12.07.2015 Views

Asasi September- Oktober 2011... - Elsam

Asasi September- Oktober 2011... - Elsam

Asasi September- Oktober 2011... - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Memutus RantaiPelanggaranKebebasan BeragamaASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011www.elsam.or.id


daftar isi(dok: http://www.setara-institute.org)Kolominternasional 18-19Pelajaran Berharga dari NorwegiaTiga jam setelah bom meledak di Solo, SBY langsungmenuding kelompok Cirebon sebagai pelakunya. Ketikabom meledak di Oslo, justru Pemerintah Norwegiadengan tegas menepis dugaan terorisme, serayamenyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian untuksegera menyelidikinya.monitoring sidang 20-23Kejanggalan Peradilan Petani UrutsewuMembaca kasus Urutsewu tidak bisa lepas ataudilepaskan dari kontek peristiwa penolakan petaniterhadap kawasan Urutsewu sebagai tempat latihan TNI.Pengadilan terhadap petani Urutsewu yang lepas konteksyang melatarinya, serta terkesan dipaksakan dansepihak, bukanlah solusi penyelesaian konflik tanah dikawasan itu. Sebaliknya, pengadilan semacam itu akanmelahirkan bentuk-bentuk ketidakadilan baru berupakriminalisasi petani.Delik Kriminal UU PerkebunanBertentangan dengan KonstitusiKeberadaan Pasal 21 dan 47 UU Perkebunan yang sejakdisahkan pada 2004 memang kerap menjerat petani danmasyarakat adat. Norma sumir dan ketidakprofesionalnya aparat kepolisian dalam menghadapikonflik-konflik lahan di daerah menyebabkan banyakmasyarakat ditangkap dan ditahan, kemudian terpaksamenjalani proses hukum, yang celakanya juga tidak fair.editorial 04Matinya Institusi Hukum di Hadapan KekerasanSelama ini, penegakan hak asasi manusia mendasarkan pada adagiumberlangsungnya check and balances dari cabang-cabang kekuasaanyakni eksekutif, yudikatif dan legislatif. Hal ini juga mencerminkansemangat gerakan hak asasi yang tak melulu bersifat politik tapi jugahukum.laporan utama 5 - 13Mempersoalkan Indeks KebebasanBeragama dan BerkeyakinanHasil survei institusi non-pemerintah menunjukkan kecenderunganbahwa publik menuntut usaha pemenuhan tanggung jawab negarayang lebih tinggi dibanding dengan yang dapat dipersepsikanpemerintah melalui angka indeks yang disusun Bappenas. Hasil indeksBappenas menunjukkan seolah kondisi kebebasan berkeyakinansudah dalam kondisi yang lebih baik.Kekerasan Atas Nama Agama,Tindakan Fatal Vonis MinimDalam beberapa kasus yang berbasiskan kebencian terhadap suatukelompok tertentu, khususnya dalam konteks kebebasan beragamadan berkeyakinan terdapat kesamaan pola yang terjadi dan berlanjutsecara terus-menerus. Setidaknya dari contoh kasus Ciketing, kasusCikeusik, kasus Temanggung dapat diambil 4 (empat) kesamaan dalamputusannya.Memutus Rantai PelanggaranKebebasan BeragamaAdanya kebijakan yang membatasi dan diskriminatif, kekerasanberdasarkan latar belakang agama atau keyakinan yang terusberlangsung, dan kriminalisasi terhadap kelompok minoritas yangdianggap “sesat” atau “menodai”, adalah sejumlah persoalan yangterus muncul.nasional 14-17Pengaruh Dominan Sang WalikotaGKI Taman Yasmin disegel dan gerbangnya digembok oleh Pemda KotaBogor. Akibatnya, sejak 11 April 2010, Jemaat GKI Taman Yasmin setiapminggu pagi melaksanakan kebaktian di trotoar atau di pinggir jalan didekat lokasi pembangunan gedung tersebut, di Jl. K.H. Abdullah bin NuhNo. 31, Kota Bogor. Walikota Bogor Diani Budiarto bersikeras melakukanpembangkangan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatanhukum tetap, meski Ombudsman RI, berdasarkan kewenangan yangdimilikinya, telah memberi waktu 60 hari kepada walikota untukmelaksanakan secara konsisten putusan pengadilan yang dimaksud.Kadaluarsa tak Berlaku untuk RawagedePada 9 Desember 1947 sepasukan tentara Belanda pimpinan seorangmayor mendatangi Rawagede. Mereka mencari Lukas Kustaryo. Belandamenengarai Lukas, komandan perang Indonesia berpangkat kapten,sedang berada di salah satu desa yang terletak antara Bekasi danKarawang tersebut. Di hari naas itu, Belanda memaksa seluruh laki-lakiwarga Rawagede untuk berjejer dan dimintai keterangan mengenaikeberadaan Kapten Lukas.profil elsam 24


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAsurat pembacawww.elsam.or.idRedaksionalPenanggung Jawab/Pemimpin Redaksi:Indriaswati Dyah SaptaningrumRedaktur Pelaksana:WidiyantoDewan Redaksi:Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum,Otto Adi Yulianto, Zainal Abidin, WahyuWagimanRedaktur:Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, TrianaDyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, AndiMuttaqien, Ester Rini Pratsnawati, PaijoSekretaris Redaksi:Triana DyahSirkulasi/Distribusi:KhumaedyDesain & Tata Letak:alang-alangPenerbit:Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat(ELSAM)Penjebakan Aktivis di PasamanSeorang aktivis pendamping masyarakat lokal telah divonisbersalah oleh PN Pasaman Barat, minggu lalu. Aktivis tersebutdihukum 4 tahun penjara dengan denda Rp 800 juta. Dia dijebakoleh mafia yang melibatkan polisi setempat. Tanpa disadari dikantong jaketnya ditemukan narkotika yang dia sendiri tak tahumuasal barang itu. Modus ini canggih mengingat peran polisiyang sangat besar dalam proses penyelidikan narkotika namunminim akuntabilitas. Tak ada pembuktian terbalik bagaimanapolisi memperoleh informasi narkotika. Kewenangan yangrentan untuk disalahgunakan..Segenap Pimpinan dan PengurusLembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (<strong>Elsam</strong>)mengucapkanWiwid-HuMaPenerbitan didukung oleh:Alamat Redaksi:Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, PasarMinggu, Jakarta 12510,Telepon: (021) 7972662, 79192564Faximile: (021) 79192519E-mail:office@elsam.or.id, asasi@elsam.or.idWebsite:www.elsam.or.id.Redaksi senang menerima tulisan, saran,kritik dan komentar dari pembaca. BuletinASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkannama dan alamat lengkap ke redaksi. Kamijuga menerima pengganti biaya cetak dandistribusi berapapun nilainya. Transfer kerekeningTulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapatdikirimkan via email di bawah ini:asasi@elsam.or.idELSAM Bank Mandiri Cabang PasarMinggu No. 127.00.0412864-9ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 201103


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAeditorialMatinya Institusi Hukumdi Hadapan KekerasanDalam sebuah video singkat yang beredar didunia maya, terlihat serombongan orangdengan suara-suara garang yangmengepung sekelompok umat gereja Yasmin yangtengah melakukan ritual doa di trotoar. Seorang diantaranya, berkacamata hitam, gelap, dan posturtinggi besar, mengingatkan saya pada gambaranpreman yang sering dituturkan di media. Diamerangsek masuk mendekati jemaat yang sedangberibadah itu, dengan suara-suara keras menantang,mendesak polisi segera membubarkan kelompoktersebut. Adegan ditutup dengan hingar bingarteriakan yang tersingkirnya kelompok yang sedangberibadah itu dari tempat tersebut. Tak terjadipertumpahan darah memang, tapi adegan itu jelasseperti sedang mengirimkan pesan sangat hidupbahwa kekuatan dan kenekatan bisa mengalahkanapapun.Di hadapan mereka, orang-orang bermukagarang dan menakutkan itu, hukum dan keputusanlembaga pengadilan yang mengikat, tak lebih dariseonggok kertas tak bernyawa, tak memiliki dayapaksa. Kalau sudah demikian, bukankah demonstrasipaling banal dari matinya institusi hukum sedangdipertontonkan, digantikan dengan 'hukum' laindimana daya paksa diletakkan pada kekuatan ototdan senjata, dan dukungan politik (baca kuasa)?Disadari atau tidak peristiwa tersebutmenyiratkan ancaman yang jauh lebih besar daritersingkirnya sekelompok jemaat gereja Yasmin daritempat mereka menjalankan ritual doanya,khususnya bagi masa depan penegakan hak asasimanusia. Selama ini, penegakan hak asasi manusiamendasarkan pada adagium berlangsungnya checkand balances dari cabang-cabang kekuasaan yaknieksekutif, yudikatif dan legislatif. Hal ini jugamencerminkan semangat gerakan hak asasi yang takmelulu bersifat politik tapi juga hukum. Bersifat politikkarena perjuangan hak asasi merupakan responterhadap ketidakadilan, yang muncul baik sebagaipraktek penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karenanyaperjuangan hak asasi langsung ataupun tak langsungbertujuan untuk menjaga timbangan keadilan bagipublik. Ia bersifat hukum karena hampir seluruhrealisasi dari hak membutuhkan bekerjanya institusihukum dan supremasi hukum. Dalam diskursus hakasasi, institusi hukum merupakan instrumen pentinguntuk merealisasi klaim atas hak, baik melaluipenghukuman atas mereka yang melanggar maupununtuk memperoleh pemulihan bagi korban baik dalambentuk pengembalian hak, pemberian kompensasiataupun yang lain.Terlepas dari seluruh kekurangannya,instrumen hukum dan institusi yudisial tetap masihmerupakan satu institusi yang dipercaya untuk dapatsecara adil memediasi perbedaan kepentingan danpembacaan atas klaim hak. Terlebih bagi kelompokyang secara sosial politik lemah, institusi hukumdisadari atau tidak menjadi salah satu harapandimereka bisa memiliki kedudukan yang setaradihadapan hukum, terlepas dari latar belakangekonomi dan politiknya. Fungsi ini yang sebagiantelah dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi melaluipengujian peraturan perundang-undangan. Harapanpenegakan Hak <strong>Asasi</strong> tak mungkin dilepaskan dariterjaganya pendulum keseimbangan kedudukan dansupremasi institusi hukum, termasuk pengadilan.Pembiaran pemerintah (Pusat) ataspembangkangan kekuasaan eksekutif di daerah atasnama praktek desentralisasi dan otonomi daerahjelas membawa pesan pembiaran lunturnyasupremasi institusi yudisial. Secara tidak langsung,pemerintah pusat justru berkontribusi terhadappenciptaan kekacauan baru dalam penegakan hakasasi warga negara melalui kediamannya ini. Tak adacara lain selain memaksa pemerintah pusat kembalimenjalankan fungsi kontrol atas perilaku pemerintahdaerah apabila tak hendak menyaksikan meluasnyapraktek yang sama di seluruh nusantara.Indriaswati D. SaptaningrumDirektur Eksekutif04ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAlaporan utamaMempersoalkan Indeks Kebebasan Beragama danBerkeyakinan Versi BappenasOleh Otto Adi Yulianto(Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Organisasi ELSAM)Pada paruh kedua 2011 ini, Badan PerencanaanPembangunan Nasional (Bappenas)mengeluarkan laporan Indeks DemokrasiIndonesia 2009. Penyusunan laporan tersebut didukungoleh Kementerian Dalam Negeri, Badan Pusat Statistik(BPS), dan pemerintah provinsi. Dalam laporan ini,disebutkan bahwa kebebasan berkeyakinan mendapat1indeks yang tinggi, yakni 90,67 . Indeks ini besarnya diatas angka 80, sehingga masuk dalam kategori variabelberkinerja baik.Penentuan indeks kebebasan berkeyakinan inimerupakan hasil akumulasi penilaian atas tiga indikator,yakni: (1) indikator tentang jumlah aturan tertulis yangmembatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakatdalam menjalankan agamanya (indeks 91,70); (2)indikator tentang jumlah tindakan atau pernyataanpejabat Pemerintah yang membatasi kebebasan ataumengharuskan masyarakat untuk menjalankan ajaranagamanya (indeks 91,97); serta (3) indikator tentangjumlah ancaman kekerasan atau penggunaankekerasan dari satu kelompok masyarakat terhadapkelompok masyarakat lain terkait dengan ajaran agama(indeks 85,76).Data yang digunakan untuk menentukan indekstersebut berasal dari data hasil review media, reviewdokumen resmi yang dikeluarkan Pemerintah, focusgroup discussion (FGD), dan wawancara mendalam.Indeks yang dihasilkan, menurut Menteri PerencanaanPembangunan Nasional/Kepala Badan PerencanaanPembangunan Nasional, Prof. Dr. Armida S.Alisjahbana, M.A. dalam “Kata Pengantar”, akanmenjadi benchmark bagi penyusunan indeks demokrasiIndonesia berikutnya.Memang, laporan yang penerbitannyadidukung United Nations Development Programme(UNDP) ini mengakui bahwa komitmen pemerintahdalam penegakan dan pemenuhan hak kebebasanberkeyakinan selama ini masih harus ditingkatkan.Terutama, karena masih adanya sejumlah aturantertulis, selain tindakan atau pernyataan pejabatpemerintah, yang membatasi kebebasan ataumengharuskan masyarakat dalam menjalankanagamanya. Namun dengan mendasarkan padatingginya indeks kebebasan berkeyakinan dalamlaporan tersebut, hal ini seakan menunjukkan bahwakomitmen pemerintah dalam upaya penegakan hakkebebasan beragama sudah tinggi, bahkan disebutdalam laporan ini lebih tinggi dibanding komitmenmasyarakat. Benarkah? Adakah yang luput dari indekstersebut?Temuan Institusi Non-PemerintahHasil survei beberapa lembaga swasta dan organisasimasyarakat sipil ternyata memperoleh temuan yangberbeda. Misalnya hasil survei yang dirilis olehLingkaran Survei Indonesia (LSI) pada <strong>Oktober</strong> 20102lalu . Menurut hasil survei lembaga ini, hanya 76,1%responden yang menyatakan bahwa secara umumkebebasan agama selama ini sudah baik. Sebanyak17,5% responden menilai kondisinya masihburuk/sangat buruk. Sementara 88,3% respondenmenyatakan kebebasan menjalankan atau merayakanhari keagamaan saat ini dalam situasi yang baik. Dalamproporsi yang lebih kecil, yakni 80,6% responden,menyatakan kebebasan dalam mendirikan tempatibadah dalam situasi baik.Masih dalam survei LSI, sebanyak 75,6%responden menyatakan bahwa mereka menilai tidakmasalah dan bisa menerima apabila bertetanggadengan orang yang berbeda agama. Hanya 51,9%responden yang bisa menerima kalau di lingkunganmereka didirikan tempat ibadah dari agama lain atau adapenganut agama lain menjalankan ibadah di lingkunganmereka. Meski kecenderungan responden menyatakanbahwa pemerintah telah tegas dalam menjaga danmelindungi kebebasan beragama, namun dalam jumlahrelatif besar (20,8%) menyatakan bahwa pemerintahselama ini masih kurang atau tidak tegas dalam menjagakebebasan.Demos, sebuah lembaga kajian hak asasi dandemokrasi di Jakarta, saat mengadakan survei pada2007, mendapatkan skor 66 untuk indeks kebebasanberagama dan berkeyakinan --yang digabung dengankebebasan menggunakan bahasa dan melestarikankebudayaan. Skor ini mengalami penurunan dibandingdengan hasil survei serupa tahun 2003-2004 yangsebesar 74. Dari perbedaan ini, mengindikasikan bahwakondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan ditahun 2007 dinilai mengalami kemunduran bila3dibanding tiga tahun sebelumnya .Kebebasan beragama dan berkeyakinanmerupakan salah satu hak asasi manusia dasar ( basichuman rights) , yang tergolong sebagai hak yang nonderogable.Maksudnya, pemenuhannya harus tetapdijamin dan tidak boleh ditangguhkan oleh negara dalamsituasi dan kondisi apa pun, termasuk dalam keadaanperang. Jadi, hak ini harus dilaksanakan dan harusdihormati oleh negara dalam keadaan apapun dan4dalam situasi yang bagaimanapun . Denganpemahaman ini, sejauh belum mencapai 100, makaindeks yang tinggi bukanlah sebuah prestasi karenaASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 201105


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAlaporan utamamasih menunjukkan adanya defisit dalam pemenuhantanggung jawab Negara dalam melindungi danmenjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.Semakin rendah indeks, semakin rendah tingkatpemenuhan tanggung jawab, dan mengindikasikansemakin”tidak normal”-nya kondisi bernegara. Suatukeharusan bagi negara untuk terus-menerusmengusahakan pemenuhan tanggung jawab hinggamencapai kenormalannya.Dari dua hasil survei yang telah disampaikan,tampak ada perbedaan yang cukup signifikan antarakecenderungan apresiasi publik yang menjaditemuannya dengan indeks Bappenas, yangdimaksudkan untuk menjadi alat ukur dan panduan bagipemerintah dalam perencanaan pembangunan politik.Kesenjangan ini dapat berimplikasi pada perbedaantingkat kesadaran mengenai besarnya tuntutan akantindakan yang harus diusahakan lebih lanjut oleh negaracq pemerintah dalam memenuhi tanggung jawabnyauntuk menjamin dan melindungi kebebasan beragamadan berkeyakinan segenap warga negaranya, termasukdari ancaman individu atau kelompok warga negarayang lain. Hasil survei menunjukkan kecenderungandefisit dan harapan/tuntutan publik akan usahapemenuhan tanggung jawab negara yang lebih tinggidibanding dengan defisit dan kebutuhan usahapemenuhan tanggung jawab yang dipersepsikanpemerintah melalui angka indeks yang disusunBappenas.Pemantauan Institusi Non-PemerintahBila dibandingkan dengan hasil survei, tampak indeksBappenas menunjukkan kecenderungan penilaian yangterlalu optimis akan kondisi kebebasan beragama danberkeyakinan selama ini. Tampaknya ada yang luput disini. Selain mendasarkan kepada hasil survei, pelbagaifakta hasil pemantauan institusi non-pemerintah,misalnya hasil pemantauan yang dilakukan SetaraInstitute dan Wahid Institute selama tahun 2010, secaralangsung atau tidak, telah memaparkan serangkaianbukti bahwa kondisi kebebasan beragama danberkeyakinan tidaklah seoptimis indeks Bappenas.Lewat pemantauan yang dilakukannya, SetaraInstitute, sebuah lembaga kajian demokrasi danperdamaian di Jakarta, mencatat setidaknya masihterjadi 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragamadan berkeyakinan yang mengandung 286 bentuktindakan (pelanggaran), yang menyebar di 20 provinsi5selama tahun 2010 . Berikut adalah lima provinsi tempatterjadinya tindak pelanggaran kebebasan beragamapaling tinggi:Tabel 1. Lima Provinsi dengan Peristiwa PelanggaranKebebasan Beragama dan Berkeyakinan TertinggiNo Provinsi Jumlah Peristiwa1 Jawa Barat 91 kasus2 Jawa Timur 28 kasus3 DKI Jakarta 16 kasus4 Sumatera Utara 15 kasus5 Jawa Tengah 10 kasusSumber: Setara Institute, 2011Di luar lima provinsi di atas, tindak pelanggaranatas kebebasan beragama dan berkeyakinan jugasering terjadi, terutama di wilayah yang memilikikantong-kantong pengikut Ahmadiyah, seperti Bantendan Nusa Tenggara Barat (NTB). Di NTB tercatatsebanyak tujuh kasus pelanggaran kebebasanberagama dan berkeyakinan. Sementara di Bantentercatat enam peristiwa.Berdasar pemantauan Setara Institute, dari 286bentuk pelanggaran kebebasan beragama danberkeyakinan yang terjadi, terdapat 103 tindakan negarayang melibatkan para penyelenggara negara sebagaiaktor. Dari 103 tindakan negara, 79 tindakan merupakantindakan aktif (by commission) dan 24 di antaranyamerupakan tindakan pembiaran (by omission).Termasuk dalam tindakan aktif negara adalahpernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatifdan mengundang terjadinya kekerasan (condoning).Institusi negara yang paling banyak melakukanpelanggaran adalah kepolisian (56 tindakan), Bupati/Walikota (19 tindakan), Camat (17 tindakan), Satpol PP(13 tindakan), Pengadilan (9 tindakan), KementerianAgama (7 tindakan), TNI (7 tindakan), dan MenteriAgama (6 tindakan). Selebihnya adalah institusi-institusidengan jumlah tindakan di bawah 6 tindakan.Dari 286 bentuk pelanggaran kebebasanberagama dan berkeyakinan tersebut, terdapat 183tindakan yang melibatkan warga negara, secara individumaupun kelompok, baik berupa tindak pidana (119tindakan), condoning yang dilakukan oleh tokoh publik(12 tindakan), dan intoleransi (52 tindakan). Berikutadalah kelompok yang tercatat paling banyak terlibatdalam pelanggaran, yakni:Tabel 2. Keterlibatan Warga dan Kelompok dalam PelanggaranKebebasan Beragama dan BerkeyakinanNo Provinsi Jumlah Tindakan1 Masyarakat 702 MUI 223 FPI 174 FUI 115 Gerakan Reformis Islam-GARIS 106 Gerakan Anti Ahmadiyah-GERAM 5Sumber: Setara Institute, 2011Menurut hasil pemantauan Setara Institute pula,sehubungan dengan peristiwa kekerasan yang terjadiselama tahun 2010 dalam kaitannya dengan persoalankebebasan beragama dan berkeyakinan, para pelakudidominasi oleh kelompok masyarakat yang tidakteridentifikasi dalam organisasi keagamaan tertentu.Sedangkan berikutnya adalah kelompok organisasiIslam garis keras yang selama ini sudah seringmelakukan kekerasan dan main hakim sendiri.Sementara di tingkat negara, pelakupelanggaran yang dominan adalah kepolisian danpemerintah daerah. Tingginya keterlibatan kepolisiandalam pelanggaran kebebasan beragama danberkeyakinan disebabkan karena kegagalannyamemberikan perlindungan kepada warga negara yangdiganggu kebebasannya. Demikian juga kegagalankepolisian menindak kelompok-kelompok organisasi06ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAIslam radikal yang melakukan kekerasan. Pembiaranyang dilakukan oleh polisi terjadi, selain karena polisimembiarkan warga negara yang terancamkebebasannya, juga karena membiarkan dengan tidakmemproses secara hukum kelompok-kelompok yangmelakukan kekerasan. Namun Setara Institute juga tidakmenafikan, dan memberi apresiasi, bahwa di tahun 2010juga pihak kepolisian telah memproses secara hukumpelaku-pelaku kekerasan dalam beberapa kasus.Dari catatan hasil pemantauan yang dilakukanoleh Setara Institute, ada kecenderungan bahwapemerintah daerah mengalami kegagalan mengawaljaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan karenaketidakmampuannya menjaga jarak dengan semuakelompok. Implikasinya, kepala daerah tunduk padatekanan kelompok mayoritas, meski harus melanggarhukum dan konstitusi. Pemerintah daerah juga dinilaigemar melakukan politisasi isu-isu agama untukkepentingan politik, baik untuk menghimpun dukunganpolitik maupun untuk menundukkan lawan politik.Pemantauan yang dilakukan oleh WahidInstitute selama tahun 2010 juga menunjukkan hasilyang tidak jauh berbeda. Hasil pemantauannya, selamatahun 2010, setidaknya telah terjadi 64 kali pelanggaran6hak-hak beragama atau berkeyakinan di Indonesia .Pelanggaran di sini, terjadinya pembatasan ataupelanggaran hak-hak beragama dan berkeyakinan yangdilakukan oleh negara atau mengatasnamakan negara.Menurut catatan Wahid Institute, para pelakupelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinantersebut terutama berasal dari kepolisian danpemerintah daerah, yakni masing-masing sebanyak 32(37%) dan 31 (36%) kali.Dari hasil pemantauan Wahid Institute pula,tercatat bahwa tindakan intoleransi dan diskriminasiyang terjadi selama tahun 2010 berjumlah 135 tindakan.Tindakan intoleran dan diskriminatif yang dimaksud disini tidak hanya yang dilakukan oleh institusi dan aparatnegara, namun juga oleh warga negara terhadap warganegara lainnya. Tindakan intoleransi dan diskriminasiyang dilakukan masyarakat masih dominan, dengan 118pelaku (84%). Sementara sisanya (16%) dilakukan olehaparat Pemerintah. Berdasar data para pelaku tindakanintoleransi dan diskriminasi yang dicatat oleh WahidInstitute ini, tampak bahwa ormas-ormas masih menjadipelaku utama (55%), kemudian kelompok terorganisir(20%), dan individu (15%). Ormas yang dimaksudadalah ormas-ormas berbasis agama atau paling tidakberatribut agama tertentu. Mereka juga menggunakanjargon-jargon agama untuk membenarkan tindakannya.Dari pantauan Wahid Institute tersebut, ternyata FPI diberbagai daerah masih menjadi pelaku intoleransitertinggi dengan 26 tindakan atau 31%, diikuti MUI 11tindakan (13%), dan FUI 9 tindakan (11%).PenutupHasil survei yang dilakukan institusi non-pemerintahseperti LSI dan Demos, maupun paparan fakta hasilpemantauan Setara Institute dan Wahid Institute,menunjukkan perlunya mengkaji ulang indekskebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesiayang disusun Bappenas. Informasi dan fakta yangdisampaikan oleh pelbagai institusi non-pemerintahtersebut sudah seharusnya juga menjadi pertimbangandalam menyusun indeks, juga bagi periode selanjutnya.Pelbagai kejadian dan pemberitaan mediasehubungan situasi-kondisi kebebasan beragama danberkeyakinan di Indonesia selama tahun 2011, misalnyakasus kekerasan terhadap pemeluk Ahmadiyah, kasuskekerasan massa berdalih agama di Temanggung, sertapersoalan yang menimpa GKI Yasmin di Bogor,mengindikasikan bahwa tidak terjadi perubahan yangsignifikan ke arah yang lebih baik dari apa yang telahdilaporkan oleh pelbagai institusi non-pemerintahtersebut di tahun-tahun sebelumnya. Tanpa melaluipenyusunan indeks pun (yang berbiaya mahal), saat iniseharusnya pemerintah sudah mampu untuk melihatbesarnya defisit dan mengusahakan pemenuhantanggung jawabnya. Sementara indeks yang telahdisusun akan sia-sia bila hanya berorientasi untukpencitraan, bukan untuk melihat secara obyektif daripelbagai perspektif, dan lebih detail, mengenai sejauhmana tanggung jawab masih defisit, dan menjadi dasardalam menyusun rencana serta tindakan untukmemenuhi tanggung jawab tersebut hingga mencapaikenormalannya.Keterangan*****1. Maswadi Rauf et.al, Menakar Demokrasi di Indonesia: Indeks DemokrasiIndonesia 2009 (Jakarta: UNDP Indonesia, tanpa tahun), hal. 58-59.Dalam laporan ini, ada tiga aspek yang dijadikan sebagai objek kajian,yakni kebebasan sipil (civil liberties), hak politik (political rights), danlembaga-lembaga demokrasi (institutions of democracy). Kebebasanberkeyakinan merupakan salah satu variabel dari aspek kebebasan sipil.2. Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia Edisi No.23, <strong>Oktober</strong> 20103. Willy Purna Samadhi dan Nicolaas Warouw (ed.), Demokrasi di AtasPasir – Kemajuan dan Kemunduran Demokratisasi di Indonesia (Jakartadan Sleman: DEMOS dan PCD Press, 2009), hal. 66-674. Siti Musdah Mulia, Hak <strong>Asasi</strong> dan Kebebasan Beragama, paper yangdipresentasikan dalam Konsultasi Publik “Perlindungan HAM MelaluiReformasi KUHP” (Jakarta: ELSAM, 2007). Namun diakui bahwa tetapada pembatasan bagi manifestasi dari kebebasan beragama danberkeyakinan ini. Merujuk kepada pasal 18 ayat (3) KovenanInternasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasipemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, pembatasantersebut haruslah melalui hukum atau undang-undang yang demokratisdan alasan yang dibenarkan bagi pembatasan tersebut adalah sematamatauntuk melindungi keselamatan umum (public safety), ketertibanmasyarakat (public order), kesehatan publik (public health), moral publik(public morals), dan perlindungan hak serta kebebasan orang lain(protection of the (fundamental) rights and freedom of others). Untukpenjelasan yang lebih detail, lihat Manfred Nowak dan Tanja Vospernik,Permissible Restrictions on Freedom of Religion or Belief, dalam ToreLindholm et.al (ed.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: ADeskbook (Leiden, the Netherlands: Koninklijke Brill NV, 2004), hal. 147-172.5. Bagian yang berhubungan dengan hasil pemantauan Setara Institute inibersumber dari ringkasan eksekutif laporan Setara Institute, NegaraMenyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia2010 (Jakarta: Setara Institute, 2011).6. Bagian yang berhubungan dengan hasil pemantauan Wahid Institute inibersumber dari laporan Wahid Institute, Laporan KebebasanBeragama/Berkeyakinan 2010 (Jakarta: Wahid Institute, tanpa tahun).ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 201107


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAlaporan utamaKekerasan Atas Nama Agama,Tindakan Fatal Vonis MinimalOleh Andi Muttaqien( Staf Pelaksana Divisi Advokasi Hukum ELSAM)Masih jelas dalam ingatan kita kekejamansekelompok orang di Cikeusik, Pandeglang,beberapa bulan silam, di mana orang yangsudah tak berdaya dihantam dengan batu, bambu,atau kayu beramai-ramai bergantian tanpa ragu.Komnas HAM dalam laporannya menyimpulkanbahwa Insiden Cikeusik memang direncanakan.Insiden yang menewaskan tiga orang Ahmadiyah inijuga dinyatakan telah melanggar hak-hak warganegara, khususnya hak beragama, hak atas rasaaman, hak untuk hidup, dan hak untuk memperolehkeadilan yang diatur dalam UU No. 39 tahun 19991tentang HAM . Peristiwa tersebut pun tersebar dalamvideo berdurasi kurang lebih 1 (satu) menit yangberedar luas di situs youtube.Berjarak dua hari setelah Cikeusik, meletusperistiwa kekerasan massal serupa di Temanggung,Jawa Tengah. Pada 8 Februari 2011, tiga bangunangereja dan sebuah sekolah Kristen dirusak massa,yang sebelumnya baru saja membuat kericuhan diPengadilan Negeri Temanggung yang saat itu2menyidangkan Antonius Richmond Bawengan .Massa tidak terima vonis Bawengan karena dianggapterlalu rendah. Mereka geram dan tak puas, akhirnyamelampiaskan kemarahannya dengan merusakKantor PN Temanggung, Gereja Santo Petrus, PolresTemanggung, Gereja Pantekosta, Gereja BethelIndonesia, yang satu kompleks dengan SekolahKristen Shekihah, bahkan 2 pos Polisi tak luput dariserangan massa.Jauh lebih lama sebelumnya, pada 12<strong>September</strong> 2010, pagi hari sekitar pukul 08.30 wib,ketika rombongan Jemaat HKBP Ciketing, BekasiTimur, sedang yang berjalan beriringan hendakmelaksanakan ibadah, di tengah jalan tiba-tibamelintas dari arah berlawanan lima motor danmenyerempet Jemaat, sehingga terjadilah keributan.Seorang pengendara motor menusuk seorang jemaatdan pendetanya tak berdaya saat dipukul kepalanya.Peristiwa ini merupakan puncak dari rangkaianperistiwa sebelumnya yang dialami Jamaat HKBPPondok Timur Indah di Ciketing.Ketiga kasus tersebut di atas sama-samamenyasar kelompok minoritas, dengan penggunaankekerasan berlebih serta dipicu atas dasar kebencianterhadap suatu kelompok agama.Peristiwa-peristiwa di atas hanya beberapakasus yang muncul di permukaan dan mendapatsorotan publik nasional maupun internasional.Meskipun begitu, ternyata proses pemidanaanterhadap para pelaku kejahatan tersebut hanyamenghasilkan hukuman yang teramat ringan. Sebutsaja persidangan para pelaku penyeranganAhmadiyah di Cikeusik, atas perbuatan yangmembabi-buta itu, kedua belas pelaku hanya divonis3 hingga 6 bulan penjara, dan tidak ada beda masahukuman antara pelaku lapangan denganpenghasutnya.Untuk peristiwa Temanggung dari 25 pelaku,seorang divonis 4 bulan penjara, seorang (penghasut)divonis 1 tahun penjara dan selebihnya divonis 5bulan penjara. Sedangkan penusuk Jemaat danpenganiaya Pendeta HKBP di Ciketing, Bekasimasing-masing divonis 7 bulan penjara. Lebihparahnya, orang yang menyebarkan sms untukmengumpulkan massa, hanya divonis 5 bulan 15 hariatas kesalahan perbuatan tidak menyenangkan dan3dibebaskan dari dakwaan penghasutan .Melihat dari karakteristiknya, kasus-kasustersebut menjadi ancaman kehidupan umatberagama di Indonesia karena menyasar kelompokagama lain, dengan dasar atau mengatasnamakanagama tertentu. Kejahatan tersebut juga yangberdimensi sosial, karena cenderung memberikanjustifikasi suatu kelompok untuk menggunakankekerasan dalam berhadapan dengan orang lain danmemaksakan kehendaknya. Selain itu, kejahatan inijuga harus dipahami sebagai kejahatan yang serius,melanggar hak asasi yang paling fundamental, yaknihak untuk berkeyakinan.Deskripsi Umum PutusanDalam beberapa kasus yang berbasiskan kebencianterhadap suatu kelompok tertentu, khususnya dalamkonteks kebebasan beragama dan berkeyakinanterdapat kesamaan pola yang terjadi dan berlanjutsecara terus-menerus. Setidaknya dari contoh kasusyang digambarkan di atas, yakni kasus Ciketing,kasus Cikeusik, kasus Temanggung dapat diambil 4(empat) kesamaan dalam putusannya.Pertama, putusan dalam kasus-kasuskekerasan yang mengatasnamakan agama tidakpernah memberikan efek jera terhadap para pelaku,karena Majelis Hakim memberikan vonis yangteramat ringan. Padahal, dengan menghukummaksimal tentu dapat memberikan efek jera,sekaligus pada saat bersamaan menjadi tindakan08ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAprefentif yang memperlihatkan kepada publik akankejahatan serius dan layak dihukum berat.Kedua, dalam putusannya, Majelis Hakimkerap tidak bersikap independen denganmempertimbangkan kedudukan sosial dari terdakwa,dan bahkan menempatkannya menjadi alasankeringanan hukuman. Umumnya, mereka yangdituduh dan dianggap melakukan penghasutandalam kasus tersebut adalah tokoh masyarakat,tokoh agama, atau biasa disebut Kyai. Dengan alasankedudukan mereka yang dibutuhkan olehmasyarakat, hal itu akhirnya ditempatkan sebagaipertimbangan yang meringankan hukuman. Agakaneh mengingat sebagai tokoh masyarakat atauagama, mereka seharusnya menerima hukumanlebih berat. Mereka gagal mencegah anarkisme. Halini dikuatirkan memberikan pembenaran terhadapanarkisme, dan akan diikuti oleh masyarakat lainnya.Dalam beberapa putusan pun Majelis Hakim kerapmempermasalahkan akidah yang masuk domainprivat seseorang. Hal ini tampak jelas pada kasusCikeusik.Ketiga, ketiadaan pengungkapan aktorintelektual yang selama ini berada di balik berbagaimacam persitiwa kekerasan yang berbasis kebencianterhadap suatu kelompok. Dalam kesaksiankesaksianpersidangan, sebenarnya muncul namaatau ormas tertentu yang dianggap bertanggungjawab atau terlibat dalam rangkaian peristiwa.Misalnya saja peristiwa Cikeusik yang salah seorang4saksi menyebut adanya keterlibatan Habib Rizieq .Begitu juga peranan signifikan mobilisasi massa yangdilakukan Ketua FPI Bekasi Raya dalam rangkapenolakan berdirinya Gereja di Ciketing. Setidaknyaini menjadi petunjuk bagi Kepolisian dalam mengusuttuntas kasus-kasus tersebut dan kasus serupa dikemudian hari.Keempat, tiada uraian tentang kontekskekerasan berbasiskan kebencian terhadap suatukelompok. Memang perlu diakui bahwa proseshukum mempunyai keterbatasan dalam memotretperistiwa secara utuh, namun setidaknya adanyauraian yang memadai tentang konteks kekerasan danadanya niat pelaku sangat diperlukan demimemberikan gambaran atau bobot kejahatan yangterjadi. Konstruksi peristiwa yang demikian, semakinmeneguhkan bahwa banyak diantara peristiwakekerasan yang mengatasnamakan agama terjadi,juga sebelumnya disertai dengan serangkaiantindakan penghasutan. Ketiadaan konteks tersebutpada akhirnya berdampak pada anggapanbahwasanya peristiwa-peristiwa tersebut adalahsemata kriminal biasa tanpa adanya perhatiankhusus atau strategi khusus untuk mencegahnya,dan tentunya ketiadaan efek jera dalam vonisnya.Itulah beberapa hal yang tentunyamenyumbang kesuburan tindak anarkis darikelompok yang mengatasnamakan agama dankeyakinan tertentu. Ketiadaan efek jera sampaiimparsialitas hakim dengan bersikap independen,sering ditemui dalam persidangan-persidangankasus tersebut.Kegagalan Pengadilan sebagaiBenteng Hak <strong>Asasi</strong>Proses hukum terhadap kasus-kasus kekerasanyang mengatasnamakan agama selama ini belummampu memberikan efek jera terhadap parapelakunya. Hal ini diakibatkan karena kurangnyapemahaman aparat penegak hukum dalam menilaikejahatan yang mempunyai dimensi kebenciankepada kelompok tertentu. Minimnya hukuman akanberakibat bahwa para pelaku tidak merasaperbuatannya salah atau bahkan menyesalinya,sehingga hal itu berpotensi terjadi pengulangandalam kasus-kasus yang mempunyai konteks yangsama di berbagai tempat.Pengadilan sebagai benteng mengawal hakasasi, seharusnya bisa memberikan hukumansetimpal terhadap para pelaku kekerasan. Jika dalamtuntutannya memang rendah, bisa saja Majelis Hakimmenghukum pelaku dengan vonis lebih tinggi darituntutan. Putusan Hakim yang memberikan hukumanminim juga sebenarnya adalah dampak darikeseluruhan proses yang memang terlanjurmenganggap kejahatan-kejahatan tersebut sebagai“kriminal murni”, dalam arti putusan tersebut tidakhanya hasil dari pendapat Majelis Hakim yangmemeriksa perkara, tetapi termasuk juga hasil daripenyidikan di Kepolisian, dan penuntutan yangdilakukan Kejaksaan. Mereka tidak menganggapnyasebagai tindak kejahatan serius, dan berakibatminimnya upaya untuk mengungkapkan fakta dipersidangan. Inilah mengapa Pengadilan tidak bisamenjawab soal itu dan menghukumnya denganteramat rendah.Terlebih lagi ketiadaan kompensasi Negaraterhadap para korban dalam kasus-kasus tersebutmenambah catatan buruk penegakan hukum danHAM di Indonesia. Berdasarkan KovenanInternasional Hak-hak Sipil Politik yang diratifikasiIndonesia melalui UU No. 12 tahun 2005 Pasal 2 ayat(3) Kovenan, Negara harus menjamin setiap orangyang hak atau kebebasannya sebagaimana diakuidalam Kovenan tersebut dilanggar, mereka harusmendapatkan pemulihan efektif, bahkan meskipunpelanggaran itu dilakukan oleh orang yang bertindakdalam kapasitas resmi. Pasal tersebut jugamenyatakan bahwa pemulihan bagi orang yangdilanggar haknya selanjutnya akan ditetapkan olehlembaga peradilan, adminsitratif, atau legislatif yangberwenang, atau oleh lembaga lain yang berwenangsebagaimana ditentukan oleh sistem hukum Negaratersebut.Jaminan, perlindungan, dan penghormatanHAM tidak mungkin tumbuh dan hidup secara wajartanpa ada demokrasi dan terlaksananya prinsipnegara berdasarkan hukum. Salah satu aspekpenting membangun negara berdasarkan hukumASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 201109


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAlaporan utama5adalah memberdayakan sistem penegakan hukum .Proses penegakan hukum bagi pelaku kekerasanyang mengatasnamakan agama selama ini terlihattidak menjadi lebih baik, bahkan justrumemperlihatkan ketidakmampuan dalammemberikan rasa keadilan bagi para korban.Dalam konstruksi hukum pidana, pihak yangmenyuruh lakukan seharusnya dituntut dan diberikanhukuman yang tentu lebih berat dibanding parapelaku lapangan. Selanjutnya hukum pidanasebenarnya menjelaskan, bahwa terkait perbuatanpidana seseorang haruslah tegas pembedaannyadalam tindak pidana, apakah dia seorang pembujuk( uitloker), yang menyuruh melakukan ( doen pleger),atau hanya ikut serta melakukan ( mendeplegen),sehingga tentunya hukumannya pun tidak dapatdisamakan antara masing-masing posisi tersebut. Halinilah yang gagal dilihat oleh Hakim dalam memutusperkara-perkara tersebut.Minimnya hukuman yang dijatuhkanterhadap para pelaku penyerangan dan kekerasanyang berbasiskan kebencian terhadap suatukelompok tertentu sangat tidak masuk akal. Karena,secara faktual dan sudah menjadi pengetahuanumum ( prima facie) bahwa peristiwa-peristiwatersebut bukan merupakan peristiwa kejahatan biasa(penghasutan, pengrusakan, penganiayaan, danpengeroyokan), melainkan kejahatan serius ( seriouscrimes) yang memiliki bobot kejahatan tinggi, bahkanmenewaskan orang lain dari pihak korban.Secara parsial dalam prakteknya Pengadilanhanya berhasil menemukan pelaku-pelaku lapanganyang bertanggungjawab atas peristiwa, tetapi tidakaktor intelektualnya. Sehingga, wajar saja putusan initidak akan memberikan efek jera terhadap kasuskasuskekerasan yang berbasis kebencian terhadapsuatu kelompok agama, seperti yang telah terjadidalam kasus kekerasan terhadap Jemaat HKBPPondok Timur Indah di Ciketing Bekasi; kasuspenyerangan Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik,Pandeglang dan peristiwa kerusuhan Temanggung.Dalam hal ini, Pengadilan sebagai benteng terakhirkeadilan, tidak berdaya untuk menegakkan hukumdan hak asasi manusia di tengah-tengah kepunganmassa anarkis. Idealnya, melalui perangkat aparatpenegak hukum baik, Polisi, maupun Jaksa danberujung di Pengadilan, negara bisa membongkarotak pelaku, yang langsung maupun tidak langsung,termasuk juga pihak-pihak yang selama inimemberikan dukungan akan terjadinya kekerasan.Melihat kecenderungan hal tersebut di atas,Pengadilan sepertinya tak lagi dapat digunakansebagai salah satu sarana untuk menghalangimerebaknya kekerasan yang mengatasnamakanagama dan mengembangkan kehidupan pluralisme diIndonesia. Apalagi untuk melindungi hak-hakfundamental rakyat Indonesia, khususnya hak untukberibadah berdasarkan agama dan keyakinan, hakyang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Halini telah dijamin UUD 1945, yakni Pasal 28I ayat (1)UUD 1945, yang berbunyi:“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hakkemerdekaan pikiran dan hati nurani, hakberagama, hak untuk tidak diperbudak, hakuntuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukumyang berlaku surut adalah hak asasi manusiayang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”Jaminan Negara tentang kemerdekaanmemeluk agama pun dijamin Pasal 29 ayat (2) UUD1945. Lebih lanjut, Pasal 4 UU No. 39 tahun 1999tentang HAM juga menyatakan bahwa Hak Beragamamerupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalamkeadaan apapun. Begitu juga dalam peraturanperaturanInternasional . Hal inilah mengapa hak6beragama merupakan hak fundamental.Situasi ketidakmampuan Pengadilanmengungkap dan menghukum setimpal para pelakukekerasan bukan tidak mungkin justru mendorongdan memberikan pembenaran diam-diam bagiberbagai kelompok untuk melakukan kekerasan dantindakan sepihak dengan kekerasan kepadakelompok-kelompok rentan, yang saat ini marakterhadap agama minoritas.Keterangan1. Laporan Tim Penyelidikan Pelanggaran Hak<strong>Asasi</strong> Manusia yang SeriusAtas JemaahAhmadiyah Indonesia, Komnas HAM, 20112. Vonis Pendeta Antonius Richmond Bawengan, warga Jakarta Timur diPN Temanggung terkait kasus Penistaan Agama yang dihukum ringanpenjara 5 tahun. Kasus ini berawal pada pertengahan 2010 daripenyebaran dua buah buku yang berisi penistaan terhadap agama Islam.3. Putusan terhadap 13 (tiga belas) terdakwa dibacakan serentak padaKamis, 24 Februari <strong>2011.</strong>4. Kesaksian Muhamad Arkanul Safe'i dalam Putusan Perkara Nomor:308/PID/2011/PN.Serang, dengan terdakwa Ujang Muhamad Arif binAbuya Surya di Pengadilan Negeri Serang.5. Manan, Bagir. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak <strong>Asasi</strong>Manusia di Indonesia, Bandung:Alumni, 2001, hlm. 596. Lihat Pasal 18 DUHAM; Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil Politik;dan lihat juga Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransidan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan, disahkanResolusi Majelis Umum PBB 36/55 pada 25 November 1981. Deklarasi inimengatur tentang larangan melakukan diskriminasi berdasarkan agama,serta lebih jauh menerangkan cakupan kebebasan beragamasebagaimana telah diatur di dalam Pasal 18 Kovenan InternasionalTentang Hak-Hak Sipil dan Politik10ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAlaporan utamaMemutus RantaiPelanggaran Kebebasan BeragamaOleh Zainal Abidin(Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM ELSAM)Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesiadalam tataran normatif pada satu sisi semakinmaju yang ditandai dengan semakinlengkapnya perangkat hukum tentang hakasasi manusia (HAM), termasuk hak atas kebebasanberagama atau berkeyakinan. Namun, di sisi lain, masihbanyak regulasi masa lalu dan munculnya regulasi baru(yang lebih rendah) justru menghambat implementasijaminan bahkan terjadi pelanggaran hak atas kebebasanberagama atau berkeyakinan. Adanya kebijakan yangmembatasi dan diskriminatif, kekerasan berdasarkanlatar belakang agama atau keyakinan yang terusberlangsung, dan kriminalisasi terhadap kelompokminoritas yang dianggap “sesat” atau “menodai”, adalahsejumlah persoalan yang terus muncul.Negara dan aparatnya selama ini tampak tidaknetral dan berpihak dalam menjamin kebebasan warganegaranya untuk menjalakan kebebasan beragama danberkeyakinan. Negara masih membedakan perlakuanterhadap penganut kepercayaan, sekte dan agama.Misalnya saja sejak tahun 2008, terdapat situasi yangnyata-nyata mengancam kehidupan bangsa, munculnyasikap intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompokminoritas, adanya pemaksaan kehendak satu kelompokmasyarakat lainnya, dan maraknya kekerasan. Situasiini diperparah dengan minimnya ketegasan sikap negaradalam melakukan perlindungan dan pemenuhanterhadap hak-hak kelompok minoritas, khususnya dalamisu-isu kebebasan beragama dan berkeyakinan.Pada tahun 2010, situasi hak atas kebebasanberagama atau berkeyakinan semakin memburuk, yangterlihat dari jumlah pelanggaran yang kian meningkat,dan parahnya adalah peran negara dalam “mendukung”pelanggaran yang terjadi. Kasus-kasus yang munculjuga tidak mampu diselesaikan secara memadai olehpengadilan, termasuk kasus-kasus baru yang mulaidok.politikana.com1mengarah ke penyerangan fisik . Hingga kini, persoalanpersoalanyang muncul juga tidak jauh berbeda,diantaranya permasalahan perundang-undangan,permasalah penegakan hukum, dan permasalah peranwarga negara dan pemahaman tentang negara bangsa(nation-state). Eksisnya regulasi-regulasi masa lalu danmunculnya regulasi baru yang diskriminatifmemunculkan pelanggaran serius terhadap kelompokkelompoktertentu, pun ketika terjadi kekerasanterhadap kelompok minoritas, negara seolah tidak ada2dan seolah ada politik pembiaran oleh negara .Problem regulasi menjadi salah satu sorotanyang mengemuka dalam problem-problem tesebut,selain munculnya regulasi yang mendiskriminasi,penegakan hukum yang diskriminatif, ternyata masihbanyak regulasi yang tidak sejalan dengan jaminankebebasan beragama atau berkeyakinan berdasarkannorma-norma HAM internasional. Padahal, pada 2005,Indonesia telah meratifikasi The International Covenanton Civil and Political Rights, yang seharusnya Indonesiaberkewajiban untuk menyelaraskan segala bentukregulasi agar sejalan dengan Kovenan tersebut.Jaminan Berdasarkan Norma InternasionalKebebasan beragama merupakan salah satu bagianpenting dari hak asasi manusia. Berbagai instrumen hakasasi manusia internasional telah menegaskan tentangjaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan. Pasal18 Deklarasi Umum Hak <strong>Asasi</strong> Manusia (UniversalDeclaration of Human Rights) memberikan landasan hakbahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,berhati nurani dan beragama.Lebih rinci, Pasal 18 Konvenan InternasionalHak Sipil dan Politik. Pasal tersebut terdiri dari 4 pokok;pertama, setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,keyakinan dan beragama yang mencakup kebebasanuntuk menetapkan agama atau kepercayaan ataspilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendirimaupun bersama-sama dengan orang lain, baik ditempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agamadan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan,pengamalan, dan pengajaran. Kedua, tidak seorang pundapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untukmenganut atau menetapkan agama atau kepercayaannyasesuai dengan pilihannya. Ketiga,kebebasan menjalankan dan menentukan agama ataukepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi olehketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukanuntuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan,atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasanmendasar orang lain. Keempat, negara pihak berjanjiuntuk menghormati kebebasan orang tua dan apabiladiakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwapendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka3sesuai dengan keyakinan mereka sendiri .ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 201111


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAlaporan utamaDalam ICCPR, juga memberikan landasanprinsip-prinsip non diskriminasi dalam pelaksanaan hakhakyang diatur dalam Kovenan, yakni setiap negaramenghormati dan menjamin hak-hak bagi semua orangtanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jeniskelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asalusulkebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau4status lainnya . Semua orang berkedudukan sama dihadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukumyang sama tanpa diskriminasi apapun, hukum harusmelarang diskriminasi apapun, dan menjaminperlindungan yang sama dan efektif bagi semua orangterhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras,warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik ataupendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial,5kekayaan, kelahiran atau status lain . Terhadapkelompok minoritas, di negara-negara yang memilikikelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agamaatau bahasa, orang-orang yang tergolong dalamkelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknyadalam masyarakat, bersama-sama anggotakelompoknya yang lain, untuk menikmati budayamereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkanagamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka6sendiri” .Berdasarkan Pasal 18 ICCPR, negara tidakboleh melakukan diskriminasi terhadap agama-agamayang “tidak resmi” atau “agama baru” atau kepercayaankelompok masyarakat. Negara harus melindungi semuaagama dari diskriminasi dan menghormati hak-hakminoritas sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 277ICCPR . Perlindungan berdasarkan Pasal 27 ICCPR,menjadi kewajiban pemerintah untuk mengambillangkah-langkah dan upaya positif agar individu sebagaianggota kelompok minoritas dapat menikmati hakhaknya,termasuk memberikan perhatian untukpelibatan kelompok dalam penyusunan peraturanperundang-undangan yang mempunyai efek ataudampak langsung maupun tidak langsung terhadap8komunitas .Ketentuan lainnya yang memberikanpenjelasan tentang hak atas kebebasan beragama atauberkeyakinan terdapat dalam Deklarasi PenghapusanSegala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkanAgama atau Keyakinan (Declaration on the Eliminationof All Forms of Intolerance and Discrimination Based onReligion or Belief) 9. Deklarasi ini menjelaskan prinsipprinsiptentang nondiskriminasi, persamaan di mukahukum dan hak atas kebebasan kebasan berfikir, berhatinurani, beragama dan berkeyakinan. Termasuk dalamdeklarasi ini adalah semua negara wajib mencegah danmenghapus diskriminasi berdasarkan alasan-alasanagama atau kepercayaan, melakukan semua tindakanuntuk membuat atau mencabut perundang-undanganuntuk melarang diskriminasi apapun dan mengambilsemua tindakan yang tepat untuk memerangi intoleransi10berdasarkan alasan-alasan agama atau kepercayaan .Konteks Indonesia : Perlindungan dan PembatasanDalam hukum nasional, sebagaimana disebutkan diatas, hak atas kebebasan beragama telah pula diaturdalam berbagai instrumen hukum di Indonesia. DalamKonstitusi, UUD 1945, menjamin hak atas kebebasan11beragama atau berkeyakinan , hak atas perlindungan12dari tindakan diskriminatif dan persamaan di depan13hukum . Pasal 28I UUD 1945 menyatakan bahwa hakberagama, adalah hak asasi manusia yang tidak dapatdikurangi dalam keadaan apapun.Dalam UU 39 Tahun 1999 tentang Hak <strong>Asasi</strong>Manusia, Pasal 4 menyebut bahwa hak beragama,adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangidalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Setiap orangbebas memeluk agamanya masing-masing danberibadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,dan Negara menjamin kemerdekaan setiap orangmemeluk agamanya masing-masing dan beribadat14menurut agamanya dan kepercayaannya itu .Jaminan hak asasi manusia di Indonesia,mendapatkan landasan yang lebih kuat ketika tahun2005, muncul UU No. 12 Tahun 2005 TentangPengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-HakSipil Politik. Dalam konteks perlindungan hak ataskebebasan beragama atau berkeyakinan, RatifikasiKovenan ini berimplikasi bahwa negara harusmelindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan,tanpa diskriminasi, termasuk kepada hak-hak minoritas,dan mewajibkan kepada negara untuk melakukansegala upaya perlindungan baik jaminan hukum ataukebijakan yang sesuai dengan Kovenan, setiap negarapihak dalam Kovenan ini berjanji untuk mengambillangkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan proseskonstitusinya dan dengan ketentuan-ketentuan dalamKovenan ini, untuk menetapkan ketentuan perundangundanganatau kebijakan lain yang diperlukan untuk15memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Kovenan .Kewajiban untuk menyesuaikan pengaturanhak-hak berdasarkan Kovenan ini “terkendala” dengansejumlah “pembatasan” yang dalam beberapa hal tidaksesuai dengan pembatasan sebagaimana yangdiperbolehkan berdasarkan Kovenan. Pembatasan inimisalnya terlihat dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945,yang diantaranya memasukkan “nilai-nilai agama”sebagai bagian dari pembatasan tersebut. Padahalrumusan tentang pembatasan ini sebelumnya telahdinyatakan dengan lebih baik dalam UU No. 39 tahun1999 tentang HAM, karena lebih sesuai dengan16Kovenan .Soal pembatasan inilah yang kemudianmemunculkan soal HAM bersifat "non derogable” yangada di UUD 1945, misalnya adanya argumen apakahpasal 28 I bisa dibatasi oleh Pasal 28 J ayat (2). MKsendiri tidak berhasil meluruskan polemik tentangpembatasan hak yang bersifat non derogable ini. Dalamsejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sikappara hakim MK terlihat tidak konsisten mengenai17pembatasan HAM .Ketidakjelasan dan kekeliruan memaknaipembatasan inilah yang sering “dimanfaatkan” untukmempertahankan dan memproduksi regulasi yangmelanggar hak atas kebebasan beragama atauberkeyakinan di Indonesia. Lihat misalnya SuratKeputusan Bersama (SKB) tentang Peringatan danPerintah Kepada Penganut,Anggota dan/atau Pengurus18JAI dan Warga Masyarakat . Pemerintah menyebutkandalam penerbitan SKB tersebut tidak melanggar HAMkarena telah merujuk berbagai peraturan perundangundangan. Preseden ini kemudian diikuti oleh19sejumlah12ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAwilayah yang menerbitkan perda-perda dengan karakteryang sama. Bahkan UU No. 1/PNPS/1965 tentangPencegahan Penyalahgunaan dan/atau PenodaanAgama yang melanggar hak atas kebebasan beragamaatau berkeyakinan, justru tetap dipertahankan oleh MK.Sementara itu, saat ini juga masih banyak bertebaransejumlah regulasi sektoral yang melanggar hak atas20kebebasan beragama atau berkeyakinan .Memutus PelanggaranMerujuk pada sejumlah masalah dalam perundangundangandan praktek pelanggaran hak atas kebebasanberagama atau berkeyakinan di Indonesia, memutusrantai pelanggaran dapat dimulai dengan melakukanreformasi perundang-undangan baik berupapencabutan, perubahan maupun pembentukan regulasibaru yang lebih menjamin hak atas kebebasan21beragama atau berkeyakinan . Upaya ini haruslahdiletakkan dalam konteks kewajiban negara untukmenghormati, menjamin, melindungi hak-hak asasiwarga negara.Otoritas negara diwajibkan memenuhikewajibannya di bawah berbagai kovenan internasionalyang diratifikasi dan diwajibkan memajukan danmelindungi HAM sebagaimana tertuang dalam UU22HAM . Negara mempunyai kewenangan untukmelakukan pengaturan berdasarkan standar hak asasimanusia dan prinsip-prinsip yang dibenarkan dalamstandar hak asasi manusia. Setidaknya prinsip-prinsiptersebut diantaranya mencakup kesetaraan dan nondiskriminasi, perlindungan kepada kelompok minoritas,langkah-langkah affirmatif action demi kesetaraandalam pemenuhan hak asasi manusia, dan pemulihankepada korban pelanggaran.Merujuk pada Declaration on the Elimination ofAll Forms of Intolerance and Discrimination Based onReligion or Belief, regulasi yang dibentuk harusdilakukan untuk maksud menghapuskan segala bentukintoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama ataukeyakinan. Dalam hal ini, negara harus melakukansemua tindakan untuk membuat atau mencabutperundang-undangan untuk melarang diskriminasiapapun dan mengambil semua tindakan yang tepatuntuk memerangi intoleransi berdasarkan alasanalasanagama atau kepercayaan.Upaya-upaya dalam konteks perbaikanregulasi ini, harus kemudian ditindaklanjuti denganpenegakan hukum yang adil dan konsisten, denganmenghukum para pelaku pelanggaran dengan hukumanyang sesuai, termasuk aparat negara yang terlibatdalam pelanggaran baik langsung maupun tidaklangsung. Tindakan lainnya berupa peningkatanpemahaman hak asasi manusia terhadap seluruh aparatnegara, termasuk aparat kemananan dan aparatpenegak hukum. Langkah ini dapat dilakukan denganpendidikan hak asasi manusia secara terus menerusdan berkelanjutan dan akan berdampak padaperlindungan hak-hak warga negara khususnya dalammenjamin hak atas kebebasan beragama atauberkeyakinan.Keterangan1. Lihat Laporan HAM ELSAM 2010, “Penegakan HAM 2010: Tahun MenujuKemunduran”, 24 Maret 2010.2. Lihat Amin Abdullah, “Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan DalamPerspektif Kemanusiaan Universal, Agama-Agama dan Keindonesiaan”,Makalah disampaikan pada Pelatihan Lanjut HAM Bagi Dosen Hukumdan HAM, PUSHAM UII dan NHRC, 10 Juni <strong>2011.</strong>3. Lebih lengkap tentang maksud dan isi Pasal 18 ICCPR, dapat dilihatdalam Komentar Umum No. 22 Komite.4. Pasal 2 (1) ICCPR.5. Pasal 26 ICCPR.6. Pasal 27 ICCPR.7. Paragraf 2 dan 9 Komentar Umum No. 22.8. Komentar Umum No. 239. Proclaimed by United Nations the General Assembly on 25 November1981.10.Pasal 4 Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance andDiscrimination Based on Religion or Belief.11. Lihat Pasal 28E, Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 (2) UUD 1945.12.Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.13.Pasal 27, pasal 28D ayat (1) UUD 194514.Pasal 22 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM15.Pasal 2 ayat (1) ICCPR.16.Lihat pasal 70 dan 73 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.17.Lihat misalnya putusan MK terkait dengan pasal 28 I UUD 1945, padasatu putusan menyatakan bahwa pasal 28 I tidak tunduk pada pasal 28 J,namun dalam putusan yang lain pasal 28 I tunduk pada pembatasandalam pasal 28 J.18.Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung danMenteri dalam Negeri masing-masing No.03 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008 dan No.199 Tahun 2008.19.Lihat pernyatan (saat itu) Menteri Agama Maftuh Basyuni bahwa dalammengeluarkan SKB tersebut ada tiga peraturan perundang-undangan lainyang dijadikan acuan yaitu konstitusi Pasal 28E, 28I, 28 J dan Pasal 29UUD 1945 yang menjamin kebebasan warga negara untuk memelukagama atau kepercayaan dan beribadat sesuai dengan agama dankepercayaannya. Namun dalam menjalankan hak dan kebebasannyasetiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan denganUndang-Undang yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, khususnyaPasal 70 dan 73. Acuan ketiga adalah UU No. 12 Tahun 2005 tentangPengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.Hukumonline, “SKB Ahmadiyah Terbit Karena Takut Melanggar HAM”, 13Juni 2008. http://www.hukumonline.com/detail.asp? id=19489&cl=Berita20.Lihat misalnya UU Perkawinan, UU administrasi kependudukan, UUSistem Pendidikan Nasional dan sejumlah regulasi lainnya.21.Gagasan ini misalnya dapat merujuk pada pembentukan UU No. 40Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yangdibentuk, diantaranya selaras dengan International Convention on TheElimination of All Forms of Racial Discrimination 1965. Konvensi tersebutsudah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999tentangPengesahan International Convention on The Elimination of AllForms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentangPenghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965) (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 83, Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 3852);22.Abdul Hakim Garuda Nusantara, “MarginApresiasi HAM”, Kompas.ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 201113


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAnasionalPengaruh Dominan Sang WalikotaOleh Jayadi Damanik(Anggota Tim Advokasi GKI Taman Yasmin Bogor)Pada 2003, Diani Budiarto, seorang pegawainegeri sipil, terpilih sebagai Walikota Bogoruntuk periode pertama. Dia menggandengMochammad Said sebagai wakilnya.Belakangan Said tersandung perkara tindak pidanakorupsi, dan diganjar pidana penjara empat tahun.Kala itu Diani Budiarto diusung oleh Partai Golkar danPDIP. Setelah periode pertama berakhir, Dianikembali terpilih sebagai Walikota Bogor untuk periode2008-2013. Kali ini dia berpasangan dengan salahseorang kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS),Achmad Ru'yat. Lagi-lagi pasangannya tersandungperkara tindak pidana korupsi. Ru'yat kini dalamproses banding. Dalam periode kedua ini, sangwalikota diusung oleh Partai Golkar, PDIP plus PKS.Diani Budiarto tergolong berkarakternasionalis selama periode pertama menjabat.Setidaknya begitulah penilaian Jemaat GerejaKristen Indonesia (GKI) di Bogor kepadanya. Ramahtamahdengan DB di berbagai kesempatan punberlangsung dan dinikmati oleh Jemaat GKI tanpahambatan. Dengan penuh kesadaran ataskeniscayaan kebhinekaan, berbangsa, danbernegara, Pancasila, Konstitusi UUD 1945 danNegara Kesatuan Republik Indonesia, Walikota Dianipun menerbitkan IMB untuk GKI Taman Yasmin yangberalamat di jalan K.H. Abdullah bin Nuh No. 31,Kecamatan Bogor Barat, pada 2006 setelah melaluiproses yang komprehensif.Kini pembangunan gedung GKI TamanYasmin menjadi perbincangan universal.Sebagaimana yang telah cukup banyakterpublikasikan di media cetak maupun elektronik,baik di dalam maupun luar negeri. Izin MendirikanBangunan (IMB) yang pernah diterbitkannya, tiba-tibadibekukan. Pembekuan tersebut disepakati olehpihak GKI Taman Yasmin dan DB untuk diuji dipengadilan yang berwenang. Hingga tingkatPeninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung,Mahkamah memutuskan bahwa pembekuan tersebuttidak sah. Sayangnya Diani melakukanpembangkangan terhadap putusan pengadilan yangtelah berkekuatan hukum tetap itu.Advokat senior Todung Mulya Lubis dalamRapat Dengar Pendapat Umum di Komisi III DPR RIpada 15 <strong>September</strong> 2011, menilai bahwa WalikotaDiani telah melakukan penelikungan hukum atasputusan Mahkamah Agung, dan tidak pantas sebagaiwalikota. Ketua Ombudsman bahkan lebih keras. Diamenilai Diani telah melakukan makar.Hingga kini gedung GKI Taman Yasmintersebut disegel dan gerbangnya digembok olehPemda Kota Bogor. Akibatnya, sejak 11 April 2010,Jemaat GKI Taman Yasmin setiap minggu pagi pukul08.00 wib melaksanakan kebaktian di trotoar atau dipinggir jalan di dekat lokasi pembangunan gedungtersebut, di Jl. K.H. Abdullah bin Nuh No. 31, KotaBogor. Diani Budiarto bersikeras melakukanpembangkangan terhadap putusan pengadilan yangtelah berkekuatan hukum tetap, meski OmbudsmanRI, berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, telahmemberi waktu 60 hari kepada walikota untukmelaksanakan secara konsisten putusan pengadilanyang dimaksud.Sesungguhnya dengan penuh kesadaran,pada 27 Agustus 2010, Diani sempat memerintahkanSatpol PP Kota Bogor untuk secara resmi membukasegel dan gembok tersebut yang disertai denganBerita Acara, dengan pertimbangan bahwa sengketahukumnya telah memperoleh putusan yangberkekutan hukum tetap. Sayangnya pembukaansegel dan gembok tersebut hanya berusia 1 X 24 jam.Pada hari berikutnya, tanggal 28Agustus 2010 sekitarpukul 23.30 wib, Satpol PP Kota Bogor atas perintahWalikota Diani, kembali menggembok danmenyegelnya tanpa dasar hukum yang sah.Satu dari sekian peristiwa yang sangatmemilukan adalah peristiwa pada Minggu, 9 <strong>Oktober</strong><strong>2011.</strong> Hanya berselang 10 menit setelah kebaktianjemaat GKI Taman Yasmin dimulai, tepatnya pada08.10 wib, tiba-tiba Satuan Polisi Pamong Praja(Satpol PP) Pemkot Bogor membubarkan secarapaksa kebaktian tersebut. Jemaat yang sedangberdoa didorong-dorong oleh Satpol PP yangdipimpin oleh Kepala Satpol PP Kota Bogor. PersonelSatpol PP menerobos ke tengah-tengah Jemaat padasaat Jemaat sedang berdoa. Suatu perbuatan yangpada saat itu tidak pernah diduga terjadi, sebab padamalam sebelumnya, Kepala Bidang PenegakanPerda Satpol PP Kota Bogor telah menemui salahseorang Jemaat GKI Taman Yasmin, yang antara lainmenyatakan bahwa, Satpol PP tidak akanmendorong-dorong Jemaat GKI Taman Yasmin,seperti yang telah terjadi pada kebaktian PerjamuanKudus minggu sebelumnya.14ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAdok.matanews.comPembubaran kebaktian jemaat GKI TamanYasmin tersebut telah melanggar Pasal 28I ayat (1)UUD 1945 yang menjamin bahwa hak beragama,yang dalam hal ini adalah hak untuk beribadah,adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapatdikurangi dalam keadaan apa pun. Dalam situasiperang sekalipun, hak untuk beribadah ini tidak dapatdikurangi. Oleh karena itu, perbuatan Satpol PP KotaBogor tersebut telah melanggar Konstitusi NegaraRepublik Indonesia.Pada saat pembubaran kebaktian tersebut,aparat Kepolisian Polres Kota Bogor yang jugasedang bertugas di lokasi mengetahui dengan benarbahwa hak beribadah Jemaat GKI Taman Yasmin ituadalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalamkeadaan apapun. Sehingga sudah tepat sikap aparatkepolisian yang tidak turut-serta membubarkankebaktian tersebut. Tidak seperti halnya aparatKepolisian yang kewenangannya diatur dalam bentukUndang-Undang, kewenangan Satpol PP hanyalahdiatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), yaituPP No.6 Tahun 2010. Sudah seharusnya Satpol PPKota Bogor mengetahui bahwa secara hirarkis PP itulebih rendah dari Undang-Undang.Perbuatan Satpol PP Kota Bogor yangmembubarkan ibadah Jemaat GKI Taman Yasmintersebut tergolong melanggar HAM. Dikatakandemikian, karena bukan saja telah melanggar Pasal28I ayat (1) UUD 1945, tetapi juga seharusnya SatpolPP Kota Bogor tunduk pada asas hukum yangmenegaskan bahwa “lex superior derogat legiinferiori” (hukum yang lebih tinggi hirarkisnyamengalahkan hukum yang lebih rendah). Oleh karenaaparat kepolisian yang kewenangannya diatur dalamUU itu tidak membubarkan kebaktian tersebut, sebabberibadah itu adalah HAM yang tidak bisa dikurangi(non-derogable right), maka berdasarkan asashukum tersebut seharusnya Satpol PP Kota Bogoryang kewenangannya hanya diatur dalam bentuk PPitu juga tidak dapat membubarkan ibadah tersebut.Kapolres Bogor Kota AKBP Hilman diberbagai media cetak secara tegas menyatakanbahwa Polisi “… tidak berwenang melarang hakwarganegara beribadah” . Kapolresta Bogor ini sangatpaham perbedaan antara hak warga negara untukberibadah yang tidak dapat dikurangi dalam keadaanapapun dan hak menyatakan pendapat (unjuk rasa).Sebab beribadah yang dilaksanakan oleh JemaatGKI Taman Yasmin itu bukanlah unjuk rasa yangdapat dikurangi (derogable right).Dalam proses pembubaran ibadah tersebut, pihakSatpol PP juga menyebarkan fitnah terhadap JemaatGKI Taman Yasmin Bogor, seolah-olah merekamelakukan penganiayaan terhadap Kepala Satpol PPKota Bogor. Fitnah ini jelas-jelas terbantahkanberdasarkan rekaman video yang ditayangkan olehberbagai Stasiun TV yang ada. Fitnah tersebut patutpula diduga dengan sengaja disebarluaskan untukmengalihkan perhatian publik atas fakta yangsebenarnya, yaitu Satpol PP Kota Bogor telah nyatanyatamelanggar HAM dengan cara membubarkanibadah Jemaat GKI Taman Yasmin.Berbagai tokoh yang tak terbilang jumlahnya daridalam dan luar negeri juga telah mengecamkebijakan Walikota Bogor tersebut. Komisi III DPR RIjuga terheran-heran terhadap pembangkanganhukum yang dilakukan oleh Walikota Bogor itu.Sebagai warga negara, seharusnya semua pihak,termasuk Satpol PP Kota Bogor tidak perlu mengikutikebijakan Walikota Bogor yang melakukanpembangkangan terhadap hukum tersebut.Segala macam cercaan terhadap Diani Budiartorasanya tak mempan. Sampai sekarang sangwalikota seperti tak tersentuh oleh hukum akibatpembangkangan yang dia lakukan. Ini yang perludipertanyakan, mengapa bisa terjadi?ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 201115


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAnasionalKadaluarsa tak Berlaku untuk RawagedeOleh Imam Nasima(Peneliti Hukum Indonesia, alumnus Fakultas Hukum Universitas Utrecht, sekarang tinggal di Rijswijk)“Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata/Kaulah sekarang yang berkata/Kami bicara padamudalam hening di malam sepi/Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak/Kenang-kenanglah kami.”( Krawang-Bekasi – Chairil Anwar)16Perjalanan Kasus RawagedePada 9 Desember 1947 sepasukan tentaraBelanda pimpinan seorang mayor mendatangiRawagede. Mereka mencari Lukas Kustaryo.Belanda menengarai Lukas, komandan perangIndonesia berpangkat kapten, sedang berada di salah satudesa yang terletak antara Bekasi dan Karawang tersebut.Kapten Lukas memang menjadi buronan nomer satuBelanda. Kelompok pasukan pimpinannya seringmembunuhi tentara Belanda, melucuti pakaiannya,mencegat serta membakar kereta Belanda yang berisisenjata berikut amunisinya. Intinya, sepak terjang KaptenLukas dan pasukannya selalu bikin repot Belanda.Di hari naas itu, tentara Belanda memaksaseluruh laki-laki warga Rawagede untuk berjejer dandimintai keterangan mengenai keberadaan Kapten Lukas.Namun semua lelaki yang ditawan tak bisa menjawab.Kapten Lukas memang tak ada di desa itu. Dia sudah pergikeluar desa sehari sebelum kedatangan tentara Belanda.Tentara Belanda pun tak puas. Lalu mulailah eksekusi keji.Satu persatu penduduk laki-laki yang ada di situ ditembakmati. Banjir darah di Rawagede.Berapa persisnya jumlah korban yang terbunuhmemang masih diperdebatkan. Dokumen resmiPemerintah Belanda tahun 1969 menyebut angka 150korban, sementara menurut data Yayasan Komite UtangKehormatan Belanda (KUKB) 431 korban berjatuhan diRawagede. Namun fakta bahwa telah terjadi eksekusitanpa diawali proses hukum, terhadap penduduk takberdosa, tiada lagi terbantahkan. Committee of GoodOffices on the Indonesian Question – suatu komite yangbergerak di bawah naungan Dewan Keamanan PBB,melalui sebuah laporan yang terbit pada 12 Januari 1948,bahkan menyebut eksekusi Rawagede itu sebagai suatutindakan yang “disengaja dan keji”. Pelanggaran hukumyang sebenarnya sudah tidak perlu lagi diperdebatkan.Proses Hukum yang Sempat DihentikanFakta bahwa Belanda sendiri mengakui kemungkinanadanya pelanggaran dalam insiden tersebut, setidaknyadapat dilihat dari proses hukum terhadap si mayor yangsebenarnya dimulai beberapa bulan kemudian. Prosespenyelidikan mayor penyerbu Rawagede berlangsung taktuntas, dihentikan di tengah jalan. Pada Juli 1948, pihakkejaksaan Belanda membuat keputusan resmi untukmenghentikan penuntutan ( sepot)terhadap mayor yangkemungkinan bertanggungjawab atas eksekusiRawagede.ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011Sikap kejaksaan kemudian mendapat dukunganpolitik dari Pemerintah Belanda. Pada 1969, setelahmelalui serangkaian perdebatan di parlemen, PemerintahBelanda mengambil keputusan untuk tetap menghentikan1penuntutan pidana terkait insiden Rawagede . Dalihnya,tuntutan-tuntutan pidana terkait eksekusi tersebut sudahtidak mungkin lagi dilakukan, antara lain karenaketerbatasan kelengkapan alat bukti, atau, kalaupun alatbuktinya ada, deliknya sendiri sudah kadaluarsa.Sekitar Agustus 1995, bertepatan dengankunjungan Ratu Beatrix ke Indonesia, Peristiwa Rawagede2kembali mengemuka . Sebuah stasiun televisi mengangkatkembali peristiwa tersebut melalui sebuah liputan khususberjudul “ Excessen van Rawagede”. Publik Belandakembali mempertanyakan mengapa insiden memalukandalam sejarah Belanda tersebut sampai terjadi.Belakangan terjadi surat-menyurat antara pihakkejaksaan dengan kementerian hukum Belanda. Dalamkorespondensi itu disimpulkan benar bahwa pada 1947 diRawagede telah terjadi tindak pidana yang bisa dijeratsebagai tindak pidana militer. Kejaksaan sendiri, masihdalam surat-menyurat itu, tidak sepenuhnya yakin apakahkasus Rawagede ini termasuk kasus yang jangka waktukadaluarsanya dapat dihapuskan. Jika, katakanlah, kasusini dianggap tidak kadaluarsa, kejaksaan berpendapatbahwa tuntutan pidana akan dinyatakan pengadilan tidakdapat diterima. Kejaksaan merujuk pada putusan sepottahun 1947, serta kebijakan politik Pemerintah Belandapada 1969.Sementara tuntutan pidana terhadap si mayorbagaimanapun juga telah lama dihentikan oleh Kejaksaan.Bila ada tuntutan baru dikuatirkan akan mengandungkomplikasi pemberlakuan peraturan pidana militermengingat adanya perbedaan antara peraturan yangberlaku tahun 1945-1950 dengan peraturan yang berlakusaat ini.Sikap Pemerintah Belanda yang ambigutersebut, antara mengakui adanya pelanggaran namuntidak mengambil tindakan lebih lanjut, pada akhirnyabermuara pada gugatan yang diajukan oleh LiesbethZegveld. Dia adalah kuasa hukum sembilan pendudukRawagede—sekarang bernama Balongsari—danYayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB).Pengacara Zegveld, yang spesialis menangani advokasikorban-korban perang tersebut, melayangkan gugatanterhadap Pemerintah Belanda pada 2008.Dan seperti telah dituturkan sebelumnya,bantahan Pemerintah Belanda bukan menyangkut adaatau tidaknya peristiwa itu, maupun ada atau tidaknyapelanggaran hukum, namun mengenai masih bisa atautidaknya gugatan itu diajukan.


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAPemerintah Belanda pada prinsipnyaberanggapan gugatan korban Rawagede tersebut telahkadaluarsa. Pihak negara Belanda mendasarkan padainterpretasi tergugat atas putusan Hoge Raad selama ini,yaitu bahwa ketentuan mengenai jangka waktukadaluarsa dapat dikesampingkan hanya setelahberlakunya asas kepatutan dalam BW baru. Itupun hanyamenyangkut kerugian yang tidak bisa ditentukan sebelumjangka kadaluarsa tersebut lewat. Pertanggungjawabanatas hal yang terjadi 62 tahun lalu, menurut tergugat tidaktermasuk dalam gugatan yang dapat dikesampingkanjangka waktu kadaluarsanya. Lagipula, menurut pihaktergugat lebih lanjut, pada 1966 telah ada perjanjianantara pihak Belanda dan Indonesia untuk menyelesaikanpermasalahan-permasalahan finansial masa lalu,termasuk terkait kemungkinan ganti rugi akibat terjadinyaperistiwa Rawagede.Pendapat pihak tergugat di atas ditolak oleh3Pengadilan. Dalam putusannya tertanggal 14 <strong>September</strong>2011, Pengadilan Den Haag menyatakan asas kepatutantidak hanya berlaku untuk peristiwa hukum dalam lingkupBW baru saja. Di bawah pengaturan BW lama, jangkawaktu kadaluarsa juga dapat dikesampingkan, apabilatidak memenuhi asas kepatutan. Karenanya, untukmemutuskan kadaluarsa atau tidaknya gugatan, harusdengan mempertimbangkan pula fakta-fakta yang adaberdasar asas kepatutan.Menurut yurisprudensi yang ada selama ini,ketentuan mengenai kadaluarsa pada prinsipnya dapatdikecualikan dalam dua hal, yaitu terkait kerugian akibatpencemaran lingkungan yang muncul di kemudian hari,serta apabila putusan hakim perdata mengenai ganti rugibergantung pada putusan hakim tata usaha negaramengenai pelanggaran hukum yang terjadi. Namun dalamhal ini, di mana belum ada yurisprudensi sejenis,Pengadilan menilai bahwa harus dipertimbangkan pulafakta-fakta terkait peristiwa itu, dalam hal ini pembantaiantanpa adanya proses hukum.Bagaimanapun juga, negara telah mengakuibahwa eksekusi itu merupakan suatu pelanggaran seriusdan itu menjadi tanggungjawabnya. Baik berdasarkanlaporan Committee of Good Offices on the IndonesianQuestion, maupun dalam surat menyurat antara pimpinanmiliter dan jaksa ketika itu yang juga menyebutkan bahwaproses pidana terhadap mayor terkait akan bermuarapada dijatuhkannya hukuman terhadapnya. Mengetahuiterjadinya pelanggaran serius tersebut dan juga menerimapertanggungjawaban atasnya, negara sepatutnya sedariawal memperhitungkan pemberian ganti rugi kepada parakorban. Pengadilan menilai negara semestinya tidakhanya menunggu. Tidak selesainya permasalahan ini,sebenarnya juga karena kesalahan negara sendiri.Dengan demikian, pemberlakuan jangka waktukadaluarsa, tidak akan sesuai dengan asas kepatutan.Selanjutnya, meskipun mengakui bahwaperistiwa Rawagede ini merupakan fakta yang telah lewat,namun Pengadilan Den Haag beranggapan bahwa faktatersebut terkait sejarah negeri Belanda yang belumsepenuhnya ditutup, sebagaimana toleransi dalamkebijakan restitusi terhadap korban Perang Dunia Kedua4yang masih hidup . Kenyataannya, negara sendiri belummenutup periode itu, serta para korban Rawagede jugamasih hidup.Menurut Pengadilan, ganti rugi harus diberikankepada korban yang secara langsung terkait peristiwa itu,dalam hal ini para korban eksekusi dan para janda korban.Ganti rugi tersebut tidak meliputi keturunan korban padagenerasi selanjutnya. Yayasan KUKB sebagai salah satupenggugat, juga dinilai Pengadilan tidak berhubunganlangsung dengan peristiwa itu, serta tidak secara spesifikmenyebutkan para korban pembantaian Rawagede yangdiwakilinya.Dalam pendapat akhirnya, Pengadilanmenyatakan bahwa pemberlakuan jangka waktukadaluarsa untuk gugatan terkait eksekusi di Rawagedeitu tidak memenuhi rasa keadilan. Sementara,pemberlakuan jangka waktu kadaluarsa untuk gugatanatas pertanggungjawaban terkait dihentikannyapenuntutan, masih bisa diterima. Begitu fakta mengenaidihentikannya penuntutan terbuka pada 1969, saat itupula gugatan seharusnya sudah dapat diajukan danberlaku untuk masa lima tahun. Dalam hal ini tidak adapelanggaran serius yang dilakukan oleh negara,sebagaimana membiarkan terjadinya pembantaian diRawagede, sehingga tidak cukup alasan untukmengecualikan berlakunya jangka waktu kadaluarsa.Pada prinsipnya, ketentuan jangka waktukadaluarsa ditujukan untuk melindungi debitur darituntutan hukum (tak berdasar) yang lahir di kemudian hari,di mana alat bukti yang dapat mendukung bantahannyatelah hilang ditelan waktu, sehingga dirinya tidak dapat lagimempertahankan diri secara memadai terhadap tuntutanhukum tersebut. Dalam hal ini, pemerintah Belanda sendiritelah mengakui terjadinya tindakan eksekusi diRawagede, serta pelanggaran hukum dalam tindakan itu,sehingga pemberlakuan jangka waktu kadaluarsa untuktetap melindungi posisi hukum pemerintah tidak lagirelevan.Berdasarkan penilaian tersebut di atas,Pengadilan Den Haag dalam putusannya menyatakannegara telah melakukan perbuatan melawan hukum danbertanggungjawab atas perbuatannya itu, sertamemerintahkan pembayaran ganti rugi kepada korbanpembantaian di Rawagede pada Desember 1947. Masihada kesempatan bagi para pihak untuk mengajukan upayahukum banding dalam waktu 3 bulan setelah putusan itukeluar. Jadi, setelah tiga bulan, baru putusan itu akanberkekuatan hukum tetap.KETERANGAN:1. Sikap pemerintah ini tertuang dalam sebuah dokumen yang kemudiandikenal sebagai “ de Excessennota”yang diajukan oleh Kabinet De Jongpada tanggal 2 Juni 1969 dan memuat laporan (penelitian) akibat-akibatdari pertempuran yang terjadi di Indonesia pada periode 1945-1950.Penelitian tersebut dilakukan setelah pada bulan Januari 1969, dalamsebuah wawancara di televisi, psikolog Joop E. Hueting menceritakanpengalamannya sebagai tentara Belanda yang dikirim ke Indonesiapada waktu aksi polisionil (agresi militer) dilakukan. Wawancara inimemicu perdebatan publik Belanda, terutama membayangkan betapamengerikannya tindakan-tindakan tentara Belanda di Indonesia ketikaaksi itu terjadi.2. Rawagede is Nederlandse ereschuld, en er zijn meer, , 26-11-2008.3. Perkara nomor 354119/HAZA09-4171.4. Kebijakan restitusi adalah kebijakan yang membuka diajukannyatuntutan-tuntutan individu atas pengembalian barang-barang miliknyayang hilang atau dirampas dalam Perang Dunia Kedua.ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 201117


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAinternasionalPelajaran Berharga dari NorwegiaOleh Sofian M. Asgart(Peneliti Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak <strong>Asasi</strong> DEMOS)Tiga jam setelah bom meledak di Solo, SBY langsung menuding kelompok Cirebon sebagaipelakunya … Ketika bom meledak di Oslo, justru Pemerintah Norwegia dengan tegas menepisdugaan terorisme, seraya menyerahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian untuk segeramenyelidikinya …Dalam konteks perdamaian dunia, Norwegiamemiliki reputasi tersendiri. Sejak awal 1990-anNorwegia telah banyak memainkan peranpenting dalam beragam proses rekonsiliasi danperdamaian dunia. Lebih jauh lagi, keikutsertaannyadalam berbagai organisasi perdamaian dunia sepertiNATO, OSCE, Cluster Munitions, dan terutamaPerserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menempatkanNorwegia sebagai negara terdepan dalam upayaperdamaian dunia. Sekretaris Jenderal PBB yangpertama, Trygve Lie, berkebangsaan Norwegia.Demikian juga ihwal penghargaan Nobel perdamaianyang bergengsi itu. Meskipun Alfred Nobel (1833-1896)berkebangsaan Swedia, namun dengan beragamalasan, wacana mengenai anugerah Nobel kini lebihmengacu ke Norwegia sebagai salah satu kiblatperdamaian dunia.Karena itu, “serangan ganda” yang secaraberuntun terjadi di Norwegia Jum'at, 22 Juli 2011 bukansaja mengejutkan warga Norwegia. Peristiwa itu begitumenghentak dan mengejutkan dunia. Publikinternasional dikejutkan karena selama ini Norwegiadengan segala reputasinya dikenal sebagai negeri yangaman dan damai. Dua aksi brutal yang terjadi diNorwegia itu sungguh telah mengoyak dan mencideraisuasana damai di Negeri Viking itu.Aksi pertama, bom yang meledak di dekatperkantoran Perdana Menteri Norwegia di jantung kotaOslo. Ledakan ini memporak-porandakan sejumlahbangunan milik pemerintah. Target utamanya adalahjantung pemerintahan Partai Buruh, termasuk danterutama kantor Perdana Menteri Norwegia, JensStoltenberg serta kantor Kementerian Keuangan danPerminyakan. Meskipun Jens Stoltenberg dan jajarankabinetnya dikabarkan selamat dalam insiden itu,namun peristiwa ini telah merenggut setidaknya 7 orangkorban tewas dan belasan korban lainnnya luka-luka.Aksi kedua, secara hampir bersamaan terjadi diUtoya, sebuah pulau kecil selatan Oslo. Dalam aksibrutal ini, seorang pria bersenjata yang menyamarsebagai polisi, melakukan penembakan secaramembabi-buta di sebuah acara perkemahan pemudayang sedang digelar Partai Buruh, partai yang kinimenjadi “ the ruling party” di Norwegia. Radio dan televisiNRK/ Norsk Rikskringkasting mengabarkan, setidaknya86 orang korban meninggal dan puluhan lainnya lukalukadalam peristiwa yang memilukan itu. PerdanaMenteri Jens Stoltenberg sendiri menyebut tragediUtoya sebagai tragedi nasional terburuk sejakberakhirnya Perang Dunia Kedua.Banyak kalangan menilai serangan tersebutmerupakan tragedi terburuk bukan saja di Norwegia, tapidalam sejarah Eropa, paling tidak setelah teror Madrid,pada Maret 2004 silam. Atas kedua tragedi tersebut,berbagai spekulasi pun segera bermunculan.Setidaknya, ada tiga spekulasi yang kemudianmengemuka. Spekulasi pertama, lebih melihat seranganitu sebagai suatu intrik politik dalam negeri. Dua tragediNorwegia ini terutama dipersepsi sebagai seranganyang ditujukan terhadap rezim Partai Buruh yangdilakukan oleh partai-partai saingannya.Spekulasi kedua, dihubung-hubungkan denganLillehammer Scandal yang terjadi pada 1973. Konon,saat itu terjadi “salah operasi intelijen” yang berakibatpada buruknya hubungan diplomatik antara Norwegiadengan Israel. Lillehammer Scandal ini berujung denganpenangkapan beberapa anggota Mossad oleh polisiNorwegia dan terungkap sebagian besar jaringanMossad di Eropa dan beberapa kasus pembunuhantokoh Black <strong>September</strong> lainnya yang sebelumnyaberhasil dijaga kerahasiaannya oleh Mossad. Cerita inikemudian dihubung-hubungkan dengan kontekskekinian dimana semangat Peace Buiding yangdipromosikan Norwegia, terutama dalam kaitannyadengan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestinayang seringkali berseberangan dengan politik luarnegeri Israel.dok.mediaindonesia.com18ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIASpekulasi berikutnya adalah rumor lamamengenai Islamo fobia dan memposisikan gerakan“Islam radikal” sebagai tertuduh yang ada di balikkekejian dua peristiwa itu. Spekulasi ini antara laindidasarkan pada upaya-uapaya massif pemerintahNorwegia yang kini getol bergulat dengan isu terorisme,terutama terkait dengan upaya memburu jaringan Al-Qaeda. Dua orang yang diduga memeliki keterlibatandengan Al-Qaeda saat ini sedang mendekam di salahsatu penjara di Norwegia. Sebelumnya, salah seorangjaksa penuntut di Norwegia juga mengajukan dakwaanteror terhadap seorang ulama kelahiran Irak, MullahKrekar, pendiri kelompok Ansar al-Islam yang dituduhmelakukan ancaman pembunuhan terhadap salahseorang politisi Norwegia. Dengan berbagai latarbelakang ini, maka spekulasi “Islam radikal” seakanmendapat penguatan atas dua kasus yang terjadi diNorwegia itu.Namun demikian, Perdana Menteri Norwegia,Jens Stoltenberg seakan tak terpengaruh denganberbagai rumor dan spekulasi yang berkembang. "...sekali lagi saya sangat menggarisbawahi bahwa kamitidak akan berspekulasi. Kami akan menunggupenyelidikan polisi sebelum mengatakan apapunmengenai kasus ini ...," ucap Stoltenberg seperti dilansirCBS News. Sang Perdana Menteri bahkan dengantegas menepis dugaan terorisme kelompok tertentudengan hanya mengatakan bahwa aksi itu sebagaiserangan terhadap demokrasi.Dengan penuh percaya diri, sang PerdanaMenteri mengungkapkan: “ Mereka akan gagalmenghancurkan masyarakat terbuka Norwegia dan citacitanyauntuk menciptakan dunia yang lebih baik. Aksi itudapat membunuh manusia, tapi tidak dapat mematikannilai-nilai yang kita semua percayai. Saat ini adalah saatdimana kita harus berdiri bersama dan salingmenguatkan serta lebih peduli kepada satu sama lain,serta menunjukkan bahwa kejadian ini hanya akanmenguatkan Norwegia sebagai negara yang demokratisdan peduli pada kemanusiaan,” ujarnya.Sikap tersebut tentu sangat kontras misalnyabila dibandingkan dengan reaksi Presiden SusiloBambang Yudoyono (SBY) saat menyikapi musibahledakan bom yang terjadi di Solo. Berbeda denganStoltenberg yang berhati-hati dan berempati, tiga jamsetelah bom meledak di Solo, dengan gegabah SBYlangsung menuding kelompok Cirebon sebagaipelakunya. Padahal, polisi dan jajaran intelijen saja saatitu belum mengungkapkan temuannya. Alih-alih mencarisolusi dan menenangkan masyarakat, pernyataan SBYyang serampangan itu seakan menjadi teror tersendiribagi masyarakat. Dalam konteks ini, agaknya, sikapStoltenberg dapat menjadi pelajaran berharga bagi kitasemua.Setidaknya, ada dua pelajaran penting yangdapat diambil dari sikap Stoltenberg. Pertama, sikaphati-hati dan empati. Sebagai pemimpin pemerintahantertinggi, Stoltenberg tidak serta-merta mengintervensisebuah peristiwa. Secara profesional iamempercayakan penanganan kasus itu sepenuhnyakepada 'yang berwajib', yaitu jajaran kepolisian danintelijen untuk mengungkapnya. Kedua, di tengahsuasana duka yang mendalam, Stoltenberg tidakterjebak pada sikap 'cengeng' dan sentimentil, apalagimenyudutkan kelompok tertentu. Ia justru mampumembangun sikap positif yang menentramkan. Sikappositif ini sejatinya yang akan tumbuh menjadi semangatcounter-terrorisme yang pada gilirannya kemudianmenjalar menjadi semacam “provokasi damai” yangdidukung segenap kalangan masyarakat.Tak heran jika kemudian muncul “pelajaran lain”yang mengagumkan yang ditunjukkan masyarakatNorwegia saat menghadapi musibah tersebut. Di tengahsuasana duka yang mendera warga Norwegia, merekajustru bertekad saling menguatkan dengan bersamasamamengusir dendam. Ini terbukti, selang tiga hariberikutnya, ketika polisi berhasil mengidentifikasi danmengungkap Anders Behring Breivik, si pelakusebenarnya.Dari berbagai liputan media Norwegia, kitamenyaksikan suasana haru yang dibalut kedewasaanmasyarakat dalam menyikapi tragedi itu. Teror, apapundan dimanapun memang bertujuan untuk menciptakankepanikan. Ketika masyarakat dan apalagi parapemimpin bersikap panik, maka para teroris akanmerasa menang. Namun sebaliknya, jika masyarakatmampu melawan kepanikan, maka teror itu tidak akanmampu memprovokasi siapapun, kecuali menerordirinya sendiri. Inilah pelajaran terpenting yang dapatdiambil dari tragedi Norwegia.Meski peristiwa itu teramat menyayat tapi tidaktampak rasa dendam yang berlebihan. Sejumlahkeluarga korban yang diwawancarai bahkan tidakmenunjukkan kemarahan sekalipun air mata merekamengalir tak tertahankan. Yang kemudian tampakmassif adalah gerakan damai ratusan ribu warga yangtumpah-ruah ke jalan dengan lilin dan bunga hampir diseluruh penjuru kota.Pada hari dimana Anders Behring Breivikdiadili, ratusan ribu warga Norwegia menundukkankepala dalam harapan bersama dan doa. Doa untukmemberi penghormatan bagi para korban dan harapanmereka bagi masa depan negerinya yang lebih damaidan demokratis. “ Kami semua berkumpul di sini bukanuntuk berkeluh kesah, tapi kami ingin saling menguatkansatu sama lain. Kami percaya, kejadian ini hanya akanmenguatkan Norwegia sebagai negara yang demokratisdan peduli pada kemanusiaan,” ujar salah seorangwarga seakan mengamini sikap dan pernyataan JensStoltenberg, pemimpin panutannya yang memang layakmenjadi panutan.ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 201119


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAmonitoring sidangKejanggalan Peradilan Petani UrutsewuOleh Akhmad Murtajib(Direktur Institut Studi untuk Penguatan Masyarakat/ INDIPT Kebumen)Kawasan Urutsewu dikenal luas sejak kasuspenembakan secara brutal oleh pasukan TNIAngkatan Darat terhadap petani setempat diDesa Setrojenar, 16 April <strong>2011.</strong> Media masamemberitakan kejadian itu sebagai 'bentrok' antaraPetani Urutsewu vs TNI. Korban kejadian itu 12 orangluka, tujuh di antaranya terkena luka tembakanpeluru, 12 motor hancur dan tanaman warga rusakparah. Sedang dari pihak TNI, gapura TNI dangudang senjata sedikit rusak.Sampai beberapa hari paska kejadian, situasikawasan Setrojenar sangat mencekam. Wargamengalami ketakutan, trauma, apalagi pada malamharinya muncul isu sweeping terhadap warga. WargaSetrojenar, terutama laki-laki mengungsi di berbagaitempat. Beberapa diantaranya menyempatkanpulang di siang hari untuk mengurus ladang, tapimengungsi kembali saat petang. Semingguan lebihsituasi mencekam di Setrojenar berlangsung.Pengadilan dan Kriminalisasi WargaDalam kasus Urutsewu ini beberapa wargaditangkap dan ditahan aparat kepolisian. Sebagiandilepaskan, tetapi beberapa dari mereka ditahan, dandalam beberapa minggu kemudian diseret kepengadilan. Tercatat empat orang diseret kepengadilan dengan tuduhan melakukan perusakangapura Markas Dislitbang TNI. Sedangkan dua wargalain yang ditahan adalah warga Desa Setrojenar danDesa Bercong dalam kasus lima hari sebelumnya,tetapi masih dalam satu rangkaian kasus Urutsewu.Keenam orang diseret pengadilan dalamkasus ini nampaknya berbeda, tapi sejatinya dalamsatu rangkaian. Empat di antaranya adalah Solekhan,Mulyono, Adi Wiluyo dan Sobirin (selanjutnya disebutSolekhan Cs). Mereka diseret ke pengadilan dengandakwaan perusakan Gapura TNI, dijerat Pasal 170ayat (1) KUHP dengan tuntutan masing-masing satutahun penjara. Sedang dua orang lainnya, yakniAsmarun dan Sutriono (selanjutnya disebut AsmarunCs) dituduh telah melakukan pemukulan terhadapseseorang yang akan mengirimkan makanan untukprajurit TNI AD. Mereka juga dijerat dengan pasalKUHP yang sama, plus pasal penganiayaan.Proses pengadilan terhadap keenam petaniUrutsewu tersebut diwarnai dengan kejangalankejanggalan.Pertama, persidangan terkesan lepasatau dilepaskan dari konteks kasus Urutsewu secarautuh. Perspektif Jaksa Penuntut Umum, yang bisadilihat dari dakwaan, begitu kuat menggiring kasusUrutsewu sebagai semata tindak pidana murni yangtidak berkait dengan peristiwa yang melatarbelakangiyakni penolakan warga Urutsewu terhadap tempatlatihan TNI AD. Padahal, kedua kasus Asmarun Csdan Solekhan Cs itu hampir mustahil dilakukan tanpaadanya peristiwa yang melatari. Melepaskan kasusini dari konteks kejadiannya sama saja kriminalisasiterhadap terdakwa.Begitu pula dengan majelis hakimnya.Misalnya, dalam sesi persidangan saat penasehathukum terdakwa meminta penangguhan penahanan.Atas permintaan itu, hakim mengajukan syarat bilapara terdakwa bisa menunjukkan bukti kepemilikantanah Urutsewu maka permohonan Tim PenasehatHukum bisa dipenuhi. Syarat yang sebenarnya takterkait langsung dengan pokok perkara kriminalisasi.Tetapi begitu dalam sidang berikutnya penasehathukum terdakwa dapat menunjukkan buktikepemilikan tanah warga berupa Letter C dansertifikat, pihak hakim tidak jadi memenuhipermintaan penangguhan penahanan tersebut.Pada satu sisi, permintaan hakim memintabukti kepemilikan tanah dianggap oleh rakyat sebagaibentuk apresiasi terhadap kontek peristiwa kasusUrutsewu. Namun pada kenyataannya, buktikepemilikan tanah itu pun tidak bisa jadi jaminanpenangguhan penahanan. Dan sampai persidanganberakhir, bukti kepemilikan tanah itu juga tidakmenjadi landasan untuk pembebasan petani.Kedua, pengadilan petani Urutsewu sejakpenyidikan terkesan sangat dipaksakan untuk segeraselesai. Kesan dipaksanakan tersebut jugamenunjukkan bahwa pengadilan itu memang sudahby design. Hal ini tercermin dalam BAP (Berita AcaraPemeriksaan) yang dibuat untuk kedua kasus baikSolekhan cs maupun Asmarun Cs, yakni bahwa BAPdibuat sebelum adanya laporan polisi. Untuk kasusSolekhan cs, BAP dibuat satu jam sebelumpemeriksaan dilakukan, sedang untuk kasusAsmarun Cs, BAP dibuat setengah jam sebelumnya.Logikanya, penyidik terlebih dahulumelaksanakan tindakan mengumpulkan barang buktisetelah adanya laporan dari korban. Baru kemudianpenyidik melakukan tindakan pemeriksaan terhadapsaksi korban. Majunya waktu satu jam (untuk kasusSolekhan Cs) dan setengah jam (untuk kasusAsmarun Cs) mengindikasikan sudah ada tandatandakriminalisasi terhadap para terdakwa. Merekasudah dikorbankan jauh sebelum persidangandimulai. Kesan bahwa pemeriksaan di kepolisian inidipaksakan untuk segera dilimpahkan ke kejaksaandan pengadilan.Dalam proses awal di kepolisian terlihat daritidak adanya penasehat hukum baik untuk terdakwaAsmarun cs maupun Solekhan Cs. Padahal, untukkasus pelanggaran Pasal 170 ayau (1) KUHAP paraterdakwa wajib didampingi oleh penasehat hukum,20ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAbaik pilihan sendiri ataupun penunjukan. Namundalam kenyataannya, para terdakwa dari dua kasusitu tidak ada penasehat hukumnya. Memang, dalamBAP disebutkan bahwa Polres Kebumen menunjukpenasehat hukum untuk terdakwa. Tetapi dalamkenyataan juga, para terdakwa tidak pernahdipertemukan dengan penasehat hukum yangditunjuk oleh kepolisian tersebut.Tiadanya penasehat hukum saatpemeriksaan, atau adanya penunjukan penesehathukum bagi terdakwa tapi tidak pernah dipertemukandengan terdakwa, artinya bahwa para penyidik tidakmemenuhi hak konstitusional tedakwa dalam halmendapatkan penasehat hukum. Ini juga menjadiindikasi bahwa pengadilan petani Urutsewu memangdipaksakan, agar proses kriminalisasi tidakterbongkar dan secepatnya selesai.Ketiga, saksi dalam persidangan yangdiajukan oleh penuntut umum banyak saksi dari parapolisi. Dari tujuh saksi yang diajukan oleh penuntutuntuk kasus Asmarun Cs, tiga di antaranya adalahpolisi. Begitu juga untuk kasus Solekhan Cs saksiyang ditampilkan ada delapan orang, dua TNI dan tigakepolisian, termasuk salah satunya adalah KapolsekBuluspesantren.Saksi dari unsur kepolisian yang begitubanyak menunjukan bahwa pihak kepolisian telahmengetahui kejadiannya. Secara logika, aparatkepolisian juga sudah mengetahui kasus Urutsewuyang saat itu sudah menjadi pembicaraan publik diKebumen. Apalagi Markas Polsek Buluspesantrendekat dengan lokasi kejadian. Keberadaan polisi ditempat kejadian, yang diwujudkan dengan adanyasaksi, dan mereka tidak melakukan tindakan apapun,mengindikasikan bahwa kasus Urutsewu memangtelah dirancang untuk kriminalisasi petani yang saatitu, dan jauh-jauh tahun sebelumnya menolakkawasan Urutsewu sebagai kawasan latihan perangTNIAD.Empat, pengadilan terhadap petani Urutsewuadalah pengadilan sepihak. Petani diseret kepengadilan karena melakukan pemukulan danperusakan, tapi dalam kenyataannya sampaipersidangan petani selesai, tidak ada satu pun oknumTNI yang diseret ke pengadilan. Padahal, para oknumTNI itu juga secara brutal telah melakukanpenembakan dan penganiayaan terhadap petaniUrutsewu serta merusak barang berupa motor milikwarga. Pengadilan sepihak ini menjadi bukti bahwapengadilan yang digelar di Pengadilan NegeriKebumen memang untuk kriminalisasi petani.Membaca kasus Urutsewu tidak bisa lepasatau dilepaskan dari kontek peristiwa penolakanpetani terhadap kawasan Urutsewu sebagai tempatlatihan TNI. Pengadilan terhadap petani Urutsewuyang lepas konteks yang melatarinya, serta terkesandipaksakan dan sepihak, bukanlah solusipenyelesaian konflik tanah di kawasan itu.Sebaliknya, pengadilan semacam itu akanmelahirkan bentuk-bentuk ketidakadilan baru berupakriminalisasi petani.KETERANGAN:1. Sweeping tidak hanya di desa dekat kejadian, yakni Desa Setrojenar,tetapi hampir di seluruh desa yang menjadi bagian dari FPPKS, yakniDesa Bercong, Ayamputih, Desa-Desa di kecamatan Ambal (Entak,Kenoyojayan, Ambalresmi, Kaibonpetangkuran, Kaibon, Sumberjati),Desa di kecamatan Mirit (Wiromartan, Lembupurwo, Tlogopragoto, Mirit,Tlogedepok, dan Mritpetikusan).2. Kejaksaan Negeri Kebumen, Surat Tuntutan Nomor Register Perkara:PDM – 70/KEBUM/0611 atas nama terdakwa: Solekhan alias Lekhan,Mulyono,Adi Wiluyo, Sobirin alis Birin,Agustus <strong>2011.</strong>3. Kejaksaan Negeri Kebumen, Surat Tuntutan Nomor Register Perkara:PDM – 71/KEBUM/0611 atas nama terdakwa: Asmarun alias Lubar,Sutriono alias Godreg,Agustus <strong>2011.</strong>4. Wawancara dengan Teguh Purnomo, SH, Penasehat Hukum terdakwadari TAPUK, TeamAdvokasi Petani Urutsewu Kebumen.5. Tapuk (Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen), Eksespsi AtasDakwaan Jaksa Penuntut Umum Dengan No. Reg Perkara: PDM-70/KEBUM/0611, dalam Perkara Pidana Nomor: 123/Pid.B/2011/PNKBM atas Nama Terdakwa: Solekhan alias Lekhan bin Sadimin, Mulyonobin Mihad, Adi Wiluyo bin Banjir, Sobirin alias Birin bin Wasijo, yangdidakwa melanggar Pasal 170 Ayat (1) KUH Pidana atau Pasal 406 ayat(1) KUH Pidana jo Pasal 55 ayat (1) KUH Pidana.6. Tapuk (TimAdvokasi Petani Urutsewu Kebumen), EksepsiAtas DakwaanJaksa Penuntut Umum Dengan No. Reg Perkara: PDM-71/KEBUM/0611, dalam Perkara Pidana Nomor: 122/Pid.B/2011/PNKBM atas Nama Terdakwa: Asmarun als Lubar bin Jaswadi, Sutriono alsGodreg bin Lamija, yang didakwa melanggar Pasal 170 Ayat (1) KUHPatau Pasal 351 KUHP ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.7. Kejaksaan Negeri Kebumen, Surat Tuntutan Nomor Register Perkara:PDM – 71/KEBUM/0611 atas nama terdakwa: Asmarun alias Lubar,Sutriono alias Godreg,Agustus 2011, point Keterangan Saksi-saksi8. Kejaksaan Negeri Kebumen, Surat Tuntutan Nomor Register Perkara:PDM – 70/KEBUM/0611 atas nama terdakwa: Solekhan alias Lekhan,Mulyono, Adi Wiluyo, Sobirin alis Birin, Agustus 2011, point keterangansaksi-saksi9. Gapura TNI berada di pusat Kota Kecamatan Buluspesantren, danletaknya sekitar 1 km dari Polsek Buluspesantren.10. Informasi terakhir bahwa 12 motor milik warga yang dirusak oleh oknumTNI sekarang ada di Subdempom, Purworejo, kabupaten di sebelahtimur Kebumen. Ada kabar bahwa motor itu akan menjadi barang bukti,tapi barang bukti untuk siapa tidak jelas.ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 201121


ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIAmonitoring sidangDelik Kriminal UU PerkebunanBertentangan dengan KonstitusiOleh Andi Muttaqien(Staf Pelaksana Divisi Advokasi Hukum ELSAM)Kabar tersiar begitu cepat melalui layanan pesansingkat ponsel. Japin dan masyarakat DusunSilat Hulu, Desa Bantan Sari, Kecamatan Marau,Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat bersyukurkarena pasal yang menjerat dirinya dan rekannya, VitalisAndi, dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada Senin, 19<strong>September</strong> <strong>2011.</strong> Japin, bapak dua anak ini, adalahkorban kriminalisasi karena memperjuangkan tanahnyadari klaim serakah perusahaan perkebunan PT. BangunNusa Mandiri. Perusahaan milik Sinar Mas Group inimerambah tanah Masyarakat Adat Silat Hulu untukdijadikan lahan perkebunan.Tak hanya Japin dan VitalisAndi, dua petani lain,Sakri dan Ngatimin alias Keling, pun berbangga hatilantaran permohonannya dikabulkan MahkamahKonstitusi dengan membatalkan Pasal 21 dan Pasal 47ayat (1) dan ayat (2) UU No. 18 Tahun 2004 tentangPerkebunan (selanjutnya UU Perkebunan). MahkamahKonstitusi juga menyatakan bahwa kedua Pasal tersebuttidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.Ketentuan Pasal 21 UU Perkebunan padapokoknya berisikan larangan bagi setiap orang yangmelakukan segala tindakan, yang dianggap dapatmengganggu jalannya aktivitas perkebunan. Namundemikian, rumusan norma Pasal 21 ini terlalu luas dantidak rigid sehingga mudah disalahgunakan dalamimplementasinya. Selain itu, ketentuan Pasal 21 ini jugadianggap mengabaikan hak-hak masyarakat lokal danmasyarakat adat, sebagai pemilik ulayat atas tanah yangbanyak digunakan sebagai tempat usaha perkebunan.Permohonan Pengujian Pasal 21 dan Pasal 47ayat (1) dan ayat (2) UU Perkebunan ini diajukankeempat petani tersebut di atas pada Agustus 2010, dansetelah berjalan selama setahun dengan 6 kalipersidangan, Mahkamah Konstitusi pun memutusnya.pada kerusakan kebun itu dilakukan oleh karenakesengajaan atau kelalaian pemilik kebun sendiri,misalnya karena kesalahan dalam pengerjaan danpemeliharaan kebun, Apakah hal demikian termasukrumusan tindakan yang dimaksud? Begitu pula denganfrasa “dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkanterganggunya usaha perkebunan” dapat menimbulkantafsir yang sangat luas.Mengenai tindakan okupasi tanah tanpa izinpemilik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 UUPerkebunan, MK berpendapat bahwa hal itu merupakanperistiwa atau kasus yang sudah terjadi sejak zamanHindia Belanda dimana tanah yang menjadi objek hakerfpacht diberikan tanpa batas yang jelas, sehinggaseringkali melanggar hak atas tanah-tanah yangdikuasai (hak ulayat) atau dimiliki rakyat berdasarkanhukum adat (erfelijk individueel bezitrecht), sehinggamenimbulkan konflik antara pemilik hak erfpacht denganmasyarakat adat yang menguasai hak ulayat.Kedudukan persil erfpacht kuat karena selaludimungkinkan mengusir rakyat (inlanders) yangmemakai tanah baik dengan ganti rugi maupun tanpaganti rugi. Namun pada zaman Jepang, PemerintahPendudukan Jepang telah mengijinkan rakyatmenduduki tanah perkebunan milik pemegang erfpachtagar dikerjakan dan hasilnya dibagi antara PemerintahMelanggar Kepastian Hukum dan MengabaikanMasyarakat Hukum AdatMahkamah Konstitusi menganggap ketentuan Pasal 21UU Perkebunan “ dilarang melakukan tindakan yangberakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya”,merupakan rumusan pasal yang terlalu luas. Karena,menurut MK, bagaimana jika tindakan yang berakibatdok.Razif ELSAM.22ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2011


Pendudukan Jepang dengan rakyat dalam rangkamenimbun stok pangan untuk kepentingan PerangDunia II. Tanah-tanah perkebunan demikian sampaisekarang masih banyak yang diduduki rakyat, tetapidipersoalkan Pemerintah Indonesia karena dianggaptidak sah. Akhirnya yang terjadi adalah sengketa antararakyat dengan Pemerintah. Kemudian, pemilik erfpachtdengan membonceng agresi militer Belanda I dan IItelah berusaha mengambil kembali tanah di banyakonderneming, misalnya di Sumatera Timur, Asahan, danMalang Selatan. Sehingga beberapa peraturankemudian memerintahkan untuk penyelesaian tanaherfpacht dengan jalan musyawarah agar dapat diterimasegala pihakOleh karenanya menurut MK, masalahpendudukan tanah tanpa izin pemilik sangatlahberagam sehingga penyelesaiannya pun seharusnyamenurut pertimbangan-pertimbangan keadaan yangberbeda. Lebih lanjut, MK menyatakan bahwa kasuskasusyang sekarang timbul di daerah-daerahperkebunan yang baru dibuka, sangat mungkindisebabkan oleh tiadanya batas yang jelas antarawilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkanhukum adat dengan hak-hak baru yang diberikan olehnegara berdasarkan ketentuan perundang-undangan.Hakim Konstitusi, Ahmad Sodiki, dalamputusannya menyatakan, “Dengan demikian penjatuhansanksi sebagaimana dimaksud Pasal 47 ayat (2)Undang-Undang a quo tidak tepat jika hal tersebutdikenakan terhadap orang yang menduduki tanahberdasarkan hukum adat karena timbulnya hak-hak adatadalah atas dasar ipso facto. Artinya seseorangmembuka, mengerjakan dan memanen hasilnya ataskenyataan bahwa ia telah mengerjakan tanah tersebutsecara intensif dalam waktu yang lama, sehinggahubungan seseorang dengan tanah semakin intensif,sebaliknya hubungan tanah dengan hak ulayat semakinlemah. Adapun pemberian hak-hak baru dalam bentukhak guna usaha atau hak pakai berdasarkan ipso jure,yang mendasarkan diri pada ketentuan perundangundanganKemudian Mahkamah Konstitusi jugaberpendapat bahwa keberadaan ancaman pidana diPasal 47 UU Perkebunan amatlah berlebihan. Konflikyang timbul merupakan sengketa keperdataan yangseharusnya diselesaikan secara keperdataan denganmengutamakan musyawarah sebagaimana dimaksudoleh UU No. 51/Prp/1960 maupun ketentuan-ketentuanlain sebelum diundangkannya UU No. 51/Prp/1960,tidak diselesaikan secara pidana.Putusan Mahkamah Konstitusi ini menegaskanpengakuan terhadap hak asasi manusia dan hak-hakmasyarakat adat dalam UUD 1945. Sehingga, hak asasimanusia, dan keragaman, keunikan yang ada padamasyarakat adat diakui dan dilindungi oleh negara.Selain itu pertimbangan yang dikemukakan MahkamahKonstitusi dalam Putusannya patut diapresiasi, karenaberhasil melihat kenyataan konflik Perkebunan diIndonesia.Implikasi PutusanKeberadaan Pasal 21 dan 47 UU Perkebunan yangsejak disahkan pada 2004 memang kerap menjeratpetani dan masyarakat adat. Norma sumir dan ketidakprofesionalnya aparat kepolisian dalam menghadapikonflik-konflik lahan di daerah menyebabkan banyakmasyarakat ditangkap dan ditahan, kemudian terpaksamenjalani proses hukum, yang celakanya juga tidak fair.Bahkan di Blitar terdapat warga yang ditangkap hanyakarena berjalan di areal perkebunan yang sedangdisengketakan. Dibatalkannya ketentuan Pasal 21 danPasal 47 UU Perkebunan ini juga telah memberikanangin segar bagi setiap petani dan masyarakat untukmemperjuangan kembali lahan-lahan dan tanahnyayang selama ini dirampas dan digunakan perusahaanperkebunan.Argumentasi Mahkamah Konstitusi yangberujung pada pembatalan Pasal 21 dan Pasal 47 UUPerkebunan sangat tepat diperhatikan dan menjadipedoman para pengambil kebijakan Negara, Presiden,Menteri Pertanian cq. Dirjen Perkebunan, Kepala BadanPertanahan Nasional, serta aparat penegak hukum(Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung besertaseluruh lembaga Peradilan di bawahnya), harusmemperhatikan dan menjadikan Putusan MahkamahKonstitusi ini sebagai indikator dan pegangan dalamsetiap pengambilan kebijakan dan putusan yangberkaitan dengan hak-hak petani/masyarakat adat sertakonflik-konflik perkebunan, terutama yang berkaitandengan “pengakuan, jaminan, perlindungan hak asasimanusia dan hak-hak masyarakat adat, jaminankepastian hukum yang adil, serta persamaan di depanhukum”.


PROFIL ELSAMLembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkatELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan danmelindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimanadiamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak <strong>Asasi</strong> Manusia PerserikatanBangsa-Bangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis diIndonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM).VISITerciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati hak asasimanusia.MISISebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipilpolitikmaupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan.KEGIATAN UTAMA:1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia;2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya;3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusiaPROGRAM KERJA:1. Meniadakan kekerasan atas HAM, termasuk kekerasan atas HAM yang terjadi di masa lalu dengan aktivitasdan kegiatan yang berkelanjutan bersama lembaga-lembaga seperjuangan lainnya.2. Penguatan Perlindungan HAM dariAncaman Fundamentalisme Pasar, FundamentalismeAgama, danKomunalisme dalam Berbagai Bentuknya.3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan Kelembagaan, Penguatan Kapasitas danAkuntabilitas Lembaga.STRUKTUR ORGANISASI:Badan Pengurus:Ketua: Sandra Moniaga, SH.Wakil Ketua : Ifdhal Kasim, SH.Sekretaris : RoichatulAswidah, Msc.Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LLMBendahara II :Abdul Haris Semendawai SH, LLMAnggota Perkumpulan:Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Asmara Nababan; I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir. AgustinusRumansara, M.Sc.; Hadimulyo; Lies Marcoes, MA; Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; MariaHartiningsih; E. Rini Pratsnawati; Ir. Yosep Adi Prasetyo; Francisia Saveria Sika Ery Seda, PhD; Raharja WaluyaJati; Sentot Setyasiswanto S.Sos; Tugiran S.Pd; Herlambang Perdana SH, MABadan Pelaksana:Direktur Eksekutif : Indriaswati Dyah Saptaningrum, S.H. LLM;Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan , dan Plt Kepala DivisiAdvokasi Hukum: Wahyu Wagiman, SH.Deputi Direktur Pengembangan sumber daya HAM ( PSDHAM), dan Plt Kepala Divisi Monitoring Kebijakan danPengembangan Jaringan: ZainalAbidin, SH.Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan: OttoAdi Yulianto, SE;Staf:Ahmad Muzani; Andi Muttaqien SH; Elisabet Maria Sagala, SE; Elly F. Pangemanan; Ester Rini Pratsnawati;Ikhana Indah Barnasaputri, SH; Khumaedy; Kosim; Maria Ririhena, SE; Paijo; Rina Erayanti; Triana Dyah, SS; SitiMariatul Qibtiyah; Sukadi; Wahyudi Djafar; Yohanna Kuncup Yanuar PrastiwiAlamatJl. Siaga II No.31, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, INDONESIA- 12510Tel: +62 21 7972662, 79192564, Fax: +62 21 79192519E-mail : office@elsam.or.id, Web page: www.elsam.or.id

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!