FRATER CMM
| DUA ORANG ASOSIASI YANG BARU | 'ATAP DI ATAS ... - Fraters
| DUA ORANG ASOSIASI YANG BARU | 'ATAP DI ATAS ... - Fraters
- No tags were found...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
DAFTAR ISI<br />
MAKLUMAT MISI<br />
Belaskasih berlaku di segala zaman dan di setiap<br />
tempat.<br />
Belaskasih merupakan inti setiap agama di dunia:<br />
agama Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen dan Islam.<br />
Gerakan belaskasih meninggalkan jejak dalam<br />
sejarah.<br />
Perbagai bentuk penampilan gerakan belaskasih<br />
merupakan ungkapan masyarakat dalam mana<br />
belaskasih telah lahir, dan spiritualuitas yang<br />
mendukungnya.<br />
Kongregasi Frater Santa Perawan Maria, Bunda<br />
yang Berbelaskasih, berakar dalam semangat<br />
belaskasih Kristiani.<br />
KOLOM<br />
MENGENAI<br />
<strong>FRATER</strong> ANDREAS<br />
DUA ORANG ASOSIASI<br />
‘ATAP DI ATAS<br />
PEMIMPIN UMUM 4 5 YANG BARU 6 JIWAKU’ 8 Benson Owili<br />
11<br />
KOLOFON<br />
Frater <strong>CMM</strong>, ISSN 1574-9193, adalah majalah triwulan<br />
Kongregasi Frater <strong>CMM</strong>. Langganan gratis dapat diminta<br />
pada alamat Kontak di bawah ini.<br />
Redaksi: Rien Vissers (ketua redaksi), Frater Edward<br />
Gresnigt, Frater Ad de Kok, Frater Lawrence Obiko,<br />
Frater Ronald Randang, Frater Jan Smits, Peter van<br />
Zoest (redaktur terakhir).<br />
Rencana tata:<br />
Dicetak:<br />
Kontak:<br />
E-mail:<br />
Webside:<br />
Terjemahan:<br />
Heldergroen<br />
www.heldergroen.nl<br />
Percetakan Kanisius, Yogyakarta<br />
Frater <strong>CMM</strong><br />
Jalan Ampel 6, Papringan<br />
Yogyakarta 55281<br />
magazine@cmmbrothers.nl<br />
www.cmmbrothers.org<br />
Frater Pieter-Jan van Lierop,<br />
Frater Jan Koppens<br />
REDAKSI MENULIS<br />
Delen in het leven<br />
van de fraters cmm<br />
Kadang-kadang suatu gambar lebih berbicara<br />
daripada seribu kata. Hal ini nampak dalam edisi<br />
Frater <strong>CMM</strong> ini. Benson Owili termasuk pasien<br />
pertama dalam proyek yang dimulai oleh<br />
kongregasi pada tahun 1996 di Oyugis, Kenya,<br />
untuk melawan penularan penyakit hiv/aids dan<br />
menopang orang-orang yang menderita karena<br />
akibat penyakit itu. Benson, yang sakit keras<br />
karena hiv/aids dapat dilihat dalam jilid ini,<br />
dipotret dalam gubuknya yang miskin dengan<br />
badannya setengah terlanjang, bagian lain<br />
ditutup oleh sebuah selimut. Lihatlah matanya<br />
yang bersinar. Lihatlah senyumnya …. Berkat<br />
karya para frater di Kenya, orang-orang seperti<br />
Benson tidak distigmatisasi sebagai ‘outcast’,<br />
melainkan dibantu dan diterima. Karena itu<br />
perasaan harga diri yang sudah lenyap diperoleh<br />
kembali. Hal ini mengakibatkan bahwa daya<br />
kekuatan dipulihkan untuk hidup sekalipun<br />
menderita penyakit berat. Foto Benson<br />
memperlihatkan dengan nyata pengaruh<br />
semangat belaskasih. Nilai inti kongregasi Frater<br />
<strong>CMM</strong> mendorong orang untuk melihat<br />
penderitaan sesama dengan hati yang tergerak,<br />
sehingga bergerak untuk mengulurkan tangan<br />
pada mereka. Berkat ‘gerakan belaskasih’ itu<br />
yang diikuti oleh para frater, nasib malang<br />
orang-orang seperti Benson dapat diperbaiki di<br />
seluruh dunia. Foto yang tercetak lebih berbicara<br />
daripada kata-kata indah.<br />
Het geassocieerd lidmaatschap<br />
armhartigheid en broederschap<br />
PROFESI SEUMUR<br />
HIDUP<br />
YANG MERAYAKAN<br />
YUBILEUM<br />
BERITA PENDEK<br />
13<br />
CERUTU DAN<br />
KURSI ROTAN<br />
14 16<br />
20<br />
Anak yang hilang, Rembrandt<br />
Foto sampul depan: Benson Owili dalam gubuknya<br />
(lihat hal. 11-12)<br />
Foto sampul berlakang: Susunan kayu di kampung Pina,<br />
Italia (foto: Frater Ad de Kok)<br />
Ketika edisi Frater <strong>CMM</strong> ini dicetak ada berita dari<br />
Kenya bahwa Benson Owili sudah meninggal pada<br />
tanggal 12 Desember. Redaksi memutuskan, sesudah<br />
berunding dengan familinya, agar artikel dan foto di<br />
depan dipertahankan sebagai tanda penghormatan<br />
terhadap Pak Benson dan proyek Frater <strong>CMM</strong>.<br />
In Memoriam<br />
21<br />
SUMBER<br />
23<br />
2<br />
3
KOLOM<br />
PEMIMPIN UMUM<br />
MENGENAI <strong>FRATER</strong> ANDREAS<br />
GANGGU-MENGGANGGU<br />
Setiap orang tahu bahwa Frater Andreas ingin mengindahkan segala peraturan.<br />
Terkadang hal ini justru menimbulkan kesulitan baginya. Ia diganggu karena<br />
kesetiaannya terhadap peraturan. Para teman frater sungguh bisa mempermainkan<br />
dia. Kata mereka: ‘kami mencobainya’.<br />
Pada hari Selasa, tgl. 20 November 2012, saya pulang dari Brazil. Di koran ‘NRC.Next’ saya membaca artikel<br />
yang berjudul ‘Anak-Anak’. Penulis kolom itu menulis mengenai sahabatnya yang duduk di pesawat di samping<br />
seorang anak kecil yang tidur sambil bersandar padanya di waktu malam. “Ia begitu manis dan munggil”,<br />
katanya kepada teman-temannya di rumah. Mereka menegur dia dengan mengatakan bahwa hal ini tidak<br />
dapat diceritakan begitu saja, karena orang-orang di Belanda akan merasa aneh.<br />
Salah satu segi negatif dari segala macam cerita<br />
mengenai pelecehan seksual, yang muncul di tahuntahun<br />
terakhir ini adalah bahwa kita kehilangan<br />
spontanitas terhadap anak-anak. Cerita itu mengingat<br />
saya akan peristiwa yang saya alami pada bulan Mei<br />
2012, ketika saya di Roma untuk menghadiri rapat<br />
setengah tahunan para pemimpin umum. Dari tempat<br />
penginapan saya, jalan yang paling pendek ke bis<br />
umum adalah jalan melalui suatu taman main untuk<br />
anak-anak. Dulu saya sering berjalan melalui rute itu.<br />
Kali ini saya ragu-ragu dan tidak melewati taman itu.<br />
Sesudahnya saya dengan sengaja melewati taman<br />
itu, akan tetapi saya menyadari sekaligus bagaimana<br />
konfrontasi dengan kasus-kasus pelecehan itu<br />
mempengaruhi hidup saya. Korban-korban pelecehan<br />
menceritakan bahwa mereka sulit berkontak fisik<br />
dengan anak-anak mereka, dan bahwa mereka sungguh<br />
menderita karenanya. Saya dapat membayangkan<br />
itu dan merasa tidak berdaya. Amat sayang bahwa<br />
demikian halnya.<br />
Kolom dalam koran itu menunjukkan bahwa sikap<br />
orang bisa berubah betul. Hal itu bisa menyebabkan<br />
bahwa anak-anak akan didekati secara kurang afektif.<br />
Kiranya ada keseimbangan antara pendekatan dan<br />
jarak. Marilah kita menghadapi anak-anak secara<br />
spontan dan tanpa ragu.<br />
Satu munggu sesudah pulang dari Brazil, saya<br />
berangkat ke Nairobi, berhubungan dengan profesi<br />
seumur hidup yang akan diikrarkan seorang konfrater<br />
Kenya. Pada pagi pertama saya membaca ‘Daily<br />
Nation’, surat kabar yang terbesar di Kenya. Langsung<br />
saya dikonfrontasi dengan pelecehan seksual: diberikan<br />
angka-angka suatu penelitian pemerintah Kenya.<br />
Angkah-angkah menggoyangkan saya: rupanya<br />
32 % dari semua perempuan dan 18 % anak laki-laki<br />
di bawah umur 18 tahun di Kenya dilecehkan secara<br />
seksual. Saya menyadari kembali betapa tersebar<br />
masalah itu, dan bahwa kita semua harus bekerja keras<br />
untuk melenyapkan kejahatan ini.<br />
Frater Broer Huitema<br />
Kalau Frater Andreas bergabung dengan para konfraternya,<br />
mereka mulai membicarakan kekurangan seorang<br />
lain. Hal ini melawan peraturan dan mereka tahu bahwa<br />
Frater Andreas tidak senang dengan itu. Mereka bukan<br />
bermaksud jahat, namun dengan sengaja mereka melanjutkan<br />
pembicaraan itu. Dengan susah payah Frater<br />
Andreas berusaha mengalihkan dengan halus pokok<br />
pembicaraan mereka. Ia tidak pernah berhasil, sampai<br />
teman-teman mengatakan kepadanya sambil tertawa:<br />
“Hai Andreas, engkau mau buat apa sekarang?”<br />
Ada banyak humor di Wisma Ruwenberg. Seorang frater<br />
harus bisa menerima suasana ganggu-mengganggu<br />
itu. Perihal saling mengganggu dapat mengungkapkan<br />
keakraban dalam relasi satu sama lain, tetapi juga bisa<br />
merelativir hal-hal tertentu. Terkadang sikap demikian<br />
merupakan suatu perlawanan halus. Tentu saja anakanak<br />
coba mengganggu guru mereka. Akan tetapi Frater<br />
Andreas kurang merasakan itu. Kadang-kadang mereka<br />
mencobai dia di ruang tidur. Ada anak yang pada siang<br />
hari mencuri sebuah apel di kebun. Ia menggelinding<br />
apel itu lewat tirai kamar tidurnya. Frater Andreas tidak<br />
mengandaikan bahwa apel itu dicuri; ia mengambilnya<br />
dan mengembalikannya kepada pencuri itu. Konfrater<br />
yang turut menjaga menganggap itu bodoh.<br />
Anak-anak sekolah tidak tahu bahwa dalam peraturan<br />
para frater tertulis: jangan melihat ke belakang. Frater<br />
Andreas mengikuti peraturan itu secara harafiah. Kalau<br />
murid-murid bersama dengan dia berjalan kaki, muridmurid<br />
itu suka tinggal di belakang frater. Sulit bagi Frater<br />
Andreas untuk mempertahankan susunan kelompok<br />
itu tanpa melihat kembali. Atau mereka secara diamdiam<br />
memindahkan kursi Frater Andreas. Tanpa melihat<br />
kembali pada kursinya ia duduk dan jatuh di lantai.<br />
Saling mengganggu terkadang keterlaluan. Namun<br />
menurut Frater Pacomius, Frater Andreas turut serta bila<br />
diadakan hal yang lucu. Pernah pegangan pintu dapur<br />
dikotori dengan adonan. Orang pertama yang memegang<br />
pegangan itu adalah Frater Andreas. Tangannya<br />
menjadi kotor. Reaksinya seperti selalu: bergembira dan<br />
lembut hati. “Ia tertawa dengan riang, dan pergi untuk<br />
membersihkan tangannya.”<br />
Charles van Leeuwen<br />
Waktu istirahat di Ruwenberg.<br />
4<br />
5
BELANDA<br />
DUA ORANG<br />
ASOSIASI YANG BARU<br />
Pada tanggal 7 Oktober 2012, waktu perayaan Ekaristi di kapel Wisma Lansia Joannes Zwijsen, Henk dan<br />
Trudy Mutsaers menggabungkan diri dengan kongregasi sebagai anggota asosiasi. Kedua orang itu<br />
mengikrarkan janji asosiasi untuk masa tiga tahun. Hadir para frater, anggota asosiasi, famili dan sahabat.<br />
Frater Niek Hankmann menyelamati kedua anggota asosiasi.<br />
Dalam kata sambutan sebelum perayaan Frater Jan<br />
Koppens, pemimpin <strong>CMM</strong> di Belanda, mengutarakan<br />
bahwa kedua orang asosiasi yang baru ini tersentuh<br />
oleh spiritualitas Vinsensius a Paulo dan didorong<br />
oleh semangat Louise de Marillac serta persaudaraan<br />
yang berbelaskasih para frater. Dalam renungannya<br />
mengenai Injil, pemimpin umum, Frater Broer Huitema,<br />
mengatakan: “Inti bacaan-bacaan hari ini dapat<br />
diungkapkan dengan kata: kesetiaan. Seperti Allah<br />
setia pada umat-Nya, begitulah kita diajak untuk<br />
menjadi setia yang satu terhadap yang lain dan<br />
terhadap panggilan hidup kita. Kesetiahan timbal balik<br />
Pemimpin umum kongregasi, Frater Broer Huitema, menyerahkan buku<br />
Konstitusi <strong>CMM</strong> kepada Trudy dan Henk Mutsaers.<br />
6<br />
yang bertahan, itulah pokok kehidupan dengan segala<br />
perbedan dan dalam setiap variasinya. Henk dan Trudy<br />
mengikat diri dan berjanji kesetiaan mereka pada<br />
kongregasi dan cita-citanya. Penerimaan janji setia<br />
kalian masing-masing berarti juga bahwa kongregasi<br />
wajib setia pada kalian: Trudy dan Henk. Bersamasama<br />
kita harus mencari jalan untuk memberikan<br />
bentuk konkret pada keterikatan itu. Inilah suatu<br />
petualangan yang kita hadapi bersama. Sebab itu kami<br />
memilih bahwa janji ini berlaku selama tiga tahun dan<br />
sesudahnya anda dapat menggabungkan diri untuk<br />
seumur hidup.<br />
Hari ini kita mulai perjalanan ini, tetapi kita tahu<br />
bahwa tahun-tahun terakhir ini hubungan akrab sudah<br />
berkembang. Itu sebab kita mulai dalam keyakinan<br />
yang kokoh.”<br />
Diperkaya<br />
Sesudah bekerja selama sepuluh tahun sebagai petugas<br />
kegiatan di Wisma Lansia Joannes Zwijsen, Trudy<br />
Mutsaers membantu para frater komunitas itu sebagai<br />
sukarelawati sejak tahun 1997. Ia bercerita bahwa<br />
sebagai petugas kegiatan, ia banyak berkontak dengan<br />
frater-frater dan mendengar cerita-cerita mereka<br />
mengenai perutusan mereka di dalam dan di luar<br />
negeri. Hal yang menyentuh hatinya sedalam-dalamnya<br />
adalah perhatian mereka bagi anak-anak di asrama<br />
dan di sekolah, terutama bagi mereka yang lemah,<br />
miskin dan cacat. Katanya: “Belaskasih, persaudaraan<br />
dan kasih terhadap sesama merupakan nilai penting<br />
bagi Joannes Zwijsen.” Hal ini ia dapat pada sikap<br />
para frater. Terdapat juga dalam kepercayaan mereka<br />
akan Allah, yang dikuatkan lewat hidup doa. Kesaksian<br />
mereka memperkaya hidup Ibu Trudy. Sebab itu Trudy<br />
ingin berpartisipasi pada spiritualitas para frater di<br />
Joannes Zwijsen, tetapi tidak tanpa didampingi oleh<br />
suaminya Henk.<br />
Terpesona<br />
Henk sudah terpesona oleh kehidupan para frater sejak<br />
masa mudanya. Di sekolah dasar hampir setiap kelas<br />
dipimpin oleh seorang frater guru. Henk telah bekerja<br />
sebagai pegawai dan pemimpin di suatu perusahaan.<br />
Sesudah pensiunnya ia bekerja sebagai sukarelawan di<br />
klub baceball HSC dan organisasi amal ‘Zonnebloem’.<br />
Sejak 1996 ia juga sukarelawan di Paroki Petrus dan<br />
Paulus di Tilburg. Karena isterinya, Trudy, bekerja<br />
dengan para frater, hubungannya dengan kongregasi<br />
menjadi lebih kuat. Ia menyimpulkan: “Karena itu pada<br />
hari ini saya ingin mengikatkan diri sebagai anggota<br />
asosiasi pada Kongregasi Frater Santa Perawan Maria,<br />
Bunda yang Berbelaskasih. Saya akan juga menerapkan<br />
dalam hidup saya pedoman hidup para frater, yang<br />
menyangkut belaskasih dan persaudaraan dan mau<br />
menghayatinya dengan lebih sadar.”<br />
Ucapan salam<br />
Di hadapan Frater Broer Huitema, Frater Jan Koppens<br />
dan Frater Harrie van Geene sebagai pemimpin<br />
komunitas Joannes Zwijsen, anggota yang baru itu<br />
mengucapkan janji mereka dan menandatangani akte<br />
perjanjian. Sebagai tanda penggabungan dengan<br />
kongregasi, Frater Broer Huitema menyerahkan buku<br />
Konstitusi kepada mereka masing-masing dan sebuah<br />
lencana kepada Henk dan sebuah rantai dengan<br />
lambang kongregasi kepada Trudy. Sesudah perayan<br />
Ekaristi, yang dipimpin oleh Pater Willem Spann OSFS,<br />
ada kesempatan untuk menyelamati anggota-anggota<br />
baru itu. Perayaan diakhiri dalam kelompok kecil di<br />
Generalat <strong>CMM</strong> dengan makan bersama.<br />
Frater Edward Gresnigt<br />
Informasi lanjutan mengenai keanggotaan<br />
asosiasi dapat ditemukan pada hal. 8-10.<br />
7
BELANDA<br />
‘ATAP DI ATAS<br />
JIWAKU’<br />
Provinsi <strong>CMM</strong> Belanda mengadakan ‘sore provinsi’ secara teratur. Para frater dan anggota asosiasi<br />
berkumpul di Wisma Lansia Joannes Zwijsen di Tilburg untuk berdoa, berefleksi dan bertemu. Pada<br />
tanggal 23 November diberikan banyak perhatian pada perihal keanggotaan asosiasi dalam Kongregasi<br />
<strong>CMM</strong>. Hal ini dipresentasikan oleh Frater Wim Verschuren dan anggota asosiasi Betty Karhof.<br />
Frater Wim Verschuren, pemimpin umum tahun 1978-<br />
1990, sejak permulaan terlibat pada perkembangan<br />
soal keanggotaan asosiasi. Ia mengenang betapa baru<br />
hal itu dan bahwa itu suatu tanda perkembangan<br />
khusus yang dialami oleh para frater. Dalam beberapa<br />
dasawarsa <strong>CMM</strong> berubah pelan-pelan dari suatu<br />
serikat yang agak tertutup ke suatu serikat yang<br />
terbuka. Keterbukaan ini didasari menurut Frater Wim<br />
Verschuren pada Paus Johannes XXIII dan Konsili<br />
Vatikan II (1962-1965), yang membuka jendela dan<br />
pintu gereja dan menekankan ketergabungannya<br />
dengan dunia luas. Ia menyimpulkan itu dengan: “Lama<br />
ke lamahan perihal keramahtamahan menjadi penting<br />
bagi kongregasi kita. Dunia boleh masuk: orang lain<br />
sungguh dilihat, diterima dalam lingkungan kita, dan<br />
kita bersama mulai berjalan. Seperti sering dialami,<br />
inspirasi dapat ditemuakan di dalam tradisi gereja:<br />
sudah selama sekian abad tertulis dalam Konstitusi<br />
tarekat-tarekat bahwa dalam diri seorang tamu kiranya<br />
dilihat Kristus.<br />
Keterbukaan<br />
Menurut Frater Wim Verschuren: “Asosiasi dapat<br />
dilihat sebagai suatu perkembangan dari pelbagai<br />
macam bentuk penggabungan yang bertumbuh dalam<br />
provinsi Belanda. Dengan sikap melayani bertumbuhlah<br />
bentuk-bentuk baru seperti perhatian terhadap kaum<br />
pengungsi, kaum muda, orang-orang yang kesepian<br />
serta merenungkan karya dan belaskasih. Juga di<br />
sini, di komunitas Joannes Zwijsen, dapat ditunjukkan<br />
8<br />
tanda-tanda keterbukaan dan keramatamahan. Dalam<br />
rumah ini para frater merupakan sebagian dari suatu<br />
perhimpunan yang lebih luas bersama denga religiusreligius<br />
lain dan kaum awam. Keterbukaan itu menjadi<br />
nyata di meja makan, di mana frater-frater dan para<br />
penghuni lain bertemu, di kapel pada waktu ibadat<br />
dan perayaan, dengan bersama-sama mendengarkan<br />
musik dan dalam cara para penghuni saling bertemu di<br />
wisma ini. Dengan nyata ada keterbukaan bagi hidup<br />
bersama dan persahabatan. Frater-frater juga semakin<br />
mengenal tenaga awam yang bekerja di Joannes<br />
Zwijsen. Apakah juga orang itu dianggap sebagai orang<br />
kita? Apakah kita berpartisipasi dalam hidup mereka?<br />
Tanpa seluruh perkembangan yang saya gambarkan<br />
tadi, asosiasi tidak mungkin. Sudah jelas bahwa sikap<br />
kita terhadap asosiasi tidak boleh tanpa ikatan. Dalam<br />
buku Ambil bagian dalam pola hidup Frater <strong>CMM</strong>,<br />
tahun 2006, tertulis: “Kita terpesona oleh cerita Yesus,<br />
yang mewujudkan cinta Allah dan menunjukkan apa<br />
yang merupakan belaskasih.”<br />
Masa depan<br />
Frater Wim Verschuren menyebut pelbagai jenis<br />
perundingan, yang akhirnya menghasilkan keterbukaan<br />
kongregasi terhadap anggota asosiasi.<br />
Dalam hal ini, ia membedakan tiga tahap. Pertama,<br />
seluruh proses yang menyangkut rasa butuh akan<br />
asosiasi. Kemudian, sesudah hal itu disetujui,<br />
muncul pertanyaan bagaimana diberikan bentuk<br />
Kita bersedia mencari jalan<br />
yang memungkinkan orang-orang tertentu<br />
turut serta dalam hidup dan karya kita<br />
sebagai anggota luar biasa<br />
atau dengan cara lain,<br />
tanpa ikut serta<br />
dalam segenap cara hidup kita.<br />
(Kutipan dari Pedoman Hidup Frater <strong>CMM</strong>, 365)<br />
Sejak akhir tahun 90-an kongregasi<br />
memberikan kemungkinan untuk berpartisipasi<br />
erat melalui keanggotaan asosiasi. Orang<br />
bersangkutan berjanji bahwa ia hidup menurut<br />
spiritualitas belaskasih dan persaudaraan<br />
sebagaimana dipegang oleh Kongregasi <strong>CMM</strong>.<br />
Di samping itu seorang anggota asosiasi<br />
berpartisipasi dalam perutusan kongregasi<br />
dengan melibatkan diri pada karya tertentu,<br />
dan ia terikat pada salah satu komunitas.<br />
Pada saat ini ada sembilan anggota asosiasi<br />
di Provinsi <strong>CMM</strong> Belanda. Di wilayah-wilayah<br />
lain dalam Kongregasi <strong>CMM</strong> kemungkinan<br />
untuk berasosiasi belum tercipta. Mengenai<br />
keanggotaan asosiasi kongregasi telah<br />
diterbitkan sebuah buku pedoman dalam<br />
bahasa Belanda: Ambil bagian dalam pola<br />
hidup Frater <strong>CMM</strong>.<br />
pada hal asosiasi. Asosiasi merupakan suatu bentuk<br />
keanggotaan yang baru, maka juga harus ditata<br />
secara formal. Akhirnya diadakan refleksi atas<br />
pertanyaan: bagaimanakah kita mengundang orang<br />
untuk berasosiasi? Pada akhir ceramanya Frater Wim<br />
Verschuren mengatakan keyakinannya bahwa untuk<br />
masa depan <strong>CMM</strong> di Belanda amat penting bagaimana<br />
perihall asosiasi akan berkembang. Sejak tahun 1999,<br />
mereka merupakan bagian dari kongregasi. Bagaimana<br />
pengalaman para frater? Apakah para frater senang<br />
dengan mereka? Bagaimana orang asosiasi sendiri<br />
mengalami dan menghayati keanggotaan itu? Lalu<br />
ia memberikan kesempatan kepada Betty Karhof untuk<br />
berceramah. Ibu Betty adalah seorang asosiasi<br />
sejak tahun 2006. Ia berdomisili di Wisma Lansia<br />
Joannes Zwijsen.<br />
Delen in het leven<br />
van de fraters cmm<br />
Het geassocieerd lidmaatschap<br />
Pedoman Hidup untuk anggota<br />
asosiasi <strong>CMM</strong>.<br />
Barmhartigheid en broederschap<br />
Keramahan<br />
Betty Karhof bercerita bagaimana pada tahun 1991 ia<br />
diundang, untuk mengikuti meditasi di komunitas Elim<br />
di Tilburg. Di situ ia diterima dengan ramah. Tahuntahun<br />
kemudian ia belajar banyak mengenai belaskasih,<br />
meditasi dan Kitab Suci. Ia mendapat pandangan<br />
mengenai Frater <strong>CMM</strong> dan keterlibatkan mereka dalam<br />
hal melayani orang-orang lemah, jauh dan dekat.<br />
Ketika pada tahun 2005 ia ditanya untuk memikirkan<br />
hal asosiasi, ia merasa sedikit heran. Ia tidak muda<br />
lagi, maka apa maknanya dan bagaimana<br />
perutusannya. Apakah ia berani mengatakan<br />
‘ya’? Pada tahun 2006 Betty Karhof<br />
menggabungkan diri untuk masa tiga tahun.<br />
Ia pun mengatakan: “Saya mencari sebuah<br />
atap di atas jiwaku, sebuah tempat di mana<br />
9
BELANDA<br />
KENYA<br />
ketenangan dan spiritualitas merupakan sesuatu yang<br />
biasa, dan merupakan tanah di bawah kakiku. Di dunia<br />
luar seakan-akan saya harus menjelaskan mengapa saya<br />
beriman, dan sekarang tidak perlu lagi saya berbicara<br />
tentang itu. Saya berusaha, lewat karyaku dalam Serikat<br />
St. Vinsensius, memberikan bentuk pada perutusan saya:<br />
dengan sungguh mempedulikan orang yang susah.”<br />
Pada tahun 2009 Ibu Betty Karhof menggabungkan diri<br />
pada kongregasi untuk seumur hidup. Seluruh hidupnya<br />
ia mau hidup berdasarkan sikap perhatian, dedikasi<br />
dan kesederhanaan. Serikat St. Vinsensius meminta<br />
banyak darinya: mengunjungi orang-orang miskin,<br />
menghadiri rapat-rapat, mengorganisasikan itu dan ini,<br />
mengusahakan dana bagi proyek-proyek di dunia ketiga.<br />
Berkarya amal ia belajar dari orangtuanya di kota Goes.<br />
Mereka memimpin suatu lembaga Katolik bagi kaum<br />
miskin.<br />
Besar hati<br />
Dengan sangat berhati-hati Betty Karhof menerima<br />
beberapa tugas di Wisma Lansia Joannes Zwijsen: sekali<br />
seminggu ia mengatur satu jam untuk mendengar<br />
musik klasik bersama orang penghuni yang berminat, ia<br />
mengurus suatu kelompok yang membaca buku-buku<br />
sastra. Pada hari selasa ia ‘ibu rumah’ di komunitas<br />
Elim dalam acara makan siang bersama orang yang<br />
kesepihan. Di wisma lansia ia menemukan suatu pola<br />
hidup yang sederhana dan polos. Ia suka bertemu<br />
dengan frater-frater yang berjasa, dekat atau jauh. Ia<br />
mengalami keramahan mereka, merasa diterima dan<br />
boleh berbagi dalam kegembiraan dan kemalangan.<br />
Beberapa waktu lalu ia mengunjungi, bersama dengan<br />
para anggota asosiasi yang lain museum ‘Wanita Saleh’<br />
di kota Hoogstraten, Belgia. Wanita-wanita itu boleh<br />
memiliki harta benda, namun mereka mengikrarkan kaul<br />
kemurnian, ketaatan dan kebesaran hati. Ia mengakhiri:<br />
“Kata ‘kebesaran hati’ sungguh indah: berkembang<br />
dalam hal membagi, memberi, juga mengampuni,<br />
menjadi dina. Untuk itu dibutuhkan keberanian, ya<br />
banyak keberanian.”<br />
Rien Vissers<br />
Benson Owili:<br />
PASIEN DARI<br />
PERMULAAN<br />
Waktu pertemuan internasional Kongregasi <strong>CMM</strong> (15 Juli - 2 Agustus 2012) di Nakuru - Kenya Barat, Frater<br />
Edward Gresnigt, Frater Harrie van Geene, Frater Domingos Tjeunfin dan Frater Daniel Nyakundi mengunjungi<br />
Bapak Benson Owili. Bapak itu termasuk pasien pertama di ‘Oyugis Integrated Project’ (OIP). Para pengunjung<br />
dihantar oleh seorang perawat, Ibu Mary Mboya. OIP dimulai pada tahun 1996 oleh <strong>CMM</strong> di Oyugis dengan<br />
tujuan melawan penularan hiv/aids, dan membantu mereka yang mengalami akibat penyakit itu. Frater Daniel<br />
Nyakundi memberikan laporan di bawah ini.<br />
Gerbang masuk Oyugis Integrated<br />
Project di Kenya.<br />
Sesudah perjalanan berat selama tigaperempat jam<br />
melalui jalan yang rusak, kami bertemu dengan Pamela<br />
Nyatuga, istri Pak Bensom. Ia sudah menantikan dan<br />
menjemput kami. Kami tinggalkan mobil di pinggir<br />
jalan pasir, dan mengikuti ibu ini melalui jalan tikus.<br />
Sesudah lima menit kami tiba pada gubuk sederhana.<br />
Di situ kami menemukan seorang bapak yang sakit.<br />
Ibu Mary sudah memberikan informasi mengenai<br />
kesehatannya yang parah, namun pada wajah Benson<br />
tidak dapat dilihat bagaimana keadaannya. Tanpa ragu<br />
dapat dikatakan bahwa hal ini adalah hasil perawatan<br />
yang baik dari pihak OIP. Itu menghasilkan harga diri<br />
dan sikap menerima nasib.<br />
Frater Wim Verschuren.<br />
Betty Karhof sedang berceramah.<br />
Bagian gedung Oyugis Integrated Project.<br />
Senyum<br />
Ibu Mary memperkenalkan kami pada penghuni gubuk<br />
itu. Nampak sekali bahwa kedua orang itu bergembira,<br />
wajah mereka bersinar. Ibu Mary menjelaskan<br />
apa yang dibuat untuk Pak Benson: ia menerima<br />
obat-obatan pada waktunya, lukanya dirawat dan<br />
terkadang, kalau sungguh perlu, ia dibawa ke pos<br />
medis OIP. Setiap gerakan badan dirasa sakit olehnya.<br />
Badannya hanya tertutup dengan sebuah<br />
sarung. Pak Benson mengucapkan terima kasih<br />
kepada OIP atas perawatan yang ia terima<br />
dari para perawat dan untuk bahan makanan<br />
10<br />
11
INTERNASIONAL<br />
<strong>FRATER</strong> YANG<br />
MERAYAKAN<br />
JUBILEUM<br />
Setiap tahun ada frater-frater yang merayakan jubileum. Pada tanggal 11 November 2012, 15 frater<br />
mengakhiri tahun jubileum mereka. Di Wisma Lansia Joannes Zwijsen 14 orang melakukan itu dan satu<br />
frater di Medan. Tiga frater masuk <strong>CMM</strong> seperempat abad lalu, dua sudah lima puluh tahun lalu, tiga frater<br />
enam puluh tahun silam, tiga lagi yang enam puluh lima tahun dan tiga orang tujuh puluh tahun lalu.<br />
Bahkan satu frater dapat memperingati bahwa ia masuk kongregasi tujuh puluh lima tahun lalu. Frater Jan<br />
Koppens, pemimpin Provinsi Belanda, yang merayakan pesta emasnya, melihat kembali pada pilihannya<br />
menjadi frater <strong>CMM</strong>.<br />
‘Santa Perawan Maria, Bunda yang Berbelaskasih’,<br />
karya Jan Verhallen, tahun 1994,<br />
dalam rangka jubileum kongregasi 150 tahun.<br />
14<br />
Awal panggilan saya mulai dengan pertanyaan<br />
sederhana yang disampaikan kepada saya oleh Frater<br />
Gerardus di Wisma Ruwenberg: “Jan, engkau mau<br />
jadi apa?” Jawaban saya pendek saja: “Saya ingin<br />
menjadi frater, sama seperti anda.” Jelas bukan<br />
motivasi yang dalam, namun suatu permulaan yang<br />
berkembang pada kemudian hari sebagai panggilan<br />
saya. Saya ikut program pendidikan <strong>CMM</strong> pada<br />
waktu itu dan masuk novisiat pada tahun 1962. Masa<br />
juniorat disusul dengan profesi seumur hidup. Saya<br />
tak pernah menyesal pilihan saya. Tak pernah. Tentu<br />
proses ini tidak selalu berjalan lancar, akan tetapi<br />
saya yakin bahwa inilah panggilan saya. Pola hidup<br />
yang alternatif ini, dalam mana bukan ‘aku’ melainkan<br />
orang lain diprioritaskan, cocok bagiku. Lintas sekian<br />
tahun saya berusaha memegang baik Allah maupun<br />
sesama. Apakah saya berhasil dalam hal ini? Satu hal<br />
saya tahu pasti: saya dapat melihat kembali dengan<br />
cukup puas dan hatiku berterima kasih.<br />
Berterima kasih<br />
Betapa banyak diberikan kepada saya! Hal ini mulai<br />
di rumah keluarga, dari pihak orangtua dan sanaksaudara<br />
saya, dalam pendidikan yang saya alami,<br />
kemudian di sekolah dan studi di Belanda serta 26<br />
tahun lebih di Indonesia. Sekarang saya sudah 16<br />
tahun kembali di Belanda. Betapa banyak diberikan<br />
kepada saya. Semuanya diberikan kepada saya dengan<br />
Sejumlah jubilaris yang berkumpul pada tanggal 11 November: dari kiri ke kanan Frater Pieter-Jan van Lierop,<br />
Patrick Smolders, Gerebernus van der Zande, Martinus Lumbanraja, Louis der Visser, Lawrence Obiko, Jan Koppens.<br />
Jubilaris yang tidak kelihatan di foto ini adalah: Frater Joseph Tielemans, Guillaume Caubergh, Nico Nijst,<br />
Francesco Paijmans, Gustavus Menheere, Jan Smits, Pacianus Verhoeven. Frater Johannes Sihombing merayakan<br />
pesta peraknya di Medan.<br />
cuma-cuma. Betapa banyak saya boleh belajar, juga<br />
melalui membina kaum religius dan orang lain. Dan di<br />
samping jalan hidup saya bertumbuh beberapa bunga<br />
yang indah. Mereka adalah sahabat.<br />
‘Bunga’ itu berasal dari Belanda dan Indonesia. Dalam<br />
relasi-relasi itu saya belajar makna terdalam dari<br />
persaudaraan. Karena itu saya bertumbuh menjadi<br />
manusia dan religius. Hal itu dihadiahkan kepada saya.<br />
Cukup alasan untuk berterima kasih.<br />
Perhatian<br />
Bertahun-tahun lamanya kongregasi mempercayakan<br />
kepada saya pelayanan kepemimpinan, atau itu diminta<br />
untuk oleh konfrater-konfrater. Pasti tidak semua<br />
berhasil, namun saya berusaha untuk memperhatikan<br />
manusia sebagai mana adanya, dengan kebaikan<br />
dan kekurangan mereka (seperti saya!). Sekurangkurangnya<br />
saya berusaha untuk hidup sebagai saudara,<br />
baik di dalam maupun di luar kongregasi, dengan<br />
memperhatikan sesama yang lemah dan derita.<br />
Terkadang saya berhasil dalam hal ini, terkadang saya<br />
gagal. Kebetulan (juga suatu rahmat) saya barusan<br />
diundang ke Timur Leste untuk memimpin retret bagi<br />
para frater dan suster dari Zwijsen, kemudian memimpin<br />
dua lokakarya bagi kelompok-kelompok frater dan<br />
satu hari rekoleksi bagi wanita-wanita yang hamil<br />
di luar nikah. Saya tidak hanya memberi, melainkan<br />
dalam setiap pertemuan tersebut saya dapat menerima<br />
banyak. Dalam masa itu ada tanggal bersejarah, yaitu<br />
29 Agustus, dimana saya kenankan jubileum emas hidup<br />
membiara. Saya menganggap perjalanan ke Timur Leste<br />
dan Indonesia, walaupun bukan direncanakan demikian,<br />
sebagai suatu hadiah besar. Saya dihantar kepada diriku<br />
sendiri, kepada hidup saya dan perjalananku lintas<br />
hidup ini. Pantas saya berterima kasih kepada<br />
Allah dan semua orang yang telah berjalan<br />
bersama saya.<br />
Frater Jan Koppens<br />
15
INDONESIA<br />
Cerutu dan<br />
kursi rotan<br />
Perang Dunia Kedua dan tahanan frater-frater di Hindia Belanda merupakan pengalaman bagi mereka yang<br />
sangat menggoyangkan. Frater-frater, sejauh mereka bertahan, melewati masa perang dalam empat kamp<br />
Nipon: di Sumatera Utara, wilayah Padang, Sulawesi Selatan dan di Manado. Kamp Manado, di mana 12 frater<br />
meninggal dunia, ada kamp yang paling kejam. Frater Pieter-Jan van Lierop menulis mengenai pengalaman<br />
kamp di Sumatera Utara.<br />
Kadang-kadang hidup seorang frater dapat menjadi<br />
dramatis. Mereka diutus sebagai frater yang muda<br />
ke pulau Sumatera di Hindia Belanda. Hal itu sudah<br />
merupakan pengalaman yang drastis. Akan tetapi dalam<br />
koloni Belanda pada masa itu masih ada banyak hal yang<br />
mereka kenal baik dari negara asal mereka: pemerintah<br />
gaya Belanda, bahasa Belanda di kantor-kantor dan<br />
di dunia pendidikan, banyak pegawai, pengusaha<br />
16<br />
perkebunan, pedagang, para pastor dan religius serta<br />
kaum prajurid Belanda.<br />
Dihargai<br />
Di koloni ‘Hindia Belanda’ orang-orang Eropa merupakan<br />
suatu kelompok khusus yang sangat dihargai. Pandangan<br />
ini berhubungan dengan mitos bahwa kaum kulit putih<br />
dalam segala hal lebih baik daripada kaum kulit yang<br />
Dari kiri ke kanan: Frater Alex van Aalst, Reinoldus<br />
Korremans dan David Fleerakkers sesudah pembebasan<br />
tahun 1945.<br />
bukan putih. Di samping itu khusus di kalangan gerejani,<br />
kaum religius, terutama para misionaris termasuk para<br />
frater, dihargai secara luar biasa, bahkan lebih dihargai<br />
di Hindia Belanda daripada di tanah air sendiri.<br />
Pada permulaan tahun 1942, hidup berkomunitas<br />
di Medan tidak berbeda banyak dari pola hidup<br />
berkomunitas di Belanda. Komunitas itu terdiri dari<br />
Fater Alex van Aalst, David Fleerakkers, Amator Hugten,<br />
Reinoldus Korremans, Theodatus van Oers (pemimpin<br />
komunitas), Rodulf Ouddeken dan Ranulfo Schippers.<br />
Mereka bekerja di sekolah-sekolah yang berbahasa<br />
Belanda.<br />
Kamp<br />
Pada tanggal 12 Maret 1942 situasi berubah total.<br />
Orang-orang Jepang menduduki Medan, dan langsung<br />
memperkenalkan diri: di muka sekolah frater lima<br />
penjarah dipotong kepala mereka, kepala itu dipasang di<br />
atas tiang-tiang selama satu minggu untuk ditunjukkan<br />
pada masyarakat kota. Tenaga misi, yaitu para pater,<br />
suster, bruder dan frater, menjadi tahanan rumah.<br />
Tetapi itu hanya untuk sementara waktu. Sesudah satu<br />
bulan mereka ditempatkan di suatu kamp di Belawan,<br />
kota pelabuhan Medan. Mereka masing-masing boleh<br />
membawa 30 kilo barang ke kamp dan masih dapat<br />
menyenangkan hidup mereka melalui penyeludupan dan<br />
perdagangan gelap. Terutama kebun sayur dari Frater<br />
David Fleerakkers, yang bertangan hijau, membantu<br />
para frater dan penghuni lain di kamp itu untuk tinggal<br />
dalam keadaan sehat. Dalam waktu singkat para frater<br />
sungguh kelihatan sebagai penghuni lain di kamp itu.<br />
Mereka bercelana pendek, badan mereka setengah<br />
telanjang dan wajah berjenggot. Apalagi mereka berbau<br />
kurang sedap, karena tiada sabun mandi. Sering para<br />
penjaga Jepang menghitung para tahahan dalam acara<br />
apel. Acara semacam itu dapat berlangsung berjam-jam<br />
lamanya. Tindakan disiplin cukup keras dan tahanantahanan<br />
sering dipukul. Terutama tahanan Eropa<br />
mengalami tingkah laku itu sebagai tanda penghinaan,<br />
sebab mereka masih biasa dengan statusnya di zaman<br />
kolonial. Pada Juni 1943 mereka mulai mengalami<br />
kelaparan ketika kamp dipindahkan ke lokasi lain di<br />
daerah Medan. Lokasi baru itu mereka sebut: ‘Belawan<br />
Estate’. Makanan sangat sedikit dan bermutu jelek, maka<br />
para tatahan hanya dapat bertahan lewat penyeludupan,<br />
dengan mencuri atau berdagangan dengan penjagapenjaga<br />
yang korupsi dan memelihara kebun sayur<br />
seperti dilakukan oleh Frater David. Frater Alex van Aalst<br />
menceritakan: “Makanan menyita seluruh perhatian<br />
kami. Di mana-mana para tahanan berbicara tentang<br />
makanan. Kalau kami duduk bersama pada waktu<br />
malam, kami terutama membicarakan hal makanan<br />
dan menyebut jenis makanan yang paling sedap. Kami<br />
seakan-akan dirasuki oleh makanan.”<br />
Unit kesehatan<br />
Moral frater-frater Medan sangat tinggi. Mereka dengan<br />
segera bisa melepaskan perasaan-perasaan sebagai<br />
orang kolonial yang dihina, karena masih ada banyak<br />
hal yang harus dikerjakan. Frater Ranulfo Schippers,<br />
yang berijazah Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan<br />
(PPPK), bersama dengan Frater Alex van Aalst, Amator<br />
van Hugten, Theodatus van Oers dan Rodulf Ouddeken<br />
menjadi sukarerlawan di Unit Kesehatan. Frater-frater<br />
bertahan dalam tugas perawatan itu, juga ketika epidemi<br />
disentri merajalela dan sungguh mengancam nyawa<br />
manusia. Jenazah ratusan orang diurus dan dikuburkan<br />
oleh mereka. Sejauh mungkin para frater berpartisipasi di<br />
lapangan pendidikan anak laki-laki. Mereka dididik agar<br />
memperoleh ijazah sekolah menengah. Mereka<br />
terlibat dalam acara malam hiburan, kegiatan<br />
olehraga, perayaan Paskah, Natal dan Sinterklas,<br />
sampai masalah kelaparan dan penyakit-penyakit<br />
tidak dipedulikan.<br />
17
membaca buku untuk menghibur anak-anak, Frater<br />
Reinoldus di bagian belakan gubuk dan saya di bagian<br />
depan. Ada banyak pendengar, bahkan orang-orang<br />
datang dari gubuk-gubuk lain.” Namun kelaparan<br />
mendominasi situasi. Makanan dapat diperkaya sedikit<br />
dengan keong, cendawan dan daging ular. Frater Alex:<br />
“Kalau di asrama dilihat seekor tikus, semua anak mulai<br />
bergerak. Dua puluh, tiga puluh anak mengejarnya dan<br />
kemudian dilahap habis.”<br />
Komunitas di Medan sesudah dibebaskan pada tahun 1945.<br />
Martabat<br />
Bagaimakah martabat manusia dalam keadaan yang<br />
menghina itu dapat dipertahankan? Sudah barang tentu<br />
bahwa frater-frater mempertahankan kebersamaan dan<br />
martabat mereka sebagai kolompok. Mereka memberikan<br />
banyak perhatian pada pesta perak Frater Cyprianus<br />
Op de Beek. Ruangan pesta dihiasi, dirayakan Misa<br />
Pesta, ditulis buku-buku pesta yang ditulis tangan oleh<br />
frater-frater dan diindahkan itu dengan gambar-gambar.<br />
Bahkan makanan bersifat pesta, berkat kebun sayur.<br />
Puncak pesta adalah ketika para frater duduk bersama<br />
dan menerima dari pemimpin komunitas sebuah cerutu<br />
Belanda. Pada waktu itu mereka merasa bahwa martabat<br />
mereka dipertahankan.<br />
Pada jubileum 100 tahun Kongregasi <strong>CMM</strong>, yang jatuh<br />
pada tanggal 25 Agustus 1944, masih ada cerutu<br />
Belanda bagi setiap frater. Seluruh kamp duduk di atas<br />
peti-peti, batang-batang kayu, namun frater-frater<br />
masih mempunyai dua kursi rotan. Pada waktu malam,<br />
mereka duduk di atasnya secara bergilir. Pada waktu<br />
itu mereka merasa martabat mereka dipertahankan.<br />
Beberapa kali kamp, dalam mana frater-frater Medan<br />
ditahan, dipindahkan. Pertama-tama ke Rantau<br />
Parapat dan kemudian ke Si Rengo-Rengo. Untuk itu<br />
para tahanan harus berjalan banyak kilometer lewat<br />
jalan jelek. Walaupun sangat berat, frater-frater tidak<br />
membuang kedua kursi rotan mereka. Pada waktu malam<br />
mereka mau duduk sebagai manusia biasa pada kursi<br />
yang benar.<br />
‘Anda bukan bapaku’<br />
Pada permulaan Desember 1944, kamp yang derita<br />
kelaparan dengan tiba-tiba diisi lagi dengan seratus anak<br />
laki-laki yang berusia 10 sampai 16 tahun. Beberapa dari<br />
mereka dapat bergabung kembali dengan ayah mereka<br />
yang juga tinggal dalam kamp itu. Kadang-kadang hal<br />
ini menjadi masalah, karena anak-anak sudah lama<br />
tidak melihat ayah mereka dan tidak mengenali kembali<br />
ayahnya, karena kelihatan lain sekali. Salah satu anak<br />
yang mau dipeluk oleh ayahnya mengatakan: “Anda<br />
bukan bapaku; ayahku lebih gemuk dan tidak pakai<br />
jenggot.” Bagi kebanyakan anak tiada tempat topangan.<br />
Syukur bahwa terdapat frater dan orang yang bercitacita.<br />
Mereka mengatur sejenis asrama tanpa adanya<br />
fasilitas, bahkan tak ada makanan. Walaupun demikian<br />
asrama itu kurang-lebih berjalan. Menurut Frater Alex<br />
van Aalst: “Setiap malam Frater Reinoldus dan saya<br />
Gerakan nasionalis<br />
Pada tanggal 1 Mei 1945, Frater Rodulf Ouddeken<br />
merayakan pesta perak hidup membiara. Walaupun<br />
banyak susah, pesta itu masih bisa dirayakan. Ada Misa<br />
dan makanan pesta. Frater David Fleerakker mengambil<br />
kesempatan untuk memelihara ayam. Karenanya pada<br />
waktu makanan pesta terdapat bukan hanya sayur,<br />
tetapi juga ayam dan untuk setiap frater disajikan telur<br />
matasapi. Sesudah makan bersama, ketika frater-frater<br />
duduk bersama, masih satu kali setiap frater memperoleh<br />
cerutu Belanda. Pada waktu itu mereka merasa<br />
martabat manusia mereka dipertahankan. Penderitaan<br />
kamp berlangsung terus sampai 24 Agustus 1945, hari<br />
pembebasan. Sesudahnya dengan segera diperoleh baik<br />
makanan maupun pakaian.<br />
Frater-frater yang meninggal dunia waktu<br />
Perang Dunia Kedua di Hindia Belanda.<br />
Frateran di Medan sebelum orang Jepang<br />
menduduki ‘Hindia Belanda’.<br />
Akan tetapi para penghuni kamp Nipon tetap tinggal di<br />
dalamnya, karena keamanan di luar kamp tak terjamin.<br />
Kelompok-kelompok revolusi dan pejuang-pejuang<br />
kemerdekaan bersikap keras terhadap orang kolonial.<br />
Suasana dalam masyarakat berubah secara total:<br />
Indonesia Merdeka! Waktu mereka meninggalkan isolemen<br />
kamp, para frater terkejut betul dengan adanya semangat<br />
nasionalisme yang didukung oleh masyarakat luas.<br />
Masa yang lampau<br />
Baru pada tanggal 31 Oktober 1945 para frater kembali<br />
ke kota Medan. Mereka merasa sangat kecewa. Belum<br />
ada kebebasan bagi mereka. Bersama dengan pastor<br />
dan suster, mereka tertahan di kompleks misi, agar<br />
keamanan mereka terjamin. Tidak ada kekurangan lagi,<br />
namun sampai pertengahan tahun 1946 mereka harus<br />
menganggur sampai saat mereka dibebaskan. Fraterfrater<br />
menggunakan sebuah rumah di kompleks misi.<br />
Rumah itu kosong tanpa perabot atau tempat tidur.<br />
Akan tetapi syukur pada waktu malam frater-frater<br />
dapat duduk, karena mereka membawa kursi-kursi<br />
rotan mereka, yang begitu bermanfaat di kamp Nipon.<br />
Di ‘Kamp Medan’ para frater belajar bahwa ‘Hindia kita’<br />
sudah merupakan tempo dulu, dan mereka diminta untuk<br />
turut membangun Republik Indonesia. Mereka betul<br />
melakukan itu. Persekolahan St. Thomas tingkat<br />
TK, SD, SMP dan SMA menjadi sekolah favorit<br />
di Medan.<br />
Frater Pieter-Jan van Lierop<br />
18<br />
19
BERITA PENDEK<br />
IN MEMORIAM<br />
ZIARAH KE<br />
LOURDES<br />
Dari tanggal 11 sampai dengan 16 September 2012,<br />
sejumlah anggota komunitas Joannes Zwijsen, Tilburg,<br />
berada di Lourdes. Seluruh ziarah ini diatur oleh<br />
lembaga ‘Ziarah Belanda ke Lourdes bagi Orang Sakit’.<br />
Yang ikut adalah Frater Simon van den Broek, Frans van<br />
de Meulengraaf, Sebastianus van Seters, Adri Simons,<br />
Patrick Smolders dan Hein van der Zande. Sesudah tiba<br />
di Lourdes, para penziarah mengunjung gua di mana<br />
Maria pada tahun 1858 menampakkan diri kepada<br />
Bernadette Soubirous. Pada waktu itu berusia 14 tahun.<br />
Setiap hari diadakan ibadat sabda dan Perayaan Ekaristi.<br />
Terutama Misa internasional di dalam Basilik Pius<br />
X yang sangat luas dan misa di depan gua sungguh<br />
mengesankan. Pada bagian kedua dalam minggu itu,<br />
ziarah dihadiri oleh Mgr. Jan Liesen, Uskup Breda. Ia<br />
memimpin ibadat jalan salib. Pada hari terakhir peziarah<br />
naik bis menuju pegunungan Pyrenia.<br />
Foto di atas: Para peziarah di Lourdes.<br />
Foto di bawah: Kelompok peziarah dengan<br />
para pendamping di depan hotel mereka.<br />
‘MENCARI KISAH’<br />
DI KALANGAN <strong>FRATER</strong><br />
Pada tanggal 28 September 2012 dewan dan para<br />
pegawai Lembaga Misi Nijmegen (NIM) mengunjungi<br />
Generalat <strong>CMM</strong> di Tilburg dan ‘ZIN’ di Vught. Maksud<br />
mereka untuk berkenalan dengan Kongregasi <strong>CMM</strong><br />
dan mendengar cerita ´misi´ para frater. Direktur NIM,<br />
Frans Dokman, memberikan laporannya.<br />
Di generalat, wakil pemimpin umum, Frater Edward<br />
Gresnigt, bercerita mengenai kongregasi. Kami<br />
dihantar keliling, dan ia mengambil cukup waktu<br />
pada kubur Frater Andreas untuk membicarakan<br />
riwayat hidupnya. Pokok dalam hidupnya adalah<br />
kemanusiaan dan belaskasih, juga bagi muridmuridnya.<br />
Hal ini sangat menyapa staf dan dosendosen<br />
NIM. Kami mengunjungi museum <strong>CMM</strong> dan<br />
dihantar ke zaman Uskup Joannes Zwijsen yang<br />
mendirikan Kongregasi. Pada waktu itu kaum miskin<br />
sulit mengikuti pendidikan. Di museum itu dijelaskan<br />
misi para frater lintas sejarah, yang terwujud dalam<br />
pendidikan (termasuk yang luar biasa) bagi mereka<br />
yang membutuhkannya.<br />
Kemudian kami pergi ke ruang kapitel di mana<br />
Ibu Carine van Vught, dari lembaga Verhalis,<br />
memperlihatkan sebuah DVD yang berisi wawancara<br />
dengan sekian religius. Lembaga Verhalis<br />
mengumpulkan peringatan dan cerita mengenai<br />
pelbagai bidang hidup religius seperti karya misi<br />
dan hidup kontemplatif, dan mengenai religius<br />
di dalam dan di luar komunitas. Semua religius<br />
yang diwawancarai adalah berusia lanjut. Sesudah<br />
melihat DVD, kami bertanya: apakah cerita mereka<br />
nanti selesai? Dengan pertanyaan ini kami berjalan<br />
menuju ‘ZIN’ dan komunitas <strong>CMM</strong> Eleousa, yang<br />
terletak di sampingnya. Kami diterima oleh Frater<br />
Wim Verschuren. Satu kata dari Frater Wim tetap<br />
kami ingat: ‘menciptakan kembali’. Menciptakan<br />
kembali pendidikan berdasarkan semangat<br />
belaskasih, bagi orang-orang yang membutuhkan<br />
cerita yang bermakna mengenai hidup dan pekerjaan<br />
mereka. Inilah pesan yang tersebar dari <strong>CMM</strong> di<br />
Vught. Nampaknya kisah Frater Andreas masih tetap<br />
dilanjutkan.<br />
Frans Dokman, Direktur NIM<br />
TIMUR LESTE:<br />
TUJUH<br />
POSTULAN<br />
Waktu perayaan Ekaristi di frateran Dili, Timor Leste,<br />
pemimpin regio, Frater Silvino Belo, menerima tujuh<br />
postulan. Sejak tanggal 14 Oktober 2012 mereka<br />
tinggal di gedung proyek pertanian di Suai, yang<br />
diambil alih oleh Frater <strong>CMM</strong> dari Serikat Yesuit.<br />
Pemimpin postulan, Frater Antonius Sipahutar,<br />
sekaligus memimpin proyek itu. Maksudnya<br />
meningkatkan kegiatan pertanian di daerah itu.<br />
Para postulan terlibat di bidang pastoral di stasistasi<br />
melalui ibadat sabda, iringan musik, pembinaan<br />
muda-mudi dan kunjungan orang lansia dan<br />
orang sakit.<br />
Frater<br />
Sibrand (W.G.J.) KOENEN<br />
Frater Sibrand lahir di Arcen, Belanda, pada tanggal<br />
6 Maret 1921. Ia masuk Kongregasi <strong>CMM</strong> pada<br />
tanggal 19 Maret 1938. Ia mengikrarkan profesinya<br />
seumur hidup pada tanggal 10 Agustus 1942 dan<br />
meninggal dunia pada tanggal 2 Oktober di Frateran<br />
Zonhoven. Ia dikuburkan di pekuburan Zonhoven-Pusat.<br />
Pelayanan Frater Sibrand berlangsung seluruhnya di<br />
kota Zonhoven, Belgia. Selama empat tahun ia bekerja<br />
sebagai guru di sekolah St. Jozef. Pada tahun 1949 ia<br />
diminta menjadi guru di sekolah guru St. Jan Berchmans,<br />
yang pada 1957 menjadi sekolah menengah. Ia seorang<br />
guru yang sungguh bertalenta. Murid-muridnya senang<br />
menerima pelajaran dari Frater Sibrand. Bidang-bidang<br />
studi yang favorit bagi dia adalah: ilmu bumi dan sejarah.<br />
Ia menjadi pemimpin sekolah di Zonhoven dan yayasan<br />
kependidikan di Zonhoven dan Lanaken. Kongregasi<br />
mengangkatnya menjadi pemimpin postulan, anggota<br />
dewan provinsi <strong>CMM</strong> Belgia dan anggota pemimpin<br />
komunitas Zonhoven. Otaknya tajam dan wataknya<br />
merupakan dasar yang baik untuk tugas-tugas itu.<br />
Ia suka melayani dan membela kepentingan dan<br />
perutusan para konfraternya. Ia sungguh menderita ketika<br />
ia semakin tuli. Karena itu komunikasi semakin sulit.<br />
Secara batiniah ia tetap stabil. Lama-kelamahan ia harus<br />
melepaskan hidupnya. Pada tanggal 2 Oktober 2012<br />
di tengah malam ia dipanggil Allah di frateran.<br />
Kita tahu bahwa Frater Sibrand sekarang boleh<br />
tinggal di Rumah Bapa karena belaskasih-Nya.<br />
20<br />
21
in memoriam<br />
SUMBER<br />
Frater<br />
Camille (A.D.J.) Gerets<br />
Frater Camille lahir di Lanaken, Belgia, pada tanggal<br />
15 April 1928. Ia masuk Kongregasi <strong>CMM</strong> pada<br />
tanggal 29 Agustus 1945. Ia mengikrarkan profesinya<br />
seumur hidup pada tanggal 15 Agustus 1951 dan<br />
meninggal dunia pada tanggal 19 November 2012<br />
di Frateran Zonhoven. Ia dikuburkan di pekuburan<br />
Zonhoven-Centrum.<br />
Frater Camille yang lahir di Lanaken, Belgia, mulai<br />
mengenal Frater <strong>CMM</strong> di SD. Inilah menjadi dasar<br />
panggilannya. Frater Camille sangat bertalenta,<br />
perhatiannya cukup lebar. Ia bekerja sebagai guru<br />
matematika yang hebat di Lembaga Sint-Jan<br />
Berchmans di Zonhoven. Sikapnya tetap sederhana.<br />
Pada tahun 1960 ia diminta menjadi pendidik<br />
asrama untuk sementara waktu. Pada tahun 1967<br />
Provinsi <strong>CMM</strong> Belgia didirikan. Di samping tugasnya<br />
sebagai guru, Frater Camille diminta untuk menjadi<br />
bendahara provinsi. Dengan segala tenaganya ia<br />
membimbing provinsi di bidang keuangan serta<br />
melakukan administrasi keuangan selama 45 tahun.<br />
Ia pasti menderita banyak ketiga ia, karena masalah<br />
kesehatan, harus meninggalkan dunia pendidikan. Ia<br />
menerima ‘salib’ itu dan meneruskan jalannya. Hal<br />
ini membuktikan kekuatan mentalnya dan bahwa<br />
bersemangat terus. Ia tetap bersikap optimis. Frater<br />
Camille memperhatikan kebutuhan sesamanya. Dengan<br />
sederhana dan berdedikasi tinggih ia menolong di<br />
mana orang membutuhkan pertolongan. Begitulah ia<br />
menata hidupnya sebagai frater, dan ia melakukan apa<br />
yang dibuat oleh Yesus: melayani dan meringankan,<br />
serta mengulurkan tangannya bagi banyak orang.<br />
Frater<br />
Marcel (J.M.) Achten<br />
Frater Marcel lahir di Helchteren, Belgia, pada<br />
tanggal 12 Desember 1911. Ia masuk Kongregasi <strong>CMM</strong><br />
pada tanggal 8 September 1928. Ia mengikrarkan<br />
profesinya seumur hidup pada tanggal 15 Agustus<br />
1933 dan meninggal dunia pada tanggal 3 Desember<br />
2012 di Frateran Zonhoven. Ia dikuburkan di<br />
pekuburan Zonhoven-Centrum.<br />
Pada tahun 1928, dari tempat lahirnya Helchteren,<br />
Belgia, Jaak Achten berangkat ke Tilburg, Belanda,<br />
untuk memulai novisiatnya. Sesudah menjadi tenaga di<br />
dunia pendidikan, ia diangkat sebagai guru di sekolah<br />
luar biasa bagi anak bisu tuli di Maaseik. Di kemudian<br />
hari ia menjadi kepala sekolah di situ. Tugas yang sama<br />
ia lakukan sebagai direktur pertama Lembaga Bisu<br />
Tuli di Hasselt yang terkenal. Ia memperhatikan para<br />
muridnya dan ingin melakukan segala sesuatu, supaya<br />
mereka kelak dapat berfungsi baik dalam masyarakat.<br />
Pihak pemerintah mengungkapkan penghargaannya<br />
dengan menyerahkan kepadanya bintang jasa perak<br />
dan kemudian emas. Selama sekian tahun Frater Marcel<br />
bertugas sebagai pemimpin komunitas, wakil pemimpin<br />
komunitas atau anggota dewan komunitas di frateran<br />
Maaseik dan Hasselt. Pada tahun 1978 ia berangkat agak<br />
lama ke Kenya untuk mendukung para frater dan guru<br />
yang bekerja di pendidikan khusus untuk bisu tuli. Frater<br />
Marcel boleh menjadi sangat tua. Walaupun ia tua dan<br />
memerosot kesehatannya, ia berpartisipasi secara optimal<br />
pada hidup berkomunitas. Penuh kepercayaan ia ingin<br />
temu dengan Tuhan, Sang Pencinta dan Dasar Kehidupan.<br />
Keinginan ini sekarang terpenuhi.<br />
MENGENAI<br />
AWAL DAN AKHIR<br />
KEHIDUPAN<br />
Perhatian Zwijsen mengenai cinta<br />
yang berbelaskasih<br />
Perhatian bagi kaum kecil mewarnai masyarakat kita. Perhatian bagi orang-orang yang sakit<br />
parah mengatakan banyak mengenai iklim manusiawi di kalangan kita. Pada umumnya dapat<br />
dikatakan: mutu masyarakat dapat dinilai berdasarkan perhatian yang ditunjukkan kepada<br />
‘mata rantai’ yang paling lemah. Inilah hukum dasar cinta yang berbelaskasih.<br />
Pandangan tersebut mengenai orang yang rapuh dan yang berada<br />
dalam masa suram diutamakan oleh Mgr. Zwijsen. Pendiri kita tidak<br />
menyingkirkan kesempatan untuk berbuat baik. Ia tidak mengenal<br />
diskriminasi berdasarkan umur. Namun ia menyoroti dua tahap<br />
yang menentukan kehidupan seseorang: “saat ia masuk dunia”<br />
dan “saat ia meninggalkan dunia”. Mgr. Zwijsen mengarahkan<br />
perhatiannnya secara khusus kepada orang muda dan orang lansia.<br />
Ia sungguh memperhatikan kerapuhan mereka. Mgr. Zwijsen sendiri<br />
berkeyakinan bahwa mutu kehidupan ini sangat ditentukan oleh<br />
masa muda yang baik dan kesempatan untuk wafat dengan damai.<br />
Orientasi yang praktis itu berlatar belakang rohani. Yesus<br />
menyadari bahwa ‘Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah’<br />
(Yoh. 13: 3). Inilah juga pandangan Mgr. Zwijsen mengenai hidup:<br />
asal dan tujuan setiap orang adalah Allah, Sang Belaskasih. Jalan<br />
kehidupan seseorang meminta perlindungan dan kemungkinan<br />
yang baru, kesadaran akan arah dan ruang hidup. Hal ini terutama<br />
berlaku pada manusia yang muda dan lansia. Sebab itu Mgr.<br />
Zwijsen mengarahkan pelayanan para suster dan fraternya secara<br />
khusus pada awal dan akhir kehidupan.<br />
Frater Harrie van Geene<br />
22<br />
23
Kita bersedia untuk mencari jalan<br />
yang memungkinkan orang-orang tertentu<br />
turut serta dalam hidup dan karya kita<br />
sebagai anggota luar biasa<br />
atau dengan cara lain,<br />
tanpa ikut serta<br />
dalam segenap cara hidup kita.<br />
(Konst. I, 365)<br />
Majalah Kongregasi Frater Santa Perawan Maria, Bunda yang Berbelaskasih.