14.01.2013 Views

HUMAN TRAFFICKING: - Kementerian Riset dan Teknologi

HUMAN TRAFFICKING: - Kementerian Riset dan Teknologi

HUMAN TRAFFICKING: - Kementerian Riset dan Teknologi

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

LAPORAN AKHIR<br />

PROGRAM INSENTIF PENELITI DAN PEREKAYASA LIPI<br />

TAHUN 2010<br />

<strong>HUMAN</strong> <strong>TRAFFICKING</strong>:<br />

POLA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERPADU<br />

TERHADAPPERDAGANGANPEREMPUAN<br />

PENELITI PENGUSUL :<br />

Ora . DTP. Kusumawardhani, M.Si<br />

ANGGOTA:<br />

Drs. Ujud Tahajuddin, MBA<br />

Sihol Farida Tambunan, S.S. M.Hum<br />

JENIS INSENTIF : TERAPAN<br />

BIDANG FOKUS : DINAMIKA SOSIAL<br />

PUSAT PENELITIAN KEMASYARAKATAN DAN KEBUDAYAAN<br />

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA<br />

PMB- LIPI


<strong>HUMAN</strong> <strong>TRAFFICKING</strong>:<br />

Pola Pencegahan Dan Penanggulangan Terpadu<br />

Terhadap Perdagangan Perempuan<br />

(Laporan Penelitian Tahun II: Studi Kasus Pola Pencegahan Dan<br />

Penanggulangan Terpadu Terhadap Perdagangan Perempuan<br />

Di Propinsi jawa Barat) ·


penanganan human trafficking. Bahkan selama ini ada tujuh (7) provinsi<br />

yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, <strong>dan</strong><br />

Lampung yang tergabung dalam MPU (Mitra Praja Utama) yang telah<br />

melakukan koordinasi secara periodik setahun sekali. Namun jumlah<br />

provinsi yang telah beranjak sampai pada penandatanganan MoU yang<br />

lebih spesifik dalam bi<strong>dan</strong>g pemberdayaan perempuan baru 9 provinsi<br />

termasuk provinsi Jawa Barat Untuk dapat diimplementasikan MoU<br />

tersebut masih harus ditindaklanjuti dengan agreement atau perjanjian<br />

kerjasama yang lebih spesifik karena MoU tersebut sifatnya merupakan<br />

payung sajabahwa kesembilan provinsi tersebut memiliki komitmen yang<br />

sama terhadap pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban per<strong>dan</strong>gan<br />

perempuan. Oleh karena itu provinsi Jawa Barat se<strong>dan</strong>g membuat draft<br />

detail kerjasama tersebut <strong>dan</strong> dikomunikasikan denga provinsi yang telah<br />

menandatangani MoU tersebut.<br />

Dalam kaitan dengan kerjasama antar provinsi, pada tahun 2008<br />

pihak provinsi Kepulauan Riau pernah mengeluhkan tentang sulitnya<br />

melakukan koordinasi dengan provinsi Jawa Barat. Mereka menangkap<br />

kesan bahwa provinsi Jawa Barat cenderungan tidak mengakui<br />

banyaknya korban per<strong>dan</strong>gan perempuan yang berasal dari Jawa Barat.<br />

Provinsi Jawa Barat tidak mau berbagi anggaran untuk pencegahan <strong>dan</strong><br />

penanganan korban perdagangan perempuan, padahal sharing anggaran<br />

ini sangat krusial bagi provinsi Kepulauan Riau mengingat banyaknya<br />

jumlah korban yang harus ditangani. Praduga tersebut diakui benar oleh<br />

responden dari pemerintah provinsi Jawa Barat, karena pada saat belum<br />

ada anggaran khusus untuk penanganan masalah perdagangan<br />

perempuan. Namun sekarang sejak dibentuk BPPKB pada 1 Januari<br />

tahun 2009. pemerintah provinsi Jawa Barat sudah sangat proaktif dalam<br />

penanganan masalah per<strong>dan</strong>gan perempuan <strong>dan</strong> kerjasama dengan<br />

provinsi Kepulauan Riau pun sudah mulai berjalan dengan baik. Dalam<br />

kerjasama tersebut antara lain mengatur bahwa ketika pihak provinsi<br />

Jawa Barat melakukan penjemputan korban per<strong>dan</strong>gan perempuan yang<br />

berasal dari Jawa Barat, maka mulai saat penjemputan korban segala


iaya penanganan korban tersebut langsung ditanggung oleh APBD<br />

provinsi Jawa Barat karena APBD provinsi Kepulauan Riau yang tidak<br />

mungkin mencukupi untuk menanggung semua biaya penanganan korban<br />

yang jumlahnya ribuan.<br />

Di samping kerjasama dalam masalah penjemputan dengan daerah<br />

tujuan, provinsi Jawa Barat juga bekerja sama dengan provinsi-provinsi<br />

yang menandatangani MoU di dalam penyusunan data base. Hal ini<br />

dianggap penting agar jumlah orang yang menjadi korban per<strong>dan</strong>gan<br />

perempuan yang berasal dari Jawa Barat dapat diketahui secara akurat.<br />

Dalam penanganan per<strong>dan</strong>gan perempuan kerjasama juga perlu<br />

dilakukan di intra provinsi yang menjadi sending area, dalam artian baik<br />

kerjasama antara provinsi dengan kabupaten/kota maupun antara<br />

kabupaten/kota itu sendiri. Hal ini diperlukan karena penanganan korban<br />

oleh provinsi hanya sepuluh hari sehingga belum mampu melakukan<br />

perubahan mind set korban yang sangat krusial untuk mencegah korban<br />

tidak kembali lagi ke pekerjaan lama atau daerah tujuan. Untuk mengatasi<br />

persoalan tersebut perlu dilakukan kerjasama yang sinergis dengan<br />

kabupaten/kota agar setelah para korban dikembalikan ke tempat asalnya,<br />

kabupaten/kota melakukan pembinaan <strong>dan</strong> monitoring lanjutannya. agar<br />

mereka tidak mengulangi perbuatannya kembali ke daerah tujuan.<br />

Penanganan per<strong>dan</strong>gan perempuan di Jawa Barat sudah<br />

dimasukkan ke dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka<br />

Menengah Daerah) Provinsi Jawa Barat 2008 - 2013. Oleh karena itu<br />

dinas - dinas yang terkait berkewajiban menganggarkan kegiatan<br />

penanganan per<strong>dan</strong>gan perempuan yang menjadi tanggung jawabnya.<br />

Namun dalam masalah anggaran ini masih ada persoalan yang cukup<br />

mendasar karena sistem penganggaran untuk kegiatan penanganan<br />

human trafficking pada instansi terkait hanya mengacu pada tupoksi<br />

instansi. lmplikasinya, karena ada ego sektoral maka prioritas alokasi<br />

anggaran pun cenderung dialokasikan pada core competence instansi<br />

yang bersangkutan. Konsekuensinya anggaran kegiatan penanganan<br />

iii


per<strong>dan</strong>gan perempuan relatif kecil <strong>dan</strong> tersebar di berbagai instansi, tidak<br />

fokus, <strong>dan</strong> kegiatannya antara satu instansi dengan instansi lainnya tidak<br />

sinergistik.<br />

Untuk efektivitas penanganan perdagangan perempuan dibutuhkan<br />

komitmen bersama pada semua leveL Dengan telah dibentuknya BPPKB<br />

<strong>dan</strong> Gugus Tugas secara kelembagaan menunjukkan sudah a<strong>dan</strong>ya<br />

komitmen terhadap penanganan masalah per<strong>dan</strong>gan perempuan. Namun<br />

bila dilihat dari sisi anggarannya, besaran anggaran yang dialokasikan<br />

dapat dikatakan belum memadai sehingga belum mengindikasikan<br />

a<strong>dan</strong>ya komitmen yang kuat untuk penanggulangan masalah per<strong>dan</strong>gan<br />

perempuan. Oleh karena itu perlu upaya ekstra untuk membangun<br />

komitrnen tersebut Dalam konteks hubungan kelembagaan antara<br />

provinsi dengan kabupaten/kota diperlukan a<strong>dan</strong>ya sinergi yang harmonis,<br />

baik dalam sisi peraturan perun<strong>dan</strong>gannya maupun kegiatan programnya.<br />

Untuk itu perlu dibuat MoU antara provinsi dengan kabupaten/kota agar<br />

ada pembagian tugas yang jelas antara provinsi <strong>dan</strong> kabupaten/kota.<br />

Dalam konteks koordinasi antar anggota Gugus Tugas tampak<br />

masih menghadapi kendala karena koordinasi yang dilakukan BPPKB<br />

tidak berangkat dari satu konsep perencanaan yang jelas yang menjadi<br />

payung besar dalam penanganan per<strong>dan</strong>gan perempuan. Oleh karena itu<br />

BPPKB harus memiliki program yang jelas agar semua program yang<br />

dirancang <strong>dan</strong> dianggarkan di seluruh instansi terkait berjalan sinergis <strong>dan</strong><br />

harmonis, serta tidak bersifat sektoral.<br />

Kelemahan dalam penanganan per<strong>dan</strong>gan perempuan ini bukan<br />

terletak pada regulasi melainkan pada tataran implementasi. Oleh karena<br />

itu yang sangat krusial dilakukan adalah membangun kerja sama di antara<br />

berbagai stakeholders dari tingkat pusat sampai daerah.<br />

Langkah yang diambil korban per<strong>dan</strong>gan perempuan ketika mereka<br />

berangkat dari desanya merupakan rational choice. Sebenarnya ketika<br />

membuat keputusan mereka telah mendapatkan berbagai informasi terkait


pekerjaannya sehingga banyak dari mereka yang telah mengetahui resiko<br />

yang akan dihadapinya.<br />

Mengacu pada berbagai penyebab per<strong>dan</strong>gan perempuan, yang<br />

menjadi penyebab utama terjadinya trafficking terletak pada bi<strong>dan</strong>g<br />

pendidikan. Karena kondisi ekonomi keluarga korban unmumnya sangat<br />

miskin sehingga tidak memungkinkan untuk menyekolahkan anaknya<br />

pada pendidikan formal lanjutan. Oleh karena itu yang penting dalam<br />

upaya pencegahan per<strong>dan</strong>gan perempuan ini adalah memberi<br />

pengetahuan yang memadai kepada masyarakat di desa-desa agar<br />

mereka mampu mengambil keputusan yang tepat untuk keluarga. Selain<br />

itu dibutuhkan dukungan atau komitmen dari masing-masing kepala<br />

daerah karena akan mer.entukan dalam keberhasilan penanganan<br />

per<strong>dan</strong>gan perempuan ini.<br />

Selama ini pengawasan dari orang tua, tokoh masyarakat, tokoh<br />

pendidikan, tokoh agama <strong>dan</strong> sebagainya tidak mampu menahan<br />

terjadinya pergeseran nilai karena yang menjadi faktor pendorong utama<br />

yang memicu mereka mau bekerja ke luar daerah adalah kemiskinan.<br />

Oleh karena itu salah satu solusi yang perlu dikembangkan adalah usaha<br />

ekonomi pedesaan yang mampu memberikan peluang ekonomi bagi<br />

mereka.<br />

Berdasar pada berbagai temuan di atas maka pada kegiatan akhir<br />

dari kegiatan penelitian Tahun kedua ini, dihasilkannya Alternatif Model<br />

Pencegahan <strong>dan</strong> Penanggulangan Terpadu Terhadap Perdagangan<br />

Perempuan, yang sebelumnya lebih berbasis sektoral/ Departemental<br />

(sekarang <strong>Kementerian</strong>) menjadi Model yang berbasis prosesual (fokus<br />

pada Pra-TPPO, Saat terjadinya TPPO <strong>dan</strong> Purna-TPPO). Dengan<br />

demikian, penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan konsep strategi<br />

implementatif untuk pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan<br />

perempuan yang terkoordinasi <strong>dan</strong> terintegrasi sehingga efisien <strong>dan</strong><br />

efektif.


KATA PENGANTAR<br />

Dalam skala dunia, masalah "perdagangan perempuan" merupakan<br />

masalah yang cukup besar karena jangkauannya global <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya<br />

variasi sosial budaya yang turut berpengaruh di dalam kejahatan<br />

trafficking. Oleh karena itu korban perdagangan manusia relatif sulit untuk<br />

dipantau. Dalam upaya lebih memahami "human trafficking" ini maka<br />

diperlukan suatu penelitian yang komprehensif dengan pilihan metodologi<br />

yang kreatif <strong>dan</strong> akurat.<br />

Penelitian Tahun 2010 ini adalah penelitian Tahap II yang bertujuan<br />

untuk memformulasikan konsep strategi implementatif untuk pencegahan<br />

<strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan perempuan yang terkoordinasi <strong>dan</strong><br />

terintegrasi sehingga efisien <strong>dan</strong> efektif. Dengan demikian, penelitian ini<br />

diharapkan dapat memberikan rekomendasi solusi bagi pengambil<br />

kebijakan dalam melakukan pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan tindak<br />

pi<strong>dan</strong>a perdagangan perempuan, sebagai suatu masalah sosial yang<br />

sangat penting mendapatkan prioritas perhatian.<br />

Mengacu pada tujuan <strong>dan</strong> manfaat penelitian yang diharapkan ini<br />

maka tidak dapat dipungkiti bahwa melalui kegiatan penelitian ini, Tim<br />

Peneliti telah melakukan suatu terobosan yang harus dihargai dalam<br />

rangka ikut serta berpartisipasi sebagai aktor intelektual dalam<br />

menciptakan upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanganan perdagangan<br />

perempuan yang lebih baik.<br />

Sebenarnya komitmen Pemerintah untuk melakukan pencegahan<br />

<strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan manusia khususnya perempuan <strong>dan</strong><br />

anak telah sangat kuat, <strong>dan</strong> larangan praktek perdagangan orang sudah


-<br />

diatur dalam produk hukum nasional. Dalam konteks itu Kementrian<br />

Pemberdayaan Perempuan ditunjuk sebagai leading sector dalam upaya<br />

pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan manusia. Dalam<br />

operasionalnya, Kementrian ini membentuk Tim Gugus Tugas<br />

Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak (P3A) di masing­<br />

masing daerah ataupun provinsi seluruh Indonesia, khususnya daerah<br />

sumber, daerah transit <strong>dan</strong> daerah perbatasan.<br />

Namun tampaknya pada tataran implementasi di lapangan, upaya<br />

pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan manusia tersebut masih<br />

belum dapat berjalan secara efektif karena a<strong>dan</strong>ya keterbatasan setiap<br />

institusi baik secara kewenangan dalam hukum atau keahlian profesional.<br />

Oleh karena itu model pencegahan <strong>dan</strong> penanganan perdagangan<br />

perempuan yang diusulkan oleh Tim Peneliti dalam buku ini adalah Model<br />

Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan Terpadu Perdagangan Perempuan yang<br />

Berbasis Prosesual (Pra-TPPO; Saat terjadinya TPPO <strong>dan</strong> Purna TPPO},<br />

sesuatu Model yang berbeda dengan apa yang selama ini telah dilakukan<br />

<strong>dan</strong> disebut oleh Tim Peneliti sebagai Model Pencegahan <strong>dan</strong><br />

Penanganan Perdagangan Perempuan yang Berbasis lnstitusional/<br />

Sektorat/ Departemental atau <strong>Kementerian</strong>.<br />

Terobosan yang dilakukan oleh Tim Peneliti ini sungguh patut<br />

dihargai. Namun demikian, sebagai aktor intelektual yang memanggul<br />

tanggung jawab akademis maka Tim Peneliti juga dituntut untuk<br />

melakukan Uji Coba atas temuan mereka sehingga lambat laun berbagai<br />

bentuk akurasi <strong>dan</strong> validitas Mode; Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan<br />

Perdagangan Perempuan yang diusulkan tersebut dapat menjadi Model<br />

yang patut untuk diperhitungkan untuk digunakan secara nasional.<br />

Hasil penelitian ini tentu saja tidak luput dari berbagai kekurangan.<br />

Untuk itu kami sangat menghagai bila mendapat masukan baik berupa<br />

saran maupun kritik terhadap isi buku ini. Akhir kata kami menghaturkan<br />

terimakasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi untuk<br />

kelancaran penelitian <strong>dan</strong> penulisan buku ini. Akhir kata, semoga Tim


Peneliti memiliki kesempat melakukan Penelitian Uji Coba sebagai salah<br />

satu rangkaian dari upaya memerangi perdagangan perempuan di negeri<br />

ini. Selamat membaca <strong>dan</strong> semoga bermanfaat.<br />

Jakarta, November 2010<br />

Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan<br />

Dan Kebudayaan - LIPI<br />

Ttd<br />

Drs. Abdul Rachman Patji, MA


APBD<br />

BAIS<br />

DAFTAR ISTILAH<br />

: Anggaran Pendapatan <strong>dan</strong> Belanja Daerah<br />

: Ba<strong>dan</strong> lntelijen Strategis<br />

BIN : Ba<strong>dan</strong> lntelijen Negara<br />

BNP2TKI : Ba<strong>dan</strong> Nasional Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja<br />

Indonesia<br />

BAP : Berita Acara Pemeriksaan<br />

BPPKB : Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan Keluarga berencana<br />

CEDAW : Convention on the Elementation of All Forms of Discrimination<br />

Against Women<br />

Depdagri : Departemen Dalam Negeri<br />

Disnaker : Dinas Tenaga Kerja<br />

Diknas : Pendidikan Nasional<br />

Depsos : Departemen Sosial<br />

DPD : Dewan Perwakilan daerah<br />

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah<br />

IOM : International Organization for Migration<br />

ILO<br />

In pres<br />

KAT<br />

KDRT<br />

KJRI<br />

: International Labour Organization<br />

: lnstruksi Presiden<br />

: Koalisi Anti Trafficking<br />

: Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />

: Konsulat Jenderal Republik Indonesia<br />

Keppres : Keputusan Presiden<br />

LSM/ NGO :Lembaga Swadaya Masyarakatl Non Government<br />

Organization<br />

Mabes Polri:Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia<br />

Menkokesra:Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat<br />

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia<br />

Perda<br />

Perpu<br />

PNS<br />

: Peraturan Daerah<br />

: Peraturan Pengganti Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />

: Pegawai Negeri Sipil


P4TKI<br />

PJTKI<br />

PPTKIS<br />

POA<br />

Polda<br />

Pokja<br />

PPA<br />

PPT<br />

: Pos Pelayanan Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja<br />

Indonesia<br />

: Pengerah Jasa T enaga Kerja Indonesia<br />

: Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, dulu PJTKI<br />

: Pengawasan Orang Asing<br />

: Kepolisian Daerah<br />

: Kelompok Kerja<br />

: Pelayanan Perempuan <strong>dan</strong> Anak<br />

: Pusat Pelayanan Terpadu<br />

Poltabes: : Kepolisian Kota Besar<br />

Prolegnas : Program Legislasi Nasional<br />

PT : Perseroan Terbatas<br />

PTPPO : Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />

RAN : Rencana Aksi Nasional<br />

RPK : Ruang Perawatan Khusus<br />

RAN-P3A : Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan<br />

Perempuan <strong>dan</strong> Anak<br />

RUU : Rancangan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />

Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja<br />

SKB : Surat Keputusan Bersama<br />

SOP/ SPM :Standard Operation Procedure<br />

SIPORA : Koordinasi Pengawasan Orang Asing<br />

SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah<br />

SF : Screening Form<br />

TKI : Tenaga Kerja Indonesia<br />

TPI : Tempat Pemeriksaan lmigrasi<br />

TKIB : Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah<br />

TKW : Tenaga Kerja Wanita<br />

UNHCR : United Nations High Commissioner for Refugess (Kantor<br />

Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi)<br />

UIB : Universitas lnternasional Batam<br />

YMKK : Yayasan Mitra Kesehatan Keluarga


DAFTARISI<br />

Halaman<br />

RINGKASAN ................................................................................................................................... i<br />

KA TA PENGANTAR .......................... ............................................................................... vi<br />

DAFT AR ISTILAH ................................... .................................................................................................. ix<br />

DAFT AR lSI ............................................................................................................................... xxi<br />

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1<br />

1.1. Latar Belakang ............................................................................................................. 1<br />

1.2. Perumusan Masalah .................................................................................................. 3<br />

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 5<br />

2.1. Kerangka Konsep ........................................................................................................ 5<br />

2.1.1. Perdagangan Perempuan ........................................................................ 5<br />

2.1.2. Perdagangan Perempuan: Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />

Orang Sebagai Kejahatan Kemanusiaan Yang Serius ................... 7<br />

2.1.3. Bentuk-Bentuk Perdagangan Perempuan ........................................ 8<br />

2.1.4. Perbedaan Perdagangan Orang Dan Penyelundupan<br />

Manusia ........................................................................................................ 10<br />

2.1.5. Pelaku Perdagangan Perempuan ...................................................... 12<br />

2.1.6. Korban Perdagangan Perempuan ..................................................... 13<br />

2.1.7. Pola Rekrutmen Dan Modus Operandi ........................................... 14<br />

2.1.8. Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Terpadu ................... 18<br />

2.2. Kerangka Teori ......................................................................................................... 19<br />

2.3. Kerangka Pikir .......................................................................................................... 30<br />

BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT ....................................................................................... 32<br />

3.1. Tujuan .......................................................................................................................... 32<br />

3.2. Manfaat ........................................................................................................................ 32<br />

3.3. Asumsi.. ........................................................................................................................ 32<br />

BAB 4 METODOLOGI ........................................................................................................... 34<br />

4.1. Metode Pengumpulan Data ................................................................................. 34<br />

4.2. Penetapan Lokasi .................................................................................................... 35<br />

BAB 5 PROFIL KORBAN, PROFIL PELAKU DAN MODUS OPERANDI<br />

PERDAGANGAN PEREMPUAN ............................................................................. 36<br />

5.1. Daerah Asal: Jawa Barat ....................................................................................... 36<br />

5.1.1. Profil Pelaku ............................................................................................... 37<br />

5.1.2. Profil Korban ............................................................................................. 53<br />

5.1.3. Proses Rekrutmen <strong>dan</strong> Modus Operandi. ...................................... 57<br />

5.2. Daerah Transit: Batam .......................................................................................... 60<br />

5.2.1. Profil Pelaku ............................................................................................... 60<br />

5.2.2. Profil Korban ............................. ................................................................ 64<br />

5.2.3. Proses Rekrutmen Dan Modus Operandi. ...................................... 73<br />

xi


BAB 6 KERANGKA HUKUM DAN NON HUKUM DALAM UPAYA<br />

PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PERDAGANGAN<br />

PEREMPUAN ............................................................................................................. 89<br />

6.1. Kerangka Hukum ..................................................................................................... 89<br />

6.2. Strategi-Strategi Non Hukum Yang Efektif Dalam Memerangi<br />

Perdagangan Man usia ........................................................................................ 116<br />

BAB 7 Implikasi Teoritis Dalam Pembenaran Pencegahan Dan<br />

Penanggulangan Perdagangan Perempuan ............................................... 120<br />

BAB 8 UPAYA PENANGANAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DI<br />

INDONESIA SAAT INI .......................................................................................... 132<br />

8.1. Upaya Penanganan di Daerah Asal (Jawa Barat) .................................... 132<br />

8.1.1. Penanganan oleh Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />

<strong>dan</strong> Keluarga Berencana Provinsi Jabar ...................................... 132<br />

8.1.2. Penanganan Trafficking oleh Dinas Sosial Propinsi Jawa<br />

Barat ........................................................................................................... 149<br />

8.1.3. Penanganan Trafficking oleh Dinas Pendidikan di<br />

Provinsi Jawa Barat. ............................................................................. 157<br />

8.1.4. Penanganan Trafficking oleh Biro Pengembangan Sosial<br />

Provinsi di Jawa Barat. ........................................................................ 160<br />

8.1.5. Penanganan Trafficking oleh Kantor Imigrasi Kelas I di<br />

Provinsi Jawa Barat. ............................................................................. 161<br />

8.1.6. Kabupaten Indramayu ........................................................................ 164<br />

8.1.7. Koordinasi Peran Bi<strong>dan</strong>g Terkait... ................................................ 189<br />

8.2. Upaya Penanganan di Daerah Transit: Batam .......................................... 205<br />

8.2.1. Penanganan Kepolisian ...................................................................... 205<br />

8.2.2. Penanganan Trafficking di Kejaksaan .......................................... 219<br />

8.2.3. Penanganan Trafficking Dalam Konteks Imigrasi ................... 220<br />

8.2.4. Penanganan Trafficking Oleh Pemerintah Propinsi<br />

Kepulauan Riau: Gugus Tugas ......................................................... 231<br />

8.2.5. Penanganan Trafficking Oleh Pemerintah Kota Batam ......... 236<br />

8.2.6. Partisipasi LSM dalam Penanganan Trafficking ....................... 246<br />

8.2.7. DPRD Kota Batam ................................................................................. 250<br />

8.2.8. Masalah Anggaran ................................................................................ 251<br />

8.2.9. Masalah Koordinasi Dalam Penanganan Trafficking ............. 254<br />

8.2.10. Keberadaan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21 Tahun 2007<br />

tentang Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />

Orang (TPPO) ......................................................................................... 264<br />

BAB 9 IMPLIKASI KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN<br />

PERDAGANGAN PEREMPUAN .......................................................................... 266<br />

9.1. Kelemahan Hukum Positif Dalam Upaya Pencegahan <strong>dan</strong><br />

Penanggulangan Perdagangan Perempuan ............................................... 266<br />

9.2. Praktek-Praktek Terbaik Internasional ...................................................... 282<br />

BAB 10 PENUTUP ................................................................................................................ 287<br />

10.1. Kesimpulan ............................................................................................................. 289<br />

10.2. Rekomendasi .......................................................................................................... 300<br />

10.3. Alur Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Solusi. ................................................. 302<br />

10.4. Usulan Model Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan TPPO ................................ 305<br />

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 310


1.1. Latar Belakang<br />

BAB 1<br />

PENDAHULUAN<br />

Perdagangan manusia, khususnya perempuan, dapat dikatakan<br />

sebagai salah satu kejahatan transnasional, karena sebagian kejahatan<br />

dilakukan dengan melibatkan jaringan kejahatan lintas negara.<br />

Sedemikian krusialnya masalah perdagangan manusia diperlihatkan oleh<br />

PBB melalui Kantor Komisi Hak Asasi Manusia (Office of High<br />

Commissioner of Human Rigths) yang mengeluarkan Fact Sheet No. 14,<br />

Contemporary Forms of Slavery yang ditujukan untuk penanggulangan<br />

perdagangan manusia.<br />

Terkait dengan perdagangan manusia tersebut Indonesia menjadi<br />

salah satu sasaran utama dari para trafficker. Menurut IPEC (suatu<br />

organisasi di bawah International Labor Organization) jumlah total pekerja<br />

seks di Indonesia diperkirakan mencapai 650.000 orang perempuan<br />

dalam usia anak-anak di Indonesia dipekerjakan sebagai pekerja seks<br />

komersial. Anak-anak perempuan tersebut banyak diperdagangkan <strong>dan</strong><br />

dipekerjakan di kota-kota besar seperti Jakarta <strong>dan</strong> Surabaya. Selain itu<br />

fLO-/PEG juga mencatat tempat-tempat tujuan perdagangan anak<br />

perempuan ini adalah Batam, Bali <strong>dan</strong> Me<strong>dan</strong>. Bahkan perdagangan anak<br />

perempuan ini juga dilakukan lintas negara seperti Taiwan, Singapura,<br />

Hongkong, Brunei <strong>dan</strong> lain-lain 1 . Sumber pasokan perdagangan anak<br />

perempuan lintas negara ini disinyalir paling banyak berasal dari<br />

lndonesia 2 .<br />

1 Kompas, 10 Oktober 2001.<br />

2 Suara Pembaharuan, 30 Mei 2001 .


Mengingat begitu seriusnya masalah perdagangan manus1a<br />

tersebut maka perlu dilakukan upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan<br />

perdagangan perempuan secara lebih efektif. Namun, berdasarkan hasil<br />

penelitian PMB-LIPI tahun 2009 dalam Penelitian Program lnsentif <strong>dan</strong><br />

Perekayasa LIPI-DIKTI yang berjudul "Human trafficking: Upaya<br />

Pencegahan <strong>dan</strong> Penanggulangan Terpadu Terhadap Perdagangan<br />

Perempuan, menunjukkan bahwa upaya pencegahan <strong>dan</strong><br />

penanggulangan terhadap perdagangan perempuan di daerah tujuan <strong>dan</strong><br />

atau transit belum terlaksana secara efektif, sehingga tindak<br />

perdagangan perempuan masih marak terjadi. Hasil penelitian tersebut<br />

memperlihatkan bahwa dalam menanggulangi perdagangan perempuan<br />

diperlukan suatu upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan terpadu antar<br />

institusi terkait, baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional.<br />

Terkait dengan hal di atas, PMB-LIPI tahun 2009 telah melakukan<br />

penelitian tentang human trafficking di daerah transit <strong>dan</strong> atau daerah<br />

tujuan. Dari penelitian tersebut diperoleh beberapa temuan sebagai<br />

berikut:<br />

•:• Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sudah memiliki komitmen lebih<br />

serius dalam penanganan trafficking dibandingkan dengan upaya­<br />

upaya penanganan trafficking di daerah Indonesia lainnya. Hal ini<br />

diindikasikan dengan lkut aktifnya Pemerintah Provinsi melaksanakan<br />

apa yang sudah ada dalam Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 21 Tahun 2007;<br />

telah membuat Perda Nomor 12 Tahun 2007 untuk mendukung<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g nomor 21 Tahun 2007 di atas <strong>dan</strong> membuat tim<br />

khusus gugus tugas serta melakukan sosialisasi tentang human<br />

trafficking kepada masyarakat.<br />

•:• Sudah ada koordinasi yang relatif baik antara Pemerintah Daerah<br />

dengan Kepolisian, Kejaksaan, <strong>dan</strong> Lembaga Swadaya Masyarakat<br />

serta Perguruan Tinggi setempat.<br />

•:• Anggota DPRD tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang<br />

pentingnya penanganan masalah trafficking yang berimbas pada<br />

2


minimnya alokasi anggaran yang diberikan DPRD kepada pemerintah<br />

daerah.<br />

•!• Di dalam penanganan kasus trafficking Kepolisian di wilayah Polda<br />

Kepulauan Riau masih mengalami kesulitan, karena tidak<br />

memadainya instrumen hukum yang dapat digunakan untuk<br />

menangani kompleksitas kejahatan trafficking.<br />

•!• Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau <strong>dan</strong> Pemerintah Kota Batam<br />

menghadapi kendala dalam melakukan koordinasi lintas<br />

provinsi/daerah (dengan pemerintah provinsi/daerah) di daerah<br />

pengirim (sending area) karena perbedaan komitmen dalam<br />

menangani masalah trafficking.<br />

•!• Karena tidak kunjung menurunnya kasus trafficking di Provinsi<br />

Kepulauan Riau, maka ada indikasi mulai a<strong>dan</strong>ya penolakan dari<br />

masyarakat lokal terhadap segala bentuk bantuan <strong>dan</strong> upaya Pemda<br />

untuk menangani masalah trafficking sebagai akibat merasa<br />

terabaikannya kepentingan masyarakat lokal.<br />

•!• Pemberiakuan otonomi daerah mengakibatkan sulitnya koordinasi<br />

yang dilakukan oleh pemerintah pusat dengan daerah karena<br />

munculnya ego sektoral.<br />

Berdasarkan temuan di atas, maka masih diperlukan suatu<br />

penelitian lanjutan di tingkat nasional (pusat) <strong>dan</strong> di daerah pengirim<br />

(sending area) untuk mendalami berbagai upaya yang telah dilakukan<br />

institusi terkait. Dengan begitu dapat menemukenali faktor-faktor yang<br />

menjadi kendala dalam upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan masalah<br />

human trafficking secara terpadu. Dengan demikian dari hasil penelitian ini<br />

dapat diharapkan menghasilkan suatu formulasi implementatif untuk<br />

pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan perempuan yang lebih<br />

holistik <strong>dan</strong> terintegrasi sehingga efisien <strong>dan</strong> efektif.<br />

1.2. Perumusan Masalah<br />

Penelitian Human trafficking Tahun 2009 memperlihatkan bahwa<br />

dalam kaitan dengan trafficking, daerah tujuan <strong>dan</strong> atau transit hanya<br />

3


terimbas masalah, karena meskipun korban trafficking berangkat lewat<br />

daerah tersebut tetapi tidak pernah diberikan informasi mengenai<br />

keberangkatan mereka. Se<strong>dan</strong>gkan setelah mereka bermasalah, mereka<br />

dikembalikan lewat Pemerintah daerah tujuan atau transit. Untuk itu<br />

koordinasi lintas daerah menjadi penting untuk membangun kepastian<br />

mekanisme masalah pengiriman. Dengan demikian dapat dilakukan<br />

tindakan pencegahan, karena pihak daerah tujuan <strong>dan</strong> atau transit tidak<br />

hanya tahu ketika sudah ada kejadian korban, melainkan sudah<br />

mengetahui sebelumnya. Namun hal tersebut tidak mudah untuk<br />

dilaksanakan karena dengan a<strong>dan</strong>ya otonomi daerah berimplikasi pada<br />

munculnya ego daerah. lmplikasinya, upaya pencegahan <strong>dan</strong><br />

penanggulangan perdagangan perempuan belum terlaksana dengan baik<br />

karena belum berjalan secara terpadu, khususnya belum ada keterpaduan<br />

dalam skala nasional <strong>dan</strong> regional.<br />

Berdasarkan permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian<br />

yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :<br />

1. Upaya-upaya apa yang telah dilakukan oleh instansi terkait dalam<br />

melakukan pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan secara terpadu<br />

terhadap perdagangan perempuan?<br />

2. Kendala apa saja yang dihadapi oleh instansi terkait dalam<br />

melakukan pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan secara terpadu<br />

terhadap perdagangan perempuan?<br />

3. Bagaimana mekanisme <strong>dan</strong> koordinasi intra-lintas-nasional antar<br />

instansi terkait dalam melakukan pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan<br />

secara terpadu terhadap perdagangan perempuan?<br />

4. Bagaimana pola pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan secara terpadu<br />

terhadap perdagangan perempuan yang efisien <strong>dan</strong> efektif?<br />

4


-<br />

2.1. Kerangka Konsep<br />

BAB2<br />

TINJAUAN PUSTAKA<br />

2.1.1. Perdagangan Perempuan<br />

Definisi perdagangan orang mengalami perkembangan sampai<br />

ditetapkannya Protocol to Provent, Suppres and Punish Trafficking in<br />

Perons Especially Women and Children Suplemeting the United Nation<br />

Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000. Dalam<br />

protokol tersebut yang dimaksud dengan perdagangan orang adalah:<br />

(a).... The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of<br />

person, by means oh threat or use of force or other for more coercion,<br />

of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a<br />

position of vulneralibility or a person having control over another<br />

person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a<br />

minimum, the exploitation of the prostitution of others or other form of<br />

sexual explanation, forced labour services, slavery or practices similar<br />

to slavery, servitude or forced labour services, slavery or practices<br />

similar to slavery, servitude or the removal of organs.<br />

(Terjemahan bebas: " ... rekrutmen, transportasi, pemindahan,<br />

penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau<br />

penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan,<br />

pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan<br />

kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/ pemberian<br />

bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang<br />

yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi yang<br />

minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk<br />

eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan<br />

atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi illegal atau<br />

pengambilan organ-organ tubuh").


"Perdagangan perempuan (<strong>dan</strong> anak)" menurut Koalisi Anti<br />

Trafficking, didefinisikan sebagai pergerakan (manusia) lintas batas,<br />

mengandung konotasi pemaksaan, penipuan, <strong>dan</strong> perdagangan manusia.<br />

Menurut Departemen Luar Negeri AS, Trafficking, khususnya "perempuan<br />

(<strong>dan</strong> anak perempuan)" untuk keperluan prostitusi <strong>dan</strong> kerja paksa,<br />

merupakan salah satu dari kegiatan kriminal internasional yang<br />

berkembang sang at cepat. 3<br />

"Perdagangan perempuan" mengandung arti sebagai pergerakan<br />

manusia meninggalkan daerah asalnya secara terpaksa (karena ada<br />

ancaman) maupun tidak (dengan penipuan melalui iming-iming pekerjaan)<br />

untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat eksploitatif, menekan<br />

<strong>dan</strong> menindas secara psikologis, fisik, seksual maupun ekonomi di tempat<br />

tujuan. Pelakunya meraup keuntungan luar biasa dari kegiatan ini,<br />

sementara korbannya mengalami penderitaan luar biasa <strong>dan</strong> tak jarang<br />

hidupnya berakhir secara tragis. Secara singkat, "perdagangan<br />

perempuan" adalah perdagangan manusia lintas batas di dalam maupun<br />

di luar negeri, termasuk penyelundupan manusia ke luar lintas batas<br />

negara.<br />

Para aktivis pembela buruh migran memasukkan persoalan buruh<br />

mig ran sebagai bag ian dari persoalan "perdagangan perempuan", karen a<br />

pola rekrutmen calon tenaga kerja yang berlangsung di Indonesia selama<br />

ini sampai pemberangkatan <strong>dan</strong> perlakuan di tempat tujuan mengandung<br />

semua unsur "perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak". 4<br />

3 Kompas Cyber Media, Kamis, 27 September 2001, "Trafficking" Kegiatan Kriminal, download 12<br />

Agustus 2005 pukul 08.00.<br />

4 Kompas Cyber Media, Sabtu, 2 Maret 2002 Nancy Ely-Raphel : Kami Tidak Bisa Bekerja Sendiri,<br />

download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />

6


2.1.2. Perdagangan Perempuan: Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />

Orang Sebagai Kejahatan Kemanusiaan Yang Serius<br />

Pemberantasan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang sifatnya sangat<br />

mendesak, hal ini disebabkan beberapa alasan berikut 5 :<br />

1. Perdagangan Orang dianggap sebagai "industri paling menguntungkan"<br />

dibanding dengan kejahatan terorganisir lainnya, seperti trafficking of<br />

drug and arms. Hal ini menyangkut manusia yang diperlakukan sebagai<br />

"komoditi yang bisa didaur ulang." Artinya, korban dieksploitasi, disiksa<br />

<strong>dan</strong> diperlakukan tidak manusiawi berulangkali untuk meningkatkan<br />

keuntungan pelaku. Tidak seperti narkoba yang sekali pakai habis.<br />

Dalam kasus eksploitasi prostitusi, korban bahkan dieksploitasi sejak<br />

berumur 15 tahun <strong>dan</strong> kemuian dicampakkan begitu saja setelah<br />

ianggap tidak mempunyai nilai jual (dikarenakan faktor usia atau<br />

menderita penyakit). Dalam kasus yang lain, pembantu rumah tangga<br />

bisa dijual ke puluhan majikan selama bertahun-tahun.<br />

2. Perdagangan Orang adalah "modern day slavery," artinya pelaku<br />

memangsa pihak yang berada dalam posisi rentan yang lemah secara<br />

ekonomi, fisik maupun emosional. Pelaku menggunakan cara-cara<br />

modern untuk memperlakukan manusia layaknya budak. TKW yang<br />

bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga dipaksa bekerja<br />

tanpa istirahat <strong>dan</strong> tanpa imbalan, dirampas paspornya sebagai cara<br />

untuk mengikat kebebasan bergerak korban <strong>dan</strong> ditempatkan dalam<br />

kondisi yang tidak manusiawi (tidur di lantai, sanitasi yang buruk <strong>dan</strong><br />

sebagainya).<br />

3. Perdagangan Orang adalah bentuk "Pelanggaran Hak Asasi Manusia".<br />

Korban tidak diberikan hak dasarnya sebagai manusia, seperti hak<br />

untuk bebas bergerak, hak atas standar hidup yang layak termasuk<br />

cukup pangan, san<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> pagan, hak atas tingkat hidup untuk<br />

kesehatan <strong>dan</strong> kesejahteraan diri.<br />

5 International Organization for Migration (2008), Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21 Tahun 2007 Tentang<br />

Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang dalam Pedoman Penegakan Hukum <strong>dan</strong><br />

Perlindungan Korban Dalam Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang, hal. 18.<br />

7


-<br />

4. Perdagangan Orang adalah "Kejahatan yang terorganisir dilakukan baik<br />

dengan cara-cara konvensional melaui bujuk rayu para sponsor<br />

(perekrut tenaga kerja di tingkat desa) sampai cara-cara yang modern,<br />

misalnya melalui iklan-iklan di meia cetak atau elektronik. Pelaku<br />

mengorganisir kejahatan dengan membangun jaringan dari daerah/<br />

negara asal korban sampai ke daerah/ negara tujuan. Jaringan Pelaku<br />

memanfaatkan kondisi <strong>dan</strong> praktek sosial di daerah/ negara asal<br />

korban untuk menjerat korbannya. Kebiasaan 'ngenger' atau merantau,<br />

ketidaksetaraan jender, kemiskinan, gays hidup konsumtif <strong>dan</strong> bencana<br />

alam sering digunakan pelaku untuk menjerat korban keluar dari situasi<br />

tersebut <strong>dan</strong> dengan kekuasaan yang dimilikinya, pelaku mengimingi­<br />

imingi korban dengan janji-janji muluk <strong>dan</strong> kemudian memeras korban<br />

baik secara fisik maupun seksual.<br />

Negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan<br />

terhadap warga negaranya agar tidak menjadi korban atau dirugikan dari<br />

perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, kesadaran<br />

bersama seluruh penyelenggara negara, masyarakat <strong>dan</strong> aparat penegak<br />

hukum, untuk peduli terhadap orang yang menderita, terlanggar haknya,<br />

atau menjadi korban dari perbuatan sewenang-wewenang <strong>dan</strong> tidak<br />

manusiawi dari orang lain merupakan keharusan.<br />

2.1.3. Bentuk-Bentuk Perdagangan Perempuan<br />

Ada berbagai bentuk dari perdagangan orang termasuk<br />

perdagangan perempuan, di antaranya adalah sebagai berikut:<br />

1. Buruh migran, baik di dalam maupun di luar negeri yang tanpa<br />

perlindungan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak orang,<br />

termasuk anak di bawah umur, bermigrasi tanpa sepengetahuan<br />

Departemen Tenaga Kerja, melalui jalur informal atau melanggar<br />

hukum, sehingga meningkatkan jumlah buruh migran secara signifikan.<br />

Buruh migran di eksploitasi sepanjang proses migrasi mulai dari<br />

perekrutan hingga proses pra-keberangkatan, selama bekerja <strong>dan</strong><br />

setelah kembali.<br />

8


-<br />

-<br />

2. Pekerja/ Pembantu Rumah Tangga (PRT). PRT kerap menghadapi<br />

bahaya besar karena sifat pekerjaan mereka yang bertempat di rumah<br />

pribadi <strong>dan</strong> tertutup dari sorotan masyarakat umum. Sering terdengar<br />

laporan mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikan.<br />

Ruang gerak PRT biasanya dibatasi. Mereka dibatasi kemana mereka<br />

mau pergi, <strong>dan</strong> biasanya mereka dikurung dirumah ketika majikan<br />

mereka pergi. Karena PRT masuk dalam sektor informal, profesi ini<br />

seringkali tidak iatur oleh pemerintah <strong>dan</strong> berada di luar jangkauan<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Ketenagakerjaan Nasional.<br />

3. Perempuan atau anak yang dipekerjakan sebagai pelacur.<br />

Perekrutan untuk industri seks komersial sering berkedok perekrutan<br />

untuk dijadikan buruh migran. Banyak perempuan-perempuan yang<br />

telah menyerahkan sejumlah uang kepada perekrut untuk mencarikan<br />

mereka pekerjaan di luar negeri atau di luar daerah, <strong>dan</strong> tidak<br />

mengetahui dari bentuk yang sebenarnya dari pekerjaan mereka<br />

sampai di tempat tujuan. Pelaku perdagangan memalsukan dokumen<br />

mereka, <strong>dan</strong> mereka tidak berani mengadu kepada pihak yang<br />

berwenang karena takut akan dideportasi <strong>dan</strong> sebagainya. Perekrut<br />

mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasan agar para<br />

perempuan tidak berani melarikan diri. Korban juga disekap secara<br />

paksa <strong>dan</strong> dijaga secara ketat. Perempuan-perempuan yang semuta<br />

direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pegawai restoran<br />

atau untuk pekerjaan di sektor hiburan kemuian dipaksa untuk bekerja<br />

dalam industri seks komersial.<br />

4. Kerja Paksa. Orang yang melakukan kerja yang bukan kehendak<br />

sendiri <strong>dan</strong> tanpa memperoleh imbalan yang tayak atau tanpa<br />

memperoleh imbatan sama sekali.<br />

5. Pengantin pesanan. Ada kecenderungan yang marak di kalangan laki­<br />

laki dari negara industri untuk mencari pengantin dari negara<br />

berkembang atau sering disebut dengan pengantin pesanan seperti<br />

Taiwan, Hongkong, Jepang, Gina, Australia, Amerika Utara <strong>dan</strong> Eropa.<br />

Kebanyakan perempuan yang banyak dipesan berasal dari Asia<br />

9


Tenggara, Eropa Timur <strong>dan</strong> Amerika Latin. Miskipun banyak kasus<br />

pengantin pesanan yang sukses <strong>dan</strong> bahagia, namun di sisi lain banyak<br />

terjadi kasus penganiayaan <strong>dan</strong> kekerasan fisik atau praktek-praktek<br />

serupa perbudakan. Di mana seorang istri dibeli semata untuk<br />

melakukan pekerjaan PRT <strong>dan</strong> memberikan layanan seks.<br />

6. Pedofilia. Orientasi seksual yang obyeknya anak-anak. Orang<br />

dikatakan pedofil atau melakukan praktek pedofil bila melakukan<br />

hubungan seksual seperti sodomi, menyentuh, meraba, memainkan<br />

alat kelamin, berfantasi tentang anak-anak kecil. Beberapa aktifitas<br />

pedofilia yang masuk dalam kategori perdagangan anak, biasanya<br />

menjauhkan anak-anak dari orang tua maupun lingkungan keluarga<br />

dengan tujuan tertentu seperti eksploitasi seksual.<br />

7. Tenaga Penghibur. Orang yang bekerja di tempat hiburan malam yang<br />

menemani pengunjung sehingga pengunjung merasa terhibur. Banyak<br />

kasus terjadi di mana perempuan yang direkrut menjadi tenaga<br />

penghibur mengalami pelecehan seksual <strong>dan</strong> ancaman bila tidak mau<br />

melayani para pengunjung.<br />

8. Pengemis <strong>dan</strong> anak jalanan. Banyak kasus yang terjadi di Indonesia<br />

di mana anak-anak direkrut, diculik untuk dijadikan pengemis <strong>dan</strong> anak<br />

jalanan (anak yang bekerja di jalan).<br />

2.1.4. Perbedaan Perdagangan Orang Dan Penyelundupan<br />

Man usia<br />

Pengertian Penyelundupan Manusia dapat ditemukan dalam<br />

Protokol PBB Melawan Penyelundupan Manusia melalui Darat, Laut <strong>dan</strong><br />

Udara, yang merupakan suplemen dari Konvensi Kejahatan<br />

Transnasional. 6 Disebutkan bahwa:<br />

"Penyelundupan Manusia" berarti segala usaha mendapatkan,<br />

memperoleh, secara langsung maupun tidak langsung, keuntungan<br />

6 Indonesia pada tanggal 17 Pebruari 2009 telah meratifikasi Protokol PBB Melawan<br />

Penyelundupan Manusia melalui Darat, Laut <strong>dan</strong> Udara yang merupakan suplemen dari<br />

Konvensi Kejahatan Transnasional.<br />

10


-<br />

-<br />

finansial maupun material, dari memasukkan seseorang secara ilegal<br />

ke suatu negara di mana orang tersebut bukan merupakan warga<br />

negara atau penduduk tetapnya."<br />

"Masuk secara ilegal" berarti melintasi batas negara tanpa mematuhi<br />

peraturan yang berlaku untuk masuk secara legal ke dalam Negara<br />

tujuan."<br />

yaitu:<br />

Jika disimpulkan, ada tiga komponen Penyelundupan Manusia,<br />

1. Aktivitas, pengangkutan atau pemindahan orang melintasi batas<br />

negara<br />

2. Cara, berdasarkan keinginan pribadi, biasanya pendatang ilegal<br />

tersebut yang mengontak pelaku penyelundupan manusia untuk<br />

mencapai tujuannya<br />

3. Tujuan, untuk keuntungan pribadi pelaku dengan cara melintas secara<br />

ilegal ke negara tujuan<br />

Perdagangan Orang <strong>dan</strong> Penyelundupan Manusia sering<br />

disalahartikan sebagai sesuatu hal yang sama, padahal kedua-duanya<br />

sangat berbeda. Secara lebih jelas lihat tabel berikut:<br />

Tabel1.<br />

Perbedaan Perdagangan Orang <strong>dan</strong> Penyelundupan Manusia 7<br />

Peri hal Perdagangan Orang Penyelundupan Manusia<br />

Korban tidak menyadari akan Orang yang diselundupkan<br />

keseluruhan proses, atau apabila ia menyadari keseluruhan proses,<br />

Persetujuan menyadarinya, maka seringkali walaupun proses tersebut<br />

dikarenakan penipuan, atau melibatkan kondisi berbahaya <strong>dan</strong><br />

ancaman kekerasan sangat memprihatinkan.<br />

Eksploitasi korban. Eksploitasi dapat<br />

berlangsung sejak korban berada Berakhir di tempat tujuan sesuai<br />

Tujuan dalam penampungan <strong>dan</strong> terus dengan keinginan orang yang<br />

berlangsung hingga korban sampai diselundupkan.<br />

di tempat tujuan<br />

Lokus<br />

(wilayah)<br />

Bisa terjadi di luar wilayah negara,<br />

atau bisa juga terjadi di dalam suatu Kejahatan lintas batas negara<br />

wilayah negara<br />

7 International Organization for Migration (2008), Pendahuluan Tentang Pemberantasan Tindak<br />

Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang dalam Pedoman Penegakan Hukum <strong>dan</strong> Perlindungan Korban<br />

Dalam Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang, hal. 13.<br />

11


2.1.5. Pelaku Perdagangan Perempuan<br />

Menurut Rosenberg 8 , pelaku perdagangan orang (trafficker) adalah:<br />

1. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo­<br />

calonya di daerah, manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP<br />

<strong>dan</strong> paspor serta secara illegal menyekap eaton pekerja migran di<br />

penampungan, <strong>dan</strong> menempatkan mereka dalam pekerjaan yang<br />

berbeda atau secara paksa memasukkan ke dalam industri seks.<br />

2. Agen atau calo-calo, bisa orang luar tetapi bisa juga seorang<br />

tetangga, ternan atau bahkan kepala desa, manakala dalam perekrutan<br />

mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan<br />

dokumen.<br />

3. Aparat pemerintah, manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen,<br />

membiarkan terjadinya pelanggaran <strong>dan</strong> memfasilitasi penyebrangan<br />

melintasi perbatasan secara illegal.<br />

4. Majikan, apabila menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif<br />

seperti: tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan<br />

fisik <strong>dan</strong> seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja<br />

dalam lilitan utang.<br />

5. Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar pasal 289, 296 <strong>dan</strong><br />

506 KHUP dapat ianggap melanggar hukum terlebih jika mereka<br />

memaksa perempuan bekerja di uar kemauannya, menjerat dalam<br />

Jibatan hutang, menyekap <strong>dan</strong> membatasi kebebasannya bergerak,<br />

tidak membayar gajinya, atau merekrut <strong>dan</strong> memperkerjakan anak (di<br />

bawah umur 18 tahun).<br />

6. Calo pernikahan, apabila pernikahan yang diaturnya telah<br />

mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa<br />

perbudakan <strong>dan</strong> eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan<br />

tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.<br />

7. Orang tua <strong>dan</strong> sanak saudara, apabila mereka secara sadar menjual<br />

anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan<br />

8 <strong>Kementerian</strong> Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di<br />

Indonesia Tahun 2004-2005.<br />

12


--<br />

di sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima<br />

pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak<br />

mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan<br />

dari anak mereka guna melunasi utangnya <strong>dan</strong> menjerat anaknya<br />

dalam libatan utang.<br />

8. Suami. Jika ia menikahi perempuan tetapi kemuian mengirim isterinya<br />

ke tempat lain untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi,<br />

menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan<br />

prostitusi.<br />

Sementara itu, dari sisi peranannya, pelaku dalam perdagangan<br />

orang (trafficking) dibedakan ke dalam 3 (tiga) unsur, sebagai berikut:<br />

1. Pihak yang berperan pada awal perdagangan;<br />

2. Pihak yang menyediakan atau menjual orang yang diperdagangkan;<br />

3. Pihak yang berperan pada akhir rantai perdagangan sebagai penerima/<br />

pembeli orang yang diperdagangkan atau sebagai pihak yang menahan<br />

korban untuk dipekerjakan secara paksa <strong>dan</strong> yang mendapatkan<br />

keuritungan dari kerja itu.<br />

2.1.6. Korban Perdagangan Perempuan<br />

Menurut "The Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of<br />

Crime and Abuse of Power", PBS (1985), yang dimaksud dengan korban<br />

(victim) adalah orang-orang yang secara individual atau kolektif, telah<br />

mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik, mental, emosi,<br />

kerugian ekonomis atau pengurangan subtansial hak-hak asasi, melalui<br />

perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran (omissions) yang<br />

melanggar hukum. 10<br />

Sementara itu, pengertian Karban dalam UU Penghapusan Tindak<br />

Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang (TPPO), BAS I pasal 1 angka 3 adalah:<br />

"seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual,<br />

9 Pigay, N. 2005. Migrasi <strong>dan</strong> penyelundupan manusia. http://www.nakertrans.go.id<br />

(27 /3/2007).<br />

10 Arif Gorsita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hal. 46.<br />

13


ekonomi, <strong>dan</strong>/ atau sosial, yang iakibatkan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan<br />

orang". Selain itu, UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi <strong>dan</strong><br />

Karban memberi pengertian korban sebagai seseorang yang mengalami<br />

penderitaan fisik, mental, <strong>dan</strong>/atau kerugian ekonomi yang iakibatkan oleh<br />

suatu tindak pi<strong>dan</strong>a.<br />

Meski KUHAP tidak mendefinisikan 'korban' secara tegas, namun<br />

di dalamnya memuat sejumlah ketentuan berkaitan dengan posisi pihak<br />

yang dirugikan (pihak ketiga yang berkepentingan). lstilah "pihak yang<br />

dirugikan" dimaksudkan sebagai pihak korban yang telah mengajukan<br />

penggabungan gugatan ganti rugi perdata ke dalam perkara pemeriksaan<br />

tindak pi<strong>dan</strong>a sesuai dengan ketentuan pasal 98-101 KUHAP. 11<br />

2.1.7. Pola Rekrutmen Dan Modus Operandi<br />

Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons<br />

Especially Women and Children Suplementing the United Nation<br />

Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000,<br />

menyebutkan bahwa pola rekrutmen adalah salah satu unsur dari<br />

perdagangan orang. Disebutkan dalam protokol tersebut bahwa kegiatan<br />

perekrutan dapat saja menggunakan ancaman atau penggunaan<br />

kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan,<br />

penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi<br />

rentan, ataupun penerimaan/ pemberian bayaran, atau manfaat sehingga<br />

memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang<br />

tersebut untuk dieksploitasi.<br />

Definisi ini diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak<br />

di bawah umur (di bawah 18 tahun), bahwa 12 :<br />

11 /nternationa/ Organization for Migration (2008), Pedoman Untuk Perlindungan Saksi/Korban<br />

Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang dalam Pedoman Penegakan Hukum <strong>dan</strong> Perlindungan<br />

Korban Dalam Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang, hal. 34.<br />

12 Harkristuti Harkrisnowo, 2003. laporan Perdagangan Manusia di Indonesia. Sentra HAM<br />

Universitas Indonesia, Jakarta.<br />

14


The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child<br />

for the purpose of exploitation shall be considered "trafficking in<br />

persons" even if this does not involve any of the means set forth in<br />

subparagraph (a).<br />

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari<br />

perdagangan orang, adalah 13 :<br />

1. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan<br />

atau menerima.<br />

2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan<br />

paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan,<br />

kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau<br />

pemberian/ penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk<br />

memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas<br />

korban.<br />

3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi<br />

seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan<br />

organ tubuh.<br />

Dari ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur<br />

tujuan, karena kendati korban anak-anak tidak dibatasi masalah<br />

penggunaan sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi.<br />

Selain itu, secara umum, modus operandi sindikat perdagangan<br />

perempuan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu 14 :<br />

1. Dengan ancaman <strong>dan</strong> pemaksaan. Biasanya dilakukan oleh trafficker<br />

13 1bid.<br />

14 1bid.<br />

yang telah dikenal dekat dengan pelaku. Dalam hal tersebut pelaku<br />

menggunakan kedekatannya <strong>dan</strong> kedudukannya yang lebih superioritas<br />

dibanding korban, sehingga membuat korban berada dalam tekanan<br />

<strong>dan</strong> kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak<br />

dapat menolak keinginan pelaku.<br />

15


2. Penculikan. Biasanya korban diculik secara paksa atau melalui<br />

hipnotis melalui anggota sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa<br />

terlebih dahulu oleh anggota sindikat sehingga menjadi semakin tidak<br />

berdaya.<br />

3. Penipuan, kecurangan atau kebohongan. Modus tersebut<br />

merupakan modus yang paling sering dilakukan oleh sindikat trafficking.<br />

Korban ditipu oleh anggota sindikat yang biasanya mengaku sebagai<br />

pencari tenaga kerja dengan menjanjikan gaji <strong>dan</strong> fasilitas yang<br />

menyenangkan sehingga korban tertarik untuk mengikuti tanpa<br />

mengetahui kondisi kerja yang akan dijalaninya.<br />

4. Penyalahgunaan kekuasaan. Dalam perdagangan perempuan banyak<br />

aparat yang menyelahgunakan kekuasaannnya untuk membacking<br />

sindikat perdagangan perempuan. Pemalsuan identitas kerapkali<br />

dilakukan oleh aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan<br />

pengurusan data diri. Seperti pemalsuan KTP <strong>dan</strong> akta kelahiran. Di<br />

bagian imigrasi juga sering terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai<br />

imigrasi sehingga perdagangan perempuan yang ditujukan ke luar<br />

negeri dapat melewati batas negara dengan aman.<br />

Modus operandi rekrutmen terhadap kelompok rentan biasanya<br />

dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan <strong>dan</strong> kemewahan,<br />

menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan<br />

wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari,<br />

menculik, menyekap atau memerkosa. Modus lain berkedok mencari<br />

tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bi<strong>dan</strong>g<br />

jasa di luar negeri dengan upah besar. lbu-ibu hamil yang kesulitan biaya<br />

untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan hutang<br />

supaya anaknya boleh diadopsi agar dapat hidup lebih baik, namun<br />

kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur<br />

dibujuk agar berseia melayani para pedofil dengan memberikan barang­<br />

barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.<br />

16


-<br />

Modus operandi kejahatan ini semakin kompeks dalam bentuk­<br />

bentuknya maupun teknis operasionalnya, baik dilakukan secara<br />

perorangan, kelompok, maupun bersindikat. Sebagai gambaran, banyak<br />

anak perempuan Indonesia yang terperangkap di hotel-hotel di Tawau,<br />

Sabah, Malaysia, yang dipaksa untuk menjadi pekerja seks komersial<br />

(PSK). Beberapa modus operandi dalam serangkaian kegiatan yang<br />

diarahkan untuk perdagangan orang, sehingga bentuk perdagangan<br />

perempuan <strong>dan</strong> anak dapat dikelompokkan, antara lain 15 :<br />

1. Menjadikannya sebagai pembantu rumah tangga, akibat <strong>dan</strong> krisis<br />

ekonomi.<br />

2. Menjadikannya sebagai komoditas seksual (dilacurkan) <strong>dan</strong><br />

pomografi.<br />

3. Menjadikannya sebagai tenaga perahan untuk pekerjaan-pekerjaan<br />

dalam kurungan, perbudakan, budak paksa atau tenaga kerja paksa<br />

antara lain: pekerja anak untuk, jermal, perkebunan.<br />

4. Menjadikannya sebagai pengemis, pengamen atau pekerjaan jalanan<br />

lainnya.<br />

5. Adopsi palsu <strong>dan</strong>/ atau penjualan bayi, yang seringkali ditemukan di<br />

daerah konflik atau daerah miskin.<br />

6. Menjadikannya sebagai isteri melalui pengantin pesanan (Mail Order<br />

Bride) yang kemudian dieksploitasi.<br />

7. Menjadikannya sebagai alat untuk melakukan perdagangan narkotika<br />

8. Dipekerjakan di perkebunan <strong>dan</strong> pabrik-pabrik atau tenaga kasar<br />

dengan upah sangat murah.<br />

9. Menjadikannya sebagai obyeklsasaran eksploitasi seksual oleh orang<br />

yang mengidap pedofilia, atau orang-orang yang mempunyai<br />

kepercayaan tertentu yang hanya mau melakukan hubungan seksual<br />

dengan anak-anak.<br />

10. Menjadikannya sebagai obyek percobaan di bi<strong>dan</strong>g ilmu pengetahuan<br />

atau obyek pencangkokan organ tubuh.<br />

15 Pigay, N. 2005. Opcit.<br />

17


11. Menjadikannya sebagai komoditi dalam pengiriman tenaga kerja<br />

imigran.<br />

12. Menjadikannya sebagai alat bayar hutang.<br />

13. Bentuk <strong>dan</strong> motif-motif lain yang hampir serupa dengan beberapa di<br />

atas.<br />

Modus operandi tersebut, bisa saja terjadi dengan melibatkan<br />

pihak-pihak mulai dari keluarga, kawan, calo, penyalur tenaga kerja<br />

(agen), oknum aparat, sindikat serta pengguna. Kejahatan ini juga<br />

merupakan kejahatan terorganisir <strong>dan</strong> terencana. Sebagai contoh,<br />

seorang anak perempuan d! lndramayu sudah dipersiapkan sejak kecil<br />

yang nantinya dapat diperdagangkan menjadi pelacur. Atau agen di desa<br />

sengaja menjebak keluarga miskin yang mempunyai anak perempuan<br />

untuk berhutang dengan bunga yang tinggi sehingga tidak dapat<br />

membayar, akhirnya menyerahkan anak perempuannya. Jebakan hutang<br />

ini tidak saja dilakukan di pedesaan, tapi juga terjadi di daerah-daerah<br />

miskin lainnya. 16<br />

2.1.8. Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Terpadu<br />

Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk<br />

tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya<br />

penanganan yang komprehensif <strong>dan</strong> terpadu. Tidak hanya dibutuhkan<br />

pengetahuan <strong>dan</strong> keahlian profesional, namun juga pengumpulan <strong>dan</strong><br />

pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama aparat<br />

penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan<br />

pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian<br />

terkait) <strong>dan</strong> lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun<br />

internasional. Semua pihak bisa saling bertukar informasi <strong>dan</strong> keahlian<br />

profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing <strong>dan</strong> kode etik instansi.<br />

16 Farid, Muhammad. 2000. Perdagangan ("trafficking") anak <strong>dan</strong> perempuan : masalah definisi.<br />

Yogyakarta.<br />

18


Beberapa alasan mengapa perlunya kerjasama di antara semua<br />

pihak yang bergerak di dalam pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan<br />

perdagangan orang, khususnya perempuan , antara lain a<strong>dan</strong>ya<br />

keterbatasan setiap institusi, baik secara kewenangan dalam hukum atau<br />

keahlian profesional, dibutuhkannya penanganan kasus secara<br />

komprehensif <strong>dan</strong> terpadu bagi pencegahan <strong>dan</strong> penanganan<br />

perdagangan perempuan yang memang memiliki karakteristik yang<br />

kompleks (misalnya kejahatan lintas wilayah, lintas negara) sehingga<br />

membutuhkan penanganan yang tidak biasa (extraordinary). Oleh karena<br />

itu kebutuhan akan kerjasama tidak dapat dihindari. Kerjasama ini pada<br />

dasarnya juga bertujuan untuk memberikan kembali hak-hak korban yang<br />

direnggut dalam kasus perdagangan perempuan.<br />

Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan kasus<br />

<strong>dan</strong> perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya<br />

pencegahan <strong>dan</strong> penaggulangan perdagangan perempuan secara<br />

terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan<br />

hak atas perlindungan dalam hukum.<br />

Dalam konteks penyidikan <strong>dan</strong> penuntutan, aparat penegak hukum<br />

dapat memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama aparat<br />

penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah negara, untuk bertukar<br />

informasi <strong>dan</strong> melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan aparat<br />

penegak hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran<br />

informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance, bagi pencegahan<br />

<strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara.<br />

2.2. Kerangka Teori<br />

Kejahatan perdagangan perempuan merupakan kejahatan yang<br />

terorganisir, di mana para pelaku kejahatan mempunyai peran yang<br />

berbeda satu dengan yang lainnya, disamping itu kejahatan "perdagangan<br />

perempuan" cakupannya mencapai luar negara. Ada beberapa hal yang<br />

perlu diyakini untuk sebuah jenis kejahatan terorganisir, yaitu:<br />

1. Bersifat global <strong>dan</strong> transnasional<br />

19


Againts Transnational Organized Crime pada tahun 2000, ditegaskan<br />

bahwa yang dimaksudkan dengan organized ciminal group merupakan 20 :<br />

" ... A structured group of three or more person, exiting for period of time<br />

and acting in concert with the aim of commiting one or more serious<br />

crime of offtence estabilished in accor<strong>dan</strong>ce with this Convention, in<br />

order to obtain, directly or indirectly a financial or other material<br />

benefit ... "<br />

(Terjemahan bebas: "Sebuah kelompok yang terstruktur terdiri dari<br />

(tiga) orang atau lebih, <strong>dan</strong> ada untuk suatu periode waktu tertentu,<br />

bertindak bersama-sama dengan tujuan melakukan satu atau berbagai<br />

bentuk kejahatan atau pelanggaran yang serius yang ditetapkan oleh<br />

konvensi ini, dengan maksud untuk mendapatkan secara langsung<br />

maupun tidak, keuntungan finansial atau materi lainnya").<br />

Dua bentuk kejahatan yang mendapat prioritas dalam konvensi ini<br />

adalah korupsi <strong>dan</strong> money laundering. Namun selain kedua kejahatan di<br />

atas, dapat dicatat berbagai kejahatan yang umumnya dilakukan dalam<br />

rangka transnational organized crime, seperti 21 :<br />

1. Penyelundupan migran (Migrant Smuggling)<br />

2. Pemutihan uang (Money Laundering)<br />

3. Perdagangan manusia (Human trafficking)<br />

4. Memproduksi <strong>dan</strong> memperjualbelikan senjata api secara ilegal (Licit<br />

Production & Trafficking in Fire Arm)<br />

5. Penipuan melalui kartu kredit (Credit Card Fraunds)<br />

6. Kejahatan yang berkenaan dengan perbankan (Bank-related Crimes)<br />

7. Perdagangan narkotika <strong>dan</strong> psikotripika serta obat terlarang lainnya<br />

(Drug Trafficking), <strong>dan</strong><br />

8. Pelacuran serta pornografi (Prostitution and Phomography)<br />

Menurut Bunbongkarm, kejahatan transnasional adalah bentuk<br />

kejahatan yang harus memiliki elemen-elemen sebagai berikuf 2 :<br />

20 Ibid.<br />

21 Philips Jusario Vermonte, Transnational Organized Crime: lsu <strong>dan</strong> Permasalahannya. ANALISA<br />

CSIS, Tahun XXXI/2002, No. 1., hal. 45.<br />

22 1bid.<br />

21


1. Lintas batas, baik yang dilakukan oleh orang (penjahat, kriminal<br />

buronan atau mereka yang se<strong>dan</strong>g melakukan kejahatan, atau korban)<br />

seperti dalam kasus penyelundupan manusia.<br />

2. Pengakuan internasional terhadap sebuah bentuk kejahatan. Pada<br />

tataran nasional, sesuai prinsip nul/urn crime, nul/urn peona since lege<br />

(tidak ada serangan, tidak ada saksi apabila tidak ada hukumnya).<br />

Kejahatan "perdagangan perempuan" tidak terjadi secara spontan,<br />

tetapi melalui berbagai pertimbangan yang matang oleh para pelaku,<br />

sehingga para pelaku mau melakukan perbuatan tersebut. Menurut Gary<br />

Becker, Rational Choice 23 adalah:<br />

"if the expected utility to him exceeds the utility he could get by using<br />

his time and other resources at other activity Some persons become<br />

'criminals', therefore, not because their basic motivation differs from that<br />

of other persons, but their benefit and cost differ".<br />

(Terjemahan bebas: "Rational Choice adalah jika manfaat yang<br />

diharapkan bagi dirinya melebihi manfaat yang ia dapat dengan<br />

menggunakan waktunya <strong>dan</strong> sumber-sumber lain pada kegiatan lain.<br />

Sebagian orang menjadi 'penjahat', bukan karen a motivasi dasar<br />

mereka berbeda dari motivasi dasar orang lain, tetapi yang berbeda<br />

adalah manfaat <strong>dan</strong> biayanya").<br />

Sebenarnya penggunaan Rational Choice Theory bagi penjelasan<br />

peran pertimbangan seseorang melakukan suatu kegiatan tidak saja<br />

berlaku bagi pelaku trafficking, namun Rational Choice Theory tersebut<br />

juga dapat menjelaskan mengapa korban potensial dapat terjebak dalam<br />

kegiatan perdagangan perempuan yang dialaminya. Memperkuat<br />

pernyataan tersebut kita dapat merujuk pendapat Heath, Carling <strong>dan</strong><br />

Coleman yang menjelaskan Rational Choice Theory dalam perannya<br />

menjelaskan pertimbangan-pertimbangan seseorang menentukan<br />

tindakannya, yakni:<br />

In rational choice theories, individuals are seen as motivated by the<br />

wants or goals that express their 'preferences'. They act within specific,<br />

given constraints and on the basis of the information that they have<br />

23 Cohen, Mark A. 1998. "Sentencing the Environmental Criminal." pp. 229 in Environmental<br />

Crime: Enforcement, Policy, and Social Responsibility. Gaithersburg, MD: Aspen Publications.<br />

22


about the conditions under which they are acting. At its simplest, the<br />

relationship between preferences and constraints can be seen in the<br />

purely technical terms of the relationship of a means to an end. As it is<br />

not possible for individuals to achieve all of the various things that they<br />

want, they must a/so make choices in relation to both their goals and<br />

the means for attaining these goals. Rational choice theories hold that<br />

individuals must anticipate the outcomes of alternative courses of action<br />

and calculate that which will be best for them. Rational individuals<br />

choose the alternative that is likely to give them the greatest<br />

satisfaction 24<br />

(Terjemahan bebas: "Di dalam teori pilihan rasional, individu dilihat<br />

sebagai orang yang termotivasi oleh tujuan atau keinginan yang<br />

mengekspresikan pilihan mereka. Mereka bertindak di dalam batasan<br />

spesifik, diberi <strong>dan</strong> atas dasar informasi yang mereka miliki tentang<br />

kondisi-kondisi di mana mereka se<strong>dan</strong>g bertindak. Pada kondisi yang<br />

paling sederhana, hubungan antara hambatan atau batasan <strong>dan</strong> pilihan<br />

dapat dilihat sebagai hal yang semata-mata teknis sifatnya,<br />

menyangkut hubungan dari suatu alat-alat bagi suatu akhir. Karena itu<br />

tidaklah mungkin bagi individu untuk mencapai semua hal-hal yang<br />

mereka inginkan. Mereka harus membuat aneka pilihan dalam<br />

hubungan dengan pencapaian tujuan mereka. Teori pilihan rasional<br />

berpendapat bahwa individu harus mengantisipasi hasil dari bermacam<br />

tindakan alternatif <strong>dan</strong> mengkalkulasi yang terbaik untuknya. lndividu<br />

secara rasional memilih alternatif yang mungkin dapat memberikan<br />

kepuasan yang terbesar bagi dirinya").<br />

Pengertian Kejahatan "perdagangan perempuan" menurut peneliti<br />

adalah merupakan kejahatan terorganisir di mana kejahatan<br />

"perdagangan perempuan" sudah melampui lintas batas suatu negara <strong>dan</strong><br />

peran para pelaku kejahatan terhadap perempuan mempunyai pembagian<br />

kerja sesuai dengan keahlian <strong>dan</strong> kemampuannya masing-masing. Modus<br />

operandi yang dilakukan para pelaku kejahatan "perdagangan<br />

perempuan" sangat beraneka ragam, dari mulai mengiming-iming<br />

kehidupan yang lebih baik menjadi pekerja rumah tangga, memalsukan<br />

surat perjalanan ke luar negeri, berkedok panti pijat, berkedok salon<br />

kecantikan atau rambut, berkedok sebagai duta seni Indonesia sebagai<br />

24 Heath, A. 1976. Rational Choice and Social Exchange. Cambridge: Cambridge University Press;<br />

Carling, A. 1992. Social Divisions. London: Verso; Coleman, J. 1973. The Mathematics of<br />

Collective Action. London: Heinemann.<br />

23


penyanyi <strong>dan</strong> penari, bekerja di restoran sampai dengan pernikahan<br />

dalam bentuk pengantin pesanan, semua modus operandi ini dengan<br />

menggunakan serangkaian kata-kata bohong/ janji-janji atau keadaan<br />

palsu yang dilakukan oleh para pelaku kepada para korban.<br />

Merujuk kembali pada asumsi bahwa kejahatan "perdagangan<br />

perempuan" tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui berbagai<br />

pertimbangan yang matang, baik oleh para pelaku maupun korban,<br />

sehingga para pelaku ataupun korban mau melakukan perbuatan<br />

tersebut, maka dalam memahami mengapa para pelaku <strong>dan</strong> korban mau<br />

melakukan kegiatannya dalam "perdagangan perempuan" tentunya harus<br />

diletakkan pada konteks perseptual tentang pilihan perilakunya secara<br />

spasial. Konteks spasial ini jelas akan menjadi lingkup terjadinya kegiatan<br />

"perdagangan perempuan". Peran spasial ini, lebih jelasnya, akan menjadi<br />

wadah dimungkinkannya kegiatan "perdagangan perempuan" dalam hal<br />

bertemunya pelaku potensial <strong>dan</strong> korban potensial, tersedianya tempat<br />

berlangsungnya proses "perdagangan perempuan" (tempat terdapatnya<br />

korban potensial <strong>dan</strong> tempat berlangsungnya rekrutmen, transportasi <strong>dan</strong><br />

transanksi).<br />

Adalah behavior-space perception yang kemudian menjadi salah<br />

satu faktor penentu seseorang mengambil keputusan dalam berperilaku<br />

secara spasial, seperti memunculkan kriteria jarak terdekat, meminimalisir<br />

waktu <strong>dan</strong> tenaga, meningkatkan estetika 25 • Persepsi perilaku-ruang<br />

dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimiliki seseorang dalam konteks kultural<br />

yang terproses dengan mendasarkan diri pada kenyataan-kenyataan fisik<br />

yang telah tersaring ke dalam kenyataan-kenyataan sosial. 26 Seperti yang<br />

dapat disimak pada gambar 1. berikut ini:<br />

25 Ibid., hal. 33-34.<br />

26 Holloway <strong>dan</strong> Hubbard, op.cit. hal. 42-43.<br />

24


Gambar 1.<br />

Lingkungan Perilaku<br />

Figure 3.2 The behavioural environment<br />

Source: After Kirk 1963<br />

Sumber: Holloway <strong>dan</strong> Hubbard, p. 43.<br />

8:1 Values<br />

D Facts<br />

-Decision<br />

Perilaku "perdagangan perempuan" merupakan akibat dari evolusi<br />

dari masyarakat, di mana perilaku tersebut dapat mengakibatkan kerugian<br />

di pihak perempuan, baik secara fisik maupun psikis. Untuk menghambat<br />

atau menertibkan perilaku tersebut diperlukan suatu pranata hukum,<br />

sehingga perbuatan tersebut menjadi perilaku yang dilarang berdasarkan<br />

aturan hukum yang berlaku.<br />

Selain upaya represif, dibutuhkan juga upaya preventif dengan<br />

menggunakan metode pendekatan secara sosial (Sosia/ Crime<br />

Prevention) dalam upaya mencegah "perdagangan perempuan" seperti<br />

yang diungkapkan oleh M. Kemal Dermawan 27 , bahwa Social Crime<br />

Prevention adalah segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar<br />

penyebab kejahatan <strong>dan</strong> kesempatan individu untuk melakukan<br />

pelanggaran. Hal ini dapat dilakukan dengan sosialisasi atau pemberian<br />

27 Mohammad Kemal Dermawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Bandung : PT. Aditya Bakti,<br />

2000.<br />

25


•<br />

Kasus perdagangan orang seperti gunung es, banyak yang menjadi<br />

korban tetapi karena belum terlindunginya secara hukum, korban <strong>dan</strong> para<br />

saksi tidak berani melapor <strong>dan</strong> memberikan kesaksian. Perdagangan<br />

orang, khususnya perempuan dikategorikan sebagai kejahatan lintas<br />

negara. Berangkat dari realitas tersebut kita membutuhkan aturan<br />

(un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g) yang mempunyai keberpihakan terhadap korban <strong>dan</strong><br />

saksi. Pada akhirnya bangsa Indonesia mempunyai UU Nomor 21 Tahun<br />

2007 tentang Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />

(PTPPO) yang disahkan di Jakarta Pada tanggal 19 April 2007 <strong>dan</strong><br />

diun<strong>dan</strong>gkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720.<br />

Namun paling tidak ada sedikit gambaran mengenai besarnya<br />

jumlah korban yang telah ada, antara lain: data dari International<br />

Organization On Migrant (10M) Indonesia melaporkan bahwa antara Maret<br />

2005 sampai Juli 2006 terdapat 1.231 WNI korban perdagangan orang<br />

yang telah berhasil diselamatkan, 89% adalah perempuan <strong>dan</strong> 11%<br />

adalah laki-laki. 77% korban adalah dewasa, 22% anak <strong>dan</strong> 1% bayi.<br />

Statistik penegakan kasus trafficking secara nasional tahun 2005 yang<br />

dihimpun 10M sebagai berikut:<br />

1. Ada 130 kasus dengan 198 orang pelaku pedagangan manusia yang<br />

telah diproses aparat hukum khususnya polisi. Dari kasus tersebut<br />

paling sedikit 715 orang telah menjadi korban.<br />

2. Penegakan hukum paling banyak terjadi di Kepulauan Seribu (27%),<br />

kemudian Sumut (15,5%) <strong>dan</strong> Jabar(12,5%).<br />

3. Dari data tersebut, 43% adalah kasus untuk trafficking pelacuran di<br />

dalam negeri, 13% untuk pelacuran keluar negeri, 12% untuk trafficking<br />

buruh migran <strong>dan</strong> 25 % untuk perdagangan bayi.<br />

Tindak perdagangan orang merupakan hal yang sangat kompleks,<br />

melibatkan banyak orang, banyak tempat, banyak cara, banyak tujuan,<br />

<strong>dan</strong> dapat terjadi di dalam negeri maupun lintas negara. Untuk<br />

membuktikan sebuah kasus kejahatan perdagangan orang dapat difahami<br />

dari ciri-cirinya, yaitu a<strong>dan</strong>ya perekrutan, pengangkutan, transfer,<br />

penyembunyian, <strong>dan</strong> penerimaan orang (bisa disebut komponen "proses"-<br />

26


nya) dengan ancaman, atau menggunakan kekerasan atau bentuk<br />

pemaksaan lainnya, penculikan , pemalsuan , penipuan , penyalahgunaan<br />

kekuasaan atau penyalahgunaan posisi rentan atau memberikan atau<br />

menerima pembayaran, atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari<br />

orang yang memegang kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi.<br />

Eksploitasi mencakup, paling tidak eksploitasi pelacuran dari orang<br />

lain, atau bentuk lain dari eksploitasi seksual , kerja atau pelayan paksa,<br />

perbudakan, atau pengambilan organ tubuh. Sudah banyak kasus terjadi<br />

bahwa kaum perempuanlah yang selalu menjadi korbannnya, hal yang<br />

paling menyedihkan dari kasus ini adalah proses pemulihan bagi para<br />

korban trafficking. Dan memang bukan hal yang mudah serta memerlukan<br />

waktu yang cukup panjang untuk pemulihannya. Pemulihan para korban<br />

tidak saja mempertimbangkan aspek-aspek fisik, tetapi juga perlu melihat<br />

psikis korban. Titik tekan dari letaknya korban trafficking sebagai subjek.<br />

Dengan pendekatan ini, korban kekerasan tidak saja mendapatkan<br />

penanganan pemulihan secara umum <strong>dan</strong> menjadi objek. Fenomena<br />

trafficking di Indonesia semakin mengerikan, terutama setelah krisis<br />

ekonomi <strong>dan</strong> bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia. Modus yang<br />

digunakanpun semakin kreatif, antara lain dengan menjadi: pembantu<br />

rumah tangga domestik maupun migran. Hanya undocumented, adopsi<br />

anak, penjualan bayi, pengemis yang terorganisir, pengedar narkoba,<br />

pekerja di tempat hiburan, target pengidap pedofilia, prostitusi, pengantin<br />

pesanan, penjualan organ tubuh, umroh <strong>dan</strong> pengiriman delegasi<br />

kebudayaan.<br />

Dalam memahami masalah perdagangan perempuan, penjelasan<br />

terjadinya aksi "perdagangan perempuan" dalam konteks interaksi antara<br />

pelaku <strong>dan</strong> korban menjadi sangat signifikan. Penjelasan dalam konteks<br />

ini dapat pula memahami peran perempuan dalam posisinya menjadi<br />

korban kejahatan. Dalam khasanah kriminologi, konteks bahasan ini<br />

dimasukkan dalam kategori pemahaman viktimisasi kriminal, yang dapat<br />

menjelasakan dalam posisi seperti apa perempuan sebagai korban juga<br />

27


mempunyai peranan penting untuk mendorong timbulnya atau terjadinya<br />

kejahatan, baik disadari atau tidak disadarinya.<br />

Seperti yang diungkapkan oleh Von Hentig dalam bukunya "The<br />

Criminal and His Victim" yang dikutip dari Arif Gosita: bahwa korban<br />

sangat berperan dalam hal timbulnya kejahatan, karena si korban tidak<br />

hanya menjadi sebab <strong>dan</strong> dasar proses terjadinya kriminalitas, tetapi juga<br />

memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran, <strong>dan</strong><br />

mengerti masalah kejahatan, delikuensi <strong>dan</strong> deviasi 28 .<br />

Berkaitan dengan korban kejahatan ini John A. Mack 29 menulis,<br />

bahwa ada tiga tipologi keadaan sosial di mana seseorang dapat menjadi<br />

korban kejahatan yaitu: (a) calon korban sama sekali tidak mengetahui<br />

akan terjadi kejahatan, ia sama sekali tidak ingin jadi korban bahkan<br />

selalu berjaga-jaga atau waspada terhadap kemungkinan terjadi<br />

kejahatan; (b) calon korban tidak ingin menjadi korban, tetapi tingkah laku<br />

korban atau gerak-geriknya seolah-olah menyetujui untuk menjadi korban;<br />

(c) calon korban tahu ada kemungkinan terjadi kejahatan, <strong>dan</strong> ia sendiri<br />

tidak ingin jadi korban tetapi tingkah laku seolah-olah menunjukkan<br />

persetujuannya untuk menjadi korban.<br />

Jadi dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pengaruh si<br />

korban menentukan timbulnya kejahatan sebagai manifestasi dari sikap<br />

<strong>dan</strong> tingkah laku korban sebelum saat <strong>dan</strong> sesudah kejadian. Oleh karena<br />

itu pihak korban dapat berperanan dalam keadaan sadar atau tidak sadar<br />

secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, secara<br />

aktif maupun pasif yang bergantung pada situasi <strong>dan</strong> kondisi sebelum<br />

saat <strong>dan</strong> sesudah kejadian berlangsung. Secara logika, tidak akan ada<br />

orang yang mau menjadi korban dari suatu kejahatan. Tetapi kondisi­<br />

kondisi tertentu dapat menyebabkan calon korban ikut berperan serta<br />

sehingga terjadilah kejahatan <strong>dan</strong> dia sendiri yang menjadi korban.<br />

28 Arif Gosita: 2004; 63 . Op.cit.<br />

29 John A. Mack 1974; 130<br />

28


Sepintas orang tidak dapat melihat peranan korban dalam hal<br />

terjadinya kejahatan. Bahkan si korban sendiri seringkali tidak menyadari<br />

bahwa dirinyalah yang sebenarnya memegang peranan penting pada saat<br />

ia menjadi korban kajahatan. Demikian juga Von Hentig telah lama<br />

menulis bahwa ternyata pada korbanlah yang kerap kali merangsang<br />

untuk melakukan kejahatan, membuat seseorang menjadi penjahat.<br />

Peranan korban dalam mempermudah terjadinya kejahatan (dalam<br />

konteks penelitian adalah perdaganagan orang) juga dapat dijelaskan<br />

melalui teori"Pertukaran Sosial". Teori pertukaran sosial pada jaman yang<br />

lebih modern dimotori oleh pekerjaan para sarjana sosiologi antara lain<br />

seperti Homans <strong>dan</strong> Blau. Model yang muncul untuk menjelaskan teori<br />

pertukaran sosial (social exchange theory), pada dasarnya terdiri atas lima<br />

unsur utama yakni 30 :<br />

1. Perilaku diprediksi di atas pikiran yang rasional.<br />

2. Hubungan menjadi dasar dalam sistem imbalan balasan.<br />

3. Pertukaran sosial didasarkan pada prinsip keadilan.<br />

4. lndividu akan berupaya untuk memaksimalkan keuntungan mereka <strong>dan</strong><br />

meminimumkan biaya mereka dalam hubungan pertukaran hubungan.<br />

5. lndividu mengambil bagian dalam suatu hubungan berdasarkan suatu<br />

perasaan kemanfaatan lebih dari pada paksaan timbal balik.<br />

Sementara itu, teori pertukaran sosial (social exchange theory) juga<br />

menjelaskan motivasi individu dalam mengejar partisipasi dalam suatu<br />

aktivitas tertentu. Teori pertukaran sosial menjelaskan empat bangunan<br />

yang mempengaruhi seorang individu untuk mempertahankan<br />

keterlibatan, yakni 31 :<br />

1. Partisipan akan berupaya untuk memelihara keterlibatan mereka jika<br />

mereka secara berlanjut menerima kepuasan kebutuhannya yang<br />

mereka cari sejak awal <strong>dan</strong> berkembang melalui partisipasinya.<br />

30 Mohammad Kemal Dermawan (2009), Disertasi: Potensi Pemolisian Komunitas Pada<br />

Masyarakat Perkotaan: Suatu Kajian Dari Aspek Kapasitas, Prinsip-prinsip Demokrasi, <strong>dan</strong><br />

Pengawasan Sipil. Universitas Indonesia, Fakultas lmu Sosial <strong>dan</strong> llmu Politik, Program Studi<br />

Sosiologi, Depok.<br />

31 1bid<br />

29


2. Partisipan mencari pengalaman suatu perasaan imbalan balasan<br />

melalui keterlibatan mereka dalam pengejaran kepuasan <strong>dan</strong><br />

kemanfaatan, dengan demikian, mereka berupaya untuk menerima<br />

sesuatu untuk keterlibatan mereka yang kira-kira sepa<strong>dan</strong> dengan<br />

kontribusi mereka melalui aktivitas mereka.<br />

3. Peserta ingin memastikan bahwa mereka menerima imbalan yang<br />

layak untuk keterlibatan mereka dibandingkan dengan orang lain yang<br />

mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam kegiatan yang sama<br />

atau serupa.<br />

4. Peserta berupaya untuk meminimalisir biaya mereka sementara<br />

memaksimalkan imbalan mereka. Dengan begitu , berhenti<br />

berpartisipasi bisa dapat disebabkan oleh karena biaya finansial yang<br />

dikeluarkan tidak sebanding dengan imbalannya.<br />

Mengacu pada beberapa prinsip Teori "Pertukaran Sosial", di atas<br />

maka peran korban dalam pentas perdagangan manusia juga sangat<br />

signifikan. Para perempuan korban perdagangan perempuan bisa saja<br />

mengambil pilihan untuk masuk dalam pentas perdagangan perempuan<br />

ini dengan didasari oleh pikiran rasional <strong>dan</strong> kemanfaatan ekonomi.<br />

2.3. Kerangka Pikir<br />

Setelah Tim Peneliti menguraikan Kerangka Konsep <strong>dan</strong> Kerangka<br />

Teoritis yang digunakan dalam penelitian ini, maka pada bagian ini Tim<br />

Peneliti menampilkan Kerangka Pikir yang digunakan dalam penelitian ini,<br />

sebagai berikut:<br />

30


-<br />

Gambar 2.Diagram Kerangka Pikir<br />

Anak & Perempuan­<br />

Transnasional- korporasi<br />

Kriminalisasi Proses<br />

yang bertujuan<br />

trafficking<br />

Kriminalisasi<br />

Pemalsuan ldentitas<br />

Kerjasama & Partisipasi<br />

Masyarakat<br />

31


3.1. Tujuan<br />

BAB3<br />

TUJUAN DAN MANFAAT<br />

Memformulasikan konsep strategi implementatif untuk pencegahan<br />

<strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan perempuan yang terkoordinasi <strong>dan</strong><br />

terintegrasi sehingga efisien <strong>dan</strong> efektif.<br />

3.2. Manfaat<br />

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi solusi<br />

bagi pengambil kebijakan dalam melakukan pencegahan <strong>dan</strong><br />

penanggulangan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan perempuan, sebagai suatu<br />

masalah sosial yang sangat penting mendapatkan prioritas perhatian<br />

3.3. Asumsi<br />

Koordinasi <strong>dan</strong> kerjasama di antara semua pihak yang bergerak<br />

dalam upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan perempuan<br />

sangat diperlukan.<br />

Keperluan membangun Koordinasi intra-lintas-nasional antar<br />

instansi, antara lain, karena (a) a<strong>dan</strong>ya keterbatasan setiap institusi baik<br />

secara kewenangan dalam hukum atau keahlian profesional, (b)<br />

dibutuhkannya penanganan kasus secara komprehensif <strong>dan</strong> terpadu bagi<br />

pencegahan <strong>dan</strong> penanganan perdagangan perempuan yang memang<br />

memiliki karakteristik yang kompleks (misalnya kejahatan lintas wilayah,<br />

lintas negara) sehingga membutuhkan penanganan yang tidak biasa<br />

(extraordinary).<br />

Terwujudnya Koordinasi intra-lintas-nasional antar instansi tersebut<br />

dimungkinkan jika ada dukungan kesediaan dari segenap pelaku


pencegahan <strong>dan</strong> penaggulangan perdagangan perempuan yang telah<br />

ada, dukungan legal, serta dukungan <strong>dan</strong> fasilitasi yang memadai.<br />

33


4.2.Penetapan Lokasi<br />

Penelitian ini direncanakan dilaksanakan dalam waktu 10 bulan,<br />

dengan menetapkan lokasi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih karena selama<br />

ini Jawa Barat merupakan sending area terbanyak kedua setelah<br />

Kalimantan Barat yang menjadi target koordinasi dari pemerintah kota<br />

Batam sebagai daerah transit <strong>dan</strong> atau tujuan kegiatan perdagangan<br />

perempuan.<br />

Gambar 3.SKENARIO PENELITIAN<br />

Faktor2 / Sebab2 Human<br />

Trafficking<br />

Kompleksitas<br />

Pencegahan <strong>dan</strong><br />

Penanggulangan<br />

Diperlukan<br />

Kerangka<br />

Koordinatif<br />

35


BABS<br />

PROFIL KORBAN, PROFIL PELAKU DAN MODUS<br />

OPERANDIPERDAGANGANPEREMPUAN<br />

5.1. Daerah Asal: Jawa Barat<br />

Perdagangan orang yang bersangkutan dengan perempuan<br />

biasanya terjadi pada pengiriman TKI legal maupun illegal <strong>dan</strong> pengiriman<br />

para wanita ke luar daerahnya untuk diperkerjakan sebagai PSK (Pekerja<br />

Seks Komersial). Pengiriman TKI legal maupun illegal menjadi<br />

permasalahan human trafficking pada saat para TKI perempuan tersebut<br />

tidak menerima gaji yang seharusnya atau menerima perlakuan kasar dari<br />

majikannya.Pengiriman PSK ke luar negeri atau luar daerahnya biasanya<br />

dijanjikan bekerja di area yang tak melanggar norma moral namun setelah<br />

tiba di tempat tujuan biasanya dipekerjakan sebagai PSK (pekerja seks<br />

Komersial) Usia para wanita calon PSK yang direkrut oleh pelaku human<br />

trafficking biasanya sekitar 17 sampai 35 tahun. Biasanya para wanita ini<br />

terpaksa mau menerima pekerjaan tersebut karena tak memiliki pekerjaan<br />

lain <strong>dan</strong> ingin hidup berkecukupan secara materi.<br />

Dibawah ini akan diuraikan kisah hidup (life story) dari beberapa<br />

orang pelaku human trafficking asal Jawa Barat yang saat ini telah di<br />

penjara di lapas laki-laki <strong>dan</strong> wanita Sukamiskin. Bandung. Mereka adalah<br />

orang-orang yang melakukan perekrutan (penjemputan) korban untuk<br />

dibawa ke daerah tujuan sebagai TKI illegal <strong>dan</strong> juga para mucikari yang<br />

merekrut para calon PSK (Pekerja Seks Komersial) maupun mucikari yang<br />

menampungnya di daerah tujuan untuk bekerja sebagai PSK. Uniknya<br />

untuk kasus pengiriman TKI illegal, beberapa dari para perekrut tenaga<br />

kerja tersebut tidak menyadari bahwa mereka melakukan perdagangan<br />

orang karena mereka hanya berniat membantu orang yang mencarikan


pekerjaan. Mereka tak menyadari bahwa mereka telah terlibat pekerjaan<br />

yang melanggar hukum. Pada saat di pengadilan semua dari pelaku<br />

human trafficking yang diwawancara menyatakan bahwa mereka tidak<br />

didampingi oleh pengacara karena ketidaktahuan <strong>dan</strong> tidak mempunyai<br />

uang untuk membayarnya.<br />

Adapun korban dari perdagangan orang atau human trafficking<br />

yang berupa tenaga kerja biasanya baru mengetahui dirinya menjadi<br />

korban setelah merasa dirinya dirugikan oleh pihak yang mengirimnya,<br />

yang kemudian melaporkan nasibnya kepada polisi. Padahal pada awal<br />

keberangkatan ke luar negeri atau kota biasanya mereka sudah tahu<br />

bahwa agen yang mengirimkan mereka biasanya merupakan perusahaan<br />

illegal.<br />

Berikut ini akan diuraikan kisah hidup (life story) dari beberapa<br />

pelaku <strong>dan</strong> korban human trafficking menjadi TKI illegal maupun menjadi<br />

PSK (Pekerja Seks Komersial) yang saat ini menjadi narapi<strong>dan</strong>a di<br />

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) wanita maupun laki-laki 'Sukamiskin'<br />

Bandung, Kelas lA.<br />

5.1.1. Profil Pelaku<br />

5.1.1.1. Kasus Pengiriman Pekerja Seks Komersial (PSK) asal<br />

Bandung ke Riau<br />

Ali Kurdi, 35 tahun (nama samaran), asal Banjaran, Jawa Barat,<br />

saat ini berada di penjara Sukamiskin Bandung sebagai narapi<strong>dan</strong>a<br />

dengan hukuman 5 tahun 4 bulan karena divonis sebagai pelaku human<br />

trafficking dengan korban bernama Eki (nama samaran). Sebelumnya ia<br />

dihukum di penjara Karawang di bersama Opon (nama samaran), salah<br />

seorang terdakwa lain kasus Eki, yang saat ini tetap berada di sana. Dia<br />

menjalani hukuman di penjara Sukamiskin, Bandung sudah dua tahun<br />

lebih. Ali Kurdi dengan pendidikan yang hanya smp <strong>dan</strong> pengetahuan<br />

yang minim, tidak menyadari bahwa penawaran pekerjaan yang<br />

ditawarkannya kepada Eki akan meyebabkan dia merasakan bagaimana<br />

37


dinginnya tembok penjara. Dia mengaku tidak mengerti apa itu human<br />

trafficking karena merasa bahwa dia hanya ingin menolong orang yaitu Eki<br />

untuk mencari pekerjaan.<br />

Sebelumnya Ali Kurdi bekerja di pabrik kertas Papirus di bagian<br />

gu<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> merupakan laki-laki yang cukup bahagia bersama ke dua<br />

orang anaknya <strong>dan</strong> istrinya yang tetap setia pa<strong>dan</strong>ya sampai saat ini. Ia<br />

seorang lak-laki yang berperawakan lumayan menarik dengan kulit putih<br />

<strong>dan</strong> perperangai lembut. Ba<strong>dan</strong>nya cukup atletis karena dia seorang<br />

olahragawan wushu. Temannya di perkumpulan wushu ini mempunyai<br />

adik bernama Lisa (nama samaran) yang saat ini juga menjadi nara<br />

pi<strong>dan</strong>a wanita di Sukamiskin dengan kasus yang sama dengan Ali Kurdi.<br />

Dari Lisalah Ali tahu bahwa ada pekerjaan untuk wanita untuk bekerja di<br />

cafe di Riau. Pada mulanya Ali menjawab bahwa dia tidak punya teman<br />

yang mau bekerja di luar pulau tersebut. Tetapi, inilah awal dari<br />

keterperosokannya ke penjara. Menurut pengakuannya ia menelpon Eki<br />

seorang janda adik temannya di pabrik kertas yang memang butuh<br />

pekerjaan. Eki ini adalah adik dari teman Ali di pabrik kertas.<br />

Ali <strong>dan</strong> Lisa juga punya teman yang bernama Neny alias ibu Dodi<br />

yang menurut Ali Kurdi merupakan seorang germo yang telah<br />

meberangkatkan sebanyak 20 orang untuk bekerja sebagai wanita<br />

penghibur ke luar kota Bandung seperti Riau. Nenylah yang menyediakan<br />

lowongan pekerjaan untuk bekerja di cafe di Riau tersebut <strong>dan</strong> kemudian<br />

mengantar sendiri para wanita tersebut kesana. Saat ini Neny atau ibu<br />

Dodi juga mendekam di penjara wanita Sukamiskin Bandung. Tidak lama<br />

kemudian menurut cerita Ali, ternyata Lisa bersama temannya Opon yang<br />

pada mulanya tidak mengenal Eki datang ke rumah Eki <strong>dan</strong> menawarkan<br />

pekerjan tersebut tanpa disertai oleh Ali. Pada mulanya Ali merasa bahwa<br />

dia hanyalah seorang saksi. Tetapi yang memberatkan adalah dia telah<br />

menerima uang 200.000 rupiah dari Lisa <strong>dan</strong> Opon teman Lisa, ke dua<br />

orng yang disuruh oleh Neny alias ibu Dodi sang germo untuk membagi­<br />

bagi uang sebesar 500.000 rupiah. lbu korban Eki yang menyetujui<br />

anaknya bekerja sebagai . wan ita penghibur di Riau menerima 100.000<br />

38


upiah . Sisanya diterima oleh Lisa <strong>dan</strong> Opon yang masing-masing<br />

memperoleh uang sebesar 100.000 rupiah. Pad a saat Lisa <strong>dan</strong> Opon<br />

datang ke rumah Eka untuk memberikan uang tanda jadi kepada ibu Lisa<br />

agar anaknya berangkat ke Riau, Ali Kurdi tidak ikut serta.<br />

Eki dibawa oleh seorang mucikari bernama Nenen alias ibu Dodi ke<br />

Riau untuk bekerja di cafe di Riau . Eki tidak betah dengan pekerjaan<br />

tersebut <strong>dan</strong> menelpon ayahnya yang kemudian mengadukan perkara ini<br />

ke polisi. Tidak lama kemudian Ali ditahan <strong>dan</strong> divonis sebagai pelaku<br />

human trafficking <strong>dan</strong> saat ini ditahan di penjara Sukamiskin Bandung.<br />

Ali mengaku bahwa dia baru pertama kali melakukan pekerjaan ini.<br />

Ketidaktahuannya akan hukum menyebabkan dia tidak mengerti pada<br />

mulanya bahwa dia melanggar hukum karena dia hanya mencarikan<br />

pekerjaan bagi orang yang membutuhkan.<br />

Neny alias ibu Dodi (nama samaran), wanita, 48 tahun. Neny<br />

alias ibu Dodi asal Bale Endah Bandung merupakan seorang wanita<br />

dengan 3 orang anak yang berperawakan sangat sederhana, berba<strong>dan</strong><br />

gemuk <strong>dan</strong> murah senyum. Dia terlihat pasrah menjalani hukuman<br />

dipenjara wanita Sukamiskin walaupun menurut pengakuannya dia sudah<br />

bercerai dengan akibat kasus ini , dengan suaminya, mantan pegawai di<br />

sebuah lembaga keuangan. Ia terlibat kasus per<strong>dan</strong>gangan orang karena<br />

membawa korban Eki ke Riau dari Bandung untuk bekerja sebagai wanita<br />

penghibur. Dia disuruh oleh majikannya di Riau untuk menjemput wanita<br />

muda tersebut sewaktu ia bekerja sebagai juru masak pada sebuah cafe<br />

di propinsi tersebut. Menurut pengakuannya dia bukan wanita yang biasa<br />

melakukan hal tersebut kecuali pada Eki. Padahal Menurut keterangan Ali<br />

Kurdi terdakwa dengan kasus yang sama, Neny alias Dodi merupakan<br />

seorang germo yang telah membawa 20 orang wanita muda ke luar kota<br />

Bandung.<br />

Sebelum bekerja di Riau dia bekerja pada tahun 2004 sebagai kuli<br />

di sebuah rumah makan kecil milik seorang haji di Padalarang. Kemudian<br />

dia membuka warung kecil sendiri di Padalarang yang menawarkan bir-bir<br />

39


kepada para pembeli. Pada tahun 2008, saat ia mengerjakan warung<br />

kecilnya , saat itulah dia bertemu dengan seorang wanita benama lmel<br />

bernama wanita lmel yang menawarkannya bekerja sebagai juru masak<br />

di cafe miliknya di Riau. (Herannya mengapa /mel ini terlepas dari jerat<br />

hukum padahal dia ada/ah pemilik cafe tempat PSK yang dikirim dari<br />

Bandung bekerja?)<br />

Setelah 2 bulan bekerja di Riau sebagai juru masak dia dengan<br />

perintah dari bosnya, lmel ia pergi ke Bandung menjemput seorang<br />

wanita bernama Eki (nama samara) yang tentu saja ditawarkannya<br />

kepada lmel untuk dapat bekerja di cafe tersebut. Neny tahu akan<br />

pekerjaan apa yang akan ditemui oleh wanita yang bernama Eki, tersebut<br />

adalah menjadi wanita penghibur. Untuk pekerjaan tersebut dia<br />

memperoleh uang sebanyak 500.000 rupiah. Biaya keberangkatan semua<br />

ditanggung oleh bosnya. Dengan menggunakan bis dia membawa Eki<br />

sang korban ke Riau untuk bekerja sebagai wanita penghibur di cafe milik<br />

lmel di Riau.<br />

Neny mengetahui akan wanita bernama Eki tersebut dari<br />

temannya Ali Kurdi yang menelponnya untuk meberitahukan bahwa ada<br />

wanita yang sudah biasa biasa keluar rumah malam hari bernama Eki<br />

yang mau bekerja. Kalau wanita baik-baik tidak akan dipekerjakan oleh<br />

Neny atau ibu Dodi. lbu Ekipun sudah tahu bahwa anaknya akan bekerja<br />

menjadi pelacur di Riau.<br />

Walaupun Eki yang tidak begitu berparas cantik tidak sempat<br />

menjadi wanita penghibur pada sebuah cafe di Riau, setelah 2 minggu<br />

berada di sana dia menelpon ayahnya untuk dapat kembali ke Bandung.<br />

Kemudian ayah Eki melaporkan peristiwa ini ke polisi <strong>dan</strong> terungkaplah<br />

kasus yang dianggap sebagai kasus human trafficking ini dengan Neny<br />

alias ibu Dodi sebagai pelakunya dengan korban bernama Eki.<br />

Lisa, 30 tahun (Nama samaran). Lisa ibu rumah tangga satu anak<br />

pendidikanan terakhir SMA, termasuk wanita yang mengaku tidak<br />

mengerti kenapa dia tidak bisa masuk ke penjara Sukamiskin. Dia divonis<br />

40


6 tahun 6 bulan . bulan tuduhan melakukan kegiatan sebagai perantara<br />

kegiatan perdagangan manusia atau human trafficking dengan korban<br />

bernama Eki (nama samaran). Dia sudah 2 tahun 6 bulan dihukum<br />

sebagai narapi<strong>dan</strong>a <strong>dan</strong> menurutnya satu tahun lagi bisa keluar lapas<br />

karena ada program pemberian pemotongan hukuman bagi narapi<strong>dan</strong>a<br />

termasuk dirinya. Suaminya bekerja di toko bahan bangunan milik<br />

mertuanya sebenarnya menunjukkan bahwa kondisi ekonominya cukup<br />

baik. Pergaulannya dengan Ali Kurdi <strong>dan</strong> seorang waria bernama Oponlah<br />

yang memperkenalkan dia kepada Neny alias ibu Dodi yang<br />

memperkenalkan, Neni alias ibu Dodi <strong>dan</strong> seorang bernama Oponlah<br />

yang membuat dia terlibat dengan kasus perdagangan orang dengan<br />

korban bernama Eki (Nama samaran).<br />

Setelah mengetahui dari temannya Ali Kurdi bahwa ada wanita<br />

yang bernama Eki yang membutuhkan pekerjaan, dia pergi ke rumah Eki<br />

bersama Opon <strong>dan</strong> memberikan uang sebesar 100.000 rupiah kepada<br />

ibu Eki sebagai tanda setuju anaknya bekerja sebagi PSK di sebuah cafe<br />

di Riau. Uang itu berasal dari Neny alias ibu Dodi yang juga memberikan<br />

kepad Lisa <strong>dan</strong> Opik masing-masing 100.000 rupiah <strong>dan</strong> taman Lisa yang<br />

merupakan orang pertama yang menawarkan pekerjaan tersebut kepada<br />

Eka memperoleh 200.000 rupiah.<br />

Lisa tidak terlibat lagi dengan keberangkatan Eki ke Riau yang<br />

dibawa oleh Neny alias lbu Dodi. Kasus perdagangan orang ini terkuak<br />

karena ternyata setelah 2 minggu di Riau Eki tidak betah <strong>dan</strong> menelpon<br />

ayahnya agar bisa pulang ke Bandung. Ayah Eki kemudian melaporkan<br />

kasus anaknya ke Polda Riau agar bisa dipulangkan ke Bandung.<br />

Akhirnya terkuaklah kasus Eki ini sebagai kasus perdagangan orang<br />

dengan Lisa sebagai salah seorang tersangka pelaku. Dia tidak menduga<br />

sama sekali bahwa kegiatannya mencarikan pekerjaan kepada Eki akan<br />

membawa dia ke rumah Lapas sebagai nara pi<strong>dan</strong>a untuk beberapa tahun<br />

lamanya. Sebelumnya dia juga tidak mengerti apa itu human trafficking.<br />

Menurut Lisa dia disuruh polisi mengakui apa yang dituduhkan pa<strong>dan</strong>ya.<br />

41


Pada saat disi<strong>dan</strong>g dia tidak menggunakan pengacara karena tidak<br />

memiliki uang untuk membayarnya.<br />

5.1.1.2. Kasus PSK di Rumah Bordil "Moro Seneng" Pangkal Pinang,<br />

Belitung<br />

Siti Aisyah (Nama Samaran). Siti Aisyah seorang wanita berusia<br />

35 tahun asal Sume<strong>dan</strong>g yang telah menikah pada usia 15 tahun.<br />

Perawakannya gemuk <strong>dan</strong> berdada Iebar dengan gaya seronok.<br />

Suaminya bekerja pada perusahaan dealer motor.la terlibat kasus<br />

perdagangan orang karena dia merupakan orang yang mengirim 6 orang<br />

asal Jawa barat ke Pangkal Pinang Belitung untuk bekerja sebagai PSK di<br />

rumah bordil " Moro Seneng" milik Reni alias mami Chita (nama samaran)<br />

yang sekarang bersama Siti Aisyah menjadi penghuni penjara wanita<br />

Sukamiskin Bandung. Menurutnya, yang mengajaknya untuk ikut bisnis ini<br />

adalah ternan laki-lakinya Atar (nama samaran), yang saat ini berada di<br />

Penjara Kebon Waru Bandung <strong>dan</strong> juga Dede (nama samaran) salah<br />

seorang tersangka.<br />

Sebenarnya di Bandung Siti Aisyah pun sebelum tahun 2008<br />

bekerja sebagai germo yang disebut sebagi "mami" untuk wanita-wanita<br />

muda yang meminta mencarikan pekerjaan sebagai PSK kepa<strong>dan</strong>ya.<br />

Namun, pekerjaannya ini tidak dilakukannya pada tempat khusus seperti<br />

rumah bordil. Ia hanya melakukan pekerjaannya ini melalui tilpun atau<br />

handphone. Ia mengetahui bahwa pekerjaan ini tidak halal. Namun<br />

keinginannya untuk memiliki barang-barang mewah menyebabkan ia mau<br />

melakukannya. Dia merasa sering dihina orang karena miskin.<br />

Pekerjaannya sebagai germo membuat dia pernah mempunyai mobil yang<br />

saat ini sudah dijual <strong>dan</strong> warung yang sudah digerebek setelah polisi tahu<br />

dia seorang germo. Dia juga memiliki rumah dari pekerjaan sebagai PSK.<br />

Pekerjaan ini dilakukannya dengan para laki-laki, dapatnya dari seorang<br />

yang disebut sebagai papih yang merupakan germo laki-laki. Nomor HP<br />

Siti Aisyah sudah tersebar kemana-mana sehingga bisnis PSK nya bisa<br />

berjalan lancar. Dari setiap PSK yang mendapat pekerjaan darinya ia<br />

42


mendapatkan Rp. milik Mami Chita yang saat ini juga berada di penjara<br />

wanita Sukamiskin Bandung,50.000 rupiah yang dipotong dari honor PSK<br />

sebesar 200.000 rupiah per satu hidung belang yang dilayani oleh PSK<br />

tersebut. Usia para PSK itu menurut Siti Aisyah adalah sekitar 21-30<br />

tahun.<br />

Bukan bisnis PSKnya yang membawa dia ke penjara karena<br />

pekerjaan itu tidak terlalu banyak merugikan orang-orang sekitarnya<br />

termasuk tetangganya karena dia hanya melakukan pekerjaan itu melalui<br />

hand phone. Masalah baru datang kepa<strong>dan</strong>ya ketika seorang laki-laki<br />

bernama Ata memintanya memberikan pekerjaan kepada 6 orang wanita<br />

muda. Ke enam orang itu kemudian dibawa oleh Siti Aisyah ke Belitung<br />

untuk bekerja sebagai PSK di rumah Bordil Moro Seneng pada tahun<br />

2008 milik wanita yang berprofesi sebagai mucikari bernama Mami Chita<br />

yang saat ini juga dipenjara di Lapas wanita Sukamiskin bersamanya. Dia<br />

mendapat bayaran.2.000.000 rupiah per orang dari Mama Chita.<br />

Setelah ke 6 wanita muda itu bekerja di Rumah Bordil "Moro<br />

Seneng," Bangka Belitung ternyata ada keluarga dari salah seorang<br />

wanita yang bernama Korin melaporkan peristiwa itu ke Polda Jawa Barat.<br />

Tidak lama kemudian pihak kepolisian Jawa Barat berangkat ke Bangka<br />

Belitung untuk menjemput ke 6 wanita muda asal Bandung itu <strong>dan</strong><br />

mengembalikannya ke rumah keluarganya. Siti Aisyahpun ditangkap <strong>dan</strong><br />

dipenjara di Lapas Sukamiskin Bandung untuk menjalani hukumannya.<br />

Dia mengaku akan bertobat dari kegiatan sebagai mucikari setelah keluar<br />

dari penjara. Namun menurut keterangan mami Chita yang menjadi ternan<br />

bisnisnya, suaminya masih melanjutkan bisnis terlarangnya.<br />

Reni alias Mami Chita, Mucikari di Bangka Belitung. Reni alias<br />

Mami Chita Ghani, 41 tahun,ibu satu orang anak usia balita asal Baturaja,<br />

Palembang, mengaku bahwa dia tidak begitu mengerti kenapa dia<br />

dianggap sebagai pelaku human trafficking atau perdagangan manusia<br />

<strong>dan</strong> bukan sebagai mucikari. Rumah bordilnya di Pangkal Pinang Belitung<br />

dibangun di daerah Paritnam dengan nama "Moro Seneng." Sebelum<br />

43


sebagai mucikari wanita di Bangka Belitung wanita yang berpendidikan<br />

SMU itu bekerja sebagai kepala di bagian ekspedisi atau pergu<strong>dan</strong>gan di<br />

Bandara Soekarno Hatta. Setelah 5 tahun bekerja di sana dia berhenti<br />

bekerja karena suaminya pada saat itu cemburu kepa<strong>dan</strong>ya.<br />

Penghasilannya pada saat itu cukup lumayan karena dia bisa membeli<br />

angkot dari pekerjaannya. Menurutnya suaminya yang sudah bercerai<br />

dengannya merupakan seorang yang suka berjudi. Akhirnya bisnis<br />

angkotnya gagal <strong>dan</strong> dia kemudian membuka usaha sebagai agen<br />

makanan yang juga gagal.<br />

Pada saat dia bepergian ke propinsi Bangka Belitung dia tertarik<br />

untuk membuka usaha rumah bordil disana dengan alasan karena merasa<br />

dilecehkan orang yang mengatakan bahwa dia tidak mampu membuka<br />

usaha itu yang modalnya sekitar 15 juta rupiah. Dengan alasan karena<br />

keegoisan hati karena merasa dilecehkan dianggap tidak mampu oleh<br />

temannya tersebut dia bertekad membuka rumah bordil tersebut di<br />

Bangka Belitung. Sebelumnya dia sudah melamar di bagian pergu<strong>dan</strong>gan<br />

Tanjung Periuk <strong>dan</strong> diterima bekerja disana. Kemudian Kemudian dia<br />

meminta uang kepada kakaknya sebesar 15 juta dengan alasan untuk<br />

bekerja di pergu<strong>dan</strong>gan Tanjung Periuk tersebut. Ternyata uang itu<br />

dipakai untuk membuka usaha rumah bordil di Pangkal Pinang, Bangka<br />

Belitung.<br />

Para PSK (Pekerja Seks Komersial) yang diperkerjakan oleh Reni<br />

diperoleh dari orang-orang yang dipesankannya untuk mengirimkannya ke<br />

Bangka Belitung. Aisyah yang saat ini juga ditahan di penjara wanita<br />

Sukamiskin termasuk rekanannya. Menurut Reni dia hanya<br />

memperkerjakan anak buahnya sebgai PSK yang merupakan wanita di<br />

atas 20 tahun sampai 30 tahun atau 35 tahun. Reni atau Mami Chita<br />

ditangkap karena ada orang tua dari Korryn, salah seorang yang telah<br />

dipekerjakannya sebagai PSK di Bangka Belitung mengadukan anaknya<br />

ke Polda Jawa Barat. Dari keterangan BAP diketahui bhwa pada tahun<br />

2009 Reni atau mami Chita telah mempekerjakan 9 orang asal Jawa<br />

Barat di rumah bordilnya sebagai PSK. Para PSK itu dijanjikan akan<br />

44


memperoleh 5 juta rupiah pada saat direkrut oleh rekan kerja Mami Chita<br />

yaitu Siti Aisyah (nama samaran).<br />

Menurut Reni pada saat ia menelpon para PSK tersebut dia sudah<br />

memberitahukan jenis pekerjaan yang akan dihadapi mereka. Anak<br />

buahnya sudah pulang-pergi Bandung-Bangka Belitung. Oleh karena itu<br />

dia tidak begitu mengerti mengapa dia dituduh sebagai pelaku<br />

perdagangan orang <strong>dan</strong> bukan mucikari.<br />

Pada saat diadili Reni alias mami Chita tidak menggunakan<br />

pengacara seperti yang juga terjadi pada para pelaku perdagangan orang<br />

yang lain. Menurutnya dia sudah pernah memberikan uang kepada jaksa<br />

atas kasusnya tersebut.Tetapi jaksa tersebut tidak mengembalikan<br />

semua uang yang pernah diberikannya. Reni menyadari bahwa<br />

tindakannya mepekerjakan para wanita itu di rumah bordilnya merupakan<br />

perbuatan yang melanggar norma-norma. Tetapi keegoisan hatilah yang<br />

membuat dia membuka usaha rumah bordil itu karena ada orang yang<br />

menganggap dia tidak mampu melakukannya. Keegoisan hati pula yang<br />

membuat dia memilih mendirikan rumah bordil daripada bekerja secara<br />

baik-baik di pergu<strong>dan</strong>gan tanjung priuk yang sudah menerima lamarannya<br />

untuk bekerja d itempat itu. Hukuman Reni selama 7 tahun <strong>dan</strong> sudah<br />

dijalani selama 3 tahun. Menurutnya apabila dia keluar kelak dia akan<br />

membuka bisnis yang akan dilakukan antara Riau <strong>dan</strong> Bandung tapi dia<br />

masih merahasiakan bisnisnya. Dia berjanji tidak akan melakukan<br />

pengiriman wanita ke rumah bordil lagi apabila keluar dari penjara. Saat<br />

ini dia masih ditahan di lapas wanita Sukamiskin. Di penjara ini dia bisa<br />

menelpon anaknya melalui wartel <strong>dan</strong> dia sempat kecewa karena tidak<br />

diijinkan bertemu dengan anaknya pada saat anaknya mengunjunginya di<br />

penjara.<br />

5.1.1.3. Kasus Pengiriman TKI Illegal ke Perkebunan Kelapa Sawit<br />

Malaysia<br />

Epin Sunandar. berusia 67 tahun. Saat ini Epin se<strong>dan</strong>g<br />

menghabiskan masa hukumannya yang tinggal sekitar setahun lagi. Ia<br />

45


dihukum dengan ancaman pasal 4 Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 21 Tahun<br />

2007 jo pasal 55 ayat (1) KUHP .yang disebabkan tuduhannya "telah<br />

membawa Warga Negara Indonesia ke luar wilayah Negara Republik<br />

Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara<br />

Republik Indonesia." Dia dihukum dengan pi<strong>dan</strong>a penjara selama 4 tahun<br />

6 bulan dengan den<strong>dan</strong> sebesar 60.000.000 rupiah yang dapat diganti<br />

dengan pi<strong>dan</strong>a kurungan 3 bulan.<br />

Pada mulanya, menurut pengakuannya, dia tidak menyadari bahwa<br />

dia merupakan pelaku human trafficking karena dia hanya mencarikan<br />

kerja kepada saudara-saudaranya <strong>dan</strong> juga anaknya yang bernama<br />

Bagas. Pada mulanya dia mempunyai anak wanita yang bekerja di<br />

Malaysia yang bernama Lilies Suryani yang sekarang menjadi narapi<strong>dan</strong>a<br />

di lapas Sukamiskin. Lilies pulang ke Jawa Barat setelah dia berhasil<br />

bekerja di Malaysia selama 2 tahun lebih di pasar swalayan. Dia pulang ke<br />

Indonesia melalui jalan darat di Pontianak <strong>dan</strong> Entikong yang merupakan<br />

gerbang perbatasan Malaysia-Indonesia ia bertemu dengan Angga (nama<br />

samaran), kelahiran Bima yang bekerja di Pontianak. Rupanya keduanya<br />

mempunyai ketertarikan. Setelah Lilies pulang ke Bandung, Angga terus­<br />

menerus menelpon Lilies. Angga mengutarkan niatnya agar Lilis<br />

mencarikan tenaga kerja untuk bekerja di Malaysia di perkebunan kelapa<br />

sawit. Lilies menceritakan niat Angga itu ke pada ayahnya Epin. Angga<br />

mengatakan bahwa perusahaan yang akan mengirim para TKI yang<br />

dimintanya itu resmi. Tetapi memang Epin tidak melihat a<strong>dan</strong>ya surat­<br />

surat dari perusahaan tersebut yang menyatakan bahwa perusahaan itu<br />

legal. Karena mengetahui banyak yang menganggur di daerah tempat<br />

tinggalnya di Bandung dia menyetujui mencarikan para pekerja yang<br />

dibutuhkan Angga tersebut. Angga kemudian datang ke Bandung <strong>dan</strong><br />

mengontrak rumah selama dua minggu di sekitar tempat tinggal pak Epin<br />

Lilies di daerah Bale Endah Bandung. Disaksikan ketua RT <strong>dan</strong> ketua<br />

RW. Angga mengatakan bahwa dia ditugaskan oleh kakaknya yang<br />

bernama Sule (nama samaran) yang mempunyai PT PPTKIS di<br />

Pontianak. Sayangnya, pak Epin tidak menyelidiki surat-surat mengenai<br />

46


esmi tidaknya PPTKIS yang berada tersebut. Angga ditugaskan oleh<br />

kakaknya untuk mencari tenaga kerja laki-laki sekitar 70 orang untuk<br />

bekerja di perkebunan sawit di batu Niah, Malaysia. Pekerjaannya antar<br />

lain menyabit rumput <strong>dan</strong> menyemprot hama pada pohon kelapa sawit.<br />

Biaya pemberangkatan bisa ditanggung oleh perusahaan lebih dahulu<br />

apabila mereka tak memiliki uang. Menu rut Angga, biaya yang dibutuhkan<br />

untuk berangkat ke Malaysia adalah sekitar 4 juta untuk biaya perjalanan,<br />

makan <strong>dan</strong> minum serta pengurusan paspor yang akan diurus di<br />

Pontianak.<br />

Akhirnya berangkatlah 9 orang dari Bale Endah ke Malaysia<br />

dengan menggunakan kapal laut melalui Entikong dengan tidak<br />

membayar serupiahpun karena dibiayai oleh Sule, kakak ipar Angga yang<br />

merupakan pemilik perusahaan penyalur tenaga kerja yang ada di<br />

Pontianak. Kesembilan orang itu merupakan kerabat dekat dari pak Epin,<br />

antara lain keponakannya <strong>dan</strong> juga anaknya sendiri yang bernama Bagas.<br />

Mereka berusia antar 20an sampai 60an tahun. Setelah mereka tiba di<br />

Pontianak mereka menumpang di rumah Sule sambil mengurus paspor.<br />

Setelah satu minggu mereka berangkat ke Batu Niah Malaysia untuk<br />

bekerja di perkebunan kelapa sawit. Penghasilan yang dapat mereka<br />

peroleh dengan bekerja pada satu hektar lahan pohon kelapa sawit yang<br />

memiliki 50 pohon adalah 35 ringgit kalau kerja dari jam 7 pagi sampai<br />

jam 5 sore.<br />

Setelah ke 9 orang asal Bandung tersebut satu bulan setengah<br />

bekerja di Malaysia, pak Epin mendapat berita melalui telepon dari<br />

mereka bahwa pekerjaan mereka di Malaysia tidak sesuai dengan<br />

perjanjian. Para TKI asal Bandung itu mengatakan bahwa mereka bekerja<br />

di hutan menebang kayu <strong>dan</strong> bukan di kebun kelapa sawit. Epin<br />

mempertanyakan keadaan ini kepada Angga melalui telepon. Angga<br />

mengatakan bahwa yang berbohong adalah ke 9 orang pekerja itu .<br />

Keluarga ke 9 orang itupun di Bandung menjadi resah. Akhirnya pak Epin<br />

pergi ke Enitkong untuk melihat siapa yang benar. Epin juga resah karena<br />

anaknyapun yang bernama Sagas ikut bekerja di situ. Dengan uang<br />

47


sekitar 6 juta rupiah ia berangkat ke Pontianak. Dia diterima dengan baik<br />

di rumah Sule yang memiliki perusahaan para TKI itu. Setelah mengurus<br />

paspor satu minggu kemudian dia berangkat ke Batu Niah Malaysia<br />

tempat perkebunan kelapa sawit yang dimaksud. Ternyata, benar<br />

memang ke 9 orang itu bekerja di kebun kelapa sawit <strong>dan</strong> bukan di hutan<br />

dengan menebang kayu sebagaimana kabar yang pak Epin terima dari<br />

dari ke 9 TKI itu sewaktu di Bandung. Pak Epin mempertanyakan alasan<br />

mereka berbohong. Ternyata mereka tak betah bekerja di perkebunan<br />

kelapa sawit tersebut. Menurut pak Epin memang beberapa dari 9 orang<br />

tersebut sudah terbiasa menganggur <strong>dan</strong> minum2an yang memabukkan.<br />

Padahal setelah mereka kerja sekitar 2 bulan mereka sudah dapat<br />

memiliki paling sedikit 140 ringgit perorang dengan s potongan sedikit.<br />

Pada waktu mereka menandatangani kontrak mereka memperoleh sektar<br />

4 juta rupiah per bulan selama dua tahun <strong>dan</strong> kontrak harus selesai.Tetapi<br />

sekarang mereka tetap memutuskan mau pulang dengan cara melarikan<br />

diri ke Bandung sekalipun pak Epin sudah datang kesana <strong>dan</strong> meminta<br />

mereka agar mereka tetap bertahan bekerja di perkebunan kelapa sawit<br />

tersebut.Mereka harus memiliki uang sekitar 3500 ringgit untuk lari dari<br />

Batu Niah ke Pontianak. Pada saat itu uang yang terkumpul dari 9 orang<br />

itu baru 1500 ringgit <strong>dan</strong> masih kurang sekitar 2000 ringgit. Pak Epin<br />

menambahkan uangnya sekitar 280 ringgit yang masih ada tapi tetap tak<br />

mencukupi biaya untuk semuanya lari ke Pontianak. Apabila disatukan<br />

dengan uang hasiil kerja ke 9 orang tersebut baru ada sekitar 1850 ringgit.<br />

Untuk itu mereka masih harus bekerja beberapa bulan lagi untuk<br />

mendapakan tambahan uang untuk pulang ke Indonesia. Kalau sudah<br />

terkumpul sekitar 4000 ringgit baru mereka dapat lari ke Indonesia.<br />

Akhirnya salah seorang dari pekerja tersebut, En<strong>dan</strong>g Wahyudi, tetangga<br />

pak Epin mengusulkan untuk meminjam dahulu ke pemilik perkebunan<br />

kelapa sawit tersebut dengan janji akan mengembalikannya.<br />

Akhirnya Pak Epin bertemu dengan pemilik perkebunan, yaitu pak<br />

Akfali (nama samaran) yang sangat baik pa<strong>dan</strong>ya karena dia diajak<br />

bekeliling melihat perkebunannya di Malaysia <strong>dan</strong> berkeliling sambil<br />

48


errekreasi ke kota Kuching <strong>dan</strong> Serawak. Dia kemudian mengutarakan<br />

permohonannya agar pak Akfali pemilik perkebunan tersebut<br />

meminjamkan uang untuk dibawanya ke keluarga ke 9 orang pekerja<br />

tersebut pada saat dia pulang beberapa hari lagi. Pak akfali mengatakan<br />

bahwa ia menyetujui memberikan uang yang akan dipinjam tersebut tetapi<br />

pada waktu itu bank utup karena hari sabu . Dia baru bisa memberikan<br />

pada hari Senin. Karena pak AEpin sudah akan pulang dia mengatakan<br />

supaya uang itu diberikan saja kepada anak-anak pekerja yang 9 orang<br />

tersebut karena hari Selasa berikutnya dia sudah mau ke Pontianak untuk<br />

pulang ke Jawa Barat. Sesampai di Serawak dia diberikan uang untuk<br />

pulang dengan bis ke Batu Niah. Dia ikut pulang dengan Angga yang ikut<br />

dalam rombongan tersebut. Tetapi setelah pak Epin kembali ke Pontianak<br />

yang diharapkan hari Selasa sudah ada ditangannya ternyata tidak ada.<br />

Pak Akfali pemilik perkebunan itu tak pernah mengirimkan uang yang<br />

dijanjikannya. Pak Epinpun kembali ke Bandung. Setelah dua minggu dari<br />

keberangkatan pak Epin ke Pontianak ternyata ke 8 orang dari 9 orang itu<br />

itu sudah dapat melarikan diri dengan waktu yang berbeda. Yang tinggal<br />

bertahan di bekerja di perkebunan kelapa sawit tersebut hanya satu<br />

orang yang bernama Dudin (nama samaran) karena ia ingin memperoleh<br />

uang sisa hasil pekerjaannya. Uang yang sudah dikumpulkan oleh para<br />

TKI itu pegang oleh En<strong>dan</strong>g Wahyudin yang membawa kabur uang<br />

terebut. Anak pak Epin yang bernama Sagas yang ikut lari bertemu<br />

dengan Entas (nama samara) yang merupakan salah seorang temannya<br />

yang lari dari perkebunan kelapa sawit di Malaysia itu. Akhirnya dia<br />

bekerja lagi di perusahaan abasia. Sudah ada 5 orang pekerja pelarian<br />

yang tiba di Pontianak. Mereka tak cukup uang lagi untuk kembali ke<br />

Bandung. Pak Epin bersama Angga harus bertanggung jawab atas<br />

kepulangan tesebut. Pak Epin menjual kambing ayam <strong>dan</strong> kursi untuk<br />

mendapat uang 3.400.000 rupiah yang dibutuhkan.<br />

Pada saat dia mau mengurus kepulangan ke para pekerja yang lari<br />

tersebut kakak dari pak Epin anaknya ikut rombongan kerja ke Malaysia<br />

itu sudah melaporkan permasalahan ini ke polisi. Tidak lama setelah para<br />

49


pekerja itu pulang ke Bandung, dia ditangkap <strong>dan</strong> dibawa ke Polda.<br />

Anggapun yang se<strong>dan</strong>g berada di Bandung ikut ditangkap.Ternyata<br />

Angga bekerja pada PJTKI illegal karena dia tak bisa menunjukkan surat­<br />

surat perusahaannya. Pak Epin dituduh melakukan kejahatan human<br />

trafficking. Pak Epin tak begitu mengerti akan tuduhan tersebut tetapi dia<br />

pasrah. Dia merasa hanya mencarikan pekerjaan pada orang-orang yang<br />

merupakan keluarganya karena anaknya sendiripun ikut dalam dalam<br />

pekerjaan tersebut. Dia tak menyanggka dituduh memperdagangkan<br />

orang apalagi anaknya semdiri. Apakah dia dapat dikatakan<br />

memperdagangkan anaknya sendiri?<br />

Di pengadilan dia tak disertai oleh pengacara. Berkas masalahnya<br />

diproses setelah dia mendekam hampir 5 bulan di tahanan. Padahal<br />

karena dia tidak tahu hukum dia tak bisa menutut bahwa masalah itu<br />

cacat hukum karen a dia telah ditahan lebih dari 100 hari <strong>dan</strong> tak bisa<br />

diproses lagi. Dia tetap disi<strong>dan</strong>g selama 21 kali sebelum menjalani<br />

hukumannya.<br />

Anaknya telah menggadaikan rumahnya senilai 10 juta <strong>dan</strong> ia<br />

meminjam uang 2 juta untuk mengurus perkaranya. lstrinya memberikan<br />

kepada hakim 2 juta <strong>dan</strong> jaksa 4 juta rupiah. Pada mulanya pak Epin<br />

dipenjara di lapas Kebon Waru. Disana dia harus memberikan uang<br />

kepada ketua kamar yang disebut pak RT apabila hendak tidur di tempat<br />

yang agak nyaman Akhirnya dia mengurus kepindahannya ke lapas<br />

Sukamiskin. Menurut keterangan dia akan keluar pada tahun 2011 bulan<br />

11 dari penjara. Dia tidak tahu akan tinggal di mana karena rumahnya<br />

sudah digadaikan.<br />

Akibat dari pelaporan kakaknya ke polisi terungkaplah bahwa<br />

perusahaan PJTKI milik pak Sule tempat Angga bekerja mencarikan TKI<br />

itu ternyata merupakan PJTKI tak resmi karena tak ada surat-suratnya.<br />

lnilah yang menjadi kesalahan pak Epin. Karena pendididikannya yang<br />

rendah dia tak begitu memperhatikan legal apa tidak. Karena ingin<br />

50


menolong orang mencari pekerjaan dia dipenjara sebagai pelaku human<br />

trafficking.<br />

Anaknya Lilis Suryani (nama samaran) yang merupakan kekasih<br />

Angga <strong>dan</strong> yang pertamakali memberikan informasi akan a<strong>dan</strong>ya<br />

pekerjaan ke Malaysia tersebut pun ikut dipenjara di lapas Sukamiskin.<br />

Pak Epin merasa mengkhianati hati nuraninya karena dia tak merasa<br />

menjual anak sendiri karena kejahatannya disebut sebagai perdagangan<br />

manusia. Pak Epin belum pernah dipenjara sebelumnya. Pada waktu di<br />

persi<strong>dan</strong>gan pak Epin tak mengerti mengapa anak kakaknya waktu<br />

disumpah dengan al quran tak mengakui dia sebagai pamannya.Yang<br />

melaporkan perkara itu ke polisi adalah kakaknya. Pak Epin tidak mengerti<br />

kenapa kakaknya melaporkan karena sebenarnya anggota keluarga dari<br />

kakaknya tersebut sudah keluar dari Malaysia <strong>dan</strong> berada di Pontianak<br />

pada waktu dia melaporkan perkara ini ke polisi.<br />

Lilis Suryani binti Epin Sunandar (nama samaran). Eulis<br />

Suryani wanita, 28 tahun adalah anak dari pak Epin Sunandar ( 67 tahun)<br />

yang saat ini menjadi narapi<strong>dan</strong>a di penjara pria Sukamiskin Bandung.<br />

Euis saat ini berada di penjara wanita Sukamiskin Bandung dengan vonis<br />

4 tahun subsider 3 bulan sejak tahun 2008. Wanita ini sejak tahun 2006<br />

sudah berstatus janda. Ia menikah pada usia 19 tahun. Dahulu suaminya<br />

adalah seorang pekerja di PLN bagian bubut.<br />

Lilis Suryani pernah bekerja di Kuching, Malaysia sebagai pegawai<br />

restoran. Dia berangkat dengan menggunakan pesawat ke Kuching dari<br />

Jakarta. Permasalahan hukumnya tak bersangkutan secara langsung<br />

dengan pekerjaannya ini karena dia berangkat sebagai TKI legal melalui<br />

PPTKIS resmi. Disana dia sebelum bekerja mendapat pelatihan kerja<br />

selama 3 bulan untuk mengetahui barang-barang berbahasa Melayu.<br />

Sebelumnya dia juga mendapat pelatihan kerja selama 2 minggu di<br />

Jakarta. Gajinya pertamanya 250 ringgit kemudian naik menjadi 400 <strong>dan</strong><br />

500 ringgit.<br />

51


Setelah 2 tahun bekerja di Kuching dia pulang ke Indonesia melalui<br />

jalan darat ke Entikong Kalimantan Barat. Agensi yang mengantarnya<br />

Entikong di Malaysia masih sama. Tetapi di Entikong dia diterima oleh<br />

agensi yang berbeda dengan yang memberangkatkannya dahulu.<br />

Kemudian dia dibawa ke Pontianak untuk menunggu keberangkatannya<br />

ke Bandung. Agensi yang menampungnya di Pontianak ini milik Sule<br />

(nama samara) yang memiliki memiliki ipar bernama Angga.Lilis Suryani<br />

kemudian berpacaran dengan Angga seorang yang berasal dari Sima<br />

NTB.<br />

Agen yang mengirim Lilis a pulang ke Entikong di Malaysia<br />

memang sama dengan yang menjemputnya dahulu pada saat dia tiba di<br />

Malaysia. Tetapi setelah tiba di Entikong agensi Indonesia yang<br />

menjemputnya di Entikong berbeda dengan yang mengantarkannya<br />

dahulu ke Malaysia. Dari Entikong dia dibawa k Pontioanak oleh Angga<br />

dari Agensi milik Sule, ipar Angga. Beberapa hari kemudian Lilis Suryani<br />

diberangkatkan dengan kapal laut ke pelabuhan Tanjung Periuk Jakarta.<br />

Keluarganya menjemputnya di Tanjung Priuk <strong>dan</strong> membawanya ke<br />

Bandung.<br />

Sebenarnya Lilis Suryanis tak akan menemukan permasalahan<br />

hukum kalau Angga tidak sering menelpon dia. Angga yang sudah tertarik<br />

pada Lilis sering menghubungi Liliss lewat tilpun sambil mengajak Lilis<br />

mencarikan TKI yang mau bekerja di perkebunan kelapa sawit di<br />

Malaysia. Lilismemberitahukan niat Angga ini kepada ayahnya pak Epin<br />

Sunandar (nama samaran). Pak Epin tanpa mengerti apa itu human<br />

trafficking menawarkan pekerjaan ini kepada keluarganya di Bandung.<br />

Akhirnya, berapa keluarganya antara lain sepupunya atau anak dari<br />

uwaknya Lilis, Menantu uwaknya, adiknya <strong>dan</strong> bebearapa orang lainnya<br />

sebanyak 9 orang mau bekerja ke perkebunan kelapa sawit tersebut.<br />

Sebenarnya Lilis bertanya-tanya mengenai surat-surat dari agensi<br />

mengenai kegiatan tersebut kepada Angga. Tetapi Angga mengatakan<br />

bahwa lebih baik mereka berangkat dahuku ke Pontianak baru kemudian<br />

52


diurus surat-suratnya. Mereka berangkat bersama Angga ke Pontianak<br />

<strong>dan</strong> Lilistak menyadari tindakannya mencarikan pekerjaan bagi anggota<br />

keluarganya ini melangar hukum. Ternyata surat-surat yang dimaksud<br />

oleh Angga hanyalah paspor <strong>dan</strong> bukan surat resmi dari Agensi yang<br />

memperlihatkan status Agensi. Lilis <strong>dan</strong> bapaknya dijanjikan uang<br />

sebanyak 300.000 rupiah tapi tak pernah diberikan dengan alasan agensi<br />

dari lndoneisa bahwa uangnya belum cair dari agensi Malaysia. Pada saat<br />

pemberangkatan tersebut Liliss ikut ke Pontianak bersama Angga yang<br />

kemudian ikut juga mengantarkannya pulang ke Bandung dengan biaya<br />

dari Angga. Dia berada hampir satu bulan di Pontianak di rumah Sule<br />

yang mempunyai 2 istri, satu di Entikong satu di Pontianak. Ternyata<br />

setelah ia tiba di Bandung ia bersama Angga<strong>dan</strong> juga anaknya ditangkap<br />

oleh polisi dengan tuduhan melakukan perdagangan orang atau human<br />

trafficking yang sma sekali tidak dimerngertinya. Sekarang hubunganya<br />

sudah putus dengan yang dipenjara di penjara Kebun Waru dengan<br />

hukuman.<br />

5.1.2. Profil Korban<br />

5.1.2.1. Kasus Pengiriman Pekerja Seks Komersiall (PSK) asal<br />

Bandung ke Riau<br />

Eki ( nama samaran), wanita, 24 tahun. Keterangan mengenai<br />

korban seorang wanita bernama Eki (nama samaran), 24th. diperoleh dari<br />

Ali Kurdi (nama samaran) narapi<strong>dan</strong>a di Lapas laki-laki Sukamiskin<br />

Bandung, tersangka pelaku kasus human trafficking atau perdagangan<br />

orang dengan Eki sebagai korbannya <strong>dan</strong> Neny alias ibu Dodi (nama<br />

samaran) yang saat ini ditahan dipenjar wanta Sukamiskin Bandung. Eki<br />

<strong>dan</strong> Ali sama-sama berasal dari desa Banjaran Jawa Barat. Eki<br />

merupakan janda yang telah 2 kali bercerai <strong>dan</strong> memiliki satu orang anak.<br />

Ia bercerai dengan mantan suaminya yang kedua, seorang supir, karena<br />

suaminya kawin lagi. Kebutuhan ekonomi membuat ia menerima tawaran<br />

pekerjaan dari Ali Kurdi untuk bekerja di sebuah cafe di Riau yang belum<br />

pernah dikunjunginya. Menurut Ali Kurdi, ia juga memperingatkan Eki<br />

53


akan tempat pekerjaannya yang jauh dari kampung halaman <strong>dan</strong> tidak<br />

usah langsung menerima pekerjaan tersebut. Eki sebenarnya tidak terlalu<br />

kenai dengan Aan, yang merupakan teman kakaknya Tini yang sama-sma<br />

bekerja di pabrik kertas Papirus bagian gu<strong>dan</strong>g. Tini jadi saksi di<br />

pengadilan pada saat perkara ini disi<strong>dan</strong>gkan. Setelah penawaran<br />

pekerjaan tersebut Ali Kurdi menyatidakan tidak lagi menghubungi Eki.<br />

Ternyata tidak lama kemudian menurut Ali Kurdi, Eki sudah<br />

berangkat ke Riau setelah ditampung dahulu di Cibaduyut Bandung ,<br />

melalui Jakarta. Orang yang kemudian mendatangi Eki untuk pekerjaan<br />

tersebut adalah adalah seorang wanita bernama Willi yang sudah bisa<br />

bekerja di cafe-cafe. Sebelumnya dua orang yang bernama Opon( Nama<br />

Samaran) <strong>dan</strong> Lisa (nama samaran) , teman dari Ali Kurdi mendatangi Eki<br />

<strong>dan</strong> memberikan uang tanda jadi kepada Eki yang setuju berangkat ke<br />

Riau. Orang tua Eka sudah bercerai. Dia bekerja atas sepengetahuan<br />

ibunya <strong>dan</strong> bukan ayahnya yang sudah bercerai dengan ibunya. lbu Eki<br />

memperoleh uang sebanyak 100.000 rupiah dari Lisa <strong>dan</strong> Opon , orang­<br />

orang yang diutus Neny alias ibu Dodi sang germo, karena telah<br />

menijinkan anak perempuannya bekerja ke Cafe di Riau . Dengan<br />

demikian ibu Eki sebenarnya mengetahui jenis pekerjaan sebagai wanita<br />

penghibur yang akan diambil oleh anaknya.<br />

Neny alias ibu Dodi, si mucikari kemudian membawa Eki ke Riau<br />

untuk bekerjadi cafe di Riau. Ternyata, setelah 2 minggu Eki tidak betah<br />

bekerja di cafe tersebut. Menurut keterangan Ali Kurdi, bahkan dia belum<br />

sempat melayani laki-laki hidung belang karena penampilannya memang<br />

tidak begitu menarik sehingga belum ada laki-laki yang menawarnya.<br />

Kemudian Eki menelpon ayahnya di Bandung yang tidak setuju dengan<br />

pekerjaan anaknya tersebut. Eki kembali ke Bandung setelah ayahnya<br />

kemudian melaporkan peristiwa ini ke Polisi di Bandung <strong>dan</strong> kasus<br />

menyangkut perdagangan orang ini terungkap.<br />

54


5.1.2.2. Kasus PSK di Rumah Bordil "Moro Seneng" Pangkal Pinang,<br />

Belitung<br />

Korry, nama samaran (17 tahun). Korry, seorang wanita muda<br />

berumur 17 tahun, pendidikan terakhir asal Bandung merupakan salah<br />

satu wanita dari 9 orang wanita muda asal Bandung yang berhasil dikirim<br />

oleh seorang wanita bernama Siti Aisyah untuk dikirim bekerja ke Pangkal<br />

Pinang, propinsi Bangka Belitung sebagai wanita PSK. Pada bulan<br />

Desember 2009. Korry beserta teman-temannya dijanjikan akan<br />

mendapatkan uang 5 juta rupiah dari pekerjaannya di restoran di Bangka<br />

Belitung. Korry <strong>dan</strong> korban lainnya diantar oleh Siti Aisyaha berangkat<br />

dari Bandung ke Bandara Soekarno Hatta untuk naik pesawat ke Pangkal<br />

Pinang propinsi Bangka Belitung. Di Pangkal Pinang mereka dijemput<br />

oleh Reni alias Mami Chita yang ternyata merupakan pengusaha rumah<br />

bordil "Moro Seneng" di Pangkal Pinang, Di sana ke 9 wanita tersebut<br />

ditinggal oleh Siti Aisyah untuk diserahkan kepada Reni sebagai anak<br />

buahnya yang ternyata bekerja di sebagai PSK <strong>dan</strong> bukan pegawai<br />

restoran.<br />

lbu Korry yang bernama Wati (nama samaran) kemudian<br />

melaporkan kejadian yang menimpa anaknya ke Polda Jabar.<br />

Sebelumnya ia mengijinkan anaknya Korry bekerja di Palembang. Tetapi<br />

setelah diselidiki oleh saudaranya yang ada di Palembang Korry tidak ada<br />

di sana. lbu Korry kehilangan kontidak dengan anaknya Korry. Sekitar 2<br />

bulan kemudian Korry mengirimkan sms kepd ibunya yang mengatakan<br />

bahwa dia berad d itempat prostitusi didaerah Paritenam Pangkal Pinang<br />

<strong>dan</strong> bekerja sebagai wanita PSK di rumah bordil "Moro Seneng."Tidak<br />

lama kemudian kasus ini terbongkar setelah polisi datang menjemput<br />

sendiri para korban perdagangan orang atau human trafficking yang<br />

melibatkan wanita di bawh umur menjadi korban perbuatan cabul dari<br />

para pelaku perdagangan orang. Para pelaku kemudian ditangkap <strong>dan</strong><br />

saat ini berada di lapas Bandung. Korry <strong>dan</strong> teman-temannya kembali ke<br />

keluarganya setelah mengalami proses rehabilitasi dari instansi yang<br />

menangani program tersebut.<br />

55


5.1.2.3. Kasus Pengiriman TKI Illegal ke Perkebunan Kelapa Sawit<br />

Malaysia<br />

Sagas binti Epin Sunandar (nama samaran). Bagas merupakan<br />

anak dari Epin Sunandar yang saat ini menjadi penghuni lapas laki-laki<br />

Sukamiskin Sandung karena disangka menjadi pelaku perdagangan orang<br />

kasus TKI illlegal. Dia tidak menyangka bahwa keberangkatannya ke<br />

Malaysia untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit atas tawaran seorang<br />

agen PPTKIS illegal bernama Angga. Dia berangkat bersama 8 orang<br />

kerabatnya untuk bekerja di perkebunan kepala sawit Malaysia.<br />

Sebenarnya penghasilan yang didapatnya cukup lumayan yaitu sekitar 3<br />

juta sebulan dengan bekerja sebagi penyabit rumput <strong>dan</strong> penyemprot<br />

hama. Tetapi karena dia bersama 8 orang kerabatnya tidak biasa bekerja<br />

keras di perkebunan mereka berniat untuk lari dari perkebunan tersebut.<br />

Niat itu dilakukan dengan mengirim berita bohong kepada ayahnya pak<br />

Epin dengan mengatakan bahwa mereka bukan bekerja di perkebunan<br />

kelapa sawit melainkan bekerja menebang kayu di hutan. Ternyata<br />

setelah ayahnya datang sendiri untuk menyaksikan kebenaran pekerjaan<br />

mereka diketahui bahwa Sagas <strong>dan</strong> ke 8 orang pekerja lainnya<br />

berbohong, Mereka memang bekerja di kebun kelapa sawit di Malaysia.<br />

Tetapi walaupun demikian mereka tetap melarikan diri ke Pontianak<br />

kecuali satu orang ternan Bagas yang tetap bertahan karena ingin<br />

memperoleh uang dari pekerjaan tersebut. Dari sini terlihat bahwa Sagas<br />

<strong>dan</strong> keluarganya yang pergi bekerja ke Malaysia di perkebunan kelapa<br />

sawit itu memang tidak begitu memiliki keinginan untuk berjuang<br />

memperbaiki penghasilan di negeri orang. Mereka lebih suka bekerja di<br />

Sandung walaupun tidak banyak menghasilkan uang. Bagas setelah lari<br />

dari perkebunan kelapa sawit sempat bekerja di perkebunan abasia di<br />

Malaysia, ia tetap memilih pulang ke Bandung <strong>dan</strong> bekerja di pasar<br />

sebagai petugas kaki lima. Kebohongan yang dilakukannya bersama<br />

teman-temannya yang mengirimkan kabar ke Bandung bahwa mereka<br />

tidak bekerja di perkebunan kelapa sawit tetapi menebang kayu di hutan<br />

telah menyebabkan keresahan kepada kakak dari ayahnya (uwaknya)<br />

56


yang memiliki anak <strong>dan</strong> menantu yang juga bekerja bersama Bagas di<br />

Malaysia. Kakak dari ayah Bagas ini kemudian melaporkan kejadian ini<br />

ke polisi. Terungkaplah kasus pengiriman TKI illegal dengan ayahnya<br />

sebagai perekrutnya <strong>dan</strong> juga Angga yang merupakan perekrut yang<br />

mewakili agensi pengiriman TKI yang berada di Pontianak yang<br />

mengirimkan mereka bekerja di sana. Ternyata setelah polisi<br />

mempertanyakan surat-surat dari perusahaan tempat Angga bekerja di<br />

Pontianak Angga tidak dapat menunjukkannya Akhirnya pak Epin <strong>dan</strong><br />

Angga pun ditangkap polisi <strong>dan</strong> mereka dihukun sebagai narapi<strong>dan</strong>a<br />

kasus tersangka perdagangan orang Tenaga Kerja Illegal.<br />

5.1.3. Proses Rekrutmen <strong>dan</strong> Modus Operandi<br />

Dari kisah hidup (life story) para narapi<strong>dan</strong>a yang menjadi<br />

tersangka kasus perdagangan orang di atas terlihatlah bahwa modus<br />

operandi kegiatan perdagangan orang dilakukan oleh sekelompok orang<br />

yang memang telah mepunyai bisnis dalam merekrut tenaga kerja baik itu<br />

TKI illegal yang akan dikirim ke luar negeri maupun pekerja seks<br />

komersial yang akan dikirim ke luar wilayah tempat asalnya di dalam<br />

maupun luar negeri. Dari uraian mengenai kisah hidup di atas lihat bahwa<br />

perekrutan yang dilakukan atas para calon TKI <strong>dan</strong> calon PSK untuk<br />

bekerja diluar kota dilakukan oleh orang-orang yang telah memiliki<br />

hubungan kerja dengan orang-orang di tempat tujuan. Para TKI yang akan<br />

dipekerjakan di Malaysia maupun para wanita muda asal Bandung untuk<br />

dikirim sebagai pekerja seks komersial di Pekan Baru, Riau <strong>dan</strong> di<br />

Pangkal Pinang, Bangka · Belitung dilakukan oleh orang-orang yang<br />

merupakan sponsor dari pemilik tempat usaha yang akan<br />

mempekerjakannya. Dengan kata lain pemilik itu tidak datang sendiri ke<br />

tempat para pencari kerja. Para sponsor atau perekrut itu juga merupakan<br />

orang yang akan membawa para pencari kerja ke tempatt pemilik usaha di<br />

tempat tujuan. ltulah sebabnya banyak pemilik usaha seperti lmel ( kasus<br />

Neny alias ibu Dodi) pemilik cafe di Riau yang memesan wanita muda<br />

untuk bekerja sebagai wanita panggalan di Riau tidak dihukum. Sule yang<br />

57


memiliki perusahaan PPTKIS illegal di Pontianak yang memesan para TKI<br />

melalui sponsor atau perekrut yang dikirimnya ke tempat calok korban<br />

human trafficking, lolos dari hukuman. Padahal tersangka Neny alias ibu<br />

Dodi ( Kasus Eki) merupakan orang yang dikirim oleh lmel untuk mencari<br />

wanita muda yang mau bekerja di cafenya di Riau <strong>dan</strong> Angga tersangka<br />

kasus TKI illegal, merupakan orang yang dikirim Sule, pemilik<br />

perusahaan TKI illegal di Pontianak. Akan halnya Reny alias mami Chita<br />

yang memesan 9 wanita muda melalui Siti Aisyah untuk bekerja sebagai<br />

PSK di rumah bordil "Moro Seneng" miliknya yang ada di Pangkal Pinang<br />

Belitung saat ini ikut dihukum di penjara wanita Sukamiskin Bandung<br />

bersama dengan Siti Aisyah. Penyebabnya adalah peristiwa pengiriman 9<br />

wanita muda asal Bandung yang di pekerjakan di rumah bordil di Pangkal<br />

Pinang Bangka Belitung itu sangat menarik perhatian para aparat<br />

pemerintahan Jawa Baraat di Bandung. Tak heran kalau ke 9 orang<br />

wanita muda asal Bandung itu dijemput sendiri oleh kepala polisi Dit<br />

Reskrim unit PPA (Perlindungan Perempuan <strong>dan</strong> Anak) Polisi Daerah<br />

Jawa Barat. Tak heran kalau Reny alias mama Chita ikut dihukum<br />

bersama dengan Siti Aisyah orang yang diutusnya untuk merekrut para<br />

korban.Rumah Bordil milik Reni di Pangkal Pinang, Bangka Belitungpun<br />

sudah tak beroperasi lagi.<br />

Pada kasus perekrutan korban untuk menjadi PSK, biasanya para<br />

korban tidak langsung diberi tahu bahwa pekerjaannya adalah sebagai<br />

PSK. Mereka biasanya ditawarkan pekerjaan di cafe atau di restoran oleh<br />

para perekrut. Tetapi dari awal penjemputan mereka sudah ditawarkan<br />

gaji yang cukup tinggi.Korban Korry <strong>dan</strong> ke 8 orang wanita muda lainnya<br />

yang di rekrut oleh Siti Aisyah dijanjikan memperoleh gaji 5 juta sebulan<br />

untuk bekerja di restoran. Tentu saja jumlah itu tak lumrah kecuali kalau<br />

jenis pekerjaannya lebih dari sekedar pelayan restauran. Menurut Siti<br />

Aisyah maupun Reni, wanita-wanita yang bekerja di rumah bordil "Moro<br />

Seneng" di Paritnam Pangkal Pinang biasanya adalah wanita-wanita nakal<br />

yang biasa berkeliaran di Bandung pada malam hari. Usia para wanita<br />

yang mereka rekrut menurut mereka umumnya 20 - 35 tahun <strong>dan</strong> bukan<br />

58


wanita di bawah umur. Menurut Reny, Korry yang dilaporkan keluarganya<br />

ke polisi karena direkrut oleh Siti Aisyah ke Pangkal Pinang sebagai PSK<br />

sebenarnya menurut Reni sudah berusia 21 tahun. Tetapi setelah kasus<br />

ini terkuak menurut Reni, ktp Korry dirubah keluargaya yang ada di<br />

Palembang dari 21tahun menjadi 17 tahun.<br />

Biasanya para perekrut wanita yang akan dipekerjakan sebagai<br />

PSK memperoleh uang sekitar Rp.500.000 ,--. (seperti yang diperoleh<br />

oleh Neny alias Mami Dodi). Tetapi ada juga yang memperoleh sekitar<br />

Rp.2000.000,-- per kepala (seperti yang diterima Siti Aisyah dari Reni<br />

alias Mami Chita). Biasanya para perekrut itu dibantu oleh orang-orang<br />

yang telah mereka kenai didaerahn temapt asal korban yang<br />

memberitahukan dimana ada wanita muda yang dapat dikirim ke luar kota<br />

untuk dapat dipekerjakan sebagai PSK. Perekrut yang bernama Neny<br />

alias mami Dodi, misalnya, meskipun ia seorang germo di Bandung ia<br />

tetap memiliki mitra kerja bernama Ali Kurdi yang bertugas mencarikan<br />

wanita muda tersebut. Ali Kurdi ini mengatakan bahwa dia tak merasa<br />

peekrjaannya terlarang karena dia hanya menolong korban Eki untuk<br />

mencari pekerjaan. Setelah korban didapat biasanya perekrut utama<br />

seperti Neny membagikan uang yang diperoleh dari pemesan wanita<br />

muda di Riau sebesar Rp. 500.000 ,--. kepada beberapa orang yang<br />

membantunya. Biasanya para perekrut PSK seperti Neny <strong>dan</strong> Siti Aisyah<br />

memiliki hubungan kerja dengan pemesan pekerja PSK tersebut. Neny<br />

merupakan juru masak milik lmel yang ada di Riau yang membawa Eki<br />

wanita asal bandung untuk bekerja di cafe Riau. Siti Aisyah yang merekrut<br />

9 wanita untuk bekerja sebagai PSK di Pangkal Pinang Bangka Belitung<br />

merupakan seorang germo yang biasa melakukan bisnisnya melalui<br />

telpon genggam termasuk dalam berhubungan dengan Reni alias Mami<br />

Chita.<br />

Pada kasus pengiriman TKI illegal ke luar negeri, biasanya para<br />

perekrut seperti Angga, tersangka kasus pak Epin di atas merupakan<br />

pegawai tetap dari para pemesan TKI atau pegawai tidak tetap namun<br />

telah mempunyai hubungan ikatan kerja dengan perusahaan<br />

59


pemesannya.Biasanya mereka meperoleh uang sampai jutaan rupiah<br />

perkepala dari pemesan TKI illegal itu . Biasanya para perekrut itu<br />

mendapat 2 juta rupiah per TKI yang sudah berpengalaman yang akan<br />

dikirim ke Timur Tengah (dulu bahkan pernah 4 juta rupiah). Se<strong>dan</strong>gkan<br />

bagi para TKI yang akan dikirim ke Asia Pasifik biasanya mendapat<br />

500.000 rupiah per kepala.<br />

Setelah sampai di tempat tujuan pada kasus PSK biasanya sang<br />

korban menerima saja pekerjaan yang diberikan kepa<strong>dan</strong>ya walaupun<br />

mereka merasa telah ditipu dengan jenis pekerjaan yang mereka terima.<br />

Biasanya mereka merahasiakan jenis pekerjaan terlarang yang mereka<br />

alami kepada keluarganya karena diancam akan dihukum oleh bos baru<br />

mereka. Namun, setelah pihak keluarga tahu bahwa anggota keluarga<br />

mereka bekerja secara tak hala di luar daerah mereka, merekapun<br />

melaporkan permasalahan tersebut ke polisi tempat mereka tinggal.<br />

Pengiriman PSK maupun TKI illegal ke luar daerah asal mereka<br />

baik keluar pulau maupun keluar negeri biasanya dilakukakan dengan<br />

menggunakan bis, kapal laut bahkan pesawat udara pada pengiriman TKI<br />

illegal ke luar negeri seperti Malaysia. Biasaya para perekut korban ikut<br />

mengantar mereka sampai ke tempat tujuan. Pada saat pencarian korban<br />

para perekrutpun biasa menginap atau bahkan mengontrak rumah di<br />

daerah tempat dia mencari para pekerja yang akan dicarinya seperti yang<br />

dilakukan oleh Angga pada kasus pak Epin yang mencai pekerja TKI<br />

illegal.<br />

5.2. Daerah Transit: Batam 3 Z<br />

5.2.1. Profil Pelaku<br />

Dari hasil penelitian terungkap bahwa para pelaku perdagangan<br />

orang (trafficking) biasanya melibatkan banyak pihak dengan beragam<br />

bentuk. Seperti misalnya agen perekrut buruh migran yang membayari<br />

32 Hasil Penelitian Tahun I, Tahun 2009. "Studi Kasus Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan<br />

Terpadu Terhadap Perdagangan Perempuan Di Propinsi Jawa Barat<br />

60


para agen/ calo/ sponsor bergerilya ke pelosok-pelosok. Para agen<br />

perekrutan ini yang mengeluarkan <strong>dan</strong>a untuk pengelolaan penampungan,<br />

pengurusan beragam dokumen (sampai kepada pemalsuan dokumen).<br />

Perpanjangan tangan dari agen perekrutan ini adalah para agen/<br />

calo/ sponsor yang terjun langsung ke desa <strong>dan</strong> biasanya melakukan lobi<br />

ke aparat desa, tokoh masyarakat agar lebih mempermudah dalam<br />

mendapatkan mangsa. Para agen/ calo/ sponsor ini bisanya mendapatkan<br />

upah dari setiap calon buruh migran yang bisa direkrut.<br />

Para agen perekrutan <strong>dan</strong> agen/ calo/ sponsor ini bisanya berkedok<br />

perusahaan pengerah jasa tenaga kerja (bisa legal/ilegal perusahaannya).<br />

lndikasi utama jika terlibat perdagangan manusia bisa ditelusuri dari<br />

pemalsuan dokumen, penempatan yang tidak sesuai perjanjian, sampai<br />

memberangkatkan calon buruh migran di bawah umur.<br />

Gambar 4.<br />

Pelaku<br />

Trafficking<br />

Sea rang rekruter yang se<strong>dan</strong>g<br />

menunggu von is pengadilan ketika<br />

diwawancara peneliti di rumah tahanan<br />

Kemudian pelaku perdagangan manusia juga melibatkan para<br />

pemilik <strong>dan</strong> pengelola rumah bordil. Hal ini mengingat para pekerja rumah<br />

bordil umunya dibatasi ruang geraknya <strong>dan</strong> tidak mempunyai kebebasaan.<br />

Bahkan sudah menjadi kelaziman bagi para pemilik <strong>dan</strong> pengelola rumah<br />

bordil untuk memaksa seorang perempuan bekerja di luar kemauan <strong>dan</strong><br />

kemampuannya.<br />

61


Hal yang paling meyedihkan adalah para pelaku perdagangan<br />

manusia yang justru melibatkan orang-orang terdekat. Mulai dari orang<br />

tua yang tega menjual anaknya (misalnya demi pelunasan hutang,<br />

mendapatkan pinjaman hutang dengan jaminan anaknya harus bekerja<br />

sesuai kemauan sang pemberi hutang), suami yang memaksa istrinya<br />

bekerja <strong>dan</strong> mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi semata<br />

(misalnya memaksa istrinya bekerja di tempat pelacuran).<br />

Menurut hasil penelitian yang diperoleh, secara umum karakteristik<br />

rekruiternya adalah sebagai berikut:<br />

1. Rekruiter biasanya berasal dari daerah sekitar.<br />

2. Rekruiter di daerah asal umumnya orang-orang terdekat. Kebanyakan<br />

dari mereka adalah kerabatnya dalam arti tidak hanya saudara akan<br />

tetapi orang yang sudah dikenal. Misalnya, menurut korban, ia sudah<br />

mengenal orang yang mengajaknya karena di kampungnya ia sudah<br />

terkenal sebagai calo TKW.<br />

3. Orang yang menjadi sponsor biasanya berasal dari daerah asal sekitar<br />

tempat tinggal korban tapi memiliki relasi di Batam.<br />

4. Pelaku/sponsornya ada yang berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah<br />

<strong>dan</strong> Jawa Barat. Dan yang paling banyak pelakunya berasal dari Jawa<br />

Tengah.<br />

5. Rata-rata orang yang menjadi trafficker berusia antara 35 - 40 tahun<br />

<strong>dan</strong> adakalanya berusia lebih.<br />

6. Pengguna/pemesannya ada yang berasal dari orang lokal seperti untuk<br />

dipekerjakan di tempat karaoke, ada juga dari luar negeri.<br />

7. Mereka tidak selalu berstatus sebagai pengusaha. Namun ada juga<br />

yang memang menjadi pengusaha seperti pengusaha karaoke, atau<br />

mengelola tempat di lokalisasi Sintai, Batam.<br />

62


5.2.2. Profil Korban<br />

Perdagangan orang khususnya perempuan <strong>dan</strong> anak merupakan<br />

pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban dirampas hak<br />

asasinya <strong>dan</strong> diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual,<br />

dipindahkan <strong>dan</strong> dijual kembali bahkan terka<strong>dan</strong>g berisiko pada kematian.<br />

Gejala ini berkembang <strong>dan</strong> berubah dalam berbagai bentuk<br />

kompleksitasnya, tetapi bagaimanapun bentuknya tetap sebagai<br />

perbudakan.<br />

Selama ini banyak masyarakat menganggap bahwa perdagangan<br />

orang hanya terbatas pada bentuk prostitusi saja, pada hal dalam<br />

kenyataannya mencakup banyak bentuk lain dari kerja paksa. Oleh<br />

karena itu isu perdagangan orang ini sekarang menjadi isu besar yang<br />

menarik perhatian masyarakat luas baik regional maupun internasional.<br />

Konsep dasar perdagangan orang adalah perekrutan pemindahan<br />

manusia dari suatu tempat ketempat lain, baik antar wilayah dalam satu<br />

negara atau atar negara untuk tujuan eksploitasi dengan cara-cara<br />

penipuan, paksaan, pengunaan kekerasan, penculikan, penyalahgunaan<br />

kekuasaan atau memanfaatkan posisi kerentanan seseorang.<br />

Dari hasil penelitian 33 terlihat bahwa korban perdagangan orang<br />

seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual, bekerja pada<br />

tempat-tempat kasar yang memberikan gaji rendah seperti buruh<br />

perkebunan, pekerja di jermal, pembantu rumah tangga, pekerja restoran,<br />

tenaga penghibur, buruh anak, pengemis jalanan <strong>dan</strong> lain-lain.<br />

Kebanyakan korban diambil dari keluarga miskin, dari pedesaan,<br />

masyarakat yang patriarki (sistem kemasyarakatan yang menentukan<br />

ayah sebagai kepala keluarga) dengan status pendidikan yang rendah.<br />

33 Rangkuman yang berasal dari penuturan berbagai lnforman penelitian dari kelompok<br />

pelaku/para narapi<strong>dan</strong>a (ditemui di LP Batam) <strong>dan</strong> tahanan (ditemui di Poltabes Barelang,<br />

Batam) dalam kasus trafficking <strong>dan</strong> korban trafficking (ditemui di mana), mencakup pula<br />

penuturan narasumber penelitian dari kelompok pejabat pemerintah yang relevan (Dinas Sosial<br />

Pemda Kepulauan Riau), anggota DPRD Kota Batam, Kapoltabes Batam, serta dari kelompok<br />

Akademisi (Dosen <strong>dan</strong> peneliti UIB (Universitas lnternasional Batam) yang menggeluti masalah<br />

Perdagangan Perempuan.<br />

64


Perempuan <strong>dan</strong> anak yang menjadi buruh migran <strong>dan</strong> berasal dari<br />

kelompok masyarakat pinggiran atau kelompok suku minoritas memiliki<br />

resiko lebih besar untuk terjerat perdagangan orang, biasanya perempuan<br />

<strong>dan</strong> anak berusia muda <strong>dan</strong> belum menikah, perempuan <strong>dan</strong> anak korban<br />

perceraian, serta mereka yang pernah bekerja di kota atau di luar negeri<br />

<strong>dan</strong> umumnya sebagian penghasilannya deberikan kepada keluarganya.<br />

Kasus perdagangan orang (trafficking) di Batam biasanya<br />

melibatkan korban yang diperdagangkan <strong>dan</strong> dikirim ke Malaysia atau<br />

Singapore, tetapi ada pula yang diperdagangkan di tempat-tempat hiburan<br />

di Batam. Karban datang ke Batam biasanya untuk transit <strong>dan</strong> dijanjikan<br />

untuk pekerjaan yang lain <strong>dan</strong> ternyata dijual. Ada juga PSK yang<br />

berangkat sendiri dari Batam <strong>dan</strong> dikelola oleh satu germo di sana. Baru<br />

ketika dia tidak dibayar kemudian lapor ke kedutaan sehingga masuk<br />

kasus perdagangan orang (trafficking).<br />

Dari Hasil penelitian juga terungkap, bahwa selain itu, sekarang ini<br />

diduga banyak sekali TKI yang bekerja secara ilegal seperti antara lain,<br />

buruh yang bekerja di kilang-kilang atau kebun-kebun kelapa sawit yang<br />

masih terbuka peluangnya. Dan kalau si pemilik kebun tidak mau<br />

membayar gaji mereka, dengan mudah ia akan melaporkannya ke polisi<br />

Malaysia <strong>dan</strong> kemudian diusir tanpa harus membayar gajinya sehingga<br />

mereka menjadi korban perdagangan orang (trafficking).<br />

Gambar 6.<br />

Karban<br />

Trafficking<br />

Beberapa korban perdagangan<br />

perempuan mengantri<br />

kepulangan <strong>dan</strong> se<strong>dan</strong>g di<br />

rumah shelter. Berpose<br />

bersama Koordinator Peneliti<br />

Menurut responden dari Universitas lnternasional Batam (UIB),<br />

korban perdagangan orang (trafficking) yang ada di Kepulauan Riau tidak<br />

65


hanya korban yang datang dari luar (TKI bermasalah) saja karena posisi<br />

segitiga kedekatan Batam, Singapore <strong>dan</strong> Malaysia, ternyata di dalam pun<br />

perdagangan orang (trafficking) terjadi kepada anak-anak di Kepulauan<br />

Riau. Hal ini terjadi karena tuntutan perubahan pola konsumsi dari<br />

masyarakat Kepulauan Riau yang mengarah pada penggunaan barang<br />

yang lebih Hi- Tech seperti HP <strong>dan</strong> sebagainya. Untuk mengikuti tuntutan<br />

kebutuhan konsumsi ataupun gaya hidup seperti itu, maka anak-anak<br />

terpaksa diperdagangkan oleh pihak-pihak tertentu. Perdagangan orang<br />

(trafficking) ini terjadi juga karena ada pembiaran dari aparat (wawancara<br />

dengan narasumber dari UIB, 24 Juli 2009, di Fakultas Hukum Universitas<br />

lnternasional Batam).<br />

Sementara itu, korban perdagangan orang (trafficking) terlibat<br />

dalam 2 jenis pekerjaan, yakni TKI <strong>dan</strong> Prostitusi. Perdagangan orang<br />

(trafficking) ini tidak akan mudah terjadi bila saja aparat tidak melakukan<br />

pembiaran (wawancara dengan narasumber dari DPRD kota Batam, 29<br />

Juli 2009 di Kantor DPRD Batam).<br />

Selanjutnya, menurut informan tersebut (wawancara narasumber<br />

dari DPRD kota Batam, 29 Juli 2009, di Kantor DPRD Batam),<br />

berdasarkan kasus yang ditangani berbagai instansi terkait di Batam,<br />

korban perdagangan orang (trafficking) umumnya memiliki karakteristik<br />

sebagai oerikut, yaitu:<br />

1. Karban berasal dari daerah minus yang mungkin memiliki pendapatan<br />

per kapita di bawah rata-rata. Mereka umumnya berasal dari keluarga<br />

dengan latar belakang ekonomi yang kurang atau golongan ekonomi<br />

lemah;<br />

2. Mereka adalah orang-orang yang ingin membantu mengurangi beban<br />

ekonomi keluarganya;<br />

3. Usia korban, pada umumnya, berada dalam rentang usia produktif,<br />

yakni antara 18 sampai 30 tahun bahkan 40 tahun tetapi secara fisik<br />

masih menarik. Senada dengan penjelasan dari informan ini, informan<br />

dari Yayasan Setara (wawancara dengan Direktur Eksekutif, tanggal<br />

25 Juli 2009, di Batam), mengatakan bahwa jumlah korban<br />

66


perdagangan orang (trafficking) relatif tidak mengalami perubahan.<br />

Pada tahun 2006 korban perdagangan orang (trafficking) yang paling<br />

besar adalah 33 % berumur 31 sampai 45 tahun. 49 % berumur 19<br />

sampai 30 tahun, <strong>dan</strong> 18% berumur 1 sampai 18 tahun.<br />

4. Korban umumnya memiliki tingkat pendidikan rendah. Sekitar 65 % di<br />

antaranya berpendidikan SO <strong>dan</strong> SMP <strong>dan</strong> selebihnya berpendidikan<br />

SL TA atau tidak sekolah. Sementara untuk mereka yang berpendidikan<br />

tinggi ketika menjadi korban perdagangan orang (trafficking) biasanya<br />

karena penipuan <strong>dan</strong> sangat kasuistik.<br />

5. Dari sisi etnis, mereka umumnya berasal dari suku Jawa <strong>dan</strong> Nusa<br />

Tenggara Barat. Korban yang berasal dari suku Melayu (Kepulauan<br />

Riau/Batam) sangat jarang. Mungkin hal tersebut dikarenakan orang<br />

Melayu sudah lebih mengetahui kondisi sebenarnya dari para TKI yang<br />

dikirim ke luar daerah atau luar negeri karena mereka sering melihat<br />

langsung para TKI <strong>dan</strong> korban perdagangan orang (trafficking) yang<br />

ada di Batam <strong>dan</strong> atau Kepulauan Riau.<br />

6. Daerah asal korban umumnya dari NTB, Jatim, Jateng, Jabar, Jakarta;<br />

asal tempat tinggalnya bisa dari perkotaan ataupun pedesaan;<br />

7. Selama ini yang relatif banyak korbannya adalah dari NTB, terutama<br />

dari Lombok. Sementara dari Sumbawa <strong>dan</strong> Bima relatif jarang.<br />

Kemudian dari wilayah Jatim terutama berasal dari Jember,<br />

Probolinggo, <strong>dan</strong> sektor yang paling ujung lainnya, sementara dari<br />

Surabayanya sendiri relatif sedikit. Dari Jawa Tengah, kebanyakan<br />

berasal dari Semarang, Brebes, <strong>dan</strong> sedikit dari daerah lainnya tetapi<br />

bukan daerah sentra pengiriman. Sementara, di Jawa Barat yang<br />

menjadi daerah sentra pengiriman adalah lndramayu, Kerawang,<br />

Cirebon, Sukabumi, Cianjur. Tidak ada korban yang berasal dari<br />

Bandung.<br />

8. Untuk korban kasus perdagangan orang (trafficking) yang terkait<br />

dengan aktivitas seksual, biasanya berasal dari daerah tertentu <strong>dan</strong><br />

latar belakang pekerjaan sebelumnya sebagai PSK. Mereka ingin<br />

67


memperbaiki hidup dengan mengikuti iming-iming yang ditawarkan<br />

pelaku perdagangan orang (traffickel).<br />

Sementara itu, hal yang sangat memprihatinkan ditemui dalam<br />

penelitian ini, adalah bahwa mereka yang menjadi korban perdagangan<br />

orang (trafficking) ada yang berumur antara 14 tahun sampai dengan 17<br />

tahun. Pada umumnya, identitas mereka selalu disamarkan. Mereka<br />

dijanjikan untuk bekerja di kedai, tetapi kemudian setibanya di Batam<br />

disekap beberapa hari, lalu langsung disuruh memberikan pelayanan seks<br />

kepada tamu.<br />

Gambar 7.<br />

Kompleksitas Penyebab Perdagangan Orang<br />

Namun demikian, kasus korban perdagangan orang (trafficking)<br />

yang di bawah umur tidak terlalu banyak. Anak tersebut antara lain ada<br />

yang direkrut dari anak jalanan. Anak-anak yang se<strong>dan</strong>g ngamen,<br />

misalnya di rumah makan, kemudian didekati <strong>dan</strong> ditawari kerja. Anak<br />

jalanan tersebut mau menerima tawaran kerja tersebut karena, karakter<br />

dasarnya memang nakal sehingga mau saja ketika diajak oleh pelaku<br />

perdagangan orang (traffickel). Untuk anak di bawah umur yang menjadi<br />

korban perdagangan orang (trafficking), misalnya umur 10 atau 11 tahun,<br />

kebanyakan dipekerjakan di perkebunan kelapa sawit <strong>dan</strong> sarang burung<br />

walet, di Malaysia. T eta pi yang lebih ban yak adalah mereka yang<br />

dipekerjakan di sarang burung walet karena tempatnya tertutup di dalam<br />

68


uangan, sehingga tidak diketahui oleh orang lain bila usaha tersebut<br />

mempekerjakan anak di bawah umur.<br />

Menurut responden dari UIB (wawancara dengan narasumber dari<br />

UIB, 24 Juli 2009, di Fakultas Hukum Universitas lnternasional Batam),<br />

Sekarang ini ditengarai ada beberapa pihak yang mencari anak-anak<br />

remaja di Batam atau Tanjung Pinang untuk diperdagangkan. Sebagai<br />

contoh, belum lama ini terungkap ada 9 orang remaja SMP yang diperjual­<br />

belikan yang konon katanya hanya untuk menemani om-om duduk di<br />

kamar hotel, tapi ternyata sampai melakukan hubungan seksual dengan<br />

dijanjikan akan diberi uang sebesar 200 sampai 300 ribu rupiah.<br />

Pengguna jasanya pun tidak hanya mereka yang datang dari luar negeri<br />

seperti Singapore, tetapi juga orang-orang yang datang dari pusat<br />

(Jakarta). Jadi masalah perdagangan orang (trafficking) ini tidak hanya<br />

meliputi kegiatan lintas negara tetapi perdagangan orang (trafficking) di<br />

dalam negeripun harus diwaspadai.<br />

Dengan kerentanan korban, yaitu miskin <strong>dan</strong> ketidaktahuan akan<br />

kepastian pekerjaan, menjadi potensi yang besar akan terjadinya<br />

perdagangan orang (trafficking). Kerentanan korban perdagangan orang<br />

(trafficking) tersebut ditambah motivasi mereka untuk memperoleh uang<br />

bagi kelangsungan hidup mereka akan membuat mereka mudah terjebak<br />

dalam pentas perdagangan orang (trafficking). Atas dasar temuan<br />

penelitian ini, maka besar kemungkinan yang menjadi persoalan<br />

maraknya perdagangan orang (trafficking) adalah menyangkut persoalan<br />

kesulitan ekonomi <strong>dan</strong> kebodohan <strong>dan</strong> hal tersebut lebih pada persoalan<br />

dalam negeri.<br />

Dari sisi korban perdagangan orang (trafficking) itu sendiri, maka<br />

tampak bahwa banyak di antara mereka yang memiliki pola pikir bahwa<br />

mengikuti keinginan pelaku perdagangan orang (trafficker) adalah salah<br />

satu jalan terakhir <strong>dan</strong> pamungkas untuk melakukan perubahan<br />

kehidupan. Jadi untuk mengurangi perdagangan orang (trafficking) ini<br />

69


salah satunya adalah harus ada upaya untuk merubah pola pikir seperti<br />

itu.<br />

Mengacu pada mudahnya para korban perdagangan orang<br />

(trafficking) terjebak dalam pentas perdagangan orang (trafficking)<br />

tersebut maka tidaklah mustahil bahwa jumlah kasus perdagangan orang<br />

yang terjadi di Indonesia cukup tinggi. Meskipun belum ada angka-angka<br />

yang tepat tentang jumlah korban sesungguhnya, namun laporan dari<br />

kepolisian <strong>dan</strong> beberapa lembaga yang menangani korban menunjukkan<br />

jumlah kasus yang didampingi cukup tinggi.<br />

Sulitnya mendapatkan angka yang sesungguhnya terjadi<br />

dikarenakan kasus perdagangan orang merupakan fenomena gunung es.<br />

Hal ini karena selain masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang<br />

kejahatan perdagangan orang, juga kondisi korban yang tidak<br />

memungkinkan untuk melapor atas kasus yang dialaminya. Berbagai<br />

alasan dikemukakan korban tentang tidak dilaporkannya kasus yang<br />

dihadapi seperti berada dalam ancaman, tidak tahu harus melapor ke<br />

mana, pertimbangan keluarga, gangguan psikis yang membuat korban<br />

selalu dalam ketakutan, menyalahkan diri, menutup diri, <strong>dan</strong> hilang<br />

kepercayaan diri, serta respon masyarakat <strong>dan</strong> lingkungan yang tidak<br />

mendukung korban.<br />

Data korban perdagangan orang yang didampingi International<br />

Organization for Migration (10M) medio Maret 2005- April 2008 sebanyak<br />

3.127 korban dengan proporsi 25,6% orang adalah katagori anak (laki-laki<br />

<strong>dan</strong> perempuan), 67,6% adalah katagori perempuan <strong>dan</strong> 6,7% adalah<br />

katagori laki-laki usia dewasa (Laporan 10M Indonesia, 2008). Se<strong>dan</strong>gkan<br />

jumlah korban perdagangan orang berdasarkan daerah asal yang terdata<br />

di Batam dapat dilihat pada tabel berikut:<br />

70


Tabel2.<br />

Jumlah Korban Perdagangan Orang Berdasarkan Daerah Asal<br />

Pengiriman yang Terdata di Batam, Kepulauan Riau<br />

12. DKI Jakarta 42 orang<br />

Sumber: Diolah dari Laporan /OM Indonesia, 2008.<br />

Sementara dilihat dari daerah atau negara tujuan mereka<br />

diperdagangkan adalah selain di dalam negeri, sebagian besar ke<br />

Malaysia, Saudi Arabia, Singapore, Jepang, Syria, Kuwait, Taiwan <strong>dan</strong><br />

Iraq.<br />

Berdasarkan berdasarkan data yang dihimpun dari Kepolisian Rl<br />

tentang proses penanganan saksi <strong>dan</strong> I atau korban perdagangan orang<br />

adalah sebagai berikut:<br />

71


Tabel3.<br />

Data Kasus TPPO 2004 - 2008<br />

Sumber: Badon Reserse Kriminal, Polisi Republik Indonesia 2008.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan data anak-anak yang dieksploitasi secara seksual<br />

terutama anak yang dilacurkan juga tinggi. Menurut hasil studi Hull dkk<br />

(1997) <strong>dan</strong> Farid (1999), anak yang dilacurkan mencapai sekitar 30<br />

persen dari total prostitusi (40.000-70.000 atau bahkan lebih). Biasanya<br />

proses pelacuran paksa melalui modus perdagangan orang.<br />

Berbagai dampak ditimbulkan oleh tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan<br />

orang (trafficking) ini seperti dampak fisik mulai luka ringan,<br />

kerusakan/gangguan alat reproduksi, sampai pada kematian. Dampak<br />

fisik ini biasanya juga diiringi oleh dampak psikis mulai dari trauma ringan<br />

sampai berat.<br />

Khusus untuk perdagangan orang yang menggunakan cara<br />

kekerasan <strong>dan</strong> tujuan eksploitasi seksual biasanya menyebabkan trauma<br />

berkepanjangan <strong>dan</strong> menyebabkan gangguan mental. Data korban yang<br />

didampingi International Organization for Migration (10M) menunjukkan<br />

bahwa rata-rata korban mendapatkan masalah kesehatan fisik <strong>dan</strong><br />

terinfeksi penyakit seksual menular. Catatan dampingan 10M juga<br />

menunjukkan banyak korban mengalami gangguan psikis yang sering<br />

dialami korban mulai gejala stres pasca trauma, gejala depresi, masalah<br />

pskiatri, gejala kecemasan berlebihan, penggunaan obat/alkohol/rokok<br />

yang berhubungan dengan depresi, <strong>dan</strong> merasa harga diri/kepercayaan<br />

diri rendah.<br />

72


5.2.3. Proses Rekrutmen Dan Modus Operandi<br />

Perdagangan orang saat ini sudah menjadi bisnis global, yang<br />

memberikan keuntungan terbesar ketiga setelah perdagangan senjata <strong>dan</strong><br />

obat-obatan terlarang. Perdagangan orang merupakan sindikat<br />

internasional yang terorganisir. Di Indonesia ada dua lingkup wilayah<br />

tujuan perdagangan orang, yaitu antar daerah/pulau <strong>dan</strong> antar negara.<br />

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 33 propinsi, 17.504<br />

pulau <strong>dan</strong> ratusan suku <strong>dan</strong> kelompok budaya, sehingga sangat<br />

memudahkan terjadinya perdagangan orang dalam lingkup domestik.<br />

Ada banyak propinsi di negara ini di mana seseorang dapat<br />

diperdagangkan ke tempat yang tidak dikenal <strong>dan</strong> tidak diperbolehkan<br />

untuk mendapatkan bantuan agar bisa kembali ke rumah. Sebagai contoh,<br />

banyak perempuan muda yang belum menikah dari Jawa Barat direkrut<br />

untuk dipekerjakan di kawasan industri di Kepulauan Riau. Sampai di<br />

tempat tujuan, justru mereka ditempatkan di lokasi-lokasi hiburan sebagai<br />

pekerja seks, <strong>dan</strong> mereka tidak bisa melepaskan diri karena harus<br />

membayar uang dalam jumlah besar yang dibebankan pada mereka<br />

sebagai biaya rekrutmen <strong>dan</strong> transportasi. Dari beberapa propinsi di mana<br />

kasus perdagangan domestik terjadi di tempat-tempat wisata atau propinsi<br />

yang berbatasan dengan negara lain, seperti Riau (Batam <strong>dan</strong> Tanjung<br />

Balai Karimun), Kalimatan Barat, serta Bali, Jakarta <strong>dan</strong> Surabaya<br />

merupakan daerah tujuan. Di tingkat internasional biasanya disamarkan<br />

dalam proses penempatan tenaga kerja buruh migran atau untuk<br />

pengantin pesanan. Perempuan lokal biasanya dibujuk oleh calo yang<br />

menawarkan gaji tinggi atau dalam bentuk perkawinan yang menjanjikan<br />

hidup mewah. Negara-negara yang menjadi tujuan perdagangan manusia<br />

lnternasional dari Indonesia umumnya adalah Taiwan, Korea Selatan,<br />

Malaysia, Singapura, Jepang <strong>dan</strong> sebagian besar negara Timur Tengah.<br />

Definisi perdagangan orang mengalami perkembangan sampai<br />

ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in<br />

Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation<br />

73


-<br />

Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam<br />

protokol tersebut yang dimaksudkan perdagangan orang adalah<br />

rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan<br />

seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk­<br />

bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan ,<br />

atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun<br />

penerimaan/pemberian bayaran atau manfaat sehingga memperoleh<br />

persetujuan orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk<br />

dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi<br />

atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lain, kerja atau pelayanan paksa,<br />

perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau<br />

pengambilan organ-organ tubuh.<br />

Dengan alasan menyediakan lapangan pekerjaan menjadi jalan<br />

mulus buat mereka mendapatkan mangsa. Agen <strong>dan</strong> calo perdagangan<br />

manusia mendekati korbannya di rumah-rumah perdesaan, di keramaian<br />

pesta-pesta pantai, mal, kafe atau di restoran. Para agen atau calo ini<br />

bekerja dalam kelompok <strong>dan</strong> sering menyaru sebagai remaja yang<br />

se<strong>dan</strong>g bersenang-senang atau sebagai agen pencari tenaga kerja.<br />

Korban yang direkrut dibawa ke tempat transit atau ke tempat<br />

tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan pesawat<br />

terbang, kapal atau mobil bergantung pada tujuannya. Biasanya agen<br />

atau calo menyertai mereka <strong>dan</strong> menanggung biaya perjalanan. Untuk ke<br />

luar negeri, mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen<br />

dipegang agen termasuk penanganan masalah keuangan.<br />

Sering perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa<br />

perjalanan yang ditempuh sangat jauh sehingga sulit kembali. Jika muncul<br />

keinginan korban untuk pulang, mereka ditakut-takuti atau bahkan<br />

diancam.<br />

Di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah penampungan untuk<br />

beberapa minggu menunggu penempatan kerja yang dijanjikan. Akan<br />

74


tetapi, kemudian mereka dibawa ke bar, pub, salon kecantikan , rumah<br />

bordil <strong>dan</strong> rumah hiburan lain, <strong>dan</strong> mulai dilibatkan kegiatan prostitusi.<br />

Mereka diminta menandatangani kontrak yang tidak mereka<br />

mengerti isinya. Jika menolak, korban diminta membayar kembali biaya<br />

perjalanan <strong>dan</strong> tebusan dari agen atau calo yang membawanya. Jumlah<br />

yang biasanya membengkak itu menjadi utang yang harus ditanggung<br />

korban.<br />

Di dunia internasional, Indonesia dikenal sebagai daerah sumber<br />

dalam perdagangan orang. Berdasar pada berbagai studi, ditengarai<br />

bahwa ada beberapa propinsi di Indonesia yang utamanya merupakan<br />

daerah sumber, tapi ada beberapa kabupaten/kota di propinsi itu yang<br />

juga diketahui sebagai daerah penerima atau yang beriungsi sebagai<br />

daerah transit. Lampung termasuk salah satu di dalamnya.<br />

Selain menjadi negara sumber, baru-baru ini muncul indikasi bahwa<br />

Indonesia mungkin juga menjadi negara penerima <strong>dan</strong> atau transit untuk<br />

perdagangan orang internasional.<br />

Dalam bisnis perdagangan orang ini dikenal beragam modus<br />

operandi. Umumnya modus operandi yang dipergunakan adalah: bujuk<br />

rayu dengan iming-iming tertentu, pemaksaan/kekerasan <strong>dan</strong> intimidasi,<br />

penculikan, pengiklanan secara bertingkat <strong>dan</strong> terus menerus melalu<br />

beragam media massa, pemalsuan identitas/dokumen pribadi, sampai<br />

kepada "penjualan" yang justru dilakukan oleh orang-orang terdekat<br />

(orangtua, kerabat-saudara, tetangga, ternan).<br />

Perdagangan orang menjadi kejahatan berat bagi kemanuisaan.<br />

Mengingat korban dari perdagangan manusia akan mengalami kerugian<br />

yang luar biasa baik secara psikis maupun fisik. Bahkan masa depannya<br />

hilang begitu saja. Perdagangan orang saat ini menjadi hantu di siang<br />

bolong yang memburu anak-anak Indonesia terutama yang keluarganya<br />

termasuk golongan miskin.<br />

75


Gambar 8.<br />

Alur Perekrutan Perdagangan Orang<br />

Sumber: Diolah dari www.bppkb.ntbprov.gov.id<br />

Dalam penelitian ini terlihat bahwa modus operandi yang paling<br />

utama adalah penipuan dengan mengiming-imingi kehidupan yang lebih<br />

baik. Dari pengakuan korban yang paling sering didengar, awalnya adalah<br />

ditawari bekerja di Batam ataupun Malaysia <strong>dan</strong> Singapore. Para trafficker<br />

umumnya memberi iming-iming pekerjaan kepada para calon korbannya<br />

dengan gaji yang tinggi, mencapai 4 - 5 juta rupiah per bulan.<br />

Betapa efektifnya upaya rekrutmen yang dilakukan dapat terlihat<br />

dari contoh kasus di mana ada korban perdagangan orang (trafficking)<br />

yang sebelum menjadi korban sebenarnya ia sudah bekerja di mall<br />

dengan gaji 1 juta rupiah per bulan. Namun karena diiming-imingi dengan<br />

gaji yang tinggi oleh seorang pelaku perdagangan orang (trafficker) , maka<br />

ia pun tergoda untuk keluar dari tempat kerjanya ikut dengan pelaku<br />

perdagangan orang (trafficker) tersebut. Apa yang terjadi kemudian<br />

adalah bahwa ia dipekerjakan sebagai PSK di Sintai (pulau Pan<strong>dan</strong>).<br />

Dalam banyak kasus, mereka setelah bekerja juga tidak pernah menerima<br />

uang dari pelanggan karena alasan terjerat hutang selama proses<br />

rekrutmen.<br />

76


Pola rekrutmen dalam menjanng korban biasanya dengan<br />

menggunakan sistem sponsor. Yang dimaksud dengan sponsor adalah<br />

orang yang merekrut korban di daerah asal korban <strong>dan</strong> mempersiapkan<br />

seluruh keperluan untuk proses pemberangkatan, termasuk penginapan<br />

korbannya. Persoalannya, yang menjadi calo ini tidak hanya satu orang<br />

melainkan berantai, sehingga banyak tangan yang terlibat. Jadi di daerah<br />

asal saja bisa terjadi korban berpindah tangan dari calo yang satu ke calo<br />

yang lainnya. Kemudian diaper lagi ke calo di Jakarta atau Surabaya. Lalu<br />

dibawa atau dikirim ke Batam, Tanjung Pinang, Bintan ataupun Karimun.<br />

Selanjutnya mereka diberangkatkan ke negara tetangga naik<br />

pompong/perahu kecil <strong>dan</strong> di sana sudah ada yang menampung, yaitu<br />

tekongnya.<br />

Pihak korban biasanya langsung direkrut oleh sponsor dari tempat<br />

asal kemudian di bawa ke Batam <strong>dan</strong> dijanjikan untuk dipekerjakan.<br />

Pekerjaan yang ditawarkan antara lain, misalnya, untuk bekerja di salon<br />

atau kerja di restoran di Malaysia, <strong>dan</strong> sebelum berangkatkan transit dulu<br />

di Batam.<br />

Selain itu, dalam merekrut korbannya para sponsor tersebut<br />

biasanya juga melakukan pendekatan terhadap orang tua korban di<br />

kampung-kampung. Mereka mengatakan bahwa anaknya akan diberi<br />

pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi <strong>dan</strong> untuk meyakinkan<br />

terhadap orang tua tersebut mereka memberikan sejumlah uang. Dengan<br />

demikian tentu saja orang tua korban cukup percaya terhadap apa yang<br />

dikatakan si sponsor bahwa anaknya akan dipekerjakan antara lain di mal,<br />

di restoran di Batam, <strong>dan</strong> sebagainya. Namun kenyataannya antara yang<br />

dijanjikan dengan apa yang dilaksanakan berbeda.<br />

Selain memberikan uang kepada orang tua korban, pihak sponsor<br />

juga menanggung semua biaya seperti untuk transportasi, akomodasi,<br />

konsumsi, <strong>dan</strong> sebagainya sesuai dengan kebutuhan. Dengan begitu<br />

pihak korban pun terbuai karena untuk mendapatkan pekerjaan tersebut<br />

dia tidak perlu mengeluarkan biaya. Celakanya, setelah sampai di tempat<br />

77


tujuan barulah korban diberitahu bahwa keseluruhan jumlah uang yang<br />

telah dikeluarkan oleh sponsor tersebut, dari awal pengeluaran di<br />

kampung sampai di tempat tujuan pada akhirnya dikalkulasi sebagai<br />

hutang si korban <strong>dan</strong> harus dilunasi selama menjalankan pekerjaannya.<br />

Selama hutang tersebut belum dilunasi maka korban tidak diperbolehkan<br />

berhenti kerja <strong>dan</strong> harus mengikuti aturan dari trafficker yang<br />

bersangkutan.<br />

Selain melakukan rekrutmen secara face to face di daerah<br />

pedesaan, ada pula para sponsor di perkotaan yang menjaring korbannya<br />

dengan memasang iklan di media cetak. Sebagai ilustrasi, Linda (bukan<br />

nama sebenarnya), gadis keturunan Sumatera yang tinggal di Bekasi<br />

adalah anak tunggal <strong>dan</strong> ayahnya sudah meninggal. Ia direkrut di<br />

belakang Carefour Cileduk melalui iklan di koran Pos Kota dengan iming­<br />

iming penghasilan 30 juta per bulan. Ketika melamar dia diterima untuk<br />

bekerja di Singapore. Sebelum diberangkatkan, dia menginap (ditampung)<br />

dulu beberapa malam di rumah sponsornya, <strong>dan</strong> ternyata di sana sudah<br />

banyak orang datang silih berganti. Kemudian dia diberangkatkan<br />

bersama 2 orang temannya dari bandara Cengkareng ke Batam <strong>dan</strong><br />

semua surat-suratnya sudah dibuatkan <strong>dan</strong> disiapkan oleh sponsornya.<br />

Meskipun Linda kelahiran tahun 1984, tetapi dalam pasportnya dipalsukan<br />

oleh rekruter menjadi kelahiran 1986.<br />

Meskipun ia berangkat bersama, bertiga, namun mereka memiliki 2<br />

bos yang berbeda, karena 2 orang akan dikirim ke Singapore <strong>dan</strong> 1 orang<br />

untuk ke Malaysia. Sesampainya di bandara Hang Nadiem, Batam, dia<br />

dijemput oleh aju<strong>dan</strong> bosnya yaitu seorang enci <strong>dan</strong> satu engkoh serta<br />

anak kecil <strong>dan</strong> dibawa ke salah satu hotel. Di sana sudah menunggu<br />

seseorang (orang Cina) yang menjadi bosnya <strong>dan</strong> dia pun diajak<br />

menginap dulu di situ. Sebelum nantinya diperdagangkan, di situ dia<br />

diminta untuk memberikan pelayanan seks dulu oleh bosnya. Baru<br />

keesokan harinya dia berangkat dari pelabuhan dengan kapal Batam Fast<br />

ke Singapore.<br />

78


Setibanya di Singapore, dia ditempatkan di suatu apartemen <strong>dan</strong> di<br />

sana sudah ada beberapa perempuan lain. Selama di sana , dia sempat<br />

diperdagangkan di Iorang 12 Singapore selama sekitar 6 hari. Pertama<br />

kali dia sempat menolak ketika akan dipakai oleh ternan bosnya. Tetapi<br />

tamu tersebut kemudian melaporkan kepada bosnya. Akibatnya, meski<br />

tidak disiksa secara fisik, dia dimarahi <strong>dan</strong> disuruh melayani temannya<br />

tersebut. Setiap bulan dia ditarget harus menyetor 120 kong (melayani<br />

120 tamu) atau rata-rata 6 - 7 tamu per hari. Bila tamunya kurang dari<br />

jumlah tersebut maka dia akan ditegur "bagaimana kamu mau melunasi<br />

utangmu kalau hanya dapat tamu segitu?". Seluruh penghasilan dari<br />

melayani tamu tersebut diserahkan kepada bosnya. Kalau bulan pertama<br />

tidak dapat mencapai target tersebut, maka harus melunasinya pada<br />

bulan kedua. Bulan berikutnya (kedua) ditarget 65 kong. Dalam<br />

melakukan pekerjaannya korban di rolling antara Singapore, Bali <strong>dan</strong><br />

Batam setiap 15 hari sekali.<br />

Beberapa hari berselang, dari apartemen itu ada 2 perempuan<br />

korban yang kabur. Pada saat itu dia <strong>dan</strong> teman-temannya sempat<br />

diancam oleh bosnya bahwa bila dia atau siapapun yang kabur, maka<br />

ketika di Jakarta pasti akan dicari, karena mereka harus melunasi uang<br />

yang sudah dikeluarkan bos sebesar $ Sing. 1.000. Namun karena<br />

merasa dieksploitasi, akhirnya korban inipun kabur bersama seorang<br />

temannya. Dalam pelariannya dia pergi <strong>dan</strong> menginap di hotel 81 dengan<br />

membayar secara patungan, masing-masing $ Sing. 30. Dari situ dia pergi<br />

ke Harbour, tetapi berpisah dengan temannya karena dia mau pulang<br />

sendiri, sementara korban melalui pertolongan temannya yang dikontak<br />

melalui telepon pergi meminta pertolongan ke embassy. Setelah<br />

menginap semalam di embassy kemudian diberangkatkan dengan naik<br />

kapallaut ke Batam.<br />

Rekruter di Jakarta mendapat fee sebesar $ Sing. 1.000 dari<br />

bosnya untuk setiap perempuan yang bisa direkrut <strong>dan</strong> bisa dikirimkannya<br />

ke Singapore. tetapi seluruh biaya penginapan, makan, transport, <strong>dan</strong><br />

dokumen seluruhnya dibiayai oleh rekruter di Jakarta. Jadi diperkirakan<br />

79


dari setiap anak perempuan yang bisa dikirimkan dia akan mendapatkan<br />

keuntungan sekitar 4 juta rupiah.<br />

Sebenarnya bila mau ditelusuri Janngannya, relatif jelas <strong>dan</strong><br />

memang dapat ditelusuri kendati tersendat-sendat pula. Rekruter di<br />

Jakarta pernah berkata bahwa kenalannya banyak bahkan sampai<br />

dengan jenderal.<br />

Modus operandi dengan jebakan hutang ini tampaknya menjadi<br />

satu modus utama yang digunakan oleh semua trafficker <strong>dan</strong> cukup<br />

effektif dalam mengendalikan korbannya. Jeratan hutang dimanfaatkan<br />

untuk mengikat korban agar tidak kembali ke daerah asal <strong>dan</strong> terus<br />

bekerja di lokasi yang sudah diatur oleh pelaku perdagangan orang<br />

(trafficker). Hutang yang dibebankan kepada korban perdagangan orang<br />

(trafficking) berdasarkan kalkulasi pengeluaran yang telah dikeluarkan<br />

untuk kepentingan pemberangkatan korban dari daerah asal ke daerah<br />

tujuan. Jadi, misalnya, dari mulai sponsor meninggalkan sejumlah uang<br />

buat orang tua korban, memberi uang untuk rekruter lokal, ditambah lagi<br />

dengan biaya perjalanan, penginapan di jakarta, tiket pesawat, <strong>dan</strong><br />

sebagainya akan dikalkulasi sebagai hutang korban .<br />

Kemudian ketika sampai ditempat tujuan mereka baru diberitahu<br />

bahwa korban memiliki hutang sejumlah tersebut, <strong>dan</strong> untuk<br />

membayarnya ia diharuskan bekerja terus sampai hutangnya lunas.<br />

Padahal ketika mereka melayani tamu , apa yang dia peroleh tidak<br />

diterima secara penuh karena harus dipotong oleh berbagai potongan,<br />

sehingga apa yang diterimanya sangat minimal. Oleh karena itu mau tidak<br />

mau mereka harus berutang lagi kepada bosnya untuk menutup<br />

kekurangan hidupnya seperti untuk makan, kosmetik, <strong>dan</strong> sebagainya.<br />

Akibatnya dia terjebak ke dalam lingkaran atau jebakan hutang sehingga<br />

sulit untuk ke luar dari dunia prostitusi tersebut.<br />

Mengacu pada uraian pengalaman beberapa korban perdagangan<br />

orang (trafficking) di atas, maka adalah benar bahwa jeratan hutang<br />

adalah salah satu sarana bagi orang atau kelompok orang untuk<br />

80


menguasai seseorang untuk tujuan mempunyai kendali atau kontrol atas<br />

seseorang, atau untuk memaksakan kehendak atau kepentingan , atau<br />

untuk eksploitasi. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Anti<br />

Slavery lnternatioal /Anti Kemiskinan lnternasional 34 , bahwa:<br />

" seseorang masuk ke dalam jeratan hutang jika tenaga kerja atau<br />

kerjanya dipakai sebagai alat untuk melunasi hutang atau uang yang<br />

sudah diberikan di muka. Biasanya orang tertipu atau terjebak daiam<br />

kerja tanpa upah atau dengan upah yang sangat sedikit (untuk<br />

melunasi hutang tersebut), dengan kondisi kerja yang melanggar HAM.<br />

Umumnya pula, nilai tenaga atau kerja yang dilakukan oleh pekerja<br />

yang terejerat hutang melebihi jumlah uang yang dipinjam atau<br />

diberikan dimuka tersebut."<br />

Se<strong>dan</strong>gkan dalam Konvensi Tambahan PBB tentang Penghapusan<br />

Perbudakan, Perdagangan Budak <strong>dan</strong> lnstitusi serta Trafficker- Trafficker<br />

Serupa Perbudakan (1956) 35 , Jeratan Hutang didefinisikan sebagai:<br />

"Jeratan Hutang, yaitu: status atau kondisi yang timbul dari suatu janji<br />

oleh penerima prnJaman berkenaan dengan jasa yang akan<br />

diberikannya secara pribadi atau oleh seseorang yang berada di bawah<br />

kekuasaanya sebagai jaminan untuk hutang tersebut, <strong>dan</strong> jika nilai dari<br />

jasa tersebut secara taksiran yang masuk akal tidak diterapkan dalam<br />

hal pelunasan hutangnya atau lamanya waktu serta sifat jasa tersebut<br />

tidak dibatasi <strong>dan</strong> tidak didefinisikan" (Pasal. 1 a)<br />

Sementara itu, Jeratan Hutang dalam penjelasan International<br />

Labour Organization (ILO) /Organisasi Buruh lnternasional mengenai<br />

Jeratan Hutang <strong>dan</strong> Buruh ljon, adalah 36 ;<br />

"Terjadi saat seseorang dijadikan jaminan terhadap hutang atau<br />

pinjaman. lnilah hal yang membedakan antara kerja paksa <strong>dan</strong><br />

perbudakan. Seseorang yang dimaksudkan harus melakukan sebagian<br />

atau keseluruhan dari suatu pekerjaan untuk membayar hutang yang<br />

telah timbul. Dalam banyak kasus, hutang ini tercipta karena pada satu<br />

sisi, pekerjaan atau jasa yang dilakukan dinilai sangat rendah<br />

se<strong>dan</strong>gkan pada sisi lain manjikan menyediakan makanan, <strong>dan</strong> tempat<br />

34 Konferensi Nasional "Jeratan Hutang dalam Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak di Indonesia"<br />

oleh <strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan Rl, ACILS, ICMC, USAID.<br />

35 1bid.<br />

36 1bid.<br />

81


tinggal dengan harga yang sangat tinggi sehingga membuat pekerja<br />

sulit melepaskan diri dari hutang tersebut. Hutang juga dapat timbul dari<br />

proses perekrutan <strong>dan</strong> transportasi, yang pada akhirnya mempengaruhi<br />

tingkat kebebasan dalam suatu hubungan kerja."<br />

Lebih lanjut, dijelaskan oleh ILO dalam bahasannya tentang<br />

"Perdagangan Manusia <strong>dan</strong> Eksploitasi Kerja Paksa 2005" 37 , hutang dapat<br />

disebut atau digolongkan jeratan hutang atau hutang yang menjerat jika<br />

memenuhi unsur-unsur berikut:<br />

Seseorang yang berhutang atau orang lain yang mempunyai<br />

hubungan dengan yang berhutang dijadikan sebagai jaminan terhadap<br />

hutang /pinjaman;<br />

Seseorang yang berhutang tersebut melakukan sebagian atau<br />

keseluruhan pekerjaan untuk melunasi hutang dengan tingkat bunga yang<br />

sangat tinggi;<br />

Hutang segaja diciptakan untuk memberikan kesulitan pekerja<br />

untuk melepaskan diri dari hutang karena pekerjaan atau tenaga kerja<br />

dinilai sangat rendah <strong>dan</strong> makanan, tempat, transportasi <strong>dan</strong> akomodosi<br />

lain disediakan oleh majikan atau germo atau mucikari atau pemilik rumah<br />

<strong>dan</strong> sebagainya dengan harga sangat tinggi;<br />

Hutang yang muncul dari proses perekrutan atau transportasi<br />

mempengaruhi tingkat kebebasan dalam hubungan kerja;<br />

Terjadi penipuan tentang hak <strong>dan</strong> kondisi kerja, lnformasi kontrak<br />

kelihatan resmi tetapi majikan mendapatkan keuntungan finansial atau<br />

keuangan atau jasa atas dasar penipuan, yang disemua negara ianggap<br />

melanggara hukum.<br />

Dengan jeratan hutang tersebut maka akan tercipta kondisi di mana<br />

para pihak yang meminjamkan tetap dapat mengambil keuntungan<br />

secara finansial atau keuangan dari orang atau pihak yang berhutang<br />

yang antara lain menyebabkan seseorang yang berhutang tetap terus<br />

bekerja untuknya karena mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari<br />

37 Ibid.<br />

82


hutang atau dari pekerjaanya, terus melayani kebutuhan atau<br />

kepentingan-kepentingan dengan tanpa bayaran atau dengan bayaran<br />

yang sangat rendah kepada orang yang memberi pinjaman atau hutang<br />

sehingga pada gilirannya mereka tidak melawan atau tunduk dibawah<br />

kontrol penguasaan orang yang memberi hutang atau pinjaman tersebut.<br />

Dalam kasus-kasus jeratan hutang, biasanya hutang sudah timbul<br />

sejak orang memulai proses perpindahanya ke daerah lain untuk tujuan<br />

mencari atau bekerja. Tidak hanya masalah korban tidak mempunyai<br />

uang untuk membayar semua biaya untuk keperluan bekerja, melainkan<br />

para korban juga dikondisikan untuk mempunyai hutang kepada pelaku<br />

dengan jumlah yang besar. Seperti dompet <strong>dan</strong> uang dirampas, korban<br />

dijanjikan bekerja dengan biaya gratis atau ditanggung pelaku sehingga<br />

korban tidak perlu memikirkan atau mempersiapkan biaya.<br />

Keperluan-keperluan yang membutuhkan biaya tersebut antara lain<br />

seperti biaya imigrasi, transportasi, makan <strong>dan</strong> minum, pakaian<br />

(akomodasi lain), dokumen atau administrasi perjalanan, biaya pelatihan,<br />

biaya penampungan atau penginapan, <strong>dan</strong> sebagainya. Biaya-biaya yang<br />

dijanjikan gratis tersebut kemudian dibebankan kepada korban di tempat<br />

kerja atau di tempat tujuan ditambah bunganya sehingga korban<br />

mempunyai hutang yang besar <strong>dan</strong> harus diangsur dengan cara dipotong<br />

atau ditahan atau dirampas gajinya.<br />

Situasi tersebut menjadikan pelaku perdagangan orang (trafficker)<br />

mempunyai kendali penuh terhadap diri korban. Sehingga para pelaku<br />

mudah memaksakan kehendak <strong>dan</strong> kepentingannya kepada korban.<br />

Sementara korban tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti<br />

kehendak para pelaku. Akibatnya para korban mengalami kesulitan untuk<br />

keluar atau melepaskan diri dari situasi yang mengeksploitasi mereka.<br />

Modus perdagangan orang (trafficking) yang akhir-akhir ini marak<br />

adalah dengan menghilangkan dokumen ketika korban sudah sampai di<br />

tempat tujuan, supaya mereka masuk lagi ke Indonesia melalui jalan-jalan<br />

tikus. Hanya saja ketika mereka tertangkap biasanya tidak diproses<br />

83


hukum oleh polisi karena merasa kasihan menjadi korban , selain<br />

pertimbangan bahwa mereka merupakan warga Indonesia. Kalaupun<br />

tertangkap, mereka hanya diberi pengarahan bahwa apa yang<br />

dilakukannya salah <strong>dan</strong> dijelaskan mengenai pentingnya dokumen bagi<br />

mereka. Mereka biasanya akan diinapkan di kantor polisi semalam atau<br />

diserahkan ke Dinas Sosial, yang biasanya kemudian dipulangkan oleh<br />

Dinas Sosial secara gratis dengan menggunakan kapal laut. Atau bila<br />

mereka mau membiayai kepulangannya sendiri, maka polisi membantu<br />

pengurusannya untuk pulang langsung ke daerah asalnya. Bantuan<br />

tersebut diperlukan agar mereka tidak dijadikan sasaran pemerasan oleh<br />

tekong-tekong di sini. Karena ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g mereka dikenakan paket<br />

biaya pulang mulai dari carter mobil menuju ke pesawat, biaya pesawat,<br />

biaya kapal, <strong>dan</strong> sebagainya. Bila dirata-rata, untuk kepulangan tersebut<br />

mereka bisa menghabiskan 5 juta rupiah. Meskipun mereka sebenarnya<br />

tidak begitu mempermasalahkan, karena yang penting bisa sampai di<br />

tujuan.<br />

Modus lainnya yang banyak terungkap dalam penelitian ini adalah<br />

adalah perkawinan palsu. Modus ini terungkap dari kasus yang dilakukan<br />

oleh orang Malaysia yang melakukan pernikahan dengan orang Indonesia<br />

<strong>dan</strong> tercatat dilakukan di Bekasi. Namun ketika keabsahan pernikahan<br />

tersebut- dicek di KUA Bekasi, ternyata buku nikahnya fiktif (bodong)<br />

karena tidak tercatat di KUA.<br />

Karban pernikahan bodong yang pernah diproses hukum mencapai<br />

13 orang. Menurut para korban mereka memang tidak menikah di depan<br />

KUA melainkan hanya dilakukan secara siri saja. Umur korban bervariasi<br />

tidak semuanya di bawah umur, ada yang umur 17, 18, 25 , tetapi rata-rata<br />

sudah cukup umur. Asal daerah para korban pun bervariasi seperti dari<br />

Cirebon, lndramayu, Lampung <strong>dan</strong> sebagainya. Jadi pernikahan tersebut<br />

sebenarnya hanya sebagai modus trafficking yang dilakukan untuk<br />

mengelabui petugas penegak hukum, karena realitanya mereka yang<br />

menjadi korban pernikahan ini akhirnya dijual ke Malaysia. Rata-rata<br />

perempuan korban tersebut tidak mengetahui akan dipekerjakan di<br />

84


Malaysia. Menurut para korban yang ditemui dalam penelitian ini , pelaku<br />

perdagangan orang (trafficker) tersebut mengaku memiliki usaha restoran<br />

sehingga mereka terkena rayuannya dengan harapan masa depannya<br />

menjadi lebih terjamin.<br />

Ada juga modus di mana orang Nigeria mengawini secara resmi<br />

perempuan Indonesia yang masih produktif tetapi membutuhkan finansial.<br />

Kemudian setelah hamil <strong>dan</strong> melahirkan, mereka di bawa ke luar negeri.<br />

Selanjutnya perempuan tersebut diberi ongkos untuk pulang ke Indonesia<br />

tetapi anaknya ditinggal di luar negeri. Tetapi kebanyakan ibu-ibu tersebut<br />

mau melakukan hal tersebut. Hal semacam itu juga banyak terjadi di<br />

daerah Pontianak <strong>dan</strong> Samarinda yang banyak orang Cinanya, tetapi<br />

umumnya mereka menikah dengan orang Taiwan. Kemudian setelah<br />

memiliki anak mereka dibawa ke Taiwan. Ketika sampai di Taiwan,<br />

suaminya membolehkan istrinya pulang ke Indonesia tetapi anaknya tidak<br />

boleh dibawa pulang.<br />

Pola jaringan trafficking yang dikembangkan dalam pengiriman<br />

korban, biasanya sponsor di daerah asal sudah mengontak pihak<br />

penerima atau traffickerdi daerah tujuan. Ia memberi tahu bahwa ia sudah<br />

mendapat beberapa klien <strong>dan</strong> pihak penerima tinggal menunggu di<br />

Bandara Batam. Dalam proses pengirimannya, sebelum diberangkatkan<br />

ke daerah tujuan kebanyakan para korban tersebut ditampung dulu di<br />

Jakarta. Dari sana baru kemudian diberangkatkan ke Batam.<br />

Adapun pola awal yang digunakan para pelaku perdagangan orang<br />

(trafficker) dalam pengiriman korban, pihak sponsor turut mendampingi<br />

mengantar korban mulai dari kampung atau daerah asalnya sampai di<br />

Batam atau tempat tujuan. Dalam proses ini bos traffickemya hanya<br />

mentransfer sejumlah uang kepada pihak sponsor untuk membiayai<br />

berbagai pengeluaran yang dibutuhkan sponsor. Sementara bos pelaku<br />

perdagangan orang tinggal menunggu <strong>dan</strong> menerima korban di tempat<br />

yang diinginkannya. Namun sekarang ini pola pengiriman semacam itu<br />

telah ditinggalkan atau berubah. Perubahan tersebut terjadi karena pola<br />

85


semacam itu seringkali dapat dideteksi <strong>dan</strong> ditangani oleh polisi. Bahkan<br />

karena polisi sudah paham dengan pola tersebut, ada trafficker yang<br />

pernah tertangkap <strong>dan</strong> disi<strong>dan</strong>gkan sebanyak 2 kali .<br />

Pola pengiriman yang sekarang berkembang adalah , pihak sponsor<br />

hanya mengantar sampai Jakarta <strong>dan</strong> korbannya kemudian<br />

diberangkatkan sendiri dari bandara Cengkareng ke bandara Hang<br />

Nadiem di Batam tanpa diantar ataupun didampingi oleh anggota jaringan<br />

trafficker. Karban yang diberangkatkan tersebut hanya diberi petunjuk,<br />

misalnya, setelah sampai di bandara Batam ia disuruh ke luar <strong>dan</strong><br />

mencari toilet atau musholla, <strong>dan</strong> diberitahu nanti akan ada orang yang<br />

menjemputnya di situ. Selanjutnya, di Batam sudah ada orang lain dari<br />

anggota jaringan trafficker yang bertugas menjemput korban <strong>dan</strong><br />

membawanya ke bos trafficker atau pengguna/pemesan. Jadi mata<br />

rantainya cukup panjang bisa sampai 4 atau 5 tangan , dari mulai sponsor<br />

kampung yang kemudian dioperkan kepada beberapa perantara yang<br />

saling tidak mengenal. Kota yang dijadikan tempat transitnya pun sekitar 4<br />

atau 5 tempat. Setibanya di Bandara Hang Nadiem pun korban masih<br />

dipindah tangankan. Sehingga korban tidak mengetahui lagi siapa saja<br />

yang membawanya <strong>dan</strong> tidak pernah melihat lagi siapa yang<br />

membawanya dari jakarta. Ia hanya mengetahui sebatas sponsor<br />

kampungnya saja. Modus ini dikembangkan oleh para pelaku<br />

perdagangan orang (trafficker) untuk memutus jaringan, sehingga tidak<br />

jarang sponsor yang melakukan rekruitmen di daerah asal tidak<br />

mengetahui lagi siapa yang menjadi bosnya di Batam.<br />

Dalam menghadapi pola jaringan yang dikembangkan pelaku<br />

perdagangan orang (trafficker) tersebut pada awalnya sempat membuat<br />

pihak aparat keamanan kesulitan untuk mendeteksi apakah di Bandara<br />

tersebut ada yang menjadi korban trafficking atau tidak. Tetapi, menurut<br />

informan dari LSM, sekarang ini pihak petugas polsek bandara sudah<br />

lebih responsif dalam mendeteksi para korban trafficking. Ketika petugas<br />

melihat orang yang diduga menjadi korban perdagangan orang<br />

(trafficking) maka akan segera diidentifikasi <strong>dan</strong> ditanya kemana<br />

86


-<br />

tujuannya <strong>dan</strong> sebagainya sehingga dapat segera ditangani sebagaimana<br />

mestinya.<br />

Dalam proses penyidikan , modus operandi dengan memutus<br />

jaringan semacam itu seringkali menyulitkan polisi, karena ketika polisi<br />

tengah melakukan penyidikan biasanya pelaku utamanya sudah kabur<br />

atau bos traffickemya tidak terlacak. Hal ini terjadi karena mereka yang<br />

ada dalam mata rantai jaringan trafficking tersebut tidak mengenal satu<br />

sama lain, bahkan mungkin ia tidak menyadari bahwa apa yang<br />

dilakukannya termasuk dalam jaringan trafficking. Sebagai ilustrasi<br />

bagaimana seseorang terperangkap dalam model jaringan yang terputus<br />

tersebut tampak dari kisah seorang narapi<strong>dan</strong>a perdagangan orang<br />

(trafficking) berikut ini.<br />

Kiki (bukan nama sebenarnya) berasal dari Me<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> pernah<br />

tinggal di Batam selama 10 tahun karena memiliki usaha jasa membantu<br />

pengurusan pembuatan pasport. Namun bisnis pembuatan pasport<br />

tersebut sudah lama ditinggalkan sejak pindah ke Singapore. Selama ini ia<br />

telah lama tinggal di Singapore bersama anak-anak <strong>dan</strong> suami yang<br />

berkewarganegaraan Singapore yang bekerja sebagai tour guide.<br />

Pada saat penelitian dilakukan, ia menjadi tahanan di Rutan Batam<br />

karena terlibat kasus perdagangan orang (trafficking), khususnya terlibat<br />

dalam membantu pembuatan pasport. Berdasarkan penuturannya, pada<br />

saat itu ia kebetulan se<strong>dan</strong>g ke Batam untuk menjemput anaknya yang<br />

berlibur di Me<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> akan pulang ke Singapore. Namun ketika ia berada<br />

di Batam ada seorang temannya (ibu rumah tangga) yang meminta<br />

bantuan untuk dibuatkan pasport dengan imbalan 500 ribu rupiah<br />

sehingga Kiki pun membantu membuatkannya.<br />

Kiki tidak mengerti bahwa ia terlibat masalah perdagangan orang<br />

(trafficking) karena dulu pekerjaan sehari-harinya adalah pembuat<br />

pasport. Pada saat itu ia membantu membuatkan pasport asli yang<br />

dikeluarkan oleh lmigrasi. Ia tidak tahu bahwa pasport tersebut akan<br />

digunakan untuk perdagangan orang (trafficking) . Ia ditangkap karena ada<br />

87


orang Singapore yang tertangkap di pelabuhan ketika ia memberikan<br />

uang tunjuk kepada korban. 38<br />

88<br />

Kiki tidak begitu paham kenapa ia<br />

ditangkap polisi, karena ia merasa membuatkan pasport asli yang<br />

dikeluarkan secara resmi oleh intansi pemerintah, sementara yang<br />

mengeluarkan pasportnya (imigrasi) tidak ikut ditahan. Menurut pihak<br />

kepolisian, ia dilibatkan dalam kasus perdagangan orang (trafficking)<br />

karena ianggap turut memudahkan terjadinya trafficking tersebut. Selain<br />

itu ia mengambil keuntungan yang lebih besar dari pembuatan pasportnya<br />

dari yang biasanya 300 ribu rupiah menjadi 500 ribu rupiah sehingga<br />

memudahkan keluarnya pasport. Dalam hal ini polisi mengacu kepada<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21 Tahun 2007 yang antara lain menyatakan bahwa<br />

kendati ia tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya untuk kegiatan<br />

perdagangan orang (trafficking) (seperti yang membujuk orang di<br />

kampung untuk bekerja), namun bila ternyata ujung-ujungnya<br />

mengakibatkan a<strong>dan</strong>ya korban perdagangan orang (trafficking) maka ia<br />

dapat dijerat oleh hukum.<br />

38 Di Batam banyak yang memberikan pinjaman uang tunjuk sekitar 500 sampai 1000 dolar<br />

dengan bunga 10% kepada orang yang mau bekerja di Singapore. Uang itu di berikan di Batam<br />

ketika mau berangkat <strong>dan</strong> iambil kembali ketika sampai di Singapore oleh orang yang sudah<br />

menunggu di sana. Jadi ada orang yang memberikan uang di Batam <strong>dan</strong> sudah ada orang yang<br />

menunggu di Singapore. Orang yang memberikan pinjaman memberikan ciri-ciri orang yang<br />

diberi pinjaman kepada orang kepercayaannya di Singapore sehingga ia dapat mengenali siapa<br />

yang harus ditagih. Namun kebanyakan orang yang meminjamkan uang tersebut turut<br />

berangkat dengan si peminjam. Jadi sebenarnya mereka tidak berniat untuk melakukan<br />

trafficking, melainkan untuk mencari untung dengan mendapatkan bunga uang.


BAB6<br />

KERANGKA HUKUM DAN NON HUKUM DALAM UPAYA<br />

PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN<br />

6.1.Kerangka Hokum<br />

PERDAGANGANPEREMPUAN<br />

Maraknya praktik perdagangan orang tidak dapat dipungkiri lagi<br />

sebagai suatu kenyataan yang telah lama ada. Tingginya data korban<br />

perdagangan orang seperti yang telah diidentifikasi <strong>dan</strong> dibantu oleh<br />

International Organization for Migration (10M) sepanjang Maret 2005 -<br />

Juni 2010 (lihat tabel 4) disebabkan kurangnya kesadaran maupun<br />

ketanggapan dari masyarakat <strong>dan</strong> belum a<strong>dan</strong>ya ketentuan yang<br />

komprehensif bagi penegak hukum serta kurang sensitifnya apatur<br />

pemerintah terhadap praktik perdagangan orang.<br />

Tabel4.<br />

Korban Perdagangan Orang<br />

Perempuan 150 218 368<br />

Sumber: Data Karban Trafficking, /OM Tahun 2010.<br />

Mayoritas korban perdagangan orang yang telah dibantu oleh 10M<br />

sepanjang empat tahun tersebut adalah perempuan, <strong>dan</strong> lebih dari 20%<br />

di antaranya tergolong anak-anak yang memang paling rentan untuk<br />

diperdagangkan.<br />

Data di atas tentu saja tidak mencerminkan jumlah korban yang<br />

sesungguhnya, bagaikan fenomena gunung es, karena perdagangan<br />

orang adalah jenis underreported crime. Mengapa demikian? Hal ini<br />

89


disebabkan karena banyak korban yang tidak mempunyai kesempatan<br />

untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian atau merasa takut melaporkan<br />

kasus yang menimpanya, bahkan merasa tabu untuk mengungkapkan<br />

kasus yang dialaminya demi menjaga martabat diri <strong>dan</strong> keluarganya.<br />

Indonesia selama ini tidak hanya dikenal sebagai negara pengirim,<br />

namun juga sebagai negara transit <strong>dan</strong> penerima. Artinya beberapa<br />

daerah di Indonesia, dikenal sebagai daerah korban berasal <strong>dan</strong> ada<br />

beberapa daerah yang menjadi tempat korban dieksploitasi. Mereka tidak<br />

hanya diperdagangkan dalam wilayah Indonesia namun juga ke luar<br />

wilayah negara. Sepuluh propinsi tujuan terbesar dari perdagangan orang<br />

dalam wilayah Indonesia adalah Kepulauan Riau, DKI, Jawa Timur,<br />

Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bangka­<br />

Belitung, Riau <strong>dan</strong> Sulawesi Tengah. Se<strong>dan</strong>gkan sepuluh negara tujuan<br />

terbesar perdagangan orang dari Indonesia, adalah Malaysia, Saudi<br />

Arabia, Singapore, Jepang, Kuwait, Sirya, Iraq, Jor<strong>dan</strong>ia, Suriname <strong>dan</strong><br />

Mauritsia. 39<br />

Sebenarnya, komitmen Pemerintah untuk melakukan pencegahan<br />

<strong>dan</strong> penanggulangan perdagangan orang telah sangat kuat <strong>dan</strong> larangan<br />

praktek perdagangan orang sudah diatur dalam produk hukum nasional.<br />

Pada Pembukaan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Dasar 1945, alinea ke 4,<br />

Pancasila, Sila kedua yaitu: "Kemanusiaan Yang Adil <strong>dan</strong> Beradab,"<br />

menunjukan bahwa perbudakan tidak dimungkinkan, apalagi berdasarkan<br />

pasal 28 (1) negara menjamin "hak untuk tidak diperbudak" (amandemen<br />

Ke-2, tanggal 18 Agustus 2000).<br />

Kitab Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Hukum Pi<strong>dan</strong>a (KUHP), pasal 297:<br />

"perdagangan wanita <strong>dan</strong> perdagangan anak laki-laki yang belum cukup<br />

umur, diancam dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama enam tahun".<br />

Meskipun pada kenyataannya korban perdagangan orang tidak hanya<br />

39 Ana Sakreti, International Organization for Migration (10M), Upaya Pencegahan <strong>dan</strong><br />

Penanganan Perdagangan Orang. Disampaikan dalam Rakornas Gugus Tugas Pencegahan <strong>dan</strong><br />

Penanganan TPPO, Hotel Horison, Bekasi, 29 September- 1 Oktober 2010.<br />

90


-<br />

perempuan <strong>dan</strong> laki-laki yang belum dewasa, melainkan orang-orang<br />

yang berada dalam posisi rentan , baik perempuan , laki laki, dewasa <strong>dan</strong><br />

anak-anak. Selain itu KUHP pasal 297 ini juga memberikan sanksi yang<br />

terlalu ringan <strong>dan</strong> tidak sepa<strong>dan</strong> dengan dampak yang diderita korban<br />

akibat kejahatan perdagangan orang .<br />

Pasal 324 KUHP: "Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya<br />

orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan<br />

perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau<br />

tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam<br />

dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 12 tahun".<br />

Pasal 324 KUHP mengatur "Perniagaan budak belian"<br />

(Siavenhandel), tetapi Perbudakan di Indonesia menurut hukum<br />

berdasarkan pasal 169 "lndische Staatsregeling" pada tanggal 1 Januari<br />

1860 telah dihapus dengan pertimbangan bahwa , perbudakan tidak akan<br />

pernah terjadi di zaman modem in i. Tetapi ternyata asumsi tersebut keliru<br />

karena justru di era globalisasi ini "Siavenhandel" marak kembali dalam<br />

wujud yang lebih canggih <strong>dan</strong> lebih berani serta dilakukan secara terang­<br />

terangan maupun terselubung. Perempuan pekerja domestik sering<br />

diperlakukan layaknya sebagai budak, dipekerjakan tanpa mendapatkan<br />

upah sama sekali, tidak diberikan tempat istirahat yang layak <strong>dan</strong><br />

dirampas kebebasan bergeraknya. Tarif yang ditetapkan oleh agen<br />

perekrut tenaga kerja kepada calon majikan, seolah memberikan<br />

kekuasaan kepada majikan atas pekerja domestik yang telah dibelinya.<br />

Sehingga untuk mendapatkan manfaat <strong>dan</strong> keuntungan yang sebesar­<br />

besamya dari pekerja domestik, majikan mengeksploitasi korban secara<br />

terus menerus. Larangan perbudakan juga diatur <strong>dan</strong> tercantum dalam<br />

pasal 10 Un<strong>dan</strong>g Un<strong>dan</strong>g Dasar Sementara Tahun 1950.<br />

Pasal 65 Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 39 Tahun<br />

1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa "Setiap anak<br />

berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi <strong>dan</strong><br />

91


pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai<br />

bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, <strong>dan</strong> zat adiktif lainnya".<br />

Pada tahun 2002, Indonesia mengesahkan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak<br />

yang juga mengkriminalisasi perdagangan anak <strong>dan</strong> eksploitasi seksual<br />

terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 83 <strong>dan</strong> Pasal 88.<br />

Pasal 83 Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 23 Tahun<br />

2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa: "Setiap orang<br />

yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri<br />

atau untuk dijual, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 15 (lima<br />

belas) tahun <strong>dan</strong> paling singkat 3 (tiga) tahun <strong>dan</strong> denda paling banyak Rp<br />

300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) <strong>dan</strong> paling sedikit Rp 60.000.000<br />

(enam puluh juta rupiah)". Sementara itu pada pasal 88 menyebutkan<br />

bahwa: "Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak<br />

dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,<br />

dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun <strong>dan</strong>/atau<br />

denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)".<br />

Perilaku "perdagangan perempuan" merupakan akibat dari evolusi<br />

dari masyarakat, di mana perilaku tersebut dapat mengakibatkan kerugian<br />

di pihak perempuan baik secara fisik maupun psikis. Untuk menghambat<br />

atau menertibkan perilaku tersebut diperlukan suatu pranata hukum,<br />

sehingga perbuatan tersebut menjadi perilaku yang dilarang berdasarkan<br />

aturan hukum yang berlaku.<br />

Beberapa peraturan hukum yang dapat menjerat para pelaku<br />

kejahatan antara lain tertuang dalam:<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1996<br />

tentang KUHP pasal 324, pasal 333 ayat 1-4, pasal 297, Pasal 324,<br />

yang menyatakan bahwa: "Barang siapa dengan biaya sendiri atau biaya<br />

orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan<br />

perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau<br />

92


tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam<br />

dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama dua belas tahun".<br />

Pasal 333, yang menyatakan bahwa:(1) Barang siapa dengan<br />

sengaja <strong>dan</strong> melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau<br />

meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan<br />

pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama delapan tahun; (2) Jika perbuatan itu<br />

mengakibatkan luka-luka berat maka yang bersalah diancam dengan<br />

pi<strong>dan</strong>a paling lama sembilan tahun; (3) Jika mengakibatkan mati diancam<br />

dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama dua belas tahun; (4) Pi<strong>dan</strong>a yang<br />

ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan<br />

sengaja <strong>dan</strong> melawan hukum memberi tempat untuk perampasan<br />

kemerdekaan.<br />

Pasal 297, yang menyatakan bahwa:'Perdagangan wanita <strong>dan</strong><br />

perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pi<strong>dan</strong>a<br />

penjara paling lama enam tahun".<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1992<br />

Tentang Keimigrasian, Pasal 55 yang menyatakan bahwa: "Setiap orang<br />

yang dengan sengaja: a.Menggunakan surat perjalanan Republik<br />

Indonesia se<strong>dan</strong>gkan ia mengetahui/sepatutnya menduga bahwa surat<br />

perjalanan itu palsu/dipalsukan, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling<br />

lama 5 tahun/denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta<br />

rupiah); b Menggunakan surat perjalanan orang lain/surat perjalanan<br />

Republik Indonesia yang sudah dicabutldinyatakan batal atau<br />

menyerahkan kepada orang lain surat perjalanan Republik Indonesia yang<br />

diberikan kepa<strong>dan</strong>ya, dengan maksud digunakan secara tidak berhak,<br />

dipi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak<br />

Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah); c. Memberikan data yang tidak sah<br />

atau keterangan yang tidak benar untuk memperoleh surat perjalanan<br />

Republik Indonesia bagi dirinya sendiri atau orang lain, dipi<strong>dan</strong>a dengan<br />

pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak<br />

Rp.1 0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); d. Memiliki atau menggunakan<br />

93


secara 2 atau lebih surat perjalanan Republik Indonesia yang semuanya<br />

berlaku, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 2 tahun atau denda<br />

paling banyak Rp.1 0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)".<br />

Pasal 56, yang menyatakan bahwa : "Dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />

penjara paling lama 6 tahun <strong>dan</strong> atau denda paling banyak Rp.<br />

30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); a.Setiap orang yang dengan<br />

sengaja melawan hukum, mencetak, mempunyai, menyimpan blanko<br />

surat perjalanan Republik Indonesia atau blanko dokumen keimigrasian;<br />

b. Setiap orang yang dengan sengaja <strong>dan</strong> melawan hukum membuat,<br />

mempunyai /menyimpan cap yang dipergunakan untuk mensahkan surat<br />

perjalanan Republik Indonesia /dokumen keimigrasian40.<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang<br />

Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri,<br />

Pasal 102 ayat (1) yang menyatakan bahwa : " Dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />

penjara paling sing kat 2 (dua) tahun <strong>dan</strong> paling lama 10 (sepuluh) tahun<br />

<strong>dan</strong> I atau denda paling sedikit Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)<br />

<strong>dan</strong> paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah), setiap<br />

orang yang: a. Menempatkan Warga Negara Indonesia untuk bekerja di<br />

luar negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 4; b.Menempatkan TKI<br />

tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, atau c. Menempatkan<br />

calon TKI pada jabatan atau tempat pekerjaan yang bertentangan dengan<br />

nilai-nilai kemanusiaan <strong>dan</strong> norma kesusilaan sebagaimana dalam pasal<br />

30".<br />

Sementara pada Pasal 103 ayat (1) dinyatakan bahwa : "Dipi<strong>dan</strong>a<br />

dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling singkat 1 (satu) tahun <strong>dan</strong> paling lama 5<br />

(lima) tahun <strong>dan</strong>/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu<br />

milyar Rupiah) <strong>dan</strong> paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar<br />

rupiah) setiap orang yang :a.Mengalihkan atau memindahkan tangankan<br />

SIPP TKI sebagaimana dimaksud dalam pasal 19; b.Mengalihkan atau<br />

memindahtangankan SIP kepada pihak lain, sebagaimana dimaksud<br />

40 UU No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, Sinar Grafindo, Jakarta, hal. 19.<br />

94


dalam pasal 33; c.Melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi<br />

persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35; d.Menempatkan TKI<br />

yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam<br />

pasal 45; e.Menempatkan TKI yang tidak memenuhi persyaratan<br />

kesehatan <strong>dan</strong> psikologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 50;<br />

f.Menempatkan calon TKI/TKI yang tidak memiliki dokumen sebagaimana<br />

dimaksud dalam pasal 51 ; g.Menempatkan TKI di luar negeri tanpa<br />

perlindungan program asuransi sebagaimana dimaksud dalam pasal 68;<br />

atau h. Memperlakukan calon TKI secara tidak wajar <strong>dan</strong> tidak manusiawi<br />

selama masa di penampungan dimaksud dalam pasal 70 ayat (3)",<br />

Pasal 104 ayat (1), yang menyatakan bahwa: "Dipi<strong>dan</strong>a dengan<br />

pi<strong>dan</strong>a kurungan paling singkat 1 (satu) bulan <strong>dan</strong> paling lama 1 (satu)<br />

tahun <strong>dan</strong> I atau denda paling sedikit Rp.1 00.000.000,00 (seratus juta<br />

rupiah) <strong>dan</strong> paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) setiap<br />

orang yang:a. Menempatkan TKI tidak melalui Mitra Usaha sebagaimana<br />

dipersyaratkan dalam pasal 24; b. Menempatkan TKI di luar negeri untuk<br />

kepentingan perusahaan sendiri tanpa ijin tertulis dari menteri<br />

sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, ayat (1 ); c. Mempekerjakan calon<br />

TKI yang se<strong>dan</strong>g mengikuti pendidikan <strong>dan</strong> pelatihan sebagaimana<br />

dimaksud dalam pasal46; d.Menempatkan TKI di luar negeri yang tidak<br />

memiliki KTKLN sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 64; atau e. Tidak<br />

memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah memenuhi persyaratan<br />

perlengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 67 Ayat 2 ; f.<br />

Tindak pi<strong>dan</strong>a sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) merupakan<br />

tindak pi<strong>dan</strong>a pelanggaran". 41<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003<br />

Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 74 ayat (1), yang menyatakan bahwa:<br />

"Siapapun dilarang mempekerjakan <strong>dan</strong> melibatkan anak pada pekerjaan­<br />

pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang<br />

dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Segala pekerjaan dalam bentuk<br />

41 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar<br />

Negeri<br />

95


perbudakan atau sejenisnya; b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan<br />

menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran , produksi<br />

pornografi, pertunjukkan porno, atau perjudian ; c. Segala pekerjaan yang<br />

memanfaatkan, menyediakan /melibatkan anak untuk produksi <strong>dan</strong><br />

perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika <strong>dan</strong> zat aditif<br />

lainnya; d.Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan,<br />

keselamatan/moral anak".<br />

Pasal 74 ayat (2), yang menyatakan bahwa: "Jenis-jenis pekerjaan<br />

yang membahayakan kesehatan, keselamatan/ moral anak sebagaimana<br />

dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri".<br />

Pas a I 183 ayat (1 ), yang menyatakan bahwa: "Barang siapa<br />

melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 74 dikenakan<br />

sanksi penjara paling singkat 2 (dua) tahun <strong>dan</strong> paling lama 5 (lima) tahun<br />

<strong>dan</strong> /atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)<br />

<strong>dan</strong> paling banyak Rp . 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)".<br />

Pasal 183 ayat (2) , yang menyatakan bahwa : "Tindak pi<strong>dan</strong>a<br />

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pi<strong>dan</strong>a<br />

kejahatan". 42<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang<br />

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 5, menyatakan<br />

bahwa: "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga<br />

terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara: a.<br />

Kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. Kekerasan seksual; d.<br />

Penelantaran rumah tangga. Sementara itu dalam Pasal 8, dinyatakan<br />

bahwa: "Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c<br />

meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang<br />

yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b.Pemaksaan<br />

hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah<br />

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil <strong>dan</strong> atau tujuan<br />

tertentu". Pasal 46, menyatakan bahwa: "setiap orang yang melakukan<br />

42 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.<br />

96


perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada pasal 8 huruf<br />

a dipi<strong>dan</strong>a dengan penjara paling lama 12 tahun atau denda paling<br />

banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)". Pasal 47,<br />

menatakan bahwa: "Setiap orang yang memaksa orang yang menetap<br />

dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana<br />

dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling<br />

singkat 4 tahun <strong>dan</strong> pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 15 tahun atau denda<br />

paling sedikit Rp. 12.000.000 (Dua Belas Juta Rupiah) atau denda paling<br />

banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)". 43<br />

Selain upaya represif, dibutuhkan juga upaya preventif dengan<br />

menggunakan metode pendekatan secara sosial ( Sosia/ Crime<br />

Prevention) dalam upaya mencegah "perdagangan perempuan" seperti<br />

yang diungkapkan oleh M. Kemal Dermawan 44 , bahwa Social Crime<br />

Prevention adalah segala kegiatannya bertujuan untuk menumpas akar<br />

penyebab kejahatan <strong>dan</strong> kesempatan individu untuk melakukan<br />

pelanggaran. Hal ini dapat dilakukan dengan sosialisasi atau pemberian<br />

informasi, peningkatan pendidikan, peningkatan lapangan kerja <strong>dan</strong><br />

mengurangi kemiskinan.<br />

Sikap Pemerintah Rl untuk memerangi perdagangan orang<br />

dipertegas kembali dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor<br />

88 Tahun 2002 45<br />

tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan<br />

43 UU Rl No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, <strong>Kementerian</strong><br />

Pemberdayaan Perempuan, Jakarta, 2004, hal. 9, 10, 29.<br />

44 Mohammad Kemal Dermawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Bandung : PT. Aditya Bakti,<br />

2000.<br />

45 Pengertian Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak menurut Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun<br />

2002, adalah segala tindakan perilaku trafiking yang mengandung salah satu atau lebih<br />

tindakan perekrutan pengangkutan antar daerah <strong>dan</strong> antar negara, pemindahtanganan,<br />

pemberangkatan, penerimaan <strong>dan</strong> penampungan sementara atau di tempat tujuan,<br />

perempuan <strong>dan</strong> anak. Dengan cara ancaman penggunaan kekerasan verbal <strong>dan</strong> fisik,<br />

penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika<br />

seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang <strong>dan</strong> lainlain),<br />

memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan di mana perempuan <strong>dan</strong> akan<br />

digunakan untuk tujuan pelacuran <strong>dan</strong> eksploitasi seksual (termasuk phaedofilia), buruh migran<br />

legal maupun ilegal; adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah<br />

tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, <strong>dan</strong> penjualan organ tubuh,<br />

serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.<br />

97


Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak (RAN P3A), serta pengajuan<br />

Rencana Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />

Orang sebagai usul inisiatif Pemerintah ke DPR Rl pada tahun 2004. RUU<br />

ini pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2005 berada pada<br />

urutan 22 dari 55 RUU yang akan dibahas oleh DPR Rl Hasil Pemilu<br />

2004.<br />

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan<br />

<strong>dan</strong> Anak (RAN-P3A) merupakan rencana aksi yang terpadu lintas<br />

program <strong>dan</strong> lintas pelaku pusat maupun daerah, tidak saja untuk upaya<br />

pencegahan, penegakan hukum <strong>dan</strong> perlindungan kepada korban, tetapi<br />

juga terintegrasi dengan penanggulangan akar masalahnya. lmplementasi<br />

RAN-P3A dibarengi dengan langkah-langkah nyata di bi<strong>dan</strong>g<br />

penanggulangan kemiskinan, kesehatan <strong>dan</strong> peningkatan kualitas<br />

pendidikan baik formal, non-formal maupun informal (pendidikan dalam<br />

keluarga), serta kegiatan pemberdayaan lainnya yang relevan.<br />

Upaya penghapusan perdagangan orang meliputi tindakan­<br />

tindakan pencegahan (prevention), menindak <strong>dan</strong> menghukum<br />

(prosecution) dengan tegas pelaku perdagangan orang (trafficker), serta<br />

melindungi (protection) korban melalui upaya repatriasi, rehabilitasi,<br />

konseling, pendidikan <strong>dan</strong> pelatihan keterampilan, termasuk menjamin<br />

hal-hal yang berkaitan dengan HAM-nya agar mereka bisa mandiri <strong>dan</strong><br />

kembali berintegrasi ke masyarakat. Mengingat bahwa perdagangan<br />

orang berkaitan dengan kejahatan terorganisir lintas negara, maka<br />

kerjasama antar negara baik secara bilateral maupun regional serta<br />

kerjasama dengan ba<strong>dan</strong>-ba<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> LSM internasional akan terus dibina<br />

<strong>dan</strong> dikembangkan.<br />

Tujuan umum RAN-P3A adalah: "Terhapusnya segala bentuk<br />

perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak". Se<strong>dan</strong>g tujuan khusus adalah:<br />

1.A<strong>dan</strong>ya norma hukum <strong>dan</strong> tindakan hukum terhadap pelaku<br />

perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak.<br />

98


-<br />

-<br />

2.Terlaksananya rehabilitasi <strong>dan</strong> reintegrasi sosial terhadap korban<br />

perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak yang dijamin secara hukum.<br />

3.Terlaksananya pencegahan segala bentuk praktek perdagangan<br />

perempuan <strong>dan</strong> anak di keluarga <strong>dan</strong> masyarakat.<br />

4.Terciptanya kerjasama <strong>dan</strong> koordinasi dalam penghapusan<br />

perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak antar instansi di tingkat<br />

nasional <strong>dan</strong> internasional.<br />

Adapun Sasaran RAN-P3A adalah:<br />

1) Teratifikasinya konvensi kejahatan terorganisir antar negara <strong>dan</strong><br />

dua protokol tentang perdagangan manusia <strong>dan</strong> anak (The Optional<br />

Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of<br />

Children, Child Prostitution and Child Pornography, <strong>dan</strong> Prococol to<br />

Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women<br />

and Children [1989]).<br />

2) Disahkannya Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g tentang Penghapusan<br />

Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g tentang<br />

Perlindungan Saksi <strong>dan</strong> Korban, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g tentang Penghapusan<br />

Kekerasan dalam Rumah Tangga, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g tentang Perlindungan<br />

Buruh Migran <strong>dan</strong> aturan-aturan pelaksanaannya.<br />

3) .A<strong>dan</strong>ya harmonisasi standar internasional berkaitan dengan<br />

dengan perdagangan orang ke dalam hukum nasional melalui revisi<br />

terhadap Kitab Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Hukum Pi<strong>dan</strong>a, Kitab Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />

Hukum Acara Pi<strong>dan</strong>a, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Perkawinan, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />

Keimigrasian <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Peradilan HAM.<br />

4) Diperolehnya peta situasi permasalahan <strong>dan</strong> kasus-kasus<br />

kejahatan perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak.<br />

5) Peningkatan kuantitas <strong>dan</strong> kualitas Pusat Pelayanan Krisis<br />

untuk rehabilitasi <strong>dan</strong> reintegrasi sosial bagi korban perdagangan<br />

perempuan <strong>dan</strong> anak terutama di daerah beresiko.<br />

99


Eselon I dari 16 lnstitusi Pemerintah, Kepala Ba<strong>dan</strong> Narkotika Nasional,<br />

Direktur Reserse Pi<strong>dan</strong>a Umum MABES POLRI, serta 10 orang dari unsur<br />

LSM, Organisasi Wanita Keagamaan, Organisasi Pengusaha Wanita,<br />

Kamar Dagang <strong>dan</strong> lndustri <strong>dan</strong> Persatuan Wartawan Indonesia.<br />

Adapun tugas dari Gugus Tugas RAN-P3A adalah:<br />

1) Pengkoordinasian pelaksanaan upaya penghapusan<br />

perdagangan (trafiking 46 ) perempuan <strong>dan</strong> anak yang dilakukan oleh<br />

pemerintah <strong>dan</strong> masyarakat sesuai dengan tugas fungsi <strong>dan</strong>/atau<br />

kualifikasi masing-masing.<br />

2) Advokasi <strong>dan</strong> sosialisasi trafiking <strong>dan</strong> RAN-P3A pada pemangku<br />

kepentingan (stakeholders).<br />

3) Pemantauan <strong>dan</strong> evaluasi baik secara periodik maupun insidentil<br />

serta penyampaian permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan RAN­<br />

P3A kepada instansi yang berwenang untuk penanganan <strong>dan</strong><br />

penyelesaian lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perun<strong>dan</strong>g­<br />

un<strong>dan</strong>gan yang berlaku.<br />

4) Kerjasama nasional, regional, <strong>dan</strong> internasional untuk langkah­<br />

langkah pencegahan <strong>dan</strong> penanggulangan dalam upaya penghapusan<br />

perdagangan (trafiking) perempuan <strong>dan</strong> anak.<br />

5) Pelaporan perkembangan pelaksanaan upaya penghapusan<br />

perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak kepada Presiden <strong>dan</strong> masyarakat.<br />

Sesuai dengan tujuannya, Gugus Tugas memfokuskan diri pada upaya<br />

penghapusan perdagangan orang khususnya perempuan <strong>dan</strong> anak,<br />

sementara untuk menanggulangi akar masalahnya: kemiskinan (dalam<br />

berbagai bi<strong>dan</strong>g kehidupan), kesehatan <strong>dan</strong> kurangnya pendidikan,<br />

dilaksanakan secara lintas sektor, pusat <strong>dan</strong> daerah, di bawah koordinasi<br />

Menteri Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan Rakyat.<br />

46 Trafiking adalah istilah dari Trafficking yang sudah dibakukan oleh <strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan<br />

Perempuan sejak keberadaan Gugus Tugas RAN-P3A dalam rangka Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />

Perdagangan Orang (PTPPO) sejak tahun 2007.<br />

101


Selain Gugus Tugas RAN-P3A, juga ada gugus tugas yang lain<br />

yang masih berkaitan dengan penghapusan perdagangan orang seperti<br />

misalnya Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan<br />

Terburuk bagi Anak (Keputusan Presiden Rl No. 12 Tahun 2001), Gugus<br />

Tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual<br />

Komersial Anak (Keputusan Presiden Rl No. 87 Tahun 2002}, Komisi<br />

Perlindungan Anak Indonesia (Keputusan Presiden Republik I No. 77<br />

Tahun 2003}, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan<br />

(Keputusan Presiden Rl No. 181 Tahun 1998), Komisi Nasional Hak Asasi<br />

Manusia (dimandatkan oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi<br />

Manusia), <strong>dan</strong> Komite Koordinasi Nasional Pencegahan <strong>dan</strong><br />

Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Pencucian Uang (Keputusan Presiden Rl<br />

No. 1 Tahun 2004).<br />

Dalam era otonomi, di tingkat propinsi <strong>dan</strong> kabupaten/kota telah<br />

dibentuk pula gugus tugas serupa yang akan menyusun rencana aksi<br />

daerah. Menteri Dalam Negeri telah memberikan dukungan melalui Surat<br />

Edaran Departemen Dalam Negeri No. 560/1134/PMD/2003, yang<br />

ditujukan kepada Gubernur <strong>dan</strong> Bupati/ Walikota seluruh Indonesia.<br />

Dalam surat edaran tersebut diarahkan bahwa sebagai focal point<br />

pelaksanaan penghapusan perdagangan orang di daerah, dilaksanakan<br />

oleh unit kerja di jajaran pemerintah daerah yang mempunyai<br />

kewenangan menangani urusan perempuan <strong>dan</strong> anak, melalui<br />

penye!enggaraan pertemuan koordinasi kedinasan di daerah dengan<br />

tujuan:<br />

1 )Menyusun standar minimum dalam pemenuhan hak-hak anak<br />

2)Pembentukan satuan tugas penanggulangan perdagangan orang<br />

di daerah<br />

3)Melakukan pengawasan ketat terhadap perekrutan tenaga kerja<br />

4 )Mengalokasikan <strong>dan</strong>a APBD untuk keperluan tersebut.<br />

Daerah sumber, daerah transit <strong>dan</strong> daerah perbatasan merupakan<br />

tempat-tempat yang dipriotaskan untuk segera dibentuk gugus tugas<br />

102


-<br />

penghapusan perdagangan orang tingkat daerah. Di beberapa propinsi<br />

<strong>dan</strong> kabupaten/kota, gugus tugas yang dibentuk seringkali tidak<br />

mengkhususkan diri pada masalah penghapusan perdagangan<br />

perempuan <strong>dan</strong> anak, tetapi juga menangani masalah penghapusan<br />

eksploitasi seksual komersial anak, penghapusan bentuk-bentuk<br />

pekerjaan terburuk bagi anak, <strong>dan</strong> hal-hal lain yang berkaitan.<br />

Di beberapa propinsi <strong>dan</strong> kabupaten/kota, misalnya, Pemerintah<br />

Propinsi Sulawesi Utara telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 1<br />

Tahun 2004 tentang Pencegahan <strong>dan</strong> Penghapusan Perdagangan Orang<br />

Khususnya Perempuan <strong>dan</strong> Anak, <strong>dan</strong> melalui Surat Keputusan Gubernur<br />

Nomor 130 Tahun 2004 membentuk Gugus Tugas Anti Perdagangan<br />

Orang Khususnya Perempuan <strong>dan</strong> Anak.<br />

Pemerintah Propinsi Sumatera Utara juga telah mengeluarkan<br />

Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan<br />

Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak, <strong>dan</strong> membentuk Gugus Tugas RAN­<br />

P3A Sumatera Utara.<br />

Sementara itu di Propinsi Riau, Pemerintah Kota Dumai Propinsi<br />

Riau, bulan Januari 2005 telah membentuk Gugus Tugas Penghapusan<br />

Perdagangan Orang Khususnya Perempuan <strong>dan</strong> Anak <strong>dan</strong> se<strong>dan</strong>g dalam<br />

tahapan menyusun Rencana Aksi Daerah.<br />

Begitu pula halnya dengan Kepulauan Riau, Gubernur Kepulauan<br />

Riau pada tanggal 15 April tahun 2009 telah mengeluarkan SK Nomor<br />

218.a Tahun 2009 Tentang Pembentukan Tim Gugus Tugas<br />

Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak (P3A).<br />

Pemerintah Daerah Khusus lbukota (DKI) Jakarta melalui Surat<br />

Keputusan Gubernur Nom or 1099 Tahun 1994 telah mengeluarkan<br />

Peraturan Pelaksanaan tentang Peningkatan Kesejahteraan bagi Pekerja<br />

Rumah Tangga di DKI Jakarta. Tahun 2004, Pemerintah DKI Jakarta<br />

mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang<br />

Ketenagakerjaan yang pasal-pasal di antaranya mengatur tentang buruh<br />

anak <strong>dan</strong> bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak.<br />

103


Selain itu, Pemerintah Propinsi Jawa Barat melalui Surat<br />

Keputusan Gubernur Nomor 43 Tahun 2004 telah membentuk Komite<br />

Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak, <strong>dan</strong><br />

menyusun Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan<br />

Terburuk bagi Anak, Perdagangan Anak <strong>dan</strong> Eksploitasi Seksual<br />

Komersial Anak. Rencana Aksi tersebut yang namanya menjadi Rencana<br />

Aksi Daerah Penghapusan BPT-ESKA-PPA Provinsi Jawa Barat Tahun<br />

2004-2008 telah selesai disusun <strong>dan</strong> menghasilkan dokumen dalam<br />

bentuk buku. 47 Adapun landasan penyusunan RAD Penghapusan BPT­<br />

ESKA-PPA Provinsi Jawa Barat yang telah terbentuk tersebut adalah<br />

amanat Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan<br />

Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan <strong>dan</strong> Tindakan segera<br />

Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Un<strong>dan</strong>g­<br />

un<strong>dan</strong>g Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta<br />

merupakan tindak lanjut dari Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002<br />

tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-bentuk<br />

Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Keputusan Presiden Nomor 87 tentang<br />

Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual<br />

Komersial Anak, <strong>dan</strong> Keputusan Presiden Nomor 88 tentang Rencana<br />

Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak.<br />

Penyusunan Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan<br />

Terburuk bagi Anak, Perdagangan Anak <strong>dan</strong> Eksploitasi Seksual<br />

Komersial Anak yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat juga<br />

diikuti pula oleh Pemerintah Kabupaten yang berada dalam wilayahnya,<br />

antara lain Pemerintah Kabupaten lndramayu menyusun Rencana Aksi<br />

Penghapusan Perdagangan Orang Khususnya Perempuan <strong>dan</strong> Anak;<br />

Pemerintah Kabupaten Sume<strong>dan</strong>g telah membentuk Komite<br />

Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak; Pemerintah<br />

Kota Bandung membentuk Komite Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk<br />

47 Yang dimaksud dengan Rencana Aksi Daerah Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk<br />

Untuk Anak, Eksploitasi Seksual Komersial Anak <strong>dan</strong> Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak adalah<br />

suatu strategi <strong>dan</strong> program untuk mencegah <strong>dan</strong> menghapuskan segala situasi <strong>dan</strong> bentuk<br />

kegiatan yang mengganggu kelangsungan, pertumbuhan <strong>dan</strong> perkembangan anak.<br />

104


agi Anak <strong>dan</strong> menyusun Rencana Aksi Daerah Perlindungan Anak<br />

(Agustus, 2004).<br />

105<br />

DPRD Kota Bekasi bulan Mei 2004, juga telah mengesahkan<br />

Peraturan Daerah tentang Larangan Perbuatan Tuna Susila sebagai<br />

perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 58 Tahun 1998.<br />

Peraturan Daerah ini menjelaskan secara rinci definisi pelacur, pelacuran<br />

<strong>dan</strong> tempat pelacuran yang ditengarai menjadi salah satu pendorong<br />

terjadinya perdagangan orang.<br />

Propinsi Jawa Tengah melalui Pemerintah Kabupaten Cilacap<br />

Propinsi Jawa Tengah telah menyusun draft Peraturan Daerah tentang<br />

Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Pekerja Migran di Luar Negeri. Pemerintah<br />

Kota Surakarta Propinsi Jawa Tengah telah menyusun Rencana Aksi<br />

tentang Penghapusan Perdagangan Orang Khususnya Perempuan <strong>dan</strong><br />

Anak.<br />

Sementara itu, Pemerintah Daerah lstimewa Yogyakarta telah<br />

menyusun draft Peraturan Daerah tentang Hubungan Kerja antara Pekerja<br />

Rumah Tangga dengan Majikan di Propinsi Daerah lstimewa Yogyakarta.<br />

Pemerintah Propinsi Jawa Timur melalui Surat Keputusan<br />

Gubernur No. 188/145/ KPTS/013/2003 telah membentuk Gugus Tugas<br />

Penghapusan Perdagangan Orang, Eksploitasi Seksual Komersial Anak<br />

<strong>dan</strong> Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Draft<br />

Peraturan Daerah tentang Penghapusan Perdagangan Orang Khususnya<br />

Perempuan <strong>dan</strong> Anak telah disusun <strong>dan</strong> dalam proses pengesahan oleh<br />

DPRD.<br />

Rencana Aksi Propinsi Jawa Timur tentang Penghapusan<br />

Perdagangan Orang khususnya Perempuan <strong>dan</strong> Anak, Rencana Aksi<br />

Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, <strong>dan</strong> Rencana Aksi<br />

Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak tahun 2004-<br />

2008 direncanakan akan ditetapkan bulan Februari 2005.<br />

Di beberapa tempat lainnya di Propinsi Jawa Timur, seperti<br />

Pemerintah Kabupaten Tulungagung melalui Surat Keputusan Bupati


Nomor 844 Tahun 2004 membentuk Komisi Perlindungan Anak.<br />

Pemerintah Kabupaten Malang mengeluarkan Peraturan Daerah tentang<br />

Perlindungan Pekerja Migran, juga telah menyusun Rencana Aksi<br />

Penghapusan Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak yang akan ditetapkan<br />

bulan Februari 2005. Pemerintah Kota Ponorogo mengeluarkan Peraturan<br />

Daerah tentang Perlindungan Pekerja Migran. Pemerintah Kabupaten<br />

Blitar mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan Pekerja<br />

Indonesia Blitar <strong>dan</strong> Anggota Keluarganya. Masih di Propinsi Jawa Timur,<br />

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi membentuk Komite Perlindungan<br />

Anak berkaitan dengan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak,<br />

Eksploitasi Seksual Komersial Anak, <strong>dan</strong> Perdagangan Anak.<br />

Sementara itu, Propinsi Kalimantan Barat melalui Pemerintah<br />

Kabupaten Sambas mengeluarkan Peraturan Daerah tentang<br />

Pencegahan <strong>dan</strong> Perlindungan Perempuan <strong>dan</strong> Anak dari Praktek-praktek<br />

Perdagangan Orang. Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur melalui Surat<br />

Keputusan Gubernur No. 350/ K.36/2004 tanggal 25 Maret 2004<br />

membentuk Koalisi Anti Trafiking (KAT) Kalimantan Timur <strong>dan</strong> melalui<br />

Surat Keputusan Gubernur No. 463/K.214/2004 membentuk Komite Aksi<br />

Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak. Di Propinsi<br />

Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kabupaten Sumbawa mengeluarkan<br />

Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perlindungan <strong>dan</strong><br />

Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia Asal Sumbawa.<br />

Aksi pembentukan Gugus Tugas terus berkembang <strong>dan</strong> dilakukan<br />

oleh Pemerintah Propinsi <strong>dan</strong> pemerintah Kabupaten/Kota yang ada di<br />

Indonesia. Hingga saat ini telah ada Gugus Tugas Pencegahan <strong>dan</strong><br />

Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang sebanyak 18 di tingkat<br />

Propinsi <strong>dan</strong> 60 di tingkat Kabupaten/Kota.<br />

Sementara itu , Penindakan hukum kepada pelaku perdagangan<br />

perempuan, sesuai dengan kewenangannya diselenggarakan oleh yang<br />

berwajib (Kepolisian, Kejaksaan <strong>dan</strong> Pengadilan) , akan tetapi mengingat<br />

perdagangan orang merupakan tindak kejahatan yang beroperasi diam-<br />

106


diam, kepada masyarakat umum, lembaga kemasyarakatan <strong>dan</strong> LSM,<br />

disosialisasikan agar ikut berpartisipasi aktif dalam mengungkap<br />

kejahatan ini dengan cara memberikan informasi kepada yang berwenang<br />

jika melihat, menyaksikan atau mengindikasi a<strong>dan</strong>ya kegiatan<br />

perdagangan orang atau hal-hal yang dapat diduga menjurus kepada<br />

terjadinya kejahatan itu. Pihak Kepolisian di seluruh wilayah telah<br />

membuka hot-fine yang dapat diakses oleh masyarakat yang ingin<br />

melaporkan a<strong>dan</strong>ya tindak kejahatan, <strong>dan</strong> pihak Kepolisian akan segera<br />

menanggapi <strong>dan</strong> menindaklanjuti informasi yang diberikan.<br />

Selain beberapa produk Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g di atas, masih ada lagi<br />

beberapa produk Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g yang memperlihatkan komitmen<br />

Pemerintah Indonesia dalam mencegah <strong>dan</strong> menanggulangi perdagangan<br />

perempuan. Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Negara<br />

Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial <strong>dan</strong><br />

Kepala Kepolisian Negara Rl (Oktober 2002) mengenai Pelayanan<br />

Terpadu bagi perempuan <strong>dan</strong> anak korban kekerasan menunjukkan<br />

komitmen pemerintah untuk menjalin kerjasama lintas sektoral yang<br />

sinergis, terpadu, <strong>dan</strong> terkoordinasi sesuai dengan wewenang <strong>dan</strong><br />

tanggung jawab masing-masing, termasuk menyediakan anggaran yang<br />

memadai.<br />

Produk Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002<br />

Tentang Perlindungan Anak, selain yang sudah disebutkan beberapa<br />

pasal terdahulu (pasal 83 <strong>dan</strong> pasal 88) adalah:<br />

Pasal 13, ( 1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,<br />

wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan,<br />

berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: (a) diskriminasi; (b)<br />

eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; (c) penelantaran; (d)<br />

kekejaman, kekerasan, <strong>dan</strong> penganiayaan; (e) ketidakadilan; <strong>dan</strong> (f)<br />

perlakuan salah lainnya; (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh<br />

107


anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam<br />

ayat (1 ), maka pelaku dikenakan pemberantasan hukuman.<br />

Bab XII. Ketentuan Pi<strong>dan</strong>a, Pasal 77: Setiap orang yang dengan<br />

sengaja melakukan tindakan: (a) diskriminasi terhadap anak yang<br />

mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril<br />

sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau (b) penelantaran terhadap<br />

anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik<br />

fisik, mental, maupun sosial, (c) dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling<br />

lama 5 (lima) tahun <strong>dan</strong>/atau denda paling ban yak Rp. 100.000.000,00<br />

(seratus juta rupiah).<br />

Pasal 78: Setiap orang yang mengetahui <strong>dan</strong> sengaja membiarkan<br />

anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 60, anak<br />

yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas <strong>dan</strong><br />

terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi <strong>dan</strong>/atau seksual,<br />

anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan<br />

narkotika, alkohol, psikotropika, <strong>dan</strong> zat adiktif lainnya (napza), anak<br />

korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban<br />

kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, padahal anak tersebut<br />

memerlukan pertolongan <strong>dan</strong> harus dibantu, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />

penjara paling lama 5 (lima) tahun <strong>dan</strong>/atau denda paling banyak Rp<br />

100.000.000,00 (seratus juta rupiah).<br />

Pasal 80: (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan<br />

atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipi<strong>dan</strong>a<br />

dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan <strong>dan</strong>/atau<br />

denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).<br />

Pasal 81 : (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan<br />

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan<br />

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipi<strong>dan</strong>a dengan<br />

pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 15 (lima belas) tahun <strong>dan</strong> paling singkat 3<br />

(tiga) tahun <strong>dan</strong> denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta<br />

rupiah) <strong>dan</strong> paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah); (2)<br />

108


Ketentuan pi<strong>dan</strong>a sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula<br />

bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,<br />

serangkaian kebohongan , atau membujuk anak melakukan persetubuhan<br />

dengannya atau dengan orang lain.<br />

Pasal 82: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan<br />

atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,<br />

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau<br />

membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara<br />

paling lama 15 (lima belas) tahun <strong>dan</strong> paling singkat 3 (tiga) tahun <strong>dan</strong><br />

denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) <strong>dan</strong> paling<br />

sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).<br />

Pasal 83: Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau<br />

menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun <strong>dan</strong> paling singkat 3 (tiga) tahun<br />

<strong>dan</strong> denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) <strong>dan</strong><br />

paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).<br />

Pasal 88: Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual<br />

anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,<br />

dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun <strong>dan</strong>/atau<br />

denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).<br />

Pada tahun 2007, Indonesia akhirnya mengesahkan Un<strong>dan</strong>g­<br />

Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang<br />

Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang (Lembaran Negara<br />

Republik Indonesia Tahun 2007 No. 58, Tambahan Lembaran Negara<br />

Republik Indonesia No. 4720) yang mengamanatkan tentang upaya-upaya<br />

penegakan, perlindungan, pemulihan terhadap saksi <strong>dan</strong> atau korban.<br />

Dalam Bab II Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g tersebut, Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />

Orang, tersedia pasal-pasal yang dapat menjerat pelaku perdagangan<br />

orang, yaitu:<br />

Pasal 2: (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,<br />

pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan<br />

109


seseorang<br />

penculikan,<br />

dengan ancaman kekerasan , penggunaan kekerasan,<br />

penyekapan, pemalsuan , pen1puan, penyalahgunaan<br />

kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran<br />

atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang<br />

memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang<br />

tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun <strong>dan</strong> paling lama 15 (lima belas) tahun<br />

<strong>dan</strong> pi<strong>dan</strong>a denda paling sedikit Rp .120.000.000,00 (seratus dua puluh<br />

juta rupiah) <strong>dan</strong> paling banyak Rp . 600.000.000,00 (enam ratus juta<br />

rupiah); (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)<br />

mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a<br />

yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />

Pasal 6: Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam<br />

atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak<br />

tersebut tereksploitasi dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling singkat 3<br />

(tiga) tahun <strong>dan</strong> paling lama 15 (lima belas) tahun <strong>dan</strong> pi<strong>dan</strong>a denda<br />

paling sedikit Rp . 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) <strong>dan</strong><br />

paling banyak Rp . 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).<br />

Pasal 9: Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain<br />

supaya melakukan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang, <strong>dan</strong> tindak pi<strong>dan</strong>a<br />

itu tidak terjadi, dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a penjara paling singkat 1 (satu)<br />

tahun <strong>dan</strong> paling lama 6 (enam) tahun <strong>dan</strong> pi<strong>dan</strong>a denda paling sedikit<br />

Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) <strong>dan</strong> paling banyak Rp.<br />

240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).<br />

Pasal 1 0: Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan<br />

untuk melakukan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang, dipi<strong>dan</strong>a dengan<br />

pi<strong>dan</strong>a yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal<br />

4, Pasal 5, <strong>dan</strong> Pasal 6.<br />

Pasal 11 : Setiap orang yang merencanakan atau melakukan<br />

permufakatan jahat untuk melakukan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang ,<br />

110


dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a yang sama sebagai pelaku sebagaimana<br />

dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, <strong>dan</strong> Pasal 6.<br />

Pasal 12: Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan<br />

korban tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang dengan cara melakukan<br />

persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pi<strong>dan</strong>a<br />

perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan<br />

orang untuk meneruskan trafiker eksploitasi, atau mengambil keuntungan<br />

dari hasil tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang dipi<strong>dan</strong>a dengan pi<strong>dan</strong>a yang<br />

sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,<br />

<strong>dan</strong> Pasal6.<br />

Sebelum lahir Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21 , penanganan hukum<br />

masalah trafficking banyak sekali dipertanyakan oleh aparat penegak<br />

hukum, karena selama ini dalam menangani kasus trafficking tidak<br />

memiliki payung hukum yang kuat. Dalam prakteknya para penegak<br />

hukum hanya menggunakan KUHAP <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Tenaga Kerja<br />

yang tidak diyakini apakah traffickemya dapat dijerat dengan pasal hukum<br />

yang bersangkutan atau tidak. Dengan dikeluarkannya Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />

21 aparat penegak hukum sudah mulai menggunakannya dalam<br />

penanganan kasus trafficking. lmplikasi lainnya adalah bahwa dalam<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g nomor 21 juga diamanatkan untuk membentuk gugus<br />

tugas nasional, propinsi , <strong>dan</strong> kabupaten/kota. Dengan begitu cukup<br />

memperjelas tugas <strong>dan</strong> tanggung jawab dari masing-masing institusi.<br />

Hanya saja yang lebih penting sekarang ini adalah sosialisasi dari<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g nomor 21 tersebut di kalangan penegak hukum karena<br />

sejauh ini belum ada kesamaan persepsi di antara mereka. Pada tingkat<br />

nasional hal tersebut sudah ada inisiasi, seperti di Kejaksaan Agung<br />

sudah dibentuk task force trafficking yang tugasnya mungkin melakukan<br />

sosialisasi ke kejaksaan kabupaten/kota. Demikian juga dengan<br />

Bareskrim Kepolisian sudah ada task forcenya. Namun pada tingkat<br />

daerah seperti Batam belum ada pembentukan task force semacam itu.<br />

Yang paling penting Mahkamah Agung harus juga mempunyai task force<br />

untuk melakukan sosialisasi kepada para hakim <strong>dan</strong> pengadilan, karena<br />

111


dalam Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g 21 ada salah satu pasal yang mengatakan<br />

'dibolehkan saksi korban bersaksi di bawah sumpah <strong>dan</strong> tidak harus<br />

datang di persi<strong>dan</strong>gan' tapi pemahaman di antara mereka sendiri tidak<br />

seragam. Sebagai contoh kasus, seorang anak harus di datangkan<br />

kembali dari kampungnya di Jawa Barat oleh Yayasan Setara Kita untuk<br />

bersaksi di persi<strong>dan</strong>gan. Hal ini tentunya membutuhkan biaya yang cukup<br />

mahal termasuk keamanannya. Padahal dalam pasal itu jelas<br />

diperbolehkan tidak hadir. Keberadaan task force tersebut di MA sangat<br />

krusial karena sudah biasa terjadi di Indonesia di mana untuk<br />

memperbaiki kondisi aparat penegak hukum terbawah pun harus ada<br />

instruksi (fatwa) dari yang paling tinggi. Bila yang mengatakan atau<br />

mempersepsikan hukum tersebut dari kalangan lain, meskipun dibuka <strong>dan</strong><br />

dibacakan pasal dalam Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>gnya maka tidak akan dihiraukan,<br />

kecuali kalau hal tersebut sudah diterjemahkan <strong>dan</strong> disosialisasikan<br />

secara jelas oleh jenjang yang paling atas.<br />

Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan Peraturan<br />

Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan <strong>dan</strong><br />

Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang dibentuklah Gugus<br />

Tugas dari tingkat Nasional sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota. Di<br />

tingkat Pusat dibentuk Gugus Tugas Nasional, berada di bawah <strong>dan</strong><br />

bertanggung jawab kepada Presiden; di tingkat Propinsi berada di bawah<br />

<strong>dan</strong> bertanggung jawab kepada Gubernur <strong>dan</strong> di tingkat Kabupaten/Kota<br />

berada di bawah <strong>dan</strong> bertanggung jawab kepada BupatiNValikota. Dilihat<br />

dari susunan organisasinya, Gugus Tugas Nasional diketuai oleh Menteri<br />

Koordinator Kesejahteraan Rakyat dengan Ketua Harian Menteri Negara<br />

Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong> Perlindungan Anak <strong>dan</strong> beranggotakan<br />

14 orang Menteri 48 , Kepala Polisi Republik Indonesia, Kepala Kejaksaan<br />

Agung, Kepala Ba<strong>dan</strong> Nasional Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja<br />

48 <strong>Kementerian</strong> Dalam Negeri, <strong>Kementerian</strong> Luar Negeri, <strong>Kementerian</strong> Keuangan, <strong>Kementerian</strong><br />

Pendidikan Nasional, <strong>Kementerian</strong> Agama, <strong>Kementerian</strong> Hukum <strong>dan</strong> Hak Asasi Manusia,<br />

<strong>Kementerian</strong> Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi, <strong>Kementerian</strong> Sosial, <strong>Kementerian</strong> Kesehatan,<br />

<strong>Kementerian</strong> Perhubungan, <strong>Kementerian</strong> Budaya <strong>dan</strong> Pariwisata, <strong>Kementerian</strong> Komunikasi <strong>dan</strong><br />

lnformasi, <strong>Kementerian</strong> Perencanaan/Bappenas, <strong>Kementerian</strong> Pemuda <strong>dan</strong> Olah Raga.<br />

112


Direktur Jenderal Pendidikan Non Formal <strong>dan</strong> Informal, <strong>Kementerian</strong><br />

Pendidikan nasional, yang bertugas:<br />

1) Melakukan pemetaan kasus tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang<br />

2) Membuat pengembangan model pencegahan tindak pi<strong>dan</strong>a<br />

perdagangan orang<br />

3) Melaksanakan pendidikan masyarakat tentang ketahanan<br />

Keluarga<br />

4 )Memfasilitasi terwujudnya partisipasi anak dalam pencegahan<br />

tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang<br />

-Sub Gugus Tugas Rehabilitasi Kesehatan, dikoordinasikan oleh<br />

<strong>Kementerian</strong> Kesehatan, diketuai oleh Direktur Jenderal Bina Kesehatan<br />

Masyarakat, <strong>Kementerian</strong> Kesehatan, yang bertugas:<br />

1) Membuat pengembangan pusat pelayanan terpadu<br />

2) Melakukan standarisasi pelayanan rehabilitasi kesehatan<br />

3) Melakukan pengembangan kapasitas<br />

4) Melaksanakan pengalokasian anggaran<br />

5) Melakukan monitoring <strong>dan</strong> evaluasi serta pembinaan<br />

-Sub Gugus Tugas Rehabilitasi Sosial, Pemulangan <strong>dan</strong><br />

Reintegrasi, dikoordinasikan oleh <strong>Kementerian</strong> Sosial, diketuai oleh<br />

Direktur Jenderal Pelayanan rehabilitasi Sosial, <strong>Kementerian</strong> Sosial, yang<br />

bertugas:<br />

1) Membuat pengembangan rumah perlindungan sosial anakl<br />

perempuan, Pusat Krisis/Trauma<br />

2) Melakukan standarisasi sistem repatriasi, rehabilitasi sosial <strong>dan</strong><br />

reintegrasi<br />

3) Melakukan pengembangan kapasitas<br />

4) Melaksanakan pengalokasian anggaran<br />

5) Melakukan monitoring <strong>dan</strong> evaluasi serta pembinaan<br />

114


-Sub Gugus Tugas Pengembangan Norma Hukum,<br />

dikoordinasikan oleh <strong>Kementerian</strong> Hukum <strong>dan</strong> Hak Asasi Manusia,<br />

diketuai oleh Direktur JenderaiPeraturan Perun<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>gan<br />

<strong>Kementerian</strong> Hukum <strong>dan</strong> Hak Asasi Manusia, yang bertugas:<br />

1) Membuat pengembangan norma hukum baru<br />

2) Meratifikasi <strong>dan</strong> menyusun peraturan perun<strong>dan</strong>g baru yang<br />

terkait pemberantasan tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang<br />

3) Melakukan diseminasi informasi ke seluruh komponen penegak<br />

hukum<br />

4) Melaksanakan harmonisasi peraturan perun<strong>dan</strong>gan terkait tindak<br />

perdagangan orang<br />

5) Mengadakan kerjasama internasional terkait dengan tindak<br />

perdagangan orang<br />

-Sub Gugus Tugas Penegakan Hukum, dikoordinasikan oleh<br />

BARESKRIM di bawah Kapolri, diketuai oleh Kepala Ba<strong>dan</strong> Reserse <strong>dan</strong><br />

Kriminal, Mabes Polri, yang bertugas:<br />

1) Melaksanakan penegakan hukum <strong>dan</strong> pengawasan peradilan<br />

2) Melakukan diseminasi informasi ke seluruh komponen bangsa<br />

3) Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan oleh<br />

masyarakat<br />

4) Melakukan penguatan perlindungan saksi <strong>dan</strong>/atau korban tindak<br />

pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang<br />

5) Melakukan pengembangan Unit Pelayanan Perempuan <strong>dan</strong><br />

Anak (Unit PPA)<br />

6) Melakukan standarisasi pelayanan penegakan hukum<br />

7) Melakukan pengembangan kapasitas<br />

8) Melakukan monitoring <strong>dan</strong> evaluasi <strong>dan</strong> pembinaan<br />

115


-Sub Gugus Tugas Koordinasi <strong>dan</strong> Kerjasama, dikoordinasikan<br />

oleh <strong>Kementerian</strong> Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesra, diketuai oleh Deputi Bi<strong>dan</strong>g<br />

Koordinasi Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong> Kesejahteraan Anak,<br />

<strong>Kementerian</strong> Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan Rakyat, yang bertugas:<br />

1) Melakukan pengembangan kerjasama internasional baik yang<br />

bersifat bilateral, regional maupun multilateral<br />

2) Melakukan pengembangan kerjasama antar wilayah <strong>dan</strong> nasional<br />

Dalam salah satu kegiatan Rakornas Gugus Tugas Pencegahan<br />

<strong>dan</strong> Panggulangan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang Tahun 2010 di<br />

Bekasi (29 September - 1 Oktober 201 0) dengan peserta dari seluruh<br />

instansi pemerintah <strong>dan</strong> non pemerintah di tingkat nasional, provinsi <strong>dan</strong><br />

kabupaten/kota, telah dilakukan penandatangan kerjasama dalam upaya<br />

TPPO di antara sembilan propinsi, antara Gubernur Jawa Barat, Jawa<br />

Tengah, Jawa Timur, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat,<br />

Kalimantan Timur, Lampung <strong>dan</strong> Bangka Belitung, yang disaksikan oleh<br />

Wakil Presiden Republik Indonesia. Kerjasama tersebut dibuat untuk lebih<br />

memudahkan pengungkapan sindikat perdagangan orang maupun dalam<br />

rangka pemulangan korban apabila berada di salah satu wilayah propinsi<br />

akibat terjadinya perdagangan orang.<br />

6.2.Strategi-Strategi Non Hukum Yang Efektif Dalam<br />

Memerangi Perdagangan Manusia<br />

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengambil posisi tegas<br />

melawan usulan-usulan untuk melegalisir prostitusi karena prostitusi<br />

secara langsung memberikan kontribusi pada perbudakan modern <strong>dan</strong><br />

merendahkan martabat manusia. Saat pelaksanaan hukum mentolerir<br />

atau saat masyarakat melegalisasi prostitusi, kelompok-kelompok<br />

kejahatan terorganisir lebih bebas untuk memperdagangkan manusia.<br />

Saat prostitusi dilegalisasi, biaya pelayanan seksual meliputi sewa rumah<br />

pelacuran, pemeriksaan medis, <strong>dan</strong> biaya pendaftaran. Sebagian<br />

disebabkan oleh biaya-biaya ini, membuat pelacuran terselubung (illegal)<br />

116


menjadi tumbuh subur di tempat-tempat yang melegalisir prostitusi karena<br />

para pelanggan cenderung mencari seks yang lebih murah.<br />

117<br />

Apabila ada negara di mana prostitusi bersifat legal, justru terdapat<br />

tiga hingga sepuluh kali lipat jumlah perempuan yang tidak terdaftar<br />

sebagai pekerja seks daripada yang tedaftar. Banyak dari perempuan<br />

yang tidak terdaftar ini adalah orang asing yang telah diperjualbelikan.<br />

Tidak ada bukti bahwa legalisasi di negara manapun telah mengurangi<br />

jumlah korban perdagangan, <strong>dan</strong> LSM yang bekerja di bi<strong>dan</strong>g ini mencatat<br />

bahwa jumlah korban perdagangan seringkali meningkat. Singkatnya, di<br />

mana prostitusi dilegalisir, sebuah "pasar gelap" dalam perdagangan<br />

manusia muncul karena para pelaku eksploitasi mencoba untuk<br />

memaksimalkan keuntungan dengan menghindari pemeriksaan <strong>dan</strong> biaya<br />

wajib pasar prostitusi legal. Dengan demikian, prostitusi yang dilegalisir<br />

adalah perisai terbaik para pelaku perdagangan manusia, yang<br />

membolehkan mereka melegalkan perdagangannya dalam perbudakan<br />

seks, <strong>dan</strong> membuat kita semakin sulit mengenali para korban<br />

perdagangan.<br />

Kondisi demikian bukan berarti akan melemahkan upaya<br />

pemerintah untuk mencegah <strong>dan</strong> menanggulangi perdagangan manusia.<br />

Terkait dengan hal di atas maka sangat diperlukan strategi untuk<br />

memerangi perdagangan manusia, khususnya perdagangan perempuan<br />

<strong>dan</strong> anak. Strategi anti perdagangan manusia yang efektif harus mecakup<br />

tiga aspek perdagangan: segi persediaan, para pelaku perdagangan, <strong>dan</strong><br />

segi permintaan.<br />

Pada segi persediaan, kondisi-kondisi yang memicu perdagangan<br />

harus diarahkan dengan program-program yang mendidik masyarakat<br />

untuk waspada akan bahaya perdagangan, memperbaiki kesempatan<br />

pendidikan <strong>dan</strong> sistem sekolah, menciptakan kesempatan ekonomis,<br />

mempromosikan persamaan hak, mendidik masyarakat yang menjadi<br />

sasaran mengenai hak-hak hukum mereka <strong>dan</strong> menciptakan kesempatan<br />

hidup yang lebih baik <strong>dan</strong> lebih luas. Demikian pula perlu dilakukan


penyebar luasan tentang bahaya perdagangan manusia melalui poster<br />

<strong>dan</strong> media massa secara lntens agar masyarakat lebih menyadarinya.<br />

Pada level pelaku perdagangan, program-program pelaksanaan<br />

hukum harus mengenali <strong>dan</strong> menghalangi jalur-jalur perdagangan;<br />

mengklarifikasikan definisi-definisi hukum <strong>dan</strong> mengkoordinasi kan<br />

tanggung jawab pelaksanaan hukum; menuntut para pelaku perdagangan<br />

<strong>dan</strong> mereka yang membantu <strong>dan</strong> bersekongkol dengannya; <strong>dan</strong><br />

memerangi korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memfasilitasi<br />

<strong>dan</strong> mengambil keuntungan dari perdagangan manusia, yang mengikis<br />

peranan hukum.<br />

Pada segi permintaan, orang-orang yang mengeksploitasi orang­<br />

orang yang diperjualbelikan harus dikenali <strong>dan</strong> dituntut. Nama Para<br />

majikan kerja paksa <strong>dan</strong> para pelaku eksploitasi terhadap korban yang<br />

diperjualbelikan untuk eksploitasi seksual harus disebutkan <strong>dan</strong> dibuat<br />

malu. Kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat harus<br />

dilakukan di negara-negara tujuan untuk membuat perdagangan semakin<br />

sulit disembunyikan atau diacuhkan. Masyarakat harus ditarik dari situasi<br />

perbudakan <strong>dan</strong> dikembalikan ke keluarga <strong>dan</strong> masyarakatnya.<br />

Program <strong>Kementerian</strong> Kebudayaan <strong>dan</strong> Pariwisata, antara lain :<br />

1) Melakukan sosialisasi Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak<br />

(PESA) di lingkungan Pariwisata <strong>dan</strong> dalam rangka Hari Anak<br />

Nasional (HAN)<br />

2) Kampanye Pencegahan ESA di destinasi pariwisata ASEAN<br />

yang bebas ESA;<br />

3) Melakukan pencegahan ESA di lingkungan Pariwisata.<br />

Program <strong>Kementerian</strong> dalam Negeri bertugas antara lain<br />

menerapkan sistem satu identitas berupa NIK Nasional (Single Identity<br />

number) yang dapat berlaku secara nasional agar kontrol identitas<br />

seseorang dapat terbangun di seluruh jaringan pemerintah. Adapun<br />

tahapan pelaksanaan Tahun 2010 ; (1) pemutakhiran data kependudukan<br />

118


di semua Kab/Kota melalui anggaran dekonsentrasi; (2) Penerbitan NIK di<br />

329 Kab/Kota. Se<strong>dan</strong>gkan untuk Tahun 2011 : (1) Penerbitan NIK di 168<br />

Kab/Kota; (2) Penerapan e-KTP di 197 Kab/Kota. Tahun 2012, program<br />

yang akan dicapai adalah Penerapan e-KTP di 300 Kab/Kota<br />

Program <strong>Kementerian</strong> Pendidikan Nasional, bertugas :<br />

1.Menyusun rencana aksi tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang <strong>dan</strong><br />

partisipasi anak<br />

2.Perluasan pendidikan dasar <strong>dan</strong> menengah bagi TKI melalui<br />

program keaksaraan <strong>dan</strong> kesetaraan<br />

3.Perluasan akses program kecakapan hidup bagi calon TKI<br />

Rintisan PKBM sentra TKI<br />

4.Mengembangkan model kapasitas pencegahan sug Gugus Tugas<br />

di 10 daerah pengirim (Jabar, Jateng, Jatum, Nusa Tenggara<br />

Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Klimantan<br />

Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Utara <strong>dan</strong> Kepulauan Riau.<br />

S.Menyususn bahan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran<br />

masyarakat terhadap pencegahan TPPO <strong>dan</strong> partisipasi anak<br />

6.Meningkatkan layanan pendidikan abgi anak marjinal, yaitu anak<br />

jalanan perempuan, anak perempuan korban ESA <strong>dan</strong> anak<br />

laki-laki yang dipekerjakan di perkebunan<br />

119


BAB7<br />

Implikasi Teoritis Dalam Pembenaran Pencegahan<br />

Dan Penanggulangan Perdagangan Perempuan<br />

Berjuta-juta korban diperdagangkan di dalam negaranya sendiri.<br />

Didorong oleh unsur-unsur kriminal, penderitaan ekonomi, pemerintahan<br />

yang korup, kekacauan sosial, ketidakstabilan politik, bencana alam, <strong>dan</strong><br />

<strong>dan</strong> bahkan mungkin konflik bersenjata yang beberapa saat lalu terjadi di<br />

Indonesia, ataupun perbudakan abad 21 menjawab kebutuhan dunia akan<br />

tenaga kerja yang murah <strong>dan</strong> rentan. Selain itu, keuntungan yang didapat<br />

dari perdagangan orang (trafficking), termasuk perdagangan perempuan<br />

(women trafficking) men<strong>dan</strong>ai sindikat kejahatan internasional, membantu<br />

perkembangan korupsi pemerintah, <strong>dan</strong> meruntuhkan peranan hukum.<br />

Banyak pihak memperkirakan bahwa keuntungan dari perdagangan orang<br />

(trafficking), termasuk perdagangan perempuan (women trafficking)<br />

merupakan salah satu dari tiga sumber pendapatan teratas bagi kejahatan<br />

terorganisir setelah perdagangan narkotika <strong>dan</strong> perdagangan senjata.<br />

Perbudakan modern merupakan ancaman multidimensi bagi semua<br />

bangsa. Selain penderitaan individu akibat pelanggaran hak asasi<br />

manusia, keterkaitan antara perdagangan orang (trafficking), termasuk<br />

perdagangan perempuan (women trafficking) dengan kejahatan<br />

terorganisir serta ancaman-ancaman keamanan yang sangat serius<br />

seperti perdagangan obat-obatan terlarang <strong>dan</strong> senjata, menjadi semakin<br />

jelas. Begitu pula kaitannya dengan Kepulauan Riau keprihatinan<br />

kesehatan masyarakat yang serius, karena banyak korban mengidap<br />

penyakit, baik akibat kondisi hidup yang miskin maupun akibat dipaksa<br />

melakukan hubungan seks, <strong>dan</strong> diperdagangkan ke komunitas-komunitas<br />

baru. Sebuah negara yang memilih untuk memposisikan masalah


perdagangan orang (trafficking) , termasuk perdagangan perempuan<br />

(women trafficking) sebagai prioritas rendah, membahayakan bangsanya<br />

sendiri.<br />

Korupsi pemerintah merupakan rintangan utama dalam memerangi<br />

perdagangan orang (trafficking), termasuk perdagangan perempuan<br />

(women trafficking) di banyak negara, termasuk di Indonesia. Skala<br />

korupsi pemerintah yang terkait dengan perdagangan orang (trafficking),<br />

termasuk perdagangan perempuan (women trafficking) dapat meliputi<br />

perdagangan yang dilokalisir hingga yang bersifat pembiaran bahkan<br />

"pendukungan". Negara-negara yang menghadapi korupsi seperti itu perlu<br />

membangun alat-alat yang efektif untuk mengatasi masalah tersebut.<br />

Beberapa praktek anti korupsi yang telah digunakan secara efektif oleh<br />

negara-negara Eropa Tengah <strong>dan</strong> Eropa Timur untuk mendukung<br />

perlawanan terhadap perdagangan orang (trafficking), termasuk<br />

perdagangan perempuan (women trafficking) 49<br />

Para korban perdagangan orang (trafficking), termasuk<br />

perdagangan perempuan (women trafficking) mengalami banyak hal yang<br />

mengerikan. Luka fisik <strong>dan</strong> psikologis, termasuk penyakit <strong>dan</strong><br />

pertumbuhan yang terhambat, seringkali meninggalkan pengaruh<br />

permanen yang mengasingkan para korban dari keluarga <strong>dan</strong><br />

masyarakat mereka. Para korban perdagangan orang (trafficking) ,<br />

termasuk perdagangan perempuan (women trafficking) seringkali<br />

kehilangan kesempatan penting mereka untuk mengalami perkembangan<br />

sosial, moral, <strong>dan</strong> spiritual. Dalam banyak kasus eksploitasi pada korban<br />

49 Mencakup: melaksanakan pengujian psikologis terhadap para pegawai pelaksanaan hukum,<br />

termasuk tes-tes untuk stabilitas, inteligensi, karakter, etika, <strong>dan</strong> kesetiaan; mewajibkan<br />

menggunakan etika yang diperintahkan; mengeluarkan lencana identifikasi standar;<br />

melaksanakan tes integritas secara acak; menyebarkan <strong>dan</strong> menggunakan manual mengenai<br />

upaya-upaya terbaik; memeriksa kepemilikan <strong>dan</strong> uang tunai pribadi para pejabat secara acak;<br />

menerbitkan tajuk wacana anti korupsi tanpa nama ; memutar para personil, khususnya di pospos<br />

pemeriksaan perbatasan bervolume tinggi; meningkatkan upah; memberikan penghargaan<br />

insentif kinerja; memberikan pelatihan untuk membantu personil agar memahami pentingnya<br />

pekerjaan mereka dengan lebih baik; mewajibkan pengambilan sumpah jabatan; <strong>dan</strong><br />

mengadakan pemeriksaan administratif secara rutin, misalnya pada catatan-catatan<br />

keimigrasian.<br />

121


perdagangan orang (trafficking), termasuk perdagangan perempuan<br />

(women trafficking) terus meningkat: seorang perempuan yang<br />

diperjualbelikan dari satu kerja paksa dapat terus diperlakukan dengan<br />

kejam di tempat lain, para anak gadis yang direkrut untuk bekerja di<br />

pabrik-pabrik, hotel-hotel, <strong>dan</strong> restoran kemudian dipaksa untuk bekerja di<br />

industri seks, perempuan termasuk usia anak-anak yang awalnya<br />

berimigrasi atau direkrut untuk hotel <strong>dan</strong> industri pariwisata, seringkali<br />

berakhir dengan terjebak di dalam rumah-rumah pelacuran. Suatu<br />

kenyataan kejam mengenai perdagangan budak modern adalah para<br />

korbannya seringkali dibawa <strong>dan</strong> dijual. Kita simak salah satu kasus yang<br />

dijumpai dalam penelitian ini:<br />

"Tina, seorang anak berusia belasan tahun dari desa pedalaman<br />

Indonesia, berhutang ratusan dolar untuk selama empat bulan<br />

mengikuti pelatihan pembantu rumah tangga <strong>dan</strong> tinggal selama lebih<br />

dari empat bulan di sebuah pusat tenaga kerja Indonesia. Dari sana,<br />

Tina, seperti kebanyakan gadis Indonesia lainnya, diangkut ke Malaysia<br />

dengan keyakinan akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga bagi<br />

pasangan Malaysia. Dipaksa untuk bekerja hingga 15 jam sehari dalam<br />

bisnis keluarga dimana ia tidur di lantai, Tina diberitahu bahwa gajinya<br />

akan ditahan hingga ia menyelesaikan dua tahun kontraknya. Setelah<br />

berkali-kali diperlakukan dengan kejam secara fisik, ia mencari tempat<br />

perlindungan di penampungan korban milik LSM Malaysia. Tina telah<br />

melaporkan kasusnya kepada polisi <strong>dan</strong> ia telah diberi perpanjangan<br />

visa imigrasi supaya dapat melanjutkan kasusnya melawan majikannya<br />

di Malaysia".<br />

Jika kita cermati beberapa kasus perdagangan orang (trafficking),<br />

termasuk perdagangan perempuan (women trafficking) di atas 50 , tampak<br />

bahwa kejahatan "perdagangan perempuan" tidak terjadi secara spontan,<br />

tetapi melalui berbagai pertimbangan yang matang oleh para korban,<br />

sehingga para korban mau melakukan perbuatan tersebut, maka teori dari<br />

Gary Becker, tentang Rational Choice sungguh dapat menjelasakan<br />

fenomena empiris yang diperoleh Tim Peneliti adalah:<br />

50 Juga beberapa kasus terjeratnya koraban dalam pentas perdagangan orang (trafficking),<br />

termasuk perdagangan perempuan (women trafficking) yang dijelaskan dalam bab-bab<br />

terdahulu dalam laporan penelitian ini.<br />

122


Penggunaan Rational Choice Theory bagi penjelasan peran<br />

pertimbangan korban perdagangan orang (trafficking), termasuk<br />

perdagangan perempuan (women trafficking) bersedia menerima<br />

pekerjaan yang ditawarkan oleh seseorang tanpa kejelasan <strong>dan</strong> kepastian<br />

terlebih dahulu sangat mungkin didasari oleh pertimbangan bahwa<br />

mereka, dalam upaya untuk memperoleh pekerjaan bagi peningkatan<br />

kehidupan mereka, harus mengantisipasi hasil dari bermacam tindakan<br />

alternatif <strong>dan</strong> mengkalkulasi yang terbaik untuknya.<br />

123<br />

lndividu secara rasional memilih alternatif yang mungkin dapat<br />

kepuasan yang terbesar bagi dirinya. Seseorang, dalam konteks<br />

penelitian ini ada perempuan, dalam memilih untuk mengikuti ajakan<br />

orang lain bekerja tanpa kepastian <strong>dan</strong> kejelasan, sehingga akhirnya<br />

terjebak dalam kegiatan perdagangan perempuan, terlebih dahulu didasari<br />

oleh pertimbangan ekonomi. Mengacu pada penyebab seorang<br />

perempuan menjadi korban perdagangan orang (trafficking), yang pada<br />

umumnya adalah mencari pekerjaan untuk menaikkan tarat hidup mereka,<br />

maka besar kemungkinan alternatif terbaik yang diambil oleh mereka<br />

adalah "pokoknya dapat pekerjaan", "kapan lagi dapat pekerjaan", "di<br />

desapun melarat". Kalau kemungkinan ini benar maka pertimbangan<br />

rasional ini lebih pasti mengantarkan mereka sebagai korban potensial<br />

dari aktivitas perdagangan ora11g (trafficking).<br />

Pertimbangan pilihan rasional dalam diri korban yang<br />

mengantarkan korban dalam pentas perdagangan orang (trafficking) ini<br />

kemudian dapat dijelaskan oleh pendapat Von Hentig dalam bukunya<br />

"The Criminal and His Victim" yang dikutip dari Arif Gosita, bahwa korban<br />

sangat berperanan dalam timbulnya kejahatan karena korban juga<br />

memainkan peranan penting dalam terjadinya kejahatan (pen:<br />

perdagangan orang [trafficking]) 51 •<br />

Jadi dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa pengaruh si<br />

korban menentukan timbulnya kejahatan sebagai manifestasi dari sikap<br />

51 Arif Gosita: 2004; 63. Op.cit.


<strong>dan</strong> tingkah laku korban sebelum saat <strong>dan</strong> sesudah kejadian. Oleh karena<br />

itu pihak korban dapat berperanan dalam keadaan sadar atau tidak sadar<br />

secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, secara<br />

aktif maupun pasif yang bergantung pada situasi <strong>dan</strong> kondisi sebelum<br />

saat <strong>dan</strong> sesudah kejaian berlangsung. Secara logika tidak akan ada<br />

orang yang mau menjadi korban dari suatu kejahatan. Tetapi kondisi­<br />

kondisi tertentu dapat menyebabkan calon korban ikut berperan serta<br />

sehingga terjadilah kejahatan <strong>dan</strong> ia sendiri yang menjadi korban.<br />

Rational Choice Theory ini tidak hanya menjelaskan mengapa<br />

korban potensial dapat terjebak dalam kegiatan perdagangan orang<br />

(trafficking) saja tetapi juga menjelaskan pilihan dari pelaku perdagangan<br />

orang (trafficker). Di dalam Rational Choice Theory, individu dilihat<br />

sebagai orang yang termotivasi oleh tujuan atau keinginan yang<br />

mengekspresikan pilihan mereka. Mereka harus membuat aneka pilihan<br />

dalam hubungan dengan pencapaian tujuan mereka. Rational Choice<br />

Theory berpendapat bahwa individu harus mengantisipasi hasil dari<br />

bermacam tindakan alternatif <strong>dan</strong> mengkalkulasi yang terbaik untuknya.<br />

lndividu secara rasional memilih alternatif yang mungkin dapat kepuasan<br />

yang terbesar bagi dirinya". Jika kita simak lebih mendalam, juga berdasar<br />

pada berbagai referensi <strong>dan</strong> hasil penelitian ini, baik korban maupun<br />

pelaku perdagangan orang (trafficking) sangat mungkin adalah orang­<br />

orang yang berasal dari kelompok ekonomi rendah. Mereka adalah orang­<br />

orang yang tidak dapat masuk secara normal ke dalam ruang ekonomi<br />

konvensional, sektor formal ataupun sektor riil. Mereka tereksklusi secara<br />

sosial dari ruang-ruang ekonomi produktif sehingga mereka akan<br />

cenderung menciptakan ruang-ruang ekonomi produktif mereka sendiri,<br />

tak terkecuali dalam wujud ekonomi ilegal. Dalam hal ini, perdagangan<br />

orang (trafficking) adalah wujud dari ruang ekonomi ilegal yang mereka<br />

ciptakan sendiri, sebagai suatu resistensi dari eksklusi sosial yang mereka<br />

ala mi.<br />

124


125<br />

Mengacu pada berbagai ura1an di atas , maka implikasi Rational<br />

Choice Theory dalam menjelaskan masalah terjadinya perdagangan<br />

orang (trafficking) adalah bahwa:<br />

Salah satu sebab yang signifikan dalam terjadinya perdagangan<br />

orang (trafficking) adalah masalah kemiskinan yang membelit korban<br />

karena tereksklusinya mereka secara sosial dari ruang-ruang ekonomi<br />

formal, seperti kehilangan hak untuk memperoleh pendidikan yang layak,<br />

kehilangan hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, kehilangan hak<br />

untuk memperoleh jaminan kesejahteraan sebagai warga negara, <strong>dan</strong><br />

sebagainya.<br />

Dengan proses yang sama <strong>dan</strong> namun dalam intensitas yang<br />

berbeda, masalah kemiskinan <strong>dan</strong> eksklusi sosial ini juga menjadi salah<br />

satu sebab signifikan bagi pelaku (trafficker) melakukan kegiatan<br />

perdagangan orang.<br />

Dengan mengetahui salah satu penyebab signifikan dari<br />

perdagangan orang (trafficking) ini, maka dalam melakukan pencegahan<br />

<strong>dan</strong> penanggulangannya kita tidak dapat mengabaikan masalah non<br />

hukum atau hanya mengandalkan penegakan hukum saja.<br />

Pengertian Kejahatan "perdagangan perempuan" menurut peneliti<br />

adalah merupakan kejahatan terorganisir di mana kejahatan<br />

"perdagangan perempuan" sudah melampui lintas batas suatu negara <strong>dan</strong><br />

peran para pelaku kejahatan terhadap perempuan mempunyai pembagian<br />

kerja sesuai dengan keahlian <strong>dan</strong> kemampuannya masing-masing. Modus<br />

operandi yang dilakukan para pelaku kejahatan "perdagangan perempuan<br />

<strong>dan</strong> anak" sangat beraneka ragam, dari mulai mengiming-iming kehidupan<br />

yang lebih baik menjadi pekerja rumah tangga, memalsukan surat<br />

perjalanan ke luar negeri, berkedok panti pijat, berkedok salon kecantikan<br />

atau rambut, berkedok sebagai duta seni Indonesia sebagai penyanyi <strong>dan</strong><br />

penari, bekerja di restoran sampai dengan pernikahan dalam bentuk<br />

pengantin pesanan, semua modus operandi ini dengan menggunakan


serangkaian kata-kata bohong/ janji-janji atau keadaan palsu yang<br />

dilakukan oleh para pelaku kepada para korban.<br />

Temuan penelitian di atas senada dengan pendapat Mardjono yang<br />

menyinggung bahwa "perdagangan perempuan" juga diduga terkait erat<br />

dengan masalah kejahatan terorganisir (organized crime) yang mengacu<br />

pada suatu organisasi "rahasia" juga bersifat global <strong>dan</strong> transnasional<br />

melibatkan jaringan yang luas <strong>dan</strong> sistematik; memanfaatkan teknologi<br />

tinggi (high tech) termasuk information communication tech. Jelas bahwa<br />

perdagangan orang, mencakup perdagangan perempuan adalah suatu<br />

bentuk Kejahatan Terorganisir. Seringkali bahwa keuntungan-keuntungan<br />

dari perdagangan manusia menjadi sumber <strong>dan</strong>a bagi kegiatan kriminal<br />

lainnya. Menurut PBB, perdagangan manusia adalah perusahaan kriminal<br />

terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan sekitar 9.5 juta USD<br />

dalam pajak tahunan menurut masyarakat intelijen AS. Perdagangan<br />

manusia juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang paling<br />

menguntungkan <strong>dan</strong> sangat terkait dengan pencucian uang (money<br />

laundering), perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen, <strong>dan</strong><br />

penyelundupan manusia. Bahkan keterkaitannya dengan terorisme juga<br />

telah didokumentasikan. Di mana kejahatan terorganisir tumbuh subur,<br />

pemerintah <strong>dan</strong> peranan hukum justru melemah (Uchida, E. (2002a, June<br />

15).<br />

Menurut laporan Francis T Miko dari Congressional Research<br />

Service USA, satu hingga dua juta manusia setiap tahun diperkirakan<br />

diperdagangkan di seluruh dunia untuk industri seks <strong>dan</strong> perbudakan,<br />

50.000 orang di antaranya dilakukan di Amerika Serikat. Perdagangan<br />

manusia disinyalir merupakan sumber keuntungan ketiga terbesar bagi<br />

organisasi kriminal di dunia setelah bisnis narkoba <strong>dan</strong> senjata. Laporan<br />

itu juga menyatakan korban terbesar dari perdagangan gelap itu berasal<br />

dari negara-negara Asia, yaitu lebih dari 225.000 orang dari Asia<br />

Tenggara <strong>dan</strong> 150.000 dari Asia Selatan (Media Indonesia, 11 Mei 2001 ).<br />

126


Selain itu harus disadari pula bahwa para korban perdagangan<br />

perempuan yang dipaksa dalam perbudakan seks seringkali dibius<br />

dengan obat-obatan <strong>dan</strong> menderita kekerasan yang luar biasa. Para<br />

korban yang diperjualbelikan untuk eksploitasi seksual menderita cedera<br />

fisik <strong>dan</strong> emosional akibat kegiatan seksual yang belum waktunya,<br />

diperlakukan dengan kasar, <strong>dan</strong> menderita penyakit-penyakit yang<br />

ditularkan melalui hubungan seks termasuk HIV/AIDS. Beberapa korban<br />

menderita cedera permanen pada organ reproduksi mereka. Selain itu,<br />

korban biasanya diperdagangkan di lokasi yang bahasanya tidak mereka<br />

pahami, yang menambah cedera psikologis akibat isolasi <strong>dan</strong> dominasi.<br />

lronisnya, kemampuan manusia untuk menahan penderitaan yang amat<br />

buruk <strong>dan</strong> terampasnya hak-hak mereka bahkan membuat banyak korban<br />

yang dijebak terus bekerja sambil berharap akhirnya mendapatkan<br />

kebebasan.<br />

Mengacu pada uraian di atas maka hakekatnya, perdagangan<br />

perempuan adalah bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pada<br />

dasarnya, perdagangan manusia, mencakup pula perdagangan<br />

perempuan, melanggar hak asasi universal manusia untuk hidup,<br />

merdeka, <strong>dan</strong> bebas dari semua bentuk perbudakan. Perdagangan anak­<br />

anak merusak kebutuhan dasar seorang anak untuk tumbuh dalam<br />

lingkungan yang aman <strong>dan</strong> merusak hak anak untuk bebas dari kekerasan<br />

<strong>dan</strong> eksploitasi seksual.<br />

Selanjutnya, perlu dipahami pula bahwa perdagangan manusia<br />

meningkatkan kerusakan sosial. Hilangnya jaringan dukungan keluarga<br />

<strong>dan</strong> masyarakat membuat korban perdagangan sangat rentah terhadap<br />

ancaman <strong>dan</strong> keinginan para pelaku perdagangan, <strong>dan</strong> dalam beberapa<br />

cara menimbulkan kerusakan pada struktur-struktur sosial. Perdagangan<br />

merenggut anak secara paksa dari orang tua <strong>dan</strong> keluarga mereka,<br />

menghalangi pengasuhan <strong>dan</strong> perkembangan moral mereka.<br />

Perdagangan mengganggu jalan pengetahuan <strong>dan</strong> nilai-nilai budaya dari<br />

orang tua kepada anaknya <strong>dan</strong> dari generasi ke generasi, yang<br />

membangun pilar utama masyarakat. Keuntungan dari perdagangan<br />

127


seringkali membuatnya mengakar di masyarakat-masyarakat tertentu ,<br />

yang kemudian dieksploitasi secara berulang-ulang sebagai sumber yang<br />

siap menjadi korban . Bahaya menjadi korban perdagangan seringkali<br />

membuat kelompok yang rentan seperti anak-anak <strong>dan</strong> perempuan muda<br />

bersembunyi dengan dampak merugikan bagi pendidikan <strong>dan</strong> struktur<br />

keluarga mereka. Hilangnya pendidikan mengurangi kesempatan<br />

ekonomis masa depan para korban <strong>dan</strong> meningkatkan kerentanan mereka<br />

untuk diperdagangkan di masa mendatang. Para korban yang kembali<br />

kepada komunitas mereka seringkali menemui diri mereka ternoda <strong>dan</strong><br />

terbuang/terasing, <strong>dan</strong> membutuhkan pelayanan sosial secara terus<br />

menerus. Mereka juga berkemungkinan besar menjadi terlibat dalam<br />

tindak kejahatan serta menunjukkan perilaku yang kejam.<br />

Lalu mengapa mereka bisa terbujuk untuk terlibat dalam kegiatan<br />

perdagangan orang? Suatu persoalan yang menarik mengingat mereka<br />

juga memutuskan untuk masuk dalam kancah perdagangan orang ini<br />

diyakini telah melewati proses pertimbangan rasional. Membahas hal ini<br />

akan mengingatkan penulis pada Teori Pertukaran Sosial yang mengkaji<br />

peranan korban dalam mempermudah terjadinya kejahatan (dalam<br />

konteks penelitian adalah perdagangan orang). Hasil penelitian<br />

menunjukkan bahwa proses terlibatnya korban dalam pentas<br />

perdagangan orang, mencakup perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak ada<br />

yang senada <strong>dan</strong> ada yang berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh<br />

teori pertukaran sosial melalui lima unsur utamanya. Hanya unsur ke tiga,<br />

yakni pertukaran sosial didasarkan pada prinsip keadilan yang tidak<br />

senada dengan temuan penelitian. Unsur yang senada adalah bahwa:<br />

keikursertaan korban dalarn pentas perdagangan perempuan telah<br />

melalui pertimbangan yang mendalam secara rasional.<br />

hubungan kerja yang dijanjikan, termasuk imbalan kerja yang<br />

diiming-imingkan menjadi dasar bagi keputusan untuk menerima ajakan<br />

pelaku.<br />

128


korban akan berupaya untuk memaksimalkan keuntungan mereka<br />

<strong>dan</strong> meminimumkan biaya mereka dalam hubungan pertukaran<br />

hubungan.<br />

korban mengambil bagian dalam suatu hubungan berdasarkan<br />

suatu perasaan kemanfaatan lebih dari pada paksaan timbal balik.<br />

Sementara itu, teori pertukaran sosial (social exchange theory) juga<br />

menjelaskan motivasi individu dalam mengejar partisipasi dalam suatu<br />

aktivitas tertentu. Teori pertukaran sosial menjelaskan empat bangunan<br />

yang mempengaruhi seorang individu untuk mempertahankan<br />

keterlibatan. Temuan penelitian justru bertolak belakang dengan apa yang<br />

dikatakan oleh teori pertukaran sosial. Sebab utamanya adalah bahwa<br />

hubungan kerja <strong>dan</strong> hubungan sosial antara korban <strong>dan</strong> pelaku tidaklah<br />

setara. Hubungan yang terjadi justru merupakan hubungan yang timpang<br />

<strong>dan</strong> eksploitasi. Dengan demikian:<br />

Karban tidak akan dapat berupaya untuk memelihara keterlibatan<br />

mereka karena pertimbangan mereka secara berlanjut menerima<br />

kepuasan kebutuhannya yang mereka cari sejak awal <strong>dan</strong> berkembang<br />

melalui partisipasinya.<br />

Karban tidak akan pernah berkesempatan untuk menerima sesuatu<br />

untuk keterlibatan mereka yang kira-kira sepa<strong>dan</strong> dengan kontribusi<br />

mereka melalui aktivitas mereka.<br />

Karban tidak akan memiliki akses untuk memastikan bahwa mereka<br />

menerima imbalan yang layak untuk keterlibatan mereka dibandingkan<br />

dengan orang lain yang mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam<br />

kegiatan yang sama atau serupa.<br />

Karban tidak akan dapat berupaya untuk meminimalisir biaya<br />

mereka sementara memaksimalkan imbalan mereka.<br />

Perdagangan orang juga menghilangkan Sumber Daya Manusia<br />

Banyak Negara. Perdagangan manusia memiliki dampak negatif pada<br />

pasar tenaga kerja, yang menimbulkan hilangnya sumber-sumber daya<br />

129


manusia yang tidak dapat diperoleh kembali. Beberapa dampak<br />

perdagangan manusia mencakup upah yang kecil, hanya sedikit individu<br />

yang tersisa untuk merawat orang tua yang jumlahnya semakin<br />

meningkat, <strong>dan</strong> generasi yang terbelakang dalam hal pendidikan.<br />

Dampak-dampak ini selanjutnya mengakibatkan hilangnya produktifitas<br />

<strong>dan</strong> kekuatan pendapatan di masa mendatang. Memaksa anak-anak<br />

untuk bekerja 10 hingga 18 jam per hari di usia-usia awal, menghalangi<br />

mereka mendapat pendidikan <strong>dan</strong> memperkuat putaran kemiskinan <strong>dan</strong><br />

buta huruf yang memperlambat perkembangan emosional.<br />

Perdagangan orang diyakini pula dapat merusak Kesehatan<br />

Masyarakat. Para korban perdagangan seringkali mengalami kondisi<br />

yang kejam yang mengakibatkan trauma fisik, seksual <strong>dan</strong> psikologis.<br />

lnfeksi-infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, penyakit<br />

inflammatori pelvic, <strong>dan</strong> HIV/AIDS seringkali merupakan akibat dari<br />

prostitusi yang dipaksakan. Kegelisahan, insomnia, depresi <strong>dan</strong> penyakit<br />

pasca traumatis stres adalah wujud psikologis umum di antara para<br />

korban. Kondisi hidup yang tidak sehat <strong>dan</strong> sesak, ditambah makanan<br />

yang miskin nutrisi, membuat korban dengan mudah mengalami kondisi<br />

kesehatan yang sangat merugikan seperti kudis, TBC, <strong>dan</strong> penyakit<br />

menular lainnya. Anak-anak menderita masalah pertumbuhan <strong>dan</strong><br />

perkembangan <strong>dan</strong> menanggung derita psikologi kompleks <strong>dan</strong> syaraf<br />

akibat kekurangan makanan <strong>dan</strong> hak-haknya serta mengalami trauma.<br />

Kekejaman yang paling buruk seringkali ditanggung oleh anak-anak<br />

yang lebih mudah dikendalikan <strong>dan</strong> dipaksa menjadi pelayan rumah,<br />

dilibatkan dalam konflik bersenjata, <strong>dan</strong> bentuk lain pekerjaan. Anak-anak<br />

dapat menjadi sasaran eksploitasi yang progresif, misalnya dijual<br />

beberapa kali <strong>dan</strong> menjadi sasaran pertunjukan kekerasan fisik, seksual<br />

<strong>dan</strong> mental. Kekerasan ini memperumit rehabilitasi psikologis <strong>dan</strong> fisik<br />

mereka <strong>dan</strong> membahayakan reintegrasi mereka.<br />

Perdagangan orang dapat pula menumbangkan wibawa<br />

pemerintah. Banyak pemerintah yang berjuang untuk melaksanakan<br />

130


kendali penuh atas teritori nasional mereka, khususnya dimana korupsi<br />

merupakan hal yang umum. Konflik-konflik bersenjata, bencana alam, <strong>dan</strong><br />

perjuangan politik serta etnis seringkali menciptakan populasi besar<br />

orang-orang yang telantar. Para pelaku Perdagangan Manusia lebih<br />

lanjut merusak usaha-usaha pemerintah untuk menggunakan<br />

wewenangnya, mengancam keamanan penduduk yang rentan. Banyak<br />

pemerintah tidak dapat melindungi wanita <strong>dan</strong> anak-anak yang diculik dari<br />

rumah <strong>dan</strong> sekolah mereka atau dari kamp penampungan. Selain itu,<br />

uang suap yang dibayarkan oleh para pelaku perdagangan menghalangi<br />

kemampuan pemerintah untuk memerangi korupsi yang dilakukan di<br />

antara para petugas penegak hukum, pejabat imigrasi, <strong>dan</strong> pejabat<br />

pengadilan.<br />

Perdagangan manusia memakan biaya ekonomi yang sangat<br />

besar. Ada manfaat ekonomis besar sekali yang akan diperoleh dengan<br />

terhapusnya perdagangan manusia. Organisasi Buruh lnternasional<br />

(International Labor Organization/ ILO) baru-baru ini menyelesaikan<br />

sebuah studi mengenai biaya <strong>dan</strong> keuntungan dari penghapusan bentuk­<br />

bentuk terburuk kerja paksa pada anak-anak - yang definisinya meliputi<br />

perdagangan anak. ILO menyimpulkan bahwa perolehan ekonomis dari<br />

penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerja paksa pada anak-anak sangat<br />

besar (puluhan jutaan dolar pertahun) karena pertambahan kapasitas<br />

produktifitas pada generasi tenaga kerja masa mendatang akan diperoleh<br />

dari peningkatan pendidikan <strong>dan</strong> kesehatan masyarakat yang membaik.<br />

Dampak sosial <strong>dan</strong> kemanusiaan dari perdagangan manusia seringkali<br />

mencerminkan bentuk-bentuk terburuk kerja paksa pada anak-anak<br />

terse but.<br />

131


BAB8<br />

UPAYA PENANGANAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DI<br />

INDONESIA SAA T INI<br />

8.1. Upaya Penanganan di Daerah Asal (Jawa Barat)<br />

8.1.1. Penanganan oleh Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />

<strong>dan</strong> Keluarga Berencana Provinsi Jabar<br />

Jumlah korban trafficking dari daerah Jawa Barat merupakan yang<br />

terbesar, namun bila ditelaah secara lebih detail banyak juga korban<br />

trafficking yang sebenarnya bukan orang Jawa Barat tapi memiliki KTP<br />

Jawa Barat sehingga dianggap sebagai korban dari Jawa Barat. Hal ini<br />

ditenggarai terjadi karena market demand terhadap perempuan yang<br />

berasal dari Jawa Barat adalah yang terbesar, khususnya untuk<br />

dipekerjakan di cafe-cafe, di tempat hiburan malam, atau warung remang­<br />

remang. Menurut berbagai informan, besarnya permintaan ini karena<br />

perempuan dari Jawa Barat umumnya dikenal memiliki paras yang cantik,<br />

berkulit putih, berperilaku sopan, tidak banyak menuntut <strong>dan</strong> sebagainya,<br />

sehingga disukai oleh para tamu yang datang ke tempat hiburan ataupun<br />

kedai minuman.<br />

8.1.1.1. Kerjasama Antar Daerah Dalam Penanganan Trafficking<br />

Dalam konteks kerjasama antar daerah provinsi untuk pencegahan<br />

<strong>dan</strong> penanganan masalah human trafficking, sejauh ini sudah ada<br />

kerjasama antara 7 provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,<br />

Bali, NTI, NTB, <strong>dan</strong> Lampung yang tergabung dalam MPU (Mitra Praja<br />

Utama). Di antara ketujuh provinsi ini sudah lama ada kerjasama, tidak<br />

saja dalam bi<strong>dan</strong>g pemberdayaan perempuan tetapi meliputi juga


eberapa bi<strong>dan</strong>g lainnya seperti bi<strong>dan</strong>g kesehatan , pendidikan,<br />

kehutanan, pertanian , <strong>dan</strong> sebagainya. Salah satu bi<strong>dan</strong>g di antaranya<br />

adalah mengenai penanganan <strong>dan</strong> pencegahan tindak pi<strong>dan</strong>a<br />

perdagangan orang <strong>dan</strong> kekerasan terhadap anak. Selama ini koordinasi<br />

di antara 7 provinsi ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan secara<br />

periodik yakni setahun sekali. Baru 2 tahun terakhir ini kerjasama ini<br />

beranjak pada kerjasama yang lebih spesifik dalam bi<strong>dan</strong>g pemberdayaan<br />

perempuan. Di samping itu pihak yang berpartisipasi dalam kerjasama<br />

tersebut pun bertambah dengan empat provinsi yang selama ini menjadi<br />

daerah tujuan, yakni Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Timur,<br />

<strong>dan</strong> Kalimantan Barat. Untuk memperkuat kerjasama dalam penanganan<br />

human trafficing tersebut pad a akhir September 2010 telah dibuat MOU<br />

antara 9 provinsi <strong>dan</strong> sudah ditandatangani oleh 9 gubernur (termasuk<br />

Jabar) dengan disaksikan langsung oleh Wakil Presiden Rl.<br />

Meskipun sudah ada penandatanganan MOU, namun pada<br />

dasarnya MOU tersebut sifatnya masih berbentuk komitmen atau<br />

gentlemen agreement yang merupakan payung bahwa kesembilan<br />

provinsi tersebut memiliki komitmen terhadap pencegahan <strong>dan</strong><br />

penanganan korban trafficking. Oleh karena itu untuk dapat<br />

diimplementasikan MOU tersebut masih harus ditindaklanjuti dengan<br />

agreement atau perjanjian kerjasama yang lebih spesifik. Dalam konteks<br />

itu provinsi Jawa Barat sekarang ini tengah membuat draft detail<br />

kerjasama <strong>dan</strong> dikomunikasikan melalui email kepada provinsi yang telah<br />

menandatangani MOU tersebut. Perjanjian kerjasama yang lebih spesifik<br />

ini penting dikomunikasikan karena masing-masing provinsi tentunya<br />

memiliki kebutuhannya berbeda. Misalnya provinsi kepulauan Riau,<br />

karena korban trafficking yang ada di provinsi ini mencapai ribuan<br />

jumlahnya, maka tidak mungkin korban yang berasal dari seluruh provinsi<br />

tersebut ditanggung sendiri oleh APBD provinsi Kepulauan Riau. Oleh<br />

karena itu berdasarkan MOU yang telah disepakati tersebut kemudian<br />

dibuat perjanjian kerjasama yang lebih rinci <strong>dan</strong> teknis. Dalam perjanjian<br />

kerjasama tersebut meliputi hak <strong>dan</strong> kewajiban yang menentukan aturan<br />

133


main dalam implementasi kerjasamanya. Dalam kerjasama tersebut<br />

antara lain mengatur bahwa ketika ada korban trafficking yang berasal<br />

dari Jawa Barat, maka pihak provinsi Jawa Barat melakukan<br />

penjemputan. Terkait keterbatasan APBD provinsi Kepulauan Riau yang<br />

tidak mungkin mencukupi untuk menanggung semua biaya penanganan<br />

korban yang jumlahnya ribuan, maka dalam kerjasama tersebut pihak<br />

provinsi Kepulauan Riau menghendaki bahwa mulai saat penjemputan<br />

korban segala biaya penanganan korban tersebut langsung ditanggung<br />

oleh APBD provinsi Jawa Barat. Namun tentunya tidak serta merta,<br />

melainkan dititipkan dulu di P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu<br />

Perlindungan Perempuan <strong>dan</strong> Anak) yang ada di propinsi yang<br />

bersangkutan. Setelah korban tersebut dititipkan di shelter milik provinsi<br />

Kepulauan Riau, baru kemudian dijemput oleh pihak provinsi Jawa Barat.<br />

Hal ini dimungkinkan karena di setiap provinsi membentuk semacam<br />

rumah aman atau shelter atau tempat pelayanan terpadu terhadap korban<br />

kekerasan perempuan <strong>dan</strong> perlindungan anak.<br />

Dalam kaitan dengan masalah kerjasama antara provinsi Jawa<br />

Barat <strong>dan</strong> provinsi Kepulauan Riau, pada tahun 2008 pihak provinsi<br />

Kepulauan Riau pernah mengeluhkan tentang sulitnya melakukan<br />

koordinasi dengan provinsi Jawa Barat. Ketika mereka melakukan<br />

audiensi ke Jawa Barat saat itu, mereka menangkap kesan bahwa<br />

terdapat kecenderungan dari pihak Jawa Barat untuk tidak mengakui<br />

bahwa banyak korban trafficking yang berasal dari Jawa Barat, oleh<br />

karena itu pihak provinsi Jawa Barat tidak mau mengalokasikan anggaran<br />

untuk penanganan trafficking yang sangat diharapkan oleh pihak provinsi<br />

Kepulauan Riau . Ketika kesan ini dikonfirmasi oleh peneliti, kondisi<br />

tersebut diakui benar oleh responden dari pemerintah provinsi Jawa Barat.<br />

Alasan yang dikemukakan adalah bahwa pada saat itu kegiatan program<br />

untuk penanganan masalah trafficking ini memang belum dianggarkan<br />

secara khusus. Namun sekarang ini kesulitan tersebut tampaknya sudah<br />

mulai terpecahkan yakni setelah pemerintah provinsi Jawa Barat yang<br />

baru membentuk BPPKB (Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong><br />

134


Keluarga Berencana) pada 1 Januari tahun 2009. Bahkan sekarang ini<br />

tampak sekali bahwa pemerintah provinsi Jawa Barat sangat proaktif<br />

dalam penanganan masalah trafficking <strong>dan</strong> kerjasama dengan provinsi<br />

Kepulauan Riau pun sudah mulai berjalan dengan baik.<br />

Mengenai kerja sama dengan provinsi Kalimantan sekarang ini<br />

masih dalam tahap diskusi mengenai pengaturan anggarannya, apakah<br />

mereka sanggup menanggung biaya penanganan korban selama<br />

seminggu atau 5 hari, atau lainnya sehingga masih belum ada keputusan.<br />

Di samping kerjasama dalam masalah penjemputan dengan daerah<br />

tujuan , provinsi Jawa Barat juga bekerja sama dengan provinsi-provinsi<br />

yang menandatangani MOU di dalam penyusunan data base. Hal ini<br />

dianggap penting agar jumlah orang yang menjadi korban trafficking yang<br />

berasal dari Jawa Barat dapat diketahui secara akurat. Melalui data base<br />

tersebut dapat diketahui berapa orang yang sudah diberikan assessment,<br />

berapa orang yang sudah dipulangkan/dikembalikan ke kabupaten/kota<br />

setelah mereka diassessment, berapa orang yang diberikan counceling<br />

hukum <strong>dan</strong> agama, berapa yang dimedica/ check up, berapa orang yang<br />

sudah dibuatkan berita acara oleh Unit PPA Polda Jabar, berapa yang<br />

diberikan pembekalan pelatihan seperti tata boga, tata busana, <strong>dan</strong><br />

keterampilan lain seperti menyulam.<br />

Selain pentingnya dilakukan kerjasama antar pemerintah provinsi,<br />

dalam penanganan trafficking kerjasama juga perlu dilakukan di intra<br />

provinsi yang menjadi sending area, dalam artian baik kerjasama antara<br />

provinsi dengan kabupaten/kota maupun antara kabupaten/kota itu<br />

sendiri. Hal ini diperlukan karena penanganan korban trafficking masih<br />

menyisakan persoalan. Pertama, setelah dilakukan assessment oleh<br />

provinsi terhadap korban selama 10 hari di shelter, ternyata hasilnya<br />

belum mencukupi untuk melakukan perubahan mind set. Padahal<br />

perubahan mind set ini sangat substansial dalam mencegah korban agar<br />

tidak kembali lagi ke pekerjaan lama atau daerah tujuan. Perubahan mind<br />

set ini dirasakan menjadi problem utama bagi BPPKB dalam penanganan<br />

135


-<br />

korban trafficking. Kesulitan yang dihadapi terutama menyangkut para<br />

korban trafficking yang sudah merasa enjoy dengan penghasilan yang<br />

diperolehnya selama ini yang nilainya mencapai an tara 7 sampai 10 juta<br />

rupiah per bulan. Hal ini antara lain terbukti ketika 72 korban yang baru­<br />

baru ini dijemput <strong>dan</strong> ditangani oleh provinsi Jawa Barat, ternyata 11<br />

orang di antaranya sudah kembali lagi ke daerah tujuan (Batam/Kepri).<br />

Hal kedua yang menjadi kendala adalah, ka<strong>dan</strong>gkala alamat korban<br />

trafficking tidak jelas karena yang bersangkutan tidak mau terus terang.<br />

Atau, ka<strong>dan</strong>g ada orang tua yang tidak mau menerima kembali anaknya<br />

sehingga harus dikembalikan kepada kakak atau sanak familinya yang<br />

tentu saja menjadi persoalan tersendiri bagi mereka. Untuk mengatasi<br />

persoalan tersebut, tampaknya perlu dilakukan kerjasama yang sinergis<br />

dengan kabupaten/kota. Dengan begitu setelah para korban diberikan<br />

assessmentlcounceling selama 1 0 hari oleh provinsi <strong>dan</strong> mereka<br />

dikembalikan ke tempat asalnya, maka pembinaan <strong>dan</strong> monitoring<br />

lanjutannya menjadi kewenangan kabupaten/kota. Yang perlu<br />

digarisbawahi, dengan a<strong>dan</strong>ya otonomi daerah maka kewenangan untuk<br />

menjaga warga masyarakat berada di tangan kabupaten/kota. Selain itu di<br />

sana juga sudah ada gugus tugas sendiri yang menangani masalah<br />

trafficking. Dalam kaitan ini kabupaten/kota perlu melakukan berbagai<br />

upaya untuk melindungi warganya yang menjadi korban trafficking <strong>dan</strong><br />

sudah dipulangkan oleh provinsi ataupun daerah tujuan agar mereka tidak<br />

mengulangi perbuatannya kembali ke daerah tujuan. Untuk itu<br />

kabupaten/kota , antara lain, harus melakukan pencatatan <strong>dan</strong><br />

pengawasan terhadap korban trafficking yang sudah dipulangkan.<br />

8.1.1.2. Kendala Sistem Penganggaran Program<br />

Sebenarnya penanganan korban tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang<br />

sudah ditangani oleh <strong>Kementerian</strong> Sosial atau Dinas Sosial di tingkat<br />

provinsi. Penanganan korban tersebut diposisikan di situ karena<br />

penanganan korban kekerasan ini sifatnya kuratif <strong>dan</strong> Dinas Sosial<br />

memang memiliki <strong>dan</strong> mengelola panti-panti yang berfungsi untuk<br />

136


merehabilitasi korban, baik dari kesehatannya maupun trauma yang<br />

dialaminya. Namun dengan dibentuknya BPPKB provinsi Jawa Barat di<br />

awal tahun 2009, maka penanganan korban trafficking tersebut mulai<br />

dianggarkan di BPPKB. Dalam penganggaran ini di BPPKB tidak ada<br />

prioritas penganggaran apakah itu pada program preventif atau kuratif<br />

karena disesuaikan dengan apa yang tercantum dalam RPJMD, selain<br />

memang keduanya memang penting untuk dilakukan. Dalam konteks ini<br />

BPPKB bertindak sebagai koordinator gugus tugas, selain itu juga<br />

menangani langsung masalah pemulangan korban. Akan tetapi karena<br />

BPPKB sifatnya lebih regulatif, maka anggaran penanganan human<br />

trafficking juga dialokasikan di dinas-dinas yang terkait. Misalnya, di<br />

bi<strong>dan</strong>g pendidikan non-formal pada Dinas Pendidikan dianggarkan untuk<br />

kegiatan pendidikan life skill. Demikian pula di Dinas Sosial penanganan<br />

human trafficking tersebut dianggarkan di bagian panti rehabilitasi.<br />

Kemudian di Dinas Koperasi Usaha Menengah Kecil (KUMKM)<br />

dianggarkan untuk kegiatan UMK-UMK perempuan, <strong>dan</strong> sebagainya.<br />

Yang terpenting terkait dengan masalah anggaran ini adalah bahwa<br />

penanganan trafficking di Jawa Barat sudah dimasukkan ke dalam<br />

RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Provinsi<br />

Jawa Barat 2008- 2013. Di sana telah dimasukkan masalah Penanganan<br />

<strong>dan</strong> Pencegahan Terhadap Kekerasan Perempuan <strong>dan</strong> Anak. lmplikasi<br />

dari dimasukkannya masalah human trafficking ke dalam RPJMD maka<br />

secara otomatis dinas - dinas yang terkait harus menganggarkan<br />

berdasarkan rencana kegiatannya. Misalnya, BPPKB menganggarkan<br />

dalam rangka penjemputan <strong>dan</strong> pemulangan korban; P2TP2A<br />

menganggarkan untuk political actionnya karena merupakan<br />

pelaksananya <strong>dan</strong> di sana sudah ada SOPnya; Biro hukum<br />

mengganggarkan untuk kegiatan advokasinya, Dinas Pendidikan<br />

menganggarkan pendidikannya; Dinas Kesehatan mengalokasikan<br />

anggaran untuk medical check upnya. Di dalam melaksanakan<br />

pekerjaannya dinas kesehatan bekerja sama dengan RS. Polri Santika<br />

Asih.<br />

137


Dalam konteks hubungan kelembagaan antara provinsi dengan<br />

kabupaten/kota untuk menangani trafficking ini diperlukan a<strong>dan</strong>ya sinergi<br />

yang harmonis, baik dalam sisi peraturan perun<strong>dan</strong>gannya maupun<br />

kegiatan programnya. Sejauh ini kendala utamanya terletak pada masalah<br />

keterbatasan anggaran. Pihak provinsi menyatakan bahwa bila<br />

penanganan trafficking ini hanya mengandalkan pada anggaran APBD<br />

provinsi maka masalah trafficking ini tidak mungkin dapat tertangani<br />

dengan baik. Oleh karena itu dalam membangun kerjasama antara<br />

provinsi dengan kabupaten/kota tersebut perlu juga dibuat MOU yang<br />

mencakup baik dalam hal pencegahannya maupun penanganannya,<br />

sebagaimana kerjasama yang dilakukan antar provinsi. Dengan demikian<br />

diharapkan dalam penanganan masalah trafficking tersebut terdapat<br />

pembagian tugas yang jelas antara provinsi <strong>dan</strong> kabupaten/kota. Dengan<br />

a<strong>dan</strong>ya kerjasama yang sinergis <strong>dan</strong> harmonis tersebut diharapkan dapat<br />

mencegah para korban yang sudah dipulangkan kembali lagi ke daerah<br />

tujuan.<br />

Terkait dengan masalah anggaran, tampaknya ada persoalan yang<br />

cukup mendasar pada tataran pemerintahan kabupaten/kota. Dikatakan<br />

demikian karena sejauh ini sistem penganggaran untuk kegiatan<br />

penanganan human trafficking pada instansi terkait di tingkat kabupaten<br />

hanya mengacu pada tupoksi dari masing-masing instansi. lmplikasinya,<br />

karena terdapat berbagai kepentingan atau prioritas anggaran yang harus<br />

dialokasikan pada berbagai tupoksi yang menjadi core competence dari<br />

instansi yang bersangkutan, maka dapat diduga bahwa dalam<br />

mengalokasikan anggarannya akan cenderung diarahkan pada kegiatan<br />

yang bersifat ego sektoral. Artinya bila masalah human trafficking hanya<br />

menjadi sub kegiatan yang relatif kecil pada instansinya, maka anggaran<br />

yang dilokasikan untuk itu pun jumlahnya akan relatif kecil, atau mungkin<br />

tidak dialokasikan anggarannya. lmplikasi lainnya adalah bahwa anggaran<br />

kegiatan untuk penanganan trafficking tersebut menjadi berserakan di<br />

berbagai instansi <strong>dan</strong> tidak terfokus atau kegiatan penanganan trafficking<br />

antara satu instansi dengan instansi lainnya tidak sinergistik.<br />

138


Kondisi yang kurang lebih sama pada dasarnya juga terjadi pada<br />

level propinsi Jawa Barat. Artinya setiap instansi terkait yang masuk<br />

dalam gugus tugas mengalokasikan anggaran kegiatan penanganan<br />

trafficking pada masing-masing institusinya. Sistem pengalokasian<br />

anggarannya pun hanya mengacu pada tupoksi dari masung-masing<br />

instansi tersebut. lmplikasinya, tidak ada prioritas anggaran yang<br />

dialokasikan khusus untuk kegiatan penanganan trafficking selain kepada<br />

tupoksinya. Jenis kegiatan <strong>dan</strong> alokasi anggaran pun menjadi tidak fokus<br />

<strong>dan</strong> kegiatannya tidak mudah untuk disinkronkan. Meskipun demikian<br />

pada level propinsi kondisinya sudah lebih baik dibandingkan dengan<br />

tingkat kabupaten. Dikatakan demikian karena pada tingkat provinsi Jawa<br />

Barat sudah mulai ada upaya untuk melakukan sentralisasi anggaran<br />

kegiatan untuk penanganan trafficking yakni pada BPPKB. Walaupun hal<br />

tersebut tidak dalam artian sentralisasi anggaran penuh pada BPPKB,<br />

melainkan porsi terbesar anggaran untuk penanganan korban trafficking<br />

dialokasikan di BPPKB, sementara pada instansi terkait lain porsi<br />

anggarannya relatif kecil disesuaikan dengan tupoksinya.<br />

Untuk mencapai efektivitas dalam penanggulangan masalah human<br />

trafficking ini memang dibutuhkan komitmen bersama pada semua level.<br />

Dalam konteks itu pada tingkat kabupaten/kota sudah dibentuk BPPKB<br />

<strong>dan</strong> Gugus Tugas sehingga secara kelembagaan menunjukkan sudah<br />

a<strong>dan</strong>ya komitmen terhadap penanganan masalah trafficking. Namun bila<br />

dilihat dari sisi anggarannya, besaran anggaran yang dialokasikan dapat<br />

dikatakan belum memadai sehingga belum mengindikasikan a<strong>dan</strong>ya<br />

komitmen yang kuat untuk penanggulangan masalah trafficking.<br />

Komitmen tersebut nampaknya masih harus dibangun <strong>dan</strong> diterjemahkan<br />

bersama sehingga dapat dituangkan ke dalam bentuk kegiatan program<br />

<strong>dan</strong> alokasi anggaran yang memadai. Dengan demikian dapat dilakukan<br />

sinkronisasi program baik pada level provinsi maupun pada level<br />

kabupaten/kota. Memang hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena akan<br />

sangat tergantung pada besaran masing-masing APBD <strong>dan</strong> prioritas<br />

pembangunan daerah. Namun bukan pula menjadi sesuatu yang tidak<br />

139


mungkin untuk membangun kesepakatan bersama antar daerah provinsi<br />

<strong>dan</strong> kabupaten/kota di dalam penanganan human trafficking ini.<br />

8.1.1.3. Koordinasi Gugus Tugas Provinsi Jabar<br />

BPPKB selama ini didukung penuh oleh ketua tim penggerak PKK<br />

yaitu istri Gubernur yang cukup aktif dalam penanganan trafficking <strong>dan</strong><br />

memiliki konsep yang kuat tentang human trafficking serta memiliki<br />

perspektif utuh tentang perempuan <strong>dan</strong> anak. Selain itu Gubernur <strong>dan</strong><br />

Wakilnya pun concern terhadap masalah empowering woman. BPPKB<br />

dalam kapasitasnya sebagai pelaksana harian Gugus Tugas provinsi<br />

sudah melakukan rapat koordinasi baik pada internal provinsi maupun<br />

dengan jajaran kabupaten di bawahnya. Dengan a<strong>dan</strong>ya rapat koordinasi<br />

tersebut diharapkan bahwa pihak-pihak yang terkait, baik pada level<br />

provinsi maupun kabupaten membuat rencana kegiatan <strong>dan</strong><br />

menganggarkan untuk kegiatan penanganan human trafficking tersebut.<br />

Namun tampaknya eselonisasi pejabat yang menangani trafficking ini<br />

tidak sama di seluruh daerah. Hal ini nampak ketika dilakukan rapat<br />

koordinasi, perwakilan dinas daerah yang datang pada rapat koordinasi<br />

tersebut bervariasi eselonnya, ada yang eselon 4, ada yang eselon 3, ada<br />

juga yang hanya staff. Kondisi ini tentunya menjadi kendala karena<br />

dengan level eselonisasi yang relatif rendah tentunya tidak memiliki<br />

kewenangan untuk mengambil keputusan bila dalam rapat koordinasi itu<br />

diperlukan a<strong>dan</strong>ya pembuatan keputusan ataupun kesepakatan bersama,<br />

baik itu menyangkut perencanaan <strong>dan</strong> implementasi program maupun<br />

penganggarannya.<br />

Dalam konteks koordinasi, kesekertariatan Gugus Tugas ada di<br />

BPPKB, tetapi anggotanya tersebar di beberapa instansi terkait, yakni<br />

dinas-dinas/ba<strong>dan</strong> yang memiliki bi<strong>dan</strong>g/bagian yang menangani masalah<br />

trafficking. Terkait dengan hal ini seharusnya Gugus Tugas sudah memiliki<br />

SOP, namun saat ini SOP Gugus Tugas tersebut diakui masih sederhana<br />

yakni hanya sebatas menjemput, merujuk <strong>dan</strong> mengevaluasi. Logikanya,<br />

BPPKB harus sudah memiliki program yang jelas yang kemudian<br />

140


diakomodir oleh masing-masing instansi terkait sehingga semua program<br />

yang dirancang <strong>dan</strong> dianggarkan di seluruh instansi terkait berjalan secara<br />

sinergis <strong>dan</strong> harmonis. Namun bila dilihat dari pelaksanaan rapat<br />

koordinasi yang kami ikuti, tampaknya yang terjadi hanya<br />

menginventarisasi apa yang dilakukan oleh masing-masing instansi,<br />

dalam artian tidak berangkat dari satu konsep perencanaan yang jelas<br />

yang menjadi payung besar dalam penanganan human trafficking.<br />

Meskipun begitu pihak BPPKB tetap menganggap bahwa koordinasi ini<br />

penting untuk penyamaan persepsi.<br />

Diakui responden dari BPPKB provinsi Jawa Barat bahwa sekarang<br />

ini koordinasi masih menghadapi kelemahan terutama didata base di<br />

mana terdapat variasi jumlah korban antara catatan data suatu instansi<br />

dengan instansi lainnya. Hal ini terjadi selain karena a<strong>dan</strong>ya perbedaan<br />

sistem pencatatan, mungkin juga karena a<strong>dan</strong>ya perbedaan dalam<br />

pengertiannya. Sebagai contoh , BPPKB Jawa Barat pernah melakukan<br />

penjemputan ke kota Batam, ternyata yang ditemui adalah TKI illegal,<br />

bukan korban trafficking. Dikatakan demikian karena ternyata dalam kasus<br />

ini belum terjadi eksploitasi terhadap korban sehingga dia tidak termasuk<br />

kategori korban trafficking. Miskomunikasi semacam itu dapat dipahami<br />

karena perbedaan antara korban trafficking dengan TKI ilegal realitanya<br />

tipis sekali. lmplikasinya, dengan a<strong>dan</strong>ya perbedaan pemahaman tersebut<br />

menjadi tidak heran bila terjadi perbedaan jumlah dalam pendataan yang<br />

dilakukan antar instansi. Bahkan PBB mencatat korban perbudakan<br />

modern dari Indonesia ini mencapai sekitar 3 juta orang yang jumlahnya<br />

sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan fakta lapangan yang<br />

tercatat di instansi di Jawa Barat dengan jumlah yang hanya mencapai<br />

ribuan orang saja. Dalam pendataan <strong>dan</strong> identifikasi korban pihak BPPKB<br />

Jabar mengaku pernah dilatih oleh 10M yang memang sudah memiliki<br />

lembar screening baku dalam hal itu. Tapi identifikasi tersebut lebih pada<br />

tindakan kuratif. Sementara untuk masalah preventif 10M juga tidak bisa<br />

berbuat banyak. Untuk mengatasi itu sekarang ini <strong>Kementerian</strong><br />

Pemberdayaan Perempuan se<strong>dan</strong>g melakukan training mengenai sistem<br />

141


pendataan yang harus dilakukan oleh anggota gugus tugas di daerah<br />

Jabar.<br />

A<strong>dan</strong>ya kelemahan dalam masalah koordinasi juga dirasakan oleh<br />

perangkat daerah kabupaten. Sebagai contoh, dalam konteks pembuatan<br />

paspor untuk mereka yang akan berangkat keluar negeri seharusnya<br />

mendapat rekomendasi dari daerah asal korban. Namun, menurut<br />

pengakuan responden, meskipun daerah yang bersangkutan tidak<br />

memberikan rekomendasi ternyata korban yang bersangkutan dapat<br />

memperoleh paspor baik dari daerah lain atau bahkan dari Jakarta.<br />

Terkait dengan kasus semacam itu daerah merasa dirugikan karena<br />

ketika pembuatan pasport <strong>dan</strong> pemberangkatan korban dilakukan oleh<br />

Jakarta, tapi ketika ada permasalahan maka korban trafficking tersebut<br />

diserahkan kepada daerah. Terkait dengan kasus seperti itu bahkan wakil<br />

gubernur Jawa Barat pernah mengungkapkan perlunya pembenahan<br />

dalam keimigrasian untuk lebih memudahkan pengawasan <strong>dan</strong><br />

penanganan korban trafficking lintas negara. Dengan begitu secara<br />

tersirat wakil gubernur Jawa Barat pun merasakan masih ada<br />

permasalahan dalam koordinasi antar instansi dalam penanganan<br />

trafficking ini.<br />

Kelemahan dalam penanganan trafficking ini bukan terletak pada<br />

regulasi, karena menurut responden berbagai regulasi yang dikeluarkan<br />

mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah sudah memadai atau bahkan<br />

sudah optiomal. Persoalannya justru pada tataran implementasi. Oleh<br />

karena itu yang sangat krusial dilakukan adalah membangun kerja sama<br />

di antara berbagai stakeholders dari tingkat pusat sampai daerah.<br />

I<br />

8.1.1.4. Penyeba _,....Traffickin<br />

Sebenarnya yang menjadi penyebab utama terjadinya korban<br />

trafficking adalah rendahnya tingkat pendidikan. Dengan diposisikannya<br />

Diknas sebagai leader dalam Gugus Tugas memberikan kesan bahwa<br />

pendidikan merupakan faktor sentral yang diharapkan untuk<br />

mengeliminasi munculnya korban trafficking, namun sejauh mana hal<br />

142


tersebut diterjemahkan ke dalam perencanaan <strong>dan</strong> implementasi kegiatan<br />

pendidikan yang lebih sistematis, seperti misalnya memasukkan materi<br />

human trafficking ke dalam kurikulum sekolah, masih perlu dipertanyakan.<br />

Oleh karena itu peran pengarusutamaan gender dijadikan strategi<br />

pembangunan pemberdayaan perempuan karena untuk itu harus ada<br />

PPRG (Perencanaan Responsif Gender), selain itu juga harus menyusun<br />

anggaran yang responsif gender. Hal ini penting karena bila diperhatikan,<br />

misalnya, rata-rata lama pendidikan laki-laki lebih tinggi daripada<br />

perempuan, oleh karena itu dengan pengarusutamaan gender tersebut<br />

pendidikan perempuan diupayakan ditingkatkan. Hal ini penting karena<br />

orang yang hanya lulus pendidikan dasar/rendah akibat kemiskinan akan<br />

cenderung mencari pasangan hidup yang berpendidikan rendah pula yang<br />

pada gilirannya hanya bergulat dengan kemiskinan. Terkait dengan itu<br />

pemerintah provinsi Jawa Barat memiliki data bahwa ternyata banyaknya<br />

masyarakat yang putus sekolah, khususnya hanya sampai tingkat SD,<br />

selain akibat kemiskinan juga karena kurangnya ruang kelas untuk<br />

pendidikan tingkat menengah pertama. Oleh karena itu provinsi Jawa<br />

Barat membuat terobosan dengan membangun ruang kelas untuk tingkat<br />

SMP di 26 kabupten di bawahnya.<br />

Namun bila diamati dari karakteristik korban, ternyata penyebab<br />

trafficking ini tidak independent. Artinya dia tidak semata-mata karena<br />

kurang pendidikan atau kemiskinan, tetapi juga karena ada pergeseran<br />

nilai yang mungkin terkait dengan perkembangan media cetak. Selain itu<br />

ada faktor sosial budaya yang turut berperan. Sebagai contoh yang terkait<br />

sosial budaya, di daerah pantura khususnya di lndramayu, banyak anak­<br />

anak di bawah umur yang sudah menjadi janda. Di samping itu ada<br />

kebanggaan dari orang tuanya bila kemudian anaknya bekerja di provinsi<br />

lain. Mungkin karena gengsi ibunya juga merasa bangga ketika anaknya<br />

bisa mengirim uang kepa<strong>dan</strong>ya sekitar 1 - 2 juta rupiah. Sering kali orang<br />

tua tidak sadar bila dia sudah memperdagangkan anaknya. Contoh lain<br />

yaitu terkait dengan pergeseran nilai, ketika BPPKB menjemput korban,<br />

penampilan mereka yang menjadi korban banyak yang sudah berubah<br />

143


seperti rambut yang dicat merah, menggunakan contact tense warna­<br />

warni, menggunakan cat kuku, merokok sehingga tampilan mereka seperti<br />

artis.<br />

Namun sebenarnya bila ditelaah lebih seksama langkah yang<br />

diambil mereka ditenggarai merupakan rational choice karena sebenarnya<br />

ketika membuat keputusan mereka telah mendapatkan berbagai informasi<br />

terkait pekerjaannya, baik itu dari kawannya yang pernah menjadi korban<br />

maupundri sumber lainnya, sehingga sebenarnya banyak dari mereka<br />

yang mengetahui resiko yang dihadapinya. Oleh karena itu tidak<br />

mengherankan meskipun mereka sudah dipulangkan, diobati, <strong>dan</strong><br />

direhabilitasi tetapi masih juga kembali ke daerah tujuan. Ketika mereka<br />

melakukan pekerjaannya mereka dapat memiliki penghasilan antara 7 juta<br />

sampai dengan 10 juta rupiah per bulan, kemudian ketika dipulangkan <strong>dan</strong><br />

dibina mereka disuruh membuat payet kerudung, menyulam yang<br />

penghasilannya tentu tidak seberapa. Tentu saja mereka tidak mau<br />

melakukan hal itu. Bahkan dari wawancara dengan korban ketika mereka<br />

dijemput oleh petugas pemerintah, mereka biasanya sadar <strong>dan</strong> faham<br />

bahwa apa yang mereka lakukan adalah perbuatan yang salah <strong>dan</strong> dosa<br />

besar. Bahkan mereka pun sadar bahwa dia tidak ingin memiliki anak<br />

yang melakukan pekerjaan seperti dirinya Namun demikian biasanya<br />

mereka masih ingin melanjutkan pekerjaannya, dengan berbagai alasan<br />

seperti rumah ibunya belum dikeramik sehingga dia membutuhkan uang<br />

untuk membantu orang tuanya, <strong>dan</strong> sebagainya. Ketika BPPKB Jabar<br />

diun<strong>dan</strong>g oleh BPPKB Bangka Belitung <strong>dan</strong> bertemu dengan para PSK<br />

asal Jabar di tempat lokalisasi, pihak BPPKB Jawa Barat pernah<br />

menawarkan untuk memfasilitasi bila di antara mereka ada yang ingin<br />

kembali ke Jawa Barat <strong>dan</strong> bekerja di tempat yang "benar", namun<br />

kenyataannya sampai saat ini tidak pernah ada yang menghubungi<br />

BPPKB.<br />

144


8.1.1.5. Penanganan Masalah Human trafficking<br />

Selama ini penanganan human trafficking terkesan lebih terfokus<br />

pada tindakan kuratif dari pada preventif, oleh karena itu permasalahan<br />

trafficking ini sebenarnya merupakan fenomena gunung es. Menanggapi<br />

hal ini responden meman<strong>dan</strong>g bahwa hal tersebut "better than nothing",<br />

karena daripada tidak ada upaya sama sekali, paling tidak ada upaya<br />

untuk mengurangi korban trafficking. Tetapi bila dilihat dari karakteristik<br />

korban yang antara antara lain banyak yang berada dalam usia sekolah<br />

(belum cukup umur), maka mungkin perlu ada upaya yang lebih bersifat<br />

preventif. Bahkan upaya yang dilakukan harus meliputi upaya preventif,<br />

preemptif, promotif, kuratif, <strong>dan</strong> rehabilitatif.<br />

Namun sejak dibentuknya BPPKB, maka mulai diupayakan<br />

kegiatan yang terarah pada tindakan preventif/pencegahan yang<br />

dilakukan melalui kegiatan promotif seperti sosialisasi, membuat program<br />

yang betul-betul sampai kepada masyarakat seperti membuat leaflet,<br />

brosur yang kesemuanya berisikan tentang bahaya perdagangan orang<br />

<strong>dan</strong> himbauan agar masyarakat tidak tergoda oleh iming-iming yang<br />

berakibat pada terjadinya korban trafficking. Materi yang disosialisasikan<br />

mencakup berbagai hal termasuk panduan, regulasi, ancaman tindak<br />

pi<strong>dan</strong>a, <strong>dan</strong> sebagainya. BPPKB lebih memilih membuat program<br />

kegiatan seperti itu ketimbang menyelenggarakan kegiatan sepert loka<br />

karya, seminar yang tidak menyentuh langsung ke masyarakat. Pada<br />

prinsipnya setiap anggaran harus berdampak kepada peningkatan<br />

kesadaran masyarakat. Selama ini sosialisasi dilakukan lintas sektoral,<br />

artinya ketika melakukan sosialisasi BPPKB secara berjenjang melibatkan<br />

instansi terkait lainnya seperti Unit PPA Polri (Polda/Polres), Dinas<br />

Koperasi, Dinas Pendidikan, <strong>dan</strong> sebagainya sesuai dengan materi yang<br />

disosialisasikan. Pemprov Jabar juga melakukan penyadaran melalui<br />

masyarakat ketika melakukan sosialisasi ke daerah baik pada tataran<br />

pemda kabupaten maupun langsung kepada masyarakat di desa. Untuk<br />

mencegah terjadinya korban trafficking yang kedua kali (kembali lagi),<br />

selama ini BPPKB dalam kapasitasnya sebagai Gugus Tugas Provinsi<br />

145


sudah melakukan sosialisasi un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g kepada 1.300 kepala desa.<br />

Hal ini dianggap penting karena pemalsuan data mulai dari sana seperti<br />

misalnya terjadinya mark up umur dalam KTP <strong>dan</strong> surat rekomendasi<br />

untuk bekerja di luar dikeluarkan oleh kepala desa. Sehingga sosialisasi<br />

kepada kepala desa menjadi penting. Jadi kehati-hatian dimulai dari<br />

pendataan awal mau bekerja. Contoh, dalam un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g kalau<br />

pelakunya tertangkap bahkan bila ada aparat yang ikut terlibat sebagai<br />

pelaku secara tidak langsung, maka menurut UU no. 21 Tahun 2007 yang<br />

bersangkutan dihukum antara 3 sampai 6 tahun. Selain itu dia juga<br />

dikenakan denda antara 300 juta sampai dengan 600 juta. Dan apabila si<br />

korban yang dipulangkan mengalami kekerasan fisik maka hukumannya<br />

ditambah lagi sepertiganya. Supaya ada penjeraan maka BPPKB dibantu<br />

oleh Unit PPA Polda Jabar, LSM Yayasan Bahtera, LSM Jari, 10M<br />

melakukan sosialisasi. Sosialisasi semacam ini penting untuk<br />

menyadarkan masyarakat bahwa hal ini merupakan masalah kita semua.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan dalam upaya preemptif BPPKB membuat regulasi yang<br />

sungguh-sungguh dalam rangka pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban<br />

trafficking. Untuk tindakan kuratif <strong>dan</strong> rehabilitatif dilakukan melalui<br />

assesment korban selama di shelter yang dikelola oleh P2TP2A milik<br />

BPPKB. Di sini meliputi pemberdayaan korban trafficking yang<br />

didefinisikan sebagai penyelamatan <strong>dan</strong> penyadaran. Namun pada tahap<br />

ini pihak provinsi baru sampai pada tahap penjemputan <strong>dan</strong> assessment,<br />

setelah itu korban dipulangkan ke kabupaten/kota. Oleh karena itu<br />

penyadarannya diharapkan dilakukan oleh pihak kabupaten yang<br />

berwenang mengawasi korban yang sudah dipulangkan.<br />

8.1.1.6. Penanganan Korban Trafficking<br />

Penjemputan korban biasanya dilakukan berdasarkan laporan dari<br />

daerah tujuan, bisa disampaikan melalui Polda, BPPKB, ataupun LSM.<br />

Namun bila informasinya berasal dari LSM, maka pihak BPPKB Jabar<br />

akan melakukan cross check kepada BPPKB Kepri karena sesama<br />

instansi pemerintah <strong>dan</strong> kebijakannya harus satu pintu. Persoalan-<br />

146


persoalan yang melekat pada korban, misalnya korban dari Bangka<br />

Belitung ada yang terkena IMS (lnfeksi menengah sex), HIV, ada juga<br />

yang hamil. Di sana ada sekitar 200 orang PSK yang berasal dari Jawa<br />

Barat<br />

Ketika mereka dijemput <strong>dan</strong> dimasukkan ke P2TP2A, biasanya<br />

orang tua mereka dipanggil. Ada memang di antara orang tersebut yang<br />

sama sekali tidak mengetahui pekerjaan anaknya yang menjadi korban<br />

trafficking, namun ada juga yang sudah mengetahuinya. Dan yang lebih<br />

miris, banyak dari korban yang tingkat pendidikannya hanya setingkat SO.<br />

8.1.1. 7. Alternatif Solusi<br />

Kondisi yang memprihatinkan tersebut tentunya menjadi tugas<br />

pemerintah untuk melindungi warganya. Bila mengacu pada berbagai<br />

penyebab trafficking, tampaknya yang menjadi kunci utama dalam konteks<br />

pencegahannya terletak pada bi<strong>dan</strong>g pendidikan. Dikatakan demikian<br />

karena korban trafficking umumnya berasal dari desa-desa sehingga<br />

tingkat pendidikan sampai tingkat menengah pun dianggap cukup. Oleh<br />

karena itu yang penting dalam upaya pencegahan trafficking ini adalah :<br />

Memberi pengetahuan yang memadai kepada masyarakat di desa­<br />

desa agar mereka mampu mengambil keputusan yang tepat untuk<br />

keluarga, karena bila mereka harus mengikuti pendidikan formal kondisi<br />

ekonominya sudah sangat miskin sehingga tidak memungkinkan untuk<br />

menyekolahkan anaknya.<br />

Selain faktor pendidikan, dukungan atau komitmen dari masing­<br />

masing kepala daerah juga sangat menentukan dalam keberhasilan<br />

penanganan human trafficking ini.<br />

Selama ini pengawasan dari orang tua, tokoh masyarakat, tokoh<br />

pendidikan, tokoh agama <strong>dan</strong> sebagainya tidak mampu menahan<br />

terjadinya pergeseran nilai karena yang menjadi faktor pendorong utama<br />

yang memicu mereka mau bekerja ke luar daerah adalah kemiskinan.<br />

Sejauh ini umumnya korban bukan berasal dari lingkungan pesantren<br />

147


sehingga tidak ada peran tokoh pesantren/agama yang turut mengawasi<br />

perubahan nilai yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu bila<br />

pencegahannya mengandalkan pada peranan mereka menjadi kurang<br />

efektif, meskipun peran mereka tetap dibutuhkan.<br />

Mengingat berbagai masalah di atas, dalam penanganan trafficking<br />

tidak cukup oleh pemerintah saja tetapi diperlukan kebersamaan dari<br />

seluruh stakeholders. Apalagi jumlah penduduk Jawa Barat merupakan<br />

yang tertinggi yang mencapai sekitar 42.500.000 jiwa. Anggap saja<br />

misalnya 49,90 persen adalah perempuan <strong>dan</strong> berdasarkan data BKKBN<br />

400.000 di antaranya adalah buta aksara, selain itu mereka juga diliputi<br />

oleh kemiskinan.<br />

Bila dilihat dari potensi sumberdaya stakeholders yang ada,<br />

sebenarnya Jawa Barat sangat potensial. lndikasinya tampak jelas seperti<br />

perguruan tinggi yang terbaik ada di Jawa Barat; kemudian BUMN-BUMN<br />

strategis juga ada di Jawa Barat. Harusnya mereka memiliki kepedulian<br />

dalam menangani masalah penanganan human trafficking. Sayangnya<br />

selama ini belum terlihat kontribusi dari mereka dalam menangani<br />

masalah sosial seperti human trafficking. Dalam kaitan ini BPPKB<br />

mengharapkan a<strong>dan</strong>ya peran CSR atau Bina Mitra Lingkungan yang<br />

dijalankan mereka dalam menangani masalah sosial ekonomi di<br />

masyarakat. Sejauh ini belum ada kerjasama penanganan CSR dengan<br />

BPPKB karena selama ini kerjasama CSR dilakukan melalui MOU dengan<br />

Gubernur. Dan kerjasama yang terjadi pun justru dengan instansi lain<br />

seperti dengan KUMKM. Sekarang ini BPPKB sudah mencoba mengirim<br />

surat langsung untuk membangun kerjasama dengan beberapa<br />

perusahaan besar yang ada. Namun kendalanya pihak perusahaan<br />

umumnya belum dapat memberikan keputusan dengan alasan harus<br />

berkonsultasi dulu dengan kantor pusat perusahaan. Sejauh ini BPPKB<br />

memasukkan programnya kepada instansi lain yang mendapatkan<br />

program CSR dari perusahaan. Selain peran serta perusahaan <strong>dan</strong><br />

perguruan tinggi, tentunya diharapkan a<strong>dan</strong>ya peran yang lebih dominan<br />

148


dari para tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, para ulama, orang<br />

tua.<br />

Oari hasil Rakornas kemarin ada inspirasi untuk bekerjasama<br />

dengan PGRI apakah materi sosialisasi ini bisa dimasukkan ke dalam<br />

kurikulum pendidikan, karena sekarang ini sudah mulai marak hubungan<br />

sex dilakukan juga oleh anak perempuan SO dengan laki-laki dewasa. Hal<br />

ini dipicu oleh kebutuhan material anak, misalnya anak yang bersangkutan<br />

memiliki Hp tapi dia tidak punya pulsa, akhirnya dia berupaya<br />

mendapatkan uang atau pulsa dengan cara berhubungan dengan laki-laki<br />

dewasa. Fenomena seperti ini sudah terjadi di mana-mana seperti di<br />

Me<strong>dan</strong>, Jakarta, Surabaya <strong>dan</strong> sebagainya. Untuk mengatasi hal ini<br />

kuncinya adalah pendidikan <strong>dan</strong> juga law enforcement.<br />

8.1.2. Penanganan Trafficking oleh Dinas Sosial Propinsi<br />

Jawa Barat<br />

Penduduk Jawa Barat dapat dikatakan yang terbanyak yakni<br />

mencapai 43,19 juta jiwa yang terbagi dalam 26 kabupaten/kota.<br />

Sehingga tidak heran bila jumlah korban trafficking merupakan salah satu<br />

yang terbanyak. Meskipun ka<strong>dan</strong>g korban yang dijemput sebenarnya<br />

bukan orang Jawa Barat tetapi memiliki KTP Jawa Barat. Hal ini terjadi<br />

mungkin karena perekrutnya dari Jawa Barat. Salah satu daerah yang<br />

menjadi kantong pengiriman buruh migran adalah lndramayu sehingga<br />

banyak korban trafficking yang berasal dari lndramayu. Banyaknya korban<br />

trafficking yang berasal dari daerah lndramayu antara lain karena<br />

budayanya cukup permisif. Misalnya kawin-cerai sudah menjadi hal yang<br />

dianggap wajar di sana. Kemudian perkawinan dini pun sudah menjadi<br />

hal biasa, sehingga seorang anak misalnya cukup sampai tamat SO<br />

kemudian membantu orang tua <strong>dan</strong> diupayakan untuk segera dinikahkan.<br />

Sekarang ini Bupati Jndramayu sudah mulai mengarahkan masyarakatnya<br />

melalui pendekatan agama (islam) melalui dinas instansi di bawahnya.<br />

Oaerah kantong lainnya adalah Sukabumi, Karawang, Cianjur, <strong>dan</strong><br />

kabupaten Cirebon.<br />

149


-<br />

Proses pengusulan pembentukan Gugus Tugas provinsi Jawa<br />

Barat yang khusus menangani trafficking sudah dimulai pada bulan Juni<br />

2008, <strong>dan</strong> pada bulan Agustus tahun 2009 diikuti oleh keluarnya<br />

Peraturan Gubernur tentang pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban<br />

perdagangan orang di Jawa Barat. Pembentukan susunan personalia<br />

gugus tugas pun sudah dituangkan dalam dokumen tertanggal September<br />

2009 tetapi pada saat itu baru mencantumkan nama instansi/lembaganya<br />

saja, belum orangnya. Oleh karena itu pembentukan gugus tugas secara<br />

real baru terjadi pada sekitar pertengahan tahun 2010 yang ditandai<br />

dengan permohonan data pegawai relawan Gugus Tugas pada 11<br />

Agustus 2010, <strong>dan</strong> rapat-rapat konsolidasinya baru dimulai akhir<br />

September 2010. Tugas Dinas Sosial bersama instansi terkait lainnya<br />

dalam gugus tugas tersebut meliputi pemulangan, rehabilitasi, <strong>dan</strong><br />

integrasi sosial, namun realitanya di antara anggota gugus tugas yang<br />

menangani materi tersebut belum pernah duduk bersama untuk<br />

mengkomunikasikan apa yang akan dilakukan oleh masing-masing<br />

instansi terkait. Rapat antar instansi dalam Gugus Tugas tersebut baru<br />

dilakukan sekali pad a bulan Oktober 2010 <strong>dan</strong> itu pun relatif banyak yang<br />

tidak hadir. Tampaknya proses pembentukan Gugus Tugas ini waktunya<br />

relatif bersamaan dengan pembentukan BPPKB yang baru dibentuk pada<br />

tahun 2008. Meskipun pembentukan BPPKB <strong>dan</strong> Gugus Tugas tersebut<br />

relatif baru tetapi penanganan korban trafficking di provinsi Jawa Barat<br />

sudah dijadikan model untuk penanganan korban trafficking pada tingkat<br />

nasional. Diduga hal ini terjadi karena istri gubernur Jawa Barat turut<br />

berpartisipasi aktif secara langsung <strong>dan</strong> bahkan memiliki pemahaman <strong>dan</strong><br />

konsep yang jelas terkait dengan masalah human trafficking, <strong>dan</strong><br />

didukung oleh kepemilikan data yang relatif lengkap tentang korban<br />

trafficking, baik untuk skala Jawa Barat maupun nasional. Dia pun sangat<br />

aktif menyuarakan tentang pentingnya penanganan human trafficking<br />

sehingga banyak didengar para pembuat keputusan. Sementara itu baru<br />

ada tiga kabupaten yang memiliki gugus tugas, akibatnya anggaran<br />

penanganan trafficking tidak teralokasikan dengan baik.<br />

150


Terkait dengan anggaran, Dinas Sosial provinsi Jawa Barat pada<br />

tahun 2010 tidak mendapat alokasi anggaran untuk penanganan<br />

trafficking, padahal Dinas Sosial memiliki seksi yang menangani<br />

KTK/korban tindak kekerasan <strong>dan</strong> pekerja migran yang salah satu<br />

bagiannya meliputi masalah human trafficking. Tidak a<strong>dan</strong>ya alokasi <strong>dan</strong>a<br />

yang dikhususkan untuk penanganan trafficking ini bukan disebabkan oleh<br />

a<strong>dan</strong>ya sentralisasi anggaran trafficking oleh BPPKB. Dikatakan demikian<br />

karena keterlibatan Dinas Sosial dalam gugus tugas baru terjadi pada<br />

tahun 2010, yakni sejak dibentuknya gugus tug as pad a tahun 2010. Selain<br />

itu lndikasinya juga terlihat dari proporsi alokasi anggaran dimana<br />

sebelum a<strong>dan</strong>ya BPPKB alokasi anggaran APBD untuk Dinas Sosial<br />

secara keseluruhan sebesar 0,3 persen, <strong>dan</strong> sekarang setelah a<strong>dan</strong>ya<br />

BPPKB anggarannya malah lebih besar menjadi 0,6 persen dari APBD.<br />

Mungkin ketiadaan alokasi anggaran penanganan human trafficking<br />

tersebut karena kesalahan Dinas Sosial. Eksplanasinya, ketika telah<br />

dilakukan penyusunan anggaran untuk kegiatan tahun 2009 <strong>dan</strong> siap<br />

untuk dilaksanakan, tiba-tiba ada kebijakan pengurangan anggaran yang<br />

diberlakukan kepada setiap OPD <strong>dan</strong> anggaran Dinas Sosial berkurang<br />

sebesar 15 milyar. Merespon kebijakan tersebut mungkin anggaran<br />

human trafficking menjadi salah satu mata anggaran yang dicoret, dengan<br />

pertimbangan bahwa anggaran penanganan trafficking yang relatif besar<br />

sudah dialokasikan di BPPKB yang menempati posisi sebagai ketua<br />

harian gugus tugas <strong>dan</strong> mengkoordinir teknis penanganan Gugus Tugas.<br />

Sementara Dinas Sosial hanya menempati posisi wakil ketua Gugus<br />

Tugas. lmplikasi dari ketiadaan alokasi anggaran tersebut, Dinas Sosial<br />

tidak mungkin melakukan tugas pemulangan korban ataupun melakukan<br />

kegiatan rehabilitasi.<br />

Menghadapi kondisi alokasi anggaran tersebut Dinas Sosial pernah<br />

melakukan pembicaraan dengan BPPKB <strong>dan</strong> diketahui bahwa anggaran<br />

<strong>dan</strong>a untuk penjemputan, pemulangan, <strong>dan</strong> rehabilitasi korban trafficking<br />

sudah dialokasikan di BPPKB. Pengalokasian anggaran yang hanya di<br />

BPPKB tentu menjadi kendala untuk kelancaran penanganan human<br />

151


trafficking yang dilakukan Dinas Sosial. Dikatakan demikian, karena<br />

meskipun bisa saja kegiatannya dilaksanakan di Gugus Tugas, tetapi<br />

mengingat peraturan anggaran APBD, maka pelaksananya pasti harus<br />

ada di Dinas yang bersangkutan. Oleh karena itu ketika misalnya harus<br />

melakukan penjemputan korban, maka pihak Dinas Sosial lebih bersifat<br />

menunggu diajak BPPKB tanpa mengetahui anggaran siapa atau apa<br />

yang digunakan untuk membiayainya. Bahkan jumlah orang yang<br />

diikutsertakan dalam kegiatan itupun ditentukan oleh instansi lain<br />

(BPPKB). lmplikasinya penanganan trafficking yang dapat dilakukan oleh<br />

Dinas Sosial sangat terbatas mengingat tidak memiliki anggaran<br />

tersendiri. Memang di Dinas Sosial dialokasikan <strong>dan</strong>a on call untuk<br />

pemulangan orang terlantar, namun besar alokasinya jauh dari<br />

mencukupi. Dana ini bisa digunakan untuk pemulangan orang terlantar<br />

dengan syarat ada keterangan dari polisi yang menyatakan bahwa dia<br />

terlantar <strong>dan</strong> ingin pulang, tetapi tidak secara khusus dialokasikan untuk<br />

menangani konsumsi, rehabilitasi korban trafficking. Besarnya bantuan<br />

untuk mereka yang di Jawa Barat sebesar 100 ribu rupiah, untuk antar<br />

propinsi lain lagi<br />

Sementara ini peran Dinas Sosial dalam implementasinya di Gugus<br />

Tugas adalah ikut menjemput korban trafficking di beberapa tempat.<br />

Pemulangan <strong>dan</strong> penjemputan tersebut menggunakan anggaran dari<br />

gugus tugas. Penjemputan ini biasanya dilakukan bila ada laporan dari<br />

keluarga korban atau ada berita dari daerah tujuan mengenai korban<br />

trafficking melalui hubungan antar Polda, atau ada korban yang melarikan<br />

diri kemudian lapor ke Polda. Bila hal itu terjadi maka pihak Gugus Tugas<br />

melakukan penjemputan terhadap korban trafficking tersebut <strong>dan</strong> korban<br />

tersebut selanjutnya dimasukkan ke shelter P2TP2A. Penanganan di<br />

shelter dilanjutkan dengan pemeriksaan untuk proses hukum terkait<br />

dengan perekrut, penampung <strong>dan</strong> sebagainya, juga dilakukan medical<br />

check up, <strong>dan</strong> pemberian keterampilan. Keseluruhan proses di shelter ini<br />

memakan waktu maksimal 10 hari. Selama ini waktu pembinaan di shelter<br />

selama 10 hari tersebut dirasakan cukup, karen a korban umumnya ingin<br />

152


segera dipulangkan. Bagi mereka yang ingin pulang sebelum waktunya<br />

maka terlebih dahulu harus ada rekomendasi dari psikolog yang<br />

menanganinya di shelter. Setelah itu barulah korban dipulangkan ke<br />

daerah asalnya yang dilakukan melalui shelter ataupun instansi yang<br />

berwenang di daerah. Prosedur pemulangan seperti itu penting karena<br />

pemantauan lanjutan terhadap korban yang bersangkutan dilimpahkan ke<br />

pemerintah daerah asal korban. Pemantauan ini penting agar korban tidak<br />

kembali lagi atau menjadi korban untuk kedua kalinya. Apa lagi korban<br />

yang dijemput tersebut ada yang merasa menjadi korban, tapi ada juga<br />

yang tidak merasa menjadi korban . lmplikasinya tentu berbeda karena<br />

untuk mereka yang merasa menjadi korban akan merasa traumatik<br />

sehingga kapok <strong>dan</strong> tidak mau kembali lagi. Sementara untuk mereka<br />

yang dijemput tetapi sebenarnya dia merasa pekerjaannya sebagai profesi<br />

maka penanganannya lebih sulit karena akan banyak kebohongan <strong>dan</strong><br />

cenderung untuk kembali lagi ke tempat pekerjaannya.<br />

Penjemputan ini sebenarnya tidak perlu dilakukan langsung oleh<br />

kepala dinas tetapi cukup seksi yang menanganinya, tapi karena ka<strong>dan</strong>g<br />

yang mengajak penjemputan itu langsung istri gubernur maka biasanya<br />

yang berangkat menjemput langsung adalah kepala dinas. Namun untuk<br />

yang lainnya seperti ketika melakukan penjemputan korban trafficking di<br />

provinsi Bangka Belitung, yang berangkat menjemput adalah kepala seksi<br />

yang menangani trafficking. Anggaran untuk penjemputan tersebut<br />

menggunakan SPPD kepala dinas yang sebenarnya tidak dialokasikan<br />

untuk kegiatan penanganan trafficking. Selain kegiatan itu juga ikut terlibat<br />

dalam melakukan rehabilitasi para korban trafficking bersama LSM atau<br />

yayasan yang menangani korban, tetapi tidak khusus trafficking karena<br />

termasuk juga orang yang terlantar.<br />

Jumlah yayasan yang ada di Jawa Barat sekitar 1.200 yayasan <strong>dan</strong><br />

yang khusus menangani anak sekitar 700 yayasan. Selebihnya ada yang<br />

menangani lanjut usia, orang cacat, anak nakal, <strong>dan</strong> sebagainya. Tetapi<br />

yang negeri atau milik pemerintah baik pusat atau provinsi jumlahnya<br />

hanya sedikit. Sementara kabupaten/kota belum ada yang memiliki panti<br />

153


penampungan seperti itu, meskipun dalam un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g 32 hal tersebut<br />

merupakan kewenangan wajib. Sebagian panti yang ada di<br />

kabupaten/kota merupakan milik swasta. Yayasan yang sering kerja sama<br />

dengan Dinas Sosial provinsi adalah yayasan Puspita Cipasung di<br />

Tasikmalaya yang banyak menangani KDRT. Sementara untuk masalah<br />

buruh migran dikoordinir oleh kabupaten kota karena provinsi tidak<br />

memiliki shelter, kecuali di kabupaten lndramayu. Se<strong>dan</strong>gkan untuk di<br />

kota Bandung adalah yayasan Jari Uaringan relawan independen) yang<br />

dikelola oleh para dokter. Se<strong>dan</strong>gkan yayasan Bahtera fokusnya ke<br />

pendidikan anak jalanan.<br />

Meskipun Dinas Sosial provinsi Jawa Barat tidak memiliki anggaran<br />

khusus untuk penanganan masalah human trafficking namun sudah<br />

memiliki rumah singgah/shelter. Kondisi rumah singgah tersebut sekarang<br />

se<strong>dan</strong>g direnovasi/dibangun dengan menggunakan <strong>dan</strong>a dari APBD<br />

provinsi Jawa Barat. Nantinya rumah singgah ini akan difungsikan sebagai<br />

trauma center sehingga tidak hanya digunakan untuk menampung korban<br />

trafficking melainkan bisa juga untuk korban lainnya seperti anak terlantar,<br />

KDRT <strong>dan</strong> lain-lain. Karban yang ditangani di rumah singgah tersebut<br />

selanjutnya akan dirujuk lagi ke panti yang seharusnya menampung. Oleh<br />

karena itu tugas rehabilitasi korban trafficking yang menjadi tugas Dinas<br />

Sosial pelaksanaannya untuk sementara :ni ditunjuk P2TP2A yang<br />

mengelola shelter milik BPPKB sebagai pelaksananya. Shelter P2TP2A ini<br />

dibangun atau diupayakan kepemilikannya oleh istri gubernur untuk<br />

menangani korban trafficking yang ditangani Gugus Tugas. Sebelum ada<br />

shelter P2TP2A ini , penampungan <strong>dan</strong> rehabilitasi korban trafficking<br />

biasanya dimasukkan ke shelter milik PKK yaitu RP3A (rumah<br />

perlindungan perempuan <strong>dan</strong> anak).<br />

Program penanganan trafficking dari Dinas Sosial ke depannya<br />

akan mengikuti kebijakan di Gugus Tugas, dalam artian akan dibuat<br />

program khusus untuk penanganan human trafficking. Oleh karena itu<br />

untuk kegiatan tahun 2011 sudah diusulkan program kegiatan<br />

penanganan di shelter seperti bimbingan teknis atau pelatihan-pelatihan<br />

154


untuk pengurus yayasan-yayasan dengan mengambil nara sumber dari<br />

Departeman <strong>dan</strong> STKS, serta gugus tugas. Selain itu juga sudah<br />

diusulkan kegiatan untuk rehabilitasi sosial!pemulihan, bimbingan bantuan<br />

keterampilan usaha ekonomi produktif. Bentuk implementasinya nanti<br />

tergantung pada bakat <strong>dan</strong> minat, karena program ini ditujukan kepada<br />

korban KDRT <strong>dan</strong> pekerja migran baik ke luar negeri (TKI) atau antar<br />

daerah. Dalam konteks ini trafficking merupakan bagian dari pekerja<br />

migran. Adapun pesertanya adalah para korban yang terlebih dahulu<br />

diseleksi oleh kabupaten kota. Kegiatan lainnya yang diusulkan untuk<br />

2011 adalah kegiatan pencegahan seperti sosialisasi kepada masyarakat<br />

ietapi pelaksananya adalah kabupaten/kota.<br />

Banyak dari para korban trafficking yang sebenarnya pergi <strong>dan</strong><br />

masuk ke wilayah pekerjaan yang potensial menjadi korban trafficking<br />

malakukannya secara sadar <strong>dan</strong> tanpa ijin baik dari keluarga, orang tua,<br />

atau suami, ataupun pemerintah. Tetapi kemudian ketika menjadi korban<br />

trafficking dia melapor. Namun ada pula yang diijinkan atau bahkan<br />

disuruh oleh keluarga, orang tua, atau suami. Bila dilihat akar<br />

penyebabnya diduga kuat adalah kemiskinan, meskipun sebenarnya<br />

penyebabnya tidak tunggal karena banyak juga orang miskin yang tidak<br />

melakukan pekerjaan seksual. Jadi yang lebih dominan kemungkinan<br />

penyebabnya adalah kebodohan baik dari sisi pendidikan formal maupun<br />

agama. Untuk mengurangi jumlah korban perlu pengawasan yang lebih<br />

ketat terhadap yayasan pengirim tenaga kerja <strong>dan</strong> memberi sangsi yang<br />

berat bila mereka melakukan pelanggaran.<br />

Hal yang positif dari a<strong>dan</strong>ya Gugus Tugas adalah memberi<br />

kejelasan tugas kepada masing-masing sub-gugus tugas. Agak berbeda<br />

dengan tim koordinasi karena tim ini akan menghasilkan sinergi,<br />

komunikasi, kerjasama. Jadi yang menghawatirkan dari gugus tugas<br />

adalah terjadinya ego sektoral karena hanya semata- mata fokus kepada<br />

tugasnya masing-masing, sehingga kurang ada kerjasama. Untuk<br />

menghindari kemungkinan tersebut maka dibutuhkan dukungan kebijakan<br />

dari pimpinan instansi yang sudah diberikan tugas, dukungan Kemensos,<br />

155


<strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan. Kendala lain adalah a<strong>dan</strong>ya<br />

perbedaan kepangkatan atau eselon dari aparat yang mewakili<br />

instansinya di gugus tugas. lmplikasinya gugus tugas tidak bisa<br />

mengambil satu keputusan dengan cepat bila harus melibatkan a<strong>dan</strong>ya<br />

keputusan dari dinas atau instansi yang menjadi anggota gugus tugas,<br />

karena personal yang mewakilinya tidak memiliki kewenangan untuk<br />

mengambil keputusan. Dia harus melapor dulu ke kepala dinasnya, baru<br />

bisa diputuskan. Memang diharapkan a<strong>dan</strong>ya penyelesaian lebih spesifik<br />

terhadap korban trafficking. Hal ini mungkin bisa diatasi bila Gugus Tugas<br />

diberi kewenangan untuk mengambil keputusan atas nama dinas/instansi<br />

yang menjadi anggotanya. Namun hal ini tentunya membutuhkan<br />

peraturan khusus yang mendukung pemberian kewenangan tersebut.<br />

Keberadaan gugus tugas merupakan hal yang positif karena<br />

penanganan trafficking tidak bisa ditangani satu dinas karena akan ada<br />

konflik kepentingan. Misalnya Dinas Sosial terus menangani rehabilitasi,<br />

sementara Dinas Tenaga Kerja terus menerus melakukan pengiriman TKI<br />

maka permasalahannya tidak pernah selesai.<br />

Meskipun Gugus Tugas tersebut telah melakukan sosialisasi<br />

secara spesifik menangani masalah trafficking <strong>dan</strong> relatif lebih merata<br />

sampai ke tingkat desa, namun untuk langkah pencegahannya<br />

sebenarnya tidak bisa hanya terfokus kepada masalah trafficking.<br />

Dikatakan demikian karena sifat penanganannya harus menyeluruh<br />

mengingat bahwa masalah ini menyangkut berbagai aspek seperti<br />

kebodohan, kemiskinan, <strong>dan</strong> sebagainya. Namun demikian sosialisasi<br />

perda perlu terus menerus dilakukan sampai ke tingkat desa agar dapat<br />

diimplementasikan secara menyeluruh. Untuk mengefektifkan<br />

penanganan trafficking, yang penting semua dinas/instansi yang menjadi<br />

anggota gugus tugas harus mendukung program yang dicanangkan oleh<br />

BPPKB. Artinya instansi terkait perlu membuat program yang dapat<br />

dilakukan instansinya guna mendukung BPPKB karena anggaran untuk itu<br />

ada di BPPKB.<br />

156


Menyangkut pekerja migran, maka pihak-pihak yang terkait dalam<br />

penanganannya harus ada Gugus Tugas tersendiri baik di tingkat pusat<br />

maupun provinsi, karena yang menjadi penyebabnya ada di pekerja<br />

migran yang jumlahnya mencapai jutaan orang <strong>dan</strong> scopenya sampai ke<br />

luar negeri. Gugus tugas tersebut lah yang harus menyeleksi secara ketat<br />

mereka yang akan bekerja ke luar negeri, sehingga tidak hanya mengikuti<br />

keinginan calon pekerja migran tersebut bekerja di luar negeri. Dalam<br />

proses seleksinya perlu juga dilihat hal lainnya dengan analisis yang lebih<br />

mendalam terkait dengan buruh migran. Karena bila yang bersangkutan<br />

misalnya ingin cepat kaya maka dia diduga punya kecenderungan untuk<br />

mengerjakan apa saja termasuk menjual diri yang pada gilirannya menjadi<br />

korban trafficking. Pengetatan dalam konteks pencegahan pun harus<br />

menyeluruh antar daerah karena, misalnya, seseorang dicegah berangkat<br />

di suatu daerah, maka dia bisa saja berangkat dari daerah lain yang lebih<br />

longgar proses seleksinya dengan cara membuat KTP di daerah tersebut.<br />

Selain itu pelatihan yang dilakukan PPTKIS pun perlu disesuaikan dengan<br />

skill yang dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan di luar negeri. Untuk<br />

itu pelatihan yang diberikan perlu melihat kepada job ordernya.<br />

8.1.3. Penanganan Trafficking oleh Dinas Pendidikan di<br />

Provinsi Jawa Barat<br />

Masalah human trafficking di Dinas Pendidikan masuk dalam<br />

Bi<strong>dan</strong>g Kesetaraan <strong>dan</strong> Pendidikan Masyarakat. Penanganan masalah<br />

trafficking di bi<strong>dan</strong>g ini khususnya masuk dalam Sektor Pendidikan<br />

Masyarakat, yakni bagaimana mengubah mind set masyarakat supaya<br />

berfikiran yang lebih baik. Jadi pendidikan mengenai trafficking ini tidak<br />

secara langsung masuk dalam pembelajaran namun disisipkan dalam<br />

pembelajaran keaksaraan fungsional yang diarahkan untuk memberantas<br />

penduduk yang masih buta aksara. Kemudian juga dilakukan melalui<br />

kegiatan penguatan litteracy melalui penguatan taman bacaan masyarakat<br />

(TBM) yang ada di Jawa Barat, artinya buku-buku tentang trafficking<br />

didistribusikan ke TBM tersebut. Penanganan masalah trafficking juga<br />

157


dimasukkan dalam penyelenggaraan paket A (SO), B (SMP), C (SMA)<br />

yakni dengan cara memfasilitasi masyarakat yang putus sekolah untuk<br />

kembali melanjutkan pendidikannya ..<br />

Dalam konteks Gugus Tugas pada tingkat provinsi Bi<strong>dan</strong>g<br />

Kesetaraan <strong>dan</strong> Pendidikan Masyarakat ini menjadi anggota gugus tugas<br />

penanganan trafficking di Jawa Barat. Bahkan secara struktural polanya<br />

mengikuti pola di tingkat pusat yang memposisikan Dinas Pendidikan<br />

sebagai leading sector di bi<strong>dan</strong>g pencegahan. Dinas ini menjadi leading<br />

sector karena pendidikan diharapkan menjadi sektor utama dalam<br />

mengubah mind set. Dalam implementasinya yang sudah dilakukan Dinas<br />

Pendidikan provinsi Jawa Barat adalah melakukan sosialisasi ke sekolah­<br />

sekolah, atau paling tidak melakukan sosialisasi ke lembaga pendidikan<br />

non formal (seperti pusat kegiatan belajar masyarakat <strong>dan</strong><br />

sanggar kegiatan belajar <strong>dan</strong> lembaga lain yang menyeleggarakan satuan<br />

pendidikan non formal). Sosialisasi melalui pendidikan non formal tersebut<br />

diasumsikan tepat sasaran karena kondisi realnya permasalahan<br />

trafficking tersebut melekat pada masyarakat grass root, sementara untuk<br />

masyarakat kelas menengah ke atas kondisinya sudah cukup baik<br />

sehingga derajat kepentingan melakukan sosialisasi tentang trafficking<br />

pada level tersebut lebih rendah daripada masyarakat grass root.<br />

Dilihat dari materi sosialsasinya sebenarnya sosialisasi yang<br />

dilakukan Dinas Pendidikan (Disdik) ini bersifat umum seperti<br />

memfasilitasi masyarakat yang putus sekolah, jadi tidak fokus pada<br />

masalah trafficking. Padahal untuk skala Diknas sudah memiliki program<br />

khusus yang terkait langsung dengan masalah trafficking yang langsung<br />

ditangani Dirjen PNFI (pendidikan non forma informal!).<br />

Meskipun masuk dalam Gugus Tugas, Dalam melakukan<br />

sosialisasi tersebut implementasinya dilakukan sendiri-sendiri atau tidak<br />

bekerja sama dengan instansi lain seperti BPPKB, Polisi, <strong>dan</strong> sebagainya.<br />

Hal ini terjadi karena ada perbedaan prioritas dalam programnya. Dalam<br />

hal ini BPPKB <strong>dan</strong> Kepolisian cenderung pada penanganan trafficking<br />

158


yang bersifat kuratif, meskipun mereka menjalankan juga program<br />

kegiatan yang bersifat preventif, sementara Dinas Pendidikan lebih<br />

dominan pada tindakan preventif, meskipun juga ada kegiatan yang<br />

sifatnya kuratif seperti misalnya ketika ada korban di satu daerah maka<br />

korban tersebut coba diarahkan masuk ke lembaga pendidikan non<br />

formal. Contoh aktualnya ketika ada korban di lndramayu yang masih<br />

dalam usia sekolah, maka Dinas Pendidikan melakukan tindakan kuratif<br />

dengan berupaya memasukkan korban kembali ke sekolah. Selain itu<br />

perbedaan tersebut juga terjadi karena perbedaan kementerian yang<br />

menjadi induk instansinya. Sebagai contoh , Dinas Pendidikan menginduk<br />

ke <strong>Kementerian</strong> Pendidikan Nasional se<strong>dan</strong>gkan BPPKB menginduk ke<br />

<strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan. lmplikasinya cenderung<br />

memunculkan ego sectoral sehingga masing-masing menjalankan<br />

program yang diturunkan dari masing-masing kementeriannya.<br />

Sinkronisasi program di antara anggota gugus tergantung pada<br />

tupoksi instansi masing-masing. Misalnya Dinas Pendidikan maka<br />

fokusnya di dunia pendidikan bagaimana implementasi tentang negatifnya<br />

trafficking terhadap dunia persekolahan baik itu formal maupun non<br />

formal , sementara instansi lain juga menggarap hal yang sama namun<br />

dengan sasaran yang berbeda. Jadi koordinasinya hanya berdasarkan<br />

pada tupoksi masing-masing instansi, tidak ada satu rancangan program<br />

besar bersarria yang menjadi payung kegiatan anggota gugus tugas.<br />

Namun demikian setiap kegiatan yang dilakukan oleh OPD<br />

dikomunikasikan kepada tim gugus tugas sehingga instansi lain yang<br />

menjadi anggota gugus tugas mengetahui apa yang se<strong>dan</strong>g dilakukan<br />

oleh instansi lain terkait dengan penanganan trafficking.<br />

Hal yang perlu dicermati barangkali implikasi dari kondisi koordinasi<br />

program semacam itu menyebabkan kegiatan penanganan trafficking<br />

menjadi bersifat sektoral karena akan sangat tergantung pada interest dari<br />

masing-masing OPD (organisasi perangkat daerah). Yang terjadi<br />

mungkin hanya mencoba mengaitkan masalah trafficking ini dengan<br />

tupoksi yang existing, sehingga sifatnya tidak langsung meskipun itu<br />

159


diakui bermanfaat dalam konteks penanganan trafficking. lmplikasi lainnya<br />

adalah tidak memungkinkan a<strong>dan</strong>ya program evaluasi yang menyeluruh<br />

terhadap kegiatan penanganan trafficking yang dilakukan oleh berbagai<br />

instansi di tingkat pemda provinsi Jawa Barat. lnformasi yang diperoleh<br />

dari Biro Bangsos memang dalam konteks kebijakan trafficking<br />

dikoordinasikan Assisten Bangsos, namun implementasinya diserahkan<br />

kepada tupoksi masing-masing dinas daerah/OPD. Oleh karena itu<br />

evaluasinya hanya dilakukan oleh masing-masing instansi sesuai dengan<br />

tupoksinya. Kalau saja bisa dibentuk program besar yang menjadi payung<br />

bersama maka mungkin penanganan trafficking ini dapat lebih tajam.<br />

Dalam sisi anggaran untuk penanganan trafficking tidak ada<br />

sentralisasi anggaran di BPPKB, Dinas Pendidikan menggunakan<br />

anggaran sendiri sesuai dengan tupoksi. Namun demikian bila ada korban<br />

maka Disdik merasa berkewajiban untuk turut menanganinya sejauh<br />

terkait dengan pendidikan.<br />

Secara organisasional Dinas Pendidikan Provinsi ini memiliki garis<br />

koordinasi dengan Dinas Pendidikan tingkat kabupaten, sebagaimana<br />

juga dari kementrian kepada provinsi sifatnya koordinatif. Oleh karena itu<br />

keberhasilan program pada dasarnya tergantung pada pemerintah<br />

kabupaten/kota sebagai pemilik kewenangan yang otonom di daerah.<br />

8.1.4. Penanganan Trafficking oleh Biro Pengembangan<br />

Sosial Provinsi di Jawa Barat<br />

Menurut informan dari Biro Pengembangan Sosial Sekretariat<br />

Daerah Provinsi Jawa Barat, Biro Bangsos tidak secara spesifik<br />

menangani masalah human trafficking karena sifat penanganannya di sini<br />

lebih makro, yakni pemberdayaan perempuan yang salah satu elemennya<br />

adalah human trafficking. lni pun hanya terkait dalam pembuatan<br />

kebijakannya saja sehingga lebih mengarah pada pembinaan, pemberian<br />

pedoman, <strong>dan</strong> sebagainya terhadap OPD yang terkait baik tingkat provinsi<br />

maupun kabupaten. Sosialisasi yang diberikan terkait dengan PerGub<br />

160


tentang trafficking. Sementara untuk pelaksanaan teknisnya ada di<br />

BPPKB. Evaluasi yang dilakukan terkait dengan program trafficking<br />

dilakukan oleh masing-masing instansi terkait sesuai dengan tupoksinya,<br />

demikian pula pemberdayaan perempuan di Biro Bangsos ini. Yang<br />

menarik dari keterangan responden tersebut adalah bahwa Biro Bangsos<br />

tidak terlibat langsung dalam penanganan masalah human trafficking,<br />

padahal bila merujuk pada Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang<br />

Gugus Tugas Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan Korban Perdagangan Orang<br />

jelas dinyatakan bahwa Kepala Biro Pengembangan Sosial Sekretariat<br />

Daerah Provinsi Jawa Barat diposisikan sebagai salah satu wakil ketua<br />

harian dari Gugus Tugas tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa<br />

masalah koordinasi <strong>dan</strong> kesamaan persepsi menjadi kendala yang relatif<br />

besar di dalam Gugus Tugas. Untuk itu upaya perbaikan koordinasi,<br />

penyamaan persepsi, sinkronisasi kegiatan, <strong>dan</strong> komunikasi alokasi<br />

anggaran merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Gugus Tugas<br />

agar lembaga ini dapat berjalan lebih effektif.<br />

8.1.5. Penanganan Trafficking oleh Kantor Imigrasi Kelas I di<br />

Provinsi Jawa Barat<br />

Selama satu tahun terakhir ini belum ada kasus trafficking yang<br />

terungkap oleh pihak lmigrasi ketika ketika proses pembuatan pasport.<br />

Hanya pada tahun 2009 ada 1 kasus yang terungkap yang kemudian<br />

pembuatan passportnya dibatalkan.<br />

Dalam konteks penanganan human trafficking beberapa informasi<br />

yang disampaikan para responden mengindikasi a<strong>dan</strong>ya permasalahan<br />

yang terkait dengan keimigrasian. Masalahnya sebagaimana telah<br />

diungkapkan terdahulu, di bagian Koordinasi Gugus Tugas Provinsi Jabar,<br />

pada beberapa kasus daerah pengirim seperti lndramayu tidak merasa<br />

mengeluarkan rekomendasi kepada orang tertentu yang ditenggarai akan<br />

menjadi korban trafficking untuk pembuatan pasport, namun ternyata<br />

pasportnya dapat dikeluarkan oleh kantor imigrasi pusat. lmplikasinya<br />

pihak daerah kabupaten/kota merasa bahwa upaya yang mereka lakukan<br />

161


dalam mencegah terjadinya korban traffiking menjadi sia-sia atau tidak<br />

effektif karena koordinasi yang sudah dicoba dibangun melalui gugus<br />

tugas tidak berjalan sebagaimana mestinya.<br />

Ketika permasalahan ini dikonfirmasikan kepada pihak imigrasi,<br />

diperoleh jawaban bahwa bagi pihak imigrasi apa yang dilakukannya<br />

sudah sesuai dengan tugas pokok <strong>dan</strong> fungsinya (tupoksi) yakni 1.<br />

lmigrasi merupakan tempat di mana orang minta dibuatkan pasport. Dan<br />

un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g negara menyatakan bahwa semua orang berhak<br />

mendapatkan pasport terkecuali ada pencegahan karena un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g.<br />

2. lmigrasi tidak bisa memaksakan seseorang untuk mengakui tentang<br />

tujuan dia pergi ke luar negeri. Hal inilah menyebabkan imigrasi selalu<br />

dipertanyakan mengapa meloloskan orang bekerja di luar negeri, padahal<br />

pihak imigrasi sudah melakukan wawancara terhadap pemohon pasport<br />

tersebut. Di sisi lain, pihak imigrasi pun tidak bisa berbuat banyak bila,<br />

misalnya, orang yang diwawancarainya tidak menyatakan tujuan yang<br />

sebenarnya dia pergi ke luar negeri. Sebagai contoh bisa saja orang yang<br />

diwawancarai tersebut hanya mengatakan mau jalan-jalan atau menemui<br />

saudaranya di luar negeri, padahal sebenarnya dia mau bekerja di luar<br />

negeri. Memang bisa saja ketika melakukan wawancara pihak imigrasi<br />

mencurigai kemungkinan a<strong>dan</strong>ya korban trafficking, tetapi bila tidak ada<br />

unsur yang dapat membuktikannya maka pihak imigrasi pun tidak bisa<br />

berbuat apa-apa, karena bila mengambil tindakan, seperti misalnya, tidak<br />

mengeluarkan pasportnya maka bisa dicomplain oleh pihak pemohon.<br />

Sementara itu setelah yang bersangkutan berada di luar negeri kemudian<br />

ternyata dia bekerja di sana, maka pihak imigrasi pun tidak memiliki<br />

kewenangan lagi untuk mengambil tindakan.. lmigrasi bisa mengambil<br />

tindakan dengan tidak menerbitkan pasport hanya bila ada persyaratan<br />

yang tidak dipenuhi pemohon, misalnya ketika ada persyaratan tambahan<br />

seperti keterangan dari Depnaker <strong>dan</strong> sebagainya yang tidak dilampirkan<br />

oleh pemohon. Untuk para TKI yang memohon pasport harus dilengkapi<br />

dengan rekomendasi dari PPTKIS <strong>dan</strong> melengkapi surat-surat dari<br />

BNP2TKI, <strong>dan</strong> ada permohonan dari perusahaannya, barulah dapat<br />

162


dibuatkan passport TKI 24 lembar. Persyaratan itupun hanya berlaku bila<br />

ada orang yang diberangkatkan melalui perusahaan pengerah tenaga<br />

kerja. Sementara untuk perorangan tidak ada un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yang<br />

melarang seseorang untuk mendapatkan pasport. Untuk individu yang<br />

melakukan perjalanan wisata diberikan passport 48 lembar. Pendeteksian<br />

melalui pemeriksaan jumlah uang yang dimiliki dalam accaunt pemohon<br />

mungkin bisa digunakan walaupun belum tentu akurat, namun realitanya<br />

pihak lmigrasi pun tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa accaunt<br />

pemohon pasport. Pendeteksian yang lebih tajam mungkin dilakukan bila<br />

dalam wawancara yang dilakukan, pihak pemohon pasport sempat salah<br />

bicara (misalnya tercetus mau bekerja di luar) yang menimbulkan<br />

kecurigaan, barulah pihak imigrasi mendalami informasi dari pihak<br />

pemohon tersebut dengan melakukan berbagai cross check<br />

Secara institusional pihak lmigrasi sudah memiliki concern untuk<br />

melakukan pencegahan agar tidak terjadi korban trafficking, dalam artian<br />

sudah ada kebijakan dari tingkat pusat untuk mewaspadai terjadinya<br />

korban trafficking. Kebijakan ini diimplementasikan ketika melakukan<br />

wawancara kepada para pemohon pasport. Untuk itu orang yang diberi<br />

kewenangan untuk melakukan wawancara pun dipilih secara ketat karena<br />

dia akan menjadi motor yang mampu mendeteksi terjadinya trafficking.<br />

Dari sisi peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan ataupun kewenangan<br />

yang dimiliki imigrasi dirasakan sudah memadai, tidak perlu ada<br />

penambahan peraturan khusus untuk penanganan traffiking karena<br />

kalaupun akan ditambah peraturannya maka ditenggarai akan<br />

menyulitkan bagi orang lainnya, mengingat bahwa suatu peraturan itu<br />

akan berlaku umum. Kalaupun mau ditingkatkan efektivitasnya, yang<br />

diperlukan adalah peningkatan kemampuan dalam mewawancarai<br />

pemohon pasport sehingga mampu mengungkap indikasi a<strong>dan</strong>ya unsur<br />

trafficking. Namun demikian upaya itupun perlu ditimbang lagi karena<br />

selama ini sudah ada pendidikan <strong>dan</strong> pelatihan bagi pejabat teknis,<br />

termasuk pewawancara/teknik interogasi. Selain itu, prosedurnya hasil<br />

wawancara yang dilakukan aparat pelaksana juga masih disaring lagi oleh<br />

163


pejabat yang berwenang di kantor imigrasi yang disebut Ajudikapol untuk<br />

mengevaluasi akurasi dari hasil wawancara tersebut. Artinya teknik <strong>dan</strong><br />

prosedur wawancara tersebut sudah dilakukan secara ketat, tidak perlu<br />

ada penambahan.<br />

Terkait dengan keluhan dari daerah pengirim seperti lndramayu<br />

yang merasa tidak mengeluarkan rekomendasi tetapi ternyata kepada<br />

yang bersangkutan dikeluarkan passportnya, kemungkinan itu terjadi<br />

karena manipulasi atau merubah tujuan keberangkatan yang<br />

bersangkutan dari tujuan bekerja menjadi TKI menjadi tujuan wisata,<br />

sehingga kepada yang bersangkutan diberikan passport 48 lembar.<br />

Karena untuk passport TKI mutlak harus dilampiri oleh surat rekomendasi,<br />

sehingga tanpa itu tidak mungkin keluar passport 24 lembar tersebut.<br />

Mengapa diberikan passport 24 lembar karena umumnya kontrak kerja<br />

dari TKI adalah 2 tahun <strong>dan</strong> passport tersebut hanya berlaku 3 tahun,<br />

sementara yang 48 lembar berlaku 5 tahun.<br />

8.1.6. Kabupaten Indramayu<br />

8.1.6.1. Penanganan Trafficking oleh BPPKB di Kabupaten lndramayu<br />

Penanganan korban trafficking di lndramayu cukup responsif<br />

karena Bupati yang kini se<strong>dan</strong>g menjabat memiliki karakter spontan,<br />

artinya bila ada permasalahan maka harus segera ditangani tidak boleh<br />

menunggu-nunggu. Selain itu kebetulan bupati juga sangat peka terhadap<br />

permasalahan human trafficking. Karakteristik lain yang mendukung<br />

adalah a<strong>dan</strong>ya keinginan bupati selalu menemukan gagasan-gagasan<br />

aktual dalam melakukan tugasnya, oleh karena itu salah satu kegiatannya<br />

adalah melakukan RKB atau rakyat ketemu bupati yang dilakukan setiap<br />

hari Jumat yang dihadiri oleh OPD-OPD terkait. Pesertanya adalah rakyat<br />

miskin. Kegiatan semacam ini juga diwajibkan kepada kecamatan di<br />

bawahnya untuk melakukan hal yang sama dalam upaya menyelesaikan<br />

persoalan kemiskinan yang dihadapi masyarakatnya seperti masalah<br />

pendidikan, kesehatan, sosial, <strong>dan</strong> sebagainya. Dalam pertemuan<br />

164


tersebut kepada masyarakat peserta pertemuan biasanya diberikan<br />

sembako <strong>dan</strong> uang transport, serta diberi kesempatan untuk<br />

memanfaatkan pelayanan yang ada di kabupaten.<br />

Secara kelembagaan di kabupaten lndramayu ada 2 OPD<br />

(organisasi perangkat daerah) yang menangani trafficking baik langsung<br />

maupun tidak langsung yaitu Dinas Sosial, Tenaga Kerja <strong>dan</strong><br />

Transmigrasi <strong>dan</strong> BPPKB. Namun karena BPPKB ini merupakan lembaga<br />

baru yang dibentuk sekitar 2 tahun yang lalu, maka kewenangan BPPKB<br />

dalam penanganan korban trafficking tidak sejauh Dinas Sosial. Sebagai<br />

contoh, rumah singgah untuk penanganan korban trafficking <strong>dan</strong><br />

pemberian keterampilan bagi mereka diposisikan di lingkungan Dinas<br />

Sosial, Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi. Tetapi tugas fasilitasi <strong>dan</strong><br />

koordinasi ada dalam kewenangan BPPKB karena BPPKB menjadi<br />

leading sector dalam Gugus Tugas penanganan trafficking. Gugus tugas<br />

ini terdiri dari dinas-dinas terkait, termasuk melibatkan kejaksaan <strong>dan</strong><br />

kepolisian serta LSM. LSM yang aktif menangani trafficking antara lain<br />

LSM Kesuma Bongas di kecamatan Bongas <strong>dan</strong> LSM Assakinah yang<br />

berdomisili di kecamatan Sliyeg yang merupakan binaan dari ibu Sinta<br />

Nuriah mantan ibu negara <strong>dan</strong> pernah memberikan bantuan <strong>dan</strong>a abadi<br />

sebesar 50 juta rupiah kepada LSM tersebut. BPPKB sejauh ini merasa<br />

terbantu oleh keberadaan LSM-LSM.<br />

Dalam konteks kewenangan, pihak BPPKB kabupaten lndramayu<br />

melihat bahwa penanganan trafficking di tingkat provinsi dilakukan oleh<br />

satu lembaga yakni BPPKB, sehingga ada keinginan dari BPPKB<br />

lndramayu agar masalah trafficking di lndramayu pun ditangani satu<br />

lembaga juga. Oleh karena itu BPPKB kabupaten lndramayu masih<br />

meman<strong>dan</strong>g perlu a<strong>dan</strong>ya kejelasan dalam kewenangan penanganan<br />

trafficking ini.<br />

Contoh lainnya, Dinas Sosial, Tenaga Kerja, <strong>dan</strong> Transmigrasi<br />

setiap Senin malam <strong>dan</strong> Kamis malam melakukan razia terhadap<br />

penampung pengirim TKI. Dalam kegiatan ini pihak BPPKB menyatakan<br />

165


ahwa lembaganya tidak dilibatkan dalam kegiatan tersebut.<br />

Dikemukakan bahwa BPPKB baru dilibatkan dalam penanganan hasil<br />

razianya, khususnya dalam kegiatan pemberian pencerahan agar mereka<br />

yang terjaring tidak terperangkap lagi, sementara untuk pemberian<br />

keterampilannya dilakukan oleh Dinas Sosial.<br />

Terkait penanganan korban yang terkena razia tersebut, responden<br />

dari BPPKB lndramayu mengatakan bahwa ka<strong>dan</strong>g menimbulkan<br />

kebingungan kepada petugas pelaksananya terkait dengan apa yang<br />

harus dilakukan untuk penanganan lanjutan yang harus dilakukan<br />

terhadap para korban tersebut. Masalahnya, bila mereka dimasukkan ke<br />

panti rehabilitasi di Palimanan maka tidak mungkin dapat tertampung<br />

semua karena ada kuota yakni sekitar 30 orang per kabupaten. Selain itu<br />

penanganannya akan memerlukan biaya yang besar yang tidak tersedia<br />

dalam anggarannya. Untuk mengatasi itu pihak kabupaten mengharapkan<br />

a<strong>dan</strong>ya bantuan pusat untuk pembangunan panti sosial guna menangani<br />

hasil razia.<br />

Terkait masalah anggaran, sistem penganggaran program<br />

penanganan trafficking yang berlaku adalah bahwa setiap instansi terkait<br />

menganggarkan kegiatan penanganan human trafficking hanya<br />

berdasarkan tupoksi masing-masing. Jadi meskipun mereka bekerja untuk<br />

gugus tugas, tetapi sebenarnya mereka melaksanakan tupoksinya sendiri.<br />

lmplikasinya tentu saja dalam alokasi anggaran tersebut akan lebih<br />

mengutamakan ego sektoral sehingga bisa saja program yang dijalankan<br />

menjadi tidak kompatibel antara kegiatan di satu instansi dengan instansi<br />

lainnya. Untuk mengatasi kelemahan yang mungkin terjadi , maka BPPKB<br />

lndramayu melakukan rapat koordinasi gugus tugas yang dilakukan<br />

secara periodik 3 bulan sekali. Persoalan lain terkait dengan anggaran<br />

adalah bahwa jumlah anggaran daerah yang dialokasikan untuk<br />

penanganan trafficking sekarang ini relatif terbatas. Untuk mengatasinya<br />

pihak BPPKB lndramayu mengharapkan a<strong>dan</strong>ya limpahan <strong>dan</strong>a bantuan<br />

dari tingkat provinsi karena meskipun provinsi memiliki anggaran<br />

penanganan trafficking namun realitanya dengan otonomi daerah ini<br />

166


kewenangan pelaksanaan pembangunan ada di tingkat kabupaten/kota<br />

sebagai pemilik wilayah. lmplikasinya <strong>dan</strong>a yang dibutuhkan daerah<br />

kabupaten/kota untuk implementasi penanganan korban trafficking pun<br />

lebih akan lebih besar. Sementara ini yang terjadi justru terbalik di mana<br />

bila instansi provinsi melakukan kegiatan program penanganan trafficking<br />

di daerah kabupaten, maka pihak pemerintah daerah diminta<br />

partisipasinya yang tentunya berimplikasi pada pengeluaran anggaran dari<br />

instansi lokal yang anggarannya relatif kecil.<br />

Dalam rangka membuat MOU pencegahan <strong>dan</strong> penanganan<br />

trafficking, BPPKB kabupaten lndramayu dengan dinas yang terkait di<br />

lndramayu seperti Dinas Sosial Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi, Dinas<br />

Koperasi <strong>dan</strong> UKM pernah pergi ke kota Batam pad a bulan Juli 2010<br />

untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, termasuk<br />

BPPKB, kota Batam, provinsi Kepulauan Riau. Hal ini dilakukan karena<br />

pihak BPPKB kabupaten lndramayu merasakan bahwa penanganan<br />

human trafficking yang telah dikakukan selama ini kurang efektif. Salah<br />

satu contoh kasus yang menunjukkan ketidak efektifan tersebut dapat<br />

dilihat ketika LSM di kecamatan Bong as (Kesuma Bongas) menangani 10<br />

orang korban yang dipulangkan dari daerah tujuan. Kepada mereka<br />

kemudian diberikan bantuan modal yang disesuaikan dengan keinginan<br />

korban. Sebagai contoh ada korban yang ingin dibelikan sawah, kemudian<br />

dengan menggunakan bantuan <strong>dan</strong>a dari Jepang ia pun dibelikan sawah.<br />

Ada juga yang ingin diberikan counter HP, ia pun diberikan counter HP.<br />

Ada yang memiliki kemampuan berjualan, ia pun diberi modal jualan.<br />

Tetapi setelah 3 bulan berlalu <strong>dan</strong> kemudian dilakukan evaluasi, ternyata<br />

modal yang diberikan kepada para korban tersebut tidak berfungsi<br />

sebagaimana diharapkan, padahal permodalan itu diberikan atas dasar<br />

keinginan korban. Bahkan sebagian di antaranya ada yang kembali lagi ke<br />

tempat bekerja dulu. Oleh karena itu perlu ada perubahan <strong>dan</strong> perbaikan<br />

dalam sistem penanganan trafficking yang selama ini diimplementasikan.<br />

Sistem penanganan korban trafficking yang diadopsi sekarang adalah<br />

dengan cara menjemput korban ke daerah tujuan yang dilakukan oleh<br />

167


BPPKB provinsi, kemudian BPPKB kabupaten menjemput korban tersebut<br />

ke provinsi untuk kemudian dikembalikan <strong>dan</strong> dibina di daerah asalnya.<br />

Namun ternyata sistem itu tidak berhasil. Atas dasar itu maka strategi<br />

penanganan korban trafficking yang ingin dikembangkan pemerintah<br />

daerah Indramayu sekarang adalah, bila terdapat korban trafficking maka<br />

tidak dilakukan penjemputan langsung <strong>dan</strong> dikembalikan ke daerah asal<br />

kemudian diberikan modal, melainkan dengan membuat MOU dengan<br />

daerah tujuan (seperti Batam).<br />

Dalam implementasinya, ketika tim BPPKB lndramayu melakukan<br />

koordinasi ke pemerintah kota Batam, pihak tim BPPKB lndramayu<br />

menyusun draft nota kesepahaman <strong>dan</strong> kemudian disampaikan kepada<br />

Walikota Batam (melalui BPPKB Batam) <strong>dan</strong> kepada Bupati lndramayu.<br />

Kemudian seminggu sejak kepulangan dari Batam ke lndramayu, tim ini<br />

(BPPKB, Dinas Koperasi, Dinas Sosnakertrans, kepala bagian Hukum,<br />

<strong>dan</strong> instansi terkait) kembali pergi lagi ke Batam tetapi saat ini<br />

kepergiannya bersama dengan Bupati lndramayu <strong>dan</strong> istrinya dengan<br />

maksud untuk penandatanganan nota kesepahaman. Namun sampai saat<br />

ini MOU tersebut belum ditandatangani karena walikota Batam akan<br />

segera berakhir masa jabatannya <strong>dan</strong> menghadapi pilkada pada tahun<br />

2011 sehingga dia belum mau menandatanganinya. Dia baru akan<br />

menandatangani draft MOU tersebut bila kelak terpilih kembali menjadi<br />

wali kota Batam pada periode berikutnya.<br />

Nota tersebut pada dasarnya berisikan tiga hal, yaitu, Bagaimana<br />

supaya korban trafficking yang ada di sana bisa diberdayakan artinya<br />

korban tersebut di sana dilatih dulu, diselesaikan masalah hukumnya <strong>dan</strong><br />

diresosialisasikan, dicek kesehatannya, <strong>dan</strong> baru diberikan keterampilan.<br />

Kebetulan di kota Batam telah ada ikatan paguyuban warga lndramayu<br />

yang diketuai oleh seorang polisi (Kapolsek di sana) yang berasal dari<br />

lndramayu dengan jumlah anggota mencapai 10.000 orang. Paguyuban<br />

ini berkeinginan untuk mebangun wadah koperasi. Oleh karena itu<br />

rencananya paguyuban ini dapat dijadikan sarana untuk para korban<br />

trafficking yang ingin berwiraswasta, dengan cara setelah diberikan<br />

168


keterampilan mereka kemudian diberikan bantuan modal simpan pinjam<br />

melalui koperasi. Untuk itu bupati lndramayu, dengan disaksikan oleh<br />

pejabat pemerintah kota Batam, memberikan komitmen berupa bantuan<br />

<strong>dan</strong>a sebesar 1 00 juta rupiah sebagai modal awal koperasi terse but <strong>dan</strong><br />

koperasi Paguyuban lndramayu itu pun telah diresmikan oleh walikota<br />

Batam. Selain itu, bupati lndramayu pun berencana memasok produk<br />

unggulan dari kabupaten lndramayu ke koperasi tersebut, terutama beras.<br />

Terkait dengan keinginan tersebut walikota Batam bersedia memfasilitasi<br />

tempat pemasarannya dengan menyediakan tempat anjungan jawa Barat<br />

yang sudah ada di lokasi bazaar di Batam. Sementara itu untuk korban<br />

warga lndramayu yang menjadi korban trafficking yang mau bekerja,<br />

banyak orang lndramayu yang menjadi pengusaha yang relatif sukses <strong>dan</strong><br />

terkemuka. Mereka bersedia menampung para korban trafficking yang<br />

ingin bekerja di perusahaannya.<br />

Dalam konteks pembinaannya, direncanakan instansi terkait dari<br />

pemerintah kabupaten lndramayu, melalui paguyuban warga lndramayu,<br />

melakukan pembinaan langsung kepada korban yang ada di kota Batam.<br />

Jadi Dinas Koperasi lndramayu bisa membina koperasi warga lndramayu<br />

yang ada di Batam tersebut, Dinas Tenaga Kerjanya bisa melakukan<br />

pelatihan tenaga kerja, Artinya bila ada warga lndramayu yang menjadi<br />

korban trafficking, langkah pertama diharapkan ditampung <strong>dan</strong> dibina di<br />

rumah singgah milik pemerintah kota Batam. Setelah selesai melalui<br />

proses tersebut baru kemudian diserahkan kepada Paguyuban Warga<br />

lndramayu untuk dilanjutkan pembinaannya. Oleh karena itu Dinas Sosial<br />

berencana ingin membangun rumah singgah khusus untuk orang<br />

lndramayu di Batam. Untuk itu dalam pertemuan tersebut Bupati<br />

lndramayu mengeluarkan statement bahwasannya siap untuk<br />

membangun rumah singgah untuk warga lndramayu yang menjadi korban<br />

trafficking, tapi dengan catatan walikota Batam menyediakan tanahnya<br />

agar ada tanggung jawab bersama. Namun karena walikota Batam hampir<br />

berakhir masa jabatannya pada tahun 2011 maka dia tidak berani untuk<br />

memberikan komitmennya kecuali bila nanti pada saat pilkada terpilih<br />

169


kembali. Ada harapan yang lebih jauh dari pemerintah daerah lndramayu<br />

agar paguyuban warga lndramayu bisa dimasukkan ke dalam gugus tugas<br />

yang ada di kota Batam sebagai LSM. Dengan begitu pemerintah kota<br />

Batam tidak perlu terlalu repot menangani korban trafficking yang berasal<br />

dari warga lndramayu karena bisa ditangani langsung oleh paguyuban<br />

warga lndramayu yang menjadi anggota gugus tugas. Tetapi realisasinya<br />

tentu menunggu penandatanganan MOU <strong>dan</strong> nota kerja sama dengan<br />

pemerintah kota Batam dulu agar jelas pembagian tugas <strong>dan</strong> tanggung<br />

jawabnya.<br />

Pada bulan Oktober 2010 DPRD kota Batam melakukan kunjungan<br />

kerja ke lndramayu dalam rangka studi banding tentang masalah human<br />

trafficking. Dalam diskusi yang dilakukan disampaikan tentang sudah<br />

a<strong>dan</strong>ya rintisan kerjasama yang telah dilakukan pemerintah daerah<br />

kabupaten lndramayu dengan kota Batam untuk penanganan human<br />

trafficking. Ternyata anggota DPRD kota Batam tersebut belum<br />

mengetahui a<strong>dan</strong>ya kegiatan tersebut. Kondisi ini terjadi karena mungkin<br />

pemerintah kota Batam belum mengkomunikasikannya kepada DPRD<br />

kota Batam. Namun yang penting digarisbawahi adalah ketika mereka<br />

diberikan draft kerjasamanya ternyata mereka sangat antusias untuk<br />

menyukseskan kerjasama tersebut karena mereka beranggapan bahwa<br />

pemerintah kabupaten lndramayu rnemiliki itikad baik untuk turut terlibat<br />

dalam penanganan trafficking yang merepotkan kota Batam.<br />

Hasil dari proses penjajagan dalam rangka membuat MOU<br />

pencegahan <strong>dan</strong> penanganan trafficking yang telah dilakukan tersebut<br />

telah dilaporkan oleh BPPKB kabupaten lndramayu kepada pemerintah<br />

provinsi melalui BPPKB provinsi Jawa Barat. Responsnya BPPKB Jawa<br />

Barat menghendaki penandatanganan MOU tersebut ditunda dulu dengan<br />

alasan harus diawali dulu oleh kerjasama antar provinsi. Untuk lebih<br />

memudahkan dalam tindak lanjut kerja sama antar provinsi tersebut,<br />

BPPKB kabupaten lndramayu menyumbangkan konsep kerja samanya<br />

kepada pemerintah provinsi Jawa Barat.<br />

170


Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa sudah<br />

dilakukan penandatanganan MOU mengenai kerjasama penanganan<br />

human trafficking antar provinsi yang disaksikan wakil prsiden pada bulan<br />

November 2010. Namun pihak pemerintah daerah lndramayu baru<br />

mendengar khabarnya tetapi belum mendapatkan salinan MOUnya.<br />

Harapannya dengan telah a<strong>dan</strong>ya MOU antar provinsi tersebut, dapat<br />

mempermudah pemerintah kabupaten lndramayu dalam menindaklanjuti<br />

kerjasama dengan pemerintah kota Batam yang telah dirintis sebelumnya<br />

karena sudah ada payung besarnya.<br />

Dalam tataran lokal, kegiatan penanganan trafficking kegiatan<br />

utama yang dilakukan sebaiknya diarahkan pada upaya preventif.<br />

Pencegahan trafficking yang paling baik diarahkan kepada pendidikan<br />

karena berkorelasi erat dengan potensi timbulnya korban pada mereka<br />

yang putus sekolah atau kurang pendidikan. Untuk itu BPPKB <strong>dan</strong> tim<br />

gugus tugas sering melakukan sosialisasi ke sekolah dengan materi<br />

seperti un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g tentang pornografi <strong>dan</strong> un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g tentang<br />

trafficking. Hal ini dilakukan terutama pada saat penerimaan siswa baru,<br />

sehingga dapat melibatkan orang tuanya. Lokasinya diprioritaskan di<br />

daerah yang paling rawan trafficking seperti kecamatan Bongas <strong>dan</strong><br />

Anjatan.<br />

Selain itu, salah satu solusi untuk menekan terjadinya korban<br />

trafficking <strong>dan</strong> TKI ke luar, sebaiknya dikembangkan industri yang terkait<br />

dengan potensi lokal. lndramayu potensial untuk dikembangkan industri<br />

pengolahan mangga, ikan. Dengan demikian masyarakat memiliki<br />

kesempatan untuk bekerja di sektor industri tersebut.<br />

8.1.6.2. Penanganan Trafficking oleh Dinas Pendidikan Kabupaten<br />

indramayu<br />

Kecamatan yang rawan trafficking antara lain kecamatan Gabus<br />

Wetan, Kroya, <strong>dan</strong> Bongas. Dari sudut pan<strong>dan</strong>g pendidikan,<br />

permasalahan trafficking disebabkan antara lain oleh masalah klasik<br />

seperti ekonomi (kemiskinan) sehingga mereka tidak bisa sekolah, kondisi<br />

171


--<br />

lingkungan yang menumbuhkan iri hati sehingga seseorang akan merasa<br />

iri bila melihat tetangga berhasil membangun rumah karena anaknya<br />

bekerja di luar negeri. Jadi sebenarnya mereka (calon tenaga kerja) tidak<br />

mau pergi bekerja ke luar <strong>dan</strong> diperlakukan seperti korban trafficking, tapi<br />

karena melihat kondisi ekonomi keluarga yang sulit maka mereka<br />

terpaksa mau bekerja ke luar negeri agar bisa membantu ekonomi<br />

keluarga atau membiayai pendidikan adik-adiknya.<br />

Bi<strong>dan</strong>g yang menangani human trafficking di Disdik ada di bi<strong>dan</strong>g<br />

PNFI (pendidikan non formal <strong>dan</strong> informal) dulu disebut Dikmas. Namun<br />

secara formal dalam program pendidikan belum ada program yang khusus<br />

terkait langsung dengan masalah trafficking. Akan tetapi dalam misinya<br />

sudah ada arah untuk penanganan trafficking meskipun belum dituangkan<br />

dalam program khusus melainkan masuk ke dalam integrasi pelajaran.<br />

Artinya masalah trafficking ini dicoba dimasukkan ke dalam mata<br />

pelajaran yang relevan seperti IPS. Dalam konteks ini Disdik mencoba<br />

memasukkan materi tentang human trafficking dalam program-program<br />

paket A, B, C, PSM (pendidikan dinas swadaya masyarakat). Di dalam<br />

PSM (yang disebut dikmas) ini meliputi kegiatan pembinaan PKBM (pusat<br />

kegiatan belajar masyarakat), lembaga kursus-kursus, organisasi wanita,<br />

organisasi pemuda organisasi masyarakat, penanganan PUS (pendidikan<br />

untuk semua), juga termasuk pemberdayaan perempuan, gender, <strong>dan</strong><br />

penanganan trafficking. Karena kegiatannya berkaitan langsung dengan<br />

kemasyarakatan maka Disdik dalam melakukan kegiatannya bermitera<br />

dengan PKK, darma wanita, GOW, KWK, Karang Taruna, KNPI, <strong>dan</strong><br />

semua organisasi yang ada di wilayah lndramayu.<br />

Dalam penanganan trafficking di lndramayu, sejak tahun 2003,<br />

sudah ada Satgas Trafficking dengan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, <strong>dan</strong><br />

Transmigrasi sebagai leading sektornya. Namun koordinasinya<br />

dikendalikan oleh Bappeda. Dinas Pendidikan sebagai anggota Satgas<br />

dalam implementasinya bermitera, antara lain, dengan Dinas<br />

Sosnakertrans, Bappeda, <strong>dan</strong> PKK Kabupaten. Selain empat institusi<br />

tersebut, satgas ini juga melibatkan Polres, <strong>dan</strong> instansi terkait lainnya.<br />

172


Selain itu juga ada Forum Komunikasi Perlindungan lbu <strong>dan</strong> Anak yang<br />

berpartisipasi dalam penanganan human trafficking. Mengapa leading<br />

sector dari Stgas tersebut Dinsosnakertrans karena saat itu belum ada<br />

BPPKB. Pada saat itu BPPKB masih berbentuk Dinas Keluarga<br />

Berencana. Baru setelah dibentuk BPPKB maka leading sectornya<br />

menjadi BPPKB <strong>dan</strong> Dinsosnakertrans. Satgas pun berubah menjadi<br />

Gugus Tugas dengan penambahan keanggotaan dari LSM. LSM yang<br />

khusus menangani korban trafficking <strong>dan</strong> sering bekerjasama dengan<br />

gugus tugas adalah Assakinah <strong>dan</strong> Bunga Bangsa (Kesuma Bongas).<br />

Pada sekitar tahun 2003 Satgas, khususnya PKK, sudah memiliki<br />

rumah singgah Teratai Putih yang berlokasi di kecamatan Cikedung yang<br />

dibangun atas bantuan dari menteri pemberdayaan wanita, termasuk di<br />

dalamnya bantuan untuk pelatihan life skillnya. Rumah singgah ini<br />

dimanfaatkan untuk menampung korban trafficking. Karban yang<br />

ditampung di sini tidak hanya mereka yang berasal dari lndramayu tapi<br />

juga dari daerah seperti Mataram, <strong>dan</strong> sebagainya yang kebetulan<br />

terbawa atau terlantar.<br />

Dibanding semasa masih berbentuk satgas, setelah menjadi Gugus<br />

Tugas ini frekuensi koordinasinya relatif sama/sering. Koordinasi yang<br />

dilakukan BPPKB sekarang ini cukup bagus dalam arti sering<br />

berkoordinasi dengan Disdik <strong>dan</strong> juga organisasi wanita yang pada masa<br />

lalu sering terputus. Yang dikoordinasikan dengan Disdik adalah masalah<br />

masyarakat yang putus sekolah. Artinya BPPKB melalui Disdik<br />

mengarahkan <strong>dan</strong> memfasilitasi agar korban <strong>dan</strong> anak-anak putus<br />

sekolah lainnya agar bisa kembali ke sekolah.Hanya saja karena biasanya<br />

masalah trafficking ini ada di Dikmenti (penanganan sekolah menengah<br />

tingkat atas/SMA) yang menangani mereka yang putus sekolah, maka<br />

yang menjadi persoalan sekarang ini, bila ada kegiatan atau un<strong>dan</strong>gan<br />

dari masing-masing dinas terkait ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g disposisinya jatuh ke unit<br />

yang berbeda. Sebagai contoh bila ada surat tentang pertemuan<br />

koordinasi masalah human trafficking, maka disposisi surat tersebut dapat<br />

saja jatuh ke tempat yang berbeda. lmplikasinya pejabat yang terlibat<br />

173


dalam koordinasi gugus tugas ka<strong>dan</strong>g berganti sehingga menjadi kendala<br />

dalam kontinuitas koordinasinya.<br />

Dalam konteks penyusunan program BPPKB sudah berupaya<br />

mengarahkan agar Disdik membuat program yang terkait langsung<br />

dengan trafficking. Anggaran untuk sosialisasi tersebut dibantu dari APBD<br />

Pemkab lndramayu. Serupa dengan itu anggaran untuk PKBM, life skill,<br />

pelatihan, pertukangan, perbengkelan, tata boga <strong>dan</strong> sebagainya juga<br />

dipenuhi oleh APBD. Besaran alokasi <strong>dan</strong>anya dirasakan mencukupi<br />

karena pemerintah daerah sudah mengalokasikan <strong>dan</strong>a APBDnya untuk<br />

pendidikan sampai sebesar 36 persen. Hal ini terjadi karena Bupati<br />

incumbent sekarang ini memiliki perhatian yang sangat besar terhadap<br />

pentingnya pendidikan.<br />

Dinas Pendidikan, dalam kapasitasnya sebagai anggota Satgas,<br />

sudah beberapa kali melakukan kegiatan pencegahan tentang penjualan<br />

orang. Dalam konteks pencegahan human trafficking ini dilakukan dengan<br />

melakukan sosialisasi. Adapun materi sosialisasi tentang trafficking yang<br />

diberikan mengacu kepada materi yang telah diberikan oleh Diknas<br />

maupun dari BPPKB yang bekerja sama dengan Disosnakertrans.<br />

Sementara yang menjadi sasaran sosialisasi dari Dinas Pendidikan<br />

terbatas pada pelajar. Artinya pihak Dinas Pendidikan berupaya agar<br />

mereka tidak putus sekolah dari SMP, SMA, SMK karena akibat putus<br />

sekolah tersebut dapat menyebabkan orang menjadi korban trafficking.<br />

Oleh karena itu materi sosialisasi itu diarahkan untuk mencegah agar para<br />

pelajar tidak terjun ke dunia trafficking.<br />

Sementara itu pada tataran implementasi penanggulangan korban<br />

trafficking, Disdik turut berperanserta melakukan pelatihan <strong>dan</strong> fasilitasi<br />

untuk masuk sekolah. Sebagai contoh, pada saat pemerintah kabupaten<br />

lndramayu merazia perusahaan yang mempekerjakan anak-anak di<br />

bawah umur. Hasilnya terdapat sekitar 60 korban anak di bawah umur<br />

atau anak usia sekolah yang bekerja di perusahaan <strong>dan</strong> kebanyakan<br />

perempuan. Selanjutnya para korban tersebut dishelterkan di hotel<br />

174


Garuda selama 1 bulan untuk diberikan pendidikan <strong>dan</strong> pelatihan. Salah<br />

satu institusi yang memberikan pendidikan tersebut adalah Disdik<br />

lndramayu. Selanjutnya setelah selesai pendidikan tersebut, mereka<br />

dititipkan ke Disdik untuk dilanjutkan masuk ke paket A, B, <strong>dan</strong> C. Pada<br />

saat itu hanya beberapa orang yang masuk ke dalam paket B <strong>dan</strong> C,<br />

se<strong>dan</strong>gkan sebagian besar dari mereka masuk ke dalam paket A.<br />

Fasilitasi sekolah yang dilakukan Disdik ini dimaksudkan untuk mencegah<br />

agar mereka tidak menjadi korban trafficking. Jadi dalam hal ini<br />

sebenarnya Disdik tidak secara langsung menangani trafficking,<br />

melainkan menangani anak usia sekolah yang putus sekolah yang<br />

implikasinya bisa saja terkait dengan kegiatan pencegahan trafficking.<br />

8.1.6.3. Penanganan Trafficking oleh BAPPEDA di Kabupaten<br />

lndramayu<br />

Bappeda tidak terlibat dalam penanganan trafficking karena<br />

tugasnya hanya ba<strong>dan</strong> perencana, se<strong>dan</strong>gkan penanganan langsungnya<br />

dilakukan oleh Dinsosnaker, Unit PPA Polres, <strong>dan</strong> sebagainya. Bappeda<br />

hanya memfasilitasi dalam pembuatan per<strong>dan</strong>ya saja. Oleh karena itu<br />

Bappeda pada tahun 2005 pernah bekerja sama dengan Unicef dalam<br />

rangka pembuatan perda tentang trafficking.<br />

Dalam konteks penyusunan program <strong>dan</strong> penganggaran, pihak<br />

Bappeda tidak memiliki skala prioritas terkait dengan masalah<br />

penanganan trafficking. Kondisi ini terjadi karena tugas pokok Bappeda<br />

sifatnya lebih pada tugas mengevaluasi usulan yang disampaikan dari<br />

OPD <strong>dan</strong> mendistribusikan alokasi anggaran antar OPD. Jadi Bappeda<br />

hanya berperan untuk menyetujui atau tidak menyetujui program yang<br />

diajukan oleh OPD. Dengan demikian penentuan prioritas program<br />

penanganan trafficking diserahkan langsung kepada OPD yang<br />

menanganinya. Artinya bila OPD yang bersangkutan merasa perlu<br />

menyusun program penanganan trafficking sebagai prioritas maka dia<br />

harus membuat <strong>dan</strong> mengajukan programnya <strong>dan</strong> Bappeda hanya tinggal<br />

menyetujuainya. Alokasi <strong>dan</strong> plafon anggarannya pun tergantung<br />

175


kebutuhan yang diajukan oleh dinas teknis yang bersangkutan.<br />

lmplikasinya penentuan program penanganan trafficking <strong>dan</strong> besar alokasi<br />

anggarannya sangat bergantung pada kepala dinasnya.<br />

8.1.6.4. Penanganan Trafficking oleh Bi<strong>dan</strong>g Sosial di Kabupaten<br />

lndramayu<br />

Kalau melihat kasus human trafficking kebanyakan korbannya dari<br />

luar negeri. Kegiatan penjemputan korban trafficking seperti dari Batam,<br />

Jakarta, <strong>dan</strong> sebagainya sudah mulai dari tahun 2006. Kegiatan ini terus<br />

dilakukan sampai dengan tahun 2010 sekarang ini. Pada saat itu biaya<br />

penjemputan menggunakan <strong>dan</strong>a bantuan dari Jepang (Nipon ... ) yang<br />

tengah melakukan kegiatan penelitian di kecamatan Bongas yang<br />

merupakan kecamatan dengan jumlah buruh mig ran (TKI) terbesar kedua.<br />

Yayasan yang ada di lndramayu 11 buah, tapi yang aktif hanya 2.<br />

Namun yang lebih vokal adalah SBMI (serikat buruh migran Indonesia),<br />

FKBMI (forum komunikasi buruh migran Indonesia) yang ada di Bongas.<br />

Yayasan yang sering terlibat dalam penjemputan adalah Assakinah <strong>dan</strong><br />

Kusuma Bongas. Jumlah korban yang ditangani oleh Kusuma Bongas<br />

sejak tahun 2008 sudah mencapai 161 orang, yakni berasal dari Jakarta,<br />

Batam, Surabaya, Bali, Jepang.<br />

Kegiatan penjemputan ini dilakukan sebelum terbentuknya gugus<br />

tugas karena di lndramayu sudah dibentuk Satgas yang terdiri dari 4<br />

bi<strong>dan</strong>g yakni bi<strong>dan</strong>g pencegahan, rehabilitasi, kerjasama <strong>dan</strong> koordinasi,<br />

<strong>dan</strong> penegakan hukum, dengan leading sector (ketua harian) dari<br />

Dinsoskertrans. Pembentukan Satgas ini disertai dengan dukungan<br />

anggaran untuk melaksanakan kegiatannya seperti untuk sosialisasi,<br />

penjemputan <strong>dan</strong> sebagainya. Baru kemudian, pada tahun 2009, dibentuk<br />

Gugus Tugas yang terdiri dari 5 bi<strong>dan</strong>g dengan leading sector dari<br />

BPPKB.<br />

Bila dilihat secara kronologis pembentukan Satgas digagas oleh<br />

pihak kabupaten berdasarkan perda kabupaten lndramayu yang dibuat<br />

pada tahun 2005 <strong>dan</strong> bahkan menjadi yang pertama di Jawa Barat.<br />

176


Padahal pada saat itu propinsi Jawa Barat pun belum memiliki perda<br />

tentang Satgas tersebut. Pioneering tersebut terjadi karena ada berbagai<br />

penelitian seperti dari STKS <strong>dan</strong> universitas di Semarang, <strong>dan</strong> masuknya<br />

Unicef ke lndramayu <strong>dan</strong> kebetulan pada saat itu pemerintah daerah<br />

lndramayu memiliki anggaran <strong>dan</strong>a yang dialokasikan untuk peningkatan<br />

perlindungan hak anak <strong>dan</strong> remaja putri. Oleh karena itu berdasarkan<br />

faktor-faktor tersebut kemudian dilakukan sinkronisasi yang menghasilkan<br />

sebuah perda yang dikeluarkan pada tahun 2005 yang isinya membentuk<br />

Satgas <strong>dan</strong> Gugus Tugas. Jadi perda tersebut merupakan luaran dari<br />

beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa lndramayu menjadi<br />

sasaran untuk trafficking. Sebelum perda itu ke luar, pihak pemda<br />

melakukan studi banding dulu ke Batam dengan mengajak juga anggota<br />

DPRD sehingga pembuatan per<strong>dan</strong>ya didukung DPRD. Dan kebetulan<br />

istri bupati pun sebagai K3S (koordinator kegiatan kesejahteraan sosial)<br />

concern dengan masalah trafficking ini. PKK pun mendapat penghargaan<br />

juara nasional dalam pencegahan trafficking dari kementerian sosial. Oleh<br />

karena itu banyak yang melakukan studi banding ke lndramayu. Langkah<br />

selanjutnya, pada 2006 dibentuk Satgas kabupaten <strong>dan</strong> pada tahun 2007<br />

ditindaklanjuti dengan pembentuka Satgas kecamatan di 31 kecamatan.<br />

Baru kemudian, pada tahun 2009, dibentuk Gugus Tugas, tetapi<br />

Satgasnya tetap ada karena sama-sama diatur dalam perda tersebut <strong>dan</strong><br />

perda itu belum dicabut. Pembentukan Gugus Tugas pada tingkat<br />

kabupaten di lndramayu awalnya didahului oleh pembentukan Gugus<br />

Tugas di tingkat pusat <strong>dan</strong> tingkat propinsi karena gugus tugas ini<br />

disponsori oleh ACILS (American Children Labors Solidarity). Tetapi Untuk<br />

menunjang aktivitas Gugus Tugas maka pada tahun 2009 dilakukan<br />

pembangunan trauma center. Sekarang di Disnakertrans sudah dibangun<br />

shelter termasuk peralatan computernya yang dapat diakses secara on<br />

line. Shelter juga ada yang dibangun oleh swasta yakni Puan Amal Hayati<br />

yang dibangun oleh ibu Shinta Nuriah. Untuk keluarga yang bermasalah<br />

sudah ada dibentuk LK3 (Lembaga Konsultasi Kesehatan Keluarga) baik<br />

di dinsosnakertrans maupun swasta untuk menanganinya. Kemudian dari<br />

177


segi pendidikannya disediakan beasiswa untuk di UNPAD, ITB. Semua<br />

itu dilakukan dalam konteks pencegahan trafficking.<br />

Rencananya akan didirikan yayasan untuk tenaga kerja lndramayu<br />

di Batam. Sekarang se<strong>dan</strong>g dibuat akte notarisnya <strong>dan</strong> akan dipelopori<br />

oleh kepala dinas sosial yang sudah pensiun. Pen<strong>dan</strong>aannya akan<br />

dikeluarkan dari APBD. Dari mulai sosialisasi, rehabilitasi, <strong>dan</strong> pemberian<br />

bantuan dialokasikan dari APBD. Pemberian bantuan tersebut ada yang<br />

diberikan secara kelompok <strong>dan</strong> ada juga yang individual.<br />

Tahun 2010 ini masyarakat yang berangkat bekerja di luar negeri<br />

mencapai 98.000 jiwa, sementara yang terdaftar di disnakertrans hanya<br />

sekitar 10.000 jiwa. Pad a tahun 2010 korban trafficking yang masuk <strong>dan</strong><br />

ditangani shelter hanya 2 orang. Kasus trafficking yang paling banyak<br />

terkait dengan tenaga kerja seperti tidak dibayar gajih, penyiksaan, ada<br />

juga sedikit pelecehan seksual, ada juga penipuan mau dikirim ke luar<br />

negeri tapi kemudian dikerjakan di cafe di Batam. Kasus trafficking<br />

penyebabnya banyak antara lain ekonomi, yakni sulitnya lapangan kerja,<br />

sosial budaya, media masa.<br />

Sejauh ini sudah ada 80 orang korban trafficking yang sudah diberi<br />

pelatihan seperti menjahit. Kepada mereka diberikan perlengkapan, uang<br />

saku selama pelatihan 15 hari, <strong>dan</strong> ket!ka pulang pun diberikan mesin<br />

jahitnya. Selain itu juga ada pemberian keterampilan tata rias, tetapi yang<br />

paling banyak adalah keterampilan menjahit, termasuk membordir.<br />

Pemberian jenis pelatihan ini dilakukan secara pukul rata tidak tergantung<br />

minat peserta karena sekarang berlaku BNBA (by name by address), tidak<br />

seperti dulu yang bisa tergantung peserta. Dengan BNBA artinya dalam<br />

usulannya harus sudah ada namanya <strong>dan</strong> kegiatannya sudah ada<br />

sehingga tidak bisa dirubah sekalipun hanya pesertanya. Sekarang<br />

ka<strong>dan</strong>g SPJ sudah duluan baru uangnya. Kalau tahun sebelumnya<br />

sampai tahun 2007 jenis pelatihan bisa tergantung pada keinginan<br />

peserta. Pelatihan ini dilakukan sejak 2007 sampai sekarang. Namun<br />

yang dapat dikatakan berhasil hanya sekitar 1 0 orang. Setelah selesai<br />

178


pelatihan tidak dilakukan pendampingan. Kunjungan hanya dilakukan<br />

secara informal bila kebetulan lewat tempat korban. Pada thun 2006/2007<br />

Pemda lndramayu membentuk PPT (pusat pelayanan terpadu) di 2 rumah<br />

sakit yakni RSUD <strong>dan</strong> RS Bhayangkara semuanya mulai visum dilayani<br />

secara gratis.<br />

Bila dilihat dari scope pekerjaannya, antara Satgas <strong>dan</strong> Gugus<br />

Tugas sebetulnya tidak jauh berbeda, hanya saja Gugus Tugas sifatnya<br />

lebih operasional seperti melakukan operasi terhadap P JTKI, operasi<br />

terhadap tenaga kerja yang akan berangkat ke luar daerah. Sementara<br />

Satgas fokusnya lebih pada sosialisasi seperti kepada SMP, SMA, <strong>dan</strong><br />

juga melalui PKK. Namun demikian ketika masih dalam bentuk Satgas<br />

sudah ada juga kegiatan operasi seperti yang dilakukan Gugus Tugas<br />

tetapi kegiatannya tidak sesering sekarang. Sosialisasi yang dilakukan<br />

yang pertama adalah kepada kepala desa, kecamatan, <strong>dan</strong> dinas-dinas.<br />

Kemudian kepada tokoh agama <strong>dan</strong> tokoh masyarakat yang melibatkan 5<br />

orang dari masing-masing desa. Tempat melakukan sosialisasi tersebut<br />

ada yang di dinas sosial, ada yang sewa gedung, ada yang dilakukan<br />

PKK. Ka<strong>dan</strong>g dari anggota Satgas juga melakukan sosialisasi langsung<br />

dengan mendatangi lokasi masyarakat sehingga bila mereka melihat atau<br />

mengetahui a<strong>dan</strong>ya trafficking mereka bisa langsung melaporkannya<br />

kepada satgas kecamatan yang antara lain meliputi Danramil, Kapolsek,<br />

Camat, Kepala Desa, <strong>dan</strong> sebagainya. Tahapan sosialisasi selanjutnya<br />

adalah kepada SMP <strong>dan</strong> SMA.<br />

Secara umum sosialisasi yang selama ini dilakukan dirasakan<br />

cukup effektif. Sebagai contoh, sebagaimana dipersyaratkan bahwa untuk<br />

menjadi TKI di sektor formal, calon TKI minimal harus berumur 18 tahun<br />

<strong>dan</strong> untuk menjadi PRT (domestik) harus berumur 21 tahun. Dalam<br />

konteks itu, pada masa lalu banyak Kepala Desa yang asal<br />

menandatangani saja bila ada orang yang mengajukan pembuatan KTP<br />

tanpa melakukan cross check. Sekarang karena srring disosialisasikan<br />

pada tingkat desa, Kepala Desa tidak mau lagi menandatangani bila calon<br />

TKI yang membuat KTP dicurigai masih di bawah umur. Bila dia ragu<br />

179


tentang keabsahan data dari pemohon KTP atau rekomendasi maka dia<br />

akan melakukan cross check, antara lain dengan mengharuskan yang<br />

bersangkutan membawa ijazah sekolah yang dimilikinya. Hal ini dilakukan<br />

karena Kepala Desa bisa terkena sangsi administrasi <strong>dan</strong> atau turut<br />

diproses dalam pemeriksaan di Kepolisian.<br />

Terkait anggaran, anggaran trafficking tersebar di BPPKB <strong>dan</strong><br />

Dinas Pendidikan tetapi dalam pengajuan anggarannya sudah ada<br />

koordinasi. Meskipun anggaran penanganan human trafficking ada di<br />

BPPKB, tapi karena tugas rehabilitasi ada di Dinas Sosial, Tenaga Kerja,<br />

<strong>dan</strong> Transmigrasi maka anggaran pun ada di Dinsosnakertrans.<br />

8.1.6.5. Penanganan Trafficking oleh Dinas Kesejahteraan Rakyat di<br />

Kabupaten lndramayu<br />

Dalam penanganan trafficking di lndramayu sudah dibentuk Satgas<br />

khusus yang terdiri dari Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Kepolisian,<br />

Kejaksaan, <strong>dan</strong> instansi terkait lainnya. Dalam menghadapi persoalan<br />

biasanya ditangani secara teamwork, tapi bila ada persoalan yang crusial<br />

biasanya singgah dulu di dinsos. Di sini sudah ada shelter <strong>dan</strong> sudah<br />

pernah digunakan menampung 2 orang korban dari kepri sekitar bulan<br />

Maret. Tetapi karena sarananya belum lengkap, maka korbanpun tidak<br />

betah sehingga hanya bertahan dua hari <strong>dan</strong> ingin cepat dipulangkan.<br />

Mereka dimasukkan ke shelter karena terlantar, artinya di kirim dari orang<br />

lain sehingga ditampung dulu di shelter dulu baru dipulangkan. Selama di<br />

shelter mereka ditreatment secara psychologis untuk rehabilitasi <strong>dan</strong><br />

check kesehatan. Dalam kebijakannya tidak semua korban diwajibkan<br />

masuk shelter dahulu, karena tergantung kehendak <strong>dan</strong> kondisi<br />

korbannya. Tapi bila korban kelihatan tidak sehat, maka sebelum<br />

dipulangkan akan diperiksa dulu kesehatannya baru dipulangkan. (bila<br />

kebijakannya seperti itu maka shelter itu bisa mubazir). Memang shelter<br />

yang dibangun di lndramayu ini belum effektif pemanfaatannya, namun<br />

hal ini perlu dilakukan sebagai persiapan mengingat banyaknya korban<br />

yang berasal dari lndramayu. Selain itu secara normatif shelter tersebut<br />

180


elum memenuhi syarat. Misalnya ketika ada korban yang masuk shelter<br />

maka dia harus diberi makan <strong>dan</strong> sebagainya sementara anggaran untuk<br />

hal itu belum dialokasikan sekarang ini. Walaupun ada kesatuan tim tetapi<br />

realitanya belum ada kesatuan visi dalam penanganan shelter tersebut<br />

sehingga tidak bisa melakukan subsidi silang. Oleh karena itu sementara<br />

ini yang lebih siap justru yayasan swasta seperti Assakinah, sehingga bila<br />

ada korban maka pihak dinas sosial justru<br />

merekomendasikan/merujuknya kepada yayasan swasta tersebut yang<br />

memang sudah memiliki <strong>dan</strong>a untuk penanganan korban trafficking. Di<br />

luar itu ada juga korban yang dijemput dari provinsi tetapi mereka menolak<br />

ketika ditawari masuk shelter karena merasa sudah ditangani provinsi.<br />

Selain itu tugas pemkab lndramayu hanya menjemput <strong>dan</strong> memulangkan<br />

ke tempat asalnya.<br />

Berdasarkan data dari provinsi, jumlah korban trafficking di<br />

lndramayu termasuk tertinggi di Jawa Barat setelah Sukabumi <strong>dan</strong><br />

Cianjur. Namun dari sekitar 90 ribu TKI lndramayu yang bekerja di luar<br />

negeri hanya sekitar 4.000 orang yang tercatat di Disnaker sehingga<br />

menjadi kendala dalam sisi administrasinya. Dari sudut pan<strong>dan</strong>g<br />

pemerintah daerah hal itu mengindikasikan banyaknya TKI ilegal, tetapi<br />

tidak demikian bagi pemerintah pusat, karena banyak dari mereka yang<br />

memalsukan dokumen yang harus dilengkapi di daerah asalnya sehingga<br />

pemerintah pusat menganggapnya sebagai TKI legal. Sebagai contoh,<br />

salah satu persyaratan menjadi TKI adalah a<strong>dan</strong>ya rekomendasi dari<br />

kabupaten. Kemudian kabupaten tidak memberikan rekomendasi tersebut.<br />

Tetapi ketika diproses di tingkat pusat ternyata TKI yang bersangkutan<br />

sudah melampirkan rekomendasi yang sudah ditandatangani kabupaten<br />

sehingga pemerintah pusat pun menganggapnya legal. Ternyata setelah<br />

ditelusuri ada pihak yang tidak bertanggungjawab yang menandatangani<br />

rekomendasi tersebut atau terjadi pemalsuan dokumen. Masalahnya<br />

pihak-pihak yang terlibat dalam pengiriman TKI di tingkat pusat seperti<br />

PJTKI, lmigrasi tidak melakukan klarifikasi ke daerah. Hanya ada<br />

sebagian kecil perusahaan yang legal yang mengacu kepada aturan main.<br />

181


Deskripsi di atas mengindikasikan bahwa dalam penanganan<br />

masalah human trafficking masih menghadapi kendala berupa<br />

miskomunikasi <strong>dan</strong> koordinasi antara pemerintah daerah <strong>dan</strong> pemerintah<br />

pusat atau yang berwenang memberangkatkan TKI. Di lain pihak<br />

responden mengatakan bahwa koordinasi baik intra kabupaten maupun<br />

dengan provinsi dirasakan berjalan dengan baik. Pihak kabupaten bahkan<br />

memberikan apresiasi yang sangat besar terhadap perhatian istri<br />

Gubernur dalam penanganan trafficking. Persoalan koordinasi dirasakan<br />

dalam skala nasional karena secara organisasional evaluasinya masih<br />

kurang baik.<br />

Masalah lain terkait dengan adalah seperti dicontohkan<br />

ketika ada TKI lndramayu yang sudah tinggal di penampungan selama<br />

sepuluh bulan <strong>dan</strong> seharusnya sudah diberangkatkan, kemudian ada<br />

kuota misalnya dari Sukabumi, maka TKI tersebut akan dialihkan dengan<br />

mengganti alamatnya ke Sukabumi. Hal ini terjadi pada TKI lndramayu di<br />

Timur Tengah. Orang tua korban tersebut mengetahui bahwa TKI yang<br />

se<strong>dan</strong>g menghadapi masalah tersebut adalah anaknya, tetapi pemerintah<br />

pusat mengatakan bahwa alamat yang bersangkutan adalah dari<br />

Sukabumi. Sehingga ketika dia diberangkatkan <strong>dan</strong> kemudian<br />

menghadapi persoalan maka dia sudah kehilangan jejak. Hal ini<br />

mengindikasikan bahwa pihak


ersangkutan <strong>dan</strong> termasuk memeriksa keabsahan dari dokumennya,<br />

tetapi sekarang ini komitmen tersebut tidak ada lagi.<br />

Selain karena a<strong>dan</strong>ya kendala komunikasi <strong>dan</strong> koordinasi antara<br />

pemerintah daerah <strong>dan</strong> pemerintah pusat, persoalan trafficking juga terjadi<br />

ka<strong>dan</strong>g kala dimulai pada tingkat desa karena Sponsor tenaga kerja<br />

sudah merasuk ke desa-desa. Hal ini terjadi karena banyaknya<br />

perusahaan penyalur tenaga kerja. Bahayanya, sponsor tersebut<br />

sebetulnya bekerja kepada perusahaan formal yang mengikuti prosedur<br />

formal, namun ketika dia mendapatkan calon TKI yang sebenarnya tidak<br />

memenuhi persyaratan perusahaan tempatnya bekerja, maka dia<br />

menjualnya ke perusahaan lain yang lebih lentur aturannya <strong>dan</strong> bahkan<br />

mungkin mendapatkan insentif yang lebih tinggi. Dalam kaitan itu ada<br />

kepala desa atau aparat kelurahan yang secara tidak sadar turut<br />

membantu memalsukan umur TKI yang sebenarnya belum cukup umur<br />

tersebut. Padahal untuk pemalsuan itu mereka hanya diberi imbalan<br />

sekitar 1 00 ribu rupiah.<br />

Dalam upaya mencegah terjadinya human trafficking, Dinas Sosial<br />

secara rutin setiap malam kamis atau malam senin melakukan sidak/razia<br />

ke rumah-rumah pengerah tenaga kerja/sponsor. Pada razia tersebut<br />

seringkali ditemui calon tenaga kerja yang tidak memiliki rekomendasi dari<br />

disosnaker. Biasanya sponsor langsung mengirimkan ke Jakarta dengan<br />

mobil charteran atau pribadi. Selain Dinas Sosial, banyak juga LSM yang<br />

aktif dalam penanganan trafficking tapi kegiatan mereka hanya sebatas<br />

rehabilitasi. Sementara pencegahannya lebih banyak dilakukan oleh<br />

aparat pemerintah daerah.<br />

Terkait dengan<br />

penanganan trafficking<br />

183<br />

peran BPPKB dalam mengkoordinasikan<br />

dirasakan belum effektif, bahkan untuk<br />

pendataannya pun masih meminta data dari Dinsosnaker. Anggaran<br />

trafficking provinsi Jawa Barat yang dialokasi mencapai lebih dari 1 milyar<br />

rupiah, sementara korban yang ditangani nampak sangat sedikit (tahun ini<br />

sekitar 8 orang) sehingga sekarang ini mereka mencari klien.


8.1.6.6. Penanganan<br />

lndramayu<br />

j<br />

184<br />

oleh Disnakertrans di Kabupaten<br />

Kasus Human trafficking pada Tenaga Kerja Indonesia di luar<br />

negeri biasanya diawali dengan keberadaan mereka yang illegal atau tak<br />

mempunyai surat ijin resmi untuk bekerja di luar negeri karena mereka<br />

dikirim oleh PPTKIS illegal. Namun human trafficking juga dapat dialami<br />

oleh pekerja legal apa bila dia tidak dibayar oleh majikannya secara yang<br />

sebenarnya atau dia mengalami kekerasan oleh majikannya. Biasanya<br />

TKI yang bermasalah dengan majikannya yang berasal dari Asia langsung<br />

dipulangkan ke Indonesia. Se<strong>dan</strong>gkan TKI yang bermasalah dengan<br />

majikannya yang ada di Timur Tengah biasanya ditahan dulu oleh<br />

majikannya sampai selesai kontrak yang disepakati.Depnaker memiliki<br />

tempat-tempat penampungan bagi para TKI bermasalah dibangun<br />

pemerintah di daerah yang dengan standar yang memadai. dengan<br />

kamar mandi <strong>dan</strong> kamar tidur yang sederhana. Mereka juga diberikan<br />

makanan yang cukup selama di penampungan.Namun jumlah TKI<br />

bermasalah itu sangat banyak sehingga kondisinya menjadi tidak<br />

memadai.<br />

Kabupaten lndramayu di Jawa Barat merupaka 1 salah satu<br />

r"<br />

kabupaten yang penduduknya banyak yang menjadi i ke luar negeri.<br />

Permasalahan muncul karena banyak dari para TKI itu yang tidak<br />

mendaftarkan dulu keberangkatannya sebagai TKI keluar negeri kepada<br />

Dinas Tenaga Kerja lndramayu. Pada tahun 2009 hanya ada 4617 orang<br />

saja yang mendaftar ke instansi tersebut. Padahal jumalh kecamatan yang<br />

ada di lndramayu ada 31 buah yang terdiri dari kira-kira 310 desa. Dapat<br />

diperkirakan bahwa per desa rata-rata mengirimkan TKinya sekitar 150<br />

orang. Jadi jumlah TKI dari lndramayu yang ada bekerja diluar negeri kira­<br />

kira berjumlah sekitar 50.000 orang. Kondisi ini diperkuat dengan<br />

banyaknya uang yang dikirim para TKI tersebut melalui kantor pos adalah<br />

sekitar 317 milyar rupiah. Jumlah itu masih ditambah lagi dengan jumlah<br />

uang yang dikirim oleh para TKI yang bekerja di luar negeri melalui<br />

lembaga perbankan atau dibawa sendiri oleh mereka pada saat mereka


pulang. Permasalahan muncul pada saat TKI yang tak terdaftar di Dinas<br />

Tenaga kerja lndramayu mendapatkan permasalahan human trafficking<br />

ditempat dia bekerja di luar negeri.<br />

Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) di pusat atau Dinas Tenaga<br />

Kerja di daerah merupakan pihak pemerintah yang memberikan ijin<br />

kepada para PPTKIS untuk menjadi agen pengirim para pekerja Indonesia<br />

ke luar negeri secara legal. Biasanya Dinas Tenaga Kerja tingkat<br />

kabupaten yang mempunyai penduduk yang banyak bekerja ke luar<br />

negeri seperti kabutapten lndramayu banyak didatangi PPTKIS untuk<br />

mengurus ijin usaha. Jadi pihak Depnaker baik di pusat maupun di daerah<br />

merupakan pihak pemerintah yang mengetahui bagaimana sistem kerja<br />

dari para penyalur tenaga kerja swasta tersebut. Depnaker mempunyai<br />

ba<strong>dan</strong> yang mengurus keberadaan TKI yang disebut Ba<strong>dan</strong> Nasional<br />

Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).<br />

Ba<strong>dan</strong> ini merupakan ba<strong>dan</strong> dari Depnaker yang dibentuk untuk<br />

mencegah kegiatan human trafficking pada TKI Indonesia yang bekerja di<br />

luar negeri yang biasa dilakukan oleh majikan mereka.<br />

Pemerintah sudah memiliki sistim yang dipakai untuk mengirimkan<br />

para tenaga kerja keluar negeri. Namun memang masih banyak<br />

kelemahan dalam pelaksanaan sistim tersebut. Dinas Tenaga Kerja yang<br />

ada di daerah memang masih kurang ketat dalam melakukan<br />

pengawasan terhadap PPTKIS karena ternyata masih banyak para TKI<br />

illegal yang berhasil berangkat keluar negeri karena direkrut oleh para<br />

sponsor atau orang yang dikirim oleh PPTKIS illegal untuk mencari orang­<br />

orang yang mau menjadi TKI illegal tersebut. Pihak Dinas Tenaga Kerja di<br />

Kabupaten lndramayu merasa heran kenapa para Tenaga Kerja Illegal itu<br />

dengan mudahnya mendapat paspor ke luar negeri. Padahal menurut<br />

aturannya setiap TKI asal kabupaten tertentu harus memiliki surat ijin<br />

pengurusan paspor untuk bisa mengurus paspor di tingkat propinsi. Untuk<br />

menghindari para perekrut TKI illegal, di lndramayu setiap 2 atau 3 bulan<br />

sekali para perekrut atau sponsor yang ditugaskan oleh PPTKIS itu harus<br />

memperbaharui surat ijin kerja mereka setiap 2 atau 3 bulan sekali kepada<br />

185


Dinas Tenaga Kerja tingkat kabupaten. Kegiatan ini tentu saja secara<br />

tidak langsung dapat mengurangi terjadinya human trafficking pada TKI<br />

atau mengurangi a<strong>dan</strong>ya TKI illegal karena setiap sponsor satu perekrut<br />

TKI harus menunjukkan surat ijin atau legalisasi perusahaan PPTKIS yang<br />

menyuruh seorang sponsor mencari calon TKI sampai ke desa-desa.<br />

Dinas Tenaga Kerja di lndramayu juga melakukan penyuluhan kepada<br />

para perekrut tenaga kerja atau para sponsor yang berada dibawah<br />

PPTKIS agar mereka memilih calon TKI yang tepat untuk jenis pekerjaan<br />

tertentu.<br />

Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi<br />

perdagangan orang pada TKI Illegal adalah kepemilikan modal yang<br />

dipunyai oleh PPTKIS itu harus berjumlah sekitar 3 milyar rupiah <strong>dan</strong> buku<br />

tabungan sebesar 500 juta rupiah sebagai jaminan keberadaan<br />

perusahaan penyalur tenaga kerja tersebut. Dengan a<strong>dan</strong>ya persyaratan<br />

ini tidak akan mudah orang membuka perusahaan yang menyalurkan TKI<br />

ke luar negeri dengand sembarangan. Depnaker juga berusaha<br />

mengadakan pengawasan kepada PPTKIS itu dengan memperbaharui ijin<br />

perusahaan mereka secara periodik. PPTKIS merupakan perusahaan<br />

yang bussiness oriented <strong>dan</strong> bukan perusahaan sosial. Untuk itu<br />

pemerintah sangat ketat memeriksa keberadaan PPTKIS ini. Memang ada<br />

juga PPTKIS yang mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri secara legal<br />

namun kemudian mengalami peristiwa human trafficking karena tidak bisa<br />

bekerja dengan baik kemudian disiksa majikannya. Kondisi ini bisa<br />

disebabkan karena kurangnya pelatihan yang diberikan oleh PPTKIS<br />

tersebut kepada para calon TKI untuk bekerja secara terlatih. Untuk<br />

menghindari kejadian tersebut setiap PPTKIS yang memberangkatkan<br />

calon TKI harus mengadakakan pelatihan untuk bekerja diluar negeri<br />

terutama bi<strong>dan</strong>g domestik atau rumah tangga. Para calon TKI yang<br />

bekerja sebagai pembantu rumah tangga diluar negeri harus dilatih<br />

dahulu menggunakan alat-alat rumah tangga elektronik, dilatih cara<br />

memasak, mengurus anak <strong>dan</strong> lain sebagainya. Dengan cara ini human<br />

trafficking atau penganiayaan terhadap para TKI oleh majikan karena TKI<br />

186


kurang professional dapat dihindari. Tetapi yang sering terjadi adalah para<br />

calon TKI itu tetap diberikan paspor walaupun belum layak menjadi<br />

pekerja di luar negeri.<br />

Persoalan tenaga kerja di lndramayu berada satu bagian dengan<br />

dinas sosial <strong>dan</strong> Transmigrasi didalam Dinas Sosial, Tenaga Kerja <strong>dan</strong><br />

Transmigrasi (DinSosKerTrans). Penggabungan ini memudahkan<br />

koordinasi penanganan para TKI bermasalah terutama antara Dinas<br />

Sosial yang melayani rehabilitasi TKI yang mengalami human trafficking<br />

<strong>dan</strong> Dinas Tenaga Kerja yang meneliti kenapa TKI itu memiliki<br />

permasalahan di luar negeri dengan mempelajari PTKIS yang mengirim<br />

TKI bermasalah itu.<br />

Dinsoskertrans lndramayu memiliki bi<strong>dan</strong>g yang melakukan<br />

pengawasan cara kerja PPTKIS dalam merekrtut calon tki. Dinas Tenaga<br />

kerja ini juga memiliki bi<strong>dan</strong>g penempatan yang medata paspor para TKI<br />

itu berangkat ke luar negeri. Namun tak semua TKI dari lndramayu yang<br />

berangkat ke luar negeri melakukan pelaporan ke Dinas Tenaga kerja di<br />

lndramayu. Permasakahan baru muncul pada saat para TKI yang tak<br />

tercatat paspornya di lndramayu apalagi berstatus illegal mengalami<br />

kasus human trafficking di tempatnya bekerja di luar negeri seperti gaji<br />

yanga tak dibayar, TKI yang mengalami kekerasan, pelecehan seksual<br />

<strong>dan</strong> sebagainya. Untuk mengllindari menghindari pengiriman TKI illegal.<br />

Dinas Tenga kerja ini juga melakukan penyuluhan dari tingkat kecamatan<br />

sanpai ke desa agar masyrakat menghindari sponsor-sponsor yang<br />

datang merekrut calon TKI yang tak memiliki surat ijin resmi dari<br />

pemerintah.<br />

8.1.6.7. Penanganan Trafficking oleh Pihak Kepolisian Kabupaten<br />

lndramayu<br />

Polda Jawa Barat termasuk Polres lndramayu melalui unit PPA<br />

(Pelaksana Penanganan Karban) Kekerasan Perempuan <strong>dan</strong> anak Dit<br />

RESKRIM Jawa Barat merupakan unit yang terlibat secara langsung<br />

dalam gugus tugas penanganan human trafficking terhadap perempuan di<br />

187


Jawa Barat. Tindakan yang dilakukan oleh unit ini adalah sesuai dengan<br />

peranan mereka yang langsung menangani perkara apabila mendapat<br />

laporan dari masyarakat mengenai a<strong>dan</strong>ya kasus human trafficking yang<br />

dialami oleh penduduk asal Jawa Barat.<br />

Setelah mengetahui a<strong>dan</strong>ya warga Jawa Barat yang mengalami<br />

kasus human trafficking atau perdagangan perempuan biasanya pihak<br />

Polda maupun Polres lndramayu langsung mengadakan penjemputan<br />

kepada korban human trafficking tersebut <strong>dan</strong> memulangkannya ke<br />

daerah Jawa Barat kembali. Sebelum dipulangkan ke rumahnya biasanya,<br />

para korban ditaruh di rumah singgah atau shelter yang dimiliki oleh gugus<br />

tugas penanganan perdagangan perempuan Jawa Barat. Kegiatan ini<br />

tidak hanya dilakukan oleh polda atau polres Jawa Barat saja tetapi<br />

semua pihak yang terkait dalam gugus tugas yang terutama dilakukan<br />

oleh Dinas Sosial Jawa Barat, BPPKB (Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />

<strong>dan</strong> Keluarga Berencana) Jawa Barat.<br />

Polda Jawa Barat merupakan pihak yang ikut menjemput ke 9<br />

wanita muda yang dikirim oleh Siti Aisyah (nama samaran) ke Bangka<br />

Belitung untuk menjadi wanita psk pada rumah bordil Milik Reni alias<br />

(mami Chita). Setelah mendapat pelaporan dari masyarakat yang<br />

merupakan salah satu keluarga korban, Pihak Polda Jawa Barat dalam<br />

hal ini Unit PPA Dit reskrim langsung datang ke tempat tujuan human<br />

trafficking di Bangka Belitung <strong>dan</strong> melakukan penggerebekan terhadap<br />

rumah bordil 'Moro Seneng' tersebut. Para Pelaku yang merekrut para<br />

wanita muda yang dipekerjakan sebagai psk itupun ditangkap begitu juga<br />

pemilik rumah bordil 'Moro Seneng' di Bangka Belitung tersebut. Para<br />

pelaku human trafficking tersebut dibawa ke Rutan Bandung untuk<br />

dilakukan penyidikan. Kasus ini pun dibawa ke polisi <strong>dan</strong> dilakukan<br />

penyidikan. Setelah itu barulah kasus tersebut dibawa ke kejaksaan yang<br />

menuntut hukuman terhadap para pelaku human trafficking tersebut.<br />

Setelah melalui proses di kejaksaan perkara ii dibawa ke pengadilan <strong>dan</strong><br />

para pelaku human trafficking tersebut pun menjalani hukumannya di<br />

penjara.<br />

188


unsur penangkal dalam satu jejaring kerja yang lentur sehingga jaringan<br />

tersebut mempunyai kekuatan untuk menghambat <strong>dan</strong> memberantas<br />

transnational organized crime perdagangan orang .<br />

Secara institusional, pemerintah mempunyai kewenangan untuk<br />

menangkap trafficker, <strong>dan</strong> mengalokasikan sumberdaya untuk<br />

mendukung program <strong>dan</strong> kegiatan pencegahan <strong>dan</strong> perlindungan kepada<br />

korban. Namun mengingat bahwa pemerintah juga menghadapi masalah<br />

besar lain seperti terorisme, konflik sosial <strong>dan</strong> konflik bersenjata di<br />

beberapa daerah di Indonesia, <strong>dan</strong> hutang luar negeri yang berjumlah<br />

besar, maka kegiatan penghapusan perdagangan orang menjadi berada<br />

dalam keterbatasan.<br />

Untuk mengatasinya, diperlukan kerjasama seluruh pihak, baik di<br />

dalam <strong>dan</strong> di luar negeri, antara daerah asal, transit <strong>dan</strong> tujuan.<br />

Kerjasama tersebut sangat penting, karena penghapusan perdagangan<br />

orang di daerah tujuan tidak akan pernah berhasil jika daerah asal masih<br />

tetap mengirimkan calon korban untuk dieksploitasi. Selain kerjasama<br />

antar daerah atau negara, kerjasama antara pelaku penghapusan<br />

perdagangan orang di suatu daerah juga sangat penting, seperti misalnya<br />

pihak kepolisian tidak akan mungkin pernah bisa mendeteksi terjadinya<br />

setiap kejahatan di wilayahnya karena keterbatasan personil <strong>dan</strong><br />

perlengkapannya, sehingga untuk itu diperlukan bantuan masyarakat<br />

untuk menginformasikan terjadinya kejahatan yang diketahuinya kepada<br />

polisi sehingga dapat segera ditindaklanjuti.<br />

Berbagai jalinan kerjasama yang telah diupayakan antara lain:<br />

kerjasama Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian yang telah ada di banyak<br />

wilayah di Indonesia dengan shelter yang dikelola LSM , women's crisis<br />

center, <strong>dan</strong> Pusat Pelayanan Terpadu Rumah Sakit bahkan dengan<br />

dukungan para tokoh agama, dalam memberikan layanan yang<br />

dibutuhkan sesuai dengan kondisi korban yang mungkin memerlukan<br />

pengobatan baik fisik maupun psikis, bimbingan agama atau sekedar<br />

190


ertukar pikiran sambil mengarahkan untuk menentukan langkah-langkah<br />

ke depan.<br />

Harus ada koordinasi antara program-program lokal, nasional <strong>dan</strong><br />

regional <strong>dan</strong> bahkan internasional untuk melawan perdagangan manusia.<br />

Dengan mengambil perhatian publik mengenai masalah tersebut,<br />

pemerintah dapat meningkatkan alokasi <strong>dan</strong>a untuk memerangi<br />

perdagangan manusia, memperbaki pemahaman terhadap masalah, <strong>dan</strong><br />

meningkatkan kemampuan mereka membangun strategi-strategi yang<br />

efektif. Koordinasi <strong>dan</strong> kerjasama baik secara nasional, bilateral atau<br />

regional akan memperkuat usaha-usaha negara dalam merekrut<br />

sukarelawan untuk memerangi perdagangan manusia. Standar-standar<br />

internasional harus diserasikan <strong>dan</strong> bangsa-bangsa harus bekerjasama<br />

secara lebih dekat untuk menolak perlindungan hukum bagi para pelaku<br />

perdagangan.<br />

Di tingkat propinsi, sebagai contoh, Pemerintah Propinsi<br />

Kalimantan Barat, dalam rangka membina jaringan kerja unsur-unsur<br />

penghapusan perdagangan orang di wilayahnya, pada tahun 2004<br />

memberikan bantuan sejumlah total Rp 25 juta kepada Shelter/Konseling<br />

Ba<strong>dan</strong> Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW), Shelter RSUD dr.<br />

Soedarso Pontianak, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan<br />

Indonesia untuk Keadilan (YLBH-PIK) Pontianak, Ruang Pelayanan<br />

Khusus Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, sebagai langkah awal upaya<br />

keterpaduan merespons tingginya angka perdagangan orang <strong>dan</strong><br />

kekerasan dalam rumah tangga di Kalimantan Barat 52 .<br />

Propinsi Kalimantan Timur dalam rangka mengkoordinasikan<br />

penghapusan perdagangan orang, membentuk Koalisi Anti Trafficking<br />

Kalimantan Timur (KAT Kaltim) yang beranggotakan Pemerintah Propinsi<br />

Kalimantan Timur, LBH-APIK, <strong>dan</strong> LSM. Koalisi ini telah menyusun<br />

Prosedur Tetap sehingga setiap unsur telah mengetahui tugas, fungsi <strong>dan</strong><br />

52 Website Warta Pemprov Kalbar, 4 Februari 2005, dalam Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan<br />

Rakyat (2005). Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficiking in Persons) Di Indonesia, Tahun<br />

2004-2005. Jakarta<br />

191


kewenangannya masing-masing. KAT Kaltim saat sekarang se<strong>dan</strong>g<br />

merintis <strong>dan</strong> berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Nunukan untuk<br />

membentuk koalisi di tingkat kabupaten. Kabupaten Nunukan ditengarai<br />

sebagai tempat untuk keluar masuknya pengiriman korban perdagangan<br />

orang dari <strong>dan</strong> ke Sabah, Malaysia 53 .<br />

Forum 182 Batam adalah suatu forum yang merupakan koalisi <strong>dan</strong><br />

jaringan kerja yang beranggotakan individu <strong>dan</strong> lembaga/organisasi yang<br />

ada di Pulau Batam, untuk membangun kesadaran bersama dalam<br />

kampanye melawan kejahatan perdagangan manusia (counter trafficking).<br />

Selain mengembangkan media, database <strong>dan</strong> informasi yang dibutuhkan<br />

dalam kampanye, Forum 182 Batam juga memberikan layanan konseling,<br />

hotline service, bantuan psikologi <strong>dan</strong> layanan hukum bagi para korban<br />

kejahatan perdagangan orang 54 .<br />

Untuk tingkat regional <strong>dan</strong> internasional, kerjasama penghapusan<br />

perdagangan orang terus ditingkatkan. Indonesia juga telah menandatangi<br />

beberapa peraturan internasional, yang membuktikan keseriusannya<br />

dalam melawan <strong>dan</strong> memberantas perdagangan orang. Dalam skala<br />

nasional, Indonesia juga telah membuat beberapa peraturan, untuk<br />

memberantas perdagangan orang. Atas usaha-usaha yang dilakukannya<br />

tersebut, Indonesia diberi label Tier 2 oleh Departemen Luar Negeri AS. 5 5<br />

Di samping kerjasama yang secara legal formal telah dikukuhkan<br />

sebagaimana Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan<br />

Perjanjian antara Republik Indonesia <strong>dan</strong> Australia mengenai Bantuan<br />

Timbal Balik dalam Masalah Pi<strong>dan</strong>a (Treaty Between Rl and Australia on<br />

Mutual Assistance in Criminal Matters), <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 1 Tahun<br />

53 Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan Rakyat (2005). Penghapusan Perdagangan Orng (Trafficiking<br />

in Persons) Di Indonesia, Tahun 2004-2005. Jakarta.<br />

54 Ibid.<br />

55 Tier 1 jika negara dianggap mampu melawan perdagangan orang. Tier 2 diberikan kepada<br />

negara yang berkomitmen memberantas perdagangan orang, namun Tier 2 Watch List<br />

diperuntukkan bagi negara-negara yang memiliki komitmen yang rendah, <strong>dan</strong> Tier 3 adalah<br />

untuk negara yang memiliki komitmen yang sangat rendah dalam menangani masalah<br />

perdagangan orang. ("Human Trafficking Rate in Indonesia is Still High"<br />

)<br />

192


2001 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik<br />

Indonesia <strong>dan</strong> Pemerintah Hong Kong untuk Penyerahan Pelanggar<br />

Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of<br />

Indonesia and the Government of Hong Kong for the Surrender of Fugitive<br />

Offenders), juga dilaksanakan kerjasama dengan LSM internasional<br />

terutama dalam upaya pencegahan, peningkatan kapasitas, <strong>dan</strong><br />

perlindungan kepada korban perdagangan orang (Indonesian Protocol to<br />

Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women<br />

and Children, Supplementing The United Nations Convention Against<br />

Transnational Organized Crime, United Nations, 2006).<br />

Dalam usahanya untuk mencegah perdagangan orang, Pemerintah<br />

Indonesia juga bekerjasama dengan LSM <strong>dan</strong> Organisasi lnternasional<br />

untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. ICMC, ACILS, Terre des<br />

Hommes, Save the Children US, 10M, adalah beberapa di antara LSM<br />

internasional yang selama ini telah erat bekerjasama dengan Pemerintah<br />

Indonesia dalam membina hubungan <strong>dan</strong> penguatan LSM lokal untuk<br />

kegiatan pencegahan <strong>dan</strong> perlindungan kepada korban perdagangan<br />

orang. Ba<strong>dan</strong> internasional seperti UNICEF <strong>dan</strong> ILO adalah beberapa di<br />

antaranya yang telah bekerjasama dengan baik dengan Pemerintah<br />

Indonesia dalam rangka penghapusan perdagangan anak <strong>dan</strong> pekerjaan<br />

terburuk bagi anak. UNICEF antara lain telah mensponsori pertemuan<br />

regional tingkat ASEAN yang dimotori oleh PKPA Me<strong>dan</strong> sehingga<br />

menghasilkan Deklarasi Me<strong>dan</strong> yang merupakan komitmen regional<br />

ASEAN untuk lebih meningkatkan kerjasama dalam penghapusan<br />

perdagangan orang di wilayah ini (Indonesian Protocol to Prevent,<br />

Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and<br />

Children, Supplementing The United Nations Convention Against<br />

Transnational Organized Crime, United Nations, 2006).<br />

Salah satu bentuk kerjasama dalam rangka pemulangan tenaga<br />

kerja Indonesia (TKI) bermasalah <strong>dan</strong> keluarganya dari Malaysia adalah<br />

pembentukan Tim Koordinasi Pemulangan TKI Bermasalah <strong>dan</strong><br />

Keluarganya dari Malaysia (TK-PTKIB) melalui Keputusan Presiden Rl No.<br />

193


106 Tahun 2004. Tim ini telah berhasil mengkoordinasikan pemulangan<br />

lebih dari 347 ribu TKI bermasalah <strong>dan</strong> keluarganya dari Malaysia melalui<br />

jalan darat, laut maupun udara masuk melalui 13 daerah entry point di<br />

Indonesia, <strong>dan</strong> telah mampu memfasilitasi sehingga mereka sampai ke<br />

daerah asalnya masing-masing dengan selamat. Bagi TKI yang mampu,<br />

mereka membiayai sendiri kepulangannya, untuk itu Tim hanya<br />

memfasilitasi <strong>dan</strong> memberikan informasi hal-hal yang memperlancar<br />

kepulangan mereka ke daerah masing-masing. Tetapi bagi mereka yang<br />

memerlukan, Pemerintah Indonesia secara terpadu memberikan layanan<br />

kesehatan, penampungan sementara termasuk permakanannya, bantuan<br />

transportasi serta pengamanan <strong>dan</strong> pengawalan dari Kepolisian jika<br />

diperlukan. Banyak dari TKI bermasalah itu merupakan korban dari<br />

praktek-praktek perdagangan orang: dijanjikan bekerja di Malaysia<br />

dengan gaji tinggi tetapi ternyata dimasukkan ke Malaysia dengan pasport<br />

<strong>dan</strong> visa kunjungan wisata, kemudian dipekerjakan di perkebunan dengan<br />

kondisi tereksploitasi (paspor ditahan, gaji dipotong, terlilit hutang untuk<br />

biaya makan <strong>dan</strong> sebagainya).<br />

Pelayanan Satu Atap yang dibentuk di sebelas daerah exit point di<br />

Indonesia adalah salah satu bentuk kerjasama antar lnstansi Pemerintah<br />

Indonesia yang terkait dengan masalah penempatan pekerja migran<br />

Indonesia <strong>dan</strong> Pemerintah Malaysia (lmigresen) untuk memberikan<br />

kemudahan bagi pekerja migran Indonesia untuk kembali bekerja di<br />

Malaysia secara legal. Pelayanan Satu Atap ini diharapkan dapat<br />

menekan pengiriman tenaga kerja Indonesia secara illegal yang<br />

sebelumnya banyak dilakukan oleh mereka yang tidak bertanggung<br />

jawab 56 .<br />

Beberapa negara telah membangun gugus tugas <strong>dan</strong> rencana­<br />

rencana aksi untuk mencapai tujuan-tujuan <strong>dan</strong> menciptakan standar<br />

acuan untuk usaha-usaha memerangi perdagangan manusia. Namun titik<br />

berat dari penilaian untuk tiap-tiap negara tidak terlalu dibebankan pada<br />

56 Ibid<br />

194


encana-rencana <strong>dan</strong> gugus tugas ini, melainkan terfokus pada tindakan­<br />

tindakan nyata yang telah diambil oleh pemerintah negara tersebut dalam<br />

memberantas perdagangan manusia, menyoroti usaha-usaha penuntutan,<br />

penghukuman <strong>dan</strong> pemenjaraan terhadap pelaku, serta usaha-usaha<br />

pencegahan. Gugus tugas <strong>dan</strong> rencana-rencana aksi tersebut tidak harus<br />

terlalu menitikberatkan pada un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g dalam bentuk konsep atau<br />

yang belum diun<strong>dan</strong>gkan. Harusnya tindakan-tindakan gugus tugas<br />

tersebut harus terfokus pada usaha-usaha pemerintah yang memberikan<br />

kontribusi secara tidak langsung dalam mengurangi perdagangan<br />

manusia, seperti program bantuan pendidikan, dukungan untuk<br />

perkembangan ekonomi, atau program yang dimaksudkan untuk<br />

meningkatkan kesamaan gender, walaupun itu merupakan usaha-usaha<br />

yang sangat bermanfaat.<br />

Ada empat standar minimum untuk menghapuskan perdagangan<br />

manusia yakni (Indonesian Protocol to Prevent, Suppress and Punish<br />

Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing<br />

The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime,<br />

United Nations, 2006):<br />

1) Pemerintahan negara harus melarang bentuk-bentuk keji<br />

perdagangan manusia <strong>dan</strong> menghukum pelaku tindakan-tindakan<br />

perdagangan tersebut.<br />

2) Untuk tindakan perdagangan seks apapun yang melibatkan<br />

paksaan, penipuan atau kekerasan dimana korban perdagangan seks<br />

tersebut adalah seorang anak yang tidak dapat memberikan persetujuan,<br />

atau dimana perdagangan manusia yang mencakup perkosaan atau<br />

penculikan yang menimbulkan kematian, maka pemerintah negara<br />

tersebut harus menentukan hukuman yang sepa<strong>dan</strong> dengan hukuman<br />

untuk kejahatan pembunuhan seperti penyerangan seksual secara paksa.<br />

3) Untuk tindakan perdagangan manusia yang keji, pemerintah<br />

negara tersebut harus menentukan hukuman yang cukup keras untuk<br />

195


menghalangi <strong>dan</strong> yang cukup mencerminkan bentuk mengerikan dari<br />

kejahatan tersebut.<br />

4) Pemerintah negara harus membuat usaha yang serius <strong>dan</strong> terus­<br />

menerus untuk menghapus bentuk-bentuk keji perdagangan manusia.<br />

Disamping itu untuk dapat melakukan proses peradilan terhadap<br />

kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan manusia, para penegak<br />

hukum tidak dapat bekerja sendiri, sesuai tugas <strong>dan</strong> fungsinya. Para<br />

penegak hukum sangat memerlukan bantuan dari berbagai pihak seperti<br />

laporan dari masyarakat-- sebagai informasi untuk mengungkap kasus<br />

tersebut. Oleh karena itulah, terdapat beberapa faktor yang cukup<br />

berperan dalam mengungkap a<strong>dan</strong>ya perdagangan manusia. Faktor­<br />

faktor tersebut adalah :<br />

1 )Pranata Peradilan Pi<strong>dan</strong>a<br />

Keterampilan serta kerapihan (terorganisir secara baik) para pelaku<br />

perdagangan manusia dalam melakukan kejahatannya, membuat aparat<br />

kepolisian mengalami kesulitan dalam mengungkap kasus yang berkaitan<br />

dengan perdagangan manusia. Keterbatasan jumlah personil serta<br />

terbatasnya <strong>dan</strong>a, menjadi alasan klasik aparat kepolisian dalam<br />

mengungkap kasus-kasus perdagangan manusia. Keterbatasan tersebut<br />

bertambah lagi bila dikaitkan dengan kemampuan personil penyidik dalam<br />

mengungkap kasus-kasus yang dilaporkan oleh masyarakat. Dalam<br />

proses penyidikan, aparat kepolisian harus memiliki kemampuan khusus<br />

dalam menangani kasus-kasus perdagangan manusia. Kemampuan<br />

khusus ini diperlukan mengingat para pelaku (trafficker) bukanlah orang<br />

yang bodoh. Mereka pada umumnya telah mempersiapkan segala upaya,<br />

bila terjadi kemungkinan yang melibatkan dirinya secara hukum.<br />

"Kelebihan" yang dimiliki para pelaku ini menambah sulitnya<br />

pengungkapan kasus-kasus perdagangan manusia oleh aparat kepolisian.<br />

Secara teknis-yuridis, keharusan untuk memperoleh bukti awal<br />

yang cukup, dalam menangani kasus-kasus kriminal, menjadi kendala<br />

tersendiri bagi aparat kepolisian. Terlebih lagi bila tidak a<strong>dan</strong>ya saksi yang<br />

196


mau bersaksi dalam mengungkap a<strong>dan</strong>ya perdagangan manusia.<br />

Keengganan para saksi untuk menjadi saksi dalam kasus-kasus demikian<br />

ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu (1) keengganan karen a proses<br />

peradilan yang berbelit-belit <strong>dan</strong> membutuhkan waktu yang lama; (2) tidak<br />

a<strong>dan</strong>ya jaminan keselamatan bagi saksi, dari segala bentuk ancaman; (3)<br />

kurangnya perhatian dari aparat terhadap saksi, sehingga saksi menjadi<br />

takut atau enggan untuk berurusan dengan aparat penegak hukum; (4)<br />

alasan waktu <strong>dan</strong> biaya, merupakan kendala tersendiri bagi saksi untuk<br />

berurusan dengan aparat penegak hukum. Kesulitan yang dialami pada<br />

tahap penyelidikan <strong>dan</strong> penyidikan, memiliki dampak yang sangat luas<br />

kepada proses hukum selanjutnya, mengingat pada tahap inilah proses<br />

peradilan pi<strong>dan</strong>a dimulai.<br />

Pada tahap persi<strong>dan</strong>gan, proses pengungkapan terhadap kasus­<br />

kasus perdagangan manusia juga mengalami beberapa kendala. Kendala<br />

yang pertama, berkaitan dengan peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang<br />

ada. Harus diakui bahwa ketentuan hukum yang ada di negara kita ini,<br />

belum memadai untuk menjaring para pelaku. Beberapa ketentuan yang<br />

ada dalam KUHP hanya diperuntukkan bagi para pelaku yang melakukan<br />

perbuatan tersebut secara sederhana <strong>dan</strong> dalam lingkup yang kecil.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan pelaku perdagangan manusia memiliki modus operandi yang<br />

sulit untuk dilacak serta para pelaku yang terorganisir.<br />

Kendala di bi<strong>dan</strong>g peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan menyebabkan<br />

proses peradilan tidak berjalan maksimal, sebagaimana yang diinginkan.<br />

Pengungkapan kasus akan menjaring mereka (para pelaku) yang lemah<br />

<strong>dan</strong> tetap memberi peluang kebebasan bagi para pelaku yang terorganisir.<br />

Hal ini, pada akhirnya akan membawa konsekuensi hukum pada<br />

pemberian sanksi pi<strong>dan</strong>a. Oleh karena itu, hakim harus benar-benar dapat<br />

mengadili kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan manusia<br />

secara bijak dengan memperhatikan: sifat kasus yang ditangani, dampak<br />

yang ditimbulkan dari kasus tersebut, karakter pelaku serta modus<br />

operandi, serta penderitaan korban yang berakibat pula pada lingkungan<br />

sosial masyarakat.<br />

197


Pertimbangan-pertimbangan tersebut akan membawa hakim pada<br />

suatu putusan pi<strong>dan</strong>a yang adil, sesuai dengan karakter <strong>dan</strong> sifat<br />

kejahatan yang dilakukan.<br />

2)Pelaku (trafficker)<br />

Sebagaimana telah dikemukakan, pelaku kejahatan perdagangan<br />

manusia (trafficker), memiliki jaringa yang cukup luas. Kendati belum<br />

diperoleh bukti yang akurat, dapatlah diperkirakan bahwa pelaku adalah<br />

sekelompok orang yang memiliki wadah, atau sering juga disebut sebagai<br />

kejahatan terorganisasi (organized crime). Dengan melibatkan banyak<br />

orang, serta memiliki jaringan yang cukup luas, tidaklah mustahil bahwa<br />

para pelaku kejahatan ini sangat sulit untuk ditangkap, apalagi diproses<br />

secara hukum.<br />

Hugh D. Barlow, telah mengidentifikasi kejahatan-kejahatan yang<br />

dilakukan oleh organized crime. Menurut Barlow, organized crime sangat<br />

menyukai bisnis-bisnis seperti pelacuran, karena aktivitas ini<br />

mendatangkan hasil yang berlimpah. Demi kelancaran bisnis tersebut,<br />

organized crime tidak segan-segan untuk menjalin hubungan dengan<br />

tokoh politik <strong>dan</strong> pemerintahan.<br />

lnterelasi organized crime dengan berbagai kalangan (elite)<br />

mengaburkan pola-pola kejahatan yang dilakukannya. Seringkali aktivitas<br />

mereka sulit untuk dilacak serta diketahui siapa pelaku sebenarnya.<br />

Bahkan, tidak mustahil mereka telah mengetahui upaya-upaya aparat<br />

untuk menangkap mereka, <strong>dan</strong> hasilnya, merekapun dapat meloloskan diri<br />

dengan selamat.<br />

Penangkapan terhadap pelaku, harus dicermati bahwa pelaku yang<br />

berhasil ditangkap adalah pelaku-pelaku kecil atau orang-orang "suruhan"<br />

yang tak berdaya. Se<strong>dan</strong>gkan yang menjadi aktor intelektual - dalam<br />

kejahatan terorganisasi-tidak akan pernah tertangkap, apalagi diproses<br />

secara hukum. Dengan kondisi yang demikian, maka sangat sulit untuk<br />

mengungkap kejahatan dalam bentuk perdagangan manusia. Kalaupun<br />

11J8


aparat penegak hukum mampu menangkap pelaku, mereka hanyalah<br />

pelaku di lapangan.<br />

Berikut berbagai kendala dalam penanganan perdagangan<br />

manusia, yang paling sering dijumpai oleh pelaksana Gugus Tugas<br />

sebagai berikut:<br />

a)Kesadaran masyarakat, lembaga pemerintah <strong>dan</strong> swasta<br />

terhadap TPPO <strong>dan</strong> ESA sebagai kejahatan belum tumbuh<br />

secara memadai <strong>dan</strong> payung hukum sudah ada.<br />

b )Mitos bahwa berhubungan dengan anak merupakan cara untuk<br />

"awet muda"<br />

c)Ketidakpedulian masyarakat terhadap pencegahan TPPO <strong>dan</strong><br />

ESA<br />

d)Media massa masih kurang memberikan informasi yang<br />

bermanfaatlberpihak pada korban<br />

e )Rendahnya kapasitas pemangku kepentingan lembaga terkait<br />

dalam melakukan pencegahan TPPO <strong>dan</strong> ESA<br />

f)Lemahnya pengawasan pemantauan pada daerah pada saat pra<br />

penempatan <strong>dan</strong> penempatan tenaga kerja<br />

g)Belum semua daerah membentuk sub Gugus Tugas sehingga<br />

belum memiliki Rencana Aksi Daerah (RAD) TPPO<br />

h)Administrasi kependudukan belum sistematis<br />

i)Tidak semua anak memiliki akte kelahiran<br />

j)Korban tidak mau melapor<br />

k)Korban tidak mengenali pelakunya<br />

I)Terjadi pada dua wilayah atau lebih<br />

m)Sindikat pelaku terputus<br />

n)Biaya penyidikan yg cukup besar<br />

o)Terbatasnya teknologi IT <strong>dan</strong> sarana <strong>dan</strong> prasarana<br />

199


p)Aparat Penegak Hukum belum satu persepsi<br />

q)Terbatasnya petugas di perbatasan<br />

r)Tidak semua negara tujuan penempatan TKI memiliki Senior<br />

Liaison Officer (SLO) POLRI<br />

s)Lemahnya koordinasi <strong>dan</strong> kerjasama di tingkat pusat, tingkat<br />

daerah maupun antar negara<br />

t)Perbedaan hukum masing2 negara<br />

u)Belum semua negara ada kerjasama<br />

Pengetahuan masyarakat mengenai perdagangan manusia harus<br />

ditingkatkan <strong>dan</strong> jaringan kerja organisasi anti perdagangan <strong>dan</strong> usaha­<br />

usahanya harus diperkuat. Lembaga agama, LSM, sekolah-sekolah,<br />

perkumpulan masyarakat, <strong>dan</strong> para tokoh masyarakat, pemimpin<br />

tradisional atau tokoh adat dengan pranata adatnya, serta tokoh agama<br />

perlu dimobilisasi dalam perjuangannya melawan perdagangan manusia.<br />

Para korban <strong>dan</strong> keluarga mereka memerlukan pelatihan keahlian <strong>dan</strong><br />

kesempatan untuk melakukan ekonomi alternatif. Strategi anti<br />

perdagangan harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa<br />

strateginya masih tetap inovatif <strong>dan</strong> efektif. Akhirnya, para pejabat<br />

pemerintah harus dilatih mengenai teknik-teknik anti perdagangan<br />

manusia, <strong>dan</strong> jalur-jalur perdagangan harus secara statistik dicermati<br />

untuk menjelaskan sifat <strong>dan</strong> seriusnya serta besarnya masalah sehingga<br />

dapat dipahami secara Jebih baik. Jadi dalam melakukan pencegahan <strong>dan</strong><br />

penanggulangan perdagangan manusia kita tidak dapat mengabaikan<br />

masalah non hukum atau hanya mengandalkan penegakan hukum saja.<br />

Disamping itu perlu a<strong>dan</strong>ya penguatan atau ketahanan keluarga,<br />

dimana keluarga adalah merupakan fundamen utama dalam memberikan<br />

sosialisasi kehidupan maupun pencerahan kepada anggota keluarganya<br />

untuk dapat memerangi hal-hal yang dapat menjurus pada terjadinya<br />

perdagangan man usia. Keluarga juga<br />

200


Mekanisme koordinasi <strong>dan</strong> supervisi yang ada seperti Gugus Tugas<br />

Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang perlu<br />

ditingkatkan. Dalam lokakarya regional mengenai Perdagangan Orang<br />

yang didukung oleh UNICEF <strong>dan</strong> Kedutaan Perancis di Lombok, April<br />

2010 yang lalu, permasalahan koordinasi mengemuka. Temuan ini sejalan<br />

dengan hasil evaluasi tahun 2008 mengenai pelaksanaan RAN PTPPO<br />

<strong>dan</strong> ESKA yang menunjukkan perlunya penguatan koordinasi antar<br />

instansi di tingkat nasional, antar instansi nasional <strong>dan</strong> daerah, <strong>dan</strong> antar<br />

instansi di daerah. 57<br />

Perdagangan orang merupakan kejahatan terhadap Hak Asasi<br />

Manusia (HAM) yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas,<br />

tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran <strong>dan</strong> hati nurani, beragama, hak<br />

untuk tidak diperbudak, <strong>dan</strong> pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya.<br />

Perempuan <strong>dan</strong> anak adalah yang paling banyak menjadi korban<br />

perdagangan orang, menempatkan mereka pada posisi yang sangat<br />

beresiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik<br />

maupun mental spiritual, sehingga sangat rentan terhadap tindak<br />

kekerasan.<br />

Praktik perdagangan orang (trafficking) merupakan masalah yang<br />

krusial. Berdasarkan hasil penelitian, banyak daerah telah dikategorikan<br />

sebagai tempat tumbuh suburnya praktik perdagangan orang. Wilayah<br />

yang dikategorikan rawan praktik perdagangan orang, di Jawa Barat saja<br />

misalnya, meliputi daerah lndramayu, Subang, Sukabumi, Cirebon, Kota<br />

Bandung serta Kabupaten Bandung.<br />

201<br />

Perdagangan orang telah menjadi bisnis kuat yang bersifat lintas<br />

daerah bahkan lintas negara karena walaupun illegal hasilnya sangat<br />

menggiurkan, merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan<br />

obat-obatan terlarang <strong>dan</strong> perdagangan senjata. Tidak mengherankan jika<br />

kejahatan internasional yang terorganisir kemudian menjadikan prostitusi<br />

57 Sofian, Ahmad, et al . Evaluasi Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pertama Indonesia untuk<br />

Penghapusan Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Anak (P3A) <strong>dan</strong> Penghapusan Eksploitasi Seks<br />

Komersial Anak (ESKA). Laporan untuk UNICEF, 2008.


internasional <strong>dan</strong> jaringan perdagangan orang sebagai fokus utama<br />

kegiatannya.<br />

202<br />

Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan<br />

sumber daya yang kuat seperti itu, diperlukan komitmen bersama yang<br />

lebih kuat, bertindak dengan langkah-langkah yang terencana <strong>dan</strong><br />

konsisten antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah bahkan<br />

melibatkan jaringan luas baik dengan pemerintah negara sahabat <strong>dan</strong><br />

lembaga internasional. Oleh karena itu dalam Peraturan Daerah ini<br />

dikembangkan pula kerjasama antara provinsi ataupun kabupaten/kota di<br />

Indonesia, kemitraan dengan dunia usaha <strong>dan</strong> berbagai elemen<br />

masyarakat sebagai upaya untuk melakukan pencegahan <strong>dan</strong><br />

penanganan korban Perdagangan Orang <strong>dan</strong> membangun berbagai<br />

jejaring dengan berbagai elemen masyarakat.<br />

Peraturan daerah tentang Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan Karban<br />

Perdagangan orang lebih menekankan pada upaya untuk melakukan<br />

pencegahan perdagangan orang daripada upaya represif terhadap pelaku<br />

tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang karena pengaturan mengenai tindakan<br />

represif telah diatur dalam Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g tentang Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />

Pemberantasan Perdagangan Orang <strong>dan</strong> dengan dimaksimalkannya<br />

upaya pencegahan terhadap perdagangan orang diharapkan dapat<br />

menekan seminimal mungkin korban perdagangan orang.<br />

Upaya Pencegahan Perdagangan orang dilakukan melalui<br />

Pencegahan Preemtif <strong>dan</strong> Pencegahan Preventif. Pencegahan preemtif<br />

merupakan tindakan yang harus dilakukan pada tingkat pengambilan<br />

keputusan <strong>dan</strong> perencanaan oleh Pemerintah Daerah yang bersifat jangka<br />

panjang dalam upaya pencegahan perdagangan orang. Pencegahan<br />

Preventif merupakan upaya langsung yang harus dilakukan oleh<br />

Pemerintah Daerah untuk melakukan pencegahan perdagangan orang<br />

yang berupa pengawasan terhadap setiap Perusahaan Penyalur Tenaga<br />

Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) <strong>dan</strong> Korporasi yang ada, membangun<br />

jejaring dengan berbagai pihak terkait (LSM, penegak hukum) <strong>dan</strong>


membuka akses pengaduan terhadap a<strong>dan</strong>ya tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan<br />

orang.<br />

Berdasarkan data yang ada, profil perempuan <strong>dan</strong> anak korban<br />

perdagangan orang serta mereka yang berisiko, pada umumnya berasal<br />

dari keluarga miskin, kurang pendidikan, kurang informasi <strong>dan</strong> berada<br />

pada kondisi sosial budaya yang kurang menguntungkan bagi<br />

perkembangan dirinya. Oleh sebab itu kebijakan pencegahan<br />

perdagangan orang haruslah ditekankan pada upaya untuk meningkatkan<br />

pendidikan <strong>dan</strong> perekonomian di Jawa Barat, selain dilakukan pula upaya<br />

pemberdayaan <strong>dan</strong> penyadaran kepada masyarakat mengenai nilai-nilai<br />

keagamaan, moral, kemanusiaan <strong>dan</strong> kehidupan.<br />

Bagi para korban perdagangan orang akan dilakukan tindakan<br />

penanganan <strong>dan</strong> rehabilitasi. Penanganan perdagangan orang akan lebih<br />

ditekankan pada upaya untuk menyelamatkan korban perdagangan<br />

korban dari tindakan eksploitasi maupun penganiayaan <strong>dan</strong><br />

mengusahakan upaya penanganan hukum se<strong>dan</strong>gkan rehabilitasi<br />

merupakan upaya untuk memulihkan kondisi fisik <strong>dan</strong> psikis dari korban<br />

perdagangan orang <strong>dan</strong> pemberdayaan pendidikan <strong>dan</strong> perekonomian<br />

korban agar tidak terkena korban perdagangan orang kembali.<br />

Mengingat luasnya aspek pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban<br />

perdagangan orang maka pelaksanaannya perlu dilakukan secara lintas<br />

sektor antara organisasi perangkat daerah yang berwenang di bi<strong>dan</strong>g<br />

sosial, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, <strong>dan</strong> perekonomian<br />

dengan organisasi perangkat daerah di bi<strong>dan</strong>g sosial sebagai leading<br />

sector dalam upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban perdagangan<br />

orang.<br />

203<br />

Dukungan pen<strong>dan</strong>aan yang memadaipun diharapkan dapat<br />

meningkatkan kesuksesan pelaksanaan pencegahan <strong>dan</strong> penanganan<br />

korban perdagangan orang, oleh karena itu pen<strong>dan</strong>aan terhadap upaya<br />

pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban perdagangan orang perlu


-<br />

dialokasikan dalam masing-masing anggaran organisasi perangkat daerah<br />

terkait di atas.<br />

Dalam rangka percepatan upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanganan<br />

korban perdagangan orang maka dibentuk Gugus Tugas Rencana Aksi<br />

Daerah yang bersifat adhoc <strong>dan</strong> multistakeholder yang salah satu fungsi<br />

utamanya adalah menyusun Rencana Aksi Daerah yang mengerahkan<br />

berbagai elemen masyarakat <strong>dan</strong> pemerintah dalam upaya pencegahan<br />

perdagangan orang <strong>dan</strong> penanganan korban perdagangan orang,<br />

sehingga diharapkan Provinsi Jawa Barat dapat menjadi provinsi terdepan<br />

<strong>dan</strong> tersukses dalam menangani pencegahan perdagangan orang <strong>dan</strong><br />

penanganan korban perdagangan.<br />

Beberapa hal yang terpenting adalah penegakkan prinsip-prinsip<br />

yang harus mendasari setiap upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanganan korban<br />

perdagangan orang, yakni prinsip penghormatan <strong>dan</strong> pengakuan terhadap<br />

hak <strong>dan</strong> martabat manusia adalah prinsip yang menjunjung tinggi hak-hak<br />

asasi manusia; prinsip kepastian hukum yang mementingkan penegakan<br />

tertib hukum oleh penegak hukum berdasarkan peraturan perun<strong>dan</strong>g­<br />

un<strong>dan</strong>gan; prinsip proporsionalitas yang mengutamakan hak <strong>dan</strong><br />

kewajiban baik bagi saksi, korban, pelaku maupun pemerintah; prinsip<br />

non-diskriminasi yang tidak membeda-bedakan korban akibat<br />

perdagangan orang terutama perempuan <strong>dan</strong> anak, baik mengenai<br />

substansi, proses hukum, maupun kebijakan hukum; prinsip perlindungan<br />

untuk memberikan rasa aman baik fisik, mental, maupun sosial; prinsip<br />

keadilan adalah prinsip yang memberikan perlindungan secara tidak<br />

memihak <strong>dan</strong> memberikan perlakuan yang sama, termasuk didalamnya<br />

kesetaraan gender.<br />

Sementara itu, peningkatan jumlah <strong>dan</strong> mutu pendidikan yang<br />

didasarkan pada pembangunan pendidikan harus dilakukan secara<br />

integral oleh institusi pendidikan, pengguna, <strong>dan</strong> Pemerintah Daerah<br />

untuk mencapai kualitas sumberdaya manusia yang beriman <strong>dan</strong><br />

bertakwa, berahlak mulia, cerdas, kreatif, produktif, inovatif, mandiri,<br />

204


menguasai ilmu pengetahuan <strong>dan</strong> teknologi , unggul dalam persaingan,<br />

serta mampu beradaptasi dengan perubahan zaman <strong>dan</strong> tuntutan<br />

kebutuhan pasar. Pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya bagi<br />

masyarakat didasarkan pada arah pembangunan ketenagakerjaan yang<br />

bersifat multidimensi, mempengaruhi <strong>dan</strong> dipengaruhi oleh berbagai faktor<br />

dengan pola hubungan yang kompleks. Pembangunan nilai-nilai moral<br />

<strong>dan</strong> agama didasarkan pada karakteristik masyarakat yang religius <strong>dan</strong><br />

berbudaya melalui pendidikan agama <strong>dan</strong> dakwah serta peningkatan<br />

pengamalan ajaran agama secara menyeluruh yang meliputi akidah,<br />

ibadah, muamalah, <strong>dan</strong> akhlak mulia sehingga terwujud kesalehan<br />

individual <strong>dan</strong> kesalehan sosial.<br />

8.2. Upaya Penanganan di Daerah Transit: Batam 5s<br />

8.2.1. Penanganan Kepolisian<br />

Yang dijadikan patokan ataupun pemahaman polisi (PPA) bahwa<br />

suatu peristiwa merupakan trafficking adalah sebagaimana tercantum<br />

dalam un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yaitu perekrutan atau penempatan orang dengan<br />

cara tipu muslihat atau dilakukan dengan tujuan eksploitasi. Dalam<br />

penanganan masalah trafficking kepolisian sudah memberikan perhatian<br />

khusus berupa arahan dari pimpinan Polri. Salah satu indikator yang<br />

menunjukkan bahwa masalah trafficking mendapat atensi utama dari<br />

pimpinan Polri adalah a<strong>dan</strong>ya SKEP Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 yang<br />

mengatur tentang pembentukan PPA di Polda Kepulauan Riau.<br />

Berdasarkan SKEP tersebut jajaran kepolisian di Polda Kepulauan Riau<br />

membentuk unit trafficking sendiri yang disebut PPA yang dulunya disebut<br />

RPK (Ruang Pelayanan Khusus). Dengan a<strong>dan</strong>ya arahan dari pimpinan<br />

Polri tersebut menunjukkan bahwa masalah trafficking termasuk dalam<br />

skala prioritas Polda Kepulauan Riau/ Poltabes Batam untuk ditangani.<br />

Sebagai contoh, dalam implementasinya Poltabes Batam melakukan<br />

58 Hasil Penelitian Tahun I, Tahun 2009. "Studi Kasus Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan<br />

Terpadu Terhadap Perdagangan Perempuan Di Propinsi Jawa Barat<br />

205


operasi baik secara rutin ataupun operasi khusus (seperti operasi bunga)<br />

untuk menangkap para trafficker.<br />

Pada tahun 2009 PPA Poltabes Batam menangani satu kali<br />

menangani kasus trafficking yang terjadi di lokalisasi Sintai. Dalam hal ini<br />

yang melaporkan a<strong>dan</strong>ya korban trafficking ke PPA adalah sukarelawan<br />

sosial, bukan korban yang bersangkutan. Korbannya terdiri dari 2 orang<br />

yang berumur 19 <strong>dan</strong> 28 tahun. Korbannya yang satu adalah orang jawa<br />

yang tinggal di Jakarta <strong>dan</strong> seorang lagi berasal dari Makasar. Karban<br />

berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah <strong>dan</strong> sponsornya<br />

tinggal di Jakarta. Peristiwanya, ketika direkrut di kampungnya pihak<br />

korban dijanjikan untuk bekerja di bar <strong>dan</strong> hanya untuk menyajikan<br />

minuman kepada tamu atau menemani tamu menyanyi. Bar ini milik orang<br />

lndramayu. Dengan pekerjaan itu dia dijanjikan akan mendapat gaji<br />

sekitar 2 juta sampai 5 juta. Tetapi sesampai di tempat yang dijanjikan<br />

ternyata dia disuruh melayani tamu secara total.<br />

Kasus ini terungkap karena korban yang berumur 19 tahun merasa<br />

hamil <strong>dan</strong> kemuian berobat ke Nagoya dengan ditemani 1 orang<br />

temannya. Tetapi kemudian mereka berfikir untuk kabur karena ternyata<br />

hidup di lokalisasi tersebut membuat dia dililit hutang yang terus<br />

bertambah banyak. Ketika awal dia sampai di bar tersebut dia telah diikat<br />

hutang yang besarnya mencapai 3 juta rupiah. Utang tersebut sebagai<br />

pengganti biaya pengiriman dia dari tempat asal ke tempat tujuan yang<br />

selama itu dibiayai oleh pihak sponsor atau agen. Namun setelah dia<br />

bekerja ternyata semakin lama hutang tersebut bertambah banyak,<br />

sehingga tidak selesai-selesai. Sementara temannya yang berumur 28<br />

tahun sudah bersuami yang tinggal di Jakarta. Kemudian suaminya tahu<br />

bahwa istrinya dijual, oleh karena itu dia minta tolong kepada temannya<br />

yang berprofesi sebagai wartawan TV One. Pada saat itu temannya<br />

tersebut kebetulan ada tugas ke Singapore lewat Batam sehingga dia pun<br />

menyempatkan diri untuk menolong istri temannya, yang pada saat itu<br />

kebetulan sudah berada di luar lokasi tempatnya bekerja. Rencananya<br />

mereka akan dipulangkan lewat bandara Hang Nadiem, Batam. Namun<br />

206


ternyata di sana sudah ada bodyguard dari Bar yang bersangkutan yang<br />

telah menunggunya di Bandara yang kemudian melaporkan mereka ke<br />

polsek bandara agar mereka tidak keluar dari Batam dengan tuduhan<br />

memiliki hutang <strong>dan</strong> akan melarikan diri. Namun setelah diinterogasi oleh<br />

petugas ternyata mereka merupakan korban trafficking sehingga<br />

terungkaplah masalah trafficking tersebut.<br />

Kasus ini dianggap sudah termasuk trafficking karena memenuhi<br />

unsur-unsur dari trafficking yaitu proses, cara, <strong>dan</strong> tujuan. Bila ketiga<br />

unsur tersebut terdapat dalam satu kasus maka dia dikategorikan sebagai<br />

trafficking. Dalam hal ini pertama prosesnya dia direkrut dari<br />

komunitasnya, kemudian caranya dengan penipuan <strong>dan</strong> dijerat hutang,<br />

sementara tujuannya adalah untuk dieksploitasi dengan menjadikannya<br />

sebagai PSK. Bila pekerjaan sebagai PSK tersebut dilakukan secara<br />

sukarela , bagi polisi hal itu tidak menjadi masalah asalkan tidak di bawah<br />

umur, karena aturan yang ada tidak membolehkan anak di bawah umur<br />

untuk bekerja.<br />

Untuk proses pemulangan korban trafficking, unit PPA Poltabes<br />

Batam bekerjasama dengan Yayasan Setara Kita karena yang masih<br />

eksis hanya yayasan tersebut <strong>dan</strong> mendapat dukungan pen<strong>dan</strong>aan dari<br />

10M. Sebelumnya unit PPA bekerjasama juga dengan LSM Sirih Besar<br />

dari Tanjung Pinang <strong>dan</strong> Kaseh Puan dari Tanjung Balai Karimun. Kedua<br />

LSM tersebut berada di bawah pemprov Kepulauan Riau sehingga untuk<br />

menutup kebutuhan biaya proses pemulangan, termasuk untuk makan<br />

korban mereka bisa meminta bantuan <strong>dan</strong>a langsung. Sebenarnya Unit<br />

PPA memiliki anggaran sendiri untuk menangani korban trafficking, tetapi<br />

karena anggarannya terbatas maka masih memerlukan kerjasama dengan<br />

institusi lain.<br />

207<br />

Selama menunggu proses pemulangan, untuk menghilangkan<br />

kebosanan <strong>dan</strong> menambah biaya pulang, korban yang ditangani polisi<br />

biasanya ditawari peluang untuk mengambil pekerjaan sampingan, seperti<br />

menjadi pencuci baju. Karena meskipun nantinya diberi biaya untuk


pulang dari pemerintah, namun besarannya tentunya sangat minimal.<br />

Namun seandainya mereka menolak untuk mengerjakan pekerjaan<br />

sampingan atau pemberdayaan dari polisi, itupun tidak apa-apa.<br />

Sementara itu untuk kasus trafficking yang ditangani Polda<br />

Kepulauan Riau, pada tahun 2008 ada 43 kasus trafficking. Kebanyakan<br />

kasusnya adalah penipuan di mana umumnya mereka dijanjikan untuk<br />

bekerja seperti di restoran, di tempat hiburan malam, karaoke, <strong>dan</strong><br />

sebagainya baik di Batam maupun di luar negeri. Berdasarkan kasus yang<br />

terungkap dari mereka yang dijual ke luar negeri, misalnya mereka yang<br />

dikirim ke Malaysia, mereka memiliki pasport dengan tujuan melancong,<br />

tetapi sesampai di sana mereka dipekerjakan sebagai PSK, <strong>dan</strong> bahkan<br />

ada yang disekap. Atau ada juga mereka yang sebelumnya sudah<br />

mengetahui akan dipekerjakan sebagai PSK <strong>dan</strong> dijanjikan akan melayani<br />

tamu-tamu dari Singapore dengan bayaran yang tinggi. Namun dalam<br />

kenyataannya mereka disuruh bekerja siang malam tanpa kejelasan<br />

bayarannya karena sesampai di Batam mereka dijerat dengan hutang<br />

yang tidak pernah selesai hutangnya.<br />

Gambar 9.<br />

Para Peneliti di<br />

Polda Kepulauan<br />

Riau<br />

208<br />

Para peneliti berpose di Po ida Kepulauan<br />

Riau setelah melakukan wawancara<br />

dengan pihak Kepolisian<br />

Dari 43 kasus trafficking yang pernah ditangani Polda Kepulauan<br />

Riau, yang paling menonjol adalah kasus penyekapan yang pernah<br />

terungkap di Malaysia tahun 2008. Ketika itu salah satu korban<br />

penyekapan melarikan diri dengan cara meloncat dari jendela <strong>dan</strong><br />

kemudian jatuh sehingga patah kakinya. Kemudian dia ditolong oleh<br />

warga sekitar <strong>dan</strong> dibawa ke rumah sakit, <strong>dan</strong> di sana dia menceritakan


kondisinya. Selanjutnya LO (Liason Officer) di sana melaporkan ke Polisi<br />

Kerajaan Malaysia yang kemudian melakukan penggerebegan. Ternyata<br />

di penampungan yang berada di suatu apartemen tersebut masih banyak<br />

korban lain yang semuanya orang indonesia <strong>dan</strong> dikunci dari luar.<br />

Akhirnya, semua yang terlibat dalam perdagangan ini ditangkap <strong>dan</strong><br />

sudah dijatuhi hukuman. Kemudian para korban tersebut, 2 orang di<br />

antaranya dipulangkan melalui Batam karena setelah disortir diketahui<br />

bahwa ketika berangkat mereka melalui Batam, sementara yang lainnya<br />

dipulangkan melalui jalur di luar Batam.<br />

Menurut penuturan korban bahwa yang mengajak bekerja di situ<br />

adalah orang dari Batam yang kemudian menyeberangkannya secara<br />

illegal. Dalam pola perekrutannya terungkap bahwa mereka berasal dari<br />

Jember diajak bekerja oleh sepasang suami istri yang tinggal di Tanjung<br />

Pinang. Meskipun jenis pekerjaan yang ditawarkannya tidak jelas tetapi<br />

mereka mau berangkat ke Tanjung Piriang. Sesampai di Tanjung Pinang<br />

kemudian ditawari untuk bekerja ke luar negeri. Lalu mereka dikenalkan<br />

dengan orang Batam yang pekerjaannya sebagai nelayan, yang akan<br />

menyeberangkan ke luar negeri. Selanjutnya mereka diberangkatkan<br />

melalui jalur illegal <strong>dan</strong> tanpa dilengkapi surat-surat. Sesampainya di<br />

Johor Baru, Malaysia, di sana sudah ada orang Gina yang menerima. Dari<br />

situ mereka di titipkan di Kuala Lumpur <strong>dan</strong> mulailah disekap <strong>dan</strong> dijual.<br />

Sistem perdagangannya di Malaysia, mereka menunggu di apartemen<br />

yang dilengkapi TV <strong>dan</strong> tempat tidur, tetapi dikunci dari luar. Kemudian<br />

bila ada yang tamu yang memesan barulah mereka diantarkan kepada<br />

pemesannya. Adapun pembayarannya dibayarkan langsung oleh<br />

pengguna kepada bosnya yang dianggap sebagai pembayaran hutang si<br />

korban. Karena korban dianggap sudah berhutang untuk segala macam<br />

biaya yang sudah dikeluarkan trafficker sejak mulai keberangkatan sampai<br />

di tempat tersebut.<br />

Korban tersebut secara tidak sadar telah dijebak dengan hutang<br />

sejak awal perekrutannya. Sebagai ilustrasi, orang yang membujuk di<br />

kampungnya minta sejumlah uang kepada rekruiter lokal <strong>dan</strong> kemudian<br />

209


ekruiter lokal tersebut memberi sejumlah uang termasuk untuk diberikan<br />

kepada orang tua korban. Jumlah pengeluaran rekruiter lokal tersebut<br />

kemudian meminta penggantian kepada perantara berikutnya <strong>dan</strong><br />

ditambah fee untuk dia yang kemudian dibayar oleh perantara tersebut.<br />

Selanjutnya korban dibawa ke Jakarta <strong>dan</strong> diinapkan serta diberi makan<br />

oleh perantara tersebut. Dari Jakarta korban dibawa ke Tanjung Pinang<br />

dengan pesawat <strong>dan</strong> diserahkan kepada orang di Tanjung Pinang. Untuk<br />

itu si perantara minta penggantian seluruh biaya yang telah<br />

dikeluarkannya termasuk jumlah uang yang dibayarkan kepada rekruiter<br />

lokal <strong>dan</strong> fee untuk dia kepada orang di Tanjung Pinang <strong>dan</strong> semuanya<br />

dibayar. Kemudian orang dari Tanjung Pinang tersebut membawa korban<br />

ke si penerima di Johor, maka diapun akan meminta uang pengganti<br />

seluruh biaya <strong>dan</strong> feenya kepada penerima di Johor tersebut <strong>dan</strong> dibayar.<br />

Oleh cukong di Johor tersebut keseluruhan jumlah uang yang telah<br />

dibayarkannya, termasuk di dalamnya mulai dari biaya untuk pembujuk di<br />

kampung <strong>dan</strong> uang yang ditinggalkan untuk orang tuanya ditambah<br />

dengan jumlah biaya penginapan <strong>dan</strong> makan, biaya tiket <strong>dan</strong> fee si<br />

perantara yang membawa sampai ke Johor, Malaysia akhirnya dikalkulasi<br />

menjadi hutang si korban. Selain itu biaya untuk kebutuhan dia di sana<br />

sebelum mendapat penghasilan juga dianggap hutang. Belum lagi bila<br />

mereka mengambil-ambil barang kebutuhan dari bosnya maka hal itu<br />

dikumulatifkan lagi.<br />

Untuk melunasi hutangnya korban diharuskan untuk melayani 200<br />

sampai 300 kong, dalam artian mereka harus melayani 200 sampai 300<br />

kali tamu laki-laki baru bisa menerima hasil kerjanya ( 1 kong membayar<br />

sekitar 30 ringgit). Karban sendiri hanya medapat uang kalau tamunya<br />

memberi tip. Konsekuensinya hutangnya tidak akan pernah terbayar.<br />

Menurut responden dari UIB, dari sudut pan<strong>dan</strong>g hukum, kebijakan,<br />

peraturan <strong>dan</strong> perun<strong>dan</strong>gan, perangkat regulasi lainnya untuk<br />

penanganan trafficking sebenarnya sudah sangat ideal, masalahnya<br />

adalah dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh ketika terjadi trafficking<br />

kemudian sudah ada orang-orang yang diduga melakukannya ataupun<br />

210


menjadi tersangkanya, tetapi kemudian setelah sampai di penyidik<br />

kasusnya menjadi kabur lagi. Misalnya dikatakan kurang bukti, atau sudah<br />

dikirim ke kejaksaan tapi dikembalikan lagi karena ada kekurangan­<br />

kekurangan, <strong>dan</strong> sebagainya. Hal tersebut bisa memang benar begitu<br />

atau ada hal lain seperti oknum yang bermain karena semuanya itu<br />

mungkin saja terjadi.<br />

Di lapangan, kendala yang dihadapi kepolisian dalam mengungkap<br />

trafficking ini antara lain: pertama, ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g pihak korban atau<br />

keluarganya tidak mengenal dengan baik sponsornya. Hal ini terjadi<br />

karena daerah asal sponsor tidak selalu sama dengan daerah asal si<br />

korban. Bila sponsornya dikenal oleh korban, maka akan memudahkan<br />

dalam melakukan penyidikan. Kendala kedua, adalah tidak semua korban<br />

memiliki surat-surat seperti akte lahir, ijasah, <strong>dan</strong> sebagainya yang dapat<br />

dijadikan alat bukti di pengadilan. Hal ini terjadi karena umumnya korban<br />

berasal dari kampung <strong>dan</strong> realitanya banyak orang dari kampung yang<br />

tidak begitu peduli dengan hal tersebut. Kendala ketiga, umumnya data<br />

pribadi si korban sudah dipalsukan atau direkayasa di daerah asalnya,<br />

mulai dari tingkat RT terkait dengan KTP korban sehingga, misalnya, data<br />

umur yang sebetulnya di bawah umur tetapi dicatat sudah berumur 17<br />

tahun. Dengan demikian dalam passportnya pun tercatat data yang<br />

sebenarnya palsu. Sebagai contoh aparat Poltabes Batam pernah<br />

menangani korban trafficking yang berumur 20 tahun yang ditangkap dari<br />

PJTKI<br />

yang beroperasi tanpa ijin di perumahan. Lalu ketika korban ditanya<br />

oleh penyidik ternyata dia sudah bekerja di Malaysia selama 2 kali<br />

perpanjangan kontrak @ 2 tahun yang berarti sudah bekerja selama 4<br />

tahun. Oleh karena itu tidak heran ketika diperiksa dia sudah memiliki<br />

logat melayu yang kental. Dengan melihat lamanya masa kontrak yang<br />

sudah dijalaninya berarti ketika dia mulai bekerja masih di bawah umur<br />

(16 tahun). Dengan demikian berarti dia bisa bekerja karena ada<br />

pemalsuan atau rekayasa data dalam KTPnya di mana umur yang<br />

bersangkutan dicatat lebih tua dari yang sebenarnya. Pemalsuan ini<br />

211


mengatasi permasalahan tersebut maka Poltabes Batam bekerja sama<br />

dengan Mabes yang memiliki kewenangan untuk menyidik TKP di seluruh<br />

Polda di Indonesia. Dalam menangani kasus trafficking kerjasama antar<br />

Polda tidak ada masalah karena kepolisian sifatnya nasional sehingga<br />

koordinasinya mudah.<br />

Kendala kelima tersebut memiliki implikasi berupa perlunya dibuat<br />

kebijakan yang mengarahkan a<strong>dan</strong>ya kerjasama yang lebih intens antara<br />

Kepolisian dengan Depnakertrans agar setiap PJTKI yang mengirimkan<br />

TKI menginformasikan kepada pihak kepolisian setempat. Selama ini<br />

kerjasama antara pihak Kepolisian dengan Disnaker dalam penegakan<br />

hukum terkait dengan trafficking ini hanya sebagai saksi ahli saja, itupun<br />

bila diminta oleh jaksa. Disnaker hanya memberi penjelasan tentang<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan <strong>dan</strong><br />

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri <strong>dan</strong> un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />

tentang trafficking. Sejauh ini tidak ada resistensi dari disnaker, meskipun<br />

memang selama ini disnaker ini tidak pernah hadir dalam kegiatan yang<br />

dilakukan oleh gugus tugas, termasuk juga jaksa, <strong>dan</strong> hakim.<br />

Keenam, sejauh ini di kalangan instansi terkait yang menangani<br />

masalah trafficking belum ada kesatuan persepsi. Dalam memproses<br />

masalah trafficking polisi menghadapi kendala karena masih ada<br />

perbedaan persepsi dengan kejaksaan dalam menafsirkan suatu kasus.<br />

Sehingga, misalnya, meskipun polisi sudah menafsirkan <strong>dan</strong> memproses<br />

bahwa suatu kasus adalah trafficking, namun dapat ditolak oleh jaksa<br />

untuk diproses lebih lanjut ke pengadilan. Meskipun proses<br />

pemberkasannya sudah bolak-balik antara kepolisian <strong>dan</strong> kejaksaan. Hal<br />

ini terjadi karena penentu proses pengadilan ada ditangan jaksa. Oleh<br />

karena itu bagi kepolisian kasus trafficking ini termasuk kasus berat.<br />

Sebagai contoh ketika ada serombongan orang Madura, termasuk<br />

beberapa anak, datang di Belakang Pa<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> polisi mencurigai dengan<br />

berbagai indikasinya sebagai trafficking <strong>dan</strong> melakukan penangkapan <strong>dan</strong><br />

penyitaan formnya dari pihak penjemput. Tetapi ternyata kasusnya ditolak<br />

oleh kejaksaan karena dianggap tidak termasuk trafficking. Alasannya<br />

213


kalau mereka mau dipekerjakan di luar negeri tentu sudah ada calling<br />

visanya (permintaannya), sementara ini tidak ada. Contoh lainnya, adalah<br />

kasus orang yang membawa korban ke Singapore melalui jalur legal yang<br />

kemuian terungkap <strong>dan</strong> ditangkap di Pelabuhan. Dalam kasus ini pun<br />

polisi mengalami kesulitan untuk meyakinkan jaksa bahwa kasus tersebut<br />

adalah trafficking, karena kejadiannya sebelum berangkat sudah<br />

ditangkap di pelabuhan. Menurut jaksa, dalam trafficking konotasi<br />

"membawa" menunjukkan bahwa dari proses perekrutan sampai<br />

pengiriman/pembawanya harus satu orang. Sementara hal tersebut sulit<br />

dipenuhi polisi karena jalurnya terputus di mana orang yang membujuk<br />

lain, yang membantu di pelabuhan lain, yang membawa lain, <strong>dan</strong> yang<br />

menerima juga lain. Tetapi setelah polisi bersikeras maka kasusnya<br />

diterima jaksa. Namun pada tingkat pengadilan kasusnya ternyata diputus<br />

bebas murni. Untungnya untuk kasus-kasus lainnya, meskipun modusnya<br />

sama, yakni terputus, mereka masih dikenakan hukuman meskipun<br />

ringan. Padahal bila dicermati dalam Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g 21, walaupun<br />

seseorang tidak mengerti maksud akhir dari tindakannya, tetapi yang<br />

membujuk pun kena hukuman. Bahkan dengan menggunakan un<strong>dan</strong>g­<br />

un<strong>dan</strong>g tersebut sebenarnya keluarganya pun dapat dijerat hukuman<br />

karena sudah mengirim korban, meskipun mereka tidak mengetahui apa<br />

yang akan dikerjakan oleh si korban nantinya. Jadi yang menjadi<br />

persoalan adalah terjadinya perbedaan persepsi antara polisi <strong>dan</strong> jaksa<br />

dalam menterjemahkan kalimat, sehingga unsur-unsur yang sama<br />

dipersepsikan lain oleh kedua pihak. Meskipun demikian, selama ini<br />

hubungan Kepolisian dengan Kejaksaan cukup baik di mana polisi dapat<br />

setiap saat melakukan konsultasi ataupun koordinasi dengan jaksa<br />

(misalnya Aspidum) <strong>dan</strong> kejaksaan pun menyambut dengan baik.<br />

Biasanya dalam pemberkasan perkara (dalam hal ini trafficking)<br />

prosesnya berlangsung bolak-balik antara kepolisian <strong>dan</strong> kejaksaan.<br />

Dalam proses ini diakui oleh polisi bahwa memang ada bimbingan dari<br />

jaksa untuk membenahi pemberkasan suatu perkara, tapi biasanya<br />

koreksi atau arahan yang diberikan sedikit-sedikit sehingga harus bolak-<br />

214


alik <strong>dan</strong> beresiko menghabiskan waktu penahanan sehingga akhirnya<br />

polisi harus melepaskan tahanan. Oleh karena itu bila proses<br />

pemberkasannya sudah dua kali atau lebih bolak balik, biasanya pihak<br />

kepolisian langsung mendatangi kejaksaan untuk melakukan koordinasi.<br />

Langkah ini dilakukan kepolisian untuk melancarkan pemberkasannya,<br />

dengan pertimbangan bahwa ada perbedaan antara bahasa tulisan<br />

dengan bahasa lisan sehingga perlu dikonsultasikan agar jelas.<br />

Di pihak lain, dalam proses persi<strong>dan</strong>gan pun hakim memiliki<br />

pan<strong>dan</strong>gan tersendiri. Sebagai contoh, ada kasus trafficking yang<br />

pelakunya orang Singapore yang ditangani Polda kemuian disi<strong>dan</strong>gkan,<br />

namun ternyata di pengadilan tinggi trafficker tersebut divonis bebas<br />

murni. Kesalahannya terjadi dalam proses penangkapan trafficker terse but<br />

polisi tidak melaporkan penangkapan tersebut kepada konjen, padahal<br />

trafficker tersebut adalah orang asing. Yang disesalkan oleh kepolisian,<br />

memang polisi melakukan kesalahan prosedur karena terlambat melapor<br />

ke konjen, tetapi kenapa perbuatan melanggarnya hilang sehingga bebas<br />

murni. Padahal kalau sudah sampai pengadilan tinggi berarti P2Knya<br />

terbukti, tapi ternyata bisa bebas murni.<br />

Kendala lain, ketujuh, dari sisi tugas kepolisian adalah jarak yang<br />

cukup jauh. Artinya trafficker <strong>dan</strong> korbannya tertangkap di Batam tetapi<br />

daerah pengirimnya cukup jauh seperti misalnya dari NTB. Lokasi<br />

perekrutannya di NTB pun jauh di pedalaman sehingga karena faktor jarak<br />

penanganannya pun memakan waktu <strong>dan</strong> biaya yang tinggi.<br />

Konsekuensinya ketika petugas polisi dari Batam datang ke lokasi di NTB,<br />

mungkin pelakunya (perekruit pertama) sudah lari. Selain itu, setelah<br />

dilakukan proses pemeriksaan kepolisian biasanya korban diserahkan<br />

kepada Dinas Sosial untuk ditempatkan di penampungan. Dalam aturan<br />

yang berlaku di Dinas Sosial, mereka hanya ditampung 1 minggu <strong>dan</strong><br />

kemudian dipulangkan ke daerah asalnya. Sementara ka<strong>dan</strong>g kala polisi<br />

masih membutuhkan beberapa informasi tambahan dari mereka yang<br />

mungkin diperlukan untuk melengkapi berita acara pemeriksaan.<br />

Konsekuensinya, bila demikian, polisi harus pergi jauh ke tempat asal si<br />

215


korban untuk melengkapi berita acaranya. Kendala kedelapan, dalam<br />

sistem hukum di Indonesia dalam proses persi<strong>dan</strong>gan ka<strong>dan</strong>gkala hakim<br />

meminta agar korban dihadirkan di persi<strong>dan</strong>gan untuk bersaksi, padahal<br />

orangnya sudah jauh di NTB karena sudah dipulangkan. Akibatnya sulit<br />

untuk menghadirkan saksi korban di persi<strong>dan</strong>gan tersebut. Oleh karena itu<br />

harapan polisi bahwa dalam persi<strong>dan</strong>gan tersebut cukup dengan sumpah<br />

<strong>dan</strong> berita acara yang dibacakan oleh jaksa, sehingga tidak perlu<br />

menjemput <strong>dan</strong> mencari korban ke daerah asalnya yang memakan waktu,<br />

biaya, <strong>dan</strong> tenaga yang banyak.<br />

Kendala kesembilan adalah keterbatasan anggaran. Satu proses<br />

penyidikan bisa memakan waktu 2 bulan, sementara untuk penyidikan<br />

tersebut tidak ada alokasi uang makan untuk korban. Anggaran biaya<br />

yang disediakan hanya untuk penyelidikan <strong>dan</strong> penyidikan saja. Akibatnya<br />

ka<strong>dan</strong>gkala polisi juga harus mengeluarkan uang pribadi untuk memberi<br />

makan mereka yang tentunya kalau korbannya banyak lumayan besar<br />

jumlahnya. Selama ini untuk mengatasinya polisi bekerjasama dengan<br />

Dinas Sosial untuk penempatan sementara <strong>dan</strong> pemulangan korban.<br />

lmplikasi dari proses pemberkasan yang relatif sulit maka polisi<br />

hanya mau memproses masalah trafficking bila sangat yakin akan<br />

kebenaran kasus <strong>dan</strong> segala pendukungnya, karena bila tidak maka akan<br />

menghabiskan waktu, tenaga <strong>dan</strong> biaya. Padahal kalaupun dihukum<br />

biasanya paling lama divonis 3 tahun yang kemudian setelah menjalani<br />

2/3 masa hukumannya bisa bebas kembali. Namun selama ini untuk<br />

kasus penjualan bayi hukuman yang dijatuhkan sudah cukup berat yakni<br />

sampai 7 tahun penjara.<br />

216<br />

Bila dilihat dari perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gannya, dengan a<strong>dan</strong>ya Un<strong>dan</strong>g­<br />

Un<strong>dan</strong>g Nomor 21 Tahun 2007 sebenarnya sudah memadai. Terutama<br />

bila tiga pilar penegak hukum yakni polisi, jaksa, <strong>dan</strong> hakim satu suara.<br />

Persoalannya masih terjadi perbedaan persepsi di mana ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g<br />

polisi, jaksa, <strong>dan</strong> hakim memiliki persepsi sendiri-sendiri. Dengan<br />

demikian dalam implementasinya belum seperti yang diharapkan.


lmplikasinya, diperlukan penyamaan persepsi di antara polisi <strong>dan</strong> jaksa<br />

<strong>dan</strong> hakim tentang trafficking. Kalau persepsinya masih berbeda-beda<br />

ditenggarai akan semakin banyak yang menjadi korban trafficking.<br />

217<br />

Yang diharapkan untuk mengatasi hal ini adalah dibuatnya MoU<br />

antara kepolisian, kejaksaan <strong>dan</strong> kehakiman untuk menyamakan persepsi<br />

<strong>dan</strong> sistem pembuktian tentang trafficking. Dengan demikian bila polisi<br />

sudah mengatakan bahwa kasus yang bersangkutan sebagai trafficking<br />

maka dapat diproses hukum lebih lanjut di pengadilan tanpa harus<br />

membuat berbagai penjabaran <strong>dan</strong> mencari berbagai bukti tambahan<br />

yang terlalu menyulitkan baik di tingkat kepolisian, maupun kejaksaan.<br />

Yang diinginkan pihak kepolisian adalah seperti dalam kasus narkoba<br />

yang sudah memiliki pemahaman bersama <strong>dan</strong> vonis hukuman yang<br />

be rat.<br />

Berdasarkan catatan Poltabes Batam, kasus pemulangan korban<br />

paling banyak berasal dari PJTKI. Yang bersangkutan menjadi korban di<br />

PJTKI karena ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g korban ditampung berbulan-bulan tidak<br />

diberangkatkan, atau ia disekap tidak boleh ke luar, atau PJTKI<br />

melakukan kekerasan <strong>dan</strong> sebagainya. Untuk menanggulangi masalah ini<br />

polisi sering melakukan penggerebegan terhadap penampungan­<br />

penampungan tenaga kerja yang tidak memiliki ijin yang banyak<br />

beroperasi di Batam. Mereka menampung tenaga kerja di bawah umur<br />

(bukan PJTKI). Dalam melakukan penangkapan polisi menggunakan<br />

Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g nomor 39 Tahun 2004 tentang Tenaga Kerja.<br />

Dalam upaya pemberantasan trafficking ini kepolisian juga<br />

menangani pelaku preman (bodyguard) yang menjaga para korban agar<br />

tidak kabur. Namun hal ini bisa dilakukan lebih efektif bila si korban<br />

melakukan pengaduan kepada polisi <strong>dan</strong> memiliki niat yang kuat untuk<br />

membantu membongkar jaringan trafficker.<br />

Selain itu Polisi ka<strong>dan</strong>g juga menangani TKI yang dipulangkan dari<br />

Malaysia. Umumnya mereka melarikan diri karena alasan gajinya ditahan<br />

oleh majikan, tidak boleh shalat, anak majikannya berlaku tidak senonoh,


majikannya nakal, jam istirahatnya kurang, disuruh makan daging babi,<br />

<strong>dan</strong> sebagainya. Dalam memulangkan mereka ke daerah asal, polisi<br />

memberikan jatah pemulangan para korban trafficking dengan kapal,<br />

dalam arti tidak harus dengan pesawat. Bila korban trafficking yang harus<br />

dipulangkan relatif banyak maka polisi bekerjasama dengan Dinas Sosial,<br />

Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan, <strong>dan</strong> Yayasan Setara Kita. Selama ini<br />

kerjasama dengan mereka sudah sangat baik artinya tidak harus bersifat<br />

formal, cukup dengan melakukan hubungan telepon. Namun dengan<br />

Dinsos selain diawali dengan komunikasi melalui telepon juga masih<br />

diperlukan tindak lanjut melalui surat karena mereka perlu membuat<br />

pertanggungjawaban administratif kepada Pemprov.<br />

218<br />

Menurut responden dari kepolisian dalam menangani masalah<br />

trafficking ini Polda bekerja sama dengan Dinas Sosial, lmigrasi,<br />

Pemberdayaan Perempuan. Namun untuk melakukan pencegahan<br />

terjadinya trafficking yang lebih effektif harusnya ada kerja sama mulai<br />

dari, RT, RW, kelurahan, LSM tokoh masyarakat, polisi, <strong>dan</strong> instansi<br />

terkait, karena polisi tidak mungkin dapat mengcover semua<br />

permasalahan yang menyangkut trafficking tersebut. Selain itu,<br />

sebagaimana diungkapkan oleh responden dari Dinas Sosial, mungkin<br />

perlu juga diterapkan pemberian sangsi kepada si korban. Selama ini<br />

penanganan TKI korban trafficking selalu menggunakan pendekatan<br />

kemanusiaan, karena tidak mungkin mereka dihukum juga. Sejauh ini<br />

belum ada pemikiran ke sana karena selama ini TKI tersebut dianggap<br />

pahlawan devisa. Mereka mungkin ditangkap <strong>dan</strong> dipenjara ketika di<br />

Malaysia, tetapi ketika pulang ke Indonesia mereka tidak mendapat sangsi<br />

apa-apa. Barangkali mereka hanya mendapat sangsi moral atau sosial<br />

karena dia menjadi TKI bermasalah yang masuk ke penampungan, tetapi<br />

tidak ada sangsi hukumnya. Mungkin juga hal demikian menjadi<br />

kelemahan dalam penanganan trafficking tersebut.


8.2.2. Penanganan Trafficking di Kejaksaan<br />

219<br />

Dalam sebulan rata-rata kejaksaan di kota Batam menangani 2<br />

atau 3 kasus trafficking, <strong>dan</strong> dapat dikatakan bahwa penanganannya 100<br />

% berhasil. Korbannya rata-rata berasal dari luar Batam yang diiming­<br />

imingi bekerja di restoran dengan penghasilan di atas yang diperoleh di<br />

tempat asalnya. Namun kenyataannya dipekerjakan di tempat pemijatan,<br />

prostitusi, <strong>dan</strong> sejenisnya.<br />

Bagi kejaksaan pembuktian trafficking dalam persi<strong>dan</strong>gan tidak ada<br />

masalah sepanjang ada alat buktinya. Kendalanya, pertama, yang<br />

dihadapi di Batam adalah bila ketika disidik oleh penyidik kepolisian<br />

ternyata pelaku traffickemya adalah orang asing, dalam hal ini orang<br />

Singapore atau Malaysia. Hal ini menjadi kendala karena dalam<br />

penanganan kasusnya harus ada koordinasi yang baik, mengingat tidak<br />

ada perjanjian ekstradisi dengan Singapore. Karena tidak ada perjanjian<br />

ekstradisi, implikasinya ketika tersangka tersebut diputus bebas <strong>dan</strong> jaksa<br />

melakukan upaya hukum lainnya seperti banding atau kasasi, maka jaksa<br />

tidak bisa mengahadirkan lagi di persi<strong>dan</strong>gan bila tersangka sudah<br />

kembali kenegaranya. Kendala kedua adalah ketika dalam si<strong>dan</strong>g<br />

pengadilan, hakim sering meminta agar saksi korban dihadirkan dalam<br />

persi<strong>dan</strong>gan, padahal yang bersangkutan sudah tidak ada karena sudah<br />

pulang ke daerah asalnya. Hal ini terjadi karena seorang saksi (korban)<br />

memang statusnya bebas, tidak ditahan, sehingga oleh instansi yang<br />

berwenang ia dipulangkan ke kampungnya. Ketiga, modus operandinya<br />

sering dijanjikan untuk bekerja di luar negeri, misalnya di restoran.<br />

Kendalanya, ketika tertangkap di pelabuhan, keberangkatan korban sering<br />

tidak dilengkapi surat-surat sehingga tidak ada arsip dokumennya. Dan<br />

bila sudah dipulangkan ke daerah asalnya maka sulit untuk<br />

menghadirkannya di persi<strong>dan</strong>gan.<br />

Untuk mengatasi kendala di atas, perlu ada satu mekanisme yang<br />

lebih konkrit lagi di dalam upaya hukum bagi penanganan perkara, tidak<br />

hanya trafficking. Sebagai contoh ketika terjadi perkara telah diputus oleh


Pengadilan Negeri kemudian ada upaya banding ke Pengadilan Tinggi.<br />

Apabila terdakwanya ditahan maka tidak ada problem. Tetapi ketika ada<br />

putusan bebas dari PT, kemudian kejaksaan mengajukan kasasi yang<br />

berarti mempersilahkan MA mengambil alih perkara, maka hal tersebut<br />

menjadi problem. Dalam proses kasasi berarti hakim agung memiliki<br />

kewenangan untuk menentukan apakah seorang terdakwa ditahan atau<br />

tidak. Kalau keputusan di PT adalah bebas maka keputusan tersebut<br />

harus dilaksanakan dulu karena bila tidak maka akan melanggar HAM.<br />

Konsekuensinya, bila turunnya penetapan dari MA memakan waktu lama<br />

maka terdakwa memiliki hak <strong>dan</strong> kesempatan untuk kembali ke<br />

negaranya. Dengan demikian jaksa tidak bisa menghadirkan lagi atau<br />

kesulitan mencari terdakwa yang bersangkutan karena dia tidak ditahan.<br />

220<br />

Berdasarkan ilustrasi di atas, implikasinya perlu pula ada<br />

penegasan bahwa dalam proses penanganan upaya hukum perlu ada<br />

suatu ketentuan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yang menjelaskan bahwa hakim yang<br />

menangani perkara dalam 1 atau 2 hari langsung mengeluarkan<br />

penetapan apakah yang bersangkutan ditahan atau tidak, sehingga tidak<br />

berlarut-larut memutuskannya. Sehingga kalau tidak ditahan maka<br />

kejaksaan tidak repot mencarinya.<br />

8.2.3. Penanganan Trafficking Dalam Konteks Imigrasi<br />

Fungsi imigrasi dalam upaya pemberantasan trafficking<br />

diimplementasikan melalui proses seleksi ketika pihak imigrasi akan<br />

memberikan pasport. Seleksi tersebut dilakukan melalui dua cara yakni,<br />

pertama, dengan memberlakukan sejumlah persyaratan, <strong>dan</strong> kedua<br />

melalui wawancara. Jadi seseorang akan diterbitkan pasportnya bila dapat<br />

melalui/memenuhi kedua proses seleksi tersebut. Dalam proses<br />

wawancara, pihak imigrasi akan menanyakan tentang tujuan yang<br />

bersangkutan pergi ke luar negeri. Jadi bila tidak memenuhi<br />

persyaratannya maka kepada yang bersangkutan tidak akan diberikan<br />

paspor. Atau kalau dalam wawancara tersebut ditenggarai bahwa orang<br />

yang bersangkutan akan diperjualbelikan maka pasportnya tidak akan


diterbitkan. Realitanya memang ada juga kasus semacam itu di mana<br />

mereka dicurigai atau ketahuan terkait dengan trafficking ketika dalam<br />

proses seleksi, sehingga pihak imigrasi mempending untuk tidak<br />

memberangkatkan. Untuk proses lebih lanjutnya lmigrasi kemudian<br />

bekerjasama dengan aparat kepolisian.<br />

221<br />

Kendala yang dihadapi pihak imigrasi dalam memberantas<br />

trafficking, pertama, adalah sulit untuk mengetahui apakah orang yang<br />

akan pergi ke luar negeri tersebut untuk tujuan bekerja atau tidak. Untuk<br />

mendeteksi trafficking guna melakukan pencegahan, tidak mungkin bagi<br />

petugas imigrasi menanyakan langsung apakah yang bersangkutan akan<br />

bekerja sebagai PSK atau tidak di negara tujuan. Padahal petugas<br />

imigrasi juga kesulitan untuk mengetahui seseorang sebagai PSK atau<br />

bukan. Sementara bila ada kejadian/kasus maka lmigrasi turut disalahkan<br />

karena dianggap memberangkatkan. Kedua, ketika diwawancarai oleh<br />

pihak imigrasi, para trafficker ataupun eaton korban trafficking selalu<br />

memiliki alasan, seperti untuk jalan-jalan atau mengunjungi ternan atau<br />

sanak saudaranya di sana, dengan menunjukkan segala kelengkapan<br />

dokumennya termasuk tiket, sehingga tidak mungkin pihak lmigrasi<br />

melarang kepergiannya. Ketiga, Mereka yang bepergian melalui Batam<br />

tidak seluruhnya pemegang pasport Batam tetapi ada juga yang dari<br />

Surabaya, Mataram, Kupang, <strong>dan</strong> sebagainya. lmigrasi Batam hanya<br />

menerbitkan pasport untuk TKI per bulannya tidak lebih dari 50 pasport.<br />

Sebenarnya tidak ada masalah di mana pun pasport itu dikeluarkan,<br />

karena ketika wawancara pada saat pembuatan pasport ada standard<br />

baku yang harus dilakukan oleh pihak lmigrasi di mana pun di seluruh<br />

Indonesia. Dalam pengarahannya di seluruh kantor lmigrasi dikatakan<br />

bahwa wawancara itu merupakan ujung tombak keimigrasian. Ada 2 hal<br />

yang dijadikan stressing dalam wawancara, pertama, jangan sampai<br />

pemohon tersebut warga negara asing, karena dia tidak berhak punya<br />

pasport Indonesia. Kedua, wawancara terhadap pemohon yang membawa<br />

anak harus lebih didalami karena bisa saja terjadi jual beli anak. Oleh<br />

karena itu di mana pun proses pembuatan pasport itu dilakukan maka


hasilnya akan sama dengan di Batam. Namun demikian lmigrasi Batam<br />

tentunya akan sulit untuk menahan mereka apabila sudah mempunyai<br />

pasport karena akan harus beradu argumentasi dulu, mengingat yang<br />

bersangkutan sudah memiliki pasport, tiket, <strong>dan</strong> alamat yang dituju. Tapi<br />

bagaimanapun bila yang bersangkutan betul-betul mencurigakan maka<br />

pihak lmigrasi Batam akan menahan keberangkatannya. Konsekuensinya,<br />

tidak jarang pihak lmigrasi mendapat dampratan dari orang yang dicurigai<br />

karena merasa diperlakukan diskriminatif. Kalau pihak lmigrasi misalnya<br />

menenggarai bahwa ada satu orang yang akan diperdagangkan, maka<br />

tekanan-tekanan dari luar yang diterima oleh pihak imigrasi sangat luar<br />

biasa, seperti besoknya muncul surat pembaca di koran yang menyatakan<br />

bahwa imigrasi mempersulit warga negara yang akan berangkat l


Kendala keempat, sejauh ini jarang sekali (mungkin tidak pernah)<br />

polisi memberikan informasi mengenai trafficker atau meminta imigrasi<br />

untuk mewaspadai agar seorang trafficker yang melalui TPI tidak<br />

melakukan kembali kegiatan usaha traffickingnya. Selama ini imigrasi<br />

hanya dimintai data tentang orang asing yang diduga melakukan<br />

trafficking. Namun berdasarkan data yang diminta polisi tersebut,<br />

biasanya lmigrasi berinisiatif untuk menangkal orang yang bersangkutan<br />

supaya tidak masuk ke Indonesia. Masalahnya penangkalan tersebut<br />

tentunya tidak bisa dilakukan seumur hidup, hanya untuk jangka waktu<br />

tertentu saja, kecuali dia pedagang narkoba yang memang tidak boleh<br />

masuk lagi ke Indonesia seumur hidup. lmplikasinya, polisi ada baiknya<br />

memberikan surat berisikan informasi mengenai, misalnya, PJTKI yang<br />

nakal atau seseorang adalah trafficker kepada pihak lmigrasi, sehingga<br />

pihak lmigrasi bisa melakukan tindakan pencegahan. lnformasi seperti itu<br />

mungkin perlu untuk masukan bagi pihak lmigrasi, karena untuk<br />

melakukan tindakan pencegahan pihak lmigrasi membutuhkan data-data<br />

yang akurat tentang tindakan kriminalitas yang telah dilakukan oleh yang<br />

bersangkutan. Terlebih lagi karena masyarakat pada masa sekarang<br />

sudah sadar akan hak-hak hukumnya sehingga pihak limigrasi tidak bisa<br />

melakukan tindakan sewenang-wenang. Oleh karena itu harus<br />

berdasarkan pada aturan, kalaupun menuduh maka harus ada buktinya.<br />

223<br />

Dengan berbagai kendala seperti di atas, pihak lmigrasi mengakui<br />

bahwa relatif sulit untuk melakukan pencegahan trafficking tersebut,<br />

sehingga dapat dikatakan jarang sekali a<strong>dan</strong>ya tindakan sebelum kejadian<br />

atau bersifat pencegahan. Masalah trafficking umumnya baru bisa<br />

diungkap <strong>dan</strong> ditangani bila peristiwanya sudah terjadi, <strong>dan</strong> ketika sudah<br />

terjadi kasus maka domainnya merupakan domain Kepolisian. Jadi pihak<br />

lmigrasi tidak mengetahui bila di antara orang yang berangkat ke luar<br />

negeri tersebut ada caJon korban yang akan diperdagangkan. Namun<br />

demikian pihak lmigrasi menyatakan akan berupaya terus untuk<br />

mengurangi trafficking dengan cara membatalkan keberangkatan orang­<br />

orang yang diduga mempunyai tujuan yang tidak jelas. Contoh kasus,


sekarang ini lmigrasi Batam se<strong>dan</strong>g menangani kasus di mana ada anak<br />

gadis muda umur 22 tahun, orangnya bersih yang bekerja sebagai<br />

penjaga toko di Singapore. Kemudian dia kawin dengan orang Singapore.<br />

dia ditenggarai sebagai korban trafficking mengingat sekarang ini<br />

trafficking yang dilakukan banyak modusnya. Misalnya orang pacaran lalu<br />

dijual oleh pacarnya, ada juga kasus di mana orang tua menjual anaknya.<br />

Oleh karena itu pihak lmigrasi menduga bahwa anak gadis tersebut<br />

menjadi korban trafficking seperti itu. Kronologi ceritanya, gadis Indonesia<br />

tersebut menjaga toko di Singapore, kemudian laki-laki orang Singapore<br />

tersebut sering mendrop barang di toko itu <strong>dan</strong> selalu diterima oleh gadis<br />

tersebut. Oleh karena itu terjadi hubungan asmara di antara mereka <strong>dan</strong><br />

akhirnya mereka menikah. Mereka menikah di Bandung <strong>dan</strong> disetujui<br />

orang tuanya. Untuk mempermudah perkawinan tersebut, laki-laki<br />

tersebut dibuatkan KTP di Bandung sehingga seolah-olah sebagai WNI.<br />

Mereka pun memiliki buku nikah yang diterbitkan Desember 2008.<br />

Sekarang wanita tersebut sudah tidak bekerja lagi <strong>dan</strong> suaminya pun<br />

sementara ini juga tinggal di Bandung. Pihak lmigrasi mencurigainya<br />

karena gadis tersebut baru berumur 22 tahun, bersih <strong>dan</strong> cantik,<br />

sementara laki-lakinya orang melayu Singapore, duda, <strong>dan</strong> sudah<br />

berumur 50 tahun. Pihak lmigrasi kuatir perempuan tersebut dijual di sana<br />

sehingga menjadi korban. Dugaan ini muncul karena laki-laki tersebut<br />

tidak memiliki pekerjaan sementara perempuannya lumayan menarik<br />

untuk diperdagangkan. Dalam konteks ini pihak imigrasi berupaya untuk<br />

mengungkapkan apakah ini merupakan Modus trafficking atau bukan.<br />

Pihak imigrasi hanya mengantisipasi agar tidak terjadi human trafficking.<br />

Setelah melangsungkan pernikahan laki-laki tersebut kemudian mau<br />

kembali ke Singapore <strong>dan</strong> ketika diwawancarai oleh petugas lmigrasi<br />

sepintas kelihatan di dompetnya bahwa dia memiliki KTP, padahal jelas<br />

paspornya dari negara Singapore. Oleh karena itu dia ditahan tidak boleh<br />

berangkat oleh pihak lmigrasi. Selanjutnya pihak lmigrasi memanggil<br />

wanitanya <strong>dan</strong> diwawancarai untuk mengetahui latar belakangnya kenapa<br />

dia mau menikah. Dia mengemukakan alasannya bahwa dia merasa<br />

224


kasihan terhadap duda tersebut. Setelah diwawancarai, akhirnya laki-laki<br />

tersebut diijinkan pulang ke Singapore tapi KTPnya ditahan oleh pihak<br />

imigrasi <strong>dan</strong> dimasukan dalam daftar cekal lokal, sehingga ketika masuk<br />

kembali dia harus melapor lagi ke imigrasi. Namun perempuan itu pun<br />

akhirnya mau menyusul pergi ke Singapore, tetapi tidak diijinkan oleh<br />

pihak lmigrasi dengan cara menahan pasportnya (terbitan Bandung).<br />

Selanjutnya, pihak lmigrasi memanggil orang tuanya agar datang ke<br />

Batam. Hal ini dilakukan untuk memastikan kebenaran ceritanya supaya<br />

pihak lmigrasi tidak disalahkan meloloskan orang. Diperkirakan sore itu<br />

(hari ketika kami melakukan wawancara) orang tuanya datang ke Batam.<br />

Pihak lmigrasi akan rnewawancarai orang tuanya <strong>dan</strong> mengingatkan<br />

berbagai resiko yang mungkin timbul. Namun bila orang tuanya<br />

meyakinkan <strong>dan</strong> menyetujui semua yang dilakukan anaknya, maka pihak<br />

lmigrasi pun akan mengijinkan perempuan tersebut untuk berangkat.<br />

Memang kondisinya sulit karena ada rasa kemanusiaan ataupun rasa iba<br />

bila harus menahan seseorang. Selain itu juga ada masalah HAM yang<br />

harus diperhatikan, sehingga mungkin saja lmigrasi kecolongan<br />

meloloskan orang yang seharusnya dicegah.<br />

225<br />

Mengenai Tempat Pemeriksaan lmigrasi (TPI), di Batam terdapat 5<br />

TPI untuk melintas. Untuk mengantisipasi trafficking, pada saat<br />

pemberangkatan di TPI pihak lmigrasi selalu berkoordinasi dengan<br />

Kepolisian. Pimpinan lmigrasi di Batam juga sudah menginstruksikan<br />

kepada jajarannya bahwa bila ada anak di bawah umur pergi ke luar<br />

negeri tanpa didampingi orang tua atau saudaranya, maka tidak boleh<br />

diberangkatkan. Atau kalaupun tidak ditahan keberangkatannya maka<br />

petugas lmigrasi akan mencoba mengontak orang tua ataupun<br />

saudaranya <strong>dan</strong> akan mengajukan beberapa pertanyaan standard yang<br />

biasa dilakukan lmigrasi.<br />

Selama ini tidak sedikit terjadi mereka yang di TPI Indonesia bisa<br />

lewat tapi kemudian ditolak masuk oleh imigrasi Singapore <strong>dan</strong> Malaysia.<br />

Hal ini terjadi karena di sana mereka biasanya ditanya tentang uang<br />

tunjuk, <strong>dan</strong> kalau tidak memiliki uang tunjuk atau dia tidak dijemput oleh


keluarga yang disebutkannya maka akan dikembalikan ke Indonesia.<br />

Yang dimaksud uang tunjuk adalah semacam living cost yang<br />

diberlakukan di Singapore atau Malaysia. Jadi misalnya ketika seseorang<br />

melakukan perjalanan ke sana maka akan ditanya akan tinggal berapa<br />

hari, tinggal dimana, <strong>dan</strong> sebagainya, sehingga mereka bisa menaksir<br />

berapa jumlah uang yang pantas dimiliki oleh orang tersebut. Besarnya<br />

uang tunjuk tersebut tidak ada standarnya, tergantung petugas imigrasi<br />

yang bersangkutan karena dia memiliki kewenangan untuk menolak atau<br />

memasukan orang. Maka ketika uang yang dibawanya di bawah jumlah<br />

yang ditaksir petugas imigrasi, mereka akan ditolak masuk ke negara<br />

tersebut. Atau kaiau bilang ada alamat yang dituju, maka akan dicek<br />

alamat yang disebutkan tersebut yang membuktikan a<strong>dan</strong>ya sponsor di<br />

sana.<br />

226<br />

Menurut responden dari Kantor lmigrasi Batam, khusus untuk<br />

negara Singapore, memang tidak mudah bagi orang Indonesia untuk<br />

masuk ke sana karena imigrasi Singapore, tampaknya,<br />

mengimplementasikan perlakuan yang berbau SARA kepada orang<br />

Indonesia. Penjelasannya, petugas lmigrasi Singapore terdiri dari tiga<br />

etnis yaitu Gina, India, <strong>dan</strong> Melayu. Bila yang bertugas di pemeriksaan<br />

imigrasi Singapore tersebut orang-orang cina maka biasanya orang-orang<br />

Indonesia yang etnis Melayu agak sulit untuk masuk ke Singapore dengan<br />

berbagai alasan seperti uang tunjuk <strong>dan</strong> sebagainya. Sementara bila yang<br />

bertugas di sana orang-orang etnis melayu maka orang Indonesia mudah<br />

untuk masuk ke sana. Biasanya pada saat week end, yang ditugaskan di<br />

imigrasi Singapore adalah orang-orang etnis cina sehingga orang<br />

Indonesia lebih sulit untuk masuk.<br />

Selain a<strong>dan</strong>ya perlakuan berbau SARA seperti di atas, orang<br />

Indonesia juga tidak mudah masuk ke Singapore karena ada 4 kategori<br />

orang yang diprioritaskan atau dimudahkan masuk ke Singapore yaitu,<br />

pertama, bila ada mahasiswa Indonesia yang pandai atau punya<br />

kemampuan khusus <strong>dan</strong> masuk ke Singapore maka statusnya akan di<br />

upgrade dengan diberi status PR (Permanent Resident) atau ijin tinggal


permanen yang diberikan tanpa persyaratan. Mereka mengetahui potensi<br />

mahasiswa yang bersangkutan dengan melihat track record ketika dia<br />

mendaftar di perguruan tinggi di sana. Bahkan kepada mereka diberikan<br />

bantuan berupa penurunan jumlah SPPnya. Yang kedua yang mendapat<br />

perlakuan khusus <strong>dan</strong> akan diberikan PR adalah enterpreuneur yang<br />

mampu, misalnya, menarik atau meningkatkan arus masuk wisata. Yang<br />

ketiga adalah orang kaya. Bila seseorang memiliki uang 2 juta dollar<br />

Singapore saja maka dia akan diberi status PR. Bonafiditas mereka dapat<br />

dideteksi melalui record di perbankan. Yang keempat adalah sebagai<br />

tenaga ahli. Jadi bila seseorang memiliki keahlian khusus tertentu<br />

(misalnya atom) maka akan diberikan PR tanpa harus memiliki working<br />

permit. Jadi dengan 4 kriteria yang diimplementasikan di sana maka TKI<br />

sulit untuk masuk ke Singapore.<br />

227<br />

Selama ini pihak lmigrasi Batam setiap bulannya selalu menerima<br />

korban trafficking (TKI) yang dikirim dari KBRI di Johor. Dalam kaitan ini<br />

kasusnya memang ditangani oleh Dinas Sosial, <strong>dan</strong> merekalah yang<br />

menjemput para korban tersebut, sementara pihak imigrasi hanya<br />

membantu proses percepatan pemulangan tersebut.<br />

Dalam mengatasi masalah trafficking, menurut responden, sejauh<br />

ini belum ada kerjasama keimigrasian antara Indonesia dengan Malaysia<br />

<strong>dan</strong> Singapore. Masalahnya bagi Malaysia <strong>dan</strong> Singapore bila itu<br />

menguntungkan bagi mereka maka trafficking tersebut tidak menjadi<br />

masalah. Selama ini kerjasama yang ada dilakukan melalui Malinda<br />

(Malaysia-Indonesia) khususnya yang menyangkut masalah pertahanan<br />

yang ditangani oleh Menko Polkam. Di samping itu juga ada Border<br />

Commitee antara Malaysia - Indonesia <strong>dan</strong> Indonesia - Singapore; yang<br />

menyangkut masalah perbatasan <strong>dan</strong> ditangani oleh Depdagri. Namun<br />

demikian dalam kegiatannya baik Malinda maupun Border Commitee,<br />

antara lain, juga membicarakan masalah trafficking. Mungkin juga<br />

masalah ini dibicarakan dalam kerjasama kepolisian.


Dalam konteks keimigrasian kerjasama antara Indonesia dengan<br />

Singapore bersifat bilateral dalam hal inteligen, kelancaran perlintasan<br />

atau frequent traveller, masalah visa, keimigrasian, <strong>dan</strong> masalah<br />

pembangunan kapasitas manusia. Misalnya, untuk frequent traveler,<br />

seperti kepala imigrasi Batam, bila ke Singapore tidak perlu melalui<br />

counter pemeriksaan imigrasi tetapi melalui pintu khusus semacam tol<br />

gate. Dan ke depan kebijakan ini akan diberlakukan untuk pejabat-pejabat<br />

<strong>dan</strong> pengusaha Kepulauan Riau. Ke depannya lagi mungkin akan<br />

diberlakukan untuk beberapa pihak dalam skala nasional. Untuk<br />

pembangunan kapasitas manusianya ka<strong>dan</strong>g kala pihak lmigrasi<br />

Indonesia mengirimkan anggotanya ke sana untuk mengikuti pelatihan­<br />

pelatihan, seperti pengenalan dokumen palsu, intelegen, pertukaran<br />

informasi <strong>dan</strong> sebagainya.<br />

Dalam rangka mengatasi masalah perdagangan manusia sudah<br />

ada satuan kerja yang merupakan kerjasama di tingkat pusat, juga<br />

termasuk LIPI karena termasuk orang asing yang melakukan penelitian. Di<br />

tingkat daerah pun (Batam) sudah ada kerjasama yakni yang disebut<br />

SIPORA yaitu Koordinasi Pengawasan Orang Asing yang terdiri dari<br />

semua instansi teknis yang berkaitan dengan pengawasan orang asing<br />

seperti Polisi, Jaksa, lmigrasi, Bea Cukai, Departemen Dalam Negeri<br />

(Depdagri), Angkatan Laut, Ba<strong>dan</strong> lnteligen Negara (BIN), Ba<strong>dan</strong> lnteligen<br />

Strategis (BAIS), sampai departemen teknis lainnya. Sipora ini leading<br />

sectornya lmigrasi <strong>dan</strong> tiga bulan sekali melakukan rapat koordinasi.<br />

Dalam kegiatannya Sipora ini membicarakan juga masalah trafficking.<br />

Selain itu ada juga kerjasama yang di bawah Pemda Kota Batam yang<br />

disebut Kominda.<br />

Paparan di atas mengindikasikan bahwa untuk mengatasi masalah<br />

trafficking harus dibangun kerjasama yang merupakan kesatuan yang<br />

terdiri dari Kepolisian, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), <strong>dan</strong> BPN2TKI<br />

(Ba<strong>dan</strong> Nasional Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja). Mereka<br />

diharapkan berada di depan lmigrasi sehingga pihak lmigrasi betul-betul<br />

hanya memberangkatkan orang-orang yang sudah bersih. Di Pempat<br />

228


Pemeriksaaan lmigrasi (TPI) tersebut memang merupakan domain<br />

lmigrasi, hanya sebenarnya tidak ada salahnya bila untuk mencegah<br />

trafficking tersebut dilakukan pemeriksaan khusus. Selama ini sebetulnya<br />

sudah ada mereka di pelabuhan tetapi implementasinya masih belum<br />

efektif karena SDMnya belum profesional. Ka<strong>dan</strong>g pihak lmigrasi hanya<br />

diminta mereka untuk membantu segera memberangkatkan orang<br />

dengan alasan surat-suratnya sudah beres, sementara pihak lmigrasi<br />

tidak memahami betul apa yang dimaksud dengan 'beres' di sini. Selama<br />

ini instansi yang berkompeten pun sering duduk bersama seperti melalui<br />

forum pengawasan orang asing, ka<strong>dan</strong>g Disnaker mengun<strong>dan</strong>g lmigrasi,<br />

atau BPN2TKI mengun<strong>dan</strong>g imigrasi, atau pihak imigrasi yang<br />

mengun<strong>dan</strong>g mereka. Namun dalam tahap implementasinya masih belum<br />

berjalan sebagaimana diharapkan. Yang menjadi kendala adalah tidak<br />

a<strong>dan</strong>ya komitmen <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya kepentingan yang turut bermain. Dalam<br />

kerjasama ini pun belum ada semacam MoU.<br />

229<br />

lmplikasinya, untuk efektivitas kerja dalam upaya mengeliminasi<br />

human trafficking lmigrasi perlu didukung oleh instansi terkait lainnya,<br />

karena instansi lmigrasi bukan merupakan instansi yang full power.<br />

lmigrasi memiliki full power hanya di TPI yang dapat menentukan orang<br />

boleh masuk atau ke luar Indonesia. Hal ini penting karena, seperti<br />

dikatakan oleh responden dari P4TKI (Pos Pelayanan Penempatan <strong>dan</strong><br />

Perlindungan Tenaga Kerja), banyak terjadi pemberangkatan TKI ilegal<br />

melalui pelabuhan resmi. Bahkan jumlahnya bisa lebih banyak dari TKI<br />

formal yang sama-sama diberangkatkan. Permasalahan ini sudah<br />

berlangsung bertahun-tahun <strong>dan</strong> sulit untuk diselesaikan. Secara<br />

peraturan perun<strong>dan</strong>gan di atas kertas penanganan trafficking sudah<br />

bagus, masalahnya dalam implementasinya sering tidak sinkron karena<br />

a<strong>dan</strong>ya ego sektoral. Sehingga penyelesaiannya bersifat parsial. Untuk<br />

menyelesaikan hal ini harus ada penyamaan persepsi dari seluruh<br />

departemen terkait, karena mereka memiliki aturan sendiri-sendiri. Jadi<br />

perlu dibangun kerjasama antar departemen ataupun kementerian<br />

<strong>dan</strong>mereka harus duduk satu meja untuk mencari solusinya.


Menurut Pelayanan Penempatan<strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja<br />

Indonesia (P4TKI), pengiriman TKI pada tahun 2009 cenderung<br />

mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini bukan<br />

disebabkan oleh pernyataan BNP2TKI yang mengatakan sementara ini<br />

jangan dulu mengirim TKI ke luar, karena penurunan tersebut sudah<br />

terasa sebelum a<strong>dan</strong>ya statement tersebut. Hal ini diduga terjadi karena<br />

semakin banyaknya daerah yang membuka jalur penerbangan langsung<br />

ke daerah tujuan. Kalau dulu penerbangan ke Singapore tidak ada dari<br />

daerah lain, selain melalui Batam, sekarang ini sudah mulai banyak<br />

seperti dari Jakarta, Semarang. Memang secara ekonomi pengiriman<br />

melalui Batam sedikit lebih murah, tapi karena perbedaannya hanya<br />

sedikit maka lebih baik diberangkatkan langsung dari daerah asal ke<br />

daerah tujuan.<br />

I<br />

Gambar 10.<br />

Peneliti di<br />

Penyeberang<br />

an Ferry<br />

II Salah seorang peneliti se<strong>dan</strong>g<br />

melakukan wawancara dengan<br />

petugas lmigrasi di Tempat<br />

----------.... --..--. J Penyebrangan Resmi Batam<br />

230<br />

Dalam konteks pencegahan trafficking, sebagaimana diungkapkan<br />

responden dari P4TKI, yang menjadi kunci utama adalah di pelabuhan.<br />

Dikatakan demikian karena pelabuhan tikus di Tanjung Pinang rata-rata<br />

per bulan bisa memberangkatkan sampai 3000 orang. Mereka<br />

diberangkatkan dengan kapal yang kurang lebih menampung sekitar 150<br />

orang per kapal per kali pemberangkatan. Jadi, seperti juga dikatakan<br />

responden dari DPRD, persoalan trafficking ini kuncinya adalah<br />

kesungguhan dalam penegakan hukum, jangan ada kongkalingkong,<br />

jangan ada suap, <strong>dan</strong> sebagainya. Karena bagaimanapun Perda dibuat<br />

dengan philosofi meminimalisir praktek prostitusi <strong>dan</strong> trafficking, namun di


lapangan selalu ada celah-celah untuk mengakali. Sekarang ini misalnya<br />

ada TKI yang ke luar dari Batam ke Malaysia atau sebaliknya masuk<br />

secara ilegal, pastinya akan diketahui oleh Satpol air (Airud) <strong>dan</strong> atau<br />

Angkatan Laut. Tetapi kenyataannya persoalan tersebut selesai sampai di<br />

situ, cukup dengan memberikan uang kopi. Hal yang kurang lebih sama<br />

juga dalam penegakan Perdaduk yang implementasinya di pelabuhan <strong>dan</strong><br />

Bandara ditangani oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Tetapi<br />

penyelesaiannya sama saja cukup dengan diberi uang. Atau ketika<br />

dilakukan suatu razia di tempat hiburan ternyata orangnya sudah tidak<br />

ada yang tentunya karena sudah ada yang membocorkan. Contoh lain,<br />

PSK dalam melaksanakan pekerjaannya biasanya diatur oleh sindikat<br />

dengan dirolling sekitar 10 hari sekali an tara Jakarta, Pontianak,<br />

Banjarmasin, Surabaya, Semarang, Me<strong>dan</strong>, bahkan termasuk PSK dari<br />

luar seperti Cina, Usbekistan, <strong>dan</strong> sebagainya. Hal ini bisa berlangsung<br />

antara lain karena lemahnya law enforcement. Harusnya untuk PSK dari<br />

luar dapat disaring oleh imigrasi <strong>dan</strong> POA (Pengawasan Orang Asing) di<br />

Polda.<br />

231<br />

Jadi kelemahannya ada dalam attitude para penegak hukum dalam<br />

mengimplementasikan aturan yang ada. Kalau itu ditegakkan maka<br />

trafficking ini bisa diminimalisasi. lmplikasinya, yang diperlukan untuk<br />

penanganan trafficking adalah law enforcement.<br />

8.2.4. Penanganan Trafficking Oleh Pemerintah Propinsi<br />

Kepulauan Riau: Gugus Tugas<br />

Dalam penanganan trafficking ini pada tingkat pemerintah pusat<br />

sudah ada RAN (Rencana Aksi Nasional). Untuk propinsi, menurut<br />

penggiat LSM Yayasan Setara Kita, kabupaten/kota di Kepulauan Riau<br />

cukup punya komitmen dalam menangani masalah trafficking ini. Secara<br />

kasat mata indikasinya tampak dari sudah a<strong>dan</strong>ya shelter, sehingga setiap<br />

warga negara indonesia yang menjadi korban tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan<br />

orang di Kepulauan Riau pasti akan ditampung <strong>dan</strong> diberi penanganan<br />

yang cukup termasuk makan 3 kali, tidur, <strong>dan</strong> biaya pemulangan. lndikasi


lainnya, pihak DPRD tidak menghalangi dikeluarkannya SK tentang gugus<br />

tug as.<br />

232<br />

Menurut responden dari UIB, Propinsi Kepulauan Riau melakukan<br />

upaya untuk perlindungan terhadap korban trafficking <strong>dan</strong> tindak pi<strong>dan</strong>a<br />

trafficking, antara lain:<br />

Un<strong>dan</strong>g<br />

lkut aktif melaksanakan apa yang sudah ada dalam Un<strong>dan</strong>g­<br />

nomor 21 Tahun 2007.<br />

Propinsi membuat Perda nomor 12 Tahun 2007 untuk mendukung<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g nomor 21 Tahun 2007 di atas<br />

Membuat tim khusus gugus tugas<br />

Sosialisasi kepada masyarakat<br />

Dalam konteks sosialisasi kepada masyarakat, antara lain sudah<br />

dilakukan seminar terhadap para pelajar SMU yang mengingatkan bahwa<br />

daerah Kepulauan Riau ini sangat rentan agar mereka tidak menjadi<br />

korban trafficking. Selain itu ada juga seminar terhadap Korban. Dalam hal<br />

ini korban diberikan ilmu pengetahuan tentang apa yang harus mereka<br />

miliki ketika mereka akan ke luar, seperti dijelaskan mengenai keberadaan<br />

PJTKI yang legal <strong>dan</strong> tidak legal yang harus mereka perhatikan.<br />

Sementara itu dalam kaitan dengan Gugus Tugas, Gugus Tugas ini<br />

merupakan proyek nasional dari <strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />

yang dikeluarkan melalui SK Menteri <strong>dan</strong> tengah diuji coba di 8 kota. Di<br />

Kepulauan Riau adalah di kota Tanjung Pinang, Batam, <strong>dan</strong> Karimun. Di<br />

Jawa Barat adalah lndramayu <strong>dan</strong> Subang; Di Kalimantan Barat adalah<br />

Sambas <strong>dan</strong> Singkawang. Tim Gugus Tugas saat ini tengah berupaya<br />

melakukan pemutakhiran data lewat internet agar data yang tercatat<br />

mendekati kenyataan yang ada.<br />

Dalam skala propinsi baru-baru ini Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />

Perempuan mengun<strong>dan</strong>g beberapa instansi terkait untuk membentuk<br />

gugus tugas yang khusus menangani masalah trafficking. Sebenarnya


gugus tugas ini telah dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur<br />

Kepulauan Riau Nomor 218 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Tim<br />

Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Trafficking Perempuan <strong>dan</strong><br />

Anak Propinsi Kepulauan Riau. Latar belakang munculnya keputusan<br />

Gubernur tersebut karena trafficking sebenarnya bukan permasalahan<br />

baru <strong>dan</strong> sudah menjadi masalah dunia internasional sehingga<br />

merupakan kasus besar. Dalam bi<strong>dan</strong>g hukumnya antara lain meliputi<br />

Polda Kepulauan Riau, Kepala kantor wilayah hukum <strong>dan</strong> HAM.<br />

Sementara Anggota gugus tugas yang berperan sebagai pelaksana<br />

antara lain adalah Biro Pemberdayaan Perempuan. Sekarang ini masing­<br />

masing bi<strong>dan</strong>g yang ada dalam gugus tugas tersebut se<strong>dan</strong>g membuat<br />

program yang kemuian dikumpulkan <strong>dan</strong> dihimpun di gubernur.<br />

233<br />

Sebelum itu, pada tahun 2004, sebenarnya telah ada Perda<br />

propinsi tentang perempuan <strong>dan</strong> anak (anti trafficking) yang merupakan<br />

inisiatif pemerintah propinsi yang salah satunya juga diperlukan untuk<br />

kepentingan penguatan penganggaran. Pada saat itu Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g 21<br />

Tahun 2007 masih berproses. Ketika perda tersebut hampir jadi,<br />

kemudian di syahkan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g 21 Tahun 2007. Oleh karena itu<br />

bila dibaca isi perda tersebut tidak sesuai dengan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g 21<br />

karena belum mengacu pada perun<strong>dan</strong>gan yang lebih tinggi. Menghadapi<br />

persoalan tersebut, Yayasan Setara Kita menawarkan diri untuk menjadi<br />

leading organizer yang akan membedah perda tersebut dengan<br />

mendatangkan beberapa ahli, termasuk perwakilan dari Menko Kesra,<br />

Kementrian Pemberdayaan, staf ahli DPR yang menangani un<strong>dan</strong>g­<br />

un<strong>dan</strong>g tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang, <strong>dan</strong> lainnya. Pada saat itu<br />

sebenarnya pihak Yayasan mengun<strong>dan</strong>g juga Depdagri, tetapi tidak ada<br />

yang datang. Kemudian draft Perda tersebut dibedah untuk disesuaikan<br />

dengan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g 21.<br />

Menurut responden dari UIB, yang menjadi masalah dalam hal<br />

gugus tugas adalah, karena ini program dari pemerintah, maka mereka<br />

yang menjalankannya tentu karena ditugaskan dalam gugus tugas<br />

tersebut, sehingga belum tentu memiliki emphaty. Selain itu karena yang


melaksanakannya adalah PNS sehingga emphatynya masih diragukan.<br />

Padahal berdasarkan pengalaman pendampingan yang dilakukan oleh<br />

responden <strong>dan</strong> berbagai referensi yang ada, yang dibutuhkan oleh<br />

seorang pendamping adalah kekuatan emphaty yang tinggi. Dengan<br />

demikian efektivitas dari gugus tugas tersebut masih perlu dipertanyakan<br />

karena orang yang bersangkutan mengerjakan tugas tersebut karena<br />

diperintahkan, bukan karen a emphaty yang lahir dari diri sendiri.<br />

Meskipun demikian, diakui oleh responden, Biro Pemberdayaan<br />

Perempuan Propinsi <strong>dan</strong> Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan kota Batam<br />

banyak melakukan upaya untuk memperbaikinya seperti melalui seminar<br />

<strong>dan</strong> pelatihan-pelatihan. Sebagai contoh, Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />

Perempuan melakukan pelatihan untuk tenaga shelter dengan<br />

memberikan training untuk PNS yang akan di tempatkan di situ. Namun<br />

tampaknya pelatihan tersebut belum memberikan manfaat yang maksimal<br />

untuk pengelolaan shelter yang sudah ada. Alasan yang dikemukakan<br />

adalah a<strong>dan</strong>ya keterbatasan pen<strong>dan</strong>aan, padahal anggaran untuk<br />

trafficking di tingkat propinsi untuk tahun 2009 relatif besar yakni sekitar 3<br />

milyar rupiah, namun tetap saja pen<strong>dan</strong>aan menjadi masalah. Bagi<br />

responden tersebut shelter yang dikelola oleh LSM lebih jelas di mana di<br />

sana tersedia tempat kursus dengan sarana yang memadai untuk<br />

melakukan pelatihan seperti untuk keterampilan menjahit <strong>dan</strong> lain<br />

sebagainya. Memang diakui bahwa Propinsi Kepulauan Riau juga sudah<br />

berupaya melakukan hal seperti itu, misalnya propinsi sudah melakukan<br />

pendidikan komputer, bahasa inggris, untuk anak-anak putus sekolah<br />

selama 1 bulan. Namun karena alasan keterbatasan pen<strong>dan</strong>aan pelatihan<br />

tersebut hanya bisa dilakukan untuk satu bulan saja, meskipun misalnya<br />

kebutuhan untuk pelatihan tersebut lebih dari sebulan. Persoalan yang<br />

muncul dari korban yang dihadirkan di dalam seminar antara lain bahwa<br />

korban merasa tidak terlayani dengan maksimal padahal sudah ada<br />

sarananya. Ka<strong>dan</strong>g mereka juga merasa sudah dijanjikan sesuatu seperti<br />

pelatihan <strong>dan</strong> sebagainya tetapi kenyataannya tidak ada, padahal mereka<br />

menunggu janji tersebut.<br />

234


Yang menjadi komplain bagi LSM adalah bahwa pemerintah<br />

mengajak kerjasama dengan LSM ketika mereka membutuhkan, setelah<br />

kebutuhannya terpenuhi maka kerjasama pun tidak ada lagi. Padahal bagi<br />

LSM kerjasama dengan pemerintah tersebut masih dibutuhkan karena<br />

LSM memiliki kendala dalam kaitannya dengan shelter. Artinya LSM telah<br />

memiliki shelter untuk menampung korban tetapi tidak punya <strong>dan</strong>a,<br />

sementara itu pemerintah sebenarnya punya <strong>dan</strong>a untuk itu, sehingga<br />

diharapkan bahwa melalui kerjasama tersebut LSM dapat menyiapkan<br />

tempatnya <strong>dan</strong> pemerintah dapat mengucurkan bantuan <strong>dan</strong>anya melalui<br />

LSM tersebut. Namun harapan tersebut masih belum terjadi.<br />

Paparan di atas memperlihatkan masih a<strong>dan</strong>ya sikap skeptis dari<br />

kalangan LSM ataupun Perguruan Tinggi mengenai kemampuan <strong>dan</strong><br />

komitmen aparat PNS dalam menangani masalah trafficking. Hal ini<br />

tentunya harus menjadi perhatian bagi pemerintah daerah untuk<br />

melakukan introspeksi guna lebih meningkatkan efisiensi <strong>dan</strong> efektivitas<br />

pengelolaan sumberdaya yang dibutuhkan dalam penanganan masalah<br />

trafficking. lmplikasinya, hal ini dapat dilakukan, antara lain, dengan<br />

membangun kerjasama yang lebih intens dengan kalangan LSM,<br />

Perguruan Tinggi, ataupun para pakar dalam upaya meningkatkan<br />

kompetensi aparatur pemerintah daerah dalam penanganan trafficking.<br />

Sejauh ini memang diakui oleh responden bahwa dalam kaitan dengan<br />

kegiatan penanganan trafficking yang diselenggarakan oleh Ba<strong>dan</strong><br />

Pemberdayaan Perempuan, LSM selalu diun<strong>dan</strong>g khususnya untuk<br />

kegiatan yang berbentuk seminar <strong>dan</strong> pelatihan. Tetapi keterlibatan untuk<br />

melihat langsung yang terjadi di lapangan sedikit sekali. Oleh karena itu<br />

selain membangun kerjasama dalam untuk peningkatan kompetensi SDM<br />

aparat juga perlu kerjasama yang lebih intens dengan LSM dalam<br />

implementasinya di lapangan. Dengan demikian diharapkan dapat<br />

mengurangi sikap skeptis dari kalangan LSM karena turut terlibat dalam<br />

realitas lapangannya.<br />

235


8.2.5. Penanganan Trafficking Oleh Pemerintah Kota Batam<br />

236<br />

Dalam rangka menangani korban trafficking yang dijadikan PSK<br />

<strong>dan</strong> mengendalikan agar Batam tidak menjadi daerah tujuan trafficking<br />

yang terkait dengan prostitusi, pemerintah kota <strong>dan</strong> DPRD telah membuat<br />

suatu peraturan daerah untuk membentuk Panti Rehabilitasi Non Panti di<br />

Teluk Pan<strong>dan</strong>. Sebagai tindak lanjutnya Pemda Kota Batam membangun<br />

semacam lokalisasi yang disebut Pusat Rehabilitasi Sosial Non Panti di<br />

Teluk Pan<strong>dan</strong>. Lokasinya relatif jauh <strong>dan</strong> terisolir, jalannya pun rusak.<br />

Pengelolaan Pusat Rehabilitasi ini diatur dikelola oleh Dinas Sosial.<br />

Berdasarkan Perda tersebut semua PSK yang semula dipelihara secara<br />

tersebar kemuian dipusatkan di Pusat Rehabilitasi Sosial tersebut.<br />

Lokalisasi ini dibangun dengan alasan bahwa dulunya lokalisasi<br />

yang ada di Batam tersebar secara sporadis di banyak wilayah. Di setiap<br />

wilayah ada yang membuka 2 atau 3 bar (yang bentuknya warem) yang<br />

menjadi lokalisasi, sehingga dapat dikatakan bahwa di setiap kecamatan<br />

terdapat lokalisasinya. Lokalisasi tersebut kebanyakan berada di wilayah<br />

hunian penduduk seperti di Tangki Seribu, Melcem, Batu Ampar, <strong>dan</strong><br />

Bukit Samyong. Karena lokalisasi tersebut tergolong kelas bawah<br />

sehingga ditakutkan mengganggu perkembangan penduduk. Oleh karena<br />

itu pada tahun 2005 oleh walikota sebelum yang sekarang ini, dibangun<br />

Pusat Rehabilitasi Sosial Non Panti di Teluk Pan<strong>dan</strong> dengan harapan<br />

dapat meminimalisasi <strong>dan</strong> mengontrol populasi PSK. Tujuan sebenarnya<br />

adalah bahwa mereka yang masuk ke panti ini akan direhab <strong>dan</strong><br />

diharapkan ketika ke luar dari situ ia tidak lagi bekerja sebagai PSK. Jadi<br />

pembuatan Perda <strong>dan</strong> pembangunan panti tersebut bukan untuk<br />

memformalkan kegiatan prostitusi tetapi untuk merehabilitasi, dalam artian<br />

dengan memberikan beberapa kursus keterampilan. Di situ sudah<br />

diseiakan gedungnya, perpustakaan mini, koperasi, <strong>dan</strong> mesjid. Para PSK<br />

di panti tersebut selain dapat tetap melakukan pekerjaannya juga diberi<br />

ceramah keagamaan, kursus keterampilan seperti salon, menjahit, <strong>dan</strong><br />

sebagainya. Tetapi kenyataannya, menurut responden DPRD, tidak<br />

seperti itu karena kegiatan prostitusi tetap ada di sana bahkan masih


dilakukan kegiatan mendatangkan perempuan/PSK dari luar Batam<br />

seperti Jawa, Kuningan, Pontianak <strong>dan</strong> sebagainya yang umurnya pun<br />

masih muda sekitar 19 - 20 tahunan. Menurut responden dari Dinas<br />

Sosial programnya memang tidak maksimal karena terkait juga dengan<br />

masalah anggaran. Selain itu yang menjadi persoalan sekarang ini tidak<br />

mudah juga untuk mendapat pekerjaan di luar, oleh karena itu mereka<br />

terpaksa bekerja di situ. Konsekuensinya meskipun sebenarnya<br />

ditargetkan pada tahun 2010 populasinya harus sudah berkurang, tetapi<br />

realitanya populasinya tidak berkurang, <strong>dan</strong> bahkan bertambah.<br />

Dalam upaya memberantas trafficking, di tingkat Pemerintah Kota<br />

Batam sebenarnya juga sudah ada ketentuan Perda Kependudukan<br />

nomor 2 Tahun 2001 yang mengisyaratkan bahwa setiap penduduk yang<br />

datang ke Batam harus memenuhi beberapa persyaratan, sehingga begitu<br />

para pendatang landing di Bandara Hang Nadiem atau di pelabuhan<br />

Punggur, mereka langsung dipilah. Mereka yang kelihatan mencurigakan<br />

langsung diperiksa oleh petugas dari Pemda mengenai tujuan<br />

kedatangan, kelengkapan surat, <strong>dan</strong> sebagainya. Jadi bila orang mau<br />

masuk ke Batam maka harus jelas tujuannya, ada jaminan keluarga atau<br />

pekerjaan yang disertai bukti. Bila tidak ada maka ia akan dipulangkan.<br />

Tapi dalam prakteknya selalu saja ada celah untuk dimanfaatkan untuk<br />

meloloskan orang. Menurut responden dari Dinas Sosial, walaupun di<br />

Batam punya perda, tetapi perda tersebut memiliki kelemahan di dalam<br />

implementasinya di lapangan <strong>dan</strong> juga pengawasannya tidak jalan,<br />

sehingga masih terjadi permainan uang. Dengan memberi uang 50 ribu<br />

rupiah saja orang bisa lewat dari pemeriksaan <strong>dan</strong> masuk ke Batam.<br />

Sebenarnya kalau sistem pengawasan di pelabuhan <strong>dan</strong> Bandara sudah<br />

ketat, maka persoalan trafficking dapat dieliminir.<br />

Terkait dengan Gugus Tugas, sebagaimana telah dipaparkan pada<br />

bagian terdahulu, meskipun SK. Gubernur tentang trafficking baru terbit<br />

pada tahun 2009, tetapi sebenarnya di tingkat kota/kabupaten sudah ada<br />

penanganannya yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial. Selama ini Dinas<br />

Sosial selalu menerima kiriman TKI korban trafficking, khususnya dari<br />

237


Johor <strong>dan</strong> Singapore <strong>dan</strong> menampung mereka sementara serta<br />

memberikan sedikit penyuluhan. Selanjutnya mereka dikembalikan ke<br />

daerah asal dengan menggunakan <strong>dan</strong>a pemulangan untuk TKI yang<br />

menjadi korban trafficking yang sudah ianggarkan oleh Dinas Sosial atau<br />

<strong>dan</strong>a alokasi dari Departemen Sosial. Selain itu Dinas Sosial juga<br />

menangani banyak korban trafficking yang ditangani polisi yang kemudian<br />

diserahkan kepada Dinas Sosial. Jadi pada dasarnya kebijakan yang<br />

dikeluarkan oleh Dinas Sosial hanya menyangkut pemulangan korban ke<br />

daerah asal, tidak menyangkut pembinaan, pemberdayaan, <strong>dan</strong><br />

sebagainya.<br />

238<br />

Sebelum ada Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan, leading sector<br />

yang bertanggungjawab menangani trafficking ini adalah Dinas Sosial.<br />

Tetapi setelah ada Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan, karena dalam<br />

trafficking ini korbannya adalah perempuan, maka yang menjadi leading<br />

sector adalah Bad an Pemberdayaan Perempuan.<br />

Dalam rangka pemberantasan trafficking tersebut, pada tahun 2004<br />

telah dibentuk gugus tugas. Pada saat itu, karena belum ada Un<strong>dan</strong>g­<br />

Un<strong>dan</strong>g PTPPO (Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang),<br />

konsideran dalam SK pembentukan gugus tugas tersebut hanya<br />

berpatokan pada Keppres Nomor 87 mengenai eksploitasi <strong>dan</strong> Kepres<br />

Nomor 88 mengenai trafficking. Kemudian dengan keluarnya Un<strong>dan</strong>g­<br />

Un<strong>dan</strong>g Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO pada tahun 2007 <strong>dan</strong> 1<br />

tahun kemudian disusul oleh keluarnya PP Nomor 69 tentang Gugus<br />

Tugas yang menginstruksikan untuk membuat gugus tugas, maka pada<br />

tahun 2009 Pemerintah Kota Batam melakukan revisi terhadap SK<br />

pembentukan gugus tugas tahun 2004 tersebut. Revisi yang dilakukan<br />

tidak hanya merevisi PTPPO, artinya tidak hanya menyangkut trafficking<br />

pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang tetapi sekaligus memasukan juga unsur<br />

eksploitasi seksual komersial atau SK. Hal ini dilakukan karena di dalam<br />

SK yang lama masih mengacu pada Keppres 87 di mana masalah seksual<br />

komersial belum diakomodir <strong>dan</strong> bahkan di dalam un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gnya pun<br />

belum ada. Dengan dimasukkan masalah seksual komersial dalam gugus


tugas maka nama gugus tugasnya berubah menjadi Gugus Tugas<br />

Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang Dan<br />

Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial. Revisi ini dilakukan<br />

melalui keputusan (SK) Walikota Batam nomor 166 tentang Pembentukan<br />

Tim Gugus Tugas Pemberantasan <strong>dan</strong> Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />

Perdagangan Orang (PTPPO) Eksploitasi Seksual Komersial Anak.<br />

Karena di dalam SK yang dulu belum ada rencana aksinya maka di dalam<br />

SK yang baru tersebut tersebut sekaligus memuat Rencana Aksi Daerah.<br />

Tidak a<strong>dan</strong>ya Rencana Aksi Daerah pada SK yang lama karena mengikuti<br />

prinsip hukum mutatis mutandis (apa yang dilakukan oleh pusat, maka<br />

dilakukan di daerah) di mana dulu pada tingkat pusat pun belum<br />

ada/kelihatan rencana aksi tersebut. Baru kemudian setelah keluar PP no<br />

69 pada tahun 2008-2009 dengan amanat yang jelas, maka dalam SK<br />

gugus tugas pun dibuat rencana aksinya. Jadi secara substansial<br />

mekanisme organisasional antara gugus tugas yang lama <strong>dan</strong> yang baru<br />

dapat dikatakan sama saja, hanya saja pada gugus tugas yang baru<br />

ditambahkan dengan masalah eksploitasi seksual <strong>dan</strong> Rencana Aksi<br />

Daerah. SK tersebut dibuat di pertengahan tahun 2009 atau pada<br />

prakteknya dikeluarkan pada bulan Mei 2009, sehingga target kinerjanya<br />

dimulai akhir tahun 2009, 2010, sampai akhir tahun 2013. Oleh karena itu<br />

sekarang ini (Juli 2009 ketika penelitian dilakukan) SK tersebut belum<br />

sempat dijalankan. Sejauh ini tim Gugus Tugas baru belum pernah<br />

melakukan rapat koordinasi.<br />

Memang diakui oleh responden dari Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />

Perempuan bahwa tidak ada penyelesaian yang tuntas didalam<br />

menyelesaikan masalah trafficking ini. Padahal penyelesaian secara<br />

tuntas itu perlu karena permasalahan trafficking ini sudah terlanjur ada.<br />

Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g PTPPO sudah lahir tetapi implementasinya di lapangan<br />

masih perlu rujukan lain seperti perpu atau inpres/keppres, perda <strong>dan</strong><br />

sebagainya. Sementara ini pemerintah daerah Batam belum membuat<br />

Perda yang menyangkut masalah trafficking, melainkan tentang PSK, jadi<br />

hanya berdasarkan SK walikota saja. Bagi Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />

239


Perempuan pembuatan Perda tersebut dianggap tidak terlalu effektif,<br />

karena hanya pemborosan saja, mengingat sudah ada Perda nomor 12<br />

tahun 2007 dari Propinsi Kepulauan Riau . Jadi sebaiknya langsung<br />

menjalankan yang sudah ada yaitu dengan masuk ke dalam Rencana<br />

Aksi Daerah melalui SK Walikota tentang gugus tugas tersebut.<br />

Menurut responden dari kalangan LSM, sebenarnya kenapa harus<br />

dilakukan revitalisasi terhadap gugus tugas yang lalu, antara lain, juga<br />

karena terjadi kemandegan dalam pelaksanaan tugas atau melaksanakan<br />

aktivitasnya. Salah satu contoh yang paling krusial adalah koordinasi<br />

lintas sektor tidak berjalan dengan baik. Sementara dalam gugus tugas<br />

sekarang ini cukup jelas mengenai siapa melakukan apa. Ketika,<br />

misalkan, ada kasus maka anggota gugus tugas akan membicarakan<br />

bersama. Kalau misalnya kasus hukum, maka di dalam gugus tugas ini<br />

ada Polisi <strong>dan</strong> Jaksa yang menangani masalah hukum tersebut.<br />

Kemudian bila masalahnya menyangkut masalah rehabilitasi sosial, maka<br />

ada Dinas Sosial yang bertanggungjawab menanganinya; kemudian bila<br />

ada pemulangan korban, maka jelas siapa yang bertanggung jawab.<br />

240<br />

Revitalisasi gugus tugas baik di tingkat Propinsi maupun di tingkat<br />

kota Batam bisa terjadi karena pemerintah Propinsi <strong>dan</strong> Kotanya cukup<br />

aktif, di samping karena a<strong>dan</strong>ya dorongan dari beberapa LSM seperti<br />

Yayasan Setara Kita <strong>dan</strong> LSM Sirih Besar. Selain itu revitalisasi tersebut<br />

juga mungkin didorong oleh masalah aktual yang dihadapi pemerintah<br />

daerah seperti harus menampung <strong>dan</strong> harus meberi makan korban<br />

trafficking. Jadi inisiatif revitalisasi gugus tugas tersebut lebih karena<br />

faktor eksternal ketimbang inisiatif pemerintah daerah.<br />

Yang menjadi leading sektor dalam gugus tugas ini baik menurut<br />

SK yang dulu maupun yang sekarang tetap Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />

Perempuan. Hanya saja bila dulu level organisasinya masih Kantor yang<br />

dipimpin eselon Ill, sejak tahun 2007 sudah naik kelas menjadi Ba<strong>dan</strong><br />

yang dipimpin eselon II. lmplikasinya, dulu lnstitusi Pemberdayaan<br />

Perempuan mengalami kesulitan dalam melakukan koordinasi karena


dalam birokrasi tidak mungkin Kepala Kantor memerintahkan Kepala<br />

Dinas, meskipun sudah dituangkan dalam SK Walikota. Oleh karena itu<br />

diakui oleh responden dari Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan bahwa<br />

gugus tugas yang dulu sebenarnya hanya sebatas on paper saja atau<br />

tidak jalan, kalaupun jalan tetapi tidak optimal. Namun setelah naik kelas<br />

maka Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan lebih berani mengambil inisiatif<br />

seperti, misalnya, dengan membuat FGD untuk revisi pembentukan gugus<br />

tug as.<br />

Untuk jelasnya, dalam proses pembuatan SK gugus tugas yang<br />

baru tersebut Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan mengun<strong>dan</strong>g semua<br />

instansi terkait, terutama yang terlibat dalam gugus tugas yang lama,<br />

termasuk aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, lmigrasi<br />

<strong>dan</strong> sebagainya. Kemudian membuat seminar kecil 2 hari <strong>dan</strong> membuat<br />

FGD untuk masing masing bi<strong>dan</strong>g (pokja). Sebagai contoh untuk Pokja<br />

penegakan hukum maka yang ditunjuk terlibat di dalamnya seperti<br />

Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, <strong>dan</strong> LSM. Dalam pertemuan anggota<br />

gugus tugas juga dibahas mengenai jalan tikus, khususnya oleh aparat<br />

yang menangani masalah keamanan. Sebenarnya masalah pengawasan<br />

jalan tikus tersebut tidak menjadi persoalan asal saja pihak yang<br />

berwenang memiliki komitmen untuk menanganinya.<br />

241<br />

Untuk Pokja Kesehatan, Rehabilitasi, Pemulangan, <strong>dan</strong> lntegrasi<br />

Sosial maka dipimpin oleh Dinas Sosial, karena memang tugas pokok <strong>dan</strong><br />

fungsinya ada di situ. Dalam Gugus Tugas yang sudah dibentuk, Dinas<br />

Sosial bertanggung Jawab <strong>dan</strong> menjadi leading sector untuk pemulangan<br />

TKI.<br />

Bila dilihat dari kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing<br />

instansi yang terlibat dalam gugus tugas, nampaknya cukup<br />

menggembirakan karena masing-masing instansi cukup menunjukan<br />

semangat untuk melakukan pemberantasan trafficking. Program-program<br />

yang disusun oleh setiap bi<strong>dan</strong>g dalam gugus tugas meliputi kegiatan<br />

selama 5 tahun. Keempat Pokja yang ada dalam Gugus Tugas itu yang


menyusun program kegiatan yang akan dilaksanakannya <strong>dan</strong><br />

mempresentasikannya apa yang menjadi rencana kegiatan jangka pendek<br />

dalam 1 atau 2 tahun <strong>dan</strong> apa yang akan dilaksanakan 5 tahun ke depan.<br />

Masing-masing anggota Pokja Gugus Tugas menyusun program sesuai<br />

dengan kompetensinya. Misalnya dari Pidum Kejari mempunyai tugas<br />

khusus untuk penegak hukum, maka dalam untuk pertemuan berkala<br />

yang menjadi leading sectornya adalah Kejari. Mengenai gugus tugas ini,<br />

kejaksaan melihatnya sebagai upaya pencegahan bagi terjadinya<br />

trafficking. Namun demikian dalam pelaksanaannya pihak Kejaksaan<br />

merasa tidak memahami secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena<br />

Kejaksaan merupakan lembaga penuntutan, jadi tidak punya upaya<br />

hukum preventif, sehingga berbeda dengan pemerintah kota, atau<br />

Kepolisian. Jaksa hanya menangani berkas perkara yang dikirim atas<br />

nama Kejaksaan, jadi tidak menangani upaya pencegahan. Tugas jaksa di<br />

dalam Gugus Tugas adalah apabila terjadi proses hukum yang dilakukan<br />

pihak penyidik maka jaksa wajib berkomunikasi untuk lancarnya<br />

penanganan perkara.<br />

Dalam gugus tugas pihak imigrasi masuk dalam kelompok kerja<br />

bi<strong>dan</strong>g pencegahan, bahkan menjadi leading sector untuk Wasdak<br />

(pengawasan <strong>dan</strong> penindakan). Hanya saja disayangkan karena yang<br />

datang ke Gugus Tugas biasanya bukan kepala bi<strong>dan</strong>gnya melainkan<br />

officernya.<br />

Dalam gugus tugas tersebut skala prioritasnya, sementara ini,<br />

dalam penanganan trafficking terfokus pada upaya preventif <strong>dan</strong><br />

penanganan korban. Hanya pengembangan untuk penanganan<br />

korbannya masih sebatas pemulangan <strong>dan</strong> integrasi sosial, belum bisa<br />

memberikan therapy atau optimalisasi korban. Padahal kalau melihat<br />

program kerja di tingkat pusat, korban tersebut harusnya dioptimalisasikan<br />

seperti disekolahkan. Hal ini terjadi karena di Batam pressurenya cukup<br />

tinggi.<br />

242


243<br />

Untuk anggaran biaya yang timbul akibat melaksanakan SK<br />

tersebut dibebankan kepada APBO , dalam artian dikomodir <strong>dan</strong><br />

diadvokasi dalam anggaran masing-masing instansi yang menjadi<br />

anggota gugus tugas, sesuai dengan tupoksinya. Jadi tidak ada<br />

sentralisasi anggaran secara secara khusus. Untuk mengontrol apakah<br />

anggaran yang dibutuhkan sudah dianggarkan atau belum di masing­<br />

masing instansi, dimonitor melalui pertemuan-pertemuan periodik yang<br />

diusahakan dilakukan minimal 3 bulan sekali.<br />

Bila dilihat dari kronologi pembuatan SK gugus tugas, tampaknya<br />

rencana aksi pemberantasan trafficking tersebut merupakan inisiatif<br />

daerah karena dia dikeluarkan sebelum munculnya un<strong>dan</strong>g nomor 21<br />

tentang PTPPO <strong>dan</strong> Keppres nomor 69 tentang Gugus Tugas.<br />

Untuk pencegahan trafficking, baik pada Gugus Tugas nasional,<br />

propinsi, maupun kabupaten/kota yang menjadi leading sektornya adalah<br />

Oinas Pendidikan (Oepdiknas). lmplikasinya, yang bisa dilakukan adalah<br />

memasukkan masalah trafficking dalam kurikulumnya, mungkin sebagai<br />

muatan lokal atau ekstra kurikulum. Hal ini sangat mendasar <strong>dan</strong> bahkan<br />

bisa dimulai sejak SO karena dari catatan yang ada para korban trafficking<br />

menunjukkan bahwa umumnya mereka hanya memiliki pendidikan sampai<br />

pada tingkat SO.<br />

Pemosisian Oiknas sebagai leading insitusi dianggap sudah bagus<br />

oleh Yayasan Setara Kita. Namun untuk pencegahan trafficking tersebut<br />

selain Oiknas juga harus ada institusi lain yang diprioritaskan yakni<br />

Disnaker, sementara untuk lintas negaranya adalah lmigrasi, <strong>dan</strong> untuk<br />

penindakannya adalah Kepolisian.<br />

Oalam konteks ini BNP2TKI perlu lebih berperan aktif dalam<br />

menangani trafficking. Sekarang sudah ada gejala yang bagus di mana<br />

BNP2TKI sudah mulai melakukan pencegahan. Hal ini tampak di mana<br />

beberapa waktu yang lalu BNP2TKI melakukan penggerebegan tempat<br />

penampungan PJTKI di Jakarta yang di situ banyak anak-anak.


Menurut responden dari Yayasan Setara Kita <strong>dan</strong> juga responden<br />

lainnya, mengenai penempatan Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />

sebagai leading sektor dalam penanganan trafficking di daerah<br />

sebenarnya tidak jelas reasoningnya, mungkin hanya mengikuti pola yang<br />

ada di pusat di mana <strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan menjadi<br />

leading institution dalam penanganan trafficking. Namun jangan lupa<br />

selain menyangkut perempuan, masalah trafficking juga menyangkut anak<br />

yang penangannya untuk perlindungan anak tersebut ada di Depsos.<br />

Secara kelembagaan, menurut responden dari Dinas Sosial,<br />

penanganan trafficking ini memang sedikit membingungkan, misalnya<br />

ketika ada TKI yang dipulangkan dari Johor seharusnya itu menjadi tugas<br />

Dinas Sosial, tetapi ka<strong>dan</strong>g kala karena ketidakjelasan dalam kegiatannya<br />

malahan Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuanlah yang mengirim stafnya ke<br />

Johor yang kemudian mendistribusikan <strong>dan</strong> menampungnya di shelter.<br />

Padahal seharusnya mereka berkoordinasi dengan Dinas Sosial <strong>dan</strong><br />

Dinas Sosiallah yang mengirim. Tetapi yang terjadi malah berkoordinasi<br />

dengan Propinsi sehingga pengirimannya lewat Tanjung Pinang, padahal<br />

sebetulnya tidak perlu lewat Tanjung Pinang karena bisa langsung lewat<br />

Batam. Seharusnya para korban tersebut masuk melalui Dinas Sosial<br />

kemudian di saring melalui interview <strong>dan</strong> pendataan lainnya. Bila ternyata<br />

ada korban trafficking, barulah dia dikirim ke shelter <strong>dan</strong> ditangani oleh<br />

Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuanlah. Setelah melalui proses<br />

penanganan di shelter kemudian Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />

tersebut berkoordinasi kembali dengan Dinas Sosial untuk penanganan<br />

kepulangan korban ke daerah asal. Jadi prosedur penanganan semua<br />

pemulangan korban konsentrasinya harusnya ada di Dinas Sosial, baru<br />

kemudian bila ada korban trafficking Dinas Sosiallah yang<br />

merekomendasikan kepada Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan.<br />

Menurut responden dari UIB masalah trafficking ini memang<br />

merupakan masalah yang tidak pernah selesai, padahal upaya perbaikan<br />

selalu diupayakan, kemungkinan ada yang salah dalam sistemnya. Untuk<br />

penyelesaian ini perlu dipertimbangkan apakah masalah pengurusan TKI<br />

244


ini pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada swasta atau<br />

pemerintah membentuk satu ba<strong>dan</strong> yang khusus menangani masalah TKI<br />

<strong>dan</strong> trafficking ini.<br />

Namun demikian pihak Yayasan Setara Kita melihat bahwa dalam<br />

kaitannya dengan penanganan trafficking, Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />

Perempuan sudah berada pada rei yang pas (on the rifht track). Mereka<br />

selalu bertanya atau berkonsultasi dengan Yayasan Setara dalam<br />

merumuskan ataupun melakukan suatu kegiatan. Dalam hal ini pihak<br />

Yayasan pun meresponsnya secara positif dengan kesadaran bahwa<br />

mereka adalah mitra sehingga tidak perlu bertindak menggurui atau<br />

mengkritik dengan gaya LSM sebagaimana umumnya. Jadi kalaupun ada<br />

kritik maka selalu dibarengi dengan memberikan solusinya.<br />

245<br />

Untuk ke depannya penanganan trafficking ini diharapkan dapat<br />

dilakukan dengan memaksimalkan Gugus Tugas. Harapannya di dalam<br />

Gugus Tugas ini dibentuk unit pencegahan yang sangat ketat ketika orang<br />

masuk ke Batam. Unit ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan<br />

petugas lapailgan di Bandara <strong>dan</strong> Pelabuhan untuk mendeteksi kelompok<br />

orang yang masuk ke Batam secara tidak jelas (korban trafficking).<br />

Apabila ditemui, maka petugas tersebut melakukan identifikasi terhadap<br />

mereka mengenai tujuan mereka datang ke Batam. Dan kalau tujuannya<br />

untuk bekerja di luar, dapat diminta untuk menunjukkan kelengkapan<br />

dokumen termasuk job ordemya. Dengan demikian diharapkan dapat<br />

meminimalisir terjadinya korban trafficking. Di samping itu, untuk<br />

pencegahan pemberangkatan yang ilegal, penanganan yang lebih ketat<br />

dari aparatur seperti dari Dinas Sosial, Kepolisian, Angkatan Laut <strong>dan</strong> lain<br />

sebagainya juga penting agar tidak membiarkan ketika terjadi pengiriman<br />

orang melalui jalur tidak resmi. Memang hal ini bisa saja membuka<br />

peluang baru untuk melakukan pemerasan. Barangkali yang lebih baik<br />

dengan membentuk satgas yang diperintahkan oleh Gugus Tugas,<br />

sementara anggota ataupun kontrolnya bisa lintas SKPD.


Satu hal yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa ternyata<br />

di dalam Gugus Tugas yang sudah dibentuk tersebut masih menyisakan<br />

persoalan berupa ketidakjelasan dalam pembagian tugas <strong>dan</strong> tanggung<br />

jawab dari masing-masing institusi. Hal ini tampak jelas ketika Dinas sosial<br />

mempersepsikan tugas <strong>dan</strong> tanggung jawabnya secara berbeda dengan<br />

Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan. lmplikasinya, tugas pertama dari<br />

gugus tugas adalah melakukan penyamaan persepsi mengenai tugas <strong>dan</strong><br />

tanggung jawab serta kewenangan dari masing-masing institusi yang ada<br />

di dalamnya. Hal ini penting untuk menyelaraskan gerak organisasi<br />

sehingga berjalan dengan efisien <strong>dan</strong> efektif.<br />

8.2.6. Partisipasi LSM dalam Penanganan Trafficking<br />

Dalam konteks penanganan trafficking yang terjadi di pulau Batam<br />

terdapat beberapa (sedikit) LSM yang turut berpartisipasi, <strong>dan</strong> bekerja<br />

secara sinergis dengan instansi pemerintah. Satu di antara LSM yang<br />

dapat dikatakan cukup aktif <strong>dan</strong> secara tidak langsung mendapat<br />

pengakuan dari beberapa institusi pemerintah yang menangani issu<br />

trafficking adalah Yayasan Setara Kita. Dalam melakukan kegiatannya<br />

tersebut Yayasan ini tidak menangani traffickemya langsung, melainkan<br />

lebih fokus kepada pemulangan korban, dengan alasan bahwa persoalan<br />

traffickemya sudah ditangani oleh Poltabes Batam. Dalam<br />

implementasinya Yayasan Setara Kita melakukan pendampingan<br />

terhadap korban dari mulai proses identifikasi sampai dengan pemulangan<br />

<strong>dan</strong> reintegrasi. Meskipun Yayasan ini telah memiliki informasi yang<br />

lengkap mengenai identitas korban, namun dalam melaksanakan<br />

pekerjaannya pihak Yayasan Setara Kita selalu berupaya menjaga<br />

kerahasiaan dari kliennya. Hal ini ianggap penting agar korban yang<br />

bersangkutan tidak malu ketika pulang di daerahnya.<br />

Dalam konteks penanganan korban trafficking tersebut Yayasan<br />

Setara Kita bekerjasama dengan pemerintah daerah (Ba<strong>dan</strong><br />

pemberdayaan perempuan), RPK. Bantuan yang diminta oleh pemerintah<br />

kepada Yayasan Setara Kita biasanya dalam bentuk bantuan anggaran.<br />

246


Misalnya ketika pihak pemberdayaan perempuan, Dinas Sosial atau<br />

kepolisian mengalami kesulitan dalam men<strong>dan</strong>ai pemulangan korban <strong>dan</strong><br />

merujuk ke Yayasan Setara Kita untuk membantu, maka pihak yayasan<br />

akan memberikan bantuan. Sementara ini untuk men<strong>dan</strong>ai kegiatannya<br />

Yayasan Setara Kita bekerjasama dengan 10M dengan ketentuan bahwa<br />

setiap pengeluaran yang dikeluarkan untuk menangani korban dilaporkan<br />

kepada 10M.<br />

247<br />

Selain dengan Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan Yayasan Setara<br />

Kita juga bekerjasama dengan instansi pemerintah lainnya yang terkait<br />

dalam penanganan trafficking. Sebagai contoh Yayasan Setara Kita<br />

bekerjasama dengan Poltabes Batam . Ketika ada korban trafficking,<br />

Yayasan Setara Kita pernah diminta oleh polisi untuk melakukan<br />

identifikasi. ldentifikasi ini memiliki posisi penting untuk menentukan status<br />

korban apakah karena trafficking atau bukan. Jadi fungsinya mirip dengan<br />

masalah pengungsi di UNHCR di mana untuk menentukan seseorang<br />

menjadi pengungsi maka harus mendatangkan UNHCR. Dalam hal<br />

trafficking, biasanya institusi pemerintah di Batam mengun<strong>dan</strong>g Yayasan<br />

Setara Kita untuk mengidentifikasi apakah seseorang menjadi korban<br />

trafficking atau bukan. Dalam hal ini Yayasan menggunakan SF atau<br />

Screening Form yang dikembangkan oleh 10M <strong>dan</strong> dijadikan SF nasional<br />

bagi seluruh mitra 10M. lnstitusi pemerintah setempat sering meminta<br />

bantuan Yayasan Setara Kita untuk melakukan identifikasi korban dengan<br />

alasan berbagai kekurangan yang dimiliki instansi pemerintah, baik<br />

menyangkut jumlah SDM, kualitas SDM, keterbatasan anggaran, <strong>dan</strong><br />

sebagainya. Untuk mengatasi hal tersebut pihak Yayasan Setara Kita<br />

menawarkan pelatihan untuk melakukan identifikas bagi petugas instansi<br />

pemerintah. Rencananya hal ini akan dilaksanakan pada tingkat gugus<br />

tugas. Sementara ini BPPKB (Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan Kota<br />

Batam) sudah melakukan identifikasi sendiri, demikian juga dengan unit<br />

PPA kepolisian milik melakukan identifikasi sendiri di shelternya.<br />

Menurut informan dari kepolisian, sejauh ini hubungan Poltabes<br />

dengan LSM tersebut <strong>dan</strong> shelter yang ada cukup baik. Selama ini


Poltabes mendapat informasi yang cukup banyak tentang trafficker dari<br />

institusi tersebut. Hubungan baik dengan LSM terbangun karena di<br />

daerah Batam <strong>dan</strong> Tanjung Pinang sering dilakukan sosialisasi. LSM juga<br />

sering mengun<strong>dan</strong>g dari Poltabes <strong>dan</strong> atau Polda.<br />

248<br />

Kerjasama Yayasan ini dengan Poltabes Batam biasanya<br />

dilakukan setelah korban di BAP oleh Poltabes <strong>dan</strong> kemudian butuh<br />

bantuan untuk proses pemulangan. Dalam hal ini pihak Poltabes<br />

mengontak Yayasan Setara Kita untuk meminta bantuan untuk<br />

pemulangan korban mengingat a<strong>dan</strong>ya keterbatasan <strong>dan</strong> sangat<br />

minimnya anggaran yang dimiliki pemerintah. Mereka hanya memiliki<br />

<strong>dan</strong>a pemulangan korban untuk tiket kapal saja. Berdasarkan permintaan<br />

tersebut, kemudian pihak yayasan dengan bekerja sama dengan 10M<br />

mendatangi shelter milik Poltabes <strong>dan</strong> kemudian mengidentifikasi korban<br />

serta melakukan penilaian untuk memastikan apakah itu betul merupakan<br />

korban trafficking atau bukan. Kalau yang bersangkutan betul-betul<br />

menjadi korban trafficking maka pihak Yayasan Setara Kita akan<br />

berupaya untuk memulangkannya dengan menggunakan <strong>dan</strong>a<br />

pemulangan yang berasal dari 10M. Adapun besarnya <strong>dan</strong>a untuk<br />

pemulangan setiap korban sangat relatif, tergantung dari kebutuhan.<br />

Paling tidak jumlahnya sebesar pengeluaran yang sudah dilakukan<br />

selama korban berada di shelter.<br />

Dalam proses pemulangannya ketika ada korban trafficking dari<br />

suatu daerah, Selama ini proses pemulangan dilakukan sendiri oleh<br />

Yayasan Setara Kita, langsung berkomunikasi dengan keluarga korban.<br />

Dalam hal ini Yayasan Setara bekerjasama dengan LSM yang ada di<br />

daerah asal korban untuk menelusuri alamat <strong>dan</strong> keluarga si korban<br />

dengan memberikan file data korban kepada LSM yang bersangkutan.<br />

Selanjutnya mereka akan menghubungi RT <strong>dan</strong> keluarganya. Selain itu<br />

Yayasan Setara Kita juga bekerjasama dengan polsek, polres, poltabes,<br />

<strong>dan</strong> muspika setempat yang ada di daerah pengirim yang bersangkutan.<br />

Hal ini dijadikan pola karena Klien yang sudah dikembalikan oleh Yayasan<br />

Setara Kita ke daerah asal, selanjutnya akan ditangani oleh LSM


setempat. Mereka biasanya melakukan pemberdayaan <strong>dan</strong> monitoring<br />

terhadap klien yang bersangkutan. Kerja sama yayasan setara dengan<br />

LSM lokal di daerah asal klien biasanya difasilitasi oleh polsek setempat.<br />

Menurut informan dari Poltabes Batam daerah umumnya korban<br />

berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, NTB.<br />

Selama tahun 2005 sampai dengan 2008 korban yang paling banyak<br />

berasal dari daerah Jawa Barat seperti Subang, lndramayu, relatif merata.<br />

Hal senada juga diungkapkan oleh informan dari Yayasan Setara Kita<br />

yang mengatakan bahwa selama ini pemulangan yang pernah dilakukan<br />

meliputi daerah Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,<br />

Palembang, Pa<strong>dan</strong>g, <strong>dan</strong> NTB. Di Sumatera korban yang dipulangkan<br />

yang paling banyak berasal dari Palembang. Untuk tahun 2005 <strong>dan</strong> 2006<br />

yang paling banyak berasal dari Jawa Timur <strong>dan</strong> Jawa Tengah. Untuk<br />

tahun 2007, 2008 <strong>dan</strong> 2009 daerah pemulangan yang paling banyak<br />

adalah Jawa Barat. Untuk daerah Jawa Barat, mereka yang menjadi<br />

korban trafficking <strong>dan</strong> dijadikan sebagai PSK umumnya berasal dari<br />

daerah lndramayu, <strong>dan</strong> Subang. Sementara mereka yang dijadikan TKI<br />

ada juga yang berasal dari Sume<strong>dan</strong>g Cianjur, <strong>dan</strong> Sukabumi. Untuk<br />

daerah Jawa Timur mereka yang menjadi korban trafficking<br />

konsentrasinya lebih banyak dari Surabaya.<br />

Selain kerjasama di atas, dalam menangani masalah trafficking<br />

tersebut Yayasan Setara Kita juga bekerjasama dengan pihak Lapas.<br />

Yayasan Setara Kita secara rutin melakukan pendampingan yakni setiap<br />

hari Selasa <strong>dan</strong> Kamis di Lapas. Kegiatan yayasan Setara adalah<br />

memberikan keterampilan di Lapas, memberikan beasiswa untuk orang<br />

miskin di Batam, perpustakaan.<br />

Selain Yayasan Setara Kita, UIB (Universitas lnternasional Batam)<br />

juga pernah melakukan pendampingan terhadap korban trafficking dengan<br />

bekerjasama dengan YMKK (Yayasan Mitra Kesehatan Keluarga). YMKK<br />

sudah memiliki shelter sendiri <strong>dan</strong> memiliki tempat penitipan anak<br />

meskipun belum begitu berjalan. Sekarang ini se<strong>dan</strong>g dirintis untuk<br />

249


kerjasama dengan pihak pemerintahan kota Batam, khususnya Ba<strong>dan</strong><br />

Pemberdayaan Perempuan tetapi belum ada respons. Konon katanya<br />

Pemko Batam memiliki 6 shelter, tetapi belum jelas karena belum pernah<br />

mengunjungi shelter-shelter tersebut. Seperti YMKK mempunyai PPT<br />

yang bekerjasama dengan Rumah Sakit Bersalin Kasih lbu di Batam<br />

Center. Di PPT tersebut sudah ada dokter <strong>dan</strong> ruang konselingnya juga<br />

yang selalu siap melayani kapanpun korban datang ke sana. Tetapi<br />

sekarang PPT tersebut menghadapi kendala karena dia tidak mungkin<br />

terus di<strong>dan</strong>ai oleh rumah sakit tersebut. Meskipun dokternya committed<br />

dengan masalah trafficking, tetapi lama kelamaan menjadi malu bila harus<br />

menggantungkan pen<strong>dan</strong>aannya kepada RS tersebut sehingga akhirnya<br />

berusaha mengajukan berbagai proposal untuk mencari <strong>dan</strong>a dari sumber<br />

lain, namun hasilnya ternyata tidak maksimal. Bila pemerintah kota Batam<br />

mau menerima, mereka berniat menyerahkan PPT ini kepada pemerintah<br />

karena biaya operasional PPT tersebut sangat tinggi yang tidak<br />

seluruhnya dapat ditanggung oleh pihak Rumah Sakit. Bila disepakati,<br />

maka Rumah Sakit YMKK akan meninggalkannya <strong>dan</strong> pemerintah kota<br />

dapat bekerjasama dengan dokter dari RS tersebut secara langsung.<br />

8.2.7. DPRD Kota Batam<br />

Dalam penanganan trafficking DPRD hanya terlibat dalam<br />

pembuatan perda <strong>dan</strong> pengawasannya saja. Untuk itu selain dilakukan<br />

melalui rapat teknis dengan dinas-dinas, DPRD juga melakukan<br />

pengawasan melalui rapat muspida yang diselenggarakan sebulan sekali.<br />

Hanya saja dalam pertemuan-pertemuan tersebut tidak pernah<br />

diungkapkan permasalahan substansial yang dihadapi dalam<br />

implementasi program. Dari hasil hearing dengan Dinas Sosial laporannya<br />

Jebih bersifat formal saja. Kemudian dalam programnya belum ada<br />

program pencegahan trafficking, yang ada hanya program pemulangan<br />

sehingga yang diminta hanya peningkatan anggaran.<br />

Untuk upaya melancarkan penanganan trafficking pihak DPRD<br />

telah menyeiakan anggarannya yang biasanya ialokasikan di bi<strong>dan</strong>g<br />

250


Kesra. Anggaran tersebut ialokasikan berdasarkan pembahasan masalah<br />

trafficking yang dilakukan di komisi IV DPRD.<br />

Dalam penanganan korban trafficking prioritas utama adalah<br />

menangani mereka yang berangkat secara legal. Namun karena ada<br />

ketidakseimbangan antara in <strong>dan</strong> outnya termasuk dalam hal anggaran,<br />

maka penanganannya menjadi tidak maksimal.<br />

251<br />

Dari paparan di atas mengindikasikan masih ada<br />

ketidaktransparanan dari pihak Pemerintah Kota Batam dalam<br />

mengungkapkan realitas trafficking yang terjadi. Akibatnya anggota DPRD<br />

tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang trafficking. Hal ini tentunya<br />

berimbas pada minimnya alokasi anggaran yang diberikan DPRD dalam<br />

penanganan trafficking. Oleh karena itu untuk solusinya harus dibangun<br />

koordinasi <strong>dan</strong> komunikasi yang lebih intens antara Pemerintah Kota <strong>dan</strong><br />

DPRD Batam.<br />

8.2.8. Masalah Anggaran<br />

Menurut responden dari DPRD Kota Batam, dalam penanganan<br />

trafficking ini sudah ada anggaran yang ialokasikan dalam APBD propinsi<br />

maupun kota, <strong>dan</strong> per<strong>dan</strong>ya pun sudah ada. Namun menurut responden<br />

dari Pemberdayaan Perempuan sejauh ini penanganan trafficking oleh<br />

Pemerintah Kota Batam belum maksimal karena keterbatasan <strong>dan</strong>a.<br />

Pemerintah kota merasakan bahwa untuk menangani masalah trafficking<br />

ini tidak bisa hanya mengandalkan pen<strong>dan</strong>aan dari APBD melainkan<br />

harus ada bantuan dari Pusat. Jadi pemerintah pusat seharusnya sudah<br />

memiliki mapping mengenai permasalahan yang ada di daerah<br />

perbatasan sehingga dapat mengetahui daerah mana saja yang perlu<br />

diberi bantuan. Selain itu, menurut responden DPRD Kota Batam, bila<br />

pemerintah pusat ke daerah "bisanya hanya teriak, tanpa ada follow up".<br />

Harusnya pemerintah pusat membentuk lembaga khusus yang menangani<br />

masalah trafficking ini, kemudian bekerjasama dengan pemerintah daerah<br />

<strong>dan</strong> menyeiakan kebutuhan fasilitas yang diperlukan dalam pelaksanaan<br />

kegiatan programnya. Mungkin pemerintah pusat juga perlu membangun


eberapa sarana rehabilitasi, tidak dibebankan kepada daerah<br />

seluruhnya.<br />

Sejauh ini masalah anggaran ini sudah dibicarakan dengan pihak<br />

<strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong> Departemen Sosial, bahkan<br />

dengan pihak Departemen Luar Negeri. Namun advokasi anggaran<br />

tersebut belum mengalami perubahan. Oleh karena itu dalam menangani<br />

proses reintegrasi korban trafficking, Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />

masih suka minta bantuan dari Dinas Sosial karena dia memiliki anggaran<br />

<strong>dan</strong>a dekonsentrasi seperti untuk makanan <strong>dan</strong> atau akomodasi korban<br />

trafficking. Sebetulnya di dalam anggaran Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />

Perempuan <strong>dan</strong>a seperti itu juga dialokasikan dalam pos operasionalisasi<br />

shelter, tetapi <strong>dan</strong>anya terbatas. Sebagai contoh untuk tahun 2009<br />

anggaran yang dialokasikan adalah untuk 125 korban trafficking dengan 3<br />

kali makan @ Rp 40.000,-/hari. Berdasarkan jumlah tersebut maka setiap<br />

bulannya hanya di posting sekitar 10 orang korban. Selain itu, karen a<br />

berdasarkan ketentuan anggaran harus terukur, maka di Ba<strong>dan</strong><br />

Pemberdayaan Perempuan ada ketentuan bahwa maksimum hanya bisa<br />

menanggung korban selama 3 hari <strong>dan</strong> peraturan di shelter maksimum<br />

adalah 7 hari. Jadi anggaran per bulan yang tersedia di Ba<strong>dan</strong><br />

Pemberdayaan Perempuan adalah 30 OH, sementara faktanya bisa lebih<br />

dari itu, karena ada juga korban trafficking yang tinggal sampai dengan<br />

sebulan lamanya. Jadi bila jumlah korban yang ditangani masih dalam<br />

batas posting anggaran yang tersedia maka akan ditanggulangi sendiri<br />

oleh Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan, tetapi bila jumlahnya lebih dari itu<br />

barulah mencari bantuan dari instansi lain yang memiliki budget untuk<br />

menangani korban trafficking, seperti Dinas Sosial atau dari Yayasan<br />

Setara Kita <strong>dan</strong> sebagainya. Bahkan ka<strong>dan</strong>gkala bisa juga mengeluarkan<br />

uang dari kantong pribadi karena sudah komitmen dari aparat Ba<strong>dan</strong><br />

Pemberdayaan Perempuan. Dalam kaitan dengan bantuan antar instansi,<br />

dengan a<strong>dan</strong>ya Gugus Tugas prosesnya menjadi relatif lebih mudah<br />

karena pencarian bisa dilakukan melalui komunikasi telepon, kalau tidak<br />

ada di APBD kota Batam masih bisa mencari ke propinsi.<br />

252


Menurut responden dari Yayasan Setara Kita, dalam menangani<br />

trafficking ini harusnya pemerintah memiliki langkah yang lebih panjang<br />

daripada LSM yang lebih terbatas. Jadi misalnya dalam kaitan dengan<br />

anggaran, maka pemerintah tidak tepat bicara keterbatasan anggaran,<br />

lebih tepat kalau itu menjadi keluhan bagi LSM. Karena Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />

nomor 21 jelas mengamanatkan bahwa pemerintah harus mengambil<br />

langkah-langkah yang strategis, termasuk dalam hal penganggaran.<br />

Dengan demikian terkesan bahwa pemerintah sendiri melanggar un<strong>dan</strong>g­<br />

un<strong>dan</strong>g, karena tidak melaksanakan kewajiban yang diamanatkan dalam<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor 21 yang mengatur tentang perdagangan orang,<br />

baik itu mengenai pencegahan, penanganan, pemulangan, rehabilitasi,<br />

pendampingan <strong>dan</strong> sebagainya. ltu semua menjadi kewajiban dari<br />

pemerintah, sementara LSM hanya melakukan sebagian kecil yang bisa<br />

dilakukannya. Tetapi kenyataannya ka<strong>dan</strong>gkala posisinya terbalik di mana<br />

pihak LSM lebih agresif yang ditandai dengan selalu berbicara dengan<br />

pihak terkait yang menangani trafficking. Menurut LSM ini munculnya<br />

keterbatasan anggaran pemerintah untuk penanganan trafficking tersebut<br />

karena tidak a<strong>dan</strong>ya komitmen pemerintah untuk menjalankan un<strong>dan</strong>g­<br />

un<strong>dan</strong>g, karena bila memiliki komitmen terhadap un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g tersebut<br />

maka semuanya bisa dianggarkan. Penganggaran tersebut, baik di<br />

daerah atau di pusat, bisa dianggarkan dalam anggaran instansi yang<br />

menjadi leading sektornya, seperti Pemberdayaan Perempuan, Depsos,<br />

atau Kesra. Ketersediaan <strong>dan</strong> kecukupan anggaran ini penting, karena<br />

kekurangan anggaran tersebut berakibat pada tidak optimalnya<br />

penanganan korban trafficking.<br />

253<br />

Yayasan Setara pernah mengadvokasi anggaran untuk<br />

penanganan trafficking di propinsi Kepulauan Riau <strong>dan</strong> tampaknya<br />

anggota DPRD Propinsi cukup responsif. Dalam kaitannya dengan<br />

anggaran, harapannya dalam pertemuan pertama tim Gugus Tugas ,baik<br />

di kota maupun propinsi, mereka harus mengadvokasi anggaran dengan<br />

datang atau minta hearing ke DPRD. Dengan demikian ketika mengajukan<br />

anggaran untuk penanganan trafficking tidak sulit karena mereka sudah


tahu secara persis.Hal ini penting karena ka<strong>dan</strong>g masih ada anggota<br />

Dewan yang berpendapat bahwa korban trafficking tersebut bukan warga<br />

Kepulauan Riau sehingga tidak perlu diprioritaskan.<br />

Sebenarnya masalah besarnya jumlah korban <strong>dan</strong> kebutuhan<br />

anggaran penanganan korban trafficking dapat diprediksi yang dalam<br />

beberapa tahun terakhir ini rata-rata jumlahnya mencapai sekitar 200<br />

orang per tahun. Dalam konteks peraturan ataupun perun<strong>dan</strong>gan masalah<br />

trafficking tidak terpengaruh oleh trend sehingga berbeda dengan masalah<br />

TKI B. Misalnya pemulangan TKI B meningkat ketika ada pressure dari<br />

pemerintah pusat ataupun dari negara tetangga, tetapi trafficking tidak<br />

terpengaruh oleh hal semacam itu karena mungkin masuknya juga secara<br />

ilegal sehingga menjadi kasus, sehingga pulangnya pun menjdi kasus<br />

pula. Namun karena masalah teknis dalam kebijakan APBD maka jumlah<br />

tersebut tentunya tidak dapat dipenuhi semua.<br />

8.2.9. Masalah Koordinasi Dalam Penanganan Trafficking<br />

Secara institusional, masalah trafficking ini tidak bisa ditangani oleh<br />

satu instansi yaitu <strong>Kementerian</strong> Peranan Wanita karena itu merupakan<br />

masalah lintas sektoral. Hal ini sudah pula disadari oleh para pejabat di<br />

Batam karena realitanya banyak sektor yang terkait dengan masalah ini.<br />

Untuk penanganan masalah trafficking koordinasi internal antar<br />

kabupaten/kota di Propinsi Kepulauan Riau cukup intens. Dari sisi<br />

kebijakan <strong>dan</strong> regulasi, apa yang ada sekarang pun dirasa sudah cukup<br />

memadai. Masalahnya penyelesaiannya harus menyeluruh, bukan hanya<br />

di Batam saja yang diselesaikan sementara dari daerah asal terus terjadi<br />

pengiriman sehingga tidak ada habisnya. Oleh karena itu Pemerintah Kota<br />

Batam meman<strong>dan</strong>g perlu melakukan koordinasi lintas daerah. Untuk itu<br />

bersama dengan propinsi Kepulauan Riau, pada tahun 2008, Pemerintah<br />

Kota Batam pernah mendatangi 3 propinsi sending dalam trafficking yaitu<br />

Jawa Barat, Jawa Timur, <strong>dan</strong> NTB. Dalam hal ini Pemerintah Kota Batam<br />

diwakili oleh Kasie Perencanaan Pemberdayaan Perempuan, Kepala<br />

Kantor Pemberdayaan Perempuan, <strong>dan</strong> lstri Gubernur Kepulauan Riau<br />

254


yang juga sebagai anggota DPD. Demikian seriusnya pada saat datang ke<br />

Jawa Barat, rombongan dari Batam dipimpin langsung oleh Asisten I<br />

Gubernur. Koordinasi lintas daerah ini, khususnya dengan daerah<br />

pengirim, dimaksudkan untuk membuat semacam MoU dalam<br />

penanganan trafficking agar beban sosial di Batam jangan terlalu berat<br />

bila harus ditanggulangi sendiri. Harapannya dari koordinasi ini adalah<br />

a<strong>dan</strong>ya tanggung jawab bersama antara Batam ataupun Kepulauan Riau<br />

dengan propinsi sending. Jadi misalnya pihak Kepulauan Riau<br />

memberikan perlindungan sementara, rehabilitasi kesehatan sementara,<br />

pendampingan sementara, <strong>dan</strong> sebagainya, kemudian pihak propinsi<br />

sending menangani pemulangannya. Selain itu agar pemerintah daerah di<br />

Jawa (khususnya aparat desa) tidak terlalu mudah memberikan surat jalan<br />

ataupun surat pindah kepada mereka yang akan bekerja ke Batam.<br />

Permasalahannya, ternyata tidak mudah di dalam melakukan koordinasi<br />

<strong>dan</strong> implementasi antar daerah propinsi tersebut. Dalam birokrasi<br />

pemerintahan koordinasi mudah diucapkan tetapi susah dilaksanakan,<br />

mungkin juga bertambah sulit sebagai akibat dari otonomi daerah.<br />

Sebagai contoh, koordinasi kepada Gubernur Jawa Barat di Bandung<br />

belum berhasil karena dengan berbagai alasan ternyata Gubernur Jawa<br />

Barat tersebut kurang menerima fakta <strong>dan</strong> bahkan cenderung menolak<br />

realita yang diungkapkan oleh pihak Batam bahwa di Jawa Barat terdapat<br />

kantong-kantong sending area. Bahkan salah satu kepala dinasnya<br />

mengatakan bisa saja terjadi bahwa identitas yang bersangkutan<br />

sebenarnya bukan orang Jawa Barat tetapi memalsukan identitasnya atau<br />

mengaku dari Jawa Barat. Sementara dari pihak pemda Batam lebih fokus<br />

pada upaya mencari pemecahan masalah trafficking melalui koordinasi<br />

antar daerah. Persoalannya ketika dibicarakan masalahnya, daerah asal<br />

tidak menyiapkan <strong>dan</strong>a untuk menjemput mereka. Oleh karena itu<br />

terpaksa pihak Pemerintah Kota Batam yang mengeluarkan <strong>dan</strong>a<br />

mengantarkan para korban. Jadi dalam konteks tersebut, persoalannya<br />

buat pihak Batam tidak perlu saling berargumentasi, karena sebagai<br />

pemerintah tentunya memiliki tanggungjawab sosial. Jadi yang perlu<br />

255


dipikirkan adalah bagaimana menyelamatkan korban trafficking. Namun<br />

karena dirasakan bahwa Pemerintah Daerah Propinsi jawa Barat kurang<br />

responsif, maka koordinasi yang dicoba dibangun oleh Pemerintah Kota<br />

Batam pun seolah-olah menemui jalan buntu. Dengan datang ke<br />

Bandung, tadinya, diharapkan bahwa Propinsi Jawa Barat bisa<br />

memfasilitasi untuk koordinasi dengan daerah kabupaten/kota di<br />

bawahnya. Karena tidak a<strong>dan</strong>ya respons yang positif, berarti Pemerintah<br />

Kota Batam perlu melakukan koordinasi langsung dengan<br />

kabupaten/kotanya. Persoalannya dalam melakukan koordinasi tersebut<br />

tidak mungkin bagi Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan untuk berkunjung<br />

berulangkali mengingat a<strong>dan</strong>ya keterbatasan anggaran. Untuk mengatasi<br />

persoalan tersebut sudah diadvokasi dengan meminta bantuan dari<br />

<strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong> juga Menkokesra untuk<br />

difasilitasi agar daerah-daerah yang bersangkutan dapat bertemu.<br />

Harapannya pemerintah pusat mengadvokasi kepada daerah-daerah yang<br />

mempunyai mind set seperti itu dengan memberikan penyadaran terus<br />

menerus dalam pola berfikir para pejabat terkait mengenai pentingnya<br />

koordinasi dalam penanganan masalah trafficking. Melalui pertemuan<br />

tersebut diharapkan terjalin kerjasama antara daerah pengirim <strong>dan</strong> daerah<br />

penerima sehingga penanganan masalah trafficking bisa lebih efisien <strong>dan</strong><br />

efektif. Memang sudah ada respons berupa kunjungan dari kementerian<br />

Pemberdayaan Perempuan atau Menkokesra ke daerah pengirim, namun<br />

sampai sekarang pertemuan antar daerah yang diharapkan tersebut<br />

belum terrealisasikan.<br />

256<br />

Sejauh ini Pemerintah Kota Batam merasakan bahwa koordinasi<br />

dengan Pemerintah Propinsi Jawa Timur sejauh ini lebih responsif.<br />

Bahkan dinas terkait yang ada di bawahnya sering melakukan komunikasi<br />

dengan Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan Batam. Responsivitas tersebut<br />

mungkin terjadi karena di Jawa Timur sudah memiliki PPT (Pusat<br />

Pelayanan Terpadu) yang diposisikan di bawah supervisi Kepolisian <strong>dan</strong><br />

Satpol PP. Untuk Propinsi Jawa Tengah, khususnya Semarang, juga<br />

dirasakan cukup responsif terhadap upaya koordinasi yang dilakukan


Pemerintah Kota Batam. Hanya masih disayangkan shelter yang<br />

dikelolanya tertutup untuk publik <strong>dan</strong> belum menangani masalah<br />

trafficking, karena ternyata shelternya dikhususkan untuk masalah KDRT.<br />

Namun bagaimana pun mereka sudah memperlihatkan respons positif<br />

dalam artian mau mengakomodir apa yang diharapkan oleh pihak Batam.<br />

Seperti telah dikatakan, untuk koordinasi internal di Batam tidak<br />

ada masalah. Sejauh ini tidak ada masalah ego sektoral dalam menangani<br />

masalah trafficking di Batam. Meskipun diakui bahwa masalah advokasi<br />

anggaran masih belum menghasilkan perubahan. Tapi yang<br />

mengkhawatirkan adalah terjadinya antiklimaks berupa kebosanan karena<br />

dari tahun 2004 sampai dengan 2009 jumlah korban trafficking ini tidak<br />

pernah turun. Bila Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan terus menerus<br />

menangani masalah trafficking tetapi jumlah kasusnya tidak juga menurun<br />

maka dikhawatirkan muncul kejenuhan <strong>dan</strong> penolakan dari masyarakat.<br />

Para pejabat terkait <strong>dan</strong> juga LSM sudah menyadari bahwa Batam<br />

sebagai daerah perbatasan yang paling dekat dengan Singapore <strong>dan</strong><br />

Malaysia memiliki daya tarik tersendiri bagi orang Indonesia di luar<br />

Keulauan Riau. Menurut responden dari P4TKI, TKI yang dikirim melalui<br />

Batam 75 % berasal dari daerah Jawa. Mereka yang berangkat dari<br />

Batam lebih banyak tujuan ke Singapore ketimbang Malaysia, tapi<br />

perbedaannya tidak terlalu jauh. Per bulan sekitar 500 sampai 600 TKI<br />

dikirim ke luar melalui Batam. Banyak orang terbujuk untuk bekerja di<br />

Malaysia baik sebagai pekerja formal maupun informal, <strong>dan</strong> yang paling<br />

murah menuju ke sana adalah melalui Batam. Akhirnya Batam terkena<br />

akibatnya, sehingga masyarakat Kepulauan Riau sendiri yang seharusnya<br />

menjadi prioritas menjadi agak terabaikan, padahal di Kepulauan Riau<br />

sendiri banyak masyarakat pesisir di pulau-pulau yang harus ditangani.<br />

Oleh karena itu sekarang sudah mulai menjadi tekanan dari pemerintah<br />

daerah untuk memikirkan masyarakat hinterland. lndikasinya sudah mulai<br />

tampak di mana sekarang ini sudah mulai muncul pendapat baik dari<br />

anggota DPRD maupun masyarakat umum (terutama di kecamatan pulau­<br />

pulau yang ekonominya rendah) yang berpendapat "mestinya kan tidak<br />

257


Batam saja yang bertanggung jawab, pengirimnya juga harus dibebani<br />

juga tanggung jawab". Sekarang sudah mulai muncul keluhan dari<br />

masyarakat tempatan "tolonglah urus kita yang ada di tempatan, jangan<br />

urus lagi orang-orang di perkotaan atau mainland'. Keluhan semacam itu<br />

tentunya harus diperhatikan karena Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan<br />

tidak hanya mengurus masalah trafficking tetapi juga masalah KDRT,<br />

Pengembangan Ekonomi Produktif, Pengarusutamaan Gender. Jadi<br />

trafficking itu hanya menjadi salah satu bagian dari satu bi<strong>dan</strong>g yang<br />

besar yang harus ditangani. Selama ini fokus perhatian terlalu diarahkan<br />

kepada trafficking padahal Pengembangan Ekonomi Produktif untuk<br />

menunjang keluarga malah kurang diperhatikan.<br />

Gambar 11.<br />

Peneliti di<br />

Yayasan<br />

Setara<br />

Kita<br />

Salah seorang peneliti<br />

se<strong>dan</strong>g melakukan<br />

wawancara dengan<br />

Direktur Eksekutif Yayasan<br />

Setara Kita di Batam<br />

Hal yang juga perlu diperhatikan dari paparan di atas adalah bahwa<br />

dengan a<strong>dan</strong>ya otonomi daerah semua orang tidak begitu kelihatan lagi<br />

semangat kesatuan sebagai NKRinya. Jadi yang muncul adalah ego<br />

daerah. Hal ini nampak dari pernyataan yang sering dilontarkan baik itu<br />

DPRD maupun Pemerintah kota Batam yang selalu mengatakan bahwa<br />

"korban adalah bukan dari kita, sementara kita memberi makan mereka".<br />

Selain itu sulitnya membangun koordinasi lintas daerah dalam upaya<br />

menangani masalah trafficking juga memperlihatkan a<strong>dan</strong>ya indikasi ego<br />

daerah.<br />

Selain a<strong>dan</strong>ya koordinasi lintas daerah dengan beberapa daerah<br />

yang memberikan respons positif, Pemda Batam juga melakukan<br />

koordinasi lintas negara yakni dengan dengan KJRI <strong>dan</strong> KBRI yang ada di<br />

258


Malaysia <strong>dan</strong> atau Singapore. Yang dimaksud dengan koordinasi lintas<br />

negara adalah ketika KJRI/KBRI yang ada di Malaysia atau Singapore<br />

akan memulangkan korban trafficking, maka 2 hari sebelum<br />

pemulangannya sudah harus mengirimkan fax mengenai data-data korban<br />

kepada Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan sebagai leading sektor<br />

penanganan trafficking, khususnya yang bestatus TKW karena untuk<br />

kasus lainnya ditangani oleh Dinas Sosial. Kerjasama ini terbangun<br />

karena Batam adalah daerah terdekat, sehingga ketika terjadi<br />

permasalahan trafficking, termasuk buruh migran, maka yang akan<br />

dihubungi oleh KJRI <strong>dan</strong> KBRI tersebut adalah Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />

Perempuan Kota Batam. Disadari pula oleh Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan<br />

Perempuan bahwa bila KJRI melakukan pemulangan langsung maka<br />

<strong>dan</strong>anya akan cukup besar, oleh karena itu mereka transit dulu di Batam<br />

sebelum kembali ke daerah asal. Jadi ketika ada buruh migran yang<br />

dipulangkan, maka Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan akan<br />

menjemputnya di pelabuhan internasional Batam (di Batam Center). Jadi<br />

para korban trafficking, sebelum dikembalikan ke daerah asal tidak<br />

dibiarkan sendiri karena ketika sampai di Batam sudah menjadi<br />

tanggungjawab dari Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan. Mereka<br />

dimasukkan dalam kategori trafficking <strong>dan</strong> penanganannya diperlakukan<br />

sebagai korban trafficking, seperti dalam hal penampungan ataupun<br />

pemulangannya. Mereka diberi perlindungan dengan ditempatkan di<br />

shelter yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Batam. Dalam proses<br />

selanjutnya, Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan mengidentifikasi pihak<br />

korban <strong>dan</strong> menginventarisasi masalah yang dihadapi para TKW tersebut<br />

untuk mengetahui apakah dia menjadi korban karena tidak dibayar gaji<br />

atau penganiayaan atau masalah lainnya. Umumnya korban TKW<br />

tersebut menghadapi masalah tidak dibayar gaji; dianiaya; <strong>dan</strong><br />

diperlakukan tidak sesuai dengan perjanjian baik tertulis maupun lisan.<br />

Menurut responden dari UIB, ka<strong>dan</strong>gkala ada juga korban yang tidak<br />

dibayar gajinya karena sudah ada kesepakatan antara pengguna jasa<br />

dengan PJTKinya di mana pihak pengguna melakukan pembayaran di<br />

259


muka kepada PJTKI yang tidak diketahui oleh pihak korban, sehingga<br />

pihak pengguna tidak mau lagi membayar gaji kepada korban. Atau bisa<br />

juga ada kerjasama antara PJTKI dengan penggunanya sehingga<br />

akhirnya korban harus bekerja terus menerus tanpa digaji.<br />

260<br />

Masalah buruh migran korban trafficking ini bila mampu ditangani di<br />

Batam maka akan ditangani sendiri di Batam <strong>dan</strong> bila tidak mampu maka<br />

akan dialihkan ke Tanjung Pinang. Namun demikian untuk TKI resmi yang<br />

berangkat melalui PJTKI, bila dipulangkan tidak masuk dalam kategori<br />

trafficking karena sudah sesuai prosedur. Dalam konteks ini mereka<br />

dikategorikan sebagai TKI B atau TKI bermasalah <strong>dan</strong> jalur<br />

penanganannya lain yakni langsung ke Tanjung Pinang. Kategorisasi<br />

seperti tersebut memang sudah tepat karena menurut kacamata hukum<br />

bila perjanjian itu merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak (PJTKI<br />

<strong>dan</strong> TKI) maka itu sah. Tetapi masalahnya apa di situ ada unsur penipuan<br />

atau tidak ?, Misalnya iming-iming gaji yang tinggi sehingga korban<br />

terbujuk karena biasanya yang menjadi korban trafficking tersebut<br />

memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga mereka tidak<br />

mengetahui bila di situ ada unsur penipuannya. Bila ada penipuannya<br />

maka itu termasuk dalam kategori trafficking, karena meskipun definisi<br />

tentang trafficking sangat luas termasuk pemindahan <strong>dan</strong> sebagainya,<br />

tetapi secara hukum lebih pada terjadinya jual beli orang, ada <strong>dan</strong>a yang<br />

mengalir di situ, <strong>dan</strong> ada yang menikmati/mengambil keuntungan dari itu.<br />

Dalam realitanya relatif sulit untuk menentukan TKI legal atau<br />

ilegal. Masalahnya ketika berangkat ia pergi secara legal dengan pasport,<br />

tetapi ketika ia kembali <strong>dan</strong> pasportnya ditahan atau dibuang oleh<br />

majikan, sementara si pekerja tidak tahu siapa majikannya, maka menjadi<br />

sulit <strong>dan</strong> pulangnya menjadi ilegal karena tidak memiliki pasport. Biasanya<br />

Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan sudah mengetahui seseorang sebagai<br />

korban trafficking karena pihak KBRI sudah mengelompokkannya <strong>dan</strong><br />

memberitahu identitas korban trafficking tersebut <strong>dan</strong> minta dijemput.


Bila ditelaah tampaknya dalam kasus trafficking tersebut ada faktor<br />

kesengajaan dengan memanfaatkan ketidaktahuan korban. Dalam hal ini<br />

Malaysia mempunyai kesalahan dengan memberikan peluang kepada TKI<br />

untuk masuk ke Malaysia <strong>dan</strong> bekerja di sana. Sistem kependudukan<br />

mereka juga kurang bagus sehingga TKI ilegal bisa masuk ke sana, atau<br />

itu memang sengaja dibiarkan untuk dieksploitasi karena upahnya murah<br />

<strong>dan</strong> sebagainya. Namun demikian kesalahannya tidak bisa hanya<br />

dibebankan kepada Malaysia karena Indonesia juga turut bersalah.<br />

Sebagai contoh, dari sisi dokumennya banyak terjadi kesalahan antara<br />

data yang tercantum dalam dokumen dengan kenyataan yang<br />

sebenarnya.<br />

Dalam kaitan trafficking ini Batam hanya terkena masalah, karena<br />

meskipun mereka berangkat lewat Batam tetapi tidak pernah diberikan<br />

informasi mengenai hal keberangkatan tersebut, sehingga Pemerintah<br />

Kota Batam tidak mengetahuinya. Se<strong>dan</strong>gkan setelah mereka terkena<br />

masalah, mereka dikembalikan lewat Pemerintah Kota Batam. Untuk<br />

mengatasi hal itu Pemerintah Kota Batam telah melaksanakan koordinasi<br />

lintas daerah. Seperti telah diungkapkan terdahulu, karena dari data<br />

korban yang ada yang terbanyak berasal dari Jawa Barat maka Batam<br />

datang ke Propinsi Jawa Barat untuk melakukan kerjasama. Namun dari<br />

koordinasi tersebut diketahui bahwa sebenarnya pemerintah daerah di<br />

daerah asal juga tidak mengetahui bahwa korban yang bersangkutan<br />

terkirim sampai ke Malaysia. Jadi tampak seperti ada mata rantai yang<br />

terputus. Oleh karena itu sebenarnya harus ada kejelasan mengenai mata<br />

rantai dari jaringan pemberangkatannya mulai dari daerah asal, ke daerah<br />

transit (seperti Batam), sampai ke daerah tujuan. Pemberangkatan<br />

tersebut pada saat dilaksanakan harus diketahui persis oleh semua pihak<br />

yang ada dalam mata rantai tersebut. Misalnya bila ada laporannya bahwa<br />

ia direkrut, kemuian terlapor di Disnaker, kemudian diketahui oleh<br />

walikota/bupati <strong>dan</strong> Gubernur mengetahui bahwa dia dikirim lewat Batam<br />

<strong>dan</strong> pihak Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan Batam mengetahui bahwa<br />

dia dikirim ke suatu tujuan, maka tidak akan menjadi masalah.<br />

261


lmplikasinya, untuk mengatasinya, dalam mengirimkan TKW harus<br />

mengikuti jalur yang benar sesuai dengan prosedur yang sudah diatur<br />

oleh Depnaker <strong>dan</strong> daerah pengirimnya juga menyiapkan anggaran untuk<br />

mengantisipasi terjadinya korban trafficking. Untuk kepastian mekanisme<br />

masalah pengiriman ini tentunya perlu dikemas sesuai dengan regulasi<br />

yang ada. Dengan demikian dapat dilakukan tindakan pencegahan karena<br />

pihak Batam tidak hanya tahu ketika sudah ada kejadian korban,<br />

melainkan sudah mengetahui sebelumnya. Oleh karena itu masalah<br />

koordinasi lintas daerah menjadi penting karena untuk<br />

mengatasi/menekan masalah trafficking ini harus merupakan kerja tim,<br />

termasuk dari daerah asal.<br />

262<br />

Dalam konteks pencegahan sebenarnya tidak begitu sulit<br />

seandainya propinsi, kabupaten/kota sending juga mempunyai gugus<br />

tugas tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang sehingga penanganannya<br />

terpadu. Misalnya untuk tugas pencegahan, maka dalam gugus tugas<br />

tersebut ditentukan institusi apa yang harus menanganinya apakah di<br />

dinas pendidikan atau dinas kependudukan atau disnaker, <strong>dan</strong><br />

sebagainya. Karena selama ini daerah pengirim, bahkan pada level<br />

terbawah seperti RT, RW, Kelurahan, atau Kecamatan, ketika terjadi<br />

pemulangan korban seringkali mengatakan bahwa dia tidak mengetahui<br />

bila yang bersangkutan pergi ke Malaysia atau Arab Saudi atau<br />

Singapore, <strong>dan</strong> sebagainya. Oleh karena itu tidak heran bila tiba-tiba<br />

Batam harus menerima korban trafficking yang tidak diketahui asal<br />

muasalnya.<br />

Selain itu, melihat permasalahan sulitnya dalam melakukan<br />

koordinasi lintas daerah propinsi sebagaimana yang dialami pemerintah<br />

kota Batam, tampaknya dibutuhkan intervensi <strong>dan</strong> advokasi dari<br />

pemerintah pusat yang mendorong agar pemerintah daerah pengirim juga<br />

turut memperhatikan masalah trafficking. Namun demikian advokasi yang<br />

dilakukan oleh pemerintah pusat harus melibatkan beberapa kementerian<br />

terkait. Hal ini penting karena realita yang ada menunjukkan bahwa bila<br />

satu perwakilan kementerian datang ke daerah Batam atau Propinsi,


maka yang menghadapinya hanya SKPD tertentu saja. Misalkan kalau<br />

salah satu Deputi Kementrian Pemberdayaan Perempuan datang, maka<br />

yang menghadapinya hanya kepala Ba<strong>dan</strong> Pemberdayaan Perempuan.<br />

Berbeda dengan masa sebelum otonomi daerah di mana siapa pun yang<br />

datang maka pucuk pimpinan daerah yang dikunjungi selalu merespon<br />

dengan baik. Berdasarkan pengamatan Yayasan Setara Kita, Kegagalan<br />

koordinasi lintas propinsi diakibatkan oleh kurang jelinya pemerintah pusat<br />

khususnya Kementrian Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong> Menko Kesra<br />

yang tidak pernah melibatkan Depdagri, sementara dalam era otonomi<br />

daerah ini peran Depdagri sangat krusial. Misalnya bila Dirjen Otonomi<br />

Daerah datang ke Batam, maka semua mulai Gubernur, Walikota, <strong>dan</strong><br />

Bupati datang menghadap. Sementara ini setiap dilakukan koordinasi<br />

nasional menyangkut masalah trafficking selama ini tidak pernah terlihat<br />

a<strong>dan</strong>ya pihak Depdagri. Sebagai contoh ketika Yayasan Setara Kita<br />

terlibat dalam pembuatan SOP/SPM nasional untuk pemulangan korban<br />

tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang tidak tampak melibatkan Depdagri, juga<br />

tidak ada Deplu. Ketika melakukan koordinasi lintas propinsi ke tiga<br />

daerah yaitu NTB, Jawa Barat <strong>dan</strong> Jawa Timur pun yang ada hanya dari<br />

<strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan <strong>dan</strong> dari Menko Kesra,<br />

sementara dari Depdagri tidak ada. Padahal kalau ada dari pihak<br />

Depdagri mungkin responsnya akan sangat baik.<br />

Berdasarkan pertimbangan di atas maka intervensi pemerintah<br />

pusat yang dibutuhkan untuk penanganan trafficking mungkin berbentuk<br />

SKB 4 menteri yakni Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menkokesra,<br />

Menteri Dalam Negeri <strong>dan</strong> Menteri Luar Negeri. Keterlibatan Menteri<br />

Dalam Negeri ini krusial mengingat secara organisasional pemerintah<br />

daerah berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Dengan demikian<br />

diharapkan akan mendapat respons yang baik dari pemerintah propinsi,<br />

sehingga memudahkan dalam melakukan koordinasi yang pada gilirannya<br />

dapat mempercepat penanganan masalah trafficking.<br />

263


8.2.10.Keberadaan Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21 Tahun 2007<br />

tentang Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />

Orang (TPPO)<br />

Sebelum lahir Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21, penanganan hukum<br />

masalah trafficking banyak sekali dipertanyakan oleh aparat penegak<br />

hukum, karena selama ini dalam menangani kasus trafficking tidak<br />

memiliki payung hukum yang kuat. Dalam prakteknya para penegak<br />

hukum hanya menggunakan KUHAP <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Tenaga Kerja<br />

yang tidak diyakini apakah traffickemya dapat dijerat dengan pasal hukum<br />

yang bersangkutan atau tidak. Dengan dikeluarkannya Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />

21 aparat penegak hukum sudah mulai menggunakannya dalam<br />

penanganan kasus trafficking. lmplikasi lainnya adalah bahwa dalam<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g nomor 21 juga diamanatkan untuk membentuk gugus<br />

tugas nasional, propinsi, <strong>dan</strong> kabupaten/kota. Dengan begitu cukup<br />

memperjelas tugas <strong>dan</strong> tanggung jawab dari masing-masing institusi.<br />

Hanya saja yang lebih penting sekarang ini adalah sosialisasi dari<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g nomor 21 tersebut di kalangan penegak hukum karena<br />

sejauh ini belum ada kesamaan persepsi di antara mereka. Pada tingkat<br />

nasional hal tersebut sudah ada inisiasi, seperti di Kejaksaan Agung<br />

sudah dibentuk task force trafficking yang tugasnya mungkin melakukan<br />

sosialisasi ke kejaksaan kabupaten/kota. Demikian juga dengan<br />

Bareskrim Kepolisian sudah ada task forcenya. Namun pada tingkat<br />

daerah seperti Batam belum ada pembentukan task force semacam itu.<br />

Yang paling penting Mahkamah Agung harus juga mempunyai task force<br />

untuk melakukan sosialisasi kepada para hakim <strong>dan</strong> pengadilan, karena<br />

dalam Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g 21 ada salah satu pasal yang mengatakan<br />

'dibolehkan saksi korban bersaksi di bawah sumpah <strong>dan</strong> tidak harus<br />

datang di persi<strong>dan</strong>gan' tapi pemahaman di antara mereka sendiri tidak<br />

seragam. Sebagai contoh kasus, seorang anak harus di datangkan<br />

kembali dari kampungnya di Jawa Barat oleh Yayasan Setara Kita untuk<br />

bersaksi di persi<strong>dan</strong>gan. Hal ini tentunya membutuhkan biaya yang cukup<br />

264


mahal termasuk keamanannya. Padahal dalam pasal itu jelas<br />

diperbolehkan tidak hadir. Keberadaan task force tersebut di MA sangat<br />

krusial karena sudah biasa terjadi di Indonesia di mana untuk<br />

memperbaiki kondisi aparat penegak hukum terbawah pun harus ada<br />

instruksi (fatwa) dari yang paling tinggi. Bila yang mengatakan atau<br />

mempersepsikan hukum tersebut dari kalangan lain, meskipun dibuka <strong>dan</strong><br />

dibacakan pasal dalam Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>gnya maka tidak akan dihiraukan,<br />

kecuali kalau hal tersebut sudah diterjemahkan <strong>dan</strong> disosialisasikan<br />

secara jelas oleh jenjang yang paling atas.<br />

265


BAB9<br />

IMPLIKASI KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN<br />

PENANGGULANGANPERDAGANGANPEREMPUAN<br />

9.1. Kelemahan Hukum Positif Dalam Upaya Pencegahan<br />

<strong>dan</strong> Penanggulangan Perdagangan Perempuan<br />

Beberapa tahun terakhir ini, pihak yang berwajib telah banyak<br />

melakukan tindakan hukum kepada para trafficker <strong>dan</strong> memproses<br />

mereka secara hukum serta mengajukannya ke Pengadilan. Namun pihak<br />

kepolisian, kejaksaan, advokaU pengacara <strong>dan</strong> pengamat yang peduli<br />

terhadap masalah perdagangan orang mengeluhkan a<strong>dan</strong>ya kendala di<br />

bi<strong>dan</strong>g perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang menyebabkan hukuman yang<br />

diberlakukan kepada trafficker tidak cukup berat <strong>dan</strong> tidak menimbulkan<br />

efek jera bagi mereka. 59<br />

Menurut Harkristuti Harkrisnowo 60 , pengaturan tentang<br />

perdagangan orang dalam perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan Indonesia yang ada,<br />

dinilai sangat kurang memadai dikaitkan dengan luasnya pengertian<br />

tentang perdagangan orang sehingga tidak dapat digunakan untuk<br />

menjaring semua perbuatan dalam batasan yang berlaku sekarang.<br />

Menurutnya, ada beberapa pasal dalam KUHP yang dapat digunakan<br />

untuk menjaring sebagian perbuatan perdagangan orang walaupun tak<br />

lepas dari berbagai kelemahan.<br />

Pasal 297 KUHP secara khusus mengatur perdagangan<br />

perempuan <strong>dan</strong> anak laki-laki di bawah umur. Dilihat dari sudut korban,<br />

59 Human Trafficking: Upaya Penceghan Dan penanggulangan Terpadu terhadap Perdagangan<br />

Perempuan, Kasus Batam. Laporan Akhir Tahun 2009, Kegiatan Program lnsentif Bagi Peneliti<br />

<strong>dan</strong> Perekayasa, Depdiknas- LIP!.<br />

60 Harkristuti Harkrisnowo, 2003.0p.cit.


hampir seluruh kasus yang ditemukan korbannya adalah perempuan <strong>dan</strong><br />

anak-anak di bawah umur, termasuk bayi.<br />

Kelemahan lain dari Pasal 297 KUHP ini adalah hanya membatasi<br />

ruang lingkup pada eksploitasi seksual, artinya pasal ini baru dapat<br />

menjaring perdagangan manusia apabila korbannya digunakan untuk<br />

kegiatan yang bersifat eksploitasi seksual, padahal ada bentuk-bentuk<br />

eksploitasi lain yang menjadikan korbannya sebagai tenaga kerja,<br />

pembantu rumah tangga, bahkan untuk adposi ilegal anak <strong>dan</strong> bayi.<br />

Kendati dalam kenyataannya, tujuan eksploitasi seksual merupakan<br />

bagian terbesar dalam perdagangan manusia, khususnya perempuan <strong>dan</strong><br />

anak-anak, namun tidak dapat dipungkiri a<strong>dan</strong>ya bentuk -bentuk lain yang<br />

tujuan untuk menjadikan korban sebagai tenaga kerja, pembantu rumah<br />

tangga, bahkan untuk perdagangan anak <strong>dan</strong> bayi tujuannya adalah untuk<br />

adopsi (dalam hal ini maksudnya adopsi ilegal).<br />

Permasalahan lain yang berkaitan dengan Pasal 297 KUHP adalah<br />

tentang batas usia belum dewasa (di bawah umur) bagi anak laki-laki<br />

yang diperdagangkan. Seperti diketahui, dalam KUHP tidak ada satu<br />

ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia belum<br />

dewasa ataupun usia dewasa. Dalam pasal-pasal yang mengatur tentang<br />

korban di bawah umur, ada pasal yang hanya sekedar menyebutkan<br />

bahwa korbannya harus di bawah umur, tetapi ada pula pasal-pasal yang<br />

secara khusus menyebutkan usia 12 tahun, 15 tahun, 17 tahun sehingga<br />

tidak ada patokan yang jelas untuk masalah umur ini. Sementara itu,<br />

menurut Burgerligh Wetbook (BW), usia belum dewasa adalah di bawah<br />

21 tahun atau belum menikah, sementara menurut Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia belum dewasa<br />

adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah<br />

melangsungkan perkawinan. Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 3 Tahun 1997 tentang<br />

Pengadilan Anak juga menyatakan bahwa anak adalah orang yang<br />

mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun <strong>dan</strong> belum<br />

pernah kawin'. Di sini dapat ditafsirkan bahwa seseorang di bawah umur<br />

18 tahun yang su<strong>dan</strong> kawin berarti tidak masuk kategori 'anak' lagi. Lebih<br />

267


lanjut dalam Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan<br />

Anak disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah "seseorang<br />

yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam<br />

kandungan". Mengenai batasan usia ini harus ada satu ketentuan yang<br />

tegas agar hanya ada satu pengertian.<br />

Demikian juga dengan penggunaan pasal 324 KUHP. Pasal ini pun<br />

sesungguhnya telah melarang perbuatan yang dapat dikategorikan<br />

sebagai perdagangan manusia. Tidak berbeda dengan pasal 297 KUHP,<br />

dalam pasal inipun disebutkan obyeknya secara khusus, yaitu budak<br />

belian. Dengan demikian keberlakuan pasal ini sempit sekali. Dengan<br />

telah dihapusnya perbudakan di Indonesia, maka menjadi pertanyaan,<br />

apakah berarti pasal ini harus dianggap tidak berlaku lagi, karena hal yang<br />

diaturnya telah dihapuskan. Seolah-olah pasal ini telah dicabut sejalan<br />

dengan dihapuskannya perbudakan di Indonesia, karena dalam<br />

kenyataanya pasal ini memang tidak pernah disinggung apalagi dibahas<br />

dalam pembicaraan tentang perdagangan manusia.<br />

Di samping Pasal 297 KUHP, Pasal 324 juga dapat dipergunakan<br />

untuk menjaring sebagian perbuatan perdagangan orang karena pasal ini<br />

melarang perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perdagangan<br />

manusia, namun obyeknya disebutkan secara khusus yaitu budak belian<br />

sehingga keberlakuan pasal ini menjadi sempit sekali. Sesungguhnya<br />

untuk menjaring para penjual tenaga kerja, pasal ini dapat untuk<br />

digunakan. Meskipun tentunya mengun<strong>dan</strong>g perdebatan tersendiri,<br />

tidakkah mengkategorikan tenaga kerja sebagai budak belian berarti<br />

melakukan penafsiran analogi ataukah hanya sekedar memperluas arti<br />

kata sesuai dengan perkembangan masyarakat ?<br />

Dalam kenyataannya, kendala dalam perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan<br />

Indonesia untuk masalah perdagangan manusia, tidak hanya mengenai<br />

hukum materilnya. KUHAP sebagai ketentuan yang mengatur proses<br />

beracara pi<strong>dan</strong>a, ternyata dinilai sudah kurang memadai untuk menangani<br />

kasus-kasus yang terjadi saat ini, misalnya dalam hal organized crime.<br />

268


Pengungkapan <strong>dan</strong> pembuktian kasus tindak pi<strong>dan</strong>a yang dilakukan oleh<br />

sindikat, yang biasanya banyak terjadi dalam hal perdagangan manusia,<br />

memerlukan ketentuan khusus terutama yang berkaitan dengan para<br />

korbannya. Harus ada ketentuan yang memberikan perlindungan pada<br />

mereka, antara lain misalnya dalam hal pemberian kesaksian yang tidak<br />

harus dilakukan di depan persi<strong>dan</strong>gan. Ketentuan ini dibuat dengan<br />

maksud menghindarkan korban dari tindakan balas dendam organisasi si<br />

pelaku.<br />

Sebagai norma baru yang diatur dalam instrumen internasional<br />

pemberantasan perdagangan orang, maka sudah barang tentu karakter<br />

<strong>dan</strong> unsur substansi hukum yang dikandungnya sama sekali norma baru<br />

dalam hukum positif di Indonesia. Karena itu, tidak diperoleh pa<strong>dan</strong>an<br />

yang konkruen apalagi persis serupa jika dirujuk ke dalam norma hukum<br />

nasional. Baik hukum pi<strong>dan</strong>a yang sudah terkodefikasi dalam KUHP<br />

maupun hukum nasional lainnya yang tersebar di luar KUHP. Misalnya<br />

saja rumusan kejahatan perdagangan orang, KUHP tidak memiliki<br />

pa<strong>dan</strong>an yang bisa mengikuti alur normatif <strong>dan</strong> unsur yang diatur dalam<br />

Protokol. Bahkan dalam RUU KUHP yang se<strong>dan</strong>g disiapkan sekalipun,<br />

rumusan kejahatan perdagangan orang versi Pasal 544 RUU KUHP<br />

sungguh tidak memadai.<br />

Oleh karena banyak unsur perbuatan yang terabaikan. Pembuatan<br />

draf RUU KUHP Pasal 544 justru (apabila disahkan) menghilangkan<br />

sejumlah unsur sehingga jelas hanya kriminalisasi terbatas saja atas<br />

kejahatan perdagangan orang.<br />

Rumusan yang serupa dengan Pasal 544 RUU KUHP, ditemukan<br />

dalam rumusan Pasal 3 Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />

Orang (RUU PTPPO). Dengan demikian, antara RUU KUHP Pasal 544<br />

<strong>dan</strong> RUU PTPPO Pasal 3, sating mengambil alih.<br />

269<br />

Jika · dibandingkan dengan rumusan dalam Protokol maka secara<br />

jelas dapat diidentifikasi a<strong>dan</strong>ya kelemahan dalam merumuskan


pengertian perbuatan perdagangan orang. lni adalah sumber utama<br />

dalam meloloskan pelaku kejahatan trafficking.<br />

Dalam pengertian kejahatan perdagangan orang, sebenarnya, tidak<br />

memberikan unsur persetujuan (by consent) dari korban. Karena tidak lagi<br />

dipersoalkan ada atau tidaknya unsur persetujuan korban apabila<br />

dilakukan bentuk-bentuk modus perbuatan yang dilakukan untuk<br />

perdagangan orang. Kehilangan elemen ini dalam rumusan pasal akan<br />

menjadi dalih untuk membebaskan pelaku, karena selalu dikemukakan<br />

a<strong>dan</strong>ya persetujuan korban.<br />

Karena dalam banyak kasus <strong>dan</strong> praktek perdagangan orang yang<br />

muncul di lapangan, pelaku kerapkali berdalih bahwa korban yang<br />

dibawanya "sudah setuju", sudah ada "kehendak sendiri dari korban",<br />

"korban mau <strong>dan</strong> setuju ikuf'. Apalagi jika korbanya adalah anak-anak<br />

sehingga elemen sudah a<strong>dan</strong>ya persetujuan dari korban sudah diterima<br />

secara normatif tidak diperlukan lagi. Namun, dalam RUU KUHP Pasal<br />

544, unsur persetujuan ini tidak dieksplisitkan ke dalam pasal 544 RUU<br />

KUHP.<br />

270<br />

Dalam Pasal 544 RUU KUHP, perbuatan yang dilarang dipersempit<br />

hanya untuk tujuan eksploitasi. Namun tidak secara eksplisit dikemukakan<br />

eksploitasi seksual <strong>dan</strong> eksploitasi ekonomi seperti dalam Protokol.<br />

Selain itu, dalam Protokol bukan saja maksud perbuatan<br />

mengakibatkan atau bertujuan eksploitasi, namun bisa juga terjadinya<br />

perhambaan <strong>dan</strong> transfer organ. Oleh karena itu, Pasal 544 RUU KUHP<br />

mengeliminir banyak unsur dalam Protokol. lmplikasinya, jika tidak ada<br />

unsur eksploitasi, sebagaimana dalam rumusan RUU KUHP <strong>dan</strong> UU<br />

PTPPO, maka bukanlah trafiking. Se<strong>dan</strong>gkan eksploitasi, dalam kasus<br />

jual beli bayi untuk transfer organ, tidak dapat diidentifikasi eksploitasi atas<br />

korban.<br />

Secara umum, hukum nasional di Indonesia belum<br />

mengintegrasikan seluruh unsur dalam Protokol pemberantasan<br />

perdagangan orang. Karena itu, kelemahan dalam mengharmonisasikan


- . -<br />

RUUPTPPO Pasal RUU KUHP Pasal<br />

Kesaksian palsu,<br />

menyampaikan alat bukti<br />

palsu, atau mempegaruhi<br />

saksi, atau penyerangan atas<br />

saksi, petugas pengadilan<br />

Mencegah, merintangi,<br />

menggag-alkan penyidikan,<br />

penuntut


kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan derita secara fisik,<br />

psikologis, <strong>dan</strong> seksual.<br />

Dalam UU PTPPO, pemberatan hukuman atas korban anak yang<br />

diperdagangankan oleh orangtua atau walinya yang sah, dapat dijatuhkan<br />

hukuman tambahan sepertiga dari pi<strong>dan</strong>a maksimum. Terkesan norma<br />

pemberatasan hukuman itu bermanfaat, namun tidak secara kuat<br />

mengikat hakim oleh karena hakim dapat mengelak dengan<br />

menggunakan kata "dapat", yang boleh diterapkan boleh tidak. Sehingga<br />

tidak merupakan hukum memaksa (imperatif) bagi hakim.<br />

Pemberatan hukuman ini relevan jika secara sistematis dirujuk<br />

dengan Pasal 58 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi<br />

Manusia, yang menegaskan bahwa orangtua atau wali atau pengasuh<br />

anak melakukan segala bentuk penganiayaan, penelantaran, perlakuan<br />

buruk <strong>dan</strong> pelecehan seksual, termasuk perkosaan <strong>dan</strong> atau pembunuhan<br />

terhadap anak yang seharusnya dilindunginya, maka harus dikenakan<br />

pemberantasan hukuman. Pasal ini bisa dipergunakan kendati tidak<br />

secara eksplisit menyebutkan kejahatan perdagangan anak di dalamnya.<br />

Dalam UU PTPPO, masalah pemulangan (repatriasi) korban<br />

perdagangan orang hanya diatur dalam satu pasal 44 RUU PTPPO.<br />

Padahal, dalam totalitas Protokol, masalah repatriasi iatur dalam banyak<br />

aspek. Sebab, repatriasi bukan saja masalah pemulangan saja, namum<br />

memastikan bagaimana korban memperoleh kembali hak-haknya atas<br />

dokumen perjalanan sementara), pengembalian hak-hak pribadinya,<br />

perawatan sebelum repatriasi, <strong>dan</strong> perlindungan fisiknya dari kejaran<br />

sindikat.<br />

Dengan demikian, norma Pasal 44 ayat (1) UU PTPPO masih<br />

hampa <strong>dan</strong> lemah untuk memberikan kepastian hukum dalam melindungi<br />

korban yang berada di luar negeri. Belum lagi untuk memastikan siapakah<br />

yang bertindak mewakili atas nama negara di luar negeri. Apakah yang<br />

mewakili Indonesia adalah KBRI - seperti yang diatur dalam UU No. 37<br />

Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.<br />

274


sangat diskriminatif terhadap anak, <strong>dan</strong> membangun konstruksi<br />

perlindungan yang sama dengan orang dewasa. Suatu pan<strong>dan</strong>gan yang<br />

keliru jika dibandingkan dengan prinsip-prinsip kepentingan terbaik bagi<br />

anak (the best interest of the child), pendekatan khusus dalam proses<br />

pemeriksaan hukum, memosisikan anak bukan pelaku, tidak a<strong>dan</strong>ya<br />

persetujuan anak, ketidakmampuan anak bertindak mandiri, <strong>dan</strong> berbagai<br />

kerentanan anak lainnya.<br />

Bahkan, jika dibandingkan dengan norma lainnya dalam UU<br />

PTPPO, dapat ditegaskan bahwa UU ini lebih cenderung hanya<br />

melakukan kriminalisasi saja, namun banyak melupakan aspek<br />

perlindungan, repatriasi, <strong>dan</strong> rehabilitasi kepada anak-anak korban<br />

perdagangan orang. Padahal, secara teoritis pembentukan hukum baru<br />

dianggap progresif apabila memenuhi beberapa indikator, di antaranya:<br />

(1) Apakah norma hukum tentang kejahatan perdagangan orang yang<br />

sudah ada -- jika dibandingkan dengan instrumen/konvensi internasional -­<br />

telah memuat norma hukum baru yang melindungi korban; (2) Apakah<br />

sudah menciptakan pelayanan standar yang semakin tinggi, sehingga<br />

memberikan kepastian hukum secara sangat terinci, lengkap, <strong>dan</strong> tidak<br />

dapat ditafsir lain atau multi tafsir; Dari UU PTPPO dewasa ini masih<br />

belum memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak sebagai<br />

korban perdagangan orang.<br />

276<br />

Indonesia juga telah meratifikasi konvensi hak anak, maka<br />

Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang<br />

termaktub di dalam Konvensi Hak Anak (Lihat Konvensi Hak Anak Tahun<br />

2000 hal. 121 ). Dalam substansi atau materi Konvensi Hak Anak<br />

melingkupi segenap hak yang secara tradisional melekat atau dimiliki<br />

anak sebagai manusia <strong>dan</strong> hak-hak anak sebagai hak anak yang<br />

memerlukan perlakuan <strong>dan</strong> perlindungan khusus. Konvensi Hak Anak<br />

terdiri dari 54 (lima puluh empat) pasal yang berdasar materi hukumnya<br />

mengatur mengenai hak-hak anak <strong>dan</strong> mekanisme implementasi hak anak<br />

oleh negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak.


Materi hukum hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak tersebut<br />

dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak:<br />

1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival right), yaitu hak-hak<br />

anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak-hak anak untuk<br />

melestarikan <strong>dan</strong> mempertahankan hidup (the rights of life) <strong>dan</strong> hak<br />

untuk memperoleh standar kesehatan yang tertinggi <strong>dan</strong> perawatan<br />

yang sebaik-baiknya.<br />

2. Hak terhadap perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak<br />

dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari<br />

diskriminasi, tindak kekerasan, <strong>dan</strong> keterlantaran bagi anak yang telah<br />

mempunyai keluarga <strong>dan</strong> bagi anak-anak pengungsi.<br />

3. Hak untuk tumbuh-kembang (development right), yaitu hak-hak<br />

anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi segala bentuk<br />

pendidikan (formal <strong>dan</strong> nonformal) <strong>dan</strong> hak untuk mencapai standar<br />

hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, <strong>dan</strong><br />

fisik anak.<br />

4. Hak untuk berpartisipasi (participation right), yaitu hak-hak anak<br />

dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan<br />

pendapat dalam segala hak yang mempengaruhi anak.<br />

Ada sejumlah kesenjangan yang perlu diperhatikan <strong>dan</strong> diperbaiki<br />

di masa yang akan datang. Walaupun telah ada peraturan perun<strong>dan</strong>g­<br />

un<strong>dan</strong>gan yang melindungi anak, perlu ada harmonisasi dalam berbagai<br />

peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan, termasuk menyelaraskan dengan<br />

standar internasional. 62 Sebagai contoh, usia anak masih berbeda-beda<br />

dalam berbagai peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan. Dalam UU Perkawinan,<br />

selain anak perempuan menetapkan usia 16 tahun sebagai batas<br />

diperbolehkannya anak perempuan untuk menikah, ada pasal yang<br />

mengijinkan anak untuk menikah di bawah usia 16 tahun sepanjang<br />

62 lihat Susanti, B. et al. Hak Anak di Indonesia: Hukum, Kebijakan <strong>dan</strong> Prakteknya. Laporan<br />

diberikan kepada UNICEF, 2006; Save the Children. Tinjauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak<br />

di Indonesia 1990-2010. Jakarta: Save the Children (2010); Kemensos Rl <strong>dan</strong> UNICEF. Kajian<br />

atas Sistem Kesejahteraan Sosial untuk Anak <strong>dan</strong> Keluarga. Jakarta: Kemensos Rl <strong>dan</strong> UNICEF ,<br />

2010<br />

277


mendapat ijin orang tuanya. Pasal ini jelas tidak selaras dengan UU<br />

Perlindungan Anak yang mewajibkan orang tua menjaga agar tidak terjadi<br />

pernikahan usia dini. Beberapa instrumen hukum internasional, seperti<br />

Protokol KHA mengenai penjualan anak, prostitusi anak, <strong>dan</strong> pornografi<br />

anak belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.<br />

Penguatan kapasitas penegak hukum juga masih menunjukkan<br />

kesenjangan karena masih ada aparat penegak hukum yang belum<br />

memahami, misalnya, UU Perlindungan Anak, UU PTPPO. Penegakan<br />

hukum juga merupakan elemen yang perlu diperkuat karena walaupun<br />

banyak kasus perlindungan anak termasuk perdagangan anak yang<br />

terjadi, masih sedikit kasus yang dibawa ke pengadilan.<br />

Sementara itu terdapat permasalahan di antara penerapan unsur<br />

pasal yang ada pada Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 39<br />

Tahun 2004 tentang Perlindungan Ketenagakerjaan dengan Un<strong>dan</strong>g­<br />

Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang<br />

Pemberantasan <strong>dan</strong> Penanggulangan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />

Orang, seperti pada tabel berikut:<br />

278


Tabel 6.<br />

ldentifikasi Permasalahan Dalam Perdagangan Orang<br />

Dengan Membandingkan Penerapan Unsur Pasal<br />

Antara UU 39 /2004 Dengan UU 21 /2007<br />

No Pasal Dalam UU 34/2004 Permasalahan Yang Pasal Dalam UU 21/2007 Permasalahan Yang<br />

Muncul Muncul<br />

1. PASAL 4:<br />

Orang perseorangan<br />

dilarang menempatkan<br />

warga negara Indonesia<br />

untuk bekerja di luar<br />

negeri.<br />

Penjelasan Pasal 4:<br />

Menempatkan warga<br />

negara Indonesia dalam<br />

pasal ini mencakup<br />

perbuatan dengan<br />

sengaja memfasilitasi<br />

atau mengangkut atau<br />

memberangkatkan warga<br />

negara Indonesia untuk<br />

bekerja pada Pengguna<br />

di luar negeri baik dengan<br />

memungut biaya maupun<br />

tidak dari yang<br />

bersangkutan.<br />

PASAL 1:<br />

Perdagangan Orang<br />

adalah tindakan<br />

perekrutan,<br />

pengangkutan,<br />

penampungan,<br />

pengiriman, pemindahan,<br />

atau penerimaan<br />

seseorang dengan<br />

ancaman kekerasan,<br />

penggunaan kekerasan,<br />

penculikan, penyekapan,<br />

pemalsuan, penipuan <strong>dan</strong><br />

penyalahgunaan<br />

kekuasaan atau posisi<br />

rentan, penjeratan uang<br />

atau memberikan bayaran<br />

atau manfaat, sehingga<br />

memperoleh persetujuan<br />

dari orang yang<br />

memegang kendali atas<br />

orang lain tersebut, baik<br />

yang dilakukan di dalam<br />

negara maupun antar<br />

negara, untuk tujuan<br />

ekspolitasi atau<br />

mengakibatkan orang<br />

tereksploitasi.<br />

279<br />

Perekrutan (gugus tugas<br />

pencegahan <strong>dan</strong><br />

penanganan Tindak<br />

Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />

Orang)<br />

Perekrutan adalah<br />

tindakan yang meliputi<br />

mengajak,<br />

mengumpulkan,<br />

membawa, atau<br />

memisahkan seseorang<br />

dari keluarga atau<br />

komunitasnya.


No Pasal Dalam UU 34/2004 Permasalahan Yang Pasal Dal m UU 21/2007 Permasalahan Yang<br />

Muncul a Muncul<br />

2. Pasal34:<br />

(1) Proses perekrutan<br />

didahuJui dengan<br />

memberikan<br />

informasi kepada<br />

caJon TKJ sekurangkurangnya<br />

tentang:<br />

a. tala cara<br />

perekrutan;<br />

b. dokumen yang<br />

diperlukan;<br />

c. hak <strong>dan</strong> kewajiban<br />

caJon TKJ/TKJ;<br />

d. situasi, kondisi,<br />

<strong>dan</strong> resiko di<br />

negara tujuan; <strong>dan</strong><br />

e. tala cara<br />

perlindungan bagi<br />

TKI.<br />

(2) Jnformasi<br />

sebagaimana<br />

dimaksud pada ayat<br />

(1), disampaikan<br />

secara Jengkap <strong>dan</strong><br />

benar.<br />

(3) Jnformasi<br />

sebagaimana<br />

dimaksud pada ayat<br />

(1) <strong>dan</strong> ayat (2), wajib<br />

mendapatkan<br />

persetujuan dari<br />

instansi yang<br />

bertanggung jawab di<br />

bi<strong>dan</strong>g<br />

ketenagakerjaan <strong>dan</strong><br />

disampaikan oJeh<br />

peJaksana<br />

penempatan TKJ<br />

swasta.<br />

Penjelasan Ayat (2):<br />

Agar informasi dapat<br />

diterima secara benar<br />

oJeh masyarakat, harus<br />

digunakan bahasa yang<br />

mudah dipahami<br />

Sampai dengan saat ini<br />

beJum ada data tentang<br />

perekrutan diJakukan oleh<br />

PPTKIS (PJTKI sebeJum<br />

keluar UU no 39<br />

tahun2004) melaJui Dinas<br />

Tenaga Kerja di daerah<br />

perekrutan, dalam arti<br />

CaJon TKJ yang berminat<br />

untuk kerja ke Luar<br />

Negeri belum diberikan<br />

sarana/ fasiJitas untuk<br />

mendaftarkan diri ke<br />

Dinas tenaga Kerja<br />

Setempat.<br />

Penyuluhan yang<br />

dilakukan dalam rangka<br />

untuk merekrut CaJon TKI<br />

<strong>dan</strong> memberikan<br />

informasi awal juga tidak<br />

pernah di berikan.<br />

280<br />

Apa perbedaan yang<br />

dimaksud perekrutan<br />

daJam UU no 39 tahun<br />

2004 dengan perekrutan<br />

yang dimaksud daJam UU<br />

21 tahun 2007.<br />

DaJam kontek<br />

perdagangan <strong>dan</strong><br />

penempatan TKJ, yang<br />

menjadai objek<br />

perekrutan adaJah samasama<br />

orang, orang yang<br />

menjadi objek untuk di<br />

perdagangkan <strong>dan</strong> orang<br />

yang dijadikan sebagai<br />

komoditi eksport yang<br />

sangat menjanjikan<br />

terJebih dari seJisih<br />

remitens yang ada<br />

selama TKJ bekerja di luar<br />

negeri, ada pihak yang<br />

menerima keuntungan,<br />

apakah itu orang<br />

perseorangan <strong>dan</strong> juga<br />

termasuk Negara<br />

menikmati keuntungan<br />

tersebut.


No Pasal Dalam UU 34/2004 Permasalahan Yang Pasal Oalam UU 21/2007 Permasalahan Yang<br />

Muncul Muncul<br />

3. Pasal35:<br />

Perekrutan calon TKI oleh<br />

pelaksana penempatan<br />

TKI swasta wajib<br />

dilakukan terhadap calon<br />

TKI yang Ielah memenuhi<br />

persyaratan:<br />

Penjelasan Pasal 35:<br />

Dalam prakteknya TKI<br />

yang bekerja pada<br />

Pengguna perseorangan<br />

selalu mempunyai<br />

hubungan personal yang<br />

intens dengan Pengguna,<br />

yang dapat mendorong<br />

TKI yang bersangkutan<br />

berada pada keadaan<br />

yang rentan dengan<br />

pelecehan seksual.<br />

Mengingat hal itu, maka<br />

pada pekerjaan tersebut<br />

diperlukan orang yang<br />

betul-betul matang dari<br />

aspek kepribadian <strong>dan</strong><br />

emosi. Dengan demikian<br />

resiko terjadinya<br />

pelecehan seksual dapat<br />

diminimalisasi.<br />

a. berusia sekurangkurangnya<br />

18 (del a pan<br />

belas) tahun kecuali<br />

bagi calon TKI yang<br />

akan dipekerjakan<br />

pada Pengguna<br />

perseorangan<br />

sekurang-kurangnya<br />

berusia 21 (dua puluh<br />

satu) tahun;<br />

b. sehat jasmani <strong>dan</strong><br />

rohani;<br />

c. tidak dalam keadaan<br />

hamil bagi calon<br />

tenaga kerja<br />

perempuan; <strong>dan</strong><br />

d. berpendidikan<br />

sekurang-kurangnya<br />

lulus Sekolah Lanjutan<br />

Tingkat Pertama<br />

(SLTP) atau yang<br />

sederajat.<br />

281<br />

Ketika UU 21 tahun 2007<br />

dibuat, tujuan yang utama<br />

adalah untuk mencegah<br />

terjadi perdagangan,<br />

Apakah dengan a<strong>dan</strong>ya<br />

pelanggaran dalam<br />

sistem perekrutan<br />

sebagaimana dimaksud<br />

dalam UU 39 tahun 2004<br />

tidak cukup untuk<br />

menjerat para pelaku<br />

trafiking (trafiker), <strong>dan</strong><br />

tidak sekedar sebagai<br />

pelaku pelanggar uu 39<br />

tahun 2004 yang mampu<br />

berdalih bahwa<br />

perekrutan hanya sebatas<br />

perekrutan belum dapat<br />

dikatakan sebagai<br />

pelanggaran penempatan<br />

sebagaimana dimaksud<br />

dalam pasal102 UU 39/<br />

2004.<br />

Namun dalam uu 21 I<br />

2007 sudah jelas bahwa<br />

serangkaian tindakan<br />

yang dimaksud dalam<br />

pasal1 UU 21/2007<br />

merupakan perdagangan<br />

orang, <strong>dan</strong> usaha untuk<br />

mencegah terjadinya<br />

perdagangan (diulangi)<br />

untuk mencegah tindak<br />

pi<strong>dan</strong>a perdagangan<br />

orang ... tidak berarti<br />

perbuatan yang dilakukan<br />

oleh trafiker harus<br />

terpenuhi sampai tuntas<br />

terjadinya ekploitasi baru<br />

para penegak hokum<br />

dapat menjerat <strong>dan</strong><br />

menerima pelaku sebagai<br />

trafiker ...


No Pasal Dalam UU 34/2004<br />

Permasalahan Yang<br />

Permasalahan Yang<br />

Pasal Dalam UU 21/2007<br />

Muncul Muncul<br />

4. Pasal36: Belum ada diketemukan Jika yang terjadi terus<br />

(1) Pencari kerja yang Peraturan Menteri yang menerus perekrutan<br />

berminat bekerja ke dikeluarkan sesuai dlakukan (sengaja)<br />

luar negeri harus dengan perintah Pasal 36 dibiarkan dengan<br />

terdaftar pada UU 39 tahun 2004 ini dilakukan tanpa<br />

instansi pemerintah pengawasan dari<br />

kabupaten/kota yang pemerintah <strong>dan</strong> dibiarkan<br />

bertanggung jawab di tanpa peraturan yang<br />

bi<strong>dan</strong>g telah ditetapkan tidak<br />

ketenagakerjaan. kunjung terbit, maka tidak<br />

(2) Pendaftaran pencari dapat dipungkiri bahwa<br />

kerja sebagaimana man usia sebagai objek<br />

dimaksud pada ayat yang perdagangan masih<br />

(1 ), dilakukan sesuai akan terus berlangsung.<br />

dengan Peraturan<br />

Menteri.<br />

5. Pasal37: Dengan belum a<strong>dan</strong>ya<br />

Perekrutan dilakukan oleh Peraturan Menteri tentang<br />

pelaksana penempatan perekrutan/ pendaftaran<br />

TKI swasta dari pencari Calon TKI di lnstansi<br />

kerja yang terdaftar pada pemerintah yang<br />

instansi pemerintah bertanggungjwab dalam<br />

kabupaten/kota yang bi<strong>dan</strong>g ketenagakerjaan (<br />

bertanggung jawab di Disnakertrans) apakah<br />

bi<strong>dan</strong>g ketenagakerjaan artinya orang<br />

sebagaimana dimaksud perseorangan<br />

dalam Pasal36 ayat (1). diperbolehkan melakukan<br />

perekrutan tanpa melalui<br />

Penjelasan Pasal 37 DISNAKERTRANS<br />

Ketentuan dalam pasal ini sebagai pihak yang<br />

berarti bahwa pelaksana diberikan wewenang<br />

penempatan TKI swasta untuk menerima<br />

tidak dibenarkan pendaftaran bagi calon<br />

melakukan perekrutan yang berminat.<br />

melalui calo atau sponsor<br />

baik warga negara<br />

Indonesia maupun warga<br />

negara asing<br />

9.2. Praktek-Praktek Terbaik Internasional<br />

Sejumlah upaya anti-perdagangan yang inovatif tampak selama<br />

persiapan Laporan Perdagangan Manusia 2004 (TIP 2004 - Trafficking in<br />

Persons 2004) serta dalam kemitraan Departemen Luar Negeri dengan<br />

pemerintah-pemerintah negara asing <strong>dan</strong> organisasi-organisasi<br />

internasional <strong>dan</strong> non pemerintah sepanjang tahun. Banyak dari upaya­<br />

upaya ini memperlihatkan cara-cara memerangi perdagangan secara<br />

bekelanjutan dengan biaya rendah. Aktivitas-aktivitas <strong>dan</strong> program-<br />

282


program ini dikenal sebagai praktek-praktek terbaik karena inovatif <strong>dan</strong><br />

kreatif; mereka membuat perbedaan positif <strong>dan</strong> nyata; mereka<br />

memungkinkan; <strong>dan</strong> mereka mempunyai potensi untuk ditiru di tempat<br />

lain. Berikut ini diuraikan beberapa contoh upaya anti-perdagangan orang<br />

yang dilakukan di beberapa negara:<br />

Mengurangi Pariwisata Seks. Pemerintah Panama telah membuat<br />

sebuah un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g anti-perdagangan baru yang menangani<br />

perdagangan dalam konteks pornografi anak, pariwisata seks, <strong>dan</strong><br />

penggunaan internet. Di antara keistimewaan-keistimewaan lain, un<strong>dan</strong>g­<br />

un<strong>dan</strong>g ini mewajibkan pesawat terbang, agen-agen wisata, <strong>dan</strong> hotel­<br />

hotel untuk memberi informasi tertulis kepada pelanggan tentang larangan<br />

dalam un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g baru.<br />

Menahan Korban-korban Potensial. Pemerintah Colombia telah<br />

memberi wewenang kepada Departemen Keamanan Administratif<br />

(Department of Administrative Security/DAS) untuk mengidentifikasi <strong>dan</strong><br />

mendekati wisatawan outbound yang potensial menjadi korban-korban<br />

perdagangan di lapangan udara sebelum mereka melakukan<br />

penerbangan internasional. Petugas DAS mencoba untuk<br />

menginformasikan kepada korban-korban potensial tentang risiko<br />

perdagangan <strong>dan</strong> penipuan dalam tawaran pekerjaan. Pada tahun 2003,<br />

sembilan korban potensial telah diyakinkan bahwa tawaran pekerjaan<br />

mereka penuh dengan penipuan <strong>dan</strong> mereka diyakinkan untuk tidak<br />

melanjutkan penerbangan internasional.<br />

Kerja Sarna antara Negara Transit <strong>dan</strong> Tujuan. Pemerintah ltalia<br />

telah memberikan <strong>dan</strong>a untuk "Project Textilia 2000" kepada Pemerintah<br />

Maroko, untuk men<strong>dan</strong>ai proyek-proyek mikro di daerah sekitar<br />

Khourigba, yang terkenal dengan keterlibatannya dalam emigrasi gelap ke<br />

ltalia. Proyek ini dimaksudkan untuk memberikan pekerjaan yang<br />

menguntungkan di Maroko yang akan mencegah korban dari bahaya<br />

diperdagangkan. Untuk korban yang sudah ada di ltalia, un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g<br />

anti-perdagangan baru negara ini membuat sebuah kategori budget<br />

283


terpisah untuk program bantuan untuk korban, <strong>dan</strong> 70% dari budget itu<br />

didapat dari pemerintah pusat sementara 30% sisanya didapat dari<br />

pemerintah regional <strong>dan</strong> lokal.<br />

Sasaran kepada Perdagangan Seks. Pengadilan Kota Madrid<br />

pada bulan Januari 2004 mengumumkan sebuah upaya komprehensif<br />

untuk memerangi prostitusi <strong>dan</strong> perdagangan manusia. Rencana ini<br />

meliputi pencegahan, pelatihan, bantuan untuk korban, <strong>dan</strong> tindakan polisi<br />

terhadap pengguna. Berdasarkan prinsip, cara terbaik untuk memerangi<br />

perdagangan manusia untuk ekspolitasi seks adalah dengan<br />

memfokuskan pada pengguna <strong>dan</strong> korban, upaya ini ditiru Pemerintah<br />

Sweden dalam mengembangkan perangkat penegakan hukum.<br />

Memerangi Praktik-praktik Tradisional. Trafficker yang biasa<br />

dilakukan orang Afrika dalam "pengangkatan anak" memberi kontribusi<br />

langsung dalam perdagangan manusia. Perdagangan anak dimulai<br />

dengan kesepakatan pribadi antara pelaku perdagangan <strong>dan</strong> anggota<br />

keluarga, yang terdorong oleh kondisi ekonomi keluarga yang<br />

memprihatinkan serta nafsu pelaku akan keuntungan <strong>dan</strong> tenaga kerja<br />

murah. Kepada keluarga, khususnya yang mempunyai mata pencarian di<br />

bi<strong>dan</strong>g agrikultur, dikatakan bahwa anak mereka akan mendapat<br />

pendidikan <strong>dan</strong> belajar berdagang. Namun dalam semua kasus, anak<br />

diperdagangkan untuk kerja paksa domestik, pengasong, atau eksploitasi<br />

seks. Sebagai jawaban, Pemerintah Ghana melakukan "Operation Bring<br />

Your Children Home" untuk meminta agar orang tua yang menjual anak<br />

mereka pada pelaku untuk membawanya pulang kembali <strong>dan</strong> sebagai<br />

gantinya mendapat bantuan usaha, pelatihan kerja, fasilitas kredit mikro,<br />

serta bantuan biaya sekolah <strong>dan</strong> seragam. Untuk membangkitkan<br />

kesadaran publik pada progam ini, polisi Ghana melakukan pertemuan­<br />

pertemuan informal di pemberhentian truk yang besar di Accra serta<br />

memberikan pemahaman pada para sopir <strong>dan</strong> memberangkatkan<br />

perwakilan serikat pekerja untuk mengidentifikasi korban-korban<br />

perdagangan.<br />

284


Menyita Dana untuk Mendukung Program Anti-Perdagangan.<br />

Pen<strong>dan</strong>aan untuk program anti-perdagangan tidak diprioritaskan di<br />

banyak negara, khususnya mengikuti perubahan saat ini yang<br />

memprioritaskan pada pada program-program anti-terorisme. Di Jerman,<br />

State of Baden-Wuerttemberg menggunakan <strong>dan</strong>a yang disita dari operasi<br />

perdagangan untuk membiayai investigasi masa depan.<br />

Menghubungkan Para Diplomat, Berbagi lnformasi.<br />

<strong>Kementerian</strong> Perhubungan Luar Negeri (The Ministry of Foreign<br />

Affairs/MFA) Republik Dominika telah membuat empat "jaringan anti­<br />

perdagangan" di antara para diplomat dalam konsulat <strong>dan</strong> kedutaan besar<br />

di negara-negara yang merupakan tujuan utama perdagangan wanita<br />

Dominika. Ada sebuah jaringan kerja di Amerika Tengah, Karibia, Amerika<br />

Selatan, <strong>dan</strong> Eropa. Para diplomat secara pro aktif mencari isu-isu<br />

perdagangan. Mereka bekerja dengan pemerintah setempat dalam<br />

mengidentifikasi <strong>dan</strong> membantu korban-korban dari Dominika<br />

(kebanyakan dari mereka melarikan diri <strong>dan</strong> meminta perlindungan ke<br />

konsulat), mengumpulkan informasi tentang pola perdagangan, <strong>dan</strong><br />

mengidentifikasi pelaku. lnformasi ini dilaporkan kembali pada kantor<br />

hubungan urusan konsuler MFA <strong>dan</strong> dibagi dengan sekutu-sekutu<br />

Republik Dominika dalam upaya anti-perdagangan.<br />

Menggunakan Perangkat Peraturan, lnspeksi, <strong>dan</strong> Pelatihan.<br />

Pemerintah Filipina mengatur <strong>dan</strong> menyelenggarakan inspeksi mendadak<br />

maupun rutin ke 1.317 agen tenaga kerja ekspor yang terdaftar; termasuk<br />

memberikan pelatihan <strong>dan</strong> tes keterampilan untuk tenaga kerja ke luar<br />

negeri sebelum mereka meninggalkan negara itu. Para petugas Layanan<br />

Luar Negeri Filipina dilatih, <strong>dan</strong> dalam beberapa kasus dilibatkan secara<br />

aktif dalam mencari tempat tinggal <strong>dan</strong> memulangkan korban<br />

perdagangan Filipina. Orang-orang Filipina juga melakukan pelatihan<br />

untuk pemerintah negara lain, termasuk Indonesia <strong>dan</strong> Vietnam tentang<br />

bagaimana meningkatkan perlindungan tenaga kerja migran mereka.<br />

285


Para Korban Menerima Perlindungan Diplomatik. <strong>Kementerian</strong><br />

Luar Negeri Indonesia mengoperasikan tempat singgah di kedutaan besar<br />

<strong>dan</strong> konsulatnya di sejumlah negara, termasuk Malaysia, Singapura,<br />

Saudi Arabia, <strong>dan</strong> Kuwait. Selama setahun terakhir, perlindungan<br />

diplomatik ini melindungi ribuan penduduk Indonesia yang potensial<br />

menjadi korban perdagangan. Misi diplomatik Indonesia, dalam koordinasi<br />

dengan agensi pemerintah lain, juga membantu pemulangan.<br />

286<br />

Memerangi Perdagangan Anak Joki Unta. Pemerintah Uni Emirat<br />

Arab memulai sebuah trafficker inovatif untuk secara efektif<br />

mengidentifikasi <strong>dan</strong> menyelamatkan anak-anak yang diperdagangkan<br />

dari Asia Selatan untuk menjadi joki unta di gelanggang pacuan UAE.<br />

Kebanyakan dari anak-anak ini diperdagangkan melalui penggunaan<br />

dokumen-dokumen palsu dari negara asal mereka yang niemperlihatkan<br />

umur yang lebih tua <strong>dan</strong> orang tua palsu yang menemani anak-anak itu ke<br />

UAE. Dengan menggunakan tes DNA sejak Januari 2003, penguasa UAE<br />

menguji 446 anak <strong>dan</strong> mengungkap 65 permintaan palsu menjadi orang<br />

tua oleh para pelaku yang membawa anak-anak ini ke UAE. Pada tahun<br />

2003, lebih dari 250 anak dari Bangladesh <strong>dan</strong> Pakistan diidentifikasi <strong>dan</strong><br />

dikembalikan ke negaranya; kebanyakan dari pelaku itu ditahan <strong>dan</strong><br />

dituntut. Negara-negara lain di Teluk mengadopsi tes DNA untuk anak joki<br />

unta <strong>dan</strong> orang yang mengaku sebagai orang tua mereka.


BAB 10<br />

PENUTUP<br />

Perdagangan orang, mencakup perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak<br />

merupakan bentuk baru perbudakan di jaman modern, yang harus dilawan<br />

<strong>dan</strong> diberantas, merupakan salah satu masalah yang perlu penanganan<br />

mendesak seluruh komponen bangsa karaena terkait erat dengan citra<br />

bangsa Indonesia di mata internasional. Suatu tantangan bagi Indonesia<br />

untuk menyelamatkan anak bangsa dari keterpurukan. Tidak dipungkiri<br />

bahwa di negara-negara tertentu, perdagangan orang bahkan dijadikan<br />

sebagai bagian kebijakan politik perburuhan cheap labour yang<br />

dimanfaatkan untuk menekan biaya produksi sehingga cenderung<br />

dieksploitasi.<br />

Permasalahan perdagangan orang memang merupakan<br />

permasalahan yang sangat kompleks, yang tidak terlepas dari faktor­<br />

faktor ekonomi, sosial-budaya <strong>dan</strong> politik yang berkaitan dengan proses<br />

industrialisasi <strong>dan</strong> pembangunan serta globalisasi dunia. Masih tingginya<br />

angka kemiskinan, pengangguran <strong>dan</strong> angka putus sekolah, rendahnya<br />

tingkat pendidikan, tradisi menikah usia dini, rentannya nilai-nifai keluarga<br />

serta tingginya kesenjangan ekonomi, membuat masyarakat Indonesia,<br />

khususnya perempuan <strong>dan</strong> anak, kian rentan terhadap tindak pi<strong>dan</strong>a<br />

perdagangan orang (TPPO). lni terbukti dari meningkatnya jumlah<br />

korban, kendati belum ada angka-angka yang akurat tentang jumlah<br />

korban sesungguhnya, mengingat jumlah kasus ini merupakan fenomena<br />

gunung es yang berarti gambaran yang sebenarnya jauh lebih besar dari<br />

apa yang dilaporkan, namun dari laporan kepolisian <strong>dan</strong> beberapa<br />

lembaga yang menangani korban, jumlah kasus yang didampingi cukup<br />

tinggi.


A<strong>dan</strong>ya penempatan TKI ke luar negeri sering menjadi modus<br />

tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan orang (TPPO) , terbukti data Migrant Care<br />

tahun 2009 memperlihatkan bahwa dari 450.000 TKI, 46% di antaranya<br />

terindikasi kuat telah menjadi korban TPPO. Hal demikian memperlihatkan<br />

semakin meningkatnya jumlah korban TPPO, sehingga perlu penanganan<br />

yang serius, profesional <strong>dan</strong> berkesinambungan . Oleh karena itu berbagai<br />

upaya telah <strong>dan</strong> se<strong>dan</strong>g dijalankan oleh seluruh pemangku kepentingan<br />

baik di pusat maupun di daerah yang tergabung dalam gugus tugas serta<br />

berbagai lembaga nasional maupun internasional, baik di tingkat nasional<br />

maupun internasional untuk memerangi kejahatan perdagangan<br />

perempuan, melalui upaya-upaya pencegahan <strong>dan</strong> pemberantasan<br />

perdagangan perempuan.<br />

Lahirnya berbagai peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan <strong>dan</strong> kebijakan di<br />

bi<strong>dan</strong>g perlindungan perempuan <strong>dan</strong> anak, menunjukkan tingginya<br />

komitmen pemerintah terhadap permasalahan ini. Salah satu langkah<br />

besar yang telah diambil pemerintah adalah terbitnya Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g<br />

Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />

Perdagangan Orang (TPPO) <strong>dan</strong> Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g Nomor 44 Tahun 2008<br />

tentang Pornografi, <strong>dan</strong> kemudian dilengkapi dengan terbitnya Peraturan<br />

Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Dan Mekanisme<br />

Pelayanan Terpadu Bagi Saksi <strong>dan</strong>/atau Korban Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />

Perdagangan Orang, <strong>dan</strong> Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008<br />

tentang Gugus Tugas Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />

Perdagangan Orang yang kemudian ditindaklanjuti dengan beberapa<br />

Peraturan Menteri <strong>dan</strong> Peraturan Kapolri untuk memberikan landasan<br />

operasional dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan <strong>dan</strong><br />

anak. Disamping itu, dari aspek kelembagaan, saat ini telah terbentuk 18<br />

Gugus Tugas Tingkat Provinsi <strong>dan</strong> 69 Gugus Tugas Tingkat<br />

Kabupaten/Kota.<br />

Reformasi kebijakan <strong>dan</strong> perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan sistem perekrutan<br />

<strong>dan</strong> penempatan nasional yang menjamin tepatnya perlindungan hak<br />

asasi <strong>dan</strong> hak ketenagakerjaan secara ekstensif masih dimaksimalkan.<br />

288


Untuk tujuan ini rencana untuk mengamandemen Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Nomor<br />

39 Tahun 2004 mengenai Penempatan <strong>dan</strong> Perlindungan Pekerja Migran<br />

Indonesia akan digunakan sebagai pintu masuk. Perlu dilakukan langkah­<br />

langkah hukum yang tegas terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi<br />

<strong>dan</strong> hak ketenagakerjaan. Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yang relevan seperti Un<strong>dan</strong>g­<br />

Un<strong>dan</strong>g Nomor 34 Tahun 2004, Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g No. 21 Tahun 2007<br />

mengenai Anti Perdagangan Manusia <strong>dan</strong> pelbagai Peraturan Menteri<br />

mengenai migrasi tenaga kerja, dapat menjadi landasan bagi<br />

terpenuhinya jaminan hak asasi <strong>dan</strong> ketenagakerjaan pekerja mig ran.<br />

Pencegahan TPPO juga telah diintensifkan melalui penerapan<br />

kebijakan perlindungan TKI di luar negeri yang dikoordinasikan oleh<br />

<strong>Kementerian</strong> Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi, yang meliputi 4 (empat)<br />

kebijakan utama, yaitu: kerjasama luar negeri (bilateral, regional <strong>dan</strong><br />

multilateral); penempatan atase tenaga kerja; pemberian bantuan hukum<br />

<strong>dan</strong> pembelaan atas pemenuhan hak TKI; <strong>dan</strong> program asuransi TKI.<br />

Tantangan ke depan adalah implementasi kebijakan tersebut, terutama<br />

penerapannya di daerah-daerah kantong TKI.<br />

10.1. Kesimpulan<br />

289<br />

Berbagai masalah yang dihadapi daerah-daerah dalam hal<br />

pencegahan <strong>dan</strong> penanganan TPPO pada umumnya terkait dengan<br />

masalah mendasar, yaitu kemiskinan <strong>dan</strong> keterbatasan kesempatan kerja<br />

di daerah, serta letak geografis (untuk daerah perbatasan, seperti<br />

Kalimantan Barat, <strong>dan</strong> daerah kepulauan seperti Kepulauan Riau) yang<br />

turut membuka peluang terjadinya TPPO. Di samping itu, masalah<br />

lemahnya sistem administrasi kependudukan <strong>dan</strong> ancaman perdagangan<br />

orang yang berkedok peluang kesempatan kerja, juga turut menambah<br />

serangkaian masalah TPPO di lapangan.<br />

Oleh karenanya upaya pencegahan lebih diutamakan, karena<br />

diyakini lebih efektif <strong>dan</strong> efisien dibanding untuk penanganan korban yang<br />

membutuhkan biaya sosial ekonomi yang lebih tinggi. Oleh karena itu<br />

upaya pencegahan <strong>dan</strong> kewaspadaan dini perlu ditingkatkan melalui


erbagai dialog, sosialisasi, advokasi serta komunikasi informasi <strong>dan</strong><br />

edukasi guna meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya <strong>dan</strong><br />

dampak perdagangan.<br />

Upaya pencegahan lainnya adalah melalui penerapan Kebijakan<br />

administrasi kependudukan yang dikoordinasikan oleh <strong>Kementerian</strong><br />

Dalam Negeri dalam bentuk 3 (tiga) kebijakan utama, yaitu pemutakhiran<br />

data kependudukan di seluruh kabupaten/ kota, penerbitan NIK, <strong>dan</strong><br />

penerapan e-KTP. <strong>Kementerian</strong> Dalam Negeri juga sepakat untuk<br />

mendukung upaya-upaya pemberdayaan bagi korban TPPO, melalui<br />

pemanfaatan anggaran program nasional pemberdayaan masyarakat<br />

(PNPM) <strong>dan</strong> alokasi <strong>dan</strong>a desa (ADD). Kreativitas <strong>dan</strong> langkah proaktif<br />

daerah dalam mengakses pemanfaatan anggaran tersebut perlu diperkuat<br />

<strong>dan</strong> ditingkatkan.<br />

Komitmen memerangi perdagangan orang melalui berbagai upaya<br />

pencegahan, rehabilitasi <strong>dan</strong> reintegrasi korban, pengembangan norma<br />

hukum serta penegakan hukum harus dilakukan secara konsisten <strong>dan</strong><br />

berkelanjutan. Moto "pelaku TPPO harus ditindak agar tidak merusak<br />

bangsa" selalu menjadi arah bijak dalam memerangi perdagangan.<br />

Komitmen untuk penghapusan perdagangan orang juga dilakukan secara<br />

lebih terencana <strong>dan</strong> terintegrasi dengan upaya mengatasi kemiskinan,<br />

pengangguran, kurangnya pendidikan <strong>dan</strong> keterampilan, kurangnya akses<br />

kesempatan <strong>dan</strong> informasi serta nilai-nilai sosial budaya yang<br />

memarjinalkan <strong>dan</strong> mensubordinasikan kaum perempuan.<br />

Pada bagian ini juga akan dianalis beberapa aspek yang telah<br />

dicakup dalam upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanganan TPPO dilihat dari sisi<br />

implikasi/ pengembangan kebijakan yang dapat diusulkan, kondisi saat ini<br />

<strong>dan</strong> peningkatan pengembangannya.<br />

290


Tabel Aspek Kebijakam, lmplementasi/Pengembangan Kebijakan, Kondisi Saat lni <strong>dan</strong> Peningkatan Pengembangan<br />

--··-r --·· -·· .. -- r-· --.,-· ·;:z-· · --· · --·-· -· · ··-· --··<br />

Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan TPPO<br />

Mempromosikan sanksi hukuman yang lebih keras bagi tindak<br />

pi<strong>dan</strong>a perdagangan perempuan, mengingat bahwa saat ini<br />

perdagangan perempuan sering dikenakan sanksi hukuman<br />

berdasarkan un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g yang juga berlaku untuk<br />

kejahatan-kejahatan yang lebih ringan, sehingga para pelaku<br />

perdagangan perempuan begitu saja lolos dari hukuman yang<br />

setimpal.<br />

Mempromosikan peraturan/ perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan yang dapat<br />

mencakup larangan bagi segala kegiatan yang termasuk dalam<br />

tindak pi<strong>dan</strong>a perdagangan perempuan, mengingat bahwa<br />

sampai saat ini peraturan/ perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan dalam negeri<br />

melarang perdagangan perempuan untuk maksud pelacuran<br />

tetapi tidak untuk maksud yang lain, sehingga perdagangan<br />

manusia untuk eksploitasi tenaga kerja adalah legal secara<br />

teknis.<br />

[291]<br />

1<br />

Tujuan umum RAN-P3A adalah:<br />

"Terhapusnya segala bentuk perdagangan<br />

perempuan <strong>dan</strong> anak". Se<strong>dan</strong>g tujuan khusus<br />

adalah:<br />

1.A<strong>dan</strong>ya norma hukum <strong>dan</strong> tindakan hukum<br />

terhadap pelaku perdagangan perempuan<br />

<strong>dan</strong> anak.<br />

2. Terlaksananya rehabilitasi <strong>dan</strong> reintegrasi<br />

sosial terhadap korban perdagangan<br />

perempuan <strong>dan</strong> anak yang dijamin secara<br />

hukum.<br />

3.Terlaksananya pencegahan segala bentuk<br />

praktek perdagangan perempuan <strong>dan</strong> anak<br />

di keluarga <strong>dan</strong> masyarakat.<br />

4.Terciptanya kerjasama <strong>dan</strong> koordinasi<br />

dalam penghapusan perdagangan<br />

perempuan <strong>dan</strong> anak antar instansi di<br />

nasional <strong>dan</strong> internasional.<br />

Pada tahun 2007, Indonesia mengesahkan<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomor<br />

21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan<br />

Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />

(Lembaran Negara Republik Indonesia<br />

Tahun 2007 No. 58, Tambahan Lembaran<br />

Negara Republik Indonesia No. 4720) yang<br />

menaamanatkan tenta<br />

Mempromosikan pencegahan melalui<br />

penguatan Norma Hukum, antara lain:<br />

1. Membuat pengembangan norma hukum<br />

baru<br />

2. Meratifikasi <strong>dan</strong> menyusun peraturan<br />

perun<strong>dan</strong>g baru yang terkait<br />

pemberantasan tindak pi<strong>dan</strong>a<br />

perdagangan orang<br />

3. Melakukan diseminasi informasi ke<br />

seluruh komponen penegak hukum<br />

4. Melaksanakan harmonisasi peraturan<br />

perun<strong>dan</strong>gan terkait tindak perdagangan<br />

orang<br />

5. Mengadakan kerjasama internasional<br />

terkait dengan tindak perdagangan orang<br />

6. Penegakan Hukum, antara lain:<br />

7. Melaksanakan penegakan hukum <strong>dan</strong><br />

pengawasan peradilan<br />

8. Melakukan diseminasi informasi ke<br />

seluruh komponen bangsa<br />

9. Melakukan pengawasan terhadap<br />

jalannya peradilan oleh masyarakat<br />

10. Melakukan penguatan perlindungan saksi<br />

<strong>dan</strong>/atau korban tindak pi<strong>dan</strong>a<br />

perdagangan orang<br />

11 . Melakukan oenaembanaan Unit


Memperlengkapi orang-orang yang diperdagangkan, sebagai lnstansi-instansi penegak hukum mungkin<br />

korban-korban pelanggaran HAM, dengan akses ke hanya memindahkan orang-orang<br />

penyelesaian yang memadai <strong>dan</strong> tepa!, termasuk akses ke yang diperdagangkan dari satu sistem kontrol<br />

keadilan, hak untuk bebas dari ancaman pembalasan, hak ke sistem kontrollainnya- dari<br />

untuk pemulihan, hak-hak untuk menuntut secara hukum, <strong>dan</strong> dikontrol oleh para pelaku perdagangan<br />

kesanggupan untuk menghidupi diri mereka sendiri <strong>dan</strong> perempuan ke dikontrol oleh para pejabat<br />

keluar a mereka penegak hukum.<br />

Menegaskan bahwa strategi-strategi yang ditujukan terhadap Mereka cenderung memprioritaskan<br />

pencegahan perdagangan manusia harus memusatkan kebutuhan akan penegakan hukum diatas<br />

perhatian pada permintaan sebagai penyebab utama hak-hak mereka yang diperdagangkan,<br />

perdagangan manusia; <strong>dan</strong> Negara-negara serta organisasi- terutama yang dipan<strong>dan</strong>g sebagai saksi,<br />

organisasi antar-pemerintahan harus menjamin bahwa sebagai alat penegakan hukum. Hak-hak<br />

intervensi mereka memusatkan perhatian pada faktor-faktor korban untuk memiliki akses ke<br />

yang meningkatkan kerentanan terhadap perdagangan keadilan sering diingkari, <strong>dan</strong> penjatuhan<br />

manusia, termasuk ketidakadilan, kemiskinan <strong>dan</strong> semua hukuman cenderung gagal karena<br />

bentuk diskriminasi. orang-orang yang diperdagangkan tidak akan<br />

mau memberi<br />

Memprioritaskan perlindungan HAM bagi orang-orang yang Pihak berwenang cenderung memperlakukan<br />

diperdagangkan, mengambillangkah-langkah yang diperlukan orang-orang yang diperdagangkan sebagai<br />

untuk mencegah kesewenang-wenangan, <strong>dan</strong> memberikan penjahat daripada sebagai korban, karena<br />

erbaikan dimana kesewenan -wenan an ter"adi. status tinggal <strong>dan</strong> pekerjaan mereka yang<br />

Memperhatikan dengan khusus untuk menjamin bahwa perihal tidak teratur di negara tujuan , atau karena<br />

diskriminasi berbasis-jender ditanggulangi secara sistematis mereka bekerja di dunia pelacuran.<br />

ketika langkah-langkah anti-perdagangan diusulkan, dengan Tindakan-tindakan ini mengakibatkan para<br />

maksud untuk menjamin bahwa langkah-langkah semacam ini korban tidak mempercayai pihak<br />

tidak diterapkan dengan cara yang diskriminatif berwenang <strong>dan</strong> menolak untuk bekerjasama<br />

dalam penyelidikan, <strong>dan</strong> dengan<br />

demikian menouranoi kemunokinan oara<br />

294<br />

Menjaga secara berkesinambungan<br />

penghormatan alas hak-hak migran harus<br />

dijamin. Berakar pada hukum internasional<br />

<strong>dan</strong> kecondongan-kecondongan HAM,<br />

komponen penting dalam hal ini adalah<br />

komitmen terhadap perlakuan yang sama<br />

(tidak a<strong>dan</strong>ya praktek-praktek yang bersifat<br />

diskriminatiD kepada para migran yang<br />

tinggal secara sah di wilayah dari pihak-pihak<br />

yang menandatangani perjanjian<br />

Strategi-strategi untuk mengatasi penyebab<br />

utama arus migrasi besar-besaran- lni harus<br />

ditujukan pada "mendukung pembangunan<br />

ekonomi <strong>dan</strong> sosial dari wilayah dimana para<br />

migran berasal."


Memperlakukan perdagangan manusia sebagai suatu<br />

kejahatan tersendiri <strong>dan</strong> memusatkan perhatian pada seluruh<br />

tahap dari siklus perdagangan <strong>dan</strong> seluruh korban<br />

Pertimbangan harus diberikan untuk menyerahkan peran ini<br />

pada lembaga-lembaga HAM nasional yang independen<br />

dimana lembaga-lembaga semacam ini ada.<br />

Memperluas cakupan tindakan yang<br />

dianggap sebagai bagian dari proses<br />

perdagangan manusia- perekrutan,<br />

pengangkutan, pemindahan, penyembunyian<br />

<strong>dan</strong> penerimaan orang-orang di lembaga-<br />

Penerapan kebijakan perlindungan TKI di<br />

luar negeri yang dikoordinasikan oleh<br />

<strong>Kementerian</strong> Tenaga Kerja <strong>dan</strong> Transmigrasi,<br />

yang meliputi 4 (empat) kebijakan utama,<br />

Mempromosikan HAM, termasuk hak-hak pekerja <strong>dan</strong> hak-hak yaitu: kerjasama luar negeri (bilateral,<br />

regional <strong>dan</strong> multilateral); penempatan atase<br />

tenaga kerja; pemberian bantuan hukum <strong>dan</strong><br />

pembelaan alas pemenuhan hak TKI; <strong>dan</strong><br />

program asuransi TKI. Tantangan ke depan<br />

f--=.--:--:------:----:---:---:----:-----:--,---------1 adalah implementasi kebijakan tersebut,<br />

Bekerja menuju sistem migrasi tenaga kerja yang teratur, tertib terutama penerapannya di daerah-daerah<br />

<strong>dan</strong> manusiawi kantona TKI.<br />

296<br />

Menggiatkan langkah-langkah berbasis hak<br />

<strong>dan</strong> perlindungan sosial, ekonomi, politik <strong>dan</strong><br />

hukum untuk mencegah perdagangan<br />

manusia, melindungi, membantu,<br />

memulangkan <strong>dan</strong> menyatukan kembali<br />

orang-orang yang diperdagangkan, <strong>dan</strong><br />

untuk menghukum perdagangan manusia<br />

serta tindakan-tindakan lain yang terkait; <strong>dan</strong><br />

menyerukan kerjasama internasional untuk<br />

mencegah <strong>dan</strong> memberantas perdagangan<br />

man usia.<br />

Memperlengkapi orang-orang yang<br />

diperdagangkan, sebagai korban-korban<br />

pelanggaran HAM, dengan akses ke<br />

penyelesaian yang memadai <strong>dan</strong> tepa!,<br />

termasuk akses ke keadilan, hak untuk bebas<br />

dari ancaman pembalasan, hak<br />

untuk pemulihan, hak-hak untuk menuntut<br />

secara hukum, <strong>dan</strong> kesanggupan<br />

untuk menghidupi diri mereka sendiri <strong>dan</strong><br />

a mereka.<br />

Memperluas perlindungan <strong>dan</strong> dukungan<br />

untuk semua


Menjamin bahwa perjanjian-perjanjian kerjasama bilateral,<br />

regional <strong>dan</strong> internasional serta peraturan-peraturan <strong>dan</strong><br />

kebijakan-kebijakan lainnya yang berkenaan dengan<br />

perdagangan manusia tidak mempengaruhi hak, kewajiban <strong>dan</strong><br />

tanggungjawab Negara berdasarkan hukum internasional,<br />

termasuk hukum HAM<br />

Memperbaiki kebijakan-kebijakan pembangunan sosialekonomi<br />

(kebijakan-kebijakan mengenai pekerjaan <strong>dan</strong><br />

lapangan kerja, migrasi, kesetaraan jender, dsb);<br />

Meningkatan kapasitas (struktur-struktur, lembaga-lembaga<br />

<strong>dan</strong> proses-proses); <strong>dan</strong> Advokasi<br />

Penegakan hukum sering diperlemah oleh<br />

ketidakpedulian para pejabat, korupsi,<br />

kolusi dengan para pedagang, mekanisme<br />

pengatur- seperti polisi, para penjaga<br />

perbatasan, pelayanan pengawasan tenaga<br />

kerja <strong>dan</strong> ba<strong>dan</strong> peradilan - yang<br />

longgar atau kekurangan <strong>dan</strong>a, <strong>dan</strong><br />

kegagalan pemerintah untuk menghukum<br />

para pejabat pemerintah yang terlibat dalam<br />

nPrrl::>n:mn::m manusia<br />

LSM yang bekerja dengan orang-orang yang<br />

diperdagangkan berperan serta dalam<br />

pemantauan <strong>dan</strong> penilaian alas dampak<br />

HAM dari langkah-langkah anti-perdagangan<br />

297<br />

Kebijakan-kebijakan pemerintah<br />

untuk dengan tegas mengintegrasikan<br />

perlindungan terhadap para migran kedalam<br />

proses perencanaan kebijakan<br />

unan<br />

Dalam upaya memperkuat mekanisme<br />

manajemen Gugus Tugas baik di tingkat<br />

nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota,<br />

maka perlu untuk melakukan langkahlangkah<br />

:<br />

Di tingkat perencanaan <strong>dan</strong> penganggaran :<br />

(1) Agar seluruh K/USKPD terkait<br />

memastikan bahwa kebijakan, program, <strong>dan</strong><br />

kegiatan terkait TPPO yang menjadi<br />

tugasnya (mengacu pada Gugus Tugas)<br />

untuk daoat menaintearasikannva ke dalam


298<br />

dokumen perencanaan jangka menengah<br />

<strong>dan</strong> tahunan. Hal ini penting untuk menjamin<br />

ketersediaan anggaran TPPO secara spesifik<br />

di setiap KJUSKPD dari APBN K/L, APBD<br />

provinsi <strong>dan</strong> APBD kabupaten/kota; <strong>dan</strong> (2)<br />

Kerjasama dengan Bappenas <strong>dan</strong> Bappeda<br />

(provinsi <strong>dan</strong> kabupaten/kota) perlu diperkuat<br />

untuk memastikan semua dokumen<br />

perencanaan telah mengintegrasikan isu<br />

TPPO <strong>dan</strong> upaya-upaya penanganannya.<br />

Di tingkat pelaksanaan : (1) Perlu alokasi<br />

anggaran yang memadai untuk pelaksanaan<br />

kebijakan, program <strong>dan</strong> kegiatan<br />

pencegahan <strong>dan</strong>penanganan TPPO; (2)<br />

Koordinasi pelaksanaan harus dilakukan<br />

secara berjenjang <strong>dan</strong> berkala, mulai dari<br />

tingkat nasional, provinsi <strong>dan</strong><br />

kabupaten/kota, sehingga permasalah dapat<br />

ditemukenali sedini mungkin, sehingga<br />

upaya-upaya penanganan dapat dilakukan<br />

secepat mungkin, <strong>dan</strong> (3) Peran ketua Gugus<br />

Tugas pada setiap tingkatan wilayah agar<br />

lebih dioptimalkan, dengan mengacu pada<br />

peraturan perun<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>gan terkait<br />

PTPPO.<br />

Di tingkat pemantauan <strong>dan</strong> evaluasi : ( 1)<br />

Pemantauan perlu diperkuat terutama pada<br />

daerah-daerah kantong TKI, sebagai upaya<br />

rluasan


J<br />

299<br />

Pemantauan dari aspek program dilakukan<br />

secara terpadu lintas instansi <strong>dan</strong> dilakukan<br />

secara berjenjang <strong>dan</strong> berkala, <strong>dan</strong> (3)<br />

Alokasi anggaran untuk pemantauan<br />

dibebankan pada KIUSKPD sesuai tugas<br />

masing-masing, <strong>dan</strong> (4) Alokasi anggaran<br />

untuk evaluasi dibebankan pada<br />

<strong>Kementerian</strong> Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesra<br />

selaku Ketua Gugus Tugas Nasional, <strong>dan</strong><br />

bekerjasama dengan <strong>Kementerian</strong> PP <strong>dan</strong><br />

PA selaku Ketua Harian Gugus Tugas<br />

Nasional.


Sementara itu berbagai upaya dalam proses yang terkait dengan<br />

penyelamatan korban perdagangan perempuan hingga menyiapkan<br />

korban yang bersangkutan untuk dapat melepaskan diri dari<br />

keterlibatannya kembali di dalam kegiatan perdagangan perempuan juga<br />

dapat digambarkan melalui proses pentahapan, intervensi <strong>dan</strong> pihak yang<br />

bertangungjawab, sebagaiberikut:<br />

Pendidikan anak <strong>dan</strong> pelatihan<br />

kejuruan orang dewasa<br />

Kementrian Pendidikan<br />

Nasional & Kementrian<br />

Tenaga Kerja Transmigrasi<br />

Karban diberi layanan<br />

kepulangan<br />

Kolaborasi Pemerintah,<br />

Kedubes Negara Tujuan, LSM,<br />

I OM, atau juga PBB<br />

Reintegrasi ke masyarakat<br />

dengan dukungan jaringan<br />

sosial yang difasilitasi<br />

berlahap<br />

LSM <strong>dan</strong> Kementrian<br />

Karban harus diberi jasa<br />

bantuan hukum oleh<br />

Pemerintah/ LSM <strong>dan</strong> nasehat<br />

umum tentang hak-haknya<br />

10.2 .Rekomendasi<br />

lntervensi Bagi Korban Human Trafficking<br />

lnformasi yang diterima <strong>dan</strong><br />

ditransfer ke Polisi <strong>dan</strong> LSM<br />

ditindaklanjuti dengan<br />

penyelidikan <strong>dan</strong> penegakan<br />

hukum<br />

Karban harus diberi/<br />

disediakan perawatan medis<br />

<strong>dan</strong> konseling psikologis<br />

Mengikuti pengalihan korban<br />

dari tempat dia dieksploitasi,<br />

akomodasi sementara<br />

\ rllhF>nk:•n (Pemerintah + LSM)<br />

Karban harus diberi<br />

akomodasi jangka menengah<br />

<strong>dan</strong> rawat khusus dalam<br />

penampungan<br />

(LSM + Kemenkes)<br />

Setelah membahas kesimpulan di atas maka secara rinci, untuk<br />

mencegah terjadinya perdagangan perempuan maka beberapa program<br />

perlu dilancarkan seperti program ekonomi, penyebarluasan informasi,<br />

<strong>dan</strong> akses pendidikan di wilayah rentan. Masyarakat daerah asal migran<br />

perlu diberdayakan ke arah pemahaman tentang prosedur<br />

ketenagakerjaan. Pihak Depnaker setempat harus memainkan perannya<br />

lebih aktif bersama-sama secara terpadu dengan pihak terkait (tokoh adat,<br />

tokoh agama, tokoh masyarakat/budaya, pemerintah tingkat<br />

300


desa/kelurahan setempat) termasuk biro travel untuk membenahi segala<br />

kemungkinan bentuk eksploitasi pad a calon mig ran maupun keluarganya.<br />

Pemerintah juga perlu membenahi semua lini proses<br />

pemberangkatan <strong>dan</strong> penempatan pekerja migran oleh birokrat atau<br />

swasta. Peran swasta yang dominan didalam penempatan pekerja migran<br />

justru perlu direduksi karena selama ini mereka selalu lepas tanggung<br />

jawab apabila muncul persoalan di lapangan.<br />

Beberapa hal lainnya yang dapat direkomendasikan dari penelitian<br />

Human trafficking : Pola Pencegahan <strong>dan</strong> Penanggulangan Terhadap<br />

Perdagangan Perempuan adalah sebagi berikut:<br />

1. Fasilitasi penyelarasan Rencana Aksi Pusat dengan Rencana Aksi<br />

Daerah oleh Gugus Tugas Nasional<br />

2. Dukungan program melalui Pendidikan Kecakapan Hidup,<br />

301<br />

Kewirausahaan, Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender,<br />

Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan<br />

3. Kampanye Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />

(TPPO) <strong>dan</strong> Eksploitasi Seksual Anak (ESA) melalui media elektronik<br />

(TV, radio), media cetak, media luar ruang, media tradisional, <strong>dan</strong><br />

melalui komunitas<br />

4. Advokasi terintegrasinya isu Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />

(TPPO) <strong>dan</strong> Eksploitasi Seksual Anak (ESA) dalam muatan lokal<br />

pembelajaran sekolah formal <strong>dan</strong> non formal<br />

5. Replikasi "best practice" pencegahan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan<br />

Orang (TPPO) <strong>dan</strong> Eksploitasi Seksual Anak (ESA) di daerah-daerah<br />

rentan<br />

6. Membangun sistem pengawasan efektif terhadap kinerja (Perusahaan<br />

Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dalam proses<br />

perekrutan <strong>dan</strong> penempatan pekerja domestik <strong>dan</strong> internasional .<br />

7. Memperketat pengawasan arus migrasi di daerah-daerah rawan<br />

perdagangan perempuan


8. Harus dirubahnya perilaku budaya masyarakat yang yang berpotensi<br />

pada terjadinya perdagangan manusia (budaya yang permisif<br />

terhadap kawin muda, kawin kontrak dsb)<br />

9. Perlunya dibangun kembali penguatan keluarga pada anggota<br />

keluarganya sebagai generaasi penerus melalui sosialisasi keluarga<br />

10. Perlunya kebijakan administrasi kependudukan dalam bentuk 3 (tiga)<br />

kebijakan utama, yaitu pemutakhiran data kependudukan di seluruh<br />

kabupaten/ kota, penerbitan NIK, <strong>dan</strong> penerapan e-KTP.<br />

11. Digalakkannya pemanfaatan anggaran program nasional<br />

pemberdayaan masyarakat (PNPM) <strong>dan</strong> alokasi <strong>dan</strong>a desa (ADD),<br />

sehingga kreativitas <strong>dan</strong> langkah proaktif daerah dalam mengakses<br />

pemanfaatan anggaran tersebut perlu diperkuat <strong>dan</strong> ditingkatkan.<br />

12. Perlunya sosialisasi aktif yang berkesinambungan dari seluruh<br />

lnstansi Terkait yang didukung oleh Pemda setempat.<br />

13. Kerjasama Antar Cjs <strong>dan</strong> lnstansi/Dinas Terkait serta Kerjasama Antar<br />

Negara sangat dibutuhkan guna memaksimalkan Penanganan TPPO.<br />

14. Peningkatan SDM, sarana prasarana <strong>dan</strong> anggaran merupakan hal<br />

pokok dalam upaya Penanggulangan TPPO.<br />

15. Komitmen yang kuat masing-masing lnstansi/Lembaga <strong>dan</strong> Negara<br />

yang berwenang merupakan prasyarat utama dalam Pemberantasan<br />

TPPO.<br />

16. Perlunya pembenahan tertib administrasi <strong>dan</strong> peningkatan<br />

kemampuan sebelum memberangkatkan calon TKI ke luar negeri.<br />

17. Perlunya Pendokumentasian kegiatan Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan<br />

TPPO secara sistematis <strong>dan</strong> komprehensif .<br />

18. Perlunya Monitoring Dan Evaluasi Kerja Dari Gugus Tugas<br />

Pencegahan Dan Penanganan TPPO.<br />

10.3. Alur Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Solusi<br />

Berikut ini akan ditampilkan Bagan tentang Alur Perdagangan<br />

Perempuan <strong>dan</strong> Solusinya sehingga diharapkan akan mempermudah<br />

untuk kita melihat konteks kesesuaian antara masalah yang muncul terkait<br />

302


dengan Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Solusi yang dilakukan secara<br />

posisional.<br />

303


Alur Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Solusi<br />

w<br />

0<br />

+:>


10.4. Usulan Model Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan TPPO<br />

Jika kita memahami bahwa Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />

Perdagangan Orang (TPPO) <strong>dan</strong> Eksploitasi Seksual Anak (ESA)<br />

memerlukan upaya pencegahan <strong>dan</strong> penanganan yang komprehensif <strong>dan</strong><br />

terpadu, maka dapat dimengerti bahwa dalam pelaksanaannya,<br />

implementasi RAN ini memerlukan proses yang panjang <strong>dan</strong><br />

berkelanjutan. Dalam merealisasikannya, Pemerintah kemudian<br />

menjadikan PTPPO <strong>dan</strong> ESA tersebut sebagai bagian integral dari<br />

Rencana Strategi Departemen/Sektor terkait <strong>dan</strong> Rencana Pembangunan<br />

Jangka Menengah Nasional.<br />

Konsekuensinya, keberhasilan pelaksanaan RAN sangat<br />

tergantung kepada partisipasi <strong>dan</strong> komitmen seluruh Gugus Tugas baik<br />

tingkat Pusat, Propinsi, maupun Kabupaten/Kota yang bertugas<br />

merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi, <strong>dan</strong><br />

memberikan masukan bagi penyempurnaan implementasi Rencana Aksi<br />

Nasional tersebut.<br />

Selanjutnya, pelaksanaan Rencana Aksi Nasional ini berada di<br />

bawah koordinasi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat sebagai<br />

Ketua Gugus Tugas <strong>dan</strong> Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan<br />

sebagai Ketua Harian. Secara teknis, implementasinya dikoordinasikan<br />

melalui sub-sub Gugus Tugas dengan penanggung jawab dari<br />

Departemen terkait sebagai berikut :<br />

1. Bi<strong>dan</strong>g Pencegahan <strong>dan</strong> Partisipasi Anak, Departemen Pendidikan<br />

Nasional sebagai penanggungjawab.<br />

2. Bi<strong>dan</strong>g Rehabilitasi Kesehatan, Departemen Kesehatan sebagai<br />

penanggungjawab.<br />

3. Bi<strong>dan</strong>g Rehabilitasi Sosial, Pemulangan <strong>dan</strong> Reintegrasi Sosial,<br />

Departemen Sosial sebagai penanggungjawab.<br />

4. Bi<strong>dan</strong>g Pengembangan Norma Hukum, Departemen Hukum <strong>dan</strong> HAM<br />

sebagai penanggungjawab.<br />

5. Bi<strong>dan</strong>g Penegakan Hukum, Kepolisian Rl sebagai penanggungjawab.<br />

305


6. Bi<strong>dan</strong>g Koordinasi <strong>dan</strong> Kerjasama, <strong>Kementerian</strong> Koordinator Bi<strong>dan</strong>g<br />

Kesejahteraan Rakyat sebagai penanggungjawab.<br />

Pada tingkat Propinsi pelaksanaan RAN dikoordinasikan oleh<br />

Gubernur Kepala Daerah se<strong>dan</strong>gkan di tingkat Kabupaten/Kota<br />

dikoordinasikan oleh Walikota/Bupati dengan melibatkan dinas/instansi<br />

yang bertanggungjawab, yang memiliki bi<strong>dan</strong>g tugas <strong>dan</strong> tanggungjawab<br />

terkait dengan pemberantasan TPPO <strong>dan</strong> ESA.<br />

Pemantauan <strong>dan</strong> evaluasi yang dilaksanakan untuk menilai<br />

keberhasilan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional tersebut berdasarkan<br />

hal-hal sebagai berikut:<br />

1. Sistem <strong>dan</strong> Mekanisme pemantauan <strong>dan</strong> evaluasi yang telah<br />

dikembangkan;<br />

2. Keberhasilan program berdasarkan indikator kemajuan <strong>dan</strong> keluaran<br />

yang telah ditetapkan.<br />

3. Penerbitan laporan berkala yang disusun <strong>dan</strong> disampaikan secara<br />

berjenjang kepada penanggungjawab gugus tugas di tingkat yang lebih<br />

tinggi.<br />

4. Penerbitan Laporan tahunan berkala, yang disusun oleh masing­<br />

masing Ketua Sub Gugus Tugas <strong>dan</strong> Ketua Gugus Tugas tingkat<br />

Propinsi, disampaikan kepada Ketua Gugus Tugas Pusat dengan<br />

tembusan kepada Ketua Harian. Penerbitan Laporan tahunan Gugus<br />

Tugas Pusat, dikoordinasikan penyusunannya oleh <strong>Kementerian</strong><br />

Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai Ketua Harian.<br />

Dari berbagai temuan <strong>dan</strong> analisis penelitian ini tampak bahwa<br />

dasar pemikiran pembentukan Gugus Tugas <strong>dan</strong> Sub Gugus Tugas yang<br />

ada selama ini adalah berdasarkan pertimbangan yang berbasis bi<strong>dan</strong>g<br />

terkait, departemental atau kementerian. Namun jika melihat pada Bagan<br />

Alur Perdagangan Perempuan <strong>dan</strong> Solusinya yang Tim Peneliti buat,<br />

maka pemikiran tentang implementasi RAN TPPO menjadi Gugus Tugas<br />

<strong>dan</strong> Sub Gugus Tugas tersebut sebaiknya berdasarkan pertimbangan<br />

yang berbasis prosesual dari TPPO itu sendiri.<br />

306


Dengan pertimbangan yang berbasis prosesual tersebut (proses<br />

pra-TPPO; proses peristiwa TPPO <strong>dan</strong> proses purna TPPO) maka<br />

menurut hemat Tim Peneliti fokus masalah <strong>dan</strong> intervensi pemecahan<br />

masalah akan lebih baik. Selanjutnya, siapa aktor-aktor atau bi<strong>dan</strong>g­<br />

bi<strong>dan</strong>g/ kementerian yang terkait akan lebih terjamin validitas <strong>dan</strong><br />

kredibilitasnya. Konsekuensi lanjut dari semua itu adalah dimungkinkan<br />

pembagian tugas <strong>dan</strong> koordinasi di antara aktor intervensi akan semakin<br />

efektif. Berikut ini Bagan Pencegahan <strong>dan</strong> Penanganan TPPO berbasis<br />

prosesual terpadu akan diberikan.<br />

307


DAFT AR PUST AKA<br />

Adi, Rianto <strong>dan</strong> Syarief Darmoyo, 2004. Trafiking Anak Untuk Pekerja Rumah<br />

Tangga (Kasus Jakarta). Cetakan pertama. Penerbit Pusat Kajian<br />

Pembangunan Masyarakat (PKPM) Unika Atma Jaya, Jakarta.<br />

Arild Holt-Jensen, 1999. Geography: history and concepts, A student's guide, 3rd<br />

edtition, Sage Publications, London.<br />

Booket No. 3 in A Serie on International Youth Issues, 1995. "Commercial Sexual<br />

Exploitation of Children: Youth Involved in Prostitution, Pornography & Sex<br />

Trafficking", Youth Advocate Program International.<br />

Carling, A. 1992. Social Divisions. London: Verso.<br />

Coleman, J., 1973. The Mathematics of Collective Action. London: Heinemann.<br />

Crawford, Adam, 1998. Crime Prevention and Community Safety:<br />

politics,policies, and practices, Addison Wesley Longman Limited, London<br />

and New York, , hal. 71.<br />

DERAP WARAPSARI , 2003. Perlindungan Terhadap Perempuan <strong>dan</strong> Anak yang<br />

menjadi korban kekerasan, Edisi ke II, hal. 2.<br />

Dermawan, Mohammad Kemal, 2000. Strategi Pencegahan Kejahatan, Bandung<br />

: PT. Aditya Bakti.<br />

Dirjosisworo, Soedjono, 1985. Kuliah Prof Donald R. Cressey tentang Kejahatan<br />

Mafia, Armico Bandung, , hal. 32-33.<br />

Garid, Muhammad, (2007). Perdagangan Hak Asasi Manusia dalam Jurnal<br />

Perempuan No. 51 , Cetakan pertama, Jakarta, Tahun 2007.<br />

Gosita Arif, 1993. Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta,<br />

hal. 46.<br />

Harkrisnowo, Harkristuti, 1996. Lapangan Perdagangan Manusia di Indonesia.<br />

Sentra HAM-UI , Februari 2003. hal. 5. Sebagaimana yang dikutip dari ;<br />

United Nations.<br />

Harkrisnowo, Harkristuti, 2004. Transnation Organized Crime: Dalam Perspektif<br />

Hukum Pi<strong>dan</strong>a <strong>dan</strong> Kriminologi. Indonesian Jurnal of International Law,<br />

Volume 1 No. 2 Januari, hal. 335.<br />

Heath, A., 1976. Rational Choice and Social Exchange. Cambridge: Cambridge<br />

University Press.<br />

International Organization for Migration (10M), 2009. Pedoman Penegaakan<br />

Hukum <strong>dan</strong> Perlindungan Korban Dalam penanggulangan Tindak Pi<strong>dan</strong>a<br />

Perdagangan Orang.<br />

lrwanto, dkk, 2006. Jeratan Hutang Dalam Perdagangan Manusia. Cetakan<br />

pertama, Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Unika Atma<br />

Jaya, Jakarta.


Josef Gugler (ed.), 1988. The Urbanization of the Third World, Oxford University<br />

Press, Oxford.<br />

<strong>Kementerian</strong> Koordinator Bi<strong>dan</strong>g Kesejahteraan Rakyat, 2004-2005.<br />

Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia.<br />

<strong>Kementerian</strong> Pemberdayaan Perempuan, 2003. Penghapusan Eksploitasi<br />

Seksual Komersial Anak, hal. 26.<br />

Lewis Holloway and Phil Hubbard, 2001. People and place: the extraordinary<br />

geographies of everyday life, Pearson Education Ltd., Harlow, Essex.<br />

Peter Hagget. 2001. Geography: A Global Synthesis, Prentice Hall, Harlow,<br />

Essex.<br />

Reginald G. Golledge and Robert J. Stimson, 1997. Spatial behavior: a<br />

geographic perspectives, The Guilfod Press, New York.<br />

Reksodiputro, Mardjono, 2000. Jurnal Polisi 2.<br />

Rob Kitchin and Nicholas J. Tate, 2000. Conducting Research into Human<br />

Geography: theory, methodology & practice. Prentice-Hall, Pearson<br />

Education Ltd., Harlow.<br />

Saban, Max Soli, 2009. Hak Asasi Manusia. Penerbit: Universitas Atma Jaya,<br />

Jakarta.<br />

Vermonte, Philips Jusario, 2002. Transnational Organized Crime: lsu <strong>dan</strong><br />

Permasalahannya. ANALISA CSIS, Tahun XXXI , No. 1. , hal. 45.<br />

Wahid, Abdul, <strong>dan</strong> Muhammad lrfan, 2002. dalam "Perlindungan Terhadap<br />

Karban Kejahatan Kekerasan Seksual (Advocate Atas Hak Asasi<br />

Perempuan)". Jakarta: Rafika Aditama , hal.8.<br />

KORAN:<br />

Kompas 7 November 2005<br />

Kompas, 10 Oktober 2001<br />

Kompas, 19 Nopember 2002<br />

Kompas, 27 Juni 2005<br />

Media Indonesia, 19 Maret 2002<br />

Pikiran Rakyat, 2 Juli 2005<br />

Suara Pembaharuan, 15 Juni 2005<br />

Suara Pembaharuan, 30 Mei 2001<br />

INTERNET:<br />

Gopher: II gopher.un.org/00/ga/cedaw/convention.<br />

Kompas Cyber Media Kamis, 27 September 2001, "Trafficking" Kegiatan<br />

Kriminal, download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />

Kompas Cyber Media Selasa, 3 Juli 2001 Masalah "Trafficking'' Anak<br />

Diprioritaskan Jakarta, , download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />

310


Kompas Cyber Media, Berbagai Pelanggaran Hukum "Trafficking" Tak Berlanjut<br />

ke Pengadilan, download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />

Kompas Cyber Media, Kamis, 18 Oktober 2001, Perlu Kerja Sam a Lintas Sektor<br />

untuk Mengatasi "Trafficking", downloa,d 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />

Kompas Cyber Media, Kamis, 27 September 2001, "Trafficking" Kegiatan<br />

Kriminal, download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />

Kompas Cyber Media, Sabtu, 2 Maret 2002 Nancy Ely-Raphel : Kami Tidak Bisa<br />

Bekerja Sendiri, download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />

Kompas Cyber Media, Waspada! Jawa Timur La<strong>dan</strong>g Subur "Trafficking",<br />

download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />

Kompas Cyber Media, Waspada! Jawa Timur La<strong>dan</strong>g Subur "Trafficking",<br />

download 12 Agustus 2005 pukul 08.00.<br />

Protokol Pilihan untuk Konvension mengenai Hak-hak anak ditemukan pada<br />

www.unhcr.ch/html/menu2/dopchild.htm.<br />

UNDANG-UNDANG :<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 8 Tahun 1981 tentang Kitab<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Hukum Pi<strong>dan</strong>a (KUHP)<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.<br />

Un<strong>dan</strong>g-Ur.<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 23 Tahun 2002 tentang<br />

Perlindungan Anak<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 13 tahun 2003 tentang<br />

Ketenagakerjaan.<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 23 Tahun 2004 Tentang<br />

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Perempuan.<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 39 Tahun 2004 tentang Penempatan<br />

<strong>dan</strong> Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer Tahun 2006 tentang Perlindungan<br />

Saksi Dan Karban<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 21 Tahun 2007 tentang<br />

Pemberantasan Tindak Pi<strong>dan</strong>a Perdagangan Orang<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer 11 Tahun 2008 tentang lnformasi<br />

<strong>dan</strong> Transaksi Elektronik<br />

Un<strong>dan</strong>g-Un<strong>dan</strong>g Republik Indonesia Nomer Tahun 2004 tentang Penghapausan<br />

Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />

311

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!