30.01.2015 Views

Evaluasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Berwawasan ... - DPPM UII

Evaluasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Berwawasan ... - DPPM UII

Evaluasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Berwawasan ... - DPPM UII

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

3 9<br />

<strong>Evaluasi</strong> <strong>Pengelolaan</strong> <strong>Lingkungan</strong> <strong>Hidup</strong> <strong>Berwawasan</strong><br />

Jender di Kodya Yogyakarta<br />

Hastuti Puspitasari<br />

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia<br />

Abstract<br />

Latar Belakang Masalah<br />

<strong>Pengelolaan</strong> lingkungan hidup memerlukan peranserta masyarakat secara luas.<br />

Tanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup bukan monopoli kaum laki-laki saja atau<br />

kaum perempuan saja. <strong>Pengelolaan</strong> lingkungan hidup juga bukan peran kodrati melainkan<br />

merupakan peran sosial yang dapat dipertukarkan sehingga kaum laki-laki dan kaum<br />

perempuan dapat berperan secara bersama-sama.<br />

Meskipun peran di dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat dilakukan bersama-sama,<br />

pada kenyataannya peran tersebut masih menampakkan perbedaan. Ada kegiatan-kegiatan<br />

pengelolaan lingkungan hidup yang hanya dilakukan oleh kaum perempuan dan ada kegiatan<br />

pengelolaan lingkungan hidup yang hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja. Ada pula dalam<br />

satu kegiatan pengelolan lingkungan hidup, laki-laki mendominasi posisi tertentu dan dipihak<br />

lain perempuan juga mendominasi posisi tertentu.<br />

<strong>Pengelolaan</strong> lingkungan hidup harus diputuskan bersama baik oleh laki-laki maupun<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296


4 0<br />

perempuan. Tetapi khusus dalam masalah peranserta laki-laki dan perempuan dalam<br />

pengelolaan lingkungan hidup belum terlihat adanya pembagian yang seimbang. Hal ini perlu<br />

ditelaah baik dari segi aturan hukum dan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan<br />

hidup maupun dari segi implementasinya. Segi-segi tersebut perlu ditelaah untuk melihat<br />

apakah penyebab terjadinya ketimpangan jender dalam pengelolaan lingkungan hidup tersebut<br />

disebabkan oleh faktor aturan hukum dan kebijakannya atau karena faktor persepsi yang<br />

keliru mengenai peran laki-laki dan perempuan yang ada di tengah masyarakat.<br />

Mengingat bidang pengelolaan lingkungan hidup sangat luas, maka dalam penelitian<br />

tentang <strong>Evaluasi</strong> pengelolaan lingkungan <strong>Hidup</strong> di Kota Yogyakarta ini difokuskan pada<br />

sosialisasi pengambilan keputusan tentang sosialisasi pengelolan lingkungan hidup.<br />

Analisis jender mencakup beberapa hal, yakni:<br />

1. Analisis tentang kegiatan baik kegiatan produktif, reproduktif maupun kegiatan sosial.<br />

2. Analisis tentang akses (peluang) dalam menggunakan sumber daya dan mengambil<br />

keputusan.<br />

3. Analisis tentang kontrol (penguasaan) terhadap sumber daya fisik, situasi kondisi pasar<br />

dan sumber daya sosial budaya.<br />

4. Analisis tentang partisipasi dalam berbagai kegiatan.<br />

5. Analisis tentang dampak dari suata program<br />

6. Analisis tentang faktor-faktor penghambat dan pendukung yang meliputi lingkungan budaya,<br />

tingkat kemiskinan, distribusi pendapatan dalam keluarga, struktur kelembagaan,<br />

penyebaran teknologi dan ketrampilan, norma yang berlaku, kebijaksanaan dan hukum<br />

yang berlaku, latihan pendidikan dan keadaan politik.<br />

Dalam penelitian ini, analisis jender akan difokuskan pada dua hal yaitu 1) analisis tentang<br />

partisipasi (keterlibatan) dalam suatu kegiatan yaitu keterlibatan dalam sosialisasi pengelolaan<br />

lingkungan hidup, dan 2) analisisi tentang faktor penghambat dan pendukung yang terfokus<br />

pada norma aturan, dalam hal ini adalah aturan tentang pengelolaan lingkungan hidup.<br />

Kemudian perspektif jender dalam penelitian ini juga menggunakan indikator jender. Di<br />

dalam analisis jender ada beberapa indikator yang dapat dijadikan pijakan untuk menilai apakah<br />

kegiatan-kegiatan tertentu sudah mencerminkan keadilan jender atau belum. Indikator-indikator<br />

jender dan tidak jender tersebut dikembangkaan oleh M Bekti Hendrianto (1997) dalam<br />

penelitiannya tentang Pola Asuh berwawasan jender. Indikator-indikator tersebut adalah<br />

1. Indikator <strong>Berwawasan</strong> Jerder :<br />

a. Laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama.<br />

b. Laki-laki dan perempuan memiliki wewenang yang propesional.<br />

c. Pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis (dengan melibatkan laki-laki<br />

dan perempuan).<br />

d. Laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang sama dalam sebuah kegiatan.<br />

2. Indikator tidak berwawasan Jerder.<br />

a. ada perbedaan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan.<br />

b. Wewenang di dominasi oleh laki-laki.<br />

c. Pengambilan keputusan dilakukan secara otoriter (tidak mendengarkan aspirasi kaum<br />

perempuan).<br />

d. Tugas dalam sebuah kegiatan dibedakan.<br />

Indikator –indikator berwawasan jender dan tidak berwawasan jender tersebut akan<br />

dipergunakan untuk menganalisa pengambilan keputusan dalam sosialisasi penegelolaan<br />

lingkungan hidup di 4 (empat) kecamatan di wilayah Kota Yogyakarta, yaitu Kecamatan<br />

Mergangsan, Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan Jetis.<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296


Pengambilan di 4 (empat) Kecamatan tersebut berdasarkan kebijakan tata ruang kota<br />

Yogyakarta di kawasan padat penduduk dan Daerah Aliran Sungai Code, dimana keterlibatan<br />

masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup akan sangat berpengaru terhadap kondisi<br />

lingkungan wilayanya.<br />

Rumusan Masalah<br />

Dari uraian latar belakang masalah dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :<br />

1. Bagaimana wujud pengelolaan lingkungan hidup di Kota Yogyakarta, terutama di<br />

Kecamatan Mergangsan, Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan<br />

Jetis<br />

2. Bagaimanakah laki-laki dan perempuan diikutsertakan dalam pengambilan keputusan<br />

tentang sosialisasi pengelolaan lingkungan hidup tersebut<br />

3. Bagaimana kebijakan dan pengaturan pengelolaan lingkungan hidup di Kotamadya<br />

Yogyakarta mengakomodasi wawasan jender<br />

Metode Penelitian<br />

Jenis penelitian.<br />

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena peneliti tidak melakukan uji statistik<br />

dalam analisis data. Tabulasi yang disajikan dalam penelitian ini hanya untuk menyederhanakan<br />

penjelasan<br />

Obyek penelitian, lokasi penelitian dan Subyek penlitian<br />

Obyek penelitian ini adalah pengelolaan lingkungan hidup berwawasan jender.<br />

Adapun lokasi penelitian dilakukan di Kota Yogyakarta, terutama di Kecamatan<br />

Mergangsan, Wirobrajan, Gondomanan dan Jetis.<br />

Para subyek dalam penelitian ini adalah Pejabat camat di 4 (empat) kecamatan tersebut.<br />

Sumber data<br />

Sumber data penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data penelitian ini<br />

juga berasal dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.<br />

Metode pengumpulan data<br />

Metode pengambilan data dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara terhadap subyek<br />

penelitian<br />

Analisis dan Pendekatan<br />

Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode induktif dimana fakta-fakta dari<br />

kasus yang diteliti akan telaah secara mendalam kemudian ditarik pada dalil yang bersifat<br />

umum. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis<br />

normatif yang berbasis pada aturan-aturan hukum tentang pengelolaan lingkungan hidup.<br />

Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan analisis jender untuk memperkuat perspektif<br />

jender pada obyek penelitian. Analisis jender yang digunakan dalam penelitian ini adalah<br />

analisis tentang peranan dalam pengambilan keputusan secara kualitatif dan analisis terhadap<br />

peraturan hukum. Analisis jender didasarkan pada Indikator sebagai berikut:<br />

1. Laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama.<br />

2. Laki-laki dan perempuan memiliki wewenang yang propesional.<br />

3. Pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis (dengan melibatkan laki-laki dan<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296<br />

4 1


4 2<br />

perempuan).<br />

4. Laki-laki dan perempuan memiliki tugas yang sama dalam sebuah kegiatan.<br />

Hasil Penelitian dan Pembahasan<br />

Kebijakan dan Perngaturan <strong>Pengelolaan</strong> <strong>Lingkungan</strong> <strong>Hidup</strong><br />

Analisis jender juga diterapkan dalam pengaturan mengenai suatu kegiatan didalam<br />

peraturan hukum. Analisis terhadap peraturan hukum ini dilakukan dengan asumsi bahwa<br />

terjadinya ketimpangan jender ditengah masyarakat dapat disebabkan oleh adanya peraturan<br />

hukum yang substansinya diskriminatif. Telaah atas peraturan hukum ini ditujukan untuk<br />

memperoleh gambaran mengenai ada tidaknya aturan yang diskriminatif.<br />

Peranserta masyarakat di dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang ketnetuanketentuan<br />

pokok pengelolaan lingkungan hidup (UULN) disebutkan didalam Pasal 6 ayat (1)<br />

yang berbunyi : “setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperanserta dalam<br />

rangka pengelolaan lingkungan hidup”.<br />

Penjelasannya berbunyi : “Hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat<br />

untuk berperanserta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik tetap<br />

perencanaan maupun tahap pelaksanaan dan penilaian. Dengan adanya peranserta tersebut<br />

anggota masyarakat mempunyai motivasi kuat untuk bersama-sama mengatasi masalah<br />

lingkungan hidup dan mengusahakan berhasilnya kegiatan pengelolaan lingkungan hidup”.<br />

Kemudian di dalam UUPLH, disebutkan di dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (1)<br />

dan ayat (2). Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No. 23 Tahun 1997 (UUPLH) berbunyi : “Setiap<br />

orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai<br />

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.<br />

Penjelasannya berbunyi : “Peran sebagaiamana dimaksud di dalam Pasal ini meliputi<br />

peran dalam proses pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun<br />

dengan pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.<br />

Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian analisis mengenai dampak<br />

lingkungan hidup atau perumusan kebijaksanaan lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan<br />

pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut memikirkan<br />

dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di bidang<br />

pengelolaan lingkungan hidup”.<br />

Kemudian Pasal 7 ayat (1) berbunyi : “Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama<br />

dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup”.<br />

Ayat (2) berbunyi : “Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) diatas, dilakukan dengan cara:<br />

1. Meningkatkan kemandirian, kebudayaan masyarakat dan kemitraan.<br />

2. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat.<br />

3. Menumbuh ketanggapsegaran masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial.<br />

4. Memberikan saran pendapat.<br />

5. Menyampaikan informasi dan atau menyampaikan laporan.<br />

Pelaksanaannya berbunyi : Huruf a :“Kemandirian dan keberdayaan masyarakat merupakan<br />

masyarakat untuk menumbuhkan kemampuan masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan<br />

lingkungan hidup bersama dengan pemerintah dan pelaku pembangunan lainnya.<br />

Huruf b : “Peningkatan kemajuan dan kepeloporan masyarakat akan meningkatkan peran<br />

masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup”.<br />

Huruf c berbunyi : “Meningkatkan ketanggap segeraan masyarakat akan semakin<br />

menurunkan kemungkinan terjadinya dampak negatif”.<br />

Huruf e berbunyi : “Dengan meningkatnya ketanggap segeraan akan meningkatkan<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296


kecepatan pemberian informasi tentang sesuatu masalah lingkungan hidup sehingga dapat<br />

segera ditindaklanjuti”.<br />

Apabila dicermati ketentuan-ketentuan tentang peranserta baik di dalam UULH maupun<br />

UUPLH tidak satupun ayat yang memberi peluang diskriminasi peran. Di dalam ketentuan<br />

tersebut hanya disebutkan kata masyarakat. Dengan demikian, secara substausial, ketentuanketentuan<br />

tersebut tidak mengindikasikan adanya jender pada laki-laki atau pada perempuan<br />

saja.<br />

Didalam peraturan daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 14 Tahun 1998 tentang<br />

pembentukan Badan Pengendalian Dampak <strong>Lingkungan</strong> Daerah juga tidak ada satupun yang<br />

diskriminatif atau mengandung ketimpangan jender. Demikian pula didalam Peraturan Daerah<br />

Propinsi D.I.Y. No. 3 Tahun 1997 tentang pengendalian pembuangan limbah cair, tidak terdapat<br />

satu pasal pun yang diskriminatif terhadap perempuan. Ketentuan tentang perizinan (Pasal 3<br />

ayat (1)), ketentuan tentang kewajiban pengusaha (Pasal 10 sampai Pasal 15) maupun<br />

ketentuan Pidana dan Penyidikan didalam peraturan daerah No. 3 Tahun 1997 ini, secara<br />

subtansial tidak mengandung diskriminasi terhadap perempuan atau tidak mengandung bias<br />

jender pada laki-laki atau perempuan<br />

Hal yang sama juga tergambar didalam surat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta<br />

No. 258/KPTS/1998 tentang PROKASIH, keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa<br />

Yogyakarta No. 157 A/KPTS/1998 tentang Baku Mutu limbah cair bagi kegiatan Hotel, keputusan<br />

Gubernur Jepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 65/KTPS/1999 tentang Baku Mutu limbah<br />

cair untuk kegiatan pelayanan kesehatan.<br />

Di tingkat Kotamdya Yogyakarta, ketentuan didalam peraturan daerah No. 6 Tahun 1994<br />

tentang RUTRK, terutama didalam Pasal 107 b disebutkan tentang hak setiap orang untuk<br />

berperan serta dalam penyusunan, pelaksanaan dan pengendalian RUTRK Yogyakarta sesuai<br />

dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Di dalam Pasal 108 juga disebutkan<br />

kewajiban setiap orang untuk mentaati RUTRK dan ikut serta memelihara kualitas tata ruang<br />

kota, baik dari segi redaksi maupun subtansi, ketentuan didalam peraturan daerah ini juga<br />

tidak mengindikasikan adanya ketimpangan jender sebab hak dan kewajiban masyarakat<br />

dalam RUTRK adalah sama atau berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan.<br />

Hal yang sama terdapat pula didalam peraturan Daerah Kotamdya Yogyakarta tentang<br />

persampahan dan assainering.<br />

Didalam Pasal 7 Peraturan Daerah Kotamadya Yogyakarta No. 6 Tahun 1995 tentang<br />

persampahan dikatakan bahwa: “<strong>Pengelolaan</strong> sampah adalah sangat dan tindakan yang<br />

dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat dalam penanganan sampah”.<br />

Pasal 8 ayat (1) berbunyi: “Pemeliharaan kebersihan sampah mejadi tanggung jawab<br />

bersama antara pemerintah Daerah dan masyarakat”.<br />

Pasal 8 ayat (4) berbunyi: “Kegiatan masyarakat didalam melaksanakan usaha tindakan<br />

sebagaimana tersebut Pasal 7 Peraturan Daerah dilakukan melalui :<br />

a. Pemeliharaan kebersihan sampah di lingkungan masing-masing baik secara pribadi maupun<br />

secara gotong royong.<br />

b. Penanganan sampah khusus wajib dilakukan sendiri oleh penimbun sampah untuk<br />

menghilangkan khususannya sehingga menjadi sampah umum.<br />

c. Penyediaan tempat sampah didalam persil secara tertutup dengan jumlah menurut<br />

kebutuhan dan diletakkan ditempat yang mudah dicapai oleh armada sampah.<br />

Kemudian didalam peraturan Daerah Kotamadya Yogyakarta No. 9 Tahun 1991 tentang<br />

Pemeliharaan assainering. Pasal 2 disebutkan bahwa pemilik izin assainering adalah orang<br />

atau badan hukum. Didalam Pasal 7 dikatakan bahwa penyambungan assainering dapat<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296<br />

4 3


4 4<br />

dilakukan oleh pemohon. Didalam Pasal 8 disebutkan beberapa larangan kepada setiap orang<br />

atau badan hukum untuk :<br />

a. Melakukan penyambungan assainering tanpa izin.<br />

b. Menggunakan assainering bertentangan dengan fungsi assainering tersebut.<br />

c. Membuang bahan-bahan padat atau cair, sampah dan lain sebagainya yang dapat menutup<br />

saluran dan bahan-bahan yang mudah menyala dan meletus yang dapat menimbulkan<br />

bahaya atau merusak assainering.<br />

d. Menambah atau merubah bangunan assainering tanpa izin Walikota terlebih dahulu.<br />

e. Membangun bangunan di atas assainering.<br />

Di dalam ketentuan-ketentuan diatas, tampak adopsi kesetaraan jender telah ada<br />

disebabkan baik ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban, tentang larangann maupun<br />

ketentuan-ketentuan lainnya di kedua peraturan daerah tersebut tidak terdapat substansi yang<br />

diskriminatif atau timpang jender.<br />

<strong>Pengelolaan</strong> <strong>Lingkungan</strong> <strong>Hidup</strong> di Kota Yogyakarta<br />

Mengingat luasnya ruang lingkup lingkungan hidup, maka penelitian diarahkan pada<br />

beberapa bidang lingkungan hidup, terutama yang mendapat perhatian untuik dikelola di kota<br />

Yogyakarta yaitu :<br />

a. Sanitasi assainering<br />

b. <strong>Pengelolaan</strong> sampah<br />

c. <strong>Pengelolaan</strong> limbah cair rumah tangga<br />

Keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan untuk sosialisasi<br />

pengelolaan lingkungan hidup<br />

Didalam proses pengambilan keputusan untuk pengelolaan lingkungan hidup ditingkat<br />

kecamatan, kaum perempuan belum sepenuhnya dilibatkan. Hal itu. Namun begitu adakalanya<br />

dalam proses pengambilan keputusan menyangkut pengelolaan lingkungan hidup tertentu,<br />

perempuan selalu dilibatkan. Dari hasil wawancara terhadap subyek penelitian, didapatkan<br />

data bahwa kaum laki-laki selalu dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan yang<br />

berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, sedangkan kaum perempuan kadang-kadang<br />

dilibatkan. Keadaan sperti itu sebagaimana yang dapat dilihat dalam tabel-tabel yang disajikan<br />

di bawah ini.<br />

Tabel 1<br />

Keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan tentang sosialisasi<br />

pengelolaan lingkungan <strong>Hidup</strong> di Kecamatan Mergangsan<br />

Bidang <strong>Pengelolaan</strong> L P<br />

Pemeliharaan sanitasi / assainering<br />

<strong>Pengelolaan</strong> sampah<br />

<strong>Pengelolaan</strong> limbah cair<br />

Sumber : Data Primer, diolah<br />

Selalu<br />

Selalu<br />

Selalu<br />

Kadang-kadang<br />

Kadang-kadang<br />

Kadang-kadang<br />

Dari tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa di kecamatan Mergangsan, kaum laki-laki<br />

selalu dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai sosialisasi pengelolaan lingkungan<br />

hidup, sedangkan kaum perempuan hanya kadang-kadang saja.<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296


Tabel 2<br />

Keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan tentang sosialisasi<br />

pengelolaan lingkungan <strong>Hidup</strong> di Kecamatan Gondomanan<br />

4 5<br />

Bidang <strong>Pengelolaan</strong> L P<br />

Pemeliharaan sanitasi / assainering<br />

<strong>Pengelolaan</strong> sampah<br />

<strong>Pengelolaan</strong> limbah cair<br />

Sumber : Data Primer, diolah<br />

Selalu<br />

Selalu<br />

Selalu<br />

Kadang-kadang<br />

Selalu Aktif<br />

Kadang-kadang<br />

Tabel 2.tersebut menunjukkan bahwa di kecamatan Gondomanan, Laki-laki selalu<br />

dilibatkan dalam pengambilan keputusan tengtang sosialisasi pengelolaan lingkungan hidup,<br />

sedangkan kaum perempuan hanya pada masalah pengelolaan sampah saja selalu dilibatkan<br />

secara aktif. Sedangkan pada masalah sanitasi/assainering dan pengolahan limbah cair, kaum<br />

perempuan kadang-kadang saja dilibatkan.<br />

Tabel 3<br />

Keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan tentang sosialisasi<br />

pengelolaan lingkungan <strong>Hidup</strong> di Kecamatan Wirobrajan<br />

Bidang <strong>Pengelolaan</strong> L P<br />

Pemeliharaan sanitasi / assainering<br />

<strong>Pengelolaan</strong> sampah<br />

<strong>Pengelolaan</strong> limbah cair<br />

Selalu<br />

Selalu<br />

Selalu<br />

Kadang-kadang<br />

Kadang-kadang<br />

Kadang-kadang<br />

Sumber : Data Primer, diolah<br />

Dari tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa di kecamatan Wirobrajan, kaum laki-laki selalu<br />

dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai sosialisasi pengelolaan lingkungan hidup,<br />

sedangkan kaum perempuan hanya kadang-kadang saja.<br />

Tabel 4<br />

Keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan tentang sosialisasi<br />

pengelolaan lingkungan <strong>Hidup</strong> di Kecamatan Jetis<br />

Bidang <strong>Pengelolaan</strong> L P<br />

Pemeliharaan sanitasi / assainering<br />

<strong>Pengelolaan</strong> sampah<br />

<strong>Pengelolaan</strong> limbah cair<br />

Selalu<br />

Selalu<br />

Selalu<br />

Selalu-aktif<br />

Selalu-aktif<br />

Selalu-aktif<br />

Sumber : Data Primer, diolah<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296


4 6<br />

Dari tabel 4 menunjukkan bahwa di kecamatan Jetis, kaum laki-laki dan kaum perempuan<br />

selalu dilibatkan dalam soialisasi semua bidang lingkungan hidup,baik pada pemeliharaan<br />

sanitasi, pengelolaan sampah maupun dalam pengelolaan limbah cair rumah tanga.<br />

Pembedaan peran di dalam pengeloaan lingkungan hidup dapat terlihat di 3 kecamatan,<br />

yaitu kecamatan Mergangsan, Kecamatan Gondomanan dan Kecamatan Wiribrajan. Kaum<br />

perempuan di wilayah tersebut tidak selalu dilibatkan di dalam pengelolan lingkungan hidup.<br />

Hal itu tampak dalam setiap proses pengambilan keputusan dalam sosialisasi pengelolaan<br />

lingkungan hidup di Kelurahan maupun di tingkat Kecamatan. Kondisi ini dapat dilihat pada<br />

fakta bahwa di dalam rapat-rapat menyangkut pemeliharaan sanitasi/assainering ternyata<br />

kaum laki-laki selalu dilibatkan sedangkan kaum perempuan tidak selalu dilibatkan.<br />

Pembedaan ini terjadi karena pemeliharan sanitas/assainering diidentikkan dengan pekerjaan<br />

laki-laki<br />

Di dalam pengelolaan sampah, pihak Kecamatan Mergangsan dan kecamatan Wirobrajan,<br />

perempuan kadang-kadang saja dilibatkan, sementara di Kecamatan Gondomanan, perempuan<br />

selalu dilibatkan secara aktif, demikian juga di kecamatan Jetis.<br />

Peranserta laki-laki dan perempuan tersebut merupakan preseden baik bagi upaya<br />

perwujudan kesetaraan jender yang sekarang sedang digalakkan oleh pemerintah. Penanganan<br />

sampah memerlukan kesadaran dan peranserta bersama sebab masalah penanganan sampah<br />

sebagaimana dikatakan oleh Otto Soemarwoto (1997), merupakan masalah yang pelik dan<br />

jumlahnya akan terus bertambah seiring dengan naiknya jumlah penduduk. Otto Soemarwoto<br />

mengatakan bahwa pencemaran paling utama di Indonesia adalah pencemaran limbah domestik,<br />

terutama sampah.<br />

Pembedaan peran di tahap-tahap tertentu karena ada kegiatan yang hanya dilakukan<br />

oleh laki-laki saja, dan ada kegiatan yang hanya dilakukan oleh perempuan saja serta ada<br />

kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama.. Keadaan ini meneguhkan persepsi bahwa<br />

laki-laki yang berjiwa maskulin selalu terlibat di dalam kegiatan-kegiatan yang membutuhkan<br />

kerja pikiran dan kekuatan fisik sementara perempuan yang berjiwa feminin selalu terlibat<br />

dengan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan ketekunan. Indikator maskulin selalu<br />

diarahkan pada rasionalitas, kekuatan fisik dan keberanian sedangkan indikator feminin selalu<br />

diarahkan pada perasaan, kelembutan keuleten dan kehati-hatian<br />

Kegiatan-kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang berwawasan jender terjadi karena<br />

laki-laki dan perempuan turut berpartisipasi di dalam kegiatan tersebut. Didalam pengelolaan<br />

sampah, laki-laki dan perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mengelola<br />

sampah. Laki-laki dan perempuan juga memiliki wewenang yang propesional, dilibatkan didalam<br />

pengambilan keputusan dan memiliki tugas yang sama didalam pengumpulan sampah,<br />

pembuangan dan pengomposan serta dalam persetujuan pembayaran retribusi. Adapun yang<br />

tidak berwawasan jender ini didasarkan pada indikator-indikator bahwa ada perbedaan tanggung<br />

jawab antara laki-laki dan perempuan yaitu laki-laki bertanggung jawab terhadap tahap kegiatan<br />

pengelolaan sampah. Sementara itu, pada masalah pemeliharaan saluran sanitasi dan<br />

assainering, laki-laki masih memiliki tanggungjawab utama, demikian juga pada masalah<br />

penanggulangan limbah cair.<br />

Untuk lebih jelas melihat klasifikasi kegiatan pengelolaan lingkungan hidup kecamatan<br />

Mergangsan, kecamatan Gondomanan, kecamatan Wirobrajan dan kecamatan Jetis yang<br />

berwawasan jender dan tidak perlu atau belum berwawasan jender dapat dilihat pada tabel<br />

berikut ini:<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296


4 7<br />

Tabel 5<br />

Klasifikasi Kegiatan <strong>Berwawasan</strong> Jender dan Tidak <strong>Berwawasan</strong> Jender<br />

Di 4 (empat) Kecamatan<br />

No<br />

Kegiatan<br />

Jender<br />

Klasifikasi<br />

Mendekati<br />

Jender<br />

Bias<br />

Jender<br />

1.<br />

2.<br />

3.<br />

Sanitasi / assainering<br />

<strong>Pengelolaan</strong> sampah<br />

<strong>Pengelolaan</strong> limbah cair<br />

rumah tangga<br />

1<br />

2<br />

1<br />

3<br />

2<br />

3<br />

Fakta-fakta diatas menunjukkan ada pembedaan peran cukup tajam didalam<br />

pengelolaan lingkungan hidup, dimana hanya ada 1 (satu) kecamatan yang dalam sosialisasi<br />

pengelolaan lingkungan hidup sudah berwawasan jender, sedangkan 3 (tiga) kecamatan belum<br />

menujukkan wawasan jender atau mendekati jender, sebab kaum perempuan bukannya tidak<br />

dilibatkan, tetapi hanya kadang-kadang saja. Dalam pengelolaan sampah, hanya ada 2 (dua)<br />

kecamatan yang sudah menunjukkan arah berwawasan jender, sedangkan 2 (dua) lainnya<br />

belum sepenuhnya berwawasan jender. Kemudian dalam pengelolaan lmbah cair rumah tangga,<br />

hanya ada 1 (satu) kecmatan yang berwawasan jender, sedangkan 3 (tiga) lainnya belum<br />

sepenuhnya. Gambaran di atas memperlihatkan adanya diskriminasi terhadap hak dan<br />

kewajiban laki-laki dan perempuan untuk berperan secara proporsional/setara..<br />

Mayling Oey Gerdiner (1996) mengatakan bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki<br />

sebnarnya hanya terjadi pada fungsi biologis, selebihnya perempuan tidak berbeda dengan<br />

laki-laki. Jika perbedaan jender meluas, hal ini disebabkan karena pandangan dan perlakuan<br />

yang dikriminatif secara sosial. Dikriminasi jender ini kemudian mendapat dukungan dari<br />

keluarga dan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat.<br />

Diskriminasi jender juga terjadi hampir di setiap proses pembangunan baik ditingkat<br />

lokal meupun ditingkat global. Diskriminasi tersebut terjadi sebab ada sistem sosial budaya,<br />

peraturan – peraturan dan struktur kelembagaan yang makin memperluas perbedaan perlakuan<br />

terhadap laki-laki dan perempuan. Pembedaan peran didalam kegiatan pengelolaan lingkungan<br />

hidup sebenarnya tidak perlu terjadi karena, menunjuk pada pendapat Gerdiner diatas,<br />

perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanya pada segi biologis yang secara kodrati tidak<br />

dapat dipertukarkan<br />

Ketimpangan jender yang terjadi didalam pengelolaan lingkungan hidup di 4 (empat)<br />

kecamatan yang diteliti tidak dapat dilepaskan dari kondisi global masyarakat Indonesia yang<br />

juga mengalami ketimpangan jender, sebagamana ada dalam struktur sosial masyarakat<br />

Indonesia, komposisi laki-laki dan wanita masih belum proposional. Secara umum dapat<br />

dikatakan bahwa dalam struktur masyarakat Indonesia, laki-laki mendominasi berbagai bidang,<br />

sedangkan perempuan berada pada posisi marjinal. Sebagai contoh, bidang pendidikan, data<br />

dari Biro Pusat statistik (1993) menunjukkan bahwa perempuan yang berumur 10 tahun keatas<br />

dengan pendidikan SD sebanyak 27,4% sedangkan laki-laki 30,4%. Perempuan yang<br />

berpendidikan SLTP sebanyak 9,29% dan laki-laki 11,5%. Perempuan yang berpendidikan<br />

SLTA sebanyak 7,8% dan laki-laki sebanyak 11,5%. Ditingkat perguruan tinggi, perempuan<br />

sebanyak 1% dan laki-laki sebanyak 2%.Tingkat partisipasi kerja perempuan juga lebih<br />

rendah dari pada laki-laki. Tahun 1988, tingkat partisipasi angkatan kerja kaum perempuan<br />

ialah 37,4% sedangkan laki-laki 62,6%. Tahun 1993, tingkat partisipasi angkatan kerja kaum<br />

perempuan sebanyak 38,8% sedangkan laki-laki 62,2%, rendahnya tingkat partisipasi angkatan<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296


4 8<br />

kerja ini mempengaruhi tingginya porsentase penagangguran bagi kaum perempuan. Data<br />

dari World Bank tahun 1996 menunjukkan bahwa porsentase pengangguran bagi kaum<br />

perempuan adalah 5,1% sedangkan laki-laki sebanyak 3,9%. Ketimpangan jender juga terjadi<br />

dibidang-bidang lain.<br />

Sebenarnya di Indonesia upaya penyadaran terhadap permasalahan ketimpangan jender<br />

terus digalakkan, sejak tahun 1993, melalui Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, perintah<br />

mencanangkan program Penigkatan Peranan Wanita (P2W) Program ini merata disegala<br />

sektor. Hingga kini, kebanyakan pemerintah untuk melakukan kegiatan pemberdayaan wanita<br />

terus dilakukan. Didalam GBHN 1999-2004, kebijakan program pemberdayaan perempuan<br />

sebagaimana terdapat di dalam Bab IV, diarahkan untuk :<br />

1. Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan<br />

bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu<br />

memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan jender.<br />

2. Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap<br />

mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum<br />

perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta<br />

kesejahteraan keluarga dan masyarakat.<br />

Sebagai tindak lanjut arahan GBHN, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan<br />

membuat rencana Induk Pembangunan Nasional Pemberdayaan Perempuan 2000 – 2004.<br />

Didalam Perencana Induk tersebut terdapat kebijakan-kebijakan untuk program pemberdayaan<br />

perempuan disegala bidang, termasuk bidang pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup.<br />

Didalam bidang tersebut Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mempunyai Program-program<br />

sebagai berikut :<br />

1. Pengembangan pusat pelayanan kesehatan dan lingkungan (dalam kawasan industri).<br />

2. Keterlibatan perempuan dalam pengembangan teknologi terapan yang jender sensitif.<br />

3. Peningkatan rehabilitasi dan konservasi lahan dengan melibatkan perempuan.<br />

4. Peserta masyarakat dalam penanggulangan lahan dengan melibatkan perempuan.<br />

5. Perlindungan kawasan pemukiman (pengaturan tata ruang, air bersih, dan drainase).<br />

6. Pendidikan dan pelatihan pengelolaan lingkungan hidup (pemanfaatan dan pengelolaan<br />

hasil hutan ikutan).<br />

7. Keterlibatan perempuan dalam merencanakan, melaksanakan dan memonitoring<br />

lingkungan.<br />

8. Meningkatkan pemahaman perempuan terhadap isu-isu lingkungan dan konservasi dan<br />

termasuk dampaknya terhadap kesehatan produksi.<br />

9. Melaksanakan pemeliharaan kesehatan secara menyeluruh mulai dari pelayanan, promotif,<br />

pencegahan, pengobatan sampai pelayanan rehabilitatif terutama didaerah industri,<br />

pertambangan, pertanian dan lain-lain.<br />

10. Perlibatan dan pemberdayaan perempuan dalam pelaksanaan teknologi yang menyangkut<br />

lingkungan hidup, misalnya pertanian, industri dan konservasi tanah.<br />

11. Melibatkan dan memberdayakan perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup dan<br />

pengelolaan kawasan pemukiman.<br />

Kemudian dalam masalah pencegahan pencemaran lingkungan, Program pemberdayaan<br />

perempuan mencakup :<br />

1. Peningkatan pengetahuan perempuan mengenai bahan berbahaya beracun dan penglolaan<br />

limbah yang berada di sekitarnya (rumah tangga, tempat kerja, dan lain-lain).<br />

2. Peningkatan pengetahuan perempuan mengenai akibat pencemaran lingkungan atau bahan<br />

berbahaya terhadap kesehatan manusia termasuk kesehatan reproduksi, kesehatan mahluk<br />

hidup lain, eksistem serta cara menghindarinya.<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296


3. Peningkatan akses perempuan terhadap informasi yang jujur mengenai bahan berbahaya<br />

yang berakibat buruk terhadap kesehatan manusia, mahluk hidup lain dan mencemari<br />

serta merusak lingkungan.<br />

4. Peningkatan kemampuan dalam memilih bahan yang sama lingkungan.<br />

Arah kebijakan di dalam GBHN dan program Menteri Pemberdayaan Perempuan perlu<br />

diasosiasikan ke masyarakat luas. Masyarakat juga harus mempunyai inisiatif untuk<br />

meningkatkan partisifasinya dalam mempunyai inisiatif untuk meningkatkan inisiatifnya dalam<br />

pemberdayaan perempuan, termasuk dibidang lingkungan hidup.<br />

Khusus dalam bidang pengelolaan lingkungan, perempuan sebenarnya mempunyai hak<br />

untuk dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring lingkungan. Hak ini ternyata<br />

belum terisolasi didalam kegiatan pengelolaan sanitasi dan assainering, pengelolaan sampah<br />

dan penanggulangan limbah cair rumah tangga. Padahal posisi perempuan di dalam kegiatan<br />

tersebut sangat penting mengingat peranannya yang selalu berhubungan dengan penggunaan<br />

produk-produk yang potensial menimbulkan bahya terhadap lingkungan, seperti deterjen,<br />

insektisida, formula pembersih lantai, kaca peralatan rumah tangga, kosmetik dan pengolahan<br />

bahan makanan. Maka dari itu, program peningkatan pengetahuan perempuan mengenai bahan<br />

berbahaya beracun (B 3<br />

) sangat tepat dengan keberadaan perempuan yang sangat signifikan<br />

dalam masalah limbah domestik.<br />

Pemberdayaan perempuan didalam kegiatan pengelolaan sanitasi assainering,<br />

pengelolaan sampah dan penanggulangan limbah cair sangat diperlukan. Ketiga bidang kegiatan<br />

tersebut mempunyai kaitan yang sangat erat. Peningkatan pengetahuan mengenai seluk beluk<br />

sanitasi dan assainering perlu diberikan kepada perempuan. Pengetahuan mengenai<br />

pengelolaan sampah yang efektif dengan teknologi yang sederhana dan tepat guna juga perlu<br />

diasosiasikan. Pemberian informasi mengenai limbah berikut mekanisme pencegahan dan<br />

penanggulangan juga perlu dilakukan. Hal ini dilakukan guna meminimalisasikan beban<br />

pencemaran, terutama didaerah perkotaan.<br />

Didalam Agenda 21 Nasional juga disebutkan bahwa kelompok utama yang berperan<br />

dalam realisasi program –program dipengelolaan limbah padat dan cair adalah swasta, kaum<br />

perempuan dan LSM.<br />

1. Membangun kesadaran konsumen akan dampak lingkungan yang dikonsumsi / dipakai.<br />

2. Memfasilitasi peserta masyarakat dalam penyediaan sarana dan prasarana limbah dan<br />

memastikan bahwa penyediaan sarana dan prasarana tersebut sesuai dengan kebudayaan<br />

dan kondisi lingkungan setempat. Inisiatif masyarakat ini penting terutama pada daerah<br />

pedesaan dimana pemerintah sulit menjangkau daerah-daerah tersebut.<br />

kemudian peranan kaum perempuan dalam pengelolaan limbah padat dan cair diwujudkan<br />

dalam kegiatan-kegiatan :<br />

1. Merubah dan mempengaruhi perubahan pola konsumsi sehingga dengan demikian akan<br />

mengurangi timbulan limbah, sebagai pengatur kebutuhan rumah tangga dan penataan<br />

anak-anak dalam masa pertumbuhannya, perempuan mempunyai peranan yang sangat<br />

penting untuk memperbaiki pola konsumsi dan mengurangi timbulan sampah. Oleh karena<br />

itu program pemasaran sosial dan penataan untuk pola konsumsi yang berkelanjutan<br />

seperti program kesadaran konsumen dan program minimisasi limbah perlu dirancang<br />

sedemikian rupa sehingga secara efektif dapat meningkatkan pengetahuan kaum<br />

perempuan.<br />

2. Mempengaruhi perubahan tingkah laku dalam pembuangan sampah maupun kebiasaan<br />

yang berhubungan dengan pemakaian fasilitas tersebut.<br />

3. Memberikan masukan dalam perencanaan, operasi dan pemeliharaan fasiltas sanitasi.<br />

Sebagai pemakai fasilitas sanitasi, prempuan seringkali merupakan sumber yang sangat<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296<br />

4 9


5 0<br />

baik untuk perencanaan, operasi dan pemeliharaan fasiltas sanitasi. Oleh karena itu<br />

komponen peran serta masyarakat dari program sanitasi perlu membangkitkan peranserta<br />

aktif dari perempuan.<br />

Posisi kaum perempuan dalam pengelolaan limbah padat dan cair harus dimaknai bahwa<br />

peserta mereka diperlukan guna mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup yang dijiwai dengan<br />

sifat feminin, yang suka merawat, teliti dan hati-hati. Inilah apa yang disebut perempuan<br />

menyebabkan perempuan tidak selalu dilibatkan dalam proyek pembangunan padahal kaum<br />

perempuan akan terkena dampak dari proyek pembangunan tersebut.<br />

Didalam pengelolaan limbah padat dan cair yang didalamnya juga termasuk masalah<br />

sanitasi / assainering dan persampahan, data dari lokasi penelitian yang menunjukkan<br />

ketimpangan jender merupakan salah satu bentuk peroyek pengolaan lingkungan hidup yang<br />

tidak memperhatikan kepentingan perempuan. <strong>Pengelolaan</strong> sanitasi dan limbah cair yang<br />

lebih banyak dikerjakan laki-laki merupakan bentuk proyek yang dilakukan atas dasar prinsip<br />

patriorki seperti yang dikatakan oleh Shiva. Hal inilah yang akhirnya meminggirkan kaum<br />

perempuan sehingga jika terjadi kerusakan dalam akibat pengelolaan lingkungan yang berbasis<br />

pada prinsip patriorki atau prinsip maskulinitas maka perempuan akan ikut menanggung resiko.<br />

Ketimpangan jender yang tampak di lokasi penelitian merupakan wujud masih dominannya<br />

presepsi bahwa pembangunan merupakan urusan laki-laki atau pembangunan atas dasar<br />

prinsip patriorki. Prinsip ini ternyata berimplikasi pada pengutamaan kaum laki-laki untuk oleh<br />

Vandana Shiva sebagai konsep ecofeminisme. Begitu pentingnya kaum perempuan dengan<br />

jiwa faminitasnya dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga Vandana Shiva (1997)<br />

memberikan ilustrasi yang menarik dengan mengatakan<br />

“Kini kita tahu, kerusakan dalam penyingkiran kaum perempuan ke pinggir adalah buah<br />

dari sebagaian besar program dan proyek pembangunan yang melanggar integritas kaum<br />

perempuan dan merusak produktivitas alam. Kaum perempuan, sebagai korban penindasan<br />

bentuk-bentuk pembangunan patriorki, mulai melawan untuk melindungi alam dan menjaga<br />

kelangsungan hidup mereka”.<br />

Gagasan Vandana Shiva tentang Ecofeminisme, yaitu memulihkan pembangunan<br />

lingkungan hidup dengan prinsip feminim adalah reaksi atas terjadinya pembangunan yang<br />

timpang sebagai proyek patriarki yang melibatkan dominasi, kerusakan, kekerasan,<br />

penundukan, perampasan serta pengabaian perempuan dari alam. Sebenarnya reaksi Shiva<br />

juga ditangani oleh berbagai ketimpangan jender yang cenderung bias kepada laki-laki.<br />

Ketimpangan jender yang tidak memperhatikan kepentingan dilibatkan dalam seluruh proses<br />

pembangunan, baik ditingkat perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kaum lakilaki<br />

pula yang memegang posisi kunci dalam pengambilan keputusan. Pembedaan peranperan<br />

tertentu justru akan berakibat bagi minimnya kepedulian perempuan dalam kegitankegiatan<br />

yang bukan menjadi tanggungjawab dan tugasnya. Keadaan ini tidak menguntungkan<br />

bagi upaya peningkatan peran serta perempuan dalam pembangunan secara keseluruhan.<br />

Didalam upaya peningkatan daya guna dan hasil guna pembangunan yang berhubungan dengan<br />

pengelolaan lingkungan hidup, peran serta perempuan harus ditingkatkan melalui berbagai<br />

upaya, baik yang berbentuk upaya penyadaran, pelatihan, pemberian informasi maupun upaya<br />

melibatkan langsung pada semua kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Upaya-upaya<br />

tersebut akan mampu meningkatkan mutu peranserta perempuan dalam pengelolaan lingkungan<br />

hidup.<br />

Koesnadi Herdjasoemantri (1992) menegaskan bahwa mutu peranserta masyarakat<br />

tergantung kepada wawasan lingkungan, tingkat kesadaran, kekuatan dan kemampuan<br />

lembaga dan pranata sosial serta kesempatan dan ruang gerak yang memadai bagi prakarsa<br />

masyarakat. <strong>Pengelolaan</strong> lingkungan hidup sebagaimana nampak di kecamatan Mergangsan<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296


dan Wirobrajan terutama pengelolaan sanitasi, sampah dan limbah cair rumah tangga selain<br />

mewujudkan pengelolaan yang timpang jender dan mengabaikan prinsip ecofeminisme juga<br />

tidak memberi ruang gerak yang luas bagi peranserta perempuan. Keterlibatan perempuan<br />

didalam kegiatan pengelolaan sanitasi / assainering sampah dan limbah cair rumah tangga<br />

justru akan mampu meningkatkan kesadaran dan mutu peranserta mereka pada pengelolaan<br />

lingkungan hidup secara keseluruhan.<br />

<strong>Pengelolaan</strong> lingkungan hidup mempunyai ruang lingkup yang luas dengan cara yang<br />

beraneka pula, pertama, pengelolaan secara rutin, kedua, perencanaan diri pengolaan lingkungan<br />

daerah yang menjadi dasar dan tuntutan bagi perencanaan pembangunan. Ketiga, perencanaan<br />

pengolaan lingkungan hidup berdasarkan perkiraan dampak yang akan terjadi sebagai akibat<br />

suatu proyek pembangunan yang sedang direncanakan. Keempat, perencanaan pengelolaan<br />

lingkungan hidup untuk memperbaiki lingkungan yang mengalami kerusakan, baik karena<br />

sebab alamiah maupun karena tindakan manusia. Apabila dilihat dari kategori-kategori<br />

pengelolaan dari Otto Soemarwoto tersebut, maka pengelolaan sanitasi, sampah dan limbah<br />

cair merupakan pengelolaan yang bersifat rutin. Pembuangan sampah dan pembuangan limbah<br />

dari dapur dan kamar mandi terjadi setiap hari. Karena itu, harus ada pengelolaan secara rutin<br />

yang melibatkan seluruh anggota keluarga baik laki-laki maupun perempuan. Tidak dilibatkannya<br />

perempuan didalam pengelolaan rutin ini menimbulkan bentuk pengelolaan yang timpang jender.<br />

Padahal wanita, sebagaimana dikatakan oleh Koesnadi Hardjasoemantri (1992),<br />

merupakan kelompok mayoritas dari jumlah penduduk Indonesia dan terlibat sehari-hari dalam<br />

lingkungan rumah tangga, lingkungan pemunkiman dan lingkungan sosial. Oleh karena itu,<br />

wanita sebagai bagian dari kelompok masyarakat harus diajak dalam gerakan pengembangan<br />

lingkungan hidup.<br />

Meskipun jumlah penduduk perempuan dan jumlah kepala keluarga perempuan lebih<br />

kecil dibandingkan penduduk laki-laki dan kepala keluarga laki-laki, hal ini bukan berarti kaum<br />

perempuan harus dipinggirkan atau kurang dilibatkan dalam gerakan pengembangan lingkungan<br />

hidup. Mereka justru harus berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup sebab manfaat<br />

peranserta mereka sangat besar bukan hanya untuk meningkatkan kesadaran mereka sendiri<br />

tetapi juga untuk kepentingan lingkungan hidup.<br />

Manfaat peranserta untuk kepentingan lingkungan hidup sangat penting karena<br />

pembangunan lingkungan hidup tidak lagi berpijak pada konsep pandangan hidup antroposentris,<br />

tetapi berpijak pada konsep pandangan hidup ekosentris.<br />

Pandangan hidup antroposentris menganggap bahwa alam diciptakan untuk kepentingan<br />

manusia. Pandangan ini sangat bersifat eksploitatif karena akibat praktek pandangan hidup<br />

ini menjadikan sumber daya alam dieksploitasi semaksimal mungkin untuk mendukung pola<br />

hidup konsumtif. Sehingga terjadi penurunan sumber daya alam dan rusaknya fungsi ekologi<br />

lingkungan hidup. Pandangan hidup ekosentris berkebalikan dengan pandangan hidup<br />

antroposentris. Pandangan hidup ekosentris lebih melihat alam sebagai sahabat manusia.<br />

Karena itu tindakan manusia dalam memanfaatkan dan harus melihat kepentingan alam agar<br />

dapat bedaya guna dan berhasil guna untuk kehidupan manusia. Pandangan ini sangat<br />

menghargai keanekaragaman hayati, dan prinsip pada pelestarian sumber daya alam.<br />

Pandangan hidup ekosentris ini sejalan dengan paham holistik dalam pembangunan<br />

lingkungan hidup. Menurut Mensour Fakih (1996) paham holistik merupakan paham yang<br />

menghargai keanekaragaman. Paham ini merupakan antitesis terhadap paham universalisme<br />

yang melihat alam dengan watak homogenitas dan memusatkan segalanya sehingga pada<br />

akhirnya tidak menghargai bahkan menghancurkan keanekaragaman. Prinsip holistik menurut<br />

Vandana Shiva (1997) ini sangat sejalan dengan prinsip feminin dalam pemeliharaan lingkungan<br />

hidup. Ketika terjadi penghancuran alam maka kaum perempuan yang berhadapan dengan<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296<br />

5 1


5 2<br />

kekutan-kekuatan penghancur itu berada pada perjuangan untuk membangun kembali. Demikian<br />

pula dengan pandangan hidup ekosentris paham holistik mempunyai kaitan yang erat, keduanya<br />

sama-sama berpijak pada prinsip menghargai dan memperhatikan keanekaragaman<br />

sumberdaya alam sehingga tidak dieksploitasikan habis untuk kepentingan manusia.<br />

<strong>Pengelolaan</strong> lingkungan hidup yang timpang jender merupakan bentuk dari pandangan<br />

antoposentris. Alam hanya dilihat dari segi manfaatnya untuk kepentingan manusia dan<br />

keputusan untuk memanfaatkan alam tersebut sangat bias pada laki-laki atau hanya dilihat<br />

dari prospektif kepentingan laki-laki.<br />

Hal inilah yang kemudian melahirkan anggapan bahwa alam itu bersifat maskulin, dan<br />

sifat maskulin mengandung benih-benih eksploitatif, keras dan destruktif, pengelolaan alam<br />

dengan pandangan hidup antroposentris yang bias pada laki-laki ini sangat potensial<br />

mengahncurkan keanekaragaman sumber daya alam. Maka dari itu, pengelolaan lingkungan<br />

hidup dengan konsep berfikir seperti itu menjadi sejalan dengan paham universolisme yang<br />

juga potensial menghancurkan keanekaragaman. Oleh karena itu pengelolaan lingkungan<br />

hidup yang bias pada laki-laki mengabaikan prinsip alam yang keterogen. Di alam, disamping<br />

hidup manusia berjenis laki-laki, juga hidup manusia berjenis perempuan.<br />

Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan hidup yang berpijak pada pandangan ekosentris<br />

dan paham holistik sangat menghargai keberadaan perempuan sebagai bagian dari alam.<br />

Simpulan<br />

Dari uraian hasil penelitian dan pembahasan tersebut di atas, dapat diambil beberapa<br />

kesimpulan, yaitu:<br />

1. <strong>Pengelolaan</strong> lingkungan hidup di Kota Yogyakarta menunjukkan keadaan yang bervariasi.<br />

Di dalam pengelolaan sanitasi/assainering, penanggulangan limbah cair rumah tangga<br />

terdapat ketimpangan jender yang sangat jelas. Perempuan tidak selalu dilibatkan di<br />

dalam seluruh tahap kegiatan. Maka dari itu pengelolaan terhadap ketiga bidang tersebut<br />

belum sepenuhnya berwawasan jender. Lalu didalam pengelolaan sampah, laki-laki dan<br />

perempuan mendapat kesempatan yang hampir sama untuk berpartisipasi di dalam seluruh<br />

proses kegiatan. Karena itu, kegiatan ini dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan yang<br />

berwawasan jender.<br />

2. Seluruh Kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Kotamadya<br />

Yogyakarta terutama yang menyangkut pengaturan di bidang pengelolaan lingkungan hidup<br />

tidak mengindikasikan adanya pengaturan yang diskriminatif atau bias jender baik pada<br />

laki-laki maupun pada perempuan. Ketentuan-ketentuan yang ada baik secara redaksional<br />

maupun secara subtansial tidak menunjukkan adanya ketentuan yang diskriminatif.<br />

Akomodasi wawasan jender terdapat di dalam ketentuan-ketentuan tentang peranserta<br />

dan ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban subyek hukum yang diatur di dalam<br />

peraturan-peraturan mengenai lingkungan hidup. Dengan demikian, peraturan bukanlah<br />

faktor penghambat bagi perempuan dalam berpartisipasi pada pengambilan keputusan<br />

pengelolaan lingkungan hidup.<br />

3. Secara substansial, kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan tentang pengelolaan<br />

lingkungan hidup yang berlaku d Kota Yogyakarta tidak ada yang menunjukkan bias jender.<br />

Bias Jender lebih banyak terjadi pada tahap sosialisasi kebijakan dan peraturan yang<br />

kemudian berdampak pula pada implementasinya.<br />

Pustaka Acuan<br />

Fakih, Mansour, Analisis Jender dan Transformasi Sosial . Yogyakarta : Pustaka pelajar,<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296


5 3<br />

1996<br />

Gerdiner ,Mayling Oey Perempuan Indonesia, dulu dan kini, Gramedia, Jakarta, 1996<br />

Hardjosoemantri, Koesnadi. Hukum Tata <strong>Lingkungan</strong>. Edisi kelima. Cetakan kesembilan.<br />

Yogyakarta : Gadja h Mada University Press, 1992<br />

Hendriantro, M. Bekti, “Pola Asuhan <strong>Berwawasan</strong> Jender. “ Laporan Penelitian pada Pusat<br />

Studi Wanita <strong>UII</strong>, Yogyakarta, 1997<br />

Komisi Dunia Untuk <strong>Lingkungan</strong> dan Pembangunan. Hari Depan Kita Bersama. Jakarta :<br />

Gramedia, 1998<br />

Kantor Menteri Negara <strong>Lingkungan</strong> <strong>Hidup</strong>. Publikasi Awal Agenda 21 Strategi Nasional Untuk<br />

Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta : Kantor Menteri Negara <strong>Lingkungan</strong> <strong>Hidup</strong> RI,<br />

1996<br />

Mosse, Julia Cleves. Jender dan Pembangunan . Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996<br />

Soemarwoto, Otto. Ekologi, <strong>Lingkungan</strong> <strong>Hidup</strong> dan Pembangunan Edisi Revisi. Jakarta :<br />

Penerbit Djambatan, 1997<br />

Shiva, Vandana. Bebas dari Pembangunan ; perempuan, Ekologi dan Perjuangan <strong>Hidup</strong> di<br />

India. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1997.<br />

Fenomena: Vol. 4 No. 1 Maret 2006 ISSN : 1693-4296

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!