HUMAN TRAFFICKING: - Kementerian Riset dan Teknologi
HUMAN TRAFFICKING: - Kementerian Riset dan Teknologi
HUMAN TRAFFICKING: - Kementerian Riset dan Teknologi
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
LAPORAN AKHIR<br />
PROGRAM INSENTIF PENELITI DAN PEREKAYASA LIPI<br />
TAHUN 2010<br />
<strong>HUMAN</strong> <strong>TRAFFICKING</strong>:<br />
POLA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERPADU<br />
TERHADAPPERDAGANGANPEREMPUAN<br />
PENELITI PENGUSUL :<br />
Ora . DTP. Kusumawardhani, M.Si<br />
ANGGOTA:<br />
Drs. Ujud Tahajuddin, MBA<br />
Sihol Farida Tambunan, S.S. M.Hum<br />
JENIS INSENTIF : TERAPAN<br />
BIDANG FOKUS : DINAMIKA SOSIAL<br />
PUSAT PENELITIAN KEMASYARAKATAN DAN KEBUDAYAAN<br />
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA<br />
PMB- LIPI
<strong>HUMAN</strong> <strong>TRAFFICKING</strong>:<br />
Pola Pencegahan Dan Penanggulangan Terpadu<br />
Terhadap Perdagangan Perempuan<br />
(Laporan Penelitian Tahun II: Studi Kasus Pola Pencegahan Dan<br />
Penanggulangan Terpadu Terhadap Perdagangan Perempuan<br />
Di Propinsi jawa Barat) ·
penanganan human trafficking. Bahkan selama ini ada tujuh (7) provinsi<br />
yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, <strong>dan</strong><br />
Lampung yang tergabung dalam MPU (Mitra Praja Utama) yang telah<br />
melakukan koordinasi secara periodik setahun sekali. Namun jumlah<br />
provinsi yang telah beranjak sampai pada penandatanganan MoU yang<br />
lebih spesifik dalam bi<strong>dan</strong>g pemberdayaan perempuan baru 9 provinsi<br />
termasuk provinsi Jawa Barat Untuk dapat diimplementasikan MoU<br />
tersebut masih harus ditindaklanjuti dengan agreement atau perjanjian<br />
kerjasama yang lebih spesifik karena MoU tersebut sifatnya merupakan<br />
payung sajabahwa kesembilan provinsi tersebut memiliki komitmen yang<br />
sama terhadap pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban per<strong>dan</strong>gan<br />
perempuan. Oleh karena itu provinsi Jawa Barat se<strong>dan</strong>g membuat draft<br />
detail kerjasama tersebut <strong>dan</strong> dikomunikasikan denga provinsi yang telah<br />
menandatangani MoU tersebut.<br />
Dalam kaitan dengan kerjasama antar provinsi, pada tahun 2008<br />
pihak provinsi Kepulauan Riau pernah mengeluhkan tentang sulitnya<br />
melakukan koordinasi dengan provinsi Jawa Barat. Mereka menangkap<br />
kesan bahwa provinsi Jawa Barat cenderungan tidak mengakui<br />
banyaknya korban per<strong>dan</strong>gan perempuan yang berasal dari Jawa Barat.<br />
Provinsi Jawa Barat tidak mau berbagi anggaran untuk pencegahan <strong>dan</strong><br />
penanganan korban perdagangan perempuan, padahal sharing anggaran<br />
ini sangat krusial bagi provinsi Kepulauan Riau mengingat banyaknya<br />
jumlah korban yang harus ditangani. Praduga tersebut diakui benar oleh<br />
responden dari pemerintah provinsi Jawa Barat, karena pada saat belum<br />
ada anggaran khusus untuk penanganan masalah perdagangan<br />
perempuan. Namun sekarang sejak dibentuk BPPKB pada 1 Januari<br />
tahun 2009. pemerintah provinsi Jawa Barat sudah sangat proaktif dalam<br />
penanganan masalah per<strong>dan</strong>gan perempuan <strong>dan</strong> kerjasama dengan<br />
provinsi Kepulauan Riau pun sudah mulai berjalan dengan baik. Dalam<br />
kerjasama tersebut antara lain mengatur bahwa ketika pihak provinsi<br />
Jawa Barat melakukan penjemputan korban per<strong>dan</strong>gan perempuan yang<br />
berasal dari Jawa Barat, maka mulai saat penjemputan korban segala
iaya penanganan korban tersebut langsung ditanggung oleh APBD<br />
provinsi Jawa Barat karena APBD provinsi Kepulauan Riau yang tidak<br />
mungkin mencukupi untuk menanggung semua biaya penanganan korban<br />
yang jumlahnya ribuan.<br />
Di samping kerjasama dalam masalah penjemputan dengan daerah<br />
tujuan, provinsi Jawa Barat juga bekerja sama dengan provinsi-provinsi<br />
yang menandatangani MoU di dalam penyusunan data base. Hal ini<br />
dianggap penting agar jumlah orang yang menjadi korban per<strong>dan</strong>gan<br />
perempuan yang berasal dari Jawa Barat dapat diketahui secara akurat.<br />
Dalam penanganan per<strong>dan</strong>gan perempuan kerjasama juga perlu<br />
dilakukan di intra provinsi yang menjadi sending area, dalam artian baik<br />
kerjasama antara provinsi dengan kabupaten/kota maupun antara<br />
kabupaten/kota itu sendiri. Hal ini diperlukan karena penanganan korban<br />
oleh provinsi hanya sepuluh hari sehingga belum mampu melakukan<br />
perubahan mind set korban yang sangat krusial untuk mencegah korban<br />
tidak kembali lagi ke pekerjaan lama atau daerah tujuan. Untuk mengatasi<br />
persoalan tersebut perlu dilakukan kerjasama yang sinergis dengan<br />
kabupaten/kota agar setelah para korban dikembalikan ke tempat asalnya,<br />
kabupaten/kota melakukan pembinaan <strong>dan</strong> monitoring lanjutannya. agar<br />
mereka tidak mengulangi perbuatannya kembali ke daerah tujuan.<br />
Penanganan per<strong>dan</strong>gan perempuan di Jawa Barat sudah<br />
dimasukkan ke dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka<br />
Menengah Daerah) Provinsi Jawa Barat 2008 - 2013. Oleh karena itu<br />
dinas - dinas yang terkait berkewajiban menganggarkan kegiatan<br />
penanganan per<strong>dan</strong>gan perempuan yang menjadi tanggung jawabnya.<br />
Namun dalam masalah anggaran ini masih ada persoalan yang cukup<br />
mendasar karena sistem penganggaran untuk kegiatan penanganan<br />
human trafficking pada instansi terkait hanya mengacu pada tupoksi<br />
instansi. lmplikasinya, karena ada ego sektoral maka prioritas alokasi<br />
anggaran pun cenderung dialokasikan pada core competence instansi<br />
yang bersangkutan. Konsekuensinya anggaran kegiatan penanganan<br />
iii
per<strong>dan</strong>gan perempuan relatif kecil <strong>dan</strong> tersebar di berbagai instansi, tidak<br />
fokus, <strong>dan</strong> kegiatannya antara satu instansi dengan instansi lainnya tidak<br />
sinergistik.<br />
Untuk efektivitas penanganan perdagangan perempuan dibutuhkan<br />
komitmen bersama pada semua leveL Dengan telah dibentuknya BPPKB<br />
<strong>dan</strong> Gugus Tugas secara kelembagaan menunjukkan sudah a<strong>dan</strong>ya<br />
komitmen terhadap penanganan masalah per<strong>dan</strong>gan perempuan. Namun<br />
bila dilihat dari sisi anggarannya, besaran anggaran yang dialokasikan<br />
dapat dikatakan belum memadai sehingga belum mengindikasikan<br />
a<strong>dan</strong>ya komitmen yang kuat untuk penanggulangan masalah per<strong>dan</strong>gan<br />
perempuan. Oleh karena itu perlu upaya ekstra untuk membangun<br />
komitrnen tersebut Dalam konteks hubungan kelembagaan antara<br />
provinsi dengan kabupaten/kota diperlukan a<strong>dan</strong>ya sinergi yang harmonis,<br />
baik dalam sisi peraturan perun<strong>dan</strong>gannya maupun kegiatan programnya.<br />
Untuk itu perlu dibuat MoU antara provinsi dengan kabupaten/kota agar<br />
ada pembagian tugas yang jelas antara provinsi <strong>dan</strong> kabupaten/kota.<br />
Dalam konteks koordinasi antar anggota Gugus Tugas tampak<br />
masih menghadapi kendala karena koordinasi yang dilakukan BPPKB<br />
tidak berangkat dari satu konsep perencanaan yang jelas yang menjadi<br />
payung besar dalam penanganan per<strong>dan</strong>gan perempuan. Oleh karena itu<br />
BPPKB harus memiliki program yang jelas agar semua program yang<br />
dirancang <strong>dan</strong> dianggarkan di seluruh instansi terkait berjalan sinergis <strong>dan</strong><br />
harmonis, serta tidak bersifat sektoral.<br />
Kelemahan dalam penanganan per<strong>dan</strong>gan perempuan ini bukan<br />
terletak pada regulasi melainkan pada tataran implementasi. Oleh karena<br />
itu yang sangat krusial dilakukan adalah membangun kerja sama di antara<br />
berbagai stakeholders dari tingkat pusat sampai daerah.<br />
Langkah yang diambil korban per<strong>dan</strong>gan perempuan ketika mereka<br />
berangkat dari desanya merupakan rational choice. Sebenarnya ketika<br />
membuat keputusan mereka telah mendapatkan berbagai informasi terkait
pekerjaannya sehingga banyak dari mereka yang telah mengetahui resiko<br />
yang akan dihadapinya.<br />
Mengacu pada berbagai penyebab per<strong>dan</strong>gan perempuan, yang<br />
menjadi penyebab utama terjadinya trafficking terletak pada bi<strong>dan</strong>g<br />
pendidikan. Karena kondisi ekonomi keluarga korban unmumnya sangat<br />
miskin sehingga tidak memungkinkan untuk menyekolahkan anaknya<br />
pada pendidikan formal lanjutan. Oleh karena itu yang penting dalam<br />
upaya pencegahan per<strong>dan</strong>gan perempuan ini adalah memberi<br />
pengetahuan yang memadai kepada masyarakat di desa-desa agar<br />
mereka mampu mengambil keputusan yang tepat untuk keluarga. Selain<br />
itu dibutuhkan dukungan atau komitmen dari masing-masing kepala<br />
daerah karena akan mer.entukan dalam keberhasilan penanganan<br />
per<strong>dan</strong>gan perempuan ini.<br />
Selama ini pengawasan dari orang tua, tokoh masyarakat, tokoh<br />
pendidikan, tokoh agama <strong>dan</strong> sebagainya tidak mampu menahan<br />
terjadinya pergeseran nilai karena yang menjadi faktor pendorong utama<br />
yang memicu mereka mau bekerja ke luar daerah adalah kemiskinan.<br />
Oleh karena itu salah satu solusi yang perlu dikembangkan adalah usaha<br />
ekonomi pedesaan yang mampu memberikan peluang ekonomi bagi<br />
mereka.<br />
Berdasar pada berbagai temuan di atas maka pada kegiatan akhir<br />
dari kegiatan penelitian Tahun kedua ini, dihasilkannya Alternatif Model<br />
Pencegahan <strong>dan</strong> Penanggulangan Terpadu Terhadap Perdagangan<br />
Perempuan, yang sebelumnya lebih berbasis sektoral/ Departemental<br />
(sekarang <strong>Kementerian</strong>) menjadi Model yang berbasis prosesual (fokus<br />
pada Pra-TPPO, Saat terjadinya TPPO <strong>dan</strong> Purna-TPPO). Dengan<br />
demikian, penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan konsep strategi<br />
implementatif untuk pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan<br />
perempuan yang terkoordinasi <strong>dan</strong> terintegrasi sehingga efisien <strong>dan</strong><br />
efektif.
KATA PENGANTAR<br />
Dalam skala dunia, masalah "perdagangan perempuan" merupakan<br />
masalah yang cukup besar karena jangkauannya global <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya<br />
variasi sosial budaya yang turut berpengaruh di dalam kejahatan<br />
trafficking. Oleh karena itu korban perdagangan manusia relatif sulit untuk<br />
dipantau. Dalam upaya lebih memahami "human trafficking" ini maka<br />
diperlukan suatu penelitian yang komprehensif dengan pilihan metodologi<br />
yang kreatif <strong>dan</strong> akurat.<br />
Penelitian Tahun 2010 ini adalah penelitian Tahap II yang bertujuan<br />
untuk memformulasikan konsep strategi implementatif untuk pencegahan<br />
<strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan perempuan yang terkoordinasi <strong>dan</strong><br />
terintegrasi sehingga efisien <strong>dan</strong> efektif. Dengan demikian, penelitian ini<br />
diharapkan dapat memberikan rekomendasi solusi bagi pengambil<br />
kebijakan dalam melakukan pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan tindak<br />
pi<strong>dan</strong>a perdagangan perempuan, sebagai suatu masalah sosial yang<br />
sangat penting mendapatkan prioritas perhatian.<br />
Mengacu pada tujuan <strong>dan</strong> manfaat penelitian yang diharapkan ini<br />
maka tidak dapat dipungkiti bahwa melalui kegiatan penelitian ini, Tim<br />
Peneliti telah melakukan suatu terobosan yang harus dihargai dalam<br />
rangka ikut serta berpartisipasi sebagai aktor intelektual dalam<br />
menciptakan upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanganan perdagangan<br />
perempuan yang lebih baik.<br />
Sebenarnya komitmen Pemerintah untuk melakukan pencegahan<br />
<strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan manusia khususnya perempuan <strong>dan</strong><br />
anak telah sangat kuat, <strong>dan</strong> larangan praktek perdagangan orang sudah
-<br />
diatur dalam produk hukum nasional. Dalam konteks itu Kementrian<br />
Pemberdayaan Perempuan ditunjuk sebagai leading sector dalam upaya<br />
pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan manusia. Dalam<br />
operasionalnya, Kementrian ini membentuk Tim Gugus Tugas<br />
Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak (P3A) di masing<br />
masing daerah ataupun provinsi seluruh Indonesia, khususnya daerah<br />
sumber, daerah transit <strong>dan</strong> daerah perbatasan.<br />
Namun tampaknya pada tataran implementasi di lapangan, upaya<br />
pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan manusia tersebut masih<br />
belum dapat berjalan secara efektif karena a<strong>dan</strong>ya keterbatasan setiap<br />
institusi baik secara kewenangan dalam hukum atau keahlian profesional.<br />
Oleh karena itu model pencegahan <strong>dan</strong> penanganan perdagangan<br />
perempuan yang diusulkan oleh Tim Peneliti dalam buku ini adalah Model<br />
Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan Terpadu Perdagangan Perempuan yang<br />
Berbasis Prosesual (Pra-TPPO; Saat terjadinya TPPO <strong>dan</strong> Purna TPPO},<br />
sesuatu Model yang berbeda dengan apa yang selama ini telah dilakukan<br />
<strong>dan</strong> disebut oleh Tim Peneliti sebagai Model Pencegahan <strong>dan</strong><br />
Penanganan Perdagangan Perempuan yang Berbasis lnstitusional/<br />
Sektorat/ Departemental atau <strong>Kementerian</strong>.<br />
Terobosan yang dilakukan oleh Tim Peneliti ini sungguh patut<br />
dihargai. Namun demikian, sebagai aktor intelektual yang memanggul<br />
tanggung jawab akademis maka Tim Peneliti juga dituntut untuk<br />
melakukan Uji Coba atas temuan mereka sehingga lambat laun berbagai<br />
bentuk akurasi <strong>dan</strong> validitas Mode; Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan<br />
Perdagangan Perempuan yang diusulkan tersebut dapat menjadi Model<br />
yang patut untuk diperhitungkan untuk digunakan secara nasional.<br />
Hasil penelitian ini tentu saja tidak luput dari berbagai kekurangan.<br />
Untuk itu kami sangat menghagai bila mendapat masukan baik berupa<br />
saran maupun kritik terhadap isi buku ini. Akhir kata kami menghaturkan<br />
terimakasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi untuk<br />
kelancaran penelitian <strong>dan</strong> penulisan buku ini. Akhir kata, semoga Tim
Peneliti memiliki kesempat melakukan Penelitian Uji Coba sebagai salah<br />
satu rangkaian dari upaya memerangi perdagangan perempuan di negeri<br />
ini. Selamat membaca <strong>dan</strong> semoga bermanfaat.<br />
Jakarta, November 2010<br />
Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan<br />
Dan Kebudayaan - LIPI<br />
Ttd<br />
Drs. Abdul Rachman Patji, MA
APBD<br />
BAIS<br />
DAFTAR ISTILAH<br />
: Anggaran Pendapatan <strong>dan</strong> Belanja Daerah<br />
: Ba<strong>dan</strong> lntelijen Strategis<br />
BIN : Ba<strong>dan</strong> lntelijen Negara<br />
BNP2TKI : Ba<strong>dan</strong> Nasional Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja<br />
Indonesia<br />
BAP : Berita Acara Pemeriksaan<br />
BPPKB : Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan Keluarga berencana<br />
CEDAW : Convention on the Elementation of All Forms of Discrimination<br />
Against Women<br />
Depdagri : Departemen Dalam Negeri<br />
Disnaker : Dinas Tenaga Kerja<br />
Diknas : Pendidikan Nasional<br />
Depsos : Departemen Sosial<br />
DPD : Dewan Perwakilan daerah<br />
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah<br />
IOM : International Organization for Migration<br />
ILO<br />
In pres<br />
KAT<br />
KDRT<br />
KJRI<br />
: International Labour Organization<br />
: lnstruksi Presiden<br />
: Koalisi Anti Trafficking<br />
: Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />
: Konsulat Jenderal Republik Indonesia<br />
Keppres : Keputusan Presiden<br />
LSM/ NGO :Lembaga Swadaya Masyarakatl Non Government<br />
Organization<br />
Mabes Polri:Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia<br />
Menkokesra:Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat<br />
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia<br />
Perda<br />
Perpu<br />
PNS<br />
: Peraturan Daerah<br />
: Peraturan Pengganti Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />
: Pegawai Negeri Sipil
P4TKI<br />
PJTKI<br />
PPTKIS<br />
POA<br />
Polda<br />
Pokja<br />
PPA<br />
PPT<br />
: Pos Pelayanan Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja<br />
Indonesia<br />
: Pengerah Jasa T enaga Kerja Indonesia<br />
: Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, dulu PJTKI<br />
: Pengawasan Orang Asing<br />
: Kepolisian Daerah<br />
: Kelompok Kerja<br />
: Pelayanan Perempuan <strong>dan</strong> Anak<br />
: Pusat Pelayanan Terpadu<br />
Poltabes: : Kepolisian Kota Besar<br />
Prolegnas : Program Legislasi Nasional<br />
PT : Perseroan Terbatas<br />
PTPPO : Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />
RAN : Rencana Aksi Nasional<br />
RPK : Ruang Perawatan Khusus<br />
RAN-P3A : Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan<br />
Perempuan <strong>dan</strong> Anak<br />
RUU : Rancangan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />
Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja<br />
SKB : Surat Keputusan Bersama<br />
SOP/ SPM :Standard Operation Procedure<br />
SIPORA : Koordinasi Pengawasan Orang Asing<br />
SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah<br />
SF : Screening Form<br />
TKI : Tenaga Kerja Indonesia<br />
TPI : Tempat Pemeriksaan lmigrasi<br />
TKIB : Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah<br />
TKW : Tenaga Kerja Wanita<br />
UNHCR : United Nations High Commissioner for Refugess (Kantor<br />
Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi)<br />
UIB : Universitas lnternasional Batam<br />
YMKK : Yayasan Mitra Kesehatan Keluarga
DAFTARISI<br />
Halaman<br />
RINGKASAN ................................................................................................................................... i<br />
KA TA PENGANTAR .......................... ............................................................................... vi<br />
DAFT AR ISTILAH ................................... .................................................................................................. ix<br />
DAFT AR lSI ............................................................................................................................... xxi<br />
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1<br />
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................. 1<br />
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................................. 3<br />
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 5<br />
2.1. Kerangka Konsep ........................................................................................................ 5<br />
2.1.1. Perdagangan Perempuan ........................................................................ 5<br />
2.1.2. Perdagangan Perempuan: Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />
Orang Sebagai Kejahatan Kemanusiaan Yang Serius ................... 7<br />
2.1.3. Bentuk-Bentuk Perdagangan Perempuan ........................................ 8<br />
2.1.4. Perbedaan Perdagangan Orang Dan Penyelundupan<br />
Manusia ........................................................................................................ 10<br />
2.1.5. Pelaku Perdagangan Perempuan ...................................................... 12<br />
2.1.6. Korban Perdagangan Perempuan ..................................................... 13<br />
2.1.7. Pola Rekrutmen Dan Modus Operandi ........................................... 14<br />
2.1.8. Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Terpadu ................... 18<br />
2.2. Kerangka Teori ......................................................................................................... 19<br />
2.3. Kerangka Pikir .......................................................................................................... 30<br />
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT ....................................................................................... 32<br />
3.1. Tujuan .......................................................................................................................... 32<br />
3.2. Manfaat ........................................................................................................................ 32<br />
3.3. Asumsi.. ........................................................................................................................ 32<br />
BAB 4 METODOLOGI ........................................................................................................... 34<br />
4.1. Metode Pengumpulan Data ................................................................................. 34<br />
4.2. Penetapan Lokasi .................................................................................................... 35<br />
BAB 5 PROFIL KORBAN, PROFIL PELAKU DAN MODUS OPERANDI<br />
PERDAGANGAN PEREMPUAN ............................................................................. 36<br />
5.1. Daerah Asal: Jawa Barat ....................................................................................... 36<br />
5.1.1. Profil Pelaku ............................................................................................... 37<br />
5.1.2. Profil Korban ............................................................................................. 53<br />
5.1.3. Proses Rekrutmen <strong>dan</strong> Modus Operandi. ...................................... 57<br />
5.2. Daerah Transit: Batam .......................................................................................... 60<br />
5.2.1. Profil Pelaku ............................................................................................... 60<br />
5.2.2. Profil Korban ............................. ................................................................ 64<br />
5.2.3. Proses Rekrutmen Dan Modus Operandi. ...................................... 73<br />
xi
BAB 6 KERANGKA HUKUM DAN NON HUKUM DALAM UPAYA<br />
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PERDAGANGAN<br />
PEREMPUAN ............................................................................................................. 89<br />
6.1. Kerangka Hukum ..................................................................................................... 89<br />
6.2. Strategi-Strategi Non Hukum Yang Efektif Dalam Memerangi<br />
Perdagangan Man usia ........................................................................................ 116<br />
BAB 7 Implikasi Teoritis Dalam Pembenaran Pencegahan Dan<br />
Penanggulangan Perdagangan Perempuan ............................................... 120<br />
BAB 8 UPAYA PENANGANAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DI<br />
INDONESIA SAAT INI .......................................................................................... 132<br />
8.1. Upaya Penanganan di Daerah Asal (Jawa Barat) .................................... 132<br />
8.1.1. Penanganan oleh Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />
<strong>dan</strong> Keluarga Berencana Provinsi Jabar ...................................... 132<br />
8.1.2. Penanganan Trafficking oleh Dinas Sosial Propinsi Jawa<br />
Barat ........................................................................................................... 149<br />
8.1.3. Penanganan Trafficking oleh Dinas Pendidikan di<br />
Provinsi Jawa Barat. ............................................................................. 157<br />
8.1.4. Penanganan Trafficking oleh Biro Pengembangan Sosial<br />
Provinsi di Jawa Barat. ........................................................................ 160<br />
8.1.5. Penanganan Trafficking oleh Kantor Imigrasi Kelas I di<br />
Provinsi Jawa Barat. ............................................................................. 161<br />
8.1.6. Kabupaten Indramayu ........................................................................ 164<br />
8.1.7. Koordinasi Peran Bi<strong>dan</strong>g Terkait... ................................................ 189<br />
8.2. Upaya Penanganan di Daerah Transit: Batam .......................................... 205<br />
8.2.1. Penanganan Kepolisian ...................................................................... 205<br />
8.2.2. Penanganan Trafficking di Kejaksaan .......................................... 219<br />
8.2.3. Penanganan Trafficking Dalam Konteks Imigrasi ................... 220<br />
8.2.4. Penanganan Trafficking Oleh Pemerintah Propinsi<br />
Kepulauan Riau: Gugus Tugas ......................................................... 231<br />
8.2.5. Penanganan Trafficking Oleh Pemerintah Kota Batam ......... 236<br />
8.2.6. Partisipasi LSM dalam Penanganan Trafficking ....................... 246<br />
8.2.7. DPRD Kota Batam ................................................................................. 250<br />
8.2.8. Masalah Anggaran ................................................................................ 251<br />
8.2.9. Masalah Koordinasi Dalam Penanganan Trafficking ............. 254<br />
8.2.10. Keberadaan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21 Tahun 2007<br />
tentang Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />
Orang (TPPO) ......................................................................................... 264<br />
BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN<br />
PERDAGANGAN PEREMPUAN .......................................................................... 266<br />
9.1. Kelemahan Hukum Positif Dalam Upaya Pencegahan <strong>dan</strong><br />
Penanggulangan Perdagangan Perempuan ............................................... 266<br />
9.2. Praktek-Praktek Terbaik Internasional ...................................................... 282<br />
BAB 10 PENUTUP ................................................................................................................ 287<br />
10.1. Kesimpulan ............................................................................................................. 289<br />
10.2. Rekomendasi .......................................................................................................... 300<br />
10.3. Alur Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Solusi. ................................................. 302<br />
10.4. Usulan Model Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan TPPO ................................ 305<br />
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 310
1.1. Latar Belakang<br />
BAB 1<br />
PENDAHULUAN<br />
Perdagangan manusia, khususnya perempuan, dapat dikatakan<br />
sebagai salah satu kejahatan transnasional, karena sebagian kejahatan<br />
dilakukan dengan melibatkan jaringan kejahatan lintas negara.<br />
Sedemikian krusialnya masalah perdagangan manusia diperlihatkan oleh<br />
PBB melalui Kantor Komisi Hak Asasi Manusia (Office of High<br />
Commissioner of Human Rigths) yang mengeluarkan Fact Sheet No. 14,<br />
Contemporary Forms of Slavery yang ditujukan untuk penanggulangan<br />
perdagangan manusia.<br />
Terkait dengan perdagangan manusia tersebut Indonesia menjadi<br />
salah satu sasaran utama dari para trafficker. Menurut IPEC (suatu<br />
organisasi di bawah International Labor Organization) jumlah total pekerja<br />
seks di Indonesia diperkirakan mencapai 650.000 orang perempuan<br />
dalam usia anak-anak di Indonesia dipekerjakan sebagai pekerja seks<br />
komersial. Anak-anak perempuan tersebut banyak diperdagangkan <strong>dan</strong><br />
dipekerjakan di kota-kota besar seperti Jakarta <strong>dan</strong> Surabaya. Selain itu<br />
fLO-/PEG juga mencatat tempat-tempat tujuan perdagangan anak<br />
perempuan ini adalah Batam, Bali <strong>dan</strong> Me<strong>dan</strong>. Bahkan perdagangan anak<br />
perempuan ini juga dilakukan lintas negara seperti Taiwan, Singapura,<br />
Hongkong, Brunei <strong>dan</strong> lain-lain 1 . Sumber pasokan perdagangan anak<br />
perempuan lintas negara ini disinyalir paling banyak berasal dari<br />
lndonesia 2 .<br />
1 Kompas, 10 Oktober 2001.<br />
2 Suara Pembaharuan, 30 Mei 2001 .
Mengingat begitu seriusnya masalah perdagangan manus1a<br />
tersebut maka perlu dilakukan upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan<br />
perdagangan perempuan secara lebih efektif. Namun, berdasarkan hasil<br />
penelitian PMB-LIPI tahun 2009 dalam Penelitian Program lnsentif <strong>dan</strong><br />
Perekayasa LIPI-DIKTI yang berjudul "Human trafficking: Upaya<br />
Pencegahan <strong>dan</strong> Penanggulangan Terpadu Terhadap Perdagangan<br />
Perempuan, menunjukkan bahwa upaya pencegahan <strong>dan</strong><br />
penanggulangan terhadap perdagangan perempuan di daerah tujuan <strong>dan</strong><br />
atau transit belum terlaksana secara efektif, sehingga tindak<br />
perdagangan perempuan masih marak terjadi. Hasil penelitian tersebut<br />
memperlihatkan bahwa dalam menanggulangi perdagangan perempuan<br />
diperlukan suatu upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan terpadu antar<br />
institusi terkait, baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional.<br />
Terkait dengan hal di atas, PMB-LIPI tahun 2009 telah melakukan<br />
penelitian tentang human trafficking di daerah transit <strong>dan</strong> atau daerah<br />
tujuan. Dari penelitian tersebut diperoleh beberapa temuan sebagai<br />
berikut:<br />
•:• Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sudah memiliki komitmen lebih<br />
serius dalam penanganan trafficking dibandingkan dengan upaya<br />
upaya penanganan trafficking di daerah Indonesia lainnya. Hal ini<br />
diindikasikan dengan lkut aktifnya Pemerintah Provinsi melaksanakan<br />
apa yang sudah ada dalam Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 21 Tahun 2007;<br />
telah membuat Perda Nomor 12 Tahun 2007 untuk mendukung<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g nomor 21 Tahun 2007 di atas <strong>dan</strong> membuat tim<br />
khusus gugus tugas serta melakukan sosialisasi tentang human<br />
trafficking kepada masyarakat.<br />
•:• Sudah ada koordinasi yang relatif baik antara Pemerintah Daerah<br />
dengan Kepolisian, Kejaksaan, <strong>dan</strong> Lembaga Swadaya Masyarakat<br />
serta Perguruan Tinggi setempat.<br />
•:• Anggota DPRD tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang<br />
pentingnya penanganan masalah trafficking yang berimbas pada<br />
2
minimnya alokasi anggaran yang diberikan DPRD kepada pemerintah<br />
daerah.<br />
•!• Di dalam penanganan kasus trafficking Kepolisian di wilayah Polda<br />
Kepulauan Riau masih mengalami kesulitan, karena tidak<br />
memadainya instrumen hukum yang dapat digunakan untuk<br />
menangani kompleksitas kejahatan trafficking.<br />
•!• Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau <strong>dan</strong> Pemerintah Kota Batam<br />
menghadapi kendala dalam melakukan koordinasi lintas<br />
provinsi/daerah (dengan pemerintah provinsi/daerah) di daerah<br />
pengirim (sending area) karena perbedaan komitmen dalam<br />
menangani masalah trafficking.<br />
•!• Karena tidak kunjung menurunnya kasus trafficking di Provinsi<br />
Kepulauan Riau, maka ada indikasi mulai a<strong>dan</strong>ya penolakan dari<br />
masyarakat lokal terhadap segala bentuk bantuan <strong>dan</strong> upaya Pemda<br />
untuk menangani masalah trafficking sebagai akibat merasa<br />
terabaikannya kepentingan masyarakat lokal.<br />
•!• Pemberiakuan otonomi daerah mengakibatkan sulitnya koordinasi<br />
yang dilakukan oleh pemerintah pusat dengan daerah karena<br />
munculnya ego sektoral.<br />
Berdasarkan temuan di atas, maka masih diperlukan suatu<br />
penelitian lanjutan di tingkat nasional (pusat) <strong>dan</strong> di daerah pengirim<br />
(sending area) untuk mendalami berbagai upaya yang telah dilakukan<br />
institusi terkait. Dengan begitu dapat menemukenali faktor-faktor yang<br />
menjadi kendala dalam upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan masalah<br />
human trafficking secara terpadu. Dengan demikian dari hasil penelitian ini<br />
dapat diharapkan menghasilkan suatu formulasi implementatif untuk<br />
pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan perempuan yang lebih<br />
holistik <strong>dan</strong> terintegrasi sehingga efisien <strong>dan</strong> efektif.<br />
1.2. Perumusan Masalah<br />
Penelitian Human trafficking Tahun 2009 memperlihatkan bahwa<br />
dalam kaitan dengan trafficking, daerah tujuan <strong>dan</strong> atau transit hanya<br />
3
terimbas masalah, karena meskipun korban trafficking berangkat lewat<br />
daerah tersebut tetapi tidak pernah diberikan informasi mengenai<br />
keberangkatan mereka. Se<strong>dan</strong>gkan setelah mereka bermasalah, mereka<br />
dikembalikan lewat Pemerintah daerah tujuan atau transit. Untuk itu<br />
koordinasi lintas daerah menjadi penting untuk membangun kepastian<br />
mekanisme masalah pengiriman. Dengan demikian dapat dilakukan<br />
tindakan pencegahan, karena pihak daerah tujuan <strong>dan</strong> atau transit tidak<br />
hanya tahu ketika sudah ada kejadian korban, melainkan sudah<br />
mengetahui sebelumnya. Namun hal tersebut tidak mudah untuk<br />
dilaksanakan karena dengan a<strong>dan</strong>ya otonomi daerah berimplikasi pada<br />
munculnya ego daerah. lmplikasinya, upaya pencegahan <strong>dan</strong><br />
penanggulangan perdagangan perempuan belum terlaksana dengan baik<br />
karena belum berjalan secara terpadu, khususnya belum ada keterpaduan<br />
dalam skala nasional <strong>dan</strong> regional.<br />
Berdasarkan permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian<br />
yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :<br />
1. Upaya-upaya apa yang telah dilakukan oleh instansi terkait dalam<br />
melakukan pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan secara terpadu<br />
terhadap perdagangan perempuan?<br />
2. Kendala apa saja yang dihadapi oleh instansi terkait dalam<br />
melakukan pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan secara terpadu<br />
terhadap perdagangan perempuan?<br />
3. Bagaimana mekanisme <strong>dan</strong> koordinasi intra-lintas-nasional antar<br />
instansi terkait dalam melakukan pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan<br />
secara terpadu terhadap perdagangan perempuan?<br />
4. Bagaimana pola pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan secara terpadu<br />
terhadap perdagangan perempuan yang efisien <strong>dan</strong> efektif?<br />
4
-<br />
2.1. Kerangka Konsep<br />
BAB2<br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
2.1.1. Perdagangan Perempuan<br />
Definisi perdagangan orang mengalami perkembangan sampai<br />
ditetapkannya Protocol to Provent, Suppres and Punish Trafficking in<br />
Perons Especially Women and Children Suplemeting the United Nation<br />
Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000. Dalam<br />
protokol tersebut yang dimaksud dengan perdagangan orang adalah:<br />
(a).... The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of<br />
person, by means oh threat or use of force or other for more coercion,<br />
of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a<br />
position of vulneralibility or a person having control over another<br />
person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a<br />
minimum, the exploitation of the prostitution of others or other form of<br />
sexual explanation, forced labour services, slavery or practices similar<br />
to slavery, servitude or forced labour services, slavery or practices<br />
similar to slavery, servitude or the removal of organs.<br />
(Terjemahan bebas: " ... rekrutmen, transportasi, pemindahan,<br />
penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau<br />
penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan,<br />
pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan<br />
kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/ pemberian<br />
bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang<br />
yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi yang<br />
minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk<br />
eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan<br />
atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi illegal atau<br />
pengambilan organ-organ tubuh").
"Perdagangan perempuan (<strong>dan</strong> anak)" menurut Koalisi Anti<br />
Trafficking, didefinisikan sebagai pergerakan (manusia) lintas batas,<br />
mengandung konotasi pemaksaan, penipuan, <strong>dan</strong> perdagangan manusia.<br />
Menurut Departemen Luar Negeri AS, Trafficking, khususnya "perempuan<br />
(<strong>dan</strong> anak perempuan)" untuk keperluan prostitusi <strong>dan</strong> kerja paksa,<br />
merupakan salah satu dari kegiatan kriminal internasional yang<br />
berkembang sang at cepat. 3<br />
"Perdagangan perempuan" mengandung arti sebagai pergerakan<br />
manusia meninggalkan daerah asalnya secara terpaksa (karena ada<br />
ancaman) maupun tidak (dengan penipuan melalui iming-iming pekerjaan)<br />
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat eksploitatif, menekan<br />
<strong>dan</strong> menindas secara psikologis, fisik, seksual maupun ekonomi di tempat<br />
tujuan. Pelakunya meraup keuntungan luar biasa dari kegiatan ini,<br />
sementara korbannya mengalami penderitaan luar biasa <strong>dan</strong> tak jarang<br />
hidupnya berakhir secara tragis. Secara singkat, "perdagangan<br />
perempuan" adalah perdagangan manusia lintas batas di dalam maupun<br />
di luar negeri, termasuk penyelundupan manusia ke luar lintas batas<br />
negara.<br />
Para aktivis pembela buruh migran memasukkan persoalan buruh<br />
mig ran sebagai bag ian dari persoalan "perdagangan perempuan", karen a<br />
pola rekrutmen calon tenaga kerja yang berlangsung di Indonesia selama<br />
ini sampai pemberangkatan <strong>dan</strong> perlakuan di tempat tujuan mengandung<br />
semua unsur "perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak". 4<br />
3 Kompas Cyber Media, Kamis, 27 September 2001, "Trafficking" Kegiatan Kriminal, download 12<br />
Agustus 2005 pukul 08.00.<br />
4 Kompas Cyber Media, Sabtu, 2 Maret 2002 Nancy Ely-Raphel : Kami Tidak Bisa Bekerja Sendiri,<br />
download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />
6
2.1.2. Perdagangan Perempuan: Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />
Orang Sebagai Kejahatan Kemanusiaan Yang Serius<br />
Pemberantasan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang sifatnya sangat<br />
mendesak, hal ini disebabkan beberapa alasan berikut 5 :<br />
1. Perdagangan Orang dianggap sebagai "industri paling menguntungkan"<br />
dibanding dengan kejahatan terorganisir lainnya, seperti trafficking of<br />
drug and arms. Hal ini menyangkut manusia yang diperlakukan sebagai<br />
"komoditi yang bisa didaur ulang." Artinya, korban dieksploitasi, disiksa<br />
<strong>dan</strong> diperlakukan tidak manusiawi berulangkali untuk meningkatkan<br />
keuntungan pelaku. Tidak seperti narkoba yang sekali pakai habis.<br />
Dalam kasus eksploitasi prostitusi, korban bahkan dieksploitasi sejak<br />
berumur 15 tahun <strong>dan</strong> kemuian dicampakkan begitu saja setelah<br />
ianggap tidak mempunyai nilai jual (dikarenakan faktor usia atau<br />
menderita penyakit). Dalam kasus yang lain, pembantu rumah tangga<br />
bisa dijual ke puluhan majikan selama bertahun-tahun.<br />
2. Perdagangan Orang adalah "modern day slavery," artinya pelaku<br />
memangsa pihak yang berada dalam posisi rentan yang lemah secara<br />
ekonomi, fisik maupun emosional. Pelaku menggunakan cara-cara<br />
modern untuk memperlakukan manusia layaknya budak. TKW yang<br />
bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga dipaksa bekerja<br />
tanpa istirahat <strong>dan</strong> tanpa imbalan, dirampas paspornya sebagai cara<br />
untuk mengikat kebebasan bergerak korban <strong>dan</strong> ditempatkan dalam<br />
kondisi yang tidak manusiawi (tidur di lantai, sanitasi yang buruk <strong>dan</strong><br />
sebagainya).<br />
3. Perdagangan Orang adalah bentuk "Pelanggaran Hak Asasi Manusia".<br />
Korban tidak diberikan hak dasarnya sebagai manusia, seperti hak<br />
untuk bebas bergerak, hak atas standar hidup yang layak termasuk<br />
cukup pangan, san<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> pagan, hak atas tingkat hidup untuk<br />
kesehatan <strong>dan</strong> kesejahteraan diri.<br />
5 International Organization for Migration (2008), Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21 Tahun 2007 Tentang<br />
Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang dalam Pedoman Penegakan Hukum <strong>dan</strong><br />
Perlindungan Korban Dalam Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang, hal. 18.<br />
7
-<br />
4. Perdagangan Orang adalah "Kejahatan yang terorganisir dilakukan baik<br />
dengan cara-cara konvensional melaui bujuk rayu para sponsor<br />
(perekrut tenaga kerja di tingkat desa) sampai cara-cara yang modern,<br />
misalnya melalui iklan-iklan di meia cetak atau elektronik. Pelaku<br />
mengorganisir kejahatan dengan membangun jaringan dari daerah/<br />
negara asal korban sampai ke daerah/ negara tujuan. Jaringan Pelaku<br />
memanfaatkan kondisi <strong>dan</strong> praktek sosial di daerah/ negara asal<br />
korban untuk menjerat korbannya. Kebiasaan 'ngenger' atau merantau,<br />
ketidaksetaraan jender, kemiskinan, gays hidup konsumtif <strong>dan</strong> bencana<br />
alam sering digunakan pelaku untuk menjerat korban keluar dari situasi<br />
tersebut <strong>dan</strong> dengan kekuasaan yang dimilikinya, pelaku mengimingi<br />
imingi korban dengan janji-janji muluk <strong>dan</strong> kemudian memeras korban<br />
baik secara fisik maupun seksual.<br />
Negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan<br />
terhadap warga negaranya agar tidak menjadi korban atau dirugikan dari<br />
perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, kesadaran<br />
bersama seluruh penyelenggara negara, masyarakat <strong>dan</strong> aparat penegak<br />
hukum, untuk peduli terhadap orang yang menderita, terlanggar haknya,<br />
atau menjadi korban dari perbuatan sewenang-wewenang <strong>dan</strong> tidak<br />
manusiawi dari orang lain merupakan keharusan.<br />
2.1.3. Bentuk-Bentuk Perdagangan Perempuan<br />
Ada berbagai bentuk dari perdagangan orang termasuk<br />
perdagangan perempuan, di antaranya adalah sebagai berikut:<br />
1. Buruh migran, baik di dalam maupun di luar negeri yang tanpa<br />
perlindungan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak orang,<br />
termasuk anak di bawah umur, bermigrasi tanpa sepengetahuan<br />
Departemen Tenaga Kerja, melalui jalur informal atau melanggar<br />
hukum, sehingga meningkatkan jumlah buruh migran secara signifikan.<br />
Buruh migran di eksploitasi sepanjang proses migrasi mulai dari<br />
perekrutan hingga proses pra-keberangkatan, selama bekerja <strong>dan</strong><br />
setelah kembali.<br />
8
-<br />
-<br />
2. Pekerja/ Pembantu Rumah Tangga (PRT). PRT kerap menghadapi<br />
bahaya besar karena sifat pekerjaan mereka yang bertempat di rumah<br />
pribadi <strong>dan</strong> tertutup dari sorotan masyarakat umum. Sering terdengar<br />
laporan mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikan.<br />
Ruang gerak PRT biasanya dibatasi. Mereka dibatasi kemana mereka<br />
mau pergi, <strong>dan</strong> biasanya mereka dikurung dirumah ketika majikan<br />
mereka pergi. Karena PRT masuk dalam sektor informal, profesi ini<br />
seringkali tidak iatur oleh pemerintah <strong>dan</strong> berada di luar jangkauan<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Ketenagakerjaan Nasional.<br />
3. Perempuan atau anak yang dipekerjakan sebagai pelacur.<br />
Perekrutan untuk industri seks komersial sering berkedok perekrutan<br />
untuk dijadikan buruh migran. Banyak perempuan-perempuan yang<br />
telah menyerahkan sejumlah uang kepada perekrut untuk mencarikan<br />
mereka pekerjaan di luar negeri atau di luar daerah, <strong>dan</strong> tidak<br />
mengetahui dari bentuk yang sebenarnya dari pekerjaan mereka<br />
sampai di tempat tujuan. Pelaku perdagangan memalsukan dokumen<br />
mereka, <strong>dan</strong> mereka tidak berani mengadu kepada pihak yang<br />
berwenang karena takut akan dideportasi <strong>dan</strong> sebagainya. Perekrut<br />
mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasan agar para<br />
perempuan tidak berani melarikan diri. Korban juga disekap secara<br />
paksa <strong>dan</strong> dijaga secara ketat. Perempuan-perempuan yang semuta<br />
direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pegawai restoran<br />
atau untuk pekerjaan di sektor hiburan kemuian dipaksa untuk bekerja<br />
dalam industri seks komersial.<br />
4. Kerja Paksa. Orang yang melakukan kerja yang bukan kehendak<br />
sendiri <strong>dan</strong> tanpa memperoleh imbalan yang tayak atau tanpa<br />
memperoleh imbatan sama sekali.<br />
5. Pengantin pesanan. Ada kecenderungan yang marak di kalangan laki<br />
laki dari negara industri untuk mencari pengantin dari negara<br />
berkembang atau sering disebut dengan pengantin pesanan seperti<br />
Taiwan, Hongkong, Jepang, Gina, Australia, Amerika Utara <strong>dan</strong> Eropa.<br />
Kebanyakan perempuan yang banyak dipesan berasal dari Asia<br />
9
Tenggara, Eropa Timur <strong>dan</strong> Amerika Latin. Miskipun banyak kasus<br />
pengantin pesanan yang sukses <strong>dan</strong> bahagia, namun di sisi lain banyak<br />
terjadi kasus penganiayaan <strong>dan</strong> kekerasan fisik atau praktek-praktek<br />
serupa perbudakan. Di mana seorang istri dibeli semata untuk<br />
melakukan pekerjaan PRT <strong>dan</strong> memberikan layanan seks.<br />
6. Pedofilia. Orientasi seksual yang obyeknya anak-anak. Orang<br />
dikatakan pedofil atau melakukan praktek pedofil bila melakukan<br />
hubungan seksual seperti sodomi, menyentuh, meraba, memainkan<br />
alat kelamin, berfantasi tentang anak-anak kecil. Beberapa aktifitas<br />
pedofilia yang masuk dalam kategori perdagangan anak, biasanya<br />
menjauhkan anak-anak dari orang tua maupun lingkungan keluarga<br />
dengan tujuan tertentu seperti eksploitasi seksual.<br />
7. Tenaga Penghibur. Orang yang bekerja di tempat hiburan malam yang<br />
menemani pengunjung sehingga pengunjung merasa terhibur. Banyak<br />
kasus terjadi di mana perempuan yang direkrut menjadi tenaga<br />
penghibur mengalami pelecehan seksual <strong>dan</strong> ancaman bila tidak mau<br />
melayani para pengunjung.<br />
8. Pengemis <strong>dan</strong> anak jalanan. Banyak kasus yang terjadi di Indonesia<br />
di mana anak-anak direkrut, diculik untuk dijadikan pengemis <strong>dan</strong> anak<br />
jalanan (anak yang bekerja di jalan).<br />
2.1.4. Perbedaan Perdagangan Orang Dan Penyelundupan<br />
Man usia<br />
Pengertian Penyelundupan Manusia dapat ditemukan dalam<br />
Protokol PBB Melawan Penyelundupan Manusia melalui Darat, Laut <strong>dan</strong><br />
Udara, yang merupakan suplemen dari Konvensi Kejahatan<br />
Transnasional. 6 Disebutkan bahwa:<br />
"Penyelundupan Manusia" berarti segala usaha mendapatkan,<br />
memperoleh, secara langsung maupun tidak langsung, keuntungan<br />
6 Indonesia pada tanggal 17 Pebruari 2009 telah meratifikasi Protokol PBB Melawan<br />
Penyelundupan Manusia melalui Darat, Laut <strong>dan</strong> Udara yang merupakan suplemen dari<br />
Konvensi Kejahatan Transnasional.<br />
10
-<br />
-<br />
finansial maupun material, dari memasukkan seseorang secara ilegal<br />
ke suatu negara di mana orang tersebut bukan merupakan warga<br />
negara atau penduduk tetapnya."<br />
"Masuk secara ilegal" berarti melintasi batas negara tanpa mematuhi<br />
peraturan yang berlaku untuk masuk secara legal ke dalam Negara<br />
tujuan."<br />
yaitu:<br />
Jika disimpulkan, ada tiga komponen Penyelundupan Manusia,<br />
1. Aktivitas, pengangkutan atau pemindahan orang melintasi batas<br />
negara<br />
2. Cara, berdasarkan keinginan pribadi, biasanya pendatang ilegal<br />
tersebut yang mengontak pelaku penyelundupan manusia untuk<br />
mencapai tujuannya<br />
3. Tujuan, untuk keuntungan pribadi pelaku dengan cara melintas secara<br />
ilegal ke negara tujuan<br />
Perdagangan Orang <strong>dan</strong> Penyelundupan Manusia sering<br />
disalahartikan sebagai sesuatu hal yang sama, padahal kedua-duanya<br />
sangat berbeda. Secara lebih jelas lihat tabel berikut:<br />
Tabel1.<br />
Perbedaan Perdagangan Orang <strong>dan</strong> Penyelundupan Manusia 7<br />
Peri hal Perdagangan Orang Penyelundupan Manusia<br />
Korban tidak menyadari akan Orang yang diselundupkan<br />
keseluruhan proses, atau apabila ia menyadari keseluruhan proses,<br />
Persetujuan menyadarinya, maka seringkali walaupun proses tersebut<br />
dikarenakan penipuan, atau melibatkan kondisi berbahaya <strong>dan</strong><br />
ancaman kekerasan sangat memprihatinkan.<br />
Eksploitasi korban. Eksploitasi dapat<br />
berlangsung sejak korban berada Berakhir di tempat tujuan sesuai<br />
Tujuan dalam penampungan <strong>dan</strong> terus dengan keinginan orang yang<br />
berlangsung hingga korban sampai diselundupkan.<br />
di tempat tujuan<br />
Lokus<br />
(wilayah)<br />
Bisa terjadi di luar wilayah negara,<br />
atau bisa juga terjadi di dalam suatu Kejahatan lintas batas negara<br />
wilayah negara<br />
7 International Organization for Migration (2008), Pendahuluan Tentang Pemberantasan Tindak<br />
Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang dalam Pedoman Penegakan Hukum <strong>dan</strong> Perlindungan Korban<br />
Dalam Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang, hal. 13.<br />
11
2.1.5. Pelaku Perdagangan Perempuan<br />
Menurut Rosenberg 8 , pelaku perdagangan orang (trafficker) adalah:<br />
1. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo<br />
calonya di daerah, manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP<br />
<strong>dan</strong> paspor serta secara illegal menyekap eaton pekerja migran di<br />
penampungan, <strong>dan</strong> menempatkan mereka dalam pekerjaan yang<br />
berbeda atau secara paksa memasukkan ke dalam industri seks.<br />
2. Agen atau calo-calo, bisa orang luar tetapi bisa juga seorang<br />
tetangga, ternan atau bahkan kepala desa, manakala dalam perekrutan<br />
mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan<br />
dokumen.<br />
3. Aparat pemerintah, manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen,<br />
membiarkan terjadinya pelanggaran <strong>dan</strong> memfasilitasi penyebrangan<br />
melintasi perbatasan secara illegal.<br />
4. Majikan, apabila menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif<br />
seperti: tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan<br />
fisik <strong>dan</strong> seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja<br />
dalam lilitan utang.<br />
5. Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar pasal 289, 296 <strong>dan</strong><br />
506 KHUP dapat ianggap melanggar hukum terlebih jika mereka<br />
memaksa perempuan bekerja di uar kemauannya, menjerat dalam<br />
Jibatan hutang, menyekap <strong>dan</strong> membatasi kebebasannya bergerak,<br />
tidak membayar gajinya, atau merekrut <strong>dan</strong> memperkerjakan anak (di<br />
bawah umur 18 tahun).<br />
6. Calo pernikahan, apabila pernikahan yang diaturnya telah<br />
mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa<br />
perbudakan <strong>dan</strong> eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan<br />
tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.<br />
7. Orang tua <strong>dan</strong> sanak saudara, apabila mereka secara sadar menjual<br />
anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan<br />
8 <strong>Kementerian</strong> Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di<br />
Indonesia Tahun 2004-2005.<br />
12
--<br />
di sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima<br />
pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak<br />
mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan<br />
dari anak mereka guna melunasi utangnya <strong>dan</strong> menjerat anaknya<br />
dalam libatan utang.<br />
8. Suami. Jika ia menikahi perempuan tetapi kemuian mengirim isterinya<br />
ke tempat lain untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi,<br />
menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan<br />
prostitusi.<br />
Sementara itu, dari sisi peranannya, pelaku dalam perdagangan<br />
orang (trafficking) dibedakan ke dalam 3 (tiga) unsur, sebagai berikut:<br />
1. Pihak yang berperan pada awal perdagangan;<br />
2. Pihak yang menyediakan atau menjual orang yang diperdagangkan;<br />
3. Pihak yang berperan pada akhir rantai perdagangan sebagai penerima/<br />
pembeli orang yang diperdagangkan atau sebagai pihak yang menahan<br />
korban untuk dipekerjakan secara paksa <strong>dan</strong> yang mendapatkan<br />
keuritungan dari kerja itu.<br />
2.1.6. Korban Perdagangan Perempuan<br />
Menurut "The Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of<br />
Crime and Abuse of Power", PBS (1985), yang dimaksud dengan korban<br />
(victim) adalah orang-orang yang secara individual atau kolektif, telah<br />
mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik, mental, emosi,<br />
kerugian ekonomis atau pengurangan subtansial hak-hak asasi, melalui<br />
perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran (omissions) yang<br />
melanggar hukum. 10<br />
Sementara itu, pengertian Karban dalam UU Penghapusan Tindak<br />
Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang (TPPO), BAS I pasal 1 angka 3 adalah:<br />
"seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual,<br />
9 Pigay, N. 2005. Migrasi <strong>dan</strong> penyelundupan manusia. http://www.nakertrans.go.id<br />
(27 /3/2007).<br />
10 Arif Gorsita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hal. 46.<br />
13
ekonomi, <strong>dan</strong>/ atau sosial, yang iakibatkan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan<br />
orang". Selain itu, UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi <strong>dan</strong><br />
Karban memberi pengertian korban sebagai seseorang yang mengalami<br />
penderitaan fisik, mental, <strong>dan</strong>/atau kerugian ekonomi yang iakibatkan oleh<br />
suatu tindak pi<strong>dan</strong>a.<br />
Meski KUHAP tidak mendefinisikan 'korban' secara tegas, namun<br />
di dalamnya memuat sejumlah ketentuan berkaitan dengan posisi pihak<br />
yang dirugikan (pihak ketiga yang berkepentingan). lstilah "pihak yang<br />
dirugikan" dimaksudkan sebagai pihak korban yang telah mengajukan<br />
penggabungan gugatan ganti rugi perdata ke dalam perkara pemeriksaan<br />
tindak pi<strong>dan</strong>a sesuai dengan ketentuan pasal 98-101 KUHAP. 11<br />
2.1.7. Pola Rekrutmen Dan Modus Operandi<br />
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons<br />
Especially Women and Children Suplementing the United Nation<br />
Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000,<br />
menyebutkan bahwa pola rekrutmen adalah salah satu unsur dari<br />
perdagangan orang. Disebutkan dalam protokol tersebut bahwa kegiatan<br />
perekrutan dapat saja menggunakan ancaman atau penggunaan<br />
kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan,<br />
penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi<br />
rentan, ataupun penerimaan/ pemberian bayaran, atau manfaat sehingga<br />
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang<br />
tersebut untuk dieksploitasi.<br />
Definisi ini diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak<br />
di bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa 12 :<br />
11 /nternationa/ Organization for Migration (2008), Pedoman Untuk Perlindungan Saksi/Korban<br />
Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang dalam Pedoman Penegakan Hukum <strong>dan</strong> Perlindungan<br />
Korban Dalam Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang, hal. 34.<br />
12 Harkristuti Harkrisnowo, 2003. laporan Perdagangan Manusia di Indonesia. Sentra HAM<br />
Universitas Indonesia, Jakarta.<br />
14
The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child<br />
for the purpose of exploitation shall be considered "trafficking in<br />
persons" even if this does not involve any of the means set forth in<br />
subparagraph (a).<br />
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari<br />
perdagangan orang, adalah 13 :<br />
1. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan<br />
atau menerima.<br />
2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan<br />
paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan,<br />
kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau<br />
pemberian/ penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk<br />
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas<br />
korban.<br />
3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi<br />
seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan<br />
organ tubuh.<br />
Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur<br />
tujuan, karena kendati korban anak-anak tidak dibatasi masalah<br />
penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi.<br />
Selain itu, secara umum, modus operandi sindikat perdagangan<br />
perempuan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu 14 :<br />
1. Dengan ancaman <strong>dan</strong> pemaksaan. Biasanya dilakukan oleh trafficker<br />
13 1bid.<br />
14 1bid.<br />
yang telah dikenal dekat dengan pelaku. Dalam hal tersebut pelaku<br />
menggunakan kedekatannya <strong>dan</strong> kedudukannya yang lebih superioritas<br />
dibanding korban, sehingga membuat korban berada dalam tekanan<br />
<strong>dan</strong> kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak<br />
dapat menolak keinginan pelaku.<br />
15
2. Penculikan. Biasanya korban diculik secara paksa atau melalui<br />
hipnotis melalui anggota sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa<br />
terlebih dahulu oleh anggota sindikat sehingga menjadi semakin tidak<br />
berdaya.<br />
3. Penipuan, kecurangan atau kebohongan. Modus tersebut<br />
merupakan modus yang paling sering dilakukan oleh sindikat trafficking.<br />
Korban ditipu oleh anggota sindikat yang biasanya mengaku sebagai<br />
pencari tenaga kerja dengan menjanjikan gaji <strong>dan</strong> fasilitas yang<br />
menyenangkan sehingga korban tertarik untuk mengikuti tanpa<br />
mengetahui kondisi kerja yang akan dijalaninya.<br />
4. Penyalahgunaan kekuasaan. Dalam perdagangan perempuan banyak<br />
aparat yang menyelahgunakan kekuasaannnya untuk membacking<br />
sindikat perdagangan perempuan. Pemalsuan identitas kerapkali<br />
dilakukan oleh aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan<br />
pengurusan data diri. Seperti pemalsuan KTP <strong>dan</strong> akta kelahiran. Di<br />
bagian imigrasi juga sering terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai<br />
imigrasi sehingga perdagangan perempuan yang ditujukan ke luar<br />
negeri dapat melewati batas negara dengan aman.<br />
Modus operandi rekrutmen terhadap kelompok rentan biasanya<br />
dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan <strong>dan</strong> kemewahan,<br />
menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan<br />
wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari,<br />
menculik, menyekap atau memerkosa. Modus lain berkedok mencari<br />
tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bi<strong>dan</strong>g<br />
jasa di luar negeri dengan upah besar. lbu-ibu hamil yang kesulitan biaya<br />
untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan hutang<br />
supaya anaknya boleh diadopsi agar dapat hidup lebih baik, namun<br />
kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur<br />
dibujuk agar berseia melayani para pedofil dengan memberikan barang<br />
barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.<br />
16
-<br />
Modus operandi kejahatan ini semakin kompeks dalam bentuk<br />
bentuknya maupun teknis operasionalnya, baik dilakukan secara<br />
perorangan, kelompok, maupun bersindikat. Sebagai gambaran, banyak<br />
anak perempuan Indonesia yang terperangkap di hotel-hotel di Tawau,<br />
Sabah, Malaysia, yang dipaksa untuk menjadi pekerja seks komersial<br />
(PSK). Beberapa modus operandi dalam serangkaian kegiatan yang<br />
diarahkan untuk perdagangan orang, sehingga bentuk perdagangan<br />
perempuan <strong>dan</strong> anak dapat dikelompokkan, antara lain 15 :<br />
1. Menjadikannya sebagai pembantu rumah tangga, akibat <strong>dan</strong> krisis<br />
ekonomi.<br />
2. Menjadikannya sebagai komoditas seksual (dilacurkan) <strong>dan</strong><br />
pomografi.<br />
3. Menjadikannya sebagai tenaga perahan untuk pekerjaan-pekerjaan<br />
dalam kurungan, perbudakan, budak paksa atau tenaga kerja paksa<br />
antara lain: pekerja anak untuk, jermal, perkebunan.<br />
4. Menjadikannya sebagai pengemis, pengamen atau pekerjaan jalanan<br />
lainnya.<br />
5. Adopsi palsu <strong>dan</strong>/ atau penjualan bayi, yang seringkali ditemukan di<br />
daerah konflik atau daerah miskin.<br />
6. Menjadikannya sebagai isteri melalui pengantin pesanan (Mail Order<br />
Bride) yang kemudian dieksploitasi.<br />
7. Menjadikannya sebagai alat untuk melakukan perdagangan narkotika<br />
8. Dipekerjakan di perkebunan <strong>dan</strong> pabrik-pabrik atau tenaga kasar<br />
dengan upah sangat murah.<br />
9. Menjadikannya sebagai obyeklsasaran eksploitasi seksual oleh orang<br />
yang mengidap pedofilia, atau orang-orang yang mempunyai<br />
kepercayaan tertentu yang hanya mau melakukan hubungan seksual<br />
dengan anak-anak.<br />
10. Menjadikannya sebagai obyek percobaan di bi<strong>dan</strong>g ilmu pengetahuan<br />
atau obyek pencangkokan organ tubuh.<br />
15 Pigay, N. 2005. Opcit.<br />
17
11. Menjadikannya sebagai komoditi dalam pengiriman tenaga kerja<br />
imigran.<br />
12. Menjadikannya sebagai alat bayar hutang.<br />
13. Bentuk <strong>dan</strong> motif-motif lain yang hampir serupa dengan beberapa di<br />
atas.<br />
Modus operandi tersebut, bisa saja terjadi dengan melibatkan<br />
pihak-pihak mulai dari keluarga, kawan, calo, penyalur tenaga kerja<br />
(agen), oknum aparat, sindikat serta pengguna. Kejahatan ini juga<br />
merupakan kejahatan terorganisir <strong>dan</strong> terencana. Sebagai contoh,<br />
seorang anak perempuan d! lndramayu sudah dipersiapkan sejak kecil<br />
yang nantinya dapat diperdagangkan menjadi pelacur. Atau agen di desa<br />
sengaja menjebak keluarga miskin yang mempunyai anak perempuan<br />
untuk berhutang dengan bunga yang tinggi sehingga tidak dapat<br />
membayar, akhirnya menyerahkan anak perempuannya. Jebakan hutang<br />
ini tidak saja dilakukan di pedesaan, tapi juga terjadi di daerah-daerah<br />
miskin lainnya. 16<br />
2.1.8. Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Terpadu<br />
Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk<br />
tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya<br />
penanganan yang komprehensif <strong>dan</strong> terpadu. Tidak hanya dibutuhkan<br />
pengetahuan <strong>dan</strong> keahlian profesional, namun juga pengumpulan <strong>dan</strong><br />
pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama aparat<br />
penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan<br />
pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian<br />
terkait) <strong>dan</strong> lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun<br />
internasional. Semua pihak bisa saling bertukar informasi <strong>dan</strong> keahlian<br />
profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing <strong>dan</strong> kode etik instansi.<br />
16 Farid, Muhammad. 2000. Perdagangan ("trafficking") anak <strong>dan</strong> perempuan : masalah definisi.<br />
Yogyakarta.<br />
18
Beberapa alasan mengapa perlunya kerjasama di antara semua<br />
pihak yang bergerak di dalam pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan<br />
perdagangan orang, khususnya perempuan , antara lain a<strong>dan</strong>ya<br />
keterbatasan setiap institusi, baik secara kewenangan dalam hukum atau<br />
keahlian profesional, dibutuhkannya penanganan kasus secara<br />
komprehensif <strong>dan</strong> terpadu bagi pencegahan <strong>dan</strong> penanganan<br />
perdagangan perempuan yang memang memiliki karakteristik yang<br />
kompleks (misalnya kejahatan lintas wilayah, lintas negara) sehingga<br />
membutuhkan penanganan yang tidak biasa (extraordinary). Oleh karena<br />
itu kebutuhan akan kerjasama tidak dapat dihindari. Kerjasama ini pada<br />
dasarnya juga bertujuan untuk memberikan kembali hak-hak korban yang<br />
direnggut dalam kasus perdagangan perempuan.<br />
Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan kasus<br />
<strong>dan</strong> perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya<br />
pencegahan <strong>dan</strong> penaggulangan perdagangan perempuan secara<br />
terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan<br />
hak atas perlindungan dalam hukum.<br />
Dalam konteks penyidikan <strong>dan</strong> penuntutan, aparat penegak hukum<br />
dapat memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama aparat<br />
penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah negara, untuk bertukar<br />
informasi <strong>dan</strong> melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan aparat<br />
penegak hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran<br />
informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance, bagi pencegahan<br />
<strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara.<br />
2.2. Kerangka Teori<br />
Kejahatan perdagangan perempuan merupakan kejahatan yang<br />
terorganisir, di mana para pelaku kejahatan mempunyai peran yang<br />
berbeda satu dengan yang lainnya, disamping itu kejahatan "perdagangan<br />
perempuan" cakupannya mencapai luar negara. Ada beberapa hal yang<br />
perlu diyakini untuk sebuah jenis kejahatan terorganisir, yaitu:<br />
1. Bersifat global <strong>dan</strong> transnasional<br />
19
Againts Transnational Organized Crime pada tahun 2000, ditegaskan<br />
bahwa yang dimaksudkan dengan organized ciminal group merupakan 20 :<br />
" ... A structured group of three or more person, exiting for period of time<br />
and acting in concert with the aim of commiting one or more serious<br />
crime of offtence estabilished in accor<strong>dan</strong>ce with this Convention, in<br />
order to obtain, directly or indirectly a financial or other material<br />
benefit ... "<br />
(Terjemahan bebas: "Sebuah kelompok yang terstruktur terdiri dari<br />
(tiga) orang atau lebih, <strong>dan</strong> ada untuk suatu periode waktu tertentu,<br />
bertindak bersama-sama dengan tujuan melakukan satu atau berbagai<br />
bentuk kejahatan atau pelanggaran yang serius yang ditetapkan oleh<br />
konvensi ini, dengan maksud untuk mendapatkan secara langsung<br />
maupun tidak, keuntungan finansial atau materi lainnya").<br />
Dua bentuk kejahatan yang mendapat prioritas dalam konvensi ini<br />
adalah korupsi <strong>dan</strong> money laundering. Namun selain kedua kejahatan di<br />
atas, dapat dicatat berbagai kejahatan yang umumnya dilakukan dalam<br />
rangka transnational organized crime, seperti 21 :<br />
1. Penyelundupan migran (Migrant Smuggling)<br />
2. Pemutihan uang (Money Laundering)<br />
3. Perdagangan manusia (Human trafficking)<br />
4. Memproduksi <strong>dan</strong> memperjualbelikan senjata api secara ilegal (Licit<br />
Production & Trafficking in Fire Arm)<br />
5. Penipuan melalui kartu kredit (Credit Card Fraunds)<br />
6. Kejahatan yang berkenaan dengan perbankan (Bank-related Crimes)<br />
7. Perdagangan narkotika <strong>dan</strong> psikotripika serta obat terlarang lainnya<br />
(Drug Trafficking), <strong>dan</strong><br />
8. Pelacuran serta pornografi (Prostitution and Phomography)<br />
Menurut Bunbongkarm, kejahatan transnasional adalah bentuk<br />
kejahatan yang harus memiliki elemen-elemen sebagai berikuf 2 :<br />
20 Ibid.<br />
21 Philips Jusario Vermonte, Transnational Organized Crime: lsu <strong>dan</strong> Permasalahannya. ANALISA<br />
CSIS, Tahun XXXI/2002, No. 1., hal. 45.<br />
22 1bid.<br />
21
1. Lintas batas, baik yang dilakukan oleh orang (penjahat, kriminal<br />
buronan atau mereka yang se<strong>dan</strong>g melakukan kejahatan, atau korban)<br />
seperti dalam kasus penyelundupan manusia.<br />
2. Pengakuan internasional terhadap sebuah bentuk kejahatan. Pada<br />
tataran nasional, sesuai prinsip nul/urn crime, nul/urn peona since lege<br />
(tidak ada serangan, tidak ada saksi apabila tidak ada hukumnya).<br />
Kejahatan "perdagangan perempuan" tidak terjadi secara spontan,<br />
tetapi melalui berbagai pertimbangan yang matang oleh para pelaku,<br />
sehingga para pelaku mau melakukan perbuatan tersebut. Menurut Gary<br />
Becker, Rational Choice 23 adalah:<br />
"if the expected utility to him exceeds the utility he could get by using<br />
his time and other resources at other activity Some persons become<br />
'criminals', therefore, not because their basic motivation differs from that<br />
of other persons, but their benefit and cost differ".<br />
(Terjemahan bebas: "Rational Choice adalah jika manfaat yang<br />
diharapkan bagi dirinya melebihi manfaat yang ia dapat dengan<br />
menggunakan waktunya <strong>dan</strong> sumber-sumber lain pada kegiatan lain.<br />
Sebagian orang menjadi 'penjahat', bukan karen a motivasi dasar<br />
mereka berbeda dari motivasi dasar orang lain, tetapi yang berbeda<br />
adalah manfaat <strong>dan</strong> biayanya").<br />
Sebenarnya penggunaan Rational Choice Theory bagi penjelasan<br />
peran pertimbangan seseorang melakukan suatu kegiatan tidak saja<br />
berlaku bagi pelaku trafficking, namun Rational Choice Theory tersebut<br />
juga dapat menjelaskan mengapa korban potensial dapat terjebak dalam<br />
kegiatan perdagangan perempuan yang dialaminya. Memperkuat<br />
pernyataan tersebut kita dapat merujuk pendapat Heath, Carling <strong>dan</strong><br />
Coleman yang menjelaskan Rational Choice Theory dalam perannya<br />
menjelaskan pertimbangan-pertimbangan seseorang menentukan<br />
tindakannya, yakni:<br />
In rational choice theories, individuals are seen as motivated by the<br />
wants or goals that express their 'preferences'. They act within specific,<br />
given constraints and on the basis of the information that they have<br />
23 Cohen, Mark A. 1998. "Sentencing the Environmental Criminal." pp. 229 in Environmental<br />
Crime: Enforcement, Policy, and Social Responsibility. Gaithersburg, MD: Aspen Publications.<br />
22
about the conditions under which they are acting. At its simplest, the<br />
relationship between preferences and constraints can be seen in the<br />
purely technical terms of the relationship of a means to an end. As it is<br />
not possible for individuals to achieve all of the various things that they<br />
want, they must a/so make choices in relation to both their goals and<br />
the means for attaining these goals. Rational choice theories hold that<br />
individuals must anticipate the outcomes of alternative courses of action<br />
and calculate that which will be best for them. Rational individuals<br />
choose the alternative that is likely to give them the greatest<br />
satisfaction 24<br />
(Terjemahan bebas: "Di dalam teori pilihan rasional, individu dilihat<br />
sebagai orang yang termotivasi oleh tujuan atau keinginan yang<br />
mengekspresikan pilihan mereka. Mereka bertindak di dalam batasan<br />
spesifik, diberi <strong>dan</strong> atas dasar informasi yang mereka miliki tentang<br />
kondisi-kondisi di mana mereka se<strong>dan</strong>g bertindak. Pada kondisi yang<br />
paling sederhana, hubungan antara hambatan atau batasan <strong>dan</strong> pilihan<br />
dapat dilihat sebagai hal yang semata-mata teknis sifatnya,<br />
menyangkut hubungan dari suatu alat-alat bagi suatu akhir. Karena itu<br />
tidaklah mungkin bagi individu untuk mencapai semua hal-hal yang<br />
mereka inginkan. Mereka harus membuat aneka pilihan dalam<br />
hubungan dengan pencapaian tujuan mereka. Teori pilihan rasional<br />
berpendapat bahwa individu harus mengantisipasi hasil dari bermacam<br />
tindakan alternatif <strong>dan</strong> mengkalkulasi yang terbaik untuknya. lndividu<br />
secara rasional memilih alternatif yang mungkin dapat memberikan<br />
kepuasan yang terbesar bagi dirinya").<br />
Pengertian Kejahatan "perdagangan perempuan" menurut peneliti<br />
adalah merupakan kejahatan terorganisir di mana kejahatan<br />
"perdagangan perempuan" sudah melampui lintas batas suatu negara <strong>dan</strong><br />
peran para pelaku kejahatan terhadap perempuan mempunyai pembagian<br />
kerja sesuai dengan keahlian <strong>dan</strong> kemampuannya masing-masing. Modus<br />
operandi yang dilakukan para pelaku kejahatan "perdagangan<br />
perempuan" sangat beraneka ragam, dari mulai mengiming-iming<br />
kehidupan yang lebih baik menjadi pekerja rumah tangga, memalsukan<br />
surat perjalanan ke luar negeri, berkedok panti pijat, berkedok salon<br />
kecantikan atau rambut, berkedok sebagai duta seni Indonesia sebagai<br />
24 Heath, A. 1976. Rational Choice and Social Exchange. Cambridge: Cambridge University Press;<br />
Carling, A. 1992. Social Divisions. London: Verso; Coleman, J. 1973. The Mathematics of<br />
Collective Action. London: Heinemann.<br />
23
penyanyi <strong>dan</strong> penari, bekerja di restoran sampai dengan pernikahan<br />
dalam bentuk pengantin pesanan, semua modus operandi ini dengan<br />
menggunakan serangkaian kata-kata bohong/ janji-janji atau keadaan<br />
palsu yang dilakukan oleh para pelaku kepada para korban.<br />
Merujuk kembali pada asumsi bahwa kejahatan "perdagangan<br />
perempuan" tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui berbagai<br />
pertimbangan yang matang, baik oleh para pelaku maupun korban,<br />
sehingga para pelaku ataupun korban mau melakukan perbuatan<br />
tersebut, maka dalam memahami mengapa para pelaku <strong>dan</strong> korban mau<br />
melakukan kegiatannya dalam "perdagangan perempuan" tentunya harus<br />
diletakkan pada konteks perseptual tentang pilihan perilakunya secara<br />
spasial. Konteks spasial ini jelas akan menjadi lingkup terjadinya kegiatan<br />
"perdagangan perempuan". Peran spasial ini, lebih jelasnya, akan menjadi<br />
wadah dimungkinkannya kegiatan "perdagangan perempuan" dalam hal<br />
bertemunya pelaku potensial <strong>dan</strong> korban potensial, tersedianya tempat<br />
berlangsungnya proses "perdagangan perempuan" (tempat terdapatnya<br />
korban potensial <strong>dan</strong> tempat berlangsungnya rekrutmen, transportasi <strong>dan</strong><br />
transanksi).<br />
Adalah behavior-space perception yang kemudian menjadi salah<br />
satu faktor penentu seseorang mengambil keputusan dalam berperilaku<br />
secara spasial, seperti memunculkan kriteria jarak terdekat, meminimalisir<br />
waktu <strong>dan</strong> tenaga, meningkatkan estetika 25 • Persepsi perilaku-ruang<br />
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimiliki seseorang dalam konteks kultural<br />
yang terproses dengan mendasarkan diri pada kenyataan-kenyataan fisik<br />
yang telah tersaring ke dalam kenyataan-kenyataan sosial. 26 Seperti yang<br />
dapat disimak pada gambar 1. berikut ini:<br />
25 Ibid., hal. 33-34.<br />
26 Holloway <strong>dan</strong> Hubbard, op.cit. hal. 42-43.<br />
24
Gambar 1.<br />
Lingkungan Perilaku<br />
Figure 3.2 The behavioural environment<br />
Source: After Kirk 1963<br />
Sumber: Holloway <strong>dan</strong> Hubbard, p. 43.<br />
8:1 Values<br />
D Facts<br />
-Decision<br />
Perilaku "perdagangan perempuan" merupakan akibat dari evolusi<br />
dari masyarakat, di mana perilaku tersebut dapat mengakibatkan kerugian<br />
di pihak perempuan, baik secara fisik maupun psikis. Untuk menghambat<br />
atau menertibkan perilaku tersebut diperlukan suatu pranata hukum,<br />
sehingga perbuatan tersebut menjadi perilaku yang dilarang berdasarkan<br />
aturan hukum yang berlaku.<br />
Selain upaya represif, dibutuhkan juga upaya preventif dengan<br />
menggunakan metode pendekatan secara sosial (Sosia/ Crime<br />
Prevention) dalam upaya mencegah "perdagangan perempuan" seperti<br />
yang diungkapkan oleh M. Kemal Dermawan 27 , bahwa Social Crime<br />
Prevention adalah segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar<br />
penyebab kejahatan <strong>dan</strong> kesempatan individu untuk melakukan<br />
pelanggaran. Hal ini dapat dilakukan dengan sosialisasi atau pemberian<br />
27 Mohammad Kemal Dermawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Bandung : PT. Aditya Bakti,<br />
2000.<br />
25
•<br />
Kasus perdagangan orang seperti gunung es, banyak yang menjadi<br />
korban tetapi karena belum terlindunginya secara hukum, korban <strong>dan</strong> para<br />
saksi tidak berani melapor <strong>dan</strong> memberikan kesaksian. Perdagangan<br />
orang, khususnya perempuan dikategorikan sebagai kejahatan lintas<br />
negara. Berangkat dari realitas tersebut kita membutuhkan aturan<br />
(un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g) yang mempunyai keberpihakan terhadap korban <strong>dan</strong><br />
saksi. Pada akhirnya bangsa Indonesia mempunyai UU Nomor 21 Tahun<br />
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />
(PTPPO) yang disahkan di Jakarta Pada tanggal 19 April 2007 <strong>dan</strong><br />
diun<strong>dan</strong>gkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720.<br />
Namun paling tidak ada sedikit gambaran mengenai besarnya<br />
jumlah korban yang telah ada, antara lain: data dari International<br />
Organization On Migrant (10M) Indonesia melaporkan bahwa antara Maret<br />
2005 sampai Juli 2006 terdapat 1.231 WNI korban perdagangan orang<br />
yang telah berhasil diselamatkan, 89% adalah perempuan <strong>dan</strong> 11%<br />
adalah laki-laki. 77% korban adalah dewasa, 22% anak <strong>dan</strong> 1% bayi.<br />
Statistik penegakan kasus trafficking secara nasional tahun 2005 yang<br />
dihimpun 10M sebagai berikut:<br />
1. Ada 130 kasus dengan 198 orang pelaku pedagangan manusia yang<br />
telah diproses aparat hukum khususnya polisi. Dari kasus tersebut<br />
paling sedikit 715 orang telah menjadi korban.<br />
2. Penegakan hukum paling banyak terjadi di Kepulauan Seribu (27%),<br />
kemudian Sumut (15,5%) <strong>dan</strong> Jabar(12,5%).<br />
3. Dari data tersebut, 43% adalah kasus untuk trafficking pelacuran di<br />
dalam negeri, 13% untuk pelacuran keluar negeri, 12% untuk trafficking<br />
buruh migran <strong>dan</strong> 25 % untuk perdagangan bayi.<br />
Tindak perdagangan orang merupakan hal yang sangat kompleks,<br />
melibatkan banyak orang, banyak tempat, banyak cara, banyak tujuan,<br />
<strong>dan</strong> dapat terjadi di dalam negeri maupun lintas negara. Untuk<br />
membuktikan sebuah kasus kejahatan perdagangan orang dapat difahami<br />
dari ciri-cirinya, yaitu a<strong>dan</strong>ya perekrutan, pengangkutan, transfer,<br />
penyembunyian, <strong>dan</strong> penerimaan orang (bisa disebut komponen "proses"-<br />
26
nya) dengan ancaman, atau menggunakan kekerasan atau bentuk<br />
pemaksaan lainnya, penculikan , pemalsuan , penipuan , penyalahgunaan<br />
kekuasaan atau penyalahgunaan posisi rentan atau memberikan atau<br />
menerima pembayaran, atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari<br />
orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.<br />
Eksploitasi mencakup, paling tidak eksploitasi pelacuran dari orang<br />
lain, atau bentuk lain dari eksploitasi seksual , kerja atau pelayan paksa,<br />
perbudakan, atau pengambilan organ tubuh. Sudah banyak kasus terjadi<br />
bahwa kaum perempuanlah yang selalu menjadi korbannnya, hal yang<br />
paling menyedihkan dari kasus ini adalah proses pemulihan bagi para<br />
korban trafficking. Dan memang bukan hal yang mudah serta memerlukan<br />
waktu yang cukup panjang untuk pemulihannya. Pemulihan para korban<br />
tidak saja mempertimbangkan aspek-aspek fisik, tetapi juga perlu melihat<br />
psikis korban. Titik tekan dari letaknya korban trafficking sebagai subjek.<br />
Dengan pendekatan ini, korban kekerasan tidak saja mendapatkan<br />
penanganan pemulihan secara umum <strong>dan</strong> menjadi objek. Fenomena<br />
trafficking di Indonesia semakin mengerikan, terutama setelah krisis<br />
ekonomi <strong>dan</strong> bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia. Modus yang<br />
digunakanpun semakin kreatif, antara lain dengan menjadi: pembantu<br />
rumah tangga domestik maupun migran. Hanya undocumented, adopsi<br />
anak, penjualan bayi, pengemis yang terorganisir, pengedar narkoba,<br />
pekerja di tempat hiburan, target pengidap pedofilia, prostitusi, pengantin<br />
pesanan, penjualan organ tubuh, umroh <strong>dan</strong> pengiriman delegasi<br />
kebudayaan.<br />
Dalam memahami masalah perdagangan perempuan, penjelasan<br />
terjadinya aksi "perdagangan perempuan" dalam konteks interaksi antara<br />
pelaku <strong>dan</strong> korban menjadi sangat signifikan. Penjelasan dalam konteks<br />
ini dapat pula memahami peran perempuan dalam posisinya menjadi<br />
korban kejahatan. Dalam khasanah kriminologi, konteks bahasan ini<br />
dimasukkan dalam kategori pemahaman viktimisasi kriminal, yang dapat<br />
menjelasakan dalam posisi seperti apa perempuan sebagai korban juga<br />
27
mempunyai peranan penting untuk mendorong timbulnya atau terjadinya<br />
kejahatan, baik disadari atau tidak disadarinya.<br />
Seperti yang diungkapkan oleh Von Hentig dalam bukunya "The<br />
Criminal and His Victim" yang dikutip dari Arif Gosita: bahwa korban<br />
sangat berperan dalam hal timbulnya kejahatan, karena si korban tidak<br />
hanya menjadi sebab <strong>dan</strong> dasar proses terjadinya kriminalitas, tetapi juga<br />
memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran, <strong>dan</strong><br />
mengerti masalah kejahatan, delikuensi <strong>dan</strong> deviasi 28 .<br />
Berkaitan dengan korban kejahatan ini John A. Mack 29 menulis,<br />
bahwa ada tiga tipologi keadaan sosial di mana seseorang dapat menjadi<br />
korban kejahatan yaitu: (a) calon korban sama sekali tidak mengetahui<br />
akan terjadi kejahatan, ia sama sekali tidak ingin jadi korban bahkan<br />
selalu berjaga-jaga atau waspada terhadap kemungkinan terjadi<br />
kejahatan; (b) calon korban tidak ingin menjadi korban, tetapi tingkah laku<br />
korban atau gerak-geriknya seolah-olah menyetujui untuk menjadi korban;<br />
(c) calon korban tahu ada kemungkinan terjadi kejahatan, <strong>dan</strong> ia sendiri<br />
tidak ingin jadi korban tetapi tingkah laku seolah-olah menunjukkan<br />
persetujuannya untuk menjadi korban.<br />
Jadi dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pengaruh si<br />
korban menentukan timbulnya kejahatan sebagai manifestasi dari sikap<br />
<strong>dan</strong> tingkah laku korban sebelum saat <strong>dan</strong> sesudah kejadian. Oleh karena<br />
itu pihak korban dapat berperanan dalam keadaan sadar atau tidak sadar<br />
secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, secara<br />
aktif maupun pasif yang bergantung pada situasi <strong>dan</strong> kondisi sebelum<br />
saat <strong>dan</strong> sesudah kejadian berlangsung. Secara logika, tidak akan ada<br />
orang yang mau menjadi korban dari suatu kejahatan. Tetapi kondisi<br />
kondisi tertentu dapat menyebabkan calon korban ikut berperan serta<br />
sehingga terjadilah kejahatan <strong>dan</strong> dia sendiri yang menjadi korban.<br />
28 Arif Gosita: 2004; 63 . Op.cit.<br />
29 John A. Mack 1974; 130<br />
28
Sepintas orang tidak dapat melihat peranan korban dalam hal<br />
terjadinya kejahatan. Bahkan si korban sendiri seringkali tidak menyadari<br />
bahwa dirinyalah yang sebenarnya memegang peranan penting pada saat<br />
ia menjadi korban kajahatan. Demikian juga Von Hentig telah lama<br />
menulis bahwa ternyata pada korbanlah yang kerap kali merangsang<br />
untuk melakukan kejahatan, membuat seseorang menjadi penjahat.<br />
Peranan korban dalam mempermudah terjadinya kejahatan (dalam<br />
konteks penelitian adalah perdaganagan orang) juga dapat dijelaskan<br />
melalui teori"Pertukaran Sosial". Teori pertukaran sosial pada jaman yang<br />
lebih modern dimotori oleh pekerjaan para sarjana sosiologi antara lain<br />
seperti Homans <strong>dan</strong> Blau. Model yang muncul untuk menjelaskan teori<br />
pertukaran sosial (social exchange theory), pada dasarnya terdiri atas lima<br />
unsur utama yakni 30 :<br />
1. Perilaku diprediksi di atas pikiran yang rasional.<br />
2. Hubungan menjadi dasar dalam sistem imbalan balasan.<br />
3. Pertukaran sosial didasarkan pada prinsip keadilan.<br />
4. lndividu akan berupaya untuk memaksimalkan keuntungan mereka <strong>dan</strong><br />
meminimumkan biaya mereka dalam hubungan pertukaran hubungan.<br />
5. lndividu mengambil bagian dalam suatu hubungan berdasarkan suatu<br />
perasaan kemanfaatan lebih dari pada paksaan timbal balik.<br />
Sementara itu, teori pertukaran sosial (social exchange theory) juga<br />
menjelaskan motivasi individu dalam mengejar partisipasi dalam suatu<br />
aktivitas tertentu. Teori pertukaran sosial menjelaskan empat bangunan<br />
yang mempengaruhi seorang individu untuk mempertahankan<br />
keterlibatan, yakni 31 :<br />
1. Partisipan akan berupaya untuk memelihara keterlibatan mereka jika<br />
mereka secara berlanjut menerima kepuasan kebutuhannya yang<br />
mereka cari sejak awal <strong>dan</strong> berkembang melalui partisipasinya.<br />
30 Mohammad Kemal Dermawan (2009), Disertasi: Potensi Pemolisian Komunitas Pada<br />
Masyarakat Perkotaan: Suatu Kajian Dari Aspek Kapasitas, Prinsip-prinsip Demokrasi, <strong>dan</strong><br />
Pengawasan Sipil. Universitas Indonesia, Fakultas lmu Sosial <strong>dan</strong> llmu Politik, Program Studi<br />
Sosiologi, Depok.<br />
31 1bid<br />
29
2. Partisipan mencari pengalaman suatu perasaan imbalan balasan<br />
melalui keterlibatan mereka dalam pengejaran kepuasan <strong>dan</strong><br />
kemanfaatan, dengan demikian, mereka berupaya untuk menerima<br />
sesuatu untuk keterlibatan mereka yang kira-kira sepa<strong>dan</strong> dengan<br />
kontribusi mereka melalui aktivitas mereka.<br />
3. Peserta ingin memastikan bahwa mereka menerima imbalan yang<br />
layak untuk keterlibatan mereka dibandingkan dengan orang lain yang<br />
mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam kegiatan yang sama<br />
atau serupa.<br />
4. Peserta berupaya untuk meminimalisir biaya mereka sementara<br />
memaksimalkan imbalan mereka. Dengan begitu , berhenti<br />
berpartisipasi bisa dapat disebabkan oleh karena biaya finansial yang<br />
dikeluarkan tidak sebanding dengan imbalannya.<br />
Mengacu pada beberapa prinsip Teori "Pertukaran Sosial", di atas<br />
maka peran korban dalam pentas perdagangan manusia juga sangat<br />
signifikan. Para perempuan korban perdagangan perempuan bisa saja<br />
mengambil pilihan untuk masuk dalam pentas perdagangan perempuan<br />
ini dengan didasari oleh pikiran rasional <strong>dan</strong> kemanfaatan ekonomi.<br />
2.3. Kerangka Pikir<br />
Setelah Tim Peneliti menguraikan Kerangka Konsep <strong>dan</strong> Kerangka<br />
Teoritis yang digunakan dalam penelitian ini, maka pada bagian ini Tim<br />
Peneliti menampilkan Kerangka Pikir yang digunakan dalam penelitian ini,<br />
sebagai berikut:<br />
30
-<br />
Gambar 2.Diagram Kerangka Pikir<br />
Anak & Perempuan<br />
Transnasional- korporasi<br />
Kriminalisasi Proses<br />
yang bertujuan<br />
trafficking<br />
Kriminalisasi<br />
Pemalsuan ldentitas<br />
Kerjasama & Partisipasi<br />
Masyarakat<br />
31
3.1. Tujuan<br />
BAB3<br />
TUJUAN DAN MANFAAT<br />
Memformulasikan konsep strategi implementatif untuk pencegahan<br />
<strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan perempuan yang terkoordinasi <strong>dan</strong><br />
terintegrasi sehingga efisien <strong>dan</strong> efektif.<br />
3.2. Manfaat<br />
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi solusi<br />
bagi pengambil kebijakan dalam melakukan pencegahan <strong>dan</strong><br />
penanggulangan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan perempuan, sebagai suatu<br />
masalah sosial yang sangat penting mendapatkan prioritas perhatian<br />
3.3. Asumsi<br />
Koordinasi <strong>dan</strong> kerjasama di antara semua pihak yang bergerak<br />
dalam upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan perempuan<br />
sangat diperlukan.<br />
Keperluan membangun Koordinasi intra-lintas-nasional antar<br />
instansi, antara lain, karena (a) a<strong>dan</strong>ya keterbatasan setiap institusi baik<br />
secara kewenangan dalam hukum atau keahlian profesional, (b)<br />
dibutuhkannya penanganan kasus secara komprehensif <strong>dan</strong> terpadu bagi<br />
pencegahan <strong>dan</strong> penanganan perdagangan perempuan yang memang<br />
memiliki karakteristik yang kompleks (misalnya kejahatan lintas wilayah,<br />
lintas negara) sehingga membutuhkan penanganan yang tidak biasa<br />
(extraordinary).<br />
Terwujudnya Koordinasi intra-lintas-nasional antar instansi tersebut<br />
dimungkinkan jika ada dukungan kesediaan dari segenap pelaku
pencegahan <strong>dan</strong> penaggulangan perdagangan perempuan yang telah<br />
ada, dukungan legal, serta dukungan <strong>dan</strong> fasilitasi yang memadai.<br />
33
4.2.Penetapan Lokasi<br />
Penelitian ini direncanakan dilaksanakan dalam waktu 10 bulan,<br />
dengan menetapkan lokasi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih karena selama<br />
ini Jawa Barat merupakan sending area terbanyak kedua setelah<br />
Kalimantan Barat yang menjadi target koordinasi dari pemerintah kota<br />
Batam sebagai daerah transit <strong>dan</strong> atau tujuan kegiatan perdagangan<br />
perempuan.<br />
Gambar 3.SKENARIO PENELITIAN<br />
Faktor2 / Sebab2 Human<br />
Trafficking<br />
Kompleksitas<br />
Pencegahan <strong>dan</strong><br />
Penanggulangan<br />
Diperlukan<br />
Kerangka<br />
Koordinatif<br />
35
BABS<br />
PROFIL KORBAN, PROFIL PELAKU DAN MODUS<br />
OPERANDIPERDAGANGANPEREMPUAN<br />
5.1. Daerah Asal: Jawa Barat<br />
Perdagangan orang yang bersangkutan dengan perempuan<br />
biasanya terjadi pada pengiriman TKI legal maupun illegal <strong>dan</strong> pengiriman<br />
para wanita ke luar daerahnya untuk diperkerjakan sebagai PSK (Pekerja<br />
Seks Komersial). Pengiriman TKI legal maupun illegal menjadi<br />
permasalahan human trafficking pada saat para TKI perempuan tersebut<br />
tidak menerima gaji yang seharusnya atau menerima perlakuan kasar dari<br />
majikannya.Pengiriman PSK ke luar negeri atau luar daerahnya biasanya<br />
dijanjikan bekerja di area yang tak melanggar norma moral namun setelah<br />
tiba di tempat tujuan biasanya dipekerjakan sebagai PSK (pekerja seks<br />
Komersial) Usia para wanita calon PSK yang direkrut oleh pelaku human<br />
trafficking biasanya sekitar 17 sampai 35 tahun. Biasanya para wanita ini<br />
terpaksa mau menerima pekerjaan tersebut karena tak memiliki pekerjaan<br />
lain <strong>dan</strong> ingin hidup berkecukupan secara materi.<br />
Dibawah ini akan diuraikan kisah hidup (life story) dari beberapa<br />
orang pelaku human trafficking asal Jawa Barat yang saat ini telah di<br />
penjara di lapas laki-laki <strong>dan</strong> wanita Sukamiskin. Bandung. Mereka adalah<br />
orang-orang yang melakukan perekrutan (penjemputan) korban untuk<br />
dibawa ke daerah tujuan sebagai TKI illegal <strong>dan</strong> juga para mucikari yang<br />
merekrut para calon PSK (Pekerja Seks Komersial) maupun mucikari yang<br />
menampungnya di daerah tujuan untuk bekerja sebagai PSK. Uniknya<br />
untuk kasus pengiriman TKI illegal, beberapa dari para perekrut tenaga<br />
kerja tersebut tidak menyadari bahwa mereka melakukan perdagangan<br />
orang karena mereka hanya berniat membantu orang yang mencarikan
pekerjaan. Mereka tak menyadari bahwa mereka telah terlibat pekerjaan<br />
yang melanggar hukum. Pada saat di pengadilan semua dari pelaku<br />
human trafficking yang diwawancara menyatakan bahwa mereka tidak<br />
didampingi oleh pengacara karena ketidaktahuan <strong>dan</strong> tidak mempunyai<br />
uang untuk membayarnya.<br />
Adapun korban dari perdagangan orang atau human trafficking<br />
yang berupa tenaga kerja biasanya baru mengetahui dirinya menjadi<br />
korban setelah merasa dirinya dirugikan oleh pihak yang mengirimnya,<br />
yang kemudian melaporkan nasibnya kepada polisi. Padahal pada awal<br />
keberangkatan ke luar negeri atau kota biasanya mereka sudah tahu<br />
bahwa agen yang mengirimkan mereka biasanya merupakan perusahaan<br />
illegal.<br />
Berikut ini akan diuraikan kisah hidup (life story) dari beberapa<br />
pelaku <strong>dan</strong> korban human trafficking menjadi TKI illegal maupun menjadi<br />
PSK (Pekerja Seks Komersial) yang saat ini menjadi narapi<strong>dan</strong>a di<br />
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) wanita maupun laki-laki 'Sukamiskin'<br />
Bandung, Kelas lA.<br />
5.1.1. Profil Pelaku<br />
5.1.1.1. Kasus Pengiriman Pekerja Seks Komersial (PSK) asal<br />
Bandung ke Riau<br />
Ali Kurdi, 35 tahun (nama samaran), asal Banjaran, Jawa Barat,<br />
saat ini berada di penjara Sukamiskin Bandung sebagai narapi<strong>dan</strong>a<br />
dengan hukuman 5 tahun 4 bulan karena divonis sebagai pelaku human<br />
trafficking dengan korban bernama Eki (nama samaran). Sebelumnya ia<br />
dihukum di penjara Karawang di bersama Opon (nama samaran), salah<br />
seorang terdakwa lain kasus Eki, yang saat ini tetap berada di sana. Dia<br />
menjalani hukuman di penjara Sukamiskin, Bandung sudah dua tahun<br />
lebih. Ali Kurdi dengan pendidikan yang hanya smp <strong>dan</strong> pengetahuan<br />
yang minim, tidak menyadari bahwa penawaran pekerjaan yang<br />
ditawarkannya kepada Eki akan meyebabkan dia merasakan bagaimana<br />
37
dinginnya tembok penjara. Dia mengaku tidak mengerti apa itu human<br />
trafficking karena merasa bahwa dia hanya ingin menolong orang yaitu Eki<br />
untuk mencari pekerjaan.<br />
Sebelumnya Ali Kurdi bekerja di pabrik kertas Papirus di bagian<br />
gu<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> merupakan laki-laki yang cukup bahagia bersama ke dua<br />
orang anaknya <strong>dan</strong> istrinya yang tetap setia pa<strong>dan</strong>ya sampai saat ini. Ia<br />
seorang lak-laki yang berperawakan lumayan menarik dengan kulit putih<br />
<strong>dan</strong> perperangai lembut. Ba<strong>dan</strong>nya cukup atletis karena dia seorang<br />
olahragawan wushu. Temannya di perkumpulan wushu ini mempunyai<br />
adik bernama Lisa (nama samaran) yang saat ini juga menjadi nara<br />
pi<strong>dan</strong>a wanita di Sukamiskin dengan kasus yang sama dengan Ali Kurdi.<br />
Dari Lisalah Ali tahu bahwa ada pekerjaan untuk wanita untuk bekerja di<br />
cafe di Riau. Pada mulanya Ali menjawab bahwa dia tidak punya teman<br />
yang mau bekerja di luar pulau tersebut. Tetapi, inilah awal dari<br />
keterperosokannya ke penjara. Menurut pengakuannya ia menelpon Eki<br />
seorang janda adik temannya di pabrik kertas yang memang butuh<br />
pekerjaan. Eki ini adalah adik dari teman Ali di pabrik kertas.<br />
Ali <strong>dan</strong> Lisa juga punya teman yang bernama Neny alias ibu Dodi<br />
yang menurut Ali Kurdi merupakan seorang germo yang telah<br />
meberangkatkan sebanyak 20 orang untuk bekerja sebagai wanita<br />
penghibur ke luar kota Bandung seperti Riau. Nenylah yang menyediakan<br />
lowongan pekerjaan untuk bekerja di cafe di Riau tersebut <strong>dan</strong> kemudian<br />
mengantar sendiri para wanita tersebut kesana. Saat ini Neny atau ibu<br />
Dodi juga mendekam di penjara wanita Sukamiskin Bandung. Tidak lama<br />
kemudian menurut cerita Ali, ternyata Lisa bersama temannya Opon yang<br />
pada mulanya tidak mengenal Eki datang ke rumah Eki <strong>dan</strong> menawarkan<br />
pekerjan tersebut tanpa disertai oleh Ali. Pada mulanya Ali merasa bahwa<br />
dia hanyalah seorang saksi. Tetapi yang memberatkan adalah dia telah<br />
menerima uang 200.000 rupiah dari Lisa <strong>dan</strong> Opon teman Lisa, ke dua<br />
orng yang disuruh oleh Neny alias ibu Dodi sang germo untuk membagi<br />
bagi uang sebesar 500.000 rupiah. lbu korban Eki yang menyetujui<br />
anaknya bekerja sebagai . wan ita penghibur di Riau menerima 100.000<br />
38
upiah . Sisanya diterima oleh Lisa <strong>dan</strong> Opon yang masing-masing<br />
memperoleh uang sebesar 100.000 rupiah. Pad a saat Lisa <strong>dan</strong> Opon<br />
datang ke rumah Eka untuk memberikan uang tanda jadi kepada ibu Lisa<br />
agar anaknya berangkat ke Riau, Ali Kurdi tidak ikut serta.<br />
Eki dibawa oleh seorang mucikari bernama Nenen alias ibu Dodi ke<br />
Riau untuk bekerja di cafe di Riau . Eki tidak betah dengan pekerjaan<br />
tersebut <strong>dan</strong> menelpon ayahnya yang kemudian mengadukan perkara ini<br />
ke polisi. Tidak lama kemudian Ali ditahan <strong>dan</strong> divonis sebagai pelaku<br />
human trafficking <strong>dan</strong> saat ini ditahan di penjara Sukamiskin Bandung.<br />
Ali mengaku bahwa dia baru pertama kali melakukan pekerjaan ini.<br />
Ketidaktahuannya akan hukum menyebabkan dia tidak mengerti pada<br />
mulanya bahwa dia melanggar hukum karena dia hanya mencarikan<br />
pekerjaan bagi orang yang membutuhkan.<br />
Neny alias ibu Dodi (nama samaran), wanita, 48 tahun. Neny<br />
alias ibu Dodi asal Bale Endah Bandung merupakan seorang wanita<br />
dengan 3 orang anak yang berperawakan sangat sederhana, berba<strong>dan</strong><br />
gemuk <strong>dan</strong> murah senyum. Dia terlihat pasrah menjalani hukuman<br />
dipenjara wanita Sukamiskin walaupun menurut pengakuannya dia sudah<br />
bercerai dengan akibat kasus ini , dengan suaminya, mantan pegawai di<br />
sebuah lembaga keuangan. Ia terlibat kasus per<strong>dan</strong>gangan orang karena<br />
membawa korban Eki ke Riau dari Bandung untuk bekerja sebagai wanita<br />
penghibur. Dia disuruh oleh majikannya di Riau untuk menjemput wanita<br />
muda tersebut sewaktu ia bekerja sebagai juru masak pada sebuah cafe<br />
di propinsi tersebut. Menurut pengakuannya dia bukan wanita yang biasa<br />
melakukan hal tersebut kecuali pada Eki. Padahal Menurut keterangan Ali<br />
Kurdi terdakwa dengan kasus yang sama, Neny alias Dodi merupakan<br />
seorang germo yang telah membawa 20 orang wanita muda ke luar kota<br />
Bandung.<br />
Sebelum bekerja di Riau dia bekerja pada tahun 2004 sebagai kuli<br />
di sebuah rumah makan kecil milik seorang haji di Padalarang. Kemudian<br />
dia membuka warung kecil sendiri di Padalarang yang menawarkan bir-bir<br />
39
kepada para pembeli. Pada tahun 2008, saat ia mengerjakan warung<br />
kecilnya , saat itulah dia bertemu dengan seorang wanita benama lmel<br />
bernama wanita lmel yang menawarkannya bekerja sebagai juru masak<br />
di cafe miliknya di Riau. (Herannya mengapa /mel ini terlepas dari jerat<br />
hukum padahal dia ada/ah pemilik cafe tempat PSK yang dikirim dari<br />
Bandung bekerja?)<br />
Setelah 2 bulan bekerja di Riau sebagai juru masak dia dengan<br />
perintah dari bosnya, lmel ia pergi ke Bandung menjemput seorang<br />
wanita bernama Eki (nama samara) yang tentu saja ditawarkannya<br />
kepada lmel untuk dapat bekerja di cafe tersebut. Neny tahu akan<br />
pekerjaan apa yang akan ditemui oleh wanita yang bernama Eki, tersebut<br />
adalah menjadi wanita penghibur. Untuk pekerjaan tersebut dia<br />
memperoleh uang sebanyak 500.000 rupiah. Biaya keberangkatan semua<br />
ditanggung oleh bosnya. Dengan menggunakan bis dia membawa Eki<br />
sang korban ke Riau untuk bekerja sebagai wanita penghibur di cafe milik<br />
lmel di Riau.<br />
Neny mengetahui akan wanita bernama Eki tersebut dari<br />
temannya Ali Kurdi yang menelponnya untuk meberitahukan bahwa ada<br />
wanita yang sudah biasa biasa keluar rumah malam hari bernama Eki<br />
yang mau bekerja. Kalau wanita baik-baik tidak akan dipekerjakan oleh<br />
Neny atau ibu Dodi. lbu Ekipun sudah tahu bahwa anaknya akan bekerja<br />
menjadi pelacur di Riau.<br />
Walaupun Eki yang tidak begitu berparas cantik tidak sempat<br />
menjadi wanita penghibur pada sebuah cafe di Riau, setelah 2 minggu<br />
berada di sana dia menelpon ayahnya untuk dapat kembali ke Bandung.<br />
Kemudian ayah Eki melaporkan peristiwa ini ke polisi <strong>dan</strong> terungkaplah<br />
kasus yang dianggap sebagai kasus human trafficking ini dengan Neny<br />
alias ibu Dodi sebagai pelakunya dengan korban bernama Eki.<br />
Lisa, 30 tahun (Nama samaran). Lisa ibu rumah tangga satu anak<br />
pendidikanan terakhir SMA, termasuk wanita yang mengaku tidak<br />
mengerti kenapa dia tidak bisa masuk ke penjara Sukamiskin. Dia divonis<br />
40
6 tahun 6 bulan . bulan tuduhan melakukan kegiatan sebagai perantara<br />
kegiatan perdagangan manusia atau human trafficking dengan korban<br />
bernama Eki (nama samaran). Dia sudah 2 tahun 6 bulan dihukum<br />
sebagai narapi<strong>dan</strong>a <strong>dan</strong> menurutnya satu tahun lagi bisa keluar lapas<br />
karena ada program pemberian pemotongan hukuman bagi narapi<strong>dan</strong>a<br />
termasuk dirinya. Suaminya bekerja di toko bahan bangunan milik<br />
mertuanya sebenarnya menunjukkan bahwa kondisi ekonominya cukup<br />
baik. Pergaulannya dengan Ali Kurdi <strong>dan</strong> seorang waria bernama Oponlah<br />
yang memperkenalkan dia kepada Neny alias ibu Dodi yang<br />
memperkenalkan, Neni alias ibu Dodi <strong>dan</strong> seorang bernama Oponlah<br />
yang membuat dia terlibat dengan kasus perdagangan orang dengan<br />
korban bernama Eki (Nama samaran).<br />
Setelah mengetahui dari temannya Ali Kurdi bahwa ada wanita<br />
yang bernama Eki yang membutuhkan pekerjaan, dia pergi ke rumah Eki<br />
bersama Opon <strong>dan</strong> memberikan uang sebesar 100.000 rupiah kepada<br />
ibu Eki sebagai tanda setuju anaknya bekerja sebagi PSK di sebuah cafe<br />
di Riau. Uang itu berasal dari Neny alias ibu Dodi yang juga memberikan<br />
kepad Lisa <strong>dan</strong> Opik masing-masing 100.000 rupiah <strong>dan</strong> taman Lisa yang<br />
merupakan orang pertama yang menawarkan pekerjaan tersebut kepada<br />
Eka memperoleh 200.000 rupiah.<br />
Lisa tidak terlibat lagi dengan keberangkatan Eki ke Riau yang<br />
dibawa oleh Neny alias lbu Dodi. Kasus perdagangan orang ini terkuak<br />
karena ternyata setelah 2 minggu di Riau Eki tidak betah <strong>dan</strong> menelpon<br />
ayahnya agar bisa pulang ke Bandung. Ayah Eki kemudian melaporkan<br />
kasus anaknya ke Polda Riau agar bisa dipulangkan ke Bandung.<br />
Akhirnya terkuaklah kasus Eki ini sebagai kasus perdagangan orang<br />
dengan Lisa sebagai salah seorang tersangka pelaku. Dia tidak menduga<br />
sama sekali bahwa kegiatannya mencarikan pekerjaan kepada Eki akan<br />
membawa dia ke rumah Lapas sebagai nara pi<strong>dan</strong>a untuk beberapa tahun<br />
lamanya. Sebelumnya dia juga tidak mengerti apa itu human trafficking.<br />
Menurut Lisa dia disuruh polisi mengakui apa yang dituduhkan pa<strong>dan</strong>ya.<br />
41
Pada saat disi<strong>dan</strong>g dia tidak menggunakan pengacara karena tidak<br />
memiliki uang untuk membayarnya.<br />
5.1.1.2. Kasus PSK di Rumah Bordil "Moro Seneng" Pangkal Pinang,<br />
Belitung<br />
Siti Aisyah (Nama Samaran). Siti Aisyah seorang wanita berusia<br />
35 tahun asal Sume<strong>dan</strong>g yang telah menikah pada usia 15 tahun.<br />
Perawakannya gemuk <strong>dan</strong> berdada Iebar dengan gaya seronok.<br />
Suaminya bekerja pada perusahaan dealer motor.la terlibat kasus<br />
perdagangan orang karena dia merupakan orang yang mengirim 6 orang<br />
asal Jawa barat ke Pangkal Pinang Belitung untuk bekerja sebagai PSK di<br />
rumah bordil " Moro Seneng" milik Reni alias mami Chita (nama samaran)<br />
yang sekarang bersama Siti Aisyah menjadi penghuni penjara wanita<br />
Sukamiskin Bandung. Menurutnya, yang mengajaknya untuk ikut bisnis ini<br />
adalah ternan laki-lakinya Atar (nama samaran), yang saat ini berada di<br />
Penjara Kebon Waru Bandung <strong>dan</strong> juga Dede (nama samaran) salah<br />
seorang tersangka.<br />
Sebenarnya di Bandung Siti Aisyah pun sebelum tahun 2008<br />
bekerja sebagai germo yang disebut sebagi "mami" untuk wanita-wanita<br />
muda yang meminta mencarikan pekerjaan sebagai PSK kepa<strong>dan</strong>ya.<br />
Namun, pekerjaannya ini tidak dilakukannya pada tempat khusus seperti<br />
rumah bordil. Ia hanya melakukan pekerjaannya ini melalui tilpun atau<br />
handphone. Ia mengetahui bahwa pekerjaan ini tidak halal. Namun<br />
keinginannya untuk memiliki barang-barang mewah menyebabkan ia mau<br />
melakukannya. Dia merasa sering dihina orang karena miskin.<br />
Pekerjaannya sebagai germo membuat dia pernah mempunyai mobil yang<br />
saat ini sudah dijual <strong>dan</strong> warung yang sudah digerebek setelah polisi tahu<br />
dia seorang germo. Dia juga memiliki rumah dari pekerjaan sebagai PSK.<br />
Pekerjaan ini dilakukannya dengan para laki-laki, dapatnya dari seorang<br />
yang disebut sebagai papih yang merupakan germo laki-laki. Nomor HP<br />
Siti Aisyah sudah tersebar kemana-mana sehingga bisnis PSK nya bisa<br />
berjalan lancar. Dari setiap PSK yang mendapat pekerjaan darinya ia<br />
42
mendapatkan Rp. milik Mami Chita yang saat ini juga berada di penjara<br />
wanita Sukamiskin Bandung,50.000 rupiah yang dipotong dari honor PSK<br />
sebesar 200.000 rupiah per satu hidung belang yang dilayani oleh PSK<br />
tersebut. Usia para PSK itu menurut Siti Aisyah adalah sekitar 21-30<br />
tahun.<br />
Bukan bisnis PSKnya yang membawa dia ke penjara karena<br />
pekerjaan itu tidak terlalu banyak merugikan orang-orang sekitarnya<br />
termasuk tetangganya karena dia hanya melakukan pekerjaan itu melalui<br />
hand phone. Masalah baru datang kepa<strong>dan</strong>ya ketika seorang laki-laki<br />
bernama Ata memintanya memberikan pekerjaan kepada 6 orang wanita<br />
muda. Ke enam orang itu kemudian dibawa oleh Siti Aisyah ke Belitung<br />
untuk bekerja sebagai PSK di rumah Bordil Moro Seneng pada tahun<br />
2008 milik wanita yang berprofesi sebagai mucikari bernama Mami Chita<br />
yang saat ini juga dipenjara di Lapas wanita Sukamiskin bersamanya. Dia<br />
mendapat bayaran.2.000.000 rupiah per orang dari Mama Chita.<br />
Setelah ke 6 wanita muda itu bekerja di Rumah Bordil "Moro<br />
Seneng," Bangka Belitung ternyata ada keluarga dari salah seorang<br />
wanita yang bernama Korin melaporkan peristiwa itu ke Polda Jawa Barat.<br />
Tidak lama kemudian pihak kepolisian Jawa Barat berangkat ke Bangka<br />
Belitung untuk menjemput ke 6 wanita muda asal Bandung itu <strong>dan</strong><br />
mengembalikannya ke rumah keluarganya. Siti Aisyahpun ditangkap <strong>dan</strong><br />
dipenjara di Lapas Sukamiskin Bandung untuk menjalani hukumannya.<br />
Dia mengaku akan bertobat dari kegiatan sebagai mucikari setelah keluar<br />
dari penjara. Namun menurut keterangan mami Chita yang menjadi ternan<br />
bisnisnya, suaminya masih melanjutkan bisnis terlarangnya.<br />
Reni alias Mami Chita, Mucikari di Bangka Belitung. Reni alias<br />
Mami Chita Ghani, 41 tahun,ibu satu orang anak usia balita asal Baturaja,<br />
Palembang, mengaku bahwa dia tidak begitu mengerti kenapa dia<br />
dianggap sebagai pelaku human trafficking atau perdagangan manusia<br />
<strong>dan</strong> bukan sebagai mucikari. Rumah bordilnya di Pangkal Pinang Belitung<br />
dibangun di daerah Paritnam dengan nama "Moro Seneng." Sebelum<br />
43
sebagai mucikari wanita di Bangka Belitung wanita yang berpendidikan<br />
SMU itu bekerja sebagai kepala di bagian ekspedisi atau pergu<strong>dan</strong>gan di<br />
Bandara Soekarno Hatta. Setelah 5 tahun bekerja di sana dia berhenti<br />
bekerja karena suaminya pada saat itu cemburu kepa<strong>dan</strong>ya.<br />
Penghasilannya pada saat itu cukup lumayan karena dia bisa membeli<br />
angkot dari pekerjaannya. Menurutnya suaminya yang sudah bercerai<br />
dengannya merupakan seorang yang suka berjudi. Akhirnya bisnis<br />
angkotnya gagal <strong>dan</strong> dia kemudian membuka usaha sebagai agen<br />
makanan yang juga gagal.<br />
Pada saat dia bepergian ke propinsi Bangka Belitung dia tertarik<br />
untuk membuka usaha rumah bordil disana dengan alasan karena merasa<br />
dilecehkan orang yang mengatakan bahwa dia tidak mampu membuka<br />
usaha itu yang modalnya sekitar 15 juta rupiah. Dengan alasan karena<br />
keegoisan hati karena merasa dilecehkan dianggap tidak mampu oleh<br />
temannya tersebut dia bertekad membuka rumah bordil tersebut di<br />
Bangka Belitung. Sebelumnya dia sudah melamar di bagian pergu<strong>dan</strong>gan<br />
Tanjung Periuk <strong>dan</strong> diterima bekerja disana. Kemudian Kemudian dia<br />
meminta uang kepada kakaknya sebesar 15 juta dengan alasan untuk<br />
bekerja di pergu<strong>dan</strong>gan Tanjung Periuk tersebut. Ternyata uang itu<br />
dipakai untuk membuka usaha rumah bordil di Pangkal Pinang, Bangka<br />
Belitung.<br />
Para PSK (Pekerja Seks Komersial) yang diperkerjakan oleh Reni<br />
diperoleh dari orang-orang yang dipesankannya untuk mengirimkannya ke<br />
Bangka Belitung. Aisyah yang saat ini juga ditahan di penjara wanita<br />
Sukamiskin termasuk rekanannya. Menurut Reni dia hanya<br />
memperkerjakan anak buahnya sebgai PSK yang merupakan wanita di<br />
atas 20 tahun sampai 30 tahun atau 35 tahun. Reni atau Mami Chita<br />
ditangkap karena ada orang tua dari Korryn, salah seorang yang telah<br />
dipekerjakannya sebagai PSK di Bangka Belitung mengadukan anaknya<br />
ke Polda Jawa Barat. Dari keterangan BAP diketahui bhwa pada tahun<br />
2009 Reni atau mami Chita telah mempekerjakan 9 orang asal Jawa<br />
Barat di rumah bordilnya sebagai PSK. Para PSK itu dijanjikan akan<br />
44
memperoleh 5 juta rupiah pada saat direkrut oleh rekan kerja Mami Chita<br />
yaitu Siti Aisyah (nama samaran).<br />
Menurut Reni pada saat ia menelpon para PSK tersebut dia sudah<br />
memberitahukan jenis pekerjaan yang akan dihadapi mereka. Anak<br />
buahnya sudah pulang-pergi Bandung-Bangka Belitung. Oleh karena itu<br />
dia tidak begitu mengerti mengapa dia dituduh sebagai pelaku<br />
perdagangan orang <strong>dan</strong> bukan mucikari.<br />
Pada saat diadili Reni alias mami Chita tidak menggunakan<br />
pengacara seperti yang juga terjadi pada para pelaku perdagangan orang<br />
yang lain. Menurutnya dia sudah pernah memberikan uang kepada jaksa<br />
atas kasusnya tersebut.Tetapi jaksa tersebut tidak mengembalikan<br />
semua uang yang pernah diberikannya. Reni menyadari bahwa<br />
tindakannya mepekerjakan para wanita itu di rumah bordilnya merupakan<br />
perbuatan yang melanggar norma-norma. Tetapi keegoisan hatilah yang<br />
membuat dia membuka usaha rumah bordil itu karena ada orang yang<br />
menganggap dia tidak mampu melakukannya. Keegoisan hati pula yang<br />
membuat dia memilih mendirikan rumah bordil daripada bekerja secara<br />
baik-baik di pergu<strong>dan</strong>gan tanjung priuk yang sudah menerima lamarannya<br />
untuk bekerja d itempat itu. Hukuman Reni selama 7 tahun <strong>dan</strong> sudah<br />
dijalani selama 3 tahun. Menurutnya apabila dia keluar kelak dia akan<br />
membuka bisnis yang akan dilakukan antara Riau <strong>dan</strong> Bandung tapi dia<br />
masih merahasiakan bisnisnya. Dia berjanji tidak akan melakukan<br />
pengiriman wanita ke rumah bordil lagi apabila keluar dari penjara. Saat<br />
ini dia masih ditahan di lapas wanita Sukamiskin. Di penjara ini dia bisa<br />
menelpon anaknya melalui wartel <strong>dan</strong> dia sempat kecewa karena tidak<br />
diijinkan bertemu dengan anaknya pada saat anaknya mengunjunginya di<br />
penjara.<br />
5.1.1.3. Kasus Pengiriman TKI Illegal ke Perkebunan Kelapa Sawit<br />
Malaysia<br />
Epin Sunandar. berusia 67 tahun. Saat ini Epin se<strong>dan</strong>g<br />
menghabiskan masa hukumannya yang tinggal sekitar setahun lagi. Ia<br />
45
dihukum dengan ancaman pasal 4 Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 21 Tahun<br />
2007 jo pasal 55 ayat (1) KUHP .yang disebabkan tuduhannya "telah<br />
membawa Warga Negara Indonesia ke luar wilayah Negara Republik<br />
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara<br />
Republik Indonesia." Dia dihukum dengan pi<strong>dan</strong>a penjara selama 4 tahun<br />
6 bulan dengan den<strong>dan</strong> sebesar 60.000.000 rupiah yang dapat diganti<br />
dengan pi<strong>dan</strong>a kurungan 3 bulan.<br />
Pada mulanya, menurut pengakuannya, dia tidak menyadari bahwa<br />
dia merupakan pelaku human trafficking karena dia hanya mencarikan<br />
kerja kepada saudara-saudaranya <strong>dan</strong> juga anaknya yang bernama<br />
Bagas. Pada mulanya dia mempunyai anak wanita yang bekerja di<br />
Malaysia yang bernama Lilies Suryani yang sekarang menjadi narapi<strong>dan</strong>a<br />
di lapas Sukamiskin. Lilies pulang ke Jawa Barat setelah dia berhasil<br />
bekerja di Malaysia selama 2 tahun lebih di pasar swalayan. Dia pulang ke<br />
Indonesia melalui jalan darat di Pontianak <strong>dan</strong> Entikong yang merupakan<br />
gerbang perbatasan Malaysia-Indonesia ia bertemu dengan Angga (nama<br />
samaran), kelahiran Bima yang bekerja di Pontianak. Rupanya keduanya<br />
mempunyai ketertarikan. Setelah Lilies pulang ke Bandung, Angga terus<br />
menerus menelpon Lilies. Angga mengutarkan niatnya agar Lilis<br />
mencarikan tenaga kerja untuk bekerja di Malaysia di perkebunan kelapa<br />
sawit. Lilies menceritakan niat Angga itu ke pada ayahnya Epin. Angga<br />
mengatakan bahwa perusahaan yang akan mengirim para TKI yang<br />
dimintanya itu resmi. Tetapi memang Epin tidak melihat a<strong>dan</strong>ya surat<br />
surat dari perusahaan tersebut yang menyatakan bahwa perusahaan itu<br />
legal. Karena mengetahui banyak yang menganggur di daerah tempat<br />
tinggalnya di Bandung dia menyetujui mencarikan para pekerja yang<br />
dibutuhkan Angga tersebut. Angga kemudian datang ke Bandung <strong>dan</strong><br />
mengontrak rumah selama dua minggu di sekitar tempat tinggal pak Epin<br />
Lilies di daerah Bale Endah Bandung. Disaksikan ketua RT <strong>dan</strong> ketua<br />
RW. Angga mengatakan bahwa dia ditugaskan oleh kakaknya yang<br />
bernama Sule (nama samaran) yang mempunyai PT PPTKIS di<br />
Pontianak. Sayangnya, pak Epin tidak menyelidiki surat-surat mengenai<br />
46
esmi tidaknya PPTKIS yang berada tersebut. Angga ditugaskan oleh<br />
kakaknya untuk mencari tenaga kerja laki-laki sekitar 70 orang untuk<br />
bekerja di perkebunan sawit di batu Niah, Malaysia. Pekerjaannya antar<br />
lain menyabit rumput <strong>dan</strong> menyemprot hama pada pohon kelapa sawit.<br />
Biaya pemberangkatan bisa ditanggung oleh perusahaan lebih dahulu<br />
apabila mereka tak memiliki uang. Menu rut Angga, biaya yang dibutuhkan<br />
untuk berangkat ke Malaysia adalah sekitar 4 juta untuk biaya perjalanan,<br />
makan <strong>dan</strong> minum serta pengurusan paspor yang akan diurus di<br />
Pontianak.<br />
Akhirnya berangkatlah 9 orang dari Bale Endah ke Malaysia<br />
dengan menggunakan kapal laut melalui Entikong dengan tidak<br />
membayar serupiahpun karena dibiayai oleh Sule, kakak ipar Angga yang<br />
merupakan pemilik perusahaan penyalur tenaga kerja yang ada di<br />
Pontianak. Kesembilan orang itu merupakan kerabat dekat dari pak Epin,<br />
antara lain keponakannya <strong>dan</strong> juga anaknya sendiri yang bernama Bagas.<br />
Mereka berusia antar 20an sampai 60an tahun. Setelah mereka tiba di<br />
Pontianak mereka menumpang di rumah Sule sambil mengurus paspor.<br />
Setelah satu minggu mereka berangkat ke Batu Niah Malaysia untuk<br />
bekerja di perkebunan kelapa sawit. Penghasilan yang dapat mereka<br />
peroleh dengan bekerja pada satu hektar lahan pohon kelapa sawit yang<br />
memiliki 50 pohon adalah 35 ringgit kalau kerja dari jam 7 pagi sampai<br />
jam 5 sore.<br />
Setelah ke 9 orang asal Bandung tersebut satu bulan setengah<br />
bekerja di Malaysia, pak Epin mendapat berita melalui telepon dari<br />
mereka bahwa pekerjaan mereka di Malaysia tidak sesuai dengan<br />
perjanjian. Para TKI asal Bandung itu mengatakan bahwa mereka bekerja<br />
di hutan menebang kayu <strong>dan</strong> bukan di kebun kelapa sawit. Epin<br />
mempertanyakan keadaan ini kepada Angga melalui telepon. Angga<br />
mengatakan bahwa yang berbohong adalah ke 9 orang pekerja itu .<br />
Keluarga ke 9 orang itupun di Bandung menjadi resah. Akhirnya pak Epin<br />
pergi ke Enitkong untuk melihat siapa yang benar. Epin juga resah karena<br />
anaknyapun yang bernama Sagas ikut bekerja di situ. Dengan uang<br />
47
sekitar 6 juta rupiah ia berangkat ke Pontianak. Dia diterima dengan baik<br />
di rumah Sule yang memiliki perusahaan para TKI itu. Setelah mengurus<br />
paspor satu minggu kemudian dia berangkat ke Batu Niah Malaysia<br />
tempat perkebunan kelapa sawit yang dimaksud. Ternyata, benar<br />
memang ke 9 orang itu bekerja di kebun kelapa sawit <strong>dan</strong> bukan di hutan<br />
dengan menebang kayu sebagaimana kabar yang pak Epin terima dari<br />
dari ke 9 TKI itu sewaktu di Bandung. Pak Epin mempertanyakan alasan<br />
mereka berbohong. Ternyata mereka tak betah bekerja di perkebunan<br />
kelapa sawit tersebut. Menurut pak Epin memang beberapa dari 9 orang<br />
tersebut sudah terbiasa menganggur <strong>dan</strong> minum2an yang memabukkan.<br />
Padahal setelah mereka kerja sekitar 2 bulan mereka sudah dapat<br />
memiliki paling sedikit 140 ringgit perorang dengan s potongan sedikit.<br />
Pada waktu mereka menandatangani kontrak mereka memperoleh sektar<br />
4 juta rupiah per bulan selama dua tahun <strong>dan</strong> kontrak harus selesai.Tetapi<br />
sekarang mereka tetap memutuskan mau pulang dengan cara melarikan<br />
diri ke Bandung sekalipun pak Epin sudah datang kesana <strong>dan</strong> meminta<br />
mereka agar mereka tetap bertahan bekerja di perkebunan kelapa sawit<br />
tersebut.Mereka harus memiliki uang sekitar 3500 ringgit untuk lari dari<br />
Batu Niah ke Pontianak. Pada saat itu uang yang terkumpul dari 9 orang<br />
itu baru 1500 ringgit <strong>dan</strong> masih kurang sekitar 2000 ringgit. Pak Epin<br />
menambahkan uangnya sekitar 280 ringgit yang masih ada tapi tetap tak<br />
mencukupi biaya untuk semuanya lari ke Pontianak. Apabila disatukan<br />
dengan uang hasiil kerja ke 9 orang tersebut baru ada sekitar 1850 ringgit.<br />
Untuk itu mereka masih harus bekerja beberapa bulan lagi untuk<br />
mendapakan tambahan uang untuk pulang ke Indonesia. Kalau sudah<br />
terkumpul sekitar 4000 ringgit baru mereka dapat lari ke Indonesia.<br />
Akhirnya salah seorang dari pekerja tersebut, En<strong>dan</strong>g Wahyudi, tetangga<br />
pak Epin mengusulkan untuk meminjam dahulu ke pemilik perkebunan<br />
kelapa sawit tersebut dengan janji akan mengembalikannya.<br />
Akhirnya Pak Epin bertemu dengan pemilik perkebunan, yaitu pak<br />
Akfali (nama samaran) yang sangat baik pa<strong>dan</strong>ya karena dia diajak<br />
bekeliling melihat perkebunannya di Malaysia <strong>dan</strong> berkeliling sambil<br />
48
errekreasi ke kota Kuching <strong>dan</strong> Serawak. Dia kemudian mengutarakan<br />
permohonannya agar pak Akfali pemilik perkebunan tersebut<br />
meminjamkan uang untuk dibawanya ke keluarga ke 9 orang pekerja<br />
tersebut pada saat dia pulang beberapa hari lagi. Pak akfali mengatakan<br />
bahwa ia menyetujui memberikan uang yang akan dipinjam tersebut tetapi<br />
pada waktu itu bank utup karena hari sabu . Dia baru bisa memberikan<br />
pada hari Senin. Karena pak AEpin sudah akan pulang dia mengatakan<br />
supaya uang itu diberikan saja kepada anak-anak pekerja yang 9 orang<br />
tersebut karena hari Selasa berikutnya dia sudah mau ke Pontianak untuk<br />
pulang ke Jawa Barat. Sesampai di Serawak dia diberikan uang untuk<br />
pulang dengan bis ke Batu Niah. Dia ikut pulang dengan Angga yang ikut<br />
dalam rombongan tersebut. Tetapi setelah pak Epin kembali ke Pontianak<br />
yang diharapkan hari Selasa sudah ada ditangannya ternyata tidak ada.<br />
Pak Akfali pemilik perkebunan itu tak pernah mengirimkan uang yang<br />
dijanjikannya. Pak Epinpun kembali ke Bandung. Setelah dua minggu dari<br />
keberangkatan pak Epin ke Pontianak ternyata ke 8 orang dari 9 orang itu<br />
itu sudah dapat melarikan diri dengan waktu yang berbeda. Yang tinggal<br />
bertahan di bekerja di perkebunan kelapa sawit tersebut hanya satu<br />
orang yang bernama Dudin (nama samaran) karena ia ingin memperoleh<br />
uang sisa hasil pekerjaannya. Uang yang sudah dikumpulkan oleh para<br />
TKI itu pegang oleh En<strong>dan</strong>g Wahyudin yang membawa kabur uang<br />
terebut. Anak pak Epin yang bernama Sagas yang ikut lari bertemu<br />
dengan Entas (nama samara) yang merupakan salah seorang temannya<br />
yang lari dari perkebunan kelapa sawit di Malaysia itu. Akhirnya dia<br />
bekerja lagi di perusahaan abasia. Sudah ada 5 orang pekerja pelarian<br />
yang tiba di Pontianak. Mereka tak cukup uang lagi untuk kembali ke<br />
Bandung. Pak Epin bersama Angga harus bertanggung jawab atas<br />
kepulangan tesebut. Pak Epin menjual kambing ayam <strong>dan</strong> kursi untuk<br />
mendapat uang 3.400.000 rupiah yang dibutuhkan.<br />
Pada saat dia mau mengurus kepulangan ke para pekerja yang lari<br />
tersebut kakak dari pak Epin anaknya ikut rombongan kerja ke Malaysia<br />
itu sudah melaporkan permasalahan ini ke polisi. Tidak lama setelah para<br />
49
pekerja itu pulang ke Bandung, dia ditangkap <strong>dan</strong> dibawa ke Polda.<br />
Anggapun yang se<strong>dan</strong>g berada di Bandung ikut ditangkap.Ternyata<br />
Angga bekerja pada PJTKI illegal karena dia tak bisa menunjukkan surat<br />
surat perusahaannya. Pak Epin dituduh melakukan kejahatan human<br />
trafficking. Pak Epin tak begitu mengerti akan tuduhan tersebut tetapi dia<br />
pasrah. Dia merasa hanya mencarikan pekerjaan pada orang-orang yang<br />
merupakan keluarganya karena anaknya sendiripun ikut dalam dalam<br />
pekerjaan tersebut. Dia tak menyanggka dituduh memperdagangkan<br />
orang apalagi anaknya semdiri. Apakah dia dapat dikatakan<br />
memperdagangkan anaknya sendiri?<br />
Di pengadilan dia tak disertai oleh pengacara. Berkas masalahnya<br />
diproses setelah dia mendekam hampir 5 bulan di tahanan. Padahal<br />
karena dia tidak tahu hukum dia tak bisa menutut bahwa masalah itu<br />
cacat hukum karen a dia telah ditahan lebih dari 100 hari <strong>dan</strong> tak bisa<br />
diproses lagi. Dia tetap disi<strong>dan</strong>g selama 21 kali sebelum menjalani<br />
hukumannya.<br />
Anaknya telah menggadaikan rumahnya senilai 10 juta <strong>dan</strong> ia<br />
meminjam uang 2 juta untuk mengurus perkaranya. lstrinya memberikan<br />
kepada hakim 2 juta <strong>dan</strong> jaksa 4 juta rupiah. Pada mulanya pak Epin<br />
dipenjara di lapas Kebon Waru. Disana dia harus memberikan uang<br />
kepada ketua kamar yang disebut pak RT apabila hendak tidur di tempat<br />
yang agak nyaman Akhirnya dia mengurus kepindahannya ke lapas<br />
Sukamiskin. Menurut keterangan dia akan keluar pada tahun 2011 bulan<br />
11 dari penjara. Dia tidak tahu akan tinggal di mana karena rumahnya<br />
sudah digadaikan.<br />
Akibat dari pelaporan kakaknya ke polisi terungkaplah bahwa<br />
perusahaan PJTKI milik pak Sule tempat Angga bekerja mencarikan TKI<br />
itu ternyata merupakan PJTKI tak resmi karena tak ada surat-suratnya.<br />
lnilah yang menjadi kesalahan pak Epin. Karena pendididikannya yang<br />
rendah dia tak begitu memperhatikan legal apa tidak. Karena ingin<br />
50
menolong orang mencari pekerjaan dia dipenjara sebagai pelaku human<br />
trafficking.<br />
Anaknya Lilis Suryani (nama samaran) yang merupakan kekasih<br />
Angga <strong>dan</strong> yang pertamakali memberikan informasi akan a<strong>dan</strong>ya<br />
pekerjaan ke Malaysia tersebut pun ikut dipenjara di lapas Sukamiskin.<br />
Pak Epin merasa mengkhianati hati nuraninya karena dia tak merasa<br />
menjual anak sendiri karena kejahatannya disebut sebagai perdagangan<br />
manusia. Pak Epin belum pernah dipenjara sebelumnya. Pada waktu di<br />
persi<strong>dan</strong>gan pak Epin tak mengerti mengapa anak kakaknya waktu<br />
disumpah dengan al quran tak mengakui dia sebagai pamannya.Yang<br />
melaporkan perkara itu ke polisi adalah kakaknya. Pak Epin tidak mengerti<br />
kenapa kakaknya melaporkan karena sebenarnya anggota keluarga dari<br />
kakaknya tersebut sudah keluar dari Malaysia <strong>dan</strong> berada di Pontianak<br />
pada waktu dia melaporkan perkara ini ke polisi.<br />
Lilis Suryani binti Epin Sunandar (nama samaran). Eulis<br />
Suryani wanita, 28 tahun adalah anak dari pak Epin Sunandar ( 67 tahun)<br />
yang saat ini menjadi narapi<strong>dan</strong>a di penjara pria Sukamiskin Bandung.<br />
Euis saat ini berada di penjara wanita Sukamiskin Bandung dengan vonis<br />
4 tahun subsider 3 bulan sejak tahun 2008. Wanita ini sejak tahun 2006<br />
sudah berstatus janda. Ia menikah pada usia 19 tahun. Dahulu suaminya<br />
adalah seorang pekerja di PLN bagian bubut.<br />
Lilis Suryani pernah bekerja di Kuching, Malaysia sebagai pegawai<br />
restoran. Dia berangkat dengan menggunakan pesawat ke Kuching dari<br />
Jakarta. Permasalahan hukumnya tak bersangkutan secara langsung<br />
dengan pekerjaannya ini karena dia berangkat sebagai TKI legal melalui<br />
PPTKIS resmi. Disana dia sebelum bekerja mendapat pelatihan kerja<br />
selama 3 bulan untuk mengetahui barang-barang berbahasa Melayu.<br />
Sebelumnya dia juga mendapat pelatihan kerja selama 2 minggu di<br />
Jakarta. Gajinya pertamanya 250 ringgit kemudian naik menjadi 400 <strong>dan</strong><br />
500 ringgit.<br />
51
Setelah 2 tahun bekerja di Kuching dia pulang ke Indonesia melalui<br />
jalan darat ke Entikong Kalimantan Barat. Agensi yang mengantarnya<br />
Entikong di Malaysia masih sama. Tetapi di Entikong dia diterima oleh<br />
agensi yang berbeda dengan yang memberangkatkannya dahulu.<br />
Kemudian dia dibawa ke Pontianak untuk menunggu keberangkatannya<br />
ke Bandung. Agensi yang menampungnya di Pontianak ini milik Sule<br />
(nama samara) yang memiliki memiliki ipar bernama Angga.Lilis Suryani<br />
kemudian berpacaran dengan Angga seorang yang berasal dari Sima<br />
NTB.<br />
Agen yang mengirim Lilis a pulang ke Entikong di Malaysia<br />
memang sama dengan yang menjemputnya dahulu pada saat dia tiba di<br />
Malaysia. Tetapi setelah tiba di Entikong agensi Indonesia yang<br />
menjemputnya di Entikong berbeda dengan yang mengantarkannya<br />
dahulu ke Malaysia. Dari Entikong dia dibawa k Pontioanak oleh Angga<br />
dari Agensi milik Sule, ipar Angga. Beberapa hari kemudian Lilis Suryani<br />
diberangkatkan dengan kapal laut ke pelabuhan Tanjung Periuk Jakarta.<br />
Keluarganya menjemputnya di Tanjung Priuk <strong>dan</strong> membawanya ke<br />
Bandung.<br />
Sebenarnya Lilis Suryanis tak akan menemukan permasalahan<br />
hukum kalau Angga tidak sering menelpon dia. Angga yang sudah tertarik<br />
pada Lilis sering menghubungi Liliss lewat tilpun sambil mengajak Lilis<br />
mencarikan TKI yang mau bekerja di perkebunan kelapa sawit di<br />
Malaysia. Lilismemberitahukan niat Angga ini kepada ayahnya pak Epin<br />
Sunandar (nama samaran). Pak Epin tanpa mengerti apa itu human<br />
trafficking menawarkan pekerjaan ini kepada keluarganya di Bandung.<br />
Akhirnya, berapa keluarganya antara lain sepupunya atau anak dari<br />
uwaknya Lilis, Menantu uwaknya, adiknya <strong>dan</strong> bebearapa orang lainnya<br />
sebanyak 9 orang mau bekerja ke perkebunan kelapa sawit tersebut.<br />
Sebenarnya Lilis bertanya-tanya mengenai surat-surat dari agensi<br />
mengenai kegiatan tersebut kepada Angga. Tetapi Angga mengatakan<br />
bahwa lebih baik mereka berangkat dahuku ke Pontianak baru kemudian<br />
52
diurus surat-suratnya. Mereka berangkat bersama Angga ke Pontianak<br />
<strong>dan</strong> Lilistak menyadari tindakannya mencarikan pekerjaan bagi anggota<br />
keluarganya ini melangar hukum. Ternyata surat-surat yang dimaksud<br />
oleh Angga hanyalah paspor <strong>dan</strong> bukan surat resmi dari Agensi yang<br />
memperlihatkan status Agensi. Lilis <strong>dan</strong> bapaknya dijanjikan uang<br />
sebanyak 300.000 rupiah tapi tak pernah diberikan dengan alasan agensi<br />
dari lndoneisa bahwa uangnya belum cair dari agensi Malaysia. Pada saat<br />
pemberangkatan tersebut Liliss ikut ke Pontianak bersama Angga yang<br />
kemudian ikut juga mengantarkannya pulang ke Bandung dengan biaya<br />
dari Angga. Dia berada hampir satu bulan di Pontianak di rumah Sule<br />
yang mempunyai 2 istri, satu di Entikong satu di Pontianak. Ternyata<br />
setelah ia tiba di Bandung ia bersama Angga<strong>dan</strong> juga anaknya ditangkap<br />
oleh polisi dengan tuduhan melakukan perdagangan orang atau human<br />
trafficking yang sma sekali tidak dimerngertinya. Sekarang hubunganya<br />
sudah putus dengan yang dipenjara di penjara Kebun Waru dengan<br />
hukuman.<br />
5.1.2. Profil Korban<br />
5.1.2.1. Kasus Pengiriman Pekerja Seks Komersiall (PSK) asal<br />
Bandung ke Riau<br />
Eki ( nama samaran), wanita, 24 tahun. Keterangan mengenai<br />
korban seorang wanita bernama Eki (nama samaran), 24th. diperoleh dari<br />
Ali Kurdi (nama samaran) narapi<strong>dan</strong>a di Lapas laki-laki Sukamiskin<br />
Bandung, tersangka pelaku kasus human trafficking atau perdagangan<br />
orang dengan Eki sebagai korbannya <strong>dan</strong> Neny alias ibu Dodi (nama<br />
samaran) yang saat ini ditahan dipenjar wanta Sukamiskin Bandung. Eki<br />
<strong>dan</strong> Ali sama-sama berasal dari desa Banjaran Jawa Barat. Eki<br />
merupakan janda yang telah 2 kali bercerai <strong>dan</strong> memiliki satu orang anak.<br />
Ia bercerai dengan mantan suaminya yang kedua, seorang supir, karena<br />
suaminya kawin lagi. Kebutuhan ekonomi membuat ia menerima tawaran<br />
pekerjaan dari Ali Kurdi untuk bekerja di sebuah cafe di Riau yang belum<br />
pernah dikunjunginya. Menurut Ali Kurdi, ia juga memperingatkan Eki<br />
53
akan tempat pekerjaannya yang jauh dari kampung halaman <strong>dan</strong> tidak<br />
usah langsung menerima pekerjaan tersebut. Eki sebenarnya tidak terlalu<br />
kenai dengan Aan, yang merupakan teman kakaknya Tini yang sama-sma<br />
bekerja di pabrik kertas Papirus bagian gu<strong>dan</strong>g. Tini jadi saksi di<br />
pengadilan pada saat perkara ini disi<strong>dan</strong>gkan. Setelah penawaran<br />
pekerjaan tersebut Ali Kurdi menyatidakan tidak lagi menghubungi Eki.<br />
Ternyata tidak lama kemudian menurut Ali Kurdi, Eki sudah<br />
berangkat ke Riau setelah ditampung dahulu di Cibaduyut Bandung ,<br />
melalui Jakarta. Orang yang kemudian mendatangi Eki untuk pekerjaan<br />
tersebut adalah adalah seorang wanita bernama Willi yang sudah bisa<br />
bekerja di cafe-cafe. Sebelumnya dua orang yang bernama Opon( Nama<br />
Samaran) <strong>dan</strong> Lisa (nama samaran) , teman dari Ali Kurdi mendatangi Eki<br />
<strong>dan</strong> memberikan uang tanda jadi kepada Eki yang setuju berangkat ke<br />
Riau. Orang tua Eka sudah bercerai. Dia bekerja atas sepengetahuan<br />
ibunya <strong>dan</strong> bukan ayahnya yang sudah bercerai dengan ibunya. lbu Eki<br />
memperoleh uang sebanyak 100.000 rupiah dari Lisa <strong>dan</strong> Opon , orang<br />
orang yang diutus Neny alias ibu Dodi sang germo, karena telah<br />
menijinkan anak perempuannya bekerja ke Cafe di Riau . Dengan<br />
demikian ibu Eki sebenarnya mengetahui jenis pekerjaan sebagai wanita<br />
penghibur yang akan diambil oleh anaknya.<br />
Neny alias ibu Dodi, si mucikari kemudian membawa Eki ke Riau<br />
untuk bekerjadi cafe di Riau. Ternyata, setelah 2 minggu Eki tidak betah<br />
bekerja di cafe tersebut. Menurut keterangan Ali Kurdi, bahkan dia belum<br />
sempat melayani laki-laki hidung belang karena penampilannya memang<br />
tidak begitu menarik sehingga belum ada laki-laki yang menawarnya.<br />
Kemudian Eki menelpon ayahnya di Bandung yang tidak setuju dengan<br />
pekerjaan anaknya tersebut. Eki kembali ke Bandung setelah ayahnya<br />
kemudian melaporkan peristiwa ini ke Polisi di Bandung <strong>dan</strong> kasus<br />
menyangkut perdagangan orang ini terungkap.<br />
54
5.1.2.2. Kasus PSK di Rumah Bordil "Moro Seneng" Pangkal Pinang,<br />
Belitung<br />
Korry, nama samaran (17 tahun). Korry, seorang wanita muda<br />
berumur 17 tahun, pendidikan terakhir asal Bandung merupakan salah<br />
satu wanita dari 9 orang wanita muda asal Bandung yang berhasil dikirim<br />
oleh seorang wanita bernama Siti Aisyah untuk dikirim bekerja ke Pangkal<br />
Pinang, propinsi Bangka Belitung sebagai wanita PSK. Pada bulan<br />
Desember 2009. Korry beserta teman-temannya dijanjikan akan<br />
mendapatkan uang 5 juta rupiah dari pekerjaannya di restoran di Bangka<br />
Belitung. Korry <strong>dan</strong> korban lainnya diantar oleh Siti Aisyaha berangkat<br />
dari Bandung ke Bandara Soekarno Hatta untuk naik pesawat ke Pangkal<br />
Pinang propinsi Bangka Belitung. Di Pangkal Pinang mereka dijemput<br />
oleh Reni alias Mami Chita yang ternyata merupakan pengusaha rumah<br />
bordil "Moro Seneng" di Pangkal Pinang, Di sana ke 9 wanita tersebut<br />
ditinggal oleh Siti Aisyah untuk diserahkan kepada Reni sebagai anak<br />
buahnya yang ternyata bekerja di sebagai PSK <strong>dan</strong> bukan pegawai<br />
restoran.<br />
lbu Korry yang bernama Wati (nama samaran) kemudian<br />
melaporkan kejadian yang menimpa anaknya ke Polda Jabar.<br />
Sebelumnya ia mengijinkan anaknya Korry bekerja di Palembang. Tetapi<br />
setelah diselidiki oleh saudaranya yang ada di Palembang Korry tidak ada<br />
di sana. lbu Korry kehilangan kontidak dengan anaknya Korry. Sekitar 2<br />
bulan kemudian Korry mengirimkan sms kepd ibunya yang mengatakan<br />
bahwa dia berad d itempat prostitusi didaerah Paritenam Pangkal Pinang<br />
<strong>dan</strong> bekerja sebagai wanita PSK di rumah bordil "Moro Seneng."Tidak<br />
lama kemudian kasus ini terbongkar setelah polisi datang menjemput<br />
sendiri para korban perdagangan orang atau human trafficking yang<br />
melibatkan wanita di bawh umur menjadi korban perbuatan cabul dari<br />
para pelaku perdagangan orang. Para pelaku kemudian ditangkap <strong>dan</strong><br />
saat ini berada di lapas Bandung. Korry <strong>dan</strong> teman-temannya kembali ke<br />
keluarganya setelah mengalami proses rehabilitasi dari instansi yang<br />
menangani program tersebut.<br />
55
5.1.2.3. Kasus Pengiriman TKI Illegal ke Perkebunan Kelapa Sawit<br />
Malaysia<br />
Sagas binti Epin Sunandar (nama samaran). Bagas merupakan<br />
anak dari Epin Sunandar yang saat ini menjadi penghuni lapas laki-laki<br />
Sukamiskin Sandung karena disangka menjadi pelaku perdagangan orang<br />
kasus TKI illlegal. Dia tidak menyangka bahwa keberangkatannya ke<br />
Malaysia untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit atas tawaran seorang<br />
agen PPTKIS illegal bernama Angga. Dia berangkat bersama 8 orang<br />
kerabatnya untuk bekerja di perkebunan kepala sawit Malaysia.<br />
Sebenarnya penghasilan yang didapatnya cukup lumayan yaitu sekitar 3<br />
juta sebulan dengan bekerja sebagi penyabit rumput <strong>dan</strong> penyemprot<br />
hama. Tetapi karena dia bersama 8 orang kerabatnya tidak biasa bekerja<br />
keras di perkebunan mereka berniat untuk lari dari perkebunan tersebut.<br />
Niat itu dilakukan dengan mengirim berita bohong kepada ayahnya pak<br />
Epin dengan mengatakan bahwa mereka bukan bekerja di perkebunan<br />
kelapa sawit melainkan bekerja menebang kayu di hutan. Ternyata<br />
setelah ayahnya datang sendiri untuk menyaksikan kebenaran pekerjaan<br />
mereka diketahui bahwa Sagas <strong>dan</strong> ke 8 orang pekerja lainnya<br />
berbohong, Mereka memang bekerja di kebun kelapa sawit di Malaysia.<br />
Tetapi walaupun demikian mereka tetap melarikan diri ke Pontianak<br />
kecuali satu orang ternan Bagas yang tetap bertahan karena ingin<br />
memperoleh uang dari pekerjaan tersebut. Dari sini terlihat bahwa Sagas<br />
<strong>dan</strong> keluarganya yang pergi bekerja ke Malaysia di perkebunan kelapa<br />
sawit itu memang tidak begitu memiliki keinginan untuk berjuang<br />
memperbaiki penghasilan di negeri orang. Mereka lebih suka bekerja di<br />
Sandung walaupun tidak banyak menghasilkan uang. Bagas setelah lari<br />
dari perkebunan kelapa sawit sempat bekerja di perkebunan abasia di<br />
Malaysia, ia tetap memilih pulang ke Bandung <strong>dan</strong> bekerja di pasar<br />
sebagai petugas kaki lima. Kebohongan yang dilakukannya bersama<br />
teman-temannya yang mengirimkan kabar ke Bandung bahwa mereka<br />
tidak bekerja di perkebunan kelapa sawit tetapi menebang kayu di hutan<br />
telah menyebabkan keresahan kepada kakak dari ayahnya (uwaknya)<br />
56
yang memiliki anak <strong>dan</strong> menantu yang juga bekerja bersama Bagas di<br />
Malaysia. Kakak dari ayah Bagas ini kemudian melaporkan kejadian ini<br />
ke polisi. Terungkaplah kasus pengiriman TKI illegal dengan ayahnya<br />
sebagai perekrutnya <strong>dan</strong> juga Angga yang merupakan perekrut yang<br />
mewakili agensi pengiriman TKI yang berada di Pontianak yang<br />
mengirimkan mereka bekerja di sana. Ternyata setelah polisi<br />
mempertanyakan surat-surat dari perusahaan tempat Angga bekerja di<br />
Pontianak Angga tidak dapat menunjukkannya Akhirnya pak Epin <strong>dan</strong><br />
Angga pun ditangkap polisi <strong>dan</strong> mereka dihukun sebagai narapi<strong>dan</strong>a<br />
kasus tersangka perdagangan orang Tenaga Kerja Illegal.<br />
5.1.3. Proses Rekrutmen <strong>dan</strong> Modus Operandi<br />
Dari kisah hidup (life story) para narapi<strong>dan</strong>a yang menjadi<br />
tersangka kasus perdagangan orang di atas terlihatlah bahwa modus<br />
operandi kegiatan perdagangan orang dilakukan oleh sekelompok orang<br />
yang memang telah mepunyai bisnis dalam merekrut tenaga kerja baik itu<br />
TKI illegal yang akan dikirim ke luar negeri maupun pekerja seks<br />
komersial yang akan dikirim ke luar wilayah tempat asalnya di dalam<br />
maupun luar negeri. Dari uraian mengenai kisah hidup di atas lihat bahwa<br />
perekrutan yang dilakukan atas para calon TKI <strong>dan</strong> calon PSK untuk<br />
bekerja diluar kota dilakukan oleh orang-orang yang telah memiliki<br />
hubungan kerja dengan orang-orang di tempat tujuan. Para TKI yang akan<br />
dipekerjakan di Malaysia maupun para wanita muda asal Bandung untuk<br />
dikirim sebagai pekerja seks komersial di Pekan Baru, Riau <strong>dan</strong> di<br />
Pangkal Pinang, Bangka · Belitung dilakukan oleh orang-orang yang<br />
merupakan sponsor dari pemilik tempat usaha yang akan<br />
mempekerjakannya. Dengan kata lain pemilik itu tidak datang sendiri ke<br />
tempat para pencari kerja. Para sponsor atau perekrut itu juga merupakan<br />
orang yang akan membawa para pencari kerja ke tempatt pemilik usaha di<br />
tempat tujuan. ltulah sebabnya banyak pemilik usaha seperti lmel ( kasus<br />
Neny alias ibu Dodi) pemilik cafe di Riau yang memesan wanita muda<br />
untuk bekerja sebagai wanita panggalan di Riau tidak dihukum. Sule yang<br />
57
memiliki perusahaan PPTKIS illegal di Pontianak yang memesan para TKI<br />
melalui sponsor atau perekrut yang dikirimnya ke tempat calok korban<br />
human trafficking, lolos dari hukuman. Padahal tersangka Neny alias ibu<br />
Dodi ( Kasus Eki) merupakan orang yang dikirim oleh lmel untuk mencari<br />
wanita muda yang mau bekerja di cafenya di Riau <strong>dan</strong> Angga tersangka<br />
kasus TKI illegal, merupakan orang yang dikirim Sule, pemilik<br />
perusahaan TKI illegal di Pontianak. Akan halnya Reny alias mami Chita<br />
yang memesan 9 wanita muda melalui Siti Aisyah untuk bekerja sebagai<br />
PSK di rumah bordil "Moro Seneng" miliknya yang ada di Pangkal Pinang<br />
Belitung saat ini ikut dihukum di penjara wanita Sukamiskin Bandung<br />
bersama dengan Siti Aisyah. Penyebabnya adalah peristiwa pengiriman 9<br />
wanita muda asal Bandung yang di pekerjakan di rumah bordil di Pangkal<br />
Pinang Bangka Belitung itu sangat menarik perhatian para aparat<br />
pemerintahan Jawa Baraat di Bandung. Tak heran kalau ke 9 orang<br />
wanita muda asal Bandung itu dijemput sendiri oleh kepala polisi Dit<br />
Reskrim unit PPA (Perlindungan Perempuan <strong>dan</strong> Anak) Polisi Daerah<br />
Jawa Barat. Tak heran kalau Reny alias mama Chita ikut dihukum<br />
bersama dengan Siti Aisyah orang yang diutusnya untuk merekrut para<br />
korban.Rumah Bordil milik Reni di Pangkal Pinang, Bangka Belitungpun<br />
sudah tak beroperasi lagi.<br />
Pada kasus perekrutan korban untuk menjadi PSK, biasanya para<br />
korban tidak langsung diberi tahu bahwa pekerjaannya adalah sebagai<br />
PSK. Mereka biasanya ditawarkan pekerjaan di cafe atau di restoran oleh<br />
para perekrut. Tetapi dari awal penjemputan mereka sudah ditawarkan<br />
gaji yang cukup tinggi.Korban Korry <strong>dan</strong> ke 8 orang wanita muda lainnya<br />
yang di rekrut oleh Siti Aisyah dijanjikan memperoleh gaji 5 juta sebulan<br />
untuk bekerja di restoran. Tentu saja jumlah itu tak lumrah kecuali kalau<br />
jenis pekerjaannya lebih dari sekedar pelayan restauran. Menurut Siti<br />
Aisyah maupun Reni, wanita-wanita yang bekerja di rumah bordil "Moro<br />
Seneng" di Paritnam Pangkal Pinang biasanya adalah wanita-wanita nakal<br />
yang biasa berkeliaran di Bandung pada malam hari. Usia para wanita<br />
yang mereka rekrut menurut mereka umumnya 20 - 35 tahun <strong>dan</strong> bukan<br />
58
wanita di bawah umur. Menurut Reny, Korry yang dilaporkan keluarganya<br />
ke polisi karena direkrut oleh Siti Aisyah ke Pangkal Pinang sebagai PSK<br />
sebenarnya menurut Reni sudah berusia 21 tahun. Tetapi setelah kasus<br />
ini terkuak menurut Reni, ktp Korry dirubah keluargaya yang ada di<br />
Palembang dari 21tahun menjadi 17 tahun.<br />
Biasanya para perekrut wanita yang akan dipekerjakan sebagai<br />
PSK memperoleh uang sekitar Rp.500.000 ,--. (seperti yang diperoleh<br />
oleh Neny alias Mami Dodi). Tetapi ada juga yang memperoleh sekitar<br />
Rp.2000.000,-- per kepala (seperti yang diterima Siti Aisyah dari Reni<br />
alias Mami Chita). Biasanya para perekrut itu dibantu oleh orang-orang<br />
yang telah mereka kenai didaerahn temapt asal korban yang<br />
memberitahukan dimana ada wanita muda yang dapat dikirim ke luar kota<br />
untuk dapat dipekerjakan sebagai PSK. Perekrut yang bernama Neny<br />
alias mami Dodi, misalnya, meskipun ia seorang germo di Bandung ia<br />
tetap memiliki mitra kerja bernama Ali Kurdi yang bertugas mencarikan<br />
wanita muda tersebut. Ali Kurdi ini mengatakan bahwa dia tak merasa<br />
peekrjaannya terlarang karena dia hanya menolong korban Eki untuk<br />
mencari pekerjaan. Setelah korban didapat biasanya perekrut utama<br />
seperti Neny membagikan uang yang diperoleh dari pemesan wanita<br />
muda di Riau sebesar Rp. 500.000 ,--. kepada beberapa orang yang<br />
membantunya. Biasanya para perekrut PSK seperti Neny <strong>dan</strong> Siti Aisyah<br />
memiliki hubungan kerja dengan pemesan pekerja PSK tersebut. Neny<br />
merupakan juru masak milik lmel yang ada di Riau yang membawa Eki<br />
wanita asal bandung untuk bekerja di cafe Riau. Siti Aisyah yang merekrut<br />
9 wanita untuk bekerja sebagai PSK di Pangkal Pinang Bangka Belitung<br />
merupakan seorang germo yang biasa melakukan bisnisnya melalui<br />
telpon genggam termasuk dalam berhubungan dengan Reni alias Mami<br />
Chita.<br />
Pada kasus pengiriman TKI illegal ke luar negeri, biasanya para<br />
perekrut seperti Angga, tersangka kasus pak Epin di atas merupakan<br />
pegawai tetap dari para pemesan TKI atau pegawai tidak tetap namun<br />
telah mempunyai hubungan ikatan kerja dengan perusahaan<br />
59
pemesannya.Biasanya mereka meperoleh uang sampai jutaan rupiah<br />
perkepala dari pemesan TKI illegal itu . Biasanya para perekrut itu<br />
mendapat 2 juta rupiah per TKI yang sudah berpengalaman yang akan<br />
dikirim ke Timur Tengah (dulu bahkan pernah 4 juta rupiah). Se<strong>dan</strong>gkan<br />
bagi para TKI yang akan dikirim ke Asia Pasifik biasanya mendapat<br />
500.000 rupiah per kepala.<br />
Setelah sampai di tempat tujuan pada kasus PSK biasanya sang<br />
korban menerima saja pekerjaan yang diberikan kepa<strong>dan</strong>ya walaupun<br />
mereka merasa telah ditipu dengan jenis pekerjaan yang mereka terima.<br />
Biasanya mereka merahasiakan jenis pekerjaan terlarang yang mereka<br />
alami kepada keluarganya karena diancam akan dihukum oleh bos baru<br />
mereka. Namun, setelah pihak keluarga tahu bahwa anggota keluarga<br />
mereka bekerja secara tak hala di luar daerah mereka, merekapun<br />
melaporkan permasalahan tersebut ke polisi tempat mereka tinggal.<br />
Pengiriman PSK maupun TKI illegal ke luar daerah asal mereka<br />
baik keluar pulau maupun keluar negeri biasanya dilakukakan dengan<br />
menggunakan bis, kapal laut bahkan pesawat udara pada pengiriman TKI<br />
illegal ke luar negeri seperti Malaysia. Biasaya para perekut korban ikut<br />
mengantar mereka sampai ke tempat tujuan. Pada saat pencarian korban<br />
para perekrutpun biasa menginap atau bahkan mengontrak rumah di<br />
daerah tempat dia mencari para pekerja yang akan dicarinya seperti yang<br />
dilakukan oleh Angga pada kasus pak Epin yang mencai pekerja TKI<br />
illegal.<br />
5.2. Daerah Transit: Batam 3 Z<br />
5.2.1. Profil Pelaku<br />
Dari hasil penelitian terungkap bahwa para pelaku perdagangan<br />
orang (trafficking) biasanya melibatkan banyak pihak dengan beragam<br />
bentuk. Seperti misalnya agen perekrut buruh migran yang membayari<br />
32 Hasil Penelitian Tahun I, Tahun 2009. "Studi Kasus Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan<br />
Terpadu Terhadap Perdagangan Perempuan Di Propinsi Jawa Barat<br />
60
para agen/ calo/ sponsor bergerilya ke pelosok-pelosok. Para agen<br />
perekrutan ini yang mengeluarkan <strong>dan</strong>a untuk pengelolaan penampungan,<br />
pengurusan beragam dokumen (sampai kepada pemalsuan dokumen).<br />
Perpanjangan tangan dari agen perekrutan ini adalah para agen/<br />
calo/ sponsor yang terjun langsung ke desa <strong>dan</strong> biasanya melakukan lobi<br />
ke aparat desa, tokoh masyarakat agar lebih mempermudah dalam<br />
mendapatkan mangsa. Para agen/ calo/ sponsor ini bisanya mendapatkan<br />
upah dari setiap calon buruh migran yang bisa direkrut.<br />
Para agen perekrutan <strong>dan</strong> agen/ calo/ sponsor ini bisanya berkedok<br />
perusahaan pengerah jasa tenaga kerja (bisa legal/ilegal perusahaannya).<br />
lndikasi utama jika terlibat perdagangan manusia bisa ditelusuri dari<br />
pemalsuan dokumen, penempatan yang tidak sesuai perjanjian, sampai<br />
memberangkatkan calon buruh migran di bawah umur.<br />
Gambar 4.<br />
Pelaku<br />
Trafficking<br />
Sea rang rekruter yang se<strong>dan</strong>g<br />
menunggu von is pengadilan ketika<br />
diwawancara peneliti di rumah tahanan<br />
Kemudian pelaku perdagangan manusia juga melibatkan para<br />
pemilik <strong>dan</strong> pengelola rumah bordil. Hal ini mengingat para pekerja rumah<br />
bordil umunya dibatasi ruang geraknya <strong>dan</strong> tidak mempunyai kebebasaan.<br />
Bahkan sudah menjadi kelaziman bagi para pemilik <strong>dan</strong> pengelola rumah<br />
bordil untuk memaksa seorang perempuan bekerja di luar kemauan <strong>dan</strong><br />
kemampuannya.<br />
61
Hal yang paling meyedihkan adalah para pelaku perdagangan<br />
manusia yang justru melibatkan orang-orang terdekat. Mulai dari orang<br />
tua yang tega menjual anaknya (misalnya demi pelunasan hutang,<br />
mendapatkan pinjaman hutang dengan jaminan anaknya harus bekerja<br />
sesuai kemauan sang pemberi hutang), suami yang memaksa istrinya<br />
bekerja <strong>dan</strong> mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi semata<br />
(misalnya memaksa istrinya bekerja di tempat pelacuran).<br />
Menurut hasil penelitian yang diperoleh, secara umum karakteristik<br />
rekruiternya adalah sebagai berikut:<br />
1. Rekruiter biasanya berasal dari daerah sekitar.<br />
2. Rekruiter di daerah asal umumnya orang-orang terdekat. Kebanyakan<br />
dari mereka adalah kerabatnya dalam arti tidak hanya saudara akan<br />
tetapi orang yang sudah dikenal. Misalnya, menurut korban, ia sudah<br />
mengenal orang yang mengajaknya karena di kampungnya ia sudah<br />
terkenal sebagai calo TKW.<br />
3. Orang yang menjadi sponsor biasanya berasal dari daerah asal sekitar<br />
tempat tinggal korban tapi memiliki relasi di Batam.<br />
4. Pelaku/sponsornya ada yang berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah<br />
<strong>dan</strong> Jawa Barat. Dan yang paling banyak pelakunya berasal dari Jawa<br />
Tengah.<br />
5. Rata-rata orang yang menjadi trafficker berusia antara 35 - 40 tahun<br />
<strong>dan</strong> adakalanya berusia lebih.<br />
6. Pengguna/pemesannya ada yang berasal dari orang lokal seperti untuk<br />
dipekerjakan di tempat karaoke, ada juga dari luar negeri.<br />
7. Mereka tidak selalu berstatus sebagai pengusaha. Namun ada juga<br />
yang memang menjadi pengusaha seperti pengusaha karaoke, atau<br />
mengelola tempat di lokalisasi Sintai, Batam.<br />
62
5.2.2. Profil Korban<br />
Perdagangan orang khususnya perempuan <strong>dan</strong> anak merupakan<br />
pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban dirampas hak<br />
asasinya <strong>dan</strong> diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual,<br />
dipindahkan <strong>dan</strong> dijual kembali bahkan terka<strong>dan</strong>g berisiko pada kematian.<br />
Gejala ini berkembang <strong>dan</strong> berubah dalam berbagai bentuk<br />
kompleksitasnya, tetapi bagaimanapun bentuknya tetap sebagai<br />
perbudakan.<br />
Selama ini banyak masyarakat menganggap bahwa perdagangan<br />
orang hanya terbatas pada bentuk prostitusi saja, pada hal dalam<br />
kenyataannya mencakup banyak bentuk lain dari kerja paksa. Oleh<br />
karena itu isu perdagangan orang ini sekarang menjadi isu besar yang<br />
menarik perhatian masyarakat luas baik regional maupun internasional.<br />
Konsep dasar perdagangan orang adalah perekrutan pemindahan<br />
manusia dari suatu tempat ketempat lain, baik antar wilayah dalam satu<br />
negara atau atar negara untuk tujuan eksploitasi dengan cara-cara<br />
penipuan, paksaan, pengunaan kekerasan, penculikan, penyalahgunaan<br />
kekuasaan atau memanfaatkan posisi kerentanan seseorang.<br />
Dari hasil penelitian 33 terlihat bahwa korban perdagangan orang<br />
seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual, bekerja pada<br />
tempat-tempat kasar yang memberikan gaji rendah seperti buruh<br />
perkebunan, pekerja di jermal, pembantu rumah tangga, pekerja restoran,<br />
tenaga penghibur, buruh anak, pengemis jalanan <strong>dan</strong> lain-lain.<br />
Kebanyakan korban diambil dari keluarga miskin, dari pedesaan,<br />
masyarakat yang patriarki (sistem kemasyarakatan yang menentukan<br />
ayah sebagai kepala keluarga) dengan status pendidikan yang rendah.<br />
33 Rangkuman yang berasal dari penuturan berbagai lnforman penelitian dari kelompok<br />
pelaku/para narapi<strong>dan</strong>a (ditemui di LP Batam) <strong>dan</strong> tahanan (ditemui di Poltabes Barelang,<br />
Batam) dalam kasus trafficking <strong>dan</strong> korban trafficking (ditemui di mana), mencakup pula<br />
penuturan narasumber penelitian dari kelompok pejabat pemerintah yang relevan (Dinas Sosial<br />
Pemda Kepulauan Riau), anggota DPRD Kota Batam, Kapoltabes Batam, serta dari kelompok<br />
Akademisi (Dosen <strong>dan</strong> peneliti UIB (Universitas lnternasional Batam) yang menggeluti masalah<br />
Perdagangan Perempuan.<br />
64
Perempuan <strong>dan</strong> anak yang menjadi buruh migran <strong>dan</strong> berasal dari<br />
kelompok masyarakat pinggiran atau kelompok suku minoritas memiliki<br />
resiko lebih besar untuk terjerat perdagangan orang, biasanya perempuan<br />
<strong>dan</strong> anak berusia muda <strong>dan</strong> belum menikah, perempuan <strong>dan</strong> anak korban<br />
perceraian, serta mereka yang pernah bekerja di kota atau di luar negeri<br />
<strong>dan</strong> umumnya sebagian penghasilannya deberikan kepada keluarganya.<br />
Kasus perdagangan orang (trafficking) di Batam biasanya<br />
melibatkan korban yang diperdagangkan <strong>dan</strong> dikirim ke Malaysia atau<br />
Singapore, tetapi ada pula yang diperdagangkan di tempat-tempat hiburan<br />
di Batam. Karban datang ke Batam biasanya untuk transit <strong>dan</strong> dijanjikan<br />
untuk pekerjaan yang lain <strong>dan</strong> ternyata dijual. Ada juga PSK yang<br />
berangkat sendiri dari Batam <strong>dan</strong> dikelola oleh satu germo di sana. Baru<br />
ketika dia tidak dibayar kemudian lapor ke kedutaan sehingga masuk<br />
kasus perdagangan orang (trafficking).<br />
Dari Hasil penelitian juga terungkap, bahwa selain itu, sekarang ini<br />
diduga banyak sekali TKI yang bekerja secara ilegal seperti antara lain,<br />
buruh yang bekerja di kilang-kilang atau kebun-kebun kelapa sawit yang<br />
masih terbuka peluangnya. Dan kalau si pemilik kebun tidak mau<br />
membayar gaji mereka, dengan mudah ia akan melaporkannya ke polisi<br />
Malaysia <strong>dan</strong> kemudian diusir tanpa harus membayar gajinya sehingga<br />
mereka menjadi korban perdagangan orang (trafficking).<br />
Gambar 6.<br />
Karban<br />
Trafficking<br />
Beberapa korban perdagangan<br />
perempuan mengantri<br />
kepulangan <strong>dan</strong> se<strong>dan</strong>g di<br />
rumah shelter. Berpose<br />
bersama Koordinator Peneliti<br />
Menurut responden dari Universitas lnternasional Batam (UIB),<br />
korban perdagangan orang (trafficking) yang ada di Kepulauan Riau tidak<br />
65
hanya korban yang datang dari luar (TKI bermasalah) saja karena posisi<br />
segitiga kedekatan Batam, Singapore <strong>dan</strong> Malaysia, ternyata di dalam pun<br />
perdagangan orang (trafficking) terjadi kepada anak-anak di Kepulauan<br />
Riau. Hal ini terjadi karena tuntutan perubahan pola konsumsi dari<br />
masyarakat Kepulauan Riau yang mengarah pada penggunaan barang<br />
yang lebih Hi- Tech seperti HP <strong>dan</strong> sebagainya. Untuk mengikuti tuntutan<br />
kebutuhan konsumsi ataupun gaya hidup seperti itu, maka anak-anak<br />
terpaksa diperdagangkan oleh pihak-pihak tertentu. Perdagangan orang<br />
(trafficking) ini terjadi juga karena ada pembiaran dari aparat (wawancara<br />
dengan narasumber dari UIB, 24 Juli 2009, di Fakultas Hukum Universitas<br />
lnternasional Batam).<br />
Sementara itu, korban perdagangan orang (trafficking) terlibat<br />
dalam 2 jenis pekerjaan, yakni TKI <strong>dan</strong> Prostitusi. Perdagangan orang<br />
(trafficking) ini tidak akan mudah terjadi bila saja aparat tidak melakukan<br />
pembiaran (wawancara dengan narasumber dari DPRD kota Batam, 29<br />
Juli 2009 di Kantor DPRD Batam).<br />
Selanjutnya, menurut informan tersebut (wawancara narasumber<br />
dari DPRD kota Batam, 29 Juli 2009, di Kantor DPRD Batam),<br />
berdasarkan kasus yang ditangani berbagai instansi terkait di Batam,<br />
korban perdagangan orang (trafficking) umumnya memiliki karakteristik<br />
sebagai oerikut, yaitu:<br />
1. Karban berasal dari daerah minus yang mungkin memiliki pendapatan<br />
per kapita di bawah rata-rata. Mereka umumnya berasal dari keluarga<br />
dengan latar belakang ekonomi yang kurang atau golongan ekonomi<br />
lemah;<br />
2. Mereka adalah orang-orang yang ingin membantu mengurangi beban<br />
ekonomi keluarganya;<br />
3. Usia korban, pada umumnya, berada dalam rentang usia produktif,<br />
yakni antara 18 sampai 30 tahun bahkan 40 tahun tetapi secara fisik<br />
masih menarik. Senada dengan penjelasan dari informan ini, informan<br />
dari Yayasan Setara (wawancara dengan Direktur Eksekutif, tanggal<br />
25 Juli 2009, di Batam), mengatakan bahwa jumlah korban<br />
66
perdagangan orang (trafficking) relatif tidak mengalami perubahan.<br />
Pada tahun 2006 korban perdagangan orang (trafficking) yang paling<br />
besar adalah 33 % berumur 31 sampai 45 tahun. 49 % berumur 19<br />
sampai 30 tahun, <strong>dan</strong> 18% berumur 1 sampai 18 tahun.<br />
4. Korban umumnya memiliki tingkat pendidikan rendah. Sekitar 65 % di<br />
antaranya berpendidikan SO <strong>dan</strong> SMP <strong>dan</strong> selebihnya berpendidikan<br />
SL TA atau tidak sekolah. Sementara untuk mereka yang berpendidikan<br />
tinggi ketika menjadi korban perdagangan orang (trafficking) biasanya<br />
karena penipuan <strong>dan</strong> sangat kasuistik.<br />
5. Dari sisi etnis, mereka umumnya berasal dari suku Jawa <strong>dan</strong> Nusa<br />
Tenggara Barat. Korban yang berasal dari suku Melayu (Kepulauan<br />
Riau/Batam) sangat jarang. Mungkin hal tersebut dikarenakan orang<br />
Melayu sudah lebih mengetahui kondisi sebenarnya dari para TKI yang<br />
dikirim ke luar daerah atau luar negeri karena mereka sering melihat<br />
langsung para TKI <strong>dan</strong> korban perdagangan orang (trafficking) yang<br />
ada di Batam <strong>dan</strong> atau Kepulauan Riau.<br />
6. Daerah asal korban umumnya dari NTB, Jatim, Jateng, Jabar, Jakarta;<br />
asal tempat tinggalnya bisa dari perkotaan ataupun pedesaan;<br />
7. Selama ini yang relatif banyak korbannya adalah dari NTB, terutama<br />
dari Lombok. Sementara dari Sumbawa <strong>dan</strong> Bima relatif jarang.<br />
Kemudian dari wilayah Jatim terutama berasal dari Jember,<br />
Probolinggo, <strong>dan</strong> sektor yang paling ujung lainnya, sementara dari<br />
Surabayanya sendiri relatif sedikit. Dari Jawa Tengah, kebanyakan<br />
berasal dari Semarang, Brebes, <strong>dan</strong> sedikit dari daerah lainnya tetapi<br />
bukan daerah sentra pengiriman. Sementara, di Jawa Barat yang<br />
menjadi daerah sentra pengiriman adalah lndramayu, Kerawang,<br />
Cirebon, Sukabumi, Cianjur. Tidak ada korban yang berasal dari<br />
Bandung.<br />
8. Untuk korban kasus perdagangan orang (trafficking) yang terkait<br />
dengan aktivitas seksual, biasanya berasal dari daerah tertentu <strong>dan</strong><br />
latar belakang pekerjaan sebelumnya sebagai PSK. Mereka ingin<br />
67
memperbaiki hidup dengan mengikuti iming-iming yang ditawarkan<br />
pelaku perdagangan orang (traffickel).<br />
Sementara itu, hal yang sangat memprihatinkan ditemui dalam<br />
penelitian ini, adalah bahwa mereka yang menjadi korban perdagangan<br />
orang (trafficking) ada yang berumur antara 14 tahun sampai dengan 17<br />
tahun. Pada umumnya, identitas mereka selalu disamarkan. Mereka<br />
dijanjikan untuk bekerja di kedai, tetapi kemudian setibanya di Batam<br />
disekap beberapa hari, lalu langsung disuruh memberikan pelayanan seks<br />
kepada tamu.<br />
Gambar 7.<br />
Kompleksitas Penyebab Perdagangan Orang<br />
Namun demikian, kasus korban perdagangan orang (trafficking)<br />
yang di bawah umur tidak terlalu banyak. Anak tersebut antara lain ada<br />
yang direkrut dari anak jalanan. Anak-anak yang se<strong>dan</strong>g ngamen,<br />
misalnya di rumah makan, kemudian didekati <strong>dan</strong> ditawari kerja. Anak<br />
jalanan tersebut mau menerima tawaran kerja tersebut karena, karakter<br />
dasarnya memang nakal sehingga mau saja ketika diajak oleh pelaku<br />
perdagangan orang (traffickel). Untuk anak di bawah umur yang menjadi<br />
korban perdagangan orang (trafficking), misalnya umur 10 atau 11 tahun,<br />
kebanyakan dipekerjakan di perkebunan kelapa sawit <strong>dan</strong> sarang burung<br />
walet, di Malaysia. T eta pi yang lebih ban yak adalah mereka yang<br />
dipekerjakan di sarang burung walet karena tempatnya tertutup di dalam<br />
68
uangan, sehingga tidak diketahui oleh orang lain bila usaha tersebut<br />
mempekerjakan anak di bawah umur.<br />
Menurut responden dari UIB (wawancara dengan narasumber dari<br />
UIB, 24 Juli 2009, di Fakultas Hukum Universitas lnternasional Batam),<br />
Sekarang ini ditengarai ada beberapa pihak yang mencari anak-anak<br />
remaja di Batam atau Tanjung Pinang untuk diperdagangkan. Sebagai<br />
contoh, belum lama ini terungkap ada 9 orang remaja SMP yang diperjual<br />
belikan yang konon katanya hanya untuk menemani om-om duduk di<br />
kamar hotel, tapi ternyata sampai melakukan hubungan seksual dengan<br />
dijanjikan akan diberi uang sebesar 200 sampai 300 ribu rupiah.<br />
Pengguna jasanya pun tidak hanya mereka yang datang dari luar negeri<br />
seperti Singapore, tetapi juga orang-orang yang datang dari pusat<br />
(Jakarta). Jadi masalah perdagangan orang (trafficking) ini tidak hanya<br />
meliputi kegiatan lintas negara tetapi perdagangan orang (trafficking) di<br />
dalam negeripun harus diwaspadai.<br />
Dengan kerentanan korban, yaitu miskin <strong>dan</strong> ketidaktahuan akan<br />
kepastian pekerjaan, menjadi potensi yang besar akan terjadinya<br />
perdagangan orang (trafficking). Kerentanan korban perdagangan orang<br />
(trafficking) tersebut ditambah motivasi mereka untuk memperoleh uang<br />
bagi kelangsungan hidup mereka akan membuat mereka mudah terjebak<br />
dalam pentas perdagangan orang (trafficking). Atas dasar temuan<br />
penelitian ini, maka besar kemungkinan yang menjadi persoalan<br />
maraknya perdagangan orang (trafficking) adalah menyangkut persoalan<br />
kesulitan ekonomi <strong>dan</strong> kebodohan <strong>dan</strong> hal tersebut lebih pada persoalan<br />
dalam negeri.<br />
Dari sisi korban perdagangan orang (trafficking) itu sendiri, maka<br />
tampak bahwa banyak di antara mereka yang memiliki pola pikir bahwa<br />
mengikuti keinginan pelaku perdagangan orang (trafficker) adalah salah<br />
satu jalan terakhir <strong>dan</strong> pamungkas untuk melakukan perubahan<br />
kehidupan. Jadi untuk mengurangi perdagangan orang (trafficking) ini<br />
69
salah satunya adalah harus ada upaya untuk merubah pola pikir seperti<br />
itu.<br />
Mengacu pada mudahnya para korban perdagangan orang<br />
(trafficking) terjebak dalam pentas perdagangan orang (trafficking)<br />
tersebut maka tidaklah mustahil bahwa jumlah kasus perdagangan orang<br />
yang terjadi di Indonesia cukup tinggi. Meskipun belum ada angka-angka<br />
yang tepat tentang jumlah korban sesungguhnya, namun laporan dari<br />
kepolisian <strong>dan</strong> beberapa lembaga yang menangani korban menunjukkan<br />
jumlah kasus yang didampingi cukup tinggi.<br />
Sulitnya mendapatkan angka yang sesungguhnya terjadi<br />
dikarenakan kasus perdagangan orang merupakan fenomena gunung es.<br />
Hal ini karena selain masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang<br />
kejahatan perdagangan orang, juga kondisi korban yang tidak<br />
memungkinkan untuk melapor atas kasus yang dialaminya. Berbagai<br />
alasan dikemukakan korban tentang tidak dilaporkannya kasus yang<br />
dihadapi seperti berada dalam ancaman, tidak tahu harus melapor ke<br />
mana, pertimbangan keluarga, gangguan psikis yang membuat korban<br />
selalu dalam ketakutan, menyalahkan diri, menutup diri, <strong>dan</strong> hilang<br />
kepercayaan diri, serta respon masyarakat <strong>dan</strong> lingkungan yang tidak<br />
mendukung korban.<br />
Data korban perdagangan orang yang didampingi International<br />
Organization for Migration (10M) medio Maret 2005- April 2008 sebanyak<br />
3.127 korban dengan proporsi 25,6% orang adalah katagori anak (laki-laki<br />
<strong>dan</strong> perempuan), 67,6% adalah katagori perempuan <strong>dan</strong> 6,7% adalah<br />
katagori laki-laki usia dewasa (Laporan 10M Indonesia, 2008). Se<strong>dan</strong>gkan<br />
jumlah korban perdagangan orang berdasarkan daerah asal yang terdata<br />
di Batam dapat dilihat pada tabel berikut:<br />
70
Tabel2.<br />
Jumlah Korban Perdagangan Orang Berdasarkan Daerah Asal<br />
Pengiriman yang Terdata di Batam, Kepulauan Riau<br />
12. DKI Jakarta 42 orang<br />
Sumber: Diolah dari Laporan /OM Indonesia, 2008.<br />
Sementara dilihat dari daerah atau negara tujuan mereka<br />
diperdagangkan adalah selain di dalam negeri, sebagian besar ke<br />
Malaysia, Saudi Arabia, Singapore, Jepang, Syria, Kuwait, Taiwan <strong>dan</strong><br />
Iraq.<br />
Berdasarkan berdasarkan data yang dihimpun dari Kepolisian Rl<br />
tentang proses penanganan saksi <strong>dan</strong> I atau korban perdagangan orang<br />
adalah sebagai berikut:<br />
71
Tabel3.<br />
Data Kasus TPPO 2004 - 2008<br />
Sumber: Badon Reserse Kriminal, Polisi Republik Indonesia 2008.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan data anak-anak yang dieksploitasi secara seksual<br />
terutama anak yang dilacurkan juga tinggi. Menurut hasil studi Hull dkk<br />
(1997) <strong>dan</strong> Farid (1999), anak yang dilacurkan mencapai sekitar 30<br />
persen dari total prostitusi (40.000-70.000 atau bahkan lebih). Biasanya<br />
proses pelacuran paksa melalui modus perdagangan orang.<br />
Berbagai dampak ditimbulkan oleh tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan<br />
orang (trafficking) ini seperti dampak fisik mulai luka ringan,<br />
kerusakan/gangguan alat reproduksi, sampai pada kematian. Dampak<br />
fisik ini biasanya juga diiringi oleh dampak psikis mulai dari trauma ringan<br />
sampai berat.<br />
Khusus untuk perdagangan orang yang menggunakan cara<br />
kekerasan <strong>dan</strong> tujuan eksploitasi seksual biasanya menyebabkan trauma<br />
berkepanjangan <strong>dan</strong> menyebabkan gangguan mental. Data korban yang<br />
didampingi International Organization for Migration (10M) menunjukkan<br />
bahwa rata-rata korban mendapatkan masalah kesehatan fisik <strong>dan</strong><br />
terinfeksi penyakit seksual menular. Catatan dampingan 10M juga<br />
menunjukkan banyak korban mengalami gangguan psikis yang sering<br />
dialami korban mulai gejala stres pasca trauma, gejala depresi, masalah<br />
pskiatri, gejala kecemasan berlebihan, penggunaan obat/alkohol/rokok<br />
yang berhubungan dengan depresi, <strong>dan</strong> merasa harga diri/kepercayaan<br />
diri rendah.<br />
72
5.2.3. Proses Rekrutmen Dan Modus Operandi<br />
Perdagangan orang saat ini sudah menjadi bisnis global, yang<br />
memberikan keuntungan terbesar ketiga setelah perdagangan senjata <strong>dan</strong><br />
obat-obatan terlarang. Perdagangan orang merupakan sindikat<br />
internasional yang terorganisir. Di Indonesia ada dua lingkup wilayah<br />
tujuan perdagangan orang, yaitu antar daerah/pulau <strong>dan</strong> antar negara.<br />
Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 33 propinsi, 17.504<br />
pulau <strong>dan</strong> ratusan suku <strong>dan</strong> kelompok budaya, sehingga sangat<br />
memudahkan terjadinya perdagangan orang dalam lingkup domestik.<br />
Ada banyak propinsi di negara ini di mana seseorang dapat<br />
diperdagangkan ke tempat yang tidak dikenal <strong>dan</strong> tidak diperbolehkan<br />
untuk mendapatkan bantuan agar bisa kembali ke rumah. Sebagai contoh,<br />
banyak perempuan muda yang belum menikah dari Jawa Barat direkrut<br />
untuk dipekerjakan di kawasan industri di Kepulauan Riau. Sampai di<br />
tempat tujuan, justru mereka ditempatkan di lokasi-lokasi hiburan sebagai<br />
pekerja seks, <strong>dan</strong> mereka tidak bisa melepaskan diri karena harus<br />
membayar uang dalam jumlah besar yang dibebankan pada mereka<br />
sebagai biaya rekrutmen <strong>dan</strong> transportasi. Dari beberapa propinsi di mana<br />
kasus perdagangan domestik terjadi di tempat-tempat wisata atau propinsi<br />
yang berbatasan dengan negara lain, seperti Riau (Batam <strong>dan</strong> Tanjung<br />
Balai Karimun), Kalimatan Barat, serta Bali, Jakarta <strong>dan</strong> Surabaya<br />
merupakan daerah tujuan. Di tingkat internasional biasanya disamarkan<br />
dalam proses penempatan tenaga kerja buruh migran atau untuk<br />
pengantin pesanan. Perempuan lokal biasanya dibujuk oleh calo yang<br />
menawarkan gaji tinggi atau dalam bentuk perkawinan yang menjanjikan<br />
hidup mewah. Negara-negara yang menjadi tujuan perdagangan manusia<br />
lnternasional dari Indonesia umumnya adalah Taiwan, Korea Selatan,<br />
Malaysia, Singapura, Jepang <strong>dan</strong> sebagian besar negara Timur Tengah.<br />
Definisi perdagangan orang mengalami perkembangan sampai<br />
ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in<br />
Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation<br />
73
-<br />
Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam<br />
protokol tersebut yang dimaksudkan perdagangan orang adalah<br />
rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan<br />
seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk<br />
bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan ,<br />
atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun<br />
penerimaan/pemberian bayaran atau manfaat sehingga memperoleh<br />
persetujuan orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk<br />
dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi<br />
atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lain, kerja atau pelayanan paksa,<br />
perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau<br />
pengambilan organ-organ tubuh.<br />
Dengan alasan menyediakan lapangan pekerjaan menjadi jalan<br />
mulus buat mereka mendapatkan mangsa. Agen <strong>dan</strong> calo perdagangan<br />
manusia mendekati korbannya di rumah-rumah perdesaan, di keramaian<br />
pesta-pesta pantai, mal, kafe atau di restoran. Para agen atau calo ini<br />
bekerja dalam kelompok <strong>dan</strong> sering menyaru sebagai remaja yang<br />
se<strong>dan</strong>g bersenang-senang atau sebagai agen pencari tenaga kerja.<br />
Korban yang direkrut dibawa ke tempat transit atau ke tempat<br />
tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan pesawat<br />
terbang, kapal atau mobil bergantung pada tujuannya. Biasanya agen<br />
atau calo menyertai mereka <strong>dan</strong> menanggung biaya perjalanan. Untuk ke<br />
luar negeri, mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen<br />
dipegang agen termasuk penanganan masalah keuangan.<br />
Sering perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa<br />
perjalanan yang ditempuh sangat jauh sehingga sulit kembali. Jika muncul<br />
keinginan korban untuk pulang, mereka ditakut-takuti atau bahkan<br />
diancam.<br />
Di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah penampungan untuk<br />
beberapa minggu menunggu penempatan kerja yang dijanjikan. Akan<br />
74
tetapi, kemudian mereka dibawa ke bar, pub, salon kecantikan , rumah<br />
bordil <strong>dan</strong> rumah hiburan lain, <strong>dan</strong> mulai dilibatkan kegiatan prostitusi.<br />
Mereka diminta menandatangani kontrak yang tidak mereka<br />
mengerti isinya. Jika menolak, korban diminta membayar kembali biaya<br />
perjalanan <strong>dan</strong> tebusan dari agen atau calo yang membawanya. Jumlah<br />
yang biasanya membengkak itu menjadi utang yang harus ditanggung<br />
korban.<br />
Di dunia internasional, Indonesia dikenal sebagai daerah sumber<br />
dalam perdagangan orang. Berdasar pada berbagai studi, ditengarai<br />
bahwa ada beberapa propinsi di Indonesia yang utamanya merupakan<br />
daerah sumber, tapi ada beberapa kabupaten/kota di propinsi itu yang<br />
juga diketahui sebagai daerah penerima atau yang beriungsi sebagai<br />
daerah transit. Lampung termasuk salah satu di dalamnya.<br />
Selain menjadi negara sumber, baru-baru ini muncul indikasi bahwa<br />
Indonesia mungkin juga menjadi negara penerima <strong>dan</strong> atau transit untuk<br />
perdagangan orang internasional.<br />
Dalam bisnis perdagangan orang ini dikenal beragam modus<br />
operandi. Umumnya modus operandi yang dipergunakan adalah: bujuk<br />
rayu dengan iming-iming tertentu, pemaksaan/kekerasan <strong>dan</strong> intimidasi,<br />
penculikan, pengiklanan secara bertingkat <strong>dan</strong> terus menerus melalu<br />
beragam media massa, pemalsuan identitas/dokumen pribadi, sampai<br />
kepada "penjualan" yang justru dilakukan oleh orang-orang terdekat<br />
(orangtua, kerabat-saudara, tetangga, ternan).<br />
Perdagangan orang menjadi kejahatan berat bagi kemanuisaan.<br />
Mengingat korban dari perdagangan manusia akan mengalami kerugian<br />
yang luar biasa baik secara psikis maupun fisik. Bahkan masa depannya<br />
hilang begitu saja. Perdagangan orang saat ini menjadi hantu di siang<br />
bolong yang memburu anak-anak Indonesia terutama yang keluarganya<br />
termasuk golongan miskin.<br />
75
Gambar 8.<br />
Alur Perekrutan Perdagangan Orang<br />
Sumber: Diolah dari www.bppkb.ntbprov.gov.id<br />
Dalam penelitian ini terlihat bahwa modus operandi yang paling<br />
utama adalah penipuan dengan mengiming-imingi kehidupan yang lebih<br />
baik. Dari pengakuan korban yang paling sering didengar, awalnya adalah<br />
ditawari bekerja di Batam ataupun Malaysia <strong>dan</strong> Singapore. Para trafficker<br />
umumnya memberi iming-iming pekerjaan kepada para calon korbannya<br />
dengan gaji yang tinggi, mencapai 4 - 5 juta rupiah per bulan.<br />
Betapa efektifnya upaya rekrutmen yang dilakukan dapat terlihat<br />
dari contoh kasus di mana ada korban perdagangan orang (trafficking)<br />
yang sebelum menjadi korban sebenarnya ia sudah bekerja di mall<br />
dengan gaji 1 juta rupiah per bulan. Namun karena diiming-imingi dengan<br />
gaji yang tinggi oleh seorang pelaku perdagangan orang (trafficker) , maka<br />
ia pun tergoda untuk keluar dari tempat kerjanya ikut dengan pelaku<br />
perdagangan orang (trafficker) tersebut. Apa yang terjadi kemudian<br />
adalah bahwa ia dipekerjakan sebagai PSK di Sintai (pulau Pan<strong>dan</strong>).<br />
Dalam banyak kasus, mereka setelah bekerja juga tidak pernah menerima<br />
uang dari pelanggan karena alasan terjerat hutang selama proses<br />
rekrutmen.<br />
76
Pola rekrutmen dalam menjanng korban biasanya dengan<br />
menggunakan sistem sponsor. Yang dimaksud dengan sponsor adalah<br />
orang yang merekrut korban di daerah asal korban <strong>dan</strong> mempersiapkan<br />
seluruh keperluan untuk proses pemberangkatan, termasuk penginapan<br />
korbannya. Persoalannya, yang menjadi calo ini tidak hanya satu orang<br />
melainkan berantai, sehingga banyak tangan yang terlibat. Jadi di daerah<br />
asal saja bisa terjadi korban berpindah tangan dari calo yang satu ke calo<br />
yang lainnya. Kemudian diaper lagi ke calo di Jakarta atau Surabaya. Lalu<br />
dibawa atau dikirim ke Batam, Tanjung Pinang, Bintan ataupun Karimun.<br />
Selanjutnya mereka diberangkatkan ke negara tetangga naik<br />
pompong/perahu kecil <strong>dan</strong> di sana sudah ada yang menampung, yaitu<br />
tekongnya.<br />
Pihak korban biasanya langsung direkrut oleh sponsor dari tempat<br />
asal kemudian di bawa ke Batam <strong>dan</strong> dijanjikan untuk dipekerjakan.<br />
Pekerjaan yang ditawarkan antara lain, misalnya, untuk bekerja di salon<br />
atau kerja di restoran di Malaysia, <strong>dan</strong> sebelum berangkatkan transit dulu<br />
di Batam.<br />
Selain itu, dalam merekrut korbannya para sponsor tersebut<br />
biasanya juga melakukan pendekatan terhadap orang tua korban di<br />
kampung-kampung. Mereka mengatakan bahwa anaknya akan diberi<br />
pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi <strong>dan</strong> untuk meyakinkan<br />
terhadap orang tua tersebut mereka memberikan sejumlah uang. Dengan<br />
demikian tentu saja orang tua korban cukup percaya terhadap apa yang<br />
dikatakan si sponsor bahwa anaknya akan dipekerjakan antara lain di mal,<br />
di restoran di Batam, <strong>dan</strong> sebagainya. Namun kenyataannya antara yang<br />
dijanjikan dengan apa yang dilaksanakan berbeda.<br />
Selain memberikan uang kepada orang tua korban, pihak sponsor<br />
juga menanggung semua biaya seperti untuk transportasi, akomodasi,<br />
konsumsi, <strong>dan</strong> sebagainya sesuai dengan kebutuhan. Dengan begitu<br />
pihak korban pun terbuai karena untuk mendapatkan pekerjaan tersebut<br />
dia tidak perlu mengeluarkan biaya. Celakanya, setelah sampai di tempat<br />
77
tujuan barulah korban diberitahu bahwa keseluruhan jumlah uang yang<br />
telah dikeluarkan oleh sponsor tersebut, dari awal pengeluaran di<br />
kampung sampai di tempat tujuan pada akhirnya dikalkulasi sebagai<br />
hutang si korban <strong>dan</strong> harus dilunasi selama menjalankan pekerjaannya.<br />
Selama hutang tersebut belum dilunasi maka korban tidak diperbolehkan<br />
berhenti kerja <strong>dan</strong> harus mengikuti aturan dari trafficker yang<br />
bersangkutan.<br />
Selain melakukan rekrutmen secara face to face di daerah<br />
pedesaan, ada pula para sponsor di perkotaan yang menjaring korbannya<br />
dengan memasang iklan di media cetak. Sebagai ilustrasi, Linda (bukan<br />
nama sebenarnya), gadis keturunan Sumatera yang tinggal di Bekasi<br />
adalah anak tunggal <strong>dan</strong> ayahnya sudah meninggal. Ia direkrut di<br />
belakang Carefour Cileduk melalui iklan di koran Pos Kota dengan iming<br />
iming penghasilan 30 juta per bulan. Ketika melamar dia diterima untuk<br />
bekerja di Singapore. Sebelum diberangkatkan, dia menginap (ditampung)<br />
dulu beberapa malam di rumah sponsornya, <strong>dan</strong> ternyata di sana sudah<br />
banyak orang datang silih berganti. Kemudian dia diberangkatkan<br />
bersama 2 orang temannya dari bandara Cengkareng ke Batam <strong>dan</strong><br />
semua surat-suratnya sudah dibuatkan <strong>dan</strong> disiapkan oleh sponsornya.<br />
Meskipun Linda kelahiran tahun 1984, tetapi dalam pasportnya dipalsukan<br />
oleh rekruter menjadi kelahiran 1986.<br />
Meskipun ia berangkat bersama, bertiga, namun mereka memiliki 2<br />
bos yang berbeda, karena 2 orang akan dikirim ke Singapore <strong>dan</strong> 1 orang<br />
untuk ke Malaysia. Sesampainya di bandara Hang Nadiem, Batam, dia<br />
dijemput oleh aju<strong>dan</strong> bosnya yaitu seorang enci <strong>dan</strong> satu engkoh serta<br />
anak kecil <strong>dan</strong> dibawa ke salah satu hotel. Di sana sudah menunggu<br />
seseorang (orang Cina) yang menjadi bosnya <strong>dan</strong> dia pun diajak<br />
menginap dulu di situ. Sebelum nantinya diperdagangkan, di situ dia<br />
diminta untuk memberikan pelayanan seks dulu oleh bosnya. Baru<br />
keesokan harinya dia berangkat dari pelabuhan dengan kapal Batam Fast<br />
ke Singapore.<br />
78
Setibanya di Singapore, dia ditempatkan di suatu apartemen <strong>dan</strong> di<br />
sana sudah ada beberapa perempuan lain. Selama di sana , dia sempat<br />
diperdagangkan di Iorang 12 Singapore selama sekitar 6 hari. Pertama<br />
kali dia sempat menolak ketika akan dipakai oleh ternan bosnya. Tetapi<br />
tamu tersebut kemudian melaporkan kepada bosnya. Akibatnya, meski<br />
tidak disiksa secara fisik, dia dimarahi <strong>dan</strong> disuruh melayani temannya<br />
tersebut. Setiap bulan dia ditarget harus menyetor 120 kong (melayani<br />
120 tamu) atau rata-rata 6 - 7 tamu per hari. Bila tamunya kurang dari<br />
jumlah tersebut maka dia akan ditegur "bagaimana kamu mau melunasi<br />
utangmu kalau hanya dapat tamu segitu?". Seluruh penghasilan dari<br />
melayani tamu tersebut diserahkan kepada bosnya. Kalau bulan pertama<br />
tidak dapat mencapai target tersebut, maka harus melunasinya pada<br />
bulan kedua. Bulan berikutnya (kedua) ditarget 65 kong. Dalam<br />
melakukan pekerjaannya korban di rolling antara Singapore, Bali <strong>dan</strong><br />
Batam setiap 15 hari sekali.<br />
Beberapa hari berselang, dari apartemen itu ada 2 perempuan<br />
korban yang kabur. Pada saat itu dia <strong>dan</strong> teman-temannya sempat<br />
diancam oleh bosnya bahwa bila dia atau siapapun yang kabur, maka<br />
ketika di Jakarta pasti akan dicari, karena mereka harus melunasi uang<br />
yang sudah dikeluarkan bos sebesar $ Sing. 1.000. Namun karena<br />
merasa dieksploitasi, akhirnya korban inipun kabur bersama seorang<br />
temannya. Dalam pelariannya dia pergi <strong>dan</strong> menginap di hotel 81 dengan<br />
membayar secara patungan, masing-masing $ Sing. 30. Dari situ dia pergi<br />
ke Harbour, tetapi berpisah dengan temannya karena dia mau pulang<br />
sendiri, sementara korban melalui pertolongan temannya yang dikontak<br />
melalui telepon pergi meminta pertolongan ke embassy. Setelah<br />
menginap semalam di embassy kemudian diberangkatkan dengan naik<br />
kapallaut ke Batam.<br />
Rekruter di Jakarta mendapat fee sebesar $ Sing. 1.000 dari<br />
bosnya untuk setiap perempuan yang bisa direkrut <strong>dan</strong> bisa dikirimkannya<br />
ke Singapore. tetapi seluruh biaya penginapan, makan, transport, <strong>dan</strong><br />
dokumen seluruhnya dibiayai oleh rekruter di Jakarta. Jadi diperkirakan<br />
79
dari setiap anak perempuan yang bisa dikirimkan dia akan mendapatkan<br />
keuntungan sekitar 4 juta rupiah.<br />
Sebenarnya bila mau ditelusuri Janngannya, relatif jelas <strong>dan</strong><br />
memang dapat ditelusuri kendati tersendat-sendat pula. Rekruter di<br />
Jakarta pernah berkata bahwa kenalannya banyak bahkan sampai<br />
dengan jenderal.<br />
Modus operandi dengan jebakan hutang ini tampaknya menjadi<br />
satu modus utama yang digunakan oleh semua trafficker <strong>dan</strong> cukup<br />
effektif dalam mengendalikan korbannya. Jeratan hutang dimanfaatkan<br />
untuk mengikat korban agar tidak kembali ke daerah asal <strong>dan</strong> terus<br />
bekerja di lokasi yang sudah diatur oleh pelaku perdagangan orang<br />
(trafficker). Hutang yang dibebankan kepada korban perdagangan orang<br />
(trafficking) berdasarkan kalkulasi pengeluaran yang telah dikeluarkan<br />
untuk kepentingan pemberangkatan korban dari daerah asal ke daerah<br />
tujuan. Jadi, misalnya, dari mulai sponsor meninggalkan sejumlah uang<br />
buat orang tua korban, memberi uang untuk rekruter lokal, ditambah lagi<br />
dengan biaya perjalanan, penginapan di jakarta, tiket pesawat, <strong>dan</strong><br />
sebagainya akan dikalkulasi sebagai hutang korban .<br />
Kemudian ketika sampai ditempat tujuan mereka baru diberitahu<br />
bahwa korban memiliki hutang sejumlah tersebut, <strong>dan</strong> untuk<br />
membayarnya ia diharuskan bekerja terus sampai hutangnya lunas.<br />
Padahal ketika mereka melayani tamu , apa yang dia peroleh tidak<br />
diterima secara penuh karena harus dipotong oleh berbagai potongan,<br />
sehingga apa yang diterimanya sangat minimal. Oleh karena itu mau tidak<br />
mau mereka harus berutang lagi kepada bosnya untuk menutup<br />
kekurangan hidupnya seperti untuk makan, kosmetik, <strong>dan</strong> sebagainya.<br />
Akibatnya dia terjebak ke dalam lingkaran atau jebakan hutang sehingga<br />
sulit untuk ke luar dari dunia prostitusi tersebut.<br />
Mengacu pada uraian pengalaman beberapa korban perdagangan<br />
orang (trafficking) di atas, maka adalah benar bahwa jeratan hutang<br />
adalah salah satu sarana bagi orang atau kelompok orang untuk<br />
80
menguasai seseorang untuk tujuan mempunyai kendali atau kontrol atas<br />
seseorang, atau untuk memaksakan kehendak atau kepentingan , atau<br />
untuk eksploitasi. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Anti<br />
Slavery lnternatioal /Anti Kemiskinan lnternasional 34 , bahwa:<br />
" seseorang masuk ke dalam jeratan hutang jika tenaga kerja atau<br />
kerjanya dipakai sebagai alat untuk melunasi hutang atau uang yang<br />
sudah diberikan di muka. Biasanya orang tertipu atau terjebak daiam<br />
kerja tanpa upah atau dengan upah yang sangat sedikit (untuk<br />
melunasi hutang tersebut), dengan kondisi kerja yang melanggar HAM.<br />
Umumnya pula, nilai tenaga atau kerja yang dilakukan oleh pekerja<br />
yang terejerat hutang melebihi jumlah uang yang dipinjam atau<br />
diberikan dimuka tersebut."<br />
Se<strong>dan</strong>gkan dalam Konvensi Tambahan PBB tentang Penghapusan<br />
Perbudakan, Perdagangan Budak <strong>dan</strong> lnstitusi serta Trafficker- Trafficker<br />
Serupa Perbudakan (1956) 35 , Jeratan Hutang didefinisikan sebagai:<br />
"Jeratan Hutang, yaitu: status atau kondisi yang timbul dari suatu janji<br />
oleh penerima prnJaman berkenaan dengan jasa yang akan<br />
diberikannya secara pribadi atau oleh seseorang yang berada di bawah<br />
kekuasaanya sebagai jaminan untuk hutang tersebut, <strong>dan</strong> jika nilai dari<br />
jasa tersebut secara taksiran yang masuk akal tidak diterapkan dalam<br />
hal pelunasan hutangnya atau lamanya waktu serta sifat jasa tersebut<br />
tidak dibatasi <strong>dan</strong> tidak didefinisikan" (Pasal. 1 a)<br />
Sementara itu, Jeratan Hutang dalam penjelasan International<br />
Labour Organization (ILO) /Organisasi Buruh lnternasional mengenai<br />
Jeratan Hutang <strong>dan</strong> Buruh ljon, adalah 36 ;<br />
"Terjadi saat seseorang dijadikan jaminan terhadap hutang atau<br />
pinjaman. lnilah hal yang membedakan antara kerja paksa <strong>dan</strong><br />
perbudakan. Seseorang yang dimaksudkan harus melakukan sebagian<br />
atau keseluruhan dari suatu pekerjaan untuk membayar hutang yang<br />
telah timbul. Dalam banyak kasus, hutang ini tercipta karena pada satu<br />
sisi, pekerjaan atau jasa yang dilakukan dinilai sangat rendah<br />
se<strong>dan</strong>gkan pada sisi lain manjikan menyediakan makanan, <strong>dan</strong> tempat<br />
34 Konferensi Nasional "Jeratan Hutang dalam Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak di Indonesia"<br />
oleh <strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan Rl, ACILS, ICMC, USAID.<br />
35 1bid.<br />
36 1bid.<br />
81
tinggal dengan harga yang sangat tinggi sehingga membuat pekerja<br />
sulit melepaskan diri dari hutang tersebut. Hutang juga dapat timbul dari<br />
proses perekrutan <strong>dan</strong> transportasi, yang pada akhirnya mempengaruhi<br />
tingkat kebebasan dalam suatu hubungan kerja."<br />
Lebih lanjut, dijelaskan oleh ILO dalam bahasannya tentang<br />
"Perdagangan Manusia <strong>dan</strong> Eksploitasi Kerja Paksa 2005" 37 , hutang dapat<br />
disebut atau digolongkan jeratan hutang atau hutang yang menjerat jika<br />
memenuhi unsur-unsur berikut:<br />
Seseorang yang berhutang atau orang lain yang mempunyai<br />
hubungan dengan yang berhutang dijadikan sebagai jaminan terhadap<br />
hutang /pinjaman;<br />
Seseorang yang berhutang tersebut melakukan sebagian atau<br />
keseluruhan pekerjaan untuk melunasi hutang dengan tingkat bunga yang<br />
sangat tinggi;<br />
Hutang segaja diciptakan untuk memberikan kesulitan pekerja<br />
untuk melepaskan diri dari hutang karena pekerjaan atau tenaga kerja<br />
dinilai sangat rendah <strong>dan</strong> makanan, tempat, transportasi <strong>dan</strong> akomodosi<br />
lain disediakan oleh majikan atau germo atau mucikari atau pemilik rumah<br />
<strong>dan</strong> sebagainya dengan harga sangat tinggi;<br />
Hutang yang muncul dari proses perekrutan atau transportasi<br />
mempengaruhi tingkat kebebasan dalam hubungan kerja;<br />
Terjadi penipuan tentang hak <strong>dan</strong> kondisi kerja, lnformasi kontrak<br />
kelihatan resmi tetapi majikan mendapatkan keuntungan finansial atau<br />
keuangan atau jasa atas dasar penipuan, yang disemua negara ianggap<br />
melanggara hukum.<br />
Dengan jeratan hutang tersebut maka akan tercipta kondisi di mana<br />
para pihak yang meminjamkan tetap dapat mengambil keuntungan<br />
secara finansial atau keuangan dari orang atau pihak yang berhutang<br />
yang antara lain menyebabkan seseorang yang berhutang tetap terus<br />
bekerja untuknya karena mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari<br />
37 Ibid.<br />
82
hutang atau dari pekerjaanya, terus melayani kebutuhan atau<br />
kepentingan-kepentingan dengan tanpa bayaran atau dengan bayaran<br />
yang sangat rendah kepada orang yang memberi pinjaman atau hutang<br />
sehingga pada gilirannya mereka tidak melawan atau tunduk dibawah<br />
kontrol penguasaan orang yang memberi hutang atau pinjaman tersebut.<br />
Dalam kasus-kasus jeratan hutang, biasanya hutang sudah timbul<br />
sejak orang memulai proses perpindahanya ke daerah lain untuk tujuan<br />
mencari atau bekerja. Tidak hanya masalah korban tidak mempunyai<br />
uang untuk membayar semua biaya untuk keperluan bekerja, melainkan<br />
para korban juga dikondisikan untuk mempunyai hutang kepada pelaku<br />
dengan jumlah yang besar. Seperti dompet <strong>dan</strong> uang dirampas, korban<br />
dijanjikan bekerja dengan biaya gratis atau ditanggung pelaku sehingga<br />
korban tidak perlu memikirkan atau mempersiapkan biaya.<br />
Keperluan-keperluan yang membutuhkan biaya tersebut antara lain<br />
seperti biaya imigrasi, transportasi, makan <strong>dan</strong> minum, pakaian<br />
(akomodasi lain), dokumen atau administrasi perjalanan, biaya pelatihan,<br />
biaya penampungan atau penginapan, <strong>dan</strong> sebagainya. Biaya-biaya yang<br />
dijanjikan gratis tersebut kemudian dibebankan kepada korban di tempat<br />
kerja atau di tempat tujuan ditambah bunganya sehingga korban<br />
mempunyai hutang yang besar <strong>dan</strong> harus diangsur dengan cara dipotong<br />
atau ditahan atau dirampas gajinya.<br />
Situasi tersebut menjadikan pelaku perdagangan orang (trafficker)<br />
mempunyai kendali penuh terhadap diri korban. Sehingga para pelaku<br />
mudah memaksakan kehendak <strong>dan</strong> kepentingannya kepada korban.<br />
Sementara korban tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti<br />
kehendak para pelaku. Akibatnya para korban mengalami kesulitan untuk<br />
keluar atau melepaskan diri dari situasi yang mengeksploitasi mereka.<br />
Modus perdagangan orang (trafficking) yang akhir-akhir ini marak<br />
adalah dengan menghilangkan dokumen ketika korban sudah sampai di<br />
tempat tujuan, supaya mereka masuk lagi ke Indonesia melalui jalan-jalan<br />
tikus. Hanya saja ketika mereka tertangkap biasanya tidak diproses<br />
83
hukum oleh polisi karena merasa kasihan menjadi korban , selain<br />
pertimbangan bahwa mereka merupakan warga Indonesia. Kalaupun<br />
tertangkap, mereka hanya diberi pengarahan bahwa apa yang<br />
dilakukannya salah <strong>dan</strong> dijelaskan mengenai pentingnya dokumen bagi<br />
mereka. Mereka biasanya akan diinapkan di kantor polisi semalam atau<br />
diserahkan ke Dinas Sosial, yang biasanya kemudian dipulangkan oleh<br />
Dinas Sosial secara gratis dengan menggunakan kapal laut. Atau bila<br />
mereka mau membiayai kepulangannya sendiri, maka polisi membantu<br />
pengurusannya untuk pulang langsung ke daerah asalnya. Bantuan<br />
tersebut diperlukan agar mereka tidak dijadikan sasaran pemerasan oleh<br />
tekong-tekong di sini. Karena ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g mereka dikenakan paket<br />
biaya pulang mulai dari carter mobil menuju ke pesawat, biaya pesawat,<br />
biaya kapal, <strong>dan</strong> sebagainya. Bila dirata-rata, untuk kepulangan tersebut<br />
mereka bisa menghabiskan 5 juta rupiah. Meskipun mereka sebenarnya<br />
tidak begitu mempermasalahkan, karena yang penting bisa sampai di<br />
tujuan.<br />
Modus lainnya yang banyak terungkap dalam penelitian ini adalah<br />
adalah perkawinan palsu. Modus ini terungkap dari kasus yang dilakukan<br />
oleh orang Malaysia yang melakukan pernikahan dengan orang Indonesia<br />
<strong>dan</strong> tercatat dilakukan di Bekasi. Namun ketika keabsahan pernikahan<br />
tersebut- dicek di KUA Bekasi, ternyata buku nikahnya fiktif (bodong)<br />
karena tidak tercatat di KUA.<br />
Karban pernikahan bodong yang pernah diproses hukum mencapai<br />
13 orang. Menurut para korban mereka memang tidak menikah di depan<br />
KUA melainkan hanya dilakukan secara siri saja. Umur korban bervariasi<br />
tidak semuanya di bawah umur, ada yang umur 17, 18, 25 , tetapi rata-rata<br />
sudah cukup umur. Asal daerah para korban pun bervariasi seperti dari<br />
Cirebon, lndramayu, Lampung <strong>dan</strong> sebagainya. Jadi pernikahan tersebut<br />
sebenarnya hanya sebagai modus trafficking yang dilakukan untuk<br />
mengelabui petugas penegak hukum, karena realitanya mereka yang<br />
menjadi korban pernikahan ini akhirnya dijual ke Malaysia. Rata-rata<br />
perempuan korban tersebut tidak mengetahui akan dipekerjakan di<br />
84
Malaysia. Menurut para korban yang ditemui dalam penelitian ini , pelaku<br />
perdagangan orang (trafficker) tersebut mengaku memiliki usaha restoran<br />
sehingga mereka terkena rayuannya dengan harapan masa depannya<br />
menjadi lebih terjamin.<br />
Ada juga modus di mana orang Nigeria mengawini secara resmi<br />
perempuan Indonesia yang masih produktif tetapi membutuhkan finansial.<br />
Kemudian setelah hamil <strong>dan</strong> melahirkan, mereka di bawa ke luar negeri.<br />
Selanjutnya perempuan tersebut diberi ongkos untuk pulang ke Indonesia<br />
tetapi anaknya ditinggal di luar negeri. Tetapi kebanyakan ibu-ibu tersebut<br />
mau melakukan hal tersebut. Hal semacam itu juga banyak terjadi di<br />
daerah Pontianak <strong>dan</strong> Samarinda yang banyak orang Cinanya, tetapi<br />
umumnya mereka menikah dengan orang Taiwan. Kemudian setelah<br />
memiliki anak mereka dibawa ke Taiwan. Ketika sampai di Taiwan,<br />
suaminya membolehkan istrinya pulang ke Indonesia tetapi anaknya tidak<br />
boleh dibawa pulang.<br />
Pola jaringan trafficking yang dikembangkan dalam pengiriman<br />
korban, biasanya sponsor di daerah asal sudah mengontak pihak<br />
penerima atau traffickerdi daerah tujuan. Ia memberi tahu bahwa ia sudah<br />
mendapat beberapa klien <strong>dan</strong> pihak penerima tinggal menunggu di<br />
Bandara Batam. Dalam proses pengirimannya, sebelum diberangkatkan<br />
ke daerah tujuan kebanyakan para korban tersebut ditampung dulu di<br />
Jakarta. Dari sana baru kemudian diberangkatkan ke Batam.<br />
Adapun pola awal yang digunakan para pelaku perdagangan orang<br />
(trafficker) dalam pengiriman korban, pihak sponsor turut mendampingi<br />
mengantar korban mulai dari kampung atau daerah asalnya sampai di<br />
Batam atau tempat tujuan. Dalam proses ini bos traffickemya hanya<br />
mentransfer sejumlah uang kepada pihak sponsor untuk membiayai<br />
berbagai pengeluaran yang dibutuhkan sponsor. Sementara bos pelaku<br />
perdagangan orang tinggal menunggu <strong>dan</strong> menerima korban di tempat<br />
yang diinginkannya. Namun sekarang ini pola pengiriman semacam itu<br />
telah ditinggalkan atau berubah. Perubahan tersebut terjadi karena pola<br />
85
semacam itu seringkali dapat dideteksi <strong>dan</strong> ditangani oleh polisi. Bahkan<br />
karena polisi sudah paham dengan pola tersebut, ada trafficker yang<br />
pernah tertangkap <strong>dan</strong> disi<strong>dan</strong>gkan sebanyak 2 kali .<br />
Pola pengiriman yang sekarang berkembang adalah , pihak sponsor<br />
hanya mengantar sampai Jakarta <strong>dan</strong> korbannya kemudian<br />
diberangkatkan sendiri dari bandara Cengkareng ke bandara Hang<br />
Nadiem di Batam tanpa diantar ataupun didampingi oleh anggota jaringan<br />
trafficker. Karban yang diberangkatkan tersebut hanya diberi petunjuk,<br />
misalnya, setelah sampai di bandara Batam ia disuruh ke luar <strong>dan</strong><br />
mencari toilet atau musholla, <strong>dan</strong> diberitahu nanti akan ada orang yang<br />
menjemputnya di situ. Selanjutnya, di Batam sudah ada orang lain dari<br />
anggota jaringan trafficker yang bertugas menjemput korban <strong>dan</strong><br />
membawanya ke bos trafficker atau pengguna/pemesan. Jadi mata<br />
rantainya cukup panjang bisa sampai 4 atau 5 tangan , dari mulai sponsor<br />
kampung yang kemudian dioperkan kepada beberapa perantara yang<br />
saling tidak mengenal. Kota yang dijadikan tempat transitnya pun sekitar 4<br />
atau 5 tempat. Setibanya di Bandara Hang Nadiem pun korban masih<br />
dipindah tangankan. Sehingga korban tidak mengetahui lagi siapa saja<br />
yang membawanya <strong>dan</strong> tidak pernah melihat lagi siapa yang<br />
membawanya dari jakarta. Ia hanya mengetahui sebatas sponsor<br />
kampungnya saja. Modus ini dikembangkan oleh para pelaku<br />
perdagangan orang (trafficker) untuk memutus jaringan, sehingga tidak<br />
jarang sponsor yang melakukan rekruitmen di daerah asal tidak<br />
mengetahui lagi siapa yang menjadi bosnya di Batam.<br />
Dalam menghadapi pola jaringan yang dikembangkan pelaku<br />
perdagangan orang (trafficker) tersebut pada awalnya sempat membuat<br />
pihak aparat keamanan kesulitan untuk mendeteksi apakah di Bandara<br />
tersebut ada yang menjadi korban trafficking atau tidak. Tetapi, menurut<br />
informan dari LSM, sekarang ini pihak petugas polsek bandara sudah<br />
lebih responsif dalam mendeteksi para korban trafficking. Ketika petugas<br />
melihat orang yang diduga menjadi korban perdagangan orang<br />
(trafficking) maka akan segera diidentifikasi <strong>dan</strong> ditanya kemana<br />
86
-<br />
tujuannya <strong>dan</strong> sebagainya sehingga dapat segera ditangani sebagaimana<br />
mestinya.<br />
Dalam proses penyidikan , modus operandi dengan memutus<br />
jaringan semacam itu seringkali menyulitkan polisi, karena ketika polisi<br />
tengah melakukan penyidikan biasanya pelaku utamanya sudah kabur<br />
atau bos traffickemya tidak terlacak. Hal ini terjadi karena mereka yang<br />
ada dalam mata rantai jaringan trafficking tersebut tidak mengenal satu<br />
sama lain, bahkan mungkin ia tidak menyadari bahwa apa yang<br />
dilakukannya termasuk dalam jaringan trafficking. Sebagai ilustrasi<br />
bagaimana seseorang terperangkap dalam model jaringan yang terputus<br />
tersebut tampak dari kisah seorang narapi<strong>dan</strong>a perdagangan orang<br />
(trafficking) berikut ini.<br />
Kiki (bukan nama sebenarnya) berasal dari Me<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> pernah<br />
tinggal di Batam selama 10 tahun karena memiliki usaha jasa membantu<br />
pengurusan pembuatan pasport. Namun bisnis pembuatan pasport<br />
tersebut sudah lama ditinggalkan sejak pindah ke Singapore. Selama ini ia<br />
telah lama tinggal di Singapore bersama anak-anak <strong>dan</strong> suami yang<br />
berkewarganegaraan Singapore yang bekerja sebagai tour guide.<br />
Pada saat penelitian dilakukan, ia menjadi tahanan di Rutan Batam<br />
karena terlibat kasus perdagangan orang (trafficking), khususnya terlibat<br />
dalam membantu pembuatan pasport. Berdasarkan penuturannya, pada<br />
saat itu ia kebetulan se<strong>dan</strong>g ke Batam untuk menjemput anaknya yang<br />
berlibur di Me<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> akan pulang ke Singapore. Namun ketika ia berada<br />
di Batam ada seorang temannya (ibu rumah tangga) yang meminta<br />
bantuan untuk dibuatkan pasport dengan imbalan 500 ribu rupiah<br />
sehingga Kiki pun membantu membuatkannya.<br />
Kiki tidak mengerti bahwa ia terlibat masalah perdagangan orang<br />
(trafficking) karena dulu pekerjaan sehari-harinya adalah pembuat<br />
pasport. Pada saat itu ia membantu membuatkan pasport asli yang<br />
dikeluarkan oleh lmigrasi. Ia tidak tahu bahwa pasport tersebut akan<br />
digunakan untuk perdagangan orang (trafficking) . Ia ditangkap karena ada<br />
87
orang Singapore yang tertangkap di pelabuhan ketika ia memberikan<br />
uang tunjuk kepada korban. 38<br />
88<br />
Kiki tidak begitu paham kenapa ia<br />
ditangkap polisi, karena ia merasa membuatkan pasport asli yang<br />
dikeluarkan secara resmi oleh intansi pemerintah, sementara yang<br />
mengeluarkan pasportnya (imigrasi) tidak ikut ditahan. Menurut pihak<br />
kepolisian, ia dilibatkan dalam kasus perdagangan orang (trafficking)<br />
karena ianggap turut memudahkan terjadinya trafficking tersebut. Selain<br />
itu ia mengambil keuntungan yang lebih besar dari pembuatan pasportnya<br />
dari yang biasanya 300 ribu rupiah menjadi 500 ribu rupiah sehingga<br />
memudahkan keluarnya pasport. Dalam hal ini polisi mengacu kepada<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21 Tahun 2007 yang antara lain menyatakan bahwa<br />
kendati ia tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya untuk kegiatan<br />
perdagangan orang (trafficking) (seperti yang membujuk orang di<br />
kampung untuk bekerja), namun bila ternyata ujung-ujungnya<br />
mengakibatkan a<strong>dan</strong>ya korban perdagangan orang (trafficking) maka ia<br />
dapat dijerat oleh hukum.<br />
38 Di Batam banyak yang memberikan pinjaman uang tunjuk sekitar 500 sampai 1000 dolar<br />
dengan bunga 10% kepada orang yang mau bekerja di Singapore. Uang itu di berikan di Batam<br />
ketika mau berangkat <strong>dan</strong> iambil kembali ketika sampai di Singapore oleh orang yang sudah<br />
menunggu di sana. Jadi ada orang yang memberikan uang di Batam <strong>dan</strong> sudah ada orang yang<br />
menunggu di Singapore. Orang yang memberikan pinjaman memberikan ciri-ciri orang yang<br />
diberi pinjaman kepada orang kepercayaannya di Singapore sehingga ia dapat mengenali siapa<br />
yang harus ditagih. Namun kebanyakan orang yang meminjamkan uang tersebut turut<br />
berangkat dengan si peminjam. Jadi sebenarnya mereka tidak berniat untuk melakukan<br />
trafficking, melainkan untuk mencari untung dengan mendapatkan bunga uang.
BAB6<br />
KERANGKA HUKUM DAN NON HUKUM DALAM UPAYA<br />
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN<br />
6.1.Kerangka Hokum<br />
PERDAGANGANPEREMPUAN<br />
Maraknya praktik perdagangan orang tidak dapat dipungkiri lagi<br />
sebagai suatu kenyataan yang telah lama ada. Tingginya data korban<br />
perdagangan orang seperti yang telah diidentifikasi <strong>dan</strong> dibantu oleh<br />
International Organization for Migration (10M) sepanjang Maret 2005 -<br />
Juni 2010 (lihat tabel 4) disebabkan kurangnya kesadaran maupun<br />
ketanggapan dari masyarakat <strong>dan</strong> belum a<strong>dan</strong>ya ketentuan yang<br />
komprehensif bagi penegak hukum serta kurang sensitifnya apatur<br />
pemerintah terhadap praktik perdagangan orang.<br />
Tabel4.<br />
Korban Perdagangan Orang<br />
Perempuan 150 218 368<br />
Sumber: Data Karban Trafficking, /OM Tahun 2010.<br />
Mayoritas korban perdagangan orang yang telah dibantu oleh 10M<br />
sepanjang empat tahun tersebut adalah perempuan, <strong>dan</strong> lebih dari 20%<br />
di antaranya tergolong anak-anak yang memang paling rentan untuk<br />
diperdagangkan.<br />
Data di atas tentu saja tidak mencerminkan jumlah korban yang<br />
sesungguhnya, bagaikan fenomena gunung es, karena perdagangan<br />
orang adalah jenis underreported crime. Mengapa demikian? Hal ini<br />
89
disebabkan karena banyak korban yang tidak mempunyai kesempatan<br />
untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian atau merasa takut melaporkan<br />
kasus yang menimpanya, bahkan merasa tabu untuk mengungkapkan<br />
kasus yang dialaminya demi menjaga martabat diri <strong>dan</strong> keluarganya.<br />
Indonesia selama ini tidak hanya dikenal sebagai negara pengirim,<br />
namun juga sebagai negara transit <strong>dan</strong> penerima. Artinya beberapa<br />
daerah di Indonesia, dikenal sebagai daerah korban berasal <strong>dan</strong> ada<br />
beberapa daerah yang menjadi tempat korban dieksploitasi. Mereka tidak<br />
hanya diperdagangkan dalam wilayah Indonesia namun juga ke luar<br />
wilayah negara. Sepuluh propinsi tujuan terbesar dari perdagangan orang<br />
dalam wilayah Indonesia adalah Kepulauan Riau, DKI, Jawa Timur,<br />
Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bangka<br />
Belitung, Riau <strong>dan</strong> Sulawesi Tengah. Se<strong>dan</strong>gkan sepuluh negara tujuan<br />
terbesar perdagangan orang dari Indonesia, adalah Malaysia, Saudi<br />
Arabia, Singapore, Jepang, Kuwait, Sirya, Iraq, Jor<strong>dan</strong>ia, Suriname <strong>dan</strong><br />
Mauritsia. 39<br />
Sebenarnya, komitmen Pemerintah untuk melakukan pencegahan<br />
<strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan orang telah sangat kuat <strong>dan</strong> larangan<br />
praktek perdagangan orang sudah diatur dalam produk hukum nasional.<br />
Pada Pembukaan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Dasar 1945, alinea ke 4,<br />
Pancasila, Sila kedua yaitu: "Kemanusiaan Yang Adil <strong>dan</strong> Beradab,"<br />
menunjukan bahwa perbudakan tidak dimungkinkan, apalagi berdasarkan<br />
pasal 28 (1) negara menjamin "hak untuk tidak diperbudak" (amandemen<br />
Ke-2, tanggal 18 Agustus 2000).<br />
Kitab Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Hukum Pi<strong>dan</strong>a (KUHP), pasal 297:<br />
"perdagangan wanita <strong>dan</strong> perdagangan anak laki-laki yang belum cukup<br />
umur, diancam dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama enam tahun".<br />
Meskipun pada kenyataannya korban perdagangan orang tidak hanya<br />
39 Ana Sakreti, International Organization for Migration (10M), Upaya Pencegahan <strong>dan</strong><br />
Penanganan Perdagangan Orang. Disampaikan dalam Rakornas Gugus Tugas Pencegahan <strong>dan</strong><br />
Penanganan TPPO, Hotel Horison, Bekasi, 29 September- 1 Oktober 2010.<br />
90
-<br />
perempuan <strong>dan</strong> laki-laki yang belum dewasa, melainkan orang-orang<br />
yang berada dalam posisi rentan , baik perempuan , laki laki, dewasa <strong>dan</strong><br />
anak-anak. Selain itu KUHP pasal 297 ini juga memberikan sanksi yang<br />
terlalu ringan <strong>dan</strong> tidak sepa<strong>dan</strong> dengan dampak yang diderita korban<br />
akibat kejahatan perdagangan orang .<br />
Pasal 324 KUHP: "Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya<br />
orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan<br />
perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau<br />
tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam<br />
dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 12 tahun".<br />
Pasal 324 KUHP mengatur "Perniagaan budak belian"<br />
(Siavenhandel), tetapi Perbudakan di Indonesia menurut hukum<br />
berdasarkan pasal 169 "lndische Staatsregeling" pada tanggal 1 Januari<br />
1860 telah dihapus dengan pertimbangan bahwa , perbudakan tidak akan<br />
pernah terjadi di zaman modem in i. Tetapi ternyata asumsi tersebut keliru<br />
karena justru di era globalisasi ini "Siavenhandel" marak kembali dalam<br />
wujud yang lebih canggih <strong>dan</strong> lebih berani serta dilakukan secara terang<br />
terangan maupun terselubung. Perempuan pekerja domestik sering<br />
diperlakukan layaknya sebagai budak, dipekerjakan tanpa mendapatkan<br />
upah sama sekali, tidak diberikan tempat istirahat yang layak <strong>dan</strong><br />
dirampas kebebasan bergeraknya. Tarif yang ditetapkan oleh agen<br />
perekrut tenaga kerja kepada calon majikan, seolah memberikan<br />
kekuasaan kepada majikan atas pekerja domestik yang telah dibelinya.<br />
Sehingga untuk mendapatkan manfaat <strong>dan</strong> keuntungan yang sebesar<br />
besamya dari pekerja domestik, majikan mengeksploitasi korban secara<br />
terus menerus. Larangan perbudakan juga diatur <strong>dan</strong> tercantum dalam<br />
pasal 10 Un<strong>dan</strong>g Un<strong>dan</strong>g Dasar Sementara Tahun 1950.<br />
Pasal 65 Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 39 Tahun<br />
1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa "Setiap anak<br />
berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi <strong>dan</strong><br />
91
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai<br />
bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, <strong>dan</strong> zat adiktif lainnya".<br />
Pada tahun 2002, Indonesia mengesahkan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />
yang juga mengkriminalisasi perdagangan anak <strong>dan</strong> eksploitasi seksual<br />
terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 83 <strong>dan</strong> Pasal 88.<br />
Pasal 83 Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 23 Tahun<br />
2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa: "Setiap orang<br />
yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri<br />
atau untuk dijual, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 15 (lima<br />
belas) tahun <strong>dan</strong> paling singkat 3 (tiga) tahun <strong>dan</strong> denda paling banyak Rp<br />
300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) <strong>dan</strong> paling sedikit Rp 60.000.000<br />
(enam puluh juta rupiah)". Sementara itu pada pasal 88 menyebutkan<br />
bahwa: "Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak<br />
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,<br />
dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun <strong>dan</strong>/atau<br />
denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)".<br />
Perilaku "perdagangan perempuan" merupakan akibat dari evolusi<br />
dari masyarakat, di mana perilaku tersebut dapat mengakibatkan kerugian<br />
di pihak perempuan baik secara fisik maupun psikis. Untuk menghambat<br />
atau menertibkan perilaku tersebut diperlukan suatu pranata hukum,<br />
sehingga perbuatan tersebut menjadi perilaku yang dilarang berdasarkan<br />
aturan hukum yang berlaku.<br />
Beberapa peraturan hukum yang dapat menjerat para pelaku<br />
kejahatan antara lain tertuang dalam:<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1996<br />
tentang KUHP pasal 324, pasal 333 ayat 1-4, pasal 297, Pasal 324,<br />
yang menyatakan bahwa: "Barang siapa dengan biaya sendiri atau biaya<br />
orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan<br />
perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau<br />
92
tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam<br />
dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama dua belas tahun".<br />
Pasal 333, yang menyatakan bahwa:(1) Barang siapa dengan<br />
sengaja <strong>dan</strong> melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau<br />
meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan<br />
pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama delapan tahun; (2) Jika perbuatan itu<br />
mengakibatkan luka-luka berat maka yang bersalah diancam dengan<br />
pi<strong>dan</strong>a paling lama sembilan tahun; (3) Jika mengakibatkan mati diancam<br />
dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama dua belas tahun; (4) Pi<strong>dan</strong>a yang<br />
ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan<br />
sengaja <strong>dan</strong> melawan hukum memberi tempat untuk perampasan<br />
kemerdekaan.<br />
Pasal 297, yang menyatakan bahwa:'Perdagangan wanita <strong>dan</strong><br />
perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pi<strong>dan</strong>a<br />
penjara paling lama enam tahun".<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1992<br />
Tentang Keimigrasian, Pasal 55 yang menyatakan bahwa: "Setiap orang<br />
yang dengan sengaja: a.Menggunakan surat perjalanan Republik<br />
Indonesia se<strong>dan</strong>gkan ia mengetahui/sepatutnya menduga bahwa surat<br />
perjalanan itu palsu/dipalsukan, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling<br />
lama 5 tahun/denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta<br />
rupiah); b Menggunakan surat perjalanan orang lain/surat perjalanan<br />
Republik Indonesia yang sudah dicabutldinyatakan batal atau<br />
menyerahkan kepada orang lain surat perjalanan Republik Indonesia yang<br />
diberikan kepa<strong>dan</strong>ya, dengan maksud digunakan secara tidak berhak,<br />
dipi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak<br />
Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah); c. Memberikan data yang tidak sah<br />
atau keterangan yang tidak benar untuk memperoleh surat perjalanan<br />
Republik Indonesia bagi dirinya sendiri atau orang lain, dipi<strong>dan</strong>a dengan<br />
pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak<br />
Rp.1 0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); d. Memiliki atau menggunakan<br />
93
secara 2 atau lebih surat perjalanan Republik Indonesia yang semuanya<br />
berlaku, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 2 tahun atau denda<br />
paling banyak Rp.1 0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)".<br />
Pasal 56, yang menyatakan bahwa : "Dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />
penjara paling lama 6 tahun <strong>dan</strong> atau denda paling banyak Rp.<br />
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); a.Setiap orang yang dengan<br />
sengaja melawan hukum, mencetak, mempunyai, menyimpan blanko<br />
surat perjalanan Republik Indonesia atau blanko dokumen keimigrasian;<br />
b. Setiap orang yang dengan sengaja <strong>dan</strong> melawan hukum membuat,<br />
mempunyai /menyimpan cap yang dipergunakan untuk mensahkan surat<br />
perjalanan Republik Indonesia /dokumen keimigrasian40.<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang<br />
Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,<br />
Pasal 102 ayat (1) yang menyatakan bahwa : " Dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />
penjara paling sing kat 2 (dua) tahun <strong>dan</strong> paling lama 10 (sepuluh) tahun<br />
<strong>dan</strong> I atau denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)<br />
<strong>dan</strong> paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah), setiap<br />
orang yang: a. Menempatkan Warga Negara Indonesia untuk bekerja di<br />
luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 4; b.Menempatkan TKI<br />
tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, atau c. Menempatkan<br />
calon TKI pada jabatan atau tempat pekerjaan yang bertentangan dengan<br />
nilai-nilai kemanusiaan <strong>dan</strong> norma kesusilaan sebagaimana dalam pasal<br />
30".<br />
Sementara pada Pasal 103 ayat (1) dinyatakan bahwa : "Dipi<strong>dan</strong>a<br />
dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling singkat 1 (satu) tahun <strong>dan</strong> paling lama 5<br />
(lima) tahun <strong>dan</strong>/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu<br />
milyar Rupiah) <strong>dan</strong> paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar<br />
rupiah) setiap orang yang :a.Mengalihkan atau memindahkan tangankan<br />
SIPP TKI sebagaimana dimaksud dalam pasal 19; b.Mengalihkan atau<br />
memindahtangankan SIP kepada pihak lain, sebagaimana dimaksud<br />
40 UU No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, Sinar Grafindo, Jakarta, hal. 19.<br />
94
dalam pasal 33; c.Melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi<br />
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35; d.Menempatkan TKI<br />
yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam<br />
pasal 45; e.Menempatkan TKI yang tidak memenuhi persyaratan<br />
kesehatan <strong>dan</strong> psikologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 50;<br />
f.Menempatkan calon TKI/TKI yang tidak memiliki dokumen sebagaimana<br />
dimaksud dalam pasal 51 ; g.Menempatkan TKI di luar negeri tanpa<br />
perlindungan program asuransi sebagaimana dimaksud dalam pasal 68;<br />
atau h. Memperlakukan calon TKI secara tidak wajar <strong>dan</strong> tidak manusiawi<br />
selama masa di penampungan dimaksud dalam pasal 70 ayat (3)",<br />
Pasal 104 ayat (1), yang menyatakan bahwa: "Dipi<strong>dan</strong>a dengan<br />
pi<strong>dan</strong>a kurungan paling singkat 1 (satu) bulan <strong>dan</strong> paling lama 1 (satu)<br />
tahun <strong>dan</strong> I atau denda paling sedikit Rp.1 00.000.000,00 (seratus juta<br />
rupiah) <strong>dan</strong> paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) setiap<br />
orang yang:a. Menempatkan TKI tidak melalui Mitra Usaha sebagaimana<br />
dipersyaratkan dalam pasal 24; b. Menempatkan TKI di luar negeri untuk<br />
kepentingan perusahaan sendiri tanpa ijin tertulis dari menteri<br />
sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, ayat (1 ); c. Mempekerjakan calon<br />
TKI yang se<strong>dan</strong>g mengikuti pendidikan <strong>dan</strong> pelatihan sebagaimana<br />
dimaksud dalam pasal46; d.Menempatkan TKI di luar negeri yang tidak<br />
memiliki KTKLN sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 64; atau e. Tidak<br />
memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah memenuhi persyaratan<br />
perlengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 Ayat 2 ; f.<br />
Tindak pi<strong>dan</strong>a sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) merupakan<br />
tindak pi<strong>dan</strong>a pelanggaran". 41<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003<br />
Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 74 ayat (1), yang menyatakan bahwa:<br />
"Siapapun dilarang mempekerjakan <strong>dan</strong> melibatkan anak pada pekerjaan<br />
pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang<br />
dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Segala pekerjaan dalam bentuk<br />
41 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar<br />
Negeri<br />
95
perbudakan atau sejenisnya; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan<br />
menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran , produksi<br />
pornografi, pertunjukkan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang<br />
memanfaatkan, menyediakan /melibatkan anak untuk produksi <strong>dan</strong><br />
perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika <strong>dan</strong> zat aditif<br />
lainnya; d.Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan,<br />
keselamatan/moral anak".<br />
Pasal 74 ayat (2), yang menyatakan bahwa: "Jenis-jenis pekerjaan<br />
yang membahayakan kesehatan, keselamatan/ moral anak sebagaimana<br />
dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri".<br />
Pas a I 183 ayat (1 ), yang menyatakan bahwa: "Barang siapa<br />
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 74 dikenakan<br />
sanksi penjara paling singkat 2 (dua) tahun <strong>dan</strong> paling lama 5 (lima) tahun<br />
<strong>dan</strong> /atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)<br />
<strong>dan</strong> paling banyak Rp . 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)".<br />
Pasal 183 ayat (2) , yang menyatakan bahwa : "Tindak pi<strong>dan</strong>a<br />
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pi<strong>dan</strong>a<br />
kejahatan". 42<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang<br />
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 5, menyatakan<br />
bahwa: "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga<br />
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara: a.<br />
Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; d.<br />
Penelantaran rumah tangga. Sementara itu dalam Pasal 8, dinyatakan<br />
bahwa: "Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c<br />
meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang<br />
yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b.Pemaksaan<br />
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah<br />
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil <strong>dan</strong> atau tujuan<br />
tertentu". Pasal 46, menyatakan bahwa: "setiap orang yang melakukan<br />
42 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.<br />
96
perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada pasal 8 huruf<br />
a dipi<strong>dan</strong>a dengan penjara paling lama 12 tahun atau denda paling<br />
banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)". Pasal 47,<br />
menatakan bahwa: "Setiap orang yang memaksa orang yang menetap<br />
dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana<br />
dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling<br />
singkat 4 tahun <strong>dan</strong> pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 15 tahun atau denda<br />
paling sedikit Rp. 12.000.000 (Dua Belas Juta Rupiah) atau denda paling<br />
banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)". 43<br />
Selain upaya represif, dibutuhkan juga upaya preventif dengan<br />
menggunakan metode pendekatan secara sosial ( Sosia/ Crime<br />
Prevention) dalam upaya mencegah "perdagangan perempuan" seperti<br />
yang diungkapkan oleh M. Kemal Dermawan 44 , bahwa Social Crime<br />
Prevention adalah segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar<br />
penyebab kejahatan <strong>dan</strong> kesempatan individu untuk melakukan<br />
pelanggaran. Hal ini dapat dilakukan dengan sosialisasi atau pemberian<br />
informasi, peningkatan pendidikan, peningkatan lapangan kerja <strong>dan</strong><br />
mengurangi kemiskinan.<br />
Sikap Pemerintah Rl untuk memerangi perdagangan orang<br />
dipertegas kembali dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor<br />
88 Tahun 2002 45<br />
tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan<br />
43 UU Rl No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, <strong>Kementerian</strong><br />
Pemberdayaan Perempuan, Jakarta, 2004, hal. 9, 10, 29.<br />
44 Mohammad Kemal Dermawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Bandung : PT. Aditya Bakti,<br />
2000.<br />
45 Pengertian Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak menurut Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun<br />
2002, adalah segala tindakan perilaku trafiking yang mengandung salah satu atau lebih<br />
tindakan perekrutan pengangkutan antar daerah <strong>dan</strong> antar negara, pemindahtanganan,<br />
pemberangkatan, penerimaan <strong>dan</strong> penampungan sementara atau di tempat tujuan,<br />
perempuan <strong>dan</strong> anak. Dengan cara ancaman penggunaan kekerasan verbal <strong>dan</strong> fisik,<br />
penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika<br />
seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang <strong>dan</strong> lainlain),<br />
memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan di mana perempuan <strong>dan</strong> akan<br />
digunakan untuk tujuan pelacuran <strong>dan</strong> eksploitasi seksual (termasuk phaedofilia), buruh migran<br />
legal maupun ilegal; adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah<br />
tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, <strong>dan</strong> penjualan organ tubuh,<br />
serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.<br />
97
Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak (RAN P3A), serta pengajuan<br />
Rencana Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />
Orang sebagai usul inisiatif Pemerintah ke DPR Rl pada tahun 2004. RUU<br />
ini pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2005 berada pada<br />
urutan 22 dari 55 RUU yang akan dibahas oleh DPR Rl Hasil Pemilu<br />
2004.<br />
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan<br />
<strong>dan</strong> Anak (RAN-P3A) merupakan rencana aksi yang terpadu lintas<br />
program <strong>dan</strong> lintas pelaku pusat maupun daerah, tidak saja untuk upaya<br />
pencegahan, penegakan hukum <strong>dan</strong> perlindungan kepada korban, tetapi<br />
juga terintegrasi dengan penanggulangan akar masalahnya. lmplementasi<br />
RAN-P3A dibarengi dengan langkah-langkah nyata di bi<strong>dan</strong>g<br />
penanggulangan kemiskinan, kesehatan <strong>dan</strong> peningkatan kualitas<br />
pendidikan baik formal, non-formal maupun informal (pendidikan dalam<br />
keluarga), serta kegiatan pemberdayaan lainnya yang relevan.<br />
Upaya penghapusan perdagangan orang meliputi tindakan<br />
tindakan pencegahan (prevention), menindak <strong>dan</strong> menghukum<br />
(prosecution) dengan tegas pelaku perdagangan orang (trafficker), serta<br />
melindungi (protection) korban melalui upaya repatriasi, rehabilitasi,<br />
konseling, pendidikan <strong>dan</strong> pelatihan keterampilan, termasuk menjamin<br />
hal-hal yang berkaitan dengan HAM-nya agar mereka bisa mandiri <strong>dan</strong><br />
kembali berintegrasi ke masyarakat. Mengingat bahwa perdagangan<br />
orang berkaitan dengan kejahatan terorganisir lintas negara, maka<br />
kerjasama antar negara baik secara bilateral maupun regional serta<br />
kerjasama dengan ba<strong>dan</strong>-ba<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> LSM internasional akan terus dibina<br />
<strong>dan</strong> dikembangkan.<br />
Tujuan umum RAN-P3A adalah: "Terhapusnya segala bentuk<br />
perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak". Se<strong>dan</strong>g tujuan khusus adalah:<br />
1.A<strong>dan</strong>ya norma hukum <strong>dan</strong> tindakan hukum terhadap pelaku<br />
perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak.<br />
98
-<br />
-<br />
2.Terlaksananya rehabilitasi <strong>dan</strong> reintegrasi sosial terhadap korban<br />
perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak yang dijamin secara hukum.<br />
3.Terlaksananya pencegahan segala bentuk praktek perdagangan<br />
perempuan <strong>dan</strong> anak di keluarga <strong>dan</strong> masyarakat.<br />
4.Terciptanya kerjasama <strong>dan</strong> koordinasi dalam penghapusan<br />
perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak antar instansi di tingkat<br />
nasional <strong>dan</strong> internasional.<br />
Adapun Sasaran RAN-P3A adalah:<br />
1) Teratifikasinya konvensi kejahatan terorganisir antar negara <strong>dan</strong><br />
dua protokol tentang perdagangan manusia <strong>dan</strong> anak (The Optional<br />
Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of<br />
Children, Child Prostitution and Child Pornography, <strong>dan</strong> Prococol to<br />
Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women<br />
and Children [1989]).<br />
2) Disahkannya Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g tentang Penghapusan<br />
Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g tentang<br />
Perlindungan Saksi <strong>dan</strong> Korban, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g tentang Penghapusan<br />
Kekerasan dalam Rumah Tangga, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g tentang Perlindungan<br />
Buruh Migran <strong>dan</strong> aturan-aturan pelaksanaannya.<br />
3) .A<strong>dan</strong>ya harmonisasi standar internasional berkaitan dengan<br />
dengan perdagangan orang ke dalam hukum nasional melalui revisi<br />
terhadap Kitab Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Hukum Pi<strong>dan</strong>a, Kitab Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />
Hukum Acara Pi<strong>dan</strong>a, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Perkawinan, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />
Keimigrasian <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Peradilan HAM.<br />
4) Diperolehnya peta situasi permasalahan <strong>dan</strong> kasus-kasus<br />
kejahatan perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak.<br />
5) Peningkatan kuantitas <strong>dan</strong> kualitas Pusat Pelayanan Krisis<br />
untuk rehabilitasi <strong>dan</strong> reintegrasi sosial bagi korban perdagangan<br />
perempuan <strong>dan</strong> anak terutama di daerah beresiko.<br />
99
Eselon I dari 16 lnstitusi Pemerintah, Kepala Ba<strong>dan</strong> Narkotika Nasional,<br />
Direktur Reserse Pi<strong>dan</strong>a Umum MABES POLRI, serta 10 orang dari unsur<br />
LSM, Organisasi Wanita Keagamaan, Organisasi Pengusaha Wanita,<br />
Kamar Dagang <strong>dan</strong> lndustri <strong>dan</strong> Persatuan Wartawan Indonesia.<br />
Adapun tugas dari Gugus Tugas RAN-P3A adalah:<br />
1) Pengkoordinasian pelaksanaan upaya penghapusan<br />
perdagangan (trafiking 46 ) perempuan <strong>dan</strong> anak yang dilakukan oleh<br />
pemerintah <strong>dan</strong> masyarakat sesuai dengan tugas fungsi <strong>dan</strong>/atau<br />
kualifikasi masing-masing.<br />
2) Advokasi <strong>dan</strong> sosialisasi trafiking <strong>dan</strong> RAN-P3A pada pemangku<br />
kepentingan (stakeholders).<br />
3) Pemantauan <strong>dan</strong> evaluasi baik secara periodik maupun insidentil<br />
serta penyampaian permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan RAN<br />
P3A kepada instansi yang berwenang untuk penanganan <strong>dan</strong><br />
penyelesaian lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perun<strong>dan</strong>g<br />
un<strong>dan</strong>gan yang berlaku.<br />
4) Kerjasama nasional, regional, <strong>dan</strong> internasional untuk langkah<br />
langkah pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan dalam upaya penghapusan<br />
perdagangan (trafiking) perempuan <strong>dan</strong> anak.<br />
5) Pelaporan perkembangan pelaksanaan upaya penghapusan<br />
perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak kepada Presiden <strong>dan</strong> masyarakat.<br />
Sesuai dengan tujuannya, Gugus Tugas memfokuskan diri pada upaya<br />
penghapusan perdagangan orang khususnya perempuan <strong>dan</strong> anak,<br />
sementara untuk menanggulangi akar masalahnya: kemiskinan (dalam<br />
berbagai bi<strong>dan</strong>g kehidupan), kesehatan <strong>dan</strong> kurangnya pendidikan,<br />
dilaksanakan secara lintas sektor, pusat <strong>dan</strong> daerah, di bawah koordinasi<br />
Menteri Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan Rakyat.<br />
46 Trafiking adalah istilah dari Trafficking yang sudah dibakukan oleh <strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan<br />
Perempuan sejak keberadaan Gugus Tugas RAN-P3A dalam rangka Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />
Perdagangan Orang (PTPPO) sejak tahun 2007.<br />
101
Selain Gugus Tugas RAN-P3A, juga ada gugus tugas yang lain<br />
yang masih berkaitan dengan penghapusan perdagangan orang seperti<br />
misalnya Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan<br />
Terburuk bagi Anak (Keputusan Presiden Rl No. 12 Tahun 2001), Gugus<br />
Tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual<br />
Komersial Anak (Keputusan Presiden Rl No. 87 Tahun 2002}, Komisi<br />
Perlindungan Anak Indonesia (Keputusan Presiden Republik I No. 77<br />
Tahun 2003}, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan<br />
(Keputusan Presiden Rl No. 181 Tahun 1998), Komisi Nasional Hak Asasi<br />
Manusia (dimandatkan oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi<br />
Manusia), <strong>dan</strong> Komite Koordinasi Nasional Pencegahan <strong>dan</strong><br />
Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Pencucian Uang (Keputusan Presiden Rl<br />
No. 1 Tahun 2004).<br />
Dalam era otonomi, di tingkat propinsi <strong>dan</strong> kabupaten/kota telah<br />
dibentuk pula gugus tugas serupa yang akan menyusun rencana aksi<br />
daerah. Menteri Dalam Negeri telah memberikan dukungan melalui Surat<br />
Edaran Departemen Dalam Negeri No. 560/1134/PMD/2003, yang<br />
ditujukan kepada Gubernur <strong>dan</strong> Bupati/ Walikota seluruh Indonesia.<br />
Dalam surat edaran tersebut diarahkan bahwa sebagai focal point<br />
pelaksanaan penghapusan perdagangan orang di daerah, dilaksanakan<br />
oleh unit kerja di jajaran pemerintah daerah yang mempunyai<br />
kewenangan menangani urusan perempuan <strong>dan</strong> anak, melalui<br />
penye!enggaraan pertemuan koordinasi kedinasan di daerah dengan<br />
tujuan:<br />
1 )Menyusun standar minimum dalam pemenuhan hak-hak anak<br />
2)Pembentukan satuan tugas penanggulangan perdagangan orang<br />
di daerah<br />
3)Melakukan pengawasan ketat terhadap perekrutan tenaga kerja<br />
4 )Mengalokasikan <strong>dan</strong>a APBD untuk keperluan tersebut.<br />
Daerah sumber, daerah transit <strong>dan</strong> daerah perbatasan merupakan<br />
tempat-tempat yang dipriotaskan untuk segera dibentuk gugus tugas<br />
102
-<br />
penghapusan perdagangan orang tingkat daerah. Di beberapa propinsi<br />
<strong>dan</strong> kabupaten/kota, gugus tugas yang dibentuk seringkali tidak<br />
mengkhususkan diri pada masalah penghapusan perdagangan<br />
perempuan <strong>dan</strong> anak, tetapi juga menangani masalah penghapusan<br />
eksploitasi seksual komersial anak, penghapusan bentuk-bentuk<br />
pekerjaan terburuk bagi anak, <strong>dan</strong> hal-hal lain yang berkaitan.<br />
Di beberapa propinsi <strong>dan</strong> kabupaten/kota, misalnya, Pemerintah<br />
Propinsi Sulawesi Utara telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 1<br />
Tahun 2004 tentang Pencegahan <strong>dan</strong> Penghapusan Perdagangan Orang<br />
Khususnya Perempuan <strong>dan</strong> Anak, <strong>dan</strong> melalui Surat Keputusan Gubernur<br />
Nomor 130 Tahun 2004 membentuk Gugus Tugas Anti Perdagangan<br />
Orang Khususnya Perempuan <strong>dan</strong> Anak.<br />
Pemerintah Propinsi Sumatera Utara juga telah mengeluarkan<br />
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />
Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak, <strong>dan</strong> membentuk Gugus Tugas RAN<br />
P3A Sumatera Utara.<br />
Sementara itu di Propinsi Riau, Pemerintah Kota Dumai Propinsi<br />
Riau, bulan Januari 2005 telah membentuk Gugus Tugas Penghapusan<br />
Perdagangan Orang Khususnya Perempuan <strong>dan</strong> Anak <strong>dan</strong> se<strong>dan</strong>g dalam<br />
tahapan menyusun Rencana Aksi Daerah.<br />
Begitu pula halnya dengan Kepulauan Riau, Gubernur Kepulauan<br />
Riau pada tanggal 15 April tahun 2009 telah mengeluarkan SK Nomor<br />
218.a Tahun 2009 Tentang Pembentukan Tim Gugus Tugas<br />
Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak (P3A).<br />
Pemerintah Daerah Khusus lbukota (DKI) Jakarta melalui Surat<br />
Keputusan Gubernur Nom or 1099 Tahun 1994 telah mengeluarkan<br />
Peraturan Pelaksanaan tentang Peningkatan Kesejahteraan bagi Pekerja<br />
Rumah Tangga di DKI Jakarta. Tahun 2004, Pemerintah DKI Jakarta<br />
mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang<br />
Ketenagakerjaan yang pasal-pasal di antaranya mengatur tentang buruh<br />
anak <strong>dan</strong> bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak.<br />
103
Selain itu, Pemerintah Propinsi Jawa Barat melalui Surat<br />
Keputusan Gubernur Nomor 43 Tahun 2004 telah membentuk Komite<br />
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak, <strong>dan</strong><br />
menyusun Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan<br />
Terburuk bagi Anak, Perdagangan Anak <strong>dan</strong> Eksploitasi Seksual<br />
Komersial Anak. Rencana Aksi tersebut yang namanya menjadi Rencana<br />
Aksi Daerah Penghapusan BPT-ESKA-PPA Provinsi Jawa Barat Tahun<br />
2004-2008 telah selesai disusun <strong>dan</strong> menghasilkan dokumen dalam<br />
bentuk buku. 47 Adapun landasan penyusunan RAD Penghapusan BPT<br />
ESKA-PPA Provinsi Jawa Barat yang telah terbentuk tersebut adalah<br />
amanat Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan<br />
Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan <strong>dan</strong> Tindakan segera<br />
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Un<strong>dan</strong>g<br />
un<strong>dan</strong>g Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta<br />
merupakan tindak lanjut dari Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002<br />
tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-bentuk<br />
Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Keputusan Presiden Nomor 87 tentang<br />
Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual<br />
Komersial Anak, <strong>dan</strong> Keputusan Presiden Nomor 88 tentang Rencana<br />
Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak.<br />
Penyusunan Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan<br />
Terburuk bagi Anak, Perdagangan Anak <strong>dan</strong> Eksploitasi Seksual<br />
Komersial Anak yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat juga<br />
diikuti pula oleh Pemerintah Kabupaten yang berada dalam wilayahnya,<br />
antara lain Pemerintah Kabupaten lndramayu menyusun Rencana Aksi<br />
Penghapusan Perdagangan Orang Khususnya Perempuan <strong>dan</strong> Anak;<br />
Pemerintah Kabupaten Sume<strong>dan</strong>g telah membentuk Komite<br />
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak; Pemerintah<br />
Kota Bandung membentuk Komite Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk<br />
47 Yang dimaksud dengan Rencana Aksi Daerah Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk<br />
Untuk Anak, Eksploitasi Seksual Komersial Anak <strong>dan</strong> Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak adalah<br />
suatu strategi <strong>dan</strong> program untuk mencegah <strong>dan</strong> menghapuskan segala situasi <strong>dan</strong> bentuk<br />
kegiatan yang mengganggu kelangsungan, pertumbuhan <strong>dan</strong> perkembangan anak.<br />
104
agi Anak <strong>dan</strong> menyusun Rencana Aksi Daerah Perlindungan Anak<br />
(Agustus, 2004).<br />
105<br />
DPRD Kota Bekasi bulan Mei 2004, juga telah mengesahkan<br />
Peraturan Daerah tentang Larangan Perbuatan Tuna Susila sebagai<br />
perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 58 Tahun 1998.<br />
Peraturan Daerah ini menjelaskan secara rinci definisi pelacur, pelacuran<br />
<strong>dan</strong> tempat pelacuran yang ditengarai menjadi salah satu pendorong<br />
terjadinya perdagangan orang.<br />
Propinsi Jawa Tengah melalui Pemerintah Kabupaten Cilacap<br />
Propinsi Jawa Tengah telah menyusun draft Peraturan Daerah tentang<br />
Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Pekerja Migran di Luar Negeri. Pemerintah<br />
Kota Surakarta Propinsi Jawa Tengah telah menyusun Rencana Aksi<br />
tentang Penghapusan Perdagangan Orang Khususnya Perempuan <strong>dan</strong><br />
Anak.<br />
Sementara itu, Pemerintah Daerah lstimewa Yogyakarta telah<br />
menyusun draft Peraturan Daerah tentang Hubungan Kerja antara Pekerja<br />
Rumah Tangga dengan Majikan di Propinsi Daerah lstimewa Yogyakarta.<br />
Pemerintah Propinsi Jawa Timur melalui Surat Keputusan<br />
Gubernur No. 188/145/ KPTS/013/2003 telah membentuk Gugus Tugas<br />
Penghapusan Perdagangan Orang, Eksploitasi Seksual Komersial Anak<br />
<strong>dan</strong> Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Draft<br />
Peraturan Daerah tentang Penghapusan Perdagangan Orang Khususnya<br />
Perempuan <strong>dan</strong> Anak telah disusun <strong>dan</strong> dalam proses pengesahan oleh<br />
DPRD.<br />
Rencana Aksi Propinsi Jawa Timur tentang Penghapusan<br />
Perdagangan Orang khususnya Perempuan <strong>dan</strong> Anak, Rencana Aksi<br />
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, <strong>dan</strong> Rencana Aksi<br />
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak tahun 2004-<br />
2008 direncanakan akan ditetapkan bulan Februari 2005.<br />
Di beberapa tempat lainnya di Propinsi Jawa Timur, seperti<br />
Pemerintah Kabupaten Tulungagung melalui Surat Keputusan Bupati
Nomor 844 Tahun 2004 membentuk Komisi Perlindungan Anak.<br />
Pemerintah Kabupaten Malang mengeluarkan Peraturan Daerah tentang<br />
Perlindungan Pekerja Migran, juga telah menyusun Rencana Aksi<br />
Penghapusan Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak yang akan ditetapkan<br />
bulan Februari 2005. Pemerintah Kota Ponorogo mengeluarkan Peraturan<br />
Daerah tentang Perlindungan Pekerja Migran. Pemerintah Kabupaten<br />
Blitar mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Pekerja<br />
Indonesia Blitar <strong>dan</strong> Anggota Keluarganya. Masih di Propinsi Jawa Timur,<br />
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi membentuk Komite Perlindungan<br />
Anak berkaitan dengan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak,<br />
Eksploitasi Seksual Komersial Anak, <strong>dan</strong> Perdagangan Anak.<br />
Sementara itu, Propinsi Kalimantan Barat melalui Pemerintah<br />
Kabupaten Sambas mengeluarkan Peraturan Daerah tentang<br />
Pencegahan <strong>dan</strong> Perlindungan Perempuan <strong>dan</strong> Anak dari Praktek-praktek<br />
Perdagangan Orang. Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur melalui Surat<br />
Keputusan Gubernur No. 350/ K.36/2004 tanggal 25 Maret 2004<br />
membentuk Koalisi Anti Trafiking (KAT) Kalimantan Timur <strong>dan</strong> melalui<br />
Surat Keputusan Gubernur No. 463/K.214/2004 membentuk Komite Aksi<br />
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak. Di Propinsi<br />
Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kabupaten Sumbawa mengeluarkan<br />
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perlindungan <strong>dan</strong><br />
Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia Asal Sumbawa.<br />
Aksi pembentukan Gugus Tugas terus berkembang <strong>dan</strong> dilakukan<br />
oleh Pemerintah Propinsi <strong>dan</strong> pemerintah Kabupaten/Kota yang ada di<br />
Indonesia. Hingga saat ini telah ada Gugus Tugas Pencegahan <strong>dan</strong><br />
Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang sebanyak 18 di tingkat<br />
Propinsi <strong>dan</strong> 60 di tingkat Kabupaten/Kota.<br />
Sementara itu , Penindakan hukum kepada pelaku perdagangan<br />
perempuan, sesuai dengan kewenangannya diselenggarakan oleh yang<br />
berwajib (Kepolisian, Kejaksaan <strong>dan</strong> Pengadilan) , akan tetapi mengingat<br />
perdagangan orang merupakan tindak kejahatan yang beroperasi diam-<br />
106
diam, kepada masyarakat umum, lembaga kemasyarakatan <strong>dan</strong> LSM,<br />
disosialisasikan agar ikut berpartisipasi aktif dalam mengungkap<br />
kejahatan ini dengan cara memberikan informasi kepada yang berwenang<br />
jika melihat, menyaksikan atau mengindikasi a<strong>dan</strong>ya kegiatan<br />
perdagangan orang atau hal-hal yang dapat diduga menjurus kepada<br />
terjadinya kejahatan itu. Pihak Kepolisian di seluruh wilayah telah<br />
membuka hot-fine yang dapat diakses oleh masyarakat yang ingin<br />
melaporkan a<strong>dan</strong>ya tindak kejahatan, <strong>dan</strong> pihak Kepolisian akan segera<br />
menanggapi <strong>dan</strong> menindaklanjuti informasi yang diberikan.<br />
Selain beberapa produk Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g di atas, masih ada lagi<br />
beberapa produk Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g yang memperlihatkan komitmen<br />
Pemerintah Indonesia dalam mencegah <strong>dan</strong> menanggulangi perdagangan<br />
perempuan. Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Negara<br />
Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial <strong>dan</strong><br />
Kepala Kepolisian Negara Rl (Oktober 2002) mengenai Pelayanan<br />
Terpadu bagi perempuan <strong>dan</strong> anak korban kekerasan menunjukkan<br />
komitmen pemerintah untuk menjalin kerjasama lintas sektoral yang<br />
sinergis, terpadu, <strong>dan</strong> terkoordinasi sesuai dengan wewenang <strong>dan</strong><br />
tanggung jawab masing-masing, termasuk menyediakan anggaran yang<br />
memadai.<br />
Produk Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002<br />
Tentang Perlindungan Anak, selain yang sudah disebutkan beberapa<br />
pasal terdahulu (pasal 83 <strong>dan</strong> pasal 88) adalah:<br />
Pasal 13, ( 1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,<br />
wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan,<br />
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: (a) diskriminasi; (b)<br />
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; (c) penelantaran; (d)<br />
kekejaman, kekerasan, <strong>dan</strong> penganiayaan; (e) ketidakadilan; <strong>dan</strong> (f)<br />
perlakuan salah lainnya; (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh<br />
107
anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam<br />
ayat (1 ), maka pelaku dikenakan pemberantasan hukuman.<br />
Bab XII. Ketentuan Pi<strong>dan</strong>a, Pasal 77: Setiap orang yang dengan<br />
sengaja melakukan tindakan: (a) diskriminasi terhadap anak yang<br />
mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril<br />
sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau (b) penelantaran terhadap<br />
anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik<br />
fisik, mental, maupun sosial, (c) dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling<br />
lama 5 (lima) tahun <strong>dan</strong>/atau denda paling ban yak Rp. 100.000.000,00<br />
(seratus juta rupiah).<br />
Pasal 78: Setiap orang yang mengetahui <strong>dan</strong> sengaja membiarkan<br />
anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 60, anak<br />
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas <strong>dan</strong><br />
terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi <strong>dan</strong>/atau seksual,<br />
anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan<br />
narkotika, alkohol, psikotropika, <strong>dan</strong> zat adiktif lainnya (napza), anak<br />
korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban<br />
kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, padahal anak tersebut<br />
memerlukan pertolongan <strong>dan</strong> harus dibantu, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />
penjara paling lama 5 (lima) tahun <strong>dan</strong>/atau denda paling banyak Rp<br />
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).<br />
Pasal 80: (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan<br />
atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipi<strong>dan</strong>a<br />
dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan <strong>dan</strong>/atau<br />
denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).<br />
Pasal 81 : (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan<br />
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan<br />
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipi<strong>dan</strong>a dengan<br />
pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 15 (lima belas) tahun <strong>dan</strong> paling singkat 3<br />
(tiga) tahun <strong>dan</strong> denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta<br />
rupiah) <strong>dan</strong> paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah); (2)<br />
108
Ketentuan pi<strong>dan</strong>a sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula<br />
bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,<br />
serangkaian kebohongan , atau membujuk anak melakukan persetubuhan<br />
dengannya atau dengan orang lain.<br />
Pasal 82: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan<br />
atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,<br />
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau<br />
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara<br />
paling lama 15 (lima belas) tahun <strong>dan</strong> paling singkat 3 (tiga) tahun <strong>dan</strong><br />
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) <strong>dan</strong> paling<br />
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).<br />
Pasal 83: Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau<br />
menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun <strong>dan</strong> paling singkat 3 (tiga) tahun<br />
<strong>dan</strong> denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) <strong>dan</strong><br />
paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).<br />
Pasal 88: Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual<br />
anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,<br />
dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun <strong>dan</strong>/atau<br />
denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).<br />
Pada tahun 2007, Indonesia akhirnya mengesahkan Un<strong>dan</strong>g<br />
Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang<br />
Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang (Lembaran Negara<br />
Republik Indonesia Tahun 2007 No. 58, Tambahan Lembaran Negara<br />
Republik Indonesia No. 4720) yang mengamanatkan tentang upaya-upaya<br />
penegakan, perlindungan, pemulihan terhadap saksi <strong>dan</strong> atau korban.<br />
Dalam Bab II Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g tersebut, Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />
Orang, tersedia pasal-pasal yang dapat menjerat pelaku perdagangan<br />
orang, yaitu:<br />
Pasal 2: (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,<br />
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan<br />
109
seseorang<br />
penculikan,<br />
dengan ancaman kekerasan , penggunaan kekerasan,<br />
penyekapan, pemalsuan , pen1puan, penyalahgunaan<br />
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran<br />
atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang<br />
memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang<br />
tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun <strong>dan</strong> paling lama 15 (lima belas) tahun<br />
<strong>dan</strong> pi<strong>dan</strong>a denda paling sedikit Rp .120.000.000,00 (seratus dua puluh<br />
juta rupiah) <strong>dan</strong> paling banyak Rp . 600.000.000,00 (enam ratus juta<br />
rupiah); (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />
mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />
yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />
Pasal 6: Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam<br />
atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak<br />
tersebut tereksploitasi dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling singkat 3<br />
(tiga) tahun <strong>dan</strong> paling lama 15 (lima belas) tahun <strong>dan</strong> pi<strong>dan</strong>a denda<br />
paling sedikit Rp . 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) <strong>dan</strong><br />
paling banyak Rp . 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).<br />
Pasal 9: Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain<br />
supaya melakukan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang, <strong>dan</strong> tindak pi<strong>dan</strong>a<br />
itu tidak terjadi, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling singkat 1 (satu)<br />
tahun <strong>dan</strong> paling lama 6 (enam) tahun <strong>dan</strong> pi<strong>dan</strong>a denda paling sedikit<br />
Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) <strong>dan</strong> paling banyak Rp.<br />
240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).<br />
Pasal 1 0: Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan<br />
untuk melakukan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang, dipi<strong>dan</strong>a dengan<br />
pi<strong>dan</strong>a yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal<br />
4, Pasal 5, <strong>dan</strong> Pasal 6.<br />
Pasal 11 : Setiap orang yang merencanakan atau melakukan<br />
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang ,<br />
110
dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a yang sama sebagai pelaku sebagaimana<br />
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, <strong>dan</strong> Pasal 6.<br />
Pasal 12: Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan<br />
korban tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang dengan cara melakukan<br />
persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pi<strong>dan</strong>a<br />
perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan<br />
orang untuk meneruskan trafiker eksploitasi, atau mengambil keuntungan<br />
dari hasil tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a yang<br />
sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,<br />
<strong>dan</strong> Pasal6.<br />
Sebelum lahir Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21 , penanganan hukum<br />
masalah trafficking banyak sekali dipertanyakan oleh aparat penegak<br />
hukum, karena selama ini dalam menangani kasus trafficking tidak<br />
memiliki payung hukum yang kuat. Dalam prakteknya para penegak<br />
hukum hanya menggunakan KUHAP <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Tenaga Kerja<br />
yang tidak diyakini apakah traffickemya dapat dijerat dengan pasal hukum<br />
yang bersangkutan atau tidak. Dengan dikeluarkannya Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />
21 aparat penegak hukum sudah mulai menggunakannya dalam<br />
penanganan kasus trafficking. lmplikasi lainnya adalah bahwa dalam<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g nomor 21 juga diamanatkan untuk membentuk gugus<br />
tugas nasional, propinsi , <strong>dan</strong> kabupaten/kota. Dengan begitu cukup<br />
memperjelas tugas <strong>dan</strong> tanggung jawab dari masing-masing institusi.<br />
Hanya saja yang lebih penting sekarang ini adalah sosialisasi dari<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g nomor 21 tersebut di kalangan penegak hukum karena<br />
sejauh ini belum ada kesamaan persepsi di antara mereka. Pada tingkat<br />
nasional hal tersebut sudah ada inisiasi, seperti di Kejaksaan Agung<br />
sudah dibentuk task force trafficking yang tugasnya mungkin melakukan<br />
sosialisasi ke kejaksaan kabupaten/kota. Demikian juga dengan<br />
Bareskrim Kepolisian sudah ada task forcenya. Namun pada tingkat<br />
daerah seperti Batam belum ada pembentukan task force semacam itu.<br />
Yang paling penting Mahkamah Agung harus juga mempunyai task force<br />
untuk melakukan sosialisasi kepada para hakim <strong>dan</strong> pengadilan, karena<br />
111
dalam Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g 21 ada salah satu pasal yang mengatakan<br />
'dibolehkan saksi korban bersaksi di bawah sumpah <strong>dan</strong> tidak harus<br />
datang di persi<strong>dan</strong>gan' tapi pemahaman di antara mereka sendiri tidak<br />
seragam. Sebagai contoh kasus, seorang anak harus di datangkan<br />
kembali dari kampungnya di Jawa Barat oleh Yayasan Setara Kita untuk<br />
bersaksi di persi<strong>dan</strong>gan. Hal ini tentunya membutuhkan biaya yang cukup<br />
mahal termasuk keamanannya. Padahal dalam pasal itu jelas<br />
diperbolehkan tidak hadir. Keberadaan task force tersebut di MA sangat<br />
krusial karena sudah biasa terjadi di Indonesia di mana untuk<br />
memperbaiki kondisi aparat penegak hukum terbawah pun harus ada<br />
instruksi (fatwa) dari yang paling tinggi. Bila yang mengatakan atau<br />
mempersepsikan hukum tersebut dari kalangan lain, meskipun dibuka <strong>dan</strong><br />
dibacakan pasal dalam Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>gnya maka tidak akan dihiraukan,<br />
kecuali kalau hal tersebut sudah diterjemahkan <strong>dan</strong> disosialisasikan<br />
secara jelas oleh jenjang yang paling atas.<br />
Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan Peraturan<br />
Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan <strong>dan</strong><br />
Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang dibentuklah Gugus<br />
Tugas dari tingkat Nasional sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota. Di<br />
tingkat Pusat dibentuk Gugus Tugas Nasional, berada di bawah <strong>dan</strong><br />
bertanggung jawab kepada Presiden; di tingkat Propinsi berada di bawah<br />
<strong>dan</strong> bertanggung jawab kepada Gubernur <strong>dan</strong> di tingkat Kabupaten/Kota<br />
berada di bawah <strong>dan</strong> bertanggung jawab kepada BupatiNValikota. Dilihat<br />
dari susunan organisasinya, Gugus Tugas Nasional diketuai oleh Menteri<br />
Koordinator Kesejahteraan Rakyat dengan Ketua Harian Menteri Negara<br />
Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong> Perlindungan Anak <strong>dan</strong> beranggotakan<br />
14 orang Menteri 48 , Kepala Polisi Republik Indonesia, Kepala Kejaksaan<br />
Agung, Kepala Ba<strong>dan</strong> Nasional Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja<br />
48 <strong>Kementerian</strong> Dalam Negeri, <strong>Kementerian</strong> Luar Negeri, <strong>Kementerian</strong> Keuangan, <strong>Kementerian</strong><br />
Pendidikan Nasional, <strong>Kementerian</strong> Agama, <strong>Kementerian</strong> Hukum <strong>dan</strong> Hak Asasi Manusia,<br />
<strong>Kementerian</strong> Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi, <strong>Kementerian</strong> Sosial, <strong>Kementerian</strong> Kesehatan,<br />
<strong>Kementerian</strong> Perhubungan, <strong>Kementerian</strong> Budaya <strong>dan</strong> Pariwisata, <strong>Kementerian</strong> Komunikasi <strong>dan</strong><br />
lnformasi, <strong>Kementerian</strong> Perencanaan/Bappenas, <strong>Kementerian</strong> Pemuda <strong>dan</strong> Olah Raga.<br />
112
Direktur Jenderal Pendidikan Non Formal <strong>dan</strong> Informal, <strong>Kementerian</strong><br />
Pendidikan nasional, yang bertugas:<br />
1) Melakukan pemetaan kasus tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang<br />
2) Membuat pengembangan model pencegahan tindak pi<strong>dan</strong>a<br />
perdagangan orang<br />
3) Melaksanakan pendidikan masyarakat tentang ketahanan<br />
Keluarga<br />
4 )Memfasilitasi terwujudnya partisipasi anak dalam pencegahan<br />
tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang<br />
-Sub Gugus Tugas Rehabilitasi Kesehatan, dikoordinasikan oleh<br />
<strong>Kementerian</strong> Kesehatan, diketuai oleh Direktur Jenderal Bina Kesehatan<br />
Masyarakat, <strong>Kementerian</strong> Kesehatan, yang bertugas:<br />
1) Membuat pengembangan pusat pelayanan terpadu<br />
2) Melakukan standarisasi pelayanan rehabilitasi kesehatan<br />
3) Melakukan pengembangan kapasitas<br />
4) Melaksanakan pengalokasian anggaran<br />
5) Melakukan monitoring <strong>dan</strong> evaluasi serta pembinaan<br />
-Sub Gugus Tugas Rehabilitasi Sosial, Pemulangan <strong>dan</strong><br />
Reintegrasi, dikoordinasikan oleh <strong>Kementerian</strong> Sosial, diketuai oleh<br />
Direktur Jenderal Pelayanan rehabilitasi Sosial, <strong>Kementerian</strong> Sosial, yang<br />
bertugas:<br />
1) Membuat pengembangan rumah perlindungan sosial anakl<br />
perempuan, Pusat Krisis/Trauma<br />
2) Melakukan standarisasi sistem repatriasi, rehabilitasi sosial <strong>dan</strong><br />
reintegrasi<br />
3) Melakukan pengembangan kapasitas<br />
4) Melaksanakan pengalokasian anggaran<br />
5) Melakukan monitoring <strong>dan</strong> evaluasi serta pembinaan<br />
114
-Sub Gugus Tugas Pengembangan Norma Hukum,<br />
dikoordinasikan oleh <strong>Kementerian</strong> Hukum <strong>dan</strong> Hak Asasi Manusia,<br />
diketuai oleh Direktur JenderaiPeraturan Perun<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>gan<br />
<strong>Kementerian</strong> Hukum <strong>dan</strong> Hak Asasi Manusia, yang bertugas:<br />
1) Membuat pengembangan norma hukum baru<br />
2) Meratifikasi <strong>dan</strong> menyusun peraturan perun<strong>dan</strong>g baru yang<br />
terkait pemberantasan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang<br />
3) Melakukan diseminasi informasi ke seluruh komponen penegak<br />
hukum<br />
4) Melaksanakan harmonisasi peraturan perun<strong>dan</strong>gan terkait tindak<br />
perdagangan orang<br />
5) Mengadakan kerjasama internasional terkait dengan tindak<br />
perdagangan orang<br />
-Sub Gugus Tugas Penegakan Hukum, dikoordinasikan oleh<br />
BARESKRIM di bawah Kapolri, diketuai oleh Kepala Ba<strong>dan</strong> Reserse <strong>dan</strong><br />
Kriminal, Mabes Polri, yang bertugas:<br />
1) Melaksanakan penegakan hukum <strong>dan</strong> pengawasan peradilan<br />
2) Melakukan diseminasi informasi ke seluruh komponen bangsa<br />
3) Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan oleh<br />
masyarakat<br />
4) Melakukan penguatan perlindungan saksi <strong>dan</strong>/atau korban tindak<br />
pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang<br />
5) Melakukan pengembangan Unit Pelayanan Perempuan <strong>dan</strong><br />
Anak (Unit PPA)<br />
6) Melakukan standarisasi pelayanan penegakan hukum<br />
7) Melakukan pengembangan kapasitas<br />
8) Melakukan monitoring <strong>dan</strong> evaluasi <strong>dan</strong> pembinaan<br />
115
-Sub Gugus Tugas Koordinasi <strong>dan</strong> Kerjasama, dikoordinasikan<br />
oleh <strong>Kementerian</strong> Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesra, diketuai oleh Deputi Bi<strong>dan</strong>g<br />
Koordinasi Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong> Kesejahteraan Anak,<br />
<strong>Kementerian</strong> Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan Rakyat, yang bertugas:<br />
1) Melakukan pengembangan kerjasama internasional baik yang<br />
bersifat bilateral, regional maupun multilateral<br />
2) Melakukan pengembangan kerjasama antar wilayah <strong>dan</strong> nasional<br />
Dalam salah satu kegiatan Rakornas Gugus Tugas Pencegahan<br />
<strong>dan</strong> Panggulangan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang Tahun 2010 di<br />
Bekasi (29 September - 1 Oktober 201 0) dengan peserta dari seluruh<br />
instansi pemerintah <strong>dan</strong> non pemerintah di tingkat nasional, provinsi <strong>dan</strong><br />
kabupaten/kota, telah dilakukan penandatangan kerjasama dalam upaya<br />
TPPO di antara sembilan propinsi, antara Gubernur Jawa Barat, Jawa<br />
Tengah, Jawa Timur, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat,<br />
Kalimantan Timur, Lampung <strong>dan</strong> Bangka Belitung, yang disaksikan oleh<br />
Wakil Presiden Republik Indonesia. Kerjasama tersebut dibuat untuk lebih<br />
memudahkan pengungkapan sindikat perdagangan orang maupun dalam<br />
rangka pemulangan korban apabila berada di salah satu wilayah propinsi<br />
akibat terjadinya perdagangan orang.<br />
6.2.Strategi-Strategi Non Hukum Yang Efektif Dalam<br />
Memerangi Perdagangan Manusia<br />
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengambil posisi tegas<br />
melawan usulan-usulan untuk melegalisir prostitusi karena prostitusi<br />
secara langsung memberikan kontribusi pada perbudakan modern <strong>dan</strong><br />
merendahkan martabat manusia. Saat pelaksanaan hukum mentolerir<br />
atau saat masyarakat melegalisasi prostitusi, kelompok-kelompok<br />
kejahatan terorganisir lebih bebas untuk memperdagangkan manusia.<br />
Saat prostitusi dilegalisasi, biaya pelayanan seksual meliputi sewa rumah<br />
pelacuran, pemeriksaan medis, <strong>dan</strong> biaya pendaftaran. Sebagian<br />
disebabkan oleh biaya-biaya ini, membuat pelacuran terselubung (illegal)<br />
116
menjadi tumbuh subur di tempat-tempat yang melegalisir prostitusi karena<br />
para pelanggan cenderung mencari seks yang lebih murah.<br />
117<br />
Apabila ada negara di mana prostitusi bersifat legal, justru terdapat<br />
tiga hingga sepuluh kali lipat jumlah perempuan yang tidak terdaftar<br />
sebagai pekerja seks daripada yang tedaftar. Banyak dari perempuan<br />
yang tidak terdaftar ini adalah orang asing yang telah diperjualbelikan.<br />
Tidak ada bukti bahwa legalisasi di negara manapun telah mengurangi<br />
jumlah korban perdagangan, <strong>dan</strong> LSM yang bekerja di bi<strong>dan</strong>g ini mencatat<br />
bahwa jumlah korban perdagangan seringkali meningkat. Singkatnya, di<br />
mana prostitusi dilegalisir, sebuah "pasar gelap" dalam perdagangan<br />
manusia muncul karena para pelaku eksploitasi mencoba untuk<br />
memaksimalkan keuntungan dengan menghindari pemeriksaan <strong>dan</strong> biaya<br />
wajib pasar prostitusi legal. Dengan demikian, prostitusi yang dilegalisir<br />
adalah perisai terbaik para pelaku perdagangan manusia, yang<br />
membolehkan mereka melegalkan perdagangannya dalam perbudakan<br />
seks, <strong>dan</strong> membuat kita semakin sulit mengenali para korban<br />
perdagangan.<br />
Kondisi demikian bukan berarti akan melemahkan upaya<br />
pemerintah untuk mencegah <strong>dan</strong> menanggulangi perdagangan manusia.<br />
Terkait dengan hal di atas maka sangat diperlukan strategi untuk<br />
memerangi perdagangan manusia, khususnya perdagangan perempuan<br />
<strong>dan</strong> anak. Strategi anti perdagangan manusia yang efektif harus mecakup<br />
tiga aspek perdagangan: segi persediaan, para pelaku perdagangan, <strong>dan</strong><br />
segi permintaan.<br />
Pada segi persediaan, kondisi-kondisi yang memicu perdagangan<br />
harus diarahkan dengan program-program yang mendidik masyarakat<br />
untuk waspada akan bahaya perdagangan, memperbaiki kesempatan<br />
pendidikan <strong>dan</strong> sistem sekolah, menciptakan kesempatan ekonomis,<br />
mempromosikan persamaan hak, mendidik masyarakat yang menjadi<br />
sasaran mengenai hak-hak hukum mereka <strong>dan</strong> menciptakan kesempatan<br />
hidup yang lebih baik <strong>dan</strong> lebih luas. Demikian pula perlu dilakukan
penyebar luasan tentang bahaya perdagangan manusia melalui poster<br />
<strong>dan</strong> media massa secara lntens agar masyarakat lebih menyadarinya.<br />
Pada level pelaku perdagangan, program-program pelaksanaan<br />
hukum harus mengenali <strong>dan</strong> menghalangi jalur-jalur perdagangan;<br />
mengklarifikasikan definisi-definisi hukum <strong>dan</strong> mengkoordinasi kan<br />
tanggung jawab pelaksanaan hukum; menuntut para pelaku perdagangan<br />
<strong>dan</strong> mereka yang membantu <strong>dan</strong> bersekongkol dengannya; <strong>dan</strong><br />
memerangi korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memfasilitasi<br />
<strong>dan</strong> mengambil keuntungan dari perdagangan manusia, yang mengikis<br />
peranan hukum.<br />
Pada segi permintaan, orang-orang yang mengeksploitasi orang<br />
orang yang diperjualbelikan harus dikenali <strong>dan</strong> dituntut. Nama Para<br />
majikan kerja paksa <strong>dan</strong> para pelaku eksploitasi terhadap korban yang<br />
diperjualbelikan untuk eksploitasi seksual harus disebutkan <strong>dan</strong> dibuat<br />
malu. Kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat harus<br />
dilakukan di negara-negara tujuan untuk membuat perdagangan semakin<br />
sulit disembunyikan atau diacuhkan. Masyarakat harus ditarik dari situasi<br />
perbudakan <strong>dan</strong> dikembalikan ke keluarga <strong>dan</strong> masyarakatnya.<br />
Program <strong>Kementerian</strong> Kebudayaan <strong>dan</strong> Pariwisata, antara lain :<br />
1) Melakukan sosialisasi Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak<br />
(PESA) di lingkungan Pariwisata <strong>dan</strong> dalam rangka Hari Anak<br />
Nasional (HAN)<br />
2) Kampanye Pencegahan ESA di destinasi pariwisata ASEAN<br />
yang bebas ESA;<br />
3) Melakukan pencegahan ESA di lingkungan Pariwisata.<br />
Program <strong>Kementerian</strong> dalam Negeri bertugas antara lain<br />
menerapkan sistem satu identitas berupa NIK Nasional (Single Identity<br />
number) yang dapat berlaku secara nasional agar kontrol identitas<br />
seseorang dapat terbangun di seluruh jaringan pemerintah. Adapun<br />
tahapan pelaksanaan Tahun 2010 ; (1) pemutakhiran data kependudukan<br />
118
di semua Kab/Kota melalui anggaran dekonsentrasi; (2) Penerbitan NIK di<br />
329 Kab/Kota. Se<strong>dan</strong>gkan untuk Tahun 2011 : (1) Penerbitan NIK di 168<br />
Kab/Kota; (2) Penerapan e-KTP di 197 Kab/Kota. Tahun 2012, program<br />
yang akan dicapai adalah Penerapan e-KTP di 300 Kab/Kota<br />
Program <strong>Kementerian</strong> Pendidikan Nasional, bertugas :<br />
1.Menyusun rencana aksi tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang <strong>dan</strong><br />
partisipasi anak<br />
2.Perluasan pendidikan dasar <strong>dan</strong> menengah bagi TKI melalui<br />
program keaksaraan <strong>dan</strong> kesetaraan<br />
3.Perluasan akses program kecakapan hidup bagi calon TKI<br />
Rintisan PKBM sentra TKI<br />
4.Mengembangkan model kapasitas pencegahan sug Gugus Tugas<br />
di 10 daerah pengirim (Jabar, Jateng, Jatum, Nusa Tenggara<br />
Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Klimantan<br />
Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Utara <strong>dan</strong> Kepulauan Riau.<br />
S.Menyususn bahan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran<br />
masyarakat terhadap pencegahan TPPO <strong>dan</strong> partisipasi anak<br />
6.Meningkatkan layanan pendidikan abgi anak marjinal, yaitu anak<br />
jalanan perempuan, anak perempuan korban ESA <strong>dan</strong> anak<br />
laki-laki yang dipekerjakan di perkebunan<br />
119
BAB7<br />
Implikasi Teoritis Dalam Pembenaran Pencegahan<br />
Dan Penanggulangan Perdagangan Perempuan<br />
Berjuta-juta korban diperdagangkan di dalam negaranya sendiri.<br />
Didorong oleh unsur-unsur kriminal, penderitaan ekonomi, pemerintahan<br />
yang korup, kekacauan sosial, ketidakstabilan politik, bencana alam, <strong>dan</strong><br />
<strong>dan</strong> bahkan mungkin konflik bersenjata yang beberapa saat lalu terjadi di<br />
Indonesia, ataupun perbudakan abad 21 menjawab kebutuhan dunia akan<br />
tenaga kerja yang murah <strong>dan</strong> rentan. Selain itu, keuntungan yang didapat<br />
dari perdagangan orang (trafficking), termasuk perdagangan perempuan<br />
(women trafficking) men<strong>dan</strong>ai sindikat kejahatan internasional, membantu<br />
perkembangan korupsi pemerintah, <strong>dan</strong> meruntuhkan peranan hukum.<br />
Banyak pihak memperkirakan bahwa keuntungan dari perdagangan orang<br />
(trafficking), termasuk perdagangan perempuan (women trafficking)<br />
merupakan salah satu dari tiga sumber pendapatan teratas bagi kejahatan<br />
terorganisir setelah perdagangan narkotika <strong>dan</strong> perdagangan senjata.<br />
Perbudakan modern merupakan ancaman multidimensi bagi semua<br />
bangsa. Selain penderitaan individu akibat pelanggaran hak asasi<br />
manusia, keterkaitan antara perdagangan orang (trafficking), termasuk<br />
perdagangan perempuan (women trafficking) dengan kejahatan<br />
terorganisir serta ancaman-ancaman keamanan yang sangat serius<br />
seperti perdagangan obat-obatan terlarang <strong>dan</strong> senjata, menjadi semakin<br />
jelas. Begitu pula kaitannya dengan Kepulauan Riau keprihatinan<br />
kesehatan masyarakat yang serius, karena banyak korban mengidap<br />
penyakit, baik akibat kondisi hidup yang miskin maupun akibat dipaksa<br />
melakukan hubungan seks, <strong>dan</strong> diperdagangkan ke komunitas-komunitas<br />
baru. Sebuah negara yang memilih untuk memposisikan masalah
perdagangan orang (trafficking) , termasuk perdagangan perempuan<br />
(women trafficking) sebagai prioritas rendah, membahayakan bangsanya<br />
sendiri.<br />
Korupsi pemerintah merupakan rintangan utama dalam memerangi<br />
perdagangan orang (trafficking), termasuk perdagangan perempuan<br />
(women trafficking) di banyak negara, termasuk di Indonesia. Skala<br />
korupsi pemerintah yang terkait dengan perdagangan orang (trafficking),<br />
termasuk perdagangan perempuan (women trafficking) dapat meliputi<br />
perdagangan yang dilokalisir hingga yang bersifat pembiaran bahkan<br />
"pendukungan". Negara-negara yang menghadapi korupsi seperti itu perlu<br />
membangun alat-alat yang efektif untuk mengatasi masalah tersebut.<br />
Beberapa praktek anti korupsi yang telah digunakan secara efektif oleh<br />
negara-negara Eropa Tengah <strong>dan</strong> Eropa Timur untuk mendukung<br />
perlawanan terhadap perdagangan orang (trafficking), termasuk<br />
perdagangan perempuan (women trafficking) 49<br />
Para korban perdagangan orang (trafficking), termasuk<br />
perdagangan perempuan (women trafficking) mengalami banyak hal yang<br />
mengerikan. Luka fisik <strong>dan</strong> psikologis, termasuk penyakit <strong>dan</strong><br />
pertumbuhan yang terhambat, seringkali meninggalkan pengaruh<br />
permanen yang mengasingkan para korban dari keluarga <strong>dan</strong><br />
masyarakat mereka. Para korban perdagangan orang (trafficking) ,<br />
termasuk perdagangan perempuan (women trafficking) seringkali<br />
kehilangan kesempatan penting mereka untuk mengalami perkembangan<br />
sosial, moral, <strong>dan</strong> spiritual. Dalam banyak kasus eksploitasi pada korban<br />
49 Mencakup: melaksanakan pengujian psikologis terhadap para pegawai pelaksanaan hukum,<br />
termasuk tes-tes untuk stabilitas, inteligensi, karakter, etika, <strong>dan</strong> kesetiaan; mewajibkan<br />
menggunakan etika yang diperintahkan; mengeluarkan lencana identifikasi standar;<br />
melaksanakan tes integritas secara acak; menyebarkan <strong>dan</strong> menggunakan manual mengenai<br />
upaya-upaya terbaik; memeriksa kepemilikan <strong>dan</strong> uang tunai pribadi para pejabat secara acak;<br />
menerbitkan tajuk wacana anti korupsi tanpa nama ; memutar para personil, khususnya di pospos<br />
pemeriksaan perbatasan bervolume tinggi; meningkatkan upah; memberikan penghargaan<br />
insentif kinerja; memberikan pelatihan untuk membantu personil agar memahami pentingnya<br />
pekerjaan mereka dengan lebih baik; mewajibkan pengambilan sumpah jabatan; <strong>dan</strong><br />
mengadakan pemeriksaan administratif secara rutin, misalnya pada catatan-catatan<br />
keimigrasian.<br />
121
perdagangan orang (trafficking), termasuk perdagangan perempuan<br />
(women trafficking) terus meningkat: seorang perempuan yang<br />
diperjualbelikan dari satu kerja paksa dapat terus diperlakukan dengan<br />
kejam di tempat lain, para anak gadis yang direkrut untuk bekerja di<br />
pabrik-pabrik, hotel-hotel, <strong>dan</strong> restoran kemudian dipaksa untuk bekerja di<br />
industri seks, perempuan termasuk usia anak-anak yang awalnya<br />
berimigrasi atau direkrut untuk hotel <strong>dan</strong> industri pariwisata, seringkali<br />
berakhir dengan terjebak di dalam rumah-rumah pelacuran. Suatu<br />
kenyataan kejam mengenai perdagangan budak modern adalah para<br />
korbannya seringkali dibawa <strong>dan</strong> dijual. Kita simak salah satu kasus yang<br />
dijumpai dalam penelitian ini:<br />
"Tina, seorang anak berusia belasan tahun dari desa pedalaman<br />
Indonesia, berhutang ratusan dolar untuk selama empat bulan<br />
mengikuti pelatihan pembantu rumah tangga <strong>dan</strong> tinggal selama lebih<br />
dari empat bulan di sebuah pusat tenaga kerja Indonesia. Dari sana,<br />
Tina, seperti kebanyakan gadis Indonesia lainnya, diangkut ke Malaysia<br />
dengan keyakinan akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga bagi<br />
pasangan Malaysia. Dipaksa untuk bekerja hingga 15 jam sehari dalam<br />
bisnis keluarga dimana ia tidur di lantai, Tina diberitahu bahwa gajinya<br />
akan ditahan hingga ia menyelesaikan dua tahun kontraknya. Setelah<br />
berkali-kali diperlakukan dengan kejam secara fisik, ia mencari tempat<br />
perlindungan di penampungan korban milik LSM Malaysia. Tina telah<br />
melaporkan kasusnya kepada polisi <strong>dan</strong> ia telah diberi perpanjangan<br />
visa imigrasi supaya dapat melanjutkan kasusnya melawan majikannya<br />
di Malaysia".<br />
Jika kita cermati beberapa kasus perdagangan orang (trafficking),<br />
termasuk perdagangan perempuan (women trafficking) di atas 50 , tampak<br />
bahwa kejahatan "perdagangan perempuan" tidak terjadi secara spontan,<br />
tetapi melalui berbagai pertimbangan yang matang oleh para korban,<br />
sehingga para korban mau melakukan perbuatan tersebut, maka teori dari<br />
Gary Becker, tentang Rational Choice sungguh dapat menjelasakan<br />
fenomena empiris yang diperoleh Tim Peneliti adalah:<br />
50 Juga beberapa kasus terjeratnya koraban dalam pentas perdagangan orang (trafficking),<br />
termasuk perdagangan perempuan (women trafficking) yang dijelaskan dalam bab-bab<br />
terdahulu dalam laporan penelitian ini.<br />
122
Penggunaan Rational Choice Theory bagi penjelasan peran<br />
pertimbangan korban perdagangan orang (trafficking), termasuk<br />
perdagangan perempuan (women trafficking) bersedia menerima<br />
pekerjaan yang ditawarkan oleh seseorang tanpa kejelasan <strong>dan</strong> kepastian<br />
terlebih dahulu sangat mungkin didasari oleh pertimbangan bahwa<br />
mereka, dalam upaya untuk memperoleh pekerjaan bagi peningkatan<br />
kehidupan mereka, harus mengantisipasi hasil dari bermacam tindakan<br />
alternatif <strong>dan</strong> mengkalkulasi yang terbaik untuknya.<br />
123<br />
lndividu secara rasional memilih alternatif yang mungkin dapat<br />
kepuasan yang terbesar bagi dirinya. Seseorang, dalam konteks<br />
penelitian ini ada perempuan, dalam memilih untuk mengikuti ajakan<br />
orang lain bekerja tanpa kepastian <strong>dan</strong> kejelasan, sehingga akhirnya<br />
terjebak dalam kegiatan perdagangan perempuan, terlebih dahulu didasari<br />
oleh pertimbangan ekonomi. Mengacu pada penyebab seorang<br />
perempuan menjadi korban perdagangan orang (trafficking), yang pada<br />
umumnya adalah mencari pekerjaan untuk menaikkan tarat hidup mereka,<br />
maka besar kemungkinan alternatif terbaik yang diambil oleh mereka<br />
adalah "pokoknya dapat pekerjaan", "kapan lagi dapat pekerjaan", "di<br />
desapun melarat". Kalau kemungkinan ini benar maka pertimbangan<br />
rasional ini lebih pasti mengantarkan mereka sebagai korban potensial<br />
dari aktivitas perdagangan ora11g (trafficking).<br />
Pertimbangan pilihan rasional dalam diri korban yang<br />
mengantarkan korban dalam pentas perdagangan orang (trafficking) ini<br />
kemudian dapat dijelaskan oleh pendapat Von Hentig dalam bukunya<br />
"The Criminal and His Victim" yang dikutip dari Arif Gosita, bahwa korban<br />
sangat berperanan dalam timbulnya kejahatan karena korban juga<br />
memainkan peranan penting dalam terjadinya kejahatan (pen:<br />
perdagangan orang [trafficking]) 51 •<br />
Jadi dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pengaruh si<br />
korban menentukan timbulnya kejahatan sebagai manifestasi dari sikap<br />
51 Arif Gosita: 2004; 63. Op.cit.
<strong>dan</strong> tingkah laku korban sebelum saat <strong>dan</strong> sesudah kejadian. Oleh karena<br />
itu pihak korban dapat berperanan dalam keadaan sadar atau tidak sadar<br />
secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, secara<br />
aktif maupun pasif yang bergantung pada situasi <strong>dan</strong> kondisi sebelum<br />
saat <strong>dan</strong> sesudah kejaian berlangsung. Secara logika tidak akan ada<br />
orang yang mau menjadi korban dari suatu kejahatan. Tetapi kondisi<br />
kondisi tertentu dapat menyebabkan calon korban ikut berperan serta<br />
sehingga terjadilah kejahatan <strong>dan</strong> ia sendiri yang menjadi korban.<br />
Rational Choice Theory ini tidak hanya menjelaskan mengapa<br />
korban potensial dapat terjebak dalam kegiatan perdagangan orang<br />
(trafficking) saja tetapi juga menjelaskan pilihan dari pelaku perdagangan<br />
orang (trafficker). Di dalam Rational Choice Theory, individu dilihat<br />
sebagai orang yang termotivasi oleh tujuan atau keinginan yang<br />
mengekspresikan pilihan mereka. Mereka harus membuat aneka pilihan<br />
dalam hubungan dengan pencapaian tujuan mereka. Rational Choice<br />
Theory berpendapat bahwa individu harus mengantisipasi hasil dari<br />
bermacam tindakan alternatif <strong>dan</strong> mengkalkulasi yang terbaik untuknya.<br />
lndividu secara rasional memilih alternatif yang mungkin dapat kepuasan<br />
yang terbesar bagi dirinya". Jika kita simak lebih mendalam, juga berdasar<br />
pada berbagai referensi <strong>dan</strong> hasil penelitian ini, baik korban maupun<br />
pelaku perdagangan orang (trafficking) sangat mungkin adalah orang<br />
orang yang berasal dari kelompok ekonomi rendah. Mereka adalah orang<br />
orang yang tidak dapat masuk secara normal ke dalam ruang ekonomi<br />
konvensional, sektor formal ataupun sektor riil. Mereka tereksklusi secara<br />
sosial dari ruang-ruang ekonomi produktif sehingga mereka akan<br />
cenderung menciptakan ruang-ruang ekonomi produktif mereka sendiri,<br />
tak terkecuali dalam wujud ekonomi ilegal. Dalam hal ini, perdagangan<br />
orang (trafficking) adalah wujud dari ruang ekonomi ilegal yang mereka<br />
ciptakan sendiri, sebagai suatu resistensi dari eksklusi sosial yang mereka<br />
ala mi.<br />
124
125<br />
Mengacu pada berbagai ura1an di atas , maka implikasi Rational<br />
Choice Theory dalam menjelaskan masalah terjadinya perdagangan<br />
orang (trafficking) adalah bahwa:<br />
Salah satu sebab yang signifikan dalam terjadinya perdagangan<br />
orang (trafficking) adalah masalah kemiskinan yang membelit korban<br />
karena tereksklusinya mereka secara sosial dari ruang-ruang ekonomi<br />
formal, seperti kehilangan hak untuk memperoleh pendidikan yang layak,<br />
kehilangan hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, kehilangan hak<br />
untuk memperoleh jaminan kesejahteraan sebagai warga negara, <strong>dan</strong><br />
sebagainya.<br />
Dengan proses yang sama <strong>dan</strong> namun dalam intensitas yang<br />
berbeda, masalah kemiskinan <strong>dan</strong> eksklusi sosial ini juga menjadi salah<br />
satu sebab signifikan bagi pelaku (trafficker) melakukan kegiatan<br />
perdagangan orang.<br />
Dengan mengetahui salah satu penyebab signifikan dari<br />
perdagangan orang (trafficking) ini, maka dalam melakukan pencegahan<br />
<strong>dan</strong> penanggulangannya kita tidak dapat mengabaikan masalah non<br />
hukum atau hanya mengandalkan penegakan hukum saja.<br />
Pengertian Kejahatan "perdagangan perempuan" menurut peneliti<br />
adalah merupakan kejahatan terorganisir di mana kejahatan<br />
"perdagangan perempuan" sudah melampui lintas batas suatu negara <strong>dan</strong><br />
peran para pelaku kejahatan terhadap perempuan mempunyai pembagian<br />
kerja sesuai dengan keahlian <strong>dan</strong> kemampuannya masing-masing. Modus<br />
operandi yang dilakukan para pelaku kejahatan "perdagangan perempuan<br />
<strong>dan</strong> anak" sangat beraneka ragam, dari mulai mengiming-iming kehidupan<br />
yang lebih baik menjadi pekerja rumah tangga, memalsukan surat<br />
perjalanan ke luar negeri, berkedok panti pijat, berkedok salon kecantikan<br />
atau rambut, berkedok sebagai duta seni Indonesia sebagai penyanyi <strong>dan</strong><br />
penari, bekerja di restoran sampai dengan pernikahan dalam bentuk<br />
pengantin pesanan, semua modus operandi ini dengan menggunakan
serangkaian kata-kata bohong/ janji-janji atau keadaan palsu yang<br />
dilakukan oleh para pelaku kepada para korban.<br />
Temuan penelitian di atas senada dengan pendapat Mardjono yang<br />
menyinggung bahwa "perdagangan perempuan" juga diduga terkait erat<br />
dengan masalah kejahatan terorganisir (organized crime) yang mengacu<br />
pada suatu organisasi "rahasia" juga bersifat global <strong>dan</strong> transnasional<br />
melibatkan jaringan yang luas <strong>dan</strong> sistematik; memanfaatkan teknologi<br />
tinggi (high tech) termasuk information communication tech. Jelas bahwa<br />
perdagangan orang, mencakup perdagangan perempuan adalah suatu<br />
bentuk Kejahatan Terorganisir. Seringkali bahwa keuntungan-keuntungan<br />
dari perdagangan manusia menjadi sumber <strong>dan</strong>a bagi kegiatan kriminal<br />
lainnya. Menurut PBB, perdagangan manusia adalah perusahaan kriminal<br />
terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan sekitar 9.5 juta USD<br />
dalam pajak tahunan menurut masyarakat intelijen AS. Perdagangan<br />
manusia juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang paling<br />
menguntungkan <strong>dan</strong> sangat terkait dengan pencucian uang (money<br />
laundering), perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen, <strong>dan</strong><br />
penyelundupan manusia. Bahkan keterkaitannya dengan terorisme juga<br />
telah didokumentasikan. Di mana kejahatan terorganisir tumbuh subur,<br />
pemerintah <strong>dan</strong> peranan hukum justru melemah (Uchida, E. (2002a, June<br />
15).<br />
Menurut laporan Francis T Miko dari Congressional Research<br />
Service USA, satu hingga dua juta manusia setiap tahun diperkirakan<br />
diperdagangkan di seluruh dunia untuk industri seks <strong>dan</strong> perbudakan,<br />
50.000 orang di antaranya dilakukan di Amerika Serikat. Perdagangan<br />
manusia disinyalir merupakan sumber keuntungan ketiga terbesar bagi<br />
organisasi kriminal di dunia setelah bisnis narkoba <strong>dan</strong> senjata. Laporan<br />
itu juga menyatakan korban terbesar dari perdagangan gelap itu berasal<br />
dari negara-negara Asia, yaitu lebih dari 225.000 orang dari Asia<br />
Tenggara <strong>dan</strong> 150.000 dari Asia Selatan (Media Indonesia, 11 Mei 2001 ).<br />
126
Selain itu harus disadari pula bahwa para korban perdagangan<br />
perempuan yang dipaksa dalam perbudakan seks seringkali dibius<br />
dengan obat-obatan <strong>dan</strong> menderita kekerasan yang luar biasa. Para<br />
korban yang diperjualbelikan untuk eksploitasi seksual menderita cedera<br />
fisik <strong>dan</strong> emosional akibat kegiatan seksual yang belum waktunya,<br />
diperlakukan dengan kasar, <strong>dan</strong> menderita penyakit-penyakit yang<br />
ditularkan melalui hubungan seks termasuk HIV/AIDS. Beberapa korban<br />
menderita cedera permanen pada organ reproduksi mereka. Selain itu,<br />
korban biasanya diperdagangkan di lokasi yang bahasanya tidak mereka<br />
pahami, yang menambah cedera psikologis akibat isolasi <strong>dan</strong> dominasi.<br />
lronisnya, kemampuan manusia untuk menahan penderitaan yang amat<br />
buruk <strong>dan</strong> terampasnya hak-hak mereka bahkan membuat banyak korban<br />
yang dijebak terus bekerja sambil berharap akhirnya mendapatkan<br />
kebebasan.<br />
Mengacu pada uraian di atas maka hakekatnya, perdagangan<br />
perempuan adalah bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pada<br />
dasarnya, perdagangan manusia, mencakup pula perdagangan<br />
perempuan, melanggar hak asasi universal manusia untuk hidup,<br />
merdeka, <strong>dan</strong> bebas dari semua bentuk perbudakan. Perdagangan anak<br />
anak merusak kebutuhan dasar seorang anak untuk tumbuh dalam<br />
lingkungan yang aman <strong>dan</strong> merusak hak anak untuk bebas dari kekerasan<br />
<strong>dan</strong> eksploitasi seksual.<br />
Selanjutnya, perlu dipahami pula bahwa perdagangan manusia<br />
meningkatkan kerusakan sosial. Hilangnya jaringan dukungan keluarga<br />
<strong>dan</strong> masyarakat membuat korban perdagangan sangat rentah terhadap<br />
ancaman <strong>dan</strong> keinginan para pelaku perdagangan, <strong>dan</strong> dalam beberapa<br />
cara menimbulkan kerusakan pada struktur-struktur sosial. Perdagangan<br />
merenggut anak secara paksa dari orang tua <strong>dan</strong> keluarga mereka,<br />
menghalangi pengasuhan <strong>dan</strong> perkembangan moral mereka.<br />
Perdagangan mengganggu jalan pengetahuan <strong>dan</strong> nilai-nilai budaya dari<br />
orang tua kepada anaknya <strong>dan</strong> dari generasi ke generasi, yang<br />
membangun pilar utama masyarakat. Keuntungan dari perdagangan<br />
127
seringkali membuatnya mengakar di masyarakat-masyarakat tertentu ,<br />
yang kemudian dieksploitasi secara berulang-ulang sebagai sumber yang<br />
siap menjadi korban . Bahaya menjadi korban perdagangan seringkali<br />
membuat kelompok yang rentan seperti anak-anak <strong>dan</strong> perempuan muda<br />
bersembunyi dengan dampak merugikan bagi pendidikan <strong>dan</strong> struktur<br />
keluarga mereka. Hilangnya pendidikan mengurangi kesempatan<br />
ekonomis masa depan para korban <strong>dan</strong> meningkatkan kerentanan mereka<br />
untuk diperdagangkan di masa mendatang. Para korban yang kembali<br />
kepada komunitas mereka seringkali menemui diri mereka ternoda <strong>dan</strong><br />
terbuang/terasing, <strong>dan</strong> membutuhkan pelayanan sosial secara terus<br />
menerus. Mereka juga berkemungkinan besar menjadi terlibat dalam<br />
tindak kejahatan serta menunjukkan perilaku yang kejam.<br />
Lalu mengapa mereka bisa terbujuk untuk terlibat dalam kegiatan<br />
perdagangan orang? Suatu persoalan yang menarik mengingat mereka<br />
juga memutuskan untuk masuk dalam kancah perdagangan orang ini<br />
diyakini telah melewati proses pertimbangan rasional. Membahas hal ini<br />
akan mengingatkan penulis pada Teori Pertukaran Sosial yang mengkaji<br />
peranan korban dalam mempermudah terjadinya kejahatan (dalam<br />
konteks penelitian adalah perdagangan orang). Hasil penelitian<br />
menunjukkan bahwa proses terlibatnya korban dalam pentas<br />
perdagangan orang, mencakup perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak ada<br />
yang senada <strong>dan</strong> ada yang berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh<br />
teori pertukaran sosial melalui lima unsur utamanya. Hanya unsur ke tiga,<br />
yakni pertukaran sosial didasarkan pada prinsip keadilan yang tidak<br />
senada dengan temuan penelitian. Unsur yang senada adalah bahwa:<br />
keikursertaan korban dalarn pentas perdagangan perempuan telah<br />
melalui pertimbangan yang mendalam secara rasional.<br />
hubungan kerja yang dijanjikan, termasuk imbalan kerja yang<br />
diiming-imingkan menjadi dasar bagi keputusan untuk menerima ajakan<br />
pelaku.<br />
128
korban akan berupaya untuk memaksimalkan keuntungan mereka<br />
<strong>dan</strong> meminimumkan biaya mereka dalam hubungan pertukaran<br />
hubungan.<br />
korban mengambil bagian dalam suatu hubungan berdasarkan<br />
suatu perasaan kemanfaatan lebih dari pada paksaan timbal balik.<br />
Sementara itu, teori pertukaran sosial (social exchange theory) juga<br />
menjelaskan motivasi individu dalam mengejar partisipasi dalam suatu<br />
aktivitas tertentu. Teori pertukaran sosial menjelaskan empat bangunan<br />
yang mempengaruhi seorang individu untuk mempertahankan<br />
keterlibatan. Temuan penelitian justru bertolak belakang dengan apa yang<br />
dikatakan oleh teori pertukaran sosial. Sebab utamanya adalah bahwa<br />
hubungan kerja <strong>dan</strong> hubungan sosial antara korban <strong>dan</strong> pelaku tidaklah<br />
setara. Hubungan yang terjadi justru merupakan hubungan yang timpang<br />
<strong>dan</strong> eksploitasi. Dengan demikian:<br />
Karban tidak akan dapat berupaya untuk memelihara keterlibatan<br />
mereka karena pertimbangan mereka secara berlanjut menerima<br />
kepuasan kebutuhannya yang mereka cari sejak awal <strong>dan</strong> berkembang<br />
melalui partisipasinya.<br />
Karban tidak akan pernah berkesempatan untuk menerima sesuatu<br />
untuk keterlibatan mereka yang kira-kira sepa<strong>dan</strong> dengan kontribusi<br />
mereka melalui aktivitas mereka.<br />
Karban tidak akan memiliki akses untuk memastikan bahwa mereka<br />
menerima imbalan yang layak untuk keterlibatan mereka dibandingkan<br />
dengan orang lain yang mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam<br />
kegiatan yang sama atau serupa.<br />
Karban tidak akan dapat berupaya untuk meminimalisir biaya<br />
mereka sementara memaksimalkan imbalan mereka.<br />
Perdagangan orang juga menghilangkan Sumber Daya Manusia<br />
Banyak Negara. Perdagangan manusia memiliki dampak negatif pada<br />
pasar tenaga kerja, yang menimbulkan hilangnya sumber-sumber daya<br />
129
manusia yang tidak dapat diperoleh kembali. Beberapa dampak<br />
perdagangan manusia mencakup upah yang kecil, hanya sedikit individu<br />
yang tersisa untuk merawat orang tua yang jumlahnya semakin<br />
meningkat, <strong>dan</strong> generasi yang terbelakang dalam hal pendidikan.<br />
Dampak-dampak ini selanjutnya mengakibatkan hilangnya produktifitas<br />
<strong>dan</strong> kekuatan pendapatan di masa mendatang. Memaksa anak-anak<br />
untuk bekerja 10 hingga 18 jam per hari di usia-usia awal, menghalangi<br />
mereka mendapat pendidikan <strong>dan</strong> memperkuat putaran kemiskinan <strong>dan</strong><br />
buta huruf yang memperlambat perkembangan emosional.<br />
Perdagangan orang diyakini pula dapat merusak Kesehatan<br />
Masyarakat. Para korban perdagangan seringkali mengalami kondisi<br />
yang kejam yang mengakibatkan trauma fisik, seksual <strong>dan</strong> psikologis.<br />
lnfeksi-infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, penyakit<br />
inflammatori pelvic, <strong>dan</strong> HIV/AIDS seringkali merupakan akibat dari<br />
prostitusi yang dipaksakan. Kegelisahan, insomnia, depresi <strong>dan</strong> penyakit<br />
pasca traumatis stres adalah wujud psikologis umum di antara para<br />
korban. Kondisi hidup yang tidak sehat <strong>dan</strong> sesak, ditambah makanan<br />
yang miskin nutrisi, membuat korban dengan mudah mengalami kondisi<br />
kesehatan yang sangat merugikan seperti kudis, TBC, <strong>dan</strong> penyakit<br />
menular lainnya. Anak-anak menderita masalah pertumbuhan <strong>dan</strong><br />
perkembangan <strong>dan</strong> menanggung derita psikologi kompleks <strong>dan</strong> syaraf<br />
akibat kekurangan makanan <strong>dan</strong> hak-haknya serta mengalami trauma.<br />
Kekejaman yang paling buruk seringkali ditanggung oleh anak-anak<br />
yang lebih mudah dikendalikan <strong>dan</strong> dipaksa menjadi pelayan rumah,<br />
dilibatkan dalam konflik bersenjata, <strong>dan</strong> bentuk lain pekerjaan. Anak-anak<br />
dapat menjadi sasaran eksploitasi yang progresif, misalnya dijual<br />
beberapa kali <strong>dan</strong> menjadi sasaran pertunjukan kekerasan fisik, seksual<br />
<strong>dan</strong> mental. Kekerasan ini memperumit rehabilitasi psikologis <strong>dan</strong> fisik<br />
mereka <strong>dan</strong> membahayakan reintegrasi mereka.<br />
Perdagangan orang dapat pula menumbangkan wibawa<br />
pemerintah. Banyak pemerintah yang berjuang untuk melaksanakan<br />
130
kendali penuh atas teritori nasional mereka, khususnya dimana korupsi<br />
merupakan hal yang umum. Konflik-konflik bersenjata, bencana alam, <strong>dan</strong><br />
perjuangan politik serta etnis seringkali menciptakan populasi besar<br />
orang-orang yang telantar. Para pelaku Perdagangan Manusia lebih<br />
lanjut merusak usaha-usaha pemerintah untuk menggunakan<br />
wewenangnya, mengancam keamanan penduduk yang rentan. Banyak<br />
pemerintah tidak dapat melindungi wanita <strong>dan</strong> anak-anak yang diculik dari<br />
rumah <strong>dan</strong> sekolah mereka atau dari kamp penampungan. Selain itu,<br />
uang suap yang dibayarkan oleh para pelaku perdagangan menghalangi<br />
kemampuan pemerintah untuk memerangi korupsi yang dilakukan di<br />
antara para petugas penegak hukum, pejabat imigrasi, <strong>dan</strong> pejabat<br />
pengadilan.<br />
Perdagangan manusia memakan biaya ekonomi yang sangat<br />
besar. Ada manfaat ekonomis besar sekali yang akan diperoleh dengan<br />
terhapusnya perdagangan manusia. Organisasi Buruh lnternasional<br />
(International Labor Organization/ ILO) baru-baru ini menyelesaikan<br />
sebuah studi mengenai biaya <strong>dan</strong> keuntungan dari penghapusan bentuk<br />
bentuk terburuk kerja paksa pada anak-anak - yang definisinya meliputi<br />
perdagangan anak. ILO menyimpulkan bahwa perolehan ekonomis dari<br />
penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerja paksa pada anak-anak sangat<br />
besar (puluhan jutaan dolar pertahun) karena pertambahan kapasitas<br />
produktifitas pada generasi tenaga kerja masa mendatang akan diperoleh<br />
dari peningkatan pendidikan <strong>dan</strong> kesehatan masyarakat yang membaik.<br />
Dampak sosial <strong>dan</strong> kemanusiaan dari perdagangan manusia seringkali<br />
mencerminkan bentuk-bentuk terburuk kerja paksa pada anak-anak<br />
terse but.<br />
131
BAB8<br />
UPAYA PENANGANAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DI<br />
INDONESIA SAA T INI<br />
8.1. Upaya Penanganan di Daerah Asal (Jawa Barat)<br />
8.1.1. Penanganan oleh Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />
<strong>dan</strong> Keluarga Berencana Provinsi Jabar<br />
Jumlah korban trafficking dari daerah Jawa Barat merupakan yang<br />
terbesar, namun bila ditelaah secara lebih detail banyak juga korban<br />
trafficking yang sebenarnya bukan orang Jawa Barat tapi memiliki KTP<br />
Jawa Barat sehingga dianggap sebagai korban dari Jawa Barat. Hal ini<br />
ditenggarai terjadi karena market demand terhadap perempuan yang<br />
berasal dari Jawa Barat adalah yang terbesar, khususnya untuk<br />
dipekerjakan di cafe-cafe, di tempat hiburan malam, atau warung remang<br />
remang. Menurut berbagai informan, besarnya permintaan ini karena<br />
perempuan dari Jawa Barat umumnya dikenal memiliki paras yang cantik,<br />
berkulit putih, berperilaku sopan, tidak banyak menuntut <strong>dan</strong> sebagainya,<br />
sehingga disukai oleh para tamu yang datang ke tempat hiburan ataupun<br />
kedai minuman.<br />
8.1.1.1. Kerjasama Antar Daerah Dalam Penanganan Trafficking<br />
Dalam konteks kerjasama antar daerah provinsi untuk pencegahan<br />
<strong>dan</strong> penanganan masalah human trafficking, sejauh ini sudah ada<br />
kerjasama antara 7 provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,<br />
Bali, NTI, NTB, <strong>dan</strong> Lampung yang tergabung dalam MPU (Mitra Praja<br />
Utama). Di antara ketujuh provinsi ini sudah lama ada kerjasama, tidak<br />
saja dalam bi<strong>dan</strong>g pemberdayaan perempuan tetapi meliputi juga
eberapa bi<strong>dan</strong>g lainnya seperti bi<strong>dan</strong>g kesehatan , pendidikan,<br />
kehutanan, pertanian , <strong>dan</strong> sebagainya. Salah satu bi<strong>dan</strong>g di antaranya<br />
adalah mengenai penanganan <strong>dan</strong> pencegahan tindak pi<strong>dan</strong>a<br />
perdagangan orang <strong>dan</strong> kekerasan terhadap anak. Selama ini koordinasi<br />
di antara 7 provinsi ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan secara<br />
periodik yakni setahun sekali. Baru 2 tahun terakhir ini kerjasama ini<br />
beranjak pada kerjasama yang lebih spesifik dalam bi<strong>dan</strong>g pemberdayaan<br />
perempuan. Di samping itu pihak yang berpartisipasi dalam kerjasama<br />
tersebut pun bertambah dengan empat provinsi yang selama ini menjadi<br />
daerah tujuan, yakni Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Timur,<br />
<strong>dan</strong> Kalimantan Barat. Untuk memperkuat kerjasama dalam penanganan<br />
human trafficing tersebut pad a akhir September 2010 telah dibuat MOU<br />
antara 9 provinsi <strong>dan</strong> sudah ditandatangani oleh 9 gubernur (termasuk<br />
Jabar) dengan disaksikan langsung oleh Wakil Presiden Rl.<br />
Meskipun sudah ada penandatanganan MOU, namun pada<br />
dasarnya MOU tersebut sifatnya masih berbentuk komitmen atau<br />
gentlemen agreement yang merupakan payung bahwa kesembilan<br />
provinsi tersebut memiliki komitmen terhadap pencegahan <strong>dan</strong><br />
penanganan korban trafficking. Oleh karena itu untuk dapat<br />
diimplementasikan MOU tersebut masih harus ditindaklanjuti dengan<br />
agreement atau perjanjian kerjasama yang lebih spesifik. Dalam konteks<br />
itu provinsi Jawa Barat sekarang ini tengah membuat draft detail<br />
kerjasama <strong>dan</strong> dikomunikasikan melalui email kepada provinsi yang telah<br />
menandatangani MOU tersebut. Perjanjian kerjasama yang lebih spesifik<br />
ini penting dikomunikasikan karena masing-masing provinsi tentunya<br />
memiliki kebutuhannya berbeda. Misalnya provinsi kepulauan Riau,<br />
karena korban trafficking yang ada di provinsi ini mencapai ribuan<br />
jumlahnya, maka tidak mungkin korban yang berasal dari seluruh provinsi<br />
tersebut ditanggung sendiri oleh APBD provinsi Kepulauan Riau. Oleh<br />
karena itu berdasarkan MOU yang telah disepakati tersebut kemudian<br />
dibuat perjanjian kerjasama yang lebih rinci <strong>dan</strong> teknis. Dalam perjanjian<br />
kerjasama tersebut meliputi hak <strong>dan</strong> kewajiban yang menentukan aturan<br />
133
main dalam implementasi kerjasamanya. Dalam kerjasama tersebut<br />
antara lain mengatur bahwa ketika ada korban trafficking yang berasal<br />
dari Jawa Barat, maka pihak provinsi Jawa Barat melakukan<br />
penjemputan. Terkait keterbatasan APBD provinsi Kepulauan Riau yang<br />
tidak mungkin mencukupi untuk menanggung semua biaya penanganan<br />
korban yang jumlahnya ribuan, maka dalam kerjasama tersebut pihak<br />
provinsi Kepulauan Riau menghendaki bahwa mulai saat penjemputan<br />
korban segala biaya penanganan korban tersebut langsung ditanggung<br />
oleh APBD provinsi Jawa Barat. Namun tentunya tidak serta merta,<br />
melainkan dititipkan dulu di P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu<br />
Perlindungan Perempuan <strong>dan</strong> Anak) yang ada di propinsi yang<br />
bersangkutan. Setelah korban tersebut dititipkan di shelter milik provinsi<br />
Kepulauan Riau, baru kemudian dijemput oleh pihak provinsi Jawa Barat.<br />
Hal ini dimungkinkan karena di setiap provinsi membentuk semacam<br />
rumah aman atau shelter atau tempat pelayanan terpadu terhadap korban<br />
kekerasan perempuan <strong>dan</strong> perlindungan anak.<br />
Dalam kaitan dengan masalah kerjasama antara provinsi Jawa<br />
Barat <strong>dan</strong> provinsi Kepulauan Riau, pada tahun 2008 pihak provinsi<br />
Kepulauan Riau pernah mengeluhkan tentang sulitnya melakukan<br />
koordinasi dengan provinsi Jawa Barat. Ketika mereka melakukan<br />
audiensi ke Jawa Barat saat itu, mereka menangkap kesan bahwa<br />
terdapat kecenderungan dari pihak Jawa Barat untuk tidak mengakui<br />
bahwa banyak korban trafficking yang berasal dari Jawa Barat, oleh<br />
karena itu pihak provinsi Jawa Barat tidak mau mengalokasikan anggaran<br />
untuk penanganan trafficking yang sangat diharapkan oleh pihak provinsi<br />
Kepulauan Riau . Ketika kesan ini dikonfirmasi oleh peneliti, kondisi<br />
tersebut diakui benar oleh responden dari pemerintah provinsi Jawa Barat.<br />
Alasan yang dikemukakan adalah bahwa pada saat itu kegiatan program<br />
untuk penanganan masalah trafficking ini memang belum dianggarkan<br />
secara khusus. Namun sekarang ini kesulitan tersebut tampaknya sudah<br />
mulai terpecahkan yakni setelah pemerintah provinsi Jawa Barat yang<br />
baru membentuk BPPKB (Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong><br />
134
Keluarga Berencana) pada 1 Januari tahun 2009. Bahkan sekarang ini<br />
tampak sekali bahwa pemerintah provinsi Jawa Barat sangat proaktif<br />
dalam penanganan masalah trafficking <strong>dan</strong> kerjasama dengan provinsi<br />
Kepulauan Riau pun sudah mulai berjalan dengan baik.<br />
Mengenai kerja sama dengan provinsi Kalimantan sekarang ini<br />
masih dalam tahap diskusi mengenai pengaturan anggarannya, apakah<br />
mereka sanggup menanggung biaya penanganan korban selama<br />
seminggu atau 5 hari, atau lainnya sehingga masih belum ada keputusan.<br />
Di samping kerjasama dalam masalah penjemputan dengan daerah<br />
tujuan , provinsi Jawa Barat juga bekerja sama dengan provinsi-provinsi<br />
yang menandatangani MOU di dalam penyusunan data base. Hal ini<br />
dianggap penting agar jumlah orang yang menjadi korban trafficking yang<br />
berasal dari Jawa Barat dapat diketahui secara akurat. Melalui data base<br />
tersebut dapat diketahui berapa orang yang sudah diberikan assessment,<br />
berapa orang yang sudah dipulangkan/dikembalikan ke kabupaten/kota<br />
setelah mereka diassessment, berapa orang yang diberikan counceling<br />
hukum <strong>dan</strong> agama, berapa yang dimedica/ check up, berapa orang yang<br />
sudah dibuatkan berita acara oleh Unit PPA Polda Jabar, berapa yang<br />
diberikan pembekalan pelatihan seperti tata boga, tata busana, <strong>dan</strong><br />
keterampilan lain seperti menyulam.<br />
Selain pentingnya dilakukan kerjasama antar pemerintah provinsi,<br />
dalam penanganan trafficking kerjasama juga perlu dilakukan di intra<br />
provinsi yang menjadi sending area, dalam artian baik kerjasama antara<br />
provinsi dengan kabupaten/kota maupun antara kabupaten/kota itu<br />
sendiri. Hal ini diperlukan karena penanganan korban trafficking masih<br />
menyisakan persoalan. Pertama, setelah dilakukan assessment oleh<br />
provinsi terhadap korban selama 10 hari di shelter, ternyata hasilnya<br />
belum mencukupi untuk melakukan perubahan mind set. Padahal<br />
perubahan mind set ini sangat substansial dalam mencegah korban agar<br />
tidak kembali lagi ke pekerjaan lama atau daerah tujuan. Perubahan mind<br />
set ini dirasakan menjadi problem utama bagi BPPKB dalam penanganan<br />
135
-<br />
korban trafficking. Kesulitan yang dihadapi terutama menyangkut para<br />
korban trafficking yang sudah merasa enjoy dengan penghasilan yang<br />
diperolehnya selama ini yang nilainya mencapai an tara 7 sampai 10 juta<br />
rupiah per bulan. Hal ini antara lain terbukti ketika 72 korban yang baru<br />
baru ini dijemput <strong>dan</strong> ditangani oleh provinsi Jawa Barat, ternyata 11<br />
orang di antaranya sudah kembali lagi ke daerah tujuan (Batam/Kepri).<br />
Hal kedua yang menjadi kendala adalah, ka<strong>dan</strong>gkala alamat korban<br />
trafficking tidak jelas karena yang bersangkutan tidak mau terus terang.<br />
Atau, ka<strong>dan</strong>g ada orang tua yang tidak mau menerima kembali anaknya<br />
sehingga harus dikembalikan kepada kakak atau sanak familinya yang<br />
tentu saja menjadi persoalan tersendiri bagi mereka. Untuk mengatasi<br />
persoalan tersebut, tampaknya perlu dilakukan kerjasama yang sinergis<br />
dengan kabupaten/kota. Dengan begitu setelah para korban diberikan<br />
assessmentlcounceling selama 1 0 hari oleh provinsi <strong>dan</strong> mereka<br />
dikembalikan ke tempat asalnya, maka pembinaan <strong>dan</strong> monitoring<br />
lanjutannya menjadi kewenangan kabupaten/kota. Yang perlu<br />
digarisbawahi, dengan a<strong>dan</strong>ya otonomi daerah maka kewenangan untuk<br />
menjaga warga masyarakat berada di tangan kabupaten/kota. Selain itu di<br />
sana juga sudah ada gugus tugas sendiri yang menangani masalah<br />
trafficking. Dalam kaitan ini kabupaten/kota perlu melakukan berbagai<br />
upaya untuk melindungi warganya yang menjadi korban trafficking <strong>dan</strong><br />
sudah dipulangkan oleh provinsi ataupun daerah tujuan agar mereka tidak<br />
mengulangi perbuatannya kembali ke daerah tujuan. Untuk itu<br />
kabupaten/kota , antara lain, harus melakukan pencatatan <strong>dan</strong><br />
pengawasan terhadap korban trafficking yang sudah dipulangkan.<br />
8.1.1.2. Kendala Sistem Penganggaran Program<br />
Sebenarnya penanganan korban tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang<br />
sudah ditangani oleh <strong>Kementerian</strong> Sosial atau Dinas Sosial di tingkat<br />
provinsi. Penanganan korban tersebut diposisikan di situ karena<br />
penanganan korban kekerasan ini sifatnya kuratif <strong>dan</strong> Dinas Sosial<br />
memang memiliki <strong>dan</strong> mengelola panti-panti yang berfungsi untuk<br />
136
merehabilitasi korban, baik dari kesehatannya maupun trauma yang<br />
dialaminya. Namun dengan dibentuknya BPPKB provinsi Jawa Barat di<br />
awal tahun 2009, maka penanganan korban trafficking tersebut mulai<br />
dianggarkan di BPPKB. Dalam penganggaran ini di BPPKB tidak ada<br />
prioritas penganggaran apakah itu pada program preventif atau kuratif<br />
karena disesuaikan dengan apa yang tercantum dalam RPJMD, selain<br />
memang keduanya memang penting untuk dilakukan. Dalam konteks ini<br />
BPPKB bertindak sebagai koordinator gugus tugas, selain itu juga<br />
menangani langsung masalah pemulangan korban. Akan tetapi karena<br />
BPPKB sifatnya lebih regulatif, maka anggaran penanganan human<br />
trafficking juga dialokasikan di dinas-dinas yang terkait. Misalnya, di<br />
bi<strong>dan</strong>g pendidikan non-formal pada Dinas Pendidikan dianggarkan untuk<br />
kegiatan pendidikan life skill. Demikian pula di Dinas Sosial penanganan<br />
human trafficking tersebut dianggarkan di bagian panti rehabilitasi.<br />
Kemudian di Dinas Koperasi Usaha Menengah Kecil (KUMKM)<br />
dianggarkan untuk kegiatan UMK-UMK perempuan, <strong>dan</strong> sebagainya.<br />
Yang terpenting terkait dengan masalah anggaran ini adalah bahwa<br />
penanganan trafficking di Jawa Barat sudah dimasukkan ke dalam<br />
RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Provinsi<br />
Jawa Barat 2008- 2013. Di sana telah dimasukkan masalah Penanganan<br />
<strong>dan</strong> Pencegahan Terhadap Kekerasan Perempuan <strong>dan</strong> Anak. lmplikasi<br />
dari dimasukkannya masalah human trafficking ke dalam RPJMD maka<br />
secara otomatis dinas - dinas yang terkait harus menganggarkan<br />
berdasarkan rencana kegiatannya. Misalnya, BPPKB menganggarkan<br />
dalam rangka penjemputan <strong>dan</strong> pemulangan korban; P2TP2A<br />
menganggarkan untuk political actionnya karena merupakan<br />
pelaksananya <strong>dan</strong> di sana sudah ada SOPnya; Biro hukum<br />
mengganggarkan untuk kegiatan advokasinya, Dinas Pendidikan<br />
menganggarkan pendidikannya; Dinas Kesehatan mengalokasikan<br />
anggaran untuk medical check upnya. Di dalam melaksanakan<br />
pekerjaannya dinas kesehatan bekerja sama dengan RS. Polri Santika<br />
Asih.<br />
137
Dalam konteks hubungan kelembagaan antara provinsi dengan<br />
kabupaten/kota untuk menangani trafficking ini diperlukan a<strong>dan</strong>ya sinergi<br />
yang harmonis, baik dalam sisi peraturan perun<strong>dan</strong>gannya maupun<br />
kegiatan programnya. Sejauh ini kendala utamanya terletak pada masalah<br />
keterbatasan anggaran. Pihak provinsi menyatakan bahwa bila<br />
penanganan trafficking ini hanya mengandalkan pada anggaran APBD<br />
provinsi maka masalah trafficking ini tidak mungkin dapat tertangani<br />
dengan baik. Oleh karena itu dalam membangun kerjasama antara<br />
provinsi dengan kabupaten/kota tersebut perlu juga dibuat MOU yang<br />
mencakup baik dalam hal pencegahannya maupun penanganannya,<br />
sebagaimana kerjasama yang dilakukan antar provinsi. Dengan demikian<br />
diharapkan dalam penanganan masalah trafficking tersebut terdapat<br />
pembagian tugas yang jelas antara provinsi <strong>dan</strong> kabupaten/kota. Dengan<br />
a<strong>dan</strong>ya kerjasama yang sinergis <strong>dan</strong> harmonis tersebut diharapkan dapat<br />
mencegah para korban yang sudah dipulangkan kembali lagi ke daerah<br />
tujuan.<br />
Terkait dengan masalah anggaran, tampaknya ada persoalan yang<br />
cukup mendasar pada tataran pemerintahan kabupaten/kota. Dikatakan<br />
demikian karena sejauh ini sistem penganggaran untuk kegiatan<br />
penanganan human trafficking pada instansi terkait di tingkat kabupaten<br />
hanya mengacu pada tupoksi dari masing-masing instansi. lmplikasinya,<br />
karena terdapat berbagai kepentingan atau prioritas anggaran yang harus<br />
dialokasikan pada berbagai tupoksi yang menjadi core competence dari<br />
instansi yang bersangkutan, maka dapat diduga bahwa dalam<br />
mengalokasikan anggarannya akan cenderung diarahkan pada kegiatan<br />
yang bersifat ego sektoral. Artinya bila masalah human trafficking hanya<br />
menjadi sub kegiatan yang relatif kecil pada instansinya, maka anggaran<br />
yang dilokasikan untuk itu pun jumlahnya akan relatif kecil, atau mungkin<br />
tidak dialokasikan anggarannya. lmplikasi lainnya adalah bahwa anggaran<br />
kegiatan untuk penanganan trafficking tersebut menjadi berserakan di<br />
berbagai instansi <strong>dan</strong> tidak terfokus atau kegiatan penanganan trafficking<br />
antara satu instansi dengan instansi lainnya tidak sinergistik.<br />
138
Kondisi yang kurang lebih sama pada dasarnya juga terjadi pada<br />
level propinsi Jawa Barat. Artinya setiap instansi terkait yang masuk<br />
dalam gugus tugas mengalokasikan anggaran kegiatan penanganan<br />
trafficking pada masing-masing institusinya. Sistem pengalokasian<br />
anggarannya pun hanya mengacu pada tupoksi dari masung-masing<br />
instansi tersebut. lmplikasinya, tidak ada prioritas anggaran yang<br />
dialokasikan khusus untuk kegiatan penanganan trafficking selain kepada<br />
tupoksinya. Jenis kegiatan <strong>dan</strong> alokasi anggaran pun menjadi tidak fokus<br />
<strong>dan</strong> kegiatannya tidak mudah untuk disinkronkan. Meskipun demikian<br />
pada level propinsi kondisinya sudah lebih baik dibandingkan dengan<br />
tingkat kabupaten. Dikatakan demikian karena pada tingkat provinsi Jawa<br />
Barat sudah mulai ada upaya untuk melakukan sentralisasi anggaran<br />
kegiatan untuk penanganan trafficking yakni pada BPPKB. Walaupun hal<br />
tersebut tidak dalam artian sentralisasi anggaran penuh pada BPPKB,<br />
melainkan porsi terbesar anggaran untuk penanganan korban trafficking<br />
dialokasikan di BPPKB, sementara pada instansi terkait lain porsi<br />
anggarannya relatif kecil disesuaikan dengan tupoksinya.<br />
Untuk mencapai efektivitas dalam penanggulangan masalah human<br />
trafficking ini memang dibutuhkan komitmen bersama pada semua level.<br />
Dalam konteks itu pada tingkat kabupaten/kota sudah dibentuk BPPKB<br />
<strong>dan</strong> Gugus Tugas sehingga secara kelembagaan menunjukkan sudah<br />
a<strong>dan</strong>ya komitmen terhadap penanganan masalah trafficking. Namun bila<br />
dilihat dari sisi anggarannya, besaran anggaran yang dialokasikan dapat<br />
dikatakan belum memadai sehingga belum mengindikasikan a<strong>dan</strong>ya<br />
komitmen yang kuat untuk penanggulangan masalah trafficking.<br />
Komitmen tersebut nampaknya masih harus dibangun <strong>dan</strong> diterjemahkan<br />
bersama sehingga dapat dituangkan ke dalam bentuk kegiatan program<br />
<strong>dan</strong> alokasi anggaran yang memadai. Dengan demikian dapat dilakukan<br />
sinkronisasi program baik pada level provinsi maupun pada level<br />
kabupaten/kota. Memang hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena akan<br />
sangat tergantung pada besaran masing-masing APBD <strong>dan</strong> prioritas<br />
pembangunan daerah. Namun bukan pula menjadi sesuatu yang tidak<br />
139
mungkin untuk membangun kesepakatan bersama antar daerah provinsi<br />
<strong>dan</strong> kabupaten/kota di dalam penanganan human trafficking ini.<br />
8.1.1.3. Koordinasi Gugus Tugas Provinsi Jabar<br />
BPPKB selama ini didukung penuh oleh ketua tim penggerak PKK<br />
yaitu istri Gubernur yang cukup aktif dalam penanganan trafficking <strong>dan</strong><br />
memiliki konsep yang kuat tentang human trafficking serta memiliki<br />
perspektif utuh tentang perempuan <strong>dan</strong> anak. Selain itu Gubernur <strong>dan</strong><br />
Wakilnya pun concern terhadap masalah empowering woman. BPPKB<br />
dalam kapasitasnya sebagai pelaksana harian Gugus Tugas provinsi<br />
sudah melakukan rapat koordinasi baik pada internal provinsi maupun<br />
dengan jajaran kabupaten di bawahnya. Dengan a<strong>dan</strong>ya rapat koordinasi<br />
tersebut diharapkan bahwa pihak-pihak yang terkait, baik pada level<br />
provinsi maupun kabupaten membuat rencana kegiatan <strong>dan</strong><br />
menganggarkan untuk kegiatan penanganan human trafficking tersebut.<br />
Namun tampaknya eselonisasi pejabat yang menangani trafficking ini<br />
tidak sama di seluruh daerah. Hal ini nampak ketika dilakukan rapat<br />
koordinasi, perwakilan dinas daerah yang datang pada rapat koordinasi<br />
tersebut bervariasi eselonnya, ada yang eselon 4, ada yang eselon 3, ada<br />
juga yang hanya staff. Kondisi ini tentunya menjadi kendala karena<br />
dengan level eselonisasi yang relatif rendah tentunya tidak memiliki<br />
kewenangan untuk mengambil keputusan bila dalam rapat koordinasi itu<br />
diperlukan a<strong>dan</strong>ya pembuatan keputusan ataupun kesepakatan bersama,<br />
baik itu menyangkut perencanaan <strong>dan</strong> implementasi program maupun<br />
penganggarannya.<br />
Dalam konteks koordinasi, kesekertariatan Gugus Tugas ada di<br />
BPPKB, tetapi anggotanya tersebar di beberapa instansi terkait, yakni<br />
dinas-dinas/ba<strong>dan</strong> yang memiliki bi<strong>dan</strong>g/bagian yang menangani masalah<br />
trafficking. Terkait dengan hal ini seharusnya Gugus Tugas sudah memiliki<br />
SOP, namun saat ini SOP Gugus Tugas tersebut diakui masih sederhana<br />
yakni hanya sebatas menjemput, merujuk <strong>dan</strong> mengevaluasi. Logikanya,<br />
BPPKB harus sudah memiliki program yang jelas yang kemudian<br />
140
diakomodir oleh masing-masing instansi terkait sehingga semua program<br />
yang dirancang <strong>dan</strong> dianggarkan di seluruh instansi terkait berjalan secara<br />
sinergis <strong>dan</strong> harmonis. Namun bila dilihat dari pelaksanaan rapat<br />
koordinasi yang kami ikuti, tampaknya yang terjadi hanya<br />
menginventarisasi apa yang dilakukan oleh masing-masing instansi,<br />
dalam artian tidak berangkat dari satu konsep perencanaan yang jelas<br />
yang menjadi payung besar dalam penanganan human trafficking.<br />
Meskipun begitu pihak BPPKB tetap menganggap bahwa koordinasi ini<br />
penting untuk penyamaan persepsi.<br />
Diakui responden dari BPPKB provinsi Jawa Barat bahwa sekarang<br />
ini koordinasi masih menghadapi kelemahan terutama didata base di<br />
mana terdapat variasi jumlah korban antara catatan data suatu instansi<br />
dengan instansi lainnya. Hal ini terjadi selain karena a<strong>dan</strong>ya perbedaan<br />
sistem pencatatan, mungkin juga karena a<strong>dan</strong>ya perbedaan dalam<br />
pengertiannya. Sebagai contoh , BPPKB Jawa Barat pernah melakukan<br />
penjemputan ke kota Batam, ternyata yang ditemui adalah TKI illegal,<br />
bukan korban trafficking. Dikatakan demikian karena ternyata dalam kasus<br />
ini belum terjadi eksploitasi terhadap korban sehingga dia tidak termasuk<br />
kategori korban trafficking. Miskomunikasi semacam itu dapat dipahami<br />
karena perbedaan antara korban trafficking dengan TKI ilegal realitanya<br />
tipis sekali. lmplikasinya, dengan a<strong>dan</strong>ya perbedaan pemahaman tersebut<br />
menjadi tidak heran bila terjadi perbedaan jumlah dalam pendataan yang<br />
dilakukan antar instansi. Bahkan PBB mencatat korban perbudakan<br />
modern dari Indonesia ini mencapai sekitar 3 juta orang yang jumlahnya<br />
sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan fakta lapangan yang<br />
tercatat di instansi di Jawa Barat dengan jumlah yang hanya mencapai<br />
ribuan orang saja. Dalam pendataan <strong>dan</strong> identifikasi korban pihak BPPKB<br />
Jabar mengaku pernah dilatih oleh 10M yang memang sudah memiliki<br />
lembar screening baku dalam hal itu. Tapi identifikasi tersebut lebih pada<br />
tindakan kuratif. Sementara untuk masalah preventif 10M juga tidak bisa<br />
berbuat banyak. Untuk mengatasi itu sekarang ini <strong>Kementerian</strong><br />
Pemberdayaan Perempuan se<strong>dan</strong>g melakukan training mengenai sistem<br />
141
pendataan yang harus dilakukan oleh anggota gugus tugas di daerah<br />
Jabar.<br />
A<strong>dan</strong>ya kelemahan dalam masalah koordinasi juga dirasakan oleh<br />
perangkat daerah kabupaten. Sebagai contoh, dalam konteks pembuatan<br />
paspor untuk mereka yang akan berangkat keluar negeri seharusnya<br />
mendapat rekomendasi dari daerah asal korban. Namun, menurut<br />
pengakuan responden, meskipun daerah yang bersangkutan tidak<br />
memberikan rekomendasi ternyata korban yang bersangkutan dapat<br />
memperoleh paspor baik dari daerah lain atau bahkan dari Jakarta.<br />
Terkait dengan kasus semacam itu daerah merasa dirugikan karena<br />
ketika pembuatan pasport <strong>dan</strong> pemberangkatan korban dilakukan oleh<br />
Jakarta, tapi ketika ada permasalahan maka korban trafficking tersebut<br />
diserahkan kepada daerah. Terkait dengan kasus seperti itu bahkan wakil<br />
gubernur Jawa Barat pernah mengungkapkan perlunya pembenahan<br />
dalam keimigrasian untuk lebih memudahkan pengawasan <strong>dan</strong><br />
penanganan korban trafficking lintas negara. Dengan begitu secara<br />
tersirat wakil gubernur Jawa Barat pun merasakan masih ada<br />
permasalahan dalam koordinasi antar instansi dalam penanganan<br />
trafficking ini.<br />
Kelemahan dalam penanganan trafficking ini bukan terletak pada<br />
regulasi, karena menurut responden berbagai regulasi yang dikeluarkan<br />
mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah sudah memadai atau bahkan<br />
sudah optiomal. Persoalannya justru pada tataran implementasi. Oleh<br />
karena itu yang sangat krusial dilakukan adalah membangun kerja sama<br />
di antara berbagai stakeholders dari tingkat pusat sampai daerah.<br />
I<br />
8.1.1.4. Penyeba _,....Traffickin<br />
Sebenarnya yang menjadi penyebab utama terjadinya korban<br />
trafficking adalah rendahnya tingkat pendidikan. Dengan diposisikannya<br />
Diknas sebagai leader dalam Gugus Tugas memberikan kesan bahwa<br />
pendidikan merupakan faktor sentral yang diharapkan untuk<br />
mengeliminasi munculnya korban trafficking, namun sejauh mana hal<br />
142
tersebut diterjemahkan ke dalam perencanaan <strong>dan</strong> implementasi kegiatan<br />
pendidikan yang lebih sistematis, seperti misalnya memasukkan materi<br />
human trafficking ke dalam kurikulum sekolah, masih perlu dipertanyakan.<br />
Oleh karena itu peran pengarusutamaan gender dijadikan strategi<br />
pembangunan pemberdayaan perempuan karena untuk itu harus ada<br />
PPRG (Perencanaan Responsif Gender), selain itu juga harus menyusun<br />
anggaran yang responsif gender. Hal ini penting karena bila diperhatikan,<br />
misalnya, rata-rata lama pendidikan laki-laki lebih tinggi daripada<br />
perempuan, oleh karena itu dengan pengarusutamaan gender tersebut<br />
pendidikan perempuan diupayakan ditingkatkan. Hal ini penting karena<br />
orang yang hanya lulus pendidikan dasar/rendah akibat kemiskinan akan<br />
cenderung mencari pasangan hidup yang berpendidikan rendah pula yang<br />
pada gilirannya hanya bergulat dengan kemiskinan. Terkait dengan itu<br />
pemerintah provinsi Jawa Barat memiliki data bahwa ternyata banyaknya<br />
masyarakat yang putus sekolah, khususnya hanya sampai tingkat SD,<br />
selain akibat kemiskinan juga karena kurangnya ruang kelas untuk<br />
pendidikan tingkat menengah pertama. Oleh karena itu provinsi Jawa<br />
Barat membuat terobosan dengan membangun ruang kelas untuk tingkat<br />
SMP di 26 kabupten di bawahnya.<br />
Namun bila diamati dari karakteristik korban, ternyata penyebab<br />
trafficking ini tidak independent. Artinya dia tidak semata-mata karena<br />
kurang pendidikan atau kemiskinan, tetapi juga karena ada pergeseran<br />
nilai yang mungkin terkait dengan perkembangan media cetak. Selain itu<br />
ada faktor sosial budaya yang turut berperan. Sebagai contoh yang terkait<br />
sosial budaya, di daerah pantura khususnya di lndramayu, banyak anak<br />
anak di bawah umur yang sudah menjadi janda. Di samping itu ada<br />
kebanggaan dari orang tuanya bila kemudian anaknya bekerja di provinsi<br />
lain. Mungkin karena gengsi ibunya juga merasa bangga ketika anaknya<br />
bisa mengirim uang kepa<strong>dan</strong>ya sekitar 1 - 2 juta rupiah. Sering kali orang<br />
tua tidak sadar bila dia sudah memperdagangkan anaknya. Contoh lain<br />
yaitu terkait dengan pergeseran nilai, ketika BPPKB menjemput korban,<br />
penampilan mereka yang menjadi korban banyak yang sudah berubah<br />
143
seperti rambut yang dicat merah, menggunakan contact tense warna<br />
warni, menggunakan cat kuku, merokok sehingga tampilan mereka seperti<br />
artis.<br />
Namun sebenarnya bila ditelaah lebih seksama langkah yang<br />
diambil mereka ditenggarai merupakan rational choice karena sebenarnya<br />
ketika membuat keputusan mereka telah mendapatkan berbagai informasi<br />
terkait pekerjaannya, baik itu dari kawannya yang pernah menjadi korban<br />
maupundri sumber lainnya, sehingga sebenarnya banyak dari mereka<br />
yang mengetahui resiko yang dihadapinya. Oleh karena itu tidak<br />
mengherankan meskipun mereka sudah dipulangkan, diobati, <strong>dan</strong><br />
direhabilitasi tetapi masih juga kembali ke daerah tujuan. Ketika mereka<br />
melakukan pekerjaannya mereka dapat memiliki penghasilan antara 7 juta<br />
sampai dengan 10 juta rupiah per bulan, kemudian ketika dipulangkan <strong>dan</strong><br />
dibina mereka disuruh membuat payet kerudung, menyulam yang<br />
penghasilannya tentu tidak seberapa. Tentu saja mereka tidak mau<br />
melakukan hal itu. Bahkan dari wawancara dengan korban ketika mereka<br />
dijemput oleh petugas pemerintah, mereka biasanya sadar <strong>dan</strong> faham<br />
bahwa apa yang mereka lakukan adalah perbuatan yang salah <strong>dan</strong> dosa<br />
besar. Bahkan mereka pun sadar bahwa dia tidak ingin memiliki anak<br />
yang melakukan pekerjaan seperti dirinya Namun demikian biasanya<br />
mereka masih ingin melanjutkan pekerjaannya, dengan berbagai alasan<br />
seperti rumah ibunya belum dikeramik sehingga dia membutuhkan uang<br />
untuk membantu orang tuanya, <strong>dan</strong> sebagainya. Ketika BPPKB Jabar<br />
diun<strong>dan</strong>g oleh BPPKB Bangka Belitung <strong>dan</strong> bertemu dengan para PSK<br />
asal Jabar di tempat lokalisasi, pihak BPPKB Jawa Barat pernah<br />
menawarkan untuk memfasilitasi bila di antara mereka ada yang ingin<br />
kembali ke Jawa Barat <strong>dan</strong> bekerja di tempat yang "benar", namun<br />
kenyataannya sampai saat ini tidak pernah ada yang menghubungi<br />
BPPKB.<br />
144
8.1.1.5. Penanganan Masalah Human trafficking<br />
Selama ini penanganan human trafficking terkesan lebih terfokus<br />
pada tindakan kuratif dari pada preventif, oleh karena itu permasalahan<br />
trafficking ini sebenarnya merupakan fenomena gunung es. Menanggapi<br />
hal ini responden meman<strong>dan</strong>g bahwa hal tersebut "better than nothing",<br />
karena daripada tidak ada upaya sama sekali, paling tidak ada upaya<br />
untuk mengurangi korban trafficking. Tetapi bila dilihat dari karakteristik<br />
korban yang antara antara lain banyak yang berada dalam usia sekolah<br />
(belum cukup umur), maka mungkin perlu ada upaya yang lebih bersifat<br />
preventif. Bahkan upaya yang dilakukan harus meliputi upaya preventif,<br />
preemptif, promotif, kuratif, <strong>dan</strong> rehabilitatif.<br />
Namun sejak dibentuknya BPPKB, maka mulai diupayakan<br />
kegiatan yang terarah pada tindakan preventif/pencegahan yang<br />
dilakukan melalui kegiatan promotif seperti sosialisasi, membuat program<br />
yang betul-betul sampai kepada masyarakat seperti membuat leaflet,<br />
brosur yang kesemuanya berisikan tentang bahaya perdagangan orang<br />
<strong>dan</strong> himbauan agar masyarakat tidak tergoda oleh iming-iming yang<br />
berakibat pada terjadinya korban trafficking. Materi yang disosialisasikan<br />
mencakup berbagai hal termasuk panduan, regulasi, ancaman tindak<br />
pi<strong>dan</strong>a, <strong>dan</strong> sebagainya. BPPKB lebih memilih membuat program<br />
kegiatan seperti itu ketimbang menyelenggarakan kegiatan sepert loka<br />
karya, seminar yang tidak menyentuh langsung ke masyarakat. Pada<br />
prinsipnya setiap anggaran harus berdampak kepada peningkatan<br />
kesadaran masyarakat. Selama ini sosialisasi dilakukan lintas sektoral,<br />
artinya ketika melakukan sosialisasi BPPKB secara berjenjang melibatkan<br />
instansi terkait lainnya seperti Unit PPA Polri (Polda/Polres), Dinas<br />
Koperasi, Dinas Pendidikan, <strong>dan</strong> sebagainya sesuai dengan materi yang<br />
disosialisasikan. Pemprov Jabar juga melakukan penyadaran melalui<br />
masyarakat ketika melakukan sosialisasi ke daerah baik pada tataran<br />
pemda kabupaten maupun langsung kepada masyarakat di desa. Untuk<br />
mencegah terjadinya korban trafficking yang kedua kali (kembali lagi),<br />
selama ini BPPKB dalam kapasitasnya sebagai Gugus Tugas Provinsi<br />
145
sudah melakukan sosialisasi un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g kepada 1.300 kepala desa.<br />
Hal ini dianggap penting karena pemalsuan data mulai dari sana seperti<br />
misalnya terjadinya mark up umur dalam KTP <strong>dan</strong> surat rekomendasi<br />
untuk bekerja di luar dikeluarkan oleh kepala desa. Sehingga sosialisasi<br />
kepada kepala desa menjadi penting. Jadi kehati-hatian dimulai dari<br />
pendataan awal mau bekerja. Contoh, dalam un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g kalau<br />
pelakunya tertangkap bahkan bila ada aparat yang ikut terlibat sebagai<br />
pelaku secara tidak langsung, maka menurut UU no. 21 Tahun 2007 yang<br />
bersangkutan dihukum antara 3 sampai 6 tahun. Selain itu dia juga<br />
dikenakan denda antara 300 juta sampai dengan 600 juta. Dan apabila si<br />
korban yang dipulangkan mengalami kekerasan fisik maka hukumannya<br />
ditambah lagi sepertiganya. Supaya ada penjeraan maka BPPKB dibantu<br />
oleh Unit PPA Polda Jabar, LSM Yayasan Bahtera, LSM Jari, 10M<br />
melakukan sosialisasi. Sosialisasi semacam ini penting untuk<br />
menyadarkan masyarakat bahwa hal ini merupakan masalah kita semua.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan dalam upaya preemptif BPPKB membuat regulasi yang<br />
sungguh-sungguh dalam rangka pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban<br />
trafficking. Untuk tindakan kuratif <strong>dan</strong> rehabilitatif dilakukan melalui<br />
assesment korban selama di shelter yang dikelola oleh P2TP2A milik<br />
BPPKB. Di sini meliputi pemberdayaan korban trafficking yang<br />
didefinisikan sebagai penyelamatan <strong>dan</strong> penyadaran. Namun pada tahap<br />
ini pihak provinsi baru sampai pada tahap penjemputan <strong>dan</strong> assessment,<br />
setelah itu korban dipulangkan ke kabupaten/kota. Oleh karena itu<br />
penyadarannya diharapkan dilakukan oleh pihak kabupaten yang<br />
berwenang mengawasi korban yang sudah dipulangkan.<br />
8.1.1.6. Penanganan Korban Trafficking<br />
Penjemputan korban biasanya dilakukan berdasarkan laporan dari<br />
daerah tujuan, bisa disampaikan melalui Polda, BPPKB, ataupun LSM.<br />
Namun bila informasinya berasal dari LSM, maka pihak BPPKB Jabar<br />
akan melakukan cross check kepada BPPKB Kepri karena sesama<br />
instansi pemerintah <strong>dan</strong> kebijakannya harus satu pintu. Persoalan-<br />
146
persoalan yang melekat pada korban, misalnya korban dari Bangka<br />
Belitung ada yang terkena IMS (lnfeksi menengah sex), HIV, ada juga<br />
yang hamil. Di sana ada sekitar 200 orang PSK yang berasal dari Jawa<br />
Barat<br />
Ketika mereka dijemput <strong>dan</strong> dimasukkan ke P2TP2A, biasanya<br />
orang tua mereka dipanggil. Ada memang di antara orang tersebut yang<br />
sama sekali tidak mengetahui pekerjaan anaknya yang menjadi korban<br />
trafficking, namun ada juga yang sudah mengetahuinya. Dan yang lebih<br />
miris, banyak dari korban yang tingkat pendidikannya hanya setingkat SO.<br />
8.1.1. 7. Alternatif Solusi<br />
Kondisi yang memprihatinkan tersebut tentunya menjadi tugas<br />
pemerintah untuk melindungi warganya. Bila mengacu pada berbagai<br />
penyebab trafficking, tampaknya yang menjadi kunci utama dalam konteks<br />
pencegahannya terletak pada bi<strong>dan</strong>g pendidikan. Dikatakan demikian<br />
karena korban trafficking umumnya berasal dari desa-desa sehingga<br />
tingkat pendidikan sampai tingkat menengah pun dianggap cukup. Oleh<br />
karena itu yang penting dalam upaya pencegahan trafficking ini adalah :<br />
Memberi pengetahuan yang memadai kepada masyarakat di desa<br />
desa agar mereka mampu mengambil keputusan yang tepat untuk<br />
keluarga, karena bila mereka harus mengikuti pendidikan formal kondisi<br />
ekonominya sudah sangat miskin sehingga tidak memungkinkan untuk<br />
menyekolahkan anaknya.<br />
Selain faktor pendidikan, dukungan atau komitmen dari masing<br />
masing kepala daerah juga sangat menentukan dalam keberhasilan<br />
penanganan human trafficking ini.<br />
Selama ini pengawasan dari orang tua, tokoh masyarakat, tokoh<br />
pendidikan, tokoh agama <strong>dan</strong> sebagainya tidak mampu menahan<br />
terjadinya pergeseran nilai karena yang menjadi faktor pendorong utama<br />
yang memicu mereka mau bekerja ke luar daerah adalah kemiskinan.<br />
Sejauh ini umumnya korban bukan berasal dari lingkungan pesantren<br />
147
sehingga tidak ada peran tokoh pesantren/agama yang turut mengawasi<br />
perubahan nilai yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu bila<br />
pencegahannya mengandalkan pada peranan mereka menjadi kurang<br />
efektif, meskipun peran mereka tetap dibutuhkan.<br />
Mengingat berbagai masalah di atas, dalam penanganan trafficking<br />
tidak cukup oleh pemerintah saja tetapi diperlukan kebersamaan dari<br />
seluruh stakeholders. Apalagi jumlah penduduk Jawa Barat merupakan<br />
yang tertinggi yang mencapai sekitar 42.500.000 jiwa. Anggap saja<br />
misalnya 49,90 persen adalah perempuan <strong>dan</strong> berdasarkan data BKKBN<br />
400.000 di antaranya adalah buta aksara, selain itu mereka juga diliputi<br />
oleh kemiskinan.<br />
Bila dilihat dari potensi sumberdaya stakeholders yang ada,<br />
sebenarnya Jawa Barat sangat potensial. lndikasinya tampak jelas seperti<br />
perguruan tinggi yang terbaik ada di Jawa Barat; kemudian BUMN-BUMN<br />
strategis juga ada di Jawa Barat. Harusnya mereka memiliki kepedulian<br />
dalam menangani masalah penanganan human trafficking. Sayangnya<br />
selama ini belum terlihat kontribusi dari mereka dalam menangani<br />
masalah sosial seperti human trafficking. Dalam kaitan ini BPPKB<br />
mengharapkan a<strong>dan</strong>ya peran CSR atau Bina Mitra Lingkungan yang<br />
dijalankan mereka dalam menangani masalah sosial ekonomi di<br />
masyarakat. Sejauh ini belum ada kerjasama penanganan CSR dengan<br />
BPPKB karena selama ini kerjasama CSR dilakukan melalui MOU dengan<br />
Gubernur. Dan kerjasama yang terjadi pun justru dengan instansi lain<br />
seperti dengan KUMKM. Sekarang ini BPPKB sudah mencoba mengirim<br />
surat langsung untuk membangun kerjasama dengan beberapa<br />
perusahaan besar yang ada. Namun kendalanya pihak perusahaan<br />
umumnya belum dapat memberikan keputusan dengan alasan harus<br />
berkonsultasi dulu dengan kantor pusat perusahaan. Sejauh ini BPPKB<br />
memasukkan programnya kepada instansi lain yang mendapatkan<br />
program CSR dari perusahaan. Selain peran serta perusahaan <strong>dan</strong><br />
perguruan tinggi, tentunya diharapkan a<strong>dan</strong>ya peran yang lebih dominan<br />
148
dari para tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, para ulama, orang<br />
tua.<br />
Oari hasil Rakornas kemarin ada inspirasi untuk bekerjasama<br />
dengan PGRI apakah materi sosialisasi ini bisa dimasukkan ke dalam<br />
kurikulum pendidikan, karena sekarang ini sudah mulai marak hubungan<br />
sex dilakukan juga oleh anak perempuan SO dengan laki-laki dewasa. Hal<br />
ini dipicu oleh kebutuhan material anak, misalnya anak yang bersangkutan<br />
memiliki Hp tapi dia tidak punya pulsa, akhirnya dia berupaya<br />
mendapatkan uang atau pulsa dengan cara berhubungan dengan laki-laki<br />
dewasa. Fenomena seperti ini sudah terjadi di mana-mana seperti di<br />
Me<strong>dan</strong>, Jakarta, Surabaya <strong>dan</strong> sebagainya. Untuk mengatasi hal ini<br />
kuncinya adalah pendidikan <strong>dan</strong> juga law enforcement.<br />
8.1.2. Penanganan Trafficking oleh Dinas Sosial Propinsi<br />
Jawa Barat<br />
Penduduk Jawa Barat dapat dikatakan yang terbanyak yakni<br />
mencapai 43,19 juta jiwa yang terbagi dalam 26 kabupaten/kota.<br />
Sehingga tidak heran bila jumlah korban trafficking merupakan salah satu<br />
yang terbanyak. Meskipun ka<strong>dan</strong>g korban yang dijemput sebenarnya<br />
bukan orang Jawa Barat tetapi memiliki KTP Jawa Barat. Hal ini terjadi<br />
mungkin karena perekrutnya dari Jawa Barat. Salah satu daerah yang<br />
menjadi kantong pengiriman buruh migran adalah lndramayu sehingga<br />
banyak korban trafficking yang berasal dari lndramayu. Banyaknya korban<br />
trafficking yang berasal dari daerah lndramayu antara lain karena<br />
budayanya cukup permisif. Misalnya kawin-cerai sudah menjadi hal yang<br />
dianggap wajar di sana. Kemudian perkawinan dini pun sudah menjadi<br />
hal biasa, sehingga seorang anak misalnya cukup sampai tamat SO<br />
kemudian membantu orang tua <strong>dan</strong> diupayakan untuk segera dinikahkan.<br />
Sekarang ini Bupati Jndramayu sudah mulai mengarahkan masyarakatnya<br />
melalui pendekatan agama (islam) melalui dinas instansi di bawahnya.<br />
Oaerah kantong lainnya adalah Sukabumi, Karawang, Cianjur, <strong>dan</strong><br />
kabupaten Cirebon.<br />
149
-<br />
Proses pengusulan pembentukan Gugus Tugas provinsi Jawa<br />
Barat yang khusus menangani trafficking sudah dimulai pada bulan Juni<br />
2008, <strong>dan</strong> pada bulan Agustus tahun 2009 diikuti oleh keluarnya<br />
Peraturan Gubernur tentang pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban<br />
perdagangan orang di Jawa Barat. Pembentukan susunan personalia<br />
gugus tugas pun sudah dituangkan dalam dokumen tertanggal September<br />
2009 tetapi pada saat itu baru mencantumkan nama instansi/lembaganya<br />
saja, belum orangnya. Oleh karena itu pembentukan gugus tugas secara<br />
real baru terjadi pada sekitar pertengahan tahun 2010 yang ditandai<br />
dengan permohonan data pegawai relawan Gugus Tugas pada 11<br />
Agustus 2010, <strong>dan</strong> rapat-rapat konsolidasinya baru dimulai akhir<br />
September 2010. Tugas Dinas Sosial bersama instansi terkait lainnya<br />
dalam gugus tugas tersebut meliputi pemulangan, rehabilitasi, <strong>dan</strong><br />
integrasi sosial, namun realitanya di antara anggota gugus tugas yang<br />
menangani materi tersebut belum pernah duduk bersama untuk<br />
mengkomunikasikan apa yang akan dilakukan oleh masing-masing<br />
instansi terkait. Rapat antar instansi dalam Gugus Tugas tersebut baru<br />
dilakukan sekali pad a bulan Oktober 2010 <strong>dan</strong> itu pun relatif banyak yang<br />
tidak hadir. Tampaknya proses pembentukan Gugus Tugas ini waktunya<br />
relatif bersamaan dengan pembentukan BPPKB yang baru dibentuk pada<br />
tahun 2008. Meskipun pembentukan BPPKB <strong>dan</strong> Gugus Tugas tersebut<br />
relatif baru tetapi penanganan korban trafficking di provinsi Jawa Barat<br />
sudah dijadikan model untuk penanganan korban trafficking pada tingkat<br />
nasional. Diduga hal ini terjadi karena istri gubernur Jawa Barat turut<br />
berpartisipasi aktif secara langsung <strong>dan</strong> bahkan memiliki pemahaman <strong>dan</strong><br />
konsep yang jelas terkait dengan masalah human trafficking, <strong>dan</strong><br />
didukung oleh kepemilikan data yang relatif lengkap tentang korban<br />
trafficking, baik untuk skala Jawa Barat maupun nasional. Dia pun sangat<br />
aktif menyuarakan tentang pentingnya penanganan human trafficking<br />
sehingga banyak didengar para pembuat keputusan. Sementara itu baru<br />
ada tiga kabupaten yang memiliki gugus tugas, akibatnya anggaran<br />
penanganan trafficking tidak teralokasikan dengan baik.<br />
150
Terkait dengan anggaran, Dinas Sosial provinsi Jawa Barat pada<br />
tahun 2010 tidak mendapat alokasi anggaran untuk penanganan<br />
trafficking, padahal Dinas Sosial memiliki seksi yang menangani<br />
KTK/korban tindak kekerasan <strong>dan</strong> pekerja migran yang salah satu<br />
bagiannya meliputi masalah human trafficking. Tidak a<strong>dan</strong>ya alokasi <strong>dan</strong>a<br />
yang dikhususkan untuk penanganan trafficking ini bukan disebabkan oleh<br />
a<strong>dan</strong>ya sentralisasi anggaran trafficking oleh BPPKB. Dikatakan demikian<br />
karena keterlibatan Dinas Sosial dalam gugus tugas baru terjadi pada<br />
tahun 2010, yakni sejak dibentuknya gugus tug as pad a tahun 2010. Selain<br />
itu lndikasinya juga terlihat dari proporsi alokasi anggaran dimana<br />
sebelum a<strong>dan</strong>ya BPPKB alokasi anggaran APBD untuk Dinas Sosial<br />
secara keseluruhan sebesar 0,3 persen, <strong>dan</strong> sekarang setelah a<strong>dan</strong>ya<br />
BPPKB anggarannya malah lebih besar menjadi 0,6 persen dari APBD.<br />
Mungkin ketiadaan alokasi anggaran penanganan human trafficking<br />
tersebut karena kesalahan Dinas Sosial. Eksplanasinya, ketika telah<br />
dilakukan penyusunan anggaran untuk kegiatan tahun 2009 <strong>dan</strong> siap<br />
untuk dilaksanakan, tiba-tiba ada kebijakan pengurangan anggaran yang<br />
diberlakukan kepada setiap OPD <strong>dan</strong> anggaran Dinas Sosial berkurang<br />
sebesar 15 milyar. Merespon kebijakan tersebut mungkin anggaran<br />
human trafficking menjadi salah satu mata anggaran yang dicoret, dengan<br />
pertimbangan bahwa anggaran penanganan trafficking yang relatif besar<br />
sudah dialokasikan di BPPKB yang menempati posisi sebagai ketua<br />
harian gugus tugas <strong>dan</strong> mengkoordinir teknis penanganan Gugus Tugas.<br />
Sementara Dinas Sosial hanya menempati posisi wakil ketua Gugus<br />
Tugas. lmplikasi dari ketiadaan alokasi anggaran tersebut, Dinas Sosial<br />
tidak mungkin melakukan tugas pemulangan korban ataupun melakukan<br />
kegiatan rehabilitasi.<br />
Menghadapi kondisi alokasi anggaran tersebut Dinas Sosial pernah<br />
melakukan pembicaraan dengan BPPKB <strong>dan</strong> diketahui bahwa anggaran<br />
<strong>dan</strong>a untuk penjemputan, pemulangan, <strong>dan</strong> rehabilitasi korban trafficking<br />
sudah dialokasikan di BPPKB. Pengalokasian anggaran yang hanya di<br />
BPPKB tentu menjadi kendala untuk kelancaran penanganan human<br />
151
trafficking yang dilakukan Dinas Sosial. Dikatakan demikian, karena<br />
meskipun bisa saja kegiatannya dilaksanakan di Gugus Tugas, tetapi<br />
mengingat peraturan anggaran APBD, maka pelaksananya pasti harus<br />
ada di Dinas yang bersangkutan. Oleh karena itu ketika misalnya harus<br />
melakukan penjemputan korban, maka pihak Dinas Sosial lebih bersifat<br />
menunggu diajak BPPKB tanpa mengetahui anggaran siapa atau apa<br />
yang digunakan untuk membiayainya. Bahkan jumlah orang yang<br />
diikutsertakan dalam kegiatan itupun ditentukan oleh instansi lain<br />
(BPPKB). lmplikasinya penanganan trafficking yang dapat dilakukan oleh<br />
Dinas Sosial sangat terbatas mengingat tidak memiliki anggaran<br />
tersendiri. Memang di Dinas Sosial dialokasikan <strong>dan</strong>a on call untuk<br />
pemulangan orang terlantar, namun besar alokasinya jauh dari<br />
mencukupi. Dana ini bisa digunakan untuk pemulangan orang terlantar<br />
dengan syarat ada keterangan dari polisi yang menyatakan bahwa dia<br />
terlantar <strong>dan</strong> ingin pulang, tetapi tidak secara khusus dialokasikan untuk<br />
menangani konsumsi, rehabilitasi korban trafficking. Besarnya bantuan<br />
untuk mereka yang di Jawa Barat sebesar 100 ribu rupiah, untuk antar<br />
propinsi lain lagi<br />
Sementara ini peran Dinas Sosial dalam implementasinya di Gugus<br />
Tugas adalah ikut menjemput korban trafficking di beberapa tempat.<br />
Pemulangan <strong>dan</strong> penjemputan tersebut menggunakan anggaran dari<br />
gugus tugas. Penjemputan ini biasanya dilakukan bila ada laporan dari<br />
keluarga korban atau ada berita dari daerah tujuan mengenai korban<br />
trafficking melalui hubungan antar Polda, atau ada korban yang melarikan<br />
diri kemudian lapor ke Polda. Bila hal itu terjadi maka pihak Gugus Tugas<br />
melakukan penjemputan terhadap korban trafficking tersebut <strong>dan</strong> korban<br />
tersebut selanjutnya dimasukkan ke shelter P2TP2A. Penanganan di<br />
shelter dilanjutkan dengan pemeriksaan untuk proses hukum terkait<br />
dengan perekrut, penampung <strong>dan</strong> sebagainya, juga dilakukan medical<br />
check up, <strong>dan</strong> pemberian keterampilan. Keseluruhan proses di shelter ini<br />
memakan waktu maksimal 10 hari. Selama ini waktu pembinaan di shelter<br />
selama 10 hari tersebut dirasakan cukup, karen a korban umumnya ingin<br />
152
segera dipulangkan. Bagi mereka yang ingin pulang sebelum waktunya<br />
maka terlebih dahulu harus ada rekomendasi dari psikolog yang<br />
menanganinya di shelter. Setelah itu barulah korban dipulangkan ke<br />
daerah asalnya yang dilakukan melalui shelter ataupun instansi yang<br />
berwenang di daerah. Prosedur pemulangan seperti itu penting karena<br />
pemantauan lanjutan terhadap korban yang bersangkutan dilimpahkan ke<br />
pemerintah daerah asal korban. Pemantauan ini penting agar korban tidak<br />
kembali lagi atau menjadi korban untuk kedua kalinya. Apa lagi korban<br />
yang dijemput tersebut ada yang merasa menjadi korban, tapi ada juga<br />
yang tidak merasa menjadi korban . lmplikasinya tentu berbeda karena<br />
untuk mereka yang merasa menjadi korban akan merasa traumatik<br />
sehingga kapok <strong>dan</strong> tidak mau kembali lagi. Sementara untuk mereka<br />
yang dijemput tetapi sebenarnya dia merasa pekerjaannya sebagai profesi<br />
maka penanganannya lebih sulit karena akan banyak kebohongan <strong>dan</strong><br />
cenderung untuk kembali lagi ke tempat pekerjaannya.<br />
Penjemputan ini sebenarnya tidak perlu dilakukan langsung oleh<br />
kepala dinas tetapi cukup seksi yang menanganinya, tapi karena ka<strong>dan</strong>g<br />
yang mengajak penjemputan itu langsung istri gubernur maka biasanya<br />
yang berangkat menjemput langsung adalah kepala dinas. Namun untuk<br />
yang lainnya seperti ketika melakukan penjemputan korban trafficking di<br />
provinsi Bangka Belitung, yang berangkat menjemput adalah kepala seksi<br />
yang menangani trafficking. Anggaran untuk penjemputan tersebut<br />
menggunakan SPPD kepala dinas yang sebenarnya tidak dialokasikan<br />
untuk kegiatan penanganan trafficking. Selain kegiatan itu juga ikut terlibat<br />
dalam melakukan rehabilitasi para korban trafficking bersama LSM atau<br />
yayasan yang menangani korban, tetapi tidak khusus trafficking karena<br />
termasuk juga orang yang terlantar.<br />
Jumlah yayasan yang ada di Jawa Barat sekitar 1.200 yayasan <strong>dan</strong><br />
yang khusus menangani anak sekitar 700 yayasan. Selebihnya ada yang<br />
menangani lanjut usia, orang cacat, anak nakal, <strong>dan</strong> sebagainya. Tetapi<br />
yang negeri atau milik pemerintah baik pusat atau provinsi jumlahnya<br />
hanya sedikit. Sementara kabupaten/kota belum ada yang memiliki panti<br />
153
penampungan seperti itu, meskipun dalam un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g 32 hal tersebut<br />
merupakan kewenangan wajib. Sebagian panti yang ada di<br />
kabupaten/kota merupakan milik swasta. Yayasan yang sering kerja sama<br />
dengan Dinas Sosial provinsi adalah yayasan Puspita Cipasung di<br />
Tasikmalaya yang banyak menangani KDRT. Sementara untuk masalah<br />
buruh migran dikoordinir oleh kabupaten kota karena provinsi tidak<br />
memiliki shelter, kecuali di kabupaten lndramayu. Se<strong>dan</strong>gkan untuk di<br />
kota Bandung adalah yayasan Jari Uaringan relawan independen) yang<br />
dikelola oleh para dokter. Se<strong>dan</strong>gkan yayasan Bahtera fokusnya ke<br />
pendidikan anak jalanan.<br />
Meskipun Dinas Sosial provinsi Jawa Barat tidak memiliki anggaran<br />
khusus untuk penanganan masalah human trafficking namun sudah<br />
memiliki rumah singgah/shelter. Kondisi rumah singgah tersebut sekarang<br />
se<strong>dan</strong>g direnovasi/dibangun dengan menggunakan <strong>dan</strong>a dari APBD<br />
provinsi Jawa Barat. Nantinya rumah singgah ini akan difungsikan sebagai<br />
trauma center sehingga tidak hanya digunakan untuk menampung korban<br />
trafficking melainkan bisa juga untuk korban lainnya seperti anak terlantar,<br />
KDRT <strong>dan</strong> lain-lain. Karban yang ditangani di rumah singgah tersebut<br />
selanjutnya akan dirujuk lagi ke panti yang seharusnya menampung. Oleh<br />
karena itu tugas rehabilitasi korban trafficking yang menjadi tugas Dinas<br />
Sosial pelaksanaannya untuk sementara :ni ditunjuk P2TP2A yang<br />
mengelola shelter milik BPPKB sebagai pelaksananya. Shelter P2TP2A ini<br />
dibangun atau diupayakan kepemilikannya oleh istri gubernur untuk<br />
menangani korban trafficking yang ditangani Gugus Tugas. Sebelum ada<br />
shelter P2TP2A ini , penampungan <strong>dan</strong> rehabilitasi korban trafficking<br />
biasanya dimasukkan ke shelter milik PKK yaitu RP3A (rumah<br />
perlindungan perempuan <strong>dan</strong> anak).<br />
Program penanganan trafficking dari Dinas Sosial ke depannya<br />
akan mengikuti kebijakan di Gugus Tugas, dalam artian akan dibuat<br />
program khusus untuk penanganan human trafficking. Oleh karena itu<br />
untuk kegiatan tahun 2011 sudah diusulkan program kegiatan<br />
penanganan di shelter seperti bimbingan teknis atau pelatihan-pelatihan<br />
154
untuk pengurus yayasan-yayasan dengan mengambil nara sumber dari<br />
Departeman <strong>dan</strong> STKS, serta gugus tugas. Selain itu juga sudah<br />
diusulkan kegiatan untuk rehabilitasi sosial!pemulihan, bimbingan bantuan<br />
keterampilan usaha ekonomi produktif. Bentuk implementasinya nanti<br />
tergantung pada bakat <strong>dan</strong> minat, karena program ini ditujukan kepada<br />
korban KDRT <strong>dan</strong> pekerja migran baik ke luar negeri (TKI) atau antar<br />
daerah. Dalam konteks ini trafficking merupakan bagian dari pekerja<br />
migran. Adapun pesertanya adalah para korban yang terlebih dahulu<br />
diseleksi oleh kabupaten kota. Kegiatan lainnya yang diusulkan untuk<br />
2011 adalah kegiatan pencegahan seperti sosialisasi kepada masyarakat<br />
ietapi pelaksananya adalah kabupaten/kota.<br />
Banyak dari para korban trafficking yang sebenarnya pergi <strong>dan</strong><br />
masuk ke wilayah pekerjaan yang potensial menjadi korban trafficking<br />
malakukannya secara sadar <strong>dan</strong> tanpa ijin baik dari keluarga, orang tua,<br />
atau suami, ataupun pemerintah. Tetapi kemudian ketika menjadi korban<br />
trafficking dia melapor. Namun ada pula yang diijinkan atau bahkan<br />
disuruh oleh keluarga, orang tua, atau suami. Bila dilihat akar<br />
penyebabnya diduga kuat adalah kemiskinan, meskipun sebenarnya<br />
penyebabnya tidak tunggal karena banyak juga orang miskin yang tidak<br />
melakukan pekerjaan seksual. Jadi yang lebih dominan kemungkinan<br />
penyebabnya adalah kebodohan baik dari sisi pendidikan formal maupun<br />
agama. Untuk mengurangi jumlah korban perlu pengawasan yang lebih<br />
ketat terhadap yayasan pengirim tenaga kerja <strong>dan</strong> memberi sangsi yang<br />
berat bila mereka melakukan pelanggaran.<br />
Hal yang positif dari a<strong>dan</strong>ya Gugus Tugas adalah memberi<br />
kejelasan tugas kepada masing-masing sub-gugus tugas. Agak berbeda<br />
dengan tim koordinasi karena tim ini akan menghasilkan sinergi,<br />
komunikasi, kerjasama. Jadi yang menghawatirkan dari gugus tugas<br />
adalah terjadinya ego sektoral karena hanya semata- mata fokus kepada<br />
tugasnya masing-masing, sehingga kurang ada kerjasama. Untuk<br />
menghindari kemungkinan tersebut maka dibutuhkan dukungan kebijakan<br />
dari pimpinan instansi yang sudah diberikan tugas, dukungan Kemensos,<br />
155
<strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan. Kendala lain adalah a<strong>dan</strong>ya<br />
perbedaan kepangkatan atau eselon dari aparat yang mewakili<br />
instansinya di gugus tugas. lmplikasinya gugus tugas tidak bisa<br />
mengambil satu keputusan dengan cepat bila harus melibatkan a<strong>dan</strong>ya<br />
keputusan dari dinas atau instansi yang menjadi anggota gugus tugas,<br />
karena personal yang mewakilinya tidak memiliki kewenangan untuk<br />
mengambil keputusan. Dia harus melapor dulu ke kepala dinasnya, baru<br />
bisa diputuskan. Memang diharapkan a<strong>dan</strong>ya penyelesaian lebih spesifik<br />
terhadap korban trafficking. Hal ini mungkin bisa diatasi bila Gugus Tugas<br />
diberi kewenangan untuk mengambil keputusan atas nama dinas/instansi<br />
yang menjadi anggotanya. Namun hal ini tentunya membutuhkan<br />
peraturan khusus yang mendukung pemberian kewenangan tersebut.<br />
Keberadaan gugus tugas merupakan hal yang positif karena<br />
penanganan trafficking tidak bisa ditangani satu dinas karena akan ada<br />
konflik kepentingan. Misalnya Dinas Sosial terus menangani rehabilitasi,<br />
sementara Dinas Tenaga Kerja terus menerus melakukan pengiriman TKI<br />
maka permasalahannya tidak pernah selesai.<br />
Meskipun Gugus Tugas tersebut telah melakukan sosialisasi<br />
secara spesifik menangani masalah trafficking <strong>dan</strong> relatif lebih merata<br />
sampai ke tingkat desa, namun untuk langkah pencegahannya<br />
sebenarnya tidak bisa hanya terfokus kepada masalah trafficking.<br />
Dikatakan demikian karena sifat penanganannya harus menyeluruh<br />
mengingat bahwa masalah ini menyangkut berbagai aspek seperti<br />
kebodohan, kemiskinan, <strong>dan</strong> sebagainya. Namun demikian sosialisasi<br />
perda perlu terus menerus dilakukan sampai ke tingkat desa agar dapat<br />
diimplementasikan secara menyeluruh. Untuk mengefektifkan<br />
penanganan trafficking, yang penting semua dinas/instansi yang menjadi<br />
anggota gugus tugas harus mendukung program yang dicanangkan oleh<br />
BPPKB. Artinya instansi terkait perlu membuat program yang dapat<br />
dilakukan instansinya guna mendukung BPPKB karena anggaran untuk itu<br />
ada di BPPKB.<br />
156
Menyangkut pekerja migran, maka pihak-pihak yang terkait dalam<br />
penanganannya harus ada Gugus Tugas tersendiri baik di tingkat pusat<br />
maupun provinsi, karena yang menjadi penyebabnya ada di pekerja<br />
migran yang jumlahnya mencapai jutaan orang <strong>dan</strong> scopenya sampai ke<br />
luar negeri. Gugus tugas tersebut lah yang harus menyeleksi secara ketat<br />
mereka yang akan bekerja ke luar negeri, sehingga tidak hanya mengikuti<br />
keinginan calon pekerja migran tersebut bekerja di luar negeri. Dalam<br />
proses seleksinya perlu juga dilihat hal lainnya dengan analisis yang lebih<br />
mendalam terkait dengan buruh migran. Karena bila yang bersangkutan<br />
misalnya ingin cepat kaya maka dia diduga punya kecenderungan untuk<br />
mengerjakan apa saja termasuk menjual diri yang pada gilirannya menjadi<br />
korban trafficking. Pengetatan dalam konteks pencegahan pun harus<br />
menyeluruh antar daerah karena, misalnya, seseorang dicegah berangkat<br />
di suatu daerah, maka dia bisa saja berangkat dari daerah lain yang lebih<br />
longgar proses seleksinya dengan cara membuat KTP di daerah tersebut.<br />
Selain itu pelatihan yang dilakukan PPTKIS pun perlu disesuaikan dengan<br />
skill yang dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan di luar negeri. Untuk<br />
itu pelatihan yang diberikan perlu melihat kepada job ordernya.<br />
8.1.3. Penanganan Trafficking oleh Dinas Pendidikan di<br />
Provinsi Jawa Barat<br />
Masalah human trafficking di Dinas Pendidikan masuk dalam<br />
Bi<strong>dan</strong>g Kesetaraan <strong>dan</strong> Pendidikan Masyarakat. Penanganan masalah<br />
trafficking di bi<strong>dan</strong>g ini khususnya masuk dalam Sektor Pendidikan<br />
Masyarakat, yakni bagaimana mengubah mind set masyarakat supaya<br />
berfikiran yang lebih baik. Jadi pendidikan mengenai trafficking ini tidak<br />
secara langsung masuk dalam pembelajaran namun disisipkan dalam<br />
pembelajaran keaksaraan fungsional yang diarahkan untuk memberantas<br />
penduduk yang masih buta aksara. Kemudian juga dilakukan melalui<br />
kegiatan penguatan litteracy melalui penguatan taman bacaan masyarakat<br />
(TBM) yang ada di Jawa Barat, artinya buku-buku tentang trafficking<br />
didistribusikan ke TBM tersebut. Penanganan masalah trafficking juga<br />
157
dimasukkan dalam penyelenggaraan paket A (SO), B (SMP), C (SMA)<br />
yakni dengan cara memfasilitasi masyarakat yang putus sekolah untuk<br />
kembali melanjutkan pendidikannya ..<br />
Dalam konteks Gugus Tugas pada tingkat provinsi Bi<strong>dan</strong>g<br />
Kesetaraan <strong>dan</strong> Pendidikan Masyarakat ini menjadi anggota gugus tugas<br />
penanganan trafficking di Jawa Barat. Bahkan secara struktural polanya<br />
mengikuti pola di tingkat pusat yang memposisikan Dinas Pendidikan<br />
sebagai leading sector di bi<strong>dan</strong>g pencegahan. Dinas ini menjadi leading<br />
sector karena pendidikan diharapkan menjadi sektor utama dalam<br />
mengubah mind set. Dalam implementasinya yang sudah dilakukan Dinas<br />
Pendidikan provinsi Jawa Barat adalah melakukan sosialisasi ke sekolah<br />
sekolah, atau paling tidak melakukan sosialisasi ke lembaga pendidikan<br />
non formal (seperti pusat kegiatan belajar masyarakat <strong>dan</strong><br />
sanggar kegiatan belajar <strong>dan</strong> lembaga lain yang menyeleggarakan satuan<br />
pendidikan non formal). Sosialisasi melalui pendidikan non formal tersebut<br />
diasumsikan tepat sasaran karena kondisi realnya permasalahan<br />
trafficking tersebut melekat pada masyarakat grass root, sementara untuk<br />
masyarakat kelas menengah ke atas kondisinya sudah cukup baik<br />
sehingga derajat kepentingan melakukan sosialisasi tentang trafficking<br />
pada level tersebut lebih rendah daripada masyarakat grass root.<br />
Dilihat dari materi sosialsasinya sebenarnya sosialisasi yang<br />
dilakukan Dinas Pendidikan (Disdik) ini bersifat umum seperti<br />
memfasilitasi masyarakat yang putus sekolah, jadi tidak fokus pada<br />
masalah trafficking. Padahal untuk skala Diknas sudah memiliki program<br />
khusus yang terkait langsung dengan masalah trafficking yang langsung<br />
ditangani Dirjen PNFI (pendidikan non forma informal!).<br />
Meskipun masuk dalam Gugus Tugas, Dalam melakukan<br />
sosialisasi tersebut implementasinya dilakukan sendiri-sendiri atau tidak<br />
bekerja sama dengan instansi lain seperti BPPKB, Polisi, <strong>dan</strong> sebagainya.<br />
Hal ini terjadi karena ada perbedaan prioritas dalam programnya. Dalam<br />
hal ini BPPKB <strong>dan</strong> Kepolisian cenderung pada penanganan trafficking<br />
158
yang bersifat kuratif, meskipun mereka menjalankan juga program<br />
kegiatan yang bersifat preventif, sementara Dinas Pendidikan lebih<br />
dominan pada tindakan preventif, meskipun juga ada kegiatan yang<br />
sifatnya kuratif seperti misalnya ketika ada korban di satu daerah maka<br />
korban tersebut coba diarahkan masuk ke lembaga pendidikan non<br />
formal. Contoh aktualnya ketika ada korban di lndramayu yang masih<br />
dalam usia sekolah, maka Dinas Pendidikan melakukan tindakan kuratif<br />
dengan berupaya memasukkan korban kembali ke sekolah. Selain itu<br />
perbedaan tersebut juga terjadi karena perbedaan kementerian yang<br />
menjadi induk instansinya. Sebagai contoh , Dinas Pendidikan menginduk<br />
ke <strong>Kementerian</strong> Pendidikan Nasional se<strong>dan</strong>gkan BPPKB menginduk ke<br />
<strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan. lmplikasinya cenderung<br />
memunculkan ego sectoral sehingga masing-masing menjalankan<br />
program yang diturunkan dari masing-masing kementeriannya.<br />
Sinkronisasi program di antara anggota gugus tergantung pada<br />
tupoksi instansi masing-masing. Misalnya Dinas Pendidikan maka<br />
fokusnya di dunia pendidikan bagaimana implementasi tentang negatifnya<br />
trafficking terhadap dunia persekolahan baik itu formal maupun non<br />
formal , sementara instansi lain juga menggarap hal yang sama namun<br />
dengan sasaran yang berbeda. Jadi koordinasinya hanya berdasarkan<br />
pada tupoksi masing-masing instansi, tidak ada satu rancangan program<br />
besar bersarria yang menjadi payung kegiatan anggota gugus tugas.<br />
Namun demikian setiap kegiatan yang dilakukan oleh OPD<br />
dikomunikasikan kepada tim gugus tugas sehingga instansi lain yang<br />
menjadi anggota gugus tugas mengetahui apa yang se<strong>dan</strong>g dilakukan<br />
oleh instansi lain terkait dengan penanganan trafficking.<br />
Hal yang perlu dicermati barangkali implikasi dari kondisi koordinasi<br />
program semacam itu menyebabkan kegiatan penanganan trafficking<br />
menjadi bersifat sektoral karena akan sangat tergantung pada interest dari<br />
masing-masing OPD (organisasi perangkat daerah). Yang terjadi<br />
mungkin hanya mencoba mengaitkan masalah trafficking ini dengan<br />
tupoksi yang existing, sehingga sifatnya tidak langsung meskipun itu<br />
159
diakui bermanfaat dalam konteks penanganan trafficking. lmplikasi lainnya<br />
adalah tidak memungkinkan a<strong>dan</strong>ya program evaluasi yang menyeluruh<br />
terhadap kegiatan penanganan trafficking yang dilakukan oleh berbagai<br />
instansi di tingkat pemda provinsi Jawa Barat. lnformasi yang diperoleh<br />
dari Biro Bangsos memang dalam konteks kebijakan trafficking<br />
dikoordinasikan Assisten Bangsos, namun implementasinya diserahkan<br />
kepada tupoksi masing-masing dinas daerah/OPD. Oleh karena itu<br />
evaluasinya hanya dilakukan oleh masing-masing instansi sesuai dengan<br />
tupoksinya. Kalau saja bisa dibentuk program besar yang menjadi payung<br />
bersama maka mungkin penanganan trafficking ini dapat lebih tajam.<br />
Dalam sisi anggaran untuk penanganan trafficking tidak ada<br />
sentralisasi anggaran di BPPKB, Dinas Pendidikan menggunakan<br />
anggaran sendiri sesuai dengan tupoksi. Namun demikian bila ada korban<br />
maka Disdik merasa berkewajiban untuk turut menanganinya sejauh<br />
terkait dengan pendidikan.<br />
Secara organisasional Dinas Pendidikan Provinsi ini memiliki garis<br />
koordinasi dengan Dinas Pendidikan tingkat kabupaten, sebagaimana<br />
juga dari kementrian kepada provinsi sifatnya koordinatif. Oleh karena itu<br />
keberhasilan program pada dasarnya tergantung pada pemerintah<br />
kabupaten/kota sebagai pemilik kewenangan yang otonom di daerah.<br />
8.1.4. Penanganan Trafficking oleh Biro Pengembangan<br />
Sosial Provinsi di Jawa Barat<br />
Menurut informan dari Biro Pengembangan Sosial Sekretariat<br />
Daerah Provinsi Jawa Barat, Biro Bangsos tidak secara spesifik<br />
menangani masalah human trafficking karena sifat penanganannya di sini<br />
lebih makro, yakni pemberdayaan perempuan yang salah satu elemennya<br />
adalah human trafficking. lni pun hanya terkait dalam pembuatan<br />
kebijakannya saja sehingga lebih mengarah pada pembinaan, pemberian<br />
pedoman, <strong>dan</strong> sebagainya terhadap OPD yang terkait baik tingkat provinsi<br />
maupun kabupaten. Sosialisasi yang diberikan terkait dengan PerGub<br />
160
tentang trafficking. Sementara untuk pelaksanaan teknisnya ada di<br />
BPPKB. Evaluasi yang dilakukan terkait dengan program trafficking<br />
dilakukan oleh masing-masing instansi terkait sesuai dengan tupoksinya,<br />
demikian pula pemberdayaan perempuan di Biro Bangsos ini. Yang<br />
menarik dari keterangan responden tersebut adalah bahwa Biro Bangsos<br />
tidak terlibat langsung dalam penanganan masalah human trafficking,<br />
padahal bila merujuk pada Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang<br />
Gugus Tugas Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan Korban Perdagangan Orang<br />
jelas dinyatakan bahwa Kepala Biro Pengembangan Sosial Sekretariat<br />
Daerah Provinsi Jawa Barat diposisikan sebagai salah satu wakil ketua<br />
harian dari Gugus Tugas tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa<br />
masalah koordinasi <strong>dan</strong> kesamaan persepsi menjadi kendala yang relatif<br />
besar di dalam Gugus Tugas. Untuk itu upaya perbaikan koordinasi,<br />
penyamaan persepsi, sinkronisasi kegiatan, <strong>dan</strong> komunikasi alokasi<br />
anggaran merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Gugus Tugas<br />
agar lembaga ini dapat berjalan lebih effektif.<br />
8.1.5. Penanganan Trafficking oleh Kantor Imigrasi Kelas I di<br />
Provinsi Jawa Barat<br />
Selama satu tahun terakhir ini belum ada kasus trafficking yang<br />
terungkap oleh pihak lmigrasi ketika ketika proses pembuatan pasport.<br />
Hanya pada tahun 2009 ada 1 kasus yang terungkap yang kemudian<br />
pembuatan passportnya dibatalkan.<br />
Dalam konteks penanganan human trafficking beberapa informasi<br />
yang disampaikan para responden mengindikasi a<strong>dan</strong>ya permasalahan<br />
yang terkait dengan keimigrasian. Masalahnya sebagaimana telah<br />
diungkapkan terdahulu, di bagian Koordinasi Gugus Tugas Provinsi Jabar,<br />
pada beberapa kasus daerah pengirim seperti lndramayu tidak merasa<br />
mengeluarkan rekomendasi kepada orang tertentu yang ditenggarai akan<br />
menjadi korban trafficking untuk pembuatan pasport, namun ternyata<br />
pasportnya dapat dikeluarkan oleh kantor imigrasi pusat. lmplikasinya<br />
pihak daerah kabupaten/kota merasa bahwa upaya yang mereka lakukan<br />
161
dalam mencegah terjadinya korban traffiking menjadi sia-sia atau tidak<br />
effektif karena koordinasi yang sudah dicoba dibangun melalui gugus<br />
tugas tidak berjalan sebagaimana mestinya.<br />
Ketika permasalahan ini dikonfirmasikan kepada pihak imigrasi,<br />
diperoleh jawaban bahwa bagi pihak imigrasi apa yang dilakukannya<br />
sudah sesuai dengan tugas pokok <strong>dan</strong> fungsinya (tupoksi) yakni 1.<br />
lmigrasi merupakan tempat di mana orang minta dibuatkan pasport. Dan<br />
un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g negara menyatakan bahwa semua orang berhak<br />
mendapatkan pasport terkecuali ada pencegahan karena un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g.<br />
2. lmigrasi tidak bisa memaksakan seseorang untuk mengakui tentang<br />
tujuan dia pergi ke luar negeri. Hal inilah menyebabkan imigrasi selalu<br />
dipertanyakan mengapa meloloskan orang bekerja di luar negeri, padahal<br />
pihak imigrasi sudah melakukan wawancara terhadap pemohon pasport<br />
tersebut. Di sisi lain, pihak imigrasi pun tidak bisa berbuat banyak bila,<br />
misalnya, orang yang diwawancarainya tidak menyatakan tujuan yang<br />
sebenarnya dia pergi ke luar negeri. Sebagai contoh bisa saja orang yang<br />
diwawancarai tersebut hanya mengatakan mau jalan-jalan atau menemui<br />
saudaranya di luar negeri, padahal sebenarnya dia mau bekerja di luar<br />
negeri. Memang bisa saja ketika melakukan wawancara pihak imigrasi<br />
mencurigai kemungkinan a<strong>dan</strong>ya korban trafficking, tetapi bila tidak ada<br />
unsur yang dapat membuktikannya maka pihak imigrasi pun tidak bisa<br />
berbuat apa-apa, karena bila mengambil tindakan, seperti misalnya, tidak<br />
mengeluarkan pasportnya maka bisa dicomplain oleh pihak pemohon.<br />
Sementara itu setelah yang bersangkutan berada di luar negeri kemudian<br />
ternyata dia bekerja di sana, maka pihak imigrasi pun tidak memiliki<br />
kewenangan lagi untuk mengambil tindakan.. lmigrasi bisa mengambil<br />
tindakan dengan tidak menerbitkan pasport hanya bila ada persyaratan<br />
yang tidak dipenuhi pemohon, misalnya ketika ada persyaratan tambahan<br />
seperti keterangan dari Depnaker <strong>dan</strong> sebagainya yang tidak dilampirkan<br />
oleh pemohon. Untuk para TKI yang memohon pasport harus dilengkapi<br />
dengan rekomendasi dari PPTKIS <strong>dan</strong> melengkapi surat-surat dari<br />
BNP2TKI, <strong>dan</strong> ada permohonan dari perusahaannya, barulah dapat<br />
162
dibuatkan passport TKI 24 lembar. Persyaratan itupun hanya berlaku bila<br />
ada orang yang diberangkatkan melalui perusahaan pengerah tenaga<br />
kerja. Sementara untuk perorangan tidak ada un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yang<br />
melarang seseorang untuk mendapatkan pasport. Untuk individu yang<br />
melakukan perjalanan wisata diberikan passport 48 lembar. Pendeteksian<br />
melalui pemeriksaan jumlah uang yang dimiliki dalam accaunt pemohon<br />
mungkin bisa digunakan walaupun belum tentu akurat, namun realitanya<br />
pihak lmigrasi pun tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa accaunt<br />
pemohon pasport. Pendeteksian yang lebih tajam mungkin dilakukan bila<br />
dalam wawancara yang dilakukan, pihak pemohon pasport sempat salah<br />
bicara (misalnya tercetus mau bekerja di luar) yang menimbulkan<br />
kecurigaan, barulah pihak imigrasi mendalami informasi dari pihak<br />
pemohon tersebut dengan melakukan berbagai cross check<br />
Secara institusional pihak lmigrasi sudah memiliki concern untuk<br />
melakukan pencegahan agar tidak terjadi korban trafficking, dalam artian<br />
sudah ada kebijakan dari tingkat pusat untuk mewaspadai terjadinya<br />
korban trafficking. Kebijakan ini diimplementasikan ketika melakukan<br />
wawancara kepada para pemohon pasport. Untuk itu orang yang diberi<br />
kewenangan untuk melakukan wawancara pun dipilih secara ketat karena<br />
dia akan menjadi motor yang mampu mendeteksi terjadinya trafficking.<br />
Dari sisi peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan ataupun kewenangan<br />
yang dimiliki imigrasi dirasakan sudah memadai, tidak perlu ada<br />
penambahan peraturan khusus untuk penanganan traffiking karena<br />
kalaupun akan ditambah peraturannya maka ditenggarai akan<br />
menyulitkan bagi orang lainnya, mengingat bahwa suatu peraturan itu<br />
akan berlaku umum. Kalaupun mau ditingkatkan efektivitasnya, yang<br />
diperlukan adalah peningkatan kemampuan dalam mewawancarai<br />
pemohon pasport sehingga mampu mengungkap indikasi a<strong>dan</strong>ya unsur<br />
trafficking. Namun demikian upaya itupun perlu ditimbang lagi karena<br />
selama ini sudah ada pendidikan <strong>dan</strong> pelatihan bagi pejabat teknis,<br />
termasuk pewawancara/teknik interogasi. Selain itu, prosedurnya hasil<br />
wawancara yang dilakukan aparat pelaksana juga masih disaring lagi oleh<br />
163
pejabat yang berwenang di kantor imigrasi yang disebut Ajudikapol untuk<br />
mengevaluasi akurasi dari hasil wawancara tersebut. Artinya teknik <strong>dan</strong><br />
prosedur wawancara tersebut sudah dilakukan secara ketat, tidak perlu<br />
ada penambahan.<br />
Terkait dengan keluhan dari daerah pengirim seperti lndramayu<br />
yang merasa tidak mengeluarkan rekomendasi tetapi ternyata kepada<br />
yang bersangkutan dikeluarkan passportnya, kemungkinan itu terjadi<br />
karena manipulasi atau merubah tujuan keberangkatan yang<br />
bersangkutan dari tujuan bekerja menjadi TKI menjadi tujuan wisata,<br />
sehingga kepada yang bersangkutan diberikan passport 48 lembar.<br />
Karena untuk passport TKI mutlak harus dilampiri oleh surat rekomendasi,<br />
sehingga tanpa itu tidak mungkin keluar passport 24 lembar tersebut.<br />
Mengapa diberikan passport 24 lembar karena umumnya kontrak kerja<br />
dari TKI adalah 2 tahun <strong>dan</strong> passport tersebut hanya berlaku 3 tahun,<br />
sementara yang 48 lembar berlaku 5 tahun.<br />
8.1.6. Kabupaten Indramayu<br />
8.1.6.1. Penanganan Trafficking oleh BPPKB di Kabupaten lndramayu<br />
Penanganan korban trafficking di lndramayu cukup responsif<br />
karena Bupati yang kini se<strong>dan</strong>g menjabat memiliki karakter spontan,<br />
artinya bila ada permasalahan maka harus segera ditangani tidak boleh<br />
menunggu-nunggu. Selain itu kebetulan bupati juga sangat peka terhadap<br />
permasalahan human trafficking. Karakteristik lain yang mendukung<br />
adalah a<strong>dan</strong>ya keinginan bupati selalu menemukan gagasan-gagasan<br />
aktual dalam melakukan tugasnya, oleh karena itu salah satu kegiatannya<br />
adalah melakukan RKB atau rakyat ketemu bupati yang dilakukan setiap<br />
hari Jumat yang dihadiri oleh OPD-OPD terkait. Pesertanya adalah rakyat<br />
miskin. Kegiatan semacam ini juga diwajibkan kepada kecamatan di<br />
bawahnya untuk melakukan hal yang sama dalam upaya menyelesaikan<br />
persoalan kemiskinan yang dihadapi masyarakatnya seperti masalah<br />
pendidikan, kesehatan, sosial, <strong>dan</strong> sebagainya. Dalam pertemuan<br />
164
tersebut kepada masyarakat peserta pertemuan biasanya diberikan<br />
sembako <strong>dan</strong> uang transport, serta diberi kesempatan untuk<br />
memanfaatkan pelayanan yang ada di kabupaten.<br />
Secara kelembagaan di kabupaten lndramayu ada 2 OPD<br />
(organisasi perangkat daerah) yang menangani trafficking baik langsung<br />
maupun tidak langsung yaitu Dinas Sosial, Tenaga Kerja <strong>dan</strong><br />
Transmigrasi <strong>dan</strong> BPPKB. Namun karena BPPKB ini merupakan lembaga<br />
baru yang dibentuk sekitar 2 tahun yang lalu, maka kewenangan BPPKB<br />
dalam penanganan korban trafficking tidak sejauh Dinas Sosial. Sebagai<br />
contoh, rumah singgah untuk penanganan korban trafficking <strong>dan</strong><br />
pemberian keterampilan bagi mereka diposisikan di lingkungan Dinas<br />
Sosial, Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi. Tetapi tugas fasilitasi <strong>dan</strong><br />
koordinasi ada dalam kewenangan BPPKB karena BPPKB menjadi<br />
leading sector dalam Gugus Tugas penanganan trafficking. Gugus tugas<br />
ini terdiri dari dinas-dinas terkait, termasuk melibatkan kejaksaan <strong>dan</strong><br />
kepolisian serta LSM. LSM yang aktif menangani trafficking antara lain<br />
LSM Kesuma Bongas di kecamatan Bongas <strong>dan</strong> LSM Assakinah yang<br />
berdomisili di kecamatan Sliyeg yang merupakan binaan dari ibu Sinta<br />
Nuriah mantan ibu negara <strong>dan</strong> pernah memberikan bantuan <strong>dan</strong>a abadi<br />
sebesar 50 juta rupiah kepada LSM tersebut. BPPKB sejauh ini merasa<br />
terbantu oleh keberadaan LSM-LSM.<br />
Dalam konteks kewenangan, pihak BPPKB kabupaten lndramayu<br />
melihat bahwa penanganan trafficking di tingkat provinsi dilakukan oleh<br />
satu lembaga yakni BPPKB, sehingga ada keinginan dari BPPKB<br />
lndramayu agar masalah trafficking di lndramayu pun ditangani satu<br />
lembaga juga. Oleh karena itu BPPKB kabupaten lndramayu masih<br />
meman<strong>dan</strong>g perlu a<strong>dan</strong>ya kejelasan dalam kewenangan penanganan<br />
trafficking ini.<br />
Contoh lainnya, Dinas Sosial, Tenaga Kerja, <strong>dan</strong> Transmigrasi<br />
setiap Senin malam <strong>dan</strong> Kamis malam melakukan razia terhadap<br />
penampung pengirim TKI. Dalam kegiatan ini pihak BPPKB menyatakan<br />
165
ahwa lembaganya tidak dilibatkan dalam kegiatan tersebut.<br />
Dikemukakan bahwa BPPKB baru dilibatkan dalam penanganan hasil<br />
razianya, khususnya dalam kegiatan pemberian pencerahan agar mereka<br />
yang terjaring tidak terperangkap lagi, sementara untuk pemberian<br />
keterampilannya dilakukan oleh Dinas Sosial.<br />
Terkait penanganan korban yang terkena razia tersebut, responden<br />
dari BPPKB lndramayu mengatakan bahwa ka<strong>dan</strong>g menimbulkan<br />
kebingungan kepada petugas pelaksananya terkait dengan apa yang<br />
harus dilakukan untuk penanganan lanjutan yang harus dilakukan<br />
terhadap para korban tersebut. Masalahnya, bila mereka dimasukkan ke<br />
panti rehabilitasi di Palimanan maka tidak mungkin dapat tertampung<br />
semua karena ada kuota yakni sekitar 30 orang per kabupaten. Selain itu<br />
penanganannya akan memerlukan biaya yang besar yang tidak tersedia<br />
dalam anggarannya. Untuk mengatasi itu pihak kabupaten mengharapkan<br />
a<strong>dan</strong>ya bantuan pusat untuk pembangunan panti sosial guna menangani<br />
hasil razia.<br />
Terkait masalah anggaran, sistem penganggaran program<br />
penanganan trafficking yang berlaku adalah bahwa setiap instansi terkait<br />
menganggarkan kegiatan penanganan human trafficking hanya<br />
berdasarkan tupoksi masing-masing. Jadi meskipun mereka bekerja untuk<br />
gugus tugas, tetapi sebenarnya mereka melaksanakan tupoksinya sendiri.<br />
lmplikasinya tentu saja dalam alokasi anggaran tersebut akan lebih<br />
mengutamakan ego sektoral sehingga bisa saja program yang dijalankan<br />
menjadi tidak kompatibel antara kegiatan di satu instansi dengan instansi<br />
lainnya. Untuk mengatasi kelemahan yang mungkin terjadi , maka BPPKB<br />
lndramayu melakukan rapat koordinasi gugus tugas yang dilakukan<br />
secara periodik 3 bulan sekali. Persoalan lain terkait dengan anggaran<br />
adalah bahwa jumlah anggaran daerah yang dialokasikan untuk<br />
penanganan trafficking sekarang ini relatif terbatas. Untuk mengatasinya<br />
pihak BPPKB lndramayu mengharapkan a<strong>dan</strong>ya limpahan <strong>dan</strong>a bantuan<br />
dari tingkat provinsi karena meskipun provinsi memiliki anggaran<br />
penanganan trafficking namun realitanya dengan otonomi daerah ini<br />
166
kewenangan pelaksanaan pembangunan ada di tingkat kabupaten/kota<br />
sebagai pemilik wilayah. lmplikasinya <strong>dan</strong>a yang dibutuhkan daerah<br />
kabupaten/kota untuk implementasi penanganan korban trafficking pun<br />
lebih akan lebih besar. Sementara ini yang terjadi justru terbalik di mana<br />
bila instansi provinsi melakukan kegiatan program penanganan trafficking<br />
di daerah kabupaten, maka pihak pemerintah daerah diminta<br />
partisipasinya yang tentunya berimplikasi pada pengeluaran anggaran dari<br />
instansi lokal yang anggarannya relatif kecil.<br />
Dalam rangka membuat MOU pencegahan <strong>dan</strong> penanganan<br />
trafficking, BPPKB kabupaten lndramayu dengan dinas yang terkait di<br />
lndramayu seperti Dinas Sosial Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi, Dinas<br />
Koperasi <strong>dan</strong> UKM pernah pergi ke kota Batam pad a bulan Juli 2010<br />
untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, termasuk<br />
BPPKB, kota Batam, provinsi Kepulauan Riau. Hal ini dilakukan karena<br />
pihak BPPKB kabupaten lndramayu merasakan bahwa penanganan<br />
human trafficking yang telah dikakukan selama ini kurang efektif. Salah<br />
satu contoh kasus yang menunjukkan ketidak efektifan tersebut dapat<br />
dilihat ketika LSM di kecamatan Bong as (Kesuma Bongas) menangani 10<br />
orang korban yang dipulangkan dari daerah tujuan. Kepada mereka<br />
kemudian diberikan bantuan modal yang disesuaikan dengan keinginan<br />
korban. Sebagai contoh ada korban yang ingin dibelikan sawah, kemudian<br />
dengan menggunakan bantuan <strong>dan</strong>a dari Jepang ia pun dibelikan sawah.<br />
Ada juga yang ingin diberikan counter HP, ia pun diberikan counter HP.<br />
Ada yang memiliki kemampuan berjualan, ia pun diberi modal jualan.<br />
Tetapi setelah 3 bulan berlalu <strong>dan</strong> kemudian dilakukan evaluasi, ternyata<br />
modal yang diberikan kepada para korban tersebut tidak berfungsi<br />
sebagaimana diharapkan, padahal permodalan itu diberikan atas dasar<br />
keinginan korban. Bahkan sebagian di antaranya ada yang kembali lagi ke<br />
tempat bekerja dulu. Oleh karena itu perlu ada perubahan <strong>dan</strong> perbaikan<br />
dalam sistem penanganan trafficking yang selama ini diimplementasikan.<br />
Sistem penanganan korban trafficking yang diadopsi sekarang adalah<br />
dengan cara menjemput korban ke daerah tujuan yang dilakukan oleh<br />
167
BPPKB provinsi, kemudian BPPKB kabupaten menjemput korban tersebut<br />
ke provinsi untuk kemudian dikembalikan <strong>dan</strong> dibina di daerah asalnya.<br />
Namun ternyata sistem itu tidak berhasil. Atas dasar itu maka strategi<br />
penanganan korban trafficking yang ingin dikembangkan pemerintah<br />
daerah Indramayu sekarang adalah, bila terdapat korban trafficking maka<br />
tidak dilakukan penjemputan langsung <strong>dan</strong> dikembalikan ke daerah asal<br />
kemudian diberikan modal, melainkan dengan membuat MOU dengan<br />
daerah tujuan (seperti Batam).<br />
Dalam implementasinya, ketika tim BPPKB lndramayu melakukan<br />
koordinasi ke pemerintah kota Batam, pihak tim BPPKB lndramayu<br />
menyusun draft nota kesepahaman <strong>dan</strong> kemudian disampaikan kepada<br />
Walikota Batam (melalui BPPKB Batam) <strong>dan</strong> kepada Bupati lndramayu.<br />
Kemudian seminggu sejak kepulangan dari Batam ke lndramayu, tim ini<br />
(BPPKB, Dinas Koperasi, Dinas Sosnakertrans, kepala bagian Hukum,<br />
<strong>dan</strong> instansi terkait) kembali pergi lagi ke Batam tetapi saat ini<br />
kepergiannya bersama dengan Bupati lndramayu <strong>dan</strong> istrinya dengan<br />
maksud untuk penandatanganan nota kesepahaman. Namun sampai saat<br />
ini MOU tersebut belum ditandatangani karena walikota Batam akan<br />
segera berakhir masa jabatannya <strong>dan</strong> menghadapi pilkada pada tahun<br />
2011 sehingga dia belum mau menandatanganinya. Dia baru akan<br />
menandatangani draft MOU tersebut bila kelak terpilih kembali menjadi<br />
wali kota Batam pada periode berikutnya.<br />
Nota tersebut pada dasarnya berisikan tiga hal, yaitu, Bagaimana<br />
supaya korban trafficking yang ada di sana bisa diberdayakan artinya<br />
korban tersebut di sana dilatih dulu, diselesaikan masalah hukumnya <strong>dan</strong><br />
diresosialisasikan, dicek kesehatannya, <strong>dan</strong> baru diberikan keterampilan.<br />
Kebetulan di kota Batam telah ada ikatan paguyuban warga lndramayu<br />
yang diketuai oleh seorang polisi (Kapolsek di sana) yang berasal dari<br />
lndramayu dengan jumlah anggota mencapai 10.000 orang. Paguyuban<br />
ini berkeinginan untuk mebangun wadah koperasi. Oleh karena itu<br />
rencananya paguyuban ini dapat dijadikan sarana untuk para korban<br />
trafficking yang ingin berwiraswasta, dengan cara setelah diberikan<br />
168
keterampilan mereka kemudian diberikan bantuan modal simpan pinjam<br />
melalui koperasi. Untuk itu bupati lndramayu, dengan disaksikan oleh<br />
pejabat pemerintah kota Batam, memberikan komitmen berupa bantuan<br />
<strong>dan</strong>a sebesar 1 00 juta rupiah sebagai modal awal koperasi terse but <strong>dan</strong><br />
koperasi Paguyuban lndramayu itu pun telah diresmikan oleh walikota<br />
Batam. Selain itu, bupati lndramayu pun berencana memasok produk<br />
unggulan dari kabupaten lndramayu ke koperasi tersebut, terutama beras.<br />
Terkait dengan keinginan tersebut walikota Batam bersedia memfasilitasi<br />
tempat pemasarannya dengan menyediakan tempat anjungan jawa Barat<br />
yang sudah ada di lokasi bazaar di Batam. Sementara itu untuk korban<br />
warga lndramayu yang menjadi korban trafficking yang mau bekerja,<br />
banyak orang lndramayu yang menjadi pengusaha yang relatif sukses <strong>dan</strong><br />
terkemuka. Mereka bersedia menampung para korban trafficking yang<br />
ingin bekerja di perusahaannya.<br />
Dalam konteks pembinaannya, direncanakan instansi terkait dari<br />
pemerintah kabupaten lndramayu, melalui paguyuban warga lndramayu,<br />
melakukan pembinaan langsung kepada korban yang ada di kota Batam.<br />
Jadi Dinas Koperasi lndramayu bisa membina koperasi warga lndramayu<br />
yang ada di Batam tersebut, Dinas Tenaga Kerjanya bisa melakukan<br />
pelatihan tenaga kerja, Artinya bila ada warga lndramayu yang menjadi<br />
korban trafficking, langkah pertama diharapkan ditampung <strong>dan</strong> dibina di<br />
rumah singgah milik pemerintah kota Batam. Setelah selesai melalui<br />
proses tersebut baru kemudian diserahkan kepada Paguyuban Warga<br />
lndramayu untuk dilanjutkan pembinaannya. Oleh karena itu Dinas Sosial<br />
berencana ingin membangun rumah singgah khusus untuk orang<br />
lndramayu di Batam. Untuk itu dalam pertemuan tersebut Bupati<br />
lndramayu mengeluarkan statement bahwasannya siap untuk<br />
membangun rumah singgah untuk warga lndramayu yang menjadi korban<br />
trafficking, tapi dengan catatan walikota Batam menyediakan tanahnya<br />
agar ada tanggung jawab bersama. Namun karena walikota Batam hampir<br />
berakhir masa jabatannya pada tahun 2011 maka dia tidak berani untuk<br />
memberikan komitmennya kecuali bila nanti pada saat pilkada terpilih<br />
169
kembali. Ada harapan yang lebih jauh dari pemerintah daerah lndramayu<br />
agar paguyuban warga lndramayu bisa dimasukkan ke dalam gugus tugas<br />
yang ada di kota Batam sebagai LSM. Dengan begitu pemerintah kota<br />
Batam tidak perlu terlalu repot menangani korban trafficking yang berasal<br />
dari warga lndramayu karena bisa ditangani langsung oleh paguyuban<br />
warga lndramayu yang menjadi anggota gugus tugas. Tetapi realisasinya<br />
tentu menunggu penandatanganan MOU <strong>dan</strong> nota kerja sama dengan<br />
pemerintah kota Batam dulu agar jelas pembagian tugas <strong>dan</strong> tanggung<br />
jawabnya.<br />
Pada bulan Oktober 2010 DPRD kota Batam melakukan kunjungan<br />
kerja ke lndramayu dalam rangka studi banding tentang masalah human<br />
trafficking. Dalam diskusi yang dilakukan disampaikan tentang sudah<br />
a<strong>dan</strong>ya rintisan kerjasama yang telah dilakukan pemerintah daerah<br />
kabupaten lndramayu dengan kota Batam untuk penanganan human<br />
trafficking. Ternyata anggota DPRD kota Batam tersebut belum<br />
mengetahui a<strong>dan</strong>ya kegiatan tersebut. Kondisi ini terjadi karena mungkin<br />
pemerintah kota Batam belum mengkomunikasikannya kepada DPRD<br />
kota Batam. Namun yang penting digarisbawahi adalah ketika mereka<br />
diberikan draft kerjasamanya ternyata mereka sangat antusias untuk<br />
menyukseskan kerjasama tersebut karena mereka beranggapan bahwa<br />
pemerintah kabupaten lndramayu rnemiliki itikad baik untuk turut terlibat<br />
dalam penanganan trafficking yang merepotkan kota Batam.<br />
Hasil dari proses penjajagan dalam rangka membuat MOU<br />
pencegahan <strong>dan</strong> penanganan trafficking yang telah dilakukan tersebut<br />
telah dilaporkan oleh BPPKB kabupaten lndramayu kepada pemerintah<br />
provinsi melalui BPPKB provinsi Jawa Barat. Responsnya BPPKB Jawa<br />
Barat menghendaki penandatanganan MOU tersebut ditunda dulu dengan<br />
alasan harus diawali dulu oleh kerjasama antar provinsi. Untuk lebih<br />
memudahkan dalam tindak lanjut kerja sama antar provinsi tersebut,<br />
BPPKB kabupaten lndramayu menyumbangkan konsep kerja samanya<br />
kepada pemerintah provinsi Jawa Barat.<br />
170
Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa sudah<br />
dilakukan penandatanganan MOU mengenai kerjasama penanganan<br />
human trafficking antar provinsi yang disaksikan wakil prsiden pada bulan<br />
November 2010. Namun pihak pemerintah daerah lndramayu baru<br />
mendengar khabarnya tetapi belum mendapatkan salinan MOUnya.<br />
Harapannya dengan telah a<strong>dan</strong>ya MOU antar provinsi tersebut, dapat<br />
mempermudah pemerintah kabupaten lndramayu dalam menindaklanjuti<br />
kerjasama dengan pemerintah kota Batam yang telah dirintis sebelumnya<br />
karena sudah ada payung besarnya.<br />
Dalam tataran lokal, kegiatan penanganan trafficking kegiatan<br />
utama yang dilakukan sebaiknya diarahkan pada upaya preventif.<br />
Pencegahan trafficking yang paling baik diarahkan kepada pendidikan<br />
karena berkorelasi erat dengan potensi timbulnya korban pada mereka<br />
yang putus sekolah atau kurang pendidikan. Untuk itu BPPKB <strong>dan</strong> tim<br />
gugus tugas sering melakukan sosialisasi ke sekolah dengan materi<br />
seperti un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g tentang pornografi <strong>dan</strong> un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g tentang<br />
trafficking. Hal ini dilakukan terutama pada saat penerimaan siswa baru,<br />
sehingga dapat melibatkan orang tuanya. Lokasinya diprioritaskan di<br />
daerah yang paling rawan trafficking seperti kecamatan Bongas <strong>dan</strong><br />
Anjatan.<br />
Selain itu, salah satu solusi untuk menekan terjadinya korban<br />
trafficking <strong>dan</strong> TKI ke luar, sebaiknya dikembangkan industri yang terkait<br />
dengan potensi lokal. lndramayu potensial untuk dikembangkan industri<br />
pengolahan mangga, ikan. Dengan demikian masyarakat memiliki<br />
kesempatan untuk bekerja di sektor industri tersebut.<br />
8.1.6.2. Penanganan Trafficking oleh Dinas Pendidikan Kabupaten<br />
indramayu<br />
Kecamatan yang rawan trafficking antara lain kecamatan Gabus<br />
Wetan, Kroya, <strong>dan</strong> Bongas. Dari sudut pan<strong>dan</strong>g pendidikan,<br />
permasalahan trafficking disebabkan antara lain oleh masalah klasik<br />
seperti ekonomi (kemiskinan) sehingga mereka tidak bisa sekolah, kondisi<br />
171
--<br />
lingkungan yang menumbuhkan iri hati sehingga seseorang akan merasa<br />
iri bila melihat tetangga berhasil membangun rumah karena anaknya<br />
bekerja di luar negeri. Jadi sebenarnya mereka (calon tenaga kerja) tidak<br />
mau pergi bekerja ke luar <strong>dan</strong> diperlakukan seperti korban trafficking, tapi<br />
karena melihat kondisi ekonomi keluarga yang sulit maka mereka<br />
terpaksa mau bekerja ke luar negeri agar bisa membantu ekonomi<br />
keluarga atau membiayai pendidikan adik-adiknya.<br />
Bi<strong>dan</strong>g yang menangani human trafficking di Disdik ada di bi<strong>dan</strong>g<br />
PNFI (pendidikan non formal <strong>dan</strong> informal) dulu disebut Dikmas. Namun<br />
secara formal dalam program pendidikan belum ada program yang khusus<br />
terkait langsung dengan masalah trafficking. Akan tetapi dalam misinya<br />
sudah ada arah untuk penanganan trafficking meskipun belum dituangkan<br />
dalam program khusus melainkan masuk ke dalam integrasi pelajaran.<br />
Artinya masalah trafficking ini dicoba dimasukkan ke dalam mata<br />
pelajaran yang relevan seperti IPS. Dalam konteks ini Disdik mencoba<br />
memasukkan materi tentang human trafficking dalam program-program<br />
paket A, B, C, PSM (pendidikan dinas swadaya masyarakat). Di dalam<br />
PSM (yang disebut dikmas) ini meliputi kegiatan pembinaan PKBM (pusat<br />
kegiatan belajar masyarakat), lembaga kursus-kursus, organisasi wanita,<br />
organisasi pemuda organisasi masyarakat, penanganan PUS (pendidikan<br />
untuk semua), juga termasuk pemberdayaan perempuan, gender, <strong>dan</strong><br />
penanganan trafficking. Karena kegiatannya berkaitan langsung dengan<br />
kemasyarakatan maka Disdik dalam melakukan kegiatannya bermitera<br />
dengan PKK, darma wanita, GOW, KWK, Karang Taruna, KNPI, <strong>dan</strong><br />
semua organisasi yang ada di wilayah lndramayu.<br />
Dalam penanganan trafficking di lndramayu, sejak tahun 2003,<br />
sudah ada Satgas Trafficking dengan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, <strong>dan</strong><br />
Transmigrasi sebagai leading sektornya. Namun koordinasinya<br />
dikendalikan oleh Bappeda. Dinas Pendidikan sebagai anggota Satgas<br />
dalam implementasinya bermitera, antara lain, dengan Dinas<br />
Sosnakertrans, Bappeda, <strong>dan</strong> PKK Kabupaten. Selain empat institusi<br />
tersebut, satgas ini juga melibatkan Polres, <strong>dan</strong> instansi terkait lainnya.<br />
172
Selain itu juga ada Forum Komunikasi Perlindungan lbu <strong>dan</strong> Anak yang<br />
berpartisipasi dalam penanganan human trafficking. Mengapa leading<br />
sector dari Stgas tersebut Dinsosnakertrans karena saat itu belum ada<br />
BPPKB. Pada saat itu BPPKB masih berbentuk Dinas Keluarga<br />
Berencana. Baru setelah dibentuk BPPKB maka leading sectornya<br />
menjadi BPPKB <strong>dan</strong> Dinsosnakertrans. Satgas pun berubah menjadi<br />
Gugus Tugas dengan penambahan keanggotaan dari LSM. LSM yang<br />
khusus menangani korban trafficking <strong>dan</strong> sering bekerjasama dengan<br />
gugus tugas adalah Assakinah <strong>dan</strong> Bunga Bangsa (Kesuma Bongas).<br />
Pada sekitar tahun 2003 Satgas, khususnya PKK, sudah memiliki<br />
rumah singgah Teratai Putih yang berlokasi di kecamatan Cikedung yang<br />
dibangun atas bantuan dari menteri pemberdayaan wanita, termasuk di<br />
dalamnya bantuan untuk pelatihan life skillnya. Rumah singgah ini<br />
dimanfaatkan untuk menampung korban trafficking. Karban yang<br />
ditampung di sini tidak hanya mereka yang berasal dari lndramayu tapi<br />
juga dari daerah seperti Mataram, <strong>dan</strong> sebagainya yang kebetulan<br />
terbawa atau terlantar.<br />
Dibanding semasa masih berbentuk satgas, setelah menjadi Gugus<br />
Tugas ini frekuensi koordinasinya relatif sama/sering. Koordinasi yang<br />
dilakukan BPPKB sekarang ini cukup bagus dalam arti sering<br />
berkoordinasi dengan Disdik <strong>dan</strong> juga organisasi wanita yang pada masa<br />
lalu sering terputus. Yang dikoordinasikan dengan Disdik adalah masalah<br />
masyarakat yang putus sekolah. Artinya BPPKB melalui Disdik<br />
mengarahkan <strong>dan</strong> memfasilitasi agar korban <strong>dan</strong> anak-anak putus<br />
sekolah lainnya agar bisa kembali ke sekolah.Hanya saja karena biasanya<br />
masalah trafficking ini ada di Dikmenti (penanganan sekolah menengah<br />
tingkat atas/SMA) yang menangani mereka yang putus sekolah, maka<br />
yang menjadi persoalan sekarang ini, bila ada kegiatan atau un<strong>dan</strong>gan<br />
dari masing-masing dinas terkait ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g disposisinya jatuh ke unit<br />
yang berbeda. Sebagai contoh bila ada surat tentang pertemuan<br />
koordinasi masalah human trafficking, maka disposisi surat tersebut dapat<br />
saja jatuh ke tempat yang berbeda. lmplikasinya pejabat yang terlibat<br />
173
dalam koordinasi gugus tugas ka<strong>dan</strong>g berganti sehingga menjadi kendala<br />
dalam kontinuitas koordinasinya.<br />
Dalam konteks penyusunan program BPPKB sudah berupaya<br />
mengarahkan agar Disdik membuat program yang terkait langsung<br />
dengan trafficking. Anggaran untuk sosialisasi tersebut dibantu dari APBD<br />
Pemkab lndramayu. Serupa dengan itu anggaran untuk PKBM, life skill,<br />
pelatihan, pertukangan, perbengkelan, tata boga <strong>dan</strong> sebagainya juga<br />
dipenuhi oleh APBD. Besaran alokasi <strong>dan</strong>anya dirasakan mencukupi<br />
karena pemerintah daerah sudah mengalokasikan <strong>dan</strong>a APBDnya untuk<br />
pendidikan sampai sebesar 36 persen. Hal ini terjadi karena Bupati<br />
incumbent sekarang ini memiliki perhatian yang sangat besar terhadap<br />
pentingnya pendidikan.<br />
Dinas Pendidikan, dalam kapasitasnya sebagai anggota Satgas,<br />
sudah beberapa kali melakukan kegiatan pencegahan tentang penjualan<br />
orang. Dalam konteks pencegahan human trafficking ini dilakukan dengan<br />
melakukan sosialisasi. Adapun materi sosialisasi tentang trafficking yang<br />
diberikan mengacu kepada materi yang telah diberikan oleh Diknas<br />
maupun dari BPPKB yang bekerja sama dengan Disosnakertrans.<br />
Sementara yang menjadi sasaran sosialisasi dari Dinas Pendidikan<br />
terbatas pada pelajar. Artinya pihak Dinas Pendidikan berupaya agar<br />
mereka tidak putus sekolah dari SMP, SMA, SMK karena akibat putus<br />
sekolah tersebut dapat menyebabkan orang menjadi korban trafficking.<br />
Oleh karena itu materi sosialisasi itu diarahkan untuk mencegah agar para<br />
pelajar tidak terjun ke dunia trafficking.<br />
Sementara itu pada tataran implementasi penanggulangan korban<br />
trafficking, Disdik turut berperanserta melakukan pelatihan <strong>dan</strong> fasilitasi<br />
untuk masuk sekolah. Sebagai contoh, pada saat pemerintah kabupaten<br />
lndramayu merazia perusahaan yang mempekerjakan anak-anak di<br />
bawah umur. Hasilnya terdapat sekitar 60 korban anak di bawah umur<br />
atau anak usia sekolah yang bekerja di perusahaan <strong>dan</strong> kebanyakan<br />
perempuan. Selanjutnya para korban tersebut dishelterkan di hotel<br />
174
Garuda selama 1 bulan untuk diberikan pendidikan <strong>dan</strong> pelatihan. Salah<br />
satu institusi yang memberikan pendidikan tersebut adalah Disdik<br />
lndramayu. Selanjutnya setelah selesai pendidikan tersebut, mereka<br />
dititipkan ke Disdik untuk dilanjutkan masuk ke paket A, B, <strong>dan</strong> C. Pada<br />
saat itu hanya beberapa orang yang masuk ke dalam paket B <strong>dan</strong> C,<br />
se<strong>dan</strong>gkan sebagian besar dari mereka masuk ke dalam paket A.<br />
Fasilitasi sekolah yang dilakukan Disdik ini dimaksudkan untuk mencegah<br />
agar mereka tidak menjadi korban trafficking. Jadi dalam hal ini<br />
sebenarnya Disdik tidak secara langsung menangani trafficking,<br />
melainkan menangani anak usia sekolah yang putus sekolah yang<br />
implikasinya bisa saja terkait dengan kegiatan pencegahan trafficking.<br />
8.1.6.3. Penanganan Trafficking oleh BAPPEDA di Kabupaten<br />
lndramayu<br />
Bappeda tidak terlibat dalam penanganan trafficking karena<br />
tugasnya hanya ba<strong>dan</strong> perencana, se<strong>dan</strong>gkan penanganan langsungnya<br />
dilakukan oleh Dinsosnaker, Unit PPA Polres, <strong>dan</strong> sebagainya. Bappeda<br />
hanya memfasilitasi dalam pembuatan per<strong>dan</strong>ya saja. Oleh karena itu<br />
Bappeda pada tahun 2005 pernah bekerja sama dengan Unicef dalam<br />
rangka pembuatan perda tentang trafficking.<br />
Dalam konteks penyusunan program <strong>dan</strong> penganggaran, pihak<br />
Bappeda tidak memiliki skala prioritas terkait dengan masalah<br />
penanganan trafficking. Kondisi ini terjadi karena tugas pokok Bappeda<br />
sifatnya lebih pada tugas mengevaluasi usulan yang disampaikan dari<br />
OPD <strong>dan</strong> mendistribusikan alokasi anggaran antar OPD. Jadi Bappeda<br />
hanya berperan untuk menyetujui atau tidak menyetujui program yang<br />
diajukan oleh OPD. Dengan demikian penentuan prioritas program<br />
penanganan trafficking diserahkan langsung kepada OPD yang<br />
menanganinya. Artinya bila OPD yang bersangkutan merasa perlu<br />
menyusun program penanganan trafficking sebagai prioritas maka dia<br />
harus membuat <strong>dan</strong> mengajukan programnya <strong>dan</strong> Bappeda hanya tinggal<br />
menyetujuainya. Alokasi <strong>dan</strong> plafon anggarannya pun tergantung<br />
175
kebutuhan yang diajukan oleh dinas teknis yang bersangkutan.<br />
lmplikasinya penentuan program penanganan trafficking <strong>dan</strong> besar alokasi<br />
anggarannya sangat bergantung pada kepala dinasnya.<br />
8.1.6.4. Penanganan Trafficking oleh Bi<strong>dan</strong>g Sosial di Kabupaten<br />
lndramayu<br />
Kalau melihat kasus human trafficking kebanyakan korbannya dari<br />
luar negeri. Kegiatan penjemputan korban trafficking seperti dari Batam,<br />
Jakarta, <strong>dan</strong> sebagainya sudah mulai dari tahun 2006. Kegiatan ini terus<br />
dilakukan sampai dengan tahun 2010 sekarang ini. Pada saat itu biaya<br />
penjemputan menggunakan <strong>dan</strong>a bantuan dari Jepang (Nipon ... ) yang<br />
tengah melakukan kegiatan penelitian di kecamatan Bongas yang<br />
merupakan kecamatan dengan jumlah buruh mig ran (TKI) terbesar kedua.<br />
Yayasan yang ada di lndramayu 11 buah, tapi yang aktif hanya 2.<br />
Namun yang lebih vokal adalah SBMI (serikat buruh migran Indonesia),<br />
FKBMI (forum komunikasi buruh migran Indonesia) yang ada di Bongas.<br />
Yayasan yang sering terlibat dalam penjemputan adalah Assakinah <strong>dan</strong><br />
Kusuma Bongas. Jumlah korban yang ditangani oleh Kusuma Bongas<br />
sejak tahun 2008 sudah mencapai 161 orang, yakni berasal dari Jakarta,<br />
Batam, Surabaya, Bali, Jepang.<br />
Kegiatan penjemputan ini dilakukan sebelum terbentuknya gugus<br />
tugas karena di lndramayu sudah dibentuk Satgas yang terdiri dari 4<br />
bi<strong>dan</strong>g yakni bi<strong>dan</strong>g pencegahan, rehabilitasi, kerjasama <strong>dan</strong> koordinasi,<br />
<strong>dan</strong> penegakan hukum, dengan leading sector (ketua harian) dari<br />
Dinsoskertrans. Pembentukan Satgas ini disertai dengan dukungan<br />
anggaran untuk melaksanakan kegiatannya seperti untuk sosialisasi,<br />
penjemputan <strong>dan</strong> sebagainya. Baru kemudian, pada tahun 2009, dibentuk<br />
Gugus Tugas yang terdiri dari 5 bi<strong>dan</strong>g dengan leading sector dari<br />
BPPKB.<br />
Bila dilihat secara kronologis pembentukan Satgas digagas oleh<br />
pihak kabupaten berdasarkan perda kabupaten lndramayu yang dibuat<br />
pada tahun 2005 <strong>dan</strong> bahkan menjadi yang pertama di Jawa Barat.<br />
176
Padahal pada saat itu propinsi Jawa Barat pun belum memiliki perda<br />
tentang Satgas tersebut. Pioneering tersebut terjadi karena ada berbagai<br />
penelitian seperti dari STKS <strong>dan</strong> universitas di Semarang, <strong>dan</strong> masuknya<br />
Unicef ke lndramayu <strong>dan</strong> kebetulan pada saat itu pemerintah daerah<br />
lndramayu memiliki anggaran <strong>dan</strong>a yang dialokasikan untuk peningkatan<br />
perlindungan hak anak <strong>dan</strong> remaja putri. Oleh karena itu berdasarkan<br />
faktor-faktor tersebut kemudian dilakukan sinkronisasi yang menghasilkan<br />
sebuah perda yang dikeluarkan pada tahun 2005 yang isinya membentuk<br />
Satgas <strong>dan</strong> Gugus Tugas. Jadi perda tersebut merupakan luaran dari<br />
beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa lndramayu menjadi<br />
sasaran untuk trafficking. Sebelum perda itu ke luar, pihak pemda<br />
melakukan studi banding dulu ke Batam dengan mengajak juga anggota<br />
DPRD sehingga pembuatan per<strong>dan</strong>ya didukung DPRD. Dan kebetulan<br />
istri bupati pun sebagai K3S (koordinator kegiatan kesejahteraan sosial)<br />
concern dengan masalah trafficking ini. PKK pun mendapat penghargaan<br />
juara nasional dalam pencegahan trafficking dari kementerian sosial. Oleh<br />
karena itu banyak yang melakukan studi banding ke lndramayu. Langkah<br />
selanjutnya, pada 2006 dibentuk Satgas kabupaten <strong>dan</strong> pada tahun 2007<br />
ditindaklanjuti dengan pembentuka Satgas kecamatan di 31 kecamatan.<br />
Baru kemudian, pada tahun 2009, dibentuk Gugus Tugas, tetapi<br />
Satgasnya tetap ada karena sama-sama diatur dalam perda tersebut <strong>dan</strong><br />
perda itu belum dicabut. Pembentukan Gugus Tugas pada tingkat<br />
kabupaten di lndramayu awalnya didahului oleh pembentukan Gugus<br />
Tugas di tingkat pusat <strong>dan</strong> tingkat propinsi karena gugus tugas ini<br />
disponsori oleh ACILS (American Children Labors Solidarity). Tetapi Untuk<br />
menunjang aktivitas Gugus Tugas maka pada tahun 2009 dilakukan<br />
pembangunan trauma center. Sekarang di Disnakertrans sudah dibangun<br />
shelter termasuk peralatan computernya yang dapat diakses secara on<br />
line. Shelter juga ada yang dibangun oleh swasta yakni Puan Amal Hayati<br />
yang dibangun oleh ibu Shinta Nuriah. Untuk keluarga yang bermasalah<br />
sudah ada dibentuk LK3 (Lembaga Konsultasi Kesehatan Keluarga) baik<br />
di dinsosnakertrans maupun swasta untuk menanganinya. Kemudian dari<br />
177
segi pendidikannya disediakan beasiswa untuk di UNPAD, ITB. Semua<br />
itu dilakukan dalam konteks pencegahan trafficking.<br />
Rencananya akan didirikan yayasan untuk tenaga kerja lndramayu<br />
di Batam. Sekarang se<strong>dan</strong>g dibuat akte notarisnya <strong>dan</strong> akan dipelopori<br />
oleh kepala dinas sosial yang sudah pensiun. Pen<strong>dan</strong>aannya akan<br />
dikeluarkan dari APBD. Dari mulai sosialisasi, rehabilitasi, <strong>dan</strong> pemberian<br />
bantuan dialokasikan dari APBD. Pemberian bantuan tersebut ada yang<br />
diberikan secara kelompok <strong>dan</strong> ada juga yang individual.<br />
Tahun 2010 ini masyarakat yang berangkat bekerja di luar negeri<br />
mencapai 98.000 jiwa, sementara yang terdaftar di disnakertrans hanya<br />
sekitar 10.000 jiwa. Pad a tahun 2010 korban trafficking yang masuk <strong>dan</strong><br />
ditangani shelter hanya 2 orang. Kasus trafficking yang paling banyak<br />
terkait dengan tenaga kerja seperti tidak dibayar gajih, penyiksaan, ada<br />
juga sedikit pelecehan seksual, ada juga penipuan mau dikirim ke luar<br />
negeri tapi kemudian dikerjakan di cafe di Batam. Kasus trafficking<br />
penyebabnya banyak antara lain ekonomi, yakni sulitnya lapangan kerja,<br />
sosial budaya, media masa.<br />
Sejauh ini sudah ada 80 orang korban trafficking yang sudah diberi<br />
pelatihan seperti menjahit. Kepada mereka diberikan perlengkapan, uang<br />
saku selama pelatihan 15 hari, <strong>dan</strong> ket!ka pulang pun diberikan mesin<br />
jahitnya. Selain itu juga ada pemberian keterampilan tata rias, tetapi yang<br />
paling banyak adalah keterampilan menjahit, termasuk membordir.<br />
Pemberian jenis pelatihan ini dilakukan secara pukul rata tidak tergantung<br />
minat peserta karena sekarang berlaku BNBA (by name by address), tidak<br />
seperti dulu yang bisa tergantung peserta. Dengan BNBA artinya dalam<br />
usulannya harus sudah ada namanya <strong>dan</strong> kegiatannya sudah ada<br />
sehingga tidak bisa dirubah sekalipun hanya pesertanya. Sekarang<br />
ka<strong>dan</strong>g SPJ sudah duluan baru uangnya. Kalau tahun sebelumnya<br />
sampai tahun 2007 jenis pelatihan bisa tergantung pada keinginan<br />
peserta. Pelatihan ini dilakukan sejak 2007 sampai sekarang. Namun<br />
yang dapat dikatakan berhasil hanya sekitar 1 0 orang. Setelah selesai<br />
178
pelatihan tidak dilakukan pendampingan. Kunjungan hanya dilakukan<br />
secara informal bila kebetulan lewat tempat korban. Pada thun 2006/2007<br />
Pemda lndramayu membentuk PPT (pusat pelayanan terpadu) di 2 rumah<br />
sakit yakni RSUD <strong>dan</strong> RS Bhayangkara semuanya mulai visum dilayani<br />
secara gratis.<br />
Bila dilihat dari scope pekerjaannya, antara Satgas <strong>dan</strong> Gugus<br />
Tugas sebetulnya tidak jauh berbeda, hanya saja Gugus Tugas sifatnya<br />
lebih operasional seperti melakukan operasi terhadap P JTKI, operasi<br />
terhadap tenaga kerja yang akan berangkat ke luar daerah. Sementara<br />
Satgas fokusnya lebih pada sosialisasi seperti kepada SMP, SMA, <strong>dan</strong><br />
juga melalui PKK. Namun demikian ketika masih dalam bentuk Satgas<br />
sudah ada juga kegiatan operasi seperti yang dilakukan Gugus Tugas<br />
tetapi kegiatannya tidak sesering sekarang. Sosialisasi yang dilakukan<br />
yang pertama adalah kepada kepala desa, kecamatan, <strong>dan</strong> dinas-dinas.<br />
Kemudian kepada tokoh agama <strong>dan</strong> tokoh masyarakat yang melibatkan 5<br />
orang dari masing-masing desa. Tempat melakukan sosialisasi tersebut<br />
ada yang di dinas sosial, ada yang sewa gedung, ada yang dilakukan<br />
PKK. Ka<strong>dan</strong>g dari anggota Satgas juga melakukan sosialisasi langsung<br />
dengan mendatangi lokasi masyarakat sehingga bila mereka melihat atau<br />
mengetahui a<strong>dan</strong>ya trafficking mereka bisa langsung melaporkannya<br />
kepada satgas kecamatan yang antara lain meliputi Danramil, Kapolsek,<br />
Camat, Kepala Desa, <strong>dan</strong> sebagainya. Tahapan sosialisasi selanjutnya<br />
adalah kepada SMP <strong>dan</strong> SMA.<br />
Secara umum sosialisasi yang selama ini dilakukan dirasakan<br />
cukup effektif. Sebagai contoh, sebagaimana dipersyaratkan bahwa untuk<br />
menjadi TKI di sektor formal, calon TKI minimal harus berumur 18 tahun<br />
<strong>dan</strong> untuk menjadi PRT (domestik) harus berumur 21 tahun. Dalam<br />
konteks itu, pada masa lalu banyak Kepala Desa yang asal<br />
menandatangani saja bila ada orang yang mengajukan pembuatan KTP<br />
tanpa melakukan cross check. Sekarang karena srring disosialisasikan<br />
pada tingkat desa, Kepala Desa tidak mau lagi menandatangani bila calon<br />
TKI yang membuat KTP dicurigai masih di bawah umur. Bila dia ragu<br />
179
tentang keabsahan data dari pemohon KTP atau rekomendasi maka dia<br />
akan melakukan cross check, antara lain dengan mengharuskan yang<br />
bersangkutan membawa ijazah sekolah yang dimilikinya. Hal ini dilakukan<br />
karena Kepala Desa bisa terkena sangsi administrasi <strong>dan</strong> atau turut<br />
diproses dalam pemeriksaan di Kepolisian.<br />
Terkait anggaran, anggaran trafficking tersebar di BPPKB <strong>dan</strong><br />
Dinas Pendidikan tetapi dalam pengajuan anggarannya sudah ada<br />
koordinasi. Meskipun anggaran penanganan human trafficking ada di<br />
BPPKB, tapi karena tugas rehabilitasi ada di Dinas Sosial, Tenaga Kerja,<br />
<strong>dan</strong> Transmigrasi maka anggaran pun ada di Dinsosnakertrans.<br />
8.1.6.5. Penanganan Trafficking oleh Dinas Kesejahteraan Rakyat di<br />
Kabupaten lndramayu<br />
Dalam penanganan trafficking di lndramayu sudah dibentuk Satgas<br />
khusus yang terdiri dari Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Kepolisian,<br />
Kejaksaan, <strong>dan</strong> instansi terkait lainnya. Dalam menghadapi persoalan<br />
biasanya ditangani secara teamwork, tapi bila ada persoalan yang crusial<br />
biasanya singgah dulu di dinsos. Di sini sudah ada shelter <strong>dan</strong> sudah<br />
pernah digunakan menampung 2 orang korban dari kepri sekitar bulan<br />
Maret. Tetapi karena sarananya belum lengkap, maka korbanpun tidak<br />
betah sehingga hanya bertahan dua hari <strong>dan</strong> ingin cepat dipulangkan.<br />
Mereka dimasukkan ke shelter karena terlantar, artinya di kirim dari orang<br />
lain sehingga ditampung dulu di shelter dulu baru dipulangkan. Selama di<br />
shelter mereka ditreatment secara psychologis untuk rehabilitasi <strong>dan</strong><br />
check kesehatan. Dalam kebijakannya tidak semua korban diwajibkan<br />
masuk shelter dahulu, karena tergantung kehendak <strong>dan</strong> kondisi<br />
korbannya. Tapi bila korban kelihatan tidak sehat, maka sebelum<br />
dipulangkan akan diperiksa dulu kesehatannya baru dipulangkan. (bila<br />
kebijakannya seperti itu maka shelter itu bisa mubazir). Memang shelter<br />
yang dibangun di lndramayu ini belum effektif pemanfaatannya, namun<br />
hal ini perlu dilakukan sebagai persiapan mengingat banyaknya korban<br />
yang berasal dari lndramayu. Selain itu secara normatif shelter tersebut<br />
180
elum memenuhi syarat. Misalnya ketika ada korban yang masuk shelter<br />
maka dia harus diberi makan <strong>dan</strong> sebagainya sementara anggaran untuk<br />
hal itu belum dialokasikan sekarang ini. Walaupun ada kesatuan tim tetapi<br />
realitanya belum ada kesatuan visi dalam penanganan shelter tersebut<br />
sehingga tidak bisa melakukan subsidi silang. Oleh karena itu sementara<br />
ini yang lebih siap justru yayasan swasta seperti Assakinah, sehingga bila<br />
ada korban maka pihak dinas sosial justru<br />
merekomendasikan/merujuknya kepada yayasan swasta tersebut yang<br />
memang sudah memiliki <strong>dan</strong>a untuk penanganan korban trafficking. Di<br />
luar itu ada juga korban yang dijemput dari provinsi tetapi mereka menolak<br />
ketika ditawari masuk shelter karena merasa sudah ditangani provinsi.<br />
Selain itu tugas pemkab lndramayu hanya menjemput <strong>dan</strong> memulangkan<br />
ke tempat asalnya.<br />
Berdasarkan data dari provinsi, jumlah korban trafficking di<br />
lndramayu termasuk tertinggi di Jawa Barat setelah Sukabumi <strong>dan</strong><br />
Cianjur. Namun dari sekitar 90 ribu TKI lndramayu yang bekerja di luar<br />
negeri hanya sekitar 4.000 orang yang tercatat di Disnaker sehingga<br />
menjadi kendala dalam sisi administrasinya. Dari sudut pan<strong>dan</strong>g<br />
pemerintah daerah hal itu mengindikasikan banyaknya TKI ilegal, tetapi<br />
tidak demikian bagi pemerintah pusat, karena banyak dari mereka yang<br />
memalsukan dokumen yang harus dilengkapi di daerah asalnya sehingga<br />
pemerintah pusat menganggapnya sebagai TKI legal. Sebagai contoh,<br />
salah satu persyaratan menjadi TKI adalah a<strong>dan</strong>ya rekomendasi dari<br />
kabupaten. Kemudian kabupaten tidak memberikan rekomendasi tersebut.<br />
Tetapi ketika diproses di tingkat pusat ternyata TKI yang bersangkutan<br />
sudah melampirkan rekomendasi yang sudah ditandatangani kabupaten<br />
sehingga pemerintah pusat pun menganggapnya legal. Ternyata setelah<br />
ditelusuri ada pihak yang tidak bertanggungjawab yang menandatangani<br />
rekomendasi tersebut atau terjadi pemalsuan dokumen. Masalahnya<br />
pihak-pihak yang terlibat dalam pengiriman TKI di tingkat pusat seperti<br />
PJTKI, lmigrasi tidak melakukan klarifikasi ke daerah. Hanya ada<br />
sebagian kecil perusahaan yang legal yang mengacu kepada aturan main.<br />
181
Deskripsi di atas mengindikasikan bahwa dalam penanganan<br />
masalah human trafficking masih menghadapi kendala berupa<br />
miskomunikasi <strong>dan</strong> koordinasi antara pemerintah daerah <strong>dan</strong> pemerintah<br />
pusat atau yang berwenang memberangkatkan TKI. Di lain pihak<br />
responden mengatakan bahwa koordinasi baik intra kabupaten maupun<br />
dengan provinsi dirasakan berjalan dengan baik. Pihak kabupaten bahkan<br />
memberikan apresiasi yang sangat besar terhadap perhatian istri<br />
Gubernur dalam penanganan trafficking. Persoalan koordinasi dirasakan<br />
dalam skala nasional karena secara organisasional evaluasinya masih<br />
kurang baik.<br />
Masalah lain terkait dengan adalah seperti dicontohkan<br />
ketika ada TKI lndramayu yang sudah tinggal di penampungan selama<br />
sepuluh bulan <strong>dan</strong> seharusnya sudah diberangkatkan, kemudian ada<br />
kuota misalnya dari Sukabumi, maka TKI tersebut akan dialihkan dengan<br />
mengganti alamatnya ke Sukabumi. Hal ini terjadi pada TKI lndramayu di<br />
Timur Tengah. Orang tua korban tersebut mengetahui bahwa TKI yang<br />
se<strong>dan</strong>g menghadapi masalah tersebut adalah anaknya, tetapi pemerintah<br />
pusat mengatakan bahwa alamat yang bersangkutan adalah dari<br />
Sukabumi. Sehingga ketika dia diberangkatkan <strong>dan</strong> kemudian<br />
menghadapi persoalan maka dia sudah kehilangan jejak. Hal ini<br />
mengindikasikan bahwa pihak
ersangkutan <strong>dan</strong> termasuk memeriksa keabsahan dari dokumennya,<br />
tetapi sekarang ini komitmen tersebut tidak ada lagi.<br />
Selain karena a<strong>dan</strong>ya kendala komunikasi <strong>dan</strong> koordinasi antara<br />
pemerintah daerah <strong>dan</strong> pemerintah pusat, persoalan trafficking juga terjadi<br />
ka<strong>dan</strong>g kala dimulai pada tingkat desa karena Sponsor tenaga kerja<br />
sudah merasuk ke desa-desa. Hal ini terjadi karena banyaknya<br />
perusahaan penyalur tenaga kerja. Bahayanya, sponsor tersebut<br />
sebetulnya bekerja kepada perusahaan formal yang mengikuti prosedur<br />
formal, namun ketika dia mendapatkan calon TKI yang sebenarnya tidak<br />
memenuhi persyaratan perusahaan tempatnya bekerja, maka dia<br />
menjualnya ke perusahaan lain yang lebih lentur aturannya <strong>dan</strong> bahkan<br />
mungkin mendapatkan insentif yang lebih tinggi. Dalam kaitan itu ada<br />
kepala desa atau aparat kelurahan yang secara tidak sadar turut<br />
membantu memalsukan umur TKI yang sebenarnya belum cukup umur<br />
tersebut. Padahal untuk pemalsuan itu mereka hanya diberi imbalan<br />
sekitar 1 00 ribu rupiah.<br />
Dalam upaya mencegah terjadinya human trafficking, Dinas Sosial<br />
secara rutin setiap malam kamis atau malam senin melakukan sidak/razia<br />
ke rumah-rumah pengerah tenaga kerja/sponsor. Pada razia tersebut<br />
seringkali ditemui calon tenaga kerja yang tidak memiliki rekomendasi dari<br />
disosnaker. Biasanya sponsor langsung mengirimkan ke Jakarta dengan<br />
mobil charteran atau pribadi. Selain Dinas Sosial, banyak juga LSM yang<br />
aktif dalam penanganan trafficking tapi kegiatan mereka hanya sebatas<br />
rehabilitasi. Sementara pencegahannya lebih banyak dilakukan oleh<br />
aparat pemerintah daerah.<br />
Terkait dengan<br />
penanganan trafficking<br />
183<br />
peran BPPKB dalam mengkoordinasikan<br />
dirasakan belum effektif, bahkan untuk<br />
pendataannya pun masih meminta data dari Dinsosnaker. Anggaran<br />
trafficking provinsi Jawa Barat yang dialokasi mencapai lebih dari 1 milyar<br />
rupiah, sementara korban yang ditangani nampak sangat sedikit (tahun ini<br />
sekitar 8 orang) sehingga sekarang ini mereka mencari klien.
8.1.6.6. Penanganan<br />
lndramayu<br />
j<br />
184<br />
oleh Disnakertrans di Kabupaten<br />
Kasus Human trafficking pada Tenaga Kerja Indonesia di luar<br />
negeri biasanya diawali dengan keberadaan mereka yang illegal atau tak<br />
mempunyai surat ijin resmi untuk bekerja di luar negeri karena mereka<br />
dikirim oleh PPTKIS illegal. Namun human trafficking juga dapat dialami<br />
oleh pekerja legal apa bila dia tidak dibayar oleh majikannya secara yang<br />
sebenarnya atau dia mengalami kekerasan oleh majikannya. Biasanya<br />
TKI yang bermasalah dengan majikannya yang berasal dari Asia langsung<br />
dipulangkan ke Indonesia. Se<strong>dan</strong>gkan TKI yang bermasalah dengan<br />
majikannya yang ada di Timur Tengah biasanya ditahan dulu oleh<br />
majikannya sampai selesai kontrak yang disepakati.Depnaker memiliki<br />
tempat-tempat penampungan bagi para TKI bermasalah dibangun<br />
pemerintah di daerah yang dengan standar yang memadai. dengan<br />
kamar mandi <strong>dan</strong> kamar tidur yang sederhana. Mereka juga diberikan<br />
makanan yang cukup selama di penampungan.Namun jumlah TKI<br />
bermasalah itu sangat banyak sehingga kondisinya menjadi tidak<br />
memadai.<br />
Kabupaten lndramayu di Jawa Barat merupaka 1 salah satu<br />
r"<br />
kabupaten yang penduduknya banyak yang menjadi i ke luar negeri.<br />
Permasalahan muncul karena banyak dari para TKI itu yang tidak<br />
mendaftarkan dulu keberangkatannya sebagai TKI keluar negeri kepada<br />
Dinas Tenaga Kerja lndramayu. Pada tahun 2009 hanya ada 4617 orang<br />
saja yang mendaftar ke instansi tersebut. Padahal jumalh kecamatan yang<br />
ada di lndramayu ada 31 buah yang terdiri dari kira-kira 310 desa. Dapat<br />
diperkirakan bahwa per desa rata-rata mengirimkan TKinya sekitar 150<br />
orang. Jadi jumlah TKI dari lndramayu yang ada bekerja diluar negeri kira<br />
kira berjumlah sekitar 50.000 orang. Kondisi ini diperkuat dengan<br />
banyaknya uang yang dikirim para TKI tersebut melalui kantor pos adalah<br />
sekitar 317 milyar rupiah. Jumlah itu masih ditambah lagi dengan jumlah<br />
uang yang dikirim oleh para TKI yang bekerja di luar negeri melalui<br />
lembaga perbankan atau dibawa sendiri oleh mereka pada saat mereka
pulang. Permasalahan muncul pada saat TKI yang tak terdaftar di Dinas<br />
Tenaga kerja lndramayu mendapatkan permasalahan human trafficking<br />
ditempat dia bekerja di luar negeri.<br />
Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) di pusat atau Dinas Tenaga<br />
Kerja di daerah merupakan pihak pemerintah yang memberikan ijin<br />
kepada para PPTKIS untuk menjadi agen pengirim para pekerja Indonesia<br />
ke luar negeri secara legal. Biasanya Dinas Tenaga Kerja tingkat<br />
kabupaten yang mempunyai penduduk yang banyak bekerja ke luar<br />
negeri seperti kabutapten lndramayu banyak didatangi PPTKIS untuk<br />
mengurus ijin usaha. Jadi pihak Depnaker baik di pusat maupun di daerah<br />
merupakan pihak pemerintah yang mengetahui bagaimana sistem kerja<br />
dari para penyalur tenaga kerja swasta tersebut. Depnaker mempunyai<br />
ba<strong>dan</strong> yang mengurus keberadaan TKI yang disebut Ba<strong>dan</strong> Nasional<br />
Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).<br />
Ba<strong>dan</strong> ini merupakan ba<strong>dan</strong> dari Depnaker yang dibentuk untuk<br />
mencegah kegiatan human trafficking pada TKI Indonesia yang bekerja di<br />
luar negeri yang biasa dilakukan oleh majikan mereka.<br />
Pemerintah sudah memiliki sistim yang dipakai untuk mengirimkan<br />
para tenaga kerja keluar negeri. Namun memang masih banyak<br />
kelemahan dalam pelaksanaan sistim tersebut. Dinas Tenaga Kerja yang<br />
ada di daerah memang masih kurang ketat dalam melakukan<br />
pengawasan terhadap PPTKIS karena ternyata masih banyak para TKI<br />
illegal yang berhasil berangkat keluar negeri karena direkrut oleh para<br />
sponsor atau orang yang dikirim oleh PPTKIS illegal untuk mencari orang<br />
orang yang mau menjadi TKI illegal tersebut. Pihak Dinas Tenaga Kerja di<br />
Kabupaten lndramayu merasa heran kenapa para Tenaga Kerja Illegal itu<br />
dengan mudahnya mendapat paspor ke luar negeri. Padahal menurut<br />
aturannya setiap TKI asal kabupaten tertentu harus memiliki surat ijin<br />
pengurusan paspor untuk bisa mengurus paspor di tingkat propinsi. Untuk<br />
menghindari para perekrut TKI illegal, di lndramayu setiap 2 atau 3 bulan<br />
sekali para perekrut atau sponsor yang ditugaskan oleh PPTKIS itu harus<br />
memperbaharui surat ijin kerja mereka setiap 2 atau 3 bulan sekali kepada<br />
185
Dinas Tenaga Kerja tingkat kabupaten. Kegiatan ini tentu saja secara<br />
tidak langsung dapat mengurangi terjadinya human trafficking pada TKI<br />
atau mengurangi a<strong>dan</strong>ya TKI illegal karena setiap sponsor satu perekrut<br />
TKI harus menunjukkan surat ijin atau legalisasi perusahaan PPTKIS yang<br />
menyuruh seorang sponsor mencari calon TKI sampai ke desa-desa.<br />
Dinas Tenaga Kerja di lndramayu juga melakukan penyuluhan kepada<br />
para perekrut tenaga kerja atau para sponsor yang berada dibawah<br />
PPTKIS agar mereka memilih calon TKI yang tepat untuk jenis pekerjaan<br />
tertentu.<br />
Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi<br />
perdagangan orang pada TKI Illegal adalah kepemilikan modal yang<br />
dipunyai oleh PPTKIS itu harus berjumlah sekitar 3 milyar rupiah <strong>dan</strong> buku<br />
tabungan sebesar 500 juta rupiah sebagai jaminan keberadaan<br />
perusahaan penyalur tenaga kerja tersebut. Dengan a<strong>dan</strong>ya persyaratan<br />
ini tidak akan mudah orang membuka perusahaan yang menyalurkan TKI<br />
ke luar negeri dengand sembarangan. Depnaker juga berusaha<br />
mengadakan pengawasan kepada PPTKIS itu dengan memperbaharui ijin<br />
perusahaan mereka secara periodik. PPTKIS merupakan perusahaan<br />
yang bussiness oriented <strong>dan</strong> bukan perusahaan sosial. Untuk itu<br />
pemerintah sangat ketat memeriksa keberadaan PPTKIS ini. Memang ada<br />
juga PPTKIS yang mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri secara legal<br />
namun kemudian mengalami peristiwa human trafficking karena tidak bisa<br />
bekerja dengan baik kemudian disiksa majikannya. Kondisi ini bisa<br />
disebabkan karena kurangnya pelatihan yang diberikan oleh PPTKIS<br />
tersebut kepada para calon TKI untuk bekerja secara terlatih. Untuk<br />
menghindari kejadian tersebut setiap PPTKIS yang memberangkatkan<br />
calon TKI harus mengadakakan pelatihan untuk bekerja diluar negeri<br />
terutama bi<strong>dan</strong>g domestik atau rumah tangga. Para calon TKI yang<br />
bekerja sebagai pembantu rumah tangga diluar negeri harus dilatih<br />
dahulu menggunakan alat-alat rumah tangga elektronik, dilatih cara<br />
memasak, mengurus anak <strong>dan</strong> lain sebagainya. Dengan cara ini human<br />
trafficking atau penganiayaan terhadap para TKI oleh majikan karena TKI<br />
186
kurang professional dapat dihindari. Tetapi yang sering terjadi adalah para<br />
calon TKI itu tetap diberikan paspor walaupun belum layak menjadi<br />
pekerja di luar negeri.<br />
Persoalan tenaga kerja di lndramayu berada satu bagian dengan<br />
dinas sosial <strong>dan</strong> Transmigrasi didalam Dinas Sosial, Tenaga Kerja <strong>dan</strong><br />
Transmigrasi (DinSosKerTrans). Penggabungan ini memudahkan<br />
koordinasi penanganan para TKI bermasalah terutama antara Dinas<br />
Sosial yang melayani rehabilitasi TKI yang mengalami human trafficking<br />
<strong>dan</strong> Dinas Tenaga Kerja yang meneliti kenapa TKI itu memiliki<br />
permasalahan di luar negeri dengan mempelajari PTKIS yang mengirim<br />
TKI bermasalah itu.<br />
Dinsoskertrans lndramayu memiliki bi<strong>dan</strong>g yang melakukan<br />
pengawasan cara kerja PPTKIS dalam merekrtut calon tki. Dinas Tenaga<br />
kerja ini juga memiliki bi<strong>dan</strong>g penempatan yang medata paspor para TKI<br />
itu berangkat ke luar negeri. Namun tak semua TKI dari lndramayu yang<br />
berangkat ke luar negeri melakukan pelaporan ke Dinas Tenaga kerja di<br />
lndramayu. Permasakahan baru muncul pada saat para TKI yang tak<br />
tercatat paspornya di lndramayu apalagi berstatus illegal mengalami<br />
kasus human trafficking di tempatnya bekerja di luar negeri seperti gaji<br />
yanga tak dibayar, TKI yang mengalami kekerasan, pelecehan seksual<br />
<strong>dan</strong> sebagainya. Untuk mengllindari menghindari pengiriman TKI illegal.<br />
Dinas Tenga kerja ini juga melakukan penyuluhan dari tingkat kecamatan<br />
sanpai ke desa agar masyrakat menghindari sponsor-sponsor yang<br />
datang merekrut calon TKI yang tak memiliki surat ijin resmi dari<br />
pemerintah.<br />
8.1.6.7. Penanganan Trafficking oleh Pihak Kepolisian Kabupaten<br />
lndramayu<br />
Polda Jawa Barat termasuk Polres lndramayu melalui unit PPA<br />
(Pelaksana Penanganan Karban) Kekerasan Perempuan <strong>dan</strong> anak Dit<br />
RESKRIM Jawa Barat merupakan unit yang terlibat secara langsung<br />
dalam gugus tugas penanganan human trafficking terhadap perempuan di<br />
187
Jawa Barat. Tindakan yang dilakukan oleh unit ini adalah sesuai dengan<br />
peranan mereka yang langsung menangani perkara apabila mendapat<br />
laporan dari masyarakat mengenai a<strong>dan</strong>ya kasus human trafficking yang<br />
dialami oleh penduduk asal Jawa Barat.<br />
Setelah mengetahui a<strong>dan</strong>ya warga Jawa Barat yang mengalami<br />
kasus human trafficking atau perdagangan perempuan biasanya pihak<br />
Polda maupun Polres lndramayu langsung mengadakan penjemputan<br />
kepada korban human trafficking tersebut <strong>dan</strong> memulangkannya ke<br />
daerah Jawa Barat kembali. Sebelum dipulangkan ke rumahnya biasanya,<br />
para korban ditaruh di rumah singgah atau shelter yang dimiliki oleh gugus<br />
tugas penanganan perdagangan perempuan Jawa Barat. Kegiatan ini<br />
tidak hanya dilakukan oleh polda atau polres Jawa Barat saja tetapi<br />
semua pihak yang terkait dalam gugus tugas yang terutama dilakukan<br />
oleh Dinas Sosial Jawa Barat, BPPKB (Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />
<strong>dan</strong> Keluarga Berencana) Jawa Barat.<br />
Polda Jawa Barat merupakan pihak yang ikut menjemput ke 9<br />
wanita muda yang dikirim oleh Siti Aisyah (nama samaran) ke Bangka<br />
Belitung untuk menjadi wanita psk pada rumah bordil Milik Reni alias<br />
(mami Chita). Setelah mendapat pelaporan dari masyarakat yang<br />
merupakan salah satu keluarga korban, Pihak Polda Jawa Barat dalam<br />
hal ini Unit PPA Dit reskrim langsung datang ke tempat tujuan human<br />
trafficking di Bangka Belitung <strong>dan</strong> melakukan penggerebekan terhadap<br />
rumah bordil 'Moro Seneng' tersebut. Para Pelaku yang merekrut para<br />
wanita muda yang dipekerjakan sebagai psk itupun ditangkap begitu juga<br />
pemilik rumah bordil 'Moro Seneng' di Bangka Belitung tersebut. Para<br />
pelaku human trafficking tersebut dibawa ke Rutan Bandung untuk<br />
dilakukan penyidikan. Kasus ini pun dibawa ke polisi <strong>dan</strong> dilakukan<br />
penyidikan. Setelah itu barulah kasus tersebut dibawa ke kejaksaan yang<br />
menuntut hukuman terhadap para pelaku human trafficking tersebut.<br />
Setelah melalui proses di kejaksaan perkara ii dibawa ke pengadilan <strong>dan</strong><br />
para pelaku human trafficking tersebut pun menjalani hukumannya di<br />
penjara.<br />
188
unsur penangkal dalam satu jejaring kerja yang lentur sehingga jaringan<br />
tersebut mempunyai kekuatan untuk menghambat <strong>dan</strong> memberantas<br />
transnational organized crime perdagangan orang .<br />
Secara institusional, pemerintah mempunyai kewenangan untuk<br />
menangkap trafficker, <strong>dan</strong> mengalokasikan sumberdaya untuk<br />
mendukung program <strong>dan</strong> kegiatan pencegahan <strong>dan</strong> perlindungan kepada<br />
korban. Namun mengingat bahwa pemerintah juga menghadapi masalah<br />
besar lain seperti terorisme, konflik sosial <strong>dan</strong> konflik bersenjata di<br />
beberapa daerah di Indonesia, <strong>dan</strong> hutang luar negeri yang berjumlah<br />
besar, maka kegiatan penghapusan perdagangan orang menjadi berada<br />
dalam keterbatasan.<br />
Untuk mengatasinya, diperlukan kerjasama seluruh pihak, baik di<br />
dalam <strong>dan</strong> di luar negeri, antara daerah asal, transit <strong>dan</strong> tujuan.<br />
Kerjasama tersebut sangat penting, karena penghapusan perdagangan<br />
orang di daerah tujuan tidak akan pernah berhasil jika daerah asal masih<br />
tetap mengirimkan calon korban untuk dieksploitasi. Selain kerjasama<br />
antar daerah atau negara, kerjasama antara pelaku penghapusan<br />
perdagangan orang di suatu daerah juga sangat penting, seperti misalnya<br />
pihak kepolisian tidak akan mungkin pernah bisa mendeteksi terjadinya<br />
setiap kejahatan di wilayahnya karena keterbatasan personil <strong>dan</strong><br />
perlengkapannya, sehingga untuk itu diperlukan bantuan masyarakat<br />
untuk menginformasikan terjadinya kejahatan yang diketahuinya kepada<br />
polisi sehingga dapat segera ditindaklanjuti.<br />
Berbagai jalinan kerjasama yang telah diupayakan antara lain:<br />
kerjasama Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian yang telah ada di banyak<br />
wilayah di Indonesia dengan shelter yang dikelola LSM , women's crisis<br />
center, <strong>dan</strong> Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit bahkan dengan<br />
dukungan para tokoh agama, dalam memberikan layanan yang<br />
dibutuhkan sesuai dengan kondisi korban yang mungkin memerlukan<br />
pengobatan baik fisik maupun psikis, bimbingan agama atau sekedar<br />
190
ertukar pikiran sambil mengarahkan untuk menentukan langkah-langkah<br />
ke depan.<br />
Harus ada koordinasi antara program-program lokal, nasional <strong>dan</strong><br />
regional <strong>dan</strong> bahkan internasional untuk melawan perdagangan manusia.<br />
Dengan mengambil perhatian publik mengenai masalah tersebut,<br />
pemerintah dapat meningkatkan alokasi <strong>dan</strong>a untuk memerangi<br />
perdagangan manusia, memperbaki pemahaman terhadap masalah, <strong>dan</strong><br />
meningkatkan kemampuan mereka membangun strategi-strategi yang<br />
efektif. Koordinasi <strong>dan</strong> kerjasama baik secara nasional, bilateral atau<br />
regional akan memperkuat usaha-usaha negara dalam merekrut<br />
sukarelawan untuk memerangi perdagangan manusia. Standar-standar<br />
internasional harus diserasikan <strong>dan</strong> bangsa-bangsa harus bekerjasama<br />
secara lebih dekat untuk menolak perlindungan hukum bagi para pelaku<br />
perdagangan.<br />
Di tingkat propinsi, sebagai contoh, Pemerintah Propinsi<br />
Kalimantan Barat, dalam rangka membina jaringan kerja unsur-unsur<br />
penghapusan perdagangan orang di wilayahnya, pada tahun 2004<br />
memberikan bantuan sejumlah total Rp 25 juta kepada Shelter/Konseling<br />
Ba<strong>dan</strong> Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW), Shelter RSUD dr.<br />
Soedarso Pontianak, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan<br />
Indonesia untuk Keadilan (YLBH-PIK) Pontianak, Ruang Pelayanan<br />
Khusus Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, sebagai langkah awal upaya<br />
keterpaduan merespons tingginya angka perdagangan orang <strong>dan</strong><br />
kekerasan dalam rumah tangga di Kalimantan Barat 52 .<br />
Propinsi Kalimantan Timur dalam rangka mengkoordinasikan<br />
penghapusan perdagangan orang, membentuk Koalisi Anti Trafficking<br />
Kalimantan Timur (KAT Kaltim) yang beranggotakan Pemerintah Propinsi<br />
Kalimantan Timur, LBH-APIK, <strong>dan</strong> LSM. Koalisi ini telah menyusun<br />
Prosedur Tetap sehingga setiap unsur telah mengetahui tugas, fungsi <strong>dan</strong><br />
52 Website Warta Pemprov Kalbar, 4 Februari 2005, dalam Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan<br />
Rakyat (2005). Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficiking in Persons) Di Indonesia, Tahun<br />
2004-2005. Jakarta<br />
191
kewenangannya masing-masing. KAT Kaltim saat sekarang se<strong>dan</strong>g<br />
merintis <strong>dan</strong> berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Nunukan untuk<br />
membentuk koalisi di tingkat kabupaten. Kabupaten Nunukan ditengarai<br />
sebagai tempat untuk keluar masuknya pengiriman korban perdagangan<br />
orang dari <strong>dan</strong> ke Sabah, Malaysia 53 .<br />
Forum 182 Batam adalah suatu forum yang merupakan koalisi <strong>dan</strong><br />
jaringan kerja yang beranggotakan individu <strong>dan</strong> lembaga/organisasi yang<br />
ada di Pulau Batam, untuk membangun kesadaran bersama dalam<br />
kampanye melawan kejahatan perdagangan manusia (counter trafficking).<br />
Selain mengembangkan media, database <strong>dan</strong> informasi yang dibutuhkan<br />
dalam kampanye, Forum 182 Batam juga memberikan layanan konseling,<br />
hotline service, bantuan psikologi <strong>dan</strong> layanan hukum bagi para korban<br />
kejahatan perdagangan orang 54 .<br />
Untuk tingkat regional <strong>dan</strong> internasional, kerjasama penghapusan<br />
perdagangan orang terus ditingkatkan. Indonesia juga telah menandatangi<br />
beberapa peraturan internasional, yang membuktikan keseriusannya<br />
dalam melawan <strong>dan</strong> memberantas perdagangan orang. Dalam skala<br />
nasional, Indonesia juga telah membuat beberapa peraturan, untuk<br />
memberantas perdagangan orang. Atas usaha-usaha yang dilakukannya<br />
tersebut, Indonesia diberi label Tier 2 oleh Departemen Luar Negeri AS. 5 5<br />
Di samping kerjasama yang secara legal formal telah dikukuhkan<br />
sebagaimana Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan<br />
Perjanjian antara Republik Indonesia <strong>dan</strong> Australia mengenai Bantuan<br />
Timbal Balik dalam Masalah Pi<strong>dan</strong>a (Treaty Between Rl and Australia on<br />
Mutual Assistance in Criminal Matters), <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 1 Tahun<br />
53 Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan Rakyat (2005). Penghapusan Perdagangan Orng (Trafficiking<br />
in Persons) Di Indonesia, Tahun 2004-2005. Jakarta.<br />
54 Ibid.<br />
55 Tier 1 jika negara dianggap mampu melawan perdagangan orang. Tier 2 diberikan kepada<br />
negara yang berkomitmen memberantas perdagangan orang, namun Tier 2 Watch List<br />
diperuntukkan bagi negara-negara yang memiliki komitmen yang rendah, <strong>dan</strong> Tier 3 adalah<br />
untuk negara yang memiliki komitmen yang sangat rendah dalam menangani masalah<br />
perdagangan orang. ("Human Trafficking Rate in Indonesia is Still High"<br />
)<br />
192
2001 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik<br />
Indonesia <strong>dan</strong> Pemerintah Hong Kong untuk Penyerahan Pelanggar<br />
Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of<br />
Indonesia and the Government of Hong Kong for the Surrender of Fugitive<br />
Offenders), juga dilaksanakan kerjasama dengan LSM internasional<br />
terutama dalam upaya pencegahan, peningkatan kapasitas, <strong>dan</strong><br />
perlindungan kepada korban perdagangan orang (Indonesian Protocol to<br />
Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women<br />
and Children, Supplementing The United Nations Convention Against<br />
Transnational Organized Crime, United Nations, 2006).<br />
Dalam usahanya untuk mencegah perdagangan orang, Pemerintah<br />
Indonesia juga bekerjasama dengan LSM <strong>dan</strong> Organisasi lnternasional<br />
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. ICMC, ACILS, Terre des<br />
Hommes, Save the Children US, 10M, adalah beberapa di antara LSM<br />
internasional yang selama ini telah erat bekerjasama dengan Pemerintah<br />
Indonesia dalam membina hubungan <strong>dan</strong> penguatan LSM lokal untuk<br />
kegiatan pencegahan <strong>dan</strong> perlindungan kepada korban perdagangan<br />
orang. Ba<strong>dan</strong> internasional seperti UNICEF <strong>dan</strong> ILO adalah beberapa di<br />
antaranya yang telah bekerjasama dengan baik dengan Pemerintah<br />
Indonesia dalam rangka penghapusan perdagangan anak <strong>dan</strong> pekerjaan<br />
terburuk bagi anak. UNICEF antara lain telah mensponsori pertemuan<br />
regional tingkat ASEAN yang dimotori oleh PKPA Me<strong>dan</strong> sehingga<br />
menghasilkan Deklarasi Me<strong>dan</strong> yang merupakan komitmen regional<br />
ASEAN untuk lebih meningkatkan kerjasama dalam penghapusan<br />
perdagangan orang di wilayah ini (Indonesian Protocol to Prevent,<br />
Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and<br />
Children, Supplementing The United Nations Convention Against<br />
Transnational Organized Crime, United Nations, 2006).<br />
Salah satu bentuk kerjasama dalam rangka pemulangan tenaga<br />
kerja Indonesia (TKI) bermasalah <strong>dan</strong> keluarganya dari Malaysia adalah<br />
pembentukan Tim Koordinasi Pemulangan TKI Bermasalah <strong>dan</strong><br />
Keluarganya dari Malaysia (TK-PTKIB) melalui Keputusan Presiden Rl No.<br />
193
106 Tahun 2004. Tim ini telah berhasil mengkoordinasikan pemulangan<br />
lebih dari 347 ribu TKI bermasalah <strong>dan</strong> keluarganya dari Malaysia melalui<br />
jalan darat, laut maupun udara masuk melalui 13 daerah entry point di<br />
Indonesia, <strong>dan</strong> telah mampu memfasilitasi sehingga mereka sampai ke<br />
daerah asalnya masing-masing dengan selamat. Bagi TKI yang mampu,<br />
mereka membiayai sendiri kepulangannya, untuk itu Tim hanya<br />
memfasilitasi <strong>dan</strong> memberikan informasi hal-hal yang memperlancar<br />
kepulangan mereka ke daerah masing-masing. Tetapi bagi mereka yang<br />
memerlukan, Pemerintah Indonesia secara terpadu memberikan layanan<br />
kesehatan, penampungan sementara termasuk permakanannya, bantuan<br />
transportasi serta pengamanan <strong>dan</strong> pengawalan dari Kepolisian jika<br />
diperlukan. Banyak dari TKI bermasalah itu merupakan korban dari<br />
praktek-praktek perdagangan orang: dijanjikan bekerja di Malaysia<br />
dengan gaji tinggi tetapi ternyata dimasukkan ke Malaysia dengan pasport<br />
<strong>dan</strong> visa kunjungan wisata, kemudian dipekerjakan di perkebunan dengan<br />
kondisi tereksploitasi (paspor ditahan, gaji dipotong, terlilit hutang untuk<br />
biaya makan <strong>dan</strong> sebagainya).<br />
Pelayanan Satu Atap yang dibentuk di sebelas daerah exit point di<br />
Indonesia adalah salah satu bentuk kerjasama antar lnstansi Pemerintah<br />
Indonesia yang terkait dengan masalah penempatan pekerja migran<br />
Indonesia <strong>dan</strong> Pemerintah Malaysia (lmigresen) untuk memberikan<br />
kemudahan bagi pekerja migran Indonesia untuk kembali bekerja di<br />
Malaysia secara legal. Pelayanan Satu Atap ini diharapkan dapat<br />
menekan pengiriman tenaga kerja Indonesia secara illegal yang<br />
sebelumnya banyak dilakukan oleh mereka yang tidak bertanggung<br />
jawab 56 .<br />
Beberapa negara telah membangun gugus tugas <strong>dan</strong> rencana<br />
rencana aksi untuk mencapai tujuan-tujuan <strong>dan</strong> menciptakan standar<br />
acuan untuk usaha-usaha memerangi perdagangan manusia. Namun titik<br />
berat dari penilaian untuk tiap-tiap negara tidak terlalu dibebankan pada<br />
56 Ibid<br />
194
encana-rencana <strong>dan</strong> gugus tugas ini, melainkan terfokus pada tindakan<br />
tindakan nyata yang telah diambil oleh pemerintah negara tersebut dalam<br />
memberantas perdagangan manusia, menyoroti usaha-usaha penuntutan,<br />
penghukuman <strong>dan</strong> pemenjaraan terhadap pelaku, serta usaha-usaha<br />
pencegahan. Gugus tugas <strong>dan</strong> rencana-rencana aksi tersebut tidak harus<br />
terlalu menitikberatkan pada un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g dalam bentuk konsep atau<br />
yang belum diun<strong>dan</strong>gkan. Harusnya tindakan-tindakan gugus tugas<br />
tersebut harus terfokus pada usaha-usaha pemerintah yang memberikan<br />
kontribusi secara tidak langsung dalam mengurangi perdagangan<br />
manusia, seperti program bantuan pendidikan, dukungan untuk<br />
perkembangan ekonomi, atau program yang dimaksudkan untuk<br />
meningkatkan kesamaan gender, walaupun itu merupakan usaha-usaha<br />
yang sangat bermanfaat.<br />
Ada empat standar minimum untuk menghapuskan perdagangan<br />
manusia yakni (Indonesian Protocol to Prevent, Suppress and Punish<br />
Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing<br />
The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime,<br />
United Nations, 2006):<br />
1) Pemerintahan negara harus melarang bentuk-bentuk keji<br />
perdagangan manusia <strong>dan</strong> menghukum pelaku tindakan-tindakan<br />
perdagangan tersebut.<br />
2) Untuk tindakan perdagangan seks apapun yang melibatkan<br />
paksaan, penipuan atau kekerasan dimana korban perdagangan seks<br />
tersebut adalah seorang anak yang tidak dapat memberikan persetujuan,<br />
atau dimana perdagangan manusia yang mencakup perkosaan atau<br />
penculikan yang menimbulkan kematian, maka pemerintah negara<br />
tersebut harus menentukan hukuman yang sepa<strong>dan</strong> dengan hukuman<br />
untuk kejahatan pembunuhan seperti penyerangan seksual secara paksa.<br />
3) Untuk tindakan perdagangan manusia yang keji, pemerintah<br />
negara tersebut harus menentukan hukuman yang cukup keras untuk<br />
195
menghalangi <strong>dan</strong> yang cukup mencerminkan bentuk mengerikan dari<br />
kejahatan tersebut.<br />
4) Pemerintah negara harus membuat usaha yang serius <strong>dan</strong> terus<br />
menerus untuk menghapus bentuk-bentuk keji perdagangan manusia.<br />
Disamping itu untuk dapat melakukan proses peradilan terhadap<br />
kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan manusia, para penegak<br />
hukum tidak dapat bekerja sendiri, sesuai tugas <strong>dan</strong> fungsinya. Para<br />
penegak hukum sangat memerlukan bantuan dari berbagai pihak seperti<br />
laporan dari masyarakat-- sebagai informasi untuk mengungkap kasus<br />
tersebut. Oleh karena itulah, terdapat beberapa faktor yang cukup<br />
berperan dalam mengungkap a<strong>dan</strong>ya perdagangan manusia. Faktor<br />
faktor tersebut adalah :<br />
1 )Pranata Peradilan Pi<strong>dan</strong>a<br />
Keterampilan serta kerapihan (terorganisir secara baik) para pelaku<br />
perdagangan manusia dalam melakukan kejahatannya, membuat aparat<br />
kepolisian mengalami kesulitan dalam mengungkap kasus yang berkaitan<br />
dengan perdagangan manusia. Keterbatasan jumlah personil serta<br />
terbatasnya <strong>dan</strong>a, menjadi alasan klasik aparat kepolisian dalam<br />
mengungkap kasus-kasus perdagangan manusia. Keterbatasan tersebut<br />
bertambah lagi bila dikaitkan dengan kemampuan personil penyidik dalam<br />
mengungkap kasus-kasus yang dilaporkan oleh masyarakat. Dalam<br />
proses penyidikan, aparat kepolisian harus memiliki kemampuan khusus<br />
dalam menangani kasus-kasus perdagangan manusia. Kemampuan<br />
khusus ini diperlukan mengingat para pelaku (trafficker) bukanlah orang<br />
yang bodoh. Mereka pada umumnya telah mempersiapkan segala upaya,<br />
bila terjadi kemungkinan yang melibatkan dirinya secara hukum.<br />
"Kelebihan" yang dimiliki para pelaku ini menambah sulitnya<br />
pengungkapan kasus-kasus perdagangan manusia oleh aparat kepolisian.<br />
Secara teknis-yuridis, keharusan untuk memperoleh bukti awal<br />
yang cukup, dalam menangani kasus-kasus kriminal, menjadi kendala<br />
tersendiri bagi aparat kepolisian. Terlebih lagi bila tidak a<strong>dan</strong>ya saksi yang<br />
196
mau bersaksi dalam mengungkap a<strong>dan</strong>ya perdagangan manusia.<br />
Keengganan para saksi untuk menjadi saksi dalam kasus-kasus demikian<br />
ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu (1) keengganan karen a proses<br />
peradilan yang berbelit-belit <strong>dan</strong> membutuhkan waktu yang lama; (2) tidak<br />
a<strong>dan</strong>ya jaminan keselamatan bagi saksi, dari segala bentuk ancaman; (3)<br />
kurangnya perhatian dari aparat terhadap saksi, sehingga saksi menjadi<br />
takut atau enggan untuk berurusan dengan aparat penegak hukum; (4)<br />
alasan waktu <strong>dan</strong> biaya, merupakan kendala tersendiri bagi saksi untuk<br />
berurusan dengan aparat penegak hukum. Kesulitan yang dialami pada<br />
tahap penyelidikan <strong>dan</strong> penyidikan, memiliki dampak yang sangat luas<br />
kepada proses hukum selanjutnya, mengingat pada tahap inilah proses<br />
peradilan pi<strong>dan</strong>a dimulai.<br />
Pada tahap persi<strong>dan</strong>gan, proses pengungkapan terhadap kasus<br />
kasus perdagangan manusia juga mengalami beberapa kendala. Kendala<br />
yang pertama, berkaitan dengan peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang<br />
ada. Harus diakui bahwa ketentuan hukum yang ada di negara kita ini,<br />
belum memadai untuk menjaring para pelaku. Beberapa ketentuan yang<br />
ada dalam KUHP hanya diperuntukkan bagi para pelaku yang melakukan<br />
perbuatan tersebut secara sederhana <strong>dan</strong> dalam lingkup yang kecil.<br />
Se<strong>dan</strong>gkan pelaku perdagangan manusia memiliki modus operandi yang<br />
sulit untuk dilacak serta para pelaku yang terorganisir.<br />
Kendala di bi<strong>dan</strong>g peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan menyebabkan<br />
proses peradilan tidak berjalan maksimal, sebagaimana yang diinginkan.<br />
Pengungkapan kasus akan menjaring mereka (para pelaku) yang lemah<br />
<strong>dan</strong> tetap memberi peluang kebebasan bagi para pelaku yang terorganisir.<br />
Hal ini, pada akhirnya akan membawa konsekuensi hukum pada<br />
pemberian sanksi pi<strong>dan</strong>a. Oleh karena itu, hakim harus benar-benar dapat<br />
mengadili kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan manusia<br />
secara bijak dengan memperhatikan: sifat kasus yang ditangani, dampak<br />
yang ditimbulkan dari kasus tersebut, karakter pelaku serta modus<br />
operandi, serta penderitaan korban yang berakibat pula pada lingkungan<br />
sosial masyarakat.<br />
197
Pertimbangan-pertimbangan tersebut akan membawa hakim pada<br />
suatu putusan pi<strong>dan</strong>a yang adil, sesuai dengan karakter <strong>dan</strong> sifat<br />
kejahatan yang dilakukan.<br />
2)Pelaku (trafficker)<br />
Sebagaimana telah dikemukakan, pelaku kejahatan perdagangan<br />
manusia (trafficker), memiliki jaringa yang cukup luas. Kendati belum<br />
diperoleh bukti yang akurat, dapatlah diperkirakan bahwa pelaku adalah<br />
sekelompok orang yang memiliki wadah, atau sering juga disebut sebagai<br />
kejahatan terorganisasi (organized crime). Dengan melibatkan banyak<br />
orang, serta memiliki jaringan yang cukup luas, tidaklah mustahil bahwa<br />
para pelaku kejahatan ini sangat sulit untuk ditangkap, apalagi diproses<br />
secara hukum.<br />
Hugh D. Barlow, telah mengidentifikasi kejahatan-kejahatan yang<br />
dilakukan oleh organized crime. Menurut Barlow, organized crime sangat<br />
menyukai bisnis-bisnis seperti pelacuran, karena aktivitas ini<br />
mendatangkan hasil yang berlimpah. Demi kelancaran bisnis tersebut,<br />
organized crime tidak segan-segan untuk menjalin hubungan dengan<br />
tokoh politik <strong>dan</strong> pemerintahan.<br />
lnterelasi organized crime dengan berbagai kalangan (elite)<br />
mengaburkan pola-pola kejahatan yang dilakukannya. Seringkali aktivitas<br />
mereka sulit untuk dilacak serta diketahui siapa pelaku sebenarnya.<br />
Bahkan, tidak mustahil mereka telah mengetahui upaya-upaya aparat<br />
untuk menangkap mereka, <strong>dan</strong> hasilnya, merekapun dapat meloloskan diri<br />
dengan selamat.<br />
Penangkapan terhadap pelaku, harus dicermati bahwa pelaku yang<br />
berhasil ditangkap adalah pelaku-pelaku kecil atau orang-orang "suruhan"<br />
yang tak berdaya. Se<strong>dan</strong>gkan yang menjadi aktor intelektual - dalam<br />
kejahatan terorganisasi-tidak akan pernah tertangkap, apalagi diproses<br />
secara hukum. Dengan kondisi yang demikian, maka sangat sulit untuk<br />
mengungkap kejahatan dalam bentuk perdagangan manusia. Kalaupun<br />
11J8
aparat penegak hukum mampu menangkap pelaku, mereka hanyalah<br />
pelaku di lapangan.<br />
Berikut berbagai kendala dalam penanganan perdagangan<br />
manusia, yang paling sering dijumpai oleh pelaksana Gugus Tugas<br />
sebagai berikut:<br />
a)Kesadaran masyarakat, lembaga pemerintah <strong>dan</strong> swasta<br />
terhadap TPPO <strong>dan</strong> ESA sebagai kejahatan belum tumbuh<br />
secara memadai <strong>dan</strong> payung hukum sudah ada.<br />
b )Mitos bahwa berhubungan dengan anak merupakan cara untuk<br />
"awet muda"<br />
c)Ketidakpedulian masyarakat terhadap pencegahan TPPO <strong>dan</strong><br />
ESA<br />
d)Media massa masih kurang memberikan informasi yang<br />
bermanfaatlberpihak pada korban<br />
e )Rendahnya kapasitas pemangku kepentingan lembaga terkait<br />
dalam melakukan pencegahan TPPO <strong>dan</strong> ESA<br />
f)Lemahnya pengawasan pemantauan pada daerah pada saat pra<br />
penempatan <strong>dan</strong> penempatan tenaga kerja<br />
g)Belum semua daerah membentuk sub Gugus Tugas sehingga<br />
belum memiliki Rencana Aksi Daerah (RAD) TPPO<br />
h)Administrasi kependudukan belum sistematis<br />
i)Tidak semua anak memiliki akte kelahiran<br />
j)Korban tidak mau melapor<br />
k)Korban tidak mengenali pelakunya<br />
I)Terjadi pada dua wilayah atau lebih<br />
m)Sindikat pelaku terputus<br />
n)Biaya penyidikan yg cukup besar<br />
o)Terbatasnya teknologi IT <strong>dan</strong> sarana <strong>dan</strong> prasarana<br />
199
p)Aparat Penegak Hukum belum satu persepsi<br />
q)Terbatasnya petugas di perbatasan<br />
r)Tidak semua negara tujuan penempatan TKI memiliki Senior<br />
Liaison Officer (SLO) POLRI<br />
s)Lemahnya koordinasi <strong>dan</strong> kerjasama di tingkat pusat, tingkat<br />
daerah maupun antar negara<br />
t)Perbedaan hukum masing2 negara<br />
u)Belum semua negara ada kerjasama<br />
Pengetahuan masyarakat mengenai perdagangan manusia harus<br />
ditingkatkan <strong>dan</strong> jaringan kerja organisasi anti perdagangan <strong>dan</strong> usaha<br />
usahanya harus diperkuat. Lembaga agama, LSM, sekolah-sekolah,<br />
perkumpulan masyarakat, <strong>dan</strong> para tokoh masyarakat, pemimpin<br />
tradisional atau tokoh adat dengan pranata adatnya, serta tokoh agama<br />
perlu dimobilisasi dalam perjuangannya melawan perdagangan manusia.<br />
Para korban <strong>dan</strong> keluarga mereka memerlukan pelatihan keahlian <strong>dan</strong><br />
kesempatan untuk melakukan ekonomi alternatif. Strategi anti<br />
perdagangan harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa<br />
strateginya masih tetap inovatif <strong>dan</strong> efektif. Akhirnya, para pejabat<br />
pemerintah harus dilatih mengenai teknik-teknik anti perdagangan<br />
manusia, <strong>dan</strong> jalur-jalur perdagangan harus secara statistik dicermati<br />
untuk menjelaskan sifat <strong>dan</strong> seriusnya serta besarnya masalah sehingga<br />
dapat dipahami secara Jebih baik. Jadi dalam melakukan pencegahan <strong>dan</strong><br />
penanggulangan perdagangan manusia kita tidak dapat mengabaikan<br />
masalah non hukum atau hanya mengandalkan penegakan hukum saja.<br />
Disamping itu perlu a<strong>dan</strong>ya penguatan atau ketahanan keluarga,<br />
dimana keluarga adalah merupakan fundamen utama dalam memberikan<br />
sosialisasi kehidupan maupun pencerahan kepada anggota keluarganya<br />
untuk dapat memerangi hal-hal yang dapat menjurus pada terjadinya<br />
perdagangan man usia. Keluarga juga<br />
200
Mekanisme koordinasi <strong>dan</strong> supervisi yang ada seperti Gugus Tugas<br />
Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang perlu<br />
ditingkatkan. Dalam lokakarya regional mengenai Perdagangan Orang<br />
yang didukung oleh UNICEF <strong>dan</strong> Kedutaan Perancis di Lombok, April<br />
2010 yang lalu, permasalahan koordinasi mengemuka. Temuan ini sejalan<br />
dengan hasil evaluasi tahun 2008 mengenai pelaksanaan RAN PTPPO<br />
<strong>dan</strong> ESKA yang menunjukkan perlunya penguatan koordinasi antar<br />
instansi di tingkat nasional, antar instansi nasional <strong>dan</strong> daerah, <strong>dan</strong> antar<br />
instansi di daerah. 57<br />
Perdagangan orang merupakan kejahatan terhadap Hak Asasi<br />
Manusia (HAM) yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas,<br />
tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran <strong>dan</strong> hati nurani, beragama, hak<br />
untuk tidak diperbudak, <strong>dan</strong> pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya.<br />
Perempuan <strong>dan</strong> anak adalah yang paling banyak menjadi korban<br />
perdagangan orang, menempatkan mereka pada posisi yang sangat<br />
beresiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik<br />
maupun mental spiritual, sehingga sangat rentan terhadap tindak<br />
kekerasan.<br />
Praktik perdagangan orang (trafficking) merupakan masalah yang<br />
krusial. Berdasarkan hasil penelitian, banyak daerah telah dikategorikan<br />
sebagai tempat tumbuh suburnya praktik perdagangan orang. Wilayah<br />
yang dikategorikan rawan praktik perdagangan orang, di Jawa Barat saja<br />
misalnya, meliputi daerah lndramayu, Subang, Sukabumi, Cirebon, Kota<br />
Bandung serta Kabupaten Bandung.<br />
201<br />
Perdagangan orang telah menjadi bisnis kuat yang bersifat lintas<br />
daerah bahkan lintas negara karena walaupun illegal hasilnya sangat<br />
menggiurkan, merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan<br />
obat-obatan terlarang <strong>dan</strong> perdagangan senjata. Tidak mengherankan jika<br />
kejahatan internasional yang terorganisir kemudian menjadikan prostitusi<br />
57 Sofian, Ahmad, et al . Evaluasi Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pertama Indonesia untuk<br />
Penghapusan Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak (P3A) <strong>dan</strong> Penghapusan Eksploitasi Seks<br />
Komersial Anak (ESKA). Laporan untuk UNICEF, 2008.
internasional <strong>dan</strong> jaringan perdagangan orang sebagai fokus utama<br />
kegiatannya.<br />
202<br />
Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan<br />
sumber daya yang kuat seperti itu, diperlukan komitmen bersama yang<br />
lebih kuat, bertindak dengan langkah-langkah yang terencana <strong>dan</strong><br />
konsisten antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah bahkan<br />
melibatkan jaringan luas baik dengan pemerintah negara sahabat <strong>dan</strong><br />
lembaga internasional. Oleh karena itu dalam Peraturan Daerah ini<br />
dikembangkan pula kerjasama antara provinsi ataupun kabupaten/kota di<br />
Indonesia, kemitraan dengan dunia usaha <strong>dan</strong> berbagai elemen<br />
masyarakat sebagai upaya untuk melakukan pencegahan <strong>dan</strong><br />
penanganan korban Perdagangan Orang <strong>dan</strong> membangun berbagai<br />
jejaring dengan berbagai elemen masyarakat.<br />
Peraturan daerah tentang Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan Karban<br />
Perdagangan orang lebih menekankan pada upaya untuk melakukan<br />
pencegahan perdagangan orang daripada upaya represif terhadap pelaku<br />
tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang karena pengaturan mengenai tindakan<br />
represif telah diatur dalam Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g tentang Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />
Pemberantasan Perdagangan Orang <strong>dan</strong> dengan dimaksimalkannya<br />
upaya pencegahan terhadap perdagangan orang diharapkan dapat<br />
menekan seminimal mungkin korban perdagangan orang.<br />
Upaya Pencegahan Perdagangan orang dilakukan melalui<br />
Pencegahan Preemtif <strong>dan</strong> Pencegahan Preventif. Pencegahan preemtif<br />
merupakan tindakan yang harus dilakukan pada tingkat pengambilan<br />
keputusan <strong>dan</strong> perencanaan oleh Pemerintah Daerah yang bersifat jangka<br />
panjang dalam upaya pencegahan perdagangan orang. Pencegahan<br />
Preventif merupakan upaya langsung yang harus dilakukan oleh<br />
Pemerintah Daerah untuk melakukan pencegahan perdagangan orang<br />
yang berupa pengawasan terhadap setiap Perusahaan Penyalur Tenaga<br />
Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) <strong>dan</strong> Korporasi yang ada, membangun<br />
jejaring dengan berbagai pihak terkait (LSM, penegak hukum) <strong>dan</strong>
membuka akses pengaduan terhadap a<strong>dan</strong>ya tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan<br />
orang.<br />
Berdasarkan data yang ada, profil perempuan <strong>dan</strong> anak korban<br />
perdagangan orang serta mereka yang berisiko, pada umumnya berasal<br />
dari keluarga miskin, kurang pendidikan, kurang informasi <strong>dan</strong> berada<br />
pada kondisi sosial budaya yang kurang menguntungkan bagi<br />
perkembangan dirinya. Oleh sebab itu kebijakan pencegahan<br />
perdagangan orang haruslah ditekankan pada upaya untuk meningkatkan<br />
pendidikan <strong>dan</strong> perekonomian di Jawa Barat, selain dilakukan pula upaya<br />
pemberdayaan <strong>dan</strong> penyadaran kepada masyarakat mengenai nilai-nilai<br />
keagamaan, moral, kemanusiaan <strong>dan</strong> kehidupan.<br />
Bagi para korban perdagangan orang akan dilakukan tindakan<br />
penanganan <strong>dan</strong> rehabilitasi. Penanganan perdagangan orang akan lebih<br />
ditekankan pada upaya untuk menyelamatkan korban perdagangan<br />
korban dari tindakan eksploitasi maupun penganiayaan <strong>dan</strong><br />
mengusahakan upaya penanganan hukum se<strong>dan</strong>gkan rehabilitasi<br />
merupakan upaya untuk memulihkan kondisi fisik <strong>dan</strong> psikis dari korban<br />
perdagangan orang <strong>dan</strong> pemberdayaan pendidikan <strong>dan</strong> perekonomian<br />
korban agar tidak terkena korban perdagangan orang kembali.<br />
Mengingat luasnya aspek pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban<br />
perdagangan orang maka pelaksanaannya perlu dilakukan secara lintas<br />
sektor antara organisasi perangkat daerah yang berwenang di bi<strong>dan</strong>g<br />
sosial, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, <strong>dan</strong> perekonomian<br />
dengan organisasi perangkat daerah di bi<strong>dan</strong>g sosial sebagai leading<br />
sector dalam upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban perdagangan<br />
orang.<br />
203<br />
Dukungan pen<strong>dan</strong>aan yang memadaipun diharapkan dapat<br />
meningkatkan kesuksesan pelaksanaan pencegahan <strong>dan</strong> penanganan<br />
korban perdagangan orang, oleh karena itu pen<strong>dan</strong>aan terhadap upaya<br />
pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban perdagangan orang perlu
-<br />
dialokasikan dalam masing-masing anggaran organisasi perangkat daerah<br />
terkait di atas.<br />
Dalam rangka percepatan upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanganan<br />
korban perdagangan orang maka dibentuk Gugus Tugas Rencana Aksi<br />
Daerah yang bersifat adhoc <strong>dan</strong> multistakeholder yang salah satu fungsi<br />
utamanya adalah menyusun Rencana Aksi Daerah yang mengerahkan<br />
berbagai elemen masyarakat <strong>dan</strong> pemerintah dalam upaya pencegahan<br />
perdagangan orang <strong>dan</strong> penanganan korban perdagangan orang,<br />
sehingga diharapkan Provinsi Jawa Barat dapat menjadi provinsi terdepan<br />
<strong>dan</strong> tersukses dalam menangani pencegahan perdagangan orang <strong>dan</strong><br />
penanganan korban perdagangan.<br />
Beberapa hal yang terpenting adalah penegakkan prinsip-prinsip<br />
yang harus mendasari setiap upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban<br />
perdagangan orang, yakni prinsip penghormatan <strong>dan</strong> pengakuan terhadap<br />
hak <strong>dan</strong> martabat manusia adalah prinsip yang menjunjung tinggi hak-hak<br />
asasi manusia; prinsip kepastian hukum yang mementingkan penegakan<br />
tertib hukum oleh penegak hukum berdasarkan peraturan perun<strong>dan</strong>g<br />
un<strong>dan</strong>gan; prinsip proporsionalitas yang mengutamakan hak <strong>dan</strong><br />
kewajiban baik bagi saksi, korban, pelaku maupun pemerintah; prinsip<br />
non-diskriminasi yang tidak membeda-bedakan korban akibat<br />
perdagangan orang terutama perempuan <strong>dan</strong> anak, baik mengenai<br />
substansi, proses hukum, maupun kebijakan hukum; prinsip perlindungan<br />
untuk memberikan rasa aman baik fisik, mental, maupun sosial; prinsip<br />
keadilan adalah prinsip yang memberikan perlindungan secara tidak<br />
memihak <strong>dan</strong> memberikan perlakuan yang sama, termasuk didalamnya<br />
kesetaraan gender.<br />
Sementara itu, peningkatan jumlah <strong>dan</strong> mutu pendidikan yang<br />
didasarkan pada pembangunan pendidikan harus dilakukan secara<br />
integral oleh institusi pendidikan, pengguna, <strong>dan</strong> Pemerintah Daerah<br />
untuk mencapai kualitas sumberdaya manusia yang beriman <strong>dan</strong><br />
bertakwa, berahlak mulia, cerdas, kreatif, produktif, inovatif, mandiri,<br />
204
menguasai ilmu pengetahuan <strong>dan</strong> teknologi , unggul dalam persaingan,<br />
serta mampu beradaptasi dengan perubahan zaman <strong>dan</strong> tuntutan<br />
kebutuhan pasar. Pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya bagi<br />
masyarakat didasarkan pada arah pembangunan ketenagakerjaan yang<br />
bersifat multidimensi, mempengaruhi <strong>dan</strong> dipengaruhi oleh berbagai faktor<br />
dengan pola hubungan yang kompleks. Pembangunan nilai-nilai moral<br />
<strong>dan</strong> agama didasarkan pada karakteristik masyarakat yang religius <strong>dan</strong><br />
berbudaya melalui pendidikan agama <strong>dan</strong> dakwah serta peningkatan<br />
pengamalan ajaran agama secara menyeluruh yang meliputi akidah,<br />
ibadah, muamalah, <strong>dan</strong> akhlak mulia sehingga terwujud kesalehan<br />
individual <strong>dan</strong> kesalehan sosial.<br />
8.2. Upaya Penanganan di Daerah Transit: Batam 5s<br />
8.2.1. Penanganan Kepolisian<br />
Yang dijadikan patokan ataupun pemahaman polisi (PPA) bahwa<br />
suatu peristiwa merupakan trafficking adalah sebagaimana tercantum<br />
dalam un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yaitu perekrutan atau penempatan orang dengan<br />
cara tipu muslihat atau dilakukan dengan tujuan eksploitasi. Dalam<br />
penanganan masalah trafficking kepolisian sudah memberikan perhatian<br />
khusus berupa arahan dari pimpinan Polri. Salah satu indikator yang<br />
menunjukkan bahwa masalah trafficking mendapat atensi utama dari<br />
pimpinan Polri adalah a<strong>dan</strong>ya SKEP Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 yang<br />
mengatur tentang pembentukan PPA di Polda Kepulauan Riau.<br />
Berdasarkan SKEP tersebut jajaran kepolisian di Polda Kepulauan Riau<br />
membentuk unit trafficking sendiri yang disebut PPA yang dulunya disebut<br />
RPK (Ruang Pelayanan Khusus). Dengan a<strong>dan</strong>ya arahan dari pimpinan<br />
Polri tersebut menunjukkan bahwa masalah trafficking termasuk dalam<br />
skala prioritas Polda Kepulauan Riau/ Poltabes Batam untuk ditangani.<br />
Sebagai contoh, dalam implementasinya Poltabes Batam melakukan<br />
58 Hasil Penelitian Tahun I, Tahun 2009. "Studi Kasus Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan<br />
Terpadu Terhadap Perdagangan Perempuan Di Propinsi Jawa Barat<br />
205
operasi baik secara rutin ataupun operasi khusus (seperti operasi bunga)<br />
untuk menangkap para trafficker.<br />
Pada tahun 2009 PPA Poltabes Batam menangani satu kali<br />
menangani kasus trafficking yang terjadi di lokalisasi Sintai. Dalam hal ini<br />
yang melaporkan a<strong>dan</strong>ya korban trafficking ke PPA adalah sukarelawan<br />
sosial, bukan korban yang bersangkutan. Korbannya terdiri dari 2 orang<br />
yang berumur 19 <strong>dan</strong> 28 tahun. Korbannya yang satu adalah orang jawa<br />
yang tinggal di Jakarta <strong>dan</strong> seorang lagi berasal dari Makasar. Karban<br />
berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah <strong>dan</strong> sponsornya<br />
tinggal di Jakarta. Peristiwanya, ketika direkrut di kampungnya pihak<br />
korban dijanjikan untuk bekerja di bar <strong>dan</strong> hanya untuk menyajikan<br />
minuman kepada tamu atau menemani tamu menyanyi. Bar ini milik orang<br />
lndramayu. Dengan pekerjaan itu dia dijanjikan akan mendapat gaji<br />
sekitar 2 juta sampai 5 juta. Tetapi sesampai di tempat yang dijanjikan<br />
ternyata dia disuruh melayani tamu secara total.<br />
Kasus ini terungkap karena korban yang berumur 19 tahun merasa<br />
hamil <strong>dan</strong> kemuian berobat ke Nagoya dengan ditemani 1 orang<br />
temannya. Tetapi kemudian mereka berfikir untuk kabur karena ternyata<br />
hidup di lokalisasi tersebut membuat dia dililit hutang yang terus<br />
bertambah banyak. Ketika awal dia sampai di bar tersebut dia telah diikat<br />
hutang yang besarnya mencapai 3 juta rupiah. Utang tersebut sebagai<br />
pengganti biaya pengiriman dia dari tempat asal ke tempat tujuan yang<br />
selama itu dibiayai oleh pihak sponsor atau agen. Namun setelah dia<br />
bekerja ternyata semakin lama hutang tersebut bertambah banyak,<br />
sehingga tidak selesai-selesai. Sementara temannya yang berumur 28<br />
tahun sudah bersuami yang tinggal di Jakarta. Kemudian suaminya tahu<br />
bahwa istrinya dijual, oleh karena itu dia minta tolong kepada temannya<br />
yang berprofesi sebagai wartawan TV One. Pada saat itu temannya<br />
tersebut kebetulan ada tugas ke Singapore lewat Batam sehingga dia pun<br />
menyempatkan diri untuk menolong istri temannya, yang pada saat itu<br />
kebetulan sudah berada di luar lokasi tempatnya bekerja. Rencananya<br />
mereka akan dipulangkan lewat bandara Hang Nadiem, Batam. Namun<br />
206
ternyata di sana sudah ada bodyguard dari Bar yang bersangkutan yang<br />
telah menunggunya di Bandara yang kemudian melaporkan mereka ke<br />
polsek bandara agar mereka tidak keluar dari Batam dengan tuduhan<br />
memiliki hutang <strong>dan</strong> akan melarikan diri. Namun setelah diinterogasi oleh<br />
petugas ternyata mereka merupakan korban trafficking sehingga<br />
terungkaplah masalah trafficking tersebut.<br />
Kasus ini dianggap sudah termasuk trafficking karena memenuhi<br />
unsur-unsur dari trafficking yaitu proses, cara, <strong>dan</strong> tujuan. Bila ketiga<br />
unsur tersebut terdapat dalam satu kasus maka dia dikategorikan sebagai<br />
trafficking. Dalam hal ini pertama prosesnya dia direkrut dari<br />
komunitasnya, kemudian caranya dengan penipuan <strong>dan</strong> dijerat hutang,<br />
sementara tujuannya adalah untuk dieksploitasi dengan menjadikannya<br />
sebagai PSK. Bila pekerjaan sebagai PSK tersebut dilakukan secara<br />
sukarela , bagi polisi hal itu tidak menjadi masalah asalkan tidak di bawah<br />
umur, karena aturan yang ada tidak membolehkan anak di bawah umur<br />
untuk bekerja.<br />
Untuk proses pemulangan korban trafficking, unit PPA Poltabes<br />
Batam bekerjasama dengan Yayasan Setara Kita karena yang masih<br />
eksis hanya yayasan tersebut <strong>dan</strong> mendapat dukungan pen<strong>dan</strong>aan dari<br />
10M. Sebelumnya unit PPA bekerjasama juga dengan LSM Sirih Besar<br />
dari Tanjung Pinang <strong>dan</strong> Kaseh Puan dari Tanjung Balai Karimun. Kedua<br />
LSM tersebut berada di bawah pemprov Kepulauan Riau sehingga untuk<br />
menutup kebutuhan biaya proses pemulangan, termasuk untuk makan<br />
korban mereka bisa meminta bantuan <strong>dan</strong>a langsung. Sebenarnya Unit<br />
PPA memiliki anggaran sendiri untuk menangani korban trafficking, tetapi<br />
karena anggarannya terbatas maka masih memerlukan kerjasama dengan<br />
institusi lain.<br />
207<br />
Selama menunggu proses pemulangan, untuk menghilangkan<br />
kebosanan <strong>dan</strong> menambah biaya pulang, korban yang ditangani polisi<br />
biasanya ditawari peluang untuk mengambil pekerjaan sampingan, seperti<br />
menjadi pencuci baju. Karena meskipun nantinya diberi biaya untuk
pulang dari pemerintah, namun besarannya tentunya sangat minimal.<br />
Namun seandainya mereka menolak untuk mengerjakan pekerjaan<br />
sampingan atau pemberdayaan dari polisi, itupun tidak apa-apa.<br />
Sementara itu untuk kasus trafficking yang ditangani Polda<br />
Kepulauan Riau, pada tahun 2008 ada 43 kasus trafficking. Kebanyakan<br />
kasusnya adalah penipuan di mana umumnya mereka dijanjikan untuk<br />
bekerja seperti di restoran, di tempat hiburan malam, karaoke, <strong>dan</strong><br />
sebagainya baik di Batam maupun di luar negeri. Berdasarkan kasus yang<br />
terungkap dari mereka yang dijual ke luar negeri, misalnya mereka yang<br />
dikirim ke Malaysia, mereka memiliki pasport dengan tujuan melancong,<br />
tetapi sesampai di sana mereka dipekerjakan sebagai PSK, <strong>dan</strong> bahkan<br />
ada yang disekap. Atau ada juga mereka yang sebelumnya sudah<br />
mengetahui akan dipekerjakan sebagai PSK <strong>dan</strong> dijanjikan akan melayani<br />
tamu-tamu dari Singapore dengan bayaran yang tinggi. Namun dalam<br />
kenyataannya mereka disuruh bekerja siang malam tanpa kejelasan<br />
bayarannya karena sesampai di Batam mereka dijerat dengan hutang<br />
yang tidak pernah selesai hutangnya.<br />
Gambar 9.<br />
Para Peneliti di<br />
Polda Kepulauan<br />
Riau<br />
208<br />
Para peneliti berpose di Po ida Kepulauan<br />
Riau setelah melakukan wawancara<br />
dengan pihak Kepolisian<br />
Dari 43 kasus trafficking yang pernah ditangani Polda Kepulauan<br />
Riau, yang paling menonjol adalah kasus penyekapan yang pernah<br />
terungkap di Malaysia tahun 2008. Ketika itu salah satu korban<br />
penyekapan melarikan diri dengan cara meloncat dari jendela <strong>dan</strong><br />
kemudian jatuh sehingga patah kakinya. Kemudian dia ditolong oleh<br />
warga sekitar <strong>dan</strong> dibawa ke rumah sakit, <strong>dan</strong> di sana dia menceritakan
kondisinya. Selanjutnya LO (Liason Officer) di sana melaporkan ke Polisi<br />
Kerajaan Malaysia yang kemudian melakukan penggerebegan. Ternyata<br />
di penampungan yang berada di suatu apartemen tersebut masih banyak<br />
korban lain yang semuanya orang indonesia <strong>dan</strong> dikunci dari luar.<br />
Akhirnya, semua yang terlibat dalam perdagangan ini ditangkap <strong>dan</strong><br />
sudah dijatuhi hukuman. Kemudian para korban tersebut, 2 orang di<br />
antaranya dipulangkan melalui Batam karena setelah disortir diketahui<br />
bahwa ketika berangkat mereka melalui Batam, sementara yang lainnya<br />
dipulangkan melalui jalur di luar Batam.<br />
Menurut penuturan korban bahwa yang mengajak bekerja di situ<br />
adalah orang dari Batam yang kemudian menyeberangkannya secara<br />
illegal. Dalam pola perekrutannya terungkap bahwa mereka berasal dari<br />
Jember diajak bekerja oleh sepasang suami istri yang tinggal di Tanjung<br />
Pinang. Meskipun jenis pekerjaan yang ditawarkannya tidak jelas tetapi<br />
mereka mau berangkat ke Tanjung Piriang. Sesampai di Tanjung Pinang<br />
kemudian ditawari untuk bekerja ke luar negeri. Lalu mereka dikenalkan<br />
dengan orang Batam yang pekerjaannya sebagai nelayan, yang akan<br />
menyeberangkan ke luar negeri. Selanjutnya mereka diberangkatkan<br />
melalui jalur illegal <strong>dan</strong> tanpa dilengkapi surat-surat. Sesampainya di<br />
Johor Baru, Malaysia, di sana sudah ada orang Gina yang menerima. Dari<br />
situ mereka di titipkan di Kuala Lumpur <strong>dan</strong> mulailah disekap <strong>dan</strong> dijual.<br />
Sistem perdagangannya di Malaysia, mereka menunggu di apartemen<br />
yang dilengkapi TV <strong>dan</strong> tempat tidur, tetapi dikunci dari luar. Kemudian<br />
bila ada yang tamu yang memesan barulah mereka diantarkan kepada<br />
pemesannya. Adapun pembayarannya dibayarkan langsung oleh<br />
pengguna kepada bosnya yang dianggap sebagai pembayaran hutang si<br />
korban. Karena korban dianggap sudah berhutang untuk segala macam<br />
biaya yang sudah dikeluarkan trafficker sejak mulai keberangkatan sampai<br />
di tempat tersebut.<br />
Korban tersebut secara tidak sadar telah dijebak dengan hutang<br />
sejak awal perekrutannya. Sebagai ilustrasi, orang yang membujuk di<br />
kampungnya minta sejumlah uang kepada rekruiter lokal <strong>dan</strong> kemudian<br />
209
ekruiter lokal tersebut memberi sejumlah uang termasuk untuk diberikan<br />
kepada orang tua korban. Jumlah pengeluaran rekruiter lokal tersebut<br />
kemudian meminta penggantian kepada perantara berikutnya <strong>dan</strong><br />
ditambah fee untuk dia yang kemudian dibayar oleh perantara tersebut.<br />
Selanjutnya korban dibawa ke Jakarta <strong>dan</strong> diinapkan serta diberi makan<br />
oleh perantara tersebut. Dari Jakarta korban dibawa ke Tanjung Pinang<br />
dengan pesawat <strong>dan</strong> diserahkan kepada orang di Tanjung Pinang. Untuk<br />
itu si perantara minta penggantian seluruh biaya yang telah<br />
dikeluarkannya termasuk jumlah uang yang dibayarkan kepada rekruiter<br />
lokal <strong>dan</strong> fee untuk dia kepada orang di Tanjung Pinang <strong>dan</strong> semuanya<br />
dibayar. Kemudian orang dari Tanjung Pinang tersebut membawa korban<br />
ke si penerima di Johor, maka diapun akan meminta uang pengganti<br />
seluruh biaya <strong>dan</strong> feenya kepada penerima di Johor tersebut <strong>dan</strong> dibayar.<br />
Oleh cukong di Johor tersebut keseluruhan jumlah uang yang telah<br />
dibayarkannya, termasuk di dalamnya mulai dari biaya untuk pembujuk di<br />
kampung <strong>dan</strong> uang yang ditinggalkan untuk orang tuanya ditambah<br />
dengan jumlah biaya penginapan <strong>dan</strong> makan, biaya tiket <strong>dan</strong> fee si<br />
perantara yang membawa sampai ke Johor, Malaysia akhirnya dikalkulasi<br />
menjadi hutang si korban. Selain itu biaya untuk kebutuhan dia di sana<br />
sebelum mendapat penghasilan juga dianggap hutang. Belum lagi bila<br />
mereka mengambil-ambil barang kebutuhan dari bosnya maka hal itu<br />
dikumulatifkan lagi.<br />
Untuk melunasi hutangnya korban diharuskan untuk melayani 200<br />
sampai 300 kong, dalam artian mereka harus melayani 200 sampai 300<br />
kali tamu laki-laki baru bisa menerima hasil kerjanya ( 1 kong membayar<br />
sekitar 30 ringgit). Karban sendiri hanya medapat uang kalau tamunya<br />
memberi tip. Konsekuensinya hutangnya tidak akan pernah terbayar.<br />
Menurut responden dari UIB, dari sudut pan<strong>dan</strong>g hukum, kebijakan,<br />
peraturan <strong>dan</strong> perun<strong>dan</strong>gan, perangkat regulasi lainnya untuk<br />
penanganan trafficking sebenarnya sudah sangat ideal, masalahnya<br />
adalah dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh ketika terjadi trafficking<br />
kemudian sudah ada orang-orang yang diduga melakukannya ataupun<br />
210
menjadi tersangkanya, tetapi kemudian setelah sampai di penyidik<br />
kasusnya menjadi kabur lagi. Misalnya dikatakan kurang bukti, atau sudah<br />
dikirim ke kejaksaan tapi dikembalikan lagi karena ada kekurangan<br />
kekurangan, <strong>dan</strong> sebagainya. Hal tersebut bisa memang benar begitu<br />
atau ada hal lain seperti oknum yang bermain karena semuanya itu<br />
mungkin saja terjadi.<br />
Di lapangan, kendala yang dihadapi kepolisian dalam mengungkap<br />
trafficking ini antara lain: pertama, ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g pihak korban atau<br />
keluarganya tidak mengenal dengan baik sponsornya. Hal ini terjadi<br />
karena daerah asal sponsor tidak selalu sama dengan daerah asal si<br />
korban. Bila sponsornya dikenal oleh korban, maka akan memudahkan<br />
dalam melakukan penyidikan. Kendala kedua, adalah tidak semua korban<br />
memiliki surat-surat seperti akte lahir, ijasah, <strong>dan</strong> sebagainya yang dapat<br />
dijadikan alat bukti di pengadilan. Hal ini terjadi karena umumnya korban<br />
berasal dari kampung <strong>dan</strong> realitanya banyak orang dari kampung yang<br />
tidak begitu peduli dengan hal tersebut. Kendala ketiga, umumnya data<br />
pribadi si korban sudah dipalsukan atau direkayasa di daerah asalnya,<br />
mulai dari tingkat RT terkait dengan KTP korban sehingga, misalnya, data<br />
umur yang sebetulnya di bawah umur tetapi dicatat sudah berumur 17<br />
tahun. Dengan demikian dalam passportnya pun tercatat data yang<br />
sebenarnya palsu. Sebagai contoh aparat Poltabes Batam pernah<br />
menangani korban trafficking yang berumur 20 tahun yang ditangkap dari<br />
PJTKI<br />
yang beroperasi tanpa ijin di perumahan. Lalu ketika korban ditanya<br />
oleh penyidik ternyata dia sudah bekerja di Malaysia selama 2 kali<br />
perpanjangan kontrak @ 2 tahun yang berarti sudah bekerja selama 4<br />
tahun. Oleh karena itu tidak heran ketika diperiksa dia sudah memiliki<br />
logat melayu yang kental. Dengan melihat lamanya masa kontrak yang<br />
sudah dijalaninya berarti ketika dia mulai bekerja masih di bawah umur<br />
(16 tahun). Dengan demikian berarti dia bisa bekerja karena ada<br />
pemalsuan atau rekayasa data dalam KTPnya di mana umur yang<br />
bersangkutan dicatat lebih tua dari yang sebenarnya. Pemalsuan ini<br />
211
mengatasi permasalahan tersebut maka Poltabes Batam bekerja sama<br />
dengan Mabes yang memiliki kewenangan untuk menyidik TKP di seluruh<br />
Polda di Indonesia. Dalam menangani kasus trafficking kerjasama antar<br />
Polda tidak ada masalah karena kepolisian sifatnya nasional sehingga<br />
koordinasinya mudah.<br />
Kendala kelima tersebut memiliki implikasi berupa perlunya dibuat<br />
kebijakan yang mengarahkan a<strong>dan</strong>ya kerjasama yang lebih intens antara<br />
Kepolisian dengan Depnakertrans agar setiap PJTKI yang mengirimkan<br />
TKI menginformasikan kepada pihak kepolisian setempat. Selama ini<br />
kerjasama antara pihak Kepolisian dengan Disnaker dalam penegakan<br />
hukum terkait dengan trafficking ini hanya sebagai saksi ahli saja, itupun<br />
bila diminta oleh jaksa. Disnaker hanya memberi penjelasan tentang<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan <strong>dan</strong><br />
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri <strong>dan</strong> un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />
tentang trafficking. Sejauh ini tidak ada resistensi dari disnaker, meskipun<br />
memang selama ini disnaker ini tidak pernah hadir dalam kegiatan yang<br />
dilakukan oleh gugus tugas, termasuk juga jaksa, <strong>dan</strong> hakim.<br />
Keenam, sejauh ini di kalangan instansi terkait yang menangani<br />
masalah trafficking belum ada kesatuan persepsi. Dalam memproses<br />
masalah trafficking polisi menghadapi kendala karena masih ada<br />
perbedaan persepsi dengan kejaksaan dalam menafsirkan suatu kasus.<br />
Sehingga, misalnya, meskipun polisi sudah menafsirkan <strong>dan</strong> memproses<br />
bahwa suatu kasus adalah trafficking, namun dapat ditolak oleh jaksa<br />
untuk diproses lebih lanjut ke pengadilan. Meskipun proses<br />
pemberkasannya sudah bolak-balik antara kepolisian <strong>dan</strong> kejaksaan. Hal<br />
ini terjadi karena penentu proses pengadilan ada ditangan jaksa. Oleh<br />
karena itu bagi kepolisian kasus trafficking ini termasuk kasus berat.<br />
Sebagai contoh ketika ada serombongan orang Madura, termasuk<br />
beberapa anak, datang di Belakang Pa<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> polisi mencurigai dengan<br />
berbagai indikasinya sebagai trafficking <strong>dan</strong> melakukan penangkapan <strong>dan</strong><br />
penyitaan formnya dari pihak penjemput. Tetapi ternyata kasusnya ditolak<br />
oleh kejaksaan karena dianggap tidak termasuk trafficking. Alasannya<br />
213
kalau mereka mau dipekerjakan di luar negeri tentu sudah ada calling<br />
visanya (permintaannya), sementara ini tidak ada. Contoh lainnya, adalah<br />
kasus orang yang membawa korban ke Singapore melalui jalur legal yang<br />
kemuian terungkap <strong>dan</strong> ditangkap di Pelabuhan. Dalam kasus ini pun<br />
polisi mengalami kesulitan untuk meyakinkan jaksa bahwa kasus tersebut<br />
adalah trafficking, karena kejadiannya sebelum berangkat sudah<br />
ditangkap di pelabuhan. Menurut jaksa, dalam trafficking konotasi<br />
"membawa" menunjukkan bahwa dari proses perekrutan sampai<br />
pengiriman/pembawanya harus satu orang. Sementara hal tersebut sulit<br />
dipenuhi polisi karena jalurnya terputus di mana orang yang membujuk<br />
lain, yang membantu di pelabuhan lain, yang membawa lain, <strong>dan</strong> yang<br />
menerima juga lain. Tetapi setelah polisi bersikeras maka kasusnya<br />
diterima jaksa. Namun pada tingkat pengadilan kasusnya ternyata diputus<br />
bebas murni. Untungnya untuk kasus-kasus lainnya, meskipun modusnya<br />
sama, yakni terputus, mereka masih dikenakan hukuman meskipun<br />
ringan. Padahal bila dicermati dalam Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g 21, walaupun<br />
seseorang tidak mengerti maksud akhir dari tindakannya, tetapi yang<br />
membujuk pun kena hukuman. Bahkan dengan menggunakan un<strong>dan</strong>g<br />
un<strong>dan</strong>g tersebut sebenarnya keluarganya pun dapat dijerat hukuman<br />
karena sudah mengirim korban, meskipun mereka tidak mengetahui apa<br />
yang akan dikerjakan oleh si korban nantinya. Jadi yang menjadi<br />
persoalan adalah terjadinya perbedaan persepsi antara polisi <strong>dan</strong> jaksa<br />
dalam menterjemahkan kalimat, sehingga unsur-unsur yang sama<br />
dipersepsikan lain oleh kedua pihak. Meskipun demikian, selama ini<br />
hubungan Kepolisian dengan Kejaksaan cukup baik di mana polisi dapat<br />
setiap saat melakukan konsultasi ataupun koordinasi dengan jaksa<br />
(misalnya Aspidum) <strong>dan</strong> kejaksaan pun menyambut dengan baik.<br />
Biasanya dalam pemberkasan perkara (dalam hal ini trafficking)<br />
prosesnya berlangsung bolak-balik antara kepolisian <strong>dan</strong> kejaksaan.<br />
Dalam proses ini diakui oleh polisi bahwa memang ada bimbingan dari<br />
jaksa untuk membenahi pemberkasan suatu perkara, tapi biasanya<br />
koreksi atau arahan yang diberikan sedikit-sedikit sehingga harus bolak-<br />
214
alik <strong>dan</strong> beresiko menghabiskan waktu penahanan sehingga akhirnya<br />
polisi harus melepaskan tahanan. Oleh karena itu bila proses<br />
pemberkasannya sudah dua kali atau lebih bolak balik, biasanya pihak<br />
kepolisian langsung mendatangi kejaksaan untuk melakukan koordinasi.<br />
Langkah ini dilakukan kepolisian untuk melancarkan pemberkasannya,<br />
dengan pertimbangan bahwa ada perbedaan antara bahasa tulisan<br />
dengan bahasa lisan sehingga perlu dikonsultasikan agar jelas.<br />
Di pihak lain, dalam proses persi<strong>dan</strong>gan pun hakim memiliki<br />
pan<strong>dan</strong>gan tersendiri. Sebagai contoh, ada kasus trafficking yang<br />
pelakunya orang Singapore yang ditangani Polda kemuian disi<strong>dan</strong>gkan,<br />
namun ternyata di pengadilan tinggi trafficker tersebut divonis bebas<br />
murni. Kesalahannya terjadi dalam proses penangkapan trafficker terse but<br />
polisi tidak melaporkan penangkapan tersebut kepada konjen, padahal<br />
trafficker tersebut adalah orang asing. Yang disesalkan oleh kepolisian,<br />
memang polisi melakukan kesalahan prosedur karena terlambat melapor<br />
ke konjen, tetapi kenapa perbuatan melanggarnya hilang sehingga bebas<br />
murni. Padahal kalau sudah sampai pengadilan tinggi berarti P2Knya<br />
terbukti, tapi ternyata bisa bebas murni.<br />
Kendala lain, ketujuh, dari sisi tugas kepolisian adalah jarak yang<br />
cukup jauh. Artinya trafficker <strong>dan</strong> korbannya tertangkap di Batam tetapi<br />
daerah pengirimnya cukup jauh seperti misalnya dari NTB. Lokasi<br />
perekrutannya di NTB pun jauh di pedalaman sehingga karena faktor jarak<br />
penanganannya pun memakan waktu <strong>dan</strong> biaya yang tinggi.<br />
Konsekuensinya ketika petugas polisi dari Batam datang ke lokasi di NTB,<br />
mungkin pelakunya (perekruit pertama) sudah lari. Selain itu, setelah<br />
dilakukan proses pemeriksaan kepolisian biasanya korban diserahkan<br />
kepada Dinas Sosial untuk ditempatkan di penampungan. Dalam aturan<br />
yang berlaku di Dinas Sosial, mereka hanya ditampung 1 minggu <strong>dan</strong><br />
kemudian dipulangkan ke daerah asalnya. Sementara ka<strong>dan</strong>g kala polisi<br />
masih membutuhkan beberapa informasi tambahan dari mereka yang<br />
mungkin diperlukan untuk melengkapi berita acara pemeriksaan.<br />
Konsekuensinya, bila demikian, polisi harus pergi jauh ke tempat asal si<br />
215
korban untuk melengkapi berita acaranya. Kendala kedelapan, dalam<br />
sistem hukum di Indonesia dalam proses persi<strong>dan</strong>gan ka<strong>dan</strong>gkala hakim<br />
meminta agar korban dihadirkan di persi<strong>dan</strong>gan untuk bersaksi, padahal<br />
orangnya sudah jauh di NTB karena sudah dipulangkan. Akibatnya sulit<br />
untuk menghadirkan saksi korban di persi<strong>dan</strong>gan tersebut. Oleh karena itu<br />
harapan polisi bahwa dalam persi<strong>dan</strong>gan tersebut cukup dengan sumpah<br />
<strong>dan</strong> berita acara yang dibacakan oleh jaksa, sehingga tidak perlu<br />
menjemput <strong>dan</strong> mencari korban ke daerah asalnya yang memakan waktu,<br />
biaya, <strong>dan</strong> tenaga yang banyak.<br />
Kendala kesembilan adalah keterbatasan anggaran. Satu proses<br />
penyidikan bisa memakan waktu 2 bulan, sementara untuk penyidikan<br />
tersebut tidak ada alokasi uang makan untuk korban. Anggaran biaya<br />
yang disediakan hanya untuk penyelidikan <strong>dan</strong> penyidikan saja. Akibatnya<br />
ka<strong>dan</strong>gkala polisi juga harus mengeluarkan uang pribadi untuk memberi<br />
makan mereka yang tentunya kalau korbannya banyak lumayan besar<br />
jumlahnya. Selama ini untuk mengatasinya polisi bekerjasama dengan<br />
Dinas Sosial untuk penempatan sementara <strong>dan</strong> pemulangan korban.<br />
lmplikasi dari proses pemberkasan yang relatif sulit maka polisi<br />
hanya mau memproses masalah trafficking bila sangat yakin akan<br />
kebenaran kasus <strong>dan</strong> segala pendukungnya, karena bila tidak maka akan<br />
menghabiskan waktu, tenaga <strong>dan</strong> biaya. Padahal kalaupun dihukum<br />
biasanya paling lama divonis 3 tahun yang kemudian setelah menjalani<br />
2/3 masa hukumannya bisa bebas kembali. Namun selama ini untuk<br />
kasus penjualan bayi hukuman yang dijatuhkan sudah cukup berat yakni<br />
sampai 7 tahun penjara.<br />
216<br />
Bila dilihat dari perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gannya, dengan a<strong>dan</strong>ya Un<strong>dan</strong>g<br />
Un<strong>dan</strong>g Nomor 21 Tahun 2007 sebenarnya sudah memadai. Terutama<br />
bila tiga pilar penegak hukum yakni polisi, jaksa, <strong>dan</strong> hakim satu suara.<br />
Persoalannya masih terjadi perbedaan persepsi di mana ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g<br />
polisi, jaksa, <strong>dan</strong> hakim memiliki persepsi sendiri-sendiri. Dengan<br />
demikian dalam implementasinya belum seperti yang diharapkan.
lmplikasinya, diperlukan penyamaan persepsi di antara polisi <strong>dan</strong> jaksa<br />
<strong>dan</strong> hakim tentang trafficking. Kalau persepsinya masih berbeda-beda<br />
ditenggarai akan semakin banyak yang menjadi korban trafficking.<br />
217<br />
Yang diharapkan untuk mengatasi hal ini adalah dibuatnya MoU<br />
antara kepolisian, kejaksaan <strong>dan</strong> kehakiman untuk menyamakan persepsi<br />
<strong>dan</strong> sistem pembuktian tentang trafficking. Dengan demikian bila polisi<br />
sudah mengatakan bahwa kasus yang bersangkutan sebagai trafficking<br />
maka dapat diproses hukum lebih lanjut di pengadilan tanpa harus<br />
membuat berbagai penjabaran <strong>dan</strong> mencari berbagai bukti tambahan<br />
yang terlalu menyulitkan baik di tingkat kepolisian, maupun kejaksaan.<br />
Yang diinginkan pihak kepolisian adalah seperti dalam kasus narkoba<br />
yang sudah memiliki pemahaman bersama <strong>dan</strong> vonis hukuman yang<br />
be rat.<br />
Berdasarkan catatan Poltabes Batam, kasus pemulangan korban<br />
paling banyak berasal dari PJTKI. Yang bersangkutan menjadi korban di<br />
PJTKI karena ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g korban ditampung berbulan-bulan tidak<br />
diberangkatkan, atau ia disekap tidak boleh ke luar, atau PJTKI<br />
melakukan kekerasan <strong>dan</strong> sebagainya. Untuk menanggulangi masalah ini<br />
polisi sering melakukan penggerebegan terhadap penampungan<br />
penampungan tenaga kerja yang tidak memiliki ijin yang banyak<br />
beroperasi di Batam. Mereka menampung tenaga kerja di bawah umur<br />
(bukan PJTKI). Dalam melakukan penangkapan polisi menggunakan<br />
Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g nomor 39 Tahun 2004 tentang Tenaga Kerja.<br />
Dalam upaya pemberantasan trafficking ini kepolisian juga<br />
menangani pelaku preman (bodyguard) yang menjaga para korban agar<br />
tidak kabur. Namun hal ini bisa dilakukan lebih efektif bila si korban<br />
melakukan pengaduan kepada polisi <strong>dan</strong> memiliki niat yang kuat untuk<br />
membantu membongkar jaringan trafficker.<br />
Selain itu Polisi ka<strong>dan</strong>g juga menangani TKI yang dipulangkan dari<br />
Malaysia. Umumnya mereka melarikan diri karena alasan gajinya ditahan<br />
oleh majikan, tidak boleh shalat, anak majikannya berlaku tidak senonoh,
majikannya nakal, jam istirahatnya kurang, disuruh makan daging babi,<br />
<strong>dan</strong> sebagainya. Dalam memulangkan mereka ke daerah asal, polisi<br />
memberikan jatah pemulangan para korban trafficking dengan kapal,<br />
dalam arti tidak harus dengan pesawat. Bila korban trafficking yang harus<br />
dipulangkan relatif banyak maka polisi bekerjasama dengan Dinas Sosial,<br />
Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan, <strong>dan</strong> Yayasan Setara Kita. Selama ini<br />
kerjasama dengan mereka sudah sangat baik artinya tidak harus bersifat<br />
formal, cukup dengan melakukan hubungan telepon. Namun dengan<br />
Dinsos selain diawali dengan komunikasi melalui telepon juga masih<br />
diperlukan tindak lanjut melalui surat karena mereka perlu membuat<br />
pertanggungjawaban administratif kepada Pemprov.<br />
218<br />
Menurut responden dari kepolisian dalam menangani masalah<br />
trafficking ini Polda bekerja sama dengan Dinas Sosial, lmigrasi,<br />
Pemberdayaan Perempuan. Namun untuk melakukan pencegahan<br />
terjadinya trafficking yang lebih effektif harusnya ada kerja sama mulai<br />
dari, RT, RW, kelurahan, LSM tokoh masyarakat, polisi, <strong>dan</strong> instansi<br />
terkait, karena polisi tidak mungkin dapat mengcover semua<br />
permasalahan yang menyangkut trafficking tersebut. Selain itu,<br />
sebagaimana diungkapkan oleh responden dari Dinas Sosial, mungkin<br />
perlu juga diterapkan pemberian sangsi kepada si korban. Selama ini<br />
penanganan TKI korban trafficking selalu menggunakan pendekatan<br />
kemanusiaan, karena tidak mungkin mereka dihukum juga. Sejauh ini<br />
belum ada pemikiran ke sana karena selama ini TKI tersebut dianggap<br />
pahlawan devisa. Mereka mungkin ditangkap <strong>dan</strong> dipenjara ketika di<br />
Malaysia, tetapi ketika pulang ke Indonesia mereka tidak mendapat sangsi<br />
apa-apa. Barangkali mereka hanya mendapat sangsi moral atau sosial<br />
karena dia menjadi TKI bermasalah yang masuk ke penampungan, tetapi<br />
tidak ada sangsi hukumnya. Mungkin juga hal demikian menjadi<br />
kelemahan dalam penanganan trafficking tersebut.
8.2.2. Penanganan Trafficking di Kejaksaan<br />
219<br />
Dalam sebulan rata-rata kejaksaan di kota Batam menangani 2<br />
atau 3 kasus trafficking, <strong>dan</strong> dapat dikatakan bahwa penanganannya 100<br />
% berhasil. Korbannya rata-rata berasal dari luar Batam yang diiming<br />
imingi bekerja di restoran dengan penghasilan di atas yang diperoleh di<br />
tempat asalnya. Namun kenyataannya dipekerjakan di tempat pemijatan,<br />
prostitusi, <strong>dan</strong> sejenisnya.<br />
Bagi kejaksaan pembuktian trafficking dalam persi<strong>dan</strong>gan tidak ada<br />
masalah sepanjang ada alat buktinya. Kendalanya, pertama, yang<br />
dihadapi di Batam adalah bila ketika disidik oleh penyidik kepolisian<br />
ternyata pelaku traffickemya adalah orang asing, dalam hal ini orang<br />
Singapore atau Malaysia. Hal ini menjadi kendala karena dalam<br />
penanganan kasusnya harus ada koordinasi yang baik, mengingat tidak<br />
ada perjanjian ekstradisi dengan Singapore. Karena tidak ada perjanjian<br />
ekstradisi, implikasinya ketika tersangka tersebut diputus bebas <strong>dan</strong> jaksa<br />
melakukan upaya hukum lainnya seperti banding atau kasasi, maka jaksa<br />
tidak bisa mengahadirkan lagi di persi<strong>dan</strong>gan bila tersangka sudah<br />
kembali kenegaranya. Kendala kedua adalah ketika dalam si<strong>dan</strong>g<br />
pengadilan, hakim sering meminta agar saksi korban dihadirkan dalam<br />
persi<strong>dan</strong>gan, padahal yang bersangkutan sudah tidak ada karena sudah<br />
pulang ke daerah asalnya. Hal ini terjadi karena seorang saksi (korban)<br />
memang statusnya bebas, tidak ditahan, sehingga oleh instansi yang<br />
berwenang ia dipulangkan ke kampungnya. Ketiga, modus operandinya<br />
sering dijanjikan untuk bekerja di luar negeri, misalnya di restoran.<br />
Kendalanya, ketika tertangkap di pelabuhan, keberangkatan korban sering<br />
tidak dilengkapi surat-surat sehingga tidak ada arsip dokumennya. Dan<br />
bila sudah dipulangkan ke daerah asalnya maka sulit untuk<br />
menghadirkannya di persi<strong>dan</strong>gan.<br />
Untuk mengatasi kendala di atas, perlu ada satu mekanisme yang<br />
lebih konkrit lagi di dalam upaya hukum bagi penanganan perkara, tidak<br />
hanya trafficking. Sebagai contoh ketika terjadi perkara telah diputus oleh
Pengadilan Negeri kemudian ada upaya banding ke Pengadilan Tinggi.<br />
Apabila terdakwanya ditahan maka tidak ada problem. Tetapi ketika ada<br />
putusan bebas dari PT, kemudian kejaksaan mengajukan kasasi yang<br />
berarti mempersilahkan MA mengambil alih perkara, maka hal tersebut<br />
menjadi problem. Dalam proses kasasi berarti hakim agung memiliki<br />
kewenangan untuk menentukan apakah seorang terdakwa ditahan atau<br />
tidak. Kalau keputusan di PT adalah bebas maka keputusan tersebut<br />
harus dilaksanakan dulu karena bila tidak maka akan melanggar HAM.<br />
Konsekuensinya, bila turunnya penetapan dari MA memakan waktu lama<br />
maka terdakwa memiliki hak <strong>dan</strong> kesempatan untuk kembali ke<br />
negaranya. Dengan demikian jaksa tidak bisa menghadirkan lagi atau<br />
kesulitan mencari terdakwa yang bersangkutan karena dia tidak ditahan.<br />
220<br />
Berdasarkan ilustrasi di atas, implikasinya perlu pula ada<br />
penegasan bahwa dalam proses penanganan upaya hukum perlu ada<br />
suatu ketentuan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yang menjelaskan bahwa hakim yang<br />
menangani perkara dalam 1 atau 2 hari langsung mengeluarkan<br />
penetapan apakah yang bersangkutan ditahan atau tidak, sehingga tidak<br />
berlarut-larut memutuskannya. Sehingga kalau tidak ditahan maka<br />
kejaksaan tidak repot mencarinya.<br />
8.2.3. Penanganan Trafficking Dalam Konteks Imigrasi<br />
Fungsi imigrasi dalam upaya pemberantasan trafficking<br />
diimplementasikan melalui proses seleksi ketika pihak imigrasi akan<br />
memberikan pasport. Seleksi tersebut dilakukan melalui dua cara yakni,<br />
pertama, dengan memberlakukan sejumlah persyaratan, <strong>dan</strong> kedua<br />
melalui wawancara. Jadi seseorang akan diterbitkan pasportnya bila dapat<br />
melalui/memenuhi kedua proses seleksi tersebut. Dalam proses<br />
wawancara, pihak imigrasi akan menanyakan tentang tujuan yang<br />
bersangkutan pergi ke luar negeri. Jadi bila tidak memenuhi<br />
persyaratannya maka kepada yang bersangkutan tidak akan diberikan<br />
paspor. Atau kalau dalam wawancara tersebut ditenggarai bahwa orang<br />
yang bersangkutan akan diperjualbelikan maka pasportnya tidak akan
diterbitkan. Realitanya memang ada juga kasus semacam itu di mana<br />
mereka dicurigai atau ketahuan terkait dengan trafficking ketika dalam<br />
proses seleksi, sehingga pihak imigrasi mempending untuk tidak<br />
memberangkatkan. Untuk proses lebih lanjutnya lmigrasi kemudian<br />
bekerjasama dengan aparat kepolisian.<br />
221<br />
Kendala yang dihadapi pihak imigrasi dalam memberantas<br />
trafficking, pertama, adalah sulit untuk mengetahui apakah orang yang<br />
akan pergi ke luar negeri tersebut untuk tujuan bekerja atau tidak. Untuk<br />
mendeteksi trafficking guna melakukan pencegahan, tidak mungkin bagi<br />
petugas imigrasi menanyakan langsung apakah yang bersangkutan akan<br />
bekerja sebagai PSK atau tidak di negara tujuan. Padahal petugas<br />
imigrasi juga kesulitan untuk mengetahui seseorang sebagai PSK atau<br />
bukan. Sementara bila ada kejadian/kasus maka lmigrasi turut disalahkan<br />
karena dianggap memberangkatkan. Kedua, ketika diwawancarai oleh<br />
pihak imigrasi, para trafficker ataupun eaton korban trafficking selalu<br />
memiliki alasan, seperti untuk jalan-jalan atau mengunjungi ternan atau<br />
sanak saudaranya di sana, dengan menunjukkan segala kelengkapan<br />
dokumennya termasuk tiket, sehingga tidak mungkin pihak lmigrasi<br />
melarang kepergiannya. Ketiga, Mereka yang bepergian melalui Batam<br />
tidak seluruhnya pemegang pasport Batam tetapi ada juga yang dari<br />
Surabaya, Mataram, Kupang, <strong>dan</strong> sebagainya. lmigrasi Batam hanya<br />
menerbitkan pasport untuk TKI per bulannya tidak lebih dari 50 pasport.<br />
Sebenarnya tidak ada masalah di mana pun pasport itu dikeluarkan,<br />
karena ketika wawancara pada saat pembuatan pasport ada standard<br />
baku yang harus dilakukan oleh pihak lmigrasi di mana pun di seluruh<br />
Indonesia. Dalam pengarahannya di seluruh kantor lmigrasi dikatakan<br />
bahwa wawancara itu merupakan ujung tombak keimigrasian. Ada 2 hal<br />
yang dijadikan stressing dalam wawancara, pertama, jangan sampai<br />
pemohon tersebut warga negara asing, karena dia tidak berhak punya<br />
pasport Indonesia. Kedua, wawancara terhadap pemohon yang membawa<br />
anak harus lebih didalami karena bisa saja terjadi jual beli anak. Oleh<br />
karena itu di mana pun proses pembuatan pasport itu dilakukan maka
hasilnya akan sama dengan di Batam. Namun demikian lmigrasi Batam<br />
tentunya akan sulit untuk menahan mereka apabila sudah mempunyai<br />
pasport karena akan harus beradu argumentasi dulu, mengingat yang<br />
bersangkutan sudah memiliki pasport, tiket, <strong>dan</strong> alamat yang dituju. Tapi<br />
bagaimanapun bila yang bersangkutan betul-betul mencurigakan maka<br />
pihak lmigrasi Batam akan menahan keberangkatannya. Konsekuensinya,<br />
tidak jarang pihak lmigrasi mendapat dampratan dari orang yang dicurigai<br />
karena merasa diperlakukan diskriminatif. Kalau pihak lmigrasi misalnya<br />
menenggarai bahwa ada satu orang yang akan diperdagangkan, maka<br />
tekanan-tekanan dari luar yang diterima oleh pihak imigrasi sangat luar<br />
biasa, seperti besoknya muncul surat pembaca di koran yang menyatakan<br />
bahwa imigrasi mempersulit warga negara yang akan berangkat l
Kendala keempat, sejauh ini jarang sekali (mungkin tidak pernah)<br />
polisi memberikan informasi mengenai trafficker atau meminta imigrasi<br />
untuk mewaspadai agar seorang trafficker yang melalui TPI tidak<br />
melakukan kembali kegiatan usaha traffickingnya. Selama ini imigrasi<br />
hanya dimintai data tentang orang asing yang diduga melakukan<br />
trafficking. Namun berdasarkan data yang diminta polisi tersebut,<br />
biasanya lmigrasi berinisiatif untuk menangkal orang yang bersangkutan<br />
supaya tidak masuk ke Indonesia. Masalahnya penangkalan tersebut<br />
tentunya tidak bisa dilakukan seumur hidup, hanya untuk jangka waktu<br />
tertentu saja, kecuali dia pedagang narkoba yang memang tidak boleh<br />
masuk lagi ke Indonesia seumur hidup. lmplikasinya, polisi ada baiknya<br />
memberikan surat berisikan informasi mengenai, misalnya, PJTKI yang<br />
nakal atau seseorang adalah trafficker kepada pihak lmigrasi, sehingga<br />
pihak lmigrasi bisa melakukan tindakan pencegahan. lnformasi seperti itu<br />
mungkin perlu untuk masukan bagi pihak lmigrasi, karena untuk<br />
melakukan tindakan pencegahan pihak lmigrasi membutuhkan data-data<br />
yang akurat tentang tindakan kriminalitas yang telah dilakukan oleh yang<br />
bersangkutan. Terlebih lagi karena masyarakat pada masa sekarang<br />
sudah sadar akan hak-hak hukumnya sehingga pihak limigrasi tidak bisa<br />
melakukan tindakan sewenang-wenang. Oleh karena itu harus<br />
berdasarkan pada aturan, kalaupun menuduh maka harus ada buktinya.<br />
223<br />
Dengan berbagai kendala seperti di atas, pihak lmigrasi mengakui<br />
bahwa relatif sulit untuk melakukan pencegahan trafficking tersebut,<br />
sehingga dapat dikatakan jarang sekali a<strong>dan</strong>ya tindakan sebelum kejadian<br />
atau bersifat pencegahan. Masalah trafficking umumnya baru bisa<br />
diungkap <strong>dan</strong> ditangani bila peristiwanya sudah terjadi, <strong>dan</strong> ketika sudah<br />
terjadi kasus maka domainnya merupakan domain Kepolisian. Jadi pihak<br />
lmigrasi tidak mengetahui bila di antara orang yang berangkat ke luar<br />
negeri tersebut ada caJon korban yang akan diperdagangkan. Namun<br />
demikian pihak lmigrasi menyatakan akan berupaya terus untuk<br />
mengurangi trafficking dengan cara membatalkan keberangkatan orang<br />
orang yang diduga mempunyai tujuan yang tidak jelas. Contoh kasus,
sekarang ini lmigrasi Batam se<strong>dan</strong>g menangani kasus di mana ada anak<br />
gadis muda umur 22 tahun, orangnya bersih yang bekerja sebagai<br />
penjaga toko di Singapore. Kemudian dia kawin dengan orang Singapore.<br />
dia ditenggarai sebagai korban trafficking mengingat sekarang ini<br />
trafficking yang dilakukan banyak modusnya. Misalnya orang pacaran lalu<br />
dijual oleh pacarnya, ada juga kasus di mana orang tua menjual anaknya.<br />
Oleh karena itu pihak lmigrasi menduga bahwa anak gadis tersebut<br />
menjadi korban trafficking seperti itu. Kronologi ceritanya, gadis Indonesia<br />
tersebut menjaga toko di Singapore, kemudian laki-laki orang Singapore<br />
tersebut sering mendrop barang di toko itu <strong>dan</strong> selalu diterima oleh gadis<br />
tersebut. Oleh karena itu terjadi hubungan asmara di antara mereka <strong>dan</strong><br />
akhirnya mereka menikah. Mereka menikah di Bandung <strong>dan</strong> disetujui<br />
orang tuanya. Untuk mempermudah perkawinan tersebut, laki-laki<br />
tersebut dibuatkan KTP di Bandung sehingga seolah-olah sebagai WNI.<br />
Mereka pun memiliki buku nikah yang diterbitkan Desember 2008.<br />
Sekarang wanita tersebut sudah tidak bekerja lagi <strong>dan</strong> suaminya pun<br />
sementara ini juga tinggal di Bandung. Pihak lmigrasi mencurigainya<br />
karena gadis tersebut baru berumur 22 tahun, bersih <strong>dan</strong> cantik,<br />
sementara laki-lakinya orang melayu Singapore, duda, <strong>dan</strong> sudah<br />
berumur 50 tahun. Pihak lmigrasi kuatir perempuan tersebut dijual di sana<br />
sehingga menjadi korban. Dugaan ini muncul karena laki-laki tersebut<br />
tidak memiliki pekerjaan sementara perempuannya lumayan menarik<br />
untuk diperdagangkan. Dalam konteks ini pihak imigrasi berupaya untuk<br />
mengungkapkan apakah ini merupakan Modus trafficking atau bukan.<br />
Pihak imigrasi hanya mengantisipasi agar tidak terjadi human trafficking.<br />
Setelah melangsungkan pernikahan laki-laki tersebut kemudian mau<br />
kembali ke Singapore <strong>dan</strong> ketika diwawancarai oleh petugas lmigrasi<br />
sepintas kelihatan di dompetnya bahwa dia memiliki KTP, padahal jelas<br />
paspornya dari negara Singapore. Oleh karena itu dia ditahan tidak boleh<br />
berangkat oleh pihak lmigrasi. Selanjutnya pihak lmigrasi memanggil<br />
wanitanya <strong>dan</strong> diwawancarai untuk mengetahui latar belakangnya kenapa<br />
dia mau menikah. Dia mengemukakan alasannya bahwa dia merasa<br />
224
kasihan terhadap duda tersebut. Setelah diwawancarai, akhirnya laki-laki<br />
tersebut diijinkan pulang ke Singapore tapi KTPnya ditahan oleh pihak<br />
imigrasi <strong>dan</strong> dimasukan dalam daftar cekal lokal, sehingga ketika masuk<br />
kembali dia harus melapor lagi ke imigrasi. Namun perempuan itu pun<br />
akhirnya mau menyusul pergi ke Singapore, tetapi tidak diijinkan oleh<br />
pihak lmigrasi dengan cara menahan pasportnya (terbitan Bandung).<br />
Selanjutnya, pihak lmigrasi memanggil orang tuanya agar datang ke<br />
Batam. Hal ini dilakukan untuk memastikan kebenaran ceritanya supaya<br />
pihak lmigrasi tidak disalahkan meloloskan orang. Diperkirakan sore itu<br />
(hari ketika kami melakukan wawancara) orang tuanya datang ke Batam.<br />
Pihak lmigrasi akan rnewawancarai orang tuanya <strong>dan</strong> mengingatkan<br />
berbagai resiko yang mungkin timbul. Namun bila orang tuanya<br />
meyakinkan <strong>dan</strong> menyetujui semua yang dilakukan anaknya, maka pihak<br />
lmigrasi pun akan mengijinkan perempuan tersebut untuk berangkat.<br />
Memang kondisinya sulit karena ada rasa kemanusiaan ataupun rasa iba<br />
bila harus menahan seseorang. Selain itu juga ada masalah HAM yang<br />
harus diperhatikan, sehingga mungkin saja lmigrasi kecolongan<br />
meloloskan orang yang seharusnya dicegah.<br />
225<br />
Mengenai Tempat Pemeriksaan lmigrasi (TPI), di Batam terdapat 5<br />
TPI untuk melintas. Untuk mengantisipasi trafficking, pada saat<br />
pemberangkatan di TPI pihak lmigrasi selalu berkoordinasi dengan<br />
Kepolisian. Pimpinan lmigrasi di Batam juga sudah menginstruksikan<br />
kepada jajarannya bahwa bila ada anak di bawah umur pergi ke luar<br />
negeri tanpa didampingi orang tua atau saudaranya, maka tidak boleh<br />
diberangkatkan. Atau kalaupun tidak ditahan keberangkatannya maka<br />
petugas lmigrasi akan mencoba mengontak orang tua ataupun<br />
saudaranya <strong>dan</strong> akan mengajukan beberapa pertanyaan standard yang<br />
biasa dilakukan lmigrasi.<br />
Selama ini tidak sedikit terjadi mereka yang di TPI Indonesia bisa<br />
lewat tapi kemudian ditolak masuk oleh imigrasi Singapore <strong>dan</strong> Malaysia.<br />
Hal ini terjadi karena di sana mereka biasanya ditanya tentang uang<br />
tunjuk, <strong>dan</strong> kalau tidak memiliki uang tunjuk atau dia tidak dijemput oleh
keluarga yang disebutkannya maka akan dikembalikan ke Indonesia.<br />
Yang dimaksud uang tunjuk adalah semacam living cost yang<br />
diberlakukan di Singapore atau Malaysia. Jadi misalnya ketika seseorang<br />
melakukan perjalanan ke sana maka akan ditanya akan tinggal berapa<br />
hari, tinggal dimana, <strong>dan</strong> sebagainya, sehingga mereka bisa menaksir<br />
berapa jumlah uang yang pantas dimiliki oleh orang tersebut. Besarnya<br />
uang tunjuk tersebut tidak ada standarnya, tergantung petugas imigrasi<br />
yang bersangkutan karena dia memiliki kewenangan untuk menolak atau<br />
memasukan orang. Maka ketika uang yang dibawanya di bawah jumlah<br />
yang ditaksir petugas imigrasi, mereka akan ditolak masuk ke negara<br />
tersebut. Atau kaiau bilang ada alamat yang dituju, maka akan dicek<br />
alamat yang disebutkan tersebut yang membuktikan a<strong>dan</strong>ya sponsor di<br />
sana.<br />
226<br />
Menurut responden dari Kantor lmigrasi Batam, khusus untuk<br />
negara Singapore, memang tidak mudah bagi orang Indonesia untuk<br />
masuk ke sana karena imigrasi Singapore, tampaknya,<br />
mengimplementasikan perlakuan yang berbau SARA kepada orang<br />
Indonesia. Penjelasannya, petugas lmigrasi Singapore terdiri dari tiga<br />
etnis yaitu Gina, India, <strong>dan</strong> Melayu. Bila yang bertugas di pemeriksaan<br />
imigrasi Singapore tersebut orang-orang cina maka biasanya orang-orang<br />
Indonesia yang etnis Melayu agak sulit untuk masuk ke Singapore dengan<br />
berbagai alasan seperti uang tunjuk <strong>dan</strong> sebagainya. Sementara bila yang<br />
bertugas di sana orang-orang etnis melayu maka orang Indonesia mudah<br />
untuk masuk ke sana. Biasanya pada saat week end, yang ditugaskan di<br />
imigrasi Singapore adalah orang-orang etnis cina sehingga orang<br />
Indonesia lebih sulit untuk masuk.<br />
Selain a<strong>dan</strong>ya perlakuan berbau SARA seperti di atas, orang<br />
Indonesia juga tidak mudah masuk ke Singapore karena ada 4 kategori<br />
orang yang diprioritaskan atau dimudahkan masuk ke Singapore yaitu,<br />
pertama, bila ada mahasiswa Indonesia yang pandai atau punya<br />
kemampuan khusus <strong>dan</strong> masuk ke Singapore maka statusnya akan di<br />
upgrade dengan diberi status PR (Permanent Resident) atau ijin tinggal
permanen yang diberikan tanpa persyaratan. Mereka mengetahui potensi<br />
mahasiswa yang bersangkutan dengan melihat track record ketika dia<br />
mendaftar di perguruan tinggi di sana. Bahkan kepada mereka diberikan<br />
bantuan berupa penurunan jumlah SPPnya. Yang kedua yang mendapat<br />
perlakuan khusus <strong>dan</strong> akan diberikan PR adalah enterpreuneur yang<br />
mampu, misalnya, menarik atau meningkatkan arus masuk wisata. Yang<br />
ketiga adalah orang kaya. Bila seseorang memiliki uang 2 juta dollar<br />
Singapore saja maka dia akan diberi status PR. Bonafiditas mereka dapat<br />
dideteksi melalui record di perbankan. Yang keempat adalah sebagai<br />
tenaga ahli. Jadi bila seseorang memiliki keahlian khusus tertentu<br />
(misalnya atom) maka akan diberikan PR tanpa harus memiliki working<br />
permit. Jadi dengan 4 kriteria yang diimplementasikan di sana maka TKI<br />
sulit untuk masuk ke Singapore.<br />
227<br />
Selama ini pihak lmigrasi Batam setiap bulannya selalu menerima<br />
korban trafficking (TKI) yang dikirim dari KBRI di Johor. Dalam kaitan ini<br />
kasusnya memang ditangani oleh Dinas Sosial, <strong>dan</strong> merekalah yang<br />
menjemput para korban tersebut, sementara pihak imigrasi hanya<br />
membantu proses percepatan pemulangan tersebut.<br />
Dalam mengatasi masalah trafficking, menurut responden, sejauh<br />
ini belum ada kerjasama keimigrasian antara Indonesia dengan Malaysia<br />
<strong>dan</strong> Singapore. Masalahnya bagi Malaysia <strong>dan</strong> Singapore bila itu<br />
menguntungkan bagi mereka maka trafficking tersebut tidak menjadi<br />
masalah. Selama ini kerjasama yang ada dilakukan melalui Malinda<br />
(Malaysia-Indonesia) khususnya yang menyangkut masalah pertahanan<br />
yang ditangani oleh Menko Polkam. Di samping itu juga ada Border<br />
Commitee antara Malaysia - Indonesia <strong>dan</strong> Indonesia - Singapore; yang<br />
menyangkut masalah perbatasan <strong>dan</strong> ditangani oleh Depdagri. Namun<br />
demikian dalam kegiatannya baik Malinda maupun Border Commitee,<br />
antara lain, juga membicarakan masalah trafficking. Mungkin juga<br />
masalah ini dibicarakan dalam kerjasama kepolisian.
Dalam konteks keimigrasian kerjasama antara Indonesia dengan<br />
Singapore bersifat bilateral dalam hal inteligen, kelancaran perlintasan<br />
atau frequent traveller, masalah visa, keimigrasian, <strong>dan</strong> masalah<br />
pembangunan kapasitas manusia. Misalnya, untuk frequent traveler,<br />
seperti kepala imigrasi Batam, bila ke Singapore tidak perlu melalui<br />
counter pemeriksaan imigrasi tetapi melalui pintu khusus semacam tol<br />
gate. Dan ke depan kebijakan ini akan diberlakukan untuk pejabat-pejabat<br />
<strong>dan</strong> pengusaha Kepulauan Riau. Ke depannya lagi mungkin akan<br />
diberlakukan untuk beberapa pihak dalam skala nasional. Untuk<br />
pembangunan kapasitas manusianya ka<strong>dan</strong>g kala pihak lmigrasi<br />
Indonesia mengirimkan anggotanya ke sana untuk mengikuti pelatihan<br />
pelatihan, seperti pengenalan dokumen palsu, intelegen, pertukaran<br />
informasi <strong>dan</strong> sebagainya.<br />
Dalam rangka mengatasi masalah perdagangan manusia sudah<br />
ada satuan kerja yang merupakan kerjasama di tingkat pusat, juga<br />
termasuk LIPI karena termasuk orang asing yang melakukan penelitian. Di<br />
tingkat daerah pun (Batam) sudah ada kerjasama yakni yang disebut<br />
SIPORA yaitu Koordinasi Pengawasan Orang Asing yang terdiri dari<br />
semua instansi teknis yang berkaitan dengan pengawasan orang asing<br />
seperti Polisi, Jaksa, lmigrasi, Bea Cukai, Departemen Dalam Negeri<br />
(Depdagri), Angkatan Laut, Ba<strong>dan</strong> lnteligen Negara (BIN), Ba<strong>dan</strong> lnteligen<br />
Strategis (BAIS), sampai departemen teknis lainnya. Sipora ini leading<br />
sectornya lmigrasi <strong>dan</strong> tiga bulan sekali melakukan rapat koordinasi.<br />
Dalam kegiatannya Sipora ini membicarakan juga masalah trafficking.<br />
Selain itu ada juga kerjasama yang di bawah Pemda Kota Batam yang<br />
disebut Kominda.<br />
Paparan di atas mengindikasikan bahwa untuk mengatasi masalah<br />
trafficking harus dibangun kerjasama yang merupakan kesatuan yang<br />
terdiri dari Kepolisian, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), <strong>dan</strong> BPN2TKI<br />
(Ba<strong>dan</strong> Nasional Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja). Mereka<br />
diharapkan berada di depan lmigrasi sehingga pihak lmigrasi betul-betul<br />
hanya memberangkatkan orang-orang yang sudah bersih. Di Pempat<br />
228
Pemeriksaaan lmigrasi (TPI) tersebut memang merupakan domain<br />
lmigrasi, hanya sebenarnya tidak ada salahnya bila untuk mencegah<br />
trafficking tersebut dilakukan pemeriksaan khusus. Selama ini sebetulnya<br />
sudah ada mereka di pelabuhan tetapi implementasinya masih belum<br />
efektif karena SDMnya belum profesional. Ka<strong>dan</strong>g pihak lmigrasi hanya<br />
diminta mereka untuk membantu segera memberangkatkan orang<br />
dengan alasan surat-suratnya sudah beres, sementara pihak lmigrasi<br />
tidak memahami betul apa yang dimaksud dengan 'beres' di sini. Selama<br />
ini instansi yang berkompeten pun sering duduk bersama seperti melalui<br />
forum pengawasan orang asing, ka<strong>dan</strong>g Disnaker mengun<strong>dan</strong>g lmigrasi,<br />
atau BPN2TKI mengun<strong>dan</strong>g imigrasi, atau pihak imigrasi yang<br />
mengun<strong>dan</strong>g mereka. Namun dalam tahap implementasinya masih belum<br />
berjalan sebagaimana diharapkan. Yang menjadi kendala adalah tidak<br />
a<strong>dan</strong>ya komitmen <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya kepentingan yang turut bermain. Dalam<br />
kerjasama ini pun belum ada semacam MoU.<br />
229<br />
lmplikasinya, untuk efektivitas kerja dalam upaya mengeliminasi<br />
human trafficking lmigrasi perlu didukung oleh instansi terkait lainnya,<br />
karena instansi lmigrasi bukan merupakan instansi yang full power.<br />
lmigrasi memiliki full power hanya di TPI yang dapat menentukan orang<br />
boleh masuk atau ke luar Indonesia. Hal ini penting karena, seperti<br />
dikatakan oleh responden dari P4TKI (Pos Pelayanan Penempatan <strong>dan</strong><br />
Perlindungan Tenaga Kerja), banyak terjadi pemberangkatan TKI ilegal<br />
melalui pelabuhan resmi. Bahkan jumlahnya bisa lebih banyak dari TKI<br />
formal yang sama-sama diberangkatkan. Permasalahan ini sudah<br />
berlangsung bertahun-tahun <strong>dan</strong> sulit untuk diselesaikan. Secara<br />
peraturan perun<strong>dan</strong>gan di atas kertas penanganan trafficking sudah<br />
bagus, masalahnya dalam implementasinya sering tidak sinkron karena<br />
a<strong>dan</strong>ya ego sektoral. Sehingga penyelesaiannya bersifat parsial. Untuk<br />
menyelesaikan hal ini harus ada penyamaan persepsi dari seluruh<br />
departemen terkait, karena mereka memiliki aturan sendiri-sendiri. Jadi<br />
perlu dibangun kerjasama antar departemen ataupun kementerian<br />
<strong>dan</strong>mereka harus duduk satu meja untuk mencari solusinya.
Menurut Pelayanan Penempatan<strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja<br />
Indonesia (P4TKI), pengiriman TKI pada tahun 2009 cenderung<br />
mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini bukan<br />
disebabkan oleh pernyataan BNP2TKI yang mengatakan sementara ini<br />
jangan dulu mengirim TKI ke luar, karena penurunan tersebut sudah<br />
terasa sebelum a<strong>dan</strong>ya statement tersebut. Hal ini diduga terjadi karena<br />
semakin banyaknya daerah yang membuka jalur penerbangan langsung<br />
ke daerah tujuan. Kalau dulu penerbangan ke Singapore tidak ada dari<br />
daerah lain, selain melalui Batam, sekarang ini sudah mulai banyak<br />
seperti dari Jakarta, Semarang. Memang secara ekonomi pengiriman<br />
melalui Batam sedikit lebih murah, tapi karena perbedaannya hanya<br />
sedikit maka lebih baik diberangkatkan langsung dari daerah asal ke<br />
daerah tujuan.<br />
I<br />
Gambar 10.<br />
Peneliti di<br />
Penyeberang<br />
an Ferry<br />
II Salah seorang peneliti se<strong>dan</strong>g<br />
melakukan wawancara dengan<br />
petugas lmigrasi di Tempat<br />
----------.... --..--. J Penyebrangan Resmi Batam<br />
230<br />
Dalam konteks pencegahan trafficking, sebagaimana diungkapkan<br />
responden dari P4TKI, yang menjadi kunci utama adalah di pelabuhan.<br />
Dikatakan demikian karena pelabuhan tikus di Tanjung Pinang rata-rata<br />
per bulan bisa memberangkatkan sampai 3000 orang. Mereka<br />
diberangkatkan dengan kapal yang kurang lebih menampung sekitar 150<br />
orang per kapal per kali pemberangkatan. Jadi, seperti juga dikatakan<br />
responden dari DPRD, persoalan trafficking ini kuncinya adalah<br />
kesungguhan dalam penegakan hukum, jangan ada kongkalingkong,<br />
jangan ada suap, <strong>dan</strong> sebagainya. Karena bagaimanapun Perda dibuat<br />
dengan philosofi meminimalisir praktek prostitusi <strong>dan</strong> trafficking, namun di
lapangan selalu ada celah-celah untuk mengakali. Sekarang ini misalnya<br />
ada TKI yang ke luar dari Batam ke Malaysia atau sebaliknya masuk<br />
secara ilegal, pastinya akan diketahui oleh Satpol air (Airud) <strong>dan</strong> atau<br />
Angkatan Laut. Tetapi kenyataannya persoalan tersebut selesai sampai di<br />
situ, cukup dengan memberikan uang kopi. Hal yang kurang lebih sama<br />
juga dalam penegakan Perdaduk yang implementasinya di pelabuhan <strong>dan</strong><br />
Bandara ditangani oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Tetapi<br />
penyelesaiannya sama saja cukup dengan diberi uang. Atau ketika<br />
dilakukan suatu razia di tempat hiburan ternyata orangnya sudah tidak<br />
ada yang tentunya karena sudah ada yang membocorkan. Contoh lain,<br />
PSK dalam melaksanakan pekerjaannya biasanya diatur oleh sindikat<br />
dengan dirolling sekitar 10 hari sekali an tara Jakarta, Pontianak,<br />
Banjarmasin, Surabaya, Semarang, Me<strong>dan</strong>, bahkan termasuk PSK dari<br />
luar seperti Cina, Usbekistan, <strong>dan</strong> sebagainya. Hal ini bisa berlangsung<br />
antara lain karena lemahnya law enforcement. Harusnya untuk PSK dari<br />
luar dapat disaring oleh imigrasi <strong>dan</strong> POA (Pengawasan Orang Asing) di<br />
Polda.<br />
231<br />
Jadi kelemahannya ada dalam attitude para penegak hukum dalam<br />
mengimplementasikan aturan yang ada. Kalau itu ditegakkan maka<br />
trafficking ini bisa diminimalisasi. lmplikasinya, yang diperlukan untuk<br />
penanganan trafficking adalah law enforcement.<br />
8.2.4. Penanganan Trafficking Oleh Pemerintah Propinsi<br />
Kepulauan Riau: Gugus Tugas<br />
Dalam penanganan trafficking ini pada tingkat pemerintah pusat<br />
sudah ada RAN (Rencana Aksi Nasional). Untuk propinsi, menurut<br />
penggiat LSM Yayasan Setara Kita, kabupaten/kota di Kepulauan Riau<br />
cukup punya komitmen dalam menangani masalah trafficking ini. Secara<br />
kasat mata indikasinya tampak dari sudah a<strong>dan</strong>ya shelter, sehingga setiap<br />
warga negara indonesia yang menjadi korban tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan<br />
orang di Kepulauan Riau pasti akan ditampung <strong>dan</strong> diberi penanganan<br />
yang cukup termasuk makan 3 kali, tidur, <strong>dan</strong> biaya pemulangan. lndikasi
lainnya, pihak DPRD tidak menghalangi dikeluarkannya SK tentang gugus<br />
tug as.<br />
232<br />
Menurut responden dari UIB, Propinsi Kepulauan Riau melakukan<br />
upaya untuk perlindungan terhadap korban trafficking <strong>dan</strong> tindak pi<strong>dan</strong>a<br />
trafficking, antara lain:<br />
Un<strong>dan</strong>g<br />
lkut aktif melaksanakan apa yang sudah ada dalam Un<strong>dan</strong>g<br />
nomor 21 Tahun 2007.<br />
Propinsi membuat Perda nomor 12 Tahun 2007 untuk mendukung<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g nomor 21 Tahun 2007 di atas<br />
Membuat tim khusus gugus tugas<br />
Sosialisasi kepada masyarakat<br />
Dalam konteks sosialisasi kepada masyarakat, antara lain sudah<br />
dilakukan seminar terhadap para pelajar SMU yang mengingatkan bahwa<br />
daerah Kepulauan Riau ini sangat rentan agar mereka tidak menjadi<br />
korban trafficking. Selain itu ada juga seminar terhadap Korban. Dalam hal<br />
ini korban diberikan ilmu pengetahuan tentang apa yang harus mereka<br />
miliki ketika mereka akan ke luar, seperti dijelaskan mengenai keberadaan<br />
PJTKI yang legal <strong>dan</strong> tidak legal yang harus mereka perhatikan.<br />
Sementara itu dalam kaitan dengan Gugus Tugas, Gugus Tugas ini<br />
merupakan proyek nasional dari <strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />
yang dikeluarkan melalui SK Menteri <strong>dan</strong> tengah diuji coba di 8 kota. Di<br />
Kepulauan Riau adalah di kota Tanjung Pinang, Batam, <strong>dan</strong> Karimun. Di<br />
Jawa Barat adalah lndramayu <strong>dan</strong> Subang; Di Kalimantan Barat adalah<br />
Sambas <strong>dan</strong> Singkawang. Tim Gugus Tugas saat ini tengah berupaya<br />
melakukan pemutakhiran data lewat internet agar data yang tercatat<br />
mendekati kenyataan yang ada.<br />
Dalam skala propinsi baru-baru ini Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />
Perempuan mengun<strong>dan</strong>g beberapa instansi terkait untuk membentuk<br />
gugus tugas yang khusus menangani masalah trafficking. Sebenarnya
gugus tugas ini telah dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur<br />
Kepulauan Riau Nomor 218 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Tim<br />
Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Trafficking Perempuan <strong>dan</strong><br />
Anak Propinsi Kepulauan Riau. Latar belakang munculnya keputusan<br />
Gubernur tersebut karena trafficking sebenarnya bukan permasalahan<br />
baru <strong>dan</strong> sudah menjadi masalah dunia internasional sehingga<br />
merupakan kasus besar. Dalam bi<strong>dan</strong>g hukumnya antara lain meliputi<br />
Polda Kepulauan Riau, Kepala kantor wilayah hukum <strong>dan</strong> HAM.<br />
Sementara Anggota gugus tugas yang berperan sebagai pelaksana<br />
antara lain adalah Biro Pemberdayaan Perempuan. Sekarang ini masing<br />
masing bi<strong>dan</strong>g yang ada dalam gugus tugas tersebut se<strong>dan</strong>g membuat<br />
program yang kemuian dikumpulkan <strong>dan</strong> dihimpun di gubernur.<br />
233<br />
Sebelum itu, pada tahun 2004, sebenarnya telah ada Perda<br />
propinsi tentang perempuan <strong>dan</strong> anak (anti trafficking) yang merupakan<br />
inisiatif pemerintah propinsi yang salah satunya juga diperlukan untuk<br />
kepentingan penguatan penganggaran. Pada saat itu Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g 21<br />
Tahun 2007 masih berproses. Ketika perda tersebut hampir jadi,<br />
kemudian di syahkan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g 21 Tahun 2007. Oleh karena itu<br />
bila dibaca isi perda tersebut tidak sesuai dengan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g 21<br />
karena belum mengacu pada perun<strong>dan</strong>gan yang lebih tinggi. Menghadapi<br />
persoalan tersebut, Yayasan Setara Kita menawarkan diri untuk menjadi<br />
leading organizer yang akan membedah perda tersebut dengan<br />
mendatangkan beberapa ahli, termasuk perwakilan dari Menko Kesra,<br />
Kementrian Pemberdayaan, staf ahli DPR yang menangani un<strong>dan</strong>g<br />
un<strong>dan</strong>g tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang, <strong>dan</strong> lainnya. Pada saat itu<br />
sebenarnya pihak Yayasan mengun<strong>dan</strong>g juga Depdagri, tetapi tidak ada<br />
yang datang. Kemudian draft Perda tersebut dibedah untuk disesuaikan<br />
dengan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g 21.<br />
Menurut responden dari UIB, yang menjadi masalah dalam hal<br />
gugus tugas adalah, karena ini program dari pemerintah, maka mereka<br />
yang menjalankannya tentu karena ditugaskan dalam gugus tugas<br />
tersebut, sehingga belum tentu memiliki emphaty. Selain itu karena yang
melaksanakannya adalah PNS sehingga emphatynya masih diragukan.<br />
Padahal berdasarkan pengalaman pendampingan yang dilakukan oleh<br />
responden <strong>dan</strong> berbagai referensi yang ada, yang dibutuhkan oleh<br />
seorang pendamping adalah kekuatan emphaty yang tinggi. Dengan<br />
demikian efektivitas dari gugus tugas tersebut masih perlu dipertanyakan<br />
karena orang yang bersangkutan mengerjakan tugas tersebut karena<br />
diperintahkan, bukan karen a emphaty yang lahir dari diri sendiri.<br />
Meskipun demikian, diakui oleh responden, Biro Pemberdayaan<br />
Perempuan Propinsi <strong>dan</strong> Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan kota Batam<br />
banyak melakukan upaya untuk memperbaikinya seperti melalui seminar<br />
<strong>dan</strong> pelatihan-pelatihan. Sebagai contoh, Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />
Perempuan melakukan pelatihan untuk tenaga shelter dengan<br />
memberikan training untuk PNS yang akan di tempatkan di situ. Namun<br />
tampaknya pelatihan tersebut belum memberikan manfaat yang maksimal<br />
untuk pengelolaan shelter yang sudah ada. Alasan yang dikemukakan<br />
adalah a<strong>dan</strong>ya keterbatasan pen<strong>dan</strong>aan, padahal anggaran untuk<br />
trafficking di tingkat propinsi untuk tahun 2009 relatif besar yakni sekitar 3<br />
milyar rupiah, namun tetap saja pen<strong>dan</strong>aan menjadi masalah. Bagi<br />
responden tersebut shelter yang dikelola oleh LSM lebih jelas di mana di<br />
sana tersedia tempat kursus dengan sarana yang memadai untuk<br />
melakukan pelatihan seperti untuk keterampilan menjahit <strong>dan</strong> lain<br />
sebagainya. Memang diakui bahwa Propinsi Kepulauan Riau juga sudah<br />
berupaya melakukan hal seperti itu, misalnya propinsi sudah melakukan<br />
pendidikan komputer, bahasa inggris, untuk anak-anak putus sekolah<br />
selama 1 bulan. Namun karena alasan keterbatasan pen<strong>dan</strong>aan pelatihan<br />
tersebut hanya bisa dilakukan untuk satu bulan saja, meskipun misalnya<br />
kebutuhan untuk pelatihan tersebut lebih dari sebulan. Persoalan yang<br />
muncul dari korban yang dihadirkan di dalam seminar antara lain bahwa<br />
korban merasa tidak terlayani dengan maksimal padahal sudah ada<br />
sarananya. Ka<strong>dan</strong>g mereka juga merasa sudah dijanjikan sesuatu seperti<br />
pelatihan <strong>dan</strong> sebagainya tetapi kenyataannya tidak ada, padahal mereka<br />
menunggu janji tersebut.<br />
234
Yang menjadi komplain bagi LSM adalah bahwa pemerintah<br />
mengajak kerjasama dengan LSM ketika mereka membutuhkan, setelah<br />
kebutuhannya terpenuhi maka kerjasama pun tidak ada lagi. Padahal bagi<br />
LSM kerjasama dengan pemerintah tersebut masih dibutuhkan karena<br />
LSM memiliki kendala dalam kaitannya dengan shelter. Artinya LSM telah<br />
memiliki shelter untuk menampung korban tetapi tidak punya <strong>dan</strong>a,<br />
sementara itu pemerintah sebenarnya punya <strong>dan</strong>a untuk itu, sehingga<br />
diharapkan bahwa melalui kerjasama tersebut LSM dapat menyiapkan<br />
tempatnya <strong>dan</strong> pemerintah dapat mengucurkan bantuan <strong>dan</strong>anya melalui<br />
LSM tersebut. Namun harapan tersebut masih belum terjadi.<br />
Paparan di atas memperlihatkan masih a<strong>dan</strong>ya sikap skeptis dari<br />
kalangan LSM ataupun Perguruan Tinggi mengenai kemampuan <strong>dan</strong><br />
komitmen aparat PNS dalam menangani masalah trafficking. Hal ini<br />
tentunya harus menjadi perhatian bagi pemerintah daerah untuk<br />
melakukan introspeksi guna lebih meningkatkan efisiensi <strong>dan</strong> efektivitas<br />
pengelolaan sumberdaya yang dibutuhkan dalam penanganan masalah<br />
trafficking. lmplikasinya, hal ini dapat dilakukan, antara lain, dengan<br />
membangun kerjasama yang lebih intens dengan kalangan LSM,<br />
Perguruan Tinggi, ataupun para pakar dalam upaya meningkatkan<br />
kompetensi aparatur pemerintah daerah dalam penanganan trafficking.<br />
Sejauh ini memang diakui oleh responden bahwa dalam kaitan dengan<br />
kegiatan penanganan trafficking yang diselenggarakan oleh Ba<strong>dan</strong><br />
Pemberdayaan Perempuan, LSM selalu diun<strong>dan</strong>g khususnya untuk<br />
kegiatan yang berbentuk seminar <strong>dan</strong> pelatihan. Tetapi keterlibatan untuk<br />
melihat langsung yang terjadi di lapangan sedikit sekali. Oleh karena itu<br />
selain membangun kerjasama dalam untuk peningkatan kompetensi SDM<br />
aparat juga perlu kerjasama yang lebih intens dengan LSM dalam<br />
implementasinya di lapangan. Dengan demikian diharapkan dapat<br />
mengurangi sikap skeptis dari kalangan LSM karena turut terlibat dalam<br />
realitas lapangannya.<br />
235
8.2.5. Penanganan Trafficking Oleh Pemerintah Kota Batam<br />
236<br />
Dalam rangka menangani korban trafficking yang dijadikan PSK<br />
<strong>dan</strong> mengendalikan agar Batam tidak menjadi daerah tujuan trafficking<br />
yang terkait dengan prostitusi, pemerintah kota <strong>dan</strong> DPRD telah membuat<br />
suatu peraturan daerah untuk membentuk Panti Rehabilitasi Non Panti di<br />
Teluk Pan<strong>dan</strong>. Sebagai tindak lanjutnya Pemda Kota Batam membangun<br />
semacam lokalisasi yang disebut Pusat Rehabilitasi Sosial Non Panti di<br />
Teluk Pan<strong>dan</strong>. Lokasinya relatif jauh <strong>dan</strong> terisolir, jalannya pun rusak.<br />
Pengelolaan Pusat Rehabilitasi ini diatur dikelola oleh Dinas Sosial.<br />
Berdasarkan Perda tersebut semua PSK yang semula dipelihara secara<br />
tersebar kemuian dipusatkan di Pusat Rehabilitasi Sosial tersebut.<br />
Lokalisasi ini dibangun dengan alasan bahwa dulunya lokalisasi<br />
yang ada di Batam tersebar secara sporadis di banyak wilayah. Di setiap<br />
wilayah ada yang membuka 2 atau 3 bar (yang bentuknya warem) yang<br />
menjadi lokalisasi, sehingga dapat dikatakan bahwa di setiap kecamatan<br />
terdapat lokalisasinya. Lokalisasi tersebut kebanyakan berada di wilayah<br />
hunian penduduk seperti di Tangki Seribu, Melcem, Batu Ampar, <strong>dan</strong><br />
Bukit Samyong. Karena lokalisasi tersebut tergolong kelas bawah<br />
sehingga ditakutkan mengganggu perkembangan penduduk. Oleh karena<br />
itu pada tahun 2005 oleh walikota sebelum yang sekarang ini, dibangun<br />
Pusat Rehabilitasi Sosial Non Panti di Teluk Pan<strong>dan</strong> dengan harapan<br />
dapat meminimalisasi <strong>dan</strong> mengontrol populasi PSK. Tujuan sebenarnya<br />
adalah bahwa mereka yang masuk ke panti ini akan direhab <strong>dan</strong><br />
diharapkan ketika ke luar dari situ ia tidak lagi bekerja sebagai PSK. Jadi<br />
pembuatan Perda <strong>dan</strong> pembangunan panti tersebut bukan untuk<br />
memformalkan kegiatan prostitusi tetapi untuk merehabilitasi, dalam artian<br />
dengan memberikan beberapa kursus keterampilan. Di situ sudah<br />
diseiakan gedungnya, perpustakaan mini, koperasi, <strong>dan</strong> mesjid. Para PSK<br />
di panti tersebut selain dapat tetap melakukan pekerjaannya juga diberi<br />
ceramah keagamaan, kursus keterampilan seperti salon, menjahit, <strong>dan</strong><br />
sebagainya. Tetapi kenyataannya, menurut responden DPRD, tidak<br />
seperti itu karena kegiatan prostitusi tetap ada di sana bahkan masih
dilakukan kegiatan mendatangkan perempuan/PSK dari luar Batam<br />
seperti Jawa, Kuningan, Pontianak <strong>dan</strong> sebagainya yang umurnya pun<br />
masih muda sekitar 19 - 20 tahunan. Menurut responden dari Dinas<br />
Sosial programnya memang tidak maksimal karena terkait juga dengan<br />
masalah anggaran. Selain itu yang menjadi persoalan sekarang ini tidak<br />
mudah juga untuk mendapat pekerjaan di luar, oleh karena itu mereka<br />
terpaksa bekerja di situ. Konsekuensinya meskipun sebenarnya<br />
ditargetkan pada tahun 2010 populasinya harus sudah berkurang, tetapi<br />
realitanya populasinya tidak berkurang, <strong>dan</strong> bahkan bertambah.<br />
Dalam upaya memberantas trafficking, di tingkat Pemerintah Kota<br />
Batam sebenarnya juga sudah ada ketentuan Perda Kependudukan<br />
nomor 2 Tahun 2001 yang mengisyaratkan bahwa setiap penduduk yang<br />
datang ke Batam harus memenuhi beberapa persyaratan, sehingga begitu<br />
para pendatang landing di Bandara Hang Nadiem atau di pelabuhan<br />
Punggur, mereka langsung dipilah. Mereka yang kelihatan mencurigakan<br />
langsung diperiksa oleh petugas dari Pemda mengenai tujuan<br />
kedatangan, kelengkapan surat, <strong>dan</strong> sebagainya. Jadi bila orang mau<br />
masuk ke Batam maka harus jelas tujuannya, ada jaminan keluarga atau<br />
pekerjaan yang disertai bukti. Bila tidak ada maka ia akan dipulangkan.<br />
Tapi dalam prakteknya selalu saja ada celah untuk dimanfaatkan untuk<br />
meloloskan orang. Menurut responden dari Dinas Sosial, walaupun di<br />
Batam punya perda, tetapi perda tersebut memiliki kelemahan di dalam<br />
implementasinya di lapangan <strong>dan</strong> juga pengawasannya tidak jalan,<br />
sehingga masih terjadi permainan uang. Dengan memberi uang 50 ribu<br />
rupiah saja orang bisa lewat dari pemeriksaan <strong>dan</strong> masuk ke Batam.<br />
Sebenarnya kalau sistem pengawasan di pelabuhan <strong>dan</strong> Bandara sudah<br />
ketat, maka persoalan trafficking dapat dieliminir.<br />
Terkait dengan Gugus Tugas, sebagaimana telah dipaparkan pada<br />
bagian terdahulu, meskipun SK. Gubernur tentang trafficking baru terbit<br />
pada tahun 2009, tetapi sebenarnya di tingkat kota/kabupaten sudah ada<br />
penanganannya yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial. Selama ini Dinas<br />
Sosial selalu menerima kiriman TKI korban trafficking, khususnya dari<br />
237
Johor <strong>dan</strong> Singapore <strong>dan</strong> menampung mereka sementara serta<br />
memberikan sedikit penyuluhan. Selanjutnya mereka dikembalikan ke<br />
daerah asal dengan menggunakan <strong>dan</strong>a pemulangan untuk TKI yang<br />
menjadi korban trafficking yang sudah ianggarkan oleh Dinas Sosial atau<br />
<strong>dan</strong>a alokasi dari Departemen Sosial. Selain itu Dinas Sosial juga<br />
menangani banyak korban trafficking yang ditangani polisi yang kemudian<br />
diserahkan kepada Dinas Sosial. Jadi pada dasarnya kebijakan yang<br />
dikeluarkan oleh Dinas Sosial hanya menyangkut pemulangan korban ke<br />
daerah asal, tidak menyangkut pembinaan, pemberdayaan, <strong>dan</strong><br />
sebagainya.<br />
238<br />
Sebelum ada Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan, leading sector<br />
yang bertanggungjawab menangani trafficking ini adalah Dinas Sosial.<br />
Tetapi setelah ada Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan, karena dalam<br />
trafficking ini korbannya adalah perempuan, maka yang menjadi leading<br />
sector adalah Bad an Pemberdayaan Perempuan.<br />
Dalam rangka pemberantasan trafficking tersebut, pada tahun 2004<br />
telah dibentuk gugus tugas. Pada saat itu, karena belum ada Un<strong>dan</strong>g<br />
Un<strong>dan</strong>g PTPPO (Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang),<br />
konsideran dalam SK pembentukan gugus tugas tersebut hanya<br />
berpatokan pada Keppres Nomor 87 mengenai eksploitasi <strong>dan</strong> Kepres<br />
Nomor 88 mengenai trafficking. Kemudian dengan keluarnya Un<strong>dan</strong>g<br />
Un<strong>dan</strong>g Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO pada tahun 2007 <strong>dan</strong> 1<br />
tahun kemudian disusul oleh keluarnya PP Nomor 69 tentang Gugus<br />
Tugas yang menginstruksikan untuk membuat gugus tugas, maka pada<br />
tahun 2009 Pemerintah Kota Batam melakukan revisi terhadap SK<br />
pembentukan gugus tugas tahun 2004 tersebut. Revisi yang dilakukan<br />
tidak hanya merevisi PTPPO, artinya tidak hanya menyangkut trafficking<br />
pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang tetapi sekaligus memasukan juga unsur<br />
eksploitasi seksual komersial atau SK. Hal ini dilakukan karena di dalam<br />
SK yang lama masih mengacu pada Keppres 87 di mana masalah seksual<br />
komersial belum diakomodir <strong>dan</strong> bahkan di dalam un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gnya pun<br />
belum ada. Dengan dimasukkan masalah seksual komersial dalam gugus
tugas maka nama gugus tugasnya berubah menjadi Gugus Tugas<br />
Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang Dan<br />
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial. Revisi ini dilakukan<br />
melalui keputusan (SK) Walikota Batam nomor 166 tentang Pembentukan<br />
Tim Gugus Tugas Pemberantasan <strong>dan</strong> Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />
Perdagangan Orang (PTPPO) Eksploitasi Seksual Komersial Anak.<br />
Karena di dalam SK yang dulu belum ada rencana aksinya maka di dalam<br />
SK yang baru tersebut tersebut sekaligus memuat Rencana Aksi Daerah.<br />
Tidak a<strong>dan</strong>ya Rencana Aksi Daerah pada SK yang lama karena mengikuti<br />
prinsip hukum mutatis mutandis (apa yang dilakukan oleh pusat, maka<br />
dilakukan di daerah) di mana dulu pada tingkat pusat pun belum<br />
ada/kelihatan rencana aksi tersebut. Baru kemudian setelah keluar PP no<br />
69 pada tahun 2008-2009 dengan amanat yang jelas, maka dalam SK<br />
gugus tugas pun dibuat rencana aksinya. Jadi secara substansial<br />
mekanisme organisasional antara gugus tugas yang lama <strong>dan</strong> yang baru<br />
dapat dikatakan sama saja, hanya saja pada gugus tugas yang baru<br />
ditambahkan dengan masalah eksploitasi seksual <strong>dan</strong> Rencana Aksi<br />
Daerah. SK tersebut dibuat di pertengahan tahun 2009 atau pada<br />
prakteknya dikeluarkan pada bulan Mei 2009, sehingga target kinerjanya<br />
dimulai akhir tahun 2009, 2010, sampai akhir tahun 2013. Oleh karena itu<br />
sekarang ini (Juli 2009 ketika penelitian dilakukan) SK tersebut belum<br />
sempat dijalankan. Sejauh ini tim Gugus Tugas baru belum pernah<br />
melakukan rapat koordinasi.<br />
Memang diakui oleh responden dari Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />
Perempuan bahwa tidak ada penyelesaian yang tuntas didalam<br />
menyelesaikan masalah trafficking ini. Padahal penyelesaian secara<br />
tuntas itu perlu karena permasalahan trafficking ini sudah terlanjur ada.<br />
Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g PTPPO sudah lahir tetapi implementasinya di lapangan<br />
masih perlu rujukan lain seperti perpu atau inpres/keppres, perda <strong>dan</strong><br />
sebagainya. Sementara ini pemerintah daerah Batam belum membuat<br />
Perda yang menyangkut masalah trafficking, melainkan tentang PSK, jadi<br />
hanya berdasarkan SK walikota saja. Bagi Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />
239
Perempuan pembuatan Perda tersebut dianggap tidak terlalu effektif,<br />
karena hanya pemborosan saja, mengingat sudah ada Perda nomor 12<br />
tahun 2007 dari Propinsi Kepulauan Riau . Jadi sebaiknya langsung<br />
menjalankan yang sudah ada yaitu dengan masuk ke dalam Rencana<br />
Aksi Daerah melalui SK Walikota tentang gugus tugas tersebut.<br />
Menurut responden dari kalangan LSM, sebenarnya kenapa harus<br />
dilakukan revitalisasi terhadap gugus tugas yang lalu, antara lain, juga<br />
karena terjadi kemandegan dalam pelaksanaan tugas atau melaksanakan<br />
aktivitasnya. Salah satu contoh yang paling krusial adalah koordinasi<br />
lintas sektor tidak berjalan dengan baik. Sementara dalam gugus tugas<br />
sekarang ini cukup jelas mengenai siapa melakukan apa. Ketika,<br />
misalkan, ada kasus maka anggota gugus tugas akan membicarakan<br />
bersama. Kalau misalnya kasus hukum, maka di dalam gugus tugas ini<br />
ada Polisi <strong>dan</strong> Jaksa yang menangani masalah hukum tersebut.<br />
Kemudian bila masalahnya menyangkut masalah rehabilitasi sosial, maka<br />
ada Dinas Sosial yang bertanggungjawab menanganinya; kemudian bila<br />
ada pemulangan korban, maka jelas siapa yang bertanggung jawab.<br />
240<br />
Revitalisasi gugus tugas baik di tingkat Propinsi maupun di tingkat<br />
kota Batam bisa terjadi karena pemerintah Propinsi <strong>dan</strong> Kotanya cukup<br />
aktif, di samping karena a<strong>dan</strong>ya dorongan dari beberapa LSM seperti<br />
Yayasan Setara Kita <strong>dan</strong> LSM Sirih Besar. Selain itu revitalisasi tersebut<br />
juga mungkin didorong oleh masalah aktual yang dihadapi pemerintah<br />
daerah seperti harus menampung <strong>dan</strong> harus meberi makan korban<br />
trafficking. Jadi inisiatif revitalisasi gugus tugas tersebut lebih karena<br />
faktor eksternal ketimbang inisiatif pemerintah daerah.<br />
Yang menjadi leading sektor dalam gugus tugas ini baik menurut<br />
SK yang dulu maupun yang sekarang tetap Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />
Perempuan. Hanya saja bila dulu level organisasinya masih Kantor yang<br />
dipimpin eselon Ill, sejak tahun 2007 sudah naik kelas menjadi Ba<strong>dan</strong><br />
yang dipimpin eselon II. lmplikasinya, dulu lnstitusi Pemberdayaan<br />
Perempuan mengalami kesulitan dalam melakukan koordinasi karena
dalam birokrasi tidak mungkin Kepala Kantor memerintahkan Kepala<br />
Dinas, meskipun sudah dituangkan dalam SK Walikota. Oleh karena itu<br />
diakui oleh responden dari Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan bahwa<br />
gugus tugas yang dulu sebenarnya hanya sebatas on paper saja atau<br />
tidak jalan, kalaupun jalan tetapi tidak optimal. Namun setelah naik kelas<br />
maka Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan lebih berani mengambil inisiatif<br />
seperti, misalnya, dengan membuat FGD untuk revisi pembentukan gugus<br />
tug as.<br />
Untuk jelasnya, dalam proses pembuatan SK gugus tugas yang<br />
baru tersebut Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan mengun<strong>dan</strong>g semua<br />
instansi terkait, terutama yang terlibat dalam gugus tugas yang lama,<br />
termasuk aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, lmigrasi<br />
<strong>dan</strong> sebagainya. Kemudian membuat seminar kecil 2 hari <strong>dan</strong> membuat<br />
FGD untuk masing masing bi<strong>dan</strong>g (pokja). Sebagai contoh untuk Pokja<br />
penegakan hukum maka yang ditunjuk terlibat di dalamnya seperti<br />
Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, <strong>dan</strong> LSM. Dalam pertemuan anggota<br />
gugus tugas juga dibahas mengenai jalan tikus, khususnya oleh aparat<br />
yang menangani masalah keamanan. Sebenarnya masalah pengawasan<br />
jalan tikus tersebut tidak menjadi persoalan asal saja pihak yang<br />
berwenang memiliki komitmen untuk menanganinya.<br />
241<br />
Untuk Pokja Kesehatan, Rehabilitasi, Pemulangan, <strong>dan</strong> lntegrasi<br />
Sosial maka dipimpin oleh Dinas Sosial, karena memang tugas pokok <strong>dan</strong><br />
fungsinya ada di situ. Dalam Gugus Tugas yang sudah dibentuk, Dinas<br />
Sosial bertanggung Jawab <strong>dan</strong> menjadi leading sector untuk pemulangan<br />
TKI.<br />
Bila dilihat dari kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing<br />
instansi yang terlibat dalam gugus tugas, nampaknya cukup<br />
menggembirakan karena masing-masing instansi cukup menunjukan<br />
semangat untuk melakukan pemberantasan trafficking. Program-program<br />
yang disusun oleh setiap bi<strong>dan</strong>g dalam gugus tugas meliputi kegiatan<br />
selama 5 tahun. Keempat Pokja yang ada dalam Gugus Tugas itu yang
menyusun program kegiatan yang akan dilaksanakannya <strong>dan</strong><br />
mempresentasikannya apa yang menjadi rencana kegiatan jangka pendek<br />
dalam 1 atau 2 tahun <strong>dan</strong> apa yang akan dilaksanakan 5 tahun ke depan.<br />
Masing-masing anggota Pokja Gugus Tugas menyusun program sesuai<br />
dengan kompetensinya. Misalnya dari Pidum Kejari mempunyai tugas<br />
khusus untuk penegak hukum, maka dalam untuk pertemuan berkala<br />
yang menjadi leading sectornya adalah Kejari. Mengenai gugus tugas ini,<br />
kejaksaan melihatnya sebagai upaya pencegahan bagi terjadinya<br />
trafficking. Namun demikian dalam pelaksanaannya pihak Kejaksaan<br />
merasa tidak memahami secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena<br />
Kejaksaan merupakan lembaga penuntutan, jadi tidak punya upaya<br />
hukum preventif, sehingga berbeda dengan pemerintah kota, atau<br />
Kepolisian. Jaksa hanya menangani berkas perkara yang dikirim atas<br />
nama Kejaksaan, jadi tidak menangani upaya pencegahan. Tugas jaksa di<br />
dalam Gugus Tugas adalah apabila terjadi proses hukum yang dilakukan<br />
pihak penyidik maka jaksa wajib berkomunikasi untuk lancarnya<br />
penanganan perkara.<br />
Dalam gugus tugas pihak imigrasi masuk dalam kelompok kerja<br />
bi<strong>dan</strong>g pencegahan, bahkan menjadi leading sector untuk Wasdak<br />
(pengawasan <strong>dan</strong> penindakan). Hanya saja disayangkan karena yang<br />
datang ke Gugus Tugas biasanya bukan kepala bi<strong>dan</strong>gnya melainkan<br />
officernya.<br />
Dalam gugus tugas tersebut skala prioritasnya, sementara ini,<br />
dalam penanganan trafficking terfokus pada upaya preventif <strong>dan</strong><br />
penanganan korban. Hanya pengembangan untuk penanganan<br />
korbannya masih sebatas pemulangan <strong>dan</strong> integrasi sosial, belum bisa<br />
memberikan therapy atau optimalisasi korban. Padahal kalau melihat<br />
program kerja di tingkat pusat, korban tersebut harusnya dioptimalisasikan<br />
seperti disekolahkan. Hal ini terjadi karena di Batam pressurenya cukup<br />
tinggi.<br />
242
243<br />
Untuk anggaran biaya yang timbul akibat melaksanakan SK<br />
tersebut dibebankan kepada APBO , dalam artian dikomodir <strong>dan</strong><br />
diadvokasi dalam anggaran masing-masing instansi yang menjadi<br />
anggota gugus tugas, sesuai dengan tupoksinya. Jadi tidak ada<br />
sentralisasi anggaran secara secara khusus. Untuk mengontrol apakah<br />
anggaran yang dibutuhkan sudah dianggarkan atau belum di masing<br />
masing instansi, dimonitor melalui pertemuan-pertemuan periodik yang<br />
diusahakan dilakukan minimal 3 bulan sekali.<br />
Bila dilihat dari kronologi pembuatan SK gugus tugas, tampaknya<br />
rencana aksi pemberantasan trafficking tersebut merupakan inisiatif<br />
daerah karena dia dikeluarkan sebelum munculnya un<strong>dan</strong>g nomor 21<br />
tentang PTPPO <strong>dan</strong> Keppres nomor 69 tentang Gugus Tugas.<br />
Untuk pencegahan trafficking, baik pada Gugus Tugas nasional,<br />
propinsi, maupun kabupaten/kota yang menjadi leading sektornya adalah<br />
Oinas Pendidikan (Oepdiknas). lmplikasinya, yang bisa dilakukan adalah<br />
memasukkan masalah trafficking dalam kurikulumnya, mungkin sebagai<br />
muatan lokal atau ekstra kurikulum. Hal ini sangat mendasar <strong>dan</strong> bahkan<br />
bisa dimulai sejak SO karena dari catatan yang ada para korban trafficking<br />
menunjukkan bahwa umumnya mereka hanya memiliki pendidikan sampai<br />
pada tingkat SO.<br />
Pemosisian Oiknas sebagai leading insitusi dianggap sudah bagus<br />
oleh Yayasan Setara Kita. Namun untuk pencegahan trafficking tersebut<br />
selain Oiknas juga harus ada institusi lain yang diprioritaskan yakni<br />
Disnaker, sementara untuk lintas negaranya adalah lmigrasi, <strong>dan</strong> untuk<br />
penindakannya adalah Kepolisian.<br />
Oalam konteks ini BNP2TKI perlu lebih berperan aktif dalam<br />
menangani trafficking. Sekarang sudah ada gejala yang bagus di mana<br />
BNP2TKI sudah mulai melakukan pencegahan. Hal ini tampak di mana<br />
beberapa waktu yang lalu BNP2TKI melakukan penggerebegan tempat<br />
penampungan PJTKI di Jakarta yang di situ banyak anak-anak.
Menurut responden dari Yayasan Setara Kita <strong>dan</strong> juga responden<br />
lainnya, mengenai penempatan Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />
sebagai leading sektor dalam penanganan trafficking di daerah<br />
sebenarnya tidak jelas reasoningnya, mungkin hanya mengikuti pola yang<br />
ada di pusat di mana <strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan menjadi<br />
leading institution dalam penanganan trafficking. Namun jangan lupa<br />
selain menyangkut perempuan, masalah trafficking juga menyangkut anak<br />
yang penangannya untuk perlindungan anak tersebut ada di Depsos.<br />
Secara kelembagaan, menurut responden dari Dinas Sosial,<br />
penanganan trafficking ini memang sedikit membingungkan, misalnya<br />
ketika ada TKI yang dipulangkan dari Johor seharusnya itu menjadi tugas<br />
Dinas Sosial, tetapi ka<strong>dan</strong>g kala karena ketidakjelasan dalam kegiatannya<br />
malahan Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuanlah yang mengirim stafnya ke<br />
Johor yang kemudian mendistribusikan <strong>dan</strong> menampungnya di shelter.<br />
Padahal seharusnya mereka berkoordinasi dengan Dinas Sosial <strong>dan</strong><br />
Dinas Sosiallah yang mengirim. Tetapi yang terjadi malah berkoordinasi<br />
dengan Propinsi sehingga pengirimannya lewat Tanjung Pinang, padahal<br />
sebetulnya tidak perlu lewat Tanjung Pinang karena bisa langsung lewat<br />
Batam. Seharusnya para korban tersebut masuk melalui Dinas Sosial<br />
kemudian di saring melalui interview <strong>dan</strong> pendataan lainnya. Bila ternyata<br />
ada korban trafficking, barulah dia dikirim ke shelter <strong>dan</strong> ditangani oleh<br />
Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuanlah. Setelah melalui proses<br />
penanganan di shelter kemudian Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />
tersebut berkoordinasi kembali dengan Dinas Sosial untuk penanganan<br />
kepulangan korban ke daerah asal. Jadi prosedur penanganan semua<br />
pemulangan korban konsentrasinya harusnya ada di Dinas Sosial, baru<br />
kemudian bila ada korban trafficking Dinas Sosiallah yang<br />
merekomendasikan kepada Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan.<br />
Menurut responden dari UIB masalah trafficking ini memang<br />
merupakan masalah yang tidak pernah selesai, padahal upaya perbaikan<br />
selalu diupayakan, kemungkinan ada yang salah dalam sistemnya. Untuk<br />
penyelesaian ini perlu dipertimbangkan apakah masalah pengurusan TKI<br />
244
ini pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada swasta atau<br />
pemerintah membentuk satu ba<strong>dan</strong> yang khusus menangani masalah TKI<br />
<strong>dan</strong> trafficking ini.<br />
Namun demikian pihak Yayasan Setara Kita melihat bahwa dalam<br />
kaitannya dengan penanganan trafficking, Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />
Perempuan sudah berada pada rei yang pas (on the rifht track). Mereka<br />
selalu bertanya atau berkonsultasi dengan Yayasan Setara dalam<br />
merumuskan ataupun melakukan suatu kegiatan. Dalam hal ini pihak<br />
Yayasan pun meresponsnya secara positif dengan kesadaran bahwa<br />
mereka adalah mitra sehingga tidak perlu bertindak menggurui atau<br />
mengkritik dengan gaya LSM sebagaimana umumnya. Jadi kalaupun ada<br />
kritik maka selalu dibarengi dengan memberikan solusinya.<br />
245<br />
Untuk ke depannya penanganan trafficking ini diharapkan dapat<br />
dilakukan dengan memaksimalkan Gugus Tugas. Harapannya di dalam<br />
Gugus Tugas ini dibentuk unit pencegahan yang sangat ketat ketika orang<br />
masuk ke Batam. Unit ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan<br />
petugas lapailgan di Bandara <strong>dan</strong> Pelabuhan untuk mendeteksi kelompok<br />
orang yang masuk ke Batam secara tidak jelas (korban trafficking).<br />
Apabila ditemui, maka petugas tersebut melakukan identifikasi terhadap<br />
mereka mengenai tujuan mereka datang ke Batam. Dan kalau tujuannya<br />
untuk bekerja di luar, dapat diminta untuk menunjukkan kelengkapan<br />
dokumen termasuk job ordemya. Dengan demikian diharapkan dapat<br />
meminimalisir terjadinya korban trafficking. Di samping itu, untuk<br />
pencegahan pemberangkatan yang ilegal, penanganan yang lebih ketat<br />
dari aparatur seperti dari Dinas Sosial, Kepolisian, Angkatan Laut <strong>dan</strong> lain<br />
sebagainya juga penting agar tidak membiarkan ketika terjadi pengiriman<br />
orang melalui jalur tidak resmi. Memang hal ini bisa saja membuka<br />
peluang baru untuk melakukan pemerasan. Barangkali yang lebih baik<br />
dengan membentuk satgas yang diperintahkan oleh Gugus Tugas,<br />
sementara anggota ataupun kontrolnya bisa lintas SKPD.
Satu hal yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa ternyata<br />
di dalam Gugus Tugas yang sudah dibentuk tersebut masih menyisakan<br />
persoalan berupa ketidakjelasan dalam pembagian tugas <strong>dan</strong> tanggung<br />
jawab dari masing-masing institusi. Hal ini tampak jelas ketika Dinas sosial<br />
mempersepsikan tugas <strong>dan</strong> tanggung jawabnya secara berbeda dengan<br />
Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan. lmplikasinya, tugas pertama dari<br />
gugus tugas adalah melakukan penyamaan persepsi mengenai tugas <strong>dan</strong><br />
tanggung jawab serta kewenangan dari masing-masing institusi yang ada<br />
di dalamnya. Hal ini penting untuk menyelaraskan gerak organisasi<br />
sehingga berjalan dengan efisien <strong>dan</strong> efektif.<br />
8.2.6. Partisipasi LSM dalam Penanganan Trafficking<br />
Dalam konteks penanganan trafficking yang terjadi di pulau Batam<br />
terdapat beberapa (sedikit) LSM yang turut berpartisipasi, <strong>dan</strong> bekerja<br />
secara sinergis dengan instansi pemerintah. Satu di antara LSM yang<br />
dapat dikatakan cukup aktif <strong>dan</strong> secara tidak langsung mendapat<br />
pengakuan dari beberapa institusi pemerintah yang menangani issu<br />
trafficking adalah Yayasan Setara Kita. Dalam melakukan kegiatannya<br />
tersebut Yayasan ini tidak menangani traffickemya langsung, melainkan<br />
lebih fokus kepada pemulangan korban, dengan alasan bahwa persoalan<br />
traffickemya sudah ditangani oleh Poltabes Batam. Dalam<br />
implementasinya Yayasan Setara Kita melakukan pendampingan<br />
terhadap korban dari mulai proses identifikasi sampai dengan pemulangan<br />
<strong>dan</strong> reintegrasi. Meskipun Yayasan ini telah memiliki informasi yang<br />
lengkap mengenai identitas korban, namun dalam melaksanakan<br />
pekerjaannya pihak Yayasan Setara Kita selalu berupaya menjaga<br />
kerahasiaan dari kliennya. Hal ini ianggap penting agar korban yang<br />
bersangkutan tidak malu ketika pulang di daerahnya.<br />
Dalam konteks penanganan korban trafficking tersebut Yayasan<br />
Setara Kita bekerjasama dengan pemerintah daerah (Ba<strong>dan</strong><br />
pemberdayaan perempuan), RPK. Bantuan yang diminta oleh pemerintah<br />
kepada Yayasan Setara Kita biasanya dalam bentuk bantuan anggaran.<br />
246
Misalnya ketika pihak pemberdayaan perempuan, Dinas Sosial atau<br />
kepolisian mengalami kesulitan dalam men<strong>dan</strong>ai pemulangan korban <strong>dan</strong><br />
merujuk ke Yayasan Setara Kita untuk membantu, maka pihak yayasan<br />
akan memberikan bantuan. Sementara ini untuk men<strong>dan</strong>ai kegiatannya<br />
Yayasan Setara Kita bekerjasama dengan 10M dengan ketentuan bahwa<br />
setiap pengeluaran yang dikeluarkan untuk menangani korban dilaporkan<br />
kepada 10M.<br />
247<br />
Selain dengan Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan Yayasan Setara<br />
Kita juga bekerjasama dengan instansi pemerintah lainnya yang terkait<br />
dalam penanganan trafficking. Sebagai contoh Yayasan Setara Kita<br />
bekerjasama dengan Poltabes Batam . Ketika ada korban trafficking,<br />
Yayasan Setara Kita pernah diminta oleh polisi untuk melakukan<br />
identifikasi. ldentifikasi ini memiliki posisi penting untuk menentukan status<br />
korban apakah karena trafficking atau bukan. Jadi fungsinya mirip dengan<br />
masalah pengungsi di UNHCR di mana untuk menentukan seseorang<br />
menjadi pengungsi maka harus mendatangkan UNHCR. Dalam hal<br />
trafficking, biasanya institusi pemerintah di Batam mengun<strong>dan</strong>g Yayasan<br />
Setara Kita untuk mengidentifikasi apakah seseorang menjadi korban<br />
trafficking atau bukan. Dalam hal ini Yayasan menggunakan SF atau<br />
Screening Form yang dikembangkan oleh 10M <strong>dan</strong> dijadikan SF nasional<br />
bagi seluruh mitra 10M. lnstitusi pemerintah setempat sering meminta<br />
bantuan Yayasan Setara Kita untuk melakukan identifikasi korban dengan<br />
alasan berbagai kekurangan yang dimiliki instansi pemerintah, baik<br />
menyangkut jumlah SDM, kualitas SDM, keterbatasan anggaran, <strong>dan</strong><br />
sebagainya. Untuk mengatasi hal tersebut pihak Yayasan Setara Kita<br />
menawarkan pelatihan untuk melakukan identifikas bagi petugas instansi<br />
pemerintah. Rencananya hal ini akan dilaksanakan pada tingkat gugus<br />
tugas. Sementara ini BPPKB (Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan Kota<br />
Batam) sudah melakukan identifikasi sendiri, demikian juga dengan unit<br />
PPA kepolisian milik melakukan identifikasi sendiri di shelternya.<br />
Menurut informan dari kepolisian, sejauh ini hubungan Poltabes<br />
dengan LSM tersebut <strong>dan</strong> shelter yang ada cukup baik. Selama ini
Poltabes mendapat informasi yang cukup banyak tentang trafficker dari<br />
institusi tersebut. Hubungan baik dengan LSM terbangun karena di<br />
daerah Batam <strong>dan</strong> Tanjung Pinang sering dilakukan sosialisasi. LSM juga<br />
sering mengun<strong>dan</strong>g dari Poltabes <strong>dan</strong> atau Polda.<br />
248<br />
Kerjasama Yayasan ini dengan Poltabes Batam biasanya<br />
dilakukan setelah korban di BAP oleh Poltabes <strong>dan</strong> kemudian butuh<br />
bantuan untuk proses pemulangan. Dalam hal ini pihak Poltabes<br />
mengontak Yayasan Setara Kita untuk meminta bantuan untuk<br />
pemulangan korban mengingat a<strong>dan</strong>ya keterbatasan <strong>dan</strong> sangat<br />
minimnya anggaran yang dimiliki pemerintah. Mereka hanya memiliki<br />
<strong>dan</strong>a pemulangan korban untuk tiket kapal saja. Berdasarkan permintaan<br />
tersebut, kemudian pihak yayasan dengan bekerja sama dengan 10M<br />
mendatangi shelter milik Poltabes <strong>dan</strong> kemudian mengidentifikasi korban<br />
serta melakukan penilaian untuk memastikan apakah itu betul merupakan<br />
korban trafficking atau bukan. Kalau yang bersangkutan betul-betul<br />
menjadi korban trafficking maka pihak Yayasan Setara Kita akan<br />
berupaya untuk memulangkannya dengan menggunakan <strong>dan</strong>a<br />
pemulangan yang berasal dari 10M. Adapun besarnya <strong>dan</strong>a untuk<br />
pemulangan setiap korban sangat relatif, tergantung dari kebutuhan.<br />
Paling tidak jumlahnya sebesar pengeluaran yang sudah dilakukan<br />
selama korban berada di shelter.<br />
Dalam proses pemulangannya ketika ada korban trafficking dari<br />
suatu daerah, Selama ini proses pemulangan dilakukan sendiri oleh<br />
Yayasan Setara Kita, langsung berkomunikasi dengan keluarga korban.<br />
Dalam hal ini Yayasan Setara bekerjasama dengan LSM yang ada di<br />
daerah asal korban untuk menelusuri alamat <strong>dan</strong> keluarga si korban<br />
dengan memberikan file data korban kepada LSM yang bersangkutan.<br />
Selanjutnya mereka akan menghubungi RT <strong>dan</strong> keluarganya. Selain itu<br />
Yayasan Setara Kita juga bekerjasama dengan polsek, polres, poltabes,<br />
<strong>dan</strong> muspika setempat yang ada di daerah pengirim yang bersangkutan.<br />
Hal ini dijadikan pola karena Klien yang sudah dikembalikan oleh Yayasan<br />
Setara Kita ke daerah asal, selanjutnya akan ditangani oleh LSM
setempat. Mereka biasanya melakukan pemberdayaan <strong>dan</strong> monitoring<br />
terhadap klien yang bersangkutan. Kerja sama yayasan setara dengan<br />
LSM lokal di daerah asal klien biasanya difasilitasi oleh polsek setempat.<br />
Menurut informan dari Poltabes Batam daerah umumnya korban<br />
berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, NTB.<br />
Selama tahun 2005 sampai dengan 2008 korban yang paling banyak<br />
berasal dari daerah Jawa Barat seperti Subang, lndramayu, relatif merata.<br />
Hal senada juga diungkapkan oleh informan dari Yayasan Setara Kita<br />
yang mengatakan bahwa selama ini pemulangan yang pernah dilakukan<br />
meliputi daerah Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,<br />
Palembang, Pa<strong>dan</strong>g, <strong>dan</strong> NTB. Di Sumatera korban yang dipulangkan<br />
yang paling banyak berasal dari Palembang. Untuk tahun 2005 <strong>dan</strong> 2006<br />
yang paling banyak berasal dari Jawa Timur <strong>dan</strong> Jawa Tengah. Untuk<br />
tahun 2007, 2008 <strong>dan</strong> 2009 daerah pemulangan yang paling banyak<br />
adalah Jawa Barat. Untuk daerah Jawa Barat, mereka yang menjadi<br />
korban trafficking <strong>dan</strong> dijadikan sebagai PSK umumnya berasal dari<br />
daerah lndramayu, <strong>dan</strong> Subang. Sementara mereka yang dijadikan TKI<br />
ada juga yang berasal dari Sume<strong>dan</strong>g Cianjur, <strong>dan</strong> Sukabumi. Untuk<br />
daerah Jawa Timur mereka yang menjadi korban trafficking<br />
konsentrasinya lebih banyak dari Surabaya.<br />
Selain kerjasama di atas, dalam menangani masalah trafficking<br />
tersebut Yayasan Setara Kita juga bekerjasama dengan pihak Lapas.<br />
Yayasan Setara Kita secara rutin melakukan pendampingan yakni setiap<br />
hari Selasa <strong>dan</strong> Kamis di Lapas. Kegiatan yayasan Setara adalah<br />
memberikan keterampilan di Lapas, memberikan beasiswa untuk orang<br />
miskin di Batam, perpustakaan.<br />
Selain Yayasan Setara Kita, UIB (Universitas lnternasional Batam)<br />
juga pernah melakukan pendampingan terhadap korban trafficking dengan<br />
bekerjasama dengan YMKK (Yayasan Mitra Kesehatan Keluarga). YMKK<br />
sudah memiliki shelter sendiri <strong>dan</strong> memiliki tempat penitipan anak<br />
meskipun belum begitu berjalan. Sekarang ini se<strong>dan</strong>g dirintis untuk<br />
249
kerjasama dengan pihak pemerintahan kota Batam, khususnya Ba<strong>dan</strong><br />
Pemberdayaan Perempuan tetapi belum ada respons. Konon katanya<br />
Pemko Batam memiliki 6 shelter, tetapi belum jelas karena belum pernah<br />
mengunjungi shelter-shelter tersebut. Seperti YMKK mempunyai PPT<br />
yang bekerjasama dengan Rumah Sakit Bersalin Kasih lbu di Batam<br />
Center. Di PPT tersebut sudah ada dokter <strong>dan</strong> ruang konselingnya juga<br />
yang selalu siap melayani kapanpun korban datang ke sana. Tetapi<br />
sekarang PPT tersebut menghadapi kendala karena dia tidak mungkin<br />
terus di<strong>dan</strong>ai oleh rumah sakit tersebut. Meskipun dokternya committed<br />
dengan masalah trafficking, tetapi lama kelamaan menjadi malu bila harus<br />
menggantungkan pen<strong>dan</strong>aannya kepada RS tersebut sehingga akhirnya<br />
berusaha mengajukan berbagai proposal untuk mencari <strong>dan</strong>a dari sumber<br />
lain, namun hasilnya ternyata tidak maksimal. Bila pemerintah kota Batam<br />
mau menerima, mereka berniat menyerahkan PPT ini kepada pemerintah<br />
karena biaya operasional PPT tersebut sangat tinggi yang tidak<br />
seluruhnya dapat ditanggung oleh pihak Rumah Sakit. Bila disepakati,<br />
maka Rumah Sakit YMKK akan meninggalkannya <strong>dan</strong> pemerintah kota<br />
dapat bekerjasama dengan dokter dari RS tersebut secara langsung.<br />
8.2.7. DPRD Kota Batam<br />
Dalam penanganan trafficking DPRD hanya terlibat dalam<br />
pembuatan perda <strong>dan</strong> pengawasannya saja. Untuk itu selain dilakukan<br />
melalui rapat teknis dengan dinas-dinas, DPRD juga melakukan<br />
pengawasan melalui rapat muspida yang diselenggarakan sebulan sekali.<br />
Hanya saja dalam pertemuan-pertemuan tersebut tidak pernah<br />
diungkapkan permasalahan substansial yang dihadapi dalam<br />
implementasi program. Dari hasil hearing dengan Dinas Sosial laporannya<br />
Jebih bersifat formal saja. Kemudian dalam programnya belum ada<br />
program pencegahan trafficking, yang ada hanya program pemulangan<br />
sehingga yang diminta hanya peningkatan anggaran.<br />
Untuk upaya melancarkan penanganan trafficking pihak DPRD<br />
telah menyeiakan anggarannya yang biasanya ialokasikan di bi<strong>dan</strong>g<br />
250
Kesra. Anggaran tersebut ialokasikan berdasarkan pembahasan masalah<br />
trafficking yang dilakukan di komisi IV DPRD.<br />
Dalam penanganan korban trafficking prioritas utama adalah<br />
menangani mereka yang berangkat secara legal. Namun karena ada<br />
ketidakseimbangan antara in <strong>dan</strong> outnya termasuk dalam hal anggaran,<br />
maka penanganannya menjadi tidak maksimal.<br />
251<br />
Dari paparan di atas mengindikasikan masih ada<br />
ketidaktransparanan dari pihak Pemerintah Kota Batam dalam<br />
mengungkapkan realitas trafficking yang terjadi. Akibatnya anggota DPRD<br />
tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang trafficking. Hal ini tentunya<br />
berimbas pada minimnya alokasi anggaran yang diberikan DPRD dalam<br />
penanganan trafficking. Oleh karena itu untuk solusinya harus dibangun<br />
koordinasi <strong>dan</strong> komunikasi yang lebih intens antara Pemerintah Kota <strong>dan</strong><br />
DPRD Batam.<br />
8.2.8. Masalah Anggaran<br />
Menurut responden dari DPRD Kota Batam, dalam penanganan<br />
trafficking ini sudah ada anggaran yang ialokasikan dalam APBD propinsi<br />
maupun kota, <strong>dan</strong> per<strong>dan</strong>ya pun sudah ada. Namun menurut responden<br />
dari Pemberdayaan Perempuan sejauh ini penanganan trafficking oleh<br />
Pemerintah Kota Batam belum maksimal karena keterbatasan <strong>dan</strong>a.<br />
Pemerintah kota merasakan bahwa untuk menangani masalah trafficking<br />
ini tidak bisa hanya mengandalkan pen<strong>dan</strong>aan dari APBD melainkan<br />
harus ada bantuan dari Pusat. Jadi pemerintah pusat seharusnya sudah<br />
memiliki mapping mengenai permasalahan yang ada di daerah<br />
perbatasan sehingga dapat mengetahui daerah mana saja yang perlu<br />
diberi bantuan. Selain itu, menurut responden DPRD Kota Batam, bila<br />
pemerintah pusat ke daerah "bisanya hanya teriak, tanpa ada follow up".<br />
Harusnya pemerintah pusat membentuk lembaga khusus yang menangani<br />
masalah trafficking ini, kemudian bekerjasama dengan pemerintah daerah<br />
<strong>dan</strong> menyeiakan kebutuhan fasilitas yang diperlukan dalam pelaksanaan<br />
kegiatan programnya. Mungkin pemerintah pusat juga perlu membangun
eberapa sarana rehabilitasi, tidak dibebankan kepada daerah<br />
seluruhnya.<br />
Sejauh ini masalah anggaran ini sudah dibicarakan dengan pihak<br />
<strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong> Departemen Sosial, bahkan<br />
dengan pihak Departemen Luar Negeri. Namun advokasi anggaran<br />
tersebut belum mengalami perubahan. Oleh karena itu dalam menangani<br />
proses reintegrasi korban trafficking, Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />
masih suka minta bantuan dari Dinas Sosial karena dia memiliki anggaran<br />
<strong>dan</strong>a dekonsentrasi seperti untuk makanan <strong>dan</strong> atau akomodasi korban<br />
trafficking. Sebetulnya di dalam anggaran Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />
Perempuan <strong>dan</strong>a seperti itu juga dialokasikan dalam pos operasionalisasi<br />
shelter, tetapi <strong>dan</strong>anya terbatas. Sebagai contoh untuk tahun 2009<br />
anggaran yang dialokasikan adalah untuk 125 korban trafficking dengan 3<br />
kali makan @ Rp 40.000,-/hari. Berdasarkan jumlah tersebut maka setiap<br />
bulannya hanya di posting sekitar 10 orang korban. Selain itu, karen a<br />
berdasarkan ketentuan anggaran harus terukur, maka di Ba<strong>dan</strong><br />
Pemberdayaan Perempuan ada ketentuan bahwa maksimum hanya bisa<br />
menanggung korban selama 3 hari <strong>dan</strong> peraturan di shelter maksimum<br />
adalah 7 hari. Jadi anggaran per bulan yang tersedia di Ba<strong>dan</strong><br />
Pemberdayaan Perempuan adalah 30 OH, sementara faktanya bisa lebih<br />
dari itu, karena ada juga korban trafficking yang tinggal sampai dengan<br />
sebulan lamanya. Jadi bila jumlah korban yang ditangani masih dalam<br />
batas posting anggaran yang tersedia maka akan ditanggulangi sendiri<br />
oleh Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan, tetapi bila jumlahnya lebih dari itu<br />
barulah mencari bantuan dari instansi lain yang memiliki budget untuk<br />
menangani korban trafficking, seperti Dinas Sosial atau dari Yayasan<br />
Setara Kita <strong>dan</strong> sebagainya. Bahkan ka<strong>dan</strong>gkala bisa juga mengeluarkan<br />
uang dari kantong pribadi karena sudah komitmen dari aparat Ba<strong>dan</strong><br />
Pemberdayaan Perempuan. Dalam kaitan dengan bantuan antar instansi,<br />
dengan a<strong>dan</strong>ya Gugus Tugas prosesnya menjadi relatif lebih mudah<br />
karena pencarian bisa dilakukan melalui komunikasi telepon, kalau tidak<br />
ada di APBD kota Batam masih bisa mencari ke propinsi.<br />
252
Menurut responden dari Yayasan Setara Kita, dalam menangani<br />
trafficking ini harusnya pemerintah memiliki langkah yang lebih panjang<br />
daripada LSM yang lebih terbatas. Jadi misalnya dalam kaitan dengan<br />
anggaran, maka pemerintah tidak tepat bicara keterbatasan anggaran,<br />
lebih tepat kalau itu menjadi keluhan bagi LSM. Karena Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />
nomor 21 jelas mengamanatkan bahwa pemerintah harus mengambil<br />
langkah-langkah yang strategis, termasuk dalam hal penganggaran.<br />
Dengan demikian terkesan bahwa pemerintah sendiri melanggar un<strong>dan</strong>g<br />
un<strong>dan</strong>g, karena tidak melaksanakan kewajiban yang diamanatkan dalam<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 21 yang mengatur tentang perdagangan orang,<br />
baik itu mengenai pencegahan, penanganan, pemulangan, rehabilitasi,<br />
pendampingan <strong>dan</strong> sebagainya. ltu semua menjadi kewajiban dari<br />
pemerintah, sementara LSM hanya melakukan sebagian kecil yang bisa<br />
dilakukannya. Tetapi kenyataannya ka<strong>dan</strong>gkala posisinya terbalik di mana<br />
pihak LSM lebih agresif yang ditandai dengan selalu berbicara dengan<br />
pihak terkait yang menangani trafficking. Menurut LSM ini munculnya<br />
keterbatasan anggaran pemerintah untuk penanganan trafficking tersebut<br />
karena tidak a<strong>dan</strong>ya komitmen pemerintah untuk menjalankan un<strong>dan</strong>g<br />
un<strong>dan</strong>g, karena bila memiliki komitmen terhadap un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g tersebut<br />
maka semuanya bisa dianggarkan. Penganggaran tersebut, baik di<br />
daerah atau di pusat, bisa dianggarkan dalam anggaran instansi yang<br />
menjadi leading sektornya, seperti Pemberdayaan Perempuan, Depsos,<br />
atau Kesra. Ketersediaan <strong>dan</strong> kecukupan anggaran ini penting, karena<br />
kekurangan anggaran tersebut berakibat pada tidak optimalnya<br />
penanganan korban trafficking.<br />
253<br />
Yayasan Setara pernah mengadvokasi anggaran untuk<br />
penanganan trafficking di propinsi Kepulauan Riau <strong>dan</strong> tampaknya<br />
anggota DPRD Propinsi cukup responsif. Dalam kaitannya dengan<br />
anggaran, harapannya dalam pertemuan pertama tim Gugus Tugas ,baik<br />
di kota maupun propinsi, mereka harus mengadvokasi anggaran dengan<br />
datang atau minta hearing ke DPRD. Dengan demikian ketika mengajukan<br />
anggaran untuk penanganan trafficking tidak sulit karena mereka sudah
tahu secara persis.Hal ini penting karena ka<strong>dan</strong>g masih ada anggota<br />
Dewan yang berpendapat bahwa korban trafficking tersebut bukan warga<br />
Kepulauan Riau sehingga tidak perlu diprioritaskan.<br />
Sebenarnya masalah besarnya jumlah korban <strong>dan</strong> kebutuhan<br />
anggaran penanganan korban trafficking dapat diprediksi yang dalam<br />
beberapa tahun terakhir ini rata-rata jumlahnya mencapai sekitar 200<br />
orang per tahun. Dalam konteks peraturan ataupun perun<strong>dan</strong>gan masalah<br />
trafficking tidak terpengaruh oleh trend sehingga berbeda dengan masalah<br />
TKI B. Misalnya pemulangan TKI B meningkat ketika ada pressure dari<br />
pemerintah pusat ataupun dari negara tetangga, tetapi trafficking tidak<br />
terpengaruh oleh hal semacam itu karena mungkin masuknya juga secara<br />
ilegal sehingga menjadi kasus, sehingga pulangnya pun menjdi kasus<br />
pula. Namun karena masalah teknis dalam kebijakan APBD maka jumlah<br />
tersebut tentunya tidak dapat dipenuhi semua.<br />
8.2.9. Masalah Koordinasi Dalam Penanganan Trafficking<br />
Secara institusional, masalah trafficking ini tidak bisa ditangani oleh<br />
satu instansi yaitu <strong>Kementerian</strong> Peranan Wanita karena itu merupakan<br />
masalah lintas sektoral. Hal ini sudah pula disadari oleh para pejabat di<br />
Batam karena realitanya banyak sektor yang terkait dengan masalah ini.<br />
Untuk penanganan masalah trafficking koordinasi internal antar<br />
kabupaten/kota di Propinsi Kepulauan Riau cukup intens. Dari sisi<br />
kebijakan <strong>dan</strong> regulasi, apa yang ada sekarang pun dirasa sudah cukup<br />
memadai. Masalahnya penyelesaiannya harus menyeluruh, bukan hanya<br />
di Batam saja yang diselesaikan sementara dari daerah asal terus terjadi<br />
pengiriman sehingga tidak ada habisnya. Oleh karena itu Pemerintah Kota<br />
Batam meman<strong>dan</strong>g perlu melakukan koordinasi lintas daerah. Untuk itu<br />
bersama dengan propinsi Kepulauan Riau, pada tahun 2008, Pemerintah<br />
Kota Batam pernah mendatangi 3 propinsi sending dalam trafficking yaitu<br />
Jawa Barat, Jawa Timur, <strong>dan</strong> NTB. Dalam hal ini Pemerintah Kota Batam<br />
diwakili oleh Kasie Perencanaan Pemberdayaan Perempuan, Kepala<br />
Kantor Pemberdayaan Perempuan, <strong>dan</strong> lstri Gubernur Kepulauan Riau<br />
254
yang juga sebagai anggota DPD. Demikian seriusnya pada saat datang ke<br />
Jawa Barat, rombongan dari Batam dipimpin langsung oleh Asisten I<br />
Gubernur. Koordinasi lintas daerah ini, khususnya dengan daerah<br />
pengirim, dimaksudkan untuk membuat semacam MoU dalam<br />
penanganan trafficking agar beban sosial di Batam jangan terlalu berat<br />
bila harus ditanggulangi sendiri. Harapannya dari koordinasi ini adalah<br />
a<strong>dan</strong>ya tanggung jawab bersama antara Batam ataupun Kepulauan Riau<br />
dengan propinsi sending. Jadi misalnya pihak Kepulauan Riau<br />
memberikan perlindungan sementara, rehabilitasi kesehatan sementara,<br />
pendampingan sementara, <strong>dan</strong> sebagainya, kemudian pihak propinsi<br />
sending menangani pemulangannya. Selain itu agar pemerintah daerah di<br />
Jawa (khususnya aparat desa) tidak terlalu mudah memberikan surat jalan<br />
ataupun surat pindah kepada mereka yang akan bekerja ke Batam.<br />
Permasalahannya, ternyata tidak mudah di dalam melakukan koordinasi<br />
<strong>dan</strong> implementasi antar daerah propinsi tersebut. Dalam birokrasi<br />
pemerintahan koordinasi mudah diucapkan tetapi susah dilaksanakan,<br />
mungkin juga bertambah sulit sebagai akibat dari otonomi daerah.<br />
Sebagai contoh, koordinasi kepada Gubernur Jawa Barat di Bandung<br />
belum berhasil karena dengan berbagai alasan ternyata Gubernur Jawa<br />
Barat tersebut kurang menerima fakta <strong>dan</strong> bahkan cenderung menolak<br />
realita yang diungkapkan oleh pihak Batam bahwa di Jawa Barat terdapat<br />
kantong-kantong sending area. Bahkan salah satu kepala dinasnya<br />
mengatakan bisa saja terjadi bahwa identitas yang bersangkutan<br />
sebenarnya bukan orang Jawa Barat tetapi memalsukan identitasnya atau<br />
mengaku dari Jawa Barat. Sementara dari pihak pemda Batam lebih fokus<br />
pada upaya mencari pemecahan masalah trafficking melalui koordinasi<br />
antar daerah. Persoalannya ketika dibicarakan masalahnya, daerah asal<br />
tidak menyiapkan <strong>dan</strong>a untuk menjemput mereka. Oleh karena itu<br />
terpaksa pihak Pemerintah Kota Batam yang mengeluarkan <strong>dan</strong>a<br />
mengantarkan para korban. Jadi dalam konteks tersebut, persoalannya<br />
buat pihak Batam tidak perlu saling berargumentasi, karena sebagai<br />
pemerintah tentunya memiliki tanggungjawab sosial. Jadi yang perlu<br />
255
dipikirkan adalah bagaimana menyelamatkan korban trafficking. Namun<br />
karena dirasakan bahwa Pemerintah Daerah Propinsi jawa Barat kurang<br />
responsif, maka koordinasi yang dicoba dibangun oleh Pemerintah Kota<br />
Batam pun seolah-olah menemui jalan buntu. Dengan datang ke<br />
Bandung, tadinya, diharapkan bahwa Propinsi Jawa Barat bisa<br />
memfasilitasi untuk koordinasi dengan daerah kabupaten/kota di<br />
bawahnya. Karena tidak a<strong>dan</strong>ya respons yang positif, berarti Pemerintah<br />
Kota Batam perlu melakukan koordinasi langsung dengan<br />
kabupaten/kotanya. Persoalannya dalam melakukan koordinasi tersebut<br />
tidak mungkin bagi Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan untuk berkunjung<br />
berulangkali mengingat a<strong>dan</strong>ya keterbatasan anggaran. Untuk mengatasi<br />
persoalan tersebut sudah diadvokasi dengan meminta bantuan dari<br />
<strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong> juga Menkokesra untuk<br />
difasilitasi agar daerah-daerah yang bersangkutan dapat bertemu.<br />
Harapannya pemerintah pusat mengadvokasi kepada daerah-daerah yang<br />
mempunyai mind set seperti itu dengan memberikan penyadaran terus<br />
menerus dalam pola berfikir para pejabat terkait mengenai pentingnya<br />
koordinasi dalam penanganan masalah trafficking. Melalui pertemuan<br />
tersebut diharapkan terjalin kerjasama antara daerah pengirim <strong>dan</strong> daerah<br />
penerima sehingga penanganan masalah trafficking bisa lebih efisien <strong>dan</strong><br />
efektif. Memang sudah ada respons berupa kunjungan dari kementerian<br />
Pemberdayaan Perempuan atau Menkokesra ke daerah pengirim, namun<br />
sampai sekarang pertemuan antar daerah yang diharapkan tersebut<br />
belum terrealisasikan.<br />
256<br />
Sejauh ini Pemerintah Kota Batam merasakan bahwa koordinasi<br />
dengan Pemerintah Propinsi Jawa Timur sejauh ini lebih responsif.<br />
Bahkan dinas terkait yang ada di bawahnya sering melakukan komunikasi<br />
dengan Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan Batam. Responsivitas tersebut<br />
mungkin terjadi karena di Jawa Timur sudah memiliki PPT (Pusat<br />
Pelayanan Terpadu) yang diposisikan di bawah supervisi Kepolisian <strong>dan</strong><br />
Satpol PP. Untuk Propinsi Jawa Tengah, khususnya Semarang, juga<br />
dirasakan cukup responsif terhadap upaya koordinasi yang dilakukan
Pemerintah Kota Batam. Hanya masih disayangkan shelter yang<br />
dikelolanya tertutup untuk publik <strong>dan</strong> belum menangani masalah<br />
trafficking, karena ternyata shelternya dikhususkan untuk masalah KDRT.<br />
Namun bagaimana pun mereka sudah memperlihatkan respons positif<br />
dalam artian mau mengakomodir apa yang diharapkan oleh pihak Batam.<br />
Seperti telah dikatakan, untuk koordinasi internal di Batam tidak<br />
ada masalah. Sejauh ini tidak ada masalah ego sektoral dalam menangani<br />
masalah trafficking di Batam. Meskipun diakui bahwa masalah advokasi<br />
anggaran masih belum menghasilkan perubahan. Tapi yang<br />
mengkhawatirkan adalah terjadinya antiklimaks berupa kebosanan karena<br />
dari tahun 2004 sampai dengan 2009 jumlah korban trafficking ini tidak<br />
pernah turun. Bila Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan terus menerus<br />
menangani masalah trafficking tetapi jumlah kasusnya tidak juga menurun<br />
maka dikhawatirkan muncul kejenuhan <strong>dan</strong> penolakan dari masyarakat.<br />
Para pejabat terkait <strong>dan</strong> juga LSM sudah menyadari bahwa Batam<br />
sebagai daerah perbatasan yang paling dekat dengan Singapore <strong>dan</strong><br />
Malaysia memiliki daya tarik tersendiri bagi orang Indonesia di luar<br />
Keulauan Riau. Menurut responden dari P4TKI, TKI yang dikirim melalui<br />
Batam 75 % berasal dari daerah Jawa. Mereka yang berangkat dari<br />
Batam lebih banyak tujuan ke Singapore ketimbang Malaysia, tapi<br />
perbedaannya tidak terlalu jauh. Per bulan sekitar 500 sampai 600 TKI<br />
dikirim ke luar melalui Batam. Banyak orang terbujuk untuk bekerja di<br />
Malaysia baik sebagai pekerja formal maupun informal, <strong>dan</strong> yang paling<br />
murah menuju ke sana adalah melalui Batam. Akhirnya Batam terkena<br />
akibatnya, sehingga masyarakat Kepulauan Riau sendiri yang seharusnya<br />
menjadi prioritas menjadi agak terabaikan, padahal di Kepulauan Riau<br />
sendiri banyak masyarakat pesisir di pulau-pulau yang harus ditangani.<br />
Oleh karena itu sekarang sudah mulai menjadi tekanan dari pemerintah<br />
daerah untuk memikirkan masyarakat hinterland. lndikasinya sudah mulai<br />
tampak di mana sekarang ini sudah mulai muncul pendapat baik dari<br />
anggota DPRD maupun masyarakat umum (terutama di kecamatan pulau<br />
pulau yang ekonominya rendah) yang berpendapat "mestinya kan tidak<br />
257
Batam saja yang bertanggung jawab, pengirimnya juga harus dibebani<br />
juga tanggung jawab". Sekarang sudah mulai muncul keluhan dari<br />
masyarakat tempatan "tolonglah urus kita yang ada di tempatan, jangan<br />
urus lagi orang-orang di perkotaan atau mainland'. Keluhan semacam itu<br />
tentunya harus diperhatikan karena Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />
tidak hanya mengurus masalah trafficking tetapi juga masalah KDRT,<br />
Pengembangan Ekonomi Produktif, Pengarusutamaan Gender. Jadi<br />
trafficking itu hanya menjadi salah satu bagian dari satu bi<strong>dan</strong>g yang<br />
besar yang harus ditangani. Selama ini fokus perhatian terlalu diarahkan<br />
kepada trafficking padahal Pengembangan Ekonomi Produktif untuk<br />
menunjang keluarga malah kurang diperhatikan.<br />
Gambar 11.<br />
Peneliti di<br />
Yayasan<br />
Setara<br />
Kita<br />
Salah seorang peneliti<br />
se<strong>dan</strong>g melakukan<br />
wawancara dengan<br />
Direktur Eksekutif Yayasan<br />
Setara Kita di Batam<br />
Hal yang juga perlu diperhatikan dari paparan di atas adalah bahwa<br />
dengan a<strong>dan</strong>ya otonomi daerah semua orang tidak begitu kelihatan lagi<br />
semangat kesatuan sebagai NKRinya. Jadi yang muncul adalah ego<br />
daerah. Hal ini nampak dari pernyataan yang sering dilontarkan baik itu<br />
DPRD maupun Pemerintah kota Batam yang selalu mengatakan bahwa<br />
"korban adalah bukan dari kita, sementara kita memberi makan mereka".<br />
Selain itu sulitnya membangun koordinasi lintas daerah dalam upaya<br />
menangani masalah trafficking juga memperlihatkan a<strong>dan</strong>ya indikasi ego<br />
daerah.<br />
Selain a<strong>dan</strong>ya koordinasi lintas daerah dengan beberapa daerah<br />
yang memberikan respons positif, Pemda Batam juga melakukan<br />
koordinasi lintas negara yakni dengan dengan KJRI <strong>dan</strong> KBRI yang ada di<br />
258
Malaysia <strong>dan</strong> atau Singapore. Yang dimaksud dengan koordinasi lintas<br />
negara adalah ketika KJRI/KBRI yang ada di Malaysia atau Singapore<br />
akan memulangkan korban trafficking, maka 2 hari sebelum<br />
pemulangannya sudah harus mengirimkan fax mengenai data-data korban<br />
kepada Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan sebagai leading sektor<br />
penanganan trafficking, khususnya yang bestatus TKW karena untuk<br />
kasus lainnya ditangani oleh Dinas Sosial. Kerjasama ini terbangun<br />
karena Batam adalah daerah terdekat, sehingga ketika terjadi<br />
permasalahan trafficking, termasuk buruh migran, maka yang akan<br />
dihubungi oleh KJRI <strong>dan</strong> KBRI tersebut adalah Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />
Perempuan Kota Batam. Disadari pula oleh Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />
Perempuan bahwa bila KJRI melakukan pemulangan langsung maka<br />
<strong>dan</strong>anya akan cukup besar, oleh karena itu mereka transit dulu di Batam<br />
sebelum kembali ke daerah asal. Jadi ketika ada buruh migran yang<br />
dipulangkan, maka Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan akan<br />
menjemputnya di pelabuhan internasional Batam (di Batam Center). Jadi<br />
para korban trafficking, sebelum dikembalikan ke daerah asal tidak<br />
dibiarkan sendiri karena ketika sampai di Batam sudah menjadi<br />
tanggungjawab dari Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan. Mereka<br />
dimasukkan dalam kategori trafficking <strong>dan</strong> penanganannya diperlakukan<br />
sebagai korban trafficking, seperti dalam hal penampungan ataupun<br />
pemulangannya. Mereka diberi perlindungan dengan ditempatkan di<br />
shelter yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Batam. Dalam proses<br />
selanjutnya, Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan mengidentifikasi pihak<br />
korban <strong>dan</strong> menginventarisasi masalah yang dihadapi para TKW tersebut<br />
untuk mengetahui apakah dia menjadi korban karena tidak dibayar gaji<br />
atau penganiayaan atau masalah lainnya. Umumnya korban TKW<br />
tersebut menghadapi masalah tidak dibayar gaji; dianiaya; <strong>dan</strong><br />
diperlakukan tidak sesuai dengan perjanjian baik tertulis maupun lisan.<br />
Menurut responden dari UIB, ka<strong>dan</strong>gkala ada juga korban yang tidak<br />
dibayar gajinya karena sudah ada kesepakatan antara pengguna jasa<br />
dengan PJTKinya di mana pihak pengguna melakukan pembayaran di<br />
259
muka kepada PJTKI yang tidak diketahui oleh pihak korban, sehingga<br />
pihak pengguna tidak mau lagi membayar gaji kepada korban. Atau bisa<br />
juga ada kerjasama antara PJTKI dengan penggunanya sehingga<br />
akhirnya korban harus bekerja terus menerus tanpa digaji.<br />
260<br />
Masalah buruh migran korban trafficking ini bila mampu ditangani di<br />
Batam maka akan ditangani sendiri di Batam <strong>dan</strong> bila tidak mampu maka<br />
akan dialihkan ke Tanjung Pinang. Namun demikian untuk TKI resmi yang<br />
berangkat melalui PJTKI, bila dipulangkan tidak masuk dalam kategori<br />
trafficking karena sudah sesuai prosedur. Dalam konteks ini mereka<br />
dikategorikan sebagai TKI B atau TKI bermasalah <strong>dan</strong> jalur<br />
penanganannya lain yakni langsung ke Tanjung Pinang. Kategorisasi<br />
seperti tersebut memang sudah tepat karena menurut kacamata hukum<br />
bila perjanjian itu merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak (PJTKI<br />
<strong>dan</strong> TKI) maka itu sah. Tetapi masalahnya apa di situ ada unsur penipuan<br />
atau tidak ?, Misalnya iming-iming gaji yang tinggi sehingga korban<br />
terbujuk karena biasanya yang menjadi korban trafficking tersebut<br />
memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga mereka tidak<br />
mengetahui bila di situ ada unsur penipuannya. Bila ada penipuannya<br />
maka itu termasuk dalam kategori trafficking, karena meskipun definisi<br />
tentang trafficking sangat luas termasuk pemindahan <strong>dan</strong> sebagainya,<br />
tetapi secara hukum lebih pada terjadinya jual beli orang, ada <strong>dan</strong>a yang<br />
mengalir di situ, <strong>dan</strong> ada yang menikmati/mengambil keuntungan dari itu.<br />
Dalam realitanya relatif sulit untuk menentukan TKI legal atau<br />
ilegal. Masalahnya ketika berangkat ia pergi secara legal dengan pasport,<br />
tetapi ketika ia kembali <strong>dan</strong> pasportnya ditahan atau dibuang oleh<br />
majikan, sementara si pekerja tidak tahu siapa majikannya, maka menjadi<br />
sulit <strong>dan</strong> pulangnya menjadi ilegal karena tidak memiliki pasport. Biasanya<br />
Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan sudah mengetahui seseorang sebagai<br />
korban trafficking karena pihak KBRI sudah mengelompokkannya <strong>dan</strong><br />
memberitahu identitas korban trafficking tersebut <strong>dan</strong> minta dijemput.
Bila ditelaah tampaknya dalam kasus trafficking tersebut ada faktor<br />
kesengajaan dengan memanfaatkan ketidaktahuan korban. Dalam hal ini<br />
Malaysia mempunyai kesalahan dengan memberikan peluang kepada TKI<br />
untuk masuk ke Malaysia <strong>dan</strong> bekerja di sana. Sistem kependudukan<br />
mereka juga kurang bagus sehingga TKI ilegal bisa masuk ke sana, atau<br />
itu memang sengaja dibiarkan untuk dieksploitasi karena upahnya murah<br />
<strong>dan</strong> sebagainya. Namun demikian kesalahannya tidak bisa hanya<br />
dibebankan kepada Malaysia karena Indonesia juga turut bersalah.<br />
Sebagai contoh, dari sisi dokumennya banyak terjadi kesalahan antara<br />
data yang tercantum dalam dokumen dengan kenyataan yang<br />
sebenarnya.<br />
Dalam kaitan trafficking ini Batam hanya terkena masalah, karena<br />
meskipun mereka berangkat lewat Batam tetapi tidak pernah diberikan<br />
informasi mengenai hal keberangkatan tersebut, sehingga Pemerintah<br />
Kota Batam tidak mengetahuinya. Se<strong>dan</strong>gkan setelah mereka terkena<br />
masalah, mereka dikembalikan lewat Pemerintah Kota Batam. Untuk<br />
mengatasi hal itu Pemerintah Kota Batam telah melaksanakan koordinasi<br />
lintas daerah. Seperti telah diungkapkan terdahulu, karena dari data<br />
korban yang ada yang terbanyak berasal dari Jawa Barat maka Batam<br />
datang ke Propinsi Jawa Barat untuk melakukan kerjasama. Namun dari<br />
koordinasi tersebut diketahui bahwa sebenarnya pemerintah daerah di<br />
daerah asal juga tidak mengetahui bahwa korban yang bersangkutan<br />
terkirim sampai ke Malaysia. Jadi tampak seperti ada mata rantai yang<br />
terputus. Oleh karena itu sebenarnya harus ada kejelasan mengenai mata<br />
rantai dari jaringan pemberangkatannya mulai dari daerah asal, ke daerah<br />
transit (seperti Batam), sampai ke daerah tujuan. Pemberangkatan<br />
tersebut pada saat dilaksanakan harus diketahui persis oleh semua pihak<br />
yang ada dalam mata rantai tersebut. Misalnya bila ada laporannya bahwa<br />
ia direkrut, kemuian terlapor di Disnaker, kemudian diketahui oleh<br />
walikota/bupati <strong>dan</strong> Gubernur mengetahui bahwa dia dikirim lewat Batam<br />
<strong>dan</strong> pihak Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan Batam mengetahui bahwa<br />
dia dikirim ke suatu tujuan, maka tidak akan menjadi masalah.<br />
261
lmplikasinya, untuk mengatasinya, dalam mengirimkan TKW harus<br />
mengikuti jalur yang benar sesuai dengan prosedur yang sudah diatur<br />
oleh Depnaker <strong>dan</strong> daerah pengirimnya juga menyiapkan anggaran untuk<br />
mengantisipasi terjadinya korban trafficking. Untuk kepastian mekanisme<br />
masalah pengiriman ini tentunya perlu dikemas sesuai dengan regulasi<br />
yang ada. Dengan demikian dapat dilakukan tindakan pencegahan karena<br />
pihak Batam tidak hanya tahu ketika sudah ada kejadian korban,<br />
melainkan sudah mengetahui sebelumnya. Oleh karena itu masalah<br />
koordinasi lintas daerah menjadi penting karena untuk<br />
mengatasi/menekan masalah trafficking ini harus merupakan kerja tim,<br />
termasuk dari daerah asal.<br />
262<br />
Dalam konteks pencegahan sebenarnya tidak begitu sulit<br />
seandainya propinsi, kabupaten/kota sending juga mempunyai gugus<br />
tugas tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang sehingga penanganannya<br />
terpadu. Misalnya untuk tugas pencegahan, maka dalam gugus tugas<br />
tersebut ditentukan institusi apa yang harus menanganinya apakah di<br />
dinas pendidikan atau dinas kependudukan atau disnaker, <strong>dan</strong><br />
sebagainya. Karena selama ini daerah pengirim, bahkan pada level<br />
terbawah seperti RT, RW, Kelurahan, atau Kecamatan, ketika terjadi<br />
pemulangan korban seringkali mengatakan bahwa dia tidak mengetahui<br />
bila yang bersangkutan pergi ke Malaysia atau Arab Saudi atau<br />
Singapore, <strong>dan</strong> sebagainya. Oleh karena itu tidak heran bila tiba-tiba<br />
Batam harus menerima korban trafficking yang tidak diketahui asal<br />
muasalnya.<br />
Selain itu, melihat permasalahan sulitnya dalam melakukan<br />
koordinasi lintas daerah propinsi sebagaimana yang dialami pemerintah<br />
kota Batam, tampaknya dibutuhkan intervensi <strong>dan</strong> advokasi dari<br />
pemerintah pusat yang mendorong agar pemerintah daerah pengirim juga<br />
turut memperhatikan masalah trafficking. Namun demikian advokasi yang<br />
dilakukan oleh pemerintah pusat harus melibatkan beberapa kementerian<br />
terkait. Hal ini penting karena realita yang ada menunjukkan bahwa bila<br />
satu perwakilan kementerian datang ke daerah Batam atau Propinsi,
maka yang menghadapinya hanya SKPD tertentu saja. Misalkan kalau<br />
salah satu Deputi Kementrian Pemberdayaan Perempuan datang, maka<br />
yang menghadapinya hanya kepala Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan.<br />
Berbeda dengan masa sebelum otonomi daerah di mana siapa pun yang<br />
datang maka pucuk pimpinan daerah yang dikunjungi selalu merespon<br />
dengan baik. Berdasarkan pengamatan Yayasan Setara Kita, Kegagalan<br />
koordinasi lintas propinsi diakibatkan oleh kurang jelinya pemerintah pusat<br />
khususnya Kementrian Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong> Menko Kesra<br />
yang tidak pernah melibatkan Depdagri, sementara dalam era otonomi<br />
daerah ini peran Depdagri sangat krusial. Misalnya bila Dirjen Otonomi<br />
Daerah datang ke Batam, maka semua mulai Gubernur, Walikota, <strong>dan</strong><br />
Bupati datang menghadap. Sementara ini setiap dilakukan koordinasi<br />
nasional menyangkut masalah trafficking selama ini tidak pernah terlihat<br />
a<strong>dan</strong>ya pihak Depdagri. Sebagai contoh ketika Yayasan Setara Kita<br />
terlibat dalam pembuatan SOP/SPM nasional untuk pemulangan korban<br />
tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang tidak tampak melibatkan Depdagri, juga<br />
tidak ada Deplu. Ketika melakukan koordinasi lintas propinsi ke tiga<br />
daerah yaitu NTB, Jawa Barat <strong>dan</strong> Jawa Timur pun yang ada hanya dari<br />
<strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong> dari Menko Kesra,<br />
sementara dari Depdagri tidak ada. Padahal kalau ada dari pihak<br />
Depdagri mungkin responsnya akan sangat baik.<br />
Berdasarkan pertimbangan di atas maka intervensi pemerintah<br />
pusat yang dibutuhkan untuk penanganan trafficking mungkin berbentuk<br />
SKB 4 menteri yakni Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menkokesra,<br />
Menteri Dalam Negeri <strong>dan</strong> Menteri Luar Negeri. Keterlibatan Menteri<br />
Dalam Negeri ini krusial mengingat secara organisasional pemerintah<br />
daerah berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Dengan demikian<br />
diharapkan akan mendapat respons yang baik dari pemerintah propinsi,<br />
sehingga memudahkan dalam melakukan koordinasi yang pada gilirannya<br />
dapat mempercepat penanganan masalah trafficking.<br />
263
8.2.10.Keberadaan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21 Tahun 2007<br />
tentang Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />
Orang (TPPO)<br />
Sebelum lahir Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21, penanganan hukum<br />
masalah trafficking banyak sekali dipertanyakan oleh aparat penegak<br />
hukum, karena selama ini dalam menangani kasus trafficking tidak<br />
memiliki payung hukum yang kuat. Dalam prakteknya para penegak<br />
hukum hanya menggunakan KUHAP <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Tenaga Kerja<br />
yang tidak diyakini apakah traffickemya dapat dijerat dengan pasal hukum<br />
yang bersangkutan atau tidak. Dengan dikeluarkannya Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />
21 aparat penegak hukum sudah mulai menggunakannya dalam<br />
penanganan kasus trafficking. lmplikasi lainnya adalah bahwa dalam<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g nomor 21 juga diamanatkan untuk membentuk gugus<br />
tugas nasional, propinsi, <strong>dan</strong> kabupaten/kota. Dengan begitu cukup<br />
memperjelas tugas <strong>dan</strong> tanggung jawab dari masing-masing institusi.<br />
Hanya saja yang lebih penting sekarang ini adalah sosialisasi dari<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g nomor 21 tersebut di kalangan penegak hukum karena<br />
sejauh ini belum ada kesamaan persepsi di antara mereka. Pada tingkat<br />
nasional hal tersebut sudah ada inisiasi, seperti di Kejaksaan Agung<br />
sudah dibentuk task force trafficking yang tugasnya mungkin melakukan<br />
sosialisasi ke kejaksaan kabupaten/kota. Demikian juga dengan<br />
Bareskrim Kepolisian sudah ada task forcenya. Namun pada tingkat<br />
daerah seperti Batam belum ada pembentukan task force semacam itu.<br />
Yang paling penting Mahkamah Agung harus juga mempunyai task force<br />
untuk melakukan sosialisasi kepada para hakim <strong>dan</strong> pengadilan, karena<br />
dalam Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g 21 ada salah satu pasal yang mengatakan<br />
'dibolehkan saksi korban bersaksi di bawah sumpah <strong>dan</strong> tidak harus<br />
datang di persi<strong>dan</strong>gan' tapi pemahaman di antara mereka sendiri tidak<br />
seragam. Sebagai contoh kasus, seorang anak harus di datangkan<br />
kembali dari kampungnya di Jawa Barat oleh Yayasan Setara Kita untuk<br />
bersaksi di persi<strong>dan</strong>gan. Hal ini tentunya membutuhkan biaya yang cukup<br />
264
mahal termasuk keamanannya. Padahal dalam pasal itu jelas<br />
diperbolehkan tidak hadir. Keberadaan task force tersebut di MA sangat<br />
krusial karena sudah biasa terjadi di Indonesia di mana untuk<br />
memperbaiki kondisi aparat penegak hukum terbawah pun harus ada<br />
instruksi (fatwa) dari yang paling tinggi. Bila yang mengatakan atau<br />
mempersepsikan hukum tersebut dari kalangan lain, meskipun dibuka <strong>dan</strong><br />
dibacakan pasal dalam Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>gnya maka tidak akan dihiraukan,<br />
kecuali kalau hal tersebut sudah diterjemahkan <strong>dan</strong> disosialisasikan<br />
secara jelas oleh jenjang yang paling atas.<br />
265
BAB9<br />
IMPLIKASI KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN<br />
PENANGGULANGANPERDAGANGANPEREMPUAN<br />
9.1. Kelemahan Hukum Positif Dalam Upaya Pencegahan<br />
<strong>dan</strong> Penanggulangan Perdagangan Perempuan<br />
Beberapa tahun terakhir ini, pihak yang berwajib telah banyak<br />
melakukan tindakan hukum kepada para trafficker <strong>dan</strong> memproses<br />
mereka secara hukum serta mengajukannya ke Pengadilan. Namun pihak<br />
kepolisian, kejaksaan, advokaU pengacara <strong>dan</strong> pengamat yang peduli<br />
terhadap masalah perdagangan orang mengeluhkan a<strong>dan</strong>ya kendala di<br />
bi<strong>dan</strong>g perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang menyebabkan hukuman yang<br />
diberlakukan kepada trafficker tidak cukup berat <strong>dan</strong> tidak menimbulkan<br />
efek jera bagi mereka. 59<br />
Menurut Harkristuti Harkrisnowo 60 , pengaturan tentang<br />
perdagangan orang dalam perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan Indonesia yang ada,<br />
dinilai sangat kurang memadai dikaitkan dengan luasnya pengertian<br />
tentang perdagangan orang sehingga tidak dapat digunakan untuk<br />
menjaring semua perbuatan dalam batasan yang berlaku sekarang.<br />
Menurutnya, ada beberapa pasal dalam KUHP yang dapat digunakan<br />
untuk menjaring sebagian perbuatan perdagangan orang walaupun tak<br />
lepas dari berbagai kelemahan.<br />
Pasal 297 KUHP secara khusus mengatur perdagangan<br />
perempuan <strong>dan</strong> anak laki-laki di bawah umur. Dilihat dari sudut korban,<br />
59 Human Trafficking: Upaya Penceghan Dan penanggulangan Terpadu terhadap Perdagangan<br />
Perempuan, Kasus Batam. Laporan Akhir Tahun 2009, Kegiatan Program lnsentif Bagi Peneliti<br />
<strong>dan</strong> Perekayasa, Depdiknas- LIP!.<br />
60 Harkristuti Harkrisnowo, 2003.0p.cit.
hampir seluruh kasus yang ditemukan korbannya adalah perempuan <strong>dan</strong><br />
anak-anak di bawah umur, termasuk bayi.<br />
Kelemahan lain dari Pasal 297 KUHP ini adalah hanya membatasi<br />
ruang lingkup pada eksploitasi seksual, artinya pasal ini baru dapat<br />
menjaring perdagangan manusia apabila korbannya digunakan untuk<br />
kegiatan yang bersifat eksploitasi seksual, padahal ada bentuk-bentuk<br />
eksploitasi lain yang menjadikan korbannya sebagai tenaga kerja,<br />
pembantu rumah tangga, bahkan untuk adposi ilegal anak <strong>dan</strong> bayi.<br />
Kendati dalam kenyataannya, tujuan eksploitasi seksual merupakan<br />
bagian terbesar dalam perdagangan manusia, khususnya perempuan <strong>dan</strong><br />
anak-anak, namun tidak dapat dipungkiri a<strong>dan</strong>ya bentuk -bentuk lain yang<br />
tujuan untuk menjadikan korban sebagai tenaga kerja, pembantu rumah<br />
tangga, bahkan untuk perdagangan anak <strong>dan</strong> bayi tujuannya adalah untuk<br />
adopsi (dalam hal ini maksudnya adopsi ilegal).<br />
Permasalahan lain yang berkaitan dengan Pasal 297 KUHP adalah<br />
tentang batas usia belum dewasa (di bawah umur) bagi anak laki-laki<br />
yang diperdagangkan. Seperti diketahui, dalam KUHP tidak ada satu<br />
ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia belum<br />
dewasa ataupun usia dewasa. Dalam pasal-pasal yang mengatur tentang<br />
korban di bawah umur, ada pasal yang hanya sekedar menyebutkan<br />
bahwa korbannya harus di bawah umur, tetapi ada pula pasal-pasal yang<br />
secara khusus menyebutkan usia 12 tahun, 15 tahun, 17 tahun sehingga<br />
tidak ada patokan yang jelas untuk masalah umur ini. Sementara itu,<br />
menurut Burgerligh Wetbook (BW), usia belum dewasa adalah di bawah<br />
21 tahun atau belum menikah, sementara menurut Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia belum dewasa<br />
adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah<br />
melangsungkan perkawinan. Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 3 Tahun 1997 tentang<br />
Pengadilan Anak juga menyatakan bahwa anak adalah orang yang<br />
mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun <strong>dan</strong> belum<br />
pernah kawin'. Di sini dapat ditafsirkan bahwa seseorang di bawah umur<br />
18 tahun yang su<strong>dan</strong> kawin berarti tidak masuk kategori 'anak' lagi. Lebih<br />
267
lanjut dalam Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan<br />
Anak disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah "seseorang<br />
yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam<br />
kandungan". Mengenai batasan usia ini harus ada satu ketentuan yang<br />
tegas agar hanya ada satu pengertian.<br />
Demikian juga dengan penggunaan pasal 324 KUHP. Pasal ini pun<br />
sesungguhnya telah melarang perbuatan yang dapat dikategorikan<br />
sebagai perdagangan manusia. Tidak berbeda dengan pasal 297 KUHP,<br />
dalam pasal inipun disebutkan obyeknya secara khusus, yaitu budak<br />
belian. Dengan demikian keberlakuan pasal ini sempit sekali. Dengan<br />
telah dihapusnya perbudakan di Indonesia, maka menjadi pertanyaan,<br />
apakah berarti pasal ini harus dianggap tidak berlaku lagi, karena hal yang<br />
diaturnya telah dihapuskan. Seolah-olah pasal ini telah dicabut sejalan<br />
dengan dihapuskannya perbudakan di Indonesia, karena dalam<br />
kenyataanya pasal ini memang tidak pernah disinggung apalagi dibahas<br />
dalam pembicaraan tentang perdagangan manusia.<br />
Di samping Pasal 297 KUHP, Pasal 324 juga dapat dipergunakan<br />
untuk menjaring sebagian perbuatan perdagangan orang karena pasal ini<br />
melarang perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perdagangan<br />
manusia, namun obyeknya disebutkan secara khusus yaitu budak belian<br />
sehingga keberlakuan pasal ini menjadi sempit sekali. Sesungguhnya<br />
untuk menjaring para penjual tenaga kerja, pasal ini dapat untuk<br />
digunakan. Meskipun tentunya mengun<strong>dan</strong>g perdebatan tersendiri,<br />
tidakkah mengkategorikan tenaga kerja sebagai budak belian berarti<br />
melakukan penafsiran analogi ataukah hanya sekedar memperluas arti<br />
kata sesuai dengan perkembangan masyarakat ?<br />
Dalam kenyataannya, kendala dalam perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan<br />
Indonesia untuk masalah perdagangan manusia, tidak hanya mengenai<br />
hukum materilnya. KUHAP sebagai ketentuan yang mengatur proses<br />
beracara pi<strong>dan</strong>a, ternyata dinilai sudah kurang memadai untuk menangani<br />
kasus-kasus yang terjadi saat ini, misalnya dalam hal organized crime.<br />
268
Pengungkapan <strong>dan</strong> pembuktian kasus tindak pi<strong>dan</strong>a yang dilakukan oleh<br />
sindikat, yang biasanya banyak terjadi dalam hal perdagangan manusia,<br />
memerlukan ketentuan khusus terutama yang berkaitan dengan para<br />
korbannya. Harus ada ketentuan yang memberikan perlindungan pada<br />
mereka, antara lain misalnya dalam hal pemberian kesaksian yang tidak<br />
harus dilakukan di depan persi<strong>dan</strong>gan. Ketentuan ini dibuat dengan<br />
maksud menghindarkan korban dari tindakan balas dendam organisasi si<br />
pelaku.<br />
Sebagai norma baru yang diatur dalam instrumen internasional<br />
pemberantasan perdagangan orang, maka sudah barang tentu karakter<br />
<strong>dan</strong> unsur substansi hukum yang dikandungnya sama sekali norma baru<br />
dalam hukum positif di Indonesia. Karena itu, tidak diperoleh pa<strong>dan</strong>an<br />
yang konkruen apalagi persis serupa jika dirujuk ke dalam norma hukum<br />
nasional. Baik hukum pi<strong>dan</strong>a yang sudah terkodefikasi dalam KUHP<br />
maupun hukum nasional lainnya yang tersebar di luar KUHP. Misalnya<br />
saja rumusan kejahatan perdagangan orang, KUHP tidak memiliki<br />
pa<strong>dan</strong>an yang bisa mengikuti alur normatif <strong>dan</strong> unsur yang diatur dalam<br />
Protokol. Bahkan dalam RUU KUHP yang se<strong>dan</strong>g disiapkan sekalipun,<br />
rumusan kejahatan perdagangan orang versi Pasal 544 RUU KUHP<br />
sungguh tidak memadai.<br />
Oleh karena banyak unsur perbuatan yang terabaikan. Pembuatan<br />
draf RUU KUHP Pasal 544 justru (apabila disahkan) menghilangkan<br />
sejumlah unsur sehingga jelas hanya kriminalisasi terbatas saja atas<br />
kejahatan perdagangan orang.<br />
Rumusan yang serupa dengan Pasal 544 RUU KUHP, ditemukan<br />
dalam rumusan Pasal 3 Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />
Orang (RUU PTPPO). Dengan demikian, antara RUU KUHP Pasal 544<br />
<strong>dan</strong> RUU PTPPO Pasal 3, sating mengambil alih.<br />
269<br />
Jika · dibandingkan dengan rumusan dalam Protokol maka secara<br />
jelas dapat diidentifikasi a<strong>dan</strong>ya kelemahan dalam merumuskan
pengertian perbuatan perdagangan orang. lni adalah sumber utama<br />
dalam meloloskan pelaku kejahatan trafficking.<br />
Dalam pengertian kejahatan perdagangan orang, sebenarnya, tidak<br />
memberikan unsur persetujuan (by consent) dari korban. Karena tidak lagi<br />
dipersoalkan ada atau tidaknya unsur persetujuan korban apabila<br />
dilakukan bentuk-bentuk modus perbuatan yang dilakukan untuk<br />
perdagangan orang. Kehilangan elemen ini dalam rumusan pasal akan<br />
menjadi dalih untuk membebaskan pelaku, karena selalu dikemukakan<br />
a<strong>dan</strong>ya persetujuan korban.<br />
Karena dalam banyak kasus <strong>dan</strong> praktek perdagangan orang yang<br />
muncul di lapangan, pelaku kerapkali berdalih bahwa korban yang<br />
dibawanya "sudah setuju", sudah ada "kehendak sendiri dari korban",<br />
"korban mau <strong>dan</strong> setuju ikuf'. Apalagi jika korbanya adalah anak-anak<br />
sehingga elemen sudah a<strong>dan</strong>ya persetujuan dari korban sudah diterima<br />
secara normatif tidak diperlukan lagi. Namun, dalam RUU KUHP Pasal<br />
544, unsur persetujuan ini tidak dieksplisitkan ke dalam pasal 544 RUU<br />
KUHP.<br />
270<br />
Dalam Pasal 544 RUU KUHP, perbuatan yang dilarang dipersempit<br />
hanya untuk tujuan eksploitasi. Namun tidak secara eksplisit dikemukakan<br />
eksploitasi seksual <strong>dan</strong> eksploitasi ekonomi seperti dalam Protokol.<br />
Selain itu, dalam Protokol bukan saja maksud perbuatan<br />
mengakibatkan atau bertujuan eksploitasi, namun bisa juga terjadinya<br />
perhambaan <strong>dan</strong> transfer organ. Oleh karena itu, Pasal 544 RUU KUHP<br />
mengeliminir banyak unsur dalam Protokol. lmplikasinya, jika tidak ada<br />
unsur eksploitasi, sebagaimana dalam rumusan RUU KUHP <strong>dan</strong> UU<br />
PTPPO, maka bukanlah trafiking. Se<strong>dan</strong>gkan eksploitasi, dalam kasus<br />
jual beli bayi untuk transfer organ, tidak dapat diidentifikasi eksploitasi atas<br />
korban.<br />
Secara umum, hukum nasional di Indonesia belum<br />
mengintegrasikan seluruh unsur dalam Protokol pemberantasan<br />
perdagangan orang. Karena itu, kelemahan dalam mengharmonisasikan
- . -<br />
RUUPTPPO Pasal RUU KUHP Pasal<br />
Kesaksian palsu,<br />
menyampaikan alat bukti<br />
palsu, atau mempegaruhi<br />
saksi, atau penyerangan atas<br />
saksi, petugas pengadilan<br />
Mencegah, merintangi,<br />
menggag-alkan penyidikan,<br />
penuntut
kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan derita secara fisik,<br />
psikologis, <strong>dan</strong> seksual.<br />
Dalam UU PTPPO, pemberatan hukuman atas korban anak yang<br />
diperdagangankan oleh orangtua atau walinya yang sah, dapat dijatuhkan<br />
hukuman tambahan sepertiga dari pi<strong>dan</strong>a maksimum. Terkesan norma<br />
pemberatasan hukuman itu bermanfaat, namun tidak secara kuat<br />
mengikat hakim oleh karena hakim dapat mengelak dengan<br />
menggunakan kata "dapat", yang boleh diterapkan boleh tidak. Sehingga<br />
tidak merupakan hukum memaksa (imperatif) bagi hakim.<br />
Pemberatan hukuman ini relevan jika secara sistematis dirujuk<br />
dengan Pasal 58 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi<br />
Manusia, yang menegaskan bahwa orangtua atau wali atau pengasuh<br />
anak melakukan segala bentuk penganiayaan, penelantaran, perlakuan<br />
buruk <strong>dan</strong> pelecehan seksual, termasuk perkosaan <strong>dan</strong> atau pembunuhan<br />
terhadap anak yang seharusnya dilindunginya, maka harus dikenakan<br />
pemberantasan hukuman. Pasal ini bisa dipergunakan kendati tidak<br />
secara eksplisit menyebutkan kejahatan perdagangan anak di dalamnya.<br />
Dalam UU PTPPO, masalah pemulangan (repatriasi) korban<br />
perdagangan orang hanya diatur dalam satu pasal 44 RUU PTPPO.<br />
Padahal, dalam totalitas Protokol, masalah repatriasi iatur dalam banyak<br />
aspek. Sebab, repatriasi bukan saja masalah pemulangan saja, namum<br />
memastikan bagaimana korban memperoleh kembali hak-haknya atas<br />
dokumen perjalanan sementara), pengembalian hak-hak pribadinya,<br />
perawatan sebelum repatriasi, <strong>dan</strong> perlindungan fisiknya dari kejaran<br />
sindikat.<br />
Dengan demikian, norma Pasal 44 ayat (1) UU PTPPO masih<br />
hampa <strong>dan</strong> lemah untuk memberikan kepastian hukum dalam melindungi<br />
korban yang berada di luar negeri. Belum lagi untuk memastikan siapakah<br />
yang bertindak mewakili atas nama negara di luar negeri. Apakah yang<br />
mewakili Indonesia adalah KBRI - seperti yang diatur dalam UU No. 37<br />
Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.<br />
274
sangat diskriminatif terhadap anak, <strong>dan</strong> membangun konstruksi<br />
perlindungan yang sama dengan orang dewasa. Suatu pan<strong>dan</strong>gan yang<br />
keliru jika dibandingkan dengan prinsip-prinsip kepentingan terbaik bagi<br />
anak (the best interest of the child), pendekatan khusus dalam proses<br />
pemeriksaan hukum, memosisikan anak bukan pelaku, tidak a<strong>dan</strong>ya<br />
persetujuan anak, ketidakmampuan anak bertindak mandiri, <strong>dan</strong> berbagai<br />
kerentanan anak lainnya.<br />
Bahkan, jika dibandingkan dengan norma lainnya dalam UU<br />
PTPPO, dapat ditegaskan bahwa UU ini lebih cenderung hanya<br />
melakukan kriminalisasi saja, namun banyak melupakan aspek<br />
perlindungan, repatriasi, <strong>dan</strong> rehabilitasi kepada anak-anak korban<br />
perdagangan orang. Padahal, secara teoritis pembentukan hukum baru<br />
dianggap progresif apabila memenuhi beberapa indikator, di antaranya:<br />
(1) Apakah norma hukum tentang kejahatan perdagangan orang yang<br />
sudah ada -- jika dibandingkan dengan instrumen/konvensi internasional -<br />
telah memuat norma hukum baru yang melindungi korban; (2) Apakah<br />
sudah menciptakan pelayanan standar yang semakin tinggi, sehingga<br />
memberikan kepastian hukum secara sangat terinci, lengkap, <strong>dan</strong> tidak<br />
dapat ditafsir lain atau multi tafsir; Dari UU PTPPO dewasa ini masih<br />
belum memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak sebagai<br />
korban perdagangan orang.<br />
276<br />
Indonesia juga telah meratifikasi konvensi hak anak, maka<br />
Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang<br />
termaktub di dalam Konvensi Hak Anak (Lihat Konvensi Hak Anak Tahun<br />
2000 hal. 121 ). Dalam substansi atau materi Konvensi Hak Anak<br />
melingkupi segenap hak yang secara tradisional melekat atau dimiliki<br />
anak sebagai manusia <strong>dan</strong> hak-hak anak sebagai hak anak yang<br />
memerlukan perlakuan <strong>dan</strong> perlindungan khusus. Konvensi Hak Anak<br />
terdiri dari 54 (lima puluh empat) pasal yang berdasar materi hukumnya<br />
mengatur mengenai hak-hak anak <strong>dan</strong> mekanisme implementasi hak anak<br />
oleh negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak.
Materi hukum hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak tersebut<br />
dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak:<br />
1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival right), yaitu hak-hak<br />
anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak-hak anak untuk<br />
melestarikan <strong>dan</strong> mempertahankan hidup (the rights of life) <strong>dan</strong> hak<br />
untuk memperoleh standar kesehatan yang tertinggi <strong>dan</strong> perawatan<br />
yang sebaik-baiknya.<br />
2. Hak terhadap perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak<br />
dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari<br />
diskriminasi, tindak kekerasan, <strong>dan</strong> keterlantaran bagi anak yang telah<br />
mempunyai keluarga <strong>dan</strong> bagi anak-anak pengungsi.<br />
3. Hak untuk tumbuh-kembang (development right), yaitu hak-hak<br />
anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi segala bentuk<br />
pendidikan (formal <strong>dan</strong> nonformal) <strong>dan</strong> hak untuk mencapai standar<br />
hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, <strong>dan</strong><br />
fisik anak.<br />
4. Hak untuk berpartisipasi (participation right), yaitu hak-hak anak<br />
dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan<br />
pendapat dalam segala hak yang mempengaruhi anak.<br />
Ada sejumlah kesenjangan yang perlu diperhatikan <strong>dan</strong> diperbaiki<br />
di masa yang akan datang. Walaupun telah ada peraturan perun<strong>dan</strong>g<br />
un<strong>dan</strong>gan yang melindungi anak, perlu ada harmonisasi dalam berbagai<br />
peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan, termasuk menyelaraskan dengan<br />
standar internasional. 62 Sebagai contoh, usia anak masih berbeda-beda<br />
dalam berbagai peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan. Dalam UU Perkawinan,<br />
selain anak perempuan menetapkan usia 16 tahun sebagai batas<br />
diperbolehkannya anak perempuan untuk menikah, ada pasal yang<br />
mengijinkan anak untuk menikah di bawah usia 16 tahun sepanjang<br />
62 lihat Susanti, B. et al. Hak Anak di Indonesia: Hukum, Kebijakan <strong>dan</strong> Prakteknya. Laporan<br />
diberikan kepada UNICEF, 2006; Save the Children. Tinjauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak<br />
di Indonesia 1990-2010. Jakarta: Save the Children (2010); Kemensos Rl <strong>dan</strong> UNICEF. Kajian<br />
atas Sistem Kesejahteraan Sosial untuk Anak <strong>dan</strong> Keluarga. Jakarta: Kemensos Rl <strong>dan</strong> UNICEF ,<br />
2010<br />
277
mendapat ijin orang tuanya. Pasal ini jelas tidak selaras dengan UU<br />
Perlindungan Anak yang mewajibkan orang tua menjaga agar tidak terjadi<br />
pernikahan usia dini. Beberapa instrumen hukum internasional, seperti<br />
Protokol KHA mengenai penjualan anak, prostitusi anak, <strong>dan</strong> pornografi<br />
anak belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.<br />
Penguatan kapasitas penegak hukum juga masih menunjukkan<br />
kesenjangan karena masih ada aparat penegak hukum yang belum<br />
memahami, misalnya, UU Perlindungan Anak, UU PTPPO. Penegakan<br />
hukum juga merupakan elemen yang perlu diperkuat karena walaupun<br />
banyak kasus perlindungan anak termasuk perdagangan anak yang<br />
terjadi, masih sedikit kasus yang dibawa ke pengadilan.<br />
Sementara itu terdapat permasalahan di antara penerapan unsur<br />
pasal yang ada pada Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 39<br />
Tahun 2004 tentang Perlindungan Ketenagakerjaan dengan Un<strong>dan</strong>g<br />
Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang<br />
Pemberantasan <strong>dan</strong> Penanggulangan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />
Orang, seperti pada tabel berikut:<br />
278
Tabel 6.<br />
ldentifikasi Permasalahan Dalam Perdagangan Orang<br />
Dengan Membandingkan Penerapan Unsur Pasal<br />
Antara UU 39 /2004 Dengan UU 21 /2007<br />
No Pasal Dalam UU 34/2004 Permasalahan Yang Pasal Dalam UU 21/2007 Permasalahan Yang<br />
Muncul Muncul<br />
1. PASAL 4:<br />
Orang perseorangan<br />
dilarang menempatkan<br />
warga negara Indonesia<br />
untuk bekerja di luar<br />
negeri.<br />
Penjelasan Pasal 4:<br />
Menempatkan warga<br />
negara Indonesia dalam<br />
pasal ini mencakup<br />
perbuatan dengan<br />
sengaja memfasilitasi<br />
atau mengangkut atau<br />
memberangkatkan warga<br />
negara Indonesia untuk<br />
bekerja pada Pengguna<br />
di luar negeri baik dengan<br />
memungut biaya maupun<br />
tidak dari yang<br />
bersangkutan.<br />
PASAL 1:<br />
Perdagangan Orang<br />
adalah tindakan<br />
perekrutan,<br />
pengangkutan,<br />
penampungan,<br />
pengiriman, pemindahan,<br />
atau penerimaan<br />
seseorang dengan<br />
ancaman kekerasan,<br />
penggunaan kekerasan,<br />
penculikan, penyekapan,<br />
pemalsuan, penipuan <strong>dan</strong><br />
penyalahgunaan<br />
kekuasaan atau posisi<br />
rentan, penjeratan uang<br />
atau memberikan bayaran<br />
atau manfaat, sehingga<br />
memperoleh persetujuan<br />
dari orang yang<br />
memegang kendali atas<br />
orang lain tersebut, baik<br />
yang dilakukan di dalam<br />
negara maupun antar<br />
negara, untuk tujuan<br />
ekspolitasi atau<br />
mengakibatkan orang<br />
tereksploitasi.<br />
279<br />
Perekrutan (gugus tugas<br />
pencegahan <strong>dan</strong><br />
penanganan Tindak<br />
Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />
Orang)<br />
Perekrutan adalah<br />
tindakan yang meliputi<br />
mengajak,<br />
mengumpulkan,<br />
membawa, atau<br />
memisahkan seseorang<br />
dari keluarga atau<br />
komunitasnya.
No Pasal Dalam UU 34/2004 Permasalahan Yang Pasal Dal m UU 21/2007 Permasalahan Yang<br />
Muncul a Muncul<br />
2. Pasal34:<br />
(1) Proses perekrutan<br />
didahuJui dengan<br />
memberikan<br />
informasi kepada<br />
caJon TKJ sekurangkurangnya<br />
tentang:<br />
a. tala cara<br />
perekrutan;<br />
b. dokumen yang<br />
diperlukan;<br />
c. hak <strong>dan</strong> kewajiban<br />
caJon TKJ/TKJ;<br />
d. situasi, kondisi,<br />
<strong>dan</strong> resiko di<br />
negara tujuan; <strong>dan</strong><br />
e. tala cara<br />
perlindungan bagi<br />
TKI.<br />
(2) Jnformasi<br />
sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat<br />
(1), disampaikan<br />
secara Jengkap <strong>dan</strong><br />
benar.<br />
(3) Jnformasi<br />
sebagaimana<br />
dimaksud pada ayat<br />
(1) <strong>dan</strong> ayat (2), wajib<br />
mendapatkan<br />
persetujuan dari<br />
instansi yang<br />
bertanggung jawab di<br />
bi<strong>dan</strong>g<br />
ketenagakerjaan <strong>dan</strong><br />
disampaikan oJeh<br />
peJaksana<br />
penempatan TKJ<br />
swasta.<br />
Penjelasan Ayat (2):<br />
Agar informasi dapat<br />
diterima secara benar<br />
oJeh masyarakat, harus<br />
digunakan bahasa yang<br />
mudah dipahami<br />
Sampai dengan saat ini<br />
beJum ada data tentang<br />
perekrutan diJakukan oleh<br />
PPTKIS (PJTKI sebeJum<br />
keluar UU no 39<br />
tahun2004) melaJui Dinas<br />
Tenaga Kerja di daerah<br />
perekrutan, dalam arti<br />
CaJon TKJ yang berminat<br />
untuk kerja ke Luar<br />
Negeri belum diberikan<br />
sarana/ fasiJitas untuk<br />
mendaftarkan diri ke<br />
Dinas tenaga Kerja<br />
Setempat.<br />
Penyuluhan yang<br />
dilakukan dalam rangka<br />
untuk merekrut CaJon TKI<br />
<strong>dan</strong> memberikan<br />
informasi awal juga tidak<br />
pernah di berikan.<br />
280<br />
Apa perbedaan yang<br />
dimaksud perekrutan<br />
daJam UU no 39 tahun<br />
2004 dengan perekrutan<br />
yang dimaksud daJam UU<br />
21 tahun 2007.<br />
DaJam kontek<br />
perdagangan <strong>dan</strong><br />
penempatan TKJ, yang<br />
menjadai objek<br />
perekrutan adaJah samasama<br />
orang, orang yang<br />
menjadi objek untuk di<br />
perdagangkan <strong>dan</strong> orang<br />
yang dijadikan sebagai<br />
komoditi eksport yang<br />
sangat menjanjikan<br />
terJebih dari seJisih<br />
remitens yang ada<br />
selama TKJ bekerja di luar<br />
negeri, ada pihak yang<br />
menerima keuntungan,<br />
apakah itu orang<br />
perseorangan <strong>dan</strong> juga<br />
termasuk Negara<br />
menikmati keuntungan<br />
tersebut.
No Pasal Dalam UU 34/2004 Permasalahan Yang Pasal Oalam UU 21/2007 Permasalahan Yang<br />
Muncul Muncul<br />
3. Pasal35:<br />
Perekrutan calon TKI oleh<br />
pelaksana penempatan<br />
TKI swasta wajib<br />
dilakukan terhadap calon<br />
TKI yang Ielah memenuhi<br />
persyaratan:<br />
Penjelasan Pasal 35:<br />
Dalam prakteknya TKI<br />
yang bekerja pada<br />
Pengguna perseorangan<br />
selalu mempunyai<br />
hubungan personal yang<br />
intens dengan Pengguna,<br />
yang dapat mendorong<br />
TKI yang bersangkutan<br />
berada pada keadaan<br />
yang rentan dengan<br />
pelecehan seksual.<br />
Mengingat hal itu, maka<br />
pada pekerjaan tersebut<br />
diperlukan orang yang<br />
betul-betul matang dari<br />
aspek kepribadian <strong>dan</strong><br />
emosi. Dengan demikian<br />
resiko terjadinya<br />
pelecehan seksual dapat<br />
diminimalisasi.<br />
a. berusia sekurangkurangnya<br />
18 (del a pan<br />
belas) tahun kecuali<br />
bagi calon TKI yang<br />
akan dipekerjakan<br />
pada Pengguna<br />
perseorangan<br />
sekurang-kurangnya<br />
berusia 21 (dua puluh<br />
satu) tahun;<br />
b. sehat jasmani <strong>dan</strong><br />
rohani;<br />
c. tidak dalam keadaan<br />
hamil bagi calon<br />
tenaga kerja<br />
perempuan; <strong>dan</strong><br />
d. berpendidikan<br />
sekurang-kurangnya<br />
lulus Sekolah Lanjutan<br />
Tingkat Pertama<br />
(SLTP) atau yang<br />
sederajat.<br />
281<br />
Ketika UU 21 tahun 2007<br />
dibuat, tujuan yang utama<br />
adalah untuk mencegah<br />
terjadi perdagangan,<br />
Apakah dengan a<strong>dan</strong>ya<br />
pelanggaran dalam<br />
sistem perekrutan<br />
sebagaimana dimaksud<br />
dalam UU 39 tahun 2004<br />
tidak cukup untuk<br />
menjerat para pelaku<br />
trafiking (trafiker), <strong>dan</strong><br />
tidak sekedar sebagai<br />
pelaku pelanggar uu 39<br />
tahun 2004 yang mampu<br />
berdalih bahwa<br />
perekrutan hanya sebatas<br />
perekrutan belum dapat<br />
dikatakan sebagai<br />
pelanggaran penempatan<br />
sebagaimana dimaksud<br />
dalam pasal102 UU 39/<br />
2004.<br />
Namun dalam uu 21 I<br />
2007 sudah jelas bahwa<br />
serangkaian tindakan<br />
yang dimaksud dalam<br />
pasal1 UU 21/2007<br />
merupakan perdagangan<br />
orang, <strong>dan</strong> usaha untuk<br />
mencegah terjadinya<br />
perdagangan (diulangi)<br />
untuk mencegah tindak<br />
pi<strong>dan</strong>a perdagangan<br />
orang ... tidak berarti<br />
perbuatan yang dilakukan<br />
oleh trafiker harus<br />
terpenuhi sampai tuntas<br />
terjadinya ekploitasi baru<br />
para penegak hokum<br />
dapat menjerat <strong>dan</strong><br />
menerima pelaku sebagai<br />
trafiker ...
No Pasal Dalam UU 34/2004<br />
Permasalahan Yang<br />
Permasalahan Yang<br />
Pasal Dalam UU 21/2007<br />
Muncul Muncul<br />
4. Pasal36: Belum ada diketemukan Jika yang terjadi terus<br />
(1) Pencari kerja yang Peraturan Menteri yang menerus perekrutan<br />
berminat bekerja ke dikeluarkan sesuai dlakukan (sengaja)<br />
luar negeri harus dengan perintah Pasal 36 dibiarkan dengan<br />
terdaftar pada UU 39 tahun 2004 ini dilakukan tanpa<br />
instansi pemerintah pengawasan dari<br />
kabupaten/kota yang pemerintah <strong>dan</strong> dibiarkan<br />
bertanggung jawab di tanpa peraturan yang<br />
bi<strong>dan</strong>g telah ditetapkan tidak<br />
ketenagakerjaan. kunjung terbit, maka tidak<br />
(2) Pendaftaran pencari dapat dipungkiri bahwa<br />
kerja sebagaimana man usia sebagai objek<br />
dimaksud pada ayat yang perdagangan masih<br />
(1 ), dilakukan sesuai akan terus berlangsung.<br />
dengan Peraturan<br />
Menteri.<br />
5. Pasal37: Dengan belum a<strong>dan</strong>ya<br />
Perekrutan dilakukan oleh Peraturan Menteri tentang<br />
pelaksana penempatan perekrutan/ pendaftaran<br />
TKI swasta dari pencari Calon TKI di lnstansi<br />
kerja yang terdaftar pada pemerintah yang<br />
instansi pemerintah bertanggungjwab dalam<br />
kabupaten/kota yang bi<strong>dan</strong>g ketenagakerjaan (<br />
bertanggung jawab di Disnakertrans) apakah<br />
bi<strong>dan</strong>g ketenagakerjaan artinya orang<br />
sebagaimana dimaksud perseorangan<br />
dalam Pasal36 ayat (1). diperbolehkan melakukan<br />
perekrutan tanpa melalui<br />
Penjelasan Pasal 37 DISNAKERTRANS<br />
Ketentuan dalam pasal ini sebagai pihak yang<br />
berarti bahwa pelaksana diberikan wewenang<br />
penempatan TKI swasta untuk menerima<br />
tidak dibenarkan pendaftaran bagi calon<br />
melakukan perekrutan yang berminat.<br />
melalui calo atau sponsor<br />
baik warga negara<br />
Indonesia maupun warga<br />
negara asing<br />
9.2. Praktek-Praktek Terbaik Internasional<br />
Sejumlah upaya anti-perdagangan yang inovatif tampak selama<br />
persiapan Laporan Perdagangan Manusia 2004 (TIP 2004 - Trafficking in<br />
Persons 2004) serta dalam kemitraan Departemen Luar Negeri dengan<br />
pemerintah-pemerintah negara asing <strong>dan</strong> organisasi-organisasi<br />
internasional <strong>dan</strong> non pemerintah sepanjang tahun. Banyak dari upaya<br />
upaya ini memperlihatkan cara-cara memerangi perdagangan secara<br />
bekelanjutan dengan biaya rendah. Aktivitas-aktivitas <strong>dan</strong> program-<br />
282
program ini dikenal sebagai praktek-praktek terbaik karena inovatif <strong>dan</strong><br />
kreatif; mereka membuat perbedaan positif <strong>dan</strong> nyata; mereka<br />
memungkinkan; <strong>dan</strong> mereka mempunyai potensi untuk ditiru di tempat<br />
lain. Berikut ini diuraikan beberapa contoh upaya anti-perdagangan orang<br />
yang dilakukan di beberapa negara:<br />
Mengurangi Pariwisata Seks. Pemerintah Panama telah membuat<br />
sebuah un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g anti-perdagangan baru yang menangani<br />
perdagangan dalam konteks pornografi anak, pariwisata seks, <strong>dan</strong><br />
penggunaan internet. Di antara keistimewaan-keistimewaan lain, un<strong>dan</strong>g<br />
un<strong>dan</strong>g ini mewajibkan pesawat terbang, agen-agen wisata, <strong>dan</strong> hotel<br />
hotel untuk memberi informasi tertulis kepada pelanggan tentang larangan<br />
dalam un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g baru.<br />
Menahan Korban-korban Potensial. Pemerintah Colombia telah<br />
memberi wewenang kepada Departemen Keamanan Administratif<br />
(Department of Administrative Security/DAS) untuk mengidentifikasi <strong>dan</strong><br />
mendekati wisatawan outbound yang potensial menjadi korban-korban<br />
perdagangan di lapangan udara sebelum mereka melakukan<br />
penerbangan internasional. Petugas DAS mencoba untuk<br />
menginformasikan kepada korban-korban potensial tentang risiko<br />
perdagangan <strong>dan</strong> penipuan dalam tawaran pekerjaan. Pada tahun 2003,<br />
sembilan korban potensial telah diyakinkan bahwa tawaran pekerjaan<br />
mereka penuh dengan penipuan <strong>dan</strong> mereka diyakinkan untuk tidak<br />
melanjutkan penerbangan internasional.<br />
Kerja Sarna antara Negara Transit <strong>dan</strong> Tujuan. Pemerintah ltalia<br />
telah memberikan <strong>dan</strong>a untuk "Project Textilia 2000" kepada Pemerintah<br />
Maroko, untuk men<strong>dan</strong>ai proyek-proyek mikro di daerah sekitar<br />
Khourigba, yang terkenal dengan keterlibatannya dalam emigrasi gelap ke<br />
ltalia. Proyek ini dimaksudkan untuk memberikan pekerjaan yang<br />
menguntungkan di Maroko yang akan mencegah korban dari bahaya<br />
diperdagangkan. Untuk korban yang sudah ada di ltalia, un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />
anti-perdagangan baru negara ini membuat sebuah kategori budget<br />
283
terpisah untuk program bantuan untuk korban, <strong>dan</strong> 70% dari budget itu<br />
didapat dari pemerintah pusat sementara 30% sisanya didapat dari<br />
pemerintah regional <strong>dan</strong> lokal.<br />
Sasaran kepada Perdagangan Seks. Pengadilan Kota Madrid<br />
pada bulan Januari 2004 mengumumkan sebuah upaya komprehensif<br />
untuk memerangi prostitusi <strong>dan</strong> perdagangan manusia. Rencana ini<br />
meliputi pencegahan, pelatihan, bantuan untuk korban, <strong>dan</strong> tindakan polisi<br />
terhadap pengguna. Berdasarkan prinsip, cara terbaik untuk memerangi<br />
perdagangan manusia untuk ekspolitasi seks adalah dengan<br />
memfokuskan pada pengguna <strong>dan</strong> korban, upaya ini ditiru Pemerintah<br />
Sweden dalam mengembangkan perangkat penegakan hukum.<br />
Memerangi Praktik-praktik Tradisional. Trafficker yang biasa<br />
dilakukan orang Afrika dalam "pengangkatan anak" memberi kontribusi<br />
langsung dalam perdagangan manusia. Perdagangan anak dimulai<br />
dengan kesepakatan pribadi antara pelaku perdagangan <strong>dan</strong> anggota<br />
keluarga, yang terdorong oleh kondisi ekonomi keluarga yang<br />
memprihatinkan serta nafsu pelaku akan keuntungan <strong>dan</strong> tenaga kerja<br />
murah. Kepada keluarga, khususnya yang mempunyai mata pencarian di<br />
bi<strong>dan</strong>g agrikultur, dikatakan bahwa anak mereka akan mendapat<br />
pendidikan <strong>dan</strong> belajar berdagang. Namun dalam semua kasus, anak<br />
diperdagangkan untuk kerja paksa domestik, pengasong, atau eksploitasi<br />
seks. Sebagai jawaban, Pemerintah Ghana melakukan "Operation Bring<br />
Your Children Home" untuk meminta agar orang tua yang menjual anak<br />
mereka pada pelaku untuk membawanya pulang kembali <strong>dan</strong> sebagai<br />
gantinya mendapat bantuan usaha, pelatihan kerja, fasilitas kredit mikro,<br />
serta bantuan biaya sekolah <strong>dan</strong> seragam. Untuk membangkitkan<br />
kesadaran publik pada progam ini, polisi Ghana melakukan pertemuan<br />
pertemuan informal di pemberhentian truk yang besar di Accra serta<br />
memberikan pemahaman pada para sopir <strong>dan</strong> memberangkatkan<br />
perwakilan serikat pekerja untuk mengidentifikasi korban-korban<br />
perdagangan.<br />
284
Menyita Dana untuk Mendukung Program Anti-Perdagangan.<br />
Pen<strong>dan</strong>aan untuk program anti-perdagangan tidak diprioritaskan di<br />
banyak negara, khususnya mengikuti perubahan saat ini yang<br />
memprioritaskan pada pada program-program anti-terorisme. Di Jerman,<br />
State of Baden-Wuerttemberg menggunakan <strong>dan</strong>a yang disita dari operasi<br />
perdagangan untuk membiayai investigasi masa depan.<br />
Menghubungkan Para Diplomat, Berbagi lnformasi.<br />
<strong>Kementerian</strong> Perhubungan Luar Negeri (The Ministry of Foreign<br />
Affairs/MFA) Republik Dominika telah membuat empat "jaringan anti<br />
perdagangan" di antara para diplomat dalam konsulat <strong>dan</strong> kedutaan besar<br />
di negara-negara yang merupakan tujuan utama perdagangan wanita<br />
Dominika. Ada sebuah jaringan kerja di Amerika Tengah, Karibia, Amerika<br />
Selatan, <strong>dan</strong> Eropa. Para diplomat secara pro aktif mencari isu-isu<br />
perdagangan. Mereka bekerja dengan pemerintah setempat dalam<br />
mengidentifikasi <strong>dan</strong> membantu korban-korban dari Dominika<br />
(kebanyakan dari mereka melarikan diri <strong>dan</strong> meminta perlindungan ke<br />
konsulat), mengumpulkan informasi tentang pola perdagangan, <strong>dan</strong><br />
mengidentifikasi pelaku. lnformasi ini dilaporkan kembali pada kantor<br />
hubungan urusan konsuler MFA <strong>dan</strong> dibagi dengan sekutu-sekutu<br />
Republik Dominika dalam upaya anti-perdagangan.<br />
Menggunakan Perangkat Peraturan, lnspeksi, <strong>dan</strong> Pelatihan.<br />
Pemerintah Filipina mengatur <strong>dan</strong> menyelenggarakan inspeksi mendadak<br />
maupun rutin ke 1.317 agen tenaga kerja ekspor yang terdaftar; termasuk<br />
memberikan pelatihan <strong>dan</strong> tes keterampilan untuk tenaga kerja ke luar<br />
negeri sebelum mereka meninggalkan negara itu. Para petugas Layanan<br />
Luar Negeri Filipina dilatih, <strong>dan</strong> dalam beberapa kasus dilibatkan secara<br />
aktif dalam mencari tempat tinggal <strong>dan</strong> memulangkan korban<br />
perdagangan Filipina. Orang-orang Filipina juga melakukan pelatihan<br />
untuk pemerintah negara lain, termasuk Indonesia <strong>dan</strong> Vietnam tentang<br />
bagaimana meningkatkan perlindungan tenaga kerja migran mereka.<br />
285
Para Korban Menerima Perlindungan Diplomatik. <strong>Kementerian</strong><br />
Luar Negeri Indonesia mengoperasikan tempat singgah di kedutaan besar<br />
<strong>dan</strong> konsulatnya di sejumlah negara, termasuk Malaysia, Singapura,<br />
Saudi Arabia, <strong>dan</strong> Kuwait. Selama setahun terakhir, perlindungan<br />
diplomatik ini melindungi ribuan penduduk Indonesia yang potensial<br />
menjadi korban perdagangan. Misi diplomatik Indonesia, dalam koordinasi<br />
dengan agensi pemerintah lain, juga membantu pemulangan.<br />
286<br />
Memerangi Perdagangan Anak Joki Unta. Pemerintah Uni Emirat<br />
Arab memulai sebuah trafficker inovatif untuk secara efektif<br />
mengidentifikasi <strong>dan</strong> menyelamatkan anak-anak yang diperdagangkan<br />
dari Asia Selatan untuk menjadi joki unta di gelanggang pacuan UAE.<br />
Kebanyakan dari anak-anak ini diperdagangkan melalui penggunaan<br />
dokumen-dokumen palsu dari negara asal mereka yang niemperlihatkan<br />
umur yang lebih tua <strong>dan</strong> orang tua palsu yang menemani anak-anak itu ke<br />
UAE. Dengan menggunakan tes DNA sejak Januari 2003, penguasa UAE<br />
menguji 446 anak <strong>dan</strong> mengungkap 65 permintaan palsu menjadi orang<br />
tua oleh para pelaku yang membawa anak-anak ini ke UAE. Pada tahun<br />
2003, lebih dari 250 anak dari Bangladesh <strong>dan</strong> Pakistan diidentifikasi <strong>dan</strong><br />
dikembalikan ke negaranya; kebanyakan dari pelaku itu ditahan <strong>dan</strong><br />
dituntut. Negara-negara lain di Teluk mengadopsi tes DNA untuk anak joki<br />
unta <strong>dan</strong> orang yang mengaku sebagai orang tua mereka.
BAB 10<br />
PENUTUP<br />
Perdagangan orang, mencakup perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak<br />
merupakan bentuk baru perbudakan di jaman modern, yang harus dilawan<br />
<strong>dan</strong> diberantas, merupakan salah satu masalah yang perlu penanganan<br />
mendesak seluruh komponen bangsa karaena terkait erat dengan citra<br />
bangsa Indonesia di mata internasional. Suatu tantangan bagi Indonesia<br />
untuk menyelamatkan anak bangsa dari keterpurukan. Tidak dipungkiri<br />
bahwa di negara-negara tertentu, perdagangan orang bahkan dijadikan<br />
sebagai bagian kebijakan politik perburuhan cheap labour yang<br />
dimanfaatkan untuk menekan biaya produksi sehingga cenderung<br />
dieksploitasi.<br />
Permasalahan perdagangan orang memang merupakan<br />
permasalahan yang sangat kompleks, yang tidak terlepas dari faktor<br />
faktor ekonomi, sosial-budaya <strong>dan</strong> politik yang berkaitan dengan proses<br />
industrialisasi <strong>dan</strong> pembangunan serta globalisasi dunia. Masih tingginya<br />
angka kemiskinan, pengangguran <strong>dan</strong> angka putus sekolah, rendahnya<br />
tingkat pendidikan, tradisi menikah usia dini, rentannya nilai-nifai keluarga<br />
serta tingginya kesenjangan ekonomi, membuat masyarakat Indonesia,<br />
khususnya perempuan <strong>dan</strong> anak, kian rentan terhadap tindak pi<strong>dan</strong>a<br />
perdagangan orang (TPPO). lni terbukti dari meningkatnya jumlah<br />
korban, kendati belum ada angka-angka yang akurat tentang jumlah<br />
korban sesungguhnya, mengingat jumlah kasus ini merupakan fenomena<br />
gunung es yang berarti gambaran yang sebenarnya jauh lebih besar dari<br />
apa yang dilaporkan, namun dari laporan kepolisian <strong>dan</strong> beberapa<br />
lembaga yang menangani korban, jumlah kasus yang didampingi cukup<br />
tinggi.
A<strong>dan</strong>ya penempatan TKI ke luar negeri sering menjadi modus<br />
tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang (TPPO) , terbukti data Migrant Care<br />
tahun 2009 memperlihatkan bahwa dari 450.000 TKI, 46% di antaranya<br />
terindikasi kuat telah menjadi korban TPPO. Hal demikian memperlihatkan<br />
semakin meningkatnya jumlah korban TPPO, sehingga perlu penanganan<br />
yang serius, profesional <strong>dan</strong> berkesinambungan . Oleh karena itu berbagai<br />
upaya telah <strong>dan</strong> se<strong>dan</strong>g dijalankan oleh seluruh pemangku kepentingan<br />
baik di pusat maupun di daerah yang tergabung dalam gugus tugas serta<br />
berbagai lembaga nasional maupun internasional, baik di tingkat nasional<br />
maupun internasional untuk memerangi kejahatan perdagangan<br />
perempuan, melalui upaya-upaya pencegahan <strong>dan</strong> pemberantasan<br />
perdagangan perempuan.<br />
Lahirnya berbagai peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan <strong>dan</strong> kebijakan di<br />
bi<strong>dan</strong>g perlindungan perempuan <strong>dan</strong> anak, menunjukkan tingginya<br />
komitmen pemerintah terhadap permasalahan ini. Salah satu langkah<br />
besar yang telah diambil pemerintah adalah terbitnya Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />
Perdagangan Orang (TPPO) <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 44 Tahun 2008<br />
tentang Pornografi, <strong>dan</strong> kemudian dilengkapi dengan terbitnya Peraturan<br />
Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Dan Mekanisme<br />
Pelayanan Terpadu Bagi Saksi <strong>dan</strong>/atau Korban Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />
Perdagangan Orang, <strong>dan</strong> Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008<br />
tentang Gugus Tugas Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />
Perdagangan Orang yang kemudian ditindaklanjuti dengan beberapa<br />
Peraturan Menteri <strong>dan</strong> Peraturan Kapolri untuk memberikan landasan<br />
operasional dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan <strong>dan</strong><br />
anak. Disamping itu, dari aspek kelembagaan, saat ini telah terbentuk 18<br />
Gugus Tugas Tingkat Provinsi <strong>dan</strong> 69 Gugus Tugas Tingkat<br />
Kabupaten/Kota.<br />
Reformasi kebijakan <strong>dan</strong> perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan sistem perekrutan<br />
<strong>dan</strong> penempatan nasional yang menjamin tepatnya perlindungan hak<br />
asasi <strong>dan</strong> hak ketenagakerjaan secara ekstensif masih dimaksimalkan.<br />
288
Untuk tujuan ini rencana untuk mengamandemen Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor<br />
39 Tahun 2004 mengenai Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Pekerja Migran<br />
Indonesia akan digunakan sebagai pintu masuk. Perlu dilakukan langkah<br />
langkah hukum yang tegas terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi<br />
<strong>dan</strong> hak ketenagakerjaan. Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yang relevan seperti Un<strong>dan</strong>g<br />
Un<strong>dan</strong>g Nomor 34 Tahun 2004, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21 Tahun 2007<br />
mengenai Anti Perdagangan Manusia <strong>dan</strong> pelbagai Peraturan Menteri<br />
mengenai migrasi tenaga kerja, dapat menjadi landasan bagi<br />
terpenuhinya jaminan hak asasi <strong>dan</strong> ketenagakerjaan pekerja mig ran.<br />
Pencegahan TPPO juga telah diintensifkan melalui penerapan<br />
kebijakan perlindungan TKI di luar negeri yang dikoordinasikan oleh<br />
<strong>Kementerian</strong> Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi, yang meliputi 4 (empat)<br />
kebijakan utama, yaitu: kerjasama luar negeri (bilateral, regional <strong>dan</strong><br />
multilateral); penempatan atase tenaga kerja; pemberian bantuan hukum<br />
<strong>dan</strong> pembelaan atas pemenuhan hak TKI; <strong>dan</strong> program asuransi TKI.<br />
Tantangan ke depan adalah implementasi kebijakan tersebut, terutama<br />
penerapannya di daerah-daerah kantong TKI.<br />
10.1. Kesimpulan<br />
289<br />
Berbagai masalah yang dihadapi daerah-daerah dalam hal<br />
pencegahan <strong>dan</strong> penanganan TPPO pada umumnya terkait dengan<br />
masalah mendasar, yaitu kemiskinan <strong>dan</strong> keterbatasan kesempatan kerja<br />
di daerah, serta letak geografis (untuk daerah perbatasan, seperti<br />
Kalimantan Barat, <strong>dan</strong> daerah kepulauan seperti Kepulauan Riau) yang<br />
turut membuka peluang terjadinya TPPO. Di samping itu, masalah<br />
lemahnya sistem administrasi kependudukan <strong>dan</strong> ancaman perdagangan<br />
orang yang berkedok peluang kesempatan kerja, juga turut menambah<br />
serangkaian masalah TPPO di lapangan.<br />
Oleh karenanya upaya pencegahan lebih diutamakan, karena<br />
diyakini lebih efektif <strong>dan</strong> efisien dibanding untuk penanganan korban yang<br />
membutuhkan biaya sosial ekonomi yang lebih tinggi. Oleh karena itu<br />
upaya pencegahan <strong>dan</strong> kewaspadaan dini perlu ditingkatkan melalui
erbagai dialog, sosialisasi, advokasi serta komunikasi informasi <strong>dan</strong><br />
edukasi guna meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya <strong>dan</strong><br />
dampak perdagangan.<br />
Upaya pencegahan lainnya adalah melalui penerapan Kebijakan<br />
administrasi kependudukan yang dikoordinasikan oleh <strong>Kementerian</strong><br />
Dalam Negeri dalam bentuk 3 (tiga) kebijakan utama, yaitu pemutakhiran<br />
data kependudukan di seluruh kabupaten/ kota, penerbitan NIK, <strong>dan</strong><br />
penerapan e-KTP. <strong>Kementerian</strong> Dalam Negeri juga sepakat untuk<br />
mendukung upaya-upaya pemberdayaan bagi korban TPPO, melalui<br />
pemanfaatan anggaran program nasional pemberdayaan masyarakat<br />
(PNPM) <strong>dan</strong> alokasi <strong>dan</strong>a desa (ADD). Kreativitas <strong>dan</strong> langkah proaktif<br />
daerah dalam mengakses pemanfaatan anggaran tersebut perlu diperkuat<br />
<strong>dan</strong> ditingkatkan.<br />
Komitmen memerangi perdagangan orang melalui berbagai upaya<br />
pencegahan, rehabilitasi <strong>dan</strong> reintegrasi korban, pengembangan norma<br />
hukum serta penegakan hukum harus dilakukan secara konsisten <strong>dan</strong><br />
berkelanjutan. Moto "pelaku TPPO harus ditindak agar tidak merusak<br />
bangsa" selalu menjadi arah bijak dalam memerangi perdagangan.<br />
Komitmen untuk penghapusan perdagangan orang juga dilakukan secara<br />
lebih terencana <strong>dan</strong> terintegrasi dengan upaya mengatasi kemiskinan,<br />
pengangguran, kurangnya pendidikan <strong>dan</strong> keterampilan, kurangnya akses<br />
kesempatan <strong>dan</strong> informasi serta nilai-nilai sosial budaya yang<br />
memarjinalkan <strong>dan</strong> mensubordinasikan kaum perempuan.<br />
Pada bagian ini juga akan dianalis beberapa aspek yang telah<br />
dicakup dalam upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanganan TPPO dilihat dari sisi<br />
implikasi/ pengembangan kebijakan yang dapat diusulkan, kondisi saat ini<br />
<strong>dan</strong> peningkatan pengembangannya.<br />
290
Tabel Aspek Kebijakam, lmplementasi/Pengembangan Kebijakan, Kondisi Saat lni <strong>dan</strong> Peningkatan Pengembangan<br />
--··-r --·· -·· .. -- r-· --.,-· ·;:z-· · --· · --·-· -· · ··-· --··<br />
Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan TPPO<br />
Mempromosikan sanksi hukuman yang lebih keras bagi tindak<br />
pi<strong>dan</strong>a perdagangan perempuan, mengingat bahwa saat ini<br />
perdagangan perempuan sering dikenakan sanksi hukuman<br />
berdasarkan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yang juga berlaku untuk<br />
kejahatan-kejahatan yang lebih ringan, sehingga para pelaku<br />
perdagangan perempuan begitu saja lolos dari hukuman yang<br />
setimpal.<br />
Mempromosikan peraturan/ perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang dapat<br />
mencakup larangan bagi segala kegiatan yang termasuk dalam<br />
tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan perempuan, mengingat bahwa<br />
sampai saat ini peraturan/ perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan dalam negeri<br />
melarang perdagangan perempuan untuk maksud pelacuran<br />
tetapi tidak untuk maksud yang lain, sehingga perdagangan<br />
manusia untuk eksploitasi tenaga kerja adalah legal secara<br />
teknis.<br />
[291]<br />
1<br />
Tujuan umum RAN-P3A adalah:<br />
"Terhapusnya segala bentuk perdagangan<br />
perempuan <strong>dan</strong> anak". Se<strong>dan</strong>g tujuan khusus<br />
adalah:<br />
1.A<strong>dan</strong>ya norma hukum <strong>dan</strong> tindakan hukum<br />
terhadap pelaku perdagangan perempuan<br />
<strong>dan</strong> anak.<br />
2. Terlaksananya rehabilitasi <strong>dan</strong> reintegrasi<br />
sosial terhadap korban perdagangan<br />
perempuan <strong>dan</strong> anak yang dijamin secara<br />
hukum.<br />
3.Terlaksananya pencegahan segala bentuk<br />
praktek perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak<br />
di keluarga <strong>dan</strong> masyarakat.<br />
4.Terciptanya kerjasama <strong>dan</strong> koordinasi<br />
dalam penghapusan perdagangan<br />
perempuan <strong>dan</strong> anak antar instansi di<br />
nasional <strong>dan</strong> internasional.<br />
Pada tahun 2007, Indonesia mengesahkan<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor<br />
21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />
Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />
(Lembaran Negara Republik Indonesia<br />
Tahun 2007 No. 58, Tambahan Lembaran<br />
Negara Republik Indonesia No. 4720) yang<br />
menaamanatkan tenta<br />
Mempromosikan pencegahan melalui<br />
penguatan Norma Hukum, antara lain:<br />
1. Membuat pengembangan norma hukum<br />
baru<br />
2. Meratifikasi <strong>dan</strong> menyusun peraturan<br />
perun<strong>dan</strong>g baru yang terkait<br />
pemberantasan tindak pi<strong>dan</strong>a<br />
perdagangan orang<br />
3. Melakukan diseminasi informasi ke<br />
seluruh komponen penegak hukum<br />
4. Melaksanakan harmonisasi peraturan<br />
perun<strong>dan</strong>gan terkait tindak perdagangan<br />
orang<br />
5. Mengadakan kerjasama internasional<br />
terkait dengan tindak perdagangan orang<br />
6. Penegakan Hukum, antara lain:<br />
7. Melaksanakan penegakan hukum <strong>dan</strong><br />
pengawasan peradilan<br />
8. Melakukan diseminasi informasi ke<br />
seluruh komponen bangsa<br />
9. Melakukan pengawasan terhadap<br />
jalannya peradilan oleh masyarakat<br />
10. Melakukan penguatan perlindungan saksi<br />
<strong>dan</strong>/atau korban tindak pi<strong>dan</strong>a<br />
perdagangan orang<br />
11 . Melakukan oenaembanaan Unit
Memperlengkapi orang-orang yang diperdagangkan, sebagai lnstansi-instansi penegak hukum mungkin<br />
korban-korban pelanggaran HAM, dengan akses ke hanya memindahkan orang-orang<br />
penyelesaian yang memadai <strong>dan</strong> tepa!, termasuk akses ke yang diperdagangkan dari satu sistem kontrol<br />
keadilan, hak untuk bebas dari ancaman pembalasan, hak ke sistem kontrollainnya- dari<br />
untuk pemulihan, hak-hak untuk menuntut secara hukum, <strong>dan</strong> dikontrol oleh para pelaku perdagangan<br />
kesanggupan untuk menghidupi diri mereka sendiri <strong>dan</strong> perempuan ke dikontrol oleh para pejabat<br />
keluar a mereka penegak hukum.<br />
Menegaskan bahwa strategi-strategi yang ditujukan terhadap Mereka cenderung memprioritaskan<br />
pencegahan perdagangan manusia harus memusatkan kebutuhan akan penegakan hukum diatas<br />
perhatian pada permintaan sebagai penyebab utama hak-hak mereka yang diperdagangkan,<br />
perdagangan manusia; <strong>dan</strong> Negara-negara serta organisasi- terutama yang dipan<strong>dan</strong>g sebagai saksi,<br />
organisasi antar-pemerintahan harus menjamin bahwa sebagai alat penegakan hukum. Hak-hak<br />
intervensi mereka memusatkan perhatian pada faktor-faktor korban untuk memiliki akses ke<br />
yang meningkatkan kerentanan terhadap perdagangan keadilan sering diingkari, <strong>dan</strong> penjatuhan<br />
manusia, termasuk ketidakadilan, kemiskinan <strong>dan</strong> semua hukuman cenderung gagal karena<br />
bentuk diskriminasi. orang-orang yang diperdagangkan tidak akan<br />
mau memberi<br />
Memprioritaskan perlindungan HAM bagi orang-orang yang Pihak berwenang cenderung memperlakukan<br />
diperdagangkan, mengambillangkah-langkah yang diperlukan orang-orang yang diperdagangkan sebagai<br />
untuk mencegah kesewenang-wenangan, <strong>dan</strong> memberikan penjahat daripada sebagai korban, karena<br />
erbaikan dimana kesewenan -wenan an ter"adi. status tinggal <strong>dan</strong> pekerjaan mereka yang<br />
Memperhatikan dengan khusus untuk menjamin bahwa perihal tidak teratur di negara tujuan , atau karena<br />
diskriminasi berbasis-jender ditanggulangi secara sistematis mereka bekerja di dunia pelacuran.<br />
ketika langkah-langkah anti-perdagangan diusulkan, dengan Tindakan-tindakan ini mengakibatkan para<br />
maksud untuk menjamin bahwa langkah-langkah semacam ini korban tidak mempercayai pihak<br />
tidak diterapkan dengan cara yang diskriminatif berwenang <strong>dan</strong> menolak untuk bekerjasama<br />
dalam penyelidikan, <strong>dan</strong> dengan<br />
demikian menouranoi kemunokinan oara<br />
294<br />
Menjaga secara berkesinambungan<br />
penghormatan alas hak-hak migran harus<br />
dijamin. Berakar pada hukum internasional<br />
<strong>dan</strong> kecondongan-kecondongan HAM,<br />
komponen penting dalam hal ini adalah<br />
komitmen terhadap perlakuan yang sama<br />
(tidak a<strong>dan</strong>ya praktek-praktek yang bersifat<br />
diskriminatiD kepada para migran yang<br />
tinggal secara sah di wilayah dari pihak-pihak<br />
yang menandatangani perjanjian<br />
Strategi-strategi untuk mengatasi penyebab<br />
utama arus migrasi besar-besaran- lni harus<br />
ditujukan pada "mendukung pembangunan<br />
ekonomi <strong>dan</strong> sosial dari wilayah dimana para<br />
migran berasal."
Memperlakukan perdagangan manusia sebagai suatu<br />
kejahatan tersendiri <strong>dan</strong> memusatkan perhatian pada seluruh<br />
tahap dari siklus perdagangan <strong>dan</strong> seluruh korban<br />
Pertimbangan harus diberikan untuk menyerahkan peran ini<br />
pada lembaga-lembaga HAM nasional yang independen<br />
dimana lembaga-lembaga semacam ini ada.<br />
Memperluas cakupan tindakan yang<br />
dianggap sebagai bagian dari proses<br />
perdagangan manusia- perekrutan,<br />
pengangkutan, pemindahan, penyembunyian<br />
<strong>dan</strong> penerimaan orang-orang di lembaga-<br />
Penerapan kebijakan perlindungan TKI di<br />
luar negeri yang dikoordinasikan oleh<br />
<strong>Kementerian</strong> Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi,<br />
yang meliputi 4 (empat) kebijakan utama,<br />
Mempromosikan HAM, termasuk hak-hak pekerja <strong>dan</strong> hak-hak yaitu: kerjasama luar negeri (bilateral,<br />
regional <strong>dan</strong> multilateral); penempatan atase<br />
tenaga kerja; pemberian bantuan hukum <strong>dan</strong><br />
pembelaan alas pemenuhan hak TKI; <strong>dan</strong><br />
program asuransi TKI. Tantangan ke depan<br />
f--=.--:--:------:----:---:---:----:-----:--,---------1 adalah implementasi kebijakan tersebut,<br />
Bekerja menuju sistem migrasi tenaga kerja yang teratur, tertib terutama penerapannya di daerah-daerah<br />
<strong>dan</strong> manusiawi kantona TKI.<br />
296<br />
Menggiatkan langkah-langkah berbasis hak<br />
<strong>dan</strong> perlindungan sosial, ekonomi, politik <strong>dan</strong><br />
hukum untuk mencegah perdagangan<br />
manusia, melindungi, membantu,<br />
memulangkan <strong>dan</strong> menyatukan kembali<br />
orang-orang yang diperdagangkan, <strong>dan</strong><br />
untuk menghukum perdagangan manusia<br />
serta tindakan-tindakan lain yang terkait; <strong>dan</strong><br />
menyerukan kerjasama internasional untuk<br />
mencegah <strong>dan</strong> memberantas perdagangan<br />
man usia.<br />
Memperlengkapi orang-orang yang<br />
diperdagangkan, sebagai korban-korban<br />
pelanggaran HAM, dengan akses ke<br />
penyelesaian yang memadai <strong>dan</strong> tepa!,<br />
termasuk akses ke keadilan, hak untuk bebas<br />
dari ancaman pembalasan, hak<br />
untuk pemulihan, hak-hak untuk menuntut<br />
secara hukum, <strong>dan</strong> kesanggupan<br />
untuk menghidupi diri mereka sendiri <strong>dan</strong><br />
a mereka.<br />
Memperluas perlindungan <strong>dan</strong> dukungan<br />
untuk semua
Menjamin bahwa perjanjian-perjanjian kerjasama bilateral,<br />
regional <strong>dan</strong> internasional serta peraturan-peraturan <strong>dan</strong><br />
kebijakan-kebijakan lainnya yang berkenaan dengan<br />
perdagangan manusia tidak mempengaruhi hak, kewajiban <strong>dan</strong><br />
tanggungjawab Negara berdasarkan hukum internasional,<br />
termasuk hukum HAM<br />
Memperbaiki kebijakan-kebijakan pembangunan sosialekonomi<br />
(kebijakan-kebijakan mengenai pekerjaan <strong>dan</strong><br />
lapangan kerja, migrasi, kesetaraan jender, dsb);<br />
Meningkatan kapasitas (struktur-struktur, lembaga-lembaga<br />
<strong>dan</strong> proses-proses); <strong>dan</strong> Advokasi<br />
Penegakan hukum sering diperlemah oleh<br />
ketidakpedulian para pejabat, korupsi,<br />
kolusi dengan para pedagang, mekanisme<br />
pengatur- seperti polisi, para penjaga<br />
perbatasan, pelayanan pengawasan tenaga<br />
kerja <strong>dan</strong> ba<strong>dan</strong> peradilan - yang<br />
longgar atau kekurangan <strong>dan</strong>a, <strong>dan</strong><br />
kegagalan pemerintah untuk menghukum<br />
para pejabat pemerintah yang terlibat dalam<br />
nPrrl::>n:mn::m manusia<br />
LSM yang bekerja dengan orang-orang yang<br />
diperdagangkan berperan serta dalam<br />
pemantauan <strong>dan</strong> penilaian alas dampak<br />
HAM dari langkah-langkah anti-perdagangan<br />
297<br />
Kebijakan-kebijakan pemerintah<br />
untuk dengan tegas mengintegrasikan<br />
perlindungan terhadap para migran kedalam<br />
proses perencanaan kebijakan<br />
unan<br />
Dalam upaya memperkuat mekanisme<br />
manajemen Gugus Tugas baik di tingkat<br />
nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota,<br />
maka perlu untuk melakukan langkahlangkah<br />
:<br />
Di tingkat perencanaan <strong>dan</strong> penganggaran :<br />
(1) Agar seluruh K/USKPD terkait<br />
memastikan bahwa kebijakan, program, <strong>dan</strong><br />
kegiatan terkait TPPO yang menjadi<br />
tugasnya (mengacu pada Gugus Tugas)<br />
untuk daoat menaintearasikannva ke dalam
298<br />
dokumen perencanaan jangka menengah<br />
<strong>dan</strong> tahunan. Hal ini penting untuk menjamin<br />
ketersediaan anggaran TPPO secara spesifik<br />
di setiap KJUSKPD dari APBN K/L, APBD<br />
provinsi <strong>dan</strong> APBD kabupaten/kota; <strong>dan</strong> (2)<br />
Kerjasama dengan Bappenas <strong>dan</strong> Bappeda<br />
(provinsi <strong>dan</strong> kabupaten/kota) perlu diperkuat<br />
untuk memastikan semua dokumen<br />
perencanaan telah mengintegrasikan isu<br />
TPPO <strong>dan</strong> upaya-upaya penanganannya.<br />
Di tingkat pelaksanaan : (1) Perlu alokasi<br />
anggaran yang memadai untuk pelaksanaan<br />
kebijakan, program <strong>dan</strong> kegiatan<br />
pencegahan <strong>dan</strong>penanganan TPPO; (2)<br />
Koordinasi pelaksanaan harus dilakukan<br />
secara berjenjang <strong>dan</strong> berkala, mulai dari<br />
tingkat nasional, provinsi <strong>dan</strong><br />
kabupaten/kota, sehingga permasalah dapat<br />
ditemukenali sedini mungkin, sehingga<br />
upaya-upaya penanganan dapat dilakukan<br />
secepat mungkin, <strong>dan</strong> (3) Peran ketua Gugus<br />
Tugas pada setiap tingkatan wilayah agar<br />
lebih dioptimalkan, dengan mengacu pada<br />
peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan terkait<br />
PTPPO.<br />
Di tingkat pemantauan <strong>dan</strong> evaluasi : ( 1)<br />
Pemantauan perlu diperkuat terutama pada<br />
daerah-daerah kantong TKI, sebagai upaya<br />
rluasan
J<br />
299<br />
Pemantauan dari aspek program dilakukan<br />
secara terpadu lintas instansi <strong>dan</strong> dilakukan<br />
secara berjenjang <strong>dan</strong> berkala, <strong>dan</strong> (3)<br />
Alokasi anggaran untuk pemantauan<br />
dibebankan pada KIUSKPD sesuai tugas<br />
masing-masing, <strong>dan</strong> (4) Alokasi anggaran<br />
untuk evaluasi dibebankan pada<br />
<strong>Kementerian</strong> Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesra<br />
selaku Ketua Gugus Tugas Nasional, <strong>dan</strong><br />
bekerjasama dengan <strong>Kementerian</strong> PP <strong>dan</strong><br />
PA selaku Ketua Harian Gugus Tugas<br />
Nasional.
Sementara itu berbagai upaya dalam proses yang terkait dengan<br />
penyelamatan korban perdagangan perempuan hingga menyiapkan<br />
korban yang bersangkutan untuk dapat melepaskan diri dari<br />
keterlibatannya kembali di dalam kegiatan perdagangan perempuan juga<br />
dapat digambarkan melalui proses pentahapan, intervensi <strong>dan</strong> pihak yang<br />
bertangungjawab, sebagaiberikut:<br />
Pendidikan anak <strong>dan</strong> pelatihan<br />
kejuruan orang dewasa<br />
Kementrian Pendidikan<br />
Nasional & Kementrian<br />
Tenaga Kerja Transmigrasi<br />
Karban diberi layanan<br />
kepulangan<br />
Kolaborasi Pemerintah,<br />
Kedubes Negara Tujuan, LSM,<br />
I OM, atau juga PBB<br />
Reintegrasi ke masyarakat<br />
dengan dukungan jaringan<br />
sosial yang difasilitasi<br />
berlahap<br />
LSM <strong>dan</strong> Kementrian<br />
Karban harus diberi jasa<br />
bantuan hukum oleh<br />
Pemerintah/ LSM <strong>dan</strong> nasehat<br />
umum tentang hak-haknya<br />
10.2 .Rekomendasi<br />
lntervensi Bagi Korban Human Trafficking<br />
lnformasi yang diterima <strong>dan</strong><br />
ditransfer ke Polisi <strong>dan</strong> LSM<br />
ditindaklanjuti dengan<br />
penyelidikan <strong>dan</strong> penegakan<br />
hukum<br />
Karban harus diberi/<br />
disediakan perawatan medis<br />
<strong>dan</strong> konseling psikologis<br />
Mengikuti pengalihan korban<br />
dari tempat dia dieksploitasi,<br />
akomodasi sementara<br />
\ rllhF>nk:•n (Pemerintah + LSM)<br />
Karban harus diberi<br />
akomodasi jangka menengah<br />
<strong>dan</strong> rawat khusus dalam<br />
penampungan<br />
(LSM + Kemenkes)<br />
Setelah membahas kesimpulan di atas maka secara rinci, untuk<br />
mencegah terjadinya perdagangan perempuan maka beberapa program<br />
perlu dilancarkan seperti program ekonomi, penyebarluasan informasi,<br />
<strong>dan</strong> akses pendidikan di wilayah rentan. Masyarakat daerah asal migran<br />
perlu diberdayakan ke arah pemahaman tentang prosedur<br />
ketenagakerjaan. Pihak Depnaker setempat harus memainkan perannya<br />
lebih aktif bersama-sama secara terpadu dengan pihak terkait (tokoh adat,<br />
tokoh agama, tokoh masyarakat/budaya, pemerintah tingkat<br />
300
desa/kelurahan setempat) termasuk biro travel untuk membenahi segala<br />
kemungkinan bentuk eksploitasi pad a calon mig ran maupun keluarganya.<br />
Pemerintah juga perlu membenahi semua lini proses<br />
pemberangkatan <strong>dan</strong> penempatan pekerja migran oleh birokrat atau<br />
swasta. Peran swasta yang dominan didalam penempatan pekerja migran<br />
justru perlu direduksi karena selama ini mereka selalu lepas tanggung<br />
jawab apabila muncul persoalan di lapangan.<br />
Beberapa hal lainnya yang dapat direkomendasikan dari penelitian<br />
Human trafficking : Pola Pencegahan <strong>dan</strong> Penanggulangan Terhadap<br />
Perdagangan Perempuan adalah sebagi berikut:<br />
1. Fasilitasi penyelarasan Rencana Aksi Pusat dengan Rencana Aksi<br />
Daerah oleh Gugus Tugas Nasional<br />
2. Dukungan program melalui Pendidikan Kecakapan Hidup,<br />
301<br />
Kewirausahaan, Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender,<br />
Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan<br />
3. Kampanye Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />
(TPPO) <strong>dan</strong> Eksploitasi Seksual Anak (ESA) melalui media elektronik<br />
(TV, radio), media cetak, media luar ruang, media tradisional, <strong>dan</strong><br />
melalui komunitas<br />
4. Advokasi terintegrasinya isu Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />
(TPPO) <strong>dan</strong> Eksploitasi Seksual Anak (ESA) dalam muatan lokal<br />
pembelajaran sekolah formal <strong>dan</strong> non formal<br />
5. Replikasi "best practice" pencegahan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />
Orang (TPPO) <strong>dan</strong> Eksploitasi Seksual Anak (ESA) di daerah-daerah<br />
rentan<br />
6. Membangun sistem pengawasan efektif terhadap kinerja (Perusahaan<br />
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dalam proses<br />
perekrutan <strong>dan</strong> penempatan pekerja domestik <strong>dan</strong> internasional .<br />
7. Memperketat pengawasan arus migrasi di daerah-daerah rawan<br />
perdagangan perempuan
8. Harus dirubahnya perilaku budaya masyarakat yang yang berpotensi<br />
pada terjadinya perdagangan manusia (budaya yang permisif<br />
terhadap kawin muda, kawin kontrak dsb)<br />
9. Perlunya dibangun kembali penguatan keluarga pada anggota<br />
keluarganya sebagai generaasi penerus melalui sosialisasi keluarga<br />
10. Perlunya kebijakan administrasi kependudukan dalam bentuk 3 (tiga)<br />
kebijakan utama, yaitu pemutakhiran data kependudukan di seluruh<br />
kabupaten/ kota, penerbitan NIK, <strong>dan</strong> penerapan e-KTP.<br />
11. Digalakkannya pemanfaatan anggaran program nasional<br />
pemberdayaan masyarakat (PNPM) <strong>dan</strong> alokasi <strong>dan</strong>a desa (ADD),<br />
sehingga kreativitas <strong>dan</strong> langkah proaktif daerah dalam mengakses<br />
pemanfaatan anggaran tersebut perlu diperkuat <strong>dan</strong> ditingkatkan.<br />
12. Perlunya sosialisasi aktif yang berkesinambungan dari seluruh<br />
lnstansi Terkait yang didukung oleh Pemda setempat.<br />
13. Kerjasama Antar Cjs <strong>dan</strong> lnstansi/Dinas Terkait serta Kerjasama Antar<br />
Negara sangat dibutuhkan guna memaksimalkan Penanganan TPPO.<br />
14. Peningkatan SDM, sarana prasarana <strong>dan</strong> anggaran merupakan hal<br />
pokok dalam upaya Penanggulangan TPPO.<br />
15. Komitmen yang kuat masing-masing lnstansi/Lembaga <strong>dan</strong> Negara<br />
yang berwenang merupakan prasyarat utama dalam Pemberantasan<br />
TPPO.<br />
16. Perlunya pembenahan tertib administrasi <strong>dan</strong> peningkatan<br />
kemampuan sebelum memberangkatkan calon TKI ke luar negeri.<br />
17. Perlunya Pendokumentasian kegiatan Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan<br />
TPPO secara sistematis <strong>dan</strong> komprehensif .<br />
18. Perlunya Monitoring Dan Evaluasi Kerja Dari Gugus Tugas<br />
Pencegahan Dan Penanganan TPPO.<br />
10.3. Alur Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Solusi<br />
Berikut ini akan ditampilkan Bagan tentang Alur Perdagangan<br />
Perempuan <strong>dan</strong> Solusinya sehingga diharapkan akan mempermudah<br />
untuk kita melihat konteks kesesuaian antara masalah yang muncul terkait<br />
302
dengan Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Solusi yang dilakukan secara<br />
posisional.<br />
303
Alur Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Solusi<br />
w<br />
0<br />
+:>
10.4. Usulan Model Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan TPPO<br />
Jika kita memahami bahwa Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />
Perdagangan Orang (TPPO) <strong>dan</strong> Eksploitasi Seksual Anak (ESA)<br />
memerlukan upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanganan yang komprehensif <strong>dan</strong><br />
terpadu, maka dapat dimengerti bahwa dalam pelaksanaannya,<br />
implementasi RAN ini memerlukan proses yang panjang <strong>dan</strong><br />
berkelanjutan. Dalam merealisasikannya, Pemerintah kemudian<br />
menjadikan PTPPO <strong>dan</strong> ESA tersebut sebagai bagian integral dari<br />
Rencana Strategi Departemen/Sektor terkait <strong>dan</strong> Rencana Pembangunan<br />
Jangka Menengah Nasional.<br />
Konsekuensinya, keberhasilan pelaksanaan RAN sangat<br />
tergantung kepada partisipasi <strong>dan</strong> komitmen seluruh Gugus Tugas baik<br />
tingkat Pusat, Propinsi, maupun Kabupaten/Kota yang bertugas<br />
merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi, <strong>dan</strong><br />
memberikan masukan bagi penyempurnaan implementasi Rencana Aksi<br />
Nasional tersebut.<br />
Selanjutnya, pelaksanaan Rencana Aksi Nasional ini berada di<br />
bawah koordinasi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat sebagai<br />
Ketua Gugus Tugas <strong>dan</strong> Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan<br />
sebagai Ketua Harian. Secara teknis, implementasinya dikoordinasikan<br />
melalui sub-sub Gugus Tugas dengan penanggung jawab dari<br />
Departemen terkait sebagai berikut :<br />
1. Bi<strong>dan</strong>g Pencegahan <strong>dan</strong> Partisipasi Anak, Departemen Pendidikan<br />
Nasional sebagai penanggungjawab.<br />
2. Bi<strong>dan</strong>g Rehabilitasi Kesehatan, Departemen Kesehatan sebagai<br />
penanggungjawab.<br />
3. Bi<strong>dan</strong>g Rehabilitasi Sosial, Pemulangan <strong>dan</strong> Reintegrasi Sosial,<br />
Departemen Sosial sebagai penanggungjawab.<br />
4. Bi<strong>dan</strong>g Pengembangan Norma Hukum, Departemen Hukum <strong>dan</strong> HAM<br />
sebagai penanggungjawab.<br />
5. Bi<strong>dan</strong>g Penegakan Hukum, Kepolisian Rl sebagai penanggungjawab.<br />
305
6. Bi<strong>dan</strong>g Koordinasi <strong>dan</strong> Kerjasama, <strong>Kementerian</strong> Koordinator Bi<strong>dan</strong>g<br />
Kesejahteraan Rakyat sebagai penanggungjawab.<br />
Pada tingkat Propinsi pelaksanaan RAN dikoordinasikan oleh<br />
Gubernur Kepala Daerah se<strong>dan</strong>gkan di tingkat Kabupaten/Kota<br />
dikoordinasikan oleh Walikota/Bupati dengan melibatkan dinas/instansi<br />
yang bertanggungjawab, yang memiliki bi<strong>dan</strong>g tugas <strong>dan</strong> tanggungjawab<br />
terkait dengan pemberantasan TPPO <strong>dan</strong> ESA.<br />
Pemantauan <strong>dan</strong> evaluasi yang dilaksanakan untuk menilai<br />
keberhasilan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional tersebut berdasarkan<br />
hal-hal sebagai berikut:<br />
1. Sistem <strong>dan</strong> Mekanisme pemantauan <strong>dan</strong> evaluasi yang telah<br />
dikembangkan;<br />
2. Keberhasilan program berdasarkan indikator kemajuan <strong>dan</strong> keluaran<br />
yang telah ditetapkan.<br />
3. Penerbitan laporan berkala yang disusun <strong>dan</strong> disampaikan secara<br />
berjenjang kepada penanggungjawab gugus tugas di tingkat yang lebih<br />
tinggi.<br />
4. Penerbitan Laporan tahunan berkala, yang disusun oleh masing<br />
masing Ketua Sub Gugus Tugas <strong>dan</strong> Ketua Gugus Tugas tingkat<br />
Propinsi, disampaikan kepada Ketua Gugus Tugas Pusat dengan<br />
tembusan kepada Ketua Harian. Penerbitan Laporan tahunan Gugus<br />
Tugas Pusat, dikoordinasikan penyusunannya oleh <strong>Kementerian</strong><br />
Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai Ketua Harian.<br />
Dari berbagai temuan <strong>dan</strong> analisis penelitian ini tampak bahwa<br />
dasar pemikiran pembentukan Gugus Tugas <strong>dan</strong> Sub Gugus Tugas yang<br />
ada selama ini adalah berdasarkan pertimbangan yang berbasis bi<strong>dan</strong>g<br />
terkait, departemental atau kementerian. Namun jika melihat pada Bagan<br />
Alur Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Solusinya yang Tim Peneliti buat,<br />
maka pemikiran tentang implementasi RAN TPPO menjadi Gugus Tugas<br />
<strong>dan</strong> Sub Gugus Tugas tersebut sebaiknya berdasarkan pertimbangan<br />
yang berbasis prosesual dari TPPO itu sendiri.<br />
306
Dengan pertimbangan yang berbasis prosesual tersebut (proses<br />
pra-TPPO; proses peristiwa TPPO <strong>dan</strong> proses purna TPPO) maka<br />
menurut hemat Tim Peneliti fokus masalah <strong>dan</strong> intervensi pemecahan<br />
masalah akan lebih baik. Selanjutnya, siapa aktor-aktor atau bi<strong>dan</strong>g<br />
bi<strong>dan</strong>g/ kementerian yang terkait akan lebih terjamin validitas <strong>dan</strong><br />
kredibilitasnya. Konsekuensi lanjut dari semua itu adalah dimungkinkan<br />
pembagian tugas <strong>dan</strong> koordinasi di antara aktor intervensi akan semakin<br />
efektif. Berikut ini Bagan Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan TPPO berbasis<br />
prosesual terpadu akan diberikan.<br />
307
DAFT AR PUST AKA<br />
Adi, Rianto <strong>dan</strong> Syarief Darmoyo, 2004. Trafiking Anak Untuk Pekerja Rumah<br />
Tangga (Kasus Jakarta). Cetakan pertama. Penerbit Pusat Kajian<br />
Pembangunan Masyarakat (PKPM) Unika Atma Jaya, Jakarta.<br />
Arild Holt-Jensen, 1999. Geography: history and concepts, A student's guide, 3rd<br />
edtition, Sage Publications, London.<br />
Booket No. 3 in A Serie on International Youth Issues, 1995. "Commercial Sexual<br />
Exploitation of Children: Youth Involved in Prostitution, Pornography & Sex<br />
Trafficking", Youth Advocate Program International.<br />
Carling, A. 1992. Social Divisions. London: Verso.<br />
Coleman, J., 1973. The Mathematics of Collective Action. London: Heinemann.<br />
Crawford, Adam, 1998. Crime Prevention and Community Safety:<br />
politics,policies, and practices, Addison Wesley Longman Limited, London<br />
and New York, , hal. 71.<br />
DERAP WARAPSARI , 2003. Perlindungan Terhadap Perempuan <strong>dan</strong> Anak yang<br />
menjadi korban kekerasan, Edisi ke II, hal. 2.<br />
Dermawan, Mohammad Kemal, 2000. Strategi Pencegahan Kejahatan, Bandung<br />
: PT. Aditya Bakti.<br />
Dirjosisworo, Soedjono, 1985. Kuliah Prof Donald R. Cressey tentang Kejahatan<br />
Mafia, Armico Bandung, , hal. 32-33.<br />
Garid, Muhammad, (2007). Perdagangan Hak Asasi Manusia dalam Jurnal<br />
Perempuan No. 51 , Cetakan pertama, Jakarta, Tahun 2007.<br />
Gosita Arif, 1993. Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta,<br />
hal. 46.<br />
Harkrisnowo, Harkristuti, 1996. Lapangan Perdagangan Manusia di Indonesia.<br />
Sentra HAM-UI , Februari 2003. hal. 5. Sebagaimana yang dikutip dari ;<br />
United Nations.<br />
Harkrisnowo, Harkristuti, 2004. Transnation Organized Crime: Dalam Perspektif<br />
Hukum Pi<strong>dan</strong>a <strong>dan</strong> Kriminologi. Indonesian Jurnal of International Law,<br />
Volume 1 No. 2 Januari, hal. 335.<br />
Heath, A., 1976. Rational Choice and Social Exchange. Cambridge: Cambridge<br />
University Press.<br />
International Organization for Migration (10M), 2009. Pedoman Penegaakan<br />
Hukum <strong>dan</strong> Perlindungan Korban Dalam penanggulangan Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />
Perdagangan Orang.<br />
lrwanto, dkk, 2006. Jeratan Hutang Dalam Perdagangan Manusia. Cetakan<br />
pertama, Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Unika Atma<br />
Jaya, Jakarta.
Josef Gugler (ed.), 1988. The Urbanization of the Third World, Oxford University<br />
Press, Oxford.<br />
<strong>Kementerian</strong> Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan Rakyat, 2004-2005.<br />
Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia.<br />
<strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan, 2003. Penghapusan Eksploitasi<br />
Seksual Komersial Anak, hal. 26.<br />
Lewis Holloway and Phil Hubbard, 2001. People and place: the extraordinary<br />
geographies of everyday life, Pearson Education Ltd., Harlow, Essex.<br />
Peter Hagget. 2001. Geography: A Global Synthesis, Prentice Hall, Harlow,<br />
Essex.<br />
Reginald G. Golledge and Robert J. Stimson, 1997. Spatial behavior: a<br />
geographic perspectives, The Guilfod Press, New York.<br />
Reksodiputro, Mardjono, 2000. Jurnal Polisi 2.<br />
Rob Kitchin and Nicholas J. Tate, 2000. Conducting Research into Human<br />
Geography: theory, methodology & practice. Prentice-Hall, Pearson<br />
Education Ltd., Harlow.<br />
Saban, Max Soli, 2009. Hak Asasi Manusia. Penerbit: Universitas Atma Jaya,<br />
Jakarta.<br />
Vermonte, Philips Jusario, 2002. Transnational Organized Crime: lsu <strong>dan</strong><br />
Permasalahannya. ANALISA CSIS, Tahun XXXI , No. 1. , hal. 45.<br />
Wahid, Abdul, <strong>dan</strong> Muhammad lrfan, 2002. dalam "Perlindungan Terhadap<br />
Karban Kejahatan Kekerasan Seksual (Advocate Atas Hak Asasi<br />
Perempuan)". Jakarta: Rafika Aditama , hal.8.<br />
KORAN:<br />
Kompas 7 November 2005<br />
Kompas, 10 Oktober 2001<br />
Kompas, 19 Nopember 2002<br />
Kompas, 27 Juni 2005<br />
Media Indonesia, 19 Maret 2002<br />
Pikiran Rakyat, 2 Juli 2005<br />
Suara Pembaharuan, 15 Juni 2005<br />
Suara Pembaharuan, 30 Mei 2001<br />
INTERNET:<br />
Gopher: II gopher.un.org/00/ga/cedaw/convention.<br />
Kompas Cyber Media Kamis, 27 September 2001, "Trafficking" Kegiatan<br />
Kriminal, download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />
Kompas Cyber Media Selasa, 3 Juli 2001 Masalah "Trafficking'' Anak<br />
Diprioritaskan Jakarta, , download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />
310
Kompas Cyber Media, Berbagai Pelanggaran Hukum "Trafficking" Tak Berlanjut<br />
ke Pengadilan, download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />
Kompas Cyber Media, Kamis, 18 Oktober 2001, Perlu Kerja Sam a Lintas Sektor<br />
untuk Mengatasi "Trafficking", downloa,d 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />
Kompas Cyber Media, Kamis, 27 September 2001, "Trafficking" Kegiatan<br />
Kriminal, download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />
Kompas Cyber Media, Sabtu, 2 Maret 2002 Nancy Ely-Raphel : Kami Tidak Bisa<br />
Bekerja Sendiri, download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />
Kompas Cyber Media, Waspada! Jawa Timur La<strong>dan</strong>g Subur "Trafficking",<br />
download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />
Kompas Cyber Media, Waspada! Jawa Timur La<strong>dan</strong>g Subur "Trafficking",<br />
download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />
Protokol Pilihan untuk Konvension mengenai Hak-hak anak ditemukan pada<br />
www.unhcr.ch/html/menu2/dopchild.htm.<br />
UNDANG-UNDANG :<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 8 Tahun 1981 tentang Kitab<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Hukum Pi<strong>dan</strong>a (KUHP)<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.<br />
Un<strong>dan</strong>g-Ur.<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 23 Tahun 2002 tentang<br />
Perlindungan Anak<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 13 tahun 2003 tentang<br />
Ketenagakerjaan.<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 23 Tahun 2004 Tentang<br />
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Perempuan.<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 39 Tahun 2004 tentang Penempatan<br />
<strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer Tahun 2006 tentang Perlindungan<br />
Saksi Dan Karban<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 21 Tahun 2007 tentang<br />
Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 11 Tahun 2008 tentang lnformasi<br />
<strong>dan</strong> Transaksi Elektronik<br />
Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer Tahun 2004 tentang Penghapausan<br />
Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />
311