentuk kalus adalah 5 minggu setelah tanam. Proliferasi kalus terjadi pada media SR3 (MS+15 ppm 2,4-D + 0,1<br />
ppm KIN), 5 minggu setelah subkultur.<br />
Katakunci: Salak; In vitro; Induksi; Embrio somatik; Multiplikasi<br />
ABSTRACT. Somatic embryogenesis produce structures such as embryos from somatic tissue which called<br />
somatic embryos. Somatic embryos are bipolar structures which are free and are not physically attached to the<br />
original explants. There are 5 stages of plant tissue culture techniques through somatic embryogenesis, (1)<br />
stabilization and initiation of embryogenic callus, (2) induction of somatic embryo formation, (3) maturation of<br />
somatic embryos, (4) somatic embryo germination and (5) plantlet formation. Somatic embryo formation stage<br />
was conducted in a laboratory tissue culture Indonesian Tropical Fruit Research Institute, in March to December<br />
2011. The aim of this study is to obtain the appropriate media for somatic embryo induction superior cultivars.<br />
The results showed that the highest percentage of callus occurred in medium SR3 (MS +15 ppm 2,4-D + 0.1<br />
ppm KIN). When formed callus was 5 weeks after planting. Callus proliferation occurred in medium SR3 (MS<br />
+15 ppm 2,4-D + 0.1 ppm KIN), 5 weeks after subculture.<br />
Keywords: Snakefruit, in vitro, induction, somatic embryo, multiplication<br />
Salak merupakan salah satu buah tropika yang populer di Asia. Pada umumnya perbanyakan<br />
salak dilakukan menggunakan tunas anakan. Penyediaan bibit menggunakan cara ini terkendala oleh<br />
ketersediaan jumlah tunas yang dihasilkan. Teknologi perbanyakan klonal melalui teknik kultur<br />
jaringan mempunyai potensi untuk mengatasi ketersediaan bibit karena diperoleh bibit yang seragam<br />
dan bermutu dalam skala massal (Oktavia et al. 2003, Riyadi et al. 2005, Thengane et al. 2006).<br />
Embriogenesis somatik adalah teknik memproduksi struktur seperti embrio dari jaringan somatik,<br />
yang disebut embrio somatik. Embrio Somatik adalah struktur bipolar yang bebas dan secara fisik<br />
tidak menempel pada jaringan asal eksplan/jaringan awal. Embrio-embrio ini selanjutnya berkembang<br />
dan berkecambah menjadi plantlet melalui beberapa kejadian yang mirip seperti yang terjadi pada<br />
embrio zygotik.<br />
Keberhasilan teknik embriogenesis somatik dipengaruhi oleh eksplan/ jaringan yang digunakan<br />
serta komposisi media (Gamborg & Shyluk 1981, Oktavia et al. 2003, Saptowo et al. 2004,<br />
Sumaryono et al. 2007, Kasi & Sumaryono 2008). Media kultur eksplan salak untuk inisiasi dan<br />
prolifersi kalus diperoleh pada media MS yang telah dimodifikasi ditambah dengan 3 dan 5 mg/l 2,4-<br />
D, 100 mg/l air kelapa yang dikombinasikan dengan 0,1 mg/l BAP atau 0,1 mg/l KIN (Triatminingsih<br />
et al. 2010).<br />
Kelompok ZPT yang sering digunakan dalam teknik kultur jaringan ialah dari kelompok auksin<br />
dan sitokinin (Triatminingsih et al. 2003, Priyono 2004, Riyadi & Tirtoboma 2004, Sumaryono et al.<br />
2007). Konsentrasi auksin dan sitokinin yang optimum untuk pertumbuhan berbeda dari satu spesies<br />
dengan spesies yang lain. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa 2,4-D merupakan auksin<br />
yang mempunyai daya aktivitas kuat, disamping itu merupakan auksin yang efektif untuk induksi<br />
kalus embriogenik dalam sistem regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik (Purnamaningsih<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│39
Induksi Pembentukan Embrio Somatik dan Multiplikasi Tunas Salak Secara Kultur In Vitro<br />
Triatminingsih, R, Joni, YZ, Irawati, Y dan Sadwiyanti, L<br />
2002, Priyono 2004). Konsentrasi 2,4-D yang optimum berbeda-beda pada setiap spesies/jenis<br />
tanamannya (Fitch & Manshardt 1990, Sri Mariani et al. 2003, Riyadi & Tirtoboma 2004).<br />
Sukrosa mempunyai dua kepentingan sekaligus yaitu sebagai stimulan tekanan osmotik dalam<br />
proses morphogenesis dan sebagai sumber karbon. Sukrosa sebanyak 50% ternyata dapat<br />
memperbaiki produksi embrio somatik Palm (Alkhateeb 2006).<br />
Teknik embriogenesis somatik telah banyak dilakukan pada tanaman buah, seperti tanaman<br />
pisang (Escalant et al. 1994), pepaya (Litz 1996, Monmarson et al. 1995), melon (Kintzios & Taravira<br />
1997), anggur (Ezura & Kennedy 2004) . Riyadi et al. (2005) menggunakan media yang mengandung<br />
5 mg/l 2,4-D ditambah 0,1 mg/l KIN untuk menginduksi embrio somatik sagu. Saptowo et al. (2004),<br />
menggunakan Picloram 5 mg/l pada kultur embrio zygotik salak untuk memacu pembentukan kalus<br />
remah.<br />
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mendapatkan media yang<br />
sesuai untuk induksi embrio somatik salak dan multiplikasi tunas salak secara in vitro.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Buah<br />
Tropika (Balitbu Tropika). Tanaman sumber eksplan yang digunakan ialah tanaman salak calon varietas<br />
unggul (PHSB). Eksplan yang digunakan ialah pucuk tunas anakan dari kebun Salak Balitbu Tropika.<br />
Tahapan Penelitian adalah sebagai berikut:<br />
Inisiasi dan Proliferasi Materi Kalus<br />
Eksplan tunas pucuk dari anakan salak yang masih muda dikulturkan pada media pemantapan<br />
selama 2-3 minggu. Selanjutnya eksplan yang segar dan bebas kontaminan disubkultur ke media insiasiproliferasi<br />
kalus, media dasar MS yang modifikasi dengan perlakuan sebagai berikut:<br />
a. SR1 = 5 ppm 2,4-D + 0,1 ppm KIN<br />
b. SR2 = 10 ppm 2,4-D + 0,1 ppm KIN<br />
c. SR3 = 15 mg/l 2,4-D + 0,1 ppm KIN<br />
d. SR4 = 5 ppm 2,4-D + 0,1 ppm BAP<br />
e. SR5 = 10 ppm 2,4-D + 0,1 ppm BAP<br />
f. SR6 = 15 mg/l 2,4-D 0,1 ppm BAP<br />
Media SR ini menggunakan sukrosa 50 g/l dan gelrite 2 g/l. Kultur ditempatkan diruangan tanpa<br />
cahaya selama kurang lebih 3 bulan.<br />
Multiplikasi Tunas<br />
Selain perbanyakan melalui teknik embriogenesis somatik juga dilakukan multiplikasi tunas<br />
dengan menggunakan media SM dengan perlakuan:<br />
a. SM 1 = WPM + 5 ppm BAP<br />
b. SM 2 = WPM + 7 ppm BAP<br />
c. SM 3 = WPM + 5 ppm BAP + 0,5 ppm NAA<br />
d. SM 4 = WPM + 7 ppm BAP + 0,5 ppm NAA<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Persiapan Materi Kalus Embriogenik<br />
Hasil subkultur pada media proliferasi dan dari hasil pengamatan menunjukan bahwa telah<br />
terbentuk kalus pada media SR1-SR6 dengan persentase eksplan berkalus yang berbeda-beda.<br />
Kemampuan morfogenesis berhubungan dengan tempat sel-sel yang berkompeten. Kemudian dengan<br />
rangsangan ZPT yang tepat maka sel-sel yang berkompeten tersebut akan beregenerasi (Gunawan<br />
1992 dalam Oktavia et al. 2003).<br />
Konsentrasi auksin dan sitokinin yang optimum untuk pertumbuhan sel atau jaringan berbeda<br />
dari satu spesies dengan spesies yang lain. Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa 2,4-D<br />
merupakan auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat disamping itu merupakan auksin yang efektif<br />
untuk induksi kalus embriogenik dalam sistem regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik<br />
(Purnamaningsih 2002, Priyono 2004), sedang konsentrasi yang optimum berbeda-beda pada setiap<br />
spesies/ jenis tanamannya (Sri Mariani et al. 2003, Riyadi dan Tirtoboma 2004). Bahkan menurut<br />
40│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Induksi Pembentukan Embrio Somatik dan Multiplikasi Tunas Salak Secara Kultur In Vitro<br />
Triatminingsih, R, Joni, YZ, Irawati, Y dan Sadwiyanti, L<br />
Monmarson et al. (1995) konsentrasi 2,4-D yang terlalu tinggi pada awal kultur pepaya dapat<br />
mengurangi pembentukan kalus dan menghambat pembentukan embriogenik.<br />
Tabel 1: Persentase eksplan berkalus (EB), eksplan merekah (EM) dan waktu mulai berkalus (WB)<br />
Perlakuan media SR<br />
Salak Pondoh<br />
Salak PHSB<br />
EB (%) EM (%) WB (hari) EB (%) EM (%) WB (hari)<br />
5 ppm 2,4-D + 0,1 ppm KIN 13 19 35 40 0 27<br />
10 ppm 2,4-D + 0,1 ppm KIN 6 26 35 50 27<br />
15 ppm 2,4-D + 0,1 ppm KIN 56 6 35 0 100 -<br />
5 ppm 2,4-D + 0,1 ppm BAP 26 19 35 0 50 -<br />
10 ppm 2,4-D + 0,1 ppm BAP 6 0 35 0 100 -<br />
15 ppm 2,4-D + 0,1 ppm BAP 31 1 35 20 40 27<br />
Persentase eksplan yang berkalus terbanyak (56%) terjadi pada media yang mengandung 15<br />
ppm 2.4-D+ 1 ppm KIN (Tabel 1).<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 1. (a) Eksplan salak yang ditanam pada media pemantapan pada umur 1 minggu setelah<br />
kultur (b) Kalus yang terbentuk pada media SR<br />
Kalus-kalus yang terbentuk tersebut disubkutur ke media pembentukan kalus embriogenik<br />
(kalus berbentuk bulat-bulat, nodular). Apabila sudah terbentuk kalus yang embriogenik maka segera<br />
disubkultur ke media induksi pembentukan embrio-somatik. Pada Gambar 1 (a) dapat dilihat eksplan<br />
yang sudah mulai merekah dan pada Gambar 1 (b) dapat dilihat eksplan yang sudah mulai membentuk<br />
kalus.<br />
Multiplikasi Tunas<br />
Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi multiplikasi tunas, namun persentase eksplan yang<br />
bermultiplikasi bervariasi seperti yang terlihat pada Tabel 2. Jumlah eksplan yang bertunas terbanyak<br />
(80 %) terjadi pada media WPM + 5 ppm BAP + 0,5 ppm NAA dan yang terendah (50%) terjadi pada<br />
media WPM + 5 ppm BAP tanpa NAA. Sedangkan jumlah tunas terbanyak terjadi pada media WPM<br />
+ 7 ppm BAP + 0,5 ppm NAA. Terlihat bahwa penambahan konsentasi sitokinin (BAP) tidak<br />
meningkatkan pembentukan jumlah tunas salak, namun apabila dikombinasikan dengan NAA<br />
(auksin) maka terjadi peningkatan jumlah tunas sebesar 2,5 kalinya. Hal ini menunjukan bahwa untuk<br />
multiplikasi tunas diperlukan keseimbangan konsentrasi sitokinin dan auksin.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│41
Induksi Pembentukan Embrio Somatik dan Multiplikasi Tunas Salak Secara Kultur In Vitro<br />
Triatminingsih, R, Joni, YZ, Irawati, Y dan Sadwiyanti, L<br />
Tabel 2. Multiplikasi tunas salak pada media dasar WPM yang diperkaya dengan NAA dan BAP, 6<br />
bulan setelah kultur<br />
WPM+ 5 ppm BAP<br />
WPM + 7 ppm BAP<br />
Perlakuan media<br />
WPM+ 5 ppm BAP+0.5 ppm NAA<br />
WPM + 7 ppm BAP+ 0.5 ppm NAA<br />
Respon eksplan<br />
eksplan membengkak<br />
75%, berkalus 25%<br />
eksplan membengkak<br />
100%, berkalus 33%<br />
eksplan membengkak<br />
60%, berkalus 20%<br />
eksplan membengkak<br />
100%, berkalus 25%<br />
Jumlah eksplan<br />
bertunas, (%)<br />
Jumlah tunas per<br />
eksplan<br />
50 4<br />
67 2<br />
80 1.75<br />
75 4.33<br />
Gambar 2. Multiplikasi tunas pada media WPM + 7 ppm BAP + 0,5 ppm NAA<br />
KESIMPULAN<br />
1. Persentasetase kalus terbanyak terjadi pada media SR3 (MS+15 ppm 2,4-D + 0,1 ppm KIN). Saat<br />
terbentuk kalus adalah 5 minnggu setelah tanam.<br />
2. Terjadi multiplikasi tunas embrio zygotik, terbanyak terjadi pada media WPM + 7 ppm BAP + 0.5<br />
ppm NAA.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Terima kasih dan penghargaan yang tinggi kami ucapkan kepada intansi terkait, Badan<br />
Litbang <strong>Pertanian</strong>, Puslitbang <strong>Hortikultura</strong>, Dewan Riset Nasional, serta Sdri. Ida Fitrianingsih, Sdri.<br />
Mihartati dan teman-teman administrasi atas kerjasama yang baik selama ini.<br />
PUSTAKA<br />
1. Alkhateeb, AA 2006, ‘Somatic embryogenesis in date plant (Phoenix dactylifera L.) cv Sukary in<br />
respon to sucrose and polyethylene glycol’, Biotechnology, vol. 5, no. 4, pp. 446-70.<br />
2. Escalant, JV, Teisson, C, Grapin, A, & Cote, F 1994, ‘Somatic embryogenesis of banana and plantain<br />
from young flowers’, Infomusa, vol. 3, no. 2, pp. 4-6.<br />
3. Ezura, H & Kennedy, Y 2004, Somatic embryogenesis in a model cultivar, PI 161375 (Cucumis melo<br />
subsp. agrestis), of melon, Proceedings of Cucurbitaceae 2004 (Ed.: Lebeda, A., Paris, H. S.), the 8th<br />
EUCARPIA Meeting on Cucurbit Genetics and Breeding, Olomouc, Czech Republic, 12-17 July 2004.<br />
4. Fitch, MMM &Manshardt, RM 1990, ‘Somatic embryogenesis and plant regeneration from immature<br />
zygotic embryos of papaya (Carica papaya L.’, Plant Cell Report, vol. 9, pp. 320-24.<br />
5. Gamborg ,OG & Shyluk, JP 1981, Nutrition media and characteristic of plant cell and tissue culture, in<br />
Thorpe, TA (Ed.), Plant tissue culture: Method and application in agriculture, Academic press, New<br />
York.<br />
6. Kasi, PD & Sumaryono 2008, ’Perkembangan kalus embriogenik sagu (Metraxylon sagu Rottb)<br />
42│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Induksi Pembentukan Embrio Somatik dan Multiplikasi Tunas Salak Secara Kultur In Vitro<br />
Triatminingsih, R, Joni, YZ, Irawati, Y dan Sadwiyanti, L<br />
pada tiga sistem kultur in vitro’, Menara Perkebunan, vol. 76, no. 1, hlm. 1-10.<br />
7. Kintzio, SE & Taravira, N 1997, ‘Effect of genotype and light intensity on somatic embryogenesis<br />
and plant regeneration in melon(CucumismeloL.)’, Plant Breeding, vol. 116, no. 4, pp. 359-62.<br />
8. Litz, RE 1996, ‘Effect of osmotic stress on Somatic embryogenesis in Carica suspension cultures’, J.<br />
Amer. Soc. Hort.Sci, vol. 11, no. 6, hlm. 969-72.<br />
9. Monmarson, S, Michiauk-Ferriere, N, & Teisson, C 1995, ‘Production of high frequency<br />
embryogenic calli from integuments of immature seeds of Carica papaya L’, J. of Horticultural<br />
Science, vol. 70, no. 1, pp. 57-64.<br />
10. Oktavia, F, Siswanto, Budiani, A & Sudarsono 2003, ‘Embriogenesis somatik langsung dan<br />
regenerasi plantlet kopi arabika (Coffea arabica) dari berbagai eksplan’, Menara Perkebunan,<br />
vol. 71, no. 2, hlm. 44-55.<br />
11. Priyono 2004, ‘Kultur in vitro daun kopi untuk mengetahui kemampuan embriogenesis somatik<br />
beberapa spesies kopi’, Pelita Perkebunan, vol. 20, no. 3, hlm. 110-22.<br />
12. Purnamaningsih, R 2002, ‘Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dan beberapa gen<br />
yang mengendalikan’, Buletin Agro Bio, vol. 5, no. 2, hlm. 51-8.<br />
13. Riyadi, I & Tirtoboma 2004, ‘Pengaruh 2,4-D terhadap induksi embrio somatik kopi Arabika’,<br />
Buletin Plasma Nutfah, vol. 10, no. 2, hlm. 82-9.<br />
14. Riyadi, I, Tahardi, JS, & Sumaryono 2005, ‘Perkembangan embrio somatik tanaman sagu<br />
(Metroxylon sagu Rottb.) pada medium padat’, Menara Perkebunan, vol. 73, no. 2, hlm. 35-43.<br />
15. Saptowo, JP, Mariska, I, Lestari, EG & Slamet 2004, ‘Regenerasi tanaman dan tranformasi<br />
genetik salak Pondoh untuk rekayasa buah partenokarpi, J. Bioteknol. <strong>Pertanian</strong>, vol. 9, no. 2,<br />
hlm. 49-55.<br />
16. Sri Mariani, T, Miyake, H, Esyanti, RR & Nurwendah, I 2003, ’Effect of 2,4-D on somatic<br />
embryogenesis and surface structural changes in garlic (Allium sativum L.) cv Lumbu Hijau’,<br />
Jurnal Matematika dan Sains, vol. , no. 4, hlm. 133-39.<br />
17. Sumaryono, Riyadi , I, Kasi, PD & Ginting, G 2007, ‘Pertumbuhan dan perkembangan kalus<br />
embriogenik dan embrio somatik kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacg.) pada sistem perendaman<br />
sesaat’, Menara Perkebuna, vol. 75, no. 1, hlm. 32-42.<br />
18. Thengane, SR, Deodhar, SR, Bhosle, SV & Rawal, SK 2006, ‘Direct somatic embryogenesis and<br />
plant regeneration in Garcinia indica Choiss. Current science’, vol. 91, no. 8, 1074-78.<br />
19. Triatminingsih, R, Karsinah, Makful, Sucianik, & Sukarmin 2003, ’Kultur in vitro batang bawah<br />
jeruk pada media dasar Murashige and Skoog dengan penambahan BAP dan NAA’, J. Ilmu<br />
<strong>Pertanian</strong> Farming, vol. 1, no. 3, hlm. 87-93.<br />
20. Triatminingsih, R, Joni, YZ, Oktriana, L & Edison, HS 2010, Media Inisiasi dan proliferasi kalus<br />
salak secara kultur in vitro, Laporan Hasil Penelitian Kerjasama RIT.(belum dipublikasi).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│43
Pemberian BAP, Kinetin dan 2-iP pada Media Kultur Jaringan untuk Inisiasi Embrio Somatik Durian<br />
Triatminingsih, R, Joni, YZ dan Riska<br />
Pemberian BAP, Kinetin dan 2-iP pada Media Kultur Jaringan<br />
untuk Inisiasi Embrio Somatik Durian<br />
Triatminingsih, R, Joni, YZ dan Riska<br />
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Jl.Raya Solok-Aripan Km.8, Solok, Sumatera Barat<br />
ABSTRAK. Bibit bermutu merupakan modal awal yang harus diperhatikan dalam mendukung keberhasilan<br />
suatu agrobisnis dan peningkatan produktivitas tanaman. Embrio Somatik adalah struktur bipolar yang bebas<br />
dan secara phisik tidak menempel pada jaringan asal atau jaringan awal. Embrio-embrio ini selanjutnya<br />
berkembang dan berkecambah menjadi plantlet melalui beberapa kejadian yang mirip seperti yang terjadi pada<br />
embrio zygotik. Keberhasilan teknologi embriogenesis somatik dipengaruhi antara lain oleh eksplan yang<br />
digunakan dan komposisi media. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Buah<br />
Tropika, meliputi kegiatan Induksi kalus embriogenik eksplan durian. Selanjutnya menginduksi pro-embrio dan<br />
mengekspresikan bipolarnya. Tujuan penelitian ialah menetapkan komposisi media yang cocok untuk<br />
pembentukan embrio somatik. Hasil penelitian menunjukan bahwa 1) hormon BAP, Kinetin dan 2-iP dapat<br />
menginduksi pembentukan embrio somatik durian, 2) media yang cocok untuk menginduksi kalus nodular (proembrio)<br />
Durian adalah DB2: MM + 0,05 ppm 2,4-D + 0,1 ppm Kinetin + Vit. Biotin dan DB3: MM + 0,1 ppm<br />
2,4-D + 0,1 ppm BAP + Vit. Biotin.<br />
Katakunci: Durian; 2,4-D; BAP; Kinetin; 2-iP; Kalus; Embrio<br />
ABSTRACT. Triatminingsih, R, Joni, YZ and Riska 2013. Giving Hormons BAP, Kinetin and 2-iP on<br />
The Tissue Culture Media for The Initiation of Somatic Embryos Durian. Quality seedlings is the initial<br />
capital must be considered in supporting the success of an agro-business and increase crop productivity. Somatic<br />
embryos are bipolar structures which are free and are not physically attached to the original tissue or to the<br />
initial explant. Embryos grown and germinated into plantlets through several similar insidence was occurred in<br />
the embryo as zygotik. The success of somatic embryogenesis technology is influenced among others by the<br />
explant used and the composition of the media. Research was conducted at the Laboratory Indonesian Tropical<br />
Fruit Research Institute, activities include induction of embryogenic callus explant durian. Furthermore,<br />
inducing pro-embryo and express bipolar. The purpose of this study was to obtain the suitable media for<br />
production of somatic embryos. The results showed that 1). Hormones BAP, Kinetin and 2-iP can induce the<br />
formation of somatic embryos durian. 2) Suitable medium to induce nodular callus (pro-embryo) Durian is<br />
DB2: MM + 2.4-D 0:05 ppm +0.1 ppm Kinetin + Vit. Biotin and DB3: MM +0.1 ppm 2.4-D + 0.1ppm BAP +<br />
Vit. Biotin.<br />
Keywords: Durian; 2.4-D; BAP; Kinetin; 2-iP; Callus; Embryo<br />
Perakitan varietas baru dan peningkatan produktivitas tanaman merupakan langkah nyata<br />
untuk dapat meningkatkan kinerja produksi pangan. Kedua langkah tersebut perlu didukung dengan<br />
teknologi penyediaan bibit bermutu yang dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak dan<br />
seragam. Bibit bermutu merupakan modal awal yang harus diperhatikan dalam mendukung<br />
keberhasilan suatu agrobisnis dan peningkatan produktivitas tanaman. Embriogenesis somatik adalah<br />
salah satu sistem regenerasi dari teknik kultur jaringan yang dapat menghasikan bibit bermutu dalam<br />
jumlah yang banyak dan seragam. Sistem regenerasi tanaman melalui teknik kultur jaringan dapat<br />
dilakukan melalui sistem embriogenesis somatik atau melalui sistem organogenesis. Embriogenesis<br />
somatik adalah proses berkembangnya sel sel tubuh (soma) menjadi embrio. Embriogenesis somatik<br />
memproduksi struktur seperti embrio dari jaringan somatik yang disebut embrio somatik. Embrio<br />
somatik adalah struktur bipolar yang bebas dan secara fisik tidak menempel pada jaringan asal<br />
eksplan/jaringan awal.<br />
Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan faktor pembatas untuk keberhasilan diferensiasi<br />
pertumbuhan dari kultur jaringan tanaman. Kelompok ZPT yang sering digunakan dalam teknik kultur<br />
jaringan ialah dari kelompok auksin (2,4-D, IAA, NAA) dan sitokinik (BAP, Kinetin, 2-iP) (Priyono<br />
2004, Riyadi & Tirtiboma 2004, Sumaryono at al. 2007). Jenis dan konsentrasi hormon eksogen dapat<br />
menyebabkan perubahan konsentrasi hormon endogen sehingga tercapai keseimbangan relatif untuk<br />
induksi kalus embriogenik tersebut (Utami et al. 2007). Ketika kalus-kalus ditransfer ke media yang<br />
44│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pemberian BAP, Kinetin dan 2-iP pada Media Kultur Jaringan untuk Inisiasi Embrio Somatik Durian<br />
Triatminingsih, R, Joni, YZ dan Riska<br />
mengandung auksin rendah maka akan terjadi bermunculan pro-embryo yang ditandai dengan<br />
berkembangnya pro-embryo menjadi bipolar (Dixon 1985).<br />
Zat pengatur tumbuh 2,4-D merupakan auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat dan<br />
merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik dalam sistem regenerasi tanaman<br />
melalui embriogenesis somatik (Purnamaningsih 2002, Priyono 2004). Konsentrasi yang optimum<br />
berbeda-beda pada setiap spesies/jenis tanamannya (Sri Mariani at al. 2003, Riyadi & Tirtoboma<br />
2004). Menurut Monmarson et al. (1995) konsentrasi 2,4-D yang terlalu tinggi pada awal kultur<br />
pepaya dapat mengurangi pembentukan kalus dan menghambat pembentukan embriogenik.<br />
Pembentukan dan proliferasi kalus terjadi akibat kontribusi kombinasi zat pengatur tumbuh BAP<br />
dengan 2,4-D yang seimbang untuk pembelahan sel (Rianawati et al. 2009). Disamping itu<br />
keberhasilan teknik somatik embryogenesis dipengaruhi antara lain oleh eksplan/jaringan yang<br />
digunakan dan komposisi media (Boxtel & Berthouly 1996, Oktavia at al. 2003, Sumaryono at al.<br />
2007).<br />
Sumber karbon yang biasa digunakan dalam teknik kultur jaringan ialah sukrosa. Sukrosa<br />
tersebut mempunyai 2 kepentingan sekaligus yaitu sebagai stimulan tekanan osmotik dalam proses<br />
morphogenesis dan sebagai sumber karbon (De Wald et al. 1989). Sukrosa sebanyak 30 g/l atau 60<br />
g/l memperbaiki produksi embrio somatik Palm (Alkhateeb 2006), bahkan untuk induksi<br />
embriogenesis dan stadia awal embrio somatik mangga membutuhkan sukrosa tinggi, 50-60 g/l (De<br />
Wald et al. 1989). Pemberian PEG 8000 dan perlakuan sukrosa dapat meningkatkan produksi embrio<br />
somatik Palm, yang terbaik ialah PEG 8000 sebanyak 5% + sukrosa 60 g/l (Alkhateeb 2006).<br />
Pada dasarnya semua bagian tanaman dapat diregenerasikan menjadi tanaman sempurna apabila<br />
ditumbuhkan pada media yang sesuai (Dalal et al. 1991). Namun tidak semua bagian tanaman sama<br />
mudahnya untuk diregenerasikan. Oleh karena itu perlu diketahui dan dipilih media yang sesuai dan<br />
bagian tanaman/eksplan yang mudah untuk ditumbuhkan (Lindsey &Jones 1990, Monmarson et al.<br />
1995). Kemampuan morphogenesis berhubungan dengan sel-sel yang berkompeten. Dengan<br />
rangsangan ZPT yang tepat maka sel-sel yang berkompeten tersebut kemudian akan beregenerasi<br />
(Gunawan 1992 dalam Oktavia at al. 2003).<br />
Hasil penelitian tahun 2010, kalus embriogenik durian terbentuk pada media MS + 3 mg/l 2,4-D +<br />
0,1 mg/l KIN atau MS + 3 mg/l 2,4-D + 0,1 mg/l BAP pada 6-12 minggu setelah kultur<br />
(Triatminingsih et al. 2010). Proliferasi kalus durian dapat diperoleh dengan mensubkulturkan pada<br />
media yang sama atau pada media MS + 5 mg/l 2,4-D + 0,1 mg/l KIN. Tujuan penelitian ialah<br />
menetapkan komposisi media yang cocok untuk pembentukan embrio somatik.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Bahan dan Alat<br />
Alat yang digunakan antara lain: autoclave, timbangan analitik, gelas piala, laminair air flow<br />
cabinet, erlemeyer, botol kultur cawan petri, tabung reaksi, alumunium foil, plastik wrap, pipet, kertas<br />
saring, scalpel, pinset, rak-rak kultur, mikroskop, shaker dan lain-lain. Bahan yang digunakan dalam<br />
tahap peneitian ini ialah kalus embriogenik durian.<br />
Metode Pelaksanaan Kegiatan<br />
Induksi pembentukan embrio somatik durian<br />
Materi Kalus yang telah disiapkan disubkultur ke media dasar MS yang dimodifikasi (MM),<br />
sukrosa 30 g/l , ditambah vitamin Biotin.<br />
D1B : MM + 0,1 ppm 2,4-D + 0,1 ppm Kinetin + Vit. Biotin.<br />
D2B : MM + 0,05 ppm 2,4-D + 0,1 ppm Kinetin + Vit. Biotin.<br />
D3B : MM + 0,1 ppm2,4-D + 0,1 ppm BAP + Vit. Biotin.<br />
D4B : MM + 0,05 ppm 2,4-D + 0,1 ppm BAP + Vit. Biotin.<br />
D5B : MM + 0,1 ppm 2,4-D + 3 ppm 2-iP + Vit. Biotin.<br />
D6B : MM + 0,05 ppm 2,4-D + 3 ppm 2-iP + Vit. Biotin<br />
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap, Perlakuan sebanyak 6 macam komposisi ZPT,<br />
ditambah vitamin Biotin, masing-masing diulang 5-10 botol.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│45
persentase<br />
Pemberian BAP, Kinetin dan 2-iP pada Media Kultur Jaringan untuk Inisiasi Embrio Somatik Durian<br />
Triatminingsih, R, Joni, YZ dan Riska<br />
Peubah yg diamati<br />
Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali. Pengamatan meliputi jumlah eksplan yang membentuk<br />
embrio somatik (embrio somatik yaitu struktur yang berbentuk membulat, permukaan halus), Data yang<br />
diperoleh dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif.<br />
Induksi Embrio Somatik<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil pengamatan induksi embrio pada 4 minggu setelah kultur (MSK) dan 8 MSK menunjukan<br />
bahwa semakin lama (8 MSK), persentase kalus yang berwarna coklat dan crem secara umum<br />
bertambah banyak. Dari perlakuan DB ini terlihat pertumbuhan kalus warna putih terlihat bertambah<br />
(Gambar 1). Hal itu mungkin disebabkan konsentrasi 2,4-D sebesar 0,1 ppm, masih kuat untuk<br />
memecah sel-sel. Menurut Monmarson et al. (1995) konsentrasi 2,4-D yang terlalu tinggi pada awal<br />
kultur pepaya dapat mengurangi pembentukan kalus dan menghambat pembentukan embriogenik.<br />
Pada perlakuan media induksi embrio somatik yang diperkaya dengan vitamin biotin menunjukan<br />
ada pertumbuhan kalus ke pembentukan pro-embrio. Pro-embrio terbentuk pada media DB2 (0.05 ppm<br />
2,4-D + 0,1 ppm Kinetin + Vit. Biotin) sebesar 29 % (Gambar 1.). Pro-embrio ini terdeteksi pada<br />
pengamatan minggu ke 12 setelah kultur (12 msk), sedang pada pengamatan 11 minggu setelah kultur<br />
belum terlihat pro-embrio tersebut. Pro-embrio ini akan beregenerasi menjadi embrio bila komposisi<br />
ZPT nya tepat. Rangsangan ZPT yang tepat menyebabkan sel-sel yang berkompeten tersebut akan<br />
beregenerasi (Gunawan 1992 dalam Oktavia dkk. 2003). Kalus pro-embryo tersebut berwarna putih susu<br />
dan krem berbentuk bulat-bulat nodular (Gambar 2).<br />
Persentase pro-embrio, warna kalus<br />
pada media DB, 12 msk<br />
100.0<br />
50.0<br />
0.0<br />
D1B D2B D3B D4B D5B D6B<br />
perlakuan media<br />
putih crem coklat lainnya pro EM<br />
Gambar 1. Persentase pro-embrio pada media<br />
D2B*) sebanyak 29%.<br />
Gambar 2. Kalus pro-embrio berwarna putih<br />
susu dan krem<br />
*) Keterangan:<br />
D1B : MM + 0,1 ppm 2,4-D + 0,1 ppm Kinetin + Vit. Biotin.<br />
D2B : MM + 0,05 ppm 2,4-D + 0,1 ppm Kinetin + Vit. Biotin.<br />
D3B : MM + 0,1 ppm2,4-D + 0,1 ppm BAP + Vit. Biotin.<br />
D4B : MM + 0,05 ppm 2,4-D + 0,1 ppm BAP + Vit. Biotin.<br />
D5B : MM + 0,1 ppm 2,4-D + 3 ppm 2-iP + Vit. Biotin.<br />
D6B : MM + 0,05 ppm 2,4-D + 3 ppm 2-iP + Vit. Biotin.<br />
46│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pemberian BAP, Kinetin dan 2-iP pada Media Kultur Jaringan untuk Inisiasi Embrio Somatik Durian<br />
Triatminingsih, R, Joni, YZ dan Riska<br />
Gambar 3. Embrio-somatik Durian<br />
Gambar 4. Gambar kalus embriogenik dan<br />
embrio globular, hasil pemotretan<br />
melalui mikroskopis.<br />
Jaringan yang lebih mudah membentuk kalus adalah jaringan yang sensitif terhadap perlakuan<br />
sehingga lebih resposif dan mudah diinduksi menjadi embriogenik dan mampu berkembang menjadi<br />
embrio somatik ( Utami et al. 2007)<br />
KESIMPULAN<br />
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :<br />
1. Hormon BAP, Kinetin dan 2-iP dapat menginduksi pembentukan embrio somatik durian.<br />
1. Media yang cocok untuk menginduksi kalus nodular (pro-embrio) durian ialah DB2 (MM + 0,05<br />
ppm 2,4-D + 0,1 ppm Kinetin + Vit. Biotin) dan DB3 ( MM + 0,1 ppm2,4-D + 0,1 ppm BAP + Vit.<br />
Biotin).<br />
2. Embrio muda (embrio globular) durian sudah disubkutur ke media yang sama untuk menginduksi<br />
pendewasaan.<br />
PUSTAKA<br />
1. Alkhateeb, AA 2006, ‘Somatic embryogenesis in date plant (Phoenix dactylifera L.) cv sukary in<br />
respon to sucrose and polyethylene glycol’, Biotechnol., vol. 5, no. 4, pp. 446-70.<br />
2. Dalal, MA, Sharma, BB & Sharma, HC 1991, ‘Effect of macro mineral salts modification in MS<br />
culture medium on oxidation browning in in-vitro culture of grape’, Indian J. Hort., vol. 48, no. 3,<br />
pp. 187-91.<br />
3. De Wall, SG, Litz, RE & Moore,G.A 1989, ’Optimizing somatic embryo production in mango’, J.<br />
Amer.Soc. Hort. Sci., vol. 114, no. 4, pp. 712-19.<br />
4. Dixon, RA 1985, Plant cell culture, a practical approach, Embriogenesis, organogenesis and plant<br />
regeneration, Oxford Washington DC, p. 79-105.<br />
5. George, EF & Sherrington, PD 1984, Plant propagation by tissue culture, Exegetics, Ltd. P.1-72.<br />
6. Litz, RE 1996, ‘Effect of osmotic Stress on Somatic embryogenesis in Carica suspension cultures’, J.<br />
Amer. Soc. Hort. Sci., vol. 111, no. 6, pp. 969-72.<br />
7. Monmarson, S, Michiauk-Ferriere & Teisson 1995, ‘Production of high frequency<br />
embryogenic calli from integuments of immature seeds of Carica papaya L.’, J. Hort. Sci.,vol.<br />
70, no. 1, pp. 57-64.<br />
8. Oktavia, F, Siswanto, Budiani, A & Sudarsono 2003, ‘Embriogenesis langsug dan regenerasi<br />
planlet kopi arabika (Coffea arabica) dari berbagai eksplan’, Menara Perkebunan, vol. 71, no. 2,<br />
44-55.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│47
Pemberian BAP, Kinetin dan 2-iP pada Media Kultur Jaringan untuk Inisiasi Embrio Somatik Durian<br />
Triatminingsih, R, Joni, YZ dan Riska<br />
9. Priyono 2004, ‘Kultur in vitro daun kopi untuk mengetahui kemampuan embriogenesis somatik<br />
beberapa spesies kopi’, Pelita Perkebunan, vol. 20, no. 3, hlm. 110-22.<br />
10. Purnamaningsih, R 2002, ‘Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dan beberapa gen<br />
yang mengendalikan’, Bul. Agro Bio, vol. 5, no. 2, hlm. 51-8.<br />
11. Riyadi, I & Tirtiboma 2004, ‘Pengaruh 2,4-D terhadap induksi embrio somatik kopi Arabika’,<br />
Bul. Plasma Nutfah, vol. 10, no. 2, hlm. 82-9.<br />
12. Sri Rianawati, Purwito, A, Marwoto, B, Kurniati, R & Suryanah 2009, ‘Embriogenesis Somatik<br />
dari Eksplan Daun Anggrek Phalaenopsis sp L.’, J. Agron. Indonesia, vol. 37, no. 3, 240-248.<br />
13. Sumaryono, Riyadi, I, Kasi, PD & Ginting, G 2007, ’Pertumbuhan dan perkembangan kalus<br />
embriogenik dan embrio somatik kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada sistem perendaman<br />
sesaat’, Menara Perkebunan, vol. 75, no. 1, hlm. 32-42.<br />
14. Thengane, SR, Deodhar, SR, Bhosle, SV & Rawal, SK 2006, ‘Direct somatic embryogenesis and<br />
plant regeneration in Garcinia indica Choiss’, Current science, vol. 91, no. 8, pp. 1074-78.<br />
15. Utami, ESW, Sumardi I, Taryono, Semiarti, E 2007, ’Pengaruh NAA terhadap embriogenesis<br />
somatik anggrek Bulan Phalaenopsis amabilis (L.) BI.’, Biodeversitas, vol. 8, no. 4, hlm. 295-99.<br />
16. Yusnida, B, Syafii,W & Sutrisna 2006, ’Pengaruh pemberian giberelin (GA3) dan air kelapa<br />
terhadap perkecambahan bahan biji anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis BL) secara in vitro’, J.<br />
Biogenesis, vol. 2, no. 2, hlm. 41-6.<br />
48│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Keragaan Dua Aksesi Rosela (Hibicus sabdariffa) di Dataran Tinggi Lembang<br />
Fajri Widati 1) dan I. M. Hidayat 1)<br />
Keragaan Dua Aksesi Rosela (Hibicus sabdariffa) di Dataran Tinggi Lembang<br />
Fajri Widati 1) dan I. M. Hidayat 1)<br />
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jalan Tangkuban Parahu No. 517 Lembang 40391,<br />
e mail : dati_san@yahoo.co.id<br />
Abstrak. Rosela (Hibiscus sabdariffa) merupakan tanaman semusim yang berasal dari benua Afrika dan dapat<br />
beradaptasi secara luas dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai<br />
tanaman sayuran dengan mengkonsumsi pucuk serta daunnya sebagai lalaban atau direbus. Kelopak bunga<br />
dapat digunakan sebagai pewarna sirup atau selai. Selain itu rosela juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan<br />
pembuatan obat. Dua aksesi rosela, rosela 1 dan rosela 2 diuji keragaannya di Kebun Percobaan Balai Penelitian<br />
Tanaman Sayuran, Lembang pada bulan Agustus 2011 hingga Maret 2012. Pengujian dilaksanakan<br />
menggunakan Rancangan Acak Kelompok, 6 ulangan, jarak tanam 70 x 50 cm dengan jumlah populasi 30<br />
tanaman per plot. Pengamatan dilakukan mengikuti pengamatan karakteristik AVRDC-GRSU, sedangkan daya<br />
hasil didasarkan pada panen pucuk hingga 5 kali panen. Hasil pengamatan terhadap karakteristik morfologi<br />
menunjukkan kedua aksesi memiliki keragaan berbeda pada karakter kebiasaan tumbuh tanaman dan warna<br />
batang. Sedangkan hasil pucuk, baik jumlah maupun bobot pucuk per tanaman dan per plot tidak berbeda nyata<br />
antara rosela 1 dan rosela 2.<br />
Kata kunci : Hibiscus sabdariffa, Rosela 1, Rosela 2<br />
Abstract. Roselle (Hibiscus sabdariffa), an annual shrub, was native of Africa and well adapted in a low and a<br />
high land. This plant could be used as a vegetable with consumed its leaves as a raw or boiled. The calyces were<br />
widely used to make syrup or jam. Beside that roselle was also used as a component for medicine. Two<br />
accessions of roselle was observe of their performance in the Research Station of IVEGRI, Lembang on August<br />
2011 till March 2012. Research was held using Randomized Complete Block Design, six replications, 70 x 50<br />
spacing, 30 plants/plot. Observation based on AVRDC-GRSU Characterization sheet, whereas the yield<br />
potential based on 5 times of shoot harvesting. The result showed that the two accessions of roselle had a<br />
different morphological characteristic on growth habit and the color of stem, whereas the number of shoot per<br />
plant, weight of shoot per plant, the number of shoot per plot and weight of shoot per plot were not significantly<br />
different.<br />
Key words : Hibiscus sabdariffa, Roselle 1, Roselle 2<br />
Hibiscus sabdariffa termasuk dalam familia Malvaceae (Kustyawati & Ramli, 2008).<br />
Tanaman ini dikenal dengan sebutan rosela, sorrel, mesta dan karkade merupakan tanaman yang<br />
terkenal di negara-negara timur tengah (Morton, 1987; Abu-Tarboush et al., 1997; Halimatul et al.<br />
2007). Rosella banyak ditemukan di negara-negara tropis seperti Malaysia, Asia Tenggara, Indonesia,<br />
Thailand dan Filiphina (Chewonarin et al, 1999; Rao, 1996; Halimatul et al. 2007). Menurut<br />
Govinden-Soulange et al. (2009), tanaman ini berasal dari Afrika.<br />
Rosela termasuk dalam tanaman semusim yang tumbuh tegak bercabang yang berbatang bulat<br />
dan berkayu. Daunnya tunggal, berbentuk bulat telur, pertulangannya menjari, letaknya berseling dan<br />
pinggiran daunnya bergerigi. Bunga bertipe tunggal, yaitu hanya terdapat satu kuntum bunga pada<br />
setiap tangkai bunga. Mahkota bunga berwarna merah sampai kuning dengan warna lebih gelap di<br />
bagian tengahnya. Tangkai sari merupakan tempat melekatnya kumpulan benang sari berukuran<br />
pendek dan tebal. Putik berbentuk tabung dan berwarna kuning atau merah. Bunga rosela bersifat<br />
hermaprodit sehingga mampu menyerbuk sendiri (Maryani, 2005; Wijayanti, 2010).<br />
Tanaman ini memiliki berbagai macam kegunaan. Daun mudanya dapat dikonsumsi sebagai<br />
bahan dasar sup (Babatunde & Mofoke, 2006). Di Sudan, daun rosela dikonsumsi saat segar maupun<br />
kering, dimasak dengan bawang dan kacang tanah. Di Malaysia daun rosela dikonsumsi setelah<br />
dimasak (Ismail et al. 2008). Dalam 100 gram daun rosela segar terkandung air 86.2% , protein 1.7 –<br />
3.2%, lemak 1.1%, serat 10%, abu 1%, kalsium 0.18%, fosfor 0.04%, dan zat besi 0.0054%<br />
(Mahadevan et al. 2009).<br />
Kelopak bunga atau kaliks dapat digunakan sebagai bahan pembuatan sirup, jelly, selai dan<br />
minuman alkohol (Babatunde & Mofoke, 2006). Di Nigeria, kaliks rosela digunakan sebagai sayuran<br />
yang diolah menjadi sup (Adanlawo & Ajibade, 2006). Rosela mengandung vitamin C tiga kali lebih<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│49
Keragaan Dua Aksesi Rosela (Hibicus sabdariffa) di Dataran Tinggi Lembang<br />
Fajri Widati 1) dan I. M. Hidayat 1)<br />
banyak daripada blackcurrant (Ribes nigrum L. ) dan sembilan kali lebih banyak dari buah jeruk<br />
(Citrus sinensis L.) (Ismail et al. 2008). Kelopak rosela memiliki rasa masam yang cukup unik. Rasa<br />
masam ini disebabkan karena komponen senyawa asam yang dominan, yaitu asam askorbat (vitamin<br />
C), asam sitrat dan asam malat. Kandungan asam askorbat dan beta karoten yang tinggi merupakan<br />
sumber antioksidan alami yang sangat efektif dalam menangkal berbagai radikal bebas penyebab<br />
kanker dan berbagai penyakit lainnya. Kaliks rosela mengandung 18 asam amino yang diperlukan<br />
oleh tubuh, termasuk arginin dan lisin yang berperan dalam peremajaan sel tubuh. Diantara banyak<br />
khasiatnya, rosela diunggulkan sebagai herba antikanker, antihipertensi dan antidiabetes (Wijayanti<br />
2010). Teh yang berasal dari ekstrak kaliks rosela dilaporkan dapat menurunkan tekanan darah<br />
sistolik sebesar 11.2% dan mengurangi tekanan darah diastolik sebesar 10.7% (Mahadevan et al.<br />
2009).<br />
Biji rosela mengandung protein 18.8 - 22.3 %, lemak 19.1 – 22.8%, serat diet 39.5 – 42.6%<br />
dan merupakan sumber mineral yang baik seperti fosfor, magnesium, kalsium, lysine dan<br />
triptophane. Minyak biji kaya akan lemak tidak jenuh sebesar 70%, dengan kandungan linoleic acid<br />
sebesar 44% (Mahadevan et al. 2009). Menurut Abu –Tarboush et al., 1997; Rao, 1996; El-Adawy<br />
and Khalil, 1994; Halimatul et al., 2007) biji rosela kaya akan protein, serat diet, karbohidrat dan<br />
lemak. Protein yang diekstraksi dari biji rosela dapat digunakan sebagai bahan suplemen untuk<br />
keperluan diet dan bahan makanan pada industri makanan.<br />
Batang tanaman rosela menghasilkan serat (Rao, 1996; Babatunde dan Mofoke, 2006).<br />
Batang rosela digunakan sebagai bahan baku industri kertas (Mahadevan et al. 2009). Dan menurut<br />
Govinden-Soulange et al. (2009), di beberapa negara bunga rosela digunakan untuk keperluan<br />
dekorasi.<br />
Mengingat pada saat ini kesadaran masyarakat akan nilai kesehatan semakin meningkat dan melihat<br />
potensi yang dimiliki tanaman rosela, terutama pada kandungan gizi dan manfaat yang terkandung<br />
dalam pucuk daun muda, kaliks serta bijinya maka tanaman ini dirasa perlu dikembangkan dan<br />
dibudidayakan di kalangan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan dan<br />
potensi hasil pucuk daun muda dua aksesi rosela di dataran tinggi Lembang, sehingga informasi ini<br />
diharapkan dapat menjadi acuan dalam upaya memperkenalkan tanaman rosela di kalangan<br />
masyarakat luas khususnya potensinya sebagai komoditas tanaman sayuran. Sedangkan hipotesis dari<br />
penelitian ini adalah kedua aksesi rosela menunjukkan keragaan yang berbeda di dataran tinggi<br />
Lembang.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang<br />
dengan ketinggian tempat 1250 m dpl pada bulan Agustus 2011 sampai Maret 2012. Bahan tanam<br />
yang digunakan merupakan dua aksesi rosela, yaitu rosela 1 dan rosela 2. Rosela 1 merupakan hasil<br />
introduksi dari AVRDC, sedangkan rosela 2 merupakan jenis lokal.<br />
Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan enam ulangan. Setiap ulangan<br />
berupa plot (bedengan bermulsa) dengan ukuran 1 m x 7.5 m (7.5 m 2 ). Dalam setiap plot terdapat 30<br />
tanaman yang ditanam dengan jarak tanam 70 cm x 50 cm. Dalam persiapan lahan, tanah dicangkul<br />
terlebih dahulu dan dibuat plot sesuai dengan ukuran. Dolomit dengan dosis 1 ton/ha disebarkan<br />
dalam plot dua minggu sebelum tanam dan disiram bila tidak ada hujan. Pupuk dasar yang diberikan<br />
berupa pupuk kandang kuda dengan dosis 30 ton/ha dan pupuk NPK 16.16.16 dengan dosis 150<br />
kg/ha. Setelah itu plot ditutup dengan mulsa hitam perak dan dilubangi sesuai dengan jarak tanam.<br />
Sebelum dipindah tanam di lapangan, biji rosela disemai terlebih dahulu dalam tray selama 3 minggu.<br />
Setelah bibit dipindah ke lapangan, pemeliharaan yang dilakukan berupa penyiraman, pengendalian<br />
terhadap gangguan hama dan penyakit, serta pemberian pupuk susulan. Pupuk susulan yang diberikan<br />
berupa NPK 16.16.16 pada saat 25 hst, 40 hst, 60 hst, 90 hst dan pupuk NPK 14.18.18 pada saat 120<br />
hst serta 150 hst dengan dosis aplikasi masing-masing 115 g/plot. Cara aplikasi pupuk susulan<br />
dilakukan dengan melarutkan pupuk terlebih dahulu dalam air kemudian dicor pada masing-masing<br />
tanaman.<br />
Pengamatan dilakukan dengan mengikuti pengamatan karakteristik AVRDC-GRSU terhadap<br />
data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif meliputi data perkecambahan, data vegetatif, data<br />
karangan bunga, data buah serta data biji. Parameter pengamatan untuk data perkecambahan meliputi<br />
50│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Keragaan Dua Aksesi Rosela (Hibicus sabdariffa) di Dataran Tinggi Lembang<br />
Fajri Widati 1) dan I. M. Hidayat 1)<br />
hari berkecambah, warna hipokotil, serta warna kotiledon. Parameter pengamatan untuk data vegetatif<br />
meliputi kebiasaan tumbuh tanaman, jumlah cabang, bulu batang, warna batang, bentuk daun, warna<br />
daun, bulu daun serta warna tangkai daun. Parameter pengamatan untuk data karangan bunga meliputi<br />
warna korola, warna merah pada dasar korola, jumlah segmen kaliks serta bentuk segmen kaliks.<br />
Parameter pengamatan untuk data buah meliputi warna buah, bulu buah, serta jumlah lokulus per<br />
buah. Sedangkan parameter pengamatan untuk data biji meliputi bentuk biji dan permukaan biji.<br />
Pengamatan kuantitatif dilakukan dengan pengukuran, yang meliputi karakter tinggi tanaman,<br />
diameter batang, panjang tangkai daun, diameter korola panjang buah, serta diameter buah. Daya<br />
hasil didasarkan pada panen pucuk muda. Panen pucuk muda dilakukan dengan memetik pucukpucuk<br />
mudanya sepanjang 20 cm kemudian dihitung jumlah pucuk dan bobot pucuk tiap tanaman<br />
sampel dan tiap plot untuk mengetahui potensi hasil pucuk per tanaman dan per plot. Panen pucuk<br />
muda dilakukan dua minggu sekali sebanyak 5 kali. Analisis data kuantitatif serta daya hasil panen<br />
pucuk muda menggunakan analisis PKBTSTAT-01.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Pengamatan terhadap keragaan dua aksesi rosela di dataran tinggi Lembang dilakukan<br />
terhadap karakter kualitatif dan kuantitatif.<br />
A. Karakter Kualitatif<br />
Karakter kualitatif adalah sifat yang secara visual dapat dibedakan sehingga mudah<br />
dikelompokkan dan biasanya dinyatakan dalam kategori. Ekspresi sifat-sifat kualitatif biasanya hanya<br />
sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hal ini karena sifat kualitatif dikendalikan oleh gen<br />
sederhana (Khoiriyah 2011).<br />
Pengamatan kualitatif yang dilakukan pada data perkecambahan menunjukkan hasil bahwa<br />
rosela 1 dan rosela 2 tidak memiliki perbedaan pada waktu berkecambah, warna kotiledon serta warna<br />
hipokotil. Masing-masing aksesi berkecambah pada 7 hari setelah tanam, memiliki warna hipokotil<br />
hijau terang dan warna kotiledon hijau (Gambar 1). Hari berkecambah dihitung ketika 50% dari total<br />
biji yang dikecambahkan dari masing-masing aksesi berkecambah. Hal ini menunjukkan bahwa kedua<br />
aksesi memiliki kemampuan berkecambah yang sama pada kondisi lingkungan yang sama.<br />
Gambar 1. Perkecambahan rosela 1 dan rosela 2<br />
Pada pengamatan data vegetatif menunjukkan bahwa kedua aksesi rosela berbeda pada<br />
karakter kebiasaan tumbuh dan warna batang. Untuk karakter kebisaan tumbuh, rosela 1 memiliki<br />
kebiasaan tumbuh tegak, sedangkan rosela 2 memiliki kebiasaan tumbuh menyebar. Untuk karakter<br />
warna batang, rosela 1 memiliki warna batang merah dengan bercak-bercak hijau, sedangkan rosela 2<br />
memiliki warna batang keseluruhan merah.<br />
Pada data vegetatif, kedua aksesi menunjukkan persamaan pada percabangan batang, yaitu<br />
memiliki cabang lebih dari 6, bulu batang intermediate, warna daun hijau dengan tulang daun merah,<br />
tidak memiliki bulu daun dan warna tangkai daun merah. Untuk karakter bentuk daun, rosela 1 dan<br />
rosela 2 memiliki bentuk daun palmate dengan 3 bagian (Gambar 2). Menurut Qi et al. (2005), rosela<br />
memiliki warna batang kemerah-merahan, daunnya berwarna hijau tua hingga merah, memiliki<br />
tangkai daun yang panjang dengan bentuk daun palmate yang terbagi dalam 3 hingga 7 bagian dengan<br />
tepi yang kasar. Sedangkan menurut Wijayanti (2010), daun tanaman rosela adalah daun tunggal<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│51
Keragaan Dua Aksesi Rosela (Hibicus sabdariffa) di Dataran Tinggi Lembang<br />
Fajri Widati 1) dan I. M. Hidayat 1)<br />
dengan letak berseling, berwarna hijau dan tulang daun berwarna kemerahan. Daun pertama muncul<br />
berbentuk seperti daun biasa kemudian daun akan berbentuk menjari 3-5. Macam-macam bentuk daun<br />
ditentukan oleh umur daun, makin tua umur daun maka jumlah jari semakin banyak.<br />
Gambar 2. Bentuk daun rosela 1 dan rosela 2<br />
Pada pengamatan karangan bunga, kedua aksesi rosela memiliki warna bunga kuning pucat<br />
dengan warna merah di dasar korola dan bentuk segmen kaliks meruncing. Menurut Qi et al. (2005)<br />
mahkota bunga rosela berwarna kuning dengan pangkal bunga berwarna merah tua, dengan tangkai<br />
yang pendek dan benangsari serta putik yang terdapat dalam satu bunga.<br />
Pada pengamatan data buah, kedua aksesi memiliki warna buah hijau dengan bercak merah<br />
dan bulu buah intermediate. Pada perhitungan jumlah segmen kaliks didapatkan hasil bahwa kedua<br />
aksesi memiliki jumlah segmen kaliks antara 9 hingga 12 dan jumlah lokulus per buah sebanyak 5.<br />
Pada pengamatan untuk data biji, kedua aksesi memiliki bentuk biji oval dengan permukaan biji<br />
berambut.<br />
B. Karakter Kuantitatif<br />
Pengelompokan berdasarkan sifat kuantitatif dinyatakan dalam bentuk angka sehingga<br />
memerlukan pengamatan dan pengukuran. Ekspresi sifat-sifat kuantitatif sangat besar dipengaruhi<br />
oleh faktor lingkungan, hal ini dikarenakan sifat kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen (polygenic)<br />
(Khoiriyah 2011).<br />
Pada penelitian ini pengukuran dilakukan terhadap karakter-karakter data vegetatif dan data<br />
bunga serta buah. Untuk pengukuran data vegetatif dilakukan pada karakter tinggi tanaman, diameter<br />
batang dan panjang tangkai daun. Sedangkan pengukuran untuk data bunga dan buah dilakukan pada<br />
karakter diameter korola, panjang buah dan diameter buah.<br />
Pengukuran terhadap karakter tinggi tanaman dan diameter batang dilakukan saat tanaman<br />
berumur 71 hari, yaitu sebelum dilakukan panen pucuk muda untuk pertama kalinya. Pengukuran<br />
terhadap karakter diameter batang dilakukan dengan mengukur diameter batang pada bagian<br />
pertengahan batang menggunakan jangka sorong. Pengukuran terhadap panjang tangkai daun<br />
dilakukan pada daun yang telah berkembang penuh. Hasil analisis terhadap parameter tinggi tanaman,<br />
diameter batang dan panjang tangkai daun menunjukkan hasil berbeda nyata antar aksesi, dimana<br />
rosela 1 menampilkan tinggi tanaman, diameter batang dan panjang tangkai daun yang lebih besar<br />
daripada rosela 2. Rerata disajikan dalam Tabel 1.<br />
Tabel 1. Rerata tinggi tanaman, diameter batang dan panjang tangkai daun dua aksesi rosela<br />
Aksesi<br />
Rerata<br />
Tinggi Tanaman Diameter Batang Panjang Tangkai Daun<br />
Rosela 1 74.00 a 0.80 a 10.51 a<br />
Rosela 2 57.18 b 0.70 b 4.72 b<br />
CV 7.68% 6.13% 6.02%<br />
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada taraf BNJ 5%<br />
52│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Keragaan Dua Aksesi Rosela (Hibicus sabdariffa) di Dataran Tinggi Lembang<br />
Fajri Widati 1) dan I. M. Hidayat 1)<br />
Pengukuran terhadap data bunga dan buah dilakukan pada karakter diameter korola, panjang<br />
buah, dan diameter buah. Hasil analisis data terhadap parameter diameter korola menunjukkan hasil<br />
yang berbeda nyata antar aksesi, dimana diameter korola untuk rosela 1 menampilkan hasil yang lebih<br />
besar daripada rosela 2. Sedangkan untuk parameter panjang buah dan diameter buah hasil analisis<br />
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar aksesi. Rerata disajikan dalam Tabel 2.<br />
Tabel 2. Rerata diameter korola, panjang buah, dan diameter buah dua aksesi rosela<br />
Aksesi<br />
Rerata<br />
Diameter Korola Panjang Buah Diameter Buah<br />
Rosela 1 4.53 a 4.24 a 2.06 a<br />
Rosela 2 3.87 b 4.30 a 2.08 a<br />
CV 7.18% 3.84% 2.73%<br />
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada taraf BNJ 5%<br />
Bagian yang dapat dimanfaatkan sebagai sayuran daun adalah pucuk muda rosela. Sehingga<br />
dilakukan pemanenan pucuk mudanya untuk mengetahui potensi produksi kedua aksesi rosela yang<br />
ditanam di dataran tinggi Lembang. Pemanenan dilakukan sebanyak 5 kali dengan selang waktu 2<br />
minggu. Panen pertama dilakukan pada saat tanaman berumur 71 hari setelah tanam dengan<br />
menghitung jumlah dan bobot pucuk per tanaman sampel serta jumlah dan bobot pucuk per plot.<br />
Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua aksesi rosela menunjukkan hasil tidak berbeda<br />
nyata untuk jumlah pucuk per tanaman, bobot pucuk per tanaman, jumlah pucuk per plot dan bobot<br />
pucuk per plot pada pengujian dengan BNJ 5%. Rerata disajikan dalam Tabel 3.<br />
Tabel 3. Rerata jumlah pucuk/tanaman, bobot pucuk/tanaman, jumlah pucuk/plot dan bobot<br />
pucuk/plot dua aksesi rosela<br />
Rerata<br />
Aksesi<br />
Rosela<br />
1<br />
Rosela<br />
2<br />
Jml<br />
pucuk/tanaman<br />
Bobot<br />
pucuk/tanaman<br />
Jml<br />
pucuk/plot<br />
Bobot<br />
pucuk/plot<br />
61.12 a 661.33 a 1,677.83 a 18,937.67 a<br />
73.63 a 700.40 a 1,908.33 a 20,031.83 a<br />
CV 21.88% 22.61% 13.26% 15.16%<br />
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada taraf BNJ 5%<br />
KESIMPULAN<br />
Pengujian keragaan dua aksesi rosela di dataran tinggi Lembang menunjukkan hasil<br />
kedua aksesi menunjukkan perbedaan pada karakter kebiasaan tumbuh dan warna batang.<br />
Sedangkan pada potensi hasil pucuk, baik jumlah pucuk per tanaman dan bobot pucuk per<br />
tanaman serta jumlah pucuk per plot dan berat pucuk per plot kedua aksesi menunjukkan<br />
hasil tidak berbeda nyata.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdri. Isum, Sdri. Enis, Sdri. Empon dan Sdr. Devit<br />
yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│53
Keragaan Dua Aksesi Rosela (Hibicus sabdariffa) di Dataran Tinggi Lembang<br />
Fajri Widati 1) dan I. M. Hidayat 1)<br />
PUSTAKA<br />
1. Adanlawo, IG & VA. Ajibade. 2006. ‘Nutritive value of the Two Varieties of Roselle (Hibiscus<br />
sabdariffa) Calyces Soaked with Wood Ash’. Pakistan Journal of Nutrition, Vol. 5, No. 6, pp.<br />
555-557.<br />
2. Babatunde, FE & Mofoke, ALE 2006, ‘Performance of Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) as<br />
Influence by Irrigation Schedules’, Pakistan Journal of Nutrition, vol. 5, no.4, pp. 363-367.<br />
3. Govinden-Soulange, J, Boodia, N, Dussooa, C, Gunowa, R, Deensah, S, Facknath, S &<br />
Rajkomar, B 2009, ‘Vegetative Propagation and Tissue Culture Regeneration of Hibiscus<br />
sabdariffa L. (Roselle)’, World Journal of Agricultural Sciences, vol. 5, no. 5, pp. 651-661<br />
4. Halimatul, SMN, Amin, I, Mohd-Esa, N, Nawalyah AG & Siti Muskinah, M 2007. ‘Protein<br />
Quality of Sorrel (Hibiscus sabdariffa L.)’, ASEAN Food Journal, vol. 14, no.2, pp. 131-140.<br />
5. Ismail, A, Emmy, HKI & Halimatul, SMN 2008, ‘Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) Seeds –<br />
Nutritional Composition, Protein Quality and Health Benefits’, Food, vol. 2, no. 1, pp. 1- 16<br />
6. Khoiriyah, A, 2011,’ Keragaan Kembang Kertas (Zinnia elegans Jacq.) Generasi M5 dan M6<br />
Hasil Irradiasi Sinar X. Skripsi’ Program Sarjana Universitas Gadjah Mada<br />
7. Kustyawati ME & Sulastri, R 2008,’ Pemanfaatan Hasil Tanaman Hias Rosella Sebagai Bahan<br />
Minuman’, Prosiding seminar nasional sains dan teknologi-II, Universitas Lampung, Hlm. 127 –<br />
135.<br />
8. Mahadevan, N, Shivali & Pradeep, K 2009. ‘Hibiscus sabdariffa Linn. – An Overview’, Natural<br />
Product Radiance, vol. 8, no. 1, pp. 77-83<br />
9. Qi, Y, Kit, LC, Fatemah, M, Mila, B & Janet, G 2005,’Biological Characteristics, Nutritional and<br />
Medicinal value of Roselle (Hibiscus sabdariffa)’, Circular-Urban Forestry Natural Resources<br />
and Environment, no. 604, Diunduh 13Juni2012<br />
.<br />
10. Wijayanti, P 2010,’ Budidaya Tanaman Obat Rosela merah (Hibiscus sabdariffa L. ) dan<br />
Pemanfaatan Senyawa Metabolis Sekundernya di PT. Temu Kencono, Semarang. Skripsi’,<br />
Program Sarjana Universitas Sebelas Maret<br />
54│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Perakitan Varietas Unggul Baru Pepaya Merah Delima<br />
Sunyoto, Budiyanti, T, Fatria, D, dan Noflindawati<br />
Perakitan Varietas Unggul Baru Pepaya Merah Delima<br />
Sunyoto, Budiyanti, T, Fatria, D, dan Noflindawati<br />
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Jl. Raya Solok-Aripan Km. 8 Solok, Sumatera Barat<br />
ABSTRAK. Ketersediaan varietas unggul bermutu baik, produktivitas tinggi, tahan terhadap hama dan<br />
penyakit, toleran cekaman lingkungan, dan sesuai dengan kebutuhan konsumen, menjadi syarat yang harus<br />
dipenuhi pada era industrialisasi pertanian dan liberalisasi perdagangan bebas. Telah dilakukan percobaan<br />
lapang untuk mengetahui keunggulan calon varietas Merah Delima dengan pembanding varietas Callina di KP.<br />
Sumani dalam rancangan pairwise comparison dengan 3 (tiga) ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa<br />
varietas Merah Delima memiliki warna kulit buah muda coklat keabuan dengan bentuk punggung buahnya agak<br />
bergelombang dan rongga buah seperti bintang bersudut lima. Buah pepaya varietas Merah Delima memiliki<br />
daging buah yang lebih tebal, rasa lebih manis dengan TSS yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas<br />
Callina. Hasil uji preferensi konsumen menunjukkan bahwa pepaya varietas Merah Delima sangat disukai<br />
dengan penampilan warna daging buah yang sangat menarik, cukup kenyal dengan rasa manis.<br />
Katakunci: Pepaya; Varietas unggul baru; Merah Delima<br />
ABSTRACT. Sunyoto, Budiyanti, T, Noflindawati, and Fatria, D 2013. New Superior Varieties<br />
Development of Papaya Merah Delima. The availability of good superior variety, high production, resistant to<br />
pest and disease, tolerant to environmental stress, which suit consumer’s preference, become a requisite for<br />
fulfilling agricultural industrialized era and free trade liberalization. A new superior variety development<br />
program on papaya has been done by Indonesian Tropical Fruit Research Institute through characterization,<br />
selection, lining, and hybridization. The research aimed at developing a new superior variety of papaya with the<br />
following characters: sweet taste, medium fruit size, and high production. The research was conducted at<br />
Sumani Experimental Field and started from 2002 to 2010. The result showed that based on the positive mass<br />
selection done during 4 generations (F 1 -F 4 ) and one test for new superior relising there were 80 % of population<br />
which have uniform performance on medium fruit size, red-orange flesh color, flesh thickness is more than 3<br />
cm, TSS content is 13-15 °Brix, production is more than 70 ton per hectare, and first harvest time is 7-8 months<br />
old, shape and cavity fruit compare to fruit referent. Based on the evaluation process, which done for as much 4<br />
times, and the multi location test, it was obtained one New Superior Variety of papaya which called Papaya<br />
Merah Delima (Pomegranate Papaya). This new superior variety has already been released and it is hoped it<br />
will impact on society interest being increase and motivate growers to develop it.<br />
Keywords: Papaya; New superior variety; Merah Delima<br />
PENDAHULUAN<br />
Ketersediaan varietas unggul bermutu baik, produktivitas tinggi, tahan terhadap hama dan<br />
penyakit, toleran cekaman lingkungan, dan sesuai dengan kebutuhan konsumen, menjadi syarat yang<br />
harus dipenuhi pada era industrialisasi pertanian dan liberalisasi perdagangan bebas. Mengingat<br />
bahwa tanaman buah diharapkan menjadi pertumbuhan baru disektor pertanian, maka upaya<br />
menghasilkan komoditi buah-buahan unggul bermutu tinggi dengan keunggulan kompetitif yang<br />
tinggi dan potensi hasil yang tinggi pula, harus menjadi landasan kerja yang utama saat ini.<br />
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman buah tropik dengan potensi hasil 70 ton/ha,<br />
biasanya dikonsumsi segar, baik untuk kesehatan karena kaya vitamin C dan vitamin A. Pepaya<br />
berkembang mulai dari Brazil, Australia, Afrika Selatan, Hawai, India, Asia Tenggara termasuk<br />
Indonesia dan Malaysia, serta negara tropis lainnya. Produksi buah pepaya di Indonesia cenderung<br />
meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 643.451 ton pada tahun 2006 (<strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong><br />
2006).<br />
Tingkat rerata produktivitas pepaya nasional sebesar 69,63 ton/ha, konsumsi buah pepaya<br />
penduduk Indonesia pada tahun 2005 hanya sebesar 3,28 kg/kapita/th. Tingkat konsumsi tersebut<br />
menempati posisi ketiga setelah pisang (8,89 kg/kapita/th) dan jeruk (6,14 kg/kapita/th) (<strong>Departemen</strong><br />
<strong>Pertanian</strong> 2008). Sementara itu, konsumsi buah pepaya penduduk Malaysia tahun 1988 sudah<br />
mencapai 3,8 kg per kapita dan terus meningkat sejalan dengan diperolehnya varietas unggul baru<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│55
Perakitan Varietas Unggul Baru Pepaya Merah Delima<br />
Sunyoto, Budiyanti, T, Fatria, D, dan Noflindawati<br />
Eksotika (Subang 6 x Sunrise Solo x Sunrise Solo) pada tahun 1991 dengan produktivitas 46,8 ton/ha<br />
(Chan et al. 1998).<br />
Walaupun terjadi peningkatan produksi, namun masih banyak kendala yang ditemui dalam<br />
budidaya pepaya, antara lain produktivitas rendah, ukuran buah kurang sesuai dengan konsumen,<br />
padatan total terlarut masih dibawah 12 °Brix, terbatasnya varietas unggul yang berumur genjah dan<br />
ukuran tanaman pendek, serta kemampuan adaptasi yang rendah terhadap cekaman lingkungan<br />
terutama kekeringan dan kegenangan (Sujiprihatni & Sulistyo 2004).<br />
Upaya perbaikan varietas pepaya di Indonesia mulai banyak dilakukan baik oleh lembaga<br />
penelitian <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong> maupun lembaga pendidikan seperti IPB, akan tetapi hasilnya<br />
kurang cepat sampai mencapai pasar khususnya pasar ekspor. Sari Rona merupakan hibrida pepaya<br />
produksi Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, tetapi belum dapat meningkatkan ekspor pepaya<br />
secara nyata.<br />
Varietas unggul baru yang diinginkan yaitu mempunyai kejelasan silsilah, dan kualitas buah<br />
yang tinggi dengan sifat pohon cebol (dwarf), masa pembungaan cepat (genjah), produktivitas tinggi,<br />
persentase tanaman berbunga hermaprodit tinggi dan tahan hama penyakit. Balai Penelitian Tanaman<br />
Buah Tropika telah mempunyai beberapa koleksi pepaya yang berasal dari beberapa daerah di<br />
Indonesia. Dari hasil karakterisasi, seleksi dan hibridisasi diperoleh beberapa kandidat pepaya dengan<br />
karakter daging buah tebal, rasa manis (TSS : 13-15°Brix), warna daging buah merah dan tekstur<br />
renyah (Purnomo et al. 1998). Idiotipe buah pepaya versi Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika<br />
menurut Purnomo 1999 ialah sebagai berikut: (1) ukuran buah sedang dengan bobot antara 800-1800<br />
g/buah, (2) ukuran sangat besar lebih dari 2,85 kg/buah, (3) bentuk sempurna, (4) warna kulit kuningmerah,<br />
(5) warna daging buah jingga-merah, (6) daging buah tebal lebih dari 3 cm, (7) TSS lebih dari<br />
13,00 o Brix, (8) daya simpan lebih dari 7 hari setelah petik, (9) aroma kuat.<br />
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dilakukan upaya perakitan varietas pepaya untuk mendapatkan<br />
varietas unggul baru pepaya yang sesuai dengan idiotipa yang telah ditetapkan, yaitu varietas dengan<br />
ukuran buah sedang, warna daging buah merah oranye, daging buah tebal, rasa manis, dan produktisi<br />
tinggi.<br />
Bahan Tanaman dan Metode Pengujian<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Kegiatan penelitian dilakukan mulai tahun 2002-2010. Pelaksanaan pengujian untuk pelepasan<br />
varietas baru dilakukan pada Bulan Maret 2009 sampai dengan Maret 2010 di Kebun Percobaan<br />
Sumani Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika dengan ketinggian tempat 360 m dpl. Bahan atau<br />
materi tanaman yang digunakan adalah 1 calon varietas kandidat Bt-01 (Merah Delima) dan 1<br />
pembanding varietas Callina. Rancangan penanaman yang digunakan ialah rancangan pairwise<br />
comparison dengan tiga ulangan dengan masing-masing ulangan 30 tanaman sehingga jumlah<br />
populasi tanaman masing-masing 90 tanaman.<br />
Pengamatan dilakukan terhadap karakter morfologi, kimia buah, analisis DNA, serta pengujian<br />
preferensi konsumen dan citarasa. Karakter morfologi diamati berdasarkan petunjuk karakterisasi<br />
yang tercantum pada Panduan Pengujian Individual BUSS pepaya (Anonymous 2006).<br />
Pengamatan karakter morfologi meliputi karakter kuantitatif dan kualitatif. Pengamatan data<br />
kuantitatif tanaman antara lain: tinggi tanaman, diameter batang, panjang daun, lebar daun, dan<br />
panjang tangkai daun. Pengamatan data kualitatif tanaman antara lain: tipe bunga, warna batang,<br />
warna mahkota bunga, warna daun dan tangkai daun. Pengamatan data psedo kualitatf buah meliputi:<br />
bobot buah, lingkar buah, panjang buah, tebal daging, warna daging, bentuk buah, kekerasan daging<br />
dan kulit buah, serta bobot 100 biji.<br />
Pengujian kimia daging buah pepaya meliputi kandungan vitamin C, beta karoten, kadar air,<br />
persentase buah dapat dimakan, dan padatan total terlarut (TSS) buah. Analisis DNA dilakukan<br />
melalui teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan menggunakan metoda RAPD (Random<br />
Amplified Polymorphic DNA). Sampel berasal daun muda diambil dari tanaman di lapang.<br />
56│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Perakitan Varietas Unggul Baru Pepaya Merah Delima<br />
Sunyoto, Budiyanti, T, Fatria, D, dan Noflindawati<br />
Tabel 1. Beberapa metode yang dipergunakan untuk analisa kimia buah pepaya.<br />
Jenis Analisa buah<br />
Vitamin C<br />
Total asam<br />
Betakaroten<br />
Total padatan terlarut (TSS)<br />
Kadar air<br />
Kekerasan daging dan kulit buah<br />
Metode analisa<br />
Titrasi<br />
Titrasi<br />
HPLC<br />
Alat handrefraktometer<br />
Grafimetri (Oven)<br />
Alat penetrometer<br />
Uji preferensi konsumen dan citarasa dilakukan pada saat panen. Pada uji tersebut melibatkan 50<br />
orang panelis yang berasal dari beberapa tempat, yaitu karyawan/wati Balitbu Tropika, Sekertaris<br />
Badan Litbang <strong>Pertanian</strong> dan rombongan, dari Dinas <strong>Pertanian</strong> Kab. Teluk Kuantan, Dinas <strong>Pertanian</strong><br />
Kabupaten Padang Pariaman, PT. Semen Padang, petani, dan masyarakat. Selain panelis di atas,<br />
beberapa anggota DPRD Kabupaten Solok, Bupati, dan Dirjen <strong>Hortikultura</strong> juga telah mencicipi buah<br />
pepaya dari kandidat pepaya yang akan dilepas. Disamping itu, pepaya Merah Delima telah beberapa<br />
kali diikutsertakan dalam pameran.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Kegiatan penelitian dilakukan mulai tahun 2002 dengan kegiatan meliputi proses hibridisasi dan<br />
dilanjutkan dengan karakterisasi, evaluasi dan seleksi populasi pepaya sampai generasi F 4 . Dari 4 kali<br />
evaluasi dan satu kali pengujian dengan varietas pembanding maka ditetapkan bahwa Bt-01 (varietas<br />
Merah Delima) cocok sebagai varietas unggul, karena mempunyai karakter daging buah tebal (>3<br />
cm), rasa manis ( TSS: 13-15 o Brix), produktivitas di atas 70 ton/ ha dengan umur panen pertama 7-8<br />
bulan, dan sifat tersebut sudah seragam.<br />
Karakter kualitatif pada suatu tanaman biasanya kurang dipengaruhi oleh lingkungan, karena<br />
dikendalikan oleh gen sederhana. Hasil pengamatan terhadap karakter kualitatif pada varietas pepaya<br />
Merah Delima selama dua musim panen ditampilkan pada (Tabel 3). Dari hasil evaluasi tersebut<br />
terlihat bahwa keragaan beberapa karakter morfologi dan citarasa buah tersebut relatif stabil dari<br />
musim ke musim, berarti bahwa keragaan morfologi dan citarasa buah dari varietas Merah Delima<br />
relatif stabil.<br />
Varietas Merah Delima mempunyai karakter kualitatif yang hampir mirip dengan varietas<br />
Callina (pembanding). Perbedaan karakter kualitatif (keunikan/kebaruannya) terdapat pada bentuk<br />
punggung buah dan bentuk rongga buah. Bentuk punggung buah pepaya Callina lurus/rata,<br />
sedangkan pepaya Merah Delima bentuk punggung buahnya agak bergelombang. Bentuk rongga buah<br />
pepaya Callina tidak beraturan, sedangkan pepaya Merah Delima seperti bintang bersudut lima.<br />
(Gambar 1).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│57
Perakitan Varietas Unggul Baru Pepaya Merah Delima<br />
Sunyoto, Budiyanti, T, Fatria, D, dan Noflindawati<br />
Tabel 2. Karakter kualitatif varietas Merah Delima serta varietas pembanding pada Musim panen I<br />
dan II<br />
BATANG<br />
Karakter<br />
Musim Panen I<br />
Merah Delima<br />
Musim Panen II<br />
Bentuk penampang batang Bulat Bulat Bulat<br />
Warna batang Coklat keabuan Coklat keabuan Coklat keabuan<br />
DAUN<br />
- Bentuk daun Menjari Menjari Menjari<br />
- Warna daun Hijau Hijau Hijau<br />
- Warna tangkai daun Hijau tua Hijau tua Hijau tua<br />
- Lapisan lilin Ada Ada Ada<br />
- Bulu daun Tidak ada Tidak ada Tidak ada<br />
BUNGA<br />
- Bentuk bunga Lonjong Lonjong Lonjong<br />
Callina<br />
- Warna kelopak bunga Hijau kekuningan Hijau kekuningan Hijau kekuningan<br />
- Warna mahkota bunga Kuning kehijauan Kuning kehijauan Kuning kehijauan<br />
- Warna kepala putik Putih kehijauan Putih kehijauan Putih kehijauan<br />
- Warna benang sari Kuning oranye Kuning oranye Kuning oranye<br />
- Warna poros bunga Hijau Hijau Hijau<br />
- Tipe pembungaan Hermaprodit Hermaprodit Hermaprodit<br />
BUAH<br />
- Bentuk buah Silindris Silindris Silindris<br />
- Warna kulit buah pada stadia Coklat keabuan Coklat keabuan Hijau<br />
muda<br />
- Warna kulit buah masak Oranye Oranye Oranye<br />
- Permukaan kulit buah Halus<br />
- Bentuk punggung buah Agak bergelombang Agak bergelombang Lurus/rata<br />
- Bentuk pangkal buah Tenggelam Tenggelam Tenggelam<br />
- Bentuk ujung buah Tumpul Tumpul Tumpul<br />
- Warna daging buah Oranye kemerahan Oranye kemerahan Jingga<br />
- Bentuk rongga buah Bintang sudut lima Bintang sudut lima Tidak beraturan<br />
- Citarasa manis Manis Manis Manis<br />
- Aroma daging buah Tidak ada Tidak ada Tidak ada<br />
- Tekstur daging Agak kenyal Agak kenyal Agak kenyal<br />
BIJI<br />
- Bentuk biji Bulat-oval Bulat-oval Bulat oval<br />
- Warna biji Abu-abu kehitaman Abu-abu kehitaman Abu-abu kehitaman<br />
- Kecerahan permukaan Kusam Kusam Kusam<br />
- Perkecambahan biji pada buah Ada Ada Tidak ada data<br />
Karakter Kuantitatif<br />
Dari Tabel 2 dapat dilihat jumlah buah per batang pada musim panen pertama dan musim<br />
panen ke dua relatif stabil. Demikian juga dengan ukuran buah pepaya (bobot, panjang, dan diameter),<br />
tebal daging, kualitas buah (seperti vitamin C, kadar air, persentase buah dapat dimakan, kekerasan<br />
58│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Perakitan Varietas Unggul Baru Pepaya Merah Delima<br />
Sunyoto, Budiyanti, T, Fatria, D, dan Noflindawati<br />
daging dan kulit buah) relatif stabil pada dua musim panen. Untuk karakter kadar gula (TSS), pada<br />
musim panen kedua cenderung lebih tinggi daripada musim panen pertama. Hasil buah pada musim<br />
panen pertama lebih banyak dibanding musim panen kedua, walaupun selisihnya tidak terlalu banyak.<br />
Varietas papaya Merah Delima mempunyai karakter kuantitatif yang berbeda dengan pepaya Callina<br />
pada karakter tebal daging, kadar gula (TSS) daging buah, kekerasan daging buah dan jumlah buah<br />
per pohon/4 bulan.<br />
Tabel 3. Karakter kuantitatif varietas papaya Merah Delima serta varietas papaya Callina pada<br />
Musim panen I dan Musim Panen II<br />
BATANG<br />
Karakter<br />
Musim Panen I<br />
Merah Delima<br />
Musim Panen II<br />
Callina<br />
Diameter batang (cm) 13-16 16-18 9-10<br />
Panjang tangkai daun (cm) 81-90 81-89 63,87<br />
Panjang daun dewasa (cm) 42-51 52-54 48-52<br />
Lebar daun dewasa (cm) 64-78 75-81 55-57<br />
BUNGA<br />
Umur berbunga (bulan setelah tanam) 2,5-3 3,0-3,5 4<br />
Jumlah bunga per buku 5-9 5-8 7<br />
Ukuran malai bunga (cm) 6-8 5-6,5 7,2<br />
Panjang bunga jantan 1,5-2,5 2,5-3 3<br />
Panjang bunga hermaprodit 2,5-3,5 3-4 4,1<br />
BUAH<br />
Umur petik( hari setelah antesis) 150-180 150-180 ± 180<br />
Tinggi buah pertama (cm) 46-60 46-60 97,35<br />
Jumlah ruas letak buah pertama 19-20 19-20 25<br />
Jumlah buah per buku 1-2 1 1-2<br />
Jumlah buah per batang 64-70 55-72 48-52<br />
Panjang tangkai buah 4-7 cm 3-6 3,3<br />
Berat buah (gram) 800-1900 800-1200 1236.67<br />
Panjang buah (cm) 21-30 21-26 23-30<br />
Diameter buah (cm) 9,55-12,72 9,55-10,00 9,2-9,5<br />
Ketebalan daging buah (cm) 2,5-4,5 2,2-4,0 1,9-3,4<br />
Total padatan terlarut (º Brix) 12 -14,5 13-17 10,1-11,2<br />
Kadar vitamin C (mg/100g) 43,40-57,25 43-46 72,9-84,3<br />
Kekerasan daging buah masak (kg/ cm 2 ) 0,5-0,7 0,5-0,7 0,3*<br />
Kekerasan kulit buah masak (kg/ cm 2 ) 0,68-0,88* 0,60-0,80* 0,6-0,65*<br />
Persentase buah dapat dikonsumsi (%) 70-86 64-85 69,1-78,9<br />
Daya simpan buah pada suhu 25-30oC (hari) 5-7 6-7 6-7<br />
Hasil buah (ton/ha/empat bulan) 86-100 70-90 69,1-78,9<br />
Populasi per ha 1200 1200 1200<br />
BIJI<br />
Berat 100 biji (g) 2,01 2,5 7,88-7,9<br />
Keterangan : * = data hasil pengamatan menggunakan Hand pennetrometer<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│59
Perakitan Varietas Unggul Baru Pepaya Merah Delima<br />
Sunyoto, Budiyanti, T, Fatria, D, dan Noflindawati<br />
Merah Delima<br />
Callina<br />
Merah Delima<br />
Callina<br />
Merah Delima<br />
Callina<br />
Merah Delima<br />
Callina<br />
Gambar 1. Keragaan buah pepaya Merah Delima dan varietas pembanding<br />
Analisis Molekuler<br />
Analisis molekuler dilakukan melalui teknik RAPD dengan menggunakan DNA pepaya Merah<br />
Delima dibandingkan dengan DNA pepaya Callina untuk mengetahui apakah varietas Merah Delima<br />
berbeda dengan varietas pepaya Callina. Profil pola pita RAPD dari papaya varietas Merah Delima<br />
dan varietas Callina dengan menggunakan 2 primer dapat dilihat pada (Gambar 2). Berdasarkan<br />
Gambar tersebut. dapat dilihat bahwa pola pita yang dihasilkan oleh gen papaya Merah delima<br />
berbeda dengan papaya Callina.<br />
60│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Perakitan Varietas Unggul Baru Pepaya Merah Delima<br />
Sunyoto, Budiyanti, T, Fatria, D, dan Noflindawati<br />
M 1 kb A B<br />
Gambar 2. Profil pita RAPD dari pepaya Merah Delima (A) dibandingkan dengan varietas pepaya<br />
Callina (B)<br />
Preferensi Konsumen<br />
Dari hasil uji organoleptik diketahui bahwa umumnya panelis menyukai buah pepaya tersebut<br />
karena rasanya sangat manis, tekstur agak kenyal, ukuran buah sedang, dengan warna daging buah<br />
merah sangat menarik. Kekurangan calon varietas ini ialah aroma harum hampir tidak ada. Bila<br />
dibandingkan dengan pepaya jenis lain yang berkembang di Sumatera, kandidat pepaya tersebut<br />
mempunyai keunggulan rasa manis, daging tebal, dengan ukuran sedang (800-1900 g).<br />
Tabel 4. Uji organoleptik pepaya Merah Delima<br />
Parameter Persentase (%)<br />
Rasa manis:<br />
- Tidak ada<br />
- Cukup<br />
- Sangat<br />
Kerenyah/kenyal:<br />
- Sedikit<br />
- Cukup<br />
- Sangat<br />
Rasa masam:<br />
- Tidak ada<br />
- Cukup<br />
- Sangat<br />
Ukuran buah:<br />
- Besar<br />
- sedang<br />
- Kecil<br />
Aroma:<br />
- Sedikit harum<br />
- Cukup harum<br />
- Harum sekali<br />
Penampilan warna daging buah:<br />
- Tidak menarik<br />
- Cukup menarik<br />
- Menarik sekali<br />
Kesukaan:<br />
- Tidak disukai<br />
- Cukup disukai<br />
- Sangat disukai<br />
Dari Tabel 3 diketahui bahwa tidak satu orang panelis pun yang merasakan adanya rasa tidak<br />
manis dan masam pada buah pepaya varietas Merah Delima. Semua panelis menyukainya karena rasa<br />
0<br />
1<br />
99<br />
35<br />
60<br />
5<br />
100<br />
0<br />
0<br />
5<br />
80<br />
15<br />
93<br />
7<br />
0<br />
0<br />
16<br />
84<br />
0<br />
2<br />
98<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│61
Perakitan Varietas Unggul Baru Pepaya Merah Delima<br />
Sunyoto, Budiyanti, T, Fatria, D, dan Noflindawati<br />
sangat manis yang khas, tekstur agak kenyal, dan warna daging merah. Hanya 15% panelis yang<br />
menyatakan ukuran buah kecil, sedangkan 80% menyatakan ukuran buah sedang dan penampilan<br />
warna daging buah sangat menarik.<br />
Pepaya varietas Merah Delima telah beberapa kali diikutsertakan dalam pameran, yaitu di Penas<br />
Palembang, ulang tahun Badan Litbang <strong>Pertanian</strong> di Balitbiogen di Bogor, JCC, Pekan Flora Flori di<br />
Batam, Citrus Spektakuler Day di Tlekung Balijestro. Seiring dengan kegemaran konsumen terhadap<br />
buah pepaya Merah Delima, maka meningkat juga permintaan terhadap benih dan buahnya.<br />
KESIMPULAN<br />
1. Perbedaan karakter kualitatif (keunikan/kebaruan) varietas Merah Delima dibanding varietas<br />
Callina terdapat pada warna kulit buah muda, bentuk punggung buah dan rongga buah. Warna<br />
kulit buah muda varietas Callina hijau dengan bentuk punggung buah lurus/rata, sedangkan<br />
pepaya Merah Delima warna buah mudanya coklat keabuan dengan bentuk punggung buahnya<br />
agak bergelombang. Bentuk rongga buah pepaya Callina tidak beraturan, sedangkan bentuk<br />
rongga buah pepaya Merah Delima seperti bintang bersudut lima.<br />
2. Buah pepaya varietas Merah Delima memiliki daging buah yang lebih tebal, rasa lebih manis<br />
dengan TSS yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Callina.<br />
3. Hasil uji preferensi konsumen menunjukkan bahwa pepaya varietas Merah Delima sangat disukai<br />
dengan penampilan warna daging buah yang sangat menarik, cukup kenyal dengan rasa manis.<br />
PUSTAKA<br />
1. Chan, YK, Hassan, MD & Abu Bakar, UK 1998, Pepaya: ‘The Industry and varietal improvement<br />
in Malaysia’, Paper presented at the Planning Workshop for Pepaya Biotechnology Network of<br />
Southeast Asia, Kasetsart University, Bangkok.<br />
2. <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong> 2008, Data produksi dan luas panen tahun 2006, Direktorat Budidaya<br />
Tanaman Buah, Direktorat Jendral <strong>Hortikultura</strong>, <br />
3. <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong> 2008, Konsumsi perkapita buah-buahan di indonesia periode 2003-2006,<br />
Direktorat Jendral <strong>Hortikultura</strong>, .<br />
4. Purnomo, S, Sunyoto, Hosni, S & Hatimah, W 1998, Persilangan antar varietas pepaya dan analisis<br />
heterosis beberapa karakter komersial, Laporan Hasil Penelitian Balitbu Solok. Balitbu, Solok,<br />
Sumatera Barat.<br />
5. Purnomo, S 1999, Renstra pemuliaan pengelolaan plasma nutfah dan perbenihan tanaman buah<br />
1999-2007 Balitbu, Solok, Sumatera Barat.<br />
6. Sujiprihatni, S & Sulistyo, A 2004, Karakterisasi 15 genotipe pepaya (Carica papaya L.) hasil<br />
eksplorasi PKBT, Prosiding Lokakarya Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia VII, hlm. 155-<br />
163.<br />
62│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Inisiasi Kultur Endosperm Durian Kunyit<br />
Irawati, Y dan Indriyani, NLP<br />
Inisiasi Kultur Endosperm Durian Kunyit<br />
Irawati, Y dan Indriyani, NLP<br />
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Jl. Raya Solok-Aripan Km.8<br />
yi_sarwono@yahoo.com. 085220155075<br />
nlp_indriyani@yahoo.co.id. 081363484140<br />
ABSTRAK. Kultur endosperm digunakan untuk mendapatkan tanaman triploid yang dapat menghasilkan buah<br />
tanpa biji dan lebih vigor dibandingkan dengan tanaman diploid. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan<br />
media yang potensial untuk inisiasi kalus endosperm durian Kunyit. Penelitian dilakukan di Laboratorium<br />
Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika dari bulan Mei sampai Juni 2011. Media yang<br />
digunakan adalah media MS modifikasi dengan penambahan air kelapa 10 % serta penggunaan BAP (1,2,3<br />
ppm) dan 2,4-D (1,2,3 ppm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan menghasilkan struktur<br />
kalus yang kompak. Persentase eksplan berkalus tertinggi diperoleh pada media ED7 (3 ppm BAP + 1 ppm 2,4-<br />
D) yaitu 100 %. Media ED7 merupakan media yang paling potensial untuk inisiasi kalus endosperm durian<br />
Kunyit. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan kultur endosperm durian Kunyit selanjutnya.<br />
Katakunci: kultur endosperm; durian Kunyit; BAP; 2,4-D<br />
ABSTRACT. Irawati, Y. and N.L.P. Indriyani. Endosperm Culture Initiation of Durian Kunyit.<br />
Endosperm culture produced triploid plants which seedless and more vigour than their diploid counterparts. The<br />
aim of this research was to obtain medium formulation for callus initiation from durian Kunyit endosperm. The<br />
experiment was conducted at Tissue Culture Laboratory of Indonesian Tropical Fruit Research Institute from<br />
May to June 2011. Modified MS medium with 10 % coconut milk, BAP (1,2,3 ppm) and 2,4-D (1,2,3 ppm) was<br />
used in this research. The result showed that the potential medium for endosperm culture initiation was ED7 (3<br />
ppm BAP + 1 ppm 2,4-D) which produced 100 % callus of explant. The result of this research was useful for<br />
developing durian Kunyit endosperm culture.<br />
Keywords: endosperm culture; durian Kunyit; BAP; 2,4-D<br />
Durian berbiji kecil merupakan salah satu karakter durian yang disukai konsumen Indonesia<br />
(Santoso et al. 2008). Pada umumnya durian lokal yang beredar di pasar domestik mempunyai biji<br />
yang relatif besar. Upaya perakitan varietas durian lokal tanpa biji perlu dilakukan untuk<br />
meningkatkan kualitas dan daya saing durian lokal Indonesia. Salah satu cara untuk mendapatkan<br />
durian tanpa biji adalah melalui kultur endosperm.<br />
Pada umumnya endosperm tanaman angiosperm merupakan jaringan triploid yang dihasilkan<br />
dari pembuahan antara gamet jantan dengan dua inti polar kantung embrio (Goralski et al. 2005).<br />
Tanaman triploid menghasilkan buah tanpa biji dan lebih vigor daripada tanaman diploidnya<br />
(Hoshino et al. 2011). Regenerasi jaringan endosperm secara in vitro berpotensi untuk menghasilkan<br />
tanaman triploid dalam jumlah lebih besar dan seragam bila dibandingkan dengan metode persilangan<br />
antara tanaman diploid dengan tetraploid (Thomas & Chaturvedi 2008).<br />
Beberapa penelitian telah berhasil menunjukkan potensi diferensiasi sel-sel endosperm secara<br />
in vitro antara lain pada kiwi (Goralski et al. 2005) dan jeruk (Gmitter et al. 1990). Salah satu faktor<br />
yang mempengaruhi keberhasilan dalam kultur jaringan adalah penggunaan zat pengatur tumbuh. Zat<br />
pengatur tumbuh dari kelompok auksin, khususnya 2,4-D telah banyak digunakan untuk inisiasi kalus.<br />
Penggunaan 2,4-D dan BAP secara terpisah ataupun kombinasi berhasil menumbuhkan kalus pada<br />
kultur endosperm sandalwood (Sita et al. 1980). Pada penelitian ini digunakan kombinasi antara 2,4-<br />
D dan BAP dengan berbagai konsentrasi.<br />
Sampai saat ini belum dilaporkan adanya penelitian mengenai media yang potensial untuk<br />
inisiasi kultur endosperm durian Kunyit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan media<br />
yang potensial untuk inisiasi kultur endosperm durian Kunyit.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika<br />
dari bulan Mei sampai Juni 2011. Eksplan berupa endosperm buah durian Kunyit yang diambil 8-9<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│63
Inisiasi Kultur Endosperm Durian Kunyit<br />
Irawati, Y dan Indriyani, NLP<br />
minggu setelah polinasi. Sterilisasi dilakukan dengan cara mencuci buah durian sampai bersih<br />
kemudian mencelupkannya ke dalam air mendidih, setelah itu dilakukan pencucian dengan air<br />
mengalir dan penyemprotan alkohol 30 %. Biji yang telah dihilangkan daging buahnya kemudian<br />
direndam dalam alkohol 70 % selama 15 menit. Setelah itu biji direndam dalam larutan klorox 8 %<br />
selama 10 menit. Biji selanjutnya dicuci dengan akuades steril sebanyak satu kali, kemudian direndam<br />
dalam larutan HgCl 2 0.5 % selama 5 menit. Setelah itu biji dicuci dengan akuades steril sebanyak tiga<br />
kali dan terakhir direndam dalam larutan askorbit acid 4 % minimal lima menit. Endosperm<br />
dipisahkan dari embrio kemudian dikulturkan pada media dasar Murashige dan Skoog (1962) dengan<br />
penambahan 10 % air kelapa.<br />
Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah BAP dan 2,4-D dengan berbagai konsentrasi.<br />
Percobaan terdiri dari sembilan perlakuan zat pengatur tumbuh, yaitu: 1) 1 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D;<br />
2) 1 ppm BAP + 2 ppm 2,4-D; 3) 1 ppm BAP + 3 ppm; 4) 2 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D; 5) 2 ppm<br />
BAP + 2 ppm 2,4-D; 6) 2 ppm BAP + 3 ppm 2,4-D; 7) 3 ppm BAP + 1 ppm 2,4-D; 8) 3 ppm BAP + 2<br />
ppm 2,4-D; 9) 3 ppm BAP + 3 ppm 2,4-D. Setiap perlakuan diulang tiga kali. Kultur diinkubasi dalam<br />
ruang gelap dengan temperatur sekitar 25-28 o C.<br />
Peubah yang diamati adalah persentase eksplan berkalus, struktur kalus, warna kalus dan<br />
ukuran kalus. Nilai 1,2 dan 3 digunakan untuk mengukur ukuran kalus. Nilai 1 jika ukuran kalus < 50<br />
% dari ukuran eksplan, nilai 2 jika ukuran kalus sekitar 50 % dari ukuran eksplan dan nilai 3 jika<br />
ukuran kalus > 50 % dari ukuran eksplan. Pengamatan dilakukan seminggu sekali selama lima<br />
minggu. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Eksplan endosperm durian Kunyit mulai membentuk kalus rata-rata dua minggu setelah kultur.<br />
Kalus yang terbentuk pada umumnya mempunyai struktur kompak. Pada awalnya kalus yang<br />
terbentuk berwarna krem, kemudian pada minggu keempat setelah kultur, sebagian kalus berubah<br />
warna menjadi coklat muda dan coklat. Hasil pengamatan selengkapnya dapat dilihat pada tabel di<br />
bawah ini.<br />
Tabel 1. Pengaruh komposisi media terhadap eksplan, nilai, struktur dan warna kalus lima minggu<br />
setelah kultur (Effect of media composition on explant, score, structure and colour of callus<br />
five weeks after culture)<br />
Media<br />
Eksplan berkalus<br />
(%)<br />
MS + 1 ppm BA + 1 ppm<br />
2,4-D 72 1.46 Kompak<br />
Nilai kalus Struktur kalus Warna kalus<br />
MS + 1 ppm BA + 2 ppm<br />
2,4-D 86 1.71 Kompak<br />
MS + 1 ppm BA + 3 ppm<br />
2,4-D 55 1.37 Kompak<br />
MS + 2 ppm BA + 1 ppm<br />
2,4-D 81 1.64 Kompak<br />
MS + 2 ppm BA + 2 ppm<br />
2,4-D 77 1.77 Kompak<br />
MS + 2 ppm BA + 3 ppm<br />
2,4-D 38 0.54 Kompak<br />
MS + 3 ppm BA + 1 ppm<br />
2,4-D 100 1.64 Kompak<br />
MS + 3 ppm BA + 2 ppm<br />
2,4-D 33 0.83 Kompak<br />
MS + 3 ppm BA + 3 ppm<br />
2,4-D 69 1.39 Kompak<br />
Krem +<br />
coklat muda<br />
Krem +<br />
coklat muda<br />
Krem<br />
Krem +<br />
coklat muda<br />
Krem +<br />
coklat muda<br />
Krem +<br />
coklat muda<br />
Krem +<br />
coklat muda<br />
Krem +<br />
coklat<br />
Krem<br />
64│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Inisiasi Kultur Endosperm Durian Kunyit<br />
Irawati, Y dan Indriyani, NLP<br />
Semua perlakuan media menghasilkan eksplan berkalus dengan kisaran persentase antara 33 %<br />
(MS + 3 ppm BA + 2 ppm 2,4-D) sampai 100 % (MS + 3 ppm BA + 1 ppm 2,4-D). Media dengan 3<br />
ppm BA + 1 ppm 2,4-D menghasilkan persentase kalus tertinggi, yaitu 100 %. Dua media lain dengan<br />
konsentrasi 1 ppm 2,4-D juga menghasilkan persentase eksplan berkalus di atas 70 %. Hal ini<br />
mengindikasikan bahwa walaupun 2,4-D pada umumnya esensial untuk induksi kalus (Thomas &<br />
Chaturvedi 2008), tetapi konsentrasi yang diperlukan untuk menginduksi kalus pada endosperm<br />
durian Kunyit adalah dengan konsentrasi rendah.<br />
Ukuran kalus yang dinyatakan dengan nilai kalus berkisar antara 0.54 (MS + 2 ppm BA + 3<br />
ppm 2,4-D) sampai 1.77 (MS + 2 ppm BA + 2 ppm 2,4-D). Semua perlakuan media menghasilkan<br />
struktur kalus kompak. Warna kalus yang diperoleh pada umumnya krem dan coklat muda, kecuali<br />
pada media MS + 1 ppm BA + 3 ppm 2,4-D dan MS + 3 ppm BA + 3 ppm 2,4-D yang menghasilkan<br />
kalus berwarna krem, serta media MS + 3 ppm BA + 2 ppm 2,4-D yang menghasilkan kalus berwarna<br />
coklat.<br />
Sutanto et al. (2008) menyatakan bahwa pembentukan kalus pada embrio somatik pepaya<br />
sangat dipengaruhi oleh konsentrasi BAP, semakin tinggi konsentrasi BAP yang digunakan semakin<br />
banyak kalus yang dihasilkan. Pada kultur endosperm durian Kunyit, persentase eksplan berkalus<br />
tertinggi diperoleh pada media dengan konsentrasi BA tertinggi, yaitu 3 ppm, tetapi kombinasi antara<br />
BA dan 2,4-D dengan konsentrasi yang lebih tinggi menghasilkan persentase eksplan berkalus yang<br />
lebih rendah. Kombinasi antara sitokinin dengan auksin yang tepat pada kultur endosperm<br />
mempunyai peranan penting dalam induksi kalus dan tahapan organogenesis selanjutnya (Miyashita et<br />
al 2009).<br />
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa kombinasi media MS + 3 ppm BA + 1 ppm 2,4-D<br />
merupakan media yang paling potensial untuk inisiasi kalus pada kultur endosperm durian Kunyit.<br />
Kombinasi media tersebut menghasilkan 100 % eksplan berkalus, mempunyai nilai kalus 1.64,<br />
menghasilkan struktur kalus kompak dan warna kalus krem dan coklat muda.<br />
KESIMPULAN<br />
Media MS + 3 ppm BA + 1 ppm 2,4-D merupakan media yang paling potensial untuk inisiasi<br />
kultur endosperm durian Kunyit.<br />
PUSTAKA<br />
1. Gmitter, EG, Ling, XB & Deng XX 1990, ‘ Induction of triploid Citrus plants from endosperm<br />
calli in vitro’, Theor. Appl. Genet, vol. 80, pp. 785-790.<br />
2. Goralski, G, Popielarska, M, Slesak, H, Siwinska, D & Batycka, M 2005, ‘Organogenesis in<br />
endosperm of Actinidia deliciosa cv. Hayward cultured in vitro’, Acta Biologica Cracoviensa<br />
Series Botanica, vol. 47, no.2, pp. 121-128.<br />
3. Hoshino, Y, Miyashita, T & Thomas, TD 2005,’ In vitro culture of endosperm and it’s application<br />
in plant breeding: Approaches to polyploidy breeding’, Scientia Horticulturae, vol. 130, pp. 1-8.<br />
4. Miyashita, T, Takafumi, O, Fukashi, S, Hajime, A & Yoichiro, H. 2009. Plant regeneration with<br />
maintenance of the endosperm ploidy level by endosperm culture in Lonicera caerulea var.<br />
emphyllocalyx. Plant Cell, Tissue and Organ Culture, vol. 98, no. 3, pp. 291-301.<br />
5. Murashige, T & Skoog, F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco<br />
cultures. Physiol. Plant. Vol. 15, pp. 473-497.<br />
6. Santoso, PJ, Novaril, Jawal AS, Wahyudi, T & Hasyim, A 2008, ‘Idiotipe Durian Nasional<br />
Berdasarkan Preferensi Konsumen’, Jurnal <strong>Hortikultura</strong>, vol. 18, no. 4, pp. 395-401.<br />
7. Sita, GL, Ram, NVR & Vaidyanathan 1980,’ Triploid plants from endosperm cultures of<br />
sandalwood by experimental embryogenesis’, Plant Science Letters, vol. 20, pp. 63-69.<br />
8. Sutanto, A & Aziz, MA. 2006. Induksi dan regenerasi embriogenesis somatik pepaya. Jurnal<br />
<strong>Hortikultura</strong>, vol. 16, pp. 89-95.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│65
Inisiasi Kultur Endosperm Durian Kunyit<br />
Irawati, Y dan Indriyani, NLP<br />
9. Thomas, TD & Chaturvedi, R 2008, ‘ Endosperm culture: a novel method for triploid plant<br />
production’, Plant Cell Tissue Organ Cult, vol 93, pp. 1-14.<br />
66│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Semangka di Sumbar dan Riau<br />
Kuswandi, Hendri, Makful dan Sahlan<br />
Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Semangka di<br />
Sumbar dan Riau<br />
Kuswandi, Hendri, Makful dan Sahlan<br />
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Jl. Raya Solok-Aripan Km. 8, Solok<br />
ABSTRAK. Penelitian dilaksanakan mulai Bulan Maret 2011 sampai dengan November 2011 pada 2 lokasi, yaitu:<br />
Kebun Percobaan (KP) Sumani, Balitbu Tropika Solok (Sumatra Barat), dan Pekanbaru-Riau. Tujuan penelitian<br />
ialah untuk mengevaluasi stabilitas 2 calon varietas unggul semangka di Sumatera Barat dan Riau. Rancangan<br />
yang digunakan ialah Rancangan Acak Kelompok dengan 4 perlakuan dan diulang sebanyak 6 kali. Perlakuan<br />
terdiri dari 4 varietas semangka yaitu: BT1, BT2, Bangkok Flower dan Uranus. Analisis interaksi genotipe x<br />
lingkungan menggunakan metode analisis ragam gabungan menggunakan software PBSTAT 1.0. Hasil<br />
penelitian menunjukkan bahwa dari hasil analisis ragam gabungan kedua calon varietas unggul semangka yang<br />
diuji telah stabil pada kedua lokasi tanam.<br />
Katakunci: Evaluasi; Stabilitas; Semangka<br />
ABSTRACT. Kuswandi, Hendri, Makful dan Sahlan 2013. Stability Evaluation of New Superior Variety<br />
Candidates of Watermelon in West Sumatra and Riau. The experiment was conducted from May 2011 until<br />
December 2011 at two locations, namely: KP Sumani, ITFRI Solok (West Sumatra), and Pekanbaru, Riau. The<br />
research objective of this study was to evaluate the stability of the two candidates watermelon varieties in West<br />
Sumatra and Riau. The design used was randomized block design with 4 treatments and repeated 6 times. The<br />
treatment consists of four varieties of watermelon are: BT1, BT2, Bangkok Flower and Uranus. Analysis of<br />
genotype x environment interactions using various analytical methods combined use PBSTAT 1.0 software. The<br />
results showed that the analysis of the combined range of candidates who tested varieties of watermelon have<br />
been stable at both planting locations<br />
Keywords: Evaluation; Stability; Watermelon<br />
Semangka (Citrullus lanatus) merupakan salah satu tanaman yang paling banyak<br />
dibudidayakan di dunia. Konsumsi globalnya lebih besar dibandingkan jenis labu-labuan lainnya.<br />
Tanaman ini ditanam di hampir 6,8%. China, Turki, Amerika Serikat, Iran dan Republik Korea<br />
merupakan negara penghasil semangka terbesar di dunia. Setidaknya ada 1200 varietas semangka<br />
yang ditanam di seluruh dunia (Gichimu et al. 2008).<br />
Produksi semangka menempati posisi yang sangat penting dalam perkembangan dunia<br />
pertanian. Tidak hanya sebagai buah yang kaya nutrisi, tetapi karena buah yang satu ini kaya akan<br />
phytochemical lycopen yang dapat mencegah kanker prostat pada pria. Lokasi penanaman semangka<br />
biasanya di lahan kering, yang mempunyai banyak masalah kesuburan tanah. Untuk mengetahui daya<br />
adaptasi calon varietas dengan lingkungannya maka dilakukan uji multilokasi (Salman et al. 2005).<br />
Indonesia hanya mempunyai kontribusi 0,3%, namun untuk memenuhi kebutuhan tersebut<br />
benihnya masih diimpor dari luar negeri. Untuk memenuhi kebutuhan produksi semangka tersebut<br />
Indonesia membutuhkan benih semangka dengan jumlah yang sangat banyak. Oleh karena itu, iperlu<br />
teknologi untuk memproduksi benih hibrida.<br />
Relatif singkatnya umur tanaman semangka (60-75 hari) memberikan peluang besar untuk<br />
dikembangkan terutama pada lahan sawah tadah hujan setelah panen padi sawah. Komoditas ini dapat<br />
dirotasi dengan tanaman pokok (padi sawah), dan telah terbukti memberikan nilai tambah yang cukup<br />
besar. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan tanaman hortikultura bertujuan untuk<br />
meningkatkan pendapatan petani, pemenuhan gizi, peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi baru<br />
bidang hortikultura, dan upaya mencukupi kebutuhan hortikultura di dalam negeri, serta<br />
meningkatkan ekspor. Untuk menopang kebijakan tersebut, salah satunya melalui pengembangan<br />
komoditas semangka pada wilayah-wilayah potensial atau sentra produksi (Balai Pengkajian<br />
Teknologi <strong>Pertanian</strong> Sumatera Barat 2010).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│67
Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Semangka di Sumbar dan Riau<br />
Kuswandi, Hendri, Makful dan Sahlan<br />
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika sampai saat ini telah melakukan serangkaian kegiatan<br />
pemuliaan semangka untuk menghasilkan varietas hibrida semangka unggul baru. Sampai saat ini<br />
telah diperoleh 2 kandidat hibrida dan 4 galur semangka.<br />
Interaksi antara genotip dan lingkungan merupakan masalah utama bagi pemulia tanaman dalam<br />
usaha mengembangkan kultivar hasil seleksinya, karena ada beberapa genotip yang menunjukkan<br />
reaksi spesifik terhadap lingkungan tertentu. Beberapa kultivar yang diuji di berbagai lokasi ternyata<br />
kemampuan produksinya berbeda pada setiap lokasi pengujian. Hal ini disebabkan oleh adanya<br />
pengaruh interaksi antara genotip dan lingkungan (Harsanti et al. 2003, Baihaki & Wicaksono 2005).<br />
Untuk memenuhi persyaratan pelepasan varietas unggul baru, maka kandidat-kandidat tersebut<br />
harus diuji stabilitas, daya hasil dan daya adaptasinya di beberapa lokasi tanam. Pada tahun 2009 telah<br />
dilakukan uji multilokasi 2 calon varietas unggul semangka, dan pada tahun 2010 merupakan<br />
penanaman kedua.<br />
Tujuan penelitian ialah untuk mengevaluasi stabilitas 2 calon varietas unggul semangka di Sumatera<br />
Barat dan Riau.<br />
Tempat dan Waktu<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Kegiatan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Sumani, Balai Penelitian Tanaman Buah<br />
Tropika dan Pekanbaru, Riau mulai Bulan Maret sampai dengan November 2011.<br />
Pelaksanaan<br />
Penelitian merupakan percobaan lapang dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 4 perlakuan<br />
dan 6 ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 20 tanaman. Penelitian dilakukan dengan menanam galurgalur<br />
yang merupakan tetua hibrida terpilih. Produksi benih tetua dilakukan sejak tahun 2003 dan<br />
sampai saat ini penggaluran telah mencapai generasi S 8. Materi genetik yang digunakan dalam<br />
percobaan ini empat varietas (2 calon varietas unggul baru Balitbu Tropika, dan 2 varietas<br />
pembanding), yaitu: BT-1, BT-2, Bangkok Flower, dan Uranus. Pelaksanaan kegiatan meliputi:<br />
Persiapan materi, pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman (penyiraman, pemupukan,<br />
pemangkasan, pengendalian hama dan penyakit), panen, prosesing biji dan penyimpanan biji, analisis<br />
data, dan pelaporan hasil penelitian. Uji stabilitas dilakukan dengan menanam keempat varietas<br />
dengan membandingkan 2 calon varietas dengan 2 varietas pembanding.<br />
Bahan lain yang digunakan adalah kapur dolomit, pupuk kandang, pupuk buatan, pestisida,<br />
polybag, plastik bening, mulsa plastik hitam perak, kawat jemuran, kertas sungkup tahan air dan alat<br />
tulis kantor. Alat yang digunakan adalah cangkul, gunting pangkas, parang, gerobak dorong, hand<br />
sprayer, knapsack sprayer, kotak semai, timbangan, penggaris, kamera, hand refractometer, dan alatalat<br />
untuk menyimpan data penelitian di dalam komputer.<br />
Peubah yang diamati<br />
Peubah yang diamati meliputi : bobot buah dan total padatan terlarut.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil analisis ragam gabungan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak nyata antar<br />
varietas untuk peubah bobot buah, dan total padatan terlarut (Tabel 1). Pengaruh interaksi antara<br />
varietas dan lingkungan juga berbeda tidak nyata untuk peubah bobot buah dan total padatan terlarut.<br />
Rerata bobot buah dan total padatan terlarut tanaman semangka dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel<br />
3.<br />
68│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Semangka di Sumbar dan Riau<br />
Kuswandi, Hendri, Makful dan Sahlan<br />
Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam karakter kuantitatif tanaman semangka di Sumbar dan Riau<br />
Karakter Varietas Varietas x lokasi KK (%)<br />
Bobot buah tn tn 19,55<br />
Total padatan terlarut tn tn 36,00<br />
Interaksi varietas x lingkungan tidak berpengaruh nyata, hal ini menunjukkan bahwa varietas<br />
yang diuji telah stabil untuk ditanam di semua lokasi pengujian. Bobot buah tertinggi di lokasi<br />
Sumani ditemukan pada varietas Uranus dengan berat 4,79 kg, dan terendah pada varietas Bangkok<br />
Flower yaitu 4,55 kg. Bobot buah tertinggi di lokasi Pekanbaru ditemukan pada calon varietas BT-2,<br />
yaitu 2,71 kg, dan terendah pada varietas Bangkok Flower, yaitu 2,32 kg.<br />
Tabel 2. Rerata bobot buah tanaman semangka di Sumatera Barat dan Riau<br />
Bobot buah (kg)<br />
Varietas<br />
Rerata varietas<br />
Sumani<br />
Pekanbaru<br />
BT-1 4,77 2,68 3,72<br />
Bangkok Flower 4,55 2,32 3,43<br />
BT-2 4,56 2,71 3,63<br />
Uranus 4,79 2,46 3,63<br />
Tabel 3. Rerata total padatan terlarut tanaman semangka di Sumatera Barat dan Riau<br />
Total Padatan Terlarut<br />
Varietas<br />
Rerata varietas<br />
Sumani<br />
Pekanbaru<br />
BT-1 7,22 9,33 8,28<br />
Bangkok Flower 7,08 6,53 6,81<br />
BT-2 6,63 7,97 7,30<br />
Uranus 7,33 5,68 6,51<br />
Total padatan terlarut tertinggi di lokasi Sumani ditemukan pada varietas Uranus yaitu<br />
7,33°Brix, dan terendah pada calon varietas BT-2 yaitu 6,63°Brix. Total padatan terlarut tertinggi di<br />
lokasi Pekanbaru ditemukan pada calon varietas BT-1 yaitu 9,33°Brix, dan terendah pada varietas<br />
Uranus yaitu 5,68°Brix. Rendahnya nilai total padatan terlarut di lokasi Sumani dan Pekanbaru diduga<br />
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang disebabkan oleh tingginya curah hujan selama masa<br />
pengisian buah, sehingga buah menjadi kurang manis, serta serangan penyakit menjadi tinggi.<br />
Keragaan calon varietas yang diuji dapat dilihat pada Gambar 1.<br />
Gambar 1. Keragaan buah semangka yang diuji stabilitas di Sumbar dan Riau (Appearance of<br />
watermelon were tested in West Sumatra and Riau)<br />
KESIMPULAN<br />
Dari analisa dan uraian diatas dapat disimpulkan :<br />
1. Dari hasil analisis ragam gabungan kedua calon varietas unggul semangka yang diuji telah stabil<br />
pada kedua lokasi tanam<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│69
Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Semangka di Sumbar dan Riau<br />
Kuswandi, Hendri, Makful dan Sahlan<br />
2. Total padatan terlarut calon varietas BT1 lebih tinggi daripada varietas pembanding (Bangkok<br />
Flower dan Uranus)<br />
PUSTAKA<br />
1. Baihaki, A & Wicaksono, N 2005, ‘Interaksi genotip x lingkungan, adaptabilitas, dan stabilitas<br />
hasil dalam pengembangan tanaman varietas unggul di Indonesia’, Zuriat, vol. 16, no. 1, hlm. 1-<br />
8.<br />
2. Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Sumatera Barat 2010, Pesisir Selatan berpeluang<br />
kembangkan semangka setelah padi sawah, diakses tanggal 15 Juni 2012,<<br />
http://sumbar.litbang.deptan.go.id>.<br />
3. Gichimu, BM, Owuor, BO & Dida, MM 2008, ‘Agronomic performance of three most popular<br />
commercial watermelon cultivars in kenya as Compared to one newly introduced cultivar And<br />
one local landrace grown on Dystric nitisols under sub-humid tropical conditions’, ARPN Journal<br />
of Agricultural and Biological Science, vol. 3, no. 5-6, pp. 65-71<br />
4. Harsanti, L, Hambali, & Mugiono 2003, ‘Analisis daya adaptasi 10 galur mutan padi sawah di 20<br />
lokasi uji daya hasil pada dua musim’, Zuriat, vol. 14, no. 1, hlm. 1-7.<br />
70│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Varietas terhadap Multiplikasi Tunas Pisang yang Diperbanyak Melalui Kultur Jaringan<br />
Meldia, Y, Makful, Edison dan Wahyuni, D<br />
Pengaruh Varietas terhadap Multiplikasi Tunas Pisang yang Diperbanyak Melalui<br />
Kultur Jaringan<br />
Meldia, Y, Makful, Edison dan Wahyuni, D<br />
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika<br />
Jln. Raya Solok - Aripan Km 7 Solok, Sumatera Barat<br />
Abstrak. Perbanyakan benih melalui kultur jaringan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan benih<br />
bermutu dalam jumlah yang banyak, tidak membutuhkan lahan yang luas, tidak tergantung musim dan mudah<br />
dalam pengepakan sehingga mudah dalam pendistribusiannya. Perbanyakan ini dilaksanakan mulai bulan<br />
Januari 2011 sampai dengan April 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Buah<br />
Tropika Solok. Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan 6 perlakuan dan 10 ulangan. Perlakuannya<br />
adalah varietas pisang yang digunakan yaitu : Kepok Tanjung, Ketan, Ambon Hijau, Barangan, Ambon Kuning<br />
dan Roti. Setiap unit perlakuan terdiri dari 10 botol. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat respon<br />
varietas terhadap multiplikasi tunas pada perbanyakan pisang melalui kultur jaringan. Perbanyakan benih<br />
pisang melalui kultur jaringan dilaksanakan melalui beberapa tahap antara lain tahap inisiasi dan multiplikasi<br />
tunas. Hasil penelitian menunjukkan pada tahap inisiasi eksplan berwarna coklat sampai coklat kehitaman.<br />
Eksplan pisang Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan dan Roti berwarna coklat dan pisang Kepok Tanjung<br />
dan Ketan berwarna coklat kehitaman. Pada tahap multiplikasi, muncul tunas membutuhkan waktu paling cepat<br />
3 bulan yaitu pisang Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan dan Roti bergenom AAA dan yang paling lambat<br />
adalah pisang Ketan yang genomnya ( AAB ). Persentase eksplan membentuk tunas terbanyak juga pada<br />
eksplan pisang bergenom AAA 95 – 100 % dan yang paling sedikit adalah pisang bergenom AAB 75 % begitu<br />
juga untuk jumlah tunas yang terbentuk per eksplan. Pisang Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan dan Roti<br />
lebih cepat pertumbuhannya pada tahap multiplikasi dibandingan pisang Kepok Tanjung dan Ketan.<br />
Kata kunci : Pisang, varietas, inisiasi, multiplikasi, kultur jaringan, perbanyakan.<br />
ABSTRACT. Meldia, Y; Makful; Edison and D. Wahyuni,2012. Mass Propagation Of Banana Seedling by<br />
Tissue Culture : The effect of Varieties on Banana shoot Multiplication. Tissue culture is propagation method<br />
in order to get good quality of seedling in large number, does not need big area, regardless of season and easy to<br />
distribution due to its packeging. The research was conducted at Tissue Culture Laboratory in Indonesian<br />
Tropical Fruit Solok from January 2011 to April 2012. The method used in this research was descriptive with 6<br />
treatment and 10 replications. The experimental unit consisted of 10 botles. The treatments are varieties of<br />
banana e.c. : Kepok Tanjung, Ketan, Ambon Hijau, Barangan, Ambon Kuning dan Roti The aim of research<br />
was find out the response of varieties in shoot multiplication by tissue culture technique. The results showed<br />
that banana tissue culture was influenced by the stage of initiation and shoot multiplication. On the initiation<br />
stage, the color of explants was light brown to dark brown. Meanwhile, it was brown in color for Ambon Hijau,<br />
Ambon Kuning, Barangan and Roti; Ketan and Kepok tanjung was dark brown. On the multiplication stage,<br />
the explants of Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan and Roti produced initial shoot need time at least 3<br />
months that were belonged to AAA genom; how ever it needed one year to produce initial shoot for Ketan<br />
(AAB ) and Kepok Tanjung ( ABB ). The percentage of explants that produced highest shoot was 95 – 100 %<br />
for AAA genom and it was 75 % for AAB genom. The growth of Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan and<br />
Roti was faster than Ketan and Kepok Tanjung on multiplication stage.<br />
Key word : banana, varieties, inisiation, multiplication, tissue culture, propagation.<br />
Pisang merupakan salah satu komoditas buah tropika yang banyak digemari oleh<br />
masyarakat, baik di Indonesia maupun luar negeri. Pisang di Indonesia disamping untuk dimakan<br />
segar juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri olahan pisang misalnya industri kripik, sale,<br />
tepung pisang dan lain sebagainya.<br />
Buah pisang mengandung banyak vitamin dan mineral esensial yang sangat bermanfaat bagi<br />
kesehatan manusia. Bahkan ada buah pisang segar yang mengandung -carotene yang tinggi salah<br />
satu contohnya adalah pisang Tongkat Langit. Akan tetapi pisang ini belum dikembang oleh petani<br />
maupun pengusaha benih di Indonesia.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│71
Pengaruh Varietas terhadap Multiplikasi Tunas Pisang yang Diperbanyak Melalui Kultur Jaringan<br />
Meldia, Y, Makful, Edison dan Wahyuni, D<br />
Di beberapa daerah pisang merupakan subsitusi makanan pokok seperti di Papua dan<br />
beberapa negara di Afrika. Pisang mengandung karbohidrat yang tinggi dimana makan 2 buah pisang<br />
setara dengan 1 piring nasi.<br />
Jenis pisang yang diperdagangkan di pasar-pasar swalayan di Indonesia sebagian besar adalah<br />
kelompok Cavendish, sedangkan di pasar-pasar lainnya ( toko buah, kios, PKL, tradisional ) adalah<br />
kultivar Barangan, Ambon Hijau, Ambon Kuning, Mas, Raja Bulu dan Raja Sere. Jenis pisang olahan<br />
adalah Kepok dan Tanduk dan Agung Talun, Raja dan nangka. Pengembangan industri olahan<br />
diarahkan ke perluasan diversifkasi produk, meliputi pembuatan keripik, sale, puree dan pasta pisang.<br />
Sebagian besar kebun rakyat di Indonesia masih menggunakan benih pisang berasal dari<br />
anakan atau belahan bonggol ( bit ) yang diusahakan sendiri oleh petani. Benih pisang kultur jaringan<br />
umumnya diadakan untuk memenuhi permintaan program pengembangan perluasan tanam dari<br />
pemerintah atau pembukaan kebun oleh pihak swasta. Pada saat ini produsen benih pisang kultur<br />
jaringan antara lain: Tekno Agro, DAFA, Tamora, Mariwati, Pusat Penelitian Kakao dan Kopi Jember.<br />
Usaha tani pisang di Indonesia kebanyakan di tanam dipekarangan belum mempunyai fasilitas<br />
pengairan. Fasilitas pengemasan, alat transportasi, rumah/gudang untuk penanganan segar juga belum<br />
memenuhi standar yang baik. Begitu juga permodalan masih relatif kecil.<br />
Produk buah pisang yang bermutu memerlukan benih yang bermutu dan seragam, sehingga<br />
diperlukan inovasi teknologi untuk menghasilkan benih tersebut. Teknik perbanyakan benih melalui<br />
kultur jaringan merupakan salah cara untuk mendapat benih pisang yang bermutu dalam jumlah<br />
besar. Teknik ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain : bibit yang dihasilkan mempunyai<br />
sifat sama dengan induknya, seragam dalam jumlah besar, tidak membutuhkan lahan yang luas dan<br />
bebas penyakit. Berdasarkan hal tersebut maka perbanyakan pisang perlu dilakukan secara kultur<br />
jaringan.<br />
Kultur jaringan merupakan suatu cara perbanyakan tanaman dengan dengan mengisolasi<br />
bagian tertentu dari tanaman seperti protoplasma, sell, dan organ serta menumbuhkannya pada media<br />
buatan yang mengandung nutrisi dalam kondisi yang steril, sehingga bagian-bagian tanaman tersebut<br />
bisa memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali.<br />
Kultur jaringan secara teoritis bisa dilakukan pada semua jaringan baik tanaman maupun<br />
hewan. bahkan juga manusia. Menurut teori Totipotensi sel bahwa setiap sel memiliki potensi genetik<br />
yang mampu memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap.<br />
Perbanyakan benih secara kultur jaringan mempunyai beberapa keuntungan antara lain : bibit<br />
yang dihasilkan mempunyai sifat sama dengan induknya, seragam dalam jumlah besar dan mudah<br />
dalam pengepakan tidak menghabiskan banyak tempat sehingga mudah dalam pendistribusian, tidak<br />
membutuhkan lahan yang luas dan bebas penyakit.<br />
Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain<br />
:jenis dan bagian tanaman yang digunakan (eksplan), kandungan media dan lingkungan tumbuh.<br />
Media kultur jaringan umumnya mengandung hara makro, hara mikro, vitamin, karbohidrat, zat<br />
pengatur tumbuh dan bahan pemadat.<br />
Kendala pengadaan bibit unggul secara konvensional adalah sulit mendapatkan bibit yang<br />
berkualitas dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Salah satu keunggulan perbanyakan<br />
tanaman melalui teknik kultur jaringan adalah sangat dimungkinkan mendapatkan bahan tanam dalam<br />
jumlah besar dalam waktu singkat (Priyono et al., 2000). Menurut Kyte (1990) Kultur jaringan<br />
merupakan suatu teknik untuk mengisolasi bagian tanaman dan ditumbuhkan secara tersendiri dan<br />
dipacu untuk memperbanyak diri, akhirnya diregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap dalam<br />
suatu lingkungan yang aseptik dan terkendali diluar lingkungan aslinya. Menurut Zulkarnain (2009)<br />
Jumlah tanaman yang diregenerasikan dihitung berdasarkan rumus X n . X adalah laju penggadaan<br />
perbulan dan n adalah lamanya masa kultur (dalam bulan). Misalnya, dengan laju penggandaan 2,0<br />
perbulan maka jumlah tanaman yang diregenerasikan dalam waktu setengah tahun (6 bulan) adalah<br />
2 6 =64<br />
Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah<br />
sitokinin dan auksin (Gunawan, 1990). Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan<br />
bahwa auksin dapat meningkatkan sintesa protein. Dengan adanya kenaikan sintesa protein, maka<br />
dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan. Dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin<br />
bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap deferensiasi jaringan (Sriyanti<br />
dan Wijayani, 1994).<br />
72│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Varietas terhadap Multiplikasi Tunas Pisang yang Diperbanyak Melalui Kultur Jaringan<br />
Meldia, Y, Makful, Edison dan Wahyuni, D<br />
Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dari hormon<br />
yang ada dalam eksplan. Hormon dalam eksplan tergantung dari hormon endogen dan hormon<br />
eksogen yang diserap dari media tumbuh (Wattimena,1992). Penambahan hormon eksogen akan<br />
berpengaruh terhadap jumlah dan kerja dari hormon endogen. Saat tumbuh tunas dipengaruhi oleh<br />
tiga faktor yaitu faktor eksplan, media, dan lingkungan (Mante dan Tepper, 1983). Menurut Pierik<br />
(1987) saat tumbuhnya akar juga dipengaruhi pertumbuhan tunas: tunas tumbuh dengan baik memacu<br />
pertumbuhan akar, apabila pertumbuhan tunas terhambat maka pertumbuhan akar pun terhambat.<br />
Skoog dan Miller (1975) menyatakan bahwa untuk perakaran secara in vitro biasanya digunakan<br />
auksin dalam konsentrasi tinggi.<br />
METODOLOGI<br />
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Buah<br />
Tropika mulai bulan Januari 2011 sampai dengan April 2012. Penelitian dilakukan dengan<br />
menggunakan metode deskriptif dengan 6 perlakuan dan 10 ulangan. Perlakuannya adalah varietas<br />
tanaman yang digunakan, yaitu : Kepok Tanjung, Ketan, Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan<br />
dan Roti. Setiap unit perlakuan terdiri dari 10 botol.<br />
Perbanyakan bibit pisang secara kultur jaringan dapat dilakukan melalui beberapa tahap<br />
kegiatan yaitu : (1) Persiapan media kultur, (2) Persiapan bahan tanaman, (3) Pengkulturan dan sub<br />
kultur (multiplikasi tunas )( 4) aklimatisasi dan (5) Sistim distribusi bibit. Penelitian ini dilakukan<br />
baru sampai multiplikasi tunas.<br />
Persiapan media kultur<br />
Media kultur perlu disiapkan terlebih dahulu sesuai dengan maksud dan tujuan pengkultur.<br />
Media dasar untuk perbanyakan pisang adalah media Murashige and Skoog (MS )( Murashige and<br />
Skoog, 1962 ).<br />
Persiapan bahan tanaman<br />
Bahan tanaman yang akan digunakan (eksplan) adalah : anakan pisang varietas Ambon<br />
Hijau, Barangan Kepok Tanjung, Ketan dan Roti yang diseleksi terlebih dahulu, apakah tanaman<br />
tersebut sehat atau tidak. Untuk memastikan tanaman pisang tersebut sehat dilakukan indexing.<br />
Sebelum digunakan anakan pisang sebagai ekplan terlebih dahulu diambil sampel daunnya untuk<br />
diideksing. Teknik indeksing yang dipakai adalah Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)<br />
(Thomas, 2000).<br />
Setelah sumber eksplan benar-benar sehat maka eksplan perlu disterilisasi dengan cara<br />
kimiawi direndam dalam larutan NaOCl 0,5-2% kemudian dibilas dengan akuades steril, dilanjutkan<br />
dengan perendaman alkohol 70% untuk meminimalisasi kontaminasi.<br />
Pengkulturan atau sub kultur.<br />
Eksplan yang sudah dibagi menjadi 4 bagian ditanam pada media awal MS + 5 ppm BAP + 2<br />
ppm IAA + 30 g gula pasir. Botol kultur yang berisi media sudah ditanam eksplan maka kultur<br />
diletakkan pada rak-rak dalam ruangan steril dengan intensitas cahaya 1000 – 4000 lux. Lama<br />
penyinaran dilakukan 16 jam.<br />
Setelah 1 bulan pada media awal eksplan disubkultur pada media baru dengan komposisi MS<br />
+ 4 ppm BAP + 2 ppm IAA + 30 g gula pasir. Sebelum dipindah kemedia yang baru, pelepah eksplan<br />
dibuang untuk merangsang tumbuhnya calon-calon tunas yang berada diantara pelepah daun. Tunastunas<br />
tersebut kemudian dipisahkan dan disubkultur untuk penggandaan tunas.<br />
Parameter yang diamati adalah : Saat eksplan membentuk tunas, jumlah tunas yang terbentuk per<br />
eksplan, jumlah tunas yang terbentuk.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Perbanyakan benih pisang secara kultur jaringan dapat dilakukan melalui beberapa tahap<br />
yakni (1) Inisiasi (2) Multiplikasi tunas (3) Pengakaran ( 4) aklimatisasi dan (5) Distribusi bibit.<br />
Pada penelitian ini pengamatan dilakukan sampai pada tahap multiplikasi tunas.<br />
Tahap Insiasi.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│73
Pengaruh Varietas terhadap Multiplikasi Tunas Pisang yang Diperbanyak Melalui Kultur Jaringan<br />
Meldia, Y, Makful, Edison dan Wahyuni, D<br />
Dari hasil pengamatan pada tahap inisiasi, eksplan belum membentuk tunas sampai umur 1<br />
bulan setelah pengkulturan. Pada tahap insiasi ini penampilan eksplan hampir seragam, eksplan<br />
berwarna coklat sampai coklat kehitaman dengan jaringannya masih hidup. Kemudian eksplan<br />
tersebut disubkultur kemedia yang baru. Pada media yang baru eksplan sudah mulai membesar tetapi<br />
masih belum terjadi juga pembentukan tunas. Eksplan baru bisa membentuk tunas paling cepat pada<br />
umur 3- 4 bulan setelah pengkulturan, yaitu pisang Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan dan<br />
Roti yang mempunyai genom AAA. Pisang Kepok Tanjung yang mempunyai genom ABB baru bisa<br />
membentuk tunas pada saat 5 bulan setelah pengkulturan serta pisang Ketan bergenom AAB 11 bulan<br />
setelah pengkulturan. Warna dari eksplan dipengaruhi oleh fenol yang ada pada eksplan, semakin<br />
banyak fenol yang terdapat dipermukaan eksplan warna. Pisang terdapat pada percoklat Inisiasi tunas<br />
merupakan titik awal dari jaringan membentuk tunas dan selanjutnya dapat terjadi penggandaan dari<br />
tunas pisang tersebut.<br />
A<br />
B<br />
Gambar. 1. Eksplan pisang umur 1 bulan setelah pengkulturan<br />
A. Eksplan pisang Genom AAB<br />
B. Eksplan pisang Genom AAA<br />
Tahap Multiplikasi Tunas.<br />
Pada tahap multipkasi eksplan mulai membentuk tunas pada waktu yang berbeda<br />
berdasarkan genom dari pisang. Saat muncul tunas untuk pisang Ambon Hijau, Ambon Kuning,<br />
Barangan dan Roti adalah antara 3 sampai dengan 4 bulan setelah pengkulturan awal ( inisiasi ).<br />
Sedangkan pisang Kepok Tanjung baru bisa membentuk tunas pada saat 5 sampai dengan 6 bulan<br />
setelah pengkulturan awal dan Ketan antara 11 sampai dengan 12 bulan. ( Tabel 1). Untuk<br />
menstabilkan kandungan fenol pada permukaan jaringan eksplan yang terpotong membutuh waktu<br />
tertentu untuk bisa merespon nutrisi yang ada pada media tumbuh.<br />
Tabel 1. Saat Muncul Tunas Pertama Dari Beberapa Varietas Pisang Yang<br />
Kultur Jaringan ( Produced initial shoot<br />
Varietas ( Genom )<br />
Diperbanyak melalui<br />
Saat muncul tunas pertama (Time to<br />
produced initial shoot) ( bulan )<br />
Ambon Hijau ( AAA ) 3 - 4<br />
Ambon Kuning ( AAA ) 3 – 4<br />
Barangan ( AAA ) 4 – 5<br />
Kepok Tanjung ( ABB ) 5 – 6<br />
Roti ( AAA ) 3 – 4<br />
Ketan ( AAB ) 11 - 12<br />
Pertumbuhan dan perkembangan eksplan dapat dipengaruhi oleh sifat genetis tanaman, untuk pisang<br />
dapat dipengaruhi oleh genom dari pisang tersebut. Pisang Ambon Hijau, Ambon Kuning , Barangan<br />
74│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Varietas terhadap Multiplikasi Tunas Pisang yang Diperbanyak Melalui Kultur Jaringan<br />
Meldia, Y, Makful, Edison dan Wahyuni, D<br />
dan Roti mempunyai genom AAA, pisang Kepok Tanjung bergenom ABB dan Ketan AAB. Menurut<br />
Purwanto ( 1991 ) bahwa genom B pada pisang dapat mempengaruhi tingkat kandungan fenol dan<br />
aktivitas polyfenosidase. Pisang mempunyai genom B mempunyai fenol lebih tinggi dibandingkan<br />
yang lain.<br />
Persentase eksplan membentuk tunas untuk pisang Ambon Hijau dan Ambon Kuning adalah<br />
sama yakni 100 % dan eksplan pisang Roti membentuk tunas 95 % pada umuur 4 bulan setelah<br />
pengkulturan serta pisang Barangan 90 % pada umur 5 bulan. Sedangkan pisang Kepok Tanjung<br />
eksplan yang membentuk 80 % pada saat eksplan berumur 6 bulan setelah pengkulturan dan pisang<br />
Ketan persentase eksplan membentuk tunas lebih rendah dibandingkan pisang lain yaitu 75% pada<br />
umur 12 bulan ( Tabel 2 ).<br />
A B C<br />
Gambar 2. Eksplan mulai membentuk tunas ( A. Pisang bergenom AAA dan B. Pisang bergenom<br />
ABB, Pisang bergenom AAB ).<br />
Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan fenol yang tinggi dan jaringannya lebih keras pada pisang<br />
Ketan. Kandungan fenol yang tinggi pada eksplan dapat dilihat dari tingkat browning yang ada pada<br />
eksplan. Warna coklat kehitaman pada eksplan disebabkan yang disebabkan oleh sintesis senyawa<br />
fenolik akibat pelukaan pada permukaan eksplan. Senyawa fenol sangat toksik bagi jaringan tanaman<br />
dan mengakibatkan pertumbuhannya terganggu. Menurut Nisa dan Rodinah (2005 ) bahwa salah satu<br />
faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis eksplan dalam perbanyakan<br />
melalui kultur jaringan adalah genotip tanaman. Respon masing-masing eksplan sangat bervariasi<br />
tergantung pada spesies bahkan varietas tanaman.<br />
Tabel 2. Persentase Eksplan Membentuk Tunas Dari Beberapa Varietas Pisang Yang diperbanyak<br />
melalui kultur jaringan ( Percentage of Explant shoot formation from Banana Varieties on<br />
Tissue Culture Propagation ).<br />
Varietas ( Genom )<br />
(Varieties)<br />
% eksplan yang membentuk<br />
tunas<br />
( % )<br />
Umur Eksplan Setelah pengkulturan (<br />
bulan )<br />
Ambon Hijau ( AAA ) 100 4<br />
Ambon Kuning ( AAA ) 100 4<br />
Barangan ( AAA ) 90 5<br />
Kepok Tanjung ( ABB ) 80 6<br />
Roti ( AAA ) 95 4<br />
Ketan ( AAB ) 75 12<br />
Jumlah tunas yang terbentuk dari masing-masing eksplan pada saat tunas awal muncul paling banyak<br />
terdapat pada eksplan pisang Ambon Hijau dan Ambon Kuning yaitu 4 – 5 tunas. Sedangkan Kepok<br />
Tanjung membentuk tunas paling sedikit yaitu 1 – 2 tunas per eksplan. Pisang Barangan dan Roti<br />
membentuk tunas per eksplan 3 – 4 tunas, pisang Ketan membentuk tunas per eksplan 2 – 3 tunas.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│75
Pengaruh Varietas terhadap Multiplikasi Tunas Pisang yang Diperbanyak Melalui Kultur Jaringan<br />
Meldia, Y, Makful, Edison dan Wahyuni, D<br />
Tabel 3. Jumlah Tunas yang Terbentuk per Eksplan Dari Beberapa Varietas Pisang Pada Saat<br />
Muncul Tunas Pertama<br />
Varietas ( Genom )<br />
Jumlah tunas per eksplan ( buah)<br />
Ambon Hijau ( AAA ) 4 – 5<br />
Ambon Kuning ( AAA ) 4 – 5<br />
Barangan ( AAA ) 3 – 4<br />
Kepok Tanjung ( ABB ) 1 – 2<br />
Roti ( AAA ) 3 – 4<br />
Ketan ( AAB ) 2 – 3<br />
Jumlah tunas yang terbentuk per eksplan dipengaruhi oleh browning pada permukaan jaringan<br />
eksplan. Semakin banyak senyawa fenol akan semakin kuat browning pada permukaan eksplan.<br />
Tinggi tunas pisang pada semua varietas pisang adalah hampir sama yaitu antara 1 – 3 cm (<br />
Tabel 4 ). Tinggi tunas tidak dipengaruhi oleh varietas tanaman.<br />
Tabel 4. Tinggi Tunas Beberapa Varietas Pisang Yang Diperbanyak Melalui Kultur Jaringan<br />
Varietas ( Genom ) Tinggi tunas( cm )<br />
Ambon Hijau ( AAA ) 1 – 2<br />
Ambon Kuning ( AAA ) 1 – 2<br />
Barangan ( AAA ) 1 – 2<br />
Kepok Tanjung ( ABB ) 1 – 2<br />
Roti ( AAA ) 1 – 2<br />
Ketan ( AAB ) 1 – 2<br />
Semua tunas pisang berwarna hijau segar dan kokoh. Sub kultur dilakukan setiap bulan dan setiap<br />
pengkulturan tunas mengganda lebih banyak lagi.<br />
KESIMPULAN<br />
Perbanyakan benih pisang melalui kultur jaringan dipengaruhi oleh tahap inisiasi dan<br />
multiplikasi tunas. Pada tahap inisiasi eksplan berwarna coklat sampai coklat kehitaman. Ekslan<br />
pisang Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan dan Roti berwarna coklat dan pisang Kepok Tanjung<br />
dan Ketan berwarna coklat kehitaman.<br />
Pada tahap multiplikasi Saat muncul tunas membutuhkan waktu paling cepat 3 bulan yaitu<br />
pisang bergenom AAA dan yang paling lambat adalah pisang Ketan yang genomnya ( AAB ).<br />
Persentase eksplan membentuk tunas terbanyak juga pada eksplan pisang bergenom AAA 95 – 100<br />
% dan yang paling sedikit adalah pisang bergenom AAB 75 % begitu juga untuk jumlah tunas yang<br />
terbentuk per eksplan.<br />
Pisang Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan dan Roti lebih cepat pertumbuhannya<br />
diperbanyak melalui kultur jaringan dibandingan pisang Kepok Tanjung dan Ketan.<br />
PUSTAKA<br />
1. Gunawan, L.W. 1990. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan. Pusat<br />
Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB. Bogor. P. 304.<br />
2. Kyte, L. 1990. Plants from Test Tubes. An. Introduction to Micropropagation. Timbers. Press.<br />
Portland. Oregon.<br />
3. Jumjunidang, A, M. Adnan, I. Mustika dan M.S. Sinaga. 2022. Respon Beberapa Plasma Nutfah<br />
Pisang TerhadapNematoda Parasit Akar Radopholus similis Cobb. Jurnal <strong>Hortikultura</strong> 12 (3) :<br />
172 – 177.<br />
76│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Varietas terhadap Multiplikasi Tunas Pisang yang Diperbanyak Melalui Kultur Jaringan<br />
Meldia, Y, Makful, Edison dan Wahyuni, D<br />
4. Mante, S., and H.B.Tepper. 1983. Propagation of Musa textille Nee Plants from Apical Meristem<br />
Slice in vitro. Plant Tissue Culture 2: 151-159.<br />
5. Murashige,T and Skoog, F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassay with tobacco<br />
tissue cultures. Physiologia Plantarum 15: 473 – 497.<br />
6. Nisa, C dan Rodinah. 2005. Kultur Jaringan Beberapa Kultivar Buah Pisang ( Musa<br />
7. paradisiaca ) Dengan Pemberian Campuran NAA dan Kinetin. Bioscientiae. 2 ( 2 ). Kalsel.<br />
8. Pierik, R.L.M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publisher. Dordrecht.<br />
Netherlands. P. 344.<br />
9. Priyono, D. Suhandi, dan Matsaleh. 2000. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh IAA dan 2-IP pada<br />
Kultur Jaringan Bakal Buah Pisang. Jurnal <strong>Hortikultura</strong>. 10 (3) : 183 – 190.<br />
10. Skoog, F dan C.O. Miller. 1957. Chemical regulation of growth and organ formation in plant<br />
tissue cultured in vitro. Symp. Soc. Exp. Biot. 11: 118 – 131.<br />
11. Sriyanti, D.P. dan A.Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yayasan Kansius. Yogyakarta.<br />
Hal. 18, 54, 57, 63, 67, 69, 82-83.<br />
12. Thomas, F. E. 2000. Viruses of banana and methodsfor their detection. In : Managing banana and<br />
citrus diseases( Molina, A.B., Roa , V.N., Bay Petersen, J. .,Carpio, A.T. and Joven, J.E.A., ).<br />
INIBAP. Montpellier.<br />
13. Wattimena, G.A.1992. Sitokinin Bioteknologi Tanaman. Departeman Pendidikan Dan<br />
Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Biotek.IPB.66-67 hal.<br />
14. Zulkarnaen. 2009.Kultur Jaringan Tanaman. Pemuliaan in vitro Dan Mikropropagasi.<br />
Penggandaan Pucuk. Bumi Aksara . 53 hal<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│77
Pengenalan dan Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Melon di Sumbar dan Riau<br />
Makful, Kuswandi, Hendri, dan Sahlan<br />
Pengenalan dan Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Melon<br />
di Sumbar dan Riau<br />
Makful, Kuswandi, Hendri, dan Sahlan<br />
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Jl Raya Solok-Aripan Km. 8. Solok, Sumatera Barat 27301<br />
ABSTRAK. Sampai saat ini telah diperoleh 2 kandidat hibrida melon yang sedang dievaluasi stabilitas, daya<br />
hasil dan daya adaptasinya di beberapa lokasi tanam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempercepat proses<br />
adopsi calon varietas unggul melon kepada masyarakat di Sumbar dan Riau. Penelitian pengenalan kandidat<br />
varietas unggul hibrida melon, dilakukan menurut kaidah rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan dan 6<br />
ulangan. Data dianalisis statistik menggunakan sidik ragam (Anova). Untuk membedakan antar perlakuan<br />
dilakukan dengan uji LSD 0,05. Hasil penelitian menunjukkan melon MB1 dan MB2 di lokasi Sumani karakter<br />
berat dibawah pembanding dan TSS MB1 dan MB2 diatas pembanding. Rerata jaring di lokasi Sumani MB1<br />
85% dengan tekstur jaring halus dan MB2 85% dengan tekstur jaring sedang. Lokasi uji Sumani belum bisa<br />
memberikan data potensi hasil yang optimal dari varietas yang diuji, karena daya dukung lingkungan yang tidak<br />
sesuai selama periode generatif sehingga materi panen tidak layak untuk uji pengenalan varietas kepada<br />
konsumen. Uji preferensi konsumen dilakukan menggunakan materi yang ditanam di Pekanbaru, Riau. Hasil uji<br />
preferensi menunjukkan bahwa calon varietas melon menunjukkan bahwa calon varietas MB1 dan MB2 lebih<br />
diminati konsumen dibandingkan kedua varietas pembanding dengan skor 3-5 (90%).<br />
Katakunci: Pengenalan; Stabilitas; Melon; Calon varietas<br />
ABSTRACT. Makful, Kuswandi, Hendri, and Sahlan, 2013. Introduction and Evaluation of Prospective<br />
New Varieties Stability Melon in West Sumatra and Riau. Until now has obtained two candidate hybrid<br />
melons are being evaluated. Candidates should be tested their stability, yield and adaptation in multiple plant<br />
locations. The purpose of this study was to accelerate the adoption process of the candidate varieties of melon to<br />
the people in West Sumatra and Riau. The study is introduction of candidate hybrid varieties of melon. The<br />
experiment was conducted according to rules of randomized block design with 4 treatments and 6 replications.<br />
Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA). To distinguish between the treatment carried out by<br />
LSD 0.05 test. The results showed that the stable to the fruit weight character of melon on Sumani there have<br />
under control variety and TSS of MB1 and MB2 is upper control variety. The average nets above location MB1<br />
Sumani 85% with a net texture is smooth and MB2 85% with a net texture sedang. The test in Sumani can not<br />
provide optimal yield potential of varieties being tested, because the carrying capacity of the environment is not<br />
suitable for generative period so harvested material is not feasible to the variety introduction test. Consumer<br />
preference test will use a material that is grown in Pekanbaru. The preference test results indicate that<br />
the candidate of melon varieties showed that prospective MB1 and MB2 consumers<br />
demand more than two varieties comparison with the score 3-5 (90%).<br />
Keywords: Introduction; Stability; Melon; Candidates variety<br />
Melon merupakan buah yang banyak diminati oleh masyarakat baik dalam maupun luar negeri,<br />
karena tanaman ini mempunyai nilai ekonomis tinggi yang dapat ditanam daerah tropis dan<br />
subtropis. Melon dikenal berasal dari Afrika, tetapi dalam perkembangannya menjadi penting di<br />
daerah tropika maupun sub-tropika (Whitaker & Davis 1962, Mohr 1986). Buah melon disukai karena<br />
tekstur buahnya renyah, citarasa segar-manis, dan variasi warna antar varietas tinggi. Kandungan buah<br />
melon adalah 93% air dan 7% lainnya berupa karbohidrat dalam bentuk gula, vitamin, dan mineral.<br />
Ahli gizi menyatakan bahwa komsumsi buah melon setiap hari mampu menghindarkan stroke,<br />
kelebihan kolesterol, dan mampu mendongkrak kekurangan energi.<br />
Petani menyukai usahatani melon karena umurnya pendek dan mudah diperdagangkan. Sampai<br />
saat ini kebutuhan benih melon sebagian besar masih dipasok dari luar negeri. Pada tahun 2001- 2005<br />
Indonesia mengimpor benih melon berturut-turut sebanyak 6.392, 2.910, 3.698, 2.992, dan 1.653 kg<br />
(Ranu, 2006). Pada umumnya benih yang diintroduksi ialah hibrida superior untuk sifat mutu, ukuran<br />
buah maupun ketahanannya terhadap cekaman lingkungan, termasuk terhadap penyakit layu.<br />
Pada umumnya tipe sex melon andromonoecious, termasuk tanaman menyerbuk sendiri,<br />
meskipun peluang terjadinya bersari bebas di lapangan sangat bervariasi, tergantung mikroklimat,<br />
yaitu berkisar 20-30% dan tidak terjadi depressi inbreeding setelah generasi ketujuh selfing (Lippert<br />
78│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengenalan dan Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Melon di Sumbar dan Riau<br />
Makful, Kuswandi, Hendri, dan Sahlan<br />
& Legg 1972a, Pearson 1983). Persilangan antar varietas yang asal-usulnya berbeda jauh<br />
menunjukkan heterosis, tidak hanya sifat genjah saja tetapi juga hasil lebih tinggi daripada kedua<br />
tetuanya. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam satu seri persilangan dialil yang menggunakan 10<br />
kultivar dan memperoleh 45 F 1<br />
kombinasi persilangan menguatkan pendapat, bahwa heterosis<br />
kegenjahan sebesar 3%, waktu panen pertama dan ketiga, bobot buah pertama dari tiga buah, bobot<br />
seluruh buah per tanaman, derajat netting (jala), padatan terlarut dan bentuk buah (Lippert & Legg<br />
1972 a,b).<br />
Beberapa peneliti menyatakan adanya efek daya gabung umum dan daya gabung khusus yang<br />
nyata pada karakter waktu panen pertama dan bobot buah pertama dari tiga buah yang dipanen. Hal<br />
ini menunjukkan bahwa hasil uji dialil dapat digunakan untuk mengenali tetua terbaik yang berasal<br />
dari varietas sintetik yang dasar genetiknya luas dan ini dibuktikan oleh sifat-sifat yang dibentuk dari<br />
inbred-inbred yang telah diseleksi. Karena efek DGU x lokasi dan efek aditif lebih penting daripada<br />
non-aditif, seleksi dapat dilakukan di beberapa lingkungan. Karena melon termasuk tanaman<br />
menyerbuk sendiri, maka untuk maksud pemuliaan yang ingin memperoleh standar varietas dengan<br />
sifat-sifat yang diperlukan dapat diisolasi. Pengalaman menunjukkan bahwa persilangan menggunakan<br />
galur-galur andromonoecious menghasilkan 30-35% biji hibrida F 1<br />
dan 70-65% monoecious yang<br />
akan bermanfaat sebagai sumber sterilitas jantan (Nandpuri et al. 1974). Gen sterilitas jantan pada<br />
induk tipe monoecious dapat digunakan untuk produksi benih hibrida melon secara komersial.<br />
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika telah melakukan serangkaian kegiatan pemuliaan<br />
melon untuk menghasilkan varietas hibrida melon unggul baru. Untuk mengetahui daya adaptasi<br />
calon varietas dengan lingkungannya maka dilakukan uji multilokasi. (Salman, Abou-hussein, Abdel<br />
Mawgoud & El-Nemr 2005). Interaksi antara genotip dan lingkungan merupakan masalah utama bagi<br />
pemulia tanaman dalam usaha mengembangkan kultivar hasil seleksinya, karena ada beberapa genotip<br />
yang menunjukkan reaksi spesifik terhadap lingkungan tertentu. Beberapa kultivar yang diuji di<br />
berbagai lokasi ternyata kemampuan produksinya berbeda pada setiap lokasi pengujian. Hal ini<br />
disebabkan oleh adanya pengaruh interaksi antara genotip dan lingkungan (Harsanti et al. 2003,<br />
Baihaki & Wicaksono 2005).<br />
Sampai saat ini telah diperoleh 2 kandidat hibrida, untuk memenuhi persyaratan pelepasan<br />
varietas unggul baru, maka kandidat-kandidat tersebut harus diuji stabilitas, daya hasil dan daya<br />
adaptasinya di beberapa lokasi tanam. Pada tahun 2009 telah dilakukan uji multilokasi calon varietas<br />
unggul melon masing-masing 2 calon varietas, dan pada tahun 2010 merupakan penanaman ke dua<br />
sesuai dengan Peraturan Menteri <strong>Pertanian</strong> No.37/OT.140/8/2006 tentang pengujian, penilaian,<br />
pelepasan, dan penarikan varietas, bahwa uji multilokasi dilakukan selama 2 kali musim tanam.<br />
Untuk mempercepat proses pengenalan kandidat hibrida melon serta mengevaluasi stabilitas<br />
galur melon kepada pengguna maka pada kegiatan ini dilaksanakan penanaman pada dua lokasi<br />
(Sumbar dan Riau) dan selanjutnya saat panen diundang stake holder dan nantinya dapat dipilih<br />
kandidat varietas unggul baru melon yang diminati konsumen.<br />
Pengenalan atau identifikasi varietas unggul adalah suatu teknik untuk menentukan apakah yang<br />
dihadapi tersebut ialah benar varietas unggul yang dimaksudkan. Pelaksanaannya dapat dilakukan<br />
dengan mempergunakan alat pegangan berupa deskripsi varietas (Gani 2000).<br />
Tujuan penelitian ialah untuk mempercepat proses pengenalan calon varietas unggul melon<br />
kepada masyarakat di Sumbar dan Riau. Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat mendorong<br />
penangkar benih melon untuk memproduksi benih, sehingga dapat mengurangi impor benih.<br />
METODOLOGI<br />
Pengenalan dan Evaluasi Calon Hibrida Melon<br />
Tempat dan Waktu<br />
Penelitian dilaksanakan di 2 lokasi pengembangan yaitu Solok dan Riau mulai Bulan Maret<br />
sampai dengan November 2011.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│79
Pengenalan dan Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Melon di Sumbar dan Riau<br />
Makful, Kuswandi, Hendri, dan Sahlan<br />
Pelaksanaan<br />
Penelitian dilakukan melalui percobaan lapang dengan menanam 2 kandidat melon hibrida<br />
(MB-1 dan MB-2) serta varietas pembanding yang disesuaikan dengan varietas yang biasa ditanam<br />
oleh petani setempat.<br />
Bahan yang digunakan ialah pupuk, pestisida, pupuk mikro, polybag, plastik bening, mulsa<br />
plastik hitam perak, kawat bendrat, kertas sungkup tahan air, ajir, dan alat tulis kantor. Alat yang<br />
digunakan ialah cangkul, gunting pangkas, parang, gerobak dorong, hand sprayer, knapsack sprayer,<br />
kotak semai, timbangan, penggaris, kamera, hand refractometer, dan alat-alat untuk menyimpan data<br />
penelitian di dalam komputer.<br />
Persiapan Benih<br />
Benih tetua dan calon varietas unggul melon Balitbu-Trop yang akan ditanam ialah benih hasil<br />
kegiatan tahun 2010 yang dipanen Bulan November 2010. Evaluasi pertama viabilitas benih<br />
dilakukan Bulan April 2011 dengan viabilitas rerata diatas 90%. Pada Bulan Juni 2011 dilakukan<br />
seleksi biji bernas dan evaluasi perkecambahan kedua untuk semua materi yang akan ditanam. Materi<br />
seleksi biji tetua betina (86 dan 78) dan tetua jantan ( H dan M ) serta calon varietas MB1 dan MB2<br />
di Kebun Percobaan Sumani. Bulan Juli 2011 sudah diperoleh informasi viabilitas benih rerata masih<br />
di atas 85% sehingga tidak perlu dilakukan rejuvinasi. Benih pembanding untuk melon juga sudah<br />
tersedia dan rencana penanaman untuk kegiatan ini akan dilakukan pada Bulan Juli 2011 untuk kedua<br />
lokasi.<br />
Persiapan Materi Pengenalan dan Evaluasi Calon Varietas Hibrida Melon<br />
Kegiatan penelitian dilakukan di KP. Sumani Balitbu dan Pekanbaru. Lokasi Kebun Percobaan<br />
Sumani tanam pada tanggal 19 Juli 2011 dan lokasi Pekanbaru tanam pada tanggal 19 Agustus 2011.<br />
Persemaian<br />
Biji direndam di dalam air bersih selama 12 jam agar mengalami imbibisi, kemudian ditiriskan<br />
dan dikecambahkan di dalam kantong plastik bening ukuran 1 kg yang ditiup. Kemudian diletakkan<br />
di dalam ruangan dengan penyinaran selama 72 jam pada suhu 37C sampai kecambah muncul keluar<br />
dan berakar. Kecambah di tanam pada kantong plastik bervolume 250 ml yang berisi media campuran<br />
tanah dan sekam lapuk dengan posisi bagian titik tumbuhnya masuk ke dalam media pasir sedalam 3<br />
cm. Benih di tanam di lapang setelah berumur 10 hari dari saat penyemaian.<br />
Penanaman<br />
Bibit ditanam menggunakan lanjaran bambu ukuran 2 m pada sorjan (bedengan) dengan dimensi<br />
pxlxt (6 x 1, 2 x 0,7) m dengan saluran drainase sedalam 0,7 m. Satu sorjan untuk 10 tanaman. Bedengan<br />
dibuat sebanyak 12 buah, dan ditanami dengan keempat varietas (MB-1, MB-2, dan 2 varietas<br />
pembanding). Bedengan ditutup dengan plastik mulsa metalik (bagian luar) ukuran 2,5 x 1,2 m.<br />
Pemupukan diberikan dengan interval 1 minggu sebanyak 2 gr NPK/tanaman. Pada saat tanaman<br />
memasuki fase generatif dilakukan pemupukan NPK (15:15:15) dosis 3 gr/tanaman dengan interval 1<br />
minggu. Pada saat pembuahan ditambahkan pupuk KCl sejumlah 3 gr/tanaman. Pemberian pupuk<br />
dilakukan dengan dengan cara dikocor. Pengendalian hama penyakit dan gulma disesuaikan dengan<br />
kebutuhan. Pembuahan dilakukan pada bakal buah di ruas 7-9.<br />
Buah masak fisiologis ditandai dengan ada retakan disekitar tangkai buah dan muncul aroma<br />
khas melon, biasanya umur buah sekitar 30–35 hari setelah pembuahan. Panen dilakukan dengan<br />
memotong tangkai buah dengan pisau/gunting yang tajam dengan menyisakan tangkai buah pada<br />
buah. Buah kemudian dikarakterisasi berdasarkan peubah/kriteria yang telah ditetapkan.<br />
Peubah yang Diamati<br />
Peubah yang diamati ialah umur panen, bobot buah, tebal buah, mutu buah (rasa, kesukaan,<br />
warna daging dan kulit, padatan terlarut, dan kerapatan jala kulit buah), dan persentase<br />
penyimpangan dari masing-masing karakter di atas. Selain itu juga dilakukan uji preferensi terhadap<br />
buah yang dihasilkan. Uji preferensi konsumen dilakukan dengan melakukan uji rasa terhadap calon<br />
varietas unggul baru melon terhadap tingkat kesukaan dan penerimaan panelis. Data dianalisis<br />
80│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengenalan dan Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Melon di Sumbar dan Riau<br />
Makful, Kuswandi, Hendri, dan Sahlan<br />
statistik menggunakan sidik ragam (Anova). Untuk membedakan antar perlakuan dilakukan dengan<br />
uji LSD 0,05.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Dari kegiatan ini diharapkan dapat terjadi percepatan proses adopsi calon varietas unggul melon<br />
hasil rakitan Balitbu Tropika kepada masyarakat di Sumbar dan Riau serta memproduksi benih calon<br />
varietas unggul melon tersebut. Sebelum dilakukan pengujian perlu dilakukan persiapan benih<br />
(penggaluran) melon untuk persiapan tetua dan hibridisasi untuk persiapan benih F 1 untuk ditanam di<br />
2 lokasi yakni Kebun Percobaan Sumani dan Pekanbaru, Riau.<br />
Evaluasi Stabilitas Calon Hibrida Melon<br />
Hasil analisis ragam gabungan pada tanaman melom menunjukkan bahwa berbeda sangat nyata<br />
pada peubah TSS (Tabel 1). Pengaruh interaksi antara varietas dan lingkungan tidak berbeda nyata<br />
pada peubah bobot buah dan TSS. Rerata bobot buah dan TSS tanaman melon dapat dilihat pada<br />
Tabel 2 dan 3.<br />
Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam karakter kuantitatif tanaman melon di Sumbar dan Riau<br />
Karakter varietas Varietas x lokasi KK (%)<br />
Bobot buah tn tn 10,87<br />
TSS ** tn 7,37<br />
Interaksi varietas x lingkungan tidak berpengaruh nyata, hal ini menunjukkan bahwa varietas<br />
yang diuji telah stabil untuk ditanam di semua lokasi pengujian.<br />
Tabel 2. Rerata bobot buah melon di Sumbar dan Riau<br />
Varietas<br />
Bobot buah<br />
Sumani<br />
Pekanbaru<br />
Rerata varietas<br />
MB1 1,42 1,69 1,55<br />
Action 1,44 1,75 1,59<br />
MB2 1,47 1,81 1,64<br />
Glamour 1,59 1,87 1,73<br />
Tabel 3. Rerata TSS melon di Sumbar dan Riau<br />
Varietas<br />
TSS<br />
Sumani<br />
Pekanbaru<br />
Rerata varietas<br />
MB1 10,43 11,80 11,12<br />
Action 10,05 11,38 10,72<br />
MB2 9,58 10,65 10,12<br />
Glamour 9,17 10,73 9,95<br />
Uji Preferensi<br />
Uji preferensi terhadap buah melon menunjukkan bahwa calon varietas MB1 dan MB2 lebih<br />
diminati konsumen dibandingkan kedua varietas pembanding dengan skor 3-5 (90%), pembanding<br />
mendapat skor 85%. Hal ini disebabkan karena melon MB1 mempunyai bentuk yang menarik, yaitu<br />
lonjong, tekstur daging renyah, dan manis. Sementara melon MB2 disukai karena warna dagingnya<br />
orange dan aromanya sangat kuat.<br />
KESIMPULAN<br />
Dari analisa dan uraian di atas dapat disimpulkan:<br />
1. Bobot buah Melon MB1 lebih rendah dari pembanding Action, sedangkan MB2 lebih rendah dari<br />
pembanding Glamour.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│81
Pengenalan dan Evaluasi Stabilitas Calon Varietas Unggul Baru Melon di Sumbar dan Riau<br />
Makful, Kuswandi, Hendri, dan Sahlan<br />
2. TSS melon MB1 lebih rendah dari pembanding Action, sedangkan MB2 sedikit lebih tinggi dari<br />
pembanding Glamour.<br />
3. Uji preferensi konsumen menggunakan materi yang ditanam di Pekanbaru. Hasil pengujian<br />
menunjukkan bahwa calon varietas melon menunjukkan bahwa calon varietas MB1 dan MB2<br />
lebih diminati konsumen dibandingkan kedua varietas pembanding dengan skor 3-5 (90%).<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kemenristek yang telah mendanai penelitian ini.<br />
PUSTAKA<br />
1. Baihaki, A & Wicaksono, N 200, ‘Interaksi genotip x lingkungan, adaptabilitas, dan stabilitas<br />
hasil dalam pengembangan tanaman varietas unggul di Indonesia’, Zuriat, vol. 16, no. 1, hlm. 1-8.<br />
2. Gani, JA 2000, Kedelai varietas unggul baru, Lembar informasi pertanian (Liptan) IP2TP<br />
Mataram, no. 07/Liptan/2000.<br />
3. Harsanti, L, Hambali, & Mugiono 2003, ‘Analisis daya adaptasi 10 galur mutan padi sawah di 20<br />
lokasi uji daya hasil pada dua musim’, Zuriat, vol. 14, no. 1, hlm. 1-7.<br />
4. Lippert, LF & Legg, PD 1972b, ‘Diallel analysis for yield and maturity characeristic in<br />
muskmelon cultivars’, J. Amer. Soc. Hor.Sci. vol. 104, pp. 100-101<br />
5. Mohr 1986, Watermelon Breeding, In: Bassett, MJ (ed.), Breeding Vegetable Crops, VI Pbbl. Co..<br />
Inc. Wesport, Conneticut, pp. 37-66.<br />
6. Nandpuri, KS, Singh, S & Lal, T 1974, ‘Study on the comparattive performance of F 1 hybrids and<br />
their parents in muskmelon’, J. Res., vol. 11, pp. 230-38.<br />
7. Pearson, OH 1983, Heterosis in gegetables crops, In: Frankel, R. (ed.) Heterosis: Reappraisal of<br />
theory and practice, Monographs on Theorical and Applied Genetics 6, Springer-Verlag, Berlin -<br />
Heidelberg-New York-Tokyo, pp. 138-88.<br />
8. Ranu, NL 2006, Penataan sistem penyediaan benih bersertifikat, Makalah seminar: Penataan<br />
Sistem Benih Bersertifikat <strong>Hortikultura</strong>, Puslitbang <strong>Hortikultura</strong>, Jakarta.<br />
9. Salman, SR, Abou-hussein, SD, Abdel-Mawgoud, AMR & El-Nemr, MA 2005, ‘Fruit yield and<br />
quality of watermelon as affected by hybrids and humic acid application’, J. Appl. Sci. Res., vol.<br />
1, no. 1, pp. 51-8.<br />
10. Whitaker, TW & Davis, GN 1962, Cucurbits : Botany Cultivation and utilization.<br />
82│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
BAGIAN 2.<br />
FISIOLOGI DAN AGRONOMI<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│83
Yield Performance of Applying Cropping Pattern Technologies of Potato on Volcanic Medium Altitute Land<br />
Mulyadi, Sarjiman, Widodo, S, and Wanita, Y. P.<br />
Yield Performance of Applying Cropping Pattern Technologies of Potato on Volcanic<br />
Medium Altitute Land<br />
Mulyadi, Sarjiman, Widodo, S, and Wanita, Y. P.<br />
Yogyakarta Assessment Institute for Agricultural Technology<br />
Email: bptp-diy@litbang.deptan.go.id<br />
Personal email: skh_mulyadi@yahoo.com, HP. 08121502610<br />
Abstract. This research was conducted to evaluate the yield performance of applying soil and crop<br />
management technologies in relation to crop productivity and income of potato cultivations under monoculture<br />
and intercropping with sweet corn and leaf onion on medium altitude land developing from volcanic sediment in<br />
Merapi volcano slope area. The research was conducted in dry season at three locations with different altitude,<br />
i.e. 400, 550, and 700 m above sea level. At the each altitude, three packages of cropping pattern technologies,<br />
i.e. monoculture of potato, intercropping of potato with sweet corn and potato with leaf onion were used as<br />
treatments and arranged in randomize complete block design with three replications. Results of the research<br />
showed that potato crop could grow well on medium altitude land and give relative high yield of tuber, ranging<br />
of 19.33 to 25.17 t/ha. The potato tuber yields obtained from the higher sites, altitude of 550 and 700 m, were<br />
higher significant than that from altitude site of 400 m but there was no significant different on the tuber yields<br />
of potato planted with monoculture and intercropping patterns. However, potato planted with intercropping<br />
patterns were more economical efficient due to higher income than with monoculture pattern.<br />
Keywords: potato, sweet corn, leaf onion, monoculture, intercropping, productivity, income.<br />
Abstrak. Mulyadi, Sarjiman, Widodo, S, and Wanita, Y. P. 2013. Kinerja Hasil Penerapan Teknologi<br />
Pola Tanam Kentang pada Lahan Dataran Medium Vulkan. Penelitian ini dilaksanakan untuk<br />
mengevaluasi kinerja hasil penerapan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman dalam hubungannya dengan<br />
produktivitas dan pendapatan dari budidaya kentang monokultur dan tumpangsari dengan jagung manis dan<br />
bawang daun pada lahan dataran medium yang berkembang dari endapan vulkan di daerah lereng gunung api<br />
Merapi. Penelitian dilaksanakan dalam musim kemarau pada tiga lokasi dengan ketinggian tempat berbeda,<br />
yaitu: 400, 550, dan 700 m di atas permukaan laut. Pada tiap lokasi tersebut, tiga paket teknologi pola tanam,<br />
yaitu: monokultur kentang, tumpangsari kentang dengan jagung manis, dan tumpangsari kentang dengan<br />
bawang daun digunakan sebagai perlakuan dan disusun dalam rancangan acak kelompok lengkap dengan tiga<br />
ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kentang dapat tumbuh baik pada lahan dataran medium<br />
dan memberikan hasil umbi yang relatif tinggi, berkisar 19,33 sampai dengan 25,17 t/ha. Hasil umbi kentang<br />
yang diperoleh dari ketinggian tempat yang lebih tinggi, yaitu: 550 dan 700 m, adalah nyata lebih tinggi dari<br />
pada hasil umbi yang diperoleh dari ketinggian tempat 400 m tetapi tidak ada beda nyata pada hasil umbi dari<br />
kentang yang ditanam dengan pola monokultur dan tumpangsari. Namun demikian, kentang yang ditanam<br />
dengan pola tumpangsari secara economi lebih efisien karena pendapatannya lebih tinggi dari pada pola<br />
monokultur.<br />
Kata kunci: kentang, jagung manis, bawang daun, penamanan tunggal, tumpangsari, produktivitas, pendapatan.<br />
Vegetable crops are important food material as source of nutrition and vitamin for human<br />
healty. Demanding of vegetables to meet the population need will increase along with population<br />
growth. Therefore, it is important to increase the vegetable production whether through increasing the<br />
crop productivity or extending the crop growing area.<br />
Potato (Solanum tuberosum L.) is one of vegetable crops that relative efficient in conversing of<br />
energy from nature due to it has high potential in producing of carbohydrate, protein, and vitamin (B 1 ,<br />
B 2 , and C) per unit of time and area. Besides that, potato tuber is not easy damage and relative longer<br />
storable compared with common vegetable crops (Asandhi et al., 1989). Therefore, it can be use as an<br />
alternative food source in attempting to contribute food security and diversification program. As a<br />
trade commodity, potato has also relative high economic value and market opportunity.<br />
In Indonesia production areas of potato and other vegetable crops such as sweet corn and leaf<br />
onion, in general, were still limited on high altitude land, more than 700 m above sea level, due to<br />
they have favorable conditions such as relative low air temperature and high soil fertility (Asandhi et<br />
84│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Yield Performance of Applying Cropping Pattern Technologies of Potato on Volcanic Medium Altitute Land<br />
Mulyadi, Sarjiman, Widodo, S, and Wanita, Y. P.<br />
al., 1989; Asandhi, 1991). On the other hand, availability of the high altitude areas is very limited and<br />
become one of the main factors faced to develop vegetable cultivation. Preliminary researches of<br />
potato cultivation on medium altitude land reviewed by Asandhi (1991) indicated that cultivation of<br />
potato on medium altitude land could produce tuber 18.0 to 40.8 t/ha if varieties used was well<br />
adaptable followed by adequate input and good management practices. Hence, it is important to extent<br />
the vegetable growing areas to potential ecosystem, such as medium altitude land (300 -700 m above<br />
sea level) as an alternative to increase the vegetable production.<br />
Cultivation of vegetable crops in intercropping system with proper crop combination is also<br />
important developed because it could make more efficient in using of the land, avoid harvest fail as<br />
pest and disease attacks, increase harvest frequency and labor efficiency, and give higher total income<br />
than monoculture one (Satsijati, et al., 1978; Silalahi, 1991; 1992). The proper intercropping system<br />
with combining vegetable crops chosen exactly has several advantages as reported by many<br />
researches. Setyawati et al. (1993) reported that intercropping of potato with onion leaf could suppress<br />
the aphid attack of Mizus perciasae and maintained the potato tuber yield of 19.0 t/ha. Asandhi and<br />
Suryadi (1982) who worked in intercropping of potato with sweet corn and monoculture of potato<br />
reported that the potato tuber yield obtained by intercropping system was not significant different<br />
compared to that by monoculture system if the potato crop planted 10, 20, or 30 days before sweet<br />
corn planting.<br />
In Yogyakarta Special Region has medium altitude land located in Merapi volcano slope area<br />
that a part of the land was categorized moderate potential for growing of potato and other vegetable<br />
crops. Results of preliminary assessments on the area indicated that cultivation of potato with using<br />
good seed quality, adaptive variety of Granola, and adequate inorganic and organic fertilizers could<br />
produce relative high tuber (20.34 – 21.68 t/ha). Even the potato tuber yield could achieve around of<br />
24.59 t/ha with adding rice straw mulch of 5.0 t/ha (Aliudin et al., 2000a; Aliudin et al., 2000b;<br />
Sarjiman et al., 2000; Sarjiman and Sutardi, 2000).<br />
This study elaborated the performance of soil and crop management in relation to crop productivity<br />
and financial feasibility levels of potato, sweet corn, and leaf onion planted in monoculture and<br />
intercropping patterns on volcanic medium altitude land in Merapi volcano slope area, Sleman<br />
Regency, Yogyakarta Special Region.<br />
MATERIALS AND METHODS<br />
The study was conducted in dry season at three locations with different altitude, i.e. 400, 550,<br />
and 700 m above sea level on medium altitude land developing from volcanic sediment in ‘Merapi’<br />
volcano slope, Pakem District, Sleman Regency, Yogyakarta Special Region. Kind of treatments at<br />
each location consist of 3 packages cropping pattern technology, i.e. monocultures of potato,<br />
intercropping of potato with sweet corn and potato with leaf onion. The treatments were arranged in<br />
randomize complete block design with three replications. Size of treatment plot was 7.5 m x 4.0 to 4.8<br />
m, consisting of 5 beds with size of each bed was 1.2 m x 4.0 to 4.8 m and between the beds was<br />
separated by a ditch with wide of 0.3 m. The vegetable crops used in this study were planted on the<br />
beds. In monoculture pattern the potato was planted with planting distance of 70 cm x 40 cm (two<br />
rows per bed while in intercropping pattern with potato the sweet corn and leaf onion was planted in a<br />
row between the potato rows with planting distance within row of 40 cm, respectively. The respective<br />
of sweet corn and leaf onion in intercropping with potato was planted 15 day after planting (DAP) of<br />
potato. The crops were fertilized with N, P 2 O 5 , K 2 O sourcing from Urea, Super phosphate 36 (SP 36),<br />
and Muriate of Potash (MOP), respectively, besides chicken dung manure and rice straw mulch.<br />
Fertilizer dosage applied in kg ha -1 for potato in monoculture and intercropping was 138 N, 72 P 2 O 5 ,<br />
and 120 K 2 O, respectively while sweet corn in intercropping with potato was 36.8 N, 10.8 P 2 O 5 , and<br />
18 K 2 O and leaf onion in intercropping with potato was 6.9 N. Besides that, all treatments were<br />
applied by chicken dung manure of 15 kg ha -1 while rice straw mulch of 5 kg ha -1 was only applied for<br />
three treatments with potato. Detail of cropping patterns and fertilization was presented in Table 1.<br />
The chicken dung manure was incorporated with soil at ploughing time while rice straw<br />
mulch was applied after planting of the crops. All dosages of N, P 2 O 5 , and K 2 O for potato were<br />
applied at planting time while for sweet corn the 1/3 dosage of N plus all dosage of P 2 O 5 and K 2 O<br />
were applied at planting time and the remain of N dosage was applied at 30 DAP. During the crop<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│85
Yield Performance of Applying Cropping Pattern Technologies of Potato on Volcanic Medium Altitute Land<br />
Mulyadi, Sarjiman, Widodo, S, and Wanita, Y. P.<br />
growth and development, i.e. since planting until harvesting, the crops were maintained intensively by<br />
conducting weeding at 15 and 30 DAP besides spraying of pesticide and irrigation. The potato was<br />
harvested at 84 DAP while sweet corn and leaf onion were harvested at 75 DAP.<br />
Data colledted envolved tuber yield of potato, ear yield of sweet corn, and plant leaf of leaf onion<br />
beside that production input costs and yield values of the crops. The collected data were analysed<br />
descriptively for determing the level differences of crop productivities and the financial feasibility, in<br />
terms of revenue to cost ratio (R/C) and benefit to cost ratio (B/C). In addition, the data obtained,<br />
especially for tuber yield components, from the monoculture and intercropping treatments were<br />
processed with SAS package (SAS Institute Inc., 1985) for analysis of variance (ANOVA) and mean<br />
comparison. The ANOVA was used to detect the differences of treatment effect; mean comparison<br />
using least significant different (LSD) test at significant level of 5 % was applied to determine the<br />
differences of mean values of the treatments.<br />
RESULTS AND DISCUSSION<br />
Effects of cropping pattern and altitude on the tuber yield of potato<br />
The potato yields in terms of number of tuber per plant and weight of tuber per plant or<br />
hectare, obtained from different cropping patterns and altitude on volcanic land are presented in Table<br />
2. From the results in Table 2 indicated that the average yields of potato tuber obtained from<br />
monoculture and intercropping of potato with sweet corn and potato with leaf onion were not<br />
significantly different. The results similar to that obtained by Setyawati et al. (1993) and Asandhi and<br />
Suryadi (1982). It meant that addition of planting row of sweet corn or leaf onion between the rows of<br />
potato, as the main crop in the intercropping system, did not negative effect to the tuber yield of<br />
potato. It is important known that in this study whether the sweet corn or leaf onion in intercropping<br />
with potato, respectively was fertilized adequately and planted 15 DAP of potato to avoid the nutrient<br />
competition between the crops.<br />
On the other hand, the difference of site altitudes influenced significantly to the average of potato<br />
tuber weight per plant or hectare while to the number of tuber per plant was relative not different. The<br />
tuber yields obtained from planting potato at 550 and 700 m above sea levels was 24.000 and 24.472<br />
t/ha, respectively which the yields were significantly higher than that at 400 m above sea levels which<br />
only achieved 20.583 t/ha. The result indicated that on site with lower altitude, the tuber yield of<br />
potato crop tended to decline, it might be due to, among others, the lower altitude the higher air<br />
temperature which it became less favourable air temperature level for tuber forming. As known that to<br />
grow well and yielded high tuber, potato crop need optimum temperature, especially for tuber<br />
forming, around 15.6 – 17.8 0 C (Asandhi et al.,1989).<br />
Comparison of the yield and income of potato, sweet corn, and leaf onion under monoculture<br />
and intercropping<br />
The crop yields of potato, sweet corn, and leaf onion planted under monoculture and<br />
intercropping systems on medium altitude land developing from volcanic sediment in ‘Merapi’<br />
volcano slope and their financial analyses were presented in Table 3. The financial analyses based on<br />
the current price in assessment site, i.e. for the crop yield prices per kg for potato tuber IDR 3,000, ear<br />
of sweet corn IDR 2,000, and leaf onion IDR 2,000 and the production cost average for each cropping<br />
pattern as presented in Table 4.<br />
Based on the results presented in Table 3 showed that potato planted under monoculture could give<br />
the yield averages, consecutively 23.33 t/ha with benefit to cost ratio (B/C) of 1.62 with the average<br />
of profit or benefit value obtained was IDR 43.294 million/ha. However, the profits obtained from<br />
monoculture systems of potato was relative lower than that from intercropping systems of the potato<br />
with sweet corn or leaf onion, in which the profits could achieve to IDR 47.129 and IDR 46.703<br />
million/ha, respectively, and the B/C value was also quite high, i.e. 1,67. In addition, the averages of<br />
potato tuber yields obtained from planting of potato under monoculture and intercropping system<br />
were not significantly different (Table 2). Briefly, planting of potato in intercropping system with<br />
sweet corn or leaf onion could give higher cost efficiency and profit compared with potato that only<br />
was planted by monoculture system. The results of study also indicated that the medium altitude land<br />
86│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Yield Performance of Applying Cropping Pattern Technologies of Potato on Volcanic Medium Altitute Land<br />
Mulyadi, Sarjiman, Widodo, S, and Wanita, Y. P.<br />
developing from volcanic sediment could be used for cultivation development of potato, sweet corn,<br />
and leaf onion with relative high yield and profit.<br />
CONCLUSIONS<br />
The medium altitude land developing from volcanic sediment could be used for cultivation<br />
development of potato, sweet corn, and leaf onion with relative high yield and profit. Potato planted<br />
under monoculture could give yield consecutively 23.33 t/ha with benefit to cost ratio (B/C) of 1.62.<br />
More efficient technology if the potato was planted in intercropping pattern with sweet corn or leaf<br />
onion. Potato planted under intercropping with sweet corn or leaf onion could give higher cost<br />
efficiency and profit compared to potato under monoculture, i.e. the B/C of intercropping was about<br />
1,67 with the profit of IDR 46,70 - 47,13 million/ha.<br />
ACKNOWLEDGEMENTS<br />
Thanks to Yogyakarta Assessment Institute for Agricultural Technology for financial<br />
allocation to implement this research.<br />
REFERENCE<br />
1. Aliudin, Sarjiman, Suharno, dan Sutardi. 2000b. Laporan Teknis Pengkajian Pola Tanam<br />
Sayuran di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1999/2000. Instalasi penelitian dan<br />
Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> (IPPTP) Yogyakarta.26 hal.<br />
2. Aliudin, Sutardi, dan Sarjiman. 2000a. Kajian Penggunaan Pupuk Organik Fine Compost pada<br />
Hasil Panen Kentang di Dataran Medium Propinsi D.I. Yogyakarta. Proc. Teknologi <strong>Pertanian</strong><br />
Spesifik Lokasi Dalam Upaya Peningkatan Kesejahteraan <strong>Pertanian</strong> dan Pelestarian Lingkungan.<br />
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>, IPPTP, Unwama dan UPN “Veteran” Yogyakarta. 2<br />
Desember 1999, PP 191 - 196.<br />
3. Asandhi, A.A. 1991. Technoguide of Potato Production at Mid-Elevation (Petunjuk Teknis Cara<br />
Bertanam Kentang di Dataran Medium). Balai Penelitian <strong>Hortikultura</strong> Lembang. 18 hal.<br />
4. Asandhi, A.A. dan Suryadi. 1982. Pengaruh Naungan Tanaman Jagung dan Mulsa Terhadap<br />
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kentang (Solanum tuberosum). Bull. Penel. Hort. IX(4); 15-25.<br />
5. Asandhi, A.A., S. Sastrosiswojo, Suhardi, Z. Abidin & Subhan. 1989. Kentang, Edisi Kedua.<br />
Balai Penelitian <strong>Hortikultura</strong> Lembang. 209 hal.<br />
6. Sarjiman dan Sutardi. 2000. Pemanfaatan Bahan Organik dan Mulsa Jerami Bagi Peningkatan<br />
Produksi Kentang di Dataran Medium Daerah Istimewa Yogyakarta. Proc Seminar Teknolagi<br />
<strong>Pertanian</strong> Untuk Mendukung Agribisnis Dalam Pengembangan Ekonomi Wilayah dan Ketahanan<br />
Pangan.PSE Bogor. IPPTP Yogyakarta Kerjasama dengan UNWAMA Yogyakarta dan UPN<br />
“Veternan“ Yogyakarta. 23 November 2000. Yogyakarta. PP 23 – 26.<br />
7. Sarjiman, Aliudin, dan Sutardi. 2000. Laporan Hasil Pengkajian Pola Tanam Sayuran di Propinsi<br />
Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2000. Proyek ARM-II, Instalasi penelitian dan Pengkajian<br />
Teknologi <strong>Pertanian</strong> (IPPTP) Yogyakarta.46 hal.<br />
8. SAS Institute Inc. 1985. SAS User’s Guides: statistic, version 5 edition. Cary, NC: SAS Institute<br />
Inc. 956 p.<br />
9. Satsijati, Suprijadi dan Toto Sutata, 1978. Penelitian Pola Tanam Sayuran Dataran Tinggi. Bul.<br />
Penel. Hort. VI (5).<br />
10. Setyawati, W., Subhan dan A.A. Asandhi. 1993. Pengendalian Hama Kutu Daun Persik (Mizus<br />
Percisae) Secara Kultur Teknis Pada Tanaman Kentang Dataran Medium. Bull. Penel. Hort.<br />
XXIV (3);82-89. Balai Penelitian <strong>Hortikultura</strong> Lembang<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│87
Yield Performance of Applying Cropping Pattern Technologies of Potato on Volcanic Medium Altitute Land<br />
Mulyadi, Sarjiman, Widodo, S, and Wanita, Y. P.<br />
11. Silalahi, F.H. 1991. Tumpangsari Ercis dan Kentang. Jurnal <strong>Hortikultura</strong> I (4);4-22. Pusat<br />
Penelitian dan Pengembangan <strong>Hortikultura</strong>, Badan Litbang <strong>Pertanian</strong>. Jakarta.<br />
12. Silalahi, F.H. 1992. Pengaruh Susunan Barisan Pada Tumpangsari Kobis Terhadap Produksi dan<br />
Pendapatan Bersih. Jurnal <strong>Hortikultura</strong> II (4); 66-72. Puslitbang <strong>Hortikultura</strong>, Badan Litbang<br />
<strong>Pertanian</strong>.<br />
Tables<br />
Table 1. Treatment of tested cropping pattern technologies on volcanic medium altitude land<br />
in Pakem, Sleman Regency.<br />
Treatment<br />
code<br />
Cropping<br />
pattern<br />
Planting<br />
distance<br />
(cm x cm)<br />
Treatment components<br />
Fertilizer and mulch rates (kg/ha)<br />
Population<br />
Chicken Rice<br />
1<br />
dung straw<br />
(plant/ha) N P 2 O 5 K 2 0 manure mulch<br />
MP Potato 70 x 40 33,333 138 72 120 15 5<br />
IPSC<br />
Potato + 70 x 40 33,333 138 72 120<br />
Sweet corn 40 16,666 36.8 10.8 18<br />
15 5<br />
IPLO<br />
Potato + 70 x 40 33,333 138 72 120<br />
Leaf onion 40 16,666 6.9 - -<br />
15 5<br />
1<br />
Size of treatment plot was 7.5 m x 4.0 to 4.8 m, consisting of 5 beds with size of each bed was 1.2 m x 4.0 to<br />
4.8 m and between the beds was separated by a ditch with wide of 0.3 m. In intercropping system, the sweet<br />
corn and leaf onion were planted in a row between the potato rows, respectively.<br />
Table 2. Effects of cropping pattern and altitude on the tuber yield of potato on volcanic<br />
medium altitude land in Pakem, Sleman Regency.<br />
Altitude Monoculture<br />
Intercropping<br />
( m from sea<br />
above level) Potato<br />
Potato +<br />
Sweet corn<br />
Potato + Leaf<br />
onion Mean<br />
No. of potato tuber (piece/plant)<br />
400 10.1 11.3 12.5 11.3 AB 1<br />
550 10.5 10.4 10.5 10.5 B<br />
700 13.4 12.7 12.6 12.9 A<br />
Mean 11.3 A 1 11.5 A 11.9 A<br />
Potato tuber yield (kg/plant)<br />
400 0.85 0.77 0.84 0.82 B<br />
550 0.94 0.96 0.98 0.96 A<br />
700 1.01 0.93 1.00 0.98 A<br />
Mean 0.93 A 0.89 A 0.94 A<br />
Potato tuber yield (t/ha)<br />
400 21.333 19.333 21.083 20.583 B<br />
550 23.500 24.000 24.500 24.000 A<br />
700 25.166 23.333 24.916 24.472 A<br />
Mean 23.333 A 22.222 A 23.500 A<br />
1 Mean values among cropping patterns or altitudes followed by the same capital letters indicated there is no<br />
significant different according to LSD test at 5% level.<br />
88│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Yield Performance of Applying Cropping Pattern Technologies of Potato on Volcanic Medium Altitute Land<br />
Mulyadi, Sarjiman, Widodo, S, and Wanita, Y. P.<br />
Table 3. Comparison of the yield and income of potato, sweet corn, and leaf onion under<br />
monoculture and intercropping on volcanic medium altitude land in Pakem, Sleman<br />
Regency.<br />
Altitude<br />
( m from<br />
sea above<br />
level)<br />
Monoculture<br />
Potato<br />
Intercropping<br />
Potato +<br />
Sweet<br />
corn Potato +<br />
Leaf<br />
onion<br />
Crop yield (t/ha)<br />
400 21.333 19.333 5.202 21.083 2.964<br />
550 23.500 24.000 4.172 24.500 1.105<br />
700 25.166 23.333 3.782 24.916 2.310<br />
Mean 23.333 22.222 4.385 23.500 2.126<br />
Revenue of yield value (IDR million/ha) 1<br />
400 63.999 57.999 10.404 63.249 5.928<br />
550 70.499 71.999 8.345 73.499 2.210<br />
700 75.499 69.999 7.564 74.749 4.620<br />
Mean 69.999 66.666 8.771 70.499 4.253<br />
Total revenue of yield value (IDR million/ha)<br />
400 63.999 68.404 69.177<br />
550 70.499 80.344 75.709<br />
700 75.499 77.563 79.370<br />
Mean 69.999 75.437 74.752<br />
Total production cost (IDR million/ha) 2<br />
400 26.705 28.308 28.050<br />
550 26.705 28.308 28.050<br />
700 26.705 28.308 28.050<br />
Mean 26.705 28.308 28.050<br />
Benefit value (IDR million/ha)<br />
400 37.294 40.096 41.128<br />
550 43.794 52.037 47.660<br />
700 48.794 49.256 51.320<br />
Mean 43.294 47.129 46.703<br />
Revenue to cost ratio (R/C)<br />
400 2.40 2.42 2.47<br />
550 2.64 2.84 2.70<br />
700 2.83 2.74 2.83<br />
Mean 2.62 2.67 2.67<br />
Benefit to cost ratio (B/C)<br />
400 1.40 1.42 1.47<br />
550 1.64 1.84 1.70<br />
700 1.83 1.74 1.83<br />
Mean 1.62 1.67 1.67<br />
1 Simulated with crop yield prices per kg for potato tuber = IDR 3,000, ear of sweet corn = IDR 2,000, and leaf<br />
onion = IDR 2,000.<br />
2 Simulated with the average data of farm record keeping from 10 cooperator farmers.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│89
Yield Performance of Applying Cropping Pattern Technologies of Potato on Volcanic Medium Altitute Land<br />
Mulyadi, Sarjiman, Widodo, S, and Wanita, Y. P.<br />
Table 4. The average of production cost of potato, sweet corn, and leaf onion under<br />
monoculture and intercropping on volcanic medium altitude land in Pakem, Sleman<br />
Regency.<br />
Price<br />
per unit<br />
(IDR<br />
thousand/<br />
unit)<br />
Cost value (IDR thousand/ha) 1<br />
Monoculture Intercropping<br />
Potato +<br />
Leaf<br />
onion<br />
Production<br />
input item Unit<br />
Potato<br />
Potato +<br />
Sweet corn<br />
Materials<br />
Seed<br />
- Potato Kg 8.50 14,450.00 14,450.00 14,450.00<br />
- Sweet corn Kg 60.00 0.00 750.00 0.00<br />
- Leaf onion Kg 2.00 0.00 0.00 800.00<br />
Fertilizer<br />
- Urea Kg 1.30 390.00 494.00 409.50<br />
- Super<br />
phosphate 36 Kg 1.60 320.00 368.00 320.00<br />
- Muriate of<br />
potash Kg 2.10 420.00 483.00 420.00<br />
- Chicken<br />
dung manure Ton 80.00 1,200.00 1,200.00 1,200.00<br />
Rice straw<br />
mulch Ton 50.00 250.00 250.00 250.00<br />
Pesticide Package 100.00 2,000.00 2,000.00 2,000.00<br />
Labour<br />
- Land<br />
preparation<br />
- Planting<br />
- Fertilization<br />
and<br />
mulching<br />
- Weeding<br />
- Pest and<br />
disease<br />
control<br />
Manday<br />
15.00 1,912.50 1,912.50 1,912.50<br />
Manday<br />
15.00 675.00 750.00 750.00<br />
Manday<br />
15.00 750.00 1,050.00 975.00<br />
Manday<br />
15.00 600.00 675.00 675.00<br />
Manday<br />
15.00 487.50 487.50 487.50<br />
- Harvesting<br />
Manday<br />
15.00 750.00 937.50 900.00<br />
Land rent Ha 1,500.00 1,500.00 1,500.00 1,500.00<br />
Miscellaneous Package 1,000.00 1,000.00 1,000.00 1,000.00<br />
Total input<br />
cost 26,705.00 28,307.50 28,049.50<br />
1 Simulated with the average data of farm record keeping from 10 cooperator farmers.<br />
90│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Application of Chemical and Bio-Fertilizers in Relation to String Bean (Phaseolus vulgaris L.) Yield and Soil-Borne<br />
Pathogen<br />
Mulyadi, Pustika, A. B. and Iswadi, A<br />
Application of Chemical and Bio-Fertilizers in Relation to String Bean (Phaseolus<br />
vulgaris L.) Yield and Soil-Borne Pathogen<br />
Mulyadi, Pustika, A. B. and Iswadi, A<br />
Yogyakarta Assessment Institute for Agricultural Technology<br />
Email: bptp-diy@litbang.deptan.go.id<br />
Personal email:skh_mulyadi@yahoo.com, mobile phone: 08121502610<br />
Abstract. This research aimed to know the effect of bio-fertilizer and N, P, K chemical fertilizer applications to<br />
string bean (Phaseolus vulgaris L.) yield and population of soil borne pathogen (Fusarium spp and Ralstonia<br />
spp) on a soil formed from volcanic sediment. The research was carried out on Merapi volcano slope area with<br />
altitude of 450 m above sea level at Pakem, Sleman Regency with using split plot design and three replications.<br />
As main plot treatments were kind and dosage of bio-fertilizer applications consisted of five levels, these are:<br />
EMAS bio-fertilizer formulated by Indonesian Research Institute for Estate Crop (IRIEC) at high dosage (E1)<br />
and low dosage (E2), bio-fertilizer formulated by Faculty of Agriculture, Gajah Mada University (MU),<br />
MycoApply TM Micronized endo bio-fertilizer formulated by Mycorrhizal Applications Inc. (MC), and without<br />
bio-fertilizer (Control) while as subplot treatments were dosage of N, P, K source chemical fertilizers consisted<br />
of three levels, these are: 100 % dosage (H), 75 % dosage (M), and 50 % dosage (L) of the fertilization<br />
recomendation (23 kg N + 54 kg P 2 O 5 + 60 kg K 2 O/ha). All treatments were also given 2,500 kg of chicken<br />
dung manure/ha. Results of the research indicated that bio-fertilizer applications did not influnce significantly to<br />
pod and dry matter yields of string bean while chemical fertilizer applications increased significantly to pod<br />
yield but did not influence to dry matter yield. Application of chemical fertilizers at 100 % dosage level<br />
(treatment H) gave the pod yield of 15.94 t/ha which was significant higher around of 0.90 t/ha than the pod<br />
yields obtained by chemical fertilizer applications at 75 % and 50 % dosages (treatment M and L). During the<br />
string bean cultivation period, there was significant reduction on Fusarium spp inoculums in the soil treated<br />
with the bio-fertilizers. In contrast, those bio-fertilizers could not reduce Ralstonia spp inoculums. Disease<br />
intensity of wilt caused by those two pathogens was less than 0.1%.<br />
Keywords: bio-fertilizer, nitrogen, phosphorus, potassium, soil borne pathogen, string bean, volcanic sediment.<br />
Abstrak. Mulyadi, Pustika, A. B. and Iswadi, A. 2013. Pemberian Pupuk Hayati dan Kimia dalam<br />
Hubungannya dengan Hasil Buncis (Phaseolus vulgaris L.) dan Pathogen dalam Tanah. Penelitian ini<br />
bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk hayati dan pupuk kimia sumber N, P, dan K terhadap<br />
hasil tanaman buncis (Phaseolus vulgaris L.) dan populasi pathogen dalam tanah (Fusarium spp and Ralstonia<br />
spp) pada suatu tanah yang terbentuk dari endapan vulkanis. Penelitian dilaksanakan di daerah lereng gunung<br />
api Merapi pada ketinggian 450 m diatas permukaan laut di Pakem, Kabupaten Sleman dengan menggunakan<br />
rancangan petak terbagi dan tiga ulangan. Sebagai perlakuan petak utama adalah macam dan dosis pemberian<br />
pupuk hayati yang terdiri atas lima taraf, yaitu: pupuk hayati EMAS yang diformulasi oleh Lembaga Riset<br />
Perkebunan Indonesia (LRPI) pada dosis tinggi (E1) dan dosis rendah (E2), pupuk hayati yan diformulasi oleh<br />
Fakultas <strong>Pertanian</strong>, Universitas Gajah Mada (MU), pupuk hayati MycoApply TM Micronized endo yang<br />
diformulasi oleh Mycorrhizal Applications Inc. (MC), dan tanpa pupuk hayati (kontrol) sedangkan sebagai anak<br />
petak adalah dosis pupuk kimiasumber N, P, dan K yang terdiri atas tiga taraf, yaitu: 100 % dosis (H), 75 %<br />
dosis (M), dan 50 % dosis (L) dari remondasi pemupukan (23 kg N+54 kg P 2 O 5 +60 kg K 2 O/ha). Semua<br />
perlakuan juga diberi 2.500 kg pupuk organik dari kotoran ayam/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa<br />
pemberian pupuk hayati tidak berpengauh nyata pada hasil polong dan bahan kering tanaman buncis sedangkan<br />
pemberian pupuk kimia secara nyata meningkatkan hasil polong tetapi tidak berpengaruh terhadap hasil bahan<br />
kering. Pemberian pupuk kimia pada taraf 100 % dosis (perlakuan H) memberikan hasil polong 15,94 t/ha yang<br />
mana secara nyata lebih tinggi sekitar 0,90 t/ha dibandingkan dengan hasil polong yang diperoleh dari<br />
pemberian pupuk kimia pada taraf 75 % dan 50 % dosis (perlakuan M dan L). Selama periode budidaya buncis,<br />
ada penurunan yang nyata dari inokulum Fusarium spp dalam tanah yang diperlakukan dengan pupuk hayati.<br />
Sebaliknya, pemberian pupuk hayati tidak menurunkan inokulum Ralstonia spp. Intensitas penyakit layu yang<br />
disebabkan oleh kedua pathogen adalah kurang dari 0.1%.<br />
Kata kunci: pupuk hayati, nitrogen, fosfor, kalium, pathogen dalam tanah, buncis, endapan vulkanis.<br />
Sufficiency of essential nutrient elements in the soil that can easy absorbed by crop roots is<br />
one of factors determining in achieving high yield of the crop. It is because the crop nutrient uptake is<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│91
Application of Chemical and Bio-Fertilizers in Relation to String Bean (Phaseolus vulgaris L.) Yield and Soil-Borne<br />
Pathogen<br />
Mulyadi, Pustika, A. B. and Iswadi, A<br />
more determined by the ability of the soil to supply nutrient to the root than whether the ability of<br />
crop root to absorb nutrient or nutrient uptake kinetics of the crop root (Barber, 1985). Among the<br />
essential nutrient elements, nitrogen (N), phosphorus (P), and potassium (K) are required in large<br />
amount by crops, however; the natural nutrient supply of most soil are often unable to meet the<br />
nutrient need of crop for high yield. Some of the limiting factors related to the soil nutrient supply,<br />
among others; naturally, soil is poor in nutrients or the soil contain high nutrients but a large part of<br />
the nutrients in relative slow or difficult available forms due to they are fixated by clay minerals or<br />
still as constituents of either organic matter or primary minerals. Besides that, the soil nutrient<br />
availability can also loss from root zone due to leaching process by percolation water, volatilization,<br />
and brought by erosion (Tisdale et al., 1993; Plaster, 1997). Hence, adding external N, P, and K to the<br />
soil through fertilization are important in attempting to increase and sustain crop production. In<br />
addition, the use of fertilizer that more eficient and no negative impact to the environment should be<br />
paid attention in developing fertilization technology.<br />
To date, for the need of fertilization very depended on the chemical fertilizers such as Urea,<br />
Super Phosphate, and Muriate of Potash (MOP) as main source fertilizers of N, P, and K. Related to<br />
reduce the dependenly on the use of chemical fertilizers, recently, it has been introduced some biofertilizers<br />
that have some benefits to crop growth through their capability in increasing nutrients<br />
absorption from soil even also could suppress soil borne pathogens.<br />
Bio-fertilizers are living microorganisms applied to soils in the form of inoculants to facilitate<br />
or provide a particular mineral nutrient required by crops through a mutual symbiotic or nonsymbiotic<br />
relationship (Simanungkalit, ). Several living microorganism or microba such as<br />
arbuscular mychorrizas (AM) fungi, non symbiotic nitrogen-fixation bacteria, phosphate solubilizing<br />
bacteria, and hormon producing bacteria have been reported that the microba have possitive effect in<br />
increasing growth and yield of crops (Bolan, 1991; Bagyaraj, 1990; Gaur and Rana, 1990; Widada et<br />
al., 2002). In addition, soil bacteria and mychorrizas was also reported that the microba could increase<br />
crop nutrient uptake, especially N, P, K, S, Zn, Cu, and Fe (Kabirun and Widada, 1995).<br />
The current research results show that bio-fertilizers can increase the efficiency of fertilizer<br />
use. The use of bio-fertilizer alone can give the highest efficiency but the low yield levels. To obtain<br />
higher yield levels the application of integrated fertilizer management principles is the best by<br />
combining the application bio-fertilizer and chemical fertilizer in a way that the amount of applied<br />
chemical fertilizer does not suppress the growth and development of microorganisms in the biofertilizer<br />
(Simanungkalit, ).<br />
String bean is one of vegetable crops that lots cultivated by farmers in Merapi mount slope<br />
areas in Sleman Regency, Yogyakarta Special Region at which most soil developed from volcanic<br />
sediment. Meanwhile, fertilitation recomendation that commonly used by farmer was 23 kg N+54 kg<br />
P 2 O 5 +60 kg K 2 O/ha.<br />
This paper elaborate the results of a research about the effect of bio-fertilizer and N, P, K chemical<br />
fertilizer applications to string bean (Phaseolus vulgaris L.) yield and population of soil borne<br />
pathogen (Fusarium spp and Ralstonia spp) on a soil formed from volcanic sediment at Merapi<br />
volcano slope area in Sleman, Yogyakarta Special Region.<br />
MATERIALS AND METHODS<br />
The research was carried out on a soil formed from volcanic sediment in Merapi volcano<br />
slope area with altitude of 450 m above sea level at Pakem, Sleman Regency, Yogyakarta Special<br />
Region. Physico-chemical characteristics of surface layer soil (0-20 cm) used for the experiment site<br />
was presented in Table 1. In general, the soil has sandy loam texture, very low organic content, low<br />
cation exchange capacity, slighty acid but very high in base saturation. The content of potential and<br />
available P and K was very high and moderate, respectively while the N content was low (Balai<br />
Penelitian Tanah. 2005). The soil could be interprated that it has moderate fertility with moderate<br />
capability in water holding, macro nutrient supply and retain, except N.<br />
92│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Application of Chemical and Bio-Fertilizers in Relation to String Bean (Phaseolus vulgaris L.) Yield and Soil-Borne<br />
Pathogen<br />
Mulyadi, Pustika, A. B. and Iswadi, A<br />
Table 1. Physico-chemical characteristics of surface layer soil in depth of 0-20 cm before used for<br />
string bean fertilization experiment in Pakem, Sleman Regency.<br />
Property Value 1<br />
Texture<br />
Sandy loam<br />
Sand (%) 66<br />
Silt (%) 25<br />
Clay (%) 9<br />
pH-H 2 0 6.3<br />
C organic (%) 0.98<br />
N total (%) 0.15<br />
C/N 6.5<br />
P 2 O 5 extractable Bray 1 (ppm) 164<br />
P 2 O 5 extractable HCl 25% (mg/100 g of soil) 390<br />
K 2 O extractable HCl 25% (mg/100 g of soil) 25<br />
Exchangable cations<br />
Ca (me/100 g of soil) 5.39<br />
Mg (me/100 g of soil) 0.82<br />
K (me/100 g of soil) 0.45<br />
Na (me/100 g of soil) 0.09<br />
Cation exchange capacity (me/100 g of soil) 8.65<br />
Base saturation (%) 78<br />
1 average of 30 composite soil samples<br />
A set of field experiment with crop indicator of string bean was arranged with using split plot<br />
design and three replications. As main plot treatments were kind and dosage of bio-fertilizer<br />
applications consisted of five levels, these are:<br />
E1 = EMAS (Enhancing Microbial Activities in the Soil) bio-fertilizer formulated by Indonesian<br />
Research Institute for Estate Crop (IRIEC) at high dosage (22.40 kg/ha),<br />
E2 = EMAS bio-fertilizer formulated by IRIEC at low dosage (11.20 kg/ha),<br />
MU = Bio-fertilizer formulated by Faculty of Agriculture, Gajah Mada University (11.20 kg/ha),<br />
MC = MycoApplyTM Micronized endo bio-fertilizer formulated by Mycorrhizal Applications Inc.<br />
(11.20 kg/ha), and<br />
Control = without bio-fertilizer.<br />
While as subplot treatments were dosage of N, P, K source chemical fertilizers consisted of<br />
three levels, these are:<br />
H = 100 % dosage of chemical fertilizer recomendation (23 kg N+54 kg P 2 O 5 +60 kg K 2 O/ha),<br />
M = 75 % dosage of chemical fertilizer recomendation (17.2 kg N+40.5 kg P 2 O 5 +45 kg K 2 O/ha), and<br />
L = 50 % dosage of chemical fertilizer recomendation (11.5 kg N+27 kg P 2 O 5 +30 kg K 2 O/ha).<br />
According to the formulator the EMAS bio-fertilizer contained non symbiotic nitrogen-fixation<br />
bacteria, potassium and phosphate solubilizing microba (Azospirillum lipoverum, Azotobacter<br />
beijerinckii, Aeromonas punctata, and Aspergillus niger) while the MU bio-fertilizer contained<br />
Glomus manihotis and Enterospora columbian and the MC bio-fertilizer contained Glomus<br />
intraradices, Glomus masseae and Glomus aggregatum. As source of N, P, and K fertilizer was used<br />
Urea, SP36, and Muriate of Potash (MOP), respectively. All treatments were given 2.500 kg of<br />
manure/ha and characteristics of the manure as presented in Table 2.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│93
Application of Chemical and Bio-Fertilizers in Relation to String Bean (Phaseolus vulgaris L.) Yield and Soil-Borne<br />
Pathogen<br />
Mulyadi, Pustika, A. B. and Iswadi, A<br />
Table 2. Chemical characteristics of chicken dung manure used for string bean fertilization<br />
experiment in Pakem, Sleman Regency.<br />
Property Value 1<br />
pH-H 2 0 8.8<br />
C organic (%) 3.68<br />
N total (%)<br />
Not determined<br />
P total (%) 0.95<br />
K total (%) 2.90<br />
Exchangable cations<br />
Ca (me/kg of soil) 12.49<br />
Mg (me/kg of soil) 5.56<br />
K (me/kg of soil) 3.80<br />
Na (me/kg of soil) 5.35<br />
Cation exchange capacity (me/kg of soil) 34.64<br />
Base saturation (%) 78<br />
Plot size of each subplot treatment was 2.50 m x 3.00 m, consisting of two beds separated<br />
with a ditch of 0.5 m in width and 0.30 – 0.40 m in depth, thus the effective size of each bed was 1.00<br />
m x 3.00 m. On each bed, string bean seeds of Lebat variety were planted in two rows along the bed<br />
with distance between rows of 0.50 m and within row of 0.25 m. String bean seed was planted with a<br />
seed per hole, therefore population per subplot treatment was 48 plants. Whole fertilizers (biofertilizer,<br />
Urea, SP36, MOP, manure) was applied at planting time in band around of 7 – 10 cm from<br />
planting row with 5 cm in depth and then the fertilizers were covered with soil. During field<br />
experiment, the string bean crops were maintained well to avoid disturbances form pest and disease<br />
attack by applying pesticide (Furadan-3G, Antracol 25 EC). During a growth and development<br />
periode of string bean, the crop was harvested seventh times, the first harvest of pod was carried out at<br />
50 days after planting (DAP) and further harvestings by 3 to 4 days interval until the last harvest at 71<br />
DAP.<br />
Data collected envolved dry matter and total pod yield of string bean, wilt disease intensity,<br />
Fusarium spp and Ralstonia spp inoculums in the soil during string bean cultivation period. Disease<br />
intensity related to Fusarium spp and Ralstonia spp infection was observed a week after<br />
inoculation/application of bio-fertilizers then continued once a week. Fusarium spp and Ralstonia spp<br />
spore number in soil were counted at the laboratory before and after cultivation period. The collected<br />
data were processed with SAS package (SAS Institute Inc., 1985) for Analysis Of Variance (ANOVA)<br />
and mean comparision tests to determine the significant different was performed using Least<br />
Significant Different (LSD) at 5 % level.<br />
RESULTS AND DISCUSSION<br />
Dry Matter (Stem and Leaves) and Pod Yields of String Bean<br />
Dry matter (stem and leaves) and pod yields of string bean treated by bio-fertilizers and or<br />
chemical fertilizers are presented in Table 3. The results in Table 3 showed that average of dry matter<br />
and pod yields for each treatment was around of 0.75 to 0.88 t/ha for dry matter, 14.67 to 16.71 t/ha<br />
for fresh pod or 0.88 to 1.00 t/ha for dry pod. In addition, the results also showed that either biofertilizer<br />
or chemical fertilizer ((N, P, and K) applications at the tested rates and their interaction did<br />
not influnce significantly to dry matter yield. Average yield of the dry matter obtained from all<br />
treatments was around of 0.81 t/ha.<br />
On the otherhand, it is apparent that application rates of N, P, and K fertilizers influenced significantly<br />
to pod yield but application rates of bio-fertilizer did not influence to pod yield. The higher N, P, and<br />
94│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Application of Chemical and Bio-Fertilizers in Relation to String Bean (Phaseolus vulgaris L.) Yield and Soil-Borne<br />
Pathogen<br />
Mulyadi, Pustika, A. B. and Iswadi, A<br />
K fertilizer applied the higher pod yield obtained which the highest pod yield, i. e. 15.94 t/ha, was<br />
obtained by N, P, and K fertilizer applications at high rate (treatment H). This pod yield was<br />
significant higher around of 0.90 t/ha compared to pod yields that obtained by N, P, and K fertilizer<br />
applications at medium and low rates (treatment M and L).<br />
Table 3. Effects of bio-fertilizer and chemical fertilizer applications on the dry matter and pod yields<br />
of string bean planted on soil formed from volcanic sediment in Pakem, Sleman Regency.<br />
Chemical<br />
Fertilizer<br />
Treatments<br />
Bio-fertilizer Treatments<br />
E-1 (E-2) MU MC Control<br />
Dry matter yield (t/ha)<br />
Mean<br />
L 0.82 a 1 0.81 a 0.79 a 0.73 a 0.78 a 0.79 A<br />
M 0.77 a 0.75 a 0.70 a 0.73 a 0.87 a 0.77 A<br />
H 0.84 a 0.88 a 0.83 a 0.72 a 0.80 a 0.81 A<br />
Mean<br />
0.81 A 0.81 A 0.77 A 0.73 A 0.82 A<br />
Fresh Pod yield (t/ha)<br />
L 15.70 a 15.05 b 14.60 a 14.40 a 14.67 a 14.88 B<br />
M 15.85 a 15.43 ab 14.20 a 14.20 a 15.78 a 15.09 AB<br />
H 16.20 a 16.71 a 16.10 a 14.90 a 15.81 a 15.94 A<br />
Mean<br />
15.92 A 15.73 A 14.97 A 14.50 A 15.42 A<br />
Dry pod yield (t/ha)<br />
L 0.94 a 0.90 b 0.86 a 0.85 a 0.88 a 0.90 B<br />
M 0.95 a 0.93 ab 0.85 a 0.85 a 0.95 a 0.94 AB<br />
H 0.97 a 1.00 a 0.96 a 0.89 a 0.95 a 0.97 A<br />
Mean<br />
0.95 A 0.94 A 0.89 A 0.86 A 0.92 A<br />
1 Means separation at 5% level (LSD); capital letters between mean values, small letters between chemical<br />
fertilizer values.<br />
The Effect of Bio-fertilizers on Wilt Disease Intensity<br />
Wilt disease intensity on bio-fertilized string bean was significantly lower than control (Table<br />
4). Wilt disease intensity on bio-fertilized plants was < 0.067%, while on control was 0.233%. Wilt<br />
disease could be caused by Fusarium spp. and Ralstonia spp. which were associated with plants.<br />
Table 4. Wilt disease intensity on string bean applied by different bio-fertilizer<br />
Bio-fertilizer Treatment Wilt Disease Intensity (%)<br />
E1 0.000<br />
E2 0.067<br />
MU 0.000<br />
MC 0.000<br />
Control 0.233<br />
The low value of disease intensity on plants treated by bio-fertilizers was caused by complex<br />
interactions between the plant, the pathogen, the arbuscular mychorrizas (AM) fungi, and the<br />
microbial community on and around the plant. Harrier and Watson (2004) reported that AM are<br />
particularly important in organic and/or sustainable farming systems that rely on biological processes<br />
rather than agrochemicals to control plant diseases. Of particular importance is the bio-protection<br />
conferred to plants against many soil borne pathogens such as species of Aphanomyces,<br />
Cylindrocladium, Fusarium, Macrophomina, Phytophthora, Pythium, Rhizoctonia, Sclerotinium,<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│95
Application of Chemical and Bio-Fertilizers in Relation to String Bean (Phaseolus vulgaris L.) Yield and Soil-Borne<br />
Pathogen<br />
Mulyadi, Pustika, A. B. and Iswadi, A<br />
Verticillium and Thielaviopsis and various nematodes by AM fungal colonization of the plant root.<br />
Slezack et al. (1999) also reported that A. euteiches infection could be suppressed by Glomus<br />
fasciculatum AM. Until now, several potential mechanisms have been described concerning bioprotection<br />
by AM fungi, including improvement of plant nutrition, damage compensation,<br />
competition for photosynthates, competition for colonization or infection sites, anatomical or<br />
morphological modifications of the root system, induction of changes in mycorrhizosphere microbial<br />
populations, are cell wall modifications, enhancement of secondary metabolism, and accumulation of<br />
proteins including pathogenesis-related (PR) proteins. It has been suggested that AM symbiosis could<br />
predispose the plant to respond more rapidly to pathogenic attacks of the roots (Gianinazzi, et al.,<br />
1992). In a time-course study of the symbiotic interaction between bean roots and G. mosseae and<br />
Fusarium solani, covering all stages of mycorrhiza development, Mohr et al. (1998) detected a<br />
changing of the expression of the defense-related genes chitinase, -1,3-glucanase and phenylalanine<br />
ammonia-lyase compared with non-mycorrhizal control roots.<br />
The Effect of Bio-fertilizers on Soil borne Pathogens Inoculums<br />
Fusarium spp. and Ralstonia spp. are well known as the common soil borne pathogens that<br />
can cause wilt disease on most plants. Therefore, decreasing of the inoculums population of those soil<br />
borne pathogens will be potential to reduce wilt disease attack on the plants. During the string bean<br />
cultivation period, it has been observed on the population change of the two soil borne pathogens and<br />
the results as presented in Table 5.<br />
Table 5. The change of Fusarium spp. and Ralstonia spp. in the soil before and after applying biofertilizer<br />
during string bean cultivation period<br />
Biofertilizer<br />
Treatment<br />
Fusarium spp. Inoculums<br />
(cfu/g of soil)<br />
Ralstonia spp. Inoculums<br />
(cfu/g of soil)<br />
Before At Harvest Reduction Before At Harvest Increasing<br />
Planting<br />
Planting<br />
E1 14.999 0.111 14.889 a 8.333 8.667 0.334<br />
E2 21.111 1.667 19.444 a 6.222 7.444 1.222<br />
MU 8.000 0.889 7.111 b 4.222 6.000 1.778<br />
MC 21.555 1.667 19.888 a 5.889 9.778 3.889<br />
Control 18.667 14.778 3.889 b 6.111 13.333 7.222<br />
Remark: * reduction or increasing population based on early value before planting<br />
The result in Table 5 indicated that during the string bean cultivation period, there was<br />
significant reduction on Fusarium spp. inoculums in the soil treated with the bio-fertilizers. The<br />
decreasing of Fusarium spp. inoculums as a result of E1, E2 and MC application was significantly<br />
higher than MU and Control during string bean cultivation period. In contrast, microbial consisted in<br />
the three bio-fertilizers could not reduce the inoculums of Ralstonia spp. It has been suggested that<br />
AM symbiosis could not predispose the plant to respond pathogenic bacterial attacks of the roots<br />
because there were no competition for colonization or infection sites between microbial fungi (biofertilizer)<br />
applied and pathogenic bacterial in soil. In spite of no infection site competition, it has been<br />
suggested that the defence-related genes chitinase, -1,3-glucanase and phenylalanine ammonia-lyase<br />
produced by mycorrhizal roots (Mohr et al., 1998) was failed to be worked against bacterial<br />
inoculums which do not have chitin as much as pathogenic fungi (Goodman et al., 1986).<br />
CONCLUSIONS<br />
Application of N, P, and K source chemical fertilizers with the rate of 23 kg N + 54 kg<br />
P 2 O 5 +60 kg K 2 O/ha (100 kg of Urea+150 kg of SP36+100 kg of MOP/ha) could increase the pod<br />
yield of string bean planted on the soil developing from volcanic sediment in the medium altitude land<br />
while addition of bio-fertilizers tested in this research did not influence to the crop yield.<br />
The application of tested bio-fertilizers (Emas, MU and MycoApplyTM Micronized endo) has<br />
potential effect in suppressing Fusarium spp. inoculum in the soil during string bean cultivation<br />
period but they could not suppress to Ralstonia spp. inoculum. Emas, MU and MycoApplyTM<br />
96│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Application of Chemical and Bio-Fertilizers in Relation to String Bean (Phaseolus vulgaris L.) Yield and Soil-Borne<br />
Pathogen<br />
Mulyadi, Pustika, A. B. and Iswadi, A<br />
Micronized endo were bio-fertilizers that had potential capability to suppress wilt disease intensity on<br />
string bean.<br />
ACKNOWLEDGEMENTS<br />
The authors would like to express their sincere thanks to the Agricultural and Forestry<br />
Service, Sleman Regency, Yogyakarta Special Region for the financial support to this study.<br />
REFERENCES<br />
1. Bagyaraj, D.J. 1990 Biological interaction between VA mycorrhizhal fungi and other beneficial<br />
soil organisms. Dalam: Jalali & H. Chad (Eds.) Current Trend in Mycorrhizal Research Tata<br />
Energy Res Inst., India pp 76-77.<br />
2. Balai Penelitian Tanah. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Penelitian<br />
Tanah, Badan Litbang <strong>Pertanian</strong>, Deptan.<br />
3. Barber, S. A. 1985. Potassium availability at the soil-root interface and factors influencing<br />
potassium uptake. p. 309-324 In R. D. Munson (ed.) Potassium in agriculture. ASA-CSSA-<br />
SSSA, Madison, WI.<br />
4. Bolan N.S. 1991. critical review on the role of mycorrhizal fungi in the uptake of phosphorus by<br />
plants. Plant and Soil 134: 189-207.<br />
5. Gaur A.C. & J.P.S. Rana. 1990. Role of VA Mycorrhizha, phosphate solubilizing microorganism<br />
and their interaction on growth and uptake of nutrients by wheat crops. Dalam: Jalali & H. Chad<br />
(Eds.) Current Trend in Mycorrhizal Research Tata Energy Res Inst., India pp 105-106.<br />
6. Gianinazzi-Pearson V, Tahiri-Alaoui A, Antoniw JF, Gianinazzi S, Dumas E. 1992. Weak<br />
expression of the pathogenesis related PR-b1 gene and localization of the related protein during<br />
symbiotic endomycorrhizal interactions in tobacco roots. Endocytobiosis 8: 177–185.<br />
7. Goodman, R.N., Kiraly, Z. and Wood, K.R. 1986. The Biochemistry and Physiology of Plant<br />
Disease. University of Missouri. Columbia. 433 p.<br />
8. Harrier, L.A. & C.A. Watson. 2004. The potential role of arbuscular mycorrhizal (AM) fungi in<br />
the bioprotection of plants against soil-borne pathogens in organic and/or other sustainable<br />
farming systems. Pest Management Science Vol 60 Issue 2 149-157.2004. Paper from the<br />
Scottish Agricultural College.<br />
9. Kabirun, S. & J. Widada, 1995. Response of soybean grown on acid soil to innoculation of<br />
vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi. Biotrop Spec. Publ.No.56:131-137. Biology and<br />
Biotechnology of Mycorrhizae.<br />
10. Mohr, U., J. Lange, T.Boller, A.. Wiemken & R. Vogeli-Lange. 1998. Plant defence genes are<br />
induced in the pathogenic interaction between bean roots and Fusarium solani, but not in the<br />
symbiotic interaction with the arbuscular mycorrhizal fungus Glomus mosseae. The New<br />
Phytologist Volume 138 Issue 4 Page 589 - April 1998.<br />
11. Plaster, E. J. 1997. Soil Science and Management. Delmar Publisher. New York, USA. 402 p.<br />
12. SAS Institute Inc. 1985. SAS User’s Guides: statistic, version 5 edition. Cary, NC: SAS Institute<br />
Inc. 956 p.<br />
13. Simanungkalit R.D.M. . Aplikasi Pupuk Hayati dan Pupuk Kimia; Suatu Pendekatan Terpadu.<br />
Buletin AgroBio 4(2):56-61.<br />
14. Slezack, S., E.D. Gaudot, S. Rosendahl, R. Kjoller, M. Paynot, J. Negrel, and S. Gianinazzi.<br />
1999. Endoproteolytic activities in pea roots inoculated with the arbuscular mycorrhizal fungus<br />
Glomus mosseae and\or Aphanomyces euteiches in relation to bioprotection. New Phytol. 142,<br />
517–529.<br />
15. Tisdale, S. L., W. L. Nelson, J. D. Beaton and J. L. Havlin. 1993. Soil fertility and fertilizers, 5th<br />
ed. MacMillian Publishing Company Inc., New York, USA. 634 p.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│97
Application of Chemical and Bio-Fertilizers in Relation to String Bean (Phaseolus vulgaris L.) Yield and Soil-Borne<br />
Pathogen<br />
Mulyadi, Pustika, A. B. and Iswadi, A<br />
16. Widada, J., D.I. Damarjaya, and S Kabirun. 2002. The interaction effect of arbuscular<br />
mycorrizhal fungi anf rhizobacteria on the growth and nutrient uptake of sorghum in acid soil.<br />
First Virtual Meeting on Microbia Phosphate Solubilization. University of Salamanca, Spain,15<br />
September 2002.<br />
98│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengkajian Penggunaan Pupuk Organik dan Trichocompos serta Mimba dan Perangkap Kuning untuk Peningkatan Produksi<br />
dan Mutu Sawi Daging dan Selada<br />
Baswarsiati, Yuwoko<br />
Pengkajian Penggunaan Pupuk Organik dan Trichocompos serta Mimba dan Perangkap<br />
Kuning untuk Peningkatan Produksi dan Mutu Sawi Daging dan Selada<br />
Baswarsiati, Yuwoko<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Jawa Timur<br />
ABSTRAK. Konsep pengembangan sayuran yang telah dicanangkan Pemerintah agar dapat bersaing di pasar<br />
global yaitu usaha produksi yang efisien untuk menghasilkan produk bermutu yang aman dikonsumsi dan<br />
dihasilkan secara kontinyu berdasarkan prinsip GAP (Good Agriculture Practices). Pada pengkajian ber tujuan<br />
untuk mendapatkan teknologi budidaya ramah lingkungan yang tepat sehingga menghasilkan produksi tinggi dan<br />
mutu sawi daging serta selada yang aman konsumsi serta efisien biaya produksi. Pengkajian dilakukan di desa<br />
Tawangargo-Karangploso, Malang, mulai April hingga Desember 2011. Pengkajian dirancang secara petak<br />
berpasangan dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan, yaitu : 1) Teknologi budidaya modifikasi I yang terdiri dari : pupuk<br />
organik/ bokasi asal kotoran kambing sebanyak 6 ton/ha + 600 kg trichocompos, tanpa pupuk anorganik,<br />
pengendalian OPT dengan mimba dan perangkap kuning , 2) Teknologi budidaya modifikasi II yang terdiri dari :<br />
pupuk organik/ bokasi asal kotoran sapi sebanyak 6 ton/ha + 600 kg trichocompos, tanpa pupuk anorganik,<br />
pengendalian OPT dengan mimba dan perangkap kuning, 3) Teknologi budidaya cara petani terdiri dari :<br />
penggunaan pupuk Urea 200 kg/ha dan ZA 200 kg/ha dan pengendalian OPT dengan pestisida kimia. Hasil<br />
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik bokasi kambing yang diberi trichocompos dapat menekan<br />
penggunaan pupuk anorganik hingga 90-100 %. Sedangkan penggunaan mimba dan perangkap kuning dapat<br />
menekan serangan hama dan penyakit utama pada sawi dan lettuce (selada) hingga 80-95 % sehingga mengurangi<br />
penggunaan pestisida kimia hingga lebih 80 %. Produksi sawi daging dan selada meningkat sekitar 25-30 %<br />
sedangkan mutu lebih baik dan aman dikonsumsi. Efisiensi biaya produksi dari hasil kajian yang menggunakan<br />
bokasi kambing dan trichocompos sekitar 50-60 % dibandingkan dengan cara petani dan dibandingkan dengan<br />
bokasi asal kotoran sapi sekitar 30 %.<br />
Kata kunci : sawi daging, selada, pupuk organik, trichocompos, mimba, perangkap kuning, produksi, mutu<br />
ABSTRACT. Top of Form Concept of vegetable development proclaimed by the Government in order to<br />
compete in global markets is an efficient production efforts to produce quality products that are safe to eat and is<br />
produced continuously by applying the principles of environmental sustainability with the cultivation of<br />
vegetables is good and true to the concept of GAP (Good Agriculture Practices) or norms of good vegetable<br />
cultivation. In the assessment is done on the meat and cabbage lettuce in order to obtain environmentally<br />
friendly aquaculture technologies appropriate to produce a high quality production and consumption that is safe<br />
and cost efficient production. Assessments conducted in the village Tawangargo-Karangploso, Malang, from<br />
April 2011 until December 2011. The assessment is designed to hide and paired with 3 treatments and 5<br />
replications, namely: 1) I modified cultivation technologies consisting of: organic fertilizer / manure from goats<br />
bokasi as much as 6 tons / ha + 600 kg trichocompos, without inorganic fertilizer, control pests with neem and<br />
yellow traps, 2) modification of cultivation technology II consisting of: organic fertilizer / manure origin bokasi<br />
as much as 6 tons / ha + 600 kg trichocompos, without inorganic fertilizer, control pests with neem and yellow<br />
trap, 3) cultivation technology of how farmers : Urea fertilizer 200 kg / ha and ZA 200 kg / ha and control pests<br />
with chemical pesticides. The results showed that the use of organic fertilizers bokasi goats fed trichocompos<br />
can suppress the use of inorganic fertilizers by 90-100%. While the use of neem and yellow traps can suppress<br />
pests and major diseases on cabbage and lettuce up to 80-95%, thereby reducing the use of chemical pesticides<br />
by over 80%. Production of meat and lettuce mustard increased by about 25-30% while the quality is better and<br />
safe to eat. Efficiency of the production cost of the studies that use bokasi trichocompos goats and about 50-60%<br />
compared to the way farmers and compared with cow about 30%.<br />
Key words: beef cabbage, lettuce, organic fertilizer, trichocompos, neem, yellow traps, production, quality<br />
Subsektor hortikultura termasuk sayuran di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar<br />
untuk dikembangkan sebagai usaha agribisnis guna mengatasi masalah ekonomi dan kemiskinan di<br />
pedesaan, perluasan kesempatan kerja pada berbagai tingkatan agribisnis. Oleh karena sifatnya<br />
sebagai cash crop dan sebagai produk segar yang bernilai ekonomis tinggi maka komoditas<br />
hortikultura termasuk sayuran sebenarnya paling sesuai untuk diagribisniskan (Napitupulu, 2004)..<br />
Untuk itu dalam pengembangan agribisnis sayuran dan pengembangan kawasannya harus<br />
berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Pembangunan usaha agribisnis<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│99
Pengkajian Penggunaan Pupuk Organik dan Trichocompos serta Mimba dan Perangkap Kuning untuk Peningkatan Produksi<br />
dan Mutu Sawi Daging dan Selada<br />
Baswarsiati, Yuwoko<br />
sayuran dan pengembangan kawasannya harus memperhatikan pada penyeimbangan antara supplydemand<br />
melalui pengembangan managemen produksi/pola produksi bulanan atau tahunan dari setiap<br />
komoditas yang dikembangkan (Soemarno, 2003).<br />
Agar suatu produk hortikultura berdaya saing di pasar global maka diperlukan usaha produksi<br />
yang efisien sehingga menghasilkan produk bermutu yang aman dikonsumsi dan dihasilkan secara<br />
kontinyu berdasarkan prinsip kelestarian lingkungan dengan menerapkan budidaya sayuran yang baik<br />
dan benar sesuai konsep GAP /Good Agriculture Practices (Kementerian <strong>Pertanian</strong>, 2009).<br />
Hampir disemua sistem pertanian dengan tradisi yang berlangsung lama, masyarakat<br />
memainkan peranan penting, terutama menjunjung tinggi budaya dan pengetahuan setempat,<br />
mengatur tenaga kerja komunal, merancang dan mengontrol pemanfaatan lahan serta mengelola<br />
perubahan. Masyarakat tani pun telah mampu memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal tanpa<br />
sarana produksi atau dukungan teknis dari luar. Masyarakat tani telah berhasil untuk mendukung diri<br />
sendiri dari sumber daya alam dengan mendapatkan pemahaman yang rinci tentang lingkungan,<br />
menguji coba dengan berbagai cara untuk mengelola dan memanfaatkannya serta mengembangkan<br />
teknologi yang khas setempat (Reintjes et al, 1999). Namun kondisi ini masih perlu ditingkatkan dan<br />
diarahkan oleh Dinas terkait sehingga kemampuan petani lebih optimal (Baswarsiati et al, 2010).<br />
Beberapa keterbatasan yang sering muncul di tingkat petani yaitu : 1) keterbatasan<br />
pengembangan teknologi oleh petani, 2) keterbatasan pengetahuan lokal setempat, 3) keterbatasan uji<br />
coba yang dilakukan oleh petani (tidak terarah dan kurangnya pendekatan analitis, 4) keterbatasan<br />
komunikasi antar petani (Syafaat, 2003; Hafsah 2005).<br />
Pada budidaya sawi daging dan selada yang dilakukan petani desa Tawangargo,<br />
Karangploso,Malang sebelumnya masih menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia sehingga tidak<br />
aman dikonsumsi. Namun seiring dengan adanya kegiatan dan implementasi pelaksanaan konsep GAP<br />
yang menggunakan pupuk organik asal kotoran kambing dan sapi serta pengendalian hama dan penyakit<br />
menggunakan mimba dan perangkap lekat kuning maka produk yang dihasilkan lebih aman untuk<br />
dikonsumsi.<br />
Penggunaan pestisida nabati yang berasal dari tumbuhan merupakan salah satu pestisida<br />
yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit tanaman. Pestisida ini<br />
berbahan aktif tunggal atau majemuk dapat berfungsi sebagai penolak, anti fertilitas (pemandul),<br />
pembunuh dan bentuk lainnya. Di alam ini terdapat lebih dari 1000 spesies tumbuhan yang<br />
mengandung insektisida, lebih dari 380 spp mengandung zat pencegah makan (antifeedant), lebih dari<br />
270 spp mengandung zat penolak (repellent), lebih dari 35 spp mengandung akarisida dan lebih dari<br />
30 spp mengandung zat penghambat pertumbuhan (Susetyo dkk, 2008).<br />
Salah satu tumbuhan penghasil pestisida alami adalah tanaman mimba (Azadirachta indica)<br />
yang mengandung senyawa bioaktif berupa triterpenoids: azadirachtin, salannin dan meliantriol yang<br />
terdapat pada daun, buah dan biji. Pestisida asal mimba mempunyai tingkat efektivitas yang tinggi<br />
dan berdampak spesifik terhadap organisme pengganggu. Bahan aktif mimba juga tidak berbahaya<br />
bagi manusia dan hewan. Tanaman mimba sangat potensial sebagai pestisida biologi dalam program<br />
Pengendalian Hama Terpadu (PHT), untuk mengurangi dan meminimalkan penggunaan pestisida<br />
sintetis (Setiawati et al, 2008).<br />
Pada pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan teknologi budidaya ramah lingkungan yang tepat<br />
sehingga menghasilkan produksi tinggi dan mutu sawi daging serta selada yang aman konsumsi serta<br />
efisien biaya produksi. Pada pengkajian ber tujuan untuk mendapatkan teknologi budidaya ramah<br />
lingkungan yang tepat sehingga menghasilkan produksi tinggi dan mutu sawi daging serta selada yang<br />
aman konsumsi serta efisien biaya produksi.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Pengkajian dilaksanakan di lahan petani di sentra produksi aneka sayuran desa Tawangargo,<br />
kecamatan Karangploso, kabupaten Malang, pada April hingga Desember 2011. Topografi perbukitan<br />
dengan tinggi tempat 700 m-1.300 m dpl, curah hujan 1.500-2.000 mm/th. Luas wilayah desa 805 ha :<br />
permukiman 98 ha, sawah 204 ha,tegalan 315 ha, perkebunan 130 ha serta hutan produksi 37 ha. Sekitar<br />
60 % dari luas wilayah atau 472 ha, didominasi aneka sayuran (sayuran daun, brokoli, bunga kol, lettuce,<br />
kobis, cabai, bawang merah, jagung manis dan tomat. Pengkajian dilakukan pada komoditas sawi<br />
daging dan selada krop, dirancang secara petak berpasangan dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan, yaitu : 1)<br />
100│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengkajian Penggunaan Pupuk Organik dan Trichocompos serta Mimba dan Perangkap Kuning untuk Peningkatan Produksi<br />
dan Mutu Sawi Daging dan Selada<br />
Baswarsiati, Yuwoko<br />
Teknologi budidaya modifikasi I yang terdiri dari : pupuk organik/ bokasi asal kotoran kambing sebanyak<br />
6 ton/ha + 600 kg trichocompos, tanpa pupuk anorganik, pengendalian OPT dengan mimba dan<br />
perangkap kuning , 2) Teknologi budidaya modifikasi II yang terdiri dari : pupuk organik/ bokasi asal<br />
kotoran sapi sebanyak 6 ton/ha + 600 kg trichocompos, tanpa pupuk anorganik, pengendalian OPT<br />
dengan mimba dan perangkap kuning, 3) Teknologi budidaya cara petani terdiri dari : penggunaan pupuk<br />
Urea 200 kg/ha dan ZA 200 kg/ha dan pengendalian OPT dengan pestisida kimia.<br />
Luas satuan petak percobaan untuk masing-masing perlakuan berukuran 1.000 m2 , yang terdiri<br />
dari beberapa bedengan. Parameter yang diamati untuk sawi meliputi lebar daun, panjang daun, berat<br />
pertanaman (daun dan akar) serta produksi per hektar. Sedangkan untuk selada krop meliputi jumlah<br />
daun total, jumlah daun di luar krop, berat daun total, berat krop, produksi perhektar. Pengamatan<br />
persentase serangan hama dan penyakit untuk sawi daging serta selada krop dan efisiensi biaya usahatani<br />
juga dilakukan perhitungannya.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Keragaan Tanaman dan Produksi Sawi<br />
Keragaan pertumbuhan tanaman sawi meliputi lebar daun, panjang daun, berat pertanaman<br />
(daun dan akar) serta produksi pada 3 macam perlakuan disajikan pada tabel-tabel berikut ini.<br />
Tabel 1. Rata-rata lebar daun, panjang daun dan berat pertanaman sawi daging umur 23 hari setelah<br />
tanam pada 3 perlakuan. Tawangargo, 2011<br />
Perlakuan Lebar Daun (cm) Panjang Daun (cm) Berat per tanaman (Daun +<br />
Akar /gram)<br />
Teknologi modifikasi I 16 a 18 a 350 a<br />
Teknologi modifikasi II 14 ab 17 a 334 a<br />
Teknologi Petani 11 b 14 b 320 ab<br />
Keterangan : Isi rakitan teknologi seperti tertera pada bahan dan metode. Angka rata2 yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda<br />
nyata meuurut uji T pada taraf 5 %.<br />
Terlihat bahwa dari keragaan pertumbuhan tanaman sawi yang meliputi lebar daun dan panjang<br />
daun tidak nampak perbedaan antara teknologi modifikasi I dan II, namun berbeda dengan teknologi<br />
petani. Demikian juga dengan berat tanaman yang meliputi akar dan daun maka cara petani yang<br />
menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia dalam budidaya sawi daging menghasilkan berat tanaman<br />
yang terendah. Sedangkan budidaya yang menggunakan pupuk organik asal kotoran kambing<br />
menghasilkan berat tanaman tertinggi diikuti dengan penggunaan pupuk organik dari kotoran sapi. Pada<br />
rata-rata produksi sawi daging per hektar (Tabel 2) hasil tertinggi dari perlakuan budidaya menggunakan<br />
pupuk organik kotoran kambing, diikuti dengan pupuk organik asal kotoran sapi dan terendah yang<br />
menggunakan pupuk kimia. Hal ini terbukti karena pupuk organik asal kotoran kambing memiliki<br />
kandungan unsur hara N, P, dan K dua kali lebih tinggi dibandingkan pupuk asal kotoran sapi serta<br />
kotoran kambing memiliki persentase padatan lebih tinggi dibandingkan kotoran sapi (Soepardi,1993).<br />
Tabel 2. Rata-rata produksi, umur panen dan mutu sawi daging pada 3 perlakuan.<br />
Tawangargo, 2011<br />
Perlakuan Produksi (ton/ha) Umur panen (hari) Mutu Sawi<br />
Teknologi modifikasi I 24 a 21 a Rasa lebih manis, daun lebih renyah,<br />
warna hijau daun kurang mengkilap<br />
Teknologi modifikasi II 23 a 22 a Rasa lebih manis, daun lebih renyah,<br />
warna hijau daun kurang mengkilap<br />
Teknologi Petani 19,5 b 26 b Rasa sedang, daun kurang renyah, warna<br />
hijau daun lebih mengkilap<br />
Keterangan : Isi rakitan teknologi seperti tertera pada bahan dan metode. Angka rata2 yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda<br />
nyata meuurut uji T pada taraf 5 %.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│101
Pengkajian Penggunaan Pupuk Organik dan Trichocompos serta Mimba dan Perangkap Kuning untuk Peningkatan Produksi<br />
dan Mutu Sawi Daging dan Selada<br />
Baswarsiati, Yuwoko<br />
Umur panen dari sawi daging pada perlakuan budidaya dengan cara petani sekitar 26 hari dan<br />
dengan pemberian pupuk organik kotoran kambing maka panen lebih awal 5 hari dan dengan pupuk<br />
organik kotoran sapi dapat panen sawi lebih awal 4 hari,<br />
A B C<br />
Gambar 1 . Keragaan demoplot sawi daging (A dan B) serta perbedaan daun sawi yang dipupuk organik<br />
dan di pupuk kimia ( C )<br />
Keragaan Tanaman dan Produksi Selada (Lettuce)<br />
Keragaan tanaman selada yang berbentuk krop meliputi lebar daun, panjang daun, berat<br />
pertanaman (daun dan akar) serta produksi pada 3 macam perlakuan memperlihatkan bahwa tidak ada<br />
perbedaan antara jumlah daun total dan jumlah daun yang terbuang (daun di luar krop) pada tiga<br />
perlakuan yang dikaji (Tabel 3). Namun pada berat daun total dan berat krop terdapat perbedaan antara<br />
yang dipupuk kimia dan di pupuk organik asal kotoran kambing maupun kotoran sapi.<br />
Tabel 3. Rata-rata jumlah daun dan berat daun, berat krop tanaman selada dari 3 perlakuan.<br />
Tawangargo, 2011<br />
Perlakuan<br />
Jumlah Daun<br />
Total<br />
Jumlah Daun Di luar<br />
Krop (Daun<br />
terbuang)<br />
Berat Daun<br />
Total (gram)<br />
Berat Krop<br />
(gram)<br />
Persentase<br />
Daun<br />
Terbuang<br />
(%)<br />
Teknologi modifikasi I 20 a 11 a 700 a 360 a 48 a<br />
Teknologi modifikasi II 22 a 12 a 800 a 320 a 60 b<br />
Teknologi Petani 22 a 10 a 550 b 250 b 54 a<br />
Keterangan : Isi rakitan teknologi seperti tertera pada bahan dan metode. Angka rata2 yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda<br />
nyata meuurut uji T pada taraf 5 %.<br />
Produksi selada per hektar mencapai sekitar 20-25 ton dan dengan perlakuan pupuk organik kotoran<br />
kambing bias mencapai produksi 25 ton/ha, dengan pupuk kotoran sapi 23,5 ton/ha dan dengan<br />
pemberian pupuk kimia hanya 18 ton/ha (Tabel 4). Sedangkan umur panen pada perlakuan yang diberi<br />
pupuk organik lebih awal 7 hari (pupuk asal kotoran kambing) dan lebih awal 5 hari (pupuk asal kotoran<br />
sapi) . Krop selada jika disimpan di suhu kamar (22-25 0 C) akan bertahan kesegarannya sampai<br />
dengan 5 hari pada perlakuan yang diberi pupuk organik kotoran kambing maupun pupuk kotoran sapi<br />
sedang yang diberi pupuk kimia bertahan sampai 3 hari. Untuk mutu selada maka yang diberi pupuk<br />
organik memiliki rasa lebih manis, lebih renyah dan warna daun kurang mengkilap dibandingkan dengan<br />
yang diberi pupuk kimia.<br />
102│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengkajian Penggunaan Pupuk Organik dan Trichocompos serta Mimba dan Perangkap Kuning untuk Peningkatan Produksi<br />
dan Mutu Sawi Daging dan Selada<br />
Baswarsiati, Yuwoko<br />
Tabel 4. Rata-rata produksi, umur panen dan lama kesegaran selada krop pada tiga perlakuan.<br />
Tawangargo 2011<br />
Perlakuan Produksi Umur panen Lama kesegaran krop Mutu Selada<br />
(ton/ha) (hari)<br />
(hari) di suhu kamar<br />
Teknologi<br />
modifikasi I<br />
25 a 42 a 5 a Rasa lebih manis, daun lebih renyah,<br />
warna hijau daun kurang mengkilap<br />
Teknologi<br />
modifikasi II<br />
23,5 a 44 a 5 a Rasa lebih manis, daun lebih renyah,<br />
warna hijau daun kurang mengkilap<br />
Teknologi Petani 18 b 49 b 3 b Rasa sedang, daun kurang renyah,<br />
warna hijau daun lebih mengkilap<br />
Keterangan : Isi rakitan teknologi seperti tertera pada bahan dan metode. Angka rata2 yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda<br />
nyata meuurut uji T pada taraf 5 %.<br />
A B C<br />
Gambar 2 . Keragaan demoplot selada di lahan (A dan B) serta krop selada yang dipupuk organik (C)<br />
Persentase Serangan Hama dan Penyakit<br />
Hama dan penyakit utama yang menyerang tanaman sawi di lokasi pengkajian yaitu ulat daun kubis<br />
(Plutella xylostella) dan busuk akar sedangkan pada selada yaitu akar gada dan Liriomyza. Penyakit<br />
akar gada ini disebabkan oleh Cendawan/jamur Plasmodiophora brassicae. Bengkaknya akar<br />
tunggang menyebabkan pertumbuhan tanaman sulit untuk berkembang. Untuk mencegah hama dan<br />
penyakit yang perlu diperhatikan adalah sanitasi dan drainase lahan. Selain itu dengan pemberian<br />
pupuk organik dari kotoran ternak kambing ataupun sapi serta ditambah dengan trichocompos akan<br />
mengurangi persentase serangan akar gada pada selada maupun busuk akar pada sawi.<br />
Sedangkan untuk mengendalikan Liriomyza maka pemasangan perangkap lekat kuning sebanyak<br />
40 perangkap per hektar cukup efektif untuk mengendalikan hama tersebut pada tanaman selada<br />
maupun sayuran lainnya. Untuk mengendalikan ulat daun dapat disemprot menggunakan mimba.<br />
Kelebihan utama penggunaan insektisida alami adalah mudah terurai atau terdegradasi secara cepat.<br />
Proses penguraiannya dibantu oleh komponen alam, seperti sinar matahari, udara dan<br />
kelembaban. Dengan demikian insektisida alami yang disemprotkan beberapa hari sebelum panen<br />
tidak meninggalkan residu.<br />
Persentase serangan busuk akar dan ulat daun pada tanaman sawi daging yang diperlakukan dengan<br />
pupuk organik asal kotoran kambing dan kotoran sapi dan diberi trichocompos tidak berbeda dengan<br />
kisaran 0,90 sampai 1,34 sedangkan pada teknologi petani serangan busuk akar 5,60 % dan ulat daun<br />
4,23 %. Hal ini karena pada pemberian pupuk organik juga disertai dengan trichocompos yang mampu<br />
mengendalikan serangan busuk akar. Sedangkan tanaman sawi yang disemprot dengan mimba mampu<br />
menurunkan persentase serangan ulat daun dibandingkan dengan tanaman yang disemprot dengan<br />
pestisida kimia.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│103
Pengkajian Penggunaan Pupuk Organik dan Trichocompos serta Mimba dan Perangkap Kuning untuk Peningkatan Produksi<br />
dan Mutu Sawi Daging dan Selada<br />
Baswarsiati, Yuwoko<br />
Tabel 5. Persentase serangan busuk akar dan ulat daun pada sawi serta akar gada dan Liriomyza pada<br />
selada. Tawangargo 2011.<br />
Perlakuan<br />
Persentase Serangan pada Sawi<br />
Daging (%)<br />
Persentase Serangan pada Selada<br />
Krop (%)<br />
Busuk akar Ulat daun Akar gada Liriomyza<br />
Teknologi modifikasi I 1,05 a 0,90 a 1,23 a 1,86 a<br />
Teknologi modifikasi II 1,34 a 1,05 a 1,45 a 2,30 a<br />
Teknologi Petani 5,60 b 4,23 b 6,70 b 6,80 b<br />
Keterangan : Isi rakitan teknologi seperti tertera pada bahan dan metode. Angka rata2 yang diikuti oleh<br />
huruf sama tidak berbeda nyata meuurut uji T pada taraf 5 %.<br />
Untuk persentase serangan akar gada dan Liriomyza pada selada yang diperlakukan dengan pupuk<br />
organik kotoran kambing dan kotoran sapi, dan trichocompos serta dikendalikan dengan mimba dan<br />
perangkap lekat kuning masing-masing yaitu 1,23 % dan 1,86 % serta1,45 % dan 2,30 %. Namun<br />
untuk perlakuan petani maka persentase serangan berkisar 6,70% dan 6,80 %. Dengan demikian terbukti<br />
bahwa penggunaan pupuk organik kotoran kambing maupun sapiyang diberi tambahan trichocompos<br />
serta penyemprotan mimba dan perangkap lekat kuning pada sawi daging dan selada mampu menekan<br />
serangan OPT 80 -85 persen. Selain itu karena pada perlakuan tersebut tanpa menggunakan pupuk kimia<br />
dan pestisida kimia sehinggamengurangi penggunaannya hamper 80-95 persen serta mengurangi biaya<br />
produksi hampir 50-60 persen,<br />
KESIMPULAN<br />
1. Hasil menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik bokasi kambing yang diberi trichocompos<br />
dapat menekan penggunaan pupuk anorganik hingga 90-100 %.<br />
2. Sedangkan penggunaan mimba dan perangkap kuning dapat menekan serangan hama dan penyakit<br />
utama pada sawi dan lettuce (selada) hingga 80-95 % sehingga mengurangi penggunaan pestisida<br />
kimia hingga lebih 80 %.<br />
3. Produksi sawi daging dan selada meningkat sekitar 25-30 % sedangkan mutu lebih baik dan aman<br />
dikonsumsi.<br />
4. Efisiensi biaya produksi dari hasil kajian yang menggunakan bokasi kambing dan trichocompos<br />
sekitar 50-60 % dibandingkan dengan cara petani dan dibandingkan dengan bokasi asal kotoran sapi<br />
sekitar 30 %.<br />
PUSTAKA<br />
1. Baswarsiati, Yuwoko, K. B.Andri. 2010. Pendampingan pelaksanaan SLPAH di desa<br />
Tawangargo, Karangploso, Malang . (belum dipublikasi)<br />
2. Hafsah, M.J. 2005. Pengelolaan sumber Daya Lahan dalam Program Kemandirian Pangan.<br />
Dalam Soedjana et al (eds). Prosiding semaniar Nasional Inovasi Teknologi Sumber Daya tanah<br />
dan Iklim. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Jakarta. p : 37-48.<br />
3. Kementerian <strong>Pertanian</strong>. 2009. Permentan Nomor : 48/Permentan/OT.140/10/2009 tentang<br />
Pedoman Budidaya Buah & Sayur yang Baik<br />
4. Napitupulu, E. 2004. Pemantapan Manajemen Pengembangan Agribisnis <strong>Hortikultura</strong>. Dalam<br />
Pertemuan Sinkronisasi Pelaksanaan Pengembangan Agribisnis <strong>Hortikultura</strong>. Dirjen Bina<br />
Produksi <strong>Hortikultura</strong>. Jakarta. 36 hal.<br />
5. Reijntjes, C., B. Haverkort dan A.W. Bayer. 1999. <strong>Pertanian</strong> Masa Depan. Pengantar Untuk<br />
<strong>Pertanian</strong> Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Eds Indonesia. Penerbit Kanisius. Jakarta.<br />
270 hal.<br />
6. Setiawati,W., R. Murtiningsih, N. Gunaeni, T. Rubiati. 2008. Tumbuhan Bahan Pestisida<br />
Nabati. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lembang Setiawati,W., R. Murtiningsih, N.<br />
104│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengkajian Penggunaan Pupuk Organik dan Trichocompos serta Mimba dan Perangkap Kuning untuk Peningkatan Produksi<br />
dan Mutu Sawi Daging dan Selada<br />
Baswarsiati, Yuwoko<br />
Gunaeni, T. Rubiati. 2008. Tumbuhan Bahan Pestisida Nabati. Balai Penelitian Tanaman<br />
Sayuran. Lembang.<br />
7. Soepardi, G. 1993. Sifat dan Ciri Tanah. IPB. Bogor. 589 hal.<br />
8. Sumarno. 2003. Arahan dan Pesan Dirjen Bina Produksi <strong>Hortikultura</strong> pada Pertemuan<br />
Koordinasi Keterpaduan Pengembangan <strong>Hortikultura</strong>. Bogor.<br />
9. Syafaat, N. 2003. Konsep Pengembangan Wilayah Tertinggal dalam Rangka Pemberdayaan<br />
Ekonomi Kerakyatan Melalui Pengembangan Agribisnis. Dalam Suyamto et al (eds). Prosiding<br />
Lokakarya Pengembangan Agribisnis Berbasis Sumberdaya Lokal dalam Mendukung<br />
Pembangunan Ekonomi Kawasan Selatan Jawa. BPTP Jatim bekerjasama dengan Pusat<br />
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>. Bogor. p : 62-84.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│105
Pola Pertumbuhan 3 Aksesi Kangkung (Ipomoea Spp) Pada Berbagai Komposisi Media Tanam<br />
Utami, NW dan Syarif, F<br />
Pola Pertumbuhan 3 Aksesi Kangkung (Ipomoea Spp)<br />
Pada Berbagai Komposisi Media Tanam<br />
Utami, NW dan Syarif, F.<br />
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI,<br />
Jl. Raya Jakarta- Cibinong Km 46, Cibinong<br />
ABSTRAK. Kangkung merupakan sayuran yang banyak diminati oleh masyarakat dari semua golongan<br />
ekonomi (bawah, menengah maupun atas), karena mudah dijumpai di pasar tradisional maupun supermarket<br />
dengan harga yang terjangkau dan mempunyai nilai gizi yang baik. Penelitian untuk mempelajari pola<br />
pertumbuhan dan biomassa beberapa aksesi kangkung pada berbagai komposisi media tanam telah dilakukan di<br />
kebun percobaan Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI,Cibinong. Penelitian ini menggunakan<br />
Rancangan Kelompok Acak Lengkap dengan 2 faktor sebagai rancangan percobaannya. Faktor pertama adalah<br />
aksesi kangkung terdiri dari 3 level yaitu Warudoyong (W), Kemang (K) dan Menalung (M); faktor kedua<br />
adalah komposisi media tanam terdiri dari Tanah+ Pupuk Kandang (2:1), Tanah+Kompos (2:1),<br />
Tanah+Kompos+Pukan (2:1:1) dan Tanah+Pasir+Kompos+Pukan (1:1:1:1). Masing2 perlakuan 4 ulangan,<br />
setiap ulangan 2 tanaman.<br />
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pertumbuhan dari 3 aksesi kangkung bervariasi mulai saat bertunas<br />
(2-4 HST, pertambahan jumlah cabang 2-8 (3 MST), pertumbuhan panjang cabang 8,5 – 39,67 (3 MST), bakal<br />
bunga (14-63 HST), kuncup bunga (25 -70 HST), bunga mekar (28 - 76 HST), bunga layu (30 – 74 HST)<br />
sampai terbentuknya buah (41-57 HST). Komposisi media campuran tanah+pasir+kompos+pupuk<br />
kandang=1:1:1:1 (TPKK) adalah yang paling baik untuk pertumbuhan kangkung yaitu menghasilkan jumlah<br />
daun paling banyak (1529.78 ), biomassa daun+batang paling tinggi (1160.95). Aksesi Warudoyong<br />
menghasilkan biomassa daun+batang tertinggi (1137.62g), aksesi Kemang memiliki ukuran daun paling<br />
panjang (10,06 cm) dan paling lebar (7,63 cm). Kombinasi perlakuan aksesi Warudoyong dengan media TPKK<br />
menghasilkan biomassa daun+batang paling tinggi yaitu 1455,56 g. Aksesi Kemang dengan media TPKK<br />
memiliki ukuran daun paling adalah panjang (11,89 cm) dan paling lebar (8,41 cm).<br />
Kata kunci: pola pertumbuhan, biomassa, aksesi, kangkung, media tanam<br />
ABSTRACT. Utami, NW. dan Syarif, F. 2013. Growth Pattern of Three Kangkung Accessions (Ipomoea<br />
Spp) on the Various Planting Media Composition. Kangkung is a vegetable that much in demand by the all<br />
level of public economic class (low,middle, and high). It because Kangkung is easy to find in traditional markets<br />
and suoermarkets with an affordable price and also has good nutritional values. Redsearch to study the patterns<br />
of growth and biomass of several accessions of Kangkung in several types of groeing media composition has<br />
been performed at the Botany experimental garden, Biology Research Center-LIPI, Cibinong. This research uses<br />
the Randomized Complete Design Group with two factors as its experimental design. The first factor is the<br />
Kangkung accession which consists of 3 levels: Warudoyong (W), Kemang (K) dan Menalung (M ); , the<br />
second factor is the planting media composition: Soil+Manure (2:1), Soil+Compost (2:1),<br />
Soil+Manure+Compost (2:1:1) and Soil+ Sand+ Manure+Compost (1:1:1:1). Each treatment takes 4<br />
replications which are two plants per replication.<br />
The result shows that the growth pattern of the three accessions varied from time for sucker, addition of 2-8 new<br />
branches (3 weeks), growth of branches length from 8.5 to 39.67 (3 weeks), flower primordium (14-63 days),<br />
flower bud (25 – 70 days), flower bloom (28 – 76 days), flower wilt (30 – 74 days) and the formation of fruit<br />
(41-57 days). The best growth media, soil+sand+compost+manure (TPKK) media composition, produces the<br />
most number of leaves (1529.78), the highest stem+leaf biomass (1160.95 g). Warudoyong accession produces<br />
1137.62 g of stem+ leaf biomass. Kemang reaches 10.06 cm long and 7.63 cm width of leaf. The combination<br />
treatment of Warudoyong accession and the TPKK planting medium, has the longest (11.89 cm) and the widest<br />
(8.41 cm) size of leaf.<br />
Keywords: growth pattern, biomass, accession, kangkung, growing media<br />
Kangkung merupakan sayuran yang banyak diminati oleh masyarakat baik dari golongan<br />
menengah ke bawah maupun atas, karena mudah dijumpai di pasar tradisional maupun di supermarket<br />
dengan harga yang terjangkau dan mempunyai nilai gizi yang baik. Kangkung mengnadung vitamin<br />
A cukup tinggi dan vit C, pada kangkung mengandung zat besi sebanyak 2,5 mg/100 g (Paijah, 2012).<br />
Kangkung berasal dari India, lalu menyebar ke Malaysia, Birma, Indonesia, China Selatan, Australia,<br />
106│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pola Pertumbuhan 3 Aksesi Kangkung (Ipomoea Spp) Pada Berbagai Komposisi Media Tanam<br />
Utami, NW dan Syarif, F<br />
dan Afrika. Di China, kangkung dikenal dengan nama weng cai. Di Eropa, kangkung disebut swamp<br />
cabbage, water convovulus, atau water kangkung. Sementara di Indonesia, kangkung bisa ditemukan<br />
di hampir seluruh daerah (Anonim,2010). Kangkung termasuk tipe sayuran dataran rendah yang<br />
pertumbuhannya kurang optimal bila ditanam di dataran lebih dari 700 m dpl (Westphal, 1994).<br />
Kangkung dapat tumbuh di daerah dengan iklim panas dan tumbuh optimal pada suhu 25-30°C<br />
(Palada dan Chang, 2003).<br />
Berdasarkan habitatnya tanaman kangkung dapat dibedakan menjadi kangkung darat (Ipomea<br />
reptans) dan kangkung air (Ipomea aquatica). Kangkung air dapat tumbuh di daerah basah seperti<br />
parit, kolam atau genangan sawah, batangnya lebih besar, berwarna hijau lebih gelap, daunnya lebih<br />
lebar dan sedikit keras, lebih lama layu jika dimasak dan memiliki bunga yang berwarna putih<br />
kemerahan, tidak banyak membentuk biji dibandingkan kangkung darat (Karya mandiri 2009;<br />
AnneAhira). Sebaliknya pada kangkung darat mempunyai batang lebih kecil, hijau pucat, daunnya<br />
lebih sempit, berbunga putih. Namun demikian kangkung darat dapat juga dibudidaya di air dan<br />
sebaliknya kangkung air juga dapat dibudidaya di darat. Pada umumnya budidaya kangkung air lebih<br />
mudah karena tidak memerlukan pemeliharaan secara teratur, perbanyakan tanaman menggunakan<br />
stek pucuk batang (AnneAhira). Kangkung dapat dipanen pada umur 4-6 minggu setelah tanam. Di<br />
pasaran, kangkung darat dan kangkung air, bisa mudah sekali dibedakan. Perbedaan paling mencolok<br />
adalah, ikatan kangkung darat selalu masih ada akarnya. Sementara kangkung air, hanya ada bekas<br />
potongan (Foraqri, 2011). Hasil eksplorasi ke beberapa daerah di Jabodetabek dan Sukabumi dijumpai<br />
beberapa varietas kangkung yang dibudidaya di air namun secara fenotipe ada yang menunjukkan ciri<br />
sebagai kangkung darat antara lain berbunga putih, batang hijau terang. Hal ini ada kemungkinan<br />
awalnya merupakan kangkung darat namun selanjutnya dibudidaya di air. Seperti halnya yang<br />
dilaporkan oleh Foraqri, 2011 bahwa kangkung putih juga bisa dibudidayakan di air (sebagai<br />
kangkung air) dengan benih stek. Sebaliknya kangkung ungu juga bisa dibudidayakan di darat sebagai<br />
kangkung darat, dengan benih biji. Di Thailand, kangkung darat sudah biasa dibudidayakan di air, dan<br />
dipanen dengan cara memotong pucuknya.<br />
Tanaman kangkung pada umumnya diremajakan kembali setelah 8 – 10 panen yaitu umur 4 bulan,<br />
karena semakin lama tanaman akan semakin tua dan menghasilkan pertumbuhan yag tidak maksimal<br />
dan sebagai bahan tanam juga kurang bagus. Bahan tanam dengan stek sacara terus menerus akan<br />
mengalami degenerasi dan pada suatu saat akan memerlukan biji sebagai bahan regenerasi.<br />
Faktor penting yang mempengaruhi peningkatan produktivitas sayuran adalah pemupukan,<br />
namun demikian penggunaan pupuk anorganik sintetis secara terus menerus mengakibatkan<br />
kesuburan tanah menurun (Husnain et al., 2005). Bahan organik juga berperan sebagai sumber energi<br />
dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam<br />
penyediaan hara tanaman (Kloepper, J.W. 1993). Komposisi media yang tepat dapat berpengaruh<br />
terhadap pertumbuhan, kualitas dan produksi kangkung. Selain media tanam, asal/sumber benih<br />
maupun aksesi juga merupakan faktor yang menentukan pertumbuhan. Oleh karena itu dilakukan<br />
penelitian untuk mempelajari pola pertumbuhan beberapa aksesi kangkung yang dibudidaya di air<br />
pada berbagai komposisi media tanam. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui variasi pola<br />
pertumbuhan beberapa aksesi kangkung dan komposisi media tanam yang tepat sebagai dasar<br />
budidayanya.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilakukan di kebun percobaan Fisiologi mulai Juli sampai Oktober 2011. Bahan<br />
penelitian berupa stek kangkung dengan panjang 15-20 cm (2-3 ruas). Stek dari 3 aksesi kangkung<br />
yang dibudidaya di air, diperoleh dari hasil eksplorasi ke Sukabumi (aksesi Menalung dan<br />
Warudoyong) dan Jabotabek (aksesi Kemang). Stek ditanam pada bak yang telah berisi berbagai<br />
komposisi media tanam sesuai dengan perlakuan dan digenangi air kurang lebih 3-4 cm di atas<br />
permukaan media. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang disusun secara<br />
faktorial. Faktor pertama adalah media tanam terdiri dari 4 level yaitu TKD = Tanah+ Pupuk Kandang<br />
(2:1), TKD = Tanah+Kompos (2:1), TKDKd = Tanah+Kompos+Pupuk kandang (2:1:1) dan TPKK =<br />
Tanah+Pasir+Kompos+Pupuk kandang (1:1:1:1). Faktor kedua adalah aksesi kangkung terdiri dari 3<br />
macam yaitu Warudoyong (W), Kemang (K) dan Menalung (M). Setiap perlakuan 3 ulangan,<br />
masing2 ulangan terdiri dari 2 tanaman. Sebelum ditanam dilakukan pengukuran terhadap parameter<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│107
Panjang cabang (cm)<br />
Jumlah cabang<br />
Pola Pertumbuhan 3 Aksesi Kangkung (Ipomoea Spp) Pada Berbagai Komposisi Media Tanam<br />
Utami, NW dan Syarif, F<br />
diameter batang, panjang daun dan lebar daun pada masing-masing aksesi kangkung. Pengamatan saat<br />
muncul bakal bunga sampai terbentuknya buah dengan cara memberi label pada setiap tanaman 3<br />
nomor, jadi setiap perlakuan terdapat 9 nomor. Parameter yang diamati meliputi pola pertumbuhan<br />
(pertumbuhan tunas/cabang, daun, saat muncul bakal bunga, kuncup bunga ,bunga mekar, bunga layu<br />
dan pembentukan buah) dan parameter panen (jumlah dan panjang cabang, jumlah, panjang dan<br />
lebar daun, biomassa daun+batang dan akar) diukur pada umur 3 bulan setelah tanam.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Pola pertumbuhan<br />
Pengamatan terhadap pertumbuhan cabang dilakukan sampai umur 3 minggu setelah tanam, disajikan<br />
dalam Gambar 1 dan 2.<br />
9<br />
8<br />
7<br />
6<br />
5<br />
4<br />
3<br />
2<br />
1<br />
0<br />
TKD Menalung<br />
TKD Warudoyong<br />
TKD Kemang<br />
TKM Menalung<br />
TKM Warudoyong<br />
TKM Kemang<br />
TKK Menalung<br />
TKK Warudoyong<br />
1 MST 2 MST 3 MST<br />
TKK Kemang<br />
Gambar 1. Pertambahan Jumlah cabang<br />
Pada Gambar 1 nampak bahwa pertambahan jumlah cabang cukup bervariasi antara 2 sampai<br />
8, pertambahan paling cepat adalah aksesi Warudoyong (5-8) , sedangkan paling lambat pada aksesi<br />
Kemang (2-3) pada semua media tanam.<br />
45,00<br />
40,00<br />
35,00<br />
30,00<br />
25,00<br />
20,00<br />
15,00<br />
10,00<br />
5,00<br />
0,00<br />
TKD Menalung<br />
TKD Warudoyong<br />
TKD Kemang<br />
TKM Menalung<br />
TKM Warudoyong<br />
TKM Kemang<br />
TKK Menalung<br />
TKK Warudoyong<br />
TKK Kemang<br />
TPKK Menalung<br />
1 MST 2 MST 3 MST<br />
Gambar 2. Pertumbuhan panjang cabang<br />
Pada Gambar 2, dapat dilihat bahwa sampai umur 3 minggu pertambahan panjang cabang<br />
rata-rata bervariasi yaitu berkisar 13-39,67, paling, ukuran cabang paling panjang yaitu aksesi<br />
Warudoyong pada semua media tanam ( 24.47 -39,67 cm) dan paling pendek yaitu aksesi Kemang<br />
108│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pola Pertumbuhan 3 Aksesi Kangkung (Ipomoea Spp) Pada Berbagai Komposisi Media Tanam<br />
Utami, NW dan Syarif, F<br />
pada semua media tanam kecuali TKM. Pertambahan jumlah cabang dan panjang cabang ini<br />
nampaknya lebih disebakan perlakuan aksesi dibandingkan pada komposisi media tanam.Hasil<br />
pengamatan terhadap saat tumbuh tunas, cabang, bakal bunga, kuncup bunga, kuncup mekar, bunga<br />
layu dan pembentukan buah disajikan pada tabel 1.<br />
Tabel 1. Saat tumbuh tunas, cabang, bakal bunga, bunga kuncup, kuncup mekar, bunga layu dan<br />
pembentukan buah (Hari Setelah tanam)( Time for Sucker growth, Flower primordium,<br />
Flower bud, Flower bloom, Flower wilt, Fruit)(Days after planting)<br />
Komposisi<br />
Media<br />
(Media<br />
composition)<br />
Aksesi<br />
(Accession)<br />
Tumbuh<br />
tunas<br />
(Sucker<br />
growth)<br />
Bakal<br />
bunga<br />
(Flower<br />
primordium)<br />
Kuncup<br />
bunga<br />
(Flower<br />
bud)<br />
Mekar<br />
bunga<br />
(Flower<br />
bloom)<br />
Layu<br />
bunga<br />
(Flower<br />
wilt)<br />
TKD* Menalung 4 35 42 - - -<br />
Warodyong 3 56 70 76 - -<br />
Kemang 2 16 35 37 42 49<br />
TKM** Menalung 4 35 49 56 - -<br />
Warodyong 3 49 70 75 - -<br />
Kemang 2 35 48 51 55 47<br />
TKK*** Menalung 4 56 70 72 74 -<br />
Warodyong 3 35 - - - -<br />
Kemang 2 15 25 28 30 34<br />
TPKK**** Menalung 4 36 63 65 70 -<br />
Warodyong 3 63 70 72 - -<br />
Kemang 2 14 32 35 38 41<br />
*TKD= Tanah+Pupuk Kandang (Soil+Manure =2:1);<br />
** TKM= Tanah+Kompos (Soil+Compost =2:1)<br />
***TKK= Tanah + Pupuk Kandang+Kompos (Soil+Manure+Compost =2:1:1);<br />
****TPKK= Tanah + Pasir + Pupuk Kandang+Kompos (Soil+Sand+ Manure+Compost =1:1:1:1)<br />
Buah<br />
(Fruit)<br />
Gambar 3. Bakal bunga Gambar 4. kuncup bunga Gambar 5. Bunga mekar<br />
Gambar 6. Bunga layu, bakal buah<br />
Gambar 7. Buah muda<br />
Saat muncul tunas bervariasi berkisar antara 2 – 4 hari setelah tanam. Kriteria muncul tunas<br />
adalah panjang tunas ≥ 1 cm. Aksesi Kemang paling cepat bertunas (2 HST) , disusul Warudoyong (3<br />
HST) dan Menalung (4 HST). Komposisi media tanam nampaknya tidak mempengaruhi terhadap<br />
saat bertunas, hal ini dapat dlihat pada Tabel 1, aksesi yang sama pada media yang berbeda<br />
menunjukkan saat bertunas yang sama. Saat pembentukan bakal bunga (Gambar 3) beriksar 14 – 63<br />
HST. Aksesi Kemang nampak relatif lebih cepat dalam pembentukan bakal bunga yaitu berkisar 14<br />
– 35 HST. Aksesi Warudoyong cenderung paling lambat yaitu 35 – 63 HST, bakal bunga yang sudah<br />
muncul hanya mengalami perkembangan sampai menjadi bunga mekar kemudian gugur, bahkan pada<br />
media TKK bakal bunga tidak sempat menjadi kuncup bunga. Selanjutnya bakal bunga akan tumbuh<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│109
Pola Pertumbuhan 3 Aksesi Kangkung (Ipomoea Spp) Pada Berbagai Komposisi Media Tanam<br />
Utami, NW dan Syarif, F<br />
manjadi kuncup bunga yaitu berkisar 27 – 70 HST (Gambar 4), bunga mekar (28 - 76 HST, Gambar<br />
5), bunga layu (30 – 74 HST, Gambar 6) sampai terbentuknya buah untuk aksesi Kemang(41-57 HST,<br />
Gambar 7). Untuk mengetahui lamanya tahapan pembungaan yaitu lamanya waktu (hari) yang<br />
dialami bakal bunga, bunga kuncup, bunga mekar, bunga layu dari masing-masing aksesi kangung<br />
pada berbagai komposisi media tanam disajikan pada Tabel 2.<br />
Tabel 2. Masa bakal bunga, bunga kuncup, bunga mekar, bunga layu (hari) (Long time of fruit<br />
primordium, flower bud, flower bloom, flower wilt (days)<br />
Komposisi<br />
Media<br />
(Media<br />
composition)<br />
Aksesi (Accession)<br />
Bakal Bunga<br />
Frower<br />
primordium<br />
Kuncup Bunga<br />
flower bud<br />
Mekar Bunga<br />
flower bud,<br />
TKD* Menalung 7 - - -<br />
Warudoyong 14 6 - -<br />
Kemang 19 2 5 7<br />
TKM** Menalung 14 7 - -<br />
Warudoyong 21 5 - -<br />
Kemang 13 3 3 2<br />
TKK*** Menalung 24 2 2 -<br />
Warudoyong - - - -<br />
Kemang 10 3 2 4<br />
TPKK**** Menalung 27 2 5 -<br />
Warudoyong 7 2 - -<br />
Kemang 18 3 3 3<br />
*TKD= Tanah+Pupuk Kandang (Soil+Manure =2:1);<br />
** TKM= Tanah+Kompos (Soil+Compost =2:1)<br />
***TKK= Tanah + Pupuk Kandang+Kompos (Soil+Manure+Compost =2:1:1);<br />
****TPKK= Tanah + Pasir + Pupuk Kandang+Kompos (Soil+Sand+ Manure+Compost =1:1:1:1)<br />
Layu Bunga<br />
flower wilt<br />
Dari tabel 3 terlihat bahwa pada semua aksesi, tahapan pembungaan yang paling lama adalah<br />
masa bakal bunga yaitu berlangsung selama 7 – 27 hari, masa bunga kuncup antara 2 – 7 hari, bunga<br />
mekar 2 – 5 hari, bunga layu 2 – 7 hari. Dari hasil pengamatan perkembangan bunga sampai buah<br />
menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan paling lama adalah masa bakal bunga dibandingkan<br />
dengan masa kuncup bunga, bunga mekar, layu maupun terbentuknya buah. Kendala pada<br />
pengamatan fenologi adalah karena tidak semua bakal bunga yang diberi label dapat berkembang<br />
menjadi bunga dan buah, ada yang gugur /gagal menjadi bunga kuncup (Menalung TKD), ada yang<br />
lepas setelah menjadi kuncup bunga /gagal menjadi bunga mekar (Menalung TKM dan Warudoyong<br />
TKM dan TPKK) dan ada yang gugur setelah menjadi bunga mekar (Menalung TPKK). Aksesi<br />
Kemang pada semua media tanam nampak bahwa bakal bunga dapat berkembang menjadi bakal buah<br />
namun tidak sampai menjadi buah matang.<br />
Parameter pertumbuhan dan biomassa<br />
Pada umur 3 bulan dilakukan panen , disebabkan sudah menghasilkan buah dan pertumbuhan<br />
tanaman sudah maksimal dan menutup bak tempat tumbuh. Hasil pengamatan saat panen yang<br />
meliputi panjang cabang, jumlah cabang, jumlah daun dan diameter batang pada 3 aksesi kangkung<br />
disajikan pada Tabel 3.<br />
Tabel 3. Panjang cabang, jumlah cabang, jumlah daun dan diameter batang pada 3 aksesi kangkung<br />
(long of branch, number of branch, number of leaf and diameter of stem)<br />
Aksesi Panjang cabang Jumlah cabang Jumlah daun Diameter batang<br />
(cm)<br />
(mm)<br />
Menalung 434,59 b 106 a 2109,83 a 6,7 b<br />
Warudoyong 745,50 a 60,92 b 741,75 b 6,2 b<br />
Kemang 346,36 b 15,33 c 224,42 b 8,6 a<br />
Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%<br />
(Number followed with the same letters in same column are not significantly at the 5 % level DMRT)<br />
110│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pola Pertumbuhan 3 Aksesi Kangkung (Ipomoea Spp) Pada Berbagai Komposisi Media Tanam<br />
Utami, NW dan Syarif, F<br />
Pada Tabel 3 terlihat bawa aksesi berpengaruh secara nyata terhadap parameter panjang cabang,<br />
jumlah cabang, jumlah daun dan diameter batang. Ukuran panjang cabang bervariasi antara 346,36 –<br />
745,50 cm, cabang terpanjang pada aksesi Warudoyong dan berbeda nyata dengan aksesi lain. Aksesi<br />
Menalung memiliki jumlah cabang dan daun terbanyak yaitu berturut-turut 106 dan 2109,83 dan<br />
berbeda nyata dengan 2 aksesi lainnya. Aksesi Kemang memiliki ukuran diameter batang paling<br />
besar yaitu 0,86 cm namun ukuran cabang paling pendek, jumlah cabang dan daun paling sedikit.<br />
Tabel 4. Biomassa daun+batang, biomassa akar, panjang dan lebar daun 3 aksesi kangkung (Biomass<br />
of leaf+stem, biomass of root, long and width of leaf)<br />
Aksesi<br />
Biomassa<br />
daun+batang<br />
+batang (Biomass of<br />
leaf+stem) (g)<br />
Biomassa akar<br />
(biomass of root) (g)<br />
Panjang daun<br />
(Long of leaf)<br />
(cm)<br />
Lebar Daun (Width<br />
of leaf) (cm)<br />
Menalung 1114,80 a 631,30 a 8,61 b 5,76 b<br />
Warudoyong 1137,62 a 504,04 a 8,96 b 5,16 c<br />
Kemang 542,51 b 158,17 b 10,27 a 6,81 a<br />
Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%<br />
(Number followed with the same letters in same column are not significantly at the 5 % level DMRT)<br />
Pada Tabel 4 nampak bahwa aksesi Warudoyong memiliki biomassa daun+batang paling<br />
tinggi yaitu 1137,62 g . Aksesi Kemang memiliki ukuran daun terpanjang (10,06 cm) dan terlebar<br />
(7,63 cm), namun biomassa daun+batang paling rendah (542 g) dibandingkan aksesi lain. Hasil adalah<br />
sesuia jika dikaitkan dengan jumlah daunnya juga paling sedikit yaitu 224,42 dan berbeda nyata<br />
dengan 2 aksesi lain. (Tabel 3). Komposisi media tanam tampaknya tidak berpengaruh nyata terhadap<br />
semua peubah panjang cabang, jumlah cabang, jumlah daun dan diameter batang. Hasil pengamatan<br />
panjang cabang , jumlah cabang, jumlah daun dan diameter batang kangkung pada berbagai media<br />
tanam disajikan pada Tabel 5.<br />
Tabel 5. Panjang cabang, jumlah cabang, jumlah daun dan diameter batang kangkung pada berbagai<br />
komposisi media tanam (long of branch, number of branches, number of leafs and diamter of<br />
stem)<br />
Komposisi<br />
Media<br />
(Media composition)<br />
Panjang cabang(long<br />
of branch) (cm)<br />
Jumlah cabang<br />
(Number of<br />
branches) (cm)<br />
Jumlah daun<br />
(Number of leafs)<br />
TKD* 545,26 a 78,11 a 613,22 a 0,72 a<br />
TKM** 412,22 a 45,22 a 717,11 a 0,71 a<br />
TKK*** 491,61 a 56,44 a 1241,22 a 0,72 a<br />
Diameter batang<br />
(Diamter of stem)<br />
(cm)<br />
TPKK****<br />
605,13 a 63,22 a 1529,78 a 0,73 a<br />
Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%<br />
(Number followed with the same letters in same column are not significantly at the 5 % level DMRT)<br />
Pada Tabel 5 terlihat bahwa media Tanah+pasir+kompos+pupuk kandang(TPKK)<br />
menghasilkan ukuran cabang terpanjang yaitu 573,33 cm dan jumlah daun terbanyak (1529,78),<br />
Jumlah cabang terbanyak pada media tanah+pupuk kandang (TKD) yaitu 78,11, Ukuran diameter<br />
nampak seragam pada berbagai media tanam yaitu berkisar 0,71 – 0,73 cm.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│111
TKD<br />
TKD<br />
TKM<br />
TKM<br />
TKK<br />
TKK<br />
TPKK<br />
TPKK<br />
TKD<br />
TKM<br />
TKK<br />
TPKK<br />
Pola Pertumbuhan 3 Aksesi Kangkung (Ipomoea Spp) Pada Berbagai Komposisi Media Tanam<br />
Utami, NW dan Syarif, F<br />
Tabel 6. Biomassa daun+batang, biomassa akar, panjang dan lebar daun ((Biomass of leaf+stem,<br />
biomass of root, long and width of leaf)<br />
Komposisi<br />
Media<br />
(Media composition)<br />
Biomassa<br />
daun+batang<br />
+batang (Biomass of<br />
leaf+stem) (g)<br />
Biomassa akar<br />
(biomass of root) (g)<br />
Panjang daun (Long<br />
of leaf)<br />
(cm)<br />
TKD* 908,51 ab 329,11 b 9,29 b 5,76 b<br />
TKM** 714,80 b 371,74 ab 8,46 b 5,09 c<br />
TKK*** 942,31 ab 467,39 ab 8,70 b 5,82 b<br />
TPKK**** 1160,95 a 537,96 a 11,00 a 7,13 a<br />
Lebar Daun (Width<br />
of leaf) (cm)<br />
Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%<br />
(Number followed with the same letters in same column are not significantly at the 5 % level DMRT)<br />
Pada Tabel 6 nampak bahwa komposisi media tanam berpengaruh nyata terhadap biomassa<br />
daun+batang dan akar serta ukuran daun. Media dengan komposi tanah+pasir+kompos+pupuk<br />
kandang (TPKK) menghasilkan biomassa daun+batang tertinggi (1160,95 g), biomassa akar tertinggi<br />
(556,44 g), ukuran daun terpanjang (11,00 cm) dan ukuran daun paling lebar (7,13 cm). Hal ini dapat<br />
dimengerti karena komposisi hara pupuk kandang, kompos yang seimbang dan adanya pasir dapat<br />
menjadikan media lebih porus dan aerasi lancar sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang<br />
lebih baik. Pupuk kandang mengandung unsur hara makro dan mikro. Pupuk kandang padat (makro)<br />
banyak mengandung unsur fosfor, nitrogen, dan kalium.Unsur hara mikro yang terkandung dalam<br />
pupuk kandang di antaranya kalsium, magnesium, belerang, natrium, besi, tembaga, dan molibdenum<br />
(Parnata,A.S.2004). Tanaman kangkung dengan perlakuan pupuk kandang ayam memiliki hasil panen<br />
tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk kandang sapi, pupuk kompos maupun control<br />
(Maryam, A. 2009). Kompos merupakan sisa bahan organik yang berasal dari tanaman, hewan, dan<br />
limbah organik yang telah mengalami proses dekomposisi atau fermentasi. Kompos dapat<br />
memperbaiki struktur tanah, memperkuat daya ikat agregat (zat hara) tanah berpasir, meningkatkan<br />
daya tahan dan daya serap air, memperbaiki drainase dan pori - pori dalam tanah, menambah dan<br />
mengaktifkan unsur hara (Djuarni, Nan.dkk. 2006). ). Kompos dan pupuk kandang merupakan sumber<br />
bahan organik yang berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sangat berperan<br />
dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman (Suriadikarta, dkk. 2006).Hasil analisa statistik<br />
menunjukkan tidak ada interaksi antara aksesi dan komposisi media tanam pada semua parameter<br />
yang diuji, kecuali pada parameter diameter batang. Pengaruh kombinasi perlakuan media tanam dan<br />
aksesi terhadap parameter pertumbuhan (jumlah dan panjang cabang, jumlah daun dan diameter<br />
batang)<br />
150<br />
100<br />
50<br />
0<br />
Menalung<br />
Warudoyon<br />
g<br />
Kemang<br />
1000<br />
500<br />
0<br />
Menalung<br />
Warudoyo<br />
ng<br />
Gambar 8. Jumlah cabang<br />
Gambar 9. Panjang cabang<br />
4000<br />
3000<br />
2000<br />
1000<br />
0<br />
10<br />
Menalung<br />
5<br />
Warudoyong<br />
Kemang 0<br />
Menalung<br />
Warudoyong<br />
Kemang<br />
112│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
TKD<br />
TKM<br />
TKK<br />
TPKK<br />
TKD<br />
TKD<br />
TKM<br />
TKM<br />
TKK<br />
TKK<br />
TPKK<br />
TPKK<br />
Pola Pertumbuhan 3 Aksesi Kangkung (Ipomoea Spp) Pada Berbagai Komposisi Media Tanam<br />
Utami, NW dan Syarif, F<br />
Gambar 10. Jumlah daun<br />
Gambar 11. Diameter batang<br />
Jumlah cabang bervariasi antara 12 – 109, aksesi Kemang memiliki jumlah cabang terpendek<br />
pada semua media tanam (Gambar 8) yaitu berkisar 12 – 20,69, Panjang cabang sangat bervariasi<br />
berkisar antara 262,76 – 945,67, ukuran cabang terpanjang pada kombinasi aksesi Warudoyong pada<br />
media TPKK (Gambar 9), sesuai dengan Tabel 3 (aksesi Warudoyong) dan media TPKK (Tabel 4)<br />
menghasilkan ukuran cabang paling panjang. Aksesi Menalung pada semua media tanam<br />
menghasilkan jumlah daun terbanyak (Gambar 10) yaitu berkisar 785 – 2639, Ukuran diameter<br />
batang cukup bervariasi yaitu berkisar 5,8 – 9,8 mm, pada semua media tanam, Aksesi Kemang<br />
memiliki ukuran diameter paling besar (8,1 – 9,8 mm) dibandingkan dengan aksesi lain ( 5,8 – 6,6<br />
mm) dan pada media TPKK menghasilkan ukuran diameter batang paling besar (Gambar 11) yaitu 9,8<br />
mm. Secara umum nampak bahwa ketiga aksesi kangkung yaitu Menalung, Warudoyong dan Kemang<br />
yang ditanam pada media TPKK menghasilkan biomassa daun+batang Gambar 12), biomassa akar<br />
(Gambar 13), panjang daun (Gambar 14) dan lebar daun (Gambar 15) paling tinggi dibandingkan<br />
dengan 3 komposisi media tanam yang lain.<br />
1500<br />
1000<br />
500<br />
0<br />
Menalung<br />
1000<br />
500<br />
Warudoyon<br />
g 0<br />
Menalung<br />
Warudoyo<br />
ng<br />
Media tanam<br />
Gambar 12.Biomasa daun+batang<br />
Media tanam<br />
Gambar 13. Biomassa akar<br />
15<br />
10<br />
5<br />
0<br />
Menalung<br />
10<br />
5<br />
Warudoyon<br />
g 0<br />
Menalung<br />
Warudoyo<br />
ng<br />
Media tanam<br />
Gambar 14.Panjang daun<br />
Media tanam<br />
Gambar 15. Lebar daun<br />
Kombinasi perlakuan aksesi Warudoyong dan media tanam TPKK menghasilkan biomassa<br />
daun+batang paling tinggi (Gambar 12). Perbedaan bobot tanaman disebabkan oleh faktor genetik<br />
dari masing-masing aksesi dan interaksi dengan lingkungan setempat (Kusandryani dan Luthfy 2006).<br />
Aksesi Kemang menghasilkan ukuran daun paling panjang (Gambar 14) dan paling lebar (Gambar<br />
15) pada semua komposisi media tanam. Hasil ini mengindikasikan bahwa ukuran daun cenderung<br />
disebabkan oleh aksesi (faktor genetik), seperti tercantum pada Tabel 4 dimana aksesi Kemang<br />
memiliki ukuran daun paling panjang dan paling lebar dibandingkan 3 aksesi lainnya.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│113
Pola Pertumbuhan 3 Aksesi Kangkung (Ipomoea Spp) Pada Berbagai Komposisi Media Tanam<br />
Utami, NW dan Syarif, F<br />
Tabel 9. Jumlah bakal bunga, bunga dan buah pada umur 3 Bulan Setelah Tanam (Number of flower<br />
primordium, flower and fruit on the 3 mounth after planting)<br />
Komposisi<br />
Media<br />
(Media<br />
composition)<br />
Aksesi (Accession)<br />
Jumlah Bakal<br />
Bunga(Number of<br />
flower primordium)<br />
Jumlah Bunga<br />
(Number of flower)<br />
TKD* Menalung 46,67 93,00<br />
Warudoyong 5,5 6<br />
Kemang 15 1 17,5<br />
TKM** Menalung 5,00 1,00 15,67<br />
Warudoyong 2,33 1,5 8<br />
Kemang 7,67 11<br />
TKK*** Menalung 17,33 3,67 10,67<br />
Warudoyong 4,33 2 2,67<br />
Kemang 12,5 2,33 14,33<br />
TPKK**** Menalung 41,00 5,00 35,50<br />
Warudoyong 1,5 2<br />
Kemang 24,67 2 8,33<br />
*TKD= Tanah+Pupuk Kandang (Soil+Manure =2:1);<br />
** TKM= Tanah+Kompos (Soil+Compost =2:1)<br />
***TKK= Tanah + Pupuk Kandang+Kompos (Soil+Manure+Compost =2:1:1);<br />
****TPKK= Tanah + Pasir + Pupuk Kandang+Kompos (Soil+Sand+ Manure+Compost =1:1:1:1)<br />
Jumlah Buah<br />
(Number of fruit)<br />
Pada Tabel 9 terlihat bahwa jumlah bakal bunga (46,67) dan jumlah buah (93) yang<br />
terbentuk paling banyak pada aksesi Menalung media TKD. Aksesi Warudoyong pada semua media<br />
menghasilkan bakal bunga (1,5 – 5,5), bunga (0-2) dan buah (0-8) dengan jumlah paling sedikit<br />
dibandingkan dengan aksesi lain.<br />
KESIMPULAN<br />
Pola pertumbuhan kangkung dari saat tanam sampai menghasilkan buah sekitar 46 – 90<br />
hari setelah tanam, aksesi Kemang paling cepat dan Warudoyong paling lambat. Masa berbunga<br />
sampai berbuah 9-21 hari . Aksesi Menalung menghasilkan jumlah daun paling banyak. Aksesi<br />
Warudoyong menghasilkan cabang paling banyak dan paling panjang, biomassa daun+batang paling<br />
tinggi (1137,62 g). Aksesi Kemang menghasilkan ukuran daun paling panjang 10,06 cm dan paling<br />
lebar 7,63 cm. Komposisi media tanah+pasir+ pupuk kandang+ kompos=1:1:1:1 (TPKK) adalah yang<br />
paling baik untuk pertumbuhan kangkung yaitu menghasilkan jumlah daun paling banyak (1529,78 ),<br />
biomassa daun+batang paling tinggi (1160,95 g. Tidak ada interaksi antara media tanam dan aksesi<br />
kangkung.<br />
PUSTAKA<br />
1. AnneAhira. Budidaya tanaman kangkung ,http://www,anneahira,com/budidaya-tanamankangkung,htm<br />
(7 April 2010)<br />
2. Anonim,2010, Ini budidaya Kangkung<br />
http://blogs,unpad,ac,id/imamyudhapratama/2010/05/31/ini-budidaya-kangkung-kang/ (25 Juli<br />
2011)<br />
3. Foraqri, 2011. Merancang budidaya kangkung,<br />
http://foragri,wordpress,com/2011/04/25/merancang-budidaya-kangkung/ ( diakses tanggal 25<br />
Juli 2011)<br />
4. Husnain, S. Haris dan S. Diah. 2005. Mungkinkah pertanian organik di Indonesia peluang dan<br />
tantangan. Jurnal Inovasi. 4(17): 9-14.<br />
5. Juarni, Nan.Ir, M.Sc., Kristian.,Setiawan,Budi Susilo.(2006). Cara Cepat Membuat Kompos.<br />
Jakarta:AgroMedia.Hal 36-38<br />
6. Karya mandiri 2009, Budidaya kangkung, Kangkung (Ipomoea reptans)<br />
http://karyamandiriprw,wordpress,com/2009/06/30/budidaya-kangkung/ (diakses 11 Juni 2009)<br />
114│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pola Pertumbuhan 3 Aksesi Kangkung (Ipomoea Spp) Pada Berbagai Komposisi Media Tanam<br />
Utami, NW dan Syarif, F<br />
7. Kloepper, J.W. 1993. Plant growth-promoting rhizobacteria as biological control agents. p. 255-<br />
274. In F.Blaine Metting, Jr. (Ed.). Soil Microbiology Ecology, Applications in Agricultural and<br />
Environmental Management. Marcel Dekker, Inc., New York.<br />
8. Kusandryani, Y dan Luthfy. 2006. Karakterisasi plasma nutfah kangkung. Bul.Plasma Nutfah.<br />
12(1): 30-32.<br />
9. Maryam, A. 2009. Pengaruh Jenis Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Panen<br />
Tanaman Sayuran Di Dalam Nethouse. Skripsi Sarjana. Fakultas <strong>Pertanian</strong> Institut <strong>Pertanian</strong><br />
Bogor<br />
10. Palada, M. C. and L. C. Chang. 2003. Suggested cultural practices for kangkong.<br />
www.avrdc.org/pdf/seeds/kangkong.pdf. [06/12/2007].<br />
11. Paijah. 2012. Kangkung/Gizi dan Khasiat Kangkung untuk Kesehatan.<br />
12. http://paijah.com/kangkung-gizi-dan-khasiat-kangkung-untuk-kesehatan.html (diakses 24 Juni<br />
2012)<br />
13. Parnata, Ayub.S. (2004). Pupuk Organik Cair. Jakarta: PT Agromedia Pustaka. Hal 15-18.<br />
14. Suriadikarta, Didi Ardi., Simanungkalit, R.D.M. (2006).Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Jawa<br />
Barat:Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan <strong>Pertanian</strong>. Hal 2. ISBN 978-<br />
979-9474-57-5 (20 januari 2012)<br />
15. Westphal, E. 1994. Ipomoea aquatica Forsskal, p. 181-184. In: J. S. Siemonsma and K. Piluek<br />
(Eds.). Plant Resources of South-East Asia and Vegetables 8. PROSEA Foundation. Bogor<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│115
Deskripsi Kesuburan Beberapa Lahan Potensial untuk Budidaya Krisan di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta<br />
Fibrianty dan Iswadi, A<br />
Deskripsi Kesuburan Beberapa Lahan Potensial untuk Budidaya Krisan<br />
di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta<br />
Fibrianty dan Iswadi, A<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Yogyakarta, Ringroad Utara, Karangsari, Sleman, Kotak Pos 1013,<br />
Yogya, 55010, Demanggu Baru<br />
ABSTRAK. Krisan umumnya dibudidayakan di dataran medium sampai dataran tinggi pada kisaran 600 hingga<br />
1.200 m dpl. Di dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman krisan, ketinggian tempat menjadi faktor kunci<br />
dalam menentukan kesesuaian suatu lokasi. Tanaman krisan pertama kali dikembangkan di di Kecamatan<br />
Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta di lokasi dengan ketinggian ± 600 m dpl. Dengan menetapkan<br />
ketinggian 600 m dpl. sebagai dasar dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya krisan maka diperoleh<br />
hasil bahwa wilayah di kabupaten Sleman yang sesuai untuk budidaya krisan meliputi kecamatan Pakem (Desa<br />
Hargobinangun dan Purwobinangun), Kecamatan Turi (Desa Wonokerto dan Girikerto), dan Kecamatan<br />
Cangkringan (Desa Umbulharjo, Kepuhharjo, dan Glagahharjo). Hasil analisis tanah beberapa lokasi<br />
pengembangan perbenihan krisan di Kecamatan Pakem, kesimpulan yang diperoleh ialah bahwa tanah bereaksi<br />
agak masam sampai masam dengan nilai pH 5–6,2, kadar C organik dan N total berkisar dari sangat rendah<br />
sampai rendah, kapasitas pertukaran kation rendah dan P tersedia sangat rendah. Tanaman krisan tumbuh baik<br />
pada kisaran pH sekitar 5,5–6,5, yang berarti pH tanah telah sesuai, sementara kadar bahan organik dan hara lain<br />
yang rendah dapat ditingkatkan sesuai dengan persyaratan tumbuh krisan dengan cara memodifikasi media<br />
tumbuh dalam bedengan.<br />
Katakunci: Kesuburan; Lahan potensial; Krisan<br />
Tanaman krisan (Dendrathema grandiflora) merupakan tanaman yang berasal dari daerah<br />
subtropis, di negara beriklim tropis krisan dapat dibudidayakan di dataran medium sampai tinggi pada<br />
kisaran 600 hingga 1.200 m dpl. Krisan dapat tumbuh pada kisaran suhu harian antara 17 sampai 30<br />
o C, beberapa pustaka menyebutkan bahwa pada suhu di atas 25 o C, proses inisiasi bunga akan<br />
terhambat dan pembentukan bakal bunga juga terlambat. Suhu yang terlalu tinggi juga mengakibatkan<br />
bunga yang dihasilkan cenderung berwarna kusam, pucat dan memudar.<br />
Dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya krisan, ketinggian tempat menjadi faktor<br />
kunci dalam menentukan kesesuaian suatu lokasi. Hal tersebut disebabkan karena faktor ketinggian<br />
tempat berhubungan erat dengan suhu udara, makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, makin<br />
rendah suhu udara. Di Indonesia, budidaya krisan umumnya dilakukan di dalam rumah lindung yang<br />
dapat berupa rumah kaca atau rumah plastik. Rumah lindung ini berfungsi untuk memberikan kondisi<br />
lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan tanaman krisan yang optimal. Modifikasi lingkungan<br />
tumbuh pun perlu dilakukan melalui penerapan teknik budidaya yang sesuai hingga memberikan<br />
iklim mikro yang optimal untuk pertumbuhan tanaman dan mengurangi pengaruh negatif lingkungan<br />
seperti intensitas cahaya matahari yang tinggi, terpaan air hujan langsung dan amplitudo suhu harian<br />
yang tinggi serta serangan serangga hama dan patogen (Budiarto et al. 2006). Tanaman krisan dapat<br />
tumbuh baik di daerah pada ketinggian 600–200 m dpl. dengan kisaran suhu udara antara 15 sampai<br />
dengan 28 o C dan kelembaban udara 60–85%. Tanah dipersyaratkan memiliki tekstur liat berpasir,<br />
dengan kerapatan jenis 0,2–0,8 g/cm 3 (berat kering), total porositas 50–75%, kandungan air 50–70%,<br />
kandungan udara dalam pori 10–20%, kandungan garam terlarut 1–1,25 dS/m 2 dan kisaran pH sekitar<br />
5,5–6,5. Untuk mencapai kondisi tersebut dapat dilakukan melalui modifikasi media tumbuh dalam<br />
bedengan. Pengkajian ini bertujuan mengetahui tingkat kesuburan lahan-lahan yang secara biofisik<br />
potensial untuk budidaya krisan di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Pengkajian dilaksanakan pada Bulan Februari sampai Desember 2009 di Kabupaten Sleman<br />
dengan cara melaksanakan survei ke wilayah yang dalam peta agro ecological zone (AEZ) termasuk<br />
dalam zone III Dhfe dan IV Dhfe yang direkomendasikan untuk hortikultura dataran medium dan<br />
dataran tinggi, termasuk di dalamnya krisan.<br />
116│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Deskripsi Kesuburan Beberapa Lahan Potensial untuk Budidaya Krisan di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta<br />
Fibrianty dan Iswadi, A<br />
Pada pengkajian ini sampel tanah yang diuji berasal dari beberapa lokasi budidaya krisan di desa<br />
Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, DI Yogyakarta. Pengambilan sampel di wilayah pewakil<br />
dilakukan dengan cara mengambil sampel tanah pada kedalaman 0-20 cm, pada titik-titik<br />
pengambilan yang ditentukan secara diagonal. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Balai<br />
Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> (BPTP) Yogyakarta dengan parameter analisis: pH H 2 O, C-Organik,<br />
N-Total, CN rasio, P 2 O 5 (metode Bray), Kapasitas Tukar Kation dan kation Ca, Mg, dan K tertukar<br />
dengan ekstraksi menggunakan NH 4 OAc 1 N pH 7.<br />
PEMBAHASAN<br />
Berbagai pustaka menyebutkan bahwa persyaratan tumbuh krisan adalah pada kisaran 600<br />
hingga 1.200 m dpl. Dengan menetapkan ketinggian 600 m dpl. sebagai dasar dalam penentuan<br />
kesesuaian lahannya maka diperoleh hasil bahwa wilayah di Kabupaten Sleman yang sesuai untuk<br />
budidaya krisan meliputi Kecamatan Pakem (Desa Hargobinangun dan Purwobinangun), kecamatan<br />
Turi (Desa Wonokerto dan Girikerto), dan Kecamatan Cangkringan (Desa Umbulharjo, Kepuhharjo,<br />
dan Glagahharjo).<br />
Tabel 1. Lokasi potensial untuk perbenihan krisan di Kabupaten Sleman<br />
Kecamatan<br />
Desa<br />
Pakem<br />
Turi<br />
Cangkringan<br />
Hargobinangun dan Purwobinangun<br />
Wonokerto dan Girikerto<br />
Umbulharjo, Kepuhharjo dan Glagahharjo<br />
Tabel 2 menunjukkan hasil analisis tanah beberapa lokasi pengembangan bunga krisan di<br />
Kcamatan Pakem.<br />
Tabel 2. Hasil analisis tanah di beberapa lokasi pengembangan krisan di Kabupaten Sleman<br />
Kation tertukar<br />
C N total pH P<br />
Lokasi<br />
2 O 5 KTK<br />
(%) (%) H 2 O (ppm) (me%)<br />
K Ca Mg<br />
(me%) (me%) (me%)<br />
Dusun Gondanglegi,<br />
1,327 0,196 5,7 4,218 9,435 0,983 2,223 0,742<br />
Hargobinangun, Pakem<br />
Dusun Gondanglegi,<br />
0,601 0,096 6,0 2,694 7,547 0,649 1,091 0,550<br />
Hargobinangun, Pakem<br />
Dusun Gondanglegi,<br />
1,008 0,145 5,5 3,096 9,310 0,398 1,894 0,638<br />
Hargobinangun, Pakem<br />
Dusun Gondanglegi,<br />
1,254 0,109 5,0 6,018 11,314 0,986 2,143 0,722<br />
Hargobinangun, Pakem<br />
Dusun Kaliurang,<br />
1,507 0,206 6,2 3,164 9,949 0,186 1,652 0,542<br />
Hargobinangun, Pakem<br />
Dusun Kaliurang,<br />
1,450 0,050 6,2 3,043 8.507 0,081 1,486 0,489<br />
Hargobinangun, Pakem<br />
Dusun Wonokerso,<br />
0,811 0,097 5,8 3,104 6,940 0,945 1,355 0,447<br />
Hargobinangun, Pakem<br />
Hasil analisis laboratorium tanah 2009<br />
pH Tanah<br />
Kemasaman tanah (pH tanah) memiliki arti penting bagi tanaman karena mempengaruhi<br />
ketersediaan hara-hara makro dan mikro yang diperlukan oleh tanaman (Rafi’i 1985, Poerwowidodo<br />
1992), pada tanah dengan pH yang lebih rendah dari 7 menunjukkan kepekatan ion Hidrogen yang<br />
tinggi dan tanah cenderung bersifat masam. Krisan merupakan tanaman yang memerlukan media<br />
tanam dengan kemasaman tanah optimal pada nilai 5,5–6,5. Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah<br />
bereaksi masam sampai agak masam dengan nilai pH 5–6,2. Lokasi pengkajian berada di kaki gunung<br />
Merapi secara langsung berpengaruh pada jenis tanah yang termasuk dalam Typic Hapludands dan<br />
Lithic Hapludands yang kaya akan mineral alofan. Tanah Andisol ini terbentuk dari bahan yang kaya<br />
akan gelas vulkanik, dengan horison penciri adanya horison andic yang berwarna kelam, coklat<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│117
Deskripsi Kesuburan Beberapa Lahan Potensial untuk Budidaya Krisan di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta<br />
Fibrianty dan Iswadi, A<br />
sampai hitam, dengan sifat tanah yang sangat porous dan sangat gembur dengan pH tanah 4,5–6<br />
(Darmawijaya 1992). pH tanah yang berkisar antara 5–6,2 di lokasi pengkajian berhubungan erat<br />
dengan mineral dominan yaitu alofan yang kaya akan gelas vulkanik yang berasal dari letusan gunung<br />
merapi.<br />
Sebagian besar lokasi memiliki pH yang telah sesuai dengan persyaratan krisan, kecuali di satu<br />
lokasi budidaya di dusun Gondanglegi yang pada titik tersebut pH tanahnya bernilai 5 yang berarti<br />
tanah memerlukan pengapuran menggunakan dolomit atau kapur pertanian. Pada umumnya petani<br />
krisan di lokasi penelitian telah melakukan pemberian dolomit sebagai salah satu tahap dalam<br />
rangkaian kegiatan pengolahan tanah untuk budidaya krisan (Rahayu et al. 2010). Arti penting<br />
pengapuran selain dari sisi tanah adalah untuk meningkatkan pH tanah agar hara-hara penting yang<br />
dibutuhkan tanaman krisan lebih tersedia, peningkatan pH juga berperan dalam upaya mencegah<br />
serangan penyakit karat yang disebabkan oleh jamur, karena di tanah yang masam jamur penyebab<br />
penyakit tanaman karat akan berkembang biak dengan pesat dan berakibat pada meningkatnya<br />
intensitas serangan pada tanaman krisan.<br />
Carbon Organik (C-organik)<br />
C-organik tanah berkisar antara 0,601 sampai dengan 1,507%, nilai tersebut tergolong sangat<br />
rendah sampai rendah. Subowo (2010) menyatakan bahwa tanah-tanah pertanian di Indonesia >70%<br />
berada pada kandungan
Deskripsi Kesuburan Beberapa Lahan Potensial untuk Budidaya Krisan di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta<br />
Fibrianty dan Iswadi, A<br />
lempung sehingga nilai KTK pada suatu jenis tanah sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya<br />
kandungan bahan organik pada tanah tersebut.<br />
Kation K bervariasi dari rendah-tinggi, Ca dan Mg pada status rendah, untuk itu diperlukan<br />
upaya pengapuran, di samping berfungsi untuk meningkatkan pH tanah juga berperan dalam<br />
meningkatkan pasokan Ca bagi tanaman krisan.<br />
P 2 O 5 Bray<br />
P tersedia dalam tanah sangat rendah berhubungan dengan pH tanah yang rendah. Pada tanah yang<br />
bersifat masam, ion P didominasi oleh ikatan dengan ion Al dan Fe. Penambahan bahan organik ke<br />
dalam tanah akan meningkatkan ketersediaan P melalui mekanisme penguraian P organik oleh jasad<br />
renik tanah.<br />
KESIMPULAN<br />
Pada umumnya tanah di lokasi pengembangan budidaya krisan di kecamatan Pakem, Kabupaten<br />
Sleman, Yogyakarta merupakan tanah yang bersifat masam dan hara tersedia bagi tanaman yang<br />
rendah. Untuk itu diperlukan upaya peningkatan ketersediaan hara tanaman baik melalui penambahan<br />
bahan organik, pemupukan makro maupun mikro serta tindakan pengapuran.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Darmawijaya, MI 1992, Klasifikasi tanah, dasar teori bagi peneliti tanah dan pelaksana<br />
pertanian di Indonesia, Gadjah Mada University Press.<br />
2. Hakim, N, Nyakpa, MY, Lubis, AM, Nugroho, SG, Diha, MA, Hong, GB, Bailey, HH 1986,<br />
Dasar-dasar ilmu tanah, Universitas Lampung, Lampung.<br />
3. Poerwowidodo1992, Telaah kesuburan tanah, Angkasa, Bandung.<br />
4. Rahayu, S, Masyhudi, F, Martini, T, Hatmi, RU, Wanita, YP 2010, Laporan Akhir Demplot<br />
Pengembangan Bunga Krisan TA. 2010, Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong>, Yogyakarta.<br />
5. Subowo 2010, ‘Strategi efisiensi penggunaan bahan organik untuk kesuburan dan produktivitas<br />
tanah melalui pemberdayaan sumberdaya hayati tanah’, J. Sumber Daya Lahan, vol. 4, no 1.<br />
6. Rafi’I, S 1985, Ilmu tanah, Angkasa, Bandung<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│119
Pemanfaatan Pupuk Fosfat dan Pengairan dalam Upaya Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Buah Mangga arumanis 143<br />
Juliati, S dan Istianto, M<br />
Pemanfaatan Pupuk Fosfat dan Pengairan dalam Upaya Peningkatan Kuantitas<br />
dan Kualitas Buah Mangga Arumanis 143<br />
Juliati, S dan Istianto, M<br />
Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Jl. Raya Solok-Aripan Km. 8 Solok 27301<br />
ABSTRAK. Tujuan penelitian untuk mengetahui sejauh mana pengaruh perlakuan pemupukan fosfat dan<br />
penyiraman yang diterapkan terhadap peningkatan kuantitas dan kualitas mangga Arumanis 143. Penelitian<br />
dilaksanakan di kebun mangga Arumanis milik PT. Trigatra Rajasa Situbondo Jatim, mulai Januari hingga<br />
Desember 2007. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 9 perlakuan kombinasi<br />
pemupukan fosfat dan pengairan. Dosis pupuk P yang digunakan terdiri dari (0, 400, dan 800) g TSP/tanaman,<br />
dan pengairan terdiri dari (0 x kapasitas lapang; ½ x kapasitas lapang; dan 1x kapasitas lapang)/tanaman. Hasil<br />
penelitian menunjukkan bahwa besarnya volume air yang perlu ditambahkan untuk memperoleh kondisi 1 x<br />
kapasitas lapang ialah 100 liter/tanaman. Penyiraman 1 x kapasitas lapang (100 l/tanaman) dan pemupukan<br />
fosfat sebanyak 400 g TSP/tanaman mampu mencapai persentase jumlah buah mangga Arumanis 143 berbobot<br />
> 400 g tertinggi, yaitu sebesar 55,96 % dengan jumlah buah sebanyak 144,28 buah, dibandingkan dengan<br />
kontrol yang hanya mampu mencapai persentase jumlah buah berbobot > 400 g sebesar 11,28% dan jumlah<br />
buah sebanyak 89,45 buah. Hasil analisis kimiawi buah, menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata dalam<br />
kandungan gula, TSS, vitamin C dan total asam pada buah yang diberi perlakuan pupuk P dan pengairan<br />
dibanding kontrol. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dalam memperbaiki<br />
produksi mangga Arumanis 143 baik secara quantitas maupun qualitas.<br />
Katakunci: Teknologi produksi; Kuantitas; Kualitas; Mangga Arumanis 143<br />
ABSTRACT. Sri Juliati and Mizu I. 2013. Utilization of Phosphate Fertilizer and Irrigation in<br />
Improving Quantity and Mango Quality of Arumanis 143. The aimed of the research was knowing the affect<br />
of fosfat and watering treatment on increasing of mango quality and quantity. This experiment was conducted<br />
at the mango orchad of PT. Trigatra Rajasa Situbondo East Java, from Januari to December 2007. The<br />
experiment used randomized blok design with 9 treatment combination of fertilizer and watering. P dosage is<br />
used i.e : (0; 400 dan 800) g TSP/tree, and watering, i.e : (0 x field capasity ; ½ x field capasity; and 1x field<br />
capasity)/tree. The result showed that it must be given 100 litre/tree to get 1 x field capacity condition. The<br />
treatmen of watering 1 x field capasity (100 l/tree) and fosfat fertilizer = 400 g TSP/tree gave the highest of<br />
persentage of mango that have weight > 400 g (55,96 %), and the production could increase more 61,3 % than<br />
control. From chemical analysis of fruits, there was increasing contain, TSS, vitamin C and total acid on<br />
mango that had used fosfat fertilizer and watering than control. The result of this experiment can be guide of P<br />
fertilization recommendation to improve Arumanis 143 production, both of quantity and quality.<br />
Key word : fosfat fertilizer, watering, quantity and, quality, Arumanis 143<br />
Komoditas mangga mempunyai peranan penting bagi kehidupan masyarakat di Indonesia baik<br />
ditinjau dari sisi kesehatan maupun ekonomi. Di Indonesia, produksi dan luas panen mangga selalu<br />
meningkat dari tahun ke tahun sejak tahun 2000 hingga 2006. Tercatat hingga tahun 2006 luas panen<br />
mangga ada sebesar 195.503 Ha dengan total nilai produksi 1.621.997 ton dan produktivitas sebesar<br />
83 Ku/Ha (<strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong> 2008).<br />
Walaupun data fisik jumlah panen dan luas areal meningkat namun kondisi ini tidak diikuti<br />
dengan produktivitas per satuan luas. Perkembangan produktivitas mangga selama periode tersebut<br />
cenderung melandai, hanya saja pada periode 1997-2001 terjadi peningkatan produktivitas yang tinggi<br />
dibanding periode sebelumnya walaupun sedikit mengalami peningkatan (<strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong><br />
2007). Produktivitas rerata per hektar masih rendah, yaitu sekitar 5-6 ton sementara di negara lain<br />
bisa mencapai 12 ton/ha. Rendahnya produktivitas ini disebabkan sebagian besar tanaman mangga<br />
masih dalam bentuk tanaman pekarangan yang belum dikelola secara optimal. Bahkan teknik<br />
budidaya dan kondisi lingkungan optimal belum banyak diaplikasikan. Dampak lebih jauh ialah<br />
banyak produk buah mangga Indonesia kurang bisa merebut pasar luar negeri karena tidak memenuhi<br />
persyaratan mutu untuk pasar ekspor. Dari hasil pertemuan dengan para stakeholders pada tahun<br />
2005 di Bandung, telah disepakati bahwa Arumanis 143 merupakan salah satu varietas mangga<br />
unggul nasional, di samping Gedong Gincu. Permasalahan yang muncul pada kedua varietas tersebut<br />
120│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pemanfaatan Pupuk Fosfat dan Pengairan dalam Upaya Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Buah Mangga arumanis 143<br />
Juliati, S dan Istianto, M<br />
ialah kualitas yang kurang optimal terutama untuk ekspor. Pada Arumanis 143 dituntut berat buah<br />
minimal 400 gram untuk layak ekspor, sedangkan hingga saat ini produksi mangga yang dihasilkan<br />
rerata masih di bawah 400 g. Upaya perbaikan kualitas tanaman mangga termasuk berat buah ini<br />
dapat dilakukan dengan pemupukan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan<br />
tanaman. Pemupukan dilakukan karena tanah tidak mampu menyediakan satu atau beberapa jenis<br />
hara untuk mencapai target produksi tertentu. Di samping hara nitrogen, tanaman mangga<br />
membutuhkan hara fosfor untuk mendukung fase generatifnya (pembungaan dan pembuahan) untuk<br />
memperoleh produksi yang optimal.<br />
Untuk mengatasi masalah tersebut, dilakukan penelitian pemupukan fosfat yang<br />
dikombinasikan dengan pengairan berdasarkan kapasitas lapang dalam upaya perbaikan produktivitas<br />
baik secara kuantitas maupun kualitas. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sejauh mana<br />
pengaruh perlakuan pemupukan fosfat dan penyiraman yang diterapkan terhadap peningkatan<br />
kuantitas dan kualitas mangga Arumanis 143.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilaksanakan pada pertanaman mangga Arumanis 143 umur 8 tahun, milik PT.<br />
Trigatra Rajasa Situbondo, Jawa Timur, mulai Januari sampai dengan Desember 2008. Pada kegiatan<br />
ini digunakan rancangan acak kelompok non faktorial dengan 3 ulangan, terdiri dari 9 perlakuan<br />
kombinasi pupuk fosfat (P1 = 0; P2 = 400 g, dan P3 = 800 g) dan pengairan (A 1 = 0 x kapasitas<br />
lapang; A2 = 1 / 2 x kapasitas lapang dan A3 = 1 x kapasitas lapang). Kegiatan dilakukan pada 3 kebun<br />
(blok) yang berbeda, dan masing-masing blok juga berfungsi sebagai ulangan. Untuk setiap kebun,<br />
diambil 9 tanaman sebagai unit perlakuan sekaligus sebagai sampel pengamatan. Penentuan kapasitas<br />
lapang dilakukan dengan mengambil sampel tanah dan dianalisa di laboratorium. Pemupukan P sesuai<br />
perlakuan dilakukan dengan frekuensi 2 kali yaitu pada saat 2 bulan menjelang berbunga (⅔ dosis)<br />
dan saat pembentukan buah (⅓ dosis), sedangkan pengairan dilakukan dengan interval 4 kali<br />
seminggu, khususnya selama musim kemarau, saat pembentukan dan perkembangan buah.<br />
Disamping pemberian perlakuan di atas, dilakukan juga pemupukan Urea dan KCl, sanitasi kebun,<br />
pembumbunan, dan pengendalian hama/penyakit sesuai anjuran. Parameter yang diamati meliputi<br />
jumlah buah dengan bobot >400 gram (persentase), jumlah buah per pohon dan analisa kimiawi buah.<br />
Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji DMRT pada taraf 5%.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Karakteristik Tanah Lokasi Penelitian<br />
Dari hasil analisis tanah awal diketahui bahwa jumlah air yang harus ditambahkan untuk<br />
mencapai kondisi kapasitas lapang pada lokasi penelitian ialah sebesar 100 l per tanaman. Sehingga<br />
untuk perlakuan pengairan sebesar ½ kapasitas lapang, maka jumlah air yang ditambahkan ialah<br />
sebesar 50 l per tanaman. Reaksi tanah tergolong agak masam dengan pH 5,5. Tingkat kesuburan<br />
tanah lokasi penelitian dapat dikatakan tergolong rendah, dengan nilai kandungan C organik<br />
(1,86%); hara N (0,20%); C/N ( 9,2); dan kandungan P 2 O 5 : 15,25 ppm, termasuk kategori rendah;<br />
sementara nilai kapasitas pertukaran kation (KTK) termasuk kategori sedang yaitu sebesar 20,73<br />
(cmol(+)/kg.<br />
Persentase Jumlah Buah Berbobot >400 g<br />
Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata akibat<br />
perlakuan pupuk dan air yang dikenakan terhadap persentase bobot buah >400 g yang dihasilkan.<br />
Data hasil perlakuan tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 1.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│121
Pemanfaatan Pupuk Fosfat dan Pengairan dalam Upaya Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Buah Mangga arumanis 143<br />
Juliati, S dan Istianto, M<br />
Tabel 1. Pengaruh pemupukan P dan pengairan terhadap persentase bobot buah dan jumlah buah per<br />
pohon pada varietas Arumanis 143<br />
Perlakuan<br />
Persentase jumlah buah berbobot > 400 g<br />
%<br />
Rerata jumlah buah/pohon<br />
Pupuk P ( 0 g ) + air (0 x KL) 11,28 c 89,45 c<br />
Pupuk P ( 0 g ) + air (1/2 x KL) 30,73 bc 80,40 c<br />
Pupuk P ( 0 g ) + air (1 x KL) 20,45 bc 85,60 c<br />
Pupuk P ( 400 g ) + air (0 x KL) 28,53 bc 95,35 bc<br />
Pupuk P ( 400 g ) + air (1/2 x KL) 30,96 bc 112,89 bc<br />
Pupuk P (400 g ) + air (1 x KL) 55,96 a 144,28 a<br />
Pupuk P ( 800 g ) + air (0 x KL) 21,28 c 102,25 bc<br />
Pupuk P ( 800 g ) + air (1/2 x KL) 36,51 abc 117,55 bc<br />
Pupuk P (800 g ) + air (1 x KL) 50,39 ab 135,20 ab<br />
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada taraf 5%<br />
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa hasil persentase jumlah buah yang berbobot > 400 gr<br />
tertinggi dicapai pada perlakuan pupuk SP-36 (400 g ) + air (1 x KL) yaitu sebesar 55,96%, dan yang<br />
terendah diperoleh pada perlakuan kontrol/tanpa pupuk SP-36 dan tanpa pengairan (0 x KL) sebesar<br />
yaitu 11,28% P. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian pupuk SP-36 dengan dosis sesuai<br />
dikombinasikan dengan pengairan yang cukup untuk pemenuhan kebutuhan tanaman mangga selama<br />
perkembangannya mampu meningkatkan bobot buah menjadi >400 gr. Leiwakabessy & Sutandi<br />
(2004), menyatakan bahwa produksi buah yang dihasilkan dipengaruhi oleh ketersediaan unsur fosfor<br />
dalam tanaman. Hal ini didukung oleh peran fosfor di samping sebagai komponen penyusun DNA<br />
dan RNA, fosfor juga berperan sebagai sumber dan penyimpan energi, perkembangan akar yang<br />
sehat, meningkatkan kualitas buah dan resistensi penyakit dan penstimulir pertumbuhan dan<br />
pematangan buah jenis spesies tanaman dan faktor genetiknya merupakan faktor penting yang<br />
mempengaruhi dinamika fosfor dan efisiensi pemupukan fosfor dalam tanah (Leiwakabessy &<br />
Sutandi 2004, Nagar 2002, Makhdum et al. 2001, Mehla et al 2000 ).<br />
Jumlah Buah Per Pohon<br />
Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata akibat<br />
pemberian pupuk P dan pengairan terhadap jumlah buah per pohon. Jumlah buah perpohon tertinggi<br />
dicapai pada kombinasi perlakuan 400 g SP-36 dan pemberian air 1 x kapasitas lapang (Tabel 1).<br />
Dibanding dengan kontrol, terjadi peningkatan persentase jumlah buah sebesar 61,3%. Hal ini<br />
dimungkinkan karena dengan adanya penambahan fosfat ke dalam tanah maka disamping tanaman<br />
mendapatkan suplai hara P tambahan untuk memenuhi segala kebutuhannya terutama pada masa<br />
perkembangan buah, juga terjadi peningkatan luasan areal serapan akar, sehingga akan lebih<br />
memudahkan akar dalam menyerap semua hara yang dibutuhkannya baik secara osmosis, difusi<br />
ataupun mass flow dengan bantuan air yang tersedia, sehingga penyerapan hara semakin aktif dan<br />
efektif (Makhdum et al. 2001, Balemi 2008).<br />
Di lain pihak pemberian air yang kontinue sesuai kebutuhan tanaman akan berdampak pada<br />
kemudahan tanaman dalam melakukan aktivitas metabolis dan secara tidak langsung terkait dengan<br />
aktivitas fotosintesis tanaman sehingga dapat memperlancar proses fotosintesa pada daun dan<br />
membantu pendistribusiannya keseluruh bagian tanaman (Jackson et al. 1997, Thorne & Thorne<br />
1979).<br />
Analisa Kimiawi Buah<br />
Hasil pengamatan antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pupuk P sebanyak 400 g SP-36<br />
dan pengairan sebesar kapasitas lapang menunjukkan bahwa terdapat nilai kandungan kimiawi buah<br />
yang tidak berbeda. Secara lengkap data kimiawi buah hasil perlakuan disajikan pada Tabel 2. Namun<br />
demikian, pada tanaman yang diberi perlakuan pupuk P dan pengairan memiliki kandungan gula,<br />
TSS, vitamin C dan total asam lebih tinggi dibanding kontrol. Menurut Havlin et al. 1999, dinyatakan<br />
bahwa fungsi hara P adalah disamping dapat memperluas bidang serapan akar, juga secara tidak<br />
langsung dapat memperbaiki kualitas buah termasuk ukuran dan aspek kimiawinya. Hal ini senada<br />
122│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pemanfaatan Pupuk Fosfat dan Pengairan dalam Upaya Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Buah Mangga arumanis 143<br />
Juliati, S dan Istianto, M<br />
dengan hasil penelitian Attia et al. 2009, yang menyatakan penambahan hara fosfor dapat<br />
meningkatkan kualitas buah dalam hal TSS, vitamin C, dan total asam.<br />
Tabel 2. Hasil analisa buah Arumanis 143 setelah perlakuan<br />
Jenis analisa<br />
Perlakuan (Treatments)<br />
400 g SP-36 + air kapasitas lapang Kontrol<br />
Kadar air (%) 82,11 80,33<br />
Kadar gula (%) 18,53 17,86<br />
Kadar serat (%) 0,85 0,86<br />
TSS ( o Brix) 20,5 18,1<br />
Vitamin C (mg/100g) 17,53 16,10<br />
Total asam (%) 0,75 0,72<br />
KESIMPULAN<br />
1. Pemberian air sebesar 1 x kapasitas lapang dan pupuk P sebesar 400 g mampu menghasilkan<br />
persentase jumlah buah berbobot >400 g tertinggi .<br />
2. Terjadi peningkatan jumlah buah/pohon sebesar 61,3% pada perlakuan 400 g SP-36 dan<br />
pengairan sebesar kapasitas lapang dibanding kontrol.<br />
.<br />
SARAN<br />
Penelitian perlu dilanjutkan untuk memvalidasi data yang diperoleh termasuk data analisa<br />
ekonomi, sebelum direkomendasikan ke stakeholder.<br />
PUSTAKA<br />
1. Attia, M, Ahmed, MA & Sonbaty, MREl 2009, ‘Use of biotechnologies to increase growth,<br />
productivity and fruit quality of Magrabi Banana under different rates of phosphorus’, J. of<br />
Agriculture Sciences, vol. 5, no. 2, pp. 211-20.<br />
2. Balemi, T 2008, ‘Response of tomato cultivars differing in growth habit to nitrogen and<br />
phosphorus fertilizers and spacing on vertisols in Ethiopia’, Acta Agriculturae Slovenica, vol. 91,<br />
no. 1, pp. 103-19.<br />
3. <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong>, 2008, Data statistik komoditas buah-buahan Indonesia.<br />
4. Havlin, JL, Beaton, JD, Tisdale, SL & Nelson, WL 1999, Soil Fertility and Fertilizer, Six<br />
edition.<br />
5. Jackson, T.L, Halvorson, AD & Tucker, BB 1997, Soil fertility in dryland agriculture, In H. E.<br />
Dregne & W.O. Willis (Eds), Dryland Agriculture, American Society Of Agronomy, Madison.<br />
6. Leiwakabessy, FM & Sutandi, A 2004, Pupuk dan pemupukan, Diktat Kuliah, <strong>Departemen</strong><br />
Tanah, Fakultas <strong>Pertanian</strong>,IPB, Bogor.<br />
7. Makhdum, MI, Malik, MNA, Shabab-ud-Din, & Chaudhry, FI 2001, ‘Effect of phosphorus<br />
fertilizer on growth, yield and fibre quality of two cotton cultivars’, J. of Research (Science), vol.<br />
12, no. 2, pp. 140-46.<br />
8. Mehla, CP, Srivastava, VK. Jage, S, Mangat, R, Singh, J & Ram, M 2000, ‘Response of tomato<br />
varities to N and P fertilization and spacing’, Indian Jornal of Agricultural Research, vol. 34, no.<br />
3, pp. 182-84<br />
9. Nagar, JP 2002, Soil phosphorus, its transformation and their relevance to crop productivity, In:<br />
Krishna, KR (Ed.). Soil Fertility and Crop Production. Science Publishers, Inc., USA.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│123
Pemanfaatan Pupuk Fosfat dan Pengairan dalam Upaya Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Buah Mangga arumanis 143<br />
Juliati, S dan Istianto, M<br />
10. Thorne, DW & Thorne, MD 1979, Soil, water, and crop production, AVI Publishing Co.<br />
Wesport, Corn.<br />
124│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Respon Adaptasi Gendola (Basella alba) Terhadap Naungan pada Sistem Budidaya Menggunakan Paranet<br />
Lestari, P dan Juhaeti, T<br />
Respon Adaptasi Gendola (Basella alba) Terhadap Naungan pada Sistem Budidaya<br />
Menggunakan Paranet<br />
Lestari, P dan Juhaeti, T<br />
Division of Botany, Research Center for Biology, LIPI<br />
Corresponding author: Division of Botany, Research Center for Biology, LIPI<br />
Cibinong Science Center (CSC-LIPI).<br />
Jl. Raya Jakarta-Bogor KM 46. Cibinong, Jawa Barat. 16911<br />
Tel: +62 21 8675059; Fax:+62 21 8675059<br />
Email address:flacortia@gmail.com<br />
ABSTRACT: Basella alba (Basellaceae) or gendola is an annual tropical vine that has not been popular as a<br />
crop. In other hand, it has become a popular vegetable in many countries. This plant is native to Indonesia, high<br />
temperature tolerant, rich in vitamins, easy processing, and fast growing. Its all the reason for developing<br />
gendola. The research was conducted in order to obtain information about the gendola growth response in some<br />
shade intensity. The accession from East Borneo was used for the study, seeds and cuttings. Both of them were<br />
treated with intensity 0% shade as a control (N0), 55% shade (N1), and 75% shade (N2). Paranet was used as<br />
shading. Treatments arranged in a RCBD nested design. Observations included growth characters: such as the<br />
percentage of seed germination, plant height, and leaf number were observed at regular intervals; harvest<br />
characters include: harvesting time, weight, shoot number and length of product; and physiology characters like:<br />
characters of stomata and leaf chlorophyll content. Data were analyzed using variance test with DMRT (alpha at<br />
5%). The results showed that this plant need full sun to grow, moreover, it tolerant until 55% shading.<br />
Key words: Gendola, Basella alba, shading, tolerant<br />
ABSTRAK: Basella alba (family basellaceae) atau gendola merupakan herba rambat tahunan tropis yang telah<br />
menjadi sayuran unggul di banyak negara. Tanaman ini diduga berasal dari Indonesia atau India, toleran<br />
cekaman suhu tinggi, kaya akan vitamin, mudah pengolahan, dan tumbuh cepat. Keunggulan tersebut layak<br />
menjadi dasar pengembangan gendola. penelitian ini disusun untuk memperoleh informasi mengenai respon<br />
pertumbuhan gendola pada beberapa intensitas naungan. Gendola yang digunakan untuk penelitian berasal dari<br />
Kalimantan Timur, berupa biji dan stek. Baik biji maupun stek diberi perlakuan naungan dengan intensitas 0%<br />
sebagai kontrol (N0), naungan paranet 55% (N1), dan naungan paranet 75% (N2). Perlakuan disusun dalam<br />
rancangan tersarang RKLT. Pengamatan meliputi parameter pertumbuhan: seperti persentase perkecambahan<br />
biji, tinggi tanaman, dan jumlah daun yang diamati secara berkala; karakter panen meliputi: waktu panen, bobot<br />
panen, jumlah dan panjang tunas panen; serta parameter fisiologi yakni: karakter stomata dan kandungan<br />
klorofil daun. Data dianalisis menggunakan sidik ragam dengan uji lanjut DMRT pada alpha 5%. Hasil<br />
penelitian menunjukkan bahwa gendola baik dibudidayakan pada lingkungan terbuka. Namun masih toleran<br />
pada naungan hingga 55% penurunan intensitas cahaya.<br />
Kata kunci: gendola, Basella alba, naungan, toleran<br />
Basella alba (family basellaceae) di Indonesia lebih dikenal dengan nama gendola, bayam<br />
cina, atau bayam malabar, merupakan herba rambat tahunan tropis yang belum begitu dikenal sebagai<br />
komoditas pangan. Tanaman yang diduga berasal dari India atau Indonesia ini diketahui sangat tahan<br />
terhadap cekaman suhu tinggi (Grubben &Denton 2004) dan dapat tumbuh dengan cepat. Gendola<br />
tumbuh merambat sebagai tanaman tahunan (perrenial), namun demikian, cenderung dibudidayakan<br />
sebagai tanaman semusim (annual). Kandungan vitamin A, vitamin C, vitamin B9, kalsium, zat besi,<br />
dan magnesium dalam daun gendola cukup tinggi (Palada & Crossman 1999), sehingga di beberapa<br />
negara, seperti Bangladesh dan Filipina, tanaman ini tidak hanya dimanfaatkan sebagai sumber<br />
nutrisi, tetapi juga bahan obat untuk beberapa gangguan pencernaan. Lebih lanjut, tanaman ini juga<br />
dimanfaatkan sebagai terapi bagi penderita defisiensi vitamin (Haskell et al. 2004) dan anemia<br />
(Bamidele et al. 2010). Sebagai sayuran daun, gendola juga memiliki keunggulan, yakni kecepatan<br />
proses pengolahan menjadi panganan. Tentunya hal ini dapat menghemat waktu, juga bahan bakar<br />
dan tenaga yang diperlukan untuk mengolahnya menjadi makanan siap saji.<br />
Walaupun sebagian besar masyarakat Indonesia mengenal gendola sebagai tanaman hias<br />
pagar, tetapi masyarakat perbatasan Kalimantan Timur telah mengkonsumsi daunnya sebagai sayur<br />
(Budiardjo, komunikasi pribadi), demikian juga dengan komunitas suku Sunda. Banyak literatur<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│125
Respon Adaptasi Gendola (Basella alba) Terhadap Naungan pada Sistem Budidaya Menggunakan Paranet<br />
Lestari, P dan Juhaeti, T<br />
mengemukakan potensi gendola sebagai tanaman obat, namun belum ditemukan literatur yang<br />
mempelajari terkait pengembangan gendola sebagai komoditas sayur.<br />
Usaha pengembangan gendola sebagai sayuran hijau memerlukan serangkaian input ilmu<br />
pengetahuan mengenai teknik budidaya yang tepat. Kaitan dengan hal ini, kesesuaian kondisi<br />
lingkungan seperti suhu, cahaya, dan kelembaban menjadi faktor penting untuk diperhitungkan.<br />
Berlandaskan pemikiran tersebut, maka penelitian ditujukan untuk menentukan kondisi lingkungan<br />
yang sesuai bagi produksi gendola. Salah satunya dengan mempelajari kebutuhan intensitas cahaya<br />
yang sesuai untuk pertumbuhan gendola. Hipotesis yang diajukan, dari ketiga perlakuan yang<br />
diberikan, paling tidak didapatkan satu kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan dan produksi gendola.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Percobaan dilakukan di kebun percobaan Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor sejak bulan<br />
November 2011 hingga bulan Februari 2012. Gendola yang digunakan untuk penelitian berasal dari<br />
Malinau, Kalimantan Timur. Bahan tanam berasal dari hasil perbanyakan biji maupun stek. Ekstraksi<br />
biji dilakukan dengan cara berikut: ekstraksi biji dilakukan pada air mengalir. Biji tersebut kemudian<br />
dikeringanginkan dalam ruangan bersuhu 22 o C selama 24 jam. Sebelum ditanam, biji direndam<br />
selama 15 menit dalam larutan fungisida untuk mencegah serangan cendawan. Baik biji maupun stek<br />
diberi perlakuan naungan dengan intensitas 0% sebagai kontrol (N0), naungan paranet 55% (N1), dan<br />
naungan paranet 75% (N2). Petak perlakuan disusun berdasarkan rancangan tersarang RKLT dengan<br />
9 ulangan pada setiap perlakuan.<br />
Biji gendola ditanam dalam bedeng dengan jarak tanam 40x40 cm 2 sesuai dengan intensitas<br />
naungan yang diaplikasikan. Dalam satu lubang ditanam 2 benih untuk menghindari penyulaman.<br />
Perawatan meliputi penyiraman sehari sekali. Pengendalian gulma dilakukan secara manual.<br />
Pengendalian hama dilakukan bila serangan hama sudah di atas ambang ekonomi. Pengamatan<br />
meliputi parameter pertumbuhan: seperti persentase perkecambahan biji, tinggi tanaman, dan jumlah<br />
daun; karakter panen meliputi: waktu panen, bobot panen, jumlah dan panjang tunas panen; serta<br />
parameter fisiologi yakni: gejala etiolasi, karakter stomata dan kandungan klorofil daun. Pengamatan<br />
parameter pertumbuhan dilakukan secara berkala. Parameter fisiologi diamati saat tanaman memasuki<br />
fase generatif. Data dianalisis menggunakan sidik ragam. Uji lanjut menggunakan DMRT pada alpha<br />
5 dengan program SAS versi 9.0.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Informasi umum:<br />
Tidak terdapat perbedaan persentase perkecambahan biji dan waktu bertunasnya stek antar<br />
perlakuan. Semua perlakuan memiliki daya tumbuh 100%. Perbedaan terdapat pada pertumbuhan<br />
awal bibit gondola, dimana bibit yang tumbuh di kondisi cahaya penuh –stek maupun bijimemerlukan<br />
waktu lebih lama untuk tumbuh dibanding bila tanaman ini ternaungi. Bibit asal stek,<br />
yakni stek pucuk dan stek batang, bertunas lebih dahulu dibandingkan tanaman asal biji. Tidak<br />
terdapat perbedaan kecepatan munculnya tunas pada asal stek yang berbeda.<br />
Masa awal pertumbuhan tanaman merupakan masa paling rentan terhadap ketidakcocokan<br />
kondisi lingkungan. Pada masa ini, umumnya tanaman memerlukan kelembapan tinggi dan suhu yang<br />
lebih rendah dengan tujuan mengurangi laju evapotranspirasi (Suhardi et al. 1995) untuk dapat<br />
berkecambah atau bertunas. Kondisi tersebut dapat dicapai pada perlakuan N1 dan N2 yang berada<br />
pada lingkungan yang lebih lembab.<br />
Stamps (2009) menyatakan Penggunaan paranet dapat mengurangi kecepatan angin yang<br />
berakibat pada temperatur dan kelembaban relatif di dalam lingkungan paranet. Penggunaan paranet<br />
menurunkan suhu lingkungan di dalam pada pagi dan siang hari dibandingkan kontrol, seperti pada<br />
penelitian Jayasinghe dan Weerakkody (2004). Selanjutnya pada penelitian ini rumah kasa yang<br />
digunakan tidak tertutup rapat, memungkinkan adanya aliran udara dari luar ke dalam maupun<br />
sebaliknya. Hasilnya, kelembaban udara di dalam dan di luar lingkungan paranet cenderung sama.<br />
Kondisi lingkungan yang lebih sesuai memungkinkan tanaman yang ternaungi tumbuh lebih cepat<br />
disbanding tanaman kontrol (N0). Pemaparan hasil respon pertumbuhan tanaman asal biji dan stek<br />
terhadap naungan pada fase pertumbuhan selanjutnya dilakukan terpisah.<br />
126│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Respon Adaptasi Gendola (Basella alba) Terhadap Naungan pada Sistem Budidaya Menggunakan Paranet<br />
Lestari, P dan Juhaeti, T<br />
Bahan tanam asal biji:<br />
Intensitas naungan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman gendola asal biji. Terdapat<br />
kecenderungan terjadi peningkatan ukuran daun pada tanaman perlakuan N1 dan N2 (Tabel 1).<br />
Tanaman yang tumbuh pada lingkungan terbuka (N0) memiliki perawakan lebih pendek namun<br />
diameter batang lebih besar dan daun lebih banyak dibandingkan perlakuan N2.<br />
Tabel 1. Pengaruh intensitas naungan terhadap pertumbuhan tanaman asal biji (The influence of shade<br />
intensity to seeding growth)<br />
Peubah<br />
Intensitas cahaya<br />
0% 50% 75%<br />
Banyak cabang 1.00 a 1.06 a 1.00 a<br />
Tinggi tanaman 4.88 b 7.79 a 8.89 a<br />
Jumlah daun 6.94 a 5.25 b 4.36 b<br />
Panjang daun 5.11 a 5.36 a 4.47 a<br />
Lebar daun 3.67 a 4.02 a 3.38 a<br />
Diameter batang 0.53 a 0.46 a 0.34 b<br />
Keterangan: Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05<br />
Tidak hanya pada karakter pertumbuhan, pada karakter panen, tanaman gendola yang ditanam<br />
di bawah naungan 75% juga menunjukkan produksi yang rendah. Panen pada N0 dan N2 dapat<br />
dilakukan sejak 6 MST (Minggu Setelah Tanam), sedangkan panen perlakuan N1 baru dapat<br />
dilakukan saat 7 MST. Rentang waktu panen berikutnya, pada tanaman N0 dan N1 dapat dilakukan<br />
setiap minggu, sedangkan pada N2 3 minggu sekali. Setelah 12 MST, tanaman pada ketiga perlakuan<br />
dapat dipanen secara kontinu setiap minggu. Hasil panen menunjukkan bahwa meski memiliki<br />
rentang panen yang lebih lama, namun produksi tanaman pada perlakuan N2, tetap lebih rendah<br />
dibandingkan dua perlakuan lainnya (Gambar 1).<br />
Fakta lain, produksi tanaman N1 pada setiap periode panen lebih stabil dibandingkan kontrol.<br />
Produksi tanaman dengan perlakuan kontrol melonjak drastis pada panen ke 4. Hasil ini<br />
mengindikasikan bahwa gendola masih dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik hingga kondisi<br />
naungan 55%.<br />
Gambar 1 Hasil panen gendola.<br />
Untuk mempertegas hasil pengamatan terhadap morfologi tanaman, dilakukan juga<br />
pengamatan peubah fisiologi, yakni adanya gejala etiolasi (Gambar 2), klorofil dan stomata tanaman<br />
(Tabel 2 dan 3). Hasil pengamatan menunjukkan kandungan klorofil tanaman mengalami penurunan<br />
sejalan dengan berkurangnya intensitas cahaya. Hal yang sama juga terjadi pada stomata. Karakter<br />
stomata menunjukkan adanya penurunan, baik densitas/satuan luas, ukuran, maupun indeks stomata.<br />
Menurunnya daya adaptasi tanaman gendola terhadap naungan juga dapat diamati dari<br />
panjang internode (Gambar 2). Panjang internode tanaman cenderung meningkat pada perlakuan 55%,<br />
selanjutnya mengalami penurunan pada perlakuan naungan 75%. Penurunan nilai ini diduga<br />
merupakan suatu indikasi bahwa tanaman gendeola tidak lagi mampu beradaptasi pada kondisi<br />
naungan 75%.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│127
panjang internode (cm)<br />
Respon Adaptasi Gendola (Basella alba) Terhadap Naungan pada Sistem Budidaya Menggunakan Paranet<br />
Lestari, P dan Juhaeti, T<br />
Tabel 2. Pengaruh perlakuan intensitas naungan terhadap kandungan klorofil dalam daun tanaman<br />
asal biji (The effect of shade intensity’s treatment to leaf’s seeding’s chlorophyll)<br />
Peubah<br />
Intensitas Naungan<br />
0% 55% 75%<br />
Daun muda 40.66 a 38.74 ab 35.78 b<br />
Daun tua 45.42 a 44.07 a 38.58 b<br />
Keterangan: Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05<br />
Tabel 3. Pengaruh perlakuan intensitas naungan terhadap stomata tanaman asal biji (The effect of<br />
shade intensity to seeding’s stomata)<br />
Perlakuan<br />
Peubah Pengamatan stomata<br />
Naungan<br />
Densitas (buah/0.038<br />
cm)<br />
Panjang (um) Lebar (um) Indeks<br />
0% 15.0000a 49.104 a 29.264 a 42.6000 a<br />
55% 7.6000 b 49.104 a 23.312 b 30.8000 b<br />
75% 7.6000 c 44.144 b 18.352 c 25.4000 c<br />
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05<br />
7,00<br />
6,00<br />
5,00<br />
4,00<br />
3,00<br />
2,00<br />
1,00<br />
0,00<br />
8 MST 9 MST 10 MST<br />
umur tanaman<br />
0<br />
55<br />
75<br />
Gambar 2 Efek perlakuan naungan terhadap panjang internode batang gendola.<br />
Bahan tanam asal stek:<br />
Tanaman yang tumbuh dari asal stek memiliki interaksi antara perlakuan intensitas naungan<br />
dengan jenis stek untuk peubah jumlah dan ukuran daun. Selanjutnya pada peubah ukuran dan<br />
diameter batang, jenis bahan tanam lebih berpengaruh (Tabel 4 dan 5). Hasil ini menunjukkan bahwa<br />
perlakuan intensitas naungan yang diberikan tidak berpengaruh secara tunggal terhadap pertumbuhan<br />
tanaman gondola asal stek.<br />
128│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Respon Adaptasi Gendola (Basella alba) Terhadap Naungan pada Sistem Budidaya Menggunakan Paranet<br />
Lestari, P dan Juhaeti, T<br />
Tabel 4. Interaksi antara intensitas naungan dengan asal bahan tanam terhadap pertumbuhan tanaman<br />
(Shade intensity and propagation materials interaction to plant’s growth)<br />
Perlakuan<br />
Pertumbuhan tanaman<br />
0%<br />
55%<br />
75%<br />
Intensitas naungan Asal bahan tanam Jumlah Panjang daun Lebar daun<br />
daun<br />
Stek pucuk 4.33 bc 3.81 b 2.57 cd<br />
Stek batang 5.75 ab 2.80 c 2.28 d<br />
Stek pucuk 5.89 ab 6.03 a 4.45 a<br />
Stek batang 3.78 c 3.72 b 2.92 c<br />
Stek pucuk 4.89 abc 6.04 a 4.18 a<br />
Stek batang 6.22 a 3.83 b 3.54 b<br />
Keterangan: Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05<br />
Tabel 5. Pengaruh bahan tanam terhadap peubah pertumbuhan tanaman (The influence of propagation<br />
materials to plant growth).<br />
Peubah<br />
Asal bahan tanam<br />
Stek pucuk<br />
Stek batang<br />
Jumlah cabang 1.00 b 1.43 a<br />
Tinggi tanaman 8.66 a 7.28 b<br />
Diameter batang 0.72 a 0.40 b<br />
Keterangan: Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05<br />
Kombinasi perlakuan stek batang dengan naungan 75% memiliki jumlah daun terbanyak dan<br />
nyata berbeda dengan stek batang pada naungan 55%. Selanjutnya untuk ukuran daun, tanaman yang<br />
tumbuh pada perlakuan naungan 55% dan 75% memiliki daun lebih besar dan nyata berbeda dengan<br />
tanaman pada kondisi cahaya penuh (N0). Pada Tabel 5 diperlihatkan tanaman asal stek pucuk<br />
cenderung tumbuh lebih tinggi dan kekar, ditunjukkan oleh diameter batangnya yang lebih besar,<br />
namun memiliki jumlah tunas panen lebih sedikit.<br />
Gambar 3. Hasil panen gendola asal stek. Keterangan: P= stek pucuk, B=stek batang<br />
Panen gendola asal stek dilakukan pada 7 MST, pada ketiga perlakuan naungan, kecuali untuk<br />
kombinasi perlakuan stek pucuk N0 dan N2. Stek gendola yang ditanam di bawah naungan 75% juga<br />
menunjukkan produksi yang rendah dan rentang waktu panen yang lama, baik pada stek pucuk<br />
maupun stek batang. Panen pada kondisi kontrol (N0) lebih kontinu dibandingkan perlakuan lain<br />
(Gambar 3). Pada perlakuan N1, panen secara kontinu baru dapat dilakukan setelah panen ke 3. Hasil<br />
ini menegaskan pernyataan sebelumnya bahwa gendola masih dapat tumbuh dan berproduksi dengan<br />
baik hingga kondisi naungan 55%.<br />
Tidak hanya pada karakter morfologi, naungan juga berpengaruh terhadap fisiologi tanaman,<br />
yakni pada ukuran dan densitas stomata serta kandungan klorofil tanaman asal stek. Data kedua<br />
pengamatan tersebut ditampilkan pada tabel berikut (Tabel 6 dan 7).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│129
Respon Adaptasi Gendola (Basella alba) Terhadap Naungan pada Sistem Budidaya Menggunakan Paranet<br />
Lestari, P dan Juhaeti, T<br />
Tabel 6. Pengaruh perlakuan intensitas naungan dan bahan tanam terhadap kandungan klorofil daun<br />
(The effect of shade intensity and propagation materials to leaf’s chlorophyll)<br />
Peubah<br />
Intensitas Naungan<br />
0% 55% 75%<br />
Daun muda 41.065 a 35.556 b 35.914 b<br />
Daun tua 47.055 a 46.579 a 45.881 a<br />
Jenis Stek<br />
Pucuk<br />
Batang<br />
Daun muda 38.213 a 37.535 a<br />
Daun tua 45.338 a 47.662 a<br />
Keterangan: Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05<br />
Tabel 7. Pengaruh interaksi perlakuan intensitas naungan dan asal bahan tanam terhadap stomata (The<br />
effect of shade intensity and propagation materials interaction to the stomata characters)<br />
Perlakuan<br />
Peubah Pengamatan<br />
Intensitas<br />
naungan<br />
Asal bahan<br />
tanam<br />
Densitas<br />
stomata<br />
Jumlah<br />
epidermis<br />
Panjang<br />
stomata<br />
Lebar<br />
stomata<br />
Indeks<br />
stomata<br />
0% Stek pucuk 4.60 c 20.80 d 47.62 a 23.81 ab 21.80 d<br />
Stek batang 4.80 c 20.80 d 48.11 a 24.80 a 21.80 d<br />
55% Stek pucuk 6.80 a 29.80 b 48.11 a 23.81 ab 30.80 b<br />
Stek batang 6.00 ab 32.20 a 39.68 b 24.30 ab 33.20 a<br />
75% Stek pucuk 6.80 bc 23.60 c 36.21 b 17.36 c 24.60 c<br />
Stek batang 6.00 a 25.20 c 38.69 b 22.32 b 26.20 c<br />
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan<br />
uji DMRT pada α=0.05<br />
Pada tanaman asal stek, cahaya mempengaruhi kandungan klorofil daun. Sejalan dengan<br />
berkurangnya intensitas cahaya yang diterima, kandungan klorofil daun muda mengalami penurunan<br />
signifikan secara statistik (Tabel 6). Untuk karakter stomata, semakin rendah intensitas cahaya,<br />
semakin rapat stomata per satuan luas. Ukuran stomata juga cenderung lebih panjang dibandingkan<br />
kontrol (Tabel 7).<br />
Cahaya merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Penurunan intensitas<br />
cahaya bagi tanaman yang membutuhkan intensitas cahaya penuh dapat menyebabkan etiolasi pada<br />
batang tanaman, menurunkan performa tanaman, hingga menurunkan kualitas dan kuantitas produksi.<br />
Hale dan Orcutt (1987) menjelaskan bahwa adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah<br />
melalui 2 cara, yakni peningkatan luas daun untuk mengurangi penggunaan metabolit dan mengurangi<br />
jumlah cahaya yang ditransmisikan dan yang direfleksikan. Hingga saat ini belum ditemukan literatur<br />
yang menyebutkan bahwa perbedaan bahan tanam menyebabkan perbedaan respon pertumbuhan<br />
terhadap naungan.<br />
Hasil yang menarik dari penelitian ini, ditemukan perbedaan respon tanaman terhadap<br />
intensitas cahaya rendah, tergantung asal bahan tanam. Pada tanaman asal stek, intensitas naungan<br />
terkait dengan jenis stek. Selanjutnya, untuk tanaman asal biji, mekanisme adaptasi lebih diarahkan<br />
pada batang. Ini dapat dilihat dari internode yang lebih panjang yang berdampak pada tanaman yang<br />
lebih tinggi. Terdapat kecenderungan ukuran daun yang lebih besar diikuti berkurangnya jumlah<br />
daun. Respon ini terjadi pada perlakuan N1 dibandingkan kontrol. Hasil yang didapat pada penelitian<br />
ini sejalan dengan penelitian Djukri dan Purwoko (2003), begitu juga dengan Kisman et al. (2007)<br />
dan Sundari et al. (2008) yang menunjukkan terjadi peningkatan luas daun dan internode pada kedelai<br />
genotipe toleran terhadap naungan dibandingkan genotipe peka. Hal tersebut mengindikasikan bahwa<br />
tanaman gendola asal biji masih dapat beradaptasi baik pada kondisi naungan 55%.<br />
130│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Respon Adaptasi Gendola (Basella alba) Terhadap Naungan pada Sistem Budidaya Menggunakan Paranet<br />
Lestari, P dan Juhaeti, T<br />
Fakta bahwa panjang internode dan tinggi tanaman bertambah secara signifikan, juga adanya<br />
pengurangan jumlah daun merupakan suatu mekanisme adaptasi tanaman terhadap penurunan<br />
intensitas cahaya. Pada umumnya, tanaman akan tumbuh mendekati sumber cahaya. Gerak ini dikenal<br />
dengan fototropisme positif. Bila intensitas cahaya tidak optimum untuk pertumbuhan, tanaman<br />
cenderung mengalami etiolasi sebagai salah mekanisme adaptasi pada cahaya rendah (Solymosi et al.<br />
2007). Pada naungan 75%, tanaman gendola nampaknya tidak lagi mampu beradaptasi. Ditandai<br />
dengan terjadinya etiolasi, menurunnya jumlah daun, serta mengecilnya diameter batang tanaman.<br />
Perbedaan usia jaringan antara tanaman asal biji dan stek diduga merupakan salah satu faktor<br />
yang menyebabkan perbedaan respon tanaman terhadap cahaya. Jaringan tanaman hasil stek<br />
sebenarnya merupakan jaringan tua yang mengalami rejuvenisasi. Jaringan tersebut kemungkinan<br />
sudah stabil, sehingga perubahan lingkungan tidak begitu berpengaruh. Namun demikian, dugaan ini<br />
perlu dikaji kembali.<br />
Dari sisi fisiologi, respon terhadap penurunan intensitas cahaya nampak pada kandungan klorofil<br />
dalam daun tanaman, terutama daun muda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan klorofil<br />
menurun sejalan dengan menurunnya intensitas cahaya. Klorofil merupakan salah satu pigmen yang<br />
dibutuhkan tanaman dalam proses penangkapan cahaya (Delgadi-Vargas & Paredes-Lopez 2002).<br />
Hasil penelitian Solymosi et al. (2007) menunjukkan pada kondisi ternaungi, kandungan klorofil a<br />
dan b pada tanaman cenderung menurun, yang berdampak pada menurunnya laju fotosintesis. Hal ini<br />
kemudian menyebabkan fotosintat yang dihasilkan juga menurun, akibatnya, performa tanaman juga<br />
menurun.<br />
KESIMPULAN<br />
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gendola baik dibudidayakan pada<br />
lingkungan terbuka tanpa naungan. Tanaman ini terindikasi dapat beradaptasi pada naungan hingga<br />
55% penurunan intensitas cahaya.<br />
UCAPAN TERIMAKASIH<br />
Percobaan ini merupakan rangkaian dari Kegiatan Kompetitif LIPI 2011-2012, Sub Kegiatan<br />
Eksplorasi dan Pemanfaatan Terukur Sumber Daya Alam Darat dan Laut Indonesia. Ucapan<br />
terimakasih diberikan pada Riska Amelia Candra dan Rahmi Swara Putri, SSi atas partisipasinya<br />
selama penelitian berlangsung.<br />
PUSTAKA<br />
1. Bamidele, O, Akinnuga, AM, Olorunfemi, JO, Odetola, OA, Oparaji, CK, & Ezeigbo, N,<br />
2010, ‘Effect of aqueous extract of Basella alba leaves on haematological and biochemical<br />
parameters in albino rats’, Afr.J.of Biotech, Vol. 9, no. 41. Pp. 6952-6955.<br />
2. Delgadi-Vargas, F & Paredes-Lopez, O 2002, ‘Natural Colorants for Food and Nutraceutical<br />
Uses’, CRC Press. New York. 327p.<br />
3. Djukri & Purwoko, BS, 2003,’Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi tanaman<br />
talas (Colocasia esculenta (L.) schott)’, Ilmu <strong>Pertanian</strong>. Vol. 10, No. 2, pp.17-25.<br />
4. Hale MG & Orcutt, DM 1987,’ The Physiology of Plants Under Stress’, John wiley and Sons,<br />
New York.<br />
5. Harrison M, 2010, Heat-tolarant malabar spinach dirilis 20 agustus 2010, diunduh 21 juni<br />
2012<br />
6. Haskell, MJ, Jamil, KM, Hassan, F, Peerson, JM, Hassain, MI, Fuchs, GJ, & Brown, KH,<br />
2004,’Daily consumption of indian spinach (B. Alba) or sweet potatoes has positive effect on<br />
total-body vitamin A store in Bangladeshi men’, Am.J.Clin.Nutr, Vol.80, no.3, pp.705-714.<br />
7. Jayasinghe, JMU & Weerakkody, WAP, 2004,’Impact of shading and forced-air ventilation<br />
on greenhouse climate control in mid-country intermediate zone of Sri Lanka’, <strong>Departemen</strong>t<br />
of crop Science, Faculty of Agriculture, University of Peradeniya, Sri Lanka. Dirilis 2009,<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│131
Respon Adaptasi Gendola (Basella alba) Terhadap Naungan pada Sistem Budidaya Menggunakan Paranet<br />
Lestari, P dan Juhaeti, T<br />
diunduh 12 Desember<br />
2011,<br />
8. Kisman, Khumaida, N, Trikoesoemaningtyas, Sobir & D Sopandie, 2007, ‘Karakter morfofisiologi<br />
daun, penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah’, Bul. Agr, Vol.35,<br />
No.2, pp.96-102.<br />
9. Palada, MC & Crossman, SMA,’Evaluation of tropical leaf vegetables in the virgin<br />
islands’,Reprinted from: Perspective on new crops and new uses. 1999. J.Janick (ed.), ASHS<br />
Press, Alexandria, VA, diunduh 21 Juni 2012.,<br />
http://www.hort.purdue.edu/newcrop/proceedings1999/pdf/v4-388.pdf>.<br />
10. Solymosi, K, Vitanyi, B, Hideg, E, Boddi, B, 2007, ‘Etiolation symptoms in sunflower<br />
(Helianthus annuus) cotyledons partially covered by the pericarp of the achene’, Oxford J.<br />
Vol 99, No. 5, pp. 857-867.<br />
11. Stamps, RH, 2009,’Use of colored shade netting in horticulture’, HortScience, Vol. 44, No.2,<br />
pp.239-241, dirilis 2009, diunduh 18 14 Februari 2012<br />
<br />
12. Suhardi, 1995, ‘Effect of shading, Mycorrhiza inoculated and organic matter on the growth of<br />
hopea gregaria seedling’,Bul. Penel.No.28. Fakultas Kehutanan Gadjah Mada.<br />
13. Sundari T, Soemartono, Tohari & Mangoendidjojo, W 2008,’ Anatomi daun kacang hijau<br />
genotipe toleran dan sensitif naungan’, Bul.Agr., Vol.36, No.3, pp.221-228.<br />
Gambar 1:<br />
Intensitas naungan<br />
LAMPIRAN<br />
DATA KETERANGAN GAMBAR<br />
Panjang internode (cm)<br />
8 MST 9 MST 10 MST<br />
0% 2,20 2,52 7,80<br />
50% 2,05 2,74 5,52<br />
75% 1,86 0,34 2,51<br />
Gambar 2:<br />
Intensitas<br />
Berat basah (gram)<br />
naungan panen 1 panen 2 panen 3 panen 4<br />
0% 32,68 27,91 27,12 81,00<br />
50% - 24,61 38,16 49,31<br />
75% 9,56 - - 7,69<br />
Intensitas<br />
Panjang tunas panen (cm)<br />
naungan panen 1 panen 2 panen 3 panen 4<br />
0% 10,47 15,12 16,82 71,66<br />
50% - 18,20 23,27 54,02<br />
75% 10,36 - - 10,78<br />
132│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Respon Adaptasi Gendola (Basella alba) Terhadap Naungan pada Sistem Budidaya Menggunakan Paranet<br />
Lestari, P dan Juhaeti, T<br />
Gambar 3:<br />
Intensitas<br />
naungan<br />
Berat basah (gram)<br />
panen 1 panen 2 panen 3 panen 4 panen 5<br />
P B P B P B P B P B<br />
0% - 62,75 28,73 17,70 17,32 26,69 - 39,34 33,37 76,08<br />
50% 133,15 82,80 - - - 10,34 15,40 38,01 18,46 19,59<br />
75% - 29,85 5,38 - - - - - 10,56 -<br />
Intensitas<br />
naungan<br />
Panjang tunas panen (cm)<br />
panen 1 panen 2 panen 3 panen 4 panen 5<br />
P B P B P B P B P B<br />
0% - 19,98 15,96 14,37 14,44 17,48 - 20,99 32,76 42,72<br />
50% 44,60 35,49 - - - 14,96 19,09 18,00 25,36 28,01<br />
75% - 25,16 10,26 - - - - - 19,56 -<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│133
Peluang Pengembangan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di<br />
Desa Antar Baru Kec Marabahan Kab Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
Peluang Pengembangan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan<br />
Pasang Surut di Kalimantan Selatan<br />
( Kasus di Desa Antar Baru Kec Marabahan Kab Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Kalimantan Selatan<br />
Jln. Panglima Batur Barat No : 4 Banjarbaru Kalimantan Selatan<br />
Telp :0511-4772346 Fax :0511-781810<br />
E-mail : rismarini zuraida@gmail.com<br />
Abstrak. Usahatani sayuran merupakan salah satu peluang usaha dalam meningkat pendapatan petani. Petani<br />
rata-rata menanam sayuran hanya seluas 0,5 Ha hal ini disebabkan karena untuk menanam sayuran perlu modal<br />
yang besar. Sayuran yang umumnya diusahakan petani antara lain cabe merah dan Tomat dengan<br />
mempergunakan sarana produksi antara lain untuk pupuk yaitu: pupuk kandang. tricokompos, biohara plus,<br />
untuk pengendalian hama dan penyakit memakai ekstrak nimba. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk<br />
mengetahui apakah usahatani sayuran (cabe merah dan tomat) secara financial berpeluang untk dikembangkan<br />
dengan memakai bahan organik Penelitian ini dilaksanakan di Antar baru Kecamatan Marabahan Kabupaten<br />
Barito Kuala pada bulan Januari 2011. dengan mengggunakan metoda PRA. Data yang dikumpulkan berupa<br />
data primer dan sekunder. Data primer adalah data usahatani selama satu tahun sebelumnya yang dilakukan<br />
responden, sedangkan data sekunder merupakan data penunjang yang dikumpulkan dari Kepustakaan dan<br />
instansi terkait. Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk cabe merah produtivitas mencapai 5 ton/ Ha dengan<br />
tingkat penerimaan sebesar Rp 25.000.000,- , biaya produksi yang dikeluarkan ]Rp 17,260.000,- (R/C<br />
Ratio:1,45). untuk tomat produtivitas mencapai 6 ton/ Ha dengan tingkat penerimaan sebesar Rp 24.000.000,-<br />
total biaya yang dikeluarkan Rp 17,510.000,- (R/C Ratio: 1,4). Dari hasil analisis financial tersebut<br />
menunjukkan bahwa usahatani cabe merah dan tomat layak diusahakan karena nilai R/C ratio > 1. Dan sangat<br />
berpeluang untk dikembangkan di lahan pasang surut.<br />
Kata kunci : Usahatani, sayuran , organik, pasang surut<br />
<strong>Pertanian</strong> organik adalah teknik budidaya dan pengusahaan pertanian dengan mengandalkan<br />
input dan sarana produksi bahan alami (organic) tanpa menggunakan kimia sintetis. Tujuan utama<br />
pertanian organik menyediakan aneka produk pertanian, khususnya bahan pangan yang aman bagi<br />
kesehatan baik bagi produsen ( petani) maupun konsumen, serta tidak merusak lingkungan. Gaya<br />
hidup sehat kini telah menjadi standar dan melembaga secara internasional, dalam hal mana<br />
mensyaratkan jaminan bahwa, produk pertanian bagi konsumsi harus beratribut aman (food safety<br />
attributes), memiliki kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (ecolabelling<br />
attributes). Preferensi konsumen di seluruh dunia kepada produk organik, menyebabkan<br />
permintaan produk pertanian berbahan alami di tingkat dunia internasional meningkat pesat.<br />
Permintaan pasar semakin prospektif (Sonson Garsoni Tahun 2010)<br />
Dengan memamfaatkan lahan marginal yang tersedia di Kalimantan khususnya lahan pasang<br />
surut maka berpeluang untuk pertanian khususnya untuk pertanian organik . Karena lahan pasang<br />
surut belum optimal pemamfaatannya dikarena berbagai kendala, hal ini terlihat dari tingkat produksi<br />
dan indeks pertanaman yang rendah. Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan pertanian<br />
lahan pasang surut meliputi kesuburan lahan dan pH tanah yang rendah, jaringan irigasi/drainase yang<br />
belum berfungsi dengan baik, keragaman kondisi lahan, serta serangan hama dan penyakit.<br />
Sedangkan kendala aspek social ekonomi adalah keterbatasan tenaga kerja dan modal, tingkat<br />
pendidikan dan keterampilan yang rendah, serta sarana dan prasara penunjang kurang kondusif<br />
(Nusyirwan Hasan, tahun 2003 ). Dengan berlatar belakang tersebut pengkajian ini dilaksanakan<br />
untuk melihat peluang Pengembangan sayuran organik di lahan pasang surut.<br />
134│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Peluang Pengembangan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di<br />
Desa Antar Baru Kec Marabahan Kab Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
METODOLOGI PENELITIAN<br />
Penelitian ini dilaksanakan di desa Antar Baru Kabupaten Barito Kuala pada bulan Januari Tahun<br />
2011. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey yang di titik beratkan pada permasalahan,<br />
hambatan dan peluang pengembangan usahatani sayuran di lahan Pasang surut. Data yang di<br />
kumpulkan yaitu data primer dan data skunder. Data primer langsung diambil dari petani yang<br />
berusahatani sayuran yaitu dengan metode PRA atau Participatory Rural Appraisa menurut<br />
Chambers,R .(Tahun 1996) yaitu memahami pedasaan secara menyeluruh dengan secara sepat. Untuk<br />
kelengkapan data yang lainnya (data sekunder) diambil pada Instansi yang terkait dan kepustakaan.<br />
Data yang terkumpulkan dianalisis secara diskreptif dan analisis kelayakan Finansial (analisis biaya<br />
dan pendapatan).<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
1. Karakteristik Lahan Pasang Surut<br />
Lahan pasang surut dipengaruhi oleh pasang air laut, dan sebagian besar terdiri dari tanah<br />
gambut dan sulfat masam . Kedua jenis tanah dinilai sebagai ekosistem marginaldan rapuh. Untuk<br />
pengembangan lahan ini menjadi usaha pertanian harus mengetahui terlebih dahulu sifat dan<br />
kelakuan yang khas dari tanah tersebut(Widjaya Adhi, dkk 1992). Pemanfaatan yang sesuai,<br />
pengembangan yang seimbang dan pengelolaan yang serasi dengan karakteristik dan kelakuannya<br />
dapat mengubah lahan pasang surut ini menjadi lahan pertanian berproduktivitas tinggi dan<br />
berkelanjutan (Widjaya-Adhi,1986).<br />
Berdasarkan jangkauan air, lahan pasang surut ini dibedakan kedalam 4 tipe luapan (Widjaya Adhi,<br />
dkk 1992).<br />
1. Tipe A : Lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pasang besar,maupun pasang kecil.<br />
2. Tipe B : Lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar.<br />
3. Tipe C: Lahan yang tidak pernah terluapi walaupun pasang besar. Air pasang<br />
mempengaruhinya secara tidak langsung, kedalaman air tanah dari permukaan tanah<br />
kurang dari 50 Cm.<br />
4. Tipe D: Lahan yang tidak terluapi air pasang dan air tanahnya lebih dalam dari 50 Cm.<br />
Pada lokasi penelitian ini katageri yang dimiliki yaiti tidak diluapi secara langsung tapi<br />
air tanahnya lebih dalam dari 50 Cm. ( Lahan pasang surut Tipe D)<br />
2. Sistem Usahatani Lahan Pasang Surut<br />
Pola tanam yang dominan di desa ini yakni usahatani padi, sayuran, jeruk masih muda rata<br />
berumur 2-3 tahun. . Padi yang ditanam yaitu padi unggul dan padi lokal, tetapi pada umumnya<br />
senang menanam padi local hal ini disebabkan dari segi pemeliharaan dan kemudahan dalam menjual.<br />
Kalau padi unggulnya pemeliharaannya agak rumit dan dalam menjual harganya cendrung murah .<br />
Selain usahatani padi petani mengusahakan tanaman sayuran seperti cabe dan tomat yang sering<br />
berulang-ulang ditanam walaupun sayuran yang lain juga ditanam seperti kacang panjang, pari.,dll<br />
Pada dasarnya teknologi budidaya sayuran di desa Antar Baru ini sebagian besar melaksanakan<br />
pertanian organic yaitu untuk pengolahan tanah hanya di tabas dan digaruk tidak memakai herbisida,<br />
dan pemupukan memakai pupuk organic yang di jual oleh Gapoktannya sendiri yaitu pupuk kandang<br />
dan tricokompos dan Pupuk cair biohara plus. Tanaman sayuran ini sangat besar pengaruhnya<br />
terhadap pendapatan rumah tangga dikarenakan sayuran bisa dipetik setiap hari.<br />
2. Teknologi di tingkat petani (Cabe besar,Tomat)<br />
a. Cabe Besar (capsicum Annum L)<br />
Pengolahan Lahan, Setelah lahan dibersihkan kemudian digaru dan diberi Dolomit. Tebarkan<br />
pupuk kandang dosis 0,5 -1 ton/ 1000 m2, (biarkan 1 minggu) · Kemudian dibuat bedengan lebar<br />
100 cm dan parit selebar 80 cm. Bedengan ditutup mulsa plastik dan dilubangi, jarak tanam 60<br />
cm x 70 cm biarkan + 1 – 2 minggu .<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│135
Peluang Pengembangan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di<br />
Desa Antar Baru Kec Marabahan Kab Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
Persemaian, Media tumbuh dari campuran tanah dan pupuk kandang/ kompos yang telah disaring,<br />
perbandingan 3 : 1. Pupuk kandang sebelum dipakai pupuk kandang didiamkan selama1 minggu, bibit<br />
dimasukkan kepolibag ukuran 4 x 6 cm (Biji cabai diletakkan satu per satu tiap polybag), lalu ditutup<br />
selapis tanah + pupuk kandang matang yang telah disaring. Untuk pemeliharaannya/penyiraman<br />
dilakukan setiap hari pada pagi atau sore hari untuk menjaga kelembaban<br />
Tanam, bibit yang di tanam yang, Bibit yang memiliki 5-6 helai daun (umur 21 – 30 hari).<br />
Kebutuhan benih per 1000 m2 1 – 1,25 bks, Waktu tanam pagi atau sore hari , Plastik polibag<br />
dilepas. Setelah penanaman selesai, tanaman langsung disiram. Pemupukan dilaksanakan berselang<br />
7 hari pada perkembangan vegetative dengan pupuk tricokompos yang dibuat oleh petani sendiri. dan<br />
bagian atas seperti daun disemprot/dipupuk dengan biohara plus.<br />
Pemanenan,Panen pertama sekitar umur 60-75 hari Buah dipanen tidak terlalu tua (kemasakan 80-<br />
90%). Panen kedua dan seterusnya 2-3 hari dengan jumlah panen bisa mencapai 30-40 kali<br />
b. Tomat (Lycopersicon sp. Mill.)<br />
Tomat (Lycopersicon sp. Mill.) termasuk sayuran buah dan banyak mengandung vitamin A,<br />
Vitamin C, dan sedikit vitamin B. Tomat tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi. Waktu tanam<br />
yang baik 2 bulan sebelum musim hujan berakhir dan awal musi m kemarau. Tomat menghendaki<br />
tanah gembur, kaya humus dan subur serta drainase baik dan tidak menggenang. pH 5-7. Curah hujan<br />
optimal 100-220 mm/bulan. Temperatur opti mum adalah 24ºC (siang hari) dan 15º C - 20º C (malam<br />
hari).<br />
Benih<br />
Perbanyakan benih tomat secara generatif (biji). Kebutuhan<br />
benih tergantung pada varietas dan jarak tanam dengan kisaran antara 150-300 gr/ha. Benih<br />
disiapkan dengan cara: pilih buah tomat yang sehat dan matang penuh, lalu diperam 3 hari sampai<br />
berwarna merah gelap dan lunak. Keluarkan bi ji bersama lendirnya; fermentasi biji 3 hari sampai<br />
lendir dan airnya terpisah dari biji; dicuci dan dijemur selama 3 hari atau kadar airnya 6%.<br />
benih tergantung pada varietas dan jarak tanam dengan kisaran antara 150-300 gr/ha. Benih<br />
disiapkan dengan cara: pilih buah tomat yang sehat dan matang penuh, lalu diperam 3 hari sampai<br />
berwarna merah gelap dan lunak. Keluarkan bi ji bersama lendirnya; fermentasi biji 3 hari sampai<br />
lendir dan airnya terpisah dari biji; dicuci dan dijemur selama 3 hari atau kadar airnya 6%.<br />
Pesemaian<br />
Benih disemai pada persemaian (bedengan/kantong plastik/ polybag). Sebelum disemai, benih<br />
direndam dalam larutan Previkur N (0,1%) selama ± 2 jam, kemudian dikeringkan. Benih<br />
disebar merata pada bedengan/ tempat penyemaian dengan media tanah dan pupuk organik 1: 1, lalu<br />
ditutup dengan daun pisang selama 2-3 hari. Bedengan persemaian diberi naungan/atap dari<br />
screen/kassa plastik transparan. Kemudian persemaian ditutup dengan screen untuk menghindari<br />
OPT. Setelah berumur 7-8 hari, bibit dipindah kedalam bumbunan daun pisang/pot plastik dengan<br />
media yang sama (tanah dan pupuk organik steril). Penyiraman dilakukan setiap hari. Bibit siap<br />
ditanam dilapangan setelah berumru 3-4 minggu atau sudah memiliki 4-5 helai daun.<br />
Pengolahan Tanah dan Penanaman<br />
Olah tanah dan buat bedengan arah Timur-Barat dengan ukuran lebar 100-120 c m, panjang<br />
sesuai petakan maksimum 15 m untuk memudahkan dalam pemeliharaan tanaman, tinggi 30-40<br />
cm dan jarak antara bedengan 20-30 cm.<br />
Gunakan pupuk organik sebanyak 0,5-1 kg untuk setiap lubang. Diamkan lahan selama 1<br />
minggu. Jarak tanam 50x70 cm atau 70 x80 c m tergantung varietas. Penanaman di lakukan<br />
sore hari, setelah itu diberi penutup dari daun-daunan/pelepah pisang, lalu dibuka penutup setelah<br />
4-5 hari. Tiap bedengan berisi 2 baris tanaman.<br />
Pemeliharaan<br />
Berikan pupuk dasar saat tanam, yaitu pupuk kandang 100 kg<br />
136│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Peluang Pengembangan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di<br />
Desa Antar Baru Kec Marabahan Kab Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
Pupuk susulan I diberikan 14 HST (Hari Setelah Tanam) 100 kg tricokompos dan untuk<br />
pupuk daun diberikan biohara plus dan pupuk susulan II) sama dosisnya dengan pupuk<br />
susulan I.. Pupuk diberikan di sekeli ling tanaman dengan jarak 5 cm dari tanaman, setelah<br />
pemupukan ditutup dengan tanah setebal1-2 cm. Siram setiap hari. Pada saat berbunga siram 2<br />
hari sekali hingga berbuah.<br />
Penyiangan setelah pemupukan atau tergantung pada pertumbuhan gulma. 3-4 minggu<br />
setelah tanam diberi ajir/lanjaran untuk menopang tanaman. Lakukan pemangkasan setelah<br />
umur 4-6 minggu. Tomat yang telah mempunyai lima<br />
dompolan buah harus dipotong pucuk batang dan tunas- tunasnya. Tinggalkan 2-3 tunas yang<br />
berada di samping/sebelah bawah dompolan.<br />
Panen dan Pasca Panen<br />
Panen dan petik buah per tama setelah umur 2-3 bulan. Panen dapat dilakukan antara 10-15 kali<br />
pemetikan buah dengan inter val waktu 2-3 hari sekali. Buah yang siap dipanen adalah yang sudah<br />
matang 30%. Total buah yang dapat dipanen dalam satu batang mencapai 1-2 kg. Untuk<br />
pengangkutan ketempat yang jauh, buah tomat dapat dikemas dalam peti-peti kayu, tiap peti<br />
berisikan 20-30 kg buah tomat.<br />
Analisis Finansial Usahatani Cabe Besar, dan Tomat<br />
Usahatani sayuran bagi petani adalah sumber pendapatan yang paling utama untuk menopang<br />
keperluan rumah tangga setiap hari,di tanam dalam waktu yang singkat dan mendapatkan uang<br />
tunai/cash secara cepat karena sayuran bisa dipetik beberapa kali . Jadi keperluan rumah tangga<br />
petani selalu terpenuhi disamping tanaman padi yang panen pada waktu yang sudah di tentukan.<br />
Untuk melihat pendapatan petani untuk sayuran lebih rincinya bisa dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2<br />
berikut ini ;<br />
Tabel 1. Analisis finansial Usahatani Cabe Besar per hektar di Desa Antar Baru Kec Marabahan<br />
Kab.Barito Kuala Tahun 2011<br />
Cabe Besar<br />
U r a i a n<br />
Fisik<br />
Nilai (Rp)<br />
a. Penerimaan 5 ton 25.000.000<br />
b. Saprodi :<br />
Benih 35 bks 3.500.000<br />
Biohara plus 35liter 2.275.000<br />
Pupuk Tricompos, dan kapur 2 ton 2.000.000<br />
Ekstara daun nimba 175 liter 3,500.000<br />
Polibag 15 pak 225.000<br />
Plastik<br />
75 meter 260.000<br />
c. Tenaga kerja :<br />
Pengolahan lahan 30 1.500,000<br />
Penanaman 20 1.000.000<br />
Pemupukan 20 1,000.000<br />
Pemeliharaan/penyiangan 20 1,000.000<br />
Penen & Pasca P 20 1,000.000<br />
d. Total biaya 17,260.000<br />
e. Pendapatan 7.740.000<br />
f. R/C Rasio 1,45<br />
Pada Tabel 1. Produktivitas cabe besar per hektar mencapai 60 ton dengan penerimaan Rp<br />
25.000.000,- dengan total biaya (Benih,pupuk dan tenaga kerja) Rp 17.260.000,- pendapatan yang<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│137
Peluang Pengembangan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di<br />
Desa Antar Baru Kec Marabahan Kab Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
diperoleh Rp7.740.000,- dengan nilai R/C ratio 1,45 ( R/C ratio > 1) layak diusahakan. Harga yang<br />
berlaku pada masyarat sayuran dengan inputnya organik dengan yang tidak memakai pupuk dan obatobatan<br />
yang organik harganya sama saja. Tetapi di desa ini tetap mempertahan pertanian organiknya.<br />
Tabel 2. Analisis Finansial Usahatani Tomat per Hektar di Desa Antar baru Kec.Marabahan Kab<br />
Barito Kuala Tahun 2011<br />
Tomat<br />
U r a i a n<br />
Fisik<br />
Nilai (Rp)<br />
a. Penerimaan 6 ton 24.000.000<br />
b. Saprodi :<br />
Benih 50 bks 3,750.000<br />
Biohara plus 35liter 2.275.000<br />
Pupuk Tricompos, dan kapur 2 ton 2.000.000<br />
Ekstara daun nimba 175 liter 3,500.000<br />
Polibag 15 pak 225.000<br />
Plastik<br />
75 meter 260.000<br />
Tonggak(batang)<br />
c. Tenaga kerja :<br />
Pengolahan lahan 30 1.500,000<br />
Penanaman 20 1.000.000<br />
Pemupukan 20 1,000.000<br />
Pemeliharaan/penyiangan 20 1,000.000<br />
Penen & Pasca P 10 500.000<br />
d. Total biaya 17,510.000<br />
e. Pendapatan 6.490.000<br />
f. R/C Rasio 1,4<br />
Pada Tabel 2. Diatas menunjukan bahwa tomat menguntungkan untuk diusahakan, ini terlihat<br />
dari pendapatan bersih yang mencapai Rp. 6.490.000,- Total Biaya untuk mentimun mencapai Rp<br />
17,510.000,-. Dari analisis finansial sayuran tomat sangat layak diusahakan dengan melihat nilai<br />
R/C ratio 1,4 ( R/C Ratio >1) layak diusahakan (Soekartawi. 1995).<br />
Petani di Desa Antar Baru saat panen bersamaan harga cendrung turun dan posisi tawar<br />
banyak menguntung pedagang, hal ini karena petani tidak mempunyai modal yang cukup, sebagian<br />
modal minjam kepada pedagang,walaupun tidak ada dikenakan bunga, tapi untuk harga sayuran yang<br />
berlaku lebih ditentukan oleh pedagang.<br />
3. Peluang Pengembangan Usahatani Sayuran menuju pertanian organik<br />
Berdasarkan hasil kajian terhadap potensi dan masalah di Desa Antar Baru maka tidak<br />
terlepas dari 3 faktor yaitu :1.Secara teknis dapat dilaksanakan,2. secara ekonomis menguntungkan<br />
dan 3. Secara sosial bisa dipertanggungjawabkan tidak merusak lingkungan.<br />
1. Secara teknis :<br />
a) Optimalisasi pemanfaatan lahan, dapat dilakukan melalui:<br />
1. Penampungan kelebihan air hujan pada kolam penampungan (embung) dengan ukuran 4-5%<br />
dari total area yang ingin diairi, sehingga pada saat musim kemarau dapat digunakan untuk<br />
mengairi tanaman di sekitar embung.<br />
2. Pompanisasi dengan cara pemanfaatan air tanah dangkal.<br />
(b) Inovasi teknologi sayuran yang dapat dilakukan melalui:<br />
1. Penggunaan varietas unggul spesifik lokasi.<br />
2. Efisiensi pemupukan, pupuk organik<br />
138│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Peluang Pengembangan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di<br />
Desa Antar Baru Kec Marabahan Kab Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
3. Pengendalian gulma dan hama penyakit tanaman.<br />
(c ) Perbaikan usahatani yang dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani, yaitu dengan<br />
pola tanam yang menguntungkan.<br />
2. Dari segi Ekonomi :<br />
Bahwa dilihat dari kelayakan usahanya sangat menguntungkan (R/C Ratio>1), dan kemudahan<br />
memasarkan.<br />
3. Dari segi Sosial :<br />
usahatani pada desa ini tidak mempergunakan bahan-bahan dan saprodi terdiri dari bahan alami<br />
/organik bisa dipertanggung jawabkan tidak merusak lingkungan.<br />
Melihat itu semua maka usahatani sayuran pada lahan pasang surut di desa ini sangat besar<br />
peluangnya untuk pengembangan pertanian organik.<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
1. Desa Antar Baru selama ini dikembangkan usahatani sayuran organik yang bertujuan untuk<br />
memenuhi kebutuhan sehari-hari dan belum berorientasi agribisnis sehingga berdasarkan nilai R/C<br />
ratio menguntungkan dan sangat layak diusahakan dan berpeluang besar untuk pengembangan<br />
pertanian organik.<br />
2. Saat panen yang bersamaan harga cendrung turun. Petani tidak mempunyai posisi tawar yang baik<br />
karena petani mempunyai modal yang terbatas,<br />
PUSTAKA<br />
1. Chambers, R. 1996. PRA (Participatory Rural Appraisal) Memahami Desa Secara Partisipatif.<br />
Kanisius. Yogyakarta.<br />
2. Widjaja-Adhi,IPG, Nugroho dan S.Karama, Didi Ardi 1992. Sumberdaya lahan rawa potensi,<br />
kebutuhan dan Pemanfaatan Dalam Risalah Pertemuan Nasional Pengembanagan <strong>Pertanian</strong><br />
Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992.<br />
3. Widjaja-Adhi,IPG, Nugroho dan S.Karama, 1990. Sumberdaya lahan pasang surut, rawa dan<br />
pantai. Potensi keterbatasan dan pemanfaatan Pertemuan Nasional Pengembangan <strong>Pertanian</strong><br />
Lahan Pasang Surut dan Rawa, Cisarua, 3-4 Maret 1990.<br />
4. Widjaja-Adhi,IPG, 1986. Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak, Jurnal Litbang <strong>Pertanian</strong> V<br />
(1)<br />
5. Nusyirwan Hasan, Adri, Azwar, Firdaus, 2003, Keragaaan varietas Batang Hari pada lahan pasang<br />
surut sulfat masam potensial, Temu Aplikasi dan Seminar Teknologi <strong>Pertanian</strong> Di Lahan Pasang<br />
Surut Kalimantan Tengah 2003.<br />
6. Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia. Jakarta.<br />
7. Sonson Garson, 2010, <strong>Pertanian</strong> Organik, Jakarta.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│139
Pengkajian Efisiensi Pemakaian Air dengan Irigasi Tetes pada Tanaman Cabai Merah di Musim Kemarau<br />
Setiapermas, MN dan Jauhari, S<br />
Pengkajian Efisiensi Pemakaian Air dengan Irigasi Tetes pada Tanaman Cabai Merah<br />
di Musim Kemarau<br />
Setiapermas, MN dan Jauhari, S<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Jawa Tengah<br />
Bukit Tegalepek Kelurahan Sidomulyo Ungaran Timur, Semarang<br />
ABSTRAK. Salah satu inovasi teknologi dalam menghadapi perubahan iklim di tingkat petani sayuran adalah<br />
memanfaatkan sumber air alternatif dengan sangat efisien seperti mengairi tanaman di sekitar perakaran dengan<br />
cara manual. Tenaga yang dikeluarkan oleh petani cukup besar karena setiap hari harus membawa air dari<br />
sumber ke lahan pertanian serta menyiramnya pada daerah perakaran. Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong><br />
bertugas mencari inovasi teknologi hemat air yang mudah diadopsi oleh petani. Tujuan pengkajian ini untuk<br />
memperoleh alternatif teknologi irigasi mikro yang dapat diterapkan oleh petani untuk mengurangi kehilangan<br />
hasil. Lokasi pengkajian di Desa Pandean, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Metode pengkajian<br />
menggunakan program simulasi data iklim, agronomi dan tingkat kadar air tanah untuk mendapatkan waktu<br />
bero dengan menghitung persentase kehilangan lebih dari 20% kemudian dibandingkan dengan hasil panen di<br />
lapangan. Berdasarkan simulasi, waktu tanam dengan kehilangan hasil di atas 20 % terjadi pada bulan April<br />
sampai Agustus. Dengan kondisi ini inovasi irigasi tetes dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus.<br />
Persentase kehilangan hasil berdasarkan simulasi dengan waktu tanam pada bulan Juli 2008 ialah 60% (panen<br />
diperkirakan sekitar 0.2 – 0.5 kg/tanaman). Sumber air untuk irigasi tetes berasal dari mata air yang ditampung<br />
sebanyak 3000 liter untuk 1475 tanaman cabai merah selama 1.5 jam. Pengamatan pada 2006 menunjukkan<br />
produktivitas yang diairi setiap 3 hari sekali adalah 266 gr / tanaman. Produktivitas ini berada di bawah kondisi<br />
optimal. (sekitar 10 sampai 20 ton cabai / ha atau setara 0,6 sampai 1.2 kg / tanaman). Pada tahun 2008, irigasi<br />
tetes dapat meningkatkan produktivitas dari 0.266 kg / tanaman menjadi 0,37 kg / tanaman.<br />
Kata kunci: Irigasi tetes; Capsicum annum<br />
ABSTRACT. Setiapermas, MN and Jauhari, S 2013. Study of Efficiency of Water Using with Drip<br />
Irrigation on Chillies in Dry Season. One innovation of technology in addressing climate change in the level<br />
of vegetable farmers are utilizing alternative water sources to irrigate crops such as highly efficient around the<br />
roots with a manual. Energy released by the farmers is large enough for every day to bring water from the<br />
source to the agricultural land and water it in the root zone. Agriculural Institute for Assessment Technology<br />
tasked with finding innovative water-saving technology that easily adopted by farmers. The purpose of this<br />
study to obtain an alternative micro-irrigation technologies that can be applied by farmers to reduce yield loss.<br />
Site assessment in the village of Pandean, District Ngablak, Magelang regency. Assessment method using a<br />
simulation program data on climate, agronomy and soil moisture levels to get a fallow time by calculating the<br />
percentage loss of more than 20% and compared with yields in the field. Based on the simulations, the time of<br />
planting with a loss of over 20% occurred in April through August. With this innovative drip irrigation<br />
conditions conducted in April and August. The percentage of yield loss based on the simulation with the time of<br />
planting in July 2008 was 60% (estimated harvest of about 0.2 - 0.5 kg / plant). Source of water for drip<br />
irrigation comes from springs that accommodated as many as 3000 liters to 1475 of red pepper plants for 1.5<br />
hours. Observations in 2006 showed that the productivity of irrigated every 3 days is 266 gr / plant. This<br />
productivity under optimal conditions. (approximately 10 to 20 tonnes of chilli / ha or the equivalent of 0.6 to<br />
1.2 kg / plant). In 2008, drip irrigation can increase the productivity of 0266 kg / plant to 0.37 kg / plant.<br />
Key words: Drip irrigation; Capsicum annum<br />
Beberapa rencana aksi yang perlu diimplementasikan untuk memperkuat ketahanan sektor<br />
pertanian terhadap perubahan iklim antara lain adalah mensosialisasikan teknologi hemat air,<br />
memanfaatkan potensi sumber daya air alternatif dengan teknologi pompa air untuk meningkatkan<br />
intensitas pertanaman, melakukan pengelolaan air secara efisien dan adanya pengkajian terintegrasi<br />
dalam menghadapi perubahan iklim di sektor pertanian. Salah satu permasalahan dari perubahan iklim<br />
adalah permasalah keterbatasan pasokan air di beberapa sentra hortikultura. Air sebagai salah satu<br />
syarat keberhasilan peningkatan produksi pertanian perlu diperhatikan oleh pengguna teknologi. Di<br />
lahan kering dataran tinggi di mana produksi sayuran sebagai komoditas utama pertanian, sumber air<br />
yang biasa dipakai adalah mata air pegunungan yang ditampung dalam kolam-kolam permanen atau<br />
140│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengkajian Efisiensi Pemakaian Air dengan Irigasi Tetes pada Tanaman Cabai Merah di Musim Kemarau<br />
Setiapermas, MN dan Jauhari, S<br />
plastik. Selain mata air dan sumur, embung merupakan sumber air yang potensial untuk mengairi<br />
lahan dengan luasan yang cukup besar baik itu di dataran tinggi maupun dataran rendah.<br />
Di bidang hortilultura, pemerintah belum banyak intervensi memberikan pengarahan kepada<br />
petani dalam pengelolaan air dalam budidaya komoditas sayuran atau buah semusim. Padahal<br />
penanaman komoditas hortikultura tersebut biasa ditanam di akhir penghujan di lahan yang memang<br />
kekurangan air. Hasil wawancara sekilas dengan petani, mereka mengharapkan adanya teknologi<br />
panen air di akhir musim penghujan baik itu dari air hujan maupun dari sumber lain untuk pengairan<br />
komoditas hortikultura pada musim kemarau. Penanaman komoditas hortikultura pada musim<br />
kemarau dengan pasokan air yang memadai telah dipilih oleh mayoritas petani untuk mencukupi<br />
kebutuhan hidup. Pola tanam yang biasa dilakukan di lahan kering dataran tinggi setiap petani<br />
berbeda. Di Ngablak, Magelang yang merupakan sentra sayuran untuk daerah Magelang, petani<br />
memilih kubis untuk ditanam pada musim kemarau dengan alasan berumur pendek sekitar 50 hari dan<br />
kebutuhan air yang tidak banyak. Bila ada teknologi pengelolaan air untuk komoditas lain yang harga<br />
jualnya lebih tinggi dari kubis, maka petani akan mencoba untuk menerapkan teknlogi tersebut.<br />
Dengan program tersebut, maka Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> melakukan kaji terap<br />
informasi iklim untuk perencanaan introduksi teknologi hemat air (irigasi mikro). Tujuan kegiatan ini<br />
adalah mendapatkan alternatif teknologi irigasi mikro yang mudah diterapkan petani pada waktu bera<br />
untuk mengurangi persentase kehilangan hasil pertanian dengan memanfaatkan sumber air yang<br />
tersedia di lahan dataran tinggi.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Bahan pengkajian adalah sarana budidaya cabai merah termasuk lahan dan saprodi cabai merah.<br />
Lokasi pengkajian di lahan petani Dusun Dalangan, Desa Pandean, Kecamatan Ngablak Kabupaten<br />
Magelang. Lahan petani yang dipakai untuk pengkajian sekitar 1000 m 2 . Waktu tanam pengkajian<br />
merupakan hasil simulasi waktu tanam cabai merah hasil simulasi tahun 2006 yaitu waktu tanam yang<br />
menghasilkan persentase kehilangan hasil lebih dari 20 % sekitar bulan April sampai Agustus.<br />
Budidaya cabai merah dengan sistem irigasi tetes dilaksanakan dari bulan Juli 2008 sampai panen<br />
akhir di bulan Januari 2009. Sedangkan data iklim yang diambil adalah curah hujan dan<br />
evapotranspirasi tahun 2008 dan 2009 dari Automatic Weather Station (stasiun cuaca otomatis)<br />
Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.<br />
Lahan yang digunakan untuk pertanaman cabai merah dengan introduksi jaringan irigasi tetes<br />
adalah lahan petani yang mempunyai bak penampung air permanen dengan kran. Hal ini disebabkan<br />
untuk memudahkan kontrol terhadap volume keluar atau yang masuk ke lahan. Sarana irigasi yang<br />
dipakai merupakan sistem irigasi dengan area penangkapan dalam lahan (penampungan di tempat atau<br />
penampungan mikro) berupa bak penampungan permanen ukuran 1 m x 3 m x 1 m (sarana ini telah<br />
diberikan oleh BPTP tahun 2006) dan jaringan irigasi tetes sederhana yang terdiri dari saluran<br />
sekunder / pipa paralon ukuran ½ inchi, saluran sekunder / pipa paralon ukuran ½ inchi yang dibagi<br />
menjadi beberapa blok yang terdiri dari 4-5 bedengan, saluran terseier / slang hitam yang diletakkan<br />
di atas mulsa plastik perak di atas bedengan, saluran ke tanaman yang dihubungkan dengan stick<br />
hitam. Selain menggunakan slang ukuran 3 mm dan stick hitam, tim BPTP melakukan modifikasi alat<br />
ini dengan slang bening akuarium, t akuarium dan sitck bambu. Air yang keluar dari slang hitam<br />
maupun slang akuarium diharapkan sama. Sebelum jaringan irigasi tetes dipasang, lahan dibuat<br />
bedengan dengan lebar 1 meter dan saluran antar bedengan 75 cm. Kemudian bedengan ditutup<br />
plastik mulsa dan dilubangi sesuai dengan jarak tanam yaitu 50 cm x 60 cm. Pembuatan jaringan<br />
irigasi tetes disesuaikan dengan kondisi lahan dan panjang bedengan.<br />
Pengkajian diawali dengan penghitungan persentase kehilangan hasil yang menjadi dasar dalam<br />
penentuan waktu bero tanaman cabai. Kegiatan tersebut memakai program Crop Water Balance –<br />
Evapotranspiration (CWB-Eto). Program ini memerlukan data primer antara lain data iklim,<br />
agronomi cabai merah dan kadar air tanah. Program ini memperhatikan indeks kecukupan air yang<br />
merupakan salah satu parameter untuk mengetahui tingkat kebutuhan air oleh tanaman. Nilai tersebut<br />
dicerminkan oleh rasio antara ETR (evapotranspirasi aktual tanaman) dan ETM (evapotranspirasi<br />
maksimal yang dilakukan tanaman). Kehilangan hasil dihitung berdasarkan nilai relatif defisit<br />
tanaman dikalikan dengan koefisien stres pada setiap fase tanaman. Koefisien stres pada fase initial,<br />
vegetatif, pembungaan, pembentukan hasil dan pemasakan untuk masing-masing tanaman yang<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│141
Pengkajian Efisiensi Pemakaian Air dengan Irigasi Tetes pada Tanaman Cabai Merah di Musim Kemarau<br />
Setiapermas, MN dan Jauhari, S<br />
diteliti dapat dilihat pada Allen et al. (1998). Data agronomi cabai merah yang dianalisis adalah data<br />
sekunder hasil pengamatan di lapangan dalam kegiatan kaji terap iklim tahun 2006 dengan asumsi<br />
bahwa data tersebut sama dengan data agronomi tahun 2008. Data kadar air tanah (kapasitas lapang<br />
dan titik layu permanen) untuk input program simulasi merupakan data sekunder hasil analisis tim<br />
PERHIMPI. Sedangkan data agronomi cabai merah yang diambil dalam kegiatan kaji terap tahun<br />
2008 adalah panen. Pengambilan data panen dilaksanakan pada awal panen November 2008 sampai<br />
bulan Januari 2009. Pengambilan data agronomi hortikultura juga dipakai untuk memvalidasi hasil<br />
panen dibandingkan dengan hasil simulasi.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Di dalam mengantisipasi perubahan iklim Fagi et al. (2002) mengatakan perlu adanya 1)<br />
pemanfaatan teknologi tepat guna, 2) penanggulangan dan penyelamatan tanaman dari kemungkinan<br />
deraan kekeringan atau banjir dan 3) mengurangi dampak El-Nino terhadap penurunan produksi<br />
tanaman. Program aksi antisipasi dan penanggulangan harus dipilah menurut waktu yaitu sebelum,<br />
selama dan sesudah terjadi anomali iklim. Langkah operasional dalam mengantisipasi kekeringan<br />
menurut Fagi et al. (2002) adalah : 1) membuat rencana tanam dan pola tanam pada lokasi yang<br />
sering dilanda El Nino, mengevaluasi karakteristik curah hujan serta pola ketersediaan air irigasi, 2)<br />
menyiapkan benih varietas yang relatif toleran kekeringan berumur sangat genjah atau tanaman<br />
alternatif yang lebih toleran kering, 3) menyiapkan infrastruktur irigasi, 4) memanfaatkan sumber<br />
daya air alternatif dan menyusun serta menyiapkan program aksi pada musim hujan setelah<br />
kekeringan. Di wilayah pertanian lahan kering dataran tinggi tentunya harus juga memperhitungkan<br />
konservasi tanah dan air. Salah satu konservasi air yang sedang diterapkan oleh petani adalah<br />
memanfaatkan air permukaan yang mengalir dari mata air yang belum dimanfaatkan secara maksimal.<br />
Daerah Ngablak berada di sebelah utara Gunung Merbabu dan sebelah selatan Bukit Telomoyo,<br />
pada ketinggian sekitar 1394 m dpl. Daerah ini merupakan daerah lahan kering tadah hujan beriklim<br />
basah. Introduksi jaringan irigasi tetes di daerah Pandean, Ngablak dimaksudkan untuk<br />
memperkenalkan tekonologi efisiensi pemakaian air yang sebenarnya sudah dikenal oleh petani dan<br />
diterapkan pada musim kemarau. Petani melakukan pemanenan dan penyiraman air sebagai bentuk<br />
efisiensi pemakaian air untuk tanaman yang mempunyai nilai jual tinggi.<br />
Pola tanam sayuran di dataran tinggi beragam bahkan terdapat 4-6 kali penanaman secara<br />
bersisipan. Tanaman yang lebih dulu ditanam dianggap sebagai tanaman utama. Berdasarkan pola<br />
tersebut petani telah memanfaatkan fungsi lahan secara optimal dengan cara memanfaatkan curah<br />
hujan secara optimal. Antisipasi untuk memperkecil resiko kegagalan penanaman pada bulan Juli –<br />
Oktober petani melakukan dengan menerapkan sistem tumpangsisip serta penanaman musim<br />
kemarau yang dibantu dengan penyiraman. Kegiatan penyiraman menunjukkan bahwa usahatani yang<br />
dilakukan petani sangat intensif. Hal tersebut juga terlihat dari penggunaan varietas – varietas unggul<br />
yang dipilih selalu mengacu permintaan konsumen. Petani menaruh harapan besar pada penanaman di<br />
musim kemarau ini karena biasanya harga jual tinggi, namun akibat keterbatasan dalam hal<br />
penyiraman ini produktivitas tanaman pada musim kemarau yang dicapai belum optimal. Dengan<br />
pola ini tidak terdapat masa bero pada lahan usahatani dan tidak ada musim panen raya.<br />
Bila dianalisis dengan input data cuaca, khususnya curah hujan dan evapotranspirasi, bahwa<br />
waktu tanam yang diperkirakan akan baik menghasilkan produksi sayuran adalah pada bulan Januari<br />
sampai bulan Maret dan dari bulan Oktober sampai Desember. Hal tersebut karena curah hujan di<br />
Ngablak Magelang tahun 2008 mengalami puncaknya pada bulan Januari sedangkan waktu curah<br />
hujan di bawah 100 mm adalah di bulan Mei sampai dengan bulan September.<br />
142│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Persentase kehilangan hasil<br />
mm<br />
Pengkajian Efisiensi Pemakaian Air dengan Irigasi Tetes pada Tanaman Cabai Merah di Musim Kemarau<br />
Setiapermas, MN dan Jauhari, S<br />
700<br />
600<br />
500<br />
400<br />
300<br />
200<br />
100<br />
0<br />
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des<br />
Gambar 1. Curah hujan tahun 2008 Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang<br />
Begitu pula dengan analisis simulasi menggunakan program Crop Water Balance -<br />
Evapotranspiration (CWB-Eto) ternyata waktu tanam cabai merah yang menghasilkan persentase<br />
kehilangan hasil di bawah 20 % adalah berkisar dari bulan Januari – April dan dari bulan Agustus<br />
sampai Desember. Sehingga pada waktu tanam bulan April sampai Agustus, persentase kehilangan<br />
hasil cabai merah lebih dari 20 %. Kehilangan hasil 20 % dari potensi hasil cabai merah dalam<br />
keadaan normal (berkisar dari 0.6 – 1.2 kg / tanaman), maka berdasarkan simulasi tanaman cabai<br />
merah yang ditanam pada bulan April sampai Agustus menghasilkan 0.24 kg sampai 0.48 tanpa<br />
pengairan yang baik atau 0.48 kg sampai 0.96 kg dengan pengairan yang sangat baik. Persentase<br />
kehilangan hasil cabai merah menurut simulasi adalah seperti tertera pada Gambar 2. Hasil penelitian<br />
Allen et al. (1998) dan CIRAD dalam Estiningtyas (2002) menyatakan bahwa kehilangan hasil yang<br />
masih bisa diterima adalah 20 %.<br />
Kehilangan Hasil Berdasarkan Simulasi<br />
70,0<br />
60,0<br />
50,0<br />
40,0<br />
30,0<br />
20,0<br />
10,0<br />
0,0<br />
-10,0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des<br />
Waktu Tanam<br />
Cabai Merah<br />
Gambar 2. Persentase kehilangan hasil tanaman cabai merah berdasarkan simulasi CWB-ETO tahun<br />
2008<br />
Dalam kenyataannya di lapang serta hasil wawancara tentang pola tanam, dalam beberapa tahun<br />
terakhir ini petani memanfaatkan sumber air (mata air) yang ditampung dalam bak permanen ukuran 1<br />
m x 3 m x 1 m (sekitar 3000 liter air) untuk menyirami lahan seluas 1000 m 2 . Air ini bersumber dari<br />
mata air Bukit Telomoyo yang disalurkan melalui pipa paralon swadaya dan bantuan pemerintah.<br />
Menurut Popi R et al. (2005) pendekatan teknis untuk mengurangi resiko kekurangan air dapat<br />
dilakukan melalui tindakan-tindakan antara lain adalah menentukan saat tanam dan masa tanam yang<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│143
Pengkajian Efisiensi Pemakaian Air dengan Irigasi Tetes pada Tanaman Cabai Merah di Musim Kemarau<br />
Setiapermas, MN dan Jauhari, S<br />
tepat dengan memanfaatkan analisis neraca air wilayah dan analisis indeks kecukupan air, penyediaan<br />
sarana dan prasarana irigasi yang tepat dengan kondisi iklimnya, mengembangkan teknik panen hujan<br />
dan aliran permukaan melalui pengembangan dam parit untuk meningkatkan ketersedian air dan<br />
memperpanjang masa tanam, melakukan budidaya komoditas pangan berumur pendek dan toleran<br />
terhadap kekeringan yang mengkonsumsi air terbatas, memperbaiki saluran irigasi dan embung serta<br />
meningkatkan daya dukung DAS. Contoh pemanenan air di lapangan yang telah diintroduksikan<br />
BPTP Jateng berupa bak permanen ukuran 1 m x 3 m x 1 m di bawah tanah. Introduksi penampung<br />
air ini telah diadopsi oleh dinas pertanian untuk mengairi tanaman jeruk pada musim kemarau.<br />
Gambar 3. Bak penampung permanen ukuran 1m x 3 m x 1m untuk mengairi lahan pertanian sekitar<br />
1000 m 2 (introduksi BPTP Jateng 2006)<br />
Sedangkan jaringan irigasi tetes yang diintroduksikan seperti tertera pada Gambar 4.<br />
Modofikasi slang hitam dan stick hitam dengan slang akuarium, t akuraium dan stick bambu dapat<br />
diterima petani. Air yang keluar dari slang hitam maupun slang akuarium sama.<br />
Gambar 4. Jaringan irigasi tetes pada tanaman cabai merah di Dusun Dalangan Desa Pandean,<br />
Ngablak, Magelang<br />
Menurut Popi et al. (2005) teknologi irigasi modern seperti irigasi tetes yang berbasis lokal<br />
merupakan teknologi hemat air, perlu diadaptasikan supaya kontribusi sumberdaya iklim dan air<br />
terhadap keluaran sistem produksi pertanian dapat dioptimalkan. Pemerintah perlu mengidentifikasi<br />
dan menggerakkan modal sosial masyarakat seperti tradisi gotong royong untuk membangun<br />
kebersamaan, kerja keras dan pantang menyerah, tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam<br />
pengelolaan sumberdaya air agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendayagunaan<br />
sumberdaya air. Keterbatasan kemampuan pendanaan pemerintah dan tingkat partisipasi langsung<br />
maupun tidak langsung dari masyarakat yang terus menurun, merupakan ilustrasi sekaligus indikasi<br />
bahwa pendayagunaan sumberdaya air masih jauh dari yang diharapkan.<br />
Irigasi tetes dengan menggunakan slang permanen dan stick plastik merupakan teknologi yang<br />
baru dikerjakan oleh petani Ngablak. Irigasi mikro yang biasa mereka gunakan adalah pengairan<br />
manual sekitar 500 ml dengan menggunakan ciduk (alat siram untuk mandi) pada tanaman cabai<br />
144│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengkajian Efisiensi Pemakaian Air dengan Irigasi Tetes pada Tanaman Cabai Merah di Musim Kemarau<br />
Setiapermas, MN dan Jauhari, S<br />
merah dan kubis. Siraman terhadap setiap tanaman yang keluar dari slang hitam kecil berdasarkan<br />
blok selama 1 menit adalah :<br />
Tabel 1. Volume air yang menetes dari slang tersier setiap tanaman per blok tanaman selama satu<br />
menit<br />
Blok Bedengan<br />
Jumlah air yang keluar dari slang tersier (ml) yang langsung ke<br />
tanaman<br />
Rerata<br />
1 2 3 4<br />
I 1 40 20 20 30 28<br />
2 30 30 20 25 26<br />
3 30 30 25 30 29<br />
4 30 20 25 29 26<br />
II 1 30 30 30 35 31<br />
2 40 30 25 35 33<br />
3 40 35 35 35 36<br />
III 1 30 25 20 25 25<br />
2 30 30 25 35 30<br />
3 30 30 35 20 29<br />
4 30 30 35 25 30<br />
IV 1 40 40 30 40 38<br />
2 45 30 35 40 38<br />
3 35 45 35 40 39<br />
4 50 45 40 50 46<br />
Rerata 32<br />
Bila pengairan tidak berdasarkan blok, akan tetapi seluruh blok dibuka, maka pengairan setiap slang<br />
hitam kecil berjumlah seperti pada table di bawah ini :<br />
Tabel 2. Volume air yang menetes dari slang tersier setiap tanaman setiap menit<br />
Blok<br />
Jumlah air yang keluar dari slang tersier (ml) yang langsung<br />
ke tanaman<br />
Rerata<br />
1 2 3 4<br />
I 20 25 20 15 20<br />
II 20 20 20 20 20<br />
III 30 25 30 25 28<br />
IV 25 20 20 20 21<br />
Rerata 22<br />
Pertanaman cabai merah di lahan yang menggunakan stik hitam dari BPTP adalah 725 dengan<br />
14 bedengan, sedangkan yang menggunakan slang aquarium jumlah tanaman 750 batang dengan 24<br />
bedengan. Bila dilihat volume bak penampung adalah 3000 liter sedangkan jumlah tanaman adalah<br />
1475 sehingga bila air dari bak penampung dihabiskan pengairan pada tanaman tanaman cabai merah<br />
sebanyak 2 liter sekali siram. Dari pengamatan setiap menit, volume yang keluar dari slang kecil ratarata<br />
adalah 22 ml sehingga penyiraman dengan irigasi tetes membutuhkan waktu sekitar 90 menit.<br />
Karena jumlah air yang keluar dari slang hitam dan slang akuarium sama, sehingga asumsi selama<br />
pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman cabai dari kedua macam slang sama.<br />
Gambar 6. Pertanaman cabai merah dengan irigasi tetes<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│145
Pengkajian Efisiensi Pemakaian Air dengan Irigasi Tetes pada Tanaman Cabai Merah di Musim Kemarau<br />
Setiapermas, MN dan Jauhari, S<br />
Penyiraman pada tanaman cabai merah biasa dilakukan petani 3 (tiga) hari sekali. Pada<br />
introduksi irigasi tetes ini, awalnya juga dilakukan sama dengan petani, namun karena di Bulan<br />
Agustus dan bulan September ada hari-hari maka penyiraman dilakukan 3 hari setelah ada hujan.<br />
Penyiraman dilakukan pada tanggal 22 Agustus, 4, 7, 13, 15, 18, 20, 23, 26, dan 30 September.<br />
Bahkan pada bulan Oktober, November dan Desember tidak dilakukan penyiraman karena hujan<br />
terjadi setiap hari.<br />
Hasil panen dimulai akhir bulan November, dari penampakan visual tanaman, cabai merah yang<br />
dihasilkan menurut petani diperkirakan akan bagus, yaitu sekitar 0.75 kg setiap tanaman, namun hasil<br />
sampai akhir panen tidak mencapai nilai tersebut. Hasil selengkapnya di lahan petani adalah sebagai<br />
berikut (Tabel 3):<br />
Tabel 3. Hasil panen cabai merah<br />
Panen<br />
ke<br />
Berat<br />
(kg)<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18<br />
2 9 10 18 22 37.5 43 51 68 50 55 50 45 40 18 15 8 6<br />
Hasil maksimum tanaman cabai merah pada kondisi biasa adalah 10 sampai 20 ton/ha atau<br />
setara dengan 0.6 sampai dengan 1,2 kg /tanaman (FAO,1979). Hasil pengamatan tahun 2006 di<br />
lapangan menunjukkan bahwa tanaman yang disiram setiap hari dan tiga hari produksinya dibawah<br />
kondisi optimal yaitu 266 gr/tanaman (0,266 kg/tanaman). Kehilangan hasil dengan adanya<br />
penyiraman setiap hari masih 55 %, dengan penyiraman tiga hari sekali yaitu sebesar 65 %. Dari hasil<br />
pengamatan di lapang ditunjukkan bahwa dengan penyiraman saja belum dapat menaikan produksi<br />
masih ada modifikasi iklim mikro lain yaitu pemakaian mulsa plastik dan penambahan volume air.<br />
Pada tahun 2008 dengan menggunakan jaringan irigasi tetes ada sedikit kenaikan dari 0.266 kg<br />
/tanaman menjadi 0,37 kg /tanaman. Sehingga bila dibandingkan dengan pendugaan FAO,<br />
kehilangan hasil cabai dengan irigasi tetes ini adalah masih 38 %. Jadi produksi masih rendah.<br />
Adanya pengelolaan air untuk budidaya cabai merah dengan tidak digenangi sebagaimana<br />
kebiasaan petani lahan sawah, di daerah Canggal dengan pengairan mikro manual dengan frekuensi 3<br />
hari sekali dengan volume penyiraman 500 ml dan memakai mulsa ternyata menghasilkan buah 0.8<br />
kg/tanaman. Sedangkan dengan penyiraman setiap hari hanya menghasilkan 0.7 kg/ tanaman. Bila<br />
tidak memakai mulsa, maka penyiraman mikro yang lebih baik adalah setiap hari dengan volume 500<br />
ml (Norma, et al. 2008).<br />
Irigasi mikro memberikan beberapa keuntungan antara lain hemat air, laju aliran rendah, dapat<br />
dilakukan bersamaan dengan pemupukan dan dapat diterapkan pada berbagai topografi lahan.<br />
Penggunaan irigasi mikro dapat lebih menghemat air karena didistribusikan secara perlahan pada<br />
daerah perakaran tanaman. Ini berbeda dengan irigasi permukaan yang membutuhkan air cukup<br />
banyak untuk membasahi lahan. Laju aliran air juga rendah disbanding irigasi permukaan karena<br />
tekanan pengalirannnya hanya 1-2 kg/cm 2 . Di balik keuntungan tersebut, dalam menerapkan irigasi<br />
mikro, petani kadang menghadapi beberapa masalah seperti lubang penetes sering tersumbat tanah,<br />
lumut atau kotoran yang terbawa air. Petani dapat menggunakan irigasi tetes untuk mengairi tanaman<br />
yang penanaman yang tidak terlalu rapat. Untuk tanaman yang ditanam rapat irigasi tetes kurang<br />
efisien (Anonim 2008).<br />
Hasil penelitian di Lampung, irigasi tetes diterapkan pada tanaman cabai merah, tingkat<br />
keseragaman distribusi air mencapai 87 %. Produktivitas air pada irigasi tetes adalah 1,06 kg/m 3 dan<br />
efisiensi penggunaan air 99 %. Hasil rerata cabai dengan irigasi tetes mencapai 4,29 t/ha. Penerapan<br />
irigasi mikro di lahan kering memerlukan investasi awal yang mahal. Oleh karena, untuk mengurangi<br />
beban petani, pemerintah hendaknya dapat berperan dalam pendampingan dan penguatan<br />
kelembagaan di tingkat petani. Penguatan kelembagaan penting karena pengelolaan irigasi mikro<br />
dapat lebih baik (Anonim 2008).<br />
KESIMPULAN<br />
1. Penetapan waktu tanam berdasarkan analisis indeks kecukupan air dan pereesntase kehialangan<br />
hasil dengan program CWB-ETO dapat dijadikan salah satu alternatif teknologi dalam penerapan<br />
146│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengkajian Efisiensi Pemakaian Air dengan Irigasi Tetes pada Tanaman Cabai Merah di Musim Kemarau<br />
Setiapermas, MN dan Jauhari, S<br />
introduksi pengairan mikro pada tanaman semusim khususnya cabai merah di lahan kering tadah<br />
hujan. Pemanfaatan sumber air dengan kolam penampungan juga dapat dijadikan contoh bagi<br />
petani sayuran untuk mengantisiapsi kekurangan air pada pertanmaan di musim kemarau.<br />
2. Waktu tanam cabai merah yang menghasilkan persentase kehilangan hasil di bawah 20 %<br />
berdasarkan simulasi program CWB-ETo di Ngablak Magelang adalah dari bulan Januari sampai<br />
April dan dari bulan Agustus sampai bulan Desember. Di luar waktu tanam dengan persentase<br />
kehilangan hasil, merupakan waktu introduksi jaringan irigasi mikro.<br />
3. Pemberian air dengan menggunakan jaringan irigasi tetes walaupun memerlukan modal awal<br />
yang mahal, tetapi bagi petani sayuran Dusun Dalangan Desa Pandean, Kecamatan Ngablak<br />
Kabupaten Magelang merupakan contoh teknologi untuk efisiensi pemakaian air dan tenaga kerja<br />
pada budidaya sayuran.<br />
4. Hasil produksi cabai merah dengan introduksi irigasi mikro baru menghasilkan 0.32 kg / tanaman<br />
(catatan, panen sampai ke 12). Produksi ini masih jauh bila dibandingkan produksi optimal hasil<br />
pengamatan FAO yaitu 0,6 – 1,2 kg / tanaman.<br />
5. Adanya modifikasi slang tersier dan stick hitam yang diganti dengan slang akuarium dan t<br />
akuarium, petani mengatakan bahwa mereka akan mencontoh jaringan irigasi tetes yang telah<br />
dimodifikasi.<br />
PUSTAKA<br />
1. Allen RG, Pereira LS, Raes D and Smith M 1998, ‘Crop evapotranspiration; Guidelines for<br />
computing crop water requirements’, FAO, Irrigation and drainage paper 56, Rome, 300p<br />
2. Anonim 2008, Kemarau datang, irigasi mikro pada lahan kering jadi pilihan. Warta Penelitian<br />
dan Pengembangan <strong>Pertanian</strong>, vol.30, no 3 (Balai Besar Pengembangan Mekanisasi <strong>Pertanian</strong>).<br />
3. Arsyad, S 2000, Konservasi tanah dan air, Serial Pustaka, IPB Press, 290p<br />
4. Estiningtyas W & Irianto G 2002, Penggunaan indeks kecukupan air dan kehilangan hasil untuk<br />
penentuan saat tanam dan menekan resiko kekeringan tanaman tebu lahan kering; Antisipasi elnino<br />
dan pendayagunaan sumberdaya iklim dan air untuk meningkatkan produksi dan rendemen<br />
tebu lahan kering, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Pusat Penelitian dan<br />
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan <strong>Pertanian</strong>,<br />
Depatemen <strong>Pertanian</strong>, 48-57p.<br />
5. Fagi, AM., Las I., Pane H., Abdulrachman S., Widiarta IN., Baehaki dan Nugraha US., 2002,<br />
Anomali iklim dan produksi padi; srategi dan antisipasi penanggulangan, Balai Penelitian<br />
Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan <strong>Pertanian</strong>, Sukamandi, 41p.<br />
6. Gatt Irianto, Irsal Las dan Bruno Lido. 1999, Aplikasi agrometeorologi di bidang pertanian,<br />
Puslittanak dan Agroklimat Bogor dan CIRAD.<br />
7. Norma, MS. dan Jauhari, S 2008, ‘Penerapan irigasi mikro, tumpangsari dan mulsa untuk<br />
mengantisipasi kehilangan hasil cabai merah pada penanaman di musim kemarau’, J. Agromet<br />
Indonesia, vol. 22, no 1, hlm. 13-20.<br />
8. Popi R., Yayan S., Nurwindah P. dan Sawiyo 2005, Meningkatkan kesiagaan menghadapi<br />
kekeringan akibat iklim eksepsional dalam buku sistem informasi sumberdaya iklim dan air,<br />
Editor Istiqlal A., Hidayat P. dan Effendy Pasandaran, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi,<br />
hlm. 81-100.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│147
Uji Adaptasi Beberapa Klon Kentang Introduksi di Dataran Medium Kabupaten Sleman, Yogyakarta<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Uji Adaptasi Beberapa Klon Kentang Introduksi di Dataran Medium Kabupaten<br />
Sleman, Yogyakarta<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Balai Penelitian Tanaman Sayuran<br />
Jl. Tangkuban Parahu 517 Lembang, Bandung Barat 40791<br />
Tlp./Fax.: 022-2786425 – 2786416<br />
Email: amudra.sahat@yahoo.co.id<br />
ABSTRAK. Lahan dataran medium (< 700 m) dapat dijadikan sebagai alternatif untuk budidaya kentang untuk<br />
mengurangi kerusakan alam, terutama erosi lahan di dataran tinggi. Akan tetapi sampai saat ini ketersediaan<br />
varietas kentang yang bisa beradaptasi di dataran medium masih sangat terbatas. Salah satu usaha mendapatkan<br />
varietas tersebut adalah dengan introduksi dari CIP yang dilanjutkan dengan uji adaptasi dan daya hasil.<br />
Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan pengujian daya hasil pendahuluan terhadap klon-klon kentang harapan<br />
adaptif dataran medium yang merupakan hasil introduksi dari CIP. Kegiatan dilakukan di Kabupaten Sleman<br />
pada ketinggian 500 m dpl. Materi yang ditanam sebanyak 5 klon dan 2 varietas kentang. Rancangan<br />
percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang 3 kali, dengan jumlah<br />
tanaman per plot sebanyak 30 tanaman dengan sistem double row. Jarak tanam yang digunakan 50 cm antar<br />
baris dan 30 cm dalam barisan. Pengamatan dilakukan terhadap morfologi tanaman (jumlah tanaman tumbuh,<br />
jumlah batang utama, diameter batang, tanaman layu dan tinggi tanaman), kerusakan oleh penyakit dan OPT<br />
penting lainnya serta hasil (jumlah dan berat) umbi pertanaman. Semua perlakuan, rerata jumlah tanaman<br />
tumbuh relatif rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan tingginya curah hujan pada awal penanaman dan<br />
selama masa pertumbuhan. Curah hujan yang tinggi selain menekan munculnya pertunasan, juga menyebabkan<br />
umbi bibit menjadi busuk. Namun terdapat dua klon yang memperlihatkan rerata jumlah umbi dan rerata berat<br />
umbi lebih tinggi dibandingkan dengan MB-17 dan Granola, yaitu klon CIP-397077.16 memperlihatkan rerata<br />
jumlah paling tinggi dan klon CIP-397073 memperlihatkan berat umbi tertinggi. Varietas Mb-17 juga<br />
memperlihatkan rerata jumlah dan berat umbi cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa varietas yang dilepas<br />
oleh Balitsa yaitu MB-17 adaptif dan mampu berproduksi dengan baik di dataran medium. Penyakit yang<br />
terdeteksi di lapangan adalah layu bakteri, sedangkan hama yang muncul di lapangan adalah aphid, liriomiza,<br />
kumbang helm, dan plutella.<br />
Kata kunci: kentang, adaptasi, klon, dataran medium<br />
ABSTRACT. Sahat, J.P. and Eri Sofiari. Mid elevation (
Uji Adaptasi Beberapa Klon Kentang Introduksi di Dataran Medium Kabupaten Sleman, Yogyakarta<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Untuk menghindari dan mencegah terjadinya kerusakan alam di dataran tinggi, maka<br />
peningkatan luas areal tanam kentang perlu dialihkan dari dataran tinggi ke dataran yang lebih rendah,<br />
yaitu di dataran medium (
Uji Adaptasi Beberapa Klon Kentang Introduksi di Dataran Medium Kabupaten Sleman, Yogyakarta<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Penanaman dilakukan pada saat musim hujan, oleh karena itu mulsa yang digunakan untuk<br />
menutup bedengan adalah mulsa plastik. Ini dilakukan untuk mengurangi kerusakan bedengan akibat<br />
curah hujan yang tinggi. Kemunculan tunas sangat lambat dan tidak serempak. Pada minggu ke 3,<br />
baru rata-rata 50% tanaman yang tumbuh. Lambat dan rendahnya kemunculan tunas dan<br />
pertumbuhan awal ini kemungkinan diakibatkan oleh tingginya curah hujan.<br />
Gambar 1. Tanaman umur 3 mst (Plant age 3 weeks after planting)<br />
Hasil pengamatan menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar klon untuk karakterkarakter<br />
yang diamati. Rekapitulasi hasil sidik ragam untuk karakter yang diamati dirangkum pada<br />
tabel 1.<br />
Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam (Analysys of variant)<br />
Karakter Klon kk (%)<br />
Tinggi tanaman ** 14,32<br />
Jumlah tanaman tumbuh ** 13,00<br />
Jumlah tanaman layu ** 78,80<br />
Jumlah batang utama ** 18,12<br />
Diameter batang ** 10,98<br />
Jumlah umbi ** 36,07<br />
Berat umbi ** 57,54<br />
Keterangan: * = nyata pada P < 0.05, ** = nyata pada P < 0.01, tn = tidak berbeda nyata<br />
Rerata jumlah tanaman yang tumbuh termasuk rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan<br />
tingginya curah hujan pada awal penanaman dan selama masa pertumbuhan. Curah hujan yang tinggi<br />
selain menekan munculnya pertunasan, juga menyebabkan umbi bibit menjadi busuk. Seperti yang<br />
terjadi pada klon CIP-397073.7 dimana jumlah tanaman yang tumbuh paling sedikit, hanya 50 persen,<br />
yang diakibatkan karena sebagian tunas membusuk (Tabel 2.).<br />
Karakter tinggi tanaman dan vigor tanaman diukur saat tanaman sudah berbunga, yaitu pada<br />
umur 35 hst. Berdasarkan karakter tinggi tanaman, nampak bahwa 5 klon yang di uji memberikan<br />
hasil pertumbuhan vegetatif yang baik. Klon yang mempunyai nilai rerata tinggi tanaman dan<br />
diameter batang paling tinggi diatas 2 varietas pembanding adalah CIP-391846.5 (Tabel 2).<br />
150│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Uji Adaptasi Beberapa Klon Kentang Introduksi di Dataran Medium Kabupaten Sleman, Yogyakarta<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Tabel 2. Hasil pengamatan Rerata morfologi tanaman (Plant observation)<br />
Klon<br />
CIP-391846.5<br />
CIP-394614.117<br />
CIP-395195.7<br />
CIP-397073.7<br />
CIP-397077.16<br />
MB 17<br />
Granola<br />
Tanaman tumbuh<br />
(pohon)<br />
Tanaman<br />
Layu<br />
(pohon)<br />
Tinggi tanaman<br />
(cm)<br />
Diamater<br />
batang (cm)<br />
Jumlah<br />
batang<br />
23.33 abc 1.67 bcd 61.42 a 1.15 a 1.78 b<br />
23.00 abc 1.33 bcd 45.50 bc 0.97 ab 1.28 b<br />
22.00 abcd 2.67 bcd 45.80 bc 0.89 b 1.39 b<br />
19.00 bcde 2.00 bcd 42.53 cd 0.80 bcd 1.72 b<br />
21.00 abcde 0.67 cd 46.30 bc 0.85 bc 1.86 ab<br />
22.33 abcd 1.33 bcd 56.89 ab 1.01 ab 1.64 b<br />
21.00 abcde 1.33 bcd 31.67 def 0.56 defg 1.61 b<br />
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda secara nyata pada Uji BNJ taraf probabilitas 5%.<br />
Jumlah batang dari semua klon yang diuji termasuk pembandingnya tidak terlalu bervariasi.<br />
Klon CIP-397077.16 mempunyai rerata jumlah batang paling tinggi, sedangkan yang paling<br />
sedikit adalah klon CIP-394614.117 (Tabel 2). Manrique et al (1989) menjelaskan bahwa jumlah<br />
batang pertanaman tidak dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian tempat tumbuh akan tetapi lebih<br />
ditentukan oleh jumlah mata, sehingga ini merupakan karakter intrinsik kentang yang tidak<br />
dipengaruhi oleh perubahan suhu.<br />
Gambar 2. Tanaman Umur 35 hst (Plant age at 35 days after planting)<br />
Secara umum, Granola sebagai pembanding memperlihatkan pertumbuhan yang tidak terlalu<br />
bagus, baik dari tinggi tanaman maupun diameter batang. Tanaman dikatakan mempunyai vigor yang<br />
bagus apabila mempunyai pertumbuhan daun yang subur, batang besar dan kekar. Beberapa penelitian<br />
terdahulu juga memperlihatkan bahwa varietas Granola di dataran rendah dan medium, rata-rata tinggi<br />
tanamannya lebih rendah dibanding varietas lain yang ditanam bersamaan (Asandhi, 1996;<br />
Simatupang, dkk. 1996; dan Cicu, dkk., 1999).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│151
Uji Adaptasi Beberapa Klon Kentang Introduksi di Dataran Medium Kabupaten Sleman, Yogyakarta<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Tabel 3. Rerata jumlah dan berat umbi/tanaman (Tuber number and tuber weight/plant)<br />
Klon<br />
Jumlah Ubi (knol)<br />
Berat ubi (g)<br />
CIP-391846.5<br />
CIP-394614.117<br />
CIP-395195.7<br />
CIP-397073.7<br />
CIP-397077.16<br />
MB 17<br />
Granola<br />
3.58 abcdef 88.98 bcd<br />
3.06 bcdef 19.15 cd<br />
4.75 abcdef 80.13 bcd<br />
5.76 abc 126.69 ab<br />
6.81 ab 85.20 bcd<br />
5.47 abcd 113.74 abc<br />
4.49 abcdef 69.72 bcd<br />
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda secara nyata pada Uji BNJ taraf probabilitas 5%.<br />
Jumlah umbi pertanaman biasanya dipengaruhi oleh jumlah batang utama, dimana jumlah<br />
batang utama yang banyak akan menghasilkan jumlah umbi yang banyak pula. Hal ini dikarenakan<br />
setiap batang utama mempunyai potensi untuk menghasilkan umbi. Ini terlihat pada Klon CIP-<br />
397077.16 yang memperlihatkan rerata jumlah batangnya paling tinggi ternayata mempunyai rerata<br />
jumlah umbi pertanaman paling tinggi, sedangkan klon CIP-394614.117 yang rerata jumlah batang<br />
utamanya paling sedikit, rerata jumlah umbi pertanamannyapun juga paling rendah (Tabel 3.).<br />
Klon CIP-397073.7 memperlihatkan rerata berat umbi paling tinggi. Namun varietas Mb-17<br />
juga memperlihatkan rerata berat umbi cukup tinggi pula. Ini menunjukkan bahwa varietas yang<br />
dilepas oleh Balitsa ini adaptif dan mampu berproduksi dengan baik di dataran medium. Adapun klon<br />
CIP-394614.117 rerata berat umbi pertanamannya sangat rendah, bahkan lebih rendah dibandingkan<br />
varietas granola (Tabel 3). Hal ini disebabkan jumlah umbi yang dihasilkan pertanamannya juga<br />
sangat rendah (3,06 umbi). Klon ini sebenarnya berpotensi untuk menghasilkan umbi pertanaman<br />
yang tinggi, terlihat dari jumlah stolon yang terbentuk dan pada saat dipanen umbi masih berukuran<br />
sangat kecil. Hal ini disebabkan umur dari klon ini panjang. Akan tetapi, panen dilakukan bersamaan<br />
dengan klon lainnya karena mengantisipasi kerusakan umbi yang semakin besar akibat curah hujan<br />
yang tinggi sepanjang penanaman.<br />
Karakter jumlah umbi dan bobot umbi per tanaman (Wicaksana, 2001) dan bobot umbi per<br />
plot (Ruchjaniningsih, 2006) mempunyai nilai duga heritabilitas termasuk tinggi. Hal ini berarti<br />
faktor genetik dalam mengendalikan pemunculan karakter tersebut lebih dominan dibandingkan<br />
faktor lingkungan.<br />
Hama yang menyerang pertanaman di Sleman antara lain aphid, liriomiza, kumbang helm,<br />
dan plutella. Meskipun terdapat banyak jenis hama yang menyerang, tapi kemungkinan tidak terlalu<br />
berpegaruh terhadap rendahnya produksi umbi. Yang berperan terhadap rendahnya produksi umbi<br />
adalah penyakit layu bakteri. Beberapa hasil identifikasi dan penelitian budidaya kentang di dataran<br />
medium juga menunjukkan bahwa penyakit layu bakteri merupakan penyakit yang dominan terjadi di<br />
lapangan (Rich, 1983; Kusumo, et al., 1987; Martini, 2009). Tanaman yang terkena penyakit ini tidak<br />
mampu menghasilkan umbi karena pasokan nutrisi dari tajuk terhenti, dan jika umbi sudah terbentuk<br />
kebanyakan menjadi busuk.<br />
152│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Uji Adaptasi Beberapa Klon Kentang Introduksi di Dataran Medium Kabupaten Sleman, Yogyakarta<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Gambar 3. Ubi Hasil Panen (Plant harvest)<br />
Hasil umbi di kegiatan ini sangat jauh dibandingkan dengan penelitian sebelumnya tahun<br />
2009. Jika pada penelitian sebelumnya rerata berat umbi pertanaman semua klon lebih dari 100<br />
g/tanaman, sedangkan pada tahun ini hanya klon CIP-397073.7 dan Mb-17 yang mencapai 100<br />
g/tanaman. Banyak faktor yang mungkin menjadi penyebab dari rendahnya produksi umbi ini. Selain<br />
faktor cuaca yang sangat tidak mendukung, curah hujan yang tinggi sepanjang penanaman (Lampiran<br />
1), faktor kualitas umbi bibit juga mungkin menjadi penyebabnya.<br />
KESIMPULAN<br />
Semua perlakuan, rerata jumlah tanaman tumbuh relatif rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan<br />
tingginya curah hujan pada awal penanaman dan selama masa pertumbuhan. Curah hujan yang tinggi<br />
selain menekan munculnya pertunasan, juga menyebabkan umbi bibit menjadi busuk. Namun<br />
terdapat dua klon yang memperlihatkan rerata jumlah umbi dan rerata berat umbi lebih tinggi<br />
dibandingkan dengan MB-17 dan Granola, yaitu klon CIP-397077.16 memperlihatkan rerata jumlah<br />
paling tinggi dan klon CIP-397073.7 memperlihatkan berat umbi tertinggi.<br />
Varietas Mb-17 juga memperlihatkan rerata jumlah dan berat umbi cukup tinggi. Hal ini<br />
menunjukkan bahwa varietas MB-17 dilepas oleh Balitsa adaptif dan mampu berproduksi dengan baik<br />
di dataran medium.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
Terimakasih disampaikan kepada Badan LITBANG <strong>Pertanian</strong>, Puslitbang <strong>Hortikultura</strong>,<br />
Dinas <strong>Pertanian</strong> dan Kehutanan Kabupaten Sleman yang telah memberikan dukungan pada penelitian<br />
ini. Terimakasih juga disampaikan kepada Tri Handayani, Kusmana, Ineu Sulastrini dan Helmi<br />
Kurniawan yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penelitian ini baik dilapangan,<br />
pengolahan data dan penulisan laporan, serta Priyono dan Usep Jaenudin yang telah membantu<br />
pelaksanaan penelitian ini dilapangan.<br />
PUSTAKA<br />
1. Acquaah, G. 2007. Principles of plant genetics and breeding. Blackwell Publishing. Malden-<br />
Oxford-Victoria. 569 pages.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│153
Uji Adaptasi Beberapa Klon Kentang Introduksi di Dataran Medium Kabupaten Sleman, Yogyakarta<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
2. Adimihardja, A. 2008. Teknologi dan strategi konservasi tanah dalam kerangka revitalisasi<br />
pertanian. Pengembangan Inovasi <strong>Pertanian</strong> 1(2), 2008: 105-124<br />
3. Asandhi, A.A. 1996. Tumpangsari kentang pada lahan sawah di dataran medium. J.Hort.<br />
6(1):23-28.<br />
4. Basuki, R.S., Kusmana dan E. Sofiari. 2009. Identifikasi permasalahan dan peluang perluasan<br />
area penanaman kentang di dataran medium. Prosiding Seminar Nasional Kentang 2008.<br />
Peningkatan Produktivitas Kentang dan Tanaman Sayuran Lainnya dalam Mendukung Pangan,<br />
Perbaikan Nutrisi dan Kelestarian Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan<br />
<strong>Hortikultura</strong>, Badan Penelitian dan Pengembangan <strong>Pertanian</strong>, <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong> .Hal. 376-<br />
388.<br />
5. Cicu, Sidik, N.I., Agussalim dan G. Kartono. 1999. Adaptasi beberapa varietas/klon kentang di<br />
dataran rendah Moramo (Sulawesi Tenggara). J.Hort. 9(2): 114-120.Evaluasi Pertumbuhan<br />
Klon-klon Kentang Introduksi Toleran Suhu Tinggi. Prosiding Simposium VIII PERIPI Jatim,<br />
2009.hal.:351-357.<br />
6. Harahap, D., A. Jamil dan K. E.L. Ramita, 2006. Pemanfaatan Pupuk Guano Alam untuk<br />
Tanaman Kentang di Dataran Médium Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.<br />
http://ntb.litbang.deptan.go.id/2006/TPH/pemanfaatanpupuk.doc. Download tgl. 11 Februari<br />
2009.<br />
7. Handayani, T., et al. 2008. Seleksi Klon-klon Kentang Toleran Suhu Panas. Laporan Kegiatan<br />
D.3 tahun 2008. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Tidak dipublikasikan<br />
8. Kusumo, et al., 1987. 5 Years SAPRAD in Indonesia. Southeast Asian Potato Program for<br />
Research and Development (SAPRAD) and Agency for Agricultural Research and Development<br />
(AARD). 46 pages.<br />
9. Lembaran Negara RI No. 48, tahun 2008: Peraturan Pemerintah RI No. 26 tahun 2008 tentang<br />
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.<br />
10. Manrique, L.A., D.P. Bartholomew and E.E. Ewing. 1989. Growth and yield performance of<br />
several potato clones grown at three elevations in Hawaii. Crop Sci.29: 363-370<br />
11. Martini, T. 2009. Pendekatan Strategis Pengelolaan Kesehatan Kentang untuk Menekan<br />
Serangan Penyakit pada Budidaya di Dataran Medium di D.I. Yogyakarta. Prosiding Seminar<br />
Nasional Kentang 2008. Peningkatan Produktivitas Kentang dan Tanaman Sayuran Lainnya<br />
dalam Mendukung Pangan, Perbaikan Nutrisi dan Kelestarian Lingkungan. Pusat Penelitian dan<br />
Pengembangan <strong>Hortikultura</strong>, Badan Penelitian dan Pengembangan <strong>Pertanian</strong>, <strong>Departemen</strong><br />
<strong>Pertanian</strong> .Hal. 285-292.<br />
12. Rich, A.E. 1983. Potato Diseases. Academic Press, New york. 238 pages.<br />
13. Ruchjaniningsih. 2006. Efek mulsa terhadap penampilan fenotipik dan parameter genetik pada<br />
13 genotip kentang di lahan sawah dataran medium Jatinangor. J. Hort. 16(4): 290-298.<br />
14. Simatupang, S., L. Hutagalung, T. Sembiring dan F.A. Bahar. 1996. Adaptasi varietas kentang<br />
di dataran medium Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. J. Hort. 6(3): 249-254.<br />
15. Wicaksana, N. 2001. Penampilan Fenotipik dan beberapa Parameter Genetik 16 Genotip Kentang<br />
pada Lahan Sawah. Zuriat, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2001: 15-22.<br />
154│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Uji Adaptasi Beberapa Klon Kentang Introduksi di Dataran Medium Kabupaten Sleman, Yogyakarta<br />
Sahat, JP dan Sofiari, E<br />
Lampiran 1.<br />
Data curah hujan di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman DIY tahun 2011 (Rainfall data)<br />
Bulan<br />
Curah hujan<br />
Jumlah hari hujan<br />
(mm)<br />
Januari 582 24<br />
Februari 311 19<br />
Maret 382 25<br />
Aprol 103 16<br />
Mei 339 23<br />
Juni 179 13<br />
Juli 143 9<br />
Agustus 175 11<br />
September 333 19<br />
Oktober 326 22<br />
Nopember 397 20<br />
Desember 464 25<br />
3734<br />
Sumber: Dinas Pengairan,Pertambangan dan Penanggulangan Bencana Alam Kab. Sleman<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│155
Kajian Penerapan Teknologi Berbasis LEISA Melalui Tumpangsari Wortel dengan Sayuran Lainnya di<br />
Dataran Tinggi Papua<br />
Soplanit, A<br />
Kajian Penerapan Teknologi Berbasis LEISA Melalui Tumpangsari Wortel<br />
dengan Sayuran Lainnya di Dataran Tinggi Papua<br />
Soplanit, A<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Papua, Jln.Yahim No.49, Sentani, Jayapura 256<br />
ABSTRAK. Usahatani wortel merupakan salah satu cabang usahatani sayuran dataran tinggi di Papua yang<br />
memiliki peluang pasar relatif tinggi karena praktek budidayanya menerapkan konsep pertanian organik.<br />
Namun petani umumnya menanam wortel secara tunggal, sehingga ketika panen secara bersamaan tidak bisa<br />
diserap pasar, akibatnya harga menjadi turun dan petani mengalami kerugian. Karena itu dilakukan pengkajian<br />
tumpangsari wortel dengan sayuran lainnya di Desa Wouma, Distrik Wamena Kabupaten Jayawijaya dari bulan<br />
September 2010 sampai Maret 2011 menggunakan varietas hibrida. Tujuan pengakjian ini adalah mengetahui<br />
pengaruh tumpangsari wortel dengan tomat, kubis dan bawang daun terhadap pertumbuhan dan hasil panen serta<br />
nilai NKL dibandingkan sistem tanam secara tunggal. Rancangan percobaan menggunakan acak kelompok<br />
dengan tiga ulangan. Perlakuannya adalah kombinasi tumpangsari yakni perlakuan A (wortel + bawang daun) B<br />
(wortel + tomat), C (wortel + kubis), D (wortel monokultur), E (bawang daun monokultur), F (tomat<br />
monokultur) dan G (kubis monokultur). Menggunakan pupuk organik dan pengendalian hama dilakukan secara<br />
terpadu, luas petak setiap perlakuan 3 x 10 m. Hasil pengkajian menunjukan bahwa hasil panen bobot<br />
brangkasan dan bobot umbi wortel tertinggi secara tumpangsari diperoleh pada perlakuan wortel dengan tomat.<br />
Sistem tanam tumpangsari wortel memberikan produktivitas lahan lebih tinggi dibandingan sistem tunggal.<br />
Kata kunci: Teknologi; LEISA; Tumpangsari; Wortel; Dataran tinggi Papua<br />
ABSTRACT. Alberth Soplanit, 2013. Study of Aplication of Technology Based Assessment LEISA<br />
Through Intercropping Carrots With Other Vegetable in the Papua Highlands. Carrot farming is one<br />
branch of farming in Papua highlands, which has relatively high market opportunities for the practice of<br />
applying the concept of organic farming cultivation. However, farmers usually grow a single carrot, so that<br />
when the harvest at the same time can not be absorbed by the market, consequently the price down and the<br />
farmers suffered losses. Because the assessment was made of carrots intercropped with other vegetables in the<br />
village of Wouma, Jayawijaya Wamena District from September 2010 to March 2011 using hybrid varieties.<br />
The purpose of this study was to determine the influence of intercropping with carrots and other vegetables on<br />
the growth of crops and cropping systems compared to the value of LER single person. Using a randomized<br />
experimental design with three replications. Using a randomized experimental design with three replications.<br />
Intercropping treatment is a combination of the treatment A (carrot scallion +) B (carrot + tomato), C (cabbage<br />
+ carrot), D (carrot monoculture) E (monoculture scallion), F (tomato monoculture) and G (cabbage<br />
monoculture ). Use of organic fertilizers and pest control carried out in an integrated, broad swath of each<br />
treatment is 3 x 10 m. Assessment results show that the weight of stover yield and tuber weight of carrots<br />
intercropped highest obtained in the treatment of carrots with tomatoes. Carrot intercropping cropping systems<br />
provide a higher land productivity compared to a single system.<br />
Keywords: Technology; LEISA: Intercropping; Carrots; highlands of Papua<br />
Usahatani wortel di dataran tinggi Kabupaten Jayawijaya, Papua telah dilakukan petani lokal<br />
secara turun-temurun, menurut mereka pengenalan budidaya wortel diperoleh dari para misionaris<br />
Amerika dan Eropa pada tahun 1960. Usahatani wortel mulai berkembang pesat pada awal tahun<br />
1990, dengan terbentuknya suatu lembaga pemasaran yang diprakarsai oleh Irian Jaya Joint<br />
Development Fondation (IJDF) yang berfungsi menampung hasil sayuran masyarakat lokal untuk<br />
dikirim ke PT.Freeport Timika (Soplanit 2009).<br />
Namun pada akhir tahun 1996 seiring berakhirnya masa tugas (IJDF) di Papua maka<br />
pengiriman sayuran ke Timika terhenti sehingga sebagian besar petani hanya dapat menjual wortel<br />
di pasar lokal Wamena, ada juga yang menjual pada pedagang pengumpul untuk selanjutnya dikirim<br />
ke daerah lain seperti Jayapura, Biak dan Merauke.<br />
Masalah lain yang dihadapi adalah petani umumnya menanam wortel secara tunggal atau<br />
monokultur sehingga ketika panen secara bersamaan maka produksi wortel tidak bisa diserap pasar,<br />
akibatnya harga wortel menjadi turun dan berdampak terhadap menurunnya pendapatan, bahkan<br />
156│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Kajian Penerapan Teknologi Berbasis LEISA Melalui Tumpangsari Wortel dengan Sayuran Lainnya di<br />
Dataran Tinggi Papua<br />
Soplanit, A<br />
sebagian besar petani mengalami kerugian. Harga wortel di pasar lokal Wamena Rp.10.000/kg,<br />
namun ketika terjadi over produksi maka harga bisa mencapai Rp.5000/kg.<br />
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menanam<br />
wortel secara tumpangsari (intercropping) dengan tanaman lainnya sehingga komoditas yang<br />
dihasilkan menjadi beragam, dengan demikian kerugian yang diakibatkan oleh komoditas wortel<br />
dapat ditutupi oleh komoditas lainnya. Penggunaan sistem pertanaman tumpangsari di negara<br />
berkembang maupun negara maju selalu dimotivasi oleh ekspektasi peningkatan pendapatan. Jika<br />
produktivitas ditentukan oleh lingkungan ekologis dan faktor-faktor teknis, maka pendapatan<br />
dipengaruhi oleh serangkaian faktor-faktor biaya masukan dan pasar (Adiyoga et al. 2004).<br />
Pada umumnya sistem tumpangsari lebih menguntungkan dibandingkan monokultur karena<br />
produktivitas lahan menjadi lebih tinggi, jenis komoditas yang dihasilkan beragam, hemat dalam<br />
pemakaian sarana produksi dan resiko kegagalan dapat diperkecil (Beets, 1982 dalam Turmudi,<br />
2002). Selanjutnya dikatakan bahwa keuntungan secara agronomis dari pelaksanaan sistem<br />
tumpangsari dapat dievaluasi dengan cara menghitung Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL). Nilai ini<br />
menggambarkan efisiensi lahan, yaitu jika nilainya > 1 berarti menguntungkan.<br />
Tumpangsari wortel dengan sayuran lainnya seperti bawang daun, tomat dan kubis diharapkan<br />
dapat menutupi resiko kerugian dari wortel karena bawang daun, tomat dan kubis memiliki harga<br />
relatif stabil. Disamping itu ketiga komoditas tersebut tidak satu famili dengan wortel sehingga risiko<br />
kehilangan hasil akibat serangan OPT dapat dikurangi tanpa mengganggu kestabilan ekosistem.<br />
Menurut Stehr, 1982 dalam Setiawati dan Asandhi (2003), pola tanam dengan sistem tumpangsari<br />
berarti memodifikasi ekosistem yang dapat memberikan beberapa keuntungan, yaitu (1) penjagaan<br />
fase musuh alami yang tidak aktif, (2) penjagaan keanekaragaman komunitas, (3) penyediaan inang<br />
alternatif, (4) penyediaan makanan alami, (5) pembuatan tempat berlindung musuh alami dan (6)<br />
penggunaan insektisida yang selektif.<br />
Kearifan lokal menggunakan bahan organik dalam praktek pertanian di Kabupaten Jayawijaya,<br />
merupakan keunggulan komparatif yang tidak dimiliki daerah lain di Papua. Hal tersebut didukung<br />
surat edaran dari Gubernur Provinsi Papua nomor 525.1/1235/ tanggal 7 Mei 1993 yang isinya<br />
mendukung pertanian organik di Kabupaten Jayawijaya serta penegasan Bupati Kabupaten<br />
Jayawijaya tentang pelarangan penggunaan pestisida kimia dan pupuk anorganik di Kabupaten<br />
Jayawijaya pada acara pembukaan sosialisasi pengembangan sertifikasi kopi organik di kabupaten<br />
Jayawijaya pada tanggal 8 Juli 2011 (Badan Pusat Statistik, 2011).Berdasarkan penjelasan di atas<br />
maka hal tersebut merupakan peluang untuk menerapkan teknologi berbasis ”LEISA”.<br />
Konsep pertanian “LEISA” adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha<br />
pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah, sekaligus mempertahankan atau<br />
meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam (Mugnisjah, 2004).<br />
Selanjutnya menurut Fathimatuszhroh (2011) secara singkat “LEISA” (Low External Input<br />
Sustainable Agricultur) dapat dijabarkan sebagai berikut; (1) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya<br />
lokal, (2) maksimalisasi daur ulang, (3) minimalisasi kerusakan lingkungan, (4) diversifikasi usaha,<br />
(5) pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai serta (5) menciptakan kemandirian petani.<br />
Salah satu prinsip dasar ekologi “LEISA” adalah menjamin kondisi tanah yang dapat mendukung<br />
pertumbuhan tanaman khususnya dengan mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan<br />
dalam tanah. Selanjutnya menurut (Stompth et al, 1994 dalam Asandhi et al, 2005), dalam usahatani<br />
“LEISA” sayuran, indikator aspek kesuburan fisik dan kimia media tanam menjadi salah satu penentu<br />
produktivitas dan mutu hasil.<br />
Tujuan pengkajian ini adalah mengetahui pengaruh tumpangsari antara tanaman wortel<br />
dengan sayuran lainnya terhadap pertumbuhan dan hasil panen serta nilai NKL dibandingkan dengan<br />
sistem tanam tunggal atau monokultur.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Pengkajian dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai Maret 2011 pada lahan petani di Desa<br />
Wouma Distrik Wamena Kabupaten Jayawijaya, Papua pada ketinggian 1.500 m dpl dengan jenis<br />
tanah entisol. Varietas wortel yang digunakan adalah hibrida new kuroda, tomat hibrida, kubis hibrida<br />
dan bawang daun varietas lokal. Dosis pupuk untuk tanam tunggal dan tumpangsari adalah pupuk<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│157
Kajian Penerapan Teknologi Berbasis LEISA Melalui Tumpangsari Wortel dengan Sayuran Lainnya di<br />
Dataran Tinggi Papua<br />
Soplanit, A<br />
organik bokashi 15 t/ha. Pada sistem tanam tunggal, jarak tanam wortel antar barisan 40 cm<br />
sedangkan jarak tanam tomat 60 x 50 cm, kubis 50 x 40 dan daun bawang 40 x 30. Pada sistem<br />
tumpangsari jarak tanam wortel dan tomat 60 cm antar barisan dan jarak dalam barisan 50 cm,<br />
wortel dengan kubis 60 x 40 cm dan tumpangsari wortel dengan bawang daun 60 x 30 cm. Luas<br />
petak 10 x 3 cm, jumlah barisan tanaman per petak tanaman tunggal adalah wortel 7 barisan, bawang<br />
daun 6 barisan, kubis dan tomat 5 barisan. Jumlah barisan tanaman tumpangsari wortel dan tomat<br />
serta wortel dan bawang daun (4 dan 5 baris) sedangkan wortel dan kubis (masing-masing 5 baris).<br />
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak kelompok dengan tiga ulangan.<br />
Perlakuan yang diuji adalah: Wortel dan bawang daun, wortel dan tomat, wortel dan kubis, wortel<br />
monokultur/tunggal, bawang daun monokultur/tunggal, tomat monokultur dan kubis<br />
monokultur/tunggal. Parameter yang diamati adalah:<br />
A. Kesuburan tanah sebelum percobaan dan kandungan unsur hara pupuk organik.<br />
B. Pertumbuhan dan hasil panen tanaman wortel, bawang daun, tomat dan kubis.<br />
C. Nilai Kesetaraan Lahan (NKL)<br />
Analisis tanah untuk mengukur tingkat kesuburan dan kandungan unsur hara pupuk organik,<br />
Nilai Kesetaraan Lahan digunakan untuk mengetahui efisiensi pemanfaatan lahan serta BC ratio<br />
untuk mengukur kelayakan usahatani wortel. NKL dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:<br />
HA 1 /HA 2 + HB 1 / HB 2<br />
HA 1 = Jenis tanaman A yang ditanam secara tumpangsari,<br />
HB 1 = Hasil jenis tanama B yang ditanam secara tumpangsari<br />
HA 2 = Hasil jenis tanaman A yang ditanam secara monokultur.<br />
HB 2 = Hasil jenis tanaman B yang ditanam secara monokultur.<br />
Sedangkan Nilai B/C ratio menggambarkan efisiensi suatu teknologi yang dihitung dengan<br />
rumus (Kadariah, 1988): B/C ratio = Total penerimaan : Total biaya.<br />
Data pertumbuhan dan hasil panen dianalisis dengan menggunakan program SAS dan<br />
perbedaan rataan perlakuan diuji dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5 %.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Kondisi Tanah Sebelum Percobaan<br />
Hasil analisis tanah sebelum percobaan (Tabel 1) menunjukan bahwa pH tanah di lokasi<br />
pengkajian menunjukan mendekati netral yakni 6,9 dengan kesuburan yang kurang baik dilihat dari<br />
kandungan bahan organik dan kandungan nitrogennya. Kadar C sebagai indikator kandungan bahan<br />
organik dan kadar nitrogen tanah tergolong rendah, yakni masing-masing 2,06 dan 0,13 % sedangkan<br />
perbandingan C/N nya termasuk tinggi yaitu 16. Kadar Ca dan Mg tergolong sedang yakni masingmasing<br />
9,81 me/100 gram dan 1,28 me/100 gram. Kadar K termasuk rendah dan kadar Na relatif<br />
sangat rendah yakni 0,17 me/100 gram dan 0,2 me/100 gram. Kapasitas Tukar Kation tergolong<br />
rendah yakni 15,49 me/100 gram, sedangkan Kejenuhan basa tergolong tinggi 73 %. Pada pH 6,9, P<br />
tersedia tergolong sedang yang diindikasikan dengan kadar P 2 O 5 (Bray 1) yakni 22 ppm.<br />
Tabel 1. Karakteristik tanah sebelum percobaan, Jayawijaya 2011<br />
Karakteristik<br />
Bahan<br />
Tekstur<br />
pH organik<br />
P<br />
C/N 2 O 5 K 2 O Basa-basa me/100 g<br />
(100%)<br />
ppm ppm<br />
Pasir Debu Liat H 2 O KCl C N Ca Mg K Na<br />
55 37 8 5,95 6,9 2,06 0,13 16 22 80 9,81 1,28 0,17 0,22 73 15,49<br />
KB<br />
KTK<br />
158│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Kajian Penerapan Teknologi Berbasis LEISA Melalui Tumpangsari Wortel dengan Sayuran Lainnya di<br />
Dataran Tinggi Papua<br />
Soplanit, A<br />
Kandungan Hara Pupuk Organik Bokashi (Kompos)<br />
Bokashi yang digunakan dalam pengkajian ini adalah hasil fermentasi (Puerasia cephaloides<br />
dan colopogonium sp. + pupuk kandang babi + jerami padi + dedak + EM-4). Pupuk organik bokashi<br />
diharapkan dapat menambah unsur N, P dan K serta Ca agar dapat mencukupui kebutuhan hara<br />
tanaman.<br />
Hasil analisa kesuburan pupuk organik (Tabel 2) menunjukan bahwa kandungan Carbon<br />
organik relatif cukup tinggi yakni 17,48 %, memenuhi kriteria persyaratan pupuk organik (Permentan<br />
Nomor 28 tahun 2009) yaitu minimal C-Organik 12 % (Tabel 1). Kadar N, P dan K bokashi yakni<br />
6,66 % untuk N, 1,91 % untuk P dan 1,68 untuk K. Nilai ini termasuk cukup baik karena persyaratan<br />
mutu P dan K nilainya maksimal 5 %. Nilai C/N ratio bokashi adalah 4 %, tergolong rendah dari<br />
kriteria syarat mutu yakni 12 – 15 %. Nilai pH 6,6 tergolong Netral sesuai syarat mutu yakni 4 – 8 dan<br />
kadar air bokashi 9,82 % termasuk baik karena kriteria syarat mutu yakni 4 – 12 %.<br />
Berdasarkan uraian di atas maka pupuk organik bokashi hasil fermentasi bahan organik<br />
(Puerasia cephaloides dan colopogonium sp. + pupuk kandang babi + jerami padi + dedak + EM-4).<br />
Umumnya memenuhi syarat mutu pupuk organik menurut Peraturan Menteri <strong>Pertanian</strong><br />
No.28/Permentan/OT.140/2/2009 (Soplanit dan Harry Uhi, 2010). Dengan demikian pupuk organik<br />
bokashi memiliki peluang yang cukup baik sebagai sumber pupuk organik tanaman sayuran.<br />
Tabel 2. Hasil analisa pupuk organik bokashi dan persyaratan teknis minimal pupuk organik<br />
No.<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
Parameter<br />
C-Organik<br />
C/N ratio<br />
Bahan ikutan (kerikil, beling, plastik)<br />
Satuan<br />
%<br />
%<br />
%<br />
Kandungan<br />
Persyaratan mutu<br />
pupuk organik padat<br />
Hasil Analisa bokashi<br />
> 12<br />
17,48<br />
12 – 15<br />
13<br />
Maks. 2<br />
-<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
8.<br />
9.<br />
Kadar air<br />
- Granule<br />
- Curah<br />
Kadar logam berat<br />
As<br />
Hg<br />
Pb<br />
Cd<br />
pH<br />
Kadar Total<br />
- N<br />
- P 2 O 5<br />
- K 2 O<br />
Mikroba Patogen<br />
(E.Coli Salmonella)<br />
Kadar Unsur Mikro<br />
Zn<br />
Cu<br />
Mn<br />
Co<br />
B<br />
Mo<br />
Fe<br />
ppm<br />
ppm<br />
ppm<br />
ppm<br />
%<br />
Cell/ml<br />
Ppm<br />
4 – 12<br />
13 – 20<br />
10<br />
1<br />
50<br />
10<br />
4 – 8<br />
< 6<br />
< 5<br />
< 5<br />
Dicantumkan<br />
Maks.5000<br />
Maks. 5000<br />
Maks.5000<br />
Maks.0,002<br />
Maks.20<br />
Maks.10<br />
Maks.8000<br />
9,82<br />
-<br />
Tt<br />
Tt<br />
Tt<br />
Tt<br />
6,66<br />
6,66<br />
1,91<br />
1,68<br />
-<br />
133<br />
56,84<br />
130<br />
Tt<br />
Tt<br />
Tt<br />
1419<br />
Keterangan: Sample pupuk organik bokashi dianalisa di Laboratorium Tanah BPTP Sulsel, 2011<br />
Bobot Brangkasan dan Umbi Wortel Tumpangsari dan Tunggal/Monokultur<br />
Berdasarkan hasil analisis statistik terhadap bobot brangkasan, menunjukan bahwa perlakuan<br />
tumpangsari sangat berpengaruh terhadap bobot brangkasan wortel (tabel 4). Rata-rata bobot<br />
brangkasan tertinggi diperoleh pada perlakuan tumpangsari wortel dan bawang daun yakni (87,9 kg<br />
per petak) berbeda nyata dengan perlakuan tumpangsari wortel dan tomat (57,6 kg per petak) serta<br />
wortel dan kubis (37,8 kg per petak) namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan wortel yang<br />
ditanam secara tunggal/monokultur (70,8 kg per petak).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│159
Kajian Penerapan Teknologi Berbasis LEISA Melalui Tumpangsari Wortel dengan Sayuran Lainnya di<br />
Dataran Tinggi Papua<br />
Soplanit, A<br />
Tabel 3. Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap bobot brangkasan dan bobot umbi wortel<br />
Sumber keragaman<br />
Derajat bebas<br />
Bobot brangkasan/petak<br />
Kuadrat tengah<br />
Bobot umbi/petak<br />
Ulangan (Block) 3 1,7227 0,87775<br />
Perelakuan (Treatment) 4 1,4918 3,8880 tn/ns<br />
Galat (Error) 12 1,1280 0,0610<br />
tn (ns) = tidak nyata (non sgnificant), * = nyata (significant)<br />
Tabel 4. Hasil tanaman wortel tanam tunggal dan tumpangsari dengan bawang daun, tomat dan kubis,<br />
Jayawijaya 2011<br />
Perlakuan (Treatment)<br />
Bobot brangkasan<br />
Hasil panen (Yield), kg/plot<br />
Bobot brangkasan<br />
Wortel + bawang daun 87,9 a 51,0 a<br />
Wortel + tomat 57,6 bc 48,6 a<br />
Wortel + kubis 37,8 c 25,5 a<br />
Wortel tunggal 70,8 ab 105 a<br />
Angka pada baris dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%<br />
Hasil panen tanaman wortel menunjukan, tidak ada perbedaan yang nyata antara tanaman<br />
tunggal dengan yang ditumpangsarikan dengan bawang daun, tomat maupun kubis (Tabel 4). Namun<br />
sistem tanam wortel tunggal atau monokultur memperoleh rata-rata hasil panen umbi per petak<br />
tertinggi yakni 105 kg per petak, sedangkan sistem tanam tumpangsari wortel dan kubis memiliki<br />
rata-rata bobot umbi terendah yakni 25,5 kg per petak.<br />
Tabel 5. Produktivitas lahan dan nilai kesetaraan lahan (NKL)<br />
Hasil panen (Yield), kg/plot<br />
Perlakuan<br />
Bawang<br />
Wortel<br />
daun<br />
Tomat Kubis NKL/LER<br />
Tumpang sari<br />
Wortel + bawang daun 51 114 1,24<br />
Wortel + tomat 48,6 121,8 1,45<br />
Wortel + kubis 25,5 258 1,18<br />
Tunggal<br />
Wortel 105 1,0<br />
Bawang daun 138,6 1,0<br />
Tomat 126 1,0<br />
Kubis 276 1,0<br />
Nilai Kesetaraan Lahan (NKL)<br />
Pada Tabel 7 menunjukan bahwa lahan yang ditanami secara tumpangsari antara wortel<br />
dengan bawang daun, tomat dan kubis memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan ditanami<br />
wortel secara tunggal. Hal ini terlihat dari Nilai Kesetaraan Lahan (NKL) sistem tumpangsari lebih<br />
tinggi dibandingkan tanam tunggal. Nilai keseteraan lahan (NKL) dari sistem tumpangsari antara<br />
wortel dan bawang daun, wortel dan tomat serta wortel dan kubis masing-masing adalah 1.24, 1.45<br />
dan 1.18. Hal ini berarti bahwa lahan yang ditanami secara tumpangsari antara wortel dan tomat<br />
lebih produktif dibandingkan tumpangsari wortel dan bawang daun maupun wortel dengan kubis,<br />
namun ketiga perlakuan tumpangsari lebih produktif dibandingkan penanaman wortel secara tunggal<br />
160│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Kajian Penerapan Teknologi Berbasis LEISA Melalui Tumpangsari Wortel dengan Sayuran Lainnya di<br />
Dataran Tinggi Papua<br />
Soplanit, A<br />
atau monokultur. Bahkan pada sistem tumpangsari wortel dengan tomat dapat meningkatkan efisiensi<br />
lahan hingga 1,45 kali lipat. Hal ini sesuai dengan pendapat Turmudi (2002) bahwa keuntungan dari<br />
pelaksanaan sistem tumpangsari dapat dilihat dari meningkatnya efisiensi pemanfaatan lahan yang<br />
tercermin pada nilai NKL > 1.<br />
Tabel 6. Analisa Usahatani Monokultur Wortel di Jayawijaya MT.2011<br />
A. Biaya Produksi Satuan Jumlah<br />
Pembersihan lahan 9 HOK @Rp.50.000 450.000<br />
Pengolahan tanah 50 HOK @Rp.50.000 2.500.000<br />
Benih wortel 100 g 10 kaleng @Rp.70.000 700.000<br />
Pupuk bokashi/kandang 1 5 ton @Rp.500.000 7.500.000<br />
Biaya penanaman dan pemupukan 10 HOK @Rp.50.000 500.000<br />
Biaya pemeliharaan 35 HOK @Rp.50.000 1.750.000<br />
Biaya tak terduga Biaya tak terduga 10 % 1.090.000<br />
Total Biaya Produksi 14.240.000<br />
B. Hasil Penjualan<br />
Produksi 3.350 kg Rp.10.000/kg 33.500.000<br />
C. Keuntungan/Pendapatan<br />
Penerimaan – Total biaya<br />
produksi<br />
D. Kelayakan Usaha<br />
Rp.33.500.000 – 14.240.000 19.260.000<br />
Benefit Cos Ratio (B/C) Rp.33.500.000/Rp.19.260.000 1,73<br />
Hasil analisa usahatani pada Tabel 6 menunjukan bahwa dengan harga normal di pasar lokal<br />
sebesar Rp.10.000 per kg maka usahatani wortel dengan sistem tanam tungggal atau monokultur<br />
masih dapat memperoleh keuntungan sebesar Rp.19.260.000 dengan B/C ratio 1,73 (>1). Hal ini<br />
menunjukan bahwa biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.14.240.000 memperoleh pendapatan bersih<br />
1,73 kali lipat biaya yang dikeluarkan.<br />
KESIMPULAN<br />
1. Hasil panen brangkasan dan umbi tanaman wortel secara tunggal lebih tinggi dibandingkan<br />
dengan sistem tumpangsari, sedangkan hasil panen brangkasan dan umbi wortel secara<br />
tumpangsari tertinggi diperoleh pada perlakuan wortel dengan tomat.<br />
2. Lahan yang ditanami dengan tumpangsari wortel + tomat, wortel + bawang daun dan wortel +<br />
kubis memberikan produktivitas lahan yang lebih tinggi yakni 45 %, 24 % dan 18 %<br />
dibandingkan ditanam secara tunggal atau monokultur.<br />
3. Usahatani wortel secara monokultur masih layak diusahakan karena keuntungan yang diperoleh<br />
untuk satu musim tanam sebesar Rp. 19.260.000 dan nilai B/C ratio 1,73.<br />
PUSTAKA<br />
1. Ashandi, AA., Nurtika, N & Sumarni, N 2005, ‘Optimasi pupuk dalam usahatani “LEISA”<br />
bawang merah di dataran rendah’, Jurnal Hort. Vol. 15, no.3, hlm. 199 – 207.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│161
Kajian Penerapan Teknologi Berbasis LEISA Melalui Tumpangsari Wortel dengan Sayuran Lainnya di<br />
Dataran Tinggi Papua<br />
Soplanit, A<br />
2. Adiyoga, W, Suherman, R, Gunadi, N, & Hidayat, A 2004, ‘Aspek non teknis dan indikator<br />
Efisiensi sistem pertanaman tumpangsari sayuran dataran tinggi, Jurnal Hort., vol. 14, no.3, 2004,<br />
Hlm. 213 – 27.<br />
3. Badan Pusat Statistik 2011, Papua dalam angka, Kerjasama Badan Pusat Statistik dengan<br />
BAPPEDA Propinsi Papua.<br />
4. Fathimatuszhroh 2011. Kajian teknologi “LEISA” dengan Metode Deskriptif, dirilis September<br />
2011, diunduh 19 Juni 2012, .<br />
5. Kadariah 1988, Evaluasi proyek analisa ekonomi, LPEE-UI, Jakarta.<br />
6. Mugdisjah, WQ, Solihin, AS & Tiyar, 2004, ‘Kinerja <strong>Pertanian</strong> Terpadu Yang Menerapkan<br />
Konsep “LEISA”, Studi Kasus pada usahatani padi-ikan-itik, Gakuryoku, vo.l 2, hlm.189 – 93.<br />
7. Soplanit, A, Hary, & Uhi, T 2010, ‘Kajian penggunaan pupuk organik dalam usahatani sayuran<br />
organik di dataran tinggi Papua’, Prosiding Seminar Nasional Balai Pengkajian Teknologi<br />
<strong>Pertanian</strong> Papua, Balai Besar Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong>, Badan Litbang <strong>Pertanian</strong>, hlm. 536<br />
– 44.<br />
8. Soplanit, A 2009, ‘Prospek pengembangan agribisnis kentang untuk meningkatkan pendapatan<br />
petani di Kabupaten Jayawijaya’, Thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin<br />
Makassar.<br />
9. Setiawati,W, Asandhi, AA 2003, ‘Pengaruh sistem pertanaman monokultur dan tumpangsari<br />
sayuran Cruciferae dan Solanaceae terhadap hasil, struktur dan fungsi komunitas artropoda.<br />
Jurnal <strong>Hortikultura</strong>, vol. 13, no.1, hlm.41 – 57.<br />
10. Turmuji, E 2002, Kajian pertumbuhan dan hasil tanaman dalam sistem tumpangsari jagung dan<br />
empat kultivar kedelai pada berbagai waktu tanam, Jurnal Ilmu-Ilmu <strong>Pertanian</strong> Indonesia, vol. 4,<br />
no.2, hlm. 89 - 96.<br />
162│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Sistem Irigasi Berbahan Gerabah pada Tanaman Jeruk (Citrus sp) di Lahan Pasiran<br />
Al Fanshuri, B dan Banaty, O. A.<br />
Sistem Irigasi Berbahan Gerabah pada Tanaman Jeruk (Citrus sp) di Lahan Pasiran<br />
Al Fanshuri, B dan Banaty, O. A.<br />
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika<br />
Jl. Raya Tlekung No.1 Junrejo, Batu, Jawa Timur, Telp (0341) 592683<br />
Email: buyung_tani@yahoo.com<br />
Abstrak. Pengembangan jeruk telah mengarah ke lahan-lahan sub optimal di sekitar pantai yang berjenis tanah<br />
pasiran. Secara fisik, tanah ini memiliki daya simpan lengas rendah, porus, kecepatan infiltrasi dan evaporasi<br />
tinggi sehingga air irigasi yang diberikan banyak yang hilang dibanding yang diserap tanaman. Sedangkan air<br />
merupakan kebutuhan mutlak bagi pertumbuhan tanaman jeruk. Oleh karena itu diperlukan sistem irigasi hemat<br />
air untuk tanaman jeruk di tanah pasiran. Sistem Irigasi berbahan gerabah termasuk ke dalam sistem irigasi<br />
bawah permukaan tanah (sub surface irrigation), yang terbagi menjadi dua yaitu kendi dan pipa gerabah. Sistem<br />
ini merupakan salah satu sistem irigasi untuk menghemat air karena secara mikro berfungsi menyimpan air dan<br />
merembeskan ke daerah perakaran. Dengan sistem irigasi berbahan gerabah, air yang diberikan lebih tepat ke<br />
daerah perakaran dan mengurangi kehilangan air akibat perkolasi dan evaporasi. Hasil-hasil penelitian<br />
menunjukkan kemampuan sistem irigasi berbahan gerabah dalam menyediakan air sesuai kebutuhan tanaman<br />
dengan laju rembesan untuk kendi 2,3 liter/m/hari dan pipa gerabah 4,66 liter/m/hari.<br />
Kata kunci : sistem irigasi, kendi, pipa gerabah, jeruk<br />
Abstract. Al Fanshuri, B dan Banaty, O. A. 2013. Irrigation Systems Made From Pottery On Citrus<br />
(Citrus sp) At Sandy Soil. Citrus development has led to sub-optimal land on the coast sandy soil type.<br />
Physically, this land has a low capacity to store moisture, porous, high-speed infiltration and evaporation, so that<br />
the water given was lost more than was absorbed by plants. Water is an absolute necessity for the growth of<br />
citrus plants. Therefore we need a water-efficient irrigation system for citrus crops in the sandy land. Irrigation<br />
system made of pottery was belonged to the sub-surface irrigation, which was divided into two : pitcher and<br />
earthenware pipe. This system was one of the irrigation systems to conserve water because it serves to store<br />
water and slowly release it to the root zone. With the irrigation system made from pottery, water given was more<br />
appropriate to root zone and reduce water loss due to percolation and evaporation. The results showed that the<br />
irrigation system made from pottery was able in providing sufficient water for plants with infiltration rate 2,3<br />
ltr/m/day for pitcher and 4,66 ltr/m/day for earthenware pipes.<br />
Keyword: irrigation system, pitcher, earthenware pipes, citrus<br />
Saat ini luas lahan jeruk di Indonesia telah mencapai sekitar 200.000 hektar dan<br />
pengembangannya di Kalimantan Barat dan Selatan, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat,<br />
Kabupaten Kulponprogo, D.I. Yogyakarta telah mengarah ke lahan-lahan suboptimal di sekitar pantai<br />
yang tanahnya bertekstur pasir. Tanah bertekstur pasir memiliki kesuburan aktual rendah, daya<br />
simpan lengasnya rendah, porus, kecepatan infiltrasi dan evaporasi tinggi sehingga pupuk<br />
konvensional yang memiliki kelarutan tinggi mudah hilang terlindi, menguap, serta hilang bersama<br />
aliran air (Havlin, Beaton, Tisdale, dan Nelson, 1999).<br />
Tanah pasiran di daerah pesisir merupakan tanah yang kandungan fraksi pasirnya dominan<br />
atau lebih besar dari 50 % fraksi total. Oleh karena itu sifat-sifat fisika dan kimia tanahnya lebih<br />
banyak didominasi oleh sifat-sifat fisika dan kimia pasir. Gustafon (1962) menyatakan bahwa secara<br />
umum tanah pasiran mempunyai tekstur kasar, agregatnya lemah sampai tidak beragregasi, bersifat<br />
porous, kapasitas penyimpanan lengasnya rendah, serta rentan terhadap erosi air dan angin.<br />
Dalam kaitannya dengan daya simpan air, tanah pasiran mempunyai daya pengikatan<br />
terhadap lengas tanah yang relatif rendah karena permukaan kontak antara permukaan tanah dengan<br />
air pada tanah yang teksturnya lebih halus dan tanah pasiran ini didominasi oleh pori-pori makro<br />
(Buckman dan Brady, 1982; Islami dan Utomo, 1995). Oleh karena itu air yang jatuh di tanah pasiran<br />
akan segera mengalami perkolasi, sementara itu air kapiler akan mudah lepas karena evaporasi. Laju<br />
evaporasi ini sangat penting kaitannya dengan penghematan lengas tanah, sehingga penekanan laju<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│163
Sistem Irigasi Berbahan Gerabah pada Tanaman Jeruk (Citrus sp) di Lahan Pasiran<br />
Al Fanshuri, B dan Banaty, O. A.<br />
evaporasi pada tanah pasiran akan bisa menghemat lengas yang disimpannya, dan bisa dimanfaatkan<br />
untuk pertumbuhan tanaman.<br />
Karakter tanah pasiran yang porous menyebabkan tanah ini cenderung selalu kekurangan air<br />
apabila digunakan untuk tanah pertanian. Untuk itu diperlukan sistem pemberian air irigasi yang<br />
terus-menerus yang mampu mensuplai kebutuhan air tanaman. Pemberian air irigasi yang terus<br />
menerus (frekuensi tinggi) akan membutuhkan tenaga, waktu dan biaya yang sangat tinggi sehingga<br />
perlu dikembangkan sistem irigasi yang efisien. Salah satu sistem irigasi yang mempunyai potensi<br />
untuk dikembangkan di daerah yang mempunyai tekstur tanah pasir adalah sistem irigasi bawah<br />
permukaan menggunakan bahan gerabah.<br />
PEMBAHASAN<br />
Kebutuhan Air Tanaman Jeruk<br />
Air mutlak dibutuhkan tanaman untuk mempertahankan hidupnya. Peranan air bagi<br />
tanaman antara lain sebagai pengangkut hara tanaman dari tanah ke tempat fotosintesa, mengedarkan<br />
hasil fotosintesa dan metabolisme tanaman. Air juga berfungsi mempertahankan ketegangan sel-sel<br />
tanaman sehingga tetap menjamin berlangsungnya berbagai mekanisme dalam tubuh tanaman. Air<br />
juga merupakan bahan yang dibutuhkan dalam fotosintesa karbohidrat. Bagian terbesar kebutuhan air<br />
tanaman diserap dari tubuh tanah dan sebagian lagi dari udara dalam bentuk uap air (Purwowidodo,<br />
1982).<br />
Tabel 1. Kebutuhan Air Tanaman Jeruk dengan Menggunakan Irigasi Permukaan<br />
Umur Tanaman (Th) Luas Tajuk (m 2 ) Kedalaman Akar (cm) Kebutuhan air (ltr)<br />
1 1 30 15/3hr<br />
2 5 50 90/6hr<br />
3 10 70 450/15hr<br />
4 15 90 600/15hr<br />
Sumber: Sutopo (2009)<br />
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa ada keterkaitan antara umur tanaman dengan luas<br />
tajuk, kedalaman akar dan kebutuhan air. Semakin tua umur tanaman maka luas tajuk tanaman,<br />
kedalaman akar dan kebutuhan air juga akan semakin bertambah dikarenakan tanaman dalam<br />
melangsungkan hidupnya mengalami perkembangan akar, batang dan daun sehingga luas tajuk dan<br />
kedalaman akar akan bertambah. Dengan demikian maka kebutuhan air juga akan bertambah untuk<br />
menyuplai kebutuhan tanaman.<br />
Irigasi permukaan untuk tanaman jeruk cocok digunakan untuk daerah yang datar, sistem<br />
irigasi baik, sumber air yang cukup dan tidak cocok untuk daerah dengan tanah bertekstur dominan<br />
pasir (Sutopo, 2009). Tanah yang bertekstur dominan pasir jika menggunakan irigasi permukaan<br />
maka air yang diberikan akan lebih banyak yang hilang melalui evaporasi dan perkolasi.<br />
Sistem Irigasi Berbahan Gerabah<br />
Prinsip irigasi disarikan dari hubungan saling ketergantungan antara tanah, tanaman, dan<br />
lingkungan tanaman atau biasa disebut SPAC (Soil Plant Atmosphere Continnum). Prinsip SPAC<br />
dapat dijelaskan bahwa tanaman membutuhkan air, sedangkan tanah sebagai media penyimpan air,<br />
dan atmosfer merupakan sumber energi bagi tanaman untuk menyerap air (Hermantoro, 2000).<br />
Sistem irigasi bahan gerabah (kendi, pipa gerabah) telah banyak dikembangkan untuk<br />
meningkatkan efisiensi pemakaian air, antara lain: Irigasi kendi pada tanaman hortikultura di Jerman<br />
(Stein, 1997), irigasi kendi pada tanaman melon di India (Mondal, 1974), irigasi kendi untuk tanaman<br />
hortikultura di Indonesia (Setiawan et al., 1998) dan irigasi pipa gerabah bawah permukaan<br />
(Hermantoro, 2000). Irigasi kendi dan pipa tanah liat bawah permukaan pada tanaman jagung, tomat,<br />
dan okra di Zimbabwe (Batchelor et al., 1996).<br />
Kendi yang digunakan untuk tujuan irigasi tanaman, berbeda dengan kendi yang yang<br />
umum digunakan untuk tempat air minum. Kendi untuk tempat air minum dibuat dari bahan tanah liat<br />
yang dapat dikatakan kedap air. Sedangkan kendi untuk tujuan pemberian air irigasi dibuat dari bahan<br />
campuran tanah liat, pasir dan serbuk kayu dengan perbandingan yang proporsional, dimana setelah<br />
164│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Sistem Irigasi Berbahan Gerabah pada Tanaman Jeruk (Citrus sp) di Lahan Pasiran<br />
Al Fanshuri, B dan Banaty, O. A.<br />
dijadikan kendi/dibakar akan dapat merembeskan air dengan laju rembesan sama atau lebih besar dari<br />
laju evapotranspirasi tanaman (Setiawan , 1998).<br />
Evapotranspirasi merupakan gabungan dari transpirasi dan evaporasi. Transpirasi adalah<br />
air yang masuk ke dalam tanaman melalui akar digunakan untuk membangun jaringan tanaman dan<br />
dilepaskan melalui daun ke atmosfer, sedangkan evaporasi adalah air yang diuapkan dari tanah,<br />
permukaan air dan permukaan daun tanaman (Israelsen dan Hansen, 1962).<br />
Menurut Hermantoro (2000) kesetimbangan pada sistem tanah, air dan tanaman dengan<br />
irigasi bawah permukaan terdiri dari komponen masukan yaitu curah hujan (R) dan irigasi (IR) dan<br />
komponen luaran yakni: evaporasi (E), transpirasi (T), rembesan samping (S), aliran permukaan (RO),<br />
dan perkolasi (P). Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : IR + R = Ea + Ta + RO + P +<br />
S . Pada irigasi bawah permukaan komponen RO, S, dan P dapat dieliminir dengan menyesuaikan<br />
besarnya laju rembesan dan kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman, sedangkan komponen hujan<br />
R pada musim kemarau dianggap = 0 sehingga persamaan akan menjadi : IR = Ea + Ta. Nilai<br />
evaporasi (Ea) pada sistem irigasi bawah permukaan lebih kecil dibanding dengan irigasi permukaan,<br />
oleh karena pada sistem irigasi bawah permukaan hanya membasahi sebagian kecil permukaan tanah,<br />
dan bahkan pada sistem irigasi bawah permukaan sangat efisien, air irigasi hanya diberikan untuk<br />
memenuhi kebutuhan air transpirasi saja, sehingga persamaan akan menjadi : IR = Ta<br />
Untuk tanaman jeruk yang merupakan tanaman tahunan maka kebutuhan air tergantung<br />
juga dengan umur tanaman tersebut. Menurut Sutopo (2009) penghitungan kebutuhan air untuk<br />
tanaman jeruk berdasarkan air yang digunakan tanaman dan evaporasi adalah : Air yang digunakan<br />
tanaman : Air evaporasi = 7 : 10, sedangkan kebutuhan air per pohon (l/tanaman) = Evaporasi x 0,7 x<br />
luas tajuk(m 2 ). Karena menggunakan irigasi bawah permukaan dimana evaporasi diabaikan maka<br />
persamaannya menjadi: Kebutuhan air per pohon (ltr/tanaman) = 0,7 x luas tajuk (m 2 )<br />
Tabel 2. Kebutuhan Air Tanaman Jeruk jika Menggunakan Irigasi Bawah Permukaan<br />
Umur Tanaman (Th) Luas tajuk (m 2 ) Kebutuhan air (ltr/tanaman)<br />
1 1 0,7<br />
2 5 3,5<br />
3 10 7<br />
4 15 10,5<br />
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa kebutuhan air tanaman jeruk dengan<br />
menggunakan irigasi bawah permukaan lebih kecil dibandingkan dengan irigasi permukaan (Tabel 1).<br />
Hal ini disebabkan karena dengan irigasi bawah permukaan air yang diberikan ke tanaman melalui<br />
infiltrasi sistem irigasi berbahan gerabah tepat ke akar tanaman sehingga meminimalkan kehilangan<br />
air akibat evaporasi dan perkolasi. Data tersebut juga menunjukkan bahwa penggunaan sistem irigasi<br />
berbahan gerabah lebih hemat air dibandingkan dengan irigasi permukaan.<br />
Potensi Irigasi Berbahan Gerabah untuk Tanaman Jeruk<br />
Berdasarkan hasil penelitian Hermantoro (2000), laju rembesan air dari pipa gerabah<br />
adalah 4,66 ltr/m/hr. Sedangkan untuk kendi, laju rembesan airnya 2,3 ltr/m/hr. Dari data laju<br />
rembesan dan kebutuhan air dapat diketahui kebutuhan kendi dan pipa gerabah per tanaman per umur<br />
yaitu dengan pembagian kebutuhan air dengan laju rembesan. Maka diperoleh data sebagai berikut :<br />
Tabel 3. Kebutuhan Kendi Dan Pipa Gerabah Untuk Irigasi Tanaman Jeruk<br />
Umur Tanaman<br />
(Th)<br />
Kebutuhan air<br />
(ltr/tanaman)<br />
Kebutuhan kendi<br />
(buah/tanaman)<br />
Kebutuhan pipa gerabah<br />
(buah/tanaman)<br />
1 0,7 1 1<br />
2 3,5 2 1<br />
3 7 4 2<br />
4 10,5 5 3<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│165
Sistem Irigasi Berbahan Gerabah pada Tanaman Jeruk (Citrus sp) di Lahan Pasiran<br />
Al Fanshuri, B dan Banaty, O. A.<br />
Setelah mengetahui kebutuhan kendi dan pipa gerabah per tanaman, yang perlu<br />
diperhatikan juga dalam aplikasi sistem ini adalah sebaran kadar lengas untuk masing-masing sistem<br />
yang digunakan. Hal ini bertujuan untuk mengatur tata letak kendi dan pipa gerabah dari tanaman.<br />
Selain itu juga harus memperhatikan panjang akar tanaman, karena akar tanaman jeruk setiap tahun<br />
akan bertambah panjang.<br />
Pada sistem irigasi berbahan gerabah ini, permukaan tanah disekitar tanaman selalu dalam<br />
keadaan kering sehingga komponen kehilangan air melalui evaporasi sangat kecil. Dalam sistem<br />
irigasi kendi laju rembesan air diupayakan sesuai dengan laju transpirasi tanaman. Sebaran kadar<br />
lengas sistem irigasi kendi dan pipa gerabah ke arah horisontal dan vertikal. Pola pembasahan tanah<br />
berbentuk seperti bola tanah basah dengan diameter 60-70 cm dibawah permukaan tanah apabila<br />
kendi atau pipa gerabah diletakkan dengan kedalaman 20 cm. Sedangkan panjang akar tanaman jeruk<br />
berbeda menurut umurnya yaitu umur 1 tahun panjang akar 30 cm, 2 tahun 50 cm, 3 tahun 70 cm dan<br />
4 tahun 90 cm. Oleh karena itu kendi atau pipa gerabah bisa digunakan selama 3 tahun, setelah lebih<br />
dari tiga tahun tata letaknya harus disesuaikan panjang akar.<br />
Penempatan jaringan irigasi kendi, memerlukan penempatan kendi yang horizontal atau kemiringan<br />
lahan 0 0 . Keadaan demikian memerlukan adanya perlakuan leveling pada lahan, sehingga untuk satu<br />
buah tabung mariote dapat menyuplai air irigasi sebanyak kendi yang satu level dengan posisi tabung<br />
mariote tersebut. Berbeda dengan sistem irigasi tetes yang masih dapat mentolerir perbedaan<br />
tinggi/topografi lahan sehingga tidak perlu melakukan leveling lahan. Namun demikian dari hasil<br />
penelitian penggunaan irigasi kendi dapat lebih hemat penggunaan airnya dari pada dengan irigasi<br />
tetes (Triwibowo, 2003).<br />
KESIMPULAN<br />
1. Sistem irigasi berbahan gerabah dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air.<br />
2. Jumlah kendi dan pipa berbahan gerabah yang dibutuhkan pada tanaman jeruk dapat dihitung<br />
berdasarkan laju infiltrasi gerabah yang digunakan dan jumlah air yang dibutuhkan tanaman<br />
berdasarkan umur tanaman.<br />
3. Dalam aplikasi sistem irigasi ini harus memperhatikan pengaturan tata letak kendi dan pipa<br />
gerabah dari tanaman karena akar tanaman jeruk setiap tahun akan bertambah panjang.<br />
PUSTAKA<br />
1. Batchelor ch., Christopher L., and Monica M. 1996. Simple Microirrigation techniques for<br />
improving irrigation efficiency on vegetable garden. Agricultural Water Management 32 (1996)<br />
37-48. Elsevier.<br />
2. Buckman H. D. and Brady. 1982. The Nature and Properties of Soil. Mc Millan company, New<br />
York.<br />
3. Gustafon, 1962. Soil Management. Mc. Graw-Hill Book Company Inc. New York.<br />
4. Havlin, J. L., J. D. Beaton, S. L. Tisdale, dan W. L. Nelson, 1999. Soil Fertility and Fertilizers.<br />
Seventh Edition. Pearson Education, inc. New Jersey. 515 hal.<br />
5. Hermantoro. 2000. Kinerja Pipa Gerabah pada Sistem Irigasi Bawah Permukaan. Prosiding<br />
Seminar Nasional II Teknologi Tepat Guna “ Teknologi Tepat Guna untuk<br />
Menumbuhkembangkan Industri Kecil dan Menengah” . 9 Nopember 2000. Jurusan Teknologi<br />
<strong>Pertanian</strong> UNPAD, UPT BPTTG-LIPI dan PERTETA Cabang Bandung dan sekitarnya.<br />
6. Islami T. dan Utomo.1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Semarang Press.<br />
7. Isrelsen, O. W., and V. E. Hansen, 1962. Thirtd Edition. John Wiley and Sons, Inc. New York.<br />
447 p.<br />
8. Mondal R. C. 1974. Farming witch pitcher : a technique of water conservation. World Crops Vol.<br />
26 (2): 91-97.<br />
9. Purwowidodo. 1982. Teknologi Mulsa. Dewaruci Press. Jakarta.<br />
166│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Sistem Irigasi Berbahan Gerabah pada Tanaman Jeruk (Citrus sp) di Lahan Pasiran<br />
Al Fanshuri, B dan Banaty, O. A.<br />
10. Setiawan B.I., E. Saleh dan Y. Nurhidayat. 1998. Pitcher Irrigation System for Horticultura in<br />
Dry Lands. Proceeding of water and land resources development and management for<br />
sustainable use. Vol II-A. The Tenth Afro-Asian Regional Conference. ICID-CIID, INACID,<br />
Denpasar-Bali. Indonesia. 10 p.<br />
11. Setiawan B. I. 1998. Sistem Irigasi Kendi untuk Tanaman Sayuran di daerah Kering. Laporan<br />
Riset Unggulan Terpadu IV. Fakultas Teknologi <strong>Pertanian</strong>, Institut <strong>Pertanian</strong> Bogor. 125 hlm.<br />
12. Stein, Th-M. 1990. Development of design Criteria for Pitcher Irrigation. Cranfield Institute of<br />
Technology, Silsoe College, Ms. Thesis, August 1990. 20 p.<br />
13. Sutopo, 2009. Teknologi Budidaya Tanaman Jeruk Sehat. Makalah Disampaikan pada Program<br />
Kunjungan Terpadu dan Workshop Tanaman Jeruk, Kerjasama BALITJESTRO dengan ACIAR-<br />
SADI. Kota Batu, 2-6 Nopember 2009.<br />
14. Triwibowo,R. I, 2003. Perancangan dan Uji Coba Aplikasi Sistem Irigasi Hemat air untuk Usaha<br />
Tani Intensif Skala Kecil. Makalah Bidang Teknik Tanah dan Air. Prosiding Seminar Nasional<br />
Tahunan PERTETA. Pengembangan Inkubator Agrobisnis Berbasis Teknologi Tepat Guna.<br />
BPTTG-LIPI Teknologi <strong>Pertanian</strong> Faperta, Unpad. PERTETA. Subang, hal 1-10.<br />
LAMPIRAN GAMBAR<br />
Gambar 1. Perbandingan pola pembasahan tanah liat dengan tanah pasiran<br />
Keterangan :<br />
1. Pipa vertikal untuk memasukkan air<br />
2. Pipa horisontal untuk sbg penampung<br />
dan pemberi air<br />
3. Permukaan tanah<br />
4. Tutup<br />
Gambar 2. Skema pemasangan irigasi pipa gerabah<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│167
Sistem Irigasi Berbahan Gerabah pada Tanaman Jeruk (Citrus sp) di Lahan Pasiran<br />
Al Fanshuri, B dan Banaty, O. A.<br />
Gambar 3. Skema pemasangan irigasi kendi<br />
Gambar 4. Pola pembasahan tanah sistem irigasi berbahan gerabah<br />
168│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Tingkat Serapan NPK 6 Varietas Batang Bawah Jeruk<br />
Banaty, O. A 1 , Budiyati, E 1 dan Hardiyanto 2<br />
Tingkat Serapan NPK 6 Varietas Batang Bawah Jeruk<br />
Banaty, O. A 1 , Budiyati, E 1 dan Hardiyanto 2<br />
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika 1<br />
Balai Penelitian Teknologi dan Pengkajian Sumatera Barat 2<br />
Jl. Raya Tlekung No 1 Junrejo, Batu, Jawa Timur 65301<br />
Telp. (0341) 592683 . Fax (0341) 593047<br />
email : ocha_banaty@yahoo.com<br />
Abstrak. Kemampuan batang bawah dalam menyerap unsur hara akan mempengaruhi volume kanopi, produksi<br />
buah, konsentrasi hara daun, dan kandungan juice buah. Percobaan dilaksanakan di KP Tlekung pada<br />
ketinggian 950 m dpl yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan Desember 2011. Rancangan percobaan<br />
disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap dengan 5 ulangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui<br />
tingkat serapan unsur hara N, P dan K pada 6 varietas batang bawah tanaman jeruk. Varietas yang digunakan<br />
adalah Volkameriana, RL, Cleopatra, JC, AA 23 dan AA 32. Masing-masing varietas diperlakukan dengan<br />
pemupukan yang sama sesuai dengan rekomendasi pemupukan tanaman jeruk umur 2 tahun. Hasil analisis<br />
menunjukkan bahwa serapan N tertinggi di daun ditunjukkan oleh varietas AA 32 sebesar 70,07 gr/pohon,<br />
serapan P ditunjukkan oleh varietas RL sebesar 3,53 gr/pohon dan serapan K tertinggi ditunjukkan oleh varietas<br />
Volkameriana sebesar 17,86 gr/pohon.<br />
Kata kunci: Batang bawah, Serapan, Unsur NPK<br />
Abstract. Banaty, O. A 1 , Budiyati, E 1 dan Hardiyanto 2 . 2013. Level Of Npk Uptake on 6 Citrus Rootstock<br />
Varieties(Citrus sp). Rootstock ability to absorb nutrients will affect the canopy volume, fruit production, leaf<br />
nutrient concentration and content of fruit juice. Experiment was carried out in KP Tlekung at an altitude of 950<br />
m asl started from January to December 2011. The design of the experiment based on Completely Randomized<br />
Design with 5 replications. This study aims to determine the level of uptake of nutrients N, P and K on 6<br />
rootstock varieties of citrus. Varieties used were Volkameriana, RL, Cleopatra, JC, AA 23 and AA 32. Each<br />
variety was treated with the same fertilizer application as that of recommendation for citrus of 2 years old. The<br />
analysis showed that the highest N uptake at the leaf was indicated by AA 32 variety of 70.07 g / plant, P uptake<br />
was demonstrated by RL variety of 3.53 gr / plant and the highest K uptake was demonstrated by Volkameriana<br />
variety of 17.86 g / plant.<br />
Keywords: Rootstock, Uptake, Elements of NPK<br />
Menentukan varietas batang bawah yang mampu beradaptasi dengan kondisi cekaman<br />
lingkungan penting artinya bagi pengembangan agribisnis jeruk di Indonesia. Hingga kini belum<br />
ditemukan satu jenis batang bawah yang sesuai untuk berbagai macam jenis tanah. Walaupun<br />
tanaman jeruk di Indonesia dapat tumbuh hampir di berbagai kondisi tanah dari lahan kering maupun<br />
rawa, petani jeruk hanya menggunakan jenis batang bawah JC (Japanche Citroen) dan sedikit RL<br />
(Rough Lemon). JC merupakan salah satu jenis batang bawah jeruk yang paling banyak digunakan di<br />
Indonesia. Jenis ini paling banyak digunakan karena tingkat kompatibilitasnya dengan batang atas<br />
sangat tinggi dan sistem perkarannya juga bagus. Namun JC juga memiliki kelemahan yaitu tidak<br />
tahan terhadap cekaman Al dan pH rendah (Martasari, 2010). Oleh karena itu diperlukan jenis batang<br />
bawah alternatif selain JC disesuaikan dengan kondisi lahan pengembangannya (Supriyanto, 2005).<br />
Untuk mendapatkan beberapa alternatif batang bawah pengganti JC, Balitjestro telah mengintroduksi<br />
beberapa jenis batang bawah yaitu Rough Lemon/RL, Volkameriana, Cleopatra, Manis AA 23,<br />
Manis AA 32, Poncirus Trifoliata, Citrumello 4475, Sweet Orange, Emperor, Benton dan Kunci-01<br />
(Supriyanto, 2007). Beberapa batang bawah tersebut memiliki kelebihan ketahanannya terhadap<br />
penyakit Phytophthora sp seperti pada kelompok Poncirus (Rabe et al., 1993; Broadbent et al., 1993).<br />
Dalam pemilihan varietas batang bawah yang sesuai dengan kondisi lingkungan, perlu<br />
diketahui kemampuan tanaman dalam penyerapan unsur hara dalam tanah ataupun yang diberikan<br />
melalui pemupukan. Menurut Soepartini (1990) untuk mengetahui suatu unsur hara berada dalam<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│169
Tingkat Serapan NPK 6 Varietas Batang Bawah Jeruk<br />
Banaty, O. A 1 , Budiyati, E 1 dan Hardiyanto 2<br />
keadaan kekurangan, optimal atau kelebihan dapat ditentukan dengan cara menghubungkan antara<br />
jumlah hara yang tersedia dalam jaringan tanaman dengan respon pertumbuhan tanaman secara<br />
grafikal. Kandungan hara dalam tanaman berbeda-beda, tergantung pada jenis hara, jenis tanaman,<br />
kesuburan tanah atau jenis tanah, dan pengelolaan tanaman ( Rosmarkam dan Yuwono, 2002).<br />
Nitrogen, Fosfor dan Kalium merupakan unsur hara utama yang paling banyak diberikan pada<br />
pemupukan tanaman jeruk karena unsur tersebut pengaruhnya terhadap pertumbuhan, hasil dan mutu<br />
buah sangat besar dibandingkan dengan unsur lainnya (Sutopo et al, 2005). Kadar N pada tanaman<br />
jeruk paling banyak ditemukan pada bagian daun dan sebagian besar dari N yang diakumulasi dalam<br />
organ baru berasal dari mobilisasi N yang disimpan pada organ-organ tua (Legas, Serna, dan Primo-<br />
Millo, 1995). Posphor merupakan unsur hara makro esensial bagi tanaman, karena berperan penting<br />
dalam penyediaan energi kimia yang dibutuhkan hampir semua kegiatan metabolisme tanaman.<br />
Kalium termasuk unsur hara makro primer yang berfungsi dalam pengaturan mekanisme fotosintesis,<br />
translokasi karbohidrat, sintesa protein dan lain-lain. Unsur tersebut berpengaruh positip terhadap<br />
ukuran buah, bobot buah, dan kadar assam pada sari buah jeruk (Sutopo et al.,2005). Penelitian ini<br />
bertujuan untuk mengetahui tingkat serapan unsur hara N, P dan K pada 6 varietas batang bawah<br />
tanaman jeruk pada umur 2 tahun.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika,<br />
Malang, Jawa Timur pada ketinggian 950 m dpl yang dimulai dari bulan Januari sampai dengan<br />
Desember 2011. Rancangan percobaan disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan<br />
variabel perlakuan adalah 6 varietas batang bawah tanaman jeruk masing-masing perlakuan ada 5<br />
ulangan. Varietas yang digunakan adalah Volkameriana, RL, Cleopatra, JC, AA 23 dan AA 32.<br />
Masing-masing tanaman diperlakukan pemupukan yang sama sesuai dengan rekomendasi pemupukan<br />
tanaman jeruk umur 1-2 tahun yaitu Urea 65 g/phn, TSP 50 g/pohon dan ZK 35 gram/pohon (Sutopo,<br />
2009). Tanaman yang digunakan merupakan hasil dari semaian biji kemudian dipindah ke dalam<br />
polibag besar dan dilakukan pemupukan sesuai dengan rekomendasi pemupukan untuk tanaman 1-2<br />
tahun. Peubah yang diamati meliputi bobot basah, bobot kering, kadar hara serta serapan NPK pada<br />
trubus dan akar setelah tanaman berumur 2 tahun dengan cara dibongkar untuk diukur bobot kering<br />
dan dianalisa serapan haranya di laboratorium kimia tanah.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Bobot Basah dan Bobot Kering<br />
Tingkat serapan unsur hara akan mempengaruhi bobot basah dan bobot kering pada tanaman.<br />
Semakin besar serapan hara akan semakin baik pula pertumbuhan tanaman yang dapat dilihat dari<br />
tinggi tanaman, diameter batang dan pada akhirnya akan mempengaruhi produktivitas buahnya. Dari<br />
Tabel 1. Menunjukkan bahwa keenam varietas batang bawah mempunyai bobot basah dan bobot<br />
kering yang berbeda. Pada umur yang sama (2 tahun setelah tanam), varietas RL (Rough Lemon)<br />
mempunyai bobot basah pada akar dan daun tertinggi namun bobot kering tertinggi pada daun<br />
ditunjukkan oleh varietas AA 32.<br />
Tabel 1. Bobot Basah, Bobot Kering akar dan daun 6 varietas batang bawah tanaman jeruk umur 2<br />
tahun<br />
No.<br />
Varietas<br />
BB (gr)<br />
BK (gr)<br />
Akar Daun Akar Daun<br />
1 Volkameriana 12.42 34.86 9.17 16.38<br />
2 RL 24.06 45.48 12.80 16.83<br />
3 Cleopatra 10.62 34.34 7.83 12.49<br />
4 JC 20.43 28.71 9.49 12.56<br />
5 AA 32 17.24 37.82 10.17 19.53<br />
6 AA 23 10.96 20.40 8.34 12.79<br />
Data tidak dianalisa statistik<br />
170│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Tingkat Serapan NPK 6 Varietas Batang Bawah Jeruk<br />
Banaty, O. A 1 , Budiyati, E 1 dan Hardiyanto 2<br />
Kadar Hara dalam Akar dan daun Jeruk<br />
Tabel 2. Kadar NPK pada akar dan daun 6 varietas batang bawah tanaman jeruk umur 2 tahun<br />
No.<br />
Varietas<br />
N tot (%) P tot (%) K (%)<br />
Akar Daun Akar Daun Akar Daun<br />
1 Volkameriana 2.32 3.36 0.26 0.16 0.24 1.09<br />
2 RL 2.19 3.14 0.19 0.21 0.07 0.08<br />
3 Cleopatra 2.29 3.62 0.26 0.21 0.06 0.11<br />
4 JC 2.30 3.43 0.25 0.25 0.36 1.15<br />
5 AA 32 2.30 3.59 0.21 0.17 0.44 0.87<br />
6 AA 23 2.66 3.25 0.34 0.26 0.36 0.06<br />
Data tidak dianalisa statistik<br />
Kebutuhan hara tanaman tercermin dari hara yang terkandung pada bagian tanaman seperti<br />
akar, batang dan buah ( Silalahi, 2011). Kadar hara pada tanaman jeruk memberikan makna dari nilai<br />
analisis akar dan daun jeruk yang merupakan respons terhadap pemupukan. Dari Tabel 2 diketahui<br />
bahwa kadar P pada daun memiliki status yang tinggi untuk semua varietas batang bawah menurut<br />
Chapman and Rayner (1951). Sedangkan status K pada daun bervariasi untuk tiap varietas batang<br />
bawah. Varietas Volkameriana, Cleopatra dan AA 32 menunjukkan status K yang rendah, varietas RL<br />
dan AA 23 menunjukkan status defisiensi dan varietas JC menunjukkan status K optimum menurut<br />
Reuther at al. (1958).<br />
Tingkat Serapan NPK Tanaman Batang Bawah Jeruk<br />
Tingkat serapan N dan P pada keenam varietas batang bawah jeruk menunjukkan serapan<br />
akar lebih rendah dibanding serapan di daun. Hal ini dikarenakan N dan P merupakan unsur hara yang<br />
mobile dalam jaringan tanaman. Unsur hara yang terserap akar kemudian ditranslokasikan ke bagian<br />
atas tanaman sehingga terakumulasi lebih banyak di jaringan daun. Dari hasil analisa daun diketahui<br />
bahwa serapan N lebih tinggi dibandingkan unsur P dan K (Gambar 1,2 dan 3) hal ini sejalan dengan<br />
pernyataan Novizan (2001), bahwa unsur hara N dibutuhkan dalam jumlah yang relatif besar pada<br />
setiap pertumbuhan tanaman, khususnya pada masa vegetative. Serapan N tertinggi pada daun<br />
tanaman jeruk umur 2 tahun ditunjukkan oleh varietas AA 23, diikuti Volkameriana, RL, Cleopatra,<br />
JC dan serapan N terendah oleh varietas AA 32 (Gambar 1). Banyaknya unsur N yang diabsorbsi<br />
persatuan berat tanaman adalah maksimum pada saat tanaman masih muda dan berangsur-angsur<br />
menurun dengan bertambahnya umur tanaman. Rasio N/K yang tinggi pada tanaman dapat menambah<br />
kandungan asam amino dan meningkatkan metabolisme nitrogen (Cooke, 1986). Cassman et al.<br />
dalam Rosliani dan Hilman (2002) melaporkan bahwa hanya sekitar 30-50% pupuk N yang diserap<br />
tanaman, sedangkan penyerapan pupuk P dan K berkisar 15-20%. Nitrogen merupakan unsur penting<br />
bagi pertumbuhan tanaman terutama pada fase vegetatif. Saat fase ini terjadi tiga proses penting yaitu<br />
pembelahan sel, pemanjangan sel dan tahap pertama diferensiasi sel yang berhubungan dengan<br />
perkembangan akar, daun dan batang yang baru (Harjadi dalam Adisiswoyo, 2001). Soepardi (1983)<br />
menyatakan bahwa nitrogen merupakan bagian pentingdari protein, protoplasma, klorofil, dan asam<br />
nukleat. Tanaman menyerap N dalam bentuk amonium (NH4 + ) dan nitrat (NO3 - ).<br />
Posphor merupakan unsur hara makro esensial bagi tanaman, karena berperan penting dalam<br />
penyediaan energi kimia yang dibutuhkan hampir semua kegiatan metabolisme tanaman. Serapan P<br />
daun pada tanaman batang bawah jeruk pada umur 2 tahun menunjukkan bahwa varietas RL<br />
mempunyai tingkat serapan yang paling tinggi diikuti oleh varietas AA 23, AA 32, JC, Cleopatra dan<br />
Volkameriana (Gambar 2). Sedangkan pada Gambar 3 terlihat bahwa varietas JC dan AA 32 serapan<br />
K pada daun sangat berbeda dengan serapan K pada akar yaitu hampir 4 kali lipatnya, bahkan pada<br />
varietas Volkameriana serapan di daun 8 kali lebih besar dibanding serapan K pada akar. Hal ini<br />
berbanding terbalik dengan Varietas AA 23 yang memiliki serapan K pada akar lebih tinggi daripada<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│171
Tingkat Serapan NPK 6 Varietas Batang Bawah Jeruk<br />
Banaty, O. A 1 , Budiyati, E 1 dan Hardiyanto 2<br />
serapan K pada daun meskipun tidak begitu signifikan, akan tetapi hal ini menjelaskan bahwa pada<br />
beberapa varietas batang bawah jeruk memiliki tingkat serapan unsur hara yang berbeda-beda.<br />
Dengan mengetahui tingkat serapan unsur hara masing-masing varietas batang bawah, dapat<br />
digunakan sebagai pertimbangan dalam memilih rootstock untuk suatu kondisi lingkungan tertentu.<br />
Varietas RL mempunyai tingkat serapan P yang cukup tinggi dapat digunakan sebagai batang bawah<br />
pada tanah-tanah yang kaya P seperti tanah Andisol, sedangkan varietas Volkameriana mempunyai<br />
serapan K yang tinggi dapat digunakan sebagai batang bawah di tanah-tanah yang kaya K.<br />
80,00<br />
60,00<br />
40,00<br />
20,00<br />
21,27<br />
55,05 52,84<br />
28,03<br />
70,10<br />
45,21 43,07<br />
41,57<br />
17,93<br />
21,82 23,39 22,19<br />
0,00<br />
Volka RL Cleo JC AA 32 AA 23<br />
serapan N (gr/phn) Akar<br />
serapan N (gr/phn) Daun<br />
Gambar 1. Serapan N pada akar dan daun 6 varietas batang bawah tanaman jeruk<br />
pada umur 2 tahun.<br />
4,00<br />
3,00<br />
2,00<br />
2,62<br />
2,38 2,43<br />
3,53<br />
2,04<br />
2,62<br />
2,37<br />
3,14<br />
2,14<br />
3,32 3,33<br />
2,84<br />
1,00<br />
0,00<br />
Volka RL Cleo JC AA 32 AA 23<br />
serapan P (gr/phn) Akar<br />
serapan P (gr/phn) Daun<br />
Gambar 2. Serapan P pada akar dan daun 6 varietas batang bawah tanaman jeruk<br />
pada umur 2 tahun.<br />
172│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Tingkat Serapan NPK 6 Varietas Batang Bawah Jeruk<br />
Banaty, O. A 1 , Budiyati, E 1 dan Hardiyanto 2<br />
20,00<br />
15,00<br />
17,86<br />
14,44<br />
16,99<br />
10,00<br />
5,00<br />
0,00<br />
4,48<br />
3,42<br />
2,20<br />
3,00<br />
0,901,35 0,47<br />
1,37<br />
0,77<br />
Volka RL Cleo JC AA 32 AA 23<br />
serapan K (gr/phn) Akar<br />
serapan K (gr/phn) Daun<br />
Gambar 3. Serapan K pada akar dan daun 6 varietas batang bawah tanaman jeruk<br />
pada umur 2 tahun.<br />
KESIMPULAN<br />
Serapan unsur hara NPK 6 varietas batang bawah jeruk pada umur 2 tahun mempunyai<br />
tingkat serapan yang berbeda-beda. Dari hasil analisis serapan N tertinggi di daun ditunjukkan oleh<br />
varietas AA 32 sebesar 70,07 gr/pohon, serapan P ditunjukkan oleh varietas RL sebesar 3,53 gr/pohon<br />
dan serapan K tertinggi ditunjukkan oleh varietas Volkameriana sebesar 17,86 gr/pohon.<br />
PENGHARGAAN<br />
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Marsono dan Marry Selvawajayanti yang<br />
telah membantu pelaksanaan penelitian ini.<br />
PUSTAKA<br />
1. Adisiswoyo, R. P. 2001. Pengaruh Pemupukan Nitrogen Dosis Tinggi Terhadap Produksi Dua<br />
Varietas Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L. Lamk). (Skripsi). Bogor. Institut <strong>Pertanian</strong> Bogor.<br />
2. Broadbent, P. and R. Sarooshi. 1993. Citrus Rootstock Evaluation in New South Wales. In E.<br />
Rabe (edt.). Proc. IV World Congress of International Soc. Of Citrus Nurserymen. p: 242-256.<br />
3. Chapman, H.D., and F. Fullmer. 1951. Pottasium and phosphorus. Citrus Leaves 31(2): 11, 36-<br />
39.<br />
4. Cooke, G.W. 1986. Nutrient Balances and the Need for Potassium in Humic Tropical Regions.<br />
Proceedings of 13 th IPI-Congress, August 1986 in Reims/France. Publisher International Potash<br />
Institute. P 17-35.<br />
5. Legas, F., Serna, M.D. and E. Primo-Millo, 1995. Mobiliztion of reserve N in Citrus. Plant and<br />
soil. 173: 205-210.<br />
6. Martasari, C. 2010. Naskah Usulan pemutihan / Pelepasan varietas Jeruk JC. Balai Penelitian<br />
Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika. (Tidak dipublikasikan)<br />
7. Novizan, 2001. Petunjuk Pemupukan Yang efektif. Penerbit Agro Media Pustaka. Jakarta. 116<br />
Hlm.<br />
8. Rabe, E., J.G.K. Coetzee and A.T.C. Lee, Rootstock of Southern Africa An overview. In E. Rabe<br />
(edt.). Proc. IV World Congress of International Soc. Of Citrus Nurserymen. p: 266-277.<br />
9. Reuther, W., T. W. Embelton, and W. W. Jones. 1958. Mineral Nutrition of Tree Crops. Ann.<br />
Rev. Plant Physiol. 9: 175-206.<br />
10. Roesmarkam, A. dan N.W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│173
Tingkat Serapan NPK 6 Varietas Batang Bawah Jeruk<br />
Banaty, O. A 1 , Budiyati, E 1 dan Hardiyanto 2<br />
11. Rosliani, R., N. Sumarni, dan Suwandi. 1998. Pengaruh sumber dan Dosis Pupuk N, P, dan K<br />
pada Tanaman Kentang. J. Hort. 8(1): 988-999.<br />
12. Rosliani, R., N. dan Y. Hilman. 2002. Pengaruh Pupuk Urea Hayati dan Pupuk Organik<br />
Penambat Nitrogen terhadap Pertumbuhan dan hasil Bawang Merah. J. Hort. 12(1): 17-27.<br />
13. Silalahi, F.H., A.E. Marpaung, dan R. Tarigan. 2011. Tanggap pertumbuhan Tanaman Biwa<br />
terhadap Berbagai Perbandingan Dosis Pupuk N, P, dan K. J. Hort. 21(1); 1-13.<br />
14. Soepartini, M. 1990. Kimia Tanah. Materi Pelatihan Teknik Analisa Ta-nah,Tanaman, Air dan<br />
Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. 12 hal.<br />
15. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas <strong>Pertanian</strong>. Bogor. Institut<br />
<strong>Pertanian</strong> Bogor. 591 hal.<br />
16. Supriyanto, 2007. Keragaan Sebelas Varietas Batang Bawah di Lahan Pasang Surut, Barito<br />
Kuala, Kalimantan Selatan. Laporan Akhir Penelitian 2007. Balitjestro.<br />
17. Supriyanto, A. dan Setiono. 2005. Evaluasi Keragaan Pertumbuhan Vegetattif 10 Varietas Jeruk<br />
Komersial pada 4 varietas Batang Bawah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Prosiding<br />
seminar nasional jeruk tropika Indonesia, juli 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan<br />
<strong>Hortikultura</strong> Badan Litbang <strong>Pertanian</strong>. Hal 212-220.<br />
18. Sutopo, 2009. Teknologi Budidaya Tanaman Jeruk Sehat. Makalah Disampaikan pada Program<br />
Kunjungan Terpadu dan Workshop Tanaman Jeruk, Kerjasama BALITJESTRO dengan<br />
ACIAR-SADI. Kota Batu, 2 – 6 Nopember 2009.<br />
19. Sutopo, A. Supriyanto dan A. Sugiyatno. 2005. Penetapan Nilai Standar Hara Makro pada Daun<br />
untuk Rekomendasi Pemupukan pada Tanaman Pamelo (Citrus grandis L. Osbeck). Prosiding<br />
seminar nasional jeruk tropika Indonesia, juli 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan<br />
<strong>Hortikultura</strong> Badan Litbang <strong>Pertanian</strong>. Hal 235-242.<br />
174│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Penambahan Pupuk K dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kacang Panjang di Lahan Kering<br />
Srihartanto, E 1) dan Hardani, AK 2)<br />
Penambahan Pupuk K dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kacang Panjang di<br />
Lahan Kering<br />
Srihartanto, E 1) dan Hardani, AK 2)<br />
1) Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Yogyakarta<br />
2) Balai Penyuluhan <strong>Pertanian</strong> Playen, Gunungkidul<br />
ABSTRAK. Lahan kering mempunyai keterbatasan dalam ketersediaan air dan hara hal ini menyebabkan<br />
produktivitas sayuran khususnya kacang panjang belum maksimal. Keadaan ini dibutuhkan inovasi teknologi<br />
pemupukan dan kesesuaian pola tanam khususnya dilahan kering. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui<br />
pengaruh dosis pupuk K pada hasil kacang panjang di lahan kering. Pengkajian dilaksanakan pada bulan<br />
Agustus sampai November 2011 di lokasi kebun BPP Playen, Gunung Kidul. Varietas kacang panjang yang<br />
digunakan adalah parade. Jarak tanam yang digunakan 50cmx50cm. Rancangan pengkajian yang digunakan<br />
adalah RAKL dengan menerapkan 4 perlakuan yaitu P0 ( kontrol, Tanpa Pupuk K), P1 ( Pupuk K Dosis 25<br />
Kg/ha), P2 ( Pupuk K dosis 50 Kg/ha), P3 (Pupuk K dosis 100 Kg/ha). Sebagai pupuk dasar masing-masing<br />
perlakuan diberikan pupuk organik 500 kg/ha, pupuk ZA 50 kg/ha, NPK mutiara 25 kg/ha. Hasil Pengkajian<br />
menunjukkan pada perlakuan P2 (pupuk K dosis 50 Kg/ha) mendapatkan hasil produktivitas tertinggi yaitu 4<br />
ton/ha. Hal ini diikuti oleh perlakuan P1 3,76 ton/ha, P0 3,44 ton/ha dan P3 3,68 ton/ha. perlakuan pupuk K<br />
dosis 50 Kg/ha berbeda nyata dengan kontrol.<br />
Katakunci: Pupuk; Kacang panjang; Lahan kering<br />
ABSTRACT. Srihartanto, E dan Hardani, AK 2013. K Fertilifer Addition in Efforts to Improve<br />
Producttivity of Long Beans in Dry Land. Dry land has limited water and nutrient availability this led to the<br />
productivity of vegetables, especially green beans is not maximized. This state of the technology innovation<br />
needed fertilization and cropping suitability dilahan particularly dry. This study aims to determine the effect of<br />
K fertilizer dose on the outcome of long bean in dry land. Assessments carried out from August to November<br />
2011 at the location of BPP Playen, Gunungkidul. Bean varieties used are the parade. Spacing is used<br />
50cmx50cm. The draft assessment is used to apply the 4 treatments RAKL namely P0 (control, no fertilizer K),<br />
P1 (K fertilizer dose of 25 kg / ha), P2 (K fertilizer dose of 50 kg / ha), P3 (K fertilizer dose of 100 Kg / ha). As<br />
basal fertilizer each treatment given organic fertilizer 500 kg / ha, ZA 50 kg / ha, NPK pearl 25 kg / ha. Data<br />
collected includes the growth and productivity gains. Significance test carried out by ANOVA and Duncan test<br />
at 5% myrtle. Assessment results show the treatment P2 (K fertilizer dose of 50 kg / ha) to get the highest<br />
productivity of 4 tons / ha. This was followed by treatment of P1 3.76 tonnes / ha, P0 3.44 tons / ha and P3 3.68<br />
tonnes/ha. K fertilizer treatment dose of 50 kg/ha significantly different from controls.<br />
Keywords: K fertilizer dose; Long Beans; Dry Land<br />
Sekitar 52% (+167.137 ha) dari luas wilayah Propinsi DIY (318.580 ha) merupakan lahan<br />
kering potensial untuk pengembangan pertanian. Dari luasan lahan kering tersebut, sekitar 63% nya<br />
(104.933 ha) terdapat di wilayah kabupaten Gunungkidul (BPS-Propinsi DIY, 2008). Menurut<br />
Mulyadi et al. (2004) seperti kawasan lahan kering beriklim kering pada umumnya, permasalahan<br />
utama yang dihadapi dan perlu mendapat perhatian dalam upaya pengembangan pertanian adalah<br />
lahan yang rawan terhadap erosi dan produktivitasnya rendah karena sebagian besar (+ 60%)<br />
berlereng > 15 %, kesuburan tanah umumnya rendah dan keterbatasan air untuk usahatani akibat<br />
musim kering yang relatif panjang.<br />
Kabupaten Gunungkidul mempunyai topografi dataran perbukitan dan pegunungan. Kondisi<br />
ini menunjukkan ciri pertanian yang terbentuk adalah pertanian lahan kering di lahan pekarangan,<br />
tegalan dan sawah tadah hujan (Sutrisno, 2007). Lahan kering atau upland mempunyai ciri –ciri<br />
produktivitas yang rendah dengan resiko yang tinggi. Resiko yang dihadapi adalah iklim, kekeringan,<br />
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan lainnya yang menyebabkan kegagalan panen<br />
(Notohadiprawiro, 2006). Pengembangan budidaya kacang panjang di lahan kering Kabupaten<br />
Gunungkidul mencapai 197 ha, yang tersebar di 18 kecamatan. Produktivitas Kacang panjang di<br />
wilayah kabupaten Gunungkidul mencapai 2,99 ton/ha (BPS-Kab Gunungkidul, 2010). Keadaan ini<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│175
Penambahan Pupuk K dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kacang Panjang di Lahan Kering<br />
Srihartanto, E 1) dan Hardani, AK 2)<br />
memungkinkan adanya peluang penerapan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas kacang<br />
panjang, mengingat kebutuhan konsumsi masyarakat akan sayuran terus meningkat.<br />
Kacang panjang merupakan sayuran yang dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun diolah<br />
menjadi sayur. Kandungan gizi yang ada pada kacang panjang adalah protein, lemak, karbohidrat,<br />
kalsium, fosfor, besi, vitamin B dan C (Saidah et al., 2008). Kandungan protein nabati pada sayur<br />
kacang panjang berkisar 17-21 %. Nilai gizi kacang panjang (mentah) per 100g (3.5 oz) Energi 196 kJ<br />
(47kcal), Karbohidrat 8 g, Diet serat 3,6 g, Lemak 0 g dan Protein 3 g (USDA Nutrient database).<br />
Pemupukan dilakukan untuk mencukupi atau menambah unsur hara yang dibutuhkan tanaman<br />
dari dalam tanah. Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan pemupukan pada tanaman sesuai<br />
kebutuhan tanaman sehingga pemupukan harus berimbang. Pemupukan berimbang baik unsur makro<br />
(N,P,K,S,C,H,O,Mg,Ca) dan mikro (Fe, Mn, Cu, Cl, Na, Si, Zn, Mo, B, Co) merupakan faktor<br />
pendukung yang sangat penting dalam budidaya sayuran khususnya kacang panjang. Salah satu upaya<br />
menambahkan unsur hara khususnya di tanah kering adalah dengan penambahan pupuk K. Pupuk K<br />
berfungsi meningkatkan sumber karbohidrat (gula) di dalam tanaman; memperkuat tubuh tanaman<br />
sehingga tak mudah rebah; memperkuat daun, bunga dan buah sehingga tidak mudah lepas dari<br />
tangkainya serta relatif tahan terhadap penyakit. Kalium merupakan salah satu unsure hara makro<br />
yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang besar. Nelson dalam Mapegau (2001), mengemukakan<br />
bahwa penambahan kalium dapat meningkatkan laju difusi sehingga pengaruh yang merugikan akibat<br />
kekeringan dapat diperkecil. Sebaliknya tanaman yang kekurangan K akan berakibat daun-daun<br />
berwarna kuning, coklat, tepi daun seperti terbakar, tanaman tidak tahan kekurangan air, menurunkan<br />
hasil buah dan daun serta mudah terkena penyakit (AAK, 1992).<br />
Pengkajian ini bertujuan mengetahui pengaruh dosis pupuk K pada hasil kacang panjang di<br />
lahan kering di gunungkidul.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Pengkajian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai November 2011 di lokasi kebun BPP Playen,<br />
Gunungkidul. Varietas kacang panjang yang digunakan adalah parade. Jarak tanam yang digunakan<br />
50 cm x 50 cm. Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAKL dengan menerapkan empat<br />
perlakuan yaitu P0 ( kontrol, Tanpa Pupuk K), P1 ( Pupuk K Dosis 25 Kg/ha), P2 ( Pupuk K dosis 50<br />
Kg/ha), P3 (Pupuk K dosis 100 Kg/ha) dan tiga ulangan. Sebagai pupuk dasar masing-masing<br />
perlakuan diberikan pupuk organik 500 kg/ha, pupuk ZA 50 kg/ha, NPK mutiara 25 kg/ha. Data yang<br />
dikumpulkan meliputi data pertumbuhan dan hasil produktivitas kedelai. Uji signifikansi dilakukan<br />
dengan ANOVA dan Uji Duncan pada murad 5%.<br />
Keragaan Pertumbuhan Tanaman<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Tabel 1. Data tinggi tanaman dan jumlah daun tanaman minggu ke 4, 6 dan 9.<br />
Perlakuan<br />
Tinggi Tanaman<br />
Jumlah Daun<br />
4 minggu 6 minggu 9 minggu 4 minggu 6 minggu 9 minggu<br />
Tanpa Pupuk K 44,17 A 163,33 a 257,08 a 4 a 13 a 21 A<br />
Pupuk K 25Kg/ha 46,42 A 150,42 a 194,17 a 4 a 12 a 20 A<br />
Pupuk K 50<br />
Kg/ha 39,83 A 133,33 a 217,50 a 4 a 10 a 20 A<br />
Pupuk K 100<br />
Kg/ha 35,42 A 128,42 a 206,67 a 3 a 10 a 16 A<br />
Keterangan : Rerata yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom menunjukkan tidak ada beda nyata pada taraf nyata 5%.<br />
Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian pupuk K pada berbagai dosis perlakuan tidak<br />
memberikan perbedaan nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun kacang panjang pada minggu<br />
ke 4, 6 dan 9 setelah tanam. Hal ini disebabkan unsur hara yang diserap tanaman untuk pertumbuhan<br />
telah tersedia cukup karena pada perlakuan diberikan pupuk organik dan NPK saat awal pertumbuhan<br />
176│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Penambahan Pupuk K dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kacang Panjang di Lahan Kering<br />
Srihartanto, E 1) dan Hardani, AK 2)<br />
yang diberikan sebagai pupuk dasar. Proses asimilasi berjalan dengan baik sehingga fotosintat yang<br />
dihasilkan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kacang panjang.<br />
Bertambahnya tinggi tanaman dan jumlah daun membuktikan bahwa telah terjadi pembelahan<br />
sel dan pembentukan sel-sel baru akibat fungsi kandungan hara dalam pupuk. Unsur hara makro<br />
dalam NPK maupun dalam pupuk kandang berperan dalam pembentukan klorofil. Menurut Mohr dan<br />
Schopfer (1994) klorofil merupakan tempat berlangsungnya fotosintesis yang selanjutnya<br />
menghasilkan karbohidrat sebagai sumber energi untuk pertumbuhan tanaman.<br />
Keragaan Hasil Kacang Panjang<br />
Tabel 2. Data produktivitas kacang panjang varietas pardede di lahan kering Gunungkidul<br />
Perlakuan<br />
Produktivitas Hasil kg/ha<br />
Tanpa Pupuk KCl 3440 b<br />
Pupuk KCl 25Kg/ha 3760 ab<br />
Pupuk KCl 50 Kg/ha 4000 a<br />
Pupuk KCl 100 Kg/ha 3680 ab<br />
Keterangan : rerata yang diikuti huruf yang sama pada baris dan kolom menunjukkan tidak ada beda nyata pada taraf nyata 5%.<br />
Tabel 2 menunjukkan perlakuan pupuk Kcl 50 Kg/ha terjadi perbedaan nyata antara perlakuan<br />
dibandingkan dengan kontrol (tanpa pupuk KCl), namun pada perlakuan Pupuk KCl 25 Kg/ha dan<br />
Pupuk KCl 100 Kg/ha menunjukkan tidak berbeda nyata dengan kontrol.<br />
Produksi kacang panjang sangat berpengaruh terhadap banyaknya cadangan makanan yang<br />
terbentuk dari proses metabolism karbohidrat. Hasil Pengkajian menunjukkan bahwa penambahan<br />
Pupuk KCl dosis 50 Kg/ha menghasilkan produktivitas kacang panjang tertinggi (4000 Kg/ha)<br />
dibandingkan dengan perlakuan lain. Banyaknya daun yang dihasilkan oleh tanaman menjadikan<br />
tanamn mampu berfotosintesis dengan baik sehingga dapat menghasilkan karbohidrat sebagai sumber<br />
energi untuk proses pembentukan biji.<br />
Meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan pukan KCl 50 Kg/ha,.peningkatan dosis pupuk<br />
KCl menjadi 100 Kg/ha dan pengurangan dosis pupuk KCl menjadi 25 Kg/ha pada pengkajian ini<br />
menyebabkan penurunan jumlah produktivitas masing-masing 3680 kg/ha dan. 3760 Kg/ha. Hal ini<br />
dikarenakan pada tingkat pemupukan yang terlalu tinggi atau rendah akan dapat menurunkan fiksasi<br />
N sehingga dapat membatasi keberhasilan dalam pembentukan buah dan berakibat hasil kacang<br />
panjangnya juga rendah.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│177
Penambahan Pupuk K dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kacang Panjang di Lahan Kering<br />
Srihartanto, E 1) dan Hardani, AK 2)<br />
Analisa Usahatani Budidaya Kacang Panjang<br />
Tabel 3. Analisa usahatani kacang panjang luasan 1 ha MT 2 di lahan kering Gunungkidul<br />
I<br />
No Rincian Jumlah Satuan<br />
II<br />
BIAYA TETAP<br />
Harga<br />
(Rp)<br />
Usahatani Konsumsi<br />
Dibayarkan<br />
1 Sewa Lahan 1 ha 2,000,000.00<br />
Diperhitungkan<br />
2 Sewa Hand spayer 80,000.00<br />
3 Sewa Cangkul 50,000.00<br />
4 Pajak Bumi dan Bangunan 50,000.00<br />
5 penyusutan alat (Hand Sprayer) 45,000.00<br />
6 Penyusutan alat (Cangkul) 45,000.00<br />
BIAYA TETAP (FC) 2,140,000.00 130,000.00<br />
A TOTAL BIAYA TETAP (TVC) 2,270,000.00<br />
BIAYA VARIABEL<br />
1 Sarana Produksi<br />
a Benih 25 Kg 10,000.00 250,000.00<br />
b Mulsa plastik perak hitam 10 ROL 450,000.00 4,500,000.00<br />
c Pupuk ZA 50 Kg 11,000.00 550,000.00<br />
d Pupuk Kandang 500 Kg 500.00 250,000.00<br />
g Pupuk NPK Mutiara 25 Kg 11,000.00 275,000.00<br />
h Ajir 1000 buah 250.00 250,000.00<br />
i Pupuk Kcl 50 Kg 11,000.00 550,000.00<br />
2 Tenaga Kerja<br />
a Pengolahan tanah 15 HOK 30,000.00 450,000.00<br />
b. Penanaman 10 HOK 30,000.00 240,000.00 60,000.00<br />
c Penyiangan 10 HOK 30,000.00 240,000.00 60,000.00<br />
d Pemupukan 7 HOK 30,000.00 150,000.00 60,000.00<br />
e Penyiraman 15 HOK 30,000.00 450,000.00 60,000.00<br />
f Panen 10 HOK 30,000.00 240,000.00 60,000.00<br />
Biaya Variabel (VC) 8,395,000.00 300,000.00<br />
Total Biaya Variabel (TVC) 8,695,000.00<br />
Total Cost (TC/ INPUT) = TFC + TVC (A + B) 10,965,000.00<br />
178│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Penambahan Pupuk K dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kacang Panjang di Lahan Kering<br />
Srihartanto, E 1) dan Hardani, AK 2)<br />
Rincian<br />
Hasil yang diperoleh<br />
Jumlah<br />
Produksi<br />
Usahatani Konsumsi<br />
Satuan Harga Satuan Total Output<br />
Kacang panjang tanpa KCl 3440 Kg 4,000.00 13,760,000.00<br />
Kacang panjang dengan 25 KCl 3760 Kg 4,000.00 15,040,000.00<br />
Kacang panjang dengan 50 KCl 4000 Kg 4,000.00 16,000,000.00<br />
Kacang panjang dengan 100 Kcl 3680 Kg 4,000.00 14,720,000.00<br />
Nilai BC ratio serta nilai kelayakan Usahatani Kacang Panjang<br />
Perlakuan Total Output Total Input Pendapatan B/C Ratio Keterangan<br />
Kacang panjang tanpa KCl 13,760,000.00 10,965,000.00 795,000.00 1.254902 Layak<br />
Kacang panjang dengan 25 KCl 5,040,000.00 10,965,000.00 4,075,000.00 1.371637 Layak<br />
Kacang panjang dengan 50 KCl 16,000,000.00 10,965,000.00 5,035,000.00 1.4591883 Layak<br />
Kacang panjang dengan 100 KCl 14,720,000.00 10,965,000.00 3,755,000.00 1.3424533 Layak<br />
KESIMPULAN<br />
1. Penambahan pupuk KCl dosis 50 Kg/ha dapat meningkatkan hasil produktivitas kacang panjang<br />
terbaik yaitu 4 ton/ha, sedangkan penambahan Pupuk KCl 25 kg/ha menghasilkan 3760 Kg/ha,<br />
penambahan Pupuk Kcl 100 Kg/ha menghasilkan dan tanpa penambahan pupuk KCl hanya<br />
menghasilkan 3440 Kg/ha.<br />
2. Pemberian pupuk KCl 25 kg/ha, 50 kg/ha, 100 Kg/ha dan tanpa penambahan KCl masing-masing<br />
mempunyai BC ratio 1,37, 1,45, 1,34 dan 1,25 ini menunjukkan bahwa budidaya kacang panjang<br />
di lahan kering Gunungkidul yang ditanam pada MT2 layak untuk diusahakan untuk usahatani.<br />
PUSTAKA<br />
1. AAK 1992, Petunjuk praktisbBertanam sayuran, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.<br />
2. BPS Provinsi DIY, 2008, Yogyakarta dalam angka, Badan Pusat Statistik, Yogyakarta.<br />
3. Mulyadi, I. Purwanto, A M. Gusmida, Sunaryana, Salamhadi, dan Budiono. 2004. ”Pemupukan P<br />
dan K spesifik lokasi untuk padi di lahan Walik jerami berdasarkan hasil uji tanah”, dalam:<br />
Prosiding Seminar Nasional Penerapan dan Inovasi Teknologi dalam Agribisnis sebagai Upaya<br />
Pemberdayaan Rumah Tangga Tani. Yogyakarta.<br />
4. Mapegau 2001, ‘Pengaruh pupuk kalium dan kadar air tanah tersedia terhadap serapan hara pada<br />
tanaman jagung kultivar arjuna’, Jurnal ilmu-ilmu pertanian Indonesia, vol. 3, no. 2, hlm. 107-10.<br />
5. Mohr, H and Schoper, P 1994, Plant physiology, Springer, New York.<br />
6. Notohadiprawiro, T 2006, <strong>Pertanian</strong> lahan kering di Indonesia; potensi, prospek, kendala dan<br />
pengembangannya, UGM, Yogyakarta.<br />
7. Saidah dan Abdi Negara 2008, Petunjuk teknis: teknik budidaya sayuran dataran rendah, Balai<br />
Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah.<br />
8. Sutrisno 2007. Penguatan teknologi tepat guna pada pemberdayaa pertanian jagung dan<br />
peternakan sapi secara terpadu, LPM UMY, Yogyakarta<br />
9. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.phptabel=1&daftar=1&id_subyek=55¬ab=20<br />
http://id.wikipedia.org/wiki/Kacang_panjang (USDA Nutrient Database)<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│179
Pengaruh Media Tumbuh dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Anggrek Vanda<br />
Ginting, B dan Prasetya, V. J.<br />
Pengaruh Media Tumbuh dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman<br />
Anggrek Vanda<br />
Ginting, B dan Prasetya, V. J.<br />
Balai Penelitian Tanaman Hias, Jl. Raya Ciherang – Pacet, Cianjur 43253<br />
ABSTRAK. Berbagai bahan dapat dimanfaatkan sebagai media tumbuh anggrek, seperti sabut kelapa.<br />
Pertumbuhan anggrek Vanda yang lamban dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis media tumbuh dan<br />
pemupukan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan media tumbuh dan pupuk yang sesuai untuk<br />
pertumbuhan tanaman anggrek Vanda. Percobaan dilaksanakan di rumah sere Kebun Percobaan Balai Penelitian<br />
Tanaman Hias Pasarminggu, Jakarta Selatan dari Bulan Juni 2005 sampai dengan Desember 2006. Penelitian<br />
menggunakan rancangan Petak-petak terbagi dengan tiga ulangan. Sebagai petak utama ialah varietas (V) yang<br />
terdiri atas V102 (VI); V159 (V2), dan V160 (V3). Anak-anak petak adalah pemupukan terdiri atas: a. P1<br />
(kontrol) ; b. P2 (pupuk NPK 25:5:10) dan c. P3 (pupuk organik cair). Anak-anak petak ialah media tanam yang<br />
terdiri dari (a). Pakis (M1) ; (b). Potongan sabut kelapa (M2) dan (c). Kompos daun Kaliandra (M3). Hasil<br />
penelitian menunjukkan bahwa media potongan sabut kelapa memberikan pengaruh nyata dalam meningkatkan<br />
jumlah daun dan tinggi tanaman pada umur 9 bulan setelah tanam. Pupuk organik cair berpengaruh nyata<br />
meningkatkan tinggi tanaman pada umur 12 bulan setelah tanam. Di antara kultivar terdapat perbedaan pada<br />
jumlah daun terbanyak saat umur 12 bulan setelah tanam.<br />
Katakunci: Anggrek Vanda; Media tumbuh; Pemupukan; Pertumbuhan<br />
ABSTRACT. Benamehuli, G., dan V. Jaka Prasetya. 2013. The Effect of Growing Media and<br />
Fertilization on The Vegetatif Growth of Vanda Orchid. Some materials around can be used as growing<br />
media such as coconut husk. Many factors can affect the slow growth of Vanda i.e. kinds of medium and<br />
fertilizer. The experiment was aimed to find out the growing media and fertilizer suitabel for Vanda orchid<br />
growth. The experiment was conducted at the shading house of experimental garden of Research Institute for<br />
Ornamental Plants in Pasarminggu South Jakarta form June 2005 to December 2006. Split plot design was used<br />
in experiment with tree replications. Variety was used as the main plot, which consists of V102 (VI); V159<br />
(V2), dan V160 (V3). Fertilization was used as the sub plot. There were tree kinds of fertilizer : a. P1 (no<br />
fertilizer) ; b.P2 (no fertilizer ; b.P2 (NPK 25:5:10); c. P3 (organik liquid fertilizer). Meanwhile, the sub plot<br />
was growing media, which consist of a. Fern (M1); b. Pieces of Coconut hust (M2) ; Kaliandra leaf manure<br />
(M3). The result showed that pieces of coconut hust medium increased leaf number and plant height<br />
significantly 9 months after planting. The organic liquid fertilizer increased plant height significantly 12 months<br />
aftre planting. The increased leaf number at 12 months after planting different significantly between varieties<br />
tested.<br />
Keywords: Vanda Orchid; Fertilization application; Growing medium; Growth.<br />
Anggrek Vanda digemari karena keindahan dan kecantikan bunganya. Pada tahun 1960-an<br />
anggrek Vanda merupakan favorit di Indonesia, terutama yang berbentuk semiterete. Anggrek ini<br />
mudah ditanam secara tradisional tanpa naungan. Salah satu jenis yang populer ialah Vanda Pride<br />
varietas Genta Bandung (Varietas dauglas) (Parnata 1996).<br />
Salah satu masalah dalam pengembangan anggrek Vanda ialah pertumbuhan lambat, sehingga<br />
usaha tani anggrek Vanda kurang diminati petani. Petani cenderung memelihara tanaman yang siap<br />
berbunga karena memperhitungkan masa pemeliharaan dan biaya produksinya.<br />
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan perkembangan generatif tanaman<br />
anggrek umumnya antara lain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu komponen iklim seperti<br />
cahaya, suhu dan kelembaban, serta faktor lain seperti pemupukan yang tepat dan intensif serta jenis<br />
media tumbuh yang digunakan (Widiastoety et al. 2000).<br />
Anggrek Vanda spesies memiliki kebiasaan tumbuh sebagai epifit atau menempel di dahandahan<br />
pohon dan mempunyai akar yang panjang. Akar-akarnya sebagian besar tumbuh di ruang<br />
terbuka dan mengalami periode basah dan kering silih berganti sehingga apabila dibudidayakan<br />
180│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Media Tumbuh dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Anggrek Vanda<br />
Ginting, B dan Prasetya, V. J.<br />
sebagai tanaman pot, menghendaki media porous dan banyak menyimpan air. Media tumbuh yang<br />
sering digunakan ialah arang, bata merah, pakis, dan sabut kelapa.<br />
Judiwhite (1986) melaporkan bahwa media tanam anggrek yang banyak digunakan di Amerika<br />
pada umumnya ialah Arang (37%) dibandingkan dengan sabut kelapa (1%). Menurut Bahar &<br />
Widiastoety (1994), pakis adalah media yang paling banyak dipakai anggrek Vanda. Pakis memiliki<br />
daya mengikat air, aerasi dan drainase yang baik, sukar melapuk, tetapi mengandung sedikit unsur<br />
hara sedangkan harganya relatif mahal karena semakin menipisnya persediaan pakis di hutan-hutan<br />
(Batchelor 1983).<br />
Di Indonesia banyak terdapat sabut kelapa dan nilainya murah sehingga akan lebih baik apabila<br />
dimanfaatkan sebagai media tumbuh anggrek. Widiastoety & Suwanda (1980), melaporkan bahwa<br />
sabut kelapa mempunyai kelebihan yaitu mengandung selulosa, pentosa, lignin, kalium, dan beberapa<br />
unsur lain di samping mempunyai daya mengikat air yang baik. Kompos daun Kaliandra juga baik<br />
digunakan sebagai media, terutama pada stadia vegetatif yang masih kecil karena mempunyai kalium<br />
N yang sangat tinggi (Sutiyoso 1996).<br />
Vanda termasuk salah satu jenis anggrek yang dalam kondisi perakaran sehat membutuhkan<br />
pupuk yang banyak (heavy feeders) sehingga pupuk menjadi sangat penting bagi pertumbuhan<br />
tanaman (Soule 1984, Mirri 1990). Kebutuhan pupuk pada tanaman tidak sama, tergantung besar<br />
kecilnya tanaman dan kondisi lingkungan tumbuhnya. Pada fase pertumbuhan vegetatif, tanaman<br />
membutuhkan banyak pupuk dengan kandungan N tinggi. Di dalam jaringan tanaman, N dibentuk<br />
menjadi protein dan senyawa organik lainnya. Jika tanaman kekurangan unsur N, tanaman terlihat<br />
kerdir dan pembentukan klorofil menurun sehingga daun tampak berwarna kuning atau klorosis<br />
(Batchelor 1981). Selain itu, saat ini telah beredar pupuk berbentuk larutan nutrisi komersial untuk<br />
tanaman hortikultura yang mengandung hara makro N, P, K, Ca, Mg, dan S serta hara Mikro B, Fe,<br />
Mn, Zn, Cu, dan Mo yang bisa dipergunakan untuk tanaman anggrek.<br />
Hipotesis penelitian ialah penggunaan berbagai jenis media dan pemberian pupuk berbentuk<br />
larutan nutrisi yang mengandung hara makro maupun mikro yang lengkap maupun pupuk dengan<br />
kandungan N tinggi dapat meningkatkan laju pertumbuhan anggrek Vanda yang diteliti. Tujuan<br />
penelitian ini ialah mendapatkan jenis media dan pupuk yang sesuai untuk meningkatkan<br />
pertumbuhan anggrek Vanda sehingga berproduksi tinggi, efisien, dan bermutu tinggi.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sere Kebun Percobaan Tanaman Hias Pasarminggu,<br />
Jakarta Selatan pada ketinggian 50 m dpl., dari Bulan Juni 2005 sampai dengan Desember 2006.<br />
Bahan tanaman yang digunakan ialah bibit tanaman anggrek Vanda berumur ± 6 bulan dengan tinggi<br />
berkisar 5-6 cm dan memiliki 2-3 helai daun, terdiri atas tiga varietas yaitu :<br />
1. V 102 ( V.Lotus City / Ascda Medasant >< Ascda Gua Chia Long)<br />
2. V 159 ( V.Kasem’s Delight Purple Blue >< V.Dr. Anek / Pompimol)<br />
3. V 160 ( V.Sanderian’Selected, / Packhong Siam’Pink >< V.Lumpini Red)<br />
Petak percobaan disusun menurut rancangan split-split plot design dengan tiga ulangan. Perlakuan<br />
petak utama ialah tiga kultivar (varietas) yaitu V102 (VI); V159 (V2), V160 (V3). Perlakuan pupuk<br />
sebagai anak petak yaitu : (a). P1 ialah kontrol; (b). P2 ialah pupuk NPK 25-5-10; dan (c). P3 ialah<br />
pupuk organik cair Nutrifarma AG dengan kandungan nutrisi yaitu N 5,48%, P205 3,33%, K20<br />
2,59%, S 0,75%, B 0,014%, Co 0,01%, Cu 0,25%, Fe 0,32%, Mn 0,26% dan Mo 5 ppm, Zn 0,53%.<br />
Sedangkan perlakuan media ialah sebagai anak petak yang terdiri dari: (a) pakis (M1), (b) potongan<br />
sabut kelapa (M2), dan (c) kompos daun Kaliandra (M3). Masing-masing perlakuan terdiri atas lima<br />
tanaman sehingga jumlah bibit anggrek yang digunakan adalah 3 x 3 x 3 x 3 x 5 tanaman = 405<br />
tanaman. Beda rerata antarperlakuan diuji dengan Tukey test pada taraf 5%.<br />
Cara pemberian pupuk adalah sebagai berikut :<br />
1. Pupuk NPK 25-5-10 diberikan 2 kali seminggu dengan dosis 2 gr/l.<br />
2. Pupuk Organik Cair Nutrifarma AG diberikan 2 kali seminggu dengan dosisn 5 cc/l air.<br />
3. Bahan perata APSA-800 WSC dengan dosis 0,2 cc/l air.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│181
Pengaruh Media Tumbuh dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Anggrek Vanda<br />
Ginting, B dan Prasetya, V. J.<br />
Untuk pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit digunakan fungisida Dithane M-45 dan<br />
Insektisida Tamaron dengan konsentrasi masing-masing 0,1% dilakukan seminggu sekali secara<br />
bergantian.<br />
Media yang digunakan dalam penelitian ini ialah : (1) pakis cacahan, (2) potongan sabut kelapa<br />
dengan ukuran 2 x 3 cm, (3) Kaliandra cacahan yang sudah siap pakai.`Pengamatan dilakukan<br />
terhadap seluruh tanaman pada masing-masing perlakuan yang dilakukan setiap bulan. Peubah yang<br />
diamati meliputi jumlah daun, panjang daun, lebar daun, dan tinggi tanaman.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Data pertambahan jumlah daun, panjang daun, lebar daun, dan tinggi tanaman disajikan dalam<br />
Tabel 1, 2, 3, dan 4. Hasil analisis statistik memperlihatkan tidak ada pengaruh interaksi antar<br />
perlakuan terhadap semua peubah yang diamati. Varietas berpengaruh nyata terhadap jumlah daun<br />
pada umur 9 dan 12 bulan setelah tanam (BST). Pemupukan berpengaruh nyata terhadap pertambahan<br />
jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun pada umur 12 BST, demikian juga terhadap pertumbuhan<br />
tinggi tanaman pada umur 9 dan 12 BST, sedangkan media tumbuh berpengaruh nyata terhadap<br />
pertambahan jumlah daun pada umur 12 BST dan terhadap tinggi tanaman pada umur 9 BST.<br />
Tabel 1. Pengaruh media tumbuh dan pemupukan terhadap pertambahan jumlah daun tanaman<br />
anggrek Vanda.<br />
Pelakuan<br />
Jumlah daun<br />
6 bulan 9 bulan 12 bulan<br />
A. Varietas (Variety)<br />
- V102<br />
- V159<br />
- V160<br />
B. Pupuk (Fertilizer)<br />
- Kontrol / Control<br />
- NPK 25:5:10<br />
- Organik cair (Liquid<br />
organik fertilizer)<br />
C. Media<br />
- Pakis (Fern)<br />
- Potongan Sabut Kelapa<br />
- Kaliandra<br />
0,902 a<br />
1,030 a<br />
0,801 a<br />
0,770 a<br />
0,887 a<br />
0,896 a<br />
0,900 a<br />
1,019 a<br />
0,814 a<br />
1,604 a<br />
1,241 ab<br />
0,927 b<br />
1,149 a<br />
1,481 a<br />
1,521 a<br />
1,111 a<br />
1,383 a<br />
1,279 a<br />
2,991 a<br />
2,845 a<br />
1,698 b<br />
1,302 b<br />
1,980 a<br />
2,162 a<br />
2,224 ab<br />
2,650 a<br />
1,825 b<br />
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey 5 % ( Number followed by the same column are<br />
not significantly different at 5%)<br />
Dari data pada tabel pertama, dapat dilihat bahwa varietas V102 pada umur 9 bulan<br />
menghasilkan pertambahan jumlah daun yang lebih tinggi yaitu 1,604 diikuti oleh varietas V159 yaitu<br />
1,241 dan berbeda nyata dengan varietas V160 yang menghasilkan pertambahan jumlah daun terkecil<br />
yaitu 0,93. Perbedaan pertambahan jumlah daun pada masing-masing varietas tersebut bersifat<br />
genetis.<br />
Pemupukan cenderung meningkatkan jumlah daun. Pada umur 12 BST terlihat bahwa<br />
pemberian pupuk organik cair menghasilkan pertambahan 2,16 daun yang tidak berbeda nyata dengan<br />
pupuk NPK (25:5:10) sebanyak 1,98 daun namun berbeda nyata dengan perlakuan tanpa dipupuk<br />
(1,302 daun). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman memberi respon yang baik terhadap kedua jenis<br />
pupuk yang diberikan.<br />
Bila dilihat dari kandungan nutrisinya, kedua jenis pupuk yang digunakan mengandung N yang<br />
diduga merupakan unsur utama pendorong pertumbuhan di dalam jaringan tanaman, unsur N dibentuk<br />
menjadi protein dan senyawa organik lainnya untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan<br />
tanaman. Hidayat & Rosliani (1996) menyimpulkan bahwa tanaman yang kurang mendapat N tampak<br />
lebih pendek pertumbuhannya dan kemampuan memperbanyak diri lebih rendah dibanding dengan<br />
yang mendapat N lebih tinggi.<br />
Media tumbuh berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun pada umur 12 BST.<br />
Media potongan sabut kelapa menghasilkan pertambahan jumlah daun yang lebih banyak (2,650)<br />
182│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Media Tumbuh dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Anggrek Vanda<br />
Ginting, B dan Prasetya, V. J.<br />
yang tidak berbeda nyata dengan media pakis (2,22) namun berbeda nyata dengan media Kaliandra<br />
yang menghasilkan pertambahan jumlah daun terkecil (1,83).<br />
Tabel 2. Pengaruh media tumbuh dan pemupukan terhadap pertambahan panjang daun tanaman<br />
anggrek Vanda.<br />
Pelakuan<br />
Panjang daun<br />
6 bulan 9 bulan 12 bulan<br />
A. Varietas (Variety)<br />
- V102<br />
- V159<br />
- V160<br />
B. Pupuk (Fertilizer)<br />
- Kontrol / Control<br />
- NPK 25:5:10<br />
- Organik cair (Liquid<br />
organik fertilizer)<br />
C. Media<br />
- Pakis (Fern)<br />
- Potongan Sabut Kelapa<br />
- Kaliandra<br />
0,747 a<br />
0,609 a<br />
0,711 a<br />
0,743 a<br />
0,737 a<br />
0,881 a<br />
0,321 a<br />
0,148 a<br />
0,209 a<br />
1,471 a<br />
1,770 a<br />
1,428 a<br />
1,408 a<br />
1,702 a<br />
1,859 a<br />
1,630 a<br />
1,520 a<br />
1,519 a<br />
3,055 a<br />
3,089 a<br />
2,619 a<br />
1,807 b<br />
3,435 a<br />
3,541 a<br />
3,179 a<br />
2,855 a<br />
2,649 a<br />
Pertambahan Panjang dan Lebar Daun<br />
Hasil uji statistik pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa perlakuan varietas tidak berpengaruh<br />
nyata terhadap pertumbuhan panjang daun dari 6 sampai 12 BST. Namun varietas V159<br />
menghasilkan daun yang terpanjang (3,089), sedangkan perlakuan varietas V160 menghasilkan<br />
panjang daun terpendek (2,62).<br />
Selanjutnya data pada Tabel 2 memperlihatkan perlakuan varietas dan media tumbuh tidak<br />
menunjukkan pengaruh nyata, namun pertambahan panjang daun cenderung meningkat dari 6 sampai<br />
12 BST. Pemupukan cenderung meningkatkan pertambahan panjang daun, hal ini terlihat pada umur<br />
12 BST. Pupuk organik cair menghasilkan pertambahan daun terpanjang yang diikuti oleh pupuk<br />
NPK 25-5-10 yaitu masing-masing 3,541 cm dan 3,435 cm.<br />
Tabel 3. Pengaruh media tumbuh dan pemupukan terhadap pertambahan lebar daun tanaman anggrek<br />
Vanda.<br />
Pelakuan<br />
A. Varietas (Variety)<br />
- V102<br />
- V159<br />
- V160<br />
B. Pupuk (Fertilizer)<br />
- Kontrol / Control<br />
- NPK 25:5:10<br />
- Organik cair (Liquid<br />
organik fertilizer)<br />
C. Media<br />
- Pakis (Fern)<br />
- Potongan Sabut Kelapa<br />
- Kaliandra<br />
Pertambahan lebar daun<br />
6 bulan 9 bulan 12 bulan<br />
1,151 a<br />
1,292 a<br />
1,252 a<br />
1,130 a<br />
1,357 a<br />
1,207 a<br />
1,331 a<br />
1,481 a<br />
0,882 a<br />
0,186 a<br />
0,259 a<br />
0,266 a<br />
0,222 a<br />
0,196 a<br />
0,193 a<br />
0,249 a<br />
0,174 a<br />
0,187 a<br />
0,396 a<br />
0,576 a<br />
0,459 a<br />
0,530 b<br />
0,650 a<br />
0,836 a<br />
0,372 a<br />
0,347 a<br />
0,446 a<br />
Hasil uji statistik pada tabel 3 memperlihatkan bahwa pertambahan lebar daun dari 6 sampai 12<br />
bulan setelah tanam tidak dipengaruhi oleh varietas, pupuk dan jenis media tumbuh.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│183
Pengaruh Media Tumbuh dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Anggrek Vanda<br />
Ginting, B dan Prasetya, V. J.<br />
Tabel 4. Pengaruh media tumbuh dan pemupukan terhadap pertambahan tinggi tanaman anggrek<br />
Vanda.<br />
Pelakuan<br />
A. Varietas (Variety)<br />
- V102<br />
- V159<br />
- V160<br />
B. Pupuk (Fertilizer)<br />
- Kontrol / Control<br />
- NPK 25:5:10<br />
- Organik cair (Liquid<br />
organik fertilizer)<br />
C. Media<br />
- Pakis (Fern)<br />
- Potongan Sabut Kelapa<br />
- Kaliandra<br />
Pertambahan tinggi tanaman (Plan hight increment)<br />
6 bulan 9 bulan 12 bulan<br />
1,495 a<br />
1,840 a<br />
1,369 a<br />
1,452 a<br />
1,840 a<br />
1,912 a<br />
1,827 a<br />
1,734 a<br />
1,143 a<br />
1,794 a<br />
1,910 a<br />
1,570 a<br />
1,483 a<br />
2,851 a<br />
2,941 a<br />
1,593 a<br />
2,099 a<br />
1,583 a<br />
4,158 a<br />
3,605 a<br />
3,130 a<br />
2,544 b<br />
3,127 a<br />
4,523 a<br />
3,463 a<br />
4,227 a<br />
3,304 a<br />
Pertambahan Tinggi Tanaman<br />
Hasil uji statistik pada Tabel 4 menunjukkan bahwa varietas tidak berpengaruh nyata pada<br />
tinggi tanaman namun perlakuan varietas V102 memiliki nilai pertambahan tertinggi pada umur 12<br />
BST. Perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman baik pada umur<br />
9 maupun 12 BST. Pupuk organik cair meningkatkan pertambahan tinggi tanaman hingga 4,52 cm<br />
yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk NPK 25:5:10 yaitu: 3,127 cm. Dari hasil penelitian<br />
ini terlihat bahwa pemberian pupuk cenderung memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan<br />
dengan tanpa dipupuk pada setiap peubah yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan<br />
unsur hara yang cukup merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan<br />
tanaman. Pupuk organik cair dengan kandungan nutrisi makro dan mikro yang lengkap meningkatkan<br />
tersedianya hara yang yang lebih banyak dibutuhkan oleh tanaman dan ini diduga berpengaruh<br />
terhadap meningkatnya pertumbuhan jumlah daun, panjang daun, lebar daun maupun tinggi tanaman.<br />
Di samping itu pemberian pupuk organik cair yang disertai dengan penambahan bahan perata<br />
menyebabkan pupuk lebih cepat diserap oleh tanaman sehingga kebutuhan hara tanaman lebih<br />
terpenuhi.<br />
Pupuk NPK 25:5:10 selalu memberikan hasil yang baik dan tidak berbeda nyata dengan pupuk<br />
organic cair. Pengaruh tersebut mungkin dikarenakan tanaman anggrek Vanda yang digunakan<br />
sebagai bahan percobaan masih dalam fase pertumbuhan vegetatif sehingga memerlukan unsur N<br />
dalam jumlah yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Edmond et al. (1983) bahwa dalam proses<br />
pembentukan dan perkembangan tunas dibutuhkan nutrisi dalam jumlah besar. Unsur hara yang<br />
dibutuhkan dalam jumlah banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan tunas ialah unsur N.<br />
Media tumbuh berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman pada umur 9 BST<br />
dimana media potongan sabut kelapa menghasilkan tanaman yang tertinggi dan tidak berbeda nyata<br />
dengan media pakis, sedangkan media Kaliandra menghasilkan pertambahan tinggi tanaman yang<br />
terendah.<br />
Selanjutnya bila dilihat sejak umur 6 sampai 12 BST, media potongan sabut kelapa cenderung<br />
memiliki nilai pertambahan yang tertinggi terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman, diikuti oleh<br />
media pakis. Hal ini menunjukkan bahwa potongan sabut kelapa maupun pakis sesuai untuk<br />
pertumbuhan tanaman anggrek Vanda. Bila ditinjau dari sifat fisiknya, sabut kelapa di antaranya<br />
memiliki daya menyimpan air yang baik yaitu mampu menyimpan air 6–8 kali berat keringnya<br />
(Ketaren & Djatmiko 1981). Kapasitas memegang air yang tinggi sangat penting bagi retensi yang<br />
lebih dalam terhadap kelembaban media untuk menghindari kekeringan (Sinarium 1994). Selain itu,<br />
air merupakan salah satu senyawa pembentuk karbohidrat yang kemudian berubah menjadi pati dan<br />
digunakan sebagai cadangan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Widiastoety<br />
& Solvia 1998). Hasil penelitian terdahulu (Ginting et al. 1996) menunjukkan bahwa media sabut<br />
kelapa memberikan hasil yang lebih baik terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman Anggrek<br />
Dendrobium Sonia Deep Pink dibandiang media lainnya yang diuji.<br />
184│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Media Tumbuh dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Anggrek Vanda<br />
Ginting, B dan Prasetya, V. J.<br />
KESIMPULAN<br />
Dari hasil penelitian pengaruh media tumbuh dan pemupukan terhadap pertumbuhan vegetatif<br />
anggrek Vanda dapat disimpulkan bahwa :<br />
1. Media tumbuh potongan sabut kelapa berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah daun dan<br />
tinggi tanaman pada umur 9 BST. Penggunaan potongan sabut kelapa sebagai media<br />
menghasilkan pertambahan jumlag daun dan tinggi yang lebih besar daripada media pakis dan<br />
kaliandra.<br />
2. Penggunaan pupuk organic cair nyata meningkatkan pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun<br />
dan panjang daun namun tidak berbeda nyata dengan Pupuk NPK 25:5:10.<br />
PUSTAKA<br />
1. Batchelor, PS 1981, ‘Orchid cultural watering’, Amer. Orchid Soc. Bull., vol. 50, no. 8, pp. 945-<br />
52.<br />
2. Batchelor, SR 1983, ‘Phalaenopsi part 5’, Amer. Orchid Soc. Bull., vol. 52, no. 4, pp. 365-74.<br />
3. Farid A. Bahar & Widiatoety, D 1994, ‘Pengaruh kematangan sabut kelapa sebagai medium<br />
terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman anggrek cv. Aranda Berthabraga’, J.Hort. vol. 4, no. 1,<br />
hlm. 77-80.<br />
4. Benamehuli, G, Solvia, N, Prasetio, W & Sutater, T 1996, Pengaruh media tumbuh terhadap<br />
pertumbuhan anggrek Dendrobium Sonia Deep Pink, Prosiding Seminar Naional Tanaman Hias,<br />
Jakarta, hlm.157-62.<br />
5. Hidayat, A & Rosalina, R 1996, ‘Pengaruh pemupukan N, P, dan K pada pertumbuhan dan<br />
produksi bawang merah kultivar Sumenep’, J. Hort., vol. 5, no. 5, h;m. 39-43.<br />
6. Judywhite 1986, ‘Media mania-surveying the mixed-up realm of orchid potting materials’, Amer.<br />
Orchid Soc. Bull., vol. 55, no. 5, hlm. 488-500.<br />
7. Kako, S & Ohno, H 1980. The growth and flowering physiology of Cymbidium plant. In:<br />
Kashemsanta, MRS (ed.), Proceeding of the 9 th World Orchid Conference. Bangkok, Thailand,<br />
pp. 223-41.<br />
8. Ketaren, S & Djatmiko, B 1981, Daya guna kelapa. Jurusan Teknologi Industri, Fakultas<br />
Teknologi <strong>Pertanian</strong>, Institut <strong>Pertanian</strong> Bogor, Bogor.<br />
9. Mirro, M 1990, ‘For the love of Vand’, Amer. Orchid Soc. Bull., vol. 59, no. 7, pp. 690-95.<br />
10. Parnata, AS 1996, Tujuan dan arah hibridisasi Anggrek bunga potong dan pot, Unpublished.<br />
11. Singarium, P 1994, ‘Effect of coir pith as an amendement for tannery polkited soils’, Madras<br />
Aric. J., vol. 81, no. 10, hlm. 548-49.<br />
12. Soule, L.C. 1984. Media mania-surveying the mixed-up relam of orchid potting materials<br />
Amer.Orchid Soc. Bull., vol. 55, no. 5, hlm. 448-500.<br />
13. Sutiyoso, Y 1996, Pengaruh media terhadap pertumbuhan dan pembungaan tanaman Anggrek.<br />
Pengembangan Agribisnis Anggrek dalam era globalisasi. Perhimpunan Anggrek Indonesia,<br />
Yayasan Anggrek Indonesia, hlm. 70-83.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│185
Pengaruh Media Tumbuh dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Anggrek Vanda<br />
Ginting, B dan Prasetya, V. J.<br />
14. Widiastoety, D & Suwanda 1989, ‘Pengaruh berbagai macam media terhadap pertumbuhan<br />
anggrek Dendrobium Tang Swee Keng’, Bul.Penel.Hort., vol. XVIII, no. 3, hlm. 54-59.<br />
15. Widiastoety, D, Prasetyo, W & Solvia, N 2000, ‘Pengaruh naungan terhadap produksi tiga<br />
kultivar bunga anggrek Dendrobium’, J. Hort., vol. 9, no. 4, hlm. 302-306.<br />
186│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Media Tumbuh dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Anggrek Vanda<br />
Ginting, B dan Prasetya, V. J.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│187
BAGIAN 3.<br />
PROTEKSI<br />
188│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Aspek Ekonomi Pengendalian Ramah Lingkungan Vektor Virus Kuning (Bemisia tabaci Genn) pada Cabai<br />
Rahayu, H.S.P. dan Sukarjo<br />
Aspek Ekonomi Pengendalian Ramah Lingkungan Vektor Virus Kuning (Bemisia<br />
tabaci Genn) pada Cabai<br />
Rahayu, H.S.P. dan Sukarjo<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Sulawesi Tengah<br />
Jl. Lasoso No. 62, Biromaru, Kotak Pos 51, Palu<br />
ABSTRAK. Dalam tiga tahun terakhir petani cabai di Kabupaten Sigi dirugikan oleh serangan penyakit virus<br />
kuning. Penyakit virus kuning disebarkan oleh vektor kutu kebul (Bemisia tabaci Genn). Serangan pada sentra<br />
tanaman cabai di Desa Sunju Kabupaten Sigi mencapai 100% (gagal panen). Penanggulangan penyakit secara<br />
kimiawi yang berlebihan dapat menyebabkan buah cabai tidak layak dikonsumsi. Oleh karena itu diperlukan<br />
pengendalian yang efektif, ekonomis dan ramah lingkungan antara lain menggunakan perangkap likat kuning.<br />
Penelitian bertujuan mengetahui aspek ekonomis dan pengendalian vektor virus kuning (Bemisia tabaci Genn)<br />
yang ramah lingkungan. Penelitian dilaksanakan di Desa Sunju, Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah.<br />
Penelitian meliputi percobaan di lapangan dan analisis usahatani. Efektivitas pengendalian diukur menggunakan<br />
rumus intensitas serangan penyakit sedangkan aspek ekonomi diukur menggunakan R/C Rasio. Hasil penelitian<br />
menunjukkan bahwa dengan cara pengendalian yang ramah lingkungan, intensitas serangan penyakit virus<br />
kuning sebesar 33%, lebih efektif dibandingkan dengan kontrol (cara petani) yang intensitas serangan<br />
penyakitnya mencapai 100%, dan secara ekonomi menguntungkan dengan nilai R/C rasio sebesar 1,40.<br />
Katakunci: Cabai; Pengendalian ramah lingkungan; Aspek ekonomi.<br />
ABSTRACT. Rahayu, H.S.P. and Sukarjo 2013. Economic Aspects of Environment Sustainable<br />
Control of Yellow Virus Vector (Bemisia tabaci Genn) on Chili. In last three years chilli farmers in Sigi<br />
Regency has disadvantaged by yellow virus desease that diffused by Bemisia tabaci Genn. Aggression of this<br />
desease reach until 100%. Excessive chemical prevention of the desease can causing the chilli fruits are not<br />
suitable for consumption. It need some effective, economic, and environmentally friendly prevention such as<br />
using yellow stick trap. This research pusposes are to determine the economical aspect from environmentally<br />
yellow virus vector prevention. This research conducted in Suju Village, Sigi District Central Sulawesi<br />
Province. This research include the filed research and analysis and farming business analysis. The efectivity of<br />
controled was measure by desease attack intesity formula and the economical aspect are measure by R/C ratio.<br />
The result of this research showed that with the environmental friendly control, intensity of yellow virus attack<br />
are 33 % efectively than control which the attack are 100% and economically more beneficially with R/C ratio<br />
1,4.<br />
__________________________________________________________________________________<br />
Aspek penting pertanian berkelanjutan antara lain, bagaimana sistem budidaya pertanian tetap<br />
memelihara kesehatan tanaman dengan kapasitas produksi maksimum, serta mengurangi dampak<br />
kegiatan pertanian yang dapat menimbulkan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup.<br />
Berbagai jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) dapat mengganggu kesehatan tanaman, yang<br />
mengakibatkan penurunan hasil produksi dan penurunan kualitas produk (Siwi, 2006).<br />
Dewasa ini penggunaan bahan kimiawi untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman<br />
sudah sangat tinggi termasuk pada komoditas hortikultura. Diperkirakan 50% dari biaya produksi<br />
digunakan untuk membeli insektisida. Pengendalian kimiawi hama dan penyakit secara intensif juga<br />
sering dilakukan di tanaman cabai. Hal ini karena cabai termasuk komoditas yang nilai ekonominya<br />
tinggi sehingga petani tidak keberatan mengeluarkan modal besar untuk pengendalian hama dan<br />
penyakitnya. Cabai merah banyak dikonsumsi sebagai bumbu penyedap pada masakan dan bahan<br />
campuran industri pengolahan makanan dan minuman.<br />
Penggunaan insektisida oleh para petani cabai di lapangan sudah sangat intensif baik dilihat<br />
dari jenis maupun dosis yang digunakan, serta interval penyemprotan yang sudah sangat pendek<br />
tenggang waktunya. Keadaan ini akan menimbulkan berbagai permasalahan serius karena insektisida<br />
dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu, pada sistem pertanian sekarang diperkenalkan sistem<br />
PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yaitu suatu sistem yang menggunakan berbagai cara selain<br />
insektisida agar populasi hama/penyakit tetap berada dalam ambang toleransi (Sanjaya, 2004). Di sisi<br />
yang lain pada petani yang skala usahanya kecil pengendalian hama dan penyakit secara intensif<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│189
Aspek Ekonomi Pengendalian Ramah Lingkungan Vektor Virus Kuning (Bemisia tabaci Genn) pada Cabai<br />
Rahayu, H.S.P. dan Sukarjo<br />
membutuhkan modal yang cukup besar sehingga biayanya tidak terjangkau dan dibutuhkan cara<br />
pengendalian yang efektif namun terjangkau secara ekonomis.<br />
Desa Sunju merupakan salah satu sentra produksi cabai di Kabupaten Sigi. Berbagai komponen<br />
teknologi telah diperkenalkan untuk meningkatkan produktivitas usahatani cabai. Salah satu kendala<br />
yang dihadapi petani di Desa Sunju ialah serangan hama dan penyakit terutama penyakit virus kuning<br />
yang ditularkan oleh vektor kutu kebul. Oleh karena itu diperlukan teknologi pengendalian penyakit<br />
virus kuning yang efektif mengendalikan virus kuning. BPTP sebagai instansi pengkaji teknologi<br />
spesifik lokasi juga mempunyai tugas untuk mendiesminasikan teknologi tersebut kepada petani.<br />
Diseminasi atau penyebarluasan hasil penelitian dan pengkajian pertanian kepada pengguna,<br />
merupakan bagian integral dari kegiatan penelitian dan pengembangan. Hasil penelitian berupa<br />
komponen teknologi, paket teknologi, formula, data dan informasi serta alternatif rekomendasi<br />
kebijakan pembangunan pertanian baik di tingkat pusat maupun wilayah. Hasil penelitian dapat<br />
disebarluaskan melalui media komunikasi untuk menjangkau sasaran pengguna yang lebih luas.<br />
Pengkajian dan diseminasi pengendaian hama dan penyakit tanaman cabai di sentra Desa Sunju<br />
Kabupaten Sigi mempertimbangkan beberapa aspek. Selain aspek produktivitas, aspek ekonomis<br />
maka aspek pertanian yang berkelanjutan juga menjadi bahan pertimbangan dalam pengenalan<br />
teknologi pengendalian yang didemonstrasikan kepada petani sehingga teknologi pengendalian virus<br />
kuning yang dilaksanakan ialah yang ekonomis dan ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan<br />
mengetahui aspek ekonomis dan pengendalian vektor virus kuning (Bemisia tabaci Genn) yang<br />
ramah lingkungan<br />
Waktu dan Lokasi Penelitian<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilaksanakan di Desa Sunju Kecamatan Marawola Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi<br />
Tengah. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2011.<br />
Bahan dan alat<br />
1. Benih cabai jenis lokal yang sesuai preferensi masyarakat setempat.<br />
2. Seperangkat likat kuning yang dimodifikasi menggunakan bahan map snelhecter berwarna<br />
kuning dan berukuran 30 cm x 30 cm. Tiap potongan map diolesi lem tikus dipermukaannya dan<br />
dipasang menggunakan penyangga kayu sepanjang 75 cm. Pemasangan likat kuning modifikasi<br />
ini sebanyak 40 buah tiap hektarnya.<br />
3. Mulsa plastik perak hitam sebagai penutup tanah.<br />
4. Kasa penutup pesemaian bibit.<br />
Perlakuan<br />
Ujicoba di lapangan pada pengkajian ini sekaligus sebagai sarana diseminasi kepada petani.<br />
Ada 3 petak perlakuan dengan masing-masing petak perlakuan seluas 0,25 hektar .<br />
Tabel 1. Perlakuan ujicoba dan demonstrasi pengendalian virus kuning pada cabai<br />
Nomer Perlakuan<br />
Perlakuan 1<br />
Perlakuan 2<br />
Perlakuan 3<br />
Cara Perlakuan Pada Lahan dan Tanaman Cabai<br />
Penyiapan lahan, persemaian dengan kasa, pemasangan mulsa hitam perak, pemasangan likat<br />
kuning.<br />
Penyiapan lahan, persemaian dengan kasa, pemasangan mulsa hitam perak tanpa pemasangan<br />
likat kuning.<br />
Penyiapan lahan, tanpa persemaian dengan kasa, tanpa mulsa hitam perak, tanpa likat kuning,<br />
penggunaan pestisida (cara petani)<br />
Deskripsi tiap perlakuan<br />
a. Persemaian<br />
Langkah-langkah pembuatan persemaian sebagai berikut:<br />
190│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Aspek Ekonomi Pengendalian Ramah Lingkungan Vektor Virus Kuning (Bemisia tabaci Genn) pada Cabai<br />
Rahayu, H.S.P. dan Sukarjo<br />
1) Perlakuan benih<br />
Untuk mempercepat perkecambahan dan menghilangkan hama/penyakit yang terbawa<br />
benih, sebelum disemai benih direndam dalam air hangat.<br />
2) Persiapan lahan persemaian<br />
Tempat persemaian berupa bedengan berukuran lebar 1 m, diberi naungan atap plastik<br />
transparan atau kasa dan menghadap ke timur.<br />
3) Media persemaian terdiri dari campuran tanah halus dan pupuk kandang steril ( 1 : 1 ) .<br />
Benih disebar rata pada bedengan dan ditutupi tipis tanah halus, lalu ditutupi dengan kasa.<br />
Setelah benih berkecambah (7-8 hari) tutup kasa dibuka.<br />
4) Pemeliharaan bibit<br />
- Penyiraman dilakukan secukupnya tidak terlalu basah atau kering.<br />
- Persemaian disiangi dengan cara mencabut gulma yang tumbuh.<br />
- Sebelum dipindah ke lapangan dilakukan penguatan bibit dengan jalan membuka atap<br />
persemaian supaya bibit menerima langsung sinar matahari dan mengurangi penyiraman<br />
secara bertahap.<br />
- Bibit ditanam setelah berumur 4 minggu. Bibit tersebut sudah membentuk 4-6 helai daun,<br />
dan tinggi 5-10 cm.<br />
b. Penyiapan Lahan<br />
Tahapan penyiapan lahan sebagai berikut:<br />
- Pengolahan tanah berupa pembajakan/pencangkulan, pembersihan gulma, perataan permukaan<br />
tanah, dan pembuatan bedengan, guludan, garitan, lubang tanam.<br />
- Lahan diolah sedalam 30-40 cm sampai gembur, dibuat bedengan dengan lebar 1m, tinggi 30<br />
cm, jarak antar bedeng 30 cm. Dibuat lubang tanam dengan jarak tanam (50-60 cm) x (40-50<br />
cm)<br />
c. Penggunaan mulsa hitam perak<br />
Mulsa plastik hitam perak untuk penanaman cabai dipasang sebelum tanam cabai.<br />
d. Penggunaan Likat kuning<br />
Likat kuning yang didemonstrasikan pada kegiatan ini ialah likat kuning yang merupakan hasil<br />
modifikasi. Likat kuning dibuat dari map plastik yang berwarna kuning yang diolesi oli atau lem<br />
tikus dan dipasang menggunakan papan kayu. Modifikasi ini untuk menanggulangi<br />
ketidaktersediaan likat kuning yang asli di sekitar petani. Likat kuning/perangkap kuning<br />
digunakan untuk memerangkap populasi kutu kebul, dan dipasang sebanyak 40 perangkap/ha di<br />
tengah pertanaman cabai. Perangkap dipasang dengan ketinggian 30 cm (Gunaeni et al, 2008).<br />
Analisis data<br />
Data yang diambil yaitu diambil yaitu data ekonomi berupa output input usahatani cabai dan data<br />
intensitas serangan penyakit. Data tersebut kemudian dianalisis sebagai berikut:<br />
1. Analisis ekonomi untuk menghitung kelayakan usahatani.<br />
Rumus yang digunakan ialah R/C ratio<br />
Dimana:<br />
R/C = Nisbah penerimaan dan biaya<br />
NPT = Nilai produksi total (Rp/ha)<br />
BT = Nilai biaya total (Rp/ha)<br />
Dengan ketentuan<br />
R/C > 1, usahatani secara ekonomi menguntungkan<br />
R/C = 1, usahatani secara ekonomi berada pada titik impas (BEP)<br />
R/C < 1, usahatani secara ekonomi tidak menguntungkan<br />
(Swastika, 2001 dan Malian, 2004).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│191
Aspek Ekonomi Pengendalian Ramah Lingkungan Vektor Virus Kuning (Bemisia tabaci Genn) pada Cabai<br />
Rahayu, H.S.P. dan Sukarjo<br />
2. Untuk mengitung efektifitas pengendalian dengan menghitung intensitas serangan. Untuk<br />
menghitung tingkat serangan mutlak (penyakit layu dan serangan virus) digunakan rumus :<br />
Dimana:<br />
I = intensitas serangan (%)<br />
a = jumlah tanaman terserang<br />
b = jumlah tanaman yang diamati<br />
(Kuswinanti et al. 2005).<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Efektivitas pengendalian virus kuning menggunakan likat kuning<br />
Hama kutu kebul yang merupakan vektor penyakit virus kuning dapat menjangkit tanaman<br />
cabai sejak di pesemaian. Oleh karena itu pengendalian hama dan penyakit ini harus dimulai di<br />
pesemaian. Menurut Gunaeni et al (2008) persemaian yang benar dilakukan untuk mengurangi<br />
kontaminan dan dapat dilakukan melalui pembuatan media dengan aerasi baik (karena tanah gembur<br />
dan remah memudahkan akar tumbuh dengan baik). Selain itu langkah yang harus dilakukan ialah<br />
mengisolasi tanaman di persemaian agar vektor kutu kebul dan serangga lain tidak hinggap dan<br />
makan pada semaian cabai. Masa persemaian merupakan masa paling rentan untuk terjadinya infeksi<br />
virus.<br />
Petani di Desa Sunju umumnya melakukan penyemaian masih secara sederhana yaitu dengan<br />
membuat bedengan dan memberi naungan menggunakan daun kelapa sehingga kutu kebul masih bisa<br />
hinggap di pesemaian dan menularkan penyakit virus kuning. Pada kegiatan pengkajian kali ini<br />
menekankan antara lain pembuatan pesemaian menggunakan kasa atau plastik untuk mencegah<br />
penerbangan kutu kebul di pesemaian.<br />
Penyiapan lahan bertujuan untuk memperbaiki drainase dan aerasi tanah, meratakan permukaan<br />
tanah dan menghilangkan gulma yang mungkin sebagai tanaman inang bagi vektor penyakit.<br />
Pengolahan tanah akan menghilangkan atau memperkecil sumber infeksi. (Gunaeni et al, 2008).<br />
Sedangkan penggunaan mulsa plastik hitam perak bertujuan untuk memantulkan sinar matahari,<br />
sehingga serangga hama tidak menyukai kondisi tersebut, selain itu mulsa digunakan untuk<br />
menghambat pertumbuhan gulma, dan dapat menyebabkan patogen tanah tidak aktif (Gunaeni et al,<br />
2008). Penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat meningkatkan hasil cabai, mengurangi kerusakan<br />
tanaman karena hama trips dan tungau, dan menunda insiden virus (Wardani dan Purwanta, 2008).<br />
Likat kuning/perangkap kuning digunakan untuk memerangkap populasi kutu kebul, dan<br />
dipasang sebanyak 40 perangkap/ha di tengah pertanaman cabai. Perangkap dipasang dengan<br />
ketinggian 30 cm (Gunaeni et al, 2008). Likat kuning yang didemonstrasikan pada kegiatan ini ialah<br />
likat kuning yang merupakan hasil proses modifikasi. Likat kuning dibuat dari map plastik yang<br />
berwarna kuning yang diolesi oli atau lem tikus dan dipasang menggunakan papan kayu. Modifikasi<br />
ini untuk menanggulangi ketidaktersediaan likat kuning yang asli di sekitar petani.<br />
Berbagai penelitian tentang penggunaan perangkap likat kuning untuk mengendalikan hama di<br />
tanaman hortikultura. Hasil penelitian Martini, 2011 menunjukkan bahwa pemasangan perangkap<br />
likat berwarna kuning Insect Adhesive Trap Paper (IATP) berupa kertas kuning berlapis plastik dan<br />
diolesi perekat seperti vaselin mampu menarik perhatian Thrips parvispinus untuk mendekat dan<br />
terperangkap. Intensitas serangan Thrips parvispinus pada daun di bagian atas berkisar 30 – 70,<br />
sedangkan pada daun bawah hanya berkisar 10 – 20. Populasi Thrips parvispinus mulai ditemukan<br />
saat tanaman berumur 28 hst, yaitu sebesar 7 ekor/perangkap. Populasi Thrips parvispinus tertinggi<br />
terjadi saat tanaman berumur 95 hst yaitu sebesar 18 ekor/perangkap, dengan intensitas serangan<br />
paling tinggi mencapai 38 ada saat tanaman berumur 95 hst. Secara umum perlakuan penggunaan<br />
perangkap likat kuning efektif mengendalikan serangan Thrips parvispinus pada pertanaman krisan,<br />
sebesar 78,50. Nonci dan Muis, 2011 juga menyatakan bahwa perangkap likat kuning efektif<br />
mengendalikan lalat bibit Liriomiza spp di Sulawesi Tengah. Perangkap kuning juga dapat digunakan<br />
untuk memantau populasi Liriomyza spp, untuk menentukan sebaran dan aktivitas kehidupan<br />
192│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Aspek Ekonomi Pengendalian Ramah Lingkungan Vektor Virus Kuning (Bemisia tabaci Genn) pada Cabai<br />
Rahayu, H.S.P. dan Sukarjo<br />
hariannya. Berdasarkan hasil analisis daerah di bawah kurva perkembangan kerusakan serangan hama<br />
(DDKPK), perangkap likat kuning efektif menekan populasi L. Chinensis. Rata-rata imago L.<br />
chinensis yang terperangkap pada 7 HST sebanyak 36,5ekor/perangkap/minggu dan terus meningkat<br />
hingga 35 HST, menjadi 208,83 ekor/perangkap/minggu. Hasil tersebut membuktikan bahwa<br />
perangkap likat kuning mampu menekan serangan L. chinensis pada tanaman bawang merah. Hal ini<br />
terbukti dengan tingginya populasi imago L. chinensis yang tertangkap setiap minggu per perangkap.<br />
Empat komponen teknologi telah diujicobakan di lokasi pengkajian pengendalian hama dan<br />
penyakit di Desa Sunju. Hasil analisis data intesnitas serangan penyakit ditampilkan pada tabel 2.<br />
Tabel 2. Intensitas serangan virus kuning pada tanaman cabai di beberapa perlakuan<br />
No Perlakuan Cara Perlakuan Intensitas serangan<br />
Perlakuan 1<br />
Penyiapan lahan, persemaian dengan kasa, pemasangan<br />
mulsa hitam perak, pemasangan likat kuning 16 %<br />
Perlakuan 2<br />
Penyiapan lahan, persemaian dengan kasa, pemasangan<br />
mulsa hitam perak. 36 %<br />
Perlakuan 3<br />
Penyiapan lahan, tanpa persemaian dengan kasa, tanpa mulsa<br />
hitam perak, tanpa likat kuning, penggunaan pestisida (cara<br />
100 %<br />
petani)<br />
Sumber: Analisis data primer, 2011<br />
Berdasarkan hasil analisis data berupa intensitas serangan penyakit maka penggunaan empat<br />
komponen teknologi pengendalian yang dilaksanakan mampu menekan serangan penyakit virus<br />
kuning namun belum mampu mengendalikan seratus persen karena tingginya populasi kutu kebul di<br />
lokasi pengkajian. Oleh karena itu perlu pengendalian secara serempak di lokasi pertanaman cabai<br />
dan bukan hanya di lokasi demonstrasi saja. Dari tabel 1 diatas dapat disimpulkan bahwa perlakuan<br />
lengkap dengan penggunaan kasa di persemaian, mulsa hitam perak, dan penggunaan perangkap likat<br />
kuning lebih efektif mengendalikan kutu kebul daripada penggunaan pestisida saja (cara petani).<br />
1. Aspek ekonomi<br />
Ada lima sifat inovasi yang menurut Gwin dan Lionberger (1993) dalam Herwinarni et al. 2009<br />
yang menjadi bahan pertimbangan petani dalam menerapkan teknologi yaitu a) inovasi yang<br />
kompatibel, b) inovasi yang memberikan manfaat baik finansial maupun tenaga (relative advantage),<br />
c) tingkat kerumitan inovasi (complexity), (d) inovasi yang mudah diujicoba sendiri dalam skala kecil<br />
(triability), dan e) inovasi yang mudah diamati hasilnya (observability).<br />
Di demonstrasi plot telah diujicobakan, diberikan sosialisasi dan praktek pengendalian terhadap<br />
petani serta sebagai evaluasi maka perlu dianalisis dari aspek ekonominya sehingga petani mau<br />
mengadopsi inovasi teknologi tersebut. Tabel 3 menampilkan aspek ekonomi penggunaan likat<br />
kuning sebagai pengendalian virus kuning pada tanaman cabai.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│193
Aspek Ekonomi Pengendalian Ramah Lingkungan Vektor Virus Kuning (Bemisia tabaci Genn) pada Cabai<br />
Rahayu, H.S.P. dan Sukarjo<br />
Tabel 3. Analisis ekonomi usahatani cabai ramah lingkungan<br />
Komponen Biaya<br />
Jumlah (Rp)<br />
Benih 25.000<br />
Pupuk Kandang 500.000<br />
Mulsa 1.100.000<br />
Herbisida 135.000<br />
Likat kuning 750.000<br />
Kasa 50.000<br />
Perangsang Buah 790.000<br />
Olah tanah 200.000<br />
Pembuatan Bedengan 160.000<br />
Persemaian 40.000<br />
Tanam Pindah 60.000<br />
Pengendalian gulma 160.000<br />
Pemupukan 160.000<br />
Panen 6.750.000<br />
Total Biaya<br />
10.880.000<br />
Produksi (kg) 1.900<br />
Nilai jual 15.200.000<br />
R/C 1,40<br />
Sumber: Analisis data primer, 2011<br />
2. Respon petani terhadap komponen pengendalian ramah lingkungan<br />
Untuk melihat respon petani terhadap aspek ekonomi dan efektivitas teknik pengendalian maka<br />
dilakukan pengumpulan data respon petani melalui wawancara petani menggunakan kuesioner semi<br />
terstruktur. Kuesioner dibuat berdasarkan lima sifat inovasi yang dijadikan pertimbangan petani untuk<br />
menerapkan inovasi teknologi kemudian dibuat skor berdasarkan tingkatannya.<br />
Tabel 4. Skor respon petani terhadap sifat inovasi<br />
Sifat inovasi/respon Skor 4 Skor 3 Skor 2<br />
Skor 1<br />
1. Pengetahuan awal Sudah faham dan Sudah faham tetapi Sudah pernah Belum pernah<br />
melaksanakan belum melaksanakan dengar/lihat tetapi tahu/dengar/ lihat<br />
belum faham<br />
Biaya Sangat terjangkau Cukup terjangkau Kurang terjangkau Tidak terjangkau<br />
Kemudahan<br />
Sangat mudah Cukup mudah Sulit Sangat sulit<br />
pemakaian<br />
Efisiensi tenaga Sangat efisien Cukup efisien Kurang efisien Tidak efisien<br />
Ketertarikan Sangat tertarik Cukup tertarik Kurang tertarik Tidak tertarik<br />
Sumber: Analisis data primer, 2011<br />
Hasil analisis respon petani peserta demonstrasi terhadap masing-masing komponen teknologi<br />
pengendalian hama dan penyakit ditampilkan dalam tabel 5 berikut ini.<br />
194│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Aspek Ekonomi Pengendalian Ramah Lingkungan Vektor Virus Kuning (Bemisia tabaci Genn) pada Cabai<br />
Rahayu, H.S.P. dan Sukarjo<br />
Tabel 5. Respon petani terhadap inovasi teknologi pengendalian hama dan penyakit di Desa Sunju,<br />
2011<br />
Sifat inovasi/respon<br />
Persemaian<br />
Pengolahan tanah<br />
Penggunaan<br />
mulsa<br />
Penggunaan<br />
likat kuning<br />
1. Pengetahuan awal 3,00 3,87 3,70 2,97<br />
2. Biaya 2,77 3,07 2,73 3,07<br />
3. Kemudahan pemakaian 2,87 3,10 3,33 3,10<br />
4. Efisiensi tenaga 2,73 2,90 3,13 3,13<br />
5. Ketertarikan 3,17 3,07 3,37 3,07<br />
Respon rata-rata 2,91 3,20 3,25 3,07<br />
Sumber: Analisis data primer<br />
Hasil analisis data menunjukkan bahwa komponen teknologi penyiapan lahan dan penggunaan<br />
mulsa sudah difahami dan dilaksanakan oleh petani peserta demonstrasi. Penyiapan lahan mendapat<br />
respon tertinggi kemudian disusul penggunaan mulsa. Komponen teknologi penyiapan lahan selain<br />
biayanya terjangkau pelaksanaannya juga mudah sehingga petani tertarik untuk melaksanakannya.<br />
Komponen teknologi penggunaan mulsa sudah diketahui dan dilaksanakan oleh sebagian petani.<br />
Komponen teknologi ini meskipun biayanya kurang terjangkau tetapi karena sudah diketahui<br />
manfaatnya untuk meningkatkan hasil dan efisien dalam penggunaan tenaga terutama dalam<br />
pengendalian gulma maka petani tertarik untuk melaksanakan.<br />
Komponen teknologi pemakaian kasa di pesemaian termasuk teknologi yang baru bagi petani.<br />
Meskipun ada yang pernah melihat atau mendengar sebelumnya akan tetapi belum ada yang pernah<br />
melaksanakan. Petani kurang respon pada penggunaan kasa di persemaian karena alasan penambahan<br />
biaya, kurang efisien dalam penggunaan tenaga dan agak rumit dalam pelaksanaannya. Komponen<br />
teknologi likat kuning juga termasuk teknologi yang baru bagi petani. Petani cukup respon dengan<br />
teknologi ini karena likat kuning yang didemonstrasikan termasuk cukup terjangkau biayanya, mudah<br />
dilaksanakan dan cukup efisien dalam penggunaan tenaga.<br />
KESIMPULAN<br />
Komponen teknologi pengendalian ramah lingkungan yang dilaksanakan yaitu persemaian<br />
menggunakan kasa, penyiapan lahan, penggunaan mulsa plastik hitam perak dan penggunaan likat<br />
kuning. Perlakuan lengkap dengan penggunaan kasa di persemaian, mulsa hitam perak, dan likat<br />
kuning lebih efektif daripada penggunaan pestisida seperti yang biasa dilakukan petani. Penggunaan<br />
likat kuning untuk pengendalian lebih ekonomis daripada penggunaan pestisida. Petani respon<br />
terhadap komponen teknologi berturut-turut dari yang tertinggi yaitu penyiapan lahan, penggunaan<br />
mulsa, dan penggunaan likat kuning dan teknologi persemaian menggunakan kasa. Secara ekonomi<br />
pengendalian ramah lingkungan yang diujicobakan menguntungkan dengan nilai R/C 1,40.<br />
PUSTAKA<br />
1. Gwin, P. dan Lionberger, H. F., 1993. Speeding adoption of new technology in rural America<br />
direview Oktober 1993, diunduh 12 Mei 2012 <br />
2. Gunaeni, N., Setiawati, W., Murtiningsih, R., Rubiati, T. 2008. Penyakit Virus Kuning dan<br />
Vektornya sera cara pengendaliannya pada tanaman sayuran. Balai Penelitian sayuran. Pusat<br />
Penelitian dan pengembangan <strong>Hortikultura</strong>. Badan penelitian dan Pengembangan <strong>Pertanian</strong>.<br />
3. Herwinarni, E.M., Ekaningtyas.,Suhendrata, T. 2009. Kajian Faktor-Faktor yang Berpengaruh<br />
dalam Adopsi Inovasi <strong>Pertanian</strong> di Wilayah Desa Miskin di Kabupaten Blora. Badan Litbang<br />
<strong>Pertanian</strong>.<br />
4. Kuswinati, K., Kayatu, A., Baharuddin. 2008. Intensitas Beberapa Penyakit Penting Tanaman<br />
Kentang (Solanum tuberosum L) Pada Sistem Pertanaman Petani dan Sistem Pertanaman<br />
Menggunakan Benih Sehat. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PBJ dan PFJ XVI<br />
Komda Sulawesi Selatan.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│195
Aspek Ekonomi Pengendalian Ramah Lingkungan Vektor Virus Kuning (Bemisia tabaci Genn) pada Cabai<br />
Rahayu, H.S.P. dan Sukarjo<br />
5. Malian A.H. 2004. Analisis Ekonomi Usahatani Dan Kelayakan Finansial Teknologi Pada Skala<br />
pengkajian. Makalah disajikan dalam pelatihan Analisis Finansial dan Ekonomi bagi<br />
Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah. Bogor. 29 November – 9 Desember<br />
6. Martini, T. 2011. Serangan Kutu Thrips (Thrips Parvispinus ) dan Peran Perangkap Likat<br />
Kuning Pada Tanaman Krisan di D.I.Yogyakarta Laporan Kegiatan Tahun 2011.<br />
www.bptpjogja.go.id. Diakses 25 Desember 2011.<br />
7. Nonci,N dan Muis, A. Bioekologi dan Pengendalian Pengorok daun Liriomoza chinensis Kato<br />
(Diptera:Agromiyzidae) pada Bawang Merah. Jurnal Badan Litbang <strong>Pertanian</strong>. Vol 30 No. 4.<br />
2011.<br />
8. Sanjaya, L. Wattimena , G.A., Guharja, E., Yusuf, M., Aswidinnoor, H. dan Stam, P., 2002.<br />
Keragaman Ketahanan Aksesi Capsicum Terhadap Antraknosa (Colletotrichum capsici)<br />
Berdasarkan Penanda RAPD. Jurnal Bioteknologi <strong>Pertanian</strong>. Vol. 7.No. 2. 2002. pp 37-42.<br />
9. Siwi, S. S., 2006. Peran Ilmu Biotaksonomi Serangga Dalam Pembangunan <strong>Pertanian</strong><br />
Berkelanjutan Di Era Globalisasi. Berita Biologi Vol. 8, No. 1. April 2006:1.<br />
10. Swastika D.K.S. 2004. Beberapa Teknik Analisis Dalam penelitian dan pengkajian teknologi<br />
pertanian. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi <strong>Pertanian</strong>. Volume 7 No. 1.<br />
Pulitbang Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>. Bogor.<br />
11. Wardani, N dan Purwanta, JH., 2008. <strong>Buku</strong> Petunjuk Teknis Teknologi Budidaya Cabai. Balai<br />
Besar Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong>. Badan Litbang <strong>Pertanian</strong>.<br />
196│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Validasi Metode Deteksi Bakteri Xanthomonas campestris pv. vesicatoria Menggunakan Media Selektif dan Uji<br />
Patogenisitas<br />
Sulastrini, I., Murtiningsih, R., O. Setiani Gunawan, dan A.S. Duriat<br />
Validasi Metode Deteksi Bakteri Xanthomonas campestris pv. vesicatoria Menggunakan<br />
Media Selektif dan Uji Patogenisitas<br />
Sulastrini, I., Murtiningsih, R., O. Setiani Gunawan, dan A.S. Duriat<br />
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Parahu No. 517 Lembang, Bandung 40391<br />
ABSTRAK. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan metode yang tepat dan akurat dalam mendeteksi bakteri<br />
Xanthomonas campestris pv. vesicatoria pada tanaman cabai merah dan tomat. Pengujian yang diuji adalah<br />
metode deteksi dengan menggunakan media selektif yaitu CKTM dan mTMB dan uji patogenisitas pada<br />
tanaman cabai dan tomat dengan dua cara penyuntikan yaitu pada epidermis daun dan pada ketiak daun.<br />
Masing-masing pengujian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 10 ulangan. Hasil yang didapat<br />
adalah Media CKTM dan media mTMB merupakan media yang cocok untuk uji bakteri Xanthomonas<br />
campestris pv. vesicatoria pada benih tomat dan cabai. Untuk menghitung kerapatan bakteri dilakukan pada<br />
pengenceran 10 -2 . Untuk menguji patogenisitas dengan menggunakan tanaman cabai pada konsentrasi 10 8<br />
cfu/mL merupakan yang terbaik dengan gejala nekrotik yang jelas.<br />
Katakunci : Xanthomonas campestris pv. vesicatoria; media selektif; uji patogenisitas; dan validasi metode.<br />
ABSTRACT. Sulastrini, I., Murtiningsih, R., O. Setiani Gunawan, and A.S. Duriat, 2013. Detection<br />
Method Validation of Xanthomonas campestris pv. vesicatoria Bacteria Using Selective Media and<br />
Pathogenicity Test. The aim of this research were geting the right and accurate method in detection of<br />
Xanthomonas campestris pv. Vesicatioria in chilli and tomato crops. The testing that conducted are the test with<br />
selective media are CKTM and mTBM, and also patogenity test in chilli and tomato with two way injection in<br />
leaf epidermis and axillary. Each test using compleely random design with 10 times repetition. The result are the<br />
CKTM media and mTBM are the suitable media for Xanthomonas campestris pv. Vesicatoria bacteria in tomato<br />
and chilli seed. To count the density of the bacteria a 10 -2 dilution for pathogenity test using chilli crop in 10 8<br />
cfu/ml concentration are the best with clear necrotic symptom<br />
Keywords: Xanthomonas campestris pv. vesicatoria; selective media; pathogenity test; and method validity<br />
Benih mempunyai peranan sangat penting dalam produksi sayuran. Benih yang berkualitas<br />
merupakan syarat untuk produksi sayuran yang berkesinambungan dan menguntungkan. Benih yang<br />
bebas dari patogen merupakan salah satu karakter dari benih berkualitas (Sutopo, 1988). Petani sering<br />
mengalami kerugian yang diakibatkan oleh serangan penyakit yang muncul sejak dari persemaian,<br />
tanaman di lapangan, bahkan sampai pada hasil panen (Langerak,1996). Informasi benih sehat<br />
merupakan hal penting untuk petani, terutama dalam membuat keputusan untuk melakukan tindakan<br />
pengendalian.<br />
Salah satu patogen tular benih penting yang dilaporkan pada tanaman cabai dan tomat adalah<br />
bakteri Xanthomonas campestris pv. vesicatoria (XCV). Menurut Anonim (1991) patogen yang<br />
menyerang cabai merah dan tomat berturut-turut adalah cendawan: 12 dan 8 jenis; bakteri: 2 dan 1<br />
jenis; dan virus : 3 dan 2 jenis.<br />
Benih sehat dan bermutu dari varietas unggul dengan nilai komersial tinggi merupakan satu<br />
komponen penting dalam produksi tanaman sayuran. Benih harus sehat secara fisiologis dan biologis.<br />
Beberapa penyakit tular benih telah diidentifikasi baik yang disebabkan jamur, bakteri, virus maupun<br />
lainnya. Mikroorganisme ini tidak hanya akan menghambat perkecambahan dan pertumbuhan benih,<br />
akan tetapi dapat juga menjadi sumber penularan atau epidemi bagi sentra produksi tanaman sayuran,<br />
menurunkan kualitas produk dan menjadi sumber penularan bagi pertanaman berikutnya. Van der<br />
Plank (1963) dan Zadock dan Schein (1979) menyatakan bahwa dalam laju perkembangan suatu<br />
penyakit tanaman, besarnya serangan suatu patogen tanaman dalam waktu tertentu sangat tergantung<br />
pada serangan awal, waktu perkembangannya serta laju infeksi dari patogen yang bersangkutan. Oleh<br />
karena itu benih sebagai awal pertumbuhan harus terbebas dari patogen dan harus dinyatakan dalam<br />
status sehat.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│197
Validasi Metode Deteksi Bakteri Xanthomonas campestris pv. vesicatoria Menggunakan Media Selektif dan Uji<br />
Patogenisitas<br />
Sulastrini, I., Murtiningsih, R., O. Setiani Gunawan, dan A.S. Duriat<br />
Penyebaran ini juga dimungkinkan karena belum diterapkannya standardisasi mutu benih<br />
berdasarkan pengujian yang akurat dan seksama. Hal ini diperlukan baik untuk produksi benih<br />
domestik maupun impor benih. Karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan metoda<br />
deteksi yang cepat dan akurat yang sesuai dengan standarisasi international dan kapasitas<br />
laboratorium yang dipunyai.<br />
Metode pengujian yang cepat dan akurat dapat dipergunakan dalam standardisai mutu benih<br />
yang dapat mengimbangi peraturan yang ditetapkan ISTA (International Seed Testing Assosiation)<br />
(Anonim, 1986). Disamping itu untuk mendeteksi suatu penyakit pada benih dapat dilakukan dengan<br />
berbagai cara seperti ELISA, menggunakan media selektif dan uji patogenisitas, atau gabungan dari<br />
berbagai cara pengujian yang akan mendapatkan hasil yang sangat akurat. Namun demikian metode<br />
pengujian tersebut perlu divalidasi untuk konfirmasi dan pembuktian yang efektif bahwa suatu<br />
metode telah memenuhi suatu persyaratan tertentu yang telah ditentukan. Validasi adalah konfirmasi<br />
melalui pengujian dan pengadaan bukti yang objektif bahwa persyaratan tertentu untuk suatu maksud<br />
khusus dipenuhi (SNI 19-17025-2000 Klausul 5.4.5.1) (Anonim, 2000).<br />
Berdasarkan hal tersebut diatas maka tujuan penelitian ini adalah mendapatkan metode yang<br />
tepat dan akurat dalam mendeteksi bakteri Xanthomonas campestris pv. vesicatoria pada tanaman<br />
cabai merah dan tomat. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dipergunakan dalam standardisasi mutu<br />
benih yang mampu mengimbangi peraturan yang ditetapkan ISTA dengan kapasitas dan sumber daya<br />
manusia yang ada. Juga informasi yang dihasilkan dari kegiatan ini diharapkan dapat diadopsi oleh<br />
para pengguna dalam pengujian ksehatan benih untuk patogen dan sayuran yang lain. Melalui<br />
penggunaan peraturan pengujian benih sehat secara internasional, sehingga benih sayuran ekspor<br />
Indonesia dapat bersaing di pasar bebas.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilakukan di laboratorium penyakit dan rumah kassa Balai Penelitian Tanaman<br />
Sayuran di Lembang pada bulan September – Desember 2005. Penelitian ini terdiri atas 2 kegiatan<br />
meliputi :<br />
1. Uji validasi metode deteksi patogen bakteri Xcv pada benih cabai dan tomat. Metode deteksi<br />
yang divalidasi meliputi deteksi bakteri Xvc dengan menggunakan dua media tumbuh selektif<br />
untuk bakteri yaitu CKTM dan mTMB.<br />
2. Uji patogenisitas<br />
Uji patogenitas menggunakan 2 jenis metode yaitu :<br />
a. Penyuntikan pada epidermis daun<br />
b. Penyuntikan pada ketiak daun<br />
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah : benih tomat varietas Oval, benih cabai<br />
varietas Tit super, isolat bakteri target Xcv, media tanam mTMB dan CKTM, akuades steril, spiritus,<br />
etanol teknis 95%, syringe 1 mL, kantung plastik, PBT, dan buffer saline.<br />
Alat yang digunakan meliputi: inkubator, mikroskop, cawan petri, tabung reaksi, mortar dan<br />
pestle, mikropipet dan tipnya, gelas ukur, autoklaf, vortex, laminar air flow cabinet, bunsen dan glass<br />
rod.<br />
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 20<br />
kombinasi perlakuan diulang 10 kali.<br />
Pelaksanaan uji validasi pada media tumbuh selektif<br />
Benih cabai merah dan tomat yang telah terkontaminasi bakteri Xcv ini sulit ditemukan, oleh<br />
karena itu pada pengujian ini dilakukan inokulasi buatan bakteri Xcv pada benih cabai merah dan<br />
tomat. Sebanyak 5 g benih cabai merah dan 5 g benih tomat dibagi menjadi 5 kelompok masingmasing<br />
seberat 1 g (sekitar 150-200 butir). Benih kemudian diberi kontaminan suspensi bakteri target<br />
pada konsentrasi 0, 1x10 6 , 1x10 8 , 1x10 10 , dan 1x10 12 cfu dengan perbandingan 15 mL suspensi bakteri<br />
untuk 1g benih, kemudian diaduk rata dan inkubasi selama 2 jam pada suhu kamar. Benih kemudian<br />
digerus perlahan-lahan dalam mortar sampai benih hancur. Masing-masing benih cabai dan tomat<br />
yang terkontaminasi dibuat pengenceran dengan cara 1 mL suspensi benih dilarutkan dalam 9 mL<br />
198│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Validasi Metode Deteksi Bakteri Xanthomonas campestris pv. vesicatoria Menggunakan Media Selektif dan Uji<br />
Patogenisitas<br />
Sulastrini, I., Murtiningsih, R., O. Setiani Gunawan, dan A.S. Duriat<br />
larutan buffer saline. Kemudian dibuat seri pengenceran yaitu 10 -1 dan 10 -2 . Sebanyak 0.1 mL<br />
suspensi pada tiap seri pengenceran ditanam pada permukaan media (CKTM dan mTMB) dalam<br />
cawan petri dan diratakan dengan pengaduk kaca bentuk L (glass rod). Setelah masing-masing petri<br />
dish diberi label kemudian diinkubasi dalam inkubator pada temperatur 30C. Pengamatan dilakukan<br />
mulai pada umur isolat 2 hari setelah inokulasi media. Peubah yang diamati adalah jumlah, bentuk,<br />
dan warna koloni bakteri.<br />
Pelaksanaan uji patogenitas<br />
Menyiapkan tanaman cabai muda dan tomat berumur kurang lebih 4 minggu (mempunyai 4 –<br />
5 helai daun) masing-masing sebanyak 250 tanaman. Selain itu juga dipersiapkan suspensi bakteri Xcv<br />
dengan konsentrasi 10 0 , 10 6 , 10 8 , 10 10 , dan 10 12 cfu/mL yang telah disentrifugasi masing-masing<br />
selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh digunakan sebagai inokulum patogen. Sebanyak 0.5 mL<br />
supernatan disuntikkan ke tanaman dengan dua cara penyuntikan yaitu penyuntikan pada ketiak daun<br />
dan pada epidermis daun. Penyuntikan dimulai dengan suspensi kontrol, dilanjutkan konsentrasi yang<br />
lebih tinggi secara bertahap. Tanaman yang telah disuntik, disungkup dengan plastik. Pengamatan<br />
dilakukan 7 hari setelah inokulasi.<br />
Peubah yang diukur:<br />
a. Uji validasi metoda deteksi patogen tular benih penting pada cabai dan tomat<br />
(1) sensitivitas metode deteksi dan<br />
(2) keakuratan metode deteksi.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Hasil Uji Validasi<br />
Berdasarkan hasil pengamatan bentuk koloni yang muncul pada media mTMB dan CKTM<br />
pada umumnya didominasi oleh bentuk bulat, dengan warna dominan putih kekuningan. Koloni yang<br />
muncul pada media mTMB berwarna putih kekuningan dan disekitarnya seperti ada asap (Gambar 1),<br />
sedangkan pada media CKTM warna koloni lebih kuning cerah.<br />
Gambar 1. Bakteri Xanthomonas campestris pv vesicatoria pada media mTMB (kiri)<br />
dan media CKTM (kanan)<br />
Populasi bakteri yang tumbuh pada pengenceran 10 -1 sulit untuk dihitung karena<br />
populasinya sangat padat bersatu antara satu koloni dengan yang lainnya, hal ini karena<br />
konsentrasinya terlalu tinggi. Sedangkan pada pengenceran 10 -2 koloni yang timbul lebih mudah<br />
dihitung, dengan kerapatan berkisar 0,28 – 1,17 CFU/mL.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│199
Validasi Metode Deteksi Bakteri Xanthomonas campestris pv. vesicatoria Menggunakan Media Selektif dan Uji<br />
Patogenisitas<br />
Sulastrini, I., Murtiningsih, R., O. Setiani Gunawan, dan A.S. Duriat<br />
Tabel 1. Kerapatan populasi koloni bakteri Xcv pada media CKTM dan mTMB<br />
Konsentrasi<br />
suspensi<br />
Jumlah koloni dari benih cabai pada media<br />
( x 10 4 CFU/mL)<br />
Jumlah koloni dari benih tomat pada media<br />
(x 10 4 CFU/mL)<br />
CKTM mTMB CKTM mTMB<br />
10 0 0 0 0 0<br />
10 6 0.47 0.28 0.73 0.73<br />
10 8 0.50 0.63 0.70 0.63<br />
10 10 0.53 0.77 0.53 0.49<br />
10 12 0.77 0.57 1.73 1.13<br />
Uji Patogenisitas<br />
Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa pada perlakuan kontrol (larutan yang disuntikan<br />
berupa buffer saline saja) baik pada penyuntikan pada ketiak daun maupun pada epidermis daun, tidak<br />
muncul gejala Xcv yaitu berupa bercak daun nekrotik berwarna coklat. Sedangkan pada perlakuan<br />
yang lain dimulai dari konsentrasi Xcv 10 6 CFU/mL ternyata sudah mulai menunjukkan gejala<br />
penyakit dengan insiden 60 – 70%. Hal tersebut sesuai dengan pengujian patogenisitas Xcv yang<br />
disarankan oleh ISTA yaitu menggunakan suspensi Xcv dari media isolasi dengan konsentrasi 10 6<br />
CFU ml -1 .<br />
Tabel 2. Gejala serangan Xanthomonas campestris pv vesicatoria pada tanaman cabai merah<br />
Perlakuan<br />
Konsentrasi<br />
suspensi<br />
Visual<br />
Insiden serangan Xcv<br />
(%)<br />
Epidermis 10 0 0 100<br />
10 6 * 80<br />
10 8 ** 80<br />
10 10 * 100<br />
10 12 ** 50<br />
Ketiak daun 10 0 0 100<br />
10 6 * 80<br />
10 8 * 100<br />
10 10 * 100<br />
10 12 * 90<br />
Keterangan : 0 = tidak muncul gejala, * = muncul gejala tapi kurang jelas, ** = gejala tampak jelas, ± = ada gejala<br />
nekrotik namun kecil, - = tanaman tidak tumbuh<br />
Namun demikian berdasarkan hasil pengamatan gejala lebih susah diamati pada perlakuan<br />
penyuntikan pada ketiak daun dengan konsentrasi 10 6 karena gejala nekrotik yang muncul sangat kecil<br />
bahkan akan tersamar oleh bekas jarum suntik. Gejala yang muncul lebih jelas terlihat pada<br />
penyuntikan pada epidermis dibandingkan dengan penyuntikan pada ketiak daun, walaupun insiden<br />
penyakitnya sama mencapai 100% (Tabel 1 dan 2). Kemungkinan ini terjadi karena suspensi<br />
inokulum lebih mudah menyebar pada daun dibandingkan pada sekitar ketiak daun. Demikian pula<br />
penyuntikan pada epidermis daun lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pada ketiak daun.<br />
Kesulitan penyuntikan pada ketiak daun karena ketiak daun sangat kecil atau bahkan akan menyamai<br />
jarum suntik yang digunakan, sehingga penyuntikan tidak mengenai sasaran.<br />
200│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Validasi Metode Deteksi Bakteri Xanthomonas campestris pv. vesicatoria Menggunakan Media Selektif dan Uji<br />
Patogenisitas<br />
Sulastrini, I., Murtiningsih, R., O. Setiani Gunawan, dan A.S. Duriat<br />
Tabel 3. Gejala serangan Xanthomonas campestris pv vesicatoria pada tanaman tomat<br />
Perlakuan<br />
Konsentrasi<br />
suspensi (cfu/mL)<br />
Visual<br />
Insiden serangan Xcv<br />
(%)<br />
Epidermis 10 0 0 100<br />
10 6 * 70<br />
10 8 * 100<br />
10 10 * 100<br />
10 12 * 100<br />
Ketiak daun 10 0 0 70<br />
10 6 * 60<br />
10 8 * 70<br />
10 10 * 100<br />
10 12 * 60<br />
Gejala serangan Xcv yang muncul pada tanaman cabai merah umumnya lebih jelas terlihat<br />
dibandingkan pada tanaman tomat. Pada tanaman cabai merah dengan penyuntikan pada epidermis,<br />
gejala serangan Xcv sangat terlihat jelas yaitu nekrotik berwarna kecoklatan pada konsentrasi 10 8 .<br />
Gambar 2: Gejala serangan Xcv pada tanaman cabai merah<br />
KESIMPULAN<br />
1. Media CKTM dan media mTMB merupakan media yang cocok untuk uji bakteri Xanthomonas<br />
campestris pv vesicatoria pada benih tomat dan cabai.<br />
2. Untuk menghitung kerapatan bakteri dilakukan pada pengenceran 10 -2 .<br />
3. Untuk menguji patogenisitas dengan menggunakan tanaman cabai pada konsentrasi 10 8 cfu/mL<br />
merupakan cara yang terbaik dengan gejala nekrotik yang jelas<br />
PUSTAKA<br />
1. Anonim, 1986. ISTA Handbook on Seed Sampling. The International Rules for Seed Testing<br />
Association. Zurich. Switzerland.<br />
2. Anonim, 2000. Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Pengujian dan Laboratorium<br />
Kalibrasi. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.<br />
3. Anonim. 1991. Organisme Pengganggu Tumbuhan Penting di Wilayah Republik Indonesia.<br />
Pusat Karantina <strong>Pertanian</strong>.118 hal.<br />
4. Langerak, C.J., R.W. Van der Bulk and A.A. J. M. Franken. 1996. Indexing Seeds for Pathogens,<br />
Advances in Botanical Research. Vol 23. Incorporating Advances in Plant Pathology. Hal 171-<br />
215.<br />
5. Sutopo, Lita.1988.Teknologi Benih. Rajawali Pers. Jakarta. 245 hal.<br />
6. Van der Plank, J. E. 1963. Plant Disease: Epidemic and Control. Academic Press. New York.<br />
344 pp.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│201
Validasi Metode Deteksi Bakteri Xanthomonas campestris pv. vesicatoria Menggunakan Media Selektif dan Uji<br />
Patogenisitas<br />
Sulastrini, I., Murtiningsih, R., O. Setiani Gunawan, dan A.S. Duriat<br />
7. Zadoks, J.C. and R.D. Schein. 1979. Epidemiology and Plant Disease Management. Oxford<br />
University Press. New York. 427 pp.<br />
202│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Solarisasu Tanah untuk Menurunkan Populasi Nematoda Parasit pada Pertanaman Kentang<br />
Hudayya, A dan Sulastrini, I<br />
Solarisasu Tanah untuk Menurunkan Populasi Nematoda Parasit pada Pertanaman<br />
Kentang<br />
Hudayya, A dan Sulastrini, I<br />
Balai Penelitian Tanaman Sayuran Jl. Tangkuban Parahu No. 517 Lembang, Bandung 40391<br />
ABSTRAK. Salah satu faktor penghambat penting pada produksi kentang adalah adanya serangan nematoda<br />
parasit (Globodera rostochiensis) yang dapat menyebabkan penurunan produksi hingga 80%. Solarisasi tanah<br />
pada saat pratanam merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan populasi nematoda.<br />
Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh solarisasi dalam menekan populasi nematoda pada pertanaman<br />
kentang. Penelitian dilakukan di desa Cibunian, Pengalengan, Jawa Barat dari bulan Oktober 2011-Februari<br />
2012. Solarisasi dilakukan dengan menutup lahan yang akan ditanami kentang dengan PVC (Polyvinyl chloride)<br />
bening dengan ketebalan 0.05 mm selama 6 minggu. Pengambilan sampel untuk mengetahui populasi nematoda<br />
dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan solarisasi sebanyak 24 titik. Populasi nematoda per kg tanah dihitung<br />
dengan menggunakan ekstraksi metode nampan White Head Tray. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah<br />
populasi nematoda sebelum solarisasi adalah 208 ekor per kg tanah, sedangkan populasi setelah solarisasi adalah<br />
108 ekor per kg tanah. Perlakuan solarisasi saat pratanam kentang dapat menekan populasi nematoda lebih dari<br />
50 %.<br />
Katakunci: Kentang; Nematoda; dan Solarisasi.<br />
ABSTRACT. Hudayya, A, Sulastrini, I. 2013. Solarization to Reduce Population of Parasitic Nematode on<br />
Potatoes. One important limited factor in potato production is the presence of parasitic nematodes attack<br />
(Globodera rostochiensis) which can lead to decreased production up to 80%. Soil solarization during pre<br />
planting is one solution that can be used to suppress nematode populations. The objective of this study were to<br />
determine the effect of solarization in reducing populations of nematodes on potato. The study was conducted in<br />
Cibunian Village, Pengalengan, West Java from October 2011 to February 2012. Solarization carried out by<br />
covering the land to be planted with potatoes with PVC (Polyvinyl chloride) with thickness 0.05 mm for six<br />
weeks. Sampling was conducted to determine the nematode population before and after the solarization<br />
treatment as much as 24 points. Populations of nematodes per kg soil was calculated using Whitehead Tray<br />
method. From the results showed the number of nematode populations before solarization is 208 per kg soil,<br />
while the population after solarization was 108 per kg soil. Solarization treatment potatoes during pre planting<br />
could suppress nematode populations up to 50%.<br />
Keyword: solarization; potato; nematode; population<br />
Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) pada dasarnya merupakan pengaturan<br />
populasi agar berada pada jumlah seminimal mungkin dapat merusak tanaman. Pengendalian OPT<br />
diarahkan untuk menekan populasi sampai pada tingkat secara ekonomi tidak merugikan. Dalam<br />
kegiatan budidaya tanaman, sering kali ditemui masalah-masalah yang dapat menimbulkan penurunan<br />
hasil, dan bahkan sampai menimbulkan kegagalan panen. Salah satu masalah tersebut adalah serangan<br />
nematoda parasit pada tanaman yang kita usahakan.<br />
Banyak kendala penyebab rendahnya tingkat produktivitas kentang, salah satu OPT yang telah<br />
terbukti penting tetapi kehadirannya belum banyak disadari khususnya oleh petani kentang adalah<br />
nematoda parasit tanaman (Hadisoeganda 1990b).<br />
Tiap musim, tanaman selalu tersedia melimpah di dalam tanah, perakaran sangat rapat,<br />
persediaan air dan bahan makanan sangat baik. Keadaan demikian merupakan lingkungan yang cocok<br />
untuk berkembang biaknya nematoda parasit, sehingga dibutuhkan suatu kegiatan untuk memodifikasi<br />
lingkungan tanah agar tidak menjadi tempat yang baik bagi nematoda untuk berkembang biak.<br />
Hampir seluruh jenis nematoda hidup di dalam tanah, merusak akar dan bagian tanaman yang ada di<br />
dalam tanah. Kehidupan, pergerakan nematoda di dalam tanah dipengaruhi oleh temperatur tanah,<br />
porositas, kelembaban, dan aerasi tanah (Sastrahidayat 1990).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│203
Solarisasu Tanah untuk Menurunkan Populasi Nematoda Parasit pada Pertanaman Kentang<br />
Hudayya, A dan Sulastrini, I<br />
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi populasi nematoda adalah dengan<br />
pemanasan tanah (solarisasi). Solarisasi merupakan teknik yang aman dan sederhana (Noling 2009).<br />
Solarisasi adalah salah satu alternatif disinfestasi tanah nonkimia yang aman, simpel, dan efektif pada<br />
berbagai kondisi yang kini banyak diupayakan untuk mengendalikan berbagai jenis OPT tanah, suatu<br />
metode pengendalian patogen tular tanah dengan menggunakan lembaran plastik bening yang<br />
ditutupkan pada tanah selama periode suhu yang tinggi, tidak meninggalkan toksisitas residu dan<br />
dapat digunakan dengan mudah pada skala kecil atau skala luas, memperbaiki struktur tanah dan<br />
meningkatkan ketersediaan N dan nutrisi esensial tanaman lainnya.<br />
Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh solarisasi dalam menekan populasi nematoda pada<br />
pertanaman kentang.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilakukan di Laboratorium Nematologi Balai Penelitian Sayuran di Lembang<br />
(1,250m dpl) dan di Kebun Petani di desa Cibunian Kecamatan Pangalengan dari bulan Februari<br />
sampai dengan Desember 2011.<br />
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan yang<br />
terdiri atas klon MB17, CIP 394614.117, CIP 392781.1 dan varietas Granola. Tiap perlakuan diulang<br />
enam kali. Tiap petak perlakuan berukuran 35 m² dengan populasi 200 tanaman.<br />
Benih kentang G 0 ditanam pada bedengan setinggi 50 cm dengan cara baris ganda dan jarak<br />
tanam 50 cm x 30 cm. Pemupukan menggunakan pupuk kandang sebanyak 60 ton/ha dan pupuk NPK<br />
sebanyak 1000 kg/ha.<br />
Solarisasi dan Pengambilan Sampel Tanah<br />
Solarisasi dilakukan selama 6 minggu sebelum tanam menggunakan plastik PVC (Polyvinyl<br />
chloride) bening dengan ketebalan. 0.05 mm, temperatur tanah mencapai ± 50 0 C (Setiawati et al<br />
2005).<br />
Dalam agroekosistem, sebagian besar nematoda parasit dapat ditemukan pada kedalaman 15-<br />
20cm. Sampel tanah yang diambil pada saat pra tanam diambil dari 15 lubang, dari tiap lubang<br />
diambil tanah sebanyak ±500g. Tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian diikat untuk<br />
selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk di ekstraksi-isolasi.<br />
Gambar 1. Pengambilan contoh tanah (kiri) dan perlakuan solarisasi<br />
Ekstraksi-Isolasi Nematoda Menggunakan Metode Whitehead Tray<br />
Sebelum perlakuan nampan, saringan dan kerta tissue disiapkan. Kemudian sampel tanah<br />
diratakan pada tissue yang telah disiapkan, Tuangkan air pada nampan secara perlahan, sampai tanah<br />
yang telah diratakan tersebut basah/air menyentuh tissue dan permukaan air tidak melebihi permukaan<br />
sampel. Inkubasikan selama 2 x 24 jam. Saringan diangkat dan ditiriskan. Air yang tertampung pada<br />
nampan disaring dengan menggunakan saringan 200 mesh.Cuci saringan dengan air bersih<br />
menggunakan botol semprot. Setelah itu masukkan suspensi nematoda ke dalam botol dan disimpan<br />
dalam lemari pendingin untuk pengamatan. Tuang suspensi dalam papan hitung untuk pengamatan<br />
nematoda sekaligus menghitung populasi nematoda di bawah mikroskop stereo.<br />
204│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Solarisasu Tanah untuk Menurunkan Populasi Nematoda Parasit pada Pertanaman Kentang<br />
Hudayya, A dan Sulastrini, I<br />
Gambar 2. Ekstraksi-isolasi nematoda dari tanah sampel<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Tabel 1. Jenis dan populasi nematoda sebelum dan setelah perlakuan solarisasi. Pangalengan, 2011<br />
Jumlah nematoda menurut jenis (ekor/kg sampel tanah)<br />
No lubang sampel<br />
Sebelum solarisasi<br />
Setelah solarisasi<br />
Vermiform NSK (sista) Vermiform NSK (sista)<br />
1 60 0 0 0<br />
2 270 0 60 0<br />
3 180 0 80 0<br />
4 150 0 20 0<br />
5 90 10 80 0<br />
6 580 0 100 0<br />
7 590 0 180 0<br />
8 590 0 180 0<br />
9 180 10 160 0<br />
10 680 0 220 0<br />
11 10 0 160 0<br />
12 60 10 20 0<br />
13 80 0 60 0<br />
14 320 0 160 0<br />
15 360 0 140 0<br />
Jumlah 4200 30 1620 0<br />
Rata-rata 280 2 108 0<br />
Tabel 2. Populasi nematoda setelah tanam, diambil dari 24 titik<br />
Umur Tanaman<br />
L2<br />
Populasi nematoda (per kg tanah)<br />
Sista<br />
33 HST 181 0<br />
61 HST 106 0<br />
102 HST 354 0<br />
Populasi nematoda per kg tanah dihitung dengan menggunakan ekstraksi metode nampan<br />
Whitehead Tray. Dari hasil penelitian menunjukkan jumlah populasi nematoda sebelum solarisasi<br />
adalah 208 ekor per kg tanah, sedangkan populasi setelah solarisasi adalah 108 ekor per kg tanah.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│205
Solarisasu Tanah untuk Menurunkan Populasi Nematoda Parasit pada Pertanaman Kentang<br />
Hudayya, A dan Sulastrini, I<br />
Perlakuan solarisasi saat pratanam kentang dapat menekan populasi nematoda lebih dari 50 %.<br />
Setelah tanam, populasi nematoda adalah 354 ekor per kg tanah. Jumlah ini tergolong rendah,<br />
menurut Panggesco (2010) populasi nematoda pada lahan konvensional adalah sebesar 670,33 per kg<br />
tanah.<br />
Solarisasi dapat menaikkan temperatur tanah pada lapisan hingga ± 50 o C. Peningkatan<br />
temperatur disebabkan karena terjebaknya energi radiasi matahari di dalam tanah (Elmore et al 1997).<br />
Tabel 3. Populasi Nematoda pada masing-masing klon<br />
KLON/VARIETAS<br />
Populasi Nematoda pada Masing-Masing Klon/Varietas<br />
(per kg tanah)<br />
33 HST 61 HST 102 HST<br />
MB 17<br />
CIP 394614.117<br />
CIP 392781.1<br />
Granola<br />
L2 Sista L2 Sista L2 Sista<br />
80 0 75 0 435 0<br />
150 0 105 0 370 0<br />
298 0 148 0 310 0<br />
197 0 96 0 300 0<br />
Pada percobaan, dari hasil penghitungan populasi nematoda selama fase tanam (tabel 3)<br />
terjadi fluktuasi populasi nematoda dari awal tanam hingga panen. Fluktuasi ini disebabkan oleh<br />
keadaan iklim, populasi nematoda cenderung turun pada saat musim dingin, yaitu sekitar bulan<br />
Desember, dimana pada saat ini tanaman berumur 61 HST.<br />
Granola merupakan klon yang mendapat serangan nematoda terendah dengan populasi ratarata<br />
300 ekor per kg tanah. Pengaruh perlakuan solarisasi terhadap produksi kentang disajikan pada<br />
tabel 4.<br />
Tabel 4. Hasil panen umbi benih kentang. Pengalengan, 2011<br />
Varietas<br />
Produksi (ton/ha)<br />
MB 17 36,95<br />
CIP 394614.117 26,18<br />
CIP 392781.1 34,41<br />
Granola 28,16<br />
Solarisasi dengan menggunakan plastik adalah upaya untuk meningkatkan temperatur tanah<br />
sehingga dapat menekan populasi nematoda. Mekanisme penekanan dapat secara langsung dengan<br />
terbunuhnya propagul nematoda akibat peningkatan temperatur karena proses penutupan tanah<br />
dengan plastik dalam jangka waktu tertentu, maupun secara tidak langsung dengan aktifnya berbagai<br />
mikroorganisme antagonis dalam tanah karena proses solarisasi.<br />
Para ahli <strong>Hortikultura</strong> telah mengetahui sejak lama bahwa mempertahankan temperatur tanah<br />
pada 50⁰ -60⁰ C mampu meningkatkan kualitas tanah untuk pertumbuhan tanaman, namun hingga<br />
sekarang seiring perubahan iklim yang ekstrim, kondisi tanah dapat berubah-ubah dengan cepat<br />
sehingga dibutuhkan suatu terobosan untuk mendapatkan temperatur tanah sesuai keinginan (Dropkin<br />
1991).<br />
Tanah merupakan suatu sistem terpadu unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang<br />
lainnya, yaitu mineral organik, mineral anorganik, organik tanah, udara tanah, dan air tanah.<br />
Nematoda membentuk populasi yang besar pada tanah pasiran. Pengolahan tanah pertanian akan<br />
menyebabkan distribusi nematoda yang tidak merata. Distribusi nematoda parasit secara horisontal<br />
atau vertikal dalam tanah sangat bergantung pada distribusi akar tanaman inang yang menyediakan<br />
makanan bagi nematoda tersebut (Mc Kenry and Roberts 1985). Distribusi nematoda secara vertikal<br />
tergantung kepada tekstur tanah, kelembaban tanah, pola pertumbuhan akar, dan kerusakan tanaman<br />
(Robinson 2000).<br />
206│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Solarisasu Tanah untuk Menurunkan Populasi Nematoda Parasit pada Pertanaman Kentang<br />
Hudayya, A dan Sulastrini, I<br />
Kebanyakan nematoda terdapat dalam tanah pada kedalaman 0-15 cm. Konsentrasi terbesar<br />
nematoda berada di sekitar daerah perakaran. Hal ini disebabkan karena nematoda tertarik oleh<br />
sekresi yang dikeluarkan oleh akar (Agrios 1996).<br />
Nematoda dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman melalui dua cara, yaitu secara<br />
mekanik maupun secara kimiawi. Secara mekanik nematoda tersebut merusak jaringan tanaman, yaitu<br />
dengan cara mencucukkan stiletnya pada jaringan tanaman untuk menghisap cairan-cairan dari dalam<br />
sel tersebut. Sedangkan secara kimiawi nematoda tersebut merusak tanaman dengan cara<br />
mensekresikan enzim-enzim sehingga dapat mempengaruhi perubahan patologik sel-sel inang,<br />
sehingga mengganggu tanaman. Nematoda berada di sekitar akar-akar tanaman dan tetap di tempat itu<br />
bila tanaman mati sehingga solarisasi pada saat lahan bera sangat memungkinkan untuk dilakukan.<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
KESIMPULAN<br />
1. Solarisasi merupakan teknik yang aman dan sederhana yang dapat diaplikasikan untuk<br />
menurunkan populasi nematoda saat pra tanam<br />
2. Solarisasi pada saat sebelum tanam (pratanam) menekan populasi Nematoda Globodera<br />
rostochiensis sebesar 50%<br />
SARAN<br />
Guna mendapatkan hasil yang optimal dalam usaha menurunkan populasi nematoda parasit<br />
saat pratanam, solarisasi dapat dikombinasikan dengan teknik lain.<br />
PUSTAKA<br />
1. Agrios, GN, 1996, ‘Plant Pathology’ (Ilmu Penyakit Tumbuhan, alih bahasa: Busnia), Gadjah<br />
Mada University Press. Yogyakarta. Hlm. 612-628<br />
2. Dropkin, VH, 1991, ‘Introduction to Plant Nematology’ (Pengantar Nematologi Tumbuhan, alih<br />
bahasa Supratoyo). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.<br />
3. Elmore, LC, James, JS, Carl, EB, James, ED 1997, ‘Soil Solarization A Nonpesticidal Method for<br />
Controlling Diseases, Nematodes, and Weeds’. University of California Division of agriculture<br />
and natural resourses<br />
4. Hadisoeganda, AWW 1990b, ‘Nematoda parasit kentang dan cara pengendaliannnya dalam<br />
Kentang (Edisi kedua). A. A. Asandhi, S. Sastrosiswojo, Suhardi, Z.Abidin, Subhan (Eds).<br />
Badan Litbang Pert., Balithort Lembang, Jl. Tangkuban Parahu 517, Lembang, Jawa Barat.<br />
Hlm.151-163.<br />
5. McKenry, MV, Roberts, 1985, Phytonematology Study Guide, Diunduh 20 Mei 2012,<br />
.<br />
6. Noling, JW, 2009, ‘Nematode Management in Sweet Potatoes’, University of Florida, diunduh<br />
tanggal 20 Mei 212. < http://edis.ifas.ufl.edu/ng030>.<br />
7. Panggesco, J 2010, ‘Analisis kerapatan populasi nematoda parasitik pada tanaman tomat<br />
(Lycopersicum esculentum mill.) Asal kabupaten sigi biromaru’ Jurnal Agroland., vol.17, no.3,<br />
hlm. 198 – 204.<br />
8. Robinson, A 2001, ‘Nematode Behavior and Migrations Through Soil and Host Tissue’ diunduh<br />
tanggal 20 Mei 2012, .<br />
9. Sastrahidayat, IR 1990, ‘Ilmu Penyakit Tumbuhan seri Umum’, Usaha Nasional. Surabaya.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│207
Solarisasu Tanah untuk Menurunkan Populasi Nematoda Parasit pada Pertanaman Kentang<br />
Hudayya, A dan Sulastrini, I<br />
10. Setiawati, W. Asandhi AA, Uhan TS, Marwoto B, Somantri A, dan Hermawan 2005,<br />
‘Pengendalian Kutu Kebul dan Nematoda Parasitik Secara Kultur Teknik pada Tanaman<br />
Kentang’, Jurnal <strong>Hortikultura</strong>., vol.15, no.4, hlm.288-296.<br />
208│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Kelimpahan Arthropoda Tanah dan Tingkat Parasitasi Diadegma semiclausum Akibat Penggunaan Insektisida Nabati<br />
Nimba (Azadirachta indica) pada Pertanaman Kubis<br />
Jayanti, H dan Setiawati, W<br />
Kelimpahan Arthropoda Tanah dan Tingkat Parasitasi Diadegma semiclausum Akibat<br />
Penggunaan Insektisida Nabati Nimba (Azadirachta indica) pada Pertanaman Kubis<br />
Jayanti, H dan Setiawati, W<br />
Balai Penelitian Tanaman Sayuran Jl. Tangkuban Parahu 517 Lembang, Bandung 40391<br />
ABSTRAK. Plutella xylostella merupakan hama utama pada tanaman kubis. Kehilangan hasil yang<br />
diakibatkannya dapat mencapai 100%. Upaya pengendalian yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan<br />
insektisida kimia sintetik. Penggunaan insektisida kimia sintetik secara intensif di lapangan dapat mengurangi<br />
populasi musuh alami sehingga mengakibatkan populasi hama meningkat. Cara pengendalian yang ramah<br />
lingkungan merupakan faktor penting dalam menekan kehilangan hasil tanaman yang diakibatkan oleh serangan<br />
P. xylostella dan menjaga populasi musuh alami hama baik predator maupun parasitoid berkembang di lapangan.<br />
Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh penggunaan insektisida nabati berbahan aktif nimba<br />
(Azadirachta indica) terhadap populasi arthropoda tanah yang dapat berperan sebagai predator serta parasitoid<br />
P. xylostella pada tanaman kubis di lapangan. Penelitian dilakukan di kebun percobaan Balai Penelitian<br />
Tanaman Sayuran, Lembang-Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat sejak bulan Juli sampai dengan bulan<br />
Nopember 2011. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok terdiri atas 5 (lima)<br />
perlakuan insektisida nabati berbahan aktif nimba pada konsentrasi 1.25 ml/l, 2.5 ml/l, 5.0 ml/l, 10.0 ml/l dan<br />
kontrol dengan lima ulangan. Pengamatan dilakukan setiap minggu, terhadap populasi Arthropoda tanah dengan<br />
menggunakan pitfall pada tiap perlakuan dan populasi parasitoid D. semiclausum pada masing-masing perlakuan<br />
dengan mengambil sebanyak 20 pupa P. xylostella kemudian dipelihara di laboratorium. Hasil pengamatan<br />
menunjukkan (1) penggunaan insektisida berbahan aktif nimba mempengaruhi tingkat parasitasi<br />
D.semiclausum, semakin rendah konsentrasi insektisida semakin tinggi tingkat parasitasi parasitoid itu, dan pada<br />
perlakuan konsentrasi 1.25 ml/l tingkat parasitasi mencapai 69.6%. (2) Penggunaan insektisida berbahan aktif<br />
nimba mempengaruhi populasi arthropoda tanah yaitu semut besar, semut hitam, laba-laba dan mesofauna tanah<br />
Collembola dengan mengurangi populasinya rata-rata sebesar 38.34% dibandingkan dengan kontrol, namun<br />
tidak berpengaruh pada predator Coleoptera dan serangga lain (belalang, lalat, dan cocopet) (3) Keragaman<br />
Arthropoda tanah di pertanaman kubis selama percobaan pada semua perlakuan menunjukkan indeks keragaman<br />
yang rendah (H’ = 0.4952) didominasi oleh semut besar, semut kecil, dan laba-laba (4) Pengendalian dengan<br />
insektisida nabati berbahan aktif nimba pada konsentrasi 1.25 ml/l efektif dalam mengendalikan P.xylostella dan<br />
aman terhadap musuh alaminya.<br />
Kata kunci: Arthropoda tanah, Diadegma semiclausum, Plutella xylostella, Nimba<br />
indica), Kubis.<br />
(Azadirachta<br />
Abstract. Jayanti., H., And W. Setiawati. 2013. Abundance of Soil Arthropod and Parasitoid Diadegma<br />
semiclausum Parasitation Rate Effect of Using Botanical Insecticide Neem (Azadirachta indica) in Cabbage<br />
Crop. Plutella xylostella is a major pest on cabbage plants. The resulting yield losses can reach 100%. Typical<br />
control efforts is to use synthetic insecticides. The use of synthetic chemical insecticides intensively in the field<br />
can reduce populations of natural enemies resulting in pest population increases. Environmentally friendly<br />
control measures is an important factor in suppressing the loss caused by the attack P. xylostella and still<br />
maintain populations of natural enemies of pests both predators and parasitoids. The research objective was to<br />
determine the effect of the use of insecticides with active neem plant (A. indica) on soil arthropod populations<br />
that can act as predators and parasitoids of pests P. xylostella on cabbage plants in the field. The study was<br />
conducted at the experimental garden Indonesia Vegetables Research Institute, Lembang, West Bandung, West<br />
Java Province from July to November 2011. Experimental design used was Randomized Design Group<br />
Randomized Completely Block Design (RCBD), comprises with five (5) active treatment plant neem insecticide<br />
at a concentration of 1.25 ml/l , 2.5 ml/l , 5.0 ml/l, 10.0 ml/l and control with five replications. Observations<br />
were made every week, on arthropod populations in soil by using the pitfall of each treatment and parasitoid<br />
population D. semiclausum in each treatment by taking a total of 20 pupae P. xylostella and then kept in the<br />
laboratory. Observation that (1) the use of insecticides with active neem affect parasitoid D.semiclausum<br />
parasitasi level, the lower concentration caused the higher level of parasitation, on treatment with a concentration<br />
of 1.25 ml/l parasitation level reached 69.6%. (2) The use of insecticides with active neem affects soil arthropod<br />
populations are large ants, black ants, spiders and collembola (soil mesofauna) by reducing the population<br />
average of 38.34% compared with controls, but no effect on predatory Coleoptera and other insects<br />
(grasshoppers ,flies, and earwigs) (3) The diversity of soil arthropods in cabbage crop during the experiment in<br />
all treatments showed a low diversity index (H '= 0.4952) is dominated by large ants, black ants, and spiders (4)<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│209
Kelimpahan Arthropoda Tanah dan Tingkat Parasitasi Diadegma semiclausum Akibat Penggunaan Insektisida Nabati<br />
Nimba (Azadirachta indica) pada Pertanaman Kubis<br />
Jayanti, H dan Setiawati, W<br />
Control of the vegetable insecticide with active neem at a concentration of 1.25 ml/l in control P.xylostella<br />
effective and safe against natural enemies.<br />
Key words: Soil Arthropods, Diadegma semiclausum, Plutella xylostella, Neem (Azadirachta indica),<br />
Cabbage<br />
Ulat daun kubis, Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) merupakan salah satu jenis<br />
hama utama di pertanaman kubis. Kehilangan hasil kubis yang disebabkan oleh serangan hama dapat<br />
mencapai 40-100% (Setiawati 2000 ; Herminanto 2010). Untuk menekan kehilangan hasil, para<br />
petani kubis masih mengandalkan penggunaan insektisida yang dilakukan secara intensif. Insektisida<br />
yang umum digunakan antara lain Teflubenzuron, Flufenoksuron, Klorfluazuron, Bezsultap,<br />
Diafenturon, Permetrin (Adiyoga et al. 2004). Ditinjau dari segi penekanan populasi hama,<br />
pengendalian secara kimiawi dengan insektisida memang cepat dirasakan hasilnya, terutama pada<br />
areal yang luas. Akan tetapi, selain memberikan keuntungan ternyata penggunaan insektisida yang<br />
tidak bijaksana dapat menimbulkan dampak seperti resisten dan resurjensi hama, pencemaran<br />
lingkungan, residu pestisida yang ada pada produk pertanian, dan kematian organisme bukan sasaran<br />
yang dalam hal ini dapat berupa musuh alami hama tersebut (Direktorat Perlindungan <strong>Hortikultura</strong><br />
2004).<br />
Hasil penelitian Khasanah (2004) penggunaan insektisida kimia menyebabkan berkurangnya<br />
keanekaragaman artropoda pada pertanaman bawang merah. Menurut Croft (1989) penggunaan<br />
pestisida sangat mempengaruhi struktur komunitas artropoda, berpengaruh langsung terhadap musuh<br />
alami. Ekosistem pertanian merupakan ekosistem yang tidak stabil yang di dalamnya terbentuk<br />
struktur komunitas yang berupa suatu rantai yang kompleks terjadi interaksi terus-menerus dan<br />
dinamis antara produsen (tanaman), herbivora, dan karnivora yang mengarah pada terbentuknya<br />
keseimbangan ekosistem. Keseimbangan ekosistem pertanian sangat mungkin diharapkan bila<br />
penggunaan insektisida dapat dimanfaatkan bila populasi hama berada di atas ambang ekonomi atau<br />
tanpa penggunaan insektisida agar pengendalian terjadi secara alami.<br />
Musuh alami merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem<br />
olehnya keberadaanya dalam suatu ekosistem sangat dipertahankan dan dilestarikan. Olehnya perlu<br />
adanya kajian struktur komunitas agar dapat diketahui keberadaan komponen-komponen komunitas<br />
diantaranya hama, musuh alami dan inang alternative (Khasanah 2011)<br />
Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh penggunaan insektisida nabati berbahan aktif<br />
nimba (Azadirachta indica) terhadap populasi arthropoda tanah yang dapat berperan sebagai predator<br />
serta parasitoid P. xylostella pada tanaman kubis di lapangan.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilakukan di kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang-<br />
Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat sejak bulan Juli sampai dengan bulan Nopember 2011.<br />
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok terdiri atas 5 (lima)<br />
perlakuan, dengan insektisida nabati berbahan aktif nimba pada konsentrasi 1.25 ml/l, 2.5 ml/l, 5.0<br />
ml/l, 10.0 ml/l dan kontrol yang di ulang lima kali.<br />
Percobaan di lapangan untuk menguji efektivitas insektisida berbahan aktif nimba terhadap<br />
populasi arthropoda tanah dan percobaan di laboratorium untuk mengetahui tingkat parasitasi larva P.<br />
xylostella oleh parasitoid D. semiclausum.<br />
210│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Kelimpahan Arthropoda Tanah dan Tingkat Parasitasi Diadegma semiclausum Akibat Penggunaan Insektisida Nabati<br />
Nimba (Azadirachta indica) pada Pertanaman Kubis<br />
Jayanti, H dan Setiawati, W<br />
Pelaksanaan percobaan<br />
Tabel 1. Macam perlakuan yang diuji/ Kind of treatment<br />
No Perlakuan Waktu dan Cara Aplikasi<br />
Insektisida<br />
Kons. Form.<br />
(ml/l)<br />
1.<br />
Biocos<br />
10.0 Aplikasi insektisida menggunakan Alat Semprot<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
Biocos<br />
Biocos<br />
Biocos<br />
Kontrol<br />
5.0<br />
2.5<br />
1.25<br />
-<br />
Punggung Semi Otomatis bertekanan tinggi dengan<br />
volume air 400 - 800 l/ha atau rata - rata 600 l/ha. Interval<br />
penyemprotan 7 hari sekali.<br />
Varietas kubis yang akan digunakan adalah Geen Coronet, dengan jarak tanam 70 cm x 50<br />
cm. Ukuran petak 8,4 m x 6.0 m = 50,4 m 2 , jarak antar petak perlakuan 1.0 m. Populasi tanaman per<br />
petak percobaan adalah 144 tanaman (100 tanaman perpetak bersih dan 44 sebagai pinggiran). Bibit<br />
kubis yang digunakan adalah yang telah berumur 21 hari setelah semai. Pemupukan : Jenis dan dosis<br />
penggunaan pupuk organik untuk tanaman kubis adalah sebagai berikut : Pupuk kandang kuda : 30<br />
ton/ha. Dosis pupuk buatan yang digunakan adalah sebagai berikut: Pupuk Urea 100 kg/ha, ZA 250<br />
kg/ha, TSP atau SP-36 250 kg/ha dan KCl 200 kg/ha. Untuk tiap tanaman diperlukan kira-kira 4 g<br />
Urea + 9 g ZA, 9 g TSP (SP-36) dan 7 g KCl. Pupuk kandang (1 kg), setengah dosis pupuk N (2 g<br />
Urea + 4,5 g ZA), pupuk TSP (9 g) dan KCl (7 g) diberikan sebelum tanam pada tiap lubang tanam.<br />
Sisa pupuk N (2 g Urea + 4,5 g ZA) per tanaman diberikan pada saat tanaman berumur ± 4 minggu.<br />
Pemeliharaan tanaman seperti penyiraman dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman di<br />
lapangan, sehingga secara agronomis tanaman dapat tumbuh dengan baik. Penyiangan dilakukan<br />
dalam satu musim tanam dua kali atau menurut kebutuhan di lapangan. Pengendalian hama dan<br />
penyakit bukan sasaran apabila dianggap perlu digunakan pestisida, maka penggunaan pestisida<br />
tersebut diupayakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu tujuan percobaan, sehingga penarikan<br />
kesimpulan hasil percobaan tidak mengalami kesalahan. Tanaman kubis ditanam secara monokultur.<br />
Pengolahan data dikerjakan sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan. Tingkat perbedaan<br />
dinyatakan pada taraf 5%. Pengaturan letak petak perlakuan dan kelompok diusahakan sedemikian<br />
rupa agar pada awal percobaan penyebaran hama sasaran lebih kurang merata.<br />
Cara dan alat aplikasi insektisida yang digunakan disesuaikan dengan sifat, cara kerja dan<br />
bentuk formulasi insektisida yang diuji, yaitu menggunakan Sprayer Semi Otomatis (Knapsack<br />
Sprayer). Volume semprot antara 400 – 800 l/ha atau rata-rata sebanyak 600 l/ha. Aplikasi pertama<br />
dilakukan setelah ditemukan hama sasaran. Aplikasi insektisida yang diuji dilakukan setelah P.<br />
xylostella mencapai ambang pengendalian (0,5 larva/tanaman) (Sastrosiswojo et al. 2000). Aplikasi<br />
insektisida dilakukan dengan interval 1 minggu sekali. Aplikasi terakhir dilakukan 2 (dua) minggu<br />
sebelum panen. Penentuan tanaman contoh, jumlah tanaman contoh adalah 10 tanaman tiap petak<br />
perlakuan.<br />
Metode pengujian<br />
Tingkat parasitasi parasitoid dilaksanakan dengan mengumpulkan sebanyak 20 pupa<br />
P.xylostella dari tanaman contoh pada tiap perlakuan di lapangan. Pupa kemudian disimpan dalam<br />
toples di laboratorium. Setiap hari diamati jumlah parasitoid yang muncul dari pupa tersebut.<br />
Pengumpulan pupa dilaksanakan mulai umur 1 minggu setelah tanam dengan interval satu minggu.<br />
Tingkat parasitasi D. semiclausum dihitung dengan menggunakan rumus :<br />
TP = ∑ Pr x 100%<br />
∑ P<br />
Keterangan :<br />
TP : Tingkat Parasitasi<br />
∑ Pr : Jumlah Parasitod yang muncul<br />
∑ P : Jumlah Pupa<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│211
Kelimpahan Arthropoda Tanah dan Tingkat Parasitasi Diadegma semiclausum Akibat Penggunaan Insektisida Nabati<br />
Nimba (Azadirachta indica) pada Pertanaman Kubis<br />
Jayanti, H dan Setiawati, W<br />
Pengaruh penggunaan insektisida nabati berbahan aktif nimba (Azadirachta indica) terhadap<br />
populasi arthropoda tanah dilaksanakan dengan memasang perangkap jebak pitfall pada masingmasing<br />
perlakuan dan diamati setiap 1 minggu. Pitfall trap digunakan untuk memerangkap Arthropoda<br />
permukaan tanah dengan menggunakan gelas plastik diameter permukaan atas 7 cm, kedalaman 12 cm<br />
serta volume 200 ml. Ke dalam setiap gelas dituangkan larutan deterjen. Untuk menghindari<br />
masuknya air hujan, diatas perangkap di pasang atap dari piring plastik berdimeter 15 cm, perangkap<br />
dipasang sejajar dengan permukaan tanah di sela-sela barisan tanaman kubis.<br />
Arthropoda yang tertangkap dikelola sebagai koleksi basah dalam alkohol 70% kemudian<br />
diidentifikasi di Laboratorium Entomologi dan Fitopatologi Balai Penelitian Tanaman Sayuran.<br />
Penggolongan arthropoda dilakukan berdasarkan taksonomi dan struktur trofik menurut Borror and<br />
White (1970), Borror and Delong (1974), Kalshoven (1981).<br />
Keragaman jenis predator yang ditemukan dihitung dengan menggunakan indeks Shannon-<br />
Wiener (Gomez and Gomez 1995) dengan rumus sebagai berikut:<br />
Indeks Keragaman Shannon-Weiner<br />
H' = -∑ Pi log Pi<br />
= - ∑ (ni/N log ni/N)<br />
Keterangan :<br />
H' : Indeks keragaman<br />
Pi : ni/N<br />
ni : Jumlah Individu jenis ke i<br />
N : Total jumlah individu<br />
Nilai Indeks :<br />
< 1,5 : Keragaman Rendah<br />
1,5 - 3,5 : Keragaman Sedang<br />
> 3,5 : Keragaman Tinggi<br />
Analisis data<br />
Data dianalisis dengan sidik ragam, apabila perlakuan menunjukkan pengaruh nyata terhadap<br />
variabel pengamatan maka dilakukan uji lanjutan. Uji lanjutan yang digunakan adalah uji beda nyata<br />
terkecil (BNT) atau LSD.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Tingkat parasitasi D. semiclausum terhadap larva P. xylostella dengan pemberian berbagai<br />
konsentrasi insektisida nabati berbahan aktif nimba<br />
Hasil pengamatan mengenai tingkat parasitasi D. semiclausum terhadap larva P. xylostella<br />
dengan pemberian insektisida nabati berbahan aktif nimba mempengaruhi tingkat parasitasi<br />
D.semiclausum, semakin rendah konsentrasi insektisida semakin tinggi tingkat parasitasi parasitoid<br />
(Tabel 2).<br />
Konsentrasi berbagai insektisida berbahan aktif nimba berbeda nyata dengan kontrol, namun<br />
tingkat parasitasi D. semiclausum pada masing-masing konsentrasi mencapai diatas 50%.<br />
212│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Kelimpahan Arthropoda Tanah dan Tingkat Parasitasi Diadegma semiclausum Akibat Penggunaan Insektisida Nabati<br />
Nimba (Azadirachta indica) pada Pertanaman Kubis<br />
Jayanti, H dan Setiawati, W<br />
Tabel 2. Tingkat parasitasi D.semiclausum terhadap larva P. xylostella dengan aplikasi berbagai<br />
konsentrasi insektisida nabati berbahan aktif nimba / D.semiclausum parasitation level of<br />
larvae P. xylostella with different applications concentrations of botanical neem insecticide.<br />
No. Perlakuan Kons. Form (ml/l) Tingkat parasitasi<br />
1. Biocos 10.0 52.80 c<br />
2. Biocos 5.0 57.80 c<br />
3. Biocos 2.5 67.80 b<br />
4. Biocos 1.25 69.60 b<br />
5. Kontrol - 80.40 a<br />
KK/CV (%) 5.60<br />
Angka rata-rata perlakuan dalam satu kolom yang sama yang ditandai dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda<br />
pada taraf nyata 5 % menurut Uji LSD.<br />
Pengaruh insektisida berbahan aktif nimba terhadap populasi arthropoda tanah<br />
Penggunaan insektisida berbahan aktif nimba pada konsentrasi 1.25 ml/l mempengaruhi<br />
populasi arthropoda tanah yaitu semut besar, semut hitam, laba-laba dan mesofauna tanah Collembola<br />
dengan mengurangi populasinya rata-rata sebesar 38.34% dibandingkan dengan kontrol, namun tidak<br />
berpengaruh pada predator Coleoptera dan serangga lain (belalang, lalat, dan cocopet) (Tabel 3).<br />
Tabel 3. Populasi arthropoda tanah dengan aplikasi berbagai konsentrasi insektisida nabati berbahan<br />
aktif nimba / Soil arthropod populations with various concentrations applications of<br />
botanical neem insecticide<br />
No<br />
Perlakuan<br />
Biocos<br />
Semut<br />
Besar<br />
Semut<br />
Kecil<br />
Laba-<br />
Laba<br />
Coleoptera<br />
Serangga<br />
Lain<br />
(Belalang,<br />
Lalat,<br />
Cocopet)<br />
Collembola<br />
Tanah<br />
1. Biocos 10.0 38.80 b 64.20 b 11.80 b 1.80 b 2.00 b 81.60 b 51.60<br />
ml/L<br />
2. Biocos 5.0 ml/L 48.20 b 76.60 b 17.60 b 3.20 ab 3.40 b 95.60 b 41.45<br />
3. Biocos 2.5 ml/L 47.00 b 80.20 b 16.20 b 3.80 ab 4.20 b 99.40 b 39.97<br />
4. Biocos 1.25 50.60 b 78.20 b 16.20 b 3.20 ab 5.40 ab 104.00 b 38.34<br />
ml/L<br />
5. Kontrol 80.00 a 126.80 a 37.60 a 7.20 a 8.60 a 157.60 a<br />
KK/CV (%) 19.43% 16.31% 13.54% 16.13% 14.41% 13.45%<br />
Pengurangan<br />
Populasi<br />
dibanding<br />
Kontrol (%)<br />
Angka rata-rata perlakuan dalam satu kolom yang sama yang ditandai dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda<br />
pada taraf nyata 5 % menurut Uji LSD.<br />
Terjadinya pengurangan populasi Arthropoda pada pertanaman kubis disebabkan oleh<br />
intensifnya aplikasi pestisida sebelumnya di areal pertanaman. Menurut Sasromarsono dan Untung<br />
(2000) pestisida kimia khususnya insektisida mempunyai dampak yang sangat merugikan bagi<br />
keanekaragaman hayati serangga termasuk musuh alami. Menurut Waage (1992) pestisida dapat<br />
berpengaruh langsung terhadap musuh alami, termasuk mengurangi jumlah dan efisiensi musuh alami<br />
dan menyebabkan gangguan trofi pada ekosistem.<br />
Keragaman Arthropoda tanah di pertanaman kubis<br />
Hasil pengamatan terhadap keragaman predator di pertanaman kubis selama percobaan pada<br />
semua konsentrasi formulasi menunjukkan indeks keragaman yang rendah dengan nilai H’ = 0.4952,<br />
dan didominasi oleh predator semut besar, semut kecil, dan laba-laba. Menurut Oka (1995) semakin<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│213
Kelimpahan Arthropoda Tanah dan Tingkat Parasitasi Diadegma semiclausum Akibat Penggunaan Insektisida Nabati<br />
Nimba (Azadirachta indica) pada Pertanaman Kubis<br />
Jayanti, H dan Setiawati, W<br />
beragam spesies yang ditemukan di suatu areal pertanaman, maka semakin besar atau tinggi tingkat<br />
keragaman komunitasnya. Pada saat keragaman komunitas itu tinggi, maka suatu spesies tidak dapat<br />
menjadi dominan, sedangkan dalam komunitas yang keragamannya rendah, maka satu atau dua<br />
spesies dapat menjadi dominan. Keragaman spesies yang rendah menyebabkan jaring-jaring makanan<br />
yang terbentuk lebih sederhana sehingga kestabilan pada ekosistem pertanaman kurang terjaga.<br />
Keragaman akan cenderung menjadi rendah bila ekosistem tanaman tersebut terkendali secara fisik<br />
oleh kegiatan budidaya yang dilakukan petani.<br />
Strategi untuk mengetahui keragaman dan keefektifan musuh alami didasarkan pada<br />
pengetahuan akan kebutuhan ekologis dari musuh alami itu, dan diperlukan metode untuk<br />
memperbanyak musuh alami potensial sehingga optimalisasi pemanfaatan musuh alami di lapang<br />
dapat efektif. Peningkatan keefektifan musuh alami dapat dilakukan dengan konservasi melalui<br />
tindakan budidaya ramah lingkungan, perbaikan habitat dan relungnya di lapang sehingga dapat<br />
membantu musuh alami tetap eksis di lapang (Supartha et al. 2009).<br />
KESIMPULAN<br />
Hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa :<br />
1. Penggunaan insektisida berbahan aktif nimba mempengaruhi tingkat parasitasi parasitoid<br />
D.semiclausum, semakin rendah konsentrasi insektisida semakin tinggi tingkat parasitasi<br />
parasitoid, pada perlakuan dengan konsentrasi 1.25 ml/l tingkat parasitasi mencapai 69.6%.<br />
2. Penggunaan insektisida berbahan aktif nimba mempengaruhi populasi Arthropoda tanah yaitu<br />
semut besar, semut hitam, laba-laba dan mesofauna tanah Collembola dengan mengurangi<br />
populasinya rata-rata sebesar 38.34% dibandingkan dengan kontrol, namun tidak berpengaruh<br />
pada predator coleoptera dan serangga lain (belalang, lalat, dan cocopet)<br />
3. Keragaman Arthropoda tanah di pertanaman kubis selama percobaan pada semua perlakuan<br />
menunjukkan indeks keragaman yang rendah (H’ = 0.4952) didominasi oleh semut besar, semut<br />
kecil, dan laba-laba.<br />
4. Pengendalian dengan insektisida nabati berbahan aktif nimba pada konsentrasi 1.25 ml/l efektif<br />
dalam mengendalikan P.xylostella dan aman terhadap musuh alaminya.<br />
PUSTAKA<br />
1. Adiyoga, W., Mieke A., Rachman S. Agus S., Budi J., Bagus K. U., Rini R., Darkam M.<br />
2004. Profil Komoditas Kubis. Dirilis pada Desember 2004. Diakses pada 13 Januari 2011.<br />
http://www.scribd.com/doc/15249569/Profil-komoditas-kubis<br />
2. Borror, D.J, and R.E White. 1970. A field Guide to The Study Of Insect. Houton Mifflin<br />
Company. Boston. Company Englewood Cliffs, New Jersey.<br />
3. Borror, D.J, and D.M. Delong. 1974. An introduction to The Study of Insect 3rd. New York<br />
4. Croft, B.A. 1989. Arthropoda Biological Control Agent and Pestisides. John Wiley and Sons.<br />
New York. Chichester. Brisbone. Toronto. Singapore.<br />
5. Direktorat Perlindungan <strong>Hortikultura</strong>, 2004. Pengendalian Organisme Penganggu Tanaman<br />
<strong>Hortikultura</strong>. Dirilis Desember 2004. Diakses 9 September 2011.<br />
http://www.litbang.deptan.go.id<br />
6. Gomez, K. and A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk <strong>Pertanian</strong>. Diterjemahkan oleh<br />
Endang Sjamsuddin dan Justika S. Baharsjah. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 700p.<br />
7. Herminanto, 2010. Hama ulat daun kubis Plutella xylostella dan upaya pengendaliannya.<br />
Dirilis pada 21 Agustus 2010. Diakses pada 16 Januari 2012.<br />
http://www.gerbangpertanian.com/2010/08/hama-ulat-daun-kubis-plutella.html<br />
214│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Kelimpahan Arthropoda Tanah dan Tingkat Parasitasi Diadegma semiclausum Akibat Penggunaan Insektisida Nabati<br />
Nimba (Azadirachta indica) pada Pertanaman Kubis<br />
Jayanti, H dan Setiawati, W<br />
8. Khasanah, N. 2004. Struktur Komunitas Artropoda pada Ekosistem Bawang Merah Tanpa<br />
Perlakuan Insektisida. J. Agroland 11 (4) : 358-364, Fakultas <strong>Pertanian</strong>, Universitas Tadulako.<br />
9. Khasanah, N. 2011. Struktur Komunitas Artropoda pada Ekosistem Cabai Tanpa Perlakuan<br />
Insektisida. Media Utama Litbang Sulsel IV (1) : 57-62, Juni 2011. ISSN : 1979-5971.<br />
10. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Diterjemahkan oleh P.A. Van Der<br />
Laan. Ikhtiar Baru-Van Hooven. Jakarta.<br />
11. Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah<br />
Mada University Press. Yogyakarta. 255 hal.<br />
12. Sasromarsono, S. dan K. Untung. 2000. Keanekaragaman Hayati Arthropoda, Predator, dan<br />
Parasit di Indonesia dan Pemanfaatannya. Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI).<br />
Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi <strong>Pertanian</strong>,<br />
Cipayung, 16-18 Oktober 2000. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Keanekaragaman<br />
hayati Indonesia. Hlm 33-46<br />
13. Sastrosiswojo, S., T.S. Uhan dan R. Sutarya. 2000. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman<br />
Kubis. Monografi No. 21. 78 hal.<br />
14. Setiawati, W, 2000. ”Pengendalian Hama Kubis Plutella xylostella L. Dan Crocidolomia<br />
binotalis Zell. Dengan Spinosad 25 SC serta Pengaruhnya terhadap Diadegma semiclausum<br />
Hellen”. Jurnal <strong>Hortikultura</strong> 10(1): 30 – 39.<br />
15. Supartha, I.W., I.W. Susila., I.M. Mastika., W. Suniti. 2009. Usulan Penelitian Strategis<br />
Nasional Tahun Anggaran 2009. Pengelolaan Terpadu Hama Penggerek Buah Kakao<br />
Conopomorpha cramerella (Snellen) (Lepidoptera : Gracillridae) di Bali. Fakultas <strong>Pertanian</strong><br />
Universitas Udayana. Denpasar. 48 hal.<br />
16. Waage, J. 1992. Quantifiying The Imfact of Pestiside On Natural Enemis. Proceding of<br />
Biological Control Sessiom 3rd International Conference On Plant Protection In Tropics.<br />
Malaysian Plant Protection Society. 84 (1) : 156-162.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│215
Pemakaian Pestisida Karbamat dan Residunya pada Sayuran di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor<br />
Srihartanto, E dan Anshori, A<br />
Pemakaian Pestisida Karbamat dan Residunya pada Sayuran di Kawasan Puncak<br />
Kabupaten Bogor<br />
Srihartanto, E dan Anshori, A<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Yogyakarta<br />
ABSTRAK. Salah satu golongan pestisida yang banyak beredar di pasaran dan digunakan oleh petani adalah<br />
karbamat. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi penggunaan pestisida karbamat dan kandungan residunya<br />
pada sayuran di Kawasan Puncak Kab. Bogor. Penggunaan pestisida dan residunya menjadi perhatian khusus<br />
mengingat berkaitan dengan mutu dan keamanan pangan. Penelitian dilakukan di Kawasan Puncak Kabupaten<br />
Bogor pada bulan Oktober 2009 dengan tujuan mengidentifikasi pemakaian pestisida karbamat dan residunya<br />
pada sayuran. Lokasi dipilih karena merupakan kawasan pertanaman sayuran intensif. Penelitian menggunakan<br />
metode survei dengan melakukan wawancara terhadap 3 (tiga) petani contoh mencakup penggunaan pestisida<br />
karbamat dalam budidaya sayuran. Contoh sayuran diambil dari lahan sebanyak 3 (tiga). Contoh dianalisis<br />
secara komposit untuk menentukan jenis dan kandungan bahan aktif residu pestisida golongan karbamat. Hasil<br />
penelitian menunjukkan bahwa petani sayuran menggunakan pestisida karbamat dalam usaha taninya, sebanyak<br />
26,8%. Selain itu teridentifikasi pestisida karbamat dalam bentuk bahan aktif aldicarb, aldicarb sulfone,<br />
methomyl, 3-hydroxycarbofuran, dioxycarb dan carbofuran dengan berbagai konsentrasi pada sayuran cabai,<br />
tomat, terong, wortel dan seledri.<br />
Katakunci: Karbamat; Sayuran; Kawasan puncak Bogor<br />
Penggunaan pestisida subsektor tanaman sayuran semakin intensif dan cenderung tidak<br />
terkontrol, akibatnya agroekosistem pertanian dan kesehatan manusia sebagai konsumen menjadi<br />
terabaikan. Penggunaan pestisida pada tanaman sayuran per satuan luas lebih tinggi dari pada tanaman<br />
pangan (Sastrosiswoyo, 1992). Petani berpendapat bahwa pestisida dengan takaran dan frekuensi<br />
tinggi akan meningkatkan hasil sehingga penggunaan pestisida sulit untuk dihindari. Aplikasi pestisida<br />
tidak tepat penggunaannya menimbulkan residu dan berdampak negatif pada tanah, air, tanaman,<br />
maupun manusia. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran residu pestisida.<br />
Berdasarkan persamaan struktur dasar rumus kimianya, pestisida dikelompokkan pula ke<br />
dalam kelas, golongan, atau kelompok kimia. Terdapat beberapa golongan pestisida seperti<br />
organoklorin, organoposfat, karbamat, piretroit dan beberapa golongan yang lain. Pestisida golongan<br />
karbamat adalah racun syaraf yang bekerja dengan cara menghambat kolin esterase. Jika pada<br />
organoposfat hambatan bersifat irreversible (tidak bisa dipulihkan), pada karbamat hambatan tersebut<br />
bersifat reversible (bisa dipulihkan). Pestisida dari kelompok karbamat relatif mudah diurai di<br />
lingkungan (tidak persisten) dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Di antara pestisida<br />
yang termasuk golongan karbamat adalah aldikarb, karbofuran, bendiokarb, karbaril, karbosulfan,<br />
metiokarb, metomil, propoksur dan beberapa bahan aktif yang lain (Djojosumarto, 2008).<br />
Gambar 1. Struktur kimia pestisida golongan karbamat, Sumber: (Wright and Welbourn, 2002)<br />
216│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pemakaian Pestisida Karbamat dan Residunya pada Sayuran di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor<br />
Srihartanto, E dan Anshori, A<br />
Dalam usahatani sayuran petani di kawasan puncak Kabupaten Bogor selalu menggunakan<br />
pestisida. Aplikasi di lahan oleh petani dengan berbagai cara penggunaan yakni ada yang melakukan<br />
penyemprotan sesuai anjuran, dosis tinggi bahkan sampai pada pengoplosan pestisida. Pengkajian ini<br />
bertujuan mengidentifikasi penggunaan pestisida karbamat dan kandungan residunya pada sayuran di<br />
Kawasan Puncak Kab. Bogor.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Penelitian dilakukan di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor pada bulan Oktober 2009<br />
dengan tujuan mengidentifikasi pemakaian pestisida karbamat dan residunya pada sayuran. Lokasi<br />
dipilih karena merupakan kawasan pertanaman sayuran intensif. Penelitian menggunakan metode<br />
survei dengan melakukan wawancara terhadap 3 (tiga) petani contoh mencakup penggunaan pestisida<br />
dalam budidaya sayuran. Contoh sayuran diambil dari lahan sebanyak 3 (tiga) contoh. Contoh<br />
dianalisis secara komposit untuk menentukan jenis dan kandungan bahan aktif residu pestisida<br />
golongan karbamat. Analisis dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan <strong>Pertanian</strong>.<br />
Ekstraksi dilakukan dengan memanfaatkan pelarut aseton dan n-hexane (Komisi pestisida, 1997) dan<br />
diukur dengan Gas Chromatography (GC) 2014 Shimadzu (Shimadzu, 2004).<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Pestisida masih menjadi andalan bagi petani sayuran di kawasan puncak Kabupaten Bogor.<br />
Pestisida merupakan komponen utama dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman. Berbagai<br />
macam pestisida dari beberapa golongan, digunakan oleh petani. Golongan pestisida karbamat<br />
menempati peringkat ke dua (26,8%) setelah organoposfat yang biasa digunakan oleh petani sayuran.<br />
Golongan pestisida lain yang ditemukan juga adalah golongan piretroit, azole, avermectin serta<br />
beberapa golongan lain dalam jumlah kecil. Karena sudah dilarang penggunaannya, pestisida<br />
golongan organoklorin sudah tidak ditemui di lokasi pengkajian.<br />
Golongan pestisida yang digunakan di Kaw asan Puncak<br />
Kabupaten Bogor (%)<br />
19,6%<br />
7,1%<br />
30,4%<br />
Organoposfat<br />
Karbamat<br />
Piretroit<br />
5,4%<br />
Azole<br />
10,7%<br />
26,8%<br />
Avermectin<br />
Lain-lain<br />
Gambar 1.<br />
Golongan pestisida yang digunakan petani sayuran di Kawasan Puncak Kabupaten<br />
Bogor<br />
Ketakutan petani dalam budidaya sayuran adalah kegagalan panen karena serangan<br />
oprganisme pengganggu tanaman (OPT). Hal ini memicu petani harus menggunakan pestisida,<br />
bahkan penggunaannya secara berlebihan baik jenis maupun dosisnya.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│217
Pemakaian Pestisida Karbamat dan Residunya pada Sayuran di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor<br />
Srihartanto, E dan Anshori, A<br />
Residu Pestisida<br />
Penggunaan pestisida bertujuan untuk mengendalikan serangan organisme pengganggu<br />
tanaman. Namun demikian jika penggunaannya tidak bijak maka pestisida dapat menimbulkan<br />
dampak negatif terhadap lingkungan melalui residu yang tertinggal pada produk tanaman. Pada Tabel<br />
1 menunjukkan kadar residu pestisida pada berbagai jenis sayuran sebagai akibat atau dampak negatif<br />
dari upaya pengendalian organisme pengganggu tanaman.<br />
Tabel 1. Residu pestisida karbamat pada sayuran dari Kawasan Puncak Kab. Bogor<br />
Kadar Karbamat (mg/kg)<br />
Komoditas<br />
Aldicarb<br />
3 –Hydoxy<br />
Sayuran<br />
Aldicarb Methomyl<br />
Dioxycarb Propoxur Carbofuran<br />
sulfone<br />
Carbofuran<br />
Cabai 0,0132 tt tt Tt 0,0048 tt 0,0104<br />
Tomat 0,0071 0,0193 0,0081 0,0007 tt tt Tt<br />
Terong tt tt 0,0128 Tt 0,0152 tt Tt<br />
Wortel tt 0,0092 tt Tt tt tt Tt<br />
Seledri 0,0188 tt tt 0,0048 0,0064 tt Tt<br />
Keterangan : tt = tidak terdeteksi<br />
Beberapa bahan aktif golongan karbamat ditemui pada beberapa sayuran dengan berbagai<br />
konsentrasi yakni Aldicarbsulfone, Aldicarb, Methomyl, 3-Hydoxycarbofuron, Dioxycarb,<br />
Carbofuran. Untuk bahan aktif propoxur tidak diketemukan pada sayuran yang diuji.<br />
Residu pestisida dengan bahan aktif dari golongan karbamat ditemui pada sayuran cabai,<br />
yaitu aldicarbsulfone, dioxycarb dan carbufuran. Pada tomat diketemukan Aldicarbsulfone, Aldicarb,<br />
Methomyl, 3-Hydoxycarbufuran. Pada terong diketemukan bahan aktif Methomyl dan Dioxycarb.<br />
Pada wortel diketemukan bahan aktif Aldicarb sedangkan pada seledri diketemukan bahan aktif<br />
aldicarbsulfone, 3-Hydoxycarbofuron dan dioxycarb.<br />
KESIMPULAN<br />
Petani sayuran di kawasan puncak Kabupaten Bogor dalam usahataninya menggunakan<br />
pestisida karbamat sebanyak 26,8%. Terdapat bahan aktif residu pestisida karbamat berupa aldicarb,<br />
aldicarb sulfone, methomyl, 3-hydroxycarbofuran, dioxycarb dan carbofuran dengan berbagai<br />
konsentrasi pada sayuran cabai, tomat, terong, wortel dan seledri.<br />
PUSTAKA<br />
1. Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan aplikasinya. PT Agromedia Pustaka. Jakarta<br />
2. Komisi Pestisida <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong>. 1997. Metode pengujian residu pestisida dalam hasil<br />
pertanian. <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong>. Jakarta<br />
3. Sastrosiswoyo. 1992. Penggunaan pestisida pada tanaman sayuran berdasarkan konsepsi<br />
pengendalian hama terpadu. Makalah disampaikan pada Rapat Komisi Perlindungan Tanaman.<br />
Cipanas 19 – 21 maret 1992<br />
4. Shimadzu. 2004. GC Solution : Operation manual. Shimadzu corporation. Kyoto<br />
5. Wright and Welbourn. 2002. Environmental toxicology. Cambridge university Press. New York<br />
218│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Residu Pestisida Organoklorin pada Sayuran, Tanah, dan Air di Tawangmangu Kab. Karanganyar<br />
Anshori, A 1) , Srihartanto, E 1) dan Hindarwati, Y 2)<br />
Residu Pestisida Organoklorin pada Sayuran, Tanah, dan Air di Tawangmangu Kab.<br />
Karanganyar<br />
Anshori, A 1) , Srihartanto, E 1) dan Hindarwati, Y 2)<br />
1) Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Yogyakarta<br />
2) Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Jawa Tengah<br />
ABSTRAK. Organoklorin merupakan pencemar utama dan termasuk dalam persistent organic pollutan, yang<br />
sedang dipermasalahkan di dunia karena sifatnya yang toksik kronis, persisten dan bioakumulatif. Dalam jangka<br />
waktu 40 tahun, organoklorin masih ditemukan dalam lingkungan dan biota dan terdistribusi secara global<br />
bahkan ke daerah terpencil di mana organoklorin tidak pernah digunakan. Penelitian ini bertujuan<br />
mengidentifikasi penggunaan pestisida dan kandungan residu pestisida organoklorin pada sayuran, tanah dan air<br />
pada pertanaman sayuran di Tawangmangu Kab. Karanganyar. Penggunaan pestisida dan residunya menjadi<br />
perhatian khusus dalam penelitian ini, mengingat berkaitan dengan mutu dan keamanan pangan. Penelitian<br />
dilaksanakan di Desa Blumbang Kec. Tawangmangu Kab. Karanganyar pada bulan Oktober 2009. Lokasi dipilih<br />
karena merupakan kawasan pertanaman sayuran intensif. Penelitian menggunakan metode survei dengan<br />
melakukan wawancara terhadap 3 (tiga) petani contoh mencakup penggunaan pestisida dalam budidaya sayuran.<br />
Contoh sayuran, tanah dan air diambil dari lahan sebanyak 3 (tiga) contoh. Contoh dianalisis secara komposit<br />
untuk menentukan jenis dan kandungan bahan aktif residu pestisida golongan organoklorin. Hasil penelitian<br />
menunjukkan petani wortel menggunakan pestisida dalam usaha taninya. Golongan pestisida yang banyak<br />
digunakan adalah organofosfat dan karbamat. Tidak ditemukan penggunaan pestisida golongan organoklorin.<br />
Namun demikian terdapat beberapa bahan aktif residu pestisida organoklorin dengan berbagai konsentrasi pada<br />
sayuran buncis, bawang daun, kobis, wortel, terong dan cabai. Residu pestisida organoklorin juga ditemukan<br />
pada contoh tanah dan air.<br />
Katakunci: Residu pestisida; Organoklorin; Sayuran; Tawangmangu<br />
Salah satu cara pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan petani adalah dengan<br />
penggunaan bahan kimia atau pestisida. Penggunaan pestisida cenderung tinggi dan terus menerus,<br />
dan seringkali kurang memperhatikan dampak negatif yang dapat ditimbulkan. Dampak yang timbul<br />
akibat penggunaan pestisida adalah menurunnya kualitas lingkungan, berupa terbunuhnya musuh<br />
alami, ternak atau pun ikan, menurunnya keanekaragaman hayati, tercemarnya tanah, air dan produk<br />
pertanian oleh residu pestisida. Selain meninggalkan residu pada tanah, air dan tanaman juga<br />
menyebabkan pengaruh buruk pada penggunanya saat aplikasi. Saat aplikasi pestisida, selain<br />
mengenai sasaran (tanaman) juga dapat mengenai tubuh pengguna serta tertinggal dalam tanah dan air.<br />
Penggunaan pestisida yang tidak tepat dapat mengancam kelestarian lingkungan dan kesehatan<br />
manusia.<br />
Pestisida organoklorin telah dilarang penggunaannya sejak tahun 1970-an karena persistensi dan<br />
toksisitasnya yang tinggi. Organoklorin memiliki waktu paruh yang sangat lama. Residu organoklorin<br />
pada tanah dan air dapat masuk ke dalam bagian tanaman (produk), dapat menurunkan mutu produk<br />
serta dapat mengganggu kesehatan konsumen. Secara kimia, organoklorin termasuk pestisida yang<br />
stabil, dan dalam takaran yang cukup dapat mengganggu fungsi sistem syaraf terutama otak (Anies,<br />
1999). Organoklorin merupakan salah satu jenis bahan pestisida yang dapat menimbulkan kerusakan<br />
lingkungan dan mengancam kesehatan manusia.<br />
Dalam usahatani sayuran, petani di Tawangmangu Kab. Karanganyar selalu menggunakan<br />
pestisida. Aplikasi di lahan oleh petani dengan berbagai cara penggunaan yakni ada yang melakukan<br />
penyemprotan sesuai anjuran, dosis tinggi bahkan sampai pada pengoplosan pestisida. Penelitian ini<br />
bertujuan mengidentifikasi penggunaan pestisida oleh petani dan kandungan residu organoklorin pada<br />
sayuran di Tawangmangu Kab. Karanganyar.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│219
Residu Pestisida Organoklorin pada Sayuran, Tanah, dan Air di Tawangmangu Kab. Karanganyar<br />
Anshori, A 1) , Srihartanto, E 1) dan Hindarwati, Y 2)<br />
METODE PENELITIAN<br />
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2009, dengan lokasi terpilih adalah Desa Blumbang<br />
Kec. Tawangmangu Kab. Karanganyar. Lokasi dipilih karena merupakan kawasan pertanaman<br />
sayuran intensif. Penelitian menggunakan metode survei dengan melakukan wawancara terhadap 3<br />
(tiga) petani contoh mencakup penggunaan pestisida dalam budidaya sayuran. Contoh sayuran, tanah<br />
dan air diambil dari lahan sebanyak 3 (tiga) contoh. Contoh dianalisis secara komposit untuk<br />
menentukan jenis dan kandungan bahan aktif residu pestisida golongan organoklorin. Analisis<br />
dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan <strong>Pertanian</strong>. Ekstraksi dilakukan dengan<br />
memanfaatkan pelarut aseton dan n-hexane (Komisi pestisida, 1997) dan diukur dengan Gas<br />
Chromatography (GC) 2014 Shimadzu (Shimadzu, 2004).<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Kadar residu pestisida menjadi perhatian yang serius berkaitan dengan dampaknya terhadap<br />
lingkungan. Tinggi dan beragamnya residu pestisida dalam tanah dan media lain dapat masuk dalam<br />
tubuh hewan ataupun manusia melalui rantai makanan. Residu pestisida organoklorin (lindan,<br />
heptaklor, aldrin, dieldrin, endrin dan 4,4-DDT), masih dan hampir ditemukan di berbagai komoditas,<br />
tanah maupun air, walaupun jenis ini sudah tidak digunakan lagi atau telah dilarang. Menurut<br />
Jorgensen dan Johnsen (1989 dalam Ardiwinata 2003), kemungkinan hal ini terjadi karena<br />
penggunaan pestisida organoklorin 10 – 20 tahun yang lalu. Seperti diketahui, tingkat persistensi<br />
(daya tahan terhadap proses degradasi) organoklorin dapat mencapai 30 tahun. Struktur kimia<br />
organoklorin dapat dilihat pada gambar 1.<br />
Gambar 1. Struktur kimia pestisida organoklorin, Sumber : (Wright and Welbourn, 2002)<br />
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pestisida merupakan komponen utama dalam<br />
pengendalian organisme pengganggu tanaman oleh petani sayuran di Tawangmangu Kab.<br />
Karanganyar. Berbagai macam pestisida dari beberapa golongan, digunakan oleh petani. Petani<br />
menggunakan pestisida golongan organoposfat, karbamat, piretroit, azole, avermectin dan golongan<br />
lain dalam jumlah kecil. Pestisida golongan organoklorin sudah tidak ditemui dan digunakan oleh<br />
petani karena sudah dilarang penggunaannya.<br />
Tujuan utama penggunaan pestisida adalah pengendalian organisme pengganggu tanaman.<br />
Namun demikian, penggunaan yang tidak tepat akan menyebabkan efek samping berupa residu<br />
pestisida. Residu pestisida dapat ditemui pada produk, tanah maupun air. Pestisida organoklorin,<br />
walaupun sudah dilarang penggunaannya ternyata masih dapat ditemui pada produk sayuran, tanah<br />
maupun air di Tawangmangu Kab. Karanganyar. Analisis laboratorium menunjukkan dalam produk<br />
220│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Residu Pestisida Organoklorin pada Sayuran, Tanah, dan Air di Tawangmangu Kab. Karanganyar<br />
Anshori, A 1) , Srihartanto, E 1) dan Hindarwati, Y 2)<br />
sayuran mengandung bahan aktif residu pestisida organoklorin (lindan, heptaklor, aldrin, dieldrin,<br />
endrin dan 4,4-DDT) dengan konsentrasi yang beragam (Tabel 1).<br />
Tabel 1. Residu pestisida organoklorin pada produk sayuran dari Tawangmangu Kabupaten<br />
Karanganyar<br />
Produk Sayuran<br />
Kadar Organoklorin (mg/kg)<br />
Lindan Heptaklor Aldrin Dieldrin Endrin 4,4-DDT<br />
Buncis tt 0,0112 tt Tt tt tt<br />
Bawang daun 0,0240 0,0104 tt Tt tt tt<br />
Kobis tt tt tt Tt tt 0,0033<br />
Wortel tt 0,0035 tt tt 0,0023 0,0021<br />
Terong 0,0040 0,0060 tt tt tt tt<br />
Cabai tt 0,0064 tt tt tt tt<br />
Adanya residu pestisida organoklorin pada produk sayuran kemungkinan besar disebabkan oleh<br />
terdapatnya residu pestisida yang ada dalam tanah terserap tanaman, masuk dalam jaringan tanaman,<br />
menghasilkan tanaman yang mengandung residu pestisida. Hal ini mengingat bahwa organoklorin<br />
mempunyai persistensi yang tinggi dan sudah dilarang penggunaannya. Residu pestisida organoklorin<br />
yang ada saat ini merupakan akibat penggunaannya di waktu yang lampau. Kandungan residu<br />
organoklorin dalam tanah dan air dapat dilihat pada Tabel 2.<br />
Tabel 2. Residu pestisida organoklorin dalam tanah dan air dari tawangmangu Kabupaten<br />
Karanganyar<br />
Kadar Organoklorin (mg/kg)<br />
Lindan Heptaklor Aldrin Dieldrin Endrin 4,4-DDT<br />
Tanah 0,0047 0,0057 0,0021 tt 0,0072 0,0089<br />
Air 0,0042 0,0021 0,0037 tt 0,0022 0,0028<br />
Dalam rantai makanan, residu pestisida dalam tanah dapat masuk ke dalam jaringan tanaman,<br />
tubuh hewan, dan bahkan kotoran hewan yang dihasilkan dapat mengandung residu pestisida yang<br />
sama. Residu pestisida juga dapat terbawa oleh aliran air ke tepat yang lebih jauh sesuai dengan arah<br />
aliran air. Karena persistensinya yang tinggi organoklorin masih berada dalam siklus di alam,<br />
walaupun penggunaannya sudah dilarang.<br />
KESIMPULAN<br />
Petani sayuran menggunakan pestisida dalam mengendalikan serangan organisme<br />
pengganggu tanaman dari golongan organoposfat, karbamat, piretroit, azole, avermectin, dan golongan<br />
lain dalam jumlah kecil. Terdapat residu pestisida oraganoklorin dalam sayuran, tanah dan air dari<br />
Tawangmangu Kab. Karanganyar. Karena persistensi yang tinggi, kecenderungan organoklorin masih<br />
terdapat dalam siklus di alam, walaupun penggunaannya sudah dilarang.<br />
PUSTAKA<br />
1. Anies. 1999. Dampak pestisida bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Prosiding seminar<br />
Pencemaran Pestisida. Semarang.<br />
2. Ardiwinata, A. N., S. Y. Jatmiko, E. S. Harsanti dan J. Soejitno. 2003. Residu pestisida : Ekolabel<br />
dan upaya ameliorasi. Prosiding seminar Nasional Peningkatan Kualitas lingkungan dan Produk<br />
<strong>Pertanian</strong>. Kudus.<br />
3. Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan aplikasinya. PT Agromedia Pustaka. Jakarta<br />
4. Komisi Pestisida <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong>. 1997. Metode pengujian residu pestisida dalam hasil<br />
pertanian. <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong>. Jakarta<br />
5. Shimadzu. 2004. GC Solution : Operation manual. Shimadzu corporation. Kyoto<br />
6. Wright and Welbourn. 2002. Environmental toxicology. Cambridge university Press. New York.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│221
Luas Serangan Colletotrichum sp. pada Jenis Cabai Besar dan Cabai Keriting<br />
Krestini, E H dan Kusandriani, Y<br />
Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Jl. Tangkuban Parahu 517, Lembang, Bandung 40391<br />
ABSTRAK. Cendawan Colletotrichum sp. penyebab antraknosa merupakan salah satu penyakit utama pada<br />
cabai. Penyakit ini bisa menyerang cabai yang ditanam di dataran rendah hingga tinggi. Kerusakan yang<br />
disebabkan oleh cendawan ini adalah pada bagian buah dan dapat menurunkan panen hingga 45-60%. Penelitian<br />
ini bertujuan untuk mengetahui luas serangan Colletotrichum sp pada dua jenis cabai yang berbeda yaitu cabai<br />
keriting dan cabai besar yang pada akhirnya diharapkan mendapatkan sumber ketahanan terhadap<br />
Colletotrichum sp. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Balai Penelitian Tanaman Sayuran<br />
Lembang pada bulan Januari 2012. Rancangan yang dipakai adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak<br />
(RKLT) dengan menggunakan empat varietas cabai yang berbeda (dua varietas cabai keriting dan dua varietas<br />
cabai besar) digunakan sebagai perlakuan dan diulang sebanyak sepuluh kali. Hasil penelitian menunjukkan<br />
bahwa luas serangan Colletotrichum sp. pada jenis cabai keriting menunjukkan luas serangan yang lebih kecil<br />
dibandingkan dengan jenis cabai besar. Hal ini menunjukkan bahwa dua jenis cabai keriting yang diuji<br />
mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap serangan Colletotrichum sp. dibandingkan dengan dua varietas<br />
cabai besar lain yang diujikan.<br />
Katakunci: Colletotrichum sp.; Ketahanan; Cabai<br />
Abstract. Krestini, E.H and Kusandriani, Y. 2013. Stricken Broad Area Attack By Colletotrichum Sp in<br />
Type of Red Chili And Curly Chili Peppers. Colletotrichum sp or better known as Anthracnose is one of the<br />
main diseases in chili. This disease can affect peppers grown in the lowland to high (Zahara and Harahap, 2007).<br />
Damage caused by this fungi is in the fruit and can reduce yields up to 45-60% (Hidayat et al., 2004). This study<br />
aims to determine the Colletotrichum sp widespread attacks on two different types of chili is chili pepper curls<br />
and red chili, which in turn is expected to get a source of resistance of Colletotrichum sp. The research was<br />
conducted at the Phytophatology Laboratory of Indonesia Vegetables Research Institute in Lembang at January<br />
2012. The design used was Randomized Completely Block Design (RCBD) using four different varieties of<br />
chili peppers (two varieties of chili pepper curls and two varieties of red chili) is used as a treatment and<br />
repeated ten times. The results of this study indicate that the widespread attacks on the type of chili<br />
Colletotrichum sp curly attacks showed a smaller area than other types of chili. This shows two kinds of chili<br />
peppers has tested curls more resistance against Colletotrichum sp attack when compared with two other great<br />
chili varieties tested.<br />
Key words: Colletotrichum sp, Resistance, Chili<br />
Cabai termasuk famili solanaceae dan merupakan salah satu komoditas sayuran yang memiliki<br />
nilai ekonomis cukup tinggi. Kebutuhan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan<br />
meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai.<br />
Harga cabai dipasaran sering mengalami fluktuasi salah satunya disebabkan pasokan pasar yang tidak<br />
jelas hal ini diantaranya dipengaruhi oleh hasil produksi cabai dilapangan. Hasil produksi cabai<br />
dilapangan sering tidak maksimal karena kendala serangan hama dan penyakit, menurut (Duriat,<br />
2007) gangguan pada pertanaman cabai ini bisa menyerang sejak dari persemaian sampai pasca<br />
panen.<br />
Salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman cabai adalah penyakit antraknosa.<br />
Penyakit yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. ini sering menimbulkan kerugian besar<br />
bahkan gagal panen. Penyakit ini tidak hanya menyerang pertanaman cabai dilapangan tetapi dapat<br />
juga menimbulkan kerugian pada saat pasca panen sehingga penyakit ini dapat menimbulkan<br />
kehilangan hasil yang cukup besar .<br />
Penyakit antraknosa bisa menyerang semua bagian tanaman tetapi serangan pada bagian<br />
batang dan daun tidak menimbulkan masalah yang berarti bagi tanaman, tetapi dari bagian inilah buah<br />
cabai terinfeksi oleh cendawani Colletotrichum sp. Di Indonesia terdapat tiga kelompok jenis cabai<br />
besar yaitu cabai merah besar, cabai merah keriting dan cabai hijau (Balitsa, 2004). Penelitian ini<br />
bertujuan mengetahui luas serangan Colletotrichum sp. pada dua jenis cabai yang berbeda yaitu cabai<br />
keriting dan cabai besar yang pada akhirnya diharapkan menjadi informasi untuk mendapatkan<br />
sumber ketahanan terhadap Colletotricum sp.i.<br />
222│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Residu Pestisida Organoklorin pada Sayuran, Tanah, dan Air di Tawangmangu Kab. Karanganyar<br />
Anshori, A 1) , Srihartanto, E 1) dan Hindarwati, Y 2)<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Balai Penelitian Tanaman Sayuran<br />
Lembang pada bulan Januari 2012, dengan menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak<br />
(RKLT) dengan menggunakan empat varietas cabai yang berbeda, dua varietas cabai keriting (A, B)<br />
dan dua varietas cabai besar (C,D) digunakan sebagai perlakuan dan diulang sebanyak sepuluh kali.<br />
Prosedur pengujian buah cabai adalah sebagai berikut:<br />
1. Buah cabai dibersihkan dengan menggunakan kertas tissue<br />
2. Box tempat penyimpanan pengujian dibersihkan dan di streril dengan alkohol<br />
70 %.<br />
3. Masukan air aquadest steril ke dalam box ± 20 ml (di bawah saringan)<br />
4. Cabai disusun ke dalam box di atas saringan (tiap box sebanyak 10 buah cabai)<br />
5. Tiap cabai diinokulasi spora Colletotrichum sp. sebanyak 1 mµ tiap titik, dengan konsentrasi<br />
spora 510 -5 sel spora/ml.<br />
6. Box ditutup dan diberi label kemudian disimpan di suhu ruang.<br />
Pengamatan dilakukan dari satu hari setelah inokulasi (HSI) sampai enam HSI. Pengamatan<br />
Luas serangan penyakit antraknosa dihitung berdasarkan luas serangan pada masing masing<br />
perlakuan, dengan menggunakan rumus sebagai berikut:<br />
L= π x r 2<br />
Keterangan :<br />
L = Luas serangan,<br />
π = konstanta (3,14),<br />
r = jari-jari<br />
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, bila berbeda nyata diuji lanjut BNJ pada taraf<br />
nyata 5%.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Luas serangan pada keempat varietas yang diuji menunjukkan luasan yang berbeda, Pada<br />
Gambar 1 varietas D menunjukkan luas yang tertinggi disusul kemudian oleh varietas C, A dan<br />
varietas B dengan luas serangan yang paling kecil. Luas serangan pada masing-masing varietas yang<br />
diuji terlihat berbeda hal ini dipengaruhi oleh ketahanan pada masing-masing varietas itu sendiri dan<br />
Varietas B mempunyai sifat agak tahan antraknosa (Piay, dkk 2010).<br />
A dan B adalah varietas cabai dengan jenis cabai keriting sedangkan C dan D berjenis cabai<br />
besar. Pada Gambar 1 terlihat dengan jelas perkembangan serangan antraknosa pada jenis cabai besar<br />
lebih tinggi dibandingkan cabai keriting bahkan luas serangan pada cabai besar dapat mencapai dua<br />
sampai tiga kali lipat luas serangan cabai keriting.<br />
Gambar 1. Perkembangan Luas Serangan Antraknosa Pada Masing-Masing Perlakuan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│223
Residu Pestisida Organoklorin pada Sayuran, Tanah, dan Air di Tawangmangu Kab. Karanganyar<br />
Anshori, A 1) , Srihartanto, E 1) dan Hindarwati, Y 2)<br />
Hasil uji statistik pada Tabel 1 menunjukkan antara cabai besar dan cabai keriting<br />
memperlihatkan luas serangan yang berbeda nyata. Cabai keriting varietas B menunjukkan luas<br />
serangan yang paling kecil walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan cabai keriting<br />
varietas A. Cabai besar varietas D menunjukkan luas serangan yang paling besar diantara semua<br />
perlakuan dan secara statistik tidak berbedanyata dengan varaietas cabai besar C.<br />
Tabel 1. Luas seranganAntraknosa Pada Jenis Cabai keriting dan Besar<br />
Perlakuan<br />
Pengamatan<br />
5 HSI 7 HSI<br />
Cabai keriting var. (A) 2,16a 2,88a<br />
Cabai keriting var. (B) 1,95a 2,37a<br />
Cabai besar var. (C) 5,53b 6,39b<br />
Cabai besar var. (D) 7,36b 8,04b<br />
Lebih kecilnya luas serangan pada cabai keriting menunjukkan cabai jenis ini mempunyai<br />
ketahanan lebih tinggi dibandingkan dengan jenis cabai besar, hal ini didukung oleh pendapat<br />
Tenaya, 2001 yang mengatakan bahwa tanaman cabai besar mempunyai kerentanan lebih tinggi<br />
terserang antraknosa. Permukaan cabai keriting yang lebih kering diperkirakan mempengaruhi luas<br />
serangan antraknosa.<br />
Cabai mengandung beberapa nutrisi seperti kapsaicin, vitamin C, vitamin B1 serta<br />
provitamin A. Kapsaicin merupakan salah satu karakter biokimia cabai yang berperan dalam<br />
menentukan rasa pedas (Greenleaf 1986 dalam Syukur, 2009).<br />
Tabel 2. Kandungan Kapsaicin (ppm) setiap 100 gram buah cabai<br />
Perlakuan<br />
Kandungan Kapsaicin (ppm)<br />
Cabai keriting var. (A) 355,8<br />
Cabai keriting var. (B) 263<br />
Cabai besar var. (C) 203<br />
Cabai besar var. (D) 160<br />
Kandungan kapsaicin pada keempat cabai yang diuji hasilnya berbeda hal ini bisa dilihat pada<br />
Tabel 2, Hasil penelitian Syukur et al. 2007 juga menunjukkan adanya perbedaan kadar kapsaicin<br />
pada beberapa galur cabai yang diuji. Pada penelitian ini kandungan kapsaicin pada kedua varietas<br />
jenis cabai keriting lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan pada kedua varietas cabai besar.<br />
Hasil penelitian Aisyah, 2009 juga menunjukkan kandungan kapsaicin pada cabai keriting<br />
lebih tinggi dari pada cabai besar. Kandungan kapsaicin berpengaruh terhadap tingkat serangan<br />
antraknosa, semakin tinggi kandungan kapsaicin serangan antraknosanya semakin kecil. Hubungan<br />
antara sifat ketahanan antraknosa dan kandungan kapsaicin juga terlihat pada hasil penelitian Rosyadi<br />
(2007) yang menunjukkan bahwa genotif IPB C. 15 dan C. 30 dengan kandungan kapsaicin lebih<br />
tinggi dari genotif lainnya mempunyai sifat tahan antraknosa. Tenaya et al. (2001) melaporkan bahwa<br />
kandungan kapsaicin tinggi berkorelasi positif dengan ketahanan terhadap antraknosa.<br />
Pada umumnya ketahanan terhadap suatu penyakit dipengaruhi oleh gen dari tanaman itu<br />
sendiri, ketahanan Colletotrichum sp. ini dikendalikan oleh beberapa gen minor sehingga antar<br />
varietas yang berbeda memiliki ketahanan yang berbeda (Sanjaya, dkk., 2002). Kandungan kimia<br />
pada keempat varietas cabai yang diuji memiliki perbedaan hal ini tercermin dari luas serangan yang<br />
ditimbulkan. Mekanisme ketahanan biokimia terhadap Colletotrichum sp. diduga berkaitan dengan<br />
kandungan fenol, enzim aktif (ortho dihydroxy phenol, peroxidase, poliphenol oxidase, dan<br />
phenylalanine ammonia-lyase) (Prasath, 2008) kandungan kapsaisin dan fruktosa (Tenaya, 2001).<br />
KESIMPULAN<br />
Pada cabai keriting luas serangan Colletotrichum sp. lebih kecil dibandingkan dengan jenis cabai<br />
besar.<br />
224│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Residu Pestisida Organoklorin pada Sayuran, Tanah, dan Air di Tawangmangu Kab. Karanganyar<br />
Anshori, A 1) , Srihartanto, E 1) dan Hindarwati, Y 2)<br />
PUSTAKA<br />
1. Aisyah. 1994. Kandungan kapsaicin dan anatomi buah cabai merah besar (capsicum annum L.<br />
var abrieviata eingerhuth) dan cabai merah keriting (capsicum annum L. var longum Sendt)<br />
dengan perlakuan pupuk urin sapi. Tesis. UGM.78 Hal<br />
2. Balitsa (Balai Penelitian Tanaman Sayuran). 2004. PTT Cabai. (Serial Online).<br />
http://www.balitsa.or.id/ptt-cabai.html<br />
3. Duriat., AS, N. Gunaeni, A.W. Wulandari. 2007. Penyakit Penting Tanaman Cabai dan<br />
Pengendaliannya. Monografi No 31. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Hal 10-22.<br />
4. Hidayat, I. M., I. Sulastrini, Y. Kusandriani dan A. H. Permadi. 2004. Lesio sebagai komponen<br />
tanggap buah 20 galur dan atau varietas cabai terhadap inokulasi Colletotrichum capsici dan<br />
Colletotrichum gloeosporioides. J. Hort. 14 (3) : 161-162.<br />
5. Piay. S. Sherly, A. Tyasdjaja, Y. Ermawati, F.R.P.Hantoro. 2010. Budidaya dan pasca Panen<br />
Cabai Merah. Balai Pengkajian Tekhnologi <strong>Pertanian</strong> Jawa Tengah.60 Hal.<br />
6. Prasath, D. and V. Ponnuswami. 2008. Screening of chilli (Capsicum annuum L.) genotypes<br />
against Colletotrichum capsici and analysis of biochemical and enzymatic activities in inducing<br />
resistance. Indian. J. Genet. 68 (3) : 344-346.<br />
7. Rosyadi, 2007. Analisis Keanearagaman Genetik 27 Genotif Cabai (Capsicum spp Koleksi IPB.<br />
Skripsi. IPB. 60 Hal.<br />
8. Syukur M, S. Sujiprihati, J. Koswara, Widodo.2007. Pewarisan Ketahanan Cabai Terhadap<br />
Antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum. Bul. Agron 35 (2) : 112-117<br />
9. Syukur M, S. Sujiprihati, J. Koswara, Widodo. 2009.Ketahanan Terhadap Antraknosa Yang<br />
Disebabkan Oleh Colletotrichum acutatum Pada Beberapa Genotif Cabai (Capsicum annum L.)<br />
dan Korelasinya Dengan Kandungan Kapsain dan Peroksidase. J. Agron. Indonesia 37 (3):233-<br />
239.<br />
10. Sanjaya, dkk. 2002. Pemetaan QTL untuk sifat ketahanan terhadap penyakit antraknose pada<br />
Capsicum sp. Jurnal Bioteknologi <strong>Pertanian</strong> 7 (2) : 43-54.<br />
11. Tenaya, I. M. N. 2001. Pewarisan Kandungan Fruktosa dan Kapsaisin Serta Aktivitas Enzim<br />
Peroksidase Pada Tanaman Hasil Persilangan Cabai Rawit dengan Cabai Merah. Jurnal Ilmu-<br />
Ilmu <strong>Pertanian</strong> Agritof Vol 20. No: 2, Juni 2001: 80 Hal<br />
12. Zahara, H. dan L. H. Harahap 2007. Identifikasi jenis cendawan pada tanaman cabai (Capsicum<br />
annuum) pada topografi yang berbeda. Telah Diseminarkan Pada Temu Teknis Pejabat<br />
Fungsional Non Peneliti. Bogor, 2122 Agustus 2007. Page 1-8.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│225
Identifikasi Jamur Patogen pada Tanaman Stroberi (Fragaria vesca L.) di Batu<br />
Dwiastuti, M. E.<br />
Identifikasi Jamur Patogen pada Tanaman Stroberi (Fragaria vesca L.) di Batu<br />
Dwiastuti, M. E.<br />
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika, Indonesia<br />
*Corresponding author : Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro)<br />
Jl. Raya Tlekung No. 1 Junrejo, Batu 65301, Telp/Fax. 0341592683/0341593047<br />
Email : mutiaed@gmail.com<br />
Abstrak. Budidaya stroberi belum banyak di Indonesia, namun mulai menunjukkan geliatnya, terutama di<br />
dataran tinggi, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatra Utara. Kendala yang sering muncul adalah kualitas benih<br />
yang ditanam jelek, adanya gangguan organisme pengganggu tanaman yang menyebabkan tanaman rusak, tidak<br />
dapat bertahan hidup atau gagal panen.Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi penyakit jamur yang<br />
menyerang tanaman stroberi di Batu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Balai Penelitian<br />
Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) – Tlekung – Batu dengan pengambilan sampel di Kebun<br />
Percobaan Kliran, Desa Kliran, Kecamatan Bumiaji, Batu dengan ketinggian tempat 1.010 m dpl. mulai Juli<br />
2010 sampai Agustus 2010. Metode identifikasi yang digunakan adalah dengan cara mengamati langsung<br />
bagian tanaman yang terserang stroberi baik pada daun, batang, buah maupun akar di lapangan. Bagian tanaman<br />
yang menunjukkan gejala terserang penyakit diambil dari lapangan, disimpan pada plastik dan dibawa ke<br />
Laboratorium.Isolasi dan pemurnian dilakukan secara aseptik dalam Laminar Air Flow (LAF) , sampai semua<br />
proses postulat kock dapat terlewati. Identifikasi Kapang secara Makroskopis dan Mikroskopis meliputi ada<br />
tidaknya garis radial, pigmentasi, diameter, dan konfigurasi kemudian dicatat hasil dan diambil gambarnya.<br />
Pengamatan secara mikroskopis yang meliputi bentuk spora, warna hifa, ada tidaknya sekat hifa Pengamatan<br />
selanjutnya dapat dilakukan pada microcomp agar terlihat lebih jelas serta mudah dalam pengambilan gambar.<br />
Identifikasi jamur dilakukan dengan menggunakan buku panduan identifikasi jamur seperti Streets (1980),<br />
Agrios (1978), Barnett (1972). Hasil penelitian menunjukkan bahwa patogen yang teridentifikasi menyerang<br />
bagian tanaman stroberi di lokasi penanaman Batu ada 5, yaitu jamur Mycosphaerella sp.penyebab bercak daun,<br />
Phomopsis penyebab busuk daun, Rhizoctonia solani penyebab busuk daun dan tangkai, Colletotrichum sp.<br />
Penyebab busuk buah Antraknose, dan Phytophthora sp. Penyebab busuk empulur merah akar.<br />
Kata kunci : jamur ,Mycosphaerella sp., Phomopsis, Rhizoctonia solani, Colletotrichum sp. Antraknose,<br />
Phytophthora sp. Stroberi<br />
Stroberi merupakan tanaman buah berupa herba yang ditemukan pertama kali di Chili,<br />
Amerika. Salah satu spesies tanaman stroberi yaitu Fragaria chiloensis L menyebar ke berbagai<br />
negara Amerika, Eropa dan Asia. Selanjutnya spesies lain, yaitu F. vesca L. lebih menyebar luas<br />
dibandingkan spesies lainnya. Jenis stroberi ini pula yang pertama kali masuk ke Indonesia. Buah<br />
stroberi dimanfaatkan sebagai makanan dalam keadaan segar atau olahannya. Produk makanan yang<br />
terbuat dari stroberi telah banyak dikenal misalnya sirup, selai, ataupun stup (compote) stroberi<br />
(Gunawan, 2003). daya pikatnya terletak pada warna buah yang merah mencolok dengan bentuk buah<br />
yang mungil, menarik, serta rasa yang manis dan segar yang mulai dikenal dan digemari oleh<br />
masyarakat. Manfaat stroberi sangat banyak untuk kesehatan, Buah stroberi memiliki aktivitas<br />
antioksidan tinggi karena mengandung quercetin, ellagic acid, antosianin dan kaempferol. Kandungan<br />
tersebut menjadikan stroberi sebagai alternatif yang baik untuk meningkatkan kesehatan jantung,<br />
mengurangi resiko beberapa penyakit kanker dan memberikan dorongan positif terhadap kesehatan<br />
tubuh. Buah stroberi juga berguna untuk membantu penyerapan zat besi dari sayuran yang dikonsumsi<br />
selain itu buah stroberi juga dapat membantu proses diet dan baik bagi pendferita diabetes.<br />
Pemanfaatan buah stroberi untuk kecantikan diantaranya yaitu untuk obat jerawat, mempercantik<br />
kulit, memutihkan gigi serta meningkatkan kekuatan otak dan penglihatan.<br />
Satu sifat yang tidak menguntungkan dari stroberi adalah buahnya yang tidak tahan simpan<br />
setelah dipanen dan mudah sekali rusak dalam transportasi. Penyimpanan jangka panjang agar buah<br />
stroberi tidak rusak dapat dilakukan dengan cara dibekukan atau dalam bentuk olahan. Buah stroberi<br />
termasuk buah yang sangat sensitif dan cepat rusak atau busuk. Penyimpanan yang baik adalah pada<br />
suhu antara 0 o – 1 o C. Temperatur dibawah 0 o C dapat menyebabkan kerusakan buah (freezing injury).<br />
Bila temperatur 1 o C tidak mungkin dipenuhi maka maksimum penyimpanan yang disarankan yaitu<br />
226│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Identifikasi Jamur Patogen pada Tanaman Stroberi (Fragaria vesca L.) di Batu<br />
Dwiastuti, M. E.<br />
10 o C. Selain faktor temperatur, buah harus bebas kapang maupun bakteri dan tidak dalam keadaan<br />
basah sehingga dapat disimpan lebih lama (Gunawan, 2003).<br />
Pembudidayaan stroberi belum banyak dikenal dan diminati oleh petani Indonesia, hal ini<br />
dikarenakan perlunya perawatan serta syarat pertumbuhan tertentu seperti ketinggian tempat serta<br />
media tanam yang sesuai. Budidaya tanaman stroberi di Indonesia harus dilakukan di dataran tinggi.<br />
Lembang dan Cianjur (Jawa Barat) adalah daerah sentra pertanian dimana petani sudah mulai banyak<br />
membudidayakan stroberi. Dapat dikatakan bahwa untuk saat ini, kedua wilayah tersebut adalah<br />
sentra penanaman stroberi.<br />
Kendala yang sering muncul dalam pembudidayaan tanaman stroberi adalah adanya<br />
gangguan hama maupun penyakit yang dapat menyebakan kerusakan pada akar, daun, bunga dan<br />
buah. Gangguan yang tergolong hama pada tanaman stroberi seperti kutu daun, tungau, serta<br />
nematoda sedangkan penyakit pada tanaman stroberi dapat disebabkan oleh kapang atau cendawan,<br />
bakteri dan virus (Gunawan, 2003). Penyakit yang sering dijumpai pada tanaman stroberi yang<br />
disebabkan oleh kapang diantaranya penyakit daun gosong yang disebabkan oleh Diplocarpon<br />
earliana atau Marsonina fragariae, penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Ramularian tulasnii<br />
atau Mycospaerella fragariae, Rhizoctonia solani, penyakit tepung yang disebabkan oleh Uncinula<br />
necator, penyakit pusat merah yang disebabkan oleh Phytophthora fragariae, busuk buah yang<br />
disebabkan Botrytis cinerea, Rhizopus stolonifer dan Colletotrichum fragariae (Semangun, 2003).<br />
Di samping itu pertanaman yang ada terlihat gejala-gejala penyakit virus, seperti virus krupuk, kerdil ,<br />
daun menggulung dan sapu. Gejala ini kemungkinan disebabkan virus.<br />
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyakit jamur pada tanaman stroberi yang<br />
ada di Batu.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilakukan di laboratorium Terpadu Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika<br />
(Balitjestro) – Tlekung , sampel berasal dari lokasi sroberi di Batu dengan ketinggian tempat 1.010 m<br />
dpl. Waktu penelitian dilakukan mulai Juli sampai September 2010.<br />
Bagian tanaman yang digunakan untuk identifikasi meliputi daun, buah, tangkai buah atau<br />
tangkai daun dan akar yang terserang penyakit namun prosentasenya belum terlalu parah (ada bagian<br />
yang sakit dan ada bagian yang sehat), metode yang digunakan adalah dengan cara mengamati<br />
langsung bagian tanaman yang terserang stroberi baik pada daun, batang, buah maupun akar di<br />
lapangan. Bagian tanaman yang menunjukkan gejala terserang penyakit diambil dari lapangan,<br />
disimpan pada plastik dan dibawa ke Laboratorium.<br />
Isolasi jamur dari bagian Tanaman Stroberi<br />
Bagian tanaman tanaman yang terserang penyakit yaitu daun, tangkai daun dan akar. dipotong<br />
dengan ukuran 1x1 cm pada bagian antara yang sehat dan yang sakit sebanyak tiga potongan, untuk<br />
bagian akar dicuci terlebih dahulu dengan air mengalir agar tanah yang menempel berkurang.<br />
Potongan tersebut kemudian diambil dengan pinset dan dicelup pada wadah berisi aquades selama<br />
beberapa detik kemudian dipindah dan dimasukkan pada wadah berisi alkohol 70% selama 1 menit<br />
dan dicelupkan sekali lagi pada wadah berisi aquades lain selama beberapa detik lalu potongan<br />
tersebut dikeringanginkan pada cawan yang telah dilapisi kertas tissue. Selanjutnya, setelah dirasa<br />
kering, potongan bagian tanaman tersebut dipindahkan ke media PDA yang telah disiapkan<br />
sebelumnya. Pemindahan tersebut dilakukan secara aseptis dalam Laminar Air Flow (LAF) dan dalam<br />
satu cawan media PDA ditanam tiga potongan sampel dengan jarak yang agak lebar. Menurut Agrios<br />
(1996), pembiakan dilakukan sampai miselium kapang tumbuh pada media biakan tersebut, kemudian<br />
diambil miselium yang dominan untuk diisolasi kembali pada media biakan baru sampai diperoleh<br />
biakan murni. Isolasi dari buah stroberi yaitu, bagian buah yang telah terserang penyakit, langsung<br />
dapat dipotong pada bagian yang terserang penyakit dengan intensitas rendah tanpa perlu dicuci dan<br />
dicelup pada aquades dan alkohol, selanjutnya diisolasi pada media PDA.<br />
Teknik Pemancingan Phytophthora Menggunakan Umpan Buah Apel (Metode Baiting)<br />
Teknik pemancingan atau baiting Phytophthora dilakukan dengan menggunakan umpan buah apel<br />
manalagi. Pertama-tama apel dicuci dengan air mengalir hingga bersih dan direndam dalam gelas<br />
berisi alkohol 70% selama kurang lebih 5 menit atau dilap dengan kapas yang telah dibasahi alkohol<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│227
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
70%. Buah apel dibor menggunakan bor gabus pada bagian atas sebanyak tiga tempat. Sampel tanah<br />
yang berasal dari tanaman terinfeksi dimasukkan ke bagian yang telah dibor dan apel dibiarkan pada<br />
cawan yang diberi sedikit akuades agar apel tetap segar dan dibiarkan hingga busuk. Metode baiting<br />
ini dilakukan bertujuan untuk memperkecil mikrobia kontaminan. Buah apel hasil baiting yang<br />
menunjukkan gejala yaitu berupa pembusukan pada bagian kulit, dibersihkan dengan akuades steril.<br />
Apel disayat pada bagian antara yang busuk dan sehat sebanyak tiga sayatan. Hasil sayatan<br />
dicelupkan ke dalam gelas berisi akuades beberapa detik kemudian direndam pada gelas berisi alkohol<br />
70 % selama 1 menit. Sayatan diambil dan dicelupkan lagi pada gelas lain yang berisi akuades steril<br />
beberapa detik.olasi Sampel hasil baiting siap untuk diisolasi<br />
Isolasi Sampel Hasil Baiting<br />
Sampel hasil baiting dikultur pada cawan petri berisi media PDA dengan terramicyn 500 ppm. Isolasi<br />
dilakukan di dalam Laminar Air Flow ( LAF ). Hasil isolasi disimpan pada ruangan dengan suhu 23-<br />
24 0 C. Pemurnian dilakukan setelah kapang tumbuh. Media yang digunakan dalam pemurnian isolat<br />
adalah V8 jus agar yang telah ditambah terramicyn sebanyak 500 ppm. Cawan berisi potongan<br />
jaringan sakit kemudian diinkubasi selama lima hari pada suhu kamar dan diidentifikasi secara<br />
makroskopis (kultural).<br />
Identifikasi jamur secara Makroskopis dan Mikroskopis<br />
Jamur yang tumbuh pada media biakan murni diamati secara makroskopis meliputi ada Pengamatan<br />
secara mikroskopis yang meliputi bentuk spora, warna hifa, ada tidaknya sekat hifa dilakukan dengan<br />
pembuatan preparat terlebih dahulu yaitu diambil sedikit miselium kapang beserta mediumnya dengan<br />
menggunakan enten lalu ditaruh pada obyek glass yang telah ditetesi methilen blue, ditutup dengan<br />
cover glass dan ditekan agar merata. Preparat setengah jadi tersebut kemudian dipanaskan di atas api<br />
bunsen selama beberapa detik hingga agar atau media leleh. Dibiarkan hingga agak dingin kemudian<br />
diamati pada mikroskop cahaya. Pengamatan selanjutnya dapat dilakukan pada microcomp agar<br />
terlihat lebih jelas serta mudah dalam pengambilan gambar. Identifikasi kapang dilakukan dengan<br />
bantuan pembimbing dan menggunakan buku panduan identifikasi kapang seperti Streets (1980),<br />
Agrios (1978), Barnett (1972) serta buku lain.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Berdasarkan hasil pengamatan sampel tanaman stoberi varietas Dorit (hasil persilangan<br />
varietas lokal) di Batu, yang dilakukan secara visual (makroskopis) maupun secara mikroskopis dari<br />
hasil isolasi sampel, dapat diindentifikasi jamur-jamur patogen yang masing-masing menyerang<br />
bagian daun, buah dan akar sebagai berikut.<br />
1. Penyakit Bercak Daun (Mycosphaerella sp.)<br />
Gejala visual :<br />
Gejala bercak terlihat jelas pada daun yaitu adanya bercak kecil ungu tua pada daun, pusat<br />
bercak berwarna coklat yang lama kelamaan berubah menjadi putih (Ristek, 2010). Menurut<br />
Semangun (2003), sisi bawah tulang daun yang bersinggungan dengan bercak akan berwarna<br />
ungu kemerahan dan bila infeksi telah parah maka seluruh daun dapat mati (gambar 1)<br />
Pengamatan penyakit pada daun dilakukan secara visual pada saat pengambilan sampel di<br />
Kebun Percobaan Kliran. Morfologi daun yang terserang penyakit akibat kapang<br />
Colletotrichum sp. menunjukkan ciri fisik yaitu pada permukaan daun terdapat bercak-bercak<br />
berupa bulatan dengan tepi berwarna ungu tua dan bagian pusat bercak berwarna coklat yang<br />
lama-lama menjadi putih. Bercak juga semakin membesar dan bentuknya tidak teratur.<br />
Penyakit yang diakibatkan oleh daun ini dapat menyebabkan seluruh daun mati (Semangun,<br />
2003).<br />
228│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Identifikasi Jamur Patogen pada Tanaman Stroberi (Fragaria vesca L.) di Batu<br />
Dwiastuti, M. E.<br />
Gambar 1. Gejala penyakit akibat Mycosphaerella sp.<br />
Karakter penyebab penyakit<br />
Konidiofor berkelompok, berwarna gelap ataupun hialin. Konidia warna hialin, pada<br />
umumnya bersel 2 berbentuk tabung (cylindrical) dan kadang berada pada rangkaian yang<br />
pendek (gambar 2) . Dari permukaan daun bergejala yang diambil sebagai spicemen,<br />
ditemukan konidia menempel pada permukaan daun dan menghasilkan tabung kecambah<br />
yang terus melakukan penetrasi melalui mulut daun (stomata). Konidia yang baru<br />
menghasilkan kelompok konidiofor yang tumbuh pada stomata. Perithesia dan sklerotia<br />
keluar, spora (konidia) akan membentuk fruiting body yang kecil dan gelap pada bagian daun<br />
yang terluka dan menjadi sumber inokulum.<br />
Menurut laporan Heindenreich and Turechek, (2001), perpindahan konidia dari daun satu ke<br />
daun lain diperantarai oleh percikan air hujan . Infeksi yang berat terjadi pada daun muda dan<br />
waktu yang diperlukan adalah 12-96 jam .<br />
Gambar 2. Konidia Mycosphaerella sp.<br />
Siklus hidup bercak daun Mycosphaerella sp yang dilustrasikan oleh Heindenreich and<br />
Turechek, (2001) adalah sebagai berikut :<br />
Gambar 3. Daur hidup Mycosphaerella fragariae (Heidenreich and Turechek, 2001)<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│229
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
2. Busuk Daun (Phomopsis sp.)<br />
Gejala visual :<br />
Gejala yang mudah teramati adalah adanya bercak ungu pada permukaan daun, bercak dapat<br />
berjumlah satu sampai enam bercak. Bercak atau luka berada dekat lapisan utama, berbentuk<br />
bercak kecil lama-kelamaan membesar dan menyatu membentuk luka seperti huruf V dan<br />
dapat meyebabkan daun kering lalu mati (Gambar 4).<br />
Gambar 4. Gejala penyakit busuk daun<br />
Karakter penyebab penyakit<br />
Dari hasil pengamatan mikroskopis, terdapat dua tipe konidia yaitu bulat telur sampai<br />
berbentuk seperti kelos (fusoid), ramping dan melengkung (stylospora) warna sangat bening<br />
(hialin). Piknidia terletak tidak terlalu dalam pada jaringan . Dari gejala makroskopi dan<br />
mikropskopis yang ditemukan kemudian dibandingkan dengan acuan referensi, maka jamur<br />
tersebut diidentifikasi sebagai genus Phomopsis<br />
Gambar 5. Dua tipe konidia Phomopsis sp.<br />
Menurut hasil penelitian (Ellis dan Nita, 2002), gejala seperti diatas pada stroberi<br />
diidentifikasi sebagai Phomopsis obscurans dan piknidia di dalam jaringan ditemukan pada<br />
daun yang telah lama terserang. Setiap piknidia mengandung ribuan spora (konidia) yang<br />
terlempar keluar pada keadaan lembab dan disebarkan pada bagian tanaman lain dengan<br />
perantara air hujan maupun irigasi. Awal musim semi, konidia akan menginfeksi daun atau<br />
bagian tanaman yang lain dan menyebabkan infeksi baru. Air yang ada di permukaan<br />
tanaman adalah salah satu tempat bagi konidia untuk berkembang biak dan menginfeksi<br />
tanaman<br />
3. Bercak Daun dan Tangkai (Rhizoctonia solani)<br />
Gejala visual :<br />
Penyakit bercak pada daun dan tangkai dapat diketahui dengan adanya bercak pada daun<br />
berwarna coklat kehitaman yang besar sedangkan pada tangkai akan terdapat banyak bercak<br />
kecil yang kelamaan akan memanjang .<br />
230│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Identifikasi Jamur Patogen pada Tanaman Stroberi (Fragaria vesca L.) di Batu<br />
Dwiastuti, M. E.<br />
Gambar 6. Gejala serangan bercak daun dan tangkai stroberi<br />
Karakter penyebab penyakit<br />
Hasil pengamatan mikroskopis pada biakan murni pada media PDA menunjukkan miselium<br />
muda tidak berwarna, yang tua berwarna coklat. Pada biakan yang muda, percabangan hifa<br />
membentuk sudut runcing dan di dekat sambungan terdapat lekukan, setelah tua percabangan<br />
membentuk sudut siku-siku terbagi menjadi sel-sel pendek, jorong dan dapat membentuk<br />
sklerotium berwarna coklat. Karakter jamur sepertiinidiidentifikasi sebagai Rhizoctonia<br />
solani (Gambar 7)<br />
Gambar 7. Hifa Rhizoctonia solani<br />
Menurut Semangun, (2003), Rhizoctonia solani mampu mempertahankan diri dari musim<br />
ke musim di dalam tanah atau sebagai sklerotium. Patogen ini berkembang dalam tanah<br />
dengan pH 5,8 - 8,1 dan suhu tanah 15 – 18 o C .<br />
4. Penyakit Empulur merah Akar Phytophthora sp<br />
Gejala visual :<br />
Penyakit yang menyerang akar stroberi pada umumnya adalah penyakit pusat akar atau<br />
empulur merah (red stele) yang diduga diakibatkan oleh jamur Phytophthora sp. Tanaman<br />
stroberi yang terserang penyakit empulur merah akan menjadi kerdil, layu serta daun tidak<br />
segar . Pada bagian luar akar terlihat normal atau tidak menunjukkan penyakit, namun ketika<br />
jaringan bagian dalam dibelah akan tampak stele yang berwarna merah (Gambar 8). Daun<br />
muda biasanya tampak berwarna kusam kebiruan sedangkan daun yang telah tua berwarna<br />
kuning, jingga ataupun merah. Tanaman yang terinfeksi dapat mati sebelum berbunga jika<br />
cuaca atau kondisi lingkungannya kering . Menurut , Agricultural research, (1978). jamur ini<br />
dapat terbawa oleh aliran drainase pada lahan penanaman stroberi.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│231
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
Gambar 8. Akar stroberi yang terserang Phytophthora sp<br />
Phylley, 1995 mengemukakan bahwa penyakit empulur merah pada stroberi disebabkan oleh<br />
Phytophthora fragariae dan hanya menyerang tanaman stroberi. Bagian tanaman yang<br />
terserang utamanya adalah bagian akar. Akar tanaman yang terinfeksi akan berwarna coklat<br />
merah pada bagian tengah atau pusat akar . Menurut Gunawan (2003), gejala yang<br />
ditunjukkan penyakit ini adalah tanaman menjadi layu dan mati karena kekurangan air dan<br />
makanan akibat dari rusaknya jaringan xylem dan floem. Daun tanaman yang layu masih<br />
menunjukan warna hijau.<br />
Karakter penyebab penyakit<br />
Pengamatan makroskopis biakan murni kultur Phytophthora sp. pada media V8 setelah 10<br />
hari antara lain memiliki garis radial, pigmentasi jika dilihat dari atas yaitu dominan putih<br />
bening, bagian tengah berwarna putih susu kekuningan, jika dilihat dari bawah maka<br />
pigmentasi dari biakan berwarna kuning di bagian tengah semakin ke tepi semakin terang<br />
yaitu putih susu dan putih bening. Perkembangan biakan tergolong cepat dengan diameter<br />
biakan 9,5 cm x 9,5 cm. Konfigurasi menyeluruh, permukaan tidak rata yaitu bagian tengah<br />
lebih ke atas dibandingkan bagian tepi (Gambar 9). Menurut Erwin dan Ribeiro (1996)<br />
Phytophthora yang ditumbuhkan pada media biakan atau jaringan tanaman dalam keadaan<br />
lembab, umumnya tidak berpigmen.<br />
(a)<br />
Gambar 9. Biakan Phytophthora sp. dalam media V8 (a) tampak atas, (b) tampak bawah<br />
Pengamatan mikroskopis preparat kapang Phytophthora sp. dengan microcomputer<br />
pada perbesaran 400x menunjukkan adanya sporangia beserta sporangifornya. Sporangium tampak<br />
berwarna hialin, berbentuk seperti buah pir. Hifa hialin dan bersekat. Sporangia dibentuk pada<br />
sporangiofor (Gambar 10).<br />
(b)<br />
232│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Identifikasi Jamur Patogen pada Tanaman Stroberi (Fragaria vesca L.) di Batu<br />
Dwiastuti, M. E.<br />
b<br />
a<br />
Gambar 10. Jamur Phythophthora sp. (400x) (a). sporangiofor,(b). klamidospora ,(c) sporangium<br />
Sporangia berukuran 32 – 90 x 22 – 52 μm, tidak berpapila . Ukuran dan bentuk sporangia<br />
bermacam-macam (ovoid, obovoid, ellipsoid, limoniform (seperti lemon) dan pyriform (seperti buah<br />
pir). Menurut Erwin and Ribeiro,( 1996), sporangium berkecambah dan akar membentuk tabung<br />
kecambah apabila kontak dengan tanaman. Zoospora merupakan spora seksual yang dihasilkan<br />
melalui peleburan gamet jantan (oogonium) dan betina (antheredium). Zoospora dapat menyebar<br />
melalui percikan air dan aliran air dipermukaan tanah. Spora ini memiliki flagel yang dapat membantu<br />
pergerakannya mendekati inang . Anonimous, ( 2003) melaporkan bahwa sporangia melepaskan<br />
zoospora dan membentuk kecambah yang akan melakukan penetrasi pada akar. Jamur masuk<br />
melewati korteks bagian dalam dan masuk pada stele batang, zoospora akan berkolonisasi pada<br />
perisikel dan pada floem. Pertumbuhan terutama dipusatkan di stele, dengan demikian jamur<br />
berkembang di dalamnya tetapi hifa tumbuh diluar akar untuk membentuk sporangia baru yang akan<br />
melepaskan lebih banyak lagi zoospora dan menimbulkan infeksi baru pada akar tumbuhan yang lain<br />
Menurut Abbey (2005), Phytophthora dapat bereproduksi secara aseksual maupun seksual. Pada<br />
beberapa spesies, struktur reproduksi seksual hampir tidak ditemukan atau hanya ditemukan pada<br />
perkembangbiakan di dalam laboratorium. Struktur seksual pada spesies homothallic terbentuk pada<br />
kultur tunggal. Spesies heterothallic memiliki strain mating. Ketika terjadi perkawinan, antheridia<br />
mengeluarkan gamet ke oogonia dengan cara oogonium melewati antheridium atau antheridium<br />
menempel pada bagian proksimal oogonia dan akan menghasillkan oospora. Tipe spora aseksual,<br />
yaitu klamidospora dan sporangia membentuk zoospore. Klamidospora pada umumnya berbentuk<br />
spherical dan berpigmen serta memiliki dinding yang rapat sebagai struktur ketahanan. Sporangia<br />
membentuk zoospore yang memiliki dua flagel yang digunakan untuk pergerakan ke tanaman inang.<br />
Gambar 21. Daur hidup Phytophthora fragariae (Ellis and Nita, 2010)<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│233
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
Faktor yang Mempengaruhi Penyakit<br />
a. Infeksi yang dibawa udara dan terkumpul dalam setetes air seperti air hujan, kabut ataupun<br />
embun. Air yang terpercik dapat menjadi vektor bagi jamur yang memiliki zoospora.<br />
b. Kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan sukulentis pada tanaman<br />
dan mengakibatkan berkurangnya ketahanan terhadap parasit. Kelembaban kebun maupun<br />
media tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya kerapatan tanaman, pohon<br />
pelindung yang terlalu rimbun, angin dan topografi.<br />
c. Suhu dapat memepngaruhi banyaknya spora yang berkecambah, pada umumnya suhu<br />
minimum untuk perkecambahan spora adalah 1-3 o C dan suhu maksimum adalah 30-36 o C.<br />
d. Spora yang basah lebih peka terhadap hambatan oleh sinar. Spora yang sudah mulai<br />
berkecambah juga lebbih peka terhadap sinar. Radiasi sinar dapat menyebabkan jamur<br />
mengalami mutasi dan mati. Sinar, secara tidak langsung akan mempengaruhi kelembaban.<br />
e. Selain melalui media air; serangga dan manusia dapat berperan dalam menyebarkan<br />
patogen. Patogen yang menempel di permukaan tubuh dapat turut berpindah dan menempel<br />
pada tanaman lain sehingga dapat menginfeksi tanaman lain tersebut.<br />
(Semangun, 2003).<br />
5. Penyakit busuk buah Antraknose ( Colletotrichum sp. )<br />
Gejala visual :<br />
Gejala yang tampak pada daun menunjukkan ciri fisik yaitu pada buah masak ditandai dengan<br />
adanya bercak kecil ciklat muda, kemdian berkembang menjadi busuk kebasah-basahan,<br />
berwarna coklat muda sampai tua dan buah dipenuhi massa spora berwarna merah jambu . dan<br />
bagian bercak menjadi cekung. Infeksi berat menyebabkan buah menjadi kering dan mengerut.<br />
Gambar 25. Gejala penyakit Antraknose pada buah stroberi.<br />
Anthracnose dapat menginfeksi saat di lapangan atau terjadi pembusukan setelah dipanen<br />
(Bayer, 2005). Serangan penyakit dapat berkembang cepat pada cuaca lembab dan banyak turun<br />
hujan.<br />
Karakter jamur Penyebab penyakit :<br />
Berdasarkan hasil pengamatan pemurnian kultur pada media PDA setelah hari ke-10 diperoleh<br />
ciri koloni makroskopis yaitu warna koloni permukaan atas putih susu dan semakin ke pusat<br />
berwarna keabu-abuan, permukaan koloni relatif halus . terdapat garis radial,tidak terlalu jelas,<br />
diameter 4,7cm x 4cm, bagian tepi tidak rata. Jika dilihat dari permukaan bawah , koloni<br />
berwarna putih susu dan semakin ke pusat berwarna hjau kehitaman dengan struktur permukaan<br />
bawah membentuk satu lingkaran ( garis radial), diameter biakan 7,2 cm x 7,4 cm, konfigurasi<br />
menyeluruh,permukaan rata dan bentuk tepi juga rata.<br />
234│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Identifikasi Jamur Patogen pada Tanaman Stroberi (Fragaria vesca L.) di Batu<br />
Dwiastuti, M. E.<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar2. Karakter koloni antraknose buah. dalam media PDA :(a)Tampak atas, (b) Tampak bawah<br />
(a)<br />
(b)<br />
Gambar 3. Karakter morfologis jamur penyebab antraknose pada daun (atas) dan buah (bawah).<br />
(a). konidia. (b). hifa jamur (400x)<br />
Identifikasi jamur dilakukan sejak sampel dibawa ke laboratorium sampai kultur biakan 17<br />
hari. Hasil pengamatan secara mikroskopis dengan perbesaran 400x menggunakan<br />
microcomputer terlihat spora atau konidia tersebar, konidia berbentuk oval, obovate warna<br />
hialin dengan inti lebih gelap. (Gambar 3).). Konidia dari patogen ini berbentuk obovate kecil,<br />
lurus atau kadangkala sedikit melengkung, berukuran 16 x 4,5 μm. Berdasarkan pengamatan<br />
koloni jamur dan karakter morfologis diatas , jamur penyebab antraknose stroberi digolongkan<br />
dalam genus Colletotrichum sp. Xie (2010) mencirikan jamur penyebab stroberi mempunyai<br />
setae dewasa berwarna coklat tua, memiliki lebar yang sama kecuali pada bagian apikal yang<br />
memiliki fungsi seperti phialides dan menghasilkan konidia. Warna koloni hasil biakan pada<br />
medium PDA berwarna abu-abu terang hingg abu-abu gelap dan diidentifikasi sebagai<br />
Colletotrichum fragariae Brooks .<br />
KESIMPULAN<br />
Berdasarkan hasil observasi jamur patogen penyebab penyakit pada tanaman stroberi di<br />
Batu, dapat diidentifikasi lima penyakit jamur stroberi yaitu :<br />
1. Penyakit Bercak Daun (Mycosphaerella sp.)<br />
2. Busuk Daun (Phomopsis sp.)<br />
3. Bercak Daun dan Tangkai (Rhizoctonia solani)<br />
4. Penyakit Empulur merah Akar Phytophthora sp<br />
5. Penyakit busuk buah Antraknose ( Colletotrichum sp. )<br />
SARAN<br />
Ada indikasi beberapa penyebab kerusakan lain yang menyerang stroberi selain jamur. Dari<br />
gejala sepintas yang terlihat diduga disebabkan oleh rayap dan virus. Disarankan agar kedua penyebab<br />
krusakan tersebut dapat diteliti dan juga upaya pengendaliannya.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│235
Identifikasi Jamur Patogen pada Tanaman Stroberi (Fragaria vesca L.) di Batu<br />
Dwiastuti, M. E.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Abbey. 2005. Phytophthora Dieback and Root Rot. College of Agriculture and Natural<br />
Resources, University of Connecticut.<br />
2. Anonimus, 2003. Phytophthora. http://www.eppo.org. Diakses tanggal 23 Oktober 2010<br />
3. ________, 2005.Rhizoctonia solani. http://www.thewinedoctor.com. Diakses tanggal 23 Oktober<br />
2010<br />
4. ________, 2005. Rhizopus. http://www.apjii.or.id. Diakses tanggal 23 Oktober 2010<br />
5. ________, 2007. Botrytis cinerea.http://www.eos.com. Diakses tanggal 24 Oktober 2010<br />
6. Agricultural research. 1978. http://www.agricultural.or.id. Diakses tanggal 24 Oktober 2010<br />
7. Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan (Terjemahan Munzir Busnia). Gadjah Mada<br />
University Press. Yogyakarta<br />
8. Biology. 2010. Life cycle of Rhizopus stolonifer. http://www.biology.unm.edu. Diakses tanggal<br />
25 Oktober 2010<br />
9. Caychumngay. 2010. Phytophthora. http://www.caychumngay.com.vn. Diakses tanggal 25<br />
Oktober 2010<br />
10. Caes. 2010. Phomopsis obscurans. http://caes.uga.edu. Diakses tanggal 25 Oktober 2010<br />
11. Ellis, M.A. dan M. Nita. 2002. Phomopsis Leaf Blight and Fruit Rot of Strawberry.<br />
http://www.ag.ohio-state.edu. Diakses tanggal 23 Oktober 2010<br />
12. ____________________, 2010. Integrated Management of Strawberry Diseases. Ohio State<br />
University. Ohio.<br />
13. Erwin, D.C., Ribero, O.K., 1996. Phytophthora Diseases Worldwide. St Paul Minnesota, APS<br />
Press.<br />
14. Forestryimages. 2010. Strawberry diseases. http://forestryimages.org. Diakses tanggal 25<br />
Oktober 2010<br />
15. Gandjar, I., R.A. Samson, K.V.T. Vermeulen, A. Oetari dan I. Santoso. 1999. Pengenalan<br />
Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.<br />
16. Gunawan,L.W.2003.Stroberi. Penebar Swadaya. Jakarta<br />
No.<br />
Pengamatan Jamur Hasil Isolasi<br />
Tabel 1. Hasil Pengamatan secara Makroskopis dan Mikroskopis<br />
Kode<br />
1 A.<br />
9/10<br />
Kultural (makroskopis) hari ke -10<br />
Tampak Atas<br />
Tampak Bawah<br />
Pengamatan<br />
mikroskopis<br />
(p=400x -1000x)<br />
Ket.<br />
identified :<br />
Phytophthora<br />
sp.<br />
236│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Identifikasi Jamur Patogen pada Tanaman Stroberi (Fragaria vesca L.) di Batu<br />
Dwiastuti, M. E.<br />
2. B.N.2 Identified :<br />
Phomopsis<br />
sp.<br />
3. B.11 Identified :<br />
Colletotrichum<br />
sp.<br />
4. D.1 Unidentified<br />
5. D.2 Identified:<br />
Rhizoctonia<br />
solani<br />
6. D.4 Identified :<br />
Colletotrichum<br />
sp.<br />
7. D.5 Unidentified<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│237
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi<br />
Mengurangi Tingkat Serangan Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika<br />
Jl. Raya Tlekung no 1 Junrejo, Batu, Kotak Pos 22 Batu, Jawa Timur<br />
ABSTRAK. Dari hasil penelitian sebelumnya ditemukan jenis VAM yang ada di rizosfer perakaran jeruk<br />
berpotensi meningkatkan ketahanan tanaman jeruk. Potensi efektifitas VAM perlu ditingkatkan dengan<br />
penambahan bahan pembawa yang sesuai. Tujuan penelitian ini pertama adalah untuk mengetahui bahan<br />
pembawa VAM potensial , Glomus sp. Yang efektif Dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap<br />
serangan penyakit akar Phytophthora sp. Tujuan kedua untuk mendapatkan prototipe formulasi produk VAM<br />
yang mudah cara aplikasinya . Penelitian dilaksanakan di Bagian Mikologi Laboratorium Terpadu, Balai<br />
Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika dan Screen house Balitjestro. Inokulum Phytopthora dan<br />
mikoriza (VAM) yang digunakan berasal dariseleksi isolat beberapa sentra jeruk yang endemik Phytophthora.<br />
Kegiatan mulai dilakukan pada mulai Maret 2010 – Desember 2010. Kegiatan pertama menggunakan<br />
Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan yaitu Zeolit + pasir, Arang sekam, ladekan sebagai kontrol dan<br />
Pasir. Tiap perlakuan diulang 4 kali dan unit perlakuan 6 benih Japanese Citroen. Kegiatan kedua menggunakan<br />
Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan dan 6 ulangan.Masing masing ulangan terdiri dari 6 tanaman.<br />
Perlakuan yang diuji adalah Pelet, kapsul, granular, inokulasi langsung dan kontrol tanpa perlakuan, setelah<br />
perlakuan, tanaman uji diinokulasi dengan inokulum Phytopthora . Hasil penelitian pada percobaan pertama<br />
menunjukkan bahwa bahan pembawa VAM yang efektif dalam meningkatkan ketahanan terhadap penyakit<br />
busuk pangkal batang adalah Bahan pembawa Zeolit + pasir dengan persentase serangan terendah yaitu 4,16<br />
persen, dengan efektifitas pengendalian sebesar 84,39 % dibandingkan kontrol ladekan. Jumlah vesicel dan<br />
kerapatan spora VAM pada bahan pembawa zeolit terbanyak dibanding bahan pembawa lain. (68,50 dan<br />
397,25 ). VAM yang diaplikasikan dengan bahan pembawa zeolit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman<br />
(tunggi tanaman, jumlah akar dan panjang akar). Hasil penelitan pada percobaan kedua : uji Prototipe<br />
menunjukkan produk terbaik adalah pelet dengan nilai efektifitasnya mencapai 39 % paling tinggi dibanding<br />
lainnya , meskipun demikian masih perlu dicoba lagi untuk melihat stabilitas produk.<br />
Kata kunci : Alginat, arang sekam, Glomus sp, Jeruk, kaolin, Phytophthora sp, tanah ladekan, zeolit, VAM<br />
ABSTRACT. From the results of previous studies found that VAM species exist in the root rhizosphere orange<br />
citrus potentially increase plant resistance. VAM potential effectiveness needs to be improved by the addition of<br />
suitable carrier materials. The first objective of this study was to determine the potential carrier VAM, Glomus<br />
sp. Effective in increasing plant resistance to Phytophthora root disease attacks sp. The second objective to<br />
obtain a prototype product formulations are easy ways VAM applications. Research carried out in Section<br />
Mycology Laboratory of Integrated, Research Institute for Citrus and Subtropical Fruit and Screen house<br />
Balitjestro. Phytopthora inoculum and mycorrhizal (VAM) is derived isolates dariseleksi some orange centers<br />
are endemic Phytophthora. Activities began in began in March 2010 - December 2010. The first activity using a<br />
completely randomized design with 4 treatments namely Zeolite + sand, husk charcoal, and Pasir ladekan as<br />
controls. Each treatment was repeated 4 times and the treatment unit 6 seed Japanese Citroen. The second<br />
activity using a completely randomized design with 5 treatments and 6 replications ulangan.Masing each<br />
consisting of 6 plants. The treatments tested were Pellets, capsule, granular, direct inoculation and control<br />
without treatment, after treatment, the test plants inoculated with inoculum Phytopthora. The results in the first<br />
experiment showed that VAM carrier effective in increasing resistance to stem rot disease is sand + zeolite<br />
carrier material with the lowest attack percentage is 4.16 percent, with effective control of 84.3% compared to<br />
the control ladekan. Vesicel number and density of VAM spores in most zeolite carrier other than a carrier.<br />
(68.50 and 397.25). The most VAM carrier material is zeolite can improve plant growth (plant High , number of<br />
roots and root length). Research results in the second experiment: Prototype testing shows the product is best<br />
pellet effectiveness value reaches 39% higher than the other, though still needs to be tested again to see the<br />
stability of the product.<br />
Keywords: Alginat, Citrus, kaolin, Glomus sp, P. nicotianae, rice husk , volcanic soil, zeolit, VAM<br />
238│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
Penyakit nusuk pangkal dan akar yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora sp . termasuk<br />
penyakit vascular yang mengakibatkan kematian di beberapa sentra jeruk di Indonesia dan biasanya<br />
menyerang secara komplek bersama dengan busuk batang Diplodia (Anonim, 2003). Di Indonesia<br />
kerugian yang disebabkan oleh penyakit ini cukup tinggi yaitu 10 – 42%.. Ada beberapa spesies yang<br />
dilaporkan sebagai penyebab busuk pangkal batang jeruk di Indonesia yaitu Phytophthora<br />
Citrophtora (Smith & Smith) Leon dan P. nicotianae B. de Haan Var. parasitica (Dastur) water.<br />
Sering tanaman kehilangan 50% dari akar lateral tanpa kehilangan pertumbuhan bagian atas tanaman<br />
tersebut (Erwin and Ribeiro, 1996). Penyebaran penyakit phytophhtora sangat tergantung dari<br />
temperatur. P. Citrophthora berkembang baik pada suhu 24 – 28° C dan P. nicotinae var. parasitica<br />
pada suhu tinggi 24 – 28º C. Di Indonesia, spesies P. nicotianae varietas parasitica lebih umum<br />
ditemukan seperti di negara-negara tropis lainya.<br />
Upaya pengendalian cendawan Phytophthora sp perlu mendapat perhatian yang serius,<br />
karena patogen dapat bertahan didalam tanah lebih dari 20 tahun. Apabila sanitasi tidak tuntas,<br />
zoospora cendawan di dalam tanah dapat bertahan hidup meskipun tanaman inangnya tidak tersedia.<br />
Pengendalian yang paling aman adalah secara preventif atau pencegahan meskipun pengendalian<br />
secara kimiawi yang berbahan aktif tembaga tersedia , namun tidak selalu efektif dan biaya<br />
pengendalian ini menyebabkan petani sulit mendapat keuntungan diatas 50% (Tan dan Tan, 1990).<br />
Alternatif pengendalian lain yang dapat digunakan yaitu dengan pengendalian hayati. Kolonisasi<br />
VAM pada jaringan akar dapat meningkatkan vigoritas tanaman dan berpotensi meningkatkan<br />
ketahanan terhadap serangan patogen . Beberapa laporan menyebutkan bahwa kolonisasi VAM dapat<br />
mengurangi keparahan penyakit dan patogen tertekan akibat perubahan biokimia dalam interaksi<br />
langsung antara VAM dengan patogen (Linderman et al., 1994). Beberapa penelitian menunjukkan<br />
keberadaan jamur VAM mampu mengurangi serangan penyakit yang disebabkan oleh Phytophthora<br />
sp., karena meningkatnya ketahanan tanaman, misalnya pada komoditas tomat (Cordier et al., 1996;<br />
Laetitia, et al., 2008), strawberry (Murphy et al., 2000). Oihabi, (1990) menunjukkan bahwa inokulasi<br />
tanaman kurma dengan Glomus mossae dapat menurunkan keparahan penyakit. Pada akar batang<br />
bawah jeruk varietas sweet orange, yang berasosiasi dengan mikoriza (Glomus intraradices)<br />
perkembangan P. parasitica mengalami penurunan.<br />
Perkembangan P. parasitica pada batang bawah jeruk sweet orange, berkurang pada akar<br />
bermikoriza (Glomus intraradices). Tanaman jeruk yang termasuk ke dalam golongan angiospermae,<br />
berasosiasi dengan sejumlah jamur VAM (Klenschmidt et al., 1972; Marx et al., 1971). Menurut<br />
penelitian Nemec (1978) enam spesies batang bawah jeruk (sour orange, cleopatra mandarin, sweet<br />
orange, rough lemon, rangpur lime, dan carrizo citrange) mempunyai ketergantungan yang berbedabeda<br />
terhadap 3 spesies Glomus (G. etunicatus, G. mosseae, dan G. fasciculatus).<br />
Mikoriza berperan juga dalam peningkatan ketahanan terhadap penyakit, dengan beberapa<br />
mekanisme bentuk perlindungan yang terjadi baik secara sendiri-sendiri atau secara bersamaan (Zak,<br />
1964); Harley dan Smith, 1983. Mekanisme perlindungan yang terjadi dapat berupa pembentukan<br />
antibiotik, sintesa zat fungistatik oleh akar, pembentukan efek halangan fisik berupa mantel yang<br />
disebabkan oleh jamur mikoriza (Duchesne, 1996), menggunakan surplus karbohidrat dalam akar,<br />
melindungi populasi mikroba rizosfer di sepanjang akar dan memanfaatkan hasil metabolisme yang<br />
diperoleh simbiosis sel korteks (Fakuara, 1988), meningkatkan nodulasi serta penyematan nitrogen<br />
oleh Rhizobium sp. pada leguminosa (Bagyaraj, 1988).<br />
Dari penelitian sebelumnya ditemukan bahwa mikoriza ada pada perakaran jeruk didominasi oleh<br />
jenis Glomus sp. dan Gigaspora sp.. Dari keduanya Glomus sp mempunyai potensi untuk<br />
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen Phytophthora sp. Potensi efektifitas<br />
VAM perlu ditingkatkan dengan penambahan bahan pembawa yang sesuai. Tujuan penelitian ini<br />
adalah 1). untuk mengetahui bahan pembawa yang efektif pada isolat VAM potensial , Glomus sp.<br />
Dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit akar Phytophthora sp. 2).Untuk<br />
mendapatkan prototipe formulasi produk VAM yang mudah cara aplikasi.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilakukan di rumah kasa dan Laboratorium Terpadu, Balitjestro, Tlekung pada<br />
ketinggian 950 m dpl. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah jeruk Siem dengan<br />
batang bawah Japanese citroen, isolat VAM Glomus sp. Inokulum VAM diperbanyak secara kultur in<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│239
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
vivo dalam polybag, menggunakan pasir steril dan tanaman inang jagung (Zea mays). Benih JC<br />
disemai terlebih dahulu dengan menggunakan pasir steril. Aplikasi VAM bersamaan dengan<br />
transpanting bibit batang bawah ke media bahan pembawa VAM . Pada bagian tengah media dari<br />
masing-masing polybag dibuat lubang sedalam 5 cm, ke dalam lubang tersebut dimasukkan inokulum<br />
sesuai perlakuan yang mengandung lebih kurang 70 spora, setara dengan 15 gram inokulum per<br />
tanaman (Cruz et al., 2000). Perbanyakan Phytophthora untuk sumber inokulum penyakit dilakukan<br />
di laboratorium Fitopatologi. Kultur jamur Phytohphtora diperoleh dari hasil koleksi tahun<br />
sebelumnya, yang telah diseleksi berdasarkan dominasinya di lapang (P.parasitica var nicotianae)..<br />
Persiapan kultur Phytophthora telah dilakukan dalam media V8.<br />
Gambar 1. Bahan pembawa yang diuji, a. Zeolit + Pasir, b. Tanah ladekan, c. Arang sekam, d. Pasir<br />
A. Uji Bahan Pembawa VAM Yang Efektif Dalam Meningkatkan Ketahanan Terhadap<br />
Serangan Penyakit Phytophthora<br />
Bahan pembawa VAM yang diujikan adalah zeolit + pasir, arang sekam, tanah ladekan dan<br />
pasir (kontrol). Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dengan 4<br />
ulangan, tiap ulangan menggunakan 6 unit . Mula mula dilakukan inokulasi VAM dengan<br />
bahan pembawa sesuai perlakuan pada batang bawah JC. Empat minggu kemudian dilakukan<br />
inokulasi 100 ml suspensi isolat Phytophthora pada tiap tanaman , kecuali pada perlakuan<br />
kontrol sehat bahan pembawa tanpa inokulasi Phytophthora. Penambahan hara terutama N, K<br />
dosis 5 gram/ltr dalam media tumbuh dengan volume 100 ml/tanaman. Penambahan hara<br />
dimulai 3 minggu setelah inokulasi. Pengairan dilakukan 2-3 hari sekali.<br />
Parameter yang diamati meliputi :<br />
1. Indeks infeksi Phytophthora, dihitung menggunakan berdasarkan score kriteria<br />
serangan pangkal batang dan akar mulai 2 minggu setelah inokulasi.<br />
Score kriteria pada pangkal batang<br />
0 = Sehat<br />
1 = ada luka,tidak ada blendok<br />
2 = ada luka,ada blendok 10 % sampai 25 %<br />
3 = ada luka, ada blendok 25 % sampai 50 %<br />
4 = ada luka, ada blendok diatas 50 %<br />
Score Kriteria pada daun<br />
0 = Hijau/sehat<br />
1 = 10 % sampai 25 % daun kuning<br />
2 = 25% sampai 50 % daun kuning<br />
3 = diatas 50 % daun kuning<br />
2. Persentase infeksi Phytophthora, diperoleh dengan membagi jumlah pangkal batang<br />
tanaman yang terinfeksi dengan jumlah tanaman yang diamati dikalikan 100%.<br />
3. Nilai Efektifitas pengendalian diperoleh dengan cara mengurangi nilai persentase<br />
infeksi penyakit pada perlakuan kontrol dengan nilai persentase infeksi penyakit pada<br />
tiap perlakuan, kemudian dibagi persentase infeksi penyakit pada kontrol dan<br />
dikalikan 100%. Nilai efektifitas pengendalian penyakit dikatakan efektif jika<br />
mempunyai nilai efektifitas ≥ 30% .<br />
240│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
4. Persentase kolonisasi infeksi VAM tanaman jeruk JC diamati pada akhir pengamatan,<br />
sampel akar dari masing-masing perlakuan dipotong-potong 1 cm, kemudian diberi<br />
pewarnaan trypan blue. Pengamatan dilakukan pada 10 potong akar dengan masingmasing<br />
10 bidang pandang dibawah mikroskop perbesaran 250x. Infeksi ditandai<br />
dengan adanya vesikel atau hifa VAM pada jaringan akar. Persentase kolonisasi<br />
VAM menurut metode Kormank dan Mc. Graw’s (1982) dalam Setiadi et al. (1992)<br />
5. Kerapatan spora VAM pada media, diperoleh dengan teknik pengumpulan spora<br />
sampel tanah sebanyak 50 ml dengan mengayak dan disentrifugasi . Sampel media<br />
disiapkan dengan pengenceran sampai di.ketahui tidak terdapat propagule mikoriza<br />
(misalnya 10 -5 ). Pengenceran dilakukan dengan 5 ulangan yang berasal dari masingmasing<br />
polybag, kemudian jumlah propagule per gram tanah dapat dilihat pada tabel<br />
MPN (Anonim, 2008). Penghitungan dilakukan di bawah mikroskop perbesaran 250x.<br />
6. Pertumbuhan tanaman , meliputi pengamatan tinggi tanaman, panjang akar dan<br />
jumlah percabangan akar serta berat kering dan basah akar .<br />
Analisis data dilakukan menggunakan sidik ragam dan uji lanjutan dengan uji jarak<br />
berganda Duncan pada taraf 5%.<br />
B. Uji Prototipe Produk VAM Untuk Meningkatkan KetahananTerhadap Phytophthora sp<br />
Inokulum VAM hasil seleksi berdasarkan dominasinya (Glomus sp ), diproduksi dalam<br />
beberapa bentuk formulasi sebagai perlakuan yaitu : pelet VAM (alginat), Kapsul VAM<br />
(kaolin), granular VAM (Zeolit), inokulum VAM (langsung), dan kontrol tanpa inokulasi<br />
VAM. Bahan tersebut diuji cobakan pada tanaman yang diinfeksi dengan inokulum patogen<br />
Phytophthora sebanyak 10 ml pertanaman. Percobaan menggunakan Rancangan Acak<br />
Lengkap tiap perlakuan menggunakan 4 ulangan, dengan 6 unit tanaman tiap ulangan,<br />
Untuk persiapan pengujian, dilakukan semai jagung untuk produksi VAM dalam jumlah<br />
cukup besar pada media tanaman inang jagung (Zea mays). Setelah jagung berumur 3-4<br />
bulan dilihat persen infeksi mikorizanya. Inokulum mikoriza pada jagung ini digunakan<br />
untuk membuat produk mikoriza yang digunakan dalam pengujian. Gambar 9 menunjukkan<br />
sumber inokulum VAM dan produk yang dihasilkannya.<br />
Prototype bentuk pelet dibuat dengan bahan pembawa alginat dengan perbandingan antara<br />
bahan pembawa dan inokulum 1 : 1. Campuran bahan diteteskan dalam air steril yang<br />
diletakkan di dalam erlenmeyer diatas stirer, sehingga terbentuk butiran-butiran yang siap<br />
diuji. Prototype bentuk granular dibuat dengan menumbuhkan VAM dengan menggunakan<br />
inang jagung pada media zeolit yang dihaluskan, 3-4 bulan kemudian dipanen. Prototype<br />
bentuk kapsul dihasilkan dari inokulum perbanyakan yang dicampur pada kaolin dengan<br />
perbandingan 1 : 1. Campuran ini di blender dan dimasukkan ke dalam kapsul. Parameter<br />
yang diamati adalah, indeks serangan atau persentase infeksi VAM pada 1 bulan setelah<br />
inokulasi, nilai efektifitas pengendalian, persentase kolonisasi VAM, kerapat an spora<br />
VAM, serta pertumbuhan tanaman, yang terdiri dari tinggi tanaman , panjang akar, jumlah<br />
percabangan akar. berat basah dan kering akar , diamati dengan cara yang sama seperti pada<br />
percobaan 1, uji bahan pembawa . Analisa Phenol pada tiap produk dilakukan di<br />
Laboratorium Lingkungan Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Brawijaya..<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│241
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
Gambar 2. Inokulum mikoriza dan prototipe produk yang dihasilkan. A. Sumber inokulum VAM, B.<br />
Pelet (Alginat), C. Granular (Zeolit) dan D. Kapsul (Kaolin)<br />
Metode pengujian menggunakan Spektofotometer dengan pereaksi asam salisilat. Analisis<br />
data dilakukan menggunakan sidik ragam dan uji lanjutan dengan uji jarak berganda Duncan pada<br />
taraf 5%.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
A. Uji Bahan Pembawa VAM Yang Efektif Dalam Meningkatkan Ketahanan Terhadap<br />
Serangan Penyakit Phytophthora<br />
Dari hasil pengamatan pada tanaman yang diuji dengan bahan pembawa VAM arang sekam,<br />
ladekan, Zeolit , pasir (pembanding), dan pasir tanpa inokulasi VAM (kontrol) menunjukkan<br />
hasil masa inkubasi patogen Phytophthora tercepat pada perlakuan zeolit dan pasir (tabel 1).<br />
Data ini membuktikan bahwa apabila infeksi VAM pada perakaran jeruk sudah terjadi lebih<br />
dulu, maka patogen yang diinokulasikan akan mengalami hambatan untuk menginfeksi pada<br />
bagian tanaman yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dilaporkan oleh Zak (1964)<br />
dan Duchesne (1996) bahwa mekanisme bentuk perlindungan VAM dapat terjadi baik secara<br />
sendiri-sendiri atau secara bersamaan , berupa pembentukan antibiotik, sintesa zat fungistatik<br />
oleh akar, pembentukan efek halangan fisik berupa mantel yang disebabkan oleh jamur<br />
mikoriza dan menggunakan surplus karbohidrat dalam akar untuk melindungi populasi mikroba<br />
rizosfer di sepanjang akar.<br />
Tabel 1. Masa inkubasi phythopthora pada batang bawah JC,<br />
Perlakuan<br />
Masa inkubasi (minggu setelah inokulasi)<br />
Phythopthora<br />
Zeolit (G) + Phy 5-6<br />
Arang sekam + Phy 6-7<br />
Ladekan (G) + Phy 7<br />
Pasir (G) + Phy 5-6<br />
Pasir (G) tanpa Phy 0<br />
Bahan pembawa Zeolit + pasir merupakan bahan pembawa yang paling berpengaruh menekan<br />
indeks kerusakan dan persentase kerusakan pada pangkal batang dan akar. Hal ini terlihat<br />
dengan adanya perbedaan nyata pada parameter indeks kerusakan , persentase serangan antara<br />
tanaman yang diperlakukan bahan pembawa zeolit, pasir , arang sekam, pasir atau ladekan<br />
(kontrol) (Tabel 2). Khali et al. (1999) menyebutkan bahwa VAM dengan bahan pembawa<br />
yang berbeda , mempunyai kemampuan tingkat kolonisasi yang berbeda pada inang, yang<br />
selanjutnya memberikan pengaruh yang berbeda pula dalam menciptakan kondisi yang tidak<br />
sesuai untuk perkembangan cendawan phytopthora sp. Seperti produksi senyawa phenol,<br />
lignifikasi dinding sel serta kondisi lain yang bersifat menghambat.<br />
242│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
Tabel 2. Indeks Kerusakan , persentase kerusakan dan efektifitas pengendalian Phythopthora<br />
sp., pada pangkal batang dan akar tanaman JC, 6 bulan setelah aplikasi VAM<br />
Efektifitas<br />
Perlakuan<br />
indeks kerusakan<br />
(%)<br />
Persentase kerusakan<br />
(%)<br />
pengendalian<br />
(%)<br />
Pangkal<br />
Pangkal<br />
batang akar batang akar<br />
Zeolit pasir + Phy 0,06 b 0,06 b 4,16 c 20,80 b 84,39<br />
Arang sekam + Phy 0,37 a 0,37 a 20,80 b 25,00 b 21,19<br />
Ladekan + Phy 0,32 a 0,32 a 26,66 b 33,33 a 0,00<br />
Pasir + Phy 0,38 a 0,38 a 54,16 a 25,00 b - 103,15<br />
Tabel 2 menunjukkan keragaan indeks serangan dan persentase serangan di pangkal batang dan<br />
akar. Serangan pada daun tidak ditemukan selama penelitian berlangsung. Intensitas serangan<br />
phythopthora sp. 6 bulan setelah inokulasi VAM menunjukkan bahwa pada akar, serangan<br />
terbesar ditunjukkan oleh perlakuan bahan pembawa pasir, dengan intensitas serangan sebesar<br />
54,16% berbeda nyata dengan perlakuan lain dan indeks kerusakan sebesar 0,38%. Meskipun<br />
indeks serangan pada akar lebih kecil namun persentase serangan tetap tinggi. Dengan<br />
menggunakan bahan pem bawa ladekan sebagai pembanding, hasil perhitungan efektifitas<br />
serangan yang terbesar adalah zeolit + pasir. Dengan efektifitas pengendalian sebesar 83,39%,<br />
artinya sangat efektif. Seperti diketahui zeolit merupakan<br />
bahan pembawa yang mempunyai kandungan P rendah, sehingga mekanis mengkolonisasi<br />
VAM lebih efektif dalam jaringan tanaman.<br />
Tabel 3. Kolonisasi VAM pada akar dan kerapatan spora VAM dalam 100 ml media<br />
perakaran JC, 16 minggu setelah inokulasi<br />
Perlakuan<br />
jumlah vesikel<br />
Kerapatan spora VAM<br />
Zeolit Pasir + Phy 68,50 c 397,25 d<br />
Arang sekam + Phy 48,50 b 231,50 c<br />
Ladekan + Phy 32,00 b 188,10 b<br />
Pasir + Phy 44,50 b 239.45 c<br />
Pasir 0,00 a 0,00 a<br />
13 28<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│243
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
Gambar 3. Infeksi VAM dalam jaringan akar tanaman jeruk<br />
Tingkat kesesuaian dapat dilihat dari pengamatan kolonisasi VAM pada masing masing<br />
perlakuan (Tabel 3, Gambar 3)). Dalam tabel 3 terlihat bahwa Zeolit+ pasir memiliki tingkat<br />
kolonisasi (jumlah vesikel dan kerapatan spora VAM) paling tinggi dibanding bahan pembawa<br />
lain, yaitu 58,5 dan 397,25. Dari laporan Graham et al, 1982, diperoleh informasi bahwa<br />
pada tanah lempung berpasir dari California, isolat VAM Glomus dari Californiang bawah<br />
Troyer citrange dibanding pada jenis tanah yang lain . Kemungkin ini karena lempung pasir<br />
seperti pada perlakuan Zeolit+ pasir lebih pourus sehingga simbiosis antara tanaman dengan<br />
VAM penyediaan hara yang berupa fotosintat oleh inang untuk jamur. Sebaliknya VAM dapat<br />
meningkatkan kemampuan akar tanaman inang dalam penyerapan air dan hara dari tanah<br />
(Brown et al., 1988).dapat berlangsung dengan baik. Kolonisasi VAM pada akar tanaman jeruk<br />
JC disajikan pada gambar 3. Seiring dengan hal itu, terlihat dari hasil penghitungan jumlah<br />
vesicle dan krapatan spora).<br />
Tabel 4 . Rata2 tinggi tanaman , panjang akar, jumlah akar bawah JC , 6 bulan setelah aplikasi<br />
VAM<br />
Perlakuan Tinggi Tanaman Panjang akar Jumlah akar<br />
Zeolit pasir + Phy 59,25 b 45,25 b 212,5 b<br />
Arang sekam + Phy 39,00 a 38,00 ab 149,5 a<br />
Ladekan + Phy 59,25 b 40,25 b 213,5 b<br />
Pasir + Phy 33,15 a 32,50 a 149 ,0 b<br />
244│<br />
Dari pengamatan data pendukung keragaan pertumbuhan tanaman yang meliputi tinggi<br />
tanaman, diameter batang, panjang akar dan jumlah akar menunjukkan bahwa hasil terbaik pada<br />
perlakuan zeolit pasir dan ladekan. Tinggi tanaman terpanjang pada media zeolit pasir dan<br />
ladekan berbeda nyata dengan perlakuan arang sekam dan pasir. Rata-rata tinggi tanaman ke dua<br />
perlakuan tersebut sebesar 59,25 cm, sedang pada arang sekam dan pasir hanya 39,00 dan 33,15<br />
cm. Pengaruh perlakuan pada panjang dan jumlah akar tanaman sampai 6 bulan setelah<br />
perlakuan, menunjukkan hasil bahwa perlakuan zeolit pasir dan ladekan paling baik dibanding<br />
dengan perlakuan lain. Sebagai mikroorganisme dalam tanah, VAM mengandung esensial yang<br />
sudah ada dalam sistem tanaman dan tanah (Smith and Read, 1997), yang dapat meningkatkan<br />
serapan phosfat, nutrisi mikro nitrogen (Duponnois, et al., 2005) dan mempercepat penyerapan<br />
air (Alquacil et al., 2003) dengan adanya bahan pembawa zeolit pasir ini dapat meningkatkan<br />
mekanisme kolonisasi VAM pada akar serta meningkatkan vigoritas tanaman dan berpotensi<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen . Hal ini terlihat dengan adanya perbedaan<br />
yang nyata terhadap parameter pertumbuhan, baik tinggi tanaman, panjang akar dan jumlah<br />
percabangan akar(Tabel 4)..<br />
B. Uji Prototipe Produk VAM Untuk Meningkatkan KetahananTerhadap Phytophthora sp<br />
Hasil analisis data menunjukkan bahwa semua bentuk produk VAM yang diuji dapat mengurangi<br />
serangan Phytopthora pada daun sampai 6 bulan setelah inokulasi, dibanding dengan kontrol<br />
tanpa perlakuan VAM (Tabel 4). Pada tabel 4 terlihat bahwa indeks serangan cendawan pada<br />
daun antara 25- 37% pada perlakuan yang diuji, sedang pada kontrol tanpa VAM serangan lebih<br />
tingi dan berbeda nyata. Belum ditemukan serangan pada pangkal batang dan akar selama<br />
percobaan berlangsung. Keefektivitas produk VAM terhadap pengendalian Phytopthora sp pada<br />
produk pelet paling tinggi dan dapat mencapai 39,9 % melebihi batas kelayakan sebagai produk<br />
pengendalian setara dengan fungisida, yaitu 30%. Menurut Duchesne, 1996 Mekanisme<br />
perlindungan yang terjadi dapat berupa pembentukan antibiotik, sintesa zat fungistatik oleh akar,<br />
pembentukan efek halangan fisik berupa mantel yang disebabkan oleh jamur mikoriza),<br />
menggunakan surplus karbohidrat dalam akar, melindungi populasi mikroba rizosfer di<br />
sepanjang akar dan memanfaatkan hasil metabolisme yang diperoleh simbiosis sel korteks<br />
(Fakuara, 1988), meningkatkan nodulasi serta penyematan nitrogen oleh Rhizobium sp. pada<br />
leguminosa (Bagyaraj, 1988).<br />
Tabel54. Persentase serangan Phythopthora pada batang bawah JC, 6 bulan setelah inokulasi<br />
PERLAKUAN Pangkal batang Akar daun Efektivitas (%)<br />
Pelet 0 a 0 a 25,00 b 39,90<br />
Kapsul 0 a 0 a 33,33 b 19,99<br />
Granular 0 a 0 a 33,33 b 19,99<br />
inokulasi langsung VAM 0 a 0 a 37,50 ab 0<br />
Kontrol tanpa VAM 0 a 0 a 41,66 a -9,99<br />
Dari hasil analisis kandungan phenol diketahui bahwa ditemukan kandungan phenol pada<br />
semua akar dalam semua perlakuan. Namun pada produk Pelet, kapsul dan granular lebih<br />
tinggi kandunagn phenolnya dibanding perlakuan langsung maupun kontrol. Diketahui bahwa<br />
mekanisme perlindungan yang terjadi dapat berupa pembentukan antibiotik, sintesa zat<br />
fungistatik oleh akar, pembentukan efek halangan fisik berupa mantel yang disebabkan oleh<br />
jamur mikoriza (Duchesne, 1996),<br />
Tabel 6. Kandungan phenol dalam akar tiap perlakuan produk formulasi VAM<br />
PERLAKUAN<br />
Phenol<br />
Pelet VAM 415,60_+ 1,69<br />
Kapsul VAM 415,67 -+ 0,03<br />
Granular VAM 493,66 _+ 0,77<br />
Langsung (akar) 319.81 _+ 0,03<br />
Kontrol 302, 66 _+ 0,98<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│245
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
Tabel 7. Berat basah dan berat kering akar batang JC , 6 bulan setelah perlakuan pengujian<br />
RATA-RATA<br />
PERLAKUAN<br />
Berat basah<br />
Berat kering<br />
Pelet VAM 20,8 a 18,22 a<br />
Kapsul VAM 19,6 a 14,23 a<br />
Granular VAM 22,01 a 15,98 a<br />
Langsung (akar) 10,33 a 9,5 b<br />
Kontrol 11,02 a 9,22 b<br />
KESIMPULAN<br />
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :<br />
1. Bahan pembawa terbaik yang berpengaruh meningkatkan ketahanan tanaman batang<br />
bawah jeruk terhadap cendawan Phytopthora sp adalah Zeolit dengan persentase<br />
serangan terrendah yaitu 4,16 persen, dengan efektifitas pengendalian sebesar 84,39 %<br />
dibandingkan kontrol ladekan. Artinya dapat mengurangi tingkat serangan jauh lebih<br />
besar dari 10%. Sedangkan bahan pembawa pasir tidak baik sebagai bahan pembawa<br />
VAM yang berfungsi untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit.<br />
Jumlah vesicel dan kerapatan spora VAM pada bahan pembawa zeolit terbanyak<br />
dibanding bahan pembawa lain. (68,50 dan 397,25 ). VAM yang diaplikasikan dengan<br />
bahan pembawa zeolit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (tunggi tanaman,<br />
jumlah akar dan panjang akar).<br />
2. Prototipe produk VAM terbaik yang diperoleh dari pengujian ini adalah pelet dengan<br />
nilai efektifitasnya mencapai 39 % paling tinggi dibanding lainnya , meskipun demikian<br />
masih perlu dicoba lagi untuk melihat stabilitas produk.<br />
UCAPAN TERIMA KASIH<br />
1. Terima kasih kepada Kementerian Riset dan Teknologi atas support nya pada penelitian<br />
ini, sehingga dapat terlaksana dengan baik pada tahun 2011.<br />
2. Terima kasih kepada Ir O. Endarto Msi dan S. Wuryantini SP atas kesediaannya ,<br />
namanya dicantumkan secara administratif .<br />
PUSTAKA<br />
1. Allen, M.F. 1991. “The Ecology of Mycorrhizae”. Cambridge University Press, New York. 184p<br />
2. Alguacil MM, Herna´ ndez JA, Caravac F, Portillo B, Rolda´n A. 2003. Antioxidant enzyme<br />
activities in shoots from three mycorrhizal shrub species afforested in a degraded semi-arid soil.<br />
Physiol Plant 2003; 118:562–70.<br />
3. Anonim, 1988. “Compedium of Citrus Disease”. Whiteside, J.O, S.M. Garnsey and L.W.<br />
Timmer (eds.). APS Press. 80p<br />
4. Anonim. 2008. “Kebijakan dan Strategi Perlindungan <strong>Hortikultura</strong> TA 2005-2010. Direktorat<br />
Perlindungan Tanaman <strong>Hortikultura</strong>. 8 p<br />
5. Brown, M.B., T.H. Quimio & A.M. De-Castro. 1988. “Vesicular Arbuscular Mycorrhizal<br />
Associated with Upland Rice (Oryza sativa L.)”. The Philipine Agriculturist 71 : 317-322<br />
6. Brundrett, M., Bougher, N., Dell, B., Grove, T., dan Malajczuk, N. 1996. “Working with<br />
Mycorrhizas in Forestry and Agriculture”. ACIAR, Canberra. 374p<br />
246│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Uji Formulasi Vesicular Arbuscular (VAM) Glomus sp. Pada Jeruk yang Berpotnesi Mengurangi Tingkat Serangan<br />
Penyakit akar Phytopthora sp. Sebesar 10%<br />
Dwiastuti, M. E. dan Widiyaningsih, S<br />
7. Cordier, C., Gianinazzi, S., Gianinazzi-Pearson, V. 1996. “Colonisation Pattern of root tissue by<br />
Phytophthora nicotianae var. Parasitica Related to Reduced Disease in Mycorrhizal Tomato”.<br />
Plant and soil, 185 : 223-232<br />
8. Duchesne, L.C. 1996. “Role of Ectomycorrhizae Fungi in Biocontrol”. in F.L. Pfleger dan R.G.<br />
Linderman (eds.) Mycorrhizae and Plant Health. APS Press. St. Paul, Minesota. 344p<br />
9. Duponnois R, A. Colombet ,V. Hien , Thioulouse J. The mycorrhizal fungus Glomus intraradices<br />
and rock phosphate amendment influence plant growth and microbial activity in the rhizosphere<br />
of Acacia holosericea. Soil Biol Biochem 2005;37:1460<br />
10. Erwin, D.C. and Ribeiro, O.K. 1996. “ Phytophthora Diseases Worldwide”. APS Press. 562p<br />
11. Fakuara, Y. 1988. “Mikoriza, Teori dan Kegunaan dalam Praktek”. Pusat Antar Universitas<br />
Institut <strong>Pertanian</strong> Bogor. Bogor. 123p<br />
12. Harley, J.L. dan S.E. Smith. 1983. “Mycorrhyza Symbiosis”. Academic Press. London. 483p<br />
13. Koide R.T., B.Mosse . 2004 . A history of research on arbuscular mycorrhiza. Mycorrhiza<br />
2004;14:145–63.<br />
14. Laetitia Lioussanne, Mario Jolicoeur, Marc. St-Arnaud. 2008. “Mycorrhizal Colonization with<br />
Glomus Intraradices and Development Stage of Transformed Tomato Root Significanly Modify<br />
The Chemotactic Response of Zoospora of The Pathogen Phytophthora nicotianae “. Soil<br />
Biology and Biochemistry, 40 : 2217-2224<br />
15. Linderman RG. Role of VAM fungi in biocontrol. In: Pfleger FL, Linderman RG, editors.<br />
Mycorhizae and plant health. St. Paul, MN, USA: American Phytopathological Society; 1994. p.<br />
1–25<br />
16. Murphy, J.G. Rafferty, S.M., Cassels, A.C. 2000. “Stimulation of Wild Strawberry (Fragaria<br />
vesta) Arbuscular Mycorrhizas by Addition of Self Fish Waste to The Growth Substrate :<br />
Interaction between Mycorrhization, Substrate Amandement and Susceptibilityto Red Core<br />
(Phytophthora fragariae)”. Applied Soil Ecology, 15 : 153-158<br />
17. Mutulo, H.F.J., M.S. Sinaga, A. Hartana, G. Suastika, H. Aswidinnoor. 2007. ” Karakter<br />
Morfologi dan Molekuler Isolat Phytophtora palmivora Asal Kelapa dan Kakao “. Jurnal Littri,<br />
13(3) : 111-118.<br />
18. Nemec, S. 1978. “Respon of six citrus rootstocks to three species of Glomus, A. mycorrhizal<br />
fungus” . Proc. Fla. State. Hort. Soc. 91 : 10-14<br />
19. Oihabi A. Etude de l’influence des mycorhizes a` ve´ sicules et arbuscules sur le bayoud et la<br />
nutrition du palmier dattier. Doctorat d’Etat, Universite´ Cadi Ayyad, Faculte´ des Sciences<br />
Semlalia-Marrakech, Maroc, 1991. 110p<br />
20. Stamp DJ., Waterhouse GM., Newhook, FJ. and Hall GS. 1990. Revised Tubular Key to the the<br />
Spesies of Phytophthora. Common Agric. Bur. Int. Mycol. Inst. Mycol. Pap. 162. 28p<br />
21. Smith SE,and D.J. Read . 1997. Growth and carbon economy of VA mycorrhizal plants. In:<br />
Smith SE, Read DJ, editors. Mycorrhizal symbiosis. London: Academic; 1997. p. 105–25.<br />
22. Zak, B. 1964. “Role of Mycorrhizae in Root Disease”. Ann.Appl.Biol. 44: 561.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│247
Seleksi Formulasi Media Cair bagi Perkembangbiakan dan Viabilitas Trichoderma harzianum<br />
Tarigan, R 1) , Marpaung, AE 1) , Fitri Nasution 2) & Sinaga, R 3<br />
Seleksi Formulasi Media Cair bagi Perkembangbiakan<br />
dan Viabilitas Trichoderma harzianum<br />
Tarigan, R 1) , Marpaung, AE 1) , Fitri Nasution 2) & Sinaga, R 3)<br />
1) Kebun Percobaan Berastagi, Jl. Raya Medan-Berastagi Km. 60 Berastagi, 22156<br />
2) Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Solok.<br />
3) Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Parahu 517 Lembang, Bandung<br />
ABSTRAK. Penelitian bertujuan mengkaji dan menyeleksi formula media cair bagi perkembang biakan dan<br />
viabilitas Trichoderma harzianum. Penelitian dilaksanakan di laboratorium hama penyakit Kebun Percobaan<br />
Tanaman Buah Berastagi pada bulan Agustus 2011 sampai dengan Mei 2012. Rancangan yang digunakan<br />
adalah Rancangan acak lengkap, dengan dua faktor dan dua ulangan. Faktor pertama : Bahan Media (M) yaitu :<br />
m 1 ( molase : pukan ayam : kentang : gula :agar-agar) dan m 2 (molase : tepung jagung : pukan ayam : gula :<br />
agar-agar), Faktor kedua : komposis media. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula media cair bagi<br />
perkembangbiakan dan viabilitas T. harzianum terbaik dan konsisten berdasarkan pengamatan umur 1 sampai 5<br />
bulan dari segi kerapatan dan perkembangan spora, pengurangan volume, adalah MP (molase :pukan ayam :<br />
kentang :gula : agar-agar = 2: 1 : 1 : 0 : 1 / 12 ) yakni 3,36 x 10 8 /ml, dan 6,75 ml. Pada pengamatan 9 bulan MP<br />
masih memiliki kerapatan dan perkembangan spora 3,6 x 107 /ml walaupun telah mengalami penurunan,<br />
namun dilihat dari pengurangan volume dan tekstur tetap konsisten yakni 6,75 ml dan teksturnya cair. MP<br />
(Molase :Pukan ayam : Kentang :Gula : Agar-agar = 2: 1 : 1 : 0 : 1 / 12 ) merupakan formula yang efektif, efisien<br />
dalam pengaplikasian ke Lapangan.<br />
Katakunci: Media; Komposisi; Trichoderma harzianum<br />
ABSTRACT. Tarigan, R, Marpaung, AE, Fitri Nasution, and Sinaga, R 2012. The Selectivity of Liquid<br />
Media formula for the T. harzianum Development and Viability. The aim of the research to review and<br />
selection the formula of the liquid media for Trichoderma harzianum development and viability. The research<br />
was conducted at screen house and disease pest laboratory in Berastagi Experimental Farm in August 2011 to<br />
May 2012. Factorial randomized complete design was used with two replications. The first factor is media<br />
materials: m 1 (molasses : sugar : chicken manure : potato : agar) and T (molasses : Sugar : chicken manure :<br />
corn flour : agar). The second factor is media composition. The results showed that the selectivity of liquid<br />
media formula for the best and consistently propagation and viability of T. harzianum according to spore<br />
density and development, volume reduction on 1 up to 5 months is the MP (molasses : chicken manure : potato<br />
: sugar : agar = 2 : 1 : 1 : 0 : 1/12) each 336 x 10 6 /ml, and 6,75 ml. At 9 months, MP treatment has the spore<br />
density and development still (36 x 10 6 /ml), although has decline, but seen from the volume reduction and<br />
texture, it’s consistent still, that is 6,75 ml and the liquid texture. MP (Molasses : Chicken manure : Potato :<br />
Sugar : Agar = 2 : 1 : 1 : 0 : 1 / 12 ) is an effective and efficient formula to field application<br />
Keywords: Media; Composition; Trichoderma harzianum<br />
Trichoderma harzianum merupakan salah satu cendawan yang berperan sebagai pengendali<br />
hayati karena mampu beradaptasi pada kondisi yang tidak menguntungkan, unggul menekan<br />
cendawan patogen tanaman, dan merangsang pertumbuhan tanaman (Benitez et al. 2004).<br />
Cendawan antagonis ini termasuk jenis non-mikoriza yang dapat ditemukan hampir di semua<br />
macam tanah dan berbagai habitat. Trichoderma tumbuh sangat baik dan berlimpah di dalam tanah<br />
sekitar perakaran tanaman yang sehat (Prabowo et al. 2006,). Menurut Ambar (2003) T. harzianum<br />
digunakan dalam pengendalian beberapa patogen tular tanah seperti Fusarium moniliforme,<br />
Fusarium calmorum dan Gaeumannomyces graminis var. tritici (Kucuk & Kivanc 2002), F. solani<br />
f.sp. phaseoli (Abeysinghe 2007), A. flavus (Dharmaputra et al. 2003), Alternaria alternata (Sempere<br />
& Santamarina 2007), Sclerotinia sclerotiorum (Akram, et al. 2008), A. porri (Nur 2005; Imatiaj &<br />
Lee 2008), selain mempunyai daya kompetisi yang tinggi, tahan hidup lama, dan mampu<br />
mengkolonisasi substrat dengan cepat. T. harzianum juga bersifat sebagai mikoparasit pada hifa dan<br />
tubuh-tubuh istirahat patogen tumbuhan (Limon 1999).<br />
248│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Seleksi Formulasi Media Cair bagi Perkembangbiakan dan Viabilitas Trichoderma harzianum<br />
Tarigan, R 1) , Marpaung, AE 1) , Fitri Nasution 2) & Sinaga, R 3<br />
Menurut Howell (2003), mekanisme antagonis T. harzianum sangat kompleks dan bervariasi<br />
dalam menekan cendawan patogen dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Koloni T. harzianum<br />
pada awal inkubasi akan berwana putih yang selanjutnya berubah menjadi kuning dan akhirnya<br />
berubah menjadi hijau tua pada umur inkubasi lanjut. Cendawan T. harzianum mempunyai tingkat<br />
pertumbuhan yang cepat, spora yang dihasilkan berlimpah, dan mampu bertahan cukup lama pada<br />
kondisi yang kurang menguntungkan. Daya antagonistik yang dimiliki T. harzianum disebabkan oleh<br />
kemampuannya dalam menghasilkan berbagai macam metabolik toksik seperti antibiotik atau enzim<br />
yang bersifat litik serta kemampuan kompetisi dengan patogen dalam memperebutkan nutrisi, oksigen<br />
dan ruang tumbuh (Wahyudi et al. 2005). Trichoderma harzianum memproduksi metabolit seperti<br />
asam sitrat, etanol, dan berbagai enzim seperti urease, selulase, glukanase, dan kitinase. Pertumbuhan<br />
dan perkembang biakan T. harzianum dipengaruhi oleh bahan pembawa dan lamanya penyimpanan.<br />
Komposisi dan konsentrasi nutrisi medium tumbuh akan mempengaruhi daya tahan hidup, sporulasi<br />
dan daya antagonisme cendawan T. harzianum. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan T.<br />
harzianum antara lain protein (Bilgrami & Verma 1981).<br />
Pada awal pertumbuhan cendawan antagonis memerlukan ketersediaan nutrisi, protein dan<br />
glukosa. Pada umumnya perbanyakan Trichoderma melalui media stater padat seperti dedak, pipilan<br />
jagung, beras. Cara perbanyakan ini dirasa kurang praktis disebabkan daya simpan singkat 3-4 bulan,<br />
mudah terkontaminasi, serta tingkat kesulitan cukup tinggi dalam pengaplikasian di lapangan. Oleh<br />
karena itu perlu dicari bahan pembawa yang lebih praktis dalam pengaplikasian. Seiring dengan<br />
kemajuan penggunaan agensia hayati dalam mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT),<br />
perbanyakan massal produk Trichoderma lebih memfokuskan keefisien, efektifitas, viability 8-9<br />
bulan, serta kerapatan spora. Salah satu cara yang dapat dikembangkan melalui selektivitas media<br />
pembawa antara lain kentang, tepung jagung, molase, gula, pupuk kandang, dan Agar-agar. Media<br />
pembawa ini memiliki komposisi protein, karbohidrat, glukosa dan sukrosa yang berguna selama<br />
proses perkembang biakan cendawan. Hal ini sesuai hasil penelitian Nugroho (2007) yang<br />
menyatakan bahwa kandungan karbohidrat dan protein pada tepung beras, tepung jagung dan kentang<br />
mampu mengembangbiakkan cendawan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian seleksi formulasi<br />
media cair bagi perkembangbiakan dan viabilitas T. harzianum.<br />
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menyeleksi formula media cair bagi<br />
perkembangbiakan dan viabilitas T. Harzianum. Hipotesis yang diajukan dari penelitian ini ialah<br />
interaksi yang positif dari bahan media pada berbagai komposisi media yang mampu menghasilkan<br />
perkembangbiakan dan viabilitas T. harzianum yang sesuai.<br />
BAHAN DAN METODA<br />
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Hama dan Penyakit Kebun Percobaan Tanaman Buah<br />
Berastagi. Penelitian mulai bulan Agustus 2011 sampai dengan April 2012. Kegiatan meliputi : 1)<br />
Sterilisasi botol selei, 2) persiapan pembuatan dan penyiapan media cair, 3) Perbanyakan cendawan<br />
T. harzianum, di media cair. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2<br />
faktor yakni: faktor pertama bahan media, dan faktor kedua komposisi media, dan diulang 2 kali.<br />
Perlakuan terdiri dari 48 yakni: Bahan media yaitu : M ( Molase : Pukan ayam : Kentang : Gula ;<br />
Agar-Agar) dan T (Molase : Pukan ayam : Tepung jagung : Gula ; Agar-agar), Faktor Kedua :<br />
Komposis Media yaitu: A. (1:1:1:0: 1 / 16 ), B. (1:1:1:1: 1 / 16 ), C. (1:1:1:2: 1 / 16 ), D. (2:1:1:0: 1 / 16 ), E.<br />
(2:1:1:1: 1 / 16 ), F. (2:1:1:2: 1 / 16 ), G. (2:2:1:0: 1 / 16 ), H. (2:2:1:1: 1 / 16 ), I. (2:2:1:2: 1 / 16 ), J. (2:2:2:0: 1 / 16 ), K.<br />
(2:2:2:1: 1 / 16 ), L. (2:2:2:2: 1 / 16 ), M. (1:1:1:0: 1 / 12 ), N. (1:1:1:1: 1 / 12 ), O. (1:1:1:2: 1 / 12 ), P. (2:1:1:0: 1 / 12 ), Q.<br />
(2:1:1:1: 1 / 12 ), R. (2:1:1:2: 1 / 12 ), S. (2:2:1:0: 1 / 12 ), T. (2:2:1:1: 1 / 12 ), U. (2:2:1:2: 1 / 12 ), V. (2:2:2:0: 1 / 12 ), W.<br />
(2:2:2:1: 1 / 12 ), X. (2:2:2:2: 1 / 12 ). Dilakukan persiapan penimbangan bahan media meliputi M ( Molase :<br />
Pukan ayam : kentang : Gula : Agar-agar), dan T (Molase : Pukan ayam : Tepung Jagung : Gula :<br />
Agar-agar) dalam 75 gr perbandingan komposis formula/100 cc air. Perbandingan ini berdasarkan<br />
hasil pra penelitian untuk mendapatkan tekstur formula media larutan bagi perkembangbiakan T.<br />
harzianum. Masing-masing bahan perbandingan dikalkulasi dengan 75 gr, lalu ditimbang dengan<br />
timbangan elektrik dan dimasukkan ke dalam botol selai dan ditambah 100 cc air. Media diaduk lalu<br />
dikukus selama 2-2,5 jam. Media dalam botol tersebut disaring dengan kertas saring lalu dibawa<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│249
Seleksi Formulasi Media Cair bagi Perkembangbiakan dan Viabilitas Trichoderma harzianum<br />
Tarigan, R 1) , Marpaung, AE 1) , Fitri Nasution 2) & Sinaga, R 3<br />
kedalam ruang inokulasi, didinginkan selama 40 menit kemudain dilakukan penanaman T.<br />
harzianum pada permukaan larutan. Botol selai ditutup dengan allumunium foil dan plastik<br />
transparan. Setelah 1 hari diruang inokulasi, kemudian disimpan diruang lain pada suhu kamar.<br />
Parameter yang diamati meliputi :<br />
1. Kerapatan spora.<br />
Kerapatan spora T.harzianum diamati pada umur 1, 5 dan 9 bulan setelah penanaman cendawan.<br />
Spora dihitung dengan menggunakan himasitometer.<br />
2. Pengurangan volume larutan media<br />
Pengurangan volume dihitung dengan memberi tanda diawal pada setiap botol perlakuan.<br />
Pengurangan volume diamati pada umur 1, 5 dan 9 bulan setelah penanaman cendawan.<br />
3. Tekstur<br />
Tekstur larutan diamati pada umur 9 bulan, dengan kriteria 1= cair, 2 = Agak kental, 3 = Kental,<br />
4 = Agak Padat, 5 = Padat.<br />
4. Perkembangan spora T. harzianum<br />
Perkembangan spora diamati dengan melihat pertumbuhan kerapatan spora pada umur 1, 5 dan 9<br />
bulan.<br />
Data yang diperoleh dianalisis dengan ANNOVA (uji F) dan dilanjutkan dengan uji BNJ pada<br />
taraf 5%<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Kerapatan Spora Umur 1, 5, dan 9 Bulan Setelah Inokulasi<br />
Pengaruh bahan media dan komposisi media terhadap kerapatan spora pada umur 1, 5, dan 9<br />
bulan setelah inokulasi disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan analisis sidik ragam terlihat bahwa<br />
perlakuan bahan media, komposisi media dan interaksi keduanya memberi pengaruh yang nyata<br />
terhadap kerapatan spora.<br />
Gambar 1. Nilai rerata komposisi media dengan bahan media terhadap kerapatan spora T. harzianum<br />
setelah inokulasi<br />
Gambar-1. menunjukkan bahwa pada umur 1 bulan, diantara perlakuan bahan media M dan T<br />
pada berbagai komposisi bahan menghasilkan kerapatan spora yang berbeda nyata, dimana kerapatan<br />
250│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Seleksi Formulasi Media Cair bagi Perkembangbiakan dan Viabilitas Trichoderma harzianum<br />
Tarigan, R 1) , Marpaung, AE 1) , Fitri Nasution 2) & Sinaga, R 3<br />
spora perlakuan TD (82 x 10 6 /ml) nyata lebih tinggi dari MD (0), MK (112,50 x 10 6 /ml) nyata lebih<br />
tinggi dari TK (60,00 x 10 6 /ml) dan TO (155,50 x 10 6 /ml) nyata lebih tinggi dari MO (0), sedangkan<br />
perlakuan lainnya tidak berbeda nyata.<br />
Perlakuan komposisi media pada bahan media memberi pengaruh yang nyata terhadap<br />
kerapatan spora, dimana pada bahan media M diperoleh komposisi C, F, G, H, I, J, K, L, N, P, Q, R,<br />
S, T, U, W, X yang nyata lebih tinggi dari perlakuan A, B, C, dan O (0), sedangkan dengan perlakuan<br />
lainnya tidak berbeda nyata. Kerapatan spora tertingi diperoleh pada perlakuan MP (Molase :Pukan<br />
ayam : Kentang :Gula : Agar-agar = 2 : 1 : 1 : 0 : 1 / 12 ), yakni 134,00 x 10 6 /ml. Pada bahan media T,<br />
diperoleh komposisi N, O, R, dan W yang nyata lebih tinggi dari L dan A, sedangkan dengan<br />
perlakuan lainnya tidak berbeda nyata. Kerapatan spora tertingi diperoleh pada perlakuan TW<br />
(Molase : Pukan ayam : Tepung Jagung : Gula : Agar-agar = 2 : 2 : 2 : 1 : 1 / 12 ) , yakni 185 x 10 6 /ml,<br />
dan yang terendah pada perlakuan TA (0). T. harzianum dapat tumbuh dengan baik pada media<br />
substrat padat yang mengandung karbohidrat. Hal ini sesuai pendapat Rossi (2009) bahwa<br />
mikroorganisme dapat tumbuh dan dikembangkan pada substrat yang sesuai kebutuhan protein,<br />
karbohidrat, glukosa, sukrosa dari masing-masing jenis mikroorganisme yang bersangkutan. Hal ini<br />
didukung oleh penelitian Sinaga (1998) bahwa komposisi dan konsentrasi nutrisi medium tumbuh<br />
akan mempengaruhi daya tahan hidup, sporulasi dan daya antagonisme cendawan T. harzianum.<br />
Pada pengamatan umur 5 dan 9 bulan setelah inokulasi perlakuan media bahan M disertai<br />
dengan komposisi P (2 : 1 : 1 : 0 : 1 / 12 ) dan C (1 : 1 : 1 : 2: 1 / 16 ) memiliki kerapatan spora berbeda<br />
nyata terhadap perlakuan lainya, masing-masing yakni: P (336 x 10 6 /ml dan 36 x 10 6 /ml), C (92,25 x<br />
10 6 /ml dan 56,25 x 10 6 /ml). Sedangkan perlakuan bahan media T disertai dengan komposisi R (2 : 1 :<br />
1 : 0 : 1 / 12 ) dan W (1 : 1 : 1 : 2 : 1 / 16 ) berbeda nyata terhadap perlakuan lainya, masing-masing yakni :<br />
R (375 x 10 6 /ml dan 192 x 10 6 /ml), W (321 x 10 6 /ml dan 121,50 x 10 6 /ml).<br />
Berdasarkan komposisi media yang disertai dengan bahan media M ( Molase : Pukan ayam :<br />
Kentang : Gula : Agar-agar) dan T (Molase : Pukan ayam : Tepung jagung : Gula : Agar-agar),<br />
umumnya menghasilkan kerapatan spora tidak berbeda nyata, namun pada komposisi media C, P, R,<br />
W diperoleh kerapatan spora yang berbeda nyata. Pada hasil pengamatan diperoleh 4 perlakuan<br />
yang masih memiliki spora yaitu MC, MP, TR, dan TW. Hal ini menunjukkan bahwa nutrisi media<br />
pembawa (karbohidrat, protein, gula) sangat mendukung dalam pembentukan kerapatan dan viability<br />
spora. Hal ini didukung oleh Mongkolwai (2003), mengatakan bahwa cendawan (N.ileyi)<br />
membutuhkan komposisi media tumbuh dan kondisi lingkungan yang optimal untuk pertumbuhannya,<br />
terutama media yang mengandung sumber karbon (C) dan energi, seperti glukosa, ekstrak kentang,<br />
tepung jagung, tepung gandum, dan tepung beras, serta pepton sebagai sumber nitrogen.<br />
Pengurangan Volume Larutan Media<br />
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan bahan media berpengaruh tidak nyata<br />
terhadap kerapatan spora pada umur 1 bulan, sedangkan komposisi dan interaksi kedua perlakuan<br />
nyata. Pada umur 5 dan 9 bulan, komposisi media, bahan media dan interaksi keduanya memberi<br />
pengaruh nyata terhadap pengurangan volume, disajikan pada Gambar 2.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│251
Seleksi Formulasi Media Cair bagi Perkembangbiakan dan Viabilitas Trichoderma harzianum<br />
Tarigan, R 1) , Marpaung, AE 1) , Fitri Nasution 2) & Sinaga, R 3<br />
Gambar 2. Nilai rerata komposisi media dengan bahan media terhadap pengurangan volume larutan<br />
Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa diantara perlakuan media bahan memberi pengaruh<br />
yang tidak nyata terhadap pengurangan volume. Pada perlakuan komposisi media dengan bahan<br />
media M terdapat pengaruh yang nyata terhadap pengurangan volume, sedangkan pada media T tidak<br />
berpengaruh nyata. Dimana pengurangan volume tertinggi diperoleh pada perlakuan MW ( Molase :<br />
Pukan ayam : Kentang : Gula : Agar-agar = 2 : 2 : 2 : 1 : 1 / 12 ), yakni 3,75 ml dan nyata berbeda<br />
dengan perlakuan MF, MJ, MM, dan MN, yaitu 0,75 ml. Hal ini diduga dalam pertumbuhan dan<br />
perkembangan cendawan T. harzianum menggunakan larutan sebagai sumber makanan (nutrisi). Hal<br />
ini sesuai pendapat Hidayah (2011) bahwa perkembangan dan kestabilan produksi spora cendawan<br />
terlihat nyata pada media lengkap, dikarenakan kebutuhan cendawan akan ketersediaan nutrisi<br />
sebagai sumber makanan.<br />
Pengurangan volume larutan pada umur 5 dan 9 bulan terlihat bahwa perlakuan komposisi<br />
media yang disertai dengan bahan media M ( Molase : Pukan ayam : Kentang : Gula : Agar-agar)<br />
dan T (Molase : Pukan ayam : Tepung jagung : Gula : Agar-agar) umumnya menghasilkan<br />
pengurangan volume larutan tidak berbeda nyata, namun pada komposisi media C, P, R, dan W<br />
diperoleh pengurangan volume yang berbeda nyata. Pengurangan volume yang semakin besar<br />
masing-masing ialah perlakuan MC (3,75 dan 4,50 ml), dan TW (6,00 dan 7,50 ml), sedangkan MP<br />
dan TR pengurangan volume larutan tetap yakni 6,75 ml. Hal ini sesuai pendapat Monte (2001)<br />
bahwa agensia pengendali hayati dapat tumbuh cepat dengan menggunakan sumber nutrisi secara<br />
efisien.<br />
Tekstur<br />
Tekstur media cair dianalisis dari awal hingga akhir pengamatan. Parameter pengamatan<br />
menggolongkan tekstur berdasarkan skala, yaitu cair, agak kental, kental, agak padat, dan padat.<br />
Berdasarkan analisis menunjukkan bahwa komposisi media berpengaruh nyata terhadap tekstur media<br />
cair, sedangkan bahan media dan interaksi kedua perlakuan tidak nyata (Gambar 3).<br />
252│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Seleksi Formulasi Media Cair bagi Perkembangbiakan dan Viabilitas Trichoderma harzianum<br />
Tarigan, R 1) , Marpaung, AE 1) , Fitri Nasution 2) & Sinaga, R 3<br />
Gambar 3. Nilai rerata komposisi media terhadap tekstur<br />
Pada Gambar-3 memperlihatkan bahwa perlakuan komposisi media terhadap tekstur media<br />
menunjukkan skala kisaran antara 1-4, dengan rincian tekstur cair (skala 1) ditemukan sebanyak 12<br />
perlakuan komposisi media yakni A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, dan L. Skala (2-3) sebanyak 7 yakni<br />
M, O, P, Q, S, T, dan V. Skala (3–4) sebanyak 4 yakni N, R, W, dan X. Pada perlakuan komposisi P<br />
(2 : 1 : 1 : 0 : 1 / 12 ) menjadi kandidat tekstur yang diharapkan karena memiliki skala 2,50 = agak<br />
kental. Agar-agar berfungsi untuk pemadatan media. Dilihat dari sifat fisik penggunaan komposisi<br />
media agar-agar mengasilkan fisik (tekstur media) berbeda-beda. Menurut Indra (2008), mengatakan<br />
bahwa penggunaan agar 0,3-0,4% = media cair, 1-5% = media semi padat, di atas 15% = media<br />
sangat padat. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa dengan komposisi agar-agar 1 / 12 (perlakuan<br />
P) mengasilkan tekstur yang agak kental dan sesuai dengan media hidup T. harzianum.<br />
Perkembangan Tumbuh Spora T. harzianum<br />
Berdasarkan hasil pengamatan pada gambar 4 menunjukkan bahwa perkembangan tumbuh<br />
spora T. harzianum pada bahan media dengan disertai dengan masing-masing perlakuan komposisi<br />
media, pada umur 1 hingga 3 bulan bahwa bahan media M disertai dengan komposis media lebih<br />
banyak dijumpai pertumbuhan spora yakni 12 perlakuan dibandingkan bahan media T disertai<br />
komposisi media hanya ditemukan 9 perlakuan.<br />
Gambar 4. Perkembangan tumbuh spora T. harzianum pada masing-masing perlakuan<br />
Gambar 4 di atas memperlihatkan bahwa secara umum perkembangan spora pada bulan ke-5<br />
mulai menurun hingga kerapatan sepora 0, kecuali 4 perlakuan yakni MC, MP, TR, dan TW, dimana<br />
pada bulan ke-5 merupakan puncak perkembangan spora dan pada bulan ke-9 mulai menurun, namun<br />
spora masih tetap ada. Hal ini diduga bahwa dengan pemberian bahan media disertai dengan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│253
Seleksi Formulasi Media Cair bagi Perkembangbiakan dan Viabilitas Trichoderma harzianum<br />
Tarigan, R 1) , Marpaung, AE 1) , Fitri Nasution 2) & Sinaga, R 3<br />
komposisi media yang tepat dapat menjaga viability dari spora hingga 9 bulan, selain itu dengan<br />
penambahan media agar-agar mampu mempertahankan spora T. harzianum di dalam larutan cair. Hal<br />
ini didukung dari hasil penelitian Herlinda et al (2008), menyatakan bahwa media substrat<br />
perbanyakan juga turut mempengaruhi perkembangbiakan cendawan pada media buatan.<br />
KESIMPULAN<br />
1. Adanya pengaruh bahan media M (Molase : Pukan ayam : Kentang : Gula ; Agar-agar) dengan<br />
disertai komposisi media C (1 : 1 : 1 : 2 : 1 / 16 ), P. (2 : 1 : 1 : 0 : 1 / 12 ), dan bahan media T (Molase :<br />
Pukan ayam : Tepung jagung : Gula : Agar-agar) disertai dengan komposisi media R (2 : 1 : 1 :<br />
2 : 1 / 12 ), W (2 : 2 : 2 : 1 : 1 / 12 ), yang nyata terhadap kerapatan spora, pengurangan volume<br />
larutan, dan tekstur.<br />
2. Terdapat interaksi bahan media dengan komposisi media terhadap kerapatan spora, pengurangan<br />
volume, dan tekstur pada umur 1, 5, dan 9 bulan.<br />
3. Berdasarkan seleksi formula media cair bagi perkembangbiakan dan viabilitas T. harzianum<br />
yang terbaik dan konsisten pada pengamatan umur 1 sampai 5 bulan yang dilihat dari segi<br />
kerapatan spora, pengurangan volume, tekstur dan perkembangan, adalah MP (Molase :Pukan<br />
ayam : Kentang :Gula : Agar-agar = 2: 1 : 1 : 0 :1/12) yakni 336 x 10 6 /ml, dan 6,75 ml.<br />
PUSTAKA<br />
1. Abeysinghe, S 2007, ‘Biological control of Fusarium solani f.sp phaseoli the causal agent of root<br />
of bean using Bacillus subtilis CA.32 and Trichoderma harzianum RU.01’, Ruhuna, J.Sci., vol.<br />
2, pp. 82-8.<br />
2. Akrami, MAS, Ibrahimov, Valizadeh, E & Dizaji, AA 2008, ‘The ability of Trichoderma<br />
harzianum isolates in controlling rapessed sclerotinia rot in comparison with the effects of<br />
Bacillus subtilis and benomyl fungicide’, Res. J. Biol. Sci., vol 3, no. 8, pp. 856-59.<br />
3. Ambar, AA 2003, ‘Efektivitas waktu inokulasi Trichoderma viridae dalam mencegah penyakit<br />
layu Fusarium tomat (Lycopersicon esculentum Mill) di rumah kaca’, J. Fitopat. Ind., vol. 7<br />
no.1, hlm. 7-11.<br />
4. Benitez, T, Rincon, MA, Limon, MC & Codon, CA 2004, ‘Biocontrol mechanisms of<br />
Trichoderma strains’, International Microbiology, vol. 7, pp. 249-60.<br />
5. Bilgrami, KS & Verma, RN 1981, ‘Physiology of fungi’, Vikas publ. house PVT. 8.<br />
6. Dhamaputra, OS, Putri, ASR, Retnowati & Saraswati, S 2003, ‘Penggunaan Trichoderma<br />
harzianum untuk mengendalikan Aspergillus flavus penghasil aflatoksin pada kacang tanah’, J.<br />
Fitopat Indonesia, vol. 7, no. 1, hlm. 28-37.<br />
7. Hasyim, A, Yasir, H & Azwana 2005. Seleksi substrat untuk perbanyakan Beauveria bassiana<br />
(Bals.amo) vuillemin dan infektivitasnya terhadap hama penggerek bonggol pisang Cosmopolites<br />
sordidus germar’, J. Hort., vol. 15, no. 2, pp. 116-123.<br />
8. Herlinda, S, Hartono & Irsan, C 2008. ‘Efikasi bioinsektisida formulasi cair berbahan aktif<br />
Beauveria bassiana (BALS) Vuill dan Metaharzianum sp pada wereng punggung putih<br />
(Sogatella furcifera HORV)’, Seminar nasional dan kongres PATPI 2008, Palembang 14-16<br />
Oktober 2008.<br />
9. Hidayah, N & Indrayani, IGAA 2011, ‘Pengaruh komposisi media terhadap pertumbuhan<br />
cendawan Nomuraea rileyi (FARLOW) SAMSON dan patogenesitasnya pada Helicoverpa<br />
armigera HUBNER dan Spodoptera litura ‘,. Journal Littri, vol. 17, no. 3.<br />
254│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Seleksi Formulasi Media Cair bagi Perkembangbiakan dan Viabilitas Trichoderma harzianum<br />
Tarigan, R 1) , Marpaung, AE 1) , Fitri Nasution 2) & Sinaga, R 3<br />
10. Howell, CR 2003, ‘Mechanism employed by Trichoderma species in the biological control of<br />
plant disease the history and evolution of current concept plant’, Dis., vol. 87, pp 4-10.<br />
11. Imtiaj, A, & Lee, TS 2008, ‘Antagonistic effect of three Trichoderma species on the Alternaria<br />
porri phatogen of onion blotch wold’, J. Agric. Sci., vol. 4, no. 1, pp. 13-17.<br />
12. Jayalakshmi, SK, Raju, S, Rani, S, Bernagi, V & Sreeramulu, K 2009, ‘Trichoderma harzianum<br />
L as potential source for lytic enzymes and elicitor of defense responses in chikpea (Cicer<br />
arietinum L) against wilt disease caused by Fusarium oxysporum f.sp ciceri’, Aus. J. Crop. Sci.,<br />
vol. 3, no. 1, pp. 44-52.<br />
13. Kucuk, C & Kivanc, M 2003, ‘Isolation of Trichoderma spp and determination of their<br />
antifungal biochemical and physiologycal features’, Turk. J. Biol., vol. 27, pp. 247-53.<br />
14. Limón, MC, Pintor-Toro, JA & Benítez, T 1999, ‘Increased antifungal activity of Trichoderma<br />
harzianum transformants that overexpress a 33-kDa chitinase’, Phytopathology, vol. 89, pp.<br />
254-61.<br />
15. Mongkolwai, T, Vatanobot, U, Prompiboon, P, Boonyat, C, Wiwat, C &. Bhumiratana, A<br />
2003, ‘Production of Nomuraea rileyi by solid substrate and submerged fermentations’,<br />
Department of Microbiology, Mahydol University Bangkok (abstract), 1p.<br />
16. Monte, E 2001, ‘Understanding Trichoderma between agricultura biotechnology and microbia<br />
ecology’, Int. Microbiol., vol. 4, pp. 1-4. PubMed. CAS.<br />
17. Nugroho, 2007, ‘Pengaruh penambahan tepung beras dan terigu pada media jagung giling<br />
terhadap jumlah spora cendawan Metarhizium anisopliae’, Skripsi, Jurusan Agronomi Fakultas<br />
<strong>Pertanian</strong> Universitas Muhamadiyah Sidoarjo (tidak dipublikasikan).<br />
18. Nurs, 2005, ‘Pertumbuhan produksi dan tingkat serangan penyakit bercak ungu (Alternaria<br />
porri(Ell)Cif) pada tiga varietas bawang merah dengan perlakuan pupuk organik cair dan<br />
Trichoderma harzianum’, Agrijati, vol. 1, no. 11, hlm. 12-24.<br />
19. Papavizas, GC 1985, ‘Trichoderma and Gliocladium : Biology’, Ecology Potential For<br />
Biocontrol Annu Rev Phytopathol, vol. 23, pp. 23-54.<br />
20. Probowo, AKEN, Prihatiningsih & Soesanto, L 2006, ‘Potensi Trichoderma harzianum dalam<br />
mengendalikan sembilan isolat Fusarium Oxysporum Schelecht. F.sp Zingiberi Trijillo pada<br />
kencur’, J. Ilmu-ilmu <strong>Pertanian</strong> Indonesia, vol. 8, no. 2, hlm. 76-84.<br />
21. Rossi-Rodrigues, BC, Braga, BRM, Tonisielo, TMS, Carmona, CE, Arruda, MV & Netto, CJ<br />
2009, ‘Comparative growth of Trichoderma strains in different nutritional sources, using<br />
bioscreen automated system’, Braz. J. Microbiol., vol. 40, pp. 404-410.<br />
22. Sempere, F & Santamarina, MP 2007, ‘In vitro biocontrol analysis of Alternaria alternata (Fr)<br />
keissler under different environmental condition’, Mycopathol., vol. 163, pp. 183-190.<br />
23. Sinaga R, 1998, ‘Penggunaan iradiasi untuk memperpanjang daya simpan pisang dan tomat’,<br />
Presentasi Ilmiah 26 Feb 1998, PAIR-BATAN, Jakarta.<br />
24. Wahyudi, P, Suwahyono, U, Harsoyo, Mumpuni, A & Wahyuningsih, D. 2005, ‘Pengaruh<br />
pemaparan sinar gamma ISOTOP cobalt-60 dosis 0,25-1Kg terhadap daya antagonistik<br />
Trichoderma harzianum pada Fusarium Oxysporum’, Berk. Penel. Hayati, vol. 10, pp. 143-151.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│255
Seleksi Formulasi Media Cair bagi Perkembangbiakan dan Viabilitas Trichoderma harzianum<br />
Tarigan, R 1) , Marpaung, AE 1) , Fitri Nasution 2) & Sinaga, R 3<br />
Lampiran 1. Gambar Makroskopis T. harzianum pada Media Cair<br />
M<br />
A<br />
TA<br />
M<br />
D<br />
TD<br />
M<br />
G<br />
T<br />
G<br />
M<br />
J<br />
TJ<br />
M<br />
B<br />
TB<br />
M<br />
E<br />
TE<br />
M<br />
H<br />
T<br />
H<br />
M<br />
K<br />
T<br />
K<br />
M<br />
C<br />
TC<br />
M<br />
F<br />
TF MI TI M<br />
L<br />
TL<br />
MM<br />
T<br />
M<br />
M<br />
P<br />
TP<br />
M<br />
S<br />
TS<br />
MV TV M<br />
N<br />
TN MQ T<br />
Q<br />
MT TT M<br />
W<br />
T<br />
W<br />
MO<br />
T<br />
O<br />
MR TR M<br />
U<br />
TU MX TX<br />
Lampiran 2. Gambar Makroskopis T. harzianum pada Media Cair (Umur 5 Bulan)<br />
256│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Seleksi Formulasi Media Cair bagi Perkembangbiakan dan Viabilitas Trichoderma harzianum<br />
Tarigan, R 1) , Marpaung, AE 1) , Fitri Nasution 2) & Sinaga, R 3<br />
MC<br />
MP<br />
TR<br />
TW<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│257
Studi Biologi Kutu Sisik Lepidosaphes beckii N. (Homoptera: Diaspididae) Hama pada Tanaman Jeruk<br />
Endarto, O dan Priyatmoko, R<br />
Studi Biologi Kutu Sisik Lepidosaphes beckii N. (Homoptera: Diaspididae) Hama pada<br />
Tanaman Jeruk<br />
Endarto, O dan Priyatmoko, R<br />
Balai Penelitian Tanaman jeruk dan Buah Subtropika, Jl. Raya Tlekung No. 1, Junrejo, Batu<br />
Email: endarto06@yahoo.com<br />
ABSTRAK. Penelitian bertujuan mengetahui siklus hidup, morfologi setiap tahap perkembangan. meliputi<br />
bentuk, warna dan ukuran dan daya tetas telur dari Lepidosaphes beckii. Penelitian dilaksanakan pada bulan<br />
Maret sampai dengan Agustus 2006 di Laboratorium Entomologi Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah<br />
Subtropika Tlekung, Batu. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, pengamatan dilakukan dengan<br />
mengamati langsung perkembangan setiap stadia L. beckii. Hasil penelitian terhadap lama stadia larva, prepupa,<br />
pupa dan imago dapat diketahui bahwa L. beckii mempunyai siklus hidup rerata 31,2 ± 1,39 hari dengan suhu<br />
26-35°C. Telur L. beckii, berbentuk oval dengan kedua ujungnya tumpul dan berwarna putih ukuran telur<br />
panjang rerata 0,20 ± 0,05 mm dan lebar rerata 0,16±0,04 mm Daya tetas telur sebesar 68,29% dengan rerata<br />
telur yang di hasilkan 78,7 ± 2,67 butir,. Crawlers berwarna putih kekuning-kuningan dan berbentuk oval pipih,<br />
panjang rerata 0,21 ± 0,05 mm dan lebar rerata 0,12 ± 0,04 mm. White cap berwarna putih dengan ujung yang<br />
runcing berwarna coklat perisai white cap berukuran panjang rerata 0,64 ± 0,71 mm dan lebar rerata 0,35 ± 0,11<br />
mm. Instar 2 perisai berwarna coklat muda lama kelamaan warnanya akan berwarna coklat tua, panjang<br />
perisai1,17 ± 0,15 mm dan lebar 0,36 ± 0,08 mm. Prepupa berwarna coklat panjang perisai 1,37 ± 0,18 mm dan<br />
lebar 0,39 ± 0,08 mm. Pupa berwarna coklat dengan ujung yang tumpul berwarna ungu, panjang perisai 1,67 ±<br />
0,18 mm dan lebar 0,56±0,10 mm, Imago betina berwarna coklat, panjang perisai rerata 2,09 ± 0,21 mm dan<br />
lebar rerata 0,79 ± 0,12 mm<br />
Katakunci: Biologi: Lepidosaphes beckii N; Jeruk<br />
ABSTRACT. Endarto, O and Priyatmoko, R 2013, The Biological Studies of Lepidosaphes beckii N.<br />
(Homoptera: Diaspididae), Pests on Citrus.This research to know life-cycle, morphology each development<br />
stage, include form, color and size and to fecundity of Lepidosaphes beckii. This research has carried out on<br />
March until August 2006 at Entomology Laboratory Indonesian Citrus and Subtropical Fruits Research Institute,<br />
Tlekung, Batu.The method of this research include observation of life-cycle of L. beckii, morphology and<br />
fecundity. The result of larvae stages period, prepupa, pupa and adult shows that L. beckii have average lifecycle<br />
31.2 ± 1.39 days with temperatures 26–35 O C. Egg of L. beckii form oval with both of dull tip and colored<br />
white, the average length 0.20 ± 0.05 mm and average wide 0.16 ± 0.04 mm, the average amount of eggs<br />
produced 78.7 ± 2.67. Clowler colored white yellowness and form thin oval, with average length 0,21 ± 0,05 mm<br />
and wide 0,12 ± 0,04 mm. Shield white cap have average length size 0.64 ± 0.71 mm and shield wide 0.35 ±<br />
0.11 mm. Shield on instars 2 colored nutbrown and then deep brown, shield have length size 1.37 ± 0.15 mm<br />
and wide 0.36 ± 0.08 mm. Prepupa have body length 1.67 ± 0.18 mm and wide 0.39 ± 0.08 mm, whereas pupa<br />
have shield length 2.01 ± 0.2 mm and wide 0.56 ± 0.10 mm. Female adult have average length of shield 2.09 ±<br />
0.21 mm and wide 0.79 ± 0.12 mm.<br />
Keywords: Biology; Lepidosaphes beckii N; Citrus<br />
Buah jeruk merupakan salah satu komoditi yang telah dikenal sebagai sumber penghasilan bagi<br />
para petani terutama pada daerah sentra produksi seperti beberapa daerah di Sumatera dan Jawa.<br />
Dalam usaha peningkatan produksi jeruk, serangan organisme penggangu tumbuhan (OPT) khususnya<br />
hama kutu sisik Lepidosaphes beckii perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat saat ini tanaman<br />
jeruk sudah mulai terancam oleh serangan hama tersebut. Balai Teknologi <strong>Pertanian</strong> (2003),<br />
melaporkan bahwa sampai pertengahan tahun 2003 di Sumatera Barat luas serangan hama kutu sisik L.<br />
beckii ini berjumlah 262.795 pohon atau seluas 8.198,96 ha.<br />
Bagian tanaman jeruk yang diserang oleh kutu ini adalah daun, buah dan batang. Hama kutu<br />
sisik L. beckii menyukai tempat yang terlindung, terutama pada daun jeruk yang biasanya banyak di<br />
jumpai di bawah permukaan daun (sepanjang tulang daun jeruk). Kalshoven (1981), daun jeruk yang<br />
terserang akan berwarna kuning, terdapat bercak-bercak khlorotis dan seringkali gugur. Serangan yang<br />
258│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Biologi Kutu Sisik Lepidosaphes beckii N. (Homoptera: Diaspididae) Hama pada Tanaman Jeruk<br />
Endarto, O dan Priyatmoko, R<br />
lebih berat akan mengakibatkan ranting dan cabang menjadi kering, serta terjadi retakan-retakan pada<br />
kulit. Pada buah yang terserang berat dapat menyebabkan buah gugur, serta menurunkan kualitas,<br />
karena kotor dan meninggalkan bercak hijau atau kuning (<strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong> 1999).<br />
Dalam rumusan sinkronisasi pelaksanaan perkembangan hortikultura 2005, hama kutu sisik<br />
pada tanaman jeruk merupakan salah satu hama yang perlu diwaspadai dan ditingkatkan<br />
pengamatannya sehingga perlu dikaji lebih lanjut (Bina Produksi <strong>Hortikultura</strong> 2005). <strong>Departemen</strong><br />
<strong>Pertanian</strong> (1999) menyatakan bahwa ambang pengendalian untuk hama kutu sisik pada tanaman jeruk<br />
adalah 5% buah terinfeksi.<br />
Pengetahuan tentang identifikasi dan biologi suatu hama dan musuh alami merupakan<br />
pengetahuan dasar yang penting dalam melakukan usaha pengendalian hama (Hartono 1991). Oka<br />
(1995), menyatakan bahwa informasi tentang biologi hama, ekologi hama diperlukan seperti perilaku,<br />
daur hidup, dinamika populasi yang dapat dijadikan dasar untuk merancang pengendalian hama<br />
terpadu yang sederhana.<br />
Sampai saat ini masih belum banyak informasi mengenai hama kutu sisik dan pengendalian<br />
secara terpadu terhadap hama kutu sisik sehingga petani jeruk tidak banyak mengetahui akibat<br />
serangan kutu sisik hal ini akan mengakibatkan terhambatnya usaha peningkatan produksi jeruk.<br />
Sebagai dasar pelakanaan pegendalian hama kutu sisik L. beckii yang tepat dibutuhkan informasi dasar<br />
mengenai biologi hama kutu sisik L. Beckii.<br />
Tujuan Penelitian yaitu untuk mengetahui siklus hidup L. Beckii, morfologi setiap tahap<br />
perkembangan (stadia) L. beckii meliputi bentuk, warna, dan ukuran (panjang dan lebar), serta daya<br />
tetas telur.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2006 di Laboratorium Entomologi<br />
dan Rumah kasa Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Tlekung Batu.<br />
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) cawan petri dengan diameter 10 cm; (2)<br />
spon yang di bentuk lingkaran dengan diameter 8 cm; (3) kapas; (4) kuas halus nomor 1 untuk<br />
memindahkan telur, larva, pupa, dan imago; (5) handcounter untuk menghitung jumlah telur, larva,<br />
pupa dan imago; (6) mikroskop binokuler; (7) kaca pembesar; (8) mistar; (9) sangkar yang terbuat dari<br />
tabung plastik dengan diameter 5 cm dan tinggi 20 cm yang atasnya ditutup kain kasa dan dasarnya<br />
ditutup dengan spon.<br />
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) daun jeruk yang terserang kutu sisik yang<br />
diperoleh dari kebun Percobaan Tlekung; (2) tanaman jeruk siem berumur satu tahun sebagai media<br />
pemeliharaan L. beckii (3) air.<br />
Perbanyakan Lepidosaphes beckii<br />
Hama kutu sisik L. beckii diperoleh dengan cara mengambil daun jeruk manis yang terserang L.<br />
beckii dari Kebun Percobaan Tlekung, kemudian dibawa ke laboratorium untuk dipelihara pada cawan<br />
Petri dengan diameter 10 cm.<br />
Daun yang terserang L. beckii diletakkan di atas spon, dimana bagian tepi daun diberi kapas<br />
basah kemudian cawan petri diberi air. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesegaran daun. L. beckii<br />
dipelihara sampai keluar larva instar I yang kemudian larva instar I dipindahkan dari cawan petri ke<br />
daun tanaman jeruk sebagai media pemeliharaan L. beckii.<br />
Hama kutu sisik L. beckii yang digunakan untuk penelitian biologi dipelihara pada tanaman<br />
jeruk. Pada ranting tanaman jeruk yang daunnya di infestasi L. becki. tersebut diberi sangkar berbentuk<br />
tabung yang terbuat dari plastik bening dan kain kasa untuk mencegah terbangnya imago jantan.<br />
L. beckii dipelihara sampai menghasilkan keturunan yang akan digunakan untuk penelitian biologi.<br />
Metode Penelitian<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│259
Studi Biologi Kutu Sisik Lepidosaphes beckii N. (Homoptera: Diaspididae) Hama pada Tanaman Jeruk<br />
Endarto, O dan Priyatmoko, R<br />
Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, pengamatan dilakukan dengan mengamati<br />
langsung perkembangan setiap stadia L. beckii. Pengamatan siklus hidup meliputi perkembangan<br />
setiap stadia, morfologi setiap stadia (bentuk, ukuran dan warna) dan reproduksi dalam penelitian kali<br />
ini yang diamati adalah telur yang dihasilkan dan daya tetas telur.<br />
Pengamatan perkembangan Lepidosaphes beckii<br />
Pengamatan umur telur dilakukan dengan cara destruktif, dengan cara membalik imago, dari<br />
mulai imago berumur 1 hari dan seterusnya sampai diketahui ada telur yang telah menetas, hal ini<br />
dilakukan untuk mengetahui pada hari keberapa imago menghasikan telur dan pada hari keberapa telur<br />
menetas. Percobaan ini dilakukan 10 kali ulangan, pengamatan dilakukan setiap hari. Umur telur<br />
dihitung mulai dari telur dihasilkan sampai telur menetas.<br />
Pengamatan umur larva, prepupa, pupa serta imago diawali dengan mempersiapkan 100<br />
clawlers L. beckii. dari hasil perbanyakan kemudian dibagi dua masing-masing 50 clawler kemudian<br />
diletakkan pada daun tanaman jeruk yang telah di diberi sangkar berbentuk tabung yang terbuat dari<br />
plastik bening dan kain kasa. Clawlers dipelihara sampai muncul clawlers kembali. Pengamatan<br />
dilakukan setiap hari.<br />
Pengamatan umur masing-masing stadium didasarkan pada:<br />
1. Umur larva dihitung sejak terbentuknya larva hingga menjadi pupa. Pengamatan umur larva<br />
meliputi umur tiap instar. Pengamatan dilakukan dengan mengamati langsung perkembangan pada<br />
tanaman jeruk dengan menggunakan kaca pembesar.<br />
2. Umur prepupa dan pupa dihitung sejak terbentuknya prepupa dan pupa sampai menjadi imago.<br />
Pengamatan dilakukan dengan mengamati langsung perkembangannya pada tanaman jeruk dengan<br />
menggunakan kaca pembesar.<br />
3. Umur imago dihitung sejak imago muncul sampai imago mati. Pengamatan untuk imago dilakukan<br />
langsung pada tanaman jeruk dengan menggunakan kaca pembesar.<br />
4. Lama siklus hidup dihitung dari clawlers mulai diletakkan sampai imago menghasilkan clawlers.<br />
Pengamatan Morfologi Setiap Tahap Perkembangan L. beckii<br />
Pengamatan telur meliputi bentuk, warna, dan ukuran telur (panjang dan lebar). Telur diperoleh<br />
dengan mengambil imago L. beckii yang sudah bertelur dari perbanyakan dan membaliknya kemudian<br />
diambil 10 butir telur untuk diamati di bawah mikroskop.<br />
Pengamatan larva meliputi banyaknya instar, bentuk, warna, ukuran (panjang dan lebar) dan<br />
perilaku setiap instar. Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil larva L. beckii dari perbanyakan<br />
sebanyak 10 ekor untuk setiap instar kemudian diamati di bawah mikroskop.<br />
Pengamatan prepupa dan pupa meliputi bentuk, warna dan ukuran (panjang dan lebar).<br />
Pengamatan dilakukan dengan cara mengambil pupa L. beckii dari perbanyakan sebanyak 10 ekor<br />
untuk diamati di bawah mikroskop.<br />
Pengamatan imago meliput bentuk, warna, ukuran (panjang dan lebar). Pada pengamatan<br />
bentuk, warna dan ukuran dilakukan dengan cara mengambil imago dari perbanyakan sebanyak 10<br />
ekor untuk diamati di bawah mikroskop.<br />
Pengamatan Daya Tetas Telur<br />
Pengamatan daya tetas telur diamati dengan menghitung jumlah telur yang dihasilkan, dengan<br />
cara mengambil 10 imago betina yang sudah bertelur, kemudian dibalik untuk dihitung jumlah telur<br />
yang dihasilkan setiap imago kemudian direrata. Telur yang dihasilkan kemudian dipelihara sampai<br />
menetas dan dihitung prosentase daya tetas telur dengan rumus:<br />
Telurmenetas<br />
% Telurmenetas <br />
x100%<br />
Teluryangdihasilkan<br />
260│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Biologi Kutu Sisik Lepidosaphes beckii N. (Homoptera: Diaspididae) Hama pada Tanaman Jeruk<br />
Endarto, O dan Priyatmoko, R<br />
Siklus Hidup Lepidosaphes beckii.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Metamorfosis kutu sisik menurut Koteja (1984) adalah heterometabola-paurometabola dan<br />
holometabola, hal ini karena pada kutu sisik betina tidak memiliki stadia pupa sedangkan pada kutu<br />
sisik jantan memiliki stadia pupa. Kutu sisik betina mengalami 2 kali pergantian kulit sebelum<br />
mencapai dewasa, dan kutu sisik jantan 4 kali pergantian kulit, dua instar larva dan imago untuk betina<br />
sedangkan dua instar larva, dua instar pupa (prepupa dan pupa) dan imago untuk jantan (Gambar. 3)<br />
White cap<br />
Instar 2<br />
Prepupa<br />
Crawlers<br />
Instar 1<br />
Betina tidak<br />
memiliki stadia<br />
prepupa dan pupa<br />
Pupa<br />
Tel<br />
ur<br />
Seksual atau<br />
Partenogenesis<br />
Kawin<br />
Imago<br />
Betina<br />
Imago<br />
Jantan<br />
Gambar. 3 Siklus Hidup Lepidosaphes beckii<br />
Hasil pengamatan terhadap lama stadia larva, prepupa, pupa dan imago dapat diketahui bahwa<br />
L. beckii mempunyai siklus hidup rerata 31,2±1.39 hari (Tabel 1), pada suhu rerata 31,90±2,35°C<br />
(Lampiran 1). Periode setiap stadia didapat dari selisih waktu kemunculan antara stadia yang satu<br />
dengan stadia sebelumnya yang ditandai dengan terjadinya moulting, yang bisa dilihat sisa peristiwa<br />
moulting pada perisainya. Hal ini merupakan salah satu yang digunakan untuk mengetahui apakah<br />
serangga ini telah masuk kestadia barikutnya (Koteja,1984). Menurut Watson (2001) pada kondisi<br />
suhu antara 20-27°C siklus hidup L. beckii adalah 20-40 hari dan menurut Koteja (1984) L. beckii<br />
membutuhkan waktu 20-50 hari pada kisaran suhu 13-26°C.<br />
Tabel 1. Rerata Umur Stadia Perkembangan dan Sikus Hidup L. Beckii<br />
Stadia perkembangan N Rerata±SD (hari)<br />
Instar1 - Crawlers 100 1<br />
- White cap 82 7,97±1,35<br />
Instar 2 80 13,75±2,33<br />
Jantan - Prepupa 24 7,85±0,36<br />
- Pupa 21 8,82±0,40<br />
Betina - Imago 58 13,5±2,28<br />
Siklus hidup 58 31,2±1.39<br />
1. Telur<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│261
Studi Biologi Kutu Sisik Lepidosaphes beckii N. (Homoptera: Diaspididae) Hama pada Tanaman Jeruk<br />
Endarto, O dan Priyatmoko, R<br />
Telur L. beckii diletakkan di bawah perisai yang dapat melindungi dari keadaan lingkungan<br />
yang tidak cocok bagi perkembangan. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa telur L. beckii<br />
berbentuk oval memanjang dengan kedua ujungnya tumpul dan berwarna putih transparan (Gambar<br />
4), panjang telur rerata 0,20±0,05 mm dan lebar rerata 0,16±0,04 mm (Tabel 2), telur diletakkan<br />
berbaris-baris di bawah perisai dari mulai ujung yang tumpul sampai ujung yang runcing, rerata telur<br />
yang dihasilkan 78,7±2,67 butir telur. Menurut Watson (1984) L. beckii mampu memproduksi telur<br />
sebanyak 40 sampai 80 butir/ekor.<br />
1 mm<br />
Gambar 4. Telur Lepidosaphes beckii<br />
Dari hasil pengamatan L. beckii mulai menghasilkan telur setelah imago berumur 6 hari dan<br />
telur baru menetas setelah imago berumur 14 hari, biasanya telur akan menetas selama 8 sampai 9<br />
hari setelah diletakkan (Watson, 2001). Dari hasil pengamatan lama stadia telur rerata 8.4±0,84 hari<br />
dengan daya tetas telur sebesar 68,29%. Telur yang tidak menetas diduga karena faktor nutrisi yang<br />
kurang diperoleh dari induknya, karena selama perkembangan embrio nutrisi didapat dari induknya.<br />
Biasanya induk akan segera mati setelah selesai menghasilkan telur karena kehabisan nutrisi<br />
(Koteja,1984), Kebanyakan telur yang tidak menetas berada di bagian paling ujung, di bawah perisai<br />
yang runcing, hal ini karena induk tidak mampu mencukupi nutrisi bagi perkembangan embrio.<br />
2. Larva<br />
Larva L. beckii terdiri atas dua instar, larva instar 1 dan instar 2. (Watson, 2001). Dari hasil<br />
pengamatan diketahui bahwa larva instar 1 terdiri dari dua periode yaitu Moving period dan Moulting<br />
period, menurut pendapat Koteja (1984). larva instar 1 pada famili Diaspididae dalam<br />
perkembangannya mengalami dua periode perkembangan ke stadia berikutnya.<br />
Tabel 2. Rerata Ukuran Panjang dan Lebar L. Beckii<br />
Stadia perkembangan<br />
N<br />
Panjang<br />
Lebar<br />
Rerata±SD (mm)<br />
Rerata±SD (mm)<br />
Telur 10 0,20±0,05 0,1±0,04<br />
Instar 1 - Clowler 10 0,21±0,05 0,12±0,04<br />
- White cap 10 0,64±0,17 0,35±0.01<br />
Instar 2 10 1,17±0.15 0,36±0,01<br />
Jantan - Prepupa 10 1,37±0.18 0,39±0,08<br />
- Pupa 10 1,67±0,2 0,56±0,10<br />
Imago betina 10 2,09±0,21 0,79±0,12<br />
Periode I disebut Moving period atau crawlers, dimana crawlers memperlihatkan kemampuanya<br />
dalam bergerak mejelajahi seluruh bagian inang untuk mendapatkan tempat tinggal dan makan yang<br />
sesuai kemudian menetap. Periode ini adalah periode yang sangat menentukan dalam mobilitas,<br />
penyebaran L. beckii keseluruh bagian tanaman atau dari tanaman satu ketanaman lain.<br />
262│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Biologi Kutu Sisik Lepidosaphes beckii N. (Homoptera: Diaspididae) Hama pada Tanaman Jeruk<br />
Endarto, O dan Priyatmoko, R<br />
Bedasarkan pengamatan crawlers hanya berlangsung 1 hari. Menurut Koteja (1984) bahwa<br />
umur crawlers pada kondisi tidak makan sama sekali dapat bertahan hidup selama 3 hari. Hal ini<br />
disebabkan pada penelitian ini crawlers telah dikondisikan sehingga crawlers tidak diberi kesempatan<br />
yang bebas untuk memilih tampat yang sesuai.<br />
Crawlers berwarna putih kekuningan dan berbentuk oval pipih (Gambar 5), panjang crawlers<br />
rerata 0,21±0,05 mm dan lebar rerata 0.12±0,04 mm (Tabel 2), pada pengamatan terlihat dengan jelas<br />
bahwa pada periode ini crawlers memiliki kaki sebanyak tiga pasang. Menurut Watson (2001)<br />
crawlers memiliki tiga pasang kaki sehingga mampu bergerak untuk memilih tempat tinggal yang<br />
sesuai pada inangnya.<br />
1mm<br />
Gambar 5. Crawlers Lepidosaphes beckii.<br />
Periode II disebut Moulting period atau white cap, yaitu periode dimana setelah crawlers<br />
menentukan tempat yang sesuai untuk tinggal kemudian menetap makan, berkembang dan membuat<br />
perisai (Koteja, 1984). Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa setelah menemukan tempat tinggal<br />
crawlers melakukan moulting berubah menjadi berwarna putih dengan ujung berwarna kecoklatan<br />
yang lama kelamaan akan berubah lagi menjadi kecoklatan, berbentuk seperti koma dengan salahsatu<br />
ujungnya runcing dan ujung lainnya tumpul (Gambar 6).<br />
Mulai dari periode ini dan selanjutnya L. beckii tidak lagi begerak tetapi diam ditempat. Perisai<br />
white cap berukuran panjang rerata 0,64 ± 0,71 mm dan<br />
lebar perisai rerata 0,35 ± 0,11 mm (Tabel 2). Dari hasil pengamatan diketahui periode ini mulai<br />
muncul pada hari ke 2 sampai hari ke 13 setelah peletakan, lama periode ini rerata 7,97 ± 1,35 hari<br />
(Tabel 1).<br />
1mm<br />
Gambar 6. White cap Lepidosaphes beckii.<br />
Dari hasil pengamatan diketahui instar 2 pertama kali muncul pada hari ke 6 dan mencapai<br />
stadia berikutnya pada hari ke-22. Lama stadia ini rerata 13,75 ± 2,33 hari (Tabel 1). Instar 2 pada<br />
awal kemunculannya perisai berwarna coklat muda lama kelamaan warnanya akan berwarna coklat<br />
tua, pada perisai larva instar 2 terdapat satu tanda sisa peristiwa moulting (Gambar 7). ukuran panjang<br />
perisai instar 2 rerata 1,17 ± 0,15 mm dan lebar 0,36 ± 0,08 (Tabel 2).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│263
Studi Biologi Kutu Sisik Lepidosaphes beckii N. (Homoptera: Diaspididae) Hama pada Tanaman Jeruk<br />
Endarto, O dan Priyatmoko, R<br />
3. Prepupa dan Pupa<br />
Stadia prepupa dan pupa hanya terjadi pada L. beckii jantan saja. Perbedaan antara jantan dan<br />
betina bisa diketahui pada stadia ini. Hal ini terlihat dari perbedaan perisai, jantan memiliki perisai<br />
yang lebih ramping dan pendek dari pada betina. Prepupa dan pupa memiliki perbedaan yang terlihat<br />
pada perisainya, dari hasil pengamatan ukuran perisai prepupa lebih pendek dari pada pupa yang<br />
lebihpanjang, perbedaan lainnya adalah pada abdomennya mulai muncul bakal sayap yang berukuran<br />
kecil, pupa memiliki ukuran abdomen yang ramping dan memiliki bakal sayap yang lebih panjang.<br />
Perisai prepupa berwarna coklat sedangkan pada pupa memiliki warna kecoklat-coklatan dengan ujung<br />
yang tumpul berwarna keungguan (Gambar 8 dan 9)<br />
1mm<br />
Gambar 7. Instar 2 Lepidosaphes beckii<br />
Stadia prepupa pertama kali muncul pada hari ke 16 dan mencapai stadia berikutnya pada hari<br />
ke-24 setelah peletakan, lama stadia prepupa rerata 7,85 ± 0,36 hari (Tabel 1). Stadia pupa<br />
berlangsung rerata 8,82 ± 0,40 hari, berdasarkan pengamatan stadia pupa pertama kali muncul pada<br />
hari ke 22 dan mencapai stadia berikutnya pada hari ke-28 setelah peletakan. Panjang perisai prepupa<br />
rerata 1,37 ± 0,18 mm dan lebar 0,39±0,08 mm, sedangkan panjang perisai pupa rerata1,67 ± 0,2 mm<br />
dan lebar 0,56 ± 0,10 mm (Tabel 2).<br />
4. Imago<br />
Imago betina mengalami 2 kali pergantian kulit, yaitu pada saat larva dan larva berubah menjadi<br />
imago (Koteja,1984), perisai imago betina berwarna coklat muda (Gambar 8). Bentuk perisai imago<br />
betina memanjang dan melebar pada moulting ketiga berwarna kecoklatan, imago betina tidak<br />
memiliki tungkai, tidak bersayap dan imago betina memiliki alat mulut stilet yang ditusukkan pada<br />
jaringan tanaman (Borror,1996).<br />
1mm<br />
Gambar 8. Prepupa L epidosaphesbeckii.<br />
264│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Biologi Kutu Sisik Lepidosaphes beckii N. (Homoptera: Diaspididae) Hama pada Tanaman Jeruk<br />
Endarto, O dan Priyatmoko, R<br />
1mm<br />
Gambar 9. Pupa Lepidosaphes beckii.<br />
Berdasarkan pengamatan imago betina mulai muncul pada hari ke 16 dan mulai menghasilkan<br />
clowler pada hari ke 33 setelah peletakan, lama stadia imago betina rerata 13,5±2,28 hari. Panjang<br />
perisai betina dewasa rerata 2,09±0,21 mm dan lebar rerata 0,79±0,12 mm. Ukuran imago jantan lebih<br />
kecil dibanding imago betina, imago betina tetap berada di dalam perisai sampai mati berbeda dengan<br />
Imago jantan, imago jantan akan keluar dari perisai dan dapat bergerak bebas karena memiliki sayap<br />
(Gambar 11), umur imago jantan lebih pendek daripada imago betina yaitu antara 1-3 hari. Menurut<br />
Watson (2001), umur imago jantan memang pendek hal ini disebabkan imago jantan tidak memiliki<br />
alat mulut dan mampu bertahan selama 3 hari setelah keluar dari perisai.<br />
1mm<br />
Gambar 10. Imago Betina Lepidosaphes beckii.<br />
Dari hasil pengamatan stadia pupa, tidak satupun yang berubah menjadi imago jantan, menurut<br />
Koteja (1984) perkembangan kutu sisik dipengaruhi oleh kondisi tanaman inang dan lingkungan, daun<br />
dan batang yang kekeringan karena kekurangan air atau mineral sangat mempengaruhi perkembangn<br />
pupa menjadi imago.<br />
1mm<br />
Gambar 11. Imago Jantan Lepidosaphes Beckii<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│265
Studi Biologi Kutu Sisik Lepidosaphes beckii N. (Homoptera: Diaspididae) Hama pada Tanaman Jeruk<br />
Endarto, O dan Priyatmoko, R<br />
Pembahasan<br />
Dari hasil pengamatan diketahui jantan yang dihasilkan 24 dan betina yang dihasilkan 58 (Tabel<br />
1) perbedaan jantan dan betina mulai terlihat setelah stadia instar 2, dari hasil tersebut dapat diketahui<br />
perbandingan jenis kelamin yang dihasilkan antara jantan dan betina ialah 1:3, menurut Watson (2001)<br />
Apabila imago betina kawin dengan imago jantan perbandingan jenis kelamin antara jantan dan betina<br />
1:1 bahkan jumlah jantan bisa lebih banyak dari pada betinanya dan apabila imago betina<br />
berreproduksi secara parthenogenetik maka keturunan yang berjenis kelamin betina lebih banyak dari<br />
pada jantan dengan perbandingan 1:3, hal ini yang membedakan antara betina kawin dengan betina<br />
yang tidak kawin.<br />
Tingkat kematian dari masing-masing stadia berbeda-beda, tingkat kematian diperoleh dari<br />
persentase selisih jumlah stadia sebelumnya. Pada instar 1 tidak semua crawlers berubah menjadi<br />
white cap tingkat kematian mencapai 18%. Menurut Koteja (1984) pada periode crawlers maupun<br />
whaite cap memang sangat rentang terjadi kematian hal ini dikarena perisai sebagai pelindung belum<br />
terbentuk, terlebih pada periode crawlers. Tingkat kematian pada periode crawlers sangat bisa<br />
terpengaruh oleh faktor luar misalnya manusia atau hewan, lingkungan dan ketidak cocokan terhadap<br />
inang. Kematian tertinggi juga terjadi pada stadia pupa dari 21 pupa tidak satupun yang berubah<br />
menjadi imago, menurut Koteja (1984) perkembangan kutu sisik dipengaruhi oleh kondisi tanaman<br />
inang dan lingkungan, daun dan batang yang kekeringan karena kekurangan air atau mineral sangat<br />
mempengaruhi perkembangn pupa menjadi imago.<br />
jantan<br />
Betina<br />
Gambar 12. Perisai Jantan dan Perisai Betina Lepidosaphes beckii<br />
Blank at al. (2000) melaporkan bahwa kemampuan bertahan hidup kutu sisik dipengaruhi juga<br />
oleh suhu tempat kutu sisik tinggal, pada suhu di bawah 12°C kemampuan bertahan hidup 0%, dan<br />
pada suhu 24 kemampuan bertahan hidup mencapai 45%. Pada penelitian ini suhu rerata<br />
31,90±2,35°C dan tingkat kelembaban 44,57± 3,57% (Lampiran 1) kemampuan bertahan hidup<br />
L.beckii mencapai 58% hal ini membuktikan L. beckii mempunyai kemampuan bertahan hidup tinggi<br />
dilihat dari pengaruh suhu dan kelembaban. Di Florida kutu sisik dalam satu tahunnya mempu<br />
menghasilkan 3-6 generasi, di New Zealand kutu sisik dalam satu tahunnya mampu menghasilkan 6<br />
generasi pertahunnya (Watson, 2001). Dari hasil penelitian apabila dengan kondisi lingkungan yang<br />
sesuai di Indonesia bisa lebih dari 6 generasi pertahunnya.<br />
KESIMPULAN<br />
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan:<br />
1. Lepidosaphes beckii mempunyai siklus hidup rerata 31,2 ± 1,39 hari pada suhu 26-35°C.<br />
2. Telur L. beckii, berbentuk oval dengan kedua ujungnya tumpul dan berwarna putih ukuran telur<br />
panjang rerata 0,20 ± 0,05 mm dan lebar rerata 0,16 ±0,04 mm, crawlers berwarna putih<br />
kekuningan dan berbentuk oval pipih, panjang rerata 0,21±0,05 mm dan lebar rerata 0,12 ± 0,04<br />
mm. White cap berwarna putih dengan ujung yang runcing berwarna coklat perisai white cap<br />
berukuran panjang rerata 0,64 ± 0,71 mm dan lebar rerata 0,35 ± 0,11 mm. Instar 2 perisai<br />
berwarna coklat muda lama kelamaan warnanya akan berwarna coklat tua, panjang perisai1,17 ±<br />
266│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Biologi Kutu Sisik Lepidosaphes beckii N. (Homoptera: Diaspididae) Hama pada Tanaman Jeruk<br />
Endarto, O dan Priyatmoko, R<br />
0,15 mm dan lebar 0,36 ± 0,08 mm. Prepupa berwarna coklat panjang perisai 1,37 ± 0,18 mm dan<br />
lebar 0,39 ± 0,08 mm. Pupa berwarna coklat dengan ujung yang tumpul berwarna ungu, panjang<br />
perisai 1,67 ± 0,18 mm dan lebar 0,56 ± 0,10 mm, Imago betina berwarna coklat, panjang perisai<br />
rerata 2,09 ± 0,21 mm dan lebar rerata 0,79 ± 0,12 mm<br />
3. Stadia telur rerata 8,4 ± 0,84 hari dengan daya tetas telur sebesar 68,29% rerata telur yang di<br />
hasilkan 78,7 ± 2,67 butir telur.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. Balai Teknologi <strong>Pertanian</strong>, 2003, Hama kutu sisik pada tanaman jeruk Lepidosaphes beckii N.<br />
dan Uniapsis citri, Diakses pada tanggal 7 September 2005, < http://www.btpsumbar.go.id/Tp_OPT/peny-hama-kutu-sisik>.<br />
2. Bina Pengembangan <strong>Pertanian</strong>, 2005, Rumusan pertemuan singkronisasi pelaksanaan<br />
pengembangan hortikultura, Diakses pada tanggal 10 Febuari 2006,<br />
.<br />
3. Blank, RHG, Gill, SC & Kelly, JM 2000, Development and mortality of greedy scale<br />
(Homoptera: Diaspididae) at constant temperatures, Population ecology. The Horticulture and<br />
Food Research Institute of New Zealand, Diakses tanggal 10 Febuari 2006,<br />
<br />
4. Borror, DJA, Triplehorn, & Johnson, NF 1996, Pengenalan pelajaran serangga, Gadjah Mada<br />
University Press, Yogyakarta.<br />
5. <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong> 1999, Kutu sisik/kutu perisai Lepidosaphes beckii N, Diakses pada tanggal<br />
7 September 2005, .<br />
6. Futch, SH, McCoy, CW & Childers, CC 2001, A guide to scale insect identification, Extension<br />
Institute of Food and Agricultural Sciencies University of Florida, Diakses tanggal 10 Febuari<br />
2006, .<br />
7. Hartono 1991, Pengendalian hama kedelai dengan isektisida dan masalahnya, dalam Risalah<br />
Lokakarya di Balittas - Malang 8-10 Agustus 1991, BPTP, Malang.<br />
8. Kalshoven, LGE 1981, The pests of crops in Indonesia, Revised and translate by P.A. Van der<br />
Laan. Ichtirar Baru – Van Hoeve, Jakarta.<br />
9. Koteja, J. 1984. The Scale Insects (Homoptera, Diaspidae) are unusual, in; Z. Kaszad (Editor).<br />
Hungarian Academy of sciences. hal 233-265<br />
10. Ohlendorf, B. 2001. Scale Integrated Pest Management for Home Gardeners and Landscap<br />
Professionals. Pest Notes University of California Ariculture and Natural Resources.<br />
http://www.ipm.ucdavis.edu. Diakses tanggal 28 Maret 2006<br />
11. Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada<br />
University Press. Yogyakarta. hal 112 -114<br />
12. Triwiratno, A., D.A. Susanto dan P. Nainggola. 2003. Identifikasi Penyebab Penyakit Jamur<br />
Merah di pertanaman Jeruk Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara. Sirkular Loka Penelitian<br />
Tanaman Jeruk dan <strong>Hortikultura</strong> Subtropik. Tlekung. Batu.<br />
13. Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press.<br />
Yogyakarta.<br />
14. Watson, G. W. 2001.Diaspididae/ Lepidosaphes beckii N. Antropods of Economic Importance.<br />
Natural history Museum. London Available (online): http://www.aie.usm.edu. Diakses tanggal 29<br />
Desenber 2005.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│267
Ketahanan Kutu Putih Dysmicoccus neobrevipes (Breadsley) (Hemiptera: Pseudococcidae) terhadap Iradiasi Gamma<br />
Indarwatmi, M, Nasution, IA, Kuswadi, AN, dan Sasmita, HI<br />
Ketahanan Kutu Putih Dysmicoccus neobrevipes (Breadsley)<br />
(Hemiptera: Pseudococcidae) terhadap Iradiasi Gamma<br />
Indarwatmi, M, Nasution, IA, Kuswadi, AN, dan Sasmita, HI<br />
Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN Jl. Lebak Bulus Raya No. 49 Pasar Jumat Jakarta 12440<br />
ABSTRAK. Indonesia memiliki berbagai macam buah yang rasanya unik dan menjadi andalan ekspor, salah<br />
satunya manggis. Buah manggis terserang berbagai hama diantaranya adalah kutu putih. Hama ini terbawa<br />
sampai ke pascapanen sehingga menjadi penghambat ekspor. Perdagangan internasional telah memberlakukan<br />
Internatinal Standard for Phytosanitary Measures (ISPM No.1, tahun 2006) yang secara ketat mempersyaratkan<br />
agar komoditas yang akan diekspor terbebas dari hama. Oleh karena itu mutlak diperlukan perlakuan fitosanitari<br />
terhadap hama karantina. Salah satu perlakuan fitosanitari yang aman, adalah iradiasi gamma. ISPM No. 18<br />
(2003) sudah merekomendasikan penggunaan iradiasi gamma untuk perlakuan fitosanitari. Dalam penelitian ini<br />
telah dipelajari ketahanan kutu putih D. neobrevipes terhadap iradiasi gamma untuk perlakuan fitosanitari buah<br />
manggis. Hama D. neobrevipes diperbanyak pada kaboca dan koloni laboratoriumnya digunakan untuk<br />
penelitian perlakuan fitosanitari. Iradiasi dilakukan dengan beberapa dosis, untuk mengetahui ketahanan kutu<br />
putih terhadap iradiasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iradiasi gamma dosis 400 Gy terhadap kutu putih<br />
dewasa dapat menyebabkan kematian 44 persen pada 21 hari setelah perlakuan. Walaupun kutu putih dewasa<br />
masih dapat terbentuk, tetapi menjadi steril (mandul), kecuali pada dosis 100 Gy. Uji dengan dosis yang lebih<br />
rendah yaitu 0 (kontrol), 50, 75, 100 dan 125 Gy, menunjukkan bahwa dosis 125 Gy sudah mampu mencegah<br />
perkembangbiakan kutu putih.<br />
Katakunci: Iradiasi gamma; Kutu putih; Manggis; Perlakuan fitosanitari<br />
tastes, and ABSTRACT. Indarwatmi, Nasution, IA, Kuswadi, AN, dan Sasmita, HI 2013. Resistance of<br />
White Mite Dysmicoccus neobrevipes (Breadsley) (Hemiptera: Pseudococcidae) to Gamma Irradiation.<br />
Indonesia has a lot of fruit that unique in become the leading exports of fruits, one of them is mangosteen.<br />
Mangosteen fruit attacked by various pests include mealybugs. The pest is carried through to post-harvest, so is<br />
the hamper exports. International trade has been imposed Internatinal Standard for Phytosanitary Measures<br />
(ISPM 18, 2006) that strictly require in order to export a commodity to be free from the pests that infect other<br />
countries. It is therefore absolutely necessary phytosanitary treatment against quarantine pests. One of the safe<br />
phytosanitary treatment is the Gamma irradiation. ISPM No. 18 2006 has recommended the use of gamma<br />
irradiation for phytosanitary treatment. In this study have been studied resistance of D. neobrevipes against<br />
Gamma irradiation for phytosanitary treatment of the mangosteen fruit. D. Neobrevipes reared in kaboca and the<br />
laboratory colonies used for phytosanitary treatment research. Irradiation is performed with multiple doses, to<br />
determine the resistance to irradiation of mealybug. Results showed that gamma irradiation dose of 400 Gy<br />
against adult mealybug can cause 44 percent mortality at 21 days after treatment. Although white adult fleas can<br />
still perform, but become sterile, except at a dose of 100 Gy. Test with a lower dose ie 0 (control), 50, 75, 100<br />
and 125 Gy, 125 Gy showed that the dose has been able to prevent the reproduction of mealybug.<br />
Keywords: Gamma irradiation; Mealybug; Mangosteen; Phytosanitary treatment<br />
Indonesia memiliki berbagai macam buah yang rasanya unik dan disukai konsumen<br />
mancanegara serta menjadi andalan ekspor. Studi menunjukkan bahwa bahwa buah mangga,<br />
belimbing, papaya, nenas, rambutan dan manggis mempunyai peluang pangsa pasar yang besar di<br />
negara-negara seperti Amerika Serikat, Arab saudi, Malaysia, Cina, dan Korea. Buah-buahan<br />
memberikan kontribusi sebesar 51,30 % dari total kontribusi tanaman hortikultura, terhadap produk<br />
domestik brutto (PDB) (Anonim, 2007). Salah satu primadona ekspor buah-buahan Indonesia ialah<br />
manggis. Buah ini dijuluki “Queen of the tropical fruit” karena penampilan dan rasa manis asam yang<br />
unik sehingga sangat disukai konsumen di dalam dan luar negeri.<br />
Namun, buah-buahan yang diekspor ke luar negeri harus memenuhi protokol ekspor, yang salah<br />
satunya ialah bebas hama karantina. Hama kutu putih merupakan salah satu hama karantina pada buah<br />
manggis. Hama ini hidup tersembunyi di balik kelopak buah manggis sehingga sulit dibersihkan.<br />
Akibatnya hama ini mudah terbawa dan berkembang hingga pasca panen, sehingga menjadi hama<br />
karantina yang sangat diwaspadai, dan menghambat ekspor.<br />
268│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Ketahanan Kutu Putih Dysmicoccus neobrevipes (Breadsley) (Hemiptera: Pseudococcidae) terhadap Iradiasi Gamma<br />
Indarwatmi, M, Nasution, IA, Kuswadi, AN, dan Sasmita, HI<br />
Kutu putih D. neobrevipes dikenal dengan nama gray pineapple mealybug. Beberapa tanaman<br />
yang menjadi inang D. neobrevipes ialah Acacia farnesiana, Achras zapota, Agave sisalana, Annona<br />
reticulate, Barringtonia speciosa, Cresentia megacantha, Garcinia mangostana, Musa paradisiacal<br />
sapientum, Opuntia megacantha, Pipturus argentea, Piscidia piscipula, Samanea saman, Theobroma<br />
cacao, kelapa, kopi, apel, dan nanas. Tidak ada yang melaporkan jenis kutu putih tersebut ditemukan<br />
pada famili rumput-rumputan (Poaceae) (Breadsley 1964). D. neobrevipes termasuk ke dalam tipe<br />
ovovivipar, jenis tersebut tidak bertelur. D. neobrevipes mengalami empat kali fase perkembangan,<br />
yaitu terjadi tiga kali pergantian kulit sebelum menjadi dewasa, sehingga fase perkembangannya<br />
dibagi menjadi nimfa instar 1, nimfa instar 2, nimfa instar 3 dan serangga dewasa. Serangga dewasa<br />
mempunyai warna dominan abu-abu, tapi pada kenyataannya, tubuh serangga tersebut berwarna<br />
cokelat sampai oranye keabu-abuan. Warna abu-abu yang terlihat, merupakan hasil kombinasi dengan<br />
lapisan lilin yang menutupinya. Tubuh serangga dewasa berbentuk oval dan mempunyai ukuran<br />
panjang 1,49 mm dan lebar 1,02 mm. Antena terdiri dari sepuluh segmen. Punggung dilapisi dengan<br />
lapisan lilin putih. Filamen pendek terlihat pada lapisan lilin disekitar tepi seluruh tubuh (Mau &<br />
Kessing 1992). Siklus hidup kutu putih berkisar antara 1-4 bulan tergantung dari spesies kutu putih,<br />
faktor lingkungan dan kecocokan inang sebagai sumber makanan (Hashimoto 2001).<br />
Dalam perdagangan internasional telah diberlakukan Internatinal Standard for Phytosanitary<br />
Measures (ISPM No.1, tahun 2006) yang secara ketat mempersyaratkan agar komoditas yang akan<br />
diekspor terbebas dari hama yang dapat menulari negara lain. Oleh karena itu negara pengimport akan<br />
meminta negara pengekspor untuk melakukan perlakuan fitosanitari (phytosanitary treatment)<br />
terhadap hama karantina yang dianggap membahayakan. Tanpa perlakuan fitosanitari yang tepat, buah<br />
buah tersebut tidak bisa diterima oleh negara pengimpor (Burditt 1994). Perlakuan fitosanitari yang<br />
umum dilakukan ialah menggunakan teknik fumigasi dengan fumigan metil bromida, atau etilin<br />
dibromida. Keduanya berbahaya karena masing-masing dapat merusak lapisan ozon dan bersifat<br />
karsinogenik, sehingga akan segera dilarang penggunaanya.<br />
Salah satu perlakuan fitosanitari ialah perlakuan dengan iradiasi gamma. Menurut Hallman<br />
(2010) keunggulan iradiasi di antaranya: (a) tidak meninggalkan residu yang berbahaya bagi<br />
konsumen, (b) daya tembus iradiasi gamma tinggi tinggi sehingga efektif walaupun terhadap hama<br />
yang tersembunyi di dalam daging (c) praktis karena perlakuan dapat dilakukan terhadap komoditas<br />
yang telah berada di dalam kemasan, dan karena itu juga (d) terhindar dari kemungkinan terjadinya<br />
reinfestasi hama setelah perlakuan. The International Plant Protection Commition (IPPC), telah<br />
mengijinkan penggunaan iradiasi pengion untuk perlakuan fitosanitari untuk komoditas ekspor (ISPM<br />
No. 18 2006). Berbagai negara juga telah menggunakan iradiasi terhadap buah yang akan diekspor,<br />
misalnya India terhadap mangga yang diekspor ke Amerika Serikat, Thailand terhadap mangga,<br />
manggis, dan rambutan yang diekspor ke Amerika Serikat, dan Vietnam terhadap buah naga yang<br />
diekspor ke Amerika Serikat dan Australia (Dick et al. 2005).<br />
Kajian mengenai perlakuan iradiasi terhadap kutu putih masih sangat terbatas. Teknik iradiasi<br />
akan digunakan untuk mendesinfestasi hama kutu putih. Untuk itu perlu diteliti perlakuan iradiasi<br />
Gamma terhadap kutu putih. Tujuan penelitian ialah untuk mempelajari ketahanan kutu putih dewasa<br />
terhadap iradiasi Gamma. Hasil penelitian awal ini diharapkan dapat merintis penelitian fitosanitari<br />
dengan iradiasi terhadap kutu putih manggis.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitosanitari, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi,<br />
PATIR BATAN, Pasar Jumat, Jakarta pada bulan September hingga November 2011. Hama kutu<br />
putih yang digunakan sebagai bahan penelitian ialah D. Neobravipes, dikoleksi dari kebun manggis<br />
yang terdapat di Kabupaten Subang, Jawa Barat. D. neobravipes di pelihara dalam laboratorium<br />
dengan menggunakan inang alternatif, yaitu labu Kaboca (Cucurbita maxima).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│269
Ketahanan Kutu Putih Dysmicoccus neobrevipes (Breadsley) (Hemiptera: Pseudococcidae) terhadap Iradiasi Gamma<br />
Indarwatmi, M, Nasution, IA, Kuswadi, AN, dan Sasmita, HI<br />
Pembuatan Koloni dan Perbanyakan Hama Kutu Putih D. neobravipes<br />
Buah manggis yang mengandung kutu putih diletakkan dengan posisi bersentuhan dengan labu<br />
kaboca. Biarkan nimfa kutu putih berpindah dengan sendirinya dari inang alami ke inang alternatif.<br />
Setelah kutu putih berpindah, inang alami dibuang. Pengamatan keberadaan nimfa kutu putih<br />
dilakukan pada labu kaboca sebagai inang alternatif sampai terlihat adanya embun madu.<br />
Perbanyakan kutu putih dilakukan di laboratorium yang memiliki suhu ruang sekitar 25 ± 2 o C dan<br />
kelembaban 70 ± 10%. Koloni diperbanyak terus untuk percobaan selanjutnya.<br />
Penyiapan Koloni Hama Kutu Putih D. neobravipes untuk Iradiasi<br />
Labu kaboca disiapkan masing-masing 4 buah untuk perlakuan dan 1 untuk kontrol. Pada tiap<br />
labu kaboca diletakkan tiga ekor kutu putih dewasa sebagai induk yang diambil dari koloni<br />
pemeliharaan. Setelah bertelur, kutu putih induk diambil, kemudian dikembalikan ke dalam koloni<br />
pemeliharaan. Setelah nimfa berkembang menjadi dewasa, dihitung jumlah kutu putih sebanyak<br />
seratus ekor. Sisanya dibuang/dimatikan.<br />
Iradiasi Kutu Putih D. neobravipes Dewasa dengan Sinar Gamma<br />
Perlakuan iradiasi gamma terhadap kutu putih D. neobravipes dewasa menggunakan sumber<br />
radiasi 60 Cobalt di iradiator Gamma Chamber 4000-A. Kutu putih diradiasi dengan dosis 0(kontrol),<br />
100 Gy, 200 Gy, 300 Gy, dan 400 Gy. Sesudah diradiasi, Kaboca diletakkan dalam wadah plastik,<br />
satu wadah satu kaboca dan dipelihara dalam rak pemeliharaan. Setelah diketahui bahwa dosis<br />
iradiasi 200-400 Gy kutu putih tidak menghasilkan telur, dilakukan iradiasi dengan dosis lebih rendah<br />
yaitu 0 (kontrol), 75, 100, dan 125 Gy.<br />
A<br />
B<br />
Gambar 1.A. Kutu putih D. neobravipes pada selongsong instrument iradiator Gamma Chamber<br />
4000-A.<br />
Pengambilan data dilakukan dengan mencatat respons serangga terhadap perlakuan iradiasi. Respons<br />
yang diamati adalah jumlah kematian dan kemandulan yang timbul pada kutu putih dewasa. Kutu<br />
putih yang mati akan terlihat jatuh setelah disentuh dengan kuas pada alas kain hitam yang diletakkan<br />
dibawah labu. Kutu putih yang hidup diamati sterilitasnya.<br />
Rancangan penelitian ini adalah eksperimental laboratorium dengan perlakuan berupa iradiasi<br />
Gamma terhadap kutu putih D. neobravipes dewasa (imago). Penelitian ini disusun menggunakan<br />
Rancangan Acak Langkap (RAL) dengan perlakuan tingkat iradiasi sinar gamma. Setiap dosis<br />
menggunakan empat kali ulangan disertai dengan kontrol. Data yang diperoleh dianalisis secara<br />
deskriptif untuk melihat ada tidaknya keturunan yang muncul. Data jumlah kematian ditabulasi<br />
dengan mengunakan software microsoft excell dan dianalisis menggunakan Statistical Analysis System<br />
(SAS) 9.1.3 portable untuk mendapatkan analisis sidik ragam. Uji lanjutan dilakukan dengan uji<br />
Selang Ganda Duncan.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Serangga uji iradiasi ialah kutu putih dewasa praoviposisi, karena secara fisiologis patut diduga<br />
bahwa makin lanjut fase hidup serangga makin tahan terhadap perlakuan iradiasi gamma. Dugaan<br />
270│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Ketahanan Kutu Putih Dysmicoccus neobrevipes (Breadsley) (Hemiptera: Pseudococcidae) terhadap Iradiasi Gamma<br />
Indarwatmi, M, Nasution, IA, Kuswadi, AN, dan Sasmita, HI<br />
tersebut didasari oleh fakta bahwa individu nimfa instar 1 dan 2 belum memiliki stilet yang kuat untuk<br />
dapat memeroleh nutrisi secara optimal, ditandai dengan perilaku yang terus bergerak guna mencari<br />
bagian inang yang paling mudah untuk ditembus (Yuanita 2006). Belum optimalnya nutrisi yang<br />
diperoleh kutu putih nimfa instar 1 dan 2 membuat tubuhnya rentan akan gangguan. Berbeda dengan<br />
kutu putih fase dewasa, morfologi tubuh yang gemuk memperlihatkan bahwa kutu putih telah<br />
beradaptasi dan memeroleh nutrisi yang optimal.<br />
Hasil uji ketahanan kutu putih terhadap iradiasi tercantum dalam Tabel 1. Analisis sidik ragam<br />
dilanjutkan dengan uji Selang Ganda Duncan terhadap mortalitas kutu putih semua dosis perlakuan<br />
delapan belas hari pascairadiasi yaitu 100, 200, 300, dan 400 Gy berbeda nyata dengan kontrol, tetapi<br />
tidak berbeda nyata antar dosis perlakuan. Sampai dengan perlakuan dosis tertinggi yaitu 400 Gy, kutu<br />
putih masih cukup tahan. Hal ini terlihat bahwa jumlah mortalitas tidak mencapai 100%, tetapi hanya<br />
44.00%. Dosis 0-400 Gy yang digunakan didasarkan pada protokol riset dalam International Standard<br />
for Phytosanitary measure (ISPM No. 18 2006) yang menyebutkan bahwa dosis generik untuk semua<br />
serangga adalah 400 Gy.<br />
Tabel 1. Jumlah kutu putih D. neobravipes dewasa yang mati pascairadiasi sinar gamma<br />
Dosis (dosage), Gy Rerata mortalitas (Means of mortality )<br />
0 16,000b<br />
100 46,750a<br />
200 53,250a<br />
300 34,750a<br />
400 44,000a<br />
Kutu putih dewasa yang masih bertahan hidup setelah mendapat perlakuan iradiasi dosis 100,<br />
200, 300, dan 400 Gy, diamati lebih lanjut. Kutu putih dewasa yang diradiasi adalah kutu putih<br />
praoviposisi, sehingga patut diwaspadai karena potensinya untuk segera menghasilkan keturunan lebih<br />
besar daripada stadia nimfa. Oleh karena itu, pengamatan dilanjutkan dengan mengamati kemandulan<br />
kutu putih pascairadiasi terhadap kutu putih yang masih bertahan hidup. Hasil pengamatan tercantum<br />
dalam Tabel 2 yang menunjukkan ada tidaknya nimfa instar 1 dari dua puluh kutu putih dewasa<br />
pascairadiasi. Semua kutu putih hasil iradiasi dosis 200, 300, dan 400 Gy tidak dapat menghasilkan<br />
keturunan sama sekali (sterile). Satu ekor kutu putih yang diradiasi dengan dosis 100 Gy<br />
menghasilkan keturunan 1 ekor nimfa instar 1. Hal ini sejalan dengan adanya pembentukan lapisan<br />
lilin pada kutu putih. Kontrol dan perlakuan 100 Gy membentuk lapisan lilin, sedangkan perlakuan di<br />
atas 100 Gy tidak. Yuanita (2006) menyatakan bahwa kutu putih dewasa yang menghasilkan<br />
keturunan ditandai dengan keluarnya lapisan lilin yang banyak dari tubuh bagian ventral.<br />
Selain tingkat kematian hama, International Plant Protection Comission (IPPC) dalam<br />
International Standard for Phytosanitary Measure (ISPM No. 18 2003) juga memasukkan kategori<br />
sterilitas (ketidakmampuan berkembangbiak) untuk mencegah tersebarnya hama penyakit tanaman.<br />
Jika dosis letal yang dicapai terlalu tinggi dan diduga dapat mermpengaruhi kualitas komoditas yang<br />
diradiasi, dapat digunakan dosis mandul (sterile). Oleh karena itu, pengamatan pada uji ketahanan<br />
kutu putih D. neobravipes dewasa dilanjutkan dengan kisaran dosis 100 Gy untuk mencari dosis<br />
mandul. Dosis percobaan selanjutnya adalah 0, 50, 75, 100, dan 125 Gy.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│271
Ketahanan Kutu Putih Dysmicoccus neobrevipes (Breadsley) (Hemiptera: Pseudococcidae) terhadap Iradiasi Gamma<br />
Indarwatmi, M, Nasution, IA, Kuswadi, AN, dan Sasmita, HI<br />
Tabel 2. Jumlah kutu putih D. neobravipes dewasa yang bertahan hidup pascairadiasi Gamma,<br />
pembentukan lapisan lilin, dan nimfa.<br />
+ = ada (present)<br />
- = tidak ada (none)<br />
Perlakuan<br />
(Treatment)<br />
(Gy)<br />
Kontrol<br />
(Control)<br />
Jumlah bertahan<br />
hidup (Numbers of<br />
survivor)<br />
Pembentukan<br />
lapisan lilin (Wax<br />
layer formation)<br />
Nimfa(nympha)<br />
95 + +<br />
95 + +<br />
70 + +<br />
76 + +<br />
100 65 + -<br />
50 + -<br />
50 + +<br />
48 + -<br />
200 40 - -<br />
51 - -<br />
50 - -<br />
46 - -<br />
300 73 - -<br />
48 - -<br />
80 - -<br />
60 - -<br />
400 46 - -<br />
49 - -<br />
73 - -<br />
Busuk (Decay) - -<br />
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dosis 50, 75, dan 100 Gy masih menghasilkan<br />
keturunan, sedangkan dosis 125 Gy tidak menghasilkan keturunan sama sekali (Gambar 2). Terlihat<br />
pula, bahwa semakin tinggi dosis semakin tinggi sterilitasnya. Lama pengamatan hanya mencapai dua<br />
puluh satu hari dikarenakan kutu putih sudah mengalami kematian. Hal tersebut berbeda dengan hasil<br />
penelitian Mau & Kessing (1992) yang menyatakan bahwa lama fase melahirkan adalah 48-72 hari<br />
pada tanaman nanas. Jumlah nimfa instar 1 yang didapat dari dua puluh individu yang bertahan hidup<br />
pascaradiasi tercantum pada Gambar 2. Secara berturut-turut, rata-rata jumlah nimfa instar 1<br />
pascairadiasi kutu putih D. neobravipes dewasa dengan dosis 0 Gy, 50 Gy, 75 Gy, 100 Gy, adalah<br />
712.425; 178.333; 62,25; 10,105; 0. Analisis sidik ragam terhadap data munculnya nimfa instar 1<br />
menunjukkan bahwa, paling tidak ada satu perlakuan yang berbedanya nyata. Setelah dilanjutkan<br />
menggunakan uji Selang Ganda Duncan, kutu putih kontrol yang tidak mendapat perlakuan berbeda<br />
nyata dengan semua kutu putih yang diberi perlakuan. Kutu putih yang diberi perlakuan iradiasi<br />
Gamma dosis 50 Gy tidak berbeda nyata dengan dosis 75 Gy tapi berbeda nyata dengan dosis 100 Gy<br />
dan 125 Gy, sedangkan kutu putih yang diberi perlakuan iradiasi gamma dosis 75 Gy tidak berbeda<br />
nyata dengan dosis 100 Gy dan 125 Gy.<br />
Menurut IAEA (2002), dosis serap minimum yang memberikan respons mandul terhadap<br />
serangga berbeda-beda. Kutu Aphid (Homoptera) memperlihatkan respons mandul terhadap kisaran<br />
dosis 50-100 Gy. Sedangkan serangga penggerek biji (Bruchidae) dan kumbang scarab (Scarabidae)<br />
menunjukkan respon mandul pada kisaran dosis 70-300 Gy dan 50-150 Gy.<br />
272│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Ketahanan Kutu Putih Dysmicoccus neobrevipes (Breadsley) (Hemiptera: Pseudococcidae) terhadap Iradiasi Gamma<br />
Indarwatmi, M, Nasution, IA, Kuswadi, AN, dan Sasmita, HI<br />
a<br />
b<br />
bc<br />
c<br />
c<br />
Gambar 2. Jumlah nimfa instar 1 dari dua puluh kutu putih D. neobrevipes dewasa pascaradiasi<br />
KESIMPULAN<br />
Kutu putih D. neobravipes cukup tahan terhadap iradiasi Gamma. Iradiasi Gamma dosis 400<br />
Gy, menimbulkan kematian 44,00%. Iradiasi gamma dengan dosis minimum 125 Gy mengakibatkan<br />
mandul dan mampu mencegah kutu putih berkembangbiak.<br />
PUSTAKA<br />
1. Anonim 2007, Profil Manggis di Indonesia, Direktorat Budidaya Tanaman Buah, Direktorat<br />
Jendral <strong>Hortikultura</strong>, <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong>, hlm. 3-27<br />
2. Breadsley, JW 1965. Notes on the piniapple mealybug complex, with descriptions of two new<br />
spesies (Homoptera: Pseudococcidae), Proceedings of the Hawaian Entomology Society, Hawaii,<br />
hlm. 55-68.<br />
3. Burditt Jr., A K 1994, Irradiation’ In: Sharp, JL & Hallman, GJ, Quarantine Treatments for<br />
Pests of Food Plants, Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd. New Delhi. Bombay. Calcuta.<br />
Hal.101-117.<br />
4. Dyck, V.A., J. Hendrichs, and A.S. Robinson (eds) 2005. Sterile Insect Technique Principle and<br />
Practice in Area-Wide Integrated Pest Management. Springer, Dordrecht, The Netherlands.<br />
5. Guy J. Hallman, Nichole M.L, Larry Z, and Ian C.W., 2010. Factors Affecting Ionizing Radiation<br />
Phytosanitary Treatments, and Implications for Research and Generic Treatments. Journal of<br />
Economic Entomology, 103(6): 1950-1963<br />
6. Hashimoto, 2001. Cooperatif extention Service Insect Pest. College of tropical Agriculture and<br />
Human resources (CTHAHR). Http://www2.cthar. Hawai.edu. 23 June 2011<br />
7. IAEA 2002, International Database on Insect Disinfestation and Sterilization dirilis pada tahun<br />
2010, diakses tanggal 30 Juni 2012, www.ididas.iaea.org<br />
8. International Standard for Phytosanitary Measures (ISPM) No. 1. Guidelines for the Use of<br />
Irradiation as A Phytosanitary Measure 2006. Produce by Secretariat of the International Plant<br />
Protection Convention. Food and Agriculture of the United Nations. Rome.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│273
Ketahanan Kutu Putih Dysmicoccus neobrevipes (Breadsley) (Hemiptera: Pseudococcidae) terhadap Iradiasi Gamma<br />
Indarwatmi, M, Nasution, IA, Kuswadi, AN, dan Sasmita, HI<br />
9. International Standard for Phytosanitary Measures (ISPM) No. 18. Guidelines for the Use of<br />
Irradiation as A Phytosanitary Measure 2006. Produce by Secretariat of the International Plant<br />
Protection Convention. Food and Agriculture of the United Nations. Rome.<br />
10. Mau RFL, Kessing JLM 1992. Dysmicoccus neobrevipes dirilis pada bulan Maret 1992, diakses<br />
tanggal 30 Juni 2012, .<br />
11. Yuanita, N 2006, ‘Kemampuan hidup Dysmicoccus brevipes (COCKERELL) dan D. neobrevipes<br />
BARDSLEY (HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) Pada Berbagai Benih Kacang’, Pragram<br />
Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Institut <strong>Pertanian</strong> Bogor.<br />
274│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Control of Moler Disease (Fusarium oxysporum f.sp. cepae) on Shallot Using Trichoderma sp. and Gliocladium sp.<br />
Pustika, A B, Iswadi, A, Fibrianty, and Sutarno<br />
Control of Moler Disease (Fusarium oxysporum f.sp. cepae) on Shallot Using<br />
Trichoderma sp. and Gliocladium sp.<br />
Pustika, A B, Iswadi, A, Fibrianty, and Sutarno<br />
Assessment Institute of Agricultural Technology of Yogyakarta (BPTP Yogyakarta), Karangsari, Wedomartani,<br />
Ngemplak, Sleman, Yogyakarta Special Province<br />
ABSTRACT. Moler disease in shallot caused by Fusarium oxysporum f.sp. cepae becomes dominant pathogen<br />
in the shallot development area, in Yogyakarta Special Province, both in coastal area of Kulonprogo Regency<br />
and in dry agro ecosystem of Selopamioro District of Bantul Regency. Application of fungicides which is very<br />
intensive and absolutely higher than the recommended dosage implies serious risk. For this reason, alternative<br />
fungicidal materials that environmentally friendly are being intensively observed at field experiment level. In<br />
this assessment, the results regarding the effect of antagonist fungi (Trichoderma sp. and Gliocladium sp.),<br />
compare to lime application and chemical control, against moler disease was conducted. Randomized<br />
Completely Block was used to design the experiment plot which was consisted of ten treatments and three<br />
replications in coastal area of Kulonprogo Regency. The antagonist fungi were mixed with organic fertilizer for<br />
spreading thoroughly to the soil. Lime also was applied to the soil, while chemical fungicides were sprayed to<br />
the plants. The result showed that percentage of moler disease with difenokonazol and propineb (chemical<br />
pesticides) treatment was significantly higher, 6.24% and 6.35% at 28 days after planting; and 7.94% and 7.72%<br />
at 42 days after planting, respectively, compare to other treatments (antagonist fungi and lime). At 42 days after<br />
planting, Gliocladium sp. which was applied at planting only, gave the best result in control moler symptom<br />
(4.02%). With antagonist fungi treatment, shallot production gained 26.19 ton/ha. Whilst in Bantul Regency, t-<br />
test with fifteen replications on Moler Survey was used to compare moler percentage between shallot area with<br />
Trichoderma sp. and shallot area without Trichoderma sp. In shallot area with Trichoderma sp. treatments,<br />
moler percentage was 6.094% lower than area without Trichoderma sp. treatments.<br />
Keywords: Shalot, moler disease, Trichoderma spp.,and Gliocladium spp.<br />
Moler disease caused by Fusarium ocysporum f.sp. cepae is become one of dominant disease<br />
on shallot in Yogyakarta Special Province, both in shallot development area at coastal area of<br />
Kulonprogo Regency and in dry agro ecosystem area at Selopamioro of Bantul Regency. F.<br />
oxysporum f.sp. cepae is soilborne disease. The infected plants shows symptom such as stunt growth,<br />
yellowing, twisted and horizontal growth of leaves (Wiyatiningsih, 2002).<br />
Currently, problems encountered, such as development of pathogen resistance to fungicides,<br />
inability of seed-treated fungicides to protect the roots of mature plants, rapid degradation of the<br />
chemicals, and a requirement for repeated applications were occurred caused by the use of<br />
environmentally hazardous fungicidal treatment of seed, seedlings, or soils is still the most widely<br />
used control measure for suppressing soilborne diseases. One approach to address this problem is the<br />
use of naturally and environmentally safe biological control microorganisms, used alone or in<br />
conjunction with integrated pest management (IPM) strategies (Hebbar and Lumsden, 1999).<br />
Biopesticides, including biofungicides, bio-insecticides, and bioherbicides are receiving<br />
increased exposure in scientific annals as alternatives to chemical pesticides and as key components of<br />
IPM systems. Biofungicides for controlling seedling and soil-borne diseases, such as Pythium sp.,<br />
Fusarium sp., Rhizoctonia sp, and Verticillium sp., have received increasing attention in recent years,<br />
primarily as nontoxic and non residue producing control agents (Menn and Hall, 1999).<br />
Biological control agent which is developed commercially is Gliocladium sp. and<br />
Trichoderma sp. The fungi proliferate as asexual conidia that are held in masses of moist spores. They<br />
survive as vegetative segments of mycelium, termed chlamydospores, usually embedded in organic<br />
matter. The spores are not airborne and are dispersed only as spore suspensions in water, or carried in<br />
soil or in organic debris. They produce several antibiotic metabolites that are thought to enhance it soil<br />
competitiveness. The metabolite most likely associated with control pathogen is gliotoxin, an<br />
epipolythiopiperazine-3,6-dione antibiotic and chitinase (Aluko and Hering, 1970 and Gillespie and<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│275
Control of Moler Disease (Fusarium oxysporum f.sp. cepae) on Shallot Using Trichoderma sp. and Gliocladium sp.<br />
Pustika, A B, Iswadi, A, Fibrianty, and Sutarno<br />
Moorhouse, 1989). Gliotoxin is antibacterial, antifungal, antiviral and antitumor activity. It also<br />
interferes with phagocytic cells, and is immunosuppressive (Taylor, 1986).<br />
Several reports have been published on biological control of P. ultimum, and R. solani on<br />
potato and ornamental crops, also Sclerotium rolfsii in tomatoes and carrots (Lumsden et al., 1996 and<br />
Ristaino, et al., 1994). Additionally, preliminary results have shown that seed treatment with<br />
Gliocladium sp. and Trichoderma sp. reduced damping-off in corn caused by combination of P.<br />
ultimum, P. arrhenomones and F. graminearum both in greenhouse and field trials.<br />
Therefore, the utility and development of Gliocladium sp. and Trichoderma sp. for controlling<br />
moler, a shallot soilborne pathogen at the field scale is abviously expected and are needed to be<br />
observed.<br />
METHOD<br />
The preliminary research was conducted at coastal area, Karangsewu Village, Galur District,<br />
Kulonprogo Regency, Yogyakarta Special Province. Shallot was planted at the field based on<br />
Randomized Completely Block Design and consists of ten treatments and three replications. Each<br />
treatment was applied at 3m x 4m plot. The treatments are controls of moler disease with: A).<br />
Application of 12 gram per plot of Trichoderma sp. at planting, B). Application of 12 gram per plot of<br />
Gliocladium sp. at planting, C). Application of 12 gram per plot of Trichoderma sp. and Gliocladium<br />
sp. at planting, D). Application of 600 gram per plot of Lime at planting, E). Application of 12 gram<br />
per plot of Trichoderma sp. twice (at planting and 19 days after planting), F). Application of 12 gram<br />
per plot of Gliocladium sp. twice (at planting and 19 days after planting), G). Application of 12 gram<br />
per plot of Trichoderma sp. and Gliocladium sp. twice (at planting and 19 days after planting), H).<br />
Application of 600 gram per plot of lime twice (at planting and 19 days after planting), I).<br />
Difenonokonazol fungicide application (0.5 ml per liter per plot) once in two weeks, 10). Application<br />
of propineb fungicide (2 gram per liter per plot) once in two weeks. The antagonist fungi,<br />
Trichoderma sp. and Gliocladium sp. in 10 6 -10 9 spores per gram were mixed first with organic<br />
fertilizer then spread thoroughly to the soil. Soil watering was conducted after spreading the antagonist<br />
fungi to expect a proper humidity condition for antagonist fungi growth and development in soil. Lime<br />
also was applied to the soil, while chemical fungicides were sprayed to the plants early morning. Plant<br />
height and disease intensity were observed fortnightly, while shallot production was observed after<br />
harvesting. Duncan 5% was used for further analysis.<br />
The survey research on the developed use of Trichoderma sp. as antagonist fungi in the different<br />
area of shallot (Bantul Regency) in Yogyakarta Special Province was conducted in Dry Season with<br />
fifteen replications of Trichoderma area and non-Trichoderma area. Each area was represented by 4 m<br />
x 20 m plot that was replicated by fifteen. Disease intensity was observed fortnightly. T-test 5% was<br />
used for further analysis.<br />
RESULT AND DISCUSSION<br />
Preliminary research in Kulonprogo Regency<br />
In the preliminary research in Kulonprogo Regency, the development of moler symptom at each<br />
treatment plot is shown at Figure 1 and Table 1. Percentage of plants showing moler symptom are not<br />
different among treatments at 14 days after planting (P>0.05). Meanwhile, at 28 and 42 days after<br />
planting, the percentage at difenokonazol and propineb (chemical pesticides) treatment is significantly<br />
higher, 6.24% and 6.35% at 28 days after planting and 7.94% and 7.72% at 42 days after planting,<br />
respectively, compare to other treatments (P0.05).<br />
276│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Plant Height (cm)<br />
Control of Moler Disease (Fusarium oxysporum f.sp. cepae) on Shallot Using Trichoderma sp. and Gliocladium sp.<br />
Pustika, A B, Iswadi, A, Fibrianty, and Sutarno<br />
Table 1. Percentage of plants showing moler symptom<br />
Percentage of moler symptom at certain plant age<br />
Treatment<br />
14 days 28 days 42 days<br />
A 0.85% a 3.92% b 4.66% bc<br />
B 0.85% a 3.28% b 4.02% c<br />
C 1.27% a 3.81% b 4.13% bc<br />
D 1.16% a 3.60% b 4.44% bc<br />
E 0.74% a 3.39% b 4.76% bc<br />
F 1.16% a 3.39% b 4.87% bc<br />
G 1.06% a 3.92% b 4.55% bc<br />
H 1.38% a 3.81% b 4.97% b<br />
I 0.84% a 6.24% a 7.94% a<br />
J 0.95% a 6.35% a 7.72% a<br />
Plant height is not significantly different among treatments at 14, 28 and 42 days after planting<br />
(P>0.05). The average of plant height at 14, 28, and 42 days after planting are 18.01 cm, 33.67 cm,<br />
and 48.97 cm, respectively (Figure 1). Additionally, the average of plant height at chemical fungicides<br />
treatment at 42 days after planting was lower than average of other treatments, i.e. 46.13 cm and 45.00<br />
cm at difenokonazol and propineb treatment, respectively.<br />
60.00<br />
55.00<br />
50.00<br />
45.00<br />
40.00<br />
35.00<br />
30.00<br />
25.00<br />
20.00<br />
A<br />
B<br />
C<br />
D<br />
E<br />
F<br />
G<br />
H<br />
Plant Age (days after planting)<br />
I<br />
J<br />
15.00<br />
14 d.a.p. 28 d.a.p. 42 d.a.p.<br />
Figure 1. Plant Height at 14, 28 and 42 days<br />
after planting<br />
Shallot production was not significantly different among treatments (P>0.05). The average value<br />
is 51.31 kg per plot or 25.65 ton per hectare. Additionally, production average of plants treated with<br />
non chemical fungicide were higher than chemical fungicide, except lime (applied twice) and<br />
Gliocladium sp. (applied at planting) treatment (Figure 2).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│277
Fresh weight (gram)<br />
Production (ton)<br />
Production (kg)<br />
Control of Moler Disease (Fusarium oxysporum f.sp. cepae) on Shallot Using Trichoderma sp. and Gliocladium sp.<br />
Pustika, A B, Iswadi, A, Fibrianty, and Sutarno<br />
Shallot Production per plot (12m2)<br />
60.00<br />
50.37 48.73 50.60 54.23 55.00 56.37<br />
53.23<br />
50.87 49.77<br />
50.00<br />
43.93<br />
40.00<br />
30.00<br />
20.00<br />
10.00<br />
0.00<br />
30.00<br />
25.00<br />
20.00<br />
15.00<br />
10.00<br />
5.00<br />
0.00<br />
A B C D E F G H I J<br />
Treatment<br />
Figure 2.a. Shallot production per 12m 2<br />
Shallot production per hectare<br />
25.18 24.37 25.30 27.12 27.50 26.62<br />
28.18<br />
25.43 24.88<br />
21.97<br />
A B C D E F G H I J<br />
Treatment<br />
Figure 2.b. Shallot production per hectare<br />
Average production of non chemical fungicide treatment exclude lime (applied twice) and<br />
Gliocladium sp. (applied at planting) were 26.65 ton per hectare, higher than chemical fungicide<br />
treatments 25.16 ton per hectare (P>0.05). The lowest production was gained from twice lime<br />
application plot, 21.97 ton per hectare, followed by Gliocladium sp. treatment (applied at planting)<br />
plot, 24.37 ton per hectare.<br />
The weight of individual plant is not different among treatments (P>0.05). However, individual<br />
weight of lime treatment (both twice applied and at planting only) is higher than the others.<br />
250.00<br />
200.00<br />
150.00<br />
Weight of individual plant<br />
146.89 136.33<br />
186.89 196.89 169.33<br />
147.78 160.22 197.33 185.67<br />
140.89<br />
100.00<br />
50.00<br />
0.00<br />
A B C D E F G H I J<br />
Treatment<br />
Figure 3. Fresh Weight of Individual Plant<br />
Although the amount of seed lot per plant is also not significantly different among treatments<br />
(P>0.05), the data shows that highest value is obtained from difenokonazol plot, 25.22 seeds per plant,<br />
278│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Amount of seed lot<br />
(seeds)<br />
Control of Moler Disease (Fusarium oxysporum f.sp. cepae) on Shallot Using Trichoderma sp. and Gliocladium sp.<br />
Pustika, A B, Iswadi, A, Fibrianty, and Sutarno<br />
while the lowest value is obtained from mix Trichoderma sp. and Gliocladium sp. (at planting<br />
application) plot, 19.11 seeds per plant, followed by propineb plot, 20.22 seeds per plant (Figure 4).<br />
30.00<br />
25.00<br />
20.00<br />
15.00<br />
10.00<br />
5.00<br />
0.00<br />
20.78<br />
Amount of Seed Lot per plant<br />
24.44<br />
19.11<br />
24.00 22.6721.44 23.0023.56 25.22 20.22<br />
A B C D E F G H I J<br />
Treatment<br />
Figure 4. Amount of Seed Lot per Plant<br />
Survey Research on the developed use of Trichoderma in Bantul Regency<br />
The use of Trichoderma and the benefits of Trichoderma in suppressing moler disease was<br />
already disseminated and have been adopted by some farmers in Bantul Regency. The use of<br />
Trichoderma sp. that was produced by The Installation of Agricultural Plant Protection (BPTP) of<br />
Yogyakarta Special Province in Pandak District, Bantul Regency had been applied by some farmers in<br />
Bantul. The application of Trichoderma sp. to the soil was at the same time with organic fertilizer<br />
application, about 1-2 weeks before shallot planting. Trichoderma dosage was 100 g/50 kg organic<br />
fertilizer. Whilst the dosage of organic fertilizer that usually applied by farmers was 2.5 – 5 ton/ha.<br />
The results showed that in Trichoderma area, percentage of moler was 0.321% while in non-<br />
Trichoderma area was 6.415% (T
Control of Moler Disease (Fusarium oxysporum f.sp. cepae) on Shallot Using Trichoderma sp. and Gliocladium sp.<br />
Pustika, A B, Iswadi, A, Fibrianty, and Sutarno<br />
REFERENCE<br />
1. Aluko, M.O. and T.F. Hering. 1970. The mechanisms associated with the antagonistic<br />
relationship between Corticium solani and Gliocladium virens. Trans. Br. Mycol. Soc. 55, 173-<br />
179.<br />
2. Gillespie, A.T. dan E.R. Moorhouse. 1989. The Use of Fungi to Control Pests of Agricultural and<br />
Horticultural Importance. In Biotechnology of Fungi for Improving Plant Growth. Whipps,J.M.<br />
dan Lumsden, R.D., Editor. Cambridge. 55-84.<br />
3. Hebbar, K.P. and R.D. Lumsden. 1999. Biological Control of Seedling Diseases. In<br />
Biopesticides-Use and Delivery, Hall, F.R. & J.J. Menn (eds.), Humana, New Jersey. 103-116.<br />
4. Lumsden, R.D., J.F. Walter, and C.P. Baker. 1996. Development of Gliocladium virens for<br />
damping-off disease control. Can J. Plant Pathol. 18, 463-468.<br />
5. Menn, J.J. and F.R. Hall, 1999. Biopesticides, Present Status and Future Prospects. In<br />
Biopesticides-Use and Delivery, Hall, F.R. & J.J. Menn (eds.), Humana, New Jersey. 1-10.<br />
6. Ristaino, J.B., J.A. Lewis and R.D. Lumsden. 1994. Influence of isolate of Gliocladium virens on<br />
sclerotia of Sclerotium rolfsii, soil microbiota, and the incidence of southern blight.<br />
Phytopathology 81, 1117-1124.<br />
7. Taylor, A. 1986. Some aspects of the chemistry and biology of the genus Hypocreaand its<br />
anamorphs, Trichoderma and Gliocla-dium. Proc Nova Scotia Inst. Sci.36, 27-58.<br />
8. Wiyatiningsih, S. 2002. Etiologi Penyakit Moler pada Bawang Merah (Tesis). Program Pasca<br />
Sarjana. Fak. <strong>Pertanian</strong>. Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta.<br />
280│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Pengendalian Hayati terhadap Produksi Tanaman Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
Pengaruh Pengendalian Hayati terhadap Produksi Tanaman Caisin (Brassica campestris<br />
var. chinensis)<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
1)<br />
UPT Perlindungan, Dinas Tanaman Pangan dan <strong>Hortikultura</strong> Provinsi Riau<br />
Jl. Hang Tuah Ujung No. 71 Pekanbaru, Riau<br />
2) BPTP Riau, Jalan Kahariddin Nasution No. 341 Pekanbaru, Riau<br />
ABSTRAK. Penelitian mengenai Pengaruh Pengendalian Hayati terhadap Produksi Tanaman Caisin (Brassica<br />
campestris var. chinensis) telah dilaksanakan di Sentral Sayur BBI <strong>Hortikultura</strong> dan Laboratorium Hama<br />
Penyakit UPT Perlindungan Tanaman Pangan dan <strong>Hortikultura</strong> Riau di Pekanbaru selama empat bulan, mulai<br />
dari bulan April sampai dengan Juli 2010. Penelitian ini bertujuan menguji dua jenis agens antagonis serta<br />
kombinasinya dalam menekan cendawan patogen penyebab penyakit layu fusarium serta pengaruhnya terhadap<br />
pertumbuhan dan produksi pada tanaman caisin. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap<br />
(RAL) dengan 4 perlakuan, yaitu A.(Aplikasi Trichoderma harzianum TR01); B.(Aplikasi Pseudomonas<br />
fluorescens PR01); C.(Aplikasi T.harzianum TR01+ P.fluorescens PR01); dan D.(Kontrol) dengan 4 ulangan.<br />
Parameter yang diamati meliputi persentase tanaman tumbuh sehat, tinggi tanaman dan berat produksi panen<br />
segar. Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan uji lanjutan Duncan’s New Multiple Range Test<br />
(DNMRT) pada taraf 5 %. Dari hasil penelitian, agens antagonis Trichoderma harzianum TR01 dan<br />
Pseudomonas fluorescens PR01 dapat dikombinasikan dan memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan<br />
dengan perlakuan lainnya terhadap penekanan penyakit layu fusarium sebesar 14,83 % dan meningkatkan<br />
produksi tanaman caisin sebesar 31,23%.<br />
Katakunci: Caisin; layu fusarium; pengendalian hayati.<br />
ABSTRACT. Indra Fuadi and Rachmiwati Yusuf, 2013. The Biological Control Effect to Production Of<br />
Caisin (Brassica campestris var. Chinensis). Research on the biological control effect to Production of Caisin<br />
(Brassica campestris var. Chinensis) has been conducted at the BBI Horticulture and the Laboratory of Plant<br />
Disease, Food Crop and Horticulture Plant Protection <strong>Departemen</strong> of Riau in Pekanbaru over the past four<br />
months, from April to July 2010. This study aims to test several types of agents and their combinations<br />
antagonists in suppressing fungal pathogens causing wilt disease F. oxysporum and its effect on plant growth and<br />
production in caisin. The design used was Complete Randomized Design (CRD) with four treatments: A.<br />
(Application of Trichoderma harzianum TR01); B. (Pseudomonas fluorescens application PR01); C.<br />
(Application T.harzianum TR01 P.fluorescens PR01) and D (control) with four replications. Parameters<br />
observed are the percentage of plants grow healthy, plant height and weight of fresh harvested production. Data<br />
were statistically analyzed the results of observations with advanced test Duncan's New Multiple Range Test<br />
(DNMRT) at the level of 5%. From the research shows that the antagonistic agent Trichoderma harzianum TR01<br />
and Pseudomonas fluorescens PR01 can be combined and give results better other treatments against<br />
suppression wilt disease Fusarium oxysporum by 14.83% and increase to production of caisin by 31.23%.<br />
Keyword : Biological control, production and Caisin<br />
Caisin (Brassica campestris var. chinensis) merupakan tanaman sayuran daun dari famili<br />
Brassicaceae yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi dibandingkan dengan kubis krop, kubis<br />
bunga dan brokoli. Klasifikasi tanaman caisin adalah Divisi: Spermatophyta; Subdivisi:<br />
Angiospermae; Kelas: Dicotyledoneae; Ordo: Rhoeadales (Brassicales); Famili: Cruciferae; Genus:<br />
Brassica ; Spesies: Brassica campestris var. chinensis; caisin, sawi china, sawi bakso (Haryanto et al.<br />
2003). Konsumsi caisin mengalami peningkatan sesuai pertumbuhan jumlah penduduk, meningkatnya<br />
daya beli masyarakat, kemudahan tanaman ini diperoleh di pasar dan peningkatan pengetahuan gizi<br />
masyarakat.<br />
Masalah yang sering muncul dalam budidaya caisin adalah serangan hama dan penyakit yang<br />
dapat menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas hasil tanaman, bahkan dapat mengakibatkan<br />
gagal panen (Chalid, 2004). Salah satu penyakit yang sering menyerang tanaman sayur sawi-sawian<br />
termasuk caisin yang sangat berbahaya adalah penyakit layu Fusarium (Anonim, 2002). Species yang<br />
terkenal dari cendawan ini sebagai patogen tanaman yaitu Fusarium oxysporum (Alexopoulus et al,<br />
1996).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│281
Pengaruh Pengendalian Hayati terhadap Produksi Tanaman Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
Pengendalian penyakit tersebut dapat dilaksanakan melalui penerapan pengendalian terpadu<br />
yang disesuaikan dengan agroekosistem setempat. Salah satu komponen pengendalian penyakit layu<br />
yang disebabkan F.oxysporum secara terpadu yang dapat dikembangkan adalah pengendalian secara<br />
hayati, yaitu penurunan jumlah patogen dan atau aktivitas yang menimbulkan penyakit dengan<br />
menggunakan organisme lain selain manusia. Pengendalian hayati oleh agens antagonis dapat terjadi<br />
melalui satu atau beberapa mekanisme, yaitu antibiosis, kompetisi, hiperparasitisme (Baker and Cook,<br />
1983), induksi ketahanan tanaman (Van Loon, 2000) dan memacu pertumbuhan tanaman (Kloepper,<br />
1991).<br />
Pengendalian penyakit tanaman menggunakan agens antagonis berpotensi dikembangkan. Hal<br />
ini dikarenakan agens antagonis telah tersedia di alam, aman terhadap lingkungan, tidak mempunyai<br />
efek residu merugikan, aplikasinya tidak berulang-ulang dan relatif kompatibel dengan teknik<br />
pengendalian lainnya (Baker and Cook, 1983).<br />
Beberapa jenis agens antagonis yang efektif, misalnya Verticilium sp., Trichoderma sp., dan<br />
Giocladium sp. (Howell, 1989). Trichoderma harzianum adalah cendawan antagonis yang digunakan<br />
dalam pengendalian beberapa patogen tular tanah seperti Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici (FOL),<br />
karena selain mempunyai daya kompetisi yang tinggi, memiliki daya tahan hidup lama, mampu<br />
mengkolonisasi substrat dengan cepat, T.harzianum juga bersifat sebagai mikoparasit pada hifa dan<br />
tubuh-tubuh istirahat dari patogen tumbuhan (Ambar, 2003).<br />
Dari golongan bakteri, pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan agens antagonis<br />
yang mengkoloni perakaran tanaman (rizobakteria) merupakan alternatif pengendalian yang potensial.<br />
Bakteri tersebut dapat berperan sebagai agens antagonis, pemacu pertumbuhan tanaman atau Plant<br />
Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (Kloepper, 1991) dan penginduksi ketahanan tanaman<br />
terhadap patogen (Van Loon, 2000).<br />
Di antara bakteri PGPR yang banyak mendapat perhatian adalah Pseudomonas fluorescens<br />
yang menunjukkan kemampuannya dalam menekan perkembangan beberapa penyakit tumbuhan yang<br />
disebabkan oleh patogen terbawa tanah (Raaijmakers et al. 1995). Penggunaan P. fluorescens untuk<br />
mengendalikan penyakit terbawa tanah semakin meningkat. Hal tersebut antara lain disebabkan karena<br />
bakteri tersebut mudah diisolasi, diidentifikasi dan ditumbuhkan pada media tumbuh (Campbell,<br />
1989).<br />
Belum banyak penelitian yang dilakukan untuk pengujian efektifitas agens antagonis dengan<br />
mengkombinasikan antara antagonis dari golongan bakteri dengan antagonis dari golongan cendawan<br />
serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman caisin. Tujuan penelitian ini adalah<br />
menguji dua jenis agens antagonis serta kombinasinya dalam menekan cendawan patogen penyebab<br />
penyakit layu fusarium serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produksi pada tanaman caisin.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilaksanakan di lahan pengembangan sayuran eksport BBI <strong>Hortikultura</strong> Padang<br />
Marpoyan, Laboratorium Hama Penyakit Tanaman UPT-Perlindungan Tanaman Pangan dan<br />
<strong>Hortikultura</strong>, Dinas Tanaman Pangan dan <strong>Hortikultura</strong> Provinsi Riau di Pekanbaru, Penelitian<br />
berlangsung dari bulan April sampai Juli 2010.<br />
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah benih caisin, pupuk kandang, pupuk buatan<br />
(NPK), tanaman terserang Fusarium, isolat cendawan Trichoderma harzianum TR01 dan bakteri<br />
Pseudomonas fluorescens PR01 (Koleksi LPHP UPT-PTPH Riau), isolat cendawan patogen Fusarium<br />
oxsysporum, media biakan cendawan dan bakteri (PDA, CMS, King’s B, Jagung giling), Cloroc 10<br />
%, aquades, antibiotik, dan bahan lain. Alat yang digunakan adalah ATK, gelas piala, gelas ukur,<br />
gelas erlemayer, objek glass, cover glass, cawan petri, tabung reaksi, ose, pinset, pipet, autoclave,<br />
oven, inkubator, vortex mixer, bunsen, kompor listrik, timbangan, lampu ultra violet, Alat pertanian,<br />
Mikroskop, Alat klimatologi, pagar plastik, sprayer dan alat-alat lain.<br />
Tata letak penelitian disusun dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri atas empat<br />
perlakuan dan empat ulangan, yaitu:<br />
A. Aplikasi Trichoderma harzianum TR01<br />
B. Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01<br />
C. Aplikasi T. harzianum TR01+ P. fluorescens PR01<br />
D. Kontrol<br />
282│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Pengendalian Hayati terhadap Produksi Tanaman Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
Parameter pengamatan dalam penelitian meliputi: (1). Persentase Tanaman Tumbuh sehat, (2).<br />
Tinggi Tanaman dan (3). Produksi Segar. Data hasil pengamatan dilakukan analisis statistik dengan uji<br />
lanjut dengan DNMRT pada taraf 5 %.<br />
Penyediaan isolat antagonis<br />
Isolat antagonis Pseudomonas fluorescens PR-01 dan Trichoderma harzianum TR-01<br />
merupakan koleksi dari Laboratorium Hama Penyakit Tanaman, UPT-Perlindungan, Dinas Tanaman<br />
Pangan dan <strong>Hortikultura</strong> Riau.<br />
Isolasi Cendawan Patigen Fusarium oxysporum<br />
Sumber inokulum cendawan patogen penyebab penyakit layu F.oxysporum pada tanaman<br />
Caisin diambil dari tanaman caisin yang menunjukkan gejala penyakit layu F.oxysporum. Pengamatan<br />
morfologi cendawan F.oxysporum dilakukan dengan menggunakan mikroskop multimedia. Isolat<br />
berwarna pink di bawah lampu neon 40 watt (black light) diseleksi sebagai wilt type dari<br />
F.oxysporum, identifikasi makrokonidia berdinding tipis, berbentuk sabit, mempunyai 2-4 sel,<br />
mikrokonidia berbentuk oval dan banyak ditemukan tangkai konidiofor yang pendek.<br />
Tabel 1. Hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis cendawan F.oxysporum<br />
Pengamatan<br />
Hasil Pengamatan<br />
A. Makroskopis<br />
1. Warna koloni : Putih hingga krem<br />
2. Bentuk Koloni : Bulat, permukaan halus, hifa rapat dan tebal<br />
sehingga terlihat seperti kapas<br />
3. Arah Pertumbuhan koloni : Menyebar ke segala arah<br />
B. Mikroskopis<br />
1. Bentuk dan Warna<br />
a.Makrokonidia<br />
b.Mikrokonidia<br />
2. Jumlah Sel<br />
a.Makrokonidia<br />
b.Mikrokonidia<br />
:<br />
:<br />
3. Klamidospora : Ada<br />
:<br />
:<br />
Bentuk bulan sabit, hialin<br />
Oval atau elips, hialin<br />
2-4 sel<br />
1 sel<br />
Perbanyakan inokulum<br />
Isolat cendawan patogen F.oxysporum dari medium PDA digunakan untuk produksi konidium<br />
pada media Corn Meal Sand (CMS) yang diinkubasikan selama 14 hari pada inkubator. Perbanyakan<br />
cendawan antagonis T. harzianum TR01 dengan media Jagung, sedangkan Perbanyakan bakteri<br />
antagonis P. fluorescens dilakukan pada media padat King’s B, kemudian di suspensikan dengan<br />
aquades dengan kerapatan populasi mancapai 10 -7 cfu/ml.<br />
Pelaksanaan di lapangan<br />
Pelaksanaan di lapangan mengikuti kaidah cara budidaya tanaman yang dimulai dengan (a).<br />
Persiapan Lahan, (b). persiapan pemupukan, (c). pemberian perlakuan, (d). penanaman, (e).<br />
pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman , penyiangan dan pengendalian hama tanaman.<br />
Persentase Tanaman Tumbuh Sehat<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Dari masing-masing perlakuan didapat data persentase tanaman caisin yang tumbuh sehat,<br />
setelah dilakukan analisis statistik dan uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5% seperti yang terlihat<br />
pada Tabel 2.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│283
Pengaruh Pengendalian Hayati terhadap Produksi Tanaman Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
Tabel 2.<br />
Persentase tanaman tumbuh sehat yang diaplikasi dengan berbagai jenis agens hayati dan<br />
kombinasinya (%)<br />
Perlakuan<br />
Tanaman Sehat<br />
(%)<br />
C (Aplikasi T. harzianum TR01+ P. fluorescens PR01) 78,96 A<br />
A (Aplikasi Trichoderma harzianum TR01) 77,50 B<br />
B (Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01) 75,42 C<br />
D (Kontrol)<br />
Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada uji lanjut DNMRT taraf 5%<br />
67,29 D<br />
Data dari Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan D memperlihatkan persentase tanaman<br />
tumbuh sehat paling rendah yaitu 67,29 % dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, kemudian<br />
perlakuan C dengan rerata persentase tanaman tumbuh sehat 78,96 % yang paling tinggi dan berbeda<br />
nyata dengan semua perlakuan.<br />
Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan agens antagonis yang dikombinasikan dapat menekan<br />
tingkat serangan dan intensitas tanaman terserang yang ditunjukkan dengan tingginya persentase<br />
tanaman tumbuh sehat. Perlakuan antagonis secara gabungan antara T. harzianum dan P. fluorescens<br />
memberikan pengaruh positif dalam menekan intensitas penyakit, dimana perkembangan penyakit<br />
sangat berkaitan dengan masa inkubasi, kevirulenan patogen, kepatogenan dan lingkungan yang<br />
mendukung.<br />
Hal tersebut pernah dilaporkan oleh Soesanto et al. (2003), yang menyatakan bahwa<br />
penerapan gabungan agensia pengendali yang berbeda mampu memberikan hasil positif yang<br />
konsisten daripada penerapan secara tunggal. Penggunaan beberapa agensia hayati baik secara tunggal<br />
atau gabungan telah banyak diteliti dan berprospek baik, misalnya Trichoderma harzianum. Seperti<br />
yang dilaporkan oleh Abd-el Moity et al (2003) bahwa Pseudomonas fluorescens yang dicampur<br />
dengan Trichoderma spp lebih effektif mengendalikan penyakit powdery dan powdery mildew. Hal ini<br />
juga ditambahkan oleh Siddiqui dan Shaukat (2003) bahwa dalam kondisi lingkungan yang<br />
menguntungkan, pencampuran dan penggunaan P.fluorescens dan T.harzianum secara bersamaan<br />
memperluas spectrum kendali sehingga lebih effektif dan manjur pada pengendalian nematoda busuk<br />
akar tanaman tomat.<br />
Sedangkan hasil penelitian Premkumar et al (2006) gabungan Pseudomonas fluorescens,<br />
Trichoderma dan VAM Glomus vasciculatum dapat menurunkan tingkat serangan penyakit busuk akar<br />
teh yang sangat nyata jika dibandingkan dengan penggunaan secara tunggal.<br />
Dari data persentase tanaman tumbuh sehat terlihat terajdi penurunan pada perlakuan<br />
fungisida kimia jika dibandingakan dengan pengamatan parameter sebelumnya. Lebih lebih<br />
rendahnya persentase tanaman tumbuh sehat kemungkinan disebabkan kurang mampunya fungisida<br />
dalam menghambat perkembangan dan virulensi cendawan patogen, sehingga populasi cendawan<br />
patogen dapat melakukan penetrasi dan menimbulkan kerusakan pada benih tanaman caisin.<br />
Sedangkan daya hambat pertumbuhan miselium Fusarium oleh fungisida kemungkinan terjadi<br />
penurunan. Menurut (Baker and Cook, 1983) penurunan daya hambat ini menindikasikan terjadinya<br />
resistensi patogen terhadap fungisida, pada konsentrasi tertentu fungisida hanya berfungsi untuk<br />
melemahkan patogen dan bukan membunuhnya.<br />
Tinggi Tanaman<br />
Dari masing-masing perlakuan didapat data rerata tinggi tanaman caisin, setelah dilakukan<br />
analisis statistik dan uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5% seperti yang terlihat pada Tabel 3.<br />
284│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Pengendalian Hayati terhadap Produksi Tanaman Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
Tabel 3.<br />
Rerata tinggi tanaman yang diaplikasi dengan berbagai jenis agens hayati dan<br />
kombinasinya (cm)<br />
Perlakuan<br />
Tinggi tanaman<br />
(cm)<br />
C (Aplikasi T. harzianum TR01+ P. fluorescens PR01)<br />
41,40 a<br />
B (Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01) 39,73 b<br />
A (Aplikasi Trichoderma harzianum TR01) 39,43 b<br />
D (Kontrol) 36,50 c<br />
Dari Tabel 3 terlihat bahwa rerata tinggi tanaman yang tertinggi terlihat pada perlakuan C<br />
yaitu 41,40 cm dan berbeda nyata dengan perlakuan A (39,73 cm), B (39,43 cm) dan D (36,50 cm).<br />
Perlakuan A dan B tidak berbeda nyata sesamanya, tapi berbeda nyata dengan perlakuan D (kontrol).<br />
Dari data terlihat bahwa perlakuan kombinasi T. harzianum TR01 + P. fluorescens PR01<br />
menghasilkan tinggi tanaman yang tertinggi, hal ini disebabkan adanya kombinasi mekanisme<br />
pengendalian dan rangsangan pertumbuhan yang dimiliki masing-masing agens antagonis. Menurut<br />
Agrios, 1997 agens antagonis tersedia di alam, aman terhadap lingkungan, tidak mempunyai efek<br />
residu merugikan, aplikasinya tidak berulang-ulang dan relatif kompatibel dengan teknik pengendalian<br />
lainnya.<br />
Dengan adanya kombinasi yang kompatible antara agens antagonis ini, ketersediaan unsur<br />
hara yang dapat diserap dan bahan organik pada tanah sehingga menyebabkan tanaman tumbuh lebih<br />
baik. Hal ini didukung oleh pendapat Biswas, 2000 dalam Setyowati et al (2006) penggunaan mikroba<br />
tanah dalam pertanaman dapat membantu penyediaan unsur Nitrogen (N), fosfor (P) dan Kalium (K)<br />
sehingga dapat meningkatkan kualitas tanaman, ditambahkan Rahimi (2000 dalam Setyowati et al.<br />
2006) bahwa mikroba yang diberikan bersama bahan organik juga dapat meningkatkan mutu agregasi<br />
tanah.<br />
Menurut Kentjanasari et al, 1996 dalam Widyastuti, 2004 bahwa kondisi tanah yang subur<br />
dengan agregasi tanah yang baik dapat memacu pertumbuhan tanaman, bahan organik yang<br />
mengandung banyak jasad renik tertentu bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah dan<br />
pertumbuhan tanaman melalui peningkatan aktivitas biologi dan jumlah jasad renik tersebut. Menurut<br />
Harman (2006) Peranan Trichoderma yang mampu menyerang cendawan lain namun sekaligus<br />
berkembang baik pada daerah perakaran menjadikan keberadaan cendawan ini dapat berperan sebagai<br />
biokontrol dan memperbaiki pertumbuhan tanaman. Secara tunggal, Trichoderma menurut hasil<br />
penelitian Naemah et al (2003) dalam Widyastuti (2004) bahwa semai yang tumbuh pada media yang<br />
ditambahkan Trichoderma memberikan pengaruh baik terhadap pembentukan ujung akar, nilai<br />
panjang akar semai meningkat yang merupakan indikator posistif bahwa Trichoderma mempengaruhi<br />
pertumbuhan akar semai. Menurut Hakim et al. (1986) dengan pemberian Trichoderma kedalam tanah<br />
dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman sayuran, seperti tinggi tanaman.<br />
Lebih lanjut dilaporkan bahwa selain sebagai agens biokontrol, agens ini juga merupakan<br />
organisme dekomposer dan memproduksi hormon perangsang tumbuh (growth stimulator). Oleh<br />
karena itu tanaman yang diproteksi dengan biokontrol ini selain terbebas dari penyakit, juga tumbuh<br />
dengan optimum dan selalu tampak lebih sehat dibandingkan dengan tanpa perlakuan.<br />
Pemberian bakteri antagonis P.fluorescens menghasilkan pengaruh yang lebih baik terhadap<br />
tinggi tanaman jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tingginya tanaman pada perlakuan ini<br />
disebabkan peranan P.fluorescen disamping sebagai pengendali hayati juga dapat menstimulasi<br />
pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Baker & Cook, 1983 bahwa pengendalian<br />
hayati oleh bakteri antagonis dapat terjadi melalui satu atau beberapa mekanisme berikut: antibiosis,<br />
kompetisi, hiperparasit induksi ketahanan tanaman (Van Loon, 2000), dan memacu pertumbuhan<br />
tanaman (Kloepper et al, 1999).<br />
Bakteri antagonis khususnya kelompok rhizobakteria dapat meningkatkan pertumbuhan<br />
tanaman. Peningkatan pertumbuhan tanaman tersebut bergantung pada kemampuan bakteri antagonis<br />
menekan mokroba yang mengganggu pertumbuhan tanaman (deleterious microorganisms) dan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│285
Pengaruh Pengendalian Hayati terhadap Produksi Tanaman Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
kemampuan agens antagonis menekan pertumbuhan patogen tular tanah, seperti penyebab penyakit<br />
rebah kecambah, busuk, dan layu (Schippers et al. 1987). Selain itu, bakteri tersebut juga dapat<br />
menekan perkembangan penyakit tanaman dengan cara kompetisi unsur besi Fe (III) dan unsur<br />
karbon, memproduksi HCN, merangsang akumulasi fitoaleksin sehingga tanaman menjadi lebih tahan,<br />
serta mengolonisasi akar dan merangsang pertumbuhan tanaman (Notz et al, 2001 dalam Rustam,<br />
2005).<br />
Berat Panen Segar<br />
Dari masing-masing perlakuan didapat data rerata berat panen segar per perlakuan tanaman<br />
caisin, setelah dilakukan analisis statistik dan uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5% seperti yang<br />
terlihat pada Tabel 4.<br />
Tabel 4.<br />
Berat panen segar tanaman caisin yang diaplikasi dengan berbagai jenis agens hayati dan<br />
kombinasinya (kg)<br />
Perlakuan<br />
C (Aplikasi T. harzianum TR01+ P. fluorescens PR01)<br />
A (Aplikasi Trichoderma harzianum TR01)<br />
Berat Total Panen<br />
(Kg)<br />
4,45 a<br />
4,16 ab<br />
B (Aplikasi Pseudomonas fluorescens PR01) 3,72 b<br />
D (Kontrol) 3,06 c<br />
Dari Tabel 4 terlihat bahwa perlakuan C memberikan rerata berat hasil panen segar tertinggi<br />
yaitu 4,45 Kg dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (4,16 kg), namun jika dibandingkan<br />
dengan perlakuan lainnya terlihat berbeda nyata. Sedangkan hasil paling rendah terdapat peda<br />
perlakuan D yaitu sebesar (3,06 kg) namun berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Disini jelas<br />
terlihat bahwa perlakuan aplikasi kombinasi antagonis T. harzianum TR01+ P.fluorescens PR01<br />
memberikan hasil yang lebih jika dibandingkan perlakuan lainnya dan dapat menngkatkan berat panen<br />
segar tanaman caisin sebesar 31,23 %.<br />
Tingginya berat panen segar pada perlakuan antagonis, baik diberikan secara tunggal maupun<br />
secara bersamaan disebabkan lebih besarnya jumlah tanaman sehat per plot dan rerata tinggi tanaman<br />
yang juga lebih besar. Di mana dengan adanya peranan agens antagonis dalam tanah yang telah<br />
diaplikasikan sebelum tanam bersamaan dengan pupuk organik telah meningkatkan kualitas dan hasil<br />
tanaman caisin. Di samping itu dengan adanya mikroba tanah ini akan memacu pertumbuhan tanaman<br />
dengan meningkatnya kemampuan menyerap hara tanaman yang tersedia akibat aktifitas agens<br />
antagonis yang akhirnya akan meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman. Dengan semakin<br />
meningkatnya kemampuan fotosintesis tanaman maka maka dapat meningkatkan bobot segar tanaman.<br />
Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Djatnika (1998) yang menyatakan bahwa inokulasi<br />
Trichoderma spp asal tanaman kedelai dan kacang tanah mampu meningkatkan bobot segar daun<br />
caisin. Ditambahkan oleh Winarsih (1995) bahwa penggunaan bakteri dapat meningkatkan penyerapan<br />
fosfat sebesar 3-10 %.<br />
Sedangkan menurut Bertham et al, (1996 dalam Setyowati et al. 2006) peningkatan berat<br />
panen tanaman disebabkan oleh keadaan pertumbuhan tanaman, tanaman yang dapat menyerap nutrisi<br />
dengan baik dapat melakukan proses transportasi dengan baik. Pemberian bahan organik yang<br />
didekomposisi oleh cendawan saprofit mampu memacu jumlah batang dan pertumbuhan tanaman.<br />
Menurut Chang et al. (1986) Trichoderma di samping berfungsi sebagai pengendalian patogen<br />
tanah ternyata Trichoderma dapat meningkatkan pertumbuhan beberapa tanaman hutan dan<br />
<strong>Hortikultura</strong>, seperti Trichoderma harzianum yang di aplikasikan dengan suspensi konidia dalam bran-<br />
286│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Pengendalian Hayati terhadap Produksi Tanaman Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
peat dapat meningkatkan populasinya lebih dari 10 3 cfu/gram tanah, sehingga mempercepat<br />
pembungaan tanaman pear dan krisan, serta menambah tinggi dan berat tanaman lainnya.<br />
Pada perlakuan kontrol dan pestisida kimia terlihat hasil berat panen segar tidak berbeda<br />
nyata, hal ini kemungkinan disebabkan karena pemberian perlakuan bahan kimia ke dalam yang hanya<br />
dilakukan sekali sebelum tanam tidak memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman,<br />
malah sebaliknya bahan kimia kemungkinan dapat mematikan mikroba tanah yang menguntungkan<br />
bagi tanaman. Pemberian fungisida yang tidak konsisten inilah yang menyebabkan turunnya daya<br />
ampuh fungisida atau terjadinya resistensi terhadap cendawan patogen serta merusak mikroba tanah<br />
yang menguntungkan bagi tanaman. Sedangkan mikroba tanah pada perlakuan tanpa bahan kimia<br />
berkembang dan beraktifitas dengan terus merombak bahan-bahan organik sehingga tersedia bagi<br />
pertumbuhan tanaman.<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat diambil kesimpulan bahwa aplikasi<br />
berbagai kombinasi agens antagonis Trichoderma harzianum TR01 dan Pseudomonas fluorescens<br />
PR01 memberikan pengaruh nyata pada semua parameter pengamatan jika dibandingkan dengan<br />
aplikasi tunggal agens antagonis. Dimana Agens hayati antagonis Trichoderma harzianum TR01 dan<br />
Pseudomonas fluorescens PR01 dapat dikombinasikan untuk pengendalian patogen penyebab penyakit<br />
layu yang disebabkan Fusarium oxysporum, sehingga dapat menekan persentase tanaman terserang<br />
sebesar 14,78 % serta meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman tanaman caisin dengan<br />
memberikan hasil produksi tertinggi sebesar 44,50 ton/ha dengan peningkatan produksi sebesar 31,23<br />
%.<br />
PUSTAKA<br />
1. Abd-El Moity, T. H., G. C. Papavizas, and M. N. Shatla. 1982. Induction of new isolates of<br />
Trichoderma harzianum tolerant to fungicides and their experimental use for control of white rot<br />
of onion. Phytopathology 72:396–400<br />
2. Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press.<br />
3. Alexopoulus, C. J,. Mims, C.W., and Blackwell,M. 1996. Introductory Micology. Ed. 4. A. Jhon<br />
Willey Sons. Inc,. Publication, New York.<br />
4. Ambar, A.A. 2003. Efektivitas waktu inokulasi Trichoderma viridae dalam mencegah penyakit<br />
layu Fusarium tomat (Lycopersicun esculentum Mill) di rumah kaca. J. Fitopat. Ind. 7(1): 7-11.<br />
5. Anonim, 2002. Teknologi Produksi Sayur Daun Lebar (Leafy Vegetables) Dataran Rendah. Dinas<br />
Tanaman Pangan Provinsi Riau. Pekanbaru.<br />
6. Baker, K. F. and R. J. Cook. 1983. Biological Control of Plant Pathogen.Freeman and Company.<br />
San Fransisco.<br />
7. Campbell, R. 1989. Biological Control of Microbial Plant Pathogens. Cambridge University<br />
Press. Cambridge.<br />
8. Chalid, N. 2004. Teknologi Pengendalian Hama Penyakit Sayur Dataran Rendah. Dinas Tanaman<br />
Pangan Propinsi Riau. Pekanbaru.<br />
9. Chang, Y.-C., Chang, Y.-C., Baker, R., Kleifeld, O., and Chet, I. 1986. Increased growth of plants<br />
in the presence of the biological control agent Trichoderma harzianum. Plant Dis. 70:145-148.<br />
10. Djatnika I. 1998. Pengaruh Pseudomonas flourescens Migula terhadap Patogenisitas Fusarium<br />
oxysporum Schlecht pada Tanaman Krisan. J. Hort. 8(1):1014-1020.<br />
11. Hakim, N.Y., M.Y.Nyakpa, A.M. Lubis, S.G.Nugroho, M.R.Saul, M.H.Diha, G.B.Hong, dan<br />
H.H.Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas lampung.<br />
12. Harman, G.E., 2006. Overview of machanism and uses of Trichoderma spp. Phytopathology. 96 :<br />
190-194.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│287
Pengaruh Pengendalian Hayati terhadap Produksi Tanaman Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
13. Haryanto, E., Suhartini, T., Rahayu, E. dan Sunarjono,. 2003. Sawi dan Selada. Edisi baru.<br />
Penebar Swadaya. Jakarta.<br />
14. Howel,C.R. 1989. Fungi as Biological Control Agents. U.S. Department of Agriculture. College<br />
Station, Texas.<br />
15. Kloepper JW. 1991. Plant growth promotion mediated by bacterial rhizosphere colonizers. Di<br />
dalam: Keister DL, Cregan PB, editor. The rhizosphere and plant growth. Beltsville symposia in<br />
agricultural research; Beltsville, 8-11 May 1989. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 315-<br />
326.<br />
16. Premkumar, R., Ajay, D., dan Muraleedhara, N., 2006. Biological control of tea diseases – A<br />
Review. Role of Biocontrol Agents for Diseases Management in Suistainable Agriculture, UPASI<br />
Tea Research Institute, Tamil Nadu. 223-230.<br />
17. Raaijmakers, J.M., M. Leeman, M.M.P. Van Oorschot, I. Van der Sluis, B. Schipper, and<br />
P.A.H.M. Bakker, 1995. Dose-Response Relationships in Biological Control of Fusarium wilt of<br />
radish by Pseudomonas spp. Phytopathology 85: 1075-1081.<br />
18. Rustam, 2005. Pengendalian Penyakit Darah pada Tanaman Pisang dengan Bakteri Antagonis.<br />
Tesis Sekolah Pasca Sarjana Institut <strong>Pertanian</strong> Bogor. Bogor.<br />
19. Schippers B, Baker AW, Baker PAHM. 1987. Interactions between deleterious and beneficial<br />
rhizosphere microorganisms and the effect of cropping practices. Annu Rev Phytopathologi. 25:<br />
339-358.<br />
20. Setyowaty.N., H.Bustamam and T.Nurmiyanti. 2003. Effect of microbes fertilizer on Lettuce<br />
(Lettuca sativa L) yield, Root diseases and weed growth. Proceding of International Seminar on<br />
Organic Farming and Sustainable Agriculture in Tropic and Sub Tropic. Palembang Oct 8-9: 67-<br />
72.<br />
21. Siddiqui, I.A., dan Shaukat, S.S., 2003. Trichoderma harzianum enhances the production of<br />
nematicidal compounds in vitro and improves biocontrol of Meloidogyne javanica by<br />
Pseudomonas fluorescens in tomato. Soil Biology and Ecology Laboratory, Department of<br />
Botany, University of Karachi, Karachi, Pakistan, 169–175.<br />
22. Soesanto, L., Rakhlainin dan Prihatiningsih, N., 2008. Penekanan Beberapa Mikroorganisma<br />
Antagonis terhadap Penyakit Layu Fusarium Gladiol, Agrivita. Vol 30 No, 1 : 75-83.<br />
23. Van Loon LC. 2000. Systemic induced resistance. Di dalam: Slusarenko A, Fraser RSS, Van<br />
Loon LC, editor. Mechanisms of Resistance to Plant Diseases. Netherlands: Kluwer Academic<br />
Publishers, 521-574.<br />
24. Widyastuti, SM., Sumardi, dan Harjono. 2004. Respon aktivitas metabolit anti patogen pada akar<br />
tusam akibat pengimbasan interaksi simbiotik mikoriza. Laporan Komprehensif, Hibah Bersaing<br />
X, Dikti.<br />
25. Winarsih. S., 2007. Pengaruh Bahan Organik pada Pertumbuhan Gliocladium virens dan Daya<br />
Antagonisnya terhadap Fusarium oxysporum secara in-vitro. Jurnal Ilmu-Ilmu <strong>Pertanian</strong><br />
Indonesia. Edisi Khusus No. 3:386-390.<br />
288│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum Schlecht) pada Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
dengan Kombinasi Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
Studi Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum Schlecht) pada Caisin<br />
(Brassica campestris var. chinensis) dengan Kombinasi Trichoderma harzianum dan<br />
Gliocladium virens<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
1)<br />
UPT Perlindungan, Dinas Tanaman Pangan dan <strong>Hortikultura</strong> Provinsi Riau<br />
Jl. Hang Tuah Ujung No. 71 Pekanbaru, Riau<br />
2) BPTP Riau, Jalan Kahariddin Nasution No. 341 Pekanbaru, Riau<br />
ABSTRAK. Penelitian mengenai Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum Schelcht) pada<br />
Tanaman Caisin (Brassica campestris var. chinensis) dengan kombinasi Trichoderma harzianum dan<br />
Gliocladium virens telah dilaksanakan di Laboratorium Hama Penyakit Tanaman, UPT Perlindungan Tanaman<br />
Pangan dan <strong>Hortikultura</strong> Provinsi Riau di Pekanbaru selama 4 bulan, mulai dari bulan Juni sampai dengan<br />
September 2010. Tujuan penelitian ini adalah menguji beberapa jenis agens antagonis serta kombinasinya dalam<br />
pengendalian penyakit layu yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum. Penelitian menggunakan<br />
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan yaitu: A. (Aplikasi Trichoderma harzianum TR01);<br />
B.(Aplikasi Gliocladium virens GR01); C.(Aplikasi T.harzianum TR01 dan G.virens GR01) dan D. (Kontrol).<br />
Parameter yang diamati adalah: Pre-emergence damping off, dan post-emergence damping off. Munculnya gejala<br />
pertama dan populasi propagul patogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian T.harzianum TR01 dan<br />
G.virens GR01 serta kombinasinya dapat menekan gejala penyakit layu fusarium caisin pada Pre-emergence<br />
damping off (40,38%), Post-emergence damping off (44,43) dan populasi propagul patogen (38,17 %).<br />
Kata kunci: Pengendalian hayati, penyakit layu, caisin.<br />
ABSTRACT. Fuadi, I and Yusuf, R, 2013. Biological Control Study of wilt disease (Fusarium oxysporum<br />
Schelcht) on Caisin (Brassica campestris var. chinensis) with a combination Trichoderma harzianum AND<br />
Gliocladium virens. Research on Biological Control of wilt disease (Fusarium oxysporum Schelcht) on Caisin<br />
(Brassica campestris var. chinensis) with a combination Trichoderma harzianum and Gliocladium virens have<br />
been conducted at the Laboratory of Plant Disease, Food Crop and Horticulture Plant Protection <strong>Departemen</strong>t of<br />
Riau Province in Pekanbaru for four months, from June to September 2010. The purpose of this study was to test<br />
several types of antagonistic agents and their combinations in the control of wilt disease caused by Fusarium<br />
oxysporum. Research using Complete Randomized Design (CRD) with four treatments, namely: A. (Application<br />
of Trichoderma harzianum TR01); B. (Application of Gliocladium virens GR01); C. (Application of<br />
T.harzianum TR01 and G.virens GR01) and D. (Control). The parameters observed were: Pre-emergence<br />
dumping off, Post-emergence dumping off, the first of symptoms and population of pathogen propagule. The<br />
results showed that application of T.harzianum TR01 and G.virens GR01 and their combinations can suppress<br />
symptoms of caisin wilt disease on Pre-emergence dumping off (40.38%), Post-emergence dumping off (44.43)<br />
and the population of the pathogen propagules (38.17%).<br />
Key words: biological control, wilt disease, caisin and combinations.<br />
Caisin (Brassica campestris var. chinensis) merupakan tanaman sayuran daun dari famili<br />
Brassicaceae yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi dibandingkan dengan kubis krop, kubis<br />
bunga dan brokoli. Konsumsi caisin diduga akan mengalami peningkatan sesuai pertumbuhan jumlah<br />
penduduk, meningkatnya daya beli masyarakat, kemudahan tanaman ini diperoleh di pasar dan<br />
peningkatan pengetahuan gizi masyarakat. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi<br />
sayuran yang sehat dan bebas dari residu bahan kimia yang berbahaya sudah cukup tinggi.<br />
Masalah yang sering muncul dalam budidaya caisin adalah serangan hama dan penyakit yang<br />
dapat menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas hasil tanaman, bahkan dapat mengakibatkan<br />
gagal panen (Chalid, 2004). Salah satu penyakit yang sering menyerang tanaman sayur sawi-sawian<br />
termasuk caisin yang sangat berbahaya adalah penyakit layu Fusarium (Anonim, 2002).<br />
Species Fusarium terkenal karena keterlibatannya sebagai patogen tanaman dan<br />
menyebabkan bermacam-macam penyakit. Beberapa species Fusarium sp mempunyai sifat<br />
patogenitas yang cukup tinggi dan penyebarannya yang sangat luas. Fusarium sp juga diketahui<br />
memproduksi toksin yang dapat mengakibatkan inang menjadi layu dengan cara merusak membran sel<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│289
Studi Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum Schlecht) pada Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
dengan Kombinasi Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
dan metabolisme sel inangnya. Species yang terkenal dari cendawan ini sebagai patogen tanaman yaitu<br />
Fusarium oxysporum (Alexopoulus et al, 1996).<br />
Pengendalian penyakit layu tersebut dapat dilaksanakan melalui penerapan pengendalian<br />
terpadu yang disesuaikan dengan agroekosistem setempat. Salah satu komponen pengendalian<br />
penyakit layu F.oxysporum secara terpadu yang dapat dikembangkan adalah pengendalian secara<br />
hayati, yaitu penurunan jumlah patogen dan atau aktivitas yang menimbulkan penyakit dengan<br />
menggunakan organisme lain selain manusia. Pengendalian hayati oleh agens antagonis dapat terjadi<br />
melalui satu atau beberapa mekanisme berikut : antibiosis, kompetisi, hiperparasitisme, induksi<br />
ketahanan tanaman dan memacu pertumbuhan tanaman.<br />
Pengendalian penyakit tanaman menggunakan agens antagonis berpotensi dikembangkan. Hal<br />
ini disebabkan agens antagonis telah tersedia di alam, aman terhadap lingkungan, tidak mempunyai<br />
efek residu merugikan, aplikasinya tidak berulang-ulang dan relatif kompatibel dengan teknik<br />
pengendalian lainnya.<br />
Beberapa jenis agens antagonis yang efektif, misalnya Verticilium sp., Trichoderma sp., dan<br />
Giocladium sp. (Howell, 1989). Trichoderma harzianum adalah cendawan antagonis yang digunakan<br />
dalam pengendalian beberapa patogen tular tanah seperti Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici (FOL),<br />
karena selain mempunyai daya kompetisi yang tinggi, memiliki daya tahan hidup lama, mampu<br />
mengkolonisasi substrat dengan cepat dan juga bersifat sebagai mikoparasit pada hifa dan tubuh-tubuh<br />
istirahat dari patogen tumbuhan. (Ambar, 2003),<br />
Cendawan Gliocladium sp, diketahui merupakan mikroorganisme yang mampu menekan<br />
pertumbuhan patogen tular tanah, sekaligus mampu berperan sebagai penyedia bahan organik bagi<br />
pertanaman (Baker, 1989). Gliocladium juga memiliki beberapa spesies yang dapat bersifat sebagai<br />
mikoparasit dengan efektivitas yang hampir sebanding dengan Trichoderma. Gliocladium bekerja<br />
dengan memproduksi metabolit sekunder yang berfungsi sebagai anticendawan yang mengandung<br />
gliotoxin dan viridin, antibakteri atau phytotoxin (Brian et al. 1945 dalam Howell, 1989).<br />
Belum banyak penelitian yang dilakukan untuk pengujian efektifitas agens antagonis dengan<br />
mengkombinasikan antara antagonis dari golongan cendawan ini. Berdasarkan hal tersebut di atas,<br />
tujuan penelitian ini adalah menguji beberapa jenis agens antagonis serta kombinasinya dalam<br />
pengendalian penyakit layu yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Tempat dan Waktu Penelitian<br />
Penelitian telah dilaksanakan di lahan pengembangan sayuran eksport BBI <strong>Hortikultura</strong><br />
Padang Marpoyan, Laboratorium Hama Penyakit Tanaman UPT-Perlindungan, Dinas Tanaman<br />
Pangan dan <strong>Hortikultura</strong> Provinsi Riau di Pekanbaru, Penelitian berlangsung dari bulan April sampai<br />
Juli 2010.<br />
Bahan dan Metode<br />
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah benih caisin, pupuk kandang, pupuk buatan<br />
(NPK), tanaman terserang Fusarium, isolat cendawan Trichoderma harzianum TR01, Gliocladium<br />
virens GR01 (Koleksi LPHP UPT-Perlindungan Riau), isolat cendawan patogen Fusarium<br />
oxsysporum, media biakan cendawan dan bakteri (PDA, CMS, King’s B, Jagung giling), Cloroc 10<br />
%, aquades, antibiotik, dan bahan lain. Alat yang digunakan adalah ATK, gelas piala, gelas ukur,<br />
gelas erlemayer, objek glass, cover glass, cawan petri, tabung reaksi, ose, pinset, pipet, autoclave,<br />
oven, inkubator, vortex mixer, bunsen, kompor listrik, timbangan, Alat pertanian, Mikroskop, Alat<br />
klimatologi, pagar plastik, sprayer dan alat-alat lain.<br />
Rancangan Penelitian<br />
Rancangan Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan<br />
dan 4 ulangan. Perlakuannya yaitu:<br />
A. Aplikasi Trichoderma harzianum TR01<br />
B. Aplikasi Gliocladium virens GR01<br />
290│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum Schlecht) pada Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
dengan Kombinasi Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
C. Aplikasi T. harzianum TR01+ G.virens GR01<br />
D. Kontrol<br />
Parameter pengamatan adalah 1). Persentase Pre-emergence damping off, 2). Persentase Postemergence<br />
damping off, 3) munculnya gejala pertama dan 4) Populasi Propagul patogen. Untuk<br />
menguji pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati dilakukan analisis sidik ragam dengan uji<br />
lanjut Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf nyata 5 %.<br />
Pelaksanaan<br />
Isolasi Cendawan Fusarium oxysporum<br />
Sumber inokulum cendawan patogen F.oxysporum diambil dari tanaman caisin yang<br />
menunjukkan gejala penyakit layu F.oxysporum. Tanaman sakit diambil untuk diisolasi patogennya<br />
dengan metode moist chamber. Pengamatan morfologi cendawan F.oxysporum dilakukan secara<br />
makroskopis dan mikroskopis dengan menggunakan mikroskop multimedia.<br />
Tabel 1. Hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis cendawan F.oxysporum<br />
Pengamatan<br />
Hasil Pengamatan<br />
A. Makroskopis<br />
4. Warna koloni : Putih hingga krem<br />
5. Bentuk Koloni : Bulat, permukaan halus, hifa rapat dan tebal<br />
sehingga terlihat seperti kapas<br />
6. Arah Pertumbuhan koloni : Menyebar ke segala arah<br />
B. Mikroskopis<br />
4. Bentuk dan Warna<br />
a.Makrokonidia<br />
b.Mikrokonidia<br />
5. Jumlah Sel<br />
a.Makrokonidia<br />
b.Mikrokonidia<br />
:<br />
:<br />
6. Klamidospora : Ada<br />
:<br />
:<br />
Bentuk bulan sabit, hialin<br />
Oval atau elips, hialin<br />
2-4 sel<br />
1 sel<br />
Penyediaan isolat antagonis<br />
Isolat antagonis Trichoderma harzianum TR-01 dan Gliocladium virens GR-01 merupakan<br />
koleksi dari Laboratorium Hama Penyakit Tanaman, UPT-Perlindungan, Dinas Tanaman Pangan dan<br />
<strong>Hortikultura</strong> Riau.<br />
Perbanyakan inokulum<br />
Perbanyakan isolat cendawan patogen F.oxysporum dilakukan pada medium PDA, selanjutnya<br />
produksi konidium cendawan dilakukan pada media Corn Meal Sand (CMS). Perbanyakan cendawan<br />
antagonis T. harzianum TR01 dan G. virens GR01 dilakukan dengan menggunakan media Jagung.<br />
Di Lapangan<br />
Pelaksanaan penelitian dilakukan di lapangan dengan mengikuti kaidah budidaya tanaman<br />
yang dimulai dengan a. Persiapan Lahan, b. Pemupukan, c. Pemberian perlakuan, d. Penanaman dan e.<br />
Pemeliharaan (i. Penyiraman, ii. Penyiangan, iii. Perlindungan tanaman). Perlakuan diberikan<br />
bersamaan dengan aplikasi pupuk kandang yaitu satu minggu sebelum tanam.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Persentase Pre emergence damping off<br />
Dari masing-masing perlakuan agens hayati didapat data persentase benih terserang sebelum<br />
muncul ke permukaan tanah (pre-emergence damping off) pada tanaman caisin, setelah dilakukan<br />
analisis statistik dan uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5% seperti yang terlihat pada Tabel 2.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│291
Studi Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum Schlecht) pada Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
dengan Kombinasi Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
Tabel 2. Persentase benih terserang sebelum muncul ke permukaan tanah (Pre emergence damping<br />
off) yang diaplikasi dengan berbagai jenis agens hayati dan kombinasinya (%)<br />
Perlakuan<br />
Pre emergence damping<br />
off (%)<br />
D (Kontrol) 10,83 a<br />
B (Aplikasi Gliocladium virens GR01) 6,87 b<br />
A (Aplikasi Trichoderma harzianum TR01) 6,67 b<br />
C (Aplikasi T. harzianum TR01+ G.virens GR01) 6,46 b<br />
Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada uji lanjut DNMRT taraf 5%<br />
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa Aplikasi agens hayati baik secara tunggal maupun yang<br />
dikombinasikan memberikan hasil yang berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol<br />
tanpa agens hayati. Secara angka-angka, pemberian kombinasi agens hayati T.harzianum dan G.virens<br />
dapat menekan persentase penyakit rebah kecambah sebelum muncul ke permukaan tanah atau pre<br />
emergence damping off sehingga gejala yang muncul hanya 6,46 %, sedangkan perlakuan tanpa agen<br />
hayati sebesar 10,83 %.<br />
Pemberian perlakuan agens antagonis baik secara tunggal maupun kombinasi antara agens<br />
antagonis menunjukkan hasil yang dapat menekan perkembangan dan infeksi patogen pada benih.<br />
Walaupun demikian kombinasi agens antagonis menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menekan<br />
tingkat serangan cendawan F.oxyporum sebelum muncul ke permukaan tanah (pre emergence<br />
damping off). Rendahnya persentase tingkat serangan patogen pada perlakuan C ini disebabkan<br />
terdapatnya kombinasi agens hayati T.harzianum TR01 dan G.virens GR01 dalam mempertahankan<br />
tanaman terhadap serangan dan infeksi patogen cendawan Fusarium oxysporum. Hal ini disebabkan<br />
karena mekanisme antagonis dari kedua agens hayati tersebut dapat berjalan secara bersama dan<br />
kompatibel dalam menghambat serangan cendawan patogen Fusarium. Menurut Agrios (1997) bahwa<br />
Trichoderma dan Gliocladium dapat menyerang spora patogen di dalam tanah pada saat istirahat<br />
maupun dalam keadaan sempurna dengan cara membentuk hifa. Sifat antagonis cendawan<br />
Trichoderma mempunyai tiga type aktifitas : (1) Antibiosis dan lisis, (2) kompetisi, (3) parasitisme.<br />
Ketiga type ini telah berperan langsung dalam membentuk pertahanan banih caisin dari serangan<br />
cendawan patogen Fusarium. Secara antibiosis dan lisis Trichoderma menghambat proses<br />
metabolisme patogen dengan menghasilkan zat metabolik, kompetisi Trichoderma dengan bersaing<br />
mendapatkan nutrisi yang tersedia dalam tanah, sedangkan secara parasitisme Trichoderma dapat<br />
bersifat parasit dengan memperbanyak jaringan hifa. Sementara, Gliocladium diduga mampu<br />
mengeluarkan antibiotika gliotoksin yang menghambat pertumbuhan cendawan Fusarium. Senyawa<br />
gliotoksin dan viridin yang dihasilkan oleh Trichoderma spp. dan Gliocladium sp. Bersifat<br />
menghambat patogen (Baker dan Cook, 1983).<br />
Nurwardani (1995) menyatakan bahwa isolat Cendawan antagonis Trichoderma terus<br />
tumbuh ke arah koloni cendawan patogen Fusarium yang menyebabkan koloni Fusarium terhambat<br />
pertumbuhannya setelah bertemu miselia Cendawan antagonis Trichoderma sehingga menyebabkan<br />
hifa patogen mengalami lisis. Hal ini terjadi karena kemampuan cendawan antagonis Trichoderma<br />
dalam merusak dinding sel dan menghambat perkecambahan spora dan perpanjangan hifa cendawan<br />
patogen. Sehingga cendawan Fusarium tidak mampu berkembang karena kalah bersaing dengan<br />
cendawan antagonis Trichoderma dan Gliocladium, ditambah lagi persaingan populasi dalam merebut<br />
sumber nutrisi dan ruangan tempat hidup.<br />
Persentase Post emergence damping off<br />
Dari masing-masing perlakuan didapat data persentase benih terserang setelah muncul ke<br />
permukaan tanah (post-emergence damping off) pada tanaman caisin, setelah dilakukan analisis<br />
statistik dan uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5% seperti yang terlihat pada Tabel 3.<br />
292│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum Schlecht) pada Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
dengan Kombinasi Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
Tabel 3. Persentase benih terserang setelah muncul ke permukaan tanah (Post-emergence damping off)<br />
yang diaplikasi dengan berbagai jenis agens hayati dan kombinasinya (%)<br />
Perlakuan<br />
Post emergence damping<br />
off (%)<br />
D (Kontrol) 7,63 a<br />
B (Aplikasi Gliocladium virens GR01) 4,51 b<br />
A (Aplikasi Trichoderma harzianum TR01) 4,25 b<br />
C (Aplikasi T. harzianum TR01+ G.virens GR01) 4,24 b<br />
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa Aplikasi agens hayati secara tunggal maupun yang<br />
dikombinasikan dapat menekan tingkat serangan cendawan F.oxyporum setelah muncul ke permukaan<br />
tanah (post emergence damping off) dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol.<br />
Namun demikian perlakuan terbaik dalam menekan tingkat serangan cendawan F.oxyporum pada<br />
tanaman caisin setelah muncul ke permukaan tanah (post emergence damping off) adalah perlakuan C<br />
yaitu dengan persentase serangan 4,24 %, dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan A dan B.<br />
Sementara persentase serangan tertinggi terlihat pada perlakuan D yaitu 7,63 %. Pemberian perlakuan<br />
dengan kombinasi antara agens antagonis menunjukkan hasil yang lebih baik secara angka-angka<br />
dalam menekan tingkat serangan cendawan F.oxyporum pada benih setelah muncul ke permukaan<br />
tanah jika dibandingkan dengan pemberian secara tunggal maupun kontrol.<br />
Secara umum pemberian perlakuan berbagai jenis agens hayati dapat menurunkan persentase<br />
benih terserang setelah tumbuh ke permukaan tanah jika dibandingkan dengan tanpa pemberian<br />
perlakuan. Dari data diatas terlihat bahwa kedua jenis agens hayati yaitu T.harzianum TR01 dan<br />
G.virens GR01 dapat menurunkan persentase kematian tanaman setelah muncul ke permukaan tanah,<br />
baik secara individu maupun dikombinasikan. Dimana dengan adanya pemberian agens anatgonis<br />
akan menurunkan tingkat kevirulenan cendawan F.oxysporum melalui mekanisme antagonis yang<br />
dimiliki masing-masing agens antagonis.<br />
Dimana penurunan kematian semai kemungkinan disebabkan karena kemampuan<br />
T.harzianum TR01, G.virens GR01 dapat membelit hifa cendawan patogen dan mengeluarkan<br />
antibiotik sehingga pertumbuhan cendawan patogen terhambat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian<br />
Widyastuti et al. (2004) bahwa hasil uji anatgonis R.solani dan Fusarium sp menunjukkan adanya<br />
penghambatan pertumbuhan oleh Trichoderma dengan persentase penghambatan pertumbuhan<br />
R.solani sebesar 64,5 % dan Fusarium sp sebesar 71,2 % pada hari ke 5 dimana Trichoderma adalah<br />
jenis yang banyak dilaporkan menjadi agen biokontrol yang sangat effektif mengendalikan sejumlah<br />
cendawan patogen penyebab penyakit tanaman (Lewis et al. 1998) sedangkan menurut Chat dalam<br />
Harman et al, (2004), Trichoderma memiliki kemampuan bersaing menghasilkan senyawa antibiotik<br />
dan bersifat mikoparasit dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen.<br />
Gliocladium virens memproduksi sejumlah agens anticendawan seperti Gliovirin dan<br />
Gliotoxin, juga kompetisi dan parasitisme merupakan mekanisme antagonis yang utama dengan<br />
miselium yang efektif. Pada pengendalian hayati, perkecambahan konidia atau klamidospora akan<br />
memudahkan agensia hayati seperti Gliocladium virens untuk menyerang miselium F. oxysporum<br />
(Baker & Cook, 1983). G. virens juga dapat menghambat penyebab penyakit lainnya seperti<br />
Rhizoctonia spp., Pythium spp., dan Sclerotium rolfsii penyebab damping-off dan penyebab penyakit<br />
akar, diduga enzimnya beta glucanase. G. virens mampu menekan Sclerotium rolfsii sampai 85%<br />
secara in-vitro (Winarsih, 2007). Ditambahkan oleh Jeffries & Young (1994) bahwa G. virens dapat<br />
mengeluarkan antibiotik gliotoksin, glioviridin dan viridin yang bersifat fungistatik. Gliotoksin dapat<br />
menghambat cendawan dan bakteri.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│293
Studi Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum Schlecht) pada Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
dengan Kombinasi Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
Munculnya gejala pertama serangan (hari)<br />
Dari masing-masing perlakuan didapat data waktu mulai terlihatnya gejala pertama serangan<br />
pada tanaman caisin, setelah dilakukan analisis statistik dan uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5%<br />
seperti yang terlihat pada Tabel 4.<br />
Tabel 5. Waktu mulai terlihatnya gejala pertama serangan patogen pada tanaman yang diaplikasi<br />
dengan berbagai jenis agens hayati dan kombinasinya (hari)<br />
Masa inkubasi<br />
Perlakuan<br />
(hari)<br />
A (Aplikasi Trichoderma harzianum TR01) 7,75 a<br />
C (Aplikasi T. harzianum TR01+ G.virens GR01) 7,50 a<br />
B (Aplikasi Gliocladium virens GR01) 7,25 a<br />
D (Kontrol) 6,00 b<br />
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa pemberian perlakuan berbagai jenis agens hayati serta<br />
kombinasinya memberikan hasil yang berbeda nyata pada hari munculnya gejala pertama serangan<br />
dimana waktu yang paling lama munculnya gejala pertama serangan terlihat pada perlakuan A yaitu<br />
7,75 hari, berturut-turut diikuti perlakuan C (7,5 hari) dan B (7,25 hari), sedangkan waktu yang paling<br />
cepat munculnya gejala pertama serangan ada pada perlakuan D (6 hari).<br />
Pada pengamatan waktu mulai munculnya gejala pertama serangan pada tanaman caisin,<br />
pemberian perlakuan kombinasi agens antagonis jika dibandingkan dengan perlakuan tunggal tidak<br />
berbeda nyata, namun secara angka-angka dalam menekan masa inkubasi dan kevirulenan cendawan<br />
F.oxysporum pada tanaman caisin dapat dibedakan.<br />
Pada perlakuan kontrol, yang tanpa adanya pemberian perlakuan agens antagonis terlihat<br />
munculnya gejala pertama serangan lebih cepat, hal ini kemungkinan disebabkan lingkungan yang<br />
sesuai untuk perkembangan cendawan patogen F.oxysporum sehingga masa inkubasi dan gejala<br />
pertama yang ditimbulkan lebih cepat. Selain hal tersebut, patogennya bersifat virulen, sehingga<br />
patogen lebih cepat menginfeksi jaringan akar tanaman caisin dimana Suhu dan pH tanah sesuai<br />
untuk pertumbuhan F. oxysporum dengan suhu optimum 25-30 o C, maksimum pada atau di bawah<br />
37 0 C, dan minimum di atas 5 0 C (Domsch et al, 1993).<br />
Cendawan F.oxysporum mempunyai kevirulenan dan kepatogenan tinggi dan lingkungan<br />
yang sesuai untuk perkembangannya, yaitu dengan rata-rata suhu tanah 27,94 oC dan kelembaban<br />
tanah 73 %, hal ini mengakibatkan masa inkubasi dan gejala pertama yang ditimbulkan lebih awal.<br />
Menurut Agrios (1997) kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan patogen dan kurang<br />
mendukung bagi tanaman akan mempercepat masa inkubasi, sehingga patogen tidak membutuhkan<br />
waktu lama untuk menginfeksi tanaman.<br />
Fusarium oxysporum memiliki dua macam spora yaitu mikrokonidium dan makrokonidium.<br />
Di samping itu juga dihasilkan klamidospora (Rifai, 1969). Inokulum cendawan F. oxysporum adalah<br />
konidia dan klamidospora. Maria et al, (2004) menerangkan bahwa inokulum patogen dapat masuk<br />
melalui akar dengan penetrasi langsung atau melalui luka. Di dalam jaringan tanaman, patogen dapat<br />
berkembang secara interseluler maupun intraseluler. Klamidospora dapat berkecambah bila ada<br />
rangsangan eksudat akar yang mengandung gula dan asam amino, juga dapat dirangsang dengan<br />
penambahan residu tanaman ke dalam tanah.<br />
Cendawan F.oxysporum yang menyebabkan terjadinya penyakit layu pada tanaman caisin<br />
akan berkembang dalam berkas pembuluh tanaman. Fusarium menginfeksi melalui jaringan meristem<br />
ujung akar-akar dan berkembang dalam pembuluh batang. Cendawan mengadakan penetrasi melalui<br />
jaringan epidermis pada zona memanjangnya akar dan melalui celah-celah yang terjadi karena<br />
munculnya akar lateral yang baru. Gejala serangan pertama pada muncul daun-daun menjadi pucat,<br />
bagian tanaman layu dan sedikit demi sedikit seluruh tanaman layu dan akhirnya mati (Semangun,<br />
2000).<br />
Pada perlakuan yang yang diaplikasi dengan agens antagonis, baik secara tunggal maupun<br />
kombinasi mampu memperlambat masa inkubasi dan munculnya gejala pertama serangan. Adanya<br />
penundaan masa inkubasi dan munculnya gejala pertama serangan disebabkan terjadinya persaingan<br />
antara patogen dengan antagonis, Hal ini sesuai dengan pendapat Widodo (1993) yang menyatakan<br />
294│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum Schlecht) pada Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
dengan Kombinasi Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
bahwa patogen sukar melakukan penetrasi ke tanaman dan menimbulkan penyakit apabila perkaran<br />
terkuasai oleh agen antagonis.<br />
Ditambahkan dengan pendapat Tronsmo (1996) bahwa cendawan T.harzianum mempunyai<br />
mekanisme persaingan dan mampu menghasilkan enzim β(1-3) glukonase, kitinase dan enzim lisis.<br />
Selain itu Santoso et al. (1999) menyebutkan bahwa T.harzianum menghasilkan antibiotika yang<br />
mempu mengurangi pertumbuhan cendawan Pytium sp. Bahkan jauh sebelumnya Baker dan Cook<br />
(1983) menyatakan bahwa senyawa gliotoksin dan viridin yang dihasilkan Trichoderma spp bersifat<br />
menghambat patogen tanaman. Ditambahkan Weller, (1988) Mikroorganisme tanah seperti<br />
Trichoderma spp, Gliocladium spp dan bakteri dapat bertindak sebagai dekomposer dan juga sebagai<br />
agen pengendali hayati patogen tanaman.<br />
Populasi Propagul Patogen<br />
Dari masing-masing perlakuan didapat data populasi propagul patogen pada petak percobaan,<br />
setelah dilakukan analisis statistik dan uji lanjutan DNMRT pada taraf nyata 5% seperti yang terlihat<br />
pada Tabel 5.<br />
Tabel 5. Populasi propagul Fusarium oxysporum pada lahan tanaman caisin yang diaplikasi dengan<br />
berbagai jenis agens hayati dan kombinasinya (cfu/gr)<br />
Populasi patogen<br />
Perlakuan<br />
(cfu/g.10 -4 )<br />
D (Kontrol) 8,33 a<br />
B (Aplikasi Gliocladium virens GR01) 5,24 c<br />
A (Aplikasi Trichoderma harzianum TR01) 5,22 c<br />
C (Aplikasi T. harzianum TR01+ G.virens GR01) 5,15 C<br />
Dari Tabel 5 terlihat bahwa populasi propagul paling rendah terlihat pada perlakuan C yaitu<br />
sebesar 5,15 x 10 4 dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan A dan B namun berbeda nyata dengan<br />
perlakuan D, dimana perlakuan D ini memperlihatkan jumlah propagul cendawan F.oxysporum<br />
tertinggi yaitu sebesar 8,33 x 10 4 .<br />
Tingginya jumlah rata-rata propagul cendawan F.oxysporum pada perlakuan kontrol karena<br />
tidak terjadinya mekanisme pengendalian oleh agens antagonis.<br />
Pada pengendalian dengan agens antagonis, baik itu secara sendiri-sendiri maupun<br />
dikombinasikan dapat menekan populasi cendawan F.oxysporum dengan lebih baik, hal ini disebabkan<br />
telah berjalannya mekanisme pengendalian oleh agens antagonis. Mekanisme kerja antagonis adalah<br />
menghambat perkecambahan konidia tanah sehingga tidak mampu menginfeksi tanaman. Selain itu<br />
kolonisasi dan pertumbuhan antagonis pada konidia mengakibatkan turunnya viabilitas konidia, hal ini<br />
sangat menguntungkan karena jumlah propagul di dalam tanah akan berkurang. Menurut Cook dan<br />
Snyder, (1965) eksistensi antagonis pada periode antara berkecambahnya sklerotia dengan saat akan<br />
menginfeksi tanaman merupakan fase yang paling rawan bagi cendawan patogen karena pada saat<br />
inilah mikroorganisme antagonis menyerang dan merusak miselia muda yang baru tumbuh.<br />
Papavizas (1985) menyatakan bahwa Trichoderma spp. memproduksi metabolit yang<br />
bersifat racun ataupun bersifat fungistatis dan anti biosis. Selain itu, Trichoderma juga memproduksi<br />
enzim B-1.3 glucanase, chitinase dan cellulase yang mengakibatkan dinding sel hifa patogen<br />
terdegrasi. Hal tersebut diperkuat pendapat Agrios (1997), bahwa cendawan di dalam tanah hidup<br />
bersama-sama dengan mikroba antagonis, yang menyebabkan lingkungan menjadi miskin zat<br />
makanan dan terdapatnya metabolit yang beracun. Sebagai akibatnya spora cendawan tidak mampu<br />
berkecambah dan bereproduksi.<br />
Antagonis T. harzianum merupakan pesaing yang baik dan mampu tumbuh dengan cepat.<br />
Selain hal tersebut, T. harzianum bersinergi dengan antagonis lain dalam menekan populasi patogen<br />
tular-tanah. Selain merupakan keadaan yang sesuai untuk F. oxysporum, kondisi lingkungan juga<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│295
Studi Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum Schlecht) pada Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
dengan Kombinasi Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
sesuai untuk T. harzianum dan Gliocladium sp. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sinaga (1986),<br />
yang menyatakan bahwa suhu optimum untuk perkembangan Gliocladium sp. dan T. harzianum<br />
mampu berkompetisi dengan pathogen dalam menguasai ruang dan nutrisi, cepat tumbuh dan<br />
membutuhkan sedikit nutrisi, dan menghasilkan antibiotika tidak menguap, dan ber berinteraksi<br />
dengan hifa. Sementara, Gliocladium sp. bersifat antagonis, menyebabkan kematian, dan mampu<br />
menghancurkan hifa inangnya dengan sekresi satu atau lebih antibiotika (Djatnika dan Raharjo,<br />
2002).<br />
Hasil penelitian Soesanto et al (2008) didapatkan Antagonis yang terbaik dalam menekan<br />
F.oxysporum f.sp. gladioli in vitro dan in planta ialah T. harzianum dari jahe. Penggabungan<br />
antagonis T. harzianum dari jahe, Gliocladium sp., dan P. fluorescens P60 mampu menekan penyakit<br />
layu Fusarium hingga 53.98% dan menurunkan jumlah populasi akhir F. oxysporum f. sp. Gladioli<br />
sampai 3.67x10 1 upk/g.<br />
KESIMPULAN<br />
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat diambil kesimpulan bahwa aplikasi<br />
kombinasi maupun tunggal agens antagonis Trichoderma harzianum TR01 dan Gliocladium virens<br />
GR01 memberikan pengaruh nyata dalam menekan populasi dan tingkat serangan cendawan Fusarium<br />
oxysporum dan Agens hayati antagonis T.harzianum TR01 dan G. virens GR01 dapat dikombinasikan<br />
untuk pengendalian patogen penyebab penyakit layu Fusarium oxysporum, sehingga dapat menekan<br />
persentase tanaman terserang pada Pre-emergence damping off sebesar 40,38 %, post0emergence<br />
damping off 44,43 % dan populasi propagul cendawan fusarium 38,17 %<br />
SARAN<br />
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyarankan untuk dapat menerapkan pengendalian<br />
penyakit layu Fusarium oxysporum pada tanaman caisin dengan mengkombinasikan agens antagonis<br />
Trichoderma harzianum TR01 dan Gliocladium virens GR01. Kemudian penelitian ini dapat<br />
dilanjutkan untuk mengetahui dan menguji mekanisme interaksi yang specifik dari masing-masing<br />
agens antagonis dengan patogen maupun dengan tanaman baik secara in-vitro maupun in-planta.<br />
PUSTAKA<br />
1. Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press.<br />
2. Alexopoulus, C. J,. Mims, C.W., and Blackwell,M. 1996. Introductory Micology. Ed. 4. A. Jhon<br />
Willey Sons. Inc,. Publication, New York.<br />
3. Ambar, A.A. 2003. Efektivitas waktu inokulasi Trichoderma viridae dalam mencegah penyakit<br />
layu Fusarium tomat (Lycopersicun esculentum Mill) di rumah kaca. J. Fitopat. Ind. 7(1): 7-11.<br />
4. Anonim, 2002. Teknologi Produksi Sayur Daun Lebar (Leafy Vegetables) Dataran Rendah. Dinas<br />
Tanaman Pangan Provinsi Riau. Pekanbaru.<br />
5. Baker, K. F. and R. J. Cook. 1983. Biological Control of Plant Pathogen.Freeman and Company.<br />
San Fransisco.<br />
6. Baker, 1989. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. American<br />
Phytopathological Society. St Paul. Minnesota.<br />
7. Chalid, N. 2004. Teknologi Pengendalian Hama Penyakit Sayur Dataran Rendah. Dinas Tanaman<br />
Pangan Propinsi Riau. Pekanbaru.<br />
8. Chat, I. and Baker, R. 1981. Isolation and biocontrol potential of Trichoderma hamamatum from<br />
soil naturally suppressive to Rhizoctonia solani. Phytopathology, 71:286-290.<br />
296│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Studi Pengendalian Hayati Penyakit Layu (Fusarium oxysporum Schlecht) pada Caisin (Brassica campestris var. chinensis)<br />
dengan Kombinasi Trichoderma harzianum dan Gliocladium virens<br />
Fuadi, I 1) dan Yusuf, R 2)<br />
9. Cook, R.J. and Snyder, W.C. 1965. Influence of host exudates on growth and survival of<br />
germlings of Fusarium solani f. phaseoli in soil. Phytopathology, 55:1021-1025.<br />
10. Djatnika, I dan I.B. Raharjo. 2002. Pengaruh Beberapa Medium Mikroba Antagonis Gliocladium<br />
sp. dan Trichoderma sp. terhadap Perkembangan dan Penekanan Fusarium sp. dan Rhizoctonia<br />
solani. Agrin. 6 (13) : 9-19.<br />
11. Domsch, K.H., Gams, W., and Anderson, T.H., 1980. Compedium of Soil Fungi. Vol. 1.<br />
Academic Press. London.<br />
12. Harman, G. E., Petzoldt, R., Comis, A., and Chen, J. 2004. Interactions between Trichoderma<br />
harzianum strain T22 and maize inbred line Mo17 and effects of this interaction on diseases<br />
caused by Pythium ultimum and Colletotrichum graminicola. Phytopathology 94:147-153.<br />
13. Howel,C.R. 1989. Fungi as Biological Control Agents. U.S. Department of Agriculture. College<br />
Station, Texas.<br />
14. Jeffries and Young. 1994. Interfungal parasitic relationship. CAB International, London.<br />
15. Kloepper JW. 1991. Plant growth promotion mediated by bacterial rhizosphere colonizers. Di<br />
dalam: Keister DL, Cregan PB, editor. The rhizosphere and plant growth. Beltsville symposia in<br />
agricultural research; Beltsville, 8-11 May 1989. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 315-<br />
326.<br />
16. Lewis, J.A., R.P. Larkin and D.L. Rogers. 1998. A formulation of Trichoderma and Gliocladium<br />
to reduce damping-off by Rhizoctonia solani and saprophytic growth of the pathogen in soil less<br />
mix. Pl. Dis., 82: 501-506.<br />
17. Maria, I. Salerno., Silvio, G., Christine, A., Pearson, V. G. 2004. Ultrastructural and cell wall<br />
modifications during infection of Eucalyptus viminalis roots by a pathogenic Fusarium<br />
oxysporum strain.The Phytopathological Society of Japan and Springer-Verlag Tokyo. J. Gen<br />
Plant Pathol (2004) 70:145-152.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│297
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam)<br />
Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)<br />
Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1)<br />
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan<br />
(Dendranthema grandiflora Kitam) Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase<br />
Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)<br />
Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1)<br />
1) Balai Penelitian Tanaman Hias, Jl. Raya Ciherang-Pacet, Cianjur 43253<br />
2) Institut <strong>Pertanian</strong> Bogor, Jl. Kamper Darmaga, Bogor<br />
Abstrak. Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) adalah salah satu viroid yang menginfeksi tanaman krisan di<br />
Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan metode deteksi CSVd secara molekuler dan<br />
mengkarakterisasi CSVd isolat Indonesia. RNA total diekstraksi dari daun tanaman krisan menggunakan Rneasy<br />
Plant Mini Kits (Qiagen, Germany). Amplifikasi genom CSVd dilakukan dengan teknik reverse transcriptionpolymerase<br />
chain reaction (RT-PCR) menggunakan pasangan primer 5’-CAACTGAAGCTTCAACGCCTT-3’<br />
dan 5’-AGGATTACTCCTGTCTCGCA-3’. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebuah fragmen dengan<br />
ukuran 250 bp yang mengindikasikan basa-basa penyusun c-DNA CSVd berhasil diamplifikasi dari tanaman<br />
krisan sakit menggunakan teknik RT-PCR. Sekuen c-DNA CSVd isolat Indonesia telah ditemukan dengan<br />
urutan sebagai berikut<br />
CTTAGGATTACTCCTGTCTCGCAGGAGTGGGGTCCTAAGCCTCATTCGATTGCGCGAATCTCGTCGT<br />
GCACTTCCTCCAGGGATTTCCCCGGGGGATACCCTGTAAGGAACTTCTTCGCCTCATTTCTTTTAAG<br />
CAGCAGGGTTCAGGAGTGCACCACAGGAACCACAAGTAAGTCCCGAGGGAACAAAACTAAGGTTC<br />
CACGGGCTTACTCCCTAGCCCAGGTAGGCTAAAGAAGATTGGAA. Urutan basa-basa tersebut<br />
memiliki tingkat kesamaan yang tinggi dengan sekuen nukleotida isolat CSVd dari Jepang, Korea, India, dan<br />
Amerika.<br />
ABSTRACT. Diningsih, E., G. Suastika, & Y. Sulyo . 2011. Detection and Identification of<br />
Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) on chrysanthemum (Dendranthema grandiflora Kitam) using RT-<br />
PCR method. Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) is one of the important viroids infecting chrysanthemum in<br />
Indonesia. The purpose of this research was to develop molecular-based detection method and characterize<br />
CSVd Indonesian isolate. Total RNA was extracted from chrysanthemum leaf using Rneasy Plant Mini Kits. .<br />
Amplification of the CSVd genom was carried out using a pair of primer i.e. 5’-<br />
CAACTGAAGCTTCAACGCCTT-3’ and 5’-AGGATTACTCCTGTCTCGCA-3’. The result showed that a<br />
fragment of 250 bp indicating the composition of CSVd c-DNA was successfully amplified from infected<br />
chrysanthemum plant using RT-PCR method. The c-DNA sequence of Indonesian CSVd isolate was<br />
successfully found with the acid-base arrangement as follow:<br />
CTTAGGATTACTCCTGTCTCGCAGGAGTGGGGTCCTAAGCCTCATTCGATTGCGCGAATCTCGTCGT<br />
GCACTTCCTCCAGGGATTTCCCCGGGGGATACCCTGTAAGGAACTTCTTCGCCTCATTTCTTTTAAG<br />
CAGCAGGGTTCAGGAGTGCACCACAGGAACCACAAGTAAGTCCCGAGGGAACAAAACTAAGGTTC<br />
CACGGGCTTACTCCCTAGCCCAGGTAGGCTAAAGAAGATTGGAA. The arrangement of the sequence<br />
has highly homology with those of CSVd isolates from Japan, Korea, India, and USA.<br />
Key word: Chrysanthemum stunt viroid (CSVd), reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR),<br />
Dendranthema grandiflora Kitam, DNA sequencing.<br />
Krisan merupakan salah satu bunga potong yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Hal ini<br />
terlihat pada produksi bunga potong krisan pada tahun 2006 menempati urutan pertama sebesar<br />
63.716.256 tangkai atau 38,23%. Angka ini diatas mawar, sedap malam, gladiol dan anggrek. Jika<br />
dibandingkan dengan produksi pada tahun 2005 terdapat peningkatan sebesar 34.24% (Direktorat<br />
Jendral <strong>Hortikultura</strong>, 2007). Data dari Biro Pusat Stiatistik tahun 2008, menyebutkan bahwa produksi<br />
krisan pot sebesar 99.158.942 tangkai jauh di atas anggrek dengan produksi 15.343.040, mawar<br />
39.161.603 tangkai dan sedap malam 21.180.043 tangkai (Anonim, 2010). Sedangkan pemasaran<br />
untuk krisan standar di pasar Rawa Belong pada tahun 2009 mencapai 163.106 ikat, jika ikatnya<br />
terdapat 10 tangkai maka penjualanyanya mencapai 1.631.060 tangkai (Anonim, 2010). Tingginya<br />
produksi krisan dibandingkan bunga potong lain berimplikasi pada kebutuhan benih dan varietas yang<br />
cukup tinggi pula.<br />
298│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam)<br />
Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)<br />
Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1)<br />
Kebutuhan bibit krisan yang tinggi seringkali tidak disertai jaminan terhadap kualitasnya.<br />
Bibit krisan berkualitas yang diimpor dari negara lain umumnya banyak dikembangkan dan diproduksi<br />
oleh beberapa perusahaan besar krisan di Indonesia, sementara pada tingkat petani pemanfaatan<br />
tanaman induk berulang menjadi realitas di lapangan karena keterbatasan permodalan yang dimiliki.<br />
Penggunaan tanaman induk secara terus menerus sebagai sumber bibit tanaman produksi<br />
mengakibatkan terjadinya degenerasi. Pertumbuhan tanaman menjadi terhambat (stunting) dengan<br />
perakaran yang terbatas, daun-daun berukuran kecil dan berwarna hijau pucat, pembungaan lebih<br />
cepat (beberapa hari) dibandingkan dengan yang sehat, bunga yang dihasilkan berukuran sangat kecil<br />
dengan warna yang pudar (Hill et al. 1996). Penyebab utama terjadinya degenerasi pada tanaman<br />
krisan ialah Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) yang terbawa dalam bibit (Duran et al. 1996).<br />
CSVd merupakan patogen yang terdiri dari asam nukleat (RNA) sirkular single stranded<br />
dengan panjang untai 354 atau 356 nukleotida dan memiliki berat molekul RNA yang rendah (Diener<br />
dan Lawson, 1973). CSVd ditularkan melalui perbanyakan stek yang diambil dari tanaman induk yang<br />
terinfeksi, peralatan yang terkontaminasi, dan adanya tanaman sakit. Besarnya peluang kondisi<br />
tersebut terjadi menyebabkan CSVd berkembang dan menyebar lebih cepat (Kryczynski et al. 1988;<br />
Gora-Sochacka 2004). Menurut laporan peneliti Balai Penelitian Tanaman Hias, Segunung, kejadian<br />
penyakit yang diduga disebabkan oleh CSVd pernah terjadi di salah satu perusahaan krisan di Cianjur,<br />
Jawa Barat. Seluruh tanaman krisan pertumbuhannya kerdil dengan daun yang menguning. Gejala<br />
yang sama juga dilaporkan pada tanaman krisan yang ditanam di DI Yogyakarta .<br />
Untuk menghindari kerugian yang lebih besar fenomena degradasi pada tanaman krisan perlu<br />
diatasi. Cara yang paling menjanjikan ialah menggunakan bibit krisan bebas CSVd. Perbanyakan<br />
tanaman (stek) dari tanaman induk bebas CSVd menjadi persyaratan utama untuk penyediaan bibit<br />
krisan sehat. Selanjutnya sertifikasi penangkar benih krisan menjadi hal yang krusial yang perlu<br />
dilakukan. Dalam sertifikasi, terutama terkait dengan kesehatan bibit, metode deteksi patogen dengan<br />
akurasi tinggi sangat diperlukan. Metode deteksi virus yang biasa digunakan, yaitu metode serologi,<br />
tidak dapat diterapkan untuk mendeteksi viroid karena tidak adanya mantel protein (Bos 1990).<br />
Pendekatan molekuler berbasis asam nukleat merupakan salah satu cara yang paling sesuai untuk<br />
mendeteksinya (Duran et al. 1996; Gora-Sochacka 2004).<br />
Hingga saat ini terdapat tiga metode utama deteksi CSVd, yaitu return electrophoresis<br />
(OEPP/ EPPO 2002), dot-blot hybridization assay (Candrese et al. 1988), dan reverse transcriptionpolymerase<br />
chain reaction (RT-PCR) (Hosokawa et al. 2006). Namun demikian, penelitian dan<br />
pendeteksian terhadap CSVd belum pernah dilakukan di Indonesia.<br />
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode deteksi CSVd berbasis molekuler<br />
menggunakan teknik RT-PCR dan mengungkap identitas molekuler CSVd isolat Indonesia melalui<br />
perunutan nukleotida, dengan membandingkannya dengan urutan nukleotida CSVd isolat lainnya yang<br />
berada di gen Bank. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah CSVd dapat dideteksi dengan<br />
metode RT-PCR dan CSVd isolat Indonesia memiliki homologi yang tinggi dengan beberapa isolat<br />
CSVd di negara lain.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, <strong>Departemen</strong> Proteksi<br />
Tanaman, Institut <strong>Pertanian</strong> Bogor (IPB), Bogor, dan rumah kaca serta Laboratorium<br />
Virologi, Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi), Segunung, Cianjur, Jawa Barat, dari Mei<br />
2007 sampai dengan Juni 2008.<br />
Bahan tanaman<br />
Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman krisan yang terinfeksi<br />
CSVd yang menunjukkan gejala kerdil yang diperoleh dari Bali, Medan, dan Cianjur.<br />
Tanaman contoh disimpan dan dipelihara di rumah kaca Balithi, Segunung atau disimpan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│299
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam)<br />
Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)<br />
Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1)<br />
dalam ruang penyimpanan -80 o C di Laboratorium Virologi IPB, terutama untuk sampel dari<br />
Medan dan Bali.<br />
Pengamatan Gejala di Lapangan<br />
Pengamatan gejala dilakukan pada saat pengambilan sampel di lapangan, terutama<br />
untuk sampel yang diambil di daerah Cianjur (Balithi).<br />
Ekstraksi RNA Total<br />
RNA total diekstraksi dari daun tanaman krisan menggunakan Rneasy Plant Mini Kits<br />
(Qiagen, Hilden, Jerman). Prosedur ekstraksi sesuai dengan instruksi perusahaan penyedia kit.<br />
Sebanyak 100 mg daun tanaman yang diduga terinfeksi CSVd digerus dalam nitrogen cair.<br />
Serbuk hasil gerusan tersebut kemudian ditambah 450 µl bufer lisis (bufer lisis mengandung<br />
1% merkaptoetanol (Qiagen, Hilden, Jerman), kemudian dimasukkan ke dalam tabung<br />
Eppendorf 1,5 ml (Axigen, California, USA) dan dipanaskan dalam penangas air (Wealtec,<br />
US) 56 o C selama 10 menit. Selanjutnya dimasukkan ke dalam spin column ungu (Qiagen,<br />
Hilden, Jerman) dan disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama dua menit pada suhu<br />
ruang. Supernatan diambil dan ditambahkan 0,5 volume etanol 96% (Merck, Jakarta,<br />
Indonesia) selanjutnya dihomogenisasi dengan pipeting. Campuran dipindahkan ke spin<br />
column warna merah muda dan disentrifugasi pada 13.000 rpm selama satu menit. Spin<br />
column dipindahkan ke tabung yang baru kemudian ditambahkan 700 µl bufer RW I (Qiagen,<br />
Hilden, Germany) dan disentrifugasi pada 10.000 rpm selama satu menit. Cairan pada spin<br />
column dibuang, ditambahkan 500 µl bufer RPE (Qiagen, Hilden, Germany), kemudian<br />
disentrifugasi 2x 10.000 rpm masing-masing selama satu dan dua menit. Spin column<br />
dipindahkan ke collection tube (Axigen, California, USA) baru dan disentrifugasi pada 13.000<br />
rpm selama satu menit (memastikan kolomnya bebas etanol). Spin column dipindahkan ke<br />
tabung Eppendorf baru 1,5 ml, kemudian ditambahkan 40 µl air bebas nuklease ke dalam<br />
kolom dan diinkubasikan selama sepuluh menit pada suhu ruang, selanjutnya disentrifugasi<br />
pada kecepatan 10.000 rpm selama satu menit. RNA total yang diperoleh dan terdapat dalam<br />
tabung, disimpan di ruang penyimpanan pada suhu -80 o C sampai akan digunakan.<br />
Amplifikasi dan Perunutan Nukleotida CSVd<br />
Amplifikasi seluruh genom CSVd dilakukan dengan teknik reverse transcriptionpolymerase<br />
chain reaction (RT-PCR) menggunakan pasangan primer 5’-<br />
CAACTGAAGCTTCAACGCCTT-3’ dan 5’-AGGATTACTCCTGTC TCGCA-3’ yang<br />
dilaporkan dapat menghasilkan produk PCR dengan ukuran 250 bp (Hosokawa et al. 2004).<br />
Amplifikasi dilakukan pada sebuah Gene Amp PCR System 9700 Thermocycler (Applied<br />
Biosystems, Forster City, CA, USA). Reaksi RT sebanyak 25 µl terdiri dari 5 µl cetakan<br />
RNA; 5 µl dNTPs 10 mM; 2,5 µl bufer RT 10x (1x = 150 mM NaCl, 50 mM Tris-HCl [pH<br />
7,6], 0,1 mM EDTA, 1 mM dithiothreitol, 0,1% NP-40 dan 50% glycerol (Qiagen, Hilden,<br />
Germany); 1 µl enzim reverse transcriptase Moloney Murine Leukemia Virus (MmuLV)<br />
(BioLabs, London, New England); 1 µl Recombinant Rnasin Ribonuclease Inhibitor<br />
(Promega, Madison, WI, USA); 1,5 µl primer oligo d(T) 10 µM; dan 9 µl dH2O. Reaksi RT<br />
dilakukan pada kondisi 25 °C selama 3 menit, 37 °C selama 90 menit, diikuti dengan<br />
inaktivasi pada 70 °C selama 15 menit.<br />
Reaksi PCR sebanyak 25 µl terdiri dari 1 µl primer Forward 10 µM dan 1 µl primer<br />
Reverse 10 µM; 2,5 µl bufer PCR 10x (1x = 10 mM KCl, 20 mM Tris-HCl [pH 8,8 pada<br />
25°C], 10 mM (NH 4 ) 2 SO 4 , 2 mM MgSO 4 , dan 0,1% Triton X-100); 0,5 µl dNTPs 10 mM; 0,2<br />
µl taq DNA polimerase 5 unit/µl (New England BioLabs); dan 3 µl cetakan (cDNA).<br />
Amplifikasi cDNA dilakukan sebanyak 35 siklus yang melalui tiga tahapan yaitu pemisahan<br />
300│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam)<br />
Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)<br />
Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1)<br />
utas DNA (denaturasi) pada 96°C selama 30 detik, penempelan primer (annealing) pada 61<br />
°C selama 45 detik, dan sintesis DNA (extention) pada 72°C selama 1 menit. Khusus untuk<br />
siklus terakhir ditambah tahapan sintesa selama 5 menit, kemudian siklus diakhiri pada suhu<br />
4°C (Hosokawa et al. 2006).<br />
Produk hasil amplifikasi dengan PCR dielektroforesis dalam gel 1,5% agarose dengan<br />
running buffer TBE 1x (89 mM Tris-HCl, 89 mM Boric acid, 2,5 M EDTA, pH 8,3).<br />
Elektroforesis dilakukan pada voltase 70 volt selama 60 menit, dengan pewarnaan<br />
menggunakan ethidium bromida (EtBr) dengan konsentrasi 0,5 µl/10 ml gel dari stok EtBr<br />
1%. Sebagai marker, digunakan Tridye 100 bp DNA ladder (Bio Rad, Hercules, California,<br />
U.S).<br />
Prunutan Asam Nukleat<br />
Produk PCR yang telah murni (terbebas dari komponen lain) ini langsung dirunut<br />
menggunakan Direct DNA Sequence Kit (Takhara Inc., Japan) dengan DNA Sequencer (ABI,<br />
Sydney, Australia). Proses perunutan ini dilakukan oleh PT. Charoen Pokhpand, Jakarta.<br />
Hasil runutan dianalisa menggunakan program Bio Edit (Tom Hall, Ibis Biosciences,<br />
Carlsbad, CA 92008). Data urutan nukleotida yang diperoleh digunakan untuk menganalisa<br />
tingkat kesamaan genetiknya dengan isolat CSVd yang berada di belahan dunia lain dan<br />
Clustal W. Filogenetik CSVd isolat Cipanas dianalisa dengan menggunakan program Clustal<br />
X dan TreeView X (www.ebi.ac.uk).<br />
Parameter yang diamati meliputi: gejala penyakit di lapangan, pita DNA CSVd pada beberapa<br />
sampel tanaman, urutan nukleotida CSVd salah satu isolate (dipilih isolate Cipanas),<br />
kesamaan genetic CSVd isolate Cipanas dengan belahan dunia lainnya, dan kedudukan CSVd<br />
isolate cipanas (Indonesia) dalam pohon filogenetik. Isolat CSVd yang berasal dari Bali dan<br />
Medan hanya dipergunakan untuk mengetahui penyebaran CSVd melalui deteksi dengan RT-<br />
PCR.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Gejala Tanaman Krisan Terinfeksi CSVd di Lapangan<br />
Berdasarkan hasil pengamatan pada saat pengambilan tanaman sampel di lapangan, diketahui<br />
bahwa gejala kerdil pada tanaman krisan ditemui hampir di seluruh lokasi dibudidayakannya, seperti<br />
di beberapa tempat di kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Hias, dan kebun krisan milik swasta<br />
di daerah Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, dengan tingkat serangan yang berbeda beda, tergantung dari<br />
jenis kultivarnya. Gejala kerdil pada tanaman krisan kadang disertai dengan penguningan pada daun<br />
dan daun menjadi lebih tipis (Gambar 1a). Gejala ini ditemukan pada sampel tanaman yang berasal<br />
dari salah satu penangkar bibit di daerah Puncak, Cianjur, Jawa Barat. Hasil deteksi menggunakan<br />
metode RT-PCR menunjukkan bahwa tanaman yang menunjukkan gejala kerdil tersebut positif<br />
terinfeksi oleh CSVd. Gejala kerdil ada kalanya disertai dengan terjadinya malformasi pada daun,<br />
namun ada juga yang tidak, seperti ditunjukkan pada Gambar 1b. Tanaman tersebut terinfeksi oleh<br />
CSVd, akan tetapi daunnya tetap normal, namun dari segi pertumbuhannya terlihat bahwa ruas-ruas<br />
batangnya menjadi lebih pendek.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│301
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam)<br />
Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)<br />
Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1)<br />
A<br />
B<br />
Gambar 1<br />
Tanaman krisan terinfeksi CSVd berdasarkan analisa dengan RT-PCR. A) Gejala<br />
kerdil pada tanaman krisan disertai dengan penguningan pada daun dan daun menjadi<br />
lebih tipis B)Tanaman kerdil, namun tidak menunjukkan adanya gejala pada daun,<br />
ruas-ruas batang lebih pendek (The chrysanthemum CSVd infected plant based on RT-<br />
PCR analysis. A) the plant is stunt, chlorosis and thinned on the leaves on CSVd<br />
infected plant. B) the plant is stunt, but there is not the symptom on the leaf, the<br />
segment of the stem is more short)<br />
Amplifikasi Nukleotida CSVd Melalui RT-PCR<br />
Hasil penelitian menunjukkan bahwa primer Forward (F) (5’-<br />
CAACTGAAGCTTCAACGCCTT-3’) dan primer Reverse (R) (5’-AGGATT ACTCCTGTCTCGCA-<br />
3’) dapat mengamplifikasi cDNA CSVd. Keberhasilan mengamplifikasi dari sepasang primer CSVd<br />
ini ditunjukkan pada beberapa sampel tanaman krisan yang diambil dari Bali, Medan dan Cipanas.<br />
Berdasarkan hasil visualisasi diperoleh pola pita DNA yang berukuran 250 bp pada empat sampel<br />
tanaman krisan, yaitu isolat Bali 3, Bali 6, Medan A dan Cipanas (Gambar 2). Pada isolat Bali 3 dan<br />
Cipanas pita DNA yang ditunjukkan cukup jelas pada posisi 250 bp, sedangkan pada isolat Bali 6,<br />
Medan A dan Medan C, pita DNA yang ditunjukkan sangat lemah (kurang jelas).<br />
1 2 3 1 4 2 35 46 5 7 6 7 8<br />
8<br />
Gambar 2 Fragmen DNA beberapa isolat CSVd hasil amplifikasi (PCR) menggunakan primer F dan<br />
primer R pada gel agarose 1,5%: 1) DNA marker 100 bp, 2) Kontrol negatif (tanaman<br />
sehat), 3) Isolat Bali 3 , 4) Isolat Bali 6, 5) Isolat Medan A, 6) Isolat Medan B, 7) Isolat<br />
Medan C, dan 8) Isolat Cipanas. (The DNA fragmen of CSVd isolate was resulted from<br />
PCR amplification used F and R primer on agarose gel 1.5%): 1) DNA marker 100 bp,<br />
2) negatif control (healthy plant), 3) Bali 3 isolate , 4) Bali 6 isolate, 5) Medan A isolate<br />
6) Medan B isolate, 7) Medan C isolate, and 8) Cipanas isolate.)<br />
Perunutan Nukleotida CSVd<br />
Perunutan nukleotida CSVd dilakukan menggunakan fragmen DNA produk PCR hasil<br />
amplifikasi menggunakan primer forward 5’-CAACTGAAGCTTCAACG CCTT-3’ dan primer<br />
reverse 5’-AGGATTACTCCTGTCTCGCA-3’. Dalam penelitian ini hanya satu sampel produk PCR<br />
302│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam)<br />
Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)<br />
Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1)<br />
yang digunakan untuk perunutan, yaitu produk PCR dari sampel isolat Cipanas karena pola pita dari<br />
isolate Cipanas menunjukkan signal yang sangat jelas.<br />
Berdasarkan hasil perunutuan asam nukleat dan analisanya diketahui bahwa CSVd isolat<br />
Cipanas memiliki urutan nukleotida sebagai berikut :<br />
CTTAGGATTA CTCCTGTCTC GCAGGAGTGG GGTCCTAAGC 1-40<br />
CTCATTCGAT TGCGCGAATC TCGTCGTGCA CTTCCTCCAG 41-80<br />
GGATTTCCCC GGGGGATACC CTGTAAGGAA CTTCTTCGCC 81-120<br />
TCATTTCTTT TTCTTGTAAA GCAGCAGGGT TCAGGAGTGC 121-160<br />
ACCACAGGAACCACAAGTAAGTCCCGAGGGAACAAAACTA 161-200<br />
AGGTTCCACGGGCTTACTCC CTAGCCCAGG TAGGCTAAAG 201-240<br />
AAGATTGGAA 241-250<br />
Urutan nukleotida tersebut merupakan panjang genom CSVd yang teramplifikasi oleh primer forward<br />
5’-CAACTGAAGCTTCAACGCCTT-3’ dan primer reverse 5’-AGGATTACTCCTGTCTCGCA-3’<br />
yang mengapit 250 bp nukleotida.<br />
Berdasarkan hasil analisa tingkat kesamaan genetiknya dengan isolat CSVd yang berada di<br />
belahan dunia lain diketahui bahwa genom CSVd isolat Cipanas yang teramplifikasi oleh kedua<br />
primer di atas memiliki kesamaan genetik 99% dengan isolat K1 (D. grandiflorum) dari Korea, 98%<br />
dengan beberapa genom CSVd yang terdapat di Gene Bank diantaranya adalah dengan nomor asesi<br />
AB279770 (Chrysanthemum yoshinaganthum) dari Jepang, AB055974 (D. grandiflora) dari Jepang,<br />
AB255880 (isolat Dahlia tipe 2), DQ094298 (Vinca mayor/isolat CSVd Vm), AJ585258 (isolat India<br />
[Chrysanthemum sp]), U82445 (isolat petunia). Dari beberapa nomor asesi tersebut diketahui bahwa<br />
lima nomor asesi merupakan genom CSVd isolat Jepang, dan yang lainnya berasal dari isolat Kanada,<br />
Korea, India dan Amerika Serikat (Tabel 1).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│303
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam) Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase Polymerase Chain<br />
Reaction (RT-PCR)<br />
Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1)<br />
Tabel 1 Homologi CSVd isolat Indonesia dengan beberapa isolat CSVd belahan dunia lain yang terdapat di gene Bank (dalam persen)<br />
(The homology of Indonesian isolate CSVd with some CSVd isolate from other world in gene Bank)<br />
No Isolat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16<br />
1 Dahlia Tipe 1(Jepang) -<br />
2 KI (Chunkwang, Korea) 99 -<br />
3 Dahlia Tipe 2 (Jepang) 98 98 -<br />
4 Strain 3 (C. morifolium, Jpg) 98 99 98 -<br />
5 Blanka 98 99 98 99 -<br />
6 Petunia (USA) 99 98 99 98 98 -<br />
7 Diplomat pink (USA) 98 99 98 98 99 98 -<br />
8 Ageratum (German) 98 98 98 98 98 99 98 -<br />
9 Strain 4 (C. morifolium, Jepang) 98 99 98 99 99 98 99 97 -<br />
10 Chunkwang (Korea) 98 99 98 99 99 98 98 97 98 -<br />
11 Diplomat, magenta 98 99 98 99 99 98 99 98 98 98 -<br />
12 Popular (Jepang) 98 99 97 99 98 98 98 98 99 98 98 -<br />
13 Maharashtra (India) 96 97 95 97 97 96 96 95 96 96 96 94 -<br />
14 Indian (India) 98 99 98 99 99 98 99 98 99 99 99 97 97 -<br />
15 Prelude coral (Jepang) 83 84 82 83 83 83 83 82 84 83 83 81 81 83 -<br />
16 D. grandiflora (Cipanas,Indonesia) 99 99 98 98 98 98 98 98 98 98 98 98 94 97 98 -<br />
304│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing<br />
dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam)<br />
Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)<br />
Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1)<br />
Melalui program Clustal X dan TreeView X diperoleh data mengenai pengelompokkan<br />
beberapa isolat CSVd yang berada di Gene Bank, termasuk CSVd isolat Cipanas (Indonesia) (Gambar<br />
4). Dari pohon filogenetik dapat diketahui bahwa terdapat 3 kelompok besar CSVd, dan CSVd isolat<br />
Cipanas memiliki kekerabatan yang paling dekat dengan CSVd dengan nomor asesi AB055974 (C.<br />
Yoshinaganthum, Jepang), AB279770 (D. grandiflora, Jepang), dan AJ001853 (D. grandiflora cv.<br />
Diplomat, Magenta, USA).<br />
C.yoshinagantum, strain 6, Jepang<br />
D. grandiflora, Jepang<br />
D. grandiflora, Cipanas, Indonesia<br />
D. grandiflora, diplomat, magenta, USA<br />
C.morifolium, strain 3, Jepang.<br />
C.morifolium,strain 4,<br />
Jepang<br />
C.morifolium<br />
Inggris<br />
D.grandiflora cv Chunkwang, Korea<br />
C.morifolium, Maharashtra, India<br />
Indian, India<br />
Gambar 5. Pohon filogenetik Chrysanthemum stunt viroid (The filogenetic tree of<br />
Chrysanthemum stunt viroid)<br />
Pembahasan<br />
Insiden penyakit yang diduga disebabkan oleh CSVd pernah terjadi pada tanaman D.<br />
grandiflora cv Puspita Kencana yang ditanam oleh salah satu penangkar bibit yang terdapat di daerah<br />
Cipanas. Insiden penyakit ini menyebabkan terjadinya pertumbuhan yang sangat kerdil dan<br />
penguningan pada daun sehingga tanaman mengalami kehancuran. Sejak saat itu, tidak dilakukan lagi<br />
perbanyakan terhadap jenis kultivar Puspita Kencana.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│305
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam)<br />
Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)<br />
Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1)<br />
Gejala kuning pada daun dan kerdil pada tanaman krisan yang terinfeksi CSVd kemungkinan<br />
disebabkan terganggunya metabolisme tanaman, sehingga pembentukan klorofil terganggu. Sebagai<br />
akibatnya, perkembangan tanaman terhambat, karena hasil fotosintesa tidak optimal. Menurut<br />
Mumford 2001, terjadinya pengerutan pada daun tanaman krisan yang terinfeksi oleh CSVd<br />
disebabkan adanya kombinasi infeksi dengan Chrysanthemun Virus B (CVB).<br />
Menurut Handley & Horst (1988), gejala penyakit yang disebabkan oleh CSVd dan jumlah<br />
RNA viroid yang dapat diekstraksi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu, intensitas cahaya,<br />
dan fotoperiod, baik secara individu maupun dalam kombinasi. Ekspresi gejala paling berat terjadi<br />
antara suhu 26 dan 29 o C, tetapi konsentrasi viroid maksimum terjadi antara suhu 22 dan 26 o C pada<br />
saat intensitas cahaya dan fotoperiod tetap.<br />
Pola pita yang dihasilkan dalam penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Hosokawa et al,<br />
2004, yang menunjukkan bahwa kedua primer tersebut dapat mengamplifikasi cDNA CSVd pada<br />
ukuran 250 bp. Terdeteksinya CSVd dengan metode RT-PCR mengindikasikan bahwa metode deteksi<br />
CSVd dengan teknik RT-PCR, merupakan metode deteksi yang dapat diaplikasikan untuk mengetahui<br />
keberadaan CSVd dalam tanaman krisan di Indonesia. Ukuran jelas tidaknya pita DNA yang muncul<br />
mengindikasikan bahwa konsentrasi viroid dalam tanaman krisan berbeda-beda. Pita DNA yang<br />
sangat terang menunjukkan tingginya konsentrasi CSVd dalam tanaman uji, dan sebaliknya.<br />
Ketidakmunculan pita DNA pada posisi 250 bp menunjukkan bahwa tanaman uji tidak terinfeksi oleh<br />
CSVd, seperti yang ditunjukkan oleh isolat Medan B dan kontrol negatif (tanaman sehat).<br />
Teknik deteksi dengan RT-PCR memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan. Menurut<br />
Hadidi dan Candresse (2003), deteksi dengan teknik PCR memiliki keuntungan utama, yaitu mampu<br />
menseleksi tingkat kespesifikan dari prosedur amplifikasi. Deteksi viroid dengan RT-PCR hanya<br />
memerlukan sampel tanaman 1-100 pg dan pada umumnya 10 – 100 kali lebih sensitif daripada<br />
deteksi viroid dengan teknik hibridisasi menggunakan pelacak cRNA dan 2500 kali lebih sensitif<br />
daripada analisa dengan return gel electrophoresis. Tomassoli (2004), juga mengungkapkan bahwa<br />
teknik RT-PCR hanya memerlukan jumlah sampel jaringan yang sangat sedikit, prosedur ekstraksi dan<br />
prosedur PCR mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu satu hari, dan merupakan metode diagnosis<br />
yang sangat sensitif serta spesifik. Namun, disamping keuntungan yang dimiliki, deteksi dengan RT-<br />
PCR ini juga memiliki kelemahan di antaranya adalah tidak sesuai digunakan untuk mendeteksi<br />
sampel dalam jumlah banyak dalam waktu yang bersamaan (massal) dan harganya cukup mahal.<br />
Berdasarkan hasil analisa dapat diketahui bahwa CSVd isolat Indonesia (dalam hal ini isolat<br />
Cipanas) memiliki genom yang sangat mirip dengan genom-genom CSVd yang berasal dari negaranegara<br />
yang sudah disebutkan sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa CSVd isolat Indonesia<br />
kemungkinan merupakan kontaminan dari CSVd yang berasal dari isolat yang berada di belahan dunia<br />
lainnya, seperti Jepang atau negara pengekspor bibit krisan lainnya, yang kemungkinan menyebar dan<br />
terbawa ke Indonesia bersamaan dengan bibit tanaman krisan impor. Menurut Sano et al. (2003),<br />
penyakit kerdil pada tanaman krisan yang disebabkan oleh CSVd merupakan salah satu penyakit<br />
viroid paling penting di Jepang dan telah menyebar ke hampir semua lahan produksi krisan terutama<br />
melalui penyebaran stek yang terkontaminasi atau stok (tanaman induk).<br />
Terjadinya penyebaran CSVd di sentra-sentra produksi krisan di Indonesia disebabkan belum<br />
tersedianya metode diagnosis untuk viroid. Badan Karantina <strong>Pertanian</strong> yang merupakan pintu gerbang<br />
bagi masuknya tanaman-tanaman krisan introduksi masih mengalami kesulitan untuk melakukan<br />
diagnosis terhadap viroid yang menginfeksi tanaman krisan, terutama CSVd. Oleh karena itu, dengan<br />
adanya penelitian mengenai pengembangan metode deteksi molekuler terhadap CSVd ini, diharapkan<br />
dapat membantu Badan Karantina <strong>Pertanian</strong> untuk dapat melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya,<br />
dalam hal melakukan diagnosis CSVd dengan metode yang akurat terhadap tanaman-tanaman krisan<br />
baik impor maupun ekspor, sehingga tidak akan terjadi penyebaran CSVd lebih lanjut, baik antar<br />
negara, maupun antar daerah di dalam negeri Indonesia.<br />
Disamping itu, dengan ditemukannya metode diagnosis terhadap CSVd di Indonesia<br />
ini, diharapkan dapat membantu para pemulia tanaman dalam menghasilkan varietas-varietas baru<br />
yang tahan CSVd. Bagi produsen benih, teknik ini diperlukan untuk menghasilkan produk yang<br />
terjamin kesehatannya, terbebas dari penyakit sistemik, terutama viroid, melalui deteksi dini terhadap<br />
CSVd pada planlet-planlet tanaman krisan yang dihasilkannya. Akhirnya, planlet-planlet sehatlah yang<br />
dapat digunakan untuk produksi bunga potong krisan.<br />
306│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam)<br />
Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)<br />
Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1)<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Keberadaan RNA CSVd dalam tanaman krisan dapat dideteksi menggunakan teknik RT-PCR.<br />
Urutan nukleotida CSVd isolat Indonesia (Cipanas) memiliki homologi yang tinggi dengan isolat<br />
CSVd lainnya yang terdapat di gene Bank, terutama dengan isolat-isolat dari Jepang, Korea, India,<br />
dan Amerika Serikat, dengan kemiripan genom berkisar dari 94-99%.<br />
Perlu kiranya dipertimbangkan oleh lembaga/instansi yang terkait untuk mengadopsi metode<br />
deteksi CSVd yang dikembangkan dalam penelitian ini guna menunjang sertifikasi bibit tanaman<br />
krisan di Indonesia.<br />
UCAPAN TERIMAKASIH<br />
Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada :<br />
Badan Litbang <strong>Pertanian</strong>, yang telah memberikan beasiswa untuk melanjutkan ke<br />
program S2, juga memberikan bantuan dana penelitian melalui program Kerjasama Kemitraan<br />
Penelitian <strong>Pertanian</strong> dengan Perguruan Tinggi (KKP3T).<br />
PUSTAKA<br />
1. Direktorat Jendral <strong>Hortikultura</strong>. 2007. Statistik Produksi <strong>Hortikultura</strong> Tahun 2006 (angka tetap).<br />
<strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong>, Direktorat Jendral Hortikulktura. Jakarta. 237 hal.<br />
2. Bos L. 1990. Pengantar Virologi Tumbuhan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.<br />
3. Bouwen I, van Zaayen A. 2003. Chrysanthemun stunt viroid. Di dalam: Hadidi A, Ricardo F,<br />
Randles JW, Semancik JS, editor. Viroid. Australia: CSIRO publishing. hal 218-223.<br />
4. Candrese T, Macquaire G, Monsion M, Dunez J. 1988. Detection of Chrysanthemum stunt<br />
viroid (CSVd) using nick translated probes in a dot-blothybridization assay. J.Virolmethods<br />
20(3):93-185.<br />
5. Diener, T.O. and Lawson, R. H. 1973. Chrysanthemum stunt: A viroid disease. J.Virology 51:<br />
94-101.<br />
6. Direktorat Jenderal <strong>Hortikultura</strong>. 2008. Upaya perbaikan benih hortikultura untuk mengurangi<br />
impor benih serta pengembangan sentra produksi hortikultura. http: www.deptan.go.id. (15 Mei<br />
2008).<br />
7. Duran, VN, Romero DJ, Hernandez M. 1996. Detection and eradication of Chrysanthemum<br />
stunt viroid in Spain. Bulletin OEPP 26: 399-405.<br />
8. Gora-Sochacka A. (2004). Viroids: unusual small pathogenic RNAs. Acta Biochimica Polonica<br />
51:587-607.<br />
9. Hadidi A & Candrese T. 2003. Polymerase chain reaction. Di dalam: Hadidi A, Ricardo F,<br />
Randles JW, Semancik JS, editor. 2003. Viroid. CSIRO publishing, Australia. hal 286-289.<br />
10. Handley, M.K. & Horst, R.K. 1988. The effect of temperature and light on chrysanthemum stunt<br />
viroid infection of florists chrysanthemum. Acta Hort.<br />
http://www.actahort.org/book/234/234_10.htm [23 Maret 2007].<br />
11. Hill MF, Giles RJ, Moran JR, Hepworth G. 1996. The incidence of Chrysanthemum stunt viroid<br />
and Chrysanthemum B carlavirus, Tomato aspermy cucumovirus and Tomato spotted wilt<br />
tospovirus in Australian chrysanthemum crops. Australian Plant Pathology 25:174-178.<br />
12. Hosokawa M, Matsushita Y, Uchida H, Yazawa S. 2006. Direct RT-PCR method for detecting<br />
two chrysanthemum viroids using minimal amount of plant tissue. Journal of virological<br />
methods 131:28-33.<br />
13. Hosokawa, M., Otake, A., Ohishi, K., Ueda, E., and Yazawa S. 2004. “Elimination of<br />
chrysanthemum stunt viroid from an infected chrysanthemum cultivar by shoot regeneration from<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│307
Deteksi dan Identifikasi Chrysanthemum stunt viroid (CSVd) pada Tanaman Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam)<br />
Menggunakan Teknik Reverse Transkriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)<br />
Diningsih, E. 1) , Suastika, G 2) , Sulyo, Y 1) , Winarto, B 1)<br />
a leaf primordium-free shoot apical meristem dome attached to aroot tip”. Plant Cell Rev.<br />
22:859-863.<br />
14. Kryczynski S, Paduch CE, and Skrzeczkowski. 1988. Transmition of three viroid through seed<br />
and pollen of tomato plant. Journal of Phytopathology 121:51-57.<br />
15. OEPP/EPPO. 2002. Diagnostic protocols for regulated pests protocoles de diagnostic pour les<br />
olrganism reglementes. Bulletin OEPP 32: 241-243.<br />
16. Sano, T. 2003. “Viroid in Japan”. Di dalam: Hadidi A, Ricardo F, Randles JW, Semancik JS,<br />
editor. 2003. Viroid. CSIRO publishing, Australia. hal 286-289.<br />
17. Tomassoli L et al. 2004. Molecular diagnosis of Chrysanthemum stunt viroid for routine<br />
indexing. Phytopathol. Mediterr. 43:285-288.<br />
308│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
BAGIAN 4.<br />
PASCAPANEN<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│309
Pengaruh Larutan Perendaman dan Jenis Tepung Terhadap Mutu Sale Pisang Serta Preferensi Konsumennya<br />
Wanita, Y. P. 1) dan Masniah 2)<br />
Pengaruh Larutan Perendaman dan Jenis Tepung Terhadap Mutu Sale Pisang Serta<br />
Preferensi Konsumennya<br />
Wanita, Y. P. 1) dan Masniah 2)<br />
1) Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Yogyakarta, Jl. Stadion No. 22 Karangsari, Ngempak, Sleman.<br />
2)<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Nusa Tenggara Timur<br />
ABSTRAK. Pengkajian tentang pengaruh larutan perendam dan jenis tepung terhadap mutu sale pisang serta<br />
preferensi konsumennya telah dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Yogyakarta (BPTP) pada<br />
bulan November 2011 – Januari 2012. Pengkajian ini menggunakan bahan utama berupa pisang uter.<br />
Rancanganpercobaan yang digunakan adalah Rancanan Acak Lengkap dengan dua factor. Faktor pertama adalah<br />
jenis larutan perendam pisang (daun sirih, Natrium bisulfit, dan air sebagai control). Sedangkan factor kedua<br />
adalah jenis tepung yang digunakan sebagai pembalut dengan perbandingan 1:2 (tapioca: tepung sagu, tepung<br />
beras: tapioca, dan tepung beras: tepung sagu). Hasil pengkajian menunjukkan rata-rata kadar vitamin C pisang<br />
setelah direndam dengan larutan daun sirih, Natrium bisulfit dan air adalah 41,71%, 36,86 % dan 32,39%.<br />
Sedangkan total phenol setelah direndam dengan larutan daun sirih, Natrium bisulfit dan air adalah 0,021; 0,018;<br />
dan 0,024. Dengan uji organoleptik penerimaan panelis tertinggi pada perlakuan perendaman menggunakan daun<br />
sirih dan dibalut dengan campuran tepung beras dan sagu. Pada perlakuan ini memiliki rata-rata kadar air, abu,<br />
protein, lemak, seratkasar, karbohidrat, dan energy sebesar 10,60%; 1,28%; 3,53%; 13,15%; 4,41%; 66,30%, dan<br />
392,2 kalori/100 gram.<br />
Katakunci: bahan perendam, jenis tepung, sale pisang, vitamin C, Phenol, dan penerimaan konsumen.<br />
Buah pisang merupakan salah satu jenis buah-buahan yang dapat tumbuh subur di Indonesia<br />
dan banyak diminati masyarakat sebagai hidangan. Teknologi budidaya tanaman ini yang relative<br />
mudah mendorong tanaman pisang diusahakan hampir disetiap pelosok tanah air. Selain itu tanaman<br />
ini juga memiliki kelebihan yaitu memiliki rasa yang enak, beraroma harum dan memiliki kandungan<br />
gizi yang memadai, seperrti kandungan karbohhidrat, mineral dan vitamin C yang lebih unggul<br />
dibandingkan dengan jenis buah yang lain. Permasalahan yang ada adalah dalam proses penanganan<br />
pasca panen. Buah ini termasuk buah klimaterik dimana proses pemasakan dapat berlangsung sangat<br />
cepat yang disebabkan oleh adanya laju repirasi dan laju produksi gas etilen yang meningkat, dan<br />
proses ini tidak dapat dihindari (Kartasapoetra, 1994). Hal ini dapat mengakibatkan kehilangan hasil<br />
antara 25 – 80% (Purwoko et al, 2001), begitu juga yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta<br />
(DIY). Salah satu jenis pisang yang paling banyak terdapat di DIY adalah pisang uter atau raja<br />
bandung. Pisang ini memiliki nilai ekonomi yang sangat rendah, dimana harga satu sisir hanya sekitar<br />
Rp 2.500,-. Untuk mengatasi dua permasalahan diatas maka proses pengolahan pisang secara lanjut<br />
menjasi bentuk sale goreng merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan. Fungsi pengolahan<br />
menjai sale goreng disini mempunyai maksud untuk meningkatkan nilai ekonomi dan guna pisang<br />
uter, memperpanjang masa simpan, serta meningkatkan pendapatan masyarakat.<br />
Pada umumnya sale pisang yang beredar di masyarakat memiliki warna yang kurang menarik,<br />
yaitu hitam, aroma asli dari pisang terkadang sudah hilang dan tidak renyah. Penambahan zat<br />
antioksidan dapat dilakukan dalam proses pengolahan sale pisang agar warna sale yang dihasilkan<br />
dapat diperbaiki menjadi lebih cerah. Zat antioksidan yang digunakan dapat mengandung belerang<br />
dioksida, sulfit, vitamin maupun bahan-bahan lainnya yang mengandung asam (Winarno, 1992).<br />
Menurut Hudson (1990) definisi antioksidan secara umum adalah suatu senyawa yang dapat<br />
memperlambat atau mencegah proses oksidasi. Antioksidan dapat menghambat laju oksidasi bila<br />
bereaksi dengan radikal bebas. Secara alami beberapa jenis tumbuhan merupakan sumber antioksidan,<br />
hal ini dapat ditemukan pada beberapa jenis sayuran, buah-buahan segar, beberapa jenis tumbuhan dan<br />
rempah-rempah (Dalimarta et all, 1998). Dimana vitamin yang mempunyai khasiat sebagai<br />
antioksidan antara lain adalah vitamin C. Bahan yang dapat digunakan dapat berupa antioksidan alami<br />
maupun buatan. Zat antioksidan alami antaralain daun sirih, jahe, lengkuas dan lain-lain, sedangkan<br />
zat antioksidan buatan antaralain adalah Natrium bisulfit. Tekstur sale goreng sebenarnya banyak<br />
310│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Larutan Perendaman dan Jenis Tepung Terhadap Mutu Sale Pisang Serta Preferensi Konsumennya<br />
Wanita, Y. P. 1) dan Masniah 2)<br />
dipengaruhi oleh campuran jenis tepung yang digunakan sebagai bahan pembuskus. Penggunaan<br />
campuran jenis tepung yang tepat dapat memperbaiki testur sale yang sudah ada di masyarakat.<br />
Tepung yang dapat digunakan antara lain tapioca, tepung beras, dan tepung sagu.<br />
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui pengaruh larutan bahan perendam (daun sirih,<br />
Natrium bisulfit, dan air) dan tiga jenis campuran tepung (tapioca, sagu dan beras) terhadap<br />
karasteristik fisik dan kimia sale pisang goreng; 2) mengetahui penerimaan konsumen terhadap sale<br />
pisang goreng yang dibuat menggunakan tiga jenis larutan perendam dan tiga jenis campuran tepung<br />
(tapioca, sagu, dan beras).<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Bahan Dan Alat<br />
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisang uter, air bersih, Natrium bisulfit,<br />
daun sirih, tepung beras, tepung sagu, garam, gula pasir, minyak goreng, dan bahan-bahan lain untuk<br />
analisa kimia dan fisik. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah pisau stainlessteel, baskom<br />
plastic, gelas ukur, alas perajang, tampah, sedok makan, timbangan analitik, seperangkat alat<br />
penggorengan, dan peralatan-peralatan lainnya untuk analisa fisik dankimia.<br />
Rancangan Percobaan<br />
Penelitian dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua factor dan tiga<br />
ulangan. Faktor pertama adalah jenis larutan yang digunakan untuk merendam buah pisang yang telah<br />
dikupas (L1= larutan daun sirih 0,3%; L2= larutan Natrium bisulfit 0,3%; dan L0= air bersih sebagai<br />
control). Sedangkan factor kedua adalah jenis campuran tepung dengan perbandingan 1: 2 yang<br />
digunakan sebagai pembalut sale pisang (T1= tapioca: tepung sagu; T2= tepung beras: tapioca; dan<br />
T3= tepung beras: tepung sagu).<br />
Pelaksanaan Penelitian<br />
Penelitian tentang ‘pengaruh larutan perendam dan jenis tepung terhadap mutu sale pisang<br />
serta preferensi konsumennya’ dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen dan Alsintan, BPTP<br />
Yogyakarta pada bulan Februari – Juni 2011. Bahan utama berupa pisang uter matang di dapatkan dari<br />
pasar local di Kabupaten Sleman. Pembuatan sale pisang dilaksanakan berdasarkan Standar<br />
Operasional Prosedur Pengolahan Pisang dari Direktorat Pengolahan Hasil <strong>Pertanian</strong> yang telah<br />
dimodifikasi. Proses pembuatan sale pisang sebagai berikut: 1) Mencuci pisang Uter menggunakan air<br />
bersih yang mengalir untuk menghilangkan kotoran yang melekat, 2) mengupas kulit buah pisang,<br />
hasil kupasan direndam menggunakan larutan perendam sesuai dengan perlakuan selama 10 menit, 3)<br />
Meniriskan pisang yang telah direndam menggunakan alat peniris kemudian pisang di iris membujur,<br />
dimana satu buah pisang iiris menjadi delapan potongan, 4) menjemur irisan pisang dibawah sinar<br />
matahari menggunakan tampah sampai kering. Proses penjemuran dilakukan selama 3 hari sampai<br />
irisan pisang menjadi setengah kering (setiap hari irisan pisang dibolak-balik agar proses pengeringan<br />
dapat berjalan merata). 5) meyiapkan bahan pembungkus berupa campuran tepung sesuai perlakuan<br />
serta bahan-bahan tambahan berupa: 6% telur ayam; 0,8% gula pasir; 0,3% garam halus (dimana<br />
persentase diambil dari jumlah total tepung yang digunakan), serta air dengan perbandingan 1: 1 dari<br />
jumlah tepung yang digunakan. 6) menggoreng irisan pisang kering yang telah dibalut dengan<br />
campuran tepung menggunakan minyak sayur sampai matang.<br />
Uji organoleptik<br />
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap sale<br />
pisang goreng yang dihasilkan dengan metode kesukaan (Hedonic scale) terhadap warna, tekstur,<br />
aroma, rasa, dan kesukaans secara keseluruhan (Riesurreccion, 1998). Uji organoleptik ini dilakukan<br />
menggunakan 30 orang panelis. Skala (1-5), yaitu 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= agak suka,<br />
4= suka, 5= sangat suka.<br />
Uji kimia<br />
Uji kimia dilakukan dalam dua tahapan. Pertama adalah analisa kimia terhadap irisan pisang<br />
kering setelah direndam 3 jenis larutan perendam, yaitu analisa kadar vitamin C menggunakan metode<br />
titrasi idiometri (Roth, 1988; Sudarmaji, -) dan kadar phenol (spectofotometer). Kedua adalah analisa<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│311
Pengaruh Larutan Perendaman dan Jenis Tepung Terhadap Mutu Sale Pisang Serta Preferensi Konsumennya<br />
Wanita, Y. P. 1) dan Masniah 2)<br />
kimia terhadap sale pisang goreng yang dihasilkan meliputi kadar air, kadar karbohidrat, kadar protein,<br />
kadar serat, kadar gula dan kadar lemak (AOAC, 1990).<br />
Analisa Data<br />
Data yang diperoleh dari kuisioner uji organoleptik dan analisa kimia serta fisik terhadap irisan pisang<br />
kering dan sale pisang goreng dianalisa secara statistic dengan one anova dan dilanjutkan uji Duncan<br />
α= 5 % (Steel et al., 1993).<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Irisan Daging Buah Pisang Kering<br />
Bahan utama dalam pembuatan sale pisang ini dipilih berupa pisang uter, dimana harga jual<br />
pisang jenis ini relatif sangat murah, yaitu Rp 2.500,- setiap sisirnya. Dalam pembuatan sale pisang<br />
pertama-tama pisang dihilangkan kulit luar dan diambil daging buahnya menggunakan tangan secara<br />
manual. Pisang uter setelah dikupas kulitnya mempunyai rendemen kulit sebesar 34,45% dan daging<br />
buah sebesar 65,54%. Sebelum mengalami proses pembuatan irisan pisang (membujur) kering, irisan<br />
pisang terlebih dahulu direndam kedalam larutan perendam yang berasal dari tiga perlakuan, yaitu<br />
0,3% larutan Natrium bisulfit, 0,3% larutan daun sirih dan air sebagai kontrol. Dari 5 kilogram buah<br />
pisang uter segar dihasilkan sekitar 1 kilogram irisan pisang kering. Hasil analisa fisik dan kimia irisan<br />
pisang kering hasil perendaman 3 jenis larutan disajikan dalam table 1 berikut:<br />
Tabel 1. Hasil analisa fisik dan kimia irisan pisang uter kering hasil perendaman 3 jenis<br />
larutan (daun sirih, Natrium bisulfit, dan air)<br />
Perlakuan Rendemen (%)<br />
Warna setelah<br />
perendaman<br />
Kadar vitamin C Kadar Phenol<br />
Air (control) 37,17 Coklat tua 32,39 a 0,240 c<br />
Larutan 0,3% 38,26 Coklat muda 36,86 b 0,081 a<br />
Na.bisulffit<br />
Larutan 0,3% daun 35,56 Coklat muda 41,71 c 0,216 b<br />
daun sirih<br />
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji<br />
Duncan taraf kepercayaan 95%.<br />
Penggunaan larutan perendam dalam penelitian ini adalah daun sirih dan Narium bisulfit<br />
dimaksudkan sebagai inhibitor (penghambat) aktivitas enzim fenolase yang dihasilkan oleh getah<br />
pisang. Hal ini sejalan dengan pendapat Buckle et all (1987) yang mengatakan bahwa bahan yang<br />
mengandung antioksidan dapat digunakan untuk menghambat proses oksidasi enzim fenolase dengan<br />
penurunkan pH jaringan. Dengan penurunan pH jaringan maka kecepatan proses pencoklatan secara<br />
enzimatis dapat diminimalkan. Dari table 1 terlihat bahwa pada semua perlakuan terjadi perubahan<br />
warna, dari pisang segar yang berwarna putih menjadi berwarna coklat tua dan muda. Hal ini terjadi<br />
karena terjadinya perubahan jaringan pada buah pisang karena factor pengolahan sehingga komposisi<br />
kimia yang terkandung dalam buah pisang mengalami kerusakan. Penggunaan pisau stainlesstell juga<br />
dimaksudkan untuk meminimalkan proses ini. Karena dengan penggunaan pisau jenis ini proses<br />
oksidasi juga bisa dihambat dan tidak bereaksi dengan daging buah pisang dibandingkan dengan pisau<br />
dari bahan yang lain. Dilihat dari segi warna perlakuan control menghasilkan warna irisan pisang<br />
kering yang paling coklat dibandingkan dengan dua perlakuan yang lain. Hal ini terjadi karena pada<br />
perlakuan control, yaitu dengan perendaman menggunaakan air tidak ada zat antioksidan yang<br />
ditambahkan, kandungan vitamin C nya paling rendah serta kandungan phenol paling tinggi.<br />
Perubahan warna coklat pada irisan buah pisang terjadi karena proses hidrooksidasi sekundera atau o-<br />
quinon. Kemudian dari senyawa beenzena berinteraksi dengan o-quinon membentuk hidrosiquinon<br />
sehingga menyebabkan terjadinya polimerisasi dan konversi secara cepat sehingga menyebabkan<br />
polimer atau irisan buah pisang menjadi berwarna kecoklatan (Man, 1976). Proses ini akan berrjalan<br />
semakin cepat jika bereaksi dengan udara (proses oksidasi). Kandungan vitamin C pada Natrium<br />
bisulfit dan daun sirih merupakan sumber antioksidan sebagai penghambat reaksi oksidasi, dimana zat<br />
ini mudah teroksidasi dengan oksigen yaitu berkaitan dengan ketersediaan oksigen sebagai akseptor<br />
hydrogen. Dengan proses perendaman buah pisang menggunakan larutan Natrium bisulfit dan daun<br />
312│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Larutan Perendaman dan Jenis Tepung Terhadap Mutu Sale Pisang Serta Preferensi Konsumennya<br />
Wanita, Y. P. 1) dan Masniah 2)<br />
sirih, oksigen yang diperlukan dalam reaksi pencoklatan bereaksi terlebih dahulu dengan vitamin C<br />
sebagai donor hydrogen.<br />
Proses Penggorengan Sale Pisang<br />
Setelah didapatkan irisan buah pisang kering kemudian irisan ini mengalami proses<br />
pembalutan menggunakan tiga campuran tepung berbeda sesuai perlakuan serta mengalami proses<br />
penggorengan menggunakan minyak sayur. Hasil penggorengan inilah yang disebuut sale pisang<br />
goreng. Hasil analisa fisik sale goreng dengan pembalutan tiga jenis campuran tepung disajikan dalam<br />
table 2 berikut:<br />
Tabel 2. Hasil analisa fisik sale pisang goreng dengan perlakuan pembalutan tiga jenis campuran<br />
tepung<br />
Perlakuan Rendemen (%) Warna sale yang dihasilkan Bau Rasa<br />
L0T1 152 Coklat kehitaman Normal Normal<br />
L0T2 162 Coklat kehitaman Normal Normal<br />
L0T3 182 Coklat kehitaman Normal Normal<br />
L1T1 160 Coklat Normal Normal<br />
L1T2 158 Coklat Normal Normal<br />
L1T3 142 Coklat Normal Normal<br />
L2T1 186 Coklat Normal Normal<br />
L2T2 162 Coklat Normal Normal<br />
L2T3 162 Coklat Normal Normal<br />
Keterangan: L0= direndam menggunakan air sebagai control, L1= direndam menggunakan larutan daun sirih 0,3%, L2= direndam<br />
menggunakan larutan Natrium bisulfit 0,3%, T1= tapioca: tepung sagu; T2= tepung beras: tapioca; dan T3= tepung beras: tepung sagu.<br />
Penggunaan tiga jenis campuran tepung dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh jenis<br />
campuran tepung yang digunakan terhadap penerimaan konsumen terhadap sale pisang goreng yang<br />
dibuat. Hal ini karena masing-masing jenis tepung memiliki karasteristik yang berlainan dan<br />
mempengaruhi testur dari sale pisang goreng yang dihasilkan. Ketiga jenis tepung ini memiliki<br />
karasteristik yang dapat mempertegas atau mengeraskan tekstur bahan jika mengalami proses<br />
penggorengan. Tapioka berasal dari ubikayu dan memiliki sifat yang kurang larut dalam air dingin,<br />
pemasakan memerlukan waktu relative lebih lama dari pada jenis tepung yang lainnya serta pasta yang<br />
terbentuk dapat cukup keras (Anonim 2012) dan dapat mengalami proses gelatinisasi pada suhu 58 –<br />
70ᵒC (Herawati, 2010). Tepung sagu berasal dari pohon sagu, dimana dapat mengalami proses<br />
gelatinisasi pada suhu 70ᵒC ( Dari hasil pengamatan secara fisik ketiga jenis tepung ini tidak<br />
memberikan pengaruh nyata terhadap testur yang dihasilkan, semuanya renyah. Untuk mengetahui<br />
nilai kesukaan konsumen terhadap warna, testur, aroma, rasa dan kesukaan secara keseluruhan dari<br />
semua perlakuan pengolahan sale pisang goreng, maka dilakukan uji organoleptik kepada 30 orang<br />
konsumen yang diambil secara acak. Hasil uji organoleptik sale pisang goreng disajikan dalam table 3.<br />
Tabel 3. Hasil uji organoleptik sale pisang goreng dengan perlakuan tiga jenis bahan perendam dan<br />
tiga jenis campuran tepung yang berbeda.<br />
Perlakuan Warna Tekstur Aroma Rasa Kesukaansecara keseluruahan<br />
L0T1 2,93 a 2,43 a 3,21 a 2,93 ab 2,71 a<br />
L0T2 3,15 ab 2,43 a 3,07 a 2,64 a 2,71 a<br />
L0T3 3,21 ab 2,64 ab 3,21 a 3,07 ab 2,86 ab<br />
L1T1 3,21 ab 3,07 ab 3,50 a 3,21 ab 3,34 bc<br />
L1T2 3,00 a 2,93 ab 3,21 a 3,28 ab 3,15 abc<br />
L1T3 3,79 bc 3,21 b 3,43 ab 3,57 b 3,71 c<br />
L2T1 3,93 c 3,00 ab 3,38 a 3,57 b 3,50 bc<br />
L2T2 3,21 ab 3,00 ab 3,57 a 3,43 b 3,57 c<br />
L2T3 3,21 ab 2,93 ab 3,21 a 3,21 ab 3,21 abc<br />
Keterangan:<br />
* angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji Duncan taraf<br />
kepercayaan 95%.<br />
** L0= direndam menggunakan air sebagai control, L1= direndam menggunakan larutan daun sirih 0,3%, L2= direndam<br />
menggunakan larutan Natrium bisulfit 0,3%, T1= tapioca: tepung sagu; T2= tepung beras: tapioca; dan T3= tepung beras:<br />
tepung sagu.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│313
Pengaruh Larutan Perendaman dan Jenis Tepung Terhadap Mutu Sale Pisang Serta Preferensi Konsumennya<br />
Wanita, Y. P. 1) dan Masniah 2)<br />
Hasil uji organoleptik pada table 3 memperlihatkan bahwa konsumen secara keseluruhan<br />
paling menyukai sale pisang goreng perlakuan L1T3, yaitu sale pisang goreng yang dibuat melalui<br />
perendaman menggunakan larutan daunsirih 0,3% dan tepung pembalut dari campuran tepung beras<br />
dan tepung sagu dengan nilai kesukaan sebesar 3,71 yang berarti suka. Pada perlakuan ini dihasilkan<br />
sale pisang goreng yang memiliki warna coklat, aroma dan rasa pisang normal, serta tesktur yang tidak<br />
terlalu alot dan tidak terlalu keras. Kandungan kimia sale pisang goreng pada perlakuan ini disajikan<br />
dalam table 4 berikut.<br />
Tabel 4. Hasil analisa kimia sale pisang goreng dengan perlakuan perendaman menggunakan larutan<br />
daun sirih 0,3% dan tepung pembalut dari campuran tepung beras dan tepung sagu.<br />
Jenis analisa<br />
Kandungan<br />
kadar air 10.59 %<br />
kadar abu 1.29 %<br />
kadar protein 3.53 %<br />
kadar lemak 13.16 %<br />
kadar serat kasar 4.40 %<br />
kadar karbohidrat 66.30 %<br />
kadar energy<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
392.20 kalori/100 gram<br />
1. Reaksi enzimatis senyawa fenol yang berasal dari getah pisan dapat dihambat dengan perlakuan<br />
perendaman menggunakan bahan antioksidan berupa daun sirih dan Natrium bisulfit sehingga<br />
dihasilkan warna sale pisang yang lebih cerah. Rata-rata kadar vitamin C pisang setelah direndam<br />
dengan larutan daun sirih, Natrium bisulfit dan air adalah 41,71%, 36,86 % dan 32,39%.<br />
Sedangkan total phenol setelah direndam dengan larutan daun sirih, Natrium bisulfit dan air<br />
adalah 0,021; 0,018; dan 0,024;<br />
2. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa penerimaan panelis tertinggi pada perlakuan<br />
perendaman menggunakan daun sirih dan dibalut dengan campuran tepung beras dan sagu. Pada<br />
perlakuan ini memiliki rata-rata kadar air, abu, protein, lemak, seratkasar, karbohidrat, dan energy<br />
sebesar 10,60%; 1,28%; 3,53%; 13,15%; 4,41%; 66,30%, dan 392,2 kalori/100 gram.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
1. AOAC, 1990. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists.<br />
Vol I, Published by AOAC International, Arlington, USA.<br />
2. Anonim. 2012. Tepung Tapioka, Manfaat dan Cara Pembuatannya. http://aremaipb.<br />
wordpress.com/2010/02/11/tepung-tapioka-manfaatnya-dan-cara-pembuatannya/. Diunduh<br />
tanggal 20 Juni 2012.<br />
3. Dalimartha S and Soedibyo M. 1998. Awet Muda. Dengan Tumbuhan Obat dan Diet Suplemen.<br />
Trubus Agriwidya. Jakarta<br />
4. Herawati, H. 2010. Karasteristik Pola Gelatinisasi Tapioka Menggunakan Alat Microwave.<br />
Prosiding PPI Standarisasi. Jakarta, 10 November 2010.<br />
5. Hudson, BJF. 1990. Food Antioxidants. Elsevier Applied Science. New York.<br />
6. LARMOND, 1997. METHODS FOR SENSORY EVALUATION OF FOODS. RESEARCH<br />
BRANCH CANNADA DEPT. AGRICULTURE PUB. MC GRAW HILL<br />
7. RESURRECCION, A.V.A., 1998. CONSUMER SENSORY TESTING FOR PRODUCT<br />
DEVELOPMENT. ASPEN PUBLISHER, INC., MARYLAND.<br />
8. STEEL, R.G.D. AND J.H. TORRIE, 1993. PRINCIPLES AND PROCEDURES OF STATISTICS.<br />
A BIOMEDICAL APPROACH, 3 RD ED. MC GRAW HILL, KAGASUKHA LTD., TOKYO.<br />
314│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Larutan Perendaman dan Jenis Tepung Terhadap Mutu Sale Pisang Serta Preferensi Konsumennya<br />
Wanita, Y. P. 1) dan Masniah 2)<br />
9. SUDARMADJI, SLAMET. ANALISA BAHAN MAKANAN DAN<br />
PERTANIAN.YOGYAKARTA: GADJAH MADA.<br />
10. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta. Gramedia Pustaka.<br />
11. Roth, J., Blaschke, G., (1988), “Analisa Farmasi”, UGM Press, Yogyakarta, 271-279.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│315
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan Asam Sitrat<br />
S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis<br />
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan<br />
Asam Sitrat<br />
S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Jakarta<br />
Jl. Raya ragunan No.30 Pasar Minggu Jakarta Selatan<br />
ABSTRAK. Salah satu produk yang telah dikembangkan oleh Kelompok Wanita Tani di DKI Jakarta adalah<br />
saribuah belimbing. Proses produksi yang telah dilakukan masih perlu sentuhan teknologi yang berkaitan dengan<br />
kualitas produk. Permasalahan yang sering terjadi adalah warna kurang cerah dan tidak stabil selama<br />
penyimpanan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penambahan kayu secang dan asam sitrat terhadap<br />
stabilitas warna saribuah belimbing. Penelitian dilakukan di BPTP Jakarta dan IPB Bogor mulai Juni sampai<br />
September 2007. Penelitian terdiri dari 2 (dua) tahap, yaitu tahap pertama adalah penentuan konsentrasi kayu<br />
secang dan tahap kedua adalah penentuan konsentrasi asam sitrat terhadap stabilitas warna saribuah belimbing.<br />
Perlakuan ekstrak kayu secang adalah 9% dan 10%. Konsentrasi ektrak kayu secang terpilih selanjutnya<br />
digunakan untuk menentukan stabilitas warna saribuah belimbing dengan perlakuan penambahan asam sitrat<br />
sebesar 0.1%, 0.25% dan 0.5% yang disimpan pada suhu refrigerator (±5°C), suhu ruang (±30°C), dan suhu<br />
tinggi (±55C) dalam kemasan cup plastik. Parameter pengamatan meliputi nilai absorbansi, persen retensi<br />
warna, penurunan mutu (nilai k) dan uji organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ekstrak<br />
kayu secang dan asam sitrat berpengaruh terhadap stabilitas warna saribuah belimbing. Penambahan ekstrak<br />
secang 10% dan asam sitrat 0.5% terhadap saribuah belimbing yang disimpan pada suhu refri relatif stabil. Hal<br />
ini ditunjukkan oleh nilai persen retensi warna dengan penambahan ekstrak secang 10% dan asam sitrat 0.5%<br />
yang disimpan pada suhu refri, yaitu sebesar 93.51%, nilai absorbansi 0.7238, dan waktu paruh tertinggi yaitu<br />
239 hari. Semakin tinggi umur paruh menunjukkan stabilitas warna saribuah belimbing yang lebih tinggi.<br />
Penambahan ekstrak secang 10% dan asam sitrat 0.5% mempunyai nilai energi aktivasi sebesar 39.89 kkal/mol<br />
yang berarti mutu sari buah belimbing tersebut tidak sensitif terhadap perubahan suhu, berbeda dengan nilai<br />
energi aktivasi yang paling rendah pada sari buah belimbing dengan penambahan ekstrak secang 9% dan asam<br />
sitrat 0.1% dengan nilai 23.25 kkal/mol yang berarti mutu dari sari buah tersebut sensitif terhadap perubahan<br />
suhu. Berdasarkan uji hedonik terhadap warna menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kayu secang 10% dan<br />
asam sitrat 0.5% pada penyimpanan suhu refri mempunyai nilai tertinggi, yaitu 5.52 sedangkan uji hedonik<br />
terhadap rasa nilai tertinggi diperoleh pada penambahan ekstrak kayu secang 9% dan asam sitrat 0.1%, yaitu<br />
5.44.<br />
Kata kunci: saribuah, belimbing, kayu secang, asam sitrat, warna<br />
ABSTRACT. One of the products which has been developed by the Women farmer group (KWT) in DKI<br />
Jakarta is the starfruit juice. However, the production process still needs a touch of technology related to product<br />
quality. Problems that often occur were less bright and the colors were not stable during storage. This study was<br />
aimed to determine the effect of addition of sappan wood extract and citric acid to starfruit juice color stability.<br />
The study was conducted in BPTP Jakarta and Bogor Agricultural University Bogor from June to September<br />
2007. The study consisted of 2 (two) phases, they were the determination of the concentration of sappanwood<br />
extract and the determination of citric acid concentration on color stability of starfruit juice. Treatment of sappan<br />
wood extracts were 9% and 10%. Concentration of sappan wood extracts was elected hereinafter then was used<br />
to determine stability of color of starfruit juice with the treatment the addition of citric acid 0.1%, 0,25% and<br />
0.5% which stored at a temperature of refrigerator (± 5 ° C), room temperature (± 30 ° C), and high temperature<br />
(± 55 C) within plastic bottle packaging. Parameters included the observation of the absorbance values, percent<br />
color retention, color degradation (k) and organoleptic tests. The results showed that the addition of sappan wood<br />
extract and citric acid affects the stability of the color of star fruit juice. The addition of sappan wood extract<br />
10% and 0.5% citric acid could stabilize the starfruit juice color which was stored at refrigerator temperature.<br />
This was demonstrated by the percent retention of color by the addition of 10% sappan wood extract and 0.5%<br />
citric acid in which was stored at refrigerator was still high enough, it was 93.51%, and the absorbance value was<br />
0.7238, and half-life time was 239 days. The higher the half-life time the higher the stability of the color. The<br />
addition of 10% sappan wood extract and 0.5% citric acid had a value of activation energy of 39.89 kcal / mol,<br />
which meant the quality of starfruit juice was not sensitive to temperature change, in contrast to the lowest<br />
activation energy of the juice with 9% sappan wood extratc and 0.1% with a value of 23.25 kcal / mol, which<br />
meant the quality of the juice was sensitive to changes in temperature. The hedonic test of the color showed that<br />
the juice with the addition of sappan wood 10% and citric acid 0.5% at a temperature of refrigeration has the<br />
316│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan Asam Sitrat<br />
S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis<br />
highest value, which was 5.52 while the highest hedonic test of the taste was obtained by the juice with the<br />
addition of sappan wood 9% and citric acid 0.1%, which was 5.44.<br />
Keywords: star fruit juice, sappan wood, citric acid, color<br />
Saribuah (fruit juice) adalah minuman ringan yang dibuat dari sari buah dan air minum dengan<br />
atau tanpa penambahan gula dan bahan tambahan makanan yang diizinkan (SNI 01-3719-1995).<br />
Saribuah merupakan hasil pengepresan atau ekstraksi buah yang sudah disaring. Faktor yang perlu<br />
diperhatikan dalam pembuatan saribuah antara lain: buah yang digunakan harus segar, banyak<br />
tersedia, mengandung kadar air tinggi (juicy), tidak hambar, tidak rusak dan tidak busuk (Ashurst,<br />
1995).<br />
Saribuah belimbing merupakan alternative pengolahan buah belimbing agar dapat disimpan<br />
dan dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat menjadi suatu nilai tambah bagi buah belimbing.<br />
Akan tetapi dalam pembuatan saribuah sangat ditentukan oleh kondisi bahan bakunya. Pemilihan<br />
bahan baku terutama warna selalu menjadi factor pembatas karena warna buah yang pucat akan<br />
menghasilkan saribuah dengan warna kurang menarik dan tidak stabil selama penyimpanan.<br />
Kondisi demikian menyebabkan produk tersebut tidak bisa bersaing dengan produk sari buah<br />
lainnya yang diproduksi dengan industry modern. Oleh karena itu perlu perbaikan dengan<br />
penambahan ekstrak kayu secang dan asam sitrat untuk meningkatkan kualitas warna dan stabilitas<br />
warna pada sari belimbing.<br />
Ekstrak kayu secang sangat mudah diperoleh karena banyak dipasaran dan harganya murah,<br />
demikian halnya dengan asam sitrat. Penggunaannya pun relative cepat dan mudah. Disamping untuk<br />
mempertegas warna sari buah belimbing, kayu secang sekaligus berfungsi sebagai pewarna alami yang<br />
aman untuk dikonsumsi. Menurut Maturin dan Peeler (2001) bahwa hasil uji toksisitas akut (LD 50)<br />
kayu secang mempunyai indikasi keamanan yang tinggi.<br />
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak kayu secang dan<br />
asam sitrat terhadap stabilitas warna saribuah belimbingdalam berbagai suhu penyimpanan.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium BPTP Jakarta dan Laboratorium pengolahan IPB<br />
Bogor dari bulan Juni sampai September 2007. Bahan yang digunakan adalah buah belimbing manis<br />
yang diperoleh dari petani belimbing di Jagakarsa, kayu Secang diperoleh dari Pasar minggu, gula,<br />
asam sitrat dan air PAM. Alat-alat yang digunakan untuk membuat saribuah belimbing terdiri dari<br />
Juice Extractor, saringan 80 mesh, pisau, panci, botol plastik PET, timbangan analitik, wadah gelas<br />
dan wadah plastik.<br />
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 6 ulangan. Penelitian ini<br />
diawali dengan pembuatan formula saribuah belimbingdan ekstrak kayu secang. Pembuatan formula<br />
sari belimbing, yaitu: buah belimbing manis dicuci bersih dan diblancing dengan air panas 80 0 C<br />
selama 3 menit. Selanjutnya belimbing diekstrak dengan mesin extractor dan disaring. Kemudian<br />
dilakukan pengenceran dengan perbandingan filtrate:air matang (1:2). Setelah itu dilakukan<br />
pasteurisasi sampai suhu 75 0 C selama ± 15 menit dan saribuah belimbingsiap dikemas. Pembuatan<br />
ekstrak kayu secang dilakukan dengan cara kayu secang diserut, kemudian diekstrak dengan air<br />
mendidih selama ± 20 menit dengan perbandingan kayu secang:air (1:25 b/v). Selanjutnya ekstrak<br />
disaring dan siap digunakan pada sari belimbing.<br />
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama untuk menentukan konsentrasi<br />
ekstrak kayu secang dan asam sitrat yang menghasilkan warna saribuah belimbingterbaik berdasarkan<br />
uji organoleptik. Konsentrasi ekstrak kayu secang yang digunakan adalah 7%, 8%, 9% dan 10%.<br />
Konsentrasi asam sitrat adalah 0%, 0.1%, 0.25%, 0.5%, 0.75% dan 1%. Tahap kedua adalah untuk<br />
melihat stabilitas warna saribuah belimbingpada 3 (tiga) suhu penyimpanan, yaitu 5 0 , 30 0 dan 55 0 C.<br />
Pengemasan dilakukan dengan botol plastic menggunakan metode hot filling. Pengamatan dilakukan<br />
selama 27 hari dengan selang waktu pengamatan 3-4 hari. Parameter pengamatan meliputi: absorbansi<br />
dan persen retensi warna, penurunan nilai mutu (nilai k) dan uji organoleptik.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│317
Skor kesukaan<br />
Skor kesukaan<br />
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan Asam Sitrat<br />
S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
A. Penentuan konsentasi ekstrak kayu secang dan asam sitrat terhadap sari belimbing.<br />
Penentuan konsentrasi optimum berdasarkan penilaian uji tingkat kesukaan terhadap warna dan rasa<br />
sari belimbing. Hasil uji tingkat kesukaan disajikan pada Gambar 1 dan 2.<br />
10<br />
5<br />
5,41 5,2 5,484,98<br />
6,47<br />
5,85<br />
6,48<br />
5,68<br />
0<br />
7 8 9 10<br />
Konsentrasi secang (%)<br />
Warna Rasa<br />
Gambar 1. Pengaruh konsentrasi ekstrak kayu secang terhadap tingkat kesukaan warna dan rasa. Effect of<br />
concentration of sappan wood extract on preference test of color dan taste<br />
8<br />
6<br />
4<br />
5,825,95 6,18 6,27 6,29 6,33<br />
5,81 5,71<br />
4,88<br />
4,58<br />
4,78 4,49<br />
2<br />
Gambar 2.<br />
0<br />
0 0.1 0.25 0.5 0.75 1<br />
Konsentrasi asam sitrat (%)<br />
Warna Rasa<br />
Pengaruh konsentrasi asam sitrat terhadap tingkat kesukaan warna dan rasa. Effect of<br />
concentration of citric acid on preference test of color and taste<br />
Gambar 1 dan 2. menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kayu secang pada konsentrasi 9%<br />
dan 10% menghasilkan skor kesukaan tertinggi terhadap warna, yaitu 6,47 (suka-sangat suka) dan 6,48<br />
(suka-sangat suka) sedangkan skor kesukaan terhadap rasa berturut turut 5,85 (agak suka-suka) dan<br />
5,68 (agak suka-suka). Skor kesukaan tersebut merupakan konsentrasi optimum yang terpilih dan<br />
merupakan nilai tertinggi dibandingkan dengan penambahan ekstrak kayu secang 7% dan 8%.<br />
Penambahan asam sitrat memberikan skor kesukaan tertinggi terhadap warna diperoleh pada<br />
konsentrasi 0.1%, 0.25% dan 0.5% berturut-turut yaitu 5.82 (agak suka-suka), 6.18 (suka-sangat suka)<br />
dan 6.27 (suka-sangat suka) sedangkan skor kesukaan tertinggi terhadap rasa diperoleh pada<br />
konsentrasi asam sitrat 0,1%, yaitu 5.95 (agak suka-suka), 0.25%, yaitu 5.81 (agak suka-suka) dan<br />
0.5% adalah 5.71 (agak suka-suka). Konsentrasi asam sitrat 0.1%, 0.25% dan 0.5% meghasilkan skor<br />
tertinggi baik terhadap warna maupun rasa pada saribuah belimbingdibandingkan dengan konsentrasi<br />
0%, 0.75% dan 1%.<br />
B. Stabilitas warna saribuah belimbing dengan penambahan ekstrak kayu secang dan asam<br />
sitrat<br />
Pengamatan stabilitas warna dilakukan terhadap saribuah belimbing dengan penambahan<br />
ekstrak kayu secang dan asam sitrat dengan konsentrasi optimum terpilih berdasarkan hasil uji<br />
hedonik dengan skor kesukaan tertinggi terhadap warna dan rasa sari buah, yaitu sari buah belimbing<br />
manis dengan penambahan ekstrak kayu secang 9%, 10% dan asam sitrat 0.1%, 0.25%, dan 0.5%.<br />
1. Absorbansi dan persen retensi warna<br />
Nilai absorbansi menunjukkan nilai instensitas warna saribuah belimbingyang diukur dengan<br />
spektrofotometer pada panjang gelombang 489 nm. Nilai absorbansi menunjukkan besarnya intensitas<br />
318│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan Asam Sitrat<br />
S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis<br />
warna kuning pada sari belimbing. Nilai absorbansi dan persen retensi warna saribuah belimbing<br />
disajikan pada Tabel 1.<br />
Tabel 1. Nilai absorbansi dan persen retensi warna saribuah belimbing pada berbagai suhu<br />
penyimpanan. The absorbance value and the percent retention color of starfruit juice’s on<br />
the different storage temperatures<br />
Sampel<br />
Suhu<br />
Penyimpanan<br />
± 5°C<br />
± 30°C<br />
± 55°C<br />
Ekstrak<br />
secang<br />
9<br />
10<br />
9<br />
10<br />
9<br />
10<br />
Rata-rata nilai<br />
absorbansi<br />
Asam<br />
sitrat<br />
0.1 0.5956<br />
87.71<br />
0.25 0.6551 90.61<br />
0.5 0.6746 90.30<br />
0.660<br />
0.1 0.6174 88.71<br />
0.25 0.6922 91.93<br />
0.5 0.7238 93.51<br />
0.1 0.5631<br />
82.93<br />
0.25 0.6316 87.35<br />
0.5 0.6822 91.33<br />
0.645<br />
0.1 0.6347 91.19<br />
0.25 0.6718 89.21<br />
0.5 0.6853 88.54<br />
0.1 0.4122<br />
60.56<br />
0.25 0.4674 64.65<br />
0.5 0.5170 59.27<br />
0.4506<br />
0.1 0.4046 58.13<br />
0.25 0.4339 57.62<br />
0.5 0.4683 60.51<br />
Rata-rata nilai persen<br />
retensi warna<br />
90.46<br />
88.43<br />
60.12<br />
Berdasarkan Tabel 1. terlihat bahwa suhu penyimpanan mempengaruhi nilai absorbansi sari<br />
belimbing. Pada penyimpanan suhu refri (5 0 C) memperlihatkan rata-rata nilai absorbansi tertinggi<br />
dibandingkan pada suhu ruang (30 0 C) dan suhu tinggi (55 0 C). Pada penyimpanan suhu refri<br />
penambahan ekstrak kayu secang sebesar 10% dan asam sitrat 0.5% pada saribuah belimbing<br />
memperlihatkan nilai absorbansi tertinggi, yaitu 0.7238 dibandingkan penambahan ekstrak kayu<br />
secang 9%. Nilai absorbansi terendah diperoleh pada penambahan ekstrak kayu secang 9% dan asam<br />
sitrat 0.1%, yaitu 0.5956. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pemberian ekstrak kayu secang<br />
maka nilai absorbansi semakin naik, demikian pula dengan semakin tingginya konsentrasi asam sitrat<br />
yang ditambahkan pada saribuah belimbing maka nilai absorbansinya cenderung naik. Dengan<br />
demikian dapat disimpulkan bahwa penambahan ekstrak kayu secang sebesar 10% dan asam sitrat<br />
0.5% dapat mempertahankan kestabilan warna saribuah belimbing pada penyimpanan suhu refri<br />
maupun maupun suhu ruang.<br />
Penurunan intensitas warna dapat dilihat pada grafik persen retensi warna pada saribuah<br />
belimbing(Gambar 3). Tingkat retensi warna tersebut menunjukkan derajat stabilitas zat pewarna<br />
ekstrak kayu secang dan asam sitrat pada sari belimbing. Semakin tinggi nilai retensi warna saribuah<br />
belimbing setelah penyimpanan menunjukkan semakin tinggi derajat kestabilan warnanya. Hubungan<br />
antara retensi warna dengan lama penyimpanan dapat digunakan untuk mengetahui kinetika degradasi<br />
pigmen ekstrak secang.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│319
% Retensi Warna<br />
% Retensi warna<br />
% Retensi Warna<br />
% Retensi warna<br />
% Retensi warna<br />
% Retensi Warna<br />
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan Asam Sitrat<br />
S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis<br />
120<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
20<br />
0<br />
0 5 10 15 20 25 30<br />
Lama penyimpanan (hari)<br />
suhu ruang suhu refrigerator suhu tinggi<br />
(1.a)<br />
120<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
20<br />
0<br />
0 5 10 15 20 25 30<br />
Lama Penyimpanan (hari)<br />
Suhu ruang Suhu refrigerator Suhu tinggi<br />
(1.b)<br />
120<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
20<br />
0<br />
0 10 20 30<br />
Lama Penyimpanan (hari)<br />
120<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
20<br />
0<br />
0 5 10 15 20 25 30<br />
120<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
20<br />
120<br />
100<br />
80<br />
60<br />
40<br />
20<br />
0<br />
(2.b)<br />
Lama Penyimpanan (hari)<br />
Suhu ruang Suhu refrigerator Suhu tinggi<br />
(2.a)<br />
0<br />
0 5 10 15 20 25 30<br />
Lama penyimpanan (hari)<br />
Suhu ruang Suhu refrigerator Suhu tinggi<br />
0 5 10 15 20 25 30<br />
Lama penyimpanan (hari)<br />
Suhu ruang Suhu refrigerator Suhu tinggi<br />
Suhu Ruang Suhu refrigerator Suhu tinggi<br />
(1.c)<br />
(2.c)<br />
Gambar 3. Persen retensi warna saribuah belimbingdengan perlakuan ekstrak secang dan asam sitrat (1)<br />
ekstrak secang 9% (2) ekstrak secang 10% dan asam sitrat (a) 0.1%, (b) 0.25%, (c) 0.5%. The<br />
percent retention color of starfruit on sappan wood extract and citric acid treatment (1) 9%<br />
extract sappan (2) 10% extract sappan and citrict acid (a) 0.1%, (b) 0.25%, (c) 0.5%<br />
Gambar 3. terlihat bahwa sari buah belimbing manis dengan penambahan ekstrak kayu secang<br />
dan asam sitrat pada penyimpanan suhu refri dan suhu ruang penurunan persen retensi warna tidak<br />
lebih cepat pada perlakuan penyimpanan suhu tinggi. Persen retensi warna sari buah belimbing manis<br />
yang disimpan pada suhu refri yaitu sebesar 90.46%, nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan<br />
penyimpanan pada suhu ruang, yaitu sebesar 88.43% dan pada penyimpanan suhu tinggi sebesar<br />
60.12%. Pengaruh penambahan ekstrak kayu secang dan asam sitrat terhadap persen retensi warna<br />
terlihat pada penyimpanan suhu refri dengan konsentrasi ekstrak secang 9% dan asam sitrat 0,1 pada<br />
saribuah belimbing memiliki rata-rata nilai persen retensi warna terendah untuk ketiga suhu<br />
penyimpanan. Pada penyimpanan suhu refri nilai retensi warna 87.71%, suhu ruang 82.93% dan suhu<br />
tinggi 60.56%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan menyebabkan<br />
penurunan nilai retensi warna pada sari belimbing. Hal ini pun terjadi pada penambahan ekstrak kayu<br />
secang 10% dan asam sitrat 0.25% dan 0.5%. Saribuah belimbing yang paling stabil ditentukan<br />
berdasarkan nilai persen retensi warna yang paling tinggi yaitu saribuah belimbingdengan<br />
penambahan ekstrak secang 10% dan asam sitrat 0.5%.<br />
2. Penurunan nilai mutu (nilai k)<br />
Gambar 3. Menunjukkan plot hubungan antara nilai persen retensi warna saribuah belimbing<br />
dengan penambahan ekstrak secang dan asam sitrat terhadap lama penyimpanan. Dengan<br />
menggunakan teknik regresi linear dapat diperoleh nilai koefisien determinasi ( r ). Perbandingan nilai<br />
(r) pada ordo nol dan ordo satu dapat dilihat pada Tabel 2.<br />
320│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan Asam Sitrat<br />
S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis<br />
Tabel 2. Nilai k dan r² pada ordo 0 dan ordo 1. k value and r 2 on ordo 0 and ordo 1<br />
konsentrasi Konsentrasi Suhu Ordo 0 Ordo 1<br />
secang asam sitrat (°C) Slope (k) r² Slope (k) r²<br />
5 0.2860 0.2557 0.0031 0.2607<br />
0.1%<br />
30 1.1189 0.8133 0.0135 0.8226<br />
55 2.6272 0.9381 0.0484 0.9639<br />
5 0.8135 0.8583 0.0090 0.8609<br />
9%<br />
0.25% 30 0.9082 0.9525 0.0103 0.9580<br />
55 2.7842 0.9380 0.0482 0.9714<br />
5 0.3348 0.2748 0.0037 0.2764<br />
0.5%<br />
30 0.7722 0.8766 0.0085 0.8820<br />
55 2.3127 0.8478 0.0378 0.9416<br />
5 0.2667 0.1586 0.0065 0.1687<br />
0.1%<br />
30 0.6296 0.6610 0.0069 0.6734<br />
55 2.2786 0.8063 0.0450 0.8837<br />
5 0.5617 0.8963 0.0061 0.8977<br />
10%<br />
0.25% 30 0.7111 0.8524 0.0080 0.8571<br />
55 2.8564 0.9572 0.0563 0.9845<br />
5 0.6068 0.8256 0.0029 0.8256<br />
0.5%<br />
30 0.8873 0.7473 0.0100 0.7612<br />
55 2.7134 0.8063 0.0516 0.9658<br />
Berdasarkan nilai-nilai (r) yang telah diperoleh di atas, plot antara nilai retensi warna serta ln<br />
retensi warna terhadap waktu penyimpanan menghasilkan nilai yang lebih tinggi pada ordo 1.<br />
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pada umumnya degradasi pigmen akibat perlakuan suhu<br />
yang diberikan, mengikuti kinetika reaksi ordo satu (Markakis, 1975). Kondisi ini juga ditemui pada<br />
pigmen antosianin dalam plum puree dimana akibat perlakuan suhu penyimpanan, degradasi<br />
perubahan warna mengikuti kinetika reaksi ordo satu (Ahmed et al. 2004).<br />
Plot antara ln (% retensi warna) dengan waktu penyimpanan memberikan garis lurus dengan<br />
kemiringan (slope) = -k sehingga reaksi termasuk ke dalam ordo satu (Arpah, 2001). Berdasarkan hasil<br />
perhitungan, nilai korelasi pada ordo satu lebih besar dibandingkan dengan nilai korelasi pada ordo<br />
nol. Oleh karena itu, perhitungan dilakukan dengan menggunakan ordo satu. Dengan demikian<br />
konstanta laju reaksi (k) dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan reaksi ordo satu sebagai<br />
berikut :<br />
Ln (% retensi warna) = -kt + C<br />
Dimana –k adalah slope dari grafik yang diperoleh.<br />
Dari persamaan linier pada Tabel 3 dapat ditentukan waktu paruh degradasi pigmen ekstrak<br />
secang pada saribuah belimbingdengan menggunakan rumus waktu paruh dari ordo pertama, yaitu :<br />
T 0.693 =<br />
k<br />
(Palamidis dan Markakis, 1975)<br />
Semakin tinggi umur paruh berarti bahwa komponen tersebut mempunyai stabilitas yang lebih tinggi<br />
pula. Pada dasarnya diketahui bahwa laju suatu reaksi sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada umumnya,<br />
semakin tinggi suhu, maka akan semakin tinggi pula laju reaksi. Dengan kata lain, semakin tinggi nilai<br />
T maka akan semakin tinggi pula nilai k.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│321
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan Asam Sitrat<br />
S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis<br />
Tabel 3. Nilai waktu paruh saribuah belimbing. The half-life time value of starfruit juice’s<br />
Suhu Ekstrak<br />
Penyimpanan secang<br />
Asam sitrat Slope (k) r²<br />
T 1/2<br />
(hari)<br />
0.1 0.0031 0.2607 224<br />
9<br />
0.25 0.0090 0.8609 77<br />
± 5°C<br />
0.5 0.0037 0.2764 187<br />
0.1 0.0065 0.1687 107<br />
10<br />
0.25 0.0061 0.8977 114<br />
0.5 0.0029 0.8256 239<br />
0.1 0.0135 0.8226 51<br />
9<br />
0.25 0.0103 0.9580 67<br />
± 30°C<br />
0.5 0.0085 0.8820 82<br />
0.1 0.0069 0.6734 100<br />
10<br />
0.25 0.0080 0.8571 87<br />
0.5 0.0100 0.7612 69<br />
0.1 0.0484 0.9639 14<br />
9<br />
0.25 0.0482 0.9714 14<br />
± 55°C<br />
0.5 0.0378 0.9416 18<br />
0.1 0.0450 0.8837 15<br />
10<br />
0.25 0.0563 0.9845 12<br />
0.5 0.0516 0.9658 13<br />
Tabel 3, nilai waktu paruh yang paling tinggi yaitu saribuah belimbingdengan penambahan<br />
ekstrak kayu secang 10%, asam sitrat 0.5%, pada penyimpanan suhu refri. Hal tersebut berarti<br />
berdasarkan nilai waktu paruh, sari buah belimbing manis dengan penambahan ekstrak secang 10%,<br />
asam sitrat 0.5%, pada penyimpanan suhu refri lebih stabil dibandingkan sari buah belimbing manis<br />
lainnya. Waktu paruh pada sari buah belimbing manis dengan penambahan ekstrak secang 10%, asam<br />
sitrat 0.5% dan pada penyimpanan suhu refri memiliki nilai waktu paruh tertinggi yaitu sebesar 239<br />
hari. Secara umum, semakin tinggi suhu penyimpanan, semakin kecil nilai waktu paruhnya.<br />
Berdasarkan hasil perhitungan, semakin tinggi konsentrasi ekstrak kayu secang yang ditambahkan<br />
maka waktu paruh cenderung meningkat meskipun pada data yang dihasilkan ditemukan penurunan<br />
waktu paruh. Waktu paruh saribuah belimbingdengan penambahan ekstrak secang 9% memiliki nilai<br />
rata-rata sebesar 81.55~82 hari, sedangkan sari buah belimbing manis dengan penambahan ekstrak<br />
secang 10% memiliki nilai rata-rata sebesar 84 hari. Hal tersebut berarti bahwa saribuah belimbing<br />
dengan penambahan ekstrak secang 10% lebih stabil dibandingkan dengan penambahan ekstrak<br />
secang 9%. Semakin tinggi konsentrasi asam sitrat yang ditambahkan nilai waktu paruh cenderung<br />
turun. Meskipun, nilai rata-rata waktu paruh juga mengalami peningkatan dalam penyimpanan. Pada<br />
sari buah belimbing manis dengan penambahan asam sitrat 0.5% memiliki nilai waktu paruh yang<br />
lebih tinggi yaitu 101.33~101 hari dibandingkan dengan sari buah dengan penambahan asam sitrat<br />
0.1% sebesar 85.17~85 hari dan sari buah dengan penambahan asam sitrat 0.25% yaitu sebesar<br />
61.83~62 hari.<br />
Energi aktivasi menunjukkan sensitifitas nilai konstanta penurunan mutu (k) terhadap<br />
perubahan suhu. Semakin kecil nilai energi aktivasi, maka nilai k semakin sensitif terhadap perubahan<br />
suhu. Dengan menggunakan persamaan arrhenius diperoleh energi aktivasi perubahan warna saribuah<br />
belimbing selama penyimpanan yang dapat dilihat pada Tabel 4. Semakin rendah energi aktivasi<br />
menunjukkan parameter mutu tersebut semakin sensitif terhadap perubahan suhu. Sensitivitas<br />
parameter terhadap perubahan suhu juga dapat dilihat dari nilai koefisien korelasinya. Semakin besar<br />
koefisien korelasi menunjukkan semakin besar hubungan antara perubahan nilai K terhadap suhu.<br />
322│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan Asam Sitrat<br />
S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis<br />
Tabel 4. Konstanta degradasi pigmen secang dalam sari belimbing. Degradation constant of the<br />
sappan wood pigment in star fruit juice.<br />
Ea<br />
Ekstrak asam Suhu<br />
1/T Ln k k R² (kkal/mo<br />
secang sitrat (°C)<br />
l)<br />
5 0.0036 -5.7764<br />
0.1% 30 0.0033 -4.3051 2796.8 0.8099 23.25<br />
55 0.003 -3.0283<br />
5 0.0036 -4.7105<br />
9% 0.25% 30 0.0033 -4.5756 3873.3 0.9738 32.20<br />
55 0.003 -3.0324<br />
5 0.0036 -5.5994<br />
0.5% 30 0.0033 -4.7677 4580.2 0.9935 38.08<br />
55 0.003 -3.2754<br />
5 0.0036 -5.0360<br />
0.1% 30 0.0033 -4.9762 3224.8 0.7732 26.81<br />
55 0.003 -3.1011<br />
5 0.0036 -5.0995<br />
10% 0.25% 30 0.0033 -4.8283 3704 0.8400 30.80<br />
55 0.003 -2.8771<br />
5 0.0036 -5.8430<br />
0.5% 30 0.0033 -4.6052 4798 0.9983 39.89<br />
55 0.003 -2.9642<br />
Tabel 4. menunjukkan bahwa energi aktivasi saribuah belimbingyang ditambahkan ekstrak kayu<br />
secang 9% dan asam sitrat 0.5% yaitu sebesar 38.08 kkal/mol, nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan<br />
dengan penambahan asam sitrat 0.1% yaitu 23.25 kkal/mol dan penambahan asam sitrat 0.25% yaitu<br />
32.20 kkal/mol. Hal ini menunjukkan bahwa saribuah belimbing yang ditambahkan ekstrak kayu<br />
secang 9% lebih stabil pada penambahan asam sitrat sebanyak 0.5%. Demikian pula pada perlakuan<br />
ekstrak kayu secang 10% lebih stabil pada penambahan asam sitrat 0.5%, yaitu 39.89 kkal/mol<br />
dibandingkan dengan perlakuan asam sitrat 0.1%, yaitu 26.81 kkal/mol dan penambahan asam sitrat<br />
0.25% yaitu 30.80 kkal/mol. Berdasarkan nilai energi aktivasi dapat disimpulkan bahwa penambahan<br />
ekstrak kayu secang 10% dan asam sitrat 0.5% menghasilkan saribuah belimbingyang lebih lebih<br />
stabil terhadap warna selama penyimpanan.<br />
3. Uji organoleptik<br />
Uji organoleptik dilakukan setelah penyimpanan selama 27 hari. Hasil uji hedonik dengan 7 skala,<br />
sangat tidak suka (1), tidak suka (2), agak tidak suka (3), netral (4), agak suka (5), suka (6), dan sangat<br />
suka (7).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│323
Skala hedonik<br />
Skala hedonik<br />
Skala Hedonik<br />
Skala hedonik<br />
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan Asam Sitrat<br />
S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis<br />
1. Warna<br />
6<br />
4<br />
2<br />
0<br />
5,32 5,44<br />
5,72<br />
5,28 5,64<br />
4,84<br />
Refri Ruang Tinggi<br />
a) Ekstrak kayu secang 9%<br />
1,921,76<br />
1,48<br />
Suhu Penyimpanan<br />
As. Sitrat 0.1% As. Sitrat 0.25% As. Sitrat 0.5%<br />
6<br />
5<br />
4<br />
3<br />
2<br />
1<br />
0<br />
5,325,44<br />
5,72<br />
5,28<br />
5,64<br />
4,84<br />
1,921,76<br />
1,48<br />
Refri Ruang Tinggi<br />
Suhu Penyimpanan<br />
As. Sitrat 0.1% As. Sitrat 0.25% As. Sitrat 0.5%<br />
b) Ekstrak kayu secang 10%<br />
Gambar 4. Nilai uji hedonik terhadap warna saribuah belimbingdengan penambahan ekstrak kayu<br />
secang 9% (a) dan 10% (b). The hedonic value of the color of starfruit juice with the<br />
addition of sappan wood extracts 9% (a) and 10% (b)<br />
Berdasarkan hasil uji hedonik menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap saribuah<br />
belimbing berbeda pada suhu penyimpanan yang berbeda. Panelis masih bisa menerima warna<br />
saribuah belimbing setelah 27 hari disimpan pada suhu refri maupun suhu ruang. Hal ini dapat dilihat<br />
pada penilaian panelis terhadap warna saribuah belimbing pada penyimpanan suhu refri dengan<br />
penambahan ekstrak kayu secang 9%, yaitu 5.72 pada perlakuan asam sitrat 0.5%. Penilaian panelis<br />
tersebut tidak berbeda jauh dengan penilaian warna saribuah belimbing pada penyimpanan suhu ruang.<br />
Kecuali pada suhu tinggi penilaian panelis menunjukkan nilai terendah baik pada perlakuan<br />
konsentrasi kayu secang 9% dan 10%, maupun perlakuan asam sitrat 0.1%, 0.25% dan 0.5%.<br />
penilaian panelis terendah berada pada kisaran sangat tidak suka (1,48). Hal ini menunjukkan bahwa<br />
peningkatan suhu mempengaruhi stabilitas warna saribuah belimbing setelah penyimpanan 27 hari dan<br />
mempengaruhi penerimaan panelis terhadap sari belimbing.<br />
2. Rasa<br />
6<br />
5,4 5,52<br />
5,12 5,2 5,16<br />
4,64 4,64<br />
4<br />
3,56<br />
3,28<br />
2<br />
0<br />
Refri Ruang Tinggi<br />
Suhu Penyimpanan<br />
As. Sitrat 0.1% As. Sitrat 0.25% As. Sitrat 0.5%<br />
a) Ekstrak kayu secang 9%<br />
5<br />
4<br />
3<br />
2<br />
1<br />
0<br />
4,844,82<br />
4,76<br />
4,2<br />
4,44 4,4<br />
4,2<br />
3,8<br />
Refri Ruang Tinggi<br />
2,56<br />
Suhu Penyimpanan<br />
As. Sitrat 0.1% As. Sitrat 0.25% As. Sitrat 0.5%<br />
b) Ekstrak kayu secang 10%<br />
Gambar 5. Nilai uji hedonik terhadap rasa saribuah belimbingdengan penambahan ekstrak kayu<br />
secang 9% (a) dan 10% (b). The hedonic value of the taste of starfruit juice with the<br />
addition of sappan wood extracts 9% (a) and 10% (b)<br />
Berdasarkan hasil uji hedonik terhadap parametr rasa menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak<br />
kayu secang 9% dan asam sitrat 0.1%, 0.25% dan 0.5% yang disimpan pada suhu ruang mempunyai<br />
skor rata-rata berturut-turut 5.20, 4.64 dan 5.16. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian panelis berada<br />
pada kisaran netral sampai agak suka. Nilai tertinggi yang diberikan panelis pada pelakuan ekstrak<br />
324│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Skala hedonik<br />
Skala hedonik<br />
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan Asam Sitrat<br />
S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis<br />
kayu secang 9% dan asam sitrat 0.5%, yaitu 5.16 sedangkan nilai terendah pada perlakuan asam sitrat<br />
0,1%, yaitu 3,16 berada pada kisaran agak tidak suka sampai netral.<br />
3. Aroma<br />
4,8<br />
4,64 4,64<br />
4,56<br />
4,52<br />
4,6 4,44<br />
4,48<br />
4,32<br />
4,4<br />
4,24<br />
4,2<br />
4<br />
3,92<br />
3,8<br />
3,6<br />
3,4<br />
Refri Ruang Tinggi<br />
Suhu Penyimpanan<br />
As. Sitrat 0.1% As. Sitrat 0.25% As. Sitrat 0.5%<br />
a) Ekstraksi kayu secang 9%<br />
5<br />
4<br />
3<br />
2<br />
1<br />
0<br />
4,314,24 3,76 3,96<br />
4,19 4,18 4,13<br />
3,64<br />
3,16<br />
Refri Ruang Tinggi<br />
Suhu Penyimpanan<br />
As. Sitrat 0.1% As. Sitrat 0.25% As. Sitrat 0.5%<br />
b) Ekstrak kayu secang 10%<br />
Gambar 6. Nilai uji hedonik terhadap aroma saribuah belimbingdengan penambahan ekstrak kayu<br />
secang 9% (a) dan 10% (b). The hedonic value of aroma of starfruit juice with the<br />
addition of sappan wood extracts 9% (a) and 10% (b)<br />
Uji aroma yang dilakukan adalah uji off flavor, yaitu adanya penyimpangan aroma saribuah<br />
belimbing yang telah mengalami penyimpangan pada berbagai suhu penyimpanan. Berdasarkan<br />
penilaian panelis terhadap aroma saribuah belimbing menunjukkan nilai tertinggi pada penambahan<br />
ekstrak kayu secang 9% dan asam sitrat 0,5%, yaitu 4.64 atau pada kisaran netral sampai suka.<br />
penilaian terendah oleh panelis terhadap aroma saribuah belimbing diperoleh pada perlakuan<br />
penambahan ekstrak kayu secang 10% dengan asam sitrat 0,1% pada penyimpanan suhu refri. Adanya<br />
off flavor akan terdeteksi lebih kuat apabila semakin lama penyimpaanan, termasuk semakin tinggi<br />
suhu penyinpanan terjadinya off flavor semakin terdeteksi dengan kuat. Terjadinya off flavor dapat<br />
dikarenakan adanya reaksi oksidatif dan hidrolisis pada produk yang dapat menyebabkan ketengikan.<br />
Reaksi ini juga dapat dipercepat dengan adanya panas (Keller, 1999). Semakin tinggi suhu<br />
penyimpanan, off flavor semakin terdeteksi secara kuat yang ditunjukkan oleh skor penilaian panelis<br />
terhadap aroma.<br />
KESIMPULAN<br />
Perlakuan ekstrak secang 10% dan asam sitrat 0.5% terhadap minuman saribuah<br />
belimbingyang disimpan pada suhu refri relatif stabil dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini<br />
ditunjukkan oleh nilai persen retensi warna pada sari buah belimbing dengan penambahan ekstrak<br />
secang 10% dan asam sitrat 0.5% yang disimpan pada suhu refri masih cukup tinggi yaitu sebesar<br />
93.51%, rata-rata nilai absorbansi tertinggi yaitu sebesar 0.7238, dan waktu paruh tertinggi yaitu 239<br />
hari. Semakin tinggi umur paruh berarti bahwa sari buah tersebut mempunyai stabilitas yang lebih<br />
tinggi.<br />
Waktu paruh tertinggi adalah pada sari buah belimbing dengan penambahan ekstrak secang<br />
10% dan asam sitrat 0.5% pada penyimpanan suhu refri (239 hari) dan waktu paruh terendah adalah<br />
pada sari buah belimbing dengan penambahan ekstrak secang 10% dan asam sitrat 0.25% pada<br />
penyimpanan suhu tinggi (12 hari). Semakin tinggi umur paruh berarti bahwa sari buah tersebut<br />
mempunyai stabilitas yang lebih tinggi pula.<br />
Selain itu, nilai energi aktivasi yang cukup tinggi pada sari buah belimbing dengan<br />
penambahan ekstrak secang 10% dan asam sitrat 0.5% dengan nilai 39.89 kkal/mol yang berarti mutu<br />
sari buah belimbing tersebut tidak sensitif terhadap perubahan suhu, berbeda dengan nilai energi<br />
aktivasi yang paling rendah pada sari buah belimbing dengan penambahan ekstrak secang 9% dan<br />
asam sitrat 0.1% dengan nilai 23.25 kkal/mol yang berarti mutu dari sari buah tersebut sensitif<br />
terhadap perubahan suhu.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│325
Stabilitas Warna Saribuah Belimbing dengan Penambahan Ekstrak Kayu Secang dan Asam Sitrat<br />
S. Aminah, T. Ramdhan, M. Yanis<br />
Uji organoleptik hedonik menunjukkan bahwa saribuah belimbing dengan penambahan<br />
ekstrak kayu secang 10%, asam sitrat 0.5%, pada penyimpanan suhu refri menghasilkan skor<br />
penilaian konsumen terhadap warna sebesar 5.52. Untuk penilaian panelis terhadap parameter rasa<br />
diperoleh nilai 5.44 dengan penambahan ekstrak kayu secang 9%, asam sitrat 0.1% pada penyimpanan<br />
suhu refri. Skor kesukaan terhadap warna dan rasa tidak terlalu beda jauh, untuk itu penggunaan<br />
ekstrak kayu secang 10%, asam sitrat 0.5%, dapat mempertahankan warna saribuah belimbing pada<br />
penyimpanan suhu refri.<br />
PUSTAKA<br />
1. Ahmed J, US Shivhare and GSV Raghavan. 2004. Thermal degradation kinetics of anthocyanin<br />
and visual colour of plum puree. Eur Food Res Technol 218 : 525-528.<br />
2. Arpah 2001. Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. IPB, Bogor.<br />
3. Ashurst P. R. 1995. Production and Packaging of Non-Carbonated Fruit Juices and Fruit<br />
Beverages. Blackie Academic and Proffesional. London.<br />
4. Keller, E. 1999. Brazillin. Keller@MSX.UPMC.EDU<br />
5. Markakis, P. 1975. Quantitative Aspects of Strawberry-Pigment Degradation. In Hutchings, J.B.<br />
1999. Food Color and Appearance. 2nd (ed.). Aspen Publ., Inc. Gaithersburg, Maryland.<br />
6. Maturin, L. Dan J.T. Peeler. 2001. Aerobic Plate Count. Di dalam: Bacteriological Analytical<br />
Manual Online. Center for Food Safety and Applied Nutrition. U.S. Food and Drud<br />
Administration.<br />
7. Palamidis, N. Dan P. Markakis. 1975. Stability of Grape Anthocyanin in Carbonated Beverages.<br />
J. Food Sci. 40:1047.<br />
326│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Penggunaan Air Kapur (CaCo 3 ) dan Suhu Penyimpanan untuk Memperpanjang Umur Simpan Anggur Jestro Ag60 (BS 60)<br />
dan Kediri kuning (BS 88)<br />
Ashari, H dan Hanif, Z<br />
Penggunaan Air Kapur (CaCo 3 ) dan Suhu Penyimpanan untuk Memperpanjang Umur<br />
Simpan Anggur Jestro Ag60 (BS 60) dan Kediri kuning (BS 88)<br />
Ashari, H dan Hanif, Z<br />
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika<br />
Jalan raya Tlekung no 1. Junrejo Batu Jawa Timur<br />
Email : hasimmuda@gmail.com<br />
Abstrak. Anggur Jestro Ag60 dan Kediri kuning (BS 88) merupakan anggur komersial yang sangat potensial<br />
dikembangkan di Indonesia. Anggur jenis ini mudah dibudidayakan, produksi buahnya tinggi (10kg–30<br />
kg)/pohon dan berasa sangat enak (harum segar) sesuai untuk buah meja. Karena umur simpan sangat pendek (4<br />
sampai 6 hari), petani enggan membudidayakanya. Kerusakan buah lebih banyak disebabkan oleh tipisnya kulit<br />
buah dan serangan jamur pada saat menjelang panen. Banyak upaya memperpanjang daya simpan anggur<br />
diantaranya dengan udara termodifikasi, pelilinan dan chitosan, namun petani enggan melakukanya karena<br />
terbatasnya hasil panen dan biaya tinggi. Untuk itu perlu perlakuan sederhana yang aplikatif dapat dilakukan<br />
petani yaitu dengan perendaman air kapur (CaCo 3 ). Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK)<br />
dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perendaman anggur pada air kapur<br />
dosis 10% suhu kamar dapat memperpanjang daya simpan aggur Jestro 60 dan kediri kuning hingga 10 hari dan<br />
dosis 10% suhu dingin (1 o C) hingga 28 hari dibanding kontrol suhu ruang 4 hari dan suhu dingin 12 hari.<br />
Kata kunci : anggur, umur simpan, CaCo 3 , suhu<br />
Abstract. Grape of Jestro Ag60 and Kediri Kuning (Belgi) varities are commercial grapes which are very<br />
potential to be developed in Indonesia. These grapes are easily cultivated, have high fruit production (10kg-30<br />
kg) / tree and has very good taste (fresh fragrant) that are suiteble for fruit table. Due to very short shelf life (4 to<br />
6 days), farmers are reluctant to pruduce. Fruit damage was caused more by the thin skin of fruit and fungal<br />
attack by the time of harvest. Many efforts to extend the shelf life of Grape including a modified air, waxing and<br />
chitosan, but farmers are reluctant to do them because of the limited yields and high costs. Therefore we need a<br />
simple treatment that can be made applicable to the farmers. It is by immersion in lime water (CaCO 3 ). Research<br />
compiled in a randomized block design (RGD) with 8 treatments and 3 replications. Results showed that soaking<br />
on lime water grape at a dose of 10% at room temperature can extend the shelf life of jestro AG60 and kediri<br />
kuning up to 10 days and a dose of 10% at cold temperature (1 ° C) can extending shelf life up to 28 days<br />
compared to controls of 4 days at room temperature and at 12 days cold temperature.<br />
Key words: Grape, shelf life, CaCO3, temperature<br />
Anggur merupakan salah satu buah-buahan yang banyak disukai konsumen baik dalam<br />
bentuk segar maupun olahan. Anggur BS 60/MS27-3 (Jestro Ag60) Dilepas berdasarkan SK Menteri<br />
<strong>Pertanian</strong> 1745/Kpts/Sar.120/12/2008 tanggal 22 Desember 2008 dan BS 88/Belgi (Kediri Kuning)<br />
Dilepas berdasarkan SK Menteri <strong>Pertanian</strong> 361/Kpts/LB.240/6/2004 tanggal 2 Juni 2004 (Balitjestro<br />
2012). Kedua anggur jenis ini mudah dibudidayakan, produksi buahnya tinggi (10 kg–30 kg)/pohon<br />
dan berasa sangat enak (harum segar) sesuai untuk buah meja ini sehingga sangat potensial<br />
dikembangkan di Indonesia. Kebanyakan masyarakat menanam tanaman anggur di pekarangan yang<br />
dianggap sebagai sambilan ternyata mampu menambah penghasilan keluarga (Baswarsiati et al, 2001,<br />
2002). Karena umur simpan buah sangat pendek (4 sampai 6 hari), petani enggan membudidayakanya.<br />
Buah anggur ini mudah rusak (perishable) yang disebabkan oleh faktor mekanis, fisiologis,<br />
mikrobiologis dan fisiologis. Sedangkan anggur jenis lainya memiliki umur simpan 4 - 8 minggu pada<br />
suhu penyimpanan dari -1 sampai 4 o C (Hernandez, 2004. Wills et al., 1998).<br />
Banyak riset memperpanjang daya simpan buah anggur diantaranya dengan pengaturan udara<br />
dalam kemasan/ penyimpanan (modified atmosphere packaging/ MAP), kontrol atmosfir (control<br />
atmosphere/CA, udara termodifikasi, pelilinan dan chitosan (Gaman, P.M., & K. B. Sherrington.,<br />
1994), namun petani enggan melakukanya karena terbatasnya hasil panen dan biaya tinggi. Untuk itu<br />
perlu perlakuan sederhana yang aplikatif dapat dilakukan petani yaitu dengan perendaman air kapur<br />
(CaCo 3 ). Prinsip kerja calsium carbonat adalah mencegah masuk dan tumbuhnya mikroba di dalam<br />
anggur selama mungkin. Hal ini karena CaCo 3 dapat menutup pori-pori kulit anggur dan meningkatkan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│327
Penggunaan Air Kapur (CaCo 3 ) dan Suhu Penyimpanan untuk Memperpanjang Umur Simpan Anggur Jestro Ag60 (BS 60)<br />
dan Kediri kuning (BS 88)<br />
Ashari, H dan Hanif, Z<br />
basa di kulit. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa CaCo 3 bersifat anti jamur, efektif memperlambat<br />
proses infeksi mikroorganisme dan mengurangi busuk buah sehingga dapat memperpanjang umur<br />
simpan buah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh CaCo 3 dan suhu penyimpanan<br />
terhadap kualitas buah anggur segar.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika pada bulan<br />
November 2011 sampai dengan Maret 2012. Buah Anggur yang dipergunakan dalam penelitian adalah<br />
Anggur Jestro Ag60 (BS 60) dan Kediri kuning (BS 88). Penelitian disusun dalam Rancangan Acak<br />
Kelompok Faktorial (RAK) (A x B)(Gomez & Gomez, 1995). Perlakuan terdiri dari faktor suhu<br />
simpan: A (Ruang A1,Dingin A2) dan faktor konsentrasi larutan air kapur : B (0%B1, 5% B2,10% B3,<br />
15% B4,), sehingga perlakuan kombinasinya ada 8 buah masing-masing dengan 3 kali ulangan.<br />
Kombinasi perlakuan dari kedua faktor tersebut adalah sebagai berikut :<br />
A1B1(L1) A1 B2(L2) A1B3(L3) A1B4(L4)<br />
A2B1(D1) A2B2(D2) A2B3(D3) A2B4(D4)<br />
Pengamatan meliputi susut bobot, tekstru, kerontokan dan TSS. Intensitas kerusakan buah yang<br />
diamati pada hari 1, ke-3 sampa ke-30 setelah perlakuan.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Perubahan Berat<br />
Selama proses penyimpanan buah anggur mengalami susut bobot. Perubahan berat buah<br />
anggur selama proses penyimpanan berlangsung dapat dilihat pada Gambar 1.<br />
110<br />
100<br />
90<br />
80<br />
70<br />
60<br />
50<br />
Persen Berat<br />
h1 h3 h5 h7 h9 h11 h13 h15 h17 h19 h21 h23 h25 h27 h29 h31<br />
Hari ke<br />
L1<br />
L2<br />
L3<br />
L4<br />
B1<br />
B2<br />
B3<br />
B4<br />
Gambar 1. Perubahan Berat Buah Anggur (Vitis vinivera) pada beberapa perlakuan selama<br />
Penyimpanan<br />
Gambar 1. menunjukkan bahwa laju penurunan berat terbesar terdapat pada buah anggur<br />
yang disimpan pada suhu ruang (kontrol ) mencapai 9 % (dari 100 g pada hari ke-0 menjadi 91 g<br />
pada hari ke-7) disusul perlakuan perendaman air kapur 5 % penurunannya sebesar 5,1gr, 10%<br />
sebesar 5gr dan 10 % sebesar 4,8 gr. Pada perlakuan penyimpanan suhu ruang buah anggur hanya<br />
bertahan sampai hari ke 3 - 7 (1minggu) ditandai dengan banyaknya buah busuk dan terlepas dari<br />
tangkainya. Sedangkan dengan perlakuan suhu dingin (1 o C) daya simpan anggur mencapai hari ke<br />
27.<br />
Penurunan berat pada anggur yang disimpan pada suhu dingin susut bobotnya lebih kecil<br />
dibandingkan suhu ruang. Sampai hari ke14 penurunan hanya 5%. Hal ini menunjukkan bahwa<br />
328│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Penggunaan Air Kapur (CaCo 3 ) dan Suhu Penyimpanan untuk Memperpanjang Umur Simpan Anggur Jestro Ag60 (BS 60)<br />
dan Kediri kuning (BS 88)<br />
Ashari, H dan Hanif, Z<br />
perlakuan perendaman air kapur dengan penyimpanan pada suhu dingin lebih stabil<br />
memperpanjang daya simpan buah anggur. Hernandez, et. al. (2004) dan Wills, et. al. (1998),<br />
mengemukakan bahwa buah anggur merupakan buah yang perishable sehingga umur simpannya<br />
relatif singkat 4-8 minggu dengan suhu penyimpanan dari 1 o C. Penelitian Tawali, A.B & Zainal,<br />
2004) pada anggur impor yang disimpan suhu dingin mampu bertahan hingga 8 minggu<br />
sedangkan pada suhu ruang hanya mampu bertahan 2 minggu. Pada penelitian tersebut tingkat<br />
susut bobot tertinggi terjadi pada perlakuan suhu ruang<br />
Tekstur<br />
Tekstur buah merupakan pertanda baik atau rusaknya buah anggur. Perubahan tekstur<br />
buah anggur yang terjadi selama proses penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2.<br />
6<br />
Tekstur<br />
5<br />
4<br />
3<br />
2<br />
1<br />
0<br />
h1 h3 h5 h7 h9 h11 h13 h15 h17 h19 h21 h23 h25 h27 h29 h31<br />
Hari ke<br />
L1<br />
L2<br />
L3<br />
L4<br />
B1<br />
B2<br />
B3<br />
B4<br />
Gambar 2. Perubahan tekstur Buah Anggur dengan berbagai perlakuan selama Penyimpanan<br />
Gambar 2. Perubahan tekstur buah anggur terlihat sangat jelas pada perlakuan kontrol<br />
suhu ruang, yaitu buah mengalami kehilangan kesegarannya dan menjadi lunak setelah 9.<br />
Sedangkan dengan perlakuan pemberian air kapur bisa bertahan lebih lama hingga hari ke 14.<br />
Sedangkan dengan perlakuan suhu dingin perubahan mutu yang terjadi pada tekstur buah bertahan<br />
selama 27 hari (4 minggu) setelah lewat hari ke-31 tekstur buah perlahan melunak dan lama<br />
kelamaan berkeriput. Hal ini karena CaCo 3 dapat menutup pori-pori kulit anggur dan<br />
meningkatkan basa di kulit (Rudy, A.L 2004). Laporan Farhan (2009) menunjukkan bahwa<br />
CaCo 3 bersifat anti jamur, efektif memperlambat proses infeksi mikroorganisme dan<br />
mengurangi busuk buah sehingga dapat memperpanjang umur simpan buah anggur.<br />
Tingkat Kerontokan Buah<br />
Tingkat kerontokan buah menunjukkan banyaknya buah yang masih layak<br />
konsumsi. Semakin banyak buah yang masih ada ditandan (tidak rontok)semakin lama daya<br />
simpanya, sebaliknya semakin cepat buah rontok menunjukkan daya simpan yang pendek.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│329
Penggunaan Air Kapur (CaCo 3 ) dan Suhu Penyimpanan untuk Memperpanjang Umur Simpan Anggur Jestro Ag60 (BS 60)<br />
dan Kediri kuning (BS 88)<br />
Ashari, H dan Hanif, Z<br />
Gambar 2. Perubahan tingkat kerontokan Buah Anggur pada berbagai perlakuan selama<br />
Penyimpanan<br />
Gambar 3. Menunjukkan perlakuan kontrol lebih cepat rontok dibanding perlakuan<br />
pemberian air kapur baik disimpan suhu ruang, terlebih suhu dingin. Pada kontrol pada hari<br />
simpan ke 7 buah sudah rontok 60%, sedangkan dengan perlakuan mampu memperpanjang<br />
hingga hari. Kerontokan buah terjadi dikarenakan adanya proses fisiologis pada buah dan<br />
adanya serangan mikroba terutama jenis jamur (Rudy, A.L 2004)<br />
Total Zat Terlarut (Brix)<br />
Kandungan total zat terlarut yang terdapat dalam buah Anggur selama proses<br />
penyimpanan berlangsung dapat dilihat pada Gambar 7. Secara umum terlihat penurunan kadar<br />
total padatan terlarut selama penyimpanan buah anggur. Berikut ini gambaran penurunan brix<br />
buah anggur..<br />
330│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Penggunaan Air Kapur (CaCo 3 ) dan Suhu Penyimpanan untuk Memperpanjang Umur Simpan Anggur Jestro Ag60 (BS 60)<br />
dan Kediri kuning (BS 88)<br />
Ashari, H dan Hanif, Z<br />
Total Zat Terlarut<br />
16 (Brix)<br />
14<br />
12<br />
10<br />
8<br />
6<br />
4<br />
2<br />
L1<br />
L2<br />
L3<br />
L4<br />
B1<br />
B2<br />
B3<br />
B4<br />
0<br />
h1 h3 h5 h7 h9 h11 h13 h15 h17 h19 h21 h23 h25 h27 h29 h31<br />
Hari ke<br />
Gambar 3. Perubahan Total Zat Terlarut (Brix) Buah Anggur pada berbagai perlakuan selama<br />
Penyimpanan<br />
Perubahan rasa buah selama penyimpanan menunjukkan perubahan dari manis segar di<br />
minggu pertama penyimpanan dan setelah hari ke-7 rasa buah berubah menjadi asam sampai<br />
sangat asam. Perubahan cita rasa yang terjadi pada buah angur yang ditempatkan pada suhu ruang<br />
yaitu rasa buah manis segar pada hari ke-0 dan pada hari ke-7 rasa buah menjadi manis asam dan<br />
setelah hari ke-14 rasa buah menjadi asam. Perubahan cita rasa yang terjadi pada buah angur yang<br />
ditempatkan pada suhu dingin lebih stabil yaitu rasa buah manis segar sampai hari ke 27. Menurut<br />
Hernandez, et al (2004), pada penyimpanan buah baik suhu terkontrol maupun suhu ruang<br />
dapat menurunkan tingkat padatan terlarut, yaitu semakin turun selama penyimpanan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│331
Penggunaan Air Kapur (CaCo 3 ) dan Suhu Penyimpanan untuk Memperpanjang Umur Simpan Anggur Jestro Ag60 (BS 60)<br />
dan Kediri kuning (BS 88)<br />
Ashari, H dan Hanif, Z<br />
Jestro Ag 60 Kediri kuning (BS 88)<br />
Hari ke 5 setelah perlakuan<br />
hari ke 14 setelah perlakuan<br />
KESIMPULAN<br />
Berdasarkan parameter susut bobot, tekstur dan brix, Pemberian air kapur CaCo 3 konsentrasi<br />
5% dapat memperpanjang daya simpan aggur Jestro 60 dan kediri kuning hingga 10 hari dan dosis<br />
10% suhu dingin (1 o C) hingga 28 hari dibanding tanpa perlakuan (kontrol suhu ruang) yang hanya<br />
mampu bertahan 4 hari dan pada suhu dingin selama 12 hari.<br />
PUSTAKA<br />
1. Abu Bakar Tawali & Zainal 2004Perubahan Mutu Buah Anggur Impor (Vitis vinivera) Pada<br />
Berbagai Suhu Penyimpanan J. Sains & Teknologi Vol.4 No.2: 72-82.<br />
2. Baswarsiati, S. Yuniastuti, D. Rahmawati, W. Istuti dan E. Retnaningtyas. 2001. Pengkajian<br />
sistem usahatani anggur mendukung pengembangan sentra produksi. Pros. Seminar dan Ekspose<br />
Hasil Penelitian BPTP Jatim.<br />
3. …………. , S. Yuniastuti, D. Rahmawati, W. Istuti , Yuniarti dan E. Retnaningtyas. 2002.<br />
Pengkajian sistem usahatani anggur mendukung pengembangan sentra produksi baru di Madiun.<br />
Pros. Seminar dan Ekspose Hasil Penelitian BPTP Jatim.<br />
4. Farhan, a.D.L. 2009. Pengawetan Telur dengan Kapur. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.<br />
5. Gaman, P.M., & K. B. Sherrington., 1994. The science of food, an introduction to food science,<br />
nutrition and microbiology Second Edition. Penerjemah. Murdjati, Sri Naruki, Agnes Murdiati,<br />
Sardjono dalam Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Gadjah Mada<br />
University Press,Yogyakarta.<br />
6. Hernandez, F.A., E. Aguayo, & F. Artes. 2004. Alternative atmosphere treatmen for keeping<br />
quality of “autum seedless” table grapes during long term cold strorage. J. Postharvest Biology &<br />
Techn. 31 (1): 59-67<br />
332│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Penggunaan Air Kapur (CaCo 3 ) dan Suhu Penyimpanan untuk Memperpanjang Umur Simpan Anggur Jestro Ag60 (BS 60)<br />
dan Kediri kuning (BS 88)<br />
Ashari, H dan Hanif, Z<br />
7. Nurhayati Safaryani, Sri Haryanti dan Endah Dwi Hastuti 2007. Pengaruh Suhu dan Lama<br />
Penyimpanan terhadap Penurunan Kadar Vitamin C Brokoli (Brassica oleracea L) Jurnal<br />
Anatomi dan Fisiologi Vol. XV, No.239<br />
8. Rudy A.L. 2007. Tekno Pangan dan Agroindustri. Buletin Anatomi dan Fisiologi Vol.XV, no 2<br />
hal 39<br />
9. Wills, R., B. McGlassom, D. Graham, D. Joyce. 1998. Postharvest. An introduction to the<br />
physiology and handling of fruit, vege-tables and ornamentals. Uni-versity of New South Wales<br />
Uni-versity Press. Ltd Sydney, Australia.<br />
10. WWW. balitjestro.litbang.deptan.go.id/id/. Diakses 12 juni 2012<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│333
Kharakteristik Beberapa Jenis Buah Cempedak (Artocarpus champeden Spreng)<br />
Herawati, H, Satuhu, S dan Arif, A<br />
Kharakteristik Beberapa Jenis Buah Cempedak (Artocarpus champeden Spreng)<br />
Herawati, H, Satuhu, S dan Arif, A<br />
Balai Penelitian dan Pengembangan Pascapanen <strong>Pertanian</strong><br />
Jl. Tentara Pelajar NO 12, Cimanggu Bogor<br />
Abstrak. Cempedak (Artocarpus champeden Spreng) merupakan tanaman asli di Indonesia dan mulai tersebar<br />
di beberapa daerah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa sampai ke Malaysia dan Papua Nugini.<br />
Jumlah produksi cempedak dan nangka di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 657.444 ton. Meskipun memiliki<br />
kharakteristik mirip dengan nangka, cempedak memiliki kharakteristik spesifik diantaranya yaitu buahnya<br />
sangat manis, aromanya sangat wangi dan khas yang merupakan perpaduan dari aroma durian, kemang dan<br />
nangka. Buah cempedak merupakan buah klimakterik sehingga buah dipanen masih mentah dan matang setelah<br />
penyimpanan. Pemilihan dan pemetikan serta proses pemeraman yang baik sangat menentukan kualitas buah<br />
cempedak yang dihasilkan. Salah satu tahap penting yang menentukan kualitas buah dan produk olahan yang<br />
dihasilkan dari buah cempedak, yaitu dengan cara melakukan kharakterisasi buah cempedak. Penelitian yang<br />
dilakukan yaitu dengan cara metode diskriptif berdasarkan jenis dan kualitas buah, biji, kulit, tangkai dan daging<br />
buah yang dimiliki oleh cempedak. Buah cempedak diperoleh dari Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor.<br />
Berdasarkan hasil analisa diperoleh 6 jenis buah cempedak (Panglayungan, Layung Super, Layung Sari,<br />
Sidenok, Silayung dan Simadu) yang dikelompokkan berdasarkan kharakteristiknya. Kharakteristik buah<br />
cempedak Layung Super memiliki warna yang paling merah sedangkan buah cempedak simadu, memiliki buah<br />
yang berwarna kuning dan buah cempedak Sidenok memiliki warna kuning pucat. Buah cempedak tersebut<br />
memiliki kandungan vitamin C yang cukup tinggi yaitu: Panglayungan 6,71, Silayung 7,52, Layung Super 13,94,<br />
Simadu 9,29, Layung Sari 6,86, dan Sidenok 10,14. Berdasarkan kharakteristik kadar vitamin C nya yang cukup<br />
tinggi, buah cempedak sangat prospektif untuk dapat dikembangkan menjadi alternatif produk olahan pangan<br />
lainnya.<br />
Kata kunci: kharakteristik, cempedak<br />
Abstract. Cempedak (Artocarpus champeden Spreng) as native Indonesia fruit which is spread planted in the<br />
Sumatra, Kalimanta, Sulawesi, Maluku, Java until Malaysia and Papua nugini. Cempedak and jackfruit<br />
productions in Indonesia for 2009 was 657.444 ton. While similar with jackfruit, cempedak has special<br />
kharacteristics such as sweeter, the flavor characteristics is durian, kemang and jackcfruit combination.<br />
Cempedak is climacteric fruit which could be harvested in unmatured fruit and the storage processing for its<br />
maturation. Grading and harvesting also storaging influence to the cempedak quality. One step process which<br />
influence to cempedak and its processsing product, throughout charaterized its quality. This research has been<br />
done used to descriptive method based on variety and its fruit, bean, skin, and fruit of cempedak. Cempedak asa<br />
raw material harvested from Jasinga sub district , Bogor district. Based on its analysis, there are 6 kinds of<br />
cempedak (Panglayungan, Layung Super, Layung Sari, Sidenok, Silayung dan Simadu) which are classified<br />
based on its characteristics. Layung Super has reddish fruit with the others while Simadu has yellowish compare<br />
the others, Sidenok has pail yellow colour. Cempedak fruit enriched of Vitamin C content : Panglayungan 6,71,<br />
Silayung 7,52, Layung Super 13,94, Simadu 9,29, Layung Sari 6,86, dan Sidenok 10,14. Cempedak enriched of<br />
Vitamin C, so that has great potentially to be advanced developed in food processing products.<br />
Key word: characteristic, cempedak<br />
Cempedak adalah tanaman buah-buahan dari famili Moraceae. Bentuk buah, rasa dan<br />
keharumannya seperti nangka, meski aromanya kerap kali menusuk kuat mirip buah durian.<br />
Cempedak merupakan tanaman asli dari asia tenggara. Cempedak kingdomnya plantae, divisi<br />
magnoliophyta, kelas magnoliopsida, ordourticales, family moraceae, suku artocarpeae, genus<br />
artocarpus, dan spesies A. Integer (Anonimous, 2012).<br />
Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara, dan menyebar luas mulai dari wilayah Tenasserim di<br />
Burma, Semenanjung Malaya termasuk Thailand, dan sebagian Kepulauan Nusantara: Sumatra,<br />
Borneo, Sulawesi, Maluku hingga ke Papua. Juga banyak didapati di Jawa bagian barat (Jansen,<br />
1997). Dikenal secara luas sebagai cempedak atau campedak, buah ini juga memiliki beberapa nama<br />
lokal seperti bangkong (cempedak hutan, bentuk liar di Malaysia, baroh (Kep. Lingga dan Johor),<br />
nangka beurit (Sunda), nongko cino (Jawa), tiwadak (Banjar) dan lain-lain.<br />
334│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Kharakteristik Beberapa Jenis Buah Cempedak (Artocarpus champeden Spreng)<br />
Herawati, H, Satuhu, S dan Arif, A<br />
Beberapa varietas buah cempedak yang diketahui meliputi cempedak malaysia, cempedak<br />
hutan, dan cempedak lokal (Afriatini, 1987). Namun varietas yang banyak diketahui di Indonesia dan<br />
merupakan tanaman asli adalah Arto carpus Integer var Integer yang dikenal sebagai cempedak lokal<br />
atau cempedak biasa.<br />
Cempedak (Artocarpus champeden Spreng) merupakan tanaman asli di Indonesia dan mulai<br />
tersebar di beberapa daerah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Jawa sampai ke Malaysia dan<br />
Papua Nugini. Jumlah produksi cempedak dan nangka di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 657.444<br />
ton. Meskipun memiliki kharakteristik mirip dengan nangka, cempedak memiliki kharakteristik<br />
spesifik diantaranya yaitu buahnya sangat manis, aromanya sangat wangi dan khas yang merupakan<br />
perpaduan dari aroma durian, kemang dan nangka. Buah cempedak merupakan buah klimakterik<br />
sehingga buah dipanen masih mentah dan matang setelah penyimpanan.<br />
Pemilihan dan pemetikan serta proses pemeraman yang baik sangat menentukan kualitas buah<br />
cempedak yang dihasilkan. Salah satu tahap penting yang menentukan kualitas buah dan produk<br />
olahan yang dihasilkan dari buah cempedak, yaitu dengan cara melakukan kharakterisasi buah<br />
cempedak. Dalam makalah ini, dilakukan karakterisasi buah cempedak dari beberapa jenis lokal yang<br />
tumbuh di daerah Jasinga, Bogor. Oleh sebab itu,dalam penamaan didasarkan pada penamaan pribadi<br />
oleh petani setempat.<br />
METODOLOGI<br />
Penelitian yang dilakukan yaitu dengan cara metode diskriptif berdasarkan jenis dan kualitas<br />
buah, biji, kulit, tangkai dan daging buah yang dimiliki oleh cempedak. Buah cempedak diperoleh dari<br />
Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil analisa diperoleh 6 jenis buah cempedak<br />
(Panglayungan, Layung Super, Layung Sari, Sidenok, Silayung dan Simadu) yang dikelompokkan<br />
berdasarkan kharakteristiknya.<br />
Dalam penelitian ini, dilakukan karakterisasi berdasarkan karakteristik fisik dan kimia. Dari<br />
hasil analisa fisik dan kimia tersebut, kemudian dilakukan analisa secara diskriptif dari data yang telah<br />
diperoleh. Karakteristik fisik meliputi bentuk buah, berat buah rata-rata, bobot buah, daging, kulit, biji,<br />
tangkai, tebal buah, warna daging buah, aroma , maupun warna.<br />
Sedangkan analisa kimia meliputi analisa proksimat yang etrdiri dari kadar air, kadar abu, kadar<br />
lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, TSS, TAT, dan vitamin C. Untuk analisa kadar vitamin A<br />
tidak dilakukan pada semua jenis cempedak, namun demikian hanya dilakukan pada buah cempedak<br />
yang memiliki warna ekstrim yaitu kuning muda dan kuning oranye. Analisa warna juga dilakukan<br />
dengan mempergunakan alat chromameter.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Kharakteristik Fisik<br />
Hasil analisa kharakteristik buah cempedak sebagaimana tertera pada Tabel 1. Kharakteristik<br />
buah cempedak Layung Super memiliki warna yang paling merah sedangkan buah cempedak simadu,<br />
memiliki buah yang berwarna kuning dan buah cempedak Sidenok memiliki warna kuning pucat.<br />
Tabel 1. Bentuk Buah dan Berat Buah Cempedak<br />
Jenis Bentuk Buah Berat Buah Rata-rata (gram)<br />
Layung Sari Panjang 11445,2<br />
Sidenok Agak bulat 2005,9<br />
Silayung Panjang 1675,6<br />
Panglayungan Panjang 1739,8<br />
Layung Super Panjang 2218,7<br />
Simadu Panjang 776,43<br />
Berdasarkan hasil analisa diskriptif terhadap karakteristik buah cempedak memiliki bentuk<br />
panjang, sedangkan untuk jenis cempedak sidenok memiliki bentuk agak bulat apabila dibandingkan<br />
dengan cempedak jenis lainnya.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│335
Kharakteristik Beberapa Jenis Buah Cempedak (Artocarpus champeden Spreng)<br />
Herawati, H, Satuhu, S dan Arif, A<br />
Cempedak lokal berbentuk lonjong silinder dan panjang 20-35 cm diameter 10-15 cm, berat 3<br />
sampai dengan 4 kg, berwarna kuning gading atau coklat tanah. Daging buahnya lunak dan mudah<br />
hancur, berwarna kuning emas atau gading kemerahan, berasa manis dan beraroma kuat<br />
(Nuswamarhaeni et al, 1990).<br />
Buah semu majemuk (syncarp) berbentuk silinder sampai bulat, 10-15 × 20-35 cm, kehijauan,<br />
kekuningan sampai kecoklatan, dengan tonjolan piramidal serupa duri lunak yang rapat atau licin<br />
berpetak-petak dengan mata faset. 'Daging buah' sesungguhnya adalah perhiasan bunga yang<br />
membesar dan menebal, putih kekuningan sampai jingga, manis dan harum, bertekstur lembut, licin<br />
berlendir di lidah dan agak berserat. Tidak seperti nangka, keseluruhan massa daging buah beserta<br />
bunga-bunga steril atau gagal (dikenal sebagai 'dami') mudah lepas dari poros ('hati') buah semu<br />
apabila masak. Biji bulat gepeng atau memanjang, 2-3 cm (Jansen, 1997).<br />
Untuk mengetahui karakteristik buah cempedak berdasarkan bobot masing-masing yaitu kulit,<br />
daging, tangkai dan biji sebagaimana tertera pada Tabel 2.<br />
Tabel 2. Karakteristik Fisik Daging Buah Cempedak (dalam gram)<br />
Jenis Bobot Kulit Biji Tangkai Daging<br />
Simadu 632,4 66,57 65,04 2,45 20,82<br />
Layung Super 2163 41,81 19,66 4,36 32,26<br />
Panglayungan 1699 49,95 19,54 4,57 21,45<br />
Silayung 1850 48,26 21,32 2,89 26,52<br />
Sidenok 2120,2 34,81 29,82 4,37 30,06<br />
Layung Sari 1204,3 45,83 17,18 6,50 27,94<br />
Buah cempedak layung super memiliki bobot yang paling besar dibandingkan dengan jenis<br />
cempedak lainnya. Hal ini juga diikuti oleh bobot daging yang paling besar dibandingkan dengan jenis<br />
cempedak lainnya. Sedangkan untuk mengetahui karakteristik warna dan aroma dilakukan analis<br />
diskriptif pula sebagaimana tertera pada Tabel 3.<br />
Tabel 3. Karakteristik Warna dan Aroma<br />
Jenis Warna Aroma<br />
Simadu Kuning tua, oranye Harum<br />
Layung Super Kunig tua Harum<br />
Panglayungan Kuning Harum<br />
Silayung Kuning Harum<br />
Sidenok Kuning Harum<br />
Layung Sari Kuning Harum<br />
Kharakteristik buah cempedak Layung Super memiliki warna yang paling merah sedangkan<br />
buah cempedak simadu, memiliki buah yang berwarna kuning dan buah cempedak Sidenok memiliki<br />
warna kuning pucat.<br />
Flavor merupakan apresiasi komponen sensori bahan pangan dalam mulut yang diterima oleh<br />
indera perasa dan pembau. Selain itu flavor yang memiliki pengertian sebagai substitusi satu atau lebih<br />
komponen kimia yang memberikan efek sensasi flavor (Heath, 1980). Cronin (1978) menyatakan<br />
selain rasa yang menyerupai peran penting dalam flavor, bau atau aroma yang bertanggungjawab<br />
terhadap karaketrsitik flavor pada makanan.<br />
Senyawa-senyawa utama yang berperan dalam pembentukan flavor buah yaittu senyawasenyawa<br />
ester alkohol alifatik dan asam-asam lemak rantai pendek (Pantastico, 1986). Potter (1980)<br />
menambahkan secara umum flavor buah terbentuk karena adanya senyawa-senyawa kimia seperti<br />
ester, aldehid, keton dan ester, asam-asam lemak, hidrokarbon serta terpen.<br />
Karakteristik aroma cempedak yang wangi dan khas menurut Widyastuti (1993) merupakan<br />
gabungan aroma durian, kemang dan nangka, sedangkan menurut Wong et al (1992), aroma cempedak<br />
merupakan gabungan nangka dan durian saja.<br />
Yaacop dan Yaakop (1988) menyatakan bahwa komponen flavor cempedak adalah butanol,<br />
isopentanol, heksanol dan ester asam benzoat. Wong et al (1992) ada sekitar 54 komponen volatil<br />
336│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Kharakteristik Beberapa Jenis Buah Cempedak (Artocarpus champeden Spreng)<br />
Herawati, H, Satuhu, S dan Arif, A<br />
yang bertanggungjawab terhadap aroma cempedak terdiri dari 37,4% golongan alkohol dan 32,2%<br />
golongan asam karboksilat. Komponen utama adalah 3-methylbutanoic acid sebanyak 28% dan 3-<br />
methyl-butan-1-ol sebanyak 24,3%. Komponen flavor yang penting lainnya adalah 2-acetyl-1-pyrrline<br />
dan 2,5-dimethyl-4 hydroxy-3-(2H) furanate.<br />
Untuk mengamati karakteristik fisik lainnya, yaitu dilakukan pengamatan karakteristik warna<br />
kulit dan daging buah cempedak berdasarkan hasil analisa dengan mempergunakan alat chromameter<br />
serta dianalisa hasil L, a, b serta dihitung nilai C dan Hue nya sebagaimana tertera pada Tabel 4 dan 5.<br />
Tabel 4. Karakteristik Warna Kulit Buah Cempedak<br />
Jenis L a b C Hue<br />
Layung Sari 55,52 16,34 46,26 49,06 70,59<br />
Sidenok 37,98 11,81 46,94 48,40 75,91<br />
Silayung 47,86 14,39 51,75 53,72 74,49<br />
Panglayungan 54,83 16,99 48,67 51,55 70,79<br />
Layung Super 50,20 15m98 54,85 57,13 73,80<br />
Simadu 45,72 17,25 49,83 52,73 70,95<br />
Berdasarkan hasil analisa chromameter terhadap warna kulit buah cempedakdiperoleh nilai Hue yang<br />
hampir sama yaitu berkisar 70,59 sampai dengan 75,91. Hal ini menunjukkan warna kulit buah<br />
berkisar kuning kecoklatan. Sedangkan hasil analisa warna berdasarkan chromameter terhadap daging<br />
buah sebagaimana tertera paad Tabel 5.<br />
Tabel 5. Karakteristik Warna Daging Buah<br />
Jenis L a b C Hue<br />
Layung Sari 73,47 6,81 62,48 62,85 83,82<br />
Sidenok 75,96 1,26 42,66 42,68 88,34<br />
Silayung 66,11 1,47 52,03 52,05 88,43<br />
Panglayungan 68,95 9,96 67,65 68,37 81,67<br />
Layung Super 68,86 11,56 67,72 68,70 80,35<br />
Simadu 4,39 3,91 76,02 76,12 87,10<br />
Berdasarkan hasil analisa diperoleh nilai Hue berkisar antara 81,67 sampai dengan 88,34. Halnini<br />
menunjukkan bahwasnnya warna daging buah cempedak berkisar antara kuning sampai dengan<br />
kuning oranye sesuai dengan warna dari pengamatan dengan mempergunakan mata telanjang.<br />
Kharakteristik Kimia<br />
Untuk mengetahui karakteristik komposisi nilai gizi dari daging buah cempedak, dilakukan<br />
analisa proksimat untuk mengetahui kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar<br />
karbohidrat. Berdasarkan hasil analisa proksimat daging buah cempedak sebagaimana tertera pada<br />
Tabel 6.<br />
Tabel 6. Hasil Analisa Proksimat Daging Buah Cempedak<br />
Jenis Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Kadar Lemak<br />
Kadar Protein<br />
(%)<br />
(%)<br />
Panglayungan 60,79 0,97 0,81 1,68 35,75<br />
Silayung 64,00 1,07 0,31 1,78 32,84<br />
Layung Super 68,97 0,93 0,31 1,86 27,93<br />
Simadu 56,75 1,05 0,28 1,94 39,98<br />
Layung Sari 59,84 1,07 0,27 1,98 36,84<br />
Sidenok 67,30 1,13 0,16 1,90 29,51<br />
Kadar Karbohidrat<br />
(%)<br />
Kadar air buah cempedak cukup tinggi yaitu berkisar antara 56,84% sampai dengan 68,97%.<br />
Daging buah cempedak cukup banyak mengandung karbohidrat juga yaitu berkisar antara 27,93%<br />
sampai dengan 39,98%. Komposisi tersebut diikuti oleh kadar protein, kadar abu dan kadar lemak.<br />
Cempedak jenis Simadu memiliki kadar karbohidrat yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan<br />
cempedak jenis yang lainnya.<br />
Komposisi daging buah cempedak menunjukkan kadar air, kadar karbohidrat, dan kadar<br />
lemak yang cukup tinggi. Lemak dan air serta gula umumnya sebagai pengotor dalam ekstraksi<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│337
Kharakteristik Beberapa Jenis Buah Cempedak (Artocarpus champeden Spreng)<br />
Herawati, H, Satuhu, S dan Arif, A<br />
komponen flavor. Komposisi buah cempedak menurut Verherij dan Coronel terdiri dari kadar air 58-<br />
85%, kadar protein 3,5-7%, kadar lemak 0,5-2%, kadar abu 2-4% dan kadar serat 5-6% bk.<br />
Pembentukan flavor buah-buahan mulai terjadi pada waktu pematangan pada saat buah<br />
mentah menjadi matang, terjadi proses anabolisme didalam buah sehingga terbentuk karbohidrat,<br />
protein, lemak. Kemudian pada saat pematangan terjadi proses katabolisme yang menguraikan<br />
karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa-senyawa sederhana mempunyai aroma khas (Heath<br />
dan Pelneccius, 1986).<br />
Tabel 7. Hasil Analisa Tss, TAT dan Kadar Vitamin C<br />
Jenis TSS Asam Total Tertitrasi Vitamin C<br />
Panglayungan 35,6 0,26 6,41<br />
Silayung 35,1 0,13 7,52<br />
Layung Super 28,6 0,29 13,94<br />
Simadu 37,6 0,19 9,29<br />
Layung Sari 33,8 0,30 6,86<br />
Sidenok 31,40 0,19 10,14<br />
Buah cempedak tersebut memiliki kandungan vitamin C yang cukup tinggi yaitu:<br />
Panglayungan 6,71, Silayung 7,52, Layung Super 13,94, Simadu 9,29, Layung Sari 6,86, dan Sidenok<br />
10,14. Berdasarkan kharakteristik kadar vitamin C nya yang cukup tinggi, buah cempedak sangat<br />
prospektif untuk dapat dikembangkan menjadi alternatif produk olahan pangan lainnya.<br />
Analisa kimia hanya dilakukan pada cempedak yang memiliki karaketristik warna paling<br />
kuning tua dan memiliki warna kuning oranye dimana nilai kadar vitamin A nya yaitu 650,02 IU/100<br />
gram dan yang tertinggi yaitu 851,66 IU/100 gram.<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Kharakteristik buah cempedak Layung Super memiliki warna yang paling merah sedangkan<br />
buah cempedak simadu, memiliki buah yang berwarna kuning dan buah cempedak Sidenok memiliki<br />
warna kuning pucat. Buah cempedak tersebut memiliki kandungan vitamin C yang cukup tinggi yaitu:<br />
Panglayungan 6,71, Silayung 7,52, Layung Super 13,94, Simadu 9,29, Layung Sari 6,86, dan Sidenok<br />
10,14. Berdasarkan kharakteristik kadar vitamin C nya yang cukup tinggi, buah cempedak sangat<br />
prospektif untuk dapat dikembangkan menjadi alternatif produk olahan pangan lainnya.<br />
PUSTAKA<br />
1. Anonimous. 2012. Cempedak. www.wikipedia.com. 14 Juni 2012: 14:00.<br />
2. Afriastini, J. J. 1987. Cempedak Malaysia. Majalah Trubus Juni, 1987.<br />
3. Cronnin, S. S. 1973. Overcoming problems in flavour compound identification. J. Food Tech.<br />
27:4.<br />
4. Heath, H. B. 1980. Source book of flavours. AVI Publishing Company, Inc. Westport,<br />
Connecticut.<br />
5. Heath, H. B. Dan Reineccius. 1986. Flavour chemistry and technology. AVI Publ. Co. Westport<br />
Connecticut.<br />
6. JANSEN, P.C.M. 1997. Artocarpus integer (Thunb.) Merr. dalam Verheij, E.W.M. dan R.E.<br />
Coronel (eds.). Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2: Buah-buahan yang dapat dimakan.<br />
PROSEA – Gramedia. Jakarta. ISBN 979-511-672-2.<br />
7. Nuswamarhaeni, S., D. Pihatini dan E. P. Pohan. 1990. Mengenal buah unggul Indonesia.<br />
Penebar Swadaya, Jakarta.<br />
8. Pantastico, E. B. 1986. Fisiologi pasca panen, penanganan dan pemanfaatan buah-buahan dan<br />
sayuran tropika dan subtropika (trejemahan). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.<br />
338│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Kharakteristik Beberapa Jenis Buah Cempedak (Artocarpus champeden Spreng)<br />
Herawati, H, Satuhu, S dan Arif, A<br />
9. Potter, N. N. 1980. Food Science. The AVI Publ. Co. Inc. Westport Connecticut.<br />
10. Veirheij, E. W. M. Dan D. E. Coronel. 1992. Plant resources of south east asia 2: Edible fruits<br />
and nuts. Prosea Foundation, bogor.<br />
11. Widyastuti, Y. E. 1993. Nangka dan cempedak. Ragam jenis dan pembudidayaan. Penebar<br />
Swadaya, Jakarta.<br />
12. Wong, K. C., C. L. Lim dan L. L. Wong. 1992. Volatile flavour constituents of chempedak<br />
(Artocarpus polypena pers) fruits and jackfruit (Artocarpus heterophillus Can) from malaysia.<br />
Flavour and Fragrance Journal 7(6): 307-311.<br />
13. Yaacob, K. B. Dan R. Yaakop. 1988. A general purpose vaccum destilation method for the<br />
extraction of volatille flavour constituents of oils, fat and fruits. Proc. Sem. Adv. Food Res.<br />
Malaysia-11-WPM.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│339
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam dan Jeruk Keprok Terigas<br />
Purba, T dan Haloho, J. D.<br />
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam<br />
dan Jeruk Keprok Terigas<br />
Purba, T dan Haloho, J. D.<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Kalimantan Barat, Jl. Budi Utomo No. 45 Siantan, Pontianak 78241<br />
ABSTRAK. Berbagai upaya terus dilakukan untuk meminimalisir kehilangan pasca panen, sehingga tingkat<br />
kerugian dapat diperkecil. Pengemasan, salah satu cara untuk menekan kehilangan hasil selama transportasi.<br />
Pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan kemasan yang tepat selama pengangkutan dari lokasi petani sampai<br />
di Jakarta. Tempat dan waktu penelitian ialah di Kabupaten Sambas, Laboratorium BPTP Kalbar dan Jakarta<br />
pada tahun 2010. Pengkajian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 2 perlakuan, perlakuan pertama<br />
jenis kemasan meliputi: kemasan keranjang plastik, peti kayu dan karton. Perlakuan kedua adalah suhu yang<br />
meliputi suhu ruang dan suhu dingin. Pengamatan dilakukan setiap tiga hari dengan parameternya 1)Jumlah<br />
buah per kemasan 2) Jumlah buah segar per kemasan, 3) Jumlah buah yang rusak akibat hama dan penyakit 4)<br />
Jumlah buah rusak akibat memar, 5) Perubahan (persentase) susut bobot. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa<br />
Teknik pelilinan dengan konsentrasi 6% dan dikombinsikan dengan penyimpanan pada suhu rendah (dingin)<br />
dapat memperpanjang mutu fisik (warna dan penampilan/ kesegaran, tekstur dan cita rasa) dengan masa simpan<br />
5 minggu untuk suhu rendah dan 2 minggu untuk suhu ruang.<br />
Katakunci: Pengemasan; Jeruk; Pascapanen<br />
ABSTRACT. Purba, T and David H, J 2013. Packaging Technology for Various Fruit Quality Siam and<br />
Terigas Orange. Various efforts continue to be done to minimize post-harvest loss, so the losses can be<br />
minimized. Packaging, one way to reduce yield loss during transportation. This assessment aims to obtain the<br />
proper packaging during transport from the location of the farmers arrived in Jakarta. Place and time of the study<br />
is in Sambas District, West Kalimantan and Jakarta BPTP Laboratory in 2010. Design Randomized Assessment<br />
using the 2 treatment groups, treatment of the first type of packaging include: packaging plastic baskets, crates<br />
and cartons. Second treatment is a temperature which includes room temperature and cold temperatures.<br />
Observations carried out every three days with the parameters 1) Number of pieces per pack 2) The amount of<br />
fresh fruit per package, 3) The amount of fruit damaged by pests and diseases 4) The amount of fruit damaged by<br />
bruising, 5) Changes (percentage) weight shrinkage. Research results show that the technique with a<br />
concentration of 6% pelilinan and dikombinsikan with storage at low temperature (cold) can extend the physical<br />
quality (color and appearance / freshness, texture and taste) with the shelf life of 5 weeks for the low temperature<br />
and room temperature for 2 weeks<br />
Keywords: Packaging; Orange; Postharvest<br />
Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan, dan merupakan<br />
salahsatu cara pengawetan bahan hasil pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang umur<br />
simpan bahan. Pengemasan adalah wadah atau pembungkus yang dapat membantu mencegah atau<br />
mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan pada bahan yang dikemas / dibungkusnya. Dalam dunia<br />
modern seperti sekarang ini, masalah kemasan menjadi bagian kehidupan masyarakat sehari-hari,<br />
terutama dalam hubungannya dengan produk pangan. Sejalan dengan itu pengemasan telah<br />
berkembang dengan pesat menjadi bidang ilmu dan teknologi yang makin canggih. Ruang lingkup<br />
bidang pengemasan saat ini juga sudah semakin luas, dari mulai bahan yang sangat bervariasi hingga<br />
model atau bentuk dan teknologi pengemasan yang semakin canggih dan menarik (Julianti dan Mimih,<br />
2006)<br />
Menurut Syarief et al. (1989) bahwa fungsi mendasar dari kemasan adalah untuk mewadahi dan<br />
melindungi produk dari kerusakan-kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut dan<br />
dipasarkan. Secara umum fungsi pengemasan pada bahan pangan adalah: (1) Mewadahi produk<br />
selama distribusi dari produsen hingga kekonsumen, agar produk tidak tercecer, terutama untuk cairan,<br />
pasta atau butiran; (2) Melindungi dan mengawetkan produk, seperti melindungi dari sinar ultraviolet,<br />
panas, kelembaban udara, oksigen, benturan, kontaminasi dari kotoran dan mikroba yang dapat<br />
merusak dan menurunkan mutu produk; (3) Sebagai identitas produk, dalam hal ini kemasan dapat<br />
340│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam dan Jeruk Keprok Terigas<br />
Purba, T dan Haloho, J. D.<br />
digunakan sebagai alat komunikasi dan informasi kepada konsumen melalui label yang terdapat pada<br />
kemasan; (4) Meningkatkan efisiensi, misalnya : memudahkan penghitungan (satu kemasan berisi 10,<br />
1 lusin, 1 gross dan sebagainya), memudahkan pengiriman dan penyimpanan. Hal ini penting dalam<br />
dunia perdagangan; (5) Melindungi pengaruh buruk dari luar, Melindungi pengaruh buruk dari produk<br />
di dalamnya, misalnya jika produk yang dikemas berupa produk yang berbau tajam, atau produk<br />
berbahaya seperti air keras, gas beracun dan produk yang dapat menularkan warna, maka dengan<br />
mengemas produk ini dapat melindungi produk-produk lain di sekitarnya; (6) Memperluas pemakaian<br />
dan pemasaran produk, misalnya penjualan kecap dan syrup mengalami peningkatan sebagai akibat<br />
dari penggunaan kemasan botol plastic; (7) Menambah daya tarik calon pembeli; (8) Sarana informasi<br />
dan iklan; dan (9) Memberi kenyamanan bagi pemakai.<br />
Kemasan kertas merupakan kemasan fleksibel yang pertama sebelum ditemukannya plastik dan<br />
aluminium foil. Saat ini kemasan kertas masih banyak digunakan dan mampu bersaing dengan<br />
kemasan lain seperti plastik dan logam karena harganya yang murah, mudah diperoleh dan<br />
penggunaannya yang luas. Selain sebagai kemasan, kertas juga berfungsi sebagai media komunikator<br />
dan media cetak. Kelemahan kemasan kertas untuk mengemas bahan pangan adalah sifanya yang<br />
sensitif terhadap air dan mudah dipengaruhi oleh kelembaban udara lingkungan. Sifat-sifat kemasan<br />
kertas sangat tergantung pada proses pembuatan dan perlakuan tambahan pada proses pembuatannya.<br />
Kemasan kertas dapat berupa kemasan fleksibel atau kemasan kaku. Beberapa jenis kertas yang dapat<br />
digunakan sebagai kemasan fleksibel adalah kertas kraft, kertas tahan lemak (grease proof). Glassin<br />
dan kertas lilin (waxed paper) atau kertas yang dibuat dari modifikasi kertas-kertas ini. Wadah-wadah<br />
kertas yang kaku terdapat dalam bentuk karton, kotak, kaleng fiber, drum, cawan-cawan yang tahan<br />
air, kemasan tetrahedral dan lain-lain, yang dapat dibuat dari paper board, kertas laminasi, corrugated<br />
board dan berbagai jenis board dari kertas khusus.<br />
Bahan yang banyak digunakan untuk membuat karton lipat adalah cylinder board yang terdiri<br />
dari beberapa lapisan, dan bagian tengahnya terbuat dari kertas-kertas daur ulang, sedangkan kedua<br />
sisi lainnya berupa kertas koran murni dan bahan murni yang dipucatkan. Untuk memperbaiki<br />
sifatsifat karton lipat, maka dapat dilapisi dengan selulosa asetat dan polivinil klorida (PVC) yang<br />
diplastisasi. Kasein yang dicampurkan pada permukaan kertas akan memberikan permukaan cetak<br />
yang lebih halus dan putih. Keuntungan dari karton lipat adalah dapat digunakan untuk transportasi,<br />
dan dapat dihias dengan bentuk yang menarik pada transportasi barang-barang mewah. Tetapi<br />
kelemahannya adalah kecenderungan untuk sobek di bagian tertentu.<br />
Menurut Paramawati (2001), kayu merupakan bahan pengemas tertua yang diketahui oleh<br />
manusia, dan secara tradisional digunakan untuk mengemas berbagai macam produk pangan padat dan<br />
cair seperti buah-buahan dan sayuran, teh, anggur, bir dan minuman keras. Kayu adalah bahan baku<br />
dalam pembuatan palet, peti atau kotak kayu di negara-negara yang mempunyai sumber kayu alam<br />
dalam jumlah banyak. Tetapi saat ini penyediaan kayu untuk pembuatan kemasan juga banyak<br />
menimbulkan masalah karena makin langkanya hutan penghasil kayu. Penggunaan kemasan kayu baik<br />
berupa peti, tong kayu atau palet sangat umum di dalam transportasi berbagai komoditas dalam<br />
perdagangan intrenasional. Pengiriman botol gelas di dalam peti kayu dapat melindungi botol dari<br />
resiko pecah. Kemasan kayu umumnya digunakan sebagai kemasan tersier untuk melindungi kemasan<br />
lain yang ada di dalamnya. Kelebihan kemasan kayu adalah memberikan perlindungan mekanis yang<br />
baik terhadap bahan yang dikemas, karakteristik tumpukan yang baik dan mempunyai rasio kompresi<br />
daya tarik terhadap berat yang tinggi. Guilbert (2001) menyatakan penggunaan kemasan kayu untuk<br />
anggur dan minuman-minuman beralkohol dapat meningkatkan mutu produk karena adanya transfer<br />
komponen aroma dari kayu ke produk. Penggunaan peti kayu untuk kemasan teh di beberapa negara<br />
juga masih lebih murah dibandingkan bahan pengemas lain. Penggunaan kayu baik untuk kemasan<br />
maupun untuk keperluan lain seperti bahan bangunan dan mebel/furniture mempunyai masalah<br />
lingkungan dan pembuangan, karena tidak dapat didaur ulang, sedangkan volumenya cukup besar.<br />
Selain itu negara-negara pengimpor seperti Australia juga meminta adanya sertifikat yang menyatakan<br />
kayu tersebut telah mendapat perlakuan khusus untuk mencegah penyebaran penyakit kayu atau<br />
serangga, misalnya perlakuan fumigasi atau perlakuan kimia lainnya.<br />
Kelemahan lain dari penggunaan kayu sebagai kemasan adalah ketidakcukupan pengetahuan<br />
akan teknik dasar seperti struktur kayu, metode perakitan dan sebagainya. Hingga saat ini perakitan<br />
kemasan kayu masih dilakukan dengan cara yang sederhana, dan jarang sekali dilakukan pengamatan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│341
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam dan Jeruk Keprok Terigas<br />
Purba, T dan Haloho, J. D.<br />
terhadap kandungan air kayu, rancang bangun/disain yang efisien, pengikatan/ pelekatan tidak dengan<br />
jenis pengikat dan ukuran yang benar, sehingga dihasilkan kemasan kayu dengan kekuatan yang<br />
rendah. Akibatnya nilai ekonomis kemasan kayu menjadi rendah. Walaupun mempunyai kelemahan,<br />
tetapi kemasan kayu tetap digunakan pada industri-industri alat berat dan mesin. Kemasan kayu juga<br />
tetap merupakan alternatif untuk menemasan buah-buahan, sayur-sayuran dan ikan yaitu dengan<br />
kemasan kayu berat-ringan (light-weigh wooden). Miltz (1992) mengatakan bahwa peranan kemasan<br />
kayu di masa depan masih tetap baik terutama pada aplikasi palet, dan merupakan salah satu alernatif<br />
penting disamping kertas dan plastik. Hal ini disebabkan karena bahan baku kayu dan tenaga kerja<br />
yang masih cukup tersedia. Penggunaan peti kayu untuk transportasi buah, sayur dan ikan masih<br />
mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan, sehingga perlu dikembangkan pengetahuan akan<br />
pembuatan kemasan berbahan baku kayu.<br />
Kayu yang mempunyai densitas yang tinggi mempunyai kekuatan dan daya tahan yang baik<br />
terhadap pemakuan. Kayu yang baik digunakan untuk kemasan sebaiknya kayu yang memiliki<br />
densitas tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kayu dengan densitas 650 kg/m3 meskipun tahan<br />
terhadap tekanan tetapi tidak dapat dipaku dengan baik, dan kayu dengan densitats < 350 kg/m3<br />
mempunyai kekuatan mekanis yang rendah. Kayu yang berwarna terang lebih baik dari kayu yang<br />
berwarna gelap, karena kayu yang berwarna gelap biasanya banyak mengandung tanin, yang jika<br />
berhubungan langsung dengan bahan yang dikemas akan mengurangi kesegarannya. Kayu yang<br />
digunakan juga harus tanpa perlakuankimiawi. Penguatan dilakukan dengan menggunakan kawat<br />
jepret (stapler), paku atau kawat lingkar yang dilapisi bahan anti karat.<br />
Kemasan plastik saat ini mendominasi industri makanan di Indonesia, menggeser penggunaan<br />
kemasan logam dan gelas. Hal ini disebabkan karena kelebihan dari kemasan plastik yaitu ringan,<br />
fleksibel, multiguna, kuat, tidak bereaksi, tidak karatan dan bersifat termoplastis (heat seal), dapat<br />
diberi warna dan harganya yang murah. Kelemahan dari plastik karena adanya zat monomer dan<br />
molekul kecil dari plastik yang mungkin bermigrasi ke dalam bahan pangan yang dikemas. Plastik<br />
sering dibedakan dengan resin, karena antara plastik dan resin tidak jelas perbedaannya. Secara alami,<br />
resin dapat berasal dari tanaman seperti balsam, damar, terpentin, Oleoresin dll. Tetapi kini resin<br />
sintesis sudah dapat diproduksi misalnya selofan, akrilik seluloid, formika, nilon, fenol formaldehida<br />
resin dan sebagainya.<br />
Sekarang telah terjadi perubahan permintaan konsumen dan pasar akan produk pangan, dimana<br />
konsumen menuntut produk pangan yang: (1) Bermutu tinggi; (2) Dapat disiapkan di rumah; (3)<br />
Segar; (4) Lebih dapat dipercaya; (5) Level reject (yang terbuang) dapat dibandingkan dengan<br />
pengalengan; (6) Lebih konsisten; (7) Mutu seragam; dan (8) Biaya murah. Jenis-jenis film plastik<br />
yang ada di pasaran sangat beragam, sehingga perlu pengetahuan yang baik untuk dapat menentukan<br />
jenis kemasan plastik yang tepat untuk pengemasan produk pangan. Kesalahan dalam memilih jenis<br />
kemasan yang tepat, dapat menyebabkan rusaknya bahan pangan yang dikemas. Pertimbanganpertimbangan<br />
yang perlu diperhatikan sebelum memilih satu jenis kemasan adalah: (1) Kemasan<br />
tersebut harus dapat melindungi produk dari kerusakan fisik dan mekanis; (2) Mempunyai daya<br />
lindung yang baik terhadap gas dan uap air; (3) Harus dapat melindungi dari sinar ultra violet; dan (4)<br />
Tahan terhadap bahan kimia.<br />
Kemasan untuk buah adalah kemasan yang mempunyai permeabilitas yang tinggi terhadap<br />
CO2 agar dapat mengeluarkan CO2 dari produk sebagai hasil dari proses pernafasan dan jenis<br />
kemasan yang sesuai adalah polistiren busa seperi LDPE, EVA, ionomer atau plastik PVC.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Waktu dan Tempat<br />
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010. Tempat penelitian lapangan dilakukan di<br />
Sambas, Laboratorium BPTP Kalbar, Jakarta, dan Bogor.<br />
Bahan dan Objek Penelitian<br />
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah buah buahan lokal :<br />
• Buah Jeruk Siam Pontianak<br />
342│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam dan Jeruk Keprok Terigas<br />
Purba, T dan Haloho, J. D.<br />
• Buah Jeruk Keprok Terigas<br />
Sedangkan alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah, refraktometer, peti kayu, kardus<br />
buah, keranjang buah, tali rapia, lakban, pisau, timbangan analitik, lemari pendingin.<br />
Metode Penelitian<br />
Penelitian pengepakan ini dilakukan dengan menggunakan buah dari Sambas. Pengemasan yang<br />
di perlakukan terhadap buah adalah : Peti kayu, Kardus dan Keranjang Buah. Setiap kemasan terdiri<br />
dari 60 sampai 80 buah, tergantung kapasitas kemasan dengan 5 kali ulangan .Sebelum dikepak dalam<br />
kemasan, buah terlebih dahulu dilakukan pelilinan. Kemudian trasportasi ke Jakarta dan Bogor<br />
menggunakan Kapal Motor yang membutuhkan waktu 36-40 jam selama perjalanan. Di Jakarta<br />
dilakukan pengamatan terhadap buah, dengan parameter:<br />
Jumlah buah per kemasan<br />
Jumlah buah segar per kemasan<br />
Jumlah buah yang rusak akibat hama dan penyakit<br />
Jumlah buah rusak akibat memar<br />
Perubahan susut bobot<br />
Pelilinan<br />
Buah yang akan dikirim ke Jakarta dan Bogor terlebih dahulu di lakukan perakuan pelilinan 6<br />
%.Tujuan pelilinan adalah untuk memperpanjang masa simpan selama perjalanan di kombinasikan<br />
dengan pendinginan dan untuk memperoleh penampilan yang menarik<br />
Pengemasan Jeruk dari Sambas Ke Pontianak<br />
HASIL DAN PEMBHASAN<br />
Tabel-1. Kondisi jeruk siam dari Sambas yang dikemas dalam peti kayu<br />
Perlakuan<br />
Parameter<br />
Jumlah Buah Berat Awal Berat akhir Jlh Buah<br />
segar<br />
Rusak hama<br />
& P<br />
Peti kayu 70 13,0 8,9 60,8 3,4 5<br />
Rusak<br />
Memar<br />
pengemasan jeruk siam peti kayu<br />
350<br />
300<br />
250<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
0<br />
350<br />
304<br />
1<br />
29 17<br />
jumlah buah<br />
buah segar<br />
memar<br />
rusak hama<br />
Gambar1. Pengemasan Jerum siam peti kayu<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│343
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam dan Jeruk Keprok Terigas<br />
Purba, T dan Haloho, J. D.<br />
Dari pengamatan terlihat bahwa, kerusakan buah karena hama penyakit lebih kecil dibandingkan<br />
dengan kerusakan akibat memar. Hal ini bisa dikarenakan buah yang dipanen telah matang morfologis<br />
sehingga memudahkan untuk memar. Kayu mempunyai sifat higroskopis, sehingga jika suhu dan<br />
kelembaban relatif di sekitarnya berubah maka kadar air kayu juga akan berubah. Menurut Syarief et<br />
al. (1989), kadar air kayu yang berkeseimbangan dengan suhu dan RH di lingkungan penyimpanan<br />
disebut dengan kadar air keseimbangan. Penyimpanan kayu sebaiknya dilakukan pada kadar air<br />
keseimbangannya, sehingga kadar airnya tidak mengalami perubahan selama penyimpanan, selama<br />
suhu dan RH penyimpanan tidak berubah.<br />
Tabel-2. Kondisi jeruk Keprok Terigas yang dikemas dalam peti kayu<br />
Perlakuan<br />
Parameter<br />
Jumlah Buah Berat Awal Berat akhir Jlh Buah<br />
segar<br />
Rusak hama<br />
& P<br />
Rusak Memar<br />
Peti kayu 70 13,52 8,22 64 4,4 2,67<br />
pengamasan jeruk keprok terigas dengan peti kayu<br />
350<br />
350<br />
320<br />
300<br />
250<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
22<br />
8<br />
jumlah buah<br />
buah segar<br />
rusak hama<br />
memar<br />
0<br />
0<br />
Gambar 2. Pengemasan jeruk keprok terigas dengan peti kayu<br />
Untuk pengemasan keprok terigas dengan menggunakan peti kayu, tingkat kerusakan oleh hama<br />
penyakit sekitar 6.29 % lebih besar dibandingkan dengan kerusakan akibat memar 3.81 %. Hal ini,<br />
terkait dengan masa panen yaitu panen pada saat matang fisiologis sehingga relative tahan terhadap<br />
memar. Kelebihan kemasan kayu adalah memberikan perlindungan mekanis yang baik terhadap bahan<br />
yang dikemas, karakteristik tumpukan yang baik dan mempunyai rasio kompresi daya tarik terhadap<br />
berat yang tinggi. Penggunaan kemasan kayu untuk anggur dan minuman-minuman beralkohol dapat<br />
meningkatkan mutu produk karena adanya transfer komponen aroma dari kayu ke produk (Guilbert,<br />
2001)<br />
Tabel-3. Kondisi jeruk siam dari Sambas yang dikemas dalam kardus<br />
Ulangan<br />
Perlakuan<br />
PARAMETER<br />
Jumlah Buah Berat Awal Berat akhir Jlh Buah<br />
segar<br />
Rusak hama &<br />
P<br />
Rusak<br />
Memar<br />
Peti kayu 60 10,56 8,8 53,4 3,2 3,4<br />
344│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam dan Jeruk Keprok Terigas<br />
Purba, T dan Haloho, J. D.<br />
pengamasan jeruk siam dengan kardus<br />
300<br />
300<br />
267<br />
250<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
17 16<br />
jumlah buah<br />
buah segar<br />
memar<br />
rusak hama<br />
0<br />
0<br />
Gambar 3. Pengemasan jeruk siam dengan kardus<br />
Fenomena yang diperlihatkan pada tabel 4, adalah kerusakan akibat hama dan penyakit hampir<br />
sama. Walaupun masa panen jeruk siam matang morfologis, akan tetapi permukaan kardus yang<br />
lembut tidak mengakibatkan kerusakan memar yang tinggi. Tingkat kehilangan susut bobotnya 16.6<br />
%. Pemilihan jenis atau model karton lipat yang Pemilihan jenis atau model karton lipat yang akan<br />
digunakan sebagai pengemas, tergantung pada jenis produk yang akan dikemas dan permintaan pasar.<br />
Pengujian mutu kemasan karton lipat dapat berupa uji jatuh bagi wadah yang sudah diisi, pengujian<br />
tonjolan atau bulge, pengujian kekuatan kompresi dan daya kaku dalam hubungannya dengan<br />
kelembaban udara. Misalnya : untuk bahan pangan yang harus selalu dalam keadaan segar yang<br />
disimpan dalam lemari es, maka digunakan karton tipis yang dilapisi plastik (PE coated) atau dilapisi<br />
lilin (wax coated) (Miltz, 1992)<br />
Tabel-4. Kondisi jeruk keprok Terigas yang dikemas dalam kardus<br />
Ulangan<br />
Perlakuan<br />
Parameter<br />
Jumlah Buah Berat Awal Berat akhir Jlh Buah<br />
segar<br />
Rusak hama<br />
& P<br />
Rusak Memar<br />
Peti kayu 70 10,18 9,26 64 5,6 1<br />
Dari Tabel 4 di gambarkan bahwa tingkat kerusakan hama penyakit sebesar 8 % lebih besar jika<br />
dibandingkan dengan tingkat kerusakan oleh memamr yaitu 1,4%. Hal ini mengindikasikan bahwa<br />
buah jeruk telah mengalami kerusakan sewaktu panen yang walaupun tidak kelihatan secara kasat<br />
mata. Kerusakannya baru kelihatan setelah beberapa hari. Fellows (2000) menyatakan bahwa<br />
Corrugated box tanpa inner (individual box) digunakan sebagai kemasan primer untuk mengemas<br />
buah dan sayur, ikan beku dan lain-lain. Untuk pengemasan buah atau sayuran segar, maka pada<br />
dinding kotak harus diberi lubang ventilasi.<br />
pengamasan jeruk keprok terigas dengan kardus<br />
350<br />
300<br />
250<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
350<br />
320<br />
28<br />
2<br />
jumlah buah<br />
buah segar<br />
rusak hama<br />
memar<br />
0<br />
0<br />
Gambar 4. Pengemasan jeruk keprok terigas dengan kardus<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│345
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam dan Jeruk Keprok Terigas<br />
Purba, T dan Haloho, J. D.<br />
Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa pengemasan dengan cara kardus dan peti kayu dari<br />
Sambas ke Pontianak yang hanya membutuhkan waktu 4-6 jam perjalanan tidak berpengarh secara<br />
nyata. Dalam pengertian, pengemasan dengan kayu peti dan kardus terhadap buah jeruk dapat<br />
dipergunakan, hanya tergantung kepada ke efektifan dan kemudahan dalam pengangkutannya. Untuk<br />
tingkat kerusakannnya hampir sama saja.<br />
Pengemasan Jeruk dari Sambas Ke Jakarta<br />
Pengangkutan yang dilakukan dalam rangka transportasi ke Jakarta menggunakan Kapal Motor<br />
yang membutuhkan waktu 36-40 jam perjalanan. Sesampainya dilokasi langsung dilakukan<br />
pengamatan berdasarkan parameter. Dari pelabuhan Tangjug Periok ke Pasar Induk Kramat Jati<br />
membuthkan 3-4 jam lagi perjalanan.<br />
Informasi yang kami kumpulkan dipedagang Kramat Jati bahwa Jeruk dari Pontianak baik itu<br />
Jeruk Siam dan Keprok Terigas kurang dapat bersaing dengan jeruk dari daerah lain, dengan alasan<br />
bahwa Jeruk dari Pontianak tidak tahan disimpan lebih lama (mudah busuk), warna buah kurang<br />
menarik (warna hijau yang seakan-akan masih mentah) umumnya banyak digunakan untuk pembuatan<br />
jus<br />
Tabel-5. Kondisi jeruk siam yang dikemas dalam peti kayu<br />
Ulangan<br />
Perlakuan<br />
Parameter<br />
Jumlah Buah Berat Awal Berat akhir Jlh Buah<br />
segar<br />
Rusak hama<br />
& P<br />
Rusak Memar<br />
Peti kayu 70 12,86 12,5 63,8 3,8 3<br />
pengamasan jeruk siam dengan peti<br />
350<br />
300<br />
250<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
350<br />
319<br />
19 12<br />
jumlah buah<br />
buah segar<br />
rusak hama<br />
memar<br />
0<br />
0<br />
Gambar 5. Pengemasan jeruk siam dengan peti<br />
Tabel 5, memperlihatkan bahwa kerusakan akibat hama dan penyakit lebih tinggi dari<br />
kerusakan memar. Hal ini memperlihatkan selama diperjalanan masih terjadi respirasi buah sehingga<br />
memudahkan mikro organisme untuk melakukan pengrusakan pada buah. Sebelum buah dikemas<br />
hendaknya dilakukan penyortiran yang lebih ketat agar supaya kerusakan akibat hama dan penyakit<br />
dapat ditekan sekecil mungkin.<br />
Tabel-6. Kondisi jeruk keprok Terigas yang dikemas dalam peti kayu<br />
Ulangan<br />
Perlakuan<br />
Parameter<br />
Jumlah Buah Berat Awal Berat akhir Jlh Buah<br />
segar<br />
Rusak<br />
hama & P<br />
Rusak Memar<br />
Peti kayu 70 12,9 1256 65 4,2 1,3<br />
346│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam dan Jeruk Keprok Terigas<br />
Purba, T dan Haloho, J. D.<br />
Tabel 6 juga memperlihatkan indikasi yang sama bahwa kerusakan akibat hama dan penyakit<br />
lebih tinggi dari kerusakan memar. Hal ini memperlihatkan selama diperjalanan masih terjadi respirasi<br />
buah sehingga memudahkan mikroorganis untuk melakukan pengrusakan pada buah. Sebelum buah<br />
dikemas hendaknya dilakukan penyortiran yang lebih ketat agar supaya kerusakan akibat hama dan<br />
penyakit dapat ditekan sekecil mungkin.<br />
Gambar 6. Pengemasan jeruk keprok dengan peti<br />
Tabel-7. Kondisi jeruk siam yang dikemas dalam keranjang<br />
Ulangan<br />
Perlakuan<br />
Parameter<br />
Jumlah Buah Berat Awal Berat akhir Jlh Buah<br />
segar<br />
Rusak hama<br />
& P<br />
Rusak Memar<br />
Peti kayu 80 11,8 10,68 71 3,2 5,8<br />
pengamasan jeruk siam dengan keranjang<br />
400<br />
350<br />
300<br />
250<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
0<br />
400<br />
355<br />
0<br />
29 16<br />
jumlah buah<br />
buah segar<br />
memar<br />
rusak hama<br />
Gambar 7. Pengemasan jeruk siam dengan keranjang<br />
Pengamatan dengan pengemasan menggunakan kemasan Keranjang buah, memperlihatkan<br />
tingkat kerusakan akibat memar justru lebih tinggi 7.25% jika dibangdingkan dengan kerusakan hama<br />
penyakit hanya sebesar 4 %. Hal ini dikarenakan bahwa kemasan keranjang memiliki kerangka<br />
permukaan yang tipis sehingga tidak tahan terhadap tumpukan yang terlampau banyak. Akibat<br />
tumpukan tersebut, tutup keranjang akan menekan buah. Semakin banyak tumpukan, buah yang<br />
paling bawah akan semakin tertekan sehingga mengakibatkan memar yang lebih banyak lagi. Dalam<br />
pengangukutan ini, tumpukan yang dilakukan mencapai 5 tumpukan.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│347
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam dan Jeruk Keprok Terigas<br />
Purba, T dan Haloho, J. D.<br />
Tabel-8. Kondisi jeruk keprok Terigas yang dikemas dalam keranjang<br />
Ulangan<br />
Perlakuan<br />
Parameter<br />
Jumlah Buah Berat Awal Berat akhir Jlh Buah<br />
segar<br />
Rusak hama<br />
& P<br />
Rusak Memar<br />
Peti kayu 70 11,44 10,76 64 1,6 4,4<br />
pengamasan jeruk keprok dengan keranjang<br />
350<br />
300<br />
250<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
350<br />
320<br />
22<br />
8<br />
jumlah buah<br />
buah segar<br />
memar<br />
rusak hama<br />
0<br />
0<br />
Gambar 8. Pengemasan jeruk keprok terigas dengan keranjang<br />
Pengamatan dengan pengemasan menggunakan kemasan Keranjang buah, memperlihatkan<br />
tingkat kerusakan akibat memar justru lebih tinggi 6.28% jika dibangdingkan dengan kerusakan hama<br />
penyakit hanya sebesar 2.28 %. Hal ini dikarenakan bahwa kemasan keranjang memiliki kerangka<br />
permukaan yang tipis sehingga tidak tahan terhadap tumpukan yang terlampau banyak. Akibat<br />
tumpukan tersebut, tutup keranjang akan menekan buah. Semakin banyak tumpukan, buah yang<br />
paling bahwa akan semakin tertekan sehingga mengakibatkan memar yang lebih banyak lagi. Dalam<br />
pengangukutan ini, tumpukan yang dilakukan mencapai 5 tumpukan.<br />
Tabel 9. Kondisi jeruk siam yang dikemas dalam kardus<br />
Ulangan<br />
Perlakuan<br />
Parameter<br />
Jumlah Buah Berat Awal Berat akhir Jlh Buah<br />
segar<br />
Rusak hama<br />
& P<br />
Rusak Memar<br />
Peti kayu 60 10,06 9,66 50,2 2,6 7,8<br />
Pengamatan dengan pengemasan menggunakan kemasan Karton buah, memperlihatkan tingkat<br />
kerusakan akibat memar justru lebih tinggi 13% jika dibangdingkan dengan kerusakan hama penyakit<br />
hanya sebesar 4.3 %. Hal ini dikarenakan bahwa kemasan karton memiliki kerangka permukaan yang<br />
tipis sehingga tidak tahan terhadap tumpukan yang terlampau banyak. Semakin banyak tumpukan,<br />
buah yang paling bahwa akan semakin tertekan sehingga mengakibatkan memar yang lebih banyak<br />
lagi. Dalam pengangukutan ini, tumpukan yang dilakukan mencapai 5 tumpukan.<br />
348│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam dan Jeruk Keprok Terigas<br />
Purba, T dan Haloho, J. D.<br />
pengamasan jeruk siam dengan kardus<br />
300<br />
300<br />
251<br />
250<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
39<br />
13<br />
jumlah buah<br />
buah segar<br />
memar<br />
rusak hama<br />
0<br />
0<br />
Gambar 9. Pengemasan jeruk siam dengan kardus<br />
Tabel-10. Kondisi jeruk keprok Terigas yang dikemas dengan kardus<br />
Ulangan<br />
Perlakuan<br />
PARAMETER<br />
Jumlah Buah Berat Awal Berat akhir Jlh Buah<br />
segar<br />
Rusak hama<br />
& P<br />
Rusak Memar<br />
Peti kayu 70 10.62 10.1 63.6 2.5 4.4<br />
pengamasan jeruk keprok dengan kardus<br />
350<br />
300<br />
250<br />
200<br />
150<br />
100<br />
50<br />
350<br />
318<br />
22 10<br />
jumlah buah<br />
buah segar<br />
memar<br />
rusak hama<br />
0<br />
0<br />
Gambar 10. Pengemasan jeruk keprok terigas dengan kardus<br />
Pengamatan dengan pengemasan menggunakan kemasan Karton buah, memperlihatkan<br />
tingkat kerusakan akibat memar justru lebih tinggi 6.28% jika dibangdingkan dengan kerusakan hama<br />
penyakit hanya sebesar 3.7 %. Hal ini dikarenakan bahwa kemasan karton memiliki kerangka<br />
permukaan yang tipis sehingga tidak tahan terhadap tumpukan yang terlampau banyak. Semakin<br />
banyak tumpukan, buah yang paling bahwa akan semakin tertekan sehingga mengakibatkan memar<br />
yang lebih banyak lagi. Dalam pengangukutan ini, tumpukan yang dilakukan mencapai 5 tumpukan.<br />
KESIMPULAN<br />
1. Selama transportasi dan penyimpanan, rantai pendingin terputus, terjadi fluktuasi suhu dingin dan<br />
suhu ruang.<br />
2. Teknik pelilinan dengan konsentrasi 6% dan dikombinsikan dengan penyimpanan pada suhu<br />
rendah (dingin) yang dipertahankan konstan dapat memperpanjang mutu fisik (warna dan<br />
penampilan/ kesegaran, tekstur, dan cita rasa).<br />
3. Susut bobot lebih tinggi terjadi pada suhu ruang dibandingkan dengan suhu dingin.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│349
Teknologi Berbagai Kemasan terhadap Mutu Buah Jeruk Siam dan Jeruk Keprok Terigas<br />
Purba, T dan Haloho, J. D.<br />
4. Daya tahan “layak konsumsi” buah jeruk Siam dan Keprok Terigas dengan kemasan Peti kayu,<br />
Kardus dan Keranjang buah yang disimpan pada suhu kamar hanya tahan sampai 2 minggu,<br />
sedangkan suhu dingin stabil dapat bertahan sampai 5 minggu<br />
SARAN<br />
1. Dari hasil penelitian terlihat bahwa suhu dingin yang stabil lebih efektif mempertahankan mutu<br />
buah-buahan. Oleh karena itu disarankan agar rantai pendingin selama transportasi, penyimpanan<br />
dan penjualan tidak terputus<br />
2. Kemasan dengan menggunakan keranjang buah merupakan yang paling efektif karena bias didaur<br />
ulang, Cuma perlu dibuat lebih tebal lagi untuk menjaga ketahana terhadap tumpukan.<br />
3. Kemasan peti kayu dan kardus untuk masa mendatang perlu dikurangi mengingat keterbatasan<br />
bahan baku, apalagi hasil hasil yang diperoleh hampir sama dengan kemasan keranjang buah.<br />
PUSTAKA<br />
1. Fellows, PJ 2000, Food processing technology. Principles and Practice, 2nd Ed. Woodhead<br />
Publishing Ltd., Cambridge, England.<br />
2. Guilbert, S 2001, A survey on protein absed materials for food, agricultural and biotechnological<br />
uses, In Active bioplymer films and coating for food and biotechnological uses, Park, HJ, Testin,<br />
RF, Chinnan, MS, and Park, JW (Ed), Materials of Pre-Congress Short Course of IUFoST,<br />
Korea University Seoul, Korea.<br />
3. Julianti E & Mimi N 2006, <strong>Buku</strong> ajar teknologi pengemasan. <strong>Departemen</strong> Teknologi <strong>Pertanian</strong>.<br />
Fakultas <strong>Pertanian</strong>. Universitas Sumatera Utara. Medan<br />
4. Miltz, J 1992, Food packaging in Heldman, DR & Lund, DB (ed) : Handbook of Food<br />
Engineering .Marcel Dekker, Inc., New York.<br />
5. Syarief, R, Santausa, S, Ismayana, SB 1989, Teknologi pengemasan pangan. Laboratorium<br />
Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB.<br />
6. Sears, JK. & Darby, JR 1982, Mechanism of plastisizer action. In : Di Gioia, L. and S.<br />
7. Paramawati, R 2001, ‘Kajian fisik dan mekanik terhadap karakteristik film kemasan organik dari<br />
zein jagung’, Disertasi Program, Pascasarjana Institut <strong>Pertanian</strong> Bogor.<br />
350│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pelapisan Lilin Sebagai Upaya Memperpanjang Masa Simpan Jeruk Siam Pontianak<br />
Haloho, J. D. dan Purba, T<br />
Pelapisan Lilin Sebagai Upaya Memperpanjang Masa Simpan Jeruk Siam Pontianak<br />
Haloho, J. D. dan Purba, T<br />
Balai Pengkajian dan Teknologi <strong>Pertanian</strong> Kalimantan Barat<br />
Jl. Budi Utomo No. 45 Siantan Pontianak 78241<br />
ABSTRAK. Buah jeruk yang telah dipanen tetap merupakan organisme hidup sampai ia membusuk atau mati.<br />
Jeruk merupakan jenis buah non klimaterik, sehingga sangat terbatas dalam penyimpanan, karena cepat<br />
mengalami pembusukan dan tidak tahan untuk disimpan terlalu lama. Sebagai jaringan hidup, buah jeruk masih<br />
melakukan proses respirasi, transpirasi, mengalami perubahan-perubahan kimiawi, biologi dan diserang<br />
organime. Semua faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan kemunduran kualitas buah jeruk sehingga akan<br />
berkurang kandungan nutrisinya. Salah satu cara untuk menekan kemunduran kualitas ialah cara pelapisan lilin.<br />
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka telah dilakukan kajian pengemasan dan penyimpanan pada jeruk<br />
Siam Pontianak. Tujuan kajian ialah memperpanjang masa simpan jeruk siam Pontianak. Penelitian dilakukan di<br />
Sambas dan Laboratorium Pascapanen BPTP Kalimantan Barat pada tahun 2010. Pengkajian menggunakan<br />
rancangan faktorial acak kelompok (RAK) dengan delapan perlakuan dalam tiga ulangan. Sebagai faktor<br />
pertama cara penyimpanan: (1) disimpan pada suhu ruang (30-32 0 C ) dan (2) disimpan pada suhu rendah/cool<br />
box (10 o C). Faktor kedua cara penyimpanan sebagai beriku; (1) Dilapisi lilin dikombinasikan dengan<br />
pengemasan dalam plastik dan (2) kontrol. Penurunan bobot buah, penurunan diameter, kadar asam, kandungan<br />
vitamin C serta peningkatan kadar gula dalam buah diamati selama penyimpanan. Buah Jeruk Siam Pontianak<br />
tidak bisa disimpan lebih dari 4 minggu setelah masa panen, sebab susut bobot dan diameter, serta kulitnya<br />
menjadi keriput sehingga tidak layak dipasarkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelapisan lilin pada suhu<br />
rendah mampu mempertahankan kesegaran buah jeruk lebih lama dibandingkan dengan kontrol, dengan susut<br />
bobot, diameter, total asam, kadar gula dan vitamin C yang lebih baik<br />
Katakunci: Jeruk siam Pontianak; Pelapisan lilin; Penyimpanan; Suhu rendah<br />
ABSTRACT. Jhon David H. dan Tommy Purba, 2013. Wax coating as efforts to extend storage period of<br />
Pontianak siam orange. Citrus fruits have been harvested remains a living organism until it rotted or dead.<br />
Citrus fruits are non klimaterik so very limited in storage, due to rapid decay, can not bear to be stored for too<br />
long. As a living tissue, citrus fruits are still doing the process of respiration, transpiration, suffered chemical<br />
changes, biological and attacked organime. All of these factors can lead to deterioration of quality of citrus fruits<br />
that will diminish nutritional content. One way to suppress the deterioration of quality is the way the wax<br />
coating. Relative to the above, has done studies on citrus packing and storage of Siam Pontianak. Purpose of the<br />
study is an effort of the shelf life of siam Pontianak citrus. Place and time of the study was conducted in Sambas<br />
and Post-Harvest Laboratory Ministry of Agriculture and West Kalimantan in 2010. Assessment using<br />
Randomized Factorial Design Group (RAK) with eight treatments in three replications. As the first factor storage<br />
method (1) be stored at room temperature (30-32 0 C) and (2) Kept at low temperature / cool box (10 ° C). The<br />
second factor storage method as beriku; (1) combined with wax coated in plastic packaging and (2) control.<br />
Decrease in fruit weight, diameter reduction, acidity, vitamin C and increased levels of sugar in the fruit during<br />
storage were observed. Citrus fruit Siam United Kingdom can not be stored more than 4 weeks weeks after<br />
harvest, because the weight and diameter shrinkage and skin becomes wrinkled so as not marketable. The results<br />
showed that the coating of wax at low temperatures are able to maintain the freshness of citrus fruits for longer<br />
compared with controls, with Losses bobott, Diameter, Total Acid, and Vitamin C Sugar Levels Better<br />
Key words: Citrus siam Pontianak; Wax coating; Storage; Low temperature<br />
Konsumsi jeruk penduduk Indonesia pada tahun 2002 sebesar 1,98 kg/kapita/tahun dan jumlah<br />
ini terus meningkat setiap tahun. Jeruk yang paling banyak diproduksi ialah jeruk siam 60,6% disusul<br />
dengan jeruk keprok 36,7%, jeruk besar (pamelo) 1,7%, jeruk manis 1,0 % dan grape fruit (jeruk<br />
mini) 0,14% (Sumarno, et al. 2003).<br />
Standar mutu jeruk meliputi syarat produk dan syarat mutu pembeli. Di Indonesia, standar<br />
mutu ini telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) dan untuk jenis jeruk keprok telah<br />
mendapat regestrasi SNI yaitu SNI 01-3165-1992. Diharapkan dengan dikeluarkannya standar mutu<br />
ini dapat memacu semangat para petani untuk meningkatkan buah yang berkualitas<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│351
Pelapisan Lilin Sebagai Upaya Memperpanjang Masa Simpan Jeruk Siam Pontianak<br />
Haloho, J. D. dan Purba, T<br />
Spesies jeruk dan varietasnya yang telah dikenal dan dibudidayakan di Indonesia antara lain<br />
jeruk keprok (Citrus nobilis Lour) dan jeruk manis (Citrus sinensis Lour osbeek) dengan nama ilmiah<br />
yang lain Citrus aurantium L. var. Sinews L. Jeruk manis dan jeruk keprok merupakan jeruk yang<br />
paling penting dalam perdagangan dunia dan menempati 7% dari semua jeruk yang dihasilkan dunia.<br />
Jeruk keprok merupakan jenis jeruk yang paling populer di Indonesia. Jenis ini banyak varietasnya di<br />
antaranya ialah jeruk mandarin (Citrus nobilis Lour.var.Chrisocarpa) dan jeruk siam (Citrus nobilis<br />
Lour.var.Microcarpa). Jeruk manis yang dikenal dengan nama sweet orange ini diperdagangkan<br />
dengan merek Sunkis (Deddy, 1991). Berdasarkan SNI tersebut, jeruk siam dapat digolongkan dalam<br />
empat ukuran, seperti yang dijelaskan pada tabel 1 berikut.<br />
Tabel.1 Penggolongan jeruk keprok berdasarkan SNI 01-3165-1992<br />
No Kelas Ukuran (cm) Berat (gram/buah)<br />
1 A > 7.1 > 151<br />
2 B 6.1-7.1 101-150<br />
3 C 5.1 – 6.0 51-100<br />
4 D – E 4.0-5.0 50<br />
Sumber : (Sumarno et al., 2003).<br />
Tabel 2. Penggolongan mutu jeruk siam berdasarkan SNI 01-3165-1992<br />
Karakteristik<br />
Persyaratan<br />
Mutu I<br />
Mutu II<br />
Kesamaan Sifat Varietas Seragam Seragam<br />
Kekerasan Keras Cukup Keras<br />
Ukuran Seragam Kurang seragam<br />
Kerusakan % (jml/jml) maks 5 10<br />
Kotoran Bebas Bebas<br />
Busuk % (jml/jml) maks 1 1<br />
Sumber : (Sumarno et al., 2003).<br />
Kualitas buah jeruk sangat dipengaruhi oleh tingkat kematangan buah, oleh sebab itu untuk<br />
mendapatkan buah yang berkualitas baik, maka buah harus dipetik dalam keadaan matang dan sudah<br />
memiliki cita rasa manis kemasam-masaman serta aroma buah yang baik. Jika buah jeruk dipetik pada<br />
saat belum matang, rasanya masih masam dan pahit, buah mudah berkerut atau keriput, sari buahnya<br />
sedikit, dan buah tidak tahan disimpan dalam waktu yang lama. Sebaliknya bila buah dipetik terlalu<br />
matang, maka cita rasanya menjadi berkurang, aromanya kurang baik, sari buahnya berkurang, daging<br />
buah mudah menjadi kering, dan daya simpan buah pendek (Mohamad 1991)<br />
Pemetikan buah jeruk tidak dapat dilakukan sekaligus karena buah jeruk tidak masak secara<br />
bersamaan. Pemetikan buah jeruk harus diutamakan pada buah-buah yang sudah matang. Buah-buah<br />
jeruk yang telah mencapai derajat kematangan optimal (masak petik/matang kuning) memiliki tandatanda<br />
sebagai berikut:<br />
1. Kulit buah telah menguning (hijau kekuning-kuningan) dengan warna yang menarik, sehat,<br />
dan segar,<br />
2. Permukaan kulit buah halus dan tekstur agak lunak (bila dipegang dibagian bawah sudah<br />
terasa empuk).<br />
Pemetikan buah jeruk dapat juga dilakukan pada keadaan matang hijau. Pemetikan buah pada<br />
keadaan matang hijau sebaiknya dilakukan bila lokasi pemasaran jauh. Buah jeruk yang telah matang<br />
hijau, umumnya sudah mencapai 6 bulan setelah munculnya bunga, sedangkan buah yang matang<br />
kuning, umumnya sudah tercapai 7-9 bulan setelah muncul bunga. Buah jeruk yang kelewat matang,<br />
dipasaran kurang begitu laku dan tidak memenuhi syarat untuk eskpor maupun bahan baku untuk<br />
industri pengolahan. Dengan demikian, kalaupun laku harganya sangat rendah. Di samping itu,<br />
kerusakan buah jeruk akibat pemanenan yang kelewat matang mencapai 29% ( Pantastico 1989)<br />
Pada dasarnya buah-buahan akan cepat mengalami fase senecence yaitu proses degradasi<br />
senyawa menuju terjadinya ketuaan dan kematian jaringan ( Kays 1991), bila dibiarkan di tempat<br />
terbuka. Keadaan ini terjadi akibat berlangsungna proses respirasi berup oksidasi substrat sumber<br />
energi, seperti pati, gula, dan asam. Proses respirasi terjadi bila terdapat oksigen di seitar buah yang<br />
352│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pelapisan Lilin Sebagai Upaya Memperpanjang Masa Simpan Jeruk Siam Pontianak<br />
Haloho, J. D. dan Purba, T<br />
dapat masuk melalui pori-pori kulit buah. Selanjutnya terjadi perubahan air dan karbohidrat. Air yang<br />
keluar sebagai akibat proses resprasi ini akan menurunkan bobot buah 3-5%. Perubahan yang terjadi<br />
melewati sejumlah tahapan kompleks yang melibatkan berbagai sistem enzim. Sebagai komoditas<br />
yang masih segar, buah jeruk masih melakukan respirasi dan transpirasi secara aktif setelah dipetik<br />
dari pohonnya ( Soesarsono 1989). Kehilangan air antara 3-10% dari berat asal menyebabkan fisik<br />
buah menjadi kehilangan kesegaran, berkerut dan tidak renyah lagi atau kulitnya menjadi kering dan<br />
keras. Selain itu transpirasi juga dapat menyebabkan percepatan proses senescense. Faktor luar yang<br />
memengaruhi transpirasi ialah kelembaban, suhu, tekanan atmosfer, dan kerusakan fisik yang terjadi<br />
(Riquelme et al. 1994)<br />
Robertson (1993), mengatakan besarnya laju respirasi menetukan umur simpan buah. Semakin<br />
tinggi laju respirasi, semakin singkat umur simpan buah. Sebaliknya semakin rendah laju respirasi,<br />
semakin lama umur simpan buah. Namun konsentrasi CO 2 yang terlalu tinggi (sekitar 20%) dapat<br />
mendorong terjadinya respirasi anaerob yang akan merusak jaringan buah. Adanya kerusakan fisik<br />
karena benturan atau getaran yang menyebabkan memar pada permukaan buah, akan mendorong atau<br />
menstimulasi laju respirasi dan produksi etilen.<br />
Buah memiliki masa simpan yang relatif rendah, sehingga buah dikenal sebagai bahan pangan<br />
yang cepat rusak dan hal ini sangat berpengaruh terhadap kualitas masa simpan buah. Mutu simpan<br />
buah sangat erat kaitannya dengan proses respirasi dan transpirasi selama penanganan dan<br />
penyimpanan di mana akan menyebabkan susut pascapanen seperti susut fisik yang diukur dengan<br />
berat, susut kualitas karena perubahan wujud, cita rasa, warna atau tekstur yang menyebabkan bahan<br />
pangan kurang disukai konsumen, dan susut nilai gizi yang berpengaruh terhadap kualitas buah. Mutu<br />
simpan buah akan lebih bertahan lama jika laju respirasi rendah dan transpirasi dapat dicegah dengan<br />
meningkatkan kelembaban relatif dan menurunkan suhu udara. Pada umumnya komoditas yang<br />
mempunyai umur simpan pendek mempunyai laju respirasi tinggi atau peka terhadap suhu rendah<br />
(Tranggono & Sutardi 1990).<br />
Pertumbuhan organisme perusak dapat diperlambat pada suhu penyimpanan rendah, namun komoditas<br />
segar berangsur-angsur kehilangan resistensi alaminya terhadap pertumbuhan organism perusak. Oleh<br />
karena itu lamanya umur simpan ditentukan oleh interaksi oleh senensensi alami (kehilangan kualitas),<br />
pertumbuhan organisme perubahan dan kepekaan terhadap cacat suhu dingin. Penyimpanan buah jeruk<br />
optimal pada suhu 4-9 o C. Pada suhu dingin ini jeruk dapat bertahan sampai 8 -14 minggu. (Tranggono<br />
& Sutardi, 1990).<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini ialah buah jeruk siam Pontianak segar<br />
masak petik (warna hijau mengarah ke kuningan) dari kebun petani di Tebas, Kabupaten Sambas.<br />
Bahan lain yang dipergunakan dalam pelapisan lilin adalah Lilin Lebah ( Bees Wax), senyawa<br />
Trietanolalim, dan asam oleat. Untuk pengujian total asam digunakan natrium hidroksida (NaOH)<br />
0,1N dan phenopthalien (pp) 1% sebagai indikatornya. Untuk uji vitamin C digunakan larutan<br />
Iodium 0,01 N dan larutan pati 1% sebagai indikator dengan metode titrasi, sedangkan untuk menguji<br />
kadar gula menggunakan alat Hand refraktometer dengan satuan persen<br />
Sebelum dilakukan perlakuan pelapisan lilin terlebih dahulu buah jeruk keprok Terigas<br />
dibersihkan dari kontaminan/kotoran luar seperti debu, jamur, kapang atau mikroorgnisme dengan<br />
cara di celup dan disikat dengan halus, kemudian dikeringanginkan. Selanjutnya sebagian buah<br />
diperlakukan dengan dicelup dalam larutan emulsi lilin 6% selama kurang lebih 30 detik dan<br />
kemudian dikering anginkan. Kemudian sebagain buah di bungkus dengan plastik, tanpa plastik, dan<br />
tanpa perlakuan (kontrol). Tiap-tiap buah diletakkan dalam keranjang buah. Sebagian buah disimpan<br />
dalam cold box ( suhu 10 o C) dan sebagian ladi di simpan dalam suhu ruang 29-30 o C. Setiap enam<br />
hari dilakukan pengamatan terhadap kadar gula, kadar asam dan vitamin C.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│353
Pelapisan Lilin Sebagai Upaya Memperpanjang Masa Simpan Jeruk Siam Pontianak<br />
Haloho, J. D. dan Purba, T<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Kadar Gula<br />
Salah satu parameter kematangan buah ialah kandungan gula dalam bentuk oligo sakarida<br />
(Sukrosa) atau mono sakarida (glikosa an fruktosa). Buah yang masih mentah pada umunya berasa<br />
asam, karena kandungan asamnya relatif tinggi dibandingkan kandungan gulanya. Seiring proses<br />
pematangan, terjadi proses degradasi karbohidrat (poli sakarida) menjadi gula-gula sederhana,<br />
sehingga buah menjadi semakin berasa manis. Semakin tinggi perbandingan antara gula dengan asam<br />
akan menyebabkan buah semakin manis.<br />
Tabel. 3. Perubahan Kadar Gula Jeruk Siam Pontianak dari Berbagai perlakuan selama penyimpanan<br />
Perlakuan Kadar gula (%)<br />
0 Hari 30 Hari<br />
Pelapisan lilin + Suhu ruang 8,80 10,67 a<br />
Kontrol + Suhu ruang 11,00 13,00 b<br />
Pelapisan lilin + Suhu rendah 9,00 10,47 a<br />
Kontrol + Suhu rendah 10,41 11,86 b<br />
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%<br />
Tabel 3 menunjukkan, kadar gula awal ( 0 Hari masa simpan ) 8,80-11,00% pada suhu ruang<br />
dan 9,00-10,41% pada suhu rendah, akan mengalami peningkatan setelah diakhir penelitian 30 hari<br />
masa simpan yaitu 10,67-13,00 % pada suhu ruang dan 10,47-11,87 % pada suhu rendah. Perlakuan<br />
pada suhu ruang menunjukkan peningkatan yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan perlakaun<br />
suhu rendah. Penyimpanan pada suhu ruang maupun pada suhu rendah menunjukkan kecenderungan<br />
peningkatan kagar gula secara linier, baik untuk perlakuan palapisan lilin dengan pembungkusan<br />
maupun kontrol. Peningkatan kadar gula menjadi minimum ketika suhu rendah. Hal ini<br />
mengindikasikan bahwa hasil yang baik dibandingkan kontrol yang menunjukkan kecenderungan<br />
turun pada penyimpanan suhu kamar, dan meningkat sangat kecil pada penyimpanan suhu<br />
rendah/dingin.<br />
Perubahan Total Asam<br />
Perbandingan antara total asam dengan total gula yang pas akan memberikan sensasi rasa<br />
manis asam pada buah.<br />
Tabel. 4. Perubahan kadar asam jeruk siam Pontianak dari berbagai perlakuan selama penyimpanan<br />
Perlakuan Kadar gula (%)<br />
0 Hari 30 Hari<br />
Pelapisan lilin + Suhu ruang 1,175 1,103 a<br />
Kontrol + Suhu ruang 1,887 0,845 b<br />
Pelapisan lilin + Suhu rendah 1,127 1,008 a<br />
Kontrol + Suhu rendah 1,155 1,057 b<br />
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 5%<br />
Tabel 4 memperlihatkan bahwa kandungan kadar asam pada jeruk siam Pontianak secara<br />
umum menurun dengan seiring lamanya penyimpanan. Kadar asam pada 0 hari pada suhu ruang<br />
sebesar 1,887 – 1,175 % dan suhu rendah sebesar 1,127 – 1,155 % akan semakin menurun pada 30<br />
hari setelah masa penyimpanan yaitu pada suhu ruang 0,8454 – 1,103 dan suhu rendah 0,008-1,057 %.<br />
Terjadi perbedaan yang mencolok antara penyimpanan suhu kamar dengan penyimpanan pada suhu<br />
rendah. Pada penyimpanan suhu kamar perlakuan termasuk kontrol memperlihatkan total asam yang<br />
menurun sangat tajam, sedangkan pada suhu rendah penurunan sangat kecil. Penurunan total asam ini<br />
mengindikasikan terjadinya kerusakan vitamin sejalan dengan lama penyimpanan, serta kemungkinan<br />
terjadi degradasi asam askorbat atau asam lainnya menjadi senyawa yang lebih sederhana. Menurut<br />
Kartasapoetra (1989), total asam atau keasamannya akan bertambah sampai saat hasil tanaman itu<br />
354│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pelapisan Lilin Sebagai Upaya Memperpanjang Masa Simpan Jeruk Siam Pontianak<br />
Haloho, J. D. dan Purba, T<br />
diambil dari pohon dan semakin berkurang selama penyimpanan. Biasanya buah yang belum masak<br />
mengandung asam yang relatif tinggi dibanding buah yang sudah masak. Penurunan kandungan asam<br />
organik buah disebabkan oleh penggunaan asam organik dalam siklus Kreb untuk memperoduksi<br />
energi dan terjadinya konversi asam organik membentuk gula (Baldwin 1993) Hal ini karena<br />
dikonversikan menjadi gula atau digunakan untuk respirasi ( Wiil et al. 1982)<br />
Perubahan Vitamin C<br />
Vitamin C dalam bentuk asam askorbat memberikan rasa yang asam pada buah-buahan.<br />
Viamin C ini diperlukan untuk kesehatan tubuh sebagai salah satu mikro nutrien yang berfungsi<br />
meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit. Oleh sebab itu keberadaan Vitamin C (asam<br />
Ascorbat) ini sangat diperlukan untuk memberikan rasa enak pada buah dan menambah pasokan<br />
nutrisi pada buah.<br />
Tabel. 5. Perubahan kadar vitamin C jeruk siam Pontianak dari berbagai perlakuan selama<br />
penyimpanan<br />
Perlakuan<br />
Kandungan Vitamin C (mg/100g)<br />
0 Hari 30 Hari<br />
Pelapisan lilin + Suhu ruang 43,51 37,33 a<br />
Kontrol + Suhu ruang 40,04 32,11 b<br />
Pelapisan lilin + Suhu rendah 41,63 39,27 a<br />
Kontrol + Suhu rendah 39,74 35,86 b<br />
Dari tabel 5, menunjukkan bahwa buah yang disimpan selama 30 hari pada suhu ruang,<br />
vitamin C nya sangat kecil yaitu sekitar 32,11-37,33 mg/100 g. Dibandingkan dengan penyimpanan<br />
pada suhu dingin selama 30 hari, sebesar 35,86-39,27 mg/100 g. Perlakuan pelapisan lilin dan<br />
dibungkus dengan plastik menunjukkan angka vitamin C yang paling besar. Hal ini dikarenakan fungsi<br />
dari pelapisan lilin yaitu melapisi bagian luar, sehingga kontak antara buah dengan udara luar bisa<br />
ditekan sekecil mungkin, sehingga menghambat terjadinya proses oksidasi dalam buah. Vitamin C<br />
tidak tahan panas dapat rusak oleh cahaya dan oksidasi<br />
Kandungan asam askorbat (vitamin C) akan mengalami penurunan selama penyimpanan kirakira<br />
½ sampai ⅓ dari pada waktu panen (Pantastico 1989). Dengan semakin lama penyimpanan, maka<br />
kandungan vitamin C akan berkurang akibat terjadinya reaksi oksidasi dan aktifnya enzim-enzim<br />
perusak vitamin C. Enzim yang dapat merusak secara tidak langsung ialah fenolase, sitokrom<br />
oksidasi, peroksidase.<br />
Perubahan Susut Bobot<br />
Tabel. 6.<br />
Perubahan persentase susut bobot jeruk siam Pontianak dari berbagai perlakuan selama<br />
penyimpanan<br />
Perlakuan Persentase Susut Bobot (%)<br />
6 Hari 33 Hari<br />
Pelapisan lilin + Suhu ruang 1.62 16.06 a<br />
Kontrol + Suhu ruang 7.79 34.24 b<br />
Pelapisan lilin + Suhu rendah 1.33 5.15 a<br />
Kontrol + Suhu rendah 2.02 12.22b<br />
Pada tabel 6 terlihat bahwa susut bobot bertambah seiring dengan lamanya penyimpanan.<br />
Susut bobot jeruk siam Pontianak yang disimpan pada suhu ruang,6 hari setelah panen ialah sebesar<br />
1,62-7,79 % dan yang disimpan pada suhu rendah adalah 1,33-2,02%. Pada akhir pengamatan(33<br />
hari setelah masa panen), susut bobot jeruk siam Pontianak mengalami peningkatan yaitu 16,06-<br />
34,24% yang di simpan pada suhu ruang dan 5.15-12.22 % yang di simpan pada suhu rendah.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│355
Pelapisan Lilin Sebagai Upaya Memperpanjang Masa Simpan Jeruk Siam Pontianak<br />
Haloho, J. D. dan Purba, T<br />
Perlakuan pelapisan lilin yang dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu rendah menunjukkan<br />
persentase peningkatan susut bobot yang paling kecil. mengalami Susut bobot tersebut sebagai akibat<br />
kehilangan air oleh respirasi dan transpirasi yang terjadi selama proses penyimpanan buah (Santoso &<br />
Purwoko 1995).<br />
Tabel. 7.<br />
Persentase penyusutan diameter jeruk siam Pontianak dari berbagai perlakuan selama<br />
penyimpanan<br />
Perlakuan Persentase diameter (%)<br />
6 Hari 33 Hari<br />
Pelapisan lilin + Suhu ruang 2,55 6,42 a<br />
Kontrol + Suhu ruang 1,99 15,88b<br />
Pelapisan lilin + Suhu rendah 0,33 3,88 a<br />
Kontrol + Suhu rendah 0,69 7,65 b<br />
Tabel 7 memperlihatkan bahwa persentase penyusutan diameter jeruk siam Pontianak<br />
6 hari setelah panen yang disimpan pada suhu ruang ialah 1,99 – 2,55%, sedangkan yang<br />
disimpan pada suhu rendah ialah 0,33 – 0,69 %. Pada akhir pengamatan (33 hari setelah masa<br />
simpan), persentase penyusutan diameter jeruk siam Pontianak meningkat menjadi 6,42-<br />
15,88 % pada suhu ruang dan menjadi 3,88-7,65 % pada suhu rendah. Dengan perlakuan<br />
pelapisan lilin yang dikombinasikan dengan penyimpanan suhu rendah menunjukkan<br />
peningkatan persentase penyusutan diameter yang lebih rendah jika dibandingkan dengan<br />
pelapisan lilin yang disimpan pada suhu ruang. Hal ini mengindikasikan pelapisan lilin pada<br />
buah bekerja dengan efektif untuk menutup pori-pori buah sehingga mengurangi reaksi<br />
respirasi.<br />
Parameter diameter dapat dijadikan salah satu indikator daya simpan buah jeruk Siam<br />
Pontianak. Hal ini dikarenakan persentase diameter yang tinggi setelah mengalami masa<br />
penyimpanan akan menimbulkan kerutan pada kulit buah sehingga penampilan buah jeruk<br />
Siam Pontianak menjadi tidak menarik dan buah tidak layak untuk dipasarkan (Aryani, 1999).<br />
KESIMPULAN<br />
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :<br />
1. Proses penurunan pada penyimpanan suhu rendah (10 o C) akan memperlambat perubahan Susut<br />
Bobot, Diameter, Kadar asam, Vitamin C, akan tetapi kandungan kadar gulanya semakin<br />
meningkat pada suhu rendah maupun suhu ruang.<br />
2. Penggunaan lapisan Lilin pada buah jeruk Siam Pontianak dapat menunda/memperlambat proses<br />
kematangan buah, yang terlihat secara nyata dengan lambatnya penurunan Susut Bobot, Diameter,<br />
Kadar Asam dan Vitamin C jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan palapisan lilin.<br />
3. Penyimpanan suhu rendah (10 o C) dikombinasikan dengan Pelapisan 6 %, merupakan perlakuan<br />
yang terbaik, dengan masa simpan 30 hari, dan jeruk Siam Pontianak masih layak konsumsi dan<br />
layak jual.<br />
PUSTAKA<br />
1. Baldwin, EA 1993, Citrus Fiuit. In Seymour, GB, Taylor, JD & Tucker, GA (eds.) Biochemistry<br />
of Friut Ripening, Chapman and Hall, London, UK, pp.107-35.<br />
2. Deddy Muchtadi 1991, Fisiologi Pasca Panen Sayuran Dan Buah Buahan, <strong>Departemen</strong><br />
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas IPB<br />
– Gama.<br />
3. Kader, AA. 2002, Mangosteen, recommendation for maintaining postharvest quallity postharvest<br />
tehcnology, Reseaachand Information. Http:// postharvest. ucdavis.edu<br />
356│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pelapisan Lilin Sebagai Upaya Memperpanjang Masa Simpan Jeruk Siam Pontianak<br />
Haloho, J. D. dan Purba, T<br />
4. Kartasapoetra, AG. 1989. Teknologi Penanangan Pasca Panen, Penerbit Karya Aksara, Jakarta.<br />
5. Kays, SJ. 1991. Posthvest Physiology of Perishable Plant Products. Van Nostran Reinhold, New<br />
York. 503 p<br />
6. Pantastico ER B. 1989, Postharvest Physiology, Handling and utilization of typical and subtropical<br />
fruit and vegetables. Penerjemah Kamariyani dalam Fisiologi Pasca Panen. Penanganan<br />
dan Pernanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan SubTropika, Gadjah Mada<br />
University. Press-Yogyakarta.<br />
7. Riquelme, F, Pretel, MT, Martinez G., Serrano, M, Amoro, As and Romojaro. 1994. Packaging<br />
of Friut and Vegetables: Recent Result. In Malthouthi, Food Packaging and Preservation (Ed),<br />
Blackies Academic & Profesional, An Imprint of Chapman & Hall, London and Glasgow.<br />
8. Robertson, GL. 1993, Packaging of Horticultura Product. In Food Packaging Prinsipless and<br />
Practice. G.L. Robertson. Marcel. Dekker, Inc. New York-Basel<br />
9. Santoso.BB dan Purwoko, BS. 1995, Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen Tanaman<br />
<strong>Hortikultura</strong>, Indonesia Australia Eastern Universities Project.<br />
10. Soesarsono 1989, Teknologi Penyimpanan Komoditas <strong>Pertanian</strong>. Jurusan Teknologi Industri<br />
<strong>Pertanian</strong>. Dalam Anjasari. B. 1995, ‘Pendugaan Masa Simpan Segar Buah Jeruk dalam Sistem<br />
Penyimpanan Atmosfir Termodifikasi’, Thesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor<br />
11. Sumarno et al. 2003, <strong>Buku</strong> Tahunan Holtikultura Tahun 2003, Direktorat Bina Produksi<br />
Holtikultura, <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong>, Jakarta.<br />
12. Tranggono & Sutardi 1990, Biokimia dan Teknologi Pasca Panen, Universitas Gadjah Mada,<br />
Yogyakarta.<br />
13. Will, RH., Lee, TH., Graham, D,.Glasson WB and Hall, EG 1981, Post Harvest. An Introduction<br />
to The Physiologi and Handling of Fruit and Vegetable, New South Wales University Press,<br />
Kensington. Australia.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│357
Pengaruh Jenis Larutan Perendaman untuk Menghilangkan Rasa Sepat Buah Kesemek<br />
Marpaung, AE 1) , Silalahi, FH 1) , Hutabarat, RC 1) dan Sinaga, R 2)<br />
Pengaruh Jenis Larutan Perendaman untuk Menghilangkan Rasa Sepat Buah Kesemek<br />
Marpaung, AE 1) , Silalahi, FH 1) , Hutabarat, RC 1) dan Sinaga, R 2)<br />
1) Kebun Percobaan Berastagi, Jl. Raya Medan-Berastagi Km. 60 Berastagi, 22156<br />
2) Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung 40391<br />
ABSTRAK. Buah kesemek memiliki kandungan tanin yang lebih tinggi dibanding buah lainnya, sehingga buah<br />
yang belum masak berasa sepat. Hal ini menyebabkan buah tidak dapat langsung dikonsumsi, sehingga<br />
diperlukan perlakuan khusus untuk menghilangkan rasa sepatnya. Penelitian bertujuan untuk mengetahui<br />
pengaruh jenis larutan perendaman untuk menghilangkan rasa sepat buah kesemek. Penelitian dilakukan di<br />
laboratorium pascapanen Kebun Percobaan Berastagi yang dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Desember<br />
2009. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) nonfaktorial dengan dua ulangan. Perlakuan<br />
yang diteliti adalah jenis larutan perendaman, yaitu: (A) tanpa perendaman, (B) rendam dalam larutan air, (C)<br />
rendam dalam larutan garam 10%, (D) rendam dalam larutan garam 20%, (E) rendam dalam larutan garam 30%,<br />
(F) Rendam dalam larutan kapur 10%, (G) rendam dalam larutan kapur 20%, dan (H) rendam dalam larutan<br />
kapur 30%. Hasil yang diperoleh adalah: Perlakuan jenis larutan perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap<br />
kadar tanin dan organoleptik rasa buah kesemek, namun berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut, total<br />
asam, vitamin C, dan organoleptik kekerasan. Perlakuan perendaman memiliki nilai kadar tanin, total padatan<br />
terlarut, total asam, vitamin C dan organoleptik yang lebih rendah dibanding perlakuan tanpa perendaman. Kadar<br />
tanin terendah dijumpai pada perlakuan F (rendam dalam larutan kapur 10%) yaitu sebesar 0,26%.<br />
Katakunci: Kesemek (Diospyros kaki L); Jenis larutan perendaman; Sepat<br />
ABSTRACT. Marpaung, AE, Silalahi, FH, Hutabarat, RC & Sinaga, R 2013. Effect the Soaking solution<br />
kinds to removing deastringentcy of persimmon fruits. Persimmon fruit has the higher tannin than another<br />
fruit, so the raw fruit has deastrigentcy taste. This matter causes the fruit can not direct be eaten, so that it need<br />
special treatment to loss the deastrigentcy taste. The aimed of the research was to find out the effect of soaking<br />
solution kinds to removing deastringentcy of persimmon fruits. The research was conducted at Post harvest<br />
laboratory Berastagi Experimental Fruit Farm on October – December 2009. Complete Randomized Design was<br />
used with two replications. The treatments were kinds of soaking solution : (A) without soaking, (B) soak in<br />
water, (C) soak in salt solution 10%, (D) soak in salt solution 20%, (E) soak in salt solution 30%, (F) soak in<br />
lime solution 10%, (G) soak in lime solution 20%, and (H) soak in lime solution 30%. The result showed that<br />
kinds of solution treatments not significant to tannin content and taste organoleptic on the persimmon, but<br />
significant to total soluble soili, acid total, ascorbic acid and hardness organoleptic. The soaking treatments have<br />
tannin content, total soluble solid, acid total, ascorbic acid and organoleptic are lower than without soaking<br />
treatment. The lower tannin content is F treatment (Soak in lime solution 10%) that is equal to 0,26%.<br />
Keywords: Persimmon (Diospyros kaki L); Kinds of soaking solution; Deastringentcy<br />
Kesemek atau persimmon (Diospyros kaki L.) termasuk famili Ebenaceae yang lebih dikenal dengan<br />
nama Chinese atau Japanese persimmon kaki (Tao 1988). Kesemek merupakan salah satu tanaman<br />
buah yang berasal dari Cina, kemudian diintroduksikan ke Jepang. Kedua negara tersebut merupakan<br />
penghasil utama kesemek dan sudah dibudidayakan secara komersial, tetapi ada juga sentra-sentra<br />
kecil yang berkembang diantaranya di Itali, Israel, Brazil, California, Baguio, dan dataran tinggi<br />
Philipina (Ramos 1971).<br />
Buah kesemek dapat diklasifikasikan atas kultivar anstrigent dan non-astrigent. Buah kesemek<br />
yang astrigent biasanya memerlukan perlakuan sebelum dikonsumsi, sedangkan kultivar non-astrigen<br />
dapat dikonsumsi segar (Miller & Croccker 1994). Dewasa ini, selain untuk kebutuhan dalam negeri,<br />
buah kesemek juga diekspor. Hal ini merupakan peluang pasar yang perlu dicermati. Buah kesemek<br />
dapat dimakan sebagai buah segar maupun olahan untuk puree, ice-cream, jam, jelly, sale, buah<br />
kering, dan lainnya. Selain itu, dapat digunakan untuk bahan pewarna pakaian, kertas, atau bahan<br />
kerajinan, dan dapat pula digunakan sebagai obat penurun tekanan darah tinggi (Sugiura et al. 1986).<br />
Konsumen menghendaki buah kesemek yang memenuhi beberapa persyaratan mutu, antara lain rasa<br />
sepatnya hilang sama sekali, manis, tekstur buah cukup keras, belum terlalu matang dengan<br />
358│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Jenis Larutan Perendaman untuk Menghilangkan Rasa Sepat Buah Kesemek<br />
Marpaung, AE 1) , Silalahi, FH 1) , Hutabarat, RC 1) dan Sinaga, R 2)<br />
penampilan buah menarik (Pecis et al. 1986). Buah kesemek asal Junggo-Batu lebih disukai oleh<br />
konsumen Singapura dibandingkan dengan buah kesemek dari daerah lain di Jawa karena rasanya<br />
lebih manis, renyah, kandungan air banyak, buah berukuran besar, dan berwarna merah-jingga<br />
menarik (Baswarsiati et al. 2006).<br />
Buah kesemek memiliki kandungan tanin yang lebih tinggi dibanding buah lainnya. Tanin<br />
berperan mencegah pertumbuhan mikroba dan menjadi faktor penyebab timbulnya rasa sepat. Tanin<br />
merupakan faktor penentu kualitas buah kesemek. Buah kesemek yang belum masak berasa sepat, hal<br />
tersebut disebabkan oleh adanya tanin yang terlarut di dalam sel buah kesemek. Selama proses<br />
pematangan buah kesemek, kadar tanin makin berkurang. Tanin pada buah kesemek yang telah<br />
matang berada dalam bentuk yang terikat dan tidak larut dalam air. Jumlah dan ukuran sel tanin<br />
meningkat. Kandungan tanin terlarut pada buah kesemek dari varietas yang astringen antar 0,80 –<br />
1,94% dari berat daging buah kesemek. Oleh karena itu, buah kesemek yang telah matang menjadi<br />
tidak berasa sepat (Petojo & Puspita 2007).<br />
Rasa sepat buah kesemek dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan dengan beberapa perlakuan,<br />
diantaranya dengan perlakuan perendaman buah dalam air kapur 3-5% lebih dari 48 jam (Prabawati<br />
1985). Menurut Yonemori & Matsushima (1987), bahwa mekanisme alkohol dalam menghilangkan<br />
rasa sepat buah kesemek sampai saat ini belum jelas dan masih dalam penelitian, sedangkan hasil<br />
penelitian Napitupulu (1991), rasa sepat pada buah kesemek dapat dihilangkan dengan perlakuan<br />
alkohol 45% dan disimpan selama 14 hari, sehingga kandungan taninnya menurun.<br />
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis larutan perendaman untuk menghilangkan<br />
rasa sepat buah kesemek. Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini ialah diperolehnya jenis larutan<br />
perendaman sehingga dapat menghilangkan rasa sepat pada buah kesemek.<br />
BAHAN DAN METODA<br />
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pascapanen Kebun Percobaan Berastagi yang<br />
dilaksanakan dari Bulan Oktober sampai Desember 2009. Percobaan menggunakan rancangan acak<br />
lengkap nonfaktorial dengan dua ulangan. Perlakuan yang diteliti ialah jenis larutan perendaman,<br />
yaitu: : (A) tanpa perendaman, (B) rendam dalam larutan air, (C) rendam dalam larutan garam 10%,<br />
(D) rendam dalam larutan garam 20%, (E) rendam dalam larutan garam 30%, (F) Rendam dalam<br />
larutan kapur 10%, (G) rendam dalam larutan kapur 20%, dan (H) rendam dalam larutan kapur 30%.<br />
Masing-masing perlakuan terdiri dari 10 buah.<br />
Prosedur<br />
- Diambil buah yang memiliki buah yang seragam tingkat kematangannya (telah berwarna kuning<br />
keseluruhan),<br />
- Kemudian buah direndam dalam larutan sesuai perlakuan selama 3 hari,<br />
- Setelah 3 hari buah diangkat dari dalam larutan dan ditiriskan airnya,<br />
- Satu hari setelah diangkat dari larutan, buah dianalisis sesuai dengan peubah yang diamati.<br />
Peubah yang diamati<br />
Peubah yang diamati dilakukan pada 10 buah yang diberi perlakuan.<br />
Kadar tanin (Metoda Lowenthal-Procter)<br />
o Sebanyak 0,5 g bahan yang telah ditumbuk halus ditambah 40 ml akuades, kemudian<br />
didihkan selama 30 menit,<br />
o Setelah dingin dimasukkan kedalam labu takar 50 ml sampai batas tera (filtrat I),<br />
o Diambil 1 ml filtrat I ditambahkan 25 ml larutan indigokarmin dan 75 ml akuades.<br />
Selanjutnya dititrasi dengan KMnO 4 0,1 N sampai warna kuning emas (A ml),<br />
o Diambil 10 ml filtrat I ditambah berturut-turut 5 ml larutan gelatin, 10 ml larutan<br />
garam asam, 1 g kaolin powder. Selanjutnya digojog kuat-kuat beberapa menit dan<br />
disaring (filtrat II),<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│359
Pengaruh Jenis Larutan Perendaman untuk Menghilangkan Rasa Sepat Buah Kesemek<br />
Marpaung, AE 1) , Silalahi, FH 1) , Hutabarat, RC 1) dan Sinaga, R 2)<br />
<br />
<br />
o Diambil 2,5 filtrat II, dicampur dengan larutan indigokarmin sebanyak 25 ml dan<br />
akuades 75 ml, kemudian dititrasi dengan larutan KMnO 4 0,1 N (B ml)<br />
Perhitungan :<br />
(50 A – 50 B) x N KMnO 4 (0,1) x 0,00416<br />
Kadar Tanin = x 100%<br />
5<br />
Total padatan terlarut. Penentuan total padatan terlarut menggunakan Handrefractometer<br />
Total Asam. Penentuan total asam menggunakan metoda titrasi.<br />
o Bahan dihaluskan,<br />
o Diambil 10 g dan diencerkan dengan aquades sampai 100 ml,<br />
o Ditambahkan 3 – 4 tetes phenolpthalein 1%, kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1N<br />
sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda,<br />
o Dihitung dengan rumus :<br />
ml titrasi 0,1N NaOH x N.NaOH x FP x BM.Asam dominan<br />
TA= x 100%<br />
1000 x berat contoh (g) x valensi<br />
<br />
Vitamin C. Penentuan vitamin C menggunakan metode titrasi<br />
o Bahan dihaluskan,<br />
o Diambil 10g dan diencerkan dengan akuades sampai 100 ml,<br />
o Ditambahkan 3 – 4 tetes pati 1%, kemudian dititrasi dengan iodium 0,01N sampai<br />
terjadi perubahan warna menjadi biru muda,<br />
o Dihitung dengan rumus :<br />
KVC =<br />
ml titrasi 0,01N I 2 x 0,88 x FP x 100<br />
Berat contoh (g)<br />
<br />
Uji Organoleptik (rasa dan kekerasan)<br />
Penentuan uji organoleptik dilakukan dengan uji hedonik atau uji kesukaan. Caranya contoh<br />
diuji kepada 10 panelis yang melakukan penilaian. Penilaian dilakukan berdasarkan kriteria<br />
berikut :<br />
Tabel-1. Skala uji organoleptik<br />
Skala Numerik<br />
4<br />
3<br />
2<br />
1<br />
Rasa<br />
-<br />
Tidak sepat<br />
Agak sepat<br />
Sepat<br />
Skala Hedonik<br />
Kekerasan<br />
Keras<br />
Agak keras<br />
Lembek<br />
Sangat lembek<br />
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji ANOVA (uji F) dan dilanjutkan dengan uji beda<br />
rerata menurut BNJ pada taraf 5%.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Secara statistik hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa jenis larutan perendaman<br />
memberi pengaruh nyata terhadap total padatan terlarut, total asam, vitamin C, dan kekerasan, namun<br />
tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap kadar tannin dan rasa.<br />
360│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Kadar Tanin (%)<br />
Pengaruh Jenis Larutan Perendaman untuk Menghilangkan Rasa Sepat Buah Kesemek<br />
Marpaung, AE 1) , Silalahi, FH 1) , Hutabarat, RC 1) dan Sinaga, R 2)<br />
Kadar Tanin<br />
Hasil uji beda rerata memperlihatkan bahwa perlakuan jenis larutan perendaman tidak<br />
berpengaruh nyata terhadap kadar tanin buah kesemek, namun ada kecendrungan penurunan kadar<br />
tanin buah.<br />
2,00<br />
1,50<br />
1,00<br />
1,55<br />
1,28<br />
0,90 0,78<br />
0,58<br />
1,27<br />
0,50<br />
0,00<br />
0,26<br />
0,61<br />
A B C D E F G H<br />
Jenis Rendaman<br />
Keterangan: : (A) tanpa perendaman, (B) rendam dalam larutan air, (C) rendam dalam larutan garam 10%, (D) rendam<br />
dalam larutan garam 20%, (E) rendam dalam larutan garam 30%, (F) Rendam dalam larutan kapur 10%, (G)<br />
rendam dalam larutan kapur 20%, dan (H) rendam dalam larutan kapur 30%.<br />
Gambar-1. Pengaruh jenis larutan perendaman terhadap kadar tanin<br />
Dari gambar diatas memperlihatkan bahwa jenis larutan perendaman tidak memberi pengaruh<br />
yang nyata terhadap kadar tanin buah kesemek. Namun dari semua perlakuan, kadar tanin tertinggi<br />
diperoleh pada perlakuan A (tanpa perendaman) yaitu sebesar 1,55%, diikuti oleh perlakuan B<br />
(rendam dalam air), sedangkan perlakuan perendaman dalam larutan garam (C, D, E) memperlihatkan<br />
kadar tanin yang semakin menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan, namun berbanding<br />
terbalik dengan perlakuan perendaman dalam larutan kapur, dimana kadar tanin mengalami<br />
peningkatan seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan kapur, namun kadar tanin terendah<br />
terdapat pada perlakuan F (rendam dalam larutan kapur 10%) yaitu sebesar 0,26%. Hal ini disebabkan<br />
dengan adanya larutan kapur, maka senyawa polifenol yang ada, diduga diikat oleh ion Ca 2- , dengan<br />
ikatan ionic (Davidek et al. 1990). Larutan kapur Ca(OH) 2 merupakan larutan basa dan tanin sebagai<br />
polifenol larut dalam air dan basa, sehingga tanin akan berkurang setelah polifenol yang terlarut<br />
dihilangkan dengan cara pencucian (Suhirma et al. 2006).<br />
Total Padatan Terlarut<br />
Uji beda rerata total padatan terlarut memperlihatkan bahwa jenis larutan perendaman<br />
berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│361
Total Asam (%)<br />
Total Padatan Terlarut<br />
( 0 Brix)<br />
Pengaruh Jenis Larutan Perendaman untuk Menghilangkan Rasa Sepat Buah Kesemek<br />
Marpaung, AE 1) , Silalahi, FH 1) , Hutabarat, RC 1) dan Sinaga, R 2)<br />
25,00<br />
20,00<br />
15,00<br />
10,00<br />
5,00<br />
0,00<br />
23,10<br />
15,10<br />
12,0012,40<br />
12,6012,70 11,00<br />
9,40<br />
A B C D E F G H<br />
Jenis Rendaman<br />
Keterangan: : (A) tanpa perendaman, (B) rendam dalam larutan air, (C) rendam dalam larutan garam 10%, (D) rendam<br />
dalam larutan garam 20%, (E) rendam dalam larutan garam 30%, (F) Rendam dalam larutan kapur 10%, (G)<br />
rendam dalam larutan kapur 20%, dan (H) rendam dalam larutan kapur 30%.<br />
Gambar-2. Pengaruh jenis larutan perendaman terhadap total padatan terlarut<br />
Gambar-2 di atas menunjukkan bahwa perlakuan jenis larutan perendaman berpengaruh<br />
terhadap total padatan terlarut buah kesemek, dimana total padatan terlarut pada perlakuan A (tanpa<br />
perendaman) nyata lebih tinggi dari perlakuan lainnya, yaitu sebesar 23,10 0 Brix. Hal ini menunjukkan<br />
bahwa semua perlakuan perendaman memiliki nilai total padatan terlarut yang lebih rendah dibanding<br />
tanpa perendaman, hal ini dapat diindikasikan bahwa sebagian total padatan terlarut buah kesemek<br />
terlarut di dalam larutan perendaman, sehingga menghasilkan nilai yang lebih rendah.<br />
Total Asam<br />
Uji beda rerata total padatan terlarut memperlihatkan bahwa jenis larutan perendaman<br />
berpengaruh nyata terhadap total asam.<br />
0,20<br />
0,18<br />
0,15<br />
0,13<br />
0,10<br />
0,05<br />
0,06<br />
0,10 0,10<br />
0,06 0,06 0,06<br />
0,00<br />
A B C D E F G H<br />
Jenis Rendaman<br />
Keterangan: : (A) tanpa perendaman, (B) rendam dalam larutan air, (C) rendam dalam larutan garam 10%, (D) rendam<br />
dalam larutan garam 20%, (E) rendam dalam larutan garam 30%, (F) Rendam dalam larutan kapur 10%, (G)<br />
rendam dalam larutan kapur 20%, dan (H) rendam dalam larutan kapur 30%.<br />
Gambar-3. Pengaruh jenis larutan perendaman terhadap total asam<br />
Gambar-3 memperlihatkan bahwa semua perlakuan perendaman memiliki nilai total asam<br />
yang lebih rendah dibanding perlakuan tanpa perendaman, dimana total padatan terlarut yang lebih<br />
tinggi terdapat pada perlakuan A (tanpa perendaman), yaitu sebesar 0,18%. Hal ini diduga disebabkan<br />
oleh asam-asam organik yang terkandung dalam buah kesemek terlarut di dalam larutan perendaman,<br />
sesuai dengan sebagian sifat asam-asam organik yang dapat larut dalam air, sehingga selama<br />
perendaman sebagian asam-asam organik yang larut air terlarut di dalam larutan perendaman, dan<br />
menghasilkan nilai yang lebih rendah dibanding perlakuan tanpa perendaman.<br />
362│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Vitamin C (mg/100 g bhn)<br />
Pengaruh Jenis Larutan Perendaman untuk Menghilangkan Rasa Sepat Buah Kesemek<br />
Marpaung, AE 1) , Silalahi, FH 1) , Hutabarat, RC 1) dan Sinaga, R 2)<br />
Pada perlakuan perendaman garam diperoleh penurunan total asam seiring peningkatan<br />
konsentrasi, sedangkan pada perlakuan perendaman dalam larutan kapur diperoleh nilai yang tetap<br />
seiring dengan peningkatan konsentrasi, meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini diduga<br />
pada perendaman dengan larutan garam terdapat perbedaan konsentrasi larutan luar dengan dalam<br />
buah, sehingga konsentrasi yang tinggi memasuki larutan konsentrasi rendah (dalam buah) dan<br />
menyebabkan kandungan buah berupa asam-asam organik yang mudah larut air menjadi terlarut.<br />
Sedangkan larutan kapur, unsur Ca membantu menguatkan dinding sel dengan menutup pori-pori<br />
dinding sel, sehingga proses keluar masuknya larutan ke buah sangat kecil, sehingga pengurangan<br />
kadar dari kandungan buah semakin kecil.<br />
Vitamin C<br />
Uji beda rerata vitamin C memperlihatkan bahwa jenis larutan perendaman berpengaruh nyata<br />
terhadap vitamin C.<br />
80,00<br />
71,28<br />
60,00<br />
40,00<br />
20,00<br />
0,00<br />
29,76<br />
18,48<br />
28,07<br />
11,8813,20<br />
11,00<br />
18,04<br />
A B C D E F G H<br />
Jenis Rendaman<br />
Keterangan: : (A) tanpa perendaman, (B) rendam dalam larutan air, (C) rendam dalam larutan garam 10%, (D) rendam<br />
dalam larutan garam 20%, (E) rendam dalam larutan garam 30%, (F) Rendam dalam larutan kapur 10%, (G)<br />
rendam dalam larutan kapur 20%, dan (H) rendam dalam larutan kapur 30%.<br />
Gambar-4. Pengaruh jenis larutan perendaman terhadap vitamin C<br />
Data pada Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa perlakuan jenis larutan perendaman memberi<br />
pengaruh yang nyata terhadap vitamin C, dimana dijumpai perlakuan tanpa perendaman memiliki nilai<br />
vitamin C yang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya (71,28 mg/100 g bahan). Hal ini sejalan<br />
dengan total asam dimana perlakuan perendaman memiliki nilai vitamin C yang lebih rendah<br />
dikarenakan vitamin C memiliki sifat larut dalam air, sehingga sebagian akan terlarut di dalam larutan<br />
perendaman.<br />
Organoleptik<br />
Hasil dari uji beda rata-rata organoleptik (rasa dan kekerasan) memperlihatkan bahwa jenis<br />
larutan perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap organoleptik rasa, namun berpengaruh nyata<br />
terhadap organoleptik kekerasan.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│363
Organoleptik (Rasa)<br />
Organoleptik<br />
(Kekerasan)<br />
Pengaruh Jenis Larutan Perendaman untuk Menghilangkan Rasa Sepat Buah Kesemek<br />
Marpaung, AE 1) , Silalahi, FH 1) , Hutabarat, RC 1) dan Sinaga, R 2)<br />
4,00<br />
2,00<br />
0,00<br />
Rasa<br />
2,50 2,50<br />
3,00 3,00 3,00<br />
2,50 2,50<br />
1,00<br />
Kekerasan<br />
4,00 4,00 4,00 4,00 4,00<br />
4,00<br />
2,50<br />
2,00 1,50 1,50<br />
0,00<br />
A B C D E F G H<br />
Jenis Rendaman<br />
A B C D E F G H<br />
Jenis Rendaman<br />
Keterangan: : (A) tanpa perendaman, (B) rendam dalam larutan air, (C) rendam dalam larutan garam 10%, (D) rendam<br />
dalam larutan garam 20%, (E) rendam dalam larutan garam 30%, (F) Rendam dalam larutan kapur 10%, (G)<br />
rendam dalam larutan kapur 20%, dan (H) rendam dalam larutan kapur 30%.<br />
Gambar-5. Pengaruh jenis larutan perendaman terhadap organoleptik rasa dan kekerasan<br />
Data organoleptik di atas memperlihatkan bahwa perlakuan jenis larutan perendaman tidak<br />
berpengaruh terhadap organoleptik rasa, dimana diperoleh nilai organoleptik rasa yang lebih rendah<br />
pada perlakuan A (tanpa perendaman) yaitu bernilai 1 yang berarti rasanya sepat, sedangkan perlakuan<br />
perendaman memiliki nilai yang lebih tinggi dari nilai 1, sehingga rasanya tidak sepat, namun pada<br />
perlakuan perendaman dengan garam meskipun rasanya tidak sepat tetapi rasanya menjadi asin. Hal<br />
ini diduga karena adanya perbedaan konsentrasi larutan di luar buah (larutan garam) dengan larutan<br />
dalam buah, dimana larutan garam memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibanding larutan dalam<br />
buah, sehingga larutan garam masuk kedalam buah melalui dinding sel dan membuat rasa buah<br />
menjadi asin, sedangkan organoleptik kekerasan memperlihatkan bahwa semua perlakuan memberi<br />
pengaruh yang nyata terhadap organoleptik kekerasan, dimana perlakuan A (tanpa perendaman), B<br />
(rendam dalam larutan air), F (Rendam dalam larutan kapur), G (rendam dalam larutan kapur 20%),<br />
dan H (rendam dalam larutan kapur 30%) memiliki nilai organoleptik kekerasan yang nyata lebih<br />
tinggi dari pada perlakuan larutan perendaman garam, yaitu perlakuan C (rendam dalam larutan garam<br />
10%), D (rendam dalam larutan garam 20%) , dan E (rendam dalam larutan garam 30%), yaitu bernilai<br />
4 yang berarti keras. Perlakuan larutan perendaman dengan garam memiliki nilai organoleptik<br />
kekerasan lembek sampai sangat lembek, hal ini dikarenakan perlakuan rendaman garam memiliki<br />
konsentrasi larutan yang lebih tinggi dibanding konsentrasi dalam buah, sehingga larutan garam<br />
masuk kedalam buah melalui dinding sel dan kandungan Cl pada larutan garam menjadikan tekstur<br />
buah menjadi lembek, sedangkan perendaman yang menggunakan kapur memiliki nilai kekerasan 4 =<br />
keras, hal ini dikarenakan kandungan unsur Ca pada kapur membantu menguatkan dinding sel dengan<br />
menutup pori-pori dinding sel pada buah sehingga cairan pada buah dapat dipertahankan.<br />
KESIMPULAN<br />
1. Perlakuan jenis larutan perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap kadar tanin dan organoleptik<br />
rasa buah kesemek, namun berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut, total asam, vitamin<br />
C dan organoleptik kekerasan. Perendaman dalam larutan kapur (F) paling baik menurunkan<br />
tanin.<br />
2. Perlakuan perendaman memiliki nilai kadar tannin, total padatan terlarut, total asam, vitamin C,<br />
dan organoleptik yang lebih rendah dibanding perlakuan tanpa perendaman.<br />
3. Kadar tannin terendah dijumpai pada perlakuan F (rendam dalam larutan kapur 10%) yaitu sebesar<br />
0,26%.<br />
PUSTAKA<br />
1. Baswarsiati, Suhardi, & Rahmawati, D 2006, ‘Potensi dan wilayah pengembangan kesemek<br />
junggo’, Buletin Plasma Nutfah, vol.12, no.2.<br />
364│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Pengaruh Jenis Larutan Perendaman untuk Menghilangkan Rasa Sepat Buah Kesemek<br />
Marpaung, AE 1) , Silalahi, FH 1) , Hutabarat, RC 1) dan Sinaga, R 2)<br />
2. Davidek, J, Velisek, J & Pokorny, J 1990, ‘Chemical changes during food processing’, Elsevier<br />
Sci. Publ. Co. Inc., Amsterdam, pp. 448.<br />
3. Miller, EP, & Crocker, TE, 1994, Oriental persimmon in Florida, Horticultura Sciences<br />
Department, Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences,<br />
University of Florida.<br />
4. Napitupulu, B 1991. ‘Perlakuan alkohol untuk menghilangkan rasa sepat buah kesemek’, J.<br />
Hort.,vol. 1, no. 4, hlm. 14-7.<br />
5. Pecis, E, Levi, A & Erie, RB 1986, ‘Deastringency of persimmon fruit by creating’, J. of Food<br />
Science, vol. 51, no. 1041, pp. 4.<br />
6. Petojo, S & Puspita, HN 2007, Budidaya kesemek, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.<br />
7. Prabawati, S 1985, ‘Pengaruh perendaman air kapur terhadap sifat sensori dan perubahan kimia<br />
buah kesemek’, Laporan Sub Balai Penelitian Hortikultuta Pasarminggu, Jakarta Selatan.<br />
8. Ramos, E 1970, ‘Persimmon culture in Baguio’, Philippine J. Plant Ind., vol. 35, no. 12, pp. 55-<br />
65.<br />
9. Suhirman, S, Hadad, EA & Lince 2006, ‘Pengaruh penghilangan tanin dari jenis pala terhadap sari<br />
buah pala’, Bul. Littro., vol. XVII, no. 1, hlm. 39 - 52.<br />
10. Sugiura, AR, Tao, H, Murayama, & Tomana, T 1986, ‘In vitro Propagation of Japanese<br />
persimmon’, Hort.Sci., vol. 21, no. 5, pp. 1205-207.<br />
11. Tao, RH, Murayana, & Sugiura, A 1988, ‘Plant regeneration from callus cultured of Japanese<br />
persimmon’, Hort.Sci., vol. 25, no. 6, pp. 1055-1056.<br />
12. Yonemori & Matsushima, J 1987, ‘Changes in tannin cell morphology with growth and<br />
development of Japaness persimmon fruits’, J. Amer. Soc. Hort., vol. 112, no. 5, pp. 818-20.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│365
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
1) Pusat Penelitian dan Pengembangan <strong>Hortikultura</strong>, Jl. Ragunan No. 29A Pasarminggu Jakarta Selatan<br />
2) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen <strong>Pertanian</strong>, Jl. Tentara Pelajar 12 Cimanggu, Bogor<br />
16114<br />
E-mail: sulusi_prabawati@yahoo.com<br />
ABSTRAK. Bunga krisan hasil petani sering mendapat harga lebih rendah dan tidak tahan lama, karena<br />
penanganan pascapanen yang kurang memadai. Penelitian bertujuan memperbaiki teknik pengiriman bunga<br />
krisan hasil petani untuk mempertahankan kualitasnya. Perlakuan adalah pulsing menggunakan antimikroba<br />
sebelum pengemasan terhadap bunga hasil Gapoktan untuk pengiriman ke Surabaya dengan kargo tanpa<br />
pendingin, lama transportasi 28 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pulsing dapat mempertahankan<br />
bunga lebih baik dibandingkan tanpa pulsing pada dua jenis krisan spray dan standar. Kerusakan krisan Yellow<br />
Fiji dan Reagent kemasan petani lebih besar dibanding perlakuan pulsing, mulai terjadi 4 hari peragaan dan<br />
setelah 6 hari peragaan seluruh daun krisan Yellow Fiji telah berwarna kuning dan kering. Berdasarkan<br />
kesegaran daun, krisan Yellow Fiji dengan pulsing memiliki masa peragaan 6 hari (kerusakan daun 51,67%) dan<br />
Regent memiliki masa kesegaran 8 hari (kerusakan 45%). Untuk perlakuan cara petani/pedagang, bunga krisan<br />
Yellow Fiji memiliki masa peragaan 4 hari, sedang jenis Regent memiliki masa peragaan 6 hari. Kuntum bunga<br />
Yellow Fiji dan Regent tetap segar sampai 8 hari peragaan. Pedagang dan floris memberikan nilai baik terhadap<br />
bunga setelah trasportasi, meliputi kesegaran daun, kesegaran bunga, vase life, perkiraan harga jual dan layak<br />
dijual di floris dan pasar bunga. Perkiraan harga jual di Surabaya: Yellow Fiji Rp15.000,-(per ikat) dan Regent<br />
Rp 13.000,-(per ikat).<br />
Katakunci: Krisan; Pulsing; pengiriman; Vaselife<br />
Bunga krisan merupakan salah satu jenis bunga yang populer dan digemari masyarakat, karena<br />
memiliki keragaman warna, bentuk, dan ukuran sehingga memberi banyak pilihan untuk pembuatan<br />
dekorasi (Sanjaya 1996). Petani menanam varietas lokal, varietas introduksi dan sudah mulai<br />
menanam varietas baru hasil penelitian. Varietas baru bunga krisan potong hasil silangan (Marwoto et<br />
al. 1999) sudah dikembangkan di beberapa daerah antara lain Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi<br />
Utara dan Yogyakarta. Pengembangan bunga krisan di Yogyakarta sudah dapat memenuhi kebutuhan<br />
bunga di kota tersebut (Anonymous 2007), dan memiliki peluang pasar untuk terus dikembangkan.<br />
Potensi pasar bunga potong terutama berada di kota-kota besar di Jawa, Bali, sebagian kota besar di<br />
Sumatera, Kawasan Timur Indonesia, dan ekspor, sedang produsen sebagian besar berada di wilayah<br />
dataran tinggi di pulau Jawa.<br />
Permasalahan yang dihadapi pada pengiriman bunga krisan potong ialah bunga cepat layu dan<br />
daun cepat kuning. Pengemasan untuk pengiriman bunga dilakukan seadanya, sehingga bunga banyak<br />
mengalami kerusakan dan masa kesegarannya pendek. Oleh karena itu, teknologi penanganan yang<br />
dapat mempertahankan mutu segar serta teknik pengemasan menjadi kebutuhan untuk pengiriman<br />
bunga.<br />
Mutu bunga sampai tujuan sangat ditentukan oleh mutu bunga saat panen serta cara penanganan<br />
dan pengemasannya. Mutu bunga krisan selain ditentukan oleh bagian kuntum bunga, juga pada<br />
bagian daun. Daun pada tangkai harus tetap segar dan hijau paling tidak sebanyak dua pertiga panjang<br />
tangkai, sesuai SNI 01-4478-1998. Dalam pengiriman dan penyimpanan, seringkali timbul masalah<br />
yaitu penguningan daun. Salah satu cara untuk menjamin mutu bunga krisan potong dan menghambat<br />
penguningan daun adalah pulsing, yaitu perlakuan segera setelah panen, dengan mencelupkan ujung<br />
tangkai bunga selama waktu tertentu ke dalam larutan yang mengandung nutrisi dan germisida untuk<br />
menambah sumber karbohidrat dan mengurangi pembusukan tangkai bunga.<br />
Larutan pulsing umumnya terdiri atas sumber karbohidrat, germisida, dan asam, serta dapat pula<br />
diperkaya dengan senyawa antagonis etilen. Perlakuan pulsing untuk bunga krisan yang<br />
dikembangkan oleh Kofranek (1980) menggunakan perak nitrat sebagai germisida, dengan komposisi<br />
perak nitrat 25 ppm dan sukrosa 50 gram/liter dan diasamkan menggunakan asam sitrat. Hidroquinolin<br />
366│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
sitrat juga banyak digunakan sebagai germisida untuk memperpanjang umur kesegaran bunga potong<br />
(Jones & Hill 1993, Han et al. 1990). Sukrosa yang digunakan adalah sukrosa murni dan cukup mahal.<br />
Penelitian telah berhasil mengganti sukrosa murni dengan gula pasir pada larutan pulsing, dengan<br />
komposisi gula pasir 50 g/l ditambah perak nitrat 25 ppm, dan asam sitrat 200 ppm dan mampu<br />
mempertahankan masa kesegaran bunga krisan tipe spray varietas Town Talk, White Regent, Puma,<br />
dan Yellow Puma serta krisan standar White Fiji dan Yellow Fiji lebih lama dibandingkan tanpa<br />
pulsing (Prabawati et al. 2002). Peranan ion Ag + dari perak nitrat yang ditambahkan sebagai biosida<br />
ialah melapisi bagian dasar tangkai bunga sehingga mencegah aktivitas mikroorganisme yang sering<br />
menyumbat tangkai (Halevey & Mayak 1981, Uda et al. 1989). Dengan dihambatnya pertumbuhan<br />
mikroorganisme pada ujung tangkai bunga, maka penyerapan air dan nutrisi tidak terhambat. Peran<br />
lain dari perak nitrat ialah sebagai antagonis etilen yang menunda senesen sehingga memperpanjang<br />
kesegaran bunga potong seperti dikemukakan oleh Halevey & Mayak (1981), Reid et al. (1980), dan<br />
Serek, et al. (1994). Sebagai antimikroba dalam larutan pulsing, Ag + telah diteliti aplikasinya dalam<br />
ukuran nano (2-5 nm) dan pada penggunaan 5 mg/l nanosilver selama 24 jam, dapat memperpanjang<br />
masa kesegaran bunga potong gerbera (Liu et al. 2009).<br />
Untuk kemudahan aplikasi, larutan pulsing bunga krisan (perak nitrat dan asam sitrat) telah<br />
dibuat siap pakai dalam kemasan botol, saat aplikasi tinggal melarutkannya dalam air dan<br />
menambahkan gula pasir pada ukuran yang sesuai (Prabawati et al. 1999). Penerapan larutan tersebut<br />
dapat mempertahankan kualitas bunga standar Yellow Fiji selama pengiriman menggunakan kargo<br />
kereta api dari Jakarta ke Surabaya. Hasil penelitian yang dilaporkan Murtiningsih et al. (2002)<br />
menunjukkan bahwa bunga dengan pulsing memiliki ukuran diameter lebih besar (12,0-12,4 cm<br />
dibanding tanpa pulsing 10,6-12,0 cm) dan umur kesegaran lebih lama (9,1-10,6 hari dibanding tanpa<br />
pulsing 5,2-6,2 hari). Daun krisan dengan perlakuan pulsing tidak cepat menguning, diameter bunga<br />
yang lebih besar sebagai hasil dari proses metabolisme yang tetap berjalan normal karena sumber<br />
energi terpenuhi dari gula yang ada dalam larutan pulsing. Namun, gula pasir menjadi tambahan biaya<br />
penanganan pascapanen yang cukup mahal bagi bunga krisan hasil petani. Penelitian Kurniawan et al.<br />
(2012) mendapatkan bahwa pulsing tanpa gula pasir pada bunga hasil petani mampu mempertahankan<br />
kualitas bunga lebih baik, yaitu sampai 8 hari.<br />
Penelitian ini bertujuan memperbaiki teknik penanganan bunga krisan potong yang dapat<br />
diterapkan kelompok tani untuk mempertahankan mutu bunga selama pengiriman antar kota.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2010, berlangsung di Cianjur,<br />
Jakarta, dan Surabaya. Kegiatan diawali dengan observasi penanganan pascapanen bunga krisan petani<br />
di sentra produksi dan pasar untuk mengevaluasi status penanganan pascapanen bunga potong krisan<br />
dan pengangkutan di tingkat petani, pedagang pengumpul, pedagang besar/eksportir, di sentra<br />
produksi dan pasar bunga. Kemudian dilanjutkan dengan penerapan teknologi penanganan untuk<br />
pengiriman bunga potong krisan hasil petani untuk pemasaran ke Surabaya. Tahapan penelitian ialah<br />
sebagai berikut:<br />
Evaluasi Penanganan Pascapanen, Pengemasan dan Pengangkutan Bunga Potong Krisan<br />
Observasi dilakukan untuk mengetahui produktivitas dan potensi produksi bunga krisan yang<br />
diusahakan petani bunga/Gapoktan, masalah yang dihadapi dalam pemasaran, penguasaan teknologi<br />
penanganan segar di tingkat petani/Gapoktan, toko bunga (floris) untuk pemasaran domestik dan<br />
ekspor, kemasan dan cara pengemasan yang diterapkan, serta cara dan moda transportasi untuk<br />
pengiriman bunga. Lokasi survei dilakukan di sentra usahatani bunga potong Jawa Barat dan<br />
pemasaran di Jakarta. Pengambilan sampel bunga krisan potong dari petani/Gapoktan untuk observasi<br />
terhadap: grade/kelas bunga dan vaselife bunga. Hasil survai digunakan untuk menentukan berbagai<br />
perlakuan penanganan dan pengemasan bunga potong produksi Gapoktan untuk pemasaran ke<br />
berbagai kota besar.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│367
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
Penerapan teknologi pascapanen untuk pengiriman bunga potong krisan<br />
a. Bunga krisan standar Yellow Fiji grade A dan B, tiap kuntum dibungkus dengan menggunakan<br />
kertas putih, kemudian setiap 10 tangkai bunga diikat dan dibungkus menggunakan kertas koran<br />
polos yang telah dicap dengan identitas Gapoktan. Bunga krisan spray Reagent grade A dan B,<br />
setiap 10 tangkai bunga diikat dan dibungkus menggunakan kertas koran polos yang telah dicap<br />
dengan identitas Gapoktan. Selanjutnya, seluruh ujung tangkai bunga krisan direndam dalam<br />
larutan pulsing dengan komposisi perak nitrat + asam sitrat (Kurniawan et al. 2012). Tiap<br />
bundel/ikat bunga dibungkus kertas, dikemas menggunakan karton boks berkorugasi ganda ukuran<br />
88 x 40 x 40 cm, berventilasi pada ke dua ujung karton, (Murtiningsih et al. 2002), isi 30 ikat,<br />
kemudian dikirim ke Surabaya menggunakan jasa kargo tanpa pendingin.<br />
b. Sebagai pembanding, bunga krisan yang sama tanpa pulsing, dengan cara penanganan yang biasa<br />
dilakukan oleh petani/pedagang. Tiap bundel/ikat bunga dibungkus kertas, dikemas menggunakan<br />
karton boks berkorugasi ganda ukuran 88 x 40 x 40 cm, berventilasi pada ke dua ujung karton, isi<br />
30 ikat, kemudian secara bersama dikirim ke Surabaya.<br />
c. Setelah sampai di Surabaya, bunga kemudian dikeluarkan dari kotak karton. Pengamatan<br />
kerusakan bunga setelah pengangkutan meliputi: kerusakan daun, penguningan daun, kerusakan<br />
tangkai bunga, dan kerusakan bunga. Untuk pengamatan masa kesegaran/umur pemajangan:<br />
tangkai bunga dipotong serong, kemudian dilakukan holding dengan merendam ujung tangkai<br />
bunga dalam ember berisi air. Bunga diletakkan dalam ruang pengamatan temperatur kamar dan<br />
dilakukan pengamatan selama 8 hari (batas paling lama masa peragaan krisan) meliputi kesegaran<br />
bunga, diameter bunga (krisan standar), penguningan daun untuk menentukan umur pemajangan<br />
serta jumlah penyerapan air. Air yang digunakan untuk holding adalah air sumur, dengan pH<br />
netral.<br />
d. Penentuan kelayakan jual bunga setelah pengiriman, dilakukan dengan menyerahkan satu kemasan<br />
bunga krisan standar dan satu kemasan bunga krisan spray kepada floris, perangkai bunga dan<br />
pedagang pasar Kayon Surabaya untuk menilai mutu kesegarannya dan menggunakan bunga<br />
tersebut sesuai peruntukannya. Penilaian para responden disampaikan dengan pengisian kuisioner.<br />
Untuk perlakuan (a) dan (b) dan (c) masing-masing tiga ulangan, menggunakan bunga krisan<br />
potong hasil petani dari Gapoktan Seruni Citra Resmi, Kabupaten Cianjur, merupakan salah satu<br />
Gapoktan yang telah menerapkan GAP/SOP untuk produksi bunga krisan.<br />
Bahan pembantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah perak nitrat dan asam sitrat.<br />
Bahan pembantu meliputi kotak karton berkorugasi ganda, kertas pembungkus, karet gelang, plastik<br />
PE, ember plastik, kantong plastik, lakban. Alat yang akan digunakan pada penelitian adalah ruang<br />
pemajangan yang bersih, termometer, gunting/pisau, pH meter dan pipet ukur dan peralatan lainnya.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Observasi Penanganan Pascapanen Bunga Krisan oleh Kelompok Petani<br />
Petani yang bergabung dalam Gapoktan Seruni Citra Resmi menghasilkan bunga krisan potong<br />
dengan kualitas cukup baik karena sudah mulai mengenal cara budidaya yang baik (SOP/GAP, standar<br />
operasional prosedur/good agricultural practices). Jenis bunga yang ditanam adalah White Fiji,<br />
Yellow Fiji, Snowdown, Salju, (tipe standar) dan Yellow Puma, White Puma, Town Talk, Regent,<br />
Storika, Dewi Ratih, dan Puspita Nusantara (tipe spray).<br />
Bunga krisan potong produksi kelompok tani ini sebagian besar (40%) penjualan ke pasar bunga<br />
Rawabelong Jakarta, 15% penjualan ke Semarang, Yogyakarta, Tegal, dan Surabaya, sebanyak 20%<br />
pemasaran lokal di Cianjur dan Bogor serta 20% pemasaran melalui eksportir. Cara pemasaran yang<br />
dilakukan ialah 50% penjualan di kebun, 20% penjualan sesuai pesanan, 20% pengiriman langsung<br />
kepada pemesan, dan 10% melalui pengiriman paket.<br />
Pada tahun 2010 jumlah bunga krisan yang telah dipasarkan ke Cianjur, Bandung, Bogor,<br />
Surabaya, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Rawabelong dari Januari hingga September 2010<br />
368│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
berjumlah 6.301.353 ikat terdiri atas 2.801.012 ikat grade A, 2.726.981 ikat grade B dan 773.360<br />
grade C (tabel 1). Penjualan bunga grade C untuk pasar terdekat (Cianjur, Bandung, Bogor, dan<br />
Rawabelong Jakarta). Tabel 1 menunjukkan bahwa persentase bunga yang dihasilkan dan dipasarkan<br />
berimbang antara grade A (44,45%), dengan grade B sebesar 43,25% dan grade C 12,27%. Upaya<br />
penerapan SOP yang dimulai tahun 2010 melalui sekolah lapang yang dilaksanakan Direktorat<br />
Jenderal <strong>Hortikultura</strong> diharapkan dapat meningkatkan kualitas produksi, yaitu peningkatan jumlah<br />
bunga dengan grade A, menurunkan jumlah bunga dengan grade B dan tidak terdapat bunga dengan<br />
grade C, sehingga langsung berpengaruh terdapat peningkatan harga jual bunga.<br />
Tabel 1. Data hasil pemasaran bunga krisan di Gapoktan Seruni Citra Resmi bulan Januari sampai<br />
September 2010<br />
Nama Kota<br />
Klasifikasi mutu<br />
Grade A (Ikat) Grade B (Ikat) Grade C (Ikat)<br />
Cianjur 90.050 136.348 38.568<br />
Bandung 180.101 163.618 48.281<br />
Bogor 144.080 218.157 61.708<br />
Surabaya 1198.111 245.427 -<br />
Solo 162.091 327.236 -<br />
Semarang 126.070 190.888 -<br />
Jogjakarta 144.080 163.618 -<br />
Batam 108.060 109.078 -<br />
Rawabelong 648.369 1.172.602 624.803<br />
Jumlah 2.801.012 2.726.981 773.360<br />
Selanjutnya, penanganan pascapanen dan pengemasan bunga yang dilakukan kelompok tani dan<br />
pedagang pengumpul berdasar tujuan pengiriman, sebagai berikut:<br />
a. Bunga krisan untuk pemasaran ke pasar bunga Rawabelong, Jakarta, dipanen pada pagi hari, diikat<br />
tiap sepuluh tangkai, dibungkus dengan kertas koran tiap 20 ikat, kemudian ujung tangkai bunga<br />
direndam dalam air. Saat akan diangkut, bundelan besar bunga dimuat ke bak mobil.<br />
Pengangkutan ke pasar bunga Rawabelong dilakukan pada sore hari. Pemasaran bunga ke Jakarta<br />
mencapai 2-3 kali/minggu.<br />
b. Bunga krisan untuk pengiriman ke luar kota (Yogyakarta, Semarang, Tegal, dan Surabaya)<br />
dipanen pada pagi hari, kuntum bunga untuk jenis standar dibungkus dengan kertas, kemudian<br />
diikat per 10 tangkai, dibungkus kertas koran dan tangkai bunga direndam dalam air selama<br />
semalam. Keesokan harinya bunga diangkat dari air, dipak menggunakan kotak karton bekas<br />
kemasan rokok/keranjang bambu dengan kapasitas 80 ikat (800 tangkai) per kotak. Bunga<br />
selanjutnya dikirim ke tujuan pemasaran menggunakan kargo bus.<br />
Uraian tersebut menunjukkan bahwa, kelompok tani memberikan perlakuan yang berbeda<br />
terhadap bunga berdasarkan kota tujuan dan sudah melaksanakan penanganan pascapanen, namun,<br />
belum memenuhi persyaratan GHP (good handling practices) dan SNI yang meliputi cara panen,<br />
pulsing, pembungkusan dan pengemasan. Menyimak kualitas bunga yang dihasilkan, maka sekolah<br />
lapang GAP perlu dilanjutkan kepada seluruh kelompok tani anggota Gapoktan dan ditambah dengan<br />
sekolah lapang GHP (good handling practices).<br />
Observasi Penerapan Perbaikan Penanganan Pascapanen untuk Pengiriman Bunga Potong<br />
Krisan<br />
Secara umum kondisi fisik bunga setelah sampai Surabaya dan telah menempuh lama perjalanan<br />
28 jam menunjukkan bahwa bunga dengan perlakuan pulsing lebih baik dibandingkan dengan kondisi<br />
fisik bunga tanpa pulsing pada dua jenis krisan standar dan spray. Sesaat setelah sampai, seluruh<br />
bunga dalam kemasan dalam keadaan baik, tanpa kerusakan yang berarti. Hal ini menunjukkan cara<br />
pengemasan (jenis kemasan dan kapasitas) dan cara pengiriman dengan kargo bus dengan lama<br />
pengiriman 28 jam secara teknis masih baik. Pemilihan moda pengiriman ini oleh kelompok tani dan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│369
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
pedagang didasari pertimbangan biaya yang paling murah. Secara teknis, pengiriman dengan mobil<br />
berpendingin dipersyaratkan untuk bunga segar, namun di Indonesia belum tersedia layanan demikian.<br />
Jika pengiriman tersebut dilaksanakan sendiri menjadi tidak layak, karena biaya pengiriman sangat<br />
mahal dibandingkan dengan harga jual bunga.<br />
Kerusakan mulai nampak setelah 4 hari, terutama pada daun ditandai dengan daun mulai<br />
menguning, dengan persentase terbesar pada krisan Yellow Fiji perlakuan kelompok tani/pedagang<br />
(41,67%) dan krisan Regent perlakuan kelompok tani/pedagang (20%), kondisi kuntum bunga krisan<br />
Regent mulai terdapat bunga layu sekitar 1-2% (Tabel 2). Kuntum bunga krisan Yellow Fiji lebih<br />
tegar dan tidak cepat layu, karena secara fisik petalnya lebih tebal dibandingkan krisan Regent.<br />
Tabel 2. Kerusakan bunga dan daun krisan selama 8 hari peragaan di Surabaya, setelah pengangkutan<br />
28 jam<br />
Perlakuan<br />
Bunga<br />
Kerusakan (%)<br />
Daun<br />
2 hari 4 hari 6 hari 8 hari 2 hari 4 hari 6 hari 8 hari<br />
A1B1 0,00 a 0,00 a 1,00 a 3,17 c 0,00 a 7,50 a 51,67 b 83,33 c<br />
A1B2 0,00 a 0,00 a 1,84 bc 3,42 c 0,00 a 41,67 c 100,00 c 100,00 d<br />
A2B1 0,00 a 1,62 b 1,41 ab 1,43 a 0,00 a 15,00 b 33,33 a 45,00 a<br />
A2B2 0,00 a 2,01 b 2,03 c 2,19 b 0,00 a 20,00 b 51,67 b 63,33 b<br />
Keterangan:<br />
- Notasi huruf yang sama pada tiap kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 uji jarak berganda Duncan.<br />
- A1B1 = Bunga krisan standar perlakuan pulsing<br />
- A1B2 = Bunga krisan standar perlakuan kelompok tani (tanpa pulsing)<br />
- A2B1 = Bunga krisan spray perlakuan pulsing<br />
- A2B2 = Bunga krisan spray perlakuan kelompok tani (tanpa pulsing)<br />
Selanjutnya, setelah 8 hari peragaan pada suhu ruang (28-30 0 C, 74-79 RH%) kuntum bunga<br />
krisan Yellow Fiji dan Regent masih tetap segar dengan kerusakan rendah (1,43%-3,17% untuk bunga<br />
dengan pulsing) dan 2,19%-3,42% pada bunga perlakuan kelompok tani/pengumpul (tanpa pulsing).<br />
Kerusakan yang nyata terlihat pada daun, yaitu menjadi kuning atau kering. Persentase kerusakan<br />
daun dari bunga Fiji dan Regent perlakuan petani/pengumpul lebih besar dibanding perlakuan<br />
pulsing, mulai 4 hari peragaan. Seluruh daun menjadi kuning dan kering pada krisan Fiji setelah 6 hari<br />
peragaan. Jika daun digunakan sebagai kriteria bunga rusak, maka krisan Fiji dengan pulsing setelah<br />
pengangkutan memiliki masa peragaan 6 hari (kerusakan daun 51,67%) dan untuk perlakuan<br />
kelompok tani hanya 4 hari; dan Regent memiliki masa kesegaran 8 hari (kerusakan 45%) untuk<br />
perlakuan petani 6 hari. Kuntum bunga krisan Fiji dan Regent sampai 8 hari peragaan masih dalam<br />
keadaan baik dan segar, sesuai penampilan visual pada gambar 1 H, tetapi daunnya telah menguning.<br />
Hasil penelitian pada krisan Yellow Fiji di atas memiliki umur kesegaran sedikit lebih pendek<br />
dibandingkan penelitian terdahulu dengan pengiriman menggunakan kargo kereta api memiliki umur<br />
kesegaran 9,13-10,67 hari (Murtiningsih et al. 2002). Hal ini dapat disebabkan oleh kualitas bunga,<br />
perlakuan pulsing yang digunakan, dan kondisi pengangkutan. Dapat dijelaskan bahwa varietas bunga<br />
yang digunakan sama, namun pemeliharaan tanaman berbeda menyebabkan kualitas bunga berbeda<br />
ditunjukkan dengan vaselife yang berbeda. Pulsing yang digunakan tanpa sumber gula telah<br />
menurunkan vase life bunga. Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk pengambilan keputusan<br />
penggunaan pulsing. Penggunaan gula berarti tambahan biaya namun mendapat vase life 3-4 hari lebih<br />
lama, atau tanpa gula dengan biaya lebih murah. Kondisi pengangkutan meliputi: suhu dan<br />
fluktuasinya, kelembaban, lama pengangkutan memengaruhi seberapa besar tingkat stres pada bunga.<br />
370│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
(A)<br />
(B)<br />
(C)<br />
(D)<br />
(E)<br />
(F)<br />
(G)<br />
(H)<br />
Keterangan : A1B1 = Bunga krisan standar perlakuan pulsing; A1B2 = Bunga krisan standar perlakuan kelompok tani (tanpa<br />
pulsing); A2B1 = Bunga krisan spray perlakuan pulsing; A2B2 = Bunga krisan spray perlakuan kelompok tani (tanpa<br />
pulsing)<br />
Gambar 1.<br />
Kondisi bunga pada saat pembukaan bungkus: (A) hari pertama, (B) hari ke-2, (C) hari<br />
ke-3, (D) hari ke-4, (E) hari ke-5, (F) hari ke-6, (G) hari ke-7 dan (H) hari ke-8.<br />
Bunga krisan selama peragaan terus menyerap air untuk mempertahankan keseimbangan<br />
kandungan air pada petal bunga dan daun. Petal atau daun yang layu merupakan akibat<br />
ketidakseimbangan antara penyerapan dan penguapan air. Gangguan penyerapan air dapat terjadi<br />
akibat penyumbatan pembuluh pada ujung tangkai bunga oleh aktivitas mikroba atau terdapat<br />
gelembung udara. Pencegahan aktivitas mikroba dilakukan dengan pemberian pulsing sebelum<br />
pengiriman, sedang penyumbatan gelembung udara dihilangkan dengan memotong ujung tangkai dan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│371
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
segera merendam dalam air saat penyegaran setelah pengangkutan. Penyerapan air selama peragaan 8<br />
hari menunjukkan penurunan dari hari ke hari pada semua perlakuan (Gambar 2), dan masih terjadi<br />
penyerapan air yang cukup baik pada hari terakhir pengamatan. Penurunan penyerapan air yang<br />
menyolok terjadi setelah 5 hari peragaan, yang disebabkan oleh sebagian daun telah menguning dan<br />
fungsi kehidupannya melemah. Penyerapan masih berlanjut pada petal bunga. Hal ini berarti belum<br />
terjadi hambatan penyerapan air oleh bunga. Penggantian air tiap hari telah mengurangi perkembangan<br />
busuk pada tangkai bunga yang terendam air.<br />
Gambar 2. Penyerapan air oleh bunga krisan Yellow Fiji dan Regent selama peragaan setelah<br />
pengangkutan<br />
Pengamatan diameter bunga selama peragaan dilakukan dengan mengukur perkembangan<br />
diameter pada bunga yang sama untuk setiap harinya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa laju<br />
perkembangan diameter bunga untuk semua perlakuan merata dan tidak terlalu besar perbedaannya<br />
(Gambar 3). Untuk krisan Yellow Fiji mencapai diameter 11-12 cm, dan krisan spray Regent<br />
mencapai sekitar 4-5 cm. Perbedaan yang tidak nyata pada diameter bunga, disebabkan tidak ada<br />
penambahan gula pada perlakuan pulsing.<br />
Gambar 3. Perkembangan diameter bunga selama pengamatan<br />
Untuk pengamatan kesegaran bunga dan kondisi daun selama pengamatan diperoleh hasil bahwa<br />
perkembangan kesegaran bunga dengan perlakuan pulsing asam sitrat + AgNO 3 lebih stabil dengan<br />
laju perubahan kesegaran yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kelompok tani. Pulsing<br />
mampu menjaga kesegaran bunga karena penyerapan air tidak terganggu penyumbatan oleh mikroba<br />
sebagai fungsi antimikroba perak nitrat. Kondisi yang cukup menarik dari hasil pengamatan daun<br />
menunjukkan bahwa penurunan kondisi daun setiap harinya sangat drastis terutama untuk krisan<br />
standar, mulai pengamatan hari ke-3 kondisi daun terus menurun dengan peningkatan persentase daun<br />
kuning dan coklat, sedangkan untuk krisan spray kondisi bunga jauh lebih tahan lama dengan<br />
penurunan yang tidak terlalu drastis terutama pada bunga dengan perlakuan pulsing asam sitrat +<br />
AgNO 3 . Demikian cepatnya daun menjadi kuning merupakan salah satu indikasi penurunan mutu, dan<br />
372│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Perubahan kesegaran<br />
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
hal ini terjadi karena kekurangan nutrisi, karena pulsing yang diterapkan tanpa gula. Hasil ini berbeda<br />
dengan penelitian sebelumnya tentang pulsing bunga krisan jenis yang sama tanpa transportasi, yang<br />
dapat mempertahankan daun tetap hijau dalam pemajangan 8 hari (Kurniawan et al. 2012).<br />
Transportasi selama 28 jam tanpa pendingin telah menyebabkan stres pada daun, dan menurut<br />
Murtiningsih et al. (2002) penguningan daun dapat diperlambat dan dikurangi dengan adanya gula<br />
pada pulsing. Gula pasir pada konsentrasi yang tepat berfungsi sebagai substrat respirasi untuk<br />
menghasilkan energi yang akan digunakan dalam proses kehidupan sehingga kesegaran bunga akan<br />
lebih lama.<br />
Gambar 4. Perkembangan kesegaran bunga dan kondisi daun selama pengamatan<br />
Nilai kesegaran bunga dan daun selama peragaan menunjukkan bahwa kesegaran bunga dengan<br />
perlakuan pulsing secara umum relatif lebih stabil dengan laju perubahan kesegaran yang lebih rendah<br />
dibandingkan dengan bunga perlakuan petani. Kesegaran daun menunjukkan penurunan kesegaran<br />
cukup tajam setiap hari, terutama pada krisan standar Yellow Fiji, setelah 3 hari peragaan, terjadi<br />
peningkatan persentase daun kuning dan coklat/kering. Bunga krisan spray Regent memiliki kesegaran<br />
bunga dan daun lebih baik, terutama pada perlakuan pulsing seperti pada gambar 4 dengan laju<br />
penurunan kesegaran bunga pada gambar 5 dan laju penurunan kesegaran daun pada Gambar 6.<br />
3,00<br />
2,50<br />
2,00<br />
1,50<br />
1,00<br />
0,50<br />
0,00<br />
-0,50<br />
Laju Perubahan Kesegaran<br />
y(A1B1) = 0.107x + 0.142<br />
R² = 0.843<br />
y(A2B2) = 0.357x + 0.095<br />
R² = 0.953<br />
y(A1B2) = 0.238x - 0.142<br />
R² = 0.909<br />
A1B1<br />
y(A2B1) = 0.202x - 0.476<br />
0 2 4 6<br />
R² = 0.737<br />
8<br />
Hari ke-<br />
A1B2<br />
A2B1<br />
A2B2<br />
Gambar 5. Laju perubahan kesegaran bunga selama pengamatan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│373
Perkembangan kesegaran<br />
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
4,00<br />
3,00<br />
Laju Perubahan Kondisi Daun<br />
y(A1B2) = 0.654x - 1.333<br />
R² = 0.992<br />
2,00<br />
1,00<br />
0,00<br />
-1,00<br />
y(A2B2) = 0.392x - 0.285<br />
R² = 0.951<br />
y(A1B1) = 0.404x - 0.523<br />
R² = 0.950<br />
y (A2B1)= 0.202x - 0.428<br />
R² = 0.802<br />
0 2 4 6 8<br />
Hari ke-<br />
A1B1<br />
A1B2<br />
A2B1<br />
A2B2<br />
Gambar 6. Laju perubahan kondisi daun selama pengamatan<br />
Tabel 5. Data hasil pengamatan kondisi bunga krisan<br />
Kode<br />
Hari ke-<br />
1 2 3 4 5 6 7 8<br />
A1B1 5,00 4,67 4,67 4,67 4,33 4,33 4,33 4,00<br />
A1B2 5,00 4,67 4,67 4,67 4,33 4,00 3,67 3.33<br />
A2B1 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 4,67 4,33 3,67<br />
A2B2 5,00 4,33 4,33 4,00 3,33 3,33 2,67 2,33<br />
Catatan : nilai hasil rerata ulangan pengamatan<br />
Tabel 6. Data hasil pengamatan kondisi daun krisan<br />
Kode<br />
Hari ke-<br />
1 2 3 4 5 6 7 8<br />
A1B1 5,00 5,00 5,00 4,00 4,00 3,67 3,00 2,67<br />
A1B2 4,33 5,00 4,33 3,67 3,00 2,67 1,67 1.00<br />
A2B1 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 4,33 4,00 4,00<br />
A2B2 5,00 4,67 4,67 4,00 4,00 3,33 3,00 2,33<br />
Catatan : nilai hasil rerata ulangan pengamatan<br />
Penentuan daya simpan bunga (vaselife) didasarkan pada hasil pengamatan perkembangan<br />
kondisi bunga dan daun yang telah dilakukan, dengan berpedoman pada standar mutu bunga potong<br />
krisan yang masih layak untuk dijual dan diterima oleh pasar. Selain itu juga, penentuan vaselife<br />
bunga potong krisan mempertimbangkan respon dan hasil penilaian dari konsumen atau pengguna<br />
krisan tersebut (floris, pedagang dan konsumen pemakai). Berdasarkan hasil pengamatan tersebut<br />
penetapan vaselife bunga potong krisan hasil aplikasi pulsing dan pengiriman ke Surabaya dapat<br />
diketahui bahwa untuk bunga krisan standar dengan perlakuan pulsing mencapai maksimal 7 hari,<br />
sedangkan untuk krisan spray dengan perlakuan pulsing mencapai maksimal 8 hari. Secara umum<br />
vaselife bunga potong krisan dengan perlakuan pulsing lebih baik dibandingkan dengan perlakuan<br />
petani.<br />
374│<br />
Tanggapan Floris terhadap Bunga Krisan yang telah Ditransportasi dari Cianjur ke Surabaya<br />
Bunga krisan varietas Yellow Fiji (standar) dan Reaget (spray) yang telah diangkut dari sentra<br />
produksi bunga di Cianjur ke Surabaya selama 28 jam, sesampai di Surabaya kemudian dikirim ke<br />
tiga floris, satu pedagang pasar bunga dan satu perangkai bunga. Kemudian floris, perangkai dan<br />
pedagang bunga diminta untuk melakukan evaluasi dan penilaian terhadap bunga yang dikirimkan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
dengan mengisi kuesioner. Adapun kuesioner tersebut mencakup aspek penilaian terhadap kondisi<br />
fisik bunga dan daun, kelayakan jual, perkiraan vaselife dan perkiraan harga jual di Surabaya.<br />
Hasil analisis terhadap kuisener menunjukkan bahwa floris memberikan apresiasi dan penilaian<br />
yang baik terhadap ketahanan bunga yang diterima. Tanggapan floris terhadap bunga yang dikirim<br />
bervariasi, Floris I memberikan penilaian tertinggi baik terhadap kesegaran daun, kesegaran bunga,<br />
vaselife maupun perkiraan harga jual di Surabaya. Hal ini terjadi, karena Floris I saat menerima bunga<br />
langsung menyimpan dalam pendingin seperti perlakuan bunga yang akan dipasarkan, sehingga<br />
kesegaran daun, kesegaran bunga dan daya simpannya lebih lama. Floris I memberikan penilaian<br />
harga bunga untuk jenis Yellow Fiji Rp15.000,- per ikat dan jenis Regent Rp13.000,- per ikat. Secara<br />
umum responden floris memberikan penilaian bahwa bunga sangat layak untuk dijual di Surabaya<br />
dengan kisaran harga bervariasi antara Rp13.000,- sampai dengan Rp15.000,- setara dengan harga<br />
pasaran bunga krisan di Surabaya. Pedagang pasar Kayon menilai daunnya telah layu, sedangkan<br />
Floris I, Floris III, dan Perangkai menyatakan daun sangat segar saat bunga diterima. Floris II menilai<br />
daun bunga krisan Yellow Fiji agak layu dan Regent segar. Perkiraan vaselife bunga krisan responden<br />
floris menyatakan bahwa vaselife bunga berkisar antara 3 sampai dengan 7 hari. Perbedaan vaselife<br />
kemungkinan karena cara penyimpanan yang berbeda.<br />
Tabel 7. Penilaian florist terhadap bunga Krisan Regent dan Standar setelah transportasi 28 jam dari<br />
Cianjur ke Surabaya<br />
Perlakuan/<br />
Parameter<br />
Florist I Frorist II Frolis III Pedagang Bunga Perangkai Bunga<br />
Bunga<br />
A1B1 Sangat segar Segar Sangat segar Sangat segar Sangat segar<br />
A1B2 Sangat segar Segar Sangat segar Sangat segar Segar<br />
A2B1 Sangat segar Segar Sangat segar Sangat segar Sangat segar<br />
A2B2 Sangat segar segar Sangat segar Sangat segar Sangat segar<br />
Daun<br />
A1B1 Sangat segar Agak Layu Sangat segar Layu Sangat segar<br />
A1B2 Sangat segar Layu Sangat segar Layu Segar<br />
A2B1 Sangat segar Segar Sangat segar Layu Sangat segar<br />
A2B2 Sangat segar Segar Sangat segar Layu Sangat segar<br />
Kelayakan jual<br />
A1B1 Layak Layak Layak Layak Layak<br />
A1B2 Layak Layak Layak Layak Layak<br />
A2B1 Layak Layak Layak Layak Layak<br />
A2B2 Layak Layak Layak Layak Layak<br />
Vaselife (hari)<br />
A1B1 7 4 3 6 4<br />
A1B2 7 4 3 6 4<br />
A2B1 7 4 3 6 4<br />
A2B2 7 4 3 6 4<br />
Perkiraan haga<br />
jual<br />
A1B1 Rp15.000,- Rp10.000,- Rp9.000,- Rp15.000,- Rp14.000,-<br />
A1B2 Rp15.000,- Rp10.000,- Rp8.000,- Rp15.000,- Rp13.000,-<br />
A2B1 Rp13.000,- Rp 8.000,- Rp9.000,- Rp12.000,- Rp12.500,-<br />
A2B2 Rp13.000,- Rp 8.000,- Rp9.000,- Rp12.000,- Rp12.500,-<br />
KESIMPULAN<br />
1. Perbaikan teknik pengiriman bunga krisan dengan terlebih dahulu dilakukan pulsing<br />
menggunakan antimikroba dapat mempertahankan kondisi fisik bunga lebih baik dibandingkan<br />
dengan kondisi fisik bunga tanpa pulsing pada dua jenis krisan spray dan standar. Bunga tetap<br />
dalam kondisi baik, setelah sampai tujuan (lama waktu 28 jam, kargo tanpa pendingin).<br />
2. Kerusakan bunga mulai berlangsung setelah 4 hari kemudian, daun mulai menguning, pada krisan<br />
Yellow Fiji perlakuan petani/pengumpul (41,67%) kuntum bunga tetap segar dan krisan Regent<br />
perlakuan petani/pengumpul (20%), dan mulai terdapat bunga layu sekitar 1-2%. Persentase<br />
kerusakan daun krisan Yellow Fiji dan Regent kemasan petani/pengumpul lebih besar dibanding<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│375
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
perlakuan pulsing, mulai terjadi saat 4 hari peragaan dan setelah 6 hari peragaan seluruh daun pada<br />
krisan Yellow Fiji telah berwarna kuning dan kering.<br />
3. Berdasarkan kesegaran daun, bunga krisan Yellow Fiji dengan pulsing memiliki masa peragaan 6<br />
hari (kerusakan daun 51,67%) dan Regent memiliki masa kesegaran 8 hari (kerusakan 45%).<br />
Untuk kemasan petani, bunga krisan Yellow Fiji memiliki masa peragaan 4 hari, sedang jenis<br />
Regent memiliki masa peragaan 6 hari. Kuntum bunga baik Fiji maupun Regent sampai 8 hari<br />
peragaan masih dalam keadaan baik dan segar.<br />
4. Pedagang dan floris memberikan penilaian yang baik terhadap bunga setelah trasportasi, meliputi<br />
kesegaran daun, kesegaran bunga, vase life, perkiraan harga jual dan layak dijual di floris dan<br />
pasar bunga. Perkiraan harga jual di Surabaya: jenis Yellow Fiji Rp15.000,- (per bungkus) dan<br />
jenis Regent Rp13.000,- (per bungkus).<br />
PUSTAKA<br />
1. Anonymous 2007, Inovasi agribisnis krisan untuk pemanfaatan sumberdaya pertanian dan peluang<br />
usaha di kawasan lereng gunung Merapi, Bahan Seminar Balai Besar Pengkajian dan<br />
Pengembangan Teknologi <strong>Pertanian</strong>, Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Yogyakarta, Februari,<br />
2008.<br />
2. Halevey, AH & Mayak, S 1981 ‘ Senescene and postharvest physiology of cut flower, Part 2’,<br />
Hort. Rev., vol. 3, hlm. 59-143.<br />
3. Han, SS, Halevey, AH & Reid, MS 1990, ‘Postharvest handling of Brodiaea flowers’, Hort.Sci.,<br />
vol. 25, no. 10, pp. 1268-70.<br />
4. Jones, RB & Hill, M 1993, ‘The effect of germicides on the longevity of cut flowers’, J. Amer.<br />
Soc. Hort.Sci., vol. 118, no. 3, pp. 350-54.<br />
5. Kofranek, AM 1980, ‘Chemical pre treatment of chrysanthemum before shipment’, Acta<br />
Horticulturae, vol. 113, pp. 89-95.<br />
6. Kurniawan, F, Prabawati, S & Suyanti 2012. Pengaruh pulsing terhadap peningkatan vase life<br />
bunga potong Krisan, Dalam proses publikasi J. Hort.<br />
7. Liu, J, He, S, Zhang, Z, Cao, J, Peitao Lv, Sudan He, Cheng, G & Daryl C. Joyce 2009, ‘Nanosilver<br />
pulse treatment inhibit stem-end bacteria on cut Gerbera cv. Roikou flowers (Abstract)’,<br />
Research Notes, Postharvest Biology and Technology , vol. 54, no. 1, pp. 59-62.<br />
8. Marwoto, Sutater, & de Jong, J 1999, ‘Varietas baru bunga krisan tipe spray’, J. Hort., vol. 9, no.<br />
3, hlm. 275-81.<br />
9. Murtiningsih, Prabawati, S & Sjaifullah 2002, ’Pengepakan bunga krisan untuk pengiriman antar<br />
provinsi’ J. Hort., vol. 12, no. 3, hlm. 191-97.<br />
10. Prabawati, S, Murtiningsih, Iriani, ES, Setyabudi, DA & Sjaifullah 1999, Laporan Hasil<br />
Penelitian: Teknologi Pascapanen Bunga Krisan, Balai Penelitian Tanaman Hias, Bagian Proyek<br />
Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Partisipatif Pusat, Jakarta.<br />
11. Prabawati, S, Murtiningsih, Setyabudi, DA & Nurmalinda 2002, ‘Pengaruh komposisi pulsing<br />
terhadap mutu segar bunga krisan’, J. Hort., vol. 12, no. 2, hlm. 124-30<br />
12. Reid, MS, Paul, JL, Farnhom, MB, Kofranek, AM, & Staby, GL 1980, ‘Pulse treatment with the<br />
silver thiosulphate complex extend the vaselife of cut carnation’, J. Amer. Soc. Hort.Sci., vol. 105,<br />
hlm. 25-7<br />
13. Sanjaya, L 1996, Krisan, bunga potong dan tanaman pot yang menawan’, Jurnal Penelitian dan<br />
Pengembangan <strong>Pertanian</strong>, vol. XV, no. 3, hlm. 55-60.<br />
14. Serek, M, Jones, RB & Reid, MS 1994, ‘Role of ethylene in opening and snescene of Gladiolus<br />
sp. Flowers’, J. Amer. Soc. Hort.Sci., vol. 119, no. 5, 1014-19<br />
376│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Perbaikan Teknik Pengiriman Bunga Krisan untuk Pemasaran Antar Kota<br />
Prabawati, S 1) , Kurniawan, F 2) dan Suyanti 2)<br />
15. Uda, A, Koyama, Y, Kobayashi, N & Kishimoto, M 1989, ‘Extention of the vaselife of cut<br />
flowers’ J. Jpn. Soc. Hort.Sci., vol. 50, Suppl, no. 2, hlm. 480-81.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│377
Karasteristik Fisik dan Kimia Puree Sawo dan Srikaya Menggunakan Pulper Semi Otomatis Berkapasitas 450 kg Buah/Jam<br />
Wanita, YP dan Kobarsih, M<br />
Karasteristik Fisik dan Kimia Puree Sawo dan Srikaya Menggunakan Pulper Semi<br />
Otomatis Berkapasitas 450 kg Buah/Jam<br />
Wanita, YP dan Kobarsih, M<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Yogyakarta<br />
Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22, Karangsari Ngemplak, Sleman, DIY<br />
ABSTRAK. Pengkajian karasteristik fisik dan kimia puree sawo dan srikaya menggunakan pulper semi<br />
otomatiss berkapasitas 450 kg/jam telah dilaksanakan di Laboratorium Pasca panen dan Alsintan, BPTP<br />
Yogyakarta dan Laboratorium Rekayasa Proses, PAU, UGM pada bulan Februari – Mei 2012. Pengkajian ini<br />
menggunakan buah sawo dan srikaya lokal Gunungkidul. Pengkajian ini menggunakan alat berupa pulper<br />
berbahan dasar stainles steell dengan kapasitas 450 kg buah/jam. Pulper ini menggunakan daya 350 watt/220 V.<br />
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa mesin pulper siever kapasitas 450 kg buah per jam dengan bagian<br />
saringan halus menghasilkan rendemen puree sawo dan srikaya sebesar 45,6% dan 40,4% sedangkan jika<br />
menggunakan saringan kasar rendemen yang dihasilkan sebesar 56% dan 68%. Kandungan air, abu, protein,<br />
lemak, serat kasar, dan karbohidrat untuk puree sawo adalah sebesar 77%; 0,73%; 0,75%; 1,68%; 1,92%;<br />
17,9%; dan energi sebesar 87,36 kalori/100gram. Sedangkan kandungan air, abu, protein, lemak, serat kasar, dan<br />
karbohidrat untuk puree srikaya sebesar 77,4%; 0,38%; 1,90%; 1,90%; 1,99%; dan 16,8% dengan energi sebesar<br />
90,53 kalori/100 gram<br />
Katakunci: Pulper semi otomatis; Puree; Sawo; Srikaya; Karasteristik fisik dan kimia.<br />
ABSTRACT. Yeyen, PW and Mahargono, K 2013. Physical and Chemical Characteristiown Puree and<br />
Tailing Using Semi-Automatic Fruit Pulper With A Capacity of 450 Kg/Hour. Study of physical and<br />
chemical characteristic brown puree and tailings using semi-automatic pulper with a capacity of 450 kg/h have<br />
been conducted at the Laboratory of Postharvest and Machinery, AIAT Yogyakarta and Process Engineering<br />
Laboratory (PAU), Gadjah Mada University in February to May 2012. This assessment of used sapodilla fruit<br />
and local tailings Gunung Kidul. Stainless steel pulper was used with capacity of 450 kg fruits/hour with puree<br />
that has been separated from the seed. The pulper used 350 watt/220 V. The result of assessment showed that<br />
the pulper machine Siever with capacity 450 kg of Fruit per hour and has a fine sieve produced rendemen 45,6%<br />
and 40,4%, whereas if using coarse sieve produced rendemen 56% and 68%. Moisture content, ash, protein, fat,<br />
crude fiber, and carbohydrates for brown puree is equal to 77%, 0.73%, 0.75%, 1.68%, 1.92%, 17.9%, and the<br />
energy of calory/100gram 87,36. While the water content, ash, protein, fat, crude fiber and carbohydrates for<br />
Sugar-apple puree at 77.4%, 0.38%, 1.90%, 1.99%, and 16.8% with calory/100 energy of 90.53 grams.<br />
Keywords: Semi automatic pulper; Puree; Brown; Tailings; Physical and chemical characteristic<br />
Buah srikaya dan sawo merupakan buah lokal kabupaten Gunungkidul, di mana saat panen raya<br />
jumlahnya sangat melimpah dan harganya relatif murah. Sawo dan srikaya adalah buah yang<br />
kebanyakan dikonsumsi dalam bentuk segar. Menurut Leung, et all (1961); Wenkam (1990) dalam<br />
Nakasone et. all (1998), buah sawo mengandung serat pangan, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin<br />
dan kandungan gizi lainnya. Sedangkan buah srikaya per 100 gram bahan mengandung serat pangan<br />
sebesar 0,7 gram, vitamin C 22 gram, kalsium 27 gram, fosfor 20 gram dan kandungan gizi lainnya.<br />
Pada saat musim panen raya, banyak ditemukan buah sawo dan srikaya yang kecil dan<br />
bentuknya tidak normal atau disebut buah off grade. Buah seperti ini masih memiliki nilai karena<br />
dapat dipergunakan sebagai bahan baku untuk sirup, jeli, selai, dodol, puree, dan sebagai bahan baku<br />
industri olahan yang berupa bubur buah atau puree. Puree adalah produk antara yang dapat diolah<br />
lebih lanjut menjadi aneka produk makanan dan minuman seperti jus, jelli, dodol dan es krim.<br />
Menurut Setyadjit et al. (2005), hancuran daging buah – buahan ini kaya akan gizi, mengandung<br />
berbagai vitamin dan mineral. Usaha agroindustri dan agribisnis puree buah dapat diarahkan kepada<br />
agro industri rumah tangga ataupun agro industri skala menengah yang menyerap bahan baku yang<br />
lebih besar (Setyono et al. 2002). Hal ini akan merangsang gairah petani dalam hal meningkatkan<br />
produksi pangan dan membuka peluang pasar. Agro industri di pedesaan akan mendorong<br />
pengembangan industri pedesaan skala rumah tangga, sehingga dapat memberdayakan petani<br />
378│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Karasteristik Fisik dan Kimia Puree Sawo dan Srikaya Menggunakan Pulper Semi Otomatis Berkapasitas 450 kg Buah/Jam<br />
Wanita, YP dan Kobarsih, M<br />
berwirausaha, meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat serta mendorong kesempatan kerja di<br />
pedesaan.<br />
Untuk membentuk suatu usaha agroindusri pengolahan buah sawo dan srikaya menjadi puree<br />
ada satu permasalahan yang harus dipecahkan terlebih dahulu. Permasalahannya adalah dalam<br />
pengolahan buah sawo dan srikaya proses pemisahan biji dari daging buahnya masih secara manual<br />
sehingga membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang lebih. Selain itu buah hasil pemisahan kurang<br />
terjaga kehiegenitasannya. Oleh karena itu, perlu adanya alat mesin pertanian yang digunakan untuk<br />
memisahkan biji dari daging buahnya. Alat mesin pertanian pemisah biji dari daging buah sudah<br />
banyak dihasilkan tetapi sebagian besar masih dipergunakan untuk mennghasilkan puree mangga.<br />
Oleh karena itu teknologi tersebut perlu dikaji untuk pengembangan inovasi teknologi pengolahan<br />
buah srikaya dan sawo.<br />
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karasterisik kimia dan rendemen puree buah sawo<br />
dan srikaya yang dibuat menggunakan mesin pulper siever dengan kapasitas 450 kg buah per jam.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Bahan dan Alat<br />
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah srikaya dan buah sawo lokal DIY yang<br />
didapatkan dari Kecamatan Tepus, Gunungkidul. Peralatan yang digunakan adalah pisau stainless<br />
steel, sendok makan, baskom plastik, sarung tangan latex, alat penyaring, timbangan analitik, timer,<br />
kantong plastik, pulper dari bahan stainles steell dengan kapasitas 450 kg buah/jam, serta peralatanperalatan<br />
lainnya yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia.<br />
Metode<br />
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2012 di Laboratorium<br />
Pascapanen dan Alsintan, Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Yogyakarta dan Laboratorium<br />
Rekayasa Proses, PAU, UGM. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental. Tahapan<br />
pembuatan pure sawo dan srikaya sebagai berikut: 1) buah sawo dan srikaya dicuci sampai bersih<br />
menggunakan air yang mengalir kemudian ditiriskan dan diangin-anginkan, 2) buah sawo dan srikaya<br />
ditimbang beratnya menggunakan timbangan analitik untuk mengetahui berat awal bahan, 3) daging<br />
buah dihancurkan dengan menggunakan mesin berupa pulper siever. Untuk buah sawo langsung<br />
dimasukkan pada bagian hopper. Sedangkan untuk buah srikaya, terlebih dahulu dibelah<br />
menggunakan pisau menjadi dua bagian, kemudian daging buah diambil menggunakan sendok makan<br />
dan ditampung kedalam baskom plastik. Selanjutnya dimasukkan ke dalam mesin pulper siever<br />
melalui bagian hopper. 4) bubur buah yang dihasilkan (puree) kemudian ditampung ke dalam baskom<br />
plastik dan ditimbang beratnya untuk mengetahui rendemen yang dihasilkan, 5) sedangkan biji<br />
terpisah akan keluar pada saluran tersendiri berlainan dengan saluran keluar untuk daging buah.<br />
Pengamatan dilakukan terhadap rendemen yang dihasilkan. Analisa kimia puree yang<br />
dihasilkan berupa analisa kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, dan energi (AOAC,<br />
1990).<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Jenis sawo dan srikaya yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sawo lokal<br />
Gunungkidul, khususnya di kecamatan Tepus. Buah sawo lokal ini memiliki karasteristik daging buah<br />
tebal, rasa manis, kulit buah berwarna coklat keemasan dengan kandungan biji yang relatif sedikit,<br />
yaitu sekitar enam buah. Sedangkan buah srikaya memiliki karasteristik jumlah biji yang relatif<br />
banyak dan melekat erat ke daging buah, daging buah berwarna putih, kulit buah berwarna hijau<br />
muda, dan cenderung mudah mengalami kerusakan jika sudah matang. Hal inil mengakibatkan<br />
kerugian besar petani buah srikaya.<br />
Pengolahan buah sawo dan srikaya menjadi puree dipilih karena olahan turunan dari puree sawo dan<br />
srikaya masih sangat luas. Namun dalam pengolahannya khususnya buah srikaya menghadapi kendala<br />
tersendiri yaitu pemisahan daging buah dari bijinya sangat sulit. Untuk mengatasi hal ini maka diuji<br />
coba penggunaan mesin pulper siever. Disini pulper siever digunakan untuk mengolah buah srikaya<br />
dan sawo menjadi bubur buah.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│379
Karasteristik Fisik dan Kimia Puree Sawo dan Srikaya Menggunakan Pulper Semi Otomatis Berkapasitas 450 kg Buah/Jam<br />
Wanita, YP dan Kobarsih, M<br />
Bahan utama mesin pulper siever ini terbuat dari stainles steel. Penggunaan stainless steell ini<br />
bertujuan agar selama proses pembuatan puree buah sawo dan srikaya tidak terjadi reaksi kimia yang<br />
tidak diharapkan antara bagian mesin dengan buah. Komponen utama mesin ini adalah drum, silinder<br />
penyaring dan karet panggilas, poros pulper, corong pengisi atau hopper, rumah motor, motor<br />
penggerak. Hopper berfungsi sebagai corong untuk masuknya buah kedalam drum sehingga buah<br />
tidak berhamburan keluar. Drum berbentuk tabung silinder, dimana didalamnya terdapat dua saluran<br />
yang digunakan untuk mengeluarkan puree dan padatan atau biji. Selain itu didalam drum terdapat<br />
saringan yang diberi karet penggilas untuk penghancurkan buah, sehingga biji dapat terlepas dari<br />
daging buah. Saringan pada drum ini ada dua macam yaitu saringan halus dan kasar yang dapat<br />
dibongkar pasang tergantung karasteristik puree buah yang diinginkan. Semakin halus saringan yang<br />
digunakan, maka puree yang dihasilkan juga semakin lembut. Rumah motor berfungsi sebagai tempat<br />
motor penggerak. Motor penggerak mesin ini berasal dari listrik dengan daya 350 watt/220 volt.<br />
Buah sawo dan srikaya sebelum dimasukkan ke dalam mesin pulper siever terlebih dahulu<br />
mengalami proses sortasi dan pencucian. Proses sortasi berfungsi untuk memisahkan buah sawo dan<br />
srikaya yang bermutu dan seragam dalam tingkat kematangan. Buah yang tidak bermutu, seperti<br />
busuk, cacat, rusak, maupun memiliki kerusakan fisik dan biologis tidak digunakan karena akan<br />
mempegaruhi kualitas dari puree yang dihasilkan. Selanjutnya buah dimasukkan kedalam mesin<br />
pulper siever untuk menghasilkan puree. Pada penelitian ini digunakan dua jenis saringan yaitu<br />
saringan halus dan kasar untuk mengetahui perbedaan rendemennya. Persentase berat kulit, biji dan<br />
rendemen puree buah sawo dan srikaya setelah diolah menggunakan mesin pulper siever disajikan<br />
pada Tabel 1.<br />
Tabel 1. Persentase berat kulit, biji dan rendemen puree buah sawo dan srikaya yang dihasilkan dari<br />
ujicoba alat pulper siever dengan daya 350 watt/220 volt dan kapasitas 450 kg buah/jam<br />
Jenis buah<br />
Rendemen (%)<br />
Saringan halus Saringan kasar<br />
Berat kulit (%) Berat biji (%)<br />
Buah sawo 45,6 56,0 8,4 6<br />
Buah srikaya 40,4 68 36 12,4<br />
Rendemen yang dihasilkan buah sawo dan srikaya berbeda tergantung pada saringan yang<br />
digunakan. Semakin halus saringan yang digunakan, maka rendemen yang dihasilkan semakin kecil<br />
karena semakin sedikit bubur yang lolos melalui lubang saringan. Dari hasil pengamatan dan<br />
pengukuran diperoleh hasil bahwa dengan menggunakan mesin pulper siever selama 9 detik untuk<br />
buah sawo dan srikaya sebanyak 2500 gram dihasilkan puree dengan persentase rendemen seperti<br />
terlihat pada tabel 1, sehingga dalam satu jam mesin dapat menghasilkan puree buah sebanyak 450 kg.<br />
Puree buah sawo dan srikaya yang dihasilkan kemudian dianalisa untuk mengetahui kandungan<br />
gizinya. Hasil analisa kimia buah sawo dan srikaya segar serta puree sawo dan srikaya disajikan dalam<br />
Tabel 2 dan 3.<br />
Tabel 2. Kandungan kimia buah srikaya dan sawo segar<br />
Kandungan kimia Buah sawo 1) Buah srikaya 2)<br />
Kadar air (%) 75 79<br />
Kadar abu (%) 0,4 0,55<br />
Kadar protein (%) 0,5 2,13<br />
Kadar lemak (%) 1,1 0,1<br />
Kadar serat kasar (%) 1,6 2,3<br />
Kadar karbohidrat (%) 23 23,19<br />
Energi (kalori/100 gram) 393 95,7<br />
Sumber: 1) Nakasome et all, 1998 dan 2) Morton, 1987<br />
380│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Karasteristik Fisik dan Kimia Puree Sawo dan Srikaya Menggunakan Pulper Semi Otomatis Berkapasitas 450 kg Buah/Jam<br />
Wanita, YP dan Kobarsih, M<br />
Tabel 3. Hasil analisa kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar, karbohidrat dan energi puree sawo<br />
dan srikaya<br />
Jenis analisa Puree sawo Puree srikaya<br />
Kadar air (%) 77 76,95<br />
Kadar abu (%) 0,73 0,38<br />
Kadar protein (%) 0,75 1,87<br />
Kadar lemak (%) 1,68 1,90<br />
Kadar serat kasar (%) 1,92 1,99<br />
Kadar karbohidrat (%) 17,89 16,89<br />
Energi (kalori/100 gram) 87,39 90,53<br />
KESIMPULAN<br />
1. Mesin pulper siever kapasitas 450 kg buah per jam dengan bagian saringan halus menghasilkan<br />
rendemen puree sawo dan srikaya sebesar 45,6% dan 40,4% sedangkan jika menggunakan sringan<br />
kasar rendemen yang dihasilkan sebesar 56% dan 68%<br />
2. Kandungan air, abu, protein, lemak, serat kasar, dan karbohidrat untuk puree sawo adalah sebesar<br />
77%; 0,73%; 0,75%; 1,68%; 1,92%; 17,9%; dan energi sebesar 87,36 kalori/100gram. Sedangkan<br />
kandungan air, abu, protein, lemak, serat kasar, dan karbohidrat untuk puree srikaya sebesar<br />
77,4%; 0,38%; 1,90%; 1,90%; 1,99%; dan 16,8% dengan energi sebesar 90,53 kalori/100 gram.<br />
PUSTAKA<br />
1. AOAC 1990, Official methods of analysis of the Association of official analytical chemist, vol. 1,<br />
Published by AOAC International, Arlington, USA.<br />
2. Morton, J 1987. Sugar apple, page: 69-79 in Fruits from troppical countries. Julia F. Morton.<br />
Miami Florida. http://www.hort.purdue.edu/newcrop/morton/sugar_apple.html. Diunduh tanggal 1<br />
Juni 2012.<br />
3. Nakasome, HY, Paull, RE 1998, Tropical fruits, Cab. International. Wallington.<br />
4. Setyono, A, Rachmawati, Kunda, DM & Ridwan, R 2002. Penanganan produk samping untuk<br />
meningkatkan nilai tambah, Laporan Akhir Tahun Anggaran 2000, Balai Besar Alsintan.<br />
5. Setyadjit, Widaningrum & Sulusi, P 2005, Agroindustri buah mangga: Mengatasi panen<br />
berlimpah, Warta Penelitian dan Pengembangan Penelitian, vol. 27, no. 5, hlm. 4-5.<br />
6. Woodroof, JG & Luh, BS 1975. Commercial fruit processing. The AVL. Publ. Co. Inc.,<br />
Westport. Connecticut.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│381
382│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
BAGIAN 5.<br />
SOSIAL EKONOMI<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│383
Keragaan Teknologi Jeruk Siam di Tingkat Petani Papua (Kasus Kabupaten Nabire)<br />
Malik, A<br />
Keragaan Teknologi Jeruk Siam di Tingkat Petani Papua (Kasus Kabupaten Nabire)<br />
Malik, A<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> (BPTP) Papua<br />
Jln. Yahim Sentani Jayapura<br />
E.Mail:zea_rizal@yahoo.co.id<br />
Abstract. Siam orange (Citrus suhuiensis tan) is one of fruit commodities that has been developed in Papua,<br />
especially in Nabire. Therefore, it is necessary to identify the problems related to development and increased<br />
productivity of siam orange in the future. The research aims to know the performance of siam orange cultivation<br />
technology at farmer level. The study was conducted with focus group discussion (FGD) in March 2011,<br />
involved Sidodadi Farmer Group, in Kampung Wadio, Distrik Nabire Barat. Data were analyzed descriptively.<br />
There are 205.615 ha of potential area for the development of fruits Cultivation including the Siam Orange.<br />
Current cropping area is 445 ha with productivity 15,5 t/ha/year. Nabire Siam orange was introduced from<br />
Purworejo (Central Java) in the 1980's, brought by migrants and has adapted well. Skin color of ripe siam<br />
orange is a yellowish green color , and the color of it fruit flesh is orange with a sweet taste. Area of land<br />
ownership of Siam orange plantation varies between 0,75 to 3 ha, spacing 5x5 M, grafting seedlings from local<br />
breeders. Dose of fertilizer, 200 kg of Urea +200 kg of SP-36 +50 kg of KCl +200 kg of Phonska /ha and 150 kg<br />
of urea + 150 Kg of SP36 +150 Kg of KCL +100 Kg of Phonska/ ha. Pruning and fruit thinning is almost never<br />
done. Ladybug, black citrus fleas, Dompolan ticks and diplodia disease are The most commonly found in siam<br />
orange plantation. Siam Orange that cultivated by farmers are harvested twice a year with the harvest season in<br />
September-November, and there are no harvest season between March to April. Support of local government is<br />
required to motivate farmers in applying technological innovation to improve the productivity of siam orange,<br />
such as pruning, fruit thinning, fertilization, sanitation, and pest – desease control. A Study to increase the<br />
productivity of siam orange is needed such as pruning, the dose of fertilizing, and pest and desease management.<br />
Key words: Performance, technology, siam orange, Nabire, Papua<br />
ABSTRAK. Jeruk siam (Citrus suhuiensis tan) salah satu komoditas buah-buahan yang dikembangkan di<br />
Provinsi Papua, terutama di kabupaten Nabire. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi permasalahan jeruk siam<br />
saat ini untuk pengembangan dan peningkatan produktivitas dimasa datang. Kajian bertujuan melihat keragaan<br />
teknologi jeruk siam ditingkat petani. Kajian dalam bentuk focus grup discussion (FGD) pada bulan Maret 2011<br />
di kelompok tani jeruk siam Sidodadi di kampung Wadio Distrik Nabire Barat. Data dianalisis secara deskriptif.<br />
Dari hasil kajian, terdapat 205.615 ha lahan potensial untuk pengembangan buah-buahan termasuk komoditas<br />
jeruk siam. Luas pertanaman saat ini 445 ha dengan tingkat produktivitas 15,5 ton/ha/tahun. Jeruk siam yang<br />
ada berasal dari Purworejo (Jawa Tengah) era tahun 1980-an. Jeruk siam Nabire dengan warna kulit buah<br />
matang hijau kekuningan dengan warna daging buah orange dengan rasa manis. Luas kepemilikan jeruk siam di<br />
tingkat petani bervariasi antara 0,75-3 ha, Jarak tanam 5x5 M, bibit okulasi yang diperoleh dari penangkar lokal.<br />
Dosis pupuk Urea 200 kg+200 kg SP-36+50 kg KCl+200 kg phonska/ha dan Urea 150 kg+150 SP-36+100 kg<br />
Phonska/ha. Pemangkasan dan penjarangan buah hampir tidak pernah dilakukan. Kepik, kutu jeruk hitam dan<br />
kutu dompolan serta penyakit diplodia mendominasi hama/penyakit jeruk siam. Jeruk siam yang diusahakan<br />
petani setahun berbuah dua kali dengan musim panen raya September-Nofember sedangkan tidak panen raya<br />
Maret-April. Perlu dukungan Pemda untuk lebih memotivasi penerapan inovasi peningkatan produktivitas,<br />
seperti pemangkasan, penjarangan buah, pemupukan, sanitasi kebun dan pengendalian H/P. Kajian peningkatan<br />
produktivitas seperti pemangkasan dan penentuan dosis pemupukan dan pengendalian H/P sangat diperlukan.<br />
Kata kunci: keragaan, teknologi, Jeruk siam, Nabire, Papua<br />
384│<br />
Kementerian <strong>Pertanian</strong> telah memberikan perhatian yang lebih besar dalam pengembangan<br />
komoditas buah-buahan. Hal ini dilandasi oleh prospek permintaan yang terus meningkat baik oleh<br />
pasar lokal maupun luar. Disamping itu potensi lahan yang tersedia cukup luas dapat dikembangkan<br />
dan dioptimalkan bagi pengembangan usahatani buah-buahan.<br />
Dalam upaya peningkatan produksi, mutu dan daya saing buah-buahan perlu disikapi dengan<br />
pengembangan secara terpadu dan merupakan kesatuan sistem agribisnis yang mampu memberikan<br />
manfaat secara optimal. Menurut Dirjenhorti (2008), ada enam pilar pengembangan hortikultura,<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Keragaan Teknologi Jeruk Siam di Tingkat Petani Papua (Kasus Kabupaten Nabire)<br />
Malik, A<br />
antara lain (1) pengembangan kawasan agribisnis hortikultura, (2) penataan manajemen rantai<br />
pasokan, (3) penerapan budidaya pertanian yang baik, (4) fasilitasi terpadu investasi hortikultura, (5)<br />
pengembangan kelembagaan usaha dan (6) peningkatan konsumsi dan akselerasi ekspor.<br />
Di sektor hortikultura, pengembangan jeruk, terutama jeruk siam di Provinsi Papua<br />
menempati prioritas untuk dikembangkan karena mempunyai nilai ekonimis yang cukup tinggi dan<br />
jeruk sangat disukai masyarakat (Dinas PKP, 2010). Meningkatnya impor buah jeruk antar pulau,<br />
terutama di Provinsi Papua, mengindikasikan adanya ketidak-mampuan produsen jeruk yang ada di<br />
Provinsi Papua memenuhi permintaan segmen pasar. Untuk itu pengembangan jeruk, terutama jeruk<br />
siam di Provinsi Papua perlu menjadi prioritas.<br />
Jeruk siam (Citrus suhuiensis tan) sebagai salah satu komoditas buah-buahan, telah banyak<br />
dikembangkan di Provinsi Papua. Usahatani jeruk siam ini harus dikelola secara optimal pada daerah<br />
sentra produksi dan perlu mendapat perhatian dalam pengembangan di daerah potensial pertumbuhan<br />
baru. Dengan pengelolaan dan pengembangan usahatani dari hulu ke hilir komoditas jeruk siam ini<br />
diyakini akan memberi pengaruh signifikan terhadap kesejahteraan petani sekaligus pembangunan<br />
perekonomian Provinsi Papua sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (UU<br />
Otsus) Papua Nomor 21 Tahun 2001.<br />
Komoditas jeruk siam ini mendominasi buah-buahan yang berasal jeruk yang ada di pasaran<br />
Papua. Jeruk siam yang disukai konsumen karena mengandung vitamin C yang cukup tinggi, rasanya<br />
manis dan menyegarkan (Syam dan Marlian, 1997; Hilman, 2007). Sebagai sentra jeruk siam di<br />
Provinsi Papua adalah kabupaten Nabire, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keroom. Kabupaten<br />
Nabire merupakan sentra jeruk siam terluas di Provinsi Papua. Jeruk siam yang terdapat di Provinsi<br />
Papua merupakan jeruk siam introduksi dari luar Papua yang dibawah oleh transmigran dari daerah<br />
asalnya.dan dikembangan oleh Pemda dan petani dan sudah beradaptasi baik di sentra produksinya, di<br />
antaranya di Kabupaten Nabire (Malik dan Limbongan, 2004; Dinas PKP Papua, 2010; Malik et al.,<br />
2011).<br />
Pengembangan jeruk siam ini perlu dilaksanakan secara simultan dan terintegrasi antara<br />
pusat, provinsi dan kabupaten dalam memfasilitasi dan mempermudah akses pemasaran dan<br />
pengolahan sehingga menumbuh kembangkan usahatani dalam sistem agribisnis yang dapat<br />
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani sekaligus menimbulkan efek positif terhadap<br />
pertumbuhan daerah.<br />
Selaras dengan kebijakan Pemda Provinsi Papua melalui Dinas <strong>Pertanian</strong> dan Ketahanan<br />
Pangan (PKP) telah menetapkan dan menjadikan jeruk siam sebagai salah satu komoditas unggulan<br />
buah-buahan di Provinsi Papua karena dukungan potensi lahan pengembangan buah-buahan yang luas<br />
dan subur ± 4.087.200 (Dinas PKP Papua, 2007), permintaan pasar lokal yang cukup tinggi<br />
disamping potensi daya serap pasar regional komoditas jeruk siam perlu mendapat perhatian serius<br />
dengan banyaknya buah impor. Namun upaya tersebut terkendala dengan rendahnya produktivitas<br />
ditingkat petani yang lebih banyak disebabkan faktor teknis dalam peningkatan produksi dan masalah<br />
kelembagaan pengembangan usaha yang belum tertata optimal.<br />
Data Statistik menunjukkan bahwa luas pertanaman jeruk, termasuk jeruk siam di Provinsi<br />
Papua 1.574 ha dengan tingkat produktivtias 6,746 ton/ha (BPS Papua, 2010 dan Dinas PKP Papua,<br />
2010). Produktivitas tersebut masih jauh lebih rendah dari produktivitas hasil di sentra produksi jeruk<br />
siam di Indonesia. Disamping itu usahatani jeruk masih dalam skala kecil dan inovasi teknologi yang<br />
belum banyak dikuasai petani, diantaranya pemangkasan, pemupukan, pengendalian H/P. Menurut<br />
Assad dan Hutagalung (1992) dan Poewanto (2004) produktivitas jeruk siam bisa mencapai >25<br />
ton/ha/tahun.<br />
Menurut Malik dan Limbongan (2004), petani mengusahakan tanaman jeruk siam berdasarkan<br />
permintaan yang semakin meningkat, namun dalam penerapan teknologi, petani belum mengadopsi<br />
teknologi peningkatan produktivitas secara utuh, sehingga hasil yang dicapai diyakini belum optimal.<br />
Rendahnya produktivitas jeruk siam ini juga dipengaruhi adanya serangan H/P. Hama yang banyak<br />
menyerang pertanaman jeruk siam di sentra produksi di daerah ini adalah trips, tungau, kutu daun<br />
hitam. Kerusakan oleh hama ini dapat menurunkan hasil mencapai 30-60% (Dwiastuti et al., 2004;<br />
Endarto, 2004). Disamping itu kendala dalam sosial ekonomi lainnya (pemasaran dan kelembagaan<br />
lainya) ikut menentukan rendahnya produktivitas jeruk siam di sentra produksi di Provinsi Papua.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│385
Keragaan Teknologi Jeruk Siam di Tingkat Petani Papua (Kasus Kabupaten Nabire)<br />
Malik, A<br />
Untuk pengembangan jeruk siam dimasa yang datang, perlu dilihat kondisi eksitingnya. Berdasarkan<br />
permasalahan di atas, perlu dilakukan identifikasi permasalahan jeruk siam ini, sehingga dapat diambil<br />
langkah-lagkah perbaikan perjerukan dimasa datang, terutama di kawasan pengembangan di Provinsi<br />
Papua. Kajian bertujuan untuk melihat keragaan teknologi jeruk siam, khususnya di Kabupaten<br />
Nabire. Hasil kajian ini diharapkan menjadi kebijakan oleh pemangku kepentingan untuk<br />
pengembangan jeruk siam yang sudah beradaptasi baik di masa yang akan datang..<br />
METODOLOGI<br />
Kajian ini merupakan bagian dari kegiatan kajian pengembangan penerapan pengelolaan terpadu<br />
kebun jeruk siam untuk meningkatkan produktivitas > 10 ton/ha Di Papua dengan sumber dana dari<br />
Merinstek (PIPKPP) TA 2011. Kegiatan dilaksanakan dalam bentuk focus grup discussion (FGD)<br />
untuk melihat keragaan teknologi jeruk siam ditingkat petani. Kegiatan dilaksanakan bulan Maret<br />
2011. Kegiatan dilaksanakan pada kelompok tani jeruk siam Sidodadi dengan jumlah anggota 23<br />
orang di kampung Wadio Distrik Nabire Barat. Ditentukannya lokasi ini dengan alasan merupakan<br />
areal terluas dalam pertanaman jeruk siam di kabupaten Nabire. Data yang terkumpul dianalisis secara<br />
deskriptif.<br />
HASIL DAN PEMAHASAN<br />
1. Keadaan umum daerah penelitian<br />
Kabupaten Nabire merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua dengan luas wilayah<br />
16.312 Km 2 . Kabupaten Nabire terletak 134 0 35 ’ -136 0 33’ Lintang Selatan dan 2 0 25’-4 0 10’ Bujur<br />
Timur. Kabupaten Nabire sebelah Utara berbatas dengan Kabupaten Yapen dan Kabupaten Waropen,<br />
sebelah Selatan berbatas dengan kabupaten Kaimana (Provinsi Papua Barat) dan Kabupaten Mimika,<br />
Sebelah Timur berbatas dengan Kabupaten Paniai dan Kabupaten Waropen, sebelah Barat berbatas<br />
dengan Kabupaten Teluk Wandama dan Kabupaten Kaimana (Provinsi Papua Barat).<br />
Kabupaten Nabire berada pada ketinggi 14 meter dpl dengan rata-rata curah hujan 3.890<br />
mm/tahun atau 324 mm/bulan dengan rata-rata hari hujan 21,33. Suhu 23,7-31,8 0 C, kelembaban udara<br />
rata-rata 83,03% dengan rata-rata penyinaran 58,33% (BPS Nabire, 2010). Berdasarkan keunggulan<br />
akroklimat di atas sangat sesuai dalam pengembangan jeruk. Dosamping itu BPTP Papua (2005)<br />
sudah melakukan pewilayahan komoditas pertanian di kabupaten Nabire. Dari hasil pewilayahan<br />
berdasarkan agroecosystem (AEZ) tersebut terdapat 205.615 ha lahan potensial untuk pengembangan<br />
buah-buahan termasuk komoditas jeruk.<br />
Kabupaten Nabire terdiri dari 17 Distrik/Kecamatan dengan jumlah penduduk Kabupaten<br />
Nabire 173.793 jiwa atau 10,65% dari jumlah penduduk Provinsi Papua, jumlah penduduk laki-laki<br />
86.855 jiwa dan perempuan 86.938 jiwa. Dalam program pembangunan secara umum, kabupaten<br />
Nabire mempuyai motto “awetakoo makodo enauto naggo ma andaini titou yogoko” yang artinya hari<br />
esok lebih baik dari hari ini.<br />
2. Umur dan pendidikan petani jeruk siam<br />
Petani jeruk siam yang ada di Kabupaten Nabire umumnya didominasi oleh transmigran yang<br />
berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Umur dapat digunakan untuk mengidentifikasi seberapa<br />
lama seseorang telah menekuni pekerjaan di bidang pertanian dengan asumsi bahwa ketika memasuki<br />
umur produktif petani pada suatu wilayah mulai memenuhi pekerjaannya. Umur diindentikan dengan<br />
kekuatan fisik seseorang untuk melakukan aktivitas pekerjaan, terutama pada usahatani jeruk siam.<br />
Umur petani jeruk siam berada pada kisaran 32-53 tahun dengan rata-rata 41,4 tahun. Umur ini<br />
merupakan usia produktif sehingga akan berdampak kepada peningkatan produktivitas jeruk siam.<br />
Tingkat pendidikan mengambarkan tingkat pengatahuan, wawasan, dan pandangan seseorang<br />
yang dalam bidang pertanian diartikan sebagai cara seseorang merespon suatu teknologi. Pada<br />
umumnya petani jeruk siam memiliki tingkat pendidikan setara Sekolah Dasar sampai SLTA dan tidak<br />
didapatkan petani jeruk siam yang tamat perguruan tinggi. Sedangkan informasi teknologi peningkatan<br />
produktivitas jeruk siam, petani mendapatkan dari penyuluh dan media elekronika serta dari orangtua<br />
mereka.<br />
386│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Keragaan Teknologi Jeruk Siam di Tingkat Petani Papua (Kasus Kabupaten Nabire)<br />
Malik, A<br />
3. Keragaan dan tata niaga jeruk siam<br />
Luas pertanaman jeruk siam di Kabupaten Nabire merupakan wilayah terluas dalam<br />
pengembangan jeruk siam di Provinsi Papua, yaitu seluas 445 ha, dari luasan ini terdapat 70,8% atau<br />
315,6 ha berada di kampung Wadio dimana kajian ini dilaksanakan (Distanbun Nabire, 2010).<br />
Dari hasil kajian, produktivitas jeruk siam ditingkat petani jauh lebih tinggi (12-20<br />
ton/ha/tahun dengan rata-rata produktivtias 15,5 ton/ha/tahun atau setara dengan 38,75<br />
kg/batang/tahun) jika dibandingkan dengan hasil data sekunder baik BPS Papua (2010) dan BPS<br />
Nabire (2010) tingkat produktivitas jeruk siam sebesar 6,974 ton/ha/tahun. Untuk kepastian<br />
produktivitas yang dikeluarkan BPS perlu dilakukan ubinan terhadap produktivitas jeruk siam di<br />
daerah ini.<br />
Jika disimak dari produktivitas ditingkat petani saat ini dengan rata-rata 15,5 ton/ha/tahun jauh<br />
lebih rendah dari penelitian yang sudah dilakukan di sentra produksi jeruk siam di Indonesia. Menurut<br />
Assad dan Hutagalung (1992) dan Poewanto (2004) produktivitas jeruk siam bisa mencapai >25<br />
ton/ha/tahun jika dikeloa dengan baik.<br />
Walaupun produktivitas jeruk siam petani di Kabupaten Nabire masih rendah jika<br />
dibandingkan dengan potensi hasil, namun sudah memberikan manfaat untuk petani dan keluarganya<br />
sehingga petani masih tetap melakukan perawatan tanaman walaupun seadanya. Dari kajian<br />
terungkap, petani lebih memilih pengembangan tanaman jeruk siam dari pada jenis jeruk keprok,<br />
karena memiliki keunggulan dibandingkan dengan jeruk sejenis lainnya seperti keprok antara lain<br />
karena pertumbuhan lebih cepat, Jeruk siam rajin membentuk tunas bunga dan buah, masa simpan<br />
segar cukup tinggi sehingga agak tahan dalam transportasi.<br />
Pada kawasan pertanaman jeruk siam yang masih muda (belum berbuah), petani<br />
memanfaatkan lorong pertanaman jeruk dengan komoditas tanaman pangan (jagung, kacang dan<br />
kedelai), sayuran (cabe, tomat, bayam, kangkung dan sawi serta kubis). Alasan yang dimungkakan<br />
petani adalah disamping meningkatkan pendapatan keluarga juga sekaligus membersihkan kebun dari<br />
gulma. Di kawasan daerah kajian, petani tidak mengusahakan tanaman padi sawah maupun padi<br />
gogo, hal ini disebabkan kawasan berada agak ketinggian, saluran irigasi sulit mengairi lahan<br />
pertanian, sehingga kawasan ini dijadikan sentra jeruk siam.<br />
Jeruk siam yang dikembangkan Pemda melalui Dinas <strong>Pertanian</strong> dan Perkebunan (Distanbun)<br />
Kabupaten Nabire berasal dari Purworejo (Jawa Tengah) era tahun 1980-an dan jenis jeruk siam ini<br />
yang berkembang sampai saat ini. Dalam perkembangannya sejak tahun 1990-an Kabupaten Nabire<br />
menjadi ikon jeruk siam di Provinsi Papua.<br />
Jeruk siam Nabire ini hampir sama dengan jeruk siam yang berasal dari Jember dan<br />
Kintamani, yaitu warna kulit buah matang hijau kekuningan dengan warna daging buah orange dengan<br />
rasa manis. Keragaman jenis jeruk siam ini merupakan kekayaan flasma nutfah jeruk. Pemda melalui<br />
Distanbun kabupaten Nabire mengharapkan jeruk siam yang sudah beradaptasi baik ini menjadikan<br />
jeruk siam spesifik Nabire. Harapan lain terungkap dari keinginan Pemda kabupaten Nabire adalah<br />
menjadi jeruk siam Nabire ini seperti jeruk siam seperti jeruk siam Pontianak, Jember, Ponorogo.<br />
Untuk perlu identifikasi tentang jeruk siam Nabire ini.<br />
Luas kepemilikan jeruk siam di tingkat petani bervariasi antara 0,75-3 ha, dengan rata-rata<br />
pemilikan 0,75 ha/petani, variasi umur jeruk 1-10 tahun. Jika dilihat dari variasi umur pertanaman<br />
jeruk siam, diindikasikan selalu ada pengembangan setiap tahun. Hal ini juga terungkap dari<br />
Distanbun Nabire (2010) bahwa lima tahun terakhir terjadi pengembangan jeruk siam rata-rata 25<br />
ha/tahun. Dari hasil kajian juga terungkap bahwa animo petani selalu mengembangkan jeruk siam ini,<br />
karena dikawasan ini lahannya sangat potensial untuk jeruk, disamping itu petani tidak memungkinan<br />
untuk pengembangan tanaman pangan (padi) selain palawija (jagung, kedelai dan kacang tanah),<br />
karena kawasan pengembangan jeruk siam ini berada agak tinggi dari potensi lahan pengembangan<br />
tanaman pangan (padi).<br />
Jarak tanam yang digunakan petani homogen, yaitu 5x5 M atau setara 400 batang/ha. Dalam<br />
pengembangannya, petani mengunakan bibit okulasi yang diperoleh dengan cara pembelian dari<br />
penangkar lokal di sekitar lokasi tempat tinggal. Petani belum menggunakan bibit<br />
unggul/bersertifikasi, hal ini disebabkan belum adanya BBI/BBU hortikultura di daerah ini, untuk itu<br />
persiapan kebun BMT (bibit mata tempel) sangat diperlukan. Populasi tanaman jeruk petani<br />
kooperator bervariasi antara 394-400 batang/ha, dengan rata-rata 397 batang/ha.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│387
Keragaan Teknologi Jeruk Siam di Tingkat Petani Papua (Kasus Kabupaten Nabire)<br />
Malik, A<br />
Dari identifkasi, petani jeruk siam menggunakan pupuk berdasarkan kondisi pertanaman di<br />
lapangan. Petani belum mengetahui kebutuhan yang sebenarnya untuk pertanaman jeruk persatuan<br />
luas. Pemberian pupuk yang dilakukan selama ini berdasarkan prakiraan dan rekomendasi umum<br />
yang diberikan penyuluh dengan cara menghambur diantara lorong pertanaman jeruk. Pupuk yang<br />
dihambur tersebut tidak dilakukan penutupan seperti lazimnya penggunaan pupuk pada tanaman<br />
pangan di lahan kering. Hal ini dilakukan petani karena keterbatasan tenaga dan alasan lain adalah<br />
terlalu repot membuat parit di sekeliling tanaman jeruk.<br />
Petani menggunakan dosis pupuk Urea 200 kg+200 kg SP-36+50 kg KCl+200 kg phonska/ha<br />
dan sebagian petani menggunakan dosis 400 kg pupuk yang terdiri dari Urea 150 kg+150 SP-36+100<br />
kg Phonska/ha atau setara dengan 1-2 kg/rumpun. Ketiga atau keempat pupuk tersebut dicampur rata<br />
dan diberikan di sekeliling pohon jeruk. Pupuk ini diberikan saat tanaman jeruk setelah panen (Juli).<br />
Pemupukan dilakukan petani bervariasi (1-2 kali/tahun).<br />
Sebelum pemupukan dilakukan, areal pertanaman dilakukan sanitasi kebun dengan cara<br />
melakukan pengendalian gulma (alang-alang dan rerumputan) menggunakan herbisida. Herbisida<br />
yang digunakan adalah dengan merek dagang gramaxone dan klen up. Petani belum banyak<br />
menggunakan pupuk organik (pupuk kandang). Alasan yang dikemungkakan petani adalah pupuk<br />
kandang lebih banyak digunakan untuk sayuran dengan nilai jual tinggi, seperti cabe. Menurut<br />
Djoema’ijah et al., 1989) dengan pemberian pupuk kandang 10 ton/ha dapat meningkatkan hasil<br />
sebesar 58,1%. Untuk penentuan dosis pupuk yang tepat untuk peningkatan produktivtias jeruk siam<br />
perlu dilakukan penelitian/pengkajian.<br />
Dari segi ketersedian sarana produksi di lokasi kajian cukup tersedia, karena anggota<br />
kelompok tani tergabung dalam anggota KUD Sido Rukun. KUD Sido Rukun juga ikut menentukan<br />
harga penjualan jeruk saat panen, sehingga pedagang tidak selalu menentukan harga (monopoli).<br />
Pemangkasan bertujuan untuk mendapatkan percabangan dan bentuk pohon yang baik agar<br />
dapat berproduksi secara optimal dan memudahkan perawatan kebun. Pemangkasan terhadap cabang<br />
dan ranting umumnya tidak pernah dilakukan petani, keculai cabang dan ranting mati. Alasan yang<br />
dikemukakan petani adalah sayang bunga banyak tumbuh diantara tunas-tunas yang ada dan manfaat<br />
pemangkasan belum banyak diketahui petani.<br />
Penjarangan bertujuan untuk memperoleh buah dengan ukuran yang maksimal dan seragam.<br />
Selain memperbaiki kualitas buah dan kestabilan produksi pada musim berikutnya. Penjarangan buah<br />
dilakukan pada tanaman yang berbuah lebat, penjarangan buah yang baik pada saat buah sebesar<br />
kelereng (diameter 1-2 cm) dalam satu tandan buah disisakan 1-2 buah. Alasan yang dikemukakan<br />
petani adalah pedagang/pembeli belum memberikan kriteria buah berdasarkan ukuran dan harga tidak<br />
berdasarkan kualitas, terutama ukuran buah.<br />
Untuk peningkatan nilai jual jeruk siam dan mengacu segmen pasar serta banyaknya buahbuahan,<br />
terutama jeruk impor, pemahaman tentang penjarangan buah oleh petani jeruk menjadi<br />
penting, mengingat permintaan selera konsumen perkotaan disamping rasanya yang manis juga<br />
kualitas ukuran buah sangat diperlukan dan diharapkan, jeruk siam asal Nabire mempunyai daya saing<br />
tersendiri, terutama di kawasan Provinsi Papua dan tujuan pasar di luar Provinsi Papua.<br />
Petani melakukan pengendalian gulma, terutama pada pertanaman jeruk yang sudah berumur<br />
> 5 tahun dengan cara menggunakan herbisida. Alasan petani adalah penggunaan herbisida lebih<br />
efisien dari pada menggunakan tenaga secara manual. Jenis herbisida yang banyak digunakan petani<br />
adalah dengan merek dagang gramoxone dan klen up.<br />
Dari identifikasi di lapangan hama yang dominan adalah (1) hama kepik berwarna sawo dan<br />
kepik hijau. Hama kepik ini menyerang bagian buah. Buah yang terserang merana karena diisap<br />
airnya, (2) Kutu jeruk hitam. Serangannya pada buah dan daun bertitik-titik mengakibatkan<br />
penampilan buah jelek, (3) kutu dompolan. Kutu ini menyerang tangan daun tertutup dengan kutu<br />
berwarna putih yang berakibat daun atau tangkai menjadi rontok, (4) Ulat bisul. Ulat ini menyerang<br />
buah jeruk. Kulit buah menjadi berbisul-bisul dan mengeluarkan getah. Hama-hama tersebut di atas<br />
tidak begitu banyak yang menyerang pertanaman jeruk siam petani. Petani menggunakan beberapa<br />
jenis pestisida dengan merek dagang Azodrin, Darmabas dan Dursban.<br />
Disamping itu juga ditemukan penyakit yang menyerang tanaman jeruk siam, diantaranya<br />
penyakit diplodia atau sering disebut bledok. Menurut Triwirato et al., (2003) penyakit diplodia atau<br />
beldok ini disebabkan oleh cendawan Botryodiplodia theobromeo Pat. Penyakit ini banyak dijumpai<br />
388│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Keragaan Teknologi Jeruk Siam di Tingkat Petani Papua (Kasus Kabupaten Nabire)<br />
Malik, A<br />
pada kebun jeruk yang kurang dipeliara dengan baik, termasuk di pertanaman jeruk yang ada di sentra<br />
jeruk siam Nabire.<br />
Pengendalian penyakit ini oleh petani menggunakan fungisida dengan merek dagang Ridomil<br />
5g. Funsisida ini dilarutkan dengan air dan disapukan menggunakan kuas pada batang jeruk yang<br />
terserang. Penyapuan dilakukan petani pada batang dan cabang primer dan sekunder. Penyapuan<br />
batang dilakukan dua minggu sekali. Bagian tanaman yang akan disapu, dibersihkan dari blendok dan<br />
kulit kering yang mengelupas dengan cara disikat/bersihkan.<br />
Jeruk siam yang diusahakan petani setahun berbuah dua kali dengan musim panen raya<br />
September-Nofember sedangkan tidak panen raya, Maret-April. Pada saat panen raya, harga jeruk Rp<br />
100.000/peti (50 kg) atau setara dengan Rp 2.000/kg. Sedangkan pada saat tidak panen raya harga<br />
jeruk siam berkisar Rp 3.500-4.500kg. Tata niaga jeruk siam yang ada di lokasi pengkajian adalah (1)<br />
Petani-penampung lokal-penampung antar pulau/kota-pengecer-konsumen, (2) Petani-Konsumen<br />
(lokal) dan (3) Petani–pedagang pengecer-konsumen (lokal)<br />
Wilayah target pemasaran di Papua yaitu : Sorong, Manokwari (Provinsi Papua Barat), Biak, Serui,<br />
dan Jayapura, sedangkan di luar Provinsi Papua antara lain : Ambon, dan Surabaya.<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
Kesimpulan<br />
Terdapat 205.615 ha lahan potensial di Kabupaten Nabire untuk pengembangan buah-buahan<br />
termasuk komoditas jeruk. Luas pertanaman jeruk siam di Kabupaten Nabire 445 ha (28,27% dari luas<br />
Provinsi Papua). Produktivitas 15,5 ton/ha/tahun (38,75 kg/batang/tahun). Jeruk siam yang ada<br />
berasal dari Purworejo (Jawa Tengah) era tahun 1980-an Jeruk siam Nabire dengan warna kulit buah<br />
matang hijau kekuningan dengan warna daging buah orange dengan rasa manis.<br />
Luas kepemilikan jeruk siam di tingkat petani bervariasi antara 0,75-3 ha, Jarak tanam 5x5 M,<br />
bibit okulasi yang diperoleh dari penangkar lokal. Dosis pupuk Urea 200 kg+200 kg SP-36+50 kg<br />
KCl+200 kg phonska/ha dan Urea 150 kg+150 SP-36+100 kg Phonska/ha. Pemangkasan dan<br />
penjarangan buah tidak pernah dilakukan petani. Hama kepik, kutu jeruk hitam dan kutu dompolan<br />
serta penyakit diplodia mendominasi hama/penyakit jeruk siam. Jeruk siam yang diusahakan petani<br />
setahun berbuah dua kali dengan musim panen raya September-Nofember sedangkan tidak panen raya,<br />
Maret-April.<br />
Implikasi kebijakan<br />
Keberhasilan peningkatan produktivitas jeruk siam didaerah ini sangat tergantung dari<br />
kemauan petani dalam pengelola manajamen kebunnya, untuk itu perlu dukungan pemerintah daerah<br />
memotivasi penerapan inovasi peningkatan produktivitas, seperti pemangkasan, pemupukan, sanitasi<br />
kebun dan pengendalian H/P. Kajian peningkatan produktivitas seperti pemangkasan dan penentuan<br />
dosis pemupukan sangat diperlukan.<br />
PUSTAKA<br />
1. Assad, M dan L. Hutagalung. 1992. Status Hama dan Penyakit Jeruk di Selayar Sulawesi<br />
Selatan. Jurnal <strong>Hortikultura</strong> Puslitbang <strong>Hortikultura</strong>. Badan Litbang <strong>Pertanian</strong>. Vol 2 (3) Hal<br />
47-53.<br />
2. BPS Papua. 2010. Provinsi Papua Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Jayapura<br />
3. BPS Nabire. 2010. Kabupaten Nabire Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Nabire<br />
4. BPTP Papua. 2005. Arahan Penggunaan Lahan dan Alternatif Pengembangan Komoditas Utama<br />
Berdasarkan Agroekologi Kabupaten Nabire. Pusitbang Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>. 20 Hal<br />
5. Dinas PKP Papua. 2007. Kajian Zona Agroekologi Mendukung Pengembangan <strong>Pertanian</strong> di<br />
Provinsi Papua. Prosiding Seminar Regional BPTP Papua. Puslitbang Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>.<br />
Hal 283-288.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│389
Keragaan Teknologi Jeruk Siam di Tingkat Petani Papua (Kasus Kabupaten Nabire)<br />
Malik, A<br />
6. Dinas PKP Papua. 2010. Laporan Tahunan. Dinas <strong>Pertanian</strong> dan Ketahanan Pangan Provinsi<br />
Papua. Jayapura<br />
7. Distanbun Nabire. 2010. Laporan Tahunan. Dinas <strong>Pertanian</strong> dan Perkebunan Kabupaten Nabire.<br />
8. Djoemai’jah,. Soenarso., Supadi dan Q. Dadang. 1989. Penentuan Titik Kritik Hara Fosfor pada<br />
Tanaman jeruk Manis. Penelitian <strong>Hortikultura</strong>. Vol 3 (2).<br />
9. Dwiastuti, A. Triwiratno, O. Endarto, S. Wuryantini, dan Yunimar. 2004. Panduan Teknis<br />
Pengenalan dan Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Jeruk. Loka Penelitian Tanaman<br />
Jeruk dan <strong>Hortikultura</strong> Sub-tropik. 96 hlm.<br />
10. Dirjenhorti. 2008. Program dan Pengembangan Tanaman <strong>Hortikultura</strong>. Direktorat Jenderal<br />
<strong>Hortikultura</strong>. <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong>.<br />
11. Endarto, O. 2004. Pengenalan dan Pengendalian Serangga Hama Utama pada Tanaman Jeruk.<br />
Makalah disampaikan pada JTOT jeruk di Solok, 25-28 Agustus 2004.<br />
12. Hilman, Y. 2007. Kebijakan Riset dan Rangkuman Teknologi unggulan Mendukung<br />
Pengembangan <strong>Hortikultura</strong> di Indonesia Prosiding Seminar <strong>Hortikultura</strong> BPTP Sumbar. Balai<br />
Besar P2TP. Badan Litbang <strong>Pertanian</strong>. Hal 13-20.<br />
13. Malik, A dan J. Limbongan. 2004. Keragaan Teknologi dan Pemasaran Jeruk Siam di Provinsi<br />
Papua. Prosiding Seminar Jeruk Siam Nasional. Puslitbanghorti. Badan Litbang <strong>Pertanian</strong>.<br />
Surabaya, 15-16 Juni 2004. Hal 173-183.<br />
14. Malik, A., N. E. Lewaherilla., P. A. Beding dan H. Masbaitubun. 2011 Kajian Pengembangan<br />
Penerapan Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Siam untuk Meningkatkan Produktivitas > 10<br />
ton/ha Di Papua. Laporan Akhir PIPKPP-Menristek. BPTP Papua Balai besar P2TP. Badan<br />
Litbang <strong>Pertanian</strong>.<br />
15. Syam, A dan H. Marlian. 1997. Sistem Produksi dan pemasaran Jeruk di Propinsi Jawa Barat<br />
dalam Prosiding Dinamika Sumberdaya dan Pengembangan Sisitem Usaha <strong>Pertanian</strong>. Pusat<br />
Penelitian Sosial Ekonomi <strong>Pertanian</strong>. <strong>Buku</strong> II. Hal 357 – 366.<br />
16. Triwiratno, A., A. Supriyanto dan Suharyono. 2003. Penyakit jamur diplodia pada jeruk.<br />
Citrusindo, Volume 08 Agustus 2003.<br />
17. Poerwanto, R. Program pengembangan Jeruk Siam di Indonesia dalam Marwoto et al., (eds)<br />
Prosiding Seminar Jeruk Siam Nasional. Puslitbanghorti. Badan Litbang <strong>Pertanian</strong>. Surabaya,<br />
15-16 Juni 2004. Hal 15-26.<br />
390│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Peluang Pengembngan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di Desa<br />
Antar Baru Kecamatan Marabahan Kabupaten Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
Peluang Pengembngan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut<br />
di Kalimantan Selatan (Kasus di Desa Antar Baru Kecamatan Marabahan Kabupaten<br />
Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Kalimantan Selatan, Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru<br />
Kalimantan Selatan<br />
ABSTRAK. Usahatani sayuran merupakan salah satu peluang usaha dalam meningkat pendapatan petani. Petani<br />
rata-rata menanam sayuran hanya seluas 0,5 Ha hal ini disebabkan karena untuk menanam sayuran perlu modal<br />
yang besar. Sayuran yang umumnya diusahakan petani antara lain cabe merah dan Tomat dengan<br />
mempergunakan sarana produksi antara lain untuk pupuk yaitu: pupuk kandang. tricokompos, biohara plus,<br />
untuk pengendalian hama dan penyakit memakai ekstrak nimba. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk<br />
mengetahui apakah usahatani sayuran (cabe merah dan tomat) secara financial berpeluang untk dikembangkan<br />
dengan memakai bahan organik Penelitian ini dilaksanakan di Antar baru Kecamatan Marabahan Kabupaten<br />
Barito Kuala pada bulan Januari 2011. dengan mengggunakan metoda PRA. Data yang dikumpulkan berupa<br />
data primer dan sekunder. Data primer adalah data usahatani selama satu tahun sebelumnya yang dilakukan<br />
responden, sedangkan data sekunder merupakan data penunjang yang dikumpulkan dari Kepustakaan dan<br />
instansi terkait. Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk cabe merah produtivitas mencapai 5 ton/ Ha dengan<br />
tingkat penerimaan sebesar Rp 25.000.000,- , biaya produksi yang dikeluarkan ]Rp 17,260.000,- (R/C<br />
Ratio:1,45). untuk tomat produtivitas mencapai 6 ton/ Ha dengan tingkat penerimaan sebesar Rp 24.000.000,-<br />
total biaya yang dikeluarkan Rp 17,510.000,- (R/C Ratio: 1,4). Dari hasil analisis financial tersebut menunjukkan<br />
bahwa usahatani cabe merah dan tomat layak diusahakan karena nilai R/C ratio > 1. Dan sangat berpeluang<br />
untk dikembangkan di lahan pasang surut.<br />
Katakunci: Usahatani, sayuran, organik, pasang surut<br />
Abstract. Rismarini Zuraida dan Jumena Adijaya. Peluang Pengembangan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong><br />
Organik pada Lahan Pasang Surut Di Kalimantan Selatan. Vegetable farming system is a business<br />
opportunity to increase income of farmers. Land ownership of the farmers are 0.5 ha on the average. Vegetables<br />
are generally cultivated farmers including red pepper and tomatoes. Farmers use fertilizer, that are: manure.<br />
tricocompos, biohara plus, for the control of pests and diseases. The purpose of this study was to determine<br />
whether the farming of vegetables (red peppers and tomatoes) are developed using organic materials research<br />
was conducted in the new Inter District Marabahan Barito Kuala District in January 2011. The PRA is used.<br />
Data was collected in the form of primary and secondary data. The primary data collected is farming data for<br />
one year, while secondary data was collected from the related agencies. The results showed that for the red chili<br />
produtivity reachs 5 tonnes / ha with income of Rp 25,000,000,-, production costs U.S. $ 17,260.000,- (R/C<br />
ratio: 1.45). The tomatoes productivitas reach 6 tons/ha with income rate of Rp 24,000,000, - total cost USD<br />
17,510.000, - (R / C ratio: 1.4). From the results of the financial analysis showed that the red pepper and tomato<br />
farming viable because the value of R / C ratio> 1.<br />
<strong>Pertanian</strong> organik adalah teknik budidaya dan pengusahaan pertanian dengan mengandalkan<br />
input dan sarana produksi bahan alami (organic) tanpa menggunakan kimia sintetis. Tujuan utama<br />
pertanian organik menyediakan aneka produk pertanian, khususnya bahan pangan yang aman bagi<br />
kesehatan baik bagi produsen ( petani) maupun konsumen, serta tidak merusak lingkungan. Gaya<br />
hidup sehat kini telah menjadi standar dan melembaga secara internasional, dalam hal mana<br />
mensyaratkan jaminan bahwa, produk pertanian bagi konsumsi harus beratribut aman (food safety<br />
attributes), memiliki kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (ecolabelling<br />
attributes). Preferensi konsumen di seluruh dunia kepada produk organik, menyebabkan<br />
permintaan produk pertanian berbahan alami di tingkat dunia internasional meningkat pesat.<br />
Permintaan pasar semakin prospektif (Sonson Garsoni Tahun 2010)<br />
Dengan memamfaatkan lahan marginal yang tersedia di Kalimantan khususnya lahan pasang<br />
surut maka berpeluang untuk pertanian khususnya untuk pertanian organik . Karena lahan pasang<br />
surut belum optimal pemamfaatannya dikarena berbagai kendala, hal ini terlihat dari tingkat produksi<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│391
Peluang Pengembngan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di Desa<br />
Antar Baru Kecamatan Marabahan Kabupaten Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
dan indeks pertanaman yang rendah. Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan pertanian<br />
lahan pasang surut meliputi kesuburan lahan dan pH tanah yang rendah, jaringan irigasi/drainase yang<br />
belum berfungsi dengan baik, keragaman kondisi lahan, serta serangan hama dan penyakit.<br />
Sedangkan kendala aspek social ekonomi adalah keterbatasan tenaga kerja dan modal, tingkat<br />
pendidikan dan keterampilan yang rendah, serta sarana dan prasara penunjang kurang kondusif<br />
(Nusyirwan Hasan, tahun 2003 dengan berlatar belakang tersebut pengkajian ini dilaksanakan untuk<br />
melihat peluang Pengembangan sayuran organik di lahan pasang surut.<br />
METODOLOGI PENELITIAN<br />
Penelitian ini dilaksanakan di desa Antar Baru Kabupaten Barito Kuala pada bulan Januari Tahun<br />
2011. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey yang di titik beratkan pada permasalahan,<br />
hambatan dan peluang pengembangan usahatani sayuran di lahan Pasang surut. Data yang di<br />
kumpulkan yaitu data primer dan data skunder. Data primer langsung diambil dari petani yang<br />
berusahatani sayuran yaitu dengan metode PRA atau Participatory Rural Appraisa menurut<br />
Chambers,R .(Tahun 1996) yaitu memahami pedasaan secara menyeluruh dengan secara sepat. Untuk<br />
kelengkapan data yang lainnya (data sekunder) diambil pada Instansi yang terkait dan kepustakaan.<br />
Data yang terkumpulkan dianalisis secara diskreptif dan analisis kelayakan Finansial (analisis biaya<br />
dan pendapatan).<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Karakteristik Lahan Pasang Surut<br />
Lahan pasang surut dipengaruhi oleh pasang air laut, dan sebagian besar terdiri dari tanah<br />
gambut dan sulfat masam . Kedua jenis tanah dinilai sebagai ekosistem marginaldan rapuh. Untuk<br />
pengembangan lahan ini menjadi usaha pertanian harus mengetahui terlebih dahulu sifat dan kelakuan<br />
yang khas dari tanah tersebut(Widjaya Adhi, dkk 1992). Pemanfaatan yang sesuai, pengembangan<br />
yang seimbang dan pengelolaan yang serasi dengan karakteristik dan kelakuannya dapat mengubah<br />
lahan pasang surut ini menjadi lahan pertanian berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan (Widjaya-<br />
Adhi,1986).<br />
Berdasarkan jangkauan air, lahan pasang surut ini dibedakan kedalam 4 tipe luapan (Widjaya<br />
Adhi, dkk 1992).<br />
3. Tipe A : Lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pasang besar,maupun pasang kecil.<br />
4. Tipe B : Lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar.<br />
3. Tipe C: Lahan yang tidak pernah terluapi walaupun pasang besar. Air pasang<br />
mempengaruhinya secara tidak langsung, kedalaman air tanah dari permukaan tanah<br />
kurang dari 50 Cm.<br />
4. Tipe D: Lahan yang tidak terluapi air pasang dan air tanahnya lebih dalam dari 50 Cm.<br />
Pada lokasi penelitian ini katageri yang dimiliki yaiti tidak diluapi secara langsung tapi<br />
air tanahnya lebih dalam dari 50 Cm. ( Lahan pasang surut Tipe D)<br />
Sistem Usahatani Lahan Pasang Surut<br />
Pola tanam yang dominan di desa ini yakni usahatani padi, sayuran, jeruk masih muda rata<br />
berumur 2-3 tahun. Padi yang ditanam yaitu padi unggul dan padi lokal, tetapi pada umumnya senang<br />
menanam padi local hal ini disebabkan dari segi pemeliharaan dan kemudahan dalam menjual. Kalau<br />
padi unggulnya pemeliharaannya agak rumit dan dalam menjual harganya cendrung murah . Selain<br />
usahatani padi petani mengusahakan tanaman sayuran seperti cabe dan tomat yang sering berulangulang<br />
ditanam walaupun sayuran yang lain juga ditanam seperti kacang panjang, pari.,dll Pada<br />
dasarnya teknologi budidaya sayuran di desa Antar Baru ini sebagian besar melaksanakan pertanian<br />
organic yaitu untuk pengolahan tanah hanya di tabas dan digaruk tidak memakai herbisida, dan<br />
pemupukan memakai pupuk organic yang di jual oleh Gapoktannya sendiri yaitu pupuk kandang dan<br />
392│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Peluang Pengembngan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di Desa<br />
Antar Baru Kecamatan Marabahan Kabupaten Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
tricokompos dan Pupuk cair biohara plus. Tanaman sayuran ini sangat besar pengaruhnya terhadap<br />
pendapatan rumah tangga dikarenakan sayuran bisa dipetik setiap hari.<br />
Teknologi di Tingkat Petani (Cabe besar dan tomat)<br />
a. Cabe besar (capsicum Annum L)<br />
Pengolahan lahan<br />
Setelah lahan dibersihkan kemudian digaru dan diberi Dolomit. Tebarkan pupuk<br />
kandang dosis 0,5 -1 ton/ 1000 m2, (biarkan 1 minggu) · Kemudian dibuat bedengan lebar 100<br />
cm dan parit selebar 80 cm. Bedengan ditutup mulsa plastik dan dilubangi, jarak tanam 60 cm<br />
x 70 cm biarkan + 1 – 2 minggu .<br />
Persemaian,<br />
Media tumbuh dari campuran tanah dan pupuk kandang/ kompos yang telah disaring,<br />
perbandingan 3 : 1. Pupuk kandang sebelum dipakai pupuk kandang didiamkan selama1 minggu,<br />
bibit dimasukkan kepolibag ukuran 4 x 6 cm (Biji cabai diletakkan satu per satu tiap polybag),<br />
lalu ditutup selapis tanah + pupuk kandang matang yang telah disaring. Untuk<br />
pemeliharaannya/penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi atau sore hari untuk menjaga<br />
kelembaban<br />
Tanam<br />
Bibit yang di tanam yang, Bibit yang memiliki 5-6 helai daun (umur 21 – 30 hari).<br />
Kebutuhan benih per 1000 m2 1 – 1,25 bks, Waktu tanam pagi atau sore hari , Plastik polibag<br />
dilepas. Setelah penanaman selesai, tanaman langsung disiram. Pemupukan dilaksanakan<br />
berselang 7 hari pada perkembangan vegetative dengan pupuk tricokompos yang dibuat oleh<br />
petani sendiri. dan bagian atas seperti daun disemprot/dipupuk dengan biohara plus.<br />
Pemanenan<br />
Panen pertama sekitar umur 60-75 hari Buah dipanen tidak terlalu tua (kemasakan 80-<br />
90%). Panen kedua dan seterusnya 2-3 hari dengan jumlah panen bisa mencapai 30-40 kali<br />
b. Tomat (Lycopersicon sp. Mill.)<br />
Tomat (Lycopersicon sp. Mill.) termasuk sayuran buah dan banyak mengandung<br />
vitamin A, Vitamin C, dan sedikit vitamin B. Tomat tumbuh di dataran rendah dan dataran<br />
tinggi. Waktu tanam yang baik 2 bulan sebelum musim hujan berakhir dan awal musi m<br />
kemarau. Tomat menghendaki tanah gembur, kaya humus dan subur serta drainase baik dan<br />
tidak menggenang. pH 5-7. Curah hujan optimal 100-220 mm/bulan. Temperatur opti mum adalah<br />
24ºC (siang hari) dan 15º C - 20º C (malam hari).<br />
Benih<br />
Perbanyakan benih tomat secara generatif (biji). Kebutuhan benih tergantung pada<br />
varietas dan jarak tanam dengan kisaran antara 150-300 gr/ha. Benih disiapkan dengan cara:<br />
pilih buah tomat yang sehat dan matang penuh, lalu diperam 3 hari sampai berwarna merah gelap<br />
dan lunak. Keluarkan bi ji bersama lendirnya; fermentasi biji 3 hari sampai lendir dan airnya<br />
terpisah dari biji; dicuci dan dijemur selama 3 hari atau kadar airnya 6%.<br />
Benih tergantung pada varietas dan jarak tanam dengan kisaran antara 150-300<br />
gr/ha. Benih disiapkan dengan cara: pilih buah tomat yang sehat dan matang penuh, lalu diperam 3<br />
hari sampai berwarna merah gelap dan lunak. Keluarkan bi ji bersama lendirnya; fermentasi biji 3<br />
hari sampai lendir dan airnya terpisah dari biji; dicuci dan dijemur selama 3 hari atau kadar<br />
airnya 6%.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│393
Peluang Pengembngan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di Desa<br />
Antar Baru Kecamatan Marabahan Kabupaten Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
Pesemaian<br />
Benih disemai pada persemaian (bedengan/kantong plastik/ polybag). Sebelum<br />
disemai, benih direndam dalam larutan Previkur N (0,1%) selama ± 2 jam, kemudian<br />
dikeringkan. Benih disebar merata pada bedengan/ tempat penyemaian dengan media tanah<br />
dan pupuk organik 1: 1, lalu ditutup dengan daun pisang selama 2-3 hari. Bedengan persemaian<br />
diberi naungan/atap dari screen/kassa plastik transparan. Kemudian persemaian ditutup<br />
dengan screen untuk menghindari OPT. Setelah berumur 7-8 hari, bibit dipindah kedalam<br />
bumbunan daun pisang/pot plastik dengan media yang sama (tanah dan pupuk organik steril).<br />
Penyiraman dilakukan setiap hari. Bibit siap ditanam dilapangan setelah berumru 3-4 minggu atau<br />
sudah memiliki 4-5 helai daun.<br />
Pengolahan tanah dan penanaman<br />
Olah tanah dan buat bedengan arah Timur-Barat dengan ukuran lebar 100-120 c m,<br />
panjang sesuai petakan maksimum 15 m untuk memudahkan dalam pemeliharaan tanaman,<br />
tinggi 30-40 cm dan jarak antara bedengan 20-30 cm. Gunakan pupuk organik sebanyak 0,5-1<br />
kg untuk setiap lubang. Diamkan lahan selama 1 minggu. Jarak tanam 50x70 cm atau<br />
70 x80 c m tergantung varietas. Penanaman di lakukan sore hari, setelah itu diberi penutup dari<br />
daun-daunan/pelepah pisang, lalu dibuka penutup setelah 4-5 hari. Tiap bedengan berisi 2 baris<br />
tanaman.<br />
Pemeliharaan<br />
Berikan pupuk dasar saat tanam, yaitu pupuk kandang 100 kg. Pupuk susulan I<br />
diberikan 14 HST (Hari Setelah Tanam) 100 kg tricokompos dan untuk pupuk daun<br />
diberikan biohara plus dan pupuk susulan II) sama dosisnya dengan pupuk susulan I.<br />
Pupuk diberikan di sekeli ling tanaman dengan jarak 5 cm dari tanaman, setelah pemupukan<br />
ditutup dengan tanah setebal1-2 cm. Siram setiap hari. Pada saat berbunga siram 2 hari sekali<br />
hingga berbuah.<br />
Penyiangan setelah pemupukan atau tergantung pada pertumbuhan gulma. 3-4<br />
minggu setelah tanam diberi ajir/lanjaran untuk menopang tanaman. Lakukan<br />
pemangkasan setelah umur 4-6 minggu. Tomat yang telah mempunyai lima dompolan buah<br />
harus dipotong pucuk batang dan tunas- tunasnya. Tinggalkan 2-3 tunas yang berada di<br />
samping/sebelah bawah dompolan.<br />
Panen dan pascapanen<br />
Panen dan petik buah per tama setelah umur 2-3 bulan. Panen dapat dilakukan antara 10-15<br />
kali pemetikan buah dengan inter val waktu 2-3 hari sekali. Buah yang siap dipanen adalah yang<br />
sudah matang 30%. Total buah yang dapat dipanen dalam satu batang mencapai 1-2 kg.<br />
Untuk pengangkutan ketempat yang jauh, buah tomat dapat dikemas dalam peti-peti kayu, tiap<br />
peti berisikan 20-30 kg buah tomat.<br />
Analisis Finansial Usahatani Cabe Besar dan Tomat<br />
Usahatani sayuran bagi petani adalah sumber pendapatan yang paling utama untuk<br />
menopang keperluan rumah tangga setiap hari,di tanam dalam waktu yang singkat dan<br />
mendapatkan uang tunai/cash secara cepat karena sayuran bisa dipetik beberapa kali. Jadi<br />
keperluan rumah tangga petani selalu terpenuhi disamping tanaman padi yang panen pada waktu<br />
yang sudah di tentukan. Untuk melihat pendapatan petani untuk sayuran lebih rincinya bisa dilihat<br />
pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini;<br />
394│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Peluang Pengembngan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di Desa<br />
Antar Baru Kecamatan Marabahan Kabupaten Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
Tabel 1. Analisis finansial Usahatani Cabe Besar per hektar di Desa Antar Baru Kec<br />
Marabahan Kab.Barito Kuala Tahun 2011<br />
U r a i a n<br />
Cabe Besar<br />
Fisik<br />
Nilai (Rp)<br />
a. Penerimaan 5 ton 25.000.000<br />
b. Saprodi :<br />
Benih 35 bks 3.500.000<br />
Biohara plus 35liter 2.275.000<br />
Pupuk Tricompos, dan kapur 2 ton 2.000.000<br />
Ekstara daun nimba 175 liter 3,500.000<br />
Polibag 15 pak 225.000<br />
Plastik<br />
75 meter 260.000<br />
c. Tenaga kerja :<br />
Pengolahan lahan 30 1.500,000<br />
Penanaman 20 1.000.000<br />
Pemupukan 20 1,000.000<br />
Pemeliharaan/penyiangan 20 1,000.000<br />
Penen & Pasca P 20 1,000.000<br />
d. Total biaya 17,260.000<br />
e. Pendapatan 7.740.000<br />
f. R/C Rasio 1,45<br />
Pada Tabel 1. Produktivitas cabe besar per hektar mencapai 60 ton dengan penerimaan Rp<br />
25.000.000,- dengan total biaya (Benih,pupuk dan tenaga kerja) Rp 17.260.000,- pendapatan yang<br />
diperoleh Rp7.740.000,- dengan nilai R/C ratio 1,45 ( R/C ratio > 1) layak diusahakan. Harga yang<br />
berlaku pada masyarat sayuran dengan inputnya organik dengan yang tidak memakai pupuk dan obatobatan<br />
yang organik harganya sama saja. Tetapi di desa ini tetap mempertahan pertanian organiknya.<br />
Tabel 2. Analisis Finansial Usahatani Tomat per Hektar di Desa Antar baru Kec.Marabahan Kab<br />
Barito Kuala Tahun 2011<br />
U r a i a n<br />
Tomat<br />
Fisik<br />
Nilai (Rp)<br />
a. Penerimaan 6 ton 24.000.000<br />
b. Saprodi :<br />
Benih 50 bks 3,750.000<br />
Biohara plus 35liter 2.275.000<br />
Pupuk Tricompos, dan kapur 2 ton 2.000.000<br />
Ekstara daun nimba 175 liter 3,500.000<br />
Polibag 15 pak 225.000<br />
Plastik<br />
75 meter 260.000<br />
Tonggak(batang)<br />
c. Tenaga kerja :<br />
Pengolahan lahan 30 1.500,000<br />
Penanaman 20 1.000.000<br />
Pemupukan 20 1,000.000<br />
Pemeliharaan/penyiangan 20 1,000.000<br />
Penen & Pasca P 10 500.000<br />
d. Total biaya 17,510.000<br />
e. Pendapatan 6.490.000<br />
f. R/C Rasio 1,4<br />
Pada Tabel 2. Di atas menunjukan bahwa tomat menguntungkan untuk diusahakan, ini<br />
terlihat dari pendapatan bersih yang mencapai Rp. 6.490.000,- Total Biaya untuk mentimun mencapai<br />
Rp 17,510.000,-. Dari analisis finansial sayuran tomat sangat layak diusahakan dengan melihat nilai<br />
R/C ratio 1,4 ( R/C Ratio >1) layak diusahakan (Soekartawi. 1995).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│395
Peluang Pengembngan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di Desa<br />
Antar Baru Kecamatan Marabahan Kabupaten Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
Petani di Desa Antar Baru saat panen bersamaan harga cendrung turun dan posisi tawar<br />
banyak menguntung pedagang, hal ini karena petani tidak mempunyai modal yang cukup, sebagian<br />
modal minjam kepada pedagang,walaupun tidak ada dikenakan bunga, tapi untuk harga sayuran yang<br />
berlaku lebih ditentukan oleh pedagang.<br />
Peluang Pengembangan Usahatani Sayuran menuju pertanian organik<br />
Berdasarkan hasil kajian terhadap potensi dan masalah di Desa Antar Baru maka tidak<br />
terlepas dari 3 faktor yaitu :1.Secara teknis dapat dilaksanakan,2. secara ekonomis menguntungkan<br />
dan 3. Secara sosial bisa dipertanggungjawabkan tidak merusak lingkungan.<br />
Secara teknis<br />
a) Optimalisasi pemanfaatan lahan, dapat dilakukan melalui:<br />
1. Penampungan kelebihan air hujan pada kolam penampungan (embung) dengan ukuran 4-5%<br />
dari total area yang ingin diairi, sehingga pada saat musim kemarau dapat digunakan untuk<br />
mengairi tanaman di sekitar embung.<br />
2. Pompanisasi dengan cara pemanfaatan air tanah dangkal.<br />
b) Inovasi teknologi sayuran yang dapat dilakukan melalui:<br />
1. Penggunaan varietas unggul spesifik lokasi.<br />
2. Efisiensi pemupukan, pupuk organik<br />
3. Pengendalian gulma dan hama penyakit tanaman.<br />
c) Perbaikan usahatani yang dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani, yaitu dengan<br />
pola tanam yang menguntungkan.<br />
Dari segi ekonomi<br />
Bahwa dilihat dari<br />
kemudahan memasarkan.<br />
kelayakan usahanya sangat menguntungkan (R/C Ratio>1), dan<br />
Dari segi sosial<br />
Usahatani pada desa ini tidak mempergunakan bahan-bahan dan saprodi terdiri dari bahan alami<br />
/organik bisa dipertanggung jawabkan tidak merusak lingkungan. Melihat itu semua maka usahatani<br />
sayuran pada lahan pasang surut di desa ini sangat besar peluangnya untuk pengembangan pertanian<br />
organik.<br />
KESIMPULAN DAN SARAN<br />
1. Desa Antar Baru selama ini dikembangkan usahatani sayuran organik yang bertujuan untuk<br />
memenuhi kebutuhan sehari-hari dan belum berorientasi agribisnis sehingga berdasarkan nilai<br />
R/C ratio menguntungkan dan sangat layak diusahakan dan berpeluang besar untuk<br />
pengembangan pertanian organik.<br />
2. Saat panen yang bersamaan harga cenderung turun. Petani tidak mempunyai posisi tawar yang<br />
baik karena petani mempunyai modal yang terbatas<br />
PUSTAKA<br />
1. Chambers, R. 1996. PRA (Participatory Rural Appraisal) Memahami Desa Secara Partisipatif.<br />
Kanisius. Yogyakarta.<br />
2. Widjaja-Adhi, IPG, Nugroho dan S.Karama, Didi Ardi 1992. Sumberdaya lahan rawa potensi,<br />
kebutuhan dan Pemanfaatan Dalam Risalah Pertemuan Nasional Pengembanagan <strong>Pertanian</strong><br />
Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992.<br />
3. Widjaja-Adhi,IPG, Nugroho dan S.Karama, 1990. Sumberdaya lahan pasang surut, rawa dan<br />
pantai. Potensi keterbatasan dan pemanfaatan Pertemuan Nasional Pengembangan <strong>Pertanian</strong><br />
Lahan Pasang Surut dan Rawa, Cisarua, 3-4 Maret 1990.<br />
396│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Peluang Pengembngan Sayuran Menuju <strong>Pertanian</strong> Organik pada Lahan Pasang Surut di Kalimantan Selatan (Kasus di Desa<br />
Antar Baru Kecamatan Marabahan Kabupaten Barito Kuala)<br />
Zuraida, R dan Adijaya, J<br />
4. Widjaja-Adhi,IPG, 1986. Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak, Jurnal Litbang <strong>Pertanian</strong> V<br />
(1)<br />
5. Nusyirwan Hasan, Adri, Azwar, Firdaus, 2003, Keragaaan varietas Batang Hari pada lahan pasang<br />
surut sulfat masam potensial, Temu Aplikasi dan Seminar Teknologi <strong>Pertanian</strong> Di Lahan Pasang<br />
Surut Kalimantan Tengah 2003.<br />
6. Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia. Jakarta.<br />
7. Sonson Garson, 2010, <strong>Pertanian</strong> Organik, Jakarta<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│397
Respon Petani dalam Pemanfaatan Air pada Usahatani Sayuran Pada Musim Kemarau di Magelang<br />
Setiapermas, M. N, Basuki, S dan Cempaka, I. G.<br />
Respon Petani dalam Pemanfaatan Air pada Usahatani Sayuran Pada Musim Kemarau<br />
di Magelang<br />
Setiapermas, M. N, Basuki, S dan Cempaka, I. G.<br />
Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Jawa Tengah<br />
Bukit Tegalepek, Sidomulyo, Ungaran Timur Semarang 50501<br />
ABSTRAK. Beberapa aksi untuk mengantisipasi perubahan iklim antara lain mensosialisasikan teknologi hemat<br />
air, pemanfaatan sumber air alternatif untuk meningkatkan intensitas tanam spesifik lokasi, mengoptimalkan<br />
kelompok tani dalam distribusi air serta mengatur pola tanam dan penentuan komoditas pada tahun ekstrim. Bagi<br />
petani kreatif, air merupakan masalah yang harus diselesaikan, mereka memanfaatkan air untuk budidaya<br />
komoditas dengan harga jual tinggi sehingga petani dapat mengambil keuntungan lebih. Tujuan pengenalan<br />
irigasi tetes di lahan kering adalah untuk mengetahui respon petani tentang teknologi efisiensi air. Dengan sistem<br />
kocor, petani biasanya mengairi tanaman sekitar 1-2 liter / tanaman dengan interval 3 hari. Dengan adanya<br />
jaringan irigasi mikro dan sistem tetes dapat menghemat air dan tenaga kerja. Responden adalah petani sekitar<br />
lokasi pengkajian berjumlah sekitar 18 orang. Hasil survey menyatakan 100 % resonden mengatakan teknologi<br />
irigasi tetes menghemat air, distribusi air ke setiap tanaman merata, hemat tenaga, teknologi mudah dimengerti<br />
tetapi memerlukan modal yang cukup besar. Respon petani terhadap adopsi, 100 % responden tidak akan meniru<br />
teknologi yang diintroduksikan dengan modal sendiri, 50 % responden akan melakukan modifikasi dengan<br />
model yang hampir sama dengan yang diintroduksikan BPTP Jawa Tengah. Biaya untuk mengairi tanaman<br />
sayuran pada musim kemarau sekitar 12,40 % dari total biaya yang dikeluarkan oleh petani (tenaga yang tidak<br />
diperhitungkan). Walaupun biaya pengairan ini cukup tinggi pada musim kemarau, ternyata kontribusi<br />
pendapatan petani tertinggi diperoleh dari tingginya keuntungan usahatani pada musim kemarau. Peningkatan<br />
keuntungan usaha sayuran di musim kemarau diperoleh dari peningkatan harga jual produk karena terjadi<br />
kelangkaan penawaran di pasar.<br />
Kata kunci: Respon; Pemanfaatan air; Musim kemarau<br />
ABSTRACT. Setiapermas, M. N, Basuki, S, dan Cempaka, I. G. 2013. Respons Petani Dalam Pemanfaatan<br />
Air Pada Usahatani Sayuran Pada Musim Kemarau di Magelang. Some action to anticipate climate change,<br />
among others, disseminating water-saving technology, utilization of alternative water sources to increase the<br />
intensity of site-specific cropping, farmers groups to optimize the distribution of water and adjust the cropping<br />
pattern and determination of the commodity in the extreme. For farmers, water is a problem to be solved, they<br />
use the water for the cultivation of high commodities prices so that farmers can take more advantage. Purpose of<br />
the introduction of drip irrigation in dry land was to evaluate the response of farmers about farmers about water<br />
efficiency technologies. With kocor system, farmers usually irrigate crops about 1-2 liters/plant at intervals of 3<br />
days. In the presence of micro-irrigation and drip systems can save water and labor. Respondents were farmers<br />
around the site assessment totaling about 18 people. The results showed that 100% respondents would not<br />
imitated the technology introduced with its own capital, 50% of respondents would make modifications to the<br />
model similar to that introduce of BPTP Central Java. The cost of irrigation in he dry season of about 12,40% of<br />
the total cost incurred by farmers . Although cost is quite high irrigation during the dry season, farmers’ income<br />
was the highest contribution from the farming system.<br />
Program pembangunan pertanian dirumuskan dalam tiga program utama yaitu a) peningkatan<br />
ketahanan pangan, b) pengembangan agribisnis dan c) peningkatan kesejahteraan petani. Dampak dari<br />
kejadian iklim ekstrim mengakibatkan gagal panen terutama saat kekeringan dan banjir, sehingga<br />
dapat mempengaruhi kestabilan harga panen maupun produksi. Bila terjadi perubahan pola curah<br />
hujan, petani dataran tinggi yang paling merasakan akibatnya karena lahan mereka mengalami<br />
kehilangan lapisan tanah akibat erosi.<br />
Di lahan kering dataran tinggi, sumber air yang biasa dipakai adalah mata air pegunungan<br />
yang ditampung dalam kolam-kolam permanen atau plastik. Selain mata air dan sumur, embung<br />
merupakan sumber air yang potensial untuk mengairi lahan dengan luasan yang cukup besar baik itu<br />
di dataran tinggi maupun dataran rendah. Beberapa rencana aksi yang perlu diimplementasikan untuk<br />
398│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Respon Petani dalam Pemanfaatan Air pada Usahatani Sayuran Pada Musim Kemarau di Magelang<br />
Setiapermas, M. N, Basuki, S dan Cempaka, I. G.<br />
memperkuat ketahanan sektor pertanian terhadap perubahan iklim yang diprogramkan antara lain<br />
adalah mensosialisasikan teknologi hemat air, revitalisasi sitem usaha tani yang berorientasi pada<br />
konservasi fungsi lingkungan hidup, memanfaatkan potensi sumber daya air alternatif dengan<br />
teknologi pompa air untuk meningkatkan intensitas pertanaman, mengoptimalkan sistem gilir-giring<br />
dalam distribusi air irigasi, melakukan pengelolaan air secara efisien dalam rangka upaya-upaya<br />
antisipasi dampak perubahan iklim dengan memberdayakan kelembagaan petani pengguna air,<br />
memberdayakan kelompok tani dalam mengatur jadwal tanam dan menentukan awal musim tanam,<br />
sosialisasi atlas kalender tanam untuk penyesuaian pola tanam dengan kondisi iklim.<br />
Bagi petani kreatif yang lahannya sering kekurangan air, mereka tidak segan untuk<br />
mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan pertanaman pada musim kemarau. Dengan<br />
pemanfaatan air pada musim kemarau, diharapkan petani mendapatkan keuntungan yang lebih banyak,<br />
karena walaupun produksi lebih rendah tetapi harga di pasaran lebih tinggi dibandingkan budidaya<br />
pada musim hujan. Dengan pemanfaatan air untuk budidaya tanaman hortikultura yang bernilai jual<br />
tinggi pada musim kemarau, Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Jawa Tengah melalukan terobosan<br />
melakukan kegiatan introduksi jaringan irigasi tetes. Oleh sebab itu, BPTP Jawa Tengah melakukan<br />
kegiatan wawancara untuk mengetahui respon petani dan adopsi terhadap teknologi hemat air ini.<br />
BAHAN DAN METODE<br />
Lokasi survey di lokasi pengkajian inovasi teknologi jaringan irigasi tetes dalam menghadapi<br />
perubahan iklim (kekeringan) pada pertanaman cabai merah keriting di musim kemarau, Desa<br />
Pandean, Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Sarana irigasi yang dimaksud adalah kolam<br />
penampungan / penangkapan air mikro di lahan pertanian berupa bak penampungan permanen ukuran<br />
1 m x 3 m x 1 m dan jaringan irigasi tetes sederhana.<br />
Gambar 1. Kolam / bak penampung permanen ukuran 1m x 3 m x 1m untuk mengairi lahan pertanian<br />
sekitar 1000 m 2 (introduksi BPTP Jateng 2006)<br />
Dengan adanya pertanaman sayuran pada musim kemarau maka introduksi irigasi tetes juga<br />
dilakukan pada musim kemarau. Volume bak penampung air yang dipergunakan berukuran sekitar<br />
3000 liter untuk mengairi sekitar 1475 tanaman cabai merah atau sekitar 2 liter sekali siram dengan<br />
jaringan irigasi tetes selama 1.5 jam.<br />
Untuk mendapatkan respon petani terhadap teknologi hemat air dengan menggunakan jaringan irigasi<br />
tetes adalah dengan wawancara terhadap 18 (delapan belas) orang petani. Materi pertanyaan berkisar<br />
pada respon petani terhadap, teknologi irigasi tetes dan komponen usaha tani yaitu pola tanam, input<br />
produksi, alokasi tenaga kerja, sistem budidaya, produksi dan pemasaran.<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Petani secara naluri mengetahui tentang kekeringan yang harus diantisipasi dalam berbudidaya<br />
sayuran. Menurut Popi R. (2005) berdasarkan faktor penyebabnya, kekeringan dibagi menjadi : a)<br />
Kekeringan meteorologis dibuat untuk identifikasi wilayah yang rentan kekeringan. b) Kekeringan<br />
agronomis, di mana kelembaban tanah tidak cukup memenuhi kebutuhan pertumbuhan tanaman di<br />
suatu wilayah. Saat kelembaban tanah berkurang, perkembangan tanaman terganggu dan hasil panen<br />
rendah, c) Kekeringan hidrologis merupakan periode berkepanjangan dari rendahnya curah hujan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│399
Respon Petani dalam Pemanfaatan Air pada Usahatani Sayuran Pada Musim Kemarau di Magelang<br />
Setiapermas, M. N, Basuki, S dan Cempaka, I. G.<br />
yang menyebabkan pasokan air permukaan dan bawah permukaan menurun di bawah normal.<br />
Kekeringan ini terjadi setelah kejadian kekeringan meteorologis atau agronomis, d) Kekeringan sosioekonomis,<br />
kekeringan yang berdampak terhadap manusia dan kehidupannya. Perbedaannya dengan<br />
definisi kekeringan lainnya adalah bahwa ini ditetapkan berdasarkan proses pasokan dan permintaan.<br />
Desa Pandean Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang merupakan daerah dataran tinggi<br />
yang berada di sebelah utara Gunung Merbabu dan sebelah selatan Bukit Telomoyo, pada ketinggian<br />
1394 m dpl. Daerah ini merupakan daerah lahan kering tadah hujan beriklim basah. Bila pada musim<br />
kemarau petani tidak dapat bertani tanpa pengairan secara manual. Diperkirakan bila tidak ada<br />
introduksi teknologi irigasi, maka petani hanya menanam sayuran atau komoditas lain pada bulan<br />
Oktober sampai bulan April. Dari data curah hujan dan evapotranspirasi tahun 2006 dan 2008 serta<br />
hasil simulasi program Crop Water Balance - Evapotranspiration (CWB-Eto) untuk daerah Ngablak<br />
diperkirakan petani pada bulan Mei sampai September tidak mampu bertani cabai merah bila tidak ada<br />
penyiraman atau introduksi pengairan. Selain dari perhitungan data iklim, kenyataan di lapang hasil<br />
wawancara terhadap pola tanam yang biasa diterapkan, petani melakukan budidaya tanaman semusim<br />
khususnya sayuran selama setahun. Dengan keterbatasan air hujan, pertanian di daerah Ngablak,<br />
khususnya di Desa Pandean pada musim kemarau jaringan irigasi mikro telah dikerjakan dalam<br />
beberapa tahun terakhir ini dengan menggunakan bak penampung air permanen 3000 liter air. Air<br />
sebanyak ini biasa disiramkan petani untuk luasan 1000 m 2 . Air ini bersumber dari mata air Bukit<br />
Telomoyo yang disalurkan melalui pipa paralon swadaya dan bantuan pemerintah. Awalnya petani<br />
memakai slang plastik es untuk menghubungkan sumber air dengan kolam plastik di sekitar lahan<br />
pertanian.<br />
Hasil wawancara, kami mendapatkan pola tanam yang beragam dengan komoditas utama yang<br />
beragam seperti pada Tabel 1. Pada musim kemarau yang berlangsung dari bulan Juni sampai<br />
September selalu terdapat komoditas yang sedang ditanam. Komoditas sayuran mempunyai masa<br />
tanam yang cukup lebar yaitu sekitar 1 bulan sehingga dalam gambar pola tanam sudutnya lancip.<br />
Sayuran (kobis, tomat dan cabai merah) dapat diusahakan beberapa kali tanam dalam satu periode<br />
tanam (setahun). Dengan pola ini tidak terdapat masa bero pada lahan usahatani dan tidak ada musim<br />
panen raya. Dalam pola tersebut petani menerapkan sistem tumpang sisip pada setiap periode<br />
penananam dengan komoditas sayuran lain atau tanaman pangan.<br />
Tabel 1. Pola tanam tanaman semusim Dusun Dalangan, Pandean, Ngablak, Magelang<br />
Uraian<br />
Pola I<br />
Bulan<br />
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />
Pola II<br />
Pola III<br />
Pola IV<br />
Pola Hujan<br />
Penyiraman<br />
Keterangan<br />
Tomat Kubis Cabai merah Tembakau Onclang Buncis<br />
******** ********** ********** ********** ********** *********<br />
400│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Respon Petani dalam Pemanfaatan Air pada Usahatani Sayuran Pada Musim Kemarau di Magelang<br />
Setiapermas, M. N, Basuki, S dan Cempaka, I. G.<br />
Wortel Sledri Sawi Putih<br />
******* ******** **********<br />
Pada Tabel 1 juga nampak bahwa pada pola tanam yang berlangsung setahun penuh tersebut<br />
terdapat perlakuan penyiraman yang biasanya terjadi pada bulan Juli sampai dengan Oktober.<br />
Kegiatan penyiraman menunjukkan bahwa usahatani yang dilakukan petani sangat intensif. Hal<br />
tersebut juga terlihat dari penggunaan varietas – varietas unggul yang dipilih selalu mengacu<br />
permintaan konsumen. Petani menaruh harapan besar pada penanaman musim kemarau ini karena<br />
biasanya harga jual produksinya tinggi, namun akibat keterbatasan dalam hal penyiraman ini<br />
produktivitas tanaman pada musim kemarau yang dicapai belum optimal.<br />
Salah satu inovasi teknologi hemat air adalah dengan menggunakan irigasi tetes, yang<br />
bertujuan untuk a) Menambah tingkat kelembaban atau kandungan air tanah di daerah perakaran<br />
tanaman. Jumlah air yang ditambahkan harus dapat mengganti air yang hilang akibat penguapan dan<br />
transpirasi. Keseimbangan antara air yang hilang dengan yang tersedia atau yang dapat dimanfaatkan<br />
oleh tanaman harus dipertahankan agar tanaman tidak kelebihan dan atau kekurangan air, b)<br />
Memberikan air dalam jumlah dan waktu yang tepat ke daerah perakaran, sesuai dengan kebutuhan<br />
tanaman pada setiap fase pertumbuhannya, di mana fase-fase pertumbuhan tanaman memerlukan air<br />
dalam jumlah yang berbeda-beda. Kelebihan atau kekurangan air pada fase-fase tersebut akan<br />
mempengaruhi pertumbuhan dan berpengaruh pula terhadap produksi dan mutu hasil panen, c)<br />
Memberikan air pada tanaman secara tepat jumlah dan waktu sehingga dapat dimanfaatkan oleh<br />
tanaman secara optimal dan air tidak banyak terbuang. Dengan demikian diharapkan tanaman dapat<br />
tumbuh dengan baik dan produksinya akan lebih tinggi pula, d) Memberikan pupuk lewat air irigasi<br />
bersamaan dengan penyiraman, hal ini dapat menghemat tenaga kerja yang dipakai untuk pemupukan<br />
(Anonim. 2008).<br />
Gambar 2. Pemasangan jaringan irigasi tetes dengan slang hitam maupun slang akuarium di Dusun<br />
Dalangan, Desa Pandean Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang<br />
Dari introduksi jaringan irigasi tetes pada pertanaman cabai merah, pertanaman mulai<br />
memasuki fase reproduksi awal bulan November. Menurut FAO (1979) hasil maksimum tanaman<br />
cabai merah pada kondisi biasa adalah 10 sampai 20 ton/ha atau setara dengan 0.6 sampai dengan 1.2<br />
kg /tanaman. Hasil pengamatan tahun 2006 di lapangan menunjukkan bahwa tanaman yang disiram<br />
manual setiap hari dan tiga hari produksinya dibawah kondisi optimal yaitu 266 gr / tanaman (0.266<br />
kg / tanaman). Kehilangan hasil dengan adanya penyiraman setiap hari masih 55 %, dengan<br />
penyiraman tiga hari sekali yaitu sebesar 65 %. Dari hasil pengamatan di lapang ditunjukkan bahwa<br />
dengan penyiraman saja belum dapat menaikan produksi masih ada modifikasi iklim mikro lain yaitu<br />
pemakaian mulsa plastik dan penambahan volume air. Pada tahun 2008 dengan menggunakan<br />
jaringan irigasi tetes ada sedikit kenaikan dari 0.266 kg /tanaman menjadi 0.37 kg /tanaman. Sehingga<br />
bila dibandingkan dengan pendugaan FAO, kehingan hasil cabai dengan irigasi tetes ini adalah 38 %,<br />
jadi produksi masih rendah. Hal tersebut karena diharapkan kehilangan hasil cabai merah dengan<br />
introduksi irigasi tetes kehilangan hasil di bawah 20 %.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│401
Respon Petani dalam Pemanfaatan Air pada Usahatani Sayuran Pada Musim Kemarau di Magelang<br />
Setiapermas, M. N, Basuki, S dan Cempaka, I. G.<br />
Respon Petani Terhadap Introduksi Irigasi Tetes dan Penataan Pola Tanam Di Lahan<br />
Konservasi Air<br />
Menurut Popi R et al. (2005) ada tiga aspek yang perlu mendapatkan perhatian dalam<br />
antisipasi kekeringan yaitu : efisiensi, adaptasi dan sinkronisasi. Budidaya pertanian sudah seharusnya<br />
menyesuaikan dengan tingkat dan pola ketersediaan airnya, karena selain dapat meminimalkan resiko<br />
pertanian juga terjadi diversifikasi komoditas. Bila pendayagunaan air dimaksimalkan maka perlu<br />
sinkronisasi institusional.<br />
Salah satu upaya konkrit untuk mengurangi resiko kekeringan adalah dengan memanen<br />
sebagian volume air hujan dan aliran permukaan. Salah satu upaya panen hujan dan aliran permukaan<br />
dengan pengalian sumberdaya air alternatif seperti embung, rorak, embung sawah dan sumur resapan<br />
baik yang berukuran besar maupun kecil. Kebijakan teknis untuk penyelesaian masalah<br />
pendayagunaan sumber daya iklim dan air harus didukung dengan penerapan contoh langkah nyata di<br />
lapangan. Teknologi irigasi modern seperti irigasi tetes yang berbasis lokal merupakan teknologi<br />
hemat air, perlu diadaptasikan supaya kontribusi sumberdaya iklim dan air terhadap keluaran sistem<br />
produksi pertanian dapat dioptimalkan. Pemerintah perlu mengidentifikasi dan menggerakkan modal<br />
sosial masyarakat seperti tradisi gotong royong untuk membangun kebersamaan, kerja keras dan<br />
pantang menyerah, tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam pengelolaan sumberdaya air agar<br />
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendayagunaan sumberdaya air. Keterbatasan<br />
kemampuan pendanaan pemerintah dan tingkat partisipasi langsung maupun tidak langsung dari<br />
masyarakat yang terus menurun, merupakan ilustrasi sekaligus indikasi bahwa pendayagunaan<br />
sumberdaya air masih jauh dari yang diharapkan. Hasil survei (wawancara) memperlihatkan bahwa<br />
petani kooperator cukup antusias dengan adanya introduksi jaringan irigasi tetes ini pada musim<br />
kemarau. Ketika salah satu bahan jaringan irigasi tetes kurang, tim BPTP dan petani kooperator<br />
mampu memodifikasi kekurangan slang kecil hitam dan stick. Mereka antuasias membantu<br />
pemasangan kekurangan slang hitam dan stick hitam dengan slang akuarium dan t akuarium.<br />
Sedangkan stick hitam diganti dengan bambu yang diruncingkan disesuaikan dengan lubang slang<br />
akuarium.<br />
Gambar 3. Petani Dusun Dalangan Desa Pandean Kecamatan Ngablak sedang melihat pertanaman<br />
cabai merah<br />
Bagi petani dusun Dalangan, irigasi tetes merupakan hal baru karena selama ini belum pernah<br />
mengenalnya. Berdasarkan jajak pendapat terhadap para petani yang pernah menyaksikan lokasi kaji<br />
terap diperoleh hasil sebagai berikut :<br />
402│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Respon Petani dalam Pemanfaatan Air pada Usahatani Sayuran Pada Musim Kemarau di Magelang<br />
Setiapermas, M. N, Basuki, S dan Cempaka, I. G.<br />
Tabel 2. Pendapat petani terhadap kinerja introduksi irigasi tetes.<br />
Pendapat Petani<br />
Kinerja Jaringan irirgasi Tetes<br />
Ya Abstain Tidak<br />
Menghemat air 100 0 0<br />
Distribusi setiap tanaman merata 100 0 0<br />
Hemat tenaga kerja 100 0 0<br />
Teknologinya mudah dimengerti 100 0 0<br />
Memerlukan modal besar 100 0 0<br />
Dari Tabel 2 terlihat bahwa secara umum teknologi irigasi tetes diakui dapat menghemat<br />
penggunaan air. Petani rata-rata menyiram tanaman sebanyak 1-2 liter/individu dengan interval<br />
pemberian 3 hari. Dengan penyiraman ciduk, petani memerlukan cadangan air yang banyak dan<br />
tenaga kerja yang banyak pula akibatnya petani tidak mampu memenuhi kebutuhan airnya secara<br />
optimal oleh karena itu produksinya tidak optimal. Pemberian air melalui jaringan irigasi tetes dapat<br />
diatur secara efisien sesuai kebutuhan optimal tanaman secara terus menerus. Dengan jaringan irigasi<br />
tetes petani hanya bertugas melakukan kontrol terhadap pengisian bak penampungan dan mengatur<br />
volume aliran sesuai fase pertumbuhan tanaman. Dengan penggunaan tenaga yang ringan ini<br />
memungkinkan petani untuk menambah kapasitas usaha maupun melakukan diversifikasi pada<br />
cabang usaha lainnya serta lebih intensif dalam melakukan control terhadap usahataninya. Secara<br />
agronomis pertumbuhan tanaman yang dialiri dengan irigasi tetes lebih merata. Mekanisme otomatis<br />
dari pendistribusian air mampu mengontrol pertumbuhan sesuai tahapan perkembangan tanaman.<br />
Petani sangat terkesan dengan teknologi pemberian air dengan jaringan irigasi tetes yang<br />
hemat tenaga kerja serta cara pengoperasian jaringan yang sangat mudah. Peralatan irigasi tetes yang<br />
dipasang diatas tanah mudah pengontrolannya apabila terjadi kerusakan. Kesederhanaan teknologi<br />
jaringan irigasi tetes sangat memungkinkan petani untuk melakukan perawatan sendiri dan seluruh<br />
anggota keluarganya dapat mengoperasikan. Apabila cara ini diterapkan maka petani akan memiliki<br />
banyak waktu luang yang dapat digunakan untuk melakukan usaha produktif lainnya misalnya<br />
mengurus ternak terutama pada saat kemarau. Selama ini usahatani yang dilakukan pada musim<br />
kemarau selalu memerlukan pengerahan tenaga kerja yang banyak terutama untuk penyiraman.<br />
Sumber tenaga kerja terutama dari dalam keluarga yang dimiliki yaitu 2-3 orang. Musim kemarau<br />
yang kering biasanya berlangsung selama 3 bulan. Dalam masa tersebut curahan tenaga hanya<br />
diproritaskan untuk mendukung keberhasilan usahatani komoditas utama (kobis) sementara itu cabang<br />
usahatani lainnya seringkali tidak mendapat perhatian.<br />
Penggunaan jaringan irigasi tetes dalam sistem irigasi pada musim kemarau diakui<br />
keunggulannya oleh petani ditinjau dari aspek kepraktisan dan kemampuan unjuk kerjanya.<br />
Pembuatan jaringan tersebut memerlukan biaya sekitar Rp 9 juta /1000 m persegi yang diadakan pada<br />
saat menjelang musim kemarau. Peralatan tersebut dapat digunakan selama 10 tahun sesuai kualitas<br />
bahan yang digunakan. Menurut pendapat petani secara umum harga tersebut terlalu mahal dan<br />
petani tidak akan mampu menjangkau harga tersebut. Penggunaan jaringan irigasi tetes dinilai sebagai<br />
investasi yang harus tersedia pada awal usaha oleh karena itu petani harus menyediakan modal awal<br />
yang cukup besar. Modal awal yang relative besar ini sulit dipenuhi oleh petani kecil seperti petani<br />
sayuran. Meskipun banyak sumber permodalan petani yang ditawarkan namun petani tetap kesulitan<br />
mengakses karena pola yang ada tetap mengacu pada pola perkrediatan umum yang pembayaran<br />
cicilannya rutin setiap bulan.Kredit komersial tidak sesuai dengan pola penerimaan petani yang<br />
bersifat musiman. Kebutuhan modal investasi ini tidak dapat disamakan dengan kebutuhan modal<br />
untuk saprodi. Meskipun modal untuk saprodi tersebut juga besar tetapi cara memperolehnya bertahap<br />
sehingga ringan bagi petani. Dilihat dari besarnya manfaat penggunaan jaringan irigasi tetes dan<br />
tingkat kemudahan memahami teknologinya mayoritas petani berusaha meniru secara bertahap sesuai<br />
kemampuannya dan memodifikasi dengan menggunakan bahan–bahan lain yang lebih murah (Tabel<br />
3). Semangat petani untuk mengadopsi teknologi jaringan irigasi tetes perlu mendapat dukungan dari<br />
pihak-pihak terkait. Perlakuan penyiraman merupakan tindakan agronomis yang dipilih petani . Cara<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│403
Respon Petani dalam Pemanfaatan Air pada Usahatani Sayuran Pada Musim Kemarau di Magelang<br />
Setiapermas, M. N, Basuki, S dan Cempaka, I. G.<br />
ini tetap dilakukan meskipun harus dengan susah payah. Menurut perhitungan petani selama periode<br />
penyiram rata-rata dibutuhkan tenaga kerja senilai Rp 495.657,- ( upah tidak tunai karena<br />
menggunakan tenaga sendiri). Apabila dibandingkan dengan teknologi introduksi dengan tingkat hasil<br />
yang sama maka cara lama (sistem kocor) lebih efisien karena peralatan jaringan irigasi tetes yang<br />
umur teknisnya sekitar 10 tahun memerlukan biaya penyusutan Rp 900.000/tahun. Berdasarkan<br />
perhitungan tersebut para petani belum tertarik menggunakan teknologi sesuai spesifikasi introduksi<br />
tersebut tetapi mereka berusaha untuk membuat jaringan dengan bahan yang dimodifikasi dan murah.<br />
Tabel 3. Respon petani terhadap modifikasi alat tetes<br />
Rencana Petani<br />
Respon Petani<br />
Ya Abstain Tidak<br />
Akan meniru sesuai spesifikasi secara swadaya 0 0 100<br />
Akan Melakukan modifikasi dengan bahan-bahan yang<br />
murah<br />
54 23 23<br />
Respons Petani Terhadap Pranoto Mongso<br />
Sebelum adanya penerapan pengukuran cuaca, petani mengenal istilah pranoto mongso.<br />
Pranoto mongso ini dikenal untuk merencanakan waktu tanam (musim hujan) dan awal musim<br />
kemarau. Selain itu mereka pun mengenal adanya musim peralihan dari musim hujan ke kemarau atau<br />
sebaliknya. Namun pranoto mongso ini tidak sepenuhnya dipakai dalam perencanaan tanam baik itu di<br />
lahan sawah irigasi teknis sampai lahan kering tadah hujan. Hasil identifikasi di Dusun Dalangan,<br />
Ngablak, Magelang diketahui bahwa 100 % keputusan tanam petani tidak berdasarkan pranoto<br />
mongso meskipun mayoritas petani (88 %) masih memperhatikan kejadian /tanda-tanda alam indikator<br />
pranoto mongso. Secara umum petani memulai masa tanam tidak berdasarkan / peduli dengan tandatanda<br />
alam (Pranoto Mongso) karena air sumber tersedia sepanjang waktu. Dengan kondisi ini<br />
petani tidak perlu melaksanakan penanaman dengan menunggu datangnya curah hujan yang cukup.<br />
Para petani sudah mulai menyadari dengan kecenderungan perilaku musim yang terjadi saat ini yaitu<br />
datangnya musim dan intensitas hujan fluktuatif sehingga sulit dijadikan pedoman perencanaan<br />
tanam. Namun demikian meskipun tidak menggunakan pranata mongso sebagai pedoman tanam<br />
petani masih mengenal tanda-tanda alam terutama terkait dengan awal musim hujan dan awal<br />
kemarau. Tanda akan datangnya musim hujan biasanya ditunjukkan dengan antara lain : a) pohon<br />
suren mulai bersemi, b) umbi-umbian mulai bertunas c) suhu udara lebih panas. Untuk datangnya<br />
musim kemarau biasanya ditandai dengan a) daun suren berguguran b) tonggeret berbunyi dan c)<br />
intensitas kabut meningkat.<br />
Tindakan petani terkait dengan pemenuhan kebutuhan air pada tanaman didasarkan pada<br />
keadaan fisik tanah yaitu tanah mulai pecah-pecah. Pengairan akan dilakukan pada saat gejala itu<br />
muncul baik pada musim kemarau ataupun masih dalam musim hujan tetapi curah hujannya tidak<br />
teratur. Keputusan petani terhadap pola tanam yang dipilih lebih berorietasi pada permintaan<br />
konsumen dan pertimbangan bisnis. Dengan keputusan tersebut petani ternyata berani mengambil<br />
resiko terhadap usahanya yang berpotensi gagal atau memerlukan input tinggi. Pada pertanaman off<br />
season biasanya intensitas serangan OPT lebih tinggi dan jelas diperlukan tambahan biaya<br />
irigasi/penyiraman. Dengan pilihan petani yang demikian ini tentunya diperlukan kemampuan<br />
pengelolaan tanaman yang didukung dengan teknologi agar usahataninya berhasil dan tetap<br />
menguntungkan.<br />
Pendapatan dan Biaya Usahatani<br />
Sumber pendapatan petani berasal dari kegiatan on farm (pertanian) dan off farm<br />
(perdagangan atau yang lainnya). Pendapatan yang berasal dari on farm biasanya hanya dikaitkan<br />
dengan tingkat produksi yang diperoleh baik dari tanaman maupun ternak. Terdapat penghasilan yang<br />
diperoleh tidak secara tunai biasanya yang berasal dari sumberdaya rumahtangga tani sendiri dan<br />
digunakan dalam usataninya,misalnya upah tenaga kerja keluarga, pupuk kandang hasil ternak sendiri<br />
404│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Respon Petani dalam Pemanfaatan Air pada Usahatani Sayuran Pada Musim Kemarau di Magelang<br />
Setiapermas, M. N, Basuki, S dan Cempaka, I. G.<br />
dan sebagainya. Pengorbanan tersebut dapat dianggap sebagai pendapatan karena apabila tidak<br />
tersedia harus membeli dari luar.<br />
Tabel 4: Pendapatan petani dengan luas usahatani 3200 m persegi (selama setahun)<br />
Jenis Pendapatan<br />
Nilai<br />
Rp %<br />
A. Total Produksi 11.172.719 100<br />
B. Total Biaya yang diperhitungkan 3.997.136 35,78<br />
C. Keuntungan bersih (A-B) 7.175.583 64, 22<br />
D. Biaya Tidak Tunai 1.846.848 20,5 % *)<br />
E. Pendapatan Petani (C+D) 9.022.431<br />
*) dari pendapatan total<br />
Tabel 5 : Kontribusi pembiayaan usahatani seluas 3200 m persegi selama setahun<br />
Jenis Pendapatan<br />
Nilai<br />
Rp %<br />
A. Total Biaya 3.997.136 100<br />
B. Biaya tidak tunai 1.846.848 46,20<br />
C. Biaya Tunai 2.150.288 53,80<br />
D. Biaya penyiraman 495.657 12,40 *)<br />
*) Dari biaya total.<br />
Pada Tabel 5. disajikan sumber sumber pendapatan baik tunai maupun tidak tunai yang<br />
diperhitungkan. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa rata-rata pendapatan keluarga tani<br />
dengan luasan 0,32 Ha adalah Rp9.022.431 ternyata kontribusi pendapatan tidak tunai cukup besar<br />
yaitu 20,47 % dari pendapatan total. Pendapatan utama berasal dari keuntungan usahatani. Angka<br />
tersebut menunjukkan bahwa dengan berusahatani petani telah menciptakan lapangan kerja bagi diri<br />
dan keluarganya serta menciptakan nilai tambah dari proses produksi yang dicerminkan oleh tingkat<br />
keuntungan bersih yang diperoleh. Sumber pendapatan dari off farm relatif sangat kecil karena secara<br />
umum petani dan kelurganya sudah tidak memiliki waktu luang sehingga yang habis untuk bekerja<br />
pada usahataninya sendiri.<br />
Kontribusi pendapatan petani tertinggi diperoleh dari tingginya keuntungan usahatani di<br />
musim kemarau, Peningkatan keuntungan usaha di musim kemarau diperoleh dari peningkatan harga<br />
jual produk karena terjadi kelangkaan penawaran di pasar. Berdasarkan catatan harga di STA<br />
Ngablak selama tahun 2007 harga kobis berkisar Rp 500-Rp 3000 per kg. Harga Rp 3000 per kg<br />
merupakan produk di musim kemarau yang terjadi pada bulan September.<br />
Berdasarkan kebiasaan yang terjadi setiap tahun dimana harga jual hasil produk sayuran pada musim<br />
kemarau selalu tinggi (terutama kobis) telah merangsang petani untuk melakukan usahatani di musim<br />
kemarau. Pada musim kemarau sayuran tetap ditanam dengan ditunjang pemberian air pengairan<br />
dengan cara menyiram atau kocor. Air yang digunakan berasal dari mata air yang berada disekitar<br />
area pertanaman. Sistem penyaluran air terkendala oleh kondisi topografi pegunungan, oleh karena itu<br />
air disalurkan melalui pipa kemudian ditampung dalam bak penampungan. Dengan cara ini setiap<br />
petani mampu mengairi sekitar 800-1000 tanaman per hari. Berdasarkan perhitungan finansial selama<br />
satu tahun diketahui bahwa biaya pengairan mencapai Rp 495.657 per KK atau sekitar 12,40 % dari<br />
biaya total (Tabel 5). Dengan rata-rata penguasaan populasi tanaman sekitar 3000-5000 tanaman per<br />
KK, maka penyiraman tanaman yang ada belum mencukupi. Hal ini terjadi karena petani hanya<br />
mengandalkan tenaga kerja sendiri dan belum mengenal metode pengairan yang lebih efektif. Tenaga<br />
kerja keluarga yang tersedia biasanya berkisar 1-2 orang yang bekerja menyiram sehari penuh hanya<br />
mampu menyelesaikan sekitar 76,47 % dari tanaman yang diusahakan.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│405
Respon Petani dalam Pemanfaatan Air pada Usahatani Sayuran Pada Musim Kemarau di Magelang<br />
Setiapermas, M. N, Basuki, S dan Cempaka, I. G.<br />
KESIMPULAN<br />
1. Budidaya sayuran di dataran tinggi dapat optimal pada musim kemarau bila ditunjang dengan<br />
pengairan yang baik. Sarana irigasi seperti sumber air (mata air atau sungai), bak penampungan<br />
mikro, saluran primer dan lainnya sudah menjadi kebutuhan primer bagi petani sayuran.<br />
Kontribusi pendapatan petani tertinggi diperoleh dari tingginya keuntungan usahatani off season<br />
(musim kemarau).<br />
2. Dengan pengairan yang efisien (manual atauoun irigasi tetes), prosentase kehilangan hasil dapat<br />
diturunkan (produksi naik) bila dibandingkan dengan tanpa pengairan.<br />
3. Berdasarkan perhitungan finansial selama satu tahun bahwa biaya pengairan mencapai Rp 495.657<br />
per KK atau sekitar 12,40 % dari biaya total. Dengan rata-rata penguasaan populasi tanaman<br />
sekitar 3000-5000 tanaman per KK, maka penyiraman tanaman yang ada belum mencukupi.<br />
Tenaga kerja keluarga yang tersedia biasanya berkisar 1-2 orang yang bekerja menyiram sehari<br />
penuh hanya mampu menyelesaikan sekitar 76,47 % dari tanaman yang diusahakan<br />
PUSTAKA<br />
1. Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Serial Pustaka IPB Press. 290p<br />
2. FAO. 1979. A Study of the Humid Tropics of Southeast Asia. Food and Agriculture Organization<br />
of the United Nations, Roma.<br />
3. Gatot Irianto, Irsal Las dan Bruno Lidon. 1999. Aplikasi agrometeorologi di bidang pertanian.<br />
Puslittanak dan Agroklimat Bogor dan CIRAD.<br />
4. Popi R., Yayan S., Nurwindah P. dan Sawiyo. 2005. Meningkatkan Kesiagaan Menghadapi<br />
Kekeringan Akibat Iklim Eksepsional dalam <strong>Buku</strong> Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan Air.<br />
Editor Istiqlal A., Hidayat P. dan Effendy Pasandaran. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.<br />
81-100P.<br />
406│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Identifikasi Masalah Teknologi Produksi Bunga Mawar Potong tingkat Petani<br />
Nurmalinda dan Hanudin<br />
Identifikasi Masalah Teknologi Produksi Bunga Mawar Potong tingkat Petani<br />
Nurmalinda dan Hanudin<br />
Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung<br />
Jl. Raya Ciherang-Pacet, Cianjur. Kode Pos: 43253<br />
Abstrak. Nurmalinda dan Hanudin. 2013. Teknologi Produksi Mawar Bunga Potong Tingkat Petani. Tujuan<br />
penelitian adalah untuk mengkaji permasalahan yang dihadapi petani dalam pengembangan mawar. Penelitian<br />
ini dilakukan di Kec. Parongpong (Kab.Bandung) dan di Kec. Sukaresmi (Kab. Cianjur), provinsi Jawa Barat.<br />
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa kedua kecamatan tersebut merupakan daerah<br />
produksi bunga potong mawar di Jawa Barat. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Partisipatory<br />
Rural Appraisal (PRA) pada bulan Juni sampai Desember 2006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa<br />
penanaman mawar belum begitu banyak di kec. Sukaresmi karena sulitnya pemeliharaan tanaman mawar serta<br />
banyaknya hama dan penyakit yang menyerang tanaman mawar. Hama yang banyak menyerang tanaman<br />
mawar adalah tungau, kutu perisai, breng hitam, breng hijau, breng putih dan aphid. Sedangkan penyakit yang<br />
banyak menyerang mawar adalah embun tepung (terutama musim kemarau), bercak hitam, layu fusarium dan<br />
rontok daun. Di kec. Parongpong, mawar yang banyak dikembangkan di daerah ini adalah mawar Holland yang<br />
ditanam di ruang terbuka. Untuk mawar varietas-varietas yang relatif baru, seperti Grand gala, Kompetti dan<br />
Akito, belum banyak petani yang mengembangkannya, sedangkan permasalahan yang dihadapi petani adalah<br />
masalah bibit , hama dan penyakit<br />
Kata Kunci: Identifikasi masalah; Teknologi Produksi; Mawar (Rose hybrida L)<br />
Abstract. Nurmalinda and Hanudin. 2013. The Problem Identification of Production Technology on Roses Cut<br />
Flower at the Farmers. The objective of the research was finding farmers problem in roses development. The<br />
research was done in Parongpong Subdistrict (Bandung District) and Sukaresmi Subdistrict (Cianjur District)<br />
on June to December 2006. Methode of the research was Partisipatory Rural Appraisal (PRA ). The important<br />
problem in roses were seed, pest and desease. The farmers still difficult to get some quality seed and the quality<br />
seed was very expensive. Because of that, until now, the farmers make the seed by themselves. Futhermore,<br />
the important pest were mite,scale insect, Macrosiphum rosae,Aulacapsis rosae and aphid. The important<br />
desease were Oidium sp (especially in dry season), black spot and Fusarium oxysforum.<br />
Keywords: Problem identification; Production technology; Roses (Rose hybrida L)<br />
Pada dekade terakhir, konsumsi florikultura dalam negeri terus meningkat, dengan laju<br />
pertumbuhan rata-rata 15-25% per tahun, sedangkan bila dilihat dari persentase kenaikan produksi<br />
hanya sekitar 10-20%. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada peluang bagi produsen bunga dalam<br />
negeri untuk meningkatkan produksi florikultura guna memenuhi kebutuhan pasar domestik.<br />
Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, produk florikultura Indonesia juga telah<br />
memasuki pasar internasional, seperti ke negara-negara Asia, Eropa, Amerika, Afrika dan Australia,<br />
walaupun dalam jumlah yang masih terbatas dan belum kontinyu. Pada tahun 2001, lima negara<br />
terbesar dari 19 negara tujuan ekspor bunga potong yaitu Jepang dengan nilai US $ 328 ribu,<br />
Singapura US $ 294 ribu , Amerika Serikat US $ 225,5 ribu, Korea Selatan US $ 96,8 ribu dan<br />
Belanda US$ 46,9 ribu (Purnamawati, 2002 ).<br />
Salah satu jenis bunga potong yang banyak diminta konsumen dalam negeri adalah mawar<br />
(Rosa hybrida), baik sebagai bunga potong maupun tanaman pot berbunga. Menurut Sutater dan<br />
Darliah (1994), mawar lebih disukai oleh konsumen karena mawar merupakan lambang kelembutan<br />
dan cinta. Pada peringatan hari-hari tertentu, misalnya: Hari Ibu, Tahun baru dan hari kasih Sayang<br />
(Valentine day), mawar banyak digunakan sebagai bahan utama atau bahan tambahan dalam<br />
rangkaian. Sampai tahun 2000, permintaan konsumen terhadap mawar masih cukup tinggi. Pada<br />
tahun 2008 misalnya, permintaan terhadap mawar di wilayah DKI Jakarta sekitar 1.003.270 tangkai<br />
dan pada tahun 2009, permintaan terhadap mawar meningkat menjadi 1.499.710 tangkai (Anonimous,<br />
2010). Dibandingkan dengan jenis-jenis tanaman lain, di Pusat Promosi bunga/tanaman hias<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│407
Identifikasi Masalah Teknologi Produksi Bunga Mawar Potong tingkat Petani<br />
Nurmalinda dan Hanudin<br />
Rawabelong, pada tahun 2008 dan 2009, mawar menduduki urutan keempat terbesar jumlah<br />
pasokannya setelah sedap malam (Anonimous, 2010). Jenis-jenis mawar yang beredar di pasaran<br />
terdiri dari jenis lokal dan Holland dan pasokan mawar lokal jauh lebih tinggi dibandingkan mawar<br />
Holland (introduksi), namun harganya jauh lebih rendah.<br />
Walaupun diatas di kemukakan bahwa peluang pasar bunga potong di dalam negeri cukup<br />
menjanjikan, termasuk mawar, namun sampai saat kebutuhan mawar untuk pasaran dalam negeri<br />
masih dipenuhi melalui impor yaitu dari Malaysia, Vietnam, Amerika Serikat dan Belanda. Pada<br />
tahun 2010 impor komoditas mawar baik sebagai bunga potong ataupun bukan bunga potong adalah<br />
sekitar US $ 46.354 (BPS, 2011) dan pada tahun 2011 nilai impor meningkat menjadi US $ 64.444<br />
(BPS, 2012). Terjadinya peningkatan nilai impor bunga mawar ini bisa menjadi petunjuk bahwa<br />
potensi pengembangan bunga mawar baik sebagai bunga potong atau sebagai bunga taman di<br />
Indonesia masih cukup tinggi. Namun demikian sampai saat ini potensi tersebut belum bisa ditangkap<br />
oleh petani dan pengusaha mawar dalam negeri. Untuk mengetahui hal-hal tersebut, maka tujuan<br />
penelitian untuk mengkaji permasalahan yang dihadapi petani dalam pengembangan mawar, terutama<br />
berkaitan dengan bagaimana teknologi pengembangan mawar yang dilakukan petani.<br />
METODOLOGI PENELITIAN<br />
Penelitian dilakukan di provinsi Jawa Barat, yaitu di desa Pakuon, Kec. Sukaresmi, kab.<br />
Cianjur dan di desa Cihanjuang Rahayu, yang terletak di kec. Parongpong, pada bulan Juni sampai<br />
Desember tahun 2006. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa kedua<br />
kecamatan tersebut merupakan daerah produksi bunga potong mawar di Jawa Barat.<br />
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Partisipatory Rural Appraisal (PRA)<br />
(Chambers, 2001), melalui pengumpulan data dan informasi secara bertahap, yaitu:<br />
1. Desk Study. Tahapan ini mencakup kegiatan studi literatur, penyusunan kuesioner, perencanaan<br />
dan organisasi pelaksanaan dan penetapan jadwal kegiatan.<br />
2. Pengumpulan data sekunder meliputi data statistik perkembangan produksi dan produktivitas,<br />
luas lahan, data iklim (lima tahun terakhir serta data pendukung lainnya.<br />
3. Pengumpulan data primer dilakukan melalui diskusi kelompok (Focus Group Duscussion/FGD)<br />
terhadap 10 orang petani rsponden yang dipilih secara sengaja di masing-masing lokasi, serta<br />
kunjungan lapangan di lokasi penelitian dengan melihat dan berdiskusi secara langsung dengan<br />
petani mawar yang ada di lokasi penelitian. FGD dilakukan dengan menggunakan panduan<br />
pertanyaan yang berkembang dalam diskusi sesuai dengan informasi yang diperlukan, yaitu<br />
meliputi: sistem usahatani mawar, identifikasi dan analisis permasalahan; persepsi petani<br />
mengenai permasalahan dan akar permasalahan; serta peluang mengatasi masalah.<br />
Pengolahan data dan Pelaporan. Pengolahan data dilakukan melalui tiga fase yaitu : (a)<br />
editing data yang bertujuan untuk menyeleksi data guna menghindari kesalahan dan penyimpangan,<br />
(b) tabulasi data, (c) analisis data kualitatif yang dilakukan secara deskriptif.<br />
Hasil dan Pembahasan<br />
Hasil<br />
Usahatani Mawar di Desa Pakuon, Kec. Sukaresmi, Kab. Cianjur<br />
Penanaman mawar di desa Pakuon belum begitu lama, baru sekitar lima tahun yang diawali<br />
oleh Bapak Cecep, pada lahan dengan ketinggian 700 m dpl. Penanaman mawar dilakukan dibawah<br />
naungan rumah plastik, dengan konstruksi bambu dan kayu. Bagian tengah bangunan berjarak sekitar<br />
4 m dari permukaan tanah dan jarak pinggir bangunan sekitar 2-5 m dari permukaan tanah. Plastik<br />
yang digunakan adalah plastik UV ataupun plastik biasa. Ketahanan bangunan rumah plastik adalah<br />
sekitar 3 tahun, atau bisa lebih dari 3 tahun dengan melakukan renovasi terhadap bangunan rumah<br />
plastik tersebut. Besar investasi yang dikeluarkan untuk pembuatan rumah plastik adalah sekitar Rp<br />
15.000,-/m2.<br />
Varietas mawar yang ditanam saat ini adalah varietas yang banyak diminta pasar, seperti:<br />
Grand Gala, Tinneke, Competti, Osiana, Kiss, Saphir, Hapalan, Black Magic dan First Lady. Tetapi<br />
varietas yang paling banyak dibudidayakan adalah Tinneke (50 %) dan Grand Gala (25 %). Bibit<br />
408│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Identifikasi Masalah Teknologi Produksi Bunga Mawar Potong tingkat Petani<br />
Nurmalinda dan Hanudin<br />
bunga mawar diusahakan sendiri oleh petani dengan membuat bibit sendiri. Batang bawah berasal<br />
dari mawar pagar (Maltic), Akan tetapi mawar Maltic ini kurang tahan dan sering diganti dengan<br />
mawar lokal (Rp 80,-/tk panjang 25 cm), sedangkan batang atas diperoleh dari bunga potong yang ada<br />
di pasaran. Dari satu tangkai bunga bisa didapatkan 7 entris yang akan ditempelkan pada batang<br />
bawah. Satu tangkai bunga potong yang berasal dari petani dihargakan sekitar Rp 700,-. Akan tetapi<br />
bibit yang berasal dari petani hanya bertahan sekitar 2 tahun, sedangkan bibit yang dibeli dari<br />
penangkar bibit atau bibit berkualitas bisa bertahan sampai 5 tahun.<br />
Adapun kegiatan usahatani mawar yang dilakukan petani di desa Pakuon dapat dilihat pada<br />
table berikut (Tabel 1):<br />
Tabel 1. Budidaya Mawar di Tingkat Petani<br />
No. I T E M Keterangan<br />
1. Pengolahan Tanah Tanah dicangkul sampai lembut, kemudian dibuat garitan, lebar bedengan : 1 m<br />
dan lebar selokan : 0,5 m<br />
2. Pembibitan Penanaman batang bawah sekitar 5 bulan dan Penempelan selama 3 bulan dan<br />
siap ditanam<br />
3. Penanaman Jarak tanam 30 x 10 cm<br />
4. Pemupukan Pupuk dasar:<br />
Pupuk kandang ayam atau domba sebanyak 1 karung / 6 m2. Pupuk kandang<br />
ditebarkan ditengah garitan. Dalam 1 tahun diberikan 2 kali pupuk kandang.<br />
Pupuk Susulan (Setelah tanam stam pada umur):<br />
1,5-2 bulan : Urea (30 gr/m2)<br />
4 bulan : Urea (30 gr/m2)<br />
6,5 bulan : Urea (30 gr/m2)<br />
8,5 bulan : NPK (7 kg/4000 tan.), selanjutnya diberikan 2 x 1 bulan<br />
Selain itu juga diberikan pupuk daun, seminggu dua kali bersamaan dengan<br />
5. Tempel, Pinching dan<br />
bending<br />
6. Pengendalian Hama dan<br />
Penyakit<br />
pengobatan.<br />
Penempelan dilakukan umur 4,5 bulan dan 2 bulan setelah itu dilakukan<br />
pinching. Bending biasanya dilakukan setelah panen bunga pertama.<br />
Penyakit yang menyerang tanaman:<br />
- Embun tepung (Oidium sp)<br />
- Layu Fusarium<br />
- Bercak Hitam (Marssonina rosae)<br />
Pengendalian penyakit dilakukan dengan menggunakan fungisida yang ada di<br />
pasaran dengan dosis yang sesuai anjuaran pada kemasan.<br />
Hama yang menyerang tanaman:<br />
- Tungau (Tetranychus urticae)<br />
- Kutu Perisai (Aulacapsis rosae)<br />
- Breng (Hitam, Hijau, Putih)<br />
- Aphid (Macrosiphan rosae)<br />
- Thrips<br />
Pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan insektisida yang ada di<br />
pasaran dengan dosis yang sesuai anjuaran pada kemasan. Sebelum<br />
penyemprotan, untuk membunuh thrips, terlebih dahulu dilakukan penyiraman.<br />
Penyemprotan dilakukan mulai penanaman, dengan interval seminggu sekali<br />
pada pagi hari. Kalau ada serangan dilakukan dua kali seminggu, karena bila<br />
terlambat bunga akan rusak semua.<br />
7. Pascapanen Setelah panen, bunga langsung diikat dan dibawa ke Bandar yang ada di desa<br />
tersebut. Di Bandar baru dilakukan penyortiran dan grading sesuai dengan<br />
kualitas yang akan dijual. Mawar di grading menurut ukuran, yaitu panjang 40-<br />
70 cm dan dibawah 40 cm. Setelah itu bunga diikat menjadi ikatan besar dan di<br />
bawa ke pasar di Jakarta dan Bandung.<br />
Pemasaran Hasil<br />
Penjualan hasil dilakukan kepada pedagang pengumpul. Kualitas yang dihasilkan petani<br />
umumnya rendah, sehingga per tangkainya hanya dihargakan Rp 250,-untuk kualitas campuran. Di<br />
pedagang pengumpul biasanya disortir lagi sesuai dengan kualitas yang akan dijual. Untuk mawar<br />
kualitas bagus (panjang 40-70 cm) dihargakan Rp 400-500,-/tangkai. Dari pedagang pengumpul,<br />
bunga tersebut dipasarkan ke florist yang ada di Bandung atau Jakarta dan ke pasar Rawa Belong.<br />
Pembayaran ke petani dilakukan secara tunai atau bayar belakangan (sekitar 7 hari).<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│409
Identifikasi Masalah Teknologi Produksi Bunga Mawar Potong tingkat Petani<br />
Nurmalinda dan Hanudin<br />
Kelembagaan Produksi<br />
Di kecamatan Sukaresmi hanya terdapat satu kelompok tani khusus bunga potong mawar,<br />
yaitu kelompok tani Mekar Sari dengan anggota 11 orang dan diketuai oleh bapak Encep Kedmayadi.<br />
Kegiatan kelompok tani secara khusus tidak ada. Kegiatan kelompok baru dilakukan apabila ada<br />
permasalahan budidaya yang timbul di petani. Pemecahan masalah dilakukan dengan diskusi dalam<br />
kelompok.<br />
Permasalahan Petani<br />
Permasalahan utama yang dihadapi petani saat ini adalah:<br />
Masalah Bibit<br />
Bibit yang ditanam petani adalah bibit yang dibuat sendiri. Kualitasnya masih jauh dari yang<br />
diinginkan. Oleh karena itu dua tahun penanaman sudah dibongkar.<br />
Masalah Hama dan Penyakit<br />
Hama yang paling ditakuti oleh petani mawar adalah Thrips dan tungau. Kalau hama ini<br />
sudah menyerang tanaman, tanaman akan menjadi rusak parah. Sedangkan penyakit yang<br />
banyak menyerang tanaman mawar adalah embun tepung terutama pada musim kemarau.<br />
Masalah Permodalan.<br />
Untuk meningkatkan penghasilan petani diharapkan adanya bantuan modal dari pemerintah.<br />
Modal tersebut terutama digunakan untuk membeli bibit bermutu, disamping untuk<br />
pemeliharaan tanaman.<br />
Usahatani Mawar di Desa Karyawangi, Kec. Parongpong, Kab. Bandung<br />
Penanaman mawar di wilayah Karyawangi dilakukan dengan dua sistim, yaitu ditanam di<br />
ruang terbuka dan ditanam dibawah naungan rumah plastik. Namun demikian yang paling umum<br />
adalah penanaman yang dilakukan pada ruang terbuka. Penanaman yang dilakukan di rumah plastik<br />
di wilayah ini sama halnya dengan yang dilakukan di tempat lainnya. Tinggi rumah plastik di bagian<br />
pinggir adalah sekitar 1,5-2 m dari permukaan tanah. Untuk plastik atap digunakan plastik UV dengan<br />
ketahanan bangunan rumah plastik sekitar 4-5 tahun.<br />
Varietas mawar yang ditanam petani saat ini sekitar 90 % merupakan mawar lokal yang<br />
dikenal oleh petani setempat dengan nama Kanina, berwarna merah, pink dan merah bata. Mawar ini<br />
ditanam di ruang terbuka tanpa menggunakan naungan. Sekitar 10 persen mawar yang ditanam<br />
merupakan mawar introduksi dari Belanda, yaitu varietas Grand Gala, Conpetti dan Akito, yang<br />
ditanam di bawah rumah sere dengan konstruksi bamboo. Mawar ini mulai ditanam di wilayah ini<br />
sekitar tahun 2003.<br />
Bibit mawar, baik lokal ataupun introduksi berasal dari pembibitan sendiri. Mata tunas<br />
(entries) berasal dari bunga potong yang dibeli di pasar bunga. Harga bunga per tangkai adalah sekitar<br />
Rp 500,-/ tangkai untuk mawar local dan sekitar Rp 1.500-2000,-/ tangkai untuk mawar introduksi.<br />
Penanaman mawar di daerah ini langsung dilakukan di tanah. Pembibitan khusus, seperti<br />
pembibitan yang dilakukan di polibag pada mawar introduksi, tidak dilakukan di sini. Batang bawah<br />
langsung ditanam di tanah, setelah umur 7 bulan dilakukan penempelan. Mata tunas yang digunakan<br />
berasal dari mawar potong yang dijual di pasaran. Mata tunas diambil ketika bunga masih kuncup<br />
dan mata tunas yang diambil adalah mata tunas ketiga dari atas sampai yang ketiga dari bawah. Untuk<br />
batang bawah digunakan mawar lokal (mawar pagar). Kualitas mawar pagar yang baik untuk ukuran<br />
20-25 cm dihargakan sekitar Rp 200,-/ batang, sedangkan dengan kualitas campuran dihargakan<br />
sekitar Rp 100,-/batang. Penempelan dilakukan oleh petani sendiri. Sekitar 7-8 hari setelah ditempel<br />
akan terlihat apakah penempelan berhasil atau tidak. Bila berhasil, dua minggu setelah penempelan,<br />
tali pengikat entries bisa dibuka. Batang bawah tadi baru dipotong hingga + 2 cm dari okulasi.<br />
Setelah tali dibuka disemprot Antracol dengan dosis 2 sendok makan (sm) / 14 liter air,<br />
Trubus/Gandasil/ Growmore 3 tutup/14 liter air dan Orthene dengan dosis 1 sm/14 liter air.<br />
Penyemprotan dilakukan seminggu sekali.<br />
Adapun kegiatan usahatani mawar yang dilakukan petani di desa Karyawangi secara<br />
keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 2):<br />
410│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Identifikasi Masalah Teknologi Produksi Bunga Mawar Potong tingkat Petani<br />
Nurmalinda dan Hanudin<br />
Tabel 2. Budidaya Mawar di Tingkat Petani di desa Karyawangi<br />
No. I T E M Keterangan<br />
1. Pengolahan Tanah - Sebelum tanam, tanah diolah terlebih dahulu.<br />
- Lebar bedengan : 1,5 cm<br />
- Lebar antar bedengan : 0,25 cm<br />
2. Penanaman - Kerapatan tanaman : +16 tan/m 2<br />
- Kadang-kadang ditumpangsarikan dengan sayuran, seperti:<br />
kacang Perancis, Slada cabut, kol, kalian, dsb.<br />
3. Pemupukan Pupuk dasar:<br />
- Pupuk kandang sapi diberikan umur 2 minggu setelah<br />
batang bawahnya dipotong atau tinggi tunas sekitar 5 cm.<br />
- Diberikan ditengah garitan sebanyak satu pikulan untuk<br />
luasan 2 m 2 . (1 pikulan= 40-50 kg pupuk)<br />
Pupuk Susulan:<br />
- Diberikan sebulan sekali, yang dimulai 1 bulan setelah<br />
temple. Pupuk yang digunakan adalah:<br />
NPK : 42 gr/m 2<br />
TSP : 42 gr/m 2<br />
KCl : 42 gr/m 2<br />
- Pupuk kandang: 3 bulan sekali, dengan dosis 1 pikulan/2 m 2<br />
4. Pengendalian Hama dan<br />
Penyakit<br />
Penyakit yang menyerang tanaman:<br />
- Black spot (bintik hitam di daun)<br />
- Kalau banyak hujan bunga tidak berkembang dan daun<br />
rontok<br />
- Embun tepung (Oidium sp) pada mawar yang ditanam<br />
dibawah naungan<br />
Pengendalian penyakit dilakukan dengan menggunakan fungisida yang<br />
ada di pasaran dengan dosis yang sesuai anjuaran pada kemasan.<br />
Frekuensi : 1 minggu sekali<br />
Hama yang menyerang tanaman:<br />
- Breng putih/Scale insect (Aulacapsis rosae)<br />
- Breng hijau/Kutu daun (Macrosiphum rosae)<br />
- Ulat<br />
Pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan insektisida yang<br />
ada di pasaran dengan dosis yang sesuai anjuaran pada kemasan, serta<br />
frekuensi : 1 minggu sekali<br />
Lanjutan Tabel 2<br />
No. I T E M Keterangan<br />
5. Penyiraman Penyiraman dilakukan 2 kali seminggu<br />
6. Pinching Pinching baru dilakukan kalau bunga yang diinginkan<br />
berkualitas satu<br />
7. Pemangkasan Pemangkasan dilakukan setahun sekali<br />
8. Pemanenan Bunga pertama muncul 60 hari setelah membuka ikatan tunas<br />
yang ditempel.<br />
Bunga kedua muncul 50-60 hari setelah bunga pertama.<br />
Pemanenan dilakukan 3 kali seminggu, yaitu Senin, Kamis dan<br />
Sabtu. Pemanenan yang dilakukan hari Sabtu untuk penjualan<br />
hari Senin. Setelah panen, bunga ditutup dengan kain dan<br />
setiap hari diperciki air untuk menjaga kesegaran bunga.<br />
9. Pascapanen Setelah panen, mawar dibawa ke Bandar yang ada di desa<br />
tersebut. Penyortiran dilakukan di tempat Bandar demikian<br />
juga dengan grading. Grading dibedakan atas dua, yaitu untuk<br />
kualitas A, panjangbtangkai 40-70 cm dan tidak bercabang,<br />
sedangkan kualitas B, panjang tangkai kurang dari 40 cm dan<br />
bercabang.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│411
Identifikasi Masalah Teknologi Produksi Bunga Mawar Potong tingkat Petani<br />
Nurmalinda dan Hanudin<br />
Ketersediaan Tenaga Kerja<br />
Desa Karyawangi merupakan desa peternakan sapi perah, oleh karena itu tenaga kerja di<br />
wilayah ini lebih banyak bekerja di bidang peternakan. Untuk mendapatkan tenaga kerja upahan<br />
cukup sulit. Oleh karena itu pekerjaan di bidang pertanian lebih banyak menggunakan tenaga kerja<br />
dalam keluarga.<br />
Pemasaran Hasil<br />
Produksi mawar yang dihasilkan dijual kepada bandar yang ada di lokasi wilayah tersebut. Di<br />
tempat bandar dilakukan grading, mawar dengan grade A dijual dengan harga Rp 200,-/batang dan<br />
mawar dengan grade B dijual dengan harga Rp 100,-/batang. Penjualan hasil diakukan ke pasar<br />
Jakarta, yaitu kepada floris yang ada di pasar bunga Tebet, Barito, Cikini dan Kertanegara. Ada<br />
sekitar 30 floris yang menerima bunga dari salah satu Bandar di desa Karyawangi ini. Setiap floris<br />
rata-rata menerima sekitar 40-200 tangkai bunga setiap kali pengiriman. Sistim pembayaran dengan<br />
abodemen dikenakan pada 5.000-6.000 tangkai bunga, dan sisanya dijual dengan harga pasar yang<br />
berlaku pada saat itu.<br />
Pengangkutan barang dilakukan dengan menggunakan bak terbuka. Sebelum diangkut bunga<br />
dibungkus terlebih dahulu menggunakan kardus sesuai dengan ukuran bunga, kemudian dimasukkan<br />
ke dalam kardus yang lebih besar dan siap diangkut ke Jakarta. Pembayaran kepada petani dilakukan<br />
setelah Bandar pulang dari menjual bunga ke Jakarta.<br />
Kelembagaan Produksi<br />
Di wilayah desa Karyawangi belum ada kelompok tani khusus bunga potong mawar. Sampai<br />
saat ini PPL belum berperan banyak dalam penanganan tanaman hias umumnya dan mawar<br />
khususnya. Oleh karena itu, petani belum banyak mendapatkan informasi mengenai usahatani<br />
mawar dari PPL. Padahal bantuan PPL sangat diharapkan petani karena banyak masalah-masalah<br />
yang ditemukan di lapangan yang belum bisa dipecahkan oleh petani sendiri.<br />
Kelembagaan permodalan<br />
Lembaga permodalan terdapat di ibukota kecamatan atau di ibukota kabupaten yang tidak<br />
begitu jauh dari lokasi penanaman. Akan tetapi petani belum menggunakan lembaga tersebut dalam<br />
urusan permodalan. Sampai saat ini, permodalan petani masih berasal dari kantong petani sendiri.<br />
Permasalahan Petani<br />
Permasalahan utama yang dihadapi petani saat ini adalah:<br />
Masalah Bibit<br />
Bibit yang ada di petani saat ini merupakan bibit yang dibuat oleh petani sendiri. Mata tunas yang<br />
dijadikan bibit berasal dari tanaman produksi yang ada di pasaran. Bibit mawar local berkembang di<br />
petani semenjak tahun 1984 dan sampai saat ii belum pernah diperbaharui. Mawar Grand gala,<br />
Kompeti dan Akito didapatkan petani dari pasar bunga, kemudian diambil mata tunasnya dan ditempel<br />
sendiri oleh petani. Bibit ini dikembangkan petani semenjak tahun 2003. Saat ini bibit berkualitas<br />
bisa didapatkan dengan harga ynag relative mahal, yaitu sekitar Rp 2.500-3.000,-/ batang.<br />
Masalah Hama dan Penyakit<br />
Penyakit yang paling banyak dijumpai adalah black spot (bercak hitam). Selain itu kalau<br />
hujan turun, bunga tidak berkembang dan daun rontok.<br />
412│<br />
Pembahasan<br />
Bila dikaji lebih lanjut hasil budidaya yang dilakukan petani, ternyata masih ada hal-hal yang<br />
harus dibenahi untuk mendapatkan mawar yang berkualitas bagus, bersih dari hama dan penyakit,<br />
serta mempunyai umur simpan yang relative lama. Mulai dari pembibitan perlu dilakukan<br />
pembenahan lebih lanjut. Demikian juga dengan pemeliharaan, seperti pemupukan, pengendalian<br />
hama dan penyakit, serta pascapanen.<br />
Dalam hal pembibitan misalnya, seharusnya petani bisa mendapatkan bibit bermutu dengan<br />
harga relatif murah. Pembibitan yang dilakukan sendiri oleh petani akan mempengaruhi kualitas<br />
produk yang dihasilkan, akan tetapi apabila bibit dibeli dari pihak lain harganya relatif mahal untuk<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Identifikasi Masalah Teknologi Produksi Bunga Mawar Potong tingkat Petani<br />
Nurmalinda dan Hanudin<br />
saat ini, apalagi bila bibit tersebut merupakan bibit impor, petani juga harus membayar royalti dari<br />
bibit yang digunakannya dan ini sangat memberatkan bagi petani. Selama ini untuk mendapatlkan<br />
bibit, petani membeli mata tunas yang akan ditempel dari bunga-bunga produksi (bunga potong),<br />
kemudian baru ditempel pada batang bawah jenis tertentu. Kadangkala kualitas batang bawah juga<br />
kurang bagus, sehingga bibit mawar yang dihasilkan juga menjadi tidak bagus.<br />
Pemberian pupuk (jenis dan jumlah) juga tidak boleh sembarangan. Menurut Wuryaningsih<br />
(1995), agar mawar tumbuh baik dan produksi bunganya tinggi, harus diberi 45 kg/Ha unsur N setiap<br />
2 minggu sekali dan TSP sebanyak 325 kg/Ha per tahun. Selain itu Woodson dan Booley (1982)<br />
menyatakan bahwa mawar hibrida yang ditanam di rumah kaca dan diberi 226 ppm K menghasilkan<br />
jumlah dan mutu bunga yang terbaik. Selain pemupukan, arsitektur tanaman yang tepat harus<br />
dibentuk supaya dapat menghasilkan bunga yang banyak dan berkualitas tinggi (De Vries, 1997).<br />
Hasil penelitian Andyantoro et. al. (2004) menunjukkan bahwa pemberian pupuk cair DHL 1,40 –<br />
1,60 dS/m2 pada tanaman mawar berarsitektur Belanda dengan soft pinching menghasilkan tangkai<br />
bunga yang cenderung berdiameter lebih besar.<br />
Penyakit yang paling banyak dijumpai adalah black spot (bercak hitam). Selain itu kalau<br />
hujan turun, bunga tidak berkembang dan daun rontok. Menurut Bowen et. al. (1995), pada serangan<br />
berat yang diikuti penguningan daun, menyebabkan daun mudah rontok sebelum waktunya,<br />
terganggunya pertumbuhan tanaman, penurunan produksi dan kualitas bunga. Pengendalian yang<br />
disarankan sampai saat ini adalah dengan sanitasi serta pengaplikasian fungisida. Hasil penelitian<br />
Belanger et. al. (1994) dalam Winarto et. al. (1998), memberikan solusi cara pengendalian lain yaitu<br />
dengan menggunakan mikroorganisme epifit seperti Sporothrix floculosa, dimana efikasi<br />
miroorganisme ini sebanding dengan fungisida klorotalonil. Hasil penelitian Winarto et. al. (1998)<br />
juga menunjukkan bahwa Enterobacteriaceae sp mampu menekan perkembangan penyakit bercak<br />
hitam lebih baik dan relatif stabil dibandingkan dengan beberapa isolat lainnya.<br />
Untuk bunga yang ditanam di bawah naungan, penyakit yang banyak menyerang tanaman<br />
adalah embun tepung (Oidium sp), terutama pada musim kemarau. Embun tepung ini menyebabkan<br />
permukaan daun tidak dapat berfungsi sebagai organ fotosintetik karena tertutup lapisan putih seperti<br />
tepung. Hasil penelitian Suhardi et. al. (2002) menunjukkan bahwa Xanthomonas malthophyllia,<br />
triadimefon dan benomil efektif menekan serangan embun tepung setelah dua kali aplikasi.<br />
Sedangkan hasil penelitian Hanudin et. al. (2004) menunjukkan bahwa Xanthomonas malthophyllia I<br />
yang diaplikasikan sore hari mampu menekan serangan embun tepung sebesar 67,95 persen dan setara<br />
dengan fungisida kimia sintetik Benomyl.<br />
Dari penjelasan di atas (di dua lokasi penelitian), kegiatan pascapanen yang dilakukan di<br />
tingkat petani hanya grading, kegiatan untuk memperlama masa simpan mawar tidak ada. Menurut<br />
Amiarsi et. al. (2002), umur peragaan atau masa kesegaran bunga merupakan komponen utama<br />
penentu kualitas bunga mawar potong. Kegiatan untuk mempertahankan kesegaran sangat penting<br />
dilakukan karena hasil penelitian Marousky (1972); Coorts (1973); dan Halevy et. al. (1978),<br />
menunjukkan bahwa bunga walaupun telah dipotong dari tangkainya masih melakukan aktivitas<br />
metabolisme. Oleh karena itu untuk pemekaran bunga diperlukan persediaan karbohidrat yang cukup.<br />
KESIMPULAN<br />
Penanaman mawar belum begitu banyak di kec. Sukaresmi karena sulitnya pemeliharaan<br />
tanaman mawar dan banyaknya hama dan penyakit yang menyerang tanaman mawar. Hama yang<br />
banyak menyerang tanaman mawar adalah tungau, kutu perisai, breng hitam, breng hijau, breng putih<br />
dan aphid. Sedangkan penyakit yang banyak menyerang mawar adalah embun tepung (terutama<br />
musim kemarau), bercak daun, layu fusarium dan rontok daun.<br />
Di kec. Parongpong, mawar yang banyak dikembangkan di daerah ini adalah mawar Holland yang<br />
ditanam di ruang terbuka. Untuk mawar varietas-varietas yang relatif baru, seperti Grand gala,<br />
Kompetti dan Akito, belum banyak dikembangkan petani. Adapun permasalahan yang dihadapi petani<br />
adalah masalah bibit , hama dan penyakit.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│413
Identifikasi Masalah Teknologi Produksi Bunga Mawar Potong tingkat Petani<br />
Nurmalinda dan Hanudin<br />
PUSTAKA<br />
1. Amiarsi, D., Yulianingsih, Murtiningsih dan Sjaifullah. 2002. Penggunaan Larutan Perendam<br />
Pulsing untuk Mempertahankan Kesegaran Bunga Mawar Potong Idole dalam Suhu Ruangan.<br />
Journal Hort. 12 (3):178-183.<br />
2. Andyantoro, S., R. Tejasarwana dan B. Ginting. 2004. Hara dan Arsitektur Tanaman pada<br />
Budidaya Mawar Potong. Prosiding Seminar Nasional Florikultura tanggal 4-5 Agustus 2004,<br />
hal. 319-323. Pusat Penelitian dan Pengembangan <strong>Hortikultura</strong>. Jakarta.<br />
3. Badan Pusat Statistik. 2011. Data Ekspor / Impor Indonesia. Jakarta.<br />
4. Badan Pusat Statistik. 2012. Data Ekspor / Impor Indonesia. Jakarta.<br />
5. Bowen, K. L.., B. Youhg and B. K. Behe. 1995. Management of blackspot of rose in the<br />
landscape in Alabama. Plant. Dis. 79: 250-253.<br />
6. Chambers, R. 2001. Memahami Desa Secara Partisipatif. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.<br />
7. Coorts, G. D. 1973. Internal Metabolic Changes in Cut Flower. Hor. Sci. 8 (3):195-198.<br />
8. De Vries, D. P. 1997. Plant Architecture System. CPRO-DLO. Wageningen. The Netherland<br />
(unpublised).<br />
9. Dinas <strong>Pertanian</strong> DKI. 2002 . Pemasukan Komoditi Bunga Gunung di Pusat Promosi Bunga /<br />
Tanaman Hias Rawabelong . Tahun 1996-2001 .<br />
10. Direktorat Bina Produksi <strong>Hortikultura</strong>. 2004. Profil Tanaman Hias. Jakarta.<br />
11. Halevy, A.H., T. G. Byrne, A. M. Kofranek, D. S. Farnham and J. F. Thompson. 1978.<br />
Evaluation of Postharvest Handling Methodsfor Transcontinental truck shipments of cut<br />
carnation, Chrysanthemum and Roses. Journal Amer. Soc. Hort. Sci. 103 (2): 151-155.<br />
12. Hanudin, Suhardi, A. Saefullah dan T. R. Omoy. 2004. Pemanfaatan Mikroba Antagonis<br />
Xanthomonas maltophyllia untuk Mengendalikan Embun Tepung pada Mawar. Prosiding<br />
Seminar Nasional Florikultura tanggal 4-5 Agustus 2004, hal. 359-365. Pusat Penelitian dan<br />
Pengembangan <strong>Hortikultura</strong>. Jakarta.<br />
13. Marousky, F. J. 1972. Water Relation, Effects of Floral Preservatives on Bud Opening and<br />
Keeping Quality of Cut Flowers. Hort. Sci. 7(2): 114-116.<br />
14. Suhardi, T. R. Omoy dan B. Winarto. 2002. Keefektifan Xanthomonas malthophyllia , fungisida<br />
dan tipe cerat terhadap penyakit embun tepung pada tanaman mawar di rumah plastic. J. Hort.<br />
12(1): 50-54.<br />
15. UPT Pusat Promosi dan Pemasaran Hasil <strong>Pertanian</strong> dan Hasil Hutan. 2009. Laporan Data<br />
Informasi Bunga dan Daun Pelengkap di UPT Pusat Promosi dan Pemasaran Hasil <strong>Pertanian</strong><br />
dan Hasil Hutan. Dinas Kelautan dan <strong>Pertanian</strong> Prov. DKI Jakarta.<br />
16. Winarto, B., Suhardi dan Hanudin. 1998. Pengendalian Hayati Diplocarpon rosae pada Mawar<br />
dengan Mikroorganisme Epifit. J. Hort. 7 (4): 919-926.<br />
17. Wuryaningsih, S. 1995. Pengaruh jarak tanam dan dosis pemupukan terhadap pertumbuhan dan<br />
produksi bunga mawar kultivar Cherry Brandy. J. Hort. 2 (5): 100-106.<br />
414│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Peningkatan Nilai Tambah Petani Melalui Kerjasama Produksi Kentang di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur<br />
Provinsi Nusa Tenggara Barat<br />
Adnan, Bulu, Y. G. dan Prisdiminggo<br />
Peningkatan Nilai Tambah Petani Melalui Kerjasama Produksi Kentang di Kecamatan<br />
Sembalun Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat<br />
Adnan, Bulu, Y. G. dan Prisdiminggo<br />
Balai Pengkajian dan Teknologi <strong>Pertanian</strong> (BPTP) Nusa Tenggara Barat<br />
adnanbptp@yahoo.co.id (081805709069); yahanesgeli@yahoo.com (081933162904);<br />
prisdiminggo_canggai@yahoo.com(081918056990)<br />
ABSTRACT. The Potato production in Sembalun District in East Lombok Regency conducted in cooperation<br />
with the firm since 2006. The cost of farming the problem faced by farmers so that build cooperation with the<br />
companies in effort to increase the value added or income of farmers. The objectivitas research to: 1). Analyzing<br />
the effect of cooperation to increase production of value added potato farmer, 2). Analyze the constraints faced<br />
by farmers in potato production cooperation. The research were conducted from May to November 2011 in<br />
sembalun District, East lombok regency west Nusa tenggara Province. Data were collected through in-depth<br />
interviews the using questionnaire. Data were analyzed using descriptive. The results showed that through the<br />
cooperation increase value-added production of potato farmers. Farmers in adding value through cooperation<br />
potato production is strongly influenced the availability of farm costs and the level of technology adoption.<br />
Key words: Technology, Production, Cooperation, Farmers' Income<br />
ABSTRAK. Produksi kentang di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur dilakukan melalui kerjasama<br />
dengan pihak perusahaan sejak tahun 2006. Biaya usahatani merupakan masalah utama yang dihadapi petani<br />
sehingga membangun kerjasama dengan pihak perusahaan sebagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah atau<br />
pendapatan petani. Penelitian bertujuan untuk : 1). Menganalisis pengaruh kerjasama produksi kentang terhadap<br />
peningkatan nilai tambah petani, 2). Menganalisis kendala-kendala yang dihadapi petani dalam kerjasama<br />
produksi kentang. Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei hingga Nopember 2011 di Kecamatan Sembalun<br />
Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa tenggara Barat. Data dikumpulkan melalui wawancara secara<br />
mendalam dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan<br />
bahwa melalui kerjasama produksi kentang meningkatkan nilai tambah petani. Peningkatan nilai tambah petani<br />
melalui kerjasama produksi kentang sangat dipengaruhi ketersediaan biaya usahatani dan tingkat penerapan<br />
Teknologi.<br />
Kata kunci: Teknologi, Produksi, Kerjasama, Pendapatan Petani.<br />
Kentang merupakan salah satu jenis sayuran yang sangat diminati oleh konsumen, baik yang<br />
diolah langsung untuk dikonsumsi maupun berupa makanan olahan. Kebutuhan kentang oleh<br />
konsumen sangat tinggi. Demikian halnya kebutuhan kentang untuk bahan baku pabrik makanan<br />
olahan juga tinggi. Kentang dapat diolah untuk berbagai jenis makanan jadi yang dapat dikonsumsi<br />
oleh lapisan masyarakat.<br />
Produksi kentang di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dari tahun ketahun terus mengalami<br />
peningkatan. Pada tahun 2005 mencapai 58,9 ton, tahun 2006: 60 ton, tahun 2007: 149,6 ton dan tahun<br />
2008 mencapai 1.028,9 Ton (Biro Pusat Statistik NTB, 2009), demikian juga halnya dengan<br />
Kabupaten Lombok Timur, perkembangan tanaman kentang terus menerus mengalami peningkatan<br />
yaitu: tahun 2007: 378.115 kg., tahun 2008: 2.840.547 kg (Rahayu. M, et. al, 2009).<br />
Di NTB kentang hanya diusahakan oleh petani di lereng Gunung Rinjani, yaitu di Kecamatan<br />
sembalun Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Luas lahan di Kecamatan Sembalun yang<br />
potensial untuk pengembangan tanaman hortikultura terutama kentang dan sayuran lain seluas 6.730<br />
ha yang terdiri dari lahan kering seluas 5.575 ha dan lahan sawah seluas 1.155 ha (BPS Lombok<br />
Timur, 2011). Dari luas sawah tersebut yang diusahakan kentang setelah padi sawah seluas ± 302 ha.<br />
Perkembangan produksi kentang di kecamatan Sembalun sebelum kelompok tani melakukan<br />
kerjasama dengan perusahaan swasta relatif sangat rendah yang disebabkan oleh tingkat penerapan<br />
teknologi yang belum optimal dan keterbatasan biaya usahatani yang dimiliki petani. Sejak BPTP<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│415
Peningkatan Nilai Tambah Petani Melalui Kerjasama Produksi Kentang di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur<br />
Provinsi Nusa Tenggara Barat<br />
Adnan, Bulu, Y. G. dan Prisdiminggo<br />
NTB melakukan pengkajian dan pendampingan teknologi sayuran dari tahun 2003 – 2005 terjadi<br />
perubahan penggunaan teknologi oleh petani. Pada tahun 2005 BPTP NTB melakukan pengkajian<br />
bekerjasama dengan PT Indofood Fritolay Makmur dalam pengembangan kentang varietas Atlantik.<br />
Mulai tahun 2005 melalui kegiatan ACIAR (CP/2005/167) pengkajian menerapkan teknologi<br />
budidaya kentang varietas Atlantik yang dilakukan dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu<br />
di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Petani di kedua wilayah dibimbing petugas pemandu lapang<br />
untuk mengkaji kombinasi teknologi anjuran dengan teknologi petani yang baik, yang dapat<br />
menghasilkan produksi tinggi. Hasil pengkajian dari kedua wilayah wilayah tersebut dikembangkan<br />
dengan berbagai pendekatan penyuluhan lapangan untuk di roll-out di NTB dan Sulsel, (Kunto<br />
Kumoro, et. al, 2008).<br />
Hasil pengkajian kerjasama antara BPTP NTB dengan PT Indofood Fritolay Makmur bahwa<br />
kualitas kentang varietas Atlantik yang dihasilkan di Sembalun berpotensi untuk dikembangkan secara<br />
luas dengan meningkatkan produksi melalui penggunaan teknologi. Atas dasar tersebut mulai tahun<br />
2006 PT Indofood Fritolay Makmur melakukan kerjasama produksi dan pemasaran kentang Varietas<br />
Atlantik dengan kelompok tani Horsela di Sembalun.<br />
Hasil pengkajian tersebut juga ditemukan bahwa usaha tani kentang di Sembalun bebas dari<br />
hama Nematoda Sista Kentang (NSK) (Kunto Kumoro, et. at, 2009). Dengan demikian Sembalun<br />
berpotensi menjadi daerah aman untuk penanaman kentang bibit, di samping untuk pasokan bahan<br />
baku bagi perusahaan.<br />
Berdasarkan analisis pihak perusahaan PT Indofood Fritolay Makmur bahwa kentang varietas<br />
atlantik yang dikembangkan di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara<br />
Barat memiliki kualitas lebih baik dibandingkan yang dikembangkan di beberapa daerah lain di<br />
Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan nilai tambah petani melalui kerjasama<br />
dalam produksi dan pemasaran kentang.<br />
METODE PENELITIAN<br />
Penelitian dilaksanakan di kecamatan Sembalun dari Bulan Mei – Nopember 2011. Petani<br />
yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah petani yang terlibat dalam kerjasama produksi dan<br />
pemasaran kentang varietas Atlantik antara kelompok tani dengan PT Indofood Fritolay Makmur dan<br />
beberapa perusahaan lain yang bergerak dalam agribisnis input.<br />
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif<br />
dan kualitatif. Pengkajian ini menggunakan metode survei dengan menggunakan daftar pertanyaan<br />
(Singarimbun dan Sofyan, 1995). Untuk memahami kendala-kendala yang dihadapi petani dalam<br />
kerjasama produksi kentang dataran tinggi Sembalun menggunakan pendekatan kualitatif, maka<br />
dalam penelitian ini mengkombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, di mana pendekatan<br />
kuantitatif didukung kualitatif (Brannen, 1997; Tashakkori dan Teddlie, 1998).<br />
Teknik pengumpulan data dilakukan pendekatan survei melalui wawancara secara mendalam,<br />
observasi dan FGD dengan menggunakan instrument pengumpulan data yang telah dipersiapkan. Data<br />
yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif.<br />
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN<br />
A. Perkembangan Penggunaan Teknologi Dalam Produksi Kentang Varietas Atlantik.<br />
Perkembangan penggunaan dan penerapan teknologi dalam produksi kentang Atlantik dari<br />
tahun ke tahun mengalami peningkatan mulai dari pengolahan tanah, penggunaan bibit, pemeliharaan,<br />
penggunaan pestisida, panen dan pasca panen. Kerjasama produksi dan pemasaran kentang varietas<br />
Atlantik motivasi petani untuk meningkatkan penerapan teknologi baru (Tabel 1).<br />
416│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Peningkatan Nilai Tambah Petani Melalui Kerjasama Produksi Kentang di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur<br />
Provinsi Nusa Tenggara Barat<br />
Adnan, Bulu, Y. G. dan Prisdiminggo<br />
Tabel 1. Perkembangan penggunaan teknologi dalam produksi kentang varietas Atlantik di Kecamatan<br />
Sembalun Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat.<br />
Komponen<br />
Perkembangan Penerapan Teknologi Melalui Kerjasama<br />
Teknologi<br />
2 2 2 2 2 2 2 2<br />
003 004 005 006 007 008 009 010 011<br />
Pengolahan Tanah Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi<br />
2<br />
Bibit Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi<br />
Pupuk Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi<br />
Pestisida Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi<br />
Pemeliharaan Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi<br />
Panen dan Pasca<br />
Panen<br />
Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi<br />
Sumber : Data Primer diolah<br />
Penerapan teknologi budidaya kentang dari tahun 2003 sampai 2005 masih rendah dan bersifat<br />
komvensional baik dari pengolahan tanah hingga panen dan pasca panen. Penerapan teknologi<br />
budidaya kentang dari tahun 2006 sampai tahun 2011 mengalami peningkatan. Peningkatan penerapan<br />
teknologi oleh petani didorong oleh kerjasama penyediaan sarana produksi dan jaminan pasar serta<br />
harga yang sesuai.<br />
Tingkat penggunaan pupuk kimia dalam pengelolaan usaha tani kentang oleh petani di<br />
Sembalun cenderung menurun, hal ini disebabkan oleh perubahan perilaku petani mengenai<br />
pentingnya perbaikan kesuburan tanah melalui penggunaan pupuk organik. Penggunaan pupuk<br />
kandang atau kompos untuk tanaman sayuran oleh petani di Sembalun lebih dominan diperoleh dari<br />
luar karena ketersediaan bahan baku untuk pembuatan kompos di Sembalun belum mencukupi. Untuk<br />
tetap mempertahankan keberlanjutan pengelolaan lahan di kawasan Sembalun maka diperlukan untuk<br />
meningkatkan penggunaan pupuk organik. Penggunaan pupuk organik sejauh ini dapat memperbaiki<br />
struktur tanah dan meningkatkan kesuburan tanah. Penggunaan pupuk organik yang berasal dari<br />
limbah ternak sapi dalam pengelolaan usaha tani sayuran merupakan bentuk keterpaduan dalam<br />
pengelolaan sumberdaya lahan sebagai upaya dalam meningkatkan produksi dan mempertahankan<br />
keberlanjutan pertanian.<br />
Penggunaan bibit unggul dan sarana produksi lain yang dibutuhkan oleh kelompok tani dalam<br />
produksi kentang varietas Atlantik dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan<br />
pertambahan luas areal dan jumlah petani yang terlibat dalam kerjasama. Peningkatan luas areal tanam<br />
dan jumlah petani yang terlibat dalam kerjasama disebabkan oleh nilai tambah yang diperoleh petani<br />
dalam kerjasama produksi dan pemasaran kentang relatif meningkat dibandingkan dengan petani yang<br />
tidak melakukan kerjasama.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│417
Peningkatan Nilai Tambah Petani Melalui Kerjasama Produksi Kentang di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur<br />
Provinsi Nusa Tenggara Barat<br />
Adnan, Bulu, Y. G. dan Prisdiminggo<br />
Tabel 2. Jumlah penggunaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida) oleh kelompok tani kentang<br />
dalam kerjasama produksi dari tahun 2006 – 2011 di kecamatan Sembalun Kabupaten<br />
Lombok Timur Nusa Tenggara Barat.<br />
No. Jenis input<br />
volume ( Kg, Bks, Btl )<br />
Tahun<br />
2006 2007 2008 2009 2010 2011<br />
1. Bibit 8.000 3<br />
6.000<br />
296.000 300.000 18<br />
4.000<br />
14<br />
8.000<br />
2. Jumlah I 8.000 3<br />
6.000<br />
3. Pupuk<br />
- Pupuk kompos<br />
16.000 72.000<br />
- NPK Phonska<br />
-<br />
-<br />
- pertifos<br />
1.600 7.200<br />
- Za<br />
2.400 5.400<br />
- SP 36<br />
8.400 10.800<br />
- SP 18<br />
-<br />
-<br />
- KCL<br />
3.200 7.200<br />
296.000 300.000 18<br />
4.000<br />
592.000<br />
-<br />
44.400<br />
88.800<br />
59.200<br />
-<br />
2.960<br />
600.000<br />
-<br />
60.000<br />
45.000<br />
90.000<br />
-<br />
60.000<br />
368.000<br />
36.800<br />
-<br />
27.600<br />
55.200<br />
36.800<br />
-<br />
14<br />
8.000<br />
296.000<br />
29.600<br />
-<br />
22.200<br />
44.400<br />
29.600<br />
-<br />
4. Jumlah II 3<br />
1.600<br />
5. Pestisida<br />
- Petrofur 3G<br />
- Sidafur 3G<br />
- Revus<br />
- Nemispor<br />
- Sidamec<br />
- Pestisida lain<br />
80<br />
-<br />
60<br />
60<br />
40<br />
176<br />
138.600 1.083.360 1.155.000 708.400 569.800<br />
360<br />
-<br />
270<br />
270<br />
180<br />
792<br />
2.960<br />
-<br />
2.220<br />
2.220<br />
1.480<br />
6.512<br />
3.000<br />
-<br />
2.250<br />
2.250<br />
1.500<br />
6.600<br />
-<br />
1.840<br />
1.380<br />
1.380<br />
920<br />
4.048<br />
-<br />
1.480<br />
1.110<br />
1.110<br />
740<br />
3.256<br />
Jumlah III 416 1.872 15.392 15.600 9.568 7.696<br />
Jumlah I+II+III 40.016 176.472 1.394.752 1.470.600 271.968 725.496<br />
Sumber. Data primer diolah<br />
Kerjasama antara kelompok tani Horsela dengan PT Indofood Fritolay Makmur dalam<br />
menghasilkan kentang varietas Atlantik sebagai bahan baku pabrik makanan olahan. Kerjasama yang<br />
dilakukan mulai tahun 2006 sampai sekarang, melalui perjanjian tertulis antara kedua belah pihak<br />
dalam produksi dan pemasaran kentang varietas Atlantik. Dalam kerjasama kedua belah pihak<br />
mengedepankan jaringan komunikasi, kerjasama dan saling percaya serta mentaati norma yang telah<br />
disepakati bersama. Norma atau aturan dalam perjanjian tertulis yang menjadi komitmen dan<br />
kesepakatan bersama dari kedua belah pihak adalah sebagai berikut:<br />
1. Pihak perusahaan memberikan pinjaman bibit, pupuk dan pestisida serta pengawalan teknologi<br />
dibantu oleh petani ahli dari kelompok tani.<br />
2. PT Sarana Tani Indonesia Makmur adalah suatu lembaga keuangan yang dipercaya oleh PT<br />
Indofood Fritolay Makmur dalam penalangan dana untuk pembayaran sarana produksi yang<br />
dibutuhkan oleh petani.<br />
3. CV Cintani sebagai distributor pupuk dan pestisida yang ada di daerah ditunjuk oleh PT Sarana<br />
Tani Indonesia Makmur untuk menyediakan dan mendistribusikan sarana produksi yang<br />
dibutuhkan oleh petani mitra.<br />
4. Kelompok tani Horsela selaku wadah petani sebagai Vendor (Supplayer) dari perusahaan yang<br />
mengelola penerimaan dan pendistribusian sarana produksi yang dibutuhkan kelompok tani dan<br />
anggota selama kegiatan budidaya.<br />
5. Kelompok tani Horsela mengkoordinir anggota kelompok tani untuk melakukan kegiatan produksi<br />
dan melakukan pendistribusian hasil produksi kentang ke perusahaan PT Indofood Fritolay<br />
Makmur.<br />
6. PT Indofood Fritolay Makmur menjamin kepastian pasar dan harga hasil kentang sesuai disepakati<br />
sejak awal.<br />
418│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Peningkatan Nilai Tambah Petani Melalui Kerjasama Produksi Kentang di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur<br />
Provinsi Nusa Tenggara Barat<br />
Adnan, Bulu, Y. G. dan Prisdiminggo<br />
7. Penetuan harga kontrak berdasarkan kesepakatan antar kelompok tani dengan PT Indofood Fritolay<br />
Makmur.<br />
8. Kelompok tani dan anggota kelompok menyepakati harga dasar kentang (harga yang di terima<br />
petani) lebih kecil dari harga kontrak yang disepakati antara kelompok tani dengan PT Indofood<br />
Fritolay Makmur.<br />
9. Kelompok tani membayar produksi kentang petani dengan standar harga dasar yang disepakati<br />
antara petani dengan kelompok tani.<br />
10. Selisih harga kontrak dengan harga dasar yang di terima petani di gunakan untuk membiayai<br />
kegiatan off farm. Biaya off farm meliputi biaya panen, transportasi dari lahan ke gudang<br />
penyimpanan, biaya bongkar muat digudang penyimpanan, biaya tranportasi dari gudang<br />
penyimpanan ke transit pengiriman, biaya bongkar muat di lokasi transit, biaya transportasi<br />
pengiriman dari lokasi transit kegudang pabrik. Selain itu, selisih harga tersebut juga di gunakan<br />
biaya bongkar digudang Perusahaan, biaya waring (karung), biaya tali, insentif kelompok tani,<br />
biaya jarum jahit karung, dan biaya penyusutan baik selama penyimpanan digudang maupun<br />
penyusutan yang terjadi selama perjalanan waktu pengiriman kegudang perusahaan.<br />
11. Pembayaran pinjaman sarana produksi (bibit, pupuk dan pestisida) oleh petani langsung dipotong<br />
pada saat kentang petani yang pembayarannya dilakukan melalui rekening kelompok tani Horsela.<br />
Alokasi biaya produksi dan pemasaran kentang varietas atlantik meliputi biaya bibit, pupuk,<br />
pestisida, dan kegiatan off farm. Semua biaya-biaya tersebut merupakan total biaya dari seluruh<br />
anggota kelompok tani yang terlibat dalam kerjasama.<br />
Semua permodalan usahatani dalam produksi dan pemasaran kentang di fasilitasi oleh PT<br />
Sarana Tani Indonesia Makmur bekerjasama dengan PT Indofood Fritolay Makmur sebagai<br />
perusahaan penjamin. Pinjaman modal melalui PT Sarana Tani Indonesia Makmur oleh petani<br />
kemudian dibayarkan ke PT Indofood Fritolay Makmur setelah panen.<br />
Tabel 3. Biaya sarana produksi dan biaya off farm dari tahun 2006-2011 pada kelompok tani Horsela<br />
dalam kerjasama produksi dan pemasaran kentang varietas atlantik di Kecamatan Sembalun<br />
Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat.<br />
No Jenis biaya<br />
Jumlah biaya sarana produksi (Rp/tahun)<br />
2006 2007 2008 2009 2010 2011<br />
1. Bibit 100.000.000 450.000.000 3.108.000.000 3.150.000.000 2.484.000.000 1.926.960.000<br />
2. Pupuk 22.160.000 99.720.000 819.920.000 831.000.000 436.080.000 350.760.000<br />
3. Pestisida 40.172.000 180.777.000 666.471.000 675.478.000 414.293.000 333.235.000<br />
4. Kegiatan off<br />
farm<br />
105.312.000 453.738.000 3.408.132.000 3.562.812.000 1.694.743.200 2.189.712.000<br />
Jumlah 267.644.000 1.184.235.000 8.002.523.000 8.219.290.000 5.029.116.200 4.800.667.000<br />
Sumber : data primer diolah<br />
B. Perkembangan Produksi Kentang Varietas Atlantik, Biaya Usaha Tani, dan Keuntungan<br />
Kelompok Tani Horsela Melalui Kerjasama dengan PT Indofood Fritolay Makmur.<br />
Kerjasama produksi dan pemasaran kentang antara kelompok tani Horsela dengan PT Indofood<br />
Fritolay Makmur mengalami peningkatan luas tanam dan jumlah petani yang terlibat dalam kerjasama<br />
dari tahun 2006 hingga tahun 2009. Antara tahun 2010 dengan tahun 2011, luas tanam kentang<br />
varietas atlantik dan jumlah petani yang terlibat dalam kerjasama mengalami penurunan yang<br />
disebabkan oleh perubahan iklim yaitu pola curah hujan yang tinggi.<br />
Seiring dengan peningkatan luas areal tanam dan jumlah petani yang terlibat dalam kerjasama<br />
juga di ikuti dengan meningkatnya penggunaan sarana produksi dan biaya usahatani sehingga<br />
beberapa perusahaan lain yang bergerak dalam agribisnis input juga melakukan kerjasama dengan<br />
kelompok tani. Kerjasama antara beberapa perusahaan dalam penyediaan sarana produksi dan<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│419
Peningkatan Nilai Tambah Petani Melalui Kerjasama Produksi Kentang di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur<br />
Provinsi Nusa Tenggara Barat<br />
Adnan, Bulu, Y. G. dan Prisdiminggo<br />
penyediaan pinjaman modal memudahkan bagi petani dalam pengelolaan usahatani kentang varietas<br />
atlantik.<br />
Peningkatan luas areal tanam kentang varietas atlantik juga diikuti dengan peningkatan<br />
produksi. Peningkatan produksi kentang varietas atlantik tidak hanya ditentukan oleh pertambahan<br />
luas areal tanam akan tetapi di tentukan oleh tingkat penerapan teknologi.<br />
Kontinyunitas produksi kentang varietas atlantik mendorong PT Indofood Fritolay Makmur<br />
untuk memperkuat kerjasama produksi dan pemasaran kentang dengan kelompok tani. Manfaat<br />
kerjasama yang dirasakan oleh kelompok tani dan anggota kelompok memberikan nilai tambah berupa<br />
peningkatan pendapatan rumah tangga petani. Hal tersebut merupakan faktor utama yang<br />
menyebabkan petani tetap mempertahankan kerjasama dengan memberikan kepercayaan kepada PT<br />
Indofood Fritolay Makmur melalui peningkatan kualitas produksi.<br />
Kualitas produksi kentang yang dihasilkan petani Sembalun dinilai berbeda oleh PT Indofood<br />
Fritolay Makmur dibandingkan dengan kualitas produksi pada varietas yang sama yang diproduksi di<br />
daerah lain. Yang membedakan kualitas kentang Sembalun dengan kentang dari daerah lain adalah<br />
warnanya lebih cerah karena struktur tanah lempung berpasir sehingga waktu panen tanahnya tidak<br />
lengket, diameter yang lebih dari 7 cm umbinya tidak berlubang. Selain itu, dataran tinggi Sembalun<br />
merupakan satu-satunya daerah yang memproduksi kentang pada musim kemarau. Berdasarkan hal<br />
tersebut, PT Indofood Fritolay Makmur meningkatkan harga beli atau harga kontrak dengan kelompok<br />
tani kentang di Sembalun.<br />
Harga kontrak yang menjadi kesepakatan antara kelompok tani dengan PT Indofood Fritolay<br />
Makmur bukan harga yang di terima oleh petani dalam pembelian kentang. Sesuai kesepakatan anatara<br />
kelompok tani dengan anggota dan PT Indofood Fritolay Makmur menentukan harga dasar kentang<br />
yang layak di terima oleh petani. selisih harga antara harga kontrak dengan yang di terima oleh petani<br />
disepakati untuk di alokasikan untuk membiayai kegiatan off farm ( mulai biaya panen sampai<br />
pendistribusian ke gudang pabrik) (Tabel 4).<br />
Tabel 4. Perkembangan luas tanam, produksi, harga kontrak, nilai produksi, biaya usahatani dan<br />
keuntungan kelompok tani dalam kerjasama produksi dan pemasaran kentang varietas<br />
atlantik dengan Sistem Contrak Farming antara kelompok tani dengan PT Indofood Fritolay<br />
Makmur di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur.<br />
No. Uraian Tahun<br />
2006 2007 2008 2009 2010 2011<br />
1 Luas Lahan (Ha) 4 18 148 150 92 74<br />
2 Jumlah Petani (org) 32 69 568 612 348 274<br />
3 Produksi (Kg) 87.760 378.115 2.840.110 2.968.760 1.412.286 1.824.760<br />
4 Harga kontrak (Rp/Kg) 3.900 3.900 4.145 4.200 4.585 5.200<br />
Harga petani (Rp/ Kg) 2.700 2.700 2.945 3.000 3.385 3.815<br />
Selisih harga (Rp/kg) *) 1.200 1.200 1.200 1.200 1.200 1.385<br />
5 Total Nilai (Rp.000) 342.264 1.474.648 11.772.255 12.468.792 6.475.331 9.488.752<br />
6 Total biaya (Rp.000) **) 2<br />
1.<br />
8.<br />
8.<br />
5.<br />
4.<br />
67.644 184.235 002.523 219.290 029.116 800.667<br />
7 Keuntungan kelompok<br />
(Rp.000) 7<br />
4.620<br />
2<br />
90.413<br />
3.<br />
769.732<br />
Keterangan: *) Digunakan kelompok untuk biaya off farm<br />
**) Total biaya usahatani adalah biaya sarana produksi dan biaya off farm<br />
Sumber : Data Primer diolah.<br />
4.<br />
249.502<br />
1.<br />
446.215<br />
4.<br />
688.085<br />
Berdasarkan hasil analisis bahwa harga dasar kentang yang disepakati bersama antara<br />
kelompok tani, anggota kelompok tani dan PT Indofood Fritolay Makmur (Tabel 4) relative sangat<br />
menguntungkan dengan tingkat keuntungan mencapai Rp. 37.020.883,26 per hektar. Tingkat<br />
keuntungan yang di capai petani tersebut merupakan dorongan kuat untuk mempertahankan dan<br />
melanjutkan kerjasama produksi dan pemasaran kentang dengan PT Indofood Fritolay Makmur.<br />
Kerjasama tersebut juga memberikan kesempatan kerja bagi 368 orang pada kegiatan panen. Selain itu<br />
420│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Peningkatan Nilai Tambah Petani Melalui Kerjasama Produksi Kentang di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur<br />
Provinsi Nusa Tenggara Barat<br />
Adnan, Bulu, Y. G. dan Prisdiminggo<br />
pada kegiatan off farm (pengangkutan dari lahan usahatani sampai ke gudang pabrik) menyerap tenaga<br />
kerja 112 orang dari 39 unit armada pengangkutan.<br />
Tabel 5. Analisis ekonomi usahatani kentang varietas atlantik melalui kerjasama produksi dan<br />
pemasaran antara petani dengan PT Indofood Fritolay Makmur di Kecamatan Sembalun<br />
Kabupaten Lombok Timur Tahun 2011.<br />
NO Uraian Volume Satuan Harga Satuan (Kg) Jumlah (Rp)<br />
1. Biaya sarana produksi<br />
a.Bibit 1.918,25 Kg 13.020,00 25.795.875,00<br />
b.Pupuk<br />
- Petroganik/Kompos 2416,67 Kg 650,00 1.570.833,33<br />
- SP 36 333,33 Kg 2.300,00 766.666,67<br />
- NPK Phonska 755,42 Kg 2.500,00 1.888.541,67<br />
- ZA 522,08 Kg 1.600,00 835.333,33<br />
- Urea 56,25 Kg 1.900,00 106.875,00<br />
- NPK Pelangi 166,67 Kg 2.650,00 441.666,67<br />
c.Pestisida<br />
- Furadan 4,17 Kg 25.000,00 104.166,67<br />
- Percis 400 ml 5,00 Btl 85.000,00 425.000,00<br />
- Percis 100 ml 1,67 Btl 22.000,00 36.666,67<br />
- Zeram 250 ml 0,42 Btl 50.000,00 20.833,33<br />
- Nemisfor 4,58 Bks 72.000,00 330.000,00<br />
- Revus 250 ml 9,58 Btl 145.750,00 1.396.770,83<br />
- Sidamec 100 ml 4,58 Btl 60.000,00 275.000,00<br />
- Cozene 400 grm 10,42 Bks 60.000,00 625.000,00<br />
- Jose 500 ml 0,42 Btl 17.000,00 7.083,33<br />
- Besmor 500 ml 8,75 Btl 60.000,00 525.000,00<br />
- Klopindo 8,33 Bks 22.000,00 183.333,33<br />
- Cirotex 16,67 Bks 75.000,00 1.250.000,00<br />
- Guntur 2,08 Bks 135.000,00 281.250,00<br />
- Topzon 1000 ml 1,67 Btl 47.000,00 78.333,33<br />
- Besmor 100 ml 1,25 Btl 14.000,00 17.500,00<br />
Total .I. 35.073.187,49<br />
2. Biaya Tenaga Kerja<br />
a. Pengolahan tanah<br />
b. Penanaman<br />
c. Pemupukan<br />
d. Penyiangan dan Pembumbunan<br />
e. Pengairan<br />
f. Penyemprotan<br />
g. biaya panen<br />
Ha<br />
40<br />
12<br />
60<br />
12<br />
60<br />
23.525<br />
Borongan<br />
HOK<br />
HOK<br />
HOK<br />
HOK<br />
HOK<br />
Kg<br />
2.500.000,00<br />
40.000,00<br />
40.000,00<br />
40.000,00<br />
40.000,00<br />
40.000,00<br />
200,00<br />
2.500.000,00<br />
1.600.000,00<br />
480.000,00<br />
2.400.000,00<br />
480.000,00<br />
2.400.000,00<br />
4.705.000,00<br />
Total . II. 14.565.000,00<br />
3 Biaya tetap<br />
a. Sewa lahan<br />
b. Pajak<br />
c. Penyusutan alat<br />
3.000.000,00<br />
25.000,00<br />
63.804,25<br />
3.000.000,00<br />
25.000,00<br />
63.804,25,00<br />
Total. III. 3.088.804,25<br />
Total Biaya= Total I + Total II + Total III 52.726.991,74<br />
4. Produksi 23.525 Kg<br />
5. Harga 3.815,00<br />
6. Penerimaan 23.525 Kg 3.815,00 89.747.875,00<br />
7. Pendapatan Bersih Petani 37.020.883,26<br />
Sumber : Data Primer Diolah<br />
Armada pengangkutan hasil produksi kentang dari lahan usahatani sampai ke lokasi transit<br />
merupakan armada pengangkutan dari kecamatan Sembalun. Armada pengangkutan dari lokasi transit<br />
ke gudang pabrik menggunakan armada dengan volume yang lebih besar. Armada distribusi hasil<br />
produksi kentang dari lokasi transit sampai ke gudang pabrik di kerjasamakan oleh kelompok tani<br />
Horsela dengan perusahaan expedisi PO Maju Jaya.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│421
Peningkatan Nilai Tambah Petani Melalui Kerjasama Produksi Kentang di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur<br />
Provinsi Nusa Tenggara Barat<br />
Adnan, Bulu, Y. G. dan Prisdiminggo<br />
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN<br />
Kesimpulan<br />
1. Kerjasama produksi dan pemasaran kentang varietas atlantik antara kelompok tani dengan PT<br />
Indofood Fritolay Makmur meningkatkan luas areal tanam dan jumlah petani yang terlibat dalam<br />
kerjasama.<br />
2. Kerjasama produksi dan pemasaran kentang varietas atlantik memberikan keuntungan<br />
memberikan keuntungan atau nilai tambah bagi petani yang terlibat dalam kerjasama.<br />
3. Kerjasama produksi dan pemasaran kentang varietas atlantik mendorong petani untuk<br />
meningkatkan kualitas produksi melalui peningkatan penerapan teknologi.<br />
4. Kerjasama produksi dan pemasaran kentang varietas atlantik memperkuat modal sosial antara<br />
kelompok tani, anggota kelompok tani dan pihak perusahaan.<br />
5. Biaya bibit kentang relatif mahal serta bibit kentang yang disediakan oleh perusahaan belum<br />
sesuai dengan ukuran yang diinginkan petani.<br />
Implikasi Kebijakan<br />
1. Untuk memperkuat dan keberlanjutan kerjasama dalam produksi dan pemasaran<br />
kentang maka masih sangat perlu penguatan kelompok tani dalam pengelolaan<br />
usahatani, organisasi dan administrasi.<br />
2. Untuk meningkatkan kualitas produksi kentang maka masih perlu dilakukan<br />
pendampingan teknologi.<br />
3. Diperlukan dukungan teknologi kepada kelompok tani dalam pembibitan kentang<br />
varietas atlantik agar tersedia di lokasi pada saat dibutuhkan dan dapat dijangkau oleh<br />
seluruh petani.<br />
Ucapan Terima Kasih<br />
Makalah ini disimpulkan dari hasil Kegiatan Kajian Pemberdayaan Kelembagaan<br />
Petani Mendukung Usaha Agribisnis Perdesaan di Nusa Tenggara Barat yang di danai dari<br />
DIPA Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong> Nusa Tenggara Barat Badan Litbang <strong>Pertanian</strong><br />
tahun Anggaran 2012. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kepala BPTP NTB melalui<br />
penanggung jawab Kegiatan yang telah memberikan kesempatan dan menyediakan dana<br />
untuk penelitian ini. Semoga hasil kerja ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan<br />
kemajuan dunia penelitian di indonesia.<br />
PUSTAKA<br />
422│<br />
1. BPS NTB, 2009. peningkatan produksi kentang di NTB. BPS NTB, 2009.<br />
2. BPS Lotim, 2011. Luas Lahan Menurut Kecamatan dan Jenisnya di Kabupaten Lombok Timur<br />
Tahun 2010. Lombok Timur Dalam Angka, 2011.<br />
3. Kumoro. K, Hidayah. N. B, Mursal, Iswarta. H, Sudjudi, Adnyana. C. P. I, Subagyo. B, Minardi,<br />
2008. Laporan Kegiatan Optimalisasi Hasil Produksi Pada Sistem Penanaman Kentang / Kubis /<br />
Bawang di Nusa Tenggara Barat (Optimising the Productivity of the Potato/Brassica/ Allium<br />
System on West Nusa Tenggara (ACIAR No CP/2005/167). BPTP NTB, 2008<br />
4. Kumoro. K, Hidayah. N. B, Mursal, Iswarta. H, Sudjudi, Adnyana. C. P. I, Subagyo. B, Minardi,<br />
2009. Laporan Kegiatan Optimalisasi Hasil Produksi Pada Sistem Penanaman Kentang / Kubis /<br />
Bawang di Nusa Tenggara Barat (Optimising the Productivity of the Potato/Brassica/ Allium<br />
System on West Nusa Tenggara (ACIAR No CP/2005/167). BPTP NTB, 2009<br />
5. Rahayu. M., Salam Wahid, Zainuri, Mujiono, 2009. Sistem Usahatani Kentang Dataran Tinggi<br />
Sembalun, Laporan Penelitian, Balai Pengkajian Teknologi <strong>Pertanian</strong>, 2009.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Peningkatan Nilai Tambah Petani Melalui Kerjasama Produksi Kentang di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur<br />
Provinsi Nusa Tenggara Barat<br />
Adnan, Bulu, Y. G. dan Prisdiminggo<br />
6. Singarimbun M, Sofian E. 1995. Metode Penelitian Survei. Edisi kedua, LP3ES, Jakarta.<br />
7. Tashakkori, A. dan Ch. Teddlie. 1998. Mixed Methodology, Combining Qulaitative and<br />
Quantitative Approaches. SAGE Publications. Thousand Oaks London-New Delhi.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│423
Karakeristik Ekonomi Produksi Anggur di Bali<br />
Zamzami, L dan Budiyati, E<br />
Karakeristik Ekonomi Produksi Anggur di Bali<br />
Zamzami, L dan Budiyati, E<br />
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika<br />
Jl. Raya Tlekung No. 1 Junrejo, Batu – Jawa Timur<br />
Abstrak. Buah anggur merupakan salah satu komoditas buah yang bisa memberikan nilai tambah. Selain bisa<br />
dikonsumsi sebagai buah segar, juga bisa diolah menjadi berbagai produk seperti jus anggur, kismis, minuman<br />
anggur dan sebagainya. Bali merupakan salah satu sentra produksi anggur utama di Indonesia. Jenis yang<br />
umumnya ditanam di Bali adalah Bs 6 atau biasa disebut dengan anggur Bali. Sedangkan pemanfaatannya selain<br />
sebagai buah meja juga lebih banyak diolah menjadi minuman wine di Bali. Dengan demikian, buah anggur ini<br />
akan semakin mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan informasi<br />
tentang karakteristik secara ekonomi pada usahatani anggur di Bali. Penelitian dilakukan secara survey pada<br />
tahun 2011 di Kabupaten Buleleng, Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ekonomi, usahatani anggur<br />
di Bali memberikan keuntungan yang baik bagi petani, serta berdasarkan nilai R/C rasionya sebesar 1,90<br />
mempunyai kriteria efisien dan menguntungkan. Hal ini menunjukkan bahwa produksi anggur di Bali layak<br />
untuk terus diusahakan. Sedangkan daerah tujuan utama pemasaran anggur Bali meliputi Jawa, Lombok dan<br />
daerah Bali sendiri.<br />
Kata kunci : anggur, Bs 6, R/C rasio<br />
Abstract. Zamzami, L and Budiyati, E. 2013. Economic Characteristics of Grapevine Production in Bali.<br />
Grape is one of fruit commodities that able to give added value. It can be consumed as fresh fruit and also can be<br />
processed into several products such as juice, raisin, wine, etc. Bali is one of major grapevine production centers<br />
in Indonesia. The grapevine type mostly planted in Bali is Bs 6 or commonly known as Bali grapevine. The use<br />
of this grape in Bali is as fresh fruit, it also usually processed as wine. Therefore, this commodity will also have<br />
higher economic value. This paper aims to convey information about economic characteristics of grapevine<br />
farming in Bali. Research was conducted by survey in 2011 at Buleleng Regency, Bali. The result indicated that<br />
economically, grapevine farming in Bali gave good income for the farmers; and based on its R/C ratio, the value<br />
was 1,90 that meant efficient and profitable. It showed that grape production in Bali was feasible to be carried<br />
on. Meanwhile, the main marketing destinations for Bali grape were Java, Lombok and Bali.<br />
Keywords: grapevine, Bs 6, R/C ratio<br />
Tanaman anggur merupakan tanaman asli Eropa dan Asia Tengah yang kini sudah ditanam di<br />
berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Buah anggur sendiri termasuk salah satu komoditas buah<br />
yang bisa memberikan nilai tambah. Selain bisa dikonsumsi sebagai buah segar, juga bisa diolah<br />
menjadi berbagai produk seperti jus anggur, kismis, minuman anggur dan sebagainya. Buah anggur<br />
segar dalam bentuk jus mengandung air sebanyak 70 – 80%, karbohidrat 15 – 25%, dan sisanya<br />
berupa asam organik, tanin, protein, amino, amoniak dan mineral. Kandungan vitamin C yang terdapat<br />
di dalamnya juga cukup tinggi yaitu sebanyak ± 100 ml per 100 gr buah. Selain itu, dalam buah segar<br />
dan kering terkandung pula vitamin B sebesar ± 100 ml per 100 gr buah segar/kering (Anonymous,<br />
2004).<br />
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan daya beli masyarakat, maka kesadaran<br />
mengkonsumsi buah khususnya anggur juga meningkat. Hal ini memberi kesempatan dan peluang<br />
untuk lebih meningkatkan produksi sehingga dapat juga meningkatkan pendapatan petani anggur,<br />
mendukung perkembangan industri pengolahan anggur serta mengurangi impor.<br />
Indonesia mempunyai beberapa daerah penghasil buah anggur. Selain Jawa Timur sebagai<br />
sentra utamanya, daerah lain yang banyak ditanami anggur yaitu Bali dan Sulawesi, dan kemudian<br />
diujicobakan di beberapa wilayah di Sumatera sampai akhirnya sekarang sudah banyak tersebar di<br />
berbagai daerah di Indonesia.<br />
Kabupaten Buleleng merupakan daerah penghasil buah anggur di Propinsi Bali. Kecamatan<br />
penghasil anggur di Kabupaten Buleleng terdapat di Kecamatan Seririt dan Banjar. Varietas anggur<br />
yang ditanam adalah anggur Bali. Tahun 1984, Kabupaten Buleleng sudah ditanami anggur sebanyak<br />
± 40.000 tanaman. Kemudian pada tahun 1985 mengalami peningkatan yang cukup drastis yaitu<br />
424│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Karakeristik Ekonomi Produksi Anggur di Bali<br />
Zamzami, L dan Budiyati, E<br />
mencapai 500.000 tanaman dengan produksi per harinya rata-rata 19 ton. Namun produksi pada tahun<br />
1987 mengalami penurunan sebesar 36% menjadi 12 ton per hari. Pada tahun 1991, produksi anggur<br />
mulai meningkat kembali bahkan bisa mencapai 59 ton per hari. Pada tahun 2005, luas panen anggur<br />
di Kabupaten Buleleng mencapai 936 ha dengan produksi sebesar 10.471 ton dan produktivitas 11,2<br />
ton/ha (Anonymous, 2005).<br />
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang karakteristik secara ekonomi<br />
terhadap produksi buah anggur dari Kabupaten Buleleng, Bali. Hasil penelitian diharapkan dapat<br />
menjadi wacana bagi para pelaku maupun pengambil kebijakan dalam agribisnis anggur.<br />
METODOLOGI<br />
Metode penelitian dilakukan dengan cara survei dan observasi. Lokasi survei ditentukan<br />
secara purposive (sengaja) yaitu di Kabupaten Buleleng, Bali yang merupakan salah satu daerah sentra<br />
produksi anggur di Indonesia. Sedangkan waktu survei dilakukan pada bulan November 2011.<br />
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, dimana data primer<br />
diperoleh dengan cara wawancara langsung menggunakan bantuan kuisioner kepada responden petani<br />
dan pedagang anggur. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Dinas <strong>Pertanian</strong> dan instansi terkait<br />
lainnya. Metode penentuan responden adalah secara Simple Random Sampling (Contoh Acak<br />
Sederhana). Metode analisis data yang digunakan adalah (1) Analisis struktur biaya dan pendapatan<br />
usahatani, serta R/C rasio (Soekartawi, 2006); dan (2) Analisis secara deskriptif, yaitu suatu metode<br />
yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, aktual dan akurat mengenai<br />
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1999).<br />
HASIL DAN PEMBAHASAN<br />
Kondisi Agroklimat<br />
Secara geografis, Kabupaten Buleleng yang mempunyai luas 1.365,88 km2 terletak di bagian<br />
utara Propinsi Bali yaitu pada 8 o 12’ LS dan 114 o 57’ BT. Buleleng berbatasan dengan Laut Jawa di<br />
sebelah utara, Kabupaten Jembrana di sebelah barat, Kabupaten Karangasem di sebelah timur dan<br />
Kabupaten Bangli, Tabanan serta Badung di sebelah selatan. Daerah sentra penghasil anggur sendiri<br />
berada di Kecamatan Seririt dan Banjar.<br />
Lokasi pengembangan anggur di Kabupaten Buleleng umumnya mempunyai pH berkisar<br />
antara 5,5 – 6. Sedangkan topografi wilayah pengembangan anggur tersebut adalah datar dengan<br />
ketinggian ± 0 – 500 m di atas permukaan laut. Curah hujan berkisar 1.320 mm/tahun dengan 4 bulan<br />
basah dan 8 bulan kering. Suhu udara 27 o C dan kelembaban ± 76% (Anonymous, 2005).<br />
Kondisi ini kurang lebih telah sesuai dengan syarat tumbuh anggur yang membutuhkan tanah<br />
yang subur dan tidak bercadas sehingga memungkinkan akar dapat berkembang dengan baik. Selain<br />
itu, tanaman anggur dapat ditanam di dataran rendah maupun tinggi dan menyukai daerah beriklim<br />
panas sampai sedang. Untuk kebutuhan sinar matahari, tanaman anggur membutuhkan sinar matahari<br />
penuh (Setiadi, 2005).<br />
Karakteristik Petani<br />
Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga petani dalam hal ini mencakup umur petani,<br />
pendidikan, dan pengalaman usahatani. Faktor-faktor tersebut tentunya akan mempengaruhi petani<br />
dalam cara berusahatani, tingkat adopsi teknologi dan kemampuan mengambil keputusan.<br />
Karakteristik petani anggur di Kabupaten Buleleng, Bali disajikan pada Tabel 1 berikut ini.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│425
Karakeristik Ekonomi Produksi Anggur di Bali<br />
Zamzami, L dan Budiyati, E<br />
Tabel 1. Karakteristik responden petani anggur di Kabupaten Buleleng, Bali<br />
Uraian<br />
Keterangan<br />
1. Rata-rata umur petani (tahun) 35-56<br />
2. Mayoritas pendidikan : SMA<br />
3.Rataan pengalaman usahatani anggur (thn) : ≥ 10<br />
Berdasarkan tabel tersebut, tampak bahwa rata-rata petani responden berumur sekitar 35 – 52<br />
tahun yang masih merupakan umur produktif, artinya dengan kondisi usia produktif tersebut maka<br />
diharapkan usahatani anggur yang sangat memerlukan curahan tenaga kerja fisik petani dapat<br />
dilakukan dengan lebih optimal, sehingga produksi anggur yang diperoleh akan lebih meningkat.<br />
Sedangkan dari segi pendidikannya juga cukup baik yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA). Tingkat<br />
pendidikan petani ini dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan cara berusahatani, tingkat adopsi<br />
teknologi pertanian, pengembangan usahataninya serta dalam mengambil keputusan. Dengan<br />
demikian bila pendidikan petani cukup tinggi maka tingkat pengetahuan petani dan tingkat adopsi<br />
petani juga menjadi lebih tinggi.<br />
Pengalaman usahatani anggur dihitung sejak responden petani pertama kali melakukan<br />
kegiatan usahatani anggur tersebut. Pengalaman usahatani merupakan salah satu faktor penting dalam<br />
mendukung keberhasilan usahatani dan secara umum akan berpengaruh terhadap produktivitas<br />
usahatani yang dikelolanya. Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata petani responden memiliki<br />
pengalaman minimal sampai lebih dari 10 tahun dalam berusahatani anggur. Hal ini juga<br />
mempengaruhi petani dalam cara pengelolaan usahataninya. Bila pengalaman petani sudah cukup<br />
tinggi maka pengetahuanya dalam pengelolaan usahatani anggur juga akan lebih tinggi.<br />
Karakteristik Usahatani<br />
Petani di wilayah sentra produksi anggur Kabupaten Buleleng umumnya memiliki lahan<br />
pertanaman anggur sendiri, namun juga terdapat kepemilikan lahan dengan sistem bagi hasil. Jenis<br />
anggur yang diusahakan oleh petani tersebut adalah anggur Bali. Jarak tanam yang digunakan yaitu 3<br />
x 6 m sampai 5 x 5 m. Kegiatan budidaya yang dilakukan adalah penyiraman, pemupukan,<br />
pemangkasan, dan pengendalian hama dan penyakit. Untuk kegiatan pemangkasan yang biasa<br />
dilakukan petani ada dua macam, yaitu pemangkasan untuk pembentukan tanaman dan pemangkasan<br />
untuk pembuahan. Dalam melakukan pemangkasan untuk pembentukan tanaman disesuaikan dengan<br />
bentuk rambatan tanamannya. Sebagian besar petani anggur di Bali menggunakan bentuk rambatan<br />
para-para, namun ada juga yang menggunakan bentuk rambatan kniffin.<br />
Anggur varietas Bali merupakan salah satu dari tujuh varietas anggur unggul yang telah<br />
dilepas oleh Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) dengan SK Mentan<br />
No. 361/Kpts/LB.240/6/2004 tanggal 2 Juni 2004. Anggur ini mempunyai karakteristik buah<br />
diantaranya adalah bentuk buah bundar, warna kulit buah ungu, ukuran panjang tandan medium (±<br />
18,54 mm), sedangkan berat satu tandan buah cukup rendah (± 180 gr), dan tingkat juisi daging buah<br />
adalah maedium. Briks sebesar 13,88. (Budiyati., 2009).<br />
Untuk rata-rata nilai keuntungan dan kelayakan usahatani anggur di Kabupaten Buleleng, Bali<br />
ditunjukkan pada Tabel 2.<br />
426│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Karakeristik Ekonomi Produksi Anggur di Bali<br />
Zamzami, L dan Budiyati, E<br />
Tabel 2. Analisis Biaya dan Pendapatan Usahatani Anggur di Kabupaten Buleleng – Bali<br />
No. Uraian Nilai (Rp)<br />
1. Pengeluaran<br />
Pupuk 2.753.132<br />
Pestisida 3.478.800<br />
Tenaga kerja 4.698.000<br />
Biaya lainnya 83.200<br />
Total Biaya 11.013.132<br />
2. Penerimaan 20.900.000<br />
3. Keuntungan 9.886.868<br />
4. R/C Rasio 1,90<br />
Dari tabel hasil analisis usahatani anggur dapat dilihat bahwa rata-rata nilai penerimaan yang<br />
diperoleh petani dari hasil usahatani anggur adalah sebesar Rp 20.900.000 per satu kali masa produksi<br />
dan rata-rata biaya produksi yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 11.013.132. Pada tabel tersebut dapat<br />
dilihat bahwa biaya yang paling besar dikeluarkan oleh petani adalah biaya tenaga kerja. Hal ini<br />
dikarenakan upah tenaga kerja di daerah tersebut memang cukup mahal yaitu sekitar Rp 35.000 –<br />
40.000/HOK. Biaya yang cukup besar juga dialokasikan oleh petani untuk pestisida dan pupuk,<br />
dimana harga pupuk dan pestisida yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan biaya lainnya<br />
yang dikeluarkan oleh petani adalah biaya pajak lahan, namun nilainya tidak terlalu besar.<br />
Dengan demikian diperoleh rata-rata keuntungan sebesar Rp 9.886.868. Sedangkan nilai R/C<br />
Rasio yang dicapai adalah sebesar 1,90 dimana nilai tersebut telah mencapai syarat R/C > 1, artinya<br />
usahatani anggur di Kabupaten Buleleng, Bali telah memenuhi kriteria efisien dan menguntungkan.<br />
Artinya dengan biaya sebesar Rp 11.013.132 diperoleh keuntungan sebesar 1,90 kali atau dalam hal<br />
ini, penerimaan usahatani akan mengalami peningkatan sebesar Rp 190 untuk setiap pengeluaran<br />
biaya usahatani sebesar Rp 100 per unit. Apabila pengelolaan usahatani dapat dilakukan dengan lebih<br />
baik lagi maka diharapkan keuntungan yang diperoleh petani juga lebih tinggi, dan tingkat usahatani<br />
juga akan semakin efisien.<br />
Dalam hal pemasarannya, umumnya buah anggur dari Kabupaten Buleleng dipasarkan secara<br />
lokal di Bali. Pemanfaatannya digunakan sebagai konsumsi buah segar maupun diolah lebih lanjut<br />
menjadi minuman wine. Sedangkan untuk pemasaran ke luar propinsi adalah ke Jawa dan Lombok.<br />
Rantai distribusi yang biasanya terbentuk juga tidak terlalu panjang yaitu petani → pedagang<br />
pengumpul → pasar/pedagang pengecer, untuk pemasaran secara lokal di Bali dan petani →<br />
pedagang pengumpul → pedagang besar → pedagang pengecer, untuk pemasaran keluar pulau. Dalam<br />
hal ini, pedagang besar merupakan pedagang yang membeli anggur dari petani dan atau pengumpul<br />
yang selanjutnya akan dijual ke luar pulau atau ke wilayah pusat pemasaran anggur, seperti Jawa dan<br />
Lombok. Sedangkan pedagang pengecer adalah pedagang yang membeli anggur langsung dari petani,<br />
pedagang pengumpul maupun dari pedagang besar yang selanjutnya akan dijual kepada konsumen<br />
akhir.<br />
Rantai distribusi anggur yang tidak terlalu panjang tersebut akan menjadikan pemasaran<br />
anggur lebih efisien. Menurut Soekartawi (1993), semakin banyak pelaku pasar yang terlibat dalam<br />
saluran pemasaran maka biaya pemasaran yang harus dikeluarkan juga akan semakin besar, dan<br />
semakin panjang saluran distribusi pemasaran maka akan semakin tidak efisien.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│427
Karakeristik Ekonomi Produksi Anggur di Bali<br />
Zamzami, L dan Budiyati, E<br />
Gambar 1. Kios pedagang pengecer yang menjual anggur Bali<br />
Umumnya tanaman dijual secara sendiri-sendiri oleh petani, namun ada juga yang secara<br />
tebasan. Transaksi biasanya dilakukan dengan cara pedagang yang mendatangi petani meskipun ada<br />
juga sebagian kecil petani yang mendatangi pedagang secara langsung. Sedangkan cara<br />
pembayarannya adalah secara tunai. Harga jual buah anggur cukup fluktuatif yaitu berkisar antara Rp<br />
2.000 – Rp 6.000 per kg tergantung pada saat musim produksinya.<br />
Permasalahan yang sering dihadapi petani adalah pada saat musim hujan tiba, dimana buah<br />
anggur menjadi rusak akibat hujan. Hal ini menyebabkan kualitas buah anggur menjadi rendah dan<br />
berdampak pada harga buah anggur menjadi sangat murah. Selain itu, ketersediaan jenis buah-buahan<br />
lainnya di pasaran juga mempengaruhi terhadap fluktuasi harga jual buah anggur.<br />
KESIMPULAN<br />
Karakteristik petani anggur di Kabupaten Buleleng, Bali sangat mendukung dalam pelaksanaan<br />
usahatani anggur, tingkat adopsi teknologi dan kemampuan dalam mengambil keputusan. Sementara<br />
itu dari hasil analisis, usahatani anggur di Bali memberikan keuntungan yang tinggi bagi petani, serta<br />
berdasarkan nilai R/C rasionya mempunyai kriteria efisien dan menguntungkan. Hal ini menunjukkan<br />
bahwa produksi anggur di Bali masih layak untuk terus dikembangkan. Sedangkan untuk pemasaran<br />
anggur Bali meliputi daerah lokal Bali, Jawa dan Lombok. Rantai pemasaran yang terbentuk adalah<br />
saluran pemasaran tiga tingkat yang cukup efisien.<br />
PUSTAKA<br />
1. Anis Andrini, et el. 2009. Potensi Beberapa Plasmanutfah Anggur Sebagai Bahan Baku Jus dan<br />
Sirup Anggur. Prosiding Seminar Nasional Buah Nusantara. Bogor, 28 – 29 Oktober 2009. p 333<br />
– 339.<br />
2. Anonymous. 2004. Vademekum Anggur. Direktorat Tanaman Buah. Dirjen Bina Produksi<br />
<strong>Hortikultura</strong>. <strong>Departemen</strong> pertanian. Jakarta.<br />
3. __________. 2005. Profil Sentra Produksi Anggur. Direktorat Tanaman Buah. Dirjen<br />
<strong>Hortikultura</strong>. <strong>Departemen</strong> <strong>Pertanian</strong>. Jakarta.<br />
4. Bernard T. Wahyu. 2005. Membuahkan Anggur dalam Pot dan Pekarangan. Agromedia Pustaka.<br />
Jakarta.<br />
5. Budiyati, Emi. 2010. Prospek Pengembangan Varietas-varietas Unggul Anggur di Daerah Sentra<br />
Produksi. Prosiding Seminar Nasional <strong>Hortikultura</strong> Indonesia.. Bali, 25 – 26 November 2010. p<br />
622 – 630.<br />
6. Nazir, M. 1999. Metodologi Penelitian. PT. Ghalia Indonesia. Jakarta.<br />
7. Setiadi. 2005. Bertanam Anggur. Penebar Swadaya. Jakarta.<br />
428│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
Karakeristik Ekonomi Produksi Anggur di Bali<br />
Zamzami, L dan Budiyati, E<br />
8. Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi <strong>Pertanian</strong>. Teori dan Aplikasi. PT. RajaGrafindo<br />
Persada. Jakarta.<br />
9. Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta.<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│429
430│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
LAMPIRAN<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│431
Daftar Partisipan yang Hadir dalam Seminar Nasional Pekan Inovasi Teknologi<br />
<strong>Hortikultura</strong> Nasional, Lembang, 5 Juli 2012<br />
No Nama Peserta Instansi<br />
1 Kuntoro Boga Andri BPTP Jawa Timur<br />
2 Putu Bagus Daroini BPTP Jawa Timur<br />
3 Idha Widi Arsanti Puslitbang <strong>Hortikultura</strong><br />
4 Yeyen Prestyaning Wanita BPTP Jogjakarta<br />
5 Meinarti Norma S BPTP Jawa Tengah<br />
6 Ade Suprihati PT. Selektani Horticultura<br />
7 Sortha Simatupang BPTP Sumatera Utara<br />
8 F. Irena Napitupulu IPB<br />
9 Besman Napitupulu BPTP Sumatera Utara<br />
10 A. Soemargono Balitbu Tropika<br />
11 Ellina Mansyah Balitbu Tropika<br />
12 Iteu M. Hidayat Balitsa<br />
13 Warsidi Pusat PVT<br />
14 P. Nainggolan BPTP Sumatera Utara<br />
15 Muh. Tahir Ditjen. <strong>Hortikultura</strong><br />
16 Sukarjo BPTP Sulawesi Tengah<br />
17 Mutia Erti D Balitjestro<br />
18 Yunimar Balitjestro<br />
19 Otto Endarto Balitjestro<br />
20 Budi Marwoto Balithi<br />
21 Sulusi Prabawati Puslitbang <strong>Hortikultura</strong><br />
22 Arry Supriyanto Balitjestro<br />
23 Mahargono Kobarsih BPTP Jogjakarta<br />
24 Purwaningsih BPTP Jogjakarta<br />
25 Nurjanani BPTP Sulawesi Selatan<br />
26 Suwandi Balitsa<br />
27 Saleh Mokhtar BPTP Kalimantan Tengah<br />
28 Yulianto BPTP Kalimantan Tengah<br />
29 Hasmi Bandjar BPTP Jawa Barat<br />
30 Neneng Nana Siti Jaenab SMKN 2 Subang<br />
31 Sinta Fatmawati SMKN 2 Subang<br />
32 Yenyen Restiyan SMKN 2 Subang<br />
33 Siusi Ramdhaniati BPTP Jawa Barat<br />
34 Sri Olyndriana Dewi BPTP Jawa Barat<br />
35 Bebet Nurbaeti BPTP Jawa Barat<br />
36 Ani Suryani BPTP Jawa Barat<br />
37 Ratna Sari BPTP Jawa Barat<br />
38 Fyannita Perdhana BPTP Jawa Barat<br />
39 Darmawan BPTP Jawa Barat<br />
40 Budi Winarto Balithi<br />
41 Kiki Kusyaeri Hamdani BPTP Jawa Barat<br />
42 Agung Iswadi BPTP Jogjakarta<br />
432│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
No Nama Peserta Instansi<br />
43 Juniarti P. Sahat Balitsa<br />
44 Astri W. Wulandari Balitsa<br />
45 Joko Pinilih Balitsa<br />
46 Baswarsiati BPTP Jawa Timur<br />
47 E. Heni K Balitsa<br />
48 Hadis Jayanti Balitsa<br />
49 Maretsum Ditjen PPHP<br />
50 Tutik Setyawati BPTP Jawa Timur<br />
51 Lasmini BPBHAT Pasir Banteng<br />
52 Saefudin BPBHAT Pasir Banteng<br />
53 Donald Sihombing BPTP Jawa Timur<br />
54 Agus Sudrajat PTP Nusantara VIII<br />
55 Yulimasni BPTP Sumatera Barat<br />
56 Lizia Zamzami Balitjestro<br />
57 Emi Budiyati Balitjestro<br />
58 Oka Ardiana B Balitjestro<br />
59 Zainuri Hanif Balitjestro<br />
60 Buyung Al-Fanshuri Balitjestro<br />
61 Hasim Ashari Balitjestro<br />
62 Agus Sugiatno Balitjestro<br />
63 Tri Handayani Balitsa<br />
64 Asih K K Balitsa<br />
65 Neni Gunaeni Balitsa<br />
66 Eko Srihartanto BPTP Jogjakarta<br />
67 Fajri Widiati Balitsa<br />
68 Rimta Terra Rosa Pinem Ditjen. <strong>Hortikultura</strong><br />
69 Valentina Theresia Ditjen. <strong>Hortikultura</strong><br />
70 Endang Kantikowati Universitas Bale Bandung<br />
71 Tien Turmuktini Universitas Winaya Mukti<br />
72 Bambang Sutanto PT. Pupuk Kujang<br />
73 Sukarman Ditjen. <strong>Hortikultura</strong><br />
74 Subandi Ditjen. <strong>Hortikultura</strong><br />
75 Titiek Maryati S BPTP Jawa Barat<br />
76 Sri Muatiani BPTP Jawa Barat<br />
77 Lilik Harsanti BATAN<br />
78 Ita Dwimahyani BATAN<br />
79 Sasanti Widiarsih BATAN<br />
80 Yulidar BATAN<br />
81 Cahyaniati Ditjen. <strong>Hortikultura</strong><br />
82 Hayan Balithi<br />
83 W. Nuryani Balithi<br />
84 Evi S. Balithi<br />
85 Wijaya Murti I BATAN<br />
86 Panca Jarot Santoso Balitbu Tropika<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│433
No Nama Peserta Instansi<br />
87 Rofik Sinung Basuki Balitsa<br />
88 Nikardi G. Balitsa<br />
89 Ineu Sulastrini Balitsa<br />
90 Benamehuli Ginting Balithi<br />
91 V. Jaka Prasetya Balithi<br />
92 Adhitya Marendra Kiloes Puslitbang <strong>Hortikultura</strong><br />
93 Nurmalinda Balithi<br />
94 Apri Laila Sayekti Puslitbang <strong>Hortikultura</strong><br />
95 Djoko Mulyono Puslitbang <strong>Hortikultura</strong><br />
96 M. Jawal Anwarudin Syah Puslitbang <strong>Hortikultura</strong><br />
97 Zuraida Yursak BPTP Banten<br />
98 Indra Fuadi Dinas Tanaman Pangan dan <strong>Hortikultura</strong> Prov. Riau<br />
99 Adnan BPTP NTB<br />
100 NLP Indriyani Balitbu Tropika<br />
101 Anggraeni Santi Balithi<br />
102 Jumjunidang Balitbu Tropika<br />
103 Sunyoto Balitbu Tropika<br />
104 Heni SP Rahayu BPTP Sulteng<br />
105 Alberth Soplanit BPTP Papua<br />
106 Hanudin Balithi<br />
107 Nurmalita W Balitsa<br />
108 Muflihani Yanis BPTP DKI Jakarta<br />
109 Syarifah Aminah BPTP DKI Jakarta<br />
110 Sutoyo BPTP Jawa Tengah<br />
111 Fitri Rachmawati Balithi<br />
112 Pudji K. Utami Balithi<br />
113 Taufikurahman Nasution LIPI<br />
114 Yohanes Geli Bulu BPTP NTB<br />
115 Kusmana Balitsa<br />
116 Kuswandi Balitbu Tropika<br />
117 Makful Balitbu Tropika<br />
118 Rismawita Sinaga Balitsa<br />
119 Melia Puspitasari BPTP Kalimantan Barat<br />
120 Tommy Purba BPTP Kalimantan Barat<br />
121 Catur Hermanto Balitbu Tropika<br />
122 Riska Balitbu Tropika<br />
123 Demas Wamaer BPTP Papua<br />
124 Fauzia Syarif LIPI<br />
125 Ning Wikan Utami LIPI<br />
126 Titi Juhaeti LIPI<br />
127 Peni Lestari LIPI<br />
128 Afrizal Malik BPTP Papua<br />
129 Yusdar Hilman Puslitbang <strong>Hortikultura</strong><br />
130 AK Karjadi Balitsa<br />
434│<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012
No Nama Peserta Instansi<br />
131 Yosi Zendra Joni Balitbu Tropika<br />
132 Sri Hadiati Balitbu Tropika<br />
133 Nirmala F. Devy Balitjestro<br />
134 Farida Yulianti Balitjestro<br />
135 Yeni Meldia Balitbu Tropika<br />
136 Abdi Hudayya Balitsa<br />
137 Arif Anshori BPTP Jawa Tengah<br />
138 Rismarini Zuraida BPTP Kalimantan Selatan<br />
139 Ir. Dwi Amiarsi BB Pascapanen<br />
140 Ir. Sunarmani, MS BB Pascapanen<br />
141 Muh. Afif Juradi BPTP Sulawesi Tengah<br />
Prosiding SeminarNasional Pekan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong> Nasional: Penerapan Inovasi Teknologi <strong>Hortikultura</strong><br />
dalam Mendukung Pembangunan <strong>Hortikultura</strong> yang Berdaya Saing dan Berbasis Sumberdaya Genetik Lokal,<br />
Lembang, 5 Juli 2012<br />
│435