20.09.2013 Views

MERAPI TAK PERNAH INGKAR JANJI

MERAPI TAK PERNAH INGKAR JANJI

MERAPI TAK PERNAH INGKAR JANJI

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Wawancara Khusus:<br />

Margareta Wahlström<br />

Pejabat SEKRETARIAT JENDERAL PBB<br />

untuk PENGURANGAN RISIKO<br />

BENCANA<br />

FREE MAGAZINE<br />

Liputan Utama:<br />

Sosok:<br />

Sugeng Triutomo<br />

Perjuangan Deputi Bidang Pencegahan<br />

dan Kesiapsiagaan Bencana BNPB<br />

memahamkan mitigasi bencana<br />

BELAJAR DARI ERUPSI 2010<br />

Konferensi Tingkat<br />

Menteri Asia Tentang<br />

Pengurangan Risiko<br />

Bencana (AMCDRR)<br />

32 44 84<br />

Vol. 01 • Agustus 2012<br />

<strong>MERAPI</strong> <strong>TAK</strong> <strong>PERNAH</strong><br />

<strong>INGKAR</strong> <strong>JANJI</strong><br />

08<br />

No ISSN : 2302 - 3856<br />

ERUPSI Gunung Merapi pada 2010 lalu disebut sebagai yang<br />

terbesar setelah 1872. Amukan Merapi memakan korban hingga<br />

lebih dari 200 jiwa. Menyiapkan diri untuk bencana yang mungkin<br />

sama atau bahkan lebih besar adalah tindakan paling pas, karena<br />

Merapi tak pernah ingkar janji.


Unit Percepatan<br />

Pembangunan Provinsi Papua<br />

dan Provinsi Papua Barat<br />

(UP4B)<br />

UP4B adalah<br />

lembaga<br />

pelaksana percepatan pembangunan<br />

di Papua dan Papua Barat<br />

untuk meletakkan landasan<br />

pembangunan yang berkelanjutan<br />

dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat,<br />

memberikan pengakuan,<br />

penghormatan dan pemihakan<br />

kepada rakyat Papua dan Papua<br />

Barat dalam rangka optimalisasi<br />

keberhasilan Otsus Papua.<br />

Dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66<br />

Tahun 2011, UP4B berkedudukan di Ibukota Propinsi<br />

Papua, Jayapura. Dan akan bekerja sampai tahun<br />

2014.<br />

Dalam pelaksanaannya, UP4B<br />

berkoordinasi dengan Kementerian<br />

Perencanaan Pembangunan<br />

Nasional/Badan Perencanaan Pem-<br />

Pose Kepala UP4B dengan Kepala Suku Kombai dan Kepala Suku Korowai (yang juga digunakan sbg cover cd<br />

lagu).<br />

bangunan Nasional (Bapenas) dan<br />

Badan Perencana Pembangunan<br />

Daerah (Bapeda) untuk mempercepat<br />

pembangunan Provinsi<br />

Papua dan Provinsi Papua Barat.<br />

UP4B antara lain telah<br />

mengembangkan pembenihan<br />

Ikan Kerapu di Kabupaten Raja Ampat.<br />

Proyek ini bertujuan mengurangi<br />

penangkapan ikan laut secara<br />

berlebihan, dengan demikian<br />

akan meningkatkan kesejahteraan<br />

nelayan di Raja Ampat. kap di Papua untuk melayani dari<br />

kabupaten sekitar seperti Raja<br />

Ampat, Tambrau, dan Sorong<br />

Selatan.<br />

Selain itu, tahun ini, UP4B telah<br />

mengirim 747 pemuda-pemudi<br />

Papua untuk belajar di berbagai<br />

Di Kabupaten Sorong, UP4B Perguruan Tinggi di Indonesia<br />

pun kini sedang merintis pemban- dengan beasiswa.<br />

gunan Rumah Sakit (RS) terleng- Semua aksi itu diharapkan<br />

dapat mewujudkan masyarakat<br />

Papua dan Papua Barat yang<br />

bermartabat dan bangga menjadi<br />

bagian integral bangsa Indonesia.<br />

Iring-iringan mobil saat survey darat ke Danau<br />

Habema.<br />

3


4 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Dari Redaksi<br />

BENCANA alam yang menimpa Provinsi Nangroe Aceh<br />

Darussalam (NAD) tanggal 26 Desember 2004 telah<br />

mengubah pandangan banyak pihak tentang bencana<br />

dan upaya penanggulangannya.<br />

Di tingkat nasional, bencana Aceh telah<br />

mempercepat lahirnya Undang-undang Penanggulangan<br />

Bencana. Sementara di tingkat global peristiwa itu telah<br />

ikut mengubah keputusan Konferensi Dunia tentang<br />

Pengurangan Risiko Bencana dari rekomendasi yang bersifat himbauan<br />

menjadi rekomendasi yang bersifat afirmatÍf, sebagaimana tercermin pada<br />

Kerangka Aksi Hyogo. Seperti diketahui, kerangka aksi yang dikenal dengan<br />

Hyogo Framework of Action (HFA) itu lahir dari Konferensi Dunia tentang<br />

Bencana di Kobe, Jepang, pada bulan Januari 2005, kurang-lebih satu bulan<br />

setelah bencana menerjang Aceh.<br />

Pembelajaran lain dari bencana Aceh adalah adanya hasrat untuk<br />

mengubah paradigma penanggulangan bencana dari tindakan reaktif-darurat<br />

menjadi preventif- terencana; dari upaya penanganan terpusat menjadi<br />

penanganan berbagi antar para pihak, termasuk masyarakat madani dan dunia<br />

usaha.<br />

Terkait dengan dorongan untuk mengubah paradigma dalam<br />

penangulangan bencana, kita berpendapat perubahan itu seyogyanya<br />

dilakukan pada dua aras: struktural dan kultural. Pada aras struktural,<br />

seyogyanya dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi berbagai peraturan<br />

penanggulangan bencana yang tumpang tindih bahkan saling meniadakan.<br />

Sementara pada aras kultural, upaya penyadaran perlu dilakukan agar orientasi<br />

pada pemuasan nafsu diri pribadi (berpusat pada manusia) bergeser menjadi<br />

pola hidup yang menghargai alam serta kesediaan berbagi sumberdaya dengan<br />

generasi yang akan datang.<br />

Kita tentu bersyukur memiliki negara besar dengan jumlah penduduk 250<br />

Juta, yang tersebar di 33 Propinsi dan lebih dari 480 Kabupaten/Kota serta<br />

17.000 pulau. Anugrah memiliki negara besar haruslah disertai tanggung jawab<br />

berupa kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.<br />

Kita berpendapat, sebelum bencana menghantam dan memundurkan<br />

hasil pembangunan, maka perilaku dan kesediaan berbagi peran para pihak<br />

dan menekan “ego sektoral” perlu dikedepankan. Investasi untuk mengurangi<br />

kerentanan dan peningkatan kapasitas secara terpadu dengan upaya<br />

pembangunan harus juga dipastikan pada semua tingkatan.<br />

Sebagaimana bencana Aceh, bencana Merapi bulan Oktober 2010 juga<br />

seyogyanya menjadi pembelajaran.<br />

Korban tentu dapat ditekan sampai titik ekstrim, katakanlah nol (Zerorisk),<br />

dengan terbangunnya budaya siaga, bukan saja pada tingkat komunitas tetapi<br />

juga pada tingkat pemerintah. Pengalaman membuktikan bahwa komunitas<br />

yang berdaya dan siaga dapat meredam risiko bencana. Untuk menuju<br />

komunitas yang berdaya dan siaga diperlukan jalan panjang dan ketekunan.<br />

Majalah Kebencanaan Zerorisk hadir untuk memperkuat barisan untuk<br />

bersama-sama mencapai tahap komunitas yang tangguh.<br />

Sekedar untuk direnungkan: Rasaning Eling dikejawantahkan melalui kerjakerja<br />

kemanusian, menyatu sampai titik nol. Anung ning! Ada dalam ketiadaan.<br />

Tidak ada dalam ada. Lahir sekaligus batin, batin sekaligus lahir.<br />

Kurniawan Zulkarnain<br />

Dewan Pakar<br />

Sugeng Triutomo<br />

Parni Hadi<br />

Pujiono<br />

Eko Teguh Paripurno<br />

Dewan Redaksi<br />

Ridwan Yunus<br />

Revanche Jefrizal<br />

Lilik Kurniawan<br />

Dandi Prasetia<br />

Juriono<br />

Kurniawan Zulkarnain<br />

Pemimpin Perusahaan<br />

Dandi Prasetia<br />

Pemimpin Redaksi<br />

Kurniawan Zulkarnain<br />

Wakil Pemimpin Redaksi<br />

Sutan Karunia<br />

Redaktur Pelaksana<br />

Kafil Yamin<br />

Redaktur<br />

Metta Surya<br />

Editor Foto<br />

Raditya Djati<br />

Reporter<br />

Eka Arios<br />

Art Designer<br />

Luthfian Zuhdi Hariyadi<br />

Divisi Usaha<br />

Rina Octavia<br />

Kontributor<br />

Asisi F. Widanto, Victor Rembeth, Suer Suryadi,<br />

M. Ramli, Fatwa Fadillah, Bayu Dwi Anggono,<br />

Juni Pristianto, Dwi “Oblo”, Abdul Muhari, Lilik<br />

Kurniawan<br />

Alamat Redaksi<br />

Tebet Timur 1A No. 15<br />

Jakarta Selatan<br />

12820<br />

Telp. +62-21 462 257 41<br />

Fax. +62-21 830 3630<br />

email: disastermagz@zer0risk.com<br />

website: www.zer0risk.com<br />

f: zer0risk magazine<br />

t: @zer0riskmagazine


Sampul:<br />

Gunung Merapi<br />

Foto: Raditya Djati<br />

Desain: Luthfi<br />

Surat Pembaca 6<br />

Hari ke Hari<br />

KESIAPSIAGAAN<br />

WARGA CODE 22<br />

Fenomena<br />

DAM BILIBILI<br />

SULAWESI<br />

SELATAN 40<br />

Harmoni 52<br />

MENUJU<br />

‘ZERO<br />

CASUALTY’<br />

Jagat Kita<br />

BENCANA DALAM<br />

PERSPEKTIF<br />

AL-QUR’AN 58<br />

Gagasan<br />

KRT ADIKOESOEMO<br />

PRASETYO 64<br />

Mitra<br />

CAHAYA PUN<br />

MENYALA DI<br />

LAMPU HATI 70<br />

Aturan Main<br />

PUSDALOPS PB,<br />

ANTARA<br />

KEBIJAKAN DAN<br />

KEMAMPUAN 74<br />

Solusi<br />

BENANG KUSUT<br />

PEMBENTUKAN<br />

BPBD 78<br />

Resensi Buku<br />

BUKU BABON<br />

PENGURANGAN<br />

RISIKO BENCANA<br />

GLOBAL 90<br />

Galeri 92<br />

KONSERVASI GAGAL,<br />

BERSIAPLAH MEMANEN<br />

BENCANA<br />

Wawancara Khusus:<br />

Margareta Wahlström<br />

Pejabat pada SEKRETARIAT JENDERAL<br />

PBB untuk PENGURANGAN RISIKO<br />

BENCANA<br />

Liputan Utama<br />

belajar dari erupsi 2010<br />

ERUPSI Gunung Merapi pada 2010 lalu disebut sebagai yang<br />

terbesar setelah 1872. Amukan Merapi memakan korban<br />

hingga lebih dari 200 jiwa. Menyiapkan diri untuk bencana yang<br />

mungkin sama atau bahkan lebih besar adalah tindakan paling<br />

pas, karena Merapi tak pernah ingkar janji.<br />

Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Daftar Isi<br />

<strong>MERAPI</strong> <strong>TAK</strong> <strong>PERNAH</strong><br />

<strong>INGKAR</strong> <strong>JANJI</strong><br />

Konservasi Kearifan Lokal<br />

SMONG<br />

BUDAYA YANG<br />

MENYELAMATKAN<br />

26 36<br />

Sosok:<br />

Sugeng Triutomo<br />

Perjuangan Deputi Bidang Pencegahan<br />

dan Kesiapsiagaan Bencana BNPB<br />

memahamkan mitigasi bencana<br />

Konferensi Tingkat<br />

Menteri Asia Tentang<br />

Pengurangan Risiko<br />

Bencana (AMCDRR)<br />

32 44 84<br />

DAFTAR ISI<br />

8<br />

5


6 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Surat<br />

Pembaca<br />

UCAPAN SELAMAT<br />

Selamat datang Majalah Zerorisk<br />

di hutan belantara masalah media<br />

(cetak, TV, Redio, dan media on line),<br />

semoga kehadiranmu membawa<br />

inspirasi dan pencerahan yang lain,<br />

yang dapat memperkaya khasanah<br />

pengetahuan masyarakat khususnya<br />

tentang kebencanaan. Setahu saya<br />

belum ada satu majalahpun di<br />

Indonesia yang khusus mengupas<br />

masalah kebencanaan dengan begitu<br />

mendalam, lengkap, informatif,<br />

disajikan dengan bahasa yang<br />

ringan, mudah dipahami/dicerna oleh<br />

kalangan awam tentang kebencanaan<br />

sekalipun.<br />

Majalah yang sangat<br />

berguna bukan hanya bagi para<br />

pelaksana tugas kebencanaan<br />

semata, melainkan juga untuk<br />

masyarakat pada umumnya,<br />

agar masyarakat memperoleh<br />

informasi dan pengetahuan tentang<br />

kebencanaan secara dini, dan dapat<br />

mengatisipasinya bila bencana benarbenar<br />

datang tanpa harus tergantung<br />

terhadap pemerintah.<br />

Rubrik atau artikel yang disajikan<br />

sangat lengkap dan informatif, serta<br />

yang paling menarik antara lain<br />

rubrik tentang Hari ke Hari, Sosok<br />

serta Fenomena dan Kearifan Lokal,<br />

yang disajikan dalam bentuk feature,<br />

ringan dan enak dibaca tetapi dapat<br />

menggugah bagi siapa saja yang<br />

membacanya. Suatu kisah bagaimana<br />

masyarakat dapat hidup di tengahtengah<br />

daerah yang rawan bencana,<br />

dan dapat mengantisipasinya dengan<br />

ketrampilan dan kearifan lokal yang<br />

mereka miliki selama ini.<br />

Oleh karena itu, kami berharap<br />

semoga Majalah Zerorisk kini dapat<br />

terbit secara rutin dan on time. Serta<br />

dapat dibaca oleh berbagai kalangan,<br />

guna mencerdaskan masyarakat dan<br />

bangsa Indonesia secara luas yang<br />

kebetulan hidup di daerah yang rawan<br />

bencana. Demikian terima kasih.<br />

Tarjono Rusmana<br />

Bekasi<br />

Yang Terhormat Pimpinan Redaksi<br />

Zerorisk,<br />

Sebagai pembaca awam saya:<br />

“Mengucapkan Selamat atas terbitnya<br />

Majalah Zerorisk”.<br />

Hal ini dengan berbagai alasan,<br />

pertama: selama ini majalah popular<br />

yang membahas tentang bencana<br />

sangat sedikit (mungkin belum<br />

ada) sehingga kita sulit memahami<br />

tentang apa dan bagaimana terjadinya<br />

bencana, dan bagaimana cara<br />

menghindar dari becana.<br />

Kedua: Sebagaimana diketahui<br />

oleh orang banyak bahwa kita hidup di<br />

Indonesia ini pasti selalu berhadapan<br />

dengan bencana, baik bencana alam<br />

(gempa – tusnami, badai, gunung<br />

meletus, dll) maupun bencana akibat<br />

olah/pokal manusia (kecelakaan<br />

berlalu lintas, dll), atau bencana<br />

sebab-akibat dari interaksi alam dan<br />

manusia (banjir, tanah loongsor, dll)<br />

Ketiga: Bagaimana kita akrab<br />

dengan kondisi seperti itu namun<br />

sedikit mungkin mencegah terjadinya<br />

resiko atas bencana. Upaya mengenal<br />

ancaman, penurunan kerentanan dan<br />

penguatan kapasitas menjadi sangat<br />

penting. Syukur kalau upaya mampu<br />

menekan risiko sampai titik nol (Zero).<br />

Dengan rumusan tersebut jelas<br />

menjadi alasan keempat bahwa<br />

tujuan ZERORISK terbit adalah untuk<br />

memberikan pencerahan dan edukasi<br />

terhadap masyarakat agar masyarakat<br />

dapat meningkatkan kemampuan<br />

dirinya (sendiri-sendiri dan kelompok)<br />

jika mengahadapi bencana, yaitu<br />

sesedikit mungkin terjadinya resiko<br />

terburuk (pengurangan pederitaan).<br />

Karena tujuan yang mulia itu kami<br />

sampaikan dukungan.<br />

Wassalam,<br />

Bambang Agussalam<br />

Surakarta<br />

Saya menyambut baik penerbitan<br />

edisi perdana Majalah Bulanan<br />

“Zerorisk” yang bertujuan untuk<br />

memberikan informasi kepada<br />

masyarakat tentang upaya-upaya<br />

pengurangan risiko bencana dan<br />

membangun kesadaran pada semua<br />

level baik pemerintah,masyarakat<br />

dan pihak swasta bahwa kawasan<br />

Indonesia merupakan kawasan rawan<br />

bencana dan memerlukan manajemen<br />

khusus dalam menanganinya .<br />

Majalah Bulanan “Zerorisk”<br />

sangat membantu kami dalam kerjakerja<br />

pengurangan risiko bencana<br />

di komunitas ,apalagi saat ini masih<br />

minimnya bahan bacaan dalam bentuk<br />

majalah dan tabloid yang khusus<br />

memberitakan soal kebencanaan dan<br />

upaya-upaya PRB.<br />

Saran saya mungkin saja<br />

pada edisi berikutnya bisa lebih<br />

menonjolkan model kearifan lokal<br />

masyarakat atau pengetahuan<br />

yang dimiliki oleh komunitas dalam<br />

upaya-upaya pengurangan risiko<br />

bencana,serta peran pemerintah<br />

daerah (BPBD) dan yang paling<br />

penting mungkin model tulisan dan<br />

ulasan dalam bentuk bahasa yang<br />

mudah di pahami dan dimengerti oleh<br />

masyarakat secara luas.<br />

Salam PRB<br />

Shadiq Maumbu<br />

Palu<br />

Atas nama Dewan Kelurahan Desa<br />

Kertayasa-Kecamatan Cijulang, kami


menyambut baik terbit Majalah<br />

Kebencanaan Zerorisk yang memuat<br />

isu-isu kebencanaan dan pengurangan<br />

risiko bencana.<br />

Pengalaman kami dilanda<br />

tsunami bulan Juli 2006 yang lalu<br />

telah membangunkan kami untuk<br />

selalu wasdapa terhadap setiap<br />

ancaman bencana. Kehadiran<br />

Majalah Zerorisk akan membantu<br />

kami dalam menemukan rujukan dan<br />

pembelajaran dalam penanggulangan<br />

bencana.<br />

Selamat dan sukses selalu.<br />

Salam,<br />

Mohammad Daribi<br />

Desa Kertayasa Cijulang<br />

Ciamis Selatan<br />

Selamat kepada Tim Redaksi Majalah<br />

Zerorisk yang telah bekerja keras<br />

untuk sampai terbitnya majalah ini.<br />

Sebuah majalah khusus tentang<br />

kebencanaan. Sebuah majalah yang<br />

mudah-mudahan dapat menjadi<br />

referensi utama bagi komunitas yang<br />

berdomisili di daerah rawan bencana,<br />

para Pegiat Sukarelawan Sosial dan<br />

instansi/lembaga Pemerintah dan<br />

Swasta yang memiliki tugas atau<br />

kepedulian terhadap kebencanaan.<br />

Saya adalah satu diantara mereka<br />

yang pernah menjadi sukarelawan<br />

pada sebuah lembaga kemanusiaan<br />

untuk Pasca Bencana di Provinsi<br />

NAD (Aceh) dan juga di Kabupaten<br />

Bantul (DI Yogyakarta). Perkenankan<br />

dalam kesempatan ini menyampaikan<br />

masukan dalam Surat Pembaca<br />

Majalah Zerorisk.<br />

Dalam kesempatan ini ada yang<br />

ingin saya sampaikan kepada Tim<br />

Redaksi, yaitu tentang kriteria majalah<br />

yang baik. Walaupun Majalah Zerorisk<br />

bukan jenis majalah komersial, namun<br />

harus tetap memperhatikan kriteria<br />

majalah yang baik.<br />

Sampai saat ini belum ada<br />

referensi yang menjadi rujukan<br />

standar, tetapi ada beberapa kriteria<br />

yang dapat digunakan. Sekurangnya<br />

ada 3 (tiga) kriteria dasar untuk sebuah<br />

Majalah yang dikatakan baik, yaitu:<br />

Pertama mencapai tujuannya, kedua<br />

dikelola dengan standar manajemen<br />

ISO dan ketiga menarik dan mudah<br />

difahami bagi pengguna/konsumen<br />

majalah tersebut.<br />

Majalah yang baik, adalah ketika<br />

pembaca mudah membacanya dan<br />

memahami isinya serta mendapatkan<br />

manfaat serta inspirasi yang bisa<br />

diwujudkan/diterapkan. Selain itu<br />

ada beberapa tampilan yang perlu<br />

diperhatikan, yaitu:<br />

Coba kita amati Sampul Depan/<br />

Cover Majalah ini, kemudian kita coba<br />

menjawab beberapa hal ini: Apakah<br />

telah menunjukkan identitas majalah<br />

sesuai dengan misinya? Apakah<br />

sudah dapat menarik perhatian calon<br />

pembaca untuk membacanya? Apakah<br />

Sampul Komunikatif dan informatif?<br />

Apakah ilustrasi atau gambar yang<br />

dipakai sesuai tema edisi majalah?<br />

Kita amati juga pilihan Huruf/<br />

Font: Apakah huruf mudah dibaca<br />

dan mudah difahami oleh pembaca<br />

intinya? Apakah pemakaian jenis huruf<br />

sesuai tema atau judul rubrik?<br />

Sekarang tentang beritanya:<br />

apakah isi berita telah sesuai nama<br />

majalah? Apakah berita dapat menarik<br />

perhatian? Apakah setiap berita telah<br />

disertai minimal 1 (satu) ilustrasi,<br />

gambar atau foto?<br />

Hal pertama yang menarik untuk<br />

dicermati dari majalah ini adalah<br />

namanya, yaitu Zerorisk. Tentu<br />

Tim Redaksi telah secara seksama<br />

mengapa memilih nama -Zerorisk- di<br />

tengah kondisi masyarakat yang<br />

berdomisili pada lokasi rawan<br />

bencana, yang pada umumnya berada<br />

di wilayah pantai, kaki gunung dan<br />

lokasi pinggir sungai dan lokasi-lokasi<br />

sulit terjangkau fasilitas transportasi<br />

umum.<br />

Hal menarik kedua adalah pilihan<br />

bahasa dan tata-bahasa pada berita<br />

atau artikelnya. Tim Redaksi tentu<br />

telah menimbang dengan serius,<br />

mengapa disajikan banyak kalimat<br />

majemuk, yaitu sebuah kalimat yang<br />

memiliki lebih dari 1 (satu) makna.<br />

Sebuah kalimat yang tidak mudah<br />

disusun bahkan oleh mereka yang<br />

berpendidikan menengah atas.<br />

Hal menarik berikutnya adalah<br />

pilihan menempatkan gambar<br />

atau foto. Tentu Tim Redaksi telah<br />

berunding dengan keras, tentang<br />

alasan mengapa menempatkan<br />

gambar atau foto dengan ukuran yang<br />

kecil/minimalis, dengan kadar pixel<br />

rendah.<br />

Zerorisk, dalam terbitan<br />

perdananya tentu banyak yang harus<br />

dijelaskan oleh Tim Redaksi kepada<br />

pembacanya yang juga masyarakat<br />

pada lokasi-lokasi rawan bencana.<br />

Selamat dan Sukses kepada Tim<br />

Redaksi Zerorisk<br />

Untung Surapati<br />

Yogyakarta<br />

Kirimkan Surat Anda ke:<br />

Zer0risk Indonesia<br />

Tebet Timur 1A No. 15<br />

Jakarta Selatan<br />

12820<br />

Telp. +62 21 462 25 741<br />

Fax. +62 21 830 3630<br />

Email:<br />

disastermagz@zer0risk.com<br />

Website:<br />

www.zer0risk.com<br />

Jangan lupa untuk mengikuti kami di:<br />

f: zer0risk magazine<br />

t: @zer0risk_magazine<br />

SURAT PEMBACA<br />

7


8 8 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Liputan Utama<br />

BELAJAR DARI Erupsi 2010<br />

<strong>MERAPI</strong> <strong>TAK</strong><br />

<strong>PERNAH</strong> <strong>INGKAR</strong><br />

<strong>JANJI</strong><br />

ERUPSI Gunung Merapi<br />

2010 lalu disebut<br />

merupakan yang terbesar<br />

setelah 1872. Amukan<br />

Merapi memakan korban<br />

jiwa hingga lebih dari<br />

200 jiwa. Menunjuk<br />

kesalahan tidak lagi tepat.<br />

Menyiapkan diri untuk<br />

fenomena yang mungkin<br />

sama atau bahkan lebih<br />

besar adalah yang paling<br />

pas. Karena Merapi tak<br />

pernah ingkar janji.<br />

Teks EKA ARIOS<br />

Foto EKA ARIOS | DWI OBLO | RADITYA DJATI


BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010<br />

9<br />

Foto: Dwi Oblo


10 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Liputan Utama<br />

Ngatini (41) tetap mengucapkan syukurnya<br />

pada Sang Khalik. Rasa syukur yang tidak<br />

terhingga karena dirinya masih selamat<br />

dari bencana erupsi gunung api meskipun rumah<br />

tempatnya berlindung di Kaliadem, Kepuharjo,<br />

Sleman, DIY, hangus dilalap awan panas yang<br />

menerjang pada Selasa sore 26 Oktober 2010.<br />

Ngatini berlega hati karena saat itu ia patuh<br />

pada perintah untuk mengungsi di pengungsian. Ia<br />

tidak tahu pasti dari mana perintah untuk mengungsi<br />

datang. Kesaksiannya, saat itu banyak sekali relawan<br />

dan petugas pemerintah berlalu lalang di sekitar<br />

rumahnya. Perempuan itu bersyukur karena dia<br />

beserta keluarganya percaya ucapan petugas bahwa<br />

amukan Gunung Merapi bakal besar.<br />

Ngatini boleh bernasib baik karena percaya erupsi<br />

gunung purba itu berbeda dari erupsi terakhir, yaitu<br />

pada 2006. Sayangnya, tidak sedikit pula warga<br />

yang masih tidak percaya pada ancaman erupsi<br />

besar Merapi. Sehingga, tidak kurang dari 386 jiwa<br />

melayang terpanggang awan panas, termasuk di<br />

antaranya Juru Kunci Gunung Merapi yaitu Mas<br />

Penewu Surakso Hargo atau akrab dipanggil dengan<br />

Mbah Maridjan.<br />

Saat itu, Kuncen Merapi ini mengaku malu jika<br />

harus mengungsi karena khawatir Merapi tak jadi<br />

meletus. Konon, ia sempat ingin mengungsi dari<br />

rumahnya di Kinahrejo, Sleman. Tapi ia baru mau<br />

dievakuasi usai menunaikan ibadah shalat maghrib,<br />

26 Oktober 2010. Nyatanya, wedhus gembel (awan<br />

panas) meluncur jauh sekitar satu jam sebelum bedug<br />

adzan maghrib bertalu. Tak ayal, rumahnya yang<br />

hanya berjarak 4,5 kilometer dari puncak Gunung<br />

Merapi terbakar saat dilewati awan panas. Mbah<br />

Maridjan pun tidak lepas dari serangan si wedhus<br />

gembel dan seketika itu pula ia meninggal dunia.<br />

Mbah Maridjan adalah satu dari sedikitnya<br />

37 jiwa korban tewas akibat Erupsi Merapi, 26<br />

Oktober. Selang beberapa hari kemudian, tepatnya 5<br />

November 2010, Merapi kembali meletus kuat. Kali ini<br />

korban tewas mencapai 126 jiwa.<br />

Eko Teguh Paripurno dari Disaster Research &<br />

Management (DReaM) Universitas Pembangunan<br />

Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta mengatakan,<br />

3 KORBAN SELAMAT. Ngatini (kanan) bersyukur karena dia beserta keluarganya selamat dari bencana erupsi gunung Merapi 2010<br />

yang lalu.<br />

Foto: Eka Arios


fenomena Merapi<br />

yang terjadi 2010 lalu<br />

memang berbeda dengan<br />

aktivitasnya pada tahuntahun<br />

sebelumnya.<br />

Menurut pria yang akrab<br />

disapa ET ini, erupsi<br />

terjadi lebih cepat dari<br />

yang diduga banyak<br />

orang, bahkan oleh<br />

vulkanolog. Perubahan<br />

status Merapi dari aktif<br />

normal ke waspada juga<br />

peningkatan status dari<br />

waspada ke siaga masih<br />

terjadi secara lazim<br />

seperti juga aktivitas<br />

di masa-masa sebelum<br />

2010. Perubahan status<br />

terjadi sangat cepat<br />

terjadi saat setatus siaga<br />

menuju awas. “Dari awas<br />

ke meletus lebi cepat<br />

lagi. Fenomena ini tidak<br />

diduga setiap orang,”<br />

jelas Eko saat berbincang<br />

dengan Zerorisk, belum<br />

lama ini.<br />

Ia menjelaskan,<br />

Balai Penyelidikan dan<br />

Pengembangan Teknologi<br />

Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta sebenarnya<br />

sudah meningkatkan status Merapi dari normal aktif<br />

menjadi waspada pada 20 September 2010. Aktivitas<br />

Merapi ini, ungkapnya, masih sama selama sekitar<br />

satu bulan.<br />

Sebulan kemudian atau tepatnya 21 Oktober<br />

2010, status Merapi berubah menjadi siaga. Aktivitas<br />

terus meningkat yang ditunjukkan dengan tingginya<br />

frekuensi gempa multifase dan gempa vulkanik. Pada<br />

level ini kegiatan evakuasi warga ke pengungsian<br />

sudah dipersiapkan. Maka, pada 25 Oktober BPPTK<br />

Yogyakarta merekomendasi peningkatan status<br />

Gunung Merapi menjadi awas seharusnya semua<br />

penghuni wilayah dalam radius 10 km dari puncak<br />

3 EARLY WARNING. Dengan alat ini diharapkan dapat<br />

mengurangi jumlah korban erupsi Merapi.<br />

harus dievakuasi dan diungsikan ke wilayah aman.<br />

Gejala peningkatan aktivitas Gunung Merapi ini<br />

memang sudah terbaca BPPTK. Terbukti, 26 Oktober,<br />

Gunung Merapi memasuki tahap erupsi. Erupsi terjadi<br />

sekitar pukul 17.02 WIB. Sedikitnya terjadi hingga<br />

tiga kali erupsi. Erupsi diiringi keluarnya awan panas<br />

setinggi 1,5 meter yang mengarah ke Kaliadem,<br />

Kepuharjo. Erupsi ini menyemburkan material<br />

vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km.<br />

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana<br />

Surono menambahkan, erupsi 2010 cenderung<br />

BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010<br />

11<br />

Foto: Eka Arios


12 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Liputan Utama<br />

berukuran Volcanic Eruption Index (VEI) 4 material<br />

erupsi saat itu mencapai sekitar 150 juta meter kubik.<br />

Surono memperkirakan, erupsi Merapi 2010 sama<br />

dengan erupsi pada 1822. Dia juga memperhitungkan<br />

erupsi 2010 itu lebih besar dari erupsi 1872. “Yang<br />

membedakan erupsi 2010, capaian awan panas<br />

mencapai 15 km dari puncak ke arah selatan. Ini belum<br />

pernah terjadi sebelumnya,” jelas Surono.<br />

Sejak 1786, Merapi sudah lebih dari 80 kali<br />

meletus, erupsi besar antara lain terjadi pada 1768,<br />

1822, 1849 dan 1872, 1930 hingga 1931. Pada erupsierupsi<br />

tersebut, luncuran awan panas tidak pernah<br />

lebih dari 10 km dari puncak Merapi.<br />

Kurang Peduli<br />

Salah satu yang disesali Eko ketika itu yaitu<br />

masyarakat tidak begitu memberi perhatian pada<br />

fenomena erupsi yang akan cenderung meningkat.<br />

Dikisahkannya, saat status Merapi ditingkatkan<br />

dari aktif normal ke waspada, dia telah meminta<br />

warga untuk mengungsi. Kepada pemerintah, ia<br />

juga meminta agar lebih gigih meminta warga<br />

meninggalkan rumahnya. Tetapi banyak pihak menilai<br />

erupsi Merapi ketika itu hanya akan sama dengan<br />

erupsi Merapi 2006. “Jadi erupsi, tapi tidak terlalu<br />

besar. Gregetnya (euforia, red) akan sama dengan<br />

2006,” katanya mengutip pemikiran banyak orang<br />

saat itu.<br />

Sebenarnya saat status Merapi telah mencapai<br />

titik awas pun, warga memang sudah mau dievakuasi.<br />

Ternak dan orang tua pun sudah digerakkan ke<br />

pengungsian. Namun masih beredar pemikiran,<br />

puncak erupsi baru akan terjadi setidaknya seminggu<br />

pasca penetapan status awas. Beberapa warga masih<br />

melakukan aktivitas di kawasan rawan bencana yang<br />

seyogiyanya disterilkan. Nyatanya, hanya berselang


Foto: Eka Arios<br />

satu hari sejak status Merapi awas, erupsi yang<br />

mematikan terjadi.<br />

Foto: Raditya Djati<br />

3 KONDISI BANGUNAN. Beginilah kondisi pasca erupsi SDN<br />

Pangukrejo, Cangkriman, Sleman - Yogjakarta.<br />

Ketidakpercayaan publik dan banyak pemangku<br />

kepentingan soal ancaman erupsi Merapi yang lebih<br />

besar itu, menurut Eko, disebabkan perubahan energi<br />

erupsi Merapi 2010 lalu berbeda dengan kelaziman.<br />

Awan panas, ujarnya, biasanya meluncur ke arah barat<br />

yaitu Kabupaten Magelang. Terjangan wedhus gembel,<br />

biasanya, paling jauh hungga 12 km. “12 km saja<br />

sudah jarang. Jadi kalau diperingatkan, luncuran awan<br />

panas akan lebih jauh dari itu, orang tidak percaya.<br />

Bukan salah tidak percaya, karena kecenderungannya<br />

memang seperi itu,” ujar Eko.<br />

Menurut Eko, kesulitan terbesar justru untuk<br />

mengevakuasi warga yang berada pada kawasan<br />

rawan bencana (KRB) Merapi I. Kecenderungannya,<br />

kata dia, warga pada kawasan tersebut menganggap<br />

wilayah tempat tinggalnya tidak akan terkena awan<br />

panas yang dibawa dari puncak Merapi. “Perubahan<br />

erupsi yang cepat tidak dapat dipahami dengan<br />

baik, terutama oleh orang tinggal di tempat aman.<br />

Masyarakat di KRB Merapi I berpikir, tempatnya<br />

tinggal akan aman, paling parah hanya terkena lahar<br />

dingin saja,” katanya.<br />

Di Kabupaten Sleman, KRB Merapi I mencakup<br />

wilayah seluas kurang lebih 1.371 hektar . Daerah<br />

yang termasuk dalam KRB Merapi I di kabupaten itu<br />

adalah Kecamatan Tempel, Pakem, Ngaglik, Mlati,<br />

Depok, Ngemplak, Cangkringan, Kalasan, Prambanan,<br />

dan Berbah.<br />

Dia menegaskan, seharusnya pengetahuan<br />

yang baik akan mitigasi diimbangi pula dengan<br />

pengetahuan, pemahaman, penyadaran dan dan<br />

pengambilan respon yang baik atas peringatan dini<br />

bencana. “Pertimbangannya sering bermacammacam.<br />

Mulai memikirkan nasib barang-barangnya,<br />

atau gejalanya hanya akan sama dengan yang terjadi<br />

pada Merapi di tahun 1994, 1997, 2001, 2006,”<br />

lanjutnya.<br />

Ketika erupsi Merapi mencapai 17 km dari pundak<br />

Merapi, barulah warga dan pemerintah percaya<br />

pada amukan sang gunung. “Orang sudah terpana,<br />

maka ada kesadaran. Sayangnya kesadaran itu tidak<br />

tumbuh dari awal,” pungkasnya.<br />

Vulkanolog UPN itu menilai wajar penilaian<br />

banyak pihak tersebut yang akhirnya juga membuat<br />

pemda dan DPRD setempat tidak siap, terutama<br />

dalam hal menyiapkan tempat pengungsian. Rencana<br />

kontinjensi 2009 yang dimiliki Badan Penanggulangan<br />

Bencana Daerah (BPBD) dan Pemda Sleman<br />

menyatakan, awan panas khas Merapi hanya akan<br />

BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010<br />

13


14 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Liputan Utama<br />

Foto: Raditya Djati<br />

menerjang hingga delapan km dari puncak Merapi dan<br />

bukan hingga 13 km seperti yang terjadi.<br />

Berdasar rencana kontinjensi itu, pemda hanya<br />

menyiapkan diri untuk menyelamatkan 13.000 orang<br />

untuk diungsikan. Padahal kenyataannya warga yang<br />

harus diungsikan mencapai 400.000 jiwa. “BPBD<br />

sampai jengkel pada DPRD, mau menyiapkan barak<br />

pengungsian saja anggarannya belum disiapkan,”<br />

ungkapnya.<br />

Gagap Kontinjensi<br />

Menurut Eko, Kabupaten Sleman memang<br />

memiliki rencana kontinjensi Merapi. Pihak yang<br />

berkepentingan pun sudah mempunyai kesadaran<br />

tinggi untuk melaksanakan secara tertib apa yang<br />

dimandatkan rencana kontinjensi.<br />

Namun, kata dia, banyak pihak masih gagap<br />

menjalankan rencana kontinjensi yang sudah<br />

disusun. Pengajar di Universitas Tarumanegara itu<br />

mengungkapkan, kegagapan itu seperti terlihat pada<br />

bagaimana gubernur maupun bupati baik di Provinsi<br />

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah<br />

tidak segera menetapkan keadaan darurat bencana.<br />

“Pemda masih menjalankan sistem birokrasi seperti<br />

normal. Saya anggap keadaan saat itu sudah darurat,<br />

namun teman-teman (pemerintah, red) mengatakan<br />

belum darurat,” tutur dia.<br />

Akibatnya, saat Merapi benar-benar menunjukkan<br />

aksinya, semua orang panik lantaran belum semua<br />

warga, terutama di Dusun Kaliadem dan Kinahrejo,<br />

diungsikan.<br />

Hanya, kata dia, memang harus diakui bahwa<br />

ada perencanaan yang lebih matang dibandingkan<br />

3 ABU VULKANIK. Tampak sisa-sisa debu vulkanik.<br />

Foto: Raditya Djati


waktu sebelumnya. Walaupun masih banyak korban,<br />

kesiapan pemerintah dan semua pihak lebih baik.<br />

“Kalau tidak persiapan yang sebaik saat itu, korban<br />

akan jauh lebih banyak,” ungkap Eko.<br />

Masalah terbesar, ujarnya, adalah keraguan<br />

bahwa erupsi yang lebih besar akan terjadi. Ia<br />

mengatakan, banyak pihak juga tidak percaya,<br />

kalau erupsi saat itu akan mengarah ke selatan,<br />

yaitu ke Kabupaten Sleman. Ia menuturkan, sejarah<br />

mencatat Merapi pernah mengeluarkan awan panas<br />

ke arah selatan pundak Merapi. Tetapi, sekali lagi,<br />

masyarakat tidak percaya karena pengalamannya<br />

tidak mengatakan demikian.<br />

Patuh Protap<br />

Dia mengatakan, satu hal yang patut disyukuri<br />

adalah kesadaran warga untuk mengevakuasi<br />

ternaknya sebagai sumber daya ekonomi. Ia<br />

mengisahkan, warga Dusun Turgo, Sleman belajar dari<br />

pengalaman atas bencana yang terjadi pada 1992,<br />

1997, 2001, dan 2006. Dalam kesiapsiagaan bencana<br />

mereka sudah mempunyai prosedur tetap (protap)<br />

yang sudah disepakati semua warga. Jika Merapi<br />

berstatus waspada, warga beserta Relawan Kawasan<br />

Turgo (Kawastu) mulai menyiapkan diri menjalankan<br />

peran sesuai protap dusun.<br />

Pada status siaga, ternak sudah mulai dievakuasi<br />

ke barak ternak di Relokasi Sudimoro yang terletak<br />

sekitar 12 km ke Selatan Dusun Turgo. Warga rentan<br />

seperti orang tua, juga mulai melakukan evakuasi ke<br />

Relokasi Sudimoro yang dibangun tahun 1994 lalu.<br />

Mereka ingin dengan kesiapsiagaan itu, pengalaman<br />

buruk November 1994 tidak terulang kembali. Karena<br />

itu mengungsi secara mandiri merupakan kesadaran<br />

kolektif warga Dusun Turgo. Proses pengungsian<br />

dan pengelolaan dusun selama warga melakukan<br />

pengungsian dikelola oleh warga bersama-sama<br />

Relawan Kawastu.<br />

Relawan Kawastu pada dasarnya adalah warga<br />

Dusun Turgo yang telah mendapatkan pendidikan<br />

dan pelatihan manajemen kebencanaan. Pelatihan<br />

Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat<br />

(PBBM) dan Pertolongan Penderita Gawat Darurat<br />

(PPGD) pertama kali dilakukan oleh Perkumpulan<br />

KAPPALA Indonesia bersama Oxfam GB sejak<br />

Pada umumnya<br />

masyarakat tahu apa yang<br />

harus dilakukannya pada<br />

saat aktivitas Gunung<br />

Merapi meningkat.<br />

Namun pada praktiknya,<br />

mereka kerap kurang<br />

percaya bahwa efek erupsi<br />

Merapi akan besar.<br />

tahun 1996. “Tetapi, mekanisme itu belum terjadi di<br />

tempat lain, karena belum mengalami erupsi yang<br />

besar sampai ke kampung. Pemikirannya, kalau saya<br />

mengungsi, tapi ternak ditinggal, sama saja, akan<br />

tetap mati juga,” paparnya.<br />

Mekanisme pemindahan ternak, menurut Eko juga<br />

dimiliki masyarakat Sidorejo, Klaten. Bahkan katanya,<br />

penanganan ternak terus terjadi hingga pasca darurat<br />

erupsi. Masyarakat yang mengungsikan ternaknya,<br />

tetap mencari rumput sebagai pakan ternak. Selama<br />

warga tinggal di pengungsian, pengelolaan ternak<br />

tetap dilakukan.<br />

Ia mengungkapkan, banyak sapi milik warga Turgo<br />

dan Sidorejo tetap selamat. Karenanya, mekanisme<br />

tersebut sebaiknya dicontoh warga di daerah lain.<br />

Selain mekanisme itu, mekanisme penggantian sapi<br />

oleh pemerintah, diakuinya juga berjalan.<br />

Warga, katanya, harus memiliki kesadaran untuk<br />

memobilisir dirinya sendiri. Untuk itu, kata dia, harus<br />

didoktrin kepada warga bahwa, tidak setiap kali<br />

ada erupsi Merapi harus ada korban jatuh hingga<br />

meninggal dunia. “Coba lakukan sendiri. Jangan<br />

semua hal harus menunggu pemerintah,” katanya.<br />

Di sisi lain, pemerintah pun harus memiliki<br />

mekanisme yang baik dan inisiatif yang tinggi.<br />

Dikatakannya, dalam setiap perubahan status<br />

aktivitas Merapi harus ada perubahan sikap, baik<br />

masyarakat maupun pemerintah.<br />

Sosialisasi Status Merapi<br />

BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010 15


16 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Liputan Utama<br />

Menurut Eko, kesiapsiagaan seharusnya sudah<br />

terbangun dengan cukup baik mengingat status<br />

aktivitas Merapi selalu disosialisasikan dengan baik.<br />

Bahkan, di surat kabar lokal DIY dan Jawa Tengah<br />

Kedaulatan Rakyat, selalu memuat status Gunung<br />

Merapi.<br />

Ia menilai, pada umumnya masyarakat sudah<br />

tahu apa yang harus dilakukannya pada saat aktivitas<br />

Merapi meningkat. Hanya dalam praktiknya, mereka<br />

kerap kurang percaya bahwa efek erupsi Merapi akan<br />

besar. “Yang membuat kacau, urusan tidak percaya<br />

itu,” pungkasnya.<br />

Karena itu, dia berharap, pasca erupsi Merapi<br />

2010 masyarakat serta pemerintah bisa lebih paham<br />

dan percaya peringatan dini yang diberikan baik oleh<br />

instansi berwenang seperti BPPTK dan BMKG. “Tetapi<br />

jangan pula masyarakat jadi paranoid. Kesiapsiagaan<br />

tetap dilakukan sesuai porsinya,” katanya.<br />

Pelajari Gejala Merapi<br />

Sebagai ahli vulkanologi, Eko tahu betul, sikap<br />

merapi tidak dapat ditebak. Tetapi, hal terbaik yang


dapat dilakukan semua pihak adalah mempelajari dan<br />

memahami setiap gejala yang ditunjukkan gunung<br />

tersebut. Karena memang Merapi tidak pernah ingkar<br />

janji. “Bahwa Merapi pernah melakukan aktivitas<br />

dengan semburan awan panas hingga 2 km, 6 km.<br />

Memang Merapi seperti itu. Bagaimana kita bisa<br />

menyikapi itu dengan baik,” mintanya.<br />

Sementara itu Surono menambahkan, pada abad<br />

19, tercatat Merapi meletus dengan kekuatan besar.<br />

Tetapi setelah abad 20, intensitas erupsi Merapi lebih<br />

sering. Ia menduga, frekuensi yang lebih besar itu<br />

membuat energi yang tersimpan di sang gunung tidak<br />

terlalu besar. “Sehingga tidak menghasilkan erupsi<br />

besar. Kecuali pada 2010,” katanya.<br />

Berdasar pengamatannya juga dari hasil<br />

diskusinya dengan ahli gunung api Amerika Chriss<br />

Newhall, Merapi berpotensi meletus besar tiap 100<br />

tahun. Pria yang sempat dijuluki ahli Merapi itu<br />

mengatakan, masyarakat cenderung berpegang pada<br />

kejadian empiris masa lalu yang menguntungkan diri<br />

dan kelompoknya. Erupsi Merapi di abad 20 awan<br />

panas lebih sering meluncur ke arah barat. Jika pada<br />

BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010<br />

17<br />

Foto: Dwi Oblo


18 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Liputan Utama<br />

2006 awan panas mengarah selatan disebabkan<br />

bukaan kawah Merapi ke arah Selatan. Pergerakan<br />

awan panas pun tidak terlalu jauh karena awan<br />

panas bergerak paling jauh 6 km dari puncak Merapi.<br />

“Manusia tidak sadar, bahwa kita bagian dari alam.<br />

Kita yang harus mengikuti kehendak alam, bukan<br />

alam mengikuti kehendak kita,” papar Surono.<br />

Disampaikannya, alam memiliki rumus dan<br />

perilakunya sendiri yang diatur Sang Pencipta.<br />

“Ilmu pengetahuan dan teknologi hanya melakukan<br />

pendekatan dari data berupa sinyal dari alam. Tidak<br />

ada kejadian alam, tanpa diberi tanda-tanda awal<br />

yang dapat dibaca para ahli,” ujarnya.<br />

Hal yang sama disampaikan Eko. Dia mengatakan,<br />

hal yang tidak kalah penting yaitu berada di tempat<br />

yang tepat pada waktu yang tepat dan melakukan<br />

hal yang tepat. “Empan papan, empan waktu (tepat<br />

tempat, tepat waktu). Jangan lagi menyepelekan<br />

ancaman Merapi,” tegas Eko<br />

Ia menegaskan, informasi vulkanologi dari<br />

BPPTK dan BMKG harus disampaikan dengan benar<br />

kepada masyarakat. Di sisi lain, masyarakat pun<br />

harus mengambil tindakan yang tepat. “Bukan hanya<br />

mengerti, mengetahui, menyadari dan memahami,<br />

tapi juga harus bisa melakukan apa yang dibutuhkan<br />

Merapi. Yang dibutuhkan Merapi adalah orang<br />

selamat,” katanya.<br />

Rehabilitasi dan<br />

Rekondisi<br />

Eko menuturkan,<br />

hal lain yang patut<br />

juga disyukuri adalah<br />

upaya rehabilitasi dan<br />

1 MUSEUM MINI. Salah<br />

satu rumah Ryan di Dusun<br />

Petung, Cangkringan, DIY yang<br />

kini berubah menjadi sebuah<br />

museum mini. Saksi keganasan<br />

bencana erupsi Merapi 2010<br />

yang lalu.<br />

rekondisi, baik yang dilakukan pemerintah maupun<br />

lembaga non-pemerintah. Menurut Eko, pengelolaan<br />

rehabilitasi dan rekondisi pasca erupsi Merapi saat ini<br />

lebih baik dibandingkan dengan bencana lain.<br />

Bagi setiap keluarga disiapkan hunian sementara<br />

(huntara) dan hunian tetap (huntap). Di huntara itulah<br />

warga bisa tinggal setelah mereka meninggalkan<br />

barak pengungsian. Meski demikian, tambah Eko,<br />

saat ini masih terdapat masalah perbedaan dalam<br />

ukuran dan kualitas huntara yang dimiliki masingmasing<br />

keluarga.<br />

Perbedaan itu bisa disebabkan beberapa faktor.<br />

Faktor pertama bisa saja huntara dengan kualitas<br />

yang lebih baik memang didanai oleh dua pendana,<br />

yaitu pemerintah dan swasta. Sedangkan huntara<br />

dengan kualitas lebih buruk biasanya hanya didanai<br />

pemerintah yaitu sebesar Rp6,8 juta.<br />

Ia menuturkan, perbedaan pengadaan huntap<br />

juga terdapat di tingkat provinsi. Pemprov Jawa<br />

Tengah hanya memberi uang kepada warga untuk<br />

mendirikan huntap. Sementara Pemprov DIY juga<br />

menyiapkan lahan yang akan didirikan huntap di<br />

samping uang untuk pembangunan huntap.<br />

Kemungkinan lainnya, ujar Eko, huntara<br />

berkualitas baik dibangun dari dana yang sepenuhnya<br />

dialirkan tanpa dikorupsi. “Yang jelek ini biasanya<br />

akibat dananya sudah dipotong, dikorup,” ungkapnya.<br />

Foto: Eka Arios


INGIN KEMBALI HIDUP<br />

NORMAL<br />

(Kisah para korban)<br />

3 HUNTARA. Hunian<br />

sementara warga korban<br />

erupsi Merapi 2010.<br />

Teks EKA ARIOS<br />

Foto EKA ARIOS | DWI<br />

OBLO | DOK. ZERORISK<br />

Foto: Dwi Oblo<br />

Merapi menyimpan cerita sendiri bagi para penghuninya. Indra Baskoro Adi<br />

dari Paguyuban Siaga (Pasag) Merapi mengatakan, pada peningkatan<br />

aktivitas Merapi, ada sedikitnya 700 lokasi pengungsian. Lokasi itu bukan hanya<br />

disiapkan pemerintah, namun juga oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM),<br />

pihak universitas juga swasta.<br />

Relawan yang juga merupakan korban ini menjelaskan, sebelum puncak<br />

erupsi Merapi pada 26 Oktober 2010, Balai Penyelidikan dan Pengembangan<br />

Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta sudah melakukan sosialisasi<br />

kepada warga empat hari sebelumnya. Namun yang menjadi masalah, warga<br />

di dusun terbawah pada erupsi Merapi tidak pernah mengungsi di masa-masa<br />

sebelumnya. Karena dipaksa mengungsi, jumlah pengungsi di beberapa<br />

pengungsian membengkak. “Akibatnya pengungsi terpaksa berdesak-desakan,”<br />

ungkapnya.<br />

Menurut dia, kesadaran tertinggi justru datang pada warga yang tinggal<br />

di kawasan rawan bencana (KRB) Merapi III. Pasalnya, warga di wilayah seluas<br />

kurang lebih 4.672 hektar itu lebih tanggap pada bencana karena memang lebih<br />

BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010<br />

19


20 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Liputan Utama<br />

Foto: Dwi Oblo<br />

merasakan dampak erupsi Merapi. KRB Merapi III<br />

di Kabupaten Sleman adalah wilayah di Kecamatan<br />

Turi, Pakem, Cangkringan, dan Ngemplak. “Ratarata,<br />

warga KRB III sudah tahu kapan harus<br />

mengungsi, lebih sulit memobilisir warga di KRB I,”<br />

tutur Indra.<br />

Indra mengatakan, warga baru dapat<br />

meninggalkan barak pengungsian untuk<br />

menempati hunian sementara (huntara) yang<br />

disediakan, paling cepat tiga bulan pasca erupsi<br />

Merapi. Baru satu tahun setelah erupsi besar itu,<br />

warga dapat beraktivitas normal kembali.<br />

Tetapi memang, semua aktivitas dilakukan<br />

dari huntara, karena saat Zerorisk berkunjung ke<br />

lereng Merapi, Jumat (13/7) belum ada hunian tetap<br />

(huntap) yang dapat dihuni. Akhir Juli 2012, barulah<br />

beberapa huntap telah dapat ditempati.<br />

Indra mengungkapkan, huntap di Dusun<br />

Jambu, Desa Kepuhharjo, Kecamatan Cangkringan,<br />

Kabupaten Sleman sudah dapat ditempati.<br />

“Seluruhnya ditempati penduduk Dusun Jambu,”<br />

katanya.<br />

Huntap lain, katanya, masih dalam proses<br />

akhir sebelum dapat ditinggali. Ia mengatakan,<br />

masyarakat Dusun Tepung, Kaliadem, saat ini<br />

masih tinggal di huntara. Huntap bagi mereka telah<br />

disiapkan di Dusun Tegal Barep.<br />

Bagi penduduk Pelemsari, disiapkan huntap<br />

di Dusun Karang Kendal, Desa Umbulharjo.<br />

Namun saat ini, warga masih tinggal di huntara<br />

di Dusun Plosokerep, Desa Umbulharjo, Kecamatan<br />

Cangkringan. “Huntap sudah siap, tinggal ditempati,”<br />

jelasnya.<br />

Tetapi, masih ada pula masyarakat yang terpaksa<br />

kembali tinggal di barak pengungsian. Pasalnya,<br />

warga Sridokan, Ukir Sari itu sebelumnya tinggal di<br />

huntara. Huntap bagi warga tersebut, kata Indra,<br />

nantinya akan didirikan di tempat huntara saat ini<br />

berdiri.<br />

Indra bersyukur, rumah yang ditinggali bersama<br />

keluarganya hanya terkena abu vulkanik. Rumah<br />

Indra terletak di sebelah barat daya puncak Merapi,<br />

sementara awan panas menerjang ke selatan.<br />

Namun tidak demikian dengan Ngatini yang<br />

tinggal di desa Kaliadem, Kepuharjo, Sleman, DIY.<br />

Rumah yang ditinggali Ngatini bersama kakak dan<br />

orang tuanya hangus disambar awan panas. Saat<br />

ini, ia masih tinggal di huntara yang disediakan<br />

pemerintah. Untuk menyambung hidupnya,<br />

Ngatini menjajakan buku koleksi foto erupsi Merapi<br />

yang dititipkan seorang fotografer. “Saya nanti<br />

diberi komisi oleh yang punya buku,” kata Ngatini<br />

saat ditemui di pinggir Kali Kuning, Umbulharjo,<br />

Cangkringan.<br />

Tidak banyak yang diharapkan Ngatini. Dia hanya<br />

ingin huntap yang dijanjikan dan sedang dikerjakan<br />

segera selesai agar dapat ia tinggali. Dengan begitu,<br />

ia dapat menjalani hidupnya dengan normal. Karena,<br />

hampir dua tahun lamanya, Ngatini menjalanjan<br />

hidup seadanya. “Apa yang bisa diusahakan ya<br />

dijalankan,” ujar Ngatini.<br />

Kini Kali Kuning hanya ditutupi abu bekas material<br />

Foto: Eka Arios


Foto: Eka Arios<br />

3 KALI KUNING. Beginilah kondisi kali kuning kini,<br />

dipenuhi oleh abu bekas material gunung.<br />

yang dibawa awan panas. Tidak ada lagi lahan teduh<br />

yang ditutupi rindangnya barisan pohon pinus. Bagi<br />

para penambang pasir, tumpukan pasir itu adalah<br />

rezeki. Beberapa truk sudah mulai tampak terparkir<br />

di sekitar Kali Adem dan Kali Kuning menunggu<br />

pasir-pasir diangkut ke dalam baknya. Namun bagi<br />

Ngatini, gundukan pasir itu tidak berarti banyak selain<br />

mengundang wisatawan peminat wisata erupsi. Dari<br />

para wisatawan itulah, selain dari penjualan buku,<br />

Ngatini kemudian mendapatkan rezeki dari menjual<br />

karangan bunga edelweis.<br />

Seperti halnya juga Eko, kedua warga di sekitar<br />

Merapi ini berharap warga lebih siaga dalam<br />

menghadapi gelagat Merapi ke depan. “Sesok kalo<br />

Merapi lebih gede, gak gitu lagi (yang akan datang,<br />

kalau erupsi Merapi lebih besar, tidak begitu lagi).<br />

Kita sudah siap. Masyarakat sudah sadar tentang<br />

kesiapsiagaan, pasca erupsi kemarin sudah tahu,”<br />

kata Indra.<br />

Foto: Eka Arios<br />

3 PARA PENGUNGSI. Suasana di penampungan sementara<br />

warga Merapi pasca erupsi yang lalu.<br />

Foto: Dwi Oblo<br />

BELAJAR DARI ERUPSI <strong>MERAPI</strong> 2010<br />

21


22 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

KESIAPSIAGAAN<br />

WARGA CODE<br />

LETUSAN gunung api bukan hanya mengeluarkan material vulkanik. Banjir lahar<br />

menjadi dampak ikutan yang tidak kalah hebat ketika letusan terjadi di awal<br />

musim penghujan. Deru air bercampur pasir dan batu menyeret apapun di jalurnya.<br />

Pendangkalan sungai dengan cepat terjadi.<br />

Teks ASISI F. WIDANTO<br />

Foto DWI OBLO


3 LAHAR DINGIN.<br />

Beginilah kondisi rumah<br />

warga Kali Code, ketika banjir<br />

lahar dingin Gunung Merapi<br />

pasca letusan 2010 yang lalu.<br />

Material pasir dan lumpur<br />

terbawa air Kali Code dan<br />

meluap masuk ke rumah<br />

penduduk sekitar.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Kali Code, dimaksudkan<br />

untuk mengantisipasi<br />

meluapnya lahar dingin<br />

Gunung Merapi dan<br />

mengamankan Kota<br />

Yogyakarta. Namun,<br />

tahun 1970-an, Kali Code<br />

dipenuhi sampah rumah<br />

tangga. Budayawan<br />

YB Mangunwijaya<br />

memberdayakan warga<br />

penghuni bantaran kali Code<br />

untuk tidak membuang<br />

sampah. Sepeninggal<br />

Romo, kegiatan dilanjutkan<br />

oleh pegiat sosial yang<br />

tergabung dalam Yayasan<br />

Pondok Rakyat. Warga<br />

sepanjang Kali Code<br />

tergabung dalam Pemerhati<br />

Code pun bersemangat<br />

menciptakan wilayahnya<br />

bersih dengan membuat<br />

program “Nol Sampah di<br />

Kali Code 2010”.<br />

Hari ke Hari<br />

Inilah yang dihadapi warga sekitar Kali Code.<br />

Sungai yang melewati Kota Yogyakarta ini<br />

berhulu di lereng Gunung Merapi. Karenanya,<br />

ketika sekitar 150 juta meter kubik materi piroklastik<br />

dari letusan Gunung Merapi pada 2010 ditambah air<br />

hujan, akibatnya luar biasa.<br />

Beberapa titik di wilayah Magelang, Sleman,<br />

dan Yogyakarta mengalami kerusakan parah akibat<br />

dihantam lahar hujan. Jauh lebih besar dari yang<br />

dikhawatirkan. Hal ini menyadarkan warga sekitar<br />

bantaran sungai bahwa mereka selama ini tidak siap<br />

dengan banjir lahar.<br />

Begitu pula halnya dengan salah satu kelompok<br />

masyarakat yang tinggal di bantaran Kali Code<br />

Yogyakarta, tepatnya di RT 01 RW 01 Kelurahan<br />

Kotabaru. Di hunian yang tidak mencapai 300 meter<br />

dari bibir sungai itu, terdapat 58 keluarga atau sekitar<br />

200 jiwa.<br />

Pada musim hujan yang terjadi sepanjang<br />

akhir 2010 dan awal 2011, terjadi empat kali banjir<br />

lahar yang menimbulkan kerugian akibat rusaknya<br />

sejumlah infrastruktur, termasuk sumber air [belik].<br />

Banjir lahar menyisakan material pasir di lokasilokasi<br />

yang telah dilaluinya. Akibatnya, proses<br />

pemulihan pasca bencana menjadi lebih berat<br />

ketimbang banjir biasa. Selain itu, material vulkanis<br />

mengendap di dasar sungai. Pendangkalan terjadi.<br />

Ketika dating banjir susulan, sungai tak mampu<br />

lagi menampung. Air dan material sisa erupsi mulai<br />

memasuki permukiman.<br />

Parahnya lagi, pasir-pasir tersebut juga<br />

menyumbat saluran-saluran air dari kota menuju Kali<br />

Code. Akibatnya di beberapa titik di bantaran sungai,<br />

terdapat genangan-genangan air limbah.<br />

Menghadapi banjir lahar, masyarakat yang<br />

umumnya pekerja sektor informal itu bergotong<br />

royong. Selain membersihkan permukiman yang<br />

tertimbun pasir, ditambahkan tanggul darurat<br />

dengan karung-karung berisi pasir. Di samping itu,<br />

pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum juga<br />

mengeruk sungai dengan menggunakan alat berat.<br />

Keadaan ini menyadarkan masyarakat,<br />

pengurangan risiko bencana harus menjadi bagian<br />

kehidupan. Pemerhati Code, salah satu organisasi<br />

masyarakat yang fokus pada pengelolaan Sungai<br />

KESIAPSIAGAAN WARGACODE<br />

23


24 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Hari ke Hari<br />

3 TANGGUL. Beberapa warga berupaya agar banjir lahar dingin<br />

Merapi tidak menerjang lagi perkampungan pinggiran Kali Code<br />

dengan memasang tanggul yang terbuat dari karung yang diisi<br />

pasir.<br />

Code dan masyarakat di sekitarnya pun memasukan<br />

hal ini sebagai bagian kegiatan organisasi. Dilakukan<br />

pula pemetaan partisipatif untuk menilai kerusakan<br />

dan kerugian yang diakibatkan banjir lahar. Kegiatan<br />

organisasi yang beranggota ketua RW, ketua RT,<br />

seniman, dan pegawai sekotr informal ini dilakukan<br />

bersama dengan Jurusan Teknik Geodesi UGM.<br />

Adanya banjir lahar ini pula yang kemudian<br />

mendorong munculnya beberapa organisasi relawan<br />

pemantau lahar. Pemerintah kota dalam hal ini juga<br />

telah membangun sistem peringatan dini. Peran para<br />

pemantau sungai dimaksimalkan, demikian juga<br />

1 BANJIR LUMPUR. Warga yang dibantu<br />

relawan secara bergotong royong membersihkan<br />

lumpur pasir yang masuk ke rumah penduduk<br />

yang terletak di pinggir kali Code yang<br />

membelah kota Yogyakarta


koordinasi dengan pihak-pihak seperti BPPTK dan<br />

BMKG.<br />

Namun bukannya tanpa kendala. Salah satu<br />

yang paling menonjol adalah kendala koordinasi<br />

antarberbagai instansi itu. Karenanya, membangun<br />

kesadaran warga yang tinggal di sepanjang Kali Code<br />

merupakan salah satu hal terpenting.<br />

Diharapkan dengan pendekatan-pendekatan<br />

yang dilakukan oleh para penggiat kebencanaan,<br />

para ketua RT dan Ketua RW dapat dirangkul menjadi<br />

mitra-mitra utama dalam pengurangan risiko<br />

bencana di bantaran Kali Code.<br />

2 KARUNG TANGGUL. Seorang warga<br />

yang dibantu relawan memasukkan pasir ke<br />

dalam karung yang dipakai sebagai tanggul<br />

agar lahar dingin tidak masuk rumah.<br />

25


26 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Konservasi<br />

KONSERVASI GAGAL,<br />

BERSIAPLAH MEMANEN<br />

BENCANA<br />

BANJIR yang melanda sejumlah kotakota<br />

besar di dunia termasuk Jakarta<br />

selalu menjadi berita. Entah berapa<br />

besar kerugian yang ditimbulkan<br />

akibat jatuhnya korban jiwa dan harta,<br />

belum lagi biaya di pengungsian dan<br />

pemulihan. Lebih menyedihkan lagi,<br />

bencana terus berulang setiap tahun<br />

dan semakin meluas cakupannya.<br />

Apakah banjir dapat kita sebut bencana alam?<br />

Tidak selalu. Saya membedakan banjir yang<br />

merupakan bencana alam (natural disaster)<br />

dan bencana akibat ulah manusia (man-made<br />

disaster). Bencana banjir bandang dan longsor yang<br />

terjadi di Wasior pada tahun 2010 dapatlah kita sebut<br />

bencana alam. Bencana yang terjadi di Jakarta, lebih<br />

tepat disebut bencana buatan manusia.<br />

Sadar atau tidak, banjir di Jakarta akibat<br />

ulah manusia secara kolektif. Persoalan terjadi di<br />

kawasan hulu, tengah, dan hilir. Di hulu, telah terjadi<br />

perubahan fungsi kawasan yang semula kawasan<br />

resapan air, menjadi villa, rumah, atau kebun. Kini<br />

hanya tersisa hutan di kawasan konservasi, Taman<br />

Nasional Gunung Gede-Pangrango dan TN Halimun-<br />

Salak. Ketika terjadi hujan dengan curah tinggi, air<br />

tidak sempat diserap tanah. Air langsung berlombalomba<br />

memasuki badan-badan sungai.<br />

Teks & Foto SUER SURYADI<br />

Desma Center for Sustainable Tourism & Conservation.<br />

www.desmacenter.com<br />

Di kawasan tengah dan hilir, tepi atau sempadan<br />

sungai yang seharusnya bebas dari bangunan, kini<br />

padat bangunan dan jalan. Badan sungai cenderung<br />

menyempit, semakin dangkal karena pengendapan,<br />

dan penuh dengan sampah yang menghambat<br />

laju air sungai. Pepohonan di tepi sungai dan ruang<br />

terbuka hijau semakin langka. Danau atau situ<br />

alami yang merupakan tempat penampungan air,<br />

telah berubah fungsi, ditimbun untuk kepentingan<br />

manusia.<br />

Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990<br />

tentang Kawasan Lindung, telah mengatur kawasankawasan<br />

yang harus dilindungi termasuk kawasan<br />

hulu, bantaran sungai, dan danau. Kepres tersebut<br />

telah diperkuat peraturan perundang-undangan<br />

mengenai kehutanan, lingkungan, dan tata ruang.<br />

Semua peraturan itu, sengaja atau tidak, telah<br />

dilanggar secara telak dan kolektif tetapi nyaris tidak<br />

ada yang dimintai pertanggungjawaban.<br />

Terlepas dari itu semua, ketika terjadi banjir,<br />

maka itu menjadi persoalan yang menyangkut<br />

nyawa dan kehidupan manusia. Kebanyakan dari<br />

kita cenderung kurang perduli, sampai merasakan<br />

3 Banjir di Ibukota yang sekarang hampir terjadi setiap tahun.<br />

Dok. BNBP


sendiri dampak dari bencana itu, langsung atau tidak<br />

langsung.<br />

Hutan hilang, bencana datang, nyawa<br />

melayang<br />

Bencana serupa juga melanda daerah sekitar<br />

kawasan konservasi yang telah terganggu. Masih<br />

melekat dalam ingatan saya, banjir bandang Sungai<br />

Bohorok pada dini hari tanggal 2 Nopember 2003.<br />

Sungai Bohorok yang berhulu di Taman Nasional<br />

Gunung Leuser (TNGL) itu memuntahkan isi<br />

lambungnya akibat terbendung pohon-pohon yang<br />

tumbang.Air bandang yang membawa batangbatang<br />

kayu itu menghantam penginapan, toko, dan<br />

warung yang ada di badan dan sempadan sungai.<br />

Tidak kurang dari 251 jiwa meninggal atau hilang.<br />

Ketika saya berkunjung ke Bukit Lawang tahun<br />

2006, saya melihat bekas guratan air di batang<br />

pohon yang masih tegak berdiri. Guratan itu sekitar<br />

2 meter dari tanah. Jadi bisa terbayangkan, betapa<br />

dahsyatnya air bah yang melanda. Lapangan yang<br />

terletak di depan Kantor Seksi Pengelolaan TNGL,<br />

badan Sungai Bohorok,dan sempadan sungainya<br />

bersih tanpa bangunan.<br />

3 Pemandangan Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh Tenggara.<br />

“Sebelum banjir bandang, lapangan yang ada<br />

di depan Kantor Seksi TNGL, badan dan sempadan<br />

Sungai Bohorok penuh dengan bangunan semi<br />

permanen untuk penginapan dan warung. Sudah<br />

seperti pasar,” tutur Tomin, salah satu petugas TNGL<br />

saksi hidup bencana itu. Tak heran jika korbannya<br />

cukup banyak. Di sempadan sungai, apalagi badan<br />

sungai, seharusnya tidak boleh ada bangunan<br />

sampai minimal 15 meter dari tepi sungai. Ini demi<br />

keselamatan manusia dan kelestarian sungai.<br />

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) seluas<br />

1.094.692 hektar terletak di Provinsi Sumatera Utara<br />

dan Provinsi Aceh. Diproklamirkan sebagai taman<br />

nasional pada tahun 1980, TNGL kini berstatus<br />

sebagai Warisan Dunia dan Cagar Biosfer. Bukit<br />

Lawang salah satu andalan wisata alam Sumatera<br />

Utara dan telah dikenal wisatawan domestik dan<br />

mancanegara. Daya tarik utama Bukit Lawang adalah<br />

kehadiran orangutan sumatera yang dilepasliarkan<br />

tahun 1980-an dan kini hidup semi-liar di dalam<br />

hutan TNGL. Fasilitas dan akomodasi wisata seperti<br />

penginapan, warung, dan toko terletak di sepanjang<br />

Sungai Bohorok yang berseberangan dengan<br />

kawasan TNGL.<br />

KONSERVASI GAGAL, BERSIAPLAH MEMANEN BENCANA<br />

27


28 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Konservasi<br />

3 Kondisi Bukit Lawang terkini. Bangunan semi permanen di<br />

badan dan tepi sungai Bohorok yang menantang bahaya.<br />

Lima tahun setelah banjir bandang, kegiatan<br />

wisata alam kembali menggeliat dan meningkat di<br />

Bukit Lawang. Manisnya pariwisata itu mendorong<br />

masyarakat kembali membangun usahanya.<br />

Sayangnya, usaha penginapan, warung, dan toko<br />

kembali memenuhi badan dan sempadan Sungai<br />

Bohorok. Dorongan ekonomi membuat masyarakat<br />

lupa akan risiko yang mengancam nyawa dan<br />

hartanya. Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat<br />

kewalahan mengaturnya. TNGL pun tak punya kuasa.<br />

Kini kawasan wisata Bukit Lawang,sudah nyaris<br />

kembali seperti sebelum banjir bandang.<br />

Menanam bencana<br />

Hutan TNGL yang dikelilingi hutan lindung,<br />

perkebunan, perladangan, dan pemukiman<br />

penduduk adalah hulu dari belasan sungai besar<br />

seperti Sungai Alas, Sungai Tamiang, Sungai Wampu,<br />

Sungai Bohorok, dan Sungai Besitang. Di dalam<br />

hutan tersebut hidup ribuan jenis tumbuhan dan<br />

ratusan jenis satwa termasuk satwa dilindungi khas<br />

Sumatera seperti harimau sumatera, gajah sumatera,<br />

orangutan sumatera, dan badak sumatera.<br />

Dalam keadaan normal, satwa dan tumbuhan<br />

di dalam hutan itu berinteraksi saling mengisi dan<br />

melengkapi dalam siklus rantai makanan sehingga<br />

terciptalah keseimbangan alam. Ketika terjadi<br />

gangguan terhadap hutan beserta isinya, alam akan<br />

bereaksi untuk menemukan keseimbangan baru yang<br />

berdampak kepada manusia. Dampak dari reaksi<br />

alam yang bersifat merugikan itulah yang seringkali<br />

kita sebut bencana. Di sinilah upaya-upaya konservasi<br />

memainkan peranannya di kawasan tersebut,<br />

untuk mencegah atau meminimalisir dampak yang<br />

merugikan kehidupan manusia.<br />

Dalam banyak diskusi dan pertemuan dengan<br />

para pihak, konservasi seringkali diartikan sebagai<br />

kegiatan kontra pembangunan. Seolah-olah selalu<br />

menghalang-halangi niat pemerintah membangun<br />

daerah. Konservasi juga dituding tidak produktif<br />

karena tidak memberikan manfaat langsung berupa<br />

pendapatan dalam jumlah besar sebagaimana<br />

hutan produksi atau pertambangan. Sebagian besar<br />

masyarakat mengartikan konservasi sebagai kegiatan<br />

yang hanya melarang-larang, tak boleh begini dan<br />

begitu.<br />

Benarkah konservasi spesies dan habitatnya tidak<br />

berguna bagi kita? Perdebatan sengit akan terjadi<br />

antara yang pro dan kontra konservasi. Apalagi jika<br />

konservasi diartikan secara sempit.<br />

Secara ilmiah, terdapat pemahaman bahwa<br />

konservasi terdiri atas unsur penyelamatan (save<br />

it) agar dapat dikaji, dipelajari (study it), dan dapat<br />

dimanfaatkan (use it) secara berkesinambungan<br />

dan bertanggung jawab. Dalam bahasa pemerintah<br />

yang dituangkan dalam peraturan perundangundangan,<br />

konservasi terdiri dari unsur pengamanan,<br />

perlindungan/pelestarian, dan pemanfaatan<br />

yang lestari. Dengan kata lain, akhir dari upaya<br />

konservasi adalah pemanfaatan yang bijaksana dan<br />

bertanggung jawab sehingga manfaatnya dapat terus<br />

didapatkan kita semua.<br />

Dalam bahasa awam, saya mengartikan<br />

konservasi sebagai sebuah gerakan penghematan


atas sumberdaya alam yang terbatas jumlahnya.<br />

Sumberdaya alam itu ibarat tabungan kita di bank<br />

yang dapat kita ambil untuk dijadikan modal usaha<br />

yang akan memberikan hasil produktif. Apabila<br />

tabungan itu hanya kita ambil terus-menerus tanpa<br />

pernah mengembalikan, tabungan itu pasti akan<br />

habis. Apalagi jika modal yang didapat dari tabungan<br />

sumberdaya alam itu hanya digunakan sebagai<br />

modal belanja yang tidak produktif dan habis setelah<br />

dipakai.<br />

Kita sering terlena retorika bahwa Indonesia kaya<br />

sumberdaya alam, tetapi lupa bahwa sumberdaya<br />

alam itu ada yang dapat diperbaharui serta ada pula<br />

yang akan habis dan tak mungkin diperbaharui.<br />

Hutan merupakan sumberdaya yang dapat<br />

diperbarui, tetapi perlu waktu lama dan tidak akan<br />

dapat seutuhnya dikembalikan. Oleh karena itu,<br />

fungsi dan manfaat hutan secara langsung dan tidak<br />

langsung harus dapat dikendalikan. Kegagalan kita<br />

melestarikan sumberdaya hutan, baik hutan lindung,<br />

hutan konservasi, hutan produksi, hutan adat, atau<br />

hutan masyarakat, sadar atau tidak sadar, kita telah<br />

menanam bibit-bibit bencana.<br />

Benteng pelindung<br />

Kawasan TNGL lain yang sangat memprihatinkan<br />

adalah daerah Sekoci di Kecamatan Besitang,<br />

Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Area yang<br />

pernah salah urus pada tahun 1975 itu, kini tampak<br />

berupa dataran luas yang sudah tak berpohon.<br />

Gantinya adalah tanaman sawit dan rumah-rumah<br />

yang dibangun secara tidak sah. Tonggak-tonggak<br />

kayu yang besar menandakan pernah ada pohonpohon<br />

berdiameter lebih dari satu meter. Alang-alang<br />

setinggi pinggang menjadi aksesori yang membuat<br />

kawasan itu berwarna hijau semu. Upaya rehabilitasi<br />

lahan yang dilakukan setengah hati tidak tampak<br />

hasilnya.<br />

Berawal dari kedatangan pengungsi akibat<br />

konflik Aceh tahun 1999 di daerah Sei Lepan dan<br />

Sekoci, perlahan namun pasti terjadi perambahan<br />

brutal oleh masyarakat yang bukan pengungsi.<br />

Puncaknya terjadi antara 2006-2010. Tidak kurang<br />

dari 4000 hektar kawasan TNGL diduduki oleh hampir<br />

900 keluarga pengungsi dan ratusan perambah<br />

3 Peta kawasan hutan yang rusak (deforestasi) akibat<br />

perambahan di TNGL pada tahun 2009. Peta dibuat oleh Rina<br />

Purwaningsih-UNESCO.<br />

(lihat peta). Tata batas yang tidak jelas dan sejarah<br />

pengelolaan kawasan di masa lalu menjadi alasan<br />

klaim dari masyarakat menduduki kawasan taman<br />

nasional. Sementara itu, penebangan liar pohonpohon<br />

bernilai ekonomi di dalam taman nasional<br />

untuk diambil kayunya atau dikuasai tanahnya,<br />

3 Ladang Perambahan di Resort Sekoci, Besitang, TNGL.<br />

KONSERVASI GAGAL, BERSIAPLAH MEMANEN BENCANA<br />

29


30 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Konservasi<br />

1 Papan<br />

penunjuk<br />

kawasan restorasi<br />

ekosistem di<br />

resort Cinta Raja,<br />

Sei Serdang,<br />

TNGL. Di area<br />

seluas 50 ha<br />

ini diupayakan<br />

pemulihan<br />

kawasan untuk<br />

mempercepat<br />

suksesi, yang<br />

dikelola dengan<br />

pendekatan<br />

ilmiah.<br />

memperburuk keadaan dan memperluaskawasan<br />

taman nasional yang rusak.<br />

Perubahan kondisi hutan itu mulai menunjukkan<br />

dampaknya pada akhir Desember 2006. Alam<br />

bereaksi sesuai kodratnya mencari keseimbangan<br />

baru. Banjir besar menerjang 15 kecamatan di<br />

Kabupaten Langkat, terutama Besitang yang<br />

merupakan hilir dari Sungai Besitang. Jalan darat<br />

yang menghubungkan Sumatera Utara dengan<br />

Aceh Tamiang terputus. Sedikitnya 19 orang korban<br />

meninggal/hilang, ribuan orang mengungsi dan<br />

kehilangan rumahnya, termasuk sawah/kebun/ladang<br />

yang rusak. Sejak itu, banjir selalu menghantui<br />

kehidupan masyarakat yang tinggal di hilir Sungai<br />

Besitang.<br />

Apakah kita akan mengkambinghitamkan curah<br />

hujan yang tinggi sebagai penyebab banjir? Ah, coba<br />

lihat fakta ini. Berdasarkan analisa citra landsat tahun<br />

2002, sebanyak 14,8% hutan yang ada di Daerah<br />

Aliran Sungai (DAS) Besitang dan 8,9% hutan di DAS<br />

Sei Lepan rusak. Kerusakan hutan di sekitar aliran<br />

sungai tersebut mengganggu badan sungai. Volume<br />

air hujan tidak tertampung lagi.<br />

Sesungguhnya TNGL merupakan urat nadi<br />

kehidupan bagi sembilan kabupaten/kota yang<br />

mengelilinginya. Selain sebagai sumber air, tanaman<br />

obat, bibit pohon, menjaga kesuburan tanah, dan<br />

tujuan wisata, TNGL juga benteng yang dapat<br />

melindungi manusia dari bencana. Dalam penelitian<br />

mengenai nilai ekonomi Kawasan Ekosistem Leuser<br />

termasuk TNGL, bila fungsi dan jasa-jasa lingkungan<br />

tersebut dikelola secara lestari selama 30 tahun,<br />

hasilnya mencapai Rp 85 Triliun, sedangkan nilai<br />

kayunya berkisar Rp 31 Triliun.<br />

Namun, apa boleh buat. Faktanya, masyarakat<br />

perorangan, kelompok, dan perusahaan sama-sama<br />

menjarah kawasan yang kurang terjaga. Penebangan<br />

kayu yang pasti tanpa ijin, serta perambahan<br />

untuk perkebunan dan pemukiman, terus terjadi.<br />

Beberapa perusahaan perkebunan sawit, dengan<br />

segala dalih, “memperluas” konsesinya mulai dari<br />

50 hektar hingga 200 hektar masuk ke kawasan<br />

TNGL. Peristiwa itu demikian maraknya sejak awal<br />

milenium ketika bayi reformasi masih tertatih-tatih<br />

dengan euforia otonomi daerah. Alam pun bereaksi.<br />

Hanya berselang lima tahun, kita mulai menuai<br />

bencana. Terdengar berita banjir dan longsor di<br />

pantai timur Aceh di Kabupaten Bireun, Gayo Lues,<br />

Lhok Seumawe, Aceh Timur , Aceh Tamiang, dan<br />

Kabupaten Langkat-Sumatera Utara.<br />

Dengan segala keterbatasan yang ada untuk<br />

memulihkan kawasan, pengelola TNGL bekerjasama<br />

dengan UNESCO mendemonstrasikan program<br />

restorasi untuk memulihkan kawasan yang telah<br />

dirambah perusahaan kebun sawit di Cinta Raja.<br />

Pendekatan dan metoda ilmiah yang dilakukanMitra<br />

TNGL pun tak tinggal diam. Yayasan Orangutan<br />

Sumatera Lestari, mengupayakan pemulihan<br />

kawasan di daerah Sei Betung yang juga dirambah<br />

perusahaan sawit. Sementara TNGL, dengan<br />

program rehabilitasi lahan (baca: Gerhan, gerakan<br />

rehabilitasi lahan), telah mengupayakan penanaman<br />

di area eks perambahan.<br />

3 Gajah sumatera, salah satu jenis satwa khas Sumatera yang<br />

dilindungi di TNGL.


Gerakan rehabilitasi lahan yang dibiayai negara,<br />

cenderung berskala luas, bersifat keproyekan dengan<br />

indikator-indikator yang secara konsep sangat bagus.<br />

Jenis-jenis pohon yang ditanam cenderung kurang<br />

beragam, lebih pada jenis buah-buahan seperti<br />

durian, nangka (antroposentrik). Persoalan utamanya<br />

adalah implementasinya minim kontrol dengan<br />

tingkat keberhasilan tanam yang rendah.<br />

Sesungguhnya, negara akan jauh lebih hemat<br />

membiayai program konservasi daripada biaya untuk<br />

penanggulangan bencana (baca: tanggap darurat -<br />

red) dan pemulihan kawasan yang terlanda bencana<br />

atau rusak. Itupun jika kita mau mempertimbangkan<br />

dan menghormati jiwa manusia yang dapat menjadi<br />

korban.Namun program-program konservasi<br />

harus dilakukan dengan semangat melindungi<br />

sesama makhluk Tuhan, bukan sekadar memenuhi<br />

administrasi keproyekan.<br />

Konservasi untuk manusia<br />

Tampaknya masih ada keraguan bahwa<br />

konservasi atau pelestarian alam bermanfaat bagi<br />

kehidupan kita. Keserakahan manusia untuk manusia<br />

membuatnya enggan bersahabat dengan alam. Kita<br />

masih menganggap cerita-cerita kearifan tradisional<br />

dan keakraban nenek moyang kita dengan alam<br />

sebagai legenda dari<br />

mulut ke mulut? Atau<br />

lebih menyedihkan lagi<br />

jawaban, “Ah, itu kan<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu dulu”.<br />

Saya terkesan pada<br />

cerita mengenai BrigJen<br />

Taman Nasional Gunung<br />

Leuser biasa disingkat TNGL Suroyo Gino, Wakil<br />

adalah salah satu Kawasan<br />

Panglima Komando<br />

Pelestarian Alam di<br />

Indonesia seluas 1.094.692 Darurat Sipil, yang<br />

Hektar yang secara<br />

melihat sekelompok<br />

administrasi pemerintahan<br />

terletak di dua Provinsi burung berwarna putih<br />

NAD dan Sumatera Utara.<br />

Salah satu Objek dan Daya terbang berarakan dari<br />

Tarik Wisata Alam (ODTWA) arah laut menuju kota<br />

yang terkenal adalah Pusat<br />

Pengamatan Orangutan sesaat sebelum tsunami<br />

Sumatera - Bukit Lawang menerjang Banda Aceh<br />

di Kawasan Wisata Alam<br />

Bukit Lawang - Bohorok, tanggal 26 Desember<br />

Kabupaten Langkat,<br />

2006. Brigjen Suroyo<br />

Sumatera Utara.<br />

yang akan melepas<br />

3 Penyadaran konservasi kepada anak-anak sekolah yang<br />

dilanjutkan penanaman di area restorasi ekosistem di Resort<br />

Cinta Raja, Sei Serdang, TNGL.<br />

kepulangan 700 prajurit ke Kupang dari Pelabuhan<br />

Malahayati, melihatnya sebagai pertanda dari alam<br />

agar menghindari laut. Ia selamat dari bahaya.<br />

Alam memberi pertanda agar kita menyingkir<br />

dari laut ketika tiba-tiba air laut surut sesaat<br />

sebelum gelombang tsunami menerjang. Satwa<br />

liar berhamburan ketika gunung berapi mulai<br />

menggelegak membahayakan kehidupan. Siapa yang<br />

akan memberi peringatan dini pada kita, jika burungburung<br />

dan satwa liar lainnya kita tangkap melebihi<br />

kemampuannya beranak pinak? Bagaimana ketika<br />

habitat satwa liar semakin menyusut dan kemudian<br />

lenyap?<br />

Kepandaian manusia masih terbatas dan<br />

belum mampu menggantikan kemampuan alam<br />

berinteraksi secara alamiah. Bronjongan batu yang<br />

melintang menjorok ke arah laut untuk memecah<br />

gelombang, tidak dapat menggantikan fungsi pohon<br />

bakau menahan gelombang? Apalagi vegetasi bakau<br />

memberi nilai tambah dengan hadirnya udang dan<br />

kepiting yang bernilai ekonomi.<br />

Singkat kata, teknologi canggih belum dapat<br />

menggantikan fungsi-fungsi dan jasa-jasa lingkungan<br />

yang diberikan oleh alam. Oleh karena itu, kita wajib<br />

menjaga berlangsungnya fungsi-fungsi alam dan<br />

jasa lingkungannya, tidak untuk alam, tidak untuk<br />

satwa liar, tapi untuk kepentingan hidup manusia.<br />

Keserakahan manusia perlu diredam. Mau tidak mau,<br />

suka tidak suka, kita harus bersahabat dengan alam,<br />

menjaganya, dan merawatnya. Kalau tidak mau, ya<br />

bersiap-siaplah menuai bencana-bencana.<br />

KONSERVASI GAGAL, BERSIAPLAH MEMANEN BENCANA<br />

31


32 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

picasaweb.google.com<br />

Wawancara<br />

Khusus<br />

PERSIAPAN PASCA HFA<br />

Margareta Wahlström<br />

PEJABAT SEKRETARIAT JENDERAL PBB UNTUK PENGURANGAN RISIKO BENCANA<br />

Teks VICTOR REMBETH<br />

Margareta Wahlström.<br />

Pengurangan risiko bencana (PRB) didasarkan pada Kerangka<br />

Aksi Hyogo atau Hyogo Framework for Actions. Kerangka ini<br />

disepakati 168 negara untuk menjadi acuan kegiatan PRB<br />

dari tahun 2005-2015. Indonesia adalah salah satu negara<br />

yang menandatangani deklarasi tersebut dan meratifikasinya<br />

melalui UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.<br />

Sehubungan dengan itu, ZeroRisk mewancarai Pejabat untuk<br />

Pengurangan Risiko Bencana pada Sekretariat Jenderal PBB,<br />

Margareta Wahlström. Berikut petikannya:<br />

Kerangka Aksi Hyogo akan berakhir pada tahun 2015, apa rencana<br />

selanjutnya?<br />

Langkah-langkah menuju ke arah ini sudah disiapkan, karena sudah ada<br />

konsensus untuk menghadapi pasca HFA. Namun hingga kini belum diketahui<br />

apakah konsepnya sama dengan deklarasi HFA yang sekarang untuk menghadapi<br />

kondisi 10 tahun ke depan. Yang jelas “concept note” tentang kerangka aksi pasca<br />

HFA sudah diinformasikan kepada para pemangku kepentingan. Bebarapa hal<br />

penting yang dibahas adalah isu yang berhubungan dengan adaptasi perubahan<br />

iklim dan “evolution of risk”. Saat konsultasi menuju “pasca HFA” diperlukan fokus<br />

flickr.com


3 GLOBAL PLATFORM FOR DISASTER RISK REDUCTION. Koalisi lembaga Internasional bertemu di Jenewa, Swiss pada 2009<br />

lalu untuk membahas pengurangan risiko dan kemiskinan di tengah situasi perubahan iklim global.<br />

dan petunjuk yang jelas, sehingga konsepnya bisa<br />

difinalkan pada tahun 2013. Kerangka aksi Pasca HFA<br />

ini dibangun berdasarkan materi HFA yang sekarang<br />

dengan fokus pada area yang belum menunjukkan<br />

kemajuan dan bakal diadopsi pada Konferensi<br />

Bencana Sedunia keempat. Karena itu, selama tiga<br />

tahun ini akan menjadi waktu yang penting untuk<br />

konsolidasi dan evaluasi.<br />

Nantinya, proses penyusunan kerangka aksi<br />

pasca HFA akan melibatkan pemerintah lokal,<br />

parlemen, swasta, ilmuwan serta sektor-sektor<br />

terkait.<br />

Menurut Anda, apa yang harus diutamakan<br />

dalam kebijakan untuk mengurangi risiko bencana,<br />

penyelamatan korban, penguatan kapasitas,<br />

kebijakan kesiapsiagaan, mitigasi bencana dan<br />

adaptasi perubahan iklim?<br />

Sebenarnya setiap kebijakan tergantung pada<br />

negara-negara yang bersangkutan dan apa yang<br />

telah dicapai negara tersebut. Memang untuk<br />

sejumlah negara, prioritas untuk memperkuat<br />

kesiapsiagaan perlu lebih diefektifkan. Banyak<br />

negara lain sudah baik dalam mengimplementasikan<br />

MARGARETA WAHLSTRÖM<br />

33<br />

iisd.ca<br />

iisd.ca


34 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Wawancara<br />

Khusus<br />

kesiapsiagaan ini, namun sistem peringatan dini<br />

belum berjalan dengan baik karena terlalu percaya<br />

pada teknologi dan kurang melibatkan peran serta<br />

masyarakat.<br />

Jepang merupakan salah satu contoh negara<br />

yang baik dimana masyarakat ikut dilibatkan dengan<br />

pemerintah dan organisasi berbasis komunitas<br />

(Community Based Organization) dalam teknologi<br />

peringatan dini. Masyarakat pun sudah diikutsertakan<br />

dalam pelatihan mengenai kebencanaan. Beberapa<br />

negara lain sudah memiliki kebijakan tentang sistem<br />

peringatan dini, namun masih memerlukan pelatihan<br />

dan dukungan dari organisasi/lembaga internasional.<br />

Beberapa kendala yang saat ini masih ada antara<br />

lain kualitas dan kapasitas sumber daya manusia.<br />

Kemudian belum memadainya akses terhadap<br />

informasi, yaitu belum tersedianya informasi yang<br />

bersifat terbuka. Kemudian masih adanya hambatan<br />

terhadap penguatan kapasitas, baik teknis maupun<br />

masyarakat. Khusus untuk yang ketiga ini, saya lihat<br />

kita masih kekurangan waktu untuk belajar. Karena<br />

itu, kita memerlukan jaringan dan pengaruh yang<br />

kuat untuk mengubah masyarakat di mana jaringan<br />

picasaweb.google.com<br />

ISDR akan menolong dengan pekerjaan yang lebih<br />

terfokus.<br />

Hal lain yang menjadi persoalan yaitu lambatnya<br />

pengintegrasian antara perubahan iklim dengan<br />

pengurangan risiko bencana. Hal ini terjadi karena<br />

hambatan institusional dan ketersediaan informasi<br />

dimana dalam hal ini proses pengintegrasian<br />

perubahan iklim terlalu formal, sementara PRB<br />

begitu informal. Karena itu, diperlukan penegakkan<br />

kebijakan yang kuat pada tingkat nasional. Terakhir,


isiko bencana harus menjadi bagian dari program<br />

pembangunan khususnya manajemen risiko dan PRB.<br />

Selain itu, ada dua hal lain yang perlu<br />

diperhatikan yakni kita harus mengerti manajemen<br />

risiko akan berbeda sesuai konteks. Karenanya,<br />

penggunaan bahasa yang berbeda juga sesuai<br />

konteks (contoh: konteks kota dan desa) harus<br />

diterapkan. Sehingga masyarakat pun bisa<br />

dimobilisasi dengan perbedaan ini.<br />

Kedua, sektor bisnis harus dilibatkan dalam<br />

manajemen risiko sebab sektor ini mewakili pelaku<br />

ekonomi yang dapat mengembangkan rencana<br />

usaha mereka, khususnya untuk memberi rasa<br />

aman terhadap para pekerja dan juga komunitas<br />

sekitar kawasan bisnisnya. Namun kita harus juga<br />

mempertanyakan mengapa mereka melakukan itu,<br />

apakah untuk kepentingan pribadi atau kepentingan<br />

lainya.<br />

Akankah resesi global mempengaruhi<br />

dukungan UNDP untuk prakarsa PRB di masa<br />

mendatang?<br />

Dalam menghadapi hal ini, PBB kemungkinan<br />

melakukan shifting focus. Dan menurut saya, PBB<br />

harus dapat memberikan nilai tambah dalam<br />

dukungannya pada program untuk setiap negara.<br />

Indonesia memiliki pengalaman dalam<br />

penanganan bencana, pelajaran penting apakah<br />

yang bisa diperoleh?<br />

Sisi positifnya adalah Indonesia mengalami<br />

perubahan perspektif dari sebelum dan sesudah<br />

tsunami. Perubahan itu melingkupi penerapan dan<br />

melakukan beragam investasi untuk PRB. Namun<br />

perlu dicatat, banyaknya isu seputar bencana akan<br />

membuat sulit menentukan prioritas yang jelas sebab<br />

Indonesia merupakan negara yang besar. Contohnya<br />

hingga kini belum ada integrasi antar adaptasi<br />

perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana<br />

karena begitu kompleksnya elemen-elemen yang<br />

ada. Namun, Indonesia telah mengajarkan kepada<br />

dunia mengenai kesulitan dalam melaksanakan PRB<br />

di tingkat lokal, terutama dalam kaitannya dengan<br />

proses desentralisasi. Karena itu, beberapa praktek<br />

PRB telah berjalan dengan baik di Indonesia, seperti<br />

terlihat dalam beberapa pelaksanaan PRB.<br />

MARGARETA WAHLSTRÖM<br />

35<br />

Foto-foto: flickr.com


36 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Kearifan Lokal<br />

Enggel mon sao surito (dengarlah suatu kisah)<br />

Inang maso semonan (pada zaman dahulu kala)<br />

Manoknop sao fano (tenggelam suatu desa)<br />

Uwilah da sesewan (begitulah dituturkan)<br />

Unen ne alek linon (Gempa yang mengawali)<br />

Fesang bakat ne mali (disusul ombak raksasa)<br />

Manoknop sao hampong (tenggelam seluruh negeri)<br />

Tibo-tibo maawi (secara tiba-tiba)<br />

Angalinon ne mali (jika gempanya kuat)<br />

Oek suruk sauli (disusul air yang surut)<br />

Maheya mihawali (segeralah cari tempat)<br />

Fano me senga tenggi (dataran tinggi agar selamat)<br />

Ede smong kahanne (itulah smong namanya)<br />

Turiang da nenekta (sejarah nenek moyang kita)<br />

Miredem teher ere (ingatlah ini semua)<br />

Pesan navi-navi da (pesan dan nasihatnya)<br />

Smong dumek-dumek mo (tsunami air mandimu)<br />

Linon uwak-uwakmo (gempa ayunanmu)<br />

Elaik keudang-keudangmo (petir kendang-kendangmu)<br />

Kilek suluh-suluhmo (halilintar lampu-lampumu) 1<br />

1 Dikutip dari buku “The Smong Wave From Simeulue”, Penulis; Teuku Abdullah Sanny, diterbitkan oleh Pemerintah<br />

Daerah Kabupaten Simeulue.


SMONG<br />

Budaya Yang Menyelamatkan<br />

Teks & Foto FATWA FADILLAH<br />

SYAIR di samping adalah penggalan dari syair nyanyian atau disebut nandong<br />

dalam bahasa lokal. Nandong ini telah mampu menyelamatkan masyarakat di<br />

Pulau Simeulue dari terjangan tsunami pada Desember 2004 silam. Hanya tujuh<br />

orang warga Simeule yang menjadi korban, bandingkan dengan sekitar 250 ribu<br />

warga yang meninggal di Nanggroe Aceh Darussalam. Secara turun temurun syair<br />

nandong ini disampaikan sebagai lagu pengantar tidur bagi anak-anak sehingga<br />

menjadi memori kolektif yang terus terbangun sampai saat ini.<br />

3 Pulau Simeulue. Berada<br />

kurang lebih 150 km dari<br />

lepas pantai barat Aceh,<br />

Kabupaten Simeulue berdiri<br />

tegar di Samudera Indonesia.<br />

Kabupaten Simeulue<br />

merupakan pemekaran dari<br />

Kabupaten Aceh Barat sejak<br />

tahun 1999.<br />

Smong atau lebih dikenal dengan tsunami, hadir di kehidupan masyarakat<br />

Simeulue sejak tahun 1907. Kendati demikian, sebelum itu smong pernah<br />

terjadi untuk pertama kalinya pada tahun 1883 dan selanjutnya pada<br />

1907. Tsunami 1907 itu disinyalir terjadi akibat adanya pergerakan lempeng Indo-<br />

Australia dan lempeng Eurasia.<br />

3 EVAKUASI PASCA GEMPA. Suasana yang sempat terekam pada saat evakuasi warga Simeulue<br />

pasca gempa 2004 yang lalu.<br />

SMONG BUDAYA YANG MENYELAMATKAN<br />

37


38 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Kearifan Lokal<br />

Berdasarkan catatan sejarah, pada Jumat 14<br />

Januari 1907, masyarakat di daerah Salur Kecamatan<br />

Teupah Selatan merasakan adanya guncangan<br />

gempa yang cukup kuat.<br />

Ketika itu, mereka sedang menunaikan ibadah<br />

shalat Jumat. Sesaat setelah gempa terjadi,<br />

terlihat air laut surut. Masyarakat berduyun-duyun<br />

berlari ke arah pantai untuk mengambil ikan yang<br />

menggelapar-gelepar. Dalam hitungan menit, air laut<br />

yang tadinya surut kembali dalam wujud gelombang<br />

besar. Masyarakat yang sedang sibuk mengambil<br />

ikan di pantai sontak terkejut dan berusaha<br />

untuk berlari menghindari daerah pantai. Akan<br />

tetapi, kecepatan masyarakat berlari tak mampu<br />

mengimbangi kecepatan gelombang smong yang<br />

datang. Korban nyawa, kehancuran bangunan dan<br />

kehilangan harta bencana tak dapat terelakkan.<br />

Setelah kejadian tahun 1907 tersebut, Simeulue<br />

masih terus dilanda gempa bumi dengan skala yang<br />

beragam. Masyarakat yang masih trauma dengan<br />

kejadian tersebut, kemudian mengembangkan cerita<br />

pengalaman 1907 secara lisan sebagai smong. Ada<br />

yang disampaikan melalui nafi-nafi/nasihat dan<br />

nandong (syair/buai). Smong dalam bahasa lokal<br />

Pulau Simeulue berarti imbauan agar segera lari<br />

ke arah bukit setelah gempa karena sebentar lagi<br />

air laut naik atau pasang. Warga Pulau Simeulue<br />

2 BEKAS TSUNAMI 2004.<br />

Pemandangan di salah satu<br />

sudut pantai di Simeulue.<br />

sangat paham dengan istilah smong walaupun jarak<br />

antardesa berjauhan. Ini dihasilkan dari sebuah<br />

proses sosialisasi yang menjunjung asas kekerabatan<br />

di Pulau Simeulue. Kewaspadaan pun terbangun.<br />

“Saya mendapatkan cerita (baca smong) dari<br />

kakek saya saat waktu senggang dan berkumpul<br />

dengan keluarga. Saya masih kecil ketika itu,” tutur<br />

Arsin, seorang nelayan yang tinggal di Desa Bunon,<br />

Kecamatan Simeulue Timur. “Saya melanjutkan<br />

cerita smong kembali kepada anak-anak saya.<br />

Saya sendiri belum mengetahui apa itu smong<br />

yang disebut sebagai tsunami. Saya belum pernah<br />

mengalaminya hingga kejadian tahun 2004 lalu.<br />

Namun saya percaya apa yang telah dikatakan oleh<br />

kakek dan ayah saya tentang hal ini adalah benar,”<br />

tambah Arsin.<br />

Mulai dari kakek, nenek, ayah, ibu menceritakan<br />

kepada cucu dan anak-anaknya pada waktu senggang<br />

atau menjelang tidur. Cerita lisan turun-temurun<br />

tersebut tidak hanya sekadar menjelaskan tentang<br />

sejarah kedahsyatan gelombang smong ketika itu.<br />

Nasihat terkait gejala-gejala alam yang mendahului<br />

sebelum smong dan apa yang harus dilakukan ketika<br />

gempa terjadi juga disampaikan. Memori kolektif<br />

terbangun selama hampir seratus tahun.<br />

Akhirnya, smong menjadi kata sandi yang<br />

dipahami bersama oleh seluruh penduduk di Pulau


Simeulue untuk menggambarkan gelombang pasang<br />

setelah terjadinya gempa besar. Karenanya, pada<br />

tsunami 2004 lalu, proses evakuasi besar-besaran<br />

dalam kurun waktu kurang dari 10 menit dilakukan<br />

secara serentak di seluruh wilayah pantai Pulau<br />

Simeulue. Mengingat infrastruktur telekomunikasi<br />

di Kabupaten Simeulue sangat terbatas, peristiwa<br />

2 4 SIMULASI. Beberapa<br />

aktivitas warga pada saat<br />

mengikuti simulasi evakuasi<br />

gempa bumi dan tsunami.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Budaya Smong sebagai<br />

budaya penyelamat<br />

manusia dari ancaman<br />

tsunami kemudian diakui<br />

dunia melalui penghargaan<br />

SASAKAWA AWARD.<br />

Penghargaan ini diberikan<br />

oleh masyarakat dunia<br />

melalui ISDR (International<br />

Strategy for Disaster<br />

Reduction) kepada<br />

masyarakat Kabupaten<br />

Simeulue. Penghargaan<br />

tersebut adalah wujud<br />

pengakuan dunia<br />

internasional pada kearifan<br />

lokal smong sebagai sistem<br />

peringatan dini tsunami.<br />

mobilisasi massa tersebut adalah peristiwa yang luar<br />

biasa.<br />

Tanpa adanya sistem peringatan dini tsunami<br />

yang memadai, budaya smong yang merupakan<br />

salah satu bentuk kearifan lokal (local wisdom)<br />

masyarakat Kabupaten Simeulue telah mengambil<br />

alih fungsi teknologi Tsunami Early Warning System<br />

(TEWS) yang sangat mahal. Merealisasikan smong<br />

pun tidak memerlukan kemampuan tinggi seperti<br />

dalam menggunakan TEWS.<br />

2 PETA<br />

EVAKUASI. Peta<br />

ini dibuat oleh<br />

masyarakat secara<br />

partisipatif untuk<br />

Pengurangan<br />

Risiko Bencana.<br />

SMONG BUDAYA YANG MENYELAMATKAN<br />

39


40 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Fenomena<br />

DAM BILIBILI<br />

SULAWESI SELATAN<br />

Manfaat, Kendali Bencana, dan Ancaman Bencana Baru<br />

JUTAAN kubik lumpur dan air melanda Kota Makassar, Sungguminasa, dan<br />

Takalar. Rumah, gedung sekolah, pusat perdagangan tersapu. Anak-anak, orang<br />

tua, dan kerabat terbawa arus banjir bandang. Ini sangat tidak diharapkan. Namun,<br />

bukan suatu hal yang mustahil.<br />

Teks dan Foto MUHAMMAD RAMLI<br />

3 LOKASI. Dam BiliBili<br />

adalah bendungan terbesar<br />

di Sulawesi Selatan, yang<br />

terletak di Kabupaten Gowa,<br />

sekitar 30 kimlometer ke arah<br />

timur Kota Makassar (Ujung<br />

Pandang).<br />

3 Dam BiliBili, sejuta pesona sejuta bencana.<br />

Banjir bandang dari sebuah penampung air - Dam BiliBili – yang berpotensi<br />

melanda Kota Makassar, Sungguminasa, dan Takalar mirip dengan<br />

musibah yang menimpa penduduk Situ Gintung, Tangerang, Banten.<br />

Dam BiliBili dibangun setelah beberapa kali banjir melanda Kota Makassar.<br />

Dam ini menjadi bendung pengendali banjir yang dibangun di hulu Sungai<br />

Jeneberang. Ketika jebol, dari atas bukit, air segera menerjang Kota Makassar.<br />

Tidak hanya fungsi utama sebagai pengendali banjir, kini Dam BiliBili juga<br />

bermanfaat untuk irigasi pertanian, wahana rekreasi, pembangkit listrik, dan


sumber air minum. Semakin lama digunakan,<br />

kenyamanan timbul. Masyarakat mulai terlena<br />

dengan potensi bencana yang bisa muncul dari Dam<br />

BiliBili.<br />

Lebih parah lagi, selain tanah longsor pada lereng<br />

alam, terjadi pula longsor di lereng akibat aktivitas<br />

penambangan pasir dan batu. Kedua hal ini akan<br />

mengganggu daya tampung Sungai Jeneberang<br />

sebagai bagian tak terpisahkan dari Dam BiliBili.<br />

Sebenarnya, bencana banjir dan tanah longsor<br />

masih terjadi di hulu Sungai Jeneberang. Tahun<br />

2006, tanah longsor menelan korban jiwa dan harta<br />

benda. Musibah ini memberi kesan mendalam bagi<br />

2 PEMBANGKIT<br />

LISTRIK. Selain sebagai<br />

sarana irigasi, bendungan<br />

ini juga berfungsi sebagai<br />

pembangkit listrik.<br />

masyarakat di sekitar Dam BiliBili. Apalagi, fenomena<br />

ini tentu berpotensi terjadi pada masa mendatang.<br />

Hanya waktu pastinya masih menjadi rahasia Ilahi.<br />

Pada longsor 2006, tidak ada aktivitas<br />

masyarakat pada kaldera. Ini menunjukkan bahwa<br />

longsor murni sebagai proses alam. Kajian teknis<br />

tentang kestabilan tebing kaldera tidak dapat<br />

diketahui langsung oleh masyarakat. Namun,<br />

keadaan pepohonan pada tebing dapat menjadi<br />

indikator yang dapat dikenali oleh masyarakat<br />

sekitar. Bilamana pepohonan menunjukkan posisi<br />

miring, bagian tebing tersebut akan mengalami<br />

longsoran.<br />

DAM BILIBILI SULAWESI SELATAN<br />

41


42 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Fenomena<br />

3 Rumah yang tertimbun longsor tahun 2006 di daerah<br />

Lengkese.<br />

Potensi bencana yang lebih besar adalah banjir<br />

bandang akibat jebolnya bendung baik bendung<br />

alam maupun rekayasa teknologi. Debit banjir akan<br />

sangat besar.<br />

Bendung alam di bagian hulu sungai bisa<br />

mengalami runtuhan material dinding sungai. Pohonpohonan<br />

juga bisa menutupi aliran sungai. Akumulasi<br />

air sungai dalam jumlah besar akan memberi tekanan<br />

raksasa sehingga akhirnya menjebol bendungbendung<br />

alam. Besar debit banjir akan melonjak.<br />

Stabilitas debit aliran sungai sesungguhnya bisa<br />

dijaga dengan rutin membersihkan saluran sungai,<br />

terutama menjelang musim penghujan dan setelah<br />

terjadi gempa bumi.<br />

Ini penting dilakukan. Sebab, kendati kondisi<br />

1 Sungai Jeneberang bagian<br />

tengah dengan kapasitas yang<br />

besar.<br />

3 Tampak sebuah lahan persawahan yang tertimbun longsor<br />

tahun 2004 di Daerah Lengkese.


agian tengah Sungai Jeneberang sangat lebar<br />

dan panjang sebelum mencapai Waduk BiliBili.<br />

Karenanya, risiko bencana membesar ketika<br />

kapasitas tereduksi.<br />

Risiko lainnya adalah dam jebol. Gejala awalnya<br />

dapat diamati masyarakat yang bermukim di bagian<br />

hilir dam. Debit air sungai meningkat dari biasanya.<br />

Hal ini mencirikan adanya rembesan air yang dapat<br />

berasal dari keretakan dam.<br />

Untuk mencegahnya, kerja rutin instansi<br />

pemerintah terkait untuk membuat kebijakan dan<br />

rekayasa teknis. Aktivitas masyarakat yang dapat<br />

berdampak pada penurunan fungsi dam juga tidak<br />

bisa ditolerir. Kegiatan penambangan sirtu di bagian<br />

atas dam dapat mengurangi suplai sedimen ke dalam<br />

Waduk BiliBili. Namun, kegiatan di bagian hilir dapat<br />

berdampak negatif terhadap kondisi dam mengingat<br />

suplai material ke bagian hilir tidak berlangsung lagi.<br />

Daerah yang berisiko terkena imbas adalah<br />

permukiman penduduk sekitar Kota Malino. Kota<br />

Makassar juga bisa terdampak dalam skala lebih<br />

kecil.<br />

Karenanya, menjadi penting bagi segenap pihak<br />

dapat menjaga kelestarian fungsi dam melalui<br />

aktivitas kesehariannya.<br />

3 Kegiatan penambangan di bagian hilir Dam BiliBili<br />

3 Kegiatan penambangan<br />

pasir dan batu di bagian hulu<br />

Dam Bili-Bili.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Bendungan terbesar<br />

di Sulawesi Selatan ini<br />

termasuk Kabupaten Gowa,<br />

sekitar 30 kilometer timur<br />

Kota Makassar. Kendati<br />

mulai dibangun 1988<br />

dan rampung pada 1995,<br />

bendungan ini diresmikan<br />

pada 1989. Berbiaya dana<br />

pinjaman luar negeri Rp<br />

780 miliar, pembangunan<br />

dilakukan atas kerja sama<br />

dengan Japan International<br />

Cooperation Agency (JICA)<br />

dengan kontraktor Hazana,<br />

PT. Brantas Abipraya.<br />

Selain sebagai sarana<br />

irigasi, bendungan ini juga<br />

mengendalikan banjir<br />

Sungai Jeneberang dan<br />

sumber air baku PDAM<br />

Gowa dan Makassar serta<br />

pembangkit listrik.<br />

DAM BILIBILI SULAWESI SELATAN<br />

43


44 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Sosok<br />

Teks TNA<br />

Foto DOK. BNPB<br />

PERJUANGAN<br />

MEMAHAMKAN<br />

MITIGASI BENCANA<br />

SUGENG TRIUTOMO<br />

Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana BNPB<br />

Siapa yang tidak mengenal Sugeng Triutomo, DESS dalam<br />

dunia penanggulangan bencana di Indonesia. Selama<br />

belasan tahun pria yang kini menduduki jabatan sebagai<br />

Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana<br />

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersusah<br />

payah dan kerja keras mempopulerkan penanganan bencana<br />

dan pengurangan dampaknya. Namun kini setelah lama ia<br />

berkecimpung, hasilnya sudah mulai terlihat. Masyarakat<br />

dan pemerintah mulai kian peduli pada pengurangan risiko<br />

bencana.<br />

Menurut Sugeng salah satu peristiwa yang tidak pernah dilupakannya yaitu<br />

gempa bumi dan tsunami dahsyat yang melanda tanah Serambi Mekah<br />

26 Desember 2004. Bencana itu bukan hanya mengejutkan Indonesia,<br />

namun juga dunia di mana di Indonesia saja, lebih dari 125.000 jiwa melayang.<br />

Sugeng mengakui, masyarakat Indonesia belum siap kala itu. Tidak ada abaaba.<br />

Metode peringatan dini belum dapat perhatian. Akhirnya, kata Sugeng,<br />

satu-satunya upaya yang dapat dilakukan adalah fokus terhadap tanggap bencana<br />

dimana dirinya terlibat di sana.<br />

Sebenarnya Sugeng tidak sengaja terjun dan menenggelamkan diri di<br />

dunia kebencanaan. Sebagai sarjana ilmu tanah lulusan Fakultas Pertanian<br />

dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, saat lulus kuliah, ia tidak pernah<br />

membayangkan akan melanjutkan hidupnya mengurus mitigasi bencana.<br />

Pekerjaan pertamanya sangat jauh dari aspek kebencanaan. Lulus dari<br />

pendidikan sarjana di UGM 1978, Sugeng bekerja sebagai konsultan di PT<br />

Consulting Engineers ISUDA pada 1979. Namun ia tidak lama berkarir di sana


karena pada 1981 ia memutuskan bekerja sebagai<br />

pejabat pemerintah di Badan Pengkajian dan<br />

Penerapan Teknologi (BPPT) di bidang tanah dan<br />

sumber daya alam, mitigasi bencana, dan regional<br />

perencanaan. Bagi Sugeng, bekerja di BPPT adalah<br />

panggilan hidupnya karena bersentuhan terus<br />

dengan ilmu pengetahuan dan penelitian.<br />

Dari kiprahnya di lembaga teknologi negara itu,<br />

Sugeng mulai banyak mempelajari hal-hal terkait<br />

sumber daya alam. Dari sana ia kemudian tahu<br />

bahwa ada dua aspek dalam sumber daya alam.<br />

Aspek pertama adalah pemanfaatan sumber daya<br />

alam. Dari alam manusia dapat mereguk banyak<br />

hal, minyak dan gas bumi, misalnya. Di sisi lain,<br />

ia belajar bahwa sumber daya alam juga memiliki<br />

aspek perlindungan. Alam seharusnya dilindungi,<br />

karena alam pulalah yang nantinya menjalani fungsi<br />

perlindungan bagi manusia.<br />

“Kita akan mengeksploitasi sumber daya alam<br />

habis-habisan atau kita ingin melindunginya?”<br />

tuturnya saat berbincang dengan ZeroRisk, di<br />

kantornya, belum lama ini.<br />

Sejak awal 1980-an, Sugeng memang sudah kian<br />

akrab dengan ilmu kebencanaan dan mitigasinya.<br />

Tapi dia belum banyak terjun langsung karena tugas<br />

dan tanggung jawabnya di tempatnya bekerja<br />

menuntutnya mengembangkan sumber daya lahan.<br />

“Begitu lulus saya sudah diperkenalkan mitigasi<br />

bencana. Tapi, karena tugas dan pekerjaan saya lebih<br />

banyak ke pengembangan sumber daya lahan, tanah,<br />

dan penatagunaan lahan, saya tidak terlalu fokus<br />

pada bencana,” jelas Sugeng.<br />

Pekerjaan terkait ilmu tanah, kerap<br />

mengharuskan dia melakukan survei ke beberapa<br />

lokasi. Hal itu ia lakukan bersama anggota kelompok<br />

pecinta alam. Dari pengalaman menjelajah Indonesia<br />

dan berbagi cerita dengan para pecinta alam itu,<br />

Sugeng menemukan cintanya pada alam. Untuk<br />

menambah pengetahuannya soal pengembangan<br />

wilayah, Sugeng memutuskan melanjutkan<br />

PERJUANGAN MEMAHAMKAN MITIGASI BENCANA<br />

45


46 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Sosok<br />

3 Ir. Sugeng Triutomo berbincang dengan Kepala BNPB Dr. Syamsul Ma’arif.<br />

studinya di Paul Sabatier University, Toulouse,<br />

Prancis. Dari universitas itu, ia meraih gelar master<br />

pengembangan wilayah dan pengelolaan lingkungan<br />

pada 1985. “Pengembangan wilayah bukan dari<br />

aspek ekonomi, tapi dari aspek lingkungan,” jelasnya.<br />

Latar belakang pendidikan masternya kemudian<br />

menyeretnya perlahan masuk ke dalam masalahmasalah<br />

kebencanaan. Dari pengelolaan lingkungan,<br />

dalam pekerjaannya ia dituntut juga mengerjakan<br />

hal-hal yang berkaitan dengan pengurangan risiko<br />

bencana. Karena pengelolaan lingkungan merupakan<br />

salah satu upaya mengurangi risiko bencana. “Ini<br />

yang berkaitan terus menerus,” katanya.<br />

Sugeng mulai total bekerja di bidang<br />

kebencanaan ketika ditugaskan di Badan Koordinasi<br />

Nasional Penanganan Bencana (Bakornas) yang<br />

saat itu diketuai Menteri Koordinator Kesejahteraan<br />

pada 2000. Dengan latar belakang keilmuannya<br />

yang banyak membahas pengelolaan lingkungan,<br />

ia dipercaya menangani penanggulangan<br />

kebencanaan lebih kepada mitigasi bencana dan<br />

bukan upaya tanggap darurat. Sebelum di Bakornas,<br />

ia juga sempat mengabdi di Sekretariat Dewan<br />

Pengembangan Kawasan Timur Indonesia hingga<br />

akhirnya diminta bergabung di Kementerian<br />

Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat<br />

(Kemenkokesra).<br />

Dari pekerjaannya di Bakornas itulah, kegiatankegiatan<br />

yang bersifat mitigasi, persiapan dan<br />

prevensi kebencanaan mulai dikembangkan.<br />

Pengembangan mitigasi bencana di Indonesia,<br />

menurut kisahnya sejalan dengan program<br />

internasional. “Sejak akhir dekade 1990 hingga 2000<br />

adalah dekade pengurangan risiko bencana di dunia<br />

internasional,” kisahnya.<br />

Sebelum era 1990, kata dia, dunia internasional<br />

belum terlalu familiar dengan pengurangan risiko<br />

bencana. Pemerintah pun saat itu lebih disibukkan


3 Ir. Sugeng Triutomo menerima Sertificate dari Ms. Anita Dwyr<br />

Perwakilan AIFDR.<br />

dengan pengurangan bencana. Barulah sejak<br />

2000, saat United Nation Office for Disaster Risk<br />

Reduction (UNISDR) dibentuk, langkah-langkah<br />

pengurangan risiko bencana mulai didengungkan<br />

di setiap kesempatan topik kebencanaan. “Jadi<br />

momentumnya pas. UNISDR dibentuk 2000, saya<br />

mulai bergabung dengan Kemenkokesra juga 2000,”<br />

ungkap dia.<br />

Ketepatan momentum itu membuatnya<br />

mengikuti terus setiap perkembangan, isu, kebijakankebijakan<br />

dan konsep-konsep baru mengenai<br />

kebencanaan.<br />

Mendirikan MPBI<br />

Tidak banyaknya orang berkecimpung di bidang<br />

kebencanaan menyebabkan ruang sosial bagi aktivis<br />

kebencanaan lebih sempit dibanding bidang lain.<br />

Penggiat-penggiat kebencanaan yang ditemui<br />

Sugeng biasanya adalah orang-orang yang sama<br />

yang pernah dia temui juga sebelumnya.<br />

Karena seringnya pelaksanaan kegiatan bersama<br />

itu, para aktivis ini akhirnya membentuk komunitas<br />

yang memfokuskan diri pada penanganan bencana.<br />

Komunitas itu semakin sering mengadakan kegiatan<br />

kesiapsiagaan bencana, mulai dari diskusi, seminar,<br />

pelatihan hingga workshop kebencanaan yang<br />

banyak dilakukan pada periode 2000 hingga 2002.<br />

Kegiatan-kegiatan itu yang menurutnya menjadi cikal<br />

bakal pembentukan Masyarakat Penanggulangan<br />

Bencana Indonesia (MPBI). “Jadi selain bertugas<br />

di kantor Kemenkokesra, saya juga membentuk<br />

komunitas kelembagaan di bidang kebencanaan,”<br />

katanya.<br />

MPBI merupakan forum pertemuan semua<br />

pemangku kepentingan kebencanaan baik<br />

pemerintah maupun non-pemerintah yang berdiri<br />

pada 3 Maret 2003. Sugeng kemudian didaulat<br />

menjadi Ketua Dewan Presidium MPBI periode<br />

pertama. Selang tiga tahun mengetuai forum itu,<br />

ia kembali dipercayakan menjadi Ketua Dewan<br />

Presidium pada 2006.<br />

Meski enam tahun menjabat Ketua Dewan<br />

Presidium MPBI, Sugeng tidak mengabaikan<br />

pekerjaannya di lembaga pemerintah. Dia malah<br />

merasa kedua perannya itu saling melengkapi.<br />

“Tugas saya di pemerintahan waktu itu bertugas<br />

sebagai asisten deputi, kemudian juga Kepala Biro<br />

Mitigasi di Bakornas. Ini sangat mendukung tugastugas,”<br />

ungkapnya.<br />

Sayangnya, pada periode itu, penanggulangan<br />

bencana belum jadi isu yang menarik. Belum ada<br />

program berkesinambungan untuk menanggulangi<br />

bencana. Hal itu membuat konsep yang ada dalam<br />

benaknya tidak bersambut karena anggaran untuk<br />

membuat gagasannya terwujud pun tidak tersedia.<br />

Penanggulan bencana kala itu berarti tanggap<br />

darurat dan pelaksanaan program rehabilitasi<br />

dan rekonstruksi. “Susah sekali. Penanggulangan<br />

bencana itu di mata birokrasi hanya dilakukan kalau<br />

terjadi bencana,” keluhnya mengingat masa awal<br />

2000-an itu.<br />

Sugeng mengakui, jangankan dulu sebelum<br />

bencana besar merengggut ratusan ribu nyawa,<br />

hingga kini pun pengurangan risiko bencana masih<br />

menjadi hal yang abnormal bagi masyarakat.<br />

PERJUANGAN MEMAHAMKAN MITIGASI BENCANA<br />

47


48 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Sosok<br />

“Untuk apa sih melakukan pelatihan, belum tentu<br />

bencananya datang,” ujar Sugeng menirukan<br />

tanggapan masyarakat atas dorongannya untuk<br />

melakukan pelatihan kesiapsiagaan bencana.<br />

Apabila sebelumnya program pengurangan risiko<br />

bencana tidak pernah muncul di benak kebanyakan<br />

orang, kini program pengurangan risiko bencana<br />

dinilai sebagai pemborosan. Masyarakat masih<br />

menilai, bencana dapat dihadapi dengan tanggap<br />

darurat. Menurutnya, dalam banyak pelaksanaan<br />

mitigasi, pekerjaan mitigasi dimulai saat orang<br />

kena bencana dan bukan sebelumnya. Tak ayal, jika<br />

kemudian upayanya menyosialisasikan pengurangan<br />

risiko bencana dinilai banyak pihak sebagai pekerjaan<br />

4 Ir. Sugeng Triutomo foto bersama dengan Ms. Margareta<br />

Wahlstrom dan para Penggiat Forum Pengurangan Risiko<br />

Bencana Provinsi DIY.<br />

konyol. “Biasanya orang baru sadar kalau sudah kena<br />

bencana,” katanya.<br />

Namun ia tidak menganggap aneh tanggapan<br />

tersebut. Menurutnya, penilaian tersebut lahir<br />

karena orang tidak paham mengenai risiko bencana<br />

yang siap menerkamnya kapan saja. Karenanya<br />

tugas negara dan komunitas sipil adalah memberi<br />

gambaran kepada masyarakat soal bahaya bencana<br />

yang mengancamnya. Harus disosialisasikan pula<br />

peta bencana.<br />

Berkat upaya dan kerja keras Sugeng, kini<br />

masyarakat dan pemerintah semakin hirau<br />

atas pengurangan risiko bencana. Kalau dulu<br />

pengetahuan masyarakat soal mitigasi bencana


hanya pada level nol saja. Kini dia dapat bergembira<br />

karena masyarakat sudah sampai pada level 4 hingga<br />

5. “Kalau pemerintah, jika dibandingkan dengan<br />

2003 dan 2004, saya setengah mati mengenalkan<br />

mitigasi bencana sampai berbusa-busa ngomongnya.<br />

Dianggap gila. Kalau sekarang, hampir semua<br />

kementerian dan lembaga membicarakan bencana,”<br />

ujarnya bersyukur.<br />

Rekan-rekan Sugeng menilai, dalam pelaksanaan<br />

pengurangan risiko bencana, pendiri Masyarakat<br />

Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) ini<br />

cenderung kaku dan hanya menerapkan apa<br />

yang diperolehnya dari buku-buku yang menjadi<br />

referensi dunia soal pengurangan risiko bencana.<br />

Tapi bagi Sugeng, apa yang ia terapkan merupakan<br />

improvisasi dari pengalamannya selama belasan<br />

tahun menangani bencana. Tentu dengan tidak<br />

melenceng dari koridor yang ditetapkan dari ilmuilmu<br />

kebencanaan yang diperolehnya.<br />

Menurutnya sebenarnya pada waktu lalu upaya<br />

pengurangan risiko bencana tersebar di manamana.<br />

Program pengurangan risiko bencana sudah<br />

dilakukan di level komunitas, pemerintah bahkan<br />

dunia usaha. Hanya, usaha-usaha itu masih berjalan<br />

masing-masing dan terserak tak terintegerasi.<br />

Dia mencontohkan, masyarakat setempat<br />

memegang erat kearifan lokal di daerahnya,<br />

sedangkan pihak pemerintah atu mungkin lembaga<br />

swadaya masyarakat (LSM) melakukan pelatihan<br />

yang bisa saja bertentangan dengan tradisi setempat.<br />

49


50 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Special<br />

Interview<br />

“Saat ini enak bekerja<br />

sudah didukung anggaran<br />

negara. Saya dulu tidak<br />

punya apa-apa dan harus<br />

mengais-ngais untuk<br />

dapat mengedukasi orang.<br />

Jadi seharusnya program<br />

mitigasi bencana bisa<br />

lebih baik sekarang ini.”<br />

“Yang terserak inilah yang belum pernah kita<br />

integrasikan dalam satu konsep yang komprehensif<br />

dan terpadu agar bisa jalan sama-sama,” jelasnya.<br />

Dari pengalaman dan pembelajarannya dalam<br />

kebencanaan, Sugeng membentuk suatu konstruksi<br />

pengetahuan baru. Dari sanalah ia mengaku<br />

mendapat ilmu baru kebencanaan. Selain digunakan<br />

dalam pencegahan dan kesiapsiagaan bencana, ilmu<br />

itu ia bagikan juga kepada orang lain.<br />

Selain mengabdi pada negara melalui BNPB, ia<br />

juga mengabdikan diri pada dunia pendidikan dengan<br />

menjadi pengajar mata kuliah Manajemen Bencana.<br />

Dia mengajar di Universitas Tarumanegara dan<br />

Universitas Pertahanan, Jakarta.<br />

Tantangan<br />

Kekerasan hati pemerintah dalam menangani<br />

bencana justru ia jadikan tantangan dan semangat<br />

untuk mengembangkan budaya mitigasi bencana.<br />

Meski anggaran yang diberikan negara dari<br />

APBN tidak ada, Sugeng pun tidak berkecil hati.<br />

Ia malah menggunakan jalur kemitraannya dan<br />

memanfaatkan jaringan yang dibentuknya. Dari sana<br />

ia bergerilya memperkenalkan mitigasi bencana.<br />

Ia ‘menjual’ gagasannya soal sosialisasi bencana.<br />

Bersyukur, usahanya tidak sia-sia, malah didukung<br />

beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM)<br />

internasional. LSM-LSM itu kemudian ‘membeli’<br />

idenya dengan membiayai pelatihan warga untuk


mengerti soal mitigasi bencana.<br />

Menurutnya, titik balik menghadapi bencana<br />

adalah tsunami Aceh 2004 lalu. Kejadian yang sangat<br />

memukul itu menjadi momentum yang akhirnya<br />

membuat orang hirau akan pentingnya mitigasi<br />

bencana. Saat itu, lelaki yang berpengalaman<br />

menangani tanggap bencana saat gempa Bengkulu<br />

pada 2000 itu dilibatkan dalam penanganan tanggap<br />

bencana gempa dan tsunami Aceh. Dia ditugaskan di<br />

Jakarta menjaga posko yang akhirnya dipindahkan ke<br />

Kantor Wakil Presiden.<br />

Di tengah kesibukannya mengurus bencana<br />

tsunami Aceh, Januari 2005, Sugeng dikirim<br />

menghadiri Konferensi Dunia untuk Pengurangan<br />

Risiko Bencana di Kobe, Jepang. Dalam konferensi itu<br />

lahir Kerangka Kerja Hyogo. “Kerangka kerja itu yang<br />

membuat saya mulai berpikir apa yang bisa saya buat<br />

setelah itu. Itu betul-betul titik balik bagi saya untuk<br />

benar-benar melakukan pengurangan risiko bencana<br />

di Indonesia,” ujar dia.<br />

Di sana, ia menceritakan penanganan tanggap<br />

darurat gempa dan tsunami Aceh. Dan dari<br />

konferensi itu pula ia mendapat pengalaman bahwa<br />

pengurangan risiko bencana bukan hanya sekedar<br />

upaya-upaya mitigasi pencegahan. Yang terpenting<br />

dari upaya pengurangan bencana adalah komitmen<br />

politik negara.<br />

Sejak itu, ia semakin membulatkan tekadnya<br />

untuk melakukan pengurangan risiko bencana<br />

di tanah air. Ketiadaan anggaran tidak boleh lagi<br />

jadi penghambatnya. Dia harus bisa meyakinkan<br />

pemerintah. “Pada pemerintahan SBY (Presiden<br />

Susilo Bambang Yudhoyono) yang pertama (2004-<br />

2009) penanggulangan bencana belum masuk dalam<br />

RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah<br />

Nasional). Sekarang walaupun tetap belum<br />

dimasukkan dalam RPJMN, tapi setidaknya ada<br />

dalam program tahunan,” ungkapnya.<br />

Berkat kerja kerasnya itu, Indonesia kini menjadi<br />

salah satu kiblat dunia dalam mitigasi bencana.<br />

Presiden SBY bahkan pernah menerima penghargaan<br />

Global Champion Award dalam penanganan bencana<br />

2011 lalu. “Saya katakan pada staf saya, saat ini enak<br />

bekerja sudah didukung anggaran negara. Saya<br />

dulu tidak punya apa-apa dan harus mengais-ngais<br />

untuk dapat mengedukasi orang. Jadi seharusnya<br />

program mitigasi bencana bisa lebih baik sekarang<br />

ini,” tegasnya.<br />

PERJUANGAN MEMAHAMKAN MITIGASI BENCANA<br />

51


52 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Harmoni<br />

MENUJU<br />

‘ZERO CASUALTY’


DISASTER evolves! Ungkapan ini dirasa<br />

paling tepat untuk menggambarkan<br />

perubahan karakteristik dampak<br />

tsunami di Jepang sejak satu abad<br />

lalu. Tiap kejadian tsunami memiliki<br />

keunikan tersendiri. Mulai dari gempa<br />

yang membangkitkan sampai dengan<br />

dampak bawaan yang ditimbulkannya.<br />

Ada kalanya tsunami didahului oleh<br />

goncangan gempa yang sangat kuat, tapi di<br />

lain waktu bisa jadi gempa yang membawa<br />

tsunami tidak dirasakan oleh masyarakat di pesisir<br />

laut. Prasarana fisik penahan tsunami satu waktu<br />

mungkin bekerja dengan baik, akan tetapi di lain<br />

waktu mungkin hancur diterjang gelombang yang<br />

tingginya bahkan tidak pernah terbayangkan.<br />

Akan tetapi, satu hal yang pasti adalah kawasan<br />

pesisir merupakan tempat bermukim dan pusat<br />

perekonomian yang tidak akan ditinggalkan oleh<br />

masyarakat.<br />

Ancaman tsunami akan selalu ada, tetapi ini<br />

harus disikapi dengan persiapan dan upaya mitigasi<br />

yang memadai sehingga jumlah korban dapat<br />

diminimalisasi. Artikel ini membahas bagaimana<br />

Jepang membangun budaya kesiapsiagaan yang<br />

dirintis agar menjadi bagian dalam kehidupan<br />

masyarakat. Pendekatan kultural berbasis local<br />

knowledge di tiap-tiap daerah sangat dominan<br />

setelah tsunami tahun 1896 sampai tsunami<br />

tahun 1933. Kemudian, intervensi prasarana fisik<br />

diperkenalkan setelah tahun 1933 dan menjadi<br />

dominan setelah tsunami Chili tahun 1060. Integrasi<br />

dari keseluruhan perangkat untuk mendukung<br />

sistem peringatan dini tsunami dimodernisasi<br />

setelah tsunami Okushiri tahun 1993. Unsur edukasi<br />

diperkuat khususnya untuk anak-anak dalam<br />

Teks ABDUL MUHARI<br />

Asst. Peneliti/Mhs S-3<br />

Tsunami Engineering Laboratory<br />

International Research Center for Disaster Sciences<br />

(IRIDeS)<br />

Tohoku University, Jepang<br />

Foto ABDUL MUHARI & LILIK KURNIAWAN<br />

MENUJU ‘ZERO CASUALTY’<br />

53


54 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Harmoni<br />

sepuluh tahun terakhir sebelum tsunami 2011.<br />

Keseluruhan upaya ini bermuara pada satu tujuan<br />

akhir yaitu meningkatnya kemampuan masyarakat<br />

untuk evakuasi dari waktu ke waktu. Evaluasi<br />

ini akan menjadi penutup di akhir tulisan untuk<br />

memperlihatkan sudah sedekat apa Jepang dengan<br />

kondisi zero casualty.<br />

Sejarah berulang disaat kesiapsiagaan<br />

berkurang<br />

Kawasan Tohoku (=north-east) mungkin<br />

dihampiri oleh tsunami lebih sering dibanding daerah<br />

lain di dunia. Secara umum, periode ulang tsunami<br />

di kawasan ini berkisar antara 30 – 50 tahun. Waktu<br />

yang tidak lebih dari dua generasi. Dalam kurun<br />

waktu yang relatif singkat tersebut, pengetahuan<br />

lokal yang dituliskan di shrine (temple), samurai,<br />

monumen maupun cerita turun-temurun seharusnya<br />

belum terganggu oleh distorsi informasi lintas<br />

generasi. Akan tetapi, keterbatasan pengetahuan<br />

sebelum sains kegempaan berkembang menjadi<br />

hambatan dalam mempersiapkan diri dari tsunami.<br />

Empat puluh tahun sebelum tsunami tahun<br />

1896 (Great Meiji Sanriku tsunami), pesisir Tohoku<br />

dihantam oleh tsunami yang dibangkitkan oleh<br />

gempa dengan kekuatan 8 Mw di selatan Hokkaido<br />

tahun 1856. Pengalaman dengan tsunami yang<br />

didahului oleh gempa yang kuat menjadi patokan<br />

para survivor ketika tsunami tahun 1896 terjadi. Akan<br />

tetapi, karekteristik antara dua gempa ini sangat<br />

berbeda. Gempa tahun 1896 terasa sangat pelan/<br />

berayun sehingga sangat sedikit masyarakat yang<br />

evakuasi. Akibatnya, tsunami dengan ketinggian<br />

mencapai 38.2 meter menghancurkan 45% bangunan<br />

dan menewaskan tidak kurang dari 20% (21.544 dari<br />

total 106.100) penduduk yang bermukim di daerah<br />

bencana. Hal yang sama dialami oleh penduduk di<br />

Kepulauan Mentawai. Getaran saat gempa 8.4 Mw<br />

menghantam Bengkulu tahun 2007 terasa sangat<br />

kuat di Pagai Selatan, akan tetapi tsunami yang<br />

datang sangat kecil. Berkaca dari pengalaman ini,<br />

masyarakat yang belum terjangkau oleh sistem<br />

peringatan dini tidak menyangka tsunami besar<br />

akan menyusul gempa ‘lemah’ tahun 2010. Akan<br />

tetapi tsunami dengan ketinggian mencapai 14<br />

m menewakan 546 orang dan menghancurkan<br />

setidaknya 517 rumah di pulau tersebut.<br />

Belajar dari dua kondisi sebelumnya, respon<br />

masyarakat Jepang 37 tahun berikutnya menjadi<br />

lebih baik ketika gempa dengan kekuatan 8.4 Mw<br />

kembali menghantam daerah yang sama (The Great<br />

Showa Sanriku tsunami). Meskipun terjadi pukul<br />

2.30 dini hari waktu setempat, getaran gempa yang<br />

sangat kuat membuat penduduk berhamburan<br />

dan evakuasi ke daerah yang lebih tinggi. Hasilnya,<br />

‘hanya’ 1.7% dari total penduduk di daerah inundasi


tsunami (2.974 dari total 166.810) tewas meskipun<br />

tsunami dengan ketinggian 28.2 m menghancurkan<br />

lebih dari 20% bangunan di daerah bencana.<br />

Perulangan kejadian tsunami dalam waktu<br />

singkat dengan karakteristik yang berbeda-beda<br />

ini kemudian mendorong pemerintah Jepang<br />

untuk mulai membangun beragam prasarana fisik<br />

disamping penguatan edukasi untuk memimalisasi<br />

dampak tsunami. Relokasi penduduk, peninggian<br />

Kondisi Kota Onagawa-Perfectur Tohogu 1 tahun setelah<br />

dihantam Tsunami.<br />

daratan di pesisir, pembangunan tembok laut/tanggul<br />

pantai, penanaman hutan pantai dan pembangunan<br />

jalur evakuasi dilakukan hampir di semua kota pantai<br />

di kawasan Tohoku. Disamping itu, menyadari bahwa<br />

tsunami bisa datang kapanpun baik siang atau<br />

malam, masyarakat memahami bahwa evakuasi<br />

tidak harus bersama-sama. Keselamatan mutlak<br />

menjadi tanggung jawab masing-masing. Setiap<br />

orang harus evakuasi ke tempat yang lebih tinggi<br />

MENUJU ‘ZERO CASUALTY’<br />

55


56 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Harmoni<br />

untuk memastikan keselamatan dirinya sendiri.<br />

Dari sini muncul kearifan lokal yang disebut dengan<br />

‘tsunami tendenko’. Kata ini berarti segera lari ke<br />

tempat tinggi ketika terjadi tsunami, selamatkan diri<br />

sendiri dan jangan memikirkan orang lain. Pengertian<br />

utama yang melandasi pemahaman ini adalah, jika<br />

semua orang mengerti bahwa mereka harus evakuasi<br />

ketika terjadi tsunami, maka jika ada anggota<br />

keluarga yang terpisah saat evakuasi, anggota<br />

keluarga yang lain akan berfikir positif ‘pasti dia telah<br />

evakuasi di tempat lain.’ Hal ini akan mengurangi<br />

perilaku alamiah untuk menjemput anggota keluarga<br />

yang lain sebelum melakukan evakuasi. Perilaku yang<br />

membuat waktu evakuasi akan semakin sempit dan<br />

tidak jarang berujung pada makin banyaknya jumlah<br />

korban.<br />

Ujian dari beragam upaya mitigasi tersebut<br />

datang tahun lalu. Gempa dengan kekuatan 9.0 Mw<br />

diikuti oleh tsunami dengan ketinggian maksimum<br />

42 meter. Hasilnya? Tsunami menghancurkan lebih<br />

dari 66% bangunan termasuk diantaranya 112<br />

tempat evakuasi. Akan tetapi, korban jiwa di kawasan<br />

Tohoku ‘hanya’ 5.6% (9.598) dari total penduduk<br />

(170.271) yang bermukim di daerah landaan tsunami.<br />

Jika dilihat lebih dalam di data di tiap-tiap daerah,<br />

pada umumnya penduduk yang menjadi korban<br />

dalam tsunami 2011 adalah penduduk pendatang<br />

atau anggota keluarga dari penduduk asli yang<br />

membangun pemukiman di daerah yang sebelum<br />

1933<br />

pernah dihantam oleh tsunami. Pengabaian fakta<br />

sejarah serta anggapan bahwa prasarana fisik yang<br />

ada mampu menjamin keselamatan mengakibatkan<br />

berkurangnya kewaspadaan yang berujung pada<br />

malapetaka. Gambar 1 memperlihatkan contoh<br />

perulangan bencana yang sama di tempat yang<br />

persis sama. Saat Kota Kojirahama luluh lantak<br />

disapu tsunami tahun 1933, hanya pemukiman<br />

yang direlokasi setelah tsunami tahun 1896 yang<br />

selamat dari terjangan tsunami (inset kotak berwarna<br />

kuning). Upaya peninggian daerah pemukiman<br />

dan membangun jalur evakuasi dilakukan saat<br />

rekonstruksi. Saat itu, daerah yang hancur hanya<br />

boleh dibangun untuk rumah sementara atau gudang<br />

penyimpanan alat-alat penangkap ikan. Akan tetapi<br />

seiring berjalannya waktu, penduduk pendatang<br />

mulai membangun pemukiman di daerah yang<br />

dulu hancur oleh tsunami. Meskipun pemerintah<br />

kemudian membangun tembok laut dengan<br />

ketinggian 12 meter, pemukiman ini tetap hancur<br />

akibat tsunami yang datang tahun 2011 mencapai<br />

ketinggian 24 meter. Sekali lagi, hanya pemukiman<br />

yang direlokasi seratus tahun yang lalu selamat<br />

dari terjangan tsunami kali ini (inset kotak kuning di<br />

gambar tahun 2011 - Gambar 1).<br />

Progres dalam proses evakuasi<br />

Pengalaman tsunami tahun 2011 menunjukkan<br />

masih banyak yang harus dibenahi agar<br />

GAMBAR 1. Mitigasi struktur<br />

yang dilakukan di Desa<br />

Kojirahama setelah tsunami<br />

tahun 1933. Rumah dalam<br />

inset kotak berwarna kuning<br />

di gambar paling atas adalah<br />

rumah yang direlokasi setelah<br />

tsunami tahun 1896. Rumahrumah<br />

tersebut selamat dari<br />

tsunami tahun 1933 dan juga<br />

selamat dari tsunami tahun<br />

2011.<br />

Peninggian lahan untuk<br />

pemukiman yang dilakukan<br />

di desa yang sama tahun 1934.<br />

(paling kiri)<br />

Jalan yang dibangun sebagai<br />

jalur evakuasi dari pantai ke<br />

lokasi pemukiman di daerah<br />

ketinggian yang baru.


kesiapsiagaan makin baik di masa mendatang.<br />

Untuk itu, penting untuk mengetahui sudah sampai<br />

di tingkat apa kesiapsiagaan tersebut berhasil<br />

dibangun, terutama dalam hal evakuasi. Salah<br />

satu indikator evaluasi dari proses evakuasi yang<br />

dilakukan masyarakat adalah membandingkan<br />

jumlah korban dengan jumlah bangunan yang hancur<br />

akibat tsunami. Jika angka yang dihasilkan besar,<br />

bisa disimpulkan masyarakat tidak- atau kesulitan<br />

dalam melakaukan evakuasi. Dengan kata lain,<br />

masyarakat masih berada dalam rumah/bangunan<br />

ketika tsunami datang. Begitu juga sebaliknya, jika<br />

perbandingan ini menghasilkan angka yang kecil<br />

berarti masyarakat sudah meninggalkan rumah/<br />

bangunan untuk evakuasi. Kompilasi dari rata-rata<br />

jumlah korban per-bangunan yang tersapu tsunami<br />

di tiga kejadian (1896, 1933 dan 2011) untuk daerah<br />

Tohoku ternyata memperlihatkan trend semakin<br />

menurun (Gambar 2). Artinya, meskipun tsunami<br />

yang terjadi lebih besar khususnya tahun 2011,<br />

kesiapsiagaan masyarakat cenderung makin baik.<br />

Banyaknya bangunan yang hancur tidak serta merta<br />

membuat angka korban jiwa menjadi melonjak naik.<br />

Ini mengindikasikan bangunan yang hancur tersebut<br />

telah ditinggal kosong penghuninya untuk evakuasi.<br />

2001<br />

Lokasi di daerah dekat pantai<br />

(yang sebelumnya kosong<br />

setelah tsunami 1933) tetapi<br />

kembali dihuni oleh para<br />

pendatang.<br />

2011<br />

Hal tersebut tentu<br />

tidak bisa dilepaskan<br />

dari proses panjang<br />

mengenali, mempelajari<br />

dan mempersiapkan diri<br />

menghadapi tsunami.<br />

Mungkin masih perlu<br />

puluhan tahun menuju<br />

zero casualty, tetapi<br />

penting untuk selalu<br />

dievaluasi sudah sejauh<br />

apa kita berusaha untuk<br />

memperkecil jarak<br />

dengan kondisi ideal<br />

tersebut.<br />

Kehancuran di daerah dekat pantai (daerah yang sebenarnya<br />

dikosongkan) walaupun telah dibangun tembok laut utk<br />

melindungi daerah tersebut.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Gempa dengan kekuatan<br />

9.0 Mw diikuti oleh<br />

tsunami dengan ketinggian<br />

maksimum 42 meter dan<br />

hancurkan lebih dari 66%<br />

bangunan, diantaranya 112<br />

tempat evakuasi. Tetapi,<br />

korban jiwa di Tohoku<br />

‘hanya’ 5.6% (9.598) dari<br />

total penduduk (170.271)<br />

yang berada pada kawasan<br />

tsunami. Dilihat pada data<br />

di tiap-tiap daerah, pada<br />

umumnya penduduk yang<br />

menjadi korban dalam<br />

tsunami 2011 adalah<br />

penduduk pendatang yang<br />

membangun pemukiman<br />

di daerah yang sebelumnya<br />

pernah dihantam tsunami.<br />

Rata-rata jumlah korban<br />

per-bangunan yang tersapu<br />

tsunami di 3 kejadian (1896,<br />

1933 dan 2011) untuk daerah<br />

Tohoku menunjukan tren<br />

semakin menurun.<br />

GAMBAR 2. Perbandingan jumlah rata-rata korban di tiap<br />

bangunan dari tiga kejadian tsunami terbesar di wilayah Tohoku<br />

sejak tahun 1896.<br />

MENUJU ‘ZERO CASUALTY’<br />

57


58 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Jagat Kita<br />

BENCANA DALAM<br />

PERSPEKTIF ISLAM<br />

Teks KURNIAWAN ZULKARNAIN<br />

Foto DOK. BNPB<br />

3 Beginilah keadaan<br />

Masjid Raya Baiturrahman,<br />

Banda Aceh (NAD) setelah<br />

mengalami gempa dan<br />

tsunami pada 26 Desember<br />

2004.<br />

DALAM sepuluh tahun terakhir, Indonesia dilanda oleh<br />

serangkaian bencana yang datang silih berganti. Mulai dari<br />

guncangan gempa yang disusul tsunami menerjang Nangroe<br />

Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias-Sumatra Utara<br />

pada tanggal 24 Desember 2004. Provinsi Daerah Istimewa<br />

Yogjakarta (DIY) dan sebagian sebagian Jawa-Tengah pada<br />

tanggal 26 Mei 2006 diguncang gempa bumi dan banyak<br />

daerah lainnya yang dilanda bencana banjir, tanah longsor,<br />

kecelakaan laut dan juga letusan gunung berapi.


Serangkaian bencana itu telah menelan ratusan<br />

ribu korban jiwa manusia dan ratusan triyun<br />

rupiah kerugian harta benda. Kehilangan<br />

sanak keluargan dan harta benda telah menimbulkan<br />

luka yang mendalam bagi yang ditinggalkan.<br />

Bencana juga telah memundurkan investasi<br />

pembangunan yang dengan susah payah dilakukan.<br />

Untuk mengurangi resiko bencana bahkan<br />

menekan risiko bencana sampai titik nol, Umat<br />

Islam seyogyanya kembali pada rujukan utamanya<br />

yakni Al-Qur’an dan Hadist. Rujukan utama yang<br />

didalamnya terdapat petunjuk dan berupa kisah para<br />

nabi dan umat dimasa lalu dalam lintasan sejarah.<br />

Petunjuk dan kisah tersebut dijadikan rujukan dan<br />

pelajaran dalam menangulangi bencana.<br />

Bencana dalam Perpektif Al-Qur’an<br />

Sekurang-kurangnya terdapat dua istilah<br />

yang sering dibicarakan oleh umat Islam ketika<br />

menghadapi bencana.Dua istilah tersebut memang<br />

terdapat dalam al-Qur’an yakni istilah mushîbah dan<br />

balâ’.<br />

Kata musibah berasal dari bahasa Arab,yang<br />

berarti “sesuatu yang menimpa atau mengenai”,<br />

yang kemudian pengertiannya lebih dikhususkan<br />

untuk bencana. Musibah, sebagaimana diungkapkan<br />

dalam al-Qur’an, merupakan suatu kejadian atau<br />

peristiwa yang menimpa karena ulah manusia dan<br />

terjadi atas izin Allah [QS. asy-Syura: 30] dan ” [QS.<br />

at-Taghabun: 11]. Musibah atau bencana dihadirkan<br />

3 Suasana sebuah pedesaan yang sempat diabadikan dari udara<br />

setelah tsunami melanda Mentawai, Sumatra Barat pada 26<br />

Oktober 2010 lalu.<br />

oleh Tuhan sebagai peringatan kepada umat<br />

manusia, agar tidak membuat kerusakan baik di<br />

daratan maupun dilautan [QS.Ar-Rum: 41].<br />

Sementara kata balâ’, pada dasarnya berarti<br />

nyata/tampak,seperti firman Allah yang artinya<br />

““Pada hari dinampakkan segala rahasia.” [QS. ath-<br />

Thariq: 9]. Sesuatu bencana disebut balâ’, karena<br />

dengan bencana tersebut dapat menampakkan<br />

kualitas keimanan seseorang. Atau dengan kata<br />

lain, balâ’ juga diartikan dengan ujian, sehingga<br />

dengan adanya bencana tersebut dapat menguji<br />

mana yang beriman dan mana yang tidak. Balâ’<br />

(ujian) adalah keniscayaan hidup. Balâ’dilakukan<br />

Allah, tanpa keterlibatan manusia yang diuji dalam<br />

menentukan cara dan bentuk ujian tersebut.<br />

Yang menentukan cara, waktu, dan bentuk ujian<br />

adalah Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya [QS<br />

al-Mulk: 40 ] (Dia) Yang menciptakan mati dan<br />

hidup, supaya dia menguji kamu (melakukan bala’),<br />

siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.<br />

Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”<br />

[QS. al-Mulk: 2]<br />

Uraian diatas menjelaskan bahwa bencana<br />

dalam perspektif Al-Qur’an adalah musibah yang<br />

disebabkan oleh ulah manusia atas izin Allah.<br />

Selanjutnya, bencana atau musibah tersebut<br />

sebagai ujian atas kualitas keimanan seseorang<br />

dan peringatan bagi mereka yang berbuat<br />

kerusakan baik didaratan maupun dilautan.<br />

Jenis-Jenis Bencana dalam Al-Qur’an<br />

Al-Qur’an telah menunjukkan berbagai<br />

bencana yang pernah terjadi dimasa lalu. Bencana<br />

itu antara lain bencana alam, bencana non alam<br />

serta bencana kemanusiaan. Di antara bencana<br />

alam yang pernah dijelaskan al-Qur’an antara lain<br />

adalah banjir, topan, dan gempa.<br />

1. Banjir dan Topan<br />

Dalam al-Qur’an istilah banjir disebutkan<br />

dengan istilah al-sail yang digunakan untuk<br />

menunjukkan air yang melanda manusia.<br />

Selain itu istilah banjir juga digunakan<br />

BENCANA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN<br />

59


60 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Jagat Kita<br />

3 Sisa-sisa keganasan banjir bandang yang menerjang<br />

kabupaten Pidie, NAD.<br />

dengan istilah thûfân. Kata thûfân adalah<br />

segala peristiwa atau kejadian yang meliputi/<br />

mengepung. Maka banjir juga disebut dengan<br />

thûfân karena air yang datang waktu itu<br />

memang mengepung manusia.<br />

Selanjutnya, al-Qur’an menginformasikan<br />

pula bahwa umat Nabi Nuh dilanda banjir<br />

yang sangat dahsyat, dalam surat [QS. Hud:<br />

42] digambarkan bahwa gelombang pada<br />

waktu itu menyerupai sebuah gunung, untuk<br />

menggambarkan betapa dahsyat bencana<br />

banjir kala itu diawali dengan guncangan<br />

gempa. Bencana banjir juga menimpa umat<br />

Nabi Musa yang menyombongkan diri dan<br />

ingkar pada Tuhan. Digambarkan bahwa<br />

banjir disertai cuaca dingin [QS. al-A’raf: 133].<br />

Selanjutnya, bencana banjir juga mengepung<br />

Kerajaan Saba sebuah negeri yang subur,tetapi<br />

penduduk berpaling dari nikmat Tuhan[QS al-<br />

Saba: 16].<br />

2. Gempa<br />

Dalam al-Qur’an, gempa disebut dengan<br />

istilah rajfah. Kata rajfah atau rajf adalah<br />

bahasa Arab yang artinya goncangan yang<br />

sangat dahsyat. Kata ini dipakai pula untuk<br />

berbagai goncangan baik di darat maupun<br />

di laut. Di dalam al-Qur’an penggunaan kata<br />

rajfah ini ada yang menunjukkan makna<br />

gempa. Ada pula yang bermakna goncangan<br />

dahsyat yang ada kaitannya dengan huru-hara<br />

kiamat.<br />

Terdapat beberapa bencana yang diabadikan<br />

oleh al-Qur’an seperti bencana gempa yang<br />

pernah menimpa umat Nabi Shaleh (Tsamud)<br />

dan umat Nabi Syu’aib (Madyan) serta umat Nabi<br />

Musa. Adapun gempa yang menimpa umat Nabi<br />

Shaleh [QS. al-A’raf: 77-78] karena mereka ingkar<br />

terhadap ajaran yang dibawa Nabi Saleh bahkan<br />

menuduh sebagai pembohong dan sombong.<br />

Disamping itu, bencana gempa juga menimpa<br />

umat Nabi Musa, juga karena ingkar terhadap<br />

kebenaran [al-A’raf: 155].<br />

3 Masjid Ngepringan-Cangkringan Sleman Yogyakarta.<br />

3. Angin Badai<br />

Angin di dalam bahasa Arab disebut<br />

dengan al-rîh,dalam al-Qur’an kata tersebut<br />

menunjukkan angin yang membawa rahmat<br />

dan ada pula untuk menunjukkan angin yang<br />

membawa bencana. Selain itu, dalam QS Fushilat<br />

:16 terdapat kata al-Shirr yang menunjukkan<br />

pada pengertian angin yang sangat dingin<br />

yang menusuk tulang-tulang. Al-Qur’an juga<br />

menjelaskan adanya angin badai yang dingin<br />

ini[QS al-Ahzab: 9].<br />

Bencana angin badai pernah menimpa<br />

kaum ‘Ad,sebagaimana dikisahkan dalam [QS<br />

al-Haaqqah: 6-7] “ Adapun kaum ‘Ad maka<br />

mereka telah dibinasakan dengan angin yang<br />

sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah<br />

menimpakan angin itu kepada mereka selama


3 Bencana angin puting beliung di kabupaten Bondowoso dan<br />

Situbondo, 14 Januari 2011.<br />

tujuh malam dan delapan hari terus menerus;<br />

maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati<br />

bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul<br />

pohon kurma yang telah kosong (lapuk).<br />

Peristiwa angin badai, juga terjadi ketika<br />

perang Khandak/Ahdzab. Di mana pada waktu<br />

itu tentara Islam yang hanya berjumlah 3.000<br />

orang, berperang menghadapi kaum Kafir yang<br />

berjumlah 12.000 tentara. Adapun bentuk<br />

pertolongan Allah waktu itu, salah satunya adalah<br />

lewat angin kencang<br />

yang dingin. Angin<br />

ini menyerang dan<br />

merusak seluruh<br />

perbekalan yang<br />

mereka bawa.<br />

Mengurangi Risiko<br />

Bencana<br />

Pada dasarnya,<br />

bencana adalah hak<br />

Allah,namun manusia<br />

diberi anugrah berupa<br />

akal pikiran dan<br />

pancaindra untuk<br />

berupaya mengurangi<br />

risiko bencana.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Musibah atau bencana<br />

dalam perspektif Islam<br />

merupakan akibat ulah<br />

perbuatan umat manusia.<br />

Bencana banjir, gempa<br />

bumi dan angin badai yang<br />

ditimpakan Tuhan kepada<br />

Umat Nabi-Nabi di masa<br />

lalu merupakan ujian karena<br />

membuat kerusakan di<br />

muka bumi. Umat manusia<br />

yang dibekali akal dapat<br />

melakukan kewajiban dalam<br />

upaya pengurangan risiko<br />

bencana sebagai bagian dari<br />

perintah agama.<br />

Upaya ini dapat dilakukan dengan mengenali<br />

ancaman bencana, mengurangi kerentanan<br />

dan meningkatkan kapasitas masyarakat dan<br />

kelembagaanya serta memilih tindakan agar<br />

ancaman tidak bertemu dengan kerentanan.<br />

Mengacu kepada ajaran agama tentang<br />

bencana, dapat disimpulkan bahwa upaya<br />

BENCANA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN<br />

61


62 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Jagat Kita<br />

mengurangi risiko bencana adalah merupakan<br />

suatu perintah agama. Bahkan wajib hukumnya.<br />

Sekurang-kurangnya dapat dikategorikan ke dalam<br />

fardhu kifayah (jika tidak ada yang melakukan<br />

maka seluruh komunitas ikut bertanggung jawab<br />

dan memikul dosa).<br />

Kisah Nabi Yusuf menyiapkan segala logistic<br />

untuk menghadapi musim kering dan kelaparan<br />

selama tujuh tahun setelah adanya peringatan,<br />

merupakan contoh bahwa Allah menyuruh kita<br />

untuk memitigasi bencana dan bersiaga [QS Yusuf:<br />

43 – 49].<br />

Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda:<br />

“Sekiranya kalian mendengar di suatu negeri terjadi<br />

wabah (penyakit menular) maka jangan seorang pun<br />

memasuki negeri itu, dan bagi orang-orang yang<br />

berada di dalamnya tidak boleh seorang pun keluar<br />

dari padanya”. (HR. Bukhari). Ini bertujuan, agar risiko<br />

atau korban dan kerusakan yang ditimbulkan oleh<br />

bencana bisa ditekan seminimal mungkin dan tidak<br />

merambah secara meluas ke daerah-daerah lain.<br />

Terkait dengan upaya pengurangan risiko<br />

bencana, Pengurus Besar Nahdhatul Ulama<br />

mengadopsi prinsip-prinsip hukum Islam/Fiqh: (1)


3 Gempa bumi yang melanda Papua di distrik Ampimoi, 19 Juni<br />

2010 lalu.<br />

noahsarkresearch.com<br />

Segala upaya dan sarana yang dapat menimbulkan<br />

bencana harus dicegah; (2) Segala upaya dan<br />

sarana yang dapat menghidarkan bencana<br />

harus dilakukan baik yang bersifat fisik maupun<br />

rohani; (3) Sesuatu yang tidak dapat dilakukan<br />

keseluruhannya, jangan ditinggalkan kesemuanya;<br />

(4) Harus diambil pilihan tindakan yang dapat<br />

memperkecil risiko bencana.<br />

Rangkuman<br />

Indonesia merupakan kawasan rawan<br />

bencana, dalam sepuluh tahun terakhir dilanda<br />

oleh berbagai bencana.Bencana tersebut telah<br />

menimbulkan korban jiwa dan harta yang<br />

berdampak pada memundurkan upaya dan hasil<br />

pembanggunan yang dilakukan selama ini.<br />

Musibah atau bencana dalam perspektif al-<br />

Qur’an terjadi akibat ulah manusia atas izin Tuhan<br />

Yang Maka Kuasa. Bencana diturunkan sebagai<br />

peringatan agar umat manusia tidak membuat<br />

kerusakan di muka bumi baik di daratan maupun<br />

di lautan.<br />

Berbagai musibah atau bencana yang<br />

menimpa umat Nabi-Nabi dimasa lalu<br />

sebagaimana digambarkan al-Qur’an merupakan<br />

pelajaran bagi umat manusia sekarang ini. Gempa,<br />

Banjir dan Topan/Tsunami adalah jenis-jenis<br />

bencana yang telah menimbulkan banyak korban.<br />

Upaya pengurangan risiko bencana dalam<br />

pandangan Islam merupakan fardhu kifayah.<br />

Terdapat sejumlah ayat al-Qur’an, hadits serta<br />

kisah-kisah datangnya bencana sebagai motivasi<br />

religius dan pembelajaran bagi upaya pengurangan<br />

risiko bencana.<br />

2 Di daerah pegunungan Agri atau gunung Ararat, Turki<br />

Timur inilah disinyalir perahu Nabi Nuh yang dahulu digunakan<br />

untuk mengangkut makhluk yang ada di muka bumi ini<br />

agar terselamat dari banjir yang maha dahsyat ditemukan oleh<br />

para ilmuwan Cina dan Turki.<br />

BENCANA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN<br />

63


64 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Gagasan<br />

KRT ADIKOESOEMO PRASETYO:<br />

‘PEMASARAN’ INFORMASI<br />

KEBENCANAAN DAN<br />

PENGURANGAN RISIKO<br />

BENCANA<br />

BENCANA letusan Merapi memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang<br />

pentingnya koordinasi dan sistem komunikasi informasi bencana yang dapat<br />

diandalkan. Absennya kedua faktor tersebut menjadi penyebab banyaknya<br />

korban yang jatuh saat bencana ini melanda pada 2010. Bagaimana seharusnya<br />

sistem informasi yang ideal untuk mengurangi risiko bencana? Berikut wawancara<br />

ZeroRisk dengan Pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) KRT<br />

Adikoesoemo Prasetyo.<br />

Teks & Foto EKA ARIOS<br />

Berdasar pengalaman, seperti saat erupsi Merapi, salah satu kendala<br />

terbesar penanganan bencana adalah koordinasi. Tidak jelas siapa melakukan<br />

apa. Sistem informasi kebencanaan itu idealnya seperti apa?<br />

Informasi kebencanaan memang bisa dibuat sesempurna mungkin sepanjang<br />

posisi pelakunya itu jelas. Faktanya, tidak jelas (pelakunya). Dalam pembuatan<br />

jaring komunikasi itu yang sangat menentukan adalah hubungan langsung<br />

pemegang kebijakan atau pengambil keputusan itu. Sepanjang itu tidak bisa<br />

ditentukan, kita repot. Akhirnya malah terjebak di situ.<br />

Misalnya Merapi. Dalam Merapi, Sultan (Gubernur Daerah Istimewa<br />

Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X), Badan Nasional Penanggulangan<br />

Bencana (BNPB) atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD),<br />

mempunyai otoritas sendiri. Warga menuruti perintah BNPB terpaksa mau,<br />

tapi kalau Sultan yang perintahkan pasti patuh. Jadi, pemegang otoritas juga<br />

mempengaruhi bagaimana memegang jaring komunikasi.<br />

Kalau persoalan teknologi mudah. Dengan interoperable system yang bisa<br />

mengadopsi semua teknologi dari yang kuno sampai yang modern, tidak<br />

masalah. Semua informasi dapat disampaikan dan diterima dalam kondisi sesulit<br />

apa pun.


3 BONGKAR PUING BANGUNAN. KRT Adikusumo, Pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana sedang menunjukkan<br />

alat untuk membongkar puing atau bangunan yang telah runtuh pada sebuah pelatihan tanggap bencana di Depok, Jawa Barat, Senin<br />

(9/7).<br />

Yang penting itu jaring komunikasi siapa bertemu<br />

dengan siapa, siapa komunikasi dengan siapa. Siapa<br />

yang boleh didengar (dituruti), siapa yang tidak perlu<br />

didengarkan. Itu yang agak berat.<br />

Menurut Bapak, terobosan apa yang perlu<br />

dilakukan untuk melancarkan jaring komunikasi?<br />

Gampang-gampang susah. Biasanya otoritas<br />

setempat punya kepentingan tidak mudah kita bisa<br />

terobos. Agak sulit.<br />

Bukankah dalam kondisi darurat semua itu bisa<br />

diterobos?<br />

Logikanya demikian. Pemerintah daerah (pemda)<br />

tidak punya uang yang pasti dan bisa langsung<br />

dicairkan saat bencana. Dana Alokasi Umum (DAU)<br />

lebih banyak dipakai untuk biaya operasional<br />

kebencanaan. Saat terjadi bencana, pemda tidak<br />

bisa seketika mengucurkan dana siap pakai atau dana<br />

tanggap darurat karena prosesnya harus melalui<br />

DPRD dan cukup lama. Sedangkan, BNPB bisa<br />

melakukan itu dengan cepat. Namun, kepentingan<br />

otoritas di daerah juga tidak bisa disepelekan.<br />

Belum lagi, kepentingan otoritas di daerah didukung<br />

kearifan lokal yang sangat sulit untuk kita masuki<br />

celahnya.<br />

Saat ada bencana, siapa berperan apa?<br />

Menurut Undang-Undang, ujung tombak<br />

penanganan bencana adalah pemerintah kabupaten/<br />

kota setempat. Provinsi hanya membantu. Kalau<br />

dua jenjang pemerintahan ini tidak sanggup, baru<br />

diserahkan kepada BNPB.<br />

Soal pembiayaan menjadi tanggung jawab<br />

kabupaten dan provinsi. BNPB hanya menambahkan<br />

kekuranggannya. Masalahnya, semua daerah<br />

tidak mau menganggarkan dari DAU, hanya<br />

mengandalkan BNPB.<br />

GAGASAN - KRT ADIKOESOEMO PRASETYO<br />

65


66 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Gagasan<br />

Memang harus dianggarkan dari DAU?<br />

Ya. Minimal 10%. Tetapi pada kenyataannya<br />

daerah tidak mau. Pemda hanya mau<br />

menganggarkan untuk pra-bencana saja. Tapi<br />

anggaran untuk tanggap darurat pasca bencana tidak<br />

ada.<br />

Bagaimana seharusnya komunikasi berperan<br />

dalam upaya mitigasi agar informasi cepat sampai<br />

ke warga dan para pemangku kepentingan demi<br />

memperkecil risiko bencana?<br />

Upaya memperkecil risiko bencana sebenarnya<br />

kepada masyarakat. Paling tidak informasi harus<br />

benar-benar sampai ke masyarakat luas. Karena,<br />

daerah rawan bencana di Indonesia mayoritas daerah<br />

yang tidak terjangkau baik secara transportasi<br />

maupun komunikasi. Informasi tidak sampai<br />

ke masyarakat karena salah pemilihan sarana<br />

penyampaian informasi.<br />

Seharusnya pakai media apa?<br />

Ada pernyataan, kalau pakai radio rasanya<br />

tidak gagah, dianggap kuno. Padahal, di kampung<br />

itu, orang bertani bawa transitor (radio). Yang<br />

didengarkan bukan dangdut, tapi dongeng. Di daerah<br />

yang sulit terjangkau teknologi komunikasi, radio<br />

lebih banyak digunakan. Itu celah yang tidak pernah<br />

digali. Media radio itu harus dimanfaatkan. Melalui<br />

metode sandiwara radio, gunakan bahasa yang bisa<br />

dimengerti masyarakat setempat. Yang penting<br />

informasinya sampai dan masyarakat mengerti. Alat<br />

pengendalinya memang harus yang canggih, namun<br />

untuk menjangkau masyarakat cukup dengan radio.<br />

Metode penyampaiannya?<br />

Kalau mau mengurangi risiko bencana, kiatnya<br />

adalah seperti orang menjual produk. “Silakan<br />

pakai, percaya pada saya.” Pasarkan terus-menerus.<br />

Perdengarkan terus informasi. Dan cara itu harus<br />

digunakan pemerintah sampai di tingkat kabupaten/<br />

kota. Kenyataannya saat ini kita justru cenderung<br />

menyewa NGO (non-government organization) asing.<br />

Bagaimana implementasi penyampaian<br />

informasi kebencanaan dan pengurangan risiko<br />

bencana di daerah?<br />

Keharusan untuk setiap daerah melakukan<br />

pengurangan risiko bencana sudah ada. Hanya,<br />

implementasinya kurang baik. Seharusnya


seperti itu tadi, daerah ini cocoknya diperlakukan<br />

seperti ini. Seharusnya seperti orang menjalankan<br />

marketing. Bagaimana pengurangan risiko bencana<br />

ini dipasarkan. Pengurangan risiko bencana itu<br />

perlu pemahaman, baik oleh masyarakat maupun<br />

pejabatnya.<br />

3 INTEROPERABLE SYSTEM. KRT Adikusumo, Pengarah<br />

Badan Nasional Penanggulangan Bencana tengah menunjukkan<br />

interoperable system. Alat tersebut dapat digunakan untuk<br />

mengirim ke dan menerima pesan dari segala jenis alat<br />

komunikasi. Alat ini sangat efektif membantu sistem informasi<br />

dan komunikasi dalam darurat bencana.<br />

GAGASAN - KRT ADIKOESOEMO PRASETYO<br />

67


68 ZERORISK • Vol. Vol. 01 • Agustus 2012 2012<br />

Gagasan<br />

Apa sekarang pejabat masih kurang paham<br />

soal penyebaran informasi untuk pengurangan<br />

risiko bencana?<br />

Makanya mitigasi ada dua. Mitigasi untuk calon<br />

korban, dan mitigasi untuk pemangku kepentingan.<br />

Pemangku kepentingan perlu dimitigasi juga,<br />

karena seringkali mereka tidak paham mengenai<br />

pengurangan risiko bencana.<br />

Lalu bagaimana membangun pemahaman<br />

kepada pejabat?<br />

Harus berani tidak populer. Dan satu langkah<br />

nyata, bagaimana membuat masyarakat paham<br />

degan menggunakan bahasa yang mereka mengerti.<br />

Pada kenyataannya, seringkali terjadi pembuatan<br />

kegiatan itu berorientasi pada proyek dan bukan<br />

pada misi kemanusiaan. Akhirnya, komunikasi itu ga<br />

nyambung. Sehingga pengurangan risiko bencana<br />

akhirnya hanya sebatas retorika.<br />

Jika Bapak punya daya, apa yang akan<br />

dilakukan untuk pengurangan risiko bencana?<br />

Pengurangan risiko bencana itu harus dikelola<br />

secara bisnis pemasaran. Kalau pengurangan risiko<br />

bencana adalah produk, saya ini jualan produk<br />

keselamatan yang sangat diperlukan masyarakat.<br />

Untuk mendapatkan itu masyarakat tidak perlu<br />

membayar, kalau perlu saya yang bayar, dengan<br />

tidak meninggalkan kearifan lokal. Dengan begitu,<br />

masyarakat pasti patuh. Sederhana. Tidak usah<br />

tinggi-tinggi.<br />

Seberapa sulit mensosialisasikan pengurangan<br />

risiko bencana?<br />

Sulit. Sulit sekali. Orang tahunya hanya filosofi<br />

kalau tidak mau mati, jangan tinggal di pinggir<br />

3 PRAKTIK KOMUNIKASI KEBENCANAAN. Seorang peserta pelatihan tengah praktik menggunakan alat interoperable system<br />

pada sebuah pelatihan tanggap bencana di Depok, Jawa Barat, Senin (9/7).


pantai. Seharusnya dicari apa yang menyebabkan dia<br />

tinggal di pinggir pantai, kemudian dicari solusinya<br />

untuk menghindari dan mengurangi risiko bencana.<br />

Informasi sebagai subsistem dari koordinasi.<br />

Kira-kira kesulitan yang paling mendasar antara<br />

hardware (alat), software (kebijakan) dan<br />

manpower (kekuatan manusia) mana yang paling<br />

sulit?<br />

Yang paling lemah man power-nya. Kalo hardware<br />

dan software bisa mengikuti.<br />

Itu karena apa?<br />

Permasalahannya ini sangat kompleks. Antara<br />

kesukaan nahkodanya (pejabat berwenang, red).<br />

Nahkodanya bagus, tapi kesukaannya tidak yang<br />

akhirnya berpengaruh pada bawahannya. Semakin<br />

lama efeknya makin besar. Akhirnya pada tahun<br />

kelima, aparatnya sudah rusak semua. Di mana-mana<br />

keliru.<br />

Apa itu bukan bagian dari pembelajaran?<br />

Untuk pembelajaran terlalu mahal. Terlalu banyak<br />

korban. Baik dari anggaran dan waktu.<br />

Dari segi alat, apakah Indonesia sudah memiliki<br />

fasilitas yang memadai untuk sistem komuniasi<br />

informasi kebencanaan?<br />

Kita sudah punya tiga unit inter-operable<br />

system.Alat itu tidak kenal jenis pancaran. Pesan<br />

dari mana saja, menggunakan pesawat telepon,<br />

radio, selular transmisi pesawat terbang atau kapal<br />

laut, semua bisa diterima. Tidak ada batas. Alat ini<br />

mengintegerasi semua jenis pesawat yang ada untuk<br />

bicara bersama. Hebatnya, alat ini bisa terhubung<br />

meski masing-masing pihak bicara pada frekuensi<br />

yang berbeda.<br />

Kapan alat ini dipakai?<br />

Terutama saat terjadi bencana besar. Tujuannya,<br />

kalau saat bencana besar, sistem komunikasi di<br />

daerah setempat kolaps, alat ini mengambil alih<br />

sistem komunikasi sampai dengan sistem komunikasi<br />

daerah yang bersangkutan normal kembali, mulai<br />

berfungsi kembali.<br />

Artinya, komunikasi<br />

yang normal sudah<br />

berjalan. Saat erupsi<br />

Merapi 2010 sudah<br />

dipakai. Beberapa<br />

negara heran karena<br />

Indonesia punya tiga<br />

unit alat ini. Harganya<br />

memang agak tidak<br />

murah, tapi ini investasi,<br />

untuk penanggulangan<br />

bencana.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Kalau mau mengurangi<br />

risiko bencana, kiatnya<br />

adalah seperti orang<br />

menjual produk. “Silakan<br />

pakai, percaya pada saya.”<br />

Pasarkan terus-menerus.<br />

Pengurangan risiko bencana<br />

itu harus dikelola secara<br />

bisnis pemasaran.<br />

Yang penting itu jaring<br />

komunikasi siapa bertemu<br />

dengan siapa, siapa<br />

komunikasi dengan siapa.<br />

Siapa yang boleh didengar<br />

(dituruti), siapa yang tidak<br />

perlu didengarkan. Itu yang<br />

agak berat.<br />

Kalau hardware dan software sudah cukup<br />

baik, mengapa setiap kali terjadi bencana alam<br />

sering memakan banyak korban?<br />

Orangnya yang mengawaki kurang piawai.<br />

Kedua, informasi yang disampaikan tidak<br />

menjangkau calon korban, karena perbedaan bahasa.<br />

Yang sana suka dangdut, diberi jazz.<br />

Dari sisi birokrasi?<br />

Birokrasi juga buruk. Birokrasi rata-rata kurang<br />

transparan dan akuntable serta cenderung korup.<br />

Misalnya, di undang-undang diatur dana kontigensi,<br />

tapi oleh DPR tidak pernah disetujui. Tapi tibatiba<br />

terbit aturan, cuma peraturan kepala badan.<br />

Nama kontigensi ini hanya diganti dengan dana<br />

siaga darurat, masuk dalam dana tanggap darurat.<br />

Padahal, dalam undang-undang, tanggap darurat<br />

itu maksudnya tak lama setelah terjadi bencana.<br />

Penentuan siaga darurat itu berdasar institusi terkait<br />

seperti BMKG.<br />

Sudah ada peraturan Kepala BNPB tentang<br />

sistem informasi?<br />

Belum.<br />

GAGASAN - KRT ADIKOESOEMO PRASETYO<br />

69


70 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Mitra<br />

CAHAYA PUN<br />

MENYALA DI LAMPU<br />

HATI<br />

SEJAK bulan Januari lalu, malam-malam Cimonyong penuh kerlip cahaya. Jauh<br />

lebih kemilau dari sebelumnya, yang berkedip redup dari lampu cempor. Di<br />

beberapa titik, bahkan terlihat benderang.<br />

Teks & Foto KAFIL YAMIN<br />

3 POWER CONTROL.<br />

Dengan menngunakan<br />

alat inilah semua kegiatan<br />

kelistrikan diatur.<br />

Listrik PLN sudah masuk?<br />

Ini pertanyaan sekaligus ungkapan kekagetan orang-orang di kawasan<br />

tersebut. Selama ini PLN belum berhasil menembus kawasan terpencil<br />

itu. Maklum, Cimonyong, Kecamatan Naringgul, dikelilingi perbukitan curam dan<br />

hutan lindung.<br />

Dan memang, listrik PLN belum masuk ke Cimonyong.<br />

Tenaga listrik yang membuat lampu-lampu berkilau itu berasal dari<br />

pembangkit tenaga listrik berskala kecil yang disebut Pembangkit Tenaga Listrik<br />

Mikro Hidro [PLTMH].<br />

Cimonyong beruntung karena diapit dua sungai besar: Cidaun dan Ciogong.<br />

Berkat kedua sungai inilah pertanian di sana mapan. Sebab, irigasi lebih dari cukup<br />

untuk memenuhi kebutuhan. Kedua sungai itu pun menjadi penyangga kehidupan<br />

utama di sana.<br />

Dan sekarang, fungsi sangat penting sungai itu bertambah: sumber tenaga<br />

listrik. Arus sungai inilah yang dimanfaatkan PLTMH – sebuah kolaborasi ideal<br />

perusahaan-LSM-masyarakat.<br />

Pembangkit listrik itu dibangun dengan dukungan dana sebesar Rp 400 juta<br />

dari PLN; teknik dan pengetahuan dari Yayasan Pribumi Alam Lestari; serta tenaga<br />

dan keterampilan dari masyarakat setempat.<br />

Yayasan Pribumi Alam Lestari [YPAL] yang belajar dari pengalaman<br />

membangun sejumlah PLTMH di tempat lain, kali ini menggunakan cara<br />

tersendiri. “Kami membagi PLTMH ini ke dalam 10 unit kecil yang disebut pikohidro.<br />

Unit-unit itu disebar ke 10 kampung. Satu kampung mendapat satu unit,<br />

dan masing-masing kampung itu mengelola pembangkit listriknya masingmasing,”<br />

tutur Ridwan Soleh, pengurus YPAL yang juga pelaksana proyek<br />

tersebut.<br />

Dengan cara ini, pengorganisasian menjadi jauh lebih mudah dan sederhana.<br />

Hanya diperlukan beberapa orang untuk membangun dan mengelola piko-hidro.


Tumbuh pula rasa kepemilikan dan tanggung jawab<br />

kuat dalam mengerjakan dan mengelolanya.<br />

“Warga yang ikut mengerjakan PLTMH ini tak<br />

terlalu berhitung upah, karena mereka merasa<br />

sedang membangun rumahnya sendiri,” kata Ridwan<br />

lagi.<br />

Pada proyek PLTM-PLTMH sebelumnya, apalagi<br />

bila mendengar dukungan ‘dana dari luar’, orang<br />

bekerja untuk uang. “Kesannya, ini proyek,” kata<br />

Ridwan. Setelah selesai, orang-orang merasa proyek<br />

sudah selesai ketika pulang. Dan turbin-turbin yang<br />

dibeli dengan harga puluhan sampai ratusan juta<br />

itu pun hanya terurus 2-3 bulan pertama. Setelah<br />

itu, semua terbengkalai dan tak sedikit yang jadi<br />

rongsokan.<br />

Setiap unit pembangkit listrik di masing-masing<br />

kampung itu manghasilkan 1 Kwh. Sepuluh kampung<br />

yang mendapat pembangkit listrik skala kecil itu<br />

adalah Datar Patat, Tegal Lega, Nagrak, Cipeundeuy,<br />

Kampong Pojok, Lembur Tengah dan Datar Mala.<br />

Dengan menghitung rata-rata satu kampung<br />

terdiri dari 10 sampai 15 rumah, maka satu rumah<br />

3 HIBURAN. Sekarang bisa menikmati Liga Champion.<br />

mendapat 50 watt. Tentu, ini kecil dibanding dengan<br />

di daerah perkotaan.<br />

Karena itu, kendati dampak PTLMH tak begitu<br />

kentara, wajah para penduduk sekarang tampak lain.<br />

“Dulu sebelum ada PLTMH, malu mengaku orang<br />

Cimonyong. Sekarang tidak , malah bangga karena di<br />

Cimonyong sudah masuk TV, ” Kata Taryana, seorang<br />

tokoh pemuda.<br />

“Geus gaul atuh Cimonyong teh ayeuna mah<br />

[Cimonyong sekarang sudah gaul dong],” timpal Iwa ,<br />

pemuda lainnya.<br />

Hati senang terpancar di wajah-wajah warga.<br />

Perubahan yang tak kurang pentingnya terjadi<br />

pada anggapan para eksekutif PLN. Selama ini,<br />

perusahan milik pemerintah tersebut menghindari<br />

pelebaran jaringan ke wilayah beralam berat atau<br />

terpencil, karena pertimbangan biaya dan tenaga.<br />

“Setelah PLTMH Cimonyong berdiri, ternyata kami<br />

CAHAYA PUN MENYALA DI LAMPU HATI<br />

71


72 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Mitra<br />

cukup mendorong dan membantu masyarakat<br />

membangun pembangkit listrik sendiri. Kami tidak<br />

capek dan biaya pun tak besar,” kata Hendra Saleh,<br />

Supervisor CSR PLN Jawa Barat-Banten.<br />

Cimonyong adalah sebuah kawasan<br />

pemukiman di Kecamatan Naringgul, Cianjur<br />

Selatan. Karena terisolir oleh hutan dan<br />

pegunungan, penduduk kampung ini sangat<br />

sulit terlayani jaringan listrik PLN. Akses utama<br />

untuk mencapai kawasan ini hanya dapat dilalui<br />

kendaraan roda dua, atau ojek yang telah terbiasa<br />

bermanuver di atas jalan bebatuan dan tanah --<br />

melewati perbukitan dan lembah yang terjal.<br />

Selama ini, penduduk hanya mengandalkan<br />

pasokan listrik dari pembangkit listrik kincir<br />

tradisional yang mereka buat sendiri, dengan<br />

kapasitas sangat jauh dari kelayakan, meski hanya<br />

untuk penerangan.<br />

4 USAI JUGA. Warga Cimonyong dan Direktur CSR PLN,<br />

Hendra Saleh, melepas penat seusai merampungkan PLTHMH.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

Tiga komponen utama<br />

pembangkit listrik tenaga<br />

mikro hidro adalah air,<br />

turbin, dan generator.<br />

Air yang mengalir dari<br />

ketinggian tertentu<br />

disalurkan menuju turbin.<br />

Di sini, air menumbuk<br />

turbin. Poros turbin yang<br />

berputar menghasilkan<br />

energi mekanik yang<br />

ditransmisikan ke generator<br />

menggunakan kopling. Dari<br />

generator, dihasilkan energi<br />

listrik yang akan masuk ke<br />

sistem kontrol arus listrik<br />

sebelum dialirkan ke rumahrumah.<br />

Daya keluaran dari<br />

PLTMH biasanya lebih<br />

rendah dari 100 Watt.


3 INSTALASI. Seorang warga sedang memasang instalasi<br />

listrik PLTMH Cimonyong.<br />

Selain permukiman menjadi terang, dampak<br />

paling penting adalah lahirnya kebutuhan untuk<br />

menjaga sungai, daerah hulu dan hutan. Para<br />

pegiat lingkungan maupun Pemerintah tak<br />

perlu lagi banyak menyampaikan kuliah tentang<br />

pentingnya menjaga alam. Semua warga sekarang<br />

merasakan langsung nilai penting sungai dan<br />

hutan.<br />

Mereka tahu kalau sungai dan hutan rusak,<br />

kehadiran listrik di kampung mereka pun akan<br />

segera berakhir. Karena itu, sejak pendirian<br />

PTLMH, warga seluruh kampung langsung berbagi<br />

tugas menjaga sungai, hulu dan hutan.<br />

“Ini tak pernah terjadi sebelumnya.<br />

Kesepakatan spontan dan pelaksaan langsung,”<br />

kata seorang tokoh masyarakat setempat.<br />

Bio-gas<br />

Di kawasan lain di Jawa Barat, komitmen PLN<br />

kepada tanggung jawab sosial bertemu dengan<br />

inisiatif masyarakat dan inovasi-inovasi yang<br />

sedang dikembangkan di bidang energi, pertanian,<br />

peternakan. Penduduk Kampung Cihurang, Desa<br />

Cijayana, Kabupaten Garut, sekarang sudah menikmati<br />

aliran listrik dalam waktu dan kapasitas terbatas.<br />

Di tempat ini, aliran listrik bukan dari arus<br />

sungai, melainkan dari gas yang berasal dari kotoran<br />

sapi. Inovasi ini dikembangkan oleh Tim Livestock<br />

Bio-energy Conversion Program (LiBEC), Fakultas<br />

Pertanian Universitas Padjadjaran.<br />

Pun, Kampung Cihurang ditargetkan mejadi<br />

Desa Mandiri Energi. Setelah ini, PLN dan LiBEC akan<br />

menyebarkan inovasi ini ke wilayah-wilayah lain.<br />

Target berikutnya setelah Cihurang adalah Cidaun<br />

Cianjur.<br />

Ir. Sondi Kuswaryan, M.S. , seorang anggota<br />

LiBEC, menjelaskan timnya bersama masyarakat<br />

akan segera membangun kandang ternak umum.<br />

Dengan kandang umum ini terjadi pemusatan limbah<br />

ternak sehingga memudahkan pengelolaan dan<br />

pemanfaatannya.<br />

Kalau PLTMH meniscayakan pemeliharaan sungai<br />

dan hutan, maka bio-gas mengharuskan peternakan<br />

yang konsisten dan berkembang untuk menjaga<br />

pasokan kotoran ternak tetap stabil. Dengan demikian<br />

proyek ini secara langsung akan meningkatkan usaha<br />

peternakan dan pertanian.<br />

Di Jawa Barat saja, menurut Hendra Saleh, PLN<br />

mengeluarkan sedikitnya 1,5 sampai 2 miliar rupiah<br />

pertahun untuk pengembangan energi berbasis<br />

masyarakat.<br />

CAHAYA PUN MENYALA DI LAMPU HATI<br />

73


74 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Aturan Main


PUSDALOPS PB, ANTARA<br />

KEBIJAKAN DAN KEMAMPUAN<br />

Berbagai bencana yang menimpa selama beberapa tahun terakhir telah<br />

menjadikan Indonesia cukup progresif dalam penanggulangan bencana, terutama<br />

dalam aspek Pengurangan Risiko Bencana (PRB).<br />

3 PENGUNGSI. Seorang<br />

warga lereng Merapi kategori<br />

Jompo di pengungsian<br />

Umbulharjo.<br />

Teks BAYU DWI ANGGONO<br />

Foto DWI OBLO<br />

Indonesia telah mempebaharui undang-udang yang mengatur upaya<br />

penanggulangan bencana. Sebelum tahun 2007, peraturan mengenai<br />

penanggulangan bencana masih tersebar secara sektoral dan belum<br />

dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh terhadap upaya<br />

penanggulangan bencana.<br />

Ketiadaan peraturan yang dapat menjadi landasan hukum kuat dalam<br />

penanggulangan bencana boleh jadi merupakan salah satu faktor penyebab<br />

lambatnya upaya pencegahan dan penanganan kejadian bencana di tanah air,<br />

terutama sebelum tahun 2007.<br />

Reformasi perundang-undangan itu ditandai dengan diberlakukannya UU<br />

No 24 /2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta beberapa peraturan<br />

pelaksanaannya.<br />

Lahirnya Undang-Undang Penanggulangan Bencana beserta peraturan<br />

turunannya telah mengubah paradigma penanggulangan bencana di Indonesia.<br />

Penanggulangan bencana tidak lagi menekankan aspek tanggap darurat saja,<br />

tetapi juga pra bencana, saat bencana dan sesudah bencana.<br />

Salah satu hal penting yang diatur dalam UU Penanggulangan Bencana<br />

beserta peraturam turunannya adalah pembentukan Pusat Pengendalian<br />

Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB), sebagai sarana membantu<br />

Kepala Badan Penanggulang Bencana di tingkat pusat dan daerah pada proses<br />

pengambilan keputusan dalam koordinasi, komando dan pelaksanaan PB tahap<br />

pada Pra Bencana, Saat Bencana, Tanggap Darurat dan Pasca Bencana.<br />

Pusdalops PB merupakan Unit organisasi fungsional pada BNPB/BPBD<br />

yang fungsi utamanya adalah menyiapkan fasilitas pengendalian operasi serta<br />

menyelenggarakan sistem informasi, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam<br />

penanggulangan bencana.<br />

Menurut catatan BNPB sejak tahun 2008 hingga sekarang, Indonesia baru<br />

memiliki tujuh Pusdalops PB. Daerah-daerah yang sudah memiliki pusdalops<br />

penanggulangan bencana adalah Aceh, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jambi, Bali,<br />

DI Yogyakarta, dan di Kantor BNPB.<br />

Tujuh Pusdalops PB tentunya masih sangat kurang mengingat banyaknya<br />

PUSDALOPS PB, ANTARA KEBIJAKAN DAN KEMAMPUAN<br />

75


76 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Aturan Main<br />

daerah rawan bencana di Indonesia. Peraturan<br />

menetapkan setiap daerah rawan bencana<br />

memiliki pusdalops. Keberadaan Pusdalops PB di<br />

setiap daerah rawan bencana adalah merupakan<br />

perintah peraturan perundang-undangan,<br />

Namun mahalnya biaya yang diperlukan<br />

untuk membangun dan menyiapkan sarana<br />

prasarana Pusdalops, seperti peralatan teknologi<br />

dan informasi menjadi alasan masuk akal kenapa<br />

Pusdalops sementara ini hanya terbantuk di tujuh<br />

lokasi.<br />

Mengenai aturan tentangt Pusdalops PB diatur<br />

dalam beberapa regulasi yang dapat diuraikan<br />

sebagai berikut:<br />

Pusdalops PB dibentuk untuk mengimplementasikan<br />

beberapa ketentuan dalam UU<br />

Penanggulangan Bencana meliputi pemberian<br />

pedoman dan pengarahan terhadap pencegahan<br />

bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi,<br />

dan rekonstruksi secara adil dan setara.<br />

Undang-undang tersebut juga mengatur<br />

pelaksanaan penanggulangan bencana di daerah<br />

yang mempunyai fungsi: koordinasi, komando dan<br />

pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan<br />

bencana pada wilayahnya.<br />

Perpres No.8/2008 tentang BNPB<br />

Urgensi pembentukan Pusdalops PB oleh<br />

BNPB termuat dalam Pasal 3 yang menjelaskan<br />

BNPB berfungsi merumuskan dan menetapkan<br />

kebijakan penanggulangan bencana dan<br />

penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan<br />

tepat serta efektif dan efisien.<br />

Juga, mengkoordinasikan kegiatan<br />

penanggulangan bencana secara terencana,<br />

terpadu, dan menyeluruh.<br />

Disebutkan pula fungsi koordinasi Pelaksana<br />

Penanggulangan Bencana dilaksanakan bersama<br />

lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah,<br />

lembaga usaha, lembaga internasional dan/<br />

atau pihak lain yang dipandang perlu pada tahap<br />

prabencana dan pascabencana.<br />

“Menurut catatan BNPB<br />

sejak tahun 2008 hingga<br />

sekarang Indonesia<br />

baru memiliki tujuh<br />

PUSDALOPS PB”<br />

Permendagri No 46/2008 dan<br />

pembentukan BPBD<br />

Permendagri No.46 /2008 mengatur tentang<br />

keberadaan Pusdalops PB pada Pasal 19 yaitu Unsur<br />

Pelaksana BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota<br />

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16<br />

dapat membentuk Satuan Tugas. Pasal 15 mengatur<br />

(1) Susunan Organisasi Unsur Pelaksana BPBD Provinsi<br />

terdiri atas: a. Kepala Pelaksana; b. Sekretariat Unsur<br />

Pelaksana; c. Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan;<br />

d. Bidang Kedaruratan dan Logistik; dan e. Bidang<br />

Rehabilitasi dan Rekonstruksi. (2) Sekretariat Unsur<br />

Pelaksana paling banyak 3 (tiga) Subbagian dan<br />

masing-masing Bidang terdiri dari 2 (dua) Seksi.<br />

Pasal 16 Susunan Organisasi Unsur Pelaksana BPBD<br />

Kabupaten/Kota terdiri atas: a. klasifikasi A; dan b.<br />

klasifikasi B.<br />

Dengan demikian Pusdalops PB pada dasarnya<br />

merupakan pelaksana teknis untuk membantu<br />

BNPB/BPBD Provinsi/Kabupaten/Kota dalam<br />

melaksanakan tugasnya yaitu untuk bertindak<br />

cepat dan tepat serta efektif dan efisien dalam<br />

pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana<br />

yang diamanatkan kepada BNPB/BPBD meliputi<br />

fase Pra-bencana (Kesiapsiagaan dan Mitigasi), Saat<br />

Bencana (Tanggap Darurat), dan Pasca-bencana.<br />

Sesuai dengan Pusdalops PB Provinsi/Kabupaten/<br />

Kota, dipimpin oleh seorang Kepala, berada di bawah<br />

dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala<br />

Pelaksana BPBD.<br />

Bagian lampiran Peraturan Kepala BNPB<br />

No.3/2008 menjelaskan dalam melaksanakan<br />

tugasnya, Kepala Pelaksana BPBD wajib membentuk<br />

Satuan Tugas Pusat Pengendalian Operasi termasuk<br />

tugas reaksi cepat (Tim Reaksi Cepat meliputi kaji


cepat dan penyelamatan/pertolongan) dan dapat<br />

membentuk Satuan Tugas lain yang diperlukan<br />

sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Satuan Tugas<br />

bertanggungjawab langsung kepada Kepala Pelaksana<br />

BPBD.<br />

Peraturan Kepala BNPB No.9/2008<br />

Lampiran Perka BNPB Nomor 9 mengatur salah<br />

satu tugas Tim Reaksi Cepat (TRC) BNPB adalah<br />

Membantu Satkorlak PB/BPBD Provinsi/Satlak PB/<br />

BPBD Kabupaten/Kota untuk Mengaktivasi Posko<br />

Satkorlak PB/BPBD Provinsi/Satlak PB/BPBD<br />

Kabupaten/Kota. Pengertian dari mengaktivasi posko<br />

adalah serangkaian kegiatan untuk meningkatkan<br />

kemampuan personil, sarana dan prasarana<br />

Pusdalops menjadi Posko dalam rangka efektifitas<br />

penanganan darurat bencana.<br />

Lampiran Perka BNPB No.10 /2008 mengatur<br />

salah satu tugas dari komandan tanggap darurat<br />

bencana adalah Mengaktifkan dan meningkatkan<br />

Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) menjadi Pos<br />

Komando Tanggap Darurat BPBD Kabupaten/Kota/<br />

Provinsi atau BNPB, sesuai dengan jenis, lokasi dan<br />

tingkatan bencana.<br />

3 DEBU <strong>MERAPI</strong>. Seorang pengendara sepeda motor<br />

melewati jalan yang penuh debu Merapi di sekitar candi<br />

Borobudur.<br />

3 PENDATAAN. Seorang petugas sedang mendata warga di pengungsian Umbulharjo saat letusan Gunung Merapi.<br />

PUSDALOPS PB, ANTARA KEBIJAKAN DAN KEMAMPUAN<br />

77


78 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Solusi<br />

BENANG KUSUT<br />

PEMBENTUKAN BPBD<br />

Pada tanggal 22 Oktober 2008, terbit Pemendagri No 46 Tahun 2008 tentang<br />

Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah.<br />

Satu bulan kemudian, 11 November 2008, keluar Peraturan Kepala Badan Nasional<br />

Penanggulangan Bencana No 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan<br />

Penanggulangan Bencana Daerah (Perka BNPB 3/2008).<br />

Teks DJUNI PRISTIYANTO Foto DOK. BNPB<br />

Perka BNPB 3/2008 ini baru didapat penulis pada tanggal 20 Februari 2009,<br />

sehingga analisis pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah<br />

(BPBD) tidak dapat dilakukan secara bersamaan berdasarkan kedua<br />

peraturan tersebut.<br />

Artikel ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari makalah penulis yang<br />

berjudul Pembentukan BPBD Berdasar Permendagri No. 46 Tahun 2008 tanggal 2<br />

November 2008. Sekarang, pembahasan pembentukan BPBD berdasarkan kedua<br />

peraturan di atas menjadi lebih lengkap.


Apa itu BPBD?<br />

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)<br />

adalah sebuah lembaga khusus yang menangani<br />

penanggulangan bencana (PB) di daerah, baik di<br />

tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Di tingkat<br />

nasional, lembaga itu bernama Badan Nasional<br />

Penanggulangan Bencana (BNPB).<br />

BNPB dan BPBD dibentuk berdasarkan amanat<br />

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Dengan adanya<br />

BNPB, maka lembaga PB sebelumnya, yaitu Badan<br />

Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas<br />

PB) dibubarkan. Ini berimplikasi pada pembubaran<br />

rantai komando/koordinasi Bakornas di daerah<br />

seperti Satuan Koordinasi Pelaksana Penangangan<br />

Bencana (Satkorlak PB) dan Satuan Pelaksana<br />

Penanganan Bencana (Satlak PB).<br />

Berdasarkan undang-undang itu, fungsi BPBD<br />

adalah merumuskan dan menetapkan kebijakan<br />

PB dan penanganan pengungsi dengan bertindak<br />

cepat, tepat, efektif dan efisien, termasuk<br />

mengkoordinasikan kegiatan PB secara terencana,<br />

terpadu, dan menyeluruh.<br />

BNPB dibentuk oleh Pemerintah Pusat sebagai<br />

lembaga non-departemen setingkat menteri,<br />

sementara BPBD dibentuk Pemerintah Daerah. Di<br />

tingkat provinsi, BPBD dipimpin seorang pejabat<br />

setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon<br />

Ib dan di tingkat kabupaten/kota BPBD dipimpin<br />

seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota<br />

atau setingkat eselon IIa.<br />

Pejabat setingkat eselon Ib di tingkat provinsi dan<br />

pejabat setingkat eselon IIa di tingkat kabupaten/<br />

kota adalah setara dengan Sekretaris Daerah<br />

(Sekda). Hal ini menimbulkan dilema karena<br />

jabatan setingkat Sekda adalah satu- satunya di<br />

pemerintahan daerah. Oleh karena itu, selama<br />

beberapa waktu muncul kekuatiran di kalangan<br />

para pejabat pemda tentang kemungkinan adanya<br />

‘matahari kembar’.<br />

Landasan Hukum<br />

Secara teknis, pembentukan BPBD diatur<br />

dengan Permendagri 46/2008 tentang Pedoman<br />

Organisasi dan Tata Kerja BPBD dan Perka BNPB<br />

3/2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD, tapi<br />

payung hukum tertinggi pembentukan BPBD adalah<br />

UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.<br />

Namun secara prinsipil, tidak ada landasan<br />

BENANG KUSUT PEMBENTUKAN BPBD<br />

79


80 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Solusi<br />

hukum untuk membentuk lembaga penanggulangan<br />

bencana secara tersendiri untuk tingkat kabupaten<br />

dan kota, entah itu berbentuk badan, dinas, kantor,<br />

inspektorat ataupun lembaga teknis lainnya.<br />

Pasal 25 UU 24/2007 berbunyi: “Ketentuan<br />

lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi,<br />

tugas, struktur organisasi, dan tata kerja Badan<br />

Penanggulangan Bencana Daerah diatur dengan<br />

Peraturan Daerah.” Ini menjelaskan bahwa<br />

pembentukan BPBD diatur dengan Perda, bukan<br />

melalui Permendagri 46/2008.<br />

Jadi bagaimana? Kalau mengenai organisasi dan<br />

tata kerja, BPBD mesti mengacu pada PP 41/2007,<br />

tapi PP 41/2007 itu tidak menyebut lembaga yang<br />

mengurusi penanggulangan bencana. Apakah PP<br />

41/2007 harus direvisi?<br />

Membentuk BPBD<br />

Tujuan Permendagri 46/2008 adalah untuk<br />

tertib administrasi, standardisasi organisasi dan<br />

tata kerja BPBD. Sedangkan tujuan Perka BNPB<br />

3/2008 adalah member acuan bagi pemerintah<br />

daerah dalam membentuk BPBD dan mekanisme<br />

penyelenggaraannya.<br />

BPBD adalah lembaga perangkat daerah<br />

dan mesti mengikuti tata aturan Kemendagri.<br />

Di sini perangkat daerah adalah lembaga yang<br />

membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan<br />

Pemerintahan Daerah. Sebelum ini sudah terbit<br />

PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan<br />

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan<br />

Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah<br />

Kabupaten/Kota; dan PP No 41 Tahun 2007 tentang<br />

Organisasi Perangkat Daerah sebagai acuan<br />

pembentukan dan pengurusan lembaga perangkat<br />

daerah, dan BPBD tentu saja mesti mengacu pada


pada PP 38/2007 dan PP 41/2007 itu.<br />

Berdasarkan Pasal 2 Permendagri 46/2008,<br />

BPBD dibentuk di setiap provinsi dan dapat dibentuk<br />

di setiap kabupaten/kota. Pembentukan BPBD di<br />

tingkat provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan<br />

dengan Perda.<br />

Sedangkan Perka BNPB 3/2008 Bab III hanya<br />

hanya menyebutkan bahwa untuk penanggulangan<br />

bencana di daerah, Pemda membentuk BPBD dan<br />

berkoordinasi dengan BNPB. Dan bila Pemda tidak<br />

membentuk BPBD, maka “tugas dan fungsi PB<br />

diwadahi dengan organisasi yang mempunyai<br />

fungsi yang bersesuaian dengan fungsi PB.”<br />

Tidak ada masalah pada pembentukan BPBD<br />

di tingkat provinsi, karena semua provinsi wajib<br />

membentuk BPBD. Masalah timbul di tingkat<br />

kabupaten/kota karena ada kata ‘dapat’ pada Pasal<br />

2 Permendagri 46/2008 tersebut. Kata ini tidak<br />

mewajibkan. Tidak ada kriteria yang jelas dalam<br />

membentuk atau tidak membentuk BPBD di tingkat<br />

kabupaten/kota.<br />

Arti yang bertentangan dengan Permendagri<br />

46/2008 ini muncul dari Perka BNPB 3/2008 Bab IIIA<br />

khususnya ayat 2, yaitu: “…Pemerintah Kabupaten/<br />

Kota membentuk BPBD Kabupaten/Kota.” Ini berarti<br />

bahwa setiap Kabupaten/Kota harus membentuk<br />

BPBD, karena tidak ada klausul ‘dapat’ seperti yang<br />

terdapat dalam Permendagri 46/2008. Semakin<br />

membingungkan bila membaca pada ayat 4<br />

masih dalam peraturan yang sama, yaitu: “Dalam<br />

hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak<br />

membentuk BPBD Kabupaten/Kota, maka tugas<br />

dan fungsi PB diwadahi dengan organisasi yang<br />

mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan fungsi<br />

PB.” Antara ayat 2 dan ayat 4 tidak sinkron.<br />

Mana yang mesti diikuti? Keduanya adalah<br />

lembaga yang sangat berwenang dalam<br />

pembentukan BPBD. Kriteria pembentukan<br />

BPBD itu mestinya mengacu pada tingkat risiko<br />

bencana di daerah tersebut. Kabupaten/kota yang<br />

mempunyai tingkat risiko bencana tinggi, maka wajib<br />

membentuk BPBD. Tapi kabupaten/kota yang<br />

mempunyai tingkat risiko bencana kecil maka, tidak<br />

wajib. Fungsi-fungsi PB bisa dijalankan oleh Satuan<br />

Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang sesuai untuk<br />

itu.<br />

Lembaga yang berwenang di bidang PB adalah<br />

BNPB, maka BNPB mestinya membuat kriteriakriteria<br />

teknis bila suatu kabupaten/kota perlu<br />

membentuk BPBD atau tidak. Kriteria-kriteria teknis<br />

ini berisi analisa untuk mengetahui tingkat risiko<br />

bencana di suatu daerah. Jadi, secara administrative<br />

BPBD mengacu pada aturan Kemendagri, tapi secara<br />

teknis mengacu pada BNPB.<br />

Dalam Pasal 16 Permendagri 46/2008 disebutkan<br />

bahwa susunan organisasi unsur pelaksana BPBD<br />

kabupaten/kota terdiri atas Klasifikasi A dan<br />

Klasifikasi B. Namun penentuan klasifikasi itu<br />

ditetapkan berdasarkan beban kerja, kemampuan<br />

keuangan dan kebutuhan (Pasal 20 Permendagri<br />

46/2008).<br />

Di situ disebutkan bahwa yang termasuk<br />

klasifikasi A adalah BPBD yang memiliki sumber daya<br />

maksimal, sedangkan yang termasuk klasifikasi B<br />

adalah BPBD yang bersumberdaya minimal. Bila<br />

tidak diimbangi dengan kriteria pembentukan BPBD<br />

yang sesuai tingkat risiko bencana, hal ini akan<br />

membawa konsekuensi serius.<br />

Contoh: Kabupaten X adalah sebuah daerah yang<br />

mempunyai tingkat risiko bencana tinggi; di daerah<br />

ini ada potensi ancaman gempa bumi, longsor, banjir,<br />

kekeringan dan tsunami. Atas dasar ini, Kabupaten<br />

X wajib membentuk BPBD. Tapi kabupaten X<br />

berpendapatan kecil, sumber daya alam dan sumber<br />

daya manusianya kurang.<br />

Bila mengacu pada Permendagri 46/2008,<br />

maka BPBD Kabupaten X itu tergolong klasifikasi<br />

B, dengan struktur minimalis dan anggaran yang<br />

kecil pula. Jelas Kabupaten X itu tidak akan mampu<br />

BENANG KUSUT PEMBENTUKAN BPBD<br />

81


82 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Solusi<br />

menanggulangi bencana di daerahnya sendiri.<br />

Ibarat “orang terbenam hingga ke leher, satu sapuan<br />

gelombang saja maka dia akan tenggelam”.<br />

Bagaimana bila pernyataan itu dibalik: “Bagi<br />

kabupaten/kota yang mempunyai tingkat risiko<br />

bencana tinggi, walau daerahnya itu miskin sumber<br />

daya, maka kabupaten/kota itu wajib membentuk<br />

BPBD dengan klasifikasi A.” Pemerintah Pusat dan<br />

Provinsi wajib mendukung BPBD kabupaten/kota<br />

tersebut agar dapat berjalan maksimal. Pemerintah<br />

Pusat dan Provinsi mendukung melalui penyaluran<br />

anggaran, peningkatan kapasitas, pengadaan sarana<br />

prasarana, kajian-kajian risiko bencana, dan lain-lain.<br />

Lalu bagaimana dengan daerah-daerah yang<br />

telah membentuk BPBD? Provinsi Jawa Tengah telah<br />

membentuk Sekretariat BPBD Provinsi Jawa Tengah.<br />

Berdasar Perda Provinsi Jawa Tengah No 10/2008,<br />

Sekretariat BPBD merupakan unsur pendukung<br />

tugas Gubernur di bidang penanggulangan bencana<br />

yang berkedudukan di bawah dan bertanggung<br />

jawab kepada Gubernur.” Dalam pelaksanaan harian,<br />

sekretariat BPBD Jaten dipegang Kalakhar BPBD.<br />

Kabupaten Boyolali membentuk “Badan<br />

Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan<br />

Masyarakat” (Kesbangpollinmas) pada awal April<br />

2008. Badan Kesbangpollinmas Kab. Boyolali ini<br />

terdiri dari:<br />

1. Bidang Pengembangan Nilai-nilai Kebangsaan.<br />

2. Bidang Hubungan antar Lembaga.<br />

3. Bidang Ideologi politik (Penangangan Konflik).<br />

4. Bidang Perlindungan Masyarakat (termasuk<br />

penanganan bencana alam).<br />

Dalam hal ini, Kab. Boyolali tidak secara khusus<br />

membentuk BPBD, tapi memasukkan fungsi-fungsi<br />

PB ke dalam lembaga Kesbanglinmas. Padahal,<br />

ancaman bahaya di daerah itu cukup lengkap seperti<br />

erupsi Gunung Merapi, longsor, gempa, kekeringan,<br />

banjir, wabah penyakit.<br />

Bagaimana Struktur BPBD?<br />

Misalkan BPBD sudah terbentuk. Lalu<br />

bagaimana strukturnya? BPBD berada di bawah<br />

dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dan<br />

dipimpin oleh Kepala Badan yang juga Sekretaris<br />

Daerah. Hal serupa diatur Perka BNPB 3/2008, yaitu<br />

”Kepala BPBD dijabat secara rangkap oleh Sekretaris<br />

Daerah.” Jabatan Sekda yang merangkap Kepala<br />

BPBD ini tampaknya untuk mengatasi dilema<br />

‘matahari kembar’ tersebut di atas.<br />

BPBD terdiri atas Kepala Badan, Unsur Pengarah


dan Unsur Pelaksana. Uraian secara rinci mengenai<br />

tugas dan fungsi, uraian pekerjaan, keangotaan dan<br />

mekanismenya dan hal-hal terkait dengan susunan<br />

organisasi BPBD diatur oleh Permendagri 46/2008<br />

dan Perka BNPB 3/2008.<br />

Unsur Pengarah PB pada BPBD berada di bawah<br />

Kepala BPBD. Tugas Pengarah adalah memberikan<br />

masukan dan saran kepada Kepala BPBD dalam<br />

PB, sedangkan fungsinya adalah membuat<br />

rumusan kebijakan, memantau, dan mengevaluasi<br />

penyelenggaraan PB. Ketua Pengarah dijabat oleh<br />

Kepala BPBD, anggotanya berasal dari instansi<br />

pemerintah daerah, golongan professional dan tokoh<br />

masyarakat.<br />

Tugas Unsur Pelaksana BPBD adalah<br />

melaksanakan PB secara terintegrasi yang meliputi<br />

pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca<br />

bencana. Sedangkan fungsi Unsur Pelaksana<br />

BPBD adalah melakukan pengoordinasian,<br />

pengkomandoan dan pelaksana. Susunan organisasi<br />

Unsur Pelaksana terdiri atas:<br />

1. Kepala pelaksana<br />

2. Sekretariat Unsur Pelaksana<br />

3. Bidang/seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan<br />

4. Bidang/seksi Kedaruratan dan Logistik<br />

5. Bidang/seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi.<br />

Unsur Pelaksana BPBD ini dapat membentuk<br />

Satuan Tugas, tapi dalam Permendagri 46/2008 tidak<br />

menguraikan lebih lanjut masalah ini. Penjelasan<br />

lebih detil terdapat pada Perka BNPB 3/2008. Jabatan<br />

Unsur Pelaksana BPBD diisi Pegawai Negeri Sipil<br />

(PNS) yang memiliki kemampuan, pengetahuan,<br />

keahlian, pengalaman, ketrampilan dan integritas<br />

yang dibutuhkan dalam penanganan bencana.<br />

Permendagri 46/2008 dan Perka BNPB<br />

3/2008 ini menjadi acuan utama dalam teknis<br />

pembentukan BPBD di daerah-daerah. Namun masih<br />

ditemukan beberapa kontradiksi antar keduanya .<br />

Bila kontradiksi- kontradiksi tersebut tidak<br />

segera dipecahkan, maka dampaknya akan<br />

menghambat terbentuknya BPBD dan yang<br />

kemudian akan menghambat penyelenggaraan PB<br />

secara umum di Indonesia.<br />

BENANG KUSUT PEMBENTUKAN BPBD<br />

83


84 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Agenda AMCDRR<br />

KONFERENSI TINGKAT<br />

MENTERI ASIA TENTANG<br />

PENGURANGAN RISIKO<br />

BENCANA<br />

(ASIAN MINISTERIAL CONFERENCE ON DISASTER RISK REDUCTION)<br />

MASYARAKAT memiliki kearifan dan kekuatan sendiri<br />

dalam menghadapi bencana. Ketika kekuatan komunitas<br />

ini diberdayakan, risiko bencana bisa dikurangi. Masalah<br />

ini akan dibahas dalam Konferensi Tingkat Menteri Asia<br />

tentang Pengurangan Risiko Bencana Kelima (The Asian<br />

Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction/AMCDRR)<br />

di Yogyakarta, Indonesia, 22-25 Oktober.<br />

Pengurangan risiko bencana menjadi konsen semua negara. Karenanya,<br />

dibahas pula pengintegrasian pengurangan risiko bencana dan perubahan<br />

iklim di tingkat lokal dalam perencanaan pembangunan nasional. Risiko<br />

bencana tingkat lokal juga dikaji termasuk penganggarannya. Demikian pula,<br />

perlu ada penguatan pengelolaan risiko bencana dan kemitraannya.


Semua hal di atas akan dibicarakan dalam<br />

konferensi dua tahunan yang diselenggarakan<br />

sejumlah negara di Asia sejak tahun 2005. Selain<br />

itu, paraMenteri yang mempunyai mandat dalam<br />

penanggulangan bencana di kawasan Asia bisa saling<br />

menguatkan.<br />

Komitmen pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo<br />

atau the Hyogo Framework for Action (HFA)<br />

ditegaskan kembali. Kerangka Aksi Hyogo adalah<br />

cetak biru untuk pengurangan risiko bencana<br />

tahun 2005-2015 yang telah diadopsi 168 negara<br />

anggota PBB pada Konferensi Tingkat Dunia tentang<br />

Pengurangan Risiko Bencana tahun 2005 di Kobe-<br />

Jepang.<br />

Konferensi ini juga menjadi wahana pertukaran<br />

pengalaman tentang keberhasilan penanggulangan<br />

bencana. Tidak hanya itu, dibicarakan pula<br />

pendekatan inovatif pelaksanaan lima program<br />

prioritas HFA dan rencana aksinya baik pada tingkat<br />

nasional dan tingkat lokal.<br />

Konferensi TingkatMenteriAsia tentang<br />

Pengurangan Risiko Bencana (AMCDRR) pertama<br />

3 AMCDRR I. Pertama kali diadakan di Beijing, Cina.<br />

kali diselenggarakan oleh Pemerintah Cina di Bejing<br />

pada Agustus tahun 2005. Konferensi pertama ini<br />

melahirkan Kerangka Aksi Bejing untuk Pengurangan<br />

Risiko Bencana. Nopember 2007, konferensi kedua<br />

dilaksanakan di New Delhi dengan Pemerintah India<br />

sebagai tuan rumahnya. Dari pertemuan kedua ini,<br />

lahir Deklarasi Delhi.<br />

Konferensi ketiga dilaksanakan di Kuala Lumpur<br />

dengan tuan rumah Pemerintah Malaysia pada<br />

Desember 2008 dan disepakati Deklarasi Kuala<br />

AGENDA AMCDRR<br />

85


86 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Agenda AMCDRR<br />

Lumpur. Konferensi keempat diselenggarakan di<br />

Incheon pada25-28 Oktober 2010 dengan tuan<br />

rumah Pemerintah Korea Selatan dan menghasilkan<br />

Deklarasi Incheon.<br />

Pada penutupan konferensi keempat, Pemerintah<br />

Indonesia menunjukan minat untuk menjadi tuan<br />

rumah konferensi kelima. Kemudian, konferensi<br />

kelima ditetapkan untuk diselengarakan pada 22-25<br />

Oktober 2012 di Jogjakarta Expo Center, JEC.<br />

Pemerintah Indonesia dinilai berpengalaman<br />

dalam menangani sejumlah bencana. Karenanya,<br />

Indonesia dianggap sangat menyadari pentingnya<br />

upaya pengurangan risiko bencana di tingkat lokal.<br />

Untuk itu,Pemerintah Indonesia mengangkat<br />

tema “Penguatan Kapasitas Lokal dalam<br />

Pengurangan Risiko Bencana”. Adapun sub-temanya<br />

adalah:<br />

1. Pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana<br />

dan Perubahan Iklim di tingkat Lokal ke dalam<br />

Perencanaan Pembangunan Nasional;<br />

2. Pengkajian Risiko Bencana tingkat lokal dan<br />

penganggarannya;<br />

3. Penguatan Pengelolaan Risiko Bencana dan<br />

Kemitraaan.<br />

Tujuan dari Konferensi Tingkat Menteri Asia<br />

tentang Pengurangan Risiko Bencana sebagai<br />

3 AMCDRR IV.


erikut:<br />

1. Mendorong komitmen politik dan investasi<br />

yang lebih kuat untuk Rencana Aksi Tingkat bagi<br />

Pengurangan Risiko Bencana (PRB);<br />

2. Menyiapkan rekomendasi Sesi Ketiga Global<br />

Platfor mmengenai tema “Invest Today for A<br />

Safer Tomorrow – Increase Investment in Local<br />

Action”.<br />

3. Membangun mekanisme kerja sama praktis<br />

dalam membangun ketahanan di tingkat lokal<br />

antar negara pada kawasan Asia-Pasific;<br />

4. Mempromosikan pengetahuan lokal dan<br />

prakteknya dalam PRB sebagai metoda untuk<br />

penguatan kapasitas lokal dalam PRB.<br />

Kegiatan utama AMCDRR adalah pertemuan<br />

meja bundar tingkat tinggi dan pertemuan teknis.<br />

Pertemuan meja bundar menjadi forum bagi para<br />

menteri/ketua delegasi untuk menyampaikan<br />

pandangan dan bahan deklarasi konferensi. Para<br />

AGENDA AMCDRR<br />

87


88 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Agenda AMCDRR<br />

peserta sesi teknis antara lain para ahli serta para<br />

praktisi pengurangan risiko bencana akan membahas<br />

tantangan utama terkait tiga subtema konferensi.<br />

Untuk itu, topik dan subyek baik pertemuan meja<br />

bundar maupun pertemuan teknis selalu berkaitan<br />

dengan subtema konferensi.<br />

3 JEC. Di sinilah nantinya akan diselenggarakan AMCDRR V pada 22-25 Oktober 2012.


3 PENGHARGAAN. Presiden RI, Dr. Susilo Bambang<br />

Yudhoyono menerima penghargaan “The Global Champion for<br />

Disaster Risk Reduction”.<br />

Konferensi yang berlangsung 4 hari ini juga akan<br />

mengakomodir kegiatan pendukung seperti: kegiatan<br />

prakonferensi, kegiatan pendukung, pameran,<br />

festival film, dan kunjungan lapangan ke area letusan<br />

Gunung Merapi tahun 2010 tempat berbagai kegiatan<br />

rehabilitasi dan rekontrukisi dilakukan.<br />

Diharapkan sebanyak 600 peserta dari 62 negara<br />

berpartisipasi dalam konferensi ini. Selain itu, 400<br />

orang lainnya dari tingkat lokal maupun nasional<br />

akan bergabung sebagai pengamat.<br />

Presiden Republik Indonsia, Dr. Susilo Bambang<br />

Yudhoyono, yang telah dianugrahi “The Global<br />

Champion for Disaster Risk Reduction” diharapkan<br />

membuka konferensi pada 23Oktober 2012.<br />

Konferensi ini diselenggarakan oleh Pemerintah<br />

Indonesia dengan dukungan dari Forum PRB<br />

Yogyakarta dan Platform Nasional PRB dan juga dari<br />

mitra kerja pembangunan seperti: the United Nations<br />

Country Team (UNCT) Indonesia, United Nations for<br />

International Strategy for Disaster Reduction, AusAID<br />

melalui Australia-Indonesia Facility for Disaster<br />

Reduction (AIFDR), Bank Dunia melalui Global Facility<br />

for Disaster Risk Reduction (GFDRR), New Zealand<br />

Aid dan lainya.<br />

AGENDA AMCDRR<br />

89


90 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Resensi Buku<br />

BUKU BABON<br />

PENGURANGAN<br />

RISIKO BENCANA<br />

GLOBAL<br />

Buku “Hidup Akrab dengan<br />

Bencana” (“Living with<br />

Risk”) ini salah satu literatur<br />

kunci yang membentuk<br />

kerangka kerja penanggulangan<br />

bencana di dunia dekade ini.<br />

Berbagai pengalaman dari<br />

berbagai belahan dunia dihimpun<br />

untuk melahirkan hikmah dan<br />

penanganan bencana yang lebih<br />

baik.<br />

Sampai pertengahan tahun 2000, terjadi<br />

perubahan besar dalam sikap dan perilaku<br />

orang dalam menghadapi bencana alam.<br />

Di masa lalu, penekanan lebih pada respon<br />

kemanusiaan dan aktivitas tanggap darurat. Namun,<br />

hanya sedikit perhatian pada strategi-strategi<br />

pengurangan bencana untuk menyelamatkan ribuan<br />

nyawa bahkan melalui langkah-langkah yang paling<br />

sederhana. Saat ini, semakin diakui bahwa meskipun<br />

upaya-upaya kemanusiaan penting dan perlu terus<br />

diperhatikan, risiko dan kerentanan merupakan<br />

elemen sangat penting dalam mengurangi dampak<br />

negatif bencana. Karenanya, ini membawa<br />

pembangunan berkelanjutan.<br />

Gagasan untuk melakukan tinjauan global<br />

terhadap inisiatif-inisiatif pengurangan bencana<br />

muncul dalam milenium baru menyusul Dekade<br />

Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk<br />

Pengurangan Bencana Alam (United Nations<br />

International Decade for Natural Disaster Reduction)


1990-1999. Dekade tersebut menunjukkan bahwa,<br />

meskipun ada penurunan jumlah orang yang tewas,<br />

jumlah bencana dan kerugian ekonomi meningkat.<br />

Kerugian semacam itu umumnya disebabkan<br />

tiadanya strategi pengurangan bencana yang<br />

koheren dari lembaga-lembaga internasional dan<br />

regional, pemerintah, dan para pengambil keputusan,<br />

serta tiadanya pengembangan budaya pencegahan di<br />

antara masyarakat luas.<br />

Buku ini terutama ditujukan bagi para praktisi<br />

sebagai panduan dan referensi. Bagaimana kita<br />

dapat terus mengembangkan budaya pencegahan.<br />

Keputusan-keputusan manusia bisa meningkatkan<br />

atau mengurangi kerentanan terhadap ancaman<br />

bencana alam. Pengalaman memberi pelajaran.<br />

Berkembang pula teknologi untuk mengantisipasi<br />

dan mengurangi dampak bencana – sensor satelit<br />

yang bisa membaca tanda-tanda penting yang<br />

menunjukkan aktivitas gunung api, pergeseran<br />

seismik, atau runtuhnya lereng bukit berharihari<br />

atau bahkan berminggu-minggu sebelum<br />

malapetaka terjadi, atau telemetri yang dapat<br />

memantau peningkatan kelembaban tanah dalam<br />

sebuah aliran sungai yang dapat berfungsi sebagai<br />

peringatan akan adanya banjir mendadak di daerah<br />

hilir.<br />

Selain itu, tinjauan ini melihat bagaimana<br />

masyarakat mengorganisasikan diri mereka sendiri,<br />

komunitas berinteraksi satu sama lain, pihak<br />

berwenang di tingkat lokal dan nasional merespons<br />

tantangan dan ancaman alam. Dipaparkan pula<br />

berbagai kepentingan, berbagai sikap yang selalu<br />

berubah, dan jaringan para aktor yang harus<br />

digerakkan untuk mengurangi risiko dan mencegah<br />

bencana.<br />

Strategi yang berbeda dituntut oleh kondisi<br />

manusia dan lingkungan yang berbeda-beda. Namun,<br />

secara universal, strategi pengurangan risiko bencana<br />

apapun menuntut - yang pertama dan terutama -<br />

kemauan politik. Komitmen ini harus dihubungkan<br />

dengan perencanaan pembangunan dan aksi<br />

berkelanjutan di tingkat nasional dan lokal.<br />

Di sisi lain, diharapkan terbentuk masyarakat<br />

aman yang telah belajar hidup bersama dan dari<br />

tanah mereka. Strategi-strategi pengurangan<br />

bencana hanya berhasil<br />

jika pemerintah<br />

dan warga negara<br />

paham bahwa sebuah<br />

bencana alam bukanlah<br />

diakibatkan suatu<br />

kekuatan dewa, tetapi<br />

kegagalan dalam<br />

berpikir dan bukti bahwa<br />

mereka mengabaikan<br />

tanggung jawab mereka<br />

sendiri.<br />

SAT<br />

Sebaiknya Anda Tahu<br />

• Judul Buku: Hidup<br />

Akrab dengan Bencana:<br />

Sebuah Tinjauan Global<br />

Tentang Inisiatif-Inisiatif<br />

Pengurangan Risiko<br />

Bencana (Jilid Pertama)<br />

• Judul Asli: Living with<br />

Risk: A Global Review<br />

of Disaster Reduction<br />

Initiaives (ISDR, 2006)<br />

• Pengarang: Bastian<br />

Affeltranger, dkk.<br />

• Penerbit: MPBI<br />

• Tahun Terbit: 2007<br />

• Jumlah Halaman: xxxviii<br />

+ 380 hal.<br />

Dua jilid<br />

Dalam versi aslinya “Living with Risk”, hanya<br />

ada satu jilid buku. Versi bahasa Indonesia yang<br />

diterbitkan Masyarakat Penanggulangan Bencana<br />

Indonesia (MPBI) menjadi dua jilid. Pembagian ini<br />

dilakukan supaya buku tidak terlalu tebal.<br />

Untuk diketahui bahwa buku versi asli diterbitkan<br />

Sekretariat International Strategy for Disaster<br />

Reduction (ISDR) sebelum terjadinya gempa<br />

dan tsunami pada 26 Desember 2004. Dengan<br />

demikian dapat dipahami bila contoh-contoh upaya<br />

penanggulangan bencana di Indonesia sangatlah<br />

sedikit. Dalam Jilid Pertama buku ini hanya ada satu<br />

contoh dari Indonesia, yaitu kasus banjir di Bandung<br />

(hal. 334-335). Dua kabupaten di Bandung yang<br />

rentan banjir dipilih sebagai ujicoba penanganan<br />

banjir dengan melibatkan Asian Disaster Reduction<br />

Center (ADRC), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan<br />

komunitas setempat. Para pihak duduk bersama<br />

membahas faktor-faktor khusus yang dapat<br />

meningkatkan kapasitas komunitas untuk hidup<br />

dengan risiko. Sebagai hasilnya, penduduk setempat<br />

mengusulkan langkah-langkah seperti perbaikan<br />

jalan, tanggul perlindungan, dan definisi yang lebih<br />

baik tentang jalur air alami untuk mengurangi risiko<br />

di masa mendatang.<br />

Beragam pengalaman dalam publikasi ini, seperti<br />

disampaikan Sekretaris Jenderal PBB 1997-2006,<br />

Kofi A. Annan dalam prakata buku ini, diharapkan<br />

membuat semua terlibat dalam upaya membangun<br />

komunitas dan negara bangsa yang berdaya tahan di<br />

planet kita yang penuh bahaya ini.<br />

BUKU BABON PENGURANGAN RISIKO BENCANA GLOBAL<br />

91


92 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Galeri


PLN, tumbuh bersama masyarakat<br />

Perusahaan mengubah sumber<br />

daya alam dan lingkungan<br />

menjadi keuntungannya. Namun ada<br />

sedikit perusahaan yang tumbuh dan<br />

berkembang bersama sumber daya<br />

dan lingkungannya. Perusahaan Listrik<br />

Negara (PLN) memilih menjadi bagian<br />

dari yang disebut terakhir.<br />

Bagi PLN, lingkungan sosial dan<br />

alam adalah bagian tak terpisahkan dari<br />

usaha, maka kesejahteraan masyarakat<br />

dan keberlangsungan alam adalah juga<br />

sasaran investasi.<br />

Selama 2011 saja, PLN melalui<br />

divisi Corporate Social Responsibilty<br />

(CSR) Jawa Barat dan Banten telah<br />

menginvestasikan tak kurang dari Rp<br />

1,8 milyar dalam pengembangan energi<br />

bersih dan terbarukan untuk memenuhi<br />

kebutuhan masyarakat, sekaligus<br />

menjaga keberlangsungan ekologis.<br />

Inisiatif ini bertemu dengan<br />

kreatifitas dan semangat masyarakat<br />

membangun kemandirian. Titik<br />

temu itu antara lain terwujud<br />

dalam pembangunan Pembangkit<br />

Tenaga Listrik Mikro Hidro (PLTMH),<br />

Pengembangan Desa Mandiri Energi,<br />

Pemanfaatan kotoran sapi dan eceng<br />

gondok untuk bio-gas, dan yang masih<br />

dalam uji coba: pemanfaatan angin<br />

sebagai sumber energi.<br />

Kerja kreatif ini melibatkan unsur<br />

perguruan tinggi, pesantren, lembaga<br />

swadaya masyarakat dan pemerintah<br />

daerah.<br />

Seiring dengan pengembangan<br />

energi bersih dan terbarukan adalah<br />

pemeliharaan kelestarian alam<br />

dan lingkungan, yang antara lain<br />

diwujudkan dalam perbaikan dan<br />

pembangunan sarana ibadah, sekolah,<br />

perpustakaan desa, sanitasi, apotik<br />

hidup, tempat sampah dan kegiatankegiatan<br />

pemberdayaan masyarakat.<br />

Kerja kreatif bareng ini juga telah<br />

mewujud dalam penanaman 25.000<br />

pohon di Das Citarum, 5.000 pohon<br />

di lahan kritis Cimaung, 200 pohon di<br />

lahan Kritis Gunung Halu, 7.500 pohon<br />

di Cikalong dan biopori di 120 desa di<br />

daerah Bandung Barat.<br />

Kiprah PLN ini meniscayakan satu<br />

hal: semakin tumbuh dan berkembang<br />

usaha, semakin sejahtera masyarakat,<br />

dan semakin kokoh pula penyangga<br />

keberlangsungan sumber daya alam.<br />

93


94 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Galeri<br />

1 AWAN PANAS. Sapi-sapi<br />

korban awan panas gunung<br />

Merapi di Cangkringan,<br />

Yogyakarta.<br />

Foto: DWI OBLO


96 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Galeri<br />

3 PEMUKIMAN WARGA <strong>MERAPI</strong>. Kampung Kinahrejo saat<br />

terkena awan panas Gunung Merapi yang pertama.<br />

Foto: DWI OBLO<br />

3 ABU VULKAN. Desa Kepuhhardjo tertutup oleh abu vulkan<br />

sehari setelah letusan pertama Gunung Merapi tanggal 26<br />

Oktober 2010.<br />

Foto: RADITYA DJATI


4 KORBAN LETUSAN<br />

<strong>MERAPI</strong>. Para relawan dan<br />

tim rescue yang membawa<br />

korban awan panas dari<br />

kampung Kinahrejo.<br />

Foto: DWI OBLO<br />

3 SAKSI. Desa Kepuhhardjo tertutup dan ditenggelamkan oleh<br />

material vulkan setelah letusan yang lebih besar pada tanggal<br />

4 Nopember 2010. Hampir satu desa tertimbun oleh material<br />

vulkan.<br />

Foto: RADITYA DJATI<br />

97


98 ZERORISK • Vol. 01 • Agustus 2012<br />

Edisi Depan<br />

MAJALAH Zerorisk Edisi ke-2 akan terbit bulan<br />

Oktober 2012 memuat Liputan Utama Bencana<br />

Gempa Bumi yang akhir-akhir ini banyak melanda<br />

Negeri kita. Liputan Utama akan mengetengahkan<br />

upaya rehabilitasi dan rekontruksi yang dilakukan<br />

oleh masyarakat korban bencana di beberapa<br />

tempat dengan atau tanpa dukungan Pemerintah,<br />

Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat<br />

dan Dunia Usaha.<br />

Dalam Liputan Utama, akan dibahas pula<br />

antisipasi ke depan dalam upaya meminimalisir<br />

korban bencana, dengan nara sumber dari Badan<br />

Metereologi dan Geofisika (BMKG), Lembaga Ilmu<br />

Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan juga para ahli dari<br />

Perguruan Tinggi.<br />

Di samping itu, rubrik Gagasan akan membahas<br />

rumah tahan gempa dan sekolah aman gempa bumi<br />

sebagai upaya mengurangi korban jiwa. Peringatan<br />

dini ancaman gempa bumi belum ditemukan, maka<br />

Kearifan Lokal dalam bentuk mitos-mitos yang<br />

dipercayai masyarakat akan dipaparkan dalam Edisi<br />

Kedua ini.<br />

Rubrik Hari ke Hari akan memuat pengamatan Tim<br />

Zerorisk terhadap perilaku masyarakat pada kawasan<br />

rawan tanah longsor selama 48 jam. Rubrik Solusi<br />

akan membahas Kerangka Kebijakan Penyusunan<br />

Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di tanah<br />

air. Dan masih banyak lagi isu-isu Pengurangan Risiko<br />

Bencana (PRB) yg akan dibahas pada Edisi Depan<br />

nanti.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!