Stabilitas politik dan demokrasi juga amat semu, karena hanya Golkar sebagai “PartaiPenguasa” (The Ruler’s Party) yang dapat berkiprah (namun dikendalikan oleh penguasa) padamasa itu. Partai politik yang tadinya berjumlah 9 parpol pada era awal Orde Baru, dipaksa untukbergabung menjadi dua parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bagi partai-partaiIslam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang campuran partai-partai nasionalis dankristen/katolik, sedangkan Golkar tetap menjadi golongan fungsional yang tidak dimerger. Ibaratbaling-baling pesawat, saat dinamika politik berputar, hanya Golkar (partai bernomor 2 padasetiap pemilu di era Orde Baru sejak pemilu 1977 sampai dengan pemilu 1997) yang tampak,sedangkan PPP dan PDI hanya samar-samar karena merupakan partai pinggiran ataupelengkap penderita di era Demokrasi Pancasila.Penguasa Orde Baru melakukan deparpolisasi melalui politik massa mengambang danpencitraan buruk terhadap partai-partai politik. Selain itu, penguasa juga memaksa para abdinegara (pegawai negeri) untuk tidak boleh menjadi anggota partai politik dan wajib menjadianggota Golkar yang dikategorikan bukan sebagai parpol melainkan golongan fungsional.Demokrasi yang berkembang juga masuk dalam kategori “Demokrasi Kaum Penjahat,” yaitusuatu sistem demokrasi yang mendahulukan formalitas demokrasi, tanpa substansi, dandikendalikan oleh para politisi dan militer yang dapat dikategorikan sebagai “kaum penjahat”karena lebih mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompoknya ketimbang kepentinganrakyat.Stabilitas keamanan juga amat semu karena dicapai melalui penerapan “Politik Ketakutan” dariaparat intelijen negara dan juga represi dari aparat pertahanan dan keamanan negara. Secarakhusus, alat intelijen negara berfungsi sebagai intelijen politik yang hanya menjalankankepentingan politik rejim penguasa Orde Baru dan setiap saat dapat melakukan tindakanpenculikan, penghilangan dan atau pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggapmembahayakan “rejim kekuasaan Orde Baru,” suatu tindakan yang dikenal sebagai “IntelijenHitam.” 10Daniel Dhakidae menilai Orde Baru sebagai aliansi antara para birokrat, kelompok menengah,atau kaum borjuis secara umum, dan militer pada setiap pangkat, khususnya di sekitar ratusanjenderal. Legitimasi politik yang didapat pemerintah juga amat semu, tergantung pada kisahsukses ekonomi Orde Baru dan tidak membutuhkan dukungan ragam legitimasi yang berasaldari masyarakat. Pemilihan umum juga hanya bersifat prosedural untuk mendapatkan legitimasipolitik bagi pemerintah Orde Baru. Namun, begitu ekonomi kolaps, Orde Baru yang ibaratbangunan dengan fondasi yang amat rapuh itu pun runtuh, tanpa ada satu batu pun yangtersisa untuk menopangnya.Situasi chaos pada 1997-1998 menyebabkan munculnya gelombang demonstrasi menuntutreformasi total. Gerakan untuk demokratisasi politik di Indonesia paling tidak disebabkan olehempat hal: pertama, rejim otoriter Orde Baru yang sudah lelah dan mulai terpecah; kedua,hasrat rakyat akan keamanan dari tindakan sewenang-wenang para aparat rejim Orde Baru;ketiga, hasrat rakyat akan kebebasan (Freedom from Fear, Freedom of Religion, Freedom ofSpeech and Expression and Freedom of the Press), keempat, hasrat rakyat akan pembangunandan pemerataan ekonomi. Ini juga ditopang oleh adanya tekanan internasional agar Indonesiamengubah wajah dan kinerja ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan negaranya.10 Lihat, antara lain, Andi Widjajanto dan Artanti Wardhani, Hubungan Intelijen – Negara 1945-2004, Jakarta: Pacifisdan FES, 200817
Tahapan Demokrasi di Indonesia sejak Mei 1998Paling tidak ada empat tahapan demokrasi yang terjadi di Indonesia sejak Mei 1998. Pada tahapawal, terjadi situasi chaos yang mendorong terjadinya proses demokratisasi di Indonesia. Iniberlangsung sejak terjadinya krisis ekonomi dan keuangan yang melanda Asia pada 1997-1998yang juga berpengaruh pada situasi politik di Indonesia. Keinginan publik agar terjadi perubahanpolitik di tingkat nasional menyebabkan para mahasiswa, kelompok cendekiawan danmasyarakat secara luas melakukan demonstrasi yang berujung pada pengunduran diri PresidenSoeharto pada 21 Mei 1998.Tahap kedua, Indonesia masuk ke tahapan transisi demokrasi ( 1998-2004), institusi-institusipolitik dibangun dan dikembangkan. Partai-partai politik pun tumbuh dan berkembang bak jamurdi musim hujan, ada ratusan partai-partai baru terbentuk, namun hanya 48 partai politik yangberhak mengikuti pemilihan umum 1999. Kebebasan politik pun mulai dirasakan oleh rakyat dariSabang sampai Merauke. Pemilihan umum yang benar-benar langsung, umum, bebas, rahasia,jujur dan adil mulai dilaksanakan pada 1999 untuk memilih para anggota DPR dan DPRD.Presiden masih dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan pergantianpemerintahan dan anggota parlemen pusat dan daerah berjalan secara baik tanpa menimbulkankonflik yang berarti. Namun, sayangnya, demokrasi masih bersifat prosedural dan belum kearah demokrasi substansial yang dinikmati oleh rakyat banyak.Pada tahap ini, ada juga dua peristiwa penting, yaitu, pertama, konflik-konflik vertikal danhorizontal merebak di berbagai daerah. Konflik-konflik vertikal masih terjadi di Aceh dan Papua,dan dalam kadar yang lebih rendah terjadi di Riau saat sebagian elite di Riau mencetuskan RiauMerdeka yang kemudian berubah menjadi Riau berdaulat. Konflik-konflik di Papua dan Acehmasih diselesaikan dengan cara-cara lama, yaitu penggunaan cara-cara militer sepertipembunuhan tokoh-tokoh politik seperti kasus Tengku Bantakiah di Aceh dan pembunuhanKetua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluai, di Papua oleh Kopassus pada dinihari 11November 2001. Gejolak politik di Riau dan Papua juga diselesaikan melalui pemekaranProvinsi Riau menjadi dua provinsi, Provinsi Riau dan Provinsi Riau Kepulauan, sementaramelalui Keppres No 1/2003 dibentuk Provinsi Irian Jaya Barat. Pemecahan, bukan pemekaran,provinsi tersebut menyebabkan perpecahan kepentingan elite politik dan massa, namun itu jugamengurangi daya gerak separatisme di kedua provinsi lama itu, Riau dan Papua.Konflik-konflik horizontal terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah,Maluku dan Maluku Utara. Penanganan konflik komunal horizontal dilakukan lebih melalui caracaralama dan kurang diimbangi oleh penegakan hukum. Kalau pun dilakukan penegakanhukum, belum terjadi secara merata atas dasar kesamaan warga negara di depan hukum,melainkan masih pada bagaimana hukum ditegakkan agar ketenangan terjadi.Peristiwa kedua yang juga cukup signifikan adalah mulai bergulirnya apa yang disebut sebagaiReformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform). Ada tiga Institusi Keamanan yangdireformasi agar demokrasi, keamanan, pembangunan dan hak-hak sipil terjamin dan berjalanberiringan. Pertama dan terutama adalah Reformasi institusi ABRI/TNI. Pada 1 April 1999,Panglima ABRI Jenderal Wiranto menetapkan 14 langkah reformasi internal ABRI yang antaralain memisahkan Polisi dari ABRI, mengubah nama ABRI menjadi TNI, menghapuskankekaryaan ABRI, memisahkan keluarga besar ABRI dengan institusi ABRI, ABRI menjaga jarakyang sama dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada (tidak lagi mendukung Golkar). Padatahap berikutnya, melalui TAP/MPR-RI/VI/2001 tentang Pemisahan TNI dan Polri sertaTAP/MPR-RI/VII/2001 tentang Peran TNI dan Peran Polri, apa yang digagas oleh ABRI/TNImendapatkan payung hukum yang kuat. Dari sudut perundang-undangan, disahkannya UU18
- Page 1: POST-CONFLICT PEACEBUILDINGNaskah A
- Page 4 and 5: PengantarOleh : Kusnanto AnggoroTah
- Page 7 and 8: Gambar 2 : Kurva Konflik LundSetiap
- Page 9 and 10: Berulangnya kembali konflik merupak
- Page 11 and 12: sebagai masa yang cukup memadai unt
- Page 13 and 14: hubungan puisat-daerah yang lebih b
- Page 15 and 16: penyelesaian, maupun kerentanan sos
- Page 17 and 18: sesuatu dari proses itu. Inilah “
- Page 19: 1955 memecah negara ke dalam konfli
- Page 23 and 24: Demokrasi, Konflik dan KeamananMasa
- Page 25 and 26: Indonesia (TNI) dan Kepolisian Nega
- Page 27 and 28: Disintegrasi, Reintegrasi,dan Modal
- Page 29 and 30: Secara teoritis dan berdasarkan pen
- Page 31 and 32: Gambar Siklus Resolusi KonflikConfl
- Page 33 and 34: Pendekatan dari Bawah : Gerakan Bak
- Page 35 and 36: pengangguran, tidak sebandingnya da
- Page 37 and 38: akan dapat mencegah konflik kekeras
- Page 39 and 40: dan respon dini pencegahan konflik
- Page 41 and 42: pemerintahan yang ada belum mampu s
- Page 43 and 44: sehingga sulit melakukan koordinasi
- Page 45 and 46: espon dini 25 . Bagaimana menjadika
- Page 47 and 48: tujuan perdamaian dirumuskan (subst
- Page 49 and 50: Transisi Demokrasi,Konflik Sosial d
- Page 51 and 52: Dengan demikian penyalahgunaan keku
- Page 53 and 54: penekanan pada fungsi preventif, me
- Page 55 and 56: Pertama, Pengertian dan batasan buk
- Page 57 and 58: ersama untukmengakhiri konflik,atau
- Page 59 and 60: Stabilisasi dan Pemullihan Pasca Ko
- Page 61 and 62: melalui negosiasi, kompromi atau me
- Page 63 and 64: masyarakat secara normal serta meng
- Page 65 and 66: Keenam, fungsi intermediasi/fasilit
- Page 67 and 68: fungsi penciptaan keamanan ini. Den
- Page 69 and 70: dibalik ketimpangan antar kawasan d
- Page 71 and 72:
Daftar BacaanBartrand, Jacques, (20
- Page 73 and 74:
dikontrol dengan prinsip-prinsip da
- Page 75 and 76:
perang, sebab di dalam tugas ini mi
- Page 77 and 78:
Berkaitan dengan hal ini, kelompok
- Page 79 and 80:
pelecehan ataupun penguasaan tentar
- Page 81 and 82:
MOOTW/PSO. Di sinilah perlunya hubu
- Page 83 and 84:
eformasi Polri yang dimaksud. Di ba
- Page 85 and 86:
hukum (Rechstaat) bukan Negara keku
- Page 87 and 88:
ersangkutan dinyatakan bahwa “Pen
- Page 89 and 90:
tersebut ditentukan bahwa struktur
- Page 91 and 92:
dalam bidang structural dan instrum
- Page 93 and 94:
Ada banyak faktor penyebab yang iku
- Page 95 and 96:
Profil Singkat PenulisCornelis LayP
- Page 97 and 98:
Lambang Trijono memperoleh gelar Ma