12.07.2015 Views

POST-CONFLICT PEACEBUILDING 2009 - Propatria Institute

POST-CONFLICT PEACEBUILDING 2009 - Propatria Institute

POST-CONFLICT PEACEBUILDING 2009 - Propatria Institute

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>POST</strong>-<strong>CONFLICT</strong> <strong>PEACEBUILDING</strong>Naskah Akademik untuk Penyusunan ManualCompanion-2Disusun oleh:ProPatria <strong>Institute</strong><strong>2009</strong>


Daftar IsiHalaman Judul ................................................................................................................Balik Halaman Judul .......................................................................................................Daftar Isi .........................................................................................................................iiiiiiPengantarKusnanto Anggoro ............................................................................................... 1Demokrasi dan Keamanan (Perdamaian)Ikrar Nusa Bhakti ................................................................................................. 13Disintegrasi, Reintegrasi dan Modal Sosial di IndonesiaIchsan Malik ......................................................................................................... 25Pembangunan Perdamaian dan Peran Masyarakat Sipil di IndonesiaLambang Trijono ............................................................................................... 37Transisi Demokrasi, Konflik Sosial dan HukumMochammad Fajrul Falaakh ................................................................................ 48Stabilisasi dan Pemulihan Pasca KonflikRizal Sukma …………………………………………………………..……………….. 58Post-conflict Peacebuilding : Governability PerspectiveCornelius Lay ………………………………………………………………….………. 65Militer, MOOTW dan ”Peacebuilding”Riefqi Muna ………………………………………………………...………………….. 71Reformasi Polri Dalam Konteks Manajemen Keamanan dan PeacebuildingIndria Samego ………………………………………………….……………………… 81LampiranProfil Singkat Penulis ............................................................................................ 94iii


PengantarOleh : Kusnanto AnggoroTahapan konflik pada umumnya dimengerti sebagai terdiri masa-masa sebelum, pada saat, danmasa setelah berakhirnya konflik berskala luas. Konflik kekerasan merupakan puncak dari duapenggal simetrik, sebelum dan sesudah, berturut-turut sebagai fenomenon eskalasi dandeeskalasi konflik. Namun trayektori itu tidak sepenuhnya berjalan secara linier. Dalam jangkapanjang kerapkali dinamika itu berupa sebuah siklus damai-konflik-damai yang terjadi secaraberulang. Upaya untuk meredam konflik, sebagaimana tertuang dalam konsep resolusi konflik,pengelolaan konflik ataupun transformasi konflik, bahkan peace building, kerap digunakan untukmenjelaskan ketika konflik berada pada tahap eskalasi maupun de-eskalasi. Oleh sebab itu,peace-building, yang secara fungsional merupakan proses de-eskalasi konflik, merupakanupaya berkesinambungan yang merentang di sepanjang waktu, dengan tujuan utama untukmencegah pecahnya pertikaian yang melibatkan kekerasan dan/atau untuk membangunsuasana lebih kondusif untuk damai.Empat Aliran PemikiranTeori-teori peacebuilding mengalami perkembangan seiring dengan bagaimana kerangkateoretikal memahami tentang konflik. Dinamika konflik kerapkali merupakan antidote daridinamika damai. Konflik adalah cerminan dari tiadanya damai, seperti halnya damai merupakanrefleksi dari ketiadaan konflik. Konflik adalah bentuk perilaku beringas dari kegagalan upayayang mengandalkan nurani kemanusiaan. Tak ada keberingasan yang muncul dengan tiba-tiba.Agresi adalah endapan dari beragam kekecewaan yang tidak tersalurkan. Penggunaaninstrumen koersif merupakan cerminan dari ketidakberdayaan negara untuk bisa menyelesaikanmasalah melalui proses politik. Pemberontakan bersenjata, kulminasi agresi manusia melaluicara kekerasan, kerapkali juga tidak lebih dari sekedar muara dari kegagalan mereka mencapaitujuan melalui cara-cara damai.Damai, setali tiga uang, cerminan dari tiadanya konflik dalam segala bentuk dan manifestasinya.Johan Galtung (1969) mengemukakan konsep perdamaian positif (positive peace), situasitiadanya segenap masalah struktural yang dapat menebar benih ketidakpuasan sehinggamenyulut konflik, untuk membedakan dari pengertian yang lebih terbatas. Konsepsinya yanglain, perdamaian negatif (negative peace), menggambarkan damai semata-mata sebagaiketiadaan konflik kekerasasn (the absence of violent conflict). Antara perdamaian positif danperdamaian negatif merentang berbagai kondisi, baik jika dilihat dari gerakan dari damaimenuju konflik (eskalasi) maupun sebaliknya, dari koflik menuju damai (deeskalasi). Gambar 1menunjukkan dinamika itu.


Gambar 1 : Kurva KonflikTerdapat sekurang-kurangnya empat aliran pemikiran (school of thought) untuk memahamidinamika konflik-damai. Pertama adalah aliran pengelolaan konflik (conflict management school)yang mengutamakan upaya untuk mencari beragam penyelesaian melalui jalur politik(diplomasi) untuk mengakhiri pertikaian. Dengan pendekatan untuk mencapai hasil kasat mata(outcome oriented approach) melalui forum bilateral, regional maupun multilateral. Pada tatarandomestik pengelolaan konflik mengutamakan mediasi. Pada umumnya mereka yang menganutaliran pemikiran ini cenderung memperhatikan kepentingan jangka pendek, khususnya untukmembawa pihak bersengketa ke meja perundingan. Sebab itu, fokus pada lapisan elit, yang bisasaja tidak selalu netral dalam konflik (Lederach, Ropers and Debiel 1996). Pendekatan ini padaumumnya kurang memperhatikan akar konflik. 1Kedua adalah aliran penyelesaian konflik (conflict resolution school). Arus pemikiran ini memberiperhatian besar untuk menjawab tantangan ganda: menghilangkan akar-akar pertikaian (rootcauses of conflicts) seraya memperbaiki hubungan yang porak poranda (damaged relationship)antar pihak yang dalam waktu lama terjerumus dalam pertikaian. Berbeda dari aliran yangpertama, aliran penyelesaian konflik tidak merasa cukup hanya memperhatikan pada elit puncaktetapi juga lapisan elit menengah dalam stratum sosial. Program-program interaktif, dialogmaupun training, kerap menjadi andalan utama pendekatan ini. Kunci adalah “relationshipbulding” dan “long-term resolution oriented approach”. (Mitchell 2005). 2Ketiga adalah aliran transformasi konflik (conflict transformation). Konsep transformasi itu sendiridiupayakan untuk menjangkau bukan hanya aktor yang terlibat konflik, tetapi juga ruang di manamereka berada. Transformasi diharapkan pada akhirnya akan memulai terbentuknyamasyarakat baru yang tidak lagi membawa beban masa lalu, memiliki koherensi keinginan untukmemintal masa depan, dan mendasarkan hubungan sosial baru seirama dengan perjalanantransformasi itu sendiri. Langkah awal yang biasa diyakini kalangan ini adalah memintal kembalikonsiliasi dalam masyarakat. Bagi Lederach, misalnya, memusatkan perhatiannya padapenguatan infrastrutur sosiokultural dan psikososial sebagai sarana utama untuk memperkuat1 Sekalipun demikian para penganut conflict management school belakangan juga mengembangkan kerangkakerjanya untuk tidak lagi terobsesi untuk sekedar mengamankan peace agreement melainkan membuka berbagaikemungkinan untuk mempertahankannya.2 Kerapkali peace constituent tidak membawa pengaruh, baik karena mereka senidri merupakan bagian darikonflik maupun karena tidak ada tindak lanjut oleh mereka yang memiliki otoritas.2


Gambar 2 : Kurva Konflik LundSetiap tahapan tentu memiliki tujuan tertentu dan oleh karenanya juga mengandalkan padamekanisme, instrumen dan modalitas sesuai dengan tujuan itu. Pencegahan konflik (diplomasipreventif, tindakan preventif, pencegahan krisis, preventive peacebuilding) merupakan berbagaiuoaya untuk mencegah situasi memburuk sehingga konflik terbuka tidak memburuk menjadikonflik kekerasan. Pengelolaan krisis merupakan proses untuk mencegah agar ketegangan dansikap konfrontasional antar pihak yang bersengketa perlu harus berubah menjadi pertikaianyang menggunakan tindak kekerasan. Pengelolaan konflik, tahap lanjut dari pengelolaan krisis,berusaha untuk menghentikan konflik, dengan peacemaking (peace enforcement) untukmengajak mereka yang bersengketa ke meja perundingan. Pada tahapan deeskalasi, upayapeacemaking (peace enforcement) ini dilanjutkan dengan berbagai upaya pengelolaan konflikuntuk memisahkan pihak-pihak yang bersengketa. Pada tahapan yang lebih dikenal sebagaipeacekeeping ini dilakukan pula berbagai bentuk komunikasi untuk membuka peluang terjadinyanegosiasi untuk mencapai suatu kesepakatan. Persetujuan yang dicapai dari tahapan ini yangkerapkali dianggap seagai awal dari tahap deeskalasi berikutnya, yaitu peacebuilding (postconflictpeace building, untuk membedakannya dari preventive peace building). Sekedar sebagaicatatan, atribusi “post-konflik” pada istilah “post-conflict peacebuilding” baru muncul pada akhir1990an. Sebelum itu, tahapan setelah dicapainya persetujuan damai disebut secara luassebagai “peacebuilding”, yang bersama dengan peacemaking (peace enforcement) danpeacekeeping, merupakan bagian penting dari strategi resolusi konflik.Peacebulding, Conflict Relapse dan Pengelolaan KonflikTidak terlalu mudah menegaskan lingkup dan kerangka waktu proses peacebuilding. Sebagianbesar konsep peacebuilding merujuk pada pengertian sempit, misalnya ”perdamaian negatif”(negative peace), dan oleh sebab itu memusatkan perhatiannya pada berbagai upaya untukmeredam konflik bersenjata itu. Definisi UN (1992), misalnya, memahami peacebuilding sebagaiproses untuk menghentikan konflik kekerasan berskala besar dan mencegah kemungkinankembali merebaknya konflik kekerasan itu. Sekretaris Jenderal PBB, Boutros Boutros Ghali,merumuskan peacebuilding sebagai “upaya komprehensif untuk mengidentifikasi danmendukung struktur yang akan cenderung menopang konsolidasi perdamaian maupunmembangun a sense of confidence dan kesejahteraan masyarakat”. Laporan Brahimi (2000)4


merujuk pada tujuan yang lebih luas, yaitu untuk “membangun kembali landasan perdamaiandan menyediakan berbagai perangkat untuk membangun sesuatu yang lebih dari sekedarketiadaan perang”. Namun kata “landasan” dan “perangkat” menjadikan tujuan-tujuan itu beradadalam batas penyiapan, bukan perwujudannya.Jarang ditemukan definisi peacebuilding yang menjangkau tujuan untuk membangunperdamaian positif (positive peace) seperti dimaksud oleh Galtung. Para developmentalist yangmempercayai pembangunan sebagai sarana utama untuk menciptakan perdamaian sajamendifisikan peacebuilding tidak lebih dari sekedar ”membantu untuk mencegah keadaanmemburuk menjadi konflik kekerasan, ataupun berbagai bentuk opresif dari ketertiban umum;dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan ilusif menghilangkan konfliksepenuhnya”. Kata kerja ”membantu untuk mencegah (help to prevent) dengan sendirinyamengakui keterbatasan kegunaan peacebuilding itu sendiri.Kerena itu dapat dipahami jika sejak awal konsep peacebuilding telah menuai berbagai kritik.Terlalu mengecewakan jika tujuan dari peacebulding bukan untuk “menggapai perdamaiandengan landasan yang kuat dan berjangka panjang”. Program PBB juga dikritik karena terlalumenitikberatkan pada humanitarian, short term, dan tidak cukup sensitif pada situasi lokal.Beberapa kalangan juga mengkritisi asumsi bahwa konflik merupakan bagian dari kehidupanmasyarakat. Menurut mereka, asumsi itu sendiri menyebakan proses peacebuilding kerap diisidengan agenda-agenda sekedar untuk membangun pemerintahan yang baik (good governance)dan mencari penyelesaian konflik secara damai. 4 Akibatnya, peacebuilding tidak menghiraukanbagaimana harus menghalau akar-akar konflik dan bagaimana membangun masyarakat adildan makmur, terbebas dari segala bentuk penindasan.Perbedaan pandangan itu mencerminkan perbedaan paradigmatik; sebagian besar diantaranyakarena konsepsi peacebulding memang didasarkan pada aliran-aliran yang lebihmengutamakan penyelesaian konflik kekerasan; bahkan dalam beberapa kasus cenderungmembatasi diri pada aspek humanitarian. Kenyataan bahwa sebagian besar prosespeacebuilding diselenggarakan oleh PBB, maupun negara dan organisasi regional yangmemperoleh mandat dari organisasi internasional, juga merupakan kendala tersendiri karenaketerlibatan pihak ketiga tetap dibatasi oleh prinsip non-intervensi. Munculnya doktrin”responsibility to protect” tidak menghapus seluruh sekat itu: peacebuilding tetap merupakanproses untuk mempersiapkan kerangka awal bagi perdamaian jangka panjang. Praktek selamaini seakan-akan mengukuhkan kecenderungan bahwa peacebuilding bermula dari tercapainyapersetujuan damai dan berakhir pada tercapainya landasan untuk membangun perdamaianyang lebih baik.Namun terlepas dari berbagai gugatan-gugatan itu, efektifitas peacebulding sendiri bukannyatanpa kekurangan. Masyarakat pasca-konflik tidak mudah untuk menyesuaikan diri denganlingkungan baru. Kesepakatan damai sering menyisakan sejumlah persoalan yang tidak dapatdengan mudah diselesaikan. Persoalan-persoalan baru kerap kali muncul sehingga kembalimemperuncing keselarasan yang belum sepenuhnya terbentuk. Perundingan yang tidakmengikutsertakan seluruh pihak yang bersengketa dengan sendirinya juga mengikis legitimasirejim pasca-konflik, dan oleh sebab itu kerap menjadi alasan kalangan tertentu untuk kembalimengangkat senjata. Tak heran jika kemudian Collier (2003) dan Sambanis merekam sebanyak44% dari persetujuan damai ternyata kemudian harus bermuara kembali pada hiruk pikukmedan laga.4 Lihat misalnya Henning Haugerudbraaten, Peacebuilding: Six dimensions and two concepts (African SecurityReview Vol. 7 No. 6 (1988)5


Berulangnya kembali konflik merupakan konsekuensi dari kegagalan perangkat sosial, ekonomidan politik untuk menabur benih cita-cita masa depan (future imagining) dari masyarakat yangbertahun-tahun tergerus oleh konflik berkepanjangan. Sifat dan karakter konflik, masalah yangdisengketakan, bentuk penyelesaiaan seperti direkam oleh Michael Doyle dan NicholasSambanis (2000) bisa mempengaruhi kerentanan suasana terhadap munculnya kembali konflik.Sebagaimana dicatat oleh Amitapbh Dubey (2002), tipe pemerintahan (regime type) masyarakatpaska konflik tentu mempengaruhi “duration of peace”; begitu pula halnya dengan kelayakanekonomi yang muncul setelah konflik itu (Collier et all 2003) serta masalah keamanan (RobertJervis 1978, Walter danJack Snyder 1999). Kemampuan institusi perdamaian untukmenyelesaikan masalah tersisa, memperbaiki suasana dan mencegah atau mengantisipasimunculnya sejumlah persoalan baru merupakan persyaratan pokok untuk mencegah terjadinyaconflict relapse.Ancaman kembalinya konflik kekerasan merupakan hantu yang amat menakutkan. Dalamberbagai kajian disebutkan bahwa kembalinya konflik kekerasan (conflict reemergence, conflictrelapse) membawa konsekuensi yang kerap kali tak tertanggungkan. Selain konsekuensi fisik,misalnya jatuhnya kurban yang tidak perlu, kembalinya konflik dipastikan memperkeruhsuasana, menghapus kesalingpercayaan, dan kian mengguratkan luka yang semakin dalam.Akumulasi dari sejunlah persoalan itu menyebabkan konflik seringkali memasuki ruang baruyang lebih menjauhkan tujuan-tujuan perdamaian jangka panjang.Persoalannya adalah apakah beragam tugas itu memang harus dibebankan kepada rejimpeace-building saja, atau kepada rejim demokrasi, pembangunan, dan keamanan. Karenaalasan-alasan praktikal, peacebulding tidak pernah menggantungkan tujuannya untukmembangun masyarakat damai jangka panjang (long term peace, sustainable peace).Gambaran Michael Lund seperti disajikan sebelumnya cukup menjelaskan bahwa peacebuildingbukan hanya masih membuka peluang terjadinya kembali konflik kekerasan tetapi juga tidakmenjangkau ”durable peace”, tahapan lain yang agaknya memang harus dibebankan kepadainstitusi penyelenggaraan pemerintahan secara normal, digantungkan kepada keberhasilandemokratisasi, dan diselipkan di tengah reformasi menyeluruh dari sektor keamanan.Dalam keterbatasannya tetap terbuka kesempatan untuk memperbaiki kinerja rejimpeacebuilding. Perbaikan kinerja itu dimungkinkan dengan, antara lain melakukankontekstualisasi dan indigenisasi peacebuilding serta merumuskan mekanisme yang lebihkomprehensif dan instrumen-instrumen yang diperlukan secara rinci. Seperti halnya demokrasi,perdamaian tetap merupakan keadaan yang sangat subyektif. Demokrasi sejati mungkin samailusifnya dengan perdamaian positif. Seperti halnya transisi demokrasi bisa bermuara padamunculnya kembali rejim otoriter, peacebulding kerapkali harus terganjal oleh meletupnyakembali konflik kekerasan. Peacebulding agaknya tidak lebih dari perdamaian transisi yangharus dilanjutkan dengan berbagai proses lain untuk mencapai konsolidasi perdamaian (peaceconsolidation). Karena itu pula proses peacebuilding amat mengandalkan fungsi-fungsiperingatan dini (early warning system), penyelenggaraan fungsi pemerintahan secara baik dankapasitas instansi pelaksana untuk melaksanakan tugasnya.Kontekstualisasi dan Indigenisasi Proses PeacebuldingIstilah peacebuilding, dengan ataupun tanpa atribusi waktu yang kerap menyertainya, terutamadigunakan dalam penyelesaian konflik yang melibatkan pihak ketiga; dan oleh sebab itu seringdianggap sebagai intervensi pihak ketiga (third party intervention). Pada konflik antar-negara,seperti dalam kasus Rwanda-Burundi dan Serbia-Bosnia-Kroatia, ataupun konflik-konflik internal6


yang berkecamuk di tengah ketidakmampuan pemerintahan nasional (failed states) sepertiSomalia dan Kamboja, penyelenggara dari proses peacebuilding itu adalah PBB atau merekayang memperoleh mandat dari PBB. Peacebuilding, dalam konteks seperti itu, pada umumnyadimulai dari tercapainya persetujuan damai (gencatan senjata, cessation of hostilities) danberakhir dengan penarikan mundur pihak ketiga tersebut.Namun beberapa konflik internal berkepanjangan (protracted conflict) tidak menghadirkan pihakketiga. Di Indonesia misalnya, kecuali Aceh, konflik internal diselesaikan melalui instrumenpemerintahan nasional. Istilah intervensi pihak ketiga, dalam hal ini, tampaknya harus diperluasmenjadi penggunaan sumberdaya eksternal (dari luar daerah konflik). Mungkin saja, pihakketiga tersebut juga termasuk penggunaan ketentuan hukum adat dan/atau beragammekanisme penyelesaian konflik yang berada di luar hukum nasional. Satuan aparat keamanan(polisi maupun tetara) yang bukan merupakan bagian organik dari pemerintahan lokal, misalnyaKopasus, Kostrad atau Brigade Mobile, dan aparat pemerintah pusat termasuk dalam kategoriini. Begitu pula halnya dengan penerapan hukum adat atau berbagai proses yang diprakarsaikalangan non-negara.Selain itu, konflik Papua tidak diselesaikan dengan menggunakan ketentuan darurat – berbedadari kasus Aceh, Poso dan Maluku. Karena itu, dalam kasus Papua, proses peacebuilding diPapua tidak dapat disebut sebagai dimulai dari tercapainya kesepakatan damai antarapemerintah pusat dengan Papua. Papua diselesaikan dengan pembentukan institusi tertentu,misalnya MRP (Majelis Rakyat Papua) yang diharapkan mengurangi grievances, pengakuankultural ataupun akomodasi kepentingan lokal yang pada akhirnya dapat mengurangi benihbenihdeprivasi relatif (relative deprivation) yang kerap kali menjadi asal muasal terjadinyakonflik. Seperti halnya Papua, konflik Ambon juga mengandalkan institusi semacam itu yaknimelalui Baku Bae.Peacebuilding di Aceh, misalnya, dapat dianggap dimulai dari penandatanganan PersetujuanHelsinki. Tenggat untuk mewujudkan berbagai gagasan dalam Persetujuan itu sendirimemerlukan waktu sampai, misalnya terbentuknya institusi seperti BRR/AMM. Konflik Posomenunjukkan gejala lain. Kesepakatan Malino tidak disertai dengan instusi baru tetapimengandalkan pada jalannya pemerintahan. Begitu pula halnya dengan konflik Ambon(Maluku). Sementara itu, Papua tidak dinyatakan sebagai daerah konflik dan tidak adapertikaian sistematik antara pemerintah dengan separatis. Namun pembentukan mekanismeseperti MRP tentu merupakan bagian penting dari proses perdamaian.Berapa lama peacebuilding harus dilakukan merupakan persoalan yang tak kalah rumit.Praktek internasional yang hanya memberi waktu sekitar 2-3 tahun kerapkali dianggap tidakcukup untuk membuahkan perubahan sosial politik yang kondusif untuk mempersiapkan masadepan yang lebih baik. Roland Paris menyarankan ”dua kali siklus pemilihan umum”, 5 atauantara 8-10 tahun. SIPRI (Stockholm International Peace Research <strong>Institute</strong>) menegaskanbahwa “[jika] tujuan peacebuilding adalah untuk mencegah terjadinya kembali konflik, makadalam beberapa hal upaya itu harus melibatkan program bina-bangsa yang kerapkali menyitawaktu”. 6 Mungkin memang tak ada rentang waktu pasti, kecuali untuk sekedar ancangan dalammenyusun program-program kerja. Kurun waktu 3-7 tahun adalah periode yang ditetapkan5 Roland Paris, Peacebuilding and the limits of liberal internationalism, International Security, 22(2), Fall 1997, p.55.6 SIPRI, Peace, security and conflict prevention. SIPRI - UNESCO Handbook, Oxford University Press, NewYork, 1998.7


sebagai masa yang cukup memadai untuk menyelanggarakan post-conflict peacebuildingkarena sejumlah alasan. Pertama, pengalaman dari proses resolusi konflik kekerasan yangterjadi di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa periode tersebut merupakan periodeyang paling rawan terhadap kemungkinan terjadinya kembali konflik kekerasan (conflictrelapse). Kedua, dari segi dinamika politik, tahun ke-3 dan tahun ke-7 merupakan median daridua siklus pemerintahan yang berturutan; sehingga memburuknya suasana, kalau terjadi,seharusnya dapat diantisipasi dengan berbagai kebijakan politik. Pilihan apakah rejimpostconflict peacebuilding akan lebih mengedepankan pendekatan keamanan atau pendekatanpolitik harus ditetapkan melalui proses itu.Karena itu, istilah peace building bagi Indonesia memiliki konteks dan relevansi tertentu, tanpaharus terpaku pada ada atau tidaknya kesepakatan damai. Konsep peacebuilding yang selamaini dirumuskan oleh PBB perlu ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas (komprehensif) tetapisekaligus juga lebih terbatas. Argumen ini diharapkan dapat melahirkan generalisasi darimekanisme, instrumen dan agenda yang diperlukan dalam rangka peacebuilding, sekalipunIndonesia dihadapkan pada anatomi dan dinamika konflik yang berbeda. Sebaliknya,pembatasan pada peacebuilding juga diperlukan justru karena tidak mungkin mengharapkantujuan akhir dari peacebulding adalah terciptanya perdamaian positif. Konsep positif peace,dalam konteks seperti itu, harus dipandang sebagai tujuan ideal yang hanya akan tercapaidalam waktu amat panjang. Keberadaan dimensi pembangunan (development) dan demokrasi(demokrasi) tidak dengan sendirinya menyamakan peacebuilding dengan demokrasi danpembangunan. Tujuan akhir peacebuilding adalah re-instalasi pemerintahan, rekonstitusinegara, pulihnya hubungan sosial atau berbagai indikator yang pada prinsipnya memberipeluang bagi pengembangan suasana menjadi situasi dan kondisi yang lebih baik.Dengan demikian, peacebuilding harus dipandang sebagai proses untuk menghantar perubahanke arah konsolidasi perdamaian (peace consolidation) yang antara lain tercermin dari berbagaikeadaan yang menunjukkan berfungsinya kembali otoritas pemerintahan bersama denganinstitusi khusus yang dibentuk untuk memberi pelayanan khusus. Akibatnya, peacebuildingharus dilihat dalam dua konteks sekaligus, yaitu sebagai tindakan nyata yang dimaksudkanuntuk mendukung serta memajukan perdamaian dan sebagai proses yang bersifat agregatif.Proses agregatif tersebut diberlakukan untuk merajut kembali struktur sosial (politik, ekonomi,sosial, budaya dan psikologikal) melalui pembangunan dalam arti luas, dan dengan demikianmencakup demokratisasi, pembangunan serta reformasi sektor keamanan. Sifat agregat jugadimaksudkan untuk menggarisbawahi bahwa berhasil atau tidaknya peacebuilding ditentukanoleh efek sinergetik dari tindakan-tindakan nyata yang terjadi pada berbagai tahap dantingkatan.8


Gambar 3 : Kurva Post-conflict PeacebuildingGambar 3 menunjukkan post conflict peacebuilding sebagai proses agregatif itu. Terlihat darigambar itu bahwa mekanisme dan instrumen strategis peacebuilding dapat menggunakanmekanisme dan instrumen pengelolaan krisis, pencegahan konflik, maupun mekanisme daninstrumen normal (baca: politik atau diplomatik). Tentu saja, stabilisasi tidak lagi terutama dalamkonteks demiliterisasi, tetapi mencegah remiliterisasi masarakat; rekonstruksi tidak lagi cukuphanya melihat pada pembangunan kembali fasilitas umum tetapi juga memperluas jangkauanpelayanan publik yang lain; rehabiliatasi bukan hanya upaya untuk menangani kurban konflikkekerasan, misalnya pengungsi, tetapi juga penataan pemilikan sumberdaya dan/ataupenciptaan ruang sosial ekonomi baru yang untuk jangka panjang memperteguh perdamaian.Pemerintahan Transisi dan Civil SocietyIndonesia merupakan negara yang menyelenggarakan sekaligus fungsi bina bangsa (nationbulding) dan bina-negara (state bulding). Semboyan, seperti ”bhinneka tunggal ika” dan gotongroyong, menjadi bagian penting, tetapi tidak cukup, dalam upaya bina-bangsa (nation craft) yangjuga memerlukan sistem pemerintahan demokratik, pembangunan berkelanjutan maupunbangunan sosial yang baru. Bersamaan dengan itu, sistem politik, administrasi pemerintahan,dan undang-undang merupakan tonggak penting dari bina-negara (state-craft), meskipun yangakan lebih menentukan adalah kinerja mereka untuk bisa menampung partisipasi dan aspirasimasyarakat, memenuhi tuntutan pelayanan publik, dan menjanjikan masa depan yang lebihbaik.Tenggat yang terbentang selama 70 tahun dari Sumpah Pemuda (1928) hingga tumbangnyapemerintahan Suharto (1998) menunjukkan betapa upaya untuk merangkai bentangangeografis, keragaman budaya, dan keanekaan kebiasaan bermasyarakat kerapkali tergangguoleh riak-riak konflik horisontal. Institusi negara (partai politik, birokrasi, hukum, militer) tidakselamanya mampu memperoleh legitimasi, memiliki efikasi, dan menggenggam kemampuanyang memadai untuk mengukuhkan wibawa dan sekaligus menyelenggaraantanggungjawabnya sebagai pemegang mandat dan daulat rakyat. Konflik vertikal antarapemerintahan nasional dengan berbagai daerah sejak pertengahan dasawarsa 1950-anmenunjukkan betapa wibawa negara kerapkali berhadapan dengan gejolak lokal. Setelahtumbangnya reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu instrumen penting untuk menata9


hubungan puisat-daerah yang lebih baik. Namun pada saat yang sama otonomi itu kerapkalijuga mengoyak solidaritas sosial dan membuka ruang konflik baru antara pemerintahan nasionaldengan daerah.Beberapa daerah pasca-konflik di Indonesia masih mengidap tantangan-tantangan bina-bangsadan bina-negara itu sekalipun tetap berada dalam jagkauan Indonesia sebagai negara bangsa.Helsinki menyelesaikan sebagian soal, tetapi tidak dengan sendirinya menyelesaikan salingcuriga antara pemerintahan nasional dan provinsial. Di provinsi NAD sendiri masa depanpemerintahan lokal tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang mendapatkan legitimasi tanpasyarat(unconditoinal legitimacy) dari, misalnya daerah di bagian selatan dan tenggara provinsiitu. Pengelolaan sumberdaya yang kerap memicu pertikaian mereka dengan pemerintahnasional bisa saja mereda dengan berbagai ketentuan perundangan, tetapi tidak dengansendirinya menyelesaikan persoalan ketimpangan antar daerah di Aceh itu sendiri. Papua,sekalipun dalam beberapa tahun tidak terjadi konflik berskala besar, tetap dihadapkan padasejumlah masalah mendesak.Begitu pula halnya dengan penataan birokrasi di Ambon yang barangkali merupakan sebagianjawaban terhadap perkembangan demografis yang pernah mempertajam konflik komunal dipenghujung 1990an, tetapi tidak sepenuhnya menyelesaikan persoalan. Reformasi membawaangin baru; otonomi daerah menyuarakan gempita pengakuan identitas lokal. Reformasi danotonomi kerapkali hadir bersama sirkulasi elit lokal. Bangunan pemerintahan di tempat-tempatitu kerap kali harus berjuang untuk menegakkan otoriotasnya dan wibawanya sendiri. Stabilitassosial terganggu dan meletup menjadi pertikaian horisontal. Daerah lain, seperti SulawesiTengah dan Tenggara, Kalimantan Tengah, dan Maluku Utara bisa jadi menghadapi persoalanserupa. Baku Bae (Ambon) dan Malino (Poso) merupakan kisah sukses yang masih harusdipelihara dan diperkuat. Mobilitas vertikal, perubahan komposisi demografi bisa mejadi soalbesar jika desakan itu tidak terakomodasi melalui saluran politik. Maluku, Poso, Papua dan Acehseakan-akan ditakdirkan untuk mengikuti bina-bangsa dan bina-negara yang selama ini menjadibagian tak terpisahkan dari negara nasional Indonesia.Suasana yang relatif sejuk dalam beberapa tahun terakhir ini tidak dengan sendirinyamenyelesaiikan semua soal. Jauh-jauh hari Abner Cohen dan Immanuel Wallersetein telahmengingatkan kemungkinan politisasi ethnic untuk mencapai tujuan politik. Root causes ofconflict masih tetap ada, baik dalam kaitannya dengan hubungan mereka dengan pemerintahpusat maupun didalam daerah mereka sendiri. Politik bisa menyulut ketegangan antar pengikutpartai-partai politik. Pembangunan bisa mengangkat harkat kesejahteraan bersama, namundalam keadaan tertentu mungkin saja pembangunan itu bisa mempertajam jarak sosial.Di daerah-daerah pasca konflik, pemerintahan nasional maupun provinsi dihadapkan padasejumlah tugas penting untuk merajut kembali kesatuan sosial. Namun pemerintah yangterbentuk kerap dihadapkan pada sejumlah tantangan serius, mulai dari divided governmentyang kerap menjadi biang inefektifitas penyelenggaraan pemerintahan, sampai denganreformasi sektor keamanan yang membuka persoalan baru, khususnya koordinasi lintas-instansiyang tidak mudah diwujudkan baik karena tidak adanya otoritas politik maupun karena tidakadanya aturan main yang disepakati bersama. Di lain pihak, masyarakat kerap kali masihtenggelam dalam persoalan lama. Memori kolektif tentang konflik tidak dengan sendirinyaterhapus hanya dengan perjalanan waktu. Budaya kekerasan, primordialisme, rendahnyaloyalitas kepartaian adalah sebagian dari berbagai faktor yang menyebabkan konflik sosial tidaksepenuhya dapat dikelola melalui institusi politik, atau secara lebih umum, menyebabkannation-craft lebih rumit dari state-craft, dan state craft lebih kompleks dari political-craft.10


Ketika masih ada jarak pada tiga tingkatan itulah peran masyarakat sipil diharapkan. Masyarakatsipil dapat mengisi ruang atau dalam keadaan tertentu menciptakan ruang baru yang tidakdigarap oleh negara dan tidak dapat dibangun sendiri oleh masyarakat umum. Mereka yangtergabung dalam human rights group dan civic organization dapat memainkan peran untukmemelihara kesejajaran antara theory and practices of democracy. Mereka yang lebih hiraupada pembangunan berkelanjutan bisa memainkan peranan penting untuk memantau selukbeluk rencana pembangunan. Asosiasi-asosiasi profesi dapat menyumbangkan kompetensinyamasing-masing untuk membantu pemerintah maupun memberdayakan masyarakat. Sektorprivat dapat memainkan peranan penting untuk memperkuat ekonomi rakyat. Elit strategis,khususnya yang tidak berafiliasi dengan partai politik, dapat memberikan sumbang sarankepada institusi-institusi negara dan instansi-instansi pemerintah dan/atau menjadi perantaraantara negara dan masyarakat.Oleh sebab itu, keberhasilan post-conflict peace building amat ditentukan oleh dua hal. Pertamaadalah kapasitas yang memadai penyelenggaraan pemerintahan negara. Kapasitas itu perlu,selain tentu saja validitas, fisibilitas perencanaan kebijakan dan pengambilan keputusannya,kapasitas untuk melaksanakan menjadi penting karena pada umumnya lacking of capacity dapatterakumulasi menjadi soal besar. Pengawasan menjadi kunci karena kerap kali negara tidakdapat menghindari dari apa yang oleh Ralph Miliband sebut sebagai otonomi relatif dari negara.Asas baru keamanan manusia (human security) menjadi elemen penting agar resolusi konflikataupun peace building tidak dibangun di bawah sepatu lars dan dengan demikian menjadimasalah baru di kelak kemudian hari.Kedua adalah vibrant civil society, yaitu masyakarat sipil yang memiliki integritas, tekad dankomitmen untuk memainkan peran konstruktif dalam keseluruhan kehidupan berbangsa danbernegara. Civic organization, human rights activist, media massa dapat memainkan peranpenting untuk memelihara dan memajukan nilai-nilai demokrasi dan perdamaian. Professionalassociation, business sector, organisasi nir-laba di bidang pembangunan (developmentalistNGOs) dapat memainkan peran tertentu sebagai pelengkap, dan dalam situasi tertentu mungkinbahkan pengganti, fungsi negara dalam pelayanan publik. Individual yang memiliki kemampuantertentu dan berada pada jejaring kerja tertentu mungkin dapat memainkan peran untuk policyadvocacy.Persoalan MetodologiSeperti telah dikemukakan sebelumnya, peacebuilding merupakan proses agregat yangmelibatkan beragam instrumen untuk mencegah terjadinya [kembali] konflik dan sekaligusmempersiapkan kondisi perdamaian yang lebih baik dan menjadi pijakan bagi proses yangdiarahkan sepenuhnya pada konsolidasi perdamaian. Pijakan pada tercapainya kesepakatandamai maupun rentang waktu 3 -7 tahun hanya digunakan sebagai ancangan untuk menilaisituasi dan untuk mempersiapkan masa-masa berikutnya. Istilah yang umum dipakai dalamkajian peacebuilding, misalnya stabilisasi, rehabilitasi dan rekonstruksi dipandang sebagaifungsi esensial yang termasuk tetapi tidak terbatas pada inistrumen tradisional yang kerapdipakai untuk konteks itu. Sebagai proses, post-conflict peacebuilding sebagai proses yangterdiri dari beberapa mekanisme tertentu yang menyumbang secara konstruktif pada prosespeace bulding secara umum, terlepas dari program apapun yang akan dipilih (mungkin bisasecara arbitrer, sesuai dengan kontes dan kebutuhan lokal).Perlu ditegaskan sejak awal bahwa tujuan utama proyek ini adalah untuk menyusun manualbagi masyarakat sipil. Keragaman sejarah, intensitas konflik di masa lalu, modalitas11


penyelesaian, maupun kerentanan sosial, ekonomi, dan politik berbagai daerah pasca-konflik diIndonesia menyebabkan manual yang disusun adalah manual yang lebih berkaitan dengankebijakan (policy manual), bukan manual lapangan (field manual). Pilihan pada dimensikebijakan itu juga membuka peluang agar manual ini dapat digunakan sebagai kerangka umumbagi stakeholders selain masyarakat sipil, tentu dengan menambahkan beberapa hal yangdipandang perlu sesuai dengan kompetensi, kedudukan politik, maupun peran stakeholders itusendiri.Batasan-batasan seperti itu membawa konsekuensi bahwa bahasan topikal seperti terlihat padabagian kedua Laporan ini diperlukan untuk menyajikan kerangka umum dan mencarigeneralisasi saja dari berbagai fenomenon. Generalisasi itu yang kemudian digunakan untukmengidentifikasi beberapa dimensi peacebuilding seperti disajikan pada bagian ketiga. Padabagian ketiga ini pula akan diidentifikasi beberapa karakteristik pasca penyelesaian perdamaiandi Indonesia dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi karena adanya deficit kapasitas.Sementara itu bagian keempat akan menempatkan dimensi-dimensi peacebulding tersebutpertama pada konteks penyelenggaraan pemerintahan secara normal dengan mengedepankanaspek demokrasi, pembangunan dan keamanan dan, kedua, peran-peran yang dapat dan harusdilakukan oleh masyarakat sipil. Bagian terakhir adalah manual untuk masyarakat sipil dalammemainkan peran pada situasi pasca konflik untuk pemeliharaan damai di Indonesia denganmengasumsikan ada dua periode peran penting dari masyarakat sipil yakni masa persiapan(preparation) dan masa pengoperasian/pengelolaan (operational).PenutupSebagai tahapan membangun perdamaian jangka panjang, post-conflict peacebuilding harusdinyatakan berakhir pada saat tertentu. Dua siklus pemerintahan (pemilu) dianggap cukupmemadai untuk memberi pondasi agar upaya peace bulding telah berbuah menjadi durablepeace, atau sekurang-kurangnya stable peace. Sebagai proses penyelenggaraan pemerintahansecara normal, post-conflict peace building harus ditopang oleh kebijakan komprehensif yangmeliputi berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara dan diselenggarakan melaluistrategi yang terintegrasi. Kebijakan komprehensif merupakan perpaduan dari kebijakansektoral, misalnya di bidang ekonomi, sosial, budaya dan pada umumnya tercermin daripembagian kewenangan departemental dalam kabinet. Strategi terintegrasi meniscayakankombinasi antara peringatan dini, pencegahan, pengelolaan, penindakan dan, dalam kontekstertentu pemulihan keadaan, dalam konteks komponen-komponen maupun keseluruhan darikebijakan komprehensif tersebut diatas.Jakarta, Juli <strong>2009</strong>12


Demokrasi dan Keamanan (Perdamaian)Oleh: Ikrar Nusa BhaktiPengantarTulisan ini secara singkat menggambarkan dan menganalisis kaitan antara demokrasi dankeamanan di Indonesia setelah reformasi bergulir sejak 21 Mei 1998. Dua konsep itu, demokrasidan keamanan, saling terkait. Tulisan ini dibagi dalam lima bagian. Bagian pertama, mengulaspertautan antara demokrasi dan keamanan (perdamaian) dengan menelaah secara singkatkonsep demokrasi dan Tahapan Demokratisasi. Bagian kedua, merupakan kilasan sejarahpergulatan demokrasi di Indonesia. Bagian ketiga, menggambarkan tahapan demokratisasi diIndonesia sejak 21 Mei 1998. Bagian keempat menyajikan hubungan demokrasi, konflik dankeamanan di Indonesia yang menggambarkan konflik vertikal dan horizontal yang terjadi danperbedaan karakteristiknya; bentuk akomodasi (sistem, institusi, proses) politik sebagaimekanisme untuk mengurangi “potensi” konflik; dan persyaratan (teknis, organisasional) untukmemperkuat konsolidasi demokrasi di daerah konflik. Di bagian kelima, menggambarkan peranapa yang harus dilakukan oleh masyarakat sipil dalam upaya demokratisasi.Pertautan Demokrasi dan KeamananDemokrasi dan DemokratisasiDemokrasi sebagai sebuah konsep politik, diyakini John Stuart Mill dalam tulisannya berjudul OnRepresentative Government sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik . Mill menyatakanbahwa Pemerintahan Demokratik merupakan yang paling sesuai dengan premis-premis liberalyaitu: (i) tujuan utama dari politik ialah memberi kesempatan pada rakyat untuk menjadibertanggungjawab dan dewasa, (ii) mereka dapat melakukan ini apabila mereka ikut sertadalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka, dan (iii) karena itu, meskipundespot atau raja yang bijaksana dan baik dapat membuat keputusan yang lebih baik atas namarakyat daripada bila keputusan itu dibuat oleh rakyat sendiri, demokrasi tetap lebih baik, karenamelalui ini mereka dapat membuat keputusan sendiri, salah dan benar. Lebih lanjut John StuartMill mengatakan demokrasi adalah suatu keadaan dalam mana warga negara yang memenuhisyarat memilih pada interval yang teratur, dari alternatif kandidat yang ada, orang yang akanmemiliki otoritas untuk menentukan kebijakan-kebijakan negara. Dan karena demokrasi adalah“pemerintahan rakyat”, ada rasa bahwa semua warga negara akan terlibat secara aktif di antarapemilu memperdebatkan kebijakan-kebijakan alternatif dan pekerjaan penyusunan kebijakankebijakan.Persoalan seberapa besar mereka terlibat dan apakah mereka cukup terlibat, memang berbedadari satu negara demokrasi ke yang lainnya. Ini masih menjadi perdebatan akademik. Contohperdebatan itu antara lain ialah proposal untuk referendum, demokrasi di tempat kerja, dankaukus-kaukus warga negara. Demokrasi membutuhkan suatu persetujuan yang implisit darisemua kelompok yang berkonflik/bersaing di suatu negara untuk menerima kemungkinan bahwamereka akan kalah di dalam proses pembuatan kebijakan. Efeknya, ini membutuhkan suatupersetujuan di antara serikat-serikat buruh, korporasi, kelompok peternak, kaumenvironmentalis, vegetarian, penghobby motor, dan kelompok-kelompok lain untuk mengambilkesempatan pada hasil dari suatu proses umum pembuatan kebijakan dalam mana populasisecara keseluruhan memiliki suara yang menentukan. Setiap kelompok menerima kenyataanbahwa mereka sepatutnya terikat pada hasil akhir dan berharap mereka akan mendapatkan13


sesuatu dari proses itu. Inilah “Demokrasi Tawar Menawar.” Jika kita melihatnya dengan caraini, amat mudah untuk melihat mengapa demokrasi dapat menjadi sesuatu yang amat rentan.Segala yang dibutuhkan untuk membuat sebuah demokrasi kolaps adalah adanya satu ataulebih kelompok penting untuk menolak hasil-hasil dari tawar menawar demokratik dan memilikiakses pada kekuasaan untuk meruntuhkan sistem. Problem begitu besar ketika sulit bagikelompok-kelompok kuat untuk menerima kekalahan kebijakan secara filosofis; taruhannyabegitu tinggi. Dan kekuatan militer atau gerakan rakyat biasanya berdiri bergandengan, ingindan dapat menghancurkan sistem demokrasi. 7Walaupun demokrasi terlihat amat rentan, sistem ini diyakini sebagai pemerintahan terbaik olehnegara-negara modern, terutama pasca runtuhnya komunis yang dipelopori Uni Sovyet. Hal inidikarenakan situasi yang terjadi di negara-negara Eropa yang telah mencapai tahapkematangan berdemokrasi. Tidak ada lagi perang di antara negara yang menerapkan demokrasidi kawasan tersebut. Berbagai konflik kepentingan dapat diselesaikan secara damai, baikmelalui perundingan, pembentukan aturan-aturan internasional, pembentukan organisasiinternasional yang mendunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maupun organisasiregional seperti Masyarakat Ekonomi Eropa yang kini tumbuh menjadi Uni Eropa. Kondisitersebut menguatkan proposisi bahwa demokrasi dan keamanan (perdamaian) merupakan duahal yang saling terkait. Demokrasi dapat menciptakan keamanan dan perdamaian. Sebaliknya,tanpa rasa aman dan damai, demokrasi juga tidak dapat berkembang secara baik.Keberhasilan pencapaian negara-negara Eropa mendorong demokratisasi di berbagai belahandunia pasca berakhirnya Perang Dingin. Setidaknya ada empat penyebab gerakan menujudemokrasi : 1) Rezim otoriter yang berkuasa sudah letih (fatigue of the authoritarian regime); 2)Adanya tekanan internasional (International pressures); 3)Hasrat rakyat akan keamanan daritindakan-tindakan sewenang-wenang(people’s desire for security against arbitrary abuses); dan4)Hasrat rakyat akan pembangunan ekonomi (people’s desire for economic development).Proses demokratisasi berbeda antara satu negara dengan lainnya, karena motif danpenyebabnya juga berbeda. Namun demikian, sedikitnya ada empat pelajaran penting daridemokratisasi yakni pentingnya Pakta Politik (The importance of “pacts”);perubahan-perubahanyang cepat (Sudden changes); kaitan antara demokrasi dan kebebasan (democracy andFreedom); dan kaitan antara demokrasi dan kapitalisme (democracy and capitalism).Tahapan demokratisasi sendiri diawali dengan situasi chaos yang mendorong demokratisasi.Tahap selanjutnya adalah tahap transisi menuju demokrasi. Tahap ini ditandai dengan dibangundan dikembangkannya institusi-institusi politik; Partai-partai politik berkembang; kebebasanpolitik mulai dirasakan; pemilihan umum yang jujur dan adil mulai dilaksanakan; dan pergantianpemerintahan dan anggota parlemen berjalan dengan baik. Tanda yang paling menonjol padamasa ini adalah bahwa demokrasi yang dilaksanakan masih bersifat prosedural. Masuk padatahap selanjutnya –konsolidasi demokrasi, tanda yang akan ditemui antara lain kepatuhanwarga negara kepada konstitusi negara; tidak ada kelompok orang baik atas dasar etnik atauyang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang dapat menjatuhkan/menggantikanpemerintahan dengan cara-cara yang tidak demokratik; tidak ada kekuatan politik, ekonomiataupun militer yang dapat memisahkan diri (gerakan separatisme) atau menarik diri (Gerakanseccessionism) dari negara induk; Pemilu berjalan baik, partai-partai semakin baik menjalankanfungsi dan perannya. Pada tahap ini sudah ada perubahan positif dari demokrasi substansial kearah demokrasi yang matang/dewasa, UU semakin lengkap, kepatuhan pada hukum meningkat;sistem kepartaian semakin baik, dan korupsi semakin berkurang.7 W. Phillips Shively, Power and Choice. An Introduction to Political Science, New York: McGraw-Hill, Third Edition,1993, Chapter 7 and 8.14


Setelah tanda-tanda pada konsolidasi demokrasi berhasil dicapai, maka selanjutnya adalahtahap demokrasi yang matang sebagaimana pencapaian negara-negara di Eropa. Tahap iniditandai oleh rakyat, elite politik dan militer benar-benar patuh pada hukum, konstitusi danperundang-undangan; pergantian angota parlemen dan pemerintahan semakin teratur dandemokratis; dan rakyat bukan hanya mendukung pemerintah secara antusias, melainkan jugasiap untuk tidak memilih lagi pemerintahan yang tidak kapabel yang dulu dipilihnya. Yang palingpenting pada tahap ini adalah adanya kaitan positif antara demokrasi dengan kesejahteraan,keamanan, dan kehormatan bangsa.Demokrasi tidaklah identik dengan kebebasan, namun demokrasi tidak akan tercipta tanpaadanya kebebasan dasar tersebut di atas dan penghormatan pada HAM. Demokrasi jugamembutuhkan aturan-aturan hukum dan ditegakkannya aturan hukum tersebut. Demokrasi yangdisertai revolusi harapan yang meningkat memang akan menciptakan konflik, baik yang vertikalmaupun yang horizontal. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena konflik adalah bagian yanginheren dari kehidupan manusia dan bermasyarakat. Pasalnya bagaimana mengelola konfliktersebut agar jangan sampai bernuansa kekerasan. Demokrasi memungkinkan penyelesaiankonflik secara damai, melalui cara-cara dialog, yang adil dan bermartabat. Demokrasi jugamengubah hubungan sipil-militer dari “Kontrol Sipil Subjektif” ke “Kontrol Sipil Objektif.” Dengandemikian, dapat dikatakan bahwa demokrasi dan keamanan (perdamaian) merupakan dua halyang saling terkait. Demokrasi dapat menciptakan keamanan dan perdamaian. Sebaliknya,tanpa rasa aman dan damai, demokrasi juga tidak dapat berkembang secara baik.Perkembangan Demokrasi di IndonesiaDalam sejarahnya, sebelum reformasi bergulir pada Mei 1998, Indonesia pernah mengalami tigasistem demokrasi, yaitu Demokrasi Konstitusional/Demokrasi Parlementer/Demokrasi Liberal(penamaan ini tergantung cara pandang kita mengenai demokrasi saat itu) antara Desember1949-Juli 1959; Demokrasi Terpimpin (1959-1965); dan Demokrasi Pancasila (1965-1998).Menurut Feith, karakteristik dari Demokrasi Konstitusional antara lain ditandai oleh enam hal:pertama, sipil memainkan peranan yang dominan; kedua, Partai-partai politik amat penting;ketiga, para pesaing untuk meraih kekuasaan menunjukkan rasa hormat pada aturan main yangamat lekat pada konstitusi yang berlaku saat itu (Undang-Undang Dasar Sementara 1950);keempat, Kebanyakan anggota elite politik memiliki komitmen pada simbol-simbol yangberhubungan dengan demokrasi konstitusional; kelima, kebebasan sipil jarang sekali terganggu,dan; keenam, pemerintah amat jarang menggunakan kekerasan. 8Namun, demokrasi konstitusional gagal berfungsi secara baik antara lain: pertama, karenaterjadinya perpecahan dalam tubuh Angkatan Darat yang menyebabkan Indonesia masuk kejurang perang saudara. Sejak pertengahan 1950an sampai awal 1960an terjadi tantangan daripara komandan daerah terhadap kepemimpinan di Jakarta. Ini menimbulkan beberapapemberontakan daerah baik yang ingin mengubah negara Indonesia menjadi Negara IslamIndonesia seperti yang dilakukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat danAceh, ada pula pemberontakan daerah yang disebabkan ketidaksukaan pimpinan daerah dankomandan tentara di daerah atas kedekatan Presiden Soekarno dan Partai Komunis Indonesia(PKI) seperti pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diSumatera Barat dan bagian Selatan, dan Pemerintahan Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara,serta Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan ; kedua, kampanye yang terlalu panjang pada pemilu8 Ibid., hlm. Xi.15


1955 memecah negara ke dalam konflik sosio-agama dan konflik etnik; ketiga, jatuh bangunnyakabinet sebagai akibat dari pertarungan politik antar partai-partai politik dan di internal partaipolitik karena sulitnya mengakomodasi berbagai kepentingan politik dari anggota kabinet.Akibatnya, pada Juli 1957 Presden Soekarno membubarkan Kabinet Ali Sastroamidjojo II danmembentuk Kabinet Ahli (Zaken Kabinet) dipimpin oleh Ir. Djuanda yang sebagian besaranggotanya bukan berasal dari partai politik melainkan golongan fungsional seperti teknokratdan ABRI. Kabinet Djuanda hanya berumur dua tahun. Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno,atas desakan dari TNI-AD, mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante.Pembubaran ini antara lain terkait karena Konstituante dianggap gagal dalam menyusun UUDBaru pengganti UUD 1945 yang bersifat sementara itu. Selain itu, berlarut-larutnya perdebatanmengenai ideologi negara antara Pancasila dan Islam, menjadi penyulut lain mengapaDemokrasi Liberal/Parlementer/Konstitusional dipaksa untuk berakhir.Secara garis besar ada dua kubu pandangan mengapa Demokrasi Konstitusional gagal. Kubupertama, kaum idealis, memandang kegagalan itu disebabkan oleh kurangnya penopanginstitusional bagi demokrasi, yaitu kurangnya pendidikan, kurangnya budaya demokrasi dantidak cukupnya basis ekonomi bagi demokrasi. Kubu kedua, kaum realis, melihat bahwademokrasi konstitusional tidak gagal, melainkan dibunuh. Kalaupun terjadi kegagalan, itumerupakan konsekuensi logis dari suatu permainan kekuasaan antara tentara dan kantorpresiden di satu pihak, melawan kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat sipil di pihak lain. 9Kita lalu masuk ke dalam sistem demokrasi dengan panduan, demokrasi dengankepemimpinan (Guided Democracy, Democracy with leadership) atau lebih dikenal sebagaiDemokrasi Terpimpin. Tujuan utama Demokarasi terpimpin, kata Bung Karno, adalahmembangun Nation and Character Building dan menciptakan masyarakat Indonesia yang adildan makmur. Namun, apa yang dicapai dari Demokrasi Terpimpin hanyalah tumbuhnyakekuasaan dari Presiden Sukarno dan tumbuh kuatnya kekuatan politik Angkatan Darat.Demokrasi Terpimpin gagal untuk mencapai sistem ekonomi Indonesia yang sehat, bahkanmenimbulkan kebangkrutan. Terbunuhnya enam jenderal Angkatan Darat dan satu perwirapertama TNI-AD, krisis politik yang terjadi di seputar Istana pada 1 Oktober 1965 dan inflasiekonomi yang tinggi menyebabkan jatuhnya Presiden Sukarno dan runtuhnya DemokrasiTerpimpin. Peristiwa Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966 dipandang oleh DanielDhakidae sebagai “military coup” (kudeta militer) yang dilakukan ABRI di bawah kepemimpinanLet. Jend. Soeharto terhadap Presiden Soekarno.Indonesia kemudian berganti sistem demokrasi kembali dari Demokrasi Terpimpin ke DemokrasiPancasila. Demokrasi Pancasila yang dibangun oleh rejim Orde Baru menggantikan rejim OrdeLama yang katanya bobrok awalnya membawa Indonesia ke masa stabilitas politik dankeamanan yang paling panjang, yaitu selama 32 tahun, yang ditopang oleh pertumbuhanekonomi dan pemerataan. Namun pada periode itu sebenarnya tidak terjadi pemerataanekonomi yang riel (nyata), karena hanya 200 konglomerat yang menguasai 58% GDPIndonesia. Harga-harga kebutuhan pokok yang ditekan serendah mungkin dapat terjadikarenaIndonesia saat itu masih kaya akan minyak dan amat mudah untuk mendapatkanpinjaman luar negeri yang harus dibayar oleh generasi berikutnya.9 Jika tanpa catatan kaki, bagian kegagalan dari tiga sistem demokrasi ini disarikan dari, Daniel Dhakidae, “The Longand Winding Road: Constraints to Democracy in Indonesia,” dalam R. William Liddle, ed., Crafting IndonesianDemocracy, Bandung: PPW-LIPI, The Ford Foundation and Mizan, 2001, hlm. 67-74.16


Stabilitas politik dan demokrasi juga amat semu, karena hanya Golkar sebagai “PartaiPenguasa” (The Ruler’s Party) yang dapat berkiprah (namun dikendalikan oleh penguasa) padamasa itu. Partai politik yang tadinya berjumlah 9 parpol pada era awal Orde Baru, dipaksa untukbergabung menjadi dua parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bagi partai-partaiIslam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang campuran partai-partai nasionalis dankristen/katolik, sedangkan Golkar tetap menjadi golongan fungsional yang tidak dimerger. Ibaratbaling-baling pesawat, saat dinamika politik berputar, hanya Golkar (partai bernomor 2 padasetiap pemilu di era Orde Baru sejak pemilu 1977 sampai dengan pemilu 1997) yang tampak,sedangkan PPP dan PDI hanya samar-samar karena merupakan partai pinggiran ataupelengkap penderita di era Demokrasi Pancasila.Penguasa Orde Baru melakukan deparpolisasi melalui politik massa mengambang danpencitraan buruk terhadap partai-partai politik. Selain itu, penguasa juga memaksa para abdinegara (pegawai negeri) untuk tidak boleh menjadi anggota partai politik dan wajib menjadianggota Golkar yang dikategorikan bukan sebagai parpol melainkan golongan fungsional.Demokrasi yang berkembang juga masuk dalam kategori “Demokrasi Kaum Penjahat,” yaitusuatu sistem demokrasi yang mendahulukan formalitas demokrasi, tanpa substansi, dandikendalikan oleh para politisi dan militer yang dapat dikategorikan sebagai “kaum penjahat”karena lebih mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompoknya ketimbang kepentinganrakyat.Stabilitas keamanan juga amat semu karena dicapai melalui penerapan “Politik Ketakutan” dariaparat intelijen negara dan juga represi dari aparat pertahanan dan keamanan negara. Secarakhusus, alat intelijen negara berfungsi sebagai intelijen politik yang hanya menjalankankepentingan politik rejim penguasa Orde Baru dan setiap saat dapat melakukan tindakanpenculikan, penghilangan dan atau pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggapmembahayakan “rejim kekuasaan Orde Baru,” suatu tindakan yang dikenal sebagai “IntelijenHitam.” 10Daniel Dhakidae menilai Orde Baru sebagai aliansi antara para birokrat, kelompok menengah,atau kaum borjuis secara umum, dan militer pada setiap pangkat, khususnya di sekitar ratusanjenderal. Legitimasi politik yang didapat pemerintah juga amat semu, tergantung pada kisahsukses ekonomi Orde Baru dan tidak membutuhkan dukungan ragam legitimasi yang berasaldari masyarakat. Pemilihan umum juga hanya bersifat prosedural untuk mendapatkan legitimasipolitik bagi pemerintah Orde Baru. Namun, begitu ekonomi kolaps, Orde Baru yang ibaratbangunan dengan fondasi yang amat rapuh itu pun runtuh, tanpa ada satu batu pun yangtersisa untuk menopangnya.Situasi chaos pada 1997-1998 menyebabkan munculnya gelombang demonstrasi menuntutreformasi total. Gerakan untuk demokratisasi politik di Indonesia paling tidak disebabkan olehempat hal: pertama, rejim otoriter Orde Baru yang sudah lelah dan mulai terpecah; kedua,hasrat rakyat akan keamanan dari tindakan sewenang-wenang para aparat rejim Orde Baru;ketiga, hasrat rakyat akan kebebasan (Freedom from Fear, Freedom of Religion, Freedom ofSpeech and Expression and Freedom of the Press), keempat, hasrat rakyat akan pembangunandan pemerataan ekonomi. Ini juga ditopang oleh adanya tekanan internasional agar Indonesiamengubah wajah dan kinerja ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan negaranya.10 Lihat, antara lain, Andi Widjajanto dan Artanti Wardhani, Hubungan Intelijen – Negara 1945-2004, Jakarta: Pacifisdan FES, 200817


Tahapan Demokrasi di Indonesia sejak Mei 1998Paling tidak ada empat tahapan demokrasi yang terjadi di Indonesia sejak Mei 1998. Pada tahapawal, terjadi situasi chaos yang mendorong terjadinya proses demokratisasi di Indonesia. Iniberlangsung sejak terjadinya krisis ekonomi dan keuangan yang melanda Asia pada 1997-1998yang juga berpengaruh pada situasi politik di Indonesia. Keinginan publik agar terjadi perubahanpolitik di tingkat nasional menyebabkan para mahasiswa, kelompok cendekiawan danmasyarakat secara luas melakukan demonstrasi yang berujung pada pengunduran diri PresidenSoeharto pada 21 Mei 1998.Tahap kedua, Indonesia masuk ke tahapan transisi demokrasi ( 1998-2004), institusi-institusipolitik dibangun dan dikembangkan. Partai-partai politik pun tumbuh dan berkembang bak jamurdi musim hujan, ada ratusan partai-partai baru terbentuk, namun hanya 48 partai politik yangberhak mengikuti pemilihan umum 1999. Kebebasan politik pun mulai dirasakan oleh rakyat dariSabang sampai Merauke. Pemilihan umum yang benar-benar langsung, umum, bebas, rahasia,jujur dan adil mulai dilaksanakan pada 1999 untuk memilih para anggota DPR dan DPRD.Presiden masih dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan pergantianpemerintahan dan anggota parlemen pusat dan daerah berjalan secara baik tanpa menimbulkankonflik yang berarti. Namun, sayangnya, demokrasi masih bersifat prosedural dan belum kearah demokrasi substansial yang dinikmati oleh rakyat banyak.Pada tahap ini, ada juga dua peristiwa penting, yaitu, pertama, konflik-konflik vertikal danhorizontal merebak di berbagai daerah. Konflik-konflik vertikal masih terjadi di Aceh dan Papua,dan dalam kadar yang lebih rendah terjadi di Riau saat sebagian elite di Riau mencetuskan RiauMerdeka yang kemudian berubah menjadi Riau berdaulat. Konflik-konflik di Papua dan Acehmasih diselesaikan dengan cara-cara lama, yaitu penggunaan cara-cara militer sepertipembunuhan tokoh-tokoh politik seperti kasus Tengku Bantakiah di Aceh dan pembunuhanKetua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluai, di Papua oleh Kopassus pada dinihari 11November 2001. Gejolak politik di Riau dan Papua juga diselesaikan melalui pemekaranProvinsi Riau menjadi dua provinsi, Provinsi Riau dan Provinsi Riau Kepulauan, sementaramelalui Keppres No 1/2003 dibentuk Provinsi Irian Jaya Barat. Pemecahan, bukan pemekaran,provinsi tersebut menyebabkan perpecahan kepentingan elite politik dan massa, namun itu jugamengurangi daya gerak separatisme di kedua provinsi lama itu, Riau dan Papua.Konflik-konflik horizontal terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah,Maluku dan Maluku Utara. Penanganan konflik komunal horizontal dilakukan lebih melalui caracaralama dan kurang diimbangi oleh penegakan hukum. Kalau pun dilakukan penegakanhukum, belum terjadi secara merata atas dasar kesamaan warga negara di depan hukum,melainkan masih pada bagaimana hukum ditegakkan agar ketenangan terjadi.Peristiwa kedua yang juga cukup signifikan adalah mulai bergulirnya apa yang disebut sebagaiReformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform). Ada tiga Institusi Keamanan yangdireformasi agar demokrasi, keamanan, pembangunan dan hak-hak sipil terjamin dan berjalanberiringan. Pertama dan terutama adalah Reformasi institusi ABRI/TNI. Pada 1 April 1999,Panglima ABRI Jenderal Wiranto menetapkan 14 langkah reformasi internal ABRI yang antaralain memisahkan Polisi dari ABRI, mengubah nama ABRI menjadi TNI, menghapuskankekaryaan ABRI, memisahkan keluarga besar ABRI dengan institusi ABRI, ABRI menjaga jarakyang sama dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada (tidak lagi mendukung Golkar). Padatahap berikutnya, melalui TAP/MPR-RI/VI/2001 tentang Pemisahan TNI dan Polri sertaTAP/MPR-RI/VII/2001 tentang Peran TNI dan Peran Polri, apa yang digagas oleh ABRI/TNImendapatkan payung hukum yang kuat. Dari sudut perundang-undangan, disahkannya UU18


No.2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3/2002 tentangPertahanan Negara serta UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Reformasi TNIdan Polri mendapatkan payung hukum yang lebih formal lagi. Sejak 2004, baik TNI maupunPolri tidak lagi memiliki Fraksi TNI/Polri baik di DPR-RI maupun di DPRD di berbagai daerah.Pada intinya, reformasi TNI ditujukan agar TNI tidak lagi menjadi Tentara Niaga (BusinessArmy) dan Tentara Politik (Political Army), melainkan menjadi Tentara Profesional.Kedua, Reformasi Polri. Reformasi Polri ditujukan pada bagaimana peran kepolisian negara didalam sistem negara demokrasi. Ada tiga aspek utama reformasi Polri, yaitu aspek instrumental,aspek aspek struktural dan aspek kultural. Ini mencakup reformasiinstrumen hukum yangmemberi payung bagi kinerja polri, institusi dan organisasi polri, reformasi manajerial, reformasibudaya agar polisi benar-benar menjadi Pelindung, Pengayom dan Pelayan Masyarakat, Polisibenar-benar menjadi institusi sipil, Polmas dalam wujudnya yang positif semakin menyebar dandirasakan hasilnya, dan terjadi pengawasan berlapis atas kinerja Polri. Hingga saat ini reformasiini masih terus berlangsung.Ketiga, Reformasi Institusi Intelijen Negara. Satu-satunya institusi keamanan negara yang belumdireformasi adalah intelijen negara. Negara Orde Baru adalah Negara Intelijens. Hingga masatransisi menuju demokrasi (1999-2004), lingkaran konflik (vertikal dan Horizontal) yangmelibatkan negara dan pola kekerasan negara seperti “Negara Intelijens” masa Orba masihterus berlaku. Sampai saat ini (Februari <strong>2009</strong>) Indonesia belum memiliki UU mengenai IntelijenNegara. Karena itu tidaklah mengherankan jika wajah politik atau hitam intelijen belum berubahmenjadi Intelijens Profesional. Fragmentasi Institusi-institusi Intelijen sesuai dengan bidangtugas dan keahlian juga belum terjadi. Pengawasam Intelijen berlapis (Internal, oleh eksekutif,legislatif dan masyarakat sipil) belum juga terjadi karena belum ada undang-undang yangmembenarkan langkah-langkah itu. Kasus-kasus Orang Hilang, Tindak Kekerasan aparat belumtuntas diselesaikan, paradigma lama TNI&Polri&Intelijens masih berjalan.Ketika Indonesia memasuki tahap konsolidasi demokrasi (2004-<strong>2009</strong>), dapat dikatakan bahwapada tahap ini, berbagai konflik vertikal maupun horizontal sudah hampir semuanyaterselesaikan. Konflik yang berkepanjangan di tanah rencong, Aceh, telah diselesaikan melaluiMoU yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diHelsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Pada era transisi sebelumnya, cara penyelesaiankonflik di Aceh dilakukan melalui gabungan antara cara-cara damai seperti disepakatinyaHumanitarian Pause dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) namun tak bertahan lamasehingga pada 2003-2004 pemerintah menerapkan Darurat Militer dan Darurat Sipil di Aceh.Baru setelah terjadinya Tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, arah penyelesaikan konflik diAceh secara komprehensif, adil dan bermartabat dijalankan sampai ditandatanginya MoUHelsinki.Konflik di Papua belum seluruhnya selesai karena tuntutan untuk dialog seperti yang dilakukanoleh pemerintah dan GAM yang difasilitasi pihak ketiga belum pernah terjadi di Papua. Namun,berbeda dengan kasus Aceh di mana GAM adalah kekuatan politik dan militer yang memilikigaris komando yang jelas (walau di bawah terpecah-pecah), dalam kasus Papua OrganisasiPapua Merdeka (OPM) atau Presidium Dewan Papua tidaklah mewakili satu kelompok yangberkonflik dengan pemerintah Indonesia. Karena itu, cara penyelesaian gaya MoU Helsinkitampaknya sulit dilakukan. Namun, arah menuju dialog untuk menyelesaikan konflik Papua terusberlanjut.19


Demokrasi, Konflik dan KeamananMasa awal reformasi, atau masa transisi dari sistem otoriter ke demokrasi (1998-2004) ditandaioleh revolusi aspirasi dan harapan rakyat yang meningkat. Masa ini juga ditandai oleh tiadanya“Pakta Politik” antara rejim lama dan rejim baru, termasuk, dan tidak terbatas pada, pemberianamnesti kepada para aparat yang melakukan tindakan sewenang-wenang atas nama rejimotoriter yang didahului oleh proses KKR (Keadilan, Kebenaran dan Rekonsiliasi). TiadanyaPakta Politik tersebut menyebabkan hingga kini masih banyak masyarakat sipil yang menuntutdilakukannya proses hukum bagi mereka yang melanggar HAM.Pada masa transisi ini pula terjadi dua tipologi konflik, yaitu vertikal dan horizontal. Konflikvertikal, antara negara dan rakyat, dapat berupa merebaknya gerakan penarikan diri(secessionism) dan/atau pemisahan diri (separatism). Secessionism diartikan sebagai keinginansekelompok etnik yang ingin menarik diri dari negara induk, sedangkan separatism berkaitandengan upaya dari sekelompok masyarakat untuk memisahkan diri dari warga negara bangsayang ada. Tujuan dari kedua gerakan itu sama: merdeka. Konflik vertikal juga dapat terjadiantara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terkait dengan soal kewenangan antarkeduanya, namun bukan berbentuk gerakan penarikan atau pemisahan diri. Gerakan penarikanatau pemisahan diri terjadi karena:• The justified resistance of victims• Emotional resentment• Propaganda orchestrated for political gain• The power of a dominant ethnic group• Economic motivations• Preservation of a threatened culture• Commitment to modernization.Konflik horizontal dapat berbentuk konflik sosial/komunal, konflik antar kampung soal tapalbatas, konflik yang terkait dengan pemekaran wilayah, konflik yang terkait dengan hasil pilkada.Konflik pasca jatuhnya rejim Orde Baru disebabkan oleh: pertama, keadaan ketidakpastian nilaimenyebabkan gejala lemah dan gagalnya negara; kedua, negara tidak mampu menegakkanaturan hukum dan kontrol terhadap masyarakat. Dampak pembangunan masa Orde Barumemang menimbulkan rasa ketidak adilan, urbanisasi yang meningkat, kesenjanganpembangunan antar daerah dan antar golongan dalam masyarakat, eksklusifisme masyarakat,termarjinalnya masyarakat asli, kesenjangan ekonomi antara masyarakat pendatang danpenduduk asli, serta rusaknya jaringan sosial budaya lokal-tradisional. Semua itu menjadisumber pendukung pecahnya konflik-konflik komunal di Kalbar, Kalteng, Sulteng, Maluku, Malut,dsb.Konflik-konflik komunal meluas dengan cepat sebagai akibat dari gagalnya upaya-upayapenghentian kekerasan yang dilakukan oleh aktor-aktor negara dan masyarakat, gagalnyaupaya-upaya perdamaian baik yang bersifat Top-down maupun bottom-up dan adanya politik“pembiaran” oleh aktor-aktor negara sebagai akibat belum jelasnya penerapan peran dan fungsiTNI dan Polri pada era awal transisi menuju demokrasi.Menurut Johan Galtung, konflik memuat tiga unsur utama, yaitu: pertama,ketidaksesuaian/kontradiksi antar kepentingan atau ketidakcocokan di antara nilai-nilai sosialdan struktur sosial; kedua, perilaku negatif dalam bentuk persepsi atau stereotype yangberkembang di antara pihak-pihak yang berkonflik, dan; ketiga, perilaku ancaman dankekerasan yang diperlihatkan. Konflik juga dapat terjadi sebagai akibat kelangkaan sumber20


daya, kekuasaan, status, dan lain sebagainya. Akibatnya, kompetisi di antara individu, kelompokatau antar kelompok di dalam suatu masyarakat atau negara tak terhindarkan.Konflik dapat dicegah atau dikelola jika pihak-pihak yang berkonflik dapat menemukan cara ataumetode menegosiasikan perbedaan kepentingan dan menyepakati atura main untuk mengaturkonflik. Penanganan konflik atau khususnya resolusi konflik sangat ditentukan oleh strukturkonflik itu sendiri. Dalam kaitan itu, paling tidak ada dua bentuk resolusi konflik: pertama,resolusi sebagai perlakuan (treatment) terhadap akar konflik; kedua, resolusi sebagaipenanganan (settlement) konflik dengan cara-cara paksaan (Coercion) atau dengan cara tawartmenawar (Bargaining) atau perundingan (negotiation).Paling tidak ada empat tahapan empirik resolusi konflik. Tahap pertama, masih didominasi olehstrategi militer yang berupaya mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Pada tahapkedua, memiliki orientasi yang bertujuan untuk memulai proses reintegrasi elite politik darikelompok-kelompok yang bertikai.Tahap ketiga lebih bernuansa untuk menerapkan problemsolving approach. Tahapan keempat atau terakhir, memiliki nuansa kultural yang kental karenatahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktural sosial-budaya yangdapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian.Louis Kriesberg dalam bukunya Constructive Conflicts: From Escalation to Resolution(Maryland: Rowman and Littlefield, 2003, hlm. 384) mengatakan, semakin tinggi tingkat interaksidan saling ketergantungan antar pihak-pihak yang tadinya berkonflik, akan semakin membatasimunculnya konflik baru. Selain itu, munculnya saling pengertian dan berkembangnya normanormabersama juga akan mencegah konflik. Ini berarti, dalam praktek, bagaimana kita dapatmembantu agar pada masyarakat yang berkonflik terjadi interaksi positif dan salingketergantungan serta tercipta norma-norma baru yang positif agar konflik tak terulang kembali.Dalam kasus Indonesia, konflik-konflik vertikal dapat diselesaikan secara damai melaluiperundingan seperti kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diselesaikan melaluiperundingan di Helsinki yang berakhir dengan ditandatanganinya MoU Helsinki antaraPemerintah Indonesia dan GAM pada 15 Agustus 2005. 11 Dalam kasus konflik di Papua, arahmenuju dialog komprehensif mengenai persoalan Papua juga masih berjalan. 12 Dalam kontekskonflik komunal, transformasi konflik juga dapat berubah dari konflik yang bersifat fisik menjadikerjasama antar etnik. Etnik-etnik yang termarjinalisasi juga dapat terangkat harkat danmartabatnya untuk menjadi salah satu tuan/master di daerahnya sendiri, contohnya etnik dayakdi Kalimantan. 13 Kasus Poso dan Maluku juga menunjukkan betapa konflik dapatbertransformasi menuju suatu kerjasama antar etnik baik pada tataran sosial ekonomi maupunpolitik. Demokrasi juga memungkinkan dilakukannya reformasi sektor keamanan (SecuritySector Reform) seperti yang dilakukan di Indonesia sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada 21Mei 1998. Meski belum sempurna, SSR paling tidak sudah mengubah institusi AngkatanBersenjata Indonesia (ABRI) yang kental unsur politik dan iaganya menjadi Tentara Nasional11 Lihat, antara lain, Ikrar Nusa Bhakti, et.al., Beranda Perdamaian. Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.12 Lihat, antara lain, Muridan S. Wijoyo, et.al., Road Map Papua, Jakarta: Pusat Penelitian Politik-LIPI, 2008; lihat jugaNeles Tebay, Dialog Jakarta – Papua. Sebuah Perspektif Papua, Jayapura: Sekretariat Keadilan dan PerdamaianKeuskupan Jayapura, <strong>2009</strong>.13 Benny Subianto, “Ethnic Politics and the Rise of the Dayak-Bureaucrats in Local Elections: Pilkada in SixKabupaten in West Kalimantan,” dalam Maribeth Erb and Pryambudi Sulistiyanto, eds., Deepening Democracy inIndonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), Singapore: <strong>Institute</strong> of Southeast Asian Studies, <strong>2009</strong>, hlm.327-351.21


Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang setapak demi setapakmenuju institusi yang profesional murni.Otonomi Daerah, Etnisitas dan KeamananOtonomi daerah yang diterapkan sejak era Presiden B.J. Habibie telah berhasil mengangkatkelompok masyarakat yang termarjinalkan menjadi tuan di negerinya sendiri. Mereka yang dulutermarjinalkan kini telah mendapatkan kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan publik baikdi legislatif dan eksekutif daerah maupun di perguruan-perguruan tinggi negeri. Kondisi ini terjadidi hampir seluruh wilayah Indonesia, terlebih lagi di provinsi-provinsi seperti NAD, KalimantanBarat, Kalimantan Tengah, Papua Barat dan Papua.Sirkulasi elit di antara etnik-etnik yang ada di berbagai wilayah Indonesia sebagian besar terjadisecara damai melalui pilkada-pilkada langsung namun patut juga dicatat masih ada persoalan/isu mengenai putra daerah dan bukan putra daerah, isu tersebut diharapkan sirna seiringdengan kemajuan pembangunan daerah dan semakin matangnya rakyat berdemokrasi.Kericuhan yang terjadi pasca dilaksanakannya Pilkada langsung amat jarang terjadi diIndonesia. Persoalan memang muncul pada Pilkada di Maluku Utara, Sulawesi Selatan danJawa Timur, untuk menyebut pilkada di tiga provinsi yang penyelesaiannya memakan waktuyang lama (Maluku Utara), paling memakan biaya karena sampai diulang dua kali (Pilkada JawaTimur) dan paling menimbulkan persoalan etnik (Sulawesi Selatan). Daerah yang denganbanyak etnis tapi dengan dua atau tiga etnik dominan, seperti Sumatera Utara, berbagai provinsidi Kalimantan, dan Papua, tidak jarang membutuhkan adanya koalisi antar etnik agar dukunganmasyarakat dan situasi aman dapat terjadi di wilayah itu. Daerah dengan dua etnik dominan,seperti di Sulawesi Selatan membutuhkan kearifan tersendiri agar persoalan etnisitas itu tidakmenjadikan wilayah tersebut menjadi tidak aman akibat pertarungan antar etnik-etnik yangdominan. Dalam kasus di mana terdapat satu etnik dominan seperti di pulau Jawa, pertarunganutamanya bukan pada antar etnik melainkan dari sisi koalisi antar partai. Lepas dari berbagairagam daerah tersebut, rakyat di daerah telah membuktikan bahwa mereka dapatmempraktekkan sistem demokrasi modern secara baik, walau masih ada bumbu-bumbuetnisitasnya di sana sini.Dari sisi sosial –ekonomi, otonomi daerah telah memungkinkan keseimbangan pendapatanantara pusat dan daerah serta pemerataan pembangunan antar dan intra provinsi , namun takdapat dipungkiri bahwa elit-elit lokal masih lebih menikmati diterapkannya otonomi daerah.Kini persoalan utamanya ialah bagaimana agar demokrasi bukan hanya terkait dengankeamanan semata, melainkan juga dengan kesejahteraan rakyat. Tiga hal itu saling terkait agarrakyat benar-benar dapat menikmati manfaat positif dari sistem demokrasi yang baru. Adanyakesejajaran antara demokrasi, keamanan, kesejahteraan dan penghapusan berbagai hal yangberbau diskriminatif akan menihilkan, paling tidak mengurangi kemungkinan terjadinya konflikkonflikvertikal dan horizontal di Indonesia.Apa yang harus dilakukan masyarakat sipil pasca konflik?Paling tidak ada tiga asumsi yang perlu dikemukakan: Pertama, lingkaran konflik (vertikal danHorizontal) yang melibatkan negara dan Pola kekerasan negara seperti “Negara Intelijens” masaOrba masih terus berlaku. Kedua, asumsi optimis melihat hasil reformasi sektor keamanan22


menunjukkan hasil yang positif (“politik ketakutan” dari negara dan konsep “negara intelijen”lenyap). System building yang terkait RSK (SSR) menjadi semakin baik, kekerasan negara dankonflik yang melibatkan negara menurun. Masyarakat sipil harus menemukan/menerapkanparadigma atau pakem baru, menebarkan “virus positif” non-kekerasan kepada masyarakat dannegara. Paradigma non-kekerasan itu diimplementasikan dalam bentuk penguatan nilai-nilainon-kekerasan dan mekanisme resolusi konflik (vertikal dan horizontal) secara demokratis. Katakuncinya: non-kekerasan, dialog, multikulturalisme, inklusivisme, resolusi konflik secara damai,demokrasi dsb.Ketiga, asumsi pesimis, SSR gagal, kekerasan oleh negara dan atau masyarakat cenderungtetap atau bahkan meningkat (sebagai akibat tambahan dari faktor situasi ekonomi yangsemakin memburuk). Jika ini terjadi, peran masyarakat sipil dengan paradigma lama masihdiperlukan dan dapat dirasakan oleh masyarakat. Peran lama itu adalah masyarakat sipil harustetap bersikap reaktif atas kasus-kasus yang telah terjadi (penghilangan Orang, penculikan,tindak kekerasan dll), sembari menebarkan virus perdamaian dan cara-cara penyelesaiankonflik secara demokratis, adil dan bermartabat.Kita berharap konsolidasi demokrasi dan kematangan berdemokrasi akan terus berlanjut diIndonesia. Dalam kaitan ini, seperti dikatakan oleh Juan J Linz dan Alfred Stepan, kita harusterus menerus mengatakan kepada masyarakat dan para elite politik agar: pertama, dari segiperilaku, demokrasi adalah satu-satunya aturan main yang digunakan untuk menyelesaikanberbagai konflik kepentingan. Bicara dan bukan senjata, harus didahulukan dalam penyelesaiankonflik; kedua, dari segi sikap, kesulitan ekonomi dan politik apa pun yang dihadapi oleh individuataupun kelompok, prosedur dan institusi demokrasi merupakan cara yang paling tepat untukmengatur kehidupan kolektif dalam masyarakat, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, di daerahkonflik; ketiga, dari segi konstitusi, kekuatan-kekuatan pemerintah dan non-pemerintah samasamatunduk pada dan terbiasa dengan upaya-upaya pemecahan konflik di dalam batas-batasUndang-undang, prosedur dan institusi tertentu yang diteraplan secara demokratis. 14Pada tataran yang konkret masyarakat sipil di daerah konflik harus: pertama, semakin membukadiri satu dengan lain. Inklusifisme jauh lebih baik dan positif bagi kerjasama dan perdamaian.Keterbukaan akan menimbulkan saling pengertian, dari saling pengertian akan terbuka ruangbagi kerjasama, dan dari kerjasama itu akan terbuka pintu perdamaian. Kedua, pemimpinkelompok masyarakat sipil sepatutnya dapat menyebarkan virus perdamaian dan menutup rapatakses bagi informasi negatif yang dapat menimbulkan konflik baru. Apa yang terjadi di desaWayame (Ambon) dan desa Tengkura (Poso) dapat menjadi contoh yang baik bagaimanapemimpin dan masyarakat lokal berupaya menangani dan mencegah konflik 15 Ketiga, kalanganmasyarakat sepatutnya tidak mengikuti ajakan dari para elite politik yang menyebarkan viruskonflik. Hanya dengan begitu demokrasi, konflik dan keamanan menyatu dalam bingkai yangapik dan indah bagi kemajuan bangsa Indonesia ke masa depan.***14 Juan J. Linz dan Alfred Stepan, “Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi,” dalam Ikrar Nusa Bhakti dan RizaSihbudi, eds., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat. Belajar dari kekeliruan Negara lain. Bandung: Mizan bekerjasamadengan PPW-LIPI dan The Ford Foundation, 2001, hlm. 40-41.15 Dr. Nanang Pamudji M, et.al., “Draft Report Success Story Mekanisme Komunitas dalam Penanganan danPencegahan Konflik: Studi Kasus di Desa Wayame (Ambon) dan Desa Tangkura (Poso),” Jakarta: <strong>Institute</strong> TitianPerdamaian dan Friedrich Ebert Stiftung, 2008.23


Disintegrasi, Reintegrasi,dan Modal Sosial di IndonesiaOleh : Ichsan MalikSejarah Konflik di IndonesiaSejak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada hakekatnya Indonesia menyimpanpotensi konflik internal yang laten, yaitu gesekan antara kelompok negarawan sipil, dengankelompok pejuang bersenjata yang belum terstruktur, keragaman etnik yang tersebar di luarpulau Jawa, serta mayoritas kelompok Islam yang sejak awal merdeka berada dipinggiran, tidakterlalu berperan dalam politik dan ekonomi. Kredo Bhineka Tunggal Ika adalah ekspresi darikesadaran kritis dari para pendiri Republik perihal keragaman yang ada, kuatnya gesekankepentingan-kepentingan kelompok, dan kesenjangan yang nyata diseantero wilayah Indonesia.Konflik mulai muncul di permukaan dan terbuka (Ichsan Malik, 2006), diawali dengan pendirianDI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pada tahun 1949 di Jawa Barat oleh SMKartosuwiryo seorang politikus islam. Di susul oleh dr. Soumokil, Ir. Manusama, dan mantantentara KNIL Maluku, yang mendirikan RMS (Republik Maluku Selatan) pada tanggal 25 April1950. Kemudian Teungku Daud Bereuh, Gubernur Militer di Aceh, mendirikan DI/TII padatanggal 19 September 1953. Pada tanggal 2 Maret 1957 Letkol H.N.V. Sumual, Panglima TI-VII/Wirabuana mendeklarasikan proklamasi PERMESTA (Perjuangan Rakyat Semesta) diMakasar. Kemudian pula Syarifudin Prawiranegara, bersama Letkol Ahmad Husein/DewanBanteng, Letkol Simbolon/Dewan Gajah, dan Letkol Barlian/ Dewan Garuda, pada tanggal 8Januari 1958 mendirikan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di SumateraBarat.Konflik internal mereda beberapa tahun, namun ketegangan dan mobilisasi partai politik untuksaling merebut kekuasaan, terutama Partai Komunis Indonesia, melahirkan satu konflikkekerasan terbuka yang sangat berdarah. Di mulai pada tanggal 30 September 1965, makaterjadi pertumpahan darah yang aktor utamanya adalah Partai Komunis Indonesia, militerIndonesia, dan kelompok-kelompok islam (Hermawan Sulistyo. 2000; Cribb, Robert. 2000).Paska konflik terbuka ini,militer Angkatan Darat Indonesia mengambil kekuasaan sepenuhnyadari sipil, dan menciptakan pemerintahan militer yang represif.Pada kurun waktu yang sama dengan konflik politik dan ideologi di Pulau Jawa. Di Papua, 2tahun setelah PEPERA, pada tahun 1964 berdirilah OPM (Organisasi Papua Merdeka), danmelancarkan aksi untuk melawan pemerintah Indonesia ( Dewi. F. Anwar 2005). Hal inimenimbulkan konflik sporadis di berbagai wilayah Papua, terutama di wilayah perbatasandengan Papua Nugini. Pada tahun 1975, pemerintahan militer Indonesia, bekerjasama denganpartai politik lokal di Timor Timor melakukan perebutan wilayah di Timor Timur yangmenimbulkan konflik berkepanjangan, perlawanan bersenjata, serta menjadi agendapembahasan di PBB, karena saat itu Timor Timor secara formal masih berada dalam wilayahhukum Portugal. Pada tahun 1976 Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka yangmenginginkan Aceh memisahkan diri menjadi suatu negara yang berdaulat. Ketiga konflik initerus berakumulasi dan tidak pernah terselesaikan dalam kurun waktu 30 tahunan.Satu tahun setelah Reformasi, awal tahun 1999, masyarakat Indonesia dikejutkan dengankonflik-konflik komunal yang bernuansa agama dan etnik di Maluku, Poso, dan Kalimantan24


Tengah. Isu SARA yang selama ini dipendam di alam tidak sadar, atau sengaja ditutup-tutupi,terbuka dan menimbulkan konflik kekerasan berdarah. Konflik dengan nuansa agama dan etnikini, menimbulkan gelombang solidaritas yang meluas diberbagai wilayah Indonesia terutamadari masyarakat dan elit Pulau Jawa. Serta mengarah kepada reintegrasi sosial, karenatoleransi yang berkembang hanya sebatas kepada kelompok etnik dan agamanya. Tercatatsejak Oktober 1998 hingga September 2001 ada 18.910 orang Indonesia mati akibat konflik,rinciannya dapat dilihat pada peta di bawah ini (peta ini diolah oleh KWI dan Gerakan Baku BaeMaluku, 2001).Sumber Konflik dan Aktor yang TerlibatMerujuk kepada sejarah konflik di Indonesia yang telah diuraikan di atas, maka sumber-sumberkonfliknya dapat diidentifikasi kepada beberapa pokok sebagai berikut :1. Konflik yang disebabkan oleh adanya struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil,yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan/masyarakat di daerah.Aktor yang berperan adalah Militer, politikus, dan tokoh agama.2. Konflik yang disebabkan oleh karena kepentingan-kepentingan kelompok dominan yangberbeda dan saling berbenturan. Aktor yang berperan adalah kelompok militer, politikus,dan tokoh agama islam.3. Konflik yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan nilai- nilai, meliputi ideologi dannilai agama. Aktor yang berperan adalah militer, partai politik, dan kelompok-kelompokagama.4. Konflik yang disebabkan oleh karena perebutan sumberdaya yang dimiliki oleh daerah,terutama sumberdaya alam. Aktor yang berperan Pemerintah pusat, militer, dan tokohmasyarakat di daerah.5. Konflik yang disebabkan oleh karena adanya distorsi informasi, perbedaan sejarah lokal,streotip dan diskriminasi. Aktor yang terlibat , adalah kelompok intelejen, Pemerintahpusat dan daerah, tokoh agama dan tokoh etnik masyarakat.25


Secara teoritis dan berdasarkan pengalaman, pada hakekatnya tidak ada sumber konflik yangbersifat tunggal, sumber konflik umumnya merupakan kombinasi dari beberapa sumber konflik.Sumber konflik ini muncul karena adanya akumulasi, dan ketika muncul tidak pernah ada upayayang tuntas untuk menyelesaikannya. Sumber konflik juga terlihat cenderung berulang kembali,dari suatu periode kepada periode berikutnya.Dari kajian komprehensif yang dilakukan oleh Institut Titian Perdamaian pada tahun 2007.Terkait kepada skala perluasan penyebaran konflik, kekerasan massal yang terjadi, sertamerujuk kepada keterlibatan seluruh komponen masyarakat pada konflik kekerasan, maka padatahun 2006, di Indonesia terlihat terjadi transformasi konflik kekerasan. Konflik kekerasan yangsemula bersifat massif dan mencakup seluruh wilayah Propinsi, bahkan menyebar keluarPropinsi seperti yang terjadi di Aeh, Maluku, Sulawesi Tengah, telah berubah bentuknyamenjadi konflik kekerasan komunal dalam skala kecil, yang penyebarannya terbatas, aktor yangterlibat bersifat spesifik, dan isunya lebih aktual.IAdapun bentuk kekerasan dalam skala kecil yang diidentifikasi, bentuk kekerasannya berupaperusakan, pembakaran, penganiayaan, pembunuhan dan pemaksaan yang melibatkan individudengan kelompok, maupun antar kelompok dengan pemerintah termasuk aparatnya yaitu polisi,TNI dan organ keamanan lainnya seperti Satpol Pamong Praja.Berdasarkan hasil kajian pada bulan Januari hingga bulan November 2006. Maka didapatkankenyataan bahwa di Indonesia pada tahun 2006 terdapat 240 insiden kasus konflik kekerasan ,maka berarti di indonesia, setiap satu setengah hari hari terjadi kekerasan komunal, ibaratnyatiada hari tanpa kekerasan.26


Sementara sumber sumber konflik kekerasan komunal dalam skala kecil, yang paling dominanadalah perebutan kekuasaan politik, kekerasan ini berkaitan dengan mobilisasi massa dalamPemilihan Kepala Daerah, yang terlibat dalam tindak kekerasan adalah elit partai politik, satgasdan pendukungnya, lembaga pemerintah, DPR-DPRD dan KPU-KPUD. Sumber konflik lainyayang cukup dominan adalah perebutan sumber daya, konflik teritorial, perebutan tanah/lahanyang berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi antar antar kelompok termasuk penggusuranyang dilakukan swasta maupun pemerintah. Sedangkan kekerasan yang paling ditakuti selamaini yaitu kekerasan bernuansa agama dan etnis, hingga kini masih berlanjut tapi intensitas danfrekuensinya mulai berkurang, yang masih terdengar adalah penyerbuan terhadap kelompokaliran keagamaan yang dianggap sesat.Hal yang paling merisaukan adalah apabila kita lihat penyebaran dari konflik kekerasan komunalini, ternyata kekerasan telah menyebar dan terjadi pada 26 Propinsi yang meliputi 90Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Terdapat 5 daerah yang tergolong memiliki tingkatintensitas kekerasan komunal yang sangat tinggi, dimana telah terjadi 15 kali insiden lebihkekerasan komunal sepanjang tahun 2006. Lima daerah ini adalah DKI Jakarta, Jawa Barat,Jawa Timur, Papua dan Sulawesi Tengah. Tiga daerah lainnya, tercatat memiliki tingkatintensitas kekerasan komunal tinggi, yaitu antara 10 hingga 14 kali insiden. Jawa Tengah, NusaTenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur termasuk dalam katagori ini.Resolusi Konflik dan Modal SosialResolusi konflik pada hakikatnya merupakan serangkaian aktifitas yang berbentuk siklus (EWS.ITP. 2006), yaitu berawal dari pencegahan konflik (conflict prevention), intervensi untukmenghentikan konflik kekerasan (peace keeping), negosiasi untuk menciptakan perdamaian(peace making), serta upaya untuk membina perdamaian agar bisa bertahan dalam jangkapanjang (peace building). Siklus resolusi konflik dapat dilihat pada gambar di bawah ini:27


Gambar Siklus Resolusi KonflikConflictpreventionViolentConflictPeacebuildingPeacekeepingPeacemakingPada dasarnya, konflik kekerasan massal dapat dicegah sejak awal, dengan syarat bahwakegiatan pencegahan konflik berjalan secara efektif. Kegiatan pencegahan konflik sangatbervariasi dimulai dari pendidikan resolusi konflik, kampanye perdamaian, pengorganisasianmasyarakat rentan, hingga tersedianya satu tim khusus yang bertugas untuk melakukan kajianterhadap potensi konflik, kemudian memberikan peringatan-peringatan dini kepada masyarakat,sehingga ketegangan yang terjadi di masyarakat tidak berkembang menjadi konflik kekerasan.Apabila konflik kekerasan massal tidak mampu dicegah, maka perlu dilakukan intervensi untukmenghentikan kekerasan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa elit pemerintahan, sertaalat negara seperti polisi dan militerlah yang paling diandalkan dan yang aktif untukmenghentikan konflik, sedangkan masyarakat lebih bersifat pasif. Tidak heran apabila konflikmenjadi semakin berkembang dan tidak terkendali. Sudah saatnya saat ini masyarakat harusterlibat secara proaktif, sehingga kekerasan dapat segera diminimalisir.Ketika konflik kekerasan telah diminimalisir, maka umumnya dilaksanakan perundingan ataunegosiasi untuk mencari kesepakatan tentang alternatif terbaik bagi kedua pihak yang berkonflikuntuk memperbaiki kembali seluruh kerusakan yang telah terjadi saat konflik. Masyarakat luasyang pada dasarnya merupakan korban langsung dari konflik kekerasan, kadangkala hanyamenjadi penonton dan menunggu. Ketika kesepakatan telah tercapai, maka tiba saatnya untukmelakukan pembangunan, baik pembangunan fisik maupun mental, pembangunan infrastruktur,kegiatan produksi, maupun melakukan reintegrasi kembali pihak-pihak yang berkonflik. Merekayang berperang selama ini harus belajar kembali untuk hidup normal, dalam situasi yang normalpula. Peran masyarakat sangat dibutuhkan pada tahap ini.Berdasarkan praktek yang telah dilakukan dalam melaksanakan resolusi konflik di Indonesiasejak masa SM Kartosuwiryo hingga masa menjelang reformasi. Pada hakekatnya tidak banyakpelajaran yang dapat dipetik dan untuk dijadikan model bagi penyelesaian konflik yang bersifatkomprehensif. SM Kartosuwiryo ditumpas dengan cara pengiriman tentara. RMS karena yangmemberontak sebagian besar adalah tentara KNIL, maka yang dikirim juga tentara. Terjadiperang antara tentara dan tentara. Perlawanan bersenjata TK Daud Beureuh berakhir dengan”ikrar Lamteh” dimana pemerintah Republik Indonesia setuju memberikan status ProvinsiDaerah Istimewa Aceh. Namun keistimewaan Aceh pada dasarnya hanya cek kosong yang28


tidak berarti apa-apa ( M Daud Yoesoef. 2007). Sehingga akhirnya muncul kembali GerakanAceh Merdeka pada tahun 1976. Demikian pula PERMESTA, PRRI, penyelesaiannya adalahperang antara tentara dengan tentara. Lebih tragis peristiwa G 30 S, setelah terjadipenumpasan besar-besaran yang dilakukan oleh tentara, di bantu oleh kelompok kelompokmuda islam. Maka hingga saat ini di masyarakat Indonesia terjadi amnesia massal soal G30S.Berdasarkan praktek yang telah dilakukan dalam melaksanakan resolusi konflik di Indonesiapasca reformasi, maka pada dasarnya pendekatan resolusi konflik dapat dibagi menjadi duabagian. Pertama, pendekatan resolusi konflik dari atas. Sebagai model untuk pendekatan dariatas kita ambil model MOU Helsinki. Kedua, pendekatan resolusi dari bawah. Sebagai modeluntuk pendekatan resolusi konflik dari bawah kita ambil model gerakan baku bae Maluku.Pendekatan dari Atas : MOU HelsinkiPerdamaian Aceh yang diwujudkan melalui MOU Helsinki 15 Agustus 2005, merupakan satucerita sukses dalam resolusi konflik/ perdamaian di Indonesia dan dunia internasional.Perdamaian Aceh, menghasilkan Nobel Perdamaian bagi fasilitatornya yaitu Mahti Ahtisaari.Terjadi ”win-win solution” antara Pemerintah RI yang semula dengan option Otonomi Khusus,dan GAM dengan opsi Merdeka, akhirnya menjadi ”self goverment” yang ditransformasikankedalam UUPA.Political Will dari pemerintah pusat sangat kuat, Presiden dan wakil Presiden memberikan atensiyang tinggi terhadap setiap perkembangan proses perdamaian. Pemerintah mengirim sekaligus3 menteri, dan 3 senior officer, untuk terlibat sepenuhnya dalam perundingan. GAM mengirimseluruh seniornya. Perundingan dan dialog berlangsung serius dalam 6 putaran sejak 27Januari 2005.Fasilitator perundingan adalah bekas Presiden Finlandia, memiliki ”leverage” yang tinggi karenadidukung sepenuhnya oleh pemerintah Finlandia. Di dukung oleh pihak Uni Eropa, dan jugaSekjen PBB. Fasilitator memiliki pengalaman penyelesaian konflik di Namibia, Kosovo, danIrlandia Utara. Monitoring Mission/AMM. Dipimpin oleh pejabat senior Uni Eropa yang bukanberasal dari institusi fasilitator (CMI), wakilnya di tunjuk menteri dari Indonesia, dilengkapi oleh210 anggota tim dari negara-negara Eropa dan Asia yang berpengaruh. Sosialisasi hasilperundingan dilakukan secara sistemik, dokumen disiapkan, tim sosialisasi dibentuk.Dikordinasikan oleh Kementrian Polhukam. Didukung sepenuhnya oleh anggaran pemerintah.Perlu juga kita catat, meskipun pendekatan dari atas sangat siginifikan untuk penyelesaiankonflik di Aceh, namun kontribusi dari kelompok masyarakat sipil bukan berarti tidak ada bagiupaya terwujudnya perdamaian Aceh. ACSTF (Acehnese Civil Society Task Force), adalahsalah satu dari kelompok masyarakat sipil Aceh, yang sejak awal pendiriannya pada tanggal 8Oktober 2001, sudah gencar membuat kampanye bahwa penyelesaian konflik kekerasan diAceh, harus dilakukan dengan cara dialog. Mereka secara berkesinambungan membuatkonfrensi internasional, awalnya antara lain ”Brotherly Dialog among Acehnese for a Just Peacein Aceh" di Washington DC, 5 s.d. 8 Oktober 2001. Konferensi ini diadakan oleh InternationalForum For Aceh (IFA) dan Global peace Centre of American University. Kemudian berbagaipertemuan dialog Aceh damai terus dilakukan oleh ACSTF di tingkat nasional, maupun di tingkatlokal.29


Pendekatan dari Bawah : Gerakan Baku Bae MalukuBaku Bae adalah gerakan moral dari masyarakat bawah korban konflik, untuk menghentikankekerasan yang terjadi di Maluku, akibat konflik yang bernuansa agama. Inisiatif gerakan dimulai pada bulan April tahun 2000. Satu tahun setelah pecahnya konflik Maluku pada tanggal 19Januari 1999.Pada Agustus 2001, Gerakan Baku Bae mendapat penghargaan Suardi Tasrif Award dariAliansi Jurnalis Independen Indonesia, untuk upayanya mendorong diwujudkannya jurnalismedamai pada wilayah konflik di Indonesia. Pada 2005, Baku Bae dipilih oleh European Centre forConflict Prevention Utrecht-Netherlands menjadi salah satu cerita dari 65 “Successfull Stories”resolusi konflik di dunia. Diabadikan dalam buku People Building Peace II. Buku tersebut di“launching” pada saat Global Conference From Reaction To Prevention: Civil Society ForgingPartnership To Prevent Violent Conflict And Build Peace di PBB New York pada Juli 2005.Sejak awal, gerakan Baku Bae telah berupaya untuk menggali dan menggunakan sepenuhnyamekanisme-mekanisme lokal yang ada di Maluku untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Katabaku bae, berasal dari dunia anak-anak di Maluku. Ketika anak-anak di Maluku berkonflik, danakan berdamai, mereka mengatakan BAKU BAE (saling berbaikan), sambil menempelkanjempol mereka masing-masing.Mekanisme lokal untuk penyelesaian konflik antar Negeri (desa) yang berlaku atau dikenal diPulau Ambon, Pulau-pulau Lease, dan Pulau Seram yaitu Pela atau relasi perjanjian satu ataulebih negeri lain dan kadang menganut agama yang berbeda ( Bartels.Dieter. 2002). Tradisi pelatelah dikenal sejak abad ke 16. Menurut Bartels, ada tiga jenis pela yakni; pela Karas, PelaGandong atau Bongso, dan Pela Tempat Sirih. Pela Karas, timbul karena terjadi peristiwa yangsangat penting seperti pertumpahan darah atau peperangan yang tidak berkesudahan. PelaGandong berdasarkan ikatan turunan, berbagai mata rumah dalam negeri-negeri yang ber pelamenganggap dirinya satu keturunan. Pela Tempat Sirih, diadakan setelah suatu peristiwa yangtidak terlalu penting, karena insiden kecil atau terjadi saling tolong menolong.Konflik berdarah di Maluku tidak hanya melibatkan dua atau tiga negeri yang ber pela.Melainkan melibatkan seluruh negeri-negeri di Maluku yang jumlahnya ratusan. Karena itugerakan Baku Bae, pada hakikatnya mentransformasikan pela yang terbatas pada beberapanegeri menjadi pela gandong seluruh negeri/semesta. Dan diharapkan berfungsi sebagaiperjanjian untuk menghentikan konflik di Maluku.Workshop kritis merupakan media interaksi untuk mencari solusi bagi kedua kelompok yangberkonflik di Maluku yang telah terbelah total menjadi kelompok masyarakat Islam dan kelompokmasyarakat Kristen. Workshop kritis, bahasa lokalnya adalah Saniri. Saniri negeri dilakukan diMaluku untuk bermusyawarah mengambil keputusan untuk pembangunan negeri ( M. ShalehPutuhena. 2001).Pada workshop kritis ini dibongkar sumber konflik. Diidentifikasi siapa-siapa saja aktor yangterlibat di dalam konflik. Dilakukan analisa SWOT untuk mengukur kapasitas yang ada dan yangmungkin ada untuk diperkuat. Serta membuat perencanaan untuk melakukan aksi bersama bagipenghentian konflik di Maluku. Melalui workshop kritis ini diharapkan kedua belah pihak memilikikesadaran kritis sebagai subjek dalam melihat konflik yang terjadi, sehingga terhindar menjadisekedar objek yang dimobilisir dalam konflik. Serta melalui workshop ini juga diharapkanmeningkatnya kapasitas korban untuk mulai menjadi bagian dari pemecahan masalah (part ofsolution).30


Workshop kritis bagi korban dan pelaku langsung dilakukan secara bertingkat-tingkat. Dimulaidari 6 Islam dan 6 Kristen. Meningkat menjadi 20 Islam dan 20 Kristen. Meningkat lagi menjadi40 Islam dan 40 Kristen. Baru kemudian menyentuh kelompok masyarakat yang bukan korbanlangsung dan bukan pelaku langsung dari konflik. Yaitu kelompok pengacara, jurnalis, traditionalleaders (raja), pimpinan agama, intelektual, LSM, dan mahasiswa. Waktu yang dibutuhkan untukpelaksanaan workshop kritis ini adalah 2 tahun. Seluruh rangkaian workshop di akhiri denganpertemuan besar (saniri seluruh negeri) seluruh kelompok yang telah difasilitasi oleh gerakanBaku Bae pada bulan Januari 2003. Disanalah diserukan penghentian seluruh konflik kekerasandi Maluku.Bagi perdamaian Maluku, harus dicatat juga kontribusi yang signifikan dari pemerintahIndonesia. Dalam hal ini adalah inisiatif dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat JusufKalla, serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, yangmenggelar konfrensi perdamaian Malino II di Makasar pada tanggal 10 hingga 12 Februari2002, yaitu 2 tahun setelah gerakan Baku Bae Maluku.Kampanye yang gegap gempita di media massa, keterlibatan langsung dari 2 menterikoordinator, serta dukungan dana yang cukup berlimpah, yang dialokasikan dari danakementerian teknis, secara efektif mampu menghentikan sebahagian besar konflik kekerasan diMaluku.Persoalan yang Tersisa di Aceh dan Maluku, Pasca KonflikAcehAceh merupakan wilayah Indonesia yang dilanda dua bencana sekaligus (double dissaster).Dilanda bencana konflik kekerasan vertikal selama 30 tahun, serta dilanda bencana Tsunamiyang sangat dahsyat pada tanggal 26 Desember 2004, yang menimbulkan korban jiwasebanyak 160.000 orang. Pemerintah telah membentuk Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi(BRR) untuk melakukan merekonsruksi dan merehabilitasi para korban. Badan ini mengeloladana kurang lebih sebesar Rp 60 trilyun yang sumbernya berasal dari dana APBN, dan bantuandari komunitas internasional. Program-program yang dilakukan antara lain adalah pembangunanperumahan sementara dan permanen, penyediaan air bersih, livelihood, trauma healing,pendampingan anak-anak, pemberdayaan masyarakat dan pemerintah daerah. Pada bulanMaret <strong>2009</strong> BRR telah mengakiri tugasnya di Aceh. Sedangkan untuk institusi pembangunanperdamaian Pasca MOU Helsnki pemerintah membentuk Badan Reintegrasi Aceh , namundengan dana yang terbatas.Pada kenyataannya, kedua program pembangunan Pasca gempa dan pasca konflik ternyatatidak bersinergi. Padahal pembangunan pasca bencana alam telah berakhir pada awal tahun<strong>2009</strong>. Saat ini mulai terdeteksi beberapa permasalahan baru yang harus di selesaikan sepertimunculnya sengketa lahan antara penerima korban gempa dan tsunami, munculnyakecemburuan sosial yang diakibatkan karena perbedaan besaran dana kompensasi. Selain itu,jumlah pengungsi Aceh yang masih belum menerima dana kompensasi dan masih tinggal dibarak-barak sebanyak 3.698 KK, bagaimana pemerintah Aceh menyelesaikannya? Terjadinyaperubahan mental masyarakat Aceh sebagai akibat terlalu banyaknya bantuan yang masuk keAceh. Bagaimana Pemerintah Aceh mengatasi meningkatnya kemiskinan, pengangguran dankriminalitas di Aceh?Pembangunan pasca konflik di Aceh, juga mengalami beberapa kendala dalampelaksanaannya seperti kondisi ekonomi yang hancur, kemiskinan, meningkatnya31


pengangguran, tidak sebandingnya dana rehabilitasi korban konflik dengan korban bencanaalam, dan lain-lain. Secara teoritik, terdapat saling keterkaitan antara faktor keamanan(perdamaian) dengan ekonomi, misalnya dalam aspek peluang untuk bekerja (masyarakatumum) maupun berinvestasi bagi pihak luar. Investor tidak ada yang bersedia menanamkanmodal di daerah yang terus menerus dilanda konflik apabila penanganannya tidak tuntas.Hambatan bagi pembangunan ekonomi Aceh adalah praktik ekonomi berbiaya tinggi, salahsatunya disebabkan oleh kurangnya infrastruktur dan masih lemah/lambannya birokrasi.Permasalahan menumbuhkan ekonomi tak lepas dari kestabilan politik lokal di Aceh, sampaisaat ini pemerintah Aceh juga mengalami masalah untuk mendapatkan kepercayaan dandukungan publik. Bagaimana pemerintah Aceh akan mengembalikan kepercayaan masyarakatterhadap birokrasi pemerintah (good governance)? Selain itu, hambatan lain adalah prosesrekonsiliasi terhadap korban konflik, apa bentuk rekonsiliasi yang tepat untuk Aceh? Munculnyakontroversi di tingkat masyarakat terhadap penegakan Syariat Islam juga berimplikasi padaproses pembangunan di Aceh. Bagaimana seharusnya melaksanakan Syariat Islam di Aceh?Apakah Syariat Islam memang merupakan solusi dan kebutuhan masyarakat Aceh?. Padaperiode akhir-akhir ini dirasakan meningkatnya kriminalitas dengan menggunakan senjata diAceh. Hal ini mengindikasikan masih banyaknya senjata api ilegal di masyarakat dan secaratidak langsung memberikan gambaran masih banyaknya masyarakat yang termarginal. Selainbeberapa permasalahan di atas, DPR RI baru-baru ini telah memasukkan RUU pemekaranpropinsi ALAS dan ABAS untuk segera disahkan tahun <strong>2009</strong>. Apakah itu solusi yang tepat untukAceh?MalukuKonflik kekerasan bernuansa agama di Maluku yang sedemikian rupa melibatkan masyarakatawam dan telah mencederai hubungan kekerabatan di masyarakat, pada hakikatnyamembutuhkan intervensi yang holistik dan proses reintegrasi yang seksama. Tata ruangkehidupan orang Maluku yang sejak zaman Belanda, terutama pada pada abad ke 18 – 19,telah disegregasi dengan sengaja dan tersegregasi menjadi permukiman islam dan kristen (lihatsejarah berkembangnya hubungan pela dari negeri-negeri yang berbeda agama di Maluku, dariBartell). Maka pada kurun waktu seratus tahunan telah menyuburkan stereotip dan prasangkayang mendalam diantara komunitas islam dan kristen. Maka pembauran kembali komunitasnegeri-negeri islam dan kristen yang tidak memiliki hubungan pela, penghampiran kembali,integrasi kembali pasca konflik kekerasan membutuhkan waktu, kerja keras, kesabaran, dankreatifitas.Indikasi dari masih tersegregasinya masyarakat, dapat juga dilihat dari pemukiman permanenpara pengungsi konflik Maluku yang jumlahnya sekitar 10.000 – 15.000 orang di seluruh Maluku(CEWERS Maluku, <strong>2009</strong>). Di kepulauan Ambon pengungsi kristen yang berasal dari seluruhkepulauan Ambon, merasa aman dan membangun rumah permanennya di wilayah Paso danLaha. Sedangkan pengungsi islam merasa aman membangun rumah permanennya diwilayahnegeri islam di pesisir jazirah Leihitu. Mereka belum merasa aman untuk kembali kerumahasalnya, meskipun konflik kekerasan antar komunitas islam dan kristen telah berhenti selama 5tahun. Hal lain yang bersifat laten adalah masih belum tuntasnya penyelesaian- penyelesaianhak kepemilikin rumah, tanah, kebun, yang ditinggalkan oleh pemiliknya ketika terjadi konflik.Hal ini membutuhkan penyelesaian hukum atau kesepakatan-kesepakatan antar masyarakat.Pembangunan ekonomi masyarakat merupakan masalah yang paling krusial di Maluku. Malukunegeri seribu pulau, kekuatan utamanya adalah kekayaan laut dalam, terutama ikan tunaterbaik di dunia. Seluruh dukungan pembangunan pasca konflik yang inisiatifnya dari32


pemerintahan pusat sangat distortif. Karena “mind set” nya hanya “darat”. Memang 80 % infrastruktur untuk pengembangan ekonomi telah hancur dan perlu dibangun kembali. Namun untukkeluar dari kehancuran akibat konflik kekerasan dibutuhkan suatu terobosan baru. Hingga saatini mayoritas masyarakat Maluku, yang mata pencahariannya nelayan hanya bertahan untuktidak kelaparan, dan menjadi penonton dari pencurian-pencurian ikan (illegal fishing)yangdilakukan oleh orang-orang dari luar Indonesia. Pengangguran kaum muda meningkat pascakonflik, sedangkan mata pencaharian sangat terbatas.Masalah pelik yang belum terpecahkan adalah bagaimana mengontrol dan meminimalkanpengaruh perembesan Nafsu kekuasaan politik, nafsu serakah kekayaan, dan nafsu kekerasanmasuk kedalam kedalam kehidupan keberagamaan di Maluku. Sehingga dapat menjadi pemicudan akselerator untuk terjadinya kembali konflik kekerasan di Maluku. Hampir seluruh institusiagama telah telah terkontaminasi oleh kepentingan politik dan ekonomi. Hal ini sangat potensialuntuk menyeret kembali masyarakat Maluku kedalam konflik kekerasan.Pemberdayaan Masyarakat Sipil dan LSM Sebagai Salah Satu SolusiLSM yang memiliki kreadibilitas dan kapasitas, serta masyarakat sipil yang memiliki sensitifitasdan inisiatif merupakan modal yang paling esensial untuk pencegahan konflik dan penanganankonflik di Indonesia. Meskipun sumberdayanya terbatas, dan dukungan politik sangat minimal.Namun LSM dan masyarakat sipil, sangat fleksibel, dan memiliki kemampuan untuk meresponssecara cepat situasi yang bersifat emergensi, tanpa ada hambatan birokrasi, atau prosedurseperti yang selalu terjadi pada pemerintahan atau petugas keamanan.Pada hakikatnya konflik-konflik kekerasan dapat dicegah sejak awal. Dengan cara pertama,melakukan deteksi terhadap eskalasi konflik kemudian merubahnya menjadi de-eskalasi.Eskalasi dapat di deteksi karena konflik sosial tidak pernah terjadi secara tiba-tiba. Perubahandari pertikaian, kemudian timbulnya ketegangan-ketegangan di masyarakat, kemudian diikutioleh terjadinya krisis pada aparat, sistim hukum dan sosial, kemudian berlanjut kepada adanyakekerasan terbatas, dan pada akhirnya eskalasi konflik akan berpuncak kepada terjadinyakekerasan massal. Semua indikator tersebut dapat dilihat dan harusnya dapat dicegah sejakawal. Pembiaran terhadap eskalasi konflik akan menyebabkan terjadinya kembali konflik-konflikdengan kekerasan.Langkah Kedua, adalah melakukan analisis terhadap faktor yang dapat menjadi trigger (api)bagi konflik kekerasan, kemudian dianalisis apa yang dapat menjadi akselerator (angin), danpada akhirnya melakukan analisis terhadap apa-apa faktor struktural yang menjadi sumberkonflik (rumput kering).Langkah ketiga, melakukan analisis terhadap aktor-aktor yang merespon konflik. Perhatianutama harus diletakan kepada secuiritizing actor yaitu aktor-aktor utama yang anehnya dalammerespon situasi selalu merasa terancam, karena itu mereka responnya selalu abnormal.Respon dan logika abnormal ini dengan mudah di telan bulat-bulat secara emosional olehkelompok-kelompok rentan. Sehingga terjadi ketegangan dan mobilisasi massa dimana-manadan terjadi penyerbuan dimana-mana. Kelompok-kelompok rentan ini jumlahnya semakinmeningkat terutama diwilayah kantong-kantong kemiskinan dan wilayah yang pendidikannyatidak berkembang.Relasi antara eskalasi, faktor dan aktor yang saling memberi kontribusi untuk kehancuran inilahyang menyebabkan konflik kekerasan di Indonesia. Pemotongan rantai relasi ini pulalah yang33


akan dapat mencegah konflik kekerasan pada masa mendatang di Indonesia. Disinilah LSM,masyarakat sipil, dan aparat pemerintahan harus berkolaborasi untuk memotong relasi danmata rantai konflik kekerasan, dengan cara melakukan deteksi dini terhadap eskalasi konflik,kemudian melakukan analisis terhadap faktor-faktor penyebab konflik, serta pada akhirnyamelakukan pengorganisasian terhadap aktor-aktor yang akan mendorong konflik maupun aktoraktoryang akan mendorong perdamaian.***---------------------------------Daftar PustakaBartels, Dieter . (2002) Hubungan “Pela” di Maluku Tengah dan di Nederland. Paper.Cribb, Robert. (2000) Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965 – 1966. Penerbit Mata Bangsa. JogjakartaDewi. F. Anwar. Bouvier. Helena; Smith. Glen; Tol. Roger . Ed. (2005). Konflik Kekerasan Internal :Tinjauan sejarah,ekonomi-politik, dan kebijakan di Asia Pasifik. Yayasan Obor; LIPI; LASEMA-CNRS; KITLV-Jakarta.Farid Husain. (2007). To See the Unseen : Kisah di balik damai Aceh. Health & Hospital. Jakarta.FEWER, Conflict and Peace Analysis and Response Manual, 2nd edition, (London: FEWER Secretariat,Juli 1999).Galtung, Johan. (1996). Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization.London: Sage Publication.Gurr, Ted Robert dan Barbara Harff, Early Warning of Communal Conflicts and Genocide: LinkingEmpirical Research to International Responses, (Tokyo, The United Nations University, 1996), hal.47.Hermawan . Sulistyo. (2000). Palu Arit di ladang tebu . KPG. Jakarta.Ichsan Malik. (2003). Baku Bae Gerakan Dari Akar Rumput Untuk Penghentian Kekerasan di Maluku.Jakarta: Tifa Foundation.___________ (2003). Menyeimbangkan Kekuatan , pilihan strategi menyelesaikan konflik atassumber daya alam. Jakarta. Yayasan Kemala______________________(2007). Belajar Mengelola Konflik. Jakarta. Institut Titian Perdamaian(2006). Meluruskan Sejarah untuk Masa depan Maluku, Paper.__________ (2008). Pembangunan Perdamaian dan Pencegahan Konflik. Buku Manual. SERAP.CIDA,CCA, PASKA Aceh.Institut Titian Perdamaian, “Mari Mencegah Konflik: Mengenal Sistem Peringatan Dini Berbasis JaringanKomunitas”. Jakarta: Institut Titian Perdamaian, 2005.___________ ( 2007). Trend Konflik Tahun 2006M. Daud Yoesoef. (2007). Penyelesaian Konflik Model Aceh : Pespektif Kajian Akademik. Paper. FGDPencegahan Konflik Aceh . 2007.M. Shaleh Putuhena. (2001). Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pemberdayaan Kebudayaan Lokal diMaluku Tengah. Paper.Van Tongeren. P, Brenk. M, Hellema.M, Verhoeven.J. (2005). People Building Peace II, succeefulstories of civil society. London : Lynne Rienner Publisher.34


Pembangunan Perdamaiandan Peran Masyarakat Sipil di IndonesiaOleh : Lambang TrijonoPengantarIndonesia kini memasuki masa paska-konflik setelah konflik di daerah-daerah di Indonesiamereda baik karena telah dicapainya kesepakatan damai maupun karena perbaikan kondisisosial-ekonomi, politik dan keamanan di masyarakat. Daerah-daerah seperti Maluku, MalukuUtara, Poso-Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Aceh, dan dalam tingkattertantu Papua serta daerah-daerah dilanda konflik komunal lainnya, kini kondisinya berangsurangsurmembaik dan memulai menata penyelenggaraan pemerintahan melalui kebijakandesentralisasi menuju pemulihan paska-konflik, perbaikan kondisi sosial-ekonomi, peningkatankesejahteraan dan mencapai kemajuan pembangunan.Namun, di tengah situasi membaik itu, kehati-hatian dan kewaspadaan penting ditekankandalam menjalankan roda pemerintahan dan kebijakan pembangunan di daerah, terutama untukmemastikan pemulihan berlangsung dan pembangunan perdamaian tumbuh berkembang.Memasuki masa paska-konflik daerah-daerah di Indonesia masih menghadapi berbagaitantangan pembangunan perdamaian, bersumber baik dari belum teratasinya masalah-masalahkonflik di masa lalu maupun masih rentannya kondisi perdamaian disebabkan belum efektif danmajunya pembangunan perdamaian karena masih lemahnya kelembagaan sosial-politik danpenyelenggaraan pemerintahan dalam mengatasi potensi konflik terpendam, keteganganstruktural dan berbagai hambatan perdamaian di masyarakat 16 .Membangun kembali masyarakat paska-konflik membutuhkan pendekatan dan strategi khususpembangunan perdamaian, bukan untuk mencegah agar konflik tidak kembali muncul kepermukaan tetapi juga mengkonsolidasikan perdamaian menuju tercapainya pembangunan danperdamaian berkelanjutan. Demikian itu selain membutuhkan pemahaman yang baik ataskonflik dan pola serta karakteristiknya di masa lalu sehingga bisa diantisipasi segalakemungkinan terjadinya konflik muncul kembali di masa datang, juga penting untuk memastikanpembangunan perdamaian semakin tumbuh berkembang. Penguatan fondasi perdamaian dankaitan kebijakan pembangunan dengan perdamaian dan demokrasi, baik dalam prinsip-prinsipmaupun mekanismenya, penting untuk diperkuat bagi terselenggaranya pemerintahan efektifmendorong transformasi konflik dan perdamaian jangka panjang.Paper ini secara khusus membahas masalah dan tantangan dihadapi daerah-daerah paskakonflikdan bagaimana peran masyarakat sipil memajukan pembangunan perdamaian diIndonesia, terutama untuk mencegah munculnya kembali konflik dan membangun fondasiperdamaian menuju tercapaianya konsolidasi perdamaian. Diharapkan bisa diajadikan acuandalam perumusan pendekatan, strategi dan kerangka mekanisme pemajuan pembangunanperdamaian oleh masyarakat sipil di daerah-daerah di Indonesia, secara khusus papermemfokuskan pada tantangan pencegahan konflik dalam masa paska-konflik, langkah tanggap16 lihat Jeroen de Zeeuw, ‘Building Peace in War-Torn Society: From Concept to Strategy’, NIIR, CCRU, Clingendael,August, 2001.35


dan respon dini pencegahan konflik diperlukan, serta kerangka kerja assesmen untukpeningkatan kapasitas masyarakat sipil dalam pembangunan perdamaian di Indonesia.Masalah Utama Perdamaian Paska KonflikDaerah-daerah paska-konflik umumnya masih dalam kondisi perdamaian rentan (peacevulnerabilities) sehingga konflik mudah kembali muncul ke permukaan. Tantangan dihadapiterutama bersumber dari masih adanya kesenjangan perdamaian (peace gaps), antara tujuanperdamaian ideal diharapkan dan realisasi perdamaian nyata dicapai di masyarakat, sehinggaperdamaian menjadi rentan dan konflik kekerasan mudah muncul kembali ke permukaan. Untukmemastikan pembangunan perdamaian berlangsung secara berkelanjutan maka pentingdilakukan upaya-upaya mengatasi dan mengisi kesenjangan perdamaian (fullfiling the peacegaps), baik pada level kebijakan maupun level komunitas.Kesenjangan perdamaian ini terjadi disebabkan oleh beberapa sebab. Bisa bersumber darimasalah-masalah disekitar pencapaian perdamaian (peace making), atau kesepakatan damai(peace accord/aggrement) dicapai, bisa juga bersumber dari masalah-masalah kelembagaandan implementasi pembangunan perdamaian di masyarakat. Tinjauan kembali atas substansikesepakatan damai, masalah-masalah kelembagaan dan efektivitas implementasi kesepakatandamai di masyarakat dalam hal ini penting dilakukan. Dalam kasus Aceh, misalnya, memastikansejauhmana hasil kesepakatan perjanjian Helsinki diimplementasikan secara nyata dimasyarakat penting dilakukan. Demikian pula perjanjian Malino dalam kasus Maluku, MalukuUtara, dan Poso-Sulawesi Selatan, dan implementasi Otsus dalam kasus Papua, sejauhmanasecara substansial perjanjian damai dicapai mampu menjawab masalah konflik yang ada danmenumbuhkan perdamaian di masyarakat penting untuk dikaji, domonitor dan ditinjau ulang,guna memastikan berlangsungnya konsolidasi pembangunan perdamaian di masyarakat paskakonflik.Sayangnya, kajian tentang sejauhmana pencapaian damai dicapai selama ini dan bagaimanaimplementasinya di masyarakat masih sangat jarang kita temukan di Indonesia. Padahal hal itusangat penting untuk memastikan perdamaian dicapai berjalan efektif di masyarakat. Belajardari pengalaman di berbagai negara, perjanjian damai seringkali gagal mencapai konsolidasiperdamaian, dan karena itu konflik mudah kembali muncul, terutama disebabkan kurangkuatnya konsensus nilai dari pencapaian perdamaian atau perjanjian damai dicapai danlemahnya kelembagaan yang ada, baik pemerintah maupun masyarakat sipil, dalammengimplementasikan perjanjian damai. Selain itu, kuat tertanamnya sejarah dan siklus konflikkekerasan di masa lalu, dan besarnya dampak kekerasan dan masalah-masalah ketidakadilandan kesenjangan sosial-ekonomi dihadapi masyarakat, juga menambah bobot masalah ini 17 .Perjanjian damai secara substantif dikatakan kuat apabila ditopang oleh konsensus nilai yangluas (broad based concensus), melibatkan berbagai pihak sehingga mempunyai basis legitimasipolitik yang kuat, dan karena itu berbagai pihak merasa memiliki dan berkomitmenmendukungnya. Dukungan kelompok-kelompok politik dominan, disertai koalisi dan pembagiankekuasaan diantara mereka, dan dukungan mayoritas penduduk atau konstituen perdamaianterhadap perjanjian damai sangat menentukan keberlanjutan pembangunan perdamaian.Demikian itu akan memastikan berlangsungnya pemecahan atas masalah-masalah konflik dan17 Kamarulzaman Askandar and Ang Ming Chee (eds), Building Peace in Aceh, Problems, Strategies, and Lessonsfrom Sri Lanka and Northern Ireland, Forum Asia, SECSN, dan IDR, 2005; Colin Knox and Padraic Quirk, PeaceBuilding in Northern Ireland, Israel and South Africa, MacMillan Press, 2000.36


dampak konflik di masa lalu, pemulihan, reintegrasi, stabilisasi komunitas, rekonsiliasi,pemenuhan keadilan transisional, dan perbaikan sosial-ekonomi, sebagai tantangan danmasalah utama harus dipecahkan oleh pembangunan perdamaian di masa paska-konflik 18 .Meskipun perjanjian damai secara substantif kuat, perdamaian tidak akan terwujud bila secaraprosedural tidak disertai pendekatan dan kerangka kerja pembangunan perdamaian memadaisehingga bisa memastikan perjanjian damai berjalan dalam realitas kehidupan nyata. Masalahutama dalam implementasi perjanjian damai antara lain terdapat pada lemahnya kelembagaan,ketidakpercayaan berbagai pihak terhadap perdamaian, banyaknya penganggu atau spoileryang tidak menginginkan perdamaian berlangsung, tidak adanya kepemimpinan memadai,lemahnya koalisi politik dan sipil mendukung perdamaian, dan hambatan-hambatan lainberkaitan dengan pembagian kekuasaan (power sharing) sesudah perjanjian dicapai dan lambatatau tidak efektifnya pemulihan sosial-ekonomi berlangsung di level komunitas. Demikian ituseringkali menimbulkan kesenjangan harapan, ekspektasi perdamaian dari perjanjian damaidicapai tidak sebanding dengan implementasi pembangunan perdamaian dijalankan 19 .Masih rentan atau belum terkonsolidasinya perdamaian ini sewaktu-waktu bisa menyebabkankonflik kembali muncul di masyarakat. Oleh karena itu, selain memastikan agar perjanjian damaiberjalan efektif, upaya pencegahan konflik agar konflik kekerasan tidak kembali muncul menjadiagenda penting dalam masa paska-konflik. Pencegahan konflik di masa paska-konflik padaesensinya sama dengan memelihara perdamaian (keeping the peace). Upaya ini sangat pentingdilakukan di daerah-daerah paska-konflik mengingat kebanyakan daerah-daerah paska-konflikdi Indonesia, seperti Aceh, Maluku, dan Papua, dulunya adalah daerah konflik berlarut-larut danberlangsung cukup lama (protracted conflicts) disertai dampak kekerasan. Sejarah dan sikluskonflik kekerasan itu begitu tertanam dalam sejarah konflik di daerah-daerah di Indonesia.Karena itu, pencegahan konflik di daerah ini masih penting untuk terus menerus dilakukan,terutama ketika dihadapkan pada dinamika politik yang tinggi baik di pusat maupun di daerah.Demokratisasi, dan juga desentralisasi, berkembang di daerah-daerah di Indonesia sekarang inimemang bisa meredakan konflik berlangsung selama ini. Tetapi perubahan politik ini, di sisi lain,juga menciptakan perubahan-perubahan politik tersendiri, menciptakan peluang-peluang dankesempatan-kesempatan politik, membangkitkan kecemasan-kecemasan politik sekaligusmenumbuhkan harapan-harapan politik baru di kalangan elit politik, yang bisa meningkatkaneskalasi konflik di masyarakat 20 . Memahami dinamika konflik ini sangat penting terutama untukmencegah kemungkinan terjadinya konflik berulang di masyarakat dan memastikan perdamaianterus berjalan. Kaitan perdamaian, demokrasi, dan kebijakan pembangunan dalam hal inipenting untuk diperkuat untuk konsolidasi pembangunan perdamaian.Transformasi dan Rekonsiliasi Jangka PanjangDaerah-daerah paska-konflik menghadapi masalah perdamaian tidak ringan, baik bersumberdari masalah-masalah konflik dan dampak konflik di masa lalu maupun karena lemahnyakapasitas perdamaian di masyarakat. Dalam tahapan paska-konflik potensi konflik atau konflikterpendam (latent conflict) dapat sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan dan perdamaiankembali berubah menjadi konflik, terutama ketika sistem dan kelembagaan sosial-politik dan18 Siobhan Ni Chulchain, ‘The Peace Frameworks and Peace Accord: A Comparative Analysis of Northern Ireland’,dalam dalam Kamarulzaman Askandar and Ang Ming Chee (eds), Op.cit., 2005.19 ‘The Peace Framework and Peace Accord’, dalam dalam Kamarulzaman Askandar and Ang Ming Chee (eds), Ibid.,2005.20 Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil, Yayasan Obor dan KITLV-Jakarta, 2007.37


pemerintahan yang ada belum mampu secara efektif mengatasi potensi konflik, hambatanperdamaian dan ketegangan sosial yang ada, melalui kebijakan pembangunan.Menghadapi tantangan ini diperlukan pendekatan dan strategi pembangunan perdamaiankhusus, bukan hanya mengatasi potensi konflik atau ketegangan struktural yang ada, tetapi jugamengatasi perdamaian yang rentan karena belum jelasnya arah, visi, orientasi, tujuan dankerangka pendekatan dan strategi pembangunan perdamaian ke depan (peace buildingroadmaps). Pembangunan perdamaian di daerah paska konflik yang dulunya mengalami konflikyang akut dan disertai segregasi sosial-politik yang tajam membutuhkan pendekatanpembangunan perdamaian secara khusus menekankan pentingnya transformasi konflik danrekonsiliasi jangka panjang. Pendekatan ini bukan hanya bersifat transisional atau responsesaat atas konflik dan potensi konflik yang ada, tetapi juga membangun perdamaian jangkapanjang, mengatasi kesenjangan, ketidakadilan, dan rekonstruksi komunitas yang hancur akibatkonflik kekerasan di masa lalu menuju tercapainya perdamaian yang berkeadilan secaraberkelanjutan (sustainable just-peace) 21 .Pendekatan transformatif konflik dan rekonsiliasi jangka panjang bisa diharapkan mampumengatasi kesenjangan perdamaian dihadapi daerah-daerah paska-konflik. Pendekatan inimencakup berbagai area dan aspek masalah yang harus ditangani, tidak hanya bersifattransisional tetapi juga transformatif, dalam berbagai level masalah, di level atas; negosiasitingkat tinggi, membangun koalisi dan konsensus damai, pembagian kekuasaan, danpenghentian kekerasan, di level menengah; meningkatkan kapasitas perdamaian, advokasiperdamaian, resolusi konflik berbasis pemecahan masalah, pembetukan komisi perdamaian,dan di level bawah memecahkan masalah-masalah sosial-ekonomi di tingkat komunitas, trauma,prasangka, kesenjangan, ketidakadilan dan masalah-masalah sosial-ekonomi lainnya dihadapimasyarakat.Contoh terbaik bagaimana pendekatan transformasi ini dijalankan, dalam spektrum kontinumtransisi, transformasi da rekonsiliasi jangka panjang, adalah dilakukan presiden Nelson Mandeladi Afrika Selatan. Menekankan pentingnya empat agenda dan proses pencapaian perdamaian,Nelson Mandela merumuskan pembangunan perdamaian di Africa Selatan sebagai upayamencapai: (1) kesatuan dan rekonsiliasi nasional, menjawab kebutuhan warga kulit putih danhitam hidup bersama secara sederajad; (2) pembentukan sistem demokrasi untuk menjaminsemua warga negara memiliki hak sama dan kesempatan menentukan masa depannya; (3)mengakhiri dan mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi dan kesejahteraan antara pendudukkulit putih dan kulit hitam yang begitu tajam, dan (4) kebutuhan membangun kembali danmemodernisasi ekonomi untuk peningkatan kamajuan ekonomi untuk mengatasi masalahkemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan mayoritas penduduk, khususnya warga kulithitam.Mengikuti pendekatan ini, kesenjangan perdamaian, baik kesenjangan strategis (strategic gaps)antara perdamaian jangka pendek dan jangka panjang, kesenjangan koordinasi antar berbagaipihak pemangku perdamaian (coordination gaps), maupun kesenjangan implementasi antarakonsensus perdamaain ideal diharapkan dalam pakta perjajian damai dengan realisasi danimplementasinya di masyarakat (implementation gaps), bisa diatasi. Bagaimana memastikanperjanjian damai berjalan efektif, melakukan monitoring atas implementasi perjanjian damai,tanggap dan respon dini pencegahan konflik, mengurangi potensi konflik dan keteganganstruktural, meningkatkan kapasitas perdamaian masyarakat, merupakan beberapa agenda danlangkah penting harus dilakukan. Assesmen terhadap kebutuhan pembangunan perdamaian21 John Paul Lederach, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies. US <strong>Institute</strong> for Peace, 1998.38


paska-konflik, disertai rancangan kerangka kerja pembangunan perdamaian dengan parameterdan indikator yang jelas, sangat diperlukan untuk memajukan pembangunan perdamaian.Peran Masyarakat Sipil Lebih ProaktifMasyarakat sipil di Indonesia sejauh ini telah banyak terlibat dalam penciptaan perdamaian diberbagai daerah. Berbagai pengalaman selama ini menunjukkan masyarakat sipil memilikiperan khusus di bidang ini, terutama dalam membuka bergulirnya dialog, berlangsungnyanegosiasi, tercapainya perjanjian damai, penghentian kekerasan, dan mendorong de-eskalasikonflik di masyarakat. Di Aceh, misalnya, sejak awal perdamaian bergulir, baik dalam perjanjianGeneva maupun Helsinki, masyarakat sipil aktif terlibat membuka ruang dialog, menjembatanipihak berkonflik, GAM dan pemerintah RI, hingga akhirnya tercapai kesepakatan damai 22 .Demikian pula di daerah-daerah lain, di Maluku, Maluku Utara, dan Poso, dan daerah-daerahlain dilanda konflik komunal etnis-agama, masyarakat sipil berperan penting, bersama dengankelompok-kelompok strategis lainnya, pemerintah, TNI-POLRI, dalam penciptaan danpembangunan perdamaian.Namun, setidaknya dari pengalaman selama lima tahun terakhir, sejak konflik mulai mereda didaerah, peran masyarakat sipil dalam pembangunan perdamaian semakin lama tampaksemakin menurun. Padahal, tantangan pembangunan perdamaian dihadapi masyarakat paskakonflikmasih sangat besar. Daerah paska-konflik di Indonesia pada umumnya membutuhkanpercepatan pemulihan dan pembangunan perdamaian. Memastikan agar perjanjian damaiberjalan, mencegah agar konflik tidak kembali muncul, pemulihan, reintegrasi dan stabilisasikomunitas, penciptaan kondisi keamanan kondusif bagi perdamaian jangka panjang, danmendorong berlangsungnya konsolidasi perdamaian, merupakan beberapa langkah pentingharus dilakukan di masa paska-konflik.Belajar dari refleksi pengalaman praktis pencegahan konflik dan pembangunan perdamaiandilakukan masyarakat sipil selama ini maka penting kemudian untuk ditemukan peran terbaikseharusnya dilakukan masyarakat sipil menjawab tantangan perdamaian ini. Masyarakat sipilmemiliki potensi besar untuk menumbuhkembangkan perdamaian dari karakternya yang selalumenghargai perkembangan masyarakat secara genuine, komitmennya yang tinggi padakemanusiaan, perkembangan budaya sipil (civic culture), tolerasi dan kemajuan peradaban 23 .Fleksibilitas dan genuinitas dalam berinisiatif, berkreasi, melakukan inovasi-inovasi danimprovisasi-improvasi dalam memecahkan masalah-masalah pembangunan di masyarakat,merupakan potensi penting dimiliki masyarakat sipil untuk membangun perdamaian.Di era demokratisasi sekarang masyarakat sipil diharapkan berperan lebih besar untukmendorong tumbuhnya pembangunan perdamaian. Memasuki alam demokrasi, masyarakat sipildiharapkan berkembang semakin dinamis dalam arena politik lebih bebas dan terbuka,mengorganisir diri masuk ke ranah politik, mengekspresikan kepentingan warga negara dalampolitik. Perkembangan demikian penting didorong sehingga masyarakat sipil semakin mampumembangun perdamaian. Namun, ditengah dinamika politik yang semakin meningkat itu, peransipil dalam pembangunan perdamaian sesungguhnya masih sangat lemah dan harusditingkatkan. Selain karena sangat bervariasinya kelompok kepentingan dalam masyarakat sipil,22 Lihat Otto Syamsuddin Ishak, ‘Position Map: The Civilian Figure in the Dynamic Peace Process in Aceh’, dalamKamarulzaman Askandar dan Ang Ming Chee (eds), Building Peace in Aceh, Problems, Strategies, and Lessons fromSri Lanka, and Northern Ireland, Forum Asia, SEACSN, dan IDR, 2005.23 John Keane, Global Civil Society, MacMillan Press, 1998.39


sehingga sulit melakukan koordinasi dan kolaborasi diantara mereka, juga karena besarnyaperbedaan persepsi mereka tentang visi perdamaian karena lemahnya orientasi nilaiperdamaian dimiliki.Aktivitas masyarakat sipil di bidang perdamaian sendiri merupakan gerakan relatif baru diIndonesia. Sejak tahun 1970an, kebanyakan organisasi sipil disibukkan berbagai kegiatanmengatasi masalah pembangunan, khususnya melakukan advokasi dan pemberdayanmasyarakat melawan negara dalam berbagai praktek pembangunan. Sebagai warisan politikOrde Baru ini, kepercayaan antara sipil dan pemerintah hingga kini masih terasa rendah,sehingga sulit untuk bersinergi menggulirkan perdamaian. Aktivitas perdamaian di kalanganorganisasi sipil baru banyak tumbuh berkembang pada masa reformasi, sejak tahun 1998,ketika terjadi konflik dan kekerasan di banyak daerah. Banyak organisasi sipil yang dulunyakonsetrasi pada masalah-masalah pembangunan kini bergeser ke masalah perdamaian.Setidaknya sejauh ini telah berkembang tiga generasi organisasi sipil di bidang perdamaiansejak masa reformasi dilihat dari segi orientasi dan agenda aksi mereka dalam aktivitasperdamaian. Pertama, organisasi sipil generasi pertama bergerak di bidang kemanusiaan,memberi bantuan kemanusian di daerah konflik, terutama organisasi sipil berbasis keagaman.Kedua, organisasi sipil berorientasi pada pencegahan dan resolusi konflik, secara praktismelakukan pelatihan dan lokakarya resolusi konflik, memfasilitasi berbagai pihak di daerahkonflik dalam kapasitas pencegahan dan resolusi konflik. Ketiga, organisasi sipil generasi ketiga,dalam jumlah masih sedikit, berorientasi pada pembangunan perdamaian jangka panjang,mengintegrasikan pembangunan perdamaian dengan demokrasi dan perbaikan kualitaskebijakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan hak dasar dalam hidup warga negara,sebagai upaya mengatasi sumber konflk dan kekerasan di masyarakat 24 .Meskipun aktivitas organisasi sipil di bidang perdamaian ini meningkat selama sepuluh tahunterakhir, kebanyakan kegiatannya masih bersifat reaktif, sebagai bagian dari reaksi alamiahuntuk bertahan dalam menghadapi represi dan realitas konflik di masyarakat. Demikian pula,pada umumnya masih memiliki kapasitas terbatas, seringkali didorong oleh orientasi bersifatpragmatis. Gerakan perdamaian masyarakat sipil selama ini belum proaktif dan transformatifuntuk mencegah konflik dan membangun perdamaian jangka panjang.Belajar dari pengalaman ini, sangat penting bagi organisasi sipil untuk mengubah orientasi danstrategi mereka dari bersifat reaktif, atau tanggap dini, menuju proaktif atau respon dini,mengurangi potensi konflik dan meningkatan kapasitas perdamaian, melakukan pencegahandan transformasi konflik untuk perdamaian jangka panjang melalui kebijakan pembangunan.Pencegahan konflik merupakan strategi penting untuk mencegah konflik, mulai dari pencegahanagar potensi konflik tidak muncul ke permukaan, atau kalau sudah terjadi tidak berkembangmenjadi kekerasan kolektif dan komunal, termasuk di dalamnya dalam konteks paska-konflikmencegah agar persetujuan damai tidak jatuh kembali terjebak dalam konflik, sebagai bagiandari pembangunan perdamaian. Selain itu, adalah penting untuk melakukan reorientasipendekatan dan strategi dari tidak hanya mengatasi konflik sasaat hanya ketika konflik munculdi permukan, tetapi menanamkan perdamaian, membangun perdamaian dan rekonstruksimasyarakat paska-konflik menuju tercapainya perdamaian berkelanjutan.24 Lambang Trijono, Pembangunan sebagai Perdamaian, Rekonstruksi Indonesia Paska-Konflik, Yayasan Obor danthe Padii <strong>Institute</strong>, 2007.40


Kewaspadaan dan Respon DiniBagaimana mencegah agar konflik tidak kembali muncul merupakan tantangan dihadapimasyarakat sipil untuk memajukan pembangunan perdamaian di masa paska-konflik.Kewaspadaan dan respon dini (early warning and responses) mampu menjawab berbagaimasalah dan tantangan dihadapi daerah-daerah di Indonesia sangat diperlukan. Memuatdidalamnya sistem informasi dan indikator-indikator prediktif dan antisipatif penting terhadapsegala kemungkinan terjadinya konflik di masyarakat, sistem kewaspadaan dan respon dinipenting dikembangkan dan dijadikan acuan masyarakat sipil untuk mencegah konflik munculkembali dan memajukan pembangunan perdamaian.Pencegahan konflik sebenarnya tidak hanya penting untuk daerah konflik dan paska-konfliktetapi juga daerah-daerah relatif stabil, yang dalam perkembangannya banyak terjadiperubahan-perubahan sangat cepat terutama didorong kebijakan desentralisasi pembangunan.Percepatan perubahan ini bisa menimbulkan potensi konflik baru, terutama terjadi ketikademokratisasi belum mapan dan kuat tertanam atau terkonsolidasi di masyarakat.Kewaspadaan dan respon dini sangat diperlukan dan penting dikembangkan menjawabkebutuhan ini, tidak hanya dalam situasi konflik, atau pada saat krisis, tetapi juga pada masapaska-konflik, atau bahkan ketika masyarakat dalam situasi stabil dan normal (stable peace).Pemahaman atas sebab-sebab terjadi konflik, pendorong dan pemicu konflik, serta proses dandinamikanya, penting dipertajam untuk merumuskan sistem tanggap dan respon dini. Sisteminformasi tentang konflik disertai rumusan indikator-indikator prediktif dan antisipatif perludikembangkan sebagai acuan bertindak dan melakukan respon dan intervensi kebijakanpencegahan konflik dan pemajuan perdamaian. Berdasarkan itu berbagai pilihan respon danintervensi kebijakan dan agenda aksi sesuai kapasitas lokal juga bisa dilakukan, apakah lebihmenekankan pencegahan konflik untuk menopang penciptaan perdamaian (peace making), atauresolusi konflik, ataukah untuk mendorong pembangunan perdamaian (peace building). Denganitu, pencegahan konflik dalam keseluruhan spektrum dinamika konflik, dalam tahapan eskalasidan de-eskalasinya, bisa dilakukan.Sebagai acuan bertindak dan respon kebijakan, sistem kewaspadaan dan respon dini perludikembangkan dalam pendekatan yang mencakup dan bisa digunakan dalam keseluruhanspektrum dinamika konflik, dengan menekankan pentingnya memberi tekanan khusus padamasalah dan kebutuhan masing-masing tahapan. Bagaimana memadukan kebutuhan adanyakerangka umum menjawab kebutuhan pencegahan konflik dalam keseluruhan spektrumdinamika konflik, di satu sisi, dan kebutuhan spesifik pada masing-masing tahapan, sesuaidengan situasi, kapasitas dan dinamika lokal, merupakan persoalan harus dipecahkan dalampengembangan kerangka kerja kewaspadaan dan respon dini secara nasional. Menjawabkebutuhan dan tantangan ini, pengembangan sistem kewaspadaan dan respon dini tidak hanyaharus sensitif terhadap konflik tetapi juga promotif terhadap perdamaian jangka panjang.Sebagai acuan bertindak dalam penentuan kebijakan, maka kaitan antara sistem kewaspadaandan respon dini dengan kerangka dan proses kebijakan, baik di tingkat nasional maupundaerah, penting ditekankan.Sistem tanggap dan respon dini dibuat bukanlah untuk pengembangan sistem informasi ataupengumpulan data semata, melainkan untuk acuan bertindak dan penentuan respon danintervensi kebijakan. Formulasi respon dan kebijakan sangat penting dalam kewaspadaan dan41


espon dini 25 . Bagaimana menjadikan analisis konflik serta indikator-indikator konflik terpentingmasuk ke dalam kerangka dan proses kebijakan dan secara praktis bisa dijadikan sebagaiacuan bertindak dalam penentuan kebijakan sehingga kebijakan menjadi sensitif konflik danpromotif perdamaian 26 , merupakan kebutuhan penting dari sistem kewaspadaan dan respon dinibererorientasi kebijakan.Kaitan kewaspadaan dini dan respon kebijakan disini penting diperkuat untuk mencapaiperdamaian dan pembangunan berkelanjutan. Berbagai bentuk respon dan intervensi kebijakandan pilihan-pilihan langkah-langkah agenda aksi, apakah pencegahan konflik, pencapaiandamai, resolusi konflik, atau pembangunan damai, dengan itu bisa dirumuskan sesuai masalahdan kebutuhan dihadapi masing-masing tahapan konflik dan kapasitas lokal. Menjawabkebutuhan ini, penting dirumuskan kerangka pendekatan bersifat refleksif dan transformatif,untuk pencegahan konflik dan pemajuan perdamaian dalam perspektif jangka panjang, bukanhanya mencegah berkembangnya potensi konflik, mencegah agar konflik-kekerasan di masalalu tidak kembali muncul, dan potensi konflik baru tidak berkembang, tetapi juga untukmemajukan pembangunan perdamaian.Ketegangan struktural, potensi konflik dan kecenderungan konflik terbuka atau konflikkekerasanmanifes, merupakan tantangan utama dihadapi masyarakat pre-konflik dan paskakonflikketika dalam situasi normal atau perdamaian stabil (stable peace). Analisis konflik untukidentifikasi faktor-faktor utama sumber penyebab dan mendasari konflik, mendorong konflikmuncul ke permukaan, dan faktor-faktor pemicu konflik, dilakukan dalam analisis ini.Kesenjangan perdamaian dan kerentanan perdamaian merupakan penghambat perdamaianutama terutama dihadapi masyarakat paska-konflik, sehingga konflik-kekerasan dimungkinanbisa muncul kembali. Selain faktor pendorong konflik, lemahnya atau tidak efektifnyapencapaian dan pembangunan perdamaian, atau faktor pendorong perdamaian, merupakansebab-sebab utama dari sisi lain yang menyebabkan konflik mudah terjadi. Analisis perdamaiandiperlukan untuk identifikasi faktor-faktor pendorong perdamaian ini dan indikator-indikatorperdamaian penting diperlukan untuk peningkatan kapasitas perdamaian.Mengurangi potensi konflik, atau de-eskalasi konflik, di satu sisi, dan meningkatkan kapasitasperdamaian, di sisi lain, merupakan kebutuhan strategis dalam perumusan kebijakan sensitifkonflik dan promotif perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. Peluang untuk bertindak danmenentukan respon dan intervensi kebijakan dalam pencegahan konflik dan pemajuanperdamaian ditemukan dari analisis respon kebijakan sensitif konflik. Berpijak pada potensikonflik dan kapasitas perdamaian, analisis respon dilakukan untuk mengatasi kerentanan danskenario, peluang dan pilihan-pilihan kebijakan bisa diambil untuk pencegahan konflik,pencapaian perdamaian, atau resolusi konflik dan pembangunan damai.Assesmen Kebutuhan Perdamaian Paska KonflikPembangunan perdamaian di daerah paska-konflik membutuhkan assesmen terhadapkebutuhan-kebutuhan diperlukan secara spesifik terkait dengan pemecahan masalah-masalahutama dihadapi daerah paska-konflik. Masalah utama pembangunan perdamaian di daerah25 Heinz Krummenacher and Susanne Schmeidi, ‘Practical Challenges in Predicting Violent Conflict FAST: AComprehensive Early-Warning Methodology’, Berne, October, 2001.26 Pemaduan analisis konflik ke dalam kerangka kebijakan merupakan pendekatan utama pembangunan sebagaiperdamaian, untuk menghasilkan kebijakan sensitif konflik dan promotif perdamaian, lihat Lambang Trijono,Pembangunan sebagai Perdamaian, Rekonstruksi Indonesia Paska-Konflik, the Padii <strong>Institute</strong> dan Yayasan OborIndonesia, Jakarta, 2007.42


paska-konflik pada dasarnya bersumber dari tiga hal, yaitu akar-akar struktural dan kulturalkonflik di masa lalu (kesenjangan, ketidakadilan, krisis kelembagaan) yang masih belumsepenuhnya teratasi, dampak konflik kekerasan di masa lalu terhadap kemerosotan kualitashidup warga (kemiskinan, pengangguran, kesejahteraan sosial-ekonomi, dsb), dan belumefektifnya implementasi perjanjian damai atau pembangunan perdamaian.Ketiga masalah ini menciptakan potensi konflik atau konflik terpendam tersendiri di daerahpaska-konflik berupa tensi-tensi struktural (structural tensions) berlangsung yang setiap saatbisa mencuat menjadi konflik aktual terbuka (open/manifest conflict) di masyarakat, terutamaketika kelembagaan sosial-politik dan penyelenggaraan pemerintah tidak mampu efektifmengatasi masalah ini. Kerentanan perdamaian bersumber dari tiga masalah tersebut perludiasses pertama-tama sebelum respon atau intervensi kebijakan pencegahan konflik danpembangunan digulirkan. Kerentanan perdamaian merupakan kondisi kesenjangan perdamaian(peace gaps) bersumber dari warisan masalah-masalah konflik di masa lalu dan lemahnyakapasitas perdamaian dari respon dan intervensi pembangunan dilakukan sesudah perjanjianatau pencapaian dami dilakukan.Assesmen dengan demikian dilakukan setidaknya memuat dua macam jenis assesmen penting,yaitu: assesmen atas dampak konflik di masa lalu pada masyarakat (conflict impact assesment),dan assesmen terhadap dampak respon pembangunan pada peningkatan kapasitasperdamaian (peace impact assesmen). Hasil kombinasi keduanya kemudian dijadikan masukanbagi penentuan kebijakan agar kebijakan menjadi sensitif konflik dan promotif memajukanperdamaian. Assesmen dilakukan menggunakan metodologi khusus, bersifat refleksif dantransformatif, dalam perspektif transisi, transformasi dan responsiliasi atau perdamaian jangkapanjang. Pembelajaran atas respon pembangunan perdamaian (peace building lesson learnt)dilakukan selama ini, identifikasi atas kelemahan dan kelebihan inisiatif pembangunanperdamaian, dilakukan berbagai agen, termasuk masyarakat sipil, menjadi bagian penting dariassesmen ini.Assesmen Dampak Konflik di Masa LaluAssesmen terhadap dampak konflik di masa lalu dilakukan untuk mengetahui situasi konflikterkini, mengidentifikasi kecenderungan kembali terjadinya konflik (conflict trend/relapsed) yangbisa membuyarkan upaya perdamaian. Meskipun demikian faktor-faktor konflik lain, terutamayang mendasari terjadinya konflik tetap penting diperhitungkan. Kecenderungan konflik terkinibisa diidentifikasi dari bekerjanya tiga faktor utama, yaitu: (1) situasi konflik terkini (keteganganatau tensi struktural bersumber dari akar konflik di masa lalu belum tertangani ditambah dampakkonflik pada masyarakat); (2) pendorong konflik (perubahan-perubahan berlangsung sepertikebijakan yang mendrive konflik, krisis ekonomi, de-agrarianisasi, urbanisasi, dinamika politiklokal dan nasional, dsb); dan (3) pemicu konflik (sengketa-sengketa warga terkait pemanfaatansumberdaya dalam kehidupan sehari-hari).Hasil assesmen ketiganya menghasilkan indeks kerentanan konflik (conflict vulnerabilities index)mengindikasikan tingkat kerawanan daerah-daerah paska-konflik. Perubahan-perubahanberlangsung di masyarakat yang mendorong potensi konflik terpendam muncul ke permukaandan tensi-tensi sosial meningkat, perlu mendapat tekanan perhatian khusus dalam asessmen.Assesmen Dampak PerdamaianAssesmen dampak perdamaian dilakukan atas kapasitas perdamaian masyarakat dari responagen pembangunan dilakukan selama ini terhadap konflik dan dampaknya, meliputi visi atau43


tujuan perdamaian dirumuskan (substantif) dan strategi, program, kegiatan-kegiatan dijalankan(implementatif) dan capaian hasilnya. Kesenjangan keduanya, antara tujuan dan pendekatanideal hendak dicapai dalam pembangunan perdamaian dan pilihan-pilihan strategi atau caradijalankan mencapai tujuan perdamaian menghasilkan kapasitas perdamaian (dampak positif)dan kerentanan perdamaian (dampak negatif).Asesmen dilakukan atas masalah-masalah penting kapasitas dan kerentanan perdamaian,meliputi visi atau tujuan perdamaian (muatan substantif prinsip-prinsip nilai perdamaiandijadikan dasar acuan) dan pendekatan, strategi, program dan kegiatan dijalankan (aspekimplementatif atau prosedur operasionalisasi). Keduanya menghasilkan capaian hasil apakahberdampak positif (peningkatan kapasitas) ataukah negatif (kerentanan) perdamaian.Pemetaan Aktor dan AgendanyaSelain pada level makro masyarakat, pemetaan aktor konflik dan aktor perdamaian pada levelagensi atau individual berserta agendanya penting dilakukan untuk prediksi dan antisipasikecenderungan konflik dan perdamaian nyata berlangsung di masyarakat. Asesmen terhadapagenda aktor, baik aktor konflik yang masih ada (spoiler atau kelompok garis keras) dan aktorperdamaian (pemangku perdamaian) penting dilakukan.Assesmen dilakukan atas agenda, strategi, peran, sumberdaya digunakan, dan relasi antaraktor atau agensi dalam mendorong dinamika konflik atau mendorong perdamaian. Keduanyamenghasilkan kekuatan-kekuatan yang mendorong konflik atau mendorong perdamaian yangbisa dijadikan prediksi dan antisipasi kecenderungan konflik dan perdamaian dari segi agendaaktor-aktor di daerah.Peluang Respon dan Intervensi Pembangunan PerdamaianJendela peluang respon dan intervensi pembangunan perdamaian (windows opportunities forpeace building) bisa diidentifikasi dari hasil assesmen atas dampak konflik, dampakperdamaian, dan dinamika aktor tersebut diatas. Assesmen terhadap peluang-peluang respondan intervensi pembangunan perdamaian dilakukan atas keseluruhan aspek-aspek pentingdampak konflik dan dampak perdamaian sebagaimana disebutkan dimuka, meliputi: (1)kerentanan konflik; (2) kerentanan perdamaian; (3) skenario ke depan; dan (4) respon danintervensi bisa diambil dari skenario-skenario mungkin terjadi, skenario terburuk, moderat danterbaik, dalam ranah kebijakan dan aksi.Kapasitas Kelembagaan Masyarakat SipilSetelah peluang respon dan intervensi pembangunan perdamaian teridentifikasi, kapasitaskelembagaan masyarakat sipil untuk menjalankannya penting dilakukan. Assesmen terhadapkapasitas kelembagaan masyarakat sipil dilakukan atas aspek-aspek peningkatan kapasitaskelembagaa sipil, meliputi: substansi (prinsip nilai, komitmen, pendekatan, dsb), implementatif(pendekatan, strategi, kerangka kerja, dsb) kelembagaan (organisasi, staf, dsb), sumberdayafinansial (finansial, dukungan donor, sustainabilitas pendanaan, dsb), konstituen (konstituen danlokasi). Asessmen dilakukan atas kategori masyarakat sipil dapat diklasifikasi menurut area isugarapan atau sektor kerja organisasi sipil, meliputi politik, hukum, hak asasi manusia,pengembangan komunitas, etnisitas, keagamaan dan sosial budaya, dan sektor keamanan.44


Penutup dan RekomendasiPaparan di atas memberikan dasar acuan bagi masyarakat sipil dalam upaya memajukanpembangunan perdamaian di daerah-daerah paska-konflik di Indonesia berdasar analisis situasikonflik dan perdamaian terkini untuk merumusakan respon kebijakan strategis dan agenda aksipembangunan perdamaian di daerah-daerah paska-konflik. Daerah-daerah paska-konflikmenghadapi tantangan dan hambatan perdamaian khusus dibanding daerah-daerah lain diIndonesia, bersumber dari bukan hanya masalah-masalah konflik dan kekerasan di masa lalu,tetapi juga kerentanan perdamaian di masyarakat disebabkan belum efektif dan majunyapembangunan perdamaian dilakukan. Tantangan ini membutuhkan pendekatan dan strategikhusus untuk mengatasinya, terutama agar konflik-kekerasan tidak kembali muncul (relapsed),dan perdamaian berkelanjutan bisa dicapai di daerah-daerah paska-konflik.Menjawab tantangan ini, diperlukan pemahaman atas konflik-kekerasan terjadi selama ini, baikdari segi pola maupun karakteristiknya, sehingga bisa dicegah kemungkinan dankecenderungan terjadinya konflik kembali muncul ke permukaan. Disini, selain pentingmelakukan analisis terhadap situasi konflik, analisis terhadap situasi perdamaian terkini jugaperlu ditekankan. Keduanya, baik analisis situasi konflik maupun analisis perdamaian terkini,sama-sama penting dilakukan untuk merumuskan pendekatan, strategi dan kerangka kerjapembangunan perdamaian, agar kerangka dihasilkan mampu bukan hanya menangkap realitaspotensi konflik yang ada, tetapi juga mampu menjawab tantangan perdamaian dihadapi.Bagaimana mengurangi potensi konflik agar konflik tidak kembali muncul ke permukaan, di satusisi, dan bagaimana meningkatkan kapasitas perdamaian yang ada, di sisi lain, merupakanagenda penting harus dilakukan dalam setiap upaya menjaga dan membangun perdamaian didaerah paska-konflik.Kajian, assesmen dan analisis terhadap situasi konflik terkini penting dilakukan denganmemfokus pada sebab-sebab, atau akar penyebab, terjadinya konflik, pada aktor, proses dandinamika konflik, untuk ditemukan pola, karakteristik dan kecenderungannya, sehinggadiprediksi untuk antisipasi dan langkah pencegahan konflik ke depan. Sementara, analisissituasi perdamaian dilakukan dengan memusatkan perhatian pada faktor-faktor pendukungpencapaian perdamaian, implemenatasi perjanjian damai di masyarakat, kapasitaskelembagaan perdamaian, dan kegiatan perdamaian berkembang di masyarakat. Berdasarkedua analisis tersebut, respon kebijakan strategis pemeliharaan perdamaian, atau pencegahankonflik, dan pembangunan perdamaian bisa dirumuskan dengan mempertimbangkan pentingnyapendekatan dan strategi pembangunan perdamaian dalam jangka panjang. Pembangunanperdamaian tidak hanya bersifat transisional, tetapi sekaligus juga transformatif dan rekonsiliatifmenuju tercapainya perdamaian dan keadilan berkelanjutan. Selain itu, kapasitas kelembagaandan agen pembangunan perdamaian, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat sipil,penting untuk ditingkatkan, untuk menjawab berbagai tantangan dan masalah dihadapi daerahpaska-konflik.Membangun perdamaian di daerah paska-konflik dengan demikian tidak hanya membutuhkankepekaan atau sensitivitas tinggi atas potensi konflik dan ketegangan struktural yang ada dimasyarakat, tetapi juga kapasitas memadai untuk menumbuhkembangkan perdamaian.Kebijakan dan agenda aksi pemeliharaan dan pembangunan perdamaian di daerah paskakonflikselain sensitif terhadap konflik, untuk mencegah segala kemungkinan munculnya kembalikonflik ke permukaan, juga promotif terhadap perdamaian, sehingga kebijakan dan agenda aksidigulirkan akan memberikan kontribusi yang luas bagi terciptanya perdamaian danpembangunan berkelanjutan.45


Transisi Demokrasi,Konflik Sosial dan HukumOleh: Mohammad Fajrul FalaakhTransisi dari kekuasaan otoriter di Indonesia dalam satu dasa warsa terakhir telah ditandai olehmunculnya berbagai konflik sosial dan tindak kekerasan di dalam masyarakat. Bersamaandengan krisis ekonomi menjelang jatuhnya kekuasaan Orde Baru, terjadi perusakan danpenjarahan harta-benda di berbagai tempat di Indonesia termasuk Jakarta. Berbagai tindakkekerasan kemudian meletus di berbagai daerah, dan groups conflict (communal, ethnic,religious) meruyak.Beberapa daerah mengalami konflik sosial yang berskala luas, memakan waktu cukup lamauntuk menyelesaikannya, dan membutuhkan berbagai cara penyelesaian. Sebagian konflik itumuncul “begitu saja” akibat kriminalitas, tetapi sebagian lain merupakan letupan dari akarmasalah sosio-kultural, ekonomi dan politik yang lebih dalam. Identitas kelompok yang mencaripengakuan, ketakseimbangan distribusi sumber daya ekonomi, akses kepada kekuasaan ataumobilitas politik vertikal yang mampat merupakan beberapa akar masalah yang dapatdiidentifikasi.Salah satu pertanyaan penting mengemuka: ke mana perginya stabilitas dan aparat keamanan?Tentu saja, pada waktu itu otoritarianisme dalam kondisi undermined. Bukankah reformasipolitik, tuntutan demokratisasi, dan program kemasyarakatan yang serupa, menggoyah sendisendidasar atau legitimasi dari sistem politik otoriter? Negara dalam kondisi tak berdaya.Pertanyaan penting berikutnya adalah, di mana hukum dan ketertiban berada? Hukum tampaktertatih-tatih atau bahkan terlelap (dormant) ketika terjadi konflik vertikal di Papua dan Acehmaupun konflik horizontal di Sulawesi Tengah, Maluku dan Maluku Utara. Mengapa sistempenegakan hukum gagal mencegah perluasan sengketa individual yang terjadi pada tahapawal? Mengapa sistem penegakan hukum tidak dapat mentransformasikan konflik individualtersebut agar tidak meluas menjadi konflik sosial?Dalam konteks politik otoritarian, hukum sekedar instrumen penjaga stabilitas kekuasaan,keamanan rezim dan kelangsungan kebijakan negara. Hukum, yang untuk sebagian cukupbesar justru mengandalkan legitimasinya pada sistem politik (state-centered legitimacy), jugamengalami kelumpuhan, terlelap dalam tidur (dormant). Ketika konflik mengemuka di berbagaitempat di Indonesia, hukum dan aparatnya pun tertatih-tatih. Dalam konteks tersebut, tujuanhukum untuk menjaga harmoni dan kedamaian masyarakat menjadi tidak tercapai.Kondisi demikian menjadi tidak ideal. Hukum seharusnya mampu memberikan respon terhadapperubahan perilaku masyarakat dalam transisi tersebut. Hukum, yang menyatakan ancamandan memberi sanksi bagi tindak kekerasan, seharusnya ditegakkan. Hukum seharusnya jugaberperan menjaga, agar keterlanggaran hak-hak dalam masyarakat tidak meluas dan berubahmenjadi konflik sosial.Bagaimana tujuan hukum itu dapat dicapai dalam proses peace building pascakonflik, agarkeadaan tidak kembali kepada siklus konflik dan instabilitas. Apa peran hukum dalam konteksini? Adakah otonomi masyarakat guna menyelesaikan konflik yang mereka alami sehingga tidakmeluas menjadi konflik sosial? Adakah model-model perlindungan hak dan kepentingan, ataupenyelesaian konflik, yang dapat ditempuh masyarakat?46


Hukum dan Tertib SosialSebetulnya atau idealnya, hukum harus ikut menangani dan menyelesaikan konflik-konfliktersebut atau mencegah meluasnya konflik. Mengapa? Sistem hukum pada dasarnya dibangununtuk menjaga ketertiban masyarakat. Hukum adalah pelembagaan (institusionalisasi) dari nilainilaidan gagasan masyarakat tentang tertib sosial (social order, public order). Fungsi konservasisosial dari hukum ini dibutuhkan karena masyarakatnya menginginkan kedamaian, harmoni atauketeraturan yang terjaga. Dalam formulanya yang khas, hukum menjaga hak-hak masyarakat.Situasi ideal itu tak selalu tercapai. Pada saat dan konteks tertentu, kedamaian dipecahkan,harmoni terganggu, ketidaktertiban merajalela, bahkan hak-hak diabaikan atau dilanggar.Hukum memang menyediakan mekanisme untuk menyelesaikan konflik, sengketa atauperselisihan yang biasanya disebut sebagai perkara hukum. Peradilan adalah mekanisme khasyang disediakan oleh sistem hukum untuk menyelesaikan sengketa, baik menyangkut statusdan hak-hak keperdataan, masalah pidana (seperti pelecehan dan penghinaan), administratif(kesalahan dalam tindakan kongkrit aparatur pemerintahan), dan bahkan konflik kewenanganantarlembaga negara.Menjadikan hukum sebagai mekanisme dalam penyelesaian konflik berarti menghindaripenyelesaian dengan tindak kekerasan. Mereka yang menimbulkan keonaran dan menggangguketertiban harus berhadapan dengan sistem hukum. Masyarakat sendiri yang menggerakkansistem hukum. Jadi, kegaduhan di lingkungan pemukiman akan dilaporkan kepada aparatkepolisian, dan hukum bahkan mengancam mereka dengan sanksi pidana. Hukum pidanamengancam pelaku kerusuhan, tindak kekerasan, penghilangan nyawa karena keteledoranhingga pembunuhan berencana, dengan sanksi pidana yang serius.Penyerobotan hak-hak juga akan berhadapan dengan sistem hukum, yang pada akhirnya dapatditegakkan kembali melalui proses peradilan. Hak-hak keperdataan, misalnya kepemilikan hartabenda,bukan hanya dapat dipertahankan atau dipulihkan melalui pengadilan. Penyerobotanhak atas harta-benda yang mengakibatkan hilangnya keuntungan juga memungkinkan pemilikhak untuk menuntut ganti-rugi. Pengadilan tersedia untuk itu. Sering dikatakan bahwapengadilan baru berfungsi jika ada perselisihan, sengketa atau konflik di dalam masyarakatnya.Tetapi penyelesaian konflik melalui proses peradilan memiliki kelemahan tersendiri yang bersifatbuilt-in, yaitu karena perspektif yang digunakan oleh hukum adalah case-by-case sehinggapenyelesaiannya bersifat individual. Kesulitan-kesulitan akan dihadapi ketika konflik tersebutbersifat masif, melibatkan banyak pelaku dan pihak yang dirugikan atau korban, ataumasalahnya bahkan berlarut-larut tidak memperoleh penyelesaian atau sudah mengakar dalammasyarakat.Selain keterbatasan cara pandang tersebut, hukum dapat tidak berfungsi ketika kemampuannyamenyelesaikan konflik dimanipulasi oleh kepentingan yang dominan dalam masyarakat ataubahkan oleh kekuasaan. Hukum, khususnya sistem peradilan, menjadi tidak independen. Bolehjadi subordinasi hukum terhadap kepentingan yang dominan atau kekuasaan justrumemperparah kondisi konflik, yang semula bersifat kasuistik dan individual berubah menjadiketidakpercayaan laten terhadap hukum dan memicu konflik struktural. Akibatnya, hukum yangtidak bekerja semestinya telah ikut menyumbang kerumitan dalam menanggulangi konflik.Pihak-pihak yang dirugikan, karenanya, mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakkekerasan atau bahkan mengumandangkan semboyan semacam “keadilan jalanan” atau, dalamistilah teknis hukum, menjadi hakim sendiri.47


Dengan demikian penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi hukum, pemulihan hak dan gantirugi, merupakan aspek yang harus diperhitungkan pula dalam memerankan hukum untukmenyelesaikan konflik sosial. Dalam hal ini sistem hukum justru harus dibenahi, yaitu ketikasistem hukum tidak lagi memadai. Perbaikan atau reformasi terhadap berbagai komponenhukum harus dilakukan, baik mengenai kodifikasi aturan yang ada atau peraturan perundangundanganyang berlaku, lembaga-lembaga pelaksana dan pejabatnya, maupun kultur hukumnya–dalam arti merumuskan kembali sistem hukum sesuai dengan nilai-nilai keadilanmasyarakatnya. Kepolisian dan kejaksaan yang bersih dan bekerja sesuai hukum merupakanunsur yang penting bagi bekerjanya sistem hukum. Peradilan yang profesional dan tidakmemihak sangat dibutuhkan dalam memutus perkara yang dimajukan kepadanya. Aturan-aturanhukum yang lebih menjamin keadilan dan hak-hak masyarakat harus menggantikan aturanaturanlama yang mengabaikannya.Hukum Pasca KonflikUntuk menyelesaikan konflik yang berskala masif dan ditandai oleh gross violations of humanrights, ECOSOC (The United Nations Economic and Social Council) merekomendasikan sebuahpendekatan atau proses yang berorientasi kepada korban yang disebut restorative justice.ECOSOC mendefinisikan restorative justice sebagai tindakan berkelanjutan dalam menghadapikriminalitas berdasarkan prinsip yang menghargai kehormatan dan kesetaraan setiap orang,mengembangkan kesepahaman, dan memajukan harmoni sosial guna penyembuhan (healing)korban, pelaku tindak pidana maupun masyarakatnya.Melalui pendekatan ini hendak dicapai berbagai tujuan sekaligus: para korban konflik sosialdapat “dipulihkan” kondisinya (restoration), suatu hal yang tidak mudah, dan merasa lebih aman;pelaku mengetahui kesalahannya dan secara sadar bertanggungjawab atas tindakannya dalamkonflik; masyarakat semakin memahami akar-akar konflik sehingga dapat mencegahterulangnya konflik dan memajukan kehidupan bersama. Penyelesaian konflik tidak berhentidengan berhentinya konflik. Langkah-langkah lebih lanjut untuk mentransformasikan konflik(conflict transformation) merupakan suatu keniscayaan, misalnya diawali dengan mengadilipenanggung jawab konflik.Penyelesaian konflik dengan perspektif restorative justice mencakup mediasi, konsiliasi,conferencing, sentencing circles. Perpaduan antara peradilan HAM di satu sisi, dengan komisikebenaran dan rekonsiliasi (KKR) di sisi lain, tuntutan ganti rugi dan redistribusi sumber dayaalam (seperti land reform), peradilan pidana terhadap tindak kekerasan, dan peningkatanharmoni sosial (lintas etnik, kelompok keagamaan atau ikatan primordial lainnya) merupakancara-cara penyelesaian konflik sosial yang sedikit-banyak juga mengintegrasikan pendekatanrestorative justice.Dengan demikian, bukan hanya perlu untuk “mengadili masa lampau” (transitional justice), tetapidibutuhkan pula perbaikan (reformasi) sistem, politik atau kebijakan dan institusi hukum untukmemenuhi kebutuhan masyarakat dalam merajut masa depan kehidupannya yang lebih baik.Perbaikan ini dapat menyangkut politik hukum dalam sistem peradilan pidana (penal policy).Suatu persoalan yang penting untuk dijawab misalnya, adalah keseriusan penegakan hukumterhadap pelanggaran HAM masa lampau, pencegahan diskriminasi (keagamaan, sosialekonomi,kultural), selain keseriusan dalam pemberantasan narkoba.48


Kamtibmas, Democratic Policing dan Penegakan HukumPemulihan keadilan akan menopang berlakunya rule of law, sebagai prinsip yang penting untukmenciptakan kehidupan masyarakat yang damai (peace constituent). Perdamaian yangberkelanjutan juga menuntut adanya jaminan keamanan dan ketertiban bagi masyarakat, yaitumelalui fungsi penegakan hukum serta perlindungan dan pengayoman masyarakat olehkepolisian.Fungsi dan tugas pokok kepolisian ini dirinci secara ekstensif (UU No. 2/2002, 27 disertaikewenangan Polri dalam fungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) 28maupun proses penegakan hukum pidana. 29 Rincian tugas dan kewenangan Polri memberikan27 Rincian Pasal 14 Ayat (1) UU No. 2/2002 merinci tugas pokok Polri sebagai berikut:a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patrol terhadap kegiatan masyarakat danpemerintah sesuai kebutuhan;b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dijalan;c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat sertaketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pengawaspegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidanadan peraturan perundang-undangan lainnya;h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologikepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertibandan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak azasimanusia;j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihakyang berwenang;k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian;sertal. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.m.28 Terkait kamtibmas, UU No. 2/2002 mengatur kewenangan Polri seperti:a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;Pasal 2 UU No. 2/2002 menyebut kewenangan Polri lainnya, yaitu:a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;b.c. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;d. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;e. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasapengamanan;f.g.h.i.j. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.k.29 Pasal 16 UU No. 2/2002 mengatur kewenangan Polri dalam proses peradilan pidana, yaitu:a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentinganpenyidikan;49


penekanan pada fungsi preventif, meskipun muaranya adalah penegakan hukum pidana(represif).Pengutamaan fungsi preventif kepolisian perlu diletakkan dalam konteks masyarakat yangberubah dan menginginkan democratic security governance. Banyak negara pascaotoriter, danpascakonflik, mengadopsi gagasan pemolisian demokratik (democratic policing). Pada dasarnyademocratic policing merupakan kerangka normatif pemolisian dalam masyarakat demokratik.Pemolisian demokrarik bukan sekedar mengenai reformasi internal Polri, karena ia mencakuphubungan Polri dengan pemerintah dan institusi-institusi lainnya, di satu sisi, dan hubungan Polridengan masyarakatnya. Karena itu Pemolisian demokrarik merupakan agenda yang bukanhanya penting bagi Polri. Pemolisian demokratik juga bagi para pengambil kebijakan kepolisianseperti Presiden dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), organisasi masyarakat sipil,pegiat hak-hak asasi manusia. Pendek kata pemolisian demokrarik merupakan kebutuhan bagipara pemangku kepentingan terhadap fungsi kepolisian itu sendiri.Menurut David Bruce dan Rachel Neild, cakupan besar pemolisian demokrarik meliputigovernance of policing and the conduct of policing (tata kelola fungsi kepolisian dan perilakudalam menjalankan fungsi kepolisian tersebut), di antaranya adalah melindungi kehidupandemokrasi serta tatalaksana pemberian layanan kepolisian demi keselamatan, keamanan dankeadilan bagi masyarakat. 30Melindungi kehidupan demokrasi menuntut polisi untuk menjaga kebebasan politik sepertiberpendapat, berkumpul atau berserikat. Termasuk melindungi demokrasi adalah tidakmembiarkan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik perorangan maupunkelompok dalam masyarakat. Diperlukan pula kesadaran terus-menerus pada pihak Polri,bahwa mereka dituntut melayani masyarakat (public service) dan melindungi hak-hakc. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;e. Melakukan pemeriksanan dan penyitaan surat;f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;h. Mengadakan penghentian penyidikan;i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaanimigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangkamelakukan tindak pidana;k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasilpenyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;l. Mengadakan tindakan lain menurut yang bertanggungjawab.m. Meskipun dikaitkan dengan (atau dalam rangka) kamtibmas, UU No. 2/2002 mengatur kewenangan Polriseperti: Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangkapencegahan; Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; Mengambil sidik jari dan identitas lainnyaserta memotret seseorang; Mencari keterangan dan barang bukti; Memberikan bantuan pengamanan dalamsidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; Menerimadan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.n.30 David Bruce dan Rachel Neild, 2005. The Police that We Want, A handbook for oversight of police in South Africa.Kelima bidang DP adalah: (1). Melindungi kehidupan demokrasi (protecting democratic political life); (2). Tatakelola,akuntabilitas dan transparansi (governance, accountability and transparency); (3). Tatalaksana pemberian layanankepolisian demi keselamatan, keamanan dan keadilan bagi masyarakat (service delivery for safety, security andjustice); (4). Perilaku polisi yang seharusnya (proper police conduct); (5). Kedudukan polisi sebagai warga negara(police as citizens). Masing-masing ruang lingkup DP tersebut memiliki sejumlah ukuran/kriteria, sehinggakeduanya menyodorkan 39 (tiga puluh sembilan) ukuran/kriteria DP.50


masyarakat, mencegah dan mengurangi kriminalitas, menanggulangi ketidaktertiban,menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Pemolisian demokrarik mengharuskan polisimengubah diri: melayani masyarakat, bukan kekuasaan; mencegah konflik, bukanmembiarkannya.Akuntabilitas Penegak HukumPemolisian demokrarik menuntut bahwa aparat penegak hukum harus transparan dan akuntabelserta menegakkan hak-hak masyarakat. Namun berbagai jajak pendapat masih menunjukkanketidakpuasan masyarakat yang cukup tinggi terhadap kinerja kepolisian. Akuntabilitas lembagapenegak hukum, bahkan hakim dan advokat, menjadi sorotan banyak kalangan karenabanyaknya keanehan dan penyelewengan dalam proses penegakan hukum (termasuk dalamistilah “mafia peradilan”).Lembaga-lembaga penegak hukum seharusnya menjadi salah satu sasaran utama dan pertamadalam reformasi bidang hukum. Hal ini karena, selama pemerintahan otoriter Orde Baru, aparatpenegak hukum adalah instrumen represi oleh penguasa. Aparat penegak hukum mewarisikebiasaan terbebas dari tanggung jawab dan akuntabilitas.Penegakan hukum pidana dilaksanakan berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum AcaraPidana (KUHAP). Pada dasarnya fungsi KUHAP adalah membatasi kekuasaan negara dalamproses peradilan pidana dan melaksanakan hukum pidana materiil, sekaligus melindungi paratersangka dan terdakwa dari kesewenang-wenangan tindakan aparat penegak hukum danpengadilan. Tetapi KUHAP dapat menjadi alat penindas warga negara, karena lebih banyakmemberikan hak dan otoritas kepada aparat penegak hukum tanpa ukuran yang memadai dantanpa memberikan kepastian hukum.Penegakan hukum pidana dilaksanakan berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum AcaraPidana (KUHAP). Pada dasarnya fungsi KUHAP adalah membatasi kekuasaan negara dalamproses peradilan pidana dan melaksanakan hukum pidana materiil, sekaligus melindungi paratersangka dan terdakwa dari kesewenang-wenangan tindakan aparat penegak hukum danpengadilan. Tetapi KUHAP dapat menjadi alat penindas warga negara, karena lebih banyakmemberikan hak dan otoritas kepada aparat penegak hukum tanpa ukuran yang memadai dantanpa memberikan kepastian hukum.Proses peradilan pidana sering diwarnai berbagai praktik seperti ini: penangkapan ataupenahanan yang berkepanjangan, tetapi orang dan berkas perkaranya tak kunjung sampai dipengadilan; kekerasan dan penyiksaan dalam penyidikan maupun penuntutan; berkas perkarasudah bertahun-tahun dilimpahkan ke pengadilan, namun perkaranya dibiarkan tanpadisidangkan dan terdakwa sudah kurus kering mendekam sekian tahun dalam tahanan;penangkapan atau penahanan tanpa surat perintah dan penjelasan tentang kejahatan yangdisangkakan dan didakwakan. Untuk “melunakkan” dampak diskresi dan penyalahgunaanwewenang aparat penegak hukum, masyarakat terjebak dalam mafia peradilan. 31Karena itu, penting untuk meminimalisir penyalahgunaan wewenang dalam proses peradilanpidana dan memberdayakan sistem pengawasan terhadap lembaga penegak hukum, sehinggameningkatkan akuntabilitas mereka. Secara umum diperlukan revisi KUHAP agar semakinmencerminkan prinsip due process.31 Lihat Komisi Hukum Nasional, 2007. Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu Rekomendasi (Jilid 2), bagian ketiga.51


Pertama, Pengertian dan batasan bukti permulaan yang cukup harus terbatasi misalnya dengan2 alat bukti. Kedua, kecukupan alat bukti untuk dapat dianggap memenuhi “bukti bermulaanyang cukup” harus dimintakan penetapannya kepada hakim komisaris sebelum dilakukan upayapaksa.Ketiga, Juklak maupun Juknis penyidikan dan penuntutan perlu diperbaiki untuk mengisikekosongan pengertian dan batasan bukti permulaan yang cukup. Keempat, RUU KUHAPmengatur batas waktu maksimal seseorang ditetapkan sebagai tersangka setelah itu tersangkaharus mendapat kepastian apakah perkaranya di-SP3 atau diajukan ke penuntutan.Kelima, RUU KUHAP atau Juklak dan Juknis Penyidikan dan Penuntutan mengatur syaratobyektif untuk melakukan penahanan selain syarat lamanya ancaman hukuman sertamempersyaratkan penahanan oleh penyidik maupun penuntut harus mendapat ijin pengadilansebagaimana penyitaan dan penggeledehan. Keenam, mekanisme untuk memprosespengaduan masyarakat oleh Lembaga Pengawas Internal baik Polri maupun Kejaksaandilakukan dalam sidang terbuka dan dibuka untuk umum.Tetapi kelemahan sistem pengawasan terhadap lembaga penegak hukum, misalnya karenalebih bersifat internal dan tertutup atau bahkan tidak berfungsi secara optimal, jugamemperparah penyalahgunaan wewenang aparat dalam proses penegakan hukum. Penguatankelembagaan dan mekanisme pengawasan eksternal oleh Komisi Kepolisian Nasional(Kompolnas) dan Komisi Kejaksaan (Komjak), misalnya, menjadi niscaya untuk memulihkankeadilan pascakonflik.Penegakan HAMPenegakan hak-hak asasi manusia (HAM) dalam masyarakat pascakonflik perlu mendapatperhatian seksama. Menegakkan HAM merupakan kewajiban negara terutama pemerintah(Pasal 28I ayat (4) UUD 1945). Negara juga wajib menyusun peraturan perundang-undanganuntuk melancarkan mekanisme kerja lembaga penegakan HAM. Presiden dan DPRbertanggungjawab untuk melancarkan proses hukum dimaksud. UU No. 26/2000 (PengadilanHAM) cukup jelas mengenai proses tersebut.Komnas HAM merupakan lembaga penyelidikan bagi pelanggaran HAM berat, baik yang terjadisebelum berlakunya UU Pengadilan HAM tahun 2000 maupun sesudahnya. Kejaksaan Agungharus menyidik pelanggaran berat HAM berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM.Peradilan HAM seharusnya berlangsung “normal”. Masalahnya, apakah Komnas HAM cukupmemiliki kemampuan untuk menjangkau masyarakat pascakonflik? Sebuah pertanyaan pentingyang memerlukan jawaban dari Komnas HAM.Khusus untuk pelanggaran berat yang terjadi pada masa lampau, hasil penyelidikan KomnasHAM dan hasil penyidikan oleh Kejaksaan akan menjadi dasar bagi rekomendasi DPR tentangpembentukan Pengadilan Adhoc HAM. Setelah MK membatalkan penjelasan Pasal 43 Ayat (2)UU Pengadilan HAM tahun 2000, DPR tak berwenang membentuk Pengadilan Adhoc HAMhanya berdasarkan “dugaan” pelanggaran HAM berat pada masa lampau. 32 Artinya, sebagaibukan lembaga penegakan hukum, DPR merekomendasikan pembentukan Pengadilan AdhocHAM berdasarkan hasil penyelidikan oleh Komnas HAM dan hasil penyidikan oleh Kejaksaan.32 Putusan MK No. 18/PUU-V/2007 tanggal 21/2/2008.52


Resolusi Konflik dan Hukum LokalPeradilan bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik, sengketa atau perselisihanyang dialami masyarakat. Sebetulnya berbagai cara dapat ditempuh untuk menyelesaikankonflik, sengketa atau perselisihan. Penyelesaian tersebut dapat dilakukan sendiri oleh parapihak dalam konflik, melalui cara-cara yang bersifat konsensual seperti negosiasi, fasilitasi danmediasi (termasuk mediasi kebijakan publik).Cara lain misalnya menghasilkan aturan-aturan baru yang disepakati bersama karena pemicukonflik adalah, misalnya, ketidakjelasan aturan (unclear rules) atau aturan yang diskriminatif.Pada tingkat masyarakat, hal ini berarti menciptakan kesepakatan baru mengenai pengelolaankehidupan bersama (semacam kontrak sosial baru atau pakta tentang aturan berperilaku dalamkomunitas). Pada tingkat negara hal ini bermuara pada pembuatan peraturan perundangundanganyang baru.Cara untuk menyelesaikan konflik melalui peradilan berarti melibatkan pihak ketiga yangberkedudukan netral dan tak-berpihak. Pihak ketiga ini akan sekaligus memutuskanpenyelesaian konflik dimaksud dan putusannya mengikat para pihak yang berkonflik. Idealnyahakim dan pengadilan, atau arbitrator, menempati kedudukan dan menjalankan peran ini.Meskipun demikian, dunia hukum dewasa ini semakin mengenal cara-cara menyelesaikansengketa atau konflik di luar pengadilan (out-of-court settlement) atau cara-cara alternatif untukmenyelesaikan sengketa (alternative dispute resolutions; ADR). Tanpa bermaksud menguraikansecara panjang lebar, berikut ini diberikan gambaran umum mengenai berbagai carapenyelesaian konflik, sengketa atau perselisihan.Unassistednegotiation:Negosiasi padadasarnyamerupakan suatuproses yangmelibatkan duapihak atau lebihuntuk mencapaipenyelesaiankonflik.Dilakukan sendirioleh masyarakatyang bekonflik,berdasarkan modalsosial yang ada(“tersisa”) dalammasyarakat;mungkin karenakesadaranCara-Cara Penyelesaian KonflikAssisted negotiationMediation: Proses ini Hybridmelibatkan pihak ketigadalam penyelesaian konflik,meskipun tidak dimintamemberikan keputusan yangmengikat. Biasanya pihakketiga hadir dalam negosiasiyang dilakukan oleh pihakyang bertikai. Dapat berupamediasi lingkungan atauperburuhan, penggarapanlahan.Conciliation: Prosesnyadisebut konsiliasi(conciliation) jika pihakketiga tidak hadir tetapimenjalankan shuttlediplomacy. Dapat berupamediasi lingkungan atauperburuhan, penggarapanlahan.Neutral evaluation:evaluasi mengenaisebab, akibat dankondisi konflik oleh pihakketiga yang netral(biasanya experts);menjadi bahanpengambilan keputusanuntuk menyelesaikanAdjudication:Proses penyelesaiankonflik yangmembutuhkanputusan hakim(pengadilan), suatuagency(administrativetribunal, quasijudicialtribunal, aspecially appointedcommission) atauoleh arbitrator.Putusan merekamengikat para pihakdan mengakhirikonflik.Arbitration:penunjukan pihakketiga sebagaipenyelesai konflikdan putusannyamengikat para pihakyang berkonflik;seperti dalamperadilan53


ersama untukmengakhiri konflik,atau peran tokohmasyarakat yang“tercerahkan” atauenergi untukberkonflik sudah“terkuras”.Facilitation: pihak ketigaberperan untukmemudahkan penyelesaiankonflik oleh para pihak yangbertikai. Berbagai macamfasilitasi dapat ditawarkanatau menyesuaikan dengankebutuhan.Regulatory negotiation (Reg-Neg): Istilah yang digunakanuntuk menyebut carapenyelesaian konflik untukmenghasilkan “kebijakanpublik bersama” (publicpolicies, regulations). Parapihak yang bertikai,termasuk negara, dan pihakketiga (experts, fasilitator,mediator) terlibat dalampengambilan keputusanbersama (participatory publicdecision-making processes). Pada dasarnya bersifatinterest-based. Misalnyauntuk menyelesaikan konflikpemanfaatan sumber dayakonflik. Proses berguna,misalnya, di tengahproses peradilan.Fact finding: tim pencarifakta untuk mengetahuikeadaan sesungguhnya.Sebagai penyelidik ataspelanggaran hak-hakasasi manusia, Komnas-HAM RI memilki otoritasini.Minitrial (“peradilanmini”): para pihak yangberkonflik, ataupenasihat mereka,menyampaikanmasalahnya kepadahakim atau ahli hukumuntuk mendengarpendapat hukum (legalopinion) mengenaiperkara tersebut.Summary jury trial:“peradilan” ataupemberian putusan(rekomendasi) yangtidak mengikat oleh peergroup yang tidak terlibatdalam konflik, bersifatinformal.Ombuds and complaintsprocedure:pembentukan lembagaatau penunjukan oranguntuk menyelesaikanmasalah maladminsitrasidan ketidakadilanadministratif.Nonbinding arbitration:penunjukan pihak ketigasebagai penyelesaikonflik tetapipelaksanaan putusan(pendapat hukum) yangdihasilkan diserahkankepada para pihak.Mediation-Arbitration(Med-Arb): semacamtruth and reconciliationcommission (TRC) untukmenangani pelanggaranberat hak-hak asasimanusia masa lampau.perburuhan.Agency:Pembentukan komisikebenaran danrekonsiliasi dapatdimasukkan di sini.Court litigation:seperti peradilanpidana, gugatanganti rugi danpemulihan hak dipengadilan;peradilan HAM.54


alam, pengelolaanlingkungan.@ M. Fajrul Falaakh, <strong>2009</strong>. Sumber: Linda Singer, 1994. Settling disputes: Conflict resolution in business, families,and the legal system, hlm. 16. Catherine Morris, 2002. What is Alternative Dispute Resolution (ADR)?Berbagai kemungkinan di muka tidaklah bersifat monolitik. Kombinasi antara cara konsensualdan pembuatan aturan baru merupakan hal yang biasa ditempuh, misalnya diikuti legislasi olehparlemen karena dibutuhkan legitimasi dari negara dan ruang lingkup permasalahannyamembutuhkan aturan yang berjangkauan luas. Mungkin pula legislasi yang sama, atau terpisah,mengatur mekanisme peradilan untuk menyelesaikan konflik yang sudah terjadi maupun yangmungkin timbul di kemudian hari.Peluang masyarakat untuk menyelesaikan konflik membuka kemungkinan untukmengakomodasi dan menerapkan “hukum lokal” (digunakan dalam pengertian generik). Hukumhukumlokal dapat diakomodasi dalam peraturan-peraturan daerah. Pada dasarnya hukum adatjuga dapat digunakan langsung untuk menyelesaikan konflik. Mediasi, konsiliasi dan arbitraseadalah mekanisme yang biasa ditempuh oleh masyarakat lokal dalam menyelesaikanperselisihan atau sengketa hukum.Perlu disadari bahwa, mengharapkan hukum berperan dalam penyelesaian konflik tidaklahcukup hanya mengandalkan institusi-institusi konvensional penegakan hukum seperti kepolisian,kejaksaan dan pengadilan, atau membangun yang baru sekalipun. Penting juga untukmerancang cara institusi-institusi tersebut menjalankan perannya dalam penyelesaian konflik.Hal ini menuntut kejelasan mengenai hukum acara. Singkatnya, konflik tidak dapat diselesaikansecara memuaskan ketika cara-caranya tidak memenuhi standar umum due process of lawseperti accessible, clarity, certainty, simplicity, fairness, impartiality, indiscriminate, transparent,accountable dan lain-lain.***55


Stabilisasi dan Pemullihan Pasca KonflikOleh: Rizal SukmaPendahuluanStabilisasi (stabilisation) dan pemulihan (recovery) pasca-konflik merupakan bagian integral dariupaya membangun perdamaian (peacebuilding). Oleh karena itu, pemahaman mengenaistabilisasi dan pemulihan pasca konflik perlu diletakkan dalam konteks atau kerangkapeacebulding secara komprehensif. Namun, upaya ini bukanlah sesuatu yang mudah untukdilakukan mengingat beragamnya pemaknaan, baik konseptual maupun operasional, terhadapkonsep peacebuilding itu sendiri. Sebagai sebuah konsep, peacebuilding mulai banyakdigunakan setelah Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali mengeluarkan laporannya,An Agenda for Peace, pada tahun 1992. Dalam laporan tersebut, peacebuilding dipahamisebagai serangkaian aktivitas yang dimaksudkan untuk “mengidentifikasikan dan mendukungberbagai struktur yang bertujuan untuk memperkuat dan mempersolid perdamaian sehinggadapat mencegah terulangnya kembali konflik.” 33 Pada awalnya, strategi peacebuilding hanyaterbatas pada demobilisasi militer dan upaya mendorong transisi politik kearah terbangunnyademokrasi elektoral partisipatoris (participatory electoral democracy), yang sampai sekarangmasih menjadi inti dari operasi-operasi peacebuilding yang dijalankan oleh PBB. 34Namun, dalam perkembangannya, definisi peacebuilding yang dikembangkan Boutros-Ghalikemudian mencakup juga berbagai upaya untuk menanggulangi akibat konflik terhadapmasyarakat dan akar konflik. Dengan demikian,dapat dikatakan bahwa peacebuilding memilikidua tujuan utama, yakni (a) mencegah terjadinya kembali (relapse) konflik terbuka berdimensikekerasan (overt violent conflict) dan (b) membantu proses pemulihan dan mempercepatpenyelesaian akar konflik atau membangun perdamaian yang self-sustaining. 35 Seperti yangdigambarkan oleh Sekjen PBB Koffi Annan, post-conflict peacebuilding merupakan “berbagaikegiatan integral yang dijalankan secara bersamaan diakhir konflik untuk mengkonsolidasikanperdamaian dan mencegah terulangnya konfrontasi bersenjata.” 36 Oleh karena itu, salah satutantangan yang dihadapi dalam proses peacebuilding adalah bagaimana mengaitkan tujuanjangka pendek berupa military containment of conflict di satu sisi, dengan tujuan jangka panjangberupa rehabilitasi dan pembangunan kembali masyarakat yang mengalami konflik secaraekonomi, politik dan sosial disisi lainnya. 37 Jawaban terhadap tantangan tersebut terletak padaefektivitas penyelenggaraan fungsi dan operasi stabilisasi dan pemulihan pasca konflik. Dalamkerangka ini, stabilisasi dan pemulihan pasca konflik merupakan penerapan pada level mikrotentang pentingnya kaitan antara keamanan (security) dan pembangunan (development) dalamupaya membangun perdamaian.Tulisan ini akan membahas arti penting strategi stabilisasi dan pemulihan dalam kontekspencegahan terulangnya kembali konflik yang telah berhasil mencapai tahap penyelesaianpolitik. Untuk itu, pembahasan dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama akan membahasmengapa dan bagaimana konflik yang telah berhasil diselesaikan secara politik dapat kembaliterulang. Bagian kedua membahas aspek-aspek stabilisasi dan pemulihan, serta strategi yang33 Boutros Boutros-Ghali, An Agenda for Peace (New York: United Nations, 1992), hal. 11.34 Hugh Miall, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution (Cambridge: Polity Press,1999), hal. 187.35 Ibid., hal. 187-188.36 Koffi Annan, 1997, dalam Laporan Sekjen PBB mengenai reformasi, 16 Juli 1997.37 Miall, Ramsbotham dan Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution, hal. 188.56


dibutuhkan untuk meminimalisasi kemungkinan terulangnya konflik (relapse), kalaupun tidakuntuk menghilangkan kemungkinan tersebut sama sekali. Bagian ketiga membahas pentingnyaperan organisasi masyarakat kewargaan (civil society organisations/CSO) dalam prosespeacebuilding, khususnya dalam konteks stabilisasi dan pemulihan.Kenapa Konflik Berulang?Salah satu kenyataan yang kerap mengganggu bagi mereka yang terlibat danbertanggungjawab atas penyelenggaraan peacebuilding adalah fakta bahwa sekitar 50 persenkonflik yang telah diselesaikan secara politik kemudian terulang kembali dalam kurun waktusepuluh tahun. Sementara itu, berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sekitar 30persen konflik kembali terjadi dalam kurun waktu lima tahun. 38 Doyle dan Sambanis bahkanmenemukan bahwa untuk periode 1945-1999, sekitar 30 persen konflik kembali terjadi hanyadalam kurun waktu dua tahun. 39 Data demikian menunjukkan bahwa berakhirnya sebuah konfliktidak secara otomatis melahirkan sebuah perdamaian. Oleh karena itu, akar penyebab konflikharus ditangani sebagai bagian integral dari aktivitas peacebuilding. Pertanyaannya adalah,mengapa konflik yang telah berhasil dihentikan ternyata dapat terulang kembali?Berbagai studi mengenai pengulangan konflik menunjukkan beberapa faktor penyebab,termasuk jumlah pihak-pihak yang bertikai, kesepakatan damai yang tidak inklusif, kehadiranperusak perdamaian (spoilers), tingkat efektifitas atau kegagalan lembaga-lembaga negara;jumlah pasukan; adanya sumberdaya alam yang rawan penjarahan, dan jenis konflik. 40Sementara, Doyle dan Sambanis menyatakan sukses atau tidaknya mempertahankanperdamaian yang telah dicapai akan tergantung pada dua kesulitan, yakni “tingkat permusuhan”yang meliputi jenis konflik, jumlah pihak yang terlibat, jenis penyelesaian, dan tingkat korban;dan “kapasitas lokal,” yang umumnya meliputi indikator-indikator ekonomi dan kapasitasinstitusi. 41Dalam studinya, Dan Smith mengidentifikasikan empat penyebab utama pengulangan konflik.Pertama, konflik terulang kembali karena tidaknya adanya kesungguhan dari pihak-pihak yangbertikai untuk menyelesaikan konflik. Kedua, karena adanya kekecewaan dari salah satu ataulebih pihak yang bertikai ketika apa yang diharapkannya dari perdamaian tidak tercapai.Misalnya, ada pihak yang bersedia menandatangani penghentian konflik bersenjata karenayakin akan menang dalam pemilu. Namun, ketika harapan itu tidak terwujud, maka pihaktersebut akan kembali memulai konflik bersenjata. Alasan ketiga adalah perpecahan internaldalam salah satu kelompok yang bertikai, yang kemudian melahirkan kelompok sempalan, yangterus melanjutkan konflik bersenjata. Alasan keempat adalah tidak tertanganinya penyebabutama konflik yang bersifat struktural, seperti ketidakadilan dan kemiskinan. 42Dari keseluruhan penyebab terulangnya kembali konflik, penyebab yang paling fundamental dansulit untuk ditangani adalah akar penyebab konflik. Pada dasarnya, konflik bersifat kekerasanterjadi apabila lembaga-lembaga yang berfungsi untuk mengelola perbedaan dalam masyarakat,atau antar negara, tidak mampu lagi mengakomodasi perbedaan-perbedaan yang ada, baik38 Post-Conflict Stabilisation, http://ukun.fco.uk/en/uk-at-un/thematic-issues/post_conflicts/post_conflict39 Michael W. Doyle dan Nicholas Sambanis, Making War and Building Peace: United Nations Peace Operations(Princeton: Princeton University Press, 2006), p. 89.40 Charles. T. Call dan Elizabeth Cousens, Ending Wars and Building Peace, Coping With Crisis Working PapersSeries, March 2007, p. 4.41 Ibid.42 Dan Smith, Trends and Causes of Armed Conflict, hal. 4, http://www.berghof-handbook.net57


melalui negosiasi, kompromi atau menemukan penyelesaian bagi berbagai keluhan yang ada.Secara umum, faktor-faktor akar konflik antara lain adalah: (1) ketidaksetaraan (inequality)politik, ekonomi, dan sosial; (2) identitas, seperti mobilisasi kelompok berdasarkan kesamaanidentitas etnik atau agama; (3) faktor-faktor politik, seperti krisis legitimasi negara, dan lemahnyalembaga negara; (4) faktor-faktor ekonomi, seperti keserakahan, kemiskinan akibat eksploitasi,akses ekonomi/material, kelangkaan sumberdaya; dan (4) faktor-faktor internasional, sepertiperdagangan, instabilitas regional, dan kompetisi sumberdaya alam. Dalam realitasnya, interaksiantar faktor-faktor tersebut yang melahirkan konflik yang disertai dengan kekerasan. 43 Dan,diantara semua faktor tersebut, kondisi ekonomi yang buruk kerap menjadi faktor penyebabutama dari berbagai konflik internal yang ada. 44Meskipun berhasil tidaknya upaya peacebuilding akan tergantung dari ada tidaknya kerangkakomprehensif yang dapat menanggulangi akar-akar konflik secara keseluruhan, upaya untukmengkonsolidasikan perdamaian segera setelah tercapainya persetujuan perdamaianmerupakan fase penting bagi kelangsungan dan keberhasilan peacebuiding itu sendiri. MichaelW. Doyle dan Nicholas Sambanis, misalnya, mengidentifikasikan bahwa peacebuildingmencakup kegiatan seperti demobilisasi pasukan (atau pihak yang bertikai), reintegrasi mantankombatan dan para pengungsi, de-mining, bantuan darurat (emergency relief), bantuanmakanan, rehabilitasi ekonomi, dan perbaikan jalan dan infrastruktur lainnya. 45 Arahan Doyledasn Sambanis ini menunjukkan arti penting peletakan dasar-dasar bagi terwujudnyasustainable peace yang mencakup lahirnya kondisi yang memungkinkan penanggulangan akarkonflik. Dengan kata lain, dasar tersebut tidak lain adalah bagaimana menciptakan sebuahlingkungan yang aman dan tertib (safe and secure) bagi berjalannya kegiatan pembangunanjangka menengah dan panjang, sebagai dasar bagi penanggulangan akar konflik dalam sebuahmasyarakat. Dalam konteks demikian, operasi stabilisasi dan pemulihan pasca-konflikmerupakan merupakan elemen penting dari peacebuilding.Strategi Stabilisasi dan PemulihanDalam menjalankan operasi stabilisasi dan pemulihan, perlu dipahami beberapa hal sebagaiberikut. Pertama, pentingnya memahami tipologi konflik dimana operasi stabilisasi danpemulihan harus dijalankan, apakah konflik bersifat internal (horizontal atau vertikal) atau konflikantar negara. Kedua adalah memahami penyebab konflik, baik dalam pengertian penyebablangsung pemicu konflik (triggering causes) maupun kondisi yang melahirkan konflik yang kerapdisebut sebagai akar penyebab konflik (root causes). Ketiga adalah memahami mengapa danbagaimana konflik yang telah mendapatkan penyelesaian politik dapat kembali terulang.Keempat, memahami fungsi dan lingkup operasi stabilisasi dan pemulihan, yang tidak hanyadapat mencegah kembalinya konflik tetapi juga dapat membantu proses pemulihan danmempercepat penyelesaian akar konflik atau membangun perdamaian yang self-sustaining.Kelima, memahami komponen operasi stabilisasi dan pemulihan apa saja yang perlu dilakukandalam konteks konflik tertentu.Stabilisasi dan pemulihan pasca-konflik bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang stabilpasca-konflik, segera setelah tercapainya kesepakatan damai, yang memungkinkanberlangsungnya langkah-langkah pembangunan yang lebih bersifat jangka panjang. Langkah-43 http://www.gsdrc.org/go/topic-guides/conflict/conflict-causes-and-dynamics-part144 Smith, “Trends and Causes,”hal. 7.45Michael W. Doyle dan Nicholas Sambanis, “Building Peace: Challenges After the Cold War,”http://www.worldbank.org58


langkah stabilisasi dan pemulihan tersebut harus dapat dengan segera menunjukkan danmelahirkan keuntungan perdamaian (peace dividend) tidak hanya bagi pihak-pihak yang bertikaitetapi juga bagi masyarakat umumnya. Keuntungan perdamaian yang bersifat segera itu antaralain terwujudnya lingkungan kehidupan sehari-hari yang aman dan damai (safe and secure),yang ditandai dengan (1) berkurangnya potensi kekerasan, (2) kembalinya ketertiban umum(kamtibmas), (3) pemilihan trauma bagi bagi korban konflik dalam masyarakat pada umumnya;(4) dimulainya kehidupan/aktivitas sosial-ekonomi yang normal, (5) berfungsinya kembalipranata-pranata kenegaraan (state institutions); dan (6) terbukanya ruang bagi keterlibatan danpartisipasi masyarakat warga (civil society) dalam proses peacebuilding. Terwujudnya tujuanstabilisasi dan pemulihan pasca konflik ini akan memberi dasar yang kuat bagi terciptanyalingkungan yang kondusif bagi upaya menghilangkan akar konflik melalui pembangunan dalamartian yang luas.Apa prasyarat operasi stabilisasi dan pemulihan? Pertama, operasi stabilisasi dan pemulihanmemerlukan dukungan dan keterlibatan militer dan kelompok-kelompok sipil. Kedua, fokus padaupaya mengembalikan legitimasi dan kemampuan negara, membuahkan hasil-hasil yang konkritbagi masyarakat, dan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada negara danproses politik. 46 Ketiga, operasi stabilisasi dan pemulihan membutuhkan dukungan sumberdayayang memadai. Keempat, pentingnya koordinasi antar-departemen, yang terintegrasi dalamkerangka kerja dan program peacebuilding yang luas, tidak sektoral. Kelima, terkait dengantujuan komponen peacebuilding lainnya, yakni penegakan hukum (rule of law), penataan sistempolitik yang stabil/demokratis, terbangunnya ekonomi yang berkelanjutan (sustainableeconomy), dan terselenggaranya kesejahteraan sosial (social well-being). Melihat lingkup tujuanyang ingin dicapai, dan posisinya dalam kerangka peacebuilding secara keseluruhan, makadapat dikatakan bahwa operasi stabilisasi dan pemulihan merupakan pertautan (interface) darikerjasama militer dan sipil dalam proses peacebuilding.Namun, secara spesifik, operasi stabilisasi dan pemulihan pasca konflik melingkupi elemenelemensebagai berikut:Pertama, mengontrol, kalaupun bukan menghilangkan, potensi kekerasan. Dalam hal ini,program disarmament, demobilisasi, dan reintegrasi (DDR) merupakan elemen penting. Dalamhal ini, dukungan dan peran pihak ketiga menjadi salah satu kunci terpenting bagi keberhasilanprogram DDR. Barbara Walters, dalam studinya menemukan bahwa adanya jaminan dari pihakketiga dalam proses pengimplementasian perjanjian perdamaian, yang dipercaya oleh pihakpihakbertikai untuk melaksanakan program DDR, merupakan kuncil utama kesuksesanpengimplementasian perjanjian perdamaian. 47 Dalam konteks Indonesia, hal ini juga terlihatdalam proses pelaksanaan DRR yang lancar sesuai dengan perjanjian Helsinki, dimana AcehMonitoring Mission (AMM) dari Uni Eropa dan beberapa negara anggota ASEAN dipercayamenjadi pihak pelaksana program DDR.Kedua, penanggulangan aksi kejahatan serius. Tergantung pada kondisi wilayah konflik,kejahatan serius dapat mencakup tindak korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya (sepertipencucian uang, aksi penyuapan, dan penggelapan uang), penyelundungan (senjata, bahanbakar, narkoba), dan kejahatan terhadap orang (pembunuhan, penculikan, pemerasan,pencurian kenderaan, dan pembakaran). Aksi-aksi kejahatan serius seperti yang disebut diatasdapat merusak proses perdamaian, karena mempersulit kembalinya kehidupan sosial46 http://www.stabilisationunit.gov.uk47 Lihat Barbara F. Walter, “The Critical Barrier to Civil War Settlement,” International Organization, vol. 51, no. 3(Summer 1997).59


masyarakat secara normal serta menghambat proses mengembalikan kepercayaan masyarakatterhadap pranata-pranata negara, yang menjadi prasyaraat bagi kelanggengan perdamaian.Disamping itu, apabila jenis-jenis kejahatan serius demikian masih terus berlangsung pascakesepakatan damai, maka masyarakat akan meragukan peace dividend yang harus segeradirasakan masyarakat pasca terhentinya konflik kekerasan.Ketiga, berkaitan dengan elemen kedua, pengembalian fungsi tradisional kepolisian, sebagaialat untuk menjamin ketertiban masyarakat dan penegak hukum, menjadi elemen penting darioperasi stabilisasi dan pemulihan pasca konflik. Dalam konflik horizontal, seperti dalam halpenanggulangan pemberontakan bersenjata atau gerakan separatisme, polisi juga menjalankanfungsi kontra-insurgensi. Pasca konflik, fungsi polisi secara bertahap harus segera disesuaikanuntuk kemudian lebih berperan sebagai kekuatan kamtibmas. Penyesuaian fungsi kepolisian inijuga penting bagi upaya penanggulangan kejahatan serius yang kerap mewarnai masyarakatpasca konflik. Maraknya kembali aksi-aksi perampokan bersenjata di Aceh pasca perjanjiandamai Helsinki, misalnya, merupakan kondisi yang tidak jarang ditemui di wilayah-wilayah yangbaru saja mengalami konflik berkepanjangan. Tugas kepolisian pasca konflik ini, disampingmengembalikan ketertiban umum, perlu juga mencakup adanya kebebasan bepergian danpemberian jaminan keamanan bagi para pekerja kemanusiaan dan pengawas perdamaian(peace monitoring).Keempat, kemampuan untuk mengidentifikasi dan menghadapi apa yang disebut sebagaimasalah “spoilers of peace” (perusak perdamaian). Dalam studinya, Stedman menemukanbahwa salah satu persoalan rumit dalam meingiplementasikan perjanjian damai adalah apayang disebutnya sebagai “penipuan strategis” (strategic deception) oleh pihak-pihak yangbertikai, yang mencoba memanfaatkan perjanjian damai untuk mendapat keuntungan dalammencapai tujuan atau memenangkan peperangan. Pihak-pihak yang menggunakan “penipuanstrategis” itu disebutnya sebagai “spoilers of peace” atau perusak perdamaian. 48 Kelompokperusak perdamaian ini juga dapat datang dari pihak-pihak yang justru dirugikan karenaterhentinya konflik, seperti kelompok yang kerap disebut sebagai “pengusaha konflik” (conflictentrepreneurs). Operasi stabilisasi seyogyanya mampu mengatasi ancaman terhadapperdamaian yang datang dari kelompok spoilers ini.Kelima, dalam rangka memulihkan aktivitas keseharian masyarakat dan juga untukmempersiapkan proses pembangunan jangka panjang, operasi stabilisasi dan pemulihan jugamencakup berbagai kegiatan untuk memperbaiki infrastruktur ekonomi yang rusak maupunhancur akibat konflik. Perbaikan jalan, sekolah, jembatan, pasar tradisional, dan infrastrukturekonomi lainnya merupakan program yang penting dalam operasi stabilisasi dan pemulihan.Masyarakat Kewargaan dan PeacebuildingLantas, bagaimana peran organisasi masyarakat kewargaan (civil society) dalam tahapanstabilisasi dan pemulihan? Menurut laporan World Bank, yang dapat dikategorikan sebagaiorganisasi civil society dalam peacebuilding antara lain adalah: 4948 Lihat Stephen John Stedman, “Spoiler Problems in Peace Process,” International Security, vol. 22, no. 2 (Fall1997).49 Reiner Foster dan Mark Mattner, Civil Society and Peacebuilding: Potential, Limitations and Critical Factors (WorldBank, Report No. 36445-GLB), 20 Desember 2006, hal. 9.60


• NGO, khususnya yang secara langsung mendukung proses perdamaian atau capacitybuilding• Organisasi Hak Asasi Manusia, kelompok advokasi keadilan sosial, dan jaringanperdamaian• Organisasi yang memiliki kepentingan khusus, seperti kelompok keagaam, perempuan,kepemudaan, dan asosiasi profesional• Organisasi komunitas, seperti asosiasi petani, dan pemimpin tradisional• Organisasi yang bergerak di bidang pendidikan atau informasi, seperti mediaindependen, asosiasi wartawan, lembaga-lembaga riset dan think-tanks.Laporan World Bank juga mengidentifikasikan tujuh fungsi positif CSOs yang dapat dijalankandalam konteks peacebuilding. 50Pertama, fungsi proteksi, yang mencakup aktivitas sebagai berikut: melindungi kehidupan,kebebasan dan hartabenda masyarakat dari aktor-aktor negara dan non-negara. Fungsi iniumumnya dijalankan oleh organisasi HAM, NGO yang bergerak dibidang advokasi danorganisasi kemasyarakatan. Namun, adalah penting untuk dicatat bahwa fungsi proteksi ini jugadijalankan oleh aktor-aktor lainnya, khususnya oleh negara/pemerintah yang justru kerapkalimenjadi aktor utama yang paling bertanggungjawab dalam menjalankan fungsi proteksi.Keikutsertaan NGO dalam menjalankan fungsi proteksi ini tidak boleh menjadi faktor yang justrumemperumit konflik akibat ketumpangtindihan dengan aktor-aktor lainnya yang menjalankanfungsi yang sama. Contoh peran NGO dalam menjalankan fungsi proteksi ini antara lain dengancara menciptakan zona-zona damai didalam masyarakat pasca konflik atau melaluipembentukan monitoring watchdog.Kedua, fungsi monitoring/peringatan dini, yang mencakup kegiatan mendeteksi berbagaipersoalan yang dapat melahirkan kembali konflik. Fungsi monitoring ini umumnya dimaksudkanuntuk meningkatkan akuntabilitas dari pihak-pihak yang terkait dalam menjalankan butir-butirkesepakatan damai, sekaligus untuk mengawasi agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaranyang dapat melahirkan kembali konflik.Ketiga, fungsi advokasi dan atau komunikasi publik, yakni artikulasi kepentingan khusus,khususnya kepentingan kelompok terpinggirkan, mengangkat isyu-isyu yang relevan kedalamperdebatan publik, membuka saluran komunikasi, meningkatkan kesadaran warga, danmendorong debat publik, dan keterlibatan secara aktif dalam proses perdamaian yang resmi.Keempat, sosialisasi, yang mencakup kegiatan untuk mendorong praktek-praktek demokratisdan terbangunnya nilai-nilai perdamaian dalam masyarakat, termasuk sikap toleransi, salingpercaya, dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Aktivitas sosialisasi pada umumnyacenderung mengadopsi pendekatan resolusi konflik, dengan kegiatan-kegiatan seperti fasilitasidialog, prakarsa rekonsiliasi, pendidikan perdamaian, program pertukaran, serta pelatihanpelatihanresolusi konflik dan peningkatan kapasitas (capacity building).Kelima, fungsi merekatkan kohesi sosial, berupa memperkuat ikatan kekerabatan antarmasyarakat dan membangun modal sosial dalam masyarakat. NGO dapat menjalankan fungsiini melalui serangkaian kegiatan yang mendorong terjadinya interaksi dan kegiatan diantarapihak-pihak yang bertikai. Kegiatan-kegiatan ini dapat dilakukan, misalnya, melalui asosiasiasosiasisukerela di dalam masyarakat seperti asosiasi orangtua murid, wartawan, kelompokkelompokolah raga, dan asosiasi pedagang yang multi-entik.50 Pembahasan didasarkan pada laporan World Bank, ibid.61


Keenam, fungsi intermediasi/fasilitasi, dalam rangka membangun komunikasi antar kelompokmasyarakat dan antara masyarakat dan negara. Dalam konteks peacebuilding, fungsi ini dapatdilaksanakan tidak hanya antara negara dan warga, tetapi juga diantara pihak-pihak yangbertikai, dalam sebuah kelompok, dan pada semua level masyarakat. Aktivitas yang seringdilakukan oleh NGO dalam menjalankan fungsi ini prakarsa fasilitasi formal dan informaldiantara pihak-pihak yang bertikai, maupun antara masyarakat dengan aktor-aktor lainnyaseperti lembaga donor, lembaga yang bergerak di bidang development. Fungsi ini dapatdijalankan oleh NOG lokal dengan bekerjasama dengan NGO internasional.Ketujuh, fungsi pelayanan, yakni memberikan pelayanan kepada masyarakat, yang dapatberfungsi sebagai entry points bagi peacebuilding. Di negara atau wilayah pasca konflik,kemampuan negara untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat akan berkurang, danNGO dapat menjadi aktor yang membantu memberikan layanan kepada masyarakat.Pendidikan darurat dan pelayanan kesehatan merupakan dua contoh kegiatan yang kerapdilakukan oleh NGO dalam menjalankan fungsi pelayanan ini kepada masyarakat.***62


Post-Conflict Peacebuilding:Governability PerspectiveOleh : Cornelis LayPengantarKebutuhan akan adanya skema kebijakan jangka panjang pembangunan perdamaian (long termpost conflict peace-building) bagi Indonesia merupakan kebutuhan strategis yang harus secarasungguh-sungguh mulai dipikirkan. Hal ini terkait dengan dua fakta berikut ini. Pertama, seringterjadinya relapsing konflik diberbagai daerah, bahkan pola pengulangan konflik cenderungbersifat siklikal. Hasil-hasil kajian atas konflik di banyak daerah, Kalimantan Tengah dan Barat,misalnya, mengkonfirmasi pola konflik horizontal yang bersifat siklikal. Demikian pula yangditunjukan oleh kasus konflik di Poso dan sejumlah daerah lainnya yang terus sajamendapatkan alasan dan energi untuk berulang kembali.Kedua, ada kecenderungan pemajemukan dan sekaligus perluasan dan pendalaman wilayahkonflik sebagai akibat dari efek penularan (efek domino), proses imitasi (peniruan), dansekaligus perubahan sumber-sumber konflik. Adanya kawasan yang oleh Tomagoladigambarkan sebagai “ring of fire” yang menyebabkan mudah menjalarnya konflik mengikutialur-alur gerak ring of fire sebagaimana ditunjukan oleh kasus Maluku dan Maluku Utara,semakin tingginya densitas konflik sebagaimana digambarkan melalui hasil riset Ichsan Malik,dkk (2007) yang bahkan mulai menjangkau kawasan-kawasan baru yang steril konflik di masalalu, serta semakin kecilnya, tapi menyebarnya skala konflik mengikuti sumber-sumberketegangan politik dan perebutan kekuasaan di berbagai daerah mengindikasikan hal ini.Kedua fakta di atas memastikan besarnya potensi Indonesia untuk berada dalam situasi konfliksebagai penjara permanennya. Dan karenanya, pengembangan skema kebijakan jangkapanjang pembangunan perdamaian menjadi pilihan yang tidak terelakan.PendekatanSebagai sebuah skema menyeluruh dan karena perbedaan watak dasar dari persoalan danjalan keluar yang harus diberikan untuk tahapan yang berbeda-beda, post conflict peacebuilding bisa dipastikan merupakan kerja yang di satu sisi bersifat kolektif-sinergis dari keahliandan kemampuan multi-actors yang berbeda-beda, tapi sekaligus mensyaratkan spesialisasiyang tinggi untuk masing-masing tahapan. Long term post conflict peace-building adalah skemakebijakan menyeluruh yang mencakup tahapan-tahapan stabilisasi, rekonstruksi, sustainableeconomy, rule of law dan justice, dan kesejahteraan sosial. Tetapi masing-masing tahapanmenuntut syarat-syarat peran yang berbeda-beda.Salah satu aktor kunci dalam keseluruhan skema di atas adalah Negara. Suplemen makalah inimemusatkan perhatian pada peran negara dengan menggunakan governability (kapasitas untukmemproduksi dan mendelivery political goods) sebagai perspektif.Penekanan pada peran Negara berangkat dari tiga pengandaian dan kenyataan berikut ini.Pertama, secara normatif kewajiban untuk menciptakan keamanan – atau long term peace --adalah inherent dalam fungsi dasar negara. Rasion d’etre dari kehadiran negara, terkait dengan63


fungsi penciptaan keamanan ini. Dengannya, secara hipotetik kemunculan konflik, apalagidalam rautnya sebagai konflik berulang merupakan indikasi yang valid dari kegagalan fungsidasar negara. Sejumlah literatur bahkan menempatkan konflik yang berulang sebagai salah satubagian inti dari komposit indeks dalam mengukur tingkat kekuatan dan kelemahan sebuahNegara.Dalam konteks ini, penekanan pada peran negara dalam skema kebijakan post conflict peacebuildingdapat dibaca sebagai instrumen untuk menormalkan fungsi dasar Negara:mengembalikan alasan bagi kehadiran negara. Hal ini membawa kita pada alasan kedua.Kedua, secara faktual, sejumlah hasil kajian menunjukan, berulangnya konflik merupakan fungsidari lemahnya kapasitas governability dan rendahnya legitimasi negara. Studi-studi telahmengkonfirmasi, weak state, apalagi failed state dan collapse state adalah sumber utama darikonflik dan conflict relapsing di banyak negara. Rotberg misalnya, menegaskan bahwa Negaragagal senantiasa terkait dengan dua sebab yang saling terkait: ketidak-mampuan Negara dalammenyediakan political goods yang merupakan alasan pokok bagi kehadiran Negara. Negaradalam hal ini (a) gagal menyediakan keamanan yang merupakan fungsi monopoli Negara yangnormalnya bisa disediakan melalui kapasitas mencegah invasi asing, mengeliminasi ancamandomestik yang mengancam tatanan sosial, mencegah kriminalitas, dan mengelola perbedaankepentingan di dalam masyarakat tanpa kekuatan koersif. (b) gagal memelihara tata hukumsebagai standar perilaku yang meregulasi interaksi penduduk; (c) gagal memproduksi danmendelivery pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau dan merata; (d) gagalmenyediakan infrastruktur dasar seperti jalan dan sarana komunikasi; (e) gagalmengembangkan sistem keuangan dan perbankan yang stabil; (f) gagal menyediakankesempatan ekonom dan lingkungan bisnis yang kondusif; (g) gagal menyediakan ruang publik(public sphere) yang menjamin hak berpartipasi dan berkompetisi, respek dan menyokonginstitusi politik nasional dan regional, toleran terhadap perbedaan, dan hak-hak dasar sipil danasasi; (h) gagal melakukan pengawasan dan pengaturan atas lingkungan.Indonesia masa kini memang jauh dari kondisi yang digambarkan di atas. Tetapi secara partial,kita tetap menemukannya dalam pengalaman kita. Apalagi jika kita memperhatikan sejumlahkharakteristik dasar dari Negara gagal sebagai berikut: (a) adanya ketegangan, konflik, bahaya,faksionalisme; (b) kekerasan yang mengarah ke perang internal; (c) perang sipil yang dapatberangkat dari perselisihan komunal (suku, agama, dsbnya); (d) ketidak-mampuan mengontrolbatas wilayah atau hilangnya kontrol atas bagian wilayah; (e) kecenderungan regim kekuasaanmemangsa bangsa/ rakyat sendiri; (f) peningkatan angka pertumbuhan kriminalitas yangditandai muncul dan meluasnya geng kriminal yang berkuasa atas kota-kota, penyelundupan,dsbnya, lumpuhnya pihak keamanan, merajelalanya anarki, pengambil-alihan fungsipengamanan oleh orang kuat lokal (warlord); (g) ketidak-mampuan memberikan keamananpada seluruh wilayah; (h) lemah dan cacatnya institusi dimana hampir tidak ditemukan debatdemokratis; (i) terjadinya deprivasi sistem pendidikan dan kesehatan; (j) merajalelanya korupsi;(k) pejabat memperkaya diri dengan dana negara; (l) terjadi kekacauan ekonomi yang berujungpada kelaparan; dan (m) dikuasainya negara oleh kelas atau kelompok terbatas.Ketiga, studi-studi lebih mikro menunjukan konflik yang berulang sering terkait dan sekaligusbersumber dari dalam diri Negara sendiri. Kegagalan Negara dalam menyelesaikan persoalanpersoalanyang terkait dengan representasi dan distribusi, misalnya, terbukti menjadi strukturdisinsentif yang menggerogoti legitimasi Negara. Kondisi ini pada gilirannya, menjadi kondisiobyektif bagi kemunculan kembali konflik di banyak tempat.64


FokusMengalir dari pertimbangan-pertimbangan di atas, suplemen ini mendiskusikan tiga area krusialdimana Negara, termasuk negara di tingkat lokal bisa dan seharusnya memainkan peranannyadalam kerangka pembangunan perdamaian jangka panjang. Ketiga arena tersebut adalahsebagai berikut.Pertama, governability dan legitimasi. Adalah penting bagi Negara pada semua tingkatan untukmeningkatkan kapasitas governability masing-masing. Hal ini dapat dilakukan melaluioperasionalisasi kebijakan yang pertama-tama ditujukan untuk mewujudkan keamanan manusia(human security). Dalam konteks ini, kebijakan penciptaan keamanan sebagai fungsi pokoknegara, perlu digeser dari pendekatan yang menekankan pencapaian keamanan melaluiakumulasi kekuatan dengan keamanan negara sebagai prioritas ke arah pendekatan yangmenekankan pada keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi, dengan keamanan individu danmasyarakat sebagai prioritas. Penyediaan pendidikan, pengurangan kemiskinan dan kebebasandari tekanan politik yang akan membuat individu maupun kelompok harus menjadi prioritaskebijakan dalam kerangka peningkatan kapasitas negara menyediakan keamanan manusia.Hal di atas berarti sekuritisasi berbagai dimensi dan aspek guna menciptakan keamananmanusia harus mendapatkan skala prioritas utama dalam berbagai kebijakan pemerintah,termasuk di daerah. Hal ini dilakukan guna menjawab sumber dari terulangnya konflik.Pembangunan manusia, dengannya, menjadi inti kebijakan ke depan. Ini mencakup – mengikutirumusan UNDP – pembangunan tujuh dimensi keamanan sebagai berikut:1. Keamanan ekonomi (economic security), di mana diperlukan pendapatan dasar daripekerjaan produktif.2. Keamanan pangan (food security), di mana setiap orang pada setiap kesempatanmemiliki akses (baik kesehatan dan ekonomi) terhadap pangan dasar.3. Keamanan kesehatan (health security), di mana setiap orang harus dijaminkesehatannya dan akses untuk menuju sehat.4. Keamanan lingkungan, di mana kesehatan dan ketertiban serta keamanan lingkungansecara fisik.5. Keamanan individu, di mana pengurangan ancaman individu dari tindakan kejahatan.6. Keamanan komunitas, di mana setiap orang harus dapat menikmati keamanan melaluikeanggotaan dalam suatu kelompok.7. Keamanan politis, di mana setiap orang dijaminnya kehidupan dalam masyarakat yangmenghargai hak asasi manusia.Konsekwensi dari hal di atas sangat jelas, perhatian utama kebijakan dalam kerangkakeamanan Indonesia ke depan justru diarahkan untuk: (a) menjamin keselamatan dan perluasankebebasan individu dan masyarakat. (b) dirancang untuk perlindungan individu dan masyarakatdari ancaman bahaya. (c) menekankan pada individu dan komunitas, bukan kepada negara. (d)dan berada dalam kerangka global hak asasi manusia (HAM).Pada saat yang bersamaan juga perlu ditingkat kapasitas distribusi Negara yang digambarkanmelalui pembangunan akses masyarakat yang semakin besar pada sumber-daya nasional.Dalam konteks ini, pembangunan infrastruktur fisik yang diikuti oleh kehadiran Negara secaralebih kongkrit dalam melayani masyarakat menjadi dua kunci pokok. Hal ini dimaksudkan untukmemperpendek “orbitasi” masyarakat ke public affairs. Dan dengannya, separoh dari persoalandistribusi dapat dipecahkan. Fakta dari berbagai daerah memastikan, isolasi – fisik yangberakibat pada isolasi sosial, kultural, dan psikologis – telah menjadi salah satu sebab pokok65


dibalik ketimpangan antar kawasan dan kelompok. Hal ini, pada gilirannya, menjadi dasarstruktural bagi terjadi konflik berulang. Karenanya, pengembangan infrastruktur akan menjadisebagian dari jawaban. Tetapi distribusi juga berkaitan dengan metode kerja. Metode kerja yangmenekankan pada pendekatan birokratik, telah berakibat pada pengabaian akses cukup banyakwarga masyarakat. Karenanya, metode kerja semacam ini perlu dipertukarkan dengan metodeyang lebih mampu membawa semakin banyak kelompok dan individu ke dalam public affairs.Governance – metode kerja yang menekankan pada keterlibatan multi-actors dalam mengelolapublic affairs menjadi penting dikembangkan. Urusan-urusan public bukan lagi menjadipersoalan pemerintah dalam pengertian lama, tapi menjadi urusan “semua pihak yangberkepntingan”. Ini membawa kita pada kebutuhan kedua, yakni perancangan balikkelembagaan.Kedua, Institutional Design. Perancangan kembali kelembagaan sehingga mampu mengadopsipluralisme yang ada dalam masyarakat. Kelembagaan dan prosedur kelembagaan perlu ditatakembali guna mampu menjawab sumber-sumber konflik. Penataan kelembagaan menyangkutdua dimensi penting. Pertama, dimensi politik dimana penataan kelembagaan dimaksudkanuntuk menjawab persoalan representasi yang selalu menjadi persoalan pokok dalam politikIndonesia. Kedua, dimensi teknokrasi yang terkait dengan kapasitas operasional-organisasionaluntuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan.Dalam dimensi politik, penataan kelembagaan dapat dilakukan antara lain melalui (a) perubahanstruktur dan sistem rekrutmen kelembagaan pengambilan keputusan yang lebih memberikanruang bagi adanya “engagement” – pelibatan – aneka kekuatan dalam setiap proses policysecara lebih luas. (b) Penataan sistem rerutmen ke dalam birokrasi dimana prinsip-prinsipmeritokrasi plus dapat digunakan sebagai acuan. Sistem ini mengkombinasikan prinsipimpartialitas menurut perpektif Weberian, tapi pada saat yang bersamaan dibarengi denganjaminan bagi terpenuhi prinsip-prinsip representasi. Hal ini menjadi kunci penting karena tidakjarang, salah satu sebab penting di balik muncul dan berulangnya konflik, justru karena adaperasaan kolektif diperlakukan secara tidak adil. Metode rekrutmen tradisional berbasis modelWeberian mengandung resiko – bertentangan dengan cara kerjanya – melahirkan watak partialdari birokrasi. Kasus konflik Ambon dimana seluruh jaringan birokrasi menjadi bagian dariproses konflik komunal adalah penggambaran dari hal ini.Sementara untuk dimensi teknokrasi, (a) peningkatan kapasitas deteksi dini dan responsifbureaucracy melalui penataan sistem data, dsbnya; (b) peningkatan kapasitas produksi barangbarangpublic dasar – kesehatan, pendidikan, utamanya – di masing-masing level pemerintahanyang diikuti oleh peningkatan kapasitas delivery – tersedianya sarana dan prasarana yangmemadai – adalah kunci-kunci rancangan kelembagaan baru birokrasi dan pemerintahan kedepan. Fakta dari berbagai daerah menunjukan, terjadi kelangkaan yang sangat serius barangbarangpublic seperti kesehatan dan pendidikan. Pada saat bersamaan, sering terjadikonsentrasi berlebihan dari barang-barang sejenis di kawasan atau komunitas tertentu.Peningkatan kapasitas porduksi dan sekaligus distribusi ini harus menjadi perhatian seriusdaerah-daerah sebagai bagian dari long term peace building.Keempat, Management. Hal ini terkait dengan reformasi tata cara pengelolaan pemerintahan.Tata kelola perlu digeser dari konsepsi klasik government yang menekankan hak ekslusifpemerintah dalam mengelola kepentingan public ke konsepsi governance yang menempatkanpemerintah hanya salah satu dari multi-actors yang terlibat dalam urusan public. Dengandemikian, manajemen pemerintahan yang bersifat top-down dengan hirarkhi dimana instruksimenjadi sarana komunikasi perlu diperlunak dengan struktur manajerial yang bersifat datar,dengan networking sebagai prinsip kerja dan dialog sebagai dasar komunikasi multi-arah.66


Governance, karena melibatkan semakin banyak aktor, perlu diikuti oleh pengembangan danimplementasi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsifitas, di samping prinsip-prinsipklasik efisiensi dan afektivitas.***67


Daftar BacaanBartrand, Jacques, (2002), ”Legacies of the Authoritarian Past: Religious Violence in Indonesia’sMollucan Islands”, Pacific Affairs, Vol. 71, No. 1, Spring.Collier, P and A. Hoffler, (1998) “On Economic Causes of Civil War”, Oxford Economic Papers.Dibb, Paul and Peter Prince, (2001), “Indonesia’s Grim Outlook”, Orbis, Fall.Emmerson, Donald K., (2000), “Will Indonesia Survive?”, Foreign Affairs, Mei/ Juni.Goldstone, Jack, (1991), Revolution and Rebellion in the Early Modern World, Berkeley: University ofCalifornia Press.Hadi, Syamsul, Andi Widjajanto, dkk, (2007), Disintegrasi Pasca Orde Baru. Negara, Konflik Lokal danDinamika Internasional, Jakarta: CIRwS-UI-Obor.Junus Aditjondro, George, (2001), “Guns, Pamphlets and Handie-Talkies: How the Military Exploited LocalEthno-Religious Tensions in Maluku to Preserve Their Political and Economic Privileges” dalamIngrid Wessel and Gerogria Wimhofer (eds.), Violence in Indonesia, Hamburg: Abera.Lay, Cornelis, (2006), “Disintegrating Indonesia”, Makalah disampaikan dalam Kongres Persatuan danKesatuan Alumni GMNI, Jakarta, 24-26 Maret.Lay, Cornelis, dkk., (2007), Mendaur Ulang Birokrasi Kota Ambon, Makasar: Sofie.Malik, Ichsan, dkk., (2007). Belajar Mengelola Konflik. Jakarta. Institut Titian PerdamaianMigdal, J., (1988), Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capability in theThird World, Princeton, NJ.: Princeton University Press.Poligny, Bĕatrice, (2004), “Civil Society and Post-Conflict Peacebuilding: Ambiguities of InternationalPrograms Aimed at Building ‘New Societies’”, Paper, disampaikan dalam Konferensi “Post-ConflictPeacebuilding: How to Gain Sustainable Peace?”, diselenggarakan oleh ASIS-FES, Geneva, 11 –14 Oktober.Pratikno, dkk., ”Democratik Governance”, (2005), Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, No. 3,Maret, UGM, Yogyakarta.Roberg, Robert I, (2002), “The New Nature of Nation-State Failure”, The Washington Quaterly, Vol 25, No.3, Summer.----------, (2003), “Nation-state Failure: A Recurring Phenomenon?”, discussion paper, November.-----------, (2003), “The Failure and Collapse of Nation-States: Breakdown, Prevention, and Repair’ dalamRobert I. Rotberg (ed.), When State Fail, PUP.-----------, (2004), “Failed State, Collapse States, Weak State: Causes and Indicators” dalam Robert I.Rotberg (ed.), State Failure and State Weakness in Time of Terror, PUP.----------, (ed.), (2004), “The Failure and Collapse of Nation-States: Breakdown, Prevention, and Repair,”dalam Why States Fail: Causes and Consequences, Princeton: Pinceton University Press.Samadhi, Willy Purnama dan Nicolaas Warouw (eds.), <strong>2009</strong>, Building-Democracy on The Sand, PCDPress dan Demos, Yogyakarta-Jakarta.Santico, Carlos (2002), “Promoting Democratic Governance and Preventing the Recurrence of Conflict:The Role of the United Nations Development Porgramme in Post Conflict Peace-building,” theJournal of Latin American Studies.Schwarz, Rolf, (2004), “Post-Conflict Peace Building: How to Gain Sustainable Peace? Leassons Learntand Future Challenges”, Geneva, FES Coference Report, 11 – 14 Oktober.Sisk, Timothy and Paul Risley, (2005), “Democracy and Peacebuilding at the Local Level: LessonLearned”, A Report of the Program in Democracy and Conflict Management, (Working Draft), Idea,13 Juni.Tamagola, Thamrin, (2006), Republik Kapling, Yogyakarta: Resist Book.Tschirgi, Neclă, (2004) ”Post-Conflict Peacebuilding Revisited: Achievements, Limitations, Challenges,Makalah dipersiapkan untuk The WSP International/ IPA Peace-building Forum Conference, NewYork 7 Oktober.UNDP, (1994), Human Development Report:van Klinken, Gerry, (2007), Perang Kota Kecil. Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia,Jakarta: Obor-KITLV.van Klinken, Gerry, (2001), “The Maluku Wars: Bringing Society Back in”, Indonesia, No. 71.Wanandi, Jusuf, (2002), “Indonesia: A Failed State?”, The Washington Quarterly, Vol. 25, No. 3, Summer.Zartman, William (ed), (1997), Governance as Conflict Management, Politics and Violence in West Africa,,Washington DC: Brookings Institution Press.68


Militer, MOOTW dan “Peacebuilding”Oleh : Riefqi MunaProloguePengetahuan bagi masyarakat sipil mengenai peran berbagai aktor dalam peacebuildingmerupakan aspek yang mendasar untuk mendorong terciptanya perdamaian yang berlanjut diwilayah-wilayah konflik. Semua pihak di dalam suatu negara memiliki peran dan tanggungjawabuntuk menciptakan perdamaian tersebut dan dapat diujudkan ke dalam berbagai bentukketerlibatan untuk peacebuilding. Dalam konteks itu, paper ini bertujuan untuk memberikanpengantar secara umum mengenai peran tentara untuk tugas non-perang (Military OperationsOther than War-MOOTW) atau OMSP (operasi militer selain perang) dalam kontekspeacebuilding di tanah air. Dengan menyatakan tugas peacebuilding di tanah air, maka tugas,operasi atau misi militer tersebut merupakan tugas tentara dalam batas politik dan kedaulatannegara Republik Indonesia. Tentulah, mengingat bahwa tentara merupakan alat negara yangdiberi kewenangan untuk memiliki keahlian dan kemampuan untuk menggunakan elemenkekerasan teresebut, maka memerlukan berbagai prosedur da pengaturan untuk menjamintercapainya tujuan peacebuilding.Mengingat bahwa perkembangan mengenai penggunaan tentara untuk misi non-militer tersebutmerupakan kecenderungan global, maka paper ini juga akan melihat perkembangan padatingkat internasional. Paper ini juga mengedepankan konsep PSO (Peace Support Oparations)sebagai penyerta bagi MOOTW agar penggunaan istilah menjadi lebih fokus. Hal ini untukmemberikan landasan pemikiran agar persoalan OMSP tersebtut dapat diletakkan ke dalamkerangkan majemen pengelolaan alat pertahanan secara bertanggunggugat di dalam sistempolitik yang demokratis.Oleh karena tingkat sensitivitas mengenai tugas militer, maka klarifikasi atas tugas tersebutdiperlukan agar tidak terjadi kesalahpahaman baik secara normatif konseptual, semantik,maupun pada tingkat operasional. Persoalan peran militer di dalam OMSP sangatlah sensitifdan memerlukan pemahaman para pihak dalam upaya mewujudkan kedamaian, yaitu pihakmiliter, otoritas politik (pusat dan daerah) serta mayarakat secara umum. Pembahasan paper inimempertahatikan perkembangan yang terjadi di tingkat internasional dan memadukannyadengan realitas kondisi dalam negeri, terutama dalam kaitannya dengan upaya melakukanpeacebuilding pada situasi paska-konflik. Hal ini penting mengingat bahwa di dalampenggunaan militer untuk urusan dalam negeri semua ngera tidak bisa melepaskan dari normanormainternasional yang berlaku atau yang sedang berkembang terutama dari pengalamanPerserkatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam melakukan operasi perdamaian dan kemanusiaan.Keberadaan dan Tugas Utama TentaraKeberadaan tentara bagi suatu negara adalah suatu keniscayaan tidaklah perlu untukdipertanyakan keberadaannya. Semua negara di dunia dari yang besar sampai yang kecilmemiliki tentara untuk pertahanan dan keamanan nasionalnya. Namun, mengingat bahwatentara adalah alat negara yang secara khusus dilatih dan memiliki monopoli untukmenggunakan instrumen kekerasan yang destruktif, maka keberadaannya perlu dikelola dan69


dikontrol dengan prinsip-prinsip dan tatanan hubungan sipil-militer yang demokratis. 51 Dengandemikian membangun kemampuan militer untuk tujuan utama, yaitu pertahanan dapat tercapaisecara efektif, dan segala bentuk biaya yang diperlukan dalam pengelolaan tersebut dapatdipertangungjawabkan.Secara spesifik tentara di manapun di dunia memiliki tugas utama, yaitu mempertahankankedaulatan, melindungi integritas teritorial serta perlindungan terhadap warga negara. Olehkarena itu pertanyaan klasiknya adalah apakah tentara hanya bertugas untuk / danmemenangkan perang? Tentunya, jawaban bahwa tentara hanyalah bertugas untukmemenangkan peperangan menjadikan keberadaa tentara tersebut absurd, terutama jika suatunegara tidak tidak memiliki ancaman militer eksternal secara langsung, maka, apakahpengembangan kekuatan militer tersebut layak untuk dipertahankan? 52Melihat kepada kecenderungan yang terjadi di tingkat global dalam dua dasawarsa terakhirmenunjujkan bahwa MOOTW, atau yang sering disebut oleh negara-negara Eropa dalam hal iniNATO, sebagai operasi perbantuan untuk perdamaian (peace support operations). 53 Munculnyaberbagai keadaan darurat yang kompleks (complex emergency situation) ataupun krisis politikdan konflik internal di berbagai wilayah, seperti pernah terjadi di Balkan, telah memberikankonsekuensi bahwa militer NATO tidak bisa begitu saja membiarkan kemampuan teknis yangdimiliki untuk tidak digunakan secara maksimal untuk perbantuan untuk perdamaian atupunbentuan keamanusiaan.Setiap negara memiliki kebijakan mengenai politik luar negeri dalam negeri, serta kebijakanmengenai pertahanan dan keamanan yang kesemuanya bertujuan untuk melakukanmempertahankan kedaulatan, menjaga integritas teritorial dan perlindungan warga negara darisuatu ancaman. Dalam derajat tertentu, militer dapat digunakan sebagai instrumen di dalamupaya mencapai tujuan kebijakan-kebijakan tersebut sejauh memenuhi kriteria, norma danaturan pengelolaan secara demokratis. Dalam konteks demikian, tentara dapat menerima tugasdari otoritas politik untuk melakukan tugas non-tempur (non-combat) guna melaksanakan tugastugasnon-perang untuk mendukung pembangunan perdamaian pada suatu wilayah pascakonflik.Sebagai alat negara, maka untuk memberikan pelayanan publik dan kepentingan nasional,dalam perkembangannya tentara ditugaskan untuk berbagai tugas baik untuk tujuan militer(memenangkan peperangan) maupun untuk tugas-tugas lain sesuai dengan kepentinganegara, 54 dalam hal ini MOOTW atau PSO. Dalam banyak kasus, bagi negara yang mengalamiproblema-problema di dalam penegagakan hukum serta lemahnya kekuatan polisi, terdapatkecenderungan dari para politisi untuk melibatkan tentara untuk penanganan masalah tersebut.Tentara secara khusus dipersiapkan untuk menggunakan kekerasan yang mematikan untukmenghadapi musuh, dan mereka tidak secara khusus dipersiapkan untuk tugas-tugas nonmiliter.Oleh karena itu penggunaan militer seperti untuk tugas kepolisian / keamanan dalam51 Lihat antara lain: Giuseppe Caforio (ed.), The Sociology of the Military, Cheltenham: An Elgar Reference Collection,1998, hal. Xiii-xxvi; Michael Desch, Civilian Control of the Military: The Changing Security Environment, Baltimore:John Hopkins University Press, 1999; Hans Born, “Democratic Control of the Armed Forces: Relevance, Issues andResearch Agenda”, in Giuseppe Caforio (ed.), Handbook of the Sociology of the Military, New York, SpringerPublishers, 2006, hal. 151-165.52 Lihat David Chuter, Defence Transformation: A Short Guide to the Issue, Pretoria: <strong>Institute</strong> for Security Studies,2000. 11-12.53 NATO Handbook, hal: 143-165; JWP-3-50, The Military Contribution to Peace Support Operations, Shrivenham:JDCC, 2004.54 Laura R. Cleary, “Political Direction: The Essence of Democratic, Civil and Civilian Control”, dalam Laura R Cleary& Teri McConville (eds.), Managing Defence in a Democracy. Abingdon: Roudledge, 2006, hal. 42-43.70


negeri tanpa kontrol dapat memberikan dampak buruk seperti meremehkan aparat penegakhukum serta sistem hukum secara lebih luas. 55Oleh karena itu, pertentangan terjadi secara substansial di dalam pengembangan kekuatamiliter apakah militer itu hanya diberikan training untuk perang, ataukan mereka perlu jugadipersiapkan untuk misi-misi non perang. Persiapan militer untuk tugas-tugas non-perang akanmemerlukan trainning tambahan dalam bentuk yang lain, dan konsekuansinya terjadi perluasankemampuan teknis dan peran.MOOTW dan PSOMelihat kepada subyek kajian yang dilakukan saat ini, yaitu melakukan drafting untuk ManualPeacebuilding, maka disini akan dibedakan antara MOOTW dan PSO. Dalam hal ini, MOOTWbersifat lebih luas, sedangkan PSO lebih spesifik berkaitan dengan peacebuilding, dan olehkarena itu, di dalam konteks ini, akan lebih cocok untuk mengedepankan paradigmapenggunaan militer untuk operasi perdamaian daripada sekedar MOOTW yang terlalu luas itu.MOOTWKonsep MOOTW / OMSP telah secara resmi diterima oleh Indonesia sebagaimana tertuang didalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 3/2002 tentang Pertahahanan Negara, serta UUNo. 34/2004 tentang TNI Pasal 7 ayat (2) yang meliputi 14 poin. Dalam tugas perdamaianOOTW tersbut memuat tugas untuk perdamaian dunia dalam konteks tugas perdamaia PBBsesuai kebijakan politik luar negeri RI. Namun demikian, penggunaan militer untuk OOTW didalam konteks peacebuilding di dalam negeri tidaklah tersirat disebutkan. Namun demikian UUTNI Pasal 7 ayat (2). 10 menyatakan bahwa TNI “membantu kepolisian Negara RepublikIndonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undangundang”;dan ayat (2). 12 menyatakan “membantu menanggulangi akibat bencana alam,pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan”. Dengan demikian, mengenai tugas militeruntuk MOOTW ini masih bersifat luas dan memerlukan petunjuk pekaksanaan yang lebih teknisagar tugas tersebut dapat dilakukan secara tepat dan benar.Seperti disebutkan didalam penjelesan konsep di atas, MOOTW memiliki perbedaan yangmendasar dengan tugas militer untuk perang. Berkaitan dengan MOOTW maka di sini akandisampaikan beberapa aspek yaitu tujuan, prinsip-prinsip, jenis-jenis operasi serta aspekperencanaan. Ketika elemen negara/pemerintahan yang ada tidak dapat menyelesaikanpersoalan untuk menghadapi suatu kondisi untuk mempertahankan kepentingan nasional,terutama di dalam adanya serangan bersenjata dari pihak luar, maka negara menggunakantentara untuk menghadapi lawan dalam bentuk perang. 56Namun demikian, di dalam tingkatan krisis yang lebih rendah ataupun konflik berintensitasrendah, MOOTW dapat berfungsi untuk deteren, penyelesaian konflik, mendorong perdamaianserta membantu otoritas sipil untuk merespons krisis domestik. Dalam konteks ini, MOOTWkemungkinan menggunakan elemen tempur maupun non-tempur di dalam konteks damaimaupun konflik (namun bukan perang) serta kondisi emerjensi tertentu. Melihat keadakonteksnya, maka MOOTW lebih kompleks dan sensitive jika dibandingkan dengan operasi55 Laura R. Cleary, Ibid.56 “Overview of MOOTW, Briefing Script,” Link: http://www.dtic.mil/doctrine/jrm/mootw.doc. (Accessed: 1 February<strong>2009</strong>)71


perang, sebab di dalam tugas ini militer bukan merupakan aktor utama, namun berkaitandengan aktor-aktor yang lain terutama otiritas dan instrument sipil terkait seperti polisi, NGOmaupun masyarakat secara umum. 57Peace Support Operations (PSO)Sebagaimana MOOTW, PSO bukanlah operasi untuk perang dan secara khusus dipersiapkanuntuk membantu otoritas sipil untuk manciptakan suasana damai dalam berbagai tingkatankonflik baik itu saat eskalasi, saat munculnya kekerasan, maupun setelah meredanyakekerasan. Di sinilah relavansi penggunaan militer untuk tugas peacebuilding. PSO itu sendiridapat berupa suatu tugas militer dalam berbagai konteks atas berbagai spketrum yaitu: 58 coflictprevention, peacemaking, peacebuilding, humanitaran operations, peacekeeping, sampai kepeace enforcement.PSO ditujukan untuk menciptakan dan melestarikan kondisi-kondisi yang diperlukan untukmendorong tumbuhnya perdamaian (to create and sustain the conditions necessary for peace toflourish”. 59 Oleh karena itu PSO memerlukan suatu pemahaman atas kompleksitas persoalanyang saling terkait di dalam dinamika suatu konflik di dalam konteks politik, sosial dan budayatertentu. Hal ini diletakkan karna konteks PSO bukanlah perang, sebab perang tujuan utamanyaadalah memenangkan pertempuran dengan kekuatan senjata serta manouvre perang untukmelumpuhkan lawan.ooooooooTable 1Perbedaan Tugas Militer untuk Perang dan PSO 60PerangKonflik /PSOPertempuran bersenjatao Tugas tidak untuk bertempurMusuh yang pastio Tidak ada musuhAturan-aturan yang tegaso Tidak ada aturan tegasPenggunaan kekuatan yang tak terbatas o Penggunaan kekuatan terbatasDoktrin kesatuano Misi berpengaruh kepada individuTujuan militer yang jelaso Komponen sipil yang lebih banyakPersiapan/Training yang lengkapo Mediasi dan negosiasiPerang untuk memenangkan pertempuran. o Keterbatasan danaTabel 1 di atas memberikan gambaran secara jelas bahwa karakter tugas, misi, tujuan,persiapan dan operasional di lapangan jauh berbeda dengan tugas perang. Dari sisi operasi,tujuan perang untuk memenangkan perang secepat-cepatnya tentu/dapat menggunakankekuatan bersenjata secara massif dan mematikan untuk melumpuhkan lawan. Walaupunterdapat hukum perang yang mengatur dan prinsip just-war yang harus ditaati, namun iaberskala tidak terhingga sejauh seara strategis diperlukan dan negara memiliki kemampuanyang diperlukan. Sedangkan di dalam PSO, operasi militer tersebut merupakan operasi politikyang tdak mengenal musuh, tidak ada aturan (misal: Rules of Engagement) yang tegas sebabkasus perkasus beda sifatya karna perbedaan faktor sosial budaya, militer merupakan bagian57 “Overview of MOOTW, Briefing Script,” Link: http://www.dtic.mil/doctrine/jrm/mootw.doc. (Accessed: 1 February<strong>2009</strong>)58 NATO, Education and Training for Peace Operations. NATO UNCLASSIFIED, NATO Standardization Agency,2005. p. 1-2.59Margareth E Schaalch, Planning for Peace Operations: The Relevancy of Center of Gravity. Web:www.globalsecurity.org/military/library/report/1997/Schalch.htm (Accessed: 2 February <strong>2009</strong>)60John Derick Osman, The Role of Military in Peace Operations, Honolulu: CEDMHA. www.coedmha.org/PKO/Korea2003/plenary/day1/3RoleMilitary.ppt(Accessed 2 February <strong>2009</strong>)72


dari komponen besar kelompojk sipil, serta kemungkinan menggunakan cara-cara mediasiataupun negosiasi di dalam pencapaian perdamaian.Dalam konteks demikian, PSO bersifat lebih komleks. Oleh karena itu di dalam PSO melibatkankerjasama dengan pihak sipil atau sering disebut sebagai Civil-Military Cooperation (CIMIC),yaitu mengintegrasikan ataupun mensinergikan antara kapabilitas militer dan sipil ke dalamkebutuhan kolektif kemanusiaan seperti menciptakan perdamaian ataupun bantaunkemanusiaan. Di dalam suatu CIMIC, militer dan komponen sipil secara bersama memiliki tujuanjangka panjanag bersama dalam menciptakan keamanan manusia (human security) danmengembangkan kondisi-kondisi di dalam masyarakat yang mengalami konflik untuk dapatkembali kepada perdamaian secara stabil dan dapat melakukan pembangunan progresskemanusian seara damai. 61Jika di dalam perang diselimuti dengan manouvre serangan yang bersifat rahasia danmematikan tanpa adanya fleksibilitas di dalam kancah operasi kecuali untuk memenangkanperang, maka suatu tugas PSO memerlukan kelenturan/flexibilitas multi pihak yang terlibat didalam upaya membangun perdamaian. Unsur “human” (kemanusiaan) yang secara alamiahberada dalam budaya masing-masing memerlukan pemahanan yang memadai untuk suksesnyasuatu PSO. Transisi dari konflik ke damai memerlukan cara-cara dialogis seperti “winning theheart and minds of the people”. Militer yang disiapkan untuk PSO memerlukan kemampuansecara psikologis untuk dapat menahan untuk menggunakan kekerasan –political considerationsand the need to work with a wide range of civilian agencies will require that all military actions,and in particular the use of force, are restrained and balanced against the longterm requirementsof peacebuilding. 62Penggunaan kekuatan atau kekerasan di dalam PSO hanya dilakukan dalam keadaan tertentuuntuk pembelaan diri jika terjadi suatu ancaman kekerasan yang mengancam keselamatanindividu masyarakat atau pihak yang terlibat di dalam upaya perdamaian. Perdebatan mengenaipersoalan ini berkait erat dengan doktrin operasi perdamaian PBB. 63Professionalisme Militer dan “Idle-Capacity”Persoalan mengenai profesionalisme militer dan “idle capacity” merupakan aspek yang krusial didalam penggunaan tentara untuk PSO masih merupakan perdebatan. Sebab, jika penggunaanpersonil militer mengurangi kemampuan dan kebutuhan pertahanan pada saat dibutuhkan,maka keamanan nasional dapat terancam jika tiba-tiba suatu negara mengalami krisis. Sepertitelah disinggu di di depan, bahwa perbedaan misi antara perang dan non-perang memilikikonsekuensi yang begitu dalam bagi masing-masing individu tentara di dalam melakukan suatutugas untuk melakukan peacebuilding. Persoalan professionalisme militer untuk murnidipersiapkan untuk berperang serta penggunaan kapasitas tak terpakai untuk operasiperdamaian merupakan persoalan yang serius di dalam perbebatan profesionalisme militer. 6461 Volker Franke, “The peacebuilding dilemma: civil-military cooperation in stability operations”, dalam InternationalJournal of Peace Studies, 22-SEP-2006.62Peace Support Operations, A Working Draft Manual for African Military Practitioners.http://www.iss.co.za/Pubs/Other/PeaceSupportManualMM/Contents.html63 Point to elaborate……..64 Perdebatan mengenai peran baru tentara sering juga dikaitkan dengan istilah “postmodern military”. Untuk itu lihatantara lain: Charles Moskos dan James Burk, “The Postmodern Military”, in James Burk (ed.), The Military in NewTimes: Adapting Armed Forces to Turbulent World. Boulder CO.: Westview Press, 1994, Chapter 6, 141-62; FabrizioBattistelli, “Peacekeeping and the Postmodern Soldiers”, in Armed Forces & Society, Vol. 23, No. 3, Spring 1997, hal.467-484.73


Berkaitan dengan hal ini, kelompok pertama melihat bahwa tentara tidak dibekali untuk tugastugasselain perang dan oleh karena itu keterlibata tentara di dalam tugas-tugas non-perangseperti PSO akan mengurangi konsentrasi profesi dasar tentara di dalam memaksimalkankemampuan perang secara konvensional. Namun demikian, tanpak jelas bahwa berbagaitentara di dunia dari yang maju sampai di negara-negara berkembang, telah terdapatkencenderungan penggunaan militer untuk tugas-tugas PSO dan MOOTW seara umum.Amerika Serikat telah mengeluarkan sejumlah Doktrin dan Field Manual untuk mengantisipasitentara Amerika dan kesatuan-kesatuan terkait untuk MOOTW. Dalam MOOTW militer AStermasuk yang terdepan di dalam melakukan berbagai persiapan perangkaat lunak. Begitu jugapusat pengembangan doktrin militer Inggris telah mempersiapkan piranti lunak untuk PSO. 65Selain itu NATO secara khusus juga mempersiapkan doktrin dan manual untuk PSO sertapersiapan training bagi militer nanggota NATO.Penggunaan tentara untuk PSO telah juga menimbulkan perdebatan tentang hakekat tugastersebut serta perkaitanya dengan standing forces untuk menjaga pertahanan negara yangbersangkutan. Tentara memiliki kapasitas dan keahlian teknis yang dalam konteks tertentudapat diperbantukan kepada otoritas sipil untuk tugas-tugas seperti PSO dan kemanusiaa.Dalam konteks ini, penugasan militer tersebut dalam konteks “idle capacity”, yaitu merupakankapasitas yang tidak dipakai atau tidak dibutuhkan dalam artian keberadaa jumlah pasukanmaupun dalam makana keahlian teknis yang pada saat tersebut tidak sedang dalammenjalankan tugas pertahanan negara. Dalam berbagai kasus pada operasi kemanusian,lembaga-lembaga bentuan kemanusian juga memiliki kecenderungan untuk menggunakankeberadaan militer untuk membantu distribusi logistik bantuan sehingga bisa efisien denganmenggunakan idle capacity militer. 66Dalam konteks Indonesia, sebuah kajian tentang aspek “idle capacity” ini pernah dilakukan olehProPatria sebagai berikut, bahwa:Di tengah ketiadaan ancaman militer dari luar dan terdapatnya Idl capacity yang dimiiki oleh TNI,adalah wajar bila TNI dapat ditugaskan oleh pemerintah untuk melaksanakan tugas perbantuan.Meskipun demikian, hal tersebut hanya dapat dilakukan sejauh:(a) tidak mengurangi kekuatan TNI untuk melaksanakan tugas utamanya;(b) tidak mengurangi atau mematikan kapasitas institusi sipil dan/atau kepolisian negaradalam melaksanakan tugasnya;(c) tidak bersifat permanen; dan(d) hanya dapat dilakukan setelah ada keputusan politik pemerintah. 67The TNI CapabilityIndonesia merupakan negara kepulauan yangat sangat luas dengan ribuan pulau yang tersebardari Sabang sampai Merauke yang meliputi wilayah seluas Eropa. Dengan luas wilayah yangmembentang dari London sampai Moskow ini, tugas dan persiapan TNI untuk melakukanpertahanan mendapatkan tantangan yang begitu besar. Fakta sebagai sebuah negara kepulaianmenuntut kapabilitas TNI untuk dapat menjaga perbatasan yanb begitu terbuka (porous border)65 Misal: JWP-3-50, The Military Contribution to Peace Support Operations, Shrivenham: JDCC, 200466 Larry MInear, Marc Sommers dan Ted van Baarda, NATO and Humanitarian Action in the Kosovo Cricis,Occasional Paper Vo. 36, Thomas J. Watson <strong>Institute</strong> of International Studies, Brown University, 2000.67 Tim Pokja Pro Patria, Tugas Perbantuan Tentara Nasional Indonesia. Naskah Akademik, November 24 – January2005, hal. 1-6.74


yang rawan terhadap resiko pelanggaran wilayah. Di masa damai, resiko tersebut tarutamaberkaitan dengan keamanan transnasional seperti pencurian ikan, kekayaaan alam,penyelundupan, perompak laut dan sebagainya.Melihat kepada keadaan perbatasan maritim dan darat yang selama ini masih belum terurusdengan baik, resiko bagi ancaman nasional lebih disebabkan oleh kriminalitas transnasionalyang semakin meningkat. Selain itu, terdapatnya tiga alur laut kepulauan (ALKI) atau sea-lanesof communications (SLOCs) memberikan kerawanan tersendiri bagi Indonesia. 68 Sementara itupada dimensi pertahanan darat, ribuan pulau yang tersebar terutama yang berpendudukmemerlukan skenario kemampuan TNI untuk memberikan perlindungan pertahanan wilayahdalam spektrum yang luas dan terfregmentasi dari sisi wilayah (space). Kekuatan udara, padasisi lain, meliputi tugas di atas wilayah laut dan darat yang luas itu. Dari sisi skenario konflik,melihat kepada realitas geografi yang merupakan wilayah nasional yang perlu dipertahankandan dilindingi jika suatu resiko mengancam, maka akan memerlukan mobilisasi kemampuanpertahanan yang tidak mudah, termasuk menuntuk kemampuan sirkulasi pasukan ke segenapwilayah tanar air secara massif dan cepat. Di sinilah tantangan kapabilitas yang dihadapi,sebagai negara dengan kemampuan ekonomi dan teknologi yang terbatas, (bahkan bagisebuah negara maju sekalipun) kapabilitas pertahanan yang ada tidak aan pernah mencapaibentuk ataupun kekuatan yang ideal –tidak ada ukuran yang baku. Sebab yang dipelukanadalah kemampuan untuk mengatasi resiko dalam skala apapun secara efektif.Melihat kepada realitas demikian, maka kapabilitas bertahanan nasional tidak bisadiperhitungkan hanya sekedar mengukur secara matematik mengenai organisasi, jumlahpasukan dan peralatan yang dimiliki versus resiko yang dihadapi. Sebab walaupun seluruhanggaran belanja nasional diperuntukkan untuk membangun sistem pertahanan militer, makakekuatan tersebut akan terbagi habis atas space terotori yang ada dan terbengkelainya sektorsektoryang lain. Oleh karena itu, diperlukan dimensi lain (non-militer) di dalam pengelolaanpertahanan, terutama di dalam mengatasi persoalan seperti konflik. Walaupun terjadi gap antarakekuatan secara matematis dari sisi kekuatan pertahananan dari semua angkatan terhadapkekuatan lawan atau suatu kemampuan konflik militer terbuka dalam skala menengah, namunkekuatan pertahanan Indonesia akan lebih disibukkan oleh acaman berintensitas rendah (lowintensityconflict) seperti ancaman transnasional crimes di perbatasan laut dan darat. Dalamkonteks ancaman resiko demikian, maka TNI masih memiliki kekuatan selektif untuk suatu tugasMOOTW.Dalam pada itu, kekuatan TNI, baik itu satuan terpusat maupun komando yang ditempatkansecara tersebar, dari ketiga angkatan dapat digunakan untuk melaksanakan suatu misi selainperang, seperti tugas (mission) untuk tujuan penciptaan perdamaian di wilayah paska konflik.Kegetasan terhadap tugas (mission) dan bukan merupakan fungsi (function) ini penting, sebabtugas utama tentara adalah sebagai alat pertahanan. Dengan fokus kepada tugas (mission)tersebut, maka pekaksanaan operasional untuk mencapai suatu tujuan (terciptanya perdamaian)akan menjadi lebih mudah diukur dan dipertanggungjawabkan secara politik. Kejelasan suatutugas ini penting mengingat pengalaman pada masa lalu (Orde Baru) bahwa tentara telah dapatdigunakana untuk suatu tugas yang meluas dalam payung Dwi Fungsi. Dwi Fungsi telahmemperluas fungi tentara dari pertahanan ke fungsi sosial politik yang secara praktismenjangkau seluruh sektor kehiduoan bernegara. Dengan demikian telat terjadi abuse atau68 Lebih jauh untuk permasalahan berkaitan dengan ALKI dan keamanan maritime lihat: Menyikapi StrategiPerkembangan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dalam Perspektif Keamanan Maritim. Jakarta: Markas BesarAngkatan Laut, 2007.75


pelecehan ataupun penguasaan tentara atas sektor-sektor di luar tentara karna dianggap tidakmampu ataupun alasan stabilitas nasional.Kemudian, jatuhnya kekuasaan Orde Baru, tentara mengalami proses reformasi yang palingtidak dapat dinyatakan berhasil dalam hal: (1) Pemisahan polisi dari Angkatan bersenjata (2).Keluarnya secara formal dari kegiatan politik praktis, (2) Sikap netral di dalam Pemilihan umum.Ketiga pencapaian tersebut berpengaruh secara politik terhadap upaya untuk menfokuskankepada profesionalisme tentara. Namun demikian, perubahan-perubahan pada ranah politiktentara belum dapat dihubungkan secara langsung terhadap kapabilitas pertahanan. Artinya, didalam konteks demikian, telah terjadi berubahan signifikan di dalam konteks politik-militertentara, namun upaya profesionalisme dan peningkatan kapabilitas masih terbatas. Hal inidisebabkan oleh kenyataan bahwa economic recovery sejak terjadi krisis 1997/1998 masihbelum pulih.Namun demikian, dalam konteks peacebuilding di tanah air, keberadaan tentara saat ini dapatdikatakan dalam keadaan yang normal atau bahkan kondusif untuk perdamaian. PersoalanTimor Timur sudah selesai dan Perjanjian Damai Aceh tekah disepakati. Selain itu, konflik diAmbon, Sanggau Ledo dan Poso yang beberapa waktu lalu telah menelan ribuah korban jiwajuga telah menunjukkan suasana yang lebih damai. Walaupun, riak konflik pada skala mikromasih saja terjad oleh karna faktor spoiliers ataupun karna faktor kriminal di tingkat lokal. Hal iniberdampak positif bagi keberadaan TNI yang kapabilitasnya masih terbatas. Dalam catatankedua konflik horizontal di Maluku dan juga Poso, pasukan TNI telah ditugaskan untuk peacemission termasuk dalam skala tertentu melakukan peace enforcement.Untuk melihat kapabilitas militer nasional, berikut ini sekedar informasi mengenai jumlah dansebarannya. Jumlah kekuatan prajurit TNI pada tahun 2007 sebagaimana dilaporkan oleh TheMilitary Balance 2007 69 berjumlah sekitar 302.000 dengan perincian Angkatan Darat (AD)233.000, Angkatan Laut (AL) 45.000, dan Angkatan Udara (AU) 24.000 personel AD terdiri daritiga kelompok kekuatan yaitu (1). Kekuatan Terpusat, yang terdiri dari Komando Kostrad danKopassus. Kostrad berkekuatan 30.000 pasukan dan berada di Pulau Jawa dan Sulawesi.Kopassus berkekuatan 5.300 dengan kedudukan di pulau Jawa. (2). Kekuatan KeWilayahan(TNI-AD) berupa 12 Komando Daerah Militer (Kodam) yang terbagi lagi ke dalam Korem danKodim yang tersebar di seluruh wilayah RI.Dalam asumsi peacebulding tarutama dalam konteks MOOTW / PSO, tentara mengandalkankepada pasukan yang embedded ke dalam kesatuan teritorial serta yang Balakpus (Kostrad,Kopassus, PPRC). Melihat kepada kecenderungan saat ini, maka kekuatan komando teritorial(Kodam dan turunannya) merupakan ujung tombak bagi suatu MOOTW di wilayah Indonesiayang begitu luas. Kekuatan terpusat akan diterjunkan secara bertahap namun hal ini sangattergantung dengan kemampuan secara teknis untuk malakukan sirkulasi pasukan. Sementaraitu pesawat angkut pasukan seperti Hercules C-130 yang saat ini dimiliki oleh TNI masih sangatterbatas.Assessment tentang “Idle Capacity” yang Bisa DigunakanMemperhatikan kepada uraian tentang kapabilitas di atas, maka secara teoritis, “idle capacity”yang dimiliki oleh TNI bersifat dinamis dan kontekstual, karena hal itu berkaitan dengandinamika persoalan keamanan nasional yang dihadapi oleh Indonesia. Melihat kepada69 The Military Balance 2007, London: International <strong>Institute</strong> for Strategic Studies (IISS), 2007, p.35276


kenyataan negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat luas, maka persoalankapasitas logistik terutama sektor transportasi terutama transportasi udara yang cepat sangatdiperlukan yang didukung dengan ketersediaan kapal Angkutan Laut. Hal ini merupakantantangan sendiri untuk suatu penugasan militer di wilayah yang jauh dari kedudukan terpusatyang terkonsentrasi di Jawa. Realitas sebaran ini turut menjadi tantantangan bagi pengirimanpasukan ke suatu wilayah konflik dan disinilah persoalan kepasitas pengiriman yang cepat(quick deployment) menjadi persoalan.Dalam kondisi demikian, terdapat kecenderungan dari pihak militer baik Mabes maupun Dephandengan realias sebaran pasukan TNI terutama Angkatan Darat, maka idle capacity tersebutdapat diperhitungkan pada tiap-tiap daerah berdasarkan sebaran pasukan dalam Kodam-Kodam yang terbagi secara spasial dari Sabang sampai Merauke. Kekuatan dalam Kodam,terlepas dari kontroversi dan oposisi untuk keberlanjutannya, secara historis mereka dapatdiarahkan untuk malakukan PSO/MOOTW dalam konteks peacebuilding. Namun demikian,penulis melihat bahwa untuk ke depan perlu ada penyesuaian secara struktural untuk denganmmpertimbangkan resiko ancaman untuk keamanan nasional. Kekuatan terpusat (Bapakpus)penting, namun di sini sangat tergantung kepada kemampuan sirkulasi pasukan secara teknisdari satu wilayah ke wilayah lain.Selain itu, untuk melakukan analisis ini memerlukan suatu kajian yang lebih serius lagi denganmemperhitungkan berbagai faktor obyektif kekuatan pasukan serta dinamika keadaan di tingkatlokal. Namun demikian, jika melihat kepada pengalaman TNI selama ini di dalam operasiteritorial, kemampuan untuk melakukan MOOTW /PSO sebagian telah dimiliki oleh jajaran TNI.Hal ini dapat diindikasikan dengan adanya pengakuan keberhasilan bagi komponen tentaraIndonesia di dalam berbagai misi pasukan perdamaian PBB. Perlu juga dicatat bahwa persoalanidle-capacity ini tidaklah bersifat statis, namun kondisi itu tergantung kepada kenyataan atasdinamika dan resiko keamanan nasional serta kebutuhan riil untuk keasiagaan militer untukmeresponse keadaan tersebut.Seperti disebutkan dalam berbagai kajian mengenai keterlibatan militer untuk tugas berdamaian,ia lebih memerlukan keahlian non-militer. Walaupun demikian kekuatan militer, tergantungkepada dinamika situasi di lapangan, dapat dipakai sebagai bentuk deterense bagi munculnyakembali konflik dari pihak-pihak yang bertikai, sehingga dalam kondisi tertentu, pemaksaanuntuk perdamaian (peace enforcement) secara terbatas dapat digunakan. Namun demikian,mengingat medan operasi bukanlah peperangan, maka memerlukan suatu assessment yanghati-hati untuk menggunakan kekuatan militer dalam bentuk enforcement secara terbatastersebut, sebab ia tidak boleh melanggar prinsip-prinsip hak hak asasi manusia.Epilogue: Problem tentang Norma-Norma, Etika dan KomandoSecara singkat problem yang dihadapi oleh TNI di dalam MOOTW / PSO darisisi kapasitasteknis bukanlah merupakan persoalan yang krusial. Namun persoalan yang dihadapi berjenjangdari tingkat operasional sampai ke strategis lebih disebabkan oleh terbatasnya aturan-aturan(piranti lunak) yang secara detail dapat mengaturnya termasuk RoE (termasuk) pengaturan legalyang ada seperti batasan weweneng dan konsekuensi-konsekuensi jika terjadi suatupelanggaran.Persolan lain yang dihadapi bukan terletak pada sistem komando militer itu sendiri, namunberkaitan dengan sejauhmana otoritas politik sipil memiliki pemahaman, pengetahuan dankepekaan politik untuk memberikan response ataupun tugas bagi militer untuk malakukan tugas77


MOOTW/PSO. Di sinilah perlunya hubungan sipil-militer yang dinamis antara elit politik yangterkoordinasi dari pusat sampai daerah dengan pihak militer. Dalam sebuah negara dekrasi,orotitas politik merupakan panglima dari penggunaan kekuatan militer termasuk untukdigunakan di dalam MOOTW. Kepekaan orotitas sipil dan berjalannya sistem eary warningsystem yang tidak manipulatif akan menentukan bagi kecekatan otoritas politik sipil melakukankoordinasi dan perintah terhadap militer.Selain itu, persoalan yang perlu ditangani adalah adanya standard operating procedures (SOP)yang baku pada aspek yang berbeda, yang mengatur (1) hubungan atau kendali otoritas politikatau mekanisme kerjasaman sipil-militer (CIMIC) baik pusat maupun daerah dalamhubungannya dengan militer di dalam suatu MOOTW, serta (2) SOP yang mengatur tentangpelibatan, operasi maupun penyiapan tentara untuk MOOTW. Dengan demikian, dalam kontekspeacebuilding, memerlukan ketegasan, kejelasan dam kemempuan administrasi pemerintahanbaik itu pada tingkat pusat dibantu daerah untuk dapat secara efektif mengelola danmengendalikan (komando) suatu tugas perbantuan untuk memaksimalkan tercapainya tujuanterciptanya perdamaian di wilayah paska konflik. Untuk itu, pemerintah memiliki kewajiban untuksecara jelas mempersiapkan suatu aturan dan mekanisme mengenai penggunaan kekuatanmiliter untuk tugas-tugas peacebuilding agar tidak terjadi tumpang tindih peran dan / atautanggungjawab, apalagi persaingan atau konflik antar sektor keamananan seperti anara polisidan tentara, yang sama-sama merupakan alat negara.***78


Reformasi Polri dalam Konteks Manajemen Keamanandan PeacebuildingOleh: Indria SamegoPendahuluanPolri pasca Orde Baru adalah Polri yang berbeda dan berubah dari masa sebelumnya. Bilaselama rejim pembangunan Polri dijadikan sebagai instrumennya, sekarang tidak lagi. Sejak 1April 1999, secara kelembagaan Polri keluar dari Tentara Nasional Indonesia. Sebagaimanaorganisasi kepolisian di Negara-negara demokrasi lainnya, fungsi Polri selanjutnya adalahsebagai alat Negara pemelihara Kamtibnas, penegak hukum, pelindung dan pengayom sertapelayan masyarakat. Sebagai aparatur penegak hukum, maka tidak tepat lagi bila Polri menjadibagian dari sebuah kesatuan yang bertugas mempertahankan Negara, yakni AngkatanBersenjata Republik Indonesia (ABRI). Untuk selanjutnya, organisasi yang dikenal sebagaipengemban Tri Brata 70 ini mesti melakukan berbagai perubahan, mulai dari paradigmaticsampai ke empiric. Terutama bagi anggota Polri di garis terdepan (First Line Supervisor),perubahan tersebut akan secara langsung dirasakan.Sementara publik, akan dengan mudah menilainya, apakah perubahan itu hanya retorika ataukebutuhan dalam tugas. Tanpa semangat itu, nampaknya kepercayaan masyarakat terhadapgagasan mewujudkan Polri yang tangguh dan terpercaya akan tetap menjadi mimpi yang sulitdirealisasikan. Kita berharap betul agar seluruh jajaran Polri, mulai dari Pimpinan Tertinggisampai perwiranya di lapangan dapat secara konsisten melaksanakan fungsi Polri di atas.Termasuk di dalamnya adalah membangun perdamaian (Peace Building) di sejumlah daerahKonflik atau Rawan Konflik yang sangat dikenal di tanah air, yakni Aceh, Maluku, SulawesiTengah, Maluku Utara dan Papua. Lewat Rencana Operasi Kontijensinya yang digelar setiaptahun, Polri berusaha mengantisipasi dan menanggulangi berbagai ancaman kontinjensi yangbersumber pada ideology, politik, ekonomi, social, budaya, keamanan dan bencana alam. Polrimenyadari bahwa dengan mengedepankan kegiatan preemtif, preventif dan penegakan hukumterukur, akan mampu melakukan deteksi dan peringatan dini serta analisis yang lebih akuratmengenai kondisi Kamtibmas yang berkembang. Pada bagian akhir, Polri pun merasa ikutbertanggungjawab terhadap proses rehabilitasinya.Satu dasawarsa sudah kita mendengar jargon “Reformasi menuju Polri yang Profesional”.Belakangan, jargon tadi mendapat tambahan satu kata kunci lagi, yakni “Mandiri dan DipercayaMasyarakat”. Jadi lebih lengkapnya, semangat perubahan dalam tubuh Polri sekarang adalah,“Menuju Reformasi Polri yang Mandiri dan Profesional”. Di bawah kepemimpinan KapolriJenderal Roesmanhadi, semangat tersebut di atas diperkenalkan. Kemudian secara berturutturut,Kapolri penerusnya Jenderal Rusdihardjo, Da’i Bahtiar, Sutanto, dan sekarang JenderalBambang Hendarso Danuri (BHD) mengemban moral public untuk lebih mengoperasionalkan70 Sesuai dengan tuntutan reformasi, Tri Brata pun mendapatkan pemaknaan baru. Bila sebelumnya menggunakanBahasa Sanskerta, sejak arasehan Sespimpol 17-19 Juni 2002 di Lembang dasar dan pedoman moral KepolisianNegara Republik Indonesia ini, dalam Bahasa Indonesia maknanya adalah: 1. Berbakti kepada nusa dan bangsadengan penuh ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Menjunjungtinggi kebenaran, keadilan dankemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD1945.3. Senantiasa melindungi , mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keihlasan untuk mewujudkan keamanandan ketertiban. Lihat, Jenderal Pol (Purn.) Awaloedin Djamin et al, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia:Dari Zaman Kuno sampai sekarang, hlm. 49379


eformasi Polri yang dimaksud. Di bawah kepemimpinannya, Jenderal BHD ingin lebihmempercepat proses reformasi tersebut lewat “Program Kerja Akselerasi Transformasi Polrimenuju Polri yang Mandiri, Profesional dan Dipercaya Masyarakat.”Yang menjadi pertanyaan umum adalah, seberapa jauh hal itu telah dilakukan? Sesuai dengansemangat jaman, apakah peran dan reformasi yang dijalankan Polri mendukung prinsip-prinsipdemokrasi dan diterima secara politik (politically acceptable)? Dalam masyarakat yang kianmenuntut penerapan prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance),barangkali tidak berlebihan bila pertanyaan tersebut dikemukakan. Karena Polri merupakanaparatur Negara, maka pertanggungjawaban akhirnya adalah kepada pemilik kedaulatan, yakniseluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks Good Governance, Polri sudah sewajarnyamenjalankan prinsip-prinsip yang akuntabel, transparan, menghargai kesetaraan, taat hukumdan demokratik. Bila di masa lalu pertanggungan jawab Polri kepada Panglima ABRI dankemudian Penguasa Orde Baru, dapat dimaklumi karena demokrasi yang dimaksud masa ituadalah demokrasi terbatas (Limited Pluralism). Sekarang lain lagi, demokrasi kita sungguhsungguhsesuai dengan konstitusi Indonesia - yang note bene telah diamandemen - yangmengatakan bahwa “Kedaulatan Di Tangan Rakyat, dan dilaksanakan sesuai dengan UUD”,maka sudah selayaknya jika Polri bertanggung jawab kepada segenap stake holder Negarabangsaini. Sebagai bagian dari aparatur Negara yang bertanggung jawab pada masalahkeamanan dan ketertiban masyarakat, keberadaan Polri tidak dibenarkan di luar struktur atausystem yang ada. Demi menjaga efektivitas dan efisiensi pengelolaan keamanan dan ketertibanmasyarakat (Kamtibmas), Polri sudah seharusnya masuk dan menjadi bagian yang takterpisahkan dari sistem keamanan yang dibangun.Untuk itulah maka reformasi Polri menjadi sebuah keniscayaan. Bila sebelumnya Polri menjadibagian dari ABRI dan instrument kekuasaan, sehingga sifat militeristiknya sangat terlihat, kedepan Polri harus berperilaku sipil dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.Demikian juga dalam memecahkan masalah kejahatan, Polri harus professional, tidak bolehrepresif. Selain itu, Polri harus lebih dekat dengan rakyat di dalam melaksanakan misipenegakan hukumnya. Menjunjung tinggi keadilan dan menghormati HAM, merupakanpersyaratan lain yang harus dilakukan Polri dalam mereformasi dirinya. Dengan kata lain, dalammewujudkan misinya, Polri harus mampu membangun citra sebagai pelindung, pengayom,pelayan masyarakat, serta pengabdi bangsa dan Negara. 71Demi mendapatkan gambaran tentang seberapa jauh reformasi Polri telah terjadi danbagaimana peran Polri dalam Pengelolaan Keamanan baik pada tingkat Nasional maupunLokal, tentu diperlukan observasi yang bersifat holistic. Ini semata untuk menghindarkan biastertentu, yang bisa jadi merugikan Polri atau pun masyarakat sendiri. Benar apa yang dikatakanAdrianus Meliala, bahwa kesulitan yang dihadapi Polri dalam menjalankan reformasinya “takselamanya dan juga tak semua masalah tersebut berasal dari lingkungan intern Polri itu sendiri.”72 Banyak factor berada di luar Polri, utamanya soal anggaran buat Polri misalnya, taksemuanya ditentukan oleh Polri sendiri. Dalam system politik yang demokratik, tak saturupiahpun anggaran departemen dan lembaga Negara yang lepas dari pengawasan DPR didalamnya.Berangkat dari asumsi seperti di atas, uraian selanjutnya berusaha menyoroti peran Polri dalampengembangan Keamanan dan Ketertiban Nasional dan Lokal dari berbagai perspektif. Jika71 Reformasi Berkelanjutan: Institusi Kepolisian Republik Indonesia, Bidang Sumber Daya Manusia, Kemitraan, LMUIdan Kepolisian Negara RI, Jakarta, 2006, hlm.772 Lihat tulisannya, Adrianus Meliala, Problema Reformasi Polri, Trio Repro, Jakarta, 2002, hlm. iii80


peran tersebut telah dilaksanakan secara optimal, patut diduga bahwa Polri, baik secaralangsung maupun tidak langsung, telah terlibat dalam menyelesaikan konflik secara bermartabatdan manusiawi, yang pada gilirannya akan membangun perdamaian. Pertama, dasar normativeapa yang menjadikan Polri harus menjalankan peran tersebut. Kedua, bagaimana Polrimengimplementasikan peran ideal di atas, terutama dalam hubungannya dengan menciptakankamtibmas dan memelihara perdamaian di daerah pasca konflik. Kekuatan apa yangmengakibatkan keberhasilan, di satu sisi, dan di sisi lain, factor apa yang menghambatnya.Ketiga, solusi apa yang dapat ditawarkan untuk mengatasi kendala yang dihadapi Polri,terutama jajaran Polri di garis terdepannya.Fungsi Ideal PolriReformasi memberi kesempatan seluas-luasnya kepada kita untuk melakukan pemikiran ulang(rethinking) tentang berbagai aspek kehidupan bernegara. Belajar dari pengalaman sejarahpolitik selama ini, ternyata, jiwa kemerdekaan yang terkandung dalam UUD 1945 belumsepenuhnya dilaksanakan secara optimal. Kedaulatan rakyat yang merupakan pangkal tolakNegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lebih banyak dijadikan retorika ketimbangdilaksanakan. Presiden yang mestinya menjadi kepala cabang kekuasaan Eksekutif, di masalalu justru menjadi pemimpin dari tiga cabang kekuasaan sekaligus: Legislatif, Eksekutif danYudikatif. Demi menciptakan stabilitas politik yang maknanya kelanggengankepemimpinannnya, struktur kekuasaan semacam itu dijadikan landasan utamanya. Checks andBalances antara Eksekutif dan Legislatif, ditafsirkan sebagai membahayakan integrasi nasional.Oleh karenanya dihindari. Untuk memperkuat posisi Eksekutif, Presiden menjadikan Birokrasisipil dan militer sebagai instrument kekuasaannya. Polri, yang mestinya menjadi alat Negara –bukan alat kekuasaan – bersama TNI, diintegrasikan ke dalam ABRI (Angkatan BersenjataRepublik Indonesia) untuk menjadi pilar utama stabilitas politik di dalam negeri. Untuk sekianlama, baik di masa Presiden Sukarno, dan terutama di era Presiden Soeharto, peran ABRI yangdemikian justru dilembagakan. 73Kesempatan untuk menata ulang struktur dan peran lembaga-lembaga Negara agar sesuaidengan UUD 1945 baru dapat dilakukan setelah reformasi politik terjadi. Tiadanya kekuatansentral yang sangat hegemonic, telah memungkinkan bangsa ini menyusun kembali peta jalan(road map) Republik Indonesia, yang selama ini sangat bias pada Pemimpin Besar RevolusiBung Karno atau Bapak Pembangunan Jenderal Besar Soeharto. Bangsa Indonesia selanjutnyaharus menggunakan landasan pokok dalam bernegara secara modern, yakni konstitusi. Bahkan,bila konstitusi pun dianggap perlu diamandemen, bukan lagi menjadi sesuatu yang taboo. Danitulah yang terjadi, lewat empat kali amandemen, kita dalam waktu yang relative cepat, telahmampu melakukan berbagai perubahan langkah dalam bernegara dan berbangsa. Negarabukan lagi institusi yang terlalu perkasa di hadapan rakyatnya. Justru, dengan amandemen itu,kita berkeinginan untuk secara lebih proporsional meletakan keduanya, yakni kekuasaanNegara di satu pihak, dan di pihak lain, adalah kedudukan rakyat Indonesia.Dalam bidang kemananan nasional, perlunya pemikiran ulang itu telah melahirkan sebuahlangkah konkrit yang sangat fundamental. Polri, dikembalikan ke dalam posisinya sebagai alatNegara penegak hukum. Dengan demikian, berbeda dengan masa-masa sebelumnya, Polrisejak April 1999 telah dipisahkan dari TNI, dan diharapkan menjadi lembaga otonom yangmampu diandalkan dalam proses yang belum ada sejarahnya, yakni keniscayaan Negara73 Uraian panjang lebar mengenai Polri di masa lalu, simak tulisan Jenderal Pol (Purn.) Prof. Dr. Awaloedin Djamin etal., Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari zaman Kuno sampai Sekarang, Penerbit PTIK Press, 2006.81


hukum (Rechstaat) bukan Negara kekuasaan (Machstaat). Pengalaman selama inimenunjukkan bahwa kendati secara retorika Indonesia adalah Negara hukum, secara empiric,kita lebih merupakan Negara kekuasaan. Bukan hukum menjadi panglima, melainkankekuasaanlah yang menentukan arah perjalanan Negara-bangsa ini. Polri dewasa inidiharapkan untuk menjadi salah satu kekuatan yang mampu mengemban tugas tersebut, disamping lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Keberhasilan Polri di dalam menegakanhukum akan menjadi salah satu indicator utama dari keberhasilan reformasi. Berangkat darikeinginan tersebut, maka dirumuskanlah sejumlah ketentuan yang diharapkan menjadi dasarPolri dalam melakukan reformasi dirinya.Pertama, pemisahan Polri dari TNI. Dimulai dengan kebijakan pemerintah yang memisahkanPolri dari TNI pada 1 April 1999. Mulai tanggal tersebut, berdasarkan Instruksi Presiden RI,system dan penyelenggaraan pembinanan kekuatan dan operasional Polri dialihkan keDephankam. Untuk kemudian, Inpres ini menjadi titik balik (turning point) dari perubahanparadigma dan praksis Polri ke depan. Lewat reformasi ini, Polri bertekad untuk melakukanperubahan secara menyeluruh menuju Polri yang professional dan mandiri, menjadi alat Negarayang efektif, serta tidak mengabaikan kepentingan masyarakat. Reformasi Polri diharapkanmampu mewujudkan Polri sebagai alat penegak hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsipmasyarakat madani (civil society), yang bercirikan supremasi hukum dan menjunjung tinggi HakAzasi Manusia (HAM).Kedua, Keputusan Presiden RI No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keposian Negara RIlebih melembagakan lagi keberadaan Polri yang lepas dari Departemen Pertahanan RI. Di sanadinyatakan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung dibawahPresiden” (Pasal 2 ayat 1). Keppres ini – yang lahir bersamaan dengan HUT Polri pada 1 Juli2000 - selanjutnya menyatakan juga bahwa untuk masa berikutnya, tidak ada lagi hubunganstructural antara Polri dengan TNI, karena selain dipimpin oleh Kepala Kepolisian NegaraRepublik Indonesia, dalam menjalankan tugasnya Polri harus berkoordinasi dengan KejaksaanAgung dalam urusan yudisial dan Departemen Dalam Negeri dalam urusan ketentraman danketertiban umum. 74Ketiga, untuk lebih memberikan bobot hukum mengenai kedudukan Polri yang baru tersebut,selanjutnya dirumuskanlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) no VI/MPR/2000tentang Pemisahan TNI dan Polri. Dalam Pasal 1 Tap MPR tersebut ditegaskan bahwa “TentaraNasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara kelembagaan terpisahsesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa“Tentara Nasional Indonesia adalah alat Negara yang berperan dalam pertahanan Negara.”Sedangkan “Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat Negara yang berperan dalammemelihara keamanan” (Pasal 2 ayat 2). Untuk lebih memperkuat peran kedua institusi yangsebelumnya pernah menyatu tersebut, MPR kemudian membuat Ketetapan No VII/MPR/2000tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.Khusus mengenai peran Polri dinyatakan dalam Tap MPR tersebut sebagai berikut: “KepolisianNegara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memeliharakeamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, danpelayanan kepada masyarakat.” 75 Mengenai posisi Polri, selanjutnya, dinyatakan dalam salahsatu konsideran Tap MPR tersebut bahwa TNI dan Polri merupakan lembaga yang setara74 Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) Kepres No 89 tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara RI.75 Pasal 6 ayat (1) Tap MPR No VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran KepolisianNegara Republik Indonesia.82


kedudukannya. 76 Oleh karenanya, baik Panglima TNI maupun Kapolri, sama-sama “berada dibawah Presiden” dan “…diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapatpersetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. 77 Yang membedakannya adalah bahwa “AnggotaKepolisian Negara Republik Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan umum”, sementaraTNI tunduk pada peradilan militer. 78 Selain itu, “Presiden dalam menetapkan arah kebijakanKepolisian Negara Republik Indonesia dibantu oleh lembaga kepolisian nasional”. 79 ReformasiPolri selanjutnya ditegaskan dlam UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.Berangkat dari semangat perubahan tersebut di atas, maka Polri berusaha membangunpemahaman empiric tentang aspek fungsi kepolisian universal dan pemahaman sosiologis yangterkait dengan sejarah perjuangan dan budaya bangsa Indonesia. Lewat reformasi pula Polriberupaya menggugah semua pihak untuk ikut berperan serta di dalam upaya mewujudkan Polriyang mampu menjawab tantangan profesi masa depan sesuai tuntutan reformasi.Secara operasional, Polri berusaha melakukan perubahan structural, instrumental dan cultural.Dengan cara itu maka kemandirian Polri harus ditafsirkan sebagai upaya konkrit untukmenjadikan Polri sebagai salah satu pilar Negara dalam mewujudkan masyarakat madani.Aspek structural menyangkut institusi, organisasi, susunan dan kedudukan. Perubahaninstrumental melibatkan perubahan filosofi, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuanfungsi dan iptek. Sementara perubahan cultural memusatkan pada manajemen sumberdaya,manajemen operasional dan system pengawasan masyarakat, yang pada gilirannya akanberakibat pada perubahan tata laku, etika dan budaya pelayanan kepolisian. 80Secara universal, peran polisi dalam masyarakat dirumuskan sebagai penegak hukum (lawenforcement officers), pemelihara ketertiban (order maintenance). Peran tersebut di dalamnyamengandung pula pengertian polisi sebagai pembasmi kejahatan (crime fighters). Namun didalam Negara yang system politiknya otoriter, makna peran polisi sebagai alat penegak hu kumdireduksi menjadi alat kekuasaan. Sebagai akibatnya, keberadaan polisi bukannya dekat danmelindungi masyarakat, melainkan sebaliknya berada jauh dari rakyat, dan justru berhadapandengan rakyatnya. Sementara di Negara demokratis, polisi harus transparan dan bukanmembela kekuasaan. Oleh karenanya pengawasan terhadap lembaga yang memiliki alatkekerasan ini mesti dilakukan oleh rakyat, lewat badan independen yang menjamin transparansidan akuntabilitas.Keempat, perubahan UU No 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Hankamneg RI,dan UU No 28 tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI. Sejalan dengan tuntutan reformasiyang mengedepankan demokratisasi dan penghargaan terhadap HAM, aturan dasar mengenaiPolri pun mengalami perubahan. UU No 2 tahun 2002 mengenai Kepolisian Negara RepublikIndonesia menyebut fungsi Kepolisian sebagai berikut: “Fungsi Kepolisian adalah salah satufungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Kemudiandalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa Pengemban fungsi kepolisian adalah KepolisianNegara Republik Indonesia yang dibantu oleh: a. kepolisian khusus, b. penyidik pegawai negerisipil; dan atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”. Dalam ayat (2) pasal yang76 Menimbang item (g) Tap MPR No VII.MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran KepolisianNegara Republik Indonesia.77 Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3). Tap MPR/2000 tersebut di atas.78 Pasal 3 ayat (4a.) dn Pasal 7 ayat (4) Tap MPR/2000 di atas.79 Pasal 8 ayat (1) Tap MPR/2000, dan penjabaran lebih lanjut dari tugas dan fungsi lembaga ini diatur dalam UU No2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indnesia..80 Uraian lebih lengkap mengenai Reformasi Polri ini dapat dilihat dalam “Reformasi Menuju Polri yang Profesional,Jakarta, Juli 1999.83


ersangkutan dinyatakan bahwa “Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalamayat (1) huruf a,b, dan c, melaksanakan fungsi kepolisian sesuaidengan peraturan perundanganyang menjadi dasar hukumnya masing-masing.”Sementara mengenai tugas pokok kepolisian, rumusannya dapat dilihat dalam Pasal 13 UU No2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia di atas. Di sana dikatakan bahwa Tugaspokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertibanmasyarakat, b. Menegakan hukum; dan c, memberikan perlindungan, pengayoman, danpelayanan kepada masyarakat. Dalam Pasal 14 ayat (1), dalam melaksanakan tugas pokoksebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 di atas, Kepolisian Negara Republik Indonesiabertugas:a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patrol terhadap kegiatan masyarakat danpemerintah sesuai kebutuhan;b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalulintas di jalan;c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakatserta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidikpengawas pegawai negeri sipil. Dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukumacara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensic danpsikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguanketertiban dan /atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan denganmenjunjung tinggi hak azasi manusia;j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansidan/atau pihak yang berwenang;k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugaskepolisian; sertal. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan”Di samping tugas pokok di atas, UU No 2/ tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RepublikIndonesia juga menekankan sejumlah kewenangan Polri sebagai berikut:a. Menerima laporan dan /atau pengaduan”b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertibanumum;c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dankesatuan bangsa;e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrative kepolisianf. Melaksanakan pemeriksan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangkjapencegahan;g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;h. Mengambil sidik jari dan identitas lainna serta memotret seseorang;i. Mencari keterangan dan barang bukti;j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;k. Mengelyarkan surat ijin/atau surat keterangan yang diperlukan dalam ranga pelayananmasyarakat;l. Memberikan bantuan pengawanan dalam siding dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiataninstansi lain, serta kegiatan masyarakat;m. Menerima dan menimpan barang temuan untuk sementara waktu.84


Kemudian, dalam Pasal 2 UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Inmdonesia jugadinyatakan sejumlah kewenangan Polri lainnya, yakni:a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;c. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;d. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;e. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasapengamanan;f. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamananswakarsa dalam bidang teknik kepolisian;g. Melakukan kerjasama dengan kepolisian Negara lain dalam menyidik dan memberantaskejahatan internasional;h. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayahIndonesia dengan koordinasi instansi terkait;i. Mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;j. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.Dalam Pasal 16 UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, ditegaskan pulakewenangan Polri dalam proses pidana, adalah:a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentinganpenyidikan;c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;e. Melakukan pemeriksanan dan penyitaan surat;f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;g. Mendnatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;h. Mengadakan penghentian penyidikan;i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum,;j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempatpemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah ataumenangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana.k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil sertamenerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntutumum;l. Mengadakan tindakan lain menurut yang bertanggungjawab”.Sedemikian rincinya fugsi dan kewenangan Polri seperti di atas, menurut Awaloedin Djamin,menjadikan Polri memiliki tugas mulai dari proses pre-emptif, preventif sampai represif.Keseluruhan fungsi di atas, merupakan fungsi polisi yang bersifat universal. Namun dalamkonteks Indonesia, Polri lebih menekankan pada fungsi preventif daripada represif. 81Untuk menjalankan fungsi preventif di atas, Polri menjadikan UU No 2/2002 sebagai acuanlegalnya yang terbaru. Di samping harus melakukan reformasi secara total dan berkelanjutan,dalam Buku Birunya “Reformasi Menuju Polri yang Profesional” Polri juga “berkomitmen menjadilembaga sipil otonom yang akuntabel terhadap tuntutan masyarakat yang berbasisdemokrasi.” 82 Bagaimana Polri hendak mengoperasionalkan komitmen tersebut, jawabannyadapat ditemui dalam Buku Induk Program Kepolisian dan Pengelolaan Anggaran. Dalam buku81 Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Dr. Awaloedin Djamin MPA, Kedudukan Kepolisian Negara RI dalam SistemKetatanegaraan: Dulu, Kini dan Esok, Jakarta, PTIK Press, 2007, hlm. 54.82 Reformasi Berkelanjutan: Institusi Kepolisian Republik Indonesia Bidang Sumberdaya Manusia, LMUI, Kemitraandan Polri, Jakarta, 2006, hlm. 1.85


tersebut ditentukan bahwa struktur program dalam Subsektor Keamanan terbagi ke dalam tigaprogram utama: 831. Program penguatan Aparatur Negara di Bidang Penegakan Hukum dan HAM.2. Program Pemeliharaan Keamanan Dalam Negeri.3. Program Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.Ketiga program di atas ditujukan untuk mewujudkan 5 (lima) kemampuan Polri, yakni:1. Kemampuan untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dalam kerangkamelaksanakan kemampuan untuk menegakan hukum;2. Kemampuan untuk menegakaan hukun dan mempertahankan hak dasar manusia;3. Kemampuan untuk memelihara keamanan di dalam negeri;4. Kemampuan untuk menciptakan kerjasama internasional5. Kemampuan untuk menerima dukungan masyarakat.Guna mencapai kelima tujuan di atas, ada tiga kegiatan yang mesti dilakukan, yaitu:1. Membangun Kekuatan (Bangkuat). Pembangunan dibidang ini meliputi: aktivitasorganisasi, gelar kekuatan, pola rekrutmen, penampilan Polri berseragam dan tidakberseragam;2. Pembinaan Kekuatan (Binkuat), yang terdiri dari perbaikan kualitas pendidikan polisi,pengembangan karier, desentralisasi otoritas dalam memberikan pelayanan,dekonsentrasi dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, konsolidasi unit, memeliharasoliditas kelembagaan, penyediaan material, prioritas dalam memberikan peralatankomunikasi dan instrument elektronik, kendaraan, memperkuat koperasi danyayasan.3. Kegiatan utama dalam Operasi Polisi. Tugas pre-emptif dan preventif yang ditujukanuntuk memberdayakan dan peranserta masyarakat, mendukung berbagai upayamenegakan aturan daerah, membangun kemitraan, menciptakan rasa aman, ketertiban,kelancaran lalu-lintas,, pelayanan satu atap (Samsat) tindakan persuasive menghadapidemonstran, memperbaiki kemampuan intelijen, penanganan daerah konflik,memperbaiki kemampuan melakukan penyidikan, memberikan perhatian khusus kepadajenis kriminalitas tertentu.Untuk lebih mengoperasionalkan seluruh fungsi ideal di atas, sejak 2005 Polri telah menyusunStrategi Besar (Grand Strategy) 2005-2025, yang ditindaklajuti dengan Rencana Strategisnya,2005-<strong>2009</strong>. Kemudian, di bawah Kepemimpinan Jenderal BHD, disusunlah langkah-langkahAkselerasi Program Kerja Polri berupa “Akselerasi Transformasi Polri Menuju Polri yang Mandiri,Profesional dan Dipercaya Masyarakat.” 84Mengenai akselerasi Grand Strategi Polri 2005-2025, Jenderal BHD membaginya ke dalam 3(tiga) tahap. Tahap I, Trust Building (2005-2010), menekankan pentingnya dukunganmasyarakat dalam mewujudkan keberhasilan tugas-tugas Polri. Tahap II, Partnership Building(2011-2015), merupakan kelanjutan dari Tahap I, di mana perlu dibangun kerjasama yang eratdengan berbagai pihak yang terkait dengan pekerjaaan Polri. Tahap III, Strive for Excellence(2016-2025). Pada Tahap akhir dari Grand Strateginya ini, Polri diharapkan mampu membangunkemampuan pelayanan public yang unggul dan dipercaya masyarakat.Dalam kaitannya dengan upaya mengantisipasi dan menanggulangi ancaman kontinjensi, Polrimelakukan operasi – baik langsung maupun tidak langsung - yang bertujuan mewujudkankembali kehidupan masyarakat yang normal. Bersama-sama dengan komponen masyarakat83 Lihat, Polri: Financial Management Reform, Partnership and Research Report LPEM FEUI, pp 7-1084 Keputusan Pepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, No. Pol:Kep/37/X/2008, tanggal 27 Oktober 2008.86


lainnya, Polri berusaha mengantisipasi, menghilangkan, mengurangi serta mengantisipasisemua bentuk ancaman kontinjensi berupa gejala/peristiwa/kejadian yang tak didugasebelumnya dan berpotensi menimbulkan krisis di tengah masyarakat. Dengan demikian,cakupan kontinjensi ini berskala nasional, di seluruh Indonesia. Terutama dalam hubungannyadengan kontinjensi social politik dan social ekonomi, Polri harus mempersiapkan diri di seluruhwilayah RI. Fenomena Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan juga Pemilu seringberujung pada polarisasi kekuatan dalam masyarakat. Bila tidak disikapi secara lebih dini, tidakmustahil akan menimbulkan gangguan kamtibmas, dan boleh jadi menciptakan konflik horizontaldan vertical di daerah yang bersangkuta. Belakangan, sebagai akibat dari semakinmemburuknya situasi perekonomian global, akan berdampak pula terhadap kondisi keamanannasional. Makin tingginya jumlah pemutusan hubungan kerja dan meningkatnya pencari kerja, disatu pihak, serta lemahnya aktivitas perekonomian di pihak lai, secara lambat tapi pasti akanmenimbulkan gangguan kamtibmas. Bila hal ini tidak diantisipasi secara dini, akan menimbulkanberbagai konflik social. Sementara kontinejensi yang bersifat ideologis, diberlakukan di daerahAceh, Riau, Maluku dan Papua. Sedangkan kontinjensi dalam bidang kesamanan danpertahanan, selain di ke empat daerah di atas, juga di Sumut, DKI, Jabar, Jateng, DIY, Jatim,Kalbar, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Sulsel, Sulut, Maluku Utara, NTT dan Daerah Perbatasan sertaPulau Terluar.Realita dan Akar PenyebabApa yang terungkap dalam uraian di atas, menunjukan sejumlah cita-cita dan harapan yangmesti dilakukan Polri dalam melaksanakan reformasinya. Rasanya tidak ada yang keberatandengan reformasi atau transformasi – istilah yang digunakan Kapolri Jenderal BHD - Polri.Semua mendukung agar Polri sungguh-sungguh mampu mempercepat proses transformasidirinya, dan menggunakan nya sebagai alat penegak hukum yang efektif dan menjadi salah satukekuatan Negara yang mampu diandalkan dalam membangun demokrasi (democratcconsolidation) yang mengedepankan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum. Tanpaadanya kepercayaan dari dan kemitraan dengan masyarakat, mustahil Polri dapatmelaksanakan tugas-tugas ideal di atas. Jangan kan untuk dapat menjalankan fungsinya secarasempurna (excellence), sekedar memenuhi kebutuhan minimal akan rasa aman yang diperlukanmasyarakat, nampaknya juga bukan perkara yang mudah.Sejumlah masalah berikut, patut dijadikan renungan, untuk kemudian dicarikan solusinya agarperubahan yang terjadi dalam tubuh Polri tidak menimbulkan dampak yang tidak produktif(counter productive).Pertama, kecuali dalam urusan crime against terrorism, transformasi Polri berjalan kurangsesuai dengan yang secara ideal diharapkan. Untuk yang disebut terdahulu, pengakuan ataskeberhasilan Polri dalam memerangi kejahatan terorisme, tidak hanya berasal dari dalamnegeri, melainkan juga masyarakat internasional. Dengan dibantu oleh kepolisian Negaranegarasahabat, Polri secara signifikan mampu mengatasi masalah ini, mulai dari Peristiwa BomBali I, II, Marriott dan Kedutaan Besar Australia. Kemudian, bersama dengan elemen kekuatanpemerintah dan masyarakat lainnya, Polri secara terus menerus mendorong terciptanya kondisinormal di sejumlah daerah konflik, seperti NAD, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Ambon danPapua. Sementara yang berhubungan dengan yang disebut kemudian, transformasi Polri,ternyata tidak terlalu mudah untuk diwujudkannya. Sebagaimana diakui kebanyakanmasyarakat, citra Polri pada umumnya masih belum sesuai dengan panduan legal yangdiutarakan sebelumnya. Publik, masih mendapatkan gambaran betapa sulitnya reformasidilakukan. Kalaupun Polri telah mulai melaksanakan reformasi, yang paling menonjol adalah87


dalam bidang structural dan instrumental, sementara reformasi cultural, diakui oleh PimpinanPolri, menjadi bagian yang paling berat dan memerlukan waktu lama untuk membuktikannya.Reformasi struktural yang dimaksud adalah perubahan kelembagaan, organisasi dankedudukan Polri. Berdasarkan panduan dari UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara RepublikIndonesia di atas, Polri telah melaksanakan berbagai penyesuaian agar organisasinya dapatlebih efektif menjawab tantangan jaman. Sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom danpelayan masyarakat, organisasi Polri tidak lagi diarahkan untuk mendukung keberhasilan dibidang pertahanan. Tumpang tindih fungsi sebagaimana terjadi di massa lalu, antara fungsipertahanan dan keamanan, sudah dinetralisir. Akibatnya, pengembangan organisasi Polri telahdisesuaikan dengan misi di atas. Sesuai dengan aturan perundangan yang ada, keberadaanPolri sekarang jauh lebih otonom dan independen di dalam melaksanakan tugasnya.Keberadaannya di bawah Presiden, telah memungkinkannya demikian. Meski banyak pihakyang belum dapat menerima posisi tersebut, Polri harus berjalan berdasarkan aturanperundangan yang ada.Bagi Polri sendiri, posisi yang demikian akan memungkinkannya menjalankan visi dan misinyasecara lebih optimal dibandingkan dimasukkannya Polri di bawah satu department. Sebagai alatNegara yang harus melayani dan melindungi masyarakat, di satu pihak, dan menegakkanhukum di pihak lain, organisasi Polri harus mengakomodasi system yang terintegrasi (integratedsystem), yakni sebagai Kepolisian Nasional. Sementara pengendaliannya dilakukan secarabottom up melalui pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang lebih luas kepadakesatuan kewilayahan, terutama Polres sebagai kesatuan Organisasi Dasar (KOD) dan Polseksebagai ujung tombak operasional. Kemudian wilayah hukum kesatuan kewilayahan Polridisusun menyesuaikan pembagian wilayah pemerintahan daerah dan system peradilan pidanaserta perkembangannya. Organisasi Polri harus hemat struktur , tapi kaya fungsi. Untuk ituharus disusun tanpa birokrasi yang panjang agar dapat menjamin pengambilan keputusan yanglebih tepat dan cepat sehingga masyarakat merasakan dan puas akan pelayanan Polri. Untukmendukung peningkatan pelayanan serta kerjasama, struktur organisasi Polri harus bersifatjaringan, dan tidak selalu pyramidal. 85Sementara reformasi instrumental berupa perumusan aturan perundangan yang dijadikan dasarbagi reformasi Polri secara keseluruhan, yang dijabarkan dalam bentuk visi dan misi sertatujuan, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek. Seperti telah diuraikanterdahulu, UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah dijadikan dasarhukum utama Polri dalam melakukan reformasinya. Berangkat dari aturan perundangantersebut, maka Polri selanjutnya, harus menjadi sebuah organisasi yang kuat landasanhukumnya dan efektif kerjanya. Dalam meningkatkan akuntabilitasnya, dibentuklah sebuahKomisi Kepolisian Nasional yang bertanggung jawab kepada Presiden. Badan ini memiliki tugaspokok yang hanya dikenal dalam system yang demokratis. Di antaranya yang terpenting adalah“membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia,dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentianKapolri. 86Namun harus diakui bahwa keberadaan Kompolnas sejauh ini pun belum cukup optimalmendukung reformasi Polri. Baik dari dalam Kompolnas sendiri maupun dari luar, masihmenyangsikan efektivitas kinerja Kompolnas. Sebagai lembaga yang langsung berada di bawahPresiden, mestinya terlihat sangat aktif dalam memberikan masukan mengenai reformasi Polri85 Buku biru Reformasi Menuju Polri yang Profesional., Jakarta, 2006, hlm. 2186 Pasal 38 ayat (a) dan (b) UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.88


kepada yang dibantunya. Akan tetapi sejauh ini, kecuali pembentukannya, mekanisme kerjayang mencerminkan fungsi di atas, belum dapat diwujudkan secara optimal. Jangankan aktifmemberikan bantuan langsung, keberadaan Kompolnas saja belum disahkan secara resmilewat pelantikan para anggotanya. Kesulitan lain yang dihadapi Kompolnas adalah kesibukandari tiga orang anggotanya yang merupakan ex oficio pejabat tinggi Negara, yakni MenteriKoordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, serta MenteriDalam Negeri. Kemudian, karena posisi resmi sebagai pejabat tinggi Negara di atas, ketigamenteri tersebut dan enam anggota lainnya, akan menghadapi kesulitan untuk bekerja secaralangsung mengumpulkan dan menganalisis data sebagai masukan kepada Presiden. 87Sedangkan reformasi kultural dirasakan paling lambat dilakukan. Aspek kulturalmenggambarkan budaya kepolisian yang akan secara langsung ditanggapi oleh masyarakat,dengan pujian, perasaan puas atau dengan celaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadapsikap dan perilaku polisi. 88 Karena menyangkut nilai (values), perubahannya akan memerlukanwaktu yang tidak cepat. Internalisasi nilai yang telah berlangsung bertahun-tahun, mustahildapat diubah hanya dalam waktu yang singkat. Apalagi jika lingkungan structural Polri tidakkondusif untuk itu, maka skala perubahannya akan makin lama. Makin kompleks masalahmasalahsocial, ekonomi dan politik dihadapi bangsa ini, makin panjang pula proses perubahancultural para anggota Polri.Keluhan banyak kalangan masyarakat terhadap cara-cara anggota Polri dalam menjalankantugas, dianggap tidak mengalami perubahan, dari cara lama yang militeristik represif. Jika yangdihadapi masyarakat sipil, barangkali hanya dikeluhkan lewat surat pembaca atau pengaduanhukum. Namun bila yang kebetulan menjadi korban penyidikan adalah anggotaI TNI,masalahnya menjadi lain. Terjadinya bentrok antar kesatuan Polri dengan TNI yang akhir-akhirini sering muncul dalam pemberitaan di sejumlah daerah, antara lain disebabkan oleh masalahini. Karena terlalu sempitnya kebanggaan korps, solidaritas kelompok menjadi salah arah. Lebihtragisnya lagi, karena keduanya memiliki alat pemaksa yang efektif, maka akibatpenggunaannya bertambah memperihatinkan. Jatuhnya korban di kedua belah pihak, menjadikonsekuensi logisnya. Kasus yang terjadi di Masohi, Maluku Tengah beberapa waktu yang lalu,menjadi salah satu contoh dari penyimpangan semangat kelompok di atas. Khusus untukanggota Polri, peristiwa tersebut dapat dianggap sebagai belum hilangnya budaya militeristikdalam tubuh Polri dalam menghadapi fenomena social yang ada.Perilaku korup - dalam arti penyalahgunaan kekuasaan – juga masih melekat dalam tubuh Polri.Pertama, sebagaimana dilaporkan oleh Transparansi Internasional, dalam penelitiannyadikatakan bahwa Polri menduduki ranking teratas dalam persepsi masyarakat tentang lembagaNegara yang paling korup. Meskipun telah menimbulkan perdebatan di dalam tubuh Polrisendiri, hasil penelitian tersebut mesti menjadi bahan rujukan utama dalam mereformasi dirinya.Sebab, bukannya tidak mungkin bahwa praktik tersebut masih terjadi, karena lemahnyapenegakan hukum di lapangan. Kemudian, masyarakat umum sering menggunjingkan praktiksuap dalam penerimaan anggota Polri, baik di level bintara maupun perwira. Tidak mudah untukmembuktikan hal itu memang. Akan tetapi, sama dengan hasil penelitian TransparansiInternasional di atas, semuanya harus menjadi sumber renungan bagi Pimpinan Polri dalammelakukan perubahan. Persoalan pembuktian hukum, itu urusan kedua, yang terpenting adalahpersepsi public terhadap Polri. Bila persepsinya masih negative, maka citra Polri juga belumberubah dari yang sebelumnya hidup dalam masyarakat.87 ProPatria berulangkali mengadakan pembahasan Kinerja Kompolnas, dan saran diberikan di sana-sini. Namunsampai tulisan ini dibuat, belum terlihat hasilnya.88 Buku Biru , Reformasi Menuju Polri yang Profesional, Jakarta, 2006, hlm. 2589


Ada banyak faktor penyebab yang ikut mempengaruhi efektivitas reformasi Polri. Dalam BukuBirunya, Reformasi Menuju Polri yang Profesional diakui bahwa lingkungan stratejik, baik globalmaupun regional akan sangat mempengaruhi tingkat gangguan keamanan dan ketertibanmasyarakat. Kesadaran politik masyarakat akan demokratisasi dan HAM akan menjadi factorpendorong bagi munculnya berbagai reaksi masyarakat terhadap penyelenggaraan Negara,khususnya distorsi dari tugas-tugas Polri. Sementara dari sisi ekonomi, globalisasi telahmelahirkan masyarakat yang kapitalistik dan universalisasi gaya hidup. Globalisasi tidak pedulidengan kondisi setempat, termasuk keadaan bangsa, dan khususnya anggota Polri. Sebagaiakibatnya, terjadilah kesenjangan yang makin melebar antara tuntutan kepuasan hidup dengansarana yang digunakan untuk memenuhinya. Rendahnya renumerasi anggota Polri di satupihak, dan tingginya biaya hidup, di pihak lain, telah menimbulkan persoalan tersendiri dalamreformasi Polri. Bagaimana mungkin kinerja para anggota Polri bias efektif, bila penghasilanyang diterimanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akibatnya, praktik“business as usual” terus terjadi. Sama dengan aparatur Negara yang lain, kesenjangantersebut telah dijadikan salah satu penyebab dari penyalah gunaan wewenang. Dapat difahamibila terjadi kesenjangan yang menajam antara apa yang seharusnya (das solen) dilakukan olehanggota Polri dengan apa yang sesungguhnya terjadi (das sein).Secara formal harus diakui bahwa Polri tetap berusaha untuk memperbaiki dirinya. Sesuaidengan visi, misi dan tujuan Polri, persoalan sumberdaya manusia dan anggaran menjadi duafactor terpenting dalam mereformasi dirinya.Dimensi strategis dan operasional ditengaraisebagai bagian utama yang harus ditangani persoalannya. Polri berusaha mengembangkankemampuan sumberdayanya secara optimal, baik dari sisi jumlah (personnel) maupunkualitasnya (human capital). Pengembangan dilakukan untuk mencapai rasio yang wajar antarajumlah anggota Polri dengan jumlah penduduk, yakni sekitar 1: 650. Reformasi sumberdayamanusia juga memperhitungkan tuntutan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, aspirasimasyarakat terhadap tugas dan keberadaan Polri, tuntutan masyarakat dalam menghadapiperubahan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Secara operasional, diperhatikanpula program aksinya yang nyata dan terpadu, pola rekrutmen dan seleksi, system pendidikandan pelatihan serta penilaian kinerja, system dan jalur jabatan strategis, serta systemremunerasi anggota Polri. 89 Dengan kata lain, dalam rangka mewujudkan cita-cita membangunPolri yang professional dan membanggakan, perlu diperhatikan 7 W berikut ini, yakni “Wellorganized, Well human resources, Well Managerial, Well Euipment, Well Technology, WellTrained dan Well Budgeting” 90Apabila keperluan dasar untuk membangun Polri yang lebih professional tidak dilakukan, makaperan Polri dalam menegakkan kamtibmas akan tidak optimal. Demikian pula halnya denganpembinaan perdamaian, semuanya sangat tergantung pada seberapa jauh kebutuhanpengembangan sarana di atas dipenuhi. Terutama renumerasi dan kemampuan sumberdayamanusianya, secara minimal sudah seharusnya menjadi agenda Negara untuk memenuhinya.Lewat Community Policing, antara lain, dapat dijadikan jalan tengah untuk meningkatkan peranPolri dalam memelihara perdamaian. Pendekatan para anggota Polri secara dini, manusiawi dantidak memihak dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan akan menjadi jaminan bagipembinaan kepercayaan masyarakat, yang pada gilirannya memelihara kamtibmas danperdamaian.89 Uraian lebih rinci mengenai upaya-upaya akademis untuk memperbaiki kinerja Polri serta persoalan anggarannya,dapat dilihat dalam dua hasil penelitian. Pertama, Reformasi Berkelanjutan Institusi Kepolisian Republik IndonesiaBidang SDM, kerjasama Polri dengan Kemitraan dan LMUI, 2006. Kedua, Polri:Financial Management Reform,Research Report LPEM FEUI, Kerja sama Polri dengan Kemitraan.90 Ke enam well, di luar well trained penulis dapatkan dari Secapa Polri lewat uraian Kepala Sekolahnya, BrigjenDrs.M Ibrahim SH, MH yang dikirimkan kepada penulis.90


PenutupApabila hasil pikiran akademik di atas diikuti, dan aturan perundangan yang menjadi normadasar Polri dipatuhi, sebenarnya persoalan trasformasi Polri hanya tinggal menunggu waktusaja. Semuanya memberikan rumusan normatif yang baik secara etis dan teknis, serta obyektifsecara ilmiah. Sebagai salah satu ujung tombak reformasi, Polri mendapat dukungan moral daribanyak pihak, terutama lembaga asing yang memiliki kepentingan agar perkembangan politik diIndonesia juga kondusif terhadap perkembangan nilai-nilai dalam era “Ujung Sejarah”sebagaimana dikatakan oleh Francis Fukuyama. 91 Karena dunia sekarang sangat diwarnai olehDemokrasi liberal dan pasar bebas, maka nilai-nilai yang tidak bersahabat dengan itu pundianggap akan menghambat perkembangan. Persoalan keamanan dan ketertiban masyarakatdewasa ini pun tidak dapat dilepaskan dari hegemoni nilai di atas. Akibatnya pendekatanrepresif, apalagi yang berbau militer, akan kurang mendapatkan dukungan.Sebagai aparatur Negara yang dipersenjatai, Polri – khususnya anggotanya di garis terdepan -menghadapi perubahan dan tuntutan masyarakat yang demikian. Sistem keamanan kitakedepan, di satu pihak, harus cukup efektif dalam memelihara ketertiban masyarakat, namun dipihak lain, cukup toleran terhadap berbagai kenajemukan dan aspirasi public yang berbeda.Dengan dasar hukum yang jelas dan penyelenggaraan kekuasaan Negara secara baik (goodgovernance), akan membawa Indonesia ke arah perubahan yang diinginkan.Yang tetap menjadi permasalahan empiric adalah bagaimana system penyelenggaraankeamanan tersebut harus dibangun. Apakah secara instrumental dan structural keseluruhanperangkat Negara dibidang ini telah memiliki persepsi yang sama untuk mengembangkannya?Mengandalkan jawaban atas pertanyaan tersebut hanya dengan menggantungkan pada Polrisaja, tentu tidak akan memuaskan dan kurang fair. Sebagai bagian dari sebuah systembernegara pada umumnya, dan keamanan Negara dan masyarakat pada khususnya, Polri tidakmungkin melakukannya sendiri. Sebagai bagian dari sebuah jaringan nasional, Polri perlubekerjasama dengan lembaga pemerintah dan masyarakat yang lain, yang memiliki tanggungjawab untuk itu. Perpolisian Masyarakat (Community Polishing), barulah salah satu konsep yangditawarkan Polri ke luar. Namun, dari luar tubuh Polri harus ada respons yang sama terhadapkeperluan pengembangan system kemanan yang efektif dan terpadu tersebut. Tapi jangandilupakan pula sejumlah persoalan internal dalam tubuh Polri sendiri untuk diatasi. Mulai darimasalah organisasi, sumberdaya manusia dan aspek sarana dan prasarananya, mesti jugadiperbaiki. Tanpa perubahan secara terintegrasi dalam sejumlah persoalan tersebut, peran Polridalam Peace Building, akan tetap menjadi wacana, dan makin jauh dari aras praksisnya.***91 Lihat bukunya, The End of History and the Last Man, Free Press, New York, 1992.91


Profil Singkat PenulisCornelis LayPria kelahiran 6 September 1959 ini selain aktif mengajar pada jurusan Ilmu PemerintahanFISIPOL, Universitas Gajah Mada, Yogjakarta, juga adalah Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan diuniversitas tersebut, selain sebagai Deputy of Adminission and Networking, Program PascaSarjana untuk Jurusan Politik Lokal dan Otonomi Daerah. Disamping itu juga menjabat sebagaiPeneliti Senior di institusi-institusi seperti Pusat Antar Universitas Studi Sosial (PAU-SS), UGM;<strong>Institute</strong> for Research and Empowerment (IRE), Yogjakarta; Center for Local Politics danDevelopment Studies, Yogjakarta; ProPatria <strong>Institute</strong>, Jakarta; Pacivis-UI, Jakarta, dansebagainya.Cornelis Lay memperoleh gelar BA pada tahun 1984 dari Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOLUGM. Tiga tahun kemudian (1987) memperoleh gelar Drs. dari jurusan yang sama. Pada tahun1992 memperoleh gelar MA. di bidang Internasional Development Studies, dari St. Marry’sUniversity, Halifax, Kanada. Cornelis Lay kini sedang mempersiapkan tugas akhirnya untukprogram doktoral pada jurusan Pemerintahan FISIP-UGM.Ichsan MalikPria kelahiran 6 September 1957 ini memperoleh gelas MSc. dalam Psikologi Sosial dariFakultas Psikologi UI pada tahun 1994 dan sebelumnya menyelesaikan program Sarjananya diIKIP Bandung pada tahun 1986. Kini selain tercatat sebagai staf pengajar di Fakultas PsikologiUI, ia juga tercatat sebagai peneliti, khususnya terkait bidang resolusi konflik di berbagailembaga kajian, seperti di LIPI, Transparansi International Indonesia, dan sebagainya.Sebelumnya Ichsan Malik juga pernah tercatat sebagai Direktur Eksekutif Istitute TitianPerdamaian (2003-2007), Konsultan program Peace Building untuk Program SERAP TII-CCACanada di Aceh (2007), National Monitoring Committee pada Pemilu di Aceh, Sulawesi Tengah,Maluku, dan Papua (2003-2004), Koordinator Trainer pada BSP Kemala (1997-2000), DirekturPerencanaan dan Unit Evaluasi pada IPPA (1991-1996), Program Manager pada IPPA diSumatra Barat (1985-1990), Staf Pengajar pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas BungHatta, Padang (1987-1991), dan berbagai jabatan lainnya.Selain aktif di dalam negeri, Ichsan Malik juga memegang berbagai jabatan di berbagaiorganisasi internasional, setidaknya ia tercatat sebagai Coordinator for Peace Com Indonesia,Fred Korpset Norway (2005), Steering Committee for South East Asian Global Partnership forArmed Conflict, Norway (2004), dan berbagai jabatan lainnya.Ikrar Nusa BhaktiPria kelahiran 27 Oktober 1957 ini menjabat sebagai Kepala Pusat Politik dan Kewilayahan LIPI.Ikrar Nusa Bhakti adalah Ahli Peneliti Utama (APU) di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI). Memperoleh gelar S1 dari Departemen Ilmu Politik, Program Studi HubunganInternasional, FISIP-UI pada tahun 1983. Lalu memperoleh gelar Ph.D. dari School of ModernAsian Studies, Griffith University, Australia tahun 1993. Ikrar, begitu ia biasa disapa oleh rekan


sejawatnya, juga tercatat sebagai Visiting Research Fellow di Center for Southeast AsianStudies (CSEAS), Kyoto University (2007), serta APCSS Hawaii, USA (2002).Ikrar Nusa Bhakti, selain tercatat sebagai Reseach Fellow di ProPatria <strong>Institute</strong>, juga aktifmengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP-UI, Fakultas Ilmu Budaya UI, IlmuPemerintahan Universitas Padjajaran, Program S2 dan S3 Universitas Satyagama, S2 IlmuPemerintahan Universitas Jenderal Ahmad Yani, Bandung. Selain itu juga aktif menulis diberbagai surat kabar baik dalam skala nasional maupun internasional, termasuk berbagai buku.Indria SamegoProfesor Riset di bidang politik dan pemikiran pembangunan LIPI. Menyelesaikan pendidikan S1pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadah Mada, Yogjakarta (1975). Kemudianmelanjutkan pendidikan S2 (1989) dan S3 Studi Pembangunan dari The Flinders University ofSouth Australia, Adelaide (1993).Pria kelahiran 13 Juni 1950 ini selain sebagai peniliti senior LIPI dan tercatat sebagai ReseachFellow ProPatria <strong>Institute</strong>, adalah juga Anggota Majelis Profesor (MPR) LIPI, dosen padaProgram Pascasarjana Universitas Riau, Pekanbaru dan di beberapa perguruan tinggi swasta diJakarta, dosen tamu di Sesko TNI, Dosen PTIK, Jakarta, Senior Research Fellow di The HabibieCenter, Anggota Dewan Direktur Center for Information and Development Studies (CiDeS),Jakarta, serta Penasehat Ahli Kapolri (dari 2003 hingga sekarang).Selain berbagai jabatan yang hingga kini disandangnya, Indria Samego pernah tercatat pulasebagai Asisten Wakil Presiden Bidang Politik dan Keamanan (1998-2000), Staf Ahli FraksiTNI/POLRI DPR-RI (1999-2004).Kusnanto AnggoroResearch Fellow Coordinator sekaligus sebagai Program Advisor pada ProPatria <strong>Institute</strong> sejak1999. Kusnanto Anggora kini juga tercatata sebagai Wakil Direktur Eksekutif IODAS sejak tahun2008, dan Ketua Pelaksana Harian Lembaga Kajian dan Analisa Resiko, CERIS, Jakarta.Kusnanto Anggoro sebelumnya adalah Peneliti Senior pada CSIS Jakarta hingga akhir 2007,selain juga tercatat sebagai staf pengajar pada Program Pascasarjana Ilmu HubunganInternasional, FISIP Universitas Indonesia, yang memusatkan perhatian pada masalah-masalahstrategis dan kemanan; dosen tamu di Sesko TNI dan Sesko Angkatan, serta Advisor untukberbagai Departemen Pemerintah.Kusnanto Anggoro menyelesaikan program doktoralnya di bidang Kremlinologi dan Politik Rusiapada <strong>Institute</strong> of Russian and East European Studies, University of Glosgow, Scotland, UK(1994).Lambang TrijonoSarjana dan aktivis di bidang pembangunan dan perdamaian ini baru bergabung sebagai salahseorang research fellow ProPatria <strong>Institute</strong> pada pertengahan tahun 2008.b


Lambang Trijono memperoleh gelar Master of Arts di bidang studi konflik dan perdamaian dariCenter for Peace and Conflict Studies (CPACS), Sydney University, Australia, tahun 2001, gelarsarjana S1 di bidang Sosiologi diperoleh dari Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1989.Sejak tahun 1991, Lambang Trijono aktif sebagai dosen di Jurusan Sosiologi, FISIP-UGM.Disamping mengajar, ia juga tercatat sebagai director Padii (Peace and Development Initiative,Indonesia), sebuah lembaga NGO di bidang perdamain dan pembangunan di Yogyakarta (2006-sekarang), selain itu juga sebagai peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP-UGM) sejak 1996-sekarang, UGM, sekretaris di PSKP-UGM (1996-2003), kepala PSKP-UGM(2003-2005). Selain itu, Lambang Trijono, aktif terlibat dalam berbagai forum seminar danlokakarya tentang konflik, perdamaian demokrasi, dan pembangunan pada level nasional,regional dan internasional sejak tahun 2000, sekaligus sebagai koordinator pada SEACSN (theSoutheast Asia Conflict Studies Networks)-Indonesia (2001-sekarang).Mohammad Fajrul FalaakhSelain tercatat sebagai Research Fellow di ProPatria <strong>Institute</strong>, Fajrul, begitu ia biasa disapa olehrekan-rekannya, adalah Lektor Kepala Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum UGM,Yogyakarta dan anggota Komisi Hukum Nasional RI. Pernah bertugas sebagai anggota KomisiKonstitusi RI (2003-2004), Wakil Dekan Bidang Akademik di Fakultas Hukum UGM (2001-2004),serta sebagai National Governance Advisor (1998-1999) dan Justice Sector Advisor (2000)pada kantor UNDP Jakarta.Fajrul Falaakh menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UGM (1983), serta di London Schoolof Oriental and African Studies (1990) dan London School of Economics and Political Science(1997). British Chevening Scholar (UK, 1997), Fulbright Scholar on US Constitution (USA, 2000)dan Eisenhower (Multination) Fellow (USA, 2001).Laporan penelitiannya, antara lain: Implikasi Amandemen UUD 1945 terhadap PembangunanHukum (KHN, 2005), Peta Program Reformasi Hukum: Reformasi di bawah Bayang-BayangNegara (KHN, 2003), Kajian tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum KetetapanMPR/S 1960–2002 (Badan Pekerja MPR, 2003), “Governance Accountability in Southeast Asia”-background paper untuk Human Development Report 2002: Democratization in A FragmentedWorld (New York: HDR Office, 2002), Implikasi Hukum Pemisahan TNI-POLRI (UGM, 2001),Survai Pendahuluan tentang Delegating Proviso dalam Undang-Undang Indonesia 1966-1992(Pusat Studi Sosial UGM, 1993).Rifqi MunaSelain tercatat sebagai Research Fellow pada ProPatria <strong>Institute</strong>, pria kelahiran 27 November1963 ini adalah Peneliti Senior pada Departemen Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI) dan sebagai Independent Consultant in Defence and Security Policies.Riefqi Muna menyelesaikan program S1-nya (BA) pada jurusan Hubungan Internasioanl padaDepartemen Politik, University of Tasmania, Hobart, Australia (1993), selanjutnya memperolehgelar Master (MDefStu) dari Australian Defence Force Academy (ADFA), University College,University of New South Wales, Canberra, Australia (1995), dan kini ia sedang menyelesaikanc


evisi desertasinya yang telah diuji di Departemen of Defence Management and SecurityAnalysis (DMSA), Cranfield University, Shrivenham, UK (2008).Riefqi Muna juga pernah tercatat menjabat berbagai posisi strategis di berbagai lembaganasional maupun internasional, setidaknya, ia pernah tercatat sebagai Deputi Derector (for Asia)and Researcher pada GFN-SSR, Cranfield University, UK (2003-2005), Correspondent padaJane’s Defence Weekly (JDW), London (2005-2008), serta Direktur Eksekutif RiDeP Intitute(2001-2003).Rizal SukmaSelain tercatat sebagai Research Fellow pada ProPatria <strong>Institute</strong> sejak tahun 1999, Rizal Sukmakini adalah Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta.Sebelumnya ia menjabat sebagai Wakil Direktur Eksekutif dan Direktur Studi di institusi yangsama. Selain aktif di CSIS, Rizal Sukma juga tercatat sebagai Ketua Bidang HubunganInternasional pada DPP Muhammadyah, Sekretaris pada Syafii Maarif Foundation, Ketua Boardof Directors The Indonesian <strong>Institute</strong>, Anggota Eminent and Expert Persons of the ASEANRegional Forum (ARF), Anggota National Board International Centre for Islam and Pluralism(ICIP), dan Anggota International Editorial Board Studies in Asean Security Series, StanfordUniversity Press and East West Center, serta Council for Security Cooperation in Asia-Pacific(CSCAP), Indonesia’s Committee.Rizal Sukma menempuh pendidikan S1 (BA) pada jurusan Hubungan Internasional, UniversitasPadjajaran, Bandung (1989). Lalu memperoleh M.Sc. (1993) dan Ph.D. (1997) program studiHubungan Internasional dari London School of Economic and Political Science (LSE), Inggris.Rizal Sukma hingga kini juga masih tercatat sebagai Dosen Tamu pada Jurusan HubunganInternasional, FISIP Universitas Muhammadiyah Malang. Ia juga pernah tercatat sebagai DosenTamu di Jurusan Hubungan Internasional, FISIP-UI (1998-2002). Rizal juga pernah aktif sebagaiAdvisor dan Anggota Tim dalam penyusunan RUU Pertahanan (2000-2002), penyusunan RUUTNI (2002-2004), dan Anggota Komisi dalam penyusunan Strategic Defence Review (2002-2005).d

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!