koran_sulindo_edisi_1
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Laporan Utama<br />
3<br />
Ketimpangan Sosial<br />
Makin Tajam<br />
Realitas di masyarakat makin menunjukkan<br />
ketimpangsan sosial-ekonomi semakin lebar dan<br />
curam.<br />
Fakta-fakta yang ter jadi<br />
di masyarakat memperlihatkan<br />
negeri ini<br />
semakin jauh dari konsepsi<br />
Sosialisme Indonesia, terutama<br />
aspek keadilan sosial.<br />
Berdasarkan hasil survei Bank<br />
Dunia yang diluncurkan akhir<br />
tahun 2015 lalu ditemukan<br />
fakta: 1 persen rumah tangga di<br />
Indonesia itu sudah menguasai<br />
aset nasional sebesar 50 persen<br />
rumah tangga.<br />
Dengan angka itu, Indonesia<br />
menempati urutan ketiga di<br />
dunia. Nomor satu yang paling<br />
timpang adalah Rusia, nomor<br />
dua Thailand, baru kemudian<br />
Indonesia. Antara Thailand dan<br />
Indonesia selisihnya sedikit,<br />
Thailand itu 50,2 persen, sementara<br />
Indonesia 50,3 persen.<br />
Sejalan dengan itu, perkembangaan<br />
indeks gini (indikator<br />
ketimpangan sosial: angka 0<br />
berarti tak ada ketimpangan<br />
sama sekali alias pemerataan<br />
sempurna, sedangkan angka<br />
1 menunjukkan ketimpangan<br />
absolut) juga menunjukkan<br />
arah yang mengkhawatirkan.<br />
“Selama pemerintahan<br />
Soe harto, indeks gini yang<br />
menggambarkan kesenjangan<br />
antara si kaya dan si miskin itu<br />
tidak pernah sampai pada angka<br />
0,4. Hanya berkisar 0,32, 0,35,<br />
atau 0,37. Justru setelah era<br />
Soeharto dan terutama sekali<br />
pada tahun-tahun terakhir ini,<br />
indeks gini naik kencang sekali.<br />
Sudah tidak lagi naik 0,37, tapi<br />
sudah naik ke 0,40, 0,41, dan<br />
0,42. Inilah yang kemudian<br />
menjelaskan, dilihat dari sudut<br />
tujuan mewujudkan keadilan,<br />
era pasca-Soeharto justru jauh<br />
lebih jelek. Angka-angka dengan<br />
jelas sekali menunjukkan itu.<br />
Ini gila sekali,” kata Revrisond<br />
Baswir.<br />
Data Badan Pertanahan<br />
Nasional tentang penguasaan<br />
tanah yang dilansir awal tahun<br />
ini juga membuat miris. Dari<br />
data tersebut dapat dilihat, 0,2<br />
persen orang (WNI dan warga<br />
asing) menguasai 56 persen<br />
tanah di wlayah Indonesia.<br />
Itu artinya, tanah dari seluas<br />
hampir 1 juta kilometre persegi<br />
(dari keseluruhan luas<br />
wilayah daratan Indonesia yang<br />
mencapai 1,92 juta kilometer<br />
persegi) dikuasai 550 ribu<br />
orang (dari jumlah penduduk<br />
Indonesia sekarang yang<br />
men capai 255 juta jiwa). Jika<br />
dihitung dengan indeks gini,<br />
ketim pangan kepemilikan tanah<br />
itu mencapai angka 0,60. Perlu<br />
diketahui, angka di atas 0,40<br />
menun jukkan ketimpangan<br />
sosial yang buruk.<br />
Para penguasa tanah itu<br />
adalah konglomerat perorangan<br />
atau konglomerasi pemilik<br />
peru sahaan real estate, pertambangan,<br />
perkebunan, dan Hak<br />
Penguasaan Hutan (HPH). Dan<br />
tentunya, tanah yang dikuasai<br />
segelintir orang tersebut adalah<br />
tanah-tanah produktif—berupa<br />
hutan dan kawasan yang kaya<br />
sumber daya alam.<br />
Di Provinsi Maluku Utara,<br />
misalnya, hampir selu ruh<br />
wilayahnya dikuasai peru sahaan<br />
tambang raksasa, seperti:<br />
Newmont Halmahera Mineral<br />
yang menguasai 1,6 juta<br />
hektar, Weda Bay Nickel 76,280<br />
ribu hektar, dan 148 kuasa<br />
pertambangan lainnya menguasai<br />
seluas 593,3 ribu hektar.<br />
Di Provinsi Riau, menurut<br />
data yang pernah dilansir warga<br />
dari Front Perjuangan Rakyat<br />
dan Gerakan Rakyat Kampar,<br />
sekitar 70 % tanah yang ada di<br />
wilayah Riau dikuasai korporasi<br />
asing. Di provinsi kaya minyak<br />
ini, korporasi asing yang banyak<br />
beroperasi terutama perusahaan<br />
minyak multinasional dan perusahaan<br />
perkebunan kelapa sawit.<br />
Akibatnya, banyak kaum tani<br />
terusir dan terampas tanahnya<br />
tanpa perlindungan. Dan trend<br />
penguasaan dan perampasan<br />
tanah itu makin hari semakin<br />
masif.<br />
Apa yang terjadi di Maluku<br />
Utara dan Riau hanyalah sejumput<br />
kisah dari sekian banyak<br />
kasus penguasaan tanah rakyat<br />
untuk kepentingan komersial.<br />
Itu sebabnya demo, gugatan<br />
ke pengadilan, sampai dengan<br />
bentrok warga dengan aparat<br />
dalam eksekusi pembebasan<br />
lahan merupakan potret yang<br />
telah lazim terjadi di Indonesia.<br />
Pada lahan perkebunan saja,<br />
menurut peneliti dari Lembaga<br />
Swadaya Masyarakat (LSM)<br />
Trans formasi untuk Keadilan<br />
(TuK) Indonesia, Rahmawati<br />
Winarni, sebanyak 25 kelompok<br />
perusahaan sawit yang dimiliki<br />
para taipan menguasai 31 persen<br />
lahan atau seluas 5,1 juta hektar<br />
dari total area penanaman kelapa<br />
sawit di Tanah Air.<br />
Seba gian taipan berasal<br />
dari Malaysia dan Skotlandia.<br />
Mereka telah mengantongi izin<br />
pengem bangan kelapa sawit<br />
offshorejoe.com<br />
Sumber daya alam yang semakin banyak dikuasai orang asing.<br />
seluas 2 juta hektar yang belum<br />
ditanami.<br />
Sebaran area kelapa sawit<br />
tersebut meliputi 62% di Kalimantan,<br />
32% di Sumatera, 4%<br />
di Sulawesi dan 2% di Papua.<br />
Adapun 25 taipan konglomerasi<br />
tersebut, antara lain: Wilmar<br />
Group, Sinar Mas Group, Raja<br />
Garuda Mas Group, Batu<br />
Kawan Group (Malaysia), Salim<br />
Group, Jardine Mathenson<br />
Group (Skotlandia), Genting<br />
Group (Malaysia), serta Bakrie<br />
Group.<br />
Data lain mengemukakan,<br />
dari 9,1 juta hektar kebun sawit<br />
di Indonesia, itu hanya dimiliki<br />
oleh 264 perusahaan saja atau<br />
sekitar puluhan grup saja.<br />
Begitu juga dengan pengusaan<br />
hutan produksi: dari 41 juta<br />
hektar hutan produksi di negara<br />
kita, itu hanya dikusaia oleh<br />
366 perusahaan. Tetapi ada 22<br />
juta rumah tangga petani di<br />
Indonesia hanya memiliki ratarata<br />
0,3 hektar.<br />
Struktur pertanian<br />
di Indonesia<br />
sekarang ini sangat<br />
mirip dengan<br />
zaman kolonial,<br />
dimana perusahaan<br />
asing mengusai<br />
tanah, bibit, hingga<br />
produk ekspor.<br />
Dalam produk CPO, misalnya,<br />
peru sahaan asing mengusai<br />
tanah, produk derivatif, hingga<br />
pro duk ekspornya. Akibatnya,<br />
sekalipun kita dikenal sebagai<br />
eksportir terbesar CPO di dunia,<br />
tetapi pemerintah sendiri tidak<br />
sanggup mengontrol atau menyediakan<br />
harga minyak goreng<br />
murah untuk rakyat.<br />
Sebaliknya, Sensus Pertanian<br />
2013 juga menunjukkan bahwa<br />
26,14 juta rumah tangga tani<br />
menguasai lahan rata-rata 0,89<br />
hektar per keluarga. Sekitar<br />
14,25 juta rumah tangga tani lain<br />
hanya menguasai lahan kurang<br />
dari 0,5 hektar per keluarga.<br />
Padahal, skala ekonomi untuk<br />
satu keluarga minimal 2 hektar.<br />
Masih menurut data Sensus<br />
Pertanian di atas, jumlah petani<br />
gurem yang menguasai lahan<br />
kurang dari 1.000 meter persegi<br />
turun, tetapi jumlah rumah<br />
tangga yang mengusai lahan<br />
lebih dari 3 hektare bertambah.<br />
Itu artinya telah terjadi<br />
konsolidasi lahan pada petani<br />
kaya.<br />
Ketimpangan kepemilikan<br />
lahan berakibat pada ketimpangan<br />
kemakmuran, terutama<br />
bagi rakyat yang menggantungkan<br />
hidupnya dari<br />
pengu asaan tanah, yaitu kelompok<br />
petani, peternak, dan<br />
nelayan budidaya.<br />
Penguasaan tanah oleh<br />
pemodal di pedesaan akan memiskinkan<br />
masyarakat desa<br />
yang kehilangan alat produksi<br />
dan segala yang terdapat di<br />
tanah, termasuk air.<br />
Ketimpangan penguasaan<br />
tanah tidak terbatas pada lahan<br />
pertanian. Di perkotaan pun<br />
kasatmata. Lahan dalam skala<br />
luas dikuasai sekelompok orang,<br />
sementara kekurangan rumah<br />
di perkotaan lebih dari 10 juta<br />
unit, salah satunya karena mahalnya<br />
harga tanah. Tanah telah<br />
menjadi komoditas dan obyek<br />
spekulasi.<br />
Irwan Akbarsyah<br />
Suluh Indonesia terbit<br />
pertama kali di Jakarta pada<br />
tahun 1953, juga dikenal<br />
sebagai Sulindo, yang<br />
berhaluan ke Partai Nasional<br />
Indonesia (PNI), namun<br />
bukan merupakan organ<br />
resmi partai tersebut. Suluh<br />
Indonesia berhenti terbit<br />
Oktober 1965.<br />
Kini Koran Suluh<br />
Indonesia kembali diterbitkan<br />
dalam format baru. Koran<br />
Suluh Indonesia kini secara<br />
resmi juga tidak berafiliasi ke<br />
partai politik mana pun.<br />
Kehadiran Koran<br />
Suluh Indonesia kini lebih<br />
dimaksudkan sebagai bagian<br />
dari upaya memperkuat<br />
kembali nasionalisme<br />
bangsa Indonesia di tengah<br />
kecenderungan mengerasnya<br />
politik identitas di Tanah<br />
Air dalam beberapa tahun<br />
terakhir.<br />
Nasionalisme yang<br />
diusung Koran Suluh<br />
Indonesia bukanlah<br />
nasionalisme yang bercorak<br />
chauvinistis. Bukan pula<br />
nasionalisme yang dipasung<br />
dengan dalam kerangkeng<br />
politik praktis. Nasionalisme<br />
yang disuarakan Koran<br />
Suluh Indonesia adalah<br />
nasionalisme yang berpijak<br />
pada nilai-nilai luhur Pancasila<br />
untuk mempererat kesatuan<br />
bangsa.<br />
Itu sebabnya, moto<br />
atau tagline yang<br />
digunakan oleh Koran Suluh<br />
Indonesia kini pun tetap<br />
sama dengan yang digunakan<br />
ketika pertama kali terbit:<br />
Untuk Kesatuan Rakyat dan<br />
Bangsa.<br />
Koran Suluh Indonesia<br />
ISSN 2502-793X<br />
Pendiri/Pemimpin Umum<br />
Izedrik Emir Moeis<br />
Pemimpin Redaksi<br />
Imran Hasibuan<br />
Redaktur Pelaksana<br />
Purwadi Sadim<br />
Redaktur<br />
Irwan Akbarsyah<br />
Didit Sidharta<br />
Reporter<br />
Arif Setianto<br />
Yuyuk Sugarman<br />
Galuh Kirana Dewi<br />
Janfry Sihombing<br />
Kontributor<br />
Peter A. Rohi<br />
Nursatyo<br />
Didang Pradjasasmita<br />
Manajer Umum dan Distribusi<br />
Setyo Gunawan<br />
Staf Umum dan Distribusi<br />
Mukhsin<br />
Heriansyah<br />
Hendarto<br />
Rebo Edyanto<br />
Penerbit<br />
PT Sulindo Sejahtera Bersama<br />
Alamat Redaksi, Iklan, dan<br />
Promosi<br />
Jalan Ampera Raya Nomor 59,<br />
Jakarta Selatan 12560<br />
Telepon/Faksimile:<br />
(021) 782 43 45<br />
Website: <strong>sulindo</strong>media.com<br />
E-mail Redaksi:<br />
redaksi@<strong>sulindo</strong>media.com<br />
E-mail Iklan dan Promosi: bisnis@<br />
<strong>sulindo</strong>media.com<br />
Koran Suluh Indonesia 8 - 17 April 2016<br />
<strong>sulindo</strong>.com<br />
Sulindo 1.indd 3<br />
4/1/2016 1:02:53 pM