12.07.2015 Views

POST-CONFLICT PEACEBUILDING 2009 - Propatria Institute

POST-CONFLICT PEACEBUILDING 2009 - Propatria Institute

POST-CONFLICT PEACEBUILDING 2009 - Propatria Institute

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

daya, kekuasaan, status, dan lain sebagainya. Akibatnya, kompetisi di antara individu, kelompokatau antar kelompok di dalam suatu masyarakat atau negara tak terhindarkan.Konflik dapat dicegah atau dikelola jika pihak-pihak yang berkonflik dapat menemukan cara ataumetode menegosiasikan perbedaan kepentingan dan menyepakati atura main untuk mengaturkonflik. Penanganan konflik atau khususnya resolusi konflik sangat ditentukan oleh strukturkonflik itu sendiri. Dalam kaitan itu, paling tidak ada dua bentuk resolusi konflik: pertama,resolusi sebagai perlakuan (treatment) terhadap akar konflik; kedua, resolusi sebagaipenanganan (settlement) konflik dengan cara-cara paksaan (Coercion) atau dengan cara tawartmenawar (Bargaining) atau perundingan (negotiation).Paling tidak ada empat tahapan empirik resolusi konflik. Tahap pertama, masih didominasi olehstrategi militer yang berupaya mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Pada tahapkedua, memiliki orientasi yang bertujuan untuk memulai proses reintegrasi elite politik darikelompok-kelompok yang bertikai.Tahap ketiga lebih bernuansa untuk menerapkan problemsolving approach. Tahapan keempat atau terakhir, memiliki nuansa kultural yang kental karenatahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktural sosial-budaya yangdapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian.Louis Kriesberg dalam bukunya Constructive Conflicts: From Escalation to Resolution(Maryland: Rowman and Littlefield, 2003, hlm. 384) mengatakan, semakin tinggi tingkat interaksidan saling ketergantungan antar pihak-pihak yang tadinya berkonflik, akan semakin membatasimunculnya konflik baru. Selain itu, munculnya saling pengertian dan berkembangnya normanormabersama juga akan mencegah konflik. Ini berarti, dalam praktek, bagaimana kita dapatmembantu agar pada masyarakat yang berkonflik terjadi interaksi positif dan salingketergantungan serta tercipta norma-norma baru yang positif agar konflik tak terulang kembali.Dalam kasus Indonesia, konflik-konflik vertikal dapat diselesaikan secara damai melaluiperundingan seperti kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diselesaikan melaluiperundingan di Helsinki yang berakhir dengan ditandatanganinya MoU Helsinki antaraPemerintah Indonesia dan GAM pada 15 Agustus 2005. 11 Dalam kasus konflik di Papua, arahmenuju dialog komprehensif mengenai persoalan Papua juga masih berjalan. 12 Dalam kontekskonflik komunal, transformasi konflik juga dapat berubah dari konflik yang bersifat fisik menjadikerjasama antar etnik. Etnik-etnik yang termarjinalisasi juga dapat terangkat harkat danmartabatnya untuk menjadi salah satu tuan/master di daerahnya sendiri, contohnya etnik dayakdi Kalimantan. 13 Kasus Poso dan Maluku juga menunjukkan betapa konflik dapatbertransformasi menuju suatu kerjasama antar etnik baik pada tataran sosial ekonomi maupunpolitik. Demokrasi juga memungkinkan dilakukannya reformasi sektor keamanan (SecuritySector Reform) seperti yang dilakukan di Indonesia sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada 21Mei 1998. Meski belum sempurna, SSR paling tidak sudah mengubah institusi AngkatanBersenjata Indonesia (ABRI) yang kental unsur politik dan iaganya menjadi Tentara Nasional11 Lihat, antara lain, Ikrar Nusa Bhakti, et.al., Beranda Perdamaian. Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.12 Lihat, antara lain, Muridan S. Wijoyo, et.al., Road Map Papua, Jakarta: Pusat Penelitian Politik-LIPI, 2008; lihat jugaNeles Tebay, Dialog Jakarta – Papua. Sebuah Perspektif Papua, Jayapura: Sekretariat Keadilan dan PerdamaianKeuskupan Jayapura, <strong>2009</strong>.13 Benny Subianto, “Ethnic Politics and the Rise of the Dayak-Bureaucrats in Local Elections: Pilkada in SixKabupaten in West Kalimantan,” dalam Maribeth Erb and Pryambudi Sulistiyanto, eds., Deepening Democracy inIndonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), Singapore: <strong>Institute</strong> of Southeast Asian Studies, <strong>2009</strong>, hlm.327-351.21

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!