Militer, MOOTW dan “Peacebuilding”Oleh : Riefqi MunaProloguePengetahuan bagi masyarakat sipil mengenai peran berbagai aktor dalam peacebuildingmerupakan aspek yang mendasar untuk mendorong terciptanya perdamaian yang berlanjut diwilayah-wilayah konflik. Semua pihak di dalam suatu negara memiliki peran dan tanggungjawabuntuk menciptakan perdamaian tersebut dan dapat diujudkan ke dalam berbagai bentukketerlibatan untuk peacebuilding. Dalam konteks itu, paper ini bertujuan untuk memberikanpengantar secara umum mengenai peran tentara untuk tugas non-perang (Military OperationsOther than War-MOOTW) atau OMSP (operasi militer selain perang) dalam kontekspeacebuilding di tanah air. Dengan menyatakan tugas peacebuilding di tanah air, maka tugas,operasi atau misi militer tersebut merupakan tugas tentara dalam batas politik dan kedaulatannegara Republik Indonesia. Tentulah, mengingat bahwa tentara merupakan alat negara yangdiberi kewenangan untuk memiliki keahlian dan kemampuan untuk menggunakan elemenkekerasan teresebut, maka memerlukan berbagai prosedur da pengaturan untuk menjamintercapainya tujuan peacebuilding.Mengingat bahwa perkembangan mengenai penggunaan tentara untuk misi non-militer tersebutmerupakan kecenderungan global, maka paper ini juga akan melihat perkembangan padatingkat internasional. Paper ini juga mengedepankan konsep PSO (Peace Support Oparations)sebagai penyerta bagi MOOTW agar penggunaan istilah menjadi lebih fokus. Hal ini untukmemberikan landasan pemikiran agar persoalan OMSP tersebtut dapat diletakkan ke dalamkerangkan majemen pengelolaan alat pertahanan secara bertanggunggugat di dalam sistempolitik yang demokratis.Oleh karena tingkat sensitivitas mengenai tugas militer, maka klarifikasi atas tugas tersebutdiperlukan agar tidak terjadi kesalahpahaman baik secara normatif konseptual, semantik,maupun pada tingkat operasional. Persoalan peran militer di dalam OMSP sangatlah sensitifdan memerlukan pemahaman para pihak dalam upaya mewujudkan kedamaian, yaitu pihakmiliter, otoritas politik (pusat dan daerah) serta mayarakat secara umum. Pembahasan paper inimempertahatikan perkembangan yang terjadi di tingkat internasional dan memadukannyadengan realitas kondisi dalam negeri, terutama dalam kaitannya dengan upaya melakukanpeacebuilding pada situasi paska-konflik. Hal ini penting mengingat bahwa di dalampenggunaan militer untuk urusan dalam negeri semua ngera tidak bisa melepaskan dari normanormainternasional yang berlaku atau yang sedang berkembang terutama dari pengalamanPerserkatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam melakukan operasi perdamaian dan kemanusiaan.Keberadaan dan Tugas Utama TentaraKeberadaan tentara bagi suatu negara adalah suatu keniscayaan tidaklah perlu untukdipertanyakan keberadaannya. Semua negara di dunia dari yang besar sampai yang kecilmemiliki tentara untuk pertahanan dan keamanan nasionalnya. Namun, mengingat bahwatentara adalah alat negara yang secara khusus dilatih dan memiliki monopoli untukmenggunakan instrumen kekerasan yang destruktif, maka keberadaannya perlu dikelola dan69
dikontrol dengan prinsip-prinsip dan tatanan hubungan sipil-militer yang demokratis. 51 Dengandemikian membangun kemampuan militer untuk tujuan utama, yaitu pertahanan dapat tercapaisecara efektif, dan segala bentuk biaya yang diperlukan dalam pengelolaan tersebut dapatdipertangungjawabkan.Secara spesifik tentara di manapun di dunia memiliki tugas utama, yaitu mempertahankankedaulatan, melindungi integritas teritorial serta perlindungan terhadap warga negara. Olehkarena itu pertanyaan klasiknya adalah apakah tentara hanya bertugas untuk / danmemenangkan perang? Tentunya, jawaban bahwa tentara hanyalah bertugas untukmemenangkan peperangan menjadikan keberadaa tentara tersebut absurd, terutama jika suatunegara tidak tidak memiliki ancaman militer eksternal secara langsung, maka, apakahpengembangan kekuatan militer tersebut layak untuk dipertahankan? 52Melihat kepada kecenderungan yang terjadi di tingkat global dalam dua dasawarsa terakhirmenunjujkan bahwa MOOTW, atau yang sering disebut oleh negara-negara Eropa dalam hal iniNATO, sebagai operasi perbantuan untuk perdamaian (peace support operations). 53 Munculnyaberbagai keadaan darurat yang kompleks (complex emergency situation) ataupun krisis politikdan konflik internal di berbagai wilayah, seperti pernah terjadi di Balkan, telah memberikankonsekuensi bahwa militer NATO tidak bisa begitu saja membiarkan kemampuan teknis yangdimiliki untuk tidak digunakan secara maksimal untuk perbantuan untuk perdamaian atupunbentuan keamanusiaan.Setiap negara memiliki kebijakan mengenai politik luar negeri dalam negeri, serta kebijakanmengenai pertahanan dan keamanan yang kesemuanya bertujuan untuk melakukanmempertahankan kedaulatan, menjaga integritas teritorial dan perlindungan warga negara darisuatu ancaman. Dalam derajat tertentu, militer dapat digunakan sebagai instrumen di dalamupaya mencapai tujuan kebijakan-kebijakan tersebut sejauh memenuhi kriteria, norma danaturan pengelolaan secara demokratis. Dalam konteks demikian, tentara dapat menerima tugasdari otoritas politik untuk melakukan tugas non-tempur (non-combat) guna melaksanakan tugastugasnon-perang untuk mendukung pembangunan perdamaian pada suatu wilayah pascakonflik.Sebagai alat negara, maka untuk memberikan pelayanan publik dan kepentingan nasional,dalam perkembangannya tentara ditugaskan untuk berbagai tugas baik untuk tujuan militer(memenangkan peperangan) maupun untuk tugas-tugas lain sesuai dengan kepentinganegara, 54 dalam hal ini MOOTW atau PSO. Dalam banyak kasus, bagi negara yang mengalamiproblema-problema di dalam penegagakan hukum serta lemahnya kekuatan polisi, terdapatkecenderungan dari para politisi untuk melibatkan tentara untuk penanganan masalah tersebut.Tentara secara khusus dipersiapkan untuk menggunakan kekerasan yang mematikan untukmenghadapi musuh, dan mereka tidak secara khusus dipersiapkan untuk tugas-tugas nonmiliter.Oleh karena itu penggunaan militer seperti untuk tugas kepolisian / keamanan dalam51 Lihat antara lain: Giuseppe Caforio (ed.), The Sociology of the Military, Cheltenham: An Elgar Reference Collection,1998, hal. Xiii-xxvi; Michael Desch, Civilian Control of the Military: The Changing Security Environment, Baltimore:John Hopkins University Press, 1999; Hans Born, “Democratic Control of the Armed Forces: Relevance, Issues andResearch Agenda”, in Giuseppe Caforio (ed.), Handbook of the Sociology of the Military, New York, SpringerPublishers, 2006, hal. 151-165.52 Lihat David Chuter, Defence Transformation: A Short Guide to the Issue, Pretoria: <strong>Institute</strong> for Security Studies,2000. 11-12.53 NATO Handbook, hal: 143-165; JWP-3-50, The Military Contribution to Peace Support Operations, Shrivenham:JDCC, 2004.54 Laura R. Cleary, “Political Direction: The Essence of Democratic, Civil and Civilian Control”, dalam Laura R Cleary& Teri McConville (eds.), Managing Defence in a Democracy. Abingdon: Roudledge, 2006, hal. 42-43.70
- Page 1:
POST-CONFLICT PEACEBUILDINGNaskah A
- Page 4 and 5:
PengantarOleh : Kusnanto AnggoroTah
- Page 7 and 8:
Gambar 2 : Kurva Konflik LundSetiap
- Page 9 and 10:
Berulangnya kembali konflik merupak
- Page 11 and 12:
sebagai masa yang cukup memadai unt
- Page 13 and 14:
hubungan puisat-daerah yang lebih b
- Page 15 and 16:
penyelesaian, maupun kerentanan sos
- Page 17 and 18:
sesuatu dari proses itu. Inilah “
- Page 19 and 20:
1955 memecah negara ke dalam konfli
- Page 21 and 22: Tahapan Demokrasi di Indonesia seja
- Page 23 and 24: Demokrasi, Konflik dan KeamananMasa
- Page 25 and 26: Indonesia (TNI) dan Kepolisian Nega
- Page 27 and 28: Disintegrasi, Reintegrasi,dan Modal
- Page 29 and 30: Secara teoritis dan berdasarkan pen
- Page 31 and 32: Gambar Siklus Resolusi KonflikConfl
- Page 33 and 34: Pendekatan dari Bawah : Gerakan Bak
- Page 35 and 36: pengangguran, tidak sebandingnya da
- Page 37 and 38: akan dapat mencegah konflik kekeras
- Page 39 and 40: dan respon dini pencegahan konflik
- Page 41 and 42: pemerintahan yang ada belum mampu s
- Page 43 and 44: sehingga sulit melakukan koordinasi
- Page 45 and 46: espon dini 25 . Bagaimana menjadika
- Page 47 and 48: tujuan perdamaian dirumuskan (subst
- Page 49 and 50: Transisi Demokrasi,Konflik Sosial d
- Page 51 and 52: Dengan demikian penyalahgunaan keku
- Page 53 and 54: penekanan pada fungsi preventif, me
- Page 55 and 56: Pertama, Pengertian dan batasan buk
- Page 57 and 58: ersama untukmengakhiri konflik,atau
- Page 59 and 60: Stabilisasi dan Pemullihan Pasca Ko
- Page 61 and 62: melalui negosiasi, kompromi atau me
- Page 63 and 64: masyarakat secara normal serta meng
- Page 65 and 66: Keenam, fungsi intermediasi/fasilit
- Page 67 and 68: fungsi penciptaan keamanan ini. Den
- Page 69 and 70: dibalik ketimpangan antar kawasan d
- Page 71: Daftar BacaanBartrand, Jacques, (20
- Page 75 and 76: perang, sebab di dalam tugas ini mi
- Page 77 and 78: Berkaitan dengan hal ini, kelompok
- Page 79 and 80: pelecehan ataupun penguasaan tentar
- Page 81 and 82: MOOTW/PSO. Di sinilah perlunya hubu
- Page 83 and 84: eformasi Polri yang dimaksud. Di ba
- Page 85 and 86: hukum (Rechstaat) bukan Negara keku
- Page 87 and 88: ersangkutan dinyatakan bahwa “Pen
- Page 89 and 90: tersebut ditentukan bahwa struktur
- Page 91 and 92: dalam bidang structural dan instrum
- Page 93 and 94: Ada banyak faktor penyebab yang iku
- Page 95 and 96: Profil Singkat PenulisCornelis LayP
- Page 97 and 98: Lambang Trijono memperoleh gelar Ma