kolom3 tiga kelompok besar isu, isu pertamaadalah pengaturan untuk mencegah kolusiataupun perjanjian anti persaingan antaroperator. Isu kedua adalah pengaturankekuatan pasar yang dimiliki oleh pelakuusaha, di mana pengaturan tersebutbertujuan mencegah penyalahgunaankekuatan pasar atau posisi dominan pelakuusaha terhadap pesaing, konsumen, dansupplier. Misalnya, refusal to deal terhadapsupplier atau buyer, dan menetapkan hargasecara berlebihan (predatory pricing). Isuketiga adalah pengaturan untuk mencegahmerger, akuisisi dan kepemilikan silang yangberpotensi mengurangi persaingan usaha.Pengaturan yang khusus di bidangtelekomunikasi secara umum berisi tigakelompok substansi. Substansi pertamamencakup hal-hal yang mendorong danmenjaga kondisi kompetisi, yaitu terdiri atas:1. Mengindetifikasi segmen jasatelekomunikasi yang dapat dimasukioleh pelaku usaha baru.2. Menetapkan proses bagaimanapelaku usaha dapat memasuki industritelekomunikasi.3. Menentukan prosedur, teknik, dansyarat penetapan tarif intekoneksisehingga seluruh pencari interkoneksidapat memperoleh akses secara adil.4. Menentukan persyaratan terkait denganalokasi nomor telepon dan numberportability.5. Menentukan prosedur alokasi frekuensi.6. Mencegah terjadinya transfer sumberdaya publik.Pengaturan kedua berkaitan denganpencegahan upaya penyalahgunaanmarket power yang dimiliki oleh pelakuusaha, baik terhadap pesaing maupunterhadap konsumen. Misalnya, pengaturantarif interkoneksi, penentuan tarif dankualitas layanan bagi pengguna padapasar yang belum kompetitif. Terakhiradalah pengaturan ketiga yang mencakupsubstansi yang mewajibkan pemenuhanlayanan publik, misalnya wilayah minimumpelayanan.Dari pembagian kelompok isu regulasidi atas, terlihat beberapa isu yang menjadidomain utama hukum persaingandan regulasi spesifik telekomunikasi.Kesalingsinggungan antar kedua regulasitersebut pada hakekatnya bertujuan untukmengarahkan industri telekomunikasiagar dapat memberikan manfaat bagikesejahteraan masyarakat.Upaya-upaya <strong>KPPU</strong> maupun BRTIdalam mengomunikasikan kerjasama dankewenangan keduanya telah berada padajalur yang tepat untuk menciptakan arahkinerja yang sinergis. pReferensi:1. Geradin, Damien & Michel Kerf; Controlling MarketPower in Telecommunications: Antitrust vs Sector-Specific Regulation2. Pedoman Pengawasan Persaingan Usaha di SektorTelekomunikasi (Draft 14 agustus 2007); www.brti.or.id/content.php?mod=download&fid=<strong>10</strong>4Elpi NazmuzzamanKepala Subdirektorat RegulasiDirektorat Kebijakan Persaingan<strong>KPPU</strong>Gatot M SutejoTower telekomunikasi.16 <strong>Edisi</strong> <strong>10</strong> <strong>2008</strong>
Cerdas Menyikapi Tuntutan Persaingan SehatPada Sektor Jasa KonstruksiaktifitasDok. KOMPETISIMenumbuhkan pemahaman mengenai persaingan sehat bukanlahsuatu pekerjaan yang sederhana. Apalagi jika iklim usaha sehattersebut ingin diwujudkan pada salah satu sektor strategis, yaitusektor jasa konstruksi di Indonesia.Seminar pengadaan barang dan jasa.Perbedaan pemahaman adalah halpertama yang harus dicermati.Perbedaan tersebut membuat upayamewujudkan tertib usaha jasa konstruksidan pemberdayaan jasa konstruksi nasionalyang berkelanjutan menuntut sikap cerdasdari setiap pihak terkait. Selain itu, perluiklim yang kondusif untuk mendorongterlaksananya pengembangan kemampuan,peningkatan produktivitas dan daya saing,serta penumbuhkembangan kemitraan yangsinergis guna mewujudkan pemberdayaanjasa konstruksi yang maksimal.Berkaitan dengan upaya tersebut, <strong>KPPU</strong>diundang untuk menjadi narasumber padakegiatan seminar Lembaga PengembanganJasa Konstruksi (LPJK) bersama dengan BadanPembinaan Konstruksi dan Sumber DayaManusia (BPKSDM) pada tanggal 21 Agustus- 28 November 2007 di daerah-daerah diseluruh Indonesia, seperti Banjarmasin, Bali,Palu, Yogyakarta dan Medan. Dalam seminartersebut narasumber dari <strong>KPPU</strong> memaparkanhasil kajian Komisi Pengawas PersainganUsaha (<strong>KPPU</strong>) yang memperlihatkan bahwadalam industri jasa konstruksi pelaku usahaberpotensi untuk melakukan pelanggaranterhadap Undang-Undang No.5 <strong>Tahun</strong> 1999(UU No.5/1999) dalam bentuk persekongkolantender, kartel, pemboikotan, serta terciptanyaentry barrier melalui proses sertifikasi dankeanggotaan asosiasi. Sementara, sampaisaat ini masih terdapat kontroversi hadirnyaLembaga Pengembangan Jasa Konstruksi(LPJK) sebagai satu-satunya lembaga jasakonstruksi yang diakui oleh UU No. 18/1999tentang Jasa Konstruksi (UUJK).Mengenai berdirinya LPJK, argumen yangdibangun adalah bahwa LPJK ditujukan untukberperan sebagai perangkat lembaga yangpenting dalam kelembagaan jasa konstruksiyang nantinya memiliki peran strategis dalammenciptakan kondisi yang kondusif. LPJKyang didefinisikan sebagai wadah kegiatanmasyarakat jasa konstruksi dalam menyiapkanberbagai perangkat peraturan maupunkelembagaan sesuai UUJK. Dalam organisasitersebut, juga terdapat Majelis Pertimbanganyang memangku peran strategis dalammendorong pencapaian tugas-tugas yangdiembankan kepada LPJK.Terkait dengan permasalahan perilakupelaku usaha pada industri jasa konstruksi,maka <strong>KPPU</strong> telah mencatat adanya aduanmengenai entry barrier tersebut. Tidakhanya itu, kontroversi yang berkepanjanganmempermasalahkan kehadiran dan peranLPJK juga terjadi, terutama terkait dengansertifikasi badan usaha dan kompetensi.Salah satu tujuan kebijakan jasa konstruksiadalah untuk membangun profesionalismedan kompetensi di sektor jasa konstruksi.Komitmen tersebut sesungguhnya selarasdengan UU No 5/1999 yang dipahami olehmereka dengan menyerahkan tugas sertifikasitersebut kepada LPJK. Hanya saja, dari kajian<strong>KPPU</strong> teridentifikasi bahwa salah satupenyebab terjadinya kontroversi terhadapperan LPJK adalah munculnya dominasi dariunsur pelaku usaha dalam LPJK.Lebih jauh, ternyata unsur pelaku usahadalam LPJK berpotensi mendistorsi pengaturanindustri jasa konstruksi dengan perilaku berikut:- Euforia reformasi menciptakan suasanalebih aktifnya peran masyarakat sehinggamengurangi dominasi Pemerintah. Ini berarti,dalam jasa konstruksi terjadi pergeseran peranyang lebih besar ke sisi pelaku usaha.- Selanjutnya, PP No 28/2000 yangmerupakan turunan UUJK, sekali lagijuga telah memberi ruang yang sangatmenonjol kepada peran pelaku usaha.www.breaktaker.com<strong>Edisi</strong> <strong>10</strong> <strong>2008</strong>17