ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAlaporan utamamasih menunjukkan adanya defisit dalam pemenuhantanggung jawab Negara dalam melindungi danmenjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.Semakin rendah indeks, semakin rendah tingkatpemenuhan tanggung jawab, dan mengindikasikansemakin”tidak normal”-nya kondisi bernegara. Suatukeharusan bagi negara untuk terus-menerusmengusahakan pemenuhan tanggung jawab hinggamencapai kenormalannya.Dari dua hasil survei yang telah disampaikan,tampak ada perbedaan yang cukup signifikan antarakecenderungan apresiasi publik yang menjaditemuannya dengan indeks Bappenas, yangdimaksudkan untuk menjadi alat ukur dan panduan bagipemerintah dalam perencanaan pembangunan politik.Kesenjangan ini dapat berimplikasi pada perbedaantingkat kesadaran mengenai besarnya tuntutan akantindakan yang harus diusahakan lebih lanjut oleh negaracq pemerintah dalam memenuhi tanggung jawabnyauntuk menjamin dan melindungi kebebasan beragamadan berkeyakinan segenap warga negaranya, termasukdari ancaman individu atau kelompok warga negarayang lain. Hasil survei menunjukkan kecenderungandefisit dan harapan/tuntutan publik akan usahapemenuhan tanggung jawab negara yang lebih tinggidibanding dengan defisit dan kebutuhan usahapemenuhan tanggung jawab yang dipersepsikanpemerintah melalui angka indeks yang disusunBappenas.Pemantauan Institusi Non-PemerintahBila dibandingkan dengan hasil survei, tampak indeksBappenas menunjukkan kecenderungan penilaian yangterlalu optimis akan kondisi kebebasan beragama danberkeyakinan selama ini. Tampaknya ada yang luput disini. Selain mendasarkan kepada hasil survei, pelbagaifakta hasil pemantauan institusi non-pemerintah,misalnya hasil pemantauan yang dilakukan SetaraInstitute dan Wahid Institute selama tahun 2010, secaralangsung atau tidak, telah memaparkan serangkaianbukti bahwa kondisi kebebasan beragama danberkeyakinan tidaklah seoptimis indeks Bappenas.Lewat pemantauan yang dilakukannya, SetaraInstitute, sebuah lembaga kajian demokrasi danperdamaian di Jakarta, mencatat setidaknya masihterjadi 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragamadan berkeyakinan yang mengandung 286 bentuktindakan (pelanggaran), yang menyebar di 20 provinsi5selama tahun 2010 . Berikut adalah lima provinsi tempatterjadinya tindak pelanggaran kebebasan beragamapaling tinggi:Tabel 1. Lima Provinsi dengan Peristiwa PelanggaranKebebasan Beragama dan Berkeyakinan TertinggiNo Provinsi Jumlah Peristiwa1 Jawa Barat 91 kasus2 Jawa Timur 28 kasus3 DKI Jakarta 16 kasus4 Sumatera Utara 15 kasus5 Jawa Tengah 10 kasusSumber: Setara Institute, 2011Di luar lima provinsi di atas, tindak pelanggaranatas kebebasan beragama dan berkeyakinan jugasering terjadi, terutama di wilayah yang memilikikantong-kantong pengikut Ahmadiyah, seperti Bantendan Nusa Tenggara Barat (NTB). Di NTB tercatatsebanyak tujuh kasus pelanggaran kebebasanberagama dan berkeyakinan. Sementara di Bantentercatat enam peristiwa.Berdasar pemantauan Setara Institute, dari 286bentuk pelanggaran kebebasan beragama danberkeyakinan yang terjadi, terdapat 103 tindakan negarayang melibatkan para penyelenggara negara sebagaiaktor. Dari 103 tindakan negara, 79 tindakan merupakantindakan aktif (by commission) dan 24 di antaranyamerupakan tindakan pembiaran (by omission).Termasuk dalam tindakan aktif negara adalahpernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatifdan mengundang terjadinya kekerasan (condoning).Institusi negara yang paling banyak melakukanpelanggaran adalah kepolisian (56 tindakan), Bupati/Walikota (19 tindakan), Camat (17 tindakan), Satpol PP(13 tindakan), Pengadilan (9 tindakan), KementerianAgama (7 tindakan), TNI (7 tindakan), dan MenteriAgama (6 tindakan). Selebihnya adalah institusi-institusidengan jumlah tindakan di bawah 6 tindakan.Dari 286 bentuk pelanggaran kebebasanberagama dan berkeyakinan tersebut, terdapat 183tindakan yang melibatkan warga negara, secara individumaupun kelompok, baik berupa tindak pidana (119tindakan), condoning yang dilakukan oleh tokoh publik(12 tindakan), dan intoleransi (52 tindakan). Berikutadalah kelompok yang tercatat paling banyak terlibatdalam pelanggaran, yakni:Tabel 2. Keterlibatan Warga dan Kelompok dalam PelanggaranKebebasan Beragama dan BerkeyakinanNo Provinsi Jumlah Tindakan1 Masyarakat 702 MUI 223 FPI 174 FUI 115 Gerakan Reformis Islam-GARIS 106 Gerakan Anti Ahmadiyah-GERAM 5Sumber: Setara Institute, 2011Menurut hasil pemantauan Setara Institute pula,sehubungan dengan peristiwa kekerasan yang terjadiselama tahun 2010 dalam kaitannya dengan persoalankebebasan beragama dan berkeyakinan, para pelakudidominasi oleh kelompok masyarakat yang tidakteridentifikasi dalam organisasi keagamaan tertentu.Sedangkan berikutnya adalah kelompok organisasiIslam garis keras yang selama ini sudah seringmelakukan kekerasan dan main hakim sendiri.Sementara di tingkat negara, pelakupelanggaran yang dominan adalah kepolisian danpemerintah daerah. Tingginya keterlibatan kepolisiandalam pelanggaran kebebasan beragama danberkeyakinan disebabkan karena kegagalannyamemberikan perlindungan kepada warga negara yangdiganggu kebebasannya. Demikian juga kegagalankepolisian menindak kelompok-kelompok organisasi06ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAIslam radikal yang melakukan kekerasan. Pembiaranyang dilakukan oleh polisi terjadi, selain karena polisimembiarkan warga negara yang terancamkebebasannya, juga karena membiarkan dengan tidakmemproses secara hukum kelompok-kelompok yangmelakukan kekerasan. Namun Setara Institute juga tidakmenafikan, dan memberi apresiasi, bahwa di tahun 2010juga pihak kepolisian telah memproses secara hukumpelaku-pelaku kekerasan dalam beberapa kasus.Dari catatan hasil pemantauan yang dilakukanoleh Setara Institute, ada kecenderungan bahwapemerintah daerah mengalami kegagalan mengawaljaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan karenaketidakmampuannya menjaga jarak dengan semuakelompok. Implikasinya, kepala daerah tunduk padatekanan kelompok mayoritas, meski harus melanggarhukum dan konstitusi. Pemerintah daerah juga dinilaigemar melakukan politisasi isu-isu agama untukkepentingan politik, baik untuk menghimpun dukunganpolitik maupun untuk menundukkan lawan politik.Pemantauan yang dilakukan oleh WahidInstitute selama tahun 2010 juga menunjukkan hasilyang tidak jauh berbeda. Hasil pemantauannya, selamatahun 2010, setidaknya telah terjadi 64 kali pelanggaran6hak-hak beragama atau berkeyakinan di Indonesia .Pelanggaran di sini, terjadinya pembatasan ataupelanggaran hak-hak beragama dan berkeyakinan yangdilakukan oleh negara atau mengatasnamakan negara.Menurut catatan Wahid Institute, para pelakupelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinantersebut terutama berasal dari kepolisian danpemerintah daerah, yakni masing-masing sebanyak 32(37%) dan 31 (36%) kali.Dari hasil pemantauan Wahid Institute pula,tercatat bahwa tindakan intoleransi dan diskriminasiyang terjadi selama tahun 2010 berjumlah 135 tindakan.Tindakan intoleran dan diskriminatif yang dimaksud disini tidak hanya yang dilakukan oleh institusi dan aparatnegara, namun juga oleh warga negara terhadap warganegara lainnya. Tindakan intoleransi dan diskriminasiyang dilakukan masyarakat masih dominan, dengan 118pelaku (84%). Sementara sisanya (16%) dilakukan olehaparat Pemerintah. Berdasar data para pelaku tindakanintoleransi dan diskriminasi yang dicatat oleh WahidInstitute ini, tampak bahwa ormas-ormas masih menjadipelaku utama (55%), kemudian kelompok terorganisir(20%), dan individu (15%). Ormas yang dimaksudadalah ormas-ormas berbasis agama atau paling tidakberatribut agama tertentu. Mereka juga menggunakanjargon-jargon agama untuk membenarkan tindakannya.Dari pantauan Wahid Institute tersebut, ternyata FPI diberbagai daerah masih menjadi pelaku intoleransitertinggi dengan 26 tindakan atau 31%, diikuti MUI 11tindakan (13%), dan FUI 9 tindakan (11%).PenutupHasil survei yang dilakukan institusi non-pemerintahseperti LSI dan Demos, maupun paparan fakta hasilpemantauan Setara Institute dan Wahid Institute,menunjukkan perlunya mengkaji ulang indekskebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesiayang disusun Bappenas. Informasi dan fakta yangdisampaikan oleh pelbagai institusi non-pemerintahtersebut sudah seharusnya juga menjadi pertimbangandalam menyusun indeks, juga bagi periode selanjutnya.Pelbagai kejadian dan pemberitaan mediasehubungan situasi-kondisi kebebasan beragama danberkeyakinan di Indonesia selama tahun 2011, misalnyakasus kekerasan terhadap pemeluk Ahmadiyah, kasuskekerasan massa berdalih agama di Temanggung, sertapersoalan yang menimpa GKI Yasmin di Bogor,mengindikasikan bahwa tidak terjadi perubahan yangsignifikan ke arah yang lebih baik dari apa yang telahdilaporkan oleh pelbagai institusi non-pemerintahtersebut di tahun-tahun sebelumnya. Tanpa melaluipenyusunan indeks pun (yang berbiaya mahal), saat iniseharusnya pemerintah sudah mampu untuk melihatbesarnya defisit dan mengusahakan pemenuhantanggung jawabnya. Sementara indeks yang telahdisusun akan sia-sia bila hanya berorientasi untukpencitraan, bukan untuk melihat secara obyektif daripelbagai perspektif, dan lebih detail, mengenai sejauhmana tanggung jawab masih defisit, dan menjadi dasardalam menyusun rencana serta tindakan untukmemenuhi tanggung jawab tersebut hingga mencapaikenormalannya.Keterangan*****1. Maswadi Rauf et.al, Menakar Demokrasi di Indonesia: Indeks DemokrasiIndonesia 2009 (Jakarta: UNDP Indonesia, tanpa tahun), hal. 58-59.Dalam laporan ini, ada tiga aspek yang dijadikan sebagai objek kajian,yakni kebebasan sipil (civil liberties), hak politik (political rights), danlembaga-lembaga demokrasi (institutions of democracy). Kebebasanberkeyakinan merupakan salah satu variabel dari aspek kebebasan sipil.2. Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia Edisi No.23, <strong>Oktober</strong> 20103. Willy Purna Samadhi dan Nicolaas Warouw (ed.), Demokrasi di AtasPasir – Kemajuan dan Kemunduran Demokratisasi di Indonesia (Jakartadan Sleman: DEMOS dan PCD Press, 2009), hal. 66-674. Siti Musdah Mulia, Hak <strong>Asasi</strong> dan Kebebasan Beragama, paper yangdipresentasikan dalam Konsultasi Publik “Perlindungan HAM MelaluiReformasi KUHP” (Jakarta: ELSAM, 2007). Namun diakui bahwa tetapada pembatasan bagi manifestasi dari kebebasan beragama danberkeyakinan ini. Merujuk kepada pasal 18 ayat (3) KovenanInternasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasipemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, pembatasantersebut haruslah melalui hukum atau undang-undang yang demokratisdan alasan yang dibenarkan bagi pembatasan tersebut adalah sematamatauntuk melindungi keselamatan umum (public safety), ketertibanmasyarakat (public order), kesehatan publik (public health), moral publik(public morals), dan perlindungan hak serta kebebasan orang lain(protection of the (fundamental) rights and freedom of others). Untukpenjelasan yang lebih detail, lihat Manfred Nowak dan Tanja Vospernik,Permissible Restrictions on Freedom of Religion or Belief, dalam ToreLindholm et.al (ed.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: ADeskbook (Leiden, the Netherlands: Koninklijke Brill NV, 2004), hal. 147-172.5. Bagian yang berhubungan dengan hasil pemantauan Setara Institute inibersumber dari ringkasan eksekutif laporan Setara Institute, NegaraMenyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia2010 (Jakarta: Setara Institute, 2011).6. Bagian yang berhubungan dengan hasil pemantauan Wahid Institute inibersumber dari laporan Wahid Institute, Laporan KebebasanBeragama/Berkeyakinan 2010 (Jakarta: Wahid Institute, tanpa tahun).ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 201107