Permohonan Pengujian UU No. 17 Tahun 2011 tentang - Elsam
Permohonan Pengujian UU No. 17 Tahun 2011 tentang - Elsam
Permohonan Pengujian UU No. 17 Tahun 2011 tentang - Elsam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
“the principle which requires that the rules of law must be predictable as well as the extent<br />
of the rights which are conferred to individuals and obligations imposed upon them must be<br />
clear and precise”<br />
Terjemahan:<br />
(prinsip yang mensyaratkan bahwa ketentuan hukum harus dapat terprediksi sebagaimana<br />
halnya lingkup hak yang diberikan kepada individu dan kewajiban yang kenakan kepada<br />
mereka haruslah jelas dan persis”; dan<br />
“the principle which ensures that individuals concerned must know what the law is so that<br />
would be able to plan their actions accordingly”<br />
Terjemahan:<br />
(prinsip yang menjamin bahwa seseorang harus mengetahui hukum sehingga ia mampu<br />
merencanakan tindakannya sesuai dengan hukum itu);<br />
221. Bahwa prinsip kepastian hukum, khususnya dalam hukum pidana, selalu terkait dengan<br />
asas legalitas yang harus diterapkan secara ketat. Melalui asas legalitas inilah individu<br />
mempunyai jaminan terhadap perlakuan sewenang-wenang negara terhadapnya sehingga<br />
terjadi kepastian hukum;<br />
222. Bahwa asas legalitas ini mencakup 4 (empat) aspek penting yaitu; peraturan perundangundangan/lex<br />
scripta, retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi. Aspek penting<br />
terkait dengan kejelasan sebuah rumusan tindak pidana yang menjamin adanya kepastian<br />
hukum adalah asas lex certa yaitu pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan<br />
secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan,<br />
crimes). Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar<br />
(nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai<br />
perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit<br />
hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya<br />
penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuanketentuan<br />
seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku;<br />
223. Bahwa Pasal 26 jo. Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-Undang Intelijen Negara telah dirumuskan<br />
secara samar-samar dan tidak dirumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang<br />
dikualifikasi sebagai tindak pidana, serta pengertiannya terlalu luas dan rumit. Sehingga<br />
berpotensi disalahgunakan oleh penguasa karena Pasal tersebut bersifat lentur, subjektif,<br />
dan sangat tergantung interpretasi penguasa. Oleh karenanya berpotensi dan secara faktual<br />
menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak konstitusional warga negara;<br />
224. Bahwa Pasal 26 jo. Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-Undang Intelijen Negara ber<strong>tentang</strong>an<br />
dengan prinsip-prinsip dasar negara hukum yang didasarkan pada suatu keinginan bahwa<br />
kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil, seperti<br />
dikemukakan Frans Magnis;<br />
225. Bahwa unsur "setiap orang" dalam Pasal 26 jo. Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-Undang<br />
Intelijen Negara ini merupakan kriteria umum tanpa kecuali, yang berarti bahwa “setiap<br />
orang yang dianggap melakukan tindakan yang berakibat pada bocornya Rahasi Intelijen”,<br />
dapat dipidana. Ketentuan ini berpotensi disalahgunakan karena ketentuan tersebut dibuat<br />
48 |<strong>Permohonan</strong> <strong>Pengujian</strong> <strong>UU</strong> <strong>No</strong>. <strong>17</strong> <strong>Tahun</strong> <strong>2011</strong> <strong>tentang</strong> Intelijen Negara