Hukum dan Tertib SosialSebetulnya atau idealnya, hukum harus ikut menangani dan menyelesaikan konflik-konfliktersebut atau mencegah meluasnya konflik. Mengapa? Sistem hukum pada dasarnya dibangununtuk menjaga ketertiban masyarakat. Hukum adalah pelembagaan (institusionalisasi) dari nilainilaidan gagasan masyarakat tentang tertib sosial (social order, public order). Fungsi konservasisosial dari hukum ini dibutuhkan karena masyarakatnya menginginkan kedamaian, harmoni atauketeraturan yang terjaga. Dalam formulanya yang khas, hukum menjaga hak-hak masyarakat.Situasi ideal itu tak selalu tercapai. Pada saat dan konteks tertentu, kedamaian dipecahkan,harmoni terganggu, ketidaktertiban merajalela, bahkan hak-hak diabaikan atau dilanggar.Hukum memang menyediakan mekanisme untuk menyelesaikan konflik, sengketa atauperselisihan yang biasanya disebut sebagai perkara hukum. Peradilan adalah mekanisme khasyang disediakan oleh sistem hukum untuk menyelesaikan sengketa, baik menyangkut statusdan hak-hak keperdataan, masalah pidana (seperti pelecehan dan penghinaan), administratif(kesalahan dalam tindakan kongkrit aparatur pemerintahan), dan bahkan konflik kewenanganantarlembaga negara.Menjadikan hukum sebagai mekanisme dalam penyelesaian konflik berarti menghindaripenyelesaian dengan tindak kekerasan. Mereka yang menimbulkan keonaran dan menggangguketertiban harus berhadapan dengan sistem hukum. Masyarakat sendiri yang menggerakkansistem hukum. Jadi, kegaduhan di lingkungan pemukiman akan dilaporkan kepada aparatkepolisian, dan hukum bahkan mengancam mereka dengan sanksi pidana. Hukum pidanamengancam pelaku kerusuhan, tindak kekerasan, penghilangan nyawa karena keteledoranhingga pembunuhan berencana, dengan sanksi pidana yang serius.Penyerobotan hak-hak juga akan berhadapan dengan sistem hukum, yang pada akhirnya dapatditegakkan kembali melalui proses peradilan. Hak-hak keperdataan, misalnya kepemilikan hartabenda,bukan hanya dapat dipertahankan atau dipulihkan melalui pengadilan. Penyerobotanhak atas harta-benda yang mengakibatkan hilangnya keuntungan juga memungkinkan pemilikhak untuk menuntut ganti-rugi. Pengadilan tersedia untuk itu. Sering dikatakan bahwapengadilan baru berfungsi jika ada perselisihan, sengketa atau konflik di dalam masyarakatnya.Tetapi penyelesaian konflik melalui proses peradilan memiliki kelemahan tersendiri yang bersifatbuilt-in, yaitu karena perspektif yang digunakan oleh hukum adalah case-by-case sehinggapenyelesaiannya bersifat individual. Kesulitan-kesulitan akan dihadapi ketika konflik tersebutbersifat masif, melibatkan banyak pelaku dan pihak yang dirugikan atau korban, ataumasalahnya bahkan berlarut-larut tidak memperoleh penyelesaian atau sudah mengakar dalammasyarakat.Selain keterbatasan cara pandang tersebut, hukum dapat tidak berfungsi ketika kemampuannyamenyelesaikan konflik dimanipulasi oleh kepentingan yang dominan dalam masyarakat ataubahkan oleh kekuasaan. Hukum, khususnya sistem peradilan, menjadi tidak independen. Bolehjadi subordinasi hukum terhadap kepentingan yang dominan atau kekuasaan justrumemperparah kondisi konflik, yang semula bersifat kasuistik dan individual berubah menjadiketidakpercayaan laten terhadap hukum dan memicu konflik struktural. Akibatnya, hukum yangtidak bekerja semestinya telah ikut menyumbang kerumitan dalam menanggulangi konflik.Pihak-pihak yang dirugikan, karenanya, mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakkekerasan atau bahkan mengumandangkan semboyan semacam “keadilan jalanan” atau, dalamistilah teknis hukum, menjadi hakim sendiri.47
Dengan demikian penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi hukum, pemulihan hak dan gantirugi, merupakan aspek yang harus diperhitungkan pula dalam memerankan hukum untukmenyelesaikan konflik sosial. Dalam hal ini sistem hukum justru harus dibenahi, yaitu ketikasistem hukum tidak lagi memadai. Perbaikan atau reformasi terhadap berbagai komponenhukum harus dilakukan, baik mengenai kodifikasi aturan yang ada atau peraturan perundangundanganyang berlaku, lembaga-lembaga pelaksana dan pejabatnya, maupun kultur hukumnya–dalam arti merumuskan kembali sistem hukum sesuai dengan nilai-nilai keadilanmasyarakatnya. Kepolisian dan kejaksaan yang bersih dan bekerja sesuai hukum merupakanunsur yang penting bagi bekerjanya sistem hukum. Peradilan yang profesional dan tidakmemihak sangat dibutuhkan dalam memutus perkara yang dimajukan kepadanya. Aturan-aturanhukum yang lebih menjamin keadilan dan hak-hak masyarakat harus menggantikan aturanaturanlama yang mengabaikannya.Hukum Pasca KonflikUntuk menyelesaikan konflik yang berskala masif dan ditandai oleh gross violations of humanrights, ECOSOC (The United Nations Economic and Social Council) merekomendasikan sebuahpendekatan atau proses yang berorientasi kepada korban yang disebut restorative justice.ECOSOC mendefinisikan restorative justice sebagai tindakan berkelanjutan dalam menghadapikriminalitas berdasarkan prinsip yang menghargai kehormatan dan kesetaraan setiap orang,mengembangkan kesepahaman, dan memajukan harmoni sosial guna penyembuhan (healing)korban, pelaku tindak pidana maupun masyarakatnya.Melalui pendekatan ini hendak dicapai berbagai tujuan sekaligus: para korban konflik sosialdapat “dipulihkan” kondisinya (restoration), suatu hal yang tidak mudah, dan merasa lebih aman;pelaku mengetahui kesalahannya dan secara sadar bertanggungjawab atas tindakannya dalamkonflik; masyarakat semakin memahami akar-akar konflik sehingga dapat mencegahterulangnya konflik dan memajukan kehidupan bersama. Penyelesaian konflik tidak berhentidengan berhentinya konflik. Langkah-langkah lebih lanjut untuk mentransformasikan konflik(conflict transformation) merupakan suatu keniscayaan, misalnya diawali dengan mengadilipenanggung jawab konflik.Penyelesaian konflik dengan perspektif restorative justice mencakup mediasi, konsiliasi,conferencing, sentencing circles. Perpaduan antara peradilan HAM di satu sisi, dengan komisikebenaran dan rekonsiliasi (KKR) di sisi lain, tuntutan ganti rugi dan redistribusi sumber dayaalam (seperti land reform), peradilan pidana terhadap tindak kekerasan, dan peningkatanharmoni sosial (lintas etnik, kelompok keagamaan atau ikatan primordial lainnya) merupakancara-cara penyelesaian konflik sosial yang sedikit-banyak juga mengintegrasikan pendekatanrestorative justice.Dengan demikian, bukan hanya perlu untuk “mengadili masa lampau” (transitional justice), tetapidibutuhkan pula perbaikan (reformasi) sistem, politik atau kebijakan dan institusi hukum untukmemenuhi kebutuhan masyarakat dalam merajut masa depan kehidupannya yang lebih baik.Perbaikan ini dapat menyangkut politik hukum dalam sistem peradilan pidana (penal policy).Suatu persoalan yang penting untuk dijawab misalnya, adalah keseriusan penegakan hukumterhadap pelanggaran HAM masa lampau, pencegahan diskriminasi (keagamaan, sosialekonomi,kultural), selain keseriusan dalam pemberantasan narkoba.48
- Page 1: POST-CONFLICT PEACEBUILDINGNaskah A
- Page 4 and 5: PengantarOleh : Kusnanto AnggoroTah
- Page 7 and 8: Gambar 2 : Kurva Konflik LundSetiap
- Page 9 and 10: Berulangnya kembali konflik merupak
- Page 11 and 12: sebagai masa yang cukup memadai unt
- Page 13 and 14: hubungan puisat-daerah yang lebih b
- Page 15 and 16: penyelesaian, maupun kerentanan sos
- Page 17 and 18: sesuatu dari proses itu. Inilah “
- Page 19 and 20: 1955 memecah negara ke dalam konfli
- Page 21 and 22: Tahapan Demokrasi di Indonesia seja
- Page 23 and 24: Demokrasi, Konflik dan KeamananMasa
- Page 25 and 26: Indonesia (TNI) dan Kepolisian Nega
- Page 27 and 28: Disintegrasi, Reintegrasi,dan Modal
- Page 29 and 30: Secara teoritis dan berdasarkan pen
- Page 31 and 32: Gambar Siklus Resolusi KonflikConfl
- Page 33 and 34: Pendekatan dari Bawah : Gerakan Bak
- Page 35 and 36: pengangguran, tidak sebandingnya da
- Page 37 and 38: akan dapat mencegah konflik kekeras
- Page 39 and 40: dan respon dini pencegahan konflik
- Page 41 and 42: pemerintahan yang ada belum mampu s
- Page 43 and 44: sehingga sulit melakukan koordinasi
- Page 45 and 46: espon dini 25 . Bagaimana menjadika
- Page 47 and 48: tujuan perdamaian dirumuskan (subst
- Page 49: Transisi Demokrasi,Konflik Sosial d
- Page 53 and 54: penekanan pada fungsi preventif, me
- Page 55 and 56: Pertama, Pengertian dan batasan buk
- Page 57 and 58: ersama untukmengakhiri konflik,atau
- Page 59 and 60: Stabilisasi dan Pemullihan Pasca Ko
- Page 61 and 62: melalui negosiasi, kompromi atau me
- Page 63 and 64: masyarakat secara normal serta meng
- Page 65 and 66: Keenam, fungsi intermediasi/fasilit
- Page 67 and 68: fungsi penciptaan keamanan ini. Den
- Page 69 and 70: dibalik ketimpangan antar kawasan d
- Page 71 and 72: Daftar BacaanBartrand, Jacques, (20
- Page 73 and 74: dikontrol dengan prinsip-prinsip da
- Page 75 and 76: perang, sebab di dalam tugas ini mi
- Page 77 and 78: Berkaitan dengan hal ini, kelompok
- Page 79 and 80: pelecehan ataupun penguasaan tentar
- Page 81 and 82: MOOTW/PSO. Di sinilah perlunya hubu
- Page 83 and 84: eformasi Polri yang dimaksud. Di ba
- Page 85 and 86: hukum (Rechstaat) bukan Negara keku
- Page 87 and 88: ersangkutan dinyatakan bahwa “Pen
- Page 89 and 90: tersebut ditentukan bahwa struktur
- Page 91 and 92: dalam bidang structural dan instrum
- Page 93 and 94: Ada banyak faktor penyebab yang iku
- Page 95 and 96: Profil Singkat PenulisCornelis LayP
- Page 97 and 98: Lambang Trijono memperoleh gelar Ma