erita utamakeluar rumah saat terjadi gempa, jika tak sempat keluar harusbersembunyi di bawah meja. Manajemen ini juga mencakup aspekbangunan, sebaiknya kaca rumah dilapisi kaca film agar tidakpecah berantakan jika kena getaran gempa, tidak menaruh barangdengan beban besar di tempat yang rawan jatuh, bagaimanamengangkat korban luka dengan kaki patah, ibu hamil, dan jompolainnya.Dengan seringnya melatih masyarakat untuk mewaspadaibencana, maka tak perlu khawatir saat kerjasama JRF danRekompak ini berakhir. Kekhawatiran itu memang wajar jikakemandirian dan keberdayaan belum terbentuk, fasilitator sudahtidak lagi mendampingi, KSB sudah tidak akrab lagi dengan alatkomunikasi HT, atau frekuensinya dirubah.“Walaupun Rekompak sudah tidak memiliki kegiatan lagi,masyarakat Jawa itu sudah berdaya, tak perlu lagi diingatkan untukterus berlatih. Manajamen kebencanaan sudah disosialisasikankepada masyarakat,” ujar salah seorang fasilitator.Tidak hanya pelatihan manajemen kebencanaan, penataanbangunan dan lingkungan juga sangat diperlukan. “Pada saatterjadi bencana, korban banyak berjatuhan bukan di dalamrumah, justru saat mereka sudah di luar karena tertimpa bangunanmaupun utilitas lainnya. Itu disebabkan tata bangunan danlingkungan yang buruk,” ungkapnya.Solusinya adalah dengan menyusun Rencana PenataanPermukiman (RPP) dengan didampingi fasilitator, masyarakatmenyusun RPP selama kurang lebih enam bulan. Dengan RPP,masyarakat diatur jika ingin mendirikan bangunan di kawasanrawan bencana lokal, seperti banjir tau gempa, atau dengan tidakmembangun rumah di jalur evakuasi.Setelah menyusun RPP, mereka diberikan program penataanpermukiman seperti jalan lingkungan, prasarana air bersindan sanitasi. Namun jika sudah mendapatkan program selaindari Rekompak, fasilitator Rekompak hanya bisa membantuoperasionalisasi dan perawatannya saja. RPP yang merencanakanprogram lima tahun sebuah desa tidak mungkin selamanyadifasilitasi oleh Rekompak, maka selanjutnya peran PemerintahDaerah akan dominan di sana, seperti program PenguranganRisiko Bencana (PRB), dan lainnya.RPP tersebut menjadi pegangan masyarakat dalam wadahMusrenbang agar program-program yang memreka butuhkandan sudah ada di dokumen RPP bisa tersalurkan di Musrenbang.(bcr)Salah satu jalan evakuasi yangdibangun Rekompak-JRF diSleman10
erita utamaRelokasi Bantul:Menuju Tempatyang Lebih AmanIbu Tukijem adalah salah satu warga sepuhDusun Jatirejo, di Desa Wukirsari, KabupatenBantul. Seingatnya, desanya selalu terkenabanjir.Dia dan para perempuan sepuh lain di desanyatelah mengalami sekurangnya enam longsor besardalam hidup mereka, saat lumpur sungai yangmenyeret rumah dan pepohonan. Gempa 2006juga mengakibatkan longsor. Namun, longsor kecilsemakin sering terjadi setiap tahun saat musim hujan. Longsorterbaru terjadi pada awal tahun ini, Januari 2012. Penyebabnyabukan penggundulan hutan, melainkan hujan dan kualitas tanah,serta tebing terjal yang mengelilingi desa.Ibu Tukijem masih suka mengunjungi rumah lamanya padasiang hari untuk memelihara tanaman cabai, walaupun sekarangia tinggal di kampung baru bersama dengan 35 keluarga lain.Seperti halnya warga lain yang mengungsi, Ibu Tukijem sepakatdengan petugas desa untuk tidak kembali ke tempat tinggalasalnya, kecuali untuk menggarap lahan.Berbeda dengan masyarakat lain yang tinggal di wilayahberbahaya yang berisiko tinggi, warga Jatirejo tidak perlu dimintauntuk pindah. Sejak 2004, mereka telah mengajukan petisi kepadapemerintah daerah untuk mendukung relokasi.Bayu Bintoro adalah kepala desa, atau Pak Lurah Wukirsari, dania menjelaskan sejarah panjang relokasi. “Setiap musim hujan sayamengkhawatirkan nasib dusun-dusun di Wukirsari, sampai sayatak bisa tidur. Saya tahu, para kepala desa akan berjaga sepanjangmalam selama musim hujan, meningkatkan kewaspadaan, danmenenangkan masyarakat,” jelasnya.Pada 2004, masyarakat meminta tanah desa dialokasikanEdisi 6 4Tahun X4Juni 201211