figure16 | Juni - Agustus 2010 •dr. Setyo Widi, SpBSSungguh menarik dapat bertemu dan mengenallebih dalam seorang Ketua Perhimpunan SpesialisBedah Saraf Indonesia (PERSPEBSI), dr. Setyo Widi.Walaupun memiliki kedudukan yang penting di duniakedokteran Indonesia, dr. Widi, begitu ia akrabdisapa, bukanlah sosok yang sombong, angkuh, dan”menakutkan”. Sebaliknya, ia sangatlah baik hati danterbuka, untuk berbagi sekilas kisah hidupnya sebagaiseorang dokter, profesi yang telah ia jalani sejaktahun 1988.Tidak seperti kebanyakan anak kecil lainnya yangbercita-cita ingin menjadi dokter, dr. Widi malahsempat kepikiran untuk menjadi seorang penerbangdi masa kanak-kanaknya. Apalagi, tidak seorang pundari keluarganya yang terjun ke dunia kedokteran,sehingga tidak ada pengaruh yang membuatnyaingin menjadi dokter. Walaupun begitu, selain jadipenerbang, ia juga sempat memikirkan cita-cita”cadangan” untuk menjadi dokter.Cepat,Tepat, danPenuhTantanganMenjadi seorang dokterselama 22 tahun adalah pilihanhidupnya. Sebagai seorangdokter spesialis bedah saraf,dr. Setyo Widi sadar bahwaprofesinya penuh tantangan,dengan tujuan utamamenolong sesama manusia.Menjadi dokterSejak kecil, pemikiran untuk menolong orang lainsudah tertanam di sifatnya. ”Tugas manusia itu adalahmenolong manusia yang lain, kebetulan pemikiran itusudah terbentuk dari kecil,” ungkap dr. Widi. Menjadidokter, menurut beliau, merupakan satu pilihanprofesi di mana kita bisa menolong orang secaralangsung.Keputusan untuk akhirnya memilih karier sebagaidokter muncul saat dr. Widi duduk di bangkuSekolah Menengah Atas (SMA) Loyola 1, Semarang.Menurutnya, sekolah itu memiliki bimbingan konselingyang sangat bagus. Saat duduk di bangku kelas 2SMA, ia kerap bertemu dengan para pembimbing,termasuk pastor, untuk menceritakan tujuan hidupnya.dari sifatnya yang senang menolong orang, makadokterlah yang menjadi pilihannya.dr. Widi banyak mendapat masukan berharga daripembimbingnya. Apa yang ia tidak ketahui tentangdunia kedokteran, diinformasikan kepadanya untukmembantunya memiliki keyakinan akan keputusanyang telah ia ambil. Seperti, banyaknya tantanganyang akan dihadapi oleh seorang dokter, kesibukandokter yang sangat padat, sampai ditekankan bahwatujuan utama menjadi seorang dokter adalah untukmenolong sesama, sejalan dengan sifat yang tertanamdi dalam diri dr. Widi sejak kecil.
• Juni - Agustus 2010 | 17Mulai dari situlah, ia yakin dengan sepenuh hati, bahwadunia kedokteran adalah pilihannya untuk berkarier.Kedua orangtuanya, juga merestui apa yang dipilih olehsang buah hati. Ayah dan ibu beliau adalah seorangpendidik, sehingga mereka pasti mengerti pendidikanapa yang terbaik bagi masa depan anaknya.Latar belakang orangtua selepas pendidikan iturupanya berpengaruh pada karier beliau. Selainbekerja sebagai spesialis bedah saraf, dr. Setyo WidiNugroho adalah seorangpengajar di Departemen BedahSaraf Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. “Sayasangat bahagia mempunyaikesempatan untuk dapatmembagi pengetahuan kepadamahasiswa-mahasiswa sayadan kepada siapapun yangmemerlukannya,” ujarnya.Menjadi spesialisbedah sarafPenyuka tantangan, cepatdalam mengambil keputusan,dan pastinya, senangmenolong orang, itulah dr.Setyo Widi. Seharusnya, darisifat dan kepribadian beliau,kita sudah bisa menebakmengapa ia mengambilspesialis bedah saraf. Sifatilmu bedah yang cepat, tepat,dan rumit benar-benar selarasdengan kepribadiannya.“Kebetulan, saya ini orang yang senang membuatkeputusan yang cepat. Dan, sifat ilmu bedah adalahcepat dan tepat,” begitulah alasannya.Pemikiran untuk mengambil spesialis bedah sarafsudah terlintas sejak ia masih duduk di tingkat3, Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro,Semarang. Sifat ilmu bedah yang cepat dan tepatmenjadi alasan utamanya untuk mengambil spesialisbedah saraf.Puncaknya adalah pada saat ia kuliah di tingkat enam.Kebetulan, dosen ilmu bedah yang juga merupakanseorang dokter bedah, mengajarnya sedikit sekali. Tetapi,si dosen memiliki jadwal-jadwal operasi yang sering”Jangan sampai kitasebagai dokter terlalularut dalam kesedihan.Kita harus berada di posisimenguatkan keluargapasien di kala hal burukterjadi, walaupun kitajuga dituntut untukmemiliki empati terhadappasien,” katanya.dilakukan di sore hari. Kalau untuk operasi ringan sepertiusus buntu, mahasiswa kedokteran bisa menjadi asistendokter saat operasi. Tapi untuk bedah saraf, yang bolehmenjadi asisten hanyalah dokter bedah umum.“Saya melihat bedah saraf itu menarik sekali, palingsulit dan rumit. Jadi, setiap dokter bedah saraf operasisore, saya selalu datang dan meminta menjadi asisten.Setelah sekian kali datang, akhirnya saya diajakikut operasi. Dari situ saya sudah bertekad, akanmengambil spesialis bedahsaraf,” kenangnya.Menjadi orang biasaDokter juga manusia. dr.Setyo Widi mengakui, sebagaiseorang dokter ia juga pernahmengalami kesusahan.“Jangan sampai kita sebagaidokter terlalu larut dalamkesedihan. Kita harus beradadi posisi menguatkan keluargapasien di kala hal burukterjadi, walaupun kita jugadituntut untuk memiliki empatiterhadap pasien,” katanya.Memang dasarnya dr. Widiadalah penyuka tantangan,maka ia tidak pernah putusasa bila sedang menghadapimasalah. Justru ia akanbekerja lebih keras lagi untukmenemukan solusinya.Jadi, kapan waktu untuknya beristirahat untukmenyegarkan stamina setelah sibuk bekerja? ”Dokterspesialis bedah syaraf diwajibkan untuk mempunyaistamina yang kuat,” tutur dr. Widi. Jadi menurutnya,refreshing adalah suatu hal alamiah yang harusterjadi, yaitu dengan tidur. Bayangkan saja, beliaupernah melakukan operasi tumor otak yang memakanwaktu hampir 20 jam.Tapi untungnya, dr. Setyo Widi masih memiliki hobiyang bisa membuatnya beristirahat sejenak darikepenatan. Ia sangat senang berkebun. “Waktu mudadulu saya ini pecinta alam, sering naik gunung, dan ituterbawa sampai sekarang. Makanya saya sangat sukaberkebun,” ungkapnya mengakhiri obrolan malam itu.