FRATER CMM
SIDANG UMUM | KARYA MISI FRATER LUDoLF BULKMANS ...
SIDANG UMUM | KARYA MISI FRATER LUDoLF BULKMANS ...
- No tags were found...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
<strong>FRATER</strong> <strong>CMM</strong><br />
1/12<br />
SIDANG UMUM | KARYA MISI <strong>FRATER</strong> LUDoLF<br />
BULKMANS | BERTUMBUH KE DALAM KONGREGASI |<br />
‘BERJALAN BERSAMA ALLAH’ | INSPIRASI VINSENSIAN
DAFTAR ISI<br />
KOLOM<br />
MENGENAI<br />
<strong>FRATER</strong> ANDREAS<br />
PEMIMPIN UMUM 4 5<br />
MAKLUMAT MISI<br />
Belaskasih berlaku di segala zaman dan di setiap<br />
tempat.<br />
Belaskasih merupakan inti setiap agama di dunia:<br />
agama Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen dan Islam.<br />
Gerakan belaskasih meninggalkan jejaknya<br />
dalam sejarah.<br />
KOLOFON<br />
Frater <strong>CMM</strong>, ISSN 1574-9193, adalah majalah triwulan<br />
Kongregasi Frater <strong>CMM</strong>. Langganan gratis dapat diminta<br />
pada alamat Kontak di bawah ini.<br />
Redaksi: Rien Vissers (ketua redaksi), Frater Edward<br />
Gresnigt, Frater Ad de Kok, Frater Lawrence Obiko,<br />
Frater Ronald Randang, Frater Jan Smits, Peter van<br />
Zoest (redaktur terakhir).<br />
Pelbagai bentuk penampilan belaskasih<br />
merupakan ungkapan masyarakat dalam mana<br />
belaskasih telah lahir, dan tentang ungkapan<br />
spiritualitas yang mendukungnya.<br />
Kongregasi Frater Santa Perawan Maria, Bunda<br />
yang Berbelaskasih, berakar dalam semangat<br />
belaskasih Kristiani.<br />
Rencana<br />
tata:<br />
Dicetak:<br />
Kontak:<br />
E-mail:<br />
Webside:<br />
Heldergroen<br />
www.heldergroen.nl<br />
Percetakan Kanisius, Yogyakarta<br />
Frater <strong>CMM</strong><br />
Jalan Ampel 6, Papringan<br />
Yogyakarta 55281<br />
magazine@cmmbrothers.nl<br />
www.cmmbrothers.org<br />
Terjemahan: Frater Pieter-Jan van Lierop,<br />
Frater Jan Koppens<br />
Foto sampul depan: Dua frater Kenya,<br />
Frater Richard Sure dan Frater Zaccheus Oonje<br />
(Lihat juga hal. 7; foto: Frater Lawrence Obiko).<br />
Anak yang hilang, Rembrandt<br />
Foto sampul berlakang: Patung di Oberammergau,<br />
Jerman (foto: Frater Ad de Kok).<br />
2
KOLOM<br />
PEMIMPIN UMUM<br />
Pada bulan Desember tahun lalu, mantan politikus Wim Deetman, ketua ‘Komisi Deetman’, memaklumkan<br />
hasil penemuan penyelidikan yang diadakan oleh komisinya mengenai pelecehan seksual di dalam Gereja<br />
Katolik, dari tahun 1945 sampai sekarang. Ini berlangsung di kota Den Haag dalam konferensi media<br />
yang jitu. Bapak Deetman menjelaskan penuh nuansa bagaimana kesalahan dahulu.<br />
Walaupun jumlah pelecehan dalam gereja tidak<br />
melebihi yang terdapat di tempat-tempat lain dalam<br />
masyarakat, namum jumlah korban dan pelaku cukup<br />
besar. Membaca laporan tebal dari komisi itu bukan<br />
sesuatu yang menarik. Bagi saya tidak ada berita baru<br />
ketika saya membaca bahwa juga terdapat sejumlah<br />
frater <strong>CMM</strong> yang bersalah berat. Dua tahun terakhir<br />
ini saya sering dikonfrontasi dengan kenyataan itu.<br />
Walaupun demikian, saya terkejut kembali ketika<br />
menerima informasi itu.<br />
Laporan komisi yang besar dan berita mengenai<br />
pelecehan seksual yang berulang kali muncul di media<br />
- juga mengenai apa yang terjadi sekarang ini – dan<br />
kisah konkret korban-korban, lebih menyadarkan saya<br />
bahwa agak mudah manusia dapat menjadi korban.<br />
Korban-korban pelecehan, baik pelecehan seksual<br />
maupun pelecehan kekuasaan yang berbentuk lain,<br />
justru mengena orang lemah dan rapuh. Seorang<br />
anak dapat dikena dengan lebih gampang, karena<br />
ketergantungannya pada orang dewasa. Orang yang<br />
satu lebih muda dikorbankan daripada orang yang<br />
lain. Pelaku-pelaku pelecehan itu tahu dengan tepat<br />
mencari mereka yang paling rapuh. Kita semua harus<br />
menyadari kerapuhan itu, baik dari anak-anak maupun<br />
dari semua orang lain yang tergantung pada diri kita.<br />
Akan tetapi masih ada unsur lain: kita semua manusia<br />
yang mudah dilukai. Ada pertanyatan: apakah<br />
saya berani mengakui pada diriku bahwa saya pun<br />
seseorang yang rapuh? Dengan memperhatikan diriku<br />
dan mengingat konfrontasi dengan pelecehan seksual<br />
sekian konfrater di masa lampau, membuat saya sadar<br />
akan kerapuhan dalam diri sendiri dan dalam posisi<br />
saya. Sebagai pemimpin, saya mempunyai tanggung<br />
jawab tertentu dan saya menyadari, lebih daripada<br />
pernah saya sadari, bahwa perbuatan saya sungguh<br />
menentukan sesuatu. Saya yakin bahwa hanya sikap<br />
yang memperhitungkan kerapuhan merupakan sikap<br />
yang sehat. Sebagai pemimpin saya mempunyai ‘posisi<br />
kekuasaan’ tertentu. Bagaimana saya menggunakan<br />
kekuasaan itu? Apakah saya berani bersikap rapuh?<br />
Penyadaran akan kerapuhan diri merupakan awalnya.<br />
Ada kemungkinan besar bahwa kalau kerapuhan itu<br />
tidak disadari, orang akan diantar pada ‘kompensasi’<br />
dalam mana kekuasaan salah dijalankan.<br />
Frater Broer Huitema<br />
4
Foto kiri: Para peserta sidang umum. Foto kanan: Dua frater Kenya: Richard Sure (kiri; pemimpin di Mosocho) dan<br />
Zaccheaus Oonje (pemimpin di Nakuru), waktu mengunjungi tempat ziarah Buddha ‘Borobudur’, dekat Yogyakarta.<br />
‘Gembala yang baik’<br />
Seluruh hari pertama sidang umum itu digunakan<br />
untuk berdoa dan merenungkan tema ‘Gembala yang<br />
Baik’, didahului oleh power point ciptaan Charles van<br />
Leeuwen. Ia menekankan bahwa semua frater yang<br />
terlibat dalam pendidikan frater menjadi teladan bagi<br />
mereka yang mengikuti program itu. Bapak Charles<br />
menerangkan simbol ‘Gembala yang Baik’ antara<br />
lain berdasarkan tradisi Yahudi, yang membicarakan<br />
unsur-unsur penggembalaan: memimpin, mengoreksi,<br />
berbelaskasih. Sejak permulaan gereja, gambaran<br />
‘Gembala yang Baik’ merupakan prototipe dari<br />
kepemimpinan yang baik, bukan hanya untuk para<br />
imam, melainkan juga untuk semua orang yang<br />
memimpin atau mengajar.<br />
‘Mansuete et fortiter’<br />
Pada hari-hari berikut ditekankan perihal tanggung<br />
jawab para pemimpin kongregasi dalam hal memberikan<br />
wajah pada pembentukan calon-calon kita menjadi<br />
frater berbelaskasih. Itu menurut semboyan pendiri<br />
kongregasi, Joannes Zwijsen, ‘Mansuete et fortiter’,<br />
kelemahlembutan dan ketegasan. Dalam ceramahceramahnya<br />
Frater Wim Verschuren menjelaskan<br />
tema ‘Bapa yang belaskasih’ dan ‘Belaskasih dalam<br />
perumpamaan’. Frater Lawrence Obiko, yang<br />
berpengalaman sebagai pemimpin postulan dan novis<br />
selama 12 tahun, membawa tema ‘Selibat dalam<br />
program pendidikan’ dan ‘Gaya hidup frater <strong>CMM</strong><br />
yang layak’. Ia menggambarkan perkembanganperkembangan<br />
dalam gaya hidup para frater dan<br />
keterlibatan mereka dalam pendidikan kaum muda<br />
selama lima puluh tahun terakhir ini. Pemimpin<br />
umum membawa ceramah-ceramah bertema:<br />
‘Belajar berbicara bersama’ dan ‘Belajar untuk taat’.<br />
Pertanyaan-pertyanyaan yang dibahas adalah:<br />
Masalah konkret manakah dialami frater yang<br />
memimpin berhubungan dengan ketaatan?<br />
Inspirasi manakah diberikan oleh Konstitusi di bidang<br />
‘mendengar’, ‘berbicara’, ‘mendengarkan’ dan ‘taat’?<br />
Protokol<br />
Frater Broer Huitema menaruh perhatian khusus pada<br />
perkembangan yang berlangsung di Belanda dan di<br />
kongregasi berhubungan dengan pelecehan seksual.<br />
Banyak kasus sudah dimaklumkan. Para peserta<br />
sidang umum bertanya kepadanya bagaimana masalah<br />
pelecehan dapat dihindari di masa mendatang.<br />
Berhubungan dengan itu Frater Broer Huitema<br />
menekankan pentingnya seleksi yang baik terhadap<br />
calon dan pendidikan dasar yang kokoh. Calon-calon<br />
juga harus melewati masa perkembangan emosional<br />
yang seimbang. Dalam hal ini, mutlak perlu hidup<br />
bekomunitas yang ditandai oleh keramahan, saling<br />
mendukung dan kontak yang terbuka lagi transparan<br />
antara pemimpin dan si calon. Untuk itu sudah<br />
dikembangkan beberapa protokol, yang akan<br />
berlaku di masa dekat.<br />
Rien Vissers<br />
7
INDONESIA<br />
Frater Ludolf Bulkmans sebagai<br />
misionaris yang muda.<br />
Manado: Frater dan murid sedang berjalan di pantai.<br />
KARYA MISI <strong>FRATER</strong><br />
LUDOLF BULKMANS<br />
Banyak orang menggabungkan karya misi dengan ‘perebutan jiwa’. Hal ini tidak pernah merupakan tradisi<br />
dalam kongregasi <strong>CMM</strong>. Akan tetapi kalau seorang murid atau orang lain ingin mengenal agama Katolik,<br />
biasanya seorang frater bersedia untuk melakukan itu. Sering, tetapi tidak selalu, kontak semacam itu diakhiri<br />
dengan sakramen baptis. Salah satu frater, yang seumur hidupnya misionaris di Manado, terlibat dalam<br />
pembinaan calon-calon yang berminat pada agama. Namanya Frater Ludolf Bulkmans (1907-2000).<br />
Ketika Frater Ludolf tiba di Manado, ia berusia 22<br />
tahun. Ia langsung diangkat sebagai guru kelas satu<br />
SD Frater, dengan 56 murid. Kebanyakan mereka<br />
beragama agama rakyat Cina, karena sekolah itu<br />
adalah sekolah anak-anak Cina. Dalam pelajaran<br />
digunakan bahasa Belanda. Dengan cepat frater<br />
itu menemukan bahwa murid-muridnya sungguh<br />
hidup-hidup, bersemangat dan hidup dengan sukaria.<br />
Mereka kurang terbeban oleh kekafiran. Ia mengamati<br />
keadaan itu dengan tajam dan menyimpulkan bahwa<br />
sebenarnya ia belum siap untuk bekerja di Manado.<br />
Frater Ludolf berkembang dalam keluarga yang<br />
sungguh Katolik, berstudi di Sekolah Pendidikan<br />
Guru milik Frater <strong>CMM</strong> dan dibentuk sebagai religius<br />
di tahun 20-an abad lalu dalam pendidikan awal<br />
<strong>CMM</strong> yang agak terasing dari masyarakat luas dan<br />
terlepas dari orang-orang yang beragama lain.<br />
Sebagai frater ia diharapkan berperan sebagai<br />
pendukung golongan Katolik.<br />
Rasa hormat<br />
Pada permulaan Frater Ludolf berpikir bahwa ia<br />
tahu segala sesuatu dan murid-muridnya tak tahu<br />
apa-apa, dan bahwa para muridnya adalah kafir dan<br />
berada di jalan yang salah. Hanya agama Katolik bisa<br />
merupakan keselamatan satu-satunya. Akan tetapi<br />
lama-kelamahan, dalam komunikasi dengan mereka,<br />
ia belajar bahwa di bawah abu kekafiran mereka<br />
terdapat unsur-unsur yang bernilai, bahkan dapat<br />
ditemukan unsur kekristenan yang laten. Frater Ludolf<br />
yang seakan-akan tahu segala sesuatu menjadi murid,<br />
dan merasa hormat bagi agama dan budaya rakyat<br />
Cina. Dia tidak membelenggu murid-muridnya dengan<br />
dogma-dogma, perintah-perintah dan laranganlarangan<br />
kristiani. Ia tak pernah berbicara negatif<br />
mengenai agama rakyat Cina atau menghakimi<br />
agama itu. Ia tahu bahwa mereka tidak pernah akan<br />
melepaskan diri secara total dari masa rohani mereka<br />
yang lewat. Menurut Frater Ludolf hal ini tidak perlu.<br />
8
Kalau mereka melepaskan diri secara total dari agama<br />
asal, mereka juga tersingkir dari masyarakat Cina. Hal<br />
ini sungguh tidak akan membahagiakan mereka.<br />
Pawai<br />
Kadang-kadang terjadi bahwa seorang calon agama<br />
Katolik tidak mengikuti lagi pelajaran Frater Ludolf.<br />
Frater itu tidak memperlihatkan kekecewaannya. Ia<br />
senang bila murid yang bersangkutan sungguh merasa<br />
dirinya bebas. Kalau seorang murid memutuskan untuk<br />
masuk agama Katolik, ia menjadi seorang katekumen.<br />
Ia terutama pergi berdoa di gereja Katolik dan jarang<br />
ke klenteng. Mereka diizinkan mengikuti di rumah<br />
acara-acara menyangkut leluhur seperti biasa.<br />
Mereka boleh menikmati acara ‘Cap Go Meh’, namun<br />
tidah boleh terlibat secara rohani. ‘Cap Go Meh’ adalah<br />
suatu pawai yang diadakan dua minggu sesudah Imlek.<br />
Juga Frater Ludolf sangat menikmati pawai itu. Ia<br />
menulis tentang itu: “Seluruh masyarakat Cina datang<br />
menghadiri acara itu. Sungguh amat ramai: pakaian<br />
khas para peserta, semangat antusias yang semarak,<br />
si naga, genderang raksasa, laki-laki dalam keadaan<br />
trans yang memukul diri dengan pedang, kembang api<br />
yang berbunyi berjam-jam lamanya seakan-akan ada<br />
letusan kanon, pelawak-pelawak yang lucu. Semuanya<br />
itu mengubah sikap setiap orang yang kurang peduli<br />
menjadi pengikut pesta yang antisias.” Kepercayaan<br />
akan hantu, roh halus dan ramalan tetap berperan<br />
pada kebanyakan orang yang telah dibaptis.<br />
Konfusius<br />
Agama rakyat Cina terkadang disebut ‘agama<br />
Konfusius’. Konfusius (551-479 sebelum Masehi)<br />
adalah seorang filsuf Cina yang paling terkenal.<br />
Frater Ludolf merasa simpati akan filsuf itu. Ia<br />
memandangnya, seperti kebanyakan orang Cina,<br />
bukan sebagai seorang pendiri agama, melainkan<br />
sebagai seorang filsuf dan pengubah masyarakat<br />
yang memperjuangkan keselarasan yang benar di<br />
dalam masyarakat. Seakan-akan kita mendengar<br />
suara Frater Ludolf yang menyampaikan kepada para<br />
muridnya: “Untuk itu dibutuhkan: ketulusan hati,<br />
keadilan, kejujuran dalam pikiran, perkataan dan<br />
perbuatan.” Ia meringkaskan ajaran Konfusius sebagai<br />
berikut: “Kalau pedang-pedang sudah berkarat dan<br />
sekop-sekop berkilat; kalau tangga-tangga klenteng<br />
terkikis oleh kaki-kaki kaum beriman; kalau rumput<br />
berkembang di halaman pengadilan; kalau penjarapenjara<br />
kosong dan gudang-gudang penuh dengan<br />
gandum; kalau dokter-dokter berjalan kaki dan tukang<br />
roti naik kereta beroda ..... negara dipimpin dengan<br />
baik. Kalau begitu ‘tao’, artinya keselarasan yang<br />
sempurna, dihayati. Kata ‘tao’ pasti mengingatkan<br />
Frater Ludolf akan ‘Kerajaan Allah’ dan visi Yesaya,<br />
dalam mana ‘pedang-pedang akan ditempa menjadi<br />
mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau<br />
pemangkas’ (Yes. 2-4).<br />
Pemujaan leluhur<br />
Sambil mendalami agama rakyat Cina dan berbicara<br />
dengan teman-teman Cina, Frater Ludolf menemukan<br />
banyak kebersamaan dengan agama Kristiani.<br />
Begitu ia belajar bahwa kepercayaan kepada Allah<br />
yang Esa bukan masalah bagi orang-orang Cina,<br />
walaupun mereka kurang mampu membayangkan itu.<br />
Di klenteng sering terlihat patung-patung figura yang<br />
bukan dewa atau dewi, melainkan semacam orangorang<br />
kudus. Mereka itu lebih diperhatikan daripada<br />
dewa-dewi. Di kalangan orang Katolik hal semacam<br />
ini kadang-kadang juga terjadi kalau penghormatan<br />
terhadap Bunda Maria mempengaruhi liturgi. Agama<br />
rakyat Cina juga mengenal surga dan neraka, dosa<br />
dan hidup kekal. Pemujaan leluhur merupakan unsur<br />
penting. Kebanyakan rumah orang Cina mempunyai<br />
semacam altar-rumah untuk itu. Di situ dilakukan<br />
ritus-ritus untuk memuja leluhur. Pada permulaan<br />
Anak-anak yang baru dibaptis<br />
dengan daun palma dari<br />
hari Minggu Palma di tangan.<br />
9
INDONESIA<br />
Pemimpin umum, Frater Tarcisio Horsten (duduk di depan), waktu ‘visitasi’ di Manado, tahun 1930.<br />
bulan April ada pesta orang Cina, yang disebut<br />
‘Cing Bing’, yang berarti ‘murni’. Pada hari itu<br />
keluarga-keluarga Cina sering mengunjungi makammakam<br />
leluhur. Mereka membersihkan kubur kaum<br />
tercinta mereka, dengan menggunakan dupa, lilin<br />
dan makanan. Orang yang sudah wafat diundang<br />
untuk ikut makan, dan keluarga berdoa dan<br />
mendupai kuburnya.<br />
Kemudian mereka makan bersama di atas kubur.<br />
Biasanya ada banyak sisa makanan yang diberikan<br />
kepada kaum miskin, yang menunggu-nunggu di<br />
belakan pagar dan pintu gerbang. Frater Ludolf<br />
mengajak murid-muridnya agak mengikuti ritus-ritus<br />
leluhur di rumah dan di makam. Ia menyebut itu<br />
melaksanakan perintah keempat: ‘Hormatilah ayahmu<br />
dan ibumu.’ Untuk orang-orang mati tanpa famili yang<br />
bisa melaksanakan ritus di makam, diadakan pesta<br />
‘Cio Ko’ untuk memperingati jiwa-jiwa yang paling<br />
terlantar. Di klenteng sering dilihat patung ´Kwan Yin´,<br />
seorang dewi belaskasih. Hal ini menyangkut seorang<br />
dewi Buddha, yang dapat tempat dalam agama rakyat<br />
Cina. Dewi penuh cinta itu dipuja kalau tidak ada<br />
anak-anak, masalah di rumah tangga dan penyakit.<br />
Bagi Frater Ludolf tidak sulit melihat kebersamaan<br />
antara dewi ini dan Maria, Bunda Berbelaskasih dari<br />
agama Katolik kita.<br />
secara pribadi. Semua orang dipanggil untuk<br />
kebahagiaan kekal, dan tidak boleh membiarkan diri<br />
berputus asa jika merasa lemah dan berdosa, karena<br />
Allah selalu bersedia untuk mengampuni.” Lagi:<br />
“Kami bukan perebut jiwa. Kami memperhatikan<br />
semua murid dari agama manapun secara sama saja,<br />
dan membantu mereka sama saja. Tak pernah seorang<br />
murid, baik Protestan, beragama Buddha, Cina atau<br />
Islam menunjukkan perasaannya yang tersinggung<br />
karena kami kurang menghormati agamanya. Karena<br />
itu mereka tetap sahabat-sahabat kami. Selama 43<br />
tahun saya dapat kesempatan untuk melakukan itu.<br />
Masa yang indah!! Pada tahun-tahun pertama saya<br />
berjuang dengan argumen-argumen yang menekankan,<br />
akan tetapi saya semakin menyadari bahwa Yesus<br />
pernah mengatakan: “Kuk yang Kupasang itu enak<br />
dan beban-Ku pun ringan’ (Mt. 11: 30).“<br />
Frater Pieter-Jan van Lierop<br />
Orang-orang yang baru dibaptis menikmati makanan pesta.<br />
Masa yang indah<br />
Maksud karya misi Frater Ludolf terungkap dalam<br />
kutipan-kutipan berikut. “Saya berusaha untuk<br />
menanamkan keyakinan pada murid-murid saya<br />
bahwa Allah adalah baik dan penuh belaskasih,<br />
yang memperhatikan penuh cinta setiap orang<br />
10
BERITA PENDEK<br />
PESTA EMAS DI KENYA<br />
Pada tanggal 8 Oktober 2011, Cardinal Otunga<br />
Highschool merayakan hari jadi yang ke-50. Sekolah<br />
ini didirikan di tempat bersejarah di mana misi <strong>CMM</strong><br />
dimulai sesudah frater-frater pertama tiba di Kenya<br />
(tahun 1958). Nama sekolah ini diambil dari Bapak<br />
Kardinal di Kenya, yaitu Maurice Michael Otunga<br />
(1923-2003). Beliau adalah uskup Kisii (1960-1969)<br />
dan kemudian uskup agung Nairobi (1971-1997).<br />
Untuk perayaan itu ribuan orang diundang: siswa,<br />
orang tua, umat paroki, frater dan wakil pemerintah.<br />
Perayaan berlangsung sepanjang hari dan terdiri atas<br />
perayaan Ekaristi, sekian pidato, sidang akademis dan<br />
beberapa pertandingan olahraga.<br />
Uskup Kisii, Mgr. Joseph Mairura Okemwa, memberkati<br />
para siswa ‘Cardinal Otunga High School’.<br />
ANGGOTA ASOSIASI<br />
Berry van de Brink menandatangani surat perjanjian,<br />
disaksikan oleh pemimpin umum, Frater Broer<br />
Huitema (kanan) dan Frater Jan Koppens.<br />
Pada tanggal 20 November 2011, di hadapan<br />
pemimpin umum Frater Broer Huitema, Berry van<br />
de Brink mengucapkan janjinya sebagai orang<br />
asosiasi seumur hidup pada kongregasi <strong>CMM</strong>. Hal ini<br />
berlangsung di kapel Wisma Lansia Joannes Zwijsen<br />
di Tilburg. Frater Jan Koppens, pemimpin provinsi<br />
Belanda dan Frater Harrie van Geene, pemimpin<br />
komunitas Joannes Zwijsen berperan sebagai<br />
saksi resmi. Sejak 1995 Berry van den Brink sudah<br />
berhubungan dengan komunitas Joannes Zwijsen<br />
sebagai tenaga sukarela.<br />
BINTANG JASA DI BRASIL<br />
Pada tanggal 8 Desember 2011 diserahkan bintang<br />
jasa ‘Desembargador Hélio Costa’ kepada Frater<br />
Henrique Matos atas nama Pengadilan Negara<br />
bagian Minas Gerais di Brasil. Bintang jasa itu<br />
diserahkan kepada frater dan tim pastoral penjara.<br />
Frater Henrique adalah tenaga utama tim itu yang<br />
berjuang memanusiakan sistim penjara di daerah<br />
Belo Horizonte di São Joaquim de Bicas. Jasa frater<br />
itu dianggap luar biasa. Pada bulan November 2009,<br />
tim pastoral penjara itu mengambil inisiatif untuk<br />
mengunjungi lima ratus tahanan di kompleks penjara<br />
itu, dan mendampingi mereka setelah kembali di<br />
tengah masyarakat. Usaha ini dilakukan berdasarkan:<br />
“Ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi<br />
Aku” (Mt. 25: 36).<br />
Frater Henrique Matos.<br />
11
BERITA PENDEK<br />
BELASKASIH DI<br />
TANAH BATAK<br />
“Danau Toba dengan pulau Samosir dikenal oleh semua<br />
orang yang berlibur di Sumatera Utara. Alamnya sungguh<br />
indah dengan wilayah persawahan yang berwarna<br />
dalam segala variasi hijau dan dengan ‘tugu-tugu’<br />
di tengah persawawahan. Pada lereng-lereng Danau<br />
Toba yang berbukit-bukit terdapat kampung-kampung<br />
yang berumah adat Batak; sana-sini kelihatan petanipetani<br />
di ladang. Selama sepuluh hari, saya dapat<br />
menikmati kunjungan saya di Tanah Batak. Namun<br />
saya tidak di situ untuk keindahan alam. Saya di situ<br />
untuk memperhatikan Gerakan Belaskasih di daerah<br />
Batak Toba.” Demikian ditulis Frater Wim Verschuren<br />
dalam Surat Edaran Gerakan Belaskasih di Belanda,<br />
jilid ke-57, yang diterbitkan bulan Februari yang lalu.<br />
Ia mengunjungi Tanah Batak sebelum menghadiri<br />
sidang umum kongregasi <strong>CMM</strong>, yang berlangsung di<br />
Yogyakarta. Gerakan Belaskasih di Tanah Batak dimulai<br />
tahun 2008 dan sekarang terdiri atas tiga kelompok yang<br />
berkumpul secara teratur. Suatu dewan memperhatikan<br />
jalannya gerakan itu. Kira-kira lima puluh pria dan<br />
wanita berpartisipasi. Frater Wim Verschuren berbicara<br />
mengenai gerakan ini waktu pertemuan mereka<br />
di halaman biara S<strong>CMM</strong>. Ia menjelaskan makna<br />
‘belaskasih’ dalam hidup sehari-hari berdasarkan cerita<br />
orang Samaria yang berbelaskasih. Ia menulis: “Ketika<br />
Frater Ad Hems berinisiatif untuk mendirikan Gerakan<br />
Belaskasih di Tanah Batak, saya mengatakan kepadanya:<br />
‘jika saya sempat mengunjungi Indonesia, saya ingin<br />
mengunjungi gerakan itu. Kesempatan itu datang dengan<br />
tiba-tiba. Saya senang dan bersyukur bahwa gerakan,<br />
yang sebetulnya merupakan mata rantai dalam ‘rantai<br />
belaskasih’ di seluruh dunia, sekarang juga berakar di<br />
Tanah Batak yang elok itu.”<br />
PENERBANGAN GA 208<br />
Frater Yan Koppens, pemimpin provinsi <strong>CMM</strong><br />
Belanda, berjalan ke sidang umum <strong>CMM</strong> di Indonesia<br />
(lihat: hal. 6-7). Waktu penerbangan dalam negeri<br />
pada tanggal 1 Oktober 2011 ia mengalami suatu<br />
pertemuan yang menarik. “Sesudah ucapan selamat<br />
datang oleh pramugari Garuda, saya mencari kursi<br />
16-c di tengah pesawat. Di samping saya masih<br />
terdapat kursi kosong, barangkali akan tinggal kosong<br />
selama penerbangan dari Jakarta ke Yogyakarta. Lalu<br />
muncul seorang ibu berjilbab yang punyai tempat di<br />
samping saya. Kami berdua mulai bicara. Pada suatu<br />
ketika saya bertanya apakah ia pernah berziarah<br />
ke Mekka. “Memang, pada tahun 2000’, katanya.<br />
Apa yang ibu mengalami waktu itu? Penuh antusias<br />
ia menceritakan pengalaman rohaninya. Wajahnya<br />
bersinar. Saya bercerita mengenai ziarah terakhir saya<br />
ke tempat-tempat rohani yang khusus di Perancis.<br />
Ibu ini memahami itu dan menerima pengalaman<br />
saya. Pembicaraan berjalan terus. Kami berbicara<br />
mengenai Palestina dan Israel, suatu masalah relasi<br />
yang tak terhenti dan hanya mengenal korban-korban<br />
pada kedua belah pihak. Persaudaraan adalah kunci<br />
perdamaian. Juga di daerah-daerah lain di mana ada<br />
perselisihan berdarah, seperti barusan di Ambon,<br />
orang-orang meminta perwujudan persaudaraan. Kami<br />
berbicara tentang itu, sambil mengetahui bahwa kami<br />
berdua tidak mampu mengubah dunia itu. Kami hanya<br />
merasa terpanggil untuk mewujudkan persaudaraan<br />
dalam lingkungan hidup kami masing-masing. Harapan<br />
kami berdua agar semua orang mampu hidup sebagai<br />
saudara dan saudari, penuh respek. Penerbangan GA<br />
208 hanya berlangsung 45 menit. Pertemuan kami<br />
berdua, yang kebetulan duduk berdampingan, telah<br />
berlangsung polos dan terbuka. Sesudah mendarat<br />
dengan selamat sabuk pengaman dilepaskan, dan kami<br />
berpamit. Secara spontan saya katakan: “Semoga Ibu<br />
Sri diberkati Allah”, dan ia membalas dengan “Semoga<br />
Bapak Yan pun diberkati Allah.”<br />
12
KENYA & NAMIBIA<br />
BERTUMBUH KE<br />
DALAM KONGREGASI<br />
Frater Daniel Nyakundi, pemimpin komunitas dan novisiat di Sigona-Kenya, yang mencatat<br />
pengalaman dari beberapa novis tahun pertama. Dan dari Namibia, postulan John Kalalumpa<br />
bercerita mengenai pengalamannya mengenai pertumbuhannya masuk ke dalam kongregasi.<br />
‘Murid dari Tuhan yang bangkit’<br />
Dalam perjalanan hidup religius yang masih muda, saya mengalami bahwa saya adalah seorang murid dari Tuhan<br />
yang bangkit. Yesus Kristus minta dari saya agar saya merelakan diri pada pelayanan demi sesama di segala bidang.<br />
Satu aspek kerasulan sebagai novis adalah bahwa saya berpartisipasi dalam les agama di sekolah menengah.<br />
Memang luar biasa bahwa dengan cara demikian saya membagi iman kita dengan ‘domba-domba Tuhan’. Saya<br />
menyadari bahwa ‘kawanan’ ini membutuhkan dukungan kami pada perjalanan yang selaras dengan iman kita<br />
dan dengan tantangan iman kita. Hal ini sesuai dengan sabda Kitab Suci: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya<br />
barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaanpekerjaan<br />
yang lebih besar dari pada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa.” (Joh. 14: 12)<br />
Frater Ladislaus Livingi<br />
‘Tantangan untuk melayani’<br />
Sebagai frater <strong>CMM</strong>, kami diajak untuk merelakan diri<br />
secara total bagi orang miskin. Secara terbatas, karena<br />
masa novisiat, saya berpartisipasi dalam kerasulan di<br />
SD yang letaknya dekat. Melayani anak-anak merupakan<br />
tantangan besar bagi saya, baik dahulu maupun<br />
sekarang. Saya berupaya melayani semua murid, tanpa<br />
mengutamakan agama, suku, budaya atau umur tertentu.<br />
“Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah<br />
seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu<br />
telah melakukannya untuk Aku”, begitulah Injil yang<br />
dikutip oleh Konstitusi <strong>CMM</strong> (I, 200). Kutipan itu selalu<br />
memotivasikan saya untuk melayani. Saya tertantang<br />
agar, apa yang saya lakukan untuk orang lain, bukan<br />
dilakukan untuk dia melainkan untuk Kristus sendiri.<br />
Dalam kerasulan saya diajak melayani orang penuh<br />
hormat, cinta dan dengan dedikasi. Sampai sekarang<br />
para guru sekolah itu membantu saya dengan baik<br />
dalam usaha agar saya melayani anak-anak sebagai<br />
frater berbelaskasih. Saya menemukan bahwa, kalau<br />
saya terlibat dalam karya kasih, saya harus berbakti<br />
Frater Videlis Ong’ombe Minyega di tengah muridnya.<br />
secara total. Hal ini gampang dikatakan, namun itu<br />
merupakan tantangan besar untuk dilakukan dengan<br />
nyata. Akhirnya, sebagai frater saya dipanggil untuk<br />
menjadi model dan teladan hidup mengenai cara<br />
Yesus menjalankan hidup-Nya.<br />
Frater Videlis Ong’ombe Minyega<br />
13
KENYA & NAMIBIA<br />
Novisiat di Sigona, Kenya.<br />
‘Bersatu dengan Allah dan sesama’<br />
Kami mengikuti kursus yang khusus untuk kaum<br />
novis. Hal itu diorganisasi oleh beberapa kongregasi<br />
demi menunjang perkembangan spiritual dan hidup<br />
berkomunitas. Kursus itu berlangsung tiga kali<br />
setahun, pada bulan Februari, Mei dan Oktober.<br />
Tema-tema yang barusan saya ikuti adalah:<br />
bagaimana menghadapi seksualitas sebagai<br />
religius, liturgi dan ekaristi, menghayati Allah<br />
Tritunggal sebagai dasar hidup berkomunitas<br />
dan surat-surat rasul Paulus. Dalam kursus itu<br />
saya menemukan bahwa hidup sebagai religius<br />
berarti: hidup bersatu dengan Allah dan sesama.<br />
Untuk hidup berkomunitas secara sejati, kami<br />
kiranya saling membantu dan tidak seorangpun<br />
hanya mempedulikan kepentingan pribadi. Hal ini<br />
merupakan tantangan besar berhubungan dengan<br />
perkembangan kami dalam relasi dengan Allah<br />
dan sesama. Pada kursus itu juga ada kesempatan<br />
untuk berbicara dengan novis-novis lain, dan<br />
mengetahui kharisma-kharisma kongregasi<br />
lain. Setiap hari Yesus menantang kami, baik<br />
dalam kegiatan yang paling sederhana pun dan<br />
pada godaan yang harus diatasi, maupun dalam<br />
pelayanan yang kami lakukan bagi umat Allah.<br />
Frater Geoffrey Sinange<br />
Pengalaman saya sebagai postulan<br />
di Windhoek, Namibia<br />
Panggilan hidup religius ditandai oleh kerinduan untuk<br />
melayani Allah dan juga umat-Nya, melayani kaum<br />
miskin dan mendampingi orang agar mereka mampu<br />
mengalami cintakasih Allah. Karena membantu sesama<br />
merupakan panggilan setiap orang, maka melayani<br />
sesama bukan ciri khas panggilan religius. Hal yang<br />
unik dalam panggilan religius adalah hidup dalam<br />
keselarasan dengan kaul kemiskinan, kemurnian dan<br />
ketaatan serta hidup dalam komunitas religius. Tugas<br />
pokok seorang religius adalah memberikan kesaksian<br />
kepada kaum beriman, bahwa kita semua dipanggil<br />
untuk menghadapi dengan hormat semua orang, diri<br />
kita sendiri dan seluruh karya ciptaan Tuhan. Pada<br />
pokoknya kami dapat mengatakan bahwa kami bukan<br />
saja milik Allah, melainkan juga milik masyarakat.<br />
Cita-cita saya, yang sekaligus ciri khas hidup selibat<br />
religius, adalah agar berpadu dengan semua anak<br />
Allah, terutama mereka yang paling berkekurangan.<br />
Kongregasi <strong>CMM</strong> mewujudkan cita-cita itu di Namibia<br />
Postulat <strong>CMM</strong> di Abtstreet,<br />
kota Windhoek, Namibia.<br />
melalui pengajaran dan pendidikan, dan saya ingin<br />
menempuh jalan itu. Pada kesempatan ini saya ucapkan<br />
terima kasih banyak kepada dewan umum kongregasi,<br />
Frater Broer Huitema, Frater Edward Gresnigt, Frater<br />
Ronald Randang, Frater Lawrence Obiko, Frater Martinus<br />
Lumbanraja, dan Frater Hermenegildus Beris sebagai<br />
pemimpin Regio Namibia, dan Frater Paul Onyango<br />
Onyisi, pemimpin postulan, yang mendampingi saya<br />
di masa stage dan sebagai calon di Namibia, juga<br />
semua frater yang memperkuat iman saya. Semoga<br />
Allah tetap memberkati anda sekalian.<br />
John Kabalumpa<br />
14
BELANDA<br />
‘BERGEGASLAH PELAN-PELAN DAN<br />
BERJALANLAH BERSAMA ALLAH’<br />
Ziarah Vinsensius di tahun 2011 berlangsung dari 26 Agustus - 7 September. Dikunjungi tempat-tempat di<br />
Perancis di mana Vinsensius a Paulo hidup dan bekerja. Santo Vinsensius telah mengilhami Joannes Zwijsen<br />
dalam mendirikan kedua kongregasinya. Terdapat banyak lembaga religius lain yang memandang Vinsensius<br />
sebagai sumber inspirasi yang penting. Sejak tahun 1998 ziarah Vinsensius berlangsung setiap tahun bagi kaum<br />
religius dan orang lain yang berminat. Suster Rosa Wigink, pemimpin umum Kongregasi PMY, telah mengikuti<br />
ziarah itu. Apa makna perjalanan ini baginya? Ia menyampaikan itu pada pertemuan ‘Keluarga Besar Vinsensian<br />
Belanda’. Di bawah ini terdapat ringkasan kisahnya.<br />
Selama 12 hari, saya menjalankan ziarah Vinsensius.<br />
Ada kesempatan untuk mengambil waktu bagi diri<br />
sendiri: doa, renungan tetapi juga menikmati alam,<br />
kesenian, budaya dan rekreasi. Saya dapat mengenal<br />
hidup dan karya Santo Vinsensius, Santa Louise de<br />
Marillac dan beato Frédérique Ozanam.<br />
Lima keutamaan<br />
Di samping pelayanan kaum miskin dan pendidikan<br />
imam, Vinsensius menggunakan lima keutamaan:<br />
kesederhanaan: hidup polos dengan bertolak dari<br />
hatimu; kerendahan hati: menyesuaikan diri dengan<br />
mencari tempat dalam keseluruhan; kelembutan:<br />
bersikap tegas dalam upaya, namun penuh cinta<br />
dan sabar terhadap orang; matiraga: mengurangi<br />
sesuatu demi kepentingan orang lain; upaya demi<br />
jiwa-jiwa: semangat kepaduan. Louise de Marillac<br />
disingkirkan dalam masa mudanya. Ia mencari<br />
kesempatan unuk mendalami hidupnya. Kemudian ia<br />
bertemu dengan Vinsensius. Louise memperjuangkan<br />
pendirian kongregasi suster yang menjalankan hidup<br />
religius mereka secara aktif: Puteri Kasih (PK).<br />
Banyak perempuan menjadi anggota kongregasi itu.<br />
Mereka bersama mengadakan banyak karya amal<br />
tanpa pamrih. Dua ratus tahun sesudah masa hidup<br />
Vinsensius a Paulo muncul Frédérique Ozanam, seorang<br />
mahasiswa yang muda, seorang beriman yang berapiapi,<br />
yang mempedulikan nasib banyak orang papa. Ia<br />
mendirikan ‘Serikat Santo Vinsensius’ (SSV). Serikat<br />
itu tersebar di seluruh dunia. Frédérique Ozanam<br />
bukan hanya membantu secara langsung orang-orang<br />
bersusah, melainkan ia juga beraksi melenyapkan<br />
penyebab-penyebab kesusahan mereka.<br />
Melayani kaum miskin<br />
Hati saya tergerak oleh ziarah ini. Perjalanan ini<br />
sungguh mendekatkan Vinsensius pada hidup saya<br />
dan saya menemukan dia kembali: kesederhanaannya,<br />
kepercayaannya pada Penyelenggaraan Ilahi, daya<br />
juang dan cintakasihnya bagi kaum miskin. Semuanya<br />
itu dan masih banyak hal lain lagi menyentuh hati<br />
saya. Dalan ziarah ini saya diundang untuk mawas<br />
diri, jalan hidup saya dan iman saya. Seumur hidupnya<br />
Vinsensius berjuang demi kaum papa. Karya kasihnya<br />
Foto kelompok ini diambil di Lussac dekat Paris. Suster Rosa berdiri tepat di<br />
tengah-tengah foto, pada barisan kedua, berbaju putih.<br />
15
BELANDA<br />
Lapangan di Perancis dengan nama Vinsensius a Paulo.<br />
yang pertama dimulai dengan kelompok-kelompok<br />
wanita (bukan religius). Setiap kali ia mengulangi:<br />
“Kaum miskin adalah majikanmu.” Saya tersentuh<br />
oleh ucapan itu. Saya harus melayani kaum miskin<br />
karena keadilan, bukan karena perasaan kasihan.<br />
Apa yang saya berbuat dengan semangat Vinsensius?<br />
Saya berusaha untuk mempedulikan orang-orang lain,<br />
walaupun hal ini kadang-kadang sulit. Dengan sikap<br />
supel, ramah dan penuh respek saya mau bergaul<br />
dengan mereka. Vinsensius juga mengatakan:<br />
“Kalau anda mengunjungi kaum miskin sepuluh<br />
kali sehari, sepuluh kali Anda mengunjungi Allah. …<br />
Kunjungilah seorang sakit, dan anda akan menemukan<br />
Allah ….. Pergilah kepada orang yang kesepian atau<br />
yang pikun, dan anda akan menemukan Allah.”<br />
Keramahan<br />
Bagi Vinsensius, kaum miskin adalah citra<br />
Allah. Apakah demikian saya hayati? Vinsensius<br />
menggambarkan kelembutan sebagai kehangatan<br />
dan keramahan yang manusiawi, terutama di dalam<br />
komunitas. Kekerasan hati atau wajah yang suram<br />
merupakan halangan dalam usaha menemukan orang<br />
lain. Keramahan berasal langsung dari hati. Tak dapat<br />
dijelaskan apa itu cintakasih. Cinta harus dilakukan.<br />
Saya berbuat apa dengan itu? Saya berusaha<br />
memperhatikan dengan ramah setiap orang yang saya<br />
ketemu, baik yang miskin maupun yang kaya. Saya<br />
berusaha untuk hidup sebagai wanita religius yang<br />
tergerak hatinya. Vinsensius mengatakan: “Orang<br />
di dunia tak keluar rumah tanpa melihat ke dalam<br />
cermin.” Allah ingin dari saya agar saya juga melihat<br />
ke dalam cermin: cermin jiwaku. Hal ini terjadi bila<br />
saya berdoa dalam hidup sehari-hari, menjadi tenang<br />
dan kembali pada diriku untuk melihat dan mendengar<br />
apa yang Tuhan inginkan. Saya percaya bahwa Yesus<br />
tetap hadir di dalam hidup saya. Vinsensius suka<br />
berdoa. Setiap pagi ia bangun pada pagi-pagi buta<br />
Kampung di Perancis ‘Saint-Vincent-de-Paul’<br />
(d/h disebut ‘Le Pouy’), tempat kelahiran<br />
Vinsensius a Paulo.<br />
untuk berdoa dan menguduskan harinya. Berdoa dan<br />
kesederhanaan berjalan bersama. Apakah hal itu terjadi<br />
pada diri saya? Jalan yang ditempuh oleh Vinsensius<br />
menyangkut ‘melihat’ jalan. Hal ini berarti bagi saya:<br />
menggunakan mata saya dengan baik.<br />
Penyelenggaraan Ilahi<br />
Inti hidup ini adalah hati yang tergerak, supaya hati<br />
saya turut berbicara dan kemudian bergerak, karena<br />
saya harus melakunan sesuatu. Setiap hari pengutusan<br />
saya berjalan terus juga sekarang ini, di mana usia saya<br />
bertambah. Dengan demikian hidup saya tetap berguna.<br />
Saya diundang untuk menampakkan cinta Allah yang<br />
belaskasih. Misalnya dengan melayani, mendengar,<br />
tetapi juga dengan mengungkapkan rasa terima kasih,<br />
dengan sadar memberi salam secara ramah, mengatakan<br />
kata yang baik, tidak membicarakan orang lain secara<br />
negatif kalau orangnya tidak hadir, dan hadir di dalam<br />
komunitas. Pernah seseorang mengatakan: “Semoga<br />
kita menjadi penenun dalam Kerajaan Allah, seperti<br />
Vinsensius, dan memperhatikan sesama, siapapun<br />
orangnya.” Vinsensius juga seorang berkharisma, yang<br />
terus-menerus membandingkan kenyataan dengan<br />
pesan Injili. Vinsensius adalah seorang yang besar.<br />
Semangatnya untuk memperjuangkan kepentingan<br />
kaum miskin menarik banyak perhatian. Ia bersikap<br />
lemah-lembut, sabar, sederhana dan ia percaya pada<br />
Penyelenggaraan Ilahi. Ia mampu berbicara dengan<br />
menarik perhatian orang. Ia juga sangat mampu<br />
mencari akal. Ia percaya pada Penyelenggaraan Ilahi<br />
secara aktif. Semua gambar Vinsensius menunjukkan<br />
seseorang yang memandang dengan tenang.<br />
Matanya telah melihat banyak penderitaan, tetapi<br />
juga kegembiraan dan tanda-tanda terima kasih.<br />
Ia telah mengalami suatu proses pertobatan yang<br />
besar, dan melanjutkan hidupnya dengan mengikuti<br />
jejak-jejak Yesus. Ia juga mampu menyemangati<br />
orang-orang lain.<br />
16
Perayaan di gereja Folleville, di mana Vinsensius berkhotbah untuk pertama kalinya.<br />
Perayaan Ekaristi di rumah kelahiran Vinsensius.<br />
Perayaan di Chartres. Frater Jan Koppens<br />
membawa renungan.<br />
Prasasti dalam kapel di Château-l’Evêque,<br />
di mana Vinsensius ditahbiskan menjadi imam.<br />
Teladan<br />
Bagi saya, Vinsensius adalah seorang kudus yang<br />
semakin membuka mata saya bagi sesama yang lemah,<br />
dan ia merupakan teladan bagi saya. Hatinya tergerak<br />
dan dari situ ia mengembangkan karya-karya kasih,<br />
yang belum dikembangkan dalam masyarakat itu. Ia<br />
seserorang yang sangat aktif, sekaligus ia bersemangat<br />
religius secara mendalam, yang sangat setia pada<br />
acara meditasi. Juga sekarang masyarakat kurang<br />
dapat melenyapkan masalah kemiskinan. Vinsensius<br />
dapat disebut ‘Duta Perdamaian’. Dalam ziarah ini<br />
saya menyadari bahwa Vinsensius telah memberikan<br />
sangat banyak kepada kita semua dan kepada banyak<br />
kongregasi yang mengikuti spiritualitasnya.<br />
Kesederhanaan<br />
Dalam ketenangan doaku saya dapat memperhatikan<br />
kebutuhan banyak orang di dunia ini dan membuka<br />
hati saya bagi mereka yang membutuhkan perhatian<br />
saya. Dengan hati bersykur saya dapat memandang<br />
kembali ziarah ini, dalam mana doa, refleksi, budaya<br />
dan rekreasi diberikan tempat. Waktu perjalanan ini<br />
saya dapat mencas baterai saya. Vinsensius pernah<br />
mengatakan: “Bergegaslah pelan-pelan”, yang berarti:<br />
“Lanjutkanlah usahamu dan bersabarlah selalu, namum<br />
bagaimapun juga lanjutkanlah usahamu.” Vinsensius<br />
tetap sungguh tenang bila ia mengalami halangan.<br />
Kesederhanaan merupakan inti spiritualitasnya.<br />
Kepada kaum religius, ia memberikan kesederhanaan<br />
sebagai keutamaan terpenting. Keutamaan ini saya<br />
ingin wujudkan dalam hidup saya: “Di mana ada<br />
kesederhanaan, di situ Allah dapat ditemukan”.<br />
“Bergegaslah pelan-pelan, tetapi bagaimanapun juga<br />
lanjutkanlah usahamu.” Hal ini saya juga harapkan<br />
agar terjadi dalam ziarah vinsensian: “Bergegaslah<br />
pelan-pelan dan berjalanlah bersama Allah.”<br />
Suster Rosa Wigink<br />
17
INTERNASIONAL<br />
INSPIRASI<br />
VINSENSIAN<br />
DI PARIS<br />
Vinsensius a Paulo, patungnya di<br />
generalat <strong>CMM</strong>, Tilburg.<br />
Di tahun-tahun terakhir beberapa frater mengikuti kursus tiga bulan tentang spiritualitas vinsensian. Kursus itu<br />
diberikan di kota Paris, di pusat pembinaan internasional CM, kongregasi yang didirikan oleh Vinsensius a Paulo.<br />
Frater Benyamin Tunggu dari Indonesia melaporkan tentang itu dalam terbitan majalah ini yang lalu. Kali ini<br />
Frater John Karungai dari Kenya memberikan gambarannya mengenai kursus yang ia ikuti pada tahun 2011.<br />
Kursus yang diberikan di ‘Centre Internasional de<br />
Formation St. Vincent’ (CIF) membantu saya untuk<br />
mendapat pandangan lebih jelas mengenai diri saya<br />
sendiri, tentang Vinsensius, sejarah kongregasi,<br />
pedoman hidup <strong>CMM</strong> dan hidup berkomunitas.<br />
Keberadaan saya di kota Paris juga menjelaskan<br />
pilihan saya untuk hidup sebagai ‘saudara<br />
berbelaskasih’. Saya dikuatkan untuk menghadapi<br />
lagi tantangan-tantangan kerasulan saya. Seluruh<br />
program yang terisi dengan ceramah, pendalaman<br />
pribadi dan perayaan Ekaristi, menghantar saya<br />
kembali ke sumber spiritual kehidupan saya sebagai<br />
frater berbelaskasih.<br />
‘Dibuang ke dalam air yang dalam’<br />
Perjalanan ke tempat-tempat di Perancis di mana<br />
Vinsensius hidup dan bekerja memberikan gambaran<br />
yang lebih nyata mengenai orang kudus itu. Bagi<br />
saya jauh lebih jelas bagaimana ia mencintai kaum<br />
miskin. Dalam diri kaum miskin ia melihat Kristus,<br />
yang ia ingin layani dengan cinta dan dedikasi.<br />
Saya seakan-akan dibuang ke dalam ‘air yang dalam’,<br />
belajar untuk melihat dengan kritis masa saya yang<br />
lampau, dan menarik kesimpulan untuk memulai<br />
kembali hidup saya sesuai keinginan Vinsensius.<br />
Pendiri kongregasi kita, Joannes Zwijsen, mengatakan:<br />
“Kalau mau mencapai sasaran, mulai berlangkah saja.”<br />
Di Konstitusi <strong>CMM</strong> tertulis: “Ia menghendaki agar para<br />
pengikutnya meneladani Vinsensius a Paulo, mengabdi<br />
Allah dalam sesama manusia dan dengan demikian<br />
menghantarnya kepada Allah” (I, 208). Dengan kembali<br />
ke sumber, rasa dahaga saya dihilangkan, dan sekarang<br />
saya dapat giliran untuk menghilangkan dahaga orang<br />
lain, seperti dibuat oleh Yesus terhadap wanita Samaria<br />
(Joh. 4: 1-45). Saya percaya bahwa saya mampu<br />
hidup dalam semangat sang pendiri dengan bantuan<br />
Bunda Maria yang Berbelaskasih dan Vinsensius,<br />
yang menghayati keutamaan seperti kesederhanaan,<br />
kerendahan hati, kelembutan, matiraga dan berjuang<br />
demi keselamatan orang.<br />
Frater John Karungai<br />
18
BERITA PENDEK<br />
FILM MENGENAI CERITA-<br />
CERITA HIDUP MEMBIARA<br />
Pada tanggal 20 November 2011 dilangsung di desa<br />
Goirle pemutaran perdana film dokumenter yang<br />
berjudul ‘Keindahan dan penderitaan dalam hidup<br />
membiara’. Tempat pertunjukan adalah ‘Pusat Budaya<br />
Jan van Besouw’ di Goirle, dimana dahulu terdapat<br />
frateran <strong>CMM</strong>. Film dibuat oleh ‘Yayasan Verhalis’ dari<br />
Tilburg, yang mengumpulkan kenang-kenangan dan<br />
cerita-cerita yang mau disimpan bagi generasi berikut.<br />
Yayasan itu sudah menfilmkan delapan ‘cerita hidup<br />
membiara’, dan dalam seri kedua menambahkan<br />
17 cerita dalam film dokumenter yang baru. Dalam<br />
film itu religius-religius asal Propinsi Brabant bercerita<br />
mengenai hidup mereka. Dalam seri yang baru ini<br />
terdapat riwayat hidup mantan frater Marius van den<br />
Boom. Hal yang menonjol adalah bahwa ia difilmkan<br />
oleh anaknya Andries. Bersama dengan ayahnya ia<br />
melihat kembali pada masa kehidupan ayahnya sebagai<br />
frater. Film-film itu dibuat oleh delapan pembuat film<br />
yang muda. Kepada mereka masing-masing diberikan<br />
kesempatan membuat dua film di bawah bimbingan<br />
Carine van Vught dan Jeroen Neus.<br />
Mantan frater Marius van den Boom (di tengah)<br />
dengan puteranya Andries dan Frater Broer Huitema<br />
pada waktu pemutaran perdana dokumenter ‘Keindahan<br />
dan penderitaan dalam hidup membiara’.<br />
PROFESI SEUMUR<br />
HIDUP DI<br />
INDONESIA DAN<br />
TIMOR LESTE<br />
Di Medan, pada tanggal 29 Desember 2011, tujuh<br />
frater mengikrarkan profesi seumur hidup mereka<br />
di hadapan pemimpin umum, Frater Broer Huitema.<br />
Ketujuh frater itu adalah: Frater Leston Situmorang,<br />
Benad Simbolon, Yasintus Seran, Wilfridus Bria,<br />
Markus Rindi, Petrus Lain dan Fransiskus Nahak.<br />
Profesi itu berlangsung di kapel RS St. Elisabeth<br />
dalam perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Uskup<br />
Agung Mgr. Anicetus Sinaga OFMCap bersama<br />
lima imam. Dalam pidatonya, Frater Broer Huitema<br />
menekankan bahwa hidup sebagai frater merupakan<br />
suatu proses seumur hidup, dan bahwa dalam proses<br />
itu tidak selalu gampang untuk hidup dengan setia<br />
sesuai dengan ketiga kaul. “Oleh sebab itu sungguh<br />
penting bahwa kegembiraan dan penderitaan<br />
Tujuh frater Indonesia seusai mengikrarkan<br />
profesi untuk seumur hidup.<br />
dibicarakan secara terbuka dengan pimpinan<br />
dan pembimbing rohani”, kata pemimpin umum.<br />
“Hidup doa dan hidup berkomunitas mendukung<br />
Saudara untuk berkembang di jalan hidupmu<br />
sebagai saudara yang berbelaskasih.” Di kota Dili<br />
- Timor Leste, pada tanggal 7 Januari 2012, Frater<br />
Pedro Guterres dan Frater Cancio da Costa Gama<br />
mengikrarkan profesi seumur hidup mereka di<br />
hadapan pemimpin umum Perayaan Ekaristi, pada<br />
kesempatan profesi itu, dipimpin oleh Uskup Dili,<br />
Mgr. Alberto Ricardo da Silva. Dalam khotbahnya<br />
beliau menekankan betapa indah dan bermakna<br />
hidup religius. Ia mengharapkan agar frater-frater<br />
memberikan perhatian terutama pada orangorang<br />
di pedalaman.<br />
19
BERITA PENDEK<br />
KOLEKSI ‘SCRYPTION TILBURG’<br />
AKAN DIJUAL<br />
Bekas museum Scryption, Tilburg<br />
Koleksi mantan museum ‘Scryption’ di Tilburg akan<br />
dijual. Museum itu harus menutup pintunya pada<br />
bulan Januari 2011, karena pemerintah kota Tilburg<br />
mengurangi subsidinya. Pernah ada harapan membuka<br />
kembali museum itu di kota Eindhoven, akan tetapi<br />
pemerintah kota itu tidak bersedia memberikan<br />
subsidi. Selama 22 tahun museum itu berdiri dan<br />
memamerkan sejarah tulisan dan alat tulis dan<br />
bagaimana segala itu dipakai di dunia perkantoran.<br />
Para pengunjung melihat sekian jenis mesin tik,<br />
pulpen, pensil, balpen, pena lepas, mesin kopi, mesin<br />
stensil, komputer dan perabot kantor. Seorang penulis<br />
terkenal di Belanda, Willem Frederik Hermans, yang<br />
meninggal tahun 1995, mewariskan koleksinya<br />
pada museum itu. Koleksi itu terdiri atas kira-kira<br />
200 mesin tik. Setiap tahun 20.000 orang mengunjungi<br />
museum itu. Pengetahuan dan pengalaman masih<br />
digunakan dalam suatu organisasi, bernama Npuntnul.<br />
Organisasi itu akan kembangkan kegiatan di bidang<br />
komunikasi dan media sosial. Npuntnul akan<br />
mengembangkan kegiatan-kegiatan seperti pameran,<br />
bahan untuk media, ceramah dan diskusi, proyekproyek<br />
media sosial dan dunia pendidikan. Koleksi<br />
museum itu pernah dimulai sebagai pengumpulan<br />
barang oleh frater-guru Ferrerius van den Berg.<br />
Tidak lama sesudah Perang Dunia II, ia mulai<br />
studinya di bidang tulisan indah. Waktu itu ia juga<br />
mulai mengumpulkan segala macam benda dan alat<br />
berkaitan dengan tulis-menulis itu. Inilah permulaan<br />
suatu koleksi yang unik, yang berkembang menjadi<br />
‘Museum Penulisan dan Mesin Tik’, yang pada<br />
permulaan bertempat di loteng gedung generalat<br />
<strong>CMM</strong> di Tilburg. Koleksi yang berkembang terus<br />
akhirnya memperoleh tempat di bekas gedung<br />
STM di Tilburg. Tempat itu disiapkan oleh pemerintah<br />
kota Tilburg dan isi gedungnya ditata oleh perusahaanperusahaan<br />
swasta yang berhubungan dengan perihal<br />
tulis-menulis. Begitulah dikembangkan museum yang<br />
barangnya dikenal di seluruh dunia.<br />
PARA PEMIMPIN KEVIN BERKUMPUL<br />
DI ROMA<br />
Dari tanggal 13 sampai dengan 15 Januari 2012,<br />
pemimpin umum Frater Broer Huitema dan wakil<br />
pemimpin umum Frater Edward Gresnigt menghadiri<br />
pertemuan para pemimpin Keluarga Vinsensian (KeVin),<br />
yang diadakan di kota Roma. Seperti peserta lain<br />
kedua frater menerangkan bagaimana kongregasi<br />
Frater <strong>CMM</strong> memberi bentuk pada kharisma<br />
vinsensian dalam beberapa proyek.<br />
20<br />
Para pemimpin KeVin berapat. Di barisan tengah,<br />
sebelah kanan: Frater Edward Gresnigt dan di<br />
sampingnya Frater Broer Huitema.
<strong>FRATER</strong> MARCEL SATU ABAD<br />
Pemimpin umum berbincang<br />
dengan sang jubilaris.<br />
Pada tanggal 12<br />
Desember 2011<br />
yang lalu Frater<br />
Marcel Achten<br />
merayakan<br />
HUT ke-100 di<br />
komunitas <strong>CMM</strong><br />
Zonhoven, Belgia.<br />
Konfraternya,<br />
Frater Sibrand<br />
Koenen, menulis<br />
untuk majalah Frater <strong>CMM</strong>: “Frater Marcel sudah<br />
83 tahun anggota kongregasi <strong>CMM</strong>. Sesudah menjadi<br />
guru, ia bekerja di Lembaga Putera Tuli di Maaseik<br />
dan kemudian di Lembaga Kerajaan bagi para tuna<br />
runggu dan tuna wicara di Hasselt, pertama-tama<br />
sebagai guru dan kemudian sebagai kepala sekolahnya.<br />
Selama 44 tahun sampai pensiunnya Frater Marcel<br />
bekerja purnawaktu di pendidikan tuna runggu dan<br />
demi mantan muridnya yang dewasa. Dalam masa<br />
itu ia mengembangkan keahlian besar di pendidikan<br />
itu, antara lain di bidang bahasa isyarat. Semuanya<br />
itu membuat dia sebagai penasehat jitu di bidang<br />
pendidikan khusus itu. Sesudah pensiunnya Frater<br />
Marcel buakn tinggal pasif. Dua kali ia pergi ke Kenya<br />
untuk menyumbangkan pengalamannya yang kaya<br />
kepada pendidikan para tuna runggu di negara itu.<br />
Frater Marcel bertalenta banyak dan ia menggunakan<br />
segala talentanya. Tak terhitung jumlah orang yang<br />
dapat menikmati itu. Ia ambil foto dan film tentan<br />
hidup sehari-hari di lembaga pendidikannya. Ia<br />
memainkan organ di kapel dan menulis teks-teks<br />
kaligrafi yang indah. Ia juga seorang olahragawan<br />
yang membimbing orang di bidang sepakbola, senam,<br />
biljar dan sepatu es. Daftar yang belum lengkap itu<br />
menjelaskan bahwa Frater Marcel bekerja dengan<br />
sangat rajin. Akan tetapi ia terutama seorang religius<br />
yang selama 83 tahun menghayati sepenuhnya<br />
bahwa kehadiran seorang frater di dunia ini harus<br />
diwarnai oleh cinta berbelaskasih, seperti tertulis<br />
dalam pedoman Hidup kita (I, 50).” Dalam pidato<br />
pesta itu, Frater René Segers pemimpin regio Belgia<br />
mengucapkan terima kasih kepada jubilaris. Bukan<br />
hanya demikian karena apa ia lakukan demi para tuna<br />
runggu dan tuna wicara, melainkan terutama apa yang<br />
ia berarti bagi begitu banyak orang cacad itu. Frater<br />
René mengatakan: “Secara pribadi saya sangat senang<br />
bahwa saya dapat meneruskan karya hidup Frater<br />
Marcel dan terutama bahwa, bila saya mengalami<br />
kesulitan, saya dapat bersandar pada pengalamannya<br />
dan caranya, tanpa ada kecenderungannya untuk<br />
campur tangan. Saya bersyukur bahwa saya dapat hidup<br />
sebagai konfraternya selama banyak tahun. Ia selalu<br />
hadir di komunitas walaupun kegiatannya banyak dan<br />
sulit diatur. Untuk semuanya itu dan banyak hal lain<br />
saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya,<br />
dan sekali lagi saya mengucapkan selamat dengan<br />
HUT ke-100. Marilah kita rayakan tanggal 12-12-12,<br />
seperti anda sendiri telah katakan.” Perayaan dihadiri<br />
oleh banyak konfrater dari Belanda. Pemimpin umum<br />
Frater Broer Huitema memuji Frater Marcel untuk<br />
semangatnya yang berapi-api demi para tuna runggu<br />
dan tuna wicara. Bukan kebetulan ia menyebut Frater<br />
Marcel “Frater yang paling manis di kongregasi”.<br />
TILBURG: KOTA BERBELASKASIH !?<br />
Patung Joannes Zwijsen<br />
pada dinding gereja<br />
St. Dionisius di Tilburg,<br />
di mana beliau pernah<br />
pastor paroki.<br />
Pada tanggal 21 Januari 2012<br />
diadakan pertemuan di generalat<br />
<strong>CMM</strong> di Tilburg dengan tema:<br />
“Tilburg, kota berbelaskasih !?”.<br />
Para peserta, yang berjumlah<br />
kurang-lebih 60 orang, mendengar<br />
ceramah mengenai ‘Toko Vinsen’,<br />
mengenai Lembaga Pangan,<br />
pendampingan orang dalam<br />
krisis dan para pengungsi,<br />
tentang kegiatan paroki dan<br />
lembaga religius, antara lain<br />
Frater <strong>CMM</strong> dan Suster S<strong>CMM</strong>.<br />
Walikota Tilburg, Peter Noordanus, menekankan agar<br />
perhatian satu sama lain kiranya ditingkatkan. Dalam<br />
visi tentang kota Tilburg itu Suster Mariëtte Kinker<br />
S<strong>CMM</strong> bertanya dalam wawancara di koran ‘Brabants<br />
Dagblad’ bagaimana Tilburg mau berkembang. “Banyak<br />
orang berpikir tentang itu. Mengingat tradisi kami,<br />
ada banyak alasan untuk bersama-sama membuat<br />
Tilburg ini sebuah kota yang berbelaskasih. Kelompokkelompok<br />
dan orang pribadi mulai bergerak untuk<br />
menciptakan suatu masyarakat di mana terdapat<br />
tempat bagi semua orang, walaupun nampak banyak<br />
perbedaan, kelemahan dan ketidakadilan. Barangkali<br />
Tilburg boleh dan mau menjadi pelopor dan<br />
21
IN MEMORIAM<br />
memprioritaskan belaskasih.,Pada tahun 1998 ‘Gerakan<br />
Belaskasih Nasional’ didirikan di Tilburg. Gerakan itu<br />
sudah dapat ratusan anggota; banyak di antara mereka<br />
berasal Tilburg. Dua tahun lalu didirikan ‘Gerakan<br />
Belaskasih Regio Tilburg’. Bukan kebetulan bahwa<br />
gerakan regional didirikan di situ. Pada permulaan<br />
abad ke-19, pastor Zwijsen telah melihat penderitaan<br />
rakyat kota Tilburg. Ada kekurangan pendidikan,<br />
dan perawatan orang-orang sakit dibiarkan saja. Ia<br />
melihat bahwa terutama perawatan pada permulaan<br />
dan akhir hidup orang tidak cukup. Ia melihat bahwa<br />
kaum anak, remaja, orang sakit dan orang lansia<br />
menderita karena situasi itu. Hatinya tersentuh, dan<br />
ia mutlak berbuat sesuatu. Ia mendirikan kongregasi<br />
Suster S<strong>CMM</strong> dan Frater <strong>CMM</strong>. Lalu berkembang suatu<br />
gelombang belaskasih, yang cepat juga berpengaruh<br />
di luar Tilburg. Pada masa itu didirikab juga Serikat<br />
S. Vinsensius. Dan sekarang, pada tahun 2012<br />
ini, belaskasih menjadi aktual kembali. Kenyataan<br />
hidup manusia adalah bahwa tak seorangpun dapat<br />
menghindari penderitaan dan kesedihan. Terkadang<br />
ketidakmampuan dan kemauan jahat mutlak dialami<br />
oleh kita, dan maut tak selalu dapat dihindari. Hidup<br />
kita rapuh dan tak bisa diatur seluruhnya. Hanya ada<br />
satu reaksi tepat saja: belaskasih. Ini menghantar kita<br />
pada kenyataan yang lama dilupakan: kita tergantung<br />
satu sama lain, dan bahwa kita mampu saling<br />
membahagiakan atau saling mematahkan. Setiap<br />
orang sangat tergantung pada iba hati orang lain.”<br />
JUBILEA TAHUN 2012<br />
75 tahun frater<br />
19 Maret: Frater<br />
Gerebernus van<br />
der Zande<br />
70 tahun frater<br />
5 April: Frater Joseph<br />
Tielemans<br />
29 Agustus: Frater Jan<br />
Smits, Frater Pacianus<br />
Verhoeven<br />
65 tahun frater<br />
29 Agustus: Frater<br />
Francesco Paijmans,<br />
Frater Gustavus<br />
Menheere, Frater<br />
Patricio Smolders<br />
60 tahun frater<br />
29 Agustus: Frater<br />
Guillaume Caubergh,<br />
Frater Louis de Visser,<br />
Frater Nico Nijst<br />
50 tahun frater<br />
29 Agustus: Frater<br />
Jan Koppens, Frater<br />
Pieter-Jan van Lierop<br />
25 tahun frater<br />
10 Mei: Frater<br />
Lawrence Obiko<br />
1 Juni: Frater Johannes<br />
Sihombing, Frater<br />
Martinus Lumbanraja<br />
Frater<br />
Jan (J.A.) Seelen<br />
Frater Jan Seelen lahir di Gilze-Rijen, Belanda, pada<br />
tanggal 11 Januari 1923 dan masuk Kongregasi<br />
<strong>CMM</strong> di Tilburg pada tanggal 29 Agustus 1940. Ia<br />
mengikrarkan profesi seumur hidup pada tanggal<br />
15 Agustus 1945 dan meninggal dunia di komunitas<br />
Joannes Zwijsen di Tilburg pada tanggal 29 Oktober<br />
2011. Ia dikebumikan di kuburan <strong>CMM</strong>, kompleks<br />
‘Huize Steenwijk’ di Vught.<br />
Sebagian besar hidupnya berlangsung di dunia<br />
pendidikan, di mana ia sungguh merasa ‘at home’,<br />
karena ia ingin menyumbangkan keahliannya demi<br />
kaum muda yang dipercayakan kepadanya. Ia merih<br />
ijazah bahasa Perancis dan Inggris. Ia bekerja sebagai<br />
guru di ’s-Hertogenbosch, Medemblik, Eindhoven dan<br />
Tilburg. Frater Jan menyatakan bahwa masa jayanya<br />
ada di ‘SMP Stefanus’ di Tilburg, di mana ia 18 tahun<br />
bertugas sebagai kepala sekolah. Semangatnya di<br />
dalam dan di luar dunia pendidikan diketahui pula<br />
oleh pemerintah kota Tilburg. Ketika ia meninggalkan<br />
sekolahnya (1984), ia dihormati dengan lencana<br />
penghargaan emas dari pemerintah kota Tilburg. Frater<br />
Jan memperhatikan komunitasnya. Ia mencintai para<br />
konfraternya dan bila perlu ia membantu mereka. Ia<br />
bersedia melayani para konfraternya sebagai pemimpin<br />
komunitas, wakil pemimpin komunitas dan anggota<br />
dewan komunitas. Juga di komunitas Joannes Zwijsen,<br />
di mana ia tinggal sejak 2006, ia tetap berlaku sebagai<br />
anggota komunitas. Frater Jan sungguh dicintai, karena<br />
ia mampu bergaul dengan siapapun. Semoga Frater Jan<br />
menikmati istirahat abadi dalam kehadiran Tuhan, yang<br />
kita kenal sebagai Allah<br />
penuh cinta.<br />
22
SUMBER<br />
‘MENGANTAR SESAMA<br />
KEPADA ALLAH’<br />
Gambaran praktis dari Zwijsen tentang Yesus<br />
Dalam jejak Vinsensius a Paulo, Mgr. Zwijsen mengarahkan perhatiannya pada<br />
manusia seluruhnya. Sekarang dikatakan bahwa perhatiannya bersifat ‘’holistis’.<br />
Zwijsen mengatakan bahwa yang terpenting adalah kekurangan-kekurangan materiil,<br />
tetapi juga kebutuhan rohani pada sesama manusia. Vinsensius berbicara mengenai<br />
keselarasan antara cinta yang afektif dan efektif.<br />
Dalam kegiatan para suster dan frater kebutuhan fisik dan materiil<br />
seringkali dipedulikan. Dalam kehidupan ini kerapkali kurang diperhatikan<br />
hal pembentukan dan pendidikan demi kaum muda, dan begitu sering<br />
orang sakit keras atau yang sudah tua kurang memperoleh perawatan.<br />
Vinsensius telah mendirikan serikat kerasulan. Hal yang menonjol<br />
adalah bahwa Zwijsen, pada tahun 1834, sudah menyebut lembaganya<br />
‘Congregatio spiritualis’. Bagi Vinsensius dan Zwijsen mutlak perlu unsur<br />
kemanusiaan dibawa ke dalam masyarakat. Hal itu merupakan ‘melayani<br />
Allah’, jadi suatu perwujudan spiritualitas Kristiani. Allah, awal dan tujuan<br />
hidup manusia, tak dapat dilupakan.<br />
Perhatian terhadap kekurangan rohani dan materi bisa berwarna-warni.<br />
Tidak jujur terhadap orang yang berada dalam keadaan darurat (ingatlah<br />
situasi ngeri di sekian negara Afrika), jikalau tak pedulikan soal makanan<br />
dan minuman, pemondokan dan kesehatan mereka. Dan sebaliknya, dalam<br />
keadaan kemakmuran tidak dapat dimengerti bila orang-orang yang<br />
berkekurangan secara rohani tidak diperhatikan (ingatlah situasi di dunia<br />
Barat). Secara konkret: kita melalai jikalau kita tidak mempedulikan orangorang<br />
yang menderita, karena hidup mereka kurang bermakna atau kurang<br />
beriman dan kesepian. Manusia seluruhnya harus kita perhatikan.<br />
Para frater dan suster Mgr. Zwijsen tidak terutama dipanggil untuk<br />
berkhotbah. Pengutusan mereka adalah melakukan karya belaskasih,<br />
baik yang fisik maupun yang rohani. Gaya hidup mereka ditandai oleh<br />
pelayanan dan keramahan. Menurut Vinsensius a Paulo dan Mgr. Zwijsen,<br />
semangat itu dapat mengarahkan sesama manusia kepada Allah, kepada<br />
‘Yang Belaskasih’.<br />
Frater Harrie van Geene<br />
23
KESEDIAAN KITA<br />
UNTUK MENGABDI KEPADA ORANG LAIN,<br />
MENDAPATKAN SURI TELADANNYA<br />
DALAM DIRI HAMBA TUHAN.<br />
DIALAH ORANG<br />
YANG MELAKSANAKAN RENCANA ALLAH<br />
SEPENUHNYA.<br />
KITA MAU MENGIKUTI DIA DARI DEKAT.<br />
(kutipan dari Konstitusi <strong>CMM</strong>)<br />
Majalah Kongregasi Frater Santa Perawan Maria, Bunda yang Berbelaskasih