PDF - DigiLib | AMPL
PDF - DigiLib | AMPL
PDF - DigiLib | AMPL
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
kalau ada serangan dari<br />
GAM.''<br />
Akhirnya 17 Februari<br />
tiba. Ini adalah waktu bagi<br />
tim untuk kembali setelah<br />
berada di NAD sejak 26<br />
Januari. Mereka tak lagi<br />
kembali dengan kapal<br />
rakyat. Tapi naik helikopter<br />
milik Malaysia.<br />
''Begitu helikopter take<br />
off, rasanya kayak lahir<br />
kembali,'' ungkap Handy.<br />
Dan tugas ke Aceh<br />
memang sangat membekas<br />
di diri Handy.<br />
Perjalanan itu membuat<br />
tensi darahnya<br />
naik. Makanya ketika ditanya<br />
akankah ia mau kembali ke Serambi Mekah<br />
dalam waktu dekat ia mengatakan, ''Mendingan nggak<br />
dulu.''<br />
• • •<br />
Kisah serupa dialami Johan Susmono. Staf di Dirjen<br />
Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Departemen<br />
Dalam Negeri ini pun dihinggapi rasa takut ketika berada<br />
di NAD. ''Kita khawatir diculik. Bukan takut karena<br />
gempa, tapi takut karena ulah orang-orang yang tak<br />
bertanggung jawab,'' jelasnya. Rasa was-was itu selalu<br />
menghantuinya selama berada di sana.<br />
Johan berada di Banda Aceh selama sembilan hari. Ia<br />
bersama tim dari Depdagri memegang amanat untuk<br />
menghidupkan roda pemerintahan. Awalnya memang<br />
untuk propinsi, tapi begitu pemerintahan kota Banda<br />
Aceh pun tak bergerak, maka tugasnya pun bertambah.<br />
''Titik tolak pertama kita adalah melaksanakan apel pagi<br />
pertama setelah bencana,'' katanya.<br />
Upaya itu dilakukan dengan mendekati Sekretaris<br />
Daerah Kota Banda Aceh, sebab sang walikota ikut menjadi<br />
korban ganasnya alam. Ternyata proses itu tak<br />
mudah. Johan menceritakan awalnya pemerintah daerah<br />
ragu melihat aktivitas 'orang-orang pusat' ini.<br />
Mereka menyangka orang-orang baru ini akan menggantikan<br />
posisi mereka. Namun suasana itu akhirnya bisa<br />
cair setelah ada penjelasan.<br />
Akhirnya, rapat pertama pun berlangsung. ''Kita<br />
lakukan di luar gedung karena dalam gedung rusak dan<br />
tidak bisa dipakai. Aparat daerah pun kita ajak masuk<br />
dengan kondisi seadanya. Ada yang datang sekadar<br />
duduk-duduk, ngobrol-ngobrol. Setelah itu kita sepakat<br />
untuk membuat posko dan dapur umum,'' jelas Johan.<br />
Proses ini menjadi titik tolak hidupnya kembali<br />
lingkungan pendopo gubernur NAD yang sejak beberapa<br />
waktu sebelumnya ditinggalkan Gubernur Abdullah<br />
Puteh ke Jakarta untuk menjalani proses hukum. ''Sejak<br />
itu pula kita mulai mengadakan apel. Ada yang nggak<br />
pakai sepatu, atau pakaian seadanya. Nggak masalah,''<br />
paparnya.<br />
Ia bersama tim terus mempersiapkan segala keperluan<br />
guna menjalankan roda pemerintahan hingga ke<br />
tingkat kecamatan. Untuk itu tim juga dibantu mahasiswa<br />
STPDN yang dikirim dari Bandung. Bersama para<br />
pejabat yang masih ada tim melakukan pendataan baik<br />
warga maupun aset yang masih ada dan memfasilitasi<br />
berjalannya roda pemerintahan. ''Kita bergerak berdasarkan<br />
SK Mendagri. Kita juga membantu membuatkan<br />
perencanaan keuangan--karena APBD belum disahkan-singkat<br />
untuk enam bulan,'' kata Johan menerangkan.<br />
Johan mengaku menemukan hal-hal yang tidak patut<br />
di sana. Tapi ia enggan menyebutkan. Yang pasti, menurutnya,<br />
rakyat Aceh harus dibantu. ''Siapa lagi yang<br />
menolong kalau bukan kita,'' katanya meyakinkan.<br />
• • •<br />
Lain lagi dengan cerita Bambang Purwanto. Staf di<br />
Departemen Pekerjaan Umum ini tak menyangka akan<br />
dikirim ke Aceh. Ketika asyik makan bersama keluarnya<br />
tiba-tiba SMS-nya berbunyi yang berisi perintah<br />
berangkat ke Aceh. Dan ia pun berangkat ke Aceh 2<br />
Januari 2005. Bayangan tak akan menemukan apa-apa<br />
Percik<br />
Mei 2005<br />
27