Nov-Des-2013
Nov-Des-2013
Nov-Des-2013
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
12 • Edisi <strong>Nov</strong>ember-<strong>Des</strong>ember <strong>2013</strong> M • Safar 1434 H<br />
KAIDAH<br />
ZAKAT<br />
KEWAJIBAN<br />
ZAKAT PROFESI<br />
Salah satu topik yang sangat<br />
menarik untuk dibahas adalah<br />
kewajiban zakat penghasilan atau<br />
zakat profesi. Yang sering menjadi<br />
pertanyaan di tengah masyarakat<br />
adalah, bagaimana hukum zakat<br />
profesi ini Hal ini sangat penting<br />
diketahui agar kita semakin yakin<br />
bahwa zakat profesi ini juga<br />
merupakan bagian integral dari<br />
pelaksanaan ibadah yang kita<br />
lakukan.<br />
Untuk menjawab pertanyaan hukum<br />
zakat profesi, ada beberapa hal<br />
yang perlu untuk kita pahami. Pertama,<br />
penulis setuju bahwa zakat adalah ibadah<br />
mahdhah yang wajib dikerjakan seperti<br />
yang dicontohkan Nabi. Namun, ada<br />
ketentuan ibadah mahdhah yang tidak<br />
berlaku untuk zakat, yaitu ketentuan<br />
tentang mukallaf. Mukallaf adalah<br />
orang yang sudah memenuhi syarat<br />
untuk diberikan taklif syarak (tuntutan<br />
dan kewajiban syara). Di antara syarat<br />
tersebut, antara lain, telah cukup umur<br />
(akil baligh).<br />
Khusus zakat, ketentuan akil baligh,<br />
yang menjadi dasar pembebanan<br />
kewajiban syariat, tidak berlaku. Dengan<br />
kata lain, seorang muzaki tidak mesti telah<br />
akil baligh. Seorang anak laki-laki berusia 5<br />
tahun, dan ditinggal wafat oleh kedua orang<br />
tuanya namun mewarisi harta senilai Rp 10<br />
miliar misalnya, telah memenuhi syarat untuk<br />
mengeluarkan zakat, meskipun ia belum wajib<br />
melaksanakan shalat. Hal ini didasarkan pada<br />
sabda Rasulullah Saw. : “Barangsiapa diserahi<br />
harta anak yatim, maka usahakanlah ia dan<br />
jangan ditinggalkan hingga habis termakan<br />
zakat” (HR Ad-Daaruquthni, Al-Baihaqi, At<br />
Tirmidzi).<br />
Pada hadis lain, Imam Malik dalam kitab<br />
Al-Muwatha meriwayatkan sebuah hadis<br />
dari Abdurrahman bin Qasim dari ayahnya:<br />
“Aisyah adalah seorang yang mengurus<br />
aku dan saudara laki-lakiku yang yatim. Ia<br />
mengeluarkan zakat dari harta-harta kami”.<br />
Yang mendukung wajibnya zakat pada harta<br />
anak yatim, selain Aisyah ra, juga Ibnu Umar<br />
ra, Jaabir ra, dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib<br />
ra. Sehingga dapat disimpulkan, di samping<br />
dikaitkan dengan orang, kewajiban zakat juga<br />
dikaitkan dengan harta.<br />
Kedua, berdasarkan penjelasan di<br />
atas, maka pendekatan dalam menentukan<br />
harta obyek zakat ini tidak hanya dilakukan<br />
melalui pendekatan tafshili, melainkan<br />
juga ijmali. Pendekatan tafshili berarti<br />
harta obyek zakat hanyalah yang disebut<br />
secara eksplisit dalam Al-Quran dan hadis,