12.07.2015 Views

POST-CONFLICT PEACEBUILDING 2009 - Propatria Institute

POST-CONFLICT PEACEBUILDING 2009 - Propatria Institute

POST-CONFLICT PEACEBUILDING 2009 - Propatria Institute

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

yang berkecamuk di tengah ketidakmampuan pemerintahan nasional (failed states) sepertiSomalia dan Kamboja, penyelenggara dari proses peacebuilding itu adalah PBB atau merekayang memperoleh mandat dari PBB. Peacebuilding, dalam konteks seperti itu, pada umumnyadimulai dari tercapainya persetujuan damai (gencatan senjata, cessation of hostilities) danberakhir dengan penarikan mundur pihak ketiga tersebut.Namun beberapa konflik internal berkepanjangan (protracted conflict) tidak menghadirkan pihakketiga. Di Indonesia misalnya, kecuali Aceh, konflik internal diselesaikan melalui instrumenpemerintahan nasional. Istilah intervensi pihak ketiga, dalam hal ini, tampaknya harus diperluasmenjadi penggunaan sumberdaya eksternal (dari luar daerah konflik). Mungkin saja, pihakketiga tersebut juga termasuk penggunaan ketentuan hukum adat dan/atau beragammekanisme penyelesaian konflik yang berada di luar hukum nasional. Satuan aparat keamanan(polisi maupun tetara) yang bukan merupakan bagian organik dari pemerintahan lokal, misalnyaKopasus, Kostrad atau Brigade Mobile, dan aparat pemerintah pusat termasuk dalam kategoriini. Begitu pula halnya dengan penerapan hukum adat atau berbagai proses yang diprakarsaikalangan non-negara.Selain itu, konflik Papua tidak diselesaikan dengan menggunakan ketentuan darurat – berbedadari kasus Aceh, Poso dan Maluku. Karena itu, dalam kasus Papua, proses peacebuilding diPapua tidak dapat disebut sebagai dimulai dari tercapainya kesepakatan damai antarapemerintah pusat dengan Papua. Papua diselesaikan dengan pembentukan institusi tertentu,misalnya MRP (Majelis Rakyat Papua) yang diharapkan mengurangi grievances, pengakuankultural ataupun akomodasi kepentingan lokal yang pada akhirnya dapat mengurangi benihbenihdeprivasi relatif (relative deprivation) yang kerap kali menjadi asal muasal terjadinyakonflik. Seperti halnya Papua, konflik Ambon juga mengandalkan institusi semacam itu yaknimelalui Baku Bae.Peacebuilding di Aceh, misalnya, dapat dianggap dimulai dari penandatanganan PersetujuanHelsinki. Tenggat untuk mewujudkan berbagai gagasan dalam Persetujuan itu sendirimemerlukan waktu sampai, misalnya terbentuknya institusi seperti BRR/AMM. Konflik Posomenunjukkan gejala lain. Kesepakatan Malino tidak disertai dengan instusi baru tetapimengandalkan pada jalannya pemerintahan. Begitu pula halnya dengan konflik Ambon(Maluku). Sementara itu, Papua tidak dinyatakan sebagai daerah konflik dan tidak adapertikaian sistematik antara pemerintah dengan separatis. Namun pembentukan mekanismeseperti MRP tentu merupakan bagian penting dari proses perdamaian.Berapa lama peacebuilding harus dilakukan merupakan persoalan yang tak kalah rumit.Praktek internasional yang hanya memberi waktu sekitar 2-3 tahun kerapkali dianggap tidakcukup untuk membuahkan perubahan sosial politik yang kondusif untuk mempersiapkan masadepan yang lebih baik. Roland Paris menyarankan ”dua kali siklus pemilihan umum”, 5 atauantara 8-10 tahun. SIPRI (Stockholm International Peace Research <strong>Institute</strong>) menegaskanbahwa “[jika] tujuan peacebuilding adalah untuk mencegah terjadinya kembali konflik, makadalam beberapa hal upaya itu harus melibatkan program bina-bangsa yang kerapkali menyitawaktu”. 6 Mungkin memang tak ada rentang waktu pasti, kecuali untuk sekedar ancangan dalammenyusun program-program kerja. Kurun waktu 3-7 tahun adalah periode yang ditetapkan5 Roland Paris, Peacebuilding and the limits of liberal internationalism, International Security, 22(2), Fall 1997, p.55.6 SIPRI, Peace, security and conflict prevention. SIPRI - UNESCO Handbook, Oxford University Press, NewYork, 1998.7

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!