05.05.2015 Views

ratifikasi statuta roma untuk memperkuat perlindungan hak asasi ...

ratifikasi statuta roma untuk memperkuat perlindungan hak asasi ...

ratifikasi statuta roma untuk memperkuat perlindungan hak asasi ...

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

RATIFIKASI STATUTA ROMA UNTUK MEMPERKUAT<br />

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA<br />

M. Akil Mochtar<br />

Disampaikan sebagai Pemakalah Kunci (Keynote Speaker)<br />

pada Seminar Nasional memperingati Hari Keadilan Internasional sedunia (World Day of International Justice)<br />

yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia Untuk Mahkamah Pidana Internasional bekerja<br />

sama dengan Coalition for the International Criminal Court (CICC) dan dengan Komisi Nasional Hak Asasi<br />

Manusia (Komnas HAM) di Jakarta, Selasa, 17 Juli 2012<br />

Hadirin Peserta Seminar yang saya hormati,<br />

Tidak banyak yang mengetahui bahwa setiap tanggal 17 Juli diperingati sebagai Hari<br />

Keadilan Internasional se-dunia. Tanggal 17 Juli merupakan sebuah momentum penting<br />

ditandai dengan kesepakatan negara-negara dalam <strong>statuta</strong> Roma <strong>untuk</strong> membentuk<br />

pengadilan pidana Internasional (International Criminal Court). Hari ini, kita berkumpul disini<br />

dalam rangka memperingati Hari Keadilan Internasional se-dunia dan mendiskusikan sebuah<br />

tema mengenai pentingnya me<strong>ratifikasi</strong> <strong>statuta</strong> Roma.<br />

14 (empat belas) tahun sudah sejak <strong>statuta</strong> <strong>roma</strong> disepakati (tanggal 15 Juli 1998) dan<br />

kurang lebih 8 (delapan) tahun sudah sejak <strong>statuta</strong> Roma mulai berlaku -entry into force-<br />

(tanggal 1 Juli 2002). Akan tetapi, hingga kini Indonesia belum menjadi pi<strong>hak</strong> dan<br />

me<strong>ratifikasi</strong> Statuta Roma. Dalam Rencana Aksi Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009,<br />

pemerintah menargetkan <strong>untuk</strong> me<strong>ratifikasi</strong> Statuta Roam pada tahun 2008. Namun, target<br />

rencana tersebut tak terealisasi sehingga dalam RANHAM 2009-2014 pemerintah berupaya<br />

<strong>untuk</strong> me<strong>ratifikasi</strong> <strong>statuta</strong> <strong>roma</strong> pada tahun 2013. Dalam pertemuan Kelompok Kerja<br />

mengenai Universal Periodic Review yang merupakan program dari Dewan HAM PBB<br />

(Human Rights Council), Indonesia didorong <strong>untuk</strong> segera me<strong>ratifikasi</strong> Statuta Roma dalam<br />

peraturan perundang-undangan.<br />

Pertanyaan mendasar yang mengemuka dalam mengawali pembukaan seminar ini adalah<br />

mengapa Indonesia perlu me<strong>ratifikasi</strong> Statuta Roma dan apa implikasinya bila Indonesia<br />

me<strong>ratifikasi</strong> Statuta Roma?<br />

1


Hadirin Peserta Seminar yang saya hormati,<br />

Me<strong>ratifikasi</strong> Statuta Roma berarti menundukkan diri pada rezim yurisdiksi Pengadilan<br />

Pidana Internasional. Namun, sifat menundukkan diri ini bukanlah bersifat mutlak (absolute)<br />

melainkan bersifat pelengkap (complementary). Artinya, pengadilan pidana internasional<br />

hanya berwenang mengadili bila pengadilan umum dalam sistem hukum nasional suatu<br />

negara tidak bersedia (unwilling) atau tidak mampu (unable) <strong>untuk</strong> mengadili suatu perkara.<br />

Ukuran mengenai ketidaksediaan atau ketidakmampuan pengadilan nasional dalam<br />

mengadili suatu perkara sehingga harus diambil alih oleh pengadilan pidana internasional<br />

telah ditetapkan dalam <strong>statuta</strong> Roma (vide Pasal 17 ayat (2) dan (3) Statuta Roma).<br />

Pengadilan nasional dinilai tidak bersedia mengadili suatu perkara sehingga harus<br />

diambilalih oleh pengadilan pidana internasional bila: (i) ada keputusan nasional yang<br />

melindungi pelaku tindak pidana dalam yurisdiksi pengadilan pidana internasional; (ii) ada<br />

penangguhan yang tidak dapat dibenarkan <strong>untuk</strong> membawa pelaku tindak pidana<br />

dihadapan pengadilan, dan; (iii) langkah-langkah hukum tidak dilakukan secara mandiri atau<br />

memi<strong>hak</strong>. Sedangkan ukuran penilaian atas ketidakmampuan pengadilan nasional <strong>untuk</strong><br />

mengadili perkara tindak pidana dalam yurisdiksi pengadilan pidana internasional adalah<br />

bila peradilan nasional dinilai telah mengalami keruntuhan secara total maupun substansial<br />

(total or substantial collapse) atau bilamana memang tidak ada (unavailability) pengadilan<br />

nasional yang akan mengadili perkara tersebut.<br />

Meskipun bersifat pelengkap, permasalahan yurisdiksi pengadilan pidana internasional<br />

menjadi hambatan terbesar dalam efektifitas pelaksanaan kinerja pengadilan. Bahkan<br />

diawal penyusunan <strong>statuta</strong> Roma, ketidaksepakatan Amerika Serikat <strong>untuk</strong> menandatangani<br />

Statuta Roma, salah satunya, adalah diterapkannya yurisdiksi pengadilan pidana<br />

internasional atas peristiwa tindak pidana yang dilakukan (universal jurisdiction - quasi<br />

delicta juris gentium). Amerika Serikat pada saat itu berpendapat bahwa yurisdiksi<br />

pengadilan pidana internasional harusnya hanya berlaku bagi pelaku tindak pidana yang<br />

merupakan warga negara dari negara yang me<strong>ratifikasi</strong> <strong>statuta</strong> <strong>roma</strong> (active personality<br />

jusridiction). Atas perdebatan tersebut, Statuta Roma mengadopsi ketentuan yang dinilai<br />

merupakan jalan tengah dari kubu-kubu yang berdebat. Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma<br />

mengatur bahwa yurisdiksi pengadilan pidana internasional meliputi wilayah dimana<br />

perbuatan pidana itu terjadi (ratione loci) dan warga negara pelaku tindak pidana dari<br />

negara yang me<strong>ratifikasi</strong> <strong>statuta</strong> Roma (ratione personae).<br />

Yurisdiksi kewenangan pengadilan pidana internasional dibatasi dalam jenis tindak pidana<br />

tertentu (ratione materiae) yang termasuk dalam kejahatan luar biasa (extraordinary<br />

crimes), yaitu yang disebut dalam Pasal 5 Statuta Roma. Sedangkan dalam hal efektifitas<br />

berlakunya pengadilan pidana internasional, Statuta Roma mengatur bahwa pengadilan<br />

pidana internasional merupakan lembaga yang bersifat prospektif. Artinya, pengadilan<br />

pidana internasional tidak berwenang mengadili perkara tindak pidana yang dilakukan<br />

sebelum Statuta Roma berlaku secara efektif, yaitu tanggal 1 Juli 2002. Secara tegas<br />

2


disebutkan bahwa Statuta Roma ini menganut prinsip-prinsip umum hukum pidana, salah<br />

satunya, prinsip non-retroaktif (vide Pasal 24 jo. Pasal 11 Statuta Roma). Terdapat<br />

pengecualian atas berlakunya prinsip non-retroaktif yang dianut pengadilan pidana<br />

internasional. Suatu negara dapat mengakui yurisdiksi pengadilan pidana internasional<br />

dengan melakukan deklarasi sementara (ad hoc declaration), bahkan bila negara itu bukan<br />

negara yang me<strong>ratifikasi</strong> Statuta Roma (vide Pasal 11 jo. 12 ayat (3) Statuta Roma).<br />

Banyak pi<strong>hak</strong> yang menyayangkan diadopsinya prinsip non-retroaktif, yang berarti ada<br />

pembatasan bagi pengadilan <strong>untuk</strong> mengadili perkara kejahatan serius terhadap Hak Asasi<br />

Manusia yang dilakukan di masa lalu. Alasan para penyusun <strong>statuta</strong> <strong>roma</strong> yang mengadopsi<br />

pembatasan atas yurisdiksi temporal dari pengadilan ini adalah lebih kepada pendekatan<br />

pragmatis. Para penyusun Statuta Roma beranggapan bahwa bila pengadilan tidak<br />

membatasi kewenangan temporal mengadili perkara maka banyak negara yang akan<br />

resisten dan menolak keberadaan pengadilan. Oleh karena itu, penyelesaian tindak pidana<br />

HAM berat yang terjadi dimasa lalu dapat diadili melalui pengadilan domestik dalam sistem<br />

hukum pidana nasional masing-masing negara. Pilihan lainnya adalah dengan melakukan<br />

perjanjian bilateral <strong>untuk</strong> membentuk pengadilan internasional seperti yang dilakukan<br />

antara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan pemerintah Sierra Leone pada tahun 2002.<br />

Meski belum me<strong>ratifikasi</strong> Statuta Roma, namun dalam upaya penyelesaian pelanggaran<br />

HAM berat yang terjadi masa lalu, Indonesia membentuk pengadilan HAM yang bersifat ad<br />

hoc dan berwenang mengadili perkara secara retroaktif. Diterbitkannya UU nomor 26 Tahun<br />

2000 menjadi dasar hukum <strong>untuk</strong> pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia.<br />

Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc yang mengesampingkan prinsip non-retroaktif<br />

menimbulkan wacana perdebatan dimasyarakat kala itu. Pengesampingan prinsip nonretroaktif<br />

dianggap bertentangan dengan Konstitusi, terutama Pasal 28I ayat (1) UUD 1945<br />

yang secara tegas mengatur “...<strong>hak</strong> <strong>untuk</strong> tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku<br />

surut adalah <strong>hak</strong> <strong>asasi</strong> manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Dengan<br />

kata lain, secara tersurat Konstitusi memasukkan prinsip non-retroaktif sebagai nonderogable<br />

rights. Namun, Mahkamah Konstitusi memiliki penafsiran yang berbeda. Dalam<br />

pengujian Pasal 43 ayat (1) UU nomor 26 Tahun 2000 terhadap UUD 1945 yang diajukan<br />

oleh Abilio Osario Soares, Putusan nomor 065/PUU-II/2004, MK berpendapat bahwa<br />

keberadaan pengadilan HAM ad hoc tidak bertentangan dengan Konstitusi.<br />

Pengesampingan atas prinsip non retroaktif melalui pembentukan pengadilan HAM yang<br />

bersifat sementara dikonstruksikan secara hati-hati. Prinsip kehati-hatian dalam<br />

pembentukan pengadilan HAM dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor sebagai<br />

berikut:<br />

a. pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus delicti<br />

dan tempus delicti yang terbatas, bukan <strong>untuk</strong> semua peristiwa secara umum; dan<br />

b. Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR karena, menurut UUD<br />

1945, DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada dasarnya<br />

3


akyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat sebelum<br />

pembentukan UU Pengadilan HAM telah terjadi yang penyelesaiannya<br />

membutuhkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.<br />

Hadirin Peserta Seminar yang saya hormati,<br />

Me<strong>ratifikasi</strong> sebuah konvensi atau perjanjian internasional bukanlah hal yang mudah.<br />

Terkadang ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam perjanjian internasional tidak selaras<br />

dengan prinsip konstitusional yang terkandung dalam UUD sebuah negara. Atau suatu<br />

perjanjian internasional yang disepakati oleh pemerintah yang merepresentasikan suara<br />

mayoritas di sebuah negara, belum tentu disepakati oleh kelompok minoritas negara<br />

tersebut <strong>untuk</strong> dilakukan <strong>ratifikasi</strong>. Sebagai contoh, dalam upaya me<strong>ratifikasi</strong> Statuta Roma,<br />

Kolombia menemui hambatan dalam hal penjatuhan sanksi pidana kepada pelakunya. Salah<br />

satu jenis sanksi yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan pidana internasional adalah hukum<br />

penjara, maksimal hingga seumur hidup (life imprisonment) <strong>untuk</strong> pelaku tindak pidana<br />

yang terbukti melakukan kejahatan yang sangat keji (extreme gravity of the crime). Disisi<br />

lain, Konstitusi Kolombia melarang jenis hukuman penjara seumur hidup bagi warga<br />

negaranya. Atas hambatan ini, Pengadilan Kolombia dapat melakukan perbandingan dari<br />

putusan Mahkamah Konstitusi Italia dalam Putusan nomor 223 tertanggal 25 Juni 1996<br />

kasus Venezia v. United States of America yang berpendapat bahwa pengadilan tidak dapat<br />

memperkirakan apakah hukuman percobaan (parole) bagi warga negaranya yang menjadi<br />

tersangka dapat diberikan oleh pengadilan pidana internasional atau tidak, sehingga<br />

penyerahan (transfer) atau menyerahkan diri (surrender) kepada pengadilan pidana<br />

internasional harus ditolak. Dengan kata lain, kedaulatan negara <strong>untuk</strong> melindungi warga<br />

negara lebih diutamakan dibanding menyerahkannya <strong>untuk</strong> diadili di pengadilan<br />

internasional.<br />

Saat ini, Mahkamah Konstitusi sedang memeriksa perkara pengujian UU nomor ... tahun ...<br />

yang me<strong>ratifikasi</strong> Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Saya tidak bermaksud <strong>untuk</strong><br />

membicarakan atau mengomentari perkara ini, karena MK sendiri belum menjatuhkan<br />

putusan atas perkara ini. Perkara ini saya jadikan contoh <strong>untuk</strong> menunjukkan bahwa tidak<br />

mudah melakukan <strong>ratifikasi</strong> konvensi atau perjanjian internasional. Akan senantiasa ada<br />

wacana perdebatan antara pro dan kontra dalam kelompok-kelompok masyarakat. Bagi<br />

Mahkamah yang memeriksa perkara mengenai <strong>ratifikasi</strong> perjanjian internasional, tentunya<br />

bukanlah perkara yang mudah. Mahkamah perlu mencari keseimbangan guna mencapai<br />

keadilan antara penerapan nilai-nilai konstitusional yang menjunjung kedaulatan negara<br />

dengan penghormatan kesepakatan antara negara yang dimuat dalam suatu perjanjian<br />

sebagai suatu pacta sunt servanda.<br />

Hadirin Peserta Seminar yang saya hormati,<br />

Kondisi HAM Indonesia saat ini bisa dikatakan lebih baik dibandingkan dimasa lalu. Memang<br />

harus diakui bahwa masih terdapat beberapa pelanggaran HAM yang terjadi. Akan tetapi,<br />

4


derajat pelanggaran HAM yang terjadi itu tidak dapat dikategorikan dalam pelanggaran<br />

HAM berat yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan pidana internasional. Disinyalir bahwa<br />

tragedi mesuji, Lampung Barat, beberapa waktu lalu masuk dalam kategori pelanggaran<br />

HAM berat. Namun, asumsi ini butuh penyelidikan dan pembuktian lebih lanjut.<br />

Kondisi berbeda sangat terlihat di Timur Tengah dan Afrika Utara, yang mengalami<br />

fenomena Arab Spring. Rezim otoritarian diganti melalui proses demokratisasi yang<br />

dibangun dari masyarakat secara langsung. Perubahan rezim itu, menguak berbagai<br />

pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemimpin negeri yaitu Mesir, Libya, dan saat<br />

ini negeri yang tengah bergejolak, Suriah. Yang menarik adalah tidak ada kasus yang<br />

diajukan ke Pengadilan Pidana Internasional akan adanya pelanggaran HAM berat yang<br />

terjadi di negara tersebut. Mesir dan Suriah adalah negara yang menandatangani <strong>statuta</strong><br />

Roma (signatories) namun keduanya belum me<strong>ratifikasi</strong> <strong>statuta</strong> Roma dan belum menjadi<br />

pi<strong>hak</strong> (state parties).<br />

Di Indonesia, proses ajudikasi maupun non-ajudikasi penyelesaian pelanggaran HAM di<br />

Indonesia telah banyak ditangani oleh lembaga-lembaga yang dibentuk <strong>untuk</strong> memberi<br />

perhatian khusus pada penegakan Hak Asasi Manusia, baik itu lembaga pemerintah, seperti<br />

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Ombudsman, maupun lembaga<br />

swadaya masyarakat yang menjadi pangawas (watchdog) atas upaya penegakan HAM.<br />

Mahkamah Konstitusi pun memiliki peran dalam rangka penegakan dan <strong>perlindungan</strong> <strong>hak</strong><br />

<strong>asasi</strong> atau <strong>hak</strong> konstitusional warga negara. Melalui penyelesaian perkara pengujian UU<br />

terhadap UUD, MK berupaya memulihkan <strong>hak</strong> konstitusional warga negara yang dilanggar<br />

dengan berlakunya UU.<br />

Akan tetapi, pengadilan pidana memiliki peran yang berbeda dengan lembaga-lembaga<br />

penegakan dan <strong>perlindungan</strong> HAM yang telah disebutkan diatas. Sebagaimana hukum<br />

pidana yang memiliki sifat dasar represif dan memberi efek jera (detterent effect) maka<br />

penegakannya oleh pengadilan pidana menuntut pertanggungjawaban pelaku atas tindak<br />

pidana yang dilakukannya. Hal ini selaras dengan tujuan pembentukan pengadilan pidana<br />

internasional, yaitu <strong>untuk</strong> memutus rantai kekebalan hukum (impunity) dari para pelaku<br />

sehingga berpengaruh pada pencegahan terulangnya kejahatan yang sama. Oleh karena itu,<br />

keberadaan pengadilan HAM sungguh sangat penting.<br />

Keberadaan pengadilan HAM yang dibentuk berdasarkan UU nomor 26 tahun 2000 dengan<br />

kewenangan mengadili perkara meliputi (i) kejahatan genosida dan (ii) kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan tidak dapat dianggap sebagai ketidakmampuan (inability) dari sistem hukum<br />

Indonesia <strong>untuk</strong> menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat. Hal ini merupakan peluang<br />

atau celah yang harus dimanfaatkan <strong>untuk</strong> mendorong di<strong>ratifikasi</strong>nya Statuta Roma. Dengan<br />

demikian, pengadilan pidana internasional bermanfaat sebagai pelengkap dari sistem<br />

hukum pidana nasional <strong>untuk</strong> menegakkan HAM.<br />

5


Hadirin Peserta Seminar yang saya hormati,<br />

Secara umum, sebagian besar prinsip-prinsip hukum pidana yang diadopsi dalam Statuta<br />

Roma tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, me<strong>ratifikasi</strong> <strong>statuta</strong> <strong>roma</strong><br />

tidak akan menimbulkan permasalahan konstitusional. Sifat komplementer dari yurisdiksi<br />

pengadilan pidana internasional akan menjadi pelengkap bagi sistem hukum pidana nasional<br />

dalam menegakkan Hak Asasi Manusia, terutama dalam upaya penyelesaian pelanggaran<br />

HAM berat.<br />

Dalam seminar ini akan diungkap keuntungan dan kerugian bila me<strong>ratifikasi</strong> Statuta Roma,<br />

serta langkah-langkah konkret dalam upaya mengadopsi Statuta Roma dalam peraturan<br />

perundang-undangan Indonesia. Mengingat pentingnya topik yang dibahas dalam seminar<br />

ini maka masukan dan hasil seminar ini tentu menjadi momentum yang menentukan dalam<br />

rangka percepatan upaya <strong>ratifikasi</strong> <strong>statuta</strong> <strong>roma</strong>.<br />

Saya mengucapkan selamat seminar dan selamat hari keadilan Internasional.<br />

6

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!