MD130
MD130
MD130
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
hukum<br />
Seharusnya MK<br />
memperbaiki mekanisme<br />
penanganan sengketa<br />
pemilu, bukan malah<br />
balik badan melempar ke<br />
instansi lain.”<br />
menurut dia, MK sudah kelebihan beban dalam<br />
mengadili perkara pilkada mengingat sekitar<br />
160 perkara diajukan setiap bulannya.<br />
Meski demikian, Victor menyayangkan<br />
putusan poin kedua yang menyebutkan MK<br />
tetap menyelesaikan perselisihan hasil pilkada<br />
sampai ada undang-undang anyar. Sebab, hal<br />
ini bisa menimbulkan masalah baru, yakni<br />
kons titusionalitas putusan. “Seharusnya<br />
ditegaskan kembali ke (kewenangan)<br />
MA. Karena dalam UU<br />
Pemerintahan Daerah Pasal<br />
106 dinyatakan MA masih<br />
berwenang menangani<br />
sengketa pilkada,” ucap<br />
Victor.<br />
Sidang uji materi sempat<br />
berlangsung “panas” karena<br />
tak semua hakim MK setuju<br />
kewenangan lembaga itu mengadili<br />
sengketa pilkada diserahkan<br />
ke institusi lain. Tiga hakim menyatakan<br />
dissenting opinion atau pendapat<br />
berbeda. Mereka adalah Anwar Usman, Arief<br />
Hidayat, dan Ahmad Fadlil Sumadi. Ketiganya<br />
berpendapat seharusnya MK menolak permohonan<br />
uji materi yang diajukan oleh sejumlah<br />
lembaga serta perseorangan tersebut.<br />
Anwar Usman menilai tuntutan pemohon<br />
yang menyatakan sengketa pilkada bukanlah<br />
kewenangan MK berdasarkan UUD 1945 tidak<br />
tepat. Sebab, kedua norma itu bukan yang utama.<br />
Pasal 236 huruf c UU Nomor 12/2008, menurut<br />
Anwar, hanya memuat norma administratif,<br />
yakni pengalihan penanganan sengketa<br />
pilkada dari MA ke MK. Hal ini sesuai dengan<br />
putusan MK sebelumnya yang menyebutkan<br />
pemilihan kepala daerah termasuk dalam rezim<br />
hukum pemilu. Konsekuensinya, perselisihan<br />
hasil pilkada pun secara hukum menjadi kewenangan<br />
MK.<br />
Apalagi MK sudah ratusan kali menyatakan<br />
berwenang mengadili sengketa pilkada. Jadi,<br />
kalau kewenangan tersebut hendak dihapus<br />
karena dianggap tidak sesuai dengan konstitusi,<br />
semestinya dinyatakan sejak MK pertama kali<br />
menerima permohonan sengketa pilkada pada<br />
2008. “Sebab, ini menyangkut kewenangan<br />
mutlak yang membawa akibat hukum tersendiri,”<br />
katanya secara terpisah.<br />
Majalah detik 26 mei - 1 juni 2014