ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAeditorialMatinya Institusi Hukumdi Hadapan KekerasanDalam sebuah video singkat yang beredar didunia maya, terlihat serombongan orangdengan suara-suara garang yangmengepung sekelompok umat gereja Yasmin yangtengah melakukan ritual doa di trotoar. Seorang diantaranya, berkacamata hitam, gelap, dan posturtinggi besar, mengingatkan saya pada gambaranpreman yang sering dituturkan di media. Diamerangsek masuk mendekati jemaat yang sedangberibadah itu, dengan suara-suara keras menantang,mendesak polisi segera membubarkan kelompoktersebut. Adegan ditutup dengan hingar bingarteriakan yang tersingkirnya kelompok yang sedangberibadah itu dari tempat tersebut. Tak terjadipertumpahan darah memang, tapi adegan itu jelasseperti sedang mengirimkan pesan sangat hidupbahwa kekuatan dan kenekatan bisa mengalahkanapapun.Di hadapan mereka, orang-orang bermukagarang dan menakutkan itu, hukum dan keputusanlembaga pengadilan yang mengikat, tak lebih dariseonggok kertas tak bernyawa, tak memiliki dayapaksa. Kalau sudah demikian, bukankah demonstrasipaling banal dari matinya institusi hukum sedangdipertontonkan, digantikan dengan 'hukum' laindimana daya paksa diletakkan pada kekuatan ototdan senjata, dan dukungan politik (baca kuasa)?Disadari atau tidak peristiwa tersebutmenyiratkan ancaman yang jauh lebih besar daritersingkirnya sekelompok jemaat gereja Yasmin daritempat mereka menjalankan ritual doanya,khususnya bagi masa depan penegakan hak asasimanusia. Selama ini, penegakan hak asasi manusiamendasarkan pada adagium berlangsungnya checkand balances dari cabang-cabang kekuasaan yaknieksekutif, yudikatif dan legislatif. Hal ini jugamencerminkan semangat gerakan hak asasi yang takmelulu bersifat politik tapi juga hukum. Bersifat politikkarena perjuangan hak asasi merupakan responterhadap ketidakadilan, yang muncul baik sebagaipraktek penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karenanyaperjuangan hak asasi langsung ataupun tak langsungbertujuan untuk menjaga timbangan keadilan bagipublik. Ia bersifat hukum karena hampir seluruhrealisasi dari hak membutuhkan bekerjanya institusihukum dan supremasi hukum. Dalam diskursus hakasasi, institusi hukum merupakan instrumen pentinguntuk merealisasi klaim atas hak, baik melaluipenghukuman atas mereka yang melanggar maupununtuk memperoleh pemulihan bagi korban baik dalambentuk pengembalian hak, pemberian kompensasiataupun yang lain.Terlepas dari seluruh kekurangannya,instrumen hukum dan institusi yudisial tetap masihmerupakan satu institusi yang dipercaya untuk dapatsecara adil memediasi perbedaan kepentingan danpembacaan atas klaim hak. Terlebih bagi kelompokyang secara sosial politik lemah, institusi hukumdisadari atau tidak menjadi salah satu harapandimereka bisa memiliki kedudukan yang setaradihadapan hukum, terlepas dari latar belakangekonomi dan politiknya. Fungsi ini yang sebagiantelah dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi melaluipengujian peraturan perundang-undangan. Harapanpenegakan Hak <strong>Asasi</strong> tak mungkin dilepaskan dariterjaganya pendulum keseimbangan kedudukan dansupremasi institusi hukum, termasuk pengadilan.Pembiaran pemerintah (Pusat) ataspembangkangan kekuasaan eksekutif di daerah atasnama praktek desentralisasi dan otonomi daerahjelas membawa pesan pembiaran lunturnyasupremasi institusi yudisial. Secara tidak langsung,pemerintah pusat justru berkontribusi terhadappenciptaan kekacauan baru dalam penegakan hakasasi warga negara melalui kediamannya ini. Tak adacara lain selain memaksa pemerintah pusat kembalimenjalankan fungsi kontrol atas perilaku pemerintahdaerah apabila tak hendak menyaksikan meluasnyapraktek yang sama di seluruh nusantara.Indriaswati D. SaptaningrumDirektur Eksekutif04ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAlaporan utamaMempersoalkan Indeks Kebebasan Beragama danBerkeyakinan Versi BappenasOleh Otto Adi Yulianto(Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Organisasi ELSAM)Pada paruh kedua 2011 ini, Badan PerencanaanPembangunan Nasional (Bappenas)mengeluarkan laporan Indeks DemokrasiIndonesia 2009. Penyusunan laporan tersebut didukungoleh Kementerian Dalam Negeri, Badan Pusat Statistik(BPS), dan pemerintah provinsi. Dalam laporan ini,disebutkan bahwa kebebasan berkeyakinan mendapat1indeks yang tinggi, yakni 90,67 . Indeks ini besarnya diatas angka 80, sehingga masuk dalam kategori variabelberkinerja baik.Penentuan indeks kebebasan berkeyakinan inimerupakan hasil akumulasi penilaian atas tiga indikator,yakni: (1) indikator tentang jumlah aturan tertulis yangmembatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakatdalam menjalankan agamanya (indeks 91,70); (2)indikator tentang jumlah tindakan atau pernyataanpejabat Pemerintah yang membatasi kebebasan ataumengharuskan masyarakat untuk menjalankan ajaranagamanya (indeks 91,97); serta (3) indikator tentangjumlah ancaman kekerasan atau penggunaankekerasan dari satu kelompok masyarakat terhadapkelompok masyarakat lain terkait dengan ajaran agama(indeks 85,76).Data yang digunakan untuk menentukan indekstersebut berasal dari data hasil review media, reviewdokumen resmi yang dikeluarkan Pemerintah, focusgroup discussion (FGD), dan wawancara mendalam.Indeks yang dihasilkan, menurut Menteri PerencanaanPembangunan Nasional/Kepala Badan PerencanaanPembangunan Nasional, Prof. Dr. Armida S.Alisjahbana, M.A. dalam “Kata Pengantar”, akanmenjadi benchmark bagi penyusunan indeks demokrasiIndonesia berikutnya.Memang, laporan yang penerbitannyadidukung United Nations Development Programme(UNDP) ini mengakui bahwa komitmen pemerintahdalam penegakan dan pemenuhan hak kebebasanberkeyakinan selama ini masih harus ditingkatkan.Terutama, karena masih adanya sejumlah aturantertulis, selain tindakan atau pernyataan pejabatpemerintah, yang membatasi kebebasan ataumengharuskan masyarakat dalam menjalankanagamanya. Namun dengan mendasarkan padatingginya indeks kebebasan berkeyakinan dalamlaporan tersebut, hal ini seakan menunjukkan bahwakomitmen pemerintah dalam upaya penegakan hakkebebasan beragama sudah tinggi, bahkan disebutdalam laporan ini lebih tinggi dibanding komitmenmasyarakat. Benarkah? Adakah yang luput dari indekstersebut?Temuan Institusi Non-PemerintahHasil survei beberapa lembaga swasta dan organisasimasyarakat sipil ternyata memperoleh temuan yangberbeda. Misalnya hasil survei yang dirilis olehLingkaran Survei Indonesia (LSI) pada <strong>Oktober</strong> 20102lalu . Menurut hasil survei lembaga ini, hanya 76,1%responden yang menyatakan bahwa secara umumkebebasan agama selama ini sudah baik. Sebanyak17,5% responden menilai kondisinya masihburuk/sangat buruk. Sementara 88,3% respondenmenyatakan kebebasan menjalankan atau merayakanhari keagamaan saat ini dalam situasi yang baik. Dalamproporsi yang lebih kecil, yakni 80,6% responden,menyatakan kebebasan dalam mendirikan tempatibadah dalam situasi baik.Masih dalam survei LSI, sebanyak 75,6%responden menyatakan bahwa mereka menilai tidakmasalah dan bisa menerima apabila bertetanggadengan orang yang berbeda agama. Hanya 51,9%responden yang bisa menerima kalau di lingkunganmereka didirikan tempat ibadah dari agama lain atau adapenganut agama lain menjalankan ibadah di lingkunganmereka. Meski kecenderungan responden menyatakanbahwa pemerintah telah tegas dalam menjaga danmelindungi kebebasan beragama, namun dalam jumlahrelatif besar (20,8%) menyatakan bahwa pemerintahselama ini masih kurang atau tidak tegas dalam menjagakebebasan.Demos, sebuah lembaga kajian hak asasi dandemokrasi di Jakarta, saat mengadakan survei pada2007, mendapatkan skor 66 untuk indeks kebebasanberagama dan berkeyakinan --yang digabung dengankebebasan menggunakan bahasa dan melestarikankebudayaan. Skor ini mengalami penurunan dibandingdengan hasil survei serupa tahun 2003-2004 yangsebesar 74. Dari perbedaan ini, mengindikasikan bahwakondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan ditahun 2007 dinilai mengalami kemunduran bila3dibanding tiga tahun sebelumnya .Kebebasan beragama dan berkeyakinanmerupakan salah satu hak asasi manusia dasar ( basichuman rights) , yang tergolong sebagai hak yang nonderogable.Maksudnya, pemenuhannya harus tetapdijamin dan tidak boleh ditangguhkan oleh negara dalamsituasi dan kondisi apa pun, termasuk dalam keadaanperang. Jadi, hak ini harus dilaksanakan dan harusdihormati oleh negara dalam keadaan apapun dan4dalam situasi yang bagaimanapun . Denganpemahaman ini, sejauh belum mencapai 100, makaindeks yang tinggi bukanlah sebuah prestasi karenaASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 201105